al-Habib Abubakar bin Syeikh Assegaf ra bertanya: “Bagaimanakah perasaan yang timbul dalam hati seorang yang telah sampai kepada Allah swt. Apakah ia harus membuangnya jauh-jauh dan hanya bersandar kepada perasaan Rabbani saja atau apa yang seharusnya ia kerjakan?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Seseorang yang telah sampai kepada Allah swt atau seseorang yang mengenal Allah swt dengan ilmu yang ia miliki, sebagaimana yang dimiliki pula oleh para ulama, memiliki berbagai tingkatan yang tidak terhitung banyaknya.

 

Seseorang yang telah sampai kepada Allah swt mempunyai dua keadaan: Pertama, yang dikenal dengan nama al-Jam’u, dan yang kedua adalah yang dikenal dengan nama al-Farqu.

 

al-Jam’u adalah tingkatan atau keadaan yang dicapai oleh seorang yang telah mengenal Allah swt secara terus-menerus tanpa terputus sesaat pun di dalam keadaan yang sedemikian ini. Ia adalah seseorang akan terus-menerus fana dan tenggelam di alam ketuhanan secara keseluruhan secara terus-menerus tanpa terputus sesaat pun.

 

Sehingga ia tidak lagi mengenali dirinya maupun yang lain selain Allah swt. Tentang keadaan atau tingkatan seperti ini pernah diucapkan oleh seorang penyair: “Andaikata hatiku pernah mengingat selain-Mu karena kelalaianku, maka aku rela jika aku dihukum dengan kemurtadan.”

 

Penyair lain mengatakan: “Dahulu hatiku mencintai-Mu, akan tetapi tidak terus-menerus. Namun setelah aku mengenal-Mu lebih jauh, maka aku tidak dapat melupakan diri-Mu sedetikpun. ”

 

Adanya perasaan kepada selain Allah swt bagi seseorang yang telah mengenal Allah swt dengan baik tidak mungkin akan terjadi. Karena perasaannya telah benar-benar menyatu dengan Dzat Allah swt, sehingga ia tidak dapat memalingkan perasaan tersebut sesaatpun dari pada-Nya. Keadaan yang seperti ini pernah disebutkan oleh Nabi Muhammad saw dalam sebuah sabdanya:

 

Artinya: “Aku mempunyai waktu yang tidak cukup bagiku, kecuali hanya untuk Tuhanku.”

 

Perasaan semacam ini sulit didapat oleh seseorang. Akan tetapi jikalau perasaan ini telah hadir pada diri seseorang secara terus-menerus, maka ia akan melihat berbagai keajaiban dan kemisterian alam ghaib yang menakjubkan.

 

Perasaan semacam ini pernah dialami seorang tokoh sufi di Irak. Ia pernah tenggelam dalam perasaan seperti ini selama tujuh tahun dan selama itu ia tidak sadar. Kemudian ia sadar dalam waktu pendek, tetapi ia tenggelam kembali dalam perasaan ketuhanannya itu selama tujuh tahun lagi. Dan selama itu ia tidak pernah makan, minum, tidur maupun shalat, ia hanya berdiri di sebuah tempat dan matanya selalu memandang ke langit.

 

Disebutkan juga bahwa salah seorang tokoh sufi di Mesir pernah juga mengalami keadaan atau perasaan seperti itu. Ia berwudhu, kemudian ia berbaring dan ia berkata kepada pembantunya: “Jangan engkau membangunkan aku, sampai aku bangun sendiri.”

 

Maka, ia tidak sadarkan diri selama tujuh belas tahun. Dan selama itu pula ia tidak makan dan tidak minum. Kemudian ia bangun dan ia melakukan shalat dengan wudhunya yang dahulu. Perlu diketahui, para ‘arifin billah selalu merindukan untuk mendapatkan keadaan seperti itu.

 

Tetapi Allah swt jarang sekali memberikan perasaan semacam itu kepada hamba-hamba-Nya, karena Allah swt kasihan kepada mereka dan agar hambanya yang terdekat dapat mengerjakan segala kewajibannya kepada Allah swt, agar pahala mereka senantiasa bertambah serta agar tubuh mereka tidak rusak karenanya.

 

Sebab, jika perasaan ketuhanan telah mempengaruhi hati seorang dan ia tenggelam dalam perasaan seperti itu, maka kekuatannya sebagai manusia tidak akan dapat menanggulanginya. Sebab, Gunung Tursina menjadi terbakar dan meletus ketika cahaya Allah swt tumbuh di puncaknya, maka bagaimana jika cahaya Allah swt itu telah bersemayam di hati seseorang.

 

Karena itu, tidak pantas jika kita percaya kepada sebagian orang yang telah disesatkan oleh setan yang mengaku bahwa mereka telah mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, sehingga mereka meninggalkan semua kewajiban agama, seperti puasa, shalat, serta mereka melakukan segala bujuk rayu hawa nafsunya dan larangan-larangan Allah swt.

 

Andaikata mereka termasuk wali-wali Allah swt, tentunya mereka akan dipelihara oleh Allah swt dari segala perbuatan yang tidak baik. Dan secara logika, andaikata mereka benar-benar mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, tentunya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal-hal selain Allah swt.

 

Kiranya kami cukupkan sampai disini keterangan kami tentang keadaan atau masa ketenggelaman seseorang di alam ketuhanan yang memfanakan dirinya dari selain Allah swt. Kini, mari kita bicarakan tentang keadaan al-farqu, yaitu keadaan atau perasaan yang dialami oleh seorang yang telah tenggelam di alam ketuhanan, tetapi tidak terus-menerus.

 

Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini, maka Allah swt akan senantiasa memeliharanya dan memperhatikannya. Untuk selamanya, ia akan merasa selalu diawasi dan diberi petunjuk oleh Allah swt, sehingga ia tidak berani berbuat sesuatu, kecuali yang telah diajarkan oleh ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang menurut istilah kaum sufi, perasaan semacam itu disebut perasaan malaki atau ilham Rabbani.

 

Adapun perasaan setan, tidak akan timbul dan tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada seorang yang telah sampai kepada Allah swt. Sebab, setan yang terkutuk tidak akan dapat mendekati hati seorang yang telah sampai kepada Allah swt.

 

Karena Allah swt akan senantiasa meneranginya dengan cahaya petunjuk-Nya. Mungkin setan dapat mempengaruhi seseorang yang telah sampai kepada Allah swt, tetapi orang itu akan diselamatkan oleh Allah swt dari gangguan setan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad saw:

 

Artinya: “Aku mempunyai setan, tetapi Allah memenangkan aku daripadanya, sehingga aku selamat dari godaan nya, sehingga ia tidak menyuruhku kecuali yang baik.”

 

Adapun perasaan nafsu tidak mungkin dapat mempengaruhi hati seorang yang telah sampai kepada Allah swt, karena hatinya telah tunduk dan telah dekat kepada Allah swt. Bahkan nafsunya pun dapat ia kendalikan, sehingga ia taat kepada Tuhannya dan telah dimasukkan dalam golongan hamba-hambanya yang pantas menghuni surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan hanya bagi orang-orang yang bertakwa.

 

 

 

 

al-Habib Abubakar bin Syeikh Assegaf ra bertanya: “Bagaimanakah hukumnya keburukan yang dilakukan oleh seorang “arif billah?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menurut istilah kaum sufi, seorang ‘arif billah adalah seseorang yang beriman kepada Allah swt dan ia benar-benar mengerti segala kewajiban serta larangan Allah swt, dan ia menjalankan segala kewajiban-Nya serta menjauhi larangan-Nya dengan baik.

 

Selain itu, ia gemar memperbanyak amalan-amalan sunnah yang dapat semakin mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Semuanya itu ia lakukan demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt, sehingga ia mendapat cahaya Allah swt dan sehingga apa saja yang misteri akan menjadi nyata, hingga ia akan mendapat petunjuk, furqan, dan ilmu dari Allah swt. .

 

Selanjutnya, seorang ‘arif billah, meskipun ia telah mencapai tingkatan terdekat di sisi Allah swt, ada kemungkinan ia melakukan pelanggaran atau kekeliruan yang menyebabkan ia terkena sanksi dari Allah swt, baik secara syariat maupun secara akal. Sebab, tujuan seorang ‘arif billah ingin menjadi seorang wali Allah swt dan seorang wali akan terpelihara dari perbuatan dosa.

 

Disebutkan bahwa diantara para nabi ada juga yang melakukan kesalahan, misalnya kesalahan yang telah dilakukan Nabi Allah Adam as, ketika ia makan buah dari pohon yang dilarang, Nabi Allah Daud as ketika ia mempunyai keinginan yang salah, demikian pula ketika Nabi Allah Sulaiman as melakukan perbuatan yang salah. Akan tetapi semua yang mereka lakukan itu tidak sengaja.

 

Karena itu, para tokoh ulama berpendapat bahwa para nabi terpelihara dari segala dosa yang besar maupun yang kecil. Adapun kalau ada kesalahan yang mereka lakukan, tidak lebih dari kekeliruan yang tidak disengaja atau karena faktor lupa.

 

Telah diketahui secara umum, bahwa segala perbuatan kebajikan yang dilakukan oleh para ‘arif billah akan diberi pahala yang berlipat ganda, demikian pula segala kesalahannya akan dinilai dosa secara berlipat ganda.

 

Ada kemungkinan dosa kecil yang mereka lakukan akan dinilai sebagai dosa besar, karena mereka telah berada di lingkungan terdekat dengan Allah swt, dimana lingkungan tersebut tidak boleh dinodai oleh dosa sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

 

Artinya: “Wahai istri-istri nabi, barang siapa diantaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

 

Sedangkan barangsiapa diantara kalian sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shaleh, niscaya kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan kami sediakan baginya rezeki yang mulia.” (Qs. al-Ahzab ayat: 30 – 81).

 

Disebutkan bahwa “arif billah al-Imam Ibnul Jala ra pernah melihat seorang pemuda yang berwajah tampan, maka dikatakan kepadanya: “Pasti engkau akan segera mendapat sanksinya.” Maka Al-Qur’an yang telah dihafalkannya menjadi hilang dari ingatannya.

 

Disebutkan pula, bahwa ada seorang yang telah sampai kepada Allah swt pernah mempunyai perasaan ingin berbuat maksiat ketika ia sedang dalam shalatnya, maka Allah swt menjadikan hitam seluruh tubuhnya dan hal itu berlangsung cukup lama sampai setelah dimohonkan ampun oleh orang-orang shaleh lainnya.

 

Disebutkan juga bahwa al-Imam al-Junaid ra pernah melihat seorang miskin yang sedang meminta-minta. Maka ia berkata dalam hatinya: “Andaikata orang ini bekerja dan ia tidak minta-minta, pasti akan lebih baik baginya.” Maka ketika ia bangun untuk beribadah di malam hari, ia tidak akan mendapatkan kenikmatan dan kegemarannya untuk beribadah menjadi hilang dan ia pun tertidur pulas.

 

Dalam tidurnya ia melihat orang miskin tersebut mengulurkan sepotong daging kepadanya seraya berkata: “Makanlah daging ini, karena engkau telah menggunjing diriku.” Maka ia berkata: “Aku hanya berkata dalam hatiku.” Maka dikatakan kepadanya: “Seorang yang sepertimu tidak pantas melakukan hal seperti itu.”

 

Disebutkan juga bahwa ada seorang yang telah sampai kepada Allah swt mendapat sanksi dari Allah swt ketika ia mempunyai perasaan ingin makan sesuatu yang dihalalkan. Hal itu terjadi karena ia berlaku tidak sopan kepada Allah swt.

 

Disebutkan juga bahwa al-Imam asy-Syeikh Abu Thurab anNahsyabi ra pernah mempunyai perasaan ingin makan roti dan telur, sehingga ia pergi ke pasar untuk mewujudkan keinginannya. Maka, di saat itu ada seorang yang menarik baju al-Imam asy-Syeikh an-Nahsyabi ra dan ia berkata: “Lelaki ini adalah teman para pencuri.”

 

Maka ia dipukuli oleh penduduk yang ada di pasar itu. Untungnya ada seorang yang mengenalnya, sehingga mereka dilerai. Setelah itu ia diantarkan ke rumahnya dan diberikan kepadanya roti serta telur yang ia inginkan.

 

Maka asy-Syeikh an-Nahsyabi ra berkata kepada dirinya: “Makanlah roti dan telur yang menyebabkan aku dipukuli oleh orang banyak.”

 

Disebutkan juga bahwa ada seorang “arif billah yang ingin makan ikan, sehingga ia mengulurkan tangannya kepada seekor ikan yang telah terhidang di depannya, maka dengan izin Allah swt, tangan si ‘arif billah tersebut terkena duri ikan sampai terluka.

 

Disebutkan juga bahwa al-Imam asy-Syeikh Abul Ghaits ra pernah mencium istrinya tanpa niat, sehingga ia turun dari kedudukannya di sisi Allah swt selama setahun. Dan kisah-kisah tentang mereka masih banyak lagi. Andaikata kami menukilkan kisah-kisah semacam itu, maka kami telah menyimpang dari maksud kami yang sebenarnya, yaitu ingin meringkas keterangan kami.

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdullah al-Khatib Baraja’ ra pernah bertanya: “Apakah seorang wali quthub termasuk wali al-ghauts ataukah termasuk wali lainnya. Dan apakah yang dimaksud dengan wali al-autad dan wali al-abdal?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya dalam masalah ini, ada beberapa kabar dari Baginda Rasulullah saw secara marfu, dan beberapa atsar yang datangnya dari para wali Allah swt. Pada kesempatan ini, aku ingin menerangkan sebagian daripadanya: Diriwayatkan oleh asy-Syeikh al-Yafi’i di dalam Kitab ar-Raudhah dari Sahabat Ibnu Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

 

Artinya: “Allah menciptakan di bumi-Nya sebanyak tiga ratus orang wali yang hatinya seperti hati Nabi Allah Adam, dan sebanyak empat puluh orang wali yang hatinya seperti hati Nabi Allah Musa, dan sebanyak tujuh orang wali yang hatinya seperti hati Nabi Allah Ibrahim.

 

Dan lima orang wali yang hatinya seperti hati Malaikat Jibril dan tiga orang wali yang hatinya seperti hati Malaikat Mikail, serta seorang wali yang hatinya seperti hati Malaikat Israfil.”

 

Jika seorang diantara mereka ada yang wafat, maka Allah akan menggantinya dengan tiga orang wali. Jika seorang diantara tiga wali ada yang wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan lima orang wali. Jika seorang diantara lima orang wali ada yang wafat, maka Allah akan menggantikanya dengan tujuh orang wali.

 

Jika seorang diantara tujuh orang wali ada yang wafat, maka Allah akan menggantiknnya dengan empat puluh orang wali. Jika seorang diantara empat puluh orang wali ada yang wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan tiga ratus orang wali.

 

Jika seorang diantara tiga ratus orang wali ada yang wafat, maka Allah akan menggantiknnya dengan orang “awam. Karena mereka itu, Allah swt menyelamatkan umat ini dari segala bencana.”

 

Mengenai hal ini, al-Imam asy-Syeikh al-Yafii ra berkata: “Seorang wali yang hatinya mirip dengan hati Malaikat Israfil as, ia adalah wali quthub atau wali al-ghauts. Ia merupakan titik pusat bagi para wali. Keberadaannya di alam semesta merupakan penolak segala bencana.”

 

al-Imam asy-Syeikh al-Yafi’i ra berkata: “Khidhir as termasuk dalam kelompok tiga ratus orang wali, dan tujuh orang wali dari kelompok an-nujaba,’ empat puluh orang wali dari kelompok al-autad, sepuluh orang wali kelompok nuqaba, tujuh orang wali termasuk dari kelompok al-urafa’, tiga orang wali termasuk dari kelompok al-muhtarun dan seorang diantara mereka adalah seorang wali al-ghauts.”

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra berkata: “Wali-wali al-abdal berjumlah tujuh orang.”

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh Ahmad ar-Rifa’i ra berkata: “Wali-wali al-autad berjumlah empat orang.”

 

al-Imam asy-Syeikh Muhammad Ibnu Arabi ra berkata: “Wali quthub ada dua orang, keduanya disebut imam. Salah satu dari keduanya diletakkan disebelah kanan alam semesta, ia hanya memperhatikan keadaan alam malakut.

 

Yang kedua diletakkan disebelah kiri alam semesta, ia hanya memperhatikan alam malaikat. Jika wali quthub yang berada di sebelah kanan wafat, maka ia akan diganti dengan wali quthub yang ada di sebelah kiri.”

 

al-Imam asy-Syeikh Muhammad Ibnu Arabi ra berkata:

 

“Diantara para wali ada yang disebut kelompok al-afrad. Mereka tidak termasuk dalam kelompok wali quthub. Dan keberadaan mereka tidak dikenal oleh seorang pun.”

 

Dalam kesempatan lain, al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra berkata: “Diantara wali-wali ada yang termasuk dalam kelompok al-Afrad dan wali-wali lainnya, mereka semua termasuk dalam kelompok wali al-ghauts.”

 

Perlu diketahui bahwa jumlah para wali Allah swt tidak terhitung banyaknya. Diberitakan juga bahwa ketika al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra masih hidup, ada dua belas ribu wali-wali Allah swt.

 

Adapun wali quthub al-ghauts, jumlah mereka hanya satu orang pada tiap masa. Wali quthub al-ghauts ini adakalanya dikenal dengan nama khalifah, adakalanya pula dikenal dengan nama insan kamil dan ada kalanya juga disebut dengan nama shahib ashshiddiqiyah al-kubra wal wilayah al-‘udzma.

 

al-lmam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra pernah menyebutkan sebagian dari sifat-sifat dan kelebihan yang dimiliki oleh seorang wali al-ghauts sebagaimana yang pernah dinukil oleh al-Imam asy-Syeikh al-Yaffi’i ra di akhir Kitab al-M’atarni. Jika Anda ingin mengetahuinya lebih dalam, maka Anda dapat membacanya dalam kitab tersebut.

 

Kata quthbantyah mempunyai arti pimpinan, akan tetapi kata-kata tersebut biasa disebut dengan nama quthub, yang artinya adalah seorang yang mempunyai kedudukan tertinggi diantara kaumnya.

 

Karena itu, ada yang disebut quthub mutawakkilin, ada pula yang disebut quthub raadlin. Mungkin yang biasa disebut shahib ashshiddigtyah al-kubra adalah seorang wali quthub al-ghauts, hanya saja wali ini biasa disebut wali quthub saja.

 

Kami kira keterangan kami dalam masalah ini cukup luas dan dapat dimengerti, meskipun para ulama saling berbeda pendapat tentang sebutan dan jumlah para wali.

 

Untuk menerangkan nama-nama tingkatan para wali dan jumlah mereka dalam kelompoknya masing-masing perlu menyebutkan keutamaan para wali dan tanda-tanda khusus yang ada pada diri mereka serta tingkatan mereka masing-masing di sisi Allah swt. Tentunya tidak ada yang dapat menerangkan masalah dengan jelas, kecuali seorang wali al-ghauts.

 

Karena hanya ia yang mengenali kedudukan dan keadaan para wali masing-masing. Adapun orang lain, meskipun ia seorang wali, tidak mungkin ja dapat menerangkannya dengan baik, kecuali tentang tingkatan wali-wali yang sama dengan tingkatannya, atau wali wali yang mempunyai tingkatan lebih rendah dari tingkatannya. Karena ia hanya dapat memperhatikan tingkatan para wali yang ada di atasnya, meskipun ia tidak mengenal masing masingnya dengan baik.

 

Pokoknya, masalah yang kami sebutkan di atas termasuk masalah yang sulit dimengerti, kecuali bagi seorang yang mempunyai pandangan kasyaf atau pandangan mata batin. Seseorang yang ingin mengetahuinya lebih jelas tentang para wali dan keadaan yang masing-masing, maka hendaknya ia menekan hawa nafsunya dengan berbagai latihan, sampai nafsunya dapat tunduk dan bersih dari segala keinginan.

 

Dan hendaknya ia selalu hadir di sisi Allah swt dengan rendah hati, serta merasa lemah dan butuh kepada-Nya sebagai realisasi dari pengabdiannya dan ketaatannya kepada Allah swt.

 

Jika seseorang telah dapat merealisasikan keduanya, yaitu menundukkan nafsunya dengan berbagai latihan dan membiasakan dirinya untuk selalu hadir di sisi Allah swt, maka tirai hatinya akan terbuka dan ia akan mampu menyaksikan segala misteri yang dirahasiakan oleh Allah swt.

 

Pada saat itulah, ia mampu mengenali para wali Allah swt menurut tingkatannya masing-masing, sesuai dengan pandangan rohaninya, dan pada saat itu pula ia tidak perlu menerangkan keadaan mereka kepada orang lain.

 

Adapun kami, sebagai orang biasa yang tidak dapat melihat alam misteri dengan pandangan batin, maka kami tidak dapat menerangkan tingkatan para wali dan keadaan mereka masing-masing secara panjang lebar. Kami hanya dapat menerangkannya sebatas kemampuan kami.

 

Dengan harapan agar hal itu dapat meningkatkan kecintaan dan kerinduan kami kepada alam ghaib, agar kami dapat meraih tingkatan-tingkatan tersebut. Sebab, seorang yang bersungguh-sungguh dalam pencariannya, maka pasti ia akan mendapatkannya.

 

Tentang masalah tersebut, ada seorang penyair yang menyebutkan dalam bait-bait puisinya: “Aku telah melihat serombongan warga kampung yang mengadakan perjalanan, maka aku bertanya kepada mereka: “Bagaimana keadaan seorang wanita cantik yang ada dibalik tabirnya?

 

Ia berjilbab, wajahnya amat cantik, menyebabkan setiap orang yang mencintainya menjadi bingung ketika melihat kecantikannya.

 

Tolong jelaskan kepadaku tentang kecantikan wajahnya dan sifat-sifat pribadinya yang enak didengar dan diresapi oleh hatiku.”

 

Kata mereka: “Menurut kami, menyebut sifat-sifatnya cukup menggairahkan bagi yang mencintainya, sebelum ia menyaksikan dengan matanya.”

 

‘Kalau begitu, marilah kita segera menuju ke tempat persembunyiannya, agar kita dapat memandangnya diantara lubanglubang perkemahannya.’

 

Kataku: “Mendengar keindahan sifat-sifatnya saja dapat menggugah hati seorang yang tertutup dan dapat membangkitkan semangat seorang yang berjalan.

 

Semoga Allah mengembalikan hari-hari yang amat indah itu, yang penuh kesenangan dan kenangan tentang wanita cantik itu.”

 

Duhai kekasihku, apakah malam-malam yang penuh keindahan Itu akan segera kembali. Sebab, setelah kepergiannya, hatiku tidak dapat bersabar untuk menanti kembalinya saat yang penuh keindahan itu,”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Qadir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Bagaimanakah hukumnya seorang yang bergaul dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat dan bagaimana pula hukumnya mengkonsumsi makanan dari orang-orang yang pekerjaannya tidak baik?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya seorang mukmin yang sangat perhatian kepada agamanya dan yang berharap memperoleh kebahagiaan di akhiratnya, hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang-orang yang baik, yang taat, yang takut kepada Allah swt, serta kepada orang-orang yang meninggalkan segala perbuatan maksiat secara total atau yang bertaubat dengan sesungguhnya dari perbuatan maksiat.”

 

Adapun seorang yang bergaul erat dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat karena darurat dan ia membenci perbuatan maksiat mereka, jikalau dapat ia berusaha mengajak mereka untuk bertaubat dan ia dapat menjaga agamanya dari pengaruh mereka, serta ia berharap untuk menasehati mereka ke jalan yang benar, maka hal itu tidak mengapa baginya.

 

Adapun jika seorang bergaul erat dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat dan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, meskipun ia mampu melakukannya, hanya saja ia tidak melakukan perbuatan maksiat bersama mereka dan tidak pula menolong mereka dalam kemaksiatannya. Maka orang semacam ini tidak selamat dari dosa. Bahkan ada kemungkinan ia mendapat murka Allah swt, karena ia bergaul dengan mereka tidak karena darurat atau karena terpaksa.

 

Adapun seorang yang bergaul erat dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, atau bahkan ia memuji perbuatan mereka dan membantu mereka untuk berbuat maksiat, maka menurut pandangan Allah swt, ia lebih jahat dari mereka dan murka Allah swt akan lebih cepat menimpanya daripada mereka.

 

Pokoknya, seorang yang berakal, tidak akan bergaul erat dengan siapapun yang terang-terangan berani berbuat maksiat, tidak akan duduk dengan mereka, kecuali jika pertemuannya dengan mereka secara kebetulan, misalnya bertemu dengan mereka di tempat-tempat berkumpulnya orang banyak, seperti di masjid-masjid atau di pasar-pasar.

 

Seorang dilarang bergaul erat dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, karena perbuatan itu dapat mematikan hati seorang dan juga dapat melemahkan frekuensi ketaatannya, bahkan dapat menyeretnya ke dalam perbuatan maksiat pula. Dan orang yang telah mencoba melakukannya, maka ia akan mengetahui hasilnya.

 

Adapun mengkonsumsi makanan dari seorang yang perbuatannya tidak baik, atau berbisnis dengannya, asalkan dengan cara yang benar atau mengetahui bahwa hartanya yang halal lebih banyak dari hartanya yang syubhat atau yang haram, maka menurut para ulama diperbolehkan mengkonsumsi makanannya dan juga berbisnis dengannya, namun menjaga diri dari perbuatan semacam itu Lebih utama.

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Bagaimanakah cara mengobati seseorang yang malas melakukan amal-amal kebajikan dan condong kepada hawa nafsu. Padahal ia cinta kepada kebajikan dan para pelakunya, serta ia benci kepada kejahatan begitu pula dengan para pelakunya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya penyebabnya ada empat macam:

 

Pertama: Bodoh. Adapun cara menghilangkannya adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.

 

Kedua: Lemah iman. Adapun cara memperkuatnya adalah dengan cara memperhatikan kejadian langit dan bumi, serta selalu melakukan amal-amal shaleh.

 

Ketiga: Banyak berangan-angan. Adapun cara menghilangkannya adalah banyak mengingat kematian yang dapat mendatanginya secara tiba-tiba pada setiap waktu.

 

Keempat: Sering mengkonsumsi makanan yang syubhat. Adapun cara menghindarinya adalah menjauhinya dan hanya mengkonsumsi yang halal.

 

Seorang yang dapat mengobati dirinya dari keempat penyebab tersebut dengan cara melakukan terapinya masing masing, maka ia tidak akan bosan, apalagi enggan dari melakukan amal-amal kebajikan di setiap waktunya.

 

Dan ia tidak akan condong sedikitpun kepada hawa nafsu dan segala kelezatannya yang fana. Semua itu tidak dapat ia peroleh, kecuali setelah berjuang dengan sungguh-sungguh dan itulah sunnah Allah swt. Ketahuilah bahwa sunnah Allah swt tidak akan berubah sedikitpun.

 

Hendaknya setiap orang pada awal langkahnya, menjauhi segala yang dilarang oleh agama, menekan hawa nafsunya, dan juga senantiasa melakukan amal-amal kebajikan secara paksa, hingga Allah swt mengetahui kesungguhannya untuk membersihkan hatinya.

 

Jika hal itu telah dicapai oleh seorang, maka di saat itu Allah swt akan memberinya kelezatan untuk beribadah dan sekaligus membenci hawa nafsunya. Yang sedemikian itu dapat terjadi adalah karena bantuan dan karunia Allah swt kepadanya.

 

Hal itu seiring dengan firman Allah swt:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh Jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan Kami.” Dalam ayat-Nya yang lain,

 

Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Sesungguhnya telah disempurnakan janji Tuhanmu yang baik untuk memberi kemenangan bagi Bani Israil, karena mereka bersabar.”

 

Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Allah menjanjikan bagi orang-orang beriman diantara kalian dan beramal shaleh bahwa mereka akan diberi kedudukan di muka bumi.

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Manakah yang lebih baik bagi seseorang. Apakah ia harus menyembunyikan amal-amal ibadahnya ataukah ia harus menampakkannya. Dan manakah yang lebih baik baginya, merasa takut lebih banyak ataukah berharap lebih banyak?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Perlu diketahui, bahwa jika seorang menunjukkan amal-amal ibadahnya secara terang-terangan agar bisa ditiru atau diikuti oleh orang lain, maka hal itu lebih baik baginya, asalkan tidak menyebabkan riya’ dalam dirinya.

 

Sebaliknya, menyembunyikannya lebih baik baginya jika hatinya bisa menjadi riya, dan perbuatannya tidak diharapkan ditiru oleh orang lain. Jika ia merasa dirinya tidak akan riya’ dan tidak berharap perbuatannya ditiru oleh orang lain, maka menyembunyikannya lebih utama baginya.”

 

Sedangkan mengenai rasa takut dan rasa berharap, ketahuilah bahwa rasa takut lebih utama bagi seorang yang kuat nafsunya dan kecondongannya cukup besar untuk berbuat maksiat, sampai setelah hatinya menjadi lurus.

 

Sebaliknya, rasa berharap lebih utama bagi seorang yang saat kematiannya telah dekat, agar ia mati dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah swt. Adapun seorang yang sehat jasadnya dan teguh agamanya, maka hendaknya ia menyamakan antara rasa takut dan rasa berharapnya. Sehingga keduanya menjadi seimbang, bagai keseimbangan dua sayap seekor burung. Dan hal itu lebih utama baginya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Bagi seorang yang memilih wirid bagi dirinya. Manakah yang lebih baik baginya, apakah banyak membaca Al-Qur’an ataukah banyak mengucapkan kalimat tasbih atau tahlil?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa tidak ada amalan yang lebih utama dari membaca al-Qur’an, asalkan membacanya dengan tartil dan merenungi kandungannya.

 

Akan tetapi, karena perasaan setiap orang suka bosan, maka sebaiknya ia berpindah-pindah dalam wiridnya, sesekali ia membaca al-Qur’an, sesekali ia melakukan shalat, sesekali ia berdzikir serta sesekali ia merenungi kematiannya dan apa saja yang akan terjadi setelahnya.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Manakah yang lebih baik bagi seseorang dalam shalat. Memanjangkan berdirinya, rukuknya, sujudnya, ataukah memendekkannya agar dapat memperbanyak bilangan rakaatnya dalam shalat sunnahnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa Baginda Rasulullah saw memanjangkan berdirinya, ruku’nya dan sujudnya dalam shalat malamnya, dan beliau tidak pernah menambah bilangan rakaatnya lebih dari sebelas atau tiga belas raka’at.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah memanjangkan berdiri, ruku’ dan sujud ataukah memendekkannya. Sebagian diantara mereka ada yang memilih pendapat yang kedua.

 

Akan tetapi, al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dan kawan-kawannya memilih langkah yang dapat membuat Seorang lebih khusyu’ dan lebih berkonsentrasi, dan itulah yang lebih utama Namun hal itu bisa berubah tergantung perbedaan situasinya.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra bertanya: “Bagaimanakah seseorang yang merenung di waktu malam dan di waktu-waktu tertentu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya berfikir atau merenung di waktu apapun merupakan modal yang paling besar untuk memperbaiki dan meluruskan hati seorang, serta untuk menimbulkan niat yang baik dan kemauan yang besar untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

 

Akan tetapi, bukan setiap pemikiran atau perenungan dapat menimbulkan perasaan semacam itu. Sebaliknya, adalah pemikiran atau perenungan tentang tanda-tanda dan keajaiban kekuasaan Allah swt serta besarnya karunia-karunia-Nya bagi wali-wali-Nya, dan juga besarnya siksa-Nya bagi musuh musuh-Nya, termasuk juga pemikiran tentang dunia dan kehancuran-Nya, serta besarnya kekacauannya dan keburukannya.

 

Adapun pemikiran tentang hawa nafsu dan kelezatannya yang menyebabkan seorang dapat menghindari hawa nafsunya maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yang berguna bagi seorang. Akan tetapi, jika pemikirannya mengarah kepada hal. hal untuk berbuat maksiat, maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yang tidak berguna yang harus dijauhi oleh setiap muslim.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Abu Yazid al-Busthami ra: Sejauh-jauh orang dari Allah swt adalah seseorang yang paling banyak menggunakan nama Allah swt dalam pembicaraannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Maksud dari ucapan al-Imam asy-Syeikh Abu Yazid ra adalah jika seorang banyak menyebut nama Allah swt dalam pembicaraanya dengan maksud riya.

 

Tentunya, banyak menyebut nama Allah swt dalam pembicaraannya tidak salah, sebab orang-orang shaleh selalu menyebut nama Allah swt dalam pembicaraannya. Namun jika niat orang itu untuk riya, maka niatnya itu yang dicela, karena niatnya tidak ikhlas.”

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra bertanya: “Tentang ucapan seorang: Jiwa berkata kepada hati: Ikutilah semua kebiasaanku sampai aku mengikutimu didalam berbagai ibadah.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ucapan semacam itu adalah ucapan nafsu muthmainnah kepada hati yang bercahaya. Jika hati mau hadir bersama jiwanya didalam berbagai kebiasaan yang semestinya, seperti ketika makan, minum dan sebagainya, maka jiwa akan sejajar di dalam segala kebiasaan dengan hati dan ia dapat bersikap lebih baik serta lebih utama.”

 

Adapun kehadiran jiwa bersama hati di dalam berbagai ibadah akan menambah semangat, serta di dalam lahir dan batin akan menyatu. Jika keduanya telah menyatu dalam segala tindak-tanduk seorang, maka segala tindak-tanduknya akan menjadi lurus dan baik. Jika sebaliknya, maka segala tindak-tanduknya akan tercela.

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad Shalan ra bertanya: “Apakah seseorang boleh mencintai dzat seorang ataukah hanya diperbolehkan mencintai sifatnya saja?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Mencintai sifat-sifat yang baik dari seseorang bisa diterima oleh akal dan ia dapat bermanfaat di dunia serta di akhirat kelak. Akan tetapi mencintai sifat-sifat seseorang, maka nilainya lebih tinggi dan lebih bermanfaat.

 

Adapun mencintai dzat seseorang adalah perbuatan yang tidak pantas, yang pantas adalah mencintai Dzat Allah swt. Meskipun pengertian mencintai Dzat Allah swt cukup rumit dan misteri bagi orang awam. Namun setiap orang harus mencintai Dzat Allah swt lebih dari yang lain.”

 

Adapun jika ada yang berkata: “Kami tidak membenci dzat sebagian orang dari keluarga Nabi saw yang sifatnya tidak bagus, tetapi kami hanya tidak menyenangi sifat-sifatnya yang buruk. Sebab pada diri mereka mengalir darah suci Baginda Nabi saw.” Ketahuilah bahwa masalah ini tidak termasuk dalan pembahasan kita. 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad Shalan ra bertanya: “Apakah maksud do’a yang diucapkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw untuk Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra: Ya Allah, berilah ia pengertian dalam agama dan ajarilah ia ilmu takwil.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Adapun maksud dari do’a beliau saw berilah ia pengertian dalam agama, adalah pengertian tentang ilmu-ilmu agama, termasuk juga hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya, sehingga ia dapat mempraktekkan setiap ajarannya dengan penuh pengertian dan dengan dasar-dasar yang kuat.

 

Adapun pengertian do’a beliau saw dan ajarilah ia ilmu takwil, adalah ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Memang Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra termasuk seorang pakar dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan beliau dikenal dengan nama Penerjemah al-Qur’an. Hal ini karena berkah do’a Rasulullah saw tersebut.

 

Do’a beliau saw seperti yang kami sebutkan di atas, biasa dibaca oleh Orang-orang shaleh dengan tambahan “Dan berilah kami petunjuk ke jalan lurus yang menuju kepada ridha Allah swt dan Surga-Nya dengan mudah dan selamat.” Seorang yang berdo’a semacam itu, pasti akan dikabulkan oleh Allah swt dan do’a tersebut akan bermanfaat.

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra bertanya: “Tentang makna hadis gudsi: Seorang yang sibuk mengingatKu lebih dari memohon kepada-Ku, maka Aku akan | memberikan sesuatu yang lebih baik baginya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “ Maksud dari hadis gudsi tersebut, adalah seorang yang senantiasa mengingat Allah swt dan pekerjaan semacam itu menjadi rutinitasnya setiap saatnya, sehingga ia tidak sempat berdo’a.

 

Maka menurut Allah swt, orang itu akan diberi berbagai karunia yang lebih banyak dan lebih baik dari segala permohonan yang diminta oleh mereka yang suka berdo’a. Karena ia selalu sibuk mengingat Allah swt, sehingga ia tidak sempat berdo’a.

 

Perlu diketahui, meskipun hadis gudsi diatas mengisyaratkan bahwa seorang yang senantiasa mengingat Allah swt lebih utama dari mereka yang senantiasa berdo’a, tetapi ia tidak boleh hanya mengingat Allah swt tanpa berdo’a sedikit pun. Sebab, berdo’a termasuk dalam bagian mengingat Allah swt.

 

Karena seorang yang berdo’a, hatinya terasa butuh, tunduk, dan khusyu’ kepada Allah swt, lebih dari berbagai rutinitas ibadah lainnya. Tentunya perasaan tersebut merupakan modal terbesar untuk diterimanya ibadah seorang. Dalam hal ini, Baginda Nabj Muhammad saw bersabda:

 

Artinya: “Do’a adalah pokok dari segala ibadah.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra: “Seorang tidak pantas menjadi syeikh mursyid sampai setelah ja mengetahui pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya. Adapun pokok-pokok agama ada tujuh dan cabang-cabangnya ada tujuh puluh.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan asy-Syeikh Sa’id bin Isa alAmudi ra sebagaimana yang Anda sebutkan di atas adalah benar.

 

Seorang tidak pantas menjadi seorang tokoh agama yang berdakwah sampai setelah ia mengerti dan mengetahui pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya. Baik secara global maupun secara terperinci, baik dari hasil mempelajarinya dan mendalaminya maupun dari hasij pemberian ataupun ilham dari Allah swt.

 

Sebagaimana yang diperoleh oleh asy-Syeikh Sa’id bin Isa al. Amudi ra, seorang yang buta huruf ataupun seperti yang diperoleh oleh asy-Syeikh Ahmad ash-Shayyad, asy-Syeikh Ali al-Ahdal ra, asy-Syeikh Abul Ghaits ra, dan lain-lainnya.

 

Adapun pengertian ucapan asy-Syeikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra: “Pokok-pokok agama ada tujuh dan cabang-cabangnya ada tujuh puluh.” Sebenarnya tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan jumlahnya sebagaimana yang telah disebutkan oleh asy-Syeikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.

 

Mungkin pengertian seperti itu merupakan suatu kesimpulan dari ucapan sebagian ulama yang mengatakan hal itu, seperti ucapan seorang ulama: “Seorang tokoh agama diwajibkan melakukan hal-hal yang wajib dan sunnah. Hal-hal yang wajib adalah mencintai Allah swt, sedangkan yang sunnah adalah zuhud atau hidup sederhana di dunia.”

 

Adapun kesimpulan dari ucapan asy-Syeikh Sa’id bin Isa alAmudi ra diatas, seorang tokoh agama harus mengetahui segala permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya secara lahir maupun batin. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadis:

 

Artinya: “Allah tidak akan memilih seorang yang bodoh sebagai wali-Nya, andaikata Allah swt berkehendak memilih seorang untuk menjadi wali-Nya, maka Allah swt akan memberikannya ilmu.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang wali-wali Allah swt dan berapakah jumlah mereka?” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa jawaban tentang pertanyaan ini pernah diterangkan oleh asy-Syeikh Abdullah bin As’ad al-Yafri dipermulaan Kitab ar-Raudhah ar-Rayyahin.

 

Ketahuilah bahwa yang pertama kali menduduki tingkatan quthub, menurut sebagian orang adalah Sayyidina Hasan bin Ali ra. Akan tetapi adapula yang berpendapat bahwa yang pertama kali menduduki tingkatan quthub adalah Sayyidina Abubakar kemudian Sayyidina Umar, lalu Sayyidina Usman, lalu Sayyidina Ali.’ Baru kemudian Sayyidina Hasan, kemudian Sayyidina Husein, kemudian Sayyidina Ali Zainal Abidin, dan seterusnya.

 

Adapun akhir yang menduduki tingkatan ini adalah al-Imam al-Mahdi al-Muntadzar ra, salah seorang cucu Sayyidah Fatimah azZahra ra. Ia akan hadir diakhir masa. Wali quthub adalah seorang mukmin yang paling utama pada masanya. Adapun pertanyaan Anda yang lain pernah diterangkan di dalam Kitab ar-Raudhah ar-Rayyahin secara global.

 

Adapun keterangannya secara terperinci dibutuhkan pembahasan yang lebih luas, akan tetapi ada beberapa keterangan yang tidak boleh dijelaskan secara umum di dalam kitab ini.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah Seorang yang mengingkari karamah para wali Allah swt akan membawa orang tersebut menjadi kafir?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Pendapat ulama seperti itu dapat dijadikan dasar, karena pendapat mereka ada dasarnya dalam syari’at.

 

Didalam Kitab al-Lathaif al-Minan disebutkan bahwa asySyeikh Abu Turab an-Nakhsyabi ra berkata: “Seorang yang mengingkari karamah para wali Allah swt menjadi seorang kafir, sebab ia telah mengingkari kekuasaan Allah swt.”

 

Adapun yang menganggap karamah sebagai bagian dari mu’jizat, maka anggapan itu boleh diterima, meskipun pada dasarnya karamah berbeda dengan mu’jizat. Sebab, mu’jizat sengaja diberikan kepada seorang nabi sebagai tanda bahwa ia adalah benarbenar utusan Allah swt.

 

Sedangkan karamah sengaja diberikan kepada seorang wali, sebagai tanda bahwa ia adalah seorang wali yang mengikuti syari at seorang nabi dengan benar. Karena itu, tidak salah apabila ada yang menganggap bahwa karamah adalah bagian dari mujizat.

 

Karena seorang wali adalah seorang yang mengikuti syari’at seorang nabi dengan sungguh-sungguh, hingga Allah swt memberikan kepadanya sebuah karunia yang disebut dengan karamah.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah pertanyaan kedua malaikat, Munkar dan Nakir bagi penghuni kubur itu ada? Kalau ada, maka pertanyaannya dengan bahasa apa? Apakah jumlah mereka hanya dua ataukah lebih? Apakah mereka berbentuk menurut keadaan yang mati?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya pertanyaan dua malaikat bagi penghuni kubur adalah benar dan pasti adanya. Tentang adanya pertanyaan dalam kubur tidak perlu diragukan, sebab dalil-dalilnya cukup jelas dan kita hanya diharuskan mempercayai adanya pertanyaan kubur.

 

Tentang masalah ini, pernah diterangkan secara luas oleh alImam al-Hafidz as-Suyuthi ra dalam kitabnya yang berjudul asy-Syarh ash-Shudur Fii Ahwaali Ahlil Gubur. Jika engkau ingin mengetahuinya lebih terperinci lagi, maka bacalah masalah ini dalam kitab tersebut.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah surga berada di langit dan neraka berada di dasar bumi yang paling bawah. Apakah langit dan bumi akan berubah pada hari kiamat? Apakah Allah swt akan menggantikan langit dan bumi dengan yang lain? Apakah surga bertingkat tingkat? Berapa jumlahnya? Apa yang mendorong orang-orang beriman ingin melihat Allah swt di alam akhirat kelak?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang surga dan neraka telah diterangkan dengan jelas oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara global maupun secara terperinci, dan akal manusia tidak dapat mencernanya dengan baik. Karena itu sebaiknya kita menyakini adanya dengan keimanan.”

 

Surga menurut al-Qur’an berada di langit dunia dan mempunyai tingkatan-tingkatan. Menurut sebagian riwayat, surga mempunyai seratus tingkatan. Namun menurut riwayat yang lain, surga mempunyai lebih dari enam ribu tingkatan atau sebanyak ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an.

 

Selain itu, masih ada delapan surga yang di dalam setiap surga tersebut terdapat surga-surga yang tiada terhitung jumlahnya dan yang paling tinggi tingkatannya adalah Surga Firdaus dan tepat di atasnya terdapat Arsy Allah swt. ?

 

Adapun penghuni Surga Firdaus adalah para nabi, rasul, serta orang-orang mukmin dan muslim yang shaleh. Perbedaan tingkatan diantara mereka tergantung kepada perbedaan keimanan dan amal-amal kebajikan mereka. Diantara mereka ada yang menempati tempat tertinggi, bahkan ada pula yang menempati lebih tinggi, tidak ada yang menempati di tingkat bawah, sebab semua tingkatan di surga amat tinggi.

 

Adapun yang mendorong orang-orang beriman ingin melihat Allah swt di dalam surga adalah kekuatan Allah swt yang diberikan kepada mereka, yaitu pada waktu mereka dihidupkan kembali dari kuburnya, pada waktu itu mereka tidak diberi unsurunsur kelemahan dan kefanaan.

 

Adapun keadaan bumi dan langit pada hari kiamat, menurut sumber-sumber yang ada, akan diganti oleh Allah swt dalam bentuk yang lain. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Allah sw, dalam firman-Nya: ..

 

Artinya: “Pada hari itu, bumi akan diganti dengan bentuk yang lain.”

 

Dalam ayat lainnya, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Dan ketika langit telah terbelah.”

 

Kemudian langit dan bumi dibentuk kembali seperti sedia kala, akan tetapi keadaannya berbeda dengan keadaan pada waktu sebelumnya.

 

Adapun neraka menurut sebuah riwayat, sekarang ini berada di dasar bumi yang paling bawah, yaitu berada di lapisan ketujuh. Adapula yang mengatakan berada di bawah laut. Neraka mempunyai tujuh tingkatan. Yang paling atas adalah Neraka Jahannam. Neraka ini yang disediakan bagi orang-orang yang bertauhid yang pernah melakukan maksiat. Dan yang paling bawah adalah Neraka Hawiyah, ia tidak mempunyai dasar, Dihari kiamat kelak, setelah Allah swt menghakimi umat manusia dan makhluk-makhluk yang lain, maka Arsy serta surga diletakkan disebelah kanan Allah swt dan api neraka diletakkan disebelah kiri-Nya, kemudian semua makhluk dipanggil, diantara mereka ada yang dimasukkan ke dalam surga dan adapula yang dimasukkan ke dalam neraka.

 

al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak menerangkan adanya surga dan neraka, beserta suka dukanya. Maka bacalah keterangannya dan renungilah baik-baik. Kemudian yakinilah dengan baik, agar engkau mendapat petunjuk. Sebab hanya orang yang berada dalam magam yaqin yang akan mendapatkan petunjuk Allah swt.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah mendahulukan kepentingan orang lain itu termasuk untuk urusan dunia dan akhirat ataukah hanya berkaitan dengan urusan dunia saja?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya mendahulukan kepentingan orang lain di dalam urusan dunia dan kesenangannya termasuk perbuatan yang bagus.

 

Kaum salafunasshalihin terdahulu senantiasa melakukan hal itu dan tentang hal itu banyak kisah-kisah yang mengagumkan. alImam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menyebutkan kisah orang-orang yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadinya di dalam Kitab Ihya” “Ullumuddin dalam bab Dzammul Maali.

 

Adapun mendahulukan kepentingan orang lain dalam urusan akhirat termasuk juga amal-amal tagarrub kepada Allah swt. Namun sebagian salafunasshalihin tidak melakukan hal ini. Sebab mereka berpedoman, untuk urusan akhirat, setiap orang dianjurkan berlomba-lomba dalam memperbanyak amal-amal kebajikan. Jadi, tidak ada yang boleh mendahulukan orang lain untuk melakukan amal-amal kebajikan.

 

Diantara amal-amal taqarrub ada yang mengandung resiko. Karena itu sebagian orang ada yang mendahulukan orang lain untuk melakukannya, karena merasa bahwa orang lain lebih mampu dan lebih pantas untuk melakukannya. Misalnya menjadi imam dalam shalat, menjadi pimpinan umat atau menjadi pengajar ilmu pemgetahuan.

 

Tentunya dalam masalah-masalah yang kami sebutkan tadi, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama. Karena itu, masalah ini tidak boleh diperlombakan, karena semuanya akan berjalan menurut kemampuannya masing-masing. Jika engkau perhatikan baik-baik, dapat kami lihat bahwa mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain hanya ingin mendapat ridha Allah swt dan selamat dari murka-Nya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang waktu yang lebih utama untuk berdzikir. Apakah di waktu pagi ataukah di waktu sore?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya waktu pagi dimulai pada tengah malam atau pada sepertiga terakhir dari waktu malam. Adapun waktu sore adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari di siang hari.

 

Adapun berdzikir pada waktu sore sampai malam hari dan melakukannya pula di awal malam, maka nilainya lebih utama. Demikian pula berdzikir di waktu pagi yang dimulai sebelum terbitnya waktu fajar hingga naiknya matahari, nilainya cukup bagus.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang mengusap seluruh anggota badan setelah membaca do’a dan meniupkannya kepada kedua telapak tangan sebelum tidur. Apakah diharuskan mengusap seluruh bagian badan, meskipun sulit melakukannya ataukah boleh semampunya? Karena di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw mengusap bagian tubuhnya semampunya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa meskipun beliau saw mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh bagian tubuhnya setelah membaca do’a dan meniupnya.

 

Akan tetapi nampaknya beliau saw tidak dapat mengusap seluruh bagian badannya. Karena itu, beliau saw hanya mengusap bagian-bagian yang dapat diusap oleh kedua telapak tangannya. Yaitu mulai dari kepalanya, wajahnya, dan bagian depan tubuhnya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan berjalan menuju kepada Allah swt?” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud berjalan menuju kepada Allah swt, menurut hakekat dan maknanya adalah membersihkan jiwa serta anggota tubuh dari budi pekerti dan tindak-tanduk yang tidak baik.

 

Kemudian menghiasinya dengan budi pekerti yang luhur serta dengan berbagai amal kebajikan. Memang hanya dengan cara seperti itulah seorang dapat sampai kepada Allah swt.

 

Makin banyak ia membersihkan jiwa dan jasadnya dari segala dosa, maka ia akan semakin dekat dengan Allah svt. Selanjutnya, ia masih harus menempuh jalan lain yang lebih lembut dan lebih tajam. Hanya saja, jalan itu tidak perlu kami jelaskan disini, karena sulit dimengerti oleh kaum awam.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan sebagian ahli tarekat yang melarang kaum awam membicarakan keadaan dan kedudukan para wali Allah swt.” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Memang larangan semacam itu boleh diterima, khususnya bagi seorang murid yang sedang berjalan menuju Allah swt dan ia masih dalam tahapan pemula yang belum mendapat anugerah apapun dari kesungguhannya dalam menuju kepada Allah swt.

 

Sehingga jikalau ia membicarakan masalah-masalah yang masih misteri baginya, tentunya bisa menyebabkannya riya, yang adakalanya dapat menurunkan kedudukannya di sisi Allah swt.

 

Karena itu, sebaiknya ia tidak menanyakan kepada guru pembimbingnya atau kepada orang lain, kecuali sebatas masalahmasalah yang sedang ia hadapi atau sebaiknya ia merujuk kembali kepada buku panduannya.

 

 

 

 asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Bagaimanakah kedudukan seorang yang menghadirkan hadirat Ilahi dalam shalatnya, namun ia takut kalau perasaan itu dapat merusak shalatnya serta juga ia tidak dapat berlaku sopan kepada Allah swt ketika perasaan itu datang?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, jika seorang takut kalau shalatnya akan terpengaruh oleh perasaannya ketika ia menghadirkan hadirat Illahi, maka sebaiknya ia menghadirkan hadirat Illahi menurut kemampuan hatinya, sehingga ia tidak terbebani oleh sesuatu yang tidak mampu ia tanggung. Yang kedua, hendaknya ia menghadirkan perasaannya bahwa Allah swt sedang melihatnya dan jangan sampai ia berperasaan bahwa ia sedang melihat Allah swt. Hal itu bertujuan agar ia selamat dari segala pemikiran yang keliru tentang Dzat Allah swt, sebab ia belum mengenal Allah swt dalam tahapan yang prima dan paripurna.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi bertanya: “Bolehkah seorang menilai buruk seorang murid yang beribadah dengan harapan agar ia mendapatkan karamah dan mukasyafah sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab ar-Risaalah al-Muriid?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menilai buruk bagi seorang murid yang gemar beribadah dengan harapan diberi karamah dan mukasyafah diperbolehkan. Sebab, seorang murid yang melakukan hal itu tidak berbeda dengan seorang yang beribadah dengan harapan mendapat kekayaan dan keuntungan duniawi.

 

Sebab karamah atau mukasyafah yang mereka harapkan hanya bersifat sementara dan bukan karamah yang sebenarnya. Lain halnya jika ia berharap mendapatkan karamah yang sebenarnya, seperti bertambahnya keimanan dan keyakinannya, dapat hidup sederhana di dunia, serta banyak berharap ridha Allah swt dan kebahagiaan di akhirat, maka harapan semacam itu adalah logis dan, terpuji.

 

Karena setiap orang yang beragama dianjurkan hanya berharap ridha Allah swt dan kebahagiaan di akhirat, bukan berharap mendapat kesenangan duniawi semata.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra yang tertulis di dalam bab Syukur dalam Kitab Ihya” Ullumuddir. Sesungguhnya para malaikat yang terdekat lebih banyak bersyukur kepada Allah swt daripada para nabi.”

 

Dalam tulisan tersebut, seolah-olah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra menilai para malaikat lebih mulia daripada para nabi. Bagaimana pendapat Anda akan hal ini?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan sebagian ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dan al-Imam Hujatul Islam al-Ghazali ra juga berpendapat seperti itu, meskipun ada beberapa ulama yang menentang pendapat itu.

 

Menurutku, pendapat al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra itu hanya menilai dari segi tertentu, namun aku tidak akan mengomentarinya, sebab masalah mana yang lebih utama, hanya Allah swt yang mengetahui, Sebaiknya kita serahkan penilaiannya, kepada Allah swt, sebagaimana yang disepakati oleh sebagian  Ahlussunnah Wal Jama’ah, termasuk juga al-Imam Hujjatul Islan al-Ghazali ra dalam berbagai keterangannya di tempat lain.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Bagaimanakah pendapat Anda tentang seorang yang berdzikir dan berdo’a dengan menyebutkan berbagai nama Allah swt dalam bahasa selain Bahasa Arab bagi yang tidak mengerti artinya. Bagaimana hukumnya seorang yang berdzikir dengan menyebut kalimat Yaa Hu, Yaa Hu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Dahulu pernah kami terangkan kepada Anda secara lisan bahwa seorang yang mengucapkan do’a-do’a karya para tokoh ulama yang menggabungkan ilmu dan keyakinan.

 

Diantara mereka adalah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra, al-Imam asy-Syeikh Sahruwardi ra, al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzali ra, serta beberapa ulama lainnya. Sebab yang membaca do’a-do’a karya mereka hanya meniru yang telah ada.

 

Sedangkan seorang yang membaca do’a dari bahasa selai, Bahasa Arab dan ia tidak mengetahui artinya, sebaiknya ia seger, meninggalkannya, karena ditakutkan kalau ada kata-kata yang mengandung arti kekafiran atau yang mendekati arti seperti itu.

 

Adapun seorang yang mengucapkan kalimat: “Yaa Hu, Ya, Hu.” Menurut al-Imam asy-Syeikh Zarruq ra tidak boleh, kecuali bagi mereka yang telah tenggelam dalam lautan dzikirnya. Tetap menurut ulama lainnya tidak mengapa, karena ia hanya mengikut contoh para ulama terdahulu, bukan menciptakannya tersendiri.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang maksud ucapan al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra yang menyebutkan pada awal bait puisinya: Seseorang yang mencintai telah mabuk dalam cintanya, meskipun ia sadar (hingga pada ucapannya): Allah berbuat apa saja yang mungkin atau yang mustahil sekehendak-Nya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Yang sulit dimengerti adalah ucapan ‘yang mustahil. Sebab, menurut ulama tauhid kata mustahil mempunyai arti tidak dapat dibayangkan dan tidak akan terjadi.

 

Padahal yang kami mengerti dari ucapan beliau ra bahwa andaikata kehendak Allah swt terkait dengan sesuatu yang mustahil, pasti akan terjadi. Kekuasaan Allah swt dapat menguasai apa saja yang tidak dapat diatasi oleh siapapun.

 

Menurutku, arti dari ucapan beliau ra diatas adalah Allah swe akan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Karena andaikata Allah swt menghendaki sesuatu, pasti Allah swt akan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.

 

Akan tetapi Allah swt tidak akan berkehendak sesuatu yang mustahil. Karena jikalau Allah swt tidak berkehendak melakukan sesuatu yang mustahil, pasti sesuatu itu tidak akan terjadi. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Andaikata Allah swt berkehendak mempunyai seorang anak, pasti Dia akan memilih seorang anak.”

 

Memiliki seorang anak adalah mustahil bagi Allah swt, sebab Allah swt tidak pernah menghendakinya. Akan tetapi ada kemungkinan pengucapan itu adalah apa saja yang dinilai mustahil terjadi oleh akal, maka bagi Allah swt bukanlah sesuatu yang mustahil.

 

Menurut Bahasa Arab kata mustahil, biasa diucapkan dengan kata muhal. Sedangkan ucapan muhal sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari, tetapi ada kemungkinan ucapan itu mempunyai arti lain yang tidak boleh diterjemahkan untuk kaum awam yang sulit menerima pengertiannya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra: Hidupkanlah majelis-majelis taat dengan kehadiran seorang yang malu kepada Allah swt.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Seolah-olah kesulitannya timbul dari arti malu dan riya.’ Meskipun ada sebagian orang yang enggan melakukan amal kebajikan karena malu atau karena takut riya, akan tetapi riya’ berbeda jauh dengan malu.

 

Sebab, riya’ mengandung arti seorang berbuat amal kebajikan karena ingin pamer dihadapan orang banyak, sedangkan malu adalah perasaan yang timbul dari hati seorang yang mulia untuk mengerjakan amal kebajikan, karena ia takut diketahui orang banyak dan ia takut mempunyai perasaan riya. Kejadian semacam ini banyak terjadi di majelis-majelis orang-orang shaleh.

 

Dalam sebuah hadis disebutkan:

 

Artinya: “Malulah engkau kepada Allah seperti engkau malu kepada seorang yang shaleh.”

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh Ibnu Sirin ra: “Aku lihat sangat jelek duduk di majelis orang-orang yang tidak mempunyai rasa malu kepada Allah swt.”

 

Disebutkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik ra berkata kepada seorang yang berkata kepadanya bahwa ia merasa malu jika keterlambatannya menghadiri Shalat Jum’at diketahui orang lain: “Seorang yang tidak malu kepada Allah swt, maka ia tidak boleh malu kepada manusia.”

 

Mungkin ia menisbahkankan ucapan tersebut kepada Rasulullah saw. Namun aku ragu tentang masalah ini, karena itu aku tidak mau menilai ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah saw, karena aku takut ancaman siksa Allah swt bagi yang berdusta atas Rasulullah saw.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra bertanya: “Jika seorang anak kecil berbuat riya,” apakah pahala amal kebajikannya akan gugur? Serta bagaimanakah hukumnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah seorang anak kecil yang masih di bawah umur, segala perbuatannya tidak akan dicatat oleh Allah swt sebelum ia mencapai usia akil baligh. Namun pahala amal-amalnya akan gugur jika ia berbuat riya. Meskipun demikian, ia akan diberi pahala jika amal kebajikannya ikhlas.

 

Dikatakan bahwa pahala amal-amal kebajikan yang dilakukan oleh seorang anak kecil akan dicatat dalam catatan pahala kedua orang tuanya dan andaikata ia perbuatan riya, maka yang dilakukan olehnya akan dibebankan pada ayahnya atau walinya yang tidak pernah mengajarinya ikhlas dalam segala amal kebajikannya dan hal itu bisa saja terjadi.

 

Karena itu, diwajibkan bagi orang tua untuk mengajari anak. anaknya melaksanakan amal-amal yang diwajibkan, Seperti berpuasa, shalat, serta melarang mereka melakukan hal-hal yang dilarang, seperti berbuat zina, minum arak, riya,” dan perbuatan yang dilarang lainnya.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Bagaimana hukumnya seorang yang melakukan amal-amal kebajikan karena semata-mata ingin mendapatkan balasan pahala?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya mengharapkan pahala dari amal-amal kebajikan yang dilakukan oleh seorang adalah perbuatan yang terpuji dan hal itu dilakukan juga oleh salafunasshalihin yang terdahulu. Sebab, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan miskin. Karena itu setiap orang membutuhkan mendapat karunia Allah swt, apalagi dari amal-amal kebajikan yang telah ia lakukan.”

 

Sebenarnya jawaban diatas dapat dimengerti, adapun untuk membicarakannya lebih jelas diperlukan waktu yang cukup lama. Akan tetapi perlu kami terangkan sedikit tentangnya sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para pelaku amal-amal kebajikan ada tiga kelompok.

 

Diantaranya ada yang melakukan amal-amal kebajikan karena takur disiksa apabila tidak melakukannya. Kelompok ini disebut al-khaaifir atau kelompok yang takut dari siksa Allah swt.

 

Adapula yang disebut kelompok ar-raajun. Mereka adalah orang-orang yang melakukan amal-amal kebajikan karena berharap pahala dari Allah swt. Adapula yang disebut kelompok al-aarifun, Mereka adalah orang-orang yang melakukan amal-amal kebajikan karena menjalankan perintah Allah swt.

 

Akan tetapi, kelompok al-aarifun juga mempunyai rasa takut mendapat siksa dan berharap mendapat pahala. Demikan pula kelompok al-khaaifun juga mempunyai perasaan yang sama dengan kelompok al-aarifun. Akan tetapi, seorang akan dinilai menurut kecondongan perasaannya masing masing.

 

Ahli tasawuf menilai cukup rendah atas seseorang yang melakukan amalan kebajikan karena berharap mendapat pahala atau karena takut siksa. Penilaian mereka mengisyaratkan bahwa yang melakukan amal-amal kebajikan hanya semata-mata menjalankan perintah Allah swt, maka nilainya lebih utama dari seorang yang melakukan amal-amal kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa.

 

Akan tetapi kedudukan sebagian orang adakalanya lebih tinggi dari kedudukan yang lain. Yang dapat menentukan kedudukan seseorang di sisi Allah swt hanya Allah swt semata bukan yang lain.

 

Sebagai seorang hamba, ia hanya diwajibkan menjalani perintah perintah-Nya, ia boleh berharap pahala dan takut siksa dan ia pun boleh tidak mempunyai kedua perasaan tersebut, karena hanya menjalankan perintah yang hanya diwajibkan baginya. Tetapi ketiga kelompok tersebut diharuskan menjalani seperti yang diperintahkan kepadanya.

 

Sebagian ahli marifat menilai rendah seorang yang melakukan amal kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa. Andaikata tidak ada keduanya, pasti mereka tidak akan melakukan amal-kebajikan sedikitpun, bahkan di hatinya tidak ada rasa hormat sedikitpun kepada Allah swt, yang menyebabkan ia mau menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

 

Penilaian semacam itu masih misteri kebenarannya, kalau tidak kita katakan penilaian semacam itu adalah salah. Menurutku, melakukan amal-amal kebajikan karena menjalankan perintah dan berharap pahala dan takut siksa merupakan perbuatan yang baik dan cukup terpuji. Bahkan para wali Allah swt melakukan amal-amal kebajikan dengan didasari tiga perasaan tersebut.

 

Hendaknya setiap orang mengetahui kewajibannya dan melaksanakannya dengan baik. Janganlah ia seperti pegawai yang

 

Puruk perangainya, ia tidak akan bekerja jika ia tidak diberi upah dan janganlah pula ia seperti budak sahaya yang buruk perangainya, ia tidak akan berlaku baik jika ia tidak takut dipukul.

 

Sebaiknya ia melakukan perintah Allah swt dan menjauh, larangan-Nya dengan sebaik-baiknya, karena hanya Allah swt lah Tuhan yang berhak memerintah dan melarang. Adapun mengharap pahala daripada-Nya ataupun takut akan siksa-Nya, boleh saja ia lakukan. Karena cara seperti itu cukup bagus serta adil. Dan cara seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang shaleh dan kaum ulama terdahulu.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Apakah yang lebih utama, berdzikir secara rahasia ataukah berdzikir dengan suara yang keras?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa para ulama al-arifin pernah membicarakan masalah ini. Kesimpulannya, berdzikir dengan suara rendah atau secara rahasia lebih utama bagi orang-orang yang takut berbuat riya’ jika mengeraskan suara dzikirnya atau takut mengganggu orang lain ketika ia sedang melakukan shalat atau ketika ia sedang tidur.

 

Akan tetapi jikalau ia tidak takut riya” atau tidak takut mengganggu orang lain, maka berdzikir dengan mengeraskan suaranya nilainya lebih utama. Sebab, manfaatnya bagi orang lain lebih banyak dan lebih berpengaruh pada hati orang lain yang hatinya lalai.

 

Namun bagi yang hatinya tidak dapat meresapi dzikir seseorang dan pelaku dzikirnya tidak konsentrasi, maka berdzikir dengan suara rendah lebih bagus daripada mengeraskan suaranya. Hal itu didasari oleh sebuah hadis Nabi saw:

 

Artinya: “Sebaik-baik dzikir adalah dengan suara rendah.”

 

Dalam hal ini, al-Qur’an juga memerintahkan kita untuk merendahkan suara ketika berdzikir. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Dan sebutlah nama Tuhanmu di dalam dirimu.”

 

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa bagi kedua cara berdzikir mempunyai keutamaan masing-masing menurut keadaannya masing-masing. Oleh karena itu, para pelaku dzikir hendaknya memperhatikan baik-baik masalah ini.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa ada sebuah lembah di Neraka Jahannam yang mana Neraka Jahannam itu sendiri mohon perlindungan Allah swt dari lembah tersebut sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya dan lembah itu disediakan bagi para gari’ yang riya. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud orang-orang yang berbuat riya’ dalam hadis di atas adalah riya” yang dilakukan oleh seorang yang munafik, ia suka memperlihatkan iman dan amal-amal kebajikannya kepada orang lain, padahal di dalam hatinya tidak ada iman sedikitpun.

 

Dan ia melakukan demikian agar dihormati dan tidak dilecehkan oleh orang-orang yang beriman. Kelak orang semacam ini akan ditempatkan di Neraka Jahannam untuk selama-lamanya.”

 

Adapun maksud dari ucapan Neraka Jahannam yang mohon perlindungan Allah swt dari lembah tersebut sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya, adalah menunjukkan betapa kerasnya, siksa yang ada di dalamnya dan betapa besarnya dosa riya’ yang dilakukan oleh orang-orang munafik.

 

Adapun para qari’ yang riya” padahal mereka masih mempunyai iman seperti yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad saw di atas, ada kemungkinan mereka dimasukkan kedalam lembah di Neraka Jahannam itu dan ia akan kekal di dalamnya jika ia ditetapkan mati dalam keadaan akhir yang buruk, sebagaimana halnya orang munafik.

 

Atau ada kemungkinan ia akan dimasukkan ke dalam lembah di neraka itu, namun ia akan dikeluarkan kembali setelah ja mendapat rahmat dari Allah swt. Sebab menurut sebuah hadis, seorang tidak akan kekal di dalam neraka kalau di hatinya masih ada iman walau sekecil atom. Sedangkan riya’ termasuk syirik kecil, karena itulah dosa bagi pelakunya cukuplah besar.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang senantiasa berdzikir, akan tetapi ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir sebagaimana halnya yang didapatkan oleh mereka yang senantiasa berdzikir dengan penuh konsentrasi. Apakah penyebabnya hal ini?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa penyebab utamanya adalah karena hatinya tidak bagus dan tidak bersih dari budi pekerti serta perasaan yang buruk ketika ia berdzikir dan ia juga tidak berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah swt serta tidak menekuni petunjukpetunjuk syeikh mursyidnya, baik yang lahir maupun yang batin ketika ia berdzikir.

 

Siapapun yang tidak mampu melakukan hal-hal yang kami utarakan di atas, sebaiknya ia terus-menerus berdzikir dan memperbanyaknya lewat lisannya, serta berusaha sekuat mungkin untuk mengkonsentrasikan hatinya kepada Allah swt dan berharap, penuh mendapatkan rahmat Allah swt.

 

Sampai pada suatu saat, pasti Allah swt akan memberinya kenikmatan ketika ia berdzikir, sebagaimana yang diperoleh Wali. wali Allah swt yang suka berdzikir. Akan tetapi jika ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir, maka janganlah heran, kareng segala persyaratannya yang kami sebutkan diatas tidak dipenuhinya

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang mendapat kenikmatan dalam dzikirnya dengan lisan dan hati, kemudian dalam dzikirnya dengan hatinya tanpa lisannya.

 

Kemudian dalam dzikirnya tanpa hatinya, meskipun makna dzikirnya tetap hidup, sehingga ia selalu merindukan keadaan seperti itu, yaitu ketika dzikirnya tetap berjalan, meskipun tidak lewat lisan dan hatinya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa keadaan seorang semacam itu cukuplah langka.

 

Adapun jika ada seorang yang telah mencapai tingkatan itu, maka ia akan mencapai tingkatan berikutnya, yaitu tingkatan fana. Ia tidak akan merasa ada dan alam sekitarnya pun akan dirasa tidak ada. Yang ia rasa ada hanyalah Allah swt Yang Maha Mulia.

 

Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling puncak yaitu tingkatan ihsan, dan tingkatan ini telah melewati batas tingkatan Islam dan iman. Adapun seorang yang telah mencapai tingkatan ini adalah seorang yang paling beruntung.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang fana dalam dzikirnya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa seorang yang telah tenggelam di dalam lautan dzikirnya, maka ia akan fana. Ia tidak akan merasa ada, bahkan ia tidak merasa jikalau alam semesta ini ada.

 

Ia hanya merasa yang ada hanyalah Allah swt, karena ia hanya menyaksikan Dzat Allah swt Yang Maha Esa. Dan kefanaan semacam ini merupakan kefanaan paling puncak dan jumlah pelakunya hanya sedikit serta kelangsungannya juga jarang.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang merasa di dalam hatinya ada penyakit, tetapi ia tidak tahu penyebabnya. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, jika penyakitnya telah diketahui, maka menurut para ‘arifin billah, pasti penyebabnya akan segera dapat diketahui pula.

 

Akan tetapi jika seorang tidak mengetahui penyakit hatinya, maka obatilah penyakit hatinya dengan obat yang umum dan bermanfaat yang dapat menghilangkan segala macam penyakit hati.

 

Misalnya dengan cara banyak membaca al-Qur’an serta meresapi kandungan artinya, banyak berdzikir dengan penuh konsentrasi, banyak mengingat kematian serta apa-apa saja yang akan terjadi setelahnya, banyak duduk dengan orang-orang shaleh, dan lain sebagainya.

 

Ataupun dengan cara mengkaji atau membaca kitab-kitab yang bermanfaat, diantaranya adalah membaca kitab-kitab karya tulis al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra atau para ulama salafunasshalihin lainnya. Itulah salah satu contoh obat yang paling mujarab untuk mengobati hati yang sedang sakit.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang merasa telah mendapat sebagian dari hasil amal-amal kebajikannya. Diantaranya adalah merasakan lezatnya ketika ia bermunajat kepada Allah swt dan ia ingin menambah frekuensi amal-amal kebajikannya. Apakah hal itu merupakan cacat bagi amal-amal kebajikannya?”

 

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ya, memang hal itu merupakan cacat bagi amal-amal kebajikannya. Karena itu, seorang harus selalu waspada dan mendektesi hal-hal yang tidak ia inginkan, agar ia tidak merasa angkuh dengan berbagai karunia Allah swt yang ia terima.

 

Sebaliknya, ia juga harus banyak terima kasih atas berbagai nikmat yang ia terima, serta semakin memperbanyak amalan ibadah dan dzikirnya kepada Allah swt agar ia selamat.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang seorang yang susah ketika ia mengingat dosadosanya, sampai ia ingin segera mati agar dosa-dosanya tidak makin bertambah atau ia ingin ditunda saat kematiannya agar ia dapat memperbanyak amal kebajikannya dan dapat menambah taubatnya agar dosa-dosanya yang terdahulu dapat diampuni oleh Allah swt. Diantara keduanya, manakah yang lebih utama keadaannya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa dua keadaan tersebut cukup baik dan sangat bagus. Siapapun yang mempunyai salah satu dari perasaan semacam itu, maka ia termasuk orang yang beruntung.

 

Sehubungan dengan pertanyaan Anda diatas, kami ingat suatu kisah bahwa ada tiga orang shaleh dimasa lalu, ketika ketiganya berkumpul, maka salah satu di antara mereka berkata: “Aku ingin segera mati, karena aku takut kalau agamaku terkena cobaan.”

 

Sedangkan yang kedua berkata: “Aku ingin hidup lebih lama agar aku dapat bertaubat dan menambah pahala amal-amal kebajikannya,  Dan yang ketiga berkata: “Aku tidak ingin segera mati dan tidak ingin hidup lama, aku hanya ingin apa yang dikehendaki oleh Allah SWT bagiku,”

 

Maka ucapan orang yang ketiga lebih mengagumkan dari kedua temannya terdahulu. Sebenarnya, ketiga orang itu cukup baik dan mulia keadaannya. Akan tetapi, orang yang ketiga lebih unggul karena ia lebih pasrah kepada kehendak Allah swt dan itulah cara terbaik bagi setiap mukmin agar ia tidak bingung memilih pilihannya.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang kehendak seorang. Apakah hal itu termasuk pilihan yang dipaksakan?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya para murid dan para salik mempunyai dua pendapat:

 

Pertama: Ada seorang salik yang dengan senang hati memuja kepada Allah swt, maka hal itu bisa ia lakukan sebelum jadzab.

 

Kedua: Ada seorang salik yang telah mencapai jadzab sebelum ia menempuh suluk.

 

Sebagian ahli tarekat berpendapat bahwa seorang salik sebelum jadzab, maka ia lebih utama dari seorang jadzab sebelum ia menempuh perjalanan suluk. Ada juga yang berpendapat bahwa seorang jadzab sebelum ia menempuh perjalanan suluk, maka ia lebih utama dari seorang yang menempuh perjalanan suluk sebelum jadzab.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang rasa panas yang didapati oleh sebagian orang yang suka berdzikir yang mana rasa panas itu berpusat di batinnya, kemudian tersebar di seluruh anggota tubuhnya bagian luar.” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah rasa panas tersebut adalah salah satu hasi yang diperoleh bagi orang yang suka berdzikir. Rasa panas itu dapat berpengaruh di bagian luar dan dalam jasad orang-orang yang suka berdzikir.

 

Keadaan semacam itu cukup baik bagi mereka. Akan tetapi, jika seorang yang berdzikir takut berefek negatif, maka sebaiknya ia pindah dari dzikirnya kepada shalawat atau kepada ucapan Laa Haula Wa La Guata Illa Billah.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Apa maksud dari sabda Nabi saw: Seorang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan ucapan yang benar dan ikhlas, maka ia akan mendapat surga.’ Padahal setiap muslim pasti ucapannya benar dan ikhlas ketika ia mengucapkan kalimat tauhid.” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Memang benar, setiap mukmin ucapannya selalu benar dan ikhlas ketika mengucapkan kalimat tersebut. Namun maksud dari ucapan tersebut adalah prakteknya, yaitu setelah seorang mukmin mengucapkan kalimat tauhid, maka hendaknya ia benar dan ikhlas untuk meninggalkan segala perbuatan dosa.

 

Menurut pendapat sebagian ulama, maksud dari sabda beliau saw diatas adalah tidak mementingkan dunia lebih dari akhirat. Seorang mukmin harus berharap sepenuhnya untuk memperoleh rahmat Allah swt serta takut mendapat siksa Allah swt dan ia tidak boleh bangga dengan amal kebajikan yang telah ia lakukan.

 

Adapun keterangan yang menyebutkan bahwa seorang yang menyebutkan kalimat tauhid maka ia akan selamat di akhirat Maksud dari hadis tersebut adalah seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka ia harus memperbanyak amal-amaj kebajikannya, sehingga timbangan amal-amal kebajikannya lebih, unggul dari pada timbangan dosa-dosanya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya tentang “uzlah dan bagaimana hukumnya?”

 

 al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Engkau telah menanyakan tentang ‘uzlah atau tentang mengasingkan diri, serta bagaimana hukumnya pada masa yang penuh kebejatan ini, yang kebanyakan manusianya banyak yang melupakan akhirat dan sibuk dengan masalah keduniaan.

 

Sehingga siapapun yang bergaul erat dengan mereka, maka akan banyak membicarakan kesalahan orang lain dan masalahmasalah yang tidak penting, sehingga tidak sempat memperhitungkan kesalahan-kesalahannya sendiri.

 

Menurutku, seorang yang peduli kepada keselamatan agamanya, maka sebaiknya ia tidak bergaul erat dengan mereka, agar tidak rugi dan binasa. Jika ia sampai bergaul erat dengan mereka, sebaiknya ia menjaga lidahnya baik-baik serta berusaha menaschati mercka dengan naschat yang lemah lembut dan bijaksana.

 

Karena pada saat seperti itu, tidak seorang pun dibenarkan untuk meninggalkan dan membiarkan masyarakatnya yang bejat begitu saja tanpa menasehati mereka. Menurutku, jikalau seorang merasa mampu menasehati masyarakatnya yang bejat dan mampu pula mengajak mereka ke jalan yang baik, maka seharusnya ia melakukannya.

 

Akan tetapi jikalau ia tidak mampu melakukannya, maka sebaiknya ia meninggalkan mereka dan meninggalkan kampung halamannya, agar agamanya dapat ia selamatkan. Tentang masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dalam Kitab al-Minhaj al-‘Abidin.

 

 

 

asy-Syeikh Abdulah Ahmad az-Zubaidi bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang hukum seorang yang mencintai seorang tokoh agama, namun ia tidak melakukan apa yang diajarkan olehnya.

 

Apakah ia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang ia cintai, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis bahwa seorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya komentar sebagian ahli hakekat tentang maksud kebersamaan yang disebutkan dalam hadis diatas mengandung sebagian saja bukan secara keseluruhannya.

 

Seorang yang mencintai orang lain, hendaknya ia mempunyai kesamaan dengannya dalam segala urusan. Misalnya kesamaan tauhid, kesamaan menjaga hal-hal yang wajib, menjauhi hal-hal yang diharamkan, serta kesamaan dalam mengerjakan amal-amal kebajikan.

 

Pokoknya seorang yang mencintai seorang, hendaknya ia mempunyai kesamaan tindak-tanduk dengan orang yang dicintainya. Tidak dibenarkan jika seorang mengaku cinta kepada orang lain, akan tetapi tindak-tanduknya dan kemauannya berbeda jauh dengan orang yang dicintainya. Kalau tidak mempunya kesamaan dengan orang yang dicintainya, maka pengakuannya adalah dusta.

 

al-Imam Hasan al-Basri ra berkata: “Janganlah engkau tertipy dengan seorang yang mengaku cinta, padahal ia tidak berbuat kebajikan apapun dan ia mengaku bahwa seorang yang cinta kepada orang lain akan dikumpulkan dengan orang-orang yang dicintainya.

 

Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani mengaku cinta kepada nabi-nabi mereka, padahal keyakinan dan tindak-tanduk mereka, berbeda dengan keyakinan dan tindak-tanduk para nabi.”

 

Adapun diantara orang-orang ahli bid’ah dikalangan umat ini ada yang mengaku sangat cinta kepada para Sahabat Nabi saw dan mereka berani berbuat apa saja demi cinta mereka.

 

Akan tetapi mereka tidak merasa bahwa kecintaan mereka hanya ungkapan di lisan saja, karena tindakan mereka berbeda jauh dengan tindakan para sahabat. Jika mereka berbuat bid’ah, tentunya ada pula kelompok lain yang berbuat fasik dan ada pula kelompok lain yang berbuat maksiat.

 

Perlu diketahui bahwa kebaikan dan keburukan mempunyai tingkatan-tingkatan yang sama. Keburukan yang paling buruk adalah kekafiran dan keburukan dalam masalah ini bertingkat-tingkat. Demikian pula bid’ah, kefasikan dan kemaksiatan juga mempunyai tingkatan-tingkatan.

 

Demikian juga kebaikan mempunyai tingkatan-tingkatan yang sama. Oleh karenanya perhatikanlah baik-baik masalah ini, sebab hanya dengan cara seperti ini, seorang akan mengerti maksudnya. Ketahuilah bahwa Allah swt akan memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi bertanya: “Tentang cara bertata krama kepada Allah swt?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menurutku di dalam kitab tersebut terdapat berbagai masalah yang menyebutkan tentang keutamaan sebagian masalah di atas yang lain, yaitu tentang ketetapan yang ditetapkan oleh Allah swt kepada sebagian hamba-Nya.

 

Perlu diketahui bahwa ketetapan apapun, seperti yang ditetapkan oleh Allah swt terhadap seseorang, misalnya kaya atau tidaknya seorang, erkenal atau tidaknya seorang, hal itu merupakan ketetapan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.

 

Seseorang yang telah mendapatkan ketetapan yang tidak ia inginkan, sebaiknya ia menerima saja dengan ikhlas tanpa menentang kehendak Allah swt, agar ia tidak termasuk seorang yang tidak bertata krama kepada Allah swt.

 

Adapun pertanyaanmu tentang siapa saja yang lebih utama, seorang yang terkenal ataupun yang tidak? Menurutku semuanya tergantung kepada orangnya. Adakalanya sifat terkenal cocok bagi seorang dan tidak cocok bagi yang lain, maka disaat itu sifzt tersebut lebih utama baginya.

 

Adakalanya pula sifat tidak terkenal cocok bagi seorang dan tidak cocok bagi orang lain, maka disaat itu sifat tersebut lebih utama baginya. Dan seorang yang tidak terkenal, maka ia tidak dapat menjadi terkenal, demikian pula sebaliknya.

 

Pokoknya setiap orang harus memahami keadaanya masingmasing dan menerimanya dengan baik dan penuh ikhlas, agar ia termasuk seorang yang bertata krama kepada Allah swt.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra bertanya: “Tentang nafsu dan dzikir.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Tentang nafsu yang lupa, berpaling dan suka mengulurulur waktu, berbuat congkak, lupa pada kematian, dan tidak menyiapkan bekal untuk akhirat, meskipun ia percaya kepada Allah swt serta kepada Rasul-Nya dan juga kepada hari kemudian.

 

Ketahuilah bahwasannya yang engkau sebutkan diatas itu, tidak akan menjadi seperti yang engkau sebutkan sifat-sifatnya tanpa penyebab.

 

Menurut al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra, seseorang harus memerangi nafsunya dan menekankannya dengan berbagai latihan, serta selalu berusaha meneranginya dengan melakukan berbagai macam ibadah dan membaca wirid-wirid.

 

Ketahuilah bahwa seseorang yang suka berdzikir sebagaimana yang engkau sebutkan sifat-sifatnya, pasti akan mengalami berbagai keadaan dan akhir dari keadaan tersebut adalah ketika ia dapat menfanakan dirinya dari alam semesta, sehingga ia tidak merasa apapun ada dihadapannya atau disekitarnya selain hanya Dzat Allah swt.

 

Menurutku, seseorang yang gemar berdzikir seperti yang engkau sebutkan sifat-sifatnya itu, hendaknya ia terus menerus berdzikir dengan kesungguhan hati dan ikhlas, bukan karena sesuatu.

 

Dan hendaknya ia terus menerus mengabdi kepada Allah swt tanpa tujuan apapun, selain hanya ikhlas untuk-Nya. Jika ia telah berbuat demikian, pasti Allah swt akan membuka jalan keluar baginya, sampai ia dapat menjadi seorang yang terdekat di sisi Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Haitsam ra bertanya: “Tentang arti al-Badihah dan arti Bihaqqil Itsnaini Miftahul Babaini.”

 

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Dahulu pernah kami kirimkan sebuah surat untukmu wahai Abdullah. Didalam surat itu terdapat jawaban yang engkau tanyakan lagi pada saat ini, atau mungkin surat itu tidak sampai kepadamu.

 

Adapun arti al-“Atabar ar-Raj’i, artinya: “Aku kembali kepada-Mu untuk mengharap ridha-Mu dan sampai Engkau menjadi ridha kepadaku.”

 

Adapun arti al-Badihah adalah perbuatan atau tutur kata yang dilakukan oleh seorang secara tiba-tiba tanpa dipikir lebih dahulu. Misalnya seorang yang melakukan sesuatu yang benar dan baik, maka ia disebut seorang yang berkelakuan baik.

 

Sebaliknya, seorang yang melakukan sesuatu yang buruk dan jahat, maka ia disebut seorang yang berkelakuan buruk dan jahat, apalagi ia melakukannya secara spontan tanpa dipikir lebih dahulu.

 

Adapun arti ucapan kaum awam Bihaqqil Itsnaini Miftahul Baabaini, sebenarnya ucapan mereka tidak dapat dinilai menurut aturan syariat maupun akal. Akan tetapi jika seorang ingin mengetahui pengertiannya, mungkin ia akan mendapatkannya. Ketahuilah bahwa Hari Senin adalah saat dihaturkannya amal-amal kepada Allah swt.

 

Adapun arti Baabaini, salah satunya adalah pintu yang terbuka, sedangkan yang kedua mempunyai arti pintu rahmat Allah swt yang terbuka pada saat diturunkannya rahmat kepada orang-orang yang beramal kebajikan atau mempunyai arti saat kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw dan saat wafatnya beliau saw yang secara kebetulan masing-masingnya terjadi pada Hari Senin.

 

 

 

 

asy-Syeikh Isa bin Ahmad Bahadhrami ra bertanya: “Tentang miskin dan kaya, serta apa yang lebih utama diantara keduanya dan bagaimana dalil-dalilnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Dengan menyebut nama Allah swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah swt yang menjadikan kemiskinan sebagai perhiasan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Yang beruntung yaitu mereka yang menerima kemiskinan dengan rela, pasrah, syukur dan sabar.

 

Tetapi apabila mereka menerimanya dengan murka dan menentang, maka sikap seperti itu menyebabkan ia akan menerima siksa yang abadi. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Baginda Nabi Muhammad saw yang memuji orang-orang miskin yang bersifat sabar, rela dan bertata krama kepada Allah svt, diantaranya adalah sabda Nabi Muhammad saw:

 

Artinya: “Kemiskinan adalah perhiasan yang lebih mahal bagi seorang mukmin dari perhiasan yang ada pada diri seekor kuda yang mahal.”

 

Sebaliknya Allah swt dan Rasul-Nya mencibir seorang miskin yang tidak menerima keadaannya dengan sabar dan pasrah. Diantaranya adalah sabda beliau saw: “Hampir saja kemiskinan dapat menyebabkan seorang menjadi kafir.”

 

Karena kemiskinan lebih dapat mendekatkan seorang kepada keselamatan dan kesuksesan daripada kekayaan, maka para nabi dan para wali Allah swt yang terdahulu banyak yang lebih memilih kemiskinan dari pada kekayaan.

 

Seorang fakir yang rela dan bersyukur atas kemiskinannya, maka ia mendapat kedudukan lebih tinggi dari seseorang kaya yang suka menafkahkan hartanya dan jiwanya di jalan Allah swt.

 

Sebaliknya seorang fakir yang tidak rela dengan kemiskinannya, maka nilainya lebih buruk dari orang kaya yang hidupnya suka berfoya-foya. Kiranya itulah jawaban kami bagi persoalan yang Anda ajukan kepada kami.”

 

 

 

asy-Syeikh Isa bin Ahmad Bahadhrami ra bertanya: “Tentang keutamaan panjang umur sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Sebenarnya usia seseorang telah ditetapkan dalam ketentuan Allah swt, usia seseorang tidak akan berkurang dan tidak akan bertambah. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang arti bertambahnya usia seseorang, sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian hadis Nabi Muhammad saw.

 

Ada yang berpendapat bahwa berkurang atau bertambahnya usia seseorang dapat terjadi berdasarkan sebab-sebabnya. Misalnya seseorang akan bertambah usianya karena ia melakukan amal kebajikan tertentu ataupun seseorang dapat berkurang usianya karena melakukan perbuatan dosa tertentu.

 

Menurut Sayyidina Ibnu Abbas ra: “Setiap orang mempunyai usia tertentu ketika ia masih di dunia, yaitu sejak ia dilahirkan sampai ia mati. Selain itu, ia masih mempunyai usia tertentu di alam barzahnya, yaitu sejak ia mati, sampai ia dibangkitkan kembali. Semuanya sudah ditentukan oleh Allah swt.

 

Jika seseorang taat kepada Allah swt, maka usianya di alam barzah akan ditambahkan pada usianya ketika di alam dunia. Sebaliknya, jikalau seseorang suka berbuat dosa, maka usianya di dunia akan diperpendek dan akan ditambahkan pada usianya di alam barzah. Ketetapan ini merupakan ketetapan yang tidak dapat dirubah.”

 

Menurutku pendapat ini lebih shahih. Ada yang berpendapat pula bahwa maksud ditambahnya usia seorang, adalah ditambahnya berkah dalam usianya, sehingga ia dapat menambah amal-amal kebajikannya, meskipun usianya relatif pendek.

 

Yang dimaksud panjang umur adalah bertambahnya usia demi untuk memperbanyak amal-amal kebajikan, bukan untuk menambah dosa. Kiranya hanya orang-orang shaleh yang dapat menambah amal-amal kebajikannya, meskipun usianya tidak relatif panjang.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdullah “Ibad asy-Syibami ra bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh Abu Abdillah ra: Biasanya jiwa seorang takut kepada adat-istiadat ketika mengalami masa-masa sulit.”

 

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud jiwa disini adalah jiwa yang suka bersenang-senang, sehingga jika terjadi kesulitan, maka jiwa seorang yang seperti itu akan merasa resah dan bingung. Sebab jiwanya tidak mempunyai landasan yang kuat, sehingga mudah digoncang oleh kesulitan apapun.

 

Adapun jiwa seseorang yang shaleh, apalagi jiwa seseorang yang telah sampai kepada Allah swt, maka jiwanya akan tenang dan tetap prima ketika menghadapi kesulitan apapun. Karena jiwa seseorang semacam itu selalu dipelihara oleh Allah swt.

 

Menurut ilmu yaqin, jiwa seseorang yang kuat keyakinannya pada umumnya takut kembali pada kebiasaannya ketika mendapat kesulitan. Akan tetapi pada umumnya mereka segera kembali kepada Allah swt, sehingga jiwanya menjadi tenang kembali.

 

Kembalinya seseorang kepada Allah swt mendapat kesulitan merupakan tindakan spontan tanpa dipikir lebih dahulu. Sebab, kembalinya seorang kepada Allah swt akan menjadikannya tenang. Sebab, hanya Allah swt yang memegang rahasia segala sesuatu. Hanya Allah swt yang memiliki segala kebaikan dan sesungguhnya Allah swt Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru ra bertanya: “Seseorang yang belum mencapai tingkatan tertinggi di sisi Allah swt, bolehkah ia memaksakan dirinya sekuat tenaga untuk meraih kedudukan tersebut?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa seorang yang tidak ditakdirkan oleh Allah swt mencapai sesuatu, maka ia tidak akan memperolehnya, meskipun ia telah berusaha dengan sekuat tenaganya. Seorang hanya dapat berusaha menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt baginya.

 

Tentang masalah ini, al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menerangkannya secara panjang lebar dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin. Menurutnya, seorang boleh berusaha sekuat tenaganya untuk mencapai tingkatan tertinggi di sisi Allah swt dengan hal-hal yang diketahuinya, kemudian ja boleh mempraktekkannya sebaik mungkin.

 

Adakalanya ilham Allah swt akan masuk di hati sebagian orang tanpa sebab. Jika ilham Allah swt telah masuk kedalam hati seseorang, maka orang tersebut akan melakukan segala macam kebajikan secara suka maupun terpaksa menurut petunjuk dan tuntunan-Nya.”

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra bertanya,, “Seseorang yang takut riya’ bolehkah ia meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Seseorang tidak boleh meninggalkan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar dalam keadaan apapun. Seseorang harus memerangi nafsunya sampai ia dapat meninggalkan riya” dan bersamaan itu pula, ia harus menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, meskipun ia mendapat tantangan yang kuat dari setan.

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh al-Fudhail bin ‘Tyyadh ra berkata: “Meninggalkan sesuatu amal kebajikan karena manusia sama dengan berbuat riya’ dan melakukan amal kebajikan karena manusia sama dengan berbuat syirik.”

 

Selama seseorang takut berbuat riya,” meskipun pada umumnya perbuatan itu jauh dari pribadinya. Kalaupun perasaan itu masuk ke dalam hatinya, maka cara menghilangkannya adalah dengan cara membencinya, meskipun ada perasaan berdosa.

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah “Ibad ra bertanya: “Apakah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menyebutkan tentang ilmu yaqin, “ainul yaqin, haggul yaqin, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menurutku beliau ra tidak pernah menyebutkan hal-hal itu, baik dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin, maupun dalam kitab-kitab lainnya secara terperinci. Hanya saja, beliu ra pernah menyebutkannya secara terpisah-pisah dalam berbagai keterangannya.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah Ibad ra bertanya: “Bolehkah seseorang berharap mendapatkan berbagai kedudukan dan karunia Allah swt dengan merenungi dalil-dalilnya serta hasilnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Boleh saja, seseorang merenung untuk mengharapkan serta mendapat kedudukan dan karunia di sisi Allah swt, akan tetapi ia diharuskan juga untuk berusaha sebaik mungkin.

 

Diantaranya dengan memperbayak amal-amal kebajikan yang sesuai dengan perenungannya atau memperbanyak amal-amal dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebab, hanya dengan cara seperti itu seorang dapat mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah swt.

 

Adapun untuk mendapatkan karunia Allah swt yang diberikan kepada orang-orang yang dekat di sisi-Nya, adakalanya diberikan bagi siapapun yang mempunyai kesiapan untuk menerimanya. Tetapi adapula yang tidak memperolehnya, meskipun ia mempunyai kesiapan untuk menerimanya. Semua itu hanya dapat diperoleh karena rahmat Allah swt semata.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah Ibad ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Abu Abdillah al-Qurasyi ra: Mendengar, memahami, meresapi kemudian merasakan.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Kedudukan meresapi dan menyentuhnya sama dengan kedudukan mendengar dan memahaminya. Misalnya seseorang yang pernah mengunjungi suatu kota kemudian ia menceritakannya kepadamu tentang keadaannya dan segala keajaiban yang ada di dalamnya.

 

Kisahnya kepadamu merupakan pendengaran untukmu, sedangkan pemahaman yang engkau lakukan merupakan pemahaman darimu. Kemudian kepergianmu ke tempat itu merupakan pembuktian dan kesaksianmu tentang berbagai hal yang menakjubkan yang ada di dalamnya merupakan perasaanmu tentangnya.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah “Ibad ra bertanya: “Tentang bimbingan seorang syeikh mursyid bagi seorang murid, namun ja tidak merasakannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Memang pada dasarnya, seorang murid butuh bimbingan syeikh mursyid yang dapat membimbingnya dengan perhatiannya yang baik dan pandangannya yang lurus. Selanjutnya ia masih membutuhkan bimbingan dua guru pembimbing lainnya.

 

Yang satu untuk memberikan berbagai latihan rohani dan pendidikan, sedangkan yang kedua untuk memberikan pengetahuan yang diperlukan olehnya pada saat menempuh jalan menuju kepada Allah swt.

 

Adapun sifat sifat syeikh mursyid yang membimbing murid, hendaknya seperti al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzil ra, ketika ia berkata kepada muridnya, yaitu al-Imam asy-Syeikh Abul Abbas al-Mursi ra, ketika ia datang untuk pertama kalinya: “Namamu telah diperlihatkan kepadaku sejak sepuluh tahun yang lalu.”

 

Hal yang serupa terjadi juga pada al-Imam asy-Syeikh Yusuf al-Fasi ra dengan al-Imam asy-Syeikh Abubakar bin Salim al-‘Alawi ra. Dikisahkan, telah lewat bertahun-tahun al-Imam asy-Syeikh Yusuf al-Fasi ra berkelana dari satu syeikh kepada syeikh yang lain.

 

Akan tetapi di akhir perjalanannya menuju kepada Allah swt, ja diberitahu oleh salah seorang syeikh yang ada di Maghrib’ “Sesungguhnya guru pembimbingmu tidak ada di negeri ini.” Selanjutnya ja melanjutkan perjalanan tarekatnya ke berbagai negeri sampai berakhir di Hadhramaut dan bertemulah ia dengan al-Imam asySyeikh Abubakar bin Salim al-‘Alawi ra.

 

Adakalanya ketiga sifat yang kami sebutkan diatas terkumpul pada diri seorang syeikh mursyid, meskipun hal itu jarang terjadi. Jika ketiga sifat tersebut terkumpul pada diri seorang syeikh mursyid, maka ia adalah seorang syeikh sejati dalam masalah pembimbingan ke jalan Allah swt. Tetapi jumlahnya tidak banyak, karena itu jika ia ada, maka wujudnya termasuk salah satu karunia Allah swt.

 

Meskipun masa keemasan tarekat dan orang-orangnya telah pudar. Tetapi untuk membimbing seorang murid ke jalan Allah swt cukup luas kemungkinannya dan tidak mustahil adanya Seorang syeikh mursyid atau seorang guru pembimbing yang mempunyai tiga sifat istimewa seperti yang kami sebutkan diatas.

 

Kemudian ia berhasil membimbing para muridnya hinga mereka menjadi wali-wali Allah swt. Tentunya hal itu tidak mungkin terjadi jikalau tidak karena luasnya rahmat Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah Ibad ra bertanya: “Tentang penghapusan berbagai ilmu yang dikenal orang. Sebagaimana yang diucapkan oleh al-Imam asy-Syeikh as-Sudi ra: Hapuslah semua ilmu dan apa yang telah engkau catat, sesungguhnya menghapusnya merupakan kewajiban.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Yang dimaksud dengan menghapus ilmu-ilmu pengetahuan bukanlah seperti yang dimaksudkan oleh al-Imam Hujatul Islam alGhazali ra.

 

Adapun ilmu yang disebutkan dalam bait-bait diatas, tidak lain adalah perasaan dan gambaran yang ada di dalam hati seorang agar ja dapat berkonsentrasi sepenuhnya dalam perjalanannya menuju Allah SWT.

 

Cara ini adalah langkah pertama yang harus ia tempuh dan ia tidak akan sampai kepada Allah swt secara sempurna kecuali hanya dengan cara itu. Selanjutnya, ketika perjalanannya sudah sampai pada tingkatan fana, maka ia dapat menghapus semua ingatan, pikiran dan gambaran yang pernah tergerak di hatinya, sehingga ia dapa mengkonsentrasikan pandangan hatinya hanya kepada Allah swt semata,

 

Yang dimaksud menghapus segala perasaan dan ingatan diatas, adalah menghilangkan segala ingatan dan perasaannya kepada selain Allah swt secara paksa, agar hatinya kosong dari hal. hal selain Allah swt.

 

Jika seorang telah mengosongkan dirinya dari hal-hal selain Allah swt, maka ia akan fana, sehingga ia tidak lagi merasa bahwa dirinya dan apapun selain Allah swt adaIa fana lewat perasaannya, bukan lewat ilmunya. Ia akan senantiasa fana untuk selamanya. Ia fana karena Allah swt telah menjadikannya sebagai orang pilihan-Nya. Pada saat itu, ia tidak akan ingat kepada yang lain, selain Allah swt.

 

Adapun yang disebutkan oleh al-Imam Hujjatul Islam alGhazali ra, ada juga hati yang tetap tertutup. Maksudnya, ada juga hati yang tidak dapat menerima mukasyafah secara jelas, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menempuh jalan Allah swt, namun Allah swt sengaja tidak memberinya karena alasan tertentu.

 

Jika ia termasuk seorang yang dikehendaki oleh Allah swt untuk mendapatkan mukasyafah, maka ada kemungkinan ia akan membicarakan sebagiannya kepada orang lain, meskipun ada kemungkinan pula ia tetap merahasiakannya dari orang lain.”

 

 

 

 

al-Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi ra bertanya: “Tentang maksud sabda Rasulullah saw: “Seorang akan dikumpulkan dengan orang-orang yang dicintainya. Apakah hadis tersebut mengandung arti yang mutlak, sampai bagi seorang yang tidak mengikuti perjalanan orang-orang yang dicintainya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Hadis di atas mengandung arti anjuran dan ancaman. Seorang akan dikumpulkan dengan orang-orang yang ia cintai, baik yang dicintainya itu tergolong orang-orang baik, maupun tergolong orang-orang yang tidak baik.

 

Maka bagaimanakah kalau seorang yang selama hidupnya hanya mencintai dunia, tentunya ia akan dikumpulkan bersamanya? Ketahuilah bahwa kebersamaan dengan seorang yang dicintainya adalah karena ia mencintainya.

 

Tetapi kebersamannya dengan orang-orang yang dicintainya tidak akan terwujud, kalau tindak-tanduk dan tutur katanya tidak cocok dengan tindak-tanduk dan tutur kata orang-orang yang dicintainya.

 

Pengakuan cinta tidak dapat dibuktikan, kecuali dengan bukti yang konkrit, yaitu adanya kecocokan kehendak dan tindak, tanduk antara yang mengaku cinta dengan yang dicintainya. Secara akal, jika seorang mengaku cinta kepada orang lain, tetapi kehendaknya dan tindak-tanduknya bertentangan dengan orang yang dicintainya, mana mungkin cintanya bisa murni?

 

Dan persyaratan untuk mendapatkan kebersamaan dengan orang-orang yang dicintainya, tidak mengharuskan kehendak dan tindak-tanduk yang mencintainya cocok secara seratus persen dengan kehendak dan tindak-tanduk orang yang dicintainya.

 

Sebab hal itu tidak mungkin akan terjadi. Meskipun demikian, untuk mendapat kebersamaan dengan orang-orang yang dicintainya, seorang harus menyamakan kehendaknya dan tindaktanduknya dengan mereka, tanpa itu tidak mungkin bisa terjadi.”

 

 

 

 

al-Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi ra bertanya: “Tentang maksud ucapan al-Imam asy-Syeikh al-Muhasibi ra: “Bahwa setiap “abid pasti akan mengalami masa kosong yang mengarah kepada sunnah atau yang mengarah kepada bid’ah.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Tentang masalah ini, aku pernah mendengar sebuah hadis yang maksudnya bahwa seorang ‘abid pada tahapan pertama kalinya. Adakalanya ia akan melebihi batas-batas kewajaran yang diajarkan syar’at bagi kaum awam, meskipun ia diperbolehkan melakukannya, asalkan tidak sampai menyengsarakan akal dan jasadnya. Selanjutnya si ‘abid tersebut akan menurun kemauannya. Jika kemauannya menurun sampai pada batas yang diajarkan, maka ia kembali kepada sunnah. Namun jika kemauannya menurun secara drastis, sampai meninggalkan ibadahnya secara keseluruhan, maka ia kembali kepada bid’ah.

 

Contohnya ada seorang ‘abid di awal tahapan ibadahnya, ia beribadah di malam hari semalam suntuk. Setelah berselang beberapa waktu, kemauannya menurun. Jika ia menQur’angi ibadah malamnya sebanyak separuhnya atau sebanyak dua pertiganya.

 

Sehingga ia beribadah malam mulai pertengahan malam atay mulai dua pertiga malam, maka penurunannya semacam itu masih berada dibatas wajar, yaitu masih berada dibatas yang disunnahkan, Akan tetapi jikalau ia meninggalkan ibadah malamnya secara keseluruhan, maka ia melakukan bid’ah, yaitu bertentangan dengan perilaku salafunasshalihin.

 

Nampaknya, menurunnya kemauan seorang “abid seperti itu tidak dialami oleh semua “abid yang ada, akan tetapi, kebanyakannya memang demikian. Meskipun demikian, tidak sepantasnya seorang meninggalkan wirid-wiridnya secara keseluruhan karena takut mengalami masa penurunan kemauannya, karena hal itu termasuk tindakan bodoh.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Ali bin Dw’fah ra, salah seorang penduduk Kota Syihr bertanya: “Tentang hukumnya ber’uzlah dan berkhalwat.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya ber’uzlah lebih umum pengertiannya dari berkhalwat, maksudnya adalah menjaga dan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan, agar dirinya selamat dan hal itu mempunyai berbagai persyaratan.

 

Diantaranya adalah mencari ilmu-ilmu yang terkait dengan iman dan Islam, tidak berburuk sangka kepada seorang muslim, bahkan selalu memandang orang lain lebih baik dari dirinya, tidak menyakiti seorang muslim agar dirinya selamat.

 

Selain itu ia tidak boleh meninggalkan shalat berjama’ah dan Shalat Jum’at, tidak boleh meninggalkan sedikitpun kewajiban Allah swt atas dirinya dan atas keluarganya, serta tidak boleh meninggalkan pergaulan dengan orang-orang baik yang dapat memperbaiki agamanya.

 

al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menyebutkan masalah ‘uzlah dalam Kitab Minhajul “Abidin secara panjang lebar, Anda dapat membacanya dari kitab tersebut.

 

Adapun berkhalwat mempunyai pengertian yang lebih spesifik dari ber’uzlah. Maksudnya adalah untuk mendidik jiwa atau nafsu seorang dan mencemerlangkan cermin hatinya, agar tabir yang menutup hatinya dari Tuhannya dapat terbuka serta agar ia dapat memutuskan segala hubungannya dengan selain Allah swt, sehingga ia tidak lagi memikirkan yang selain Allah swt.

 

Adapun syarat-syaratnya adalah tidak berbeda dengan persyaratan ‘uzlah, hanya saja seorang tidak akan berhasil dalam khalwatnya, tanpa bimbingan syeikh mursyid yang piawai. Jika ia tidak mendapatkannya, sedangkan ia adalah seorang murid yang cukup cemerlang pemikirannya, cukup tinggi kemauannya dan cukup mantap keyakinannya barulah ia diperbolehkan ber’uzlah dan berkhalwat.

 

Adapun masa berlangsungnya tidak boleh lebih dari empat puluh hari. Karena itu, ia diberi nama empat puluh harian. Akan tetapi adakalanya juga hanya berlangsung sepuluh hari atau tujuh hari atau tiga hari. Bahkan sebagian ahli tarekat, ada berkhalwat hingga seratus duapuluh hari.

 

Semuanya itu tergantung kepada petunjuk syaikh mursyidnya masing-masing. al-Imam asy-Syeikh asy-Syahru Wardi ra pernah menyebutkan masalah berkhalwat dalam Kitab al-Awarif secara panjang lebar, Anda dapat mempelajarinya dari kitab tersebut.

 

al-Imam al-Habib Abubakar al-Aydrus ra sering menganjurkan orang untuk berkhalwat dalam masa pendek, misalnya berkhalwat pada Malam Jum’at dan pada siang harinya, yaitu dengan menahan makan, minum, tidur, berbicara dan bergaul dengan orang lain. Dan selama itu, seorang yang berkhalwat diharuskan memusatkan seluruh ingatannya dan hatinya hanya kepada Allah swt dengan cara berdzikir dan membaca wirid atau membaca al-Qur’an.

 

Jika engkau telah mengerti masalah ini, maka engkau boleh melakukannya, sebab cara ini cukup bagus bagi seorang yang ingin menempuh jalan kepada Allah swt, apalagi jika ia dibimbing oleh syeikh mursyid yang dapat mengetahui rahasiarahasia jalan menuju Allah swt.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Ali bin Du’fah ra bertanya: “Apakah kefanaan dan mukasyafah para “arifin billah akan berlangsung terus-menerus ataukah hanya sementara saja?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Nampaknya mukasyafah tidak bersifat terus-menerus. Kalau hal itu pernah dialami oleh sebagian orang secara terusmenerus, maka orang itu termasuk orang yang langka, sebab ia selalu fana dari dirinya dan dari alam sekitarnya, sehingga ia tidak mengenal yang lain kecuali hanya Allah swt semata.”

 

Jika seorang yang fana dari dirinya dan dari alam sekitarnya sampai meninggalkan shalat atau puasa selama dalam kefanaannya, maka ia akan mengulanginya, karena ia mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak dan ia terus-menerus dalam keadaan yang seperi itu sampai ia menjadi senior.

 

Jika ia telah menjadi senior, maka ia tidak akan lupa kepada Allah swt sesaatpun, ia tidak akan keluar dari garis syari’at dan hakekat. Ia akan melihat sebagian hakekat secara terus-menerus. Dan adakalanya ia tidak dapat melihatnya untuk sementara waktu, tetapi ia akan melihatnya dalam waktu yang lain.

 

Seorang yang telah mencapai tingkatan mukasyafah, maka sedikitpun ia tidak akan meninggalkan pekerjaannya sehari-hari dan hal itu tidak akan menghalanginya dari Tuhannya.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Ali bin Dw’fah ra bertanya: “Apakah seorang murid tarekat akan lebih baik, jika ia melazimi syeikh mursyidnya dan berdiam diri dengannya ataukah ia hanya menghubunginya dalam waktu-waktu tertentu saja?”

 

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Seorang murid harus menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh syeikh mursyidnya. Baik ketika ia disuruh menetap bersamanya ataukah ketika ia disuruh menjauh darinya, dan hendaknya ia memberitahukan kepada syeikh mursyidnya segala permasalahan dirinya.

 

Baik merupakan hal yang rahasia maupun yang terang, khususnya yang berkaitan erat dengan masalah tarekat dan maslah hatinya dan jangan sampai ia tidak mengkonsultasikan segala permasalahannya kepada syeikh mursyidnya, meskipun keagungan dan kehebatannya dapat menyebabkan ia takut kepadanya.

 

Jika syeikh mursyidnya tidak menyuruhnya menetap bersamanya dan tidak pula menyuruhnya menjauh, sebaiknya ia bersikap dan berprasangka baik serta menghormati syeikh mursyidnya sambil menunggu perintahnya. Seorang murid yang lebih mengutamakan pilihan syeikh mursyidnya dari pilihannya sendiri, maka ia akan lebih sukses dan lebih selamat.

 

Jika si murid melihat tanda-tanda yang buruk dari keyakinan syeikh mursyidnya, sebaiknya ia segera bertanya kepada syeikh mursyidnya. Jika ia mengetahui bahwa yang apa dilihatnya tidak perlu ditanyakan kepadanya, maka sebaiknya ia menafsirkannya dengan penafsiran yang baik dan yang pantas bagi seorang wali Allah swt.

 

Andaikata si murid melihat perbuatan syeikh mursyidnya jelas bertentangan dengan hukum syari’at, sehingga ia tidak dapat menafsirkan perbuatan tersebut, misalnya ia berbuat zina atau merampas harta orang lain dengan cara yang tidak baik, maka sebaiknya ia menimpakan hukum Allah swt atas syeikh mursyidnya secara lahir dan batin.

 

Jika ia membayangkan bahwa syeikh mursyidnya yang seperti itu mempunyai sejumlah murid yang menerima baiat tarekat dari padanya secara wajar, maka sebaiknya ia yakin bahwa perbuatan buruknya merupakan suratan takdir baginya dan hendaknya ia yakin bahwa ia akan bertaubat dan menyesali perbuatannya semoga segala kesalahannya dapat dimaafkan oleh Allah swt.

 

Tetapi jika si murid melihat perbuatan buruk syeikh mursyidnya dengan jelas dan ia melakukannya secara terang serta terus-menerus, maka sebaiknya, ia beranggapan bahwa Allah swt telah mengusirnya dari pintu rahmat-Nya dan sebaiknya ia segera menjauhinya.

 

Akan tetapi jangan sampai ada seorang murid yang mengira bahwa perbuatan-perbuatan buruk akan dilakukan oleh seorang syeikh mursyid yang terkenal sebagai wali Allah swt. Sebab, Allah swt akan memelihara setiap wali-Nya dari segala perbuatan buruk, karena Allah swt telah mencintainya dan memilihnya sebagai wali-Nya.

 

Bahkan sebaiknya si murid berkeyakinan bahwa syeikh mursyidnya adalah seorang wali Allah swt yang hatinya bersih, bercahaya, dapat melihat dengan pandangan mukasyafah dan memiliki berbagai ilmu dan hikmah yang tidak terbilang banyaknya.

 

Meskipun ada beberapa kekurangan yang terlihat pada bagian luarnya. Namun hal itu adalah ibarat setitik debu di tengah padang pasir yang luas atau ibarat setetes air di tengah lautan yang luas. Sebab, hanya dengan perasaan yang baik, seorang murid dapat sukses dalam perjalanannya menuju Allah swt.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdullah Baraja’ ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Abu Ali ar-Rudzabadi ra seperti yang tertera dalam bait-bait puisinya yang artinya sebagai berikut: “Kata mereka, besok adalah hari raya, apa yang . akan engkau pakai pada hari itu?’ Maka akupun menjawabnya: Pakaian seorang khalifah yang suka memberi minum dan yang suka menentang segala kesulitan. Kemiskinan dan kesabaran adalah pakaianku dan dibawah keduanya ada hati yang mengetahui pakaian apa saja yang biasa dipakai orang pada hari raya dan pada hari-hari besar.’ Pakaian yang cocok dipakai untuk menemui seorang kekasih, yaitu pada hari pertemuan. Masa bagiku adalah hari kematian, jika engkau tidak mengerti wahai harapanku. Adapun hari lebaran yang sesungguhnya aku belum pernah melihatnya maupun mendengarnya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Mungkin yang bertanya kepadanya adalah kawankawannya yang sama-sama menempuh perjalanan tarekat menuju Allah swt. Adapun ucapan mereka ‘besok pagi adalah hari raya,

 

ucapan ini mengisyaratkan bahwa esok ja akan bergembira, kareng ia akan bertemu dengan Allah swt.”

 

Adapun maksud ucapannya ‘pakaian seorang khalifah: mengisyaratkan bahwa ia memakai pakaian kebesaran, yaitu pakaian seorang khalifah. Adapun arti ia suka memberi minum, maksudnya ia adalah seorang ‘arif billah yang senantiasa menuangkan ilmunya kepada orang lain.

 

Adapun maksud ucapannya ‘ia senang menantang segala kesulitan,” mengisyaratkan bahwa ia telah menanggung berbagai kesulitan ketika menempuh perjalanannya menuju Allah swt, tetapi ia tidak perduli, karena ia mengharap sukses dalam perjalanannya.

 

Adapun maksud ucapannya ‘pakaian yang cocok untuk menemui seorang kekasih,” adalah seperti yang diisyaratkan dalam sebuah hadis gudsi: “Tidak seorang pun mendekat kepada-Ku dengan amal-amal kebajikan yang Aku wajibkan kepadanya dan ia melakukannya dengan baik, maka Aku akan menjadi telinganya, matanya, tangannya dan kakinya.”

 

Adapun maksud ucapannya ‘kemiskinan adalah pakaianku, mengisyaratkan bahwa ia telah menemui berbagai kesulitan ketika melakukan pengabdiannya kepada Allah swt. Adapun yang dimaksud ‘kesabaran adalah pakaianku, mengisyaratkan bahwa ia selalu bersabar jika ada kekasihnya yang meninggal dunia.

 

Adapun maksud ucapannya ‘hati melihat kebiasaannya yaitu hari raya dan hari-hari besar, kemungkinan mengandung dua arti. Arti yang pertama, mungkin mengandung arti melindungi syari’at lewat hakekat dan kemungkinan hari-hari besar dan hari raya cukup dikenal oleh kaum muslimin.

 

Sedangkan arti yang kedua, ada kemungkinan maksudnya adalah saat-saat mereka bertemu dengan Allah swt, yaitu saat-saat mereka wukuf di Bukit Shafa. Menurut seorang ‘arif billah, hal itu jauh lebih baik dari melakukan seribu kali ibadah haji yang diterima.

 

Menurut al-Imam asy-Syeikh Ibnu Athaillah al-Iskandari ra dalam Kitab al-Hikam, kesenangan meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi yang paling menyenangkan adalah pada saat seorang bertagarrub dan bertemu dengan Allah swt, pada saat ia sedang fana. Adapun kesulitan meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi yang lebih sulit adalah ketika seorang sedang tertutup dari Allah swt.

 

al-Imam asy-Syeikh Abu Yazid al-Busthami ra berkata: “Di dalam surga kelak, ada sejumlah orang yang andaikata tertutup dari Allah swt, walau hanya sesaat, pasti mereka akan mohon pertolongan Allah sut, sebagaimana ketika penduduk neraka mohon pertolongan Allah swt dari siksa neraka.”

 

Yang paling aneh adalah secara kebetulan aku pernah menerangkan masalah ini kepada sebagian wali-wali Allah swt, beberapa hari sebelum surat Anda tiba kepada kami.

 

Perlu diketahui, bahwasannya Allah swt mempunyai orang. orang-orang yang senantiasa berhari raya, karena hati dan ruh mereka senantiasa dekat dengan Allah swt. Sebab pengertian hari raya menurut mereka, adalah ketika seorang sedang berada di sisi Allah swt dan ketika menjauhi segala dosa dan maksiat.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru ra bertanya: “Tentang berbagai perasaan yang hadir kepadanya dan ia merasa takut akan keselamatan dirinya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya engkau tidak dapat mengobati perasaanmu yang resah kecuali jika engkau berusaha sekuat tenaga untuk melupakan segala keresahannya dengan memperbanyak ucapan:

 

 

Artinya: “Maha Suci Allah, Maha pencipta segala sesuatu. Jika Allah swt berkehendak, maka Allah swt mampu untuk melenyapkan kalian dan mendatangkan makhluk yang baru. Dan hal itu tidaklah sulit bagi Allah swt untuk melakukannya.”

 

Ketahuilah bahwa segala perasaan yang meresahkan termasuk cobaan bagi seseorang yang beriman dan ia akan diberi pahala jika ia menerimanya dengan penuh tata krama yang baik Perasaan semacam itu sengaja didatangkan oleh Allah swt bagi seseorang yang beriman agar ia kembali kepada Allah swt. Dan jika is telah kembali kepada Allah swt, maka Allah swt akan menolongnya,

 

Adakalanya berbagai keresahan yang hadir dihati seorang yang beriman dikarenakan ia telah mengkonsumsi makanan-makanan yang sumbernya tidak halal ataupun karena ia telah bergaul dengan sebagian orang yang suka berbuat dosa. Sebaiknya ia memeriksa dirinya, apakah ia telah melakukan berbagai kesalahan.

 

Jika ia telah mendapati kesalahan-kesalahannya, maka sebaiknya ia segera bertaubat daripadanya. namun jika ia tidak mendapati kesalahan-kesalahannya, maka sebaiknya ia bertaubat dari segala dosa yang pernah ia ketahui maupun yang tidak pernah ia ketahui.

 

Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa keresahan yang ada dalam dirinya bukan dikarenakan kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah cobaan dari Allah swt. Sebaiknya ia bersabar dan berharap pahala dari Allah swt, hingga Allah swt menghilangkannya dan memberinya pahala atas kesabarannya.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra bertanya: “Tentang duduk berdzikir di mushalla setelah melakukan Shalat Subuh sampai matahari naik.

 

Apakah pahala yang dijanjikan sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis hanya diperuntukkan bagi mereka yang duduk di mushallanya ataukah diberikan juga bagi mereka yang telah meninggalkan mushallanya dan mereka tetap berdzikir serta bertasbih?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut memang dijanjikan bagi mereka yang tetap duduk berdzikir di mushallanya, agar mereka tidak segera meninggalkan mushallanya setelah melakukan Shalat Subuh.

 

Akan tetapi menurutku, pahala yang dijanjikan akan diberikan juga bagi mereka yang tetap berdzikir, baik di mushallanya, maupun bagi mereka yang telah meninggalkan mushallanya, apalagi kalau alasan meninggalkan mushallanya dapat dibenarkan, misalnya karena takut riya.”

 

Demikian pula, jika alasan keluarnya untuk memperoleh kebajikan lebih banyak, maka ia tetap mendapat pahala sebagaimana seorang yang tetap berdzikir di mushallanya. Namun jika alasan keluarnya untuk memperoleh kesenangan duniawi, misalnya untuk minum kopi atau yang lainnya, nampaknya ia tidak akan mendapatkan pahala sebagaimana yang dijanjikan oleh hadis tersebut.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah Ibad ra bertanya: “Tentang bedanya ketidakmampuan dengan lemah.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa tidak mampu melakukan sesuatu merupakan pertanda hilangnya kekuatan seorang. Jadi lawan tidak mampu adalah mampu. Akan tetapi lain halnya dengan lemah, lawan lemah adalah kuat dan kuat termasuk dalam bagian mampu.

 

Kalau begitu, lemah merupakan kemampuan yang tidak sempurna. Seorang yang mampu melakukan sesuatu dari salah satu sisinya, tetapi ia tidak mampu melakukannya dari sisi yang lain, maka ia disebut seorang yang lemah.

 

Adakalanya, seorang yang tidak mampu melakukan sesuatu mengandung arti malas menurut bahasa tertentu. Misalnya, seorang yang malas melakukan sesuatu atau yang malas meninggalkannya, meskipun ia dapat melakukannya, tetapi karena ia malas, maka akan terlihat pada dirinya seolah-olah ia tidak mampu.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Manakah yang lebih utama, Sayyidina al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra ataukah Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi ra?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir alJaelani ra, termasuk seorang wali yang diberi kekuatan untuk menggabungkan antara ilmu lahir dan batin, menempuh suluk, tarekat serta mendidik para muridnya.

 

Bahkan karena istigamahnya, sampai ia mendapatkan tingkatan musyahadah hakekat, sehingga ia merupakan wali quthub dan al-ghauts di masanya. Dan ia wafat setahun sebelum Sayidina alFaqih al-Muqaddam dilahirkan. Adapun Sayidina al-Faqih alMuqaddam termasuk syeikh tarekat dan hakekat, imam ahli lahir dan batin, serta seorang al-quthub ar-Rabbani.

 

al-Imam asy-Sycikh Abdul Qadir al-Jaelani ra dan Sayyidina al Faqih al-Muqaddam ra termasuk dua imam yang agung, dua wali yang mulia, dua tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah yang terpandang. Akan tetapi kami sebagai anak cucu dari Sayyidina al-hmam al-Faqih alMugadam Muhammad bin Alawi Ba’alawi ra lebih banyak bergantung kepadanya dari pada kepada al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ya, sebab beliau adalah pusat rohani kami.

 

Demikian pula al-lmam asy-Syeikh Abu Madiyan al-Maghribi ra, termasuk salah satu wali quthub yang kami tokohkan. Tingkatan wali quthub berpindah dari al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani kepada al-Imam asy-Syeikh Abu Madyan alMaghribi ra.

 

Kemudian setelah itu berpindah kepada Sayyidina al-Imam asy-Syeikh al-Faqih al-Muqaddam ra, meskipun antara masa alImam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra dengan masa Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam ra ada beberapa wali quthub lainnya, hal ini dikarenakan terpisahnya antara kedua masa tersebut cukup lama.

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh al-Habib Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra berkata: “Kami tidak akan menilai keutamaan Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam ra setelah berakhirnya masa sahabat, kecuali kalau ada dalil yang menyatakan keutamaannya, seperti keutamaan Sayyidina Uwais bim Amir al-Qarani ra.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang seorang murid, seorang sufi, tasawuf serta apa sajakah yang harus dilakukan oleh seseorang agar ja menjadi seorang sufi?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa seorang murid adalah seseorang yang mengabdikan dirinya, jiwa raganya, serta amal-amal kebajikannya untuk Allah swt semata serta untuk mendapatkan kesenangan di kampung akhirat kelak.

 

Seorang sufi menurut istilah sebagian ahli, adalah seorang yang membersihkan jiwa raganya dari segala dosa dan noda, serta selalu berhati-hati, selalu berharap kepada Allah swt, sehingga ia tidak butuh kepada yang lain dan lahir batinnya mempunyai kesamaan.

 

Sedangkan tasawuf menurut sebagian ahli, adalah cara mengeluarkan diri seorang dari budi pekerti yang buruk menuju budi pekerti yang mulia, meskipun istilah ini masih diperdebatkan oleh para ahli, akan tetapi keterangan kami cukup baik dan bisa dimengerti.

 

Seorang yang senantiasa membersihkan dirinya, tutur katanya, niatnya, tindak-tanduknya dan budi pekertinya dari riya’ dan dari segala noda, serta ia selalu memusatkan lahir batinnya untuk Allah swt dan berpaling dari segala sesuatu yang selain Allah swt.

 

Bahkan sampai berpaling dari keluarganya, hartanya, kesenangannya dan hawa nafsunya, serta ia melakukan semua itu berdasarkan pengetahuan yang ia miliki dan ia selalu mengikuti petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah serta petunjuk dari salafunasshalihin yang terdahulu. Jikalau demikian, maka ia adalah seorang sufi yang sempurna.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang suluk, munazalah, dan istilam.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa swluk adalah perjalanan hati untuk memperbaiki iman, untuk mengokohkan keyakinan dengan menempuh perjalanan yang panjang dan penuh rintangan setingkat demi setingkat untuk membersikan batinnya.

 

Adapun munazalah adalah karunia-karunia Allah swt yang hadir di dalam hati seseorang yang dekat kepada Allah swt, sehingga ia dapat mengetahui berbagai rahasia-rahasia Ilahiyyah.

 

Sedangkan “istilam adalah karunia Allah swt yang dapat menyebabkan seorang yang senantiasa mendekat kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya menjadi fana, sehingga ia tidak dapat mengenali dirinya maupun lainnya.

 

Dan karunia semacam ini bisa berlaku dalam waktu yang lama dan bisa Juga berlaku dalam waktu singkat Namun kebanyakannya, ia tidak akan berlangsung lama dan hal itu jarang terjadi. Jika seorang telah : mendapat karunia semacam Ini, maka ia termasuk orang-orang yang selalu fana di sisi Tuhannya.”

 

 

 

 

al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Ahdal ra bertanya: “Tentang bershalawat setelah adzan. Apakah diucapkan dengan keras ataukah dengan suara yang rendah?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Kami telah menerima surat Anda yang membicarakan tentang bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad saw sesudah adzan, dengan suara yang keras seperti yang biasa dilakukan oleh sebagian banyak orang.

 

Dan berikutnya telah kami terima pula keterangan dari alImam asy-Syeikh Ibnu Hajar ra dalam Kitab asy-Syarh alUbab dan fatwa al-Imam asy-Syeikh Ahmad Ibnu Umar al-Hubaisyi ra, maka pendapat kami adalah: “Ketahuilah bahwa hak Rasulullah saw dari umatnya cukup besar dan hak itu harus dipenuhi oleh mereka.

 

Meskipun mereka tidak dapat memenuhinya menurut cara yang semestinya. Karena itu mereka wajib mengikuti sunnahnya, membela agamanya, memperbanyak bershalawat kepadanya dan mencintai beliau saw beserta segenap keluarganya dan para sahabatnya yang mulia.

 

Ketahuilah bahwa bershalawat kepada Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah swt di dalam firman-Nya. Demikian pula cukup banyak hadis-hadis dan ucapan ulama salaf dan khalaf tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan hal itu sulit dihitung jumlahnya.

 

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syeikh Ibnu Hajar al-Haitsami ra pernah menulis sebuah kitab tentang keutamaan dan anjuran bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad saw yang berjudul ad-Durrul Mandhud fis ash-Shalaati Wa as-Salaami “Alaa Shaahibil Magaamil Mahmuud.

 

Demikian pula yang dilakukan al-Imam asy-Syeikh asSakhawi ra. Beliau ra menulis sebuah buku tentang keutamaan dan anjuran bershalawat yang karya tulisnya tersebut diberi judul al-Qaulul Badii’ fi ash-Shalaati “Ala an-Nabi asy-Syaafi.’ Dan banyak pula tokoh-tokoh ulama lainnya, terutama para tokoh hadis yang menulis sebuah buku tentang keutamaan dan anjuran bershalawat kepada Nabi Muhammad saw.

 

Adapun pengucapan shalawat yang biasa dilakukan oleh para mu’adzin sehabis adzan dimanapun ia berada, adalah termasuk perbuatan bid’ah hasanah dan mardhiyah’ yang kita tidak perly mengingkarinya setelah kita mengetahui anjuran-anjuran bershalawat menurut al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw, tanpa ikatan waktu, keadaan, maupun tempat.

 

Meskipun anjuran bershalawat dalam waktu-waktu dan keadaan-keadaan tertentu untuk menambah pahala dan keutamaannya, namun anjuran bershalawat pada waktu-waktu dan keadaan keadaan yang umum, baik membacanya secara rendah maupun keras, secara pribadi maupun secara berjama’ah, masih mempunyai keutamaan tertentu.

 

Karena itu, pendapat orang-orang yang mengingkarinya tidak mempunyai dasar yang kuat. Karena bershalawat setelah adzan merupakan anjuran dari agama. Adapun seorang muadzin yang mengucapkannya setelah adzan dengan suara keras, merupakan perbuatan yang baik dan ia akan diberi pahala, asalkan niatnya untuk menyadarkan orang-orang yang lupa yang suka mengakhirkan shalat.

 

Adapun kebiasaan membaca shalawat dengan suara keras setelah adzan, merupakan kebiasaan para muadzin di Kota Makkah dan Madinah. Mereka melakukannya setiap sehabis adzan, kecuali sehabis Adzan Maghrib, karena waktunya sangat sempit dan sehabis Adzan Subuh, karena mereka melakukannya sebelum adzan.

 

Kebiasaan seperti ini dilakukan juga oleh sebagian muadzin di Negeri Hadhramaut, meskipun hanya pada sebagian waktu dan pada sebagian tempat. Andaikata perbuatan itu dilakukan oleh setiap muadzin pada setiap waktu, tentunya tidak ada yang akan mengingkarinya.

 

Menurutku, siapapun yang mengingkari perbuatan baik, seperti bershalawat setelah adzan ataupun mengingkari yang baik apa saja bentuknya, maka hal itu termasuk perbuatan dosa. Sebab, bershalawat ataupun mengingatkan orang-orang yang lupa merupakan amal-amal kebajikan yang amat tinggi nilainya disisi Allah swt.

 

Bershalawat kepada Nabi Muhammad saw merupakan perbuatan yang dapat mengokohkan iman seseorang dan menambah | kecintaannya kepada Rasulullah saw. Karena itu, mereka yang mengingkarinya termasuk orang-orang yang munafik, bahkan dapat juga termasuk orang-orang yang kafir.

 

Mengapa mereka mengingkari orang-orang yang bershalawat, padahal mereka tahu bahwa orang-orang yang bershalawat cukup besar pahalanya. Bukankah seorang yang bershalawat satu kali diberi pahala sepuluh kali?

 

Seorang yang mengingkarinya karena mengucapkannya dengan suara yang keras sudah termasuk seorang yang bodoh dan salah. Ia seperti seorang yang mengaku pintar, tetapi ia minta dalil tentang adanya siang hari.

 

Tetapi jika ia mengingkarinya karena diucapkan setiap setelah adzan, maka perbuatannya itu hanya mengingkari kebiasaan yang biasa dilakukan disebagian tempat dan masalah itu hanya biasa.

 

Jika ja mengingkarinya karena pengucapannya dengan suara keras dapat mengganggu seorang yang sedang shalat dan lainnya, maka alasannya itu tidak dapat diterima, karena diantara sebagian shalat ada yang bacaannya dibaca dengan keras.

 

Diantara yang ingkar kepada yang mengucapkan shalawat itu mungkin karena alasan ta’asub atau hasut pada pribadi yang mengucapkannya, mungkin karena bodoh dan mungkin pula purapura bodoh atau juga mungkin pula ada yang bersikap kasar dan bengis.

 

Jika yang mengingatkannya tidak bersikap lemah lembut dan bijaksana, maka pelakunya akan berdosa. Tetapi jika yang mengingatkannya telah bersikap lemah dan bijaksana, sedang yang mengingkarinya masih tetap bersikap kasar, maka yang mengingatkannya telah selesai tugasnya dan ia telah melakukan hal yang terbaik. Dalam hal ini Baginda Nabi Muhammad saw bersabda:

 

Artinya: “Tidaklah sikap lemah lembut pada sesuatu, melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap kasar pada sesuatu melainkan akan memperburuk nya.”

 

Dalam hadis lainnya, Baginda Nabi Muhammad saw bersabda:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt Maha lemah lembut dan Allah swt suka kepada hal-hal yang bersifat lemah lembut.”

 

Dan sikap lemah lembut akan menyebabkan segala sesuatu menjadi baik dan positif.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang menggunjing keburukan orang lain, yang menurut Islam dinilai lebih berat dari tiga puluh kali berbuat zina. Padahal menggunjing keburukan orang lain tidak termasuk dalam salah satu dosa besar sebagaimana perbuatan zina.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Secara lahiriyah, perbuatan menggunjing kesalahan orang lain tidak sekeji perbuatan zina yang dapat mengacaukan jalur keturunan manusia dan menimbulkan kerusakan-kerusakan lainnya. Akan tetapi yang menyebabkan perbuatan zina hanyalah rangsangan nafsu seks, seperti yang ada pada binatang.

 

Namun yang menimbulkan perbuatan menggunjing kesalahan orang lain adalah rasa dengki dan hasud kepada seorang muslim, padahal perbuatan itu termasuk perbuatan setan yang kejelekannya tiga puluh kali lebih buruk dari kejelekan binatang, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadis.

 

Di lain riwayat disebutkan, menggunjing kesalahan orang lain, nilainya lebih berat dari berzina, karena perbuatan itu merusak hak asasi manusia. Padahal menurut sebuah riwayat dikatakan, menganiaya seorang hamba satu kali dapat diambil dari padanya tujuh ratus pahala shalat yang diterima dan menganiaya hak-hak orang lain termasuk perbuatan yang pasti akan dituntut di persidangan Allah swt.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang jin yang beriman. Apakah mereka akan diberi ilmu tertentu dan apakah mereka akan diberi kesempatan melihat Allah swt jika mereka masuk surga?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya al-Imam asy-Syeikh al-‘Arif Abdul Wahab asy-Sya’rani al-Mishri ra pernah menyatakan dalam kitabnya al-Kasyf ar-Raani “An Wajhi as ilah al-Jaan, bahwasanya jin akan diberi ilmu yang khusus.

 

Apakah jin yang beriman akan dimasukkan ke dalam surga atau tidak, sampai sekarang aku belum mendapatkan satu dalilpun yang menyatakan bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Tetapi menurutku, jika mereka beriman kepada Allah swt, maka mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan mereka akan diberi kesempatan melihat Tuhannya di dalamnya.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang seorang yang tidak mempunyai keturunan.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud keturunan adalah generasi mendatang yang dilahirkan oleh generesi terdahulu dan mereka masih terkait dengan generasi terdahulu.

 

Adapun firman Allah swt yang menyebutkan adanya keturunan:

 

Artinya: “Dan suatu tanda kebesaran Alah bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan” (Qs. Yaasin ayat: 41).

 

Jika seorang mengaku tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka artinya mereka tidak mempunyai keterkaitan darah dengan generasi terdahulu maupun dengan generasi di bawahnya dan hal ini tidak mungkin terjadi. Akan tetapi jika ia mengatakan tidak mempunyai anak dan cucu, maka hal itu mungkin terjadi.

 

Sebab pada masa lain, mungkin ia akan mendapat anak serta cucu dan kemungkinan itu bisa terjadi sebelum ia mati. Tidak mengapa seorang yang tidak mempunyai anak untuk mengasuh anak saudaranya atau anak kaum kerabatnya yang terdekat.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abuakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang kebangkitan makhluk sebelum dibangkitkan ke padang mahsyar.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Kebangkitan mereka terkait erat dengan panggilan yang menyeru mereka untuk bangkit kembali.

 

Hal ini sebagaimana dengan firman Allah swt:

 

Artinya: “Kemudian jika ada panggilan dari arah bumi yang memanggil kalian, maka kalian akan keluar dari bumi.”

 

Demikian pula ketika mereka berdiri di atas shirath setelah bumi dirubah bentuknya dan semua itu akan mudah terjadi dengan kehendak serta kekuasaan Allah swt. Pada saat itu Allah swt akan merubah bumi yang luas menjadi sempit dan tajam untuk menguji manusia berjalan di atasnya.

 

Dan seorang boleh menafsirkan shirath dengan penafsiran yang lain, yaitu bukan jembatan yang terbentang diatas Neraka Jahannam. Semua itu bisa terjadi dengan kehendak dan kekuasaan Allah swt, sebab kekuasaan Allah swt Maha luas.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang bagaimanakah jika seorang dipersilahkan masuk surga melalui delapan pintu.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa dipersilahkannya seorang masuk ke dalam surga lewat delapan pintu yang ada, bisa diartikan sebagai penghormatan baginya dan ia dipersilahkan masuk ke dalam surga lewat salah satu dari kedelapan pintu yang ada.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis: “Seorang yang berdo’a setelah berwudhu,” maka akan dibuka delapan pintu surga baginya dan ia dipersilahkan masuk ke dalamnya lewat salah satunya.”

 

Pengertian semacam ini lebih mudah dimengerti dan dapat diterima akal. Tetapi ada juga yang mengartikan bahwa surga mempunyai delapan tingkatan dan pada setiap tingkatannya ag, pintu gerbangnya masing-masing.” 

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang bentuk orang-orang yang sombong akan dijadikan seperti makhluk yang paling kecil dan paling hina ketika mereka dikumpulkan di padang mahsyar.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Masalah bentuk apapun yang dikehendaki oleh Allah swt untuk makhluk-Nya yang berdosa, tidak perlu dipermasalahkan.

 

Allah swt berwenang menjadikan mereka dalam bentuk apapun menurut kehendak-Nya.

 

Ketika Nabi Muhammad saw ditanya: “Bagaimanakah orangorang yang berdosa akan diperjalankan di atas wajah-wajah mereka ke dalam api neraka?” Maka beliau saw menjawab: “Allah swt mampu menjalankan manusia bertumpu di atas kedua kakinya, maka Dia swt pula pun mampu menjalankan mereka di atas wajah-wajah mereka.”

 

Untuk mengartikan masalah-masalah seperti itu, sebaiknya dengan bahasa yang dimengerti menurut redaksi yang memberi pengertian tentang luasnya kekuasaan Allah swt, asalkan tidak mengarah kepada hal-hal yang mustahil yang bertentangan dengan akal dan syar’at.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra: “Tidak semua orang mempunyai hati.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya hati yang sebenarnya adalah hati seorang yang dapat memikirkan dan mengingat Allah swt.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Sesungguhnya kejadian itu dapat diambil pelajaran oleh siapapun yang mempunyai hati (yang sehat).” (Qs. Qaaf ayat: 37)

 

Maksudnya adalah, hati seorang yang dapat memikirkan dan mengingat Dzat Allah swt. Selain itu masih ada firman Allah swt yang lain yang menyebutkan bahwa mereka mempunyai hati, tetapi bukan hati yang sehat, karena tidak dipakai untuk memikirkan dan mengingat Dzat Allah swt. Hal ini sebagaimana yang disebutkan, dalam firman Allah svt:

 

Artinya: “Mereka mempunyai hati, akan tetapi mereka dapar mengerti dengannya.”

 

Kiranya hanya itulah pengertian yang dapat kami sampaikan tentang hati yang sehat pada saat ini, meskipun kami dapat menerangkannya lebih luas. Akan tetapi karena keterangan tentang hati memerlukan pembicaraan yang lebih luas dan kalau itu yang dinginkan, tentunya butuh waktu dan kesempatan yang lebih luas.

 

Jangan sampai engkau malu bertanya, sebab kami masih siap menjawab pertanyaan apapun yang perlu ditanyakan, agar Anda dan kami dapat selalu berhubungan dalam berbagai kesempatan yang baik.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang dikembalikannya ruh Baginda Nabi Muhammad saw pada setiap kali beliau saw menjawab salam dari umatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Hadis yang mengatakan tentang pengembalian ruh beliau saw ke jasadnya adalah benar. Pokoknya hal itu benar-benar terjadi, hanya saja tentang bagaimana caranya, itu adalah rahasia Allah swt. Pokoknya beliau saw benar-benar dapat menerima salam dari umatnya dan beliau saw pula menjawabnya.

 

Ada pendapat sebagian ulama yang mengatakan: “Ruh Nabi Muhammad saw senantiasa bersemayam di jasadnya. Sebab tidak satu detik pun berlangsung, melainkan sebagian orang dari umatnya ada yang memberi salam kepada beliau saw dan beliau saw pun akan menjawabnya.” Menurutku pendapat itu benar, tetapi masalah ruh tidak perlu dibahas, karena ruh adalah urusan Allah swt semata.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang penduduk surga dan penduduk neraka, serta kapankah wajah mereka menjadi baik atau buruk?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menurutku Allah swt akan merubah wajah mereka menjadi bagus bertepatan pada waktu mereka masuk ke dalam surga, demikian juga penduduk neraka, wajah mereka akan berubah menjadi buruk bertepatan pada waktu mereka masuk ke dalam neraka.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Bolehkah seorang mempunyai beberapa syeikh mursyid?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Sesungguhnya jawaban untuk pertanyaan Anda memerlukan waktu yang cukup luas, padahal kami tidak memilikinya pada saat ini. Meskipun demikian, kami sempatkan juga menjawab pertanyaan Anda dengan jawaban yang singkat, agar semua permasalahan yang Anda tanyakan dapat terjawab.

 

Seseorang dibolehkan mempunyai beberapa syeikh mursyid, asalkan diantara mereka tidak ada perbedaan pendapat. Sebab setiap petunjuk dari seorang syeikh mursyid cukup dapat dijadikan bimbingan hidup bagi seorang murid. Karena mereka adalah orangorang yang jujur dan shaleh.

 

Akan tetapi jikalau seorang murid memiliki beberapa syeikh mursyid yang saling berbeda pendapat, maka murid itu akan hidup dalam lembah kebingungan yang berakibat celaka bagi si murid.

 

Sebab, jika ia menuruti pendapat salah seorang dari mereka, tentunya ia akan berbeda pendapat dengan syeikh mursyid yang lain.

 

Dan kalau ia sudah berbeda pendapat dengan seorang syeikh mursyid, maka ia akan binasa, karena ia termasuk seorang yang menentang pendapatnya. Seorang murid akan sukses perjalanan tarekatnya, kalau ia taat sepenuhnya kepada syeikh mursyidnya, khususnya jika seorang murid masih di awal perjalanannya. Dan keterangan ini pernah kami terangkan dalam buku kami yang berjudul ar-Risalah al-Murid.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang hukumnya mendengar bait-bait puisi dihadapan seorang syeikh mursyid?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Mendengar bait-bait puisi di majelis seorang syeikh mursyid beserta jama’ahnya diperbolehkan, asalkan yang hadir telah diperkenankan olehnya dan mereka tidak ada yang mengingkarinya. Apabila hal itu terpenuhi semua persyaratannya, maka mereka yang hadir akan terpelihara dan akan mendapat berkah dari Allah swt. Namun apabila ada yang mengingkarinya, maka ia akan celaka dan binasa.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang langkah pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid di awal perjalanan tarekatnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Langkah pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid di awal perjalanan tarekatnya adalah bertaubat kepada Allah swt.

 

Dan tentang masalah ini, ada beberapa keterangan pendahuluan dan penghabisannya, silahkan Anda membaca keterangan ini di bagian awal buku kami yang berjudul ar-Risalah al-Murid.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang seorang murid yang menyerahkan perjalanan tarekatnya sepenuhnya kepada petunjuk-petunjuk seorang . syeikh mursyid.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Jikalau ada seorang murid yang pasrah sepenuhnya kapada petunjuk-petunjuk seorang syeikh mursyid, sebaiknya seorang syeikh memperhatikannya baik-baik tentang apa saja yang terbaik bagi si murid, karena ia adalah amanat Allah swt yang dititipkan kepadanya.

 

Perlu diketahui, bahwa keadaan setiap murid tidak akan sama dengan murid-murid yang lain. Pokoknya, setiap murid harus mentaati dan mengikuti petunjuk-petunjuk syeikh mursyidnya dengan baik dan benar.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra bertanya: “Tentang alam ghaib dan alam nyata.”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa alam yang terang adalah alam yang dapat dirasa oleh kelima panca indera kita. Adapun alam ghaib adalah alam yang ada dibalik alam nyata.

 

Keberadaannya hanya bisa dirasakan oleh akal yang sehat dan diyakini oleh hati yang penuh iman. Dan kemisterian alam ghaib dapat dilihat oleh para nabi dan para wali Allah swt, karena meraka melihatnya dengan pandangan hati.

 

Alam ghaib terbagi menjadi 3 bagian:

 

  1. Alam Lahut, yaitu alam ketuhanan dan segala yang terkait dengannya.
  2. Alam Nasut, yaitu alam kemanusiaan, yang mana di dalamnya terlihat berbagai hal yang berkaitan dengan manusia, khususnya berkaitan dengan rohaninya yang lembut.
  3. Alam Jabarut, yaitu alam ketuhanan, di dalamnya terlihat sifat-sifat keperkasaan dan keagungan Allah swt, serta di dalamnya juga terlihat pula sifat-sifat kekerasan siksa Allah swt dan ketidak butuhan Allah swt kepada semua makhluk-Nya. Itulah kesimpulan dari keterangan para ulama tentang masalah ini.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Abdillah Basyarahil ra bertanya: “Tentang melakukan sesuatu yang baik maupun yang buruk tanpa adanya petunjuk dari seorang ahli.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, menurut kaum sufi, nafsu adalah tabiat seorang yang condong kepada hal-hal yang menyenangkan yang bersifat sementara dan fana.

 

Adapun cara mengendalikannya adalah dengan menekannya dan mempersempit ruang geraknya sesuai dengan petunjuk alQur’an dan al-Hadis. Dan cara ini merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang murid yang ingin menempuh perjalanan tarekatnya menuju kepada Allah swt.

 

Dan cara inilah yang dapat menyebabkan seorang murid senantiasa condong kepada hal-hal yang benar dan menjauhi hal-hal yang buruk. Dan jika cara ini telah ditempuh, maka lama-kelamaan seorang murid akan merasa nikmat dan senang karena ia dapat mengendalikan dan mengontrol nafsunya.

 

Mengikuti jejak Rasulullah saw merupakan realisasi cara pengendalian dan pengontrolan nafsu. Semua kelompok yang mengikuti jejak Rasulullah saw merupakan orang-orang yang dapat mengendalikan dan mengontrol nafsunya. Adapun mereka yang tidak mengikuti jejak Rasulullah saw, maka nafsunya akan senantiasa bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadis.

 

Ucapan asy-Syeikh Sahl ra mengisyaratkan bahwa tidak mengikuti petunjuk seorang, meskipun dalam hal-hal yang dibenci oleh nafsu, misalnya petunjuk mengerjakan amal-amal kebajikan, dapat membangkitkan birahi nafsu itu sendiri.

 

Sebaliknya, dengan mengikuti petunjuk seorang, meskipun kepada perbuatan-perbuatan yang disenangi oleh nafsu, merupakan hal yang berat bagi nafsu itu sendiri. Sebab, mengikuti jejak Rasulullah saw merupakan hal yang benar, padahal kebenaran adalah musuh hawa nafsu, sedangkan nafsu terkungkung oleh berbagai keinginannya sendiri.

 

Karena itu satu-satunya jalan untuk melepaskan keterkungkungannya adalah dengan jalan menekannya dan mempersempit ruang geraknya, yaitu dengan mengikuti petunjukpetunjuk yang baik dari Rasulullah saw.

 

Perlu diketahui bahwa nafsu tidak senang tunduk atau dipaksa oleh seorang. Ia ingin tetap bebas mengerjakan apa saja yang ia ingini, karena itu ia tidak senang mengikuti jejak orang lain walaupun cocok dengannya, bahkan nafsu tidak ingin mengikuti jejak siapapun.

 

Jika kebiasaan nafsu suka mengikuti jalan yang buruk, maka di sana ada pula nafsu yang suka mengikuti jalan yang baik, yaitu taat kepada Allah swt dan juga mengerjakan semua petunjukpetunjuk-Nya berdasarkan ilmu serta tata krama kepada Allah swt secara lahir dan batin.

 

Adapun cara pengendalian nafsu untuk mengikuti hal-hal yang diperbolehkan adalah dengan cara memimpinnya kepada halhal yang baik. Sebaliknya, cara pengendalian nafsu untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang adalah dengan cara meninggalkan semua yang dilarang karena malu kepada Allah swt dan karena takut kepada siksa-Nya.

 

Adapun jika nafsu mengajak seorang untuk melakukan halhal yang tidak baik dan ia telah melakukannya, maka sebaiknya ia segera membencinya dan menghentikannya serta menutupi kejahatannya dari orang lain.

 

Kemudian hendaknya ia segera bertaubat dan menyesali dosa-dosanya karena takut kepada siksa Allah swt. Meskipun keterangan kami ini singkat, namun kami kira cukup dimengerti. Semoga hal ini memberi manfaat bagi orang banyak.” 

 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra bertanya:

 

“Tentang nafsu yang condong kepada makhluk dan bagaimanakah cara mengatasinya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa penyebab utamanya adalah lemahnya keyakinan seorang. Sedangkan cara mengobatinya adalah dengan cara menguatkan keyakinannya kepada Allah swt. Dan hal itu dapat dicapai dengan dua cara:

 

  1. Pertama, dengan cara memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an.
  2. Kedua, dengan cara memperhatikan dan memikirkan segala Ciptaan Allah swt yang ada di alam semesta.

 

Adapun cara lain yang harus dilakukan adalah dengan cara mengendalikan nafsu, membersihkan cermin hati dengan berbagai latihan dan kesungguhan, sampai seorang dapat melihat kebenaran menurut yang semestinya. Cara inilah yang dipilih oleh kaum sufi.

 

Jangan engkau kira bahwa keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan yang biasa dimengerti oleh kaum awam. Sebaliknya, yang dimaksud keyakinan disini adalah cahaya Ilahi yang menerangi dan yang mengontrol hati seorang mukmin, sehingga ia dapat melepaskan diri dari keterkaitannya dengan semua makhluk dan ia hanya yakin sepenuhnya kepada Allah swt.

 

Cara yang paling efektif untuk mengalihkan kecenderungan hati seorang kepada makhluk adalah, hendaknya setiap orang selalu ingat bahwa makhluk tidak dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesusahan baginya.

 

Jika seorang telah mengetahui hal ini baik-baik, maka tidak logis baginya kalau ia masih cenderung kepada makhluk. Sebab hal itu akan menyebabkannya kecewa. Maka untuk mengobatinya adalah dengan cara menguatkan keyakinannya kepada Allah swt sampai kecenderungannya kepada makhluk itu hilang.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra bertanya: “Tentang kecintaan seseorang kepada orang-orang shaleh, meskipun ia tidak mengikuti jejak mereka.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa kecintaan seorang kepada orang lain tidak mengharuskannya mengikuti jejak orang yang dicintainya sepenuhnya. Cukup banyak orang-orang shaleh yang dicintai oleh para muridya, namun tidak semuanya dapat mengikuti jejak mereka.”

 

Adapun penyebab keengganan seorang yang cinta kepada orang lain untuk mengikuti jejaknya adalah karena ia tidak mendapatkan petunjuk dari Allah swt, sehingga ia merasa berat untuk melaksanakannya dan yang memiliki petunjuk hanya Allah swt semata, karena itu mohonlah selalu untuk mendapatkan petunjuk dari Allah swt.”

 

 

 

asy-Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru ra bertanya: “Mengapa kebanyakan orang senang dipuji, walaupun sebenarnya tidak pantas untuk dipuji. Dan sebaliknya, mengapa mereka membenci celaan orang walaupun sebenarnya mereka pantas mendapatkannya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pada dasarnya semua orang akan merasa senang jika dipuji, tidak seorangpun yang dapat selamat dari perasaan semacam itu, kecuali jika ia telah keluar dari nafsu kemanusiaannya dan rohaninya telah naik nilainya sampai ke tingkat malaikat.

 

Adapaun cara mengeluarkan nafsu seorang dari kemanusiaannya pernah kami terangkan ketika kami menjawab pertanyaan Anda yang terdahulu, sehingga pujian dan celaan tidak berpengaruh sedikitpun bagi orang-orang yang nafsu kemanusiaannya telah lenyap.

 

Perlu diketahui bahwa membenci celaan dan menyenangi pujian adakalanya diperbolehkan dan adakalanya diharamkan, hal ini menurut dasar yang dipakai untuk membenci atau menyenangi. Seorang yang mempunyai perasaan senang jika ia dipuji dan merasa benci jika ia dicela, maka menurut kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah swt, ia bukan termasuk kalangan orang-orang istimewa.

 

Adakalanya seorang merasa senang jika ia dipuji dan merasa benci jika ia dicela, karena lidah manusia merupakan pena yang benar. Karena itu Allah swt suka memperlihatkan amal-amal kebajikan seorang dan suka menutupi dosa-dosanya.

 

Ada seorang yang bergembira ketika disebut perbuatan baiknya dan ia berharap pahala dari Allah swt serta ia senang dicela ketika disebut perbuatan buruknya, karena ia takut mendapat siksa dari Allah swt di akhirat kelak.

 

Untuk menerangkan masalah ini lebih luas, dibutuhkan waktu dan kesempatan yang cukup panjang. Akan tetapi al-Ilmam Hujjatul Islam al-Ghazali ra telah menerangkannya secara panjang lebar dalam bab Dzammil Jaah Wa ar-Riya, ” dalam Kitab Ihya Ullumuddin.”

 

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang maksud sabda Nabi Muhammad saw: Seorang yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan tersebut termasuk salah satu sabda Baginda Nabi Muhammad saw. Meskipun ucapan tersebut pendek, tetapi isinya cukup padat, karena mengandung pengertian yang cukup luas dan ucapan tersebut menunjukkan bahwa beliau diberi jawami’ul kalim.

 

Maksudnya, meskipun ucapan beliau saw itu singkat, namun kandungan maknanya sangat dalam dan luas. Perlu diketahui, meskipun ucapan diatas mempunyai makna yang banyak, tetapi kami akan menyebutkan dua makna saja. Hal ini sebagaimana firman Allah swt berikut:

 

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tandatanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan yang ada pada diri mereka, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. Fushshilat ayat: 58).

 

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah engkau tidak memperhatikannya” (Qs. adz-Dzaariyat ayat: 21).

 

Makna yang pertama mengandung arti bahwa seorang yang mengenali dirinya dengan sebaik-baiknya, maka pengenalan itu akan menyebabkannya mengenal Tuhannya. Misalnya jika engkau memperhatikan baik-baik dirimu yang serba tidak mampu melakukan sesuatu, maka engkau akan merasa bahwa disana ada Tuhan yang mampu memberimu kekuatan, sehingga engkau hidup dan dapat berbuat apa saja sekehendakmu.

 

Seorang “arif billah pernah bertanya kepada seseorang: “Bagaimana engkau dapat mengenal Tuhanmu?” Lalu orang tersebut menjawabnya: “Aku mengenal Tuhanku karena keinginanku untuk mengerjakan segala sesuatu cukup banyak, tetapi aku tidak dapat melakukannya dan aku ingin mencegah segala sesuatu yang akan terjadi.

 

Akan tetapi aku tidak dapat melakukannya, maka sejak saat itu aku merasa bahwa disana ada kekuatan yang menentukan terjadinya segala sesuatu dan itulah kekuasaan Tuhanku Yang Maha Mulia.”

 

Makna yang kedua mengandung arti, jika dirimu sedang condong kepada kejahatan dan berpaling dari kebenaran serta ingin menikmati kelezatan dunia dan melupakan kesenangan akhirat, maka disaat itu engkau sadar bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkanmu dari kecondonganmu semacam itu, selain Tuhan Yang Maha Kuasa dan pada saat itu pula engkau kembali berharap pertolongan-Nya.

 

Jika engkau telah mengenal Allah swt dari lubuk hatimu dan engkau telah berharap untuk menemui-Nya, maka pada saat itu Allah swt akan memberimu berbagai cahaya dan membuka bagimu berbagai rahasia.

 

Dan nafsumu yang penuh angkara murka akan diganti dengan nafsu yang tenang, yang tunduk kepada kebenaran dan yang cinta kepada segala kebaikan serta kepada orang-orang yang suka berbuat kebaikan dan akan dihilangkan dalam hatimu segala halangan yang menghalangimu untuk mendekati Tuhanmu.

 

Maka disaat itu engkau akan mengenal kelembutan pertolongan Allah swt dan besarnya perhatian-Nya kepadamu. Seorang tidak akan mengenal Tuhannya sebelum ia mengenal keburukan dirinya. Karena itu perhatikan baik-baik keterangan diatas agar engkau mengenal Tuhanmu.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdurrahman bin Abdillah Tbad ra bertanya: “Tentang mendengar ucapan orang-orang yang keadaannya dan tingkatan tagarrubnya telah mencapai puncak.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa mendengarkan ucapan mereka yang keadaannya dan tingkatan ketagarubannya telah paripurna pernah diterangkan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dalam karya agungnya, Kitab Ihya” “Ullumuddin pada bab kedua, yaitu Kitabus Simaa.’ Beliau ra menerangkan bahwa seorang dibolehkan mendengarkan ucapan seorang yang mengalami fana dari segala sesuatu selain Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Ghusyam az-Zaidi ra bertanya: “Tentang berbagai perbuatan hamba Allah swt.”

 

al–Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa perbuatan apapun yang dilakukan oleh manusia, baik perbuatan yang baik maupun yang buruk, menurut keyakinan kami semuanya adalah telah ditentukan oleh Allah swt. Dan apapun yang telah ditentukan oleh Allah swt pasti akan terjadi dan apa yang tidak ditentukan oleh Allah swt tidak akan pernah terjadi.

 

Untuk keyakinan semacam ini, kami mempunyai dalil-dalil yang kuat dan cukup banyak dari al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dari akal pikiran kita. Para tokoh ulama kami cukup banyak hanya menulis tentang masalah ini dalam karya-karya tulis mereka.

 

Pendapat kami merupakan pemisah diantara dua pendapat:

 

Pendapat pertama, pendapat Madzhab Jabariyah yang mengatakan bahwa perbuatan seorang telah ditentukan oleh Allah swt. Dan seorang makhluk tidak mempunyai pilihan apapun untuk menerimanya atau menolaknya. Pendapat madzhab ini tidak bisa diterima oleh akal kita.

 

Pendapat kedua, pendapat Mazhab Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan seorang merupakan pilihannya sendiri. Ia boleh mengerjakan sesuatu jika ia mau dan ia boleh meninggalkannya jika ia mau.

 

Semua orang mengerti bahwa segala usaha yang dilakukan oleh seorang berasal dari pilihannya sendiri. Semua orang mengerti bahwa perbuatan manusia ada yang bersifat keharusan dan adapula yang bersifat pilihan. Dalam hal yang bersifat keharusan, maka ia terpaksa harus melakukannya. Sebaliknya, dalam hal yang bersifat pilihan, maka ia bebas sekehendaknya.

 

Menurut madzhab kami, yang harus diyakini oleh setiap orang dan seorang tidak sempurna imannya jika ia tidak meyakini keyakinan seperti itu, yaitu keyakinan yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan terwujud jika dikehendaki oleh Allah swt. Tetapi jika tidak dikehendaki oleh-Nya, maka ia tidak akan terwujud.

 

Meskipun demikian, kami wajib mencintai seorang yang taat, memujinya dan menganjurkannya untuk tetap taat dan menjauhi semua larangan-Nya. Sebaliknya, kami wajib membenci dan melarang orang dari berbuat maksiat, serta kami wajib mengajaknya untuk berbuat baik.

 

Dan kami menilai sebagai dosa terbesar bagi jawaban seorang yang ketika ia ditanya: “Mengapa engkau berbuat dosa?” Maka ja berkata: “Aku berbuat maksiat karena takdir dari Allah swt.”

 

Rela dengan ketetapan Allah swt, menurut madzhab kami adalah wajib dan pantas. Setiap orang harus rela menerima ketetapan Allah swt yang baik maupun yang buruk, karena semua ketetapan Allah swt mempunyai nilai utama dan adil.

 

Seorang yang rela menerima segala ketetapan Allah swt, maka hatinya menjadi tenang ketika menerima ketetapan yang buruk dan segala kesulitan. Seorang yang rela melihat berbagai perbuatan maksiat, menurut madzhab kami, termasuk perbuatan dosa.

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Ghusyam az-Zaidi ra bertanya: “Tentang orang-orang yang berperang melawan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya orang-orang yang pernah keluar untuk memerangi Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dimasa pemerintahannya ada tiga kelompok:

 

Kelompok pertama, kelompok pasukan unta, diantaranya terdapat Sahabat Zubair ibn ‘“Awwam ra, Sahabat Talha ra, Sayyidah Aisyah ra, serta penduduk Basrah yang dulunya pernah memberi bai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, kemudian mereka keluar dengan alasan menuntut balas atas Sayyidina Usman bin ‘Affan ra.

 

Tentang kelompok Basrah, Sayyidina Ali ra tidak pernah memeranginya, tidak pernah menyuruh orang untuk memeranginya dan ia pun tidak merestuinya. Akan tetapi ia mau menerima bai’at dari mereka yang ikut membunuh Sayyidina Usman bin ‘Affan ra dan ia tidak menyerahkan mereka kepada orang-orang yang menuntut darah Sayidina Usman bin “Affan ra.

 

Hal itu adalah demi untuk kepentingan agama dan kesatuan umat Islam pada waktu itu. Namun sayangnya, mereka yang keluar menuntut balas Sayyidina Usman bin “Affan ra tidak memahami keadaan itu.

 

Kelompok kedua, adalah kelompok Shiffin, diantaranya adalah sahabat Mu’awiyah ra, Amru Ibnu “Ash ra, dan penduduk Syam, mereka tidak mau berbai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dan mereka keluar menuntut balas atas wafatnya Sayyidina Usman bin ‘Affan ra.

 

Kelompok ketiga, adalah penduduk Nahrawan, mereka adalah kaum Khawarij, mereka pernah berbai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dan pernah berperang bersamanya. Akan tetapi kemudian mereka keluar untuk menentangnya, karena mereka menuntut hasil majelis tahkim pada hari dimana digelarnya Perang Shiffin.

 

Tentang mereka, Sayyidina Ali ra tidak pernah memerangi seorangpun diantara mereka sebelum mengajak mereka kepada perdamaian dan mentaati kembali pemerintahan Islam yang sah.

 

Kami yakin bahwa Allah swt Maha mengetahui tentang niat mereka masing-masing. Bagi kami, sebaiknya kita tidak membicarakan sedikitpun tentang mereka, karena masa mereka telah lewat.

 

Menurut ulama kami tentang Sahabat Zubair ra dan kawankawannya, termasuk juga Sahabat Mu’awiyah ra dan kawankawannya, mereka telah berpendapat sebaik mungkin, tetapi tindakan mereka keliru, karena itu mereka bisa dimaafkan. Pokoknya, ahli tauhid yang memerangi Sayyidina Ali ra dan ia masih mau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka ia termasuk seorang yang berbuat salah dan ia tidak boleh dikutuk atau dicaci maki.

 

Menurut kami, mereka bukan orang kafir yang boleh dikutuk, kecuali telah diketahui secara terang bahwa mereka mati dalam keadaan kafir. Siapapun yang mati dan ia bukan orang kafir, seperti iblis, maka ia tetap akan mendapat rahmat Allah swt, dan kita tidak boleh mengutuknya.

 

Adapun Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husein ra, keduanya adalah dua insan yang benar dan keduanya memenuhi syarat untuk dipilih sebagai khalifah bagi kaum muslimin. Adapun Sayyidina Hasan ra, ia telah dipilih oleh ahlil halli wal ‘agli, yang pernah memilih Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra sebagai khalifah pada waktu sebelumnya. Sayyidina Hasan ra dipilih sebagai khalifah setelah Sayyidina Ali ra telah terbunuh.

 

Ketika Sahabat Mu’awiyah ra datang dengan pasukannya untuk memeranginya dan ia pun datang dengan pasukannya dari penduduk Irak dan keduanya telah saling mendekat, maka Sayyidina Hasan ra melihat mereka dengan pandangan penuh kasih sayang demi untuk membenarkan ucapan kakeknya, yaitu Baginda Rasulillah saw:

 

“Kelak cucuku ini akan menjadi orang terkemuka. Aku berharap semoga Allah swt menjadikannya sebagai juru damai diantara dua kelompok Islam yang berperang.”

 

Ketika ia ingat sabda Baginda Nabi saw tersebut, maka ia rela melepaskan jabatannya sebagai khalifah dan ia segera membar’at Sahabat Muawaiyah ra sebagai khalifah, asalkan setelah Sayyidina Mu’awiyyah ra wafat, maka kursi kekhalifahan harus dikembalikan kepada kaum muslimin.

 

Tetapi Sayyidina Hasan ra wafat sebelum Sahabat Mu’awiyah ra. Kemudian Sahabat Mu’awiyah ra menurunkan kursi kekhalifahannya kepada Yazid, puteranya, dan kaum muslimin membai’atnya secara sukarela maupun secara paksa.

 

Sedang Sayyidina Husein ra, tidak mau berbai’at kepada Yazid. Pada waktu itu, kebetulan penduduk Irak menulis surat kepada Sayyidina Husin ra dan ia diminta datang ke Irak untuk dijadikan khalifah disana. Akhirnya Sayyidina Husein ra pun berangkat menuju Irak.

 

Ketika mengetahui keberangkatan Sayyidina Husein ra ke Irak, maka Yazid menulis surat kepada Ubaidillah Ibnu Ziyad untuk memerangi Sayyidina Husein ra dan rombongannya. Akhirnya Sayyidina Husein ra dan beberapa keluarga Nabi saw lainnya terbunuh oleh tentara Ubaidillah di Medan Karbala sebagai syahid.

 

Menurut kami, siapapun yang membunuh Sayidina Husein ra beserta keluarganya, termasuk juga yang menyuruhnya dan yang menolongnya, termasuk orang-orang fasik yang berbuat dosa, dan kelak Allah swt akan menghakimi mereka.

 

Menurut kami, Yazid tidak sama kedudukannya dengan Sayyidina Mu’awiyah ra. Sayyidina Mu’awiyah ra adalah seorang sahabat Nabi saw, ia tidak pernah meninggalkan amal-amal fardhu dan ia tidak pernah melanggar larangan Allah swt sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yazid.

 

Menurut kami, Yazid adalah seorang fasik yang tidak perlu diragukan kefasikannya, karena ia berani meninggalkan shalat, membunuh orang-orang yang tidak bersalah, berbuat zina dan minum arak. Maka perhitungannya kami serahkan sepenuhnya kepada Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Ghusyam az-Zaidi ra bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang yang mengucapkan bait-bait puisi yang romantis dengan suara yang merdu di masjidmu ini?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa mengucapkan bait-bait puisi yang romantis seperti itu, menurut kami tidak termasuk dalam kategori berdzikir. Akan tetapi dibolehkan melantunkannya, meskipun meninggalkannya lebih utama.

 

Diriwayatkan, pernah diucapkan bait-bait puisi dihadapan Rasulullah saw, bahkan beliau saw pernah memerintahkan orang untuk mengucapkan bait-bait puisi yang indah dihadapannya dan adakalanya beliau saw menirukan sebagian dari bait-bait puisi tersebut.

 

Diriwayatkan juga, Sahabat Hasan Ibnu Tsabit ra dan para penyair lainnya pernah mengucapkan bait-bait puisi dihadapan Baginda Nabi Muhammad saw di dalam masjid dan beliau saw sama sekali tidak melarangnya.

 

Meskipun ia tidak mengucapkannya dihadapan Baginda Rasulullah saw dengan alunan suara, tetapi perbuatan itu tidak pernah dilarang oleh beliau saw. Karena itu, menurut kami, melantunkan bait bait puisi yang indah di dalam masjid, tidak dilarang selama dalil-dalil pelarangannya dari al-Qur’an dan asSunnah tidak ada.

 

Para ‘arifin billah dan orang-orang baik yang ada di masa lalu, sengaja mengadakan majelis-majelis dzikir dan memasukkan tradisi mengucapkan bait-bait puisi yang indah yang dapat menggairahkan jiwa yang malas, agar gemar kembali beribadah dan mengikuti sunnahsunnah Nabi Muhammad saw.

 

Sebab, pada saat itu mereka melihat banyak dari kaumnya yang menurun semangat ibadahnya. Apalagi memperdengarkan bait-bait puisi yang indah dapat menyentuh hati seorang yang patah semangat dan hanya Allah swt yang Maha Mengetahui tentang niat mereka masing-masing.

 

Seorang yang mempunyai prasangka buruk, maka ia akan melihat yang baik menjadi buruk dan ia akan melihat yang buruk menjadi baik, sehingga ia tidak bisa berfikir secara normal.

 

Perlu diketahui, siapapun yang tidak mengerti kebenaran, maka ia wajib bertanya kepada yang mengerti. Apapun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka hal itu harus ditolak.

 

Perlu diketahui pula, apapun yang bertentangan dengan petunjuk kaum salafunasshalihin, maka ia adalah hal yang buruk yang harus ditinggalkan dan kebenaran cukup banyak jumlahnya. Kami mengetahui bahwa disana ada hal-hal yang diperbolehkan, tetapi ia tidak mempunyai nilai utama.

 

Hal-hal yang dibolehkan tidak sama dengan yang wajib. Kami cukup mengetahui bahwa tindak-tanduk dan jejak kami semuanya didasari petunjuk Allah swt, karena al-Qur’an serta asSunnah selalu kami jadikan pegangan.

 

Kami cukup mengerti tentang agama kami dan kami tidak ingin berbuat bid’ah dalam agama serta mengikuti kesesatan. Kami tidak pernah memutuskan masalah masalah dalam agama kami hanya dengan akal kami.

 

Kami menerima kebenaran agama kami dari yang membawanya dan kami mengembalikan keutamaannya kepadanya dan kami tidak pernah sombong serta tidak pernah taglid buta kepada orang lain.

 

Karena itu, fahamilah baik-baik keterangan kami ini. Sebab, tidak sebuah ucapanpun yang kami keluarkan, kecuali yang didasari al-qur’an, as-Sunnah dan pendapat orang-orang baik. Hanya saja, kami tidak ingin memperluas pembicaraannya, karena sebaik-baik ucapan adalah ucapan yang paling singkat dan yang paling berbobot, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia mendapat petunjuk dan siapapun yang disesatkan oleh Allah, maka sekalikali ia tidak akan mendapat seorangpun yang dapat memberinya petunjuk.”(Qs. al-Kahfi ayat: 17).

 

Nampaknya engkau termasuk seorang yang berpendirian kuat dengan pendapat suatu madzhab, sehingga engkau tidak dapat menerima pendapat orang lain, kecuali yang sesuai dengan madzhabmu dan engkau tidak mau melihat kebenaran yang lain kecuali yang ada pada madzhabmu.

 

Jika engkau termasuk seorang yang seperti itu, maka pendapat apapun tidak akan berguna bagimu. Jikalau engkau berpendapat bahwa pendapat madzhabmu adalah benar, maka ketahuilah bahwa kebenaran tidak terbatas pada pendapatmu saja, sehingga engkau akan menyalahkan dan menilai sesat orang-orang yang tidak sependapat dengan madzhabmu.

 

Sebaliknya, jika engkau tidak menganggap pendapatmu yang paling benar, maka pendapat apapun akan berguna bagimu, karena itu pertanyaanmu akan kami jawab.

 

Kami harap, janganlah engkau menilai bahwa di kota kami tidak ada orang-orang yang berilmu yang mampu membela kebenaran dengan lisannya dan dengan segala kemampuannya. Sebab, siapapun yang telah berusaha dengan sekuat tenaganya, maka ia tidak akan tercela.

 

Kami mengetahui bahwa engkau telah lama berada di kota kami dan engkau mengaku bahwa engkau mencintai kota kami dan penduduknya. Dan kini, saat kepergiaanmu telah dekat, karena itu janganlah engkau mempunyai prasangka yang buruk terhadap penduduk kota ini, sebagaimana yang engkau perkirakan pada saat ini.

 

Sebab, kami adalah keluarga Nabi saw yang telah disucikan oleh Allah swt. Allah swt mewajibkanmu dan seluruh umat Islam untuk menyayangi dan menyantuni kami. Allah swt akan memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapapun yang dikehendakinya. Kebenaran apapun yang ada padaku, datangnya hanya dari Allah swt. Hanya kepada-Nya kami pasrah diri dan hanya kepada-Nya pula kami kembali.

 

Segala puji bagi Allah swt yang telah mengenalkan kami pada agama Ini dan kami tidak akan mendapat petunjuk jika tidak diberi petunjuk oleh Allah swt. Sesungguhnya para Rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran. Maha Suci Engkau, kami tidak menengetahui apapun kecuali apa yang Engkau beritahukan kepada kami.

 

Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan kami Baginda Nabi Muhammad saw, berserta keluarga dan para sahabat beliau saw yang mulia. Jawaban ini selesai pada Hari Senin, Jumadil Awwal, Tahun 1072 H.

 

 

 

 

Ada seorang bertanya: “Tentang firman Allah swt sebagai berikut:

 

Artinya: Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. ‘Maka berkatalah ia: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah swt menjawabnya: Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka engkau melupakannya dan begitu pula pada hari ini kamupun dilupakan. (Qs. Thaahaa ayat: 124 – 126).”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa para ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan arti yang berbeda dengan maksud kandungan firman Allah swt tersebut. Tetapi kami mempunyai arti yang lebih jelas dengan pengertian yang sebenarnya, meskipun kami menerangkannya secara singkat.

 

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan firman Allah swt: ‘Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, adalah seorang yang mengingkari dan berpaling dari al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk-Nya, maka ia termasuk seorang yang menentang-Nya dan mengingkari-Nya.

 

Karena itu, ia akan diberi kesempitan dalam kehidupannya, maksudnya ia akan merasa miskin, meskipun ia sangat kaya, karena ia sangat rakus untuk memperoleh harta dan kesenangan duniawi.

 

Dan di alam kuburnya kelak ia akan mendapat siksa kubur, himpitan kubur, cambukan para malaikat dan cengkraman binatangbinatang buas kepadanya. Dan di akhirat kelak ia akan diberi makan kayu zaqum yang pahit dan minuman air panas yang mendidih secara terus-menerus.

 

Adapun firman Allah swt: “Dan ia akan dihimpun pada hari kiamat dalam keadaan buta” Maksudnya adalah pada waktu itu ia akan dihimpun dalam keadaan buta hatinya dan pandangannya.

 

Selanjutnya ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” maksudnya ia mengingkari kebutaan matanya di hari kiamat, ketika ia dihimpun di padang mahsyar, padahal dahulunya ketika di dunia ia dapat melihat.

 

Maka Allah swt menjawab kepadanya: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun engkaupun melupakannya dan begitu pula pada hari ini engkaupun dilupakan.”

 

 

 

 

Salah seorang bertanya kepada al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra: “Apa maksud penduduk Kota Ghail menyimpan kambing domba di rumah mereka, agar rumah mereka tidak didatangi setan, sampai pun kalau kambing tersebut hilang, maka mereka menggantikannya dengan yang lain.”

 

al-“Allamah al Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu tidak lain adalah perbuatan syirik dan perbuatan itu merupakan perbuatan dzalim yang besar, karenanya setan dan pasukannya dapat menguasai mereka.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt sebagai berikut:

 

Artinya: “Sesungguhnya engkau (setan) tidak dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutimu.”

 

Karena itu janganlah engkau melakukan perbuatan semacam itu dan jangan boleh orang-orang yang taat kepadamu melakukan perbuatan semacam itu. Hanya dengan berpegang teguh kepada ajaran Allah swt dan Rasul-Nya, sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya, seorang dapat terpelihara dari kejahatan setan, jin, dan manusia.

 

Diriwayatkan, bahwa Sahabat Abu Dujana al-Anshari ra pernah mengadu kepada Rasulullah saw tentang gangguan jin yang ada dirumahnya. Maka Rasulullah saw menuliskan sebuah tulisan buat Sahabat Abu Dujana ra. Ketika tulisan itu digantungkan dirumah Sahabat Abu Dujana ra, maka gangguan jin tersebut hilang.

 

Adapun tulisan yang aku kirimkan kepadamu, engkau boleh menggantungkannya di rumahmu, setelah engkau menyalinnya pada kertas yang lain, agar dapat disalin dan dimanfaatkan oleh orang lain. Itupun, asalkan engkau tidak meniru tradisi penduduk Kota Ghail.

 

Andaikata mereka pasrah diri kepada Allah swt dan senantiasa bersuci dari berbagai najis dan mau mendirikan shalat dengan baik, tentu setan dan jin tidak akan mengganggu mereka, karena setan sangat lemah tipu dayanya.

 

Adapun sebagian penyakit yang menimpa orang-orang yang beriman, merupakan ujian Allah swt bagi mereka, agar mereka mendapat pahala. Dan penyakit-penyakit itu akan menimpa juga kepada orang-orang yang suka mempercayai kekuatan jin dan setan, tetapi mereka tidak akan mendapat pahala. Bahkan mereka akan mendapat dosa, karena mereka mempunyai keyakinan yang buruk.

 

Karena itu, berpegang teguhlah kepada ajaran Allah swt dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dan janganlah mempunyai kepercayaan syirik, agar engkau mendapat berkah dari orang-orang shaleh yang ada.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang makna tata krama sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian kaum sufi.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan kaum sufi cukup banyak dan masing-masingnya saling berbeda. Setiap ucapan dari mereka terkait erat dengan pelakunya dan pengabdiannya kepada Allah swt masing-masing.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang salam bagi orang-orang shaleh yang diucapkan oleh seseorang yang sedang shalat dalam do’a tasyahudnya dan siapakah orang-orang shaleh itu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya orang-orang saleh mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah swt, diantara mereka adalah para nabi, seperti Nabi Allah Ibrahim as, Nabi Allah Isa as, Nabi Allah Yahya as, serta para nabi lainnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dibeberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hendaknya engkau mempelajari tentang kisah mereka.

 

Ketahuilah, jikalau seseorang sedang mengucapkan salam kepada orang-orang shaleh di dalam dua tasyahudnya, hendaknya ia membayangkan sosok pribadi Baginda Rasulullah saw, karena beliau saw adalah pemimpin orang-orang shaleh.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang membaca Surat as-Sajadah dan Surat al-Mulk yang biasa dibaca orang di dalam shalat sunnah setelah Shalat Isya.”

 

Apakah kedua surat itu cukup dibaca ketika hendak tidur?” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Kedua surat tersebut cukup dibaca apabila seseorang yang hendak tidur di malam hari.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang bacaan-bacaan yang biasa dibaca orang ketika ia hendak tidur. Apakah bacaan itu dibaca ketika bersiap-siap hendak tidur ataukah ketika ia sudah berbaring di atas tempat tidurnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa semua bacaan yang biasa dibaca orang ketika hendak tidur, boleh dibaca ketika ia hendak bersiap-siap untuk tidur dan ada sebagian diantaranya yang harus dibaca ketika ia sudah berbaring di tempat pembaringannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadis Nabi saw tentang bacaan-bacaan sebelum tidur.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang musabba’at apakah dapat dibaca pada waktu waktu yang lain?

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Boleh dan lebih utama, khususnya jika dibaca setelah matahari terbit atau setelah matahari terbenam, sebagaimana wiridwirid lainnya yang telah ditentukan waktu-waktu pembacaannya.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang bolehkah seorang menghadiri majelis lagu-lagu yang di dalamnya ada bunyi-bunyian gendang dan seruling?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menghadiri majelis lagu-lagu yang di dalamnya ada bunyi bunyian gendang dan seruling termasuk masalah yang perlu dikhawatirkan, kecuali jika dihadiri juga oleh sejumlah orang-orang yang shaleh.

 

Karena itu, jauhilah sedapat mungkin majelis-majelis seperti itu. Dan tentang masalah ini masih perlu dibicarakan lebih luas, khususnya al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah membicarakannya secara luas dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang seorang yang lebih condong untuk mempelajari ilmu lahir dari pada ilmu batin.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Seorang yang lebih condong mempelajari ilmu lahir daripada ilmu batin, maka ketahuilah bahwa ia termasuk seorang yang terkena rayuan nafsu dan setan. Sedangkan seorang yang mengatakan bahwa ilmu lahir lebih dibutuhkan dari ilmu batin adalah ucapan yang salah. Ketahuilah, bahwa sebenarnya yang lebih dibutuhkan adalah ilmu batin.

 

Jika batin seorang kosong dari ilmu batin, maka imannya terancam, demikian pula jika seorang yang tidak mengerti ilmu lahir, maka ia dicela oleh Islam. Karena itu, ilmu lahir dan batin harus dimiliki oleh setiap orang. Tetapi ilmu batin yang harus lebih diutamakan.

 

Hendaknya setiap orang berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan ilmu lahir dan ilmu batin secara bersamaan. Dan sebaiknya, seorang mempelajari lebih banyak salah satu dari keduanya yang dianggap lebih dibutuhkan olehnya.

 

Untuk membicarakan masalah ini diperlukan pembicaraan yang lebih luas. Andaikata aku diberi kesempatan untuk membicarakan masalah kedua ilmu tersebut secara terpisah, pasti hasilnya sangat dibutuhkan. Akan tetapi para ulama tidak banyak yang membicarakannya.

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang awal isi suratnya: Dari si fulan kepada si fulan.” Bagaimanakah hukumnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya apa yang engkau tulis di awal suratmu: “Dari fulan kepada si fulan” merupakan perbuatan sunnah dan penuh etika. Perbuatan semacam itu biasa dilakukan oleh kaum salafunsshalihin, karena itu tetaplah engkau melakukannya.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Bagaimanakah hukumnya seseorang yang membaca sebagian wiridnya sambil berjalan?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Tidak mengapa seorang yang melakukan hal itu, asalkan hatinya tetap konsentrasi, sebagaimana ketika ia membacanya sambil duduk. Pendapat ini pernah dibicarakan panjang lebar oleh para ulama tentang masalah membaca al-Qur’an dan berdzikir.”

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra bertanya: “Tentang urutan hizib-hizib yang disusun oleh al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Sebaiknya engkau membaca Hizib al-Bahr di waktu pagi dan Hizib al-Nashr di waktu Ashar. Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh al-Imam al-Habib Husein BalFaqih ra.

 

Akan tetapi lebih baik mendahulukan bacaan-bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah saw pada waktu waktu itu, misalnya, jika engkau hendak membaca Hizib al-Bahr pada waktu Ashar, maka sebaiknya engkau baca kalimat-kalimat tasbih, tahmid dan takbir lebih dahulu dari pada membaca Hizib al-Bahr, karena waktunya bersamaan.

 

Hendaknya engkau membaca wirid-wirid kaum sufi yang dapat engkau fahami ataupun tidak. Sebab membacanya saja akan mendapat berkah dan kebaikan. Adapun hizib-hizib al-Imam asy-Syeikh asy-Syadzili ra yang perlu engkau baca hanya dua hizib tersebut, adapun memperbanyak do’a-do’a dan dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw lebih utama dan lebih sempurna bagimu.

 

Adapun jika di dalamnya ada kalimat-kalimat yang tidak dimengerti oleh si pembaca, maka janganlah ia merisaukannya, sebaiknya ia meresapi kalimat-kalimat yang dapat ia mengerti saja.

 

Adapun tambahan yang engkau ucapkan dalam ucapan: “Radhiitu Billaahi Rabban Wa Bil Islaami Diinaa Wa Bi Muhammadin Nabiyyan Wa Rasuulaa.” Ketahuilah bahwasannya hukumnya tidak mengapa karena hal itu ada dasarnya.”

 

 

 

 

al-Habib Abdullah bin Aqil al-Alawi ra bertanya: “Apakah arti melihat Allah swt di dalam bait-bait puisi berikut: “Jika engkau tidak dapat melihat Allah swt dalam segala ciptaan-Nya yang amat menakjubkan ini, pastilah engkau tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: Jikalau engkau tidak dapat melihat Allah swt dalam segala ciptaan-Nya yang amat menakjubkan ini, pastilah engkau tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.” Sebenarnya pertanyaanmu tentang makna bait-bait diatas cukup jelas dan tidak ada yang misteri.

 

Sebab makna ru’yah dalam bait tersebut mempunyai arti melihat, yaitu melihat dengan mata hati, tetapi ada kemungkinan yang dimaksud melihat dalam bait tersebut, adalah melihat dengan mata kesaksian dan mata batin.

 

Demikianlah pengertian hadis yang menyatakan bahwa orang-orang yang beriman akan diberi kesempatan melihat Tuhannya ketika mercka telah berada di dalam surga. Maksudnya, meskipun mereka melihat dengan pandangan mata biasa, namun sebenarnya mereka melihat dengan pandangan mata batin.

 

Adapun bait kedua mengisyaratkan bahwa semua alam semesta adalah milik Allah swt. Akan tetapi Allah swt memberi kewenangan kepada hamba-hamba-Nya yang terdekat untuk menundukkan alam semesta dengan seizin-Nya. Perlu diketahui bahwa Allah swt Maha Suci dari sifat-sifat yang dimiliki makhlukNya. Masalah ini telah disepakati oleh syari’at dan hakekat.

 

Diantara hamba-hamba Allah swt yang dekat dengan-Nya, ada yang diberi wewenang untuk menundukkan alam semesta dengan izinNya. Diantara mereka ada yang masih dapat mengendalikan dirinya, tetapi adapula yang selalu fana, sehingga ia lupa dari dirinya dan dari alam sekitarnya kepada yang selain Allah swt.”

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi ra bertanya: “Tentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa penyiksaan terhadap orang-orang kafir di dalam api neraka akan bersifat abadi dan kekal.

 

Padahal ada sebuah hadis dari al-Imam Ahmad ra dari Sayyidina Ibnu Umar ra yang menyatakan bahwa kelak akan tiba suatu saat ketika pintu-pintu Neraka Jahannam dibuka, tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang masih ada di dalamnya, yang sedemikian itu setelah berlangsung beberapa puluh tahun lamanya.

 

Dan hadis seperti itu disampaikan oleh beberapa sumber dari Sahabat Ibnu Mas’ud ra dan Abu Hurairah ra. Sedangkan Ibnu Taimiyah ra pernah menyampaikan pula hadis seperti itu dari sekelompok sahabat dan dari sumber-sumber yang lain. Oleh karena itu, kiranya bagaimanakah penafsirannya menurut Anda?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa berita-berita tentang dibebaskannya orang-orang kafir dari siksa api neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang engkau tanyakan kepadaku cukup banyak dan semuanya telah dijawab oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

 

Sebab hadis tersebut, meskipun dinilai sebagai hadis shahih oleh sebagian orang, tetapi hadis semacam itu tidak dapat dijadikan dalil, karena cukup banyak dalil-dalil dari al-Qur’an maupun dari hadis-hadis mutawatir yang menyatakan bahwa orang-orang kafir akan kekal abadi di api Neraka Jahannam.

 

Aku lihat ada sebagian ulama yang berusaha mendekatkan dua masalah yang saling bertentangan itu dan mereka mengatakan bahwa di dalam neraka ada tujuh tingkatan. Adapun tingkatan yang paling atas adalah Neraka Jahannam. Kelak orang-orang beriman yang banyak dosanya akan ditempatkan di Neraka Jahannam, kemudian mereka akan dikeluarkan dari sana sebagian demi sebagian menurut kadar dosa-dosa mereka masing masing, sehingga Neraka Jahannam akan kosong.

 

Nampaknya pengertian ini adalah hasil penggabungan antara dua keterangan yang saling berbeda. Tetapi aku tidak berani menerimanya, sebab disana masih ada masalah-masalah yang perlu dibicarakan lebih lanjut, karena dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maupun dari kesepakatan kaum ulama terdahulu yang menyatakan bahwa orang-orang kafir akan kekal abadi di dalam api neraka.

 

Ketahuilah bahwa seseorang yang makin mendalami sumbersumber agama, maka ia akan mendapati berbagai masalah pelik yang seperti itu. Tidak ada yang akan selamat dari mendapati masalahmasalah seperti itu, selain orang-orang yang mempunyai pandangan yang cemerlang dan hati yang sehat serta keyakinannya kuat dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jama’ah.

 

Kamipun pernah mendapati masalah-masalah pelik yang membingungkan seperti itu. Akan tetapi Allah swt menyelamatkan kami dari masalah-masalah yang membingungkan tersebut. Tentang masalah yang engkau tanyakan, terutama yang bersumber dari para ahli tasawuf dan masalah-masalah lain yang sepertinya, sebenarnya pernah kami terangkan secara panjang lebar.

 

al-Imam asy-Syeikh Ibnu Hajar ra telah membicarakan masalah-masalah itu di dalam Kitab az-Zawajir. Di dalam kitab tersebut akan engkau dapati berbagai masalah yang pelik, kecuali bagi seorang yang mempunyai hati dan akal yang waras.

 

 

 

 

asy-Syeikh as-Sufi Abdullah bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang tidak pernah mendengar dakwah Islam, sedangkan ia banyak berbuat amal kebajikan sebagaimana yang diajarkan oleh syari’at Islam. Apakah ia akan mendapatkan pahala berupa surga atau bagaimana pendapatmu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, tentang orang-orang yang belum pernah menerima dakwah Islam yang ada diantara masa para nabi atau yang ada di pelosok bumi yang cukup jauh yang mana dakwah Islam belum pernah sampai kepada penduduknya, maka para ulama mempunyai berbagai pendapat.

 

Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang belum pernah mendengar suara seruan dakwah Islam mereka akan disiksa, karena mereka tidak mengesakan Allah swt dan Allah swt tidak akan memberi ampun bagi mereka yang menyekutukan-Nya.

 

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa orangorang yang bclum pernah mendengar suara seruan dakwah Islam, mereka tidak akan disiksa dan mereka tidak akan dituntut oleh Allah swt. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Dan Kami tidak akan menyiksa mereka, sampai setelah Kami mengutus seorang Rasul.”

 

Diantara para ulama ada yang berpendapat, mereka tergantung kepada Allah swt. Sebab dalil-dalil yang menerangkan tentang kedua pendapat tersebut, baik dalil naglinya maupun dalil akal, nampaknya saling bertentangan walaupun pada hakekatnya tidak ada yang bertentangan.

 

Adapun seorang yang belum pernah mendengar seruan dakwah Islam. Akan tetapi ia percaya kepada Allah swt dan ia melaksanakan berbagai amal kebajikan yang diajarkan oleh Rasulullah saw berdasarkan ilham dan petunjuk yang diterimanya dari Allah swt, maka hal itu tidak mustahil bisa terjadi walaupun kami belum pernah mendengar kejadiannya.

 

Menurut kami, keadaannya lebih baik dari seseorang yang tidak percaya dan tidak pernah mengamalkan amal-amal kebajikan menurut syari’at Islam. Menurut sebagian ulama, orang semacam itu akan diberi rahmat dan tidak akan disiksa.

 

Diantara mereka yang berpendapat seperti itu adalah alImam Hujjatul Islam al-Ghazali ra, sebagaimana yang disebutkan dalam bab at-Tafrigah batnal Kufur Wa az-Zandayah, dalam Kitab Ihya’ “Ullumuddin. Tetapi Allah swt Maha Mengetahui tentang masalah mereka.

 

Seorang yang takut kepada Allah swt ketika melihat masalah-masalah seperti ini, maka ia tidak akan mengeluarkan pendapatnya secara pasti, kecuali jika ada dalil yang jelas dari syariat. Sebab orang-orang semacam itu termasuk perkecualian. Maka perhatikan baik-baik apa yang kami terangkan kepadamu di atas. Sebab keterangan kami diatas sudah cukup jelas.

 

 

 

 

al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi ra bertanya: “Jika seorang murid terkait erat dengan seorang syeikh mursyidnya dan ia tidak mengetahui apa-apa. Dapatkah kedudukannya terus meningkat dengan perantara syeikh mursyidnya itu? Andaikata hal itu memang terjadi, apakah kecintaannya itu menyebabkan ia naik kedudukannya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Memang benar, seorang murid dapat naik kedudukannya karena ia mencintai dan menghormati syeikh mursyidnya, baik ia mengetahuinya ataupun tidak. Yang jelas, kecintaannya dan penghormatannya kepada syeikh mursyidnya lebih dapat menaikkan kedudukannya, kesungguhannya dan banyaknya amal-amal kebajikan.

 

Tetapi jika kecintaannya kepada syeikh mursyidnya dan kesungguhannya dalam amal-amal kebajikan menyatu, maka kedudukannya akan lebih cepat meningkat dan ia akan menerima manfaat lebih banyak lagi.

 

Pokoknya, tidak ada yang lebih dapat meningkatkan kedudukan seorang murid lebih dari kecintaannya dan prasangka baiknya terhadap syeikh mursyidnya, meskipun kesungguhannya dan amal-amal kebajikannya tidak banyak. Jika sebaliknya, maka hasilnya pun akan sebaliknya.

 

Sebenarnya untuk membicarakan masalah ini lebih luas serta diperlukan kesempatan yang cukup luas. Namun apa yang kami terangkan cukup jelas dan dapat difahami, maka pahamilah baik-baik penjelasan kami ini,”

 

 

 

al-Habib Abdullah bin Muhammad al-Musawa ra bertanya: “Tentang mengajar anak-anak kecil.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya mengajar anak-anak kecil termasuk perbuatan yang diperlukan dan dipuji menurut syariat. Asalkan mengajari mereka ilmu yang benar dan dengan hati yang ikhlas.

 

Arti ilmu adalah segala sesuatu yang engkau ketahui dan itulah yang harus engkau ajarkan. Jika engkau tidak mengetahuinya, maka engkau tidak boleh mengajarkannya, karena Allah swt tidak memaksamu melakukan sesuatu yang tidak bisa engkau lakukan. Sebab seorang yang membicarakan sesuatu yang tidak ia ketahui, maka dosanya lebih besar dari seorang yang tidak membicarakan sesuatu yang ia ketahui.

 

Adapun membaca kitab-kitab karya tulis al-Imam Hujjtul Islam al-Ghazali ra yang engkau katakan bahwa engkau telah membacanya sedikit, maka jumlah yang engkau baca sudah cukup untuk engkau ajarkan kepada orang lain, karena di dalamnya terdapat nasehat-nasehat yang sangat baik dan menyentuh hati.

 

Ketahuilah bahwa semua karya tulis al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra akan memberi cahaya bagi hati yang gelap, memberikan keberkahan, kemanfaatan, dan penuh dengan rahasia Ilahi. Semua karyanya memberi nasehat-nasehat yang cukup mengena dari kitab-kitab yang lainnya, khususnya Kitab Ihya” Ullumuddin, al-‘Arba’in, ataupun al-Mihaj al“Abidin. Semoga Allah swt memberi manfaat bagi kami dan bagi kalian semua.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang apakah batasan ash-shiddigiyah dan ash-shiddig?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya ash-shiddig adalah seorang yang berharap mencapai berbagai tingkatan ash-Shiddiq dan kedudukan para shiddig adalah paling sempurna.

 

Seorang yang Shiddiq adalah seorang yang memiliki sifat Shiddiq dan ia menduduki peringkat Shiddiq dengan kokoh. Ia ibarat seorang mukmin yang sempurna keimanan serta keyakinannya dan ia bersungguh-sungguh dalam amal kebajikan serta dakwahnya, sesuai dengan tutur kata dan perbuatannya.

 

Yang menduduki tingkatan ini berbeda-beda kedudukannya, mulai dari yang sempurna, sampai yang paling sempurna, sampai mencapai awal peringkat kenabian. Dan apakah diantara peringkat kenabian dan peringkat ash-shiddigiyah ada peringkat yang lain?

 

Tentang masalah ini banyak yang berpendapat. Diantaranya adalah al-Imam asy-Syeikh Muhammad Ibnu Arabi ra, penulis Kitab al-Futuhat. Beliau ra menyebutkan bahwa diantara peringkat kenabian dengan peringkat ash-shiddigiyah ada peringkat al-gurba.

 

Tentang masalah ini, ia pernah menerangkannya dalam karya tulisnya yang cukup menarik. Kami pernah mendengar isinya, ketika asy-Syeikh Yusuf al-Jawi ra membacakannya kepada kami. Ketahuilah bahwasannya ia adalah sahabat karib kami dan ia adalah seorang ahli ilmu tasawuf.

 

Menurut kami, antara peringkat ash-shiddigiyah tidak ada peringkat tersendiri. Peringkat al-gurba yang disebutkan oleh alImam asy-Syeikh Ibnu Arabi ra merupakan peringkat ashShiddigiyah yang paling tinggi. Peringkat ini merupakan peringkat yang paling istimewa. Dan Nabi kita telah mencapai peringkat ini, Sehingga beliau saw mengungguli kedudukan para nabi dan rasul lainnya.

 

al-Imam asy-Sycikh Ibnu Arabi ra berkata: “Diantara yang menduduki peringkat al-gurba adalah Nabi Allah Khidir as. Peringkat ini merupakan peringkat ash-shiddigiyah yang paling tinggi, akan tetapi magam ini lebih rendah dari peringkat kenabian. Selain Nabi Allah Khidir as, yang berada di peringkat ini adalah Raja Dzulqarnain ra dan Siti Maryam ra.”

 

Masalah peringkat al-gurba nampaknya pernah dibicarakan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dan para ahli hakekat lainnya. Masalah ini dapat dimengerti bagi yang pernah membaca Kitab al-‘4rbain, karya al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra.

 

Bahkan al-Imam asy-Syeikh Ibnu Arabi ra pernah menyebut al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra tentang masalah ini: “Adakalanya peringkat al-gurba tidak diketahui oleh sebagian ahli hakekat, diantaranya adalah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra, ia tidak pernah menyebut peringkat al-gurba yang ada diantara peringkat kenabian dan peringkat ash-shiddiqiyah, nampaknya itulah yang kami mengerti.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya tentang: “Apakah peringkat tersebut bersifat umum sebagaimana peringkat-peringkat yang lainnya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ya, hal itu bersifat umum untuk keseluruhannya. Adakalanya seorang yang menduduki peringkat tamkin, yaitu peringkat yang bukan peringkatnya, misalnya ia cocok berada di peringkat ikhlas dan zuhud, serta ia tidak cocok berada di peringkat tawakkal dan mahabbah.

 

Jika ia diberi kesempatan untuk menduduki semua peringkat, maka ia benar-benar seorang senior yang berhak menempati semua peringkat. Tamkin adalah kemantapan seseorang yang menempati suatu peringkat, sehingga ia tidak tergoyahkan oleh keadaan apapun.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang serendah-rendah dan setinggi-tinggi keyakinan seorang shiddig dan shadig.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Sebenarnya pertanyaan semacam ini tidak pantas untuk dipertanyakan, karena para shiddig merupakan orang-orang yang telah sempurna keyakinannya. Tetapi yang jelas, keyakinan seorang shiddig lebih sempurna dari keyakinan seorang shadig.

 

Dan keyakinan seorang shadig saling berbeda dengan keyakinan para shadig yang lain. Hal ini sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Tentang keyakinan mereka tidak perlu dipertanyakan, yang perlu dipertanyakan hanyalah keyakinan kaum mukmin yang awam.

 

Masalah ini pernah kami terangkan di dalam buku kami arRisalah al-Mu’awanah, di dalamnya dapat engkau lihat pembahasan kami tentang masalah ini. Keyakinan para shiddig yang kami tuliskan adalah ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra: “Andaikata tabir telah dibuka, tetapi keyakinanku tidak bertambah.”

 

Yang dimaksud tabir disini adalah batas yang memisahkan antara seorang dari Tuhannya. Akan tetapi, Allah swt mempertipis dan memperlembut tabir pemisah tersebut, hingga para ahli kasyaf merasa tidak ada tabir pemisah antara mereka dengan Allah swt.

 

Padahal sebenarnya, selama mereka masih ada di dunia, pasti harus ada tabir pemisah antara mereka dan Tuhannya, walaupun hanya berbentuk tubuh yang kasar bagi para ahli kasyaf, maka hal itu termasuk tabir pemisah.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Apakah didalam peringkat shiddigiyah ada kesenangan untuk nafsu disetiap peringkatnya atau di dalam sebagiannya?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ya, hal itu akan diberi kesenangan dan ketenangan, akan tetapi tidak sama dengan kesenangan dunia. Sebab pada waktu itu, nafsu sudah tidak lagi memerlukan kesenangan dunia.

 

Seorang yang telah mencapai peringkat ash-shiddigiyah, maka nafsunya telah menjadi nafsu mutmainnnah, yaitu nafsu yang sudah tidak ingin menikmati kesenangan dunia apapun bentuknya. Nafsu semacam itu, tidak berbeda dengan nafsu para penghuni surga.

 

Seorang yang mempunyai nafsu seperti itu, hanya memikirkan Dzat Allah swt dan sama sekali tidak memikirkan yang lainnya lagi. Apalagi kalau ia termasuk seorang yang fana disisi-Nya.

 

Tentang masalah ini, engkau dapat meresapinya dalam ucapan al-Imam asy-Syeikh Ibnu Atha’llah ra, dibagian akhir Kitab al-Hikam: “Jikalau para shiddig turun diperingkat kesenangan dunia.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi bertanya:

 

“Apakah para shiddig telah keluar dari kawasan quthub alghauts, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli hakekat ataukah mereka masih berada di dalam kawasan itu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya kami pernah memberikan jawabannya secara panjang lebar sesuai dengan masa dan tempatnya. Akan tetapi perlu kami jelaskan pula bahwa Allah swt mempunyai rahasia tersendiri bagi sebagian hamba-Nya, hanya Allah swt lah yang Maha Mengetahui keadaan mereka.

 

Ketika Allah swt memberi mereka sebagian rahasia-Nya, maka mereka merasa bahwa segala rahasia Allah swt telah diberitahukan kepada mereka, sehingga mereka merasa bahwa tidak ada rahasia lain yang belum mereka ketahui.

 

Ada pula sebagian orang yang diberitahu lebih banyak tentang rahasia-rahasia Allah swt, namun ia merasa bahwa masih ada rahasia lainnya yang belum mereka ketahui. Hal itu sesuai dengan firman Allah swt:

 

Artinya: “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. al-Bagarah ayat: 252).

 

Dalam ayat lainnya, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit.”

 

Quthub al-ghauts adalah pimpinan para wali yang diberi wewenang untuk menundukkan alam semesta. Menurut keterangan yang dihimpun oleh ulama yang spesialis dibidangnya, jumlah mereka tidak banyak. Andaikata Allah swt memberitahu mereka bahwa Allah swt mempunyai wali-wali selain mereka, tentunya akan tercengang.

 

Andaikata mereka benar-benar termasuk wali quthub dan mereka diberi kasyaf, maka kami tidak akan mengingkarinya. Sebab kerajaan dan kekuasaan Allah swt sangatlah luas dan rahasia-Nya Cukuplah banyak.

 

Dan kami tidak mudah percaya kepada siapapun yang mengatakan bahwa ia termasuk seorang wali qutub al-ghaust, kecuali jika ada seorang wali yang sama yang menyatakan bahwa ucapan orang itu benar. Jika ada seorang wali dan tanda-tanda kewaliannya dikenal oleh para ahlinya, maka orang lain tidak dapat mengingkarinya.

 

Adapun ucapanmu tentang fana dan baga,” ketahuilah bahwa pernyataan seperti itu dapat juga keluar dari sebagian orang yang tidak pernah fana atau baga,” mungkin mereka hanya mendengar ucapan tersebut dari sebagian orang, lalu mereka membayangkan dan merasakannya, kemudian mereka mengaku telah fana dan baga.”

 

Hal itu bisa saja terjadi karena ja tidak dapat membedakan antara fana dan baga’ yang sebenarnya. Dengan fana dan baga’ yang masih bersifat pengetahuan dan perasaan. Adapun pertanyaanma tentang apakah fana dari wujud atau fana dari kesaksian, demikian pula baga.’

 

Ketahuilah, tentang masalah itu pernah kami terangkan secara terperinci. Dari sanalah kemudian sebagian orang ada yang fana dari wujud dan ada pula yang dari kesaksian, demikian pula baga,’ sebagian ada yang baga’ dalam kesaksian dan adapula yang baya’ dalam wujud.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang siapakah yang menyuruhmu untuk menyusun kitab ini? Dari siapakah engkau memperoleh ilmu tentang masalah ini?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya kami telah bertemu dan telah menerima ilmu dari sejumlah guru-guru besar dan imam terkemuka dari keluarga al-Ba’alawi, maupun dari ulama-ulama lainnya yang kami temui di Kota Tarim, maupun di kota manapun di wilayah Lembah Hadhramaut.

 

Baik yang kami temui selama dalam perjalanan kami untuk menunaikan ibadah haji di Kota Makkah dan Madinah, maupun di Negeri Yaman, yang andaikata kami sebutkan satu persatu nama nama mereka, jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang, diantara mereka ada yang tergolong dalam kelompok ‘alim, maupun arif billah, maupun orang shaleh.

 

Ketahuilah, kami menerima ilmu lahir dari sejumlah guru-guru yang ahli dan kami mendalaminya baik-baik pada waktunya. Kemudian kami mempelajari ilmu tarekat dari sejumlah guru-guru yang ahli, baik yang terkenal maupun yang tidak, mereka adalah para wali yang dekat dengan Allah swt.

 

Diantara guru-guru ahli tarekat yang terkenal adalah guru kami al-Imam al-Habib Aqil bin Abdurrahman bin Muhammad bin Aqil Assegaf al-Ba’lawi ra. Kami berulang kali mengunjunginya, kami menerima ilmu yang cukup banyak dari beliau ra, sampai pada akhirnya beliau ra memberi khirgah dan beliau ra berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang pantas menerima khirgahku ini selainmu.”

 

Selain itu, kami pernah berguru pula dari al-Imam al-Habib Abubakar bin al-Imam Abdurrahman bin Syihab ra dan dari alImam al-Habib Abdurrahman bin Syeikh Maula Aidid ra dan dari putera beliau ra, al-Imam al-Habib Syeikh bin Abdurrahman ra dan dari al-Imam al-Habib Umar bin Ahmad al-Hadi bin Syihab ra.

 

Serta dari al-Imam al-Habib Sahl bin Muhammad Bahasan bin Abdurrahman al-Attas ra, seorang ulama yang berada di Kota Huraidhah. Kami sempat bertemu berulangkali dengan beliau ra, sehingga kami menerima ijazah tarekat dzikir, berjabat tangan dan diberi pemberian khirgah dari beliau ra.

 

Selain itu, kami juga sempat bergurau kepada al-Imam alHabib Muhammad bin Alwi Ba’lawi ra, yang berada di Kota Makkah. Dengan beliau ra, kami hanya sempat berguru lewat suratmenyurat dan kami tidak pernah bertemu dengan beliau ra secara lahir. Beliau ra sempat memberi pakaian khirqah untuk kami, itupun lewat surat-menyurat juga.

 

Adapun tentang isnad dzikir yang pernah kami terima, sebaiknya kami sebutkan sedikit saja dan yang terdekat masanya. Kami mulai dari al-Imam al-Habib Muhammad bin Alwi Ba’alawi ra yang telah kami sebutkan diatas. Kami telah menerima pakaian khirgah dan ijazah dari beliau ra.

 

Sedangkan beliau ra menerimanya dari al-Imam asy-Syeikh Abdullah bin Ali Shahib al-Wahid.Sedangkan beliau ra menerimanya dari al-lmam al-Habib Syeikh bin Abdullah al-Aydrus ra, penulis Kitab al-‘Igdun an-Nabawi dan dari al-Imam al-Habib Umar bin Abdullah al-Aydrus ra, beliau wafat di Kota Aden.

 

Adapun al-Imam al-Habib Syeikh bin Abdillah al-Aydrus ra pernah menerima pakaian khirgah dari ayah beliau sendiri, al-Imam al-Habib Abdullah bin Syeikh al-Aydrus ra. Sedangkan al-Imam alHabib Abdullah bin Syeikh ra pernah menerima pakaian khirgah dari pamannya, al-Imam al-Habib Abubakar bin bin Syeikh bin Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra.

 

Adapun al-Habib Umar ibnu Abdullah al-Aydrus ra pernah menerima pakaian khirqah dari ayahnya sendiri dan ayahnya pernah menerima pakaian khirgah dari ayahnya pula, yaitu al-Imam al-Habib Alwi bin Syeikh bin Abdullah al-Aydrus ra.

 

Dan beliau ra menerima pakaian khirgah dari saudaranya sendiri, yaitu al-Imam al-Habib Syeikh bin Abubakar bin Abdullah al-Aydrus ra, yang berada di Kota Aden. Sehingga isnad al-Imam alHabib Syeikh bin Abdullah ra dan isnad al-Imam al-Habib Umar bin Abdullah ra berasal dari satu sumber, yaitu al-Imam al-Habib Abubakar bin Syeikh bin Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra.

 

Adapun al-Imam Outbul Anfas al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas ra, menerima pakaian khirgah dari al-Imam al-Husein bin al-Imam asy-Syeikh Abubakar bin Salim ra. Sedangkan al-Imam al-Habib Husein menerima pakaian khirgah dari ayahnya sendiri, yaitu al-Imam asy-Syeikh Abubakar bin Salim ra.

 

Sedangkan al-Imam al-Habib Syeikh Abubakar bin Salim ra menerima pakaian Ahirgah dari al-Imam asy-Syeikh Umar bin Muhammad Basyaiban ra. Sedangkan al-Imam asy-Syeikh Umar Basyaiban menerimanya dari al-Imam asy-Syeikh Abdurrahman bin Syeikh Ali bin Abubakar ra. Sedangkan beliau ra menerimanya dari ayahnya, yaitu al-Imam al-Habib Ali bin Abubakar ra yang namanya telah kami sebutkan diatas.

 

Adapun al-Imam al-Habib Aqil bin Abdurrahman ra yang namanya telah kami sebutkan diatas, telah menerima pakaian khirgah dari ayahnya sendiri, yaitu al-Imam al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Aqil ra. Sedangkan al-Imam al-Habib Abdurrahman ra menerima pakaian khirgah dari al-Imam al-Habib Ahmad bin Alwi Bajahdab ra. Sedangkan beliau ra menerima pakaian khirgah dari alImam al-Habib Umar bin Muhammad Basyaiban ra yang namanya telah kami sebutkan diatas.

 

Adapun al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Aydrus Shahib Aden menerima pakaian khirgah dari ayahnya sendiri, yaitu al-Habib Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra dan dari pamannya sendiri, yaitu al-Imam Ali bin Abubakar al-Aydrus ra dan beliau ra berdua menerimanya dari ayahnya, yaitu al-Imam asy-Syeikh Abubakar as-Sakran bin al-Imam al-Habib Abdurrahman Assegaf bin al-Imam al-Habib Muhammad Mauladdawilah ra dan dari pamannya a-Imam asy-Syeikh Umar al-Muhdhor bin al-Imam alHabib Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mualaddawilah ra.

 

Adapun al-Imam al-Habib Umar bin Muhammad Basyaiban ra yang namanya telah kami sebutkan diatas, pernah menerima pakaian khirgah dari al-Imam al-Habib Abdurrahman bin Ali ra dan beliau ra menerima pakian khirgah dari ayahnya, yaitu al-Imam alHabib Ali ra dan dari pamannya, yaitu al-Imam al-Habib Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra dan kami pun menerima khirgah dari beliau ra.

 

Jika engkau ingin mengetahui lebih luas tentang sanad dzikir yang kami miliki, engkau dapat membacanya di dalam Kitab al-Barqah, karya al-Imam al-Habib Ali bin Abubakar ra. Kitab tersebut sengaja ditulis untuk menerangkan sanad-sanad tentang pemakaian pakaian hirqah dan sanad Tharigah al-Ba’lawi.

 

Selain itu, engkau dapat membacanya dalam kitab al-Juz’ul al-Latuf Fit at-Tahkimmi asy-Syariif, karya tulis al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Aydrus ra. Dalam buku itu, beliau ra menyebutkan sejumlah sanad Thariqah Ba’lawi.

 

Disana masih ada sejumlah sanad yang kembalinya sampai Sayidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’lawi ra dan kepada Sayyidina al-Imam asy-Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir bin Abu Shaleh al-Jilli ra serta kepada sejumlah masyaikh yang kami sebutkan namanya di dalam Kitab al-Bargah, karya tulis al-Imam al-Habib Ali bin Abubakar al-Aydrus ra dan di dalam kitab al-Juz’ul al-Lathis, karya tulis al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Aydrus ra.”

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya tentang: “Apakah segala sesuatu yang berlawanan dapat terhimpun dalam satu keadaan?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pertanyaan yang sepantasnya tidak akan berbeda dengan jawabannya. Dan ketahuilah pula bahwa syari’at adalah sumber semua dalil dalam agama. Sedangkan hakekat adalah buah pengamalannya, yaitu pengamalan menurut petunjuk sunnah Nabi Muhammad saw yang telah ditempuh oleh para ‘arifin billah yang telah sampai kepada Allah swt.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh al-Ahdhar ra kepada muridnya, asy-Syeikh Umar bin Abdillah Bamakhramah ra: “Aku memberimu ijazah berbagai ilmu yang pernah diketahui oleh para nabi dan para malaikat yang terdekat di sisi Allah swt.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan asy-Syeikh al-Ahdhar ra itu benar dan dapat dipahami dari segi artinya. Akan tetapi bentuknya sulit dimengerti oleh kaum awam. Karena isinya bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Dan sumber isnadnya hingga sampai asy-Syeikh al-Ahdhar ra masih perlu diselidiki kebenarannya.

 

Kemudian, jika ucapan itu benar-benar diucapkan oleh asySyeikh al-Ahdhar ra, maka kita masih perlu memikirkan cara pemecahannya. Engkau mengetahui bahwa Nabi Allah Musa as dan Nabi Allah Khidhir as yang kisahnya disebutkan dalam al-Qur’an. Dapat dimengerti bahwa Nabi Allah Musa as lebih tinggi dan lebih utama dari Nabi Allah Khidhir as. Ada sebagian yang mengatakan bahwa Khidhir as adalah seorang wali, tetapi banyak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi.

 

Dalam kisah itu disebutkan bahwa Khidhir as diberi pengetahuan yang tidak pernah diberikan kepada Nabi Allah Musa as, sehingga ia mengetahui masalah-masalah ghaib yang tidak diketahui oleh Nabi Allah Musa as. Meskipun demikian, hal itu tidak menjadikan Khidir as lebih mulia dari Nabi Allah Musa as.

 

Dari kisah diatas dapat engkau ketahui bahwa peringkat seorang di sisi Allah swt berbeda dengan ilmu pengetahuan yang diketahuinya. Dan engkau mengetahui pula sebagian diantara para pegawai kerajaan lebih mengetahui berbagai rahasia kerajaan dari orang-orang yang dekat dengan raja.

 

Akan tetapi mereka yang tidak mengetahui berbagai rahasia kerajaan, nyatanya lebih dekat dari mereka yang mengetahuinya dan hal semacam itu sering terjadi. Karena itu, perhatikanlah baik-baik apa yang telah engkau ucapkan tadi dan kisah diatas dapat engkau jadikan sebagai bahan pertimbangan yang baik sebelum engkau menilai sesuatu.

 

 

 

 

 

asy-Syeikh Ahmad bin Sa’id bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang maksud bait-bait puisi al-‘Allamah al-Habib Abddullah bin Alawi al-Haddad tentang ilmu yaqin, “ainul yaqin, hagul yaqin?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya ilmu yaqin, ‘ainul yaqin, dan hagul yaqin yang pernah disebutkan dalam Kitab ar-Risalah alMu’awanah telah menjadi pembicaraan umum diantara kaum muslimin.

 

Dengan kesungguhan ilmu yaqin, seorang dapat mengokohkan hakekat keislamannya. Dengan kesungguhan ‘ainul yaqin, maka seorang dapat mengokohkan hakekat keimanannya. Dan dengan kesungguhan hagul yaqin, maka seorang dapat mengokohkan hakekat keihsannannya.

 

Ketahuilah, peringkat-peringkat keyakinan ada sembilan peringkat:

 

Pertamanya adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh dan rela dengan segala aspek yang telah ditentukan oleh Allah swt. Tentang masalah ini pernah diterangkan oleh Syeikh Abu Thalib alMakki secara panjang lebar di dalam kitabnya al-Quut al-Qulub.

 

Demikian juga, al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menerangkannya dalam kitabnya ar-Rub’ul al-Munjiat. Selain itu, kami pernah menerangkannya pada bagian akhir buku kami arRisalah al-Mu’awanah dan pada bagian akhir an-Nashaaih adDiiniyah Wal Washaya al-Imaniyyah.

 

Adapun kesulitan yang engkau sebutkan dalam kitab kedua dari segi makna ucapan asy-Syeikh Abdurrahman Bahurmuz ra kepada sahabatnya al-Faqih Umar ra, sebenarnya tidak ada kesulitan untuk memahaminya bagi yang mengerti pemikirannya secara global maupun secara terperinci dan yang dapat memisahkan masalah-masalah yang terikat dari masalah-masalah yang bebas.

 

Ketahuilah, adakalanya Allah swt membuka berbagai rahasiaNya kepada sebagian hamba-Nya yang peringkatnya lebih rendah dari sebagian hamba-Nya yang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan kisah Nabi Allah Musa as dengan Nabi Allah Khidhir as yang menyatakan bahwa Nabi Allah Khidir as mengetahui sebagian rahasia Allah swt yang tidak diketahui oleh Nabi Allah Musa as.

 

Meskipun demikian, dapat dimengerti bahwa Nabi Allah Musa as lebih mulia dari Nabi Allah Khidhir as. Adapun ilmu-ilmu yang tidak diberikan kepada sebagaian ahli hakekat, kecuali melalui pemberitahuan dari seorang dari wali quthub. Maka hal itu adalah benar, yaitu tentang berbagai rahasia umum dan yang terkait dengan apa yang mereka perhatikan, demi untuk kebaikan alam sernesta.

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh Husein bin Abdillah Bafadhal ra: Hendaknya seorang yang senantiasa membaca wirid, memiliki istigamah wirid yang berdurasi singkat, ada yang berdurasi pertengahan dan ada pula yang berdurasi panjang, yang mana kesemuanya berbeda menurut waktunya masing-masing.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Segala puji bagi Allah swt, engkau telah bertanya tentang ucapan asy-Syeikh Husein bin al-Faqih al-Imam Abdullah Balhaj Bafadhal ra: “Ketahuilah bahwasannya setiap orang hendaknya senantiasa membaca wirid-wiridnya dan menjaga kerutinitasnya sedapat mungkin pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

 

Ada wirid yang berdurasi singkat, ada yang berdurasi pertengahan dan ada pula yang berdurasi panjang. Semuanya berbeda menurut waktunya masing-masing, misalnya seperti yang disebutkan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dalam Kitab al-Bidayah bahwa ada sebagian wirid yang dibaca sebelum matahari terbit.

 

Didalamnya terdapat sepuluh macam dzikir dan setiap macam dzikir harus dibaca sebanyak seratus kali atau sebanyak tujuh puluh kali atau sebanyak sepuluh kali dan itulah yang paling sedikit. Tetapi ketika ia menyebutkannya di dalam kitab Ihya Ullumuddin, maka ia menyebutkan masing-masingnya harus dibaca sebanyak tiga kali, menurut keluasan waktu yang dimiliki setiap orang.

 

Demikian pula, ada sebagian wirid yang diajarkan oleh Nabi saw yang harus dibaca setelah lepas shalat fardhu, diwaktu pagi maupun diwaktu sore atau ketika seorang hendak tidur dan lainlainnya. Setiap orang boleh memilih wirid-wirid itu menurut pengetahuannya masing-masing.

 

Adapun wirid yang paling sedikit adalah yang dibaca ketika seorang sedang sibuk atau ketika seorang sedang sakit parah. Adapun maksud ucapan syeikh tersebut tidak lain hanyalah untuk memberi semangat bagi para muridnya untuk senantiasa membaca wirid-wiridnya pada setiap saat yang ia dapatkan.

 

 

 

 

asy-Syeikh Husein bin Abdillah Bafadhal ra bertanya: “Tentang menghadiahkan pahala amal-amal kebajikan kepada orang-orang yang sedang meninggal dunia, baik dari kalangan kaum kerabat sendiri, maupun dari kalangan orang lain.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa niat menghadiahkan pahala amalamal sedekah yang bersifat harta kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, baik yang berupa air minum maupun makanan semuanya ada periwayatan hadis-hadisnya, termasuk juga do’a istighfar dan do’a-do’a lainnya, semuanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan pahalanya akan disampaikan kepada mereka berupa cahaya dan kesenangan serta lain sebagainya.

 

Adapun niat menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada Orang-orang yang telah meninggal dunia, maka para ulama berbeda bendapat tentang masalah ini. Tetapi sebagian besar diantara mereka berpendapat bahwa pahalanya akan disampaikan kepada mereka dan berita berita tentang sampainya pahala amal-amal kebajikan orangorang yang masih hidup kepada mereka yang sudah mati banyak diberitahukan lewat mimpi-mimpi yang benar.

 

Ada pula sumber-sumber yang menyebutkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an atau shalat ataupun puasa cukup lemah. Khususnya menghadiahkan pahala amal-amal kebajikan seperti itu tidak mungkin terjadi.

 

Karena itu, sebaiknya yang masih hidup menghadiahkan amal-amal kebajikan yang berupa sedekah dan berupa istighfar dan do’a untuk mereka yang telah meninggal dunia, khususnya bagi kedua orang tuanya dan kaum kerabatnya. Pokoknya, para ulama banyak membicarakan masalah ini dan pendapat mereka saling berbeda, tetapi semoga keterangan kami ini dapat dimengerti.”

 

 

 

asy-Syeikh Husein bin Abdillah Bafadhal ra bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh Ibnu Nubatah ra?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan asy-Syeikh Ibnu Nubatah ra diberbagai permasalahan banyak yang sulit dimengerti, khususnya yang ada dibagian awal pidato-pidatonya. Ucapan semacam itu banyak diucapkan oleh sebagian ulama.

 

Sebab manusia tetap manusia, adakalanya salah dan adakalanya pula benar. Adakalanya ucapannya sulit dimengerti oleh kaum awam, khususnya ketika mereka membicarakan masalah-masalah yang pelik dan rumit.

 

Adapun bencana-bencana yang menimpa seorang, adakalanya bencana itu menimpa dirinya sendiri atau hartanya atau kaum kerabatnya, misalnya terkena sakit, menjadi miskin, terjadi kematian dan mengalami masa paceklik, maka orang itu akan mendapat pahala, asalkan ia sabar berharap pahala dari Allah swt.

 

Adapun bencana-bencana agama, kebanyakannya berupa pelanggaran larangan-larangan Allah swt, yang karenanya seseorang akan mendapat cobaan. Kebanyakan pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan dengan sengaja oleh seorang dan kalau hal itu memang disengaja, maka ia berdosa.

 

Misalnya, andaikata seorang melukai dirinya sendiri atau melukai anaknya atau hartanya karena disengaja, maka ia akan mendapat hukuman dan dosa. Bencana, adakalanya berupa bencana dunia dan adakalanya pula berupa bencana akhirat.

 

Seorang akan diberi pahala jika ia bersabar ketika mendapat bencana dari Allah swt dan bukan dari sebab perbuatannya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’anul Karim:

 

Artinya: “Kebaikan apa saja yang menimpamu, maka 14 datangnya dari Allah dan keburukan apa saja yang menimpamu, maka hal itu datang dari dirimu.” (Qs. an-Nisaa ayat: 79).

 

Engkau telah menyebutkan ayat tersebut dalam pertanyaanmu dan engkau menjadikannya sebagai dalil bagi pendapatmu, padahal Allah swt sengaja menyebutkan ayat tersebut untuk menceritakan tentang sekelompok orang yang Allah swt tidak menyenangi ucapan mereka.

 

Para ahli tafsir menafsirkan kebaikan apapun dalam ayat terscbut dengan arti kesuburan serta kemenangan, sedangkan keburukan dengan arti kekeringan dan kekalahan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt:

 

Artinya: “Jika ada kebaikan yang menimpamu, maka hal itu dapat menyusahkan meraka, tetapi jika ada keburukan yang menimpamu, maka mereka akan bergembira karenanya.” (Qs. al-Imran ayat: 120).

 

Dalam ayat yang lainnya, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Jika ada kebaikan menimpamu, maka hal itu menyebabkan mereka susah, tetapi jika ada malapetaka menimpamu, maka mereka berkata: “Kami telah memperhatikan urusan kami.” (Qs. atTaubah ayat: 50).

 

Dan masih banyak lagi beberapa firman Allah swt yang lain Yang mempunyai kesamaan arti.

 

 

 

asy-Syeikh Idris bin Ahmad bin Idris ash-Sha’di al-Makki ra bertanya: “Tentang iman seorang muqallid?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pertanyaanmu itu mengisyaratkan kepada ilmu keyakinan dan ushul. Perlu engkau ketahui bahwa keimanan seorang mugallid menurut kami adalah keimanan yang benar yang tidak perlu diragukan lagi.

 

Ia memperoleh keimanannya dari ilmu pengetahuan sejak agama ini ada. Keimanan semacam itulah yang diterima oleh Rasulullah saw dari orang-orang Arab pada umumnya dan masalah ini telah difahami oleh umum.

 

Adapun engkau dan orang-orang pintar sepertimu tidak termasuk kaum mugallid. Kami yakin bahwa kalian termasuk kaum yang diberi ilmu pengetahuan, iman dan Islam oleh Allah swt.

 

Menurut kami, siapapun yang membaca Al-Qur’an dan ia memahaminya walaupun hanya sebagiannya, maka ja termasuk orang-orang beriman yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah swt, asalkan ia meyakini dan mempercayainya. Sebab al-Qur’an tetap asli dan mengandung mu’jizat sejak diajarkan oleh Rasulullah saw hingga kini.

 

Jika keimanan seseorang didasari pengetahuan yang benar tanpa diikuti keraguan sedikitpun, maka keimanannya tidak termasuk keimanan para mugallid. Bahkan menurut kami, keimanan seorang yang didasari ilmu pengetahuan, dapat diakui kebenarannya, meskipun ia tidak mengetahui awal mula perkembangan agama ini.

 

Adapun yang disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh as-Sanusi ra merupakan pembicaraan yang lain. Ja termasuk ulama kalam yang banyak pengikutnya, pendapatnya ada yang bisa diterima dan adapula yang tidak bisa.

 

Jika engkau ingin mengetahui sedikit ilmu kalam, maka janganlah engkau melewatkan Kitab al-Qawaidul al-Aqaid, yaitu bab kedua dalam Kitab Ihya” Ulummuddin. Kemudian bacalah pula pasal kedua dan ketiga dari Kitab ar-Risalah al-Gudstyah, agar pengetahuanmu tentang ilmu kalam akan lebih mantap.

 

Ketahuilah bahwa ilmu kalam adalah penyembuh bagi orang-orang yang lemah keimanannya. Jika seorang telah hilang keraguankeraguan nya atau jika seorang telah mantap keimanannya, maka ia tidak perlu lagi mengenali ilmu kalam, sebab ilmu tersebut tidak akan bermanfaat sedikitpun baginya.

 

Keterangan al-Qur’an tentang keimanan seorang sudah cukup dan banyak faedahnya, meskipun keterangannya singkat, tetapi cukup jelas untuk dimengerti. Demikian juga keterangan dari hadis-hadis Nabi saw dan ucapan-ucapan salafunasshalihin tentang masalah itu.

 

Mengetahui ilmu kalam secara global lebih mantap dan lebih bermanfaat dari pada mengetahuinya secara terperinci dan rumit, terkecuali bagi orang-orang yang suka membahas segala sesuatu secara terperinci dan itupun harus dilakukan oleh para ahli, bukan oleh semua orang.

 

Ilmu kalam yang diterangkan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra dalam Kitab al-Qawaid al-‘Aqaid, sengaja kami terangkan secara global, agar engkau dapat memahaminya seperlunya. Kalau tidak, maka pelajarilah baik-baik ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang dapat memperbaiki hati seorang dan meningkatkan amal-amal kebajikannya. Sesungguhnya hal itu jauh lebih baik bagi siapapun yang ingin meneguhkan keyakinannya.

 

Kami sengaja menerangkan masalah ini secara ringkas, agar engkau dapat memahaminya. Semoga Allah swt memberimu cahaya-Nya.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Manakah yang lebih utama diantara keduannya, ma’rifat ataukah cinta?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya marrifat atau mengenali Allah swt lebih dalam adalah sangat diwajibkan, sedangkan mahabbah atau mencintai Allah swt lebih mulia dan lebih lembut. Cinta kepada Allah swt merupakan salah satu bagian dari Ma’rifat.

 

Mana mungkin seorang akan mencintai sesuatu jikalau ia belum mengenalinya? Tetapi seorang dapat mengenali sesuatu sebelum ia mencintainya. Sebaiknya kami tidak membicarakan salah satu dari keduanya, karena masing-masingnya mempunyai keutamaan yang tidak dimiliki oleh yang lain.

 

Adapun ma’rifat yang dapat membuahkan mahabbah, sebenarnya temasuk dari bagian ma’rifat itu sendiri. Hanya saja, mereka menamakannya musyahadah atau kesaksian, padahal musyahadah atau kesaksian itu berbeda dengan marifat.

 

Para ahli tentang masalah ini saling berbeda pendapat tentang mukasyafah dan musyahadah. Ada sebagian ulama yang lebih mengutamakan mukasyafah dari musyahadah, tetapi ada pula yang berpendapat sebaliknya.

 

Antara mukasyafah dengan musyahadah dengan Ma’rifat dan mahabbah, ada masalah yang umum maupun yang khusus, ada yang bersifat pokok dan adapula yang bersifat cabang. Mukasyafah mempunyai arti lebih umum, sedangkan musyahadah lebih khusus.

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang berbakti kepada ayah dan bunda.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Berbakti kepada ibu dan bapak yang menyuruh anaknya meraih semua kesenangan duniawi, hukumnya dibolehkan oleh agama, asalkan tidak sampai mengarah kepada hal-hal yang dilarang oleh agama. Memang, mematuhi ibu dan bapak itu wajib.

 

Tetapi apabila perintah keduanya telah menjurus pada larangan Allah swt, maka si anak tidak boleh menolaknya secara langsung dan terang-terangan. Sebaliknya, hendaknya ia menolaknya dengan sikap lemah lembut dan penuh bijaksana agar keduanya tidak kecewa.

 

Sebab, seorang tidak boleh mematuhi perintah orang lain, Jika perintahnya menjurus pelanggaran kepada larangan Allah swt. Dan kalau seorang telah berani mendekati larangan-larangan Allah Swt, maka ditakutkan kalau ia melanggarnya.

 

Ketahuilah, ada sebagaian masalah yang dikatakan oleh orang-orang zaman sekarang yang tidak mengerti kandungan alQur’an dan as-Sunnah sebagai masalah yang dibolehkan.

 

Sebenarnya telah menjadi masalah yang telah diharamkan atau yang di syubhatkan, karena adanya kesimpangsiuran pengertian para pengikut agama dimasa ini. Karena itu sebaiknya kalian berhati-hatilah dalam memecahkan segala masalah, agar tidak sampai terperosok kepada masalah-masalah yang diharamkan oleh syariat Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Bagaimanakah jika seorang wali Allah swt melakukan sesuatu yang membatalkan keadilan?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, jika yang engkau maksudkan kewalian itu secara umum, seperti yang diraih oleh sebagian orang yang beriman. Ketahuilah bahwa hal itu ada kemungkinan dan ada tanda-tandanya yang tidak perlu disebutkan disini, karena telah banyak dikenal orang.

 

Akan tetapi kalau yang engkau maksud kewalian itu adalah kewalian secara khusus yang orangnya terpelihara dari segala kelakuan yang dilarang, maka ketahuilah bahwa masalah ini cukup besar artinya.

 

Sebab yang bersangkutan tidak boleh terlalu berkecimpung atau berlebihan dalam mengkonsumsi hal-hal yang dibolehkan dan yang menyenangkan, meskipun hal itu masih berada dalam area halal, apalagi kalau sudah masuk dalam area dosa-dosa kecil.

 

Kata sebagian ‘arifin billah: “Perbuatan-perbuatan yang mengarah pada dosa kecil, masih ada kemungkinan terjadi pada sebagian wali Allah swt. Hal ini hikmahnya agar dapat diketahui bahwa kemaksuman para nabi tidak dimiliki oleh para wali Allah swt, sehingga mereka ada kemungkinan melakukan dosa-dosa kecil.

 

Ketahuilah bahwa yang mubah atau yang dibolehkan adakalanya tidak pernah terjadi, andaikata seorang wali Allah swt yang khusus sampai melakukan suatu dosa, maka maka ia akan jatuh secara drastis dari kewaliannya dan akan lenyap semua keistimewaan yang pernah diberikan kepadanya. Disebutkan bahwa ada sebagian wali Allah swt yang turun secara drastis dari kewaliannya, karena mereka mengkonsumsi atau melakukan hal-hal yang mubah secara berlebihan.

 

Sesungguhnya masalah diatas pernah kami terangkan pada awal kumpulan fatwa kami yang dikumpulkan oleh al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi ra, yang andaikata engkau masih memiliki kumpulan fatwa kami itu, maka engkau dapat membacanya kembali, tetapi jika engkau tidak memilikinya, maka kami kira keterangan kami ini cukup dimengerti olehmu.

 

Perlu diketahui bahwa para wali Allah swt telah dipelihara Allah swt dari perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar dan merekapun tidak mempunyai keinginan sedikitpun untuk berbuat dosa, sebab mereka tahu bahwa satu dosa yang mereka kerjakan, dapat menurunkan kedudukan mereka secara drastis.

 

Karena itu, mereka senantiasa menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik. Mungkin engkau sering mendengar pengakuan dari mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang suka berbuat salah. Semua itu mereka ucapkan demi untuk merendahkan diri mereka dihadapan Allah swt.

 

Perhatikan baik-baik bahwa jangan sampai engkau mempunyai perasaan yang tidak baik kepada wali-wali Allah swt, karena perbuatan semacam itu termasuk perbuatan orang yang tidak mengerti tentang kedudukan mereka.

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang sebagian wali-wali Allah swt.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Sesungguhnya telah sampai kepada kami surat Anda yang mengandung beberapa petunjuk dan ilmu yang menunjukkan bahwa engkau adalah seorang yang lurus lisan dan jasmaninya serta Anda mempunyai hati yang bersih.

 

Dan engkau sebutkan juga, bahwa ada sebagian orang yang telah diberi izin untuk memberikan pakaian khirgah pada para muridnya, meskipun tidak terlihat tanda-tanda bahwa dirinya pantas melakukan hal itu.

 

Maafkan kami karena baru kali ini, kami dapat menjawab surat Anda, sebab kami baru datang dari berpergian. Ketahuilah bahwa seorang yang telah diberi izin oleh syeikh mursyidnya untuk memberikan pakaian khirgah kepada para muridnya, meskipun kelihatannya ia tidak berhak melakukannya dan ia pun merasa seperti itu, akan tetapi ia harus menjalankan perintah syeikhnya.

 

Sebab syeikhnya telah mengetahui berbagai kelebihannya dan kekurangannya. Kalau syeikhnya merasa bahwa ia tidak pantas melakukan sesuatu, tentunya ia tidak akan menyuruhnya untuk melakukan hal itu.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Bolehkah seorang mencari ilmu, padahal ia takut merasa riya ?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Menurutku bahwa siapapun boleh mencari ilmu dari seorang guru, khususnya mengenai ilmu-ilmu yang ditakutkan tidak ada penerusnya.

 

Tetapi ia harus berusaha sekeras mungkin untuk mengendalikan dirinya agar tidak sampai berbuat riya, yaitu dengan cara memaksakan ikhlas ke dalam hatinya dan selalu memohon ampun serta bertaubat dari segala perasaan yang tidak baik. Sebab, setan selalu menghalangi umat Islam untuk mencari ilmu dan mengamalkannya.

 

Ketahuilah bahwa seorang yang takut berbuat riya” tidak termasuk seorang yang berbuat riya. Adapun seorang yang berbuat riya’ dan ja selalu berbuat demikian, maka segala amal kebajikannya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt, termasuk juga ketika ia menuntut ilmu dan ketika ia mengajarkannya kepada orang lain.

 

Perlu diketahui bahwa al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra pernah menerangkan masalah riya’ secara panjang lebar dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin pada bab kedelapan, yaitu dalam pasal al-Muhlikaat dan masalah ikhlas pada bab ketujuh. Maka dari itu, pelajarilah baikbaik agar Allah swt menyembuhkan perasaan riya’ yang ada pada dirimu. Sebab, obat segala penyakit hati itu diantaranya terdapat di dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang hakekat jasad penghuni surga. Apakah sama dengan hakekat jasad kita selama di dunia ataukah berbeda?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa hakekat jasad kita di surga kelak tidak berbeda dengan hakekat jasad kita ketika berada di dunia dan kita tidak boleh mempunyai keyakinan yang lain tetang jasad kita yang tidak cocok dengan keterangan dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra berkata: “Semua beritaberita tentang masalah alam akhirat hanya boleh diartikan seperti yang diberitahukan oleh syari’at, tanpa harus ditafsirkan.

 

Demikian juga, tentang sifat-sifat Allah swt yang bertentangan dengan sifat-sifat yang terpuji ada dua pendapat. Yang pertama, mengatakan lebih baik didiamkan dan pendapat kedua menyatakan boleh didiskusikan, asalkan pembahasannya cocok dengan sifat-sifat terpuji bagi Allah swt. Itulah pendapat sebagian besar kaum salafunasshalihin.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Tentang anak-anak kecil kaum muslimin di dalam surga.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Mengenai anak-anak kecil kaum musyrik, menurut kami tidak ada dalil yang kuat yang menyatakan keberadaan mereka di surga ataukah di neraka, karena dalil-dalilnya masih diperdebatkan kebenarannya.

 

Adapun keadaan anak-anak kecil kaum muslimin di dalam surga tidak berbeda dengan keadaan mereka di masa kecil. Sebab di sana tidak ada kekurangan sedikitpun, mereka disamakan dengan keadaan orang-orang yang telah dewasa dan yang pernah melakukan berbagai amal-amal kebajikan. Kiranya itulah dalil-dalil yang kami dapati hingga pada saat ini.

 

Pahala amal kebajikan anak-anak kecil kaum muslimin akan dicatat dalam catatan amal orang tuanya dan mereka akan berada dalam kedudukan orang tua mereka. Andaikata orang tua mereka tidak berhak mendapatkan pahala dari Allah swt karena kekafirannya dan karena sebab lainnya, maka amal-amal mereka dicatat dalam catatan kakek-kakek mereka atau wali-wali yang mengasuh mereka. Karena keduanya menjadi penanggung jawab bagi anak-anak kecil tersebut.

 

Adapun jika pahala bacaan al-Qur’an atau amal-amal kebajikan lainnya dihadiahkan kepada anak kecil kaum muslimin yang telah meninggal dunia, maka pahala itu akan sampai kepadanya dan pahala itu akan menambah kebagusan wajah serta cahayanya atau akan diberikan kepada para penanggung jawabnya.

 

Adapun jika pahala suatu amal kebajikan dihadiahkan kepada seorang yang masih hidup, maka akan dicatat didalam catatan amalamal kebajikannya. Tetapi jika ia tidak berhak untuk mendapatkannya, karena ia syirik dan lain sebagainya, maka pahalanya akan kembali kepada yang menghadiahkan amal-amal kebajikan tadi. Ketahuilah bahwa pendapat ini hanya didasari oleh kebijaksanaan belaka, karena dalil-dalilnya dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah kurang jelas.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya tentang ucapan asy-Syeikh ibnu Faridh ra yang lebih mengutamakan para wali Allah swt dari para nabi. Meskipun para ulama berpendapat sebaliknya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya mereka yang berpendapat bahwa para nabi lebih utama dari para wali Allah swt adalah orangorang yang sangat berpegang teguh kepada kebenaran dan kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Sebaliknya, seorang yang berpendapat selain itu, maka ia termasuk seorang yang berlebihan. Memang diantara para wali Allah swt ada yang tidak dapat mengontrol lisannya, sehingga mereka mengucapkan hal-hal yang perlu ditafsirkan. Akan tetapi ucapan mereka patut dimaafkan, karena mereka adakalanya terbawa oleh arus ketanaan.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis bahwa Allah Swt bergembira kepada seorang yang bertaubat kepada-Nya, bahkan lebih bergembira dari seorang pengendara unta yang kehilangan untanya.

 

Akan tetapi setelah ia terbangun dari tidurnya, ia dapati untanya telah berada di sisinya, sehingga ia berkata: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Si pengendara unta berkata demikian karena ia sedang tidak dapat mengontrol dirinya dan lisannya, karena ia terlalu bergembira.

 

Sebenarnya kalau kita perhatikan ucapan si pengendara unta itu, pengertiannya telah menyebabkan ia menjadi kafir, karena ucapan tersebut berlawanan dengan akidah yang benar. Namun karena ia tidak sadar ketika mengucapkannya, maka kita harus memaafkannya.

 

Contoh-contoh semacam itu cukup banyak dan kita harus mengambil hikmahnya agar kita selamat dari perasaan yang tidak baik kepada wali-wali Allah swt, khususnya bagi mereka yang telah mengucapkan kata-kata yang tidak terkontrol oleh akal sehatnya.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad Ba Usman al-Amudi ra bertanya: “Mana yang lebih baik, membalas dendam ataukah tidak? Sebab, al-Imam asy-Syeikh Ibrahim bin Adham ra, pernah memberi contoh tidak membalas dendam terhadap seorang yang telah menyakitinya. Sedangkan Sayyidina Sa’id ibnu Zaid ra, salah seorang sahabat yang pernah diberitahu oleh Rasulullah bahwa ia adalah calon penghuni surga, pernah memberi contoh membalas dendam terhadap seorang wanita yang telah melukai perasaannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa contoh tidak membalas dendam terhadap seorang yang menyakiti perasaan al-Imam Ibrahim bin Adham ra, sebagaimana yang dicontohkan olehnya adalah perbuatan baik. Sebaliknya, yang dilakukan oleh Sahabat Sa’id ibnu Zaid terhadap wanita yang telah menyakiti perasaannya juga termasuk perbuatan baik, karena alasannya bisa diterima.

 

Menurutku, yang dilakukan oleh al-Imam Ibrahim bin Adham ra adalah tepat, karena yang disakiti adalah pribadinya, sedikitpun tidak menyangkut urusan hukum agama dan tidak menyangkut urusan orang lain, perbuatan semacam itu biasa dilakukan oleh Rasulullah saw.

 

Namun jika pelakunya melanggar hukum Allah swt atau menyepelekannya, maka beliau tidak dapat memaafkan pelakunya. Demikian pula apa yang dilakukan Sahabat Sa’id ibnu Zaid adalah tepat, karena tuduhan yang dilakukan oleh wanita yang tidak bertanggung jawab itu menyangkut nama baik Sahabat Sa’id yang pada saat itu dijadikan sebagai manusia panutan oleh masyarakat Islam di tempatnya.

 

Jadi, kalau ia tidak membela dirinya dan tidak menolak tuduhan buruk wanita yang tidak bertanggung jawab itu, tentunya masyarakat Islam yang ada di tempatnya akan kecewa kalau mereka sampai mempercayai tuduhan palsu tersebut.

 

Dari kedua kejadian tersebut dapat kita simpulkan bahwa melakukan balas dendam terhadap pelaku kejahatan dapat dibenarkan apabila pelakunya melanggar hukum Allah swt dan tidak melakukan balas dendam terhadap pelaku kejahatan dapat juga dibenarkan selama pelakunya tidak melanggar undang-undang Allah swt.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad Ba Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang fana dan tentang memaafkan pelaku kedzaliman atau tidaknya, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Abul Abas ra dalam Kitab al-Latha’if al-Minan.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya memaafkan kedzaliman seorang merupakan perbuatan yang terpuji dan Islam menganjurkan umatnya untuk melakukannya. Yang demikian itu diperbolehkan asalkan kedzalimannya tidak mempunyai efek buruk bagi agama dan umatnya.

 

Misalnya apa yang dilakukan oleh al-Imam Sayyidina Ibrahim ibn Adham ra ketika ia memaafkan seorang yang memukul kepalanya, maka perbuatan semacam itu merupakan perbuatan terpuji dan sangat dianjurkan. Tetapi yang dicontohkan oleh Sahabat Sa’id ibnu Zaid, yaitu tidak memaafkan wanita yang telah menuduhnya merampas sebagian dari tanahnya adalah perbuatan yang sangat tepat.

 

Karena pada waktu itu, ia termasuk seorang Sahabat Nabi saw yang dijadikan panutan oleh umat Islam yang ada disekitarnya. Karena itu, kalau ia tidak menolak tuduhan palsu tersebut, tentunya masyarakat sekitarnya akan percaya bahwa ia telah melakukan perbuatan yang tidak baik.

 

Dan kalau hal itu sampai terjadi, mana mungkin masyarakat sekitarnya akan percaya terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad saw yang disampaikan olehnya. Karena itu tindakan yang dilakukan oleh Sahabat Sa’id ra itu dapat dibenarkan.

 

Adapun kefanaan yang diberikan oleh Allah swt pada seorang wali, tentunya akan menyebabkannya tidak sadarkan diri, karena ia sedang tenggelam di lautan ketuhanan. Karena itu segala tutur kata dan tindak tanduknya tidak bisa dijatuhi hukum oleh Syariat.

 

Karena ia mendapatkan hal itu secara tidak sengaja, bukan atas permintaannya dan ia tidak dapat menolaknya jika hal itu telah datang kepadanya. Akan tetapi kefanaan seorang wali seperti itu, biasanya tidak akan berlangsung lama.

 

al-Imam asy-Syeikh al-Qusairi ra telah menyebutkan dalam Kitab ar-Risalah al-Qusairiyah: “Ada seorang syeikh, ketika ia masuk kedalam rumahnya ia dapatkan ada sekarung tepung, padahal pada saat itu masyarakatnya sedang mengalami masa paceklik sehingga ia berkata kepada dirinya:

 

“Sesungguhnya, aku tidak pantas menyimpan tepung ini ketika masyarakatku sedang mengalami masa paceklik dan mereka membutuhkannya.” Pada saat itu juga Allah swt menjadikannya tidak sadar selama beberapa waktu kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu, kemudian ia tidak sadar kembali.

 

Kata al-Imam al-Qusyairi ra tentang syeikh tersebut: “Sesungguhnya kefanaannya merupakan keadaan yang paling baik baginya, sebab kefanaannya merupakan penjagaan Allah swt kepada syeikh tersebut.”

 

Kesimpulannya, dalam kefanaan seorang ada berbagai kebaikan. Karena pada saat itu seorang yang sedang fana, ia tidak menyadari alam sekitarnya maupun dirinya sendiri. Tetapi tidak semua kefanaan membawa kebaikan bagi seorang. Dan untuk membicarakan masalah ini membutuhkan waktu dan kesempatan yang lebih luas. Tetapi keterangan diatas kami kira cukup memuaskan dan mudah dipahami.

 

Dalam suratmu, Anda telah menerangkan bahwa Anda rindu kepadaku dan ingin segera bertemu denganku, tetapi kendala yang menghalangi Anda adalah ibu bapak Anda yang tidak dapat ditinggalkan oleh Anda, khususnya ibu Anda yang telah mencapai usia udzur. “

 

Ketahuilah, kendala yang menghalangi Sahabat Uwais bin Amir al-Oarani ra untuk mengunjungi dan menemui Rasulullah saw adalah ibunya yang telah lanjut usia. Ia senantiasa berbakti kepadanya, sehingga keinginannya untuk bertemu Rasulullah saw tidak dapat ia penuhi. Meskipun demikian, beliau saw mengetahui hal itu dan beliau saw sangat menghargainya.

 

Disebutkan pula bahwa ketika ada seorang sahabat minta izin untuk ikut berjuang bersama beliau saw, maka beliau saw bertanya: “Apakah engkau masih mempunyai ibu bapak?”

 

Maka sahabat itu menjawab: “Ya, bahkan keduanya sempat menangis, ketika aku meninggalkan keduanya untuk menemuimu.” Maka Baginda Rasulullah saw pun bersabda: “Pulanglah engkau kepada keduanya, kemudian jadikanlah keduanya tertawa, sebagaimana ketika engkau menjadikan keduanya menangis.”

 

Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa ketika ada seorang sahabat minta izin untuk berjuang bersama Rasulullah saw, maka beliau saw bertanya: “Apakah engkau masih mempunyai ibu bapak?” Lalu sahabat itu menjawab: “Ya, aku masih mempunyai seorang ibu yang telah lanjut usianya.” Maka sabda beliau: “Hendaknya engkau senantiasa berbaktilah engkau di bawah kakinya, sebab surga ada dibawah lelapak kaki ibu.”

 

Di dalam agama ada kewajiban yang penting, tetapi adapula yang lebih penting, yaitu mencapai ilmu, ketakwaan, dan ikhsan, agar kita senantiasa dicintai dan disertai oleh Allah swt. Sebab Allah swt akan menyertai orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. an-Nahl ayat: 128).

 

Dalam ayatnya yang lain, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. al-Maidah ayat: 93). 

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad Ba Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jaelani: Setiap gunung yang ada diantara alam nasut dan alam malakut merupakan syari’at. Sedangkan setiap gunung yang ada diantara alam malakut dan alam jabarut adalah hakekat dan setiap gunung yang ada diantara alam jabarut dan alam lahut adalah ma’rifat.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya alam nasut adalah alam manusia yang dapat diraba oleh indera kita. Alam malakut adalah alam ghaib yang ada dibalik alam manusia dan lainnya. Adapun gunung yang ada diantara alam nasut dan alam malakut adalah Syari’at, karena ia berasal dari alam tersebut.

 

Di alam tersebut ada perintah mengerjakan kewajiban dan mengokohkan segala gerak dan sebab yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.” Dan gunung yang ada diantara alam malakut dan alam jabarut adalah hakekat. Alam malakut adalah alam ghaib, yaitu alam yang ada di balik alam fisika.

 

Sedangkan alam jabarut termasuk dalam kelompok alam malakut, hanya saja alam jabarut mempunyai kekhususan tersendiri, sedangkan alam malakut mempunyai sifat yang lebih umum.

 

Makna hakekat adalah menyaksikan segala sesuatu dengan Allah swt secara perasaan dan mukasyafah. Alam jabarut lebih khusus dari alam malakut. Alam lahut merupakan alam yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah swt, termasuk Dzat Allah Yang Maha Mulia.

 

Adapun ma’rifat adalah kesaksian terhadap alam lahut dan mengetahuinya secara luas segala hakekatnya dengan cara mukasyafah. Seorang yang dapat menegakkan syariat dengan baik secara lahir dan mewujudkan hakekatnya secara batin, kemudian menyaksikan Dzat Allah swt beserta nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia, maka ia termasuk seorang yang sempurna.

 

Syariat Islam adalah tunduknya seorang hamba kepada segala kehendak Allah swt, hakekat adalah iman dan keyakinan seorang semata-mata karena Allah swt. Sedangkan Ma’rifat adalah ihsan, yaitu kefanaan seorang di alam Allah swt.

 

Kiranya itulah pengertian ucapan al-Imam asy-Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani ra yang dapat kami terangkan. Adapun tentang kebenarannya hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui. 

 

 

 

Seorang pemuka ulama di Kota Madinah al-Munawwarah bertanya tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Muhammad ibnu Arabi ra yang disebutkan di dalam Kitab a/-Futuhat tentang ucapan Baginda Nabi Muhammad saw yang berkenaan dengan Dajjal. Pada waktu itu disebutkan bahwa satu hari sama dengan seminggu dan satu hari sama dengan sebulan.”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ada beberapa keterangan yang rumit untuk dimengerti oleh kaum awam, khususnya yang ada di dalam Kitab al-Fushus dan Kitab al-Futuhat, baik kesulitan tersebut disisipkan oleh sebagian orang, maupun dari pemikiran penulisnya sendiri ketika ia fana.

 

Sehingga ‘ia mengucapkan beberapa kalimat yang mengandung rahasia Allah swt sehingga sulit dimengerti oleh kaum awam. Sebab, al-Imam asy-Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi ra termasuk wali Allah swt yang senior. Karena itu sangatlah tidak pantas jika seorang yang takut kepada Allah swt menuduhnya telah menyimpang dari agama Allah swt, sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

 

Karena itu jika Anda sempat mendapatkan kesulitan untuk memahami ucapan-ucapan al-Imam asy-Syeikh Ibnu Arabi ra di | dalam kitabnya, sebaiknya engkau serahkan kepada Allah swt dan jangan mencoba untuk memahaminya, karena hanya para ahlinya yang dapat memahami sebagian rahasia Allah swt yang disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Ibnu Arabi ra.

 

 

 

al-Habib Abubakar bin Ali bin Ibrahim al-Baiti ra bertanya: “Tentang ucapan asy-Syeikh Yahya ibnu Mu’adzah A’razi ra: “Tinggalkan dunia semuanya, niscaya engkau akan mendapatkan semuanya. Sebab meninggalkannya sama dengan akan memperolehnya dan mencarinya sama dengan meninggalkannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan asy-Syeikh Yahya ra itu cukup jelas pengertiannya, tidak ada yang sulit dimengerti. Adapun maksudnya: “Seorang yang meninggalkan dunia kesemuanya dan ia tidak rakus untuk mendapatkannya, maka Allah swt akan memberinya kepuasan di hatinya, sehingga ia tidak memaksa dirinya untuk mendapatkannya.

 

Seorang yang bijaksana, maka ia tidak ingin menyiksa dirinya untuk memperoleh dunia, dan hal ini tidak akan dicapai kecuali orang-orang yang zuhud, yaitu seorang yang tidak rakus kepada dunia.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Tidak rakus untuk mendapat dunia dapat menenangkan hati dan badan. Sedangkan yang rakus untuk mendapat dunia dapat memperbanyak kerisauan dan kesusahan.”

 

Ada seorang bijak ditanya: “Untuk siapa dunia?” Maka ia menjawab: “Dunia akan diberikan kepada siapa-siapa yang tidak mengharapkannya, sedangkan akhirat akan diberikan bagi orang yang mencarinya.”

 

 

 

al-Habib Abubakar bin Ali bin Ibrahim al-Baiti ra bertanya: “Tentang ucapan Sahabat Abubakar ash-Shiddig ra ketika berpesan kepada Sayyidina Umar bin Khattab ra: “Wahai Umar ketahuilah, sesungguhnya Allah swt menetapkan beberapa amalan untuk siang hari dan Allah swt tidak akan menerimanya pada malam hari.Dan juga sebaliknya, Allah swt menetapkan beberapa amalan untuk malam hari dan Allah swt tidak akan menerimanya pada pagi hari.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan Sayyidina Abubakar ashShiddig ra tersebut cukup jelas dimengerti. Sebab, Allah swt menetapkan amal-amal yang harus dikerjakan pada waktu-waktu tertentu dan Allah swt tidak akan menerimanya, kecuali jika dikerjakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

 

Jika tidak dikerjakan pada waktunya, kemudian di gadha’ atau diganti pada waktu lain ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar amalan tersebut diterima. Demikian pula, ada beberapa amal-amal yang ditentukan waktunya pada siang hari, karena waktu itu banyak terkait dengan aspek-aspek kehidupan manusia, Jika amal-amal itu tidak dikerjakan pada siang hari bukan karena udzur, maka Allah swt tidak akan menerima.

 

Ketahuilah bahwasannya amalan fardhu tidak akan diterima sampai diikuti amalan-amalan sunnah, sebab amalan-amalan fardhu adalah wajib, sedangkan amalan-amalan sunnah adalah tambahan. Melaksanakan amalan wajib harus lebih diutamakan dari amalan sunnah, baik dalam hak yang sebenarnya maupun yang bersifat budi pekerti, tetapi penjelasannya harus dibicarakan lebih luas lagi.

 

 

 

al-Habib Abubakar bin Ali bin Ibrahim al-Baiti ra bertanya: | “Tentang sabda Nabi Muhammad saw: “Kelak manusia akan dihimipun di padang mahsyar dalam keadaan tidak beralas kaki, dalam keadaan bugil dan tidak dikhitan.” Dalam hadis lainnya, Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya umat ini akan dihimpun di padang mahsyar dalam kafannya masing-masing.” Bagaimana cara menyatukan pengertian kedua hadis tersebut?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa kedua hadis tersebut dapat disatukan pengertiannya jika derajat kesahihannya hanya sama, sehingga pengertian dikumpulkan di padang mahsyar dalam kafannya masing-masing merupakan keistimewaan tersendiri bagi umat Islam. Tetapi hadis yang pertama lebih sahih dari hadis yang lainnya.”

 

al-Habib Abubakar bin Ali bin Ibrahim al-Baiti ra bertanya:

 

“Tentang membaca Surat al-Ihklas ketika khataman al-qur’an. Apakah harus dibaca tiga kali, atau empat kali, atau satu kali?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa membaca Surat al-Ikhlas sebanyak sekali atau membaca surat-surat yang lain atau membacanya sebanyak empat kali atau tiga kali dengan harapan mendapat pahala mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak dua kali.

 

Sebab, membaca Surat al-Ikhlas satu kali, nilainya seperti membaca sepertiga al-Qur’an. Jadi membacanya sebanyak tiga kali, nilainya sama seperti mengkhatamkan bacaan al-Qur’an sebanyak Satu kali.

 

Jika dalam menghatamkan bacaan al-Qur’an yang pertama ada kekurangan, maka dengan membaca Surat al-Ikhlas sebanyak tiga kali, nilainya seperti menghatamkan bacaan al-Qur’an sekali.

 

Tujuannya agar segala kekurangan yang ada dalam khataman yang pertama dapat ditutupi oleh khataman al-Qur’an yang kedua.

 

Dan sebaiknya yang membaca Surat al-Ikhlas sebanyak tiga kali adalah orang yang mengkhatamkannya, sedangkan yang lainnya boleh mendengarkan bacaannya tanpa harus mengikutinya.

 

Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Membaca Surat al-Ikhlas satu kali, nilainya seperti membaca sepertiga al-Qur’an.” Jadi membaca sebanyak tiga kali, nilainya seperti membaca seluruh al-Qur’an. Karena itu engkau boleh membacanya satukali atau tiga kali atau empat kali.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Umar bin Abdillah bin “Afif al-Hajrani ra bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Hasan bin Ahmad Basa’id ra.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah, yang dimaksud dengan bilangan satu, tidak lain artinya hanyalah Allah swt Yang Maha Esa. Adapun yang dimaksud dengan bilangan empat ratus enam belas, tidak lain artinya hanyalah segala sesuatu selain Allah swt.

 

Bilangan yang besar hendaknya ditinggalkan oleh seorang yang ingin menuju kepada Allah swt, agar ia tidak disibukkan oleh selain Allah swt. Sebab kalau seorang disibukkan oleh selain Allah swt. Maka ia tidak akan dapat bertemu dengan Allah swt, karena hatinya telah tertutup dan terhalangi oleh berbagai tirai. Karena itu, Setiap orang sebaiknya melepaskan segala keterkaitannya kepada Selain Allah swt, agar ia dapat bertawajuh kepada-Nya semata.”

 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Sa’id al-Amudi ra bertanya: “Apakah seorang “arif billah boleh mengingkari tindak-tanduk orang-orang yang bertentangan dengan syari’at?”

 

al–Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya memang ia diwajibkan mengingkari segala kemungkaran yang ada, sebagaimana yang diwajibkan seluruh umat Islam mengingkari segala kemungkaran yang ada. Kewajiban semacam ini termasuk kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

 

Siapapun yang tidak mau menegakkan perintah amar ma’ruf dan nahi munkar, maka ia termasuk seorang yang berdosa dan ia tidak mempunyai kedudukan apapun di dalam syari’at maupun hakekat.

 

Seorang yang fana lahir batinnya, sehingga ia tidak menyadari lingkungannya maupun dirinya, maka tindak-tanduknya dapat disamakan dengan seorang yang sedang tidur atau seorang anak kecil yang belum dapat berfikir. Karena itu janganlah engkau menghukumi ucapan seorang yang sedang fana agar engkau tidak berdosa.”

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang ucapan seorang “arif billah: “Tidak akan sempurna kema’rifatan seorang sampai setelah ia mengetahui dari mana harta yang ia miliki dan bagaimana penggunaannya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya Ma’rifat yang sesungguhnya adalah pengenalan seorang hamba kepada Allah swt dan pelakunya disebut seorang ‘arif billah.

 

Ia wajib mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi Allah swt, sifat sifat yang mustahil bagi-Nya dan hak apa saja yang pantas bagi-Nya, lewat mukasyafah dan musyahadah, bukan lewat dalil ataupun sebuah keterangan.

 

Adapun yang dimaksud adalah, ia harus mengetahui asalusul kekayaannya dan cara pengeluarannya, maka ketahuilah hal itu termasuk pemberitahuan tentang hal-hal yang ghaib dan tidak termasuk persyaratan kema’rifatan seseorang.

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang seorang yang pernah bermimpi melihat seorang wali Allah swt dalam tidurnya, kemudian ia tidak pernah lagi mimpi seperti itu. Apa penyebab yang menghalanginya untuk mimpi seperti itu lagi?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Engkau bertanya tentang seorang yang dulunya suka bermimpi melihat orang-orang yang shaleh dalam tidurnya, kemudian mimpinya terputus.

 

Ketahuilah bahwa mimpi yang baik merupakan berita gembira bagi seorang yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis. Dan mimpi yang baik juga termasuk peringatan dan nasehat bagi seorang yang mau menerima nasehat.

 

Jika dahulunya seorang suka mimpi hal-hal yang baik, kemudian terputus selama beberapa waktu, maka hal itu menunjukkan bahwa kedudukan orang tersebut telah menurun di sisi Allah swt, sehingga ia harus bertaubat, beristighfar dan memperbanyak shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad saw.

 

Salah seorang ‘arif billah berkata: “Dzikir yang paling bermanfaat bagi orang-orang yang ada di masa ini adalah memperbanyak istighfar memohon ampunan kepada Allah swt dan bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad saw.”

 

Kiranya itulah jawaban yang dapat kami berikan kepada Anda pada masa ini, ketika banyak manusia yang hatinya risau dan banyak berbuat dosa.”

 

 

 

Salah seorang murid bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syeikh Ahmad bin Abdillah bin Abil Khiyar ra tentang makna beberapa huruf.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Dengan menyebut nama Allah swt, Maha pembuka, Maha mengetahui. Segala puji bagi Allah swt Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kami Baginda Nabi Muhammad saw, sang pemberi petunjuk ke jalan yang lurus.

 

Ketahuilah bahwa yang engkau tanyakan diatas adalah sebagian dari ilmu isyarat dan pengutaraannya harus diutarakan dengan keterangan yang jelas. Sebab, masalah itu sulit untuk dimengerti.

 

Meskipun yang menerangkannya adalah seorang ahli hakekat yang mampu menyatukan antara ilmu dan perjalanan tarekat, maka engkau hanya boleh mendengarkan keterangannya saja. Meskipun engkau tidak mampu memahaminya, namun jangan sampai engkau mengkritiknya.

 

Kiranya hanya dengan cara itu engkau akan selamat, walaupun engkau tidak memahami kandungan isinya. Ucapan semacam itu sering kita dapati dalam sebagian ucapan para “arifin bilah. Sebaiknya, seorang tidak mengkritiknya, agar ia tidak mendapat efek yang negatif dari perbuatannya.

 

 

 

Seorang murid bertanya: “Tentang cara menuntut ilmu yang bermanfaat. Apakah harus bersungguh-sungguh ataukah harus banyak membaca buku ataukah harus sering berkumpul dengan para ulama ataukah harus memahaminya dengan kecerdasan otak?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya seorang yang ingin menuntut ilmu yang bermanfaat, hendaknya ia senantiasa bersungguhsungguh, berniat yang baik, ikhlas dan berniat mencari ilmu yang bermanfaat.

 

Jika seorang murid telah mempunyai sifat-sifat tersebut, maka ia termasuk seorang murid jenius yang akan meraih kesuksesan. Sebaliknya, jikalau ia tidak mempunyai sifat-sifat tersebut, namun ia mempunyai niat yang baik dan ikhlas karena Allah swt semata, pasti ia ia akan mendapat ilmu yang ia inginkan. Hal ini sebagaimana dengan firman Allah swt berikut:

 

Artinya: “Dan bagi setiap orang diberi kedudukan dari apa yang mereka lakukan dan Tuhanmu tidak pernah lupa atas apa-apa yang telah mereka kerjakan.”

 

 

 

Seorang murid bertanya: “Bagaimana cara mendapat do’a mustajab dan apa tanda-tandanya?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya setiap do’a yang dipanjatkan kepada Allah swt oleh seorang mukmin, asalkan ia bersungguhsungguh dan berkeyakinan baik kepada Allah swt, pasti do’anya akan dikabulkan.

 

Hanya saja, adakalanya pengabulannya dipercepat dan adakalanya juga diperlambat atau adakalanya do’anya diganti dengan karunia lain yang menurut-Nya lebih baik dari yang ia mohon, karena Allah swt sayang kepadanya. Itulah yang dapat kami Simpulkan dari firman-firman Allah swt dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw serta dari atsar.

 

Para ulama menyebutkan tanda-tanda dikabulkannya do’a Seorang adalah rasa gemetar yang dirasakan oleh seorang yang berdo’a dan hatinya merasa puas setelah ia berdo’a. Perlu diketahui bahwa ada do’a yang dikabulkan dan adapula yang tidak akan dikabulkan. Adakalanya kendala terkabulnya do’a seorang, dikarenakan adanya sumber makanan dan pakaian haram, suka merugikan hak-hak orang lain dan berdo’a dengan hati yang lalai.

 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadis:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari seorang yang hatinya lalai.”

 

Dan seorang yang sedang memutuskan hubungan tali kerabat tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Adapun pertanyaanmu tentang terkabulnya sebagian do’a, apakah sebagian yang lain akan dikabulkan juga?

 

Memang adakalanya sebagian do’a dikabulkan. Hal itu karena keluasan karunia Allah swt dan karena kesungguhan hati orang yang berdo’a. Akan tetapi adakalanya tanda-tanda seperti itu tidak tampak sedikit pun, karena terkait erat dengan keadaan orang yang berdo’a maupun dengan yang diminta.

 

Sebenarnya masalah ini perlu dibicarakan lebih luas, hanya saja memerlukan waktu yang lebih banyak, tetapi keterangan kami bisa dimengerti.”

 

 

 

Seorang murid bertanya: “Tentang duduk untuk beristirahat di dalam shalat.” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa duduk untuk beristirahat di dalam shalat pernah diperdebatkan oleh kaum ulama di masa dulu, apakah perbuatan itu termasuk sunnah ataukah tidak.

 

Adapun yang berpendapat bahwa perbuatan itu tidak termasuk sunnah adalah karena Rasulullah saw melakukannya karena terpaksa, yaitu di akhir usia beliau saw, setelah badan beliau saw bertambah gemuk.

 

Dan beliau saw merasa berat ketika berdiri dari sujud, maka beliau saw duduk secara singkat, yaitu sekedar beliau saw bisa mengucapkan ‘Subhanallah’ atau sekedar memanjangkan huruf lam pada kalimat takbir, ketika beliau saw bangkit dari sujudnya.

 

Jika perbuatan itu hanya sederhana seperti itu, maka sebaiknya tidak dipermasalahkan lebih jauh dan tidak juga melakukannya, karena ditakutkan dapat membatalkan shalat dan dapat menimbulkan perdebatan. Padahal Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

 

Artinya: “Sungguh akan binasa seorang yang suka berlebihan.” (Hal ini diucapkan oleh Nabi saw sebanyak tiga kali.)

 

Hendaknya seorang yang sedang shalat tidak memperhatikan masalah-masalah yang sederhana. Sebaiknya ia memperhatikan kekhusyu’annya dan konsentrasi hatinya kepada Allah swt. Sehingga shalatnya hanya mengingat Dzat Allah swt dan tidak mengingat yang lain.”

 

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang menghadiahkan pahala sedekah bagi orang-orang yang telah meninggal dunia, misalnya kedua orang tua kita ataupun kepada orang lain.”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Adapun menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an, para ulama masih mempermasalahkan tentang sampainya pahala itu kepada arwah yang dituju. Nampaknya Madzab al-Imam asy-Syafi’i dan madzab lainnya menyatakan tidak sampai.

 

Akan tetapi ada sebagian ulama dari kelompok Madzhab alImam asy-Syafi’i yang mengatakan sampai, asalkan orang yang bersangkutan mengucapkan: “Ya Allah, sampaikan bacaan do’aku ini kepada si fulan.

 

Hal itu sebaiknya dilakukan ketika seorang bersedekah atau membaca al-Qur’an dengan niat memberikan sebagian pahalanya kepada arwah yang telah meninggal dunia dan bagian yang terbesar untuk dirinya. Itulah pendapat kami berdasarkan pendapat sebagian besar ulama tentang masalah ini.

 

Adapun jika yang membacanya diberi upah, maka seharusnya ia menghadirkan seluruh pahalanya kepada arwah keluarga yang mengundangnya. Adapun ucapan seorang yang berkata: “Dan jadikan baginya pahala seperti itu didalam catatan amal-amal kami.” Ketahuilah bahwa do’a seperti itu adakalanya diterima, tetapi adakalanya juga tidak diterima.

 

Adapun ucapan malaikat “amin dan semoga engkau diberi yang sepertinya Ketahuilah bahwa do’a seperti itu adalah do’a khusus dari seorang mukmin kepada saudaranya yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu do’a semacam ini tidak perlu dibicarakan lagi. Adapun pendapat kaum awam adakalanya salah dan adakalanya benar, tetapi kesalahan tutur kata mereka dan perbuatan mereka lebih banyak yang benar. Kiranya itulah yang kami mengerti.

 

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang apa bedanya cahaya akal, cahaya ilmu dan cahaya kebenaran?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Segala puji bagi Allah swt yang telah memberi pertanyaan kepada kami seperti ini dan kami yakin bahwa si penanya cukup jenius dan berharap jawaban yang benar. Ketahuilah bahwa menurut kaum sufi, macamnya cahaya cukup banyak jumlahnya.

 

Tentang tiga macam cahaya yang disebutkan di atas, tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya dan kedudukannya pun berbeda beda. Seperti yang engkau katakan, cahaya mata, cahaya mata hati dan cahaya batin.

 

Sehingga terlihat ada berbagai jumlah dan kelainan antara yang satu dengan yang lain. Hal semacam ini seperti yang dikatakan oleh seorang, cahaya batin, adalah cahaya mata hati, seolah-olah keduanya saling berbeda, padahal antara keduanya ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Pandangan mata batin bersifat umum, sedangkan pandangan mata hati bersifat khusus. Contoh-contoh semacam itu cukup banyak.

 

Dalam hal ini, alImam Hujjatul Islam al-Ghazali ra telah menulis sebuah buku tentang masalah ini dengan judul al-Misykaah al-Anwaar. Di dalam kitab tersebut, beliau ra menerangkan berbagai macam cahaya serta berbagai tingkatannya dan apa saja yang terkait erat dengan ilmu yang benar dan hakekat.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang bacaan Hizib an-Nur yang disusun oleh al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa jumlah tujuh puluh delapan yang dijadikan sebagai sarana bertawasul berbeda dengan jumlah tujuh puluh delapan yang dijadikan sebagai sarana mohon perlindungan.

 

Ada kemungkinan jumlah tersebut untuk mohon perlindungan dari nafsu amarah atau dari segala bencana yang datangnya mendadak ataupun dari gangguan setan dan lain sebagainya.

 

Pokoknya, seorang yang membaca Hizib an-Nur, hendaknya ia mempunyai niat dan maksud yang baik sebagaimana niatan yang dimiliki al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. Sebab, beliau ra termasuk seorang syeikh mursyid dan seorang ‘arif billah yang mendapat ilmu laduni.”

 

Seorang bertanya: “Tentang bagaimana cara membaca hizib-hizib al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa seorang ‘arif billah berkata: “Seorang yang hendak membaca hizib-hizib al-Imam asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra, hendaknya ia membacanya setiap kali setelah mengerjakan shalat fardhu.

 

asy-Syeikh ibn al-Malik ra, seorang pengikut al-Imam asySyeikh asy-Syadzili ra berkata: “Seorang yang hendak membaca asy-Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. Sebaiknya, ia membaca Hizib al-Bahr sehabis Shalat Subuh, kemudian membaca Hizib an-Nur sehabis Shalat Dhuhur.

 

Kemudian membaca hizib al-Bahr sehabis Shalat Asar, kemudian membaca Hizib Tauhid sehabis Shalat Maghrib, kemudian membaca hizib alHamdu Wa asy-Syukur sehabis Shalat Isya’ dan membaca huzib yang terakhir karya al-lmam asy-Syeikh Abul Abas al-Mursi ra, murid ak-Imam asy-9yeikh Abul Hasan asy-Syadzih ra.”

 

Yang membaca hizib-hizib tersebut, hendaknya membacanya dalam keadaan suci, menghadap kiblat, hatinya khusyu dan berkonsentrasi hanya kepada Allah swt. Maka dengan cara demikian, seorang akan mendapat manfaat dan hatinya akan bercahaya. Demikian juga ketika ia membaca shalawat, ayat-ayat al Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a lainnya. Pokoknya keberhasilan seorang tergantung kepada kesungguhannya dan ketinggian kemauannya serta kebersihan motivasinya.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang ada tiga orang yang datang ke majelis dzikir, yang pertama duduk di depan, yang kedua duduk dibelakangnya dan yang ketiga duduk di deretan yang paling belakang. Manakah yang terbaik diantara ketiga orang tersebut?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Nampaknya orang pertama yang duduk di deretan paling depan mempunyai nilai yang terbaik diantara yang lainnya. Sedangkan orang kedua yang duduk dibelakangnya juga mempunyai nilai yang baik. Sedangkan orang ketiga yang duduk di deretan yang paling belakang, ia mempunyai nilai terburuk, karena ia tidak ingin menempati deretan yang terbaik.

 

Adapun jika seorang melakukannya karena lupa atau karena tidak peduli kepada kebaikan, maka sebaiknya ia tidak lupa dari berdzikir di dalam hatinya. Maka dengan cara itu ia akan mendapat pahala yang cukup bagus.

 

Adapun majelis al-Qur’an atau majelis ta’lim yang lain, adalah majelis-majelis yang baik, ia termasuk majelis dzikir yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah swt. Sebab, siapapun yang rajin mendekatkan dirinya kepada Allah swt hanya karena-Nya. Serta berharap mendapat pahala di akhirat, maka ia termasuk orang-orang yang berdzikir kepada Allah swt. Itulah yang dikatakan oleh para ulama, khususnya oleh al-Imam an-Nawawi ra di dalam Kitab alAdzkar dan di lain-lain kitab.

 

Adapun perintah bersedekah yang terdapat dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Setiap pagi, setiap umat Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk bersedekah sebanyak ruas anggota tubuhnya.”

 

Maksudnya adalah menganjurkan setiap orang untuk mensyukuri nikmat Allah swt dan berbakti kepada-Nya, tidak untuk yang lain. Bagi yang tidak mampu melakukannya, ia tidak berdosa namun ia termasuk seorang yang lupa dan kurang bersyukur kepada Allah swt.

 

Karena itu ia dianjurkan untuk menggantinya dengan melakukan Shalat Dhuha sebanyak dua rakaat, seperti yang disebutkan dalam sabda beliau saw: “Barangsiapa yang mengerjakan Shalat Dhuha, maka ia akan dijauhkan dari api neraka.” Semua itu termasuk amal-amal kebajikan dari seorang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

 

Maksud sabda Nabi saw: “Siapapun yang ingin mencariku, maka carilah aku diantara orang-orang yang lemah.” Mereka adalah kaum fakir miskin dan orang-orang lemah yang shaleh dari orang-orang yang beriman. Sebab beliau saw lebih suka berada diantara mereka.

 

Dan beliau saw membanggakan mereka dengan sabdanya: “Sesungguhnya kalian diberi kemenangan dan rezeki. Hal itu dikarenakan adanya kaum lemah diantara kalian.”

 

Tentang mereka, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Dan bersabarlah engkau bersama orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Qs. al Kahfi ayat: 28).

 

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah swt berfirman:

 

Artinya: “Dan janganlah engkau mengusir orang orang yang menyeru Tuhannya dipagi hari dan petang hari sedang mereka mengharap keridhaan-Nya.” (Qs. al-An’am ayat: 52).

 

Demikian pula larangan Allah swt yang serupa ada dibagian awal Surat Abasa.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang sabda Rasulullah saw: Subhaanallaahi “adada khalgihi.’ Apakah seorang yang membaca sekali dari kalimat tersebut, ia akan mendapatkan – pahala sebanyak itu?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Adapun bacaan yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw dalam sabda beliau saw itu sebenarnya tidak dapat dikiaskan dengan bacaan yang lain.

 

Akan tetapi jika seorang membacanya dengan niat yang ikhlas dan berharap pahala, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak itu karena keluasan karunia Allah swt. Kalaupun tidak, maka ia mendapat pahala seperti yang dijanjikan. Sesungguhnya Allah swt tidak pernah menyia-nyiakan amal kebajikan seseorang hamba-Nya.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang pengertian beberapa hadis dan atsar.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa pertanyaanmu tentang sejumlah ayat, hadis dan juga atsar, sebenarnya telah dibicarakan panjang lebar oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ullumuddin dan dalam Kitab al-Arba’in.

 

Termasuk juga asy-Syeikh Abu Thalib al-Makki ra dan penyusun Kitab al-“Awarif. Sebenarnya masalah itu telah dibicarakan oleh ahlinya panjang lebar, tetapi tidak perlu diperdebatkan lagi, karena pembicaraannya memerlukan ilmu-ilmu lahir yang lain.

 

Adapun pertanyaanmu tentang dzikir dan do’a yang dibaca sewaktu Shalat Tahajjud, kami biasa membacanya setelah melakukan shalat sunnah dua raka’at secara singkat, karena waktu itu adalah sebaik-baik waktu untuk membacanya. Tetapi dzikir dan do’a yang dibaca ketika baru bangun tidur sambil mengusap wajah dan memandang ke langit, maka aku membacanya ketika bangun tidur sebelum berwudhu.

 

Kami mengetahui bahwa penulis Kitab at-Tuhfah alMuta’abid pernah menyebutkan do’a yang bagian awalnya: “Allaahumma lakal hamdu anta gayyumus samaawaati wal ardli,” yang termasuk dalam do’a iftitah. Menurutku, sebaiknya do’a ini dibaca setelah melakukan shalat sunnah dua raka’at yang ringan.

 

Surat-surat yang biasa dibaca pada tiap malam, seperti Surat Yasin, Surat al-Jin, Surat ad-Dukhan, Surat al-Mulk dan Surat alWagi’ah, jika dibaca di awal malam, maka nilainya lebih utama. Namun jika ada udzur, maka boleh dibaca setelah bangun tidur dan hal itu tidak mengapa. Dan itulah yang biasa kami lakukan jika kami mendapat udzur.”

 

 

 

asy-Syeikh Umar bin Salim Bahmid ra bertanya: “Tentang berkumur setelah berbuka puasa.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Pertanyaanmu tentang orang-orang yang menyegerakan Shalat Maghrib setelah berbuka puasa dengan minum air dan makan kurma, kemudian ia berkumur untuk menghilangkan sisa makanan yang ada di mulutnya dan mereka takut kalau tertinggal Shalat Maghribnya, khususnya jikalau tidak mendapati takbiratul ihram atau lainnya.

 

Ketahuilah bahwa menyegerakan berbuka puasa dan mendahulukannya dari melakukan Shalat Maghrib termasuk perbuatan sunnah yang biasa dilakukan oleh orang-orang saleh terdahulu. Kebanyakannya mereka hanya berbuka puasa dengan minum air saja apabila mereka takut ketinggalan Shalat Maghrib.

 

Berbuka dengan buah kurma juga termasuk sunnah. Jika engkau mengakhirkan makan buah kurma sampai setelah selesai melakukan Shalat Maghrib, maka hal itu tidak mengapa. Biasanya kami berbuka dengan buah kurma lebih dahulu, kemudian minum air, kemudian melakukan Shalat Maghrib, sehingga kami melakukan segala amalan sunnah menurut ketentuannya masing-masing.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang ucapan atau jawaban sehabis mendengarkan kumandang adzan: “Ya benar, memang tiada Tuhan selain Allah swt dan engkau telah mengucapkannya dengan baik.’ Apakah kalimat semacam itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw?”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa sampai kini, kami belum pernah mendapati dalil yang menyatakan bahwa hal itu pernah dilakukan Rasulullah saw. Adapun mengikuti sunnah Nabi saw adalah bagus dan utama. Adapun tradisi yang baik sebenarnya tidak perlu dilakukan apabila tradisi itu jelas-jelas bertentangan dengan Sunnah Baginda Nabi Muhammad saw. Jikalau tidak bertentangan, maka tidak mengapa”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang berbagai perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang di Bulan Ramadhan. Bukankah setan telah diikat?”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwasannya hadis yang menyatakan bahwa setan diikat di Bulan Ramadhan adalah adalah benar. Sedangkan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang, adalah karena terdorong oleh nafsu amarah mereka, khususnya yang terkait erat dengan berbagai kesenangan yang menggiurkan.

 

Tentang masalah ini, al-Imam asy-Syeikh Ibnu Arabi ra pernah membicarakannya secara panjang lebar. Adapun ucapan Anda: “Sesungguhnya tidak seorangpun dapat melakukan shalat secara sempurna, selain seorang wali gutub al-ghauts.

 

Perlu diketahui bahwa siapapun yang telah menjadi wali Allah swt, maka mereka akan melakukan shalat dengan sempurna. Hanya saja tingkatan kesempurnaan mereka berbeda-beda, termasuk juga dalam pengamalan ibadah-ibadah yang lain. Makin sempurna keimanan seorang, maka makin sempurna pula ibadahnya.” 

 

 

 

asy-Syeikh Abdullah bin Usman al-Amudi ra bertanya: “Tentang tingkatan-tingkatan yang ada di dalam surga.” al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Pertanyaan Anda tentang Surga Aden, ketahuilah bahwa istana di dalam surga akan menghadap ke arah kebun. Tetapi keadaannya tidak dapat dibayangkan oleh akal dan indera kita.

 

Tetapi menurut berita yang terkenal, Surga Firdaus dan Surga Aden merupakan dua surga yang paling mulia. Kenikmatan apapun yang ada di dalam kedua surga itu cukup bagus dan tidak perlu dipermasalahkan lagi.

 

Dikabarkan bahwa Surga Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan diatasnya ada Arsy Rahman. Dalam hal ini, Baginda Nabi saw pernah berdo’a: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu surga yang menjadi penaungnya adalah Arsy-Mu, yang menjadi cahayanya adalah cahaya wajah-Mu dan yang menjadi kesenangannya adalah rahmat-Mu.”

 

Jika seorang mukmin mohon diberi surga macam apa saja, maka permohonannya sudah cukup baginya, apalagi jika pengetahuan amal-amal kebajikan dan keikhlasan orang-orang yang ada di masa ini sangat minim.

 

Diberitahukan bahwa al-Imam asy-Syeikh Ibnul Mubarrak ra menemui kawan-kawannya seraya berkata: “Tadi malam aku telah berbuat yang tidak pantas terhadap Tuhanku, yaitu ketika aku mohon diberi surga.”

 

Disebutkan juga bahwa ada seorang Arab dusun berkata:

 

“Aku tidak bisa memohon kepada Allah swt seperti permohonanmu dan permohonan Sahabat Mu’adz bin Jabal ra, tetapi aku mohon diberi surga dan mohon diberi perlindungan dari api neraka.” Lalu Rasulullah saw menjawabnya: “Akupun juga memohon kepada Allah swt seperti yang engkau mohon.”

 

 

 

Seseorang bertanya: “Tentang sabda Baginda Rasulullah saw yang mengatakan bahwa hak Allah swt dari hamba-hamba-Nya tidak pernah dipenuhi menurut ukuran yang semestinya.”

 

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjwab: “Ketahuilah bahwa tidak seorang pun dapat memenuhi hak Allah swt meskipun ia seorang nabi atau seorang malaikat yang paling dekat sekalipun, sehingga jika Allah swt murka kepada hamba-hamba-Nya, maka hal itu adalah layak, karena hal itu adalah bagian dari keadilan-Nya.”

 

 

 

Seorang bertanya: “Tentang sebuah hadis Nabi Muhammad saw yang menyatakan: Seorang yang beribadah di malam hari dan ia membaca sepuluh ayat di dalam shalatnya, maka ia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai. Dan barangsiapa yang membaca seribu ayat, maka ia dicatat sebagai seorang yang bersedekah emas dan perak.”

 

al-“Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Ketahuilah bahwa hadis diatas cukup dikenal. Adapun membaca al-Qur’an di malam hari, khususnya di waktu shalat malam, biasa dilakukan oleh salafunasshalihin.

 

Keterangan semacam itu pernah juga disebutkan dalam beberapa hadis shahih. Demikian pula, banyak berita yang menyebutkan bahwa kaum sahabat dan tabi’in biasa melakukan perbuatan tersebut.

 

Membaca al-Qur’an di luar shalat, baik di waktu malam maupun di waktu siang, pernah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra: “Seorang yang membaca al-qur’an dalam shalatnya, maka dalam satu huruf dari bacaannya ia akan diberi seratus pahala. Jika ia membacanya di dalam shalatnya dan ia duduk, maka ia mendapat lima puluh pahala.

 

Dan jika ia membacanya di luar shalatnya dan ia dalam keadaan suci, maka ia akan diberi duapuluh lima pahala. Dan jika ia membacanya di luar shalatnya dan ia dalam keadaan tidak bersuci, maka ia akan diberi sepuluh pahala.” Meskipun demikian, berita semacam ini tidak pernah dikatakan oleh seorang sahabat dari dirinya, karena itu hadis semacam itu disebut hadis marfu.’

 

Tentang masalah ini ada beberapa hadis yang menyebabkan seorang menilainya saling bertentangan dan mereka meragukan jikalau seseorang yang menbaca al-Qur’an akan mendapat pahala yang sebesar itu. Padahal masalah seperti ini tidak perlu diragukan lagi, karena karunia Allah swt Maha Luas dan manusia mempunyai perbedaan dalam tingkatan dan bacaannya.

 

Pokoknya, didalam segala keadaan, manusia saling berbeda. Semuanya tergantung perbuatan mereka. Sekecil apapun amal kebajikan seorang, pasti akan diberi pahala dan Allah swt tidak akan merugikan hamba-Nya sedikitpun.