IMAM ABDUL GHANI AN-NABULSI
SEGALA PUJI BAGI Allah yang telah menyingkap manifestasi abadi sifat-sifat-Nya dengan jelas. Dengan gambaran yang kasat mata Dia menyibak topeng nama-nama-Nya dan melipat jarak antara Dia dan hamba-Nya (sehingga antara keduanya sangat dekat, sedekat urat nadi).
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada orang yang menajamkan matanya dengan bantuan mata batinnya dan menghilangkan kabut di dalam hatinya dengan sifat kemanusiaannya.
Semoga ridha Allah terlimpah kepada semua keluarga beliau, baik dari jalur nasab maupun para pengikut yang enggan berselisih paham atas sosok Nabi saw. Kepada siapa pun yang berjumpa dengan beliau, baik yang bertemu pandang secara jasmani maupun secara rohani, dia seperti orang yang menyepuh perak dengan emas yang dia miliki. Juga kepada para pengikutnya yang mengikuti agama (Islam) ini setiap saat. Amma ba’du.
Inilah penuturan seorang yang tertawan berbagai macam kesalahan, gudang segala kekurangan dan aib, bernama Abdul Ghani bin Ismail yang bernasab an-Nabulsi, bermazhab Hanafi, bertarekat Qadiri, berasal dari Damasukus, juga bertarekat Naqsyabandi secara lahir dan batin, dan berpihak terhadap kaum fakir.
Syekh Abu Sa’id an-Naqsybandi al-Balkhi adalah seorang syekh yang perkataannya membangkitkan semangat para salik, Apa yang beliau kehendaki semata berasal dari kehendak Yang Mahakuasa lagi Maharaja, kehendak tersebut terus dirawat dengan pertolongan-Nya—baik di permulaan maupun di akhir—semoga Allah selalu memberi beliau anugerah yang langgeng dan kekuatan di dunia dan akhirat. Syekh Abu Sa’id telah memberikan perintah kepadaku untuk menulis syarah (penjelasan) atas risalah (kitab tipis) berbahasa Arab yang telah diterjemahkan dari Bahasa Persia ini.
Penulis risalah tersebut adalah al-‘Arif al-Kamil al-‘Alim al-‘Amil Syekh Tajuddin an-Naqsyabandi, semoga Allah menyinari pusaranya serta menyucikan ruhnya di alam Barzakh. Dalam risalah itu, Syekh Tajuddin menjelaskan tarekat Naqsyabandiyah yang berlandaskan pada kaidah-kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau juga menjelaskan berbagai kondisi spiritual (hal) yang mulia dan berbagai tingkatan (maqamat) yang luhur sebagai pedoman bagi para salik, sekaligus sebagai penyelamat bagi orang-orang yang binasa. Saya pun merealisasikan permintaannya, mewujudkan keinginannya, dan menangkap maksud yang disampaikannya karena sangat menginginkan maqam ubudiyyah yang kekal.
Dalam syarah ini, saya perlihatkan rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati orang-orang yang dianugerahi ilmu serta cahaya yang terjaga. Saya berusaha mendekatkan makna yang saya tulis ini sesuai tarekat sang guru, karena menurut mayoritas ulama (yang utama) adalah kesesuaian perkataan dengan orang yang mengatakannya.
Saya memberi judul karya ini dengan Miftah al-Ma’iyyah fi Bayan Thariq an-Naqsyabandiyah. Hanya dari Allah saya memohon pertolongan dalam menuliskan ini semua, karena Dialah pemilik petunjuk menuju jalan yang lurus.
Dengan nama: Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Aku memulai segala (pekerjaan) dengan menyebut salah satu nama dari nama-nama Allah swt. Hal ini bermakna, segala hal yang aku inginkan perwujudannya semata hanya dalam bentuk kiasan dari nama-nama Allah saja dan hanya Allah sendiri yang mampu mengejawantahkan nama-nama-Nya secara hakiki. Dialah Pelaku yang sebenar-benarnya, sedangkan aku hanya sebagai pelaku majasi.
Hal yang tampak bagiku adalah kiasan, sedangkan bagi-Nya adalah hakikat. Sementara hal yang tersembunyi bagiku adalah hakikat, sedangkan bagi-Nya adalah kiasan. Itu terjadi karena wujud hamba dan Tuhan memang terjadi berdasarkan pada hukum akal dan syariat. Hanya kepada-Nya segalanya kembali, yaitu kepada “wujud hakiki” yang mana tingkatan spiritual tidak berlaku lagi. Tidak ada lagi istilah hamba dan Tuhan karena hanya ada Allah, tidak ada Tuhan selain-Nya.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Sayidina Muhammad.
“Al-Hamdu” adalah sifat wujud kauni (keberadaan yang kasat mata) atas wujud ‘aini Allah (keberadaan yang tidak dapat diindra) yang Mahaindah dan Mahakaya. Dengan demikian, penghalang (hijab) adalah rahmat, seperti yang dinyatakan oleh penyair,
Kalau aku tampak tanpa hijab
Pasti kuperbudak semua makhluk
Tetapi dalam hijab ada kelembutan
Dengannya hati pecinta jadi hidup
Keindahan ini adalah rahmat yang mencakup segala sesuatu. Oleh karena itu, Syekh Tajuddin menyebut “Jillah”, dengan menyampaikan satu nama yang mencakup semua nama Allah. Dengannya segala sesuatu tampak sebagai rahmat ilahiah, sesuai dengan berbagai jenis tingkatan spiritual yang kasat mata (kauniyah).
Kemudian beliau. menyebut “rabb” yang artinya “pemilik,” lalu menyebut “al-alamin” karena sifat ketuhanan (rububiyah) terjadi setelah sifat wujud. Jadi, ar-rahman yang mewujudkan, lalu ar-rabb yang memilah. Allah adalah sisi batin dari ar-rahman, sedangkan ar-rahman adalah sisi lahir Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman,
“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma‘ul Husna (nama-nama yang terbaik).’” (QS. al-Isra’ [17]: 110)
Allah juga menegaskannya dengan ayat di bawah ini,
“Yang Zahir dan Yang Batin.” (QS. al-Hadid [57]: 3)
“ Shalah” atau shalawat adalah rahmat bagi adanya wujud, sedangkan yang dimaksud “salam” adalah keselamatan berupa limpahan anugerah.
“Sayyidina” adalah sosok yang memimpin kita dengan hakikatnya yang memiliki cahaya tersembunyi, penerang bagi hakikat kita yang gelap.
Nabi disebut dengan nama “Muhammad” karena segala makhluk memujinya. Selain itu, wujudnya memiliki cahaya dan dianugerahi perlindungan yang abadi (inayah azaliyah). Nabi Muhammad saw. adalah hakim atas segala sesuatu, sesuai dengan (hukum yang berlaku pada) tiap sesuatu itu sendiri. Segala sesuatu memujinya dengan kesiapsiagaannya yang sangat sempurna. Di samping itu, Nabi Muhammad saw. selalu memuji (hamid) dzat Sang Pemberi yang menganugerahinya hak istimewa. Sebab demikian, beliau dinamai “Muhammad” sebagai penamaan yang berdasarkan ilham atas penciptaan wujudnya, bukan dari jiwa dan akal.
Dan keluarga serta seluruh sahabatnya.
Keluarga nabi adalah siapa pun yang memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad saw., baik dari segi nasab (keturunan) maupun ittiba’ (mengikuti) beliau sebagai bentuk nasab rohani karena nasab itu sendiri ada yang bersifat jasmani dan ada yang bersifat rohani. Adapun arti kata “ala” adalah “raja’a” (kembali atau merujuk). Orang-orang yang kembali tersebut terdiri dari berbagai macam kondisi. Di antara mereka ada yang merujuk kepadanya dalam maqam (tingkatan) tertentu sehingga sisi gelap dirinya (zhulmaniyyah) hilang, sedangkan cahaya dalam dirinya (nuraniyyah) menetap. Sisi cahaya itu merupakan inti sari Nur Muhammad saw. Sementara sebagian lainnya menyatu dengan seluruh tingkatannya (maqam). Kelompok ini terdiri dari orang-orang sempurna yang kehilangan cahaya (nuraniyyah) dalam diri mereka sehingga mereka menjadi Nur Muhammad itu sendiri.
Saya telah menunjuk kedua maqam ini dalam bait berikut ini,
Aku tidak lain hanyalah hayula (materi) Selintas sinar dari sang Musthafa
Kemudian Syekh Tajuddin menyebut “wa shahbihi”, yaitu siapa pun yang pernah bertemu Nabi saw., baik di alam jasmani maupun alam rohani. Mereka adalah orang-orang baik yang didekatkan kepada Allah atau disebut muqarrabun. Kebersamaan dengan Allah bukanlah penyatuan dengan-Nya. Oleh karena itu, khamr surga dihidangkan untuk orang-orang baik, lalu diminum oleh mugarrabun.
“Campuran khamr murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang diminum oleh sorang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 27—28)
Kata “ajma’in” disebutkan sebagai penegasan untuk kata “al” dan “shahb” agar tidak satu pun dari mereka yang luput. Dengan demikian, kehadiran dan anugerah bagi Nabi saw. menjadi sempurna pada semua tingkatannya, baik yang bersifat Mulkiyyah maupun Malakutiyyah sehingga segala wujud tetap lestari pada diri dan figurnya.
Ketahuilah semoga Allah memberi taufik kepada kami dan engkau bahwa keyakinan para tokoh Naqsyabandiyah qaddasallah asrarahum adalah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketahuilah, wahai orang-rang yang ingin mengenal Allah (makrifatullah). “I’lam” yang berarti “ketahuilah” merupakan kata yang menjadi pembuka berbagai pembahasan penting.
Allah swt. berfirman,
“Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Pernyataan “waffaqanallahu ta’la” maksudnya adalah semoga Allah memberikan kita semua taufik dari-Nya, yaitu dengan menciptakan untuk kita keinginan melakukan berbagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Wahai pencari makrifat, ketahuilah bahwa “Anna mu’taqad” adalah orang yang diyakini dalam persetujuan dan ikatan. Hal ini sebagai petunjuk bahwa keyakinan yang tidak diikat oleh hati dengan tanpa keraguan, tidak dapat dianggap sebagai keyakinan dan itu adalah bentuk kekufuran. Allah berfirman,
“Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Allah juga berfirman,
“Kebanyakan mereka hanya mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus [10]: 36)
Kata “sadah” di sini merupakan bentuk plural dari kata “sayyid” yang berasal dari kata “siyadah” yang berarti “kedudukan tinggi.”
Kata “Naqsyabandiyah” adalah kata yang disandarkan kepada “Naqsyaband,” berasal dalam bahasa Persia yang disandarkan pada Syekh Bahauddin ra., sebagaimana yang akan dijelaskan pada pokok pembahasan yang akan datang. Insyaallah.
Kalimat “qaddasallahu asrarahum” maksudnya semoga Allah menyucikan ruh yang qudus dan hati mereka yang memiliki berbagai jenis noda yang menjauhkan dari Allah.
Maksud kalimat “huwa mu’taqadu ahlussunah wa al-jama’ah” adalah bahwa semua yang disebutkan tadi merupakan keyakinan ahlussunnah, yaitu orang-orang yang berpegang kepada sunah Nabi Muhammad saw. Adapun wa al-jamd’ah adalah orang-orang yang mengikuti kebenaran yang jelas dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in tanpa penyimpangan, bid’ah, perubahan, dan tanpa hal-hal baru. Sebagaimana yang dilakukan oleh semua tokoh Naqsyabandiyah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Tarekat mereka adalah melanggengkan ubudiyah yang tidak dapat digambarkan tanpa pelaksanaan ibadah, yaitu berupa pernyataan tentang kesinambungan hudhur (kehadiran hati) bersama Allah swt.
Maksud “dawam” atau “berkesinambungan” di sini adalah terus menerus pada malam, siang, di perjalanan, mukim, keadaan sehat, sakit, sedih, gembira, berkumpul, sendirian, batin, dan lahir. Allah swt. berfirman,
“Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. al-Ma’arij [70] 23)
Ubidiyyah atau penghambaan yang disebutkan di sini dilakukan tanpa terputus. Apabila ibadah seorang hamba terputus pada waktu tertentu atau ketika terlena karena suatu penyebab yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi maka pada saat itu dia telah keluar dari tarekat dan dianggap bergabung dengan kalangan mukmin awam yang terlena, sampai dia kembali masuk ke dalam tarekat para ahli ibadah.
Penghambaan dapat terjadi hanya melalaui pelaksanaan ibadah berupa ketaatan kepada Allah baik dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Itu terjadi karena seorang hamba memiliki tiga hal atau kondisi spiritual dalam hidupnya, yaitu dalam keadaan ibadah, dalam keadaan maksiat, dan dalam keadaan netral (tidak dalam keadaan ibadah atau maksiat).
Apabila dia berada dalam ibadah, dia mungkin berada dalam penghambaan atau ubidiyyah dan mungkin pula tidak. Apabila dia berada dalam keadaan maksiat, dia tidak mungkin berada dalam penghambaan sampai kapan pun juga sehingga dia akan meninggalkan maksiat itu dengan tobat.
Sebab, tobat merupakan sebuah bentuk ibadah yang membuatnya dapat berada kembali dalam penghambaan setelah melakukannya. Adapun yang kami maksud bahwa seorang hamba berada dalam dosa adalah ketika dia sibuk melakukan kemaksiatan sehingga dia tidak memerhatikan imannya, sedangkan maksiat adalah sesuatu yang Allah swt. larang. Namun, apabila dia tidak meyakini bahwa maksiat itu larangan Allah swt., dia sudah kufur.
Apabila seorang hamba ketika dalam keadaan maksiat tetap meyakini bahwa perbuatan maksiat adalah larangan Allah swt., tidak terlena dengan kemaksiatan itu, dan tidak membantahnya maka keyakinannya terhadap kemaksiatan sebagai larangan Allah tetap menjadi bagian dari ibadah baginya dalam bentuk keimanan. Begitu juga, apabila dia melakukan maksiat jasmani, penghambannya dapat terjadi pada kondisi seperti itu. Sebagaimana yang dikutip dari Imam Junaid ketika dia menjawab seseorang yang bertanya, “Apakah seorang wali mungkin berzina?” Imam Junaid menjawab, “Itu adalah urusan Allah sebagai takdir yang ditetapkan kepadanya.”
Apabila seorang hamba berada dalam kondisi netral atau mubah, dia berniat menyediakan itu sebagai upaya mencari motivasi beribadah sehingga dia berada dalam ruang lingkup ibadah. Akan tetapi, jika dia tidak berniat seperti itu, dia tidak berada dalam ruang lingkup ibadah karena tidak adanya ibadah. Dengan demikian, dia tidak mungkin berada dalam ruang lingkup penghambaan (ubudiyyah), kecuali jika disertai dengan ibadah. Sementara itu, ibadah mungkin terjadi tanpa penghambaan, seperti ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang lalai terhadap Allah swt.
“Ubudiyyah” atau penghambaan itu sendiri, dalam nomenklatur para tokoh Naqsyabandiyah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan terjadinya kehadiran secara spiritual atau merasa yaqin keberadaan di dalam hati (hudhur), yaitu sadar dan ingat terhadap penyaksian (Syuhud) dan pengawasan (muragabah) Allah swt. Dengan kondisi seperti itu, seorang hamba benar-benar bersama dengan Allah, bergerak dengan-Nya, diam dengan-Nya, berbicara dengan-Nya, diam dengan-Nya, duduk dengan-Nya, berjalan dengan-Nya, berdiri dengan-Nya, memahami dengan-Nya, membuat persepsi dengan-Nya, mengindra dengan-Nya, melihat dengan-Nya, mendengar dengan-Nya, tidur dengan-Nya, makan dengan-Nya, minum dengan-Nya, dan demikian adanya dia pada semua hal yang ia persepsi menggunakan akal dan indra sehingga ia menilai seluruh alam semesta berjalan bersama dengan-Nya.
Tanpa disibukkan oleh perasaan dengan yang selain (Allah), melainkan disertai perasaan kagum terhadap sifat kehadiran hati dengan wujud Allah swt.
Semua yang disebutkan di atas dilakukan seorang hamba tanpa pergulatan dalam hati dengan selain Allah, termasuk dengan dirinya sendiri. Dia pun melihat semesta berjalan bersama dengan-Nya. Hanya Allah yang menggerakkan semua itu, sebagaimana Allah pula yang mendiamkan mereka karena semuanya adalah perbuatan-Nya. Semua gerak milik-Nya, sebagaimana semua diam juga milik-Nya. Bukan milik jiwa, akal, ruh, dan bukan pula milik tubuh mereka. Allah Maha Berbicara dengan lisan-lisan mereka. Hanya Dia yang menerima dengan tangan-tangan mereka. Hanya Dia yang berpengetahuan dengan akal-akal mereka. Hanya Dia yang membuat persepsi dengan jiwa-jiwa mereka. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan pada diri mereka, kecuali dengan-Nya. Dengan begitu, hanya Dia yang memengaruhi mereka, tapi mereka bukanlah gambaran atau gubahan-Nya.
Semua alam semesta adalah objek yang dipersepsi oleh seorang hamba dengan indra atau akal. Sementara pelaku, pencipta, dan pemberi pengaruh yang sejati (atas alam semesta) adalah Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya.
Allah swt. berfirman,
“Padahal Allah mengepung mereka dari belakang.” (QS. al-Buruj [85]: 20)
Hakikatnya, semua perbuatan di alam semesta merupakan rangkaian tindakan dan laku Allah swt. Akan tetapi, Allah menetapkan hukum sesuai dengan perbuatan tersebut dan menampaknya kepada siapa saja secara majasi. Dia juga menetapkan adanya pahala dan dosa atas perbuatan itu, serta menetapkan hukum terhadap setiap perbuatan berdasarkan konsekuensi tersebut. Jadi, orang yang sempurna dalam dua kondisi ini pasti melihat dengan dua mata serta bergerak berdasarkan tuntunan kendali dan pengawasan-Nya.
Perbuatan itu dilakukan dengan perasaan kagum yang muncul dari rasa hudhur, yang telah kami sebutkan sebelumnya sehingga hamba “hadir” bersama Allah swt. tanpa kesadaran bahwa dia “hadir” sekaligus tanpa perasaan sadar bahwa dia “tidak hadir.” Lebih dari itu, hamba tersebut menjadi “gaib” atau hilang dari kondisi hadir itu, dengan wujud Allah swt. Jadi, yang ada baginya dan “hadir” adalah Allah swt. semata, sedangkan dirinya tidak ada sebagaimana begitu pula semua yang selain-Nya sampai-sampai kondisi hadir itu pun tidak nyata baginya. Inilah bentuk penghambaan sejati yang tulus lillahi ta’ala.
Seperti yang telah kami nyatakan bahwa yang nyata (maujud) bagi seorang hamba adalah Allah semata, sedangkan selain Allah adalah tidak ada (ma’dum) termasuk diri hamba itu sendiri serta penyaksiannya. Akan tetapi, yang dimaksud bukanlah bahwa hamba tersebut tidak melihat dan tidak menerima kesan apa pun atas apa yang dapat dilihat dan dapat direspon oleh hamba lain yang lalai, berupa tanda yang nyata. Terlebih lagi, yang dimaksud adalah bahwa Allah swt. ada sekaligus hadir secara mandiri tanpa ada sesuatu apa pun yang ada bersama-Nya di sisi si hamba tersebut.
Allah memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan lahir dan tingkatan batin. Perbedaan di antara dua tingkatan adalah semua yang ada pada yang tampak. Apabila segenap yang tampak ini ada di sisi hamba, yang tampak itu fana karena pada hakikatnya seluruhnya adalah sisi lahir Allah swt. di seluruh tingkatan sifat dan asma-Nya. Apabila segenap yang tampak ini tersembunyi dari hamba, itu adalah sisi batin Allah swt. dalam tingkatan ketampakannya bukan penglihatan atas sesuatu yang bersangkutan karena yang tampak adalah Allah bukan hakikat sesuatu itu sendiri. Allah swt. berfirman,
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88)
Padahal sesuatu yang binasa tidak mungkin dapat dilihat karena tidak memiliki kuasa.
Terkait masalah penghambaan (ubudiyyah), para imam sufi memiliki sangat banyak penjelasan. Dzun Nun al-Misri berkata, “Penghambaan adalah ketika engkau adalah hamba-Nya di setiap keadaan, sebagaimana Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Abu Hafsh? berkata, “Penghambaan adalah perhiasan hamba. Siapa yang meninggalkannya, pasti perhiasan tersebut lepas darinya.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari berkata, “Penghambaan ada pada empat perkara, yaitu menepati janji, menjaga batas kewajaran, ridha pada yang ada, dan sabar terhadap apa yang hilang.”
Imam Junaid al-Baghdadi berkata, “Penghambaan adalah meninggalkan segala kesibukan dan menggantinya dengan kesenggangan.”
Berbagai pernyataan tersebut mengandung pemahaman yang saling berdekatan antara satu dengan yang lain dan saling berkelindan dalam makna yang sama sehingga semuanya terasa cukup menjelaskan segala keadaan.
Kebahagiaan agung ini tidak dapat diraih tanpa jadzab
Wahai pencari makrifat, tidaklah kebahagiaan agung yang berupa penghambaan kepada Allah ini dapat diraih, baik dalam bentuk kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Dapatkah kebahagiaan agung yang mengandung ridha, kemuliaan, dan penerimaan Allah terhadap hamba terjadi tanpa adanya gerak tarikan Ilahiah terhadap dirimu? Kondisi itu akan membuatmu tidak lagi memiliki kehendak batin untuk mengolah berbagai urusan secara mutlak karena jadzab Allah terhadap dirimu, tanpa ada kesadaran dalam diri terhadap keadaanmu sendiri.
Sejatinya, posisi hamba adalah sebagai makhluk yang Allah ciptakan sehingga kemudian Allah bermanifestasi (tajalli) dengannya dalam segala gerak dan diam, dalam batin dan lahir. Posisi hamba bukanlah makhluk ciptaan dirinya sendiri sehingga dia dapat bebas bertindak atau meyakini bahwa dirinya memiliki wujud bersama Allah swt. Bukan pula hamba yang bebas bergerak dan diam dengannya. Siapa yang Allah kehendaki untuk jadzab kepada-Nya serta diperlihatkan kepada Allah bukan kepada dirinya, hal itu akan menjadikannya berpaling dari segala urusan demi bersandar kepada bimbingan Allah dalam manifestasi-Nya.
Allah swt. tidak memiliki tempat, tidak memiliki arah, tidak memiliki rupa, tidak dapat dibayangkan kondisi-Nya. Berlaku sebaliknya bagi mereka yang mengaturnya serta menjadikannya berada di suatu tempat dan arah. Allah membuat semua perbuatan, perkataan, keyakinan, dan keadaan hamba. Jadi, hamba adalah yang bersifat lahir atas Allah swt. yang bersifat batin, seperti pakaian yang dikenakan oleh seseorang. Itulah sebabnya, pakaian yang jumlahnya banyak ada yang berbentuk kemeja, jubah, dan selendang dan sebagiannya yang dikenakan sebagai pakaian dalam. Begitu pula hamba terdiri dari beberapa bagian berupa ruh, jiwa, dan badan yang sebagiannya berada di dalam sebagian yang lain. Di balik semua itu, Allah adalah Maha Berbuat dan Maha Melakukan.
Inilah hakikat jadzab yang menjadikan objeknya dapat merasakan hanya dengan meniti suluk (jalan) amalan-amalan syariat.
Jika Allah tidak ingin menyucikan hati seseorang, Dia akan memperlihatkan kepada orang itu bahwa dirinya terlepas dari Allah sehingga dapat bergerak dan diam sendiri. Apalagi jika Allah ingin menjerumuskan seseorang ke dalam pengingkaran maqam jadzab ini terhadap salah seorang yang menjadi kekasih Allah, dia pasti akan remuk di antara orang-orang yang binasa.
Tidak ada sebab (perantara) di jalan jadzab yang lebih kuat dibandingkan menjalin kebersamaan dengan syekh yang suluknya di jalan jadzab.
Tidak ada perantara bagi engkau di jalan jadzab yang akan membuat engkau sampai kepada-Nya, yang lebih kuat daripada menjalin kebersamaan dengan syekh. Maksud “tidak ada jalan yang lebih dekat” menunjukkan bahwa jadzab tersebut memiliki beberapa jalan lain, hanya saja berbagai jalan itu lebih jauh jalurnya.
Tidak ada jalan yang lebih dekat daripada menjalin kedekatan dengan syekh yang mengenal Allah, mengetahui manifestasi-Nya, memahami hakikat kemanusiaan, dan semua perkembangan manusia yang sempurna atau yang berkekurangan. Jalinan kedekatan dengan syekh yang suluknya kepada Allah swt. dan merasakannya di jalan jadzab, baik jadzab yang mendahului suluknya kemudian dia menempuh suluk setelah itu maupun dia menempuh suluk dulu dalam keadaan lalai kemudian ia mendapatkan jadzab tersebut.
Jadzab yang tidak didahului oleh suluk disebut dengan istilah Majdzub Salik, sedangkan jadzab yang didahului oleh suluk disebut dengan istilah Salik Majdzub. Kedua hamba ini merupakan hamba sempurna. Para murid* mendapatkan bimbingan dengan cara mengikuti kedua hamba tersebut dan ada di bawah bimbingan keduanya.
Bagi hamba yang hanya jadzab, tapi tidak salik atau dia salik, tapi tidak jadzab maka dengan mengikutinya atau ada di bawah bimbingannya para murid tidak akan mendapatkan apa pun. Sebagaimana dengan keduanya tidak ada seorang pun yang akan dapat sampai kepada Allah swt. Puncak tertinggi yang dapat dicapai dalam kondisi ini adalah sampainya majdzub kepada jadzab, dan sampainya salik kepada suluk dengan tetap terbentangnya hijab seperti semula.
Maksud dari suluk adalah menegakkan perintah-perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-larangan-Nya secara batin dan lahir. Adapun suluk yang menjadi jalan jadzab adalah seorang hamba harus berkomitmen terhadap suluk dan beraktivitas atas dasar Allah, bukan atas dasar dirinya dengan keadaan yang sangat asyik menyaksikan Allah swt. melalui berbagai hal yang muncul dari dirinya sendiri.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq semoga Allah menyucikan hatinuya berkata, “Pohon yang tumbuh sendiri tidak akan memiliki buah. Kalau pun ia memiliki buah, rasanya tidak enak.
“Qaddasa sirrahu” bermakna semoga Allah menyucikan hati dari segala hal selain Allah. Pohon yang tumbuh sendiri di tanah, tanpa ada peran seseorang yang menyiraminya, mengolah tanah di tempat tumbuhnya, membersihkan duri darinya, membersihkan daun-daun keringnya, serta menyingkirkan dahan rantingnya yang ranggas, pasti tidak akan memiliki buah. Perkembangan yang dapat dicapai pohon seperti itu hanyalah ukurannya yang kian membesar, kian banyak cabang-cabangnya, serta kian banyak dedaunan hijaunya. Walaupun pohon itu ternyata berbuah, buah itu pasti tidak akan enak rasanya.
Demikianlah keadaan seorang salik menuju Allah swt. yang mempelajari Kitabullah dan Sunah tanpa bimbingan syekh. Suluk yang dijalaninya tidak akan memberikan hasil apa pun. Walaupun suluk yang ditempuhnya ternyata memberikan hasil, pasti hanya sedikit dan hanya bagian kecil saja. Itu terjadi karena dia mempercayakan dirinya untuk melakukan bimbingan terhadap dirinya. Ini serupa dengan orang sakit yang membebani dirinya untuk mengobati dirinya sendiri. Meskipun ternyata dia berhasil sembuh berkat pertolongan Ilahi, tetap saja dia tidak akan sama dengan orang yang mempercayakan pengobatannya yang sakit kepada dokter untuk mengobatinya dengan izin Allah. Demikian pula, jika memang seorang salik berhasil selamat dari berperilaku bid’ah dalam suluknya secara lahir dan batin. Jika dia tidak berhasil selamat dari bid’ah, dia pasti menjadi halik (orang yang binasa), bukan salik (penempuh suluk) karena sangat sulit suluk yang ditempuhnya itu dapat selamat dari nafsu amarah yang buruk.
Imam al-Ghazali berkata, “Apabila ditanyakan, ‘Apakah ilmu yang engkau pelajari hukumnya wajib dalam pandangan manusia meskipun tanpa adanya guru?,’ aku pun tahu bahwa guru dapat membuka jalan dan mempermudah pelajaran dengannya (ilmu) menjadi lebih gampang dan lebih lapang (ashal wa arwah). Allah melimpahkan anugerah kepada hamba-hamba-Nya sehingga menjadi guru bagi mereka.”
Pernyataan “lebih gampang dan lebih lapang” (arwah wa ashal), seperti yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali berarti “lebih kuat”, seperti disebut sebelumnya. Apabila pernyataan Imam al-Ghazali perihal pencarian ilmu tanpa guru diterapkan dalam jadzab ilahi, sebetulnya jadzab tersebut adalah sumber ilmu laduni ketika bersambung dengan suluk yang sahih.
Terkadang jadzab terjadi tanpa terlebih dahulu mengikuti syekh mana pun dan tanpa memerlukan kebersamaan dengan orang yang arif satu pun. Akan tetapi, ia bisa jadi dibarengi dengan amaliah suluk sehingga membuatnya menjadi jelas dan terperinci. Apabila tanpa disertai suluk akan membuatnya menjadi rapuh dan roboh penopangnya karena segala kondisi spiritual merupakan hasil dari amal perbuatan jasmani. Atas dasar inilah, Imam a-Ghazali menyatakan bahwa jalinan kebersamaan dengan syekh mursyid yang mumpuni harus dilakukan karena merupakan ikhtiar.
Terjadinya Sunnatullah harus didahului dengan adanya sebab (ikhtiar).
“Sunnatullah” adalah cara atau perbuatan Allah yang berlaku pada makhluk-Nya yang berlangsung secara terus-menerus tanpa terputus. Dikabulkannya keinginan seseorang oleh Allah swt. harus didahului sebab—tanpa adanya pengaruh yang dimiliki sebab tersebut dalam mencapai sesuatu yang diinginkan itu. Yang terjadi justru hanya Allah yang menciptakan apa yang diinginkannya tersebut. Sebab (perantara) ada tiga macam:
Sebab-sebab Syar’i (Asbab Syar’iyyah) Misalnya, segala bentuk ketaatan dengan seluruh rinciannya menjadi sebab yang mendatangkan keselamatan dari Allah swt. dan mendapatkan pahala di akhirat. Dengan pengertian bahwa Allah menciptakan keselamatan yang berasal dariNya dan pahala di akhirat, bukan disebabkan olehnya, bukan pula di dalamnya, dan tentu bukan untuknya. Demikian pula, semua bentuk kemaksiatan dengan segala’ pembagiannya merupakan sebab-sebab terjadinya kebinasaan di akhirat dengan hukuman seperti yang telah disebutkan tadi. Sebab-sebab Rasional (Asbab ‘Aqliyyah)
Misalnya, pikiran dan analisa terhadap berbagai dalil (bukti), serta pengindraan terhadap objek yang tampak. Semua itu merupakan sebab-sebab bagi persepsi rasional yang Allah ciptakan pada manusia, bukan dengannya, di dalamnya, atau karenanya.
Sebab-sebab Umum (Asbab ‘Adiyyah)
Misalnya, api yang membakar, air yang menenggelamkan serta membasahi, pisau yang memotong, pakaian yang menutupi, matahari yang terbit, dan sebagainya.
Seluruh sebab itu berasal dari Allah sebagai Pemberi Pengaruh satu-satunya. Namun, hal ini terus berlangsung pada penciptaan-Nya dengan menciptakan segala sesuatu disertai adanya sesuatu yang lain sebagai sebab terjadinya sesuatu tersebut. Sesuatu ini disebut sebagai “sebab”, sedangkan sesuatu yang lain disebut sebagai “akibat” (musabbab). Semua itu adalah ciptaan Allah.
Sebagaimana halnya kelahiran dan reproduksi yang alami dapat terjadi dengan adanya bapak dan ibu.
“Sebagaimana halnya kelahiran” berupa kelahiran seorang anak dan “reproduksi” sebagai proses terjadinya keturunan yang terjadi “secara alami” di alam nyata. Misalnya, proses beranak pinak manusia antar satu sama lain, atau proses beranak pinak yang terjadi pada binatang. Semuanya tidak dapat terjadi tanpa adanya “bapak” atau pejantan, dan tanpa adanya “ibu” atau induk. Hal itu berlaku pada semua jenis hewan dan manusia.
Ketika “sebab” tidak memiliki pengaruh apa-apa, selain adanya hubungan biasa, Allah mengingatkan hal itu sebagai peristiwa di luar kebiasaan (khdriq al-‘adah) yang terjadi pada makhluk-Nya. Oleh sebab itu, api tidak dapat membakar Ibrahim as., air tidak dapat menenggelamkan Musa as. serta kaumnya, dan pisau gagal memotong leher Ismail as. Selain itu, Allah juga telah menciptakan Adam as. tanpa ayah dan ibu. Ketika kita semua tercipta dengan adanya ayah dan ibu, ternyata Allah menciptakan Isa as. hanya dengan adanya ibu tanpa ayah. Tujuan dari peristiwa-peristiwa yang tidak memiliki sebab (perantara) tersebut adalah memuliakan makhluk yang Allah pilih dan petunjuk menuju kepada-Nya karena peristiwa tanpa sebab dan samar, sebagaimana Allah nyatakan,
“Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (QS. Qaf [50]: 15)
Perkara yang di luar kebiasaan menjadikan hal itu tidak logis dan diragukan.
Demikian pula dengan perkembangbiakan yang immateri.
Seperti yang disebutkan di atas, demikianlah pula halnya perkembangbiakan immateri yang terjadi antara arwah dan akal, antara akal dan jiwa, antara jiwa dan jasad, serta antara jasad dan amal perbuatan. Arwah adalah “pejantan,” sedangkan akal adalah “betina,” dan “anaknya” adalah penyaksian pada Allah. Akal adalah “penjantan,” sedangkan jiwa adalah “betina,” dan “anaknya” adalah iman, Islam, ketenangan, dan keyakinan. Jiwa adalah “pejantan,” sedangkan jasad adalah “betina,” dan “anaknya” adalah segala bentuk ibadah dan . ketaatan. Jasad adalah “pejantan,” sedangkan amal perbuatan adalah “betina,” dan “anaknya” adalah pahala atau dosa.
Sebagaimana halnya Hawa berasal dari Adam as., begitu pun akal berasal dari ruh, jiwa berasal dari akal, jasad berasal dari jiwa, amal perbuatan berasal dari jasad, dan betina berasal dari jantan. Ini adalah sunnatullah yang terjadi pada makhluk-Nya.
Segala yang tinggi adalah jantan, sedangkan setiap yang rendah adalah betina. Seperti inilah pula halnya seorang syekh mursyid pembimbing bagi murid yang mencari bimbingan melalui perkembangbiakan immateri (tawalud ma’nawi) dan penyatuan rohani (nikah rohani).
Apabila seorang murid berada di maqam akal, sedangkan syekhnya berada di magam ruh, lahirlah darinya penyaksian Allah swt. Apabila murid berada di maqam jiwa, lalu syekhnya berada di maqam akal, lahirlah iman, Islam, ketenangan, dan keyakinan. Apabila seorang murid berada di maqam jasad, lalu syekhnya berada di maqam jiwa, lahirlah ketaatan dan ibadah. Apabila murid berada di maqam amal perbuatan, lalu syekhnya berada di maqam jasad, lahirlah balasan di akhirat,
Walhasil, setiap kali murid berada pada suatu maqam, syekhnya selalu berada di maqam yang lebih tinggi darinya sehingga terjadi pembimbingan serta muncullah berbagai hasil darinya, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.” (QS. al-Fath [29]: 10)
Dengan firman inilah jabat tangan atau mushdfahah ditetapkan pada awal jalan bagi para kekasih Allah demi terjadinya kelahiran rohaniah. Tangan syekh berada di atas tangan-tangan semua muridnya. Kalau tidak seperti itu, tidak akan ada hasil yang mereka raih. Dalam kondisi itu, mereka seperti seorang perempuan yang melakukan nusyuz‘ terhadap suaminya, ia terlaknat sampai ia kembali kepada suaminya atau si suami menjatuhkan talak terhadapnya.
Pencapaian seorang murid tanpa kehadiran seorang pembimbing (guru) amatlah sulit. Dalam ar-Risalah al-Makkiyyah disebutkan, “Siapa yang tidak memiliki guru, setanlah gurunya.”
Pencapaian seorang murid ketika terjadi perkembangan biakan immateri (tawdlud ma’nawi) antara syekh (guru) dan muridnya tanpa adanya bimbingan secara bertahap amatlah sulit, bahkan hampir dipastikan tidak dapat terjadi. Dalam arRisalah al-Makkiyyah dinyatakan kepada imam sufi bahwa siapa yang tidak memiliki guru, seperti apa pun jenis guru tersebut dan dari jenis alam yang mana pun juga, setanlah yang menjadi gurunya.
Hal ini diketahui secara aksiomatik, karena Allah telah berfirman,
“Siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Quran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. az-Zukhruf [43]: 36—37)
Jadi, siapa yang telah memilih seorang guru sebagai jalan yang ditempuh dalam perjalanan menuju Allah, dia harus menganggap gurunya sebagai salah satu pintu di antara pintu. pintu Allah. Hal ini merupakan tingkatan yang paling rendah. Demikian yang dinyatakan oleh Syekh Muhammad al-Bakri ra., dalam beberapa bait gubahannya dari al-Hadhrah al. Muhammadiyyah;
Engkau adalah pintu Allah, siapa pun orang mendatangi-Nya bukan lewat pintumu, ia takkan bisa masuk
Setelah itu, murid hendaknya meyakini bahwa semua yang tampak pada gurunya adalah penampakan Allah swt., baik berupa kabar maupun rahasia. Kabar muncul sebagai petunjuk baginya, sedangkan rahasia muncul sebagai ujian pada maqam iradah (kehendak) dan suluk. Murid melihat gurunya sebagai tempat manifestasi bagi sifat-sifat Allah swt. dan berbagai asma-Nya sehingga murid akan beradab bersama-Nya seperti lazimnya seorang mukalaf yang beradab dengan hukum-hukum Tuhannya dalam segala perintah dan larangan. Ini adalah tingkatan menengah.
Murid tidak melihat gurunya sama sekali, melainkan hanya melihat Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya yang memberi petunjuk hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki.
Ini adalah tingkatan tertinggi. Pada tingkatan inilah Abu Bakar ash-Shiddigq ra. bersama Nabi saw. ketika mengambil pelajaran darinya. Kemudian hal itu tampak jelas setelah wafatnya Nabi saw. ketika dia berkata, “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad sudah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Mahahidup tidak akan mati.”
Berkenaan dengan kondisi ini, Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata mengenai gurunya, Syams Tabriz Qaddasallahu sirrahumal Aziz,
Syams (Tabriz), junjunganku, sandaran hidupku Mulai saat ini, berikanlah aku hak untuk berikhtiar
Maksudnya, bukanlah syekh yang tampak di hadapan murid dengan rupa, jiwa, ruh, dan akalnya itu melainkan hanya Allah swt. Maksudnya adalah bahwa yang tampak di hadapan murid dari balik citra guru dengan jiwa, ruh, dan akalnya itu adalah Allah swt., tidak ada Tuhan selain-Nya. Hal ini disebabkan, sang guru secara keseluruhan adalah bagian dari jejak Allah karena guru tidak memiliki pengaruh, tidak bergerak, dan tidak berdiam, kecuali hanya dengan Allah yang Mahatinggi dari segala keserupaan dengan makhluk, lagi Mahaagung untuk dapat dijangkau persepsi hamba.
Apabila murid tidak bersama guru pada salah satu di antara beberapa tingkatan ini, dia tidak memiliki guru sehingga dia keluar dari maqam iradatullah (kehendak Allah) karena dia. jadi menginginkan citra gurunya, bukan Allah swt. Di titik itu, gurunya adalah setan yang melalaikannya dari penyaksian terhadap Allah dalam usahanya menyaksikan Allah, juga melalaikannya dari perbuatan Allah dalam usahanya berbuat karena Allah.
Murid yang berguru pada setan, dia menyaksikan Allah bukan melalui pintu Allah, bukan melalui sifat-sifat-Nya, dan bukan melalui asma Allah Azza wa Jalla. Murid yang demikian telah lupa kepada Allah di dalam diri gurunya sehingga Allah menghadirkan setan baginya, yaitu setan dalam rupa guru dalam penglihatannya, bukan guru itu sendiri secara hakikj dalam dirinya.
Kemudian setan itu menjadi garin (pendamping) yang terus menyertainya kemudian membuatnya sesat dengan meletakkan sesuatu dalam penglihatannya sebentuk keyakinan yang menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, sedangkan murid mengira bahwa dia sedang mendapat petunjuk hidayah.
Ketahuilah bahwa para guru yang akan menghantarkan kepada Allah sebagai penuntun suluk bagi para murid banyak jumlahnya. Sebaliknya, jumlah para murid justru sedikit karena sesungguhnya segala sesuatu yang merupakan salah satu perbuatan di antara berbagai perbuatan Allah (af’alullah) merupakan sosok guru mumpuni yang menjadi pembimbing menuju Allah. Namun, di manakah gerangan murid yang jujur niatnya? Sesungguhnya guru yang membimbing murid kepada Allah adalah perbuatan Allah swt. itu sendiri, bukan yang lain. Padahal segala sesuatu adalah perbuatan-Nya, dan manusia dengan makhluk lainnya adalah sama dalam hal ini.
Oleh karena itu, Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi Qaddasallahu Sirrahu menyatakan dalam kitab Ruhul Qudus, “Di antara guru-guru yang memberikan ilmu bermanfaat bagi kami dalam perjalanan menuju akhirat dari kalangan umat ini adalah sebuah talang pancuran (mizab) yang ditemukan di Kota Fes, pada sebuah dinding yang dialiri air dari loteng, seperti talang pancuran yang ada di Ka’bah. Aku pun terpaku pada ibadah talang itu, lalu aku berusaha memaksa diriku agar dapat mengimbangi ibadahnya. Di antara para guru kami juga adalah bayangan diriku sendiri. Darinya kuambil dua ibadah.” Serta berbagai pernyataan lain yang seperti itu.
Beliau melanjutkan. “Kami pun banyak menemukan syekh (guru) dari kalangan binatang. Di antara sekumpulan guru yang menjadi prinsip bagiku adalah kuda. Sungguh ibadah kuda begitu menakjubkan. Sebagaimana pula halnya elang, kucing, anjing, singa, kurma, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak pernah sekalipun sanggup untuk membuat ibadahku mencapai batas seperti yang mereka lakukan. Aku hanya mampu melakukan itu pada suatu waktu, tapi tidak pada waktu lainnya.
Sementara mereka dengan keyakinan bahwa aku adalah pemimpin mereka, terus mempermalukanku. Sungguh aku menghadapi kesusahan ketika mereka melihatku dengan segala kekurangan dibandingkan dengan ibadah mereka. Mungkin saja sebagian dari mereka ada yang marah kepadaku sehingga ia terhijab oleh ghairah-nya pada agama Allah karena kecerobohanku terhadap mereka dengan gangguan yang aku lakukan. Kemudian hilanglah keunggulanku atasnya karena dosaku serta jeleknya perlakuanku terhadap Allah sehingga hilanglah ketaatanku kepada-Nya yang menguasai mereka, dan aku memohon maaf kepada mereka atas itu, sebagaimana aku menyerah kepada keikhlasan mereka, Sungguh dulu Abu Bakar ash-Shiddiq ra. telah berkata ketika memangku jabatan Khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan rasul-Nya. Apabila aku bermaksiat, tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku, Sebagaimana Allah swt. berfirman…” dan seterusnya hingga akhir pernyataan Ibnu Arabi.
Perhatikanlah betapa Ibnu. Arabi tidak membatasi dirinya hanya berguru kepada para syekh dari kalangan manusia karena sesungguhnya orang yang benar dalam mencari Allah swt. selalu mendapati segala sesuatu sebagai syekhnya dan menjadi mursyid (pembimbing) sempurna yang menghantarkannya kepada Allah swt.
Siapa pun yang tidak selaras dengan kehendak Allah, pasti tidak akan sampai kepada-Nya, walaupun dia berguru kepada seribu mursyid. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi saw. yang merupakan sosok musyrid paling sempurna dalam membimbing jalan kepada-Nya, ternyata ada sekelompok orang yang memercayainya sehingga mereka semua sampai kepada-Nya. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang mendustakannya dan menjadi golongan orang munafik, bahkan ada kelompok lain yang menentangnya dan mereka pun celaka. Padahal Nabi saw. membimbing mereka semua kepada Allah dengan segenap ucapan dan perbuatannya.
Allah swt. memberi hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.
Tarekat luhur an-Nagsyabandiyah ini didapatkan oleh seorang yang fakir lagi hina dan banyak memiliki kekurangan.
Tarekat Naqsyabandiyah yang menghantarkan kepada Allah, terhindar dari unsur selain-Nya dan disandarkan kepada Nagqsyaband ini didapatkan melalui perkataan, perbuatan, dan penerimaan oleh sosok yang senantiasa membutuhkan segala hal karena segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah. Dia yang tidak membutuhkan segala sesuatu, sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya untuk membuat dan melengkapi, seperti yang Allah nyatakan,
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah.” (QS. Fathir [35]: 15)
Secara nyata, alam semesta saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya hewan yang membutuhkan makanan dan minuman. Begitu juga dengan tanaman yang membutuhkan air, dan sebagainya. Alam semesta tampak secara langsung, sedangkan Dzat yang memengaruhi alam semesta adalah Allah swt. tanpa hulul dan ittihad.’ Allah adalah pelindung semua hamba-Nya.
Maksud “al-kamil fin nuqshan” adalah sosok yang penuh dengan kekurangan karena hanya Allah sosok yang sangat sempurna. Rasa kekurangan merupakan salah satu dari tingkatan seorang hamba dan tidak ada yang lebih rendah baginya daripada sirna dan fana. Maksudnya, dia lenyap (fana) dalam kekekalan. Itulah hati orang mukmin yang mampu meliputi Allah swt. Sesungguhnya sosok yang hilang dan lebur ketika menghilang dari penglihatan hamba, ia berubah sehingga akan tampaklah yang ada dan kekal. Akan tetapi, apabila ia lenyap dari penglihatan seorang hamba yang sirna dan fana itu, yang ada dan kekal tidak akan tampak baginya.
Seperti sehelai kain yang memiliki dua sisi. Apabila kain itu tidak dibalik, sisi lainnya tidak akan dapat dilihat.
Sosok yang tidak berdaya untuk mengenal Tuhan Sang Maha Pemurah, Tajuddin dari Mahdi az-Zaman Khojah Muhammad Abdul Baqi. Dia berguru kepada Maulana Khojah al-Amkanki dari Maulana Darwisy Muhammad dari Maulana Muhammad Zahid dari Pemberi Pertolongan yang Agung, Khojah Ubaidullah al-Ahrar.
Jika seseorang benar-benar mengenal Allah, hakikatnya Allah mengenalkan Dzat-Nya sendiri, bukan hamba sendiri yang mengenal Allah karena bagaimana mungkin yang fana dapat dibandingkan dengan yang Mahakekal?!
Sosok yang tidak berdaya untuk mengenal Sang Maha Pemurah, bernama Tajuddin ar-Rumi rahimahullah, yang menghimpun risalah ini dari Khojah Muhammad Abdul Baqi.
Kata “khojah” dalam aksara Arab ditulis dengan huruf kha’ berharakat fathah, lalu alif dilafalkan sesudahnya walaupun ditulis dengan huruf waw. Ini adalah kata dalam bahasa Persia yang artinya adalah “syekh” atau “guru”.
Muhammad Abdul Baqi mendapatkan sanad tarekat Naqsyabandiyah ini dari Maulana Khojaki al-Amkanki, Khojaki merupakan gelar yang artinya berupa sandaran kepada “khojah” atau guru. Kata al-Amkanki diambil darj “Amkanah” dengan huruf kaf yang berasal dari bahasa Persia sebagai nama sebuah desa di kawasan Bukhara.
Maulana Khojaki al-Amkanki mendapatkan sanad tarekat ini dari Maulana Darwisy Muhammad yang mendapatkan tarekat ini dari Maulana Muhammad Zahid rahimahullah.
Muhammad Zahid mendapatkannya dari Ghauts A’zham Dhargham Afkham Khojah Ubaidullah al-Ahrar. Kata terakhir ini adalah gelarnya.
Ali bin Husein al-Wa’izh yang terkenal dengan sebutan ash-Shafiy rahimahullah telah menulis sebuah kitab yang berjudul Rasyahat ‘Ain al-Hayah, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Ubaidullah Ahrar dengan menyebutkan para syekhnya lengkap dengan riwayat hidup (managqib) mereka. Dia juga menjelaskan tingkatan-tingkatan para tokoh Naqsyabandiyah. Sebagian dari penjelasan yang ada dalam risalah ini diambil dari kitab tersebut.
Dia mendapatkanya dari gurunya para guru, yaitu Maulana Ya’qub al-Jarkhi, dan dia mendapatkannya dari Khojah al-Kabir Bahauddin yang terkenal dengan sebutan Naqsyabandi.
Khojah Ubaidullah Ahrar mengambil tarekat ini dari gurunya para guru, Maulana Ya’qub al-Jarkhi, yang dalam bahasa Persia namanya merujuk kepada “Jarkh” yang merupakan sebuah desa di kawasan Ghazna, Hindustan.
Maulana Ya’qub al-Jarkhi mendapatkan sanad tarekat ini dari Khojah al-Kabir Bahauddin Muhammad yang terkenal dengan nama Nagsyabandi. Kata “nagsyaband” sendiri artinya adalah “ukiran yang terpatri” yang merupakan simbol kesempurnaan hakiki di dalam kalbu.
Zikir para pengikut tarekat ini sejak awal hingga masa Syekh Bahauddin adalah zikir khafi (lirih) ketika sendiri, tetapi jika sedang berkumpul bersama jama’ah zikir mereka adalah zikir jahr (keras). Syekh Bahauddin memerintahkan mereka agar melakukan zikir khafi dengan perintah yang diterimanya dari Khojah Abdul Khaliq al-Ghajdawani yang merupakan guru dari para gurunya di Alam Sair (alam perjalanan menuju Allah). Dia melirihkan zikir ketika sendirian atau berjamaah. Dari zikir itu ada pengaruh bagi hati para murid. Pengaruh dari zikir itulah yang disebut “naqsy” (ukiran), sedangkan zikir itu sendiri adalah “band” atau “ukiran yang terpatri” berbentuk stempel yang dicetak di atas cairan lilin atau bahan lainnya. Ukiran itu awet dan tidak mudah hilang.
Sifat-sifat Allah swt. itulah yang terpancar kepada penciptaan Adam as. dan keturunannya melalui pancaran (tertentu) Dzat Allah yang Mahatinggi lagi Mahakekal tanpa cara dan tempat. Setelah terciptanya Adam, lahirlah seluruh keturunannya dalam berbagai bentuk secara spesifik dengan penyebutan nama yang merupakan pancaran dari Dzat Allah swt. dan karakteristik yang terpancar dengan baik dari sifat. sifat yang Allah miliki.
Ia pun berlaku sebagaimana halnya Allah berbuat. Ig juga memiliki berbagai ketetapan darinya atas yang lainnya sebagaimana halnya Allah memiliki berbagai ketetapan, Demikian pula halnya keterikatan dzat, sifat, asma, perbuatan, dan ketetapan yang seluruhnya ada dengan kehadiran Adam. Namun, sebagian anak keturunan Adam menghapuskan sebagian ikatan tersebut karena dikuasai sifat hewani pada dirinya seiring melemahnya sifat insani yang paripurna.
Di antara mereka ada pula orang-orang yang sempurna ukirannya sehingga dia dapat disebut “naqsyabandi” yang artinya adalah “terpatri ukirannya”. Kalimat ini juga boleh dipakai dalam bidang lain.
Dia mengambilnya dari Sayyid Mir Kilal, dan dia mengambilnya dari Khojah Muhammad Baba Simmasi, dia mengambilnya dari Aziz Ramitani, dan dia mengambilnya dari Khojah Mahmud al-Injir Faghnawi.
Khojah Bahauddin mengambil sanad tarekat ini dari Sayyid Mir Kilal. Lafal “Kilal” dalam namanya dalam bahasa Parsi ditulis menggunakan huruf “kaf’, sedangkan dalam bahasa Arab ditulis menggunakan huruf qaf sehingga menjadi berbunyi “qilal” dari bentuk plural kulah, yang berarti tembikar semacam wadah yang terbuat dari bahan tanah yang dibakar. Sepertinya dia disebut dengan nama ini karena dia adalah seorang pembuat tembikar.
Mir Kilal mengambil sanad tarekat ini dari Khojah Muhammad Baba Simmasi. Kata “baba” di sini artinya adalah “syekh”, sedangkan “simmasi” dibaca dengan huruf sin berharakat kasrah dan huruf mim bertasydid yang diasosiakan kepada sebuah desa di kawasan Bukhara.
Sementara Simmasi mengambil sanad tarekat ini dari Aziz Khojah Ali Ramitani. Kata “ramitani” diasosiasikan kepada Ramitan, sebuah kota besar di Bukhara. Adapun Ramitani mengambil sanad tarekat ini dari Khojah Mahmud al-Injir Faghnawi. Kata “al-injir’ ditulis dengan huruf nun, jim, dan ya’. Kata “faghnawi” ditulis dengan huruf ghain dan nun yang diasosiakian kepada Najirfaghni, nama sebuah desa di kawasan Bukhara.
Syekjh Bahauddin mengambil sanad dari Khojah Arif Rayukari, dan dia mengambilnya dari pangkal silsilah para Khojakan Khojah Abdul Khaliq al-Ghajdawani, dan dia mengambilnya dari Khojah Yusuf al-Hamdani, dan dia mengambilnya dari Abu Ali Farmadi, dan dia mengambilnya dari Syekh Abul Hasan al-Kharqani. Syekh Abu Ali juga memiliki sanad karena pernah berkhidmah, persahabatan, dan membersamai Syekh Abul Qasim al-Karkani dalam waktu lama.
Syekh Abdul Qasim mengambil sanad dari Khojah Arif Rayukari. Rayukari adalah bahasa Persia yang ditulis dengan huruf ra‘ dan kaf, merupakan nisbat kepada Rayukar, nama sebuah desa di Bukhara.
Dia juga mengambilnya dari kepala silsilah para Khojakan, para syekh agung yang bernama Khojah atau Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani. Ghujdawani ditulis dengan huruf ghain dan jim yang merupakan kata nisbat dari Ghujdawan, nama sebuah desa di Bukhara.
Dia mengambil sanad tarekat ini dari Khojah atau Syekh Yusuf al-Hamdani. Hamdani adalah kata nisbat dari Hamdan, sebuah wilayah yang sudah dikenal luas.
Dia mengambilnya dari Abu Ali al-Farmadi. Kata “farmadi” ditulis dengan huruf fa’, ra’, dan mim, yang merupakan atribusi dari kata Farmad, sebuah desa di Bukhara.
Dia mengambilnya dari Syekh Abul Hasan al-Kharqani. Kata “khargani” ditulis dengan huruf kha lalu qaf, merupakan asosiasi dari Kharqan, nama sebuah desa di Bukhara.
Syekh Abu Ali atau dikenal dengan Syekh al-Farmadi, juga memiliki sanad lewat jalur khidmah di jalan tarekat Naqsyabandiyah pada Syekh Abul Qasim al-Karkani dengan membersamainya dalam waktu yang lama. Kata “karkani” adalah atribusi kepada Karkan. Dia juga memiliki sanad yang sama pada Syekh Abul Hasan al-Kharqani rahimahullah wa quddisa asradruhum. Semoga Allah berkenan mengumpulkan kita semua dalam pancaran langkah mereka yang bersifat Ilahiah, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut para pencari hakikat, syekh ada tiga macam: Syekh Khirqah, Syekh Zikir, dan Syekh Shuhbah.
Menurut para pencari hakikat (muhaqqiqun), yaitu para sufi yang termasuk kalangan penempuh jalan Allah dan berteguh hati di atas pusat syariat Muhammad; para syekh yang menjadi mursyid pembimbing menuju hadirat Allah, ada tiga macam:
- Syekh Khirqah
Yang dimaksud dengan “khirgah” adalah kain yang dikenakan hamba untuk menutupi sebagian atau seluruh tubuhnya, atay kain jenis lainnya. Khirqah ada dua macam:
Khirqah Zhahir, yaitu berupa selendang dan kain lainnya yang dikenakan di badan para syekh. Ketika sang syekh hendak membimbing seorang murid menuju Allah, dia tanggalkan kain khirqah itu dari tubuhnya, lalu ia pakaikan ke tubuh murid sehingga kondisi spiritual tersebut akan memapar murid secara langsung.
Khirqah Bathin, yaitu berupa “pakaian” ilmu dan makrifat.
Ketika seorang syekh yang telah sempurna spiritualitasnya hendak “memakaikan” khirgah batin ini kepada seorang murid, dia akan memerintahkan si murid untuk memperdengarkan baginya serta memahaminya, setelah itu barulah dia memakaikan khirqah itu kepadanya.
- Syekh Zikir
Jenis syekh yang kedua adalah Syekh Zikir, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu zikir artinya adalah “hadir tanpa lupa”. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam al-Quran,
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 191) .
Zikir dengan nama-nama Ilahiah ada tiga bagian, yaitu: (1) Zikir dengan nama-nama zahir seperti nama “Allah”, “ar-Rahman”, “al-Lathif’, dan sebagainya.
(2) Zikir dengan nama-nama sebagai kata ganti (mudhmarah) seperti “ana” (aku), “anta” (engkau), dan “huwa” (dia).
(3) Zikir dengan nama-nama yang disamarkan (mubhamah) seperti “hadzi” (ini), “hadzihi” (ini), “alladzi” (yang), dan “allati?” (yang).
Demikian ketiga pembagian zikir, dan itu mungkin dilakukan menggunakan lisan, menggunakan hati, atau dilakukan dengan keduanya.
Sebenarnya masih ada jenis zikir lain yang pernah saya saksikan sendiri hanya ada di tarekat Maulawiyyah,” yaitu zikir bil ghair dan zikir bil fi’li. Zikir ini mereka lakukan menggunakan alat musik, dengan gerakan meniru putaran alam semesta. Berkenaan dengan hal ini saya telah menulis sebuah risalah yang saya beri judul al-’Uqid al-Lu‘lu‘iyyah fi Bayan Thariqah al-Maulawiyyah.
Syekh Shuhbah adalah yang paling paripurna dan sempurna dalam keterkaitan (dengan Allah). Dialah syekh yang sejati.
- Syekh Shuhbah Jenis syekh yang ketiga adalah Syekh Shuhbah, yang terbagi menjadi dua bagian:
(1) Shuhbah Khusus, yaitu interaksi terus menerus murid dengan syekh tanpa berpisah darinya baik malam maupun siang, kecuali hanya pada waktu-waktu darurat atau adanya izin dari sang syekh untuk berpisah.
(2) Shuhbah Umum, yaitu perjumpaan atau pertemuan walaupun hanya satu kali.”
Seorang murid tidak akan mendapatkan hasil apa-apa dalam shuhbah (kebersamaan) dengan syekhnya kecuali hanya dengan terpenuhinya tiga syarat berikut ini:
Pertama, hendaklah murid menemani syekh untuk berkhidmat kepadanya, bangga padanya, dan siap menerima darinya.
Kedua, janganlah murid menentang syekhnya dan jangan pula dia mengingkari sang syekh, pada yang mana pun tindakannya di antara semua yang ia lakukan, secara mutlak, baik lahir maupun batin. Selain itu hendaklah murid menganggap bahwa semua bersitan hati dan keinginan buruknya sebagai dosa yang dia harus memohon ampunan kepada Allah atas semua itu. Itu terjadi karena syekhnya ada di Tangan Allah, sedangkan Allah tidak pernah memerintahkan perbuatan keji dan mungkar. Hanya saja Allah selalu menguji siapa pun yang Dia kehendaki di antara segenap makhlukNya, termasuk ujian melalui syekh dan lainnya. Berkenaan dengan hal ini ada cerita yang telah kami sampaikan di dalam kitab kami yang berjudul al-Faidh ar-Rabbadniy wa al-Fath ar-Rahmaniy.
Ketiga, hendaklah murid berada di tangan syekhnya seperti layaknya mayat di tangan orang yang memandikannya. Dia tidak boleh menyelisihi sang syekh pada hal apa pun juga secara mutlak, sebagaimana dia juga tidak boleh lebih membela dirinya ketika berhadapan dengan syekhnya, untuk selamanya.
Selain itu, murid juga memiliki beberapa adab lain yang lebih banyak dari yang telah disebutkan di atas dalam persahabatan dengan seorang syekh. Akan tetapi apa yang sudah kami sebutkan tadi kami anggap telah mencakup adab yang lain. Karena semua bentuk akhlak baik memang saling berkelindan antar satu sama lain. Seperti misalnya sifat mulia yang mencakup sifat pemberani dan sebagainya.
Syekh Shuhbah yang dipergauli secara terus-menerus lebih sempurna bagi seorang murid daripada Syekh Khirqah dan Syekh Zikir; sebagaimana ia juga lebih paripurna dibandingkan keduanya dalam hubungan antara hatinya dan hati murid untuk hubungan yang langgeng. Keadaan spiritual (hal) selalu lebih cepat menular pada teman duduk dibandingkan kata-kata.
Syekh Shuhbah adalah syekh yang sejati, yang akan menghantarkan kepada Allah dengan keadaan spiritualnya (hal), bukan dengan medium lain seperti khirqah atau zikir. Syekh Khirqah mengalirkan hal dirinya lewat kain khirah, untuk kemudian ia sampai kepada murid seperti sampainya air dari tanah ke buah setelah air itu mengalir di batang pohon. Secara lahiriah, pohon memberi pasokan ke buah, sebagaimana kain khirqah memberi pasokan ke murid. Begitu pula dengan Syekh Zikir yang memberi pasokan kepada murid adalah zikirnya, bukan sang syekh itu sendiri. Jadi, sebenarnya kedua jenis syekh ini (Syekh Khirqah dan Syekh Zikir) adalah dua syekh yang bersifat majasi, sedangkan jenis syekh yang satu lagi (Syekh Shuhbah) adalah syekh hakiki, karena tidak ada perantara apa pun antara hatinya dan hati murid.
Tidak diragukan lagi bahwa kami menghubungkan sanad berakhirnya suluk Syekh Abu Ali pada Syekh Abul Qasim. Sementara antara Syekh Abul Qasim kepada Imam Ali Ridha bin Musa ada enam perantara: Yang pertama adalah Syekh Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Katib, dan Abu Ali ar-Rauzabari.
Tidak diragukan lagi, bahwa Syekh Shuhbah adalah sye yang paling paripurna dan sempurna dalam keterhubungs sanad. Kami menyampaikan di bagian nisbat hubun shuhbah dan khidmah milik Syekh Abu Ali al-Farmadi. Sanad ini membuat syekh Abu Ali Farmadi mencapai suluk sehingga dia sampai ke maqam kalangan mugarrabun yang baik. Di bagian sebelumnya, kami menghubungkan nisbat milik Syekh Abu Ali tadi pada Syekh Abul Qasim al-Kirkani, sebagai keterangan tambahan bagi jalan atau tarekat pertama yang diambil dari Syekh Abul Hasan al-Kharqani rahimahulléh wa qaddasa asarahum wa dha’afa anwdrahum (semoga Allah menyucikan hati mereka dan melipatgandakan cahaya mereka).
Sementara itu, antara Syekh Abul Qasim al-Karkani sampai kepada Imam Ali Ridha bin Musa Kazhim bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Ahmad Bagir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib Ridhwanullah Ta’ala ‘Alaihim Ajma’in ada enam syekh perantara: Yang pertama adalah Syekh Abu Utsman Sa’id bin Salam al-Maghribi, yang wafat di Nisabur tahun 373 H. Yang kedua Abu Ali al-Katib, yang nama aslinya adalah Husein bin Ahmad. Ia wafat tahun 340-an H. Di antara pernyataannya yang terkenal adalah, “Muktazilah menguduskan Allah dari sisi akal, dan mereka pun salah. Para sufi menguduskan Allah dari sisi ilmu, dan mereka pun benar.”
Yang ketiga adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad ar-Rauzabari al-Baghdadi. Dia tinggal di Mesir dan wafat di negeri itu pada tahun 322 H.
Keempat sang pemimpin golongan (sufi) Junaid al-Baghdadi. Kelima, Sari as-Saqathi. Keenam, Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah menyucikan sir mereka yang mulia.
Keempat adalah pemimpin golongan sufi secara umum di seluruh semesta, Abul Qasim Junaid Muhammad al-Baghdadi. Asalnya dari Nahawand, ia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Ayahnya adalah penjual kaca. Junaid rahimahullah wafat tahun 277 H.
Kelima, Abul Hasan Sari bin Mughlis as-Saqathi, yang merupakan paman Junaid dari pihak ibu sekaligus gurunya. Keenam, Abu Mahfuzh Ma’ruf Ibnu Fairuz al-Karkhi, yang merupakan salah satu budak Ali bin Musa Ridha. Dia wafat tahun 200 H, tetapi ada yang menyatakan dia wafat tahun 201 H Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Semoga Allah menyucikan hati mereka.
Kalimat “quddisa sirruhum” jika ditulis tanpa kata “Allah”, maka cara bacanya adalah menggunakan fi’il majhul “quddisa” yang maksudnya adalah “qaddasallah”. Arti kalimat ini adalah “semoga Allah menyucikan mereka dari segala kotoran dan sifat-sifat buruk.”
Adapun yang dimaksud dengan “sirruhum” adalah hakikat luhur diri mereka karena dari sir itulah muncul hakikat kauniyah mereka, seperti cabang yang berasal dari pokoknya.
Kata “al-‘aziz” yang disebutkan di sini maksudnya adalah seseorang yang tidak pernah tunduk kepada selain Allah tanpa adanya alasan atau sesuatu yang lain dan seorang yang mengakui tidak ada tandingan baginya.
Ma’ruf Quddisa Sirruh memiliki nisbat lain yang tersambung dengan Daud ath-Tha‘i, dari Habib al‘Ajami, dari Hasan al-Bashri Qaddasallah Asrarahum.
Ma’ruf al-Karkhi Quddisa Sirruh dalam jalannya menuju Allah, yang berbeda dari apa yang telah disebutkan tadi, memiliki sanad selain sanadnya yang tersambung kepada Ali bin Musa Ridha. Sanad ini tersambung dengan Daud ath-Tha‘i. Ath-Tha‘i merupakan nisbat kepada Thayyi’, nama sebuah kabilah Arab. Jalur ini dari Habib al-‘Ajami, dari Hasan al-Bashri Qaddasallah Asrarahum.
Sanad Ma’ruf berakhir kepada Pintu Kota Ilmu Ali ra. yang terkenal dengan Karramallahu Wajhah.
Sanad Ma’ruf al-Karkhi berakhir kepada Sang pintu kota ilmu. Istilah bab madinatul ‘ilmi (Pintu Kota Ilmu) merujuk pada sabda Nabi Muhammad saw., “Aku adalah Kota Ilmu dan Ali adalah pintunya.” Jadi yang dimaksud pintu kota ilmu adalah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, yang sudah terkenal di kalangan ahli tarekat, sekaligus masyhur bagi semua orang bahwa sanad Ma’ruf al-Karkhi memang terhubung kepada Ali ra., tanpa perantara. Karena Hasan Bashri pernah bertemu Ali ra. dan mengambil saand tarekat darinya. Sanad Ma’ruf al-Karkhi ini tersambung dengan Hasan Bashri seperti yang telah disebutkan.
Sekarang saya kembali ke pembahasan utama. Ketahuilah bahwa Syekh Abul Hasan mengambil sanad tarekat ini dari Rohaniah Abu Yazid al-Busthami.
Wahai para salik, setelah saya menjelaskan cabang tarekat dari Syekh Ali Farmadi dan Ma’ruf al-Karkhi melalui dua riwayat yang berujung ke Ali ra., saatnya kembali ada pembahasan utama, yaitu penjelasan silsilah tarekat naqsyabandiyah.
Hakikat Talaqqi Rohani al-Uwaisi?
Ketahuilah wahai para pencari, Syekh Abul Hasan al-Kharqani yang namanya telah disebutkan di atas, mengambil tarekat yang diridhai ini dari Ruh Imam Abu Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami. Itu terjadi pada saat beliau berada di alam perjalanan menuju Allah swt. (as-sair ilallah).
Ketahuilah bahwa semua ruh berkumpul bersama ruh di alam itu, seperti berkumpulnya mereka pada saat tidur dan setelah kematian. As-Sair ilallah adalah Alam Lahut yang berada di luar Alam Jisim. Semua arwah manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, berkumpul di alam itu. Sebagian dari mereka ada ruh-ruh yang masih memiliki badan di Alam Jisim. Mereka itulah ruh-ruh para manusia yang masih hidup. Sementara sebagian lain sudah tidak memiliki jasad. Mereka itulah orang-orang mati atau orang yang ruhnya belum ditiupkan ke jasad mereka karena belum diciptakan.
Ketika pengambilan tarekat seperti ini terjadi di alam ruh seperti ini, itu tidak terjadi di maqam jasmaniah seperti yang biasa terjadi dalam silsilah tarekat. Lain ketika disebutkan sanad Abu Ali al-Farmadi pada selain Abul Hasan al-Kharqani, dan di dalamnya disebutkan nama Ma’ruf al-Karkhi. Itu berarti memasukkan dua nisbat seperti yang telah disampaikan di atas. Lalu sanad itu bersambung sampai kepada Abu Hasan dan beliau mendapatkan tarekat ini dari ruh Abu Yazid karena Abu Hasan tidak pernah bertemu secara fisik dengan Abu Yazid karena jarak masanya yang terlalu jauh antara Abu Yazid dengannya. Abu Yazid al-Busthami wafat tahun 261 H, sedangkan Abu Hasan baru muncul beberapa tahun setelahnya.
Abu Yazid Qaddasallahu Sirrah mendapatkan tarekat ini dari rohaniah Imam Ja’far Shadiq. Riwayat yang menyebutkan beliau mendapatkan dari pengabdiannya kepada Imam Ja’far tidaklah sahih. Sementara Imam Ja’far Shadiq memiliki warisan dari para leluhurnya yang tersambung dengan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq ra., salah satu dari tujuh fugaha dan termasuk tabiin yang paling sempurna di bidang ilmu zahir dan ilmu batin, dan sanadnya bersambung kepada Salman al-Farisi.
Abu Yazid Qaddasallahu Sirrah mendapatkan kain khirqah tarekat secara lahir dan batin dari rohaniah Imam Ja’far Shadiq. Seperti yang telah disebutkan menyangkut Syekh Hasan. Riwayat yang terkenal di antara para tokoh tarekat ini bahwa Abu Yazid mendapatkan sanad tarekat karena pengabdiannya kepada Imam Ja’far tidaklah benar. Alasannya karena wafatnya Imam Ja’far Shadiq terjadi sebelum kelahiran Abu Yazid, sehingga pasti yang terjadi adalah pertemuan rohani dan bukan pertemuan jasmani.
Sementara itu, Imam Ja’far Shadiq memiliki warisan dari para leluhurnya yang mulia berupa warisan ilmu zahir dan batin sehingga sanadnya tersambung kepada Imam Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddig ra.
Imam Qasim bin Muhammad merupakan salah satu dari tujuh fuqaha yang masyhur, dan termasuk tabiin paling sempurna dalam mengikuti prilaku para sahabat. Istilah “tabiin” dipakai untuk menyebut semua orang yang pernah berjumpa dengan sahabat Nabi dalam status mukmin, di Ilmu Zahir (ilmu syariat dan hukum) atau di Ilmu Batin (ilmu tarekat dan hakikat). Sanad Qasim bin Muhammad dalam tarekat ini tersambung kepada Salman al-Farisi.
Tingkatan Fadhiiah Ilmu al-Khulafaur Rasyidun Salman, di samping kemuliaannya sebagai sahabat Nabi, dia juga mendapatkan tarekat ini dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang didapatkan dari Nabi saw. Sementara sanad lain milik Imam Ja’far, berupa hubungan ayah yang mengambil dari kakek, yang berujung ke sang (Pintu) Kota Ilmu (Ali bin Abi Thalib), sudah diketahui.
Salman al-Farisi, di samping kemuliaannya sebagai sahabat nabi, dia juga mendapatkan tarekat ini dari Abu Bakar ashShiddiq karena dia ingin masuk ke dalam bimbingan dan ajaran Nabi saw. dengan perantara tarekat ini.
Abu Bakar as-Shiddiq ra. mendapatkan sanad tarekat dari Nabi Muhammad saw., dan Nabi mendapatkannya dari Jibril as. yang mendapatkannya dari Allah swt., Tuhan seluruh alam.
Sementara itu, sanad lain dalam silsilah ini bersumber dari Imam Ja’far Shadiq berupa hubungan ayah kepada kakek yang berujung kepada sang pintu kota ilmu Nabi, yaitu Ali ra.
Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad saw. menerima ilmu (wahyu) secara langsung (talaqqi) melalui Jibril dari Allah yang bersemayam di dalam hati Abu Bakar as-Shiddiq. Berkenaan dengan itu, Nabi bersabda, “Tidaklah Abu Bakar mengungguli kalian dengan sedekah dan tidak pula dengan shalat, melainkan dengan sesuatu yang bersemayam dalam dadanya.”
Sesuatu itu lalu termanifestasi dalam perbuatan Umar bin Khaththab ra. sehingga dia dapat membebaskan banyak negeri, menuntun umat manusia, membuat banyak orang beriman, dan dengan itu pula Umar ra. mendapatkan kekuatan untuk menundukkan orang-orang yang menyimpang dan membangkang.
Wahyu itu lalu dikumpulkan dan ditulis oleh Utsman bin Affan ra. di dalam lembaran-lembaran kertas yang sebelumnya tercerai berai di dada para penghafal al-Quran serta dalam bentuk tulisan di permukaan potongan kayu, tulang, dan kain.
Inilah tiga tingkatan keilmuan yang terdapat di dada Abu Bakar ash-Shiddiq ra., yang dilakukan Umar ra., dan yang ditulis Utsman ra.
Setelah itu, perincian dan penjelasan dari tiga tingkatan itu diucapkan dan dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib ra.
Pada suatu malam, Abu Hurairah mendatangi Ali ra. untuk membacakan, menafsirkan, dan menakwilkan alQuran kepadanya. Dia shalat Isya berjamaah bersamanya, lalu dia duduk sambil mendengarkan Ali menjelaskan huruf ba~ dalam lafal basmalah sampai waktu fajar tiba, lalu Abu Hurairah berkata kepada Ali ra., “Sudah cukup ini untukku. Wahai Abul Hasan.”
Inilah arti dari posisi Ali Karramallahu Wajhah sebagai pintu kota ilmu nabi. Abu Bakar as-Shiddiq ra. bersabar atas sebuah ilmu dengan diam dan tidak membicarakannya. Sebagaimana Umar al-Faruq ra. juga seperti itu, hanya saja dia seorang yang kuat sehingga berhasil membebaskan banyak negeri musyrik. Utsman bin Affan ra. merasa bingung sekaligus memberikan perhatian lebih pada ilmu dan mengkhawatirkan ilmu itu akan musnah sehingga dia pun mengumpulkannya.
Seiring berjalannya waktu, muncullah Ali ra. yang tidak kuasa untuk terus menyembunyikan ilmu itu sehingga dia pun menyampaikannya serta menunjukkannya. Oleh karena itu, ia menjadi pintu ilmu meski dengan penjelasannya kian bertambahlah kebingungan sehingga urutan keutamaan yang dimiliki keempat sahabat itu disimpulkan seperti ini, “Sahabat yang paling kuat kondisi spiritualnya, lebih utama daripada yang lain.” Sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab-kitab akidah. Wallahu a’lam.
Pasal: Jalan wushul kepada Allah swt. menurut para tokoh Naqsyabandiyah, baik dengan kebersamaan maupun dengan zikir yang disertai muraqabah.
Pasal adalah hal yang bertujuan untuk memisahkan antara dua pembahasan. Pembahasan pertama berisi penjelasan tentang sanad Naqsyabandiyah atau silsilah emas, sebagaimana penduduk Ghazna di Hindustan menyebutnya.
Ini adalah pembahasan kedua mengenai penjelasan tata cara dan adab-adab bertarekat.
Jalan wushul kepada Allah swt. yang sesuai pendapat ulama adalah dengan pemutusan ikatan jiwa.
Ibnu Arabi menyatakan bahwa wushul kepada Allah tidak mungkin terjadi karena sesungguhnya semua manusia dalam perjalanan menuju Allah swt., baik di dunia maupun akhirat, walaupun kondisi mereka berbeda-beda dalam perjalanan itu.
Menurut para tokoh Naqsyabandiyah, jalan wushul bisa dicapai melalui ikatan yang erat dengan syekh (guru tarekat), Melalui intensifitas hubungan inilah keadaan spiritual syekh dapat memancar kepada sang murid sehingga ditarik kepada Allah dengan tarikan syekhnya, lalu dia pun sampai kepada apa yang dicapai oleh syekhnya.
Wushul bisa tercapai dengan menyebut asma Allah (zikir), baik sendirian, bersama syekh, maupun bersama teman; baik dilafalkan dalam hati maupun diucapkan dengan lisan seperti yang telah disebutkan di bagian lalu. Zikir ini disertai muraqabah, yaitu upaya mendekatkan diri hanya kepada objek zikir, Allah swt. Muraqabah dilakukan di tengah zikir dengan tidak lalai terhadap-Nya dan memusatkan hati kepada-Nya.
Tata cara Zikir Silsilah adalah dengan engkau menzikirkan kalimat thayyibah, maksudnya “La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah” dengan menahan nafas seraya memerhatikan hitungan dan keganjilan. Apabila bilangan zikir sudah melebihi dua puluh satu tetapi tidak tampak pengaruh apa pun dari zikir tersebut, itu adalah bukti yang menunjukkan tidak diterimanya (zikir itu). Hendaklah dia mengulangi permulaan zikir dari awal.
Tata cara Zikir Silsilah adalah engkau berzikir dengan kalimat thayyibah menggunakan lisan secukupnya sampai terdengar oleh dirimu sendiri. Kalimat thayyibah adalah kalimat “La ilaha illallah” yang penjelasan tentang makna kalimat ini akan disampaikan nanti. Kalimat “Muhammadur Rasulullah”, yang diucapkan dengan menahan nafas, yaitu udara yang keluar masuk dari dan ke dalam tubuh.
Hikmah tata cara zikir seperti ini adalah untuk mempercepat manifestasi al-Haq sebelum kematian. Karena kalau dia bernafas maka mungkin saja dia akan mati atau dia tidak akan mampu untuk menyempurnakan kalimat thayyibah itu, sehingga dia berhenti pada lafal nafy yang akan membuatnya mengucapkan kekufuran atas penafian Allah.» Meski sebenarnya dia menghendaki pengucapan tauhid dan penetapan secara sempurna. Juga karena seorang manusig terus membaru dengan apa yang terjadi. Bahkan seluruh alam semesta seperti itu, sebagaimana Allah firmankan,
“Perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. al-Qamar [54]: 50)
Seluruh alam semesta ada dengan perintah Allah swt. dan itu terjadi seperti kejapan mata sehingga ia begitu cepat merapalkan zikir dalam sekali napas sesuai kemampuannya, sehingga ucapan yang menyatakan tauhid darinya menjadi banyak di saat menghadap kepada Allah swt.
Wahai orang yang berzikir, hendaklah dalam berzikir engkau terus memerhatikan hitungan dan angka ganjil di dalam zikir yang engkau rapalkan. Seperti bilangan tujuh, sebelas, dan sebagainya. Dalam hal itu terkandung mahabbatullah atau cinta Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah itu Dzat yang ganjil dan menyukai yang ganjil.”
Apabila jumlah zikir sudah melebihi dua puluh satu kali pengulangan, tetapi tidak tampak pengaruh apa pun dari zikir tersebut, baik yang tersembunyi di dalam hati maupun yang tampak, sebagaimana yang nanti akan dijelaskan. Hal itu adalah bukti yang sangat jelas untuk menunjukkan bahwa Allah tidak menerima zikirnya. Jadi hendaklah dia mengulanginya dengan sungguh-sungguh karena zikir yang dia lakukan sebelumnya, bukanlah zikir karena Allah tidak menerima zikirnya.
Pengaruh zikir adalah ketika engkau dalam kondisi nafy, menjadi hilang dari engkau segala wujud kemanusiaan; sementara dalam kondisi itsbat, tampaklah pada engkau satu di antara berbagai pengaruh tarikan Ilahiyah. Pengaruh ini bermacam-macam sesuai dengan kesiapan seseorang. Sebagian dari mereka, awal pencapaiannya adalah kondisi “hilang” dari semua hal selain Allah swt.
Pengaruh zikir yang engkau tunggu kemunculannya padamu, adalah ketika engkau dalam kondisi nafy, yaitu
ketika engkau mengucapkan kalimat “la ilaha’’, wahai pezikir, menjadi hilanglah dari engkau segala wujud sifatsifat kemanusiaan; yaitu semua sifat yang dinisbatkan kepada manusia dan memang ditetapkan sebagai tabiatnya, seperti gelisah, bosan, malas, jemu, tendensi duniawi, tendensj ukhrawi, gembira atas kesenangan, sedih atas kesusahan, mengharapkan sesuatu, menyayangkan sesuatu meski baik, dan sebagainya.
Sementara dalam kondisi itsbat, yaitu ketika engkau mengucapkan kalimat “illallah”, maka akan tampaklah bagimu salah satu di antara berbagai pengaruh gerak tarikan IlahiyahRabbaniyah sehingga tidak tersisa lagi pada dirimu satu pun gerakan ataupun diam. Pada saat itu engkau berpindah kepada sifat-sifat Malakiyah berupa tawakal, menyerah, berserah, sabar, dan sebagainya. Engkau adalah manusia yang berubah menjadi sesosok malaikat setelah engkau mungkin saja telah menjadi setan dengan sifat-sifat tercela.
Sebab manusia ada di antara malaikat dan setan. Jika yang mendominasi dirimu adalah akhlak mulia, engkau adalah malaikat. Jika yang mendominasi adalah akhlak buruk, engkau adalah setan. Jika tidak seperti itu, engkau adalah manusia, bukan malaikat dan bukan setan, melainkan di dalam dirimu ada bagian malaikat dan setan.
Pengaruh yang tampak padamu itu bermacam-macam dan tidak sama. Demikian, semua itu akan sesuai dengan kesiapan atau penerimaan yang Allah ciptakan untukmu. Sebagian – dari mereka, para pelaku zikir, ada yang awal pencapaiannya adalah kondisi “hilang” (ghaibah) atau kondisi “tenggelam” (istighrdq) secara total dari semua hal selain Allah swt., yaitu dari segenap alam semesta, sehingga dia tidak menyaksikan apa pun juga dan mencapai “ketiadaan murni” (‘adam mahdah), untuk kemudian dia hadir dari ghaibah-nya itu dan di dalam kehadiran (hudhur) setelah ghaibah itu dia mengetahui bagaimana Allah memulai penciptaan dan bagaimana Dia mengembalikannya. Mulai saat itu dia akan mencapai kondisi al-fath yang merupakan sebuah kesiapan sempurna (kamil al-isti’dad).
Sementara sebagian mereka, awal pencapaian baginya adalah “kemabukan” dan “hilang”. Setelah itu tercapailah baginya “wujud ketiadaan”. Setelah itu dia menyentuh kefanaan. Seperti yang dikatakan Syekh Abdullah al-Anshari dalam penafsiran firman Allah swt., “Berzikirlah mengingat Tuhanmu jika engkau lupa”, maksudnya adalah: Jika engkau lupa yang selain Dia, kemudian engkau lupa dirimu, kemudian engkau melupakan zikirmu di dalam zikirmu, kemudian engkau lupa semua zikir dalam zikir al-Haq kepadamu.
Sementara itu bagi sebagian mereka, awal pencapaian spiritual adalah ghaibah atau “hilang” dari segala sesuatu. Hal itu tidak tercapai dengan “Ketiadaan Murni” disebabkan kesibukan mata hatimu (bashirah) dengan zikir kepada-Nya karena zikirmu adalah duniawi semata. Di dalamnya masih ada sisa dari dunia yang belum pergi darinya. Inilah bentuk kesiapan yang kurang jika dibandingkan dengan yang pertama, karena si hamba tidak mampu untuk berpisah (dari dunia) dan menerima (wushul) dengan segera.
Akan tetapi, setelah kegaiban sirna dengan kehadiranNya, tercapailah secara jelas di dalam diri si hamba dengan terjadinya ghaibah lain, Wujud Ketiadaan. Setelah itu dia menyentuh kefanaan segala sesuatu selain Allah, sehingga dia pun dapat menyaksikan Allah swt. setelah itu.
Seperti yang dikatakan Syekh Abdullah al-Anshari dalam menafsirkan firman Allah swt.,
“Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa.” (QS. al-Kahf [18]: 24)
Jika engkau lupa yang selain-Nya sehingga secara mutlak engkau tidak merasakan apa pun secara total, dan engkau mencapai ketiadaan segala sesuatu. Kemudian engkau lupa dirimu, yang berzikir mengingat Tuhanmu sehingga engkau tidak merasakan dirimu dan engkau mencapai ketiadaannya. Kemudian engkau lupa zikirmu yang sedang engkau lakukan, sehingga engkau tidak merasakannya dan engkau mencapai ketiadaannya ketika zikir itu sedang “berlangsung’”’, di dalam zikir engkau yang sedang kau lakukan itu karena engkau memang tidak memutusnya dan tidak meninggalkannya. Tetapi seiring dengan itu engkau mencapai ketiadaannya di tengah keberadaannya.
Kemudian engkau lupa dalam zikir Allah swt. padamu, wahai hamba; sebagaimana Allah firmankan,
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.” (QS. al-Baqarah [2]: 152)
Melupakan semua zikir, baik bagimu maupun yang selainmu.
Sesungguhnya engkau mendapati zikirmu adalah zikirNya al-Haq Azza wa Jalla bagimu. Sehingga yang terjadi adalah engkau berzikir menyebut nama-Nya menggunakan lidahmu, sedangkan Dia menyebutmu dengan lidahmu sendiri karena Dia Azza wa Jalla tidak memiliki lidah (seperti manusia). Sampai di situ, engkau akan merasa malu kepada-Nya, karena zikir-Nya bagimu jauh lebih besar daripada zikirmu bagi-Nya. Allah berfirman,
“(Ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).” (QS. al-Ankabut [29]: 45)
Itu terjadi karena lidahmu adalah ciptaan-Nya, bukan milikmu, bahkan seluruh dirimu adalah ciptaan-Nya, bukan milikmu, seperti yang disebutkan dalam hadis, “Wahai anak Adam, Aku telah menciptakan segala sesuatu demi engkau, dan Aku ciptakan engkau demi Aku.” Jadi, janganlah engkau menyibukkan diri demi sesuatu yang diciptakan untukmu sehingga mengalahkan kesibukanmu dengan Dzat yang engkau diciptakan untuk-Nya, untuk kemudian engkau diam tidak berzikir menyebut nama-Nya, sedangkan yang menetap di lidahmu adalah zikir-Nya bagimu. Ini adalah maksud pernyataan, “Kemudian engkau lupa semua zikir dalam zikir al-Haq padamu”, yang baru saja kami jelaskan.
Derajat tertinggi dan paling sempurna adalah fana. Artinya tidak ada kabar apa pun yang tersisa lagi bagi salik tentang apa yang selain Allah swt.
Derajat tertinggi dan paling sempurna dalam wushul kepada Allah swt. ketika disandarkan kepada orang-orang yang berusaha menggapai Dzat-Nya adalah tercapainya maqam fana, yaitu ketika si hamba menafikan semua hal selain Allah. Artinya, tidak ada kabar apa pun yang tersisa lagi bagi orang tersebut selain Allah swt. Allah berfirman,
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. ar-Rahman [55]: 26)
Maksudnya, semua yang ada di alam ini. Sesungguhnya di dalam ilmu Allah, segala sesuatu mustahil tidak musnah dan berubah karena itulah sifat sejatinya dan ketetapan wujud hanya milik Allah semata. Dia-lah yang mewujudkan semua yang ada di alam, layaknya seorang alim yang mencoba menyampaikan berbagai pengetahuan yang ia ketahui.
Ketika berbagai pengetahuan itu muncul, dan tetap akan musnah dan berubah, seperti yang semestinya, salik akan melihat dirinya ada seraya meninggalkan wujud yang selainnya sehingga ia mengklaim keberadaan dirinya beserta keberadaan entitas selainnya, lalu ia mengagungkan kekekalan wujud dari entitas selainnya, dan ia meyakini bahwa semua itu menyertakan dirinya di dalamnya, padahal dia ada dengan gerak, tanpa ada perasaan sadar atas hal itu. Inilah makna firman Allah, “Segala sesuatu yang di atasnya” (kullu man ‘alaiha). Allah swt. pun mengabarkan bahwa semua itu sesungguhnya fana (fanin). Seorang salik yang sedang menggapai kefanaannya akan menyaksikan kebenaran atas semua yang kami sebutkan tadi. Kemudian rasa sombong atas asalnya yang bersifat tiada akan hilang, dengan keyakinannya bahwa wujud entitas selainnya adalah miliknya, dan akan tersingkap pula darinya hijab keraguan ketika dia memahami pemahaman ini.
Tata cara zikir adalah dengan membuat lidah menempel di langit-langit mulut seraya melekatkan bibir dan gigi, dan menahan nafas lalu melafalkan kata “la” yang dimulai dari pusar lalu dengannya naik ke samping otak. Ketika ia sampai ke otak, engkau condong dengan “ilaha” ke samping kanan Anda.
Tata cara zikir khafi pengikut tarekat Naqsyabandiyah ini dilakukan dengan menempelkan lidah di langit-langit mulut hingga benar-benar menempel, seraya melekatkan bibir bagian atas dengan bibir bagian bawah, gigi bagian atas dengan gigi bagian bawah, dan menahan nafas sehingga keadaannya seperti orang mati yang tidak merasakan apa-apa.
Setelah itu hendaklah dia melafalkan kata “la” yang dimulai dari pusar hingga kata itu benar-benar keluar dari hati? dan dia tahu betapa semua perbuatan jasmani sama sekali tidak melibatkan perbuatan hati.
Selanjutnya dengan kata “la” itu ia naik ke samping otak, sehingga dia tahu bagaimana sampainya perintah pertama ke otak kemudian disebarkan ke anggota-anggota tubuh lainnya. Karena setiap perintah yang muncul dari hati harus diterima oleh akal yang berada di dalam otak.
Ketika kata “la” itu sampai ke otak, hendaklah engkau wahai pezikir memiringkan tubuhmu dengan kata “ilaha” ke samping kanan. Karena hakikat jiwamu ada di sebelah kanan.
Semua yang dikabarkan oleh jiwamu tentang Tuhan adalah sebuah kebatilan dan dusta, karena ia membuat bentuk, padahal Allah tidak memiliki bentuk. Jiwamu pasti juga bertanya-tanya bagaimana keadaan Allah, padahal Dia tidak dapat dipertanyakan (wa tukayyifu wa Allahu la kaifiyata Jahu). Engkau harus bisa menafikan “tuhan” yang engkau yakini sampai yang ada di hatimu adalah Tuhan al-Haq yang tidak dapat digambarkan dan tidak dapat dipertanyakan.
Dengan “illallah” ke sisi kiri, lalu engkau pindahkan ke atas hati sanubari dengan sungguh-sungguh, sehingga pengaruh dan panasnya terasa di sekujur badan. Lalu engkau miringkan tubuhmu dengan “Muhammad Rasulullah” dari sisi kiri ke sisi kanan, atau engkau sebutkan lafal itu di antara keduanya.
Selanjutnya, hendaklah engkau dengan “illallah” memiringkan tubuhmu ke sisi kiri, karena hati ada di sisi kiri. Lalu engkau lempar dengan lafal “illallah” itu ke atas hati sanubari (qalb shanaubari). Qalb shanaubari adalah sepotong daging yang melekat di batinmu yang berada di sebelah kiri. Daya rohani selalu muncul pertama kali di dalamnya, kemudian ia menjalar ke seluruh badan dengan mengarah ke sebelah atas lebih dulu sebelum kemudian ke bawah. Perpindahan itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga pengaruh dan panas dari lafal “illallah” itu terasa di sekujur badan. Setelah itu hendaklah engkau wahai para pembaca zikir memiringkan tubuhmu dengan “Muhammad Rasulullah” dari sisi kiri yang merupakan tempat hati ke sisi kananmu atau engkau sebutkan kalimat “Muhammad Rasulullah” itu saat berada di antara keduanya. Maksudnya, di antara sisi kiri dan sisi kanan. Hati terletak di sebelah kiri seperti matahari, sedangkan jiwa terletak di sisi kanan seperti bulan. Sisi kiri menjadi tempat terbit bagi badan, sedangkan sisi kanan menjadi tempat terbenamnya. Allah swt. berfirman,
“Sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepadaNya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)
Sinar bulan berasal dari cahaya matahari. Artinya, cahaya matahari memantul pada bulan, sehingga pada permukaan bulan tampak bayangan cahaya matahari, tanpa terpisah sedikit pun dari cahaya matahari sebagaimana cahaya matahari dengan bulan tidak terhubung secara langsung. Tapi, cahaya matahari tetap seperti apa adanya sebagai cahaya hakiki dan fisik bulan juga tetap seperti apa adanya yang tidak memiliki cahayanya sendiri. Tetapi efek cahaya matahari menghilangkan kegelapan di permukaan bulan bagi siapa pun yang melihatnya.
Seperti itu pula halnya Nabi Muhammad saw. Allah menciptakan cahaya beliau dari cahaya-Nya dengan pengertian seperti yang kami sebutkan tadi mengenai matahari dan bulan. Inilah hikmah di balik memiringkan badan sembari melafalkan kalimat “Muhammad Rasulullah” dari sisi kiri ke sisi kanan, atau dilakukan di antara keduanya, karena Nabi Muhammad saw. tidak memunculkan cahaya yang ada di diri beliau sendiri. Oleh karena inilah beliau tidak pernah mengklaim cahaya itu miliknya, tetapi ada di antara keduanya.
Setelah itu hendaklah dia mengucapkan “Tuhanku Engkau tujuanku dan ridha-Mu yang kucari”, maksudnya dari zikir ini, diiringi menghadapnya hati pada sisi yang bisa mempengaruhi hati dan semua itu bisa terwujud tanpa adanya gerak di sisi zahirnya sebagaimana dia juga tidak merasakan siapa yang ada di dekatnya. Saat menahan nafasnya, hendaklah dia berzikir satu atau tiga kali demi menjaga bilangan ganjil.
Setelah itu hendaklah pelaku zikir juga mengucapkan “Tuhanku Engkau tujuanku dan ridha-Mu yang kucari”. Maksudnya, dari zikir yang aku menyebut nama-Mu di dalam hatiku tanpa ada satu pun selain Engkau yang melihatnya. Dia mengucapkan lafal tadi seraya menghadapkan sepenuh hatinya kepada Allah dengan menolak segala sesuatu, dan menghadapkan hati pada sisi yang pengaruh zikir bisa memberikan dampak ke dalamnya.
Semua yang disebutkan itu bisa terwujud tanpa tampak di sisi zahir si pelaku zikir gerak apa pun di seluruh anggota tubuhnya dan dia juga tidak merasakan siapa yang ada di dekatnya, apalagi yang jauh darinya. Landasan tarekat ini adalah ketertutupan dan ketersembunyian, sementara perasaan akan keberadaan orang lain menafikannya. Selain itu juga karena landasan seperti ini lebih menjauhkan riya serta lebih menjaga hati dari perhatian orang lain dan lebih kuat menyokong terwujudnya keikhlasan dalam interaksi dengan Tuhan, serta lebih memudahkan untuk mencapai kebenaran.
Saat menahan nafasnya, hendaklah dia berzikir satu atau tiga kali demi menjaga bilangan ganjil.
Hadirat Khojah Naqsyaband Quddisa Sirruh menjelaskan makna kalimat thayyibah sebagai berikut, “Ila ilaha” adalah penafian semua Tuhan alamiah, “illallah” adalah penetapan bagi Dzat yang haq untuk disembah dan “Muhammad Rasulullah” berarti engkau memasukkan diri engkau ke maqam “fattabi’aini”.
Hadirat Khojah Naqsyaband Quddisa Sirruh menjelaskan makna kalimat thayyibah, yaitu “La ilaha illallah”. Makna dari kamlimat inilah yang menjadi tujuan salik, bukan lafal yang diucapkan. Frasa “la ilaha” dalam kalimat “La ilaha illallah” artinya penafian semua Tuhan ciptaan manusia yang dapat dibayangkan serta dipertanyakan bagaimana keadaannya (almutasawwarah wa al-mutakayyafah). Ilmu manusia terbagi menjadi pencitraan (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Pembenaran (tashdiq) adalah bentuk pencitraan yang diiringi ketetapan. Jadi, ilmu manusia secara keseluruhan adalah pencitraan (tashawwur). Wajib bagi setiap orang mukalaf untuk mengetahui tentang Allah swt. Apabila dia sudah mengetahui tentang Allah, dia tentu akan membayangkan rupa Allah swt., tetapi pasti pencitraan yang dibayangkannya itu tidak sesuai dengan Dia dan itu adalah bentuk ketidaktahuannya tentang Allah swt. Hanya sebatas inilah yang bisa dipikirkan oleh seorang manusia berpengetahuan, karena Tuhan yang dikarakteristikkan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Hal-hal seperti inilah yang harus dinafikan demi menjaga iman yang shahih.
Saya telah membicarakan pembahasan ini di dalam kitab yang berjudul ar-Radd al-Matin ‘ald Muntaqish al-‘Arif Muhyiddin dan al-Mathdlib al-Wafiyyah serta beberapa kitab saya yang lain.
Lafal “illallalah” adalah penetapan dari si hamba pelaku zikir kepada Allah swt., yang tidak memiliki citra, karakter, keserupaan dan tidak dapat dipersepsikan.
Lafal “Muhammad Rasulullah” berarti bahwa engkau masuk secara suka rela ke maqam frasa “fattabi’unf” dari firman Allah kepada Nabi-Nya dalam ayat,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31)
Siapa pun yang mengikuti sunah Nabi Muhammad saw. pasti juga mematuhi seluruh sabda dan mencontoh semua perbuatannya.
Berbagai sabda Nabi Muhammad saw. mengalami simpang-siur pada penukilannya. Perbedaan mengenai sabda Nabi juga terjadi di antara keempat imam mujtahid dan ulama lainnya. Tapi hal ini tidak pernah kita lihat pada berbagai mazhab salaf.
Mereka juga berselisih seputar tata cara disebabkan perbedaan berbagai riwayat. Tata cara pelaksanaan shalat menurut sunnah muhammadiyyah yang dianut oleh mazhab Imam Syafi’i rahimahullah berbeda dengan tata cara pelaksanakan shalat yang dianut oleh Imam Abu Hanifah rahimahullah,” dan demikian pula yang terjadi pada berbagai amalan lainnya, meski pada sebagian amalan yang lain mereka bersepakat.
Ijtihad adalah dugaan kuat atau zhan, sehingga ittiba’ kepada Nabi saw. pada hakikatnya dilakukan oleh orang yang ikhlas dalam penghambaannya kepada Allah swt. serta benar-benar ridha atas posisi Allah sebagai Tuhan, sehingga dia tidak bergerak sama sekali di dalam lahir batinnya dengan keinginannya sendiri, melainkan semua itu terwujud dengan kehendak Tuhannya, sebab semua geraknya adalah dengan Tuhannya itu. Itulah sebabnya, ketika dia lalai terhadap penghambaan ini meski hanya sekejap, ia menganggap itu sebagai dosa besar atau bahkan bentuk kesyirikan yang busuk yang membuatnya harus segera bertobat dari dosa itu.
Dia mengikat diri dalam penghambaan kepada tuhannya sembari memperbaiki batinnya, sehingga Tuhannya menerimanya dengan otoritas ketuhanan-Nya, lalu Dia pun memperbaiki lahiriahnya, sehingga Tuhan hanya akan menghendaki untuknya (selama dia berada dalam kondisi itu) ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang selaras dengan sunah Muhammadiyah dan tarekat yang diridhai.
Dengan semua “nukilan” dari Allah swt. untuknya, dia tidak membutuhkan penukilan riwayat, karena semua perbuatan, ucapan, dan bersitan hatinya yang berada di kehendak Allah Azza wa Jalla menjadi sebuah kebenaran dan pewujudan pasti yang diriwayatkan baginya dalam penukilan Nabi dari Tuhannya.
Sampai di situ, si hamba pun mencapai maqam ittiba’ yang hakiki kepada Nabi Muhammad saw. tanpa ada secuil pun bid’ah atau kesesatan. Ketika dia mengikuti Nabi Muhammad saw. dengan benar, itibak seperti itulah yang menjadi arti dari kalimat “Muhammad Rasulullah”. Karena kalau tidak seperti itu, maka berarti apa yang dia ucapkan berasal dari keraguan bukan kepastian. Wabillahit taufiq.
Sebagian tokoh tarekat ini menjelaskan arti dari kalimat thayyibah, yang tergambar bagi tingkat pemula dalam ucapannya “la ilaha” adalah “tidak ada sesembahan”, bagi tingkat menengah adalah “tidak ada maksud”, dan bagi tingkat tinggi adalah “tidak ada yang maujud”, kecuali hanya Allah.
Sebagian tokoh tarekat ini, yaitu para syekh muhaqqiq dalam tarekat Naqsyabandiyah, menjelaskan mengenai arti kalimat thayyibah “La ilaha illallah”. Bagi salik pemula dalam perjalanan suluk menuju Allah swt., yaitu orang yang belum bisa melepaskan dirinya, yang dia pahami dalam hatinya dalam frasa “la ilaha” adalah tidak ada sesembahan di dalam wujud kecuali hanya Allah. Itu terjadi karena dia berada di maqam “al-Islam” sehingga dia masih perlu untuk mengenyahkan syirik yang nyata (jali) dan keraguannya dari hatinya. Apa pun yang dia sembah, itu bukan Allah swt. karena Allah swt. adalah Dzat yang tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya.
Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah ada banyak. Di antaranya adalah tuhan-tuhan indrawi seperti berhala, dan ada pula tuhan-tuhan ilusi seperti berbagai macam bentuk bayangan yang ada di dalam khayalan semu. Tuhan yang sesungguhnya adalah yang tidak seperti semua itu karena Dia adalah Dzat yang tidak serupa dengan sesuatu apa pun dan tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya.
Bagi salik tingkat menengah di tarekat ini, yaitu orang belum bisa melepaskan hatinya, yang dia pahami pada frasa “Ia ilaha” adalah tidak ada yang dimaksud dalam wujud kecuali Allah. Itu terjadi karena setiap orang yang melakukan sesuatu pasti karena manfaat, mudaratnya, atau karena terjadinya kesia-siaan dalam melakukannya. Sang Maha Memberi Manfaat dan Bahaya adalah Allah semata, tanpa ada bantuan dari apa pun selain Dia secara mutlak. Sebagaimana halnya kebutuhan seseorang yang sia-sia, tercapai kesia-siaan padanya itu sebenarnya juga ada dalam kekuasaan Allah swt. Jadi yang menjadi maksud atau tujuan adalah Allah swt. dalam kondisi apa pun pada pemilik hati yang shahih dan akal yang benar.
Sementara itu, bagi salik tingkat tinggi di tarekat ini, yaitu orang yang bersama Tuhannya, yang dia pahami pada ucapan “illallah” adalah yang maujud di dalam wujud hanya Allah semata. Itu terjadi karena semua yang maujud seperti kejapan mata karena semuanya ada berdasarkan perintah Allah berdasarkan firman-Nya,
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya.” (QS. ar-Rum [30]: 25)
Sementara perintah Allah swt. seperti kejapan mata, sebagaimana yang Dia nyatakan dalam firman-Nya,
“Perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. al-Qamar [54]: 50)
Tentu saja, wujud sesuatu yang seperti kejapan mata tidaklah tetap. Itulah sebabnya ketika salik tingkat tinggi menyatakan bahwa “tidak ada Tuhan” maksudnya adalah tidak ada maujud di dalam wujud kecuali hanya Allah.
Para tokoh sufi berkata: Selama perjalanan menuju Allah swt. belum selesai dan belum melangkahkan kaki dalam perjalanan tersebut, pemahamannya pada “tidak ada maujud” menjadi kekufuran. Dikatakan bahwa maknanya adalah: Tidak ada penggerak dalam al-Mulk dan al-Malakut, kecuali Allah swt.
Sebagian di antara para tokoh sufi juga menyatakan bahwa selama perjalanan seorang mursyid yang benar menuju Allah swt., yang membuatnya mengakui Wujud-Nya, belum selesai, dan kaki sebagai bersitan rohani belum memulai perjalanan. Keberhasilan mencapai Allah adalah ketika salik mampu menyaksikan wujud seperti kejapan mata, sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan berhasil memahami bahwa hakikat tetap yang berada dibalik semua maujud adalah hakikat Allah swt., yang dengan ini semua dia mengimani segala yang ghaib.
Sementara siapa pun yang penyaksiannya tidak seperti itu, pemahamannya pada “tidak ada maujud” kecuali Allah, menjadi sebuah kekufuran. Itu terjadi karena dia tidak bisa memahami hakikat tetap di balik semua maujud yang selalu berubah, padahal itu adalah hakikat Allah swt. Itu merupakan bentuk kekufuran terhadap Allah swt. dan termasuk perbuatan ta’thil (menafikan Allah). Pemaham seperti ini adalah milik mazhab al-Husbaniyyah.
Dikatakan bahwa makna “la ilaha” adalah tidak ada penggerak dalam al-Mulk dan al-Malakut, kecuali Allah swt. Yang dimaksud al-Mulk di sini adalah sisi zahir alam semesta, sementara yang dimaksud al-Malakut adalah sisi batin alam semesta.
Kalimat syahadat memiliki beberapa arti lain yang sebagian di antaranya saya sebutkan dalam kitab saya yang berjudul al-Anwar al-Ilahiyyah syarh as-Sanisiyyah saat penulis matan membahas kalimat syahadat. Ini juga saya sampaikan dalam syarah yang saya tulis atas kitab ‘Ainiyyah karya al-Jili rahimahullah.
Keseriusan dalam menyinambungkan zikir harus dilakukan, sehingga jangan sampai engkau meninggalkannya di kondisi apa pun, di waktu kapan pun, tidak pula di saat engkau berdiri atau duduk, tidak pula di dalam ucapanmu dan tidak pula dalam tidurmu. Apabila sesuatu mengganggumu di dalam zikir atau saat satu majelis dengan syekh, bayangkan gangguan itu sebagai garis lurus.
Engkau wahai pelaku zikir, harus bersungguh-sungguh dalam menyinambungkan zikir jika engkau ingin mencapai wushul kepada Tuhanmu, sehingga jangan sampai engkau meninggalkan zikir di kondisi apa pun dari segala kondisi yang ada, baik ketika engkau gembira ataupun sedih, sehat ataupun sakit, sedang sendirian ataupun bersama orang lain. Juga tidak meninggalkannya di waktu apa pun di antara semua waktumu, baik malam ataupun siang, dalam perjalanan ataupun di saat mukim. Tidak pula di saat engkau berdiri, berjalan, berdiam dan duduk, baik duduk tegak ataupun duduk bersandar. Ketika engkau sedang berbicara kepada seseorang, Siapa pun dia, engkau harus tetap dapat berbicara sembari berzikir dalam hati, bahkan dalam tidurmu engkau harus tidur seraya berzikir.
Apabila sesuatu yang terbersit dalam hatimu mengarah ke sebuah hal, walaupun hal itu adalah sebentuk ketatan, menganggumu dan membuatmu berpaling dari zikir atau dari perhatianmu kepada syekh saat satu majelis dengannya, bayangkan gangguan di hatimu itu sebagai garis lurus yang muncul dari dirimu dan menghalangi apa yang menjadi sasaran zikirmu yang telah engkau renungkan saat memulai zikir. Karena sesungguhnya zikir dan hal yang memalingkan hatimu itu setara dari sisi bahwa keduanya mempengaruhi objek zikirmu. Demikian pula yang terjadi dengan syekhmu dan hal lainnya, keduanya sama-sama mempengaruhi terhadap apa yang engkau maksudkan sebagai dalil petunjuk kepada Allah swt.
Merenungkan hal ini (zikir dan syekh) dan sibuk memikirkan satu hal lainnya akan mengantarkanmu ke jam’iyah. Sebagian tokoh sufi menyatakan, apabila ada sehelai rambut di badanmu berubah karena suatu keadaan lalu engkau terganggu, engkau harus melacak rambut itu. (kenapa bisa mempengaruhi) sampai engkau berhasil menyingkirkannya. Seperti dinyatakan oleh seorang tokoh, “tetap memikirkan kesibukan adalah kesibukan”.
Merenungkan apa yang telah kami sebutkan mengenai keberpalingan dari zikir dan dari syekh, dan sibuk memikirkan satu perkara dan engkau wujudkan perkara itu, sehingga objek tujuanmu berubah, menjadikan ujianmu beragam dan menyulitkanmu untuk tetap di satu jalan tunggal. Zikir terkadang menjadi susah bagi pelakunya disebabkan adanya ujian dari Allah swt. Demikian pula halnya seorang syekh terkadang memalingkan diri dari muridnya karena ketetapan Allah dalam wujud fitnah, kemudian apa yang dipikirkan seorang syekh berwujud menjadi muridnya. Hal ini yang membuat seorang syekh sadar terhadap keutamaan muridnya dalam memahami hakikat zikir.
Dalam kondisi itu, seorang syekh pada semua tingkatan akan menyatu di dalam hati murid dan tidak bisa dipisahkan.
Sebagian tokoh sufi menyatakan, apabila ada sehelai rambut di badanmu berubah akibat sebuah keadaan dan engkau terpengaruh, engkau harus meneliti kenapa engkau bisa terperanguh, sampai berhasil menyingkirkannya.
Seperti yang dinyatakan oleh seorang tokoh sufi, sibuk dengan zikir adalah tidak memikirkan bahwa kita sibuk berzikir. Karena berpikir sedang sibuk berzikir merupakan bentuk kesibukan yang memalingkan dari zikir.
Al-Maula Sa’duddin al-Kasyghari berkata, “Syekh Abdul Kabir al-Yamani bertanya kepadaku, “Apakah zikir itu?” Aku menjawab, “L4la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).” Dia pun berkata, “Itu bukan zikir. Itu adalah ungkapan.” Akupun berkata, “Jelaskan padaku (tentang zikir)!” Dia pun menjelaskan, “Zikir adalah engkau tahu bahwa engkau tidak kuasa untuk mewujudkannya.”
Al-Maula Sa’duddin al-Kasyghari—kata ““al-Kasyghari” diasosiasikan ke kota Kasyghar, Hindustan—berkata, “Syekh Abdul Kabir al-Yamani bertanya kepadaku, “Apakah zikir itu?” Aku menjawab, “La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).” Syekh al-Yamani berkata, “Sebatas ucapan La ilaha illallah menggunakan lisan itu bukan zikir hakiki menurut kalangan sufi melainkan hanyalah ungkapan zikir.” Contohnya seperti ketika engkau mengucapkan kata “rumah”, lafal itu bukanlah rumah, melainkan sekedar ungkapan yang artinya adalah rumah.
Aku pun—al-Kasyghari—berkata kepada al-Yamani, “Jelaskan padaku!” Maksudnya, al-Kasyghari meminta petunjuk tentang zikir yang hakiki. Al-Yamani lalu menjawab, “Zikir adalah menyadari bahwa engkau tidak kuasa untuk mewujudkannya.” Maksudnya, pelaku zikir tidak kuasa untuk mewujudkan zikir pada dirinya karena hanya Allah yang kuasa untuk mewujudkan zikir pada dirinya, jika Dia menghendaki nya.
Pemimpin golongan sufi (sayyid at-thaifah) Junaid berkata, tasawuf adalah setiap detik yang terlewat harus dihabiskan dengan merenungkan sesuatu.
Junaid al-Baghdadi rahimahullah selaku pemimpin golongan sufi (sayyid at-thaifah) berkata, zikir adalah membiarkan dirimu di setiap waktu merenungkan objek apa pun karena merenungkan segala sesuatu dengan berbagai macam perbedaannya adalah zikir, sebab dengan merenungkan makhluk (manifestasi Allah) kita bisa mengingat Allah dan ini diperuntukkan hanya kepada-Nya. Apabila engkau merenungkan suatu objek, berarti engkau sedang berzikir kepada Allah. Ini tercapai setelah memahami terhadap segala sesuatu dengan pemahaman yang sempurna. Apabila tidak seperti itu, merenungkan sesuatu merupakan sebuah kelalaian dan bukan sebuah zikir.
Syaikhul Islam menyatakan, merenungkan segala sesuatu membuat keterkaitan emosional tercapai tanpa susah payah dan bisa memahami tanpa melihat. Maksud golongan tinggi sufi ini adalah mereka berhasil memahami konsep “An ta’budallah ka‘annaka tarahu” (Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya).
Syaikhul Islam Khojah Abdullah Muhammad al-Anshari al-Harawi menyatakan, “Menempatkan objek zikir pada segala sesuatu memudahkan pelaku zikir untuk menjalin ikatan spiritual dirinya dengan al-Haq dan membuatnya bisa melihat Allah (ru’yah) tanpa perlu benar-benar berusaha untuk melihat-Nya.” Ini adalah maqam Abu Bakar ash-Shiddiq alAkbar ra., beliau pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu apa pun, kecuali kulihat Allah di dalamnya.” Maksud pernyataan ini adalah bahwa segala sesuatu merupakan tempat manifestasi (mazhhar) bagi Allah, dari sisi bahwa segala sesuatu hasil dari kehendak Allah. Inilah zikir hakiki, sedangkan yang selainnya adalah ibadah bukan zikir.
Maksud golongan tinggi sufi ini—semoga Allah menyucikan ruh-ruh mereka yang luhur dalam mujahadah dan suluk mereka—adalah para salik berhasol mencapai konsep (masyhad) maqam ihsan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau, ihsan adalah “An ta’budallah ka’annaka tarahu” (Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya). Ihsan bisa dicapai dengan keimanan dan keislaman yang tercermin kan dalam lisan dan hati, serta dicapai dengan berbagai jenis ketaatan yang ditunaikan oleh anggota tubuh, seraya engkau merenungkan Allah swt. berada dalam dirimu saat melaksanakan setiap ibadah dan di segala sesuatu yang engkau lihat. Dia bermanifestasi kepadamu di dalam segala sesuatu, sebab segala sesuatu adalah objek manifestasi Allah bagimu, sebagaimana dirimu sendiri termasuk dalam objek manifestasi-Nya.
Pada kalimat “Ka‘annaka tarahu” (Seakan-akan engkau melihat-Nya), huruf kaf masuk ke dalam kalimat ini dengan fungsi penyerupaan (tasybih) atau bermakna “seakan-akan”.
Artinya, menyerupakan keadaan ketika engkau tidak dapat melihat-Nya dengan keadaan ketika engkau dapat melihat-Nya. Konsepnya adalah adanya manusia sempurna dengan citra Ilahiah merupakan manifestassi zat, sifat, dan perbuatan Tuhan.
Dalam kata lain Allah melihat Dzat Ilahiah-Nya ada di dalam Diri-Nya, sementara engkau juga melihat dirimu di dalam dirimu sendiri. Karena segala sesuatu adalah bagian dari hakikat dirimu, ketika engkau melihat segala sesuatu, engkau melihat dirimu juga. Ketika engkau melihat dirimu, engkau telah melihat Tuhanmu. Sebab dirimu adalah manifestasi atau objek kehendak-Nya, Allah swt. berfirman,
“Tidakkah engkau memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang.” (QS. al-Furqan [25]: 45)
Disebutkan dalam sebuah hadis,
“Siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya.”
Anda tentu tidak dapat melihat Tuhanmu karena engkau bersifat baru sedangkan Dia bersifat qadim, padahal sesuaty yang bersifat baru tidak mungkin dapat melihat sesuatu yang bersifat qadim. Yang dapat dilihatnya hanyalah mazhhar (tempat manifestasi) karena semua mazhhar bersifat baru, sehingga sesuatu yang bersifat baru dapat melihat sesuatu yang juga bersifat baru. Dengan begitu, sebenarnya ini adalah penglihatan yang bukan penglihatan.
Dari sini dinyatakan “seakan-akan engkau melihat-Nya”, karena yang zahir dengan segala sesuatu adalah Allah swt., dari sisi bahwa Dia adalah Dzat yang Mahaawal lagi Mahazahir yang segala sesuatu selain Dia adalah alam semesta. Dia juga adalah Mahaakhir setelah musnahnya segala yang selain Dia di setiap saat seperti yang telah kami jelaskan di bagian lalu. Dia adalah Allah yang Mahaawal dengan esensi-Nya dan Dia Mahaakhir yang segala sesuatu sesudah Dia adalah selain Dia dan itu adalah alam semesta. Jadi, alam semesta adalah pembeda antara sifat Mahaawal dan Mahaakhir, karena tanpa adanya semesta, tidak ada perbedaan antara kedua sifat itu.”
Demikian pula Dia yang Mahazahir sebelum segala sesuatu dan sesudah segala sesuatu adalah Allah swt. Segala sesuatu bersifat batin ada di dalam kezahiran-Nya. Dia adalah yang Mahabatin pada waktu kemunculan segala sesuatu, apalagi sebelum dan sesudahnya. Dia adalah Allah swt. dan segala sesuatu muncul di dalam sifat Mahabatin-Nya. Dialah yang Mahazahir lagi Mahabatin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tokoh tarekat Naqsyabandiyah menyebut kemampuan hudhur dengan musyahadah (penyaksian) dan menggunakan hati. Sedangkan ru‘yah (melihat) menggunakan mata kepala.
Kemampuan—disebut “malakah” yang berarti “daya intrinsik dalam jiwa”—bagi terjadinya hudhur atau “kehadiran hati” bersama Allah swt. bisa dicapai oleh salik melalui banyaknya latihan (riyadhah) sehingga kapan pun seorang hamba ingin melakukan musyahadah, dia dapat menggunakannya untuk kemudian hatinya hadir bersama Allah swt.
Para pemimpin kaum sufi menyebutnya musyahadah (penyaksian) terhadap Allah swt. yang terjadi atau terwujud dengan hati semata, tanpa mata fisik. Sedangkan ru’yah (penglihatan) terjadi dengan mata kepala (‘ainu-r ra’s). Di sini penulis menyebut “kepala” untuk mencegah terjadinya salah paham “mata” sebagai “mata hati” (‘ainu-l qalb).
Mata kepala adalah organ yang tercipta pada bagian tertentu di kepala manusia dengan adanya pupil dan bulu mata. Ini adalah perbedaan antara penyaksian (musyahadah) dengan penglihatan (ru‘yah) dari segi anggota tubuh yang terkait. Penyaksian (musyahadah) menggunakan hati, sementara penglihatan (ru‘yah) menggunakan mata. Walaupun terkadang penyaksian menggunakan hati juga menggunakan kata ru‘yah. Contohnya seperti dalam firman Allah,
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. an-Najm [53]: 11)
Kata ganti tidak terlihat dari verba ra’a dalam ayat ini kembali kepada subjek fu‘ad yang artinya adalah hati, Terkecuali jika menggunakan pendapat bahwa subjek pelaku dari verba ra‘a dihapus, sehingga makna ayat ini menjadi “Hatj kecilnya tidak mendustakan apa yang dilihat oleh matanya.”
Perbedaan antara penglihatan (ru‘yah) dan penyaksian (musyahadah) adalah engkau dalam penglihatan (ru‘yah) tidak mampu untuk menjauhkannya darimu, sedangkan dalam penyaksian (musyahadah) engkau dapat mengaturnya.
Perbedaan antara penglihatan (ru‘yah) dan penyaksian (musyahadah) yang lain adalah dalam penglihatan (ru‘yah) engkau tidak mampu untuk menjauhkannya darimu ketika engkau melakukannya, sedangkan dalam penyaksian (musyahadah) engkau dapat memilih. Artinya, kalau engkau mau engkau dapat menghilangkannya atau dapat membiarkannya tetap ada. Itu terjadi karena penglihatan (ru‘yah) dicapai dari sisi objek penglihatan, sehingga engkau tidak dapat menutupnya. Sedangkan penyaksian (musyahadah) dicapai dari sisi salik yang bermusyahadah sehingga dia dapat menutupnya.
Penyaksian (musydhadah) di dunia dapat terjadi bagi orang-orang mukmin, tetapi tidak demikian dengan penglihatan (ru‘yah).? Mereka hanya dapat mencapai penglihatan (ru‘yah) nanti di akhirat. Walaupun hal itu mungkin saja terjadi di dunia, seperti yang telah kami jelaskan dalam kitab kami yang berjudul al-Mathalib al-Wafiyyah dan kitab-kitab lainnya.”
Tarekat atau cara kedua dalam sebab (jalan) wushul untuk mencapai makrifat, sekaligus merupakan jalan yang termudah dan terdekat, adalah tawajuh dan muragqabah, yaitu dengan merenungkan Dzat Mahakudus yang tidak bisa dipertanyakan keadaan-Nya dan tak ada satu pun yang serupa dengan-Nya, yang bisa dipahami dari sifat al-Mubarik—maksud kami “Allah”, dengan tanpa ungkapan dalam bahasa Arab, Ibrani, Persia, atau lainnya. Dia harus selalu engkau renungkan dan benamkan di dalam benakmu, lalu engkau bertawajuh dengan segenap kekuatan dan seluruh indramu kepada hati sanubari dan teruslah melakukan hal ini serta menanggung beban menyinambungkannya sampai akhirnya beban itu hilang dari segala perantaraan dan hal itu menjadi malakah bagimu.
Tarekat atau cara kedua untuk wushul kepada Allah dan untuk mencapai makrifat bagi murid penempuh suluk berbeda dengan cara atau tarekat pertama, sekaligus menjadi jalan termudah dan terdekat bagi si hamba untuk mencapai tujuan. Cara kedua ini adalah dengan tawajuh secara lahir batin kepada Allah swt. sembari meninggalkan segala kesibukan dan penghalang. Juga dengan muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah swt.) dalam kondisi apa pun, baik di saat sendirian maupun di tengah keramaian.
Cara atau tarekat kedua ini dilakukan dengan merenungkan Dzat yang Mahakudus dan bersih dari segala keserupaan dengan berbagai hal yang fana, yang tidak bisa dipertanyakan sehingga membuat-Nya dapat dirasionalisasi, yang tak ada satupun yang serupa dengan-Nya di Alam Mulk, Alam Malakut dan Alam Jabarut dan yang termanifestasikan dari sifat-Nya al-Mubarik (Yang Maha Pemberi berkah) yang Mahaagung, Dialah Allah swt., dzat yang bisa dipahami dalam bahasa Arab atau dalam bahasa Ibrani, sebagai bahasa yang dipakai oleh Nabi Ibrahim as.
Saat itu Nabi Ibrahim as. menyeberangi ‘abara (sebuah sungai) demi menyelamatkan diri dari Namrud. Ketika Namrud mengetahuinya, dia berkata kepada pasukan yang ia perintahkan untuk mengejar Ibrahim, “Kalau kalian menemukan seorang pemuda yang berbicara dengan bahasa Suryani, bawalah dia!” Ketika pasukan itu berhasil menangkap Ibrahim, mereka memaksanya bicara, seketika itu juga Allah mengubah bahasa lisan Ibrahim menjadi bahasa Ibrani. Kejadian ini terjadi ketika Nabi Ibrahim as. menyeberangi ‘abara (sungai), karena inilah bahasa tersebut disebut dengan nama ‘ibrdniy. Sungai yang dimaksud di sini adalah Eufrat. Sedangkan penyebab bahasa Suryani disebut seperti itu adalah karena ketika Allah mengajari Adam as. nama-nama benda, Dia mengajari semua itu secara diam-diam (sirr) tanpa diketahui para malaikat. Pada saat itu Allah membuat Adam berbicara dengan bahasa tersebut.
Allah juga tidak perlu dipahami dengan menggunakan bahasa Persia atau berbagai bahasa lainnya.
Maksud dari penjelasan di atas adalah lafal “Allah” adalah nama yang berarti Dzat Ilahiah yang secara mutlak tidak bisa dibandingkan dengan sifat apa pun. Itulah sebabnya kata “Allah” bisa dipahami tanpa perantara suatu ungkapan.
Engkau harus merenungkan makna “Allah” yang tidak bisa dipertanyakan bagaimana, tidak memiliki tandingan dan juga keserupaan dengan renungan yang muncul darj bersitan hati pada-Nya, bukan renungan yang muncul dari jawaban atas pertanyaanmu tentang-Nya, penyerupaan atau penyamaan kepada-Nya.
Engkau juga harus menanamkan makna yang suci itu (Allah) di dalam imajinasimu tanpa membayangkan bentuk-Nya. Bahkan setiap kali bayangan bentuk-Nya muncul di dalam imanijasimu, engkau harus langsung mengenyahkan gambaran itu karena imajinasi adalah bagian dari penggambaran, padahal semua itu mustahil bagi Allah swt.
Selain itu, engkau harus bertawajuh atau menghadap dengan segenap kekuatan lahir batin dan segenap pancaindramu kepada hatimu yang melekat di batinmu pada sisi kiri badanmu. Hati ini disebut dengan nama “sanubari” karena bentuknya serupa dengan buah shanaubar (buah pohon cemara) dan disebut sanubari untuk membedakannya dari hati rohani. Tawajuh yang engkau lakukan itu adalah tawajuh dengan segenap jiwa.
Lalu engkau wahai pelaku zikir, harus selalu melalukan tata cara zikir yang telah kami sebutkan tadi dengan menanggung beban konsistensi sehingga engkau harus memaksa dirimu untuk terus melakukannya. Meskipun dalam keadaan bosan atau malas, sampai akhirnya beban itu hilang bersamaan dengan musnahnya rasa was-was, keraguan, dan sangkaan dari dalam dirimu sehingga hal yang disebutkan tadi menjadi malakah (keistimewaan) bagimu yang kapan saja dapat engkau gunakan tanpa susah payah.
Sebagian tokoh Naqsyabandiyah berkata jika bayangan makna tadi (Allah) terlintas pada pikiranmu, cukup bayangkan berupa cahaya sederhana yang meliputi semua Maujud Ilmiah dan ‘Ainiyyah. Sebagian tokoh dari kalangan sufi Naqsyabandiyah semoga Allah menyucikan hati dan ruh mereka yang luhurberkata bahwa makna yang dimaksud dalam zikir adalah Dzat yang suci dari keserupaan dengan segala sesuatu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jika gambaran Dzat itu terlintas di dalam benakmu seperti terlintasnya bayangan suatu benda, cukup engkau bayangkan berupa suatu cahaya, yang tidak memiliki sifat dan bentuk cahaya. Sebab subjek berwarna seperti cahaya putih atau cahaya merah dan sebagainya adalah cahaya Alam Makhluk (‘alam khalgq), sedangkan cahaya yang kau bayangkan ada di Alam Perintah (‘alam amr). Bayangkan cahaya itu dengan sederhana (basith), yaitu tidak tersusun dari dua entitas, sementara cahaya Alam Makhluk semuanya tersusun dan kompleks (ghair basfth), karena ia memiliki sifat seperti putih dan lainnya, sehingga entitasnya dan sifat putih itu adalah dua entitas yang berbeda. Konsep ini berbeda dengan cahaya Alam Perintah yang pasti bersifat sederhang (basith). Bayangkan juga bahwa cahaya itu meliputi semua Maujud Ilmiah yang ada di hadirat ilmu Allah swt.
Berbagai Maujud Ilmiah berada di hadirat ilmu Allah swt. yang tidak bisa digambarkan dan dipertanyakan (ghairy mushawwarah wa Ia mukayyafah). Karena Allah mengetahui semua maujud ilmiah karena dengan sifat-Nya al-Mushawwir (Maha Membentuk) maujud tersebut dapat tergambarkan di dalam ilmu-Nya, juga dengan sifat-Nya al-Badi’ (Maha Pencipta hal baru) sesuatu yang tergambarkan dalam ilmuNya adalah sesuatu yang belum pernah ada.
Dia mengetahui maujud tersebut tanpa membayangkannya dalam ilmu-Nya, melainkan tergambar dalam entitas-entitasnya, maujud dalam waktu-waktunya dan hadir di dalam ilmu-Nya. Tidak ada sesuatu apa pun yang terlewatkan dari ilmu-Nya, pendengaran-Nya, dan penglihatan-Nya, secara azali dan abadi. Namun seiring dengan semua kondisi di atas, semua Maujud Ilmiah itu “tidak ada” secara nyata sebagai entitas konkrit ketika diatributkan kepada Allah swt. Demikianlah engkau harus mengetahui hakikat ilmu Allah swt. yang sama sekali berbeda dari ilmu kita.
Maujudat ‘Ainiyyah yang konkret sebagai entitas tapi terus berubah sesuai berjalannya waktu sejatinya tiada secara azali dan abadi. Tetapi kemudian Allah swt. bertajali dengannya sekaligus menyemburatkan cahaya-Nya yang hakiki atas setiap butir partikel dari semua Maujudat ‘Ainiyyah itu.
Termasuk pula di dalamnya pengetahuan makhluk tentang dirinya dan makhluk lain. Karena seorang makhluk mengetahui sesuatu setelah mengaitkan seluruh pengetahuan mereka sebelumnya. Ketika makhluk telah mengaitkan wujud sesuatu dengan suatu ilmu lain, sesuatu itu pun menjadi konkret. Sementara “wujud” hanya milik yang Mahahidup jagi Maha Mengayomi, bukan milik siapa pun selain Dia. Setelah itu baru terhubunglah ilmu seorang makhluk dengan perbagai maujud ‘ainiyyah sehingga kemudian makhluk tersebut mengetahui sesuatu. Ini adalah sebuah ilmu yang sebenarnya bukan ilmu, sebagaimana yang Allah firmankan,
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Kalau saja ilmu seorang hamba berganti menjadi ilmu hakikat, si hamba pun akan mengetahui segala sesuatu dalam ketiadaan. Karena wujud hanya milik yang Mahahidup lagi Maha Mengayomi yang tiada Tuhan selain Dia.
Lalu engkau hadapkan cahaya yang telah kau bayangkan tadi dengan mata hati (bashirah). Seiring dengan menjaga itu, engkau bertawajuh kepada hati sanubari dan pancaindramu, hingga mata hatimu menjadi kuat dan bayangan yang menganggumu hilang, sampai apa yang menjadi tujuanmu menjadi jelas kembali.
Engkau jadikan cahaya itu, wahai pelaku zikir, sebagai objek mata hatimu (bashirah), sehingga cahaya itu selalu dilihat oleh mata hatimu di setiap keadaan. Seiring dengan menjaga semua yang telah disebutkan itu serta merutinkannya, hendaklah engkau bertawajuh kepada hati sanubari yang ada di sisi kiri badanmu dengan segenap kekuatan yang ada dalam dirimu, serta berbagai pancaindramu, yaitu berbagai organ tubuhmu yang engkau gunakan untuk mengetahui dan merasakan sesuatu.
Semua itu engkau lakukan sampai mata hatimu menjadi kuat untuk mengetahui berbagai hakikat Ilahiah dan marifat ketuhanan dan menjadi cahaya yang engkau bayangkan di awal menjadi hilang akibat hebatnya cahaya al-Haq atas dirimu sehingga wujudmu menjadi sirna. Semua hal tersebut berupa menguatkan mata hati dan hilangnya cahaya terjadi diiringi dengan munculnya apa yang diinginkan olehmu, yaitu tajali Allah swt. yang Mahaqadim lagi Mahaazali.
Hakikat dan Tata Cara Muraqabah menurut Sayyidina Ubaidullah Ahrar Hadirat Syekh yang mulia Ubaidullah Ahrar berkata, “Kata muraqabah mengandung arti mufd’alah, sehingga harus ada tindakan dari kedua belah pihak.” Berdasarkan ini salik harus sadar bahwa al-Haq selalu mengawasi segala keadaannya dan menjaga terus kesadaran itu dalam hatinya, atau sadar bahwa dia menjadi objek pengawasan bagi penglihatan-Nya atas perwujudannya tanpa membayangkan dan berusaha mendeskripsikan Dzat-Nya.
Hadirat Syekh yang mulia Ubaidullah Ahrar an-Naqsyabandi semoga Allah menyucikan lainya dan menyinari pusaranya berkata, kata muraqabah mengikuti bentuk kata mufa’alah, yaitu raqaba yuraqibu muraqabah, sehingga harus ada tindakan dari kedua pihak, seorang hamba dan Tuhan swt. Berdasarkan hal ini hamba harus sadar (murdqib) bahwa Allah swt. mengawasi atas segala keadaannya baik lahir maupun batin. Allah swt. berfirman,
“Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. al-Fajr [89]: 14)
Selain itu dia juga harus menjaga kesadaran itu, baik secara diam-diam maupun terang-terangan tanpa pernah melalaikannya. Kalau pun dia melalaikannya, dia harus langsung mengingatnya kembali.
Atau si hamba sadar bahwa dia adalah objek pengawasan (muragab, dengan huruf qaf berharakat fathah) bagi penglihatan-Nya atas wujudnya semata, walaupun dia tidak sadar bahwa penglihatan-Nya mengawasi segala keadaannya. Hanya saja kesadaran ini harus tanpa membayangkan wujud Allah swt. dan tanpa mendeskripsikan-Nya, karena Allah swt.,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syara [42]: 11)
Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menandingi-Nya.
Jalan lainnya adalah seorang hamba menjadi pengawas bagi hati sanubarinya dan tidak membiarkan berbagai sesuatu mengganggunya, sehingga akan mudah baginya untuk mengendalikan hati hakikinya tanpa perhatian pada makna mufa’alah.
Jalan lain untuk muraqabah adalah si hamba menjadi pengawas atau menjadi penjaga hati sanubarinya itu, tanpa melalaikan makna-makna yang ada di hati sanubarinya itu. Selain itu dia juga tidak boleh membiarkan berbagai hal mengganggu hatinya, termasuk hal-hal yang hanya terbesit selintas di dalam hatinya. Bahkan setiap kali terbersit sesuatu di hatinya, dia harus langsung mengusirnya.
Alasannya adalah karena hal itu akan membuatnya mudah untuk mengikat dirinya yang masih ragu dengan hati hakikinya yang mengalir bersama nafas dan merupakan bagian dari perintah Allah yang seperti kejapan mata. Ini semua terjadi tanpa perlu baginya untuk merenungkan makna mufa’alah yang menunjukkan terjadinya perbuatan dari kedua belah pihak seperti cara pertama.
Dengan begitu dia pun tidak fokus kepada penglihatan Allah yang mengawasi semua keadaannya, tapi dia sibuk dengan muraqabah terhadap dirinya sendiri dan bukan sibuk dengan muraqabah Allah swt. terhadap dirinya. Cara kedua ini bersumber dari hadis Nabi mengenai maqam ihsan, “An ta’budalléh ka‘annaka tarGh”, atau dengan kata lain memerhatikan Allah dengan cara muraqabah ke pada hati yang merupakan gerbang hadirat-Nya.
Kemudian Nabi Muhammad saw. bersabda, “Fa in lam takun tarahu” (Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya). Maksudnya, ketika engkau seharusnya bisa melihat Dia dan memperhatikan hadirat-Nya, “Sesungguhnya Dia melihatmu”, karena Dia memang selalu mengawasimu. Ini adalah tarekat atau cara pertama yang merupakan cara tertinggi. Karena di dalamnya terjadi perbuatan kedua belah pihak yang tercermin dalam kata “mufa’alah”.
Selain itu, hadis ini mengandung kunci peningkatan seorang hamba, karena pernyataan “Jika engkau tidak melihat-Nya”, yaitu jika engkau mengetahui bahwa ketika engkau berada di maqam pertama, engkau menduga bisa melihat Allah dan ternyata engkau tidak bisa. Saat engkau mengetahuinya, engkau pun naik tingkat dengan kemunculan keagungannya kepadamu sehingga engkau dengan ketidakmampuanmu melihat-Nya itu akan mencapai sesuatu yang lebih baik daripada ketidakmampuan untuk melihat-Nya di maqam pertama.
Pada saat itu seakan-akan engkau melihat-Nya dengan kondisi engkau pada maqam pertama, sementara seiring dengan itu engkau tidak melihat-Nya, sehingga muraqabah terjadi darimu pada-Nya, dan muraqabah juga terjadi dariNya padamu dalam sabda Nabi, “sesungguhnya Dia melihat engkau.” Tentu saja, berpadunya dua muraqabah pada diri si hamba dalam penyaksian lebih sempurna daripada satu muraqabah saja, disebabkan ada kemungkinan terjadinya kelalaian seiring dengan itu dari muraqabah Allah padanya. Kondisi pertama yang tidak disertai kelalaian adalah yang lebih sempurna.
Jalan muraqabah lebih tinggi daripada jalan penafian dan penetapan (nafy wa itsbat), sekaligus lebih dekat dengan jazab Ilahiah dibandingkan yang lainnya.
Kedua muraqabah ini lebih tinggi daripada jalan penafian dan penetapan (nafy wa itsbat) yang dilakukan dengan ucapan “la ilaha” sebagai nafy dan ucapan “illallah” sebagai itsbat, atau penafian (nafy) terhadap apa pun yang terbersit dalam pikiran ketika berzikir mengingat Allah, lalu diiringi dengan penetapan (itsbat) Allah setelah itu, atau penafian (nafy) terhadap semua yang terbersit di diri si hamba ketika melakukan penetapan (itsbat). Penafian dan penetapan ini dilakukan terus-menerus sampai si hamba mencapai wushul kepada Allah swt. dalam perjalanan rohaninya dengan menapakinya perlahan-lahan.
Muraqabah lebih tinggi dari nafy wa itsbat karena di dalam muraqabah kita memperpendek perjalanan dan mengabaikan lelahnya penafian dan penetapan (nafy wa itsbat). Di samping itu, muraqabah juga mengandung pengabaian terhadap penantian atas sesuatu yang tidak dapat dicapai. Sebab keraguan dan tabiat akan tetap ada ketika penafian dan penetapan (nafy wa itsbat), tetapi itu tidak terjadi ketika muraqabah yang dilakukan. Selain itu, muraqabah lebih tinggi karena ia lebih mendekatkan si hamba dengan jazab Ilahiah yang pasti terjadi pada hatinya dibandingkan semua jalan-jalan yang ada, karena ia merupakan bentuk adab bersama Allah yang hal itu berbeda dengan penafian dan penetapan (nafy wa itsbat).
Jalan muraqabah memungkinkan tercapainya wushul kepada wazdrah dan gerak pada al-Mulk dan al-Malakut.
Dari berkah dua bagian muraqabah yang telah disebutkan, memungkinkan muraqib (salik yang melakukan muraqabah) untuk mencapai wazarah yaitu posisi sebagai wakil Nabi Muhammad saw. sebagai “khalifah” atas shahibul waqt dalam kemunculan.
Muraqib juga dapat mencapai at-tasharruf (menguasai) Alam al-Mulk dan Alam al-Malakut sebagai tambahan bagi attasharruf di Alam al-Mulk yang merupakan tingkatan wazarah’ tersebut. Sehingga si hamba menjadi shahibul waqt yang dengan bersitan hatinya bergeraklah semua raja di kerajaan kerajaan mereka dan semua rakyat di tempat mereka, karena dengan muraqabah dia telah menguasai hati manusia, sehingga dia menguasai segala bersitan yang ada pada mereka dengan keinginan dan tekadnya yang bersumber dari Allah swt.
Jika setan saja dapat menguasai hati manusia dengan menggunakan was was karena nama Allah adh-Dhar (Maha Menimpakan Bahaya) dan al-Mudhil (Maha Menyesatkan), lantas apalagi dengan malaikat yang bergantung kepada nama Allah an-Nafi’ (Maha Memberi Manfaat) dan al-Hadi (Maha Memberi Petunjuk), sementara rahmat-Nya pasti mendahului murka-Nya?!
Dengan muraqabah pengarahan terhadap berbagai bisikan hati, melihat kepada yang lain dengan pandangan kasih sayang, serta menuntun batinnya menjadi mungkin. Dengan menguasai muraqabah, penyatuan dan kesinambungan penerimaan hati bisa dicapai.
Makna ini disebut dengan istilah penyatuan dan penerimaan (jam’ wa qabil).
Memungkinkan pula dengan muraqabah tersebut, dilakukannya pengarahan berupa pengawasan hamba terhadap berbagai bisikan hati yang muncul dan melihat orang lain yang tidak mampu mencapai tingkat kesempurnaan dengan pandangan kasih sayang. Selain itu, akan terjadi pula penuntunan batin orang lain dengan cahaya makrifat Ilahiah karena pandangan orang yang memiliki muraqabah akan menjadi ramuan ajaib bagi orang yang masih termasuk golongan orang-orang terhijab, lalai, dan tertipu (Ahlul Hijab wal Ghaflah wal Ghurur). Pandangan kasih sayang tadi bisa diterima oleh orang lain, sehingga dia bisa berpindah ke kesempurnaan yang dicapai oleh si pencapai muraqabah sekaligus hilang pula kekurangan dari dirinya.
Dari malakah muraqabah ini, kemampuan muraqabah yang tertanam di dalam diri si hamba dengan banyaknya riyadhah (latihan), akan dicapai penyatuan sempurna yang berupa penyaksian ketunggalan wujud atau Wahdatul Wujud dengan bentuk yang sesuai syariat. Selain itu, akan tercapai pula olehnya kesinambungan penerimaan hati baginya, Sehingga ketika ada orang kafir yang melihatnya, orang kafir itu akan menerimanya dengan sepenuh hati. Apalagi jika yang melihatnya itu adalah seorang mukmin. Itu terjadi disebabkan keindahan batiniah yang dimilikinya sehingga membuat semua hati dan ruh manusia akan merasa rindu kepadanya karena hati dan ruh manusia itu merasakan dan mengetahui apa yang telah ia capai.
Kalangan sufi menyebut malakah muraqabah yang dicapai oleh si hamba dengan istilah penyatuan dan penerimaan (jam’ wa qabul). Disebut penyatuan (jam’) karena menghilangkan pemisahan yang terjadi akibat terbatasnya pandangan terhadap sisi lahiriah berbagai perkara tanpa mendalami sisi batiniah serta hakikatnya. Disebut penerimaan (qabul) karena merupakan keindahan rohani yang muncul di atas lembaran-lembaran hati untuk memusnahkan keburukan jiwa dan tabiat. Sehingga keindahan itu dapat dilihat oleh semua orang yang sedang mengembara. Pemaparan ini menjelaskan maksud dari hadis Nabi, “Siapa yang merahasiakan sesuatu, niscaya Allah memakaikan selendang rahasia itu kepadanya.”
Tarekat atau cara ketiga adalah keterikatan dengan syekh yang telah mencapai maqam musyahadah serta mencapai sifat-sifat dzatiyyah. Melihat mereka yang dimaksud oleh pernyataan “Mereka adalah orang-orang yang apabila dilihat, maka nama Allah pun disebut”, setara dengan berzikir, sebagaimana halnya mendampingi mereka yang merupakan “teman duduk” Allah akan membuka kesempatan terjadinya kebersamaan dengan-Nya. Jika memang mudah bagimu untuk selalu bersama dengan orang mulia seperti itu dan itu mempengaruhi dirimu, seyogianya engkau menjaga pengaruh yang engkau saksikan di dirimu itu semampumu.
Tarekat atau cara ketiga dari tarekat Naqsyabandiyah adalah keterikatan hati murid dengan syekh arif yang ruh dan hatinya telah mencapai ke maqam musyahadah yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, sekaligus di dalam dirinya juga telah mencapai sifat-sifat dzatiyyah yang diatributkan kepada Allah yang tak bisa dipertanyakan, sebab pengudusan mutlak yang membuat seluruh sifat sang syekh luluh di dalam sifat-sifat Allah, seperti luluhnya bayangan benda ketika terpapar oleh cahaya. Karena bayangan tidak akan muncul kecuali jika ada cahaya di belakang benda, sehingga ketika cahaya itu memapar bagian depannya, bayangan pun mengarah ke bagian belakangnya.
Dalam al-Quran disebutkan,
“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka (sehingga tidak dapat lolos).” (QS. al-Buruj [85]: 20)
Itulah sebabnya bayangan muncul. Ketika si hamba bertawajuh menghadap Tuhan dengan wajahnya, seperti yang dikatakan oleh al-Khalil Ibrahim as.,
“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. al-An’am [6]: 79)
Ketika itu terjadi, bayangan pun mengarah ke belakang si hamba sehingga keinginannya melebur di dalam keinginan Allah swt. kemudian si hamba mendengar dengan pendengaran-Nya dan melihat dengan penglihatan-Nya seperti yang disebutkan dalam hadis qudsi tentang tagarub melalui amalan-amalan sunah.
Melihat syekh muhaqqiq sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pernyataan “Mereka adalah orang-orang yang apabila dilihat, maka nama Allah pun disebut”, yaitu orang-orang yang membuat orang lain berzikir ketika melihat mereka disebabkan penampakan sinar keshalihan dan ketaatan pada diri mereka. Melihat mereka menjadi sebab terucapnya gikir disebabkan terjadinya pencapaian maqam ghaibah dan fana dalam penyaksian Allah swt.
Selalu menjaga hubungan dengan sang syekh yang dilakukan dengan sering duduk, berjalan, dan berbicara bersama sang syekh sesering mungkin sembari menjaga adab lahir batin membuat murid bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Ini terjadi berdasarkan apa yang disampaikan dalam banyak khabar bahwa para syekh adalah “teman duduk” Allah (Julasa ‘ullah) dalam pengertian bahwa mereka tidak pernah meninggalkan penyaksian terhadap al-Haq serta selalu bermunajat kepada-Nya, baik ketika sendirian maupun saat di tengah orang banyak. Semua itu kemudian akan membuat kesempatan bagi murid yang benar untuk mendekatkan diri kepada objek zikirnya, Allah swt.
Jika selalu menjalin hubungan dengan syekh memang mudah bagimu wahai murid yang mencari makrifat karena Allah memberi kemudahan kepadamu sebagai anugerah dan nikmat-Nya. Dengan syarat syekh itu tidak mungkin merendahkan dirinya demi sesuatu hal duniawi disebabkan penghormatannya kepada Allah.
Jika itu memang mudah bagimu dan engkau melihat pengaruhnya pada dirimu, seperti kondisi yang biasa engkau alami saat terhijab dan lalai yang muncul pada zaman jahiliyahmu, lalu engkau melihat berbagai bukti al-Haq dan lembaran penyatuan dalam dirimu, kemudian bersinar pula bagimu pancaran penerimaan serta berpendar bagimu permulaan cahaya berbagai keadaan spiritualmu, seyogianya engkau dengan tegas menjaga pengaruh yang engkau saksikan pada dirimu itu sekuat kemampuanmu. Dengan cara menghadirkan hatimu baginya (sang syekh), mengosongkan batinmu untuk memahaminya, menyadari tentang dia menggunakan akal serta pikiranmu, dan tidak membiarkan dia lewat di dekatmu sementara engkau lalai terhadapnya.
Apabila rasa bosan pada dirimu muncul saat sedang bersama syekh, ulangi terus kebersamaanmu itu, sampai engkau mendapatkan kembali manfaat bersama syekh karena keberkahan beliau. Ulangilah berkali-kali sampai hal ini menjadi malakah bagimu.
Apabila setelah engkau merasakan pengaruh akibat selalu mendampingi syekh, muncul bagimu rasa bosan, payah, atau malas dalam melakukannya, ulangilah kembali tekadmu untuk selalu mendampingi syekh tersebut. Berusahalah untuk membetulkan niat hatimu, semoga dengan itu hatimu dapat merubah kecerobohanmu dalam menjaga ikatan spiritual dengan syekh. Ulangilah sampai hasil yang engkau dapatkan dari kebersamaanmu dengan syekh dapat kembali berkat berkah beliau.
Itu harus dilakukan karena hati para syekh ibarat pena Allah swt. yang Dia gunakan untuk menulis di antara lembaran-lembaran jiwa para murid sesuai kehendak-Nya.
Ketika kejernihan dan kegelapan suatu lembaran jiwa hilang, tentu lembaran itu tidak dapat ditulisi lagi. Tetapi ketika lembaran itu kembali mengkilat dan bersih, pena akan dapat menulis di atasnya sesuai dengan kuasa al-Malik al-’Allam.
Demikian yang harus engkau lakukan berkali-kali setiap kali muncul rasa bosan untuk mengejar semburat cahaya itu, sampai cara yang dapat memberi pengaruh seperti ini menjadi malakah bagimu, dalam bentuk kekuatan yang engkau tidak lagi terbebani untuk melakukannya.
Apabila dari kebersamaanmu dengan wazir itu belum ada pengaruh apa pun dalam dirimu, tetapi dengan itu engkau justru berhasil mencapai cinta dan jadzbah, seyogianya engkau menjaga perasaan itu dalam pikiranmu lalu engkau bertawajuh dengan
hati sanubari sampai engkau mencapai ghaibah dan fana dari diri.
Wahai murid, apabila dari kebersamaanmu secara terus menerus dengan wazir, yaitu syekh arif yang menjadi perwakilan sayidina Muhammad saw. itu belum ada pengaruh apa pun dalam bentuk hasil atau faedah tertentu dalam dirimu.
Tetapi dengan itu engkau justru berhasil mencapai cinta Ilahiah dan jazab Rabbaniyyah, seyogianya engkau menjaga rasa yang engkau berhasil capai itu dan memantapkannya di dalam pikiran atau imajinasimu tanpa sedikitpun melalaikannya. Setelah itu hendaklah engkau bertawajuh dengannya di dalam hati sanubari yang ada di dalam dadamu, sampai engkau berhasil mencapai ghaibah dari akal dan indra, sekaligus fana dari diri atau Alam Nafs, sehingga tidak lagi ada bagimu segala akal, indra, dan jiwa. Lalu pada saat itu akan tampaklah bagimu Allah swt. dengan tajali-Nya dalam pengudusan yang mutlak.
Apabila engkau tidak ada perkembangan, seyogianya engkau menjadikan bayangan syekhmu di atas bahu kananmu, lalu bayangkan mulai dari bahumu sampai hatimu ada sesuatu yang memanjang, kemudian engkau mendatangi syekh dengan sesuatu yang memanjang dan telah engkau tempatkan di hatimu itu, karena yang diharapkan dari engkau adalah tercapainya ghaibah dan fana.
Wahai murid, apabila engkau berhenti dalam berbagai tingkatan kesempurnaan disebabkan terjadinya kesalahan yang engkau lakukan menyangkut hak syekh, baik secara Jahiriah maupun batiniah sehingga hal itu membuat engkau terhijab dari peningkatan meskipun engkau tidak menyadari hal itu, seyogianya engkau imajinasikan bayangan syekh yang engkau memohon kepada Allah untuk dapat selalu menjaga hubungan dengannya di atas bahu kananmu karena itulah tempat dari jiwa, dan keberhentianmu terjadi disebabkan dari tempat tersebut.
Setelah itu bayangkan syekh bergerak dari bahu kananmu ke hatimu di sisi kiri ibarat “sesuatu yang memanjang” (amr mumtad) yang maksudnya adalah kekuatan rohani yang muncul dari jiwa dan menuju hatimu. Kemudian engkau mendatangi syekh dari bahu sebelah kanan ke hatimu dengan cara berjalan, lalu menetapkan sang syekh di hatimu, karena yang diharapkan dari perbuatanmu adalah tercapainya maqam ghaibah dan fana yang merupakan hasil dari tawajuh yang engkau capai dengan kekuatan rohani syekh, penuntun jiwamu. Sampai kebersamaanmu dengannya itu bisa bersemayam di hatimu.
Pada saat itu terjadi, matahari hati akan melebur sehingga ia berpadu dengan rembulan jiwa dan bumi tabiatmu berganti dengan bumi baru, sebagaimana langit akalmu juga berganti, sehingga engkau akan mencapai maqam yang diinginkan, lalu engkau akan bisa minum dari telaga rohanimu dan engkau akan terus berubah dalam berbagai tingkatan penyaksian.
Pasal tentang kata-kata kudus yang diambil dari hadirat Khojah Abdul Khaliq Ghujdawani. Kata-kata ini berjumlah sebelas, Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Hosy Dar Dam, Safar Dar Watan, Nazhar Bar Qadam, Khalwat Dar Anjuman, Wuquf Qalbi, Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi.
Pasal penjelasan tentang kata-kata kudus dan suci karena kata-kata ini tidak mengandung unsur keraguan sehingga hanya menghasilkan pemahaman yang benar. Semua kata kudus ini dinukil (ma‘tsur) dari hadirat Khojah Abdul Khaliq Ghujdawani yang telah disebutkan sebelumnya. Jumlahnya ada sebelas yang menghimpun semua rahasia hakikat Ilahiah dan cahaya makrifat Rabbaniyyah, yang menjadi pondasi bagi tarekat para tokoh Naqsyabandiyah semoga Allah menyucikan sir mereka yang luhur.
Tarekat ini didirikan di atas kata-kata kudus yang berjumlah sebelas buah. Delapan di antaranya bersumber dari Syekh Abdul Khaliq dengan menggunakan bahasa Persia dan disengaja tetap seperti itu sebagai bentuk tabarruk (mengharap keberkahan) pada lafal sang Syekh. Insyaallah penjelasannya akan disampaikan di bagian selanjutnya.
Kesebelas kata kudus itu, Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyt, Yad Dasyt, Hosy Dar Dam, Safar Dar Watan, Nazhar Bar Qadam, Khalwat Dar Anjuman, Wuquf Qalbi, Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi.
Berikut ini adalah kesebelas kata kudus itu:
1- Yad Kard, yad artinya adalah berzikir atau mengingat, sementara kata kard artinya adalah berulang-ulang atau perintah untuk melakukan sesuatu.
2- Baz Gasyt, ditulis dengan huruf ba’, zay, dan kaf Persia. Kata baz artinya yang berlalu, sementara kata gasyt artinya adalah menjadi.
3- Nigah Dasyt, ditulis dengan huruf nun lalu kaf Parsi dan huruf dal berharakat fathah dilanjutkan huruf syin. Kata nigah berarti penglihatan, sementara kata dasyt berarti kata perintah untuk memegang atau menahan.
4- Yad Dasyt, ditulis dengan huruf ya dan huruf dal berharakat sukun, lalu huruf dal berharakat fathah (pada kata dasyt) dan huruf syin. Kata yad berarti berzikir atau mengingat, sementara kata dasyt berarti kata perintah untuk memegang atau menahan.
5- Hosy Dar Dam, ditulis dengan huruf ha’ berharakat dhammah lalu syin. Arti kata hosy adalah akal atau otak dan kata dar berarti di dalam, sementara kata dam berarti nafas, yaitu udara yang keluar masuk melalui mulut. Jadi, kalimat hosy dar dam artinya adalah “akal pada setiap embusan nafas”.
6- Safar Dar Watan, kata dar artinya di dalam seperti yang sudah kami sebutkan di atas. Kalimat ini artinya “perjalanan di sebuah negeri”.
7- Nazhar Bar Qadam, kata bar dengan huruf ba berharakat fathah dan huruf ra berharakat sukun, artinya adalah “di atas”. Kalimat ini artinya adalah “melihat ke atas kaki”.
8-Khalwat Dar Anjuman, kata dar berarti di dalam dan kata anjuman berarti jamaah. Kalimat ini berarti “berkhalwat di tengah keramaian”.
9- Wuquf Qalbi (memantapkan hati)
10- Wuquf Zamani (menentukan waktu zikir)
11- Wuquf ‘Adadi (menentukan jumlah zikir)
Ketiga kalimat terakhir ini bahasa Arab asli, sehingga kami tidak perlu menjelaskannya.
Sesuai posisi hadirat Khojah Abdul Khaliq sebagai pemimpin halaqah kelompok ini, harus disampaikan penjelasan tentang berbagai lafal sesuai istilahnya.
Kami akan menjelaskannya secara sederhana, tidak terlalu umum dan tidak terlalu rinci. Berikut ini penjelasannya.
Posisi hadirat Khojah Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang telah disebutkan sebelumnya adalah pemimpin halaqah atau tokoh besar jamaah tarekat Naqsyabandiyah, semoga Allah memanjangkan umur mereka dengan zikir-Nya serta menyucikan hati mereka.
Dulu zikir mereka adalah zikir jahr yang berasal dari syekh Abdul Khaliq, kemudian syekh Abdul Khaliq bertemu dengan Nabi Khidir as. dan menalqinnya dengan zikir khafi. Sejak hari itu, zikir mereka pun menjadi zikir khafi. Jadi, syekh Abdul Khaliq adalah penyempurna adab tarekat ini sekaligus penolong para salik dengan kata-katanya sekaligus membuktikan bahwa dia adalah Kesatria Medan Hakikat.
Oleh karena itu, kami para pelayan orang-orang yang berhati suci serta sibuk dengan ibadah kepada ‘Allamul Ghuyub harus menyampaikan penjelasan tentang makna lafal-lafal ini sesuai istilahnya.
Di bagian ini, kata mushthalih dapat dibaca dengan huruf lam berharakat kasrah, atau dibaca mushthalah dengan huruf lam dibaca dengan harakat fathah. Jika dibaca mushthalih, maka maksudnya adalah seperti yang disebutkan di atas. Tetapi jika dibaca mushthalah, maka maksudnya adalah sesuai istilah yang ditetapkan oleh para syekh Naqsyabandiyah untuk mengikutinya (syekh Abdul Khaliq) karena dia adalah imam tarekat ini, sehingga hal itu harus dijelaskan.
Kami akan menjelaskannya dengan pertolongan Allah, secara sederhana, tidak terlalu umum ataupun rinci. Berikut ini saya jelaskan dengan teliti. Wallahu waliyyut taufiq.
Yad Kard: Dzikrullah dengan Lisan
“Yad Kard” adalah ungkapan yang menyatakan zikrullah menggunakan lisan atau hati. Artinya, Teruslah mengulangi zikir yang engkau dapatkan dari syekh, sampai membuatmu engkau selalu berada dalam keadaan hudhur bersama al-Haq.
“Yad Kard” adalah kata pertama yang berarti berzikir baik menggunakan lisan maupun hati sebagai alat, seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Arti kata ini adalah Engkau wahai murid, selalulah mengulangi zikir yang engkau dapatkan dari syekh, baik dengan lisan maupun dengan hatimu tanpa pernah engkau melalaikannya, sampai pengulangan zikir itu membuatmu selalu dalam keadaan hudhur bersama al-Haq.
Cara pengajaran zikir bagi murid dimulai dengan sang syekh menzikirkan kalimat thayyibah dengan hatinya sementara si murid menghadirkan hatinya dengan meniru hati sang syekh sembari membuka kedua matanya serta merapatkan mulutnya seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Hadirat Khojah Bahauddin berkata, “Tujuan dari zikir adalah menjadikan hati selalu hadir bersama Allah swt. dengan sifat mahabbah dan takzim, karena zikir adalah pengusir sifat lalai.”
Cara pengajaran zikir bagi murid dimulai dengan sang syekh menzikirkan kalimat thayyibah berupa lafal La ilaha ilallaah dengan hatinya, sementara si murid menghadirkan hatinya untuk meniru hati sang syekh, yaitu hati murid memerhatikan hati sang syekh dan dia dalam posisi duduk di hadapan syekh di atas dua lutut tanpa melakukan gerakan lain.
Dinukil dari Ibnu Arabi dalam kitabnya yang berjudul Rahul Qudus, bahwa sebagian di antara para syekhnya, yaitu Fathimah binti Mutsanna yang tinggal di kota Sevilla.?’ adalah salah satu di antara para ‘arifah billah semoga Allah menyucikan ruhnya.
Dia berkata, “Aku tidak pernah takjub kepada orang yang menemuiku selain Ibnu Arabi.” Wanita itu pun ditanya, “Mengapa seperti itu?” Dia menjawab, “Kalian semua selalu menemuiku dengan membawa sebagian dan meninggalkan sebagian dari keinginan kalian, seperti rumah dan keluarga, tapi tidak dengan Muhammad bin Arabi, anakku dan belahan jiwaku.
Ketika dia menemuiku, dia masuk, berdiri dan duduk dengan sepenuh hatinya, tanpa meninggalkan sedikit pun keinginan di belakangnya.” Demikian pula halnya murid seharusnya berada di hadapan syekhnya sembari membuka kedua matanya dan melihat sang syekh yang berada di hadapan wajahnya. Siapa tahu dia menemukan hal khusus di tengah kondisi zikir hatinya sehingga si murid mempelajari itu dari syekhnya dalam zikirnya.
Seiring dengan itu, hendaklah dia merapatkan mulutnya agar jangan sampai ada zikir apa pun yang terucap disebabkan keteledorannya saat memerhatikan hati syekhnya, sehingga dengan hal itu dia berselisih dengan syekhnya dalam berzikir. Hal ini telah disampaikan penjelasannya, yaitu berkenaan dengan cara zikir khafi.
Hadirat Khojah Bahauddin berkata, “Tujuan dari zikir adalah menjadikan hati selalu hadir bersama Allah swt., tanpa lalai sedikit pun terhadap-Nya, dengan sifat mahabbah (cinta) dan takzim kepada-Nya. Ketika makna tersebut telah berhasil dicapai oleh hati si murid, itu membuatnya tidak perlu berzikir karena zikir adalah mengusir kelalaian dari hati, jika dia telah berhasil mengusir kelalaian, memang itulah tujuannya.”
Baz Gasyt: Zikir Kalimat Thayyibah
Baz Gasyt memiliki arti bahwa setiap kali murid menzikirkan kalimat thayyibah dengan hatinya, dia mengucapkan setelahnya dengan lisan, “Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi” (Tuhanku Engkau adalah tujuanku dan ridha-Mu adalah permintaanku), maksudnya, dari zikir ini, karena kalimat ini gunanya untuk menafikan segala bersitan baik ataupun jelek.
Baz Gasyt merupakan kata kedua yang maknanya ditunjukkan oleh pernyataan penulis, bahwa pezikir yang menyebut nama Allah setiap kali hatinya menzikirkan kalimat thayyibah, yaitu lafal “La ilaha illallah”, dia mengucap setelahnya dengan zikir lisan sebatas bisa sampai didengar oleh dirinya sendiri, “Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi” (Tuhanku Engkau adalah tujuanku dan ridha-Mu adalah permintaanku), maksudnya, “Wahai Tuhanku” atau “Wahai sesembahanku, tak ada tuhan yang selain Engkau di seluruh alam semesta, engkau adalah tujuanku dari zikir ini dan segenap amal, ucapan, serta keadaanku, sebagaimana ridha-Mu kepadaku adalah permintaanku dalam segala keadaan.”
Karena meminta ridha Allah kepada seorang hamba adalah sesuatu sikap mendahulukan keinginan Allah daripada keinginan hamba. Sedangkan hal selain ridha-Nya, seperti berupa keselamatan dari azab-Nya, berbagai kelezatan surga, pahala besar, terpenuhinya kebutuhan dan sebagiannya adalah sikap mendahulukan keinginan hamba daripada keinginan Allah, padahal hal seperti itu tidak layak menjadi tujuan, sebagaimana yang dinyatakan dalam ucapan, “tujuanku dan permintaanku”.
Semua itulah yang dituju oleh si hamba dalam zikirnya. Kegunaan kalimat tadi bagi si murid adalah untuk menafikan segala bisikan yang terlintas di dalam hatinya di saat berzikir, baik bisikan baik maupun bersitan buruk. Kedua bersitan hati itu sama-sama tercela jika muncul di tengah zikir, sebab itu merupakan bentuk kesibukan hati yang memalingkan dari zikir sekaligus menolak Allah swt.
Murid melakukan hal itu sampai zikir itu bersih dan dia kosong dari semua selain al-Haq Azza wa Jalla. Jika si pezikir belum mendapatkan keikhlasan dalam kata-kata yang ia ucapkan, hendaklah dia mengucapkannya dengan taklid kepada mursyid, Karena ia akan berhasil mencapai ikhlas sebab keberkahan melakukan hal itu, insyaallah.
Murid tetap melakukan hal tadi sampai zikir itu bersih atau murni dari segala hal selain Allah, dan pezikir pun kosong dari semua hal selain al-Haq Azza wa Jalla secara total, sehingga tidak akan ada satu pun aral lagi baginya untuk terbang ke angkasa azali, serta tidak akan ada satu pun penghalang baginya untuk berkelana di Alam Malakut dan menghadap kepada hadirat Dia yang Mahawujud.
Jika si orang yang berzikir itu belum mendapatkan keikhlasan dalam kata-kata tersebut karena dia tidak mampu memantapkan hatinya serta tidak sanggup melindunginya dari kelemahan rohaniahnya serta dominasi jasmaniahnya, hendaklah dia mengucapkan kata-kata itu dengan lisannya bukan sebagai hamba yang utuh, melainkan dia bertaklid kepada sosok mursyid sempurna.
Dengan hal ini murid akan dapat mencapai keikhlasan tersebut dengan berkah melakukan hal tersebut, jika memang Allah menghendaki itu, sebab segala sesuatu hanya berdasarkan kehendak-Nya dan Dialah yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
Nigah Dasyt: Muraqabah dengan Kalimat Thayyibah
Nigah Dasyt merupakan ungkapan yang menyatakan muraqabah (pengawasan) berbagai bisikan hati. Jika murid mengulang-ulang kalimat thayyibah di dalam dirinya secara terus-menerus, dia akan menjaga hatinya dan berusaha agar jangan sampai terbersit di dalam benaknya sesuatu apa pun. Ini adalah perkara penting bagi para tokoh tarekat dan sebagian di antara para wali sempurna, sehingga makna ini menjadi paripurna bagi mereka.
Nigah Dasyt adalah kata ketiga, yang maknanya merupakan ungkapan yang menyatakan muraqabah atau pengawasan terhadap berbagai bentuk bersitan hati atau khathir. Khathir adalah segala sesuatu yang terlintas di dalam hati dalan bentuk bermacam-macam makna yang baik ataupun yang buruk.
Kalimat Nigah Dasyt berarti bahwa apabila kalimat thayyibah “La ilaha illallah” diulang-ulang di dalam diri seorang hamba secara terus-menerus, dia harus selalu berusaha agar jangan sampai terbersit di dalam benaknya sesuatu apa pun selain Allah karena hati manusia hanya dapat menampung satu objek sehingga ketika seorang pelaku zikir mengingat sesuatu, ia pasti melupakan sesuatu yang lain, sebagaimana jika ia sibuk dengan sesuatu, ia pasti melupakan terhadap sesuatu lainnya selama beberapa saat.
Sebab hal yang disebutkan tadi—yaitu pengawasan terhadap bisikan hati dalam kondisi apa pun—merupakan sebuah perkara penting bagi para tokoh dari kalangan syekh di jalan Allah dan para wali sempurna.
Namun sebagian yang lainnya berpendapat bahwa yang terpenting adalah mengingat Allah dan bukan mengawasi hati, gebab bisikan hati—menurut mereka—akan hilang dengan sendirinya ketika zikir dilakukan, sehingga hamba tidak perlu untuk fokus kepada hatinnya, baik untuk menafikan bisikan itu maupun untuk menetapkannya, sehingga makna ini menjadi paripurna bagi para murid.
Kata “makna” di matan berarti apa yang telah disebutkan di atas, yaitu hilangnya sesuatu yang selain Allah dari dalam hati, sehingga para murid dapat memasuki alam jazab Ilahi (‘alam al-jadzbah al-ilahiyyah).
Yad Dasyt: Hudhur bersama Allah
Yad Dasyt adalah ungkapan yang menyatakan tentang kesinambungan kehadiran (hudhur) bersama Allah swt. melalui rasa (dzauq).
Yad Dasyt adalah kata keempat berupa ungkapan yang menyatakan tentang kesinambungan kehadiran (hudhur) hati bersama Allah swt. melalui rasa (dzauq) yaitu dengan menggunakan hati dan pencapaian hakikat, bukan mengetahuj Allah melalui penggambaran atau imajinasi.
Kehadiran atau hudhur bersama Allah swt. serta kesaksian pada-Nya tidak akan pernah terjadi kecuali hanya pada berbagai hal yang ada, baik yang bersifat rasional maupun indrawi. Ketika berbagai hal itu terus disaksikan bersama berlangsungnya hudhur, seorang hamba telah berada di maqam penyaksian segala perbuatan Allah (syuhud af’alillah).
Apabila berbagai hal bukan disaksikan bersama berlangsungnya hudhur, melainkan yang disaksikan hanya satu nur tunggal seperti kilat yang cemerlang, si hamba berada di maqam penyaksian semua sifat Allah (Syuhud shifatillah). Apabila tidak ada sesuatu apa pun yang disaksikan ketika berlangsungnya hudhur, hamba berada di maqam penyaksian Dzat Allah (Syuhud dzatillah).
Umat Muhammad yang sempurna mengalami ketiga keadaan tersebut tanpa pernah diam dengan ketiganya, melainkan dia terus berpindah dan berbolak-balik di dalamnya sesuai dengan perbedaan kehadiran dan tajali mereka dan tanpa pernah memiliki satu maqam khusus tertentu. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah isyarat dalam firman Allah yang menunjukkan kepadanya,
“Wahai penduduk Yatsrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu.” (QS. al-Ahzab [33]: 13)
Yatsrib adalah salah satu di antara beberapa nama yang dimiliki kota Madinah. Semua ini terjadi pada kehadiran (hudhur) dan penyaksian (syuhud) dengan rasa (dzauq) dan pati (wijdan).
Adapun pemilik ilmu khayali serta kehadiran pikiran pada ketiga maqam ini serta penyaksian pikiran berada di tempat sangat jauh,
“Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat [41]: 44)
Sebagian tokoh menyatakan penjelasan lain dari keempat kalimat pertama ini, Yad Kard, bermakna “Teruslah engkau berzikir”. Baz Gasyt, memiliki makna “Kembalilah kepada Allah swt. dengan rendah diri”. Nigah Dasyt, berarti “Jaga dan teruslah berusaha untuk kembali ke Allah.” Yad Dasyt, memiliki arti “Besungguh-sungguhlah dalam menjaga ruju’.”
Sebagian kalangan syekh muhaqqiq menyatakan mengenai penjelasan keempat kalimat pertama ini, Yad Kard, memiliki makna “Teruslah engkau berzikir”, tanpa pernah jemu.
Baz Gasyt bermakna, kembalilah engkau wahai murid, kepada Allah swt. dengan menyaksikan bahwa dirimu adalah salah satu dari perbuatan Allah swt. yang engkau terus bergerak dengan kuasa-Nya dalam berbagai tingkatannya, tanpa sekalipun menganggap bahwa dirimu tidak termasuk dari perbuatan-Nya. .
Tinggalkanlah pengakuan bahwa dirimu adalah sebuah entitas yang memiliki sifat, nama dan perbuatan. Dirimu hanyalah perbuatan di antara berbagai perbuatan Allah swt. Waspadalah terhadap kesombongan diri terhadap al-Haq yang dapat muncul dari penyakisannya terhadap apa yang telah kami sebutkan tadi.
Selanjutnya, hendaklah pastikan bahwa kembalimu kepada Allah swt. dalam kehinaan dan kefakiran. Sebab itulah sifat-sifat jiwa yang asli, sedangkan yang selainnya hanyalah sifat-sifat yang semu. Sebagaimana dikutip dari Abu Yazid bahwa dia pernah bermunajat kepada Allah swt. dengan ucapan, “Wahai Tuhanku, bagaimana orang-orang yang dekat dengan-Mu dapat mendekat kepada-Mu?” Tuhan pun menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak Aku miliki, yaitu kehinaan dan kefakiran.”
Nigah Dasyt berarti “Jaga dan teruslah berusaha untuk kembali ke Allah swt.” Sebab hamba memang harus kembali kepada-Nya swt., baik secara suka rela di dunia maupun secara terpaksa di akhirat. Allah swt. berfirman,
“Dan kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. al-baqarah [2]: 245)
Allah swt. berfirman,
“Milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan.” (QS. Had (11]: 123)
Allah swt. berfirman,
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.” (QS. al-Fajr [89]: 27—28)
Yad Dasyt memiliki arti “Wahai murid, bersungguh-sungguhlah dan menetaplah pada menjaga ruju.” Maksudnya, menjaga keadaan kembalinya hamba kepada Allah swt. karena hanya Dialah hakikat yang sesungguhnya, sedangkan semua yang selain Dia hanyalah kesemuan yang pasti akan musnah. Jadi hendaklah engkau selalu bersama orang-orang yang pakar di dalam ilmu bukan di dalam kesemuan. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang pada maqam ihsan, yaitu beribadah menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan berbagai syarat ihsan yang lain seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya.
Hosy Dar Dam: Bernafas tanpa Kelalaian
Hosy Dar Dam bermakna setiap nafas yang keluar selalu bersama kehadiran (hudhur) tanpa kelalaian.
Hosy Dar Dam adalah kata kelima, maknanya setiap embusan nafas—seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya—selalu keluar dari mulut si murid bersama kehadiran (hudhur) tanpa kelalaian.
Di bagian ini penulis tidak menyebut nafas yang masuk ke mulut, karena nafas yang masuk adalah udara yang belum merasuk ke diri si murid sehingga dia tidak memiliki hak atasnya dan si murid tidak harus melakukan hudhur bersama udara tersebut, berbeda dengan udara yang keluar.
Embusan nafas itu harus keluar bersama kehadiran (hudhur) dan penyaksian kepada Allah swt., tanpa kelalaian dari-Nya karena apabila si murid lalai, pasti dia akan ditanya tentang bagaimana mungkin ia membiarkannya terjadi, padahal dia diperintahkan oleh melakukan hudhur. Allah akan memutuskan berdasarkan kesaksian si murid pada-Nya, sehingga si murid akan dicatat bersama orang-orang yang lalai terhadap Allah swt. atau dicatat bersama orang-orang yang hudhur dengan-Nya.
Hadirat Khojah Bahauddin an-Naqsyabandi menyatakan bahwa pondasi utama tarekat ini adalah nafas, sehingga murid harus berusaha untuk menjaga antara dua tarikan nafas agar nafas itu tidak masuk dengan kelalaian dan tidak keluar dengan kelalaian pula.
Hadirat Khojah Bahauddin an-Naqsyabandi menyatakan bahwa pondasi utama tarekat yang menuju wushul kepada Allah ini adalah kondisi hudhur bersama setiap nafas. Sehingga diharuskan bagi murid untuk berusaha menjaga antara dua nafas, agar jangan sampai nafas itu masuk dengan kelalaian dan jangan keluar dengan kelalaian pula. Tapi murid harus berusaha menjaga dengan sungguh-sungguh antara dua nafas itu, yaitu nafas yang masuk dan nafas yang keluar.
Hendaknya dia hadir bersama Allah swt. di antara keduanya sehingga nafas yang keluar dan nafas yang masuk dari mulutnya selalu dibarengi hudhur bersama Allah seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya. Tujuannya adalah agar jangan sampai ada satu pun nafas yang masuk dengan kelalaian dan jangan keluar dengan kelalaian pula tanpa terjadinya hudhur bersama Allah swt.
Safar Dar Watan: Perjalanan Salik Menuju Allah
Safar Dar Watan berarti bahwa perjalanan salik terjadi dalam tabiat kemanusiaan, yaitu dengan perpindahannya dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji.
Safar Dar Watan adalah kata keenam. Penjelasan ringkasnya adalah perjalanan dari diri salik menuju Allah swt. terjadi dalam tabiat kemanusiaan, bukan pada yang selain itu.
Itu terjadi dengan berubahnya seorang murid dari sifat-sifat asli manusia yang tercela dan buruk, seperti sifat pelit, tamak, kikir, hasad, makar, sesat, dan sebagainya, menuju sifat-sifat terpuji, seperti mendahulukan orang lain, toleran, pemurah, pemaaf, lapang dada, bersih hati, adil, tawakal, zuhud, wara, takwa, dan sebagainya.
Apabila jiwa hamba telah berpindah dari sifat-sifatnya yang tercela menuju sifat-sifatnya yang mulia, jiwa itu pun berubah menjadi sebuah hati (qalb). Allah swt. berfirman,
“Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf [50]: 37)
Peringatan ayat ini hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki hati, bukan orang yang memiliki jiwa, karena jiwa tidak memiliki mata batin (bashirah), atau bagi orang yang meninggalkan pendengarannya karena ia mendengar dengan pendengaran-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis mengenai taqarrub menggunakan amalan-amalan sunah.
Potongan ayat “sedang pada saat itu dia menyaksikannya”, memiliki arti hamba mencapai musyahadah kepada Allah swt. ketika dia mendengar menggunakan pendengaran-Nya. Ini merupakan maqam bagi muqarrabin (orang-orang yang didekatkan dengan Allah), sementara yang pertama adalah maqam bagi kalangan abrdr (orang-orang bajik).
Seperti dikatakan oleh sebagian tokoh bahwa ketika seseorang berpindah ke maqam mana pun, sifat-sifat buruknya tidak akan meninggalkannya selama ia tidak memindahkannya. Dikatakan pula (makna kata keenam ini) melihat yang gaib dalam penyaksian.
Sebagian tokoh dari kalangan sufi muhaqqiq mengatakan, ketika seseorang berpindah dari berbagai tingkatan ilmunya tentang Allah swt. ke tempat mana pun, sifat-sifat buruknya sebagai tabiat manusia yang asli tidak akan meninggalkannya selama ia tidak mau memindahkannya dengan menjauhi sifat-sifat buruk itu.
Namun menghilangkan semua sifat buruk tersebut juga tidak mungkin, karena hal itu akan menghilangkan sisi kemanusiaan dirinya dan termasuk larangan bagi manusia. Jadi yang bisa dilakukan adalah mengalihkan sikap pelit terhadap kehidupan dunia menjadi sikap “pelit” terhadap ketaatan dan kedekatan, mengalihkan sikap tamak terhadap berbagai kenikmatan jasmani menjadi sikap “tamak” terhadap berbagai kenikmatan rohani atau berpindah dari sikap bakhil terhadap dunia menjadi sikap “bakhil” terhadap agama.
Atau mengubah sikap dengki terhadap orang-orang mukmin menjadi sikap dengki terhadap orang-orang kafir harbi, mengubah sikap iri pada urusan harta dan kedudukan menjadi sikap iri pada urusan agama dan takwa. Atau mengganti sikap makar dan pembangkang yang ditujukan kepada umat Islam dengan makar serta muslihat yang digunakan di jalan Allah swt.
Sifat-sifat tercela lainnya juga harus segera dialihkan menjadi berbagai perkara terpuji sehingga sifat-sifat tercela tersebut perubah menjadi terpuji, sebagaimana Allah firmankan,
“Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr [59]: 9)
Dalam ayat ini Allah tidak memerintahkan untuk memusnahkan sifat kikir, karena sifat kikir memang tidak dapat dihilangkan. Namun yang bisa dilakukan adalah “memelihara diri’” dari kekikiran sehingga si hamba dapat selamat darinya. Demikian pula dengan semua jenis akhlak lainnya.
Ada yang mengatakan bahwa “Safar Dar Watan” memiliki arti melihat yang gaib dalam penyaksian. Al-ghaib di sini berarti yang Mahagaib yaitu Allah swt., seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli tafsir dalam firman Allah,
“Orang-orang yang beriman kepada yang Gaib.” (QS. al-Baqarah [2]: 3)
Al-ghaib berarti Allah swt. Frasa melihat yang gaib mungkin juga berarti melihat Alam
Gaib berupa Alam Akhirat di Alam Penyaksian, yaitu Alam Dunia yang terdiri dari berbagai hal rasional dan indrawi. Sehingga si hamba bisa “melihat” Allah swt. pada segala sesuatu yang dapat ia saksikan, baik berupa objek rasional maupun objek indrawi. Hal ini berdasarkan pengertian pertama.
Jika berdasarkan pengertian kedua, si hamba dapat “melihat” semua yang dikabarkan oleh para nabi Alaihimus Salam berupa berbagai perkara ukhrawi pada setiap objek rasional atau indrawi sehingga dengan begitu dunia pun menjadi manifestasi akhirat bagi orang-orang tertentu, sesuai dengan kadar penyaksian mereka.
Ketika mereka telah meninggal dunia dan berada dalam alam barzakh, mereka dapat menyaksikan berbagai hakikat yang mereka sebut “dunia”. Penyaksian seperti itu yang terjadi di alam ini adalah bentuk penglihatan terhadap yang gaib di alam nyata (ru‘yatul ghaib fisy syahadah).
Nazhar Bar Qadam: Konsentrasi pada Satu Objek
Nazhar Bar Qadam artinya bahwa murid harus melihat kakinya dengan menundukkan kepalanya di saat berjalan di sebuah negeri atau sahara, agar penglihatannya tidak terbuai dengan apa yang seharusnya tidak dilihat sehingga hatinya menjadi kacau karenanya. Mungkin saja yang dimaksud dengan “melihat ke kaki” adalah di permulaan suluknya si salik harus sudah melihat akhir jalan suluknya, yaitu hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus semata.
Nazhar Bar Qadam adalah kata ketujuh yang artinya murid harus melihat kakinya dengan menundukkan kepalanya di saat berjalan di sebuah negeri atau sahara tanpa mengangkat kepalanya sama sekali. Tujuannya adalah agar penglihatannya tidak terburai dan tetap fokus, sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi pada satu objek tunggal, yang akan membuatnya tidak dapat melihat objek yang tersebut dengan jelas.
Hal itu akan membuat orang tersebut menjadi termasuk golongan orang yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS. ar-Raim [30]: 7)
Selain itu, juga agar murid tidak melihat perbuatan umat manusia yang tidak seharusnya. dilihat sehingga hatinya menjadi terburai karenanya. Ketika itu terjadi pasti akan sukar baginya untuk meluruskan hatinya kembali, lalu dia pun celaka bersama orang-orang yang celaka. Karena tindakan melihat orang-orang lalai dapat memicu munculnya kelalaian diri, sebagaimana kemauan melihat orang-orang yang mawas diri juga akan memunculkan sikap mawas diri.
Namun mungkin saja yang dimaksud dengan “melihat ke kaki” di sini adalah saat si salik berada di permulaan perjalanan suluknya, ia telah melihat akhir jalan suluknya, yaitu hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus.
Itu dapat dilakukan dengan saat di awal perjalanan suluknya salik membersihkan tekadnya dari segala keinginan pada sesuatu apa pun (selain Allah), baik di dunia maupun di akhirat, sehingga dia tidak menginginkan selain hanya Allah yang tidak serupa dengan apa pun, yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Tekad ini bisa terbentuk ketika murid hanya melihat hadirat Dzat Ilahiyah yang Kudus dari segala keserupaan dengan semesta. Murid secara mutlak tidak melihat kepada selain Dzat tersebut sehingga dia tak sedikit pun menoleh kepada dunia dan juga akhirat. Dia tidak akan bergembira dengan mendapatkan keselamatan, sebagaimana dia tidak akan bersedih dengan terjadinya kecelakaan.
Murid tidak akan terperdaya oleh berbagai keadaan di tengah perjalanan yang berhasil dicapainya. Dia tidak menoleh sedikit pun kepada segala yang ada di jalan suluknya, baik itu berupa sifat takwa, warak, tawakal, i’tisham, zuhud, dan sebagainya. Ada sebuah syair sangat hebat yang digubah oleh syekh Ali Wafa al-Mishri
Hatiku bahkan melepaskan diri dari maqam zuhud
Karena Engkau al-Haq semata ada dalam penyaksianku
Mungkinkah kuberzuhud pada selain-Mu
Padahal tak kulihat selain Kau hai Rahasia Wujud
Itulah sebabnya Syekh Muhyil Millah wa ad-Din Ibnu Arabi dalam kitabnya yang berjudul al-Futuhat al-Makkiyyah meletakkan bab. Tark at-Taubah setelah bab Taubah. Dia mengatakan, sikap meninggalkan tobat lebih tinggi daripada tobat. Karena meninggalkan tobat adalah bentuk ketidakpedulian pada tobat disebabkan si hamba terlalu sibuk dengan Allah swt., sehingga kesibukan itu telah memusnahkan wujud tobat. Atas hal ini dia lalu menggubah syair,
Hai pemilik kecapi, bernyanyilah!
Bergeraklah dari suara diamnya
Sungguh hitamnya gamis kegelapan
Diwarnai oleh fajar dengan semaunya
Sekelompok orang beruntung dengan tobat
Tapi yang bertobat dari tobat hanya aku!
Ibnu Arabi juga menempatkan bab Tark at-Taqwa sesudah bab Taqwa, karena menurut beliau, meningalkan takwa lebih tinggi daripada takwa, dengan argumentasi seperti yang telah kami sampaikan di atas. Demikian pula halnya pada bab Wara’ dan bab Tark al-Wara’, bab Zuhd dan bab Tark az-Zuhd, dan beberapa bab lain yang terdapat dalam kitab tersebut.
Farid bin Isa al-Baghdadi berkata, “Aku pernah bertanya kepada al-Hallaj, “Siapakah murid itu?” Dia menjawab, “Murid adalah orang yang awal tujuannya hanya kepada Allah swt., sehingga dia tidak naik ke sesuatu apa pun sampai dia mencapai-Nya.” Tampaknya inilah makna yang dinyatakan oleh Syekh Ruyam, “Adab salik adalah jangan sampai keinginannya mendahului kakinya.”
Farid bin Isa al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Manshur al-Hallaj al-Baghdadi ‘Afallahu ‘Anhu, “Siapakah murid yang menginginkan Allah itu?” Dia menjawab, “Murid adalah orang yang di awal perjalanan suluknya di jalan Ilahiah memfokuskan pandangan, tekad, dan keinginannya kepada Allah swt. semata, sehingga tujuan yang dimilikinya hanya Allah swt.
Dengan tekad seperti ini, murid tidak akan naik (baik secara lahiriah maupun batiniah) ke sesuatu maqam (baik berupa urusan duniawi maupun urusan ukhrawi) sampai dia mencapai-Nya sehingga semua pintu makrifat pada-Nya dalam segala sesuatu terbuka dalam hatinya. Pada saat itu, tidak ada lagi sesuatu apa pun yang tersisa pada penglihatan fisik dan penglihatan batinnya selain hanya Allah swt.
Ketika murid memaksudkan berbagai hal, maksudnya itu adalah kesempurnaan-Nya sehingga semua hal yang membahayakan golongan orang-orang lalai dan hijab menjadi hal yang sama. Karena penyakit telah berubah menjadi obat, seperti ketika seorang ‘arif billah ditanya “‘Kapankah penyakit jiwa berubah menjadi obat jiwa?” Sang arif menjawab, “Ketika jiwa telah meninggalkan semua keinginannya, penyakit itu berubah menjadi obat baginya.”
Tampaknya makna Nazhar Bar Qadam yang baru disampaikan ini adalah makna yang dinyatakan oleh Syekh Abu Muhammad Ruyam bin Ahmad al-Baghdadi rahimahullah, “Adab salik penempuh jalan menuju Allah adalah jangan sampai keinginannya mendahului kakinya.” Kalimat ini merupakan bentuk kiasan yang mengisyaratkan hilangnya keinginan terhadap segala sesuatu dari dalam hati murid.
Sehingga murid tidak lagi menginginkan apa pun selain-Nya, tapi ia selalu sibuk dengan Tuhannya. Ketika Allah menggerakkan kakinya untuk berjalan menuju apa yang Allah kehendaki, keinginan di hati murid tersebut adalah menuju apa yang dikehendaki oleh Allah, bukan menuju apa yang menjadi tujuan gerak langkah kakinya itu.
Demikian seperti yang dinukil dari Abu Yazid, suatu waktu ia ditanya di dalam hatinya, “Wahai Abu Yazid, apakah gerangan yang engkau inginkan?” Dia pun menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin.”
Khalwat Dar Anjuman: Lahir bersama Makhluk, Batin bersama Allah
Khalwat Dar Anjuman berarti seyogianya salik secara lahiriah bersama makhluk, sedangkan secara batiniah bersama al-Haq. Tangan dengan kesibukan, sedangkan hati dengan al-Haq.
Khalwat Dar Anjuman adalah kata kedelapan yang maknanya diisyaratkan oleh penulis dengan pernyataannya, seyogianya bagi salik penempuh jalan menuju Allah untuk secara lahiriah dia bersama makhluk, mulai dari berbicara, makan, minum, duduk, serta segala perbuatan mubah, segala kata-kata yang tidak dilarang dan segala bentuk ketaatan, tanpa berusaha untuk “tampil beda” dari orang kebanyakan baik dalam urusan pakaian maupun yang lainnya.
Sementara itu, secara batiniah atau pada sisi hakikat dia bersama al-Haq. Dia tenggelam dalam penyaksian pada-Nya. Pia bergerak dalam batin dan lahirnya hanya dengan-Nya, dia juga diam hanya dengan-Nya, sebagaimana dia juga berbicara panya kepada-Nya.
“Katakanlah, ‘Allah-lah (yang menurunkannya),’ kemudian (setelah itu), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’am [6]: 91)
Tangan lahiriah sibuk dalam berkarya dan melayani, demi meraih rezeki halal dan sibuk bersedekah, sebagaimana halnya kaki dan semua anggota tubuh lainnya yang sibuk seperti lazimnya manusia, seperti yang Allah firmankan tentang makrifat Ilahiyah dalam bentuk isyarat menyangkut rangkaian manasik haji setelah wukuf di Arafah,
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 199)
Istighfar dari kita disebabkan berbagai tahapan kelalaian yang kita lakukan dan juga bertujuan untuk memperhatikan lam Manusiawi. Itulah “ghain’” yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya ada kabut pada hatiku. Aku benar-benar beristighfar kepada Allah tujuh puluh kali dalam sehari.” Dalam riwayat lain disebutkan “seratus kali”. Semua itu terjadi karena Nabi saw. adalah manusia yang sama dengan kita berdasarkan dalil firman Allah,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…’.” (QS. al-Kahf [18]: 110)
Karena beliau adalah manusia, hati beliau terkadang tertutup kabut demi menjaga kemanusiaan beliau. Istighfar yang nabi lakukan seperti istighfar yang kita lakukan sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat al-ifadhah (QS. al-Baqarah [2]: 199) yang telah kami sampaikan di atas.
Sementara itu, hati batiniah murid selalu bersama dengan Allah swt. tanpa pernah berpisah dengan penyaksian kehadiran-Nya dan tidak pernah berpaling dari-Nya disebabkan kesibukan apa pun.
Betapa indahnya syair ini, Dari dalam tetaplah terjaga nan tidak lalai Dari luar berbaurlah seperti orang-orang umum Dari dalam tetaplah terjaga nan tidak lalai
Maksudnya, dari dalam dirimu tepatnya hatimu wahai murid yang benar, tetaplah dalam keadaan musyahadah kepada Tuhanmu, awas pada-Nya tanpa pernah lalai dari-Nya pada segala keadaanmu.
Dari luar berbaurlah seperti orang-orang umum
Maksudnya, pada ranah anggota tubuh dan sisi lahiriah dirimu, berbaurlah dengan orang banyak dan ikutlah bersama mereka pada semua perkara mubah. Teruslah bersama mereka seperti lazimnya manusia pada umumnya. Frasa “manusia umum” berarti orang-orang yang lalai dari Allah swt. karena mengesampingkan penyaksian Tuhan.
Bait ini ingin menyampaikan, hendaknya murid selalu bersama Allah baik ketika sendirian ataupun saat bersama manusia, yaitu bergaul bersama mereka. Hal ini diungkapkan dalam sebuah pernyataan, “Sesungguhnya orang sampai pada maqam makrifat adalah orang yang ada tetapi terpisah (ka‘in ba’in).” Maksudnya, ia ada bersama orang banyak, tetapi dia “terpisah” dari mereka.
Ada sebuah syair lain yang menyatakan,
Berbaurlah bersama orang-orang di mana pun jua
Ikutilah perkembangan masa dan beriringan dengannya
Sesungguhnya kita adalah makhluk
Seperti sang Kisra dan sang Dara
Para tokoh tarekat ini berkata, di dalam tarekat ini keberhimpunan ada saat di tengah orang banyak dan pemisahan terjadi saat di kesendirian.
Para tokoh tarekat ini, yaitu orang-orang dari kalangan ahlullah berkata, bahwa di dalam tarekat Naqsyabandiyah tercapainya keberhimpunan dengan al-Haq ada saat berada di tengah orang banyak, atau di antara berbagai jamaah, karena terjadinya pertemuan berbagai rohaniah, ketidak mampuan mereka untuk memahami dan melepaskan sesuatu karena sesuatu itu berubah dengan cepat.
Tercapainya keterpisahan murid terhadap keterhimpunan bersama masyarakat ada saat dalam keadaan sendirian. Ini terjadi karena terbentuknya rohaniahnya dengan ketenangan dalam mencapai tujuan. Jadi, khalwat dari hal ini terjadi pada Allah swt. dalam pertemuan dengan orang banyak, sebagaimana khalwatnya dengan diri murid terjadi dalam kesendiriannya dari orang banyak. Berbaur lebih baik daripada mengucilkan diri (uzlah). Ini adalah maqam muhammadiyah yang tinggi.
wuquf Zamani: Memanfaatkan Waktu dengan ibadah
Wuquf Zamani berarti, engkau selalu mengintrospeksi diri atas waktu yang telah berlalu dan selalu merenungkan apakah waktu berlalu dengan amal-amal baik lalu engkau bersyukur, ataukah dengan amal-amal buruk lalu engkau beristighfar. Itu sesuai dengan tingkatan-tingkatan mereka. Sebab, kebaikan-kebaikan orang-orang baik adalah’ keburukan-keburukan orang-orang muqarrabun.
Wuquf Zamani adalah kata kesembilan yang memiliki arti engkau wahai murid mengintrospeksi dirimu atas semua waktu yang engkau lewati di sepanjang siang dan malam, kemudian renungkan apakah semua waktu itu berlalu dengan amal-amal baik seperti shalat, puasa, sedekah, tasbih, dan berbagai bentuk ketaatan lainnya, lalu engkau bersyukur kepada Allah atas taufik yang Dia berikan kepadamu serta kemudahan bagimu untuk melakukan semua itu.
Ataukah waktu itu malah engkau lewati dengan amal-amal buruk seperti berbagai jenis kemaksiatan dan pelanggaran, lalu engkau beristighfar memohon ampun kepada Allah atas semua itu serta bertobat kepada-Nya.
Allah berfirman,
“Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)
Ayat ini merupakan dasar bagi tindakan introspeksi diri (muhasabatun nafs). “Intropeksi diri kalian sebelum kalian di-hisab.”
Hal seperti istighfar sebagai tobat dari perbuatan buruk itu sesuai dengan tingkatan kalangan ahlullah. Mungkin saja mereka melakukan perbuatan tertentu dan dianggap sebagai dosa oleh suatu tingkatan, tapi dianggap melakukan ketaatan oleh tingkatan lain di bawahnya, dan dianggap melakukan perkara mubah oleh tingkatan pertengahan.
Seperti ketika Dzun Nun al-Mishri rahimahullah ditanya tentang tobat, dia berkata, “Tobatnya orang-orang awam adalah dari dosa-dosa, sedangkan tobatnya orang-orang khusus adalah dari kelalaian.”
Abul Hasan an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hendaklah engkau bertobat dari segala yang selain Allah.”
Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Sangatlah berbeda antara orang yang bertobat karena kekeliruan, orang yang bertobat karena kelalaian dan orang yang bertobat karena melihat kebaikan (dirinya).”
Rawim rahimahullah pernah ditanya tentang tobat. Dia un berkata, “Tobat adalah bertobat dari tobat.”’
Pernyataan yang masyhur di kalangan mayoritas ulama adalah kebaikan-kebaikan orang-orang bajik atau al-abrar
orang yang mematuhi segala perintah dan larangan Allah secara lahir dan batin adalah keburukan-keburukan atau dosa bagi orang-orang mugqarrabun. Mereka adalah orang-orang yang mematuhi perintah dan larangan Allah karena Allah bukan karena diri mereka sendiri.
Jadi, ketaatan kalangan abrar yang mereka lakukan untuk diri mereka adalah dosa bagi kalangan muqarrabun yang ketaatan mereka dilakukan untuk Allah, “Setiap orang telah mengetahui tempat minum mereka masing-masing”’’.
Wuquf ‘“Adadi: Menghitung Jumiah Zikir
Wuquf ‘Adadi, adalah ungkapan yang menyatakan tentang perhatian terhadap bilangan zikir hati untuk menghimpun berbagai bersitan yang terburai.
Wuquf ‘Adadi, adalah kata kesepuluh. Kata ini adalah ungkapan yang menyatakan tentang perhatian murid terhadap bilangan zikir hati yang telah dijelaskan sebelumnya. Perhatian terhadap hal ini dilakukan untuk menghimpun berbagai bersitan yang terburai, sehingga semuanya berubah menjadi satu bersitan tunggal disebabkan kesinambungan bilangan zikir.
Sehingga diri murid menjadi tenang dan tidak bingung pada hitungan yang tidak diketahui jumlah pastinya. Oleh karena itu, ketentuan jumlah khusus telah disampaikan dalam jumlah hitungan tasbih setelah shalat seperti yang disebutkan dalam hadis.
Wuquf Qalbi: Hati Terjaga bersama Allah
Wuquf Qalbi adalah ungkapan yang menyatakan keterjagaan dan kehadiran hati bersama Allah swt. dengan kondisi hati yang tidak memiliki tujuan selain al-Haq Azza wa jalla.
Wuquf Qalbi merupakan kata kesebelas yang maknanya adalah ungkapan yang menyatakan keterjagaan pada semua urusan dengan menafikan kelalaian dan kelupaan, serta sempurnanya kehadiran hati bersama Allah swt. tanpa terganggu kepada sesuatu apa pun selain-Nya.
Murid dapat menyaksikan Allah dalam penyaksiannya pada segala sesuatu karena segala sesuatu adalah perbuatan Allah, baik dia menyaksikan pada perbuatan-Nya seperti yang telah disebutkan, atau menyaksikannya dalam sifat-sifat-Nya dan Dzat-Nya.
Kehadiran ini wajib dilakukan dengan kondisi hati tidak memiliki tujuan apa pun secara mutlak selain al-Haq Azza wa jalla, yaitu dia tidak mengharapkan dengan kehadiran jtu pahala dari Allah, keselamatan dari hukuman-Nya atau kedudukan tinggi di sisi-Nya dan sebagainya. Namun yang tetap ada baginya adalah hudhur murni untuk Allah dan demi Allah, bukan demi dirinya sendiri.
Dalam kata lain, pelaku zikir harus memerhatikan hatinya saat di tengah zikir, serta bertawajuh ke hati sanubari yang dalam bahasa Persia disebut “dil”. Hati itu ada di sisi kiri samping payudara. Pelaku zikir harus fokus dengan zikir dan tidak membiarkan dirinya lalai dari zikir serta memahami hakikatnya. Hadirat Khojah Naqsyaband tidak menjadikan tindakan menahan nafas dan menghitung jumlah zikir sebagai sebuah keharusan di dalam zikir.
Dalam kata lain, wuquf qalbi memiliki arti bahwa pelaku zikir harus memperhatikan hatinya dengan mengawasinya agar jangan terbersit apa pun di dalamnya saat di tengah zikir. Sehingga setiap kali dia berzikir kepada Allah, hendaklah dia merenungkan apa yang mengganggu hatinya dalam bentuk makna yang terbersit lalu memantapkannya seraya memisahkan antara yang baik dan yang buruk.
Selain itu hendaklah dia juga bertawajuh dengan tekad yang shahih ke hati sanubari yang dalam bahasa Persia disebut “dil”. Hati ini terletak di sisi kiri samping payudara dalam posisi sejajar di dalam tubuh.
Murid juga harus membuat hatinya sibuk dengan zikir dalam kondisi apa pun dan tidak pernah membiarkannya lalai dari zikir serta dari pemahaman tentang zikir. Bahkan, hendaklah dia terus berusaha menghadirkan makna zikir di setiap kesempatan tanpa lalai terhadapnya, agar dia dapat meraih penyaksian yang sempurna atas objek zikirnya dan riyadhahnya.
Hadirat Khojah Bahauddin Naqsyabandi rahimahullah seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya—tidak menjadikan tindakan menahan nafas di dalam zikir dan menghitung jumlah zikir sebagai sebuah keharusan di dalam zikir.
Jadi, pelaku zikir boleh menahan nafasnya dan boleh juga tidak, sebagaimana dia juga boleh menetapkan jumlah khusus pada zikirnya dan boleh juga tidak melakukan itu. Namun tentu saja menahan nafas dan menetapkan jumlah zikir lebih utama menurut sang Khojah, meskipun hal itu bukan sebuah keharusan.
Namun menurut dia (Khojah Bahauddin) wuquf qalbi adalah sebuah keharusan di tengah zikir, muraqabah, dan lainnya. Tujuan dari zikir adalah Wuquf Qalbi. Betapa indahnya syair yang semakna dengan ini, Jernihkanlah hatimu, jadilah seperti burung Dari hal itu berbagai keadaan spiritual akan lahir dari dirimu.
Wuquf Qalbi yang disebutkan di atas adalah sebuah keharusan di tengah zikir menurut Khojah an-Naqsyabandi rahimahullah, sesuai dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya.
Muraqabah hati terhadap zikir, artinya menjaga kesinambungan zikir juga merupakan sebuah keharusan menurut Khojah an-Naqsyabandi. Begitu pula adab-adab zikir selain dua yang telah disebutkan tadi seperti Wuquf Zamani dan kata-kata lainnya.
Tujuan zikir adalah berdiam (wuquf) atau fokusnya hati yang merupakan penyaksian bagi segala hakikat wujud. Betapa indahnya apa yang dinyatakan tentang makna itu pada sebuah syair:
Jernihkanlah hatimu, jadilah seperti burung
Dari hal itu keadaan spiritual akan lahir dari dirimu
Artinya, wahai murid, jadilah engkau seperti seekor burung dalam menjaga, merawat, dan selalu berkeliling. Karena burung selalu menjaga telurnya dengan sangat baik, agar ia dapat memiliki anak yang kelak ia sayangi. Begitu pula halnya engkau wahai murid, jagalah hatimu dengan sebaik-baiknya agar tidak dimasuki apa pun selain Allah, agar apa yang menyusup itu tidak merusak dirimu sehingga engkau dapat meraih maqam makrifat yang kelak membuatmu tenang dan damai.
Di antara berbagai keadaan spiritual yang dapat diraih adalah berbagai hal keilahian dan makrifat ketuhanan yang lahir dalam dirimu wahai murid. Wallahu a’lam.
Apabila sebuah gangguan, was-was, atau kebuntuan terjadi pada dirimu di tengah kesibukan zikir, hendaklah mandi menggunakan air dingin. Apabila tidak mampu karena tubuhmu tidak kuat menahan dingin, gunakanlah air panas. Setelah itu berkhalwatlah dan laksanakan shalat dua rakaat dengan khusyu dan tenang . Mintalah ampunan atas dosa-dosamu.
Apabila terjadi pada dirimu wahai murid, di tengah aktivitas zikir sehingga engkau lalai darinya dan fokus terhadap zikir akan muncul keterpisahan (tafriqah) keterpisahan berupa kembalinya hamba dari penyingkapan penyaksian (kasyf as-syuhud) ke pakaian wujud (lubs al-wujud) atau muncul waswas berupa melintasnya keraguan dalam dirinya atas sesuatu hal, atau muncul kebuntuan yang mengikat hati sehingga menghalangi hamba dari sikap legawa dalam berbagai urusan serta melakukan apa yang ia sanggup.
Jika hal itu terjadi, hendaklah segera melakuan penyucian lahiriah agar batinmu dapat suci kembali dengan cara mandi atau membasuh seluruh tubuhmu serta berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan telinga, mengalirkan air ke bawah ketiak, membasuh bagian dalam lutut, membasuh bagian dalam pusar, lipatan perut, bagian dalam jenggot, kumis, dan alis mata, serta beristinja pada daerah kemaluan dan dubur, tetapi setelah melakukan wudhu yang sempurna.
Hendaklah itu semua dilakukan menggunakan air dingin karena air dingin merupakan keadaan asli air, tanpa memanaskannya.
Namun apabila engkau tidak sanggup mandi dengan air dingin seperti itu, karena tubuhmu tidak sanggup menahan dinginnya air atau cuaca tidak terbiasa mandi menggunakan air dingin atau karena engkau khawatir akan jatuh sakit akibat mandi menggunakan air dingin, hendaklah menggunakan air panas atau air yang dihangatkan, baik dengan api maupun dijemur matahari.
Pilihan kedua ini tidak dianjurkan karena hukumnya makruh menurut mazhab sebagian ulama, kecuali jika itu dilakukan dalam kondisi darurat.
Setelah selesai mandi, masuklah engkau wahai murid, ke dalam khalwat yang suci, halal, dan sepi dari siapa pun untuk kemudian lakukanlah shalat dua rakaat di awal khalwatmu dengan tunduk kepada Allah, diiringi tawasul dan doa dalam keadaan tenang, merasa hina dan rendah kepada Allah.
Kemudian hendaklah engkau beristighfar dari dosa-dosa yang engkau ketahui dan dosa-dosa yang tidak diketahui dengan penuh penyesalan atas semua pelanggaran yang engkau lakukan tanpa engkau menyadarinya, sembari engkau bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Hendaklah engkau merenungkan keadaan dan waktumu. Apabila engkau belum menemukan waktu yang tepat lalu engkau masih saja dalam keterpisahan (tafriqah), hadirkanlah syekh murabbimu dalam imajinasimu karena semoga dengan berkahnya engkau dapat berpindah dari keterpisahan (tafriqah) menjadi keberhimpunan (jam’iyah).
Hendaklah engkau merenungkan keadaan spiritualmu dengan sepenuh hati untuk menghilangkan waswas atau kebuntuan, dan merenungkan kembalinya waktumu dalam keberhimpunanmu bersama Tuhan. Apabila engkau belum menemukan waktumu setelah melakukan semua itu, sedangkan keterpisahanmu masih ada karena engkau terus menyaksikan segala sesuatu selain Allah seiring berubahnya berbagai keadaan yang tidak bisa dihilangkan dari dalam hatimu.
Apabila engkau masih seperti itu hadirkanlah syekh murabimu dalam imajinasi, karena engkau akan menyaksikan sang syekh sebagai gerbang anugerah Ilahiah seperti yang telah kami jelaskan di bagian sebelumnya. Jadikanlah syekh itu sebagai apa yang selalu ada di depanmu agar engkau dapat terus menghadap ke arah pintu al-Haq swt.
Semoga saja Dia berkenan membukakan pintu-Nya untukmu sehingga engkau dapat masuk ke hadirat-Nya swt. sesuai keinginanmu. Dengan demikian, semoga dengan berkah sang syekh tersebut engkau dapat berpindah dari keterpisahan yang terjadi di dirimu menjadi keberhimpunan bersama Allah swt.
Apabila keterpisahan masih tetap ada juga, ucapkanlah, “Ya fa’al” dengan tasydid dan mad. Apabila keterpisahan masih belum hilang juga, katakanlah bahwa keterpisahan ini datang dari-Nya swt., lalu fanalah di dalam sang Mufarriq (Maha Pemisah) dan tenggelamlah di dalam-Nya, sehingga pada saat itu engkau menjadi ada di dalam inti kebersamaan. Sebab sangat jarang keterpisahan tetap ada setelah melakukan semua hal ini.
Apabila keterpisahan (dengan Allah) masih tetap ada setelah menghadirkan syekh dalam imajinasimu, ucapkanlah menggunakan hati atau lisanmu, “Ya fa’al’ dengan tasydid pada huruf ‘ain dan bacaan mad pada huruf alif. Pelafalan ini diniatkan sebagai pernyataan bahwa Allah swt. adalah satusatu-Nya Dzat yang melakukan segala sesuatu sendirian tanpa ada satu pun sekutu bagi-Nya.
Dengan begitu engkau akan berpindah dari penyaksian berbagai pelaku yang banyak jumlahnya, menuju penyaksian terhadap satu Pelaku tunggal, sehingga engkau dapat masuk ke dalam kebersamaan dengan-Nya.
Apabila keterpisahan belum hilang juga dengan semua pelafalan tersebut, katakanlah di dalam hatimu bahwa keterpisahan yang engkau alami itu sesungguhnya berasal dariNya, bukan dari siapa pun selain Dia.
Setelah itu memfanalah dengan memusnahkan serta menghilangkan dirimu, juga sirnakanlah wujudmu di dalam wujud sang Mufarriq, Allah swt. dengan cara bersaksi terhadap kehendak-Nya yang laksana kejapan mata dan dengan kehendak itu Dia menciptakan seluruh langit dan bumi. Kemudian tenggelamlah atau menghilangkanmu dari wujud fana itu di dalam Allah swt. yang menjadi Pemisah (al-mufarriq), sehingga pada saat itu engkau berada di dalam inti kebersamaan yang menjadi tujuanmu dan hilanglah keterpisahan itu.
Sangat jarang dalam pencarian usaha untuk bersama, keterpisahan yang engkau alami tetap ada, setelah melakukan semua yang disebutkan di atas. Kesimpulannya, menyadari keterpisahan itu berasal dari Allah akan membuatmu fana sekaligus tenggelam di dalam-Nya.
Ketika keinginan dari dirimu berkaitan dengan berbagai amal perbuatan, seperti ingin membeli ranjang atau lainnya yang mubah secara syariat, hendaklah dia segera melaksanakannya, atau mengeluarkannya dari hatinya sehingga gangguan itu seperti seorang musuh baginya yang harus dia kerahkan segenap kemampuannya demi menghalaunya.
Ketika keinginan dalam hatimu berkaitan dengan berbagai amal perbuatan dalam kehidupan, seperti engkau ingin membeli permadani sebagai alas duduk, pakaian atau peralatan makan yang engkau gunakan dan hal lainnya yang hukumnya mubah bagimu secara syariat, hendaklah murid segera membeli apa yang ia butuhkan itu atau langsung mengeluarkan gangguan itu dari hatinya karena boleh jadi itu adalah sebab terjadinya keterpisahan.
Murid menghilangkan gangguan itu sampai dia menganggapnya seperti seorang musuh yang harus dia kerahkan segenap kemampuannya demi menghalaunya karena takut akan kejahatannya.
Kewajiban atas seorang murid adalah menghilangkan tiga bisikan; bisikan Nafsani, Syaithanti, dan Malaki. Tapi hendaklah dia menetapkan bisikan Haqqani.
Penafian tiga bersitan di dalam hati adalah perkara yang harus dilakukan di jalan menuju Allah swt. bagi seorang murid:
Pertama adalah bisikan nafsani, yaitu bersitan yang datang dari diri sendiri, berupa beragam bentuk kenikmatan dan syahwat jangka pendek, baik yang halal maupun haram.
Kedua adalah bisikan syaithani, yaitu datang dari setan, berupa bisikan akidah sesat, dosa, dan berbagai bentuk kemaksiatan.
Ketiga adalah bisikan malaki, yaitu bersitan yang datang dari malaikat, berupa petunjuk dan nasihat.
Penafian terhadap bisikan nafsani sebuah keharusan karena bisikan jenis ini menyibukkan dan menghalangi murid dari apa yang menjadi tujuannya, yaitu mencapai makrifatullah, sekaligus membutakan penglihatan lahir batinnya dari penyaksian kepada Allah swt. (musyahadah).
Bisikan syaithani juga wajib dihilangkan sebagai bentuk upaya meneguhkan iman dan keadilan. Sebab, apabila bisikan yang satu ini tidak dihilangkan, pasti orang yang bersangkutan akan menjadi kafir atau fasik, sehingga dia akan terusir dari tujuannya, yaitu mencapai kedekatan ilahi.
Murid juga harus menghilangkan bisikan malaki, demi menghilangkan keinginan untuk ber-talaqqi kepada yang selain Allah sekaligus menghindari terjadinya keterhalangan di maqam keberhimpunan (jam’iyah).
Namun, hendaklah murid menetapkan bisikan haqqani, yaitu bisikan yang berasal dari Allah swt. berupa perintah-Nya. Sementara tanda-tanda itu adalah bisikan haqqani adalah hati tidak mampu untuk menentangnya dan bisikan itu hanya berbentuk kebaikan.
Untuk mengetahui serta memilah berbagai bersitan hati sangatlah sulit. Berikut kami jelaskan semampu kami, asal dari bisikan nafsani adalah dari “tanah” hati, yakni bagian bawah hati.
Untuk mengenali serta memilah berbagai bisikan hati’ yang bermacam-macam sangatlah sulit. Karena berusaha mengetahui perbedaannya juga merupakan bagian dari pisikan hati. Mengenali sesuatu oleh sesuatu itu sendiri jauh lebih sukar daripada mengenali objek lain disebabkan lebih sederhananya bisikan tersebut.
Berikut ini kami akan menjelaskan tentang bisikan hati meski bukan penjelasan yang terlengkap.
Kami menyatakan—dengan pertolongan Allah—bahwa bersitan nafsani bagi seorang murid berasal dari “tanah” hatinya, yakni berasal dari bagian bawah hati. Karena bagian hati yang bawah terbentuk dari berbagai hasrat jangka pendek dan kenikmatan yang fana. Hal ini termasuk tabiat alamiah jasmani yang hina.
Bisikan syaithani datang dari hati sebelah kiri, sedangkan bisikan dari malaikat muncul dari hati sebelah kanan, dan bisikan dari Allah muncul dari hati bagian atas.
Bisikan syaithani datang dari kiri hati, karena setan bersemayam di depan hati dengan beralih rupa dalam berbagai penampakan buruk, seperti zina, minum khamar, dan kekufuran, tapi menampilkan semua itu sebagai keindahan, Hati yang jernih laksana cermin sehingga ia akan memantulkan semua yang ada di depannya.
Sementara bisikan yang datang dari malaikat muncul dari kanan hati, karena sisi kanan hati adalah tempat kemunculan ruh, sedangkan malaikat adalah manifestasi ruh. Itulah sebabnya, bisikan malaki muncul dari arah kanan.
Bisikan yang datang dari Allah swt. muncul dari atas hati. Karena hati merupakan bagian dari perintah Allah yang selalu berada di atas segala sesuatu.
Hal ini benar-benar diketahui bagi siapa yang selalu mengenakan pakaian takwa, zuhud, wara, memakan makanan halal lagi baik, senantiasa mengawasi berbagai bisikan hatinya dan tidak pernah membiarkan bisikan lain melintas di benaknya. Dalam kata lain, dia selalu memerhatikan waktunya karena tidak ada sesuatu apa pun yang lebih mulia dibandingkan waktu. Waktu adalah pedang yang tajam, apabila telah berlalu, tidak akan dapat diputar ulang.
Hal di atas benar-benar bisa diketahui baik lewat rasa maupun penyaksian, bagi siapa yang selalu mengenakan pakaian takwa, berupa sikap jauh dari kekufuran sebagaimana takwa pada umumnya, atau jauh dari dosa-dosa sebagai takwa khusus, atau berupa jauh dari semua yang selain Allah sebagai takwa yang paling tinggi.
Juga mereka yang mengenakan pakaian zuhud, yaitu zuhud terhadap dunia sebagai zuhud umum, zuhud terhadap semua yang selain Allah sebagai zuhud khusus, atau zuhud terhadap zuhud itu sendiri sebagai zuhud yang paling tinggi.
Juga mereka yang mengenakan pakaian wara, yaitu wara dari segala perkara haram serta makruh sebagai wara umum, wara dari segala perkara mubah sebagai wara khusus, atau wara dari segala ibadah dan ketaatan sebagai wara yang paling tinggi.
Juga bagi mereka yang hanya memakan makanan halal lagi baik. Yaitu dengan memakan secara lahiriah berbagai makanan serta meminum berbagai minuman.
Sementara dalam pengertian secara batiniah, yang dimaksud “makan” adalah memahami berbagai makna, dan yang dimaksud “meminum” adalah memahami berbagai hikmah.
Maksud makanan yang halal menurut syariat adalah makanan yang dimiliki secara sah, sedangkan secara batin adalah makna yang sahih dan benar dan hanya terbuka bagimu bukan bagi orang lain.
Selain itu tak hanya halal tapi juga yang baik (thayyib), yaitu makanan yang layak bagi tubuh dari sisi lahiriah, atau berupa berbagai makna yang sesuai dengan waktu dari sisi batiniah atau berupa hikmah yang cocok dengan kondisi spiritual si murid dari sisi rohaniah.
Berbagai bisikan di atas juga bisa dipahami oleh orang yang senantiasa mengawasi berbagai bisikan hatinya tanpa pernah lalai sedikit pun. Dia juga tidak pernah mengabaikan bisikan lain atau membiarkannya melintas di benaknya. Bahkan, dia langsung mengenyahkan bisikan lain itu dengan penyaksian (musyahadah) dan kehadiran (hudhur).
Maksud “senantiasa mengawasi hati” adalah murid selalu memerhatikan dengan cermat segala waktu yang sedang ia jalani, sehingga ia tidak pernah memikirkan masa lalu dan masa depan. Seperti yang dinyatakan oleh seorang penyair,
Yang lewat telah berlalu, yang mendatang masih belum pasti
Milikmu adalah masa yang engkau jalani saat ini
Orang yang melihat ke masa lalu dan masa depan pasti akan disibukkan oleh semua itu sehingga mengabaikan masa kini yang tengah dijalaninya, sehingga seiring dengan itu dia tidak akan melihat dengan sempurna masa yang sedang berlangsung dan akhirnya melupakan adab-adab yang seharusnya ia lakukan pada waktu sekarangnya itu.
Hal itu akan membuatnya tidak akan mendapatkan buah dari waktu yang telah dia sia-siakan, hingga akhirnya waktu menjadi kerugian baginya.
Itulah sebabnya para ulama menyatakan, “sufi adalah anak waktu (ash-shifi ibn waqtih)”. Karena sufi selalu memerhatikan hak-hak waktu yang lahir di dalamnya seperti perhatian mereka terhadap hak-hak orang tua mereka. Sufi selalu lahir di setiap waktu dari ketiadaan menuju wujud dengan perintah Allah yang laksana kejapan mata.
Hal ini karena tidak ada apa pun menurut orang arif yang lebih mulia dibandingkan waktu. Di dalam waktulah seorang hamba dapat berkembang dari kekurangannya menuju puncak kesempurnaan, juga dari penyaksian dirinya menuju penyaksian Tuhannya.
Waktu adalah pedang tajam untuk menyempurnakan kesiapan serta penerimaan atas berbagai keadaan spiritual. Waktu apabila telah berlalu, tidak akan bisa diulangi lagi. Artinya, tidak mungkin waktu yang telah berlalu dan telah membuatmu terputus dari segala kesiapan dan penerimaan dapat engkau raih lagi.
Cara Menjaga Waktu
Waktu. dapat dijaga dengan Zikir, muraqabah, shalat, dan tilawah. Para tokoh Naqsyabandiyah memilih beberapa aktivitas malam hari dengan al-Fatihah, Qul ya ayyuhal kafirun, surat al-Ikhlash, al-Mu’awwidzatain, akhir surat al-Hasyr, dan akhir surat al-Baqarah.
Murid dapat menjaga waktu agar tidak berlalu begitu saja dalam kelalaian,, dengan cara berzikir sehingga waktunya hanya berlalu darinya dengan keadaan dirinya ‘“hadir” bersama Tuhannya, seperti yang Allah firmankan,
“Mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.” (QS. al-Ma’arij [70]: 23)
‘Shalat yang dimaksud adalah shalat rohani yang dilakukan untuk menegakkan hati, dengan merapalkan alQuran tanpa huruf dan tanpa suara jasmani, dilanjut rukuk dengan kefanaan jiwa, sujud dengan kefanaan hati, sujud lagi dengan menafikan kefanaan itu sendiri.
Kemudian ia bertasbih dengan lisan yang suci di maqam penyaksian. Lalu ia duduk di hadapan ilmu (Allah yang) Qadim di atas hamparan keazalian, seraya merapalkan persaksian sifat-sifat Ilahiah atas Dzat yang Gaib. Ini dilakukan dalam penyerahan diri ke dalam genggaman kekuasaan-Nya.
Murid juga bisa menjaga waktunya dengan muragabah yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, atau dengan shalat yang terdiri dari rukuk dan sujud setelah memahami segala isyaratnya seraya menyelami makna di dalam semua gerak dan diamnya.
Ia mengangkat kedua tangannya untuk memulai shalat sebagai isyarat meninggalkan dunia akhirat, berdiri sebagai isyarat berdiam di hadapan Ruh yang sempurna. Sebab itulah saat kita berdiri dalam shalat terdapat bacaan al-Quray karena hamba berada di hadapan Mahawujud di hadirat objek persaksian.
Rukuk adalah isyarat masuknya hamba ke alam malaikat karena mereka memang berasal dari alam tersebut, hanya saja gerakan luhur mereka adalah citra samawi mereka. Setengah yang terendah dari mereka menetap tanpa perubahan, karena tidak ada penampakan yang ada dalam diri mereka kecuali penampakan milik Allah yang sempurna.
Sujud pertama merupakan isyarat masuk ke alam tumbuhan, karena tanaman memang merasuk ke dalam bumi kemudian tumbuh darinya. Sementara sujud kedua merupakan isyarat masuk ke alam hewan, yang datang setelah tanaman, karena hewan masuk ke bumi lalu terpisah darinya.
Duduk di antara dua sujud adalah isyarat masuk ke alam benda mati karena diamnya benda itu. Salam pertama adalah isyarat pencapaian semua itu, yaitu dengan masuk ke alam manusia. Sementara salam kedua adalah isyarat meninggalkan semua itu, karena ia menunjukkan pencapaian hadirat Ilahiah.
Itulah sebabnya, Nabi Muhammad saw. selalu berdoa setiap kali selesai dari shalat wajib sebelum beliau bangkit untuk melaksanakan shalat sunah, atau setelah salam kedua. Doa itu berbunyi “Wahai Allah Engkaulah as-Salam, hanya dari-Mu keselamatan, dan kepada-Mu segala keselamatan kembali,” dan seterusnya yang dimaksudkan sebagai keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti beliau serta para malaikat penjaga.
Shalat adalah isyarat yang menunjukkan bahwa setiap rakaatnya adalah simbol dari tulisan “Allah”. Berdiri adalah alif, rakuk adalah gerak alif sehingga menjadi hamzah, karena kata tidak mungkin dimulai dengan sukun. Kedua sujud adalah dua Jam, sedangkan duduk adalah ha’.
Jadi, setiap rakaat adalah tulisan asma Allah di lembaran Lauhul mahfudz. Shalat adalah zikir menggunakan gerakan dan merupakan bagian dari firman sang Wujud. Shalat juga memiliki banyak isyarat lain, akan tetapi hanya inilah yang bisa kami pahami di saat kami menulis bagian ini. Allah Maha menyampaikan kebenaran dan Dia Maha menunjukkan jalan.
Menjaga waktu juga bisa dengan tilawah, yaitu membaca al-Quran menggunakan lisan jasmani lengkap dengan huruf dan suara, juga menggunakan lisan rohani dengan merenungkan segala yang hidup dan yang mati.
Para tokoh Naqsyabandiyah—semoga Allah menyucikan ruh-ruh mereka serta mengagungkan cahaya mereka—telah memilih bagi murid penempuh suluk, di antara berbagai tugas tilawah al-Quran di malam hari. Karena malam merupakan waktu untuk tidur dan lengah, sehingga tugas membaca Al-Qur’an di malam hari ada banyak, yaitu al-Fatihah, Qul ya ayyuhal kafirun atau surat al-Kafirun, surat al-Ikhlash, alMu’awwidzatain atau surat Qul a’udzu birabbil falaq dan surat Qul a’udzu birabbi-n nas; juga bacaan ayat-ayat yang ada di akhir surat al-Hasyr, yaitu firman Allah,
“Dialah Allah tidak ada tuhan selain-Nya. Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. al-Hasyr [59]: 22—23)
Begitu juga ayat-ayat di akhir surat al-Baqarah, yaitu firman Allah,
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (alQuran) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.’” (QS. al-Bagarah [2]: 284—286)
Di antara berbagai tugas tilawah al-Quran di siang hari adalah Surat Yasin. Khojah Ali ar-Ramaitani berkata, “Apabila tiga hati bersepakat untuk mewujudkan satu perkara tunggal, niscaya keinginan hamba mukmin akan tercapai dengan itu.” Ketiga hati itu adalah hati al-Quran, yakni Yasin, hati hamba mukmin, dan hati malam. Arti ucapan beliau adalah ketika engkau membaca hati al-Quran waktu tahajud, pasti makna itu akan tercapai.
Di antara berbagai tugas tilawah al-Quran di siang hariyang merupakan waktu terjaga dan mencari rezeki di bumi adalah membaca surat Yasin. Karena itu hatinya al-Quran seperti yang disebutkan dalam hadis. Menghadirkan hati di siang hari merupakan bagian dari hal-hal terpenting, karena siang adalah waktu keterpisahan. Apabila hatinya al-Quran berhimpun dengan hati manusia, niscaya akan menghasilkan pertemuan dan penyaksian fisik baginya.
Khojah Ali ar-Ramaitani berkata yang telah disebutkan sebelumnya, “Apabila tiga hati bersepakat untuk mewujudkan satu perkara tunggal, niscaya keinginan hamba mukmin akan tercapai dengan itu.” Yaitu penyaksian (musyahadah) kepada Allah swt.
Hal pertama yang berselaras di sini adalah hati seorang hamba mukmin yang tidak disebutkan karena itu sudah diketahui.
Yang kedua adalah hatinya al-Quran berupa surat Yasin. Surat ini menjadi hatinya al-Quran disebabkan mengandung sesuatu yang menjadi pokok bagi seluruh al-Quran,
“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya.” (QS. Yasin [36]: 69) .
Tidak ada satu pun ayat di dalam al-Quran yang memberi tahu kita tentang seluk-beluk wahyu seperti ayat ini. Demikian jtu karena kata syi’r berasal dari kata syu’ur yang artinya adalah pengetahuan tentang diri, pikiran, dan pancaindra. Pengetahuan dengan bentuk seperti itu bukanlah wahyu dan hal itu tidak layak bagi seorang nabi di antara semua nabiyullah ketika dia menuturkan firman Allah swt.
Dalam makna seperti inilah yang dimaksud dengan “hati al-Quran’’. Karena al-Quran keluar dari sebuah hati yang memiliki sifat kebalikan dari segala sifat tersebut, yaitu hatinya Nabi Muhammad saw.
Yang ketiga adalah hati malam, maksudnya pertengahan malam, karena waktu ini adalah waktu paling sunyi dari segala suara, paling cocok untuk tubuh mencerna makanan, paling merehatkan badan yang tidur jika terbangun dan paling menggugah semangat.
Hendaklah si murid membaca dalam hati di shalat malamnya untuk hatinya (bi-qalb, li-qalb, fi qalb). Seperti yang dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil. Disebutkan pula, “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah’ shalat ganjil (witir).” Pengertian witir di sini adalah ganjil yang menjadi antonim dari kata genap. Sementara tiga adalah angka ganjil, dan hati ada tiga.
Ketika engkau membaca surat Yasin yang merupakan hati al-Quran seperti telah kami sebutkan di atas, di dalam tahajud, pasti segala keinginanmu akan tercapai Karena engkau memohonnya dengan menggunakan ketiga jenis hati yang telah disebutkan tadi. Inti pemahaman ini adalah batas minimal mengumpulkan hati adalah tiga: imam yaitu hati al-Quran, pengikut di sebelah kanan yaitu hatimu, dan pengikut di sebelah kiri yaitu hati malam.
Di antara tugas-tugas murid adalah shalat-shalat sunah, seperti shalat tahajud, isyraq, istikharah, dan dhuha. Tahajud dilakukan dua belas rakaat. Kemudian jika memungkinkan hendaklah ia membaca di setiap rakaatnya surat Yasin. Atau kalau tidak, hendaklah ia menuntaskan surat itu dalam delapan rekaat dengan urutan seperti ini, dia membaca di rakaat pertama sampai firman Allah, “Wa ajrin karim”. Di rakaat kedua sampai firman Allah, “Wahum muhtadin”. Di rakaat ketiga sampai firman Allah, “Ladaina muhdharun”. Di rakaat keempat sampai firman Allah, “Fi falakin yasbahiin”. Di rakaat kelima sampai firman Allah, “Wala ila ahlihim yarji’un”. Di rakaat keenam sampai firman Allah, “Shirathun mustaqim”. Di rakaat ketujuh sampai firman Allah, “Fahum laha malikun”. Di rakaat kedelapan sampai akhir surat. Lalu pada rakaat sisanya hendaklah ia membaca surat al-Ikhlash setelah al-Fatihah sebanyak tiga kali.
Di antara tugas-tugas murid di sepanjang malam dan siang adalah shalat-shalat sunah sebagai tambahan atas shalatshalat fardhu, shalat-shalat sunah rawatib, dan shalat-shalat mustahab, yaitu, shalat tahajud yang dilakukan setelah tidur, shalat isyraq yang dilakukan ketika matahari terbit menyinari seantero penjuru bumi, shalat isyrag ini berbeda dengan shalat dhuha, sebagaimana disampaikan oleh syekh Ibnu Hajar alHaitami rahimahullah dalam kitab Syarh asy-Syama’il.
Lalu shalat istikharah, yaitu shalat memohon petunjuk kebaikan dan kebenaran, dan shalat dhuha, yaitu shalat yang waktunya sejak matahari terbit sampai zawal atau miring sedikit ke barat.
Shalat tahajud dilakukan pada malam hari sesuai orang yang ingin melaksanakannya. Namun, waktu yang paling utama di tengah malam setelah tidur. Shalat tahajud dilakukan sebanyak dua belas rakaat, dengan salam di akhir setiap dua rakaat. Inilah yang paling baik menurut Imam Syafi’i.
Atau dilakukan dengan satu salam setiap empat rakaat yang disertai shalawat kepada Nabi Muhammad saw. pada duduk pertama, juga dengan doa iftiftah berisi pujian di awal rakaat ketiga. Inilah yang lebih baik menurut Abu Hanifah rahimahullah. Wajib bagi murid di setiap rakaatnya untuk membaca surat al-Fatihah dan beberapa surat pendek atau tiga ayat al-Quran agar menjadi ayat yang panjang.
Kemudian jika memungkinkan tanpa harus memaksakan, hendaklah murid membaca surat Yasin di setiap rakaat dari kedua belas rakaat tersebut. Tujuannya agar di setiap rakaat dia menyatukan ketiga hati seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pengulangan surat di dua rakaat atau lebih tidak makruh jika dilakukan dalam shalat-shalat sunah, meskipun hukum tindakan seperti itu makruh jika dilakukan di dalam shalat-shalat fardhu.
Kalau murid tidak memungkinkan melakukan hal tersebut karena menyulitkannya, tapi dia tetap ingin melakukan yang mudah bagi dirinya, hendaklah ia menuntaskan surat Yasin dalam delapan rakaat dan di setiap rakaat hendaklah dibaca satu bagian tertentu dari surat tersebut dengan urutan seperti ini,
Hendaklah dia membaca di rakaat pertama dari kedelapan rakaat yang dilakukan dengan satu salam di setiap dua rakaat, yang hukumnya boleh menurut kami dan it yang lebih baik menurut Imam Syafi’i rahimahullah.
Hal itu bisa juga dilaksanakan dengan satu salam setelah setiap empat rakaat, yang hukumnya adalah boleh menurut Imam Syafi’i dan lebih baik menurut kami. Sebagaimana pelaksanaan tahajud dengan delapan rakaat diakhiri satu galam juga boleh menurut kami dan tidak makruh.
Pada raakat pertama yang dibaca adalah awal surat Yasin sampai firman Allah, “Fabasysyirhu bi-maghfiratin wa ajrin karim”. Di rakaat kedua hendaklah ia melanjutkan membaca sampai firman Allah, “Ittabi’a man la yas ‘alukum ajran wahum muhtadun”. Di rakaat ketiga hendaklah ja melanjutkan bacaan dari firman Allah, “Wama liya la a’budulladzi fatharani” sampai firman Allah, “muhdharin”. Di rakaat keempat hendaklah ia membaca dari firman Allah, “Wa ayatun lahumul ardhu-l maytah” sampai firman Allah, “Wa kullun fi falakin yasbahin”.
Di rakaat kelima hendaklah dia melanjutkan membaca dari firman Allah “Wa ayatun lahum anna hamalna” sampai, “Wala ila ahlihim yarji’un”. Di rakaat keenam melanjutkan membaca dari firman Allah “Wa nufikha fi-sh shir” sampai, “Hadza shirdthun mustaqim”. Di rakaat ketujuh membaca dari firman Allah, “Wa laqad adhalla minkum jibillan katsiran” sampai, “Fahum Iaha malikin”. Di rakaat kedelapan hendaklah ia melanjutkan membaca dari firman Allah, “Wa dzallalnah lahum” sampai akhir surat. Demikian ini apabila dia hafal surat Yasin.
Untuk semua rakaat sisanya yaitu empat rakaat, hendaklah murid membaca surat al-Ikhlash setelah al-Fatihah sebanyak tiga kali.
Apabila dia tidak hafal surat Yasin, hendaklah setelah al-Fatihah dia membaca surat al-Ikhlash sebanyak tiga kali di setiap rakaat dari kedua belas (rakaat itu). Janganlah dia melaksanakan shalat Tahajud kurang dari empat rakaat. Waktu tahajud adalah sepertiga akhir malam, sebagaimana Allah swt. berfirman, “Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (dari padanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” Penulis Kitab Qutul Qulub menyatakan, Allah berfirman, “Dari sebagian malam, tahajudlah sebagai tambahan bagimu.” Allah berfirman, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. Kata huji’ di sini artinya adalah “tidur”, sedangkan kata tahajjud artinya “bangun”. Oleh karena itu, tahajud hanya dilakukan setelah tidur.
Apabila murid tidak hafal surat Yasin, hendaklah setelah al-Fatihah di setiap rakaat dari kedua belas rakaat tahajud dia membaca surat al-Ikhlash yaitu yang berbunyi Qul huwallahu ahad, dst. sebanyak tiga kali. Hal itu perlu dilakukan karena telah disebutkan bahwa keutamaan surat al-Ikhlash seperti sepertiga al-Quran. Al-Baidhawi menyatakan dalam tafsirnya,
“Meskipun surat ini isinya pendek tapi mengandung semua makrifat Ilahiah serta bantahan terhadap orang kafir, oleh karena itu dalam hadis disebutkan bahwa surat ini setara dengan sepertiga al-Quran.” Maksudnya isi surat ini menjelaskan akidah, hukum, dan kisah, sehingga siapa pun yang membandingkannya secara keseluruhan, maksud surat jtu setara dengan maksud sepertiga al-Quran.
Janganlah murid melaksanakan shalat tahajud, shalat malam yang dilaksanakan setelah tidur, kurang dari empat rakaat dengan satu salam. Karena itu menyerupai pelaksanaan shalat fardhu zuhur, ashar, dan isya.
Waktu tahajud adalah akhir sepertiga malam pada paruh malam yang kedua. Demikian sebagaimana difirmankan oleh Allah swt. di dalam al-Quran pada surat Ya ayyuhal muzzammil, yang aslinya adalah kata “mutazammil” dari verba tazammala yang artinya “mengenakan kain yang dilipat”.
Allah berfirman,
“Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. al-Muzzammil [73]: 2—4)
Maksud ayat-ayat ini adalah perintah bagi orang yang sedang tidur untuk shalat di malam hari, sedikit saja di waktu malam, bukan seluruhnya. Artinya, Allah telah membolehkan bagimu untuk melaksanakan shalat malam sedikit saja demi merehatkan badanmu.
Setelah menyebutkan “sedikit dari malam” Allah menyatakan “setengahnya” untuk menunjukkan maksud yang dikehendaki-Nya. Artinya, bangunlah di setengah malam dan tidurlah di setengah lainnya. Atau bangunlah selama setengah malam kurang sedikit sehingga menjadi sepertiga malam. Bukan berkurang banyak sehingga menjadi seperempat malam. Atau boleh pula ditambahkan atas setengah itu sehingga menjadi dua pertiga malam. Jadi, yang dimaksud dari ayat ini adalah bangun di setengah, sepertiga, atau dua pertiga malam.
Apabila engkau bertanya jika firman Allah, “Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, walau hanya sedikit (daripadanya),” menunjukkan bahwa yang diminta melalui ayat ini adalah bangun malam pada sebagian besarnya, tapi kenyatannya, setengah bukanlah sebagian besar, lantas bagaimana mungkin dapat dibenarkan bahwa kata “setengah” merupakan badal bagi kata “sedikit”
Saya akan menjawabnya, ada kemungkinan bahwa yang dimaksud oleh firman-Nya, “kecuali sedikit” adalah bukan setengah darinya, sementara setengah malam yang tidak dihabiskan dengan qiyamul lail tidak disebut sedikit sebab yang dilakukannya hanya tidur. Shalat tentu lebih baik daripada tidur secara umum. Sementara poin penting pada ayat ini adalah Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk melakukan qiyamul lail pada “setengah malam”.
Sehingga yang dimaksud “setengah malam” adalah setengah malam yang kedua, berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa qiyamul lail dilakukan setelah orang yang melakukannya tidur terlebih dahulu pada setengah malam yang pertama. Atau yang dimaksud adalah sepertiga malam yang akhir setelah tidur pada dua pertiga awal malam.
Allah lalu memerintahkan “Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan,” ketika engkau melaksanakan qiyamul lail jtu. Tartil adalah membaca dengan perlahan dan jelas artikulasi setiap hurufnya, sehingga membuat orang yang mendengarnya dapat dengan baik menyimaknya.
Imam Abul Fath al-Makki rahimahullah yang merupakan penulis kitab Qutul Qulub, ringkasan dari kitab al-Ihya karya al-Ghazali menyatakan bahwa Allah berfirman,
“Pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud – (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu.” (QS. al-Isra’ [17]: 79)
Maksudnya adalah Allah berfirman dalam firman-Nya yang qadim kepada nabi-Nya yang mulia, “Dari sebagian malam”. Kata “sebagian” bisa diartikan sebagai setengah, sepertiga, atau dua pertiga. Tampaknya ayat ini menjelaskan penafsiran kata “fatahajjad bih” atau shalatlah engkau dengan membaca al-Quran, sebagai suatu ibadah tambahan bagi shalat-shalat wajibmu. Bukan sebagai penyempurna atas kekurangan pada shalat-shalat wajibmu.
Karena shalat-shalat wajib yang nabi lakukan sudah sempurna sehingga tidak perlu disempurnakan lagi. Shalatshalat sunah yang nabi lakukan berbeda dengan shalat-shalat sunah yang dilakukan manusia lain. Sebab shalat-shalat sunah yang dilakukan siapa pun selain nabi menjadi penyempurna atas kekurangan yang terjadi di dalam shalat-shalat wajib mereka.
Atau arti kata “nafilah” dalam ayat adalah “ibadah wajib tambahan” atas shalat-shalat wajib yang lain bagi nabi dan itu tidak berlaku bagi orang lain, karena shalat giyamul lail merupakan kewajiban bagi Nabi Muhammad saw. seorang, meski kemudian kewajiban itu diganti.
Allah berfirman tentang giyamul lail di saat Dia menjelaskan sifat-sifat orang-orang bertakwa, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”., Huruf ma di sini merupakan ma mashdariyyah, zaidah, atau maushulah, yang maksudnya adalah tidur yang mereka lakukan. Huruf ma ini tidak boleh huruf nafy karena menyebabkan kata setelahnya memiliki makna negatif.
Kata Ahuja’ di sini artinya adalah “tidur”, sama seperti kara hujad menggunakan huruf dal. Sementara kata tahajjud artinya adalah “bangun”, yaitu bangun dari tidur. Dengan demikian, ketika hujid tidak dilakukan, itu tidak dapat disebut tahajjud karena tahajud hanya dilakukan setelah tidur di malam hari. Ini berbeda dengan shalat malam yang lebih umum artinya karena dapat dilakukan sebelum tidur.
Dalam kitab al-Mubtagha (dikatakan), “Tahajud tidak dapat dilakukan, kecuali setelah tidur karena tahajud adalah shalat tidur.” Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., “Shalatlah di sebagian malam meski kadarnya hanya seperti susu kambing.”
Dalam kitab al-Mubtaghad dikatakan bahwa tahajud hanya dapat dilakukan setelah tidur, walaupun tidurnya hanya sebentar, sebagaimana yang dipahami dari pernyataan di atas. Walib rahimahullah menyatakan dalam syarahnya dalam kitab Syarh ad-Durar, Syaikhul Islam Abu as-Sa’ud menyatakan dalam tafsirnya, “Tahajud adalah penghilangan hujid yang berarti ‘tidur’ karena shighah tafa’ul memiliki arti menghilangkan seperti pada kata takharruj, tahannuts, ta‘atstsum, dan sebagainya.”
Dalam al-Madarik karya an-Nasafi dinyatakan bahwa arti tahajjud adalah meninggalkan tidur untuk shalat.
Sementara itu tahajud dalam istilah syariat adalah shalat sunah setelah tidur di malam hari. Telah diriwayatkan sebuah hadis dari nabi tentang perintah ini, “Shalatlah di sebagian malam meski kadarnya hanya seperti susu kambing.” Shalat di sini adalah tahajud sebagai shalat setelah tidur yang beliau lakukan.
Apabila dia telah melaksanakan shalat tersebut, hendaklah dia duduk dengan menghadap kiblat sampai subuh. Hendaklah dia menyibukkan diri di tengah tawajuhnya itu dengan muragabah atau zikir. Apabila dia tak bisa menahan kantuk, hendaklah dia tidur. Akan tetapi hendaklah dia bangun sebelum subuh lalu berwudhu kemudian melaksanakan shalat sunah shubuh.
Apabila si murid telah melaksanakan shalat tahajud yang berjumlah delapan rakaat tersebut, hendaklah dia duduk bersimpuh di kedua lutut atau bersila, sembari menghadap kiblat dimulai dari dia menyelesaikan shalatnya sampai subuh.
Hendaklah dia menyibukkan diri di tengah tawajuhnya itu dengan muraqabah. pada Allah swt. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, atau dengan berzikir mengingat Allah baik pelan maupun lantang dengan batas bisa didengar oleh dirinya sendiri. Apabila dia tak kuat menahan kantuk, hendaklah dia tidur dan jangan memaksakan diri untuk beribadah, karena hal itu beresiko menimbulkan kebosanan dan rasa jemu dalam wushul kepada Allah swt.
Karena sesungguhnya jiwa adalah kendaraan bagi hati dalam menempuh perjalanan menuju Dzat yang mengetahui alam ghaib. Tentu saja, kendaraan yang berupa binatang bisa merasa malas, sehingga ia membutuhkan strategi jitu agar jangan sampai ia menyimpang dari jalan Allah seperti unta.
Akan tetapi jika dia kemudian tidur karena kantuk yang tak tertahankan, hendaklah dia bangun dari tidurnya itu sebelum waktu subuh tiba. Lalu hendaklah ia berwudhu dan melaksanakan shalat sunah subuh jika telah masuk waktu subuh, yaitu di awal waktunya dan shalat ini dilaksanakan di rumahnya bukan di masjid.
Shalat sunah subuh memiliki empat kesunahan:
Pertama, melaksanakan shalat sunah itu di awal waktu. Hal ini berdasarkan riwayat Nafi’ dari Hafshah ra., istri Nabi Muhammad saw., bahwa Nabi Muhammad saw. ketika muazzin sudah menyelesaikan azannya, beliau pun melaksanakan shalat dua rakaat pendek sebelum iqamat dikumandangkan.
Kedua, melaksanakan shalat sunah itu di rumah. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang melaksanakan shalat sunah fajar di ramahnya, niscaya akan dilapangkan rezekinya, akan dikurangi pertikaian antara dia dengan keluarganya, dan akan meninggal dunia dalam keadaan beriman.” Hadis ini disebutkan dalam kitab al-KGfi.
Ketiga, meringankan bacaan di dalamnya, sesuai hadis Hafshah yang disebutkan di atas dan hadis riwayat dari Aisyah ra. yang menyatakan, “Nabi Muhammad saw. mempercepat dua rakaat sebelum shalat subuh sampai-sampai aku bergumam, apakah beliau membaca Ummul Kitab (al-Fatihah).”
Keempat, setelah al-Fatihah membaca Qul ya ayyuhal kafirun di rakaat pertama, lalu membaca surat al-Ikhlash di rakaat kedua. Ini berdasarkan hadis yang ditakhrij oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan, “Aku pernah memerhatikan Nabi Muhammad saw., selama sebulan, dan ternyata beliau selalu membaca di dua rakaat shalat fajar surat Qul ya ayyuhal kafirun dan Qul huwallahu ahad.”
Setelah itu hendaklah murid sibuk dengan istighfar khafi seperti yang dilakukan tarekat ini, lalu dia berangkat menuju masjid sembari beristighfar di perjalanannya. Apabila dia melaksanakan shalat subuh berjamaah, hendaklah dia duduk di tempatnya sembari menyibukkan diri dengan tugas batin kalau dia dapat menemukan kebersamaan. Tetapi apabila tidak seperti itu, hendaklah dia pulang ke rumahnya lalu menyibukkan diri dengan tugasnya sampai matahari terbit. Setelah itu hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat shalat Isyraq. Hendaklah di setiap rakaat setelah surat alFatihah dia membaca surat al-Ikhlash tiga kali.
Kemudian setelah itu hendaklah dia melaksanakan shalat dengan niat istikharah, lalu berdoa dengan doa yang sudah dikenal.
Setelah itu hendaklah si murid sibuk dengan istighfar guna memohon ampunan atas dosa-dosanya kepada Allah swt. dengan cara pelan bukan dilantangkan, seperti yang dilakukan di tarekat Naqsyabandiyah ini, karena asas pendirian tarekat ini adalah di antara ketersembunyian dan keteguhan menutupi keadaan spiritual.
Selanjutnya hendaklah dia berangkat menuju masjid sembari beristighfar secara pelan di perjalanannya. Di tengah istighfarnya itu hendaklah terlintas dalam benaknya semua dosa dan pelanggaran yang telah ia lakukan baik secara rinci maupun secara umum. Dia tidak boleh meyakini bahwa dirinya tidak memiliki dosa sama sekali. Karena keyakinan seperti itu termasuk di dalam dosa besar. Allah swt. berfirman,
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. an-Najm [53]: 32) .
Seorang penyair menyatakan,
Kalau kubilang tiada dosaku pada-Mu, Kau jawab Bahkan wujudmu adalah dosa yang tak terkira
Tobat di setiap nafas merupakan bentuk naiknya (mi’raj) para salik menuju Allah swt. Ketika mereka lalai terhadapnya, perjalanan mereka pun terhenti.
Allah swt. berfirman,
“Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. an-Nur [24]: 31)
Apabila si murid melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid, hendaklah dia duduk di tempatnya sembari menyibukkan diri dengan tugas batinnya, yaitu dengan melakukan muraqabah dan zikir khafiy.
Demikian itu jika murid dapat menemukan kebersamaan Ilahiah dan keterpisahan alam semesta di hatinya ketika dia di masjid. Namun, apabila tidak bisa menemukan hal itu, hendaklah si murid pulang ke rumahnya lalu menyibukkan diri dengan tugasnya tersebut sampai matahari terbit.
Setelah matahari terbit hendaklah murid melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat shalat isyraq. Hendaklah setelah surat al-Fatihah di setiap rakaat dia membaca surat al-Ikhlash sebanyak tiga kali. Tidaklah makruh hukumnya mengulangi bacaan surat tertentu di dalam shalat sunah, tetapi makruh jika di dalam shalat fardhu, seperti yang telah disampaikan sebelumnya.
Walid rahimahullah berkata dalam syarahnya atas kitab Syarh ad-Durar, “Apabila seseorang membaca suatu surat pada rakaat pertama, kemudian dia mengulangi bacaan surat jtu pada rakaat kedua, hal itu hukumnya makruh kecuali dalam pelaksanaan shalat sunah.”
Tidak diragukan lagi bahwa shalat Isyraq dan shalat sunah lainnya hukumnya adalah sunah sehingga mengulangi bacaan surat di dalam pelaksanaannya tidak makruh.
Shalat Istikharah
Setelah melakukan berbagai amalan di atas, hendaklah murid melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat shalat istikharah, kemudian berdoa dengan doa yang sudah masyhur. Saya telah menjelaskan tentang masalah ini di dalam kitab Nihdyah al-Murad fi Syarh Hidayah Ibni al-‘Imad. Singkatnya, hendaklah dia melaksanakan shalat apa pun, termasuk shalat sunah rawatib, tahiyatul masjid, sunah wudhu, dan berbagai shalat non-fardhu lainnya.
Apabila dia melaksanakan shalat dua rakaat yang khusus untuk itu, itu lebih utama dilakukan di waktu yang tidak makruh. Waktu-waktu makruh shalat adalah saat matahari terbit, matahari terbenam, matahari tepat di atas kepala, setelah terbit fajar selain shalat sunah fajar, setelah shalat subuh sampai matahari terbit, setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam, dan setelah matahari terbenam sampai shalat maghrib.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah saw. mengajari kami untuk beristikharah pada segala urusan seperti mengajari kami surat dalam al-Quran. Beliau bersabda, “Apabila seorang dari kalian ragu pada suatu urusan, hendaklah dia shalat dua rakaat sunah kemudian berdoa, ,
Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dari-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kuasa pada-Mu dengan kuasa-Mu, dan aku memohon pada-Mu sebagian dari anugerah-Mu yang agung.
Sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedangkan aku tidak memiliki kuasa. Engkau Mahatahu sedangkan aku tidak tahu. Engkau adalah yang Mahatahu segala yang gaib. Wahai Allah, jika Engkau tahu bahwa urusan ini baik bagiku dalam agama, kehidupan, dan hasil urusanku—atau beliau bersabda, “urusan jangka pendekku ”—dan jangka panjangnya, takdirkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku, lalu berkahilah aku di dalamnya. Apabila Engkau tahu bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan, dan hasil urusanku—atau beliau bersabda, “urusan jangka pendekku”—dan jangka panjangnya, hindarkanlah ia dariku dan hindarkanlah aku darinya, lalu takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun juga, lalu ridhailah aku dengannya. Kemudian Nabi Muhammad saw. menyebutkan hajat beliau.
Para ulama menyatakan bahwa hendaklah setelah surat alFatihah di rakaat pertama murid membaca surat Ya ayyuhal kafirun dan di rakaat kedua membaca surat al-Ikhlash. Tetapi ada yang menyatakan bahwa hendaklah setelah surat alFatihah di rakaat pertama dia membaca ayat yang berbunyi, .
“Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Qashash [28]: 68)
Yang dilanjutkan dengan membaca surat Qul ya ayyuhal kafirun. Pada rakaat kedua hendaklah murid membaca ayat berikut ini,
“Tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Lalu murid baru melanjutkannya dengan membaca surat Qul huwallahu ahad.
Tetapi ada pula yang menyatakan hendaklah setelah membaca surat al-Fatihah di rakaat pertama murid membaca ayat kursi dan surat al-Ikhlash tujuh kali. Lalu di rakaat kedua hendaklah membaca ayat kursi dan surat al-Ikhlash dua belas kali. Setelah itu dia boleh melanjutkan dengan surat apa pun yang nyaman baginya serta mudah ia pahami isinya, karena kebaikan terkandung di dalamnya.
Selain itu hendaklah pula dia melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. di awal dan akhir doa berikut pujian kepada Allah swt.
Apabila setelah itu murid memiliki urusan duniawi yang penting seperti pekerjaan, hendaklah dia bekerja dengan disertai hudhur dan keterjagaan, lalu hendaklah dia membaca doa ini: Wahai Allah, buatlah aku selalu menjadikan-Mu sebagai tujuan di setiap kegiatan, menjadi maksud di setiap kehendak, menjadi tujuan akhir di setiap upaya, menjadi tempat berlindung di setiap petaka, menjadi penyelamat di setiap kesusahan, menjadi wakilku di setiap perintah, dan berikanlah segala cinta dan pertolongan untukku di setiap keadaan. Hendaklah murid selalu bertawajuh kepada hati sanubari sebagaimana Allah firmankan,
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. an-Nur [24]: 37)
Apabila setelah melakukan semua yang telah disebutkan di atas, si murid memiliki urusan duniawi yang penting seperti pekerjaan, kalau memang dia memiliki pekerjaan, hendaklah dia menunaikan pekerjaan tersebut dengan disertai kehadiran hatinya dalam penyaksian Allah swt. seraya menyucikan-Nya dari penyerupaan dengan segala sesuatu apa pun, juga dengan keterjagaan pada keagungan dan keindahan Allah swt.
Selanjutnya hendaklah dia membaca doa ini,
“Wahai Allah, buatlah aku selalu menjadikan-Mu sebagai tujuan di setiap kegiatan, menjadi maksud di setiap kehendak, menjadi tujuan akhir di setiap upaya, menjadi tempat berlindung di setiap petaka, menjadi penyelamat di setiap kesusahan, menjadi wakilku di setiap perintah, dan berikanlah segala cinta dan pertolongan untukku di setiap keadaan.”
Maksud doa ini adalah:
Wahai Allah, menampaklah Engkau untukku ketika aku bertawajuh kepada segala sesuatu yang menjadi kadar penglihatanku kepada-Mu, Engkau Mahasuci lagi Mahatinggi dari kadar segala yang tampak bagiku pada tawajuh itu. Menampaklah di setiap kesungguhanku atas segala sesuatu.
Jadilah Engkau maksudku di setiap kehendak, sehingga aku tidak melihat yang selain Engkau dan tidak memaksudkan siapa pun kecuali hanya Engkau. Segala sesuatu dalam pandangan mata fisik dan mata batinku hanya sesuai kadar apa yang tampak bagiku dari-Mu ketika Engkau bertajali padaku, karena tidak ada sesuatu apa pun bersama-Mu yang bersekutu dengan-Mu dalam wujud.
Jadilah Engkau tujuan akhir di setiap upaya yang kuupayakan dalam keadaan apa pun. Jadilah Engkau tempat berlindung di setiap petaka yang menerpa serta musibah yang menimpaku baik pada urusan dunia, agama, maupun akhirat.
Jadilah Engkau penyelamatku di setiap kesusahan, kesedihan, dan nestapa baik duniawi maupun ukhrawi. Jadilah Engkau wakilku di setiap perintah yang Engkau perintahkan kepadaku, baik berupa sesuatu yang harus dilakukan maupun sesuatu yang harus ditinggalkan.
Menjadi waliku dengan maksud Engkau menjadikan diriku sosok yang melakukan semua yang Engkau kehendaki, sehingga diriku menjadi seperti alat bagi-Mu, perbuatanku adalah perbuatan-Mu. Jadi, jika Engkau memberi pahala kepadaku, itu terjadi karena anugerah-Mu; dan jika Engkau menghukumku, itu terjadi karena keadilan-Mu.
Jadilah Engkau waliku, sehingga tidak ada lagi tindakan apa pun pada diriku dan orang lain di saat bersama-Mu, karena tindakanku adalah tindakan-Mu. Jadilah waliku di segala cinta dari-Mu dan pertolongan untukku di setiap keadaan.
Engkaulah yang memulai cinta ini lebih dulu sehingga aku mencintai-Mu, seperti yang difirmankan,
“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. al-Ma’idah [5]: 54)
Selain itu melantunkan doa, hendaklah dalam kesibukan duniawi dan ukhrawinya si murid selalu bertawajuh dengan zikir khafi kepada hati sanubari yang ada di dadanya untuk menggerakkannya dari diamnya dan kejumudannya menuju kebiasaan dan tabiatnya yang baik, sebagaimana Allah firmankan tentang orang yang sibuk dengan urusan kehidupan tetapi tidak lalai dari Allah swt.,
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. an-Nur [24]: 36—37)
Alih-alih lalai terhadap Allah, mereka justru selalu berzikir mengingat-Nya, baik ketika mereka melakukan jual beli maupun semua jenis kegiatan muamalat yang lain, disebabkan adanya penyaksian mereka terhadap Allah swt. pada segala sesuatu.
Mereka adalah orang-orang yang berbicara dengan-Nya dan bersama-Nya swt. dalam berkesinambungan tanpa ada seorang pun yang merasakan itu. Karena semua orang selain mereka mengira bahwa orang-orang tersebut berbicara kepada mereka, padahal mereka selalu bersama-Nya swt. dalam kondisi apa pun.
Khalwat dan Rabithah
Apabila murid sudah selesai dari berbagai kepentingan duniawinya, hendaklah ia berwudhu kembali, lalu masuk ke khalwatnya. Di awal duduknya, hendaklah dia menghadirkan bayangan syekhnya, lalu sibuk dengan tugasnya berupa muraqabah dan zikir.
Apabila si murid sudah selesai dari berbagai kepentingan duniawi yang harus ia lakukan sesuai kebutuhannya, hendaklah ia berwudhu kembali, dan tidak menggunakan wudhu yang sebelum dia bekerja karena wudhu itu sudah terkotori oleh kesibukan duniawi, walaupun hanya di sisi lahiriah. Setelah itu hendaklah mulai berkhalwat seperti kebiasaannya sebelumnya.
Di awal duduk dalam khalwatnya ini, hendaklah dia menghadirkan bayangan syekh di hatinya dalam kondisi yang sempurna agar dia bisa meraih anugerah. Karena syekhnya adalah pintu baginya menuju hadirat Allah swt. sekaligus menjadi wasilah kepada-Nya, seperti yang Allah firmankan,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9]: 119)
Allah juga berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah – kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 35)
Tidak ada kemampuan bagi seorang salik dalam awal perjalanan suluknya untuk mengenal Tuhannya sampai runtuhnya perantara antara dirinya dengan Dia. Ketika dia belum mengenal Tuhannya, dia tidak mungkin dapat menyaksikan dengan hatinya kecuali hanya makhluk yang bersifat fana.
Jadi, siapa pun yang dia saksikan pada fase ini lalu dia yakini bahwa objek itu adalah Tuhan, dia termasuk golongan orang-orang kafir. Karena itu, yang wajib ia lakukan adalah menyaksikan syekhnya serta membayangkan bayangan sang syekh agar dia mendapatkan anugerah dari Allah disebabkan pengagungannya terhadap syekhnya yang telah mendapatkan anugerah langsung dari Allah swt.
Hendaklah murid tetap seperti itu sampai meraih anugerah Ilahiah (al-fath al-ilahiy) dengan penyaksian terhadap syekhnya.
Kami tidak mengingkari bahwa hilangnya perantara dengan Allah bagi seorang murid, serta kemampuan murid untuk mengalami hudhur dengan Tuhannya adalah pencapaian yang lebih sempurna. Akan tetapi dengan menggunakan pengetahuan yang berhubungan dengan rasa (dzauq) dan hati (wijdan), sesuai dengan apa yang kami alami sebelumnya, kami yakin bahwa tidak mungkin hal itu bisa dicapai oleh murid di awal suluknya sampai kapan pun.
Karena semua bisikan dan tujuan tidak mungkin tertuju kecuali hanya terhadap makhluk yang bersifat fana yang bisa diketahui oleh semua orang baik yang telah mengerti maupun tidak, sehingga makhluk yang bersifat fana itu pun dianggap tuhan oleh orang yang tidak tahu disebabkan ketidaktahuannya, padahal tidak ada uzur dalam kekufuran.
Walhasil, orang itu harus mencari “wasilah” agar dapat membedakan antara objek fana yang mampu ia tangkap dengan indranya dengan objek Mahagadim yang tidak mungkin ia jangkau dengan indranya, dengan pembedaan yang berdasarkan penyaksian dan rasa, bukan berdasarkan imajinasi. Setelah itulah perantara atau wasithah itu bisa runtuh.
Atas dasar semua itulah para ulama berkata, “Siapa yang tidak memiliki syekh, syekhnya adalah setan”, seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya. Ketika seseorang syekhnya adalah setan, dia berada dalam kekufuran Sampai dia berguru kepada syekh yang berakhlak dengan akhlak Allah Maha Pengasih. Dia berfirman,
“Siapa yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (al-Quran), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadikannya teman karibnya.” (QS. az-Zukhruf [43]: 36)
Kemudian setelah itu hendaklah murid sibuk dengan tugasnya berupa muraqabah dan zikir kepada Allah dengan cara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Shalat dhuha berjumlah dua belas rakaat. Di setiap rakaat hendaklah murid membaca al-Fatihah dan surat al-Ikhlash sebanyak tiga kali. Murid tidak boleh melaksanakan shalat ini kurang dari empat rakaat, dan tidak boleh melaksanakan shalat ini di awal waktunya, melainkan hendaklah ia menundanya sampai seperempat siang telah berlalu. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Misykat, dari Zaid bin Arqam, dia pernah melihat sekelompok orang melaksanakan shalat dhuha lalu berkata, “Mereka sudah tahu bahwa shalat dhuha di waktu selain ini lebih utama karena Rasulullah saw. bersabda, “Shalat milik golongan Awwabin adalah ketika anak unta tersengat panas matahari.” (HR. Muslim) Arti kata “ramdh” adalah panas akibat paparan sinar matahari yang mengenai pasir dan lainnya di saat musim panas. Artinya, apabila anak unta tersengat panas matahari, ia akan berpisah dari induknya. Kata fashil berarti anak unta. Setelah murid selesai melaksanakan shalat, jika makanan sudah dihidangkan, hendaklah ia menyantapnya.
Shalat dhuha dilaksanakan dengan dua belas rakaat. Inj adalah jumlah maksimalnya kalau memang si murid mau melaksanakan sampai jumlah itu. Hendaklah dia menutup setiap empat rakaat dengan satu salam, membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw. pada tasyahud awal dan memuji Allah ketika dia hendak bangkit ke rakaat ketiga. Inilah yang lebih utama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi kalau mau dia juga boleh menutup setiap dua rakaat dengan satu salam.
Di setiap rakaat dari kedua belas rakaat itu hendaklah setelah membaca al-Fatihah murid membaca surat al-Ikhlash sebanyak tiga kali. Tapi para ahli fikih menyatakan bahwa hendaklah dia membaca sebagian surat Wasy-syamsi wa dhuhaha dan surat Wadh dhuha wal laili idza saja di setiap rakaatnya.
Janganlah murid melaksanakan shalat Dhuha kurang dari empat rakaat karena jumlah minimal rakaat shalat dhuha adalah empat rakaat. Namun, ada yang menyatakan bahwa batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat.
Imam Tajuddin menyatakan dalam al-Ghaznawaih bahwa batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat. Sementara jumlah maksimal rakaat shalat dhuha adalah dua belas rakaat dengan tiga. kali salam, tapi apabila murid mau, dia boleh melaksanakan seluruhnya dengan enam kali salam.
Dalam Syarh ad-Durar dinyatakan bahwa shalat dhuha disunahkan untuk dilaksanakan dengan empat rakaat atau lebih. Walid menyatakan dalam syarahnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., sebagaimana yang ditakhrij oleh Muslim dan disebutkan dalam kitab al-Ihya serta kitab-kitab lainnya bahwa Nabi melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, lalu menambah lagi seekehendak beliau. (HR. Muslim dan Ahmad)
Si murid tidak boleh melaksanakan shalat dhuha di awal waktu dhuha. Waktu dhuha dimulai ketika matahari terbit sampai masuk waktu zuhur. Murid tidak boleh melaksanakannya di awal waktu, melainkan hendaklah dia menundanya dari awal waktu sampai seperempat siang berlalu dan tersisa tiga perempatnya.
Yang dimaksud pada awal waktu adalah ketika panasnya matahari sudah terasa seperti yang diriwayatkan dalam kitab Misykat al-Anwar dari Zaid bin Arqam, bahwa Zaid pernah melihat sekelompok orang melaksanakan shalat dhuha sesaat setelah matahari terbit, dia pun berkata, ‘‘Mereka sudah tahu bahwa shalat dhuha di waktu selain ini lebih utama.”
Dia berkata bahwa pernyataan itu disebabkan karena Rasulullah saw. bersabda, “Shalatnya golongan Awwabin adalah ketika anak unta tersengat panas matahari.” (HR. Muslim)
Istilah awwabun berasal dari kata kerja aba yang artinya “kembali kepada Allah.” Inilah bentuk tobat yang hakiki dari segala dosa. Allah berfirman,
“Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (QS. al-Isra’ [17]: 25)
Mereka disebut awwabun karena mereka Kembali kepada hakikat segala sesuatu dengan hilangnya keraguan dari penglihatan mereka, karena mereka sadar bahwa asal penciptaan diri mereka adalah milik Allah, bukan milik mereka sendiri.
Ketika mereka masih tidak memahami apa pun, mereka masih meyakini bahwa mereka bebas dengan diri mereka, tapi ketika mereka telah menyerahkan diri kepada Allah Tuhan seru sekalian alam, mereka pun menyerahkan seluruh diri mereka kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang bertobat atau awwabun, lalu Allah pun mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.
Shalat enam rakaat yang dilaksanakan setelah maghrib juga kerap disebut dengan istilah shalat Awwabin juga, tanpa ada pengkhususan penamaan baginya, karena hadis tentangnya tidak secara pasti menyatakan tentangnya. Hadis tentang itu hanyalah riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa yang melaksanakan’ shalat setelah maghrib enam rakaat, niscaya ia akan dicatat sebagian dari golongan awwabun.” Kata min di hadis ini maksudnya adalah “sebagian” atau tab’idh.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih-nya dari Zaid bin Arqam adalah sabda Nabi Muhammad saw., “Shalat Awwabin adalah ketika anak unta tersengat panas matahari.” Ibnu al-Malik menyatakan dalam kitab Syarh al-Masyariq, bahwa yang dimaksud adalah ketika kaki sudah terasa terbakar (oleh terik matahari).
Hadis ini mengandung pujian terhadap golongan awwabun karena mereka melaksanakan shalat dhuha pada waktu yang disebutkan itu. Ketika panas sudah terlalu menyengat akibat teriknya matahari, jiwa manusia akan cenderung untuk mencari kenyamanan sehingga di hati orang-orang bertobat yang menikmati dzikrullah akan terdorong untuk memupus semua permintaan selain itu.
Pernyataan tentang waktu ini disampaikan dalam hadis Nabi, “jika anak unta tersengat panas”, hal itu bisa terjadi disebabkan tipisnya kulit kaki anak unta sehingga di bawah terik matahari dia merasakan panas yang membuatnya meninggalkan induknya.
Arti kata “ramdh” di sini adalah panas dari paparan sinar matahari yang mengenai pasir dan lainnya seperti debu atau sahara di musim panas. Dari kata inilah muncul kata Ramadhan karena puasa diwajibkan ketika bulan di masa itu sedang sangat panas. Singkatnya, makna frasa hadis di atas adalah apabila anak unta terkena panas matahari, ia pun berpisah dari induknya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Kata fashil berarti anak unta jantan atau betina. Untuk menyebut unta terkadang dipakai kata “ibil” yang bermakna umum jantan atau betina, dan tidak memiliki kata tunggal. Terkadang dipakai pula kata “jamal” atau “ba’ir”, sementara untuk menyebut unta betina yang digunakan adalah kata ndqah atau mathiyyah.
Setelah murid menunaikan shalat dhuha, jika pada saat itu makanan sudah dihidangkan, hendaklah ia menyantapnya. Tujuan disantapnya lebih dulu adalah demi menguatkan tubuh dalam ketaatan kepada Allah sekaligus demi melaksanakan perintah Allah dalam firman-Nya, “Makan dan minumlah kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 60)
Di antara sunah-sunah saat makan adalah membaca basmalah sebelum makan dan membaca hamdalah setelah selesai, kalau yang disantap itu adalah makanan halal. Apabila yang disantap adalah makanan haram, para ulama menjelaskan bahwa dia harus lebih dulu menebus keharaman itu.
Apabila murid lupa membaca basmalah, hendaklah dia mengucapkan lafal, “Bismillahi ‘ala awwalihi wa akhirih” (Dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).
Para ulama telah menyampaikan bahwa bacaan basmalah dan hamdalah sebagai bentuk rasa syukur seorang mukmin ketika mendapatkan rezeki. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. meridhai hamba-Nya yang mukmin, yaitu ketika dihidangkan makanan kepadanya, dia menyebut nama Allah di awalnya dan memuji-Nya di akhirnya.”?”
Di antara sunah-sunah makan yang lain adalah mencuci tangan sampai pergelangan sebelum dan sesudah makan. Dalam melaksanakan sunah ini, tidaklah cukup hanya dengan mencuci satu tangan atau hanya mencuci jari-jemari tangan sampai pangkalnya. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Wudhu sebelum makan menghilangkan kefakiran, dan sesudahnya menghilangkan dosa kecil serta menyehatkan penglihatan.” Yang dimaksud dengan “wudhu” di hadis ini adalah membasuh kedua tangan.
Adab dalam membasuh tangan adalah sebelum makan dimulai dari orang yang muda, sementara sesudah makan dimulai dari orang tua. Karena apabila sebelum makan membasuh tangan dimulai dari orang-orang tua, dan mereka hendak memulai makan, mereka harus menunggu orang muda yang masih membasuh tangan mereka. Padahal tentu saja yang harusnya menunggu adalah orang-orang muda.
Apabila murid sudah membasuh tangannya sebelum makan, janganlah dia mengeringkan basuhan itu menggunakan sapu tangan, tapi biarkan tangannya kering dengan sendirinya. Tujuannya adalah agar bekas basuhan tersebut tetap ada ketika dia mulai makan. Tetapi untuk basuhan tangan setelah makan, hendaklah dia mengelapnya agar tangannya benar-benar bersih dari sisa makanan.
Berikut ini termasuk dalam kesunahan makan, tidak menyantap makanan dari bagian tengahnya di saat baru memulai makan, memakan sisa-sisa makanan di jemari dan mangkuknya sebelum mengelapnya menggunakan sapu tangan, dan memulai serta mengakhiri santapan dengan garam.
Demikianlah kesunahan makan yang disebutkan dalam kitab al-Khalashah dan lainnya. Semua itu kemudian dinukil oleh ayah saya rahimahullah dalam syarah yang beliau tulis atas kitab Syarh ad-Durar yang diambil dari beberapa kitab yang kami sengaja tidak menyampaikannya di sini untuk mempersingkat tulisan ini.
Dinukil pula bahwa siapa yang mampu untuk bekerja, dia harus bekerja. Apabila dia tidak mampu bekerja, dia boleh meminta-minta karena itu merupakan bentuk pekerjaan juga, hanya saja meminta-minta hukumnya haram ketika dilakukan bukan oleh orang yang tidak mampu bekerja.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Meminta-minta adalah pilihan terakhir hamba. Apabila dia tidak melakukan itu sehingga membuatnya mati, dia berdosa.” Sebab jika dia tidak mau melakukannya, berarti dia telah membunuh dirinya sendiri.
Dalam kondisi tidak berdaya, meminta-minta dapat menyelamatkan orang tersebut dan menjaga dirinya agar tetap hidup sebagaimana halnya sebuah pekerjaan. Selain itu, tidak ada kehinaan dalam meminta-minta bagi orang dengan kondisi tidak berdaya seperti itu.
Allah telah menceritakan bahwa Musa as. dan sahabatnya pernah mendatangi penduduk suatu kampung, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk itu. Nabi Muhammad saw. juga suatu ketika pernah berkata kepada salah seorang sahabat beliau, “Apakah engkau punya sesuatu yang dapat kita makan?” Tapi bagi siapa pun yang masih memiliki makanan pokok untuk keperluan hidupnya selama satu hari, diharamkan baginya untuk meminta.
Apabila murid makan bersama sahabat-sahabatnya, itu hal yang baik. Tetapi jika tidak, hendaklah makan bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebisa mungkin dia tidak makan sendirian.
Apabila si murid makan bersama sahabat-sahabatnya, itu adalah hal yang baik karena merupakan bentuk sikap mengutamakan orang lain (ifsar), dan tidak mengistimewakan diri sendiri dengan menyantap makanan apa pun yang disukainya sendirian. Juga jauh dari hukum makruh karena berdiam diri di saat makan.
Tetapi jika murid tidak dapat bersantap bersama para sahabatnya, karena hal itu sukar dilakukan, hendaklah dia makan bersama keluarga, istri, salah seorang mahram, dan anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Sebisa mungkin dia tidak bersantap sendirian karena berkah selalu ada di tangan orang-orang mukmin seperti disebutkan dalam sebuah riwayat, “Sesungguhnya tangan (keberkahan) Allah bersama jamaah.”
Setelah itu, hendaklah murid tidur siang. Kemudian mendatangi masjid di awal waktu zuhur untuk shalat berjamaah. Lalu apabila dia memiliki kesibukan, hendaklah dia menunaikannya sampai shalat ashar. Setelah itu hendaklah dia mendatangi masjid di awal waktu juga untuk shalat ashar berjamaah. Kemudian setelah shalat ashar dia duduk di tempatnya dan sibuk dengan tugas batiniahnya. Sebisa mungkin dia tidak boleh menyia-nyiakan waktu tersebut dengan melakukan muhasabah terhadap dirinya.
Setelah selesai makan, hendaklah murid tidur siang saat panas matahari sedang terik, karena tidur siang akan merehatkan badan. Lalu hendaklah dia mendatangi masjid di awal waktu zuhur untuk melaksanakan shalat zuhur berjamaah.
Setelah itu, apabila dia memiliki kesibukan berupa urusan dunia atau agama, hendaklah dia menunaikannya seusai shalat zuhur sampai awal waktu shalat ashar. Kemudian ketika waktu shalat ashar tiba, hendaklah dia mendatangi masjid di awal waktu juga untuk shalat berjamaah. Setelah shalat ashar, hendaklah dia duduk di tempatnya dan sibuk dengan tugas batiniahnya berupa muraqabah dan zikir khafiy.
Sebisa mungkin murid tidak menyia-nyiakan waktu tersebut, yaitu waktu yang ada setelah pelaksanaan shalat wustha atau shalat ashar sampai matahari terbenam. Tapi, hendaklah dia menyibukkan diri di dalam waktu itu dengan menyempurnakan berbagai tugasnya, meski semua itu dilakukan hanya pada sebagian dari waktu tersebut.
Selain itu hendaklah murid melakukan muhasabah terhadap dirinya pada waktu itu atas segala dosa dan pelanggaran yang telah dia lakukan, dengan mengingat-ingat semua itu satu persatu lalu bertobat darinya. Allah swt. berfirman,
“Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. al-Hasyr [59]: 18)
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Introspeksi diri kalian sebelum kalian dihisab.”
Menjaga waktu antara dua isya menurut tokoh tarekat ini termasuk perkara terpenting. Setelah shalat isya, hendaklah murid langsung membaca Qul ya ayyuhal kafirun, surat al-Ikhlash, al-Mu’awwidzatain, akhir surat al-Hasyr, dan akhir surat al-Baqarah disertai hudhur. Lalu hendaklah murid tidur sambil berzikir. Tapi sebelum tidur hendaklah dia merapalkan istighfar seperti ini sebanyak tiga kali, “Aku memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Tuhan selainNya yang Mahahidup lagi Maha Mengurus, dan aku bertobat kepada-Nya.”
Menjaga waktu antara dua isya menurut tokoh tarekat ini termasuk urusan paling penting. Maksud “waktu antara dua isya” adalah waktu antara maghrib dan isya. Penyebutan seperti ini lazim digunakan dalam bahasa Arab, seperti istilah “dua rembulan” (qamarain) untuk menyebut matahari dan bulan atau istilah “dua Umar” (‘umarain) untuk menyebut Umar bin Abdul Aziz dan Umar bin Khaththab ra.
Menjaga waktu itu menurut para tokoh tarekat Naqsyabandiyah adalah bagian dari perkara terpenting. Beberapa ulama menyatakan bahwa yang dimaksud oleh kalimat, “Inna nasyi atal Jail” dalam firman Allah,
“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.” (QS. al-Muzzammil [73]: 6)
Adalah waktu di antara maghrib dan isya. Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa yang melaksanakan shalat antara maghrib dan isya dua puluh rakaat, niscaya Allah bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Ibnu Majah)
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang shalat setelah Maghrib enam rakaat, niscaya dia dicatat termasuk orang-orang yang bertobat.” Lalu beliau membacakan ayat,
“Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat.” (QS. al-Isra’ [17]: 25)
Keenam rakaat ini merupakan shalat Awwabin. Kalau murid mau, dia boleh memasukkan di dalamnya shalat sunah maghrib. Atau dia juga boleh melaksanakan enam rakaat shalat secara tersendiri. Kalau dia mau, dia boleh melaksanakan shalat itu secara sekaligus dengan satu salam. Atau kalau dia mau dia juga boleh melaksanakannya dengan satu salam di
akhir setiap dua rakaat, seperti yang sudah saya jelaskan di dalam kitab Nihdyah al-Murad. Selanjutnya, setelah melaksanakan shalat isya, yaitu tepat setelah menunaikan shalat sunah ba’diyah isya yang hukumnya sunah muakkadah (dianjurkan), hendaklah murid langsung membaca surat Qul ya ayyuhal kafirun, surat alIkhlash, al-Mu’awwidzatain—yaitu Qul a’udzu birabbil falaq dan Qul a’udzu birabbin nas—dan akhir surat al-Hasyr, yaitu firman Allah,
“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.” (QS. al-Hasyr [59): 22) dan seterusnya sampai akhir surat. Dilanjutkan dengan membaca akhir surat al-Baqarah yaitu dimulai dari firman Allah,
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (QS. al-Baqarah [2]: 284) dan seterusnya sampai akhir surat.
Semua itu dilakukan dengan disertai hudhur, ketundukan, dan ketenangan di dalam hati dan segenap anggota badan.
Setelah itu, hendaklah dia tidur sambil berzikir khafiy dan muraqabah kepada Allah seperti kebiasaannya saat terjaga. Tapi sebelum tidur hendaklah dia melafalkan dengan lisannya istighfar ini tiga kali secara berturut-turut, “Aku memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia yang Mahahidup lagi Maha Mengurus, dan aku bertobat kepada-Nya.”
Maksud istighfar ini adalah:
Aku memohon ampunan dari Allah atas semua dosaku baik yang lahir maupun yang batin. Allah yang tidak ada tuhan dan tidak ada sesembahan yang hak disembah selain Dia, yang Mahahidup dengan kehidupan yang qadim lagi kekal, lagi Maha Mengurus yang membuat segala maujud ada dan teratur, serta segala yang menjadi objek penyaksian dapat ada. Aku memohon ampunan kepada-Nya dari segala dosaku, baik yang aku ketahui maupun yang tidak aku ketahui.
Amalan-amalan Sufi yang Ber-Tajrid
Ini adalah keadaan spiritual para sufi yang memiliki kesibukan, bukan sufi yang murni hatinya. Sebab diharuskan baginya untuk melewati malam dan siangnya dalam keadaan tenggelam pada musyahadah serta luruh dalam al-Haq. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Abul Abbas al-Qashshab, “Aku tidak memiliki petang dan tidak pula pagi.” Sebab batinnya telah tenggelam dalam gelombang lautan fana. Sementara lahiriahnya sedang melakukan segala keadaan dan ketagihan yang dia hadapi.
Semua amalan di atas, baik berupa wirid maupun tugas-tugas ibadah diperuntukkan kepada kondisi spiritual para sufi yang memiliki kesibukan di dunia, berupa berbagai kegiatan, muamalat dengan makhluk, mengatur orang banyak, atau sibuk berdakwah menyeru manusia kembali kepada Allah dengan menerapkan hukum-hukum-Nya baik yang bersifat keyakinan maupun amaliah.
Ini bukanlah amalan bagi sufi yang murni hatinya, yaitu sufi yang meletakkan dirinya di maqam tajrid (memisahkan diri) dari semua yang telah disebutkan sebelumnya, sekaligus dari segala hubungan.
Diharuskan bagi sufi tersebut untuk tidak membiarkan dirinya menjadi bahan permainan setan padahal dia sadar dan memiliki hati yang suci. Tapi, hendaklah dia melewati malam dan siangnya dalam keadaan tenggelam di laut musyahadah Ilahiyyah dalam pengudusan yang mutlak, serta luruh memfana hingga musnah dalam wujud Allah swt. seraya memerhatikan segenap perintah serta larangan-Nya sesuai kemampuannya pada hal tersebut.
Layaknya perkataan Syekh Abul Abbas al-Qashshab, “Aku tidak memiliki petang dan tidak pula pagi.” Ucapan ini terucap karena baginya hamparan permadani waktu telah digulung, sebab dia telah memasuki penyaksian Sang Azali sehingga dalam penyaksiannya tidak ada petang yang maujud, sebagaimana juga tidak ada pagi yang maujud, cahaya menjadi sama saja dengan gelap karena papan (lauhul mahfudz) telah kembali kepada hakikat pena (Qalam).
Demikian itu sesungguhnya terjadi karena batin Abul Abbas berada dalam penyaksiannya terhadap Tuhan dan telah tenggelam dalam gelombang lautan fana, yang memfana dari wujud dalam tauhid al-Masyhud (objek penyaksian, yaitu Allah).
Sementara persepsi indra lahiriahnya hadir dan terjaga terhadap segala yang muncul baginya di siang dan malam berupa berbagai kondisi seperti ridha, marah, sedih, gembira, dan sebagainya, dan berbagai perbuatan seperti berbagai bentuk ibadah dan perkara mubah.
Ini merupakan tingkatan para rijal yang sempurna, tidak disibukkan dengan penyaksian terhadap al-Haq sehingga mengabaikan penyaksian terhadap makhluk, dan tidak disibukkan dengan penyaksian terhadap makhluk sehingga mengabaikan penyaksian terhadap al-Haq. Mereka adalah para pewaris nabi-nabi dalam ranah ilmu dan spiritual. Mereka yang terus menegakkan semua yang diperintahkan kepada mereka dalam kondisi apa pun juga.
Kalangan Ahlul Fana wal Baqa (pencapai fana dan baqa) setelah pencarian dan mujahadah mereka, akan mencapai ketenangan hati, kegembiraan, dan musyahadah, sedangkan mereka ada di ‘Ainul Murad. Ketika mereka kembali dari al-Murad tersebut, mereka pun akan melihat semua maqam dan karamah sebagai hijab sehingga mereka menjauhkan hati dari segala keinginannya, baik yang jasmani maupun rohani.
Kalangan Ahlul Fana wal Baqa adalah para pencapai fana di ranah penyaksian dan pencapai baga di ranah wujud dari hadirat Mahawujud, setelah mereka selesai mencari maqam mereka dan mengusahakan diri mereka untuk mencapai wushul kepada-Nya dengan segala-susah payah, mereka pun dapat mencapai ketenangan hati atau pencapaian kalbu dengan wujud Allah swt.
Mereka juga akan meraih kegembiraan dengan-Nya karena melihat anugerah yang datang dari Allah yang melebihi segala anugerah yang ada. Sebagaimana mereka juga akan meraih musyahadah, yaitu penglihatan menggunakan mata hati kepada keindahan tajali Allah.
Kalangan Ahlul Fana wal Baqa itu telah hadir di ‘Ainul Murad, yaitu Allah sebagai objek yang mereka dambakan. Tapi ketika mereka kembali dari al-Murad tersebut, menuju berbagai hal mereka sebelumnya serta berbagai perbuatan mereka yang selaras tanpa ada tujuan yang mereka miliki, mereka pun akan tetap menyaksikan Allah swt. tanpa kelalaian dari-Nya.
Pada saat itu mereka sebenarnya bukan menyaksikan Dia, melainkan Dialah yang menyaksikan Diri-Nya dengan DiriNya sendiri di hadirat kekudusan-Nya. Setelah para ahli fana dan baqa berjuang pada diri mereka sendiri sampai akhirnya mereka mengenal-Nya, mereka pun meninggalkan diri mereka dalam makrifat-Nya. Mereka meninggalkannya dengan cara meninggalkan hakikat diri mereka, sehingga Allah menjadi penyaksi (asy-sydhid) sekaligus objek penyaksian (al-Masyhud).
Sampai di titik itu, mereka pun melihat semua maqam yang mereka semayami seperti zuhud, wara, tawakal, takwa, sabar, i’tishdm (keteguhan berpegang kepada ajaran Allah), dan sebagainya, serta melihat semua karamah yang Allah muliakan mereka di dunia dengan berbagai karamah tersebut, seperti kemampuan memperpendek jarak, tempat, waktu, atau berupa kepatuhan makhluk kepada mereka.
Semua itu mereka anggap sebagai hijab yang menabiri hati mereka dari hadirat Allah swt. karena berbagai maqam itu menutut eksistensi seorang hamba. Zuhud tidak akan terjadi tanpa adanya pelaku zuhud (zahid), wara tidak akan terjadi tanpa adanya pelaku wara (mutawarri’), tawakal tidak akan terjadi tanpa adanya pelaku tawakal (mutawakkil), takwa tidak akan terjadi tanpa adanya pelaku takwa (muttaqi), dan seterusnya.
Eksistensi diri yang harus terjadi sebagai konsekuensi dari adanya berbagai magam itu akhirnya mengakibatkan munculnya hijab yang menghalangi penyaksian terhadap Allah swt., padahal yang menjadi tujuan adalah Allah, bukan berbagai maqam tersebut.
Demikian pula karamah, hal ini juga menyebabkan eksistensi mereka yang memiliki karamah, yaitu diri dan jiwa si hamba. Padahal jiwa bersifat buruk sehingga tidak layak mendapatkan karamah kemuliaan. Bahkan ia juga tidak layak untuk wujud bersama al-Haq.
Ketika jiwa atau diri itu menghilang, hijab penghalang itupun akan ikut menghilang semuanya, dan itu adalah hijabhijab nuraniyyah atau bersifat cahaya, sedangkan berbagai bagian jiwa adalah hijab-hijab zhulmaniyyah atau bersifat kegelapan yang merupakan tuntutan fisik jasmani, sementara berbagai maqam itu merupakan tuntutan rohani.
Kalangan Ahlul Fana wal Baqa juga akan menjauhkan keinginan hati mereka dari hadirat Tuhan, mereka menjauhkan semua keinginan hatinya, baik yang bersifat jasmani yaitu berupa berbagai bagian yang bersifat nafsaniy sebagai hijab zhulmaniy ataupun bersifat rohani berupa berbagai bagian yang bersifat rohani sebagai hijab nuraniy.
Pencapaian tingkatan fana adalah tanda wushul menuju hakikat cinta-Nya. Magam fana adalah anugerah sejati dan kekhususan Ilahiah. Ketetapan Ilahiah berlangsung pada anugerah sejati yang berupa hakikat anugerah tidak mungkin berupa pinjaman.
Itulah sebabnya tidak akan ada pengembalian di dalamnya. Itulah sebabnya mereka berkata, “Orang fana tidak dikembalikan kepada sifat-sifatnya.” Dzun Nun al-Mishri berkata, “Tidaklah kembali siapa yang kembali kecuali dari jalan ini. Tidaklah seorang pun yang sampai kepadanya lalu memilih kembali darinya.”
Pencapaian tingkatan fana dalam penyaksian Allah swt. dari berbagai bagian yang telah disebutkan tadi, yaitu tanda pencapaian hakikat cinta Dzat Ilahiah yang luhur. Magam fana bagi si murid adalah anugerah sejati dan murni yang tidak dapat diraih dengan amal atau usaha. Berapa banyak salik yang kehilangan apa yang telah digapainya. Karena ini juga sebuah kekhususan Ilahiah, yang hanya dapat dicapai oleh siapa yang Allah kehendaki. Allah swt. berfirman,
“Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS. al-Baqarah {2]: 105)
Allah swt. juga berfirman,
“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk, siapa yang disesatkan Allah, merekalah orang-orang yang rugi.” (QS. al-A’raf [7]: 178)
Sebab kewenangan memberi petunjuk ada dalam kekuasaan Allah swt. Maha Melakukan apa pun yang Dia kehendaki.
Sunah (ketetapan) Ilahiah yang diatributkan kepada Tuhan al-Haq berlangsung pada makhluk-Nya tanpa terputus. Sunah itu berupa anugerah sejati yang bersih dari segala noda tipu daya, yaitu pencapaian maqam fana seperti yang disebutkan sebelumnya, berbeda dari sekedar berbagai kejadian, aroma, kemunculan, dan keanehan yang menjadi milik salik di awal suluknya, hal itu mungkin saja merupakan pinjaman sehingga dapat diambil lagi darinya.
Anugerah itu merupakan hakikat anugerah Ilahiah yang tidak mungkin berupa pinjaman bagi si murid sampai kapan pun juga. Bahkan sebuah anugerah yang Allah niscayakan dengan bukti berupa kesempurnaan pencapaian di maqam tersebut. Karena itu sebuah anugerah dan bukan pinjaman, tidak akan ada kepulangan (dicabut kembali) bagi Allah swt. di dalam anugerah tersebut.
Itulah sebabnya para syekh muhaqqiq berkata, “Orang fana tidak dikembalikan kepada sifat-sifatnya.” Maksudnya, orang yang mencapai fana dalam hadirat penyaksian Allah swt. tidak mungkin dikembalikan oleh Allah ke sifat kemanusiaan sebelumnya. Artinya, Allah swt. tidak mungkin mengembalikan atau memulangkan mereka setelah itu.
Alasannya adalah karena kalau tidak seperti itu, berarti umat Muhammad yang sempurna akan mengalami fana lalu kembali lagi ke sifat-sifat mereka seratus kali dalam sehari demi terealisasinya sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya ada kabut*’ pada hatiku, dan sesungguhnya aku benar-benar beristighfar memohon ampun kepada Allah seratus kali dalam sehari.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Tujuh puluh kali” karena yang dimaksud di sini adalah menunjukkan banyak, bukan menunjukkan bilangan tertentu.
Dzun Nun al-Mishri berkata, “Tidaklah kembali siapa yang kembali, kecuali dari jalan ini. Tidaklah seorang pun yang sampai kepadanya lalu memilih kembali darinya.” Maksudnya, tidak ada satu pun salik di antara semua salik, yang kembali ke sifat-sifatnya, kecuali dari jalan ini, yaitu keadaan sebelum ia mencapai hadirat penyaksian dan mencapai maqam fana yang sempurna.
Apabila orang yang kembali itu mencapai pada apa yang kami sebutkan tadi, pasti dia tidak akan keluar dari hakikat yang ia sudah ada di dalamnya. Karena pada saat itu penyaksiannya menjadi bersifat aksiomatik atau dharuri, dan persepsinya menjadi perkara yang bersifat nurani. Padahal semua persepsi yang bersifat dhahuri dan nurani tidak mungkin dihalangi.
Ini berbeda dengan persepsi yang bersifat deduktif dan rasional karena apabila murid masih memiliki persepsi rasional dan disibukkan oleh sesuatu sehingga melalaikan-Nya, ia pasti akan benar-benar melewatkannya.
Mereka bertanya kepada Naqsabandiyah tentang jumlah pembagian fana. Dia pun menjawab, ada “Dua bagian” walaupun para tokoh tarekat menyatakan bahwa sesungguhnya jumlahnya lebih dari itu, semuanya kembali kepada dua bagian tersebut. Pertama, fana dari wujud gelap jasmani (wujud zhulmaniy thabi’iy). Kedua, fana dari wujud nurani rohani (wujud nuraniy rohaniy).
Suatu ketika sekelompok murid bertanya kepada Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi tentang fana, “Berapa bagiankah fana itu?” Dia pun menjawab, “Fana itu ada dua bagian.” Jadi, kalau pun para pembesar dari kalangan para syekh menyatakan bahwa sesungguhnya bagian-bagiannya lebih dari dua, sebenarnya semua pembagian itu kembali kepada dua bagian ini.
Bagian yang pertama adalah fana, musnah, dan sirna secara keseluruhan dari wujud gelap jasmani. Maksudnya, wujud fisik murid yang berupa kegelapan sehingga tidak mungkin Allah tampak di dalamnya dengan penglihatan murid kepada esensi dirinya yang dipersepsi karena esensinya masih disertai kelalaian kepada-Nya. Seluruhnya adalah sebuah perbuatan di antara berbagai perbuatan Allah swt. Apabila murid telah pergi dari wujud tersebut dengan musyahadah kepada Allah swt. di dalam apa yang disaksikan sebelumnya berupa sebagian dari esensi dirinya, esensi dirinya akan musnah secara keseluruhan sehingga wujud yang bersifat gelap itu hilang darinya.
Selain bersifat gelap, wujud zhulmaniy juga bersifat jasmani (thabi’i). Kata thabi’i berasal dari bentuk kata thabi’ah yang berasal dari kata thab’ atau ukiran (naqsy) yang melekat pada satu bentuk tertentu dalam persepsi penglihatan lahir dan penglihatan batin. Keterkaitan ini muncul karena setiap kali subjek thabi’i mengetahui esensinya, ia akan melihat esensi dirinya itu dalam bentuk tertentu yang melekat dengannya dan tidak akan lepas darinya di sepanjang waktu dan masa. Bentuk itu terukir di dalam benak subjek dengan asumsi bahwa apa yang dipahami dari satu rupa tunggal tertentu itu adalah esensinya. Kemudian ia terpatri di dalam pemahamannya, lalu objek itu disebut dengan istilah thab’ yang wujudnya disebut dengan wujud thabi’i.
Pada hakikatnya, thab’ seperti itu sama sekali tidak ada karena yang sesungguhnya ada adalah penampakan [lahi yang melahirkan suatu hakikat rohani yang bergerak dari ketiadaan menuju wujud, lalu menuju ketiadaan lagi, secara berulang seperti kejapan mata dan berbentuk dalam berbagai rupa serta bentuk yang berbeda-beda. Sementara persepsi atau idrak adalah salah satu di antara berbagai bentuknya. Pada waktu pengetahuan terjadi bentuk itu ia berganti dari satu bentuk yang berbeda pada saat ketidaktahuan terjadi. Demikian itulah kondisi semua wujud. Pencapaian itu terjadi dengan terjadinya fana dari wujud yang bersifat zhulmaniy dan thabi’i.
Bagian yang kedua adalah fana dari wujud nurani rohani (wujud nuraniy raihaniy). Maksudnya, melebur dengan kemusnahan dan kepergian secara menyeluruh. Tingkatan fana ini lebih tinggi daripada yang pertama karena ia tidak mungkin terjadi, kecuali melalui yang pertama sehingga ia lebih tinggi darinya karena ini disebut fana‘ul fana’. Semua tajali al-Haq yang tampak bagimu dalam fana menafikan ini kefanaanmu yang pertama, kemudian engkau dapat menyaksikan apa yang engkau fana darinya di dalam apa yang engkau memfana di dalamnya. Inilah baqa setelah fana. Ia disebut sebagai fana kedua karena di dalamnya menafikan fana yang pertama. Walaupun fananya fana disebut baqa, sebagaimana menafikan penafian disebut penetapan.
Fana yang kedua ini terjadi pada Wujud Nurani; wujud yang engkau saksikan setelah perginya wujud engkau yang bersifat gelap jasmani (zhulmaniy thabi’iy). Berupa wujud Allah swt. yang tampak bagimu karena engkau mencapai musyahadah kepada-Nya.
Wujud ini disebut bersifat nadrdniy karena berupa wujud yang tidak akan ada lagi kegelapan secuil apa pun secara mutlak. Ia tampak bagimu setelah hilangnya kegelapan tabiatmu dari mata hatimu, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di dalamnya engkau melihat Allah swt. secara zahir di semua wujud, tanpa ada yang luput darinya penampakan apa pun juga secara mutlak. Dalam kondisi itulah engkau dapat memahami firman Allah swt.,
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. An-Nur [24]: 35) Kecuali dengannya dan berbagai perkara muskil lainnya tanpa ada takwil baginya.
Namun, semua itu menjadi penampakan dari-Nya sesuai maqammu, bukan sesuai dengan al-Haq Azza wa Jalla itu sendiri. Jadi, sebenarnya penampakan itu merupakan penampakan kesiapan spiritual atau isti’dad dirimu sesuai dengan persepsimu pada penampakan Allah swt., bukan penampakan al-Haq dari sisi hakikat-Nya di keazalian-Nya. Penyebabnya adalah karena engkau harus memfana dari-Nya dan Dia harus lurub di dirimu sehingga Allah swt. dapat tampak sebagaimana Dia adanya dengan tampak yang haq dan hakiki (zhuhran haqqiyyan haqiqiyyan), tanpa ada ikut campur darimu pada keberadaan-Nya.
Wujud ini bersifat rohaniy. Kata rohaniy berasal dari kata ruh yang merupakan bagian dari “amrullah” tanpa perantara. Ruh adalah makhluk sehingga harus terjadi fana darinya untuk melakukan musyahadah kepada Allah dengan Allah bukan dengan ruh karena sesungguhnya ruh tidak dapat menyaksikan Allah, kecuali hanya sesuai kadar kesiapan spiritualnya. Jadi yang dia saksikan adalah kesiapan dirinya sendiri pada saat itu, bukan Allah swt. itu sendiri seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.
Hadis Nabi juga menjelaskan kedua bagian ini, “Sesungguhnya Allah memiliki tujuh puluh hijab berupa cahaya dan kegelapan.”
Imam Junaid al-Baghdadi berkata bahwa tidak ada yang mengenal Allah, kecuali Allah. Inilah makrifat yang benar. Hadis yang bersumber dari Nabi juga menjelaskan secara gamblang kedua bagian yang telah disebutkan di atas menyangkut soal fana; yaitu sabda Nabi saw., “Sesungguhnya Allah memiliki tujuh puluh hijab berupa cahaya dan kegelapan.”
Tampaknya, penyebutan bilangan “tujuh puluh” di sini adalah untuk menunjukkan banyak bukan untuk menunjukkan jumlah. Ini serupa dengan firman Allah,
“Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (QS. at-Taubah [9]: 80)
Serupa dengan “tujuh” yang dimaksudkan untuk menunjuk “banyak” dalam firman Allah,
“Sesudahnya ada tujuh laut.” (QS. Luqman [31]: 27)
Imam Suyuthi mencantumkan dalam kitab al-Jami’ ashShaghfr hadis Rasulullah saw., “Aku pernah bertanya kepada Jibril, ‘Apakah engkau melihat Tuhanmu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya antara aku dan Dia ada tujuh puluh hijab dari cahaya, kalau saja aku melihat hijab yang paling rendah pasti aku akan terbakar.’”
Syekh al-Munawi menjelaskan isi hadis tersebut, bahwa penyebutan angka tujuh puluh bukan untuk membatasi, melainkan untuk menunjukkan banyak, Kalau memang hijab-hijab tersebut merupakan sesuatu yang menghalangi, berarti satu hijab saja dapat menghalangi Allah. Sementara Allah tidak bisa terhalang oleh apa pun, sebagaimana kuasa-Nya yang tidak dibatasi. Jika hijab-hijab itu berarti kemuliaan, berarti semua bilangan yang paling bawah bukanlah kemuliaan.
Sementara itu, yang paling atas adalah kemuliaan yang sangat tinggi sehingga bagaimana mungkin “tujuh puluh” itu. merupakan sebuah ujung kemuliaan, sedangkan Allah menyatakan “Sesungguhnya di bawah Allah pada hari kiamat ada tujuh puluh ribu hijab?!” Meskipun cahaya adalah sebab atas berbagai objek dapat diketahui dan dapat dilihat, tapi tetap saja sinar cahaya dapat membatasi sebagaimana halnya kegelapan. Dengan demikian, maksud dari “penghalang” adalah hubungan yang bersifat kekuasaan, bukan hubungan yang bersifat fisik atau materi.
Beberapa hijab itu berasal dari cahaya. Ini menunjukkan bahwa hijab-hijab yang bersifat cahaya (nuraniy) dan bersifat rohani (rahani) merupakan bentuk kiasan dari wujud yang bersifat cahaya (nuraniy) dan rohani (rahaniy). Ada yang bersumber dari kegelapan. Ini mengisyaratkan bahwa berbagai hijab yang bersifat gelap (zhulmaniy) dan bersifat jasmani (thabi’iy) merupakan bentuk kiasan dari wujud yang bersifat zhulmaniy dan thabi’iy.
Manusia memiliki dua wujud hakiki, bukan khayalan. Pertama, wujud yang masih dalam jangkauan indra manusia dan inilah yang diketahui manusia sebelum mencapai makrifat. Wujud ini yang bisa diketahui manusia, kecuali bagi orang yang menerima pertolongan Tuhan (‘inayah rabbaniyyah). Wujud ini bersifat gelap (zhulmaniy). Sebab terhentinya mata hati dan mata kepala dalam melihat berbagai hal yang mampu dilihat oleh anak-anak kecil pada awal kemampuan penglihatan perkembangan dan kesempurnaan penglihatan mereka.
Kedua, wujud yang muncul setelah wujud yang pertama dalam jangkauan pengetahuan manusia. Para penerima pertolongan dan taufik Allah berada di wujud ini. Inilah wujud yang bersifat cahaya (nuraniy). Wujud kedua ini bersumber dari kejujuran yang bertambah, ketundukan, kepasrahan sepenuh hati, keimanan, ketenangan, keyakinan, dan pengakuan lahir batin atas kelemahan dan kekurangan dalam mengenali para pencapai syuhaid dan ‘iyan. Jiwa manusia dapat meleset dari wujud ini pada semua yang dipersepsi serta kesalahan hamba dalam memahami berbagai keyakinan yang berhubungan dengan Tuhan (Ilahiyyah), nabi (nabawiyyah), dan akhirat (ukhrawiyyah) yang disampaikan di dalam al-Quran dan hadis.
Allah swt. tidak akan mengajarimu sebagian dari ilmu-Nya, kecuali jika engkau meninggalkan ilmu yang engkau miliki karena ilmumu itu sesungguhnya bukan ilmu. Demikian yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Allah swt. juga berfirman,
“Sesungguhnya ilmu (tentang itu) hanya pada Allah.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 23) Sebagaimana halnya wujudmu yang bersifat cahaya (nuraniy) berasal dari cahaya nabi Muhammad saw. dan cahaya nabi berasal dari cahaya Allah, begitu pun rahasia wujudmu yang bersifat gelap (zhulmaniy) berasal dari kegelapan diri sendiri, kegelapan dirimu berasal dari kegelapan setan, dan setan adalah musuh Allah. Ingatlah bahwa teman dari musuh adalah musuh, sedangkan teman dari teman adalah teman.*
Ketahuilah bahwa ilmu yang engkau miliki di dalam wujud zhulmaniy adalah bagian dari ilmu iblis yang terkutuk, sedangkan ilmu yang engkau miliki di dalam wujud nurany adalah bagian dari ilmu Nabi Muhammad saw. sebagai bagian dari ilmu Allah swt. Jadi, engkau tidak mungkin mengetahui wujud nuraniy-mu itu serta mencapainya, kecuali jika engkau meninggalkan ilmumu yang bersifat zhulmaniy sekaligus thabi’iy.
Engkau tidak mungkin mengetahui Allah dengan ilmu yang sempurna. Sebagaimana engkau juga tidak mungkin mencapai makrifat dan musyahadah pada-Nya, kecuali jika engkau juga meninggalkan ilmumu yang bersifat nuraniy serta meninggalkan wujudmu yang bersifat rohaniy. Ketika itu berhasil engkau lakukan, semua hijab akan hilang darimu dan engkau pun mampu menyaksikan “perintah itu” (al-amr) dengan sangat jelas, tanpa kesamaran sedikit pun.
Fana yang pertama adalah bahwa dengan perantara penampakan Allah swt. ia akan menghilangkan kesadaran segala yang lain. Maksud saya, segala maujud di Alam Zhulmaniy. Fana yang kedua adalah fananya fana, yaitu ketika kesadaran atas fana juga menghilang sehingga pada Wujud Rohaniy tidak tersisa rasa apa pun lagi. Karena rasa merupakan bagian dari sifat-sifat Wujud Rohaniy, sebab ia merupakan sifat yang harus ada. Ketika rasa atas rasa menghilang, maka ia harus menghilangkan Wujud Rohaniy di maqam ini.
Fana yang pertama berupa fana dari Wujud Zhulmaniy adalah murid dengan perantara penampakan Allah swt., ia akan menghilangkan dari hatinya segala rasa—maksudnya, persepsi atau ilmu—akan segala yang lain (as-sawiy), yaitu segala yang selain Allah swt. Maksud saya, segala maujud di Alam Zhulmaniy. Alam ini adalah alam jisim dan bentuk (‘alam al-ajsam wa-sh shuwar). Semuanya itu merupakan kegelapan karena di dalamnya sama sekali tidak terjadi penampakan al-Haq kecuali hanya berupa kegaiban bukan berupa kenyataan. Itulah sebabnya ia disebut dengan istilah zhulmaniy atau bersifat gelap. Ini berbeda dengan Wujud Nuraniy, yang di dalamnya al-Haq termanifestasi secara nyata.
Fana yang kedua—yaitu fana dari Wujud Nuraniy adalah fananya fana seperti yang telah kami sebutkan di atas. Itu terjadi ketika rasa atas fana juga menghilang dari hati si murid, sebagaimana hilangnya rasa atas segala yang selain Allah pada fana yang pertama, sehingga pada Wujud Rahdniy tidak tersisa rasa apa pun lagi.
Demikian itu karena rasa merupakan bagian dari sifat-sifat Wujud Rahaniy, sebab wujud raihaniy merupakan bentuk ruh sehingga apabila bentuknya menghilang, akan hilang pula entitasnya sebagai ruh sehingga ia berubah menjadi cahaya dan segala cahaya (nurul anwar). Sebab memahami merupakan sebuah sifat yang harus ada bagi ruh karena ruh disebut ruh disebabkan keberadaan sifat ini dan ketika itu menghilang, ruh tidak lagi disebut sebagai ruh.
Atas dasar penjelasan di atas itulah penulis menyatakan bahwa ketika rasa atas rasa hilang dari ruh, yaitu rasa atas kefanaan yang merupakan kesadaran atas ketiadaan segala yang selain Allah (as-sawiy), maka hal itu akan menghilangkan Wujud Rahaniy di maqam ini.
Wujud Rahdniy menjadi musnah secara total sehingga pada saat itu menampaklah amrullah yang dengannya segala sesuatu ada. Amrullah adalah al-Quran dari sisi mengumpulkan semua hakikat. Ia adalah al-Furqan dari sisi memisahkan di antara berbagai hakikat yang bermacam-macam. Ia adalah ar-rahman dari sisi tajali serta penampakan melalui berbagai jejak. Ia adalah Allah dari sisi Dzat pemilik atas semua sifat. Ia adalah al-Haq dari sisi batalnya segala yang selain Dia ketika diatributkan pada-Nya. Dia memiliki banyak hadirat lainnya di maqam ini, yaitu maqam fana‘ul fana (fananya fana).
Saat di maqam ini, ruh dapat berzikir, sedangkan hati bersujud. Menemani salik penempuh suluk di maqam imi adalah shahih. Adapun tarbiyah dan tuntutan salik pada si murid tidaklah sahih. Zikir hati adalah terjadinya hudhur bersama Allah swt. dan hudhur bersama makhluk ketika disandingkan kepada-Nya. Terjadi bersamaan artinya dia menghimpun antara yang ini dengan yang ini. Zikir Lisan tidak membutuhkan penjelasan. Zikir Ruh adalah terjadinya hudhur bersama al-Haq Azza wa Jalla lebih unggul daripada hudhur bersama makhluk. Zikir Sir adalah ketika dia tidak mengalami hudhur bersama semua yang selain Allah swt. dan ia tidak memedulikan alam semesta.
Dalam maqam ini, ruh insani banyak berzikir, menyebut, dan mengingat Allah swt. dengan zikir pada Allah bukan pada dirinya, untuk Allah bukan untuk dirinya. Sementara itu, hatinya bersujud kepada Allah swt. demi mendekatkan diri kepada-Nya, seperti yang Allah nyatakan, dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” (QS. al-‘Alaq [96]: 19)
Ketahuilah bahwa arti “sujud kepada sesuatu” adalah “mengembalikan wujud kepada asal sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi tampak jelas”. Sujud kepada Allah dilakukan dengan engkau meletakkan wajah, dua tangan, dua lutut, dua kakimu di atas tanah demi mengembalikan segenap dirimu kepada asal yang engkau diciptakan darinya, sembari menumpukkan sebagian anggota tubuhmu satu sama lain. Adapun sujud hatimu adalah meletakkan wajah hatimu di rohaniah al-kulliyyah yang berlangsung di seluruh penjuru alam, baik Alam Tinggi maupun Alam Rendah yang semuanya langsung musnah, seperti tetes-tetes air yang jatuh ke permukaan sungai yang mengalir. Tentu saja semua tetes air itu akan langsung bergabung secara total sehingga tidak mungkin lagi ia dipisahkan dari keseluruhan sungai tersebut. Kami telah menjelaskan hal ini dalam syarah kitab al-’Ainiyyah karya al-Jili.
Interaksi intensif yang dilakukan dengan syekh oleh salik penempuh suluk di magam ini, yaitu maqam fana‘ul fana sebagai hal yang shahih bagi setiap murid, sekaligus memiliki manfaat sangat besar.
Sementara yang mendidiknya salik di maqam ini kepada muridnya dengan menuntunnya tata cara menempuh suluk, baik sebatas pemahaman maupun praktik; sebagaimana halnya tuntutan salik di maqam ini kepada si murid untuk menyeru kepada Allah dengan mata batin langsung adalah sesuatu hal yang tidak sahih. Penyebabnya adalah karena tidak memungkinkan baginya untuk mengendalikan dirinya ketika dia berada di maqam tersebut sehingga bagaimana mungkin ia dapat mengendalikan objek selain dirinya sehingga tidak memungkinkan bagi salik untuk melakukan tarbiyah ataupun tuntutan terhadap si murid.
Zikir hati yang dilakukan untuk Allah swt. adalah terjadinya hudhur bersama Allah swt. dengan muraqabah dan syuhud pada Allah, bersamaan dengan hudhur bersama semua makhluk dengan memerhatikan serta berinteraksi dengan mereka. Dia tidak disibukkan oleh kehadirannya bersama makhluk sehingga melalaikan kehadirannya bersama Allah swt. Artinya, dia mampu menyatukan di dalam hatinya antara “yang ini” atau kehadirannya bersama Allah swt. dengan “yang ini” atau kehadirannya bersama makhluk sehingga hatinya menjadi luas karena mampu memuat al-Haq dan makhluk. Dia pun dapat mengalami hudhur bersama al-Haq di permulaan dalam hadirat ketiadaan atau al-’adam dengan dirinya yang tidak ada (ma’dim). Kemudian ia berbalik dari ketiadaan menuju wujud sehingga kemudian dia hadir bersama makhluk di hadirat semesta dengan dirinya yang maujud. Kemudian dia kembali dengan hadir bersama al-Haq dengan dirinya yang lebih rendah dari sesaat sebelum kedua kehadiran itu.
Zikir menyebut nama Allah menggunakan anggota tubuh berupa lisan adalah sesuatu yang dimengerti sehingga tidak membutuhkan penjelasan lagi. Zikir Lisan adalah melafalkan huruf-huruf dari berbagai nama Ilahiah berikut bunyinya menggunakan lisan dengan diiringi kehadiran hati.
Zikir Ruh adalah terjadinya hudhur bersama al-Haq Azza wa Jalla lebih unggul di dalam hati si murid daripada hudhur bersama makhluk. Itu terjadi karena ruh adalah urusan Allah (min amrillah) yang berkaitan dengan alam makhluk untuk melakukan tadbir sehingga penulis menyebutnya untuk membuat penyaksian hadirat al-Haq menjadi unggul sekaligus mengurangi penyaksian terhadap objek tadbir-Nya.
Zikir Sir (sir ruh) adalah cahaya yang ketika ruh tidak menjangkaunya, ruh akan kembali kepadanya, seperti telah disebutkan sebelumnya—adalah ketika si murid tidak mengalami hudhur bersama selain Allah swt., yaitu segala sesuatu termasuk diri si murid itu sendiri, dan ia tidak memiliki kabar (rasa) alam semesta disebabkan terjadinya istighraq atau tenggelam si murid di dalam musyahadah kepada Allah swt. Itu terjadi karena sir tidak memiliki keterkaitan dengan Alam Makhluk secara mutlak. Namun, ia hanya berkaitan dengan penyaksian hadirat Ilahiah semata sehingga kehadirannya bersama Allah swt. bersifat berkesinambungan tanpa memedulikan sedikit pun kepada yang selain Dia dari segala semesta.
Zikir Khafiy
Zikir khafiy adalah ketika wujud ruh tersembunyi dengan ketersembunyian yang terjadi di dalam sir, sehingga tidak ada yang tetap selain hanya objek zikir (al-madzkir). Walhasil, semua yang lain menghilang secara total dalam ketersembunyian. Di maqam ini terwujudlah perjalanan menuju Allah swt. Sesungguhnya si hamba setelah fana mutlak yang merupakan fana dzat dan fana sifat, akan dipakaikan kepadanya Wujud Haqqani sehingga ia bergerak di dalam wujud tersebut dengan berbagai sifat ilahiah serta berakhlak dengan akhlak ketuhanan.
Zikir khafiy pada hakikatnya adalah ketika wujud ruh yaitu ruh nuraniy tersembunyi atau melebur dengan ketersembunyian yang terjadi di dalam wujud rahasia hati yang merupakan hakikat cahaya yang merupakan makhluk pertama yang Allah ciptakan sehingga rahasia hati menjadi sebuah cahaya yang bergerak dan ruh nuraniy. Tidak ada yang tetap pada saat itu dalam pandangan batin si murid, selain objek zikir (al-madzkar) yaitu Allah swt. Walhasil, semua yang selain Allah swt. menghilang dari penglihatan batin si murid, termasuk penglihatan batin si murid tersebut juga ikut menghilang, sehingga membuat penyaksiannya menggunakan penglihatan batin setelah itu menghilang bukanlah penyaksian miliknya dengan kendalinya. Semua berbagai hal selain Allah itu dan berbagai iktibarnya melebur dalam hakikat ketersembunyian di atas. Maksudnya, semua hal itu menyatu dan melebur di dalam cahaya-Nya seperti meleburnya cahaya pelita atau lilin di dalam cahaya matahari.
Di maqam ini yang menjadi maqam azikir khafiy, terwujudlah bagi si murid perjalanan menuju Allah swt. setelah dia mencapai secara sempurna dalam perjalanan menuju Allah swt. sebab magam fana yang telah disebutkan sebelumnya.
Ketika seorang manusia berhati suci meletakkan kakinya di dalam makna Ilahiyah, hakikat semesta pun menunjukkan maknanya. Kemudian ia melanjutkan langkahnya untuk selanjutnya meletakkannya ke makna lain yang lebih tinggi dari yang pertama. Semua inilah yang disebut dengan istilah “perjalanan” (sair) yang terus menerus karena apabila ia berhenti di saat memahami berbagai makna padanya, berarti ia telah berhenti dari perjalanan sehingga ia tidak akan pernah sampai ke tujuan.
Ketika ia telah menempuh jarak jauh dan memaknai berbagai makna alam semesta, lalu berhasil mencapai Allah swt., akan terbukalah baginya perjalanan lain untuk menempuh berbagai makna lainnya yang ditunjukkan oleh hadirat Ilahiah dengan lisan sifat-sifat dan nama-nama Allah. Jadi, perjalanan di dalam hakikat Allah swt. dimulai setelah selesainya perjalanan menuju Allah swt.
Setelah fana mutlak—berupa fananya fana—yaitu meleburnya dzat yang menampak baginya setelah fananya segala yang selain Allah, dan fana sifat yang menampak baginya setelah itu. Sesungguhnya semua yang menampak baginya dari Allah swt. di waktu fananya dari segala yang selain-Nya itu termasuk “semua yang selain Allah” sehingga fana harus dilakukan padanya.
Apabila si hamba berhasil melebur dari semua itu, Allah swt. akan memakaikan kepadanya. Wujud Haqqani yang merupakan sesuatu yang paling absah di dalam _ hakikat segala sesuatu (haqiqatul amr), sehingga ia bergerak di dalam Wujud Haqqani tersebut dengan berbagai sifat Ilahiah yang merupakan milik Allah swt. sehingga kuasanya menjadi kuasa Allah swt., kehendaknya menjadi kehendak Allah swt., dan pendengaran serta penglihatannya berikut semua sifatnya juga seperti itu. Dengan begitu, hamba menjadi hilang dan tampaklah Allah swt. di dalam penglihatan batin atau bashirah si hamba yang dirinya telah menghilang karena ilmu Allah swt. telah termanifestasi baginya. Pada saat itu hamba juga akan berakhlak dengan akhlak ketuhanan. Dia pun disebut dengan istilah Rabbaniy, seperti yang Allah nyatakan,
“Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 79)
Di maqam ini dia pun mencapai tingkatan “dengan-Ku dia mendengar”, “dengan-Ku dia melihat”, “dengan-Ku dia berbicara”, “dengan-Ku dia melakukan sesuatu”, “dengan-Ku dia berjalan”, dan “dengan-Ku dia berpikir”.
Di maqam ini, yaitu maqam Zikir Khafiy si hamba pun akan mencapai—tanpa takwil dan tanpa pengalihan—tingkatan atau hakikat makna sabda Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis qudsi, “Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sampai Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, dst.”
Dalam suatu riwayat disebutkan lafal “dengan-Ku” atau “bi”, yang maksudnya adalah dengan Wujud Hakiki-Ku yang mendominasi Wujud Majasi seorang hamba sehingga dia pun menjadi musnah secara total. Hamba yang mendekat kepada Allah dengan amalan-amalan sunah itu mendengar dengan Hakikat yang memengaruhi si hamba tersebut berikut semua sifat, perbuatan, nama, dan keputusannya. Dari situ, maka “dengan-Ku” bukan dengan yang selain Allah, hamba itu pun melihat.
Hamba itu pun tidak mendengar, kecuali hanya dengan Allah. Dia tidak melihat, kecuali dengan Allah, dan tidak ada yang terdengar serta terlihat olehnya, kecuali hanya Allah. Dia dan dirinya tidak ada, yang ada adalah Allah mendengar Allah, dan Allah melihat Allah. Selain itu, “dengan-Ku dia berbicara”, artinya bukan dengan lisan dan mulutnya; “dengan-Ku dia melakukan sesuatu”, bukan dengan tangannya; “dengan-Ku dia berjalan”, bukan dengan kakinya; dan “dengan-Ku dia berpikir” bukan dengan kalbu serta otaknya, seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.
Karena wujud kebal, semua dzat dan sifat fana di maqam ini terus berganti dan keluar dari “kuburan” ketersembunyian menuju “taman” penampakan serta berbagai jadzab Allah swt.
Sesungguhnya semua dzat dan sifat hamba yang seluruhnya bersifat fana dan musnah di maqam tadi, terus berganti dengan dzat dan sifat-sifat yang dimiliki al-Haq yang kekal, karena Wujud Kekal yang hakiki dan tidak berulang, yang bertajali pada berbagai tingkatan ketiadaan yang dengannya tingkatan kehendak kekekalan termanifestasi Dia lah Wujud Tunggal yang Mahakekal, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis nabi, “Allah telah Ada, dan tidak ada sesuatu apa pun bersama-Nya.” Sekarang Dia sebagaimana Dia yang telah Ada itu.
Dzat dan sifat fana itu keluar dari kuburan ketersembunyian yang dimiliki alam dunia dan kehancuran, sedangkan Dzat dan sifat-sifat itu kekal secara alamiah. Akan tetapi, orang-orang bodoh salah dalam memahaminya sehingga mereka pun melihat yang tetap itu sebagai yang berubah, yang bebas itu sebagai yang terikat, dan yang kekal itu sebagai yang baru. Ketika semua itu menghilang dari mereka sebagaimana semua itu mendatangi mereka, semua itu pun keluar dari “kuburan” ketersembunyian dan ketidakjelasan menuju “taman” penampakan, seperti yang Allah nyatakan,
“Bumi (padang Mahsyar) menjadi terang benderang dengan cahaya (keadilan) Tuhannya.” (QS. az-Zumar [39]: 69)
Pada saat itu, seluruh diri si hamba menjadi “bumi’” yang terang benderang dengan cahaya Rabb. Inilah pakaian asma-Nya yang Dia pakaian kepada si hamba. Berkenaan dengan hal ini seorang yang ‘arif billah bersyair,
Tuhan yang Maha Memelihara memakaikan pakaian padaku Maka bumi dan langit ini menjadi milikku
Selain itu, semuanya menjadi berbagai jadzab Allah swt, terhadap ruh si hamba menuju hadirat-Nya yang Mahatinggi.
Pada saat itu, Dia menguasai batin si hamba, sehingga menghilanglah dari batinnya itu semua was-was dan bisikan buruk. Allah swt. menguasainya pada saat itu, dengan segala sifat-Nya sekaligus memakzulkannya secara total kekuasaan dan pengendalian dirinya sendiri.
Pada kondisi itu, di maqam yang telah di sebutkan di atas, Dia menguasai secara penuh batin si hamba, yang membuat si hamba tidak dapat menemukan di dalam batinnya kuasa untuk menolaknya. Pada saat itu hilanglah dari batin hamba itu semua rasa was-was dan bisikan setan dari dirinya, karena ia sudah tidak ada lagi, sebagaimana tidak ada semua yang selain Allah, tidak ada lagi setan, dan tidak ada lagi dirinya.
Allah swt. menguasai diri pada saat itu dengan segala sifatNya untuk menggerakkan atau mendiamkannya, baik secara batin maupun secara lahir. Sekaligus pada saat itu pula Dia memakzulkan hamba secara total dari wilayah kekuasaannya pada dirinya sendiri sehingga dia tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri, apalagi kemampuan untuk menggerakkannya.
Di maqam ini, si hamba menjadi terjaga dari pelanggaran semua tugas syariat berupa perintah atau larangan. Ini merupakan bukti kebenaran fana dan baqa. Syekh Abu Sa’id al-Kharaz menjelaskan pernyataan ini, “Setiap batin yang berselisih dengan lahirnya, adalah batil.”
Di maqam ini, hamba menjadi terjaga secara lahir batin, di dalam kesendirian atau pun secara terang-terangan, dari pelanggaran terhadap batas-batas syariat yang Allah sampaikan melalui lisan Rasulullah saw. sebagai juru bicara bagi Allah swt. berupa perintah dan larangan, baik yang bersifat pasti maupun bersifat dugaan. Keterjagaan seperti ini merupakan bukti kebenaran fana dan baqa yang telah disebutkan sebelumnya, sekaligus membuktikan kebenaran murid pada keduanya.
Syekh Abu Sa’id Ahmad bin Isa al-Kharaz al-Baghdadirahimahullah yang wafat tahun 277 H menjelaskan pernyataan ini, “Setiap batin yang berselisih dengan lahirnya, adalah batil.”. Maksudnya, setiap keyakinan batin yang dimiliki murid dan ternyata berbeda dengan amal perbuatan lahiriah, maka apa yang ada di batin itu adalah batil. Karena hal itu merupakan bentuk kemunafikan. Terkadang di batin si murid terdapat keimanan, tetapi sisi lahiriahnya menyelisihi hakikat iman. Terkadang di dalam batin si murid ada pelanggaran, padahal di sisi lahiriahnya dia tampak sebagai orang yang taat.
Kedua contoh ini batil dalam ranah kesempurnaan insani., Yang pertama merupakan pelanggaran pada ranah lahiriah yang menjadi bukti pelanggaran pada ranah batiniah. Adapun yang kedua adalah pelanggaran pada ranah batiniah yang menjadi bukti pelanggaran pada ranah lahiriah.
Masih ada dua contoh lain, yaitu ketika sisi batiniah selaras dengan sisi lahiriah dalam ketaatan yang merupakan kesempurnaan yang dicari; dan ketika sisi batiniah selaras dengan sisi lahiriah dalam pelanggaran yang merupakan kekurangan yang pasti.
Setelah pencapaian dengan fana dan baqa, yaitu berupa perjalanan menuju Allah swt. dan perjalanan di dalam Allah swt. yang terjadi setelah fana, maka tercapailah pula perjalanan dari Allah swt. dan dengan Allah swt., yang hal itu merupakan maqam tanazzul (turun) menuju pencapaian akal makhluk untuk menyeru mereka menuju Allah. Ini adalah maqam orang-orang khusus yaitu para nabi dan rasul.
Setelah pencapaian dengan fana dan baqa yang keduanya telah disebutkan di atas, yaitu berupa perjalanan dengan fana, dari nafsi atau diri hamba menuju Allah swt.; dan perjalanan di dalam Allah swt. yang terjadi setelah fana, yaitu meleburnya jiwa dengan perjalanan di dalamnya menuju Rabb seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Tercapailah oleh murid dengan mengetahui secara yakin bagaimana perjalanan dari Allah swt. menuju makhluk-Nya, dan perjalanan dengan Allah swt. bukan dengan dirinya sendiri, yang perjalanan itu merupakan maqam tanazzul (turun) Ilahi dalam berbagai citra manusiawi, menuju puncak tertinggi pencapaian akal makhluk yang mukalaf dalam bentuk persepsi dan pengetahuan, untuk menyeru mereka menuju kebenaran sekaligus menentang kebatilan, atau menuju Allah swt.
Ini adalah maqam orang-orang khusus, yaitu para nabi dan rasul as. Allah swt. berfirman kepada Nabi Muhammad saw.,
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, siapa yang melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar atas Ganji) sendiri; dan siapa yang menepati janjinya kepada Allah, Dia akan memberinya pahala yang besar.” (QS. al-Fath [48]: 10)
Allah swt. juga berfirman,
“Siapa menaati Rasul (Muhammad), sesungguhnya dia telah menaati Allah. Siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka. (QS. an-Nisa’ [4]: 80)
Allah swt. berfirman dalam ayat lain,
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” (QS. az-Zumar [39]: 53)
Allah swt. berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS. az-Zumar [39}: 10)
Nabi Muhammad saw. telah menyampaikan banyak hadis qudsi untuk menjelaskan kebersamaan Ilahi atau ma‘iyyah ilahiyyah. Ketika beliau ber-tanazzul pada maqam tersebut, Allah pun berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang yang menyekutukan-(Nya).’” (QS. Fushshilat [41]: 6)
Allah swt. juga berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan.’” (QS. Al-Ahqaf [46]: 9)
Dalam magam tanazzul yang telah disebutkan ini, mereka mengembalikan’ setiap perkara kepada Allah swt. sebagai orang-orang yang tunduk dan beristighfar memohon ampunan sementara para wali di maqam ini memiliki satu bagian dari ittiba’ kepada para nabi,. Seperti yang Allah nyatakan, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku’.” Karena seorang syekh laksana seorang nabi di tengah kaumnya.
Dalam maqam tanazzul yang telah disebutkan ini, mereka—yaitu para nabi dan para rasul ‘Alaihimu-sh Shalah wa-s Saladim—mengembalikan setiap perkara yang mereka alami kepada Allah swt. sebagai orang-orang yang tunduk dan beristighfar memohon ampunan dari berbagi kekhilafan mereka, sedangkan para wali di maqam yang telah disebutkan di atas ini memiliki satu bagian dari ittiba’ kepada para nabi, yaitu dengan mereka meneladani, baik dalam keyakinan maupun dalam amal perbuatan para nabi itu sehingga mereka mendapatkan bagian yang mereka dapatkan warisan dari para nabi.
Seperti yang Allah swt. nyatakan kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata’.” Maksudnya: Katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang itu, “Inilah berbagai keyakinan dan amal perbuatan yang aku tunjukkan bagi kalian sebagai jalanku menuju Allah swt., yang dengannya aku menyeru setiap mukalaf untuk masuk ke hadirat Allah, pada setiap dakwahku kepada kalian, dengan hujah yang nyata dengan terjadinya musyahadah pada al-Haq, bukan dengan kelalaian pada-Nya. Ini adalah jalanku dan setiap orang yang berittiba’ kepadaku dari kalangan umatku, sampai hari kiamat menuju Allah.”
Sebagaimana yang telah disebutkan dari hadis nabi bahwa beliau bersabda, “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang menampakkan kebenaran tanpa takut kepada siapa pun yang mendustakan mereka dan juga siapa pun yang berselisih dengan mereka, sampai perintah Allah tiba. Mereka selalu melakukan itu dan mereka ada di Syam.” Saya telah menjelaskan panjang lebar tentang hadis ini di dalam kitab saya yang berjudul Nihdjatul Mawdd syarh Hiddyah Ibnil ‘Imad.
Demikian itu terjadi karena seorang syekh yang sempurna dalam makrifatnya pada Allah swt., di tengah kaumnya adalah laksana seorang nabi di tengah kaumnya. Maksudnya, dari perspektif bahwa dia wajib menyampaikan kepada kaumnya guna menyampaikan apa yang telah menjadi risalah nabi mereka, lalu mereka pun wajib menaati sang syekh pada semua risalah tersebut, sebagaimana wajib pula bagi mereka untuk mengagungkan sang syekh di tengah mereka, karena menghina sang syekh sama dengan menghina nabi.
Imam Suyuthi mencantumkan hadis dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir, bahwa Nabi saw. bersabda, “Para ulama adalah lentera-lentera bumi, para khalifah nabi-nabi, dan para pewaris warisan para nabi.”
Di maqam ini, meminta murid untuk membimbing adalah benar, dengan syarat ada ijazah syekh di maqam ini seperti ijazah suatu amalan. Walaupun itu disandarkan baginya, tapi itu bukan darinya karena ia sudah dimakzulkan dari berbagai pergerakan manusiawi secara total. “Dan tidaklah engkau melempar ketika engkau melempar, akan tetapi Allah yang melempar.” (QS. al-Anfal [8]: 17)
Di maqam ini, yaitu magam ilmu tanazzul setelah wushul ke hadirat Allah swt. dan bersemayam di atas kesempurnaan makrifat-Nya dari sisi dzat, sifat-sifat, perbuatan, asma, dan ketetapan-Nya; permintaan syekh arif kepada murid agar ia dapat menjadi penyeru menuju Allah dengan tercapainya tarbiyah dari syekh bagi murid penempuh suluk adalah benar dan bukan suatu kebatilan. Karena syekh telah sempurna di maqam kemanusiaannya dengan memiliki nishab dari hakikatnya, sehingga dia wajib mengeluarkan zakat hartanya. Para murid adalah laksana kaum fakir miskin yang menjadi mustahik zakat “harta kesempurnaan”. Demikian seperti yang Allah firmankan,
“Berimaniah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS. al-Hadid [57]: 7)
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin.” (QS. at-Taubah [9]: 60)
Akan tetapi, seorang murid hanya akan bersemayam di magam tersebut dengan adanya ijazah syekh yang arif baginya, baik secara terang-terangan maupun dalam bentuk isyarat untuk berada di maqam ini, yaitu maqam dakwah menyeru manusia kepada Allah dengan hujah yang nyata (‘ald bashirah).
Ketika seorang syekh yang arif telah memberi ijazah dengan itu, ia seperti melakukan suatu perbuatan, yakni walaupun perbuatan itu diatributkan baginya dari sisi lahiriah, itu bukan perbuatannya karena Allah melakukan itu sehingga perbuatan itu diatributkan kepadanya sebagai sebuah hukum syariat disebabkan dia yang melakukannya secara lahir, tapi sesungguhnya itu bukan darinya, melainkan dari Allah swt. Firman-Nya,
“Allah menyeru (manusia) ke Darus-salam (surga).” (QS. Yaunus [10]: 25) Sementara dakwah atau seruan itu muncul dari hamba-Nya. Allah juga berfirman,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (QS. al-Waqi’ah [56]: 63—64)
Padahal yang menjadi para penanam adalah hamba-hamba-Nya. Jadi, di satu kesempatan Allah memiliki hak untuk mengatributkan segala perbuatan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, sedangkan pada kesempatan lainnya Dia juga boleh memutus atribut itu dari mereka dengan mengatributkannya kepada-Nya.
Hal seperti itu terjadi karena murid itu sudah dimakzulkan oleh Allah dari berbagai pergerakan manusiawi secara total. Karena kegelapan tabiat alamiahnya telah musnah dari esensi batinnya, sebagaimana halnya pancaran cahaya iman yang ada di hatinya. Demikianlah kemudian kemanusiaannya (basyariyyah) berganti menjadi unsur malaikat (malakiyyah).
Secara lahir batin, menjadi hilanglah darinya segenap gerak dan diam yang berhubungan dengan dirinya secara total.
Hal ini seperti yang Allah firmankan kepada nabi-Nya,
“Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar.” (QS. al-Anfal [8]: 17)
Maksudnya adalah wahai Muhammad, secara hakiki di sisi batiniah segala perkara, tidaklah engkau melempar ketika engkau melempar, sebagai majas pada sisi lahiriah. Namun, Allah-lah yang melempar secara hakiki pada sisi batiniah segala perkara.
Firman ini menyangkut tindakan Rasulullah yang mengambil segenggam tanah lalu beliau lemparkan tanah itu ke arah musuh dalam beberapa perang sehingga musuh pun kalah. Di sini, Allah mengaitkan lemparan itu kepada Rasulullah saw. pada sisi lahiriah sebagai bentuk memuliakan terhadap beliau karena tindakan itu adalah salah satu di antara berbagai tindakan Allah yang Dia tampakkan di tangan Nabi Muhammad saw. setelah Allah menciptakan maksud di dalam hati Nabi Muhammad saw. serta keinginan melakukannya. Hal itu sebagaimana Allah menciptakan kekuatan di tangan beliau. Padahal maksud, keinginan, tangan, kekuatan, lemparan, tanah, dan musuh, semua itu semata-mata merupakan perbuatan Allah yang tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya dalam hal tersebut.
Semua perbuatan para mukalaf dan semua manusia lainnya sama seperti itu adanya. Hanya saja berbeda antara orang buta dan yang tidak. Seorang manusia sempurna yang dapat melihat, seluruh perbuatannya adalah seperti ini. Dia telah dimakzulkan dari segala gerak kemanusiaan secara total. Itulah sebabnya penulis menyebutkan ayat di atas yang secara spesifik menjelaskan ihwal lemparan yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw. karena mungkin pengertian ayat tersebut, perbuatan dengan makna seperti yang telah disampaikan di atas, berlaku umum pada semua perbuatan.
Pasal tentang pergerakan di dalam batin murid dan tentang menangkal keburukan dari orang lain.
Ketahuilah bahwa ada dua jalan untuk menanggung beban dari orang banyak: Jalan pertama adalah apabila seseorang menderita suatu penyakit atau ditimpa musibah, maka hendaklah dia berwudhu lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Kemudian hendaklah dia bertawajuh dengan ketundukan dan kelemahan di hatinya kepada Allah swt., lalu memohon kepada-Nya untuk menyucikan orang tersebut dari apa yang menimpa dirinya, lalu menghilangkannya darinya.
Pasal mengenai cara syekh mengendalikan batin murid dan cara menangkal keburukan dari orang lain, juga bala dan musibah.
Ketahuilah bahwa andilnya syekh arif ke dalam kegiatan menanggung beban, bala, atau musibah -dari orang banyak ada dua jalan. Jalan pertama adalah ketika syekh sempurna yang ingin menanggung beban orang lain melihat seseorang menderita suatu penyakit, ditimpa musibah, ditangkap oleh seorang zalim, atau Allah menimpakan musibah terhadapnya, sedangkan dia memungkinkan untuk bertobat; maka hendaklah syekh tersebut berwudhu lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Kemudian hendaklah dia bertawajuh kepada Allah swt. dengan ketundukan dalam doa, merasa lemah, dan kehinaan di hatinya kepada Allah swt. Kemudian hendaklah dia memohon kepada-Nya untuk menyucikan orang tersebut dengan menyebutkan nama atau julukannya, dari bala yang menimpa dirinya lalu menghilangkannya darinya. Karena sesungguhnya Allah akan mengijabah permohonannya serta memenuhi hajatnya tanpa ditunda-tunda, Insya Allah.
Jalan kedua adalah dengan menjadikan pengidap penyakit sebagai dirinya, serta menetapkannya di posisi pengidap penyakit atas derita penyakit tersebut. Lalu hendaklah syekh menyibukkan hatinya dengan posisi tersebut, bertawajuh dengan tekadnya untuk menangkal penyakit itu darinya serta mengambil tanggungan kondisinya. Apabila orang itu adalah orang yang bermanfaat, dan dia sudah hampir mati, yaitu sebelum datangnya malaikat Izrail karena sesungguhnya setelah dia datang, kembalinya dia dengan tangan kosong dan mencari pengganti adalah keharusan. Pada saat itu hendaklah ia menetapkan penyakit di tempat anggota-anggota tubuh orang tersebut, lalu bertawajuh dengan tekadnya.
Jalan kedua adalah dengan sang syekh sempurna itu menjadikan jiwa si pengidap penyakit diumpamakan sebagai dirinya, dengan cara mengarahkan tekad dan tajarrud dari kejasmaniannya, lalu masuk ke kejasmanian orang yang mengidap penyakit, sampai dia memasukkan jiwanya ke dalam jasad si pengidap penyakit dengan satu gerakan abadi yang Allah telah firmankan tentangnya di dalam ayat,
“Perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. al-Qamar [54]: 50)
Dia manunggal dengannya, serta menetapkan jiwanya di posisi jiwa si pengidap penyakit atas serangan sakit tersebut.
Lalu hendaklah dia melakukan tadbir (penguasaan) terhadap jasad di pengidap penyakit serta menyibukkan hati si pengidap penyakit yang terserang sakit tersebut dengan melakukan tadbir terhadap jasad di pengidap penyakit dengan men-tawajuh-kan tekadnya yang disokong dengan penyatuan rohani yang luhur (jam’iyyah rohaniyyah ‘aliyyah) untuk menangkal sakit itu dari si pengidap penyakit; serta sang syekh sempurna mengambil tanggungan segala selain penyakit tersebut. Maksudnya, ini seperti orang yang memikul beban yang ditanggung oleh orang lain.
Apabila orang itu adalah manusia yang bermanfaat, dengan dia banyak menyebarkan ilmu, berkontribusi pada masyarakat, dan lain-lainnya. Sementara itu, dia sudah hampir mati disebabkan kian parah sakitnya. Hal itu terjadi sebelum sisi Izrail as. datang dari sisi rohani orang tersebut pada hati sanubarinya untuk mencabut nyawanya lalu dibawa ke Alam Malakut karena sesungguhnya setelah malaikat Izrail as. datang ke hati yang disertai kesadaran dari si sakit, maka kembalinya Izrail as. dari tujuan mencabut nyawa itu dengan tangan kosong adalah sesuatu yang mustahil karena hakikat Izrail as. adalah mencabut nyawa secara dharuri. Sehingga apabila hakikatnya turun pada satu rohaniah dari hadirat al-Quds, maka ia pasti akan mencabut nyawanya. Karena Izrail as. adalah representasi dari nama Allah al-Qabih atau Maha Merenggut nyawa. Allah swt. berfirman, “Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya,” (QS. Had [11]: 123), dan firman-Nya, “Hanya kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. Yasin [36]: 83)
Ketika itu terjadi, maka harus ada pengganti bagi penderita penyakit agar malaikat Izrail dapat beralih kepadanya dari si penderita penyakit ini, sebagai bentuk pengalihan satu takdir dari takdir yang lain dengan sebuah takdir, sebagaimana yang dinukil dari syekh kami, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengenai maqam ini dia berkata, “Kami ada di maqam yang kami menangkal takdir dengan takdir.”
Ketika seorang syekh sempurna ingin menangkal seseorang yang sakit dari kematian dengan keinginannya, maka pada saat itu hendaklah ia menetapkan pada orang pengganti itu di posisi si penderita sakit, kemudian ia tempatkan anggota tubuh orang itu pada anggota-anggota tubuh si penderita sakit lalu bertawajuh dengan tekadnya yang muncul dari sisi rohani yang merupakan termasuk amrullah. Ketika si orang sakit itu sembuh, lalu si pengganti itu mati, takdir dan qadha telah berhasil ditangkal dengan qadha yang lain.
Pertolongan bagi penyakit ada bermacam-macam: Pertama, dia bertawajuh dengan tekadnya untuk mengangkat penyakit tersebut serta menjauhkan darinya. Kedua, dia menanggung penyakit itu dengan dirinya sendiri. Ketiga, dia bertawajuh untuk menghilangkan berbagai bisikan yang berbeda-beda darinya tanpa bersikap keras kepala untuk menghilangkan penyakit, karena di dalamnya terdapat peningkatan derajat, dan bahwa penyakit adalah faktor wajib untuk menyucikan diri murid serta menjernihkan kekuatan otak.
Pertolongan dari syekh arif bagi muridnya yang terkena penyakit sang murid ada tiga macam. Pertama, sang syekh bertawajuh dengan tekadnya untuk menyangkal penyakit muridnya serta menjauhkannya dari si murid itu sehingga penyakit itu pun menghilang dan pergi darinya atas izin Allah swt.
Kedua, sang syekh menanggung penyakit itu dari si murid dengan dirinya sendiri, yaitu dengan cara dia mengarahkan jiwanya kepada jiwa muridnya dengan tekadnya yang berasal dari amrullah sehingga kemudian kedua jiwa mereka itu bersatu di hadirat amr ilahiy. Setelah itu sang syekh memisahkan jiwanya dari jiwa muridnya di titik pemisahan dengan menanggung penyakit itu darinya. Dengan semua itu, ia turun ke alam makhluk, sehingga si murid akan merasa ringan dari sakit yang ia derita, karena sang syekh yang menanggung penyakit tersebut.
Ruh para syekh berbeda-beda dalam menanggung hal seperti itu. Semakin kuat ruh seorang syekh, semakin ringan pula beban yang ditanggungnya. Kekuatan ruh itu bergantung pada banyaknya syuhud, sebagaimana kelemahannya bergantung pada sedikitnya syuhud karena syuhud memang menjadi makanan pokok dan sumber kekuatan bagi ruh, sebagaimana halnya makanan dan minuman menjadi sumber kekuatan bagi jasad. Setiap kali makanan yang dikonsumsi itu sedikit, tubuh akan melemah, sedangkan ketika makanan yang dikonsumsi itu banyak, tubuh akan menjadi kuat. Seperti itulah yang terjadi pada ruh.
Jenis yang ketiga adalah sang syekh bertawajuh untuk menghilangkan berbagai bisikan yang berbeda-beda dari muridnya, seperti bisikan dunia, bersosialisasi, harta, syahwat, permasalahan akhirat, ibadah, taat, dan berbagai keyakinan. Semua hal itu dia alihkan agar bisikan si murid menjadi satu hadirat tunggal, yaitu hadirat Allah swt. semata. Ruh sang murid pun menjadi kuat dengan itu. Ia menjadi kuat karena adanya bahan makanan bagi badannya yang mendorong anggota-anggota tubuhnya untuk bekerja secara normal tanpa sang syekh bersikap keras untuk menghilangkan penyakit dari murid karena di dalam penyakit itu terdapat peningkatan derajat bagi murid di sisi Allah swt., dan bahwa penyakit adalah faktor wajib dan pasti untuk menyucikan murid dari segala kotoran dosa-dosa serta berbagai pelanggaran, sekaligus juga menjernihkan kekuatan otaknya dari berbagai kotoran tipu daya serta kelalaian sehingga meskipun demikian penyakit sangat bermanfaat bagi murid.
Apabila otak jernih, dia pun menjadi berkaitan dengan cahaya mutlak nan sederhana yang tidak dapat ditanggung oleh semua maujud dan menjadi tujuan dari semua ciptaan, sedangkan berbagai bisikan menghalangi munculnya kejadian ini.
Apabila otak jernih, ia pun menjadi berkaitan dengan cahaya mutlak yang sederhana. Cahaya tersebut yang di dalamnya menjadi tampaklah penjuru langit dan bumi dengan segala yang ada di dalam keduanya, serta menjadi tampak pula segala sesuatu dari ketiadaan, yaitu cahaya Allah yang bersifat mutlak lepas dari segala ikatan sehingga ia tidak memiliki rupa, tidak memiliki bentuk, tidak menyerupai apa pun, tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengannya, tidak memilikinya, ia tidak bersambung dengan sesuatu apa pun, ia tidak terpisah dari sesuatu apa pun, ia tidak berada di dalam sesuatu apa pun, dan ia juga tidak berasal dari sesuatu apa pun.
Cahaya itu bersifat sederhana, tidak tersusun dari dua atau banyak komponen, sehingga tidak ada sebagian, tidak ada keseluruhan, tidak ada tepi, tidak ada batas, tidak ada kadar, tidak ada masa, dan tidak ada tempat. Ia juga tidak dapat ditanggung oleh semua maujud. Artinya, ia tidak dapat diketahui tanpa terjadinya penyerupaan oleh semua maujud seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya.
Jadi apabila ia ingin memanifestasi bagi suatu rohaniah di antara banyak rohaniah, ia pun merasakannya, lalu akan merasa ada perbedaan padanya dalam kondisi pertamanya, yaitu kondisi diam karena ruh harus bergerak berdasarkan perintah Allah—disebut harakah amriyyah—yang laksana sekejapan mata, agar berbagai rohaniah itu dapat melebur dengannya sehingga tampaklah kesalahan pada sistem tubuh manusia, seperti halnya lemak yang dikumpulkan, lalu diletakkan di bawah sinar matahari.
Ketika panasnya terik, lemak itu pasti akan bergerak akibat panas matahari sebelum akhirnya meleleh. Apabila kemudian terpapar udara dingin yang menusuk, ia pasti akan meleleh dengan cepat seketika itu juga. Tetapi jika dingin itu lambat, ia akan meleleh sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia mencair seperti air. Pada saat itu, hilanglah dari ruh itu semua kotoran kebekuan dan kembalilah kepadanya kejernihan layaknya air sehingga di dalamnya tampak berbagai bentuk bintang di ketinggian, padahal ia tetap berada di bumi tanpa meninggalkan tempatnya. Allah swt. berfirman,
“Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. adz-Dzariyat [51]: 20—21)
Cahaya itulah yang merupakan tujuan dari semua ciptaan. Sebab cahaya itulah yang mewujudkan sekaligus meniadakan segala makhluk. Ia pula yang menjadi penyambung wujud semua makhluk dengan menciptakan ulang perumpamaan mereka, seperti yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. ”(QS. al-Ankabit [29]: 43)
Ini adalah maqam yang tidak dimiliki orang-orang lalai disebabkan kesibukan mereka sehingga melewatkan penyaksian kepada Allah dengan penyaksian berbagai hal selain-Nya.
“Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah [58]: 13)
Sementara itu, berbagai bisikan yang bermacam-macam di hati murid menghalangi munculnya kejadian ini di dalam hatinya. Cahaya tidak mungkin bisa bersama dengan kegelapan karena keduanya saling berlawanan. Ketika hati dipenuhi dengan berbagai bisikan yang muncul silih berganti sebagaimana umumnya, dengan satu bisikan hilang lalu datang yang lainnya, sedangkan yang menghimpun adalah cahaya tersebut, hal itu mustahil dapat datang satu bisikan yang sahih, kecuali setelah berbagai bisikan yang batil pergi karena Allah berfirman,
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.” (QS. al-Ahzab [33]: 4)
Bisikan yang sahih itu sebenarnya tidak berbeda dengan berbagai bisikan yang batil itu. Hanya saja, ketika sebuah kebatilan pada satu makhluk menghilang, pasti yang muncul padanya adalah hal yang sahih. Hakikat kasyf adalah penguatan persepsi (idrdk) dan bukan penggantian objek persepsi (mudrak). Demikian seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum [30]: 30)
Penggantian hanya dilakukan oleh setan, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya yang menuturkan perihal ucapan setan,
“Pasti aku sesatkan mereka dan akan aku bangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan aku suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah. (QS. an-Nisa’ [4]: 119)
Arahan syekh untuk pencari hakikat, seperti inilah adanya; yaitu dengan syekh mendudukkannya di hadapannya lalu dia berkata kepadanya, “Kosongkanlah jiwamu dari semua bisikan.” Kemudian hendaklah dia bertawajuh kepadanya dengan tekadnya untuk menghilangkan hijab zhulmaniy lalu bertawajuh untuk menghilangkan hijab nirdniy. Ketika dia mencapai ghaibah, janganlah dia bertawajuh kepadanya, kecuali jika dia mencapai ghaflah maka hal itu akan melenyapkannya.
Adapun berkenaan dengan arahan syekh pada hati si murid, pencari makrifat dan hakikat, seperti inilah adanya; yaitu seperti jenis tawajuh syekh yang ketiga yang sudah disampaikan di bagian sebelumnya, yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai macam bisikan dari diri murid.
Itu dilakukan dengan sang syekh mendudukkan murid di hadapan wajahnya dengan melekatkan kedua lutut, kecuali bagi yang beruzur, lalu sang syekh berkata kepada murid, “Kosongkanlah jiwamu dari segala bisikan.” Bisikan apa pun yang terlintas di dalam hati murid. Tak terkecuali bersitan ketaatan. Sesungguhnya wadah yang kosong dapat dimasuki oleh berbagai benda, dan itu tidak dapat terjadi pada wadah yang penuh. Sesuatu yang dimasukkan ke dalam wadah yang penuh pasti akan menghilang secara langsung karena sesuatu itu tidak mungkin muat di wadah penuh tersebut.
Selanjutnya, hendaklah sang syekh bertawajuh dengan tekad rabbaniyyah-nya untuk menghilangkan atau memusnahkan hijab zhulmaniy dari hati murid; yaitu hijab jasmani berikut segala akibat, konsekuensi, dan implikasinya.
Setelah itu hendaklah sang syekh bertawajuh untuk menghilangkan hijab nuraniy dari hati murid yang menjadi hijab bagi rohaniah berikut segala konsekuensi dan implikasinya.
Ketika murid telah mencapai ghaibah atau kondisi “hilang” dari segala entitas yang dapat dipikirkan dan dapat diindra, maka hendaklah sang syekh menetapkan murid dalam kondisinya itu. Janganlah sang syekh bertawajuh kepada murid, agar dia tidak merusak waktu murid tersebut disebabkan munculnya beberapa masyrab berbeda pada hatinya, kecuali jika si murid mencapai ghaflah atau kelalaian yang akan menghalanginya dari ghaibah, bahkan akan meniscayakan terjadinya shahwah (keterjagaan). Ketika itu terjadi, hendaklah sang syekh menghilangkan itu dari murid dengan tekadnya pada saat itu. Tujuannya adalah agar hati menjadi sempurna bagi murid hakikat ghaibiyyah dan dia merasakan kerelaan di dalam kondisi itu.
Hal yang diatributkan kepada seseorang di antara berbagai hal berikut ini adalah bahwa ia didatangi seorang asing lalu muncul dalam bersitannya secercah iman, shalat, puasa, atau pencapaian suatu ilmu, mereka menyatakan bahwa dia mendapatkan darinya hakikat Islam, keagamaan, dan ilmu. Walhasil apabila disebabkan keterhubungan itu tampak makna ini, wujudnya di dalam benak hati merupakan bagian dari implikasi nafasnya.
Hal yang diatributkan kepada seseorang sempurna di jalan Allah swt., di antara berbagai hal berikut ini, yang disampaikan di tengah penjelasan, seperti iman, shalat, mahabbah, atau ‘isya yang menyebabkan semua itu adalah apabila orang sempurna itu didatangi di majelisnya seorang asing yang tidak dikenalnya, lalu muncul dalam hati orang arif itu secercah maknanya yang jelas dalam bentuk perhiasan iman, shalat, puasa, atau pencapaian suatu ilmu, seperti ilmu tauhid, makrifat, ilmu syariat, hukum-hukum, ilmu hadis Nabi, atau ilmu tafsir al-Quran.
Para tokoh Naqsyabandiyah menyatakan kepada kami bahwa dia mendapatkan darinya hakikat Islam, keagamaan, dan ilmu, yang menyebabkan melekatnya semua itu di dalam benak hati si orang asing, dengan kadar seperti yang tampak bagi mereka dari sosok manusia sempurna itu karena mereka tidak mampu melihat apa yang lebih tinggi dari itu di deretan maqam kedekatan Ilahi.
Walhasil, ketika bagi orang itu disebabkan keterhubungan ini tampak makna di atas di dirinya dari sang syekh sempurna, yang dipahami oleh manusia sempurna itu, maka wujudnya di dalam bisikan si manusia sempurna itu, merupakan bagian dari implikasi nafasnya yang dia berbolak-balik di dalamnya serta dirinya terus membaru seiring pergerakan masa. Setiap nafas yang ada baginya berimplikasi pada munculnya satu bisikan khusus.
Apabila muncul dari pencapaiannya itu secercah mahabah dan ‘isyq, para tokoh Naqsyabandiyah berkata “Muncul darinya nisbat jadzbah.” Untuk mengetahui berbagai keadaan mayit, sesungguhnya dia duduk di pinggiran kuburan lalu membaca ayat kursi satu kali dan surat al-Ikhlash dua belas kali, lalu mengosongkan dirinya dari semua bersitan. Setiap kali muncul sesuatu setelah itu, hal itu muncul dari mayit. Apabila murid berperilaku buruk, tidak boleh bagi sang syekh untuk berusaha merampas posisinya, akan tetapi hendaklah dia bertawajuh dengan tekadnya di atas jalan yang telah ditentukan untuk menghilangkan kegelapan dan kotoran darinya. Apabila tampak jelas bagi mereka dari pencapaian orang asing ke manusia sempurna itu secercah mahabah dan isyq atau kerinduan pada si manusia sempurna tersebut, para tokoh Naqsyabandiyah berkata “Muncul darinya nisbat jadzbah.” Maksudnya, adalah Tarikan Ilahiah (jadzbah ilahiyyah) dan ini adalah kadar pengetahuan orang yang lalai, sedangkan kesempurnaan itu lebih tinggi dari apa yang terbersit di hati orang-orang yang bodoh serta lebih luhur daripada apa yang diduga oleh jiwa orang-orang bodoh itu.
Dalam mengetahui berbagai keadaan mayit, baik keadaan yang baik maupun keadaan yang buruk, ketika seorang manusia sempurna ingin mengetahui hal seperti itu, hendaklah dia duduk di pinggir kuburan, lalu membaca ayat kursi satu kali dan surat al-Ikhlash dua belas kali. Namun, angka yang terakhir ini ada kemungkinan maksudnya adalah jumlah ayat dan surat, dan ada kemungkinan pula maksudnya adalah surat saja.
Setelah itu, hendaklah dia mengosongkan dirinya dari semua bisikan yang terlintas di dalamnya. Setiap kali muncul sesuatu makna apa pun pada diri orang sempurna tersebut setelah membaca bacaan-bacaan di atas, semua itu sesungguhnya berasal dari mayit sebagai bentuk penjelasan atas keadaannya di dalam kubur.
Apabila si murid berperilaku buruk menyangkut hak sang syekh atau yang lainnya, tidak boleh bagi sang syekh untuk berusaha merampas posisinya si murid sebagai bentuk hukuman terhadapnya atas adab buruk itu. Akan tetapi, hendaklah dia bertawajuh dengan tekadnya yang luhur dan kudus, di atas jalan yang telah ditentukan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, untuk menghilangkan kegelapan nafsaniyyah yang mengalahkan diri si murid sehingga menjerumuskannya ke dalam keadaan buruk itu, dan memusnahkan kotoran basyariyyah dari si murid yang telah membuatnya lalai untuk menjaga adab.
Atau hendaklah dia memerintahkan si murid melakukan zikir dengan nafy dan itsbat sehingga kegelapan itu hilang darinya, yaitu sebab dia memerhatikan di sisi nafy semua perkara baru dengan pandangan fana, dan di sisi itsbat membayangkan Dzat Sesembahan Allah swt. dengan pandangan baqa.
Atau hendaklah sang syekh memerintahkan murid untuk melakukan dzikrullah dengan kalimat yang berisi penafian atau nafy dan penetapan itsbat, yaitu kalimat La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan kecuali Allah) sehingga kegelapan yang memapar dirinya itu hilang dengan cara tersebut. Caranya adalah dengan merenungkan dari segi nafy, yaitu ketika dia mengucapkan lafal La ilaha (Tidak ada Tuhan), semua makhluk yang keluar dari ketiadaan, dengan pandangan fana, bahwa semua itu akan hilang dan musnah secara total.
Sementara dari segi itsbat, yaitu ketika dia mengucapkan lafal Ilallaah (kecuali Allah), hendaklah simurid membayangkan Dzat Sesembahan Allah swt. dengan pandangan baqa. Apabila dia melakukan amalan tersebut, kegelapan dan kotoran basyariyyahnya pasti akan hilang karena dia telah bertobat dari apa yang ia lakukan itu dengan tobat nashuha. Dengan demikian, syekhnya berhasil menghidupkan dia dari kematian maknawiah.
Tawajuh dan gerak seperti ini tidak dapat dilakukan kecuali hanya dengan menjaga semua waktu serta senantiasa melakukan muraqabah yang diiringi penafian terhadap bisikan yang bersifat malakiy, nafsiy, dan syaithaniy.
Sebagian adab-adab Iahiriah bersama Allah swt., yaitu hendaklah dia menegakkan segala perintah dan larangan syariat, selalu dalam keadaan suci dengan memohon ampunan, berhati-hati pada semua perkara, serta mengikuti tradisi kalangan ulama salaf
dengan mengamalkannya.
Pasal mengenai adab-adab lahiriah yang wajib juga bagi murid di jalan Allah swt. Maksud dari “lahiriah” di sini adalah adab-adab yang dilakukan oleh anggota tubuh (fisik) murid bersama Allah. Di antara adab tersebut adalah hendaknya seorang murid menegakkan kalimat lillahi ta’alaq secara berkesinambungan atas segala perintah dan larangan syariat, baik yang bersifat absolut (qath’i) maupun yang bersifat spekulatif (zhanni).
Selain itu, hendaknya seorang murid selalu dalam keadaan hati yang bersih dari berbagai penyakit hati seperti dengki, iri, benci, curang, marah, tipu daya, hasrat bermaksiat, buruk sangka kepada orang lain, dan sebagainya. Hendaklah ia juga selalu dalam keadaan lahir yang suci, yaitu dengan melakukan mandi, wudhu, dan membersihkan najis yang melekat di badan, pakaian, dan tempat meskipun sedikit; diiringi dengan memohon ampun kepada Allah dari segala dosa, baik yang diketahui maupun tidak.
Murid juga harus selalu berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu dengan memilih bagian yang tidak mengandung kesalahan, selama objek yang dihadapinya tidak diwajibkan oleh syariat. Misalnya, ketika seorang murid merasa terpaksa bersama dengan wanita non-mahram untuk menyelamatkan wanita itu dari dalam sumur, dan sebagainya. Hal seperti itu dilakukan pada semua perbuatan, baik dalam masalah peribadatan maupun adat. Seorang murid harus berpedoman secara lahir dan batin pada tradisi ulama salaf dari kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah dengan mengamalkan berbagai tradisi atau kebiasaan yang diriwayatkan dari mereka, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun amal perbuatan. Begitu juga, seorang murid hendaknya meninggalkan semua perkara baru yang tidak maslahat pada masa kini karena itu adalah bid’ah yang lahir dari bisikan setan.
Saya memiliki sebuah syair tentang hal ini,
Masa kini, agama dipenuhi berbagai hal baru yang tidak maslahat
Dunia masa kini juga dipenuhi dengan keharaman yang sesat
Tinggalkan agama dan dunia seperti itu, kau akan selamat
Ikutilah ilmu dan terimalah pemberian Allah, kau akan tenang sepanjang hayat
Adab-adab batin adalah menjaga hati dari pikiran baik dan buruk. Keduanya sama-sama bisa menjadi hijab. Beginilah gambaran adab Nabi Muhammad saw..
Adab-adab batin terhadap Allah swt. adalah dengan menjaga hati dari pikiran yang bukan berasal dari Allah sehingga benak pikiranmu tidak terbesit lagi sesuatu apa pun yang bukan berasal dari Allah secara mutlak. Sementara Allah swt. juga tidak mungkin terbayangkan dalam benak pikiranmu karena apa pun yang terbayangkan di dalam benak pikiranmu, pasti bukanlah Allah.
Ketika benak pikiranmu bersih dari segala bentuk bayangan selain Allah, hatimu akan kosong sehingga ada ruang kosong untuk dimasuki cahaya makrifatullah, lalu tajalli Allah swt. diterima oleh dirimu, kemudian Allah bertajalli dalam dirimu dengan tajali yang berasal dari dirimu karena dirimu adalah salah satu jejak tajali-Nya yang bersifat kadim.
“Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Hujurat [49]: 16)
Yang engkau jauhkan dari hatimu itu berlaku pada pikiran baik yang muncul bukan dari Allah seperti keimanan, makrifat, ketaatan, dan sebagainya. Berlaku juga pada pikiran buruk seperti kekufuran, kemaksiatan, dan sebagainya. Dalam kondisi lain, pikiran itu bisa sesuatu yang tidak baik dan tidak buruk, seperti berbagai perkara mubah. Sesungguhnya pikiran yang baik dan yang buruk sama-sama menjadi hijab bagimu, yang sama-sama menghalangimu dari Allah swt. Segala sesuatu adalah perkara baru dan setiap perkara baru adalah hijab atas Allah yang Mahakadim.
Adab Nabi Muhammad saw. mengenai Allah swt. yang wajib dipelihara oleh murid juga digambarkan dengan sikap ini. Adab-adab lahiriah yang dilakukan anggota tubuh, murid harus berpedoman kepada perintah-perintah Nabi Muhammad saw. di luar perintah lainnya dari Allah swt. Hal itu dapat berupa amalan-amalan sunah yang dianjurkan (muakkadah) atau tidak dianjurkan (ghairu muakkadah). Begitu pun adab murid hendaknya menghindari semua larangan Nabi Muhammad saw. di luar larangan lain dari Allah swt. Hal itu dapat berupa perbuatan-perbuatan makruh sebagai bentuk kehati-hatian.
Di antara adab-adab batin adalah hendaknya kamu bersaksi atas Nur Muhammad (Hadirat Muhammadiyyah) yang terbebas dari segala makhluk karena semua makhluk yang ada berasal darinya. Adab ini merupakan tempat tertinggi yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepadamu dengan syarat kamu harus bersikap zuhud terhadap segala sesuatu yang baik ataupun buruk.
Penyaksian atas Allah swt. yang tanpa diiringi dengan penyaksian atas Nur Muhammad tidak akan mendapatkan anugerah. Hal itu justru akan merampas semua anugerah sehingga semuanya akan musnah karena semua pintu tertutup, kecuali pintunya Nabi Muhammad saw. Oleh karena inilah, sebagian besar orang-orang yang bersaksi atas Allah swt. lalai terhadap penyaksian Nur Muhammad yang menjadi hayula bagi semua makhluk yang ada sehingga mereka mencapai tingkatan fana dalam penyaksian. Akan tetapi, mereka tidak mencapai sedikit pun dari semua ilmu hakikat dan semua rahasia makrifat. Selain itu, mereka juga tidak akan dapat memahami kandungan al-Quran dan sunah karena tidak mencapai pada penyaksian hadirat Nur Muhammad sebagai asal-muasal makhluk.
Adab-adab dengan para wali Allah adalah ketika kamu berada di majelis mereka, kamu harus menjaga benak hatimu. Kamu tidak diperkenankan untuk berbicara dengan mereka sebelum mereka izinkan. Kamu juga tidak diperkenankan untuk berbicara kepada mereka dengan suara yang tinggi.
Adab-adab dengan para wali Allah yang wajib dilakukan oleh murid adalah ketika berada di majelis mereka, murid harus menjaga benak hatinya. Jangan sampai terbersit sedikit pun di dalam hatimu keburukan terhadap mereka atau terhadap orang lain. Walaupun keburukan yang terbersit di hatimu tidak tertuju pada satu orang tertentu, kamu berhadas kecil di sisi mereka. Apabila yang terbersit di hatimu adalah kekufuran, kamu menjadi hal yang najis di sisi mereka. Sebagaimana Allah swt. berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa).” (QS. at-Taubah [9]: 28)
Dengan demikian, hilanglah kesucian batinmu sehingga kamu haram diterima oleh mereka dan hal itu membuatmu melewatkan banyak kebaikan. Mungkin kamu menyakiti mereka dengan perasaan yang terlintas di hati sehingga kamu termasuk ke dalam apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. pada sebuah hadis qudsi, “Siapa yang menyakiti wali-Ku, Aku nyatakan perang terhadapnya.” Artinya, Allah menyatakan perang terhadap orang itu. Siapa pun yang Allah perangi pasti akan binasa di dunia dan akhirat.
Selain itu, kamu tidak diperkenankan berbicara kepada para wali Allah dengan nada yang tinggi karena mereka seperti Nabi Muhammad saw., sebagaimana semua ilmu mereka adalah ilmu nabi juga karena mereka adalah para pewaris nabi. Allah swt. berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat [49]: 2)
Diksi “para pewaris nabi” di dalam majelis-majelis para wali Allah adalah sabda nabi yang diambil secara maknawi, bukan lafzi. Sementara itu, siapa pun boleh meriwayatkan hadis-hadis nabi secara maknawi, tanpa lafal yang sama persis dengan ungkapan di dalam hadis berikut,
Engkau tidak boleh menyibukkan diri dengan shalat sunah di hadapan para wali Allah, kecuali jika engkau shalat bersama mereka maka itu baik. Jangan pula engkau berbicara di tengah pembicaraan mereka, bahkan engkau tidak diperkenankan berbicara dengan mereka selama berada di majelis itu, kecuali engkau menjawab pertanyaan mereka. Semua hal yang mereka benci, hendaknya engkau juga membencinya. Engkau jangan pernah melihat apa yang dibutuhkan dan dilakukan mereka di dalam rumah mereka. Jangan pula terbesit di benakmu pergi meninggalkan mereka, lalu engkau datang kepada syekh yang lain, kemudian engkau berguru kepada syekh tersebut.
Ketika engkau hadir ke tempat para wali Allah atau ketika mereka datang ke tempatmu, hal itu dapat menurunkan martabatmu dari martabat yang tinggi karena kebaikan mereka lebih utama bagimu daripada amalan sunah yang kamu lakukan dan berbagai kebaikan mereka dapat menambah makrifatmu sehingga kamu menjadi seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Satu rakaat orang yang mengenal Allah, lebih utama daripada seribu rakaat orang yang tidak mengenal-Nya.”
Sementara itu, amalan sunah yang kamu lakukan akan menambah pahala ketika kamu melakukannya dengan ikhlas, tapi ketika amalan sunah itu disusupi riya, ibadah itu langsung berubah menjadi maksiat yang membuatmu dihukum. Dengan begitu, kamu termasuk dalam perkataan yang disampaikan oleh para ahli fikih, “Siapa yang shalat . dengan riya, dia telah kafir atau berdosa, seperti halnya orang yang tidak shalat.”
Jika kamu shalat sunah bersama mereka maka itu baik. Maksudnya adalah ketika kamu melihat para wali Allah sedang melakukan shalat sunah, lalu kamu mengikuti mereka dengan melaksanakan shalat seperti yang mereka laksanakan, sebagai balasannya kamu meraih kebaikan.
Ketika kamu memotong ucapan para wali Allah, Allah akan menghalangimu dari mereka karena perangaimu yang buruk terhadap mereka. Hal itu juga akan merugikanmu karena kamu tidak akan meraih kebaikan dari mereka.
Kecuali kamu menjawab pertanyaan mereka. Apabila para wali Allah lebih dulu mengajakmu berbicara, bicaralah kepada mereka dengan lembut dan sungguh-sungguh.
Jika para wali Allah membenci suatu hal, baik itu berasal dari dirimu maupun dari orang lain, hendaknya kamu juga membencinya. Perbuatan itu merupakan bentuk teladan dan pengakuanmu kepada mereka.
Ketika kamu memasuki rumah para wali Allah di tengah kesendirian mereka, janganlah kamu melihat perbuatan, usaha, dan kebutuhan mereka yang dipersiapkan demi kemaslahatan mereka. Misalnya, pakaian dan harta benda; kasur, piring, gelas, dan lain sebagainya. Maksudnya, janganlah kamu terlalu banyak menelisik hal-hal seperti itu karena dapat menggugurkan kehormatanmu kepada mereka di dalam hati. Hal itu juga dapat membuatmu alpa dari sikap yang seharusnya kamu pegang teguh, yaitu memberikan penghormatan yang tinggi (ta’zhim) terhadap mereka sehingga kealpaan itu akan melewatkan kesempatanmu untuk bertakwa sepenuh hati. Sebagaimana Allah berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj [22]: 32)
Kata dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari kata yang artinya adalah hal yang dapat mendatangkan rasa dan pengetahuan terhadap kehadiran Allah swt. Di antaranya adalah mushaf al-Quran, orang-orang bijak (al-‘arifin), para ulama, masjid, buku-buku syariat, dan sebagainya.
Jangan sampai pernah terpikirkan olehmu untuk mendatangi syekh lain yang engkau ikuti selama engkau bersahabat dengan para wali Allah, lalu engkau mengikuti jejak suluk menuju Allah dari syekh lain tersebut, sedangkan engkau bersama dengan para wali Allah. Bisikan hati semacam itu akan mengotori perasaanmu dan merusak berbagai perasaan hatimu sehingga engkau rugi karena membatalkan sumpahmu dengan syekh yang pertama, sedangkan engkau juga tidak akan mendapatkan bimbingan yang maksimal dari syekh yang kedua.
Yakinlah bahwa syekh yang pertama adalah sosok yang dapat menghantarkanmu ke hadirat Allah swt. Janganlah engkau tautkan hatimu dengan syekh yang lain karena hal itu pasti akan memisahkanmu dengan syekh pertama. Walhasil, segala bentuk tabiat yang melekat pada manusia, jauhi dan hindarilah itu. Sesungguhnya berperilaku buruk khususnya terhadap para syekh, berimplikasi pada jauhnya jalan serta tidak tercapainya limpahan dan anugerah ilahi. Oleh karena itu, seyogianya jangan sampai ada di dalam hatimu dan jangan pula ada di penglihatanmu apa pun selain Allah dan asma-Nya. Teruslah bersama Allah sampai engkau tidak lalai dalam memperoleh jalan kepada dirimu.
Yakinlah bahwa syekh adalah segalanya karena engkau tidak mengambil kebaikan dari citranya yang terimajinasi di dalam batin dan lahirmu. Namun, engkau mengambil kebaikan dari hakikatnya yang ada di balik itu. Allah berfirman,
“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka (sehingga tidak dapat Iolos).” (QS. al-Buruj [85]: 20)
Itulah hakikat yang engkau ambil dari syekh melalui beberapa pintu hakikat dan syekh adalah salah satu pintu di antara pintu-pintu itu seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya. Oleh karena itu, tindakanmu berpindah dari satu pintu ke pintu yang lain adalah tanda keterhalanganmu dari hakikat karena keyakinanmu dengan beberapa syekh. Jika engkau meyakini pintu hakikat itu banyak, tapi tidak dengan syekh. Selamanya engkau harus setia pada satu syekh saja apa pun yang terjadi. Ketika engkau bermaksud pindah ke pintu hakikat lain, harus seizin dari pintu pertama yang mengeluarkanmu dari ruang hakikat (hadlrah) tersebut. Jika tidak demikian, engkau tidak diperbolehkan pergi karena setiap ruang hakikat menuntut adanya sanad yang tampak darimu sehingga engkau tidak boleh meminta izin untuk pergi ke ruang hakikat lain. Setiap ruang hakikat tidak membutuhkan ruang hakikat yang lain karena semua itu menghimpun seluruh ruang hakikat.
Setiap pintu hakikat menghimpun pintu-pintu hakikat lainnya, sebagaimana setiap syekh juga memiliki semua yang dimiliki oleh para syekh lain. Oleh karena itu, perpindahanmu kepada syekh lain dengan tujuan untuk mengambil hakikat dari syekh tersebut merupakan sebuah kebodohan yang nyata terhadap tingkatan mulia syekhmu. Hal itu juga merupakan sebagai pemisah yang terjadi di dalam dirimu karena dengan itu engkau telah meniadakan seluruh syekh dan pintu hakikatmu. Berhati-hatilah dari hal itu dengan penuh kewaspadaan.
Yakinlah bahwa syekh yang membimbingmu sejak awal telah memiliki semua yang dimiliki oleh syekh lainnya. Meskipun pengajaran yang disampaikan berbeda-beda, sesungguhnya para syekh memiliki makrifatullah yang tunggal, tanpa ada perbedaan. Pengajaran yang disampaikan bukanlah makrifat, justru makrifat bersembunyi di balik setiap pengajaran dan menyelinap di balik setiap petunjuk (isyarat),
Seorang penyair berkata,
Kami punya banyak pengajaran, tapi keindahan-Mu tunggal
Semua pengajaran kami menunjukkan kepada keindahan itu
Apabila engkau sudah mengetahui hal ini, tidak diragukan lagi bahwa siapa pun yang membimbingmu pertama kali, dialah sosok yang menghantarkanmu mencapai kesadaran terhadap kehadiran Allah swt. Jadi, jangan menghindar darinya. Janganlah engkau tautkan hatimu dengan syekh yang lain karena hal itu pasti akan memisahkanmu dengannya. Engkau akan terhindar dari penyaksian syekh lain dan menyebabkanmu melenceng dari penyaksian Yang Maha Esa lagi Mahakuat.
Tabiat manusia berupa kesenangan untuk melihat segala hal selain Allah, lalu berkumpul dengannya, juga kesenangan untuk meraih sesuatu dari selain Allah, atau mendapat bimbingan dari selain Allah—berharap menemukan sesuatu yang lebih dari syekh—dan berbagai bentuk kelancangan nafsu yang ada di dalam diri manusia. Dengan demikian, jauhi dan hindarilah tabiat itu karena tabiat seperti itu menunjukkan adab yang buruk, kurang rasa hormat, dan pengetahuan yang dangkal seputar kemuliaan seorang syekh. Semua itu harus dibersihkan dari hati secara total.
Adab buruk terhadap para syekh yang ‘arif billah dapat menjauhkan seorang murid dari jalan yang lurus, serta tidak dapat meraih limpahan dan anugerah dari Allah swt. Itu terjadi karena hati para syekh berdiam dengan tenang di hadirat Allah swt. Sebagaimana jiwa-jiwa mereka selalu diawasi olehNya dan ruh-ruh mereka terus sibuk dengan penyaksian-Nya. itulah sebabnya, ketika ada seseorang yang berperangai buruk terhadap para syekh melalui lisan, hati, atau anggota tubuh, Allah pun langsung membela para syekh karena kehormatan mereka dirusak. Demi membela mereka, Allah memutuskan rahmat orang yang berperangai buruk terhadap mereka. Ketika Allah memutuskan rahmat, orang itu pun celaka bersama orang-orang yang celaka.
Wahai murid, seyogianya jangan sampai ada di dalam hati dan penglihatanmu terhadap alam semesta ini apa pun selain Allah dan asma-Nya sampai engkau melepaskan semua yang selain Allah sehingga segala macam rahasia dan cahaya pantas tampak dan muncul dari dirimu.
Selain itu, hadirlah selalu di sepanjang waktumu bersama Allah dalam kesadaran dan penyaksian, sampai engkau tidak luput sama sekali dari Allah untuk memperoleh jalan kepada dirimu. Jika saja engkau luput, Allah akan memasukkanmu ke dalam golongan orang yang Allah jadikan sebagai isi neraka Jahanam, seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya,
“Dan sungguh, Kami akan isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. al-A’raf [7]: 179)
Betapa indah syair berikut ini,
Jika engkau lalai terhadap Allah pada satu waktu
Engkau telah kafir pada-Nya secara sembunyi-sembunyi
Jika engkau selalu begitu sebagai orang yang lalai
Engkau telah menjauh dari Islam sejauh-jauhnya
Wahai murid, kondisi luput atau lalai terhadap Allah ialah ketika engkau hanyut menyaksikan alam semesta sebagai makhluk Allah semata bukan sebagai manifestasi Ilahiah. Namun, jika engkau menyaksikannya sebagai bentuk manifestasi (perwujudan) Allah, engkau dapat menyaksikan Allah. Sementara itu, makhluk (bukti penciptaan Allah) hanya dapat menjangkau makhluk seperti dirinya. Engkau telah kafir pada-Nya secara diam-diam. Menurut bahasa, kata “kufr” artinya adalah “penutup.” Itulah sebabnya, petani yang menanam kerap disebut kafir karena dia menutup benih dengan tanah, sedangkan orang kafir disebut kafir karena hatinya tertutup dari kebenaran.
Lalai atau ghaflah terhadap Allah swt. merupakan bentuk kehanyutan hamba dengan penyaksian alam semesta. Luput terhadap Allah terjadi karena alam semesta adalah hijab yang menghalangi mata batin dari Allah. Penutup itulah yang disebut kufr. Seluruh alam semesta dengan keberadaannya adalah perwujudan Ilahiah dan itu juga merupakan hijab bagi Allah. Di mata lahir dan mata batin manusia yang ‘arif billah, seluruh alam semesta merupakan perwujudan Allah. Sementara di mata lahir dan mata batin orang yang tidak mengenal Allah, semua itu merupakan penghalang (hijab). Siapa pun yang menyaksikan Allah swt., baik dari golongan malaikat maupun para nabi serta para wali Allah, mereka semua menyaksikan Allah pada berbagai manifestasi-Nya berupa alam semesta, bukan menyaksikan langsung esensi Dzat-Nya dan esensi sifat-sifat-Nya, seperti Allah menyaksikan Datnya swt. Siapa pun yang lalai terhadap Allah swt., ia telah kufur pada-Nya, atau bermaksiat dengan melanggar perintah-Nya. Dia melakukan semua itu karena hanya menyaksikan hijab-hijab Ilahi, berupa alam semesta.
Lalai dari kekufuran yang menyebabkanmu terperosok ke dalamnya melalui kelalaian dari penyaksian Allah swt. adalah kufur secara sembunyi-sembunyi (khafiy), bukan kufur yang terang-terangan. Di antara pernyataan yang menerangkan itu adalah ucapan Syekh Arsaian Dimasyqi di awal risalahnya yang terkenal, “Keegoisan kalian semua merupakan syirik secara sembunyi-sembunyi, dan tauhidmu akan tampak ketika keegoisanmu hilang dari dirimu.” Begitulah perkataan Syekh Arsalan. Pernyataan ini sejalan dengan hadis Nabi saw., “Syirik di tengah umatku lebih tersembunyi daripada semut hitam di atas batu hitam.” Hadis ini dicantumkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir.
Ketika selama hidupmu engkau selalu menjadi orang yang luput dari penyaksian Allah swt., engkau sangat jauh dari Islam. Islam yang dimaksud di sini adalah agama yang Allah ridhai, sebagaimana yang diserukan dalam al-Quran,
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 19)
Islam berbeda dengan semua agama lain yang dianut oleh umat manusia lainnya karena semua agama itu adalah kekufuran, sedangkan Islam adalah agama yang Allah ridhai. Itulah sebabnya, siapa pun yang memeluk agama itu, dia memiliki bagian dari agama kufur yang dimiliki semua makhluk lain.
Seluruh mukmin di segala penjuru bumi selalu berada di sisi Allah, bukan pada diri mereka sendiri. Dengan begitu, mereka memeluk agama Islam. Ketika mereka lalai pada waktu tertentu, mereka tidak dianggap membangkang karena secara hukum mereka tetap berada di sisi Allah dan mereka memeluk agama Islam. Misalnya, ketika mereka tidur demi memberi hak kepada tubuh, atau ketika mereka berdosa demi memberi hak kepada takdir. Semua yang memusuhi mereka itulah yang disebut kafir karena mereka ada di sisi diri mereka sendiri, bukan di sisi Allah. Oleh karena itu, mereka berada dalam agama kafir karena membangkang terhadap penyaksian Allah swt. atas berbagai perwujudan-Nya di alam semesta dengan penyaksian yang bersifat tanzih (menyucikan). Begitu juga, mereka menyaksikan Allah swt. dalam imajinasi mereka dengan penyaksian yang bersifat tasybih (penyerupaan). Kelalaian mereka dari penyerupaan Allah tidaklah seperti kelalaian orang-orang mukmin karena pada saat itu mereka berdusta terhadap Allah dan berpaling dari-Nya, sedangkan Allah Mahatahu atas segala sesuatu.
Oleh sebab itu, dikatakan “jauh sekali”. Maksudnya adalah kelalaian yang dijalani dengan pembangkangan sebagai kelalaian orang-orang kafir. Karena engkau adalah orang yang lalai, lalu kelalaian itu dijalani dengan pembangkangan orang-orang kafir yang menentang Allah sehingga engkau menjadi sama seperti mereka. Kondisi itu terus berlangsung sampai engkau meninggalkan kelalaianmu dan beranjak menuju penyaksian dan permohonan ampun kepada Allah dari kesalahan yang dilakukan.
Penampakan makhluk selain Allah berasal dari penglihatan terhadap berbagai warna dan bentuk, serta berasal dari menelaah buku-buku dan dari persahabatan yang terjalin dengan baik.
Penampakan makhluk selain Allah di dalam hati murid, sebenarnya itu berasal dari penglihatannya terhadap berbagai warna yang beraneka ragam dan berbagai bentuk yang sangat banyak jenisnya. Sebelum mata batinnya kuat untuk menyaksikan “Yang Mahatunggal dalam yang banyak”. Sebagaimana diserukan dalam ayat,
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. an-Nur [24]: 30)
Dalam ayat ini, Allah swt. bukan memerintahkan mereka untuk menjaga seluruh pandangan mereka, melainkan hanya menjaga sebagian dari pandangannya.
Perwujudan Allah swt. berupa alam semesta ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perwujudan keindahan (mazhahir jamaliyyah) dan perwujudan kemuliaan (mazhahir jalaliyyah).
Mazhahir jamaliyyah lebih dekat dengan manifestasi Allah swt. sehingga Allah tidak memerintahkan manusia untuk menjaga pandangannya karena dapat menghantarkan kepada penyaksian Allah yang menjadi tujuan.
Mazhahir jalaliyyah adalah sesuatu yang Allah perintahkan kepada manusia untuk menjaga pandangannya terhadap sebagian darinya karena lebih merahasiakan manifestasi Allah swt. Dengan begitu, keindahannya bertambah sehingga menjadi kemuliaan, sebagaimana kemuliaan mazhahir jamaliyyah melembut sehingga menjadi keindahan. Pada akhirnya, semua perwujudan-Nya merupakan keindahan. Itulah sebabnya dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan. Keindahan Adam as. dan Yusuf as. lebih rendah daripada keindahan Nabi Muhammad saw. Keindahan Allah berwujud pada Adam as. dan Yusuf as. sehingga dapat dilihat oleh semua kalangan, baik yang umum maupun yang khusus. Sementara itu, keindahan Nabi Muhammad saw. melebihi itu sehingga keindahannya hanya dapat dilihat oleh kalangan khusus dan tidak terlihat oleh kalangan umum. Seperti dinyatakan bahwa Yusuf a.s. diberi setengah dari keindahan, sedangkan Nabi Muhammad saw. diberi seluruh keindahan.
‘Keteguhan menjaga kemaluan merupakan pangkal dari keteguhan menjaga hati agar tidak muncul di dalamnya bayangan keindahan indrawi ketika melihatnya sebagai citra keindahan karena Allah swt. terhindar dari segala rupa, seperti yang telah kami jelaskan di bagian sebelumnya.
Selain itu, berbagai rupa mengenai segala yang selain Allah juga dapat muncul dari seringnya seseorang menelaah buku-buku yang dapat dipahami maknanya, tetapi memahaminya dengan penuh kelalaian terhadap Allah swt. dan pengabaian terhadap penyaksian-Nya. Demikian pula halnya orang yang mempelajari berbagai ilmu atau mengajarkannya seraya mengabaikan Allah swt. Apabila memungkinkan, seorang murid selayaknya fokus mengajar dan belajar dengan merasakan penyaksian (Syuhud) dan kehadiran (hudhar) secara berkesinambungan. Namun, apabila tidak memungkinkan baginya maka fokus terhadap penyaksian (syuhad) dan kehadiran (hudhur) secara berkesinambungan bersama Allah swt. itu lebih utama.
Murid tarekat menjadi objek peringatan ini karena kelalaiannya terhadap Allah swt. mengakibatkan kekufuran ketika kelalaian itu bersamaan dengan pengingkaran terhadap penyaksian-Nya di alam semesta. Apabila kelalaian tidak bersamaan dengan pengingkaran, itu adalah sebuah kekurangan dalam kesempurnaan manusia sehingga lebih utama baginya untuk menghindarinya, kecuali sebatas darurat dalam hidup agar hal itu tidak mengantarkannya kepada pengingkaran, meskipun dalam hati.
Pada mulanya, kewajiban bagi setiap mukalaf adalah mengimani manifestasi Allah swt. dalam berbagai bentuk perwujudan di alam semesta, tanpa pengandaian atau penyerupaan (tasybih), dan tanpa redifinisi secara fisik (takyif) sesuai batas yang telah dijelaskan dalam kitab lain itu semua, sebagai bentuk keimanan pada hal gaib. Selain itu, kewajiban bagi setiap mukalaf adalah membersihkan hati dari kotoran yang terbersit sebelumnya. Begitulah yang harus dilakukan jika setiap mukalaf ingin masuk ke dalam golongan para ahli makrifat Ilahiah dan iman yang sempurna.
Kewajiban yang lain bagi setiap mukalaf ialah berusaha menyaksikan apa yang diimaninya secara gaib, dan menyelaminya dengan menelaah buku-buku dan belajar serta mengajarkan berbagai ilmu dengan keteguhan menjaga keimanan, menjaga semangat pencarian, dan semangat usaha meraih musyahadah kepada Allah swt. Jika itu semua tidak memungkinkan baginya maka semangat mencari musyahadah itu lebih berguna baginya karena kematian sangat dekat dan Allah swt. senantiasa mengawasi.
Berbagai gambaran segala sesuatu selain Allah itu juga dapat terjadi dari kedekatan yang terjalin dengan baik di antara manusia, yaitu persahabatan yang dilakukan dengan mengobrol dan makan bersama bagi orang yang tidak mampu untuk mencapai musyahadah Allah swt. Sebagaimana firmanNya,
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka.” (QS. an-Nisa’ [4]: 114)
Kita pun mengetahui bahwa sebagian kecil dari pembicaraan rahasia mereka mengandung kebaikan, yaitu pembicaraan rahasia kelompok yang mampu mencapai musyahadah kepada Allah yang jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, kata “persahabatan” dibatasi kata “makruf” karena Persahabatan dengan kalangan yang mencapai musyahagqap, kepada Allah adalah persahabatan yang tidak umum diketahui;
Hendaknya keseharian seorang salik tidak diisi dengan memerhatikan makhluk (selain Allah). Hendaknya ia tetap setia bersama dengan syekh yang teguh dalam kebenaran. Dengan begitu, sempurnalah bahagia kebersamaan agar salik dapat mencapai kemampuan untuk hudhur dan berkumpul (jam‘iyyah) melalui keberkahan syekh. Siapa yang mampu hadir, pasti mencapai ridha dan tunduk sebagai puncak penghambaan dan pengabdian.
Setiap saat salik yang sedang ada di jalan Allah swt. harus tenggelam, musnah, dan luruh secara total dalam penyaksian Allah swt., tanpa memperhatikan selain-Nya (makhluk). Seorang salik harus tetap berkhidmat saat bersama dengan syekh dari kalangan ahlullah yang mengenal Allah, yang memiliki keteguhan dalam kebenaran dan spirit layaknya pijakan yang kokoh sekalipun gunung terguncang.
Kebersamaan yang terjalin antara seorang salik dengan syekh di mana pun berada. Kebersamaan yang seperti ini dinamakan kebahagiaan yang sempurna dan keutamaan yang meliputi segala hal karena memperoleh berbagai macam keuntungan dari syekh dan duduk bersama di atas hidangan terbaiknya. Tujuannya adalah agar salik memiliki kemampuan dan kebiasaan untuk merasakan kehadiran bersama Allah di sepanjang waktu dan kemampuan bersatu dengan Allah pada semua wujud.
Siapa yang mampu hadir, pasti mencapai ridha dan tunduk sebagai puncak penghambaan dan pengabdian. Kemampuan merasakan kehadiran yaitu ketika seseorang mampu hudhur dan tidak sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu, ia pasti mencapai maqam ridha terhadap ketetapan (qadha) Allah di segala keadaan, serta mencapai maqam tunduk patuh kepada Allah. Kedua maqam itu merupakan puncak penghambaan sebagai sifat yang dimiliki setiap hamba dalam bentuk kehinaan diri kepada Allah swt. Tidak ada kehinaan yang lebih hebat dibandingkan terjerumus ke dalam ketiadaan karena wujud Allah swt. yang merupakan hakikat penghambaan. Siapa yang penghambaanya terhindar dari ketiadaan dari wujud Allah swt., dia pasti akan meraih maqam ridha dan tunduk patuh. Hal itu merupakan konsekuensi dari ketiadaan wujud Allah bagi siapa pun yang menentang dan menolaknya. Kedua maqam itu juga merupakan puncak pengabdian berupa taat pada perintah dan larangan Allah karena puncak dari orang yang taat adalah ridha dan tunduk.
Pangkal dari kesempurnaan Islam adalah tunduk dan pasrah. Pemilik maqam tunduk ketika hidupnya ditakdirkan untuk dilaknat seperti Iblis, dia pasti akan ridha karena itu sudah menjadi ketetapan Allah swt. Sebagaimana ia ridha terhadap iman dan islamnya karena orang yang benar-benar mencari, pasti ridha pada ketetapan dan takdir Allah, bukan pada keinginan dirinya.
Kesempurnaan Islam yang sesungguhnya ada di dalam pengakuan dan pasrah kepada Allah dan hati yang tidak pernah terpancing untuk mencela apa pun yang berkaitan dengan (ketentuan) takdir Ilahi, baik berupa keunggulan maupun kekurangan, bagaimana pun keadaannya.
Apabila Allah membelenggu pemilik maqam pengakuan dan kepasrahan dengan belenggu besi di lehernya sebagai laknat yang menjadi bentuk dari keterusiran dan terhalang dari rahmat Allah seperti Iblis yang terkutuk, niscaya pemilik maqam pengakuan ridha terhadap hal yang telah dipilihkan baginya bukan bagi orang lain. Sesungguhnya hal tersebut merupakan ketetapan Allah swt. atas dirinya dengan segala hikmah dan perintah-Nya. Itu juga merupakan ketentuan untuknya sesuai kehendak Allah yang ditujukan untuknya sejak di alam Azali secara khusus.
Demikian itu disebabkan oleh pengetahuannya secara pasti bahwa qadha dan qadar Allah swt. merupakan konsekuensi kehendak-Nya. Sementara kehendak-Nya merupakan konsekuensi dari ilmu-Nya, sedangkan ilmu-Nya merupakan konsekuensi dari apa yang telah ditetapkan bagi hamba yang bersangkutan di hadirat imkan-nya yaitu sebagai makhluk yang tiada.
Tidaklah Allah memberi kita, kecuali hanya apa yang Dia ambil dari kita dan tidaklah apa yang Dia ambil dari kita, kecuali hanya apa yang diberikan oleh esensi kita yang “mungkin” di Alam Ketiadaan (‘alam al-‘adam). Tidaklah apa yang diberikan oleh esensi kita yang ‘“mungkin” di Alam Ketiadaan itu, kecuali hanya apabila yang ia ambil darinya pada manifestasinya pada hal itu. Jadi, dari-Nyalah segala perkara itu bermula dan kepada-Nyalah segalanya akan kembali. Pembahasan qadha dan qadar, kami jabarkan dengan sangat panjang dalam kitab kami yang berjudul al-Mathalib al-Wafiyyah.
Sebagaimana ia ridha dengan iman, keyakinan, pengetahuan, ketundukan, dan keislamannya; berupa kepatuhan terhadap perintah dan larangan, baik lahir maupun batin. Ridha pada hal tersebut memastikan konsekuensi dari apa yang telah kami sebutkan karena seorang pencari Allah swt. yang benar dalam pencariannya pasti memiliki sikap ridha lahir dan batin pada qadha ketetapan Allah dan takdir-Nya, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya; yang semua itu muncul dari ilmu yang ia miliki tentang hal itu, juga disebabkan keyakinannya bahwa kehendak Allah swt. pasti lebih teliti dan lebih sempurna daripada kehendak siapa pun selain-Nya. Penyebabnya adalah karena kehendak Allah itu merupakan konsekuensi dari kehendak yang bersifat kadim, sedangkan kehendak siapa pun selain-Nya lahir dari kehendak yang bersifat baru karena perbedaan antara kedua kehendak itu, tentu objek kehendak keduanya juga pasti berbeda.
Selain itu, dia juga tidak akan ridha pada keinginan dirinya karena tahu bahwa dirinya adalah induk segala keburukan, berdasarkan hadis qudsi yang menyatakan, “Musuhilah dirimu karena kamu tercipta untuk memusuhi-Ku.” Tentu saja, sesuatu yang tercipta untuk memusuhi Allah swt. adalah sesuatu yang paling buruk. Bagaimana mungkin seseorang yang mencari bimbingan dapat ridha pada perbuatannya sendiri, meskipun itu hal yang baik karena apa yang ia telah ketahui. Mungkin baginya itu hal yang baik, tapi secara hakikat itu adalah hal yang buruk. Itulah sebabnya kalangan muhaqqiq bersepakat bahwa jiwa manusia tidak mungkin menunjukkan kebenaran dan kalbu tidak mungkin berdusta.
Apabila pencari kebenaran terjerumus pada perbuatan makruh (yang dibenci), lalu terjadi gejolak dalam dirinya, dia adalah hamba dirinya. Apabila tidak terjadi gejolak, dia adalah hamba Tuhannya. Ini adalah pokok dan dasar segala perkara ahli tarekat.
Perbuatan makruh yang menyangkut urusan dunia atau akhirat. Ketika pencari kebenaran mengalami gejolak dalam hati antara perkara yang dibenci dan yang disukai karena yang satu adalah perkara yang dibenci dan yang satu adalah perkara yang disukai, bukan karena semua itu merupakan kehendak Allah swt., atau karena semua itu adalah sesuatu yang terjadi karena tabiat bukan karena ikhtiar. Pada saat itu, hamba yang mencari kebenaran adalah hamba bagi dirinya.
Dengan begitu, dia telah mengagungkan dirinya seraya meninggalkan pengagungan terhadap Tuhannya karena semua yang dipatuhi adalah Tuhan, dan semua yang patuh adalah hamba. Allah berfirman kepada manusia, pada proses penciptaan bahwa Allah swt. telah menuntut sumpah kita untuk berada di bawah keagungan-Nya, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” Saat itu kita semua menjawab, “Ya.” Allah tahu bahwa kita akan lupa pada keagungan-Nya sebagai Tuhan kita dengan keadaan kita yang berada di bawah pengagungan diri sendiri. Siapa pun yang tidak ridha Allah sebagai Tuhan secara total, bukan secara imajinatif atau sekadar ucapan, dia telah ridha dirinya sebagai Tuhan sehingga dia adalah hamba bagi dirinya.
Gejolak antara perkara yang dibenci dan perkara yang disukai dengan kesadaran bahwa itu semua adalah kehendak Allah swt. walaupun menurutnya berbagai perkara itu memang berbeda disebabkan konsekuensi keduanya berdasarkan perbedaan yang diciptakan baginya dalam pengkhususan kehendak Ilahiah. Sementara dalam pengetahuan atas adanya perbedaan alamiah itu terkandung ittiba’ pada kehendak Ilahiah, dan dalam pengetahuan atas tidak adanya perbedaan yang bersifat ikhtiari pada hal itu juga terkandung ittiba’ pada kehendak Ilahiah, meskipun tingkatan yang pertama lebih tinggi dari yang kedua sehingga hal itu membuat nabi menangis ketika putra beliau yang bernama Ibrahim wafat, sedangkan ada seorang waliyullah yang tertawa saat ditinggal mati anak-anaknya. Ketika itu terjadi, berarti dia adalah hamba Tuhannya, bukan hamba dirinya karena dia patuh kepada Tuhannya, bukan pada dirinya.
Magam yang baru disebutkan di atas itu, yaitu tidak adanya perbedaan pada segala yang dipilihkan untuknya oleh Tuhannya bukan oleh dirinya, adalah pokok segala perkara dari semua perkara kalangan penempuh jalan menuju Allah, sekaligus menjadi dasar bagi bangunan tarekat.
Dengan inilah wahai salik, engkau harus selalu menjadi hamba bagi-Nya dalam kondisi apa pun, sebagaimana Allah swt. juga selalu sebagai Tuhan. Betapa indahnya syair ini, Jika pada pujian dan celaan ada perbedaan Di dirimu, maka sumpah kau adalah penyembah berhala!
Ini adalah sebuah dasar yang disepakati oleh para tokoh tarekat ini dan mereka telah menuturkan di kitab-kitab mereka.
Dengan semua inilah yang telah disebutkan di atas itu wahai salik, dalam kondisi apa pun, dalam kondisi baik ataupun buruk, yang terjadi pada dirimu, engkau harus selalu menjadi hamba bagi Allah swt., yang taat tanpa bermaksiat terhadap perintah-Nya yang bersifat taklifi, sebagaimana engkau juga tidak pernah menentang perintah-Nya yang bersifat takwini sehingga engkau masuk dari taklif menuju takwin, lalu engkau menjadi termasuk orang yang Allah firmankan,
“Dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 27)
Demikian sebagaimana pula Allah swt. yang Mahatinggi dari segala keserupaan denganmu, dan Mahakudus dari segala makrifatmu tentang-Nya, juga selalu sebagai Tuhan, dalam berbagai keadaan yang engkau alami, keadaan yang baik ataupun keadaan yang buruk. Dia adalah Rabb yang selalu menjaga lagi melimpahkan rezeki.
Betapa indahnya syair ini,
Jika pada pujian dan celaan ada perbedaan
Di dirimu, maka sumpah kau adalah penyembah patung!
Maksudnya, jika memang di dalam sifat-sifat pujian bagimu dari yang lain, dan sifat-sifat tercela bagimu dari yang lain, ada perbedaan yang bersifat ikhtiyari seperti yang telah kami sampaikan bagimu. Demi Allah! sesungguhnya engkau adalah seorang penyembah berhala, bukan penyembah Allah karena semua itu yang terbersit di dirimu dan bukan Allah.
Hal ini, yaitu bahwa engkau selalu menjadi hamba bagi Allah sebagaimana Dia senantiasa menjadi Tuhan bagimu adalah sebuah dasar agung yang disepakati oleh para tokoh khusus dari kalangan sufi muhaqqiq di sepanjang jalan menuju Allah swt. ini dan mereka telah menuturkannya di kitab-kitab mereka serta saling menyampaikan antar sesama mereka.
Allah Mahasuci yang Maha Memberi taufik. Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta. Semoga Allah swt. melimpahkan shalawat kepada Sayyidina wa Maulana Muhammad sang Penutup semua nabi dan rasul, juga atas para tabi’in yang mengikuti kebaikan mereka sampai Hari Pembalasan.
Allah swt. yang Maha Memberi taufik bagi siapa pun yang menginginkan taufik dari-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Semoga Allah swt. melimpahkan shalawat atas Sayyidina wa Maulana Muhammad sang Penutup semua nabi dan rasul, juga atas segenap keluarga dan para sahabatnya. Juga atas para tabi’in, yaitu orang-orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi sebagai mukmin, lalu mati dengan keimanan itu, yang mengikuti mereka dengan kebaikan dalam keyakinan dan amal sampai Hari Pembalasan, yaitu Hari Kiamat yang memiliki banyak nama.
Pensyarah kitab ini menuturkan,
Ini adalah akhir dari apa yang kami lakukan dalam berkhidmat pada risalah penuh berkah ini. Semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin dengan risalah ini. Juga dengan syarah atas risalah ini sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan yang Maha Penolong. Semoga Allah melimpahkan shalawat serta salam kepada Sayyidina Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau.
Penulis menuturkan,
Kami telah menyelesaikan penulisan syarah yang penuh berkah atas pertolongan Allah ini pada hari Jum’at tanggal 27 Ramadhan tahun 1087 H. Lewat tangan seorang yang hina lagi fakir Abdul Ghani an-Nabulsi. Semoga Allah menggapit lengannya serta melimpahkan anugerah-Nya kepadanya, saudara-saudaranya, dan para seluruh pecintanya. Amin. Wallahu subhanahu ta’ala al-muwaffiq wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Allah swt. Maha Memberi taufik. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.