Iman kepada Allah merupakan pasal terpenting dari sekian pasal yang ada. Sebab, iman kepada Allah merupakan pusat dan sesuatu yang menuntun seluruh kehidupan seorang muslim. Ia merupakan fondasi paling pokok dalam aturan umum kehidupan seorang muslim keseluruhannya.
Maksud seorang muslim beriman kepada Allah adalah ia membenarkan keberadaan Tuhan Tabaraka wa dan membenarkan bahwa Dia adalah pencipta seluruh langit dan bumi, Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, Tuhan segala sesuatu dan Rajanya, tiada ilah yang berhak disembah selain Dia dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Juga membenarkan bahwa Allah disifati dengan segala kesempurnaan dan terbebas dari segala kekurangan. Keimanan ini merupakan hidayah Allah kepadannya,’ kemudian berdasarkan Dalil-dalil naqli (Al-Qur’an atau As-Sunnah) dan aqli (logika).
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah ta’ala mengenai keberadaan dan Rububiyyah diri-Nya terhadap makhluk, juga mengenai nama dan sifat-Nya. Pemberitahuan ini terdapat dalam kitab-Nya yang mulia. Di antaranya ialah firman-Nya:
“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hakNya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-A’raf: 54)
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu, ‘Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam’.” (Al-Qashash: 30)
“Sesungguhnya, Aku ini Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14)
Firman Allah berikutnya terkait pengagungan diri-Nya dan penyebutan nama-nama dan sifat-sifat-Nya:
“Dialah Allah, tidak ada ilah selain Dia. Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak ada ilah selain Dia. Maha Raja Yang Mahasuci, Yang Maha sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Maha perkasa, Yang Maha-kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha-suci Allah dari apa yang mereka sekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah yang Maha perkasa, Maha bijaksana.” (Al-Hasyr: 22-24)
Firman Allah lainnya mengenai pujian terhadap Diri-Nya sendiri:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Pemilik hari pembalasan.” (Al-Fatihah: 2-4)
Firman Allah lainnya mengenai pembicaraan-Nya kepada kita sebagai umat Islam:
“Sesungguhnya, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 92)
“Dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mukminun: 52)
Firman Allah mengenai pembatalan terhadap klaim adanya Tuhan selain Dia atau ilah selain-Nya di langit maupun di bumi:
“Seandainya pada keduanya (di langit dan bumi) ada tuhan-tuhan Selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (Al-Anbiya’: 22)
Kedua, pemberitahuan dari sekitar 124.000 nabi dan rasul tentang keberadaan Allah tentang pemeliharaan, penciptaan, dan pengaturanNya terhadap seluruh alam semesta; serta tentang nama-nama dan sifat-Nya.
Tidak ada seorang pun dari nabi maupun rasul kecuali Allah telah berbicara kepadanya, atau mengirimkan utusan kepadanya, atau memasukkan ke dalam hati dan akalnya sesuatu yang memantapkan pada dirinya bahwa itu adalah kalam Allah dan wahyu-Nya yang diberikan kepadanya.
Pemberitahuan dari sejumlah besar makhluk pilihan dan manusia khusus ini, membuat akal manusia mustahil mendustakannya, sebagaimana ia membuat mustahil adanya kemufakatan jumlah yang besar ini terhadap kedustaan dan memberitahukan sesuatu yang tidak mereka ketahui lalu meyakinkan dan memastikan kebenarannya. Sebab, mereka adalah manusia terbaik, paling suci jiwanya, paling unggul akalnya, dan paling jujur perkataannya.
Ketiga, Keimanan dan keyakinan milyaran manusia terhadap keberadaan Tuhan serta ibadah dan ketaatan mereka kepada-Nya. Sebab, kebiasaan manusia yang berlaku adalah membenarkan satu atau dua orang, apalagi kelompok, umat, dan jumlah yang tak terhingga, jika disertai dengan bukti akal dan fitrah atas kebenaran apa yang mereka imani, yang mereka beritahukan, dan yang mereka ibadah serta yang mereka mendekatkan diri kepadanya.
Keempat, Pemberitahuan dari jutaan ulama tentang keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, serta pemeliharaan dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Hingga karenanya mereka beribadah kepada-Nya, menaati-Nya, serta mencintai dan membenci sesuatu karena-Nya.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, adanya keberagaman alam semesta dan keberagaman ciptaan-ciptaan Allah yang cukup banyak, menjadi bukti adanya Sang Pencipta, yaitu Allah Sebab, di dunia ini tidak ada siapa pun yang berani mengklaim dapat menciptakan alam semesta selain diri-Nya.
Seperti halnya akal manusia yang menganggap mustahil adanya sesuatu tanpa ada orang yang mengadakannya, bahkan adanya sesuatu yang paling remeh sekalipun tetap dianggap mustahil tanpa ada orang yang mengadakannya. Hal itu ibarat adanya suatu makanan tanpa ada tukang masak, atau adanya hamparan di atas tanah tanpa ada yang menghamparkannya. Jika demikian, lantas bagaimana dengan seluruh alam semesta yang sangat luar biasa ini, terdiri dari langit yang meliputi bintang-bintang, matahari, bulan, dan planet-planet. Semua benda-benda langit bentuknya beragam, ukurannya bermacam-macam, jaraknya berbeda-beda, dan pergerakannya tidak saling sama.
Juga bumi dan segala sesuatu yang Dia ciptakan di dalamnya berupa manusia, jin, dan hewan dengan ragam jenis dan individunya serta ragam warna kulit hingga bahasa, juga perbedaan dalam pengetahuan, pemahaman, karakteristik, dan ciri khas.
Juga segala apa yang Dia simpan di dalamnya berupa barang tambang yang beragam warna dan manfaat; sungai-sungai yang mengalir di atasnya; lautan yang mengelilingi daratan; dan tumbuh-tumbuhan serta tanaman yang menghasilkan buah-buahan yang bermacam-macam jenisnya, rasanya, aromanya, ciri khasnya, dan manfaatnya.
Kedua, keberadaan firman Allah di tengah-tengah kita yang bisa kita baca, renungi, dan pahami maknanya. Itu semua merupakan bukti akan keberadaan-Nya, karena mustahil ada suatu perkataan tanpa ada yang mengatakannya; mustahil ada ucapan tanpa ada yang mengucapkannya. Oleh karenanya, firman Allah merupakan bukti yang menunjukkan akan keberadaan-Nya. Terlebih lagi, bahwa firman-Nya telah mencakup syariat terkokoh yang telah diketahui oleh manusia dan juga mencakup undang-undang paling sempurna yang telah mewujudkan kebaikan yang banyak bagi umat manusia. Sebagaimana ia juga mencakup teori-teori ilmiah tervalid, perkara-perkara gaib, serta peristiwa-peristiwa bersejarah. Firman-Nya sangatlah benar di dalam seluruh hal ini.
Meski waktu telah berlalu sekian lama, realisasi manfaat dari hukum-hukum syariat-Nya tidak akan berkurang sepanjang masa, meskipun zaman dan tempatnya berbeda; teori paling sepele di antara teori-teori ilmiah yang ada di dalam Al-Qur’an juga tidak akan bertentangan dengan perkembangan zaman; dan tidak ada satu pun perkara gaib dari seluruh perkara gaib yang Allah beritahukan mengalami kemelesetan (tidak sesuai dengan kenyataan).
Sebagaimana tidak ada seorang ahli sejarah mana pun yang berani menyangkal satu kisah dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an lalu mendustakannya, atau menghapus salah satu fenomena sejarah yang tercantum di dalamnya.
Perkataan Allah yang begitu bijaksana dan terbukti kebenarannya ini membuat mustahil akal manusia untuk menyandarkannya kepada salah seorang dari kalangan mereka. Sebab, perkataan Allah tersebut jauh berada di atas kemampuan manusia dan standar pengetahuan mereka. Jika ia tidak mungkin disebut sebagai ucapan manusia, berarti ia adalah perkataan Sang Pencipta manusia, dan menjadi bukti keberadaan Allah, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan hikmah-Nya.
Ketiga, keberadaan sistem yang rapi dan detail atas sunah kauniyyah (aturan-aturan Allah yang berlaku di alam) dalam penciptaan, pembentukan, penumbuhan, dan pengembangan untuk seluruh makhluk hidup di dunia.
Seluruhnya tunduk pada aturan-aturan ini dan terikat dengannya. Tidak ada yang dapat keluar darinya dalam kondisi apa pun. Sebagai contoh adalah manusia, awalnya adalah setetes air mani yang tergantung pada rahim, kemudian melewati tahapan-tahapan menakjubkan yang tidak ada campur tangan dari siapa pun selain Allah, setelah itu keluar menjadi manusia yang sempurna. Ini dalam hal penciptaan dan pembentukan manusia. Begitu pula dalam hal penumbuhan dan pengembangannya, sejak dari masa bayi dan kanak-kanak menuju usia pemuda dan dewasa, kemudian menuju usia tua.
Aturan-aturan umum yang berlaku pada manusia dan hewan ini juga berlaku pada pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Juga berlaku pada benda-benda angkasa dan langit. Seluruhnya tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dan tidak ada yang dapat menentangnya maupun keluar dari aturan-aturan yang ditetapkan. Seandainya ada yang keluar dari aturan, atau ada sekumpulan bintang yang keluar dari garis orbitnya, maka alam semesta ini akan hancur dan tamatlah kehidupan ini.
Kesimpulan
Berdasarkan dalil aqli yang logis dan dalil naqli yang dapat diterima pendengaran ini, maka seorang muslim beriman kepada Allah, beriman kepada rububiyah-Nya atas segala sesuatu dan uluhiyah-Nya untuk makhluk yang pertama dan terakhir. Selanjutnya, atas dasar keimanan dan keyakinan ini, kehidupan seorang muslim akan dapat beradaptasi dengan seluruh urusannya.
Rububiyyah adalah sebuah nama dari Tuhan. Makna rububiyyah Allah atas segala sesuatu adalah bahwa Allah Tuhan mereka, yakni penciptanya
dan pengatur segala urusannya. Seorang muslim beriman kepada Rububiyyah Allah terhadap segala sesuatu, dan bahwasanya tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan pengaturan seluruh dunia. Keimanan ini lantaran hidayah Allah kepadanya, kemudian dikarenakan Dalil-dalil naqli dan aqli yang nyata.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah tentang Rububiyyah-Nya, yakni ketika Dia berfirman dalam memuji diri-Nya:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-Fatihah: 2)
Firman Allah dalam menetapkan Rububiyyah-Nya
“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah Tuhan langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah’.” (Ar-Ra’d: 16)
Firman Allah dalam menerangkan Rububiyyah dan Uluhiyyah-Nya:
“Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; jika kamu orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu dahulu.” (Ad-Dukhan: 7-8)
Firman Allah dalam menyebutkan perjanjian yang Dia ambil dari manusia pada saat mereka masih berada di dalam tulang sulbi (tulang belakang) bapak-bapak mereka agar mereka beriman kepada Rububiyyah-Nya, beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi’.” (Al-A’raf: 172)
Firman Allah dalam menegakkan hujjah kepada kaum musyrikin mengharuskan mereka berpegang teguh dengannya:
“Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka mengapa kamu tidak bertakwa’.” (Al-Mukminun: 86-87)
Kedua, pemberitahuan dari para nabi dan rasul tentang Rububiyyah Allah kesaksian, serta pengakuan mereka terhadapnya. Nabi Adam mengucapkan dalam doanya:
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf: 23)
Nabi Nuh mengadu Kepada Allah, ia mengucapkan:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya.” (Nuh: 21)
Nabi Nuh mengucapkan:
“Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah mendustakan aku; maka berilah keputusan antara aku dengan mereka, dan selamatkanlah aku dan mereka yang beriman bersamaku.” (Asy-Syu’ara’: 117-118)
Nabi Ibrahim berdoa untuk Mekah Al-Mukarramah, untuk dirinya, dan juga untuk keturunannya, beliau mengucapkan:
“Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
Nabi Yusuf berkata dalam memuji dan berdoa kepada Allah ta’ala:
“Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian il mimpi. (Wahai Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Nabi Musa dalam salah satu permintaannya mengucapkan:
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (Yaitu) Harun, saudaraku.” (Thaha: 25-29)
Nabi Harun berkata kepada Bani Israil:
“Tuhanmu ialah (Allah), Yang Maha Pengasih, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (Thaha: 90)
Nabi Zakaria berkata dalam permohonannya:
“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah, dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, ya Tuhanku.” (Maryam: 4)
Nabi Zakaria juga berdoa:
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (Al-Anbiya’: 89)
Nabi Isa berkata ketika memberikan jawaban kepada Allah:
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), ‘Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’.” (Al-Maidah: 117)
Nabi Isa juga mengatakan ketika berbicara di hadapan kaumnya:
“Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya barang siapa menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (Al-Maidah: 72)
Nabi kita, Muhammad dan juga para rasul yang lain, ketika mengalami kesusahan selalu mengucapkan:
“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha agung dan Maha lembut. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Arasy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, Tuhan langit dan bumi serta Tuhan Arasy yang mulia.”
Jadi, seluruh nabi dan rasul telah mengakui Rububiyyah Allah dan menyeru manusia dengannya. Mereka adalah manusia yang paling sempurna pengetahuannya, paling sempurna akalnya, paling benar ucapannya, dan paling mengetahui tentang Allah dengan seluruh sifat-sifat-Nya, dibandingkan semua makhluk yang lain di muka bumi ini.
Ketiga, Keimanan, pengakuan, dan keyakinan yang sangat kuat dari milyaran ulama dan orang-orang bijak akan Rububiyyah Allah terhadap mereka dan segala sesuatu.
Keempat, Keimanan milyaran orang dan jumlah yang tak terhingga dari kalangan orang-orang bijak dan saleh akan Rububiyyah Allah ta’ala terhadap seluruh makhluk.
Dalil-dalil Aqli
Diantara Dalil-dalil aqli yang logis tentang Rububiyyah Allah a terhadap segala sesuatu adalah sebagai berikut:
Pertama, keesaan Allah dalam penciptaan segala sesuatu. Seluruh manusia mengakui bahwa tidak ada siapa pun yang mengklaim dan mampu menciptakan dan mengadakan sesuatu, selain Allah. Sekalipun sesuatu yang diciptakan itu kecil dan sepele, bahkan sekalipun itu hanya sepotong rambut yang ada pada tubuh manusia atau hewan, atau bulu kecil yang ada pada sayap burung, atau daun yang ada pada dahan pohon yang condong. Apalagi menciptakan sebuah tubuh yang sempurna atau hidup, atau benda-benda yang besar maupun yang kecil.
Allah berfirman untuk menetapkan bahwa penciptaan mutlak hak diri-Nya, bukan yang lain:
“Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-A’raf: 54)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96)
Allah juga memuji diri-Nya berkaitan dengan hak penciptaan-Nya dengan berfirman:
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan gelap dan terang.” (Al-An’am: 1)
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha perkasa, Maha bijaksana.” (Ar-Rum: 27)
Jika demikian adanya, bukankah hak penciptaan Allah atas segala sesuatu merupakan bukti kuat akan keberadaan dan Rububiyyah Allah?
Benar! Dan kami semua termasuk orang-orang yang menyaksikan hal itu semua, wahai Tuhan kami!
Kedua, keesaan Allah dalam hal pemberian rezeki. Tidak ada satu pun hewan yang digembala di bumi, atau berenang di dalam air, atau tersembunyi di dalam perut, kecuali Allah-lah yang menciptakan rezekinya dan memberinya petunjuk tentang cara mendapatkannya, cara memakannya, dan cara memanfaatkannya.
Mulai dari semut sebagai binatang terkecil hingga manusia sebagai makhluk paling sempurna dan paling tinggi, semuanya membutuhkan Allah dalam hal keberadaannya, pembentukannya, serta makanan dan rezekinya.
Allah-lah satu-satunya Zat yang menciptakannya, membentuknya, memberinya makan, dan memberinya rezeki.
Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menetapkan dan mengukuhkan kenyataan di atas:
“Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun (yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan.” (Abasa: 24-31)
“Dan yang menurunkan air (hujan) dari langit. Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu.” (Thaha: 53-54)
Zat yang tiada ilah yang berhak disembah kecuali Dia dan tiada Tuhan selain-Nya juga berfirman, “Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya.” (Al-Hijr: 22).
Allah juga berfirman bahwa tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6).
Jika telah tetap dan tak terbantahkan bahwa tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, maka ini merupakan bukti atas rububiyyah Allah terhadap makhluk-Nya.
Ketiga, kesaksian fitrah manusia yang sehat tentang rububiyyah Allah dan pengakuannya yang tegas terhadap hal itu. Sesungguhnya, setiap manusia yang fitrahnya belum rusak, pasti akan merasakan di dalam jiwanya bahwa dirinya lemah dan tidak berdaya di hadapan Zat yang memiliki kekuasaan, Maha kaya, dan Maha kuat, juga bahwa ia harus tunduk kepada otoritas-Nya dan pengaturan-Nya, sehingga ia berseru tanpa ragu bahwa Allah-lah Tuhan dirinya dan Tuhan segala sesuatu.
Meskipun kebenaran ini dapat diterima dan tidak diingkari atau diperdebatkan oleh setiap orang yang berhati bersih, di sini tetap akan disebutkan—sebagai tambahan penegasan—penjelasan Al-Qur’an tentang berbagai pengakuan dari para pembesar dan penyembah berhala terhadap kebenaran ini, yakni mengakui rububiyyah Allah atas seluruh makhluk dan segala sesuatu. Allah berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab,
‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha perkasa, Maha Mengetahui’. (Az-Zukhruf: 9)
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’.” (Al-Ankabut: 61)
“Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arasy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah’.” (Al-Mukminun: 86-87)
Keempat, keesaan Allah dalam kekuasaan, kepemilikan, dan pengaturanNya terhadap segala sesuatu, adalah bukti atas rububiyyah Allah. Sebab, termasuk satu hal yang dapat diterima oleh seluruh manusia adalah bahwa seseorang—sebagaimana makhluk hidup lainnya—di dunia ini hakikatnya tidak memiliki sesuatu. Dengan bukti, ketika pertama kali manusia lahir ke dunia, ia dalam keadaan bertelanjang badan, tanpa penutup kepala, dan tanpa alas kaki. Juga ketika keluar dan berpisah dari dunia, ia keluar tanpa disertai apa pun kecuali kain kafan yang menutupi jasadnya. Dengan demikian, bagaimana mungkin bisa dibenarkan perkataan orang, “Pada hakikatnya manusia adalah pemilik segala sesuatu di dunia ini!”
Jika bukan manusia—makhluk termulia—sebagai pemilik segala sesuatu, lantas siapakah Sang Pemilik sebenarnya?
Sang Pemilik sebenarnya adalah Allah yang Maha Esa, tanpa ada perselisihan lagi dan tanpa ada keraguan sedikit pun. Apa saja yang dikatakan dan diterima dalam persoalan kepemilikan, bisa dikatakan dan diterima juga dalam hal otoritas dan pengaturan terhadap setiap urusan dalam kehidupan ini.
Dengan demikian, demi Allah, semua itu merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu menciptakan, memberi rezeki, memiliki, bertindak, dan mengatur segala sesuatu.
Di masa terdahulu, sifat-sifat rububiyyah Allah juga diterima oleh para pembesar penyembah berhala. Hal ini telah diabadikan oleh Al-Qur’an Al Karim di dalam banyak surat. Allah az berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)? Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 31-32).
Kesimpulan
Berdasarkan bukti-bukti di atas, maka Allah-lah yang memiliki alam semesta; yang menciptakan; yang mengatur; yang menguasai; dan yang menentukan takdir makhluk-Nya. Sedangkan manusia, ia hanyalah salah satu makhluk Allah yang lemah dan tak berdaya; yang hidup atas kehendak Allah.
Seorang muslim mengimani uluhiyah (ketuhanan) Allah atas seluruh makhluk, dari yang pertama hingga yang terakhir, tidak ada ilah selain Dia, dan tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli, juga karena hidayah Allah sebelum itu semua. Sebab, barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia adalah orang yang mendapat hidayah. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, kesaksian Allah , para malaikat, dan ahlul ilmi tentang uluhiyyah-Nya. Allah berfirman:
“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; (demikian pula) para malaikat, dan orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha perkasa, Maha bijaksana.” (Ali-Imran: 18)
Kedua, pemberitahuan dari Allah tentang uluhiyyah-Nya dalam banyak ayat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
“Allah, tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha hidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah: 255)
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pengasih, Maha penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
Allah juga berfirman kepada Nabi Musa:
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Thaha: 14)
Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad:
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Allah juga berfirman memberitahukan tentang diri-Nya:
“Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Maharaja Yang Mahasuci…” (Al-Hasyr: 22-23)
Ketiga, pemberitahuan dari para rasul-Nya tentang uluhiyyah-Nya dan seruan mereka kepada kaum mereka untuk mengakui uluhiyyah-Nya dan beribadah kepada-Nya semata, tidak kepada yang lain-Nya.
Nabi Nuh berkata:
“Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia.” (Al-A’raf: 59)
Seperti halnya Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh dan Nabi Syu’aib, tidak seorang pun dari mereka kecuali menyeru, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia.”
Nabi Musa berkata kepada Bani Israil:
“Pantaskah aku mencari tuhan untukmu selain Allah, padahal Dia yang telah melebihkan kamu atas segala umat (pada masa itu)” (Al-A’raf: 140)
Nabi Musa mengatakan hal tersebut ketika Bani Israil meminta beliau agar menjadikan untuk mereka ilah dari berhala yang akan mereka sembah.
Nabi Yunus berkata dalam tasbihnya:
“Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya’: 87)
Nabi kita, Muhammad dalam tasyahudnya ketika shalat membaca:
“aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.”
Dalil-dalil Aqli
Pertama, sesungguhnya, rububiyyah Allah yang tetap tanpa ada perselisihan itu menuntut dan mewajibkan uluhiyah-Nya. Bahwasanya, Tuhan yang menghidupkan dan mematikan; memberi dan mencegah; memberi manfaat dan mudarat, Dialah yang berhak terhadap peribadatan para makhluk-Nya dan lebih wajib untuk dijadikan sebagai ilah dengan ditaati, dicintai, diagungkan, disucikan, dan ditakuti.
Kedua, jika setiap makhluk diatur oleh Allah, dengan arti bahwa Dia-lah satu-satunya yang menciptakan, memberi rezeki, mengatur segala urusan, dan mengambil tindakan terhadap segala keadaan dan urusan mereka, maka sangat tidak logis jika ada yang menjadikan ilah dari makhluk-makhluk-Nya yang sangat membutuhkan-Nya? Jika tidak mungkin ada makhluk yang menjadi ilah, maka sudah pasti bahwa pencipta semua makhluk tersebut adalah ilah yang nyata dan sesembahan yang benar.
Ketiga, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan yang mutlak yang tidak dimiliki oleh selainNya. Sebagaimana Dia adalah Zat yang Maha kuat, Mahakuasa, Maha tinggi, Maha besar, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Belas Kasih, Maha lembut, dan Maha teliti. Semua sifat-sifat kesempurnaan itu mengharuskan para hamba-Nya untuk menghambakan hatinya kepada-Nya dengan mencintai dan mengagungkan-Nya, serta menghambakan anggota badan mereka kepada-Nya dengan menaati dan tunduk kepada-Nya.
Seorang muslim beriman kepada nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang luhur. Keimanan yang tidak disertai dengan tindakan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya; tidak menakwilkan nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut hingga ia meniadakannya; dan tidak pula menyerupakan nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk, hingga ia mempertanyakan dan menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya.
Tentu semua ini adalah mustahil. Sebab, nama-nama dan sifat-sifat mulia tersebut ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya untuk-Nya. la adalah apa-apa yang memang telah dibuang oleh Allah dari diri-Nya dan dinafikan (ditiadakan) oleh Rasulullah dari setiap aib dan kekurangan, baik secara global maupun terperinci. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah sendiri tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah berfirman:
“Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah artikan nama-nama-Nya Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaul Husna)” (Al-Isra’: 110)
Selain menyifati diri-Nya dengan Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha bijaksana, Maha kuat, Maha perkasa, Maha lembut, Maha teliti, Maha Bersyukur, Maha Penyantun, Maha Pengampun, dan Maha Penyayang, Allah juga mengajak berbicara kepada Nabi Musa bersemayam di atas Arsy, menciptakan makhluk-Nya dengan kedua tangan-Nya, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, ridha terhadap kaum mukminin, dan sifat-sifat yang lain dari sifat-sifat Dzatiyah (berkaitan dengan Zat-Nya) maupun Fi’liyah (berkaitan dengan perbuatan-Nya), seperti datang dan turunnya Allah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan disabdakan oleh Rasulullah.
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah tentang hal itu yang telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan jelas, seperti sabda beliau:
“Allah tertawa kepada dua orang laki-laki, yang salah seorang dari keduanya membunuh yang lain, tapi keduanya masuk surga.”
“Neraka Jahanam terus diisi dengan para penghuninya, dan ia berkata, ‘Masihkah ada tambahan?’ Sampai Tuhan Yang Maha agung meletakkan kaki-Nya dalam satu riwayat: telapak kakinya lalu neraka Jahanam terlipat seluruh sisinya dan berkata, ‘Cukup, cukup’.”
“Tuhan kita turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir lalu berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku kabulkan doanya? Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku penuhi permohonannya? Siapa meminta ampun kepadaku, maka Aku ampuni dia?’.”
“Allah lebih sangat bergembira dengan tobat hamba-Nya daripada kegembiraan seseorang di antara kalian karena hewan tunggangannya (telah ditemukan).”
Juga sabda Rasulullah kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Rasulullah bertanya lagi, “Siapa aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Rasulullah bersabda,
“Merdekakan ia, sebab ia seorang mukminah.”
Sabda Rasulullah lainnya:
“Pada hari Kiamat kelak, Allah s akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman, ‘Aku adalah Raja! Di manakah para raja-raja bumi?’.”
Ketiga, penetapan salaf shaleh dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan empat imam mazhab terhadap sifat-sifat Allah, tanpa menakwilkannya, menyangkalnya, atau mengeluarkannya dari makna zahirnya.
Tidak ada satu pun riwayat yang menerangkan adanya seorang sahabat yang menakwilkan salah satu dari sifat-sifat Allah, menyangkalnya, atau mengatakan bahwa zahirnya tidak sebagaimana yang dimaksudkan.
Mereka semua beriman dengan apa yang ditunjukkan oleh sifat-sifat itu, dan membawa maknanya sesuai zahirnya. Mereka juga mengetahui bahwa sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat-sifat para makhluk ciptaan-Nya.
Imam Malik pernah ditanya mengenai maksud firman Allah, “(Yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas Arasy.” (Thaha: 5).
Imam Malik menjawab, “Bersemayamnya Allah adalah sesuatu yang dimaklumi, tapi bagaimana cara Allah bersemayam adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui (majhul). Dan bertanya mengenainya adalah perbuatan bid’ah.”
Imam Syafi’i berkata, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku juga beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari beliau sesuai dengan yang beliau kehendaki.”
Imam Ahmad berkata seperti sabda Nabi Muhammad “Allah turun ke langit dunia dan Allah dapat dilihat pada hari Kiamat. Allah merasa takjub, Allah tertawa, Allah marah, Allah ridha, Allah membenci, dan Allah juga mencintai.” Lalu Imam Ahmad berkata, “Kami mengimaninya dan membenarkannya, tapi tidak mempertanyakan tentang cara dan maknanya. Yakni, kami mengimani bahwa Allah akan turun, bisa dilihat pada hari Kiamat, serta bersemayam di atas Arasy yang sangat tinggi dari makhluk-Nya, tapi kita tidak dapat mengetahui bagaimana cara turun-Nya, melihat-Nya, dan bersemayamnya Allah, tidak pula makna yang benar darinya. Kami menyerahkan pengetahuan tentang itu semua kepada Allah, Zat yang berfirman tentangnya dan yang telah mewahyukannya kepada Nabi-Nya. Kami tidak menyangkal Rasulullah dan tidak menyifati Allah melebihi apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa adanya batasan dan tujuan. Kami juga mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai Allah dan Dia-lah Zat yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Dalil-dalil Aqli
Pertama, Allah telah menyifati diri-Nya dengan banyak sifat dan menamai diri-Nya dengan banyak nama, sekaligus tidak melarang kita untuk menyifati dan menamai-Nya dengan sifat-sifat dan nama-nama tersebut, tidak menyuruh kita untuk menakwilkannya, atau membawa maknanya kepada selain makna zahirnya.
Apakah masuk akal jika ada yang mengatakan, “Jika kita menyifati Allah dengan sifat-sifat tersebut, berarti kita telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga hal itu mewajibkan kita untuk menakwilkan sifat-sifat tersebut dan membawa maknanya kepada selain makna zahirnya.”
Jika kita mengatakan seperti itu, maka kita termasuk orang-orang yang menolak dan meniadakan (ta’thil) sifat-sifat Allah, serta menyalahartikan nama-nama-Nya! Padahal Allah telah mengancam orang-orang yang menyalahartikan nama-nama dan sifat-sifatNya dengan firman-Nya, “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Kedua, bukankah orang yang meniadakan salah satu dari sifat-sifat Allah lantaran takut menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya, berarti ia telah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Kemudian, lantaran takut menyerupakan, ia justru melakukan tindakan peniadaan dan pengingkaran. Ia meniadakan dan menolak sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sehingga karenanya, ia telah menghimpun dua dosa besar, yaitu tasybih (menyerupakan) dan ta’thil (menolak).
Tidakkah masuk akal—dengan keadaan seperti ini—jika Yang Maha Mengadakan disifati dengan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya dibarengi dengan keyakinan bahwa sifat-sifat Allah tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebagaimana halnya Zat Allah juga tidak serupa dengan dzat para makhluk-Nya?
Ketiga, beriman kepada sifat-sifat Allah dan menyifati-Nya dengan sifat-sifat tersebut, bukan berarti menyerupakan-Nya dengan sifat-sifat para makhluk-Nya. Sebab, akal tidak menganggap mustahil bila Allah memiliki sifat-sifat khusus terkait dzat-Nya yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sifat Allah dan sifat makhluk tidaklah sama, melainkan dalam hal nama saja. Sang khaliq memiliki sifat-sifat yang khusus bagi-Nya dan makhluk juga memiliki sifat-sifat yang khusus baginya.
Ketika seorang muslim mengimani sifat-sifat Allah dan menyifati-Nya dengan sifat-sifat tersebut, selamanya ia tidak akan mempunyai keyakinan, bahkan terdetik dalam pikirannya, bahwa tangan Allah sebagai contoh menyerupai tangan makhluk-Nya dalam makna apa pun kecuali hanya pada namanya Saja. Hal itu jelas karena adanya perbedaan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan, baik dari segi dzat, sifat-sifat, dan perbuatan. Allah berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia’.” (Al Ikhlas: 1-4)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Kesimpulan
Mengimani sifat-sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As Sunnah adalah sebuah kewajiban, bahkan sifat-sifat yang biasa kita lihat ada pada makhluk-Nya. Akan tetapi, mempertanyakan dan menggali lebih dalam seperti apa wujud dan caranya adalah sesuatu yang terlarang.
Seorang muslim beriman kepada para malaikat Allah. Mereka adalah makhluk Allah yang paling mulia dan para hamba di antara hamba-hamba-Nya yang dimuliakan. Allah telah menciptakan mereka dari cahaya, sebagaimana Allah juga telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan telah menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.
Allah telah mempercayakan kepada para malaikat beberapa tugas dan mereka senantiasa melaksanakan tugas-tugas tersebut. Di antara mereka ada yang bertugas menjaga para hamba, mencatat seluruh amalan hamba, menjaga surga berikut segala kenikmatannya, menjaga neraka berikut segala siksaannya, dan ada juga yang tugasnya bertasbih siang dan malam tanpa henti.
Allah a telah memuliakan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada para malaikat yang didekatkan oleh Allah kepada-Nya, seperti Jibril, Mikail, dan Israfil, dan di antara mereka juga ada yang tidak didekatkan kepada Allah. Keimanan seperti ini yang ada dalam diri seorang muslim, semata-mata karena hidayah dari Allah, kemudian berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, perintah Allah agar mengimani mereka dan pemberitahuan dari Allah mengenai mereka di dalam firman-Nya:
“Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.” (An-Nisa’: 136)
“Barang siapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 98)
Firman Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia:
“Al-Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah).” (An-Nisa’: 172)
Firman Allah yang Maha besar Kekuasaan-Nya:
“Pada hari itu delapan malaikat menjunjung Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haqqah: 17)
Firman Allah yang Maha agung hukum-Nya:
“Dan yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat… (Al-Muddatstsir: 31)
Firman Allah Yang Mahasuci nama-nama-Nya:
“sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu’.” (Ar-R’ad 23-24)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-Baqarah: 30)
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah tentang mereka dengan sabdanya dalam doa beliau ketika sedang melaksanakan shalat malam:
“Ya Allah, Tuhannya Jibril, Mikail, dan Israfil, yang menciptakan langit dan bumi, yang Maha Mengetahui perkara gaib dan nyata. Engkaulah yang berhak menghakimi hamba-hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku kebenaran yang diperselisihkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk bagi orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”
“Langit mengeluarkan suara gemuruh dan merupakan haknya ta bergemuruh. Tiada satu tempat seukuran empat jari pun kecuali padanya terdapat malaikat yang sedang bersujud.”
“Sesungguhnya, Baitul Makmur (dilangit) dalam setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat, kemudian mereka tidak kembali.”
“Apabila telah tiba hari Jum’at, pada setiap pintu masjid ada malaikat yang mencatat orang yang paling awal masuk masjid kemudian orang-orang selanjutnya. Lalu ketika imam telah duduk (di atas mimbar), mereka mengakhiri pencatatannya lalu mendengarkan zikir (khutbah).”
“Adakalanya malaikat menemuiku dengan menjelma sesosok lelaki. Lalu ia berbicara kepadaku, dan aku hafal apa yang ia ucapkan.”
“para malaikat di malam hari dan malaikat di siang hari saling bergantian datang menemui kalian.”
“Allah telah menciptakan malaikat dari cahaya, menciptakan jin dari nyala api tanpa asap, dan menciptakan Adam dengan sesuatu yang telah Allah jelaskan kepada kalian.”
Ketiga, kesaksian banyak sahabat yang melihat kehadiran para malaikat pada waktu Perang Badar. Secara bersamaan, mereka melihat Jibril, yang dipercaya untuk menyampaikan wahyu tidak hanya sekali saja. Sebab, adakalanya Jibril datang dalam wujud Dihyah Al-Kalbi, lalu para sahabat menyaksikannya. Di antara yang paling masyhur adalah hadits Umar bin Khattab dalam riwayat Muslim yang di dalamnya terdapat pertanyaan dari Rasulullah, “Tahukah kalian, siapa orang yang bertanya itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Dia Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan persoalan agama kepada kalian.”
Keempat, keimanan jutaan orang mukmin, para pengikut rasul pada setiap waktu dan tempat terhadap para malaikat, dan pembenaran mereka terhadap apa-apa yang telah dikabarkan oleh para rasul mengenai malaikat tanpa ada keragu-raguan.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, akal tidak menganggap mustahil dan menolak akan keberadaan para malaikat. Sebab, akal tidak menganggap mustahil atau menolak kecuali terhadap dua perkara yang bertentangan, seperti keberadaan dan tidak adanya sesuatu pada waktu yang sama. Atau yang saling berlawanan, seperti adanya kegelapan dan cahaya secara bersamaan. Sedangkan keimanan akan keberadaan para malaikat, selamanya tidak mengharuskan sesuatu pun dari semua itu.
Kedua, jika di antara yang diterima oleh orang berakal adalah bahwa adanya jejak sesuatu menunjukkan keberadaan sesuatu itu, maka para malaikat juga memiliki banyak jejak yang mengharuskan dan menegaskan akan keberadaannya. Di antara jejak-jejak tersebut adalah:
- Sampainya wahyu kepada para nabi dan rasul. Sebab, pada umumnya wahyu sampai kepada mereka melalui perantaraan Ruhul Amin, Jibril malaikat yang ditugasi untuk menyampaikan wahyu. Hal ini merupakan jejak nyata yang tidak dapat diingkari dan menguatkan, serta menegaskan tentang keberadaan malaikat.
- Wafatnya para makhluk dengan dicabutnya ruh mereka. Ini juga merupakan jejak nyata yang menunjukkan akan keberadaan malaikat maut dan pembantu-pembantunya. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kami’.” (As-Sajdah: 11).
- Penjagaan terhadap manusia dari gangguan serta kejahatan jin dan setan, di sepanjang hidupnya. Manusia hidup di antara jin dan setan, yang mana keduanya bisa melihat manusia, tapi manusia tidak bisa melihat keduanya. Jin dan setan mampu menyakiti manusia, tapi manusia tidak mampu menyakiti keduanya. Atau bahkan dapat ditolaknya kejahatan jin dan setan, juga merupakan bukti adanya malaikat penjaga manusia yang akan selalu menjaga dan membela mereka. Allah berfirman, “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Ar-Ra’d: 11).
Ketiga, tidak bisanya melihat sesuatu karena sebab lemahnya pandangan atau tidak adanya persiapan sempurna untuk melihat sesuatu itu tidak dapat meniadakan keberadaan sesuatu tersebut. Sebab, ada banyak sekali materi-materi di alam nyata ini yang mata telanjang tidak mampu melihatnya. Akan tetapi, saat ini materi-materi tersebut dapat dilihat dengan sangat jelas, yaitu dengan menggunakan mikroskop atau lensa pembesar lainnya.
Kesimpulan
Keberadaan malaikat-malaikat Allah di sekitar manusia telah terbukti kebenarannya berdasarkan bukti-bukti di atas, baik bukti dari literatur (Al Qur’an dan As-Sunnah) maupun bukti ilmiah yang mustahil dibantah. Dan mengimani mereka adalah sebuah kewajiban, meski kita tidak bisa melihat keberadaan mereka.
Seorang muslim mengimani seluruh kitab yang telah Allah turunkan dan shuhuf (lembaran-lembaran) yang telah diberikan kepada sebagian rasul, dan mengimani bahwa kitab dan shuhuf adalah firman Allah yang diwahyukan kepada para rasul-Nya agar mereka menyampaikan darinya syariat dan agama-Nya.
Kitab-kitab Allah yang utama ialah empat kitab: Al-Qur’an Al-Karim yang telah diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad; Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa; Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud; dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa;. Al-Qur’an adalah kitab yang paling agung dari tiga kitab lainnya, dan merupakan pemelihara kitab-kitab tersebut serta penghapus seluruh syariat dan hukum sebelumnya. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan Dalil-dalil aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, perintah Allah untuk beriman kepada kitab-kitab Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang diturunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136)
Kedua, pemberitahuan dari Allah mengenai kitab-kitab-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya) Dia menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan.” (Ali-Imran: 2-4)
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya.” (AI-Maidah: 48)
“Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.” (An-Nisa’: 163)
“Dan sungguh, (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, Yang dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin Jibril, ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sungguh, (Al-Qur’an) itu (disebut) dalam kitab-kitab orang yang terdahulu.” (Asy-Syu’ara’: 192-196)
“Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-A’la: 18-19)
Ketiga, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai hal itu dalam banyak hadits, di antaranya adalah:
“Keberadaan kalian di tengah-tengah umat-umat terdahulu hanyalah sebagaimana antara shalat Ashar hingga matahari terbenam. Ahli Taurat diberi Taurat lalu mereka mengamalkannya sampai pertengahan siang, kemudian mereka tidak bisa lagi mengamalknnya sehingga diberi satu qirath satu qirath. Kemudian ahli Injil diberi Injil lalu mereka mengamalkannya sampai shalat Ashar selesai ditegakkan, kemudian mereka tidak bisa lagi mengamalkannya, sehingga mereka diberi satu girath satu qirath. Kemudian kita diberi Al-Qur’an lalu kita mengamalkannya sampai matahari terbenam, sehingga kita diberi dua qirath dua girath. Ahli kitab pun bertanya, ‘Mereka (kaum muslimin) lebih sedikit bekerja daripada kami namun mengapa mereka lebih banyak pahalanya?’ Allah menjawab, ‘Apakah Aku menzalimi hak kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Allah pun berkata, ‘Itu adalah keutamaan-Ku yang Aku berikan kepada siapa saja yang Aku kehendaki’.”
“Telah dimudahkan bagi Nabi Dawud dalam membaca Al Qur’an (Taurat atau Zabut). Dia pernah menyuruh agar pelana hewan-hewan tunggangannya dipasang. Lalu ia membaca Al-Qur’an (Taurat atau Zabur). Namun dia telah selesai membacanya sebelum pelana hewan tunggangannya selesai dipasang. Dan dia tidak makan kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri.”
“Tidak boleh iri kecuali dalam dua perkara; seorang lelaki yang Allah memberinya Al-Quran, lalu ia membacanya di sepanjang malam dan siang, dan seorang lelaki yang Allah memberinya harta, lalu ia menginfakkannya di sepanjang malam dan siang.”
“Aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah.”
“Jangan kalian benarkan ahli kitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka. Namun katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri’.”
Keempat, berimannya jutaan ulama, orang-orang bijak, dan orang-orang beriman di setiap waktu dan tempat. Juga keyakinan mereka yang kuat bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab yang telah Dia wahyukan kepada para rasul-Nya dan kepada sebaik-baik manusia, serta memuati kitab-kitab itu dengan kandungan yang Allah inginkan dari sifat-sifat-Nya, berita-berita gaib, serta penjelasan syariat-Nya, agama-Nya, janji-Nya, dan ancaman-Nya.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, lemahnya manusia serta kebutuhannya kepada Allah dalam memperbaiki badan dan rohnya menuntut untuk diturunkannya kitab-kitab yang mengandung beragam syariat dan aturan, yang akan mewujudkan kesempurnaan-kesempurnaan bagi manusia, serta apa yang dituntut oleh kehidupannya di dunia maupun di akhirat.
Kedua, mengingat para rasul adalah perantara antara Allah Sang Pencipta dan para hamba-Nya, maka para rasul juga layaknya manusia lain, yang mana mereka hidup dalam beberapa waktu, kemudian mati. Oleh karenanya, jika ajaran-ajaran mereka tidak diabadikan dalam beberapa kitab khusus, pasti ajaran-ajaran tersebut akan hilang seiring dengan kematian mereka. Manusia sepeninggal mereka pun akan hidup tanpa risalah dan perantara. Sehingga menjadi hilanglah tujuan utama dari wahyu dan rasul. Maka tidak diragukan lagi, keadaan seperti ini menuntut diturunkannya kitab-kitab Allah.
Ketiga, jika seorang rasul yang berdakwah menuju Allah tidak membawa kitab dari Tuhannya yang di dalamnya terkandung syariat, petunjuk, dan kebaikan, maka akan sangat mudah bagi manusia untuk mendustakan dan menolak risalahnya. Sehingga keadaan seperti ini mengharuskan diturunkannya kitab-kitab Allah untuk menegakkan hujjah (bukti) kepada manusia.
Seorang muslim mengimani bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah yang telah Dia turunkan kepada sebaik-baik makhluk-Nya dan sebaik-baik nabi dan rasul, yakni nabi kita, Nabi Muhammad, sebagaimana Allah telah menurunkan kitab-kitab lain kepada para rasul yang lain sebelumnya. Dengan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, Allah telah menghapus seluruh hukum pada kitab-kitab samawi sebelumnya. Sebagaimana halnya, dengan risalah Rasulullah Allah telah menutup seluruh misi kerasulan sebelumnya.
Seorang muslim juga mengimani bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang mencakup syariat Tuhan yang paling agung. Zat yang menurunkannya telah memberikan jaminan bagi orang yang berpegang teguh dengannya akan berhasil meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta memberikan ancaman kepada orang yang berpaling darinya dan tidak menjadikannya sebagai pegangan dengan kecelakaan di dunia dan akhirat.”
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang Allah telah menjamin keasliannya dari pengurangan dan penambahan, serta dari penggantian dan perubahan. Allah juga telah menjamin kekekalannya hingga Dia mengangkatnya ke sisi-Nya pada akhir kehidupan nanti. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dali-dalil Naqli
Pertama, Pemberitahuan dari Allah mengenai Al-Qur’an di dalam firman-Nya:
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan Manusia)” (Al-Furqan: 1)
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.” (Yusuf: 3)
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (An-Nisa: 105)
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.” (al-Ma’idah: 15-16)
“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami Akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 123-124)
“Dan sesungguhnya (Al-Qur’an) itu adalah Kitab yang mulia, (yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji.” (Fushshilat: 41-42)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau, di dalam sabdanya:
“Ketahuilah, sungguh, aku telah diberi Al-Kitab dan yang serupa dengannya (As-Sunnah).”
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an sekaligus mengajarkannya.”
“Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal; seorang lelaki yang Allah memberinya Al-Qur’an, lalu ia membacanya di sepanjang malam dan siang. Dan seorang lelaki yang Allah telah memberinya harta, lalu ia menginfakkannya di sepanjang malam dan siang.”
“Tidak ada seorang nabi pun melainkan ia pasti diberi tanda, yang mana manusia beriman kepadanya. Dan sesungguhnya, tanda yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang Allah turunkan kepadaku. Maka, aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari Kiamat kelak.”
“Seandainya Musa atau Isa masih hidup, maka tidak ada keleluasaan baginya kecuali mengikutiku.”
Ketiga, berimannya milyaran orang Islam, bahwa Al-Qur’an adalah Kitabullah dan wahyu-Nya yang telah Allah wahyukan kepada Rasul-Nya.
Serta keyakinan kuat mereka terhadap hal itu yang disertai dengan membaca, menghafal, dan mengamalkan seluruh syariat dan hukum yang ada di dalamnya.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, cakupan Al-Qur’an yang meliputi bermacam-macam ilmu, padahal orang yang Al-Qur’an diturunkan kepadanya adalah seorang yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis sama sekali, dan belum pernah masuk sekolah atau madrasah. Di antara ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur’an adalah:
- Ilmu pengetahuan alam (IPA).
- Ilmu sejarah (Tarikh).
- Ilmu syariat dan undang-undang.
- Ilmu peperangan dan politik.
Cakupan Al-Qur’an yang meliputi bermacam-macam ilmu ini menjadi bukti yang kuat bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah dan wahyu dari-Nya. Sebab, akal akan menganggap mustahil berasalnya ilmu-ilmu ini dari orang yang buta huruf; sama sekali tidak bisa membaca dan menulis.
Kedua, sebagai Zat yang telah menurunkan Al-Qur’an, Allah telah menantang manusia dan jin untuk mendatangkan yang serupa dengan Al Qur’an melalui firman-Nya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Al-Isra’: 88)
Allah juga telah menantang para pakar bahasa Arab yang fasih dan sastrawan Arab untuk mendatangkan sepuluh surat seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, atau satu surat saja. Namun, mereka tidak mampu dan tidak bisa membuatnya. Ini merupakan bukti yang paling kuat bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan ucapan manusia, sedikit pun.
Ketiga, Al-Qur’an yang mencakup kabar-kabar gaib yang sangat banyak, sebagian berita gaib yang ada di dalam Al-Qur’an telah terjadi dan sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa ada tambahan ataupun pengurangan.”
Keempat, sebagaimana Allah telah menurunkan kitab-kitab lain kepada para nabi selain Nabi Muhammad, seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil kepada Nabi Isa maka sudah menjadi kepastian bahwa Al-Qur’an juga telah diturunkan oleh Allah, seperti kitab-kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Apakah akal menganggap mustahil atau menyangkal turunnya AlQur’an? Tidak, bahkan akal justru memastikan dan mengharuskan turunnya Al-Qur’an.
Kelima, apa yang dikabarkan Al-Qur’an telah menjadi kenyataan secara berturut-turut sama persis seperti yang dikabarkan dan diceritakan dalam Al-Qur’an. Begitu juga hukum, syariat, dan undang-undangnya yang telah dipraktikkan, terbukti dapat merealisasikan apa yang diharapkan berupa keamanan, kemuliaan,?? kehormatan, ilmu, dan pengetahuan. Sejarah tegaknya pemerintahan Khulafaur Rasyidin menjadi bukti atas kebenaran tersebut.
Bukti apalagi yang dituntut setelah penjelasan ini untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah dan wahyu-Nya yang telah Dia turunkan kepada sebaik-baik makhluk dan penutup para nabi dan rasul?
Seorang muslim beriman bahwa Allah telah memilih dari kalangan manusia beberapa rasul, serta mewahyukan kepada mereka syariat-Nya dan mengambil janji dari mereka untuk menyampaikan wahyu tersebut sebagai hujjah pada hari Kiamat kelak. Allah mengutus mereka dengan bukti-bukti dan menguatkan mereka dengan mukjizat. Kerasulan mereka dimulai dengan Nabi Nuh dan diakhiri oleh Nabi Muhammad.
Seorang muslim juga mengimani bahwa para rasul adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan paling mulia, meskipun mereka adalah manusia biasa yang berlaku pada diri mereka banyak kepentingan manusiawi, seperti makan, minum, sakit, sehat, lupa, ingat, meninggal, dan hidup. Tidaklah sempurna iman seorang hamba, kecuali jika ia mengimani mereka semua, baik secara global maupun terperinci. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah mengenai para rasul, pengutusan mereka, dan ajaran-ajaran mereka. Allah berfirman:
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’’.” (An-Nahl: 36)
“Allah memilih para utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Al-Hajj: 75)
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya; Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud. Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung. Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Maha perkasa, Maha bijaksana.” (An-Nisa’: 163-165)
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” (Al-Hadid: 25)
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (Al-Anbiya’: 83)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar pasar.” (Al-Furqan: 20)
“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata maka tanyakanlah kepada Bani Israil, ketika Musa datang kepada mereka.” (Al-Isra’: 101)
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka. Dia menyediakan azab yang pedih bagi orang-orang kafir.” (Al-Ahzab: 7-8)
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai dirinya dan mengenai saudara-saudaranya dari kalangan para nabi dan rasul di dalam sabdanya:
“Allah tidak mengutus seorang nabi, melainkan ia memberi peringatan kepada kaumnya atas orang yang bermata satu lagi pendusta (Al-Masih Ad-Dajal)”
“Janganlah kalian semua saling mengutamakan antara para nabi.”
Rasulullah bersabda tatkala Abu Dzar bertanya kepadanya mengenai jumlah para nabi dan rasul, beliau menjawab:
“(Jumlah nabi) seratus dua puluh ribu orang, dan jumlah rasul di antara mereka adalah sebanyak tiga ratus tiga belas orang.”
Rasulullah bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Musa masih hidup, maka ia tidak memiliki keleluasaan kecuali harus mengikutiku.”
Rasulullah bersabda, “Itu adalah nabi Ibrahim.” Tatkala beliau dipanggil dengan, “Wahai Khairul Bariyyah (sebaik-baik manusia).” Ini tawadhu’ beliau.
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah pantas bagi seorang hamba (nabi) untuk berkata, ‘Aku lebih baik dari Yunus bin Matta’.”
Rasulullah menjelaskan mengenai para rasul pada malam beliau diisra’kan, ketika mereka dikumpulkan di Baitul Maqdis dan Nabi Muhammad mengimami shalat mereka. Sebagaimana halnya, saat di langit, beliau juga menjumpai Yahya, Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim. Beliau memberitahukan tentang mereka dan keadaan mereka yang beliau saksikan langsung.
“Nabi Allah Dawud biasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
Ketiga, keimanan jutaan manusia dari kalangan umat Islam dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) kepada para utusan Allah, juga pembenaran mereka yang kuat terhadap kerasulan mereka dan keyakinan mereka akan kesempurnaan serta pemilihan Allah terhadap mereka.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, rububiyyah dan rahmat Allah mengharuskan diutusnya para rasul dari-Nya kepada para makhluk-Nya guna mengenalkan mereka mengenai Tuhan mereka, mengarahkan mereka kepada kesempurnaan manusiawi mereka, serta kepada kebahagiaan mereka di kehidupan dunia dan akhirat.
Kedua, adanya suatu kenyataan bahwa Allah telah menciptakan para makhluk-Nya hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
Kenyataan ini tentu menuntut dipilih dan diutusnya para rasul tersebut, yang bertujuan untuk mengajarkan kepada para hamba-Nya bagaimana cara mereka beribadah kepada Allah dan menaati-Nya. Sebab, ibadah merupakan tujuan mereka diciptakan.
Ketiga, adanya suatu kenyataan bahwa pahala dan siksa disiapkan untuk jejak-jejak ketaatan dan kemaksiatan di dalam jiwa.
Kenyataan ini merupakan perkara yang mengharuskan diutusnya para rasul dan nabi, agar pada hari Kiamat kelak, manusia tidak mengatakan, “Wahai Tuhan kami, kami tidak mengetahui cara menaati-Mu, hingga kami bisa selalu taat kepada-Mu, dan kami tidak mengetahui cara meninggalkan maksiat kepada-Mu, hingga kami bisa menjauhinya. Tidak ada kezaliman pada-Mu hari ini, maka janganlah Engkau mengazab kami.” Hingga karenanya mereka memiliki hujjah di hadapan Allah. Kenyataan seperti inilah yang mengharuskan diutusnya para rasul untuk menyangkal hujjah hujjah mereka di hadapan Allah. Allah berfirman, “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 165).
Seorang muslim mengimani bahwa seorang nabi yang ummi (buta huruf), Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib Al-Hasyimi Al-Qurasyi Al-Arabi, keturunan dari Ismail bin Ibrahim adalah hamba dan utusan Allah untuk seluruh manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih.
Dengan kenabian Muhammad, Allah telah menutup nubuwwah (diutusnya seorang nabi). Dan dengan kerasulan beliau, Allah menutup kerasulan (diutusnya seorang rasul). Tidak ada lagi nabi dan rasul sepeninggal beliau. Allah telah menguatkan beliau dengan banyak mukjizat, dan mengutamakan beliau atas seluruh nabi, sebagaimana Dia telah mengutamakan umatnya atas seluruh umat yang lain.
Allah mewajibkan agar beliau dicintai, ditaati, serta senantiasa diteladani. Allah juga telah memberikan kepada beliau kekhususan yang tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau, di antaranya adalah hak memberi syafaat, nikmat yang banyak, telaga, dan tempat yang terpuji. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, kesaksian Allah dan para malaikat terhadap wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah dalam firman Allah:
“Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur’an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad) Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.” (An-Nisa: 166)
Kedua, pemberitahuan dari Allah mengenai umumnya risalah Muhammad. Termasuk kenabian beliau yang terakhir, kewajiban taat dan mencintai beliau, serta keberadaan beliau sebagai penutup para nabi. Allah berfirman:
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepadanya), itu lebih baik bagimu.” (An-Nisa’: 170)
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan (syariat kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan, ‘Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” (Al-Maidah: 19)
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiya’: 107)
“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jumu’ah: 2)
“Muhammad adalah utusan Allah.” (Al-Fath: 29)
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (Jin dan Manusia)” (Al-Furqan: 1)
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
“Saat (hari Kiamat) semakin dekat dan bulan terbelah.” (Al-Qamar: 1)
“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.” (Al-Kautsar: 1)
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (Adh-Dhuha: 5)
“Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isra’: 79)
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammaad)” (An-Nisa’: 59)
“Katakanlah, ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya’.” (At-Taubah: 24)
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali-Imran: 110)
“Dan demikianlah pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah: 143)
“Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali-Imran: 31)
Ketiga, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai kenabian beliau, kenabian beliau adalah yang terakhir, kewajiban menaatinya dan umumnya risalah kerasulannya. Rasulullah bersabda:
“Aku adalah seorang nabi, yang tidak berbohong. Aku adalah anak dari Abdul Muthallib.”
“Aku adalah hamba Allah dan penutup para nabi. Dan Adam dahulu tergeletak di atas bumi (pada penciptaannya).”
“Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi sebelumku adalah sebagaimana seorang yang telah membangun sebuah rumah. Ia sudah memperbagus dan memperindah rumah tersebut kecuali tempat untuk satu batu bata. Lalu orang-orang berkeliling di sekitar rumah tersebut dan merasa takjub dengan mengatakan, ‘Ah, mengapa di sini tidak diletakkan batu bata?’ Maka akulah batu bata tersebut, dan akulah penutup para nabi’.
“Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan segenap manusia.”
“Kalian semua akan masuk ke dalam surga, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu, Wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Barang siapa menaatiku, maka la akan masuk surga, dan barang siapa bermaksiat kepadaku, maka la telah enggan (masuk surga).”
“Risalah dan nubuwwah telah terputus, sehingga tidak ada lagi rasul dan nabi sepeninggalku.
“Aku telah diutamakan atas para nabi lainnya dengan enam hal; aku telah diberi jawami’ul kalim, aku ditolong dengan digentarkannya musuh, dihalalkan untukku ghanimah, dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan sarana bersuci, aku diutus untuk seluruh makhluk, dan nubuwwah ditutup dengan kenabianku.”
“Barang siapa menaatiku, maka ia telah menaati Allah. Barang siapa bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin pilihanku, maka ia telah menaatiku. Dan barang siapa bermaksiat kepada pemimpin pilihanku, maka ia telah bermaksiat kepadaku.”
“Surga telah diharamkan untuk seluruh nabi, sampai aku memasukinya, dan diharamkan pula untuk seluruh umat manusia sampai umatku memasukinya.”
“Jika hari Kiamat telah tiba, aku akan menjadi imam para nabi dan menjadi juru bicara mereka, serta pemilik syafaat mereka, tanpa adanya kesombongan.”
“Aku adalah tuannya seluruh anak Adam pada hari Kiamat kelak, dan yang pertama dibangkitkan dari kubur pada hari Kiamat, serta orang pertama yang memberi syafaat dan orang pertama yang diizinkan untuk memberikan syafaat.”
Keempat, kesaksian Taurat dan Injil mengenai bi’tsah, risalah, dan nubuwwah Muhammad, serta berita gembira dari Musa dan Isa mengenai hal itu. Allah berfirman mengenai Isa:
“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata, ‘Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’ Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata’.” (Ash-Shaff: 6)
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (Al-A’raf: 157)
Dalam kitab Taurat disebutkan, “Kelak Aku akan mengirimkan utusan kepada mereka seorang nabi sepertimu dari kalangan saudara-saudara mereka dan menjadikan firman-Ku ada pada lisannya. Dia akan berbicara kepada mereka dengan segala sesuatu yang telah Aku perintahkan kepadanya. Maka, barang siapa yang tidak menaati perkataan yang telah diucapkannya atas nama-Ku, Aku akan menuntut balas dari hal itu.”
Berita gembira yang disebutkan dalam Taurat pada hari ini memberi kesaksian mengenai nubuwwah dan risalah Muhammad serta kewajiban mengikuti dan menaatinya. Kesaksian ini menjadi hujjah atas orang Yahudi, meski mereka menyelewengkan dan mengingkarinya.
Firman Allah, “Kelak aku akan mengirimkan utusan kepada mereka seorang nabi.” Ini tidak diragukan lagi akan menjadi saksi atas nubuwwah dan risalah Muhammad. Sebab, obyek pembicaraan dalam firman ini adalah Musa, dan dia adalah seorang nabi dan rasul, sementara orang yang serupa dengannya adalah seorang nabi dan rasul juga.
Firman Allah, “Dari kalangan saudara-saudara mereka.” Ini sangat gamblang menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Muhammad. Dan firman Allah, “Aku akan menjadikan firman-Ku pada lisannya.” Hal ini tidak berlaku kecuali untuk Nabi Muhammad. Sebab, beliau adalah orang yang membacakan firman Allah dan menjaganya, yaitu Al-Qur’an Al-Karim.
Firman Allah, “Dia akan berbicara kepada mereka dengan segala sesuatu yang Aku perintahkan kepadanya.” Perkataan ini juga menjadi bukti atas kenabian Muhammad. Sebab, Nabi Muhammad telah berbicara mengenai Hal-hal gaib yang tidak pernah dibicarakan oleh seorang nabi pun selainnya. Beliau juga telah menyampaikan kejadian-kejadian yang telah terjadi dan yang akan terjadi sampai datangnya hari Kiamat.
Telah disebutkan juga dalam kitab Taurat sebuah nash yang berbunyi, “Wahai para nabi, Aku telah mengutusmu sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan, serta tempat perlindungan bagi orang-orang yang ummi. Engkau adalah hamba dan rasul-Ku. Aku memberimu nama Al-Mutawakkil, bukan orang yang bersifat keras lagi kasar dan tidak berteriak-teriak di pasar. Ia tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi ia justru mamaafkan dan memberi ampunan. Sekali-kali Allah tidak mengambil nyawanya sampai Allah meluruskan jalan hidup yang bengkok melalui perantaraannya, yaitu mereka mau mengatakan, ‘La ilaha illallah (tidak ada yang berhak disembah selain Allah).’ Sehingga dengan perantaraan beliau, Allah berkenan membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.”
Disebutkan juga dalam Taurat, “Mereka telah membuat diriku cemburu dengan selain Allah, membuat diriku marah dengan sesembahan sesembahan mereka yang batil. Sedangkan aku membuat mereka cemburu dengan kaum yang lain. Dan dengan kaum yang jahil, aku membuat mereka marah.”
Firman-Nya, “Dengan kaum yang jahil.” Perkataan ini sangat gamblang menjelaskan bahwa maksudnya adalah kaum Arab, karena mereka adalah kaum yang jahil sebelum diutusnya Rasulullah. Sampai-sampai orang Yahudi menyebut orang Arab dengan sebutan kaum yang ummi.
Disebutkan pula dalam kitab Taurat, “Batang kemaluan itu tidak akan lenyap dari Yahudza dan berlalu dari pahanya sampai datang orang yang membawa segala sesuatu dan para umat telah menantikannya.”
Lantas, siapa lagi orang yang dinantikan oleh umat kalau bukan Muhammad Terutama orang-orang Yahudi, mereka adalah manusia yang paling menantikan kedatangan orang tersebut. Ini berdasarkan pengakuan-pengakuan mereka yang sangat jelas. Namun, sifat dengkilah yang menghalangi mereka untuk mengimani dan mengikuti Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Sedangkan sebelumnya, mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang yang ingkar.” (Al-Baqarah: 89).
Di dalam kitab Injil, telah disebutkan juga banyak berita gembira sebagaimana berikut:
- Pada hari-hari itu, Yohanes, sang pembaptis, berseru memberikan berita gembira tentang nubuwwah Nabi Muhammad di hadapan orang-orang Yahudi, dengan mengatakan, “Bertobatlah kalian semua, sebab kerajaan langit telah mendekat.” Ucapannya, “Kerajaan langit telah mendekat” memberikan isyarat akan kehadiran Muhammad juga mengisyaratkan akan dekatnya masa pengutusan Muhammad. Sebab, beliaulah yang akan menguasai dan menghakimi dengan undang-undang langit.
- Yohanes juga telah memberi perumpamaan lain untuk mereka dengan mengatakan, “Kerajaan langit itu serupa dengan biji sawi, yang diambil oleh orang-orang dan ditanam di ladang mereka. Biji sawi adalah biji yang terkecil dari seluruh biji yang lainnya. Namun, ketika biji sawi itu tumbuh, ia menjadi sayuran yang paling besar.”
Ungkapan yang terdapat dalam Injil ini merupakan inti dari apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebab, Allah berfirman, “Dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (Al-Fath: 29)
Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
- “Aku akan beranjak pergi, karena jika aku tidak pergi, Paracletos tidak akan datang kepada kalian. Jika aku telah pergi, berarti aku telah mengutusnya untuk kalian. Jika ia datang, maka ia akan mencela dunia atas kesalahan-kesalahannya.”
Bukankah ungkapan yang terdapat di dalam Injil ini merupakan berita gembira mengenai Muhammad ? Siapa lagi Paracletos, kalau bukan Muhammad ? Siapa lagi orang yang akan mencela dunia atas kesalahan kesalahannya, selain beliau ? Tatkala beliau diutus, bukankah dunia sedang berenang di dalam lautan kerusakan dan kejahatan, sementara kaum Paganis telah menebarkan tali-talinya (perangkap-perangkapnya) hingga di kalangan Ahli Kitab? Siapakah orang yang datang sesudah diangkatnya Nabi Isa yang berdoa kepada Allah, Tuhannya langit dan bumi, selain hanya Nabi Muhammad
Dalil-dalil Aqli
Pertama, apa yang menghalangi Allah untuk mengutus Muhammad sebagai rasul, sedangkan Dia telah mengutus ratusan rasul dan ribuan nabi sebelumnya? Jika memang tidak ada yang menjadi penghalang dari hal itu, baik secara akal maupun syariat, lantas dari sisi apa kerasulan dan kenabian Muhammad untuk seluruh manusia diingkari dan dikufuri?
Kedua, situasi dan kondisi yang ada pada saat diutusnya Muhammad mengharuskan adanya risalah langit dan juga seorang rasul yang akan memperbarui kadar pengetahuan manusia terhadap Sang Pencipta, Allah.
Ketiga, tersebarnya Islam dengan pesat di seluruh penjuru dunia; penerimaan manusia terhadapnya; serta diutamakannya atas agama-agama yang lain merupakan bukti kebenaran nubuwwah Muhammad.
Keempat, kebenaran dan kelayakan prinsip-prinsip yang dibawa Muhammad, serta hasil-hasilnya yang baik lagi diberkahi. Hal tersebut merupakan bukti bahwa prinsip-prinsip tersebut bersumber dari sisi Allah, dan yang membawanya adalah seorang rasul dan nabi-Nya.
Kelima, munculnya mukjizat-mukjizat dan kejadian-kejadian luar biasa dari diri Muhammad, yang mana akal manusia menganggap mustahil jika hal itu datang dari selain seorang nabi dan rasul.
Berikut Ini adalah beberapa dari mukjizat-mukjizat tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits shahih yang hampir mutawattir, yang tidak akan didustakan kecuali oleh orang yang lemah atau hilang akalnya. Di antara mukjizat tersebut adalah:
- Terbelahnya bulan oleh Nabi.
Dahulu, Walid bin Mughirah dan orang-orang kafir Quraisy yang lain pernah meminta kepada Nabi Muhammad agar mendatangkan satu tanda—mukjizat—yang menjadi bukti akan kebenaran dari pengakuan kenabian dan kerasulan beliau. Maka, terbelahlah bulan menjadi dua bagian; satu bagian di atas sebuah gunung, dan satu bagian lagi di atas gunung yang lain. Lantas Nabi Muhammad berkata kepada mereka, “Saksikan!” Sebagian dari mereka berkata, “Aku telah melihat bulan berada di antara dua celah gunung (gunung Akhsyabain).” Seorang Quraisy bertanya kepada penduduk negeri lain, apakah mereka juga menyaksikan terbelahnya bulan. Maka mereka pun memberitahukan kejadian sebagaimana yang telah mereka lihat. Kemudian turunlah firman Allah, “Saat (hari Kiamat) semakin dekat dan bulan pun terbelah. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat) mereka berpaling dan berkata, ‘(ini adalah) sihir yang terus-menerus’. Dan mereka mendustakan (Muhammad) dan mengikuti keinginannya.” (Al-Qamar: 1-3).
- Pada Perang Uhud, bola mata Qatadah terluka sampai matanya menonjol di pipinya. Kemudian Rasulullah mengembalikan matanya ke tempatnya semula, hingga matanya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
- Pada peristiwa Perang Khaibar, kedua bola mata Ali bin Abi Thalib terkena penyakit radang. Kemudian Rasulullah meludahi kedua matanya. sehingga kedua matanya sembuh seakan tidak pernah mengalami sakit sedikit pun.
- Pada saat Perang Badar, betis Ibnul Hakam pernah mengalami patah tulang. Lalu Rasulullah meludahi betisnya, seketika itu juga betisnya sembuh dan ia tidak merasakan sakit sedikit pun.
- Pohon dapat berbicara kepada Rasulullah.
Dahulu, seorang Arab badui pernah berada di dekat beliau. Lalu beliau berkata kepadanya, “Wahai orang badui, mau pergi ke manakah kamu?” Ia menjawab, “Pergi ke keluargaku.” Beliau berkata lagi, “Maukah kamu aku tunjukkan kepada kebaikan?” Ia menjawab, “Apa itu?” Beliau bersabda, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Badui itu bertanya, “Siapa yang dapat bersaksi kepadamu atas ucapanmu itu?” Beliau menjawab, “Pohon itu.” Beliau menunjuk sebuah pohon yang ada di lembah. Maka pohon itu pun mendatangi beliau dengan membelah tanah hingga ia berdiri di hadapan beliau. Lalu Rasulullah meminta pohon tersebut untuk memberi kesaksian sebanyak tiga kali. Dan pohon tersebut pun memberikan kesaksian seperti yang diucapkan oleh Rasulullah.
- Rasa rindu dan tangisan batang pohon kurma untuk Rasulullah dengan suara yang terdengar oleh seluruh orang yang ada di dalam masjid Nabawi.
Hal itu terjadi ketika batang pohon kurma tersebut ditinggalkan oleh beliau setelah sebelumnya dijadikan sebagai mimbar oleh beliau untuk berkhotbah. Setelah beliau dibuatkan mimbar baru dan tidak lagi naik ke atas batang pohon kurma, batang itu pun menangis lantaran rasa rindu dan kangen kepada beliau. Suara tangisannya itu terdengar seperti lenguhan onta yang sedang mengandung, dan tidak berhenti hingga Rasulullah datang kemudian meletakkan tangannya pada batang pohon tersebut. Akhirnya batang pohon kurma itu diam.
- Doa Rasulullah atas kerajaan Kisra, agar kerajaan tersebut tercabik-cabik. Lalu kerajaan Kisra pun tercabik-cabik.
- Doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, agar ia menjadi orang yang paham terhadap agama. Lalu terbukti bahwa Ibnu Abbas menjadi seorang ulama dari umat ini. Dengan doa Rasulullah , makanan menjadi banyak. Sehingga, sebanyak delapan puluh orang lebih bisa makan hanya dari satu mud gandum.
- Dengan doa Rasulullah, air menjadi berlimpah. Dahulu, pada Hari Hudaibiyyah, para sahabat merasakan dahaga yang sangat. Sedangkan di hadapan Rasulullah hanya ada air sebejana kulit yang hendak beliau gunakan untuk berwudhu, dan orang-orang pun mendekat kepadanya. Para sahabat berkata, “Kami tidak memiliki air, kecuali air yang ada di dalam bejana kulit Anda.” Maka Rasulullah pun memasukkan tangannya pada bejana kulit tersebut, dan tiba-tiba memancarlah air dari sela-sela jarinya laksana mata air. Kemudian para sahabat minum dan berwudhu dengan air itu. Padahal jumlah mereka sebanyak seribu lima ratus orang.
- Isra dan mi’rajnya Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Lalu diteruskan ke langit yang tinggi hingga Sidratul Muntaha. Sesudah itu kembali lagi ke tempat tidurnya, dan beliau tidak tidur.
- Al-Qur’an Al-Karim merupakan kitab yang berisikan berita dan kabar mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah kita, serta berisi hukum yang berlaku di antara kita.
Di dalam Al-Qur’an juga terdapat petunjuk dan cahaya. Al-Qur’an merupakan mukjizat teragung dan merupakan tanda-tanda kenabian yang kekal; berlaku sepanjang masa dan seluruh zaman. Al-Qur’an dijadikan bukti atas kebenaran kenabian beliau serta hujjah yang kuat atas makhluk sampai Allah mewariskan bumi ini. Al-Qur’an merupakan mukjizat dan bukti paling agung yang telah diberikan Allah kepada Nabi kita, Muhammad. Mengenai hal ini,
Rasulullah. bersabda:
“Tidak ada seorang nabi pun, melainkan telah diberi mukjizat yang semisalnya dan akan diimani oleh para manusia. Sedangkan mukjizat yang telah diberikan kepadaku merupakan wahyu yang Allah wahyukan kepadaku. Maka aku berharap menjadi nabi yang pengikutnya paling banyak pada hari Kiamat kelak.”
Seorang muslim mengimani bahwa kehidupan dunia ini memiliki masa akhir yang tidak ada lagi hari setelahnya. Selanjutnya datanglah kehidupan yang kedua, detik-detik menuju negeri akhirat. Kemudian, Allah membangkitkan kembali seluruh makhluk dengan sekali tiupan dan mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar guna menghisab mereka, lalu memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan dengan kenikmatan yang kekal di dalam surga dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat dosa dengan azab yang menghinakan di dalam neraka.
Hari Akhir akan datang didahului oleh tanda-tanda kiamat, seperti keluarnya Al-Masih Ad-Dajal, Ya’juj dan Ma’juj, turunnya Isa, keluarnya binatang melata, terbitnya matahari dari sebelah barat, dan tanda-tanda kiamat yang lainnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan ditiupnya sangkakala kehancuran dan kematian, yang diikuti dengan tiupan sangkakala kebangkitan dan berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
Dilanjutkan dengan pemberian buku catatan amal; ada yang mengambilnya dengan tangan kanannya dan ada juga yang mengambilnya dengan tangan kiri. Kemudian diletakkannya timbangan, dijalankannya hisab (perhitungan amal), dibentangkannya titian (shirat), dan akan berakhir di tempat berdiri yang agung dengan ditempatkannya para penghuni surga di dalam surga, dan penghuni neraka di dalam neraka. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan Allah tentang hari Akhir di dalam firman-Nya:.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (Ar-Rahman: 26-27)
“Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia sebelum engkau (Muhammad); maka jika engkau wafat, apakah mereka akan kekal. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada kami.” (Al-Anbiya: 34-35)
“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.’ Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Ath-Thaghabun: 7)
“Tidakkah mereka itu. mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.” (Al-Muthaffifin: 4-6)
“Serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (Asy-Syura: 7)
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, ‘Apa yang terjadi pada bumi ini?’ Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah: 1-8)
“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Tuhanmu, atau sebagian tanda-tanda dari Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu…” (Al-An’am: 158)
“Dan apabila perkataan (ketentuan masa kehancuran alam) telah berlaku atas mereka, Kami keluarkan makhluk bergerak yang bernyawa dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka bahwa manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (An-Naml: 82)
“Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan (apabila) janji yang benar (hari berbangkit) telah dekat, maka tiba-tiba mata orang-orang yang kafir terbelalak…” (Al-Anbiya’: 96-97)
“Dan ketika putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba kaummu (suku Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata, ‘Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?’ Mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Dia (Isa) tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan nikmat (kenabian) kepadanya, dan Kami jadikan dia sebagai contoh bagi Bani Israil. Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya ada di antara kamu yang Kami jadikan malaikat-malaikat (yang turun temurun) sebagai pengganti kamu di bumi. Dan sungguh, dia (Isa) benar-benar menjadi pertanda akan datangnya hari Kiamat. Karena itu, janganlah kamu ragu-ragu tentang (Kiamat) itu…” (Az-Zukhruf: 57-61)
“Dan sangsakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangsakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah) Dan bumi (Padang Mahsyar) menjadi terang benderang dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan buku-buku (perhitungan perbuatan mereka) diberikan (kepada masing-masing), nabi-nabi dan saksi-saksi pun dihadirkan, lalu diberikan keputusan di antara mereka secara adil, sedang mereka tidak dirugikan. Dan kepada setiap jiwa diberi balasan dengan sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Az-Zumar: 68-70)
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala) Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (Al-Anbiya’: 47)
“Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup. Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan. Maka pada hari itu terjadilah hari Kiamat. Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh. Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu di hadapkan (kepada Tuhanmu), tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah) Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata, ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini) Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.’ Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai. Dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu. Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku. (Allah berfirman), ‘Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dialah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha besar. Dan juga tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” (Al-Haqqah: 13-34)
“Maka demi Tuhanmu, sungguh, pasti akan Kami kumpulkan mereka bersama setan, kemudian pasti akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahanam dengan berlutut. Kemudian pasti akan Kami tarik dari setiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Selanjutnya Kami sungguh lebih mengetahui orang yang seharusnya (dimasukkan) ke dalam neraka. Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka) Hal itu bagi Tuhanmu adalah ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” (Maryam: 68-72)
Kedua, pemberitahuan dari Nabi dalam sabdanya:
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga seorang lelaki melewati kuburan orang lain, lalu mengatakan, ‘Seandainya aku berada di posisinya’.”
“Kiamat tidak akan terjadi hingga muncul sepuluh tanda; penenggelaman bumi di timur, penenggelaman bumi di barat, penenggelaman bumi di Jazirah Arab, keluarnya asap, Dajjal, binatang melata, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat, api muncul dari dasar lembah Aden yang menggiring manusia, dan turunnya Isa bin Maryam.’”
“Dajjal akan muncul ditengah-tengah umatku lalu ia tinggal selama empat puluh. Lalu Allah mengutus Isa bin Maryam, di mana ia mirip Urwah bin Mas’ud (salah seorang sahabat). Ia akan mencari Dajjal dan membinasakannya. Sesudah itu manusia akan hidup selama tujuh tahun di mana tidak ada permusuhan di antara dua orang. Kemudian Allah mengirim angin sejuk dari arah Syam sehingga tidak tersisa di muka bumi seorang pun yang di hatinya ada sebiji sawi kebaikan atau keimanan, kecuali akan dicabut nyawanya, sampai-sampai jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam gunung, pasti angin itu akan memasukinya lalu mencabut nyawanya. Sehingga yang tersisa hanyalah orang-orang buruk seperti ringannya burung (dalam melakukan keburukan) dan keinginan binatang buas (yang bertindak zalim). Mereka tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran. Lantas, setan menjelma sosok mereka dan berkata, ‘Tidakkah kalian memenuhi perintah?’ Mereka bertanya, ‘Apa yang kau perintahkan pada kami?’ Maka, setan pun menyuruh mereka untuk menyembah berhala. Saat itulah rezeki mereka lancar dan kehidupan mereka menjadi baik. Kemudian sangkakala ditiup, dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan ia memiringkan sisi leher dan mengangkat lehernya (supaya bisa mendengarnya). Orang pertama yang mendengarnya adalah seseorang yang sedang memperbaiki kolam air untanya. Orang itu mati dan orang-orang yang lain pun juga mati. Sesudah itu Allah menurunkan hujan seperti hujan rintik-rintik, dan dari hujan itu jasad manusia tumbuh. Kemudian ditiuplah sangkakala sekali lagi. Maka tiba-tiba para manusia itu berdiri menunggu (putusan Allah). Kemudian diserukan, ‘Wahai segenap manusia, kemarilah menuju Tuhan kalian.’ Allah berfirman, ‘Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) sesungguhnya mereka akan ditanya.’ (Ash Shaffat: 24).
Kemudian diserukan, ‘Keluarkanlah penghuni neraka.’ Ditanyakan, ‘Dari jumlah berapa?’ Dijawab, ‘Sembilan ratus sembilan puluh sembilan untuk setiap seribu.’ Itulah hari yang menjadikan anak-anak beruban, dan itulah hari betis disingkapkan.’
“Tidak akan terjadi hari Kiamat, melainkan atas manusia yang paling buruk.’
“Jarak antara dua tiupan sangkakala ialah selama empat puluh. Sesudah itu, Allah menurunkan air dari langit, sehingga manusia tumbuh sebagaimana tumbuhnya sayuran. Tidak ada yang tersisa sedikit pun dari manusia melainkan akan hancur kecuali satu tulang, yakni tulang ekor. Dan dari tulang ekor itu, manusia akan dibentuk kembali pada hari Kiamat.’”
“Wahai segenap manusia, kalian akan dikumpulkan kepada Tuhan kalian dalam keadaan tak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak berkhitan. Ketahuilah bahwa manusia pertama yang akan dikenakan pakaian ialah Nabi Ibrahim. Ketahuilah bahwa akan didatangkan orang-orang dari umatku, lalu mereka diambil ke sebelah kiri. Maka, aku pun akan mengucapkan, ‘Wahai Tuhanku, sahabatku, sahabatku!’ Tuhanku berkata, ‘Engkau tidak tahu apa yang telah mereka ada-adakan sepeninggalmu’,”
“Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ditanya tentang empat hal: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan dengannya; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia infakkan; dan tentang tubuhnya, dalam hal apa ia gunakan.”
“Luas telagaku jaraknya sejauh perjalanan sebulan, airnya lebih putih daripada susu, baunya lebih wangi daripada minyak kesturi, dan cangkirnya bagaikan bintang-bintang di langit. Siapa yang meminum dari telaga itu, maka ia tak akan merasa haus selama-lamanya.”
Rasulullah bertanya kepada Aisyah ketika ia mengingat neraka dan menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” Aisyah menjawab, “Aku ingat neraka lalu aku menangis. Apakah pada hari Kiamat Nanti, engkau akan ingat kepada keluargamu?” Nabi bersabda:
“Adapun pada tiga tempat, seseorang tidak akan lagi ingat orang lain, yaitu: saat berada di timbangan amal hingga ia tahu apakah timbangan amalnya lebih ringan atau berat, ketika lembaran catatan amal berterbangan hingga ia tahu dari mana bukunya akan diberikan, dari sebelah kanan, sebelah kiri, atau dari belakang punggungnya; dan ketika shirath (titian) dibentangkan di antara kedua sisi jahanam hingga ia berhasil melewatinya.”
Rasulullah bersabda:
“Setiap nabi memiliki doa yang telah dipanjatkan untuk umatnya, sedangkan doaku telah aku simpan sebagai syafaat bagi umatku.”
“Aku adalah tuan seluruh anak Adam, tanpa sombong. Aku adalah orang pertama yang dibangkitkan dari bumi pada hari Kiamat, tanpa sombong. Aku adalah orang pertama yang memberi syafaat dan orang pertama yang mendapat izin untuk memberi syafaat, tanpa sombong. Juga panji pujian berada di tanganku pada hari Kiamat, tanpa sombong.”
“Siapa yang meminta surga sebanyak tiga kali, maka surga akan berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah dirinya ke dalam surga.’ Siapa yang meminta perlindungan dari neraka sebanyak tiga kali, maka neraka akan berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dirinya dari api neraka’.”
Ketiga, keimanan jutaan manusia dari kalangan para nabi, para rasul, orang-orang bijak, para ulama, dan hamba-hamba Allah yang saleh terhadap hari Akhir berikut penjelasan-penjelasan mengenainya, serta pembenaran yang pasti dari mereka terhadap hari Akhir.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, sangat logis jika kekuasaan Allah mampu menciptakan kembali para makhluk setelah kebinasaan mereka. Sebab, mengembalikan makhluk yang telah binasa bukanlah perkara yang lebih sulit dibanding dengan menciptakan dan mengadakan mereka dalam bentuk yang berbeda dengan sebelumnya.
Kedua, tidak ada perkara yang menghalangi akal kita untuk tidak mempercayai Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan. Sebab, akal hanya akan menganggap mustahil terhadap sesuatu yang mustahil, seperti berkumpulnya dua hal yang berlawanan atau bertemunya dua hal yang pertentangan. Sedangkan Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan, keduanya bukan termasuk sesuatu yang berlawanan atau bertentangan.
Ketiga, hikmah Allah yang tampak dalam tindakan-Nya terhadap para makhluk-Nya dan terlihat jelas dalam setiap fenomena dari beragam fenomena kehidupan tidak menganggap mustahil adanya kebangkitan makhluk sesudah kematian mereka, dan habisnya ajal kehidupan yang pertama serta adanya pembalasan terhadap amalan-amalan mereka yang baik maupun yang buruk.
Keempat, adanya kehidupan dunia berikut segala kenikmatan dan kesengsaraan di dalamnya merupakan bukti adanya kehidupan lain di alam Jain (akhirat) yang di dalamnya terdapat keadilan, kebaikan, kesempurnaan, kebahagiaan, atau kesengsaraan yang lebih besar dan berlipat ganda. Sebab, kehidupan akhirat berikut segala kebahagiaan dan kesengsaraan di dalamnya tidak ‘bisa digambarkan oleh kehidupan dunia kecuali hanya sebatas gambaran sebuah istana dari istana-istana yang megah, atau sebuah taman dari taman-taman yang indah di atas sehelai daun kecil.
Seorang muslim mengimani bahwa nikmat dan siksa kubur, serta pertanyaan dua malaikat di dalamnya adalah benar dan nyata. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah mengenai hal itu di dalam firman-Nya:
“Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung mereka (dan berkata), ‘Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.’ Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (Al-Anfal: 50-51)
“Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-ada kan dusta terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepadaku,’ padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, ‘Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.’ (Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam kesakitan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) Kami tidak melihat pemberi syafaat (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah) Sungguh, telah terputuslah (semua pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah)” (Al-An’am: 93-94)
“… Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-Taubah: 101)
“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), ‘Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!’.” (Ghafir: 46)
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
Kedua, pemberitahuan dari Rasul mengenai hal itu di dalam sabda-sabdanya:
“‘Jika (jenazah) seorang hamba telah dimasukkan ke dalam kuburnya dan kerabat-kerabatnya sudah berpaling meninggalkannya, dan ia dapat mendengar suara sandal-sandal mereka, maka dua malaikat akan mendatanginya lalu mendudukkannya seraya berkata kepadanya, ‘Apa pendapatmu mengenai laki-laki ini, Muhammad?’ Bila hamba itu seorang mukmin, ia akan menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.’ Maka dikatakanlah kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka, sungguh Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga.’ Dia pun dapat melihat keduanya. Adapun orang munafik dan orang kafir, kedua malaikat akan menanyainya, ‘Apa pendapatmu mengenai laki-laki ini?’ Maka dia akan menjawab, ‘Aku tidak tahu. Aku hanya berkata sesuai apa yang dikatakan orang-orang.’ Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak mengetahuinya dan tidak mengikuti (orang yang mengerti).’ Kemudian dia dipukul dengan palu besar yang terbuat dari besi dengan sekali pukulan. Sehingga dia pun mengeluarkan suara teriakan yang bisa didengar oleh siapa saja yang ada di sekelilingnya kecuali jin dan manusia.”
“Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka akan diperlihatkan kepadanya tempat tinggalnya pada setiap pagi dan petang hari. Jika ia termasuk penduduk surga, maka akan (diperlihatkan) sebagai penduduk surga dan jika ia termasuk penduduk neraka, maka akan (diperlihatkan) sebagai penduduk neraka. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Inilah tempat tinggalmu sampai Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat’.”
Rasulullah berdoa:
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa api neraka, dari fitnah hidup dan mati, serta fitnah Al-Masih Ad-Dajal. Rasulullah bersabda tatkala melewati dua kuburan:
“Sungguh, keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan dosa besar.” Kemudian beliau bersabda, “Ya, yang satu disiksa karena suka mengadu domba, dan yang satunya lagi karena tidak bersuci setelah kencing.”
Ketiga, keimanan milyaran orang dari kalangan ulama, orang-orang saleh, orang-orang mukmin dari umat Muhammad, dan umat-umat lain sebelumnya, terhadap siksa dan nikmat kubur, juga seluruh riwayat yang berkaitan dengannya.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, keimanan seorang hamba terhadap Allah, para malaikat, dan hari Akhir mengharuskan juga untuk mengimani siksa dan nikmat kubur berikut semua yang berlaku di dalamnya. Karena semua itu termasuk perkara gaib. Siapa yang telah mengimani sebagian darinya maka secara logis ia juga diharuskan untuk mengimani sebagian yang lain.
Kedua, siksa, nikmat, atau pertanyaan dari dua malaikat yang berlaku di dalam kubur bukan termasuk perkara yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan, akal yang sehat akan membenarkannya dan memberikan kesaksian terhadapnya.
Ketiga, orang yang sedang tidur, adakalanya memimpikan sesuatu yang ia sukai sehingga ia merasa senang, gembira, dan nikmat akan pengaruh mimpi itu terhadap dirinya. Namun, yang membuat ia sedih atau berduka ialah saat ia terbangun.
Seperti halnya ketika ia memimpikan sesuatu yang tidak ia sukai, maka ia akan jengkel dan sedih. Namun, yang membuat ia memuji orang yang membangunkannya adalah ketika ada seseorang yang membangunkannya saat bermimpi buruk itu.
Nikmat atau siksa pada saat tidur ini benar-benar nyata dialami oleh roh dan berpengaruh terhadapnya. Namun hal itu tidak dapat kita rasakan dan saksikan. Meski demikian, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Maka, bagaimana mungkin seorang hamba mengingkari adanya siksa dan nikmat kubur, padahal keduanya serupa dengan apa yang terjadi dalam mimpi tersebut?
Seorang muslim mengimani qadha, qadar, hikmah, dan kehendak Allah. Juga mengimani bahwa sesuatu tidak pernah akan terjadi di dunia ini, sampai pun perbuatan-perbuatan hamba yang bersifat ikhtiari (pilihan), kecuali sesudah ilmu dan qadar Allah. Juga mengimani bahwa Allah Maha adil dalam menetapkan qadha dan qadarnya, Maha bijaksana dalam tindakan dan pengaturan-Nya. Juga bahwa hikmah-Nya senantiasa mengikuti kehendak-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti akan terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah. Itu semua berdasarkan dengan dalildalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah a mengenai qadha dan qadar di dalam firman-firman-Nya berikut:
“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr: 21)
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah…” (At-Taghabun: 11)
“Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya ” (Al-Isra’: 13)
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.” (At-Taubah: 51)
“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)” (Al-An’am: 59)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (At-Takwir: 29)
“Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka)” (Al-Anbiya’: 101)
“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, ‘Masya Allah la quwwata illa billah’ (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)..” (Al-Kahfi: 39)
“..Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami…” (Al-A’raf: 43)
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai qadha dan qadar di dalam beberapa sabdanya:
“Sesungguhnya, setiap orang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk air mani. Kemudian menjadi segumpal darah pada empat puluh hari berikutnya. Lalu menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Kemudian Allah pun mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam dirinya dan diperintahkan untuk menulis empat hal; rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya. Demi Allah yang tiada ilah yang berhak disembah selain Dia, sungguh ada salah seorang dari kalian yang mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta, namun suratan takdir rupanya telah mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli neraka dan akhirnya ia pun masuk neraka. Ada pula salah seorang di antara kalian yang mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak antara dirinya dan neraka hanya satu hasta, namun suratan takdir rupanya telah mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli surga dan akhirnya ia pun masuk surga.’”
Rasulullah bersabda kepada Abdullah bin Abbas:
“Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat: jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika kamu memohon, maka mohonlah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat ini bersatu padu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat selain dengan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memberimu mudharat dengan sesuatu, maka mereka tidak akan dapat memberimu mudharat kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah padamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering tintanya,”
Rasulullah bersabda:
“Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena. Lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Pena itu menjawab, ‘Wahai Tuhan, apa yang harus aku tulis?’ Allah menjawab, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai datangnya hari Kiamat’.”
“Adam dan Musa saling berdebat. Musa berkata, ‘Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Adam menjawab, ‘Engkau Musa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan menulis Taurat untukmu dengan tangan-Nya, kenapa kamu mencelaku atas perkara yang telah Allah tetapkan terhadapku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?’ Maka Adam dapat mengalahkan hujah-hujahnya Musa.”
Rasulullah bersabda mengenai definisi iman:
“Yaitu, kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.”
Rasulullah bersabda:
“Beramallah kalian semua, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah diciptakan untuknya.”
“Nazar itu tidak dapat menolak qadha (Allah).” Rasulullah bersabda kepada Abdullah bin Qais:
“Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku ajarkan sebuah kalimat yang merupakan harta simpanan di surga? Yakni kalimat, la hawla wa la quwwata illa billah (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah).’”
Ketika Rasulullah mendengar orang yang mengucapkan, “Apa yang telah Allah kehendaki dan engkau kehendaki,” maka beliau bersabda:
“Ucapkanlah, ‘Apa yang telah Allah kehendaki semata’.”
Ketiga, keimanan ratusan juta manusia dari umat Muhammad, para ulama, orang-orang bijak, orang-orang saleh, dan yang lainnya terhadap qadha dan qadar Allah, serta hikmah dan kehendak-Nya. Juga bahwa segala sesuatu telah didahului oleh ilmu-Nya dan diberlakukan takdir-Nya. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaan-Nya kecuali apa yang telah dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Pena telah memberlakukan takdir-takdir segala sesuatu hingga hari Kiamat.
Dalil-dalil Aqli
Pertama, akal tidak menganggap mustahil satu perkara pun dari perkara qadha, qadar, kehendak, hikmah, iradah, dan pengaturan-Nya. Bahkan, akal justru telah mewajibkan dan mengharuskan adanya semua itu, karena memiliki fakta nyata yang tampak jelas di alam semesta ini.
Kedua, keimanan kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya mengharuskan adanya keimanan terhadap qadha, qadar, hikmah, dan kehendak-Nya.
Ketiga, jika seorang arsitek menggambar desain sebuah bangunan istana di atas sebuah kertas kecil dan membatasi waktu pelaksanaan pembangunannya, kemudian ia pun melaksanakan pembangunannya, maka waktu pelaksanaan itu tidak akan habis sampai ia dapat mengeluarkan istana dari secarik kertas itu kepada wujud nyata, dan sesuai dengan apa yang telah didesain di atas kertas tersebut, tidak kurang sedikit pun dan tidak lebih. Oleh karenanya, bagaimana mungkin ia mengingkari Allah, bila Dia telah menuliskan takdir-takdir alam semesta hingga hari Kiamat, kemudian dengan kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya Dia mengeluarkan apa yang telah ditakdirkan tersebut sesuai dengan apa yang ia takdirkan dalam hal jumlah, tata cara, waktu dan tempatnya, padahal ia tahu bahwa Allah adalah Mahakuasa atas segala sesuatu?
Seorang muslim mengimani akan uluhiyyah Allah terhadap makhluk yang pertama hingga yang terakhir, rububiyyah-Nya terhadap seluruh alam semesta, serta tidak ada ilah dan Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Karena itulah, seorang muslim akan senantiasa mengkhususkan Allah dengan segala peribadatan yang telah Dia syariatkan kepada para hamba-Nya dan menjadikan para hamba beribadah dengannya. la juga tidak akan mengarahkan sedikit pun dari ibadah-ibadah tersebut untuk selain Allah.
Jika ia memohon, maka ia memohon kepada Allah. Jika ia meminta pertolongan, maka ia meminta pertolongan kepada Allah. Jika ia bernazar, maka ia tidak bernazar untuk selain Allah. Hanya untuk Allah-lah seluruh amalan batinnya berupa rasa takut, pengharapan, tobat, kecintaan, pengagungan, dan tawakal. Begitu juga amalan lahiriyahnya berupa shalat, puasa, haji, dan jihad. Itu semua berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil Naqli
Pertama, perintah Allah untuk mengesakan-Nya dalam beribadah. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
“… Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku…” (Thaha: 14)
“Dan takutlah kepada-Ku saja.” (Al-Baqarah: 40)
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah…” (Muhammad: 19)
“..Mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
“…Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah.” (At-Taghabun: 13)
Kedua, pemberitahuan dari Allah tentang hal itu. Allah berfirman:
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut…” (An-Nahl: 36)
“,..Barang siapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus…” (Al-Baqarah: 256)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 25)
“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (Az-Zumar: 64)
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
“Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, (dengan berfirman) yaitu, ‘Peringatkanlah (hamba-hamba-Ku), bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An-Nahl: 2)
Ketiga, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai hal tersebut. Rasulullah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal am saat diutus ke Yaman:
“Hendaklah hal pertama yang kamu dakwahkan kepada mereka ialah agar mereka menauhidkan Allah .”
Rasulullah juga bersabda:
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Rasulullah bersabda kepada Abdullah bin Abbas:
“Jika kamu memohon, maka memohonlah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.”
Rasulullah menegur orang yang mengucapkan kepada beliau, “Apa yang telah Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Beliau bersabda:
“Ucapkanlah, ‘Apa yang telah Allah kehendaki semata’.”
Rasulullah bersabda:
“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah” Rasulullah menjawab, “Riya’. Pada hari Kiamat, pada saat Allah memberi balasan kepada manusia atas amal-amal mereka, Dia berfirman, ‘Temuilah orang-orang yang dulu kamu berbuat riya’ untuknya di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?”
Rasulullah bersabda:
“Bukankah mereka telah menghalalkan untuk kalian apa-apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian ikut menghalalkannya, dan mereka juga telah mengharamkan apa-apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian ikut mengharamkannya?” Adi menjawab, “Benar.” Beliau bersabda, “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.”
Sabda beliau ini ditujukan kepada Adi bin Hatim yang pada saat ia membaca firman Allah, “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah.” (At-Taubah: 31). Maka, Adi bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka?”
Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh memohon pertolongan kepadaku, namun memohon pertolongan hanya boleh kepada Allah.” Sabda ini beliau ucapkan pada saat sebagian dari sahabat berkata, “Bangkitlah, dan marilah kita memohon pertolongan kepada Rasulullah dari orang munafik ini (yakni orang munafik yang telah menyakiti mereka).”
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah berbuat syirik.”
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat (Tamimah), dan sihir adalah kesyirikan.”
Dalil-dalil Aqli
Pertama, keesaan Allah dalam hal mencipta, memberi rezeki, bertindak, dan mengatur, mewajibkan ibadah hanya ditujukan untuk-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya sedikit pun dalam hal ini.
Kedua, seluruh makhluk diatur oleh Allah dan sangat membutuhkan kepada-Nya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya sesuatu dari makhluk yang menjadi tuhan yang disembah bersama-Nya.
Ketiga, keberadaan sesuatu yang diseru, dimintai pertolongan, atau dimintai perlindungan yang tidak mampu untuk memberi sesuatu, memberikan pertolongan, atau memberikan perlindungan dari sesuatu, mewajibkan batalnya berdoa kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bernazar untuknya, atau bersandar dan bertawakal kepadanya.
Seorang muslim mengimani bahwa Allah mencintai amalan yang paling benar dan perbuatan yang paling baik, serta mencintai para hamba-Nya yang saleh. Allah telah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaqarrub kepada-Nya, mencintai-Nya, dan bertawasul kepada-Nya. Karena itulah, seorang muslim senantiasa bertaqarrub kepada Allah, bertawasul kepada-Nya dengan amalan-amalan saleh dan ucapan-ucapan yang baik.
Seorang muslim senantiasa memohon kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan Asma’ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang mulia; dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya; dengan mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya; dan dengan mencintai orang-orang saleh dan seluruh orang-orang yang beriman.
Seorang muslim bertaqarrub kepada Allah dengan mengerjakan seluruh kewajiban, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, juga dengan mengerjakan perkara-perkara nafilah (sunah). Sebagaimana ia juga bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan Hal-hal yang haram dan menjauhi Hal-hal yang dilarang.
Seorang muslim tidak memohon kepada Allah dengan wasilah kedudukan seseorang dari makhluk-Nya atau dengan wasilah amalan salah seorang hamba-Nya. Sebab, kedudukan yang dimiliki oleh seseorang bukanlah dari hasil usahanya sendiri, begitu pula amalan yang dilakukan oleh orang lain juga bukan dari amalan dirinya yang dengannya ia bisa memohon kepada Allah, atau menjadikannya sebagai wasilah di hadapan-Nya
Allah tidak mensyariatkan untuk para hamba-Nya bertaqarrub kepada-Nya dengan selain amalan mereka. Dan kesucian jiwa mereka ialah dengan iman dan amal saleh. Semua ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli
Dalil-dalil Naqli
Pertama, pemberitahuan dari Allah mengenai hal itu. Allah berfirman:
“Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya…” (Fathir: 10)
“Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…” (Al-Mukminun: 51)
“Dan Kami masukkan dia ke dalam rahmat Kami; sesungguhnya dia termasuk golongan orang yang saleh.” (Al-Anbiya’: 75)
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya…” (Al-Maidah: 35)
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)..” (Al-Isra’: 57)
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu…”” (Ali-Imran: 31)
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul, karena itu tetapkanlah kami bersama orang-orang yang memberikan kesaksian.” (Ali-Imran: 53)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Ali-Imran: 193)
“Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
“,..Dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah)” (Al-Alaq: 19)
Kedua, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai hal ini. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Mahabaik, tidak menerima kecuali yang baik.”
“Kenalilah Allah saat kamu dalam keadaan lapang, niscaya Allah akan mengenalmu saat kamu dalam kesulitan.”
Rasulullah bersabda yang ia riwayatkan dari Tuhannya:
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunah, sehingga Aku pun mencintai dia.”
Rasulullah juga bersabda yang ia riwayatkan dari Tuhannya:
“Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatkan diri kepadanya sehasta. Dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatkan diri kepadanya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Rasulullah bersabda mengenai tiga orang yang berlindung di dalam gua dan tertutup oleh batu besar. Kemudian salah seorang dari mereka bertawasul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya; orang kedua bertawasul dengan amalannya yang telah meninggalkan perkara yang telah Allah haramkan; dan orang ketiga bertawasul dengan amalannya yang telah mengembalikan harta kepada orang yang berhak beserta hasil dari pengelolaannya yang telah berkembang.
Tawasul itu mereka lakukan setelah sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya, “Lihatlah kepada suatu amalan saleh yang pernah kalian lakukan semata karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah dengan wasilah amal saleh tersebut, mudah-mudahan Allah membukakan batu besar itu dari kalian.” Lantas mereka pun berdoa dan bertawasul. Hingga akhirnya Allah berkenan membukakan batu besar dari mereka dan mereka dapat keluar dari gua dalam keadaan selamat.
Rasulullah bersabda:
“Posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya ialah pada saat ia bersujud.”
Rasulullah bersabda:
“Aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan segenap nama-Mu yang Engkau telah namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penawar kesedihanku dan pelenyap duka kegelisahanku.”
Rasulullah bersabda:
“Sungguh, orang ini telah memohon dengan perantara nama-nama Allah yang agung, yang mana jika Allah dimohon dengannya, niscaya Dia akan memberi, dan tidaklah berdoa dengannya melainkan Allah akan mengabulkannya.”
Ketiga, ada riwayat mengenai tawasulnya para nabi di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bahwa tawasul mereka ialah menggunakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, keimanan, dan amalan saleh, serta tidak pernah bertawasul dengan selainnya.
Nabi Yusuf dalam tawasulnya berkata:
“Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepada-ku sebagai takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Dzan Nun (Nabi Yunus) juga berkata:
“..Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya’: 87)
Nabi Musa berkata:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.’ Maka Dia (Allah) mengampuninya…” (Al-Qashash:
“Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu…” (Ghafir: 27) Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail berkata:
“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 127)
Nabi Adam dan Hawa berkata:
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf: 23)
Dalil-dalil Aqli
Pertama, Mahakaya-nya Tuhan dan fakirnya seorang hamba merupakan perkara yang menuntut seorang hamba yang membutuhkan Tuhannya yang Maha kaya untuk bertawasul, agar hamba yang fakir lagi lemah selamat dari apa-apa yang ia takuti dan memperoleh apa-apa yang ia senangi dan ia inginkan.
Kedua, ketidaktahuan seorang hamba terhadap perbuatan dan perkataan yang dicintai dan dibenci oleh Allah menuntut agar wasilah hanya terbatas pada apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasulullah, berupa ucapan yang baik dan amal saleh yang telah dikerjakan, ataupun ucapan yang buruk dan amalan-amalan keji yang telah ia jauhi dan tinggalkan.
Ketiga, adanya sebuah kenyataan bahwa kedudukan yang dimiliki orang lain yang bukan hasil usaha dan jerih-payah tangannya sendiri merupakan perkara yang menuntut agar seseorang tidak bertawasul kepada Allah dengan kedudukan orang lain tersebut. Sebab, kedudukan seseorang meski kedudukannya sangat mulia—tidak bisa dijadikan sarana oleh orang lain untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bertawasul, kecuali jika ia menyokong dengan raga dan hartanya demi tercapainya kedudukan yang dimiliki orang tersebut. Saat itu, ia baru boleh memohon kepada Allah dengan perantaraan kedudukan itu, karena kedudukan tersebut merupakan hasil usaha dan jerih-payah tangannya sendiri, jika ia melakukannya semata untuk wajah Allah dan mencari keridhaan-Nya.
Wali-Wali Allah
Seorang muslim mengimani bahwa Allah memiliki para wali dari hamba-hamba-Nya yang Allah jadikan ikhlas beribadah kepada-Nya; Dia menjadikan mereka taat kepada-Nya. Allah memuliakan mereka dengan kecintaan-Nya dan menganugerahkan kepada mereka karamah-Nya.
Allah adalah wali mereka, yang mencintai mereka dan dekat dengan mereka. Sebaliknya, mereka adalah wali-wali Allah yang selalu mencintai dan mengagungkan-Nya. Mereka senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan menyuruh orang lain agar menjalankan perintah-Nya. Mereka senantiasa menjauhi segala larangan-Nya dan menyuruh orang lain agar menjauhi Larangan-Nya. Mereka senantiasa mencintai apa yang dicintai-Nya dan membenci apa yang dibenci-Nya.
Jika mereka memohon kepada Allah, maka Allah pasti memberi mereka. Jika mereka meminta pertolongan kepada Allah, maka Allah akan memberinya pertolongan. Jika mereka meminta perlindungan kepada Allah, maka Allah akan memberikan perlindungan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan, serta mendapatkan karamah dan berita gembira di dunia dan juga di akhirat.
Setiap mukmin yang bertakwa merupakan wali Allah. Hanya saja, derajat mereka berbeda-beda sesuai dengan kadar ketakwaan dan keimanan mereka. Siapa yang kadar keimanan dan ketakwaannya lebih banyak, maka derajatnya di sisi Allah lebih tinggi dan karamahnya pun lebih banyak.
Penghulu para wali adalah para rasul dan para nabi, setelah itu orang-orang beriman.
Sebagian dari karamah yang Allah anugerahkan ke tangan-tangan mereka adalah mampu mengubah makanan yang sedikit menjadi banyak; menyembuhkan penyakit; menyelami lautan; atau tidak terbakar oleh api. Itu semua merupakan jenis mukjizat. Bedanya, mukjizat selalu disertai dengan tantangan-tantangan, sementara karamah tidak disertai dan tidak terikat dengan tantangan-tantangan. Adapun karamah yang paling agung adalah keistikamahan dalam ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintah-perintah syariat dan menjauhi segala perbuatan yang haram dan juga larangan-larangan Allah. Semua ini. Ini berdasarkan Dalil-dalil di bawah ini:
Dalil Al-Qur’an
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (Yunus: 62-64)
“Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman)..” (Al-Baqarah: 257)
“,..Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa…” (Al-Anfal: 34)
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) Dia mengasihi orang-orang saleh…” (Al-A’raf: 196)
“…Demikianlah Kami palingkan darinya keburukan dan n kejelekan Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
“Sesungguhnya (terhadap) hamba-hamba-Ku, engkau (iblis) tidaklah dapat berkuasa atas mereka…” (Al-Isra’: 65)
“..Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan disisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’…” (Ali-Imran: 37)
“Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika dia lari ke kapal yang penuh muatan. Kemudian dia ikut diundi, ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian) Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Kebangkitan.” (Ash-Shaffat: 139-144)
“Maka dia Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah, Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau…” (Maryam: 24-26)
“Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.’ Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (Al-Anbiya’: 69-70)
“Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua, dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan? (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami. Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu, selama beberapa tahun. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu)” (Al-Kahfi: 9-12)
Dalil As-Sunnah
“Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah, sehingga Aku pun mencintai dia. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku-lah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar; pandangannya yang ia jadikan untuk memandang; tangannya yang ia jadikan untuk memukul; dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku, pasti Aku beri, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Kulindungi.”
“Aku akan membalas dendam untuk wali-wali-Ku sebagaimana balas dendamnya singa yang sedang marah.”
“Di antara para hamba Allah ada seseorang yang seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya.”
“Sungguh, pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapatkan ilham. Jika ada pada umatku seseorang yang mendapatkan ilham, maka ia adalah Umar.”
“Dahulu ada seorang wanita dari Bani Israil yang sedang menyusui anaknya. Lalu melintas di hadapannya seorang laki-laki berpangkat yang sedang menunggang kudanya. Ia pun berkata, ‘Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti orang itu.’ Tiba-tiba anaknya yang sedang menyusu itu menoleh seraya berkata, ‘Ya Allah, jangan Engkau jadikan aku seperti dia’.”
Ucapan anak kecil yang masih menyusu itu merupakan karamah bagi anak dan orang tuanya.
Rasulullah bersabda mengenai kisah Juraij, seorang ahli ibadah, dan ibunya. Ketika ibunya memohon dalam doanya, “Ya Allah, jangan engkau matikan ia sampai Engkau perlihatkan kepadanya wajah-wajah wanita pezina itu.” Maka Allah pun mengabulkan doa ibunya sebagai karamah dari Allah untuknya. Ketika orang-orang menuduh bahwa anak zina itu dari Juraij, maka Juraij pun bertanya kepada si bayi yang masih menyusu, “Siapa bapakmu?” Anak itu menjawab, “Bapakku adalah seorang penggembala kambing.”
Ucapan anak yang masih menyusu itu merupakan karamah bagi Juraij, sang ahli ibadah.
Rasulullah bersabda mengenai tiga orang yang berlindung di dalam goa dan tertutup oleh sebongkah batu besar. Lantas mereka berdoa kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan amalan-amalan saleh mereka. Maka, Allah mengabulkan doa mereka dan membebaskan mereka hingga mereka dapat keluar dari doa dalam keadaan selamat. Pertolongan tersebut sebagai karamah bagi mereka.
Rasulullah juga bersabda mengenai kisah seorang rahib dan ghulam, yang kisahnya adalah bahwa ghulam pernah melempar seekor binatang buas yang menghalangi perjalanan banyak orang yang sedang lewat. Ia melempar binatang buas itu dengan sebuah kerikil, sehingga binatang buas itu mati dan orang-orang dapat melewati jalan tersebut. Peristiwa itu merupakan karamah bagi si ghulam. Begitu juga kisah seorang raja yang berdaya upaya untuk membunuh si ghulam tersebut dengan berbagai cara dan sarana, tapi tidak kunjung berhasil. Sampai-sampai raja pernah melemparkan si ghulam dari gunung yang sangat tinggi. tapi ia tidak mati. Raja juga pernah membuangnya ke tengah lautan, tapi ia bisa selamat darinya dengan berjalan dan tidak mati. Maka itu semua merupakan karamah bagi si ghulam, seorang mukmin yang saleh,
Bukti sejarah
Pena sejarah telah mencatat kisah-kisah para wali Allah serta karamah mereka yang tak terhitung, yang telah diriwayatkan oleh ribuan ulama dan mereka saksikan langsung. Di antaranya adalah:
Pertama: Riwayat yang menceritakan bahwa malaikat pernah memberi salam kepada Imran bin Hushain.
Kedua: Riwayat tentang Salman Al-Farisi dan Abu Darda’ yang saat itu keduanya sedang makan dalam satu piring. Lalu tiba-tiba piring atau makanan yang ada di dalam piring itu bertasbih.
Ketiga: Pada saat Khubaib a ditawan orang-orang musyrik Mekah, tiba-tiba ia mendapati buah anggur, dan ia pun memakannya. Padahal saat itu di Mekah tidak ada anggur.
Keempat: Barra’ bin Azib ag jika ia bersumpah atas nama Allah dalam suatu perkara, maka Allah pasti mengabulkan sumpahnya. Sampai ketika terjadi Perang Qadisiah, ia bersumpah atas nama Allah agar Allah memenangkan kaum muslimin atas kaum musyrikin dan agar ia menjadi orang pertama yang syahid di medan pertempuran. Maka, terjadilah peristiwa seperti apa yang ia inginkan.
Kelima: Umar bin Khattab pernah berkhotbah di atas mimbar Rasulullah di Madinah. Lalu tiba-tiba ia berseru, “Wahai pasukan, merapatlah ke gunung! Wahai sariyyah, merapatlah ke gunung!” Beliau memberikan instruksi kepada komandan satuan ekspedisi. Komandan tersebut ternyata mendengar suara Umar, dan kemudian ia mengarahkan pasukannya untuk menuju ke gunung. Sehingga tindakan itu menjadikan kemenangan bagi kaum muslimin dan kekalahan kaum musyrikin. Lalu Satuan ekspedisi kembali ke Madinah dan memberitahukan kepada Umar dan para sahabat tentang suara Umar yang ia dengar.
Keenam: Al-Ala’ bin Al-Hadhrami pernah berdoa dengan mengucapkan, “Wahai Zat Yang Maha Mengetahui, Wahai Zat Yang Mahabijaksana, Wahai Zat Yang Mahatinggi, Wahai Zat Yang Maha agung!” Maka doanya pun dikabulkan, hingga ia bersama pasukan ekspedisinya dapat mengarungi lautan dan pelana-pelana kuda mereka tidak basah.
Ketujuh: Hasan Al-Bashri juga pernah berdoa kepada Allah atas kecelakaan seseorang yang telah menyakitinya. Maka, seketika itu juga orang tersebut tersungkur dan mati.
Kedelapan: Seorang laki-laki dari daerah An-Nakha’ yang memiliki seekor keledai. Lalu keledai tersebut mati ketika dalam perjalanan. Maka lelaki itu pun mengambil air wudhu, kemudian shalat dua rakaat, dan berdoa kepada Allah. Maka, Allah pun menghidupkan kembali keledainya dan ia pun bisa membawa kembali barang-barangnya.
Kisah-kisah tentang karamah wali-wali Allah yang lain masih banyak, bahkan tak terhitung jumlahnya; karamah-karamah yang telah disaksikan oleh ribuan bahkan jutaan orang.
Wali-Wali Setan
Seorang muslim juga mengimani bahwa setan memiliki wali-wali dari kalangan manusia. Setan akan menguasai mereka lalu membuat mereka lalai dari berzikir kepada Allah dan menjadikan mereka mudah melakukan kejahatan. Setan berupaya memanjangkan angan-angan mereka terhadap kebatilan; menulikan telinga mereka dari mendengarkan kebenaran; dan membutakan penglihatan mereka dari melihat bukti-bukti kebenaran.
Sehingga, mereka selalu tunduk kepada setan dan selalu menaati perintah-perintahnya.
Setan juga selalu memperdaya mereka dengan kejahatan dan membujuk mereka untuk mengerjakan kerusakan yang dibungkus dengan Hal-hal yang indah. Setan memperlihatkan kemungkaran sebagai sesuatu yang makruf, hingga mereka menganggapnya sebagai kebaikan. Dan setan memperlihatkan kemakrufan sebagai sesuatu yang mungkar, hingga mereka menganggapnya sebagai kebatilan.
Wali-wali setan selalu menjadi musuh bagi wali-wali Allah dan senantiasa memerangi mereka. Dua kubu ini sangat berbeda. Wali-wali Allah adalah orang-orang yang mencintai dan menolong Allah, sedangkan wali-wali setan adalah orang-orang yang memusuhi Allah. Wali-wali Allah sangat mencintai dan meridhai Allah, sedangkan wali-wali setan sangat membenci Allah. Oleh karenanya, para wali setan itu pantas mendapatkan laknat dan murka dari Allah.
Kalaulah seandainya muncul pada diri mereka sesuatu yang luar biasa, seperti mereka bisa terbang di langit atau berjalan di atas permukaan air, maka itu hanyalah istidraj (dilulu) dari Allah kepada orang yang memusuhiNya, atau pertolongan dari setan bagi orang yang berwali kepadanya. Semua ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan bukti nyata.
Dalil Al-Qur’an
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)
“.. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik.” (Al-An’am: 121)
“Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman), ‘Wahai golongan jin! Kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.’ Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, ‘Ya Tuhan, kami telah saling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan buat kami telah datang.’ Allah berfirman, ‘Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah menghendaki lain. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128)
“Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Az-Zukhruf: 36-37)
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
“,.. Sesungguhnya, mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung selain Allah. Mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (AI-A’raf: 30)
“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman (setan) yang memuji-muji apa saja yang ada di hadapan dan di belakang mereka…” (Fushshilat: 25)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka dia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu…?” (Al-Kahfi: 50)
Dalil As-Sunnah
Sabda Rasulullah saat beliau melihat sebuah bintang (meteor) yang bersinar jatuh. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Apa yang kalian katakan pada masa jahiliah jika ada bintang jatuh seperti ini?” Mereka menjawab, “Dahulu kami menganggap kejadian tersebut sebagai pertanda kelahiran atau kematian seseorang yang mulia.” Maka Rasulullah bersabda, “Bintang itu tidak dijatuhkan lantaran meninggalnya seseorang dan tidak pula lantaran lahirnya seseorang. Namun, ketika Tuhan kita Tabaraka wa memutuskan suatu perkara, maka bertasbihlah para malaikat pemikul Arasy, lalu bertasbihlah penghuni langit dan diikuti oleh malaikat berikutnya hingga tasbih mereka terdengar oleh penduduk langit dunia ini. Kemudian penduduk langit bertanya kepada para malaikat pemikul Arasy, ‘Apa yang telah difirmankan Tuhan kita?’ lalu mereka memberi kabar kepada malaikat yang bertanya, lalu seluruh penghuni langit menanyakan kabar tersebut hingga berita tersebut sampai kepada para malaikat penghuni langit dunia. Kemudian setan mencuri dengar kabar tersebut, sehingga mereka pun dilempar. Sesudah itu setan menyampaikan berita itu kepada wali-walinya. Namun setan tidak menyampaikan berita itu apa adanya, tapi ia menambah-nambahinya. ‘”
Sabda Rasulullah ketika ditanya mengenai dukun, beliau bersabda:
“Mereka tidak bernilai apa-apa.” Para sahabat bertanya, “Benar, tapi adakalanya mereka menyampaikan sesuatu kepada kami, dan menjadi kenyataan.” Rasulullah pun bersabda, “Ucapan itu merupakan kebenaran yang dicuri dengar oleh jin, lalu dibisikkan ke telinga walinya dengan menyertakan seratus kebohongan.’”
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah tiap-tiap orang dari kalian melainkan telah ditugaskan garin (pendamping) kepadanya (dari bangsa jin).’”
“Setan mengalir pada diri anak Adam melalui pembuluh darah, maka sempitkanlah aliran-alirannya dengan berpuasa.”
Bukti nyata
Adanya penglihatan dan kesaksian ratusan ribu manusia terhadap keadaan-keadaan (perbuatan-perbuatan) aneh yang dialami oleh wali-wali setan, di setiap waktu dan tempat.
Di antara mereka ada yang didatangi setan dengan membawa bermacam-macam makanan dan minuman. Ada yang dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya oleh setan. Ada yang diajak berbicara oleh setan tentang urusan-urusan gaib dan diperlihatkan beberapa urusan-urusan yang tersembunyi. Ada yang tidak mempan ditebas senjata tajam. Ada yang didatangi setan yang menjelma sosok lelaki saleh ketika ia meminta pertolongan orang saleh tersebut, dengan tujuan untuk menipunya, menyesatkannya, dan membawanya kepada kesyirikan kepada Allah dan maksiat-Nya. Ada juga yang terkadang dibawa setan ke negeri yang jauh, atau didatangi oleh setan dengan membawa beberapa orang atau keperluan dari beragam tempat yang jauh-jauh. Juga perbuatan-perbuatan lainnya yang menguatkan bahwa semua itu dilakukan oleh setan dan jin yang durhaka lagi jahat.
Munculnya perbuatan-perbuatan setan tersebut merupakan akibat dari buruknya jiwa anak Adam lantaran melakukan beragam keburukan, kerusakan, kekufuran, dan kemaksiatan yang jauh dari kebenaran, kebaikan, keimanan, ketakwaan, dan kesalehan. Hingga akhirnya anak Adam mencapai satu titik derajat kekejian dan keburukan jiwa yang bersatu dengan ruh-ruh setan yang terwujud dalam bentuk kekejian dan keburukan.
Pada saat itu, sempurnalah perwalian antara dirinya dan setan, sehingga mereka saling memberikan bisikan dan saling bantu-membantu dengan apa yang mampu mereka lakukan. Karena itulah, saat dikatakan kepada mereka kelak di hari Kiamat, “Wahai golongan jin! Kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.” Maka wali-wali mereka dari golongan manusia berkata, “Ya Tuhan, kami telah saling mendapatkan kesenangan.” (Al-An’am: 128).
Adapun perbedaan antara karamah wali-wali Allah dan perbuatan-perbuatan setan (ahwal syaithaniyah) ialah tampak pada perilaku orang tersebut dan keadaannya. Jika ia termasuk orang yang memiliki keimanan, ketakwaan, dan berpegang teguh dengan syariat Allah secara lahir dan batin, maka kejadian luar biasa apa pun yang ia alami adalah karamah dari Allah untuk dirinya. Namun, jika ia termasuk orang yang gemar melakukan kekejian, keburukan, jauh dari ketakwaan, serta tenggelam dalam beragam kemaksiatan yang menjerumuskannya ke dalam kekufuran dan kerusakan, maka kejadian luar biasa apa pun yang ia alami hanyalah sejenis istidraj (dulu) atau bantuan dan pertolongan wali-walinya dari golongan setan kepada dirinya.
Kewajiban memerintah kebajikan dan mencegah kemungkaran
Seorang muslim mengimani akan kewajiban amar makruf nahi mungkar kepada saudaranya semuslim yang mukallaf lagi mampu. amar makruf kepada setiap muslim yang mengetahui kebaikan tapi ia meninggalkannya dan mencegah kemungkaran terhadap setiap muslim yang mengetahui kemungkaran tapi ia tetap melanggarnya. Hal ini bisa dilakukan jika dirinya mampu untuk memerintahkan atau merubah dengan tangan maupun lisannya.
Amar makruf nahi mungkar termasuk kewajiban agama yang paling agung setelah beriman kepada Allah. Sebab, di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah menyebutkan kewajiban amar makruf nahi mungkar dihubungkan dengan kewajiban beriman kepada-Nya. Allah berfirman, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali-Imran: 110). Semua ini berdasarkan Dalil-dalil naqli dan aqli.
Dalil-dalil naqli
Pertama, perintah Allah untuk amar makruf nahi mungkar di dalam firman-Nya:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)
Kedua, pemberitahuan dari Allah mengenai orang-orang yang akan mendapatkan pertolongan dan kekuasaan dari-Nya adalah mereka yang amar makruf nahi mungkar, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar…” (Al-Hajj: 41)
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya…” (At-Taubah: 71)
Allah berfirman mengabarkan tentang Luqman Al-Hakim saat ia memberikan nasihat kepada putranya:
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Allah berfirman mencela (orang-orang kafir) Bani Israil:
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 78-79)
Allah juga berfirman mengabarkan tentang Bani Israil bahwa Allah telah menyelamatkan orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar, serta membinasakan orang-orang yang meninggalkannya:
“,. Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang yang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf: 165)
Ketiga, perintah Rasul untuk amar makruf nahi mungkar, beliau bersabda:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.”
“Hendaklah kalian benar-benar memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau hampir-hampir Allah mengirimkan adzab atas kalian dari sisi-Nya, lalu kalian berdoa kepada-Nya namun Dia tidak mengabulkannya untuk kalian.”
Keempat, pemberitahuan dari Rasulullah mengenai keharusan amar makruf nahi mungkar, beliau bersabda:
“Tidaklah suatu kaum yang melakukan kemaksiatan dan di tengah-tengah mereka ada orang yang mampu mengingkarinya, tapi ia tidak mengingkarinya, melainkan hampir-hampir Allah meratakan azab-Nya kepada mereka semua.”
Sabda beliau kepada Abu Tsa’labah Al-Khusyani saat ia bertanya mengenai penafsiran firman Allah, “(Karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Maka beliau menjawab, “Wahai Tsa’labah, perintahkanlah kebaikan dan cegahlah kemungkaran. Jika kamu telah melihat kerakusan ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia lebih diutamakan, dan kagumnya setiap orang yang memiliki pendapat dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah kamu berpegang teguh pada dirimu sendiri serta tinggalkanlah orang-orang awam. Sungguh, di belakang kalian ada beragam fitnah seperti waktu malam yang gelap gulita. Bagi orang yang berpegang teguh dalam amar makruf nahi mungkar seperti yang telah kalian lakukan akan memperoleh pahala sebanyak lima puluh kali lipat dari pahala kalian.” Seorang sahabat bertanya, “Apa bukan lima puluh orang dari mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, tapi lima puluh orang dari kalian, karena kalian mendapatkan para pendukung dalam mengerjakan kebaikan, sementara mereka tidak mendapatkan pendukung dalam mengerjakan kebaikan.”
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelumku melainkan ia memiliki pembela dan sahabat dari umatnya yang memegang teguh sunah-sunnah dan mengikuti perintah-perintah-Nya. Kemudian datanglah sesudah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang siapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barang siapa yang berjihad dengan lisan melawan mereka maka dia seorang mukmin, barang siapa yang berjihad dengan hati melawan mereka maka dia seorang mukmin, dan sesudah itu tidak ada keimanan sebiji sawi pun.”
Rasulullah ditanya mengenai jihad yang paling utama, maka beliau bersabda:
“Ucapan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
Dalil-dalil aqli
Pertama, telah terbukti berdasarkan uji coba dan kesaksian bahwa suatu penyakit jika dibiarkan dan tidak diobati, maka akan semakin kronis di dalam tubuh dan sulit untuk disembuhkan. Sama halnya dengan kemungkaran, jika ia dibiarkan dan tidak dirubah, maka dalam waktu cepat orang-orang akan terbiasa dengannya dan orang-orang tua maupun anak-anak akan ikut melakukannya. Ketika sudah seperti itu, maka tidak mudah untuk mengubah atau menghilangkannya. Saat itu pula, orang yang melakukan kemungkaran berhak mendapatkan hukuman dari Allah. Hukuman yang tidak mungkin dihindari, karena itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa diganti maupun dirubah. Allah berfirman, “Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang terdahulu sebelum (mu)…” (Al-Ahzab: 62). Allah juga berfirman, “…Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” (Fathir: 43).
Kedua, dapat kita saksikan bahwa sebuah rumah jika ditelantarkan dan tidak dibersihkan, serta tidak dijaga dari sampah dan kotoran dalam beberapa waktu, maka rumah itu menjadi tidak layak dihuni. Sebab, rumah itu akan berbau busuk, udaranya beracun, serta tersebarnya beragam bakteri dan wabah penyakit lantaran kotoran dan sampahnya telah lama dan menumpuk.
Begitu pula halnya dengan jamaah kaum mukminin, jika di tengah-tengah mereka kemungkaran dibiarkan begitu saja dan tidak dirubah, serta kebaikan tidak diperintahkan, maka tidak butuh waktu lama, ruh dan jiwa-jiwa mereka akan kotor lagi buruk; tidak mengenali kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.
Pada saat itulah mereka menjadi orang-orang yang tidak layak lagi untuk hidup, sehingga Allah pun membinasakan mereka dengan berbagai cara yang dikehendaki-Nya. Sungguh azab Tuhanmu sangat keras dan Allah Maha perkasa lagi mempunyai Hukuman.
Ketiga. Ini berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa jiwa manusia itu terbiasa dengan sesuatu yang jelek hingga menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, dan terbiasa dengan keburukan sehingga menjadi tabiat jiwanya.
Inilah urusan amar makruf nahi mungkar. Apabila kebaikan ditinggalkan dan tidak diperintahkan saat ia ditinggalkan, maka dalam sekejap manusia akan terbiasa meninggalkannya, dan jadilah tindakan mengerjakan kebaikan itu dianggap oleh mereka sebagai kemungkaran.
Begitu pula halnya dengan kemungkaran, jika tidak segera diubah dan dihilangkan, maka dalam waktu sekejap ia akan tersebar luas. Kemudian orang-orang terbiasa melakukannya, sehingga mereka tidak menganggap lagi suatu kemungkaran sebagai kemungkaran, bahkan mereka menganggapnya sebagai kebaikan. Inilah yang disebut dengan hilangnya mata hati (bashirah) dan penyimpangan pemikiran. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Karena inilah, Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal itu sebagai kewajiban bagi kaum muslimin serta untuk melestarikan mereka supaya tetap di atas kesucian dan kesalehan. Selain itu, amar makruf nahi mungkar juga untuk menjaga mereka agar tetap berada di atas kemuliaan kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan bangsa.
Etika pelaksanaan amar makruf nahi mungkar
Ada beberapa etik dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar, yaitu:
Pertama: Orang yang amar makruf nahi mungkar ialah orang yang mengetahui betul hakikat kebaikan yang ia perintahkan, yakni betul-betul kebaikan menurut syariat dan orang yang diseru betul-betul meninggalkannya. Sebagaimana ia juga harus mengetahui betul hakikat kemungkaran yang ia larang dan ingin ia rubah, serta kemungkaran itu benar-benar telah dilakukan dan termasuk kemaksiatan maupun keharaman yang diingkari syariat.
Kedua: Orang yang amar makruf nahi mungkar mempunyai sikap wara’ (hati-hati), yaitu ia tidak melakukan apa yang ingin ia larang dan tidak meninggalkan apa yang ingin ia perintahkan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” (Al-Baqarah: 44)
Ketiga: Memiliki akhlak yang baik, sabar, serta lemah lembut dalam memerintah dan melarang. Juga hendaknya ia tidak sakit hati ketika menerima respons yang buruk dari orang yang dicegahnya dan tidak marah ketika mengalami gangguan dari orang yang diperintahnya. Ia harus sabar, memaafkan, dan lapang dada. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“…Dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Keempat: Tidak mencari tahu kemungkaran dengan cara memata-matai keburukan orang lain. Tidaklah patut mencari tahu kemungkaran dengan cara mematai-matai keburukan orang lain di rumah mereka, atau mengangkat pakaian salah seorang dari mereka untuk melihat apa yang dibalik pakaian, atau membuka tutup bejana untuk mengetahui apa yang ada di dalamnya. Sebab, Sang Pembuat syariat, Allah , telah memerintahkan agar menutupi aib-aib orang lain, serta melarang menyelidiki dan memata-matai keburukan orang lain. Allah berfirman:
“..Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (Al Hujurat: 12)
Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian memata-matai keburukan orang lain.”
Beliau juga bersabda:
“Barang siapa yang menutup aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.”
Kelima: Sebelum seseorang memerintah orang lain, hendaknya ia memberitahukan kepadanya tentang kebaikan yang ingin ia perintahkan. Bisa jadi orang yang meninggalkan kebaikan tersebut belum tahu kalau yang ia tinggalkan itu termasuk kebaikan.
Begitu pula ia harus memberitahukan kepada orang yang ingin ia ingkari kemungkarannya, bahwa apa yang ia kerjakan adalah termasuk kemungkaran. Sebab, bisa jadi ia mengerjakan kemungkaran akibat keadaannya yang memang tidak mengetahui bahwa hal itu termasuk kemungkaran.
Kelima: Memerintah dan mencegah dengan cara yang makruf. Jika orang yang meninggalkan kebaikan tidak mau melaksanakan perintah kebaikan dan orang yang melakukan kemungkaran tidak mau meninggalkan kemungkarannya, maka hendaknya ia menasihatinya dengan nasihat yang bisa melunakkan hatinya, yaitu dengan menyebutkan Dalil-dalil motivasi dan ancaman yang terdapat di dalam syariat.
Jika dengan cara itu juga belum berhasil, ia boleh menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengandung teguran dan celaan, serta ucapan yang keras. Namun, jika cara itu juga tidak berguna, maka ia boleh merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Dan jika tidak mampu merubah dengan tangannya, maka ia bisa meminta bantuan pemerintah (yang berwenang) atau teman-temannya.
Keenam: Jika seseorang tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, lantaran mengkhawatirkan keselamatan dirinya, hartanya, atau kehormatannya, dan ia tidak mampu bersabar atas apa yang akan menimpanya, maka cukup baginya mengingkari kemungkaran dengan hatinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.”
Seorang muslim mengimani akan wajibnya mencintai para sahabat Rasulullah dan ahli baitnya, serta keutamaan mereka atas kaum muslimin dan mukminin yang lain. Juga mengimani bahwa para sahabat memiliki keutamaan dan ketinggian derajat yang berbeda-beda berdasarkan siapa yang lebih dahulu masuk Islam.
Sahabat yang paling utama adalah Khulafaur Rasyidin yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum. Setelah itu sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, yaitu Khulafaur Rasyidin yang empat, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, Abdurrahman bin Auf.
Kemudian dilanjutkan para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Kemudian para sahabat yang dijamin masuk surga selain sepuluh orang yang telah disebutkan, yaitu Fathimah Az-Zahra’ dan kedua anaknya Hasan dan Husain, Tsabit bin Qais, Bilal bin Tuhanah, dan yang lainnya. Kemudian para sahabat yang turut serta dalam peristiwa Baiatur Ridwan. Jumlahnya mencapai seribu empat ratus sahabat.
Seorang muslim juga mengimani tentang wajibnya memuliakan imam kaum muslimin, menghormati mereka, dan menjaga adab saat menyebut nama-nama mereka. Sebab, mereka adalah para imam dalam hal agama dan panji-panji petunjuk, seperti gari’ (orang yang hafal dan ahli dalam AlQur’an), faqih (ahli fikih) muhaddits (ahli hadits), mufassir (ahli tafsir) dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahumullah.
Seorang muslim juga mengimani tentang wajibnya menaati, menghormati, dan memuliakan para pemimpin kaum muslimin, berjihad bersama mereka, dan shalat di belakang mereka, serta haramnya menentang mereka. Oleh karena itu, pada saat berhadapan dengan semua orang yang telah disebutkan di atas, diharuskan melazimi Adab-adab yang khusus. Di antara Adab-adab kepada para sahabat Nabi dan keluarganya adalah:
Pertama: Mencintai mereka, karena Allah dan Rasul-Nya juga mencintai mereka. Allah sz telah memberitahukan bahwa Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, Allah berfirman:
“,..Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela…” (Al-Maidah: 54)
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (Al-Fath: 29)
Rasulullah bersabda:
“(Bertakwalah kepada) Allah, (bertakwalah kepada) Allah terhadap hak-hak para sahabatku. Janganlah kalian jadikan mereka sebagai sasaran (cacian dan cercaan) sepeninggalku. Barang siapa mencintai para sahabat, maka dengan kecintaan-Ku, aku pun mencintai mereka. Dan barang siapa membenci para sahabat, maka dengan kebencian-Ku, aku pun membenci mereka. Barang siapa menyakiti para sahabat, berarti ia telah menyakitiku, barang siapa menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah, maka Allah akan menyiksanya.”
Kedua: Mengimani keutamaan mereka atas kaum mukminin dan muslimin yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam memuji mereka:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian mencela sahabatku, karena sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan mencapai satu mud sedekah mereka, tidak juga setengahnya.”
Ketiga: Memiliki pandangan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan sahabat Rasulullah yang paling utama daripada sahabat yang lain dan orang-orang sesudah mereka secara mutlak. Adapun sahabat yang memiliki keutamaan berikutnya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Seandainya aku boleh menjadikan seorang kekasih dari umatku ini, pasti aku telah memilih Abu Bakar. Namun, ia adalah saudaraku dan sahabatku.”
Ibnu Umar juga pernah menuturkan, “Kami mengatakan pada saat Nabi masih hidup, ‘Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali.’ Ucapan itu sampai kepada Nabi, dan beliau tidak mengingkarinya.”!!”
Ali bin Abi Thalib menuturkan, “Orang yang paling utama dari umat ini sesudah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan jika aku berkehendak akan aku sebutkan yang ketiga—yaitu Utsman—semoga Allah meridhai mereka.”
Keempat: Mengakui kelebihan dan keunggulan para sahabat. Seperti keunggulan Abu Bakar, Umar, dan Utsman yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah yang ditujukan kepada gunung Uhud yang saat itu bergetar sedangkan mereka berada di atas gunung itu:
“Tenanglah wahai gunung Uhud! Karena di atasmu ada seorang Nabi, seorang yang jujur (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid (Umar dan Utsman).”
Sabda beliau kepada Ali bin Abi Thalib:
“Apakah kamu ridha jika kedudukanmu dari diriku seperti kedudukan Harun: dari Musa ?”
Sabda beliau :
“Fathimah adalah tuannya para wanita penghuni surga.”
Sabda beliau kepada Zubair bin Awwam:
“Setiap nabi memiliki hawari (pembela), dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Sabda beliau mengenai Hasan dan Husain:
“Ya Allah, cintailah keduanya, karena aku benar-benar mencintai Keduanya.”
Sabda Nabi kepada Abdullah bin Umar:
“Abdullah adalah seorang lelaki yang shaleh.’”
Sabda beliau kepada Zaid bin Haritsah:
“Engkau adalah saudaraku dan maulaku (budak yang aku bebaskan)”
Sabda beliau kepada Ja’far bin Abi Thalib:
“Engkau serupa denganku dalam hal bentuk fisik dan akhlak.”
Sabda beliau kepada Bilal bin Tuhanah:
“Aku mendengar suara sandalmu di hadapanku di dalam surga.”
Sabda Nabi mengenai Salim Maula Abu Hudzaifah, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal:
“Pelajarilah Al-Qur’an dari empat sahabatku: dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.”
Sabda beliau mengenai Aisyah:
“Keutamaan Aisyah atas para wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (sejenis bubur) atas seluruh makanan yang lain.”
Sabda beliau mengenai orang-orang Anshar:
“Seandainya orang-orang Anshar melewati suatu lembah atau bukit, pasti aku akan melewati lembah orang-orang Anshar. Dan, kalaulah bukan karena hijrah, pasti aku sudah menjadi salah seorang dari kaum Anshar.”
Nabi bersabda:
“Orang-orang Anshar tidak dicintai kecuali oleh orang yang beriman, dan tidak dibenci kecuali oleh orang munafik. Siapa yang mencintai mereka maka Allah akan mencintainya, dan siapa yang membenci mereka maka Allah akan membencinya.”
Sabda beliau mengenai Sa’ad bin Mu’adz:
“Arasy telah bergetar karena meninggalnya Sa’ad bin Mu’adz.”
Juga seperti keunggulan Usaid bin Hudhair, ketika ia sedang bersama salah seorang sahabat yang lain di rumah Rasulullah pada suatu malam yang gelap gulita. Tatkala keduanya keluar, serta merta di hadapan keduanya muncul cahaya hingga mereka pun dapat berjalan dengan cahaya itu. Lalu, saat keduanya berpisah, cahaya itu pun ikut berpisah mengikuti masing-masing dari keduanya.!
Sabda beliau kepada Ubay bin Ka’ab, “Allah telah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ayat, ‘Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.’ (Al-Bayyinah: 1)” Ubay bertanya, “Dia menyebut namaku?” Beliau menjawab, “Ya.” Ubay bin Ka’ab pun menangis.!”
Sabda beliau mengenai Khalid bin Walid:
“Ia adalah pedang dari pedang-pedang Allah yang terhunus.”
Sabda beliau mengenai Hasan:
“Putraku ini adalah seorang pemimpin. Semoga dengan perantaraannya Allah berkenan mendamaikan antara dua golongan dari kaum muslimin.”
Sabda beliau mengenai Abu Ubaidah:
“Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan kita, wahai umat Islam, adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Sungguh, Allah telah meridhai mereka semua!
Kelima: Menjauhkan diri dari mengungkit kesalahan-kesalahan mereka dan mengambil sikap diam terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Janganlah kalian mencela para sahabatku.”
“Janganlah kalian jadikan mereka sebagai sasaran (cacian dan cercaan) sepeninggalku.”
“Barang siapa menyakiti para sahabat, berarti ia telah menyakitiku, dan barang siapa menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah, maka hampir saja Allah menyiksanya.”
Keenam: Mengimani kehormatan para istri Rasulullah, dan bahwa mereka adalah para wanita yang suci dan disucikan; ridha kepada mereka dan memiliki pandangan bahwa yang paling utama di antara mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Abu Bakar. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Al-Ahzab: 6)
Etika terhadap para pemuka agama, yaitu para gari, ahli hadits, dan ahli fikih
Di antara etika seorang muslim terhadap para pemuka agama adalah:
Pertama: Mencintai mereka, memintakan rahmat dan ampunan untuk mereka, serta mengakui keutamaan-keutamaan yang mereka miliki. Sebab, mereka telah tercantum di dalam firman Allah, “…Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah…” (At-Taubah: 100).
Rasulullah juga bersabda:
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah generasi yang hidup pada masaku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.”
Mayoritas para qari’, ahli hadits, ahli fikih, dan mufasir adalah termasuk dalam tiga generasi yang telah disaksikan kebaikan mereka oleh Rasulullah.
Allah telah memuji orang yang memintakan ampunan untuk orang-orang yang mendahului mereka dengan keimanan, Allah berfirman, “…
Mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…” (Al-Hasyr: 10).
Berdasarkan ayat di atas, seorang muslim akan senantiasa memintakan ampunan untuk seluruh orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan.
Kedua: Tidak menyebut mereka kecuali dengan cara yang baik dan tidak mencela mereka dengan perkataan maupun pemikiran. Hendaklah mengetahui bahwa mereka adalah para mujtahid yang ikhlas, sehingga ia harus menjaga etika saat menyebut mereka. Selain itu, ia juga harus mengutamakan pendapat mereka atas pendapat orang-orang sesudah mereka, dan mengutamakan cara pandang mereka atas cara pandang orang-orang yang datang sesudah mereka dari kalangan ulama, fuqaha, mufassir, dan ahli hadits. Ila tidak boleh meninggalkan pendapat mereka kecuali jika menyelisihi pendapat Allah, Rasulullah, atau para sahabat.
Ketiga: Segala persoalan yang telah disusun oleh Imam yang empat; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah, serta pendapat dan ucapan mereka yang berkaitan dengan masalah-masalah agama, fikih, dan syariat, semuanya bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Mereka tidak memiliki apa-apa kecuali apa yang telah mereka pahami dari kedua sumber ini (Al-Qur’an dan As-Sunnah), atau mereka simpulkan dari keduanya, atau mereka qiyaskan atas keduanya jika tidak mendapatkan nash atau isyarat dari keduanya.
Keempat: Berpandangan bahwa mengambil pendapat dalam masalah-masalah fikih dan agama dari apa yang telah disusun oleh salah seorang dari imam terkemuka tersebut adalah diperbolehkan, dan mengamalkannya termasuk mengamalkan syariat Allah, selama ia tidak bertentangan dengan nash yang jelas lagi shahih dari Kitabullah atau sunah Rasulullah.
Seseorang tidak boleh meninggalkan firman Allah atau sabda Rasul-Nya hanya karena pendapat salah seorang dari makhluk-Nya, siapa pun orangnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…” (Al-Hujurat: 1)
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Al-Hasyr: 7)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka…” (Al-Ahzab: 36)
Rasulullah juga bersabda:
“Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami atasnya, maka ia tertolak.”
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang telah aku bawa.”
Kelima: Memiliki pandangan bahwa para imam adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Terkadang mereka menyalahi kebenaran dalam sebuah masalah dari sekian masalah yang ada. Bukan karena unsur kesengajaan—dan jauh kemungkinannya begitu—tapi karena kealpaan, lupa, atau belum mengetahuinya.
Atas dasar inilah, seorang muslim tidak boleh bersikap fanatik terhadap pendapat salah seorang dari mereka dan meninggalkan pendapat yang lain. Namun, ia boleh mengambil pendapat siapa pun dari mereka, dan pendapat mereka tidak boleh ditolok kecuali jika menyelisihi firman Allah atau sabda Rasulullah.
Keenam: Menerima alasan mereka dalam beberapa masalah cabang agama yang mereka perselisihkan. Juga berpandangan bahwa perselisihan mereka bukan karena kebodohan dan bukan karena fanatik terhadap pendapat masing-masing. Akan tetapi disebabkan karena beberapa hal, bisa jadi hadits dalam masalah yang diperselisihkan belum sampai kepada imam yang berbeda pendapat, atau ia berpendapat bahwa hadits yang tidak ia ambil sudah dinasakh (dihapus), atau ada hadits lain yang berbeda dengan hadits yang telah sampai kepadanya lalu ia menguatkan hadits lain itu, atau ja memahami hadits tersebut tidak sama dengan yang dipahami ulama yang Jain. Sebab, diperbolehkan berbeda pemahaman terhadap maksud dari suatu Jafal nash, lalu masing-masing membawa maknanya kepada pemahamannya sendiri.
Sebagai contoh adalah pemahaman Imam Syafi’i tentang batalnya wudhu karena menyentuh seorang wanita, secara mutlak. Hal ini berdasarkan pemahaman beliau terhadap firman Allah, “…Atau menyentuh perempuan…” (Al-Maidah: 6). Imam Syafi’i memahami ayat ini dengan makna menyentuh, dan tidak memahami dengan makna yang lain. Sehingga Imam Syafi’i berpendapat akan wajibnya berwudhu hanya karena menyentuh seorang wanita.
Sedangkan imam yang lain memahami bahwa maksud dari menyentuh dalam ayat tersebut adalah jimak (bersetubuh). Sehingga mereka tidak mewajibkan berwudhu hanya karena menyentuh seorang wanita. Wudhu diulangi ketika ada perasaan lebih, seperti menyentuh wanita dengan sengaja atau adanya perasaan nikmat saat menyentuh wanita.
Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa Imam Syafi’i tidak meninggalkan pendapatnya agar menyamai pendapat imam-imam yang lain dan menghilangkan perselisihan umat?”
Jawabannya, “Tidak diperbolehkan selamanya bagi seorang imam untuk memahami suatu ayat yang datang dari Tuhannya yang ia tidak ragu sedikit pun tentangnya, kemudian ia meninggalkannya hanya karena untuk mengikuti pendapat atau pemahaman imam yang lain, sehingga jadilah ia sebagai seorang yang mengikuti pendapat manusia lain dan meninggalkan firman Allah. Perbuatan ini termasuk salah satu dosa besar di sisi Allah .”
Memang benar, jika pemahaman seorang imam terhadap suatu nash bertentangan dengan nash yang jelas dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka wajib baginya untuk berpegang dengan makna zahir dari nash tersebut, dan meninggalkan pemahamannya terhadap lafal yang dalilnya bukan nash yang jelas dan zahir. Sebab, jika Dalil-dalilnya bersifat qath’i, maka ia tidak akan diperselisihkan oleh dua orang dari kalangan orang awam apalagi dari kalangan para imam.
Etika terhadap para pemimpin kaum muslimin Pertama: Memiliki pandangan akan wajibnya menaati mereka. Ini berdasarkan firman Allah, “Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…” (An-Nisa’: 59)
Rasulullah juga bersabda:
“Hendaklah kalian mendengar dan taat, sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah yang seakan-akan kepalanya seperti kismis.”
“Siapa yang menaatiku berarti ia telah menaati Allah, dan siapa yang bermaksiat kepadaku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Siapa yang menaati pemimpinku berarti ia telah menaatiku, dan siapa yang maksiat kepada pemimpinku berarti ia telah maksiat kepadaku.”
Akan tetapi, ia tidak boleh berpandangan akan bolehnya menaati mereka dalam hal yang maksiat Allah. Sebab, ketaatan kepada Allah lebih didahulukan daripada ketaatan kepada mereka, sebagaimana dalam firmanNya, “…Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik…” (al-Muntahanah: 12).
Rasulullah juga bersabda:
“Ketaatan itu hanya berlaku dalam Hal-hal kebaikan saja.”
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal yang maksiat Sang Khaliq.”
“Tidak ada ketaatan dalam hal yang maksiat Allah.'”
“Mendengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim dalam perkara-perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, selagi ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Jika diperintah dengan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.”
Kedua: Tidak boleh membelot dari perintah para pemimpin atau mengumumkan penentangannya kepada mereka. Sebab, perbuatan ini termasuk pemberontakan terhadap pemimpin kaum muslimin, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya hendaknya ia bersabar. Sebab, siapa yang keluar dari (ketaatan kepada) pemimpin meski hanya sejengkal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah.”
“Siapa yang menghinakan seorang pemimpin, maka ia akan dihinakan Allah”
Ketiga: Mendoakan mereka dengan kebaikan, kebenaran, taufik, dan penjagaan dari keburukan serta dari terjerumus ke dalam kesalahan. Sebab, kebaikan umat terletak pada kebaikan mereka, dan kerusakan umat terletak pada kerusakan mereka. Selain itu, kita tetap harus menasihati Merek, dengan cara yang tidak membuat mereka hina dan jatuh kemuliaannya, Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Keempat: Berjihad di bawah kepemimpinannya dan shalat berjamaah di belakangnya, sekalipun mereka melakukan kefasikan dan perbuatan-perbuatan haram yang tidak sampai tingkat kekafiran. Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang bertanya mengenai ketaatan kepada pemimpin yang buruk:
“Hendaknya kalian tetap mendengar dan menaatinya, karena bagi mereka apa yang menjadi tanggung jawab mereka, dan bagi kalian apa yang menjadi tanggung jawab kalian.”
Ubadah bin Shamit juga berkata, “Kami telah berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat, baik dalam perkara yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi; baik dalam keadaan susah maupun lapang. Juga agar kami tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya.”
Nabi bersabda:
“Kecuali jika kalian telah melihat adanya kekafiran yang nyata, yang mana dalam hal ini kalian memiliki bukti dari Allah”
Seorang muslim meyakini betapa penting dan urgensinya niat bagi seluruh amalan, baik ibadah maupun urusan dunia. Sebab, seluruh amalan tergantung dengan niat. Kuat dan lemahnya amalan seseorang sesuai dengan niatnya; benar dan salahnya amalan seseorang juga tergantung niatnya. Keyakinan seorang muslim terhadap pentingnya niat untuk seluruh amalan dan kewajiban memperbaiki niat adalah berdasarkan Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur’an
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…” (Al-Bayyinah: 5)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Az-Zumar: 11)
Dalil As-Sunnah
“Segala amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya.”
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan harta kalian, namun Dia hanya akan melihat hati dan amalan kalian.”
Melihat hati berarti melihat niat, karena niat merupakan faktor pendorong untuk beramal.
“Siapa yang berniat melakukan satu kebaikan, tapi tidak jadi melakukannya, maka telah ditulis baginya satu kebaikan.”
Jadi, sekadar memiliki niat yang baik, amalan seseorang yang hanya dalam hati ditetapkan sebagai sebuah kebaikan dan ia mendapatkan pahala serta balasan. Itu semua karena keutamaan niat yang baik.
Di dalam sabda Nabi, “Manusia itu ada empat golongan: seseorang yang telah Allah berikan kepadanya ilmu dan harta, lalu ia mengamalkan ilmunya pada hartanya. Lalu ada orang lain berkata, ‘Seandainya Allah memberikan kepadaku seperti apa yang telah Dia berikan kepadanya, niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Maka, pahala kedua orang ini sama. Kemudian seseorang yang telah Allah berikan kepadanya harta, tapi tidak memberikan ilmu kepadanya, sehingga ia pun menghambur-hamburkan hartanya. Lalu ada orang lain berkata, ‘Seandainya Allah memberikan kepadaku seperti apa yang Dia berikan kepadanya, maka aku akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Maka, dosa keduanya pun sama.”
Jadi, orang yang memiliki niat baik diberi pahala yang sama dengan pahala amalan yang baik, dan orang yang memiliki niat buruk diberi dosa yang sama dengan dosa amalan yang buruk. Semua ini disebabkan oleh niat itu sendiri.
Rasulullah bersabda saat berada di Tabuk, “Sesungguhnya, di Madinah ada sekelompok orang yang tidak melewati suatu lembah bersama kita, tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir bersama kita, tidak mengeluarkan infak, dan tidak pula mengalami kelaparan, tapi mereka menyertai kita dalam semua itu, sedang mereka tetap berada di Madinah.” Rasulullah ditanya, “Bagaimana bisa begitu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka tertahan karena adanya uzur, lalu mereka menyertai kita dengan niat yang baik.”
Jadi, niat baik itulah yang menjadikan orang yang tidak ikut berperang mendapatkan pahala yang sama dengan pahala orang yang ikut berperang, dan menjadikan orang yang bukan mujahid mendapatkan pahala yang sama dengan pahala mujahid.
Rasulullah bersabda:
“Jika ada dua orang muslim saling berhadapan dengan menghunuskan pedangnya masing-masing, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama di neraka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, yang membunuh (memang di neraka), tapi apa yang salah pada orang yang terbunuh?” Beliau menjawab, “Sebab, ia juga berniat untuk membunuh saudaranya.”’
Jadi, niat buruk dan keinginan jahat antara orang yang membunuh yang pasti masuk neraka—dan orang yang terbunuh, kedudukannya sama. Kalaulah bukan karena niat jahatnya untuk membunuh, niscaya ia termasuk ahli surga.
Rasulullah bersabda:
“Laki-laki mana pun yang hendak memberikan mahar kepada seorang wanita, sedangkan Allah tahu bahwa ia berniat tidak akan menunaikannya sehingga ia menipunya atas nama Allah dan menghalalkan kemaluannya dengan cara yang batil, maka laki-laki itu akan menjumpai Allah kelak pada hari ia menemui-Nya sebagai seorang penzina. Dan laki-laki mana pun yang berhutang kepada seseorang, dan Allah tahu bahwa ia berniat tidak akan melunasinya sehingga ia menipunya atas nama Allah dan menghalalkan hartanya dengan cara batil, maka ia akan menemui Allah kelak pada hari ia menemui-Nya sebagai seorang pencuri.”
Jadi, karena niat buruk, sesuatu yang mubah bisa berubah menjadi haram, sesuatu yang boleh bisa berubah menjadi terlarang, dan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dosanya berubah menjadi sesuatu yang berdosa.
Semua ini menguatkan apa yang telah menjadi keyakinan seorang muslim mengenai pentingnya niat, keagungan urusan niat, dan besarnya urgensi niat. Karena itu, seorang muslim akan membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik. Seorang muslim juga akan mengerahkan kesungguhannya untuk tidak melakukan suatu amalan tanpa niat ataupun niat yang tidak baik. Sebab, niat adalah ruh dan penopang utama amalan. Benarnya suatu amalan dikarenakan benarnya niat, dan rusaknya suatu amalan juga dikarenakan rusaknya niat. Sedangkan amalan tanpa disertai niat, maka orang yang mengamalkannya akan berbuat riya’, mengerjakan dengan terpaksa, dan dibenci.
Seorang muslim juga meyakini bahwa niat adalah rukun dan syarat suatu amalan. Sehingga ia berpandangan bahwa niat bukan sekadar ucapan lisan, “Ya Allah aku berniat ini dan itu.” Juga bukan hanya sekadar bisikan hati. Namun, niat adalah dorongan hati untuk melakukan amalan yang tepat untuk tujuan yang benar, berupa memperoleh manfaat atau menolak mudharat, baik sekarang maupun masa mendatang. Niat juga merupakan suatu kehendak yang mengarah kepada perbuatan untuk mencari ridha Allah, atau menjalankan perintah-Nya.
Ketika seorang muslim meyakini bahwa amalan mubah bisa berubah menjadi ketaatan yang berpahala karena niat yang baik, dan ketaatan jika tidak disertai dengan niat yang baik akan berubah menjadi kemaksiatan yang mengandung dosa, maka ia tidak akan berpandangan bahwa kemaksiatan dapat dipengaruhi oleh niat yang baik sehingga berubah menjadi ketaatan. Sehingga, orang yang mengghibah orang lain dengan tujuan untuk membuat hati orang yang lainnya tenang, maka ia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan berdosa, serta tidaklah bermanfaat niatnya yang baik menurut pendapat pribadinya itu. Orang yang membangun sebuah masjid dengan harta yang haram, tidak akan diberi pahala. Orang yang menghadiri pesta dansa dan cabul, atau membeli kartu-kartu undian dengan niat untuk mendukung proyek-proyek kebaikan, atau untuk keperluan jihad dan yang lainnya, maka ia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan berdosa serta tidak akan mendapatkan pahala.
Orang yang mendirikan kubah di atas kuburan orang-orang saleh, atau menyembelih hewan sembelihan untuk mereka, atau bernazar untuk mereka dengan niat mencintai orang-orang saleh, maka ia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan berdosa atas amalannya, sekalipun niatnya baik menurut pandangannya. Sebab, dengan niat yang baik, tidak ada amalan yang berubah menjadi suatu ketaatan kecuali amalan mubah yang boleh dikerjakan. Sedangkan amalan yang haram, maka sama sekali ia tidak akan bisa berubah menjadi suatu ketaatan.
Bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmatnya Seorang muslim senantiasa mengingat berbagai macam anugerah dan kenikmatan milik Allah yang tak terhingga yang telah diberikan kepadanya, sejak ia masih berupa nuthfah (sperma) di dalam rahim ibunya hingga ia menjumpai Tuhannya. Dengan begitu, ia senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat itu dengan lisannya, berupa pujian dan sanjungan yang Dia berhak untuk mendapatkannya. Juga bersyukur dengan anggota badannya, berupa menggunakannya dalam ketaatan.
Sikap seorang muslim yang seperti ini merupakan adab darinya terhadap Allah. Sebab, sama sekali bukan termasuk sikap yang beradab jika ia mengufuri nikmat-Nya, mengingkari keutamaan Sang Pemberi nikmat, dan melalaikan kebaikan-kebaikan serta beragam anugerah-Nya.
Allah berfirman:
“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah…” (An-Nahl: 53)
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya…” (An-Nahl: 18)
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
Senantiasa takut kepada Allah dan mengisi hari-harinya dengan ketaatan
Seorang muslim senantiasa memerhatikan sifat mengetahui dan mengawasinya Allah terhadap seluruh keadaan. Sehingga, ia memenuhi hatinya dengan rasa takut kepada-Nya; memenuhi jiwanya dengan sikap hormat dan mengagungkan-Nya; merasa takut untuk bermaksiat kepadaNya; malu untuk menyelisihi-Nya; dan segan untuk keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Sikap seorang muslim seperti ini merupakan adab darinya terhadap Allah. Sebab, sama sekali bukan termasuk sikap yang beradab jika seorang hamba terang-terangan maksiat Tuan-nya, atau menjumpai-Nya dengan membawa amalan-amalan yang kotor dan hina, sementara Dia senantiasa menyaksikan dan memerhatikan dirinya. Allah. berfirman:
“Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian)” (Nuh: 13-14)
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan.” (An-Nahl: 19)
“Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu meskipun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit…” (Yunus: 61)
Senantiasa menyandarkan hidupnya kepada Allah
Seorang muslim senantiasa memerhatikan Allah, dan Dia telah menakdirkan untuknya serta memegang ubun-ubunnya, bahwa tidak ada tempat untuk berlari, berlindung, dan meminta pertolongan kecuali kepada, Nya. Sehingga ia pun senantiasa berlari kepada-Nya, bersimpuh di hadapan, Nya, serta menyerahkan urusan dan bertawakal kepada-Nya.
Sikap seorang muslim yang seperti ini merupakan adab darinya terhadap Tuhannya dan Penciptanya. Sebab, sama sekali bukan termasuk sikap yang beradab jika ia berlari kepada zat yang tidak memiliki tempat berlari, bersandar kepada zat yang tidak memiliki kekuasaan, dan bertawakal kepada zat yang tidak memiliki daya dan kekuatan. Allah berfirman:
“,..Tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya)..” (Hud: 56)
“Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.” (Adz-Dzariyat: 50)
“,..Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Senantiasa mengharapkan rahmat Allah dalam lantunan doanya
Seorang muslim senantiasa mengingat kebaikan Allah terhadap dirinya dalam segala urusannya, juga memerhatikan kasih sayang-Nya terhadap dirinya dan terhadap seluruh makhluk-Nya, hingga ia pun sangat menginginkan tambahan dari itu semua. Kemudian ia memohon dengan kesungguhan dan kerendahan, berdoa kepada-Nya, serta bertawasul kepadaNya dengan ucapan dan amalan yang baik.
Sikap seorang muslim seperti ini merupakan adab darinya terhadap Allah yang merupakan Tuan-nya. Sebab, bukan termasuk sikap yang beradab jika ia berputus asa dari meminta tambahan rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, serta berputus asa dari kebaikan-Nya yang berlaku umum untuk seluruh manusia dan mencakup seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman:
“,..Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (Al-A’raf: 156)
“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya…” (Asy-Syura: 19)
“..Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…” (Yusuf: 87)
“.. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…” (Az-Zumar: 53)
Senantiasa takut akan siksa-Nya yang pedih
Seorang muslim senantiasa merenungkan siksaan Tuhannya yang keras, pembalasan-Nya yang kuat, dan perhitungan-Nya yang cepat. Sehingga, ia senantiasa bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan ketaatan dan merasa takut kepada-Nya dengan meninggalkan kemaksiatan.
Sikap seorang muslim seperti ini merupakan adab darinya terhadap Allah. Sebab, bukan termasuk sikap yang beradab menurut orang yang berakal, jika seorang hamba yang lemah menentang Tuhan Yang Mahamulia, Maha Menentukan, Maha kuat, dan Mahakuasa, dengan kemaksiatan dan kezaliman. Allah berfirman:
“.-.Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’du: 11)
“Sungguh, azab Tuhanmu sangat keras.” (Al-Buruj: 12)
“… Allah Mahaperkasa lagi mempunyai hukuman.” (Ali-Imran: 4)
Senantiasa mengingat Allah, baik ketika taat maupun bermaksiat
Seorang muslim senantiasa memikirkan Allah ketika ia sedang bermaksiat kepada-Nya dan keluar dari ketaatan kepada-Nya. Ia membayangkan seakan ancaman dari-Nya telah ia terima, azab-Nya telah turun menimpanya, dan hukuman dari-Nya telah turun di halamannya.
Demikian juga halnya, ia senantiasa memikirkan Allah pada saat ia menaati-Nya dan mengikuti syariat-Nya. Ia membayangkan seakan-akan janji-Nya telah benar-benar Dia tunaikan kepadanya dan keridhaan-Nya telah Dia anugerahkan kepadanya.
Sikap seorang muslim ini merupakan bentuk baik sangka kepada Allah. Dan termasuk adab kepada Allah adalah berbaik sangka kepada-Nya. Sebab, bukan termasuk sikap yang beradab jika seseorang berburuk sangka kepada Allah, lalu ia bermaksiat kepada-Nya dan keluar dari ketaatan kepada-Nya, serta mengira Allah tidak mengawasinya dan tidak akan menghukumnya atas dosa-dosanya. Allah berfirman:
“..Bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan. Dan itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, (dugaan itu) telah membinasakan kamu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yang rugi.” (Fushshilat: 22-23)
Termasuk sikap yang tidak beradab adalah seseorang bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya, tapi ia mengira bahwa Allah tidak akan memberi pahala atas amal baiknya dan tidak menerima ketaatan serta ibadahnya. Allah berfirman:
“Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52)
“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)” (Al-An’am: 160)
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Ringkasnya adalah bahwa bersyukurnya seorang muslim kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya; rasa malu kepada-Nya ketika ia hendak bermaksiat; kejujuran tobatnya kepada Allah; tawakalnya kepada Allah dan pengharapannya terhadap rahmat-Nya; rasa takutnya kepada siksa Allah; serta baik sangkanya kepada Allah tentang akan ditunaikannya janji dari-Nya dan akan diberlakukannya ancaman dari-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, semua itu merupakan Adab-adab seorang muslim terhadap. Allah.
Semakin ia berpegang teguh dan menjaga Adab-adab tersebut, Maka derajatnya semakin mulia, kedudukannya bertambah tinggi, posisinya meningkat, dan kemuliaannya bertambah. Sehingga, jadilah ia termasuk orang-orang yang berhak mendapat perlindungan dan penjagaan Allah, Serta diliputi rahmat dan dianugerahi nikmat-nikmat-Nya. Inilah puncak tertinggi; yang dicari dan diidamkan oleh seorang muslim sepanjang hidupnya.
Ya Allah, anugerahkan kepada kami perlindungan-Mu dan jangan Engkau jauhkan kami dari penjagaan-Mu. Jadikanlah kami di hadapan-Mu termasuk, orang-orang yang didekatkan kepada-Mu, Ya Allah Tuhan semesta alam,
Seorang muslim meyakini kesucian kalam Allah, kemuliaannya, dan keutamaannya atas seluruh ucapan yang lain. Juga meyakini bahwa Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah yang tidak ada kebatilan di dalamnya, baik dari depan maupun dari belakang (di masa lalu dan masa yang akan datang).
Barang siapa berkata dengan ayat-ayat Al-Qur’an, berarti ia telah berkata benar. Dan barang siapa memutuskan perkara dengan Al-Qur’an, maka ia telah bersikap adil.
Para ahli Al-Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang keistimewaan-Nya. Orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah orang-orang yang selamat dan beruntung, sedangkan orang-orang yang berpaling darinya adalah orang-orang yang binasa lagi rugi.
Keimanan seorang muslim terhadap keagungan, kesucian, dan kemuliaan Al-Qur’an akan bertambah dengan adanya hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan Al-Qur’an yang diturunkan dan diwahyukan kepada makhluk pilihan, pemimpin kita sekaligus utusan-Nya, Muhammad bin Abdullah. Seperti sabda beliau:
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.”
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
“Orang yang menguasai Al-Qur’an adalah keluarga Allah dan manusia keistimewaan-Nya.”
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah bersabda:
“Hati itu bisa berkarat seperti besi yang berkarat.” Ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa yang dapat membuatnya kembali mengkilap?” Rasulullah bersabda, “Membaca Al-Qur’an dan mengingat mati.”
Suatu ketika ada salah seorang musuh bebuyutan Rasulullah mendatangi beliau dan berkata, “Hai Muhammad! Bacakanlah Al-Qur’an untukku.” Maka Rasulullah pun membacakan kepadanya firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (An-Nahl: 90)
Belum selesai Rasulullah membacakan ayat di atas, tiba-tiba musuh bebuyutannya itu meminta beliau untuk mengulanginya lantaran terpesona akan keagungan lafal dan kesucian maknanya. Ia terperanjat dengan keterangannya dan tertarik dengan kekuatan pengaruhnya.
Tak lama kemudian, musuh bebuyutan tersebut mengangkat suaranya untuk mengumumkan pengakuannya dan menetapkan kesaksiannya atas kesucian dan keagungan kalam Allah. Ia hanya mengucapkan satu perkataan, “Demi Allah, Al-Qur’an ini benar-benar manis, padanya terdapat keindahan, di bawahnya berdaun menghijau, dan di atasnya penuh dengan buah. Al-Qur’an ini tidak mungkin diucapkan oleh manusia.”
Atas dasar inilah, di samping seorang muslim menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an, mengharamkan apa yang diharamkan Al-Qur’an, berpegang teguh dengan adab Al-Qur’an, dan bertingkah-laku dengan akhlak Al-Qur’an, maka dalam membacanya ia juga berpegang teguh dengan Adab-adab berikut ini:
- Membaca Al-Qur’an dalam keadaan yang paling sempurna, yaitu suci, menghadap kiblat, serta duduk dengan sopan dan penuh khidmat.
- Membaca Al-Qur’an secara tartil dan tidak tergesa-gesa; tidak mengkhatamkan bacaannya kurang dari tiga malam, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Barang siapa mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an kurang dari tiga malam, ia tidak akan memahaminya.”
Rasulullah juga pernah menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit juga mengkhatamkan Al-Qur’an sekali setiap pekan.
- Menjaga kekhusyukan dalam membaca Al-Qur’an, memperlihatkan kesedihan, dan menangis atau berusaha untuk menangis jika tidak bisa menangis, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Al-Qur’an ini diturunkan dengan kesedihan, jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika kalian tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis.”
- Memperindah suaranya, sebagaimana sabda Nabi :
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.”
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memperindah bacaan Al-Qur’an.”
“Tidaklah Allah memberikan izin kepada sesuatu seperti Dia memberikan izin kepada seorang Nabi untuk melantunkan Al Qur’an.”
- Melirihkan bacaannya, jika khawatir muncul pada dirinya sikap riya’, sum’ah, atau mengganggu orang yang sedang shalat, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan terang-terangan ibarat orang yang bersedekah dengan terang-terangan.”
Sudah diketahui bersama bahwa sedekah itu disunahkan diberikan secara diam-diam, kecuali jika mempunyai tujuan yang hendak dicapai, seperti memotivasi orang lain untuk bersedekah. Demikian pula halnya dengan membaca Al-Qur’an.
- Membaca Al-Qur’an dengan penuh penghayatan dan perenungan disertai pengagungan kepadanya, menghadirkan hati, dan memahami makna dan rahasia-rahasianya.
Tidak lalai atau menyimpang dari ajaran Al-Qur’an ketika membacanya. Sebab, hal itu bisa menyebabkan ia mengutuk dirinya sendiri. Jika ia membaca firman Allah, “Agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Al-A’raf: 61), atau firman-Nya, “Laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.” (Hud: 18), dan ia berbuat dusta atau zalim, maka jadilah ia melaknat dirinya sendiri.
Riwayat berikut akan menjelaskan kadar kesalahan orang-orang yang berpaling dari Al-Qur’an, melalaikannya, dan lebih sibuk dengan selain
Al-Qur’an. Diriwayatkan dalam Taurat, Allah asx berfirman: “Tidakkah kamu malu kepada-Ku? Saat kamu menerima sebuah buku (surat) dari salah seorang saudaramu ketika sedang berjalan di salah satu jalan, maka kamu pun segera minggir ke tepi jalan untuk duduk dan membacanya serta menghayatinya huruf demi huruf, sampai tidak ada yang terlewatkan sedikit pun olehmu. Dan ini adalah Kitab-Ku yang telah Aku turunkan kepadamu. Lihatlah bagaimana Aku telah merincikan untukmu firman-Ku yang ada di dalamnya! Berapa kali Aku mengulang-ulang firman-Ku kepadamu di dalamnya agar kamu mau merenungkan panjang dan lebarnya Kitab-Ku, tapi kamu justru berpaling darinya. Sehingga Aku menjadi lebih rendah bagimu daripada salah seorang saudaramu tersebut. Wahai hamba-Ku! Ketika salah seorang saudaramu duduk bersamamu, maka kamu’ segera menyambutnya dengan menghadapkan seluruh wajahmu kepadanya dan mendengarkan perkataannya dengan sepenuh hatimu. Jika ada orang lain yang mengajakmu berbicara, atau mengganggumu dari mendengarkan perkataannya, kamu pun memberi isyarat kepadanya agar ia menahan diri. Sementara ketika Aku datang kepadamu dan berfirman kepadamu, maka kamu justru berpaling dariku dengan sepenuh hatimu. Apakah kamu menjadikan-Ku lebih rendah di sisimu daripada salah seorang saudaramu?”
- Bersungguh-sungguh dalam menerapkan sifat-sifat ahli Al-Qur’an yang mana mereka adalah orang-orang yang menjadi keluarga Allah dan orang-orang keistimewaan-Nya. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Mas’ud, “Hendaklah pembaca Al-Qur’an dikenali melalui malam harinya’ ketika manusia sedang tidur; melalui siang harinya ketika manusia tidak puasa; melalui tangisnya ketika manusia tertawa; melalui ke-wara’-annya ketika manusia mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan; melalui diamnya ketika manusia gemar berkoar yang tidak bermanfaat; melalui kekhusukannya ketika manusia menyombongkan diri; dan melalui kesedihannya ketika manusia gemar bersenang senang.”
Muhammad bin Ka’ab berkata, “Kami mengenali pembaca Al-Qur’an dengan warna kulitnya yang pucat (menunjukkan sering begadang untuk bermunajat dan tahajudnya).”
Wuhaib bin Al-Warad berkata, “Seseorang pernah ditanya, ‘Kenapa Anda tidak tidur?” Orang tersebut menjawab, “Sungguh, keajaiban-keajaiban Al-Qur’an telah menerbangkan tidurku.”
Dzun Nun pernah melantunkan syairnya:
Al-Qur’an dengan janji dan ancamannya menghalangi… biji mata untuk tidur pada malam harinya…
Mereka memahami firman-Nya dari Raja Teragung…
Dengan pahaman yang menjadikan ia hina dan tunduk kepada-Nya…
Seorang muslim menyadari dalam hatinya akan kewajiban menjaga adab yang sempurna terhadap Rasulullah. Hal ini dikarenakan beberapa sebab, yaitu:
Pertama: Allah ss telah mewajibkan kepada seluruh kaum mukminin, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga adab terhadap beliau yaitu dengan firman-firman Allah yang sangat jelas berikut ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Hujurat: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Hujurat: 3)
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau (Muhammad) dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 4-5)
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)” (An-Nur: 63)
“(Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya…” (An-Nur: 62)
“..Sungguh orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka…” (An-Nur: 62)
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih. Tetapi jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-Mujadilah: 12)
Kedua: Allah a telah mewajibkan kepada kaum mukminin untuk taat kepada Rasulullah dan mencintainya. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…” (Muhammad: 33)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An Nur: 63)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Al-Hasyr: 7)
“Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali-Imran: 31)
Jadi, orang yang wajib ditaati dan tidak boleh diselisihi harus disikapi dengan menjaga adab terhadapnya dalam segala keadaan.
Ketiga: Allah telah menetapkan Rasulullah sebagai pemimpin dan hakim. Allah berfirman:
“Sungguh Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu…” (An-Nisa’: 105)
‘Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka…” (Al-Maidah: 49)
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ” (An-Nisa’: 65)
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Al Ahzab: 21)
Jadi, menjaga adab terhadap seorang pemimpin dan hakim itu telah diwajibkan oleh syariat dan ditetapkan oleh akal serta logika yang sehat.
Keempat: Allah telah mewajibkan agar mencintai Rasulullah melalui sabda-sabda lisan Rasul-Nya. Beliau bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, ayahnya, dan manusia seluruhnya.”
Orang yang wajib dicintai, wajib pula disikapi dengan menjaga adab dan sopan santun terhadapnya.
Kelima: Anugerah khusus dari Allah kepada Rasulullah berupa keindahan fisik dan akhlak, serta kesempurnaan jiwa dan diri beliau. Beliau adalah manusia yang paling tampan dan paling sempurna. Maka, orang yang keadaannya sedemikian sempurna, bagaimana mungkin tidak diwajibkan menjaga adab kepadanya?
Inilah beberapa hal yang mengharuskan menjaga adab terhadap Rasulullah, dan masih banyak lagi sebab-sebab yang lainnya. Lantas, bagaimana menjaga adab terhadap Rasulullah? Dengan cara apa menjaga adab terhadap beliau? Inilah yang harus kita ketahui bersama.
Berikut ini adalah cara-cara menjaga adab terhadap Rasulullah:
- Menaati Rasulullah , meneladaninya, dan mengikuti langkah-langkahnya dalam seluruh perjalanan dunia dan agama.
- Tidak mendahulukan kecintaan, penghormatan, dan pengagungannya kepada orang lain di atas kecintaan, penghormatan, dan pengagungannya kepada Rasulullah.
- Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah dan memusuhi siapa saja yang dimusuhi beliau; ridha dengan apa saja yang diridhainya dan marah kepada apa yang dimarahi beliau.
- Mengagungkan nama Rasulullah dan menghormatinya saat nama beliau. disebut dengan mengucapkan shalawat untuknya, serta mengagungkan dan menghormati seluruh karakter dan keutamaan beliau.
- Membenarkan segala apa yang dibawa oleh Rasulullah mengenai urusan agama dan dunia, serta perkara-perkara gaib di kehidupan dunia maupun di akhirat
- Menghidupkan sunah-sunah Rasulullah, mendeklarasikan syariatnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiat beliau.
- Merendahkan suara ketika berada di kuburan dan di dalam masjid beliau, bagi orang yang Allah berikan kehormatan bisa menziarahi masjid dan berdiri di sisi kuburan beliau.
- Mencintai orang-orang saleh dan loyal kepada mereka karena kecintaan Rasulullah kepada mereka, serta membenci orang-orang fasik dan memusuhi mereka karena kebencian beliau kepada mereka.
Inilah beberapa bentuk menjaga adab terhadap Rasulullah. Karenanya, setiap muslim harus selalu bersungguh-sungguh melaksanakan dan menjaga Adab-adab tersebut dengan sempurna. Sebab, kesempurnaan dirinya sangat terkait dengannya dan kebahagiaannya sangat tergantung kepadanya.
Semoga Zat yang dimintai, Allah, berkenan memberi taufik kepada kita untuk dapat menjaga adab terhadap Nabi kita Muhammad, dan menjadikan kita sebagai pengikut-pengikutnya, pembela-pembelanya, dan golongannya, serta mengaruniakan kepada kita ketaatan kepadanya, dan kita tidak diharamkan dari mendapatkan syafaatnya. Ya Allah, kabulkanlah!
Seorang muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangat ditentukan oleh sejauh mana pembinaan, perbaikan, dan penyucian terhadap dirinya. Begitu juga kesengsaraan dirinya, sangat tergantung pada sejauh mana kerusakan, kekotoran, dan keburukan dirinya. Sebagaimana Allah berfirman:
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum onta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat. Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim. Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Al-A’raf: 40-42) .
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)
Rasulullah juga bersabda:
“Setiap orang dari kalian masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, ia masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku, ia enggan.”
“Setiap manusia akan pergi di pagi hari, kemudian ada yang menjual dirinya, sehingga ada yang memerdekakan dirinya atau membinasakannya.”
Seorang muslim juga meyakini bahwa perkara yang bisa membersihkan dan menyucikan jiwa ialah keimanan dan amal saleh. Sedangkan perkara yang mengotori dan merusak jiwanya ialah kekafiran dan kemaksiatan. Allah berfirman:
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan…” (Hud: 114)
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Rasulullah bersabda:
“Jika seorang mukmin melakukan suatu dosa, maka akan ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertobat, menghentikannya, dan memohon ampunan, maka hatinya menjadi bersih. Jika dosanya bertambah, bertambah pula noda hitamnya, hingga menutupi hatinya. Noda hitam itu adalah Ar-Radn (tutupan hati) yang disebutkan Allah, Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka’.”
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan sertailah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapus kesalahan, serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.’”
Atas dasar inilah, seorang muslim hidup dengan senantiasa berupaya untuk membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya. Sebab, dirinyalah orang yang paling layak membinanya. Ia memperbaiki dirinya dengan Adab-adab yang dapat menyucikan dirinya dan membersihkan kotoran-kotorannya. Ia juga menjauhkan dirinya dari semua hal yang bisa mengotorinya dan merusaknya, seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, serta ucapan-ucapan dan amal perbuatan yang rusak. Ia menggiatkan dirinya siang dan malam, mengevaluasi dirinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorongnya kepada ketaatan, serta menjauhkan dirinya dari segala keburukan dan kerusakan.
Dalam memperbaiki, membina, membersihkan, dan menyucikan dirinya, seorang muslim hendaknya menempuh langkah-langkah berikut ini:
Tobat
Tobat ialah melepaskan diri dari segala dosa dan kemaksiatan; menyesali segala dosa masa lalunya; dan berazam untuk tidak kembali lagi kepada dosa di masa mendatang. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (At Tahrim: 8)
“..Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Rasulullah bersabda:
“Wahai manusia, bertobatlah kamu semua kepada Allah, karena aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.”
“Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima tobatnya.”
“Sesungguhnya Allah membentangkan Tangan-Nya di malam hari untuk menerima tobat orang yang berbuat kesalahan di siang hari, dan membentangkan Tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat orang yang berbuat kesalahan di malam hari, hingga matahari terbit dari barat.”
“Sungguh Allah lebih berbahagia dengan tobat hamba-Nya yang beriman daripada seseorang yang berada di tempat sepi dan rawan bahaya bersama hewan tunggangannya yang memuat makanan dan minumannya, kemudian ia tertidur. Saat ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya hilang. Lalu ia mencarinya hingga ia kehausan. Kemudian ia berkata, ‘Aku akan kembali saja ke tempatku tadi, sampai aku mati.’ Lantas ia letakkan kepalanya di atas lengannya menantikan mati. Ketika ia terbangun, ternyata hewan tunggangannya sudah berada di sisinya lengkap dengan makanan dan minumannya. Dan Allah lebih berbahagia dengan tobat hamba-Nya yang beriman daripada kebahagiaan orang tersebut dengan kembalinya hewan tunggangannya beserta bekalnya.”
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa para malaikat memberikan ucapan selamat kepada Nabi Adam atas tobatnya, ketika Allah menerima tobatnya
Muraqabah
Seorang muslim mengondisikan dirinya dengan muraqabah (merasa diawasi) Allah dan melaziminya dalam setiap waktu dari kehidupannya hingga sempurna keyakinannya bahwa Allah mengetahui dirinya, mengetahui rahasia-rahasia dirinya, mengawasi semua amal perbuatannya, serta memerhatikan dirinya dan memerhatikan setiap jiwa atas apa yang telah dikerjakannya.
Dengan semua itu, jiwa seorang mukmin selalu asyik dalam memerhatikan keagungan Allah dan kesempurnaan-Nya, merasa senang ketika mengingat-Nya, mendapatkan ketenteraman ketika taat kepada-Nya, ingin berada di sisi-Nya, datang menghadap-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Inilah yang dimaksud dengan orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah dalam firman-Nya:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan.” (An-Nisa’: 125)
“Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh…” (Luqman: 22)
Inilah intisari yang diserukan Allah dalam firman-Nya:
“,.Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…” (Al-Baqarah: 235)
“..Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (AnNisa: 1)
“Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur‘an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya…” (Yunus: 61)
Serta dalam sabda Rasulullah :
“Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka Dia melihatmu.”
Jalan muraqabah ini juga pernah dilalui oleh para pendahulu kita dari kalangan salaf shalih. Mereka senantiasa merasa diawasi oleh Allah, sehingga keyakinan mereka menjadi sempurna dan berhasil mencapai derajat muqarrabin (hamba-hamba yang didekatkan dengan Allah). Inilah ungkapan-ungkapan para salaf shalih yang menunjukkan kesalehan mereka:
- Al-Junaid pernah ditanya, “Dengan bantuan apa kita bisa menahan pandangan?” Al-Junaid menjawab, “Dengan pengetahuanmu bahwa pandangan Zat yang Maha Melihat lebih cepat daripada penglihatanmu kepada sesuatu yang kamu lihat.”
- Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hendaklah kamu merasa diawasi oleh Zat Yang tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Hendaknya pula kamu menaruh harapan kepada Zat Yang Maha Memenuhi. Dan hendaklah kamu takut kepada Zat Yang Maha Memiliki hukuman.”
- Ibnu Mubarak berkata kepada seseorang, “Wahai fulan, hendaklah kamu selalu merasa diawasi Allah.” Orang itu bertanya kepada Ibnu Mubarak mengenai maksud dari pengawasan Allah, maka Ibnu Mubarak menjawab, “Jadilah selamanya seakan-akan kamu bisa melihat Allah.”
- Abdullah bin Dinar berkata, “Aku pernah pergi ke Mekah bersama Umar bin Khattab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat. Tiba-tiba ada seorang penggembala turun dari gunung mendatangi kami. Umar bin Khattab pun bertanya kepadanya, ‘Wahai penggembala, ‘ juallah seekor dari kambing-kambingmu kepada kami.’ Penggembala menjawab, ‘Kambing-kambing ini milik majikanku.’ Umar bin Khattab berkata, ‘Katakan saja kepada majikanmu, kambingnya telah diterkam serigala.’ Penggembala yang seorang budak itu berkata, ‘Lantas di mana Allah?’ Maka Umar bin Khattab pun menangis. Pada pagi harinya, Umar bin Khattab pergi menemui majikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya.”
- Dikisahkan dari seorang yang saleh, bahwa ia pernah berjalan menjumpai orang-orang yang sedang latihan memanah, dan salah seorang dari mereka ada yang duduk menyendiri. Orang saleh itu menemui laki-laki tersebut dan hendak mengajaknya bicara, tapi laki-laki tersebut lebih dahulu berkata kepadanya, “Berzikir kepada Allah itu lebih nikmat.” Orang saleh itu bertanya kepada laki-laki tersebut, “Apakah kamu sendirian di sini?” Laki-laki itu menjawab, “Bersamaku ada Tuhanku dan dua malaikat.” Orang saleh bertanya lagi, “Siapa yang terdahulu dari orang-orang tersebut?” Laki-laki itu menjawab, “Orang yang diampuni Allah.” Orang saleh bertanya, “Di manakah jalan itu?” Laki-laki tersebut memberi isyarat ke arah langit, lalu ia berdiri dan pergi.
- Dikisahkan bahwa tatkala Zulaikha menyendiri dengan Yusuf, ia pun bangkit menghampiri patungnya, lalu menutupnya dengan kain. Nabi Yusuf bertanya, “Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu malu dari pengawasan benda mati, tapi tidak malu dari pengawasan Allah Yang Mahakuasa?”
Salah seorang salaf shalih menyenandungkan sebuah syair:
Bila engkau menyendiri dengan zaman suatu hari, jangan engkau katakan, ‘Aku telah menyendiri.’
Tapi katakan, ‘Ada yang selalu mengawasiku.’
Janganlah engkau mengira bahwa Allah lengah meski sesaat
Dan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang engkau sembunyikan
Tidakkah kau lihat, bahwa hari ini cepat berlalu
Dan hari esok sudah dekat bagi orang-orang yang menunggunya
Muhasabah (Evaluasi Diri)
Ketika seorang muslim beramal siang dan malam demi kebahagiaannya di negeri akhirat dan membuatnya layak mendapat kemuliaan akhirat serta keridhaan Allah di dalamnya, juga karena dunia adalah tempat beramal, maka wajib baginya untuk melihat ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan pedagang kepada modal usahanya, melihat ibadah-ibadah sunah seperti penglihatan pedagang kepada keuntungan modal usahanya, dan melihat kemaksiatan serta perbuatan dosa seperti halnya kerugian dalam dagangannya. Kemudian, hendaknya ia menyendiri sesaat di setiap akhir harinya untuk mengevaluasi dirinya atas amal perbuatannya sepanjang hari.
Jika ia melihat ada kekurangan dalam mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia mencela dan menegur dirinya, lalu mengganti ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga jika ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus diqadha. Namun, jika ibadah-ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus diqadha, maka ia menggantinya dengan memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunah.
Jika ia melihat ada kekurangan dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunah, maka ia mengganti kekurangannya dan memperbaikinya. Jika ia melihat kerugian lantaran melanggar perkara-perkara yang dilarang, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertobat, dan mengerjakan amal saleh yang ig pandang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah (evaluasi) terhadap diri sendiri, Muhasabah ini merupakan salah satu dari sekian cara untuk perbaikan, pembinaan, penyucian, dan pembersihan jiwa. Dalil-dalil terkait hal ini terdapat di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar para sahabat, di antaranya adalah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18) “Hendaklah setiap orang memerhatikan.” Ayat ini merupakan perintah untuk melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap diri atas apa yang diperbuatnya untuk hari esok yang dinanti-nantikan.
“Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, aku bertobat kepada Allah dan beristighfar kepadaNya dalam satu hari sebanyak seratus kali.” (HR. Abu Dawud)”
Umar bin Khattab am berkata, “Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian dievaluasi.”
Adalah Umar bin Khattab, jika telah tiba waktu malam, ia memukul-mukul kedua telapak kakinya dengan tongkat sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Apa saja yang telah kamu lakukan hari ini tadi?”
Ketika Abu Thalhah disibukkan oleh kebunnya hingga ia melalaikan shalat jamaah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah dari kebunnya tersebut. Tindakan ini ia lakukan sebagai muhasabah terhadap dirinya, serta teguran dan pembinaan terhadap dirinya.
Dikisahkan bahwa Ahnaf bin Qais pernah menghampiri lampu, lalu ia meletakkan jari-jarinya di atas nyali api hingga merasakan panasnya. Kemudian ia berkata kepada dirinya, “Wahai Hunaif, apa yang mendorongmu melakukan ini dan itu pada hari ini? Apa yang mendorongmu melakukan ini dan itu pada hari ini?”
Dikisahkan ada salah seorang saleh ikut berjihad. Tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita, dan ia pun melihatnya. Maka ia segera mengangkat tangannya lalu menampar matanya dan mencukilnya, seraya berkata, “Sungguh kamu benar-benar telah melihat sesuatu yang merugikanmu.”
Salah seorang saleh juga pernah berjalan melewati sebuah rumah. Lalu ia bertanya, “Kapan dibangunnya rumah ini?” Kemudian ia pun segera berkata kepada dirinya, “Kamu telah menanyakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya untuk dirimu. Sungguh, aku menghukummu dengan berpuasa setahun.” Ia pun berpuasa selama setahun.
Diriwayatkan bahwa salah seorang saleh pernah pergi menuju padang pasir yang panas. Lalu ia berguling-guling di atasnya, sambil berkata kepada dirinya, “Rasakanlah ini dan neraka Jahanam itu lebih panas dari padang pasir ini. Apakah kamu akan menjadi bangkai di malam hari dan pengangguran di siang hari?”
Dikisahkan bahwa suatu hari salah seorang saleh menengadahkan kepalanya (penglihatannya) ke atap rumah. Tiba-tiba ia melihat seorang wanita, dan ia pun melihat kepadanya. Maka ia pun menghukum dirinya dengan tidak melihat ke langit sepanjang hidupnya.
Demikianlah keadaan orang-orang saleh terdahulu ‘dari umat ini. Mereka senantiasa mengevaluasi diri sendiri dari sikap berlebih-lebihan, mencela diri sendiri atas kelalaiannya, mewajibkan dirinya untuk bertakwa, dan melarangnya dirinya dari mengikuti hawa nafsu. Hal ini sebagai bentuk realisasi dari firman Allah, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dan (keinginan) hawa nafsunya, Mak sungguh, surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Naziat: 40-41)
Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Seorang muslim mengetahui bahwa musuhnya yang paling berbahaya, ialah hawa nafsu yang berada di antara dua tulang rusuknya. Sebab, tabia, hawa nafsu adalah condong pada keburukan, lari dari kebaikan, dan selalu mendorong untuk melakukan perbuatan keji. Allah berfirman:
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (Yusuf: 53)
Selain itu, tabiat lain dari hawa nafsu ialah senang bermalas-malasan, santai, menganggur, serta tenggelam bersama syahwat dan memperturutkannya demi kenikmatan sesaat sekalipun di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaan.
Jika seorang muslim mengetahui semua ini, maka ia akan mengerahkan dirinya untuk bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang terhadapnya, menghunuskan senjata untuk. melawannya, serta bertekad untuk perjuangan melawan kecerobohannya dan menundukkan syahwatnya.
Jika hawa nafsunya menyenangi kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya melalaikan ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukum dan mencela dirinya, kemudian mewajibkan dirinya melakukan apa yang telah ia lalaikan, atau mengganti apa yang telah ia lewatkan atau tinggalkan.
Ia membawa dirinya ke dalam pembinaan seperti ini hingga dirinya menjadi tenteram, suci, dan baik. Itulah tujuan utama dari mujahadah (kesungguhan) dalam melawan hawa nafsu. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Seorang muslim pada saat bersungguh-sungguh berjuang melawan dirinya agar menjadi baik, bersih, suci, tenteram, dan layak mendapatkan kemuliaan dan keridhaan dari Allah, maka ia mengetahui bahwa ini merupakan jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang saleh dan orang-orang mukmin yang jujur, sehingga ia menempuh jalan tersebut karena ingin meneladani mereka dan mengikuti jejak-jejak mereka.
Rasulullah pernah melakukan shalat malam sampai kedua kakinya bengkak. Lalu Rasulullah pernah ditanya mengenai hal itu, dan beliau pun menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adakah kesungguhan yang lebih besar daripada kesungguhan Rasulullah ini? Demi Allah, tidak akan pernah ada.
Ali bin Abu Thalib pernah menuturkan mengenai para sahabat Rasulullah, “Demi Allah, aku melihat para sahabat Muhammad, dan aku tidak melihat siapa pun yang dapat menyerupai mereka. Pada pagi hari, rambut mereka tampak kusut, berdebu, dan pucat, lantaran mereka menghabiskan malamnya untuk sujud, berdiri shalat, membaca Kitabullah, dan selalu berganti-ganti di antara kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka sedang berzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang pada hari angin bertiup kencang, dan mata mereka bercucuran air mata hingga pakaian mereka basah kuyup.”
Abu Ad-Darda’ berkata, “Kalaulah bukan karena tiga hal, aku tidak ingin hidup walaupun hanya sehari saja; yaitu merasakan haus semata-mata karena Allah di siang hari yang panas, bersujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan bergaul dengan orang-orang yang biasa memilih ucapan-ucapan yang baik, sebagaimana dipilihnya buah-buahan yang bagus.”
Umar bin Khattab pernah mencela dirinya karena ketinggalan Shalat Ashar berjamaah. Lantas Umar menyedekahkan sebidang tanah karena kelalaiannya itu, nilainya sekitar dua ratus ribu dirham.
Abdullah bin Umar am juga pernah ketinggalan shalat jamaah, maka ia menghidupkan seluruh waktu malamnya untuk beribadah. Di hari yang lain, ia terlambat shalat Maghrib sampai munculnya dua bintang. Maka ia pun memerdekakan dua budaknya.
Ali bin Abu Thalib berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang dikira sakit oleh orang lain, padahal mereka tidak sakit.” Hal inj merupakan pengaruh kesungguhan dalam melawan diri.
Rasulullah bersabda:
“Manusia terbaik ialah orang yang umurnya panjang dan amal perbuatannya baik.”
Uwais Al-Qarni berkata, “Ini adalah malam rukuk.” Lalu ia menghidupkan seluruh waktu malam itu dengan rukuk. Ketika tiba malam berikutnya, ia berkata, “Ini adalah malam sujud.” Lalu ia pun menghidupkan seluruh waktu malam itu dengan sujud.
Tsabit Al-Bannani berkata, “Aku pernah menemui beberapa orang di mana salah seorang dari mereka sedang melaksanakan shalat, lalu ia tidak bisa pergi ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Salah seorang dari mereka juga ada yang mengerjakan qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak saking lamanya berdiri. Kesungguhan mereka dalam beribadah sampai pada tingkatan yang jika dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka segera menambah kesungguhan ibadahnya. Jika musim dingin tiba, salah seorang dari mereka berdiri di atap rumah agar ia diterpa hawa dingin sehingga tidak bisa tidur. Dan jika musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar suasana panas membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dari mereka juga ada yang meninggal dunia dalam keadaan sujud.”
Istri Masruq berkata, “Tidaklah Masrug ditemui, kecuali kedua betisnya membengkak karena saking lamanya qiyamul lail. Dan demi Allah, pada saat aku berdiri di belakangnya ketika ia melaksanakan qiyamul lail, maka aku menangis karena merasa kasihan kepadanya.”
Di antara mereka ada salah seorang yang jika telah berumur empat puluh tahun, maka ia melipat kasurnya, dan tidak pernah lagi tidur di atas kasur itu.
Diriwayatkan bahwa ada seorang istri dari para salaf shalih yang bernama Ajrah yang telah buta. Jika tiba waktu sahur, maka ia berdoa dengan suara yang menyedihkan, “Kepada-Mu orang-orang ahli ibadah menghabiskan kegelapan malam untuk berlomba menuju rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Dengan-Mu Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dan tidak kepada selain-Mu, agar Engkau menjadikanku orang terdepan dalam rombongan orang-orang yang tercepat (dalam hal kebaikan), agar Engkau mengangkat-Ku ke sisi-Mu di ‘illiyyin, di derajat makhluk-makhluk yang didekatkan kepada-Mu, dan agar Engkau menyusulkanku kepada hamba-hamba-Mu yang saleh. Engkaulah Zat yang paling penyayang di antara para penyayang, Zat yang paling agung dan Zat yang paling mulia, wahai Zat yang Maha Mulia.” Kemudian, ia pun bersujud dan terus berdoa serta menangis sampai menjelang waktu shalat Subuh.
Adab kepada Orang tua
Orang muslim meyakini adanya hak kedua orang tua pada dirinya, serta adanya kewajiban berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Bukan hanya karena keduanya menjadi penyebab keberadaannya atau karena keduanya telah memberikan banyak kebaikan kepadanya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya dengan yang semisal, tapi karena Allah telah mewajibkan agar seorang muslim menaati, berbakti, dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Sampai-sampai Allah mengaitkan hak kedua orang tua dengan hak diri-Nya yang wajib ditunaikan seorang muslim berupa penyembahan kepada Diri-Nya semata, tidak kepada yang lain. Allah berfirman:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (Al-Isra’: 23)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (Luqman: 14)
Di dalam sebuah hadits disebutkan, seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah orang yang paling berhak atas baktiku?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, “Ayahmu.” (Muttafaq alaih)
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, Allah telah mengharamkan atas kalian sikap durhaka kepada para ibu, menahan dan meminta, dan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Allah juga memakruhkan untuk kalian omong kosong (gosip), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta,”
Nabi bersabda:
“Maukah kalian aku beritahu tentang dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu, Rasulullah sedang bersandar. Lalu beliau duduk dan kembali bersabda, “Ketahuilah (setelah itu ialah) berkata dusta dan kesaksian palsu. Ketahuilah, berkata dusta dan kesaksian palsu.” Nabi terus-menerus mengucapkan kalimat terakhir, hingga Abu Bakrah berkata, “Seandainya saja beliau berhenti.”
Rasulullah bersabda:
“Seorang anak tidak bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali jika ia menemukan ayahnya menjadi hamba sahaya, lalu ia membelinya, dan memerdekakannya.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’ Nabi bersabda, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Nabi bersabda, Jihad di jalan Allah’.”
Ada juga seorang lelaki datang kepada Rasulullah untuk meminta izin ikut berjihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki tersebut menjawab, “Masih hidup.” Beliau bersabda, “Mintalah izin kepada keduanya, lalu berjihadlah.”
Seorang lelaki dari kaum Anshar datang menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada pada diriku kewajiban berbakti kepada kedua orang tuaku sepeninggal mereka berdua?” Rasulullah bersabda, “Ya, ada empat hal: mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya; menunaikan janji keduanya; memuliakan teman-teman keduanya; dan menyambung hubungan kekerabatan yang mana kamu tidak memiliki hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya. Itulah kewajiban berbaktimu kepada keduanya sepeninggal mereka berdua.”
Nabi bersabda:
“Bentuk berbakti yang terbaik ialah seorang anak yang tetap menyambung hubungan kekerabatan dengan orang yang dicintai ayahnya setelah ayahnya meninggal.
Ketika seorang muslim telah mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya, kemudian melaksanakannya dengan sempurna semata-mata karena menaati Allah dan menunaikan perintah-Nya, maka ia juga harus senantiasa menjaga Adab-adab terhadap kedua orang tuanya, yaitu:
- Menaati keduanya dalam semua yang diperintah dan dilarang oleh keduanya, selagi di dalamnya tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah dan menyelisihi syariat-Nya. Sebab, tidak ada kewajiban taat kepada manusia dalam hal yang maksiat Allah. Allah berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15).
Rasulullah bersabda, “Ketaatan itu hanya dalam hal kebaikan.”
Rasulullah juga bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam hal yang maksiat Allah.”
- Menghormati dan memuliakan kedudukan keduanya, merendahkan suara, memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan, tidak menghardik keduanya, tidak mengangkat suara melebihi suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya langsung, tapi dengan panggilan, ‘Ayah dan ibu,’ serta tidak bepergian kecuali dengan izin dan keridhaan keduanya.
- Berbakti kepada keduanya dengan beragam kebaikan dan kebajikan yang mampu ia kerjakan, serta sesuai dengan kesanggupannya, seperti memberi makan dan pakaian kepada keduanya, mengobati penyakit keduanya, mencegah gangguan yang akan menimpa keduanya, dan berkorban untuk kebaikan keduanya.
- Menyambung hubungan kekerabatan yang mana ia tidak memiliki hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya, mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, serta memuliakan teman keduanya.
Adab Terhadap Anak-anak
Seorang muslim mengakui bahwa anak-anak mempunyai beberapa hak atas ayahnya yang wajib ditunaikan seorang ayah kepadanya, juga memiliki beberapa adab yang harus ia jaga di hadapan anak-anaknya. Di antaranya adalah memilihkan ibu yang baik baginya, memberinya nama yang baik, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahirannya, mengkhitankannya, menyayanginya, lemah-lembut terhadapnya, menafkahinya, mendidiknya dengan baik, mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan dan ajaran-ajaran Islam, melatihnya untuk mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunah berikut Adab-adabnya, menikahkannya jika telah balig, memberi penawaran kepadanya antara hidup di bawah pemeliharaannya atau mandiri (pascanikah), danmembangun kemuliaanny, dengan tangannya sendiri. Semua ini berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Dalil Al-Qur’an
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah: 233)
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk melindungi keluarga dari api neraka, yaitu dengan cara menaati Allah az. Ketaatan kepada Allah mengharuskan seseorang mengetahui Hal-hal yang di dalamnya Allah wajib ditaati, sedangkan yang demikian ini tidak bisa diketahui tanpa adanya pengajaran.
Mengingat anak termasuk keluarga seorang ayah, maka ayat ini juga menjadi dalil atas wajibnya seorang ayah untuk mengajari anaknya, membinanya, membimbingnya, membawanya kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhkannya dari kekafiran, kemaksiatan, kerusakan, dan keburukan, agar seorang ayah bisa melindungi anaknya dari siksa neraka.
Di dalam ayat yang pertama, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya,” mengandung dalil tentang wajibnya seorang ayah menafkahi anaknya, karena nafkah yang wajib diterima oleh ibu yang menyusui disebabkan ibu tersebut menyusui anaknya.
Allah juga berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin…” (Al-Isra’: 31)
Dalil As-Sunnah
Rasulullah bersabda tatkala ditanya tentang dosa terbesar:
“Kamu menjadikan tuhan tandingan bagi Allah, padahal Allahlah yang menciptakanmu, atau kamu membunuh anakmu karena khawatir ia makan bersamamu, atau engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
Larangan untuk membunuh anak-anak menuntut seorang ayah menyayangi anak-anaknya, lemah-lembut terhadap mereka, serta menjaga badan, akal, dan jiwa mereka. Rasulullah bersabda mengenai aqiqah untuk seorang anak:
“Seorang anak itu tergadaikan dengan hewan aqiqah yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, ia diberi nama pada hari tersebut, dan rambutnya dicukur.”
Rasulullah bersabda:
“Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.”
“Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan baik, karena anak-anak kalian adalah hadiah untuk kalian.”
“Samakan anak-anak kalian dalam hal pemberian, karena kalaulah aku boleh mengutamakan seseorang, maka aku akan mengutamakan anak-anak perempuan.’”
“Perintahlah anak kalian untuk mengerjakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Atsar para sahabat Diriwayatkan dalam sebuah atsar, “Hak anak atas ayahnya adalah hendaknya sang ayah mendidiknya dengan baik dan memberinya nama yang baik.” Umar bin Khattab berkata, “Di antara hak anak atas ayahnya ialah hendaknya sang ayah mengajarinya menulis, memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang halal dan baik.”
Diriwayatkan juga salah satu perkataan dari Umar am, “Menikahlah dalam perawatan yang baik, karena akhlak ayah itu menurun kepada anaknya.”
Seorang Arab baduwi telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan memilihkan seorang ibu yang baik, lalu ia berkata:
Kebaikanku yang pertama untuk kalian ialah pilihanku
Terhadap wanita berakhlak mulia dan tampak kesuciannya
Adab-adab Terhadap Saudara
Seorang muslim berpandangan bahwa adab kepada saudara sama seperti adab kepada ayah dan anak. Oleh karenanya, adab seorang adik kepada kakaknya sama seperti adabnya kepada ayahnya, dan adab seorang kakak kepada adiknya sama seperti seorang ayah kepada anaknya. Adab ini berlaku dalam masalah hak, kewajiban, dan etika. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Hak seorang kakak atas adiknya adalah sama seperti hak seorang ayah atas anaknya.”
“Berbaktilah kepada ibumu dan ayahmu, kemudian saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu, kemudian kepada yang ada di bawahmu dan yang di bawahmu.”
Adab Terhadap Suami atau Istri
Seorang muslim mengakui adanya adab timbal balik antara suami dan istri, dan Adab-adab tersebut merupakan hak masing-masing dari keduanya atas pasangannya. Sebagaimana Allah berfirman:
“..Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan di atas mereka…” (Al-Baqarah: 228)
Ayat yang mulia ini menetapkan adanya hak bagi masing-masing dari keduanya atas pasangannya. Sedangkan untuk suami (laki-laki) mendapat kekhususan dengan diberi tambahan derajat atas wanita (istri) karena beberapa tanggung jawab khusus.
Rasulullah bersabda pada saat Haji Wada’:
“Ketahuilah, bahwa kalian memiliki hak-hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian juga memiliki hak-hak atas kalian.”
Hanya saja, hak-hak tersebut sebagiannya sama-sama dimiliki di antara suami-istri dan sebagiannya khusus untuk masing-masing dari keduanya secara terpisah. Hak-hak yang sama-sama dimiliki di antara suami-istri adalah sebagai berikut:
- Amanah.
Masing-masing dari suami-istri harus memiliki sikap amanah terhadap pasangannya, sehingga tidak boleh mengkhianatinya sedikit maupun banyak. Sebab, suami istri itu serupa dengan dua orang yang bersekutu, sehingga harus ada sifat amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam seluruh urusan keduanya, baik yang bersifat khusus maupun umum.
- Kasih Sayang.
Hendaknya secara timbal balik masing-masing dari suami-istri memberikan kadar terbesar dari kasih sayang yang tulus dan sempurna kepada pasangannya sepanjang hidupnya. Sebagai realisasi dari firman Allah, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21).
Saling berbagi kasih sayang juga merupakan realisasi dari sabda Rasulullah:
“Siapa yang tidak menyayangi ia tidak akan disayangi.”
- Saling mempercayai.
Yaitu, masing-masing suami-istri memberikan kepercayaan penuh kepada pasangannya serta tidak boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Al Hujurat: 10).
Rasulullah bersabda:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Sedangkan ikatan suami-istri itu dapat memperkuat dan mengukuhkan ikatan iman.
Dengan adanya sikap saling mempercayai, maka masing-masing suami-istri merasa bahwa dirinya adalah sama dengan pribadi pasangannya. Lantas, bagaimana ia tidak mempercayai dirinya sendiri dan tidak menasihatinya? Atau bagaimana bisa ia mengkhianati dirinya sendiri dan menipunya?
- Beberapa adab umum,, seperti lemah lembut dalam pergaulan, bermanis muka, baik dalam berucap, serta saling menghargai dan menghormati. Ini semua yang dimaksud dengan pergaulan menurut cara yang baik yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.” (An-Nisa’: 19).
Itulah sikap memberikan wasiat kebaikan yang diperintahkan Rasulullah dalam sabdanya:
“Saling berwasiatlah dengan kebaikan terhadap para wanita.”
Inilah beberapa adab yang sama-sama harus dijaga oleh masing-masing suami-istri, dan harus dilakukan secara timbal balik di antara keduanya sebagai realisasi dari perjanjian kuat (ikatan pernikahan) yang diisyaratkan dalam firman Allah:
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri) Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (An-Nisa’: 21)
Juga sebagai wujud ketaatan kepada Allah a yang berfirman:
“..Dan janganlah kamu lupakan kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 237)
Adapun hak-hak khusus, dan Adab-adab yang harus dijaga oleh masing-masing suami-istri terhadap pasangannya adalah sebagai berikut:
Hak-hak istri atas suami
Seorang suami wajib menjalankan Adab-adab berikut ini terhadap istrinya:
Pertama: Mempergaulinya dengan cara yang patut. Ini berdasarkan firman Allah :
“..Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut…” (AnNisa’: 19)
Seorang suami harus memberi istrinya makan jika ia makan dan memberinya pakaian jika ia berpakaian. Serta mendidiknya jika ia khawatir istrinya melakukan perbuatan membangkang dengan pendidikan yang telah diperintahkan Allah kepadanya, seperti menasihatinya tanpa mencaci-maki, menghina atau menjelek-jelekkannya.
Jika sang istri tidak mau taat kepadanya, maka ia boleh berpisah ranjang dengannya. Jika istri tetap tidak mau taat, ia boleh memukulnya pada selain wajah dengan pukulan yang tidak melukainya, tidak mengalirkan darah, tidak meninggalkan luka, atau menjadikan salah satu organ tubuhnya tidak berfungsi. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.” (An-Nisa’: 34)
Juga sabda Rasulullah kepada orang yang bertanya kepada beliau, “Apa saja hak istri salah seorang di antara kami atas dirinya?” Beliau menjawab:
“Hendaknya kamu memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak meninggalkannya kecuali di dalam rumah (pisah ranjang)”
Sabda Rasulullah:
“Ketahuilah bahwa hak-hak para istri atas kalian ialah sedang kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal memberi makan dan pakaian kepada mereka.”
Sabda Rasulullah:
“Seorang mukmin tidak boleh membenci istrinya, karena jika ia membenci sesuatu darinya, pasti ia menyenangi sesuatu yang lainnya.’”
Kedua: Mengajarinya perkara-perkara penting dalam agama jika istri belum mengetahuinya. Atau memberikan kesempatan kepada istri untuk menghadiri majelis-majelis ilmu untuk mempelajarinya. Sebab, kebutuhan istri untuk memperbaiki kualitas agamanya dan menyucikan jiwanya tidaklah lebih sedikit daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minuman yang wajib diberikan kepadanya. Semua ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Jadi, seorang istri juga termasuk bagian dan keluarga. Adapun penjagaan terhadap istri dari api neraka ialah dengan iman dan amal saleh. Sedangkan amal saleh harus berdasarkan ilmu dan pengetahuan, sehingga ia bisa melaksanakannya sesuai yang dituntut oleh syariat.
Juga berdasarkan sabda Rasulullah:
“Ketahuilah, hendaklah kalian saling memberikan wasiat kebaikan kepada para istri, karena mereka adalah ibarat tawanan-tawanan kalian.’?”
Di antara bentuk memberikan wasiat kebaikan kepada istri ialah mengajarkan perkara-perkara yang dapat memperbaiki kualitas agamanya, serta mendidiknya dengan didikan yang bisa menjamin dirinya tetap istiqamah dan urusannya menjadi baik.
Ketiga: Mewajibkan istri untuk menjalankan seluruh ajaran dan syariat Islam, serta membuat dirinya berpegang teguh dengan hal tersebut.
Seorang suami harus melarang istrinya dari membuka aurat, tabarruj (berhias), dan bergaul bebas (ikhtilath) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. la juga harus memberikan perlindungan dan penjagaan yang cukup kepadanya, sehingga ia tidak rela istrinya menjadi rusak dalam hal akhlak atau agamanya, dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk perbuat kefasikan atau kefajiran terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, suami adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas istrinya dan diberi tugas untuk menjaganya dan melindunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri)” (An-Nisa’: 34)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah:
“Seorang suami adalah pemimpin di keluarganya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Keempat: Berbuat adil kepada istrinya dan madunya, jika ia mempunyai istri lebih dari satu. Ia harus berbuat adil terhadap mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, rumah, dan tidur diranjang. Ia tidak boleh bersikap zalim sedikit pun dalam perkara-perkara tersebut, karena telah diharamkan Allah dalam firman-Nya:
“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.” (An-Nisa’: 3)
Rasulullah juga telah mewasiatkan untuk memperlakukan istri-istri dengan baik, dalam sabdanya:
“Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik dari kalian terhadap keluarganya.”
Kelima: Tidak menyebarkan rahasia istrinya dan tidak membeberkan aibnya. Sebab, suami adalah orang yang diberi kepercayaan terhadap Sang istri, dan senantiasa dituntut untuk menjaga dan melindunginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Yang termasuk manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah ialah seorang suami dan istri yang berhubungan badan, kemudian suami menyebarkan rahasia hubungan tersebut.”
Kedua: Hak-hak suami atas istri Seorang istri wajib menjalankan hak-hak suami dan menjaga Adab-adab terhadapnya seperti berikut ini:
Pertama: Menaatinya selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah. Allah berfirman:
“…Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya…” (An-Nisa’: 34)
Rasulullah bersabda:
‘Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, tapi sang istri tidak mendatanginya sehingga suaminya marah kepadanya semalaman, maka istrinya mendapatkan laknat dari para malaikat hingga pagi harinya.”
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, pasti akan aku suruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”
Kedua: Melindungi harga diri suami dan menjaga kemuliaannya, serta mengatur urusan harta, anak-anak, dan urusan rumah tangga yang lainnya. Allah berfirman:
“Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)” (An-Nisa’: 34)
Rasulullah bersabda:
“Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya.”
“Hak kalian atas istri-istri kalian ialah hendaknya istri-istri kalian tidak membentangkan alas (duduk) kalian untuk orang-orang yang kalian benci, dan mereka tidak boleh memberi izin masuk ke rumah kalian kepada orang-orang yang tidak kalian sukai.”
Ketiga: Tetap berada di rumah suami, sehingga ia tidak keluar kecuali atag izin dan keridhaannya. Ia juga harus menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga tangannya dari berbuat jahat, menjaga lisannya dari ucapan kotor, serta bergaul secara baik dengan kerabat suami yang juga bergaul secara baik dengannya. Sebab, seorang istri tidak akan berbuat baik kepada suaminya jika ia berbuat jahat kepada orang tua dan kerabat suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
“.Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya…” (Al-Ahzab: 32)
“Allah tidak menyukai perkataan buruk…” (An-Nisa’: 148)
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…” (An-Nur: 31)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah:
“Istri terbaik ialah jika kamu memandangnya, ia membuatmu senang. Jika kamu memerintahnya, ia menaatimu. Jika kamu tidak berada di sisinya, la menjagamu dengan menjaga dirinya dan hartamu.”
“Janganlah kalian melarang para wanita hamba-hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah. Dan, jika istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah sang suami melarangnya.”
“Berilah izin kepada para istri untuk pergi ke masjid pada malam hari.”
Adab Terhadap Para Kerabat
Seorang muslim harus menjaga sopan santun kepada para kerabat seperti halnya ia menjaga sopan santun kepada orang tua, anak-anak, dan saudara-saudaranya. Sehingga, ia bergaul dengan bibi dari jalur ibunya sebagaimana ia bergaul dengan ibunya sendiri, serta bergaul dengan bibi dari jalur ayahnya sebagaimana ia bergaul dengan ayahnya sendiri.
Sebagaimana ia bergaul secara baik dengan ayah dan ibunya, ia juga bergaul secara baik dengan paman dari jalur ibunya dan paman dari jalur ayahnya dalam segala aspek ketaatan kepada orang tua, berbakti kepada keduanya, dan memuliakannya.
Jadi, semua orang yang disatukan dengan dirinya dalam satu kekerabatan, baik mukmin ataupun kafir, maka ia harus menganggap mereka semua sebagai kerabat yang ia wajib menyambung hubungan kekerabatan dengan mereka, serta berbakti dan berbuat baik kepada mereka. Ia juga harus menjaga Adab-adab dan hak-hak kepada mereka seperti halnya Adab-adab dan hak-hak yang ia jaga kepada anak-anak dan kedua orang tuanya.
Ia harus menghormati orang-orang tua di antara para kerabatnya menyayangi anak-anak kecil dari para kerabatnya, menjenguk orang yang sakit di antara mereka, membantu mereka yang mendapatkan musibah, menghibur mereka yang bersedih hati, menyambung hubungan kekerabatan dengan mereka jika mereka memutuskannya, serta lemah lembut kepada mereka sekalipun mereka bersikap keras terhadapnya dan menzaliminya.
Semua adab yang ia lakukan selaras dengan apa yang telah disebutkan dan diperintahkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia dan hadits-hadits nabawiyah.
Allah berfirman:
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.” (An-Nisa’: 1)
“Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah.” (Al-Ahzab: 6)
“Maka apakah kiranya kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Muhammad: 22)
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ar-Rum: 38)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat.” (An-Nahl: 90)
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukannya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki…” (An-Nisa’: 8)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkahlah kepada mereka perkataan yang baik.” (An-Nisa’: 8)
Rasulullah bersabda:
“Allah berfirman, ‘Aku adalah Ar-Rahman, sedangkan Ar-Rahim (kerabat) ini telah Aku beri nama dengan pecahan kata yang aku ambilkan dari nama-Ku. Oleh karenanya, siapa yang menyambung hubungan dengannya, maka Aku akan menyambungnya, dan siapa yang memutuskan hubungan dengannya, maka Aku pun memutuskannya’.”
Salah seorang sahabat ada yang bertanya kepada Rasulullah, “Siapa yang aku harus berbakti kepadanya?” Rasulullah bersabda:
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian para kerabat, dan para kerabat berikutnya.”
Rasulullah juga pernah ditanya mengenai amalan-amalan yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkan dari neraka. Maka beliau bersabda:
“Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan menyambung hubungan kekerabatan.’”
Rasulullah juga pernah bersabda mengenai bibi dari jalur ibu:
“Sesungguhnya, kedudukan bibi sama seperti ibu kandung.”
Rasulullah bersabda:
“Bersedekah kepada orang miskin adalah (hanya dihitung sebagai) sedekah, sedangkan sedekah kepada para kerabat adalah (dihitung sebagai) sedekah dan menyambung hubungan kekerabatan.”
Rasulullah bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar yang bertanya mengenai menyambung hubungan dengan ibunya ketika ibunya yang musyrik datang kepadanya dari Mekah. Beliau bersabda, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.”
Adab Terhadap Tetangga
Seorang muslim mengakui adanya hak-hak dan Adab-adab dari tetangga atas tetangga yang lain. Dari dua pihak yang bertetangga wajib memenuhi hak dan adab tersebut secara sempurna, sebagaimana Allah berfirman:
“Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh.” (An-Nisa’: 36)
Rasulullah bersabda:
“Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira bahwa ia akan mewarisinya.”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”
Beberapa adab terhadap tetangga adalah sebagai berikut:
- Tidak menyakiti tetangga.
- Berbuat baik kepada tetangga.
- Memuliakan tetangga.
- Menghormati dan menghargai tetangga.
Tidak menyakiti tetangga. Yakni, Tidak menyakitinya dengan ucapan maupun perbuatan, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ig menyakiti tetangganya.”
Rasulullah bersabda, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. “Beliau ditanya, “Siapakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan-gangguannya.”
Rasulullah bersabda, “Wanita itu masuk neraka,” yang ditujukan kepada seorang wanita yang diceritakan kepada beliau bahwa ia biasa berpuasa di siang hari dan melaksanakan qiyamul lail, tapi ia sering menyakiti tetangganya.”
Berbuat baik kepada tetangga. Yakni berbuat baik dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan; membantunya jika ia meminta bantuan; menjenguknya jika ia sakit; mengucapkan selamat kepadanya jika ia sedang bergembira; menghiburnya jika ia sedang mendapatkan musibah; membantunya jika ia membutuhkan; memulai mengucapkan salam kepadanya; berlemah-lembut kepadanya dalam berbicara; ramah saat berbicara dengan ayahnya; mengarahkannya kepada perkara-perkara yang di dalamnya mengandung kebaikan agama dan dunianya; menjaga sekelilingnya dan tempat perlindungannya; memaafkan kesalahannya; tidak mengintip auratnya; tidak membuatnya merasa kesempitan dalam hal bangunan rumah atau jalan; serta tidak mengganggunya dengan saluran air yang mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya. Semua perbuatan ini merupakan sikap berbuat baik kepada tetangga yang telah diperintahkan dalam firman Allah:
“. Tetangga dekat dan tetangga jauh…” (An-Nisa’: 36)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”
Memuliakan tetangga. yakni memuliakannya dengan memberikan kebaikan kepadanya. Berdasarkan sabda Rasulullah
‘Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya yang lain, sekalipun hanya berupa ujung kuku kambing.”
Sabda beliau kepada Abu Dzar as:
“Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak kuah, perbanyaklah airnya, dan berilah tetanggamu.”
Sabda beliau tatkala Aisyah bertanya kepada beliau, “Aku memiliki dua tetangga, maka manakah dari keduanya yang aku beri hadiah?” Rasulullah bersabda, “Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat denganmu.”
Menghormati dan menghargai tetangga. Seseorang tidak melarang tetangganya yang ingin meletakkan kayu pada dindingnya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang melekat dengan temboknya, dan tidak mendekat ke dindingnya hingga ia menawarkan dan memusyawarahkan hal itu kepadanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Janganlah salah seorang dari kalian melarang tetangganya yang ingin meletakkan kayu di dinding rumahnya,”
Sabda Rasulullah :
“Barang siapa mempunyai tetangga dalam satu dinding atau berserikat, maka ia tidak boleh menjualnya, sebelum ia menawarkannya kepadanya.”
Dua faedah dalam menjaga adab terhadap tetangga:
Pertama: Seorang muslim dapat mengenal dirinya jika ia telah berbuat baik kepada tetangganya atau berbuat buruk terhadap mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Jika kamu mendengar para tetanggamu berkata bahwa kamu telah berbuat baik, maka kamu memang telah berbuat baik. Namun, jika kamu mendengar mereka berkata bahwa kamu berbuat buruk, maka kamu memang telah berbuat buruk.”
Kedua: Jika seorang muslim diuji dengan tetangga yang jahat, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, kesabarannya akan menjadi penyebab keselamatannya. Seorang lelaki pernah datang menemui Rasulullah mengadukan tentang sikap tetangganya. Beliau bersabda kepadanya, “Bersabarlah!” Setelah itu, lelaki itu menemui Rasulullah untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Maka Rasulullah bersabda, “Buanglah barangmu di jalan.” Lelaki itu pun membuang barangnya di jalan. Sehingga, orang-orang yang berjalan melewatinya bertanya-tanya, “Ada apa denganmu?” Lelaki itu menjawab, “Tetanggaku telah menyakitiku.” Orang-orang pun mencela dan melaknat tetangga lelaki tersebut. Lalu tetangganya mendatangi lelaki tersebut dan berkata kepadanya, “Kembalikan barangmu ke rumah. Demi Allah, aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi.”
Adab-adab terhadap seorang muslim dan hak-haknya
Seorang muslim meyakini bahwa saudara sesama muslimnya mempunyai hak-hak dan Adab-adab yang wajib baginya untuk saudaranya tersebut. Sehingga ia menjaga hak dan adab tersebut serta menunaikannya kepada saudara sesama muslimnya. la juga meyakini bahwa hal itu adalah salah satu bentuk dari beribadah kepada Allah a, dan bentuk pendekatan dirinya kepada Allah. Sebab, hak-hak dan Adab-adab ini telah Allah wajibkan kepada seorang muslim agar ia menunaikannya terhadap saudaranya sesama muslim. Jadi, menunaikan hak-hak dan Adab-adab tersebut adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan bentuk pendekatan dirinya kepada Allah, tanpa ada keragukan sedikit pun.
Di antara Adab-adab dan hak-hak yang harus kita penuhi kepada orang Islam yang lain adalah:
- Mengucapkan salam.
- Mendoakan jika ia bersin.
- Menjenguknya jika sakit.
- Menghadiri penguburan jenazah saudara semuslim.
- Memenuhi janji kita kepadanya.
- Memberi nasihat jika ia meminta.
- Mencintainya seperti kita mencintai diri sendiri.
- Menolongnya saat ia membutuhkan.
- Tidak menyakitinya.
- Bersikap tawadhu’ kepadanya.
- Tidak mendiamkannya lebih dari tiga hari.
- Tidak menggunjing, mencela atau menghina nya.
- Tidak mencacinya tanpa alasan, baik saat hidup maupun setelah meninggal.
- Tidak menaruh dengki dan berburuk sangka kepadanya.
- Tidak menipunya.
- Tidak mengkhianatinya.
- Mempergaulinya dengan akhlak yang baik.
- Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
- Memperlakukannya dengan adil.
- Memaafkan kesalahannya dan menutupi aibnya.
- Membantunya ketika membutuhkan.
- Memberinya perlindungan jika ia meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah.
Mengucapkan salam. Hendaknya seorang muslim mengucapkan salam jika ia bertemu dengan saudaranya semuslim sebelum berbicara kepadanya, dengan mengucapkan, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah.” Lalu menjabat tangannnya. Sedangkan orang yang diberi ucapan salam, menjawab salamnya dengan mengucapkan, “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh.” Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya.” (An-Nisa’: 86)
Sabda Rasulullah:
“Orang yang menaiki kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit mengucapkan salam kepada orang yang banyak.”
“Para malaikat merasa heran kepada seorang muslim yang menjumpai muslim lainnya, namun ia tidak mengucapkan salam kepadanya.”
“Dan ucapkanlah salam kepada orang yang kamu kenal, dan yang tidak kamu kenal.”
‘Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu lalu keduanya berjabat tangan, melainkan keduanya diampuni sebelum berpisah.’
“Barang siapa mengawali pembicaraan sebelum mengucapkan salam, maka janganlah kamu menjawabnya sebelum ia memulainya dengan ucapan salam.”
Mendoakannya jika saudara semuslim yang lain bersin. Jika seorang muslim bersin dan mengucap alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka doakanlah dengan mengucapkan, yarhamukallahu (semoga Allah merahmatimu). Orang yang bersin mengucapkan, Yaghfirullahu li wa laka (semoga Allah memberi ampunan kepadaku dan kepadamu), atau mengucap, Yahdikumullahu wa yushlihu balakum (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki hatimu). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
‘Jika salah seorang dari kalian bersin, maka hendaklah saudaranya yang lain mendoakan, ‘Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu).’ Jika saudaranya telah mengatakan, ‘Yarhamukallah,’ maka hendaklah orang yang bersin tadi mengucapkan, ‘Yahdikumullahu wa yushlihu balakum (Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki hatimu)’.’
Abu Hurairah berkata:
“Jika Rasulullah bersin, maka beliau meletakkan tangannya atau pakaiannya pada mulutnya dan memelankan suaranya.”
Menjenguknya jika sakit. Hendaknya ia menjenguk saudaranya semuslim yang sakit dan mendoakan untuk kesembuhannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”
Al-Barra’ bin Azib berkata, “Rasulullah telah memerintahkan kepada kita untuk menjenguk orang sakit, mengiringkan jenazah, mendoakan orang yang bersin, membebaskan orang yang bersumpah, menolong orang yang terzalimi, memenuhi undangan, dan menyebarkan ucapan salam.”
Rasulullah bersabda:
“Jenguklah orang sakit, berilah makan orang yang lapar, dan bebaskan para tawanan.”
Aisyah berkata, “Rasulullah pernah menjenguk sebagian keluarganya. Lalu beliau mengusap dengan tangan kanannya seraya berdoa, ‘Allahumma Tuhana an-nas adzhibil ba’sa isyfi anta asy-syafi la syifa’a illa syifa’uka syifa’an la yughadiru saqaman (Ya Allah Tuhan manusia, hilangkan musibah, dan sembuhkanlah, karena Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit)’.”
Menghadiri penguburan jenazah orang Islam. Hendaknya seorang muslim turut menghadiri penguburan jenazah saudaranya semuslim yang meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”
Memenuhi janji kita kepadanya. Seorang muslim hendaknya memenuhi sumpah janjinya jika ia berjanji kepadanya dengan sumpah dalam Hal-hal yang tidak dilarang. Yaitu dengan cara mengerjakan apa yang disumpahkannya kepada saudaranya supaya ia tidak melanggar sumpahnya. Hal itu berdasarkan hadits Al-Barra’ bin Azib yang berkata, “Rasulullah memerintahkan kita untuk menjenguk orang sakit, mengiringkan jenazah, mendoakan orang yang bersin, membebaskan orang yang bersumpah, menolong orang yang terzalimi, memenuhi undangan, dan menyebarkan salam.”
Menasihatinya jika diminta untuk menasihati. Seorang muslim hendaknya memberi nasihat jika dimintai nasihat oleh saudaranya semuslim dalam suatu urusan atau perkara. Maksudnya, menjelaskan apa yang ia pandang baik dan benar dalam satu perkara. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
‘Jika salah seorang dari kalian dimintai nasihat oleh saudaranya, hendaklah ia memberi nasihat kepada saudaranya itu.”
“Agama itu nasihat.” Beliau ditanya, “Untuk siapa saja?” Nabi bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin yang lain.’” Seorang muslim sudah pasti termasuk bagian dari mereka. Mencintainya seperti kita mencintai diri sendiri. Seorang muslim hendaknya mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti mencintai sesuatu untuk dirinya sendiri, dan membenci sesuatu untuk saudaranya seperti membenci sesuatu untuk dirinya sendiri.
Rasulullah bersabda:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum ia mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintainya untuk dirinya sendiri dan membenci sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia membencinya untuk dirinya sendiri.”
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, berkasih sayang, dan lemah lembut seperti halnya satu badan. Jika salah satu anggota badannya sakit, maka seluruh anggota badan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.”
“Seorang mukmin bagi orang mukmin lainnya adalah laksana sebuah bangunan yang mana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain,”
Menolongnya saat membutuhkan. Seorang muslim hendaknya memberikan pertolongan kepada saudaranya semuslim dan tidak menelantarkannya dalam keadaan apa pun saat ia membutuhkan pertolongan dan bantuan. Rasulullah bersabda:
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau terzalimi.
Rasulullah ditanya mengenai cara menolong orang yang berbuat zalim. Maka beliau bersabda, “Kamu tahan tangannya maksudnya, kamu menahan dan mencegahnya dari berbuat zalim itulah pertolonganmu kepadanya.” Rasulullah bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. ia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menelantarkannya, dan tidak boleh menghinanya.”
“Tidaklah seorang muslim menolong orang muslim lainnya dalam suatu hal yang di dalamnya kehormatannya dilecehkan, dan keharamannya dihalalkan, melainkan Allah akan menolongnya dalam suatu hal yang ia senang ditolong di dalamnya. Tidaklah seorang muslim menelantarkan orang muslim lainnya dalam suatu hal yang di dalamnya kehormatannya dilecehkan, melainkan ia akan ditelantarkan Allah dalam suatu hal yang ia senang ditolong di dalamnya.’
“Barang siapa membela harga diri saudaranya, maka Allah melindungi wajahnya dari neraka pada hari Kiamat kelak.”
Tidak menyakitinya. Hendaknya seorang muslim tidak menimpakan keburukan atau sesuatu yang tidak ia senangi kepadanya. Rasulullah bersabda:
“Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
“Seorang muslim tidak halal menakut-nakuti orang muslim lainnya.”
“Seorang muslim tidak dihalalkan menunjuk orang muslim lainnya dengan pandangan yang menyakitinya.”
“Sesungguhnya, Allah membenci tindakan menyakiti orang-orang yang beriman,”
“Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari (gangguan) lisannya dan tangannya.”
“Orang mukmin ialah orang yang kaum mukminin lainnya merasa aman terhadap jiwa dan harta mereka.”
Bersikap tawadhu’ kepadanya. Seorang muslim hendaknya rendah diri dan tidak sombong di depan saudaranya semuslim, serta tidak menyuruhnya berdiri dari tempat duduknya agar ia bisa duduk menggantikannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman: 18)
Sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya, Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’, sehingga salah seorang dari kalian tidak bersikap sombong terhadap yang lainnya.”
“Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.”
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Rasulullah selalu bersikap tawadhu’ kepada setiap muslim, padahal beliau adalah pemimpinnya para rasul. Beliau juga tidak pernah bersikap meremehkan orang lain dan tidak angkuh untuk berjalan dengan para janda dan orang-orang miskin serta memenuhi kebutuhan mereka. Beliau bersabda:
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikan aku dalam keadaan miskin pula, serta kumpulkan aku bersama rombongan orang-orang miskin.”
Sabda Rasulullah:
“Janganlah salah seorang di antara kalian menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia menduduki tempat itu. Namun perluaslah dan lapangkanlah tempat duduk kalian.”
Tidak mendiamkannya lebih dan tiga hari. Hendaknya seorang muslim tidak mendiamkan saudaranya semuslim lebih dari tiga hari, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya berjumpa, lalu salah seorang darinya berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Sedangkan orang terbaik di antara keduanya ialah orang yang mau memulai mengucapkan salam.”
“Dan janganlah kalian saling membelakangi, namun jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Saling membelakangi adalah saling mendiamkan dan menampakkan bagian belakang badan kepada orang lain serta berpaling darinya.
Tidak menggunjing, mencela, dan menghinanya. Hendaknya seorang muslim tidak menggunjing, menghina, mencaci, menjelek-jelekkan, memanggil dengan gelar yang buruk, atau memfitnah saudaranya semuslim dengan suatu kejadian yang menghancurkan nama baiknya. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik…” (Al-Hujurat: 12)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolokolokkan,) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok) Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang orang yang zalim.” (Al-Hujurat: 11)
Rasulullah bersabda, “Apakah kalian tahu apa itu mengghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Penyebutanmu tentang saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya” Rasulullah ditanya kembali, “Apa menurut Anda jika yang ada pada diri saudaraku itu sesuai apa yang aku sebutkan?” Rasulullah bersabda, “Jika yang ada pada dirinya sesuai dengan apa yang kamu sebutkan, sungguh kamu telah mengghibahnya. Namun, jika yang ada pada dirinya tidak sesuai dengan apa yang kamu sebutkan, sungguh kamu telah berdusta terhadapnya.”
Rasulullah bersabda pada saat haji Wada’:
“Sungguh, darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”’
Rasulullah bersabda:
“Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
“Cukuplah seseorang itu dikatakan berbuat keburukan jika ia menghina saudara muslimnya.”
“Tidak akan masuk surga para pengadu domba (pembuat fitnah).” Tidak mencela orang Islam yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hendaknya seorang muslim tidak mencela saudaranya semuslim tanpa alasan yang benar, baik yang masih hidup atau yang telah meniggal dunia. Rasulullah bersabda:
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.’”
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan tuduhan tersebut akan kembali kepada dirinya, jika orang lain yang ia tuduh tidak seperti yang ia tuduhkan.”
“Dua orang yang saling mencela, apa yang keduanya ucapkan, maka (dosanya) bagi orang yang lebih dahulu mencela, sampai orang yang dizalimi membalasnya.’”
“Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah sampai pada apa yang mereka amalkan.”
Rasulullah bersabda, “Yang termasuk dosa-dosa besar ialah seseorang mencela kedua orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Adakah orang yang mencela kedua orang tuanya?” Rasulullah bersabda, “Ada, yaitu seseorang mencela ayah orang lain, lalu orang lain itu balik mencela ayahnya, dan seseorang yang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu balik mencela ibunya.”
Tidak dengki dan berburuk sangka. Hendaknya seorang muslim tidak dengki dan tidak berburuk sangka kepada saudaranya semuslim. Juga tidak membuatnya marah atau mencari-cari aibnya. Berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.” (Al-Hujurat: 12)
“Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu.” (An-Nur: 12)
Sabda Rasulullah
“Janganlah kalian saling mendengki, saling mencari-cari aib, saling membenci, dan saling membelakangi, serta janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan yang lain, tapi jadilah kalian semua sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
“Jauhilah oleh kalian buruk sangka, karena buruk sangka adalah sedusta-dusta ucapan.”
Tidak menipu. Hendaknya seorang muslim tidak menipunya atau memperdayainya. Berdasarkan firman Allah:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
“Dan barang siapa berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (An-Nisa’: 112)
Sabda Rasulullah :
“Siapa saja yang mengangkat senjata melawan kami, maka ia bukan dari golongan kami. Dan siapa saja yang menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.”
“Barang siapa mengadakan persetujuan penjualan denganmu, hendaklah kamu katakan, ‘Tidak boleh ada penipuan’.”
“Tidaklah seorang hamba yang diberi kewenangan oleh Allah untuk memimpin rakyat, kemudian dia mati pada hari kematiannya dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.”
“Barang siapa merusak dan menipu istri seseorang ataupun budaknya, maka ia bukan termasuk dari golongan kami.”
Tidak mengkhianatinya. Hendaknya seorang muslim tidak mengkhianati dan mendustai saudaranya semuslim. Juga tidak menunda. nunda pembayaran hutang kepadanya. Berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (Al-Maidah: 1)
“Orang-orang yang menepati janji apabila berjanji.” (Al-Baqarah: 177)
“Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 34)
Rasulullah bersabda:
“Ada empat hal, barang siapa yang pada dirinya terdapat empat hal ini, maka ia termasuk orang munafik tulen, dan barang siapa pada dirinya terdapat salah satu dari keempat hal ini maka pada dirinya terdapat sifat kemunafikan sampai ia meninggalkan sifat tersebut. Yaitu, jika dipercaya ia berkhianat, jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika bertengkar ia berbuat keji.”
“Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang Aku menjadi musuh baginya pada hari Kiamat: orang yang memberi suatu janji atas nama-Ku kemudian ia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan hasilnya, dan orang yang menyewa buruh kemudian buruh tersebut telah menjalankan tugas darinya, tapi orang itu tidak memberinya upah’.”
“Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezaliman, dan jika piutang salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.”
Mempergaulinya dengan akhlak yang baik. Hendaklah seorang muslim mempergauli saudaranya semuslim dengan akhlak yang baik, yaitu dengan memberikan kebaikan kepadanya, menahan diri dari menyakitinya, menjumpainya dengan wajah berseri-seri, menerima kebaikan darinya. memaafkan kesalahannya, tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak ia punyai, tidak menimba ilmu dari orang bodoh, dan tidak meminta penjelasan dari orang yang tidak mengetahuinya. Allah berfirman:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)
Rasulullah bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada; iringilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kesalahan; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.’”
Menghormati yang tua dan menyayangi yang kecil. Hendaklah Seorang muslim menghormati muslim lainnya yang lebih tua dan menyayangi Yang lebih muda. Rasulullah bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua di antara kita, dan tidak menyayangi yang lebih kecil di antara kita.”
“Di antara bentuk pengagungan terhadap Allah ialah memuliakan orang muslim yang beruban.” Rasulullah juga pernah bersabda, “Kabbir, Kabbir.” Maksudnya, awalilah dengan orang yang lebih tua.
Di antara akhlak-akhlak Rasulullah yang diketahui tentang hal ini adalah, bahwa suatu ketika didatangkan kepada beliau seorang bayi agar beliau mendoakan keberkahannya dan memberinya nama. Maka beliau pun mendudukkannya di atas pangkuannya, meski besar kemungkinan bayi tersebut kencing di pangkuan beliau.
Diriwayatkan dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah datang dari sebuah perjalanan, beliau disambut oleh anak-anak. Lalu beliau berdiri di depan mereka sembari memerintahkan agar mereka digendongkan kepada beliau. Sebagian mereka digendong di bagian depan beliau dan ada yang di belakang beliau. Beliau juga memerintahkan para sahabat agar menggendong sebagian anak-anak kecil yang lain, sebagai rasa kasih sayang beliau terhadap anak-anak kecil. Memperlakukannya dengan adil. Hendaklah seorang muslim memperlakukan saudaranya semuslim dengan adil dan mempergaulinya dengan pergaulan yang ia sendiri senang dengan hal itu. Rasulullah bersabda:
“Seorang hamba tidak dapat menyempurnakan imannya hingga pada dirinya terdapat tiga hal: berinfak saat kikir, berbuat adil terhadap diri sendiri, dan memberikan ucapan salam.”
“Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan masuk surga, maka hendaklah ketika kematian menjemputnya ia dalam keadaan bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, serta hendaklah ia memperlakukan manusia dengan sesuatu yang ia sendiri senang jika diperlakukan dengannya.”
Memaafkan kesalahannya dan menutupi aibnya. Hendaklah seorang muslim memaafkan kesalahan saudaranya, menutupi aibnya, dan tidak memaksa diri mendengarkan pembicaraan yang dirahasiakan olehnya. Allah berfirman:
“…Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Maidah: 13) –
“.. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula)..” (Al-Baqarah: 178)
“Tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah.” (Asy-Syura: 40)
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (An-Nur: 22)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (An-Nur: 19)
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah Allah menambahkan pada orang yang memaafkan, melainkan kemuliaan.”
“Hendaklah kamu mau memaafkan orang yang menzalimimu.”
“Tidaklah seorang hamba menutup aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutup aibnya pada hari Kiamat kelak.’”
‘Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tapi keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, serta jangan mencari-cari aib mereka. Sebab, barang siapa mencari-cari aib saudaranya semuslim, maka Allah akan mencari aibnya, dan barang siapa yang dicari aibnya oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya sekalipun ia berada di dalam rumahnya.”
“Barang siapa mendengarkan pembicaraan satu kaum yang pembicaraannya tidak suka didengar orang lain, maka akan dituangkan ke dalam telinganya timah yang meleleh pada hari Kiamat.”
Membantunya ketika membutuhkan. Seorang muslim hendaknya mengulurkan bantuan kepada saudaranya semuslim yang membutuhkan bantuannya, dan menolongnya dalam memenuhi kebutuhannya jika ia mampu. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Maidah: 2)
“Barang siapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian (pahala)nya.” (An-Nisa’: 85)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa menghilangkan satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah menghilangkan satu kesusahan darinya di hari Kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi kemudahan padanya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya,’”
“Berilah pertolongan pasti kalian akan diberi pahala dan Allah memutuskan melalui lisan Nabi-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya.”
Memberi perlindungan kepada orang yang meminta perlindungan dengan nama Allah. Seorang muslim hendaknya memberikan perlindungan kepada saudaranya semuslim jika ia meminta perlindungan dengan nama Allah; memberinya jika ia meminta dengan nama Allah; dan membalas kebaikannya atau mendoakannya. Rasulullah bersabda:
“Siapa yang meminta perlindungan kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah kalian melindunginya. Siapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah kalian memberinya. Siapa yang mengundang kalian, hendaklah kalian memenuhi undangannya. Dan siapa yang berbuat baik kepada kalian, hendaklah kalian membalasnya. Namun, jika kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, maka berdoalah untuknya, hingga seakan-akan kalian telah memberi balasan kepadanya.”
Adab terhadap orang kafir
Seorang muslim meyakini bahwa semua agama adalah batil dan pemeluknya adalah orang kafir, kecuali agama Islam yang merupakan agama yang benar dan pemeluknya adalah orang-orang mukmin dan orang-orang muslim. Hal itu berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam…” (Ali Imran: 19)
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
“..Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (Al-Maidah: 3)
Berdasarkan informasi dari Allah yang benar ini, seorang muslim mengetahui bahwa semua agama yang ada sebelum Islam telah dihapus dengan Islam. Seorang muslim juga mengetahui bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Allah tidak akan menerima agama selain agama Islam dari siapa pun; Allah tidak meridhai syariat selain syariat Islam.
Dari sinilah, orang muslim berpandangan bahwa siapa saja yang tidak beribadah kepada Allah dengan agama Islam, maka ia adalah orang kafir Dan terhadap orang kafir, hendaknya dijaga Adab-adab berikut:
- Tidak menyetujui kekafirannya dan tidak meridhainya, karena meridhai kekafiran adalah kekafiran.
- Benci kepada orang kafir lantaran kebencian Allah kepadanya, karena rasa cinta dan benci itu harus karena-Nya semata. Selama Allah membencinya lantaran kekafirannya, maka orang muslim pun membenci orang kafir karena kebencian Allah kepadanya.
- Tidak memberikan loyalitas dan kasih sayang kepadanya. Allah berfirman:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman.” (Ali Imran: 28)
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya…” (Al Mujadilah: 22)
- Berbuat adil dan berbuat baik kepadanya jika ia bukan orang kafir harbi (yang harus diperangi), sebagaimana Allah berfirman:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Ayat mulia ini menerangkan tentang kebolehan berbuat adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir harbi yang wajib diperangi. Sebab, mereka mempunyai ketentuan khusus yang dapat diketahui melalui hukum-hukum orang-orang yang wajib diperangi.
- Menyayanginya dengan kasih sayang umum, seperti dengan memberinya makan jika ia lapar, memberinya minum jika ia kehausan, mengobatinya jika ia sakit, menyelamatkannya dari kebinasaan, dan menjauhkan gangguan dari dirinya, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Sayangilah orang yang ada di muka bumi pasti kamu akan disayangi oleh siapa yang ada di langit.’”
Rasulullah bersabda:
“Pada diri setiap orang yang mempunyai hati yang basah terdapat pahala.”
- Tidak mengganggu hartanya, darahnya, dan kehormatannya, jika ia tidak termasuk orang yang wajib diperangi. Rasulullah bersabda:
“Allah berfirman, ‘Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku mengharamkannya di antara kalian. Maka, janganlah kalian saling menzalimi.”
“Siapa yang menyakiti orang kafir dzimmi, maka Aku adalah lawannya pada hari Kiamat.’”
- Diperbolehkan memberinya hadiah, menerima hadiah darinya, dan memakan makanannya jika ia Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Allah berfirman:
“..Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu…” (Al-Maidah: 5)
Diriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau pernah diundang makan oleh orang Yahudi di Madinah, maka beliau pun memenuhi undangannya, dan memakan makanan mereka yang dihidangkan kepada beliau.
- Tidak menikahkan lelaki kafir dengan wanita mukminah, dan boleh menikahi wanita-wanita kafir dari Ahli Kitab. Berdasarkan firman Allah yang melarang wanita mukminah menikah dengan lelaki kafir secara mutlak:
“..Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka…” (Al-Mumtahanah: 10)
“..Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman…” (Al-Baqarah: 221)
Juga berdasarkan firman Allah yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita-wanita Ahli Kitab:
“,.Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan…” (Al-Maidah: 5)
- Mendoakannya jika ia bersin dan memuji Allah (mengucap hamdalah) dengan mengucapkan, “Yahdikumullahu wa yushlihu balakum (Semoga Allah Memberi Petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu).” Sebab, pernah ada seorang Yahudi yang memaksakan diri untuk bersin karena mengharap beliau mendoakan dengan ucapan, “Yarhamukumullah (Semoga Allah merahmatimu).” Namun, beliau justru mendoakan dengan ucapan, “Yahdikumullahu wa yushlihu balakum (Semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian, dan memperbaiki urusan kalian).”
- Tidak mendahului memberi ucapan salam kepadanya. Namun, jika orang kafir itu mengucapkan salam kepadanya, ia menjawabnya dengan mengatakan, “Wa ‘alaikum (juga atas kalian keselamatan/kecelakaan).” Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah dengan, ‘Wa’alaikum (juga atas kalian keselamatan/kecelakaan)’.”
- Jika berjumpa dengannya di salah satu jalan, hendaklah mendesaknya ke jalan yang lebih sempit. Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah ia ke jalan yang lebih sempit baginya.’”
- Menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka dalam perkara-perkara yang bukan termasuk keharusan, seperti memanjangkan jenggot jika ia mencukurnya; menyemir rambut atau jenggot jika ia tidak menyemirnya. Juga menyelisihinya dalam hal pakaian, berupa sorban atau kopiah (tutup kepala), dan yang lainnya. Rasulullah bersabda:
“Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
“Selisihilah orang-orang musyrik; panjangkanlah jenggot kalian dan potonglah kumis kalian.””
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut), maka selisihilah mereka.”
Maksudnya, menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna kuning atau merah, karena menyemir dengan warna hitam telah dilarang oleh Rasulullah melalui riwayat Imam Muslim bahwa beliau bersabda:
‘Rubahlah ini—rambut putih—dan jauhilah warna hitam (dalam menyemirnya).”
Adab terhadap hewan
Seorang muslim menganggap seluruh hewan sebagai makhluk yang harus disayangi. Sehingga, ia menyayangi hewan-hewan yang ada dengan kasih sayang Allah kepada hewan-hewan tersebut. Seorang muslim akan bersikap kepada hewan-hewan tersebut dengan Adab-adab sebagai berikut:
- Memberi makan dan minum jika hewan-hewan itu kelaparan dan kehausan. Rasulullah bersabda:
“Pada setiap yang memiliki hati yang panas (hewan) terdapat pahala.”
“Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
“Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
- Menyayangi dan mengasihinya. Tatkala beliau melihat orang-orang menjadikan burung sebagai sasaran anak panah, beliau bersabda:
“Allah melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran.”
Hal ini juga berdasarkan larangan dari Rasulullah dari menahan hewan untuk dibunuh (tidak menyiksa hewan yang hendak dibunuh-edt).
Juga berdasarkan sabda beliau ketika melihat seekor burung yang terbang berputar-putar mencari anak-anaknya yang diambil oleh salah seorang sahabat, beliau bersabda:
“Barang siapa yang telah menyiksa (burung) ini dengan (mengambil) anaknya, maka kembalikan anaknya padanya.”
Membuatnya tenang pada saat hendak menyembelihnya atau membunuhnya. Berdasarkan sabda Rasulullah:
“Allah telah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Maka, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dan kalian membuat tenang hewan yang akan disembelihnya dan menajamkan pisaunya.”
Tidak menyiksanya dengan cara apa pun, baik dengan membuatnya lapar, memukulnya, membebaninya dengan muatan yang tidak ia mampu, memutilasinya, atau membakarnya dengan api. Berdasarkan sabda Rasulullah :
“Seorang wanita dimasukkan ke neraka lantaran seekor kucing yang ia kurung hingga mati. la masuk neraka karenanya. Sebab, ia tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, serta tidak membiarkannya makan serangga-serangga.”
Nabi pernah berjalan melewati sarang semut yang terbakar, maka beliau bersabda:
“Tidak ada yang layak menyiksa dengan api, melainkan pemilik api itu sendiri.” Yakni Allah.
- Dibolehkan untuk membunuh hewan-hewan yang mengganggu atau membahayakan, seperti anjing penggigit, serigala, ular, kalajengking, tikus, dan yang lainnya. Berdasarkan sabda Rasulullah :
“Ada lima hewan berbahaya yang boleh dibunuh di tempat halal dan tanah haram, yaitu ular, burung gagak yang berwarna belang-belang, tikus, anjing buas, dan burung rajawali.”
Diriwayatkan juga dari beliau tentang dibolehkannya membunuh burung gagak dan melaknatnya.
- Dibolehkan mengecap telinga hewan ternak untuk suatu kemaslahatan. Sebab, Rasulullah pernah terlihat sedang mengecap onta zakat dengan tangannya yang mulia. Adapun selain hewan ternak (onta, kambing, dan sapi) maka tidak dibolehkan mengecapnya. Sebab, tatkala Rasulullah melihat seekor keledai yang dicap pada bagian wajahnya, beliau bersabda:
“Allah melaknat orang yang memberi identitas keledai ini pada bagian wajahnya.”
- Mengetahui hak Allah pada hewan tersebut dengan mengeluarkan zakatnya, jika memang termasuk hewan yang harus dizakati.
- Tidak menyibukkan diri dengannya hingga melalaikan dirinya dari menaati Allah dan lalai tidak berzikir kepada-Nya. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah…” (Al-Munafiqun: 9)
Rasulullah bersabda mengenai seekor kuda, “Kuda itu ada tiga jenis. Yang pertama kuda yang bagi seorang pemiliknya menjadi pahala, yang kedua menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan, dan yang ketiga mendatangkan dosa. Adapun orang yang mendapatkan pahala adalah orang yang menambat kudanya untuk kepentingan fi sabilillah di mana dia mengikatnya di ladang hijau penuh rerumputan atau taman. Apa saja yang didapatkan kuda itu selama berada dalam penggembalaan di ladang penuh rerumputan hijau atau taman, maka semua akan menjadi kebaikan bagi orang itu. Seandainya talinya putus lalu kuda itu berlari sekali atau dua kali, maka jejak-jejak dan kotorannya akan menjadi kebaikan bagi pemiliknya. Dan seandainya kuda itu melewati sungai lalu minum darinya sedangkan dia tidak hendak memberinya minum, maka semua itu baginya adalah kebaikan. Adapun orang yang mengikat kudanya karena ingin kaya dan menjaga kesucian dengan tidak meminta-minta serta tidak melupakan hak-hak Allah pada leher dan punggung kudanya, maka hal itu menjadi penutup aib orang itu. Adapun orang yang menambatkan kudanya dengan kesombongan, pamer, dan permusuhan terhadap Kaum Muslimin, maka baginya adalah dosa disebabkan perbuatannya itu.”
Inilah beberapa adab yang harus diperhatikan oleh seorang muslim terhadap hewan, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengamalkan perintah syariat Islam. Syariat yang penuh kasih sayang dan penuh kebaikan universal bagi seluruh makhluk, manusia maupun hewan.
Seorang muslim dengan keimanannya kepada Allah tidak akan mencintai sesuatu kecuali karena Allah dan tidak akan membenci sesuatu kecuali karena Allah. Sebab, ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan tidak membenci kecuali apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Jadi, ia mencintai dengan kecintaan Allah dan Rasul-Nya dan membenci dengan kebencian Allah dan Rasul-Nya. Dalil mengenai hal ini adalah sabda Rasulullah
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah, maka telah sempurna keimanannya.”
Atas dasar ini, maka semua hamba Allah yang saleh harus dicintai dan dijadikan wali oleh seorang muslim, sedangkan semua hamba-Nya yang keluar (fasik) dari perintah Allah dan Rasul-Nya harus dibenci dan dimusuhinya. Meski demikian, tidak ada halangan bagi seorang muslim menjadikan mereka sebagai saudara dan teman akrab, karena Allah telah mengkhususkan mereka dengan kecintaan dan kasih sayang yang lebih.
Rasulullah juga memberi motivasi agar menjadikan orang-orang seperti mereka sebagai saudara dan teman akrab dengan sabdanya:
“Orang mukmin itu teman akrab dan bisa diajak berteman. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak berteman dan tidak bisa diajak berteman.”
“Sesungguhnya di sekitar Arasy ada mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya. Di atasnya ada sekelompok orang, pakaian mereka dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukanlah para nabi dan bukan pula para syuhada. Para nabi dan syuhada cemburu kepada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah sifat mereka.” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling duduk berkumpul karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.” Rasulullah bersabda, sesungguhnya Allah berfirman:
“Sungguh telah berhak mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku, dan sungguh telah berhak mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling menolong karena Aku.”
Rasulullah bersabda:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: Pemimpin yang adil; pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ibadah kepada Tuhannya; lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid ketika keluar darinya hingga kembali lagi; dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah; orang yang menyendiri berzikir kepada Allah lalu air matanya mengalir; lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu laki-laki itu berkata, ‘Sesungguhnya, aku takut kepada Allah’; dan orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”
“Ada seseorang mengunjungi saudaranya karena Allah. Lalu Allah mengutus seorang malaikat untuk mengawasinya. Malaikat tersebut bertanya, ‘Hendak ke mana engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku sifulan.’Malaikat kembali bertanya, ‘Apakah engkau memiliki kebutuhan pada dirinya?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Malaikat kembali bertanya, ‘Apakah ada hubungan kekerabatan antara dirimu dan dirinya?’ la menjawab, ‘Tidak.’ Malaikat kembali bertanya, ‘Apakah karena kenikmatanmu yang ada padanya?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Malaikat kembali bertanya, ‘Lantas, karena apa?’ Ia menjawab, ‘Aku mencintainya karena Allah.’ Kemudian malaikat itu. berkata, ‘Sesungguhnya, Allah telah mengutusku kepadamu untuk menyampaikan kepadamu bahwa Dia mencintaimu karena kecintaanmu kepada saudaramu, dan Dia telah menetapkan untukmu surga.”
Syarat persaudaraan ini adalah harus terjalin untuk Allah dan karena Allah. Yaitu, dengan membebaskannya dari noda-noda dunia dan ikatan-ikatannya, yang bersifat materi secara keseluruhan, dan menjadikan pendorongnya adalah keimanan kepada Allah, bukan yang lain.
Adapun Adab-adabnya, maka hendaknya orang yang dijadikan sebagai saudara adalah:
- Orang yang berakal.
Tidak ada kebaikan dalam bersaudara dan berteman dengan orang yang bodoh. Sebab, adakalanya orang yang bodoh itu bisa membahayakan, padahal sebelumnya ia ingin mengambil manfaat.
- Berakhlak baik.
Orang yang berakhlak buruk meski ia berakal, adakalanya dapat dikalahkan oleh syahwat atau dikuasai oleh amarah, lalu ia menimpakan keburukan kepada temannya.
- Bertakwa.
Orang fasik yang keluar dari ketaatan kepada Tuhan-nya, maka orang yang ada di dekatnya tidak akan aman. Bisa jadi si fasik itu melakukan tindak kejahatan kepada temannya, dan ia tidak peduli apakah itu saudara ataukah orang lain. Sebab, orang yang tidak takut kepada Allah, tidak akan takut kepada selain-Nya dalam kondisi apa pun.
- Komitmen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pilihlah orang yang jauh dari khurafat dan kebid’ahan, karena pelaku bid’ah terkadang bisa menimpakan musibah kepada temannya dari kejahatan kebid’ahannya. Selain itu, pelaku bid’ah dan orang yang menuruti hawa nafsu wajib dijauhi dan diputus hubungannya. Lantas, bagaimana mungkin akan bersahabat dan berteman dengan keduanya.
Adab-adab dalam memilih teman ini telah diuraikan secara singkat oleh salah seorang saleh ketika berwasiat kepada putranya:
“‘Wahai puteraku, jika engkau perlu bersahabat dengan seseorang, maka bersahabatlah dengan orang yang jika engkau berkhidmat padanya, ia menjagamu; jika engkau bergaul dengannya, ia menghiasimu; dan jika engkau kehilangan penghidupanmu, ia mengasihimu.
Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan tanganmu untuk kebaikan, ia menyambutnya; jika ia melihat kebaikan pada dirimu, ia menghitungnya; dan jika ia melihat kejelekan padamu, ia menutupinya.
Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau meminta padanya, ia memberi; jika engkau diam, ia datang padamu; dan jika engkau ditimpa musibah, ia menolongmu.
Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau berkata, ia membenarkan perkataanmu; jika engkau berusaha mencapai sesuatu dengan tipu daya, ia menasihatimu; dan jika engkau berselisih dengannya, ia lebih mengutamakanmu.”
Hak-hak persaudaraan karena Allah
Di antara hak-hak persaudaraan ini adalah sebagai berikut:
- Saling membantu dan tolong-menolong dengan harta.
Masing-masing saling membantu saudaranya dengan hartanya ketika membutuhkan. Sehingga dinar dan dirham mereka adalah satu, tidak ada beda di antara keduanya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ketika ia didatangi oleh seseorang. Kemudian orang tersebut berkata, “Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah.” Abu Hurairah berkata, “Tahukah engkau apa hak persaudaraan itu?” Orang tersebut menjawab, “Tolong jelaskan hak persaudaraan kepadaku.” Abu Hurairah berkata, “Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu dan dirhammu dari aku.” Orang tersebut menjawab, “Aku belum bisa sampai pada tingkatan ini.” Abu Hurairah berkata, “Kalau begitu, pergilah engkau dariku.”
- Masing-masing menjadi penolong bagi temannya.
Memenuhi kebutuhannya, mendahulukannya atas dirinya sendiri, mencari tahu keadaannya sebagaimana ia mencari tahu keadaan dirinya, lebih mengutamakannya atas dirinya sendiri, keluarga, dan anak-anaknya, serta menanyakan keadaannya setiap tiga hari sekali, Jika sakit, ia menjenguknya. Jika sibuk, ia membantunya. Jika lupa, ia mengingatkannya. Jika datang, ia menyambutnya. Jika duduk ia memberi kelonggaran kepadanya. Dan jika berbicara, ia mendengarkannya.
- Menahan lisannya kecuali untuk membicarakan kebaikannya.
Tidak menyebut-nyebut aibnya ketika ia ada maupun tidak ada, tidak membongkar rahasianya, serta tidak berusaha mencari tahu rahasia hatinya. Ketika melihatnya di jalan untuk suatu keperluan dari keperluan-keperluan pribadinya, ia tidak memulai menyebut-nyebut keperluannya. Tidak berusaha mencari tahu hendak ke mana dan dari mana ia pergi, berlemah lembut ketika memerintahkannya kepada kebaikan atau melarangnya dari kemungkaran, tidak membantahnya dalam pembicaraan dan tidak mendebatnya dengan kebenaran ataupun kebatilan, tidak mencelanya karena suatu hal dan menyalahkannya karena hal yang lain.
- Mengungkapkan dengan lisannya sesuatu yang ia sukai.
Memanggil dengan nama yang paling disukainya, menyebut-nyebut kebaikannya ketika ia ada maupun tidak ada, menyampaikan pujian manusia kepada dirinya sebagai bentuk kesenangan dan kegembiraan dengannya. Tidak panjang lebar dalam menasihatinya, karena bisa menjadikannya gelisah, dan tidak menasihatinya di depan manusia, karena dapat mempermalukannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, “Barang siapa menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka ia telah menasihatinya dan menghiasinya. Dan barang siapa menasihati saudaranya di keramaian, maka ia telah mencemarkan dan melecehkannya.”
- Memaafkan kesalahannya.
Termasuk bentuk memaafkan kesalahannya adalah tidak ambil pusing terhadap kekeliruannya, menutupi aib-aibnya, dan berprasangka baik kepadanya. Jika ia melakukan suatu kemaksiatan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka tidak memutus kecintaannya dan tidak mengabaikan persaudaraannya, tapi menunggu tobatnya. Namun, jika ia terus menerus dalam kemaksiatannya, maka ia boleh meninggalkannya dan memutuskannya, atau tetap berada di atas persaudaraannya sembari terus memberikan nasihat, dengan harapan ia mau bertobat sehingga Allah mengampuninya.
Abu Darda’ a berkata, “Jika saudaramu berubah, maka engkau jangan meninggalkannya karena hal tersebut, karena terkadang saudaramu itu menyimpang, tapi pada kesempatan lain ia bertindak lurus.”
- Memenuhi hak persaudaraan kepadanya.
Dengan sikap ini, ia akan menguatkan dan mempertahankan perjanjiannya, karena memutus persaudaraan dapat membatalkan pahala. Jika ia meninggal dunia, maka ia mengalihkan kecintaan tersebut kepada anak-anaknya dan sahabat-sahabat yang setia kepadanya sebagai bentuk menjaga persaudaraan dan memenuhi hak saudaranya.
Rasulullah pernah memuliakan seorang wanita tua yang datang menemui beliau. Ketika beliau ditanya mengenai hal tersebut, maka beliau menjawab, “Dahulu wanita itu selalu mengunjungi kami ketika Khadijah masih hidup. Sesungguhnya, melestarikan persahabatan adalah bagian dari agama.’”
Salah satu bentuk memenuhi hak persaudaraannya adalah tidak bersahabat dengan musuh sahabatnya. Imam Syafi’i pernah berkata, “Jika temanmu menaati musuhmu, maka keduanya terlibat dalam permusuhan denganmu.”
- Tidak membebaninya dengan sesuatu yang menyulitkannya atau tidak menyenangkannya. Tidak mengambil sedikit pun sesuatu darinya, baik berupa jabatan atau harta, atau memaksanya melakukan berbagai pekerjaan. Sebab, asas persaudaraan adalah karena Allah maka seyogyanya tidak dialihkan kepada selain-Nya, baik untuk mendapatkan manfaat dunia atau menolak bahaya.
Sebagaimana tidak boleh membebaninya, maka juga jangan membuatnya merasa terbebani. Sebab, keduanya dapat merusak dan mempengaruhi hubungan persaudaraan, serta mengurangi pahala yang dikehendaki. Hendaknya ia menghilangkan kekerasan, pembebanan, dan kekakuan terhadap saudaranya, karena hal itu bisa memunculkan rasa canggung yang akan menghilangkan keakraban.
Disebutkan dalam sebuah atsar, “Aku dan orang-orang bertakwa dari umatku berlepas diri dari perasaan terbebani.”
Salah seorang saleh berkata, “Siapa yang hilang bebannya, langgeng kasih sayangnya. Siapa yang ringan bantuannya, langgeng kecintaannya, Sedangkan tanda hilangnya beban adalah munculnya keakraban dan hilangnya kecanggungan. Hendaklah seseorang itu melakukan empat hal di rumah saudaranya: makan di rumahnya, memasuki toiletnya, shalat, dan tidur bersamanya. Apabila ia telah melakukan keempat hal ini, maka sempurnalah persaudaraannya, hilang rasa malu yang menyebabkan kecanggungan (di antara keduanya), muncul keakraban dan semakin terbuka.”
- Mendoakan kebaikan untuk saudaranya, anak-anaknya, serta siapa saja yang terkait dengannya, sebagaimana ia mendoakan kebaikan untuk dirinya sendiri, anak-anaknya, serta siapa saja yang terkait dengannya. Sebab, tidak ada perbedaan antara salah satunya dengan yang lain menurut hukum persaudaraan yang telah menyatukan keduanya. Sehingga, ia akan mendoakan kebaikan untuknya, baik ketika masih hidup atau sudah meninggal; di saat ia ada maupun tidak ada.
Rasulullah bersabda:
“Apabila seseorang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka malaikat berkata, ‘Dan kamu juga mendapatkan seperti’.”
Salah seorang saleh berkata, “Di mana perumpamaan saudara yang saleh? Sungguh, jika seseorang meninggal dunia, maka keluarganya akan membagi-bagi warisannya dan menikmati harta peninggalannya. Sedangkan saudara saleh akan menyendiri dengan kesedihannya, memikirkan apa yang telah diperbuat oleh saudaranya dan ke mana tempat kembalinya, mendoakan kebaikan untuknya di kegelapan malam, serta memintakan ampunan untuknya, sementara ia berada di bawah timbunan tanah.”
Seluruh kehidupan orang muslim tunduk kepada manhaj Islam yang mencakup semua aspek kehidupan, hingga cara duduknya seorang muslim dan tata cara bermajelis bersama saudara-saudaranya. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya berpegang dengan Adab-adab berikut ketika duduk dan bermajelis:
Pertama: Jika ingin duduk (di sebuah majelis), yang pertama kali harus ia lakukan adalah mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah berada di majelis, kemudian duduk di barisan terakhir. Ia tidak boleh menyuruh seseorang berdiri dari tempat duduknya untuk ia duduki, dan tidak duduk di antara dua orang kecuali dengan izin keduanya. Rasulullah bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh berdiri orang lain dari tempat duduknya untuk ia duduki. Akan tetapi, lapangkanlah dan longgarkanlah,”
Pernah Ibnu Umar, ketika salah seorang berdiri dari tempat duduknya, (untuk mempersilahkan Ibnu Umar duduk), ia tidak duduk di tempat tersebut Jabir bin Samurah berkata, “Jika kami datang menemui Rasulullah maka salah seorang dari kami—yang datang belakangan—duduk di tempat, duduk terakhir.”
Rasulullah juga bersabda:
“Seseorang tidak halal memisahkan antara dua orang kecuali dengan izin keduanya.”
Kedua: Jika salah seorang berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali lagi ke tempatnya itu, maka ia lebih berhak duduk di tempat duduknya tersebut.
Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali lagi ke tempatnya itu, maka ia lebih berhak atas tempat tersebut.”
Ketiga: Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (forum pertemuan), karena Hudzaifah pernah berkata, “Rasulullah melaknat orang yang duduk di tengah pertemuan.”
Keempat: Jika duduk, hendaknya ia memerhatikan Adab-adab berikut: duduk dengan sopan dan tenang, tidak menjalin jari-jemarinya, tidak bermain-main dengan jenggot atau cincinnya, tidak mencungkili sisa-sisa makanan di gigi-giginya, tidak memasukkan tangan ke hidungnya, tidak banyak meludah, tidak banyak berdahak, tidak banyak bersin, dan tidak banyak menguap. Dan hendaklah ia duduk dengan tenang, sedikit gerak, dan bicaranya teratur.
Jika berbicara, hendaklah memilih perkataan yang benar, tidak banyak bicara, serta jauhilah banyak bercanda dan berdebat, tidak berbicara dengan membangga-banggakan keluarganya, anak-anaknya, keahliannya atau produktivitasnya, baik itu yang bersifat materi ataupun moril, seperti syair atau tulisan.
Jika orang lain berbicara, hendaklah ia mendengarnya dengan serius tanpa berlebih-lebihan dalam mengagumi pembicaraan orang yang didengarnya, tidak memutus pembicaraan atau memintanya mengulangi pembicaraan, karena hal tersebut akan menyinggung perasaan orang yang berbicara.
Seorang muslim berpegang teguh dengan Adab-adab ini karena dua alasan: Pertama, agar tidak menyakiti saudaranya dengan akhlak atau perbuatannya, karena seorang muslim haram melakukan hal tersebut. Rasulullah bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”
Kedua, agar mendapatkan cinta dan kasih sayang saudara-saudaranya. Sebab, Sang Pembuat syariat, Allah telah memerintahkan dan mendorong kaum muslimin untuk saling mencintai dan berkasih sayang.
Kelima: Jika orang muslim ingin duduk di (pinggir) jalan, maka hendaknya ia memerhatikan Adab-adab berikut:
- Menahan pandangan dengan tidak membuka matanya untuk melihat wanita mukminah yang sedang lewat, atau ketika wanita tersebut berdiri di pintu rumahnya, atau berada diteras rumahnya, atau membuka jendela rumahnya untuk salah satu keperluan. Ia juga tidak boleh melepaskan pandangan dengki kepada orang lain atau tatapan pelecehan.
- Menahan diri dari mengganggu orang-orang yang lewat, yaitu tidak menyakiti seseorang dengan lisannya, baik berupa celaan, cacian, ataupun hinaan. Tidak pula dengan tangannya, baik itu berupa pukulan atau tonjokan. Tidak pula merampas harta orang lain dengan cara paksa. Tidak melintang di jalan dengan maksud menghalangi orang-orang yang lewat dan tidak pula memutus jalan mereka.
- Menjawab salamnya orang-orang yang lewat yang mengucapkan Salam kepadanya. Sebab, menjawab salam adalah wajib. Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah penghormatan itu yang sepadan dengannya…” (An-Nisa’: 86)
- Memerintahkan kebaikan jika kebaikan tersebut tidak diamalkan atau diabaikan padahal ia mengetahuinya. Dalam kondisi seperti ini, ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang persoalan memerintah kebaikan tersebut. Sebab, amar makruf hukumnya fardhu ain bagi setiap muslim, dan tidak gugur kecuali dengan mengerjakannya. Misalnya, ketika azan shalat dikumandangkan sementara orang-orang yang hadir di dalam majelis tidak menyambut seruan azan tersebut, maka menjadi fardhu ain bagi dirinya untuk memerintahkan mereka agar segera menyambut seruan shalat itu, karena ini termasuk bentuk kebaikan. Sehingga, jika kebaikan tersebut ditinggalkan (diabaikan), maka wajib baginya untuk memerintahkan.
Contoh lain, jika ada orang yang kelaparan atau telanjang (tidak memiliki pakaian) lewat, maka ia harus memberinya makan atau pakaian jika ia mampu melakukannya. Namun jika tidak mampu, ia bisa menyuruh orang lain agar memberinya makan atau pakaian. Sebab, memberi makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang telanjang merupakan kebaikan yang harus diperintahkan jika memang tidak diamalkan (diabaikan).
- Melarang seluruh bentuk kemungkaran yang dikerjakan di depannya.
Sebab, merubah kemungkaran sama halnya menyuruh kepada kebaikan dan merupakan tugas setiap muslim. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya.”
Contoh, seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain di depannya, baik dengan memukul atau merampas hartanya, maka dalam kondisi seperti ini ia harus merubah kemungkaran dan melawan kezaliman serta permusuhan tersebut sesuai dengan batas kemampuannya.
- Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat. Jika ada seseorang meminta petunjuk (alamat) suatu rumah, atau menanyakan jalan, atau identitas seseorang, maka wajib baginya menjelaskan rumah yang dimaksud, menunjukkan jalan atau memberikan identitas orang yang dikehendaki.
Enam hal di atas merupakan Adab-adab duduk di pinggir di jalan, seperti di depan rumah, di depan toko, di depan warung, halaman umum, di kebun-kebun, dan lain sebagainya. Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan.” Para sahabat berkata, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan, karena itu menjadi majelis tempat kami berbincang-bincang.” Beliau bersabda, “Jika kalian tidak bisa meninggalkan majelis seperti itu, maka tunaikanlah hak jalan.” Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menahan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran.” Dalam sebagian riwayat ada tambahan,
“Dan memberi petunjuk kepada orang yang tersesat.”
Termasuk adab duduk yang lain adalah beristighfar kepada Allah ketika berdiri dari tempat duduknya, sebagai bentuk penghapus kesalahan yang barangkali ia menyakiti seseorang di tempat tersebut. Adalah Rasulullah jika berdiri dari tempat duduknya, beliau mengucapkan.
“Mahasuci Engkau Ya Allah, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan dan tobat kepada-Mu.”
Ketika ditanya mengenai hal tersebut, beliau menjawab, “Sesungguhnya, itu sebagai penebus dosa yang terjadi selama dalam, majelis.”
Seorang muslim melihat makanan dan minuman sebagai sarana, bukan tujuan utama. Ja makan dan minum demi menjaga kesehatan badannya yang dapat ia gunakan untuk beribadah kepada Allah. Ibadah itulah yang menyebabkannya layak mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan akhirat. Seorang muslim, makan dan minum bukan karena substansi makanan dan minuman, atau kenikmatannya semata. Oleh karena itu, jika ia belum lapar, ia tidak makan, dan jika tidak haus, ia tidak minum. Telah diriwayatkan dari Rasulullah , beliau bersabda:
“Kami adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar, dan jika kami makan, maka kami tidak makan sampai kenyang.”
Dari sini, maka dalam urusan makan dan minumnya, seorang muslim hendaknya melazimi Adab-adab syar’i yang telah ditentukan, di antaranya adalah:
Adab-adab sebelum makan
Pertama: Memilih makanan dan minuman yang bagus. Yaitu, menyiapkannya dari sesuatu yang halal, higienis, serta bersih dari noda-noda keharaman dan syubhat. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu…” (Al-Baqarah: 172)
Rezeki yang baik adalah yang halal, yang tidak ternodai dan tidak terkotori.
Kedua: Meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan ibadah kepada Allah , agar ia diberi pahala atas apa yang ia makan dan ia minum. Sebab, sesuatu yang mubah jika dilakukan dengan niat yang baik, maka akan menjadi sebuah ketaatan, di mana seorang muslim diberi pahala karenanya.
Ketiga: Mencuci kedua tangannya sebelum makan jika dalam keadaan kotor, atau belum yakin dengan kebersihannya.
Keempat: Meletakkan makanannya pada tempat makan yang menempel di lantai dan tidak di atas meja makan, karena cara tersebut lebih mendekati sikap tawadhu. Ini berdasarkan perkataan Anas bin Malik, “Rasulullah tidak pernah makan di atas meja dan tidak pula dengan piring.”
Kelima: Duduk dengan tawadhu, yaitu duduk di atas kedua lututnya, atau duduk di atas punggung kedua kaki, atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri, sebagaimana posisi duduk Rasulullah yang didasarkan pada sabda beliau:
“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba makan, dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba duduk.”
Keenam: Ridha dengan makanan yang ada dan tidak mencelanya. Jika tertarik ia makan, dan jika tidak tertarik ia tinggalkan, sebagaimana hadits, Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah mencela makanan, Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya. Dan apabila tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya.”
Ketujuh: Makan bersama-sama dengan orang lain, baik itu tamu, keluarga, kerabat, anak-anak, atau pembantu. Rasulullah bersabda:
“Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.”
Adab ketika sedang makan
Pertama: Memulai makan dengan mengucap basmalah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah . Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia mengucapkan, ‘Bismillah awwalahu wa akhirahu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)’.”
Kedua: Mengakhiri makan dengan membaca hamdalah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Barang siapa selesai makan lalu berdoa, ‘Alhamdulillahilladzi ath’amani haddza wa razaqanihi min ghairi haulin minni wala quwwatin (Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini kepadaku sebagai rezeki, tanpa daya dan kekuatan dariku),’ niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
Ketiga Makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan, menyedikitkan suapan, memperbagus kunyahan, mengambil yang terdekat, dan tidak memulai dari bagian tengah piring. Rasulullah bersabda kepada umar bin Abi Salamah:
“Wahai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.’”
“Keberkahan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggirnya dan jangan makan dari bagian tengahnya.”
Keempat: Mengunyah makanan dengan baik, serta menjilati piring makanan dan jari-jarinya sebelum mengelapnya dengan kain atau mencucinya dengan air. Rasulullah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian selesai makan, maka janganlah ia membersihkan tangannya hingga ia menjilatinya atau menjilatkannya.”
Jabir menuturkan bahwasanya Rasulullah memerintahkan untuk menjilati jari-jari tangan dan piring. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di makanan yang mana keberkahan itu berada.”
Kelima: Apabila ada sebagian dari makanan yang terjatuh, Maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya Rasulullah bersabda:
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah ia membersihkan bagian yang kotor, kemudian memakannya dan jangan membiarkannya untuk setan.”
Keenam: Tidak meniup makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi dingin. Tidak bernafas di dalam bejana (air) ketika minum, tapi hendaklah bernafas di luar bejana sebanyak tiga kali Ini berdasarkan hadits Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah pernah bernafas tiga kali ketika minum.”
Abu Sa’id Al-Khudri menuturkan, “Sesungguhnya, Nabi melarang meniup pada minuman.”
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya, Nabi melarang bernafas di dalam bejana atau meniupnya.”
Ketujuh: Menghindari kenyang yang berlebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Tidaklah anak Adam itu memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan yang dapat menguatkan tulang punggungnya. Jika ia tidak melakukannya, maka hendaklah ia bagi, sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga yang lain untuk nafasnya.”
Kedelapan: Memberikan makanan atau minuman kepada orang yang paling tua di dalam majelis, kemudian memutarnya kepada orang-orang yang berada di sebelah kanannya dan seterusnya, dan dirinya menjadi orang yang terakhir kali minum, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Yang tua, yang tua.”
Maksudnya, mulailah dengan orang yang lebih tua dahulu.
Rasulullah juga pernah meminta izin kepada Ibnu Abbas untuk memberikan minuman kepada orang-orang tua di sebelah kiri beliau. Sementara saat itu Ibnu Abbas berada di sebelah kanan beliau, sedang orang-orang tua berada di sebelah kiri beliau.’ Permintaan izin Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa orang yang paling berhak terhadap minuman adalah orang yang duduk di sebelah kanan. Rasulullah bersabda:
“Sebelah kanan, kemudian sebelah kanan.”
“Pemberi minuman suatu kaum adalah yang paling akhir minum.”
Kesembilan: Tidak memulai makan atau minum jika di dalam majelis ada orang yang lebih berhak didahulukan karena usianya yang lebih tua atau karena keutamaannya, karena yang seperti itu tidak beradab dan mengantarkan pelakunya kepada sifat rakus yang tercela. Sebagian mereka mengatakan:
Jika tangan-tangan dijulurkan kepada perbekalan
Maka aku tidak buru-buru mendahului mereka
Sebab orang yang paling rakus adalah
Orang yang paling buru-buru terhadap makanan
Kesepuluh: Tidak memaksa teman atau tamunya dengan berkata kepadanya, “Silahkan makan” dengan terus mendesaknya. Namun, hendaknya ia makan dengan etis (santun) sesuai dengan kebutuhan makannya, tanpa merasa malu-malu atau pura-pura malu. Sebab, yang demikian itu akan membebani teman atau tamunya, dan termasuk bentuk riya’, padahal riya’ itu diharamkan.
Kesebelas: Ramah terhadap temannya ketika makan bersama dengan tidak makan lebih banyak dari porsi temannya, apalagi jika makanan tidak banyak. Sebab, makan banyak dalam kondisi seperti itu termasuk memakan hak orang lain.
Keduabelas: Tidak melihat teman-temannya ketika sedang makan dan tidak melirik mereka, sehingga mereka menjadi malu. Namun, ia harus menahan pandangannya dari orang-orang yang makan di sekitarnya, dan tidak mencuri-curi pandang, karena hal itu bisa menyakiti mereka dan membuat mereka marah, sehingga ia pun berdosa lantaran hal tersebut.
Ketigabelas: Tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dipandang tidak sopan oleh kebiasaan manusia. Misalnya, tidak mengibaskan tangannya ke dalam mangkuk dan tidak mendekatkan kepalanya ke mangkuk ketika makan agar tidak ada sesuatu yang jatuh dari mulutnya ke dalam mangkuk tersebut. Ketika menggigit roti, maka tidak boleh mencelupkan sisa gigitannya ke dalam mangkuk. Juga tidak berbicara jorok, karena barangkali salah seorang temannya akan terganggu dengan kata-kata joroknya, sementara mengganggu Orang muslim itu haram hukumnya.
Keempatbelas: Jika ia makan bersama orang miskin, maka ia harus mendahulukan orang miskin tersebut. Jika ia makan bersama saudara-saudaranya, maka ia boleh bercanda dan bercengkrama dengan mereka. Jika ia makan bersama orang yang berkedudukan, maka ia harus menjaga adab dan bersikap hormat kepada mereka.
Adab-adab sesudah makan
Pertama: Berhenti makan sebelum kenyang, sebagai bentuk mengikuti sunah Rasulullah. Hal ini supaya tidak terjadi gangguan pencernaan yang membinasakan dan kegemukan yang dapat menghilangkan kecerdasan.
Kedua: Menjilati tangannya, kemudian mengelapnya atau mencucinya. dan mencucinya lebih baik.
Ketiga: Mengambil makanan yang jatuh ketika makan, karena ada anjuran mengenai hal tersebut dan termasuk bagian dari syukur terhadap nikmat.
Keempat: Membersihkan sisa makanan di sela-sela giginya dan berkumur-kumur untuk membersihkan mulutnya. Sebab, dengan mulut itulah ia berzikir kepada Allah dan berbicara dengan saudara-saudaranya. Selain itu, kebersihan mulut juga dapat menjaga kesehatan gigi.
Kelima: Memuji Allah setelah makan dan minum. Ketika minum susu, hendaknya ia mengucapkan:
“Ya Allah, berkahilah apa yang Engkau berikan kepada kami, dan tambahilah rezeki-Mu (kepada kami).”
Jika berbuka puasa di tempat orang, hendaknya ia mengucapkan:
“Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, dan telah makan makananmu orang-orang yang baik, dan bershalawat kepadamu para malaikat.’”
Adapun jika berdoa:
“Ya Allah, berkahilah apa yang Engkau berikan kepada mereka, ampuni dan rahmatilah mereka.’ Maka hal ini menunjukkan bahwa ia telah mengikuti sunah dan mendoakan dengan kebaikan yang banyak.
Orang muslim meyakini kewajiban memuliakan tamu dan menghormatinya dengan penghormatan yang semestinya. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamu dan menjamunya.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan menjamunya?” Rasulullah menjawab, “Siang hari dan malam harinya. Menjamu itu selama tiga hari, dan selebihnya adalah sedekah.”
Berdasarkan hadits-hadits di atas, hendaklah seorang muslim berpegang dengan Adab-adab berikut dalam urusan memuliakan tamu, yaitu:
Dalam hal undangan
- Dalam jamuannya, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, dan bukan orang-orang yang fasik ataupun orang-orang yang suka berbuat dosa. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”
- Tidak hanya mengundang orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
Salah satu riwayat yang menjelaskan tentang kewajiban memenuhi; undangan orang miskin adalah, bahwasanya Al-Hasan bin Ali pernah berjalan melewati orang orang miskin yang saat itu sedang menggelar makanan di atas tanah lalu mereka memakannya. Mereka berkata, “May; makan siang bersama kami, wahai cucu Rasulullah.” Al-Hasan bin Ali berkata, “Ya boleh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” Kemudian Al-Hasan turun dari keledainya dan makan bersama orang-orang miskin tersebut.
- Tidak membeda-bedakan antara undangan yang jauh dan undangan yang dekat. Jika orang muslim mendapatkan dua undangan, maka hendaknya ia memenuhi undangan yang lebih dulu dan meminta maaf kepada pengundang kedua.
- Tidak terlambat menghadiri undangan karena alasan puasa, tapj hendaknya ia segera hadir. Jika tuan rumah merasa senang jika ia makan, maka hendaknya ia berbuka, karena membahagiakan hati orang mukmin termasuk ibadah. Jika ia tidak mau berbuka, maka hendaknya ia mendoakan kebaikan untuk mereka. Rasulullah bersabda:
“‘Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Jika ia sedang berpuasa (sunah), hendaklah ia mendoakannya. Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia memakan (jamuannya).’”
“Saudaramu menanggung dengan susah payah, tapi engkau berkata, ‘Aku sedang puasa’.”
- Memenuhi undangan dengan niat memuliakan saudaranya yang muslim agar ia diberi pahala. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai apa yang diniatkannya.’”
Sebab, dengan niat yang baik, amalan-amalan yang mubah bisa menjadi ketaatan, di mana seorang mukmin akan diberi pahala atas ketaatan tersebut.
Adab-adab menghadiri undangan
1, Hendaknya seorang tamu tidak membuat si pengundang menunggu lama hingga membuatnya gelisah dan cemas. Dan jangan tergesa-gesa untuk hadir yang akan membuat mereka terkejut sebelum ada persiapan, karena hal itu dapat mengganggu mereka.
2, Apabila datang ke suatu majelis, hendaknya tidak duduk di muka majelis, tapi hendaknya bersikap tawadhu di dalam majelis. Dan apabila tuan rumah menyuruh duduk di suatu tempat, hendaknya ia duduk di tempat tersebut dan tidak meninggalkannya.
- Hendaknya tuan rumah segera menghidangkan makanan untuk tamunya, karena hal tersebut merupakan bentuk penghormatan baginya, di mana’ Sang Pembuat syariat telah memerintahkan agar memuliakan tamu.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
- Hendaknya tuan rumah tidak mengangkat makanan sebelum tamunya benar-benar mengangkat tangannya dari makanan tersebut dan sebelum mereka semua selesai makan.
- Hendaknya tuan rumah menghidangkan makanan kepada tamunya secukupnya. Sebab, jika hidangan terlalu sedikit, maka akan mengurangi wibawanya, dan jika terlalu banyak, maka ada unsur pamer dan kepura-puraan, di mana keduanya merupakan sikap yang tercela.
- Apabila ada seseorang menginap sebagai tamu, maka hendaknya tidak menginap lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumah memaksanya untuk tinggal lebih dari itu. Dan apabila hendak pulang, maka hendaklah ia meminta izin untuk pamit.
Hendaknya tuan rumah mengantarkan tamunya sampai keluar rumah, sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf shalih. Hal tersebut jugg termasuk bentuk penghormatan kepada tamu yang telah disyariatkan.
Hendaknya seorang tamu pulang dengan hati lapang, meskipun ada haknya yang tidak terpenuhi. Sikap semacam ini termasuk akhlak yang baik, yang dengannya seorang hamba dapat mencapai derajat orang yang selalu berpuasa dan shalat malam.
Hendaknya seorang muslim mempunyai tiga kamar tidur, yang satu untuk dirinya, yang kedua untuk keluarganya, dan yang ketiga untuk tamunya. Memiliki kamar lebih dari tiga adalah terlarang berdasarkan sabda Rasulullah:
“Satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk wanita, satu ranjang untuk tamu, dan yang keempat adalah untuk setan.”
Seorang muslim berpandangan bahwa bepergian merupakan salah satu kebutuhan dalam hidupnya yang tidak dapat dipisahkan darinya. Sebab, haji, umrah, berperang, menuntut ilmu, berdagang, serta mengunjungi saudara-saudaranya, semuanya adalah kewajiban yang mengharuskan adanya perjalanan dan bepergian. Dari sinilah, maka perhatian Sang Pembuat syariat terhadap urusan safar (bepergian), hukum-hukumnya serta Adab-adabnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Seorang muslim yang saleh hendaknya mempelajari itu semua dan menerapkannya dalam kehidupan.
Hukum-hukum bepergian
- Diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat, yaitu mengerjakannya dua rakaat dua rakaat. Kecuali shalat Maghrib, maka ja tetap mengerjakannya tiga rakaat. Mengqashar shalat dimulai sejak dia meninggalkan negeri yang ditinggalinya hingga ia kembali ke negeri tersebut. Kecuali jika ia berniat menetap selama empat hari ataupun lebih di negeri yang menjadi tujuannya atau di negeri yang disinggahinya, maka dalam kondisi seperti ini ia harus menyempurnakan shalat dan tidak boleh mengqasharnya. Hingga, ketika ia dalam perjalanan pulang ke negerinya, maka ia boleh kembali mengqashar shalat sampai tiba di negerinya. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat …” (An-Nisa: 101)
Anas bin Malik juga menuturkan, “Kami keluar bersama Rasulullah dari Madinah menuju Mekah, lalu beliau mengerjakan shalat yang empat rakaat dengan dua rakaat dua rakaat hingga kami kembali lagi ke Madinah.”
- Diperbolehkan mengusap khuf (sepatu) selama tiga hari tiga malam, sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Nabi menetapkan untuk kami tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk orang yang menetap.”
- Diperbolehkan bertayamum jika kehabisan air, atau sulit mendapatkannya, atau harganya mahal. Ini berdasarkan firman Allah:
“,..Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu…” (An-Nisa’: 43)
- Mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Ini berdasarkan firman Allah:
“…Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” (Al-Baqarah:184)
- Diperbolehkan mengerjakan shalat sunah di atas kendaraan ke arah mana pun kendaraan tersebut berjalan. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar, “Sesungguhnya, Rasulullah pernah shalat sunah di atas tunggangan ke arah mana pun onta tunggangannya berjalan.”
- Diperbolehkan menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dengan jamak taqdim jika memang perjalanan sulit. Sehingga ia dapat mengerjakan shalat Zhuhur dan shalat Ashar di waktu shalat Zhuhur, atau mengerjakan shalat Maghrib dan shalat Isya di waktu shalat Maghrib. Atau ia melakukan jamak ta’khir dengan mengakhirkan shalat Zhuhur ke waktu shalat Ashar, lalu dikerjakannya secara bersamaan, atau mengakhirkan shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’, lalu dikerjakannya secara bersamaan. Hal ini berdasarkan perkataan Mu’adz bin Jabal:
“Kami keluar bersama Rasulullah pada perang Tabuk, ketika itu beliau menjamak antara shalat Zhuhur dan shalat Ashar, serta menjamak antara shalat Maghrib dan shalat Isya’.”
Adab-adab safar
1.Mengembalikan barang-barang yang pernah diambil secara zalim maupun barang-barang titipan kepada para pemilik-nya, karena bisa jadi ia tertimpa kecelakaan di tengah perjalanan.
- Menyiapkan bekal dari sesuatu yang halal dan meninggali nafkah untuk orang yang wajib dinafkahinya, seperti anak, istri, dan orang tua.
- Berpamitan kepada keluarga, saudara, dan teman-temannya, serta perdoa untuk orang yang dipamiti dengan doa berikut:
“Aku titipkan kepada Allah agama kalian, amanah kalian, dan penutup amal perbuatan kalian.”
Kemudian orang-orang yang ia pamiti membalas doanya dengan mengatakan:
“Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosamu, dan mengarahkanmu kepada kebaikan di mana saja engkau berada.”
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Luqman Al-Hakim berkata, ‘Allah jika dititipi sesuatu, maka Dia akan menjaganya.”
Rasulullah juga pernah berkata kepada orang-orang yang mengantarkan kepergiannya, beliau bersabda:
‘Aku titipkan kepada Allah agama kalian, amanah kalian, dan penutup amal perbuatan kalian.’
- Bepergian dengan ditemani empat atau tiga orang setelah memilih orang. orang yang layak bepergian dengannya, karena ada yang mengatakan bahwa bepergian itu pengungkap jati diri seseorang. Dinamakan safa, karena ia akan menyingkap akhlak (karakter) seseorang. Rasulullah ii bersabda terkait larangan safar seorang diri:
“Satu pengendara adalah setan, dua pengendara adalah dua setan, dan tiga pengendara adalah kafilah (rombongan musafir).’”
“Seandainya manusia mengetahui bahaya yang ada dalam bepergian sendiri seperti yang aku ketahui, tentu tidak akan ada seorang pun bepergian sendiri pada malam hari.”
- Rombongan musafir sebaiknya menunjuk salah seorang dari mereka untuk memimpin rombongan dengan cara bermusyawarah, Rasulullah bersabda:
“Apabila ada tiga orang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin rombongan.”
- Mengerjakan shalat Istikharah sebelum bepergian, karena Rasulullah menganjurkan hal tersebut. Bahkan beliau mengajarkannya kepada para sahabat sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surat dari Al-Qur’an. Beliau juga mengajarkan shalat Istikharah dalam seluruh urusan yang lain.
- Ketika meninggalkan rumah, hendaknya berdoa dengan doa berikut:
“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya upaya serta kekuatan kecuali dari Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak sesat atau disesatkan, agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak berbuat zalim atau dizalimi, agar aku tidak bertindak bodoh atau dibodohi.”
Jika telah menaiki kendaraan, hendaknya berdoa:
“Dengan nama Allah, dengan pertolongan Allah, Allah Maha besar. Aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya upaya serta kekuatan kecuali dari Allah Yang Maha tinggi lagi Maha agung. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Mahasuci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sungguh kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu kebaikan dan ketakwaan, serta amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkan kami dalam perjalanan ini, dan dekatkanlah kepada kami jaraknya yang jauh. Ya Allah, Engkaulah sahabat dalam bepergian serta sebagai pengurus keluarga (kami). Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, kerugian saat kami kembali, serta akibat buruk pada harta, keluarga, dan anak.”
- Berangkat pada hari Kamis di permulaan siang. Ini berdasarkan Sabda Rasulullah:
“Ya Allah, berkahilah umatku di pagi harinya.”
Dan juga berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwasanya beliau biasa bepergian pada hari Kamis.
- Bertakbir setiap kali menjumpai jalan menanjak, sebagaimana hadits Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin bepergian, maka berilah aku wasiat.” Maka Rasulullah bersabda:
“Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan bertakbir di setiap tempat yang tinggi (jalan menanjak).”
- Apabila takut kepada manusia, hendaknya ia berdoa:
“Ya Allah, sungguh kami menjadikan-Mu pada kebinasaan mereka dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka.” Rasulullah juga pernah berdoa dengan doa ini.
- Berdoa kepada Allah dalam perjalanannya serta meminta kebaikan dunia dan akhirat. Sebab, doa dalam perjalanan itu mustajab (dikabulkan). Rasulullah bersabda:
“Tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya: doa orang yang terzalim, doa orang yang bepergian, dan doa orang tua untuk anaknya.”
- Apabila singgah di suatu tempat, hendaknya ia berdoa:
“aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan apa yang Dia ciptakan.”
Apabila malam telah tiba, hendaknya ia berdoa:
“Wahai bumi, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah, aku berlindung kepada Allah dari keburukanmu dan kejahatan apa saja yg ada padamu, kejahatan makhluk yang ada padamu, keburukan segala hewan yang melata di permukaanmu. Aku berlindung kepada Allah dari singa dan orang-orang jahat, dari ular dan kalajengking, dari penghuni suatu tempat, serta dari orang tua dan keturunannya.”
- Apabila takut dengan kesepian dan kesendirian, hendaknya ia berdoa:
“Mahasuci Allah yang Maha Merajai, Mahasuci Tuhannya para malaikat dan Jibril. Ditinggikan langit dengan kemuliaan dan keperkasaan-Nya.”
- Apabila tidur di permulaan malam, hendaknya ia membentangkan kedua tangannya. Apabila tidur di akhir malam, hendaknya ia menegakkan salah satu tangannya dan meletakkan kepalanya di telapak tangan satunya agar ia tidak terlelap tidur hingga tidak bisa mengerjakan shalat Subuh pada waktunya.
- Apabila telah dekat dengan kota (tempat tinggalnya), hendaknya ia berdoa:
‘Ya Allah jadikanlah kota itu sebagai tempat tinggal kami dan berikanlah rezeki yang halal. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan yang terdapat padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari bahaya kota ini dan bahaya yang terdapat padanya.’
Nabi biasa membaca doa tersebut.
- Segera kembali kepada keluarga dan negerinya jika telah selesai memenuhi kebutuhan dari perjalanannya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Perjalanan adalah sepotong dari siksaan yang menghalangi salah seorang dari kalian dari makanan, minuman, dan tidurnya. Maka, apabila salah seorang di antara kalian telah selesai memenuhi kebutuhan dalam perjalanannya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”
- Apabila kembali dari bepergian, hendaknya ia bertakbir tiga kali dan berdoa:
“Kami kembali, sebagai hamba yang bertobat, beribadah, serta memuji kepada Tuhan kami.”
Hendaknya ia mengulang-ulang doa tersebut, karena Rasulullah melakukan yang demikian.
- Tidak mendatangi keluarganya di malam hari, tapi sebaiknya mengutus seseorang kepada keluarganya untuk menyampaikan kabar tentang kedatangannya sehingga tidak mengejutkan mereka. Sebab, yang demikian ini termasuk petunjuk Nabi.
- Wanita tidak boleh bepergian selama sehari semalam kecuali bersama mahramnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir berpergian selama sehari semalam kecuali dengan disertai mahramnya. “
Seorang muslim berpandangan bahwa berpakaian itu telah diperintahkan oleh Allah di dalam firman-Nya:
“Wahai anak cucu Adam! pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Pakaian juga merupakan nikmat yang diberikan kepadanya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai anak cucu Adam! sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu, Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik…” (Al-A’raf: 26)
“.Dan Dia menjadikan pakaian bagimu yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan…” (An-Nahl: 81)
“Dan Kami ajarkan (pula) kepada Dawud cara membuat baju besi untukmu, guna melindungi kamu dalam peperanganmu. Apakah kamu bersyukur (kepada Allah?” (Al-Anbiya’: 80)
Rasulullah juga telah memerintahkannya di dalam sabdanya:
“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian tanpa kikir dan tanpa sombong.”
Selain itu, beliau telah menjelaskan apa saja yang boleh dipakai, apa yang tidak boleh dipakai, apa yang disunahkan, dan apa yang dimakruhkan untuk dipakai. Oleh karena itu, seorang muslim harus berpegang dengan Adab-adab berikut dalam berpakaian:
Pertama: Tidak memakai sutra sama sekali, baik untuk pakaian, sorban, maupun selainnya. Rasulullah bersabda:
“janganlah kalian memakai sutra, karena barang siapa memakainya di dunia, maka ia tidak akan memakainya di akhirat.”
Suatu ketika Rasulullah mengambil sutra lalu meletakkannya di tangan kanannya, dan mengambil emas lalu meletakkannya di tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya dua barang ini haram bagi para lelaki dari umatku.”
Beliau juga bersabda:
“Diharamkan pemakaian sutra dan emas bagi para lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”
Kedua: Tidak memperpanjang pakaian atau celananya, atau burnus (sejenis mantel yang bertudung kepala), atau selendangnya hingga melebihi dua mata kakinya. Rasulullah bersabda:
“Kain yang melebihi dua mata kaki adalah di neraka.”
“Isbal (menjulurkan kain) itu berlaku pada sarung, baju, dan sorban. Barang siapa memanjangkan salah satu darinya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.’”
“Allah tidak akan melihat orang yang menyeret pakaiannya (memanjangkannya) karena sombong.”
Ketiga: Lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih daripada warna-warna lainnya, dan tetap berpandangan bahwa penggunaan semua warna adalah diperbolehkan. Rasulullah bersabda:
“Pakailah pakaian yang berwarna putih, karena itu lebih suci dan lebih baik, dan gunakanlah untuk mengafani orang-orang yang meninggal di antara kalian.”
Al-Bara’ bin Azib as berkata, “Rasulullah adalah sosok yang berperawakan sedang. Aku pernah melihat beliau mengenakan pakaian berwarna merah dan aku tidak pernah melihat orang lain yang lebih tampan daripada beliau.”
Diriwayatkan pula, bahwasanya beliau pernah mengenakan pakaian yang berwarna hijau dan menggunakan sorban berwarna hitam.
Keempat: Wanita Muslimah wajib memanjangkan pakaiannya hingga menutupi kedua kakinya, dan menjulurkan kerudung di kepalanya hingga menutupi leher dan dadanya. Sebagaimana firman Allah:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…’.” (Al-Ahzab: 59)
“.-Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka…” (An-Nur: 31)
Aisyah Berkata:
“Semoga Allah merahmati wanita-wanita yang ikut berhijrah (ke Madinah) pertama kali. Ketika Allah menurunkan ayat, ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,’ maka mereka segera memotong kelebihan kain mereka, lalu mereka gunakan sebagai kerudung.”
Ummu Salamah berkata, “Ketika turun ayat, ‘Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, ‘maka keluarlah para wanita Anshar yang seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak karena pakaian yang mereka kenakan.”
Kelima: Kaum laki-laki tidak mengenakan cincin emas, sebagaimana Rasulullah bersabda tentang emas dan sutra:
“Sesungguhnya dua barang ini haram bagi para lelaki dari umatku.”
“Diharamkan pemakaian sutra dan emas bagi para lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”
Ketika beliau melihat cincin emas di tangan seorang laki-laki, maka beliau melepas cincin tersebut dan membuangnya seraya bersabda, “Salah seorang diantara kalian akan pergi mengambil batu dari neraka, lalu meletakkannya di tangannya.” Setelah Rasulullah pergi, dikatakan kepada laki-laki tersebut, “Ambil cincinmu dan manfaatkanlah!” Orang tersebut menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin itu selamanya, karena Cincin itu telah dibuang oleh Rasulullah.”
Keenam: Seorang muslim diperbolehkan mengenakan cincin dari perak atau mengukir namanya pada batu cincinnya, lalu ia gunakan sebagai stempel surat-surat, buku-buku, atau menandatangani cek, dan lain sebagainya Sebab, Rasulullah pernah mengenakan cincin dari perak yang diukir dengan tulisan “Muhammad Rasulullah.” Beliau mengenakan cincin perak itu di jari kelingking tangan kirinya.
Anas bin Malik berkata, “Cincin Nabi dipakai di sini.” la memberi isyarat ke jari kelingking tangan kirinya.”
Ketujuh: Seorang muslimah tidak dibenarkan menutupkan kain ke seluruh tubuhnya tanpa menyisakan celah untuk kedua tangannya. Hal ini Karena Rasulullah melarangnya. Beliau juga melarang berjalan dengan satu sandal, sebagaimana sabdanya:
‘Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal, tapi hendaknya ia melepas kedua-duanya, atau menggunakan kedua-duanya.’
Kedelapan: Laki-laki muslim tidak boleh mengenakan pakaian muslimah, dan wanita muslimah tidak boleh mengenakan pakaian laki-laki. Rasulullah melarang hal itu dalam sabdanya:
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
“Allah melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.
Kesembilan: Apabila mengenakan sandal, memulainya dengan kaki kanan. Dan jika melepasnya, maka memulainya dengan kaki kiri. Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian mengenakan sandal, hendaklah ia memulai dengan kaki kanan. Dan jika ia melepasnya, hendaklah ia memulai dengan kaki kiri. Hal ini supaya kaki kanan menjadi yang pertama kali dikenakan sandal dan yang terakhir kali dilepas.”
Kesepuluh: Apabila berpakaian, mulailah dengan tangan kanan. Aisyah menuturkan, “Bahwasanya Rasulullah suka memulai dengan yang kanan dalam segala hal, dalam mengenakan sandal, bersisir, dan bersuci.”
Kesebelas: Apabila mengenakan pakaian atau sorban baru, atau pakaian apa saja yang baru, hendaknya ia berdoa:
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkaulah yang telah memberiku pakaian. Aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang ada padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang ada padanya.”
Nabi senantiasa melantunkan doa ini ketika memakai pakaian baru.
Kedua belas: Mendoakan saudaranya yang muslim ketika melihatnya mengenakan baju baru:
“Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.”
Rasulullah pernah berdoa seperti itu untuk Ummu Khalid Yang mengenakan pakaian baru.
Seorang muslim dengan sifatnya sebagai pemeluk agama Islam, ia terikat dengan ajaran-ajaran Tuhan-nya dan sunah Nabi-nya. Pemeluk agama Islam hidup dan menyesuaikan diri dalam segala urusannya di atas landasan Al. Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu : ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka…” (Al-Ahzab: 36)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Al-Hasyr: 7)
Rasulullah bersabda:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.’”
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya berpegang dengan Adab-adab berikut dalam hal merawat diri (sunah fitrah) yang telah diriwayatkan dari Nabi dalam sabda beliau:
“Sunah-sunah fitrah itu ada lima: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”
Adab-adab merawat diri adalah sebagai berikut:
- Al-Istihdad (mencukur bulu kemaluan).
- Khitan.
3, Memotong kumis.
4 Mencabut rambut ketiak.
- Memotong kuku.
Al-istihdad (mencukur rambut kemaluan). Yaitu, mencukur rambut kemaluan dengan sesuatu yang tajam, seperti pisau dan semisalnya. Tidak mengapa pula menghilangkannya dengan obat penghilang rambut.
Khitan, yaitu memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki. Khitan disunahkan dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran, karena Rasulullah mengkhitankan Al-Hasan dan Al-Husain—anak Fathimah AzZahra’ dan Ali bin Abu Thalib pada hari ketujuh kelahirannya. Khitan boleh ditunda sampai anak belum mencapai usia balig, karena Nabi Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun.
Diriwayatkan dari Nabi, bahwa jika ada seseorang masuk Islam melalui tangan beliau, maka beliau berkata kepadanya, “Buanglah darimu rambut kekafiran dan berkhitanlah.”
Memotong kumis. Hendaknya seorang muslim memotong kumisnya, yang menjuntai di atas kedua bibirnya. Adapun jenggot, maka Biarkanlah, hingga memenuhi wajahnya. Rasulullah bersabda:
“Potonglah kumis, panjangkan jenggot, dan selisihilah orang-orang Majusi.”
“Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan panjangkan jenggot.”
Dengan demikian, maka diharamkan mencukur jenggot. Selain itu, Orang muslim harus menghindari mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lain, sebagaimana perkataan Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah melarang mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lain.”
Hendaknya seorang muslim menghindari menyemir jenggotnya dengan warna hitam. Rasulullah bersabda ketika ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq dihadapkan kepada beliau pada saat penaklukan Mekah yang rambutnya seakan-akan seperti pohon tsaghamah (sejenis pohon yang buah dan bunganya berwarna putih):
“Bawalah ia menemui salah satu istrinya, maka hendaklah istrinya menyemir rambutnya, dan hindarilah warna hitam.”
Adapun menyemirnya dengan inai dan katam (sejenis tanaman), maka itu adalah baik.
Jika seorang muslim melebatkan rambut kepalanya dan tidak mencukurnya, maka hendaknya ia memuliakannya dengan menggunakan minyak dan menyisirnya, sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mempunyai rambut, hendaklah ia memuliakannya.”
Mencabut rambut di ketiak. Hendaklah seorang muslim mencabut bulu ketiaknya. Jika ia tidak bisa mencabutnya, ia boleh mencukurnya, atau mengolesinya dengan obat penghilang rambut dan semisalnya agar bisa hilang
Memotong kuku.
Hendaklah seorang muslim memotong kuku-kukunya. pan disunahkan memulainya dari tangan kanan, kemudian tangan kiri, kemudian kaki kanan, dan kemudian kaki kiri. Sebab, Rasulullah senang memulai segala sesuatu dengan tangan yang kanan.
Seorang muslim mengerjakan semua ini dengan niat mengikuti Rasulullah dan mengambil sunahnya, karena segala amal perbuatan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Seorang muslim meyakini bahwa tidur merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
“Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
“Dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat.” (An-Naba’: 9)
Istirahatnya seorang hamba beberapa saat pada waktu malam setelah beraktivitas di siang hari dapat membantu kehidupan jasmani, kelangsungan pertumbuhan dan vitalitasnya, agar dengan itu ia dapat menunaikan tugas yang menjadi tujuan penciptaannya.
Mensyukuri nikmat ini mengharuskan seorang muslim untuk memerhatikan Adab-adab berikut dalam tidurnya:
Pertama: Tidak mengakhirkan tidurnya setelah shalat Isya’ (tidur larut malam), kecuali untuk suatu keperluan, seperti mendiskusikan ilmu, berbincang dengan tamu, atau bercengkrama dengan keluarga. Abu Barzah meriwayatkan bahwa Rasulullah tidak menyukai tidur sebelum shalat Isya’ dan mengobrol sesudahnya.”
Kedua: Berusaha untuk tidak tidur kecuali dalam keadaan berwudhu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Al-Bara’ bin Azib:
“Apabila engkau hendak tidur, maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat.”
Ketiga: Memulai tidur dengan sisi sebelah kanan, berbantal tangan kanannya, dan tidak mengapa jika berpindah ke sisi kirinya setelah itu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah # kepada Al-Bara’ bin Azib:
“Apabila engkau hendak tidur, maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat, lalu tidurlah pada sisi sebelah kanan.”
Rasulullah juga bersabda:
“Apabila engkau hendak tidur dan dalam keadaan suci (dari hadats), maka jadikanlah tangan kananmu sebagai bantal.”
Keempat: Tidak tidur dalam keadaan tengkurap, baik pada waktu malam atau siang hari, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwasanya Nabi bersabda:
“Sesungguhnya, itu posisi berbaringnya penghuni neraka.”
“Sesungguhnya, itu posisi berbaring yang tidak disukai Allah.”
Kelima: Mengucapkan zikir-zikir yang terdapat dalam hadits, di antaranya:
* Mengucapkan subhanallah, al-hamdulillah, dan allahu akbar sebanyak tiga puluh tiga kali. Kemudian mengucapkan:
“Tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah yang meminta pembantu kepada beliau untuk membantu pekerjaan mereka di rumah, beliau bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta? Apabila kalian hendak tidur, maka bertasbihlah sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertakbir sebanyak tiga puluh empat kali. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.”
* Membaca surat Al-Fatihah, lima ayat pertama surat Al-Baqarah, ayat kursi, dan tiga ayat terakhir surat Al-Baqarah. Ini berdasarkan riwayat yang menganjurkan hal tersebut.
* Menjadikan ucap yang terakhir diucapkan adalah doa yang diriwayatkan, dari Nabi yaitu:
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku membaringkan tubuhku, dan dengan nama-Mu aku dapat mengangkatnya. Ya Allah, apabila Engkau mengambil diriku (mati), ampunilah diriku ini. Dan apabila Engkau membebaskannya (hidup), maka jagalah diriku ini, sebagaimana Engkau menjaga orang-orang saleh di antara hamba-hamba-Mu. Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, aku meminta ampunan dan bertobat kepada-Mu, aku beriman dengan kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, serta Nabi-Mu yang telah Engkau utus. Ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang datang, yang aku sembunyikan dan yang aku lakukan secara terang-terangan, dan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkau yang mengakhirkan. Tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Engkau. Ya Tuhan, selamatkanlah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.
* Apabila terbangun di sela-sela tidurnya, hendaknya ia membaca doa berikut:
“Tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, Allah Maha besar, tiada daya upaya serta kekuatan kecuali dari Allah.”
Setelah itu, ia boleh berdoa apa saja, karena doanya akan terkabulkan, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengigau di malam hari lalu membaca doa (tersebut di atas) ketika bangun… kemudian berdoa (apa saja), maka akan dikabulkan doanya. Jika dia berwudhu lalu shalat, maka shalatnya diterima.”
Atau ia berdoa dengan doa berikut:
“Tidak ada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu untuk dosaku, dan aku meminta rahmat-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku, jangan Engkau condongkan hatiku kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk. Dan karuniakanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).”
Keenam: Pada pagi harinya, hendaknya ia membaca zikir-zikir berikut:
* Ketika bangun tidur dan sebelum berdiri dari tempat tidur nya membaca doa:
“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nyalah kita akan dibangkitkan.”
* Mengangkat pandangannya ke langit sembari membaca sepuluh ayat terakhir surat Ali Imran apabila ia bangun untuk shalat tahajjud. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas a, “Ketika aku menginap di rumah Maimunah, istri Rasulullah. Rasulullah tidur hingga pertengahan malam, mendekati atau melewati sedikit, kemudian bangun dan duduk seraya mengusap kantuk dari wajahnya dengan tangannya, kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir surat Ali Imran. Setelah itu beliau mendekati geriba yang tergantung, lalu berwudhu darinya dan menyempurnakan wudhunya, kemudian beliau shalat.”
* Membaca doa berikut ini sebanyak empat kali:
“Ya Allah, sungguh aku berpagi hari dengan mempersaksikan kepadaMu, mempersaksikan pembawa Arasy-Mu, malaikat-malaikat-Mu, dan segenap makhluk-Mu bahwa Engkau adalah Allah, sungguh tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau dan bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu.” Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengucapkannya (doa di atas) sekali, maka Allah akan membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Barang siapa mengucapkannya sebanyak dua kali, maka Allah akan membebaskan separoh dirinya dari api neraka. Barang siapa yang mengucapkannya sebanyak tiga kali, maka Allah akan membebaskan tiga perempat dirinya dari api neraka. Dan barang siapa membacanya sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskan dirinya dari api neraka.’
Ketujuh: Apabila meletakkan kakinya di depan pintu untuk keluar, hendaknya mengucapkan doa berikut:
“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya upaya serta kekuatan kecuali dari Allah.”
Rasulullah bersabda, “Apabila seorang hamba mengucapkan doa ini, maka dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah mendapatkan kecukupan, telah mendapat perlindungan, dan setan menjauh darimu’.”
Kedelapan: Apabila meninggalkan rumah hendaknya mengucapkan doa perikut:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak berbuat zalim atau dizalimi, agar aku tidak bertindak bodoh atau dibodohi.” Yang demikian itu berdasarkan perkataan Ummu Salamah, “Rasulullah a tidak pernah keluar dari rumahku melainkan beliau mengangkat pandangannya ke langit seraya berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepadaMu agar aku tidak tersesat atau disesatkan, agar aku tidak tergelincir atau digelincirkan, agar aku tidak berbuat zalim atau dizalimi, agar aku tidak bertindak bodoh atau dibodohi’.”
Akhlak adalah kondisi kuat yang ada dalam jiwa yang darinya muncul tindakan-tindakan yang bersifat sukarela (fakultatif), baik berupa kebaikan, kejelekan, keelokan, maupun keburukan. Secara alami, kondisi ini dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang baik dan yang buruk.
Apabila kondisi ini dididik untuk lebih menyukai kemuliaan dan kebenaran; antusias terhadap kebaikan; serta dibiasakan untuk mencintai keelokan dan membenci keburukan, maka hal itu akan menjadi tabiatnya. Dengan tabiat itu akan muncul perbuatan-perbuatan baik dengan mudah tanpa ada keterpaksaan. Itulah yang disebut dengan akhlak baik.
Perbuatan-perbuatan baik itu akan muncul dari diri seseorang tanpa paksaan, seperti murah hati, sabar, tabah, dermawan, berani, adil, berbuat baik, serta akhlak-akhlak mulia dan kesempurnaan jiwa lainnya.
Sebaliknya, jika kondisi tersebut diabaikan dan tidak dididik dengan pendidikan yang tepat, unsur-unsur kebaikan yang terpendam di dalamnya tidak disemai, atau justru dididik dengan pendidikan yang buruk sehingga kejelekan menjadi sesuatu yang disukai dan keelokan menjadi sesuatu yang dibenci, maka akan muncul darinya perkataan maupun perbuatan buruk secara otomatis, tanpa suatu paksaan. Itulah yang disebut dengan akhlak buruk.
Perilaku dan ucapan tercela yang keluar dari dirinya disebut akhlak tercela, seperti, khianat, dusta, keluh kesah, tamak, keras, kasar, keji, tidak sopan, dan lain sebagainya.
Dari sinilah Islam menyeru kaum muslimin untuk berakhlak mulia dan menanamkannya dalam jiwa-jiwa mereka. Keimanan seorang hamba diukur
Sesuai kadar kemuliaan jiwanya, dan Islam seorang hamba dinilai sesuai kebaikan akhlaknya. Allah telah memuji Nabi-Nya dengan kebaikan akhlaknya. Dia berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (Al-Qalam: 4) Allah juga memerintahkan beliau agar berakhlak dengan akhlak yang baik. Dia berfirman:
“….Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tibatiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)
Allah telah menjadikan akhlak mulia sebagai penyebab untuk mendapatkan surga yang tinggi. Dia berfirman:
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali-Imran: 133134)
Allah juga mengutus Rasul-Nya untuk menyempurnakan akhlak tersebut. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Rasulullah telah menjelaskan keutamaan akhlak yang baik dalam banyak sabdanya. Di antaranya adalah:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal selain akhlak yang baik.”
“Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik.”
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
“Sesungguhnya, di antara orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
Rasulullah pernah ditanya mengenai amalan yang paling utama, maka beliau menjawab, “Akhlak yang baik.”
Beliau juga pernah ditanya mengenai sesuatu yang paling banyak dapat memasukkan ke surga, maka beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.’
Beliau juga bersabda:
“Sesungguhnya, seorang hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat yang agung di akhirat dan tempat tinggal yang mulia, kendati amal ibadahnya ringan.”
Pendapat para ulama salaf dalam menjelaskan akhlak yang baik
* Al-Hasan berkata, “Akhlak yang baik adalah berwajah ceria, menebarkan kebaikan, dan mencegah gangguan (keburukan).”
* Abdullah bin Mubarak berkata, “Akhlak yang baik ada dalam tiga sifat: menjauhi Hal-hal yang haram; mencari yang halal; dan berlaku lapang terhadap keluarga.”
* Ulama yang lain berkata, “Akhlak yang baik adalah dekat dengan manusia, tapi asing di tengah-tengah mereka.”
* Ulama yang lain berkata, “Akhlak yang baik adalah mencegah gangguan (keburukan) dan ikut menanggung beban orang mukmin.”
* Ulama lainnya lagi berkata, “Akhlak yang baik adalah engkau tidak memiliki tujuan selain Allah .”
Semua definisi di atas mempunyai sudut pandang masing-masing. Adapun definisi akhlak yang sebenarnya adalah, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Para ulama juga menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki akhlak baik, yakni: pemalu, jarang menyakiti, suka berbuat kebaikan, jujur, sedikit bicara, banyak beramal, sedikit kesalahan, tidak banyak menonjolkan diri, berbakti, menyambung kekerabatan, tenang, sabar, suka berterima kasih, ridha, gantun, menepati janji, dan menjaga harga diri. Tidak suka melaknat, mencela, mengadu domba ataupun menggunjing. Tidak gegabah, dengki, bakhil, dan tidak pula iri hati. Berwajah gembira dan murah senyum, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, ridha karena Allah dan marah karena Allah. Semua itu termasuk definisi orang yang memiliki akhlak mulia dilihat dari sebagian sifat-sifatnya.
Pada pasal-pasal berikutnya akan dijelaskan sifat-sifat akhlak baik tersebut satu persatu. Dengan terkumpulnya seluruh sifat-sifat tersebut, maka akan terlihatlah akhlak yang baik berdasarkan bagian-bagiannya. Dan orang yang memiliki akhlak yang baik akan terlihat istimewa dengan sifat-sifatnya.
Di antara kebaikan akhlak seorang muslim adalah sabar dan tabah menghadapi gangguan karena Allah.
Sabar adalah menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai dengan penuh keridhaan dan kepasrahan. Seorang muslim menahan diri atas sesuatu yang tidak disukainya, seperti dalam ibadah dan ketaatan kepada Allah. la mewajibkan dirinya untuk beribadah dan menahan dirinya dari bermaksiat kepada Allah. Ia tidak mengizinkan dirinya mendekati kemaksiatan tersebut, apalagi melakukannya kendati dirinya tertarik dan menginginkannya.
Ia juga menahan diri atas musibah yang menimpa, sehingga ia tidak berduka ataupun merasa jengkel dan gusar atas musibah tersebut. Sebab, menurut ahli hikmah, berduka atas sesuatu yang hilang adalah bencana dan berduka atas sesuatu yang diharapkan adalah kebodohan. Adapun merasa jengkel terhadap takdir (ketetapan) Allah berarti mencerca Allah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa.
Hendaknya, ketika seorang muslim tertimpa musibah, ia mengingat janji Allah yang akan memberikan balasan yang baik atas semua amal ketaatan dan ganjaran besar yang telah disiapkan untuk para pelakunya, serta mengingat ancaman-Nya kepada orang-orang yang dimurkai-Nya dan para pelaku kemaksiatan berupa azab yang pedih lagi keras.
Dia senantiasa mengingat bahwa takdir-takdir Allah pasti berlaku, ketetapannya adalah adil dan hukum-Nya pasti terlaksana, baik hamba itu sabar ataupun merasa gelisah. Hanya saja, bersama kesabaran itu ada pahala dan bersama kegelisahan ada dosa.
Sabar dan tidak merasa gelisah merupakan bagian dari akhlak yang bisa diperoleh dengan latihan dan kesungguhan. Maka, hendaknya seorang muslim meminta kepada Allah agar memberinya kesabaran dengan mengingat perintah-Nya dan pahala yang dijanjikan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Ali-Imran: 200)
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat…” (Al-Baqarah: 45)
“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah…” (An-Nahl: 127)
“..Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
“…Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)’ Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
“,..Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96)
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Rasulullah bersabda:
“Sabar adalah cahaya.”
“Barang siapa bersikap iffah (memelihara diri dari meminta-minta), maka Allah akan memeliharanya pula. Barang siapa merasa cukup dengan apa yang ada, maka Allah akan mencukupinya pula. Dan barang siapa sabar, maka Allah akan menambah kesabarannya, Tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih melapangkan dada daripada kesabaran.”
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin itu, semua urusannya adalah baik baginya, dan itu tidak dimiliki kecuali orang mukmin. Apabila mendapat kesenangan, maka ia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila mendapat kesulitan, maka ia bersabar dan itu baik baginya.”
Rasulullah pernah bersabda kepada putrinya yang mengirim utusan untuk meminta kehadiran beliau ketika anak laki-lakinya mendekati ajal, Beliau bersabda kepada utusan putrinya itu:
“Sampaikan salam kepadanya dan katakan, ‘Sesungguhnya, milik Allah sajalah segala yang diambil dan yang diberikan, dan segala sesuatu mempunyai batasan waktu tertentu, hendaklah engkau bersabar dan mengharap-harap ganjaran’.”
Rasulullah bersabda:
‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (kedua matanya/buta), lalu ia bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.’”
“Barang siapa di kehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya.’”
“Sesungguhnya, besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Maka, siapa yang ridha (terhadap ujian itu), baginya ridha Allah, tapi siapa yang marah (terhadap ujian itu), baginya murka Allah.”
“Ujian akan senantiasa menimpa seorang mukmin pada diri, anak, dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu kesalahan pun.”
Tabah menghadapi gangguan juga termasuk kesabaran, tapi lebih berat. Tabah merupakan perniagaan para shiddiqin dan slogannya orang-orang saleh. Hakikatnya, apabila seorang muslim diganggu karena Allah, maka ia akan bersabar dan tabah menghadapinya. Ja tidak akan membalas keburukan tersebut dengan keburukan semisal, tidak dendam karena egonya dan tidak berpengaruh terhadap kepribadiannya, selama hal itu ada pada jalan Allah dan dapat menghantarkan kepada keridhaan-Nya.
Teladan dalam ketabahan adalah para rasul dan orang-orang saleh, karena jarang sekali dari mereka yang tidak disakiti dan tidak diuji dalam perjalanannya menuju Allah.
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Sepertinya aku melihat Rasulullah sedang bercerita tentang seorang nabi yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah-darah. Lalu nabi tersebut mengusap darah yang mengalir dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’.”
Inilah salah satu gambaran ketabahan Rasulullah dalam menghadapi gangguan. Bentuk ketabahan beliau yang lain adalah, ketika suatu hari beliau membagi-bagikan harta, lalu salah seorang Arab badui berkata, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mengharap wajah Allah.” Tatkala perkataan itu sampai kepada Rasulullah, maka kedua pipi beliau memerah, lalu beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati saudaraku, Musa. Sungguh, ia telah disakiti lebih dari ini dan ia tetap bersabar.”
Khabab bin Al-Art berkata, “Kami pernah mengadu kepada Rasulullah, ketika itu beliau sedang berbantalkan kain burdah di bawah naungan Ka’bah. Kami berkata, ‘Tidakkah engkau memohon pertolongan kepada Allah untuk kami?’ Kemudian beliau menjawab, ‘Telah ada orang sebelum kalian yang dikubur ke dalam tanah kemudian digergaji kepalanya sehingga terbelah menjadi dua, dan ada pula yang disisir daging serta uratnya dengan sisir besi, tapi semua itu tidak menghalanginya dari agamanya’.”
Allah telah mengisahkan kepada kita tentang para rasul dan perkataan mereka saat menghadapi gangguan. Dia berfirman:
“Dan mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah, sedangkan Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh akan tetap bersabar tarhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakal berserah diri.” (brahim: 12)
Isa bin Maryam pernah berkata kepada bani Israil, “Telah dikatakan kepada kalian sebelum ini bahwa gigi dibalas dengan gigi, dan hidung dibalas dengan hidung. Sekarang aku katakan kepada kalian, ‘Janganlah kalian membalas keburukan dengan keburukan yang sama. Barang siapa memukul pipi kananmu, maka berikan pipi kirimu kepadanya. Dan barang siapa mengambil bajumu, maka berikan sarungmu kepadanya’.”
Sebagian sahabat Rasulullah berkata, “Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan jika ia tidak bersabar terhadap siksa.”
Berdasarkan contoh-contoh kesabaran dan ketabahan di atas, seorang muslim dapat melatih hidupnya dengan sabar; mengharap ridha Allah; tabah menghadapi cobaan; tidak mengeluh; tidak murka; tidak membalas keburukan dengan keburukan yang sama, tapi membalas kejahatan dengan kebaikan; memaafkan; bersabar dan memberi ampunan. Allah berfirman:
‘Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (Asy Syura’: 43)
Seorang muslim tidak hanya memandang tawakal kepada Allah dalam seluruh amalan sebagai satu kewajiban akhlak semata, tapi memandangnya sebagai satu kewajiban agama dan termasuk bagian dari akidah Islam. Sebagaimana perintah Allah ax dalam firman-Nya:
“..Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah: 23)
“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali-Imran: 122)
Berdasarkan ayat di atas, tawakal secara penuh kepada Allah menjadi bagian dari akidah seseorang yang beriman kepada Allah. Sebab, seorang muslim tunduk kepada Allah dengan bertawakal kepada-Nya dan menyerahkan diri secara sempurna di hadapan-Nya.
Tawakal tidak bisa dipahami sebagaimana yang dipahami oleh orang. orang yang bodoh terhadap Islam dan memusuhi akidah kaum muslimin. Mereka memahami bahwa tawakal hanyalah untaian kalimat yang diucapkan oleh lisan dan tidak dipahami oleh hati; digerakkan oleh mulut dan tidak dimengerti oleh akal atau tidak direnungkan oleh pikiran. Atau, ia bertawakal tapi mengabaikan sebab-sebab, meninggalkan amal, merasa cukup dengan kehinaan dan kerendahan di bawah slogan tawakal kepada Allah dan ridha terhadap ketetapan takdir.
Seorang muslim memahami tawakal yang merupakan bagian dari keimanan dan akidahnya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dengan menghadirkan seluruh sebab-sebab yang dipinta untuk suatu amalan yang hendak ia kerjakan. Sehingga, ia tidak akan terobsesi pada hasil tanpa mengerjakan sebab-sebabnya dan tidak mengharap buahnya tanpa melakukan proses-prosesnya. Hasil dari sebab-sebab dan proses-proses tersebut ia serahkan kepada Allah , karena hanya Dialah Yang Mahakuasa atas itu semua dan bukan selain-Nya.
Jadi, tawakal bagi seorang muslim adalah amalan dan harapan yang disertai ketenangan hati, ketentraman jiwa, serta keyakinan mutlak bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Seorang muslim yang mengimani ketentuan-ketentuan Allah di alam semesta, maka ia akan mempersiapkan sebab-sebab yang menjadi tuntutan suatu amal serta mengerahkan kesungguhan dalam menghadirkan dan menyempurnakan sebab-sebab tersebut. Namun, ia tidak pernah meyakini bahwa sebab-sebab itu adalah satu-satunya penjamin terwujudnya tujuan dan suksesnya usaha. Dia berpandangan bahwa melakukan sebab-sebab merupakan hal yang paling banyak Allah perintahkan yang wajib untuk ditaati, sebagaimana Dia ditaati dalam hal lain dari apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.
Keberhasilan dan kesuksesan dari usahanya ia serahkan sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Mahakuasa atas semua itu, bukan selain-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti akan terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Berapa banyak orang yang bekerja dan berusaha, tapi ia tidak dapat memakan hasil kerja dan usahanya. Berapa banyak orang yang menanam, tapi ia tidak dapat memanen apa yang ditanamnya.
Dari sini, pandangan seorang muslim terhadap sebab-sebab tersebut adalah bahwa bersandar kepada sebab-sebab dan menganggapnya sebagai satu-satunya faktor dalam mewujudkan keinginan merupakan bentuk kekafiran dan kesyirikan yang wajib untuk berlepas diri dari keduanya. Sedangkan meninggalkan sebab-sebab yang dipinta ataupun mengabaikannya padahal ia mampu mempersiapkan dan mewujudkannya, maka itu merupakan bentuk kefasikan dan kemaksiatan yang diharamkan dan wajib untuk meminta ampunan kepada Allah dari keduanya.
Dalam memandang sebab-sebab ini, falsafah seorang muslim harus bersumber dari ruh Islam dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad. Sebab, ( ketika Rasulullah, terjun ke dalam berbagai peperangannya yang panjang, beliau selalu menyiapkan perbekalan dan menghadirkan sebab-sebab kemenangan di dalamnya, sampai dalam ha! memilih lokasi dan waktu untuk memulai bertempur.
Telah diriwayatkan bahwasanya beliau tidak memulai penyerangan di waktu panas kecuali setelah cuaca menjadi dingin dan udaranya sejuk pada akhir siang, setelah beliau menyusun strategi dan mengatur barisan. Setelah selesai menyiapkan sebab-sebab materi yang menjadi tuntutan keberhasilan sebuah pertempuran, lantas beliau mengangkat tangannya memohon kepada Allah:
“Ya Allah yang menurunkan Kitab, yang menggerakkan awan, yang menghancurkan pasukan Ahzab, hancurkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka.’”
Itulah petunjuk Rasulullah, yaitu menggabungkan antara sebab. sebab yang bersifat materi dan rohani, kemudian menggantungkan urusan keberhasilannya kepada Tuhannya dan menyerahkan kesuksesannya kepada kehendak penciptanya. Ini adalah salah satu contoh.
Contoh yang lain, yakni ketika Rasulullah menunggu perintah Tuhan-nya untuk berhijrah ke Madinah setelah sebagian besar sahabat beliau berhijrah ke sana. Kemudian datanglah izin dari Allah untuk berhijrah. Lantas, apa saja persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Rasulullah untuk berangkat hijrah? Persiapan-persiapan untuk keberhasilan hijrah beliau adalah:
- Menghadirkan teman dari sebaik-baik teman, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menemaninya dalam perjalanan menuju negeri hijrah.
- Menyiapkan bekal perjalanan berupa makanan dan minuman yang diikat oleh Asma’ binti Abi Bakar dengan ikat pinggangnya sehingga ia dijuluki dzatun nithaqain (wanita pemilik dua ikat pinggang).
- Menyiapkan kendaraan yang istimewa untuk dikendarai dalam perjalanan yang sulit dan panjang ini.
- Menghadirkan ahli geografis yang mengetahui jalur-jalur perjalanan yang sulit agar menjadi penunjuk jalan dalam perjalanan yang sukar ini.
- Ketika hendak keluar rumah yang telah dikepung oleh musuh, beliau terlebih dahulu memerintahkan Ali bin Abi Thalib agar tidur di ranjangnya sebagai upaya mengelabui musuh yang masih terus menunggu keluarnya beliau untuk dibunuh. Kemudian beliau dapat keluar dan meninggalkan musuh yang masih saja menunggu-nunggu bangunnya beliau yang terlihat oleh mereka dari celah-celah pintu.
- Ketika orang-orang musyrik mencari dan mengejar beliau, maka beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq berlindung ke gua Tsur; bersembunyi dari penglihatan orang-orang yang dengki dan dendam kepada beliau.
- Ketika Abu Bakar berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, tentulah ia akan melihat kita.” Rasulullah bersabda kepadanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang sementara Allah menjadi yang ketiga?’
Berdasarkan peristiwa di atas, tampaklah keimanan dan kepasrahan yang hakiki secara bersamaan. Rasulullah tidak pernah memungkiri sebab-sebab dan tidak pula bergantung pada sebab-sebab itu. Dan sesungguhnya, usaha terakhir seorang mukmin adalah kepasrahannya di hadapan Allah. dan menyerahkan urusan hanya kepada-Nya dalam keadaan yakin dan tenang.
Ketika Rasulullah merealisasikan seluruh sarana dalam mencari keselamatan dalam gua gelap yang dihuni oleh kalajengking dan ular, dengan kepercayaan seorang mukmin dan keyakinan orang yang bertawakal beliau berkata kepada sahabatnya yang sedang dilanda rasa ketakutan, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang sementara Allah menjadi yang ketiga?”
Dari petunjuk dan pengajaran Rasulullah ini, seorang muslim dapat mengkaji pandangannya terhadap sebab-sebab tersebut. Sehingga ia bukan termasuk orang yang melakukan kebid’ahan atau tindakan yang melampaui batas, tapi ia adalah orang yang meniru dan mengikuti beliau.
Adapun bersandar pada diri sendiri, maka orang mukmin tidak boleh memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang yang tertutup jiwanya karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Mereka memahami hal itu sebagai bentuk memutus hubungan dengan Allah, dan bahwa seorang hamba adalah pencipta bagi amalan-amalannya; bisa mewujudkan keinginan dengan upaya dirinya tanpa sedikit pun campur tangan Allah. Sungguh, Maha tinggi Allah dari apa yang mereka gambarkan.
Ketika seorang muslim menyatakan wajibnya bersandar pada diri sendiri dalam usaha dan amal, maka yang ia maksudkan adalah tidak menampakkan kebutuhannya kepada selain Allah. Jika ia mampu menuntaskan sendiri pekerjaannya, tentu ia tidak akan bersandar kepada orang lain. Jika ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tentu ia tidak akan meminta bantuan orang lain selain Allah. Sebab, jika ia meminta bantuan kepada orang lain, maka di dalamnya ada bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah, sedangkan hal itu tidak disenangi oleh seorang muslim dan tidak pula diridhai.
Dalam hal ini seorang muslim menempuh jalannya orang-orang saleh dan mengikuti jejaknya para shiddiqin. Pernah ketika cambuk salah seorang dari mereka terjatuh dari tangan, sementara ia sedang berada qj atas kudanya, maka ia turun untuk mengambilnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Rasulullah juga telah membaiat seorang muslim untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat, tapi beliau tidak pernah meminta kebutuhannya kepada seorang pun selain Allah.
Ketika seorang muslim hidup di atas akidah tawakal kepada Allah dan bersandar pada diri sendiri, maka ia telah memelihara akidahnya dan menumbuhkan akhlaknya. Yaitu, dengan cara merenungkan ayat-ayat yang penuh cahaya ini serta hadits-hadits nabi yang menjadi sumber akidahnya dan insipirasi akhlaknya dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan firman Allah
“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, yang tidak mati…” (Al-Furqan: 58)
“,.-Dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung’.” (Ali-Imran: 173)
Rasulullah bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.”
Rasulullah berdoa ketika keluar rumah:
“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuasaan Allah.”
Rasulullah juga bersabda mengenai tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak meramal, tidak mengobati luka dengan besi yang dipanaskan, dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.”
Termasuk akhlak seorang muslim yang ia peroleh dari ajaran dan kebaikan agamanya adalah sikap mengutamakan dan mencintai orang lain daripada diri sendiri. Ketika seorang muslim melihat ada kesempatan untuk berbuat itsar, maka ia mengutamakan dan mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Dia rela kelaparan agar orang lain dapat merasa kenyang, dan rela kehausan agar dapat memuaskan dahaga orang. Bahkan, adakalanya ia rela mati demi menyelamatkan kehidupan orang lain.
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah Sikap seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh atau asing bagi seorang muslim yang ruhnya telah kenyang dengan makna-makna kesempurnaan, jiwanya terbentuk dengan tabiat-tabiat yang baik serta cinta pada keutamaan dan keelokan. Itulah shibghah (ajaran) Allah, dan siapakah yang lebih baik ajarannya dari Allah
Di dalam itsar dan cinta pada kebaikan, seorang muslim menempuh jalannya orang-orang saleh dan orang-orang yang beruntung terdahulu yang telah mendapatkan pujian dari Allah di dalam firman-Nya:
“..Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Sesungguhnya, akhlak mulia seorang muslim dan sifat-sifatnya yang terpuji bersumber dari hikmah Muhammad dan terilhami oleh limpahan rahmat Ilahi. Misalnya, sabda Rasulullah yang telah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
Berpijak pada hadits ini, akhlak seorang muslim akan semakin bertambah tinggi dan mulia.
Akhlak mulia seorang muslim juga terilhami oleh firman Allah yang berbunyi:
“..Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Berpijak pada ayat ini, perasaan orang muslim semakin bertambah kuat dalam mencintai kebaikan dan ingin mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, keluarganya, serta anak-anaknya.
Orang muslim akan senantiasa berhubungan dengan Allah, lisannya akan selalu basah dengan zikir, dan hatinya akan terus sibuk untuk mencintai-Nya. Jika ia merenungi alam sekeliling, maka ia akan mendapat banyak pelajaran. Dan jika menghadirkan hati pada ayat-ayat semisal Al Muzammil dan Fathir, maka ia akan menganggap rendah dunia dan lebih memilih akhirat.
Allah berfirman di dalam surat Al-Muzammil dan Fathir:
“..Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya yang paling baik dan paling besar pahalanya…” (Al-Muzammil: 20)
“..Dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. Agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (Fathir: 29-30)
Jika memang demikian keadaannya, lantas bagaimana mungkin ia tidak akan mendermakan hartanya dengan penuh kerelaan hati? Bagaimana mungkin ia tidak akan menyukai kebaikan dan lebih mengutamakan orang lain? Sementara ia tahu bahwa apa yang diberikannya pada hari ini, kelak ia akan mendapati balasannya lebih baik dan lebih besar pahalanya.
Berikut ini adalah lima bukti sikap itsarmya seorang muslim dan kecintaannya kepada orang lain, yang kami bacakan dengan sebenar. benarnya bagi orang-orang yang berakal:
Pengorbanan Ali bin Abi Thalib
Di Darun Nadwah, majelis para pembesar kaum Quraisy telah menyepakati suatu pendapat yang diusulkan oleh Abu Murrah—semoga Allah melaknatnya—yang memutuskan untuk membunuh Nabi di rumah beliau.
Keputusan yang kejam itu sampai kepada Rasulullah yang saat itu telah mendapatkan izin untuk berhijrah. Maka, beliau pun bertekad untuk segera berhijrah dan mencari orang yang akan meniduri tempat tidurnya di waktu malam guna mengelabui para pengintai yang ingin membinasakan beliau, sehingga beliau dapat meninggalkan rumah dan membiarkan mereka menunggu-nunggu bangunnya beliau dari tempat tidur.
Akhirnya, beliau mendapati putra pamannya, Ali bin Abi Thalib ag, sebagai orang yang pantas untuk melaksanakan tugas pengorbanan itu, Kemudian beliau menawarkan tugas itu kepada Ali. Tanpa ragu-ragu Alj menerima untuk mengorbankan dirinya sebagai tebusan bagi Rasulullah Ali tidur di tempat tidur beliau dan tidak mengetahui kapan tangan-tangan akan merenggut dirinya untuk dilemparkan kepada orang-orang yang haus darah, yang akan mempermainkannya dengan pedang-pedang mereka laiknya bola yang dipermainkan oleh kaki.
Ali tidur dan lebih mengutamakan Rasulullah daripada kehidupannya. Pada usianya yang masih muda, Ali telah memberikan contoh paling indah dalam hal pengorbanan. Demikianlah, seorang muslim akan lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, bahkan rela untuk mengorbankan jiwanya. Sementara mengorbankan jiwa merupakan puncak pengorbanan.
Rela haus demi saudaranya
Hudzaifah Al-Adwi berkata, “Pada saat perang Yarmuk, aku mencari anak pamanku dengan membawa sedikit air. Aku berkata, ‘Jika anak pamanku akan meninggal dunia, aku akan memberinya air dan mengusap wajahnya dengan air.. Ketika aku dapat menemukannya, aku berkata, ‘Apakah engkau mau aku beri minum?’ Kemudian ia memberi isyarat kepadaku bahwa ia memang ingin minum. Tiba-tiba ada orang lain yang berkata, ‘Air, air.’ Maka, Anak pamanku memberi isyarat agar aku pergi kepada orang tersebut. Aku pun mendatangi orang itu dan ternyata ia adalah Hisyam bin Ash. Aku berkata, ‘Apakah engkau mau aku beri minum?’ Namun, Hisyam bin Ash mendengar suara orang lain yang berkata, ‘Air, air.’ Kemudian Hisyam bin Ash memberi isyarat agar aku pergi kepada orang tersebut. Aku pun mendatangi orang itu, tapi ternyata ia telah meninggal dunia. Aku balik ke tempat Hisyam bin Ash, ternyata ia telah meninggal dunia. Kemudian aku balik ke tempat anak pamanku, ternyata ia juga telah meninggal dunia. Semoga Allah merahmati mereka semua.”
Begitulah ketiga syuhada’ tersebut memberikan contoh paling ideal dalam hal itsar dan lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Demikian kondisi orang muslim dalam kehidupan ini.
Sepotong roti untuk tiga puluh orang
Diriwayatkan bahwa ada tiga puluh orang lebih berkumpul di rumah Hasan Al-Anthaki. Mereka hanya memiliki roti yang terbatas dan tidak bisa mengenyangkan. Mereka meremuk roti tersebut, memadamkan lampu, dan duduk bersama untuk memakannya. Ketika meja makan itu diangkat, ternyata roti tersebut masih utuh dan tidak berkurang sedikit pun. Sebab, masing-masing dari mereka tidak memakannya karena ingin mendahulukan saudaranya yang lain, sehingga mereka semua tidak ada yang makan. Begitulah, setiap muslim yang kelaparan di antara mereka lebih mengutamakan saudaranya yang lain, dan mereka semua adalah ahlu itsar.
Rela kelaparan demi menjamu tamu
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah kedatangan tamu, tapi keluarganya tidak memiliki sedikit pun makanan, Kemudian salah seorang dari kaum Anshar menemui beliau, lalu perg; membawa tamu tersebut ke rumahnya. Di rumahnya, ia menyuguhkan hidangan kepada tamunya dan menyuruh istrinya mematikan lampu. la mengulurkan tangannya pada makanan itu seolah-olah sedang makan, padahal ia tidak makan hingga tamunya selesai makan, sebagai bentuk itsar kepada tamunya atas dirinya sendiri dan keluarganya.
Keesokan harinya, Rasulullah bersabda kepada sahabat Anshar tersebut, “Sungguh Allah takjub dengan apa yang kalian lakukan terhadap tamu kalian tadi malam.” Lalu turunlah ayat, “…Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9).
Meninggal dengan baju pinjaman
Diriwayatkan bahwa seseorang pernah mengunjungi Bisyir bin Al Harits pada saat sakit yang menyebabkan kematiannya. Orang tersebut mengadukan suatu kebutuhan kepadanya. Kemudian Bisyir bin Al-Harits melepas baju yang dikenakannya dan memberikannya kepada orang itu. Lalu ia meminjam sebuah baju yang ia kenakan pada saat kematiannya.
Inilah lima gambaran yang bisa dijadikan contoh oleh seorang muslim dalam hal itsar dan mencintai kebaikan. Sengaja kami sebutkan di sini agar seorang muslim merenunginya sehingga dia kembali mencintai kebaikan, mendahulukan saudaranya, serta dapat terus melazimi kesempurnaan akhlaknya dalam kehidupan. Sebab, ia adalah orang muslim sebelum segala sesuatu.
Secara umum, seorang muslim melihat sikap adil sebagai salah satu kewajiban. Sebab, Allah telah memerintahkan untuk bersikap adil di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya, Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat…” (An-Nahl: 90)
Allah juga mengabarkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang berbuat adil di dalam firman-Nya:
“..Dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Al-Iqsath artinya Al-Adlu (keadilan), sedangkan Al-Muqsithun artinya Al-Adilun (orang-orang yang berbuat adil).
Allah memerintahkan agar berlaku adil dalam perkataan, sebagaimana Dia memerintahkan agar berlaku adil dalam perkara hukum. Allah berfirman:
“,..Apabila kamu berbicara, bicaralah kamu sejujurnya, sekalipun dia kerabatmu.” (Al-An’am: 152)
“Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…” (An-Nisa’: 58)
Oleh karena itu, seorang muslim harus berlaku adil dalam perkataan dan dalam mengambil keputusan. Keadilan tersebut harus ia upayakan dalam berbagai situasi, sehingga menjadi akhlak dan sifat yang tidak dapat terpisahkan dari dirinya. Kemudian muncullah dari dirinya tersebut perkataan dan perbuatan yang adil, yang jauh dari kezaliman dan semena-mena.
Dengan demikian, ia akan menjadi orang yang adil, yang tidak akan dicondongkan oleh hawa nafsu dan tidak akan dihanyutkan oleh syahwat ataupun dunia. Dan ia pun berhak mendapatkan kecintaan, keridhaan, kemuliaan, serta nikmat dari Allah. Sebab, Allah telah mengabarkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang berbuat adil. Rasulullah juga telah memberitahukan tentang kemuliaan mereka di sisi Tuhannya dengan Sabdanya:
“Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat adil, kelak di sisi Allah mereka berada di atas mimbar dari cahaya di sisi kanan Ar-Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu, mereka yang berbuat adil dalam memutuskan hukum, adil terhadap keluarga mereka, serta adil terhadap apa yang menjadi tanggung jawab mereka.’
“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang lelaki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang dipanggil untuk berbuat mesum oleh seorang wanita yang memiliki kekuasaan dan kecantikan dan dia berkata saya takut kepada Allah, seorang lelaki yang bersedekah dengan sebuah sedekah kemudian dia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang telah disedekahkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang menyendiri dalam zikir kepada Allah, lalu air matanya berlinang.’
Adil memiliki banyak bentuk, di antaranya adalah:
- Adil kepada Allah, yaitu tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya di dalam ibadah dan sifat-sifat-Nya; ditaati dan tidak dimaksiati; diingat dan tidak dilupakan; serta disyukuri dan tidak dikufuri.
- Adil dalam memutuskan hukum di antara manusia dengan memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya.
- Adil di antara istri-istri dan anak-anak, sehingga tidak melebihkan salah satu atas yang lain dan tidak mengutamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
- Adil dalam perkataan, sehingga tidak bersaksi palsu dan tidak berkata dusta atau batil.
- Adil dalam berkeyakinan, sehingga tidak meyakini selain yang benar, dan hatinya tidak memuji sesuatu yang tidak hakiki dan nyata.
Contoh keadilan dalam masalah hukum
Suatu hari, ketika Umar bin Khattab sedang duduk, tiba-tiba datang seseorang dari penduduk Mesir seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku hendak meminta perlindunganmu.”
Umar menjawab, “Sungguh, engkau meminta perlindungan kepada orang yang tepat, ada apa denganmu?”
Orang itu berkata, “Aku menang dalam perlombaan naik kuda melawan Salah satu putra gubernur di Mesir, Amru bin Ash. Kejadian itu membuatnya marah, lalu ia memukulku dengan cambuk seraya berkata, ‘Aku adalah putra orang yang mulia.’ Kejadian itu sampai ke telinga ayahnya, Amru bin Ash, lalu ia memenjarakanku karena takut aku akan datang mengadu kepadamu, Tapi akhirnya aku bisa meloloskan diri dari tahanan dan sekarang bisa datang menghadapmu.”
Mendengar pengaduan ini, Umar langsung menulis surat kepada Amry bin Ash yang isinya, “Apabila telah sampai suratku ini, maka datanglah engkau dan putramu pada musim haji nanti.” Sedangkan kepada orang Mesir tadi Umar berkata, “Tinggallah engkau di sini hingga mereka datang.”
Ketika musim haji tiba, Amru bin Ash datang untuk menunaikan ibadah haji. Setelah Umar selesai menunaikan ibadah haji, ia duduk di hadapan orang banyak. Sementara Amru bin Ash dan putranya berada di sampingnya. Kemudian laki-laki Mesir itu berdiri dan Umar melemparkan sebuah cemeti kepadanya dan ia pun memukul putra Amru bin Ash. Ia terus saja memukulinya sampai-sampai orang-orang yang hadir memintanya untuk berhenti karena banyaknya pukulan.
Umar berkata, “Pukullah anak orang mulia itu.”
Orang Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sungguh engkau telah melaksanakan apa yang aku pinta dan aku telah merasa puas.”
Umar berkata, “Letakkan cemeti itu di atas kepala Amru bin Ash.”
Orang Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah memukul orang yang memukulku.”
Umar berkata, “Demi Allah, seandainya engkau melakukannya, maka tidak ada seorang pun yang dapat mencegahmu sampai engkau sendiri yang menghentikannya.”
Kemudian Umar berkata kepada Amru, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka.”
Buah yang baik dari keadilan
Di antara buah keadilan dalam memutuskan hukuman adalah merasuknya ketenangan dalam jiwa. Diriwayatkan bahwa Kaisar (Romawi) pernah mengirim seorang utusan kepada Umar bin Khattab untuk melihat keadaannya dan menyaksikan apa yang dilakukannya. Ketika memasuki kota Madinah utusan tersebut bertanya tentang Umar. la berkata, “Di mana raja kalian?”
Mereka menjawab, “Kami tidak memiliki raja, tapi kami memiliki Amir (pemimpin). Ia sedang keluar menuju pinggiran Madinah.”
Utusan tersebut mencarinya dan mendapati Umar sedang tidur di atas pasir dengan berbantalkan tongkat kecil yang selalu dibawanya untuk merubah kemungkaran. Tatkala utusan Romawi melihatnya dalam keadaan semacam ini, maka rasa kekaguman merasuk ke dalam hatinya. Ia berkata, “Seorang yang ditakuti oleh semua raja karena kewibawaannya, ternyata keadaannya semacam ini. Akan tetapi wahai Umar, engkau telah berlaku adil, maka engkau pun bisa tidur. Sedangkan raja kami selalu berlaku zalim, maka sudah pasti ia tidak pernah bisa tidur karena rasa takut.”
Sikap pertengahan lebih umum dari sifat adil. Sebab, ia dapat mengatur setiap urusan dari urusan-urusan seorang muslim dalam kehidupan ini. I’tidal (pertengahan) adalah jalan pertengahan antara sikap berlebihan lebihan dan sikap menyepelekan, di mana keduanya merupakan akhlak yang tercela.
Pertengahan dalam masalah ibadah adalah dengan meninggalkan sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Pertengahan dalam masalah nafkah adalah berbuat baik di antara dua keburukan, yaitu tidak boros dan tidak pula bakhil, tapi bersikap lurus antara berlebih-lebihan dan bakhil.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)
Pertengahan dalam masalah pakaian adalah batas tengah antara kesombongan dan pakaian yang memalukan. Pertengahan dalam berjalan adalah batas tengah antara kecongkakan dan kehinaan. Sikap orang dalam seluruh lingkup kehidupan adalah pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula menyepelekan.
Sikap pertengahan selaras dengan sikap istiqamah yang merupakan akhlak paling utama dan mulia. Sikap pertengahan dapat menghentikan pelakunya di bawah batasan-batasan Allah sehingga batasan-batasan tersebut tidak akan dilanggar. Sikap pertengahan dapat membangkitkan diri untuk melaksanakan seluruh kewajiban, sehingga tidak meremehkan pelaksanaannya atau mengabaikan salah satu bagian dari bagian-bagiannya, Sikap pertengahan mengajarkan iffah (menjaga kesucian diri), sehingga dia akan mencukupkan diri dengan apa yang dihalalkan Allah dari apa yang diharamkan-Nya.
Cukuplah orang-orang yang bersikap pertengahan itu sebagai orang yang mulia dan terhormat dengan Allah berfirman:
“Sesungguhnya, orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka tetap istikamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Ahqaf: 13-14)
Orang muslim itu penyayang, dan kasih sayang merupakan salah satu akhlaknya. Sebab, sumber kasih sayang adalah kejernihan jiwa dan kesucian hati. Ketika seorang muslim melakukan kebajikan, beramal saleh, serta menjauhi keburukan dan kerusakan, maka jiwanya akan selalu dalam keadaan suci dan hati selalu dalam keadaan baik. Jika demikian keadaannya, maka sifat kasih sayang tidak akan terpisah dari hatinya. Karena itulah, orang muslim mencintai sifat kasih sayang, mencurahkan rasa kasih sayang, menasihati orang dengannya, serta mengajak orang lain kepadanya. Allah berfirman:
“Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (Al-Balad: 17-18)
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya, Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.’?”
“Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian.”
“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
“Rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka.”
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan lemah lembut adalah bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.”
Meski hakikat kasih sayang adalah kelembutan hati dan kehalusan jiwa yang menuntut untuk bisa mengampuni dan berbuat baik, tapi tidak selamanya ia hanya sebatas perasaan jiwa yang tidak ada pengaruhnya di luar. Akan tetapi, rasa kasih sayang memiliki pengaruh-pengaruh eksternal dan indikasi-indikasi nyata yang menjelma di alam realita. Di antanya adalah, memaafkan dan mengampuni orang yang memiliki kesalahan; menolong orang yang berduka; membantu orang yang lemah; memberi makan orang yang kelaparan; memberi pakaian orang yang telanjang; mengobati orang yang sakit; dan menghibur orang yang bersedih. Semua ini merupakan pengaruh kasih sayang dan masih banyak lagi lainnya.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kasih sayang yang dapat dilihat dan dirasakan oleh indra kita:
Kasih sayang Rasulullah kepada putranya
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Kami pernah masuk bersama Rasulullah ke kediaman Abu Saif Al-Qain. la adalah suami ibu susu Ibrahim. Lalu Rasulullah menggendong Ibrahim dan menciumnya. Selang beberapa saat, kami pun ikut masuk, sementara Ibrahim sedang tersengal-sengal nafasnya. Mulailah air mata Rasulullah menitik. Lantas, Abdurrahman bin Auf berkata, ‘Dan engkau juga menangis, Wahai Rasulullah’ Beliau pun menjawab, ‘Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.’ Kemudian Rasulullah bersabda, Sesungguhnya, mata ini menangis, hati ini berduka, dan kami tidak mengucapkan apa-apa kecuali yang diridhai Tuhan kami. Sungguh, kami sangat berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim’.
Kunjungan Rasulullah kepada putranya yang masih kecil di rumah ibu susuannya, ciuman beliau, besukan beliau di saat putranya sedang sakit yang menghantarkan pada kematiannya, kemudian air mata yang dicucurkannya, semua itu merupakan bentuk-bentuk kasih sayang di dalam hati.
Kasih sayang kepada hewan
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ag, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan, lalu ja merasakan kehausan yang sangat sehingga ia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika ia keluar, ia mendapati seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata, ‘Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi.’ Maka ia pun turun lagi dan mengisi sepatunya dengan air, kemudian sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik ke atas lalu memberi anjing itu minum. Karenanya Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat baik terhadap hewan?” Beliau menjawab, “Terhadap setiap makhluk bernyawa diberi pahala. Turunnya laki-laki tersebut ke dalam sumur dan bersusah payah mengambil air lalu memberi minum anjing yang kehausan, semua ini merupakan bentuk rasa kasih sayang dalam hatinya. Kalau tidak karena rasa kasih sayang, tentu ia tidak akan berbuat sebagaimana yang ia perbuat. Sebaliknya, apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda:
“Seorang wanita disiksa Allah pada hari Kiamat lantaran ia mengurung seekor kucing hingga kucing itu mati. Karena itu Allah memasukkannya ke neraka. Lalu di katakan kepadanya, ‘Engkau tidak memberinya makan, tidak memberinya minum, dan tidak melepaskannya sehingga ia dapat memakan serangga bumi’.”
Perbuatan wanita ini merupakan salah satu bentuk dari bentuk-bentuk, kekerasan hati dan telah tercabutnya rasa kasih sayang dari hatinya Sementara rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka.
Kasih sayang ibu kepada anaknya
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Qatadah am, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya aku memulai shalat, dan aku ingin memanjangkan bacaannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku pun meringankan shalatku. Sebab, aku mengetahui kekhawatiran ibunya mendengar tangisan anaknya.”
Keinginan memanjangkan shalat yang beliau urungkan dan kekhawatiran ibunya karena tangisan sang anak merupakan satu bentuk dari bentuk-bentuk kasih sayang yang Allah tempatkan dalam hati hamba-hamba-Nya yang penyayang.
Kasih sayang cucu Rasulullah kepada orang yang mencacinya
Diriwayatkan, ketika Zainal Abidin Ali bin Al-Husain berjalan ke masjid, ia bertemu dengan seorang lelaki yang mencacinya. Lalu para pembantunya hendak memukuli dan menyakitinya. Namun, Zainal Abidin melarang dan mencegah mereka lantaran merasa sayang kepada lelaki tersebut, lalu berkata, “Wahai bapak, aku lebih banyak keburukannya dari apa yang engkau katakan. Dan apa yang tidak engkau ketahui tentang diriku itu lebih banyak daripada yang engkau ketahui. Jika engkau mau, aku akan menyebutkannya.” Orang itu pun merasa malu, lalu Zainal Abidin melepaskan bajunya untuk diberikan kepadanya dan menyuruh pembantunya agar memberinya uang seribu dirham.
Demikianlah sifat memaafkan dan berbuat kebaikan. Tidak lain keduanya merupakan satu dari bentuk-bentuk kasih sayang yang ada dalam hati cucu Rasulullah
Seorang muslim senantiasa menjaga kehormatan diri lagi pemalu. Malu adalah akhlaknya, karena malu termasuk bagian dari keimanan, sedangkan keimanan adalah akidahnya orang muslim dan penopang kehidupannya. Rasulullah bersabda:
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
“Malu dan iman adalah dua hal yang saling berhubungan. Apabila salah satunya dicabut, maka yang lain pun dicabut.”
Rahasia keberadaan rasa malu sebagai bagian dari iman adalah, karena keduanya sama-sama mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan.
Keimanan dapat memotivasi orang mukmin untuk melakukan amal ketaatan, dan meninggalkan kemaksiatan, sedangkan rasa malu dapat mencegah pelakunya dari sikap lalai bersyukur kepada Zat yang memberikan nikmat dan dari sikap meremehkan hak orang yang memiliki hak.
Rasa malu juga dapat mencegah dari perbuatan atau perkataan buruk, karena takut terhadap celaan. Dari sinilah, maka rasa malu merupakan kebaikan dan tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata, Sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah dalam sabdanya:
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata.”
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
Lawan dari malu adalah cabul, yaitu keji dalam perkataan dan perbuatan serta kasar dalam ucapan. Orang muslim bukanlah orang yang keji dan jorok dalam bertutur kata, bukan pula orang yang keras dan kasar. Sebab, yang demikian ini adalah sifat-sifatnya penghuni neraka. Sedangkan orang muslim—dengan izin Allah —adalah penduduk surga. Sehingga, kekejian dan kekasaran bukan menjadi akhlaknya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah:
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.”
Teladan orang muslim dalam akhlak mulia ini adalah Rasulullah, penghulu orang-orang terdahulu maupun orang-orang belakangan. Sebab, Rasulullah lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, “Jika beliau melihat sesuatu yang tidak disenanginya, maka kita dapat mengetahuinya dari raut wajahnya.”
Ketika seorang muslim mengajak untuk memelihara akhlak malu dan menanamkannya pada diri manusia, maka pada dasarnya ia sedang menyeru kepada kebaikan dan mengarahkan kepada kebajikan. Sebab, rasa malu merupakan bagian dari iman, dan iman merupakan kumpulan seluruh keutamaan dan unsur seluruh kebaikan.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan bahwasanya Rasulullah pernah lewat di depan seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena sangat pemalu, lalu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah ia, karena malu itu sebagian dari iman.”
Dengan demikian, Rasulullah telah mengajak agar tetap memelihara rasa malu pada diri seorang muslim dan melarang menghilangkannya, meski pelakunya akan terhalang untuk mendapatkan sebagian hak-haknya. Sebab, hilangnya sebagian hak seseorang itu lebih baik baginya daripada ia harus kehilangan rasa malu yang merupakan bagian dari keimanannya, ciri kemanusiaannya, dan sumber kebaikannya.
Semoga Allah merahmati seorang perempuan yang kehilangan anaknya, lalu ia pergi ke suatu kaum dan menanyakan tentang anaknya tersebut. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Ia menanyakan tentang anaknya sementara ia dalam keadaan bercadar.” Mendengar itu perempuan tersebut menjawab, “Wahai laki-laki! Hilangnya anakku itu lebih baik daripada hilangnya rasa malu pada diriku.”
Rasa malu pada diri seorang muslim tidak akan menghalanginya untuk mengatakan kebenaran, mencari ilmu, menyuruh yang baik, atau mencegah yang mungkar. Suatu ketika Usamah bin Zaid—orang yang dicintai Rasulullah dan putra orang yang dicintainya—pernah meminta syafaat kepada beliau dalam suatu masalah. Namun, rasa malu tidak menghalangi Rasulullah untuk mengatakan kepada Usamah dengan nada marah, “Apakah engkau hendak meminta syafaat dalam hal hukum Allah wahai Usamah? Demi Allah, seandainya si fulanah (dalam riwayat lain, Fathimah binti Muhammad) mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”
Rasa malu juga tidak menghalangi Ummu Sulaim Al-Anshariyah untuk mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu untuk menyatakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi jika ia bermimpi” Nabi menjawab, “Benar, jika ia melihat ada air (mani).”
Suatu kali Umar berkhotbah dan menyinggung perihal mahalnya mahar wanita. Kemudian ada seorang wanita yang berkata kepadanya, “Allah telah memberikannya kepada kami dan engkau hendak mencegahnya wahai Umar. Bukankah Allah telah berfirman, ‘…Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (istri-istri) harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya…’.”
Sungguh, rasa malu tidak menghalanginya untuk mempertahankan hak kaum wanita. Rasa malu juga tidak menghalangi Umar untuk meminta maaf dengan mengatakan, “Ternyata orang-orang lebih mengetahui dari engkau wahai Umar.”
Umar juga pernah berkhotbah di hadapan kaum muslimin dengan mengenakan dua baju. Kemudian ia menyuruh mereka untuk mendengar dan taat. Tiba-tiba seseorang berkata, “Kami tidak akan mendengar dan tidak akan taat wahai Umar. Engkau mengenakan dua baju, sementara kami hanya mengenakan satu baju.” Lalu Umar memanggil dengan suara tinggi, “Wahai Abdullah bin Umar!” Putranya menjawab, “Aku memenuhi panggilanmu wahai ayah.” Umar berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, bukankah salah satu bajuku adalah bajumu yang engkau berikan kepadaku?” Ibnu Umar menjawab, “Ya benar, demi Allah.” Kemudian laki-laki itu berkata, “Sekarang kami akan mendengar dan taat wahai Umar.”
Lihatlah, bagaimana rasa malu tidak menghalangi orang itu untuk mengkritik dan tidak pula menghalangi Umar untuk berterus terang.
Ketika seorang muslim memiliki rasa malu kepada manusia, ia tidak akan membuka auratnya di hadapan mereka, tidak mengabaikan hak yang diwajibkan atas dirinya untuk mereka, tidak mengingkari kebaikan yang pernah mereka berikan kepadanya, tidak membicarakan mereka dengan suatu keburukan, dan tidak pula membalas dengan sesuatu yang tidak disukai, maka orang muslim juga akan merasa malu kepada Sang Pencipta, sehingga ia tidak akan lalai dalam menaati-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya.
Itu semua karena ia melihat kekuasaan Allah dan pengetahuan-Nya terhadap dirinya. Abdullah bin Mas’ud ag berkata, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Jagalah kepala dan apa yang ada di dalamnya, jagalah perut dengan segala isinya, serta ingatlah kematian dan kehancuran.”
Rasulullah bersabda:
“Allah lebih patut untuk dimalui daripada manusia.”
Seorang muslim tidak memandang sikap ihsan hanya sebatas akhlak utama yang dapat memperbagus tingkah laku. Akan tetapi, iamemandangnya sebagai bagian dari akidahnya dan bagian terbesar dari kelslamannya. Sebab, agama Islam dibangun di atas tiga perkara, yaitu iman, Islam dan ihsan.
Sebagaimana hal itu telah disebutkan dalam penjelasan Rasulullah kepada malaikat Jibril dalam sebuah hadits yang telah disepakati keshahihannya. Yakni, ketika Jibril bertanya kepada beliau tentang iman, Islam dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah bersabda, “Dia adalah malaikat Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal itu sebagai agama.
Allah juga telah memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam kitab-Nya.
Dia berfirman:
“,..Dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (An-Nahl: 90)
“..Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia…” (Al-Baqarah: 83)
“,…Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki…” (An-Nisa’: 36)
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.”
Ihsan dalam masalah ibadah adalah dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar. Yaitu, dengan menyempurnakan syarat-syarat, rukun-rukun, sunah-sunah, serta Adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia disibukkan oleh perasaan yang sangat kuat terhadap muraqabah (pengawasan) Allah , hingga seolah-olah ia melihat-Nya.
Atau paling tidak, dirinya merasakan bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan melihatnya. Dengan demikian, ia akan dapat memperbagus dan menyempurnakan ibadahnya seperti yang diharapkan. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’”
Ihsan juga terdapat dalam hal pergaulan, yaitu:
Ihsan kepada orang tua: Yaitu, berbakti kepada keduanya dengan cara menaatinya, menyampaikan kebaikan kepadanya, tidak menyakitinya, mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan untuknya, melaksanakan janjinya, serta memuliakan teman-temannya.
Ihsan kepada karib kerabat: Yaitu, berbuat baik dan menyayangi mereka, lemah lembut dan bersimpati kepada mereka, melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan mereka, dan meninggalkan perkataan atau perbuatan yang bisa menyakiti mereka.
Ihsan kepada anak-anak yatim: Yaitu, menjaga harta mereka, melindungi hak-hak mereka, mengajari dan mendidik mereka, tidak menyakiti mereka, tidak memaksa mereka, tersenyum di hadapan mereka, dan mengusap kepala mereka.
Ihsan kepada orang-orang miskin: Yaitu, menghilangkan rasa lapar mereka, menutupi aurat mereka, mengajak orang lain agar memberi makan mereka, tidak merusak kehormatan mereka sehingga mereka tidak merasa dihinakan atau direndahkan, serta tidak menimpakan keburukan atau penderitaan kepada mereka.
Ihsan kepada musafir: Yaitu, memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, melindungi kehormatannya, membimbingnya, dan memberinya petunjuk jika ia tersesat.
Ihsan kepada pembantu: yaitu, memberikan upahnya sebelum kering keringatnya, tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak dimampuinya, menjaga kehormatannya, serta menghargai kepribadiannya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan seperti apa yang ia berikan kepada keluarganya, dan memberinya pakaian seperti apa yang ia berikan kepada keluarganya.
Ihsan kepada manusia secara umum: Yaitu, bersikap ramah kepada mereka dalam pergaulan dan pembicaraan, menyuruh mereka kepada kebaikan, mencegah mereka dari kemungkaran, membimbing mereka yang tersesat, mengajari mereka yang bodoh, berlaku adil terhadap mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak menyakiti mereka, serta tidak melakukan sesuatu yang dapat membahayakan atau mengganggu mereka.
Ihsan kepada binatang: Yaitu, memberinya makan jika lapar, mengobatinya jika sakit, tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak dimampui, berlemah lembut kepadanya jika ia dipekerjakan, dan mengistirahatkannya jika ia lelah.
Ihsan dalam pekerjaan: Yaitu, dengan menyempurnakan pekerjaan, memahirkan keterampilan, serta membersihkan seluruh pekerjaan dari unsur penipuan, sebagai bentuk pemahaman terhadap sabda Rasulullah di dalam kitab Ash-Shahih, “Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
Di antar sikap ihsan yang dicontohkan para salaf shalih adalah sebagai berikut:
Contoh pertama: Pada saat perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah, mencincang tubuhnya, memecahkan giginya, dan melukai wajahnya. Kemudian salah seorang sahabat meminta Rasulullah agar mendoakan keburukan bagi orang-orang musyrik yang zalim. Akan tetapi, Rasulullah justru berkata, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui.”
Contoh kedua: Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hamba sahayanya mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, hamba sahaya itu juga ikut tertidur. Ketika Umar terbangun, ia mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya.
Ketika hamba sahaya itu terbangun dan melihat Umar sedang mengipasinya, maka ia pun berteriak. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku. Engkau merasakan kepanasan seperti halnya aku. Maka, aku ingin mengipasimu sebagaimana engkau telah mengipasiku.”
Contoh ketiga: Salah seorang salaf pernah marah kepada pembantunya dengan kemarahan yang amat sangat. Ketika ia ingin membalasnya, maka pembantunya itu berkata, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya.”
Orang itu berkata, “Aku telah menahan amarahku.”
Kemudian pembantunya itu berkata, “Dan orang-orang yang memaafkan manusia.”
Orang itu berkata, “Aku telah memaafkanmu.”
Pembantunya kembali berkata, “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Lantas, orang itu pun berkata, “Pergilah, karena engkau telah bebas karena Allah.”
Orang muslim adalah orang yang jujur, menyukai kejujuran, serta membiasakannya secara lahir dan batin dalam perkataan maupun perbuatannya. Sebab, kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Sedangkan surga merupakan puncak tujuan dan cita-cita tertinggi seorang muslim.
Kebalikan jujur adalah dusta. Dusta akan mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan mengantarkan kepada neraka, Sedangkan neraka merupakan sesuatu yang paling ditakuti oleh seorang muslim.
Seorang muslim tidak memandang kejujuran hanya sebatas akhlak utama yang harus dijadikan sebagai perilaku. Akan tetapi, ia berpandangan lebih jauh dari itu, bahwa kejujuran merupakan menyempurna keimanan dan Islamnya. Sebab, Allah telah memerintahkan agar berperilaku jujur dan memuji orang-orang yang memiliki sifat jujur. Sebagaimana hal itu juga telah diperintahkan, dianjurkan, serta diserukan oleh Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam memerintahkan kejujuran:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Allah juga memuji orang-orang yang berperilaku jujur:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…” (Al-Ahzab: 23)
“. .Laki-laki dan perempuan yang benar…” (Al-Ahzab: 35)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33)
Rasulullah bersabda dalam memerintahkan kejujuran:
“Berlaku jujurlah kalian, karena kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Ketika seseorang selalu jujur dan menjaga kejujurannya, maka Allah akan menetapkannya sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbohong, karena kebohongan akan mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan mengantarkan seseorang masuk neraka. Jika seseorang selalu bohong dan membiasakan diri berbohong, maka Allah akan menetapkannya sebagai pembohong.”
Kejujuran memiliki buah yang baik yang dapat dipetik oleh pemiliknya.
Berikut ini adalah buah dari kejujuran:
- Menenteramkan hati dan menenangkan jiwa.
- Menyebabkan keberkahan dalam usaha.
- Menghantarkan pelakunya meraih kedudukan para syhuada.
4, Menyelamatkan pelakunya dari bencana.
Menenteramkan hati dan menenangkan jiwa. Rasulullah bersabda:
“Kejujuran adalah ketenangan.”
Menyebabkan keberkahan dalam usaha. Jujur mendatangkan keberkahan dalam usaha dan menambah kebaikan. Rasulullah bersabda:
“Penjual dan pembeli masih boleh memilih (untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya) selama mereka belum berpisah, Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya, maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Jika keduanya menyembunyikan (cacat) dan berdusta, maka akan dihapus berkah pada keduanya,”
Menghantarkan pelakunya meraih kedudukan para syuhada. Dengan, kejujuran, seseorang dapat meraih kedudukan para syuhada.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa meminta mati syahid kepada Allah dengan jujur dari hatinya, maka Allah akan menyampaikannya pada kedudukan para syuhada sekalipun mati di atas tempat tidur.”
Menyelamatkan pelakunya dari bencana. Dikisahkan bahwa ada seseorang yang melarikan diri berlindung kepada salah seorang saleh dan berkata kepadanya, “Sembunyikan aku dari orang-orang yang mencariku.” Orang saleh itu berkata kepadanya, “Tidurlah di sini.” Kemudian ia menutupinya dengan seikat daun korma. Tatkala orang-orang yang mencarinya datang, mereka bertanya tentang orang itu. Orang saleh tersebut berkata kepada mereka, “Ia ada di bawah daun korma itu.” Namun, mereka mengira orang saleh itu mengejeknya, maka mereka pun meninggalkannya. Akhirnya, orang tersebut selamat dengan berkah kejujuran orang saleh.
Bentuk-bentuk kejujuran di antaranya adalah:
Pertama: Jujur dalam berbicara. Seorang muslim tidak akan berbicara selain kebenaran dan kejujuran, dan tidak akan memberi kabar selain apa yang terjadi. Sebab, dusta dalam berbicara merupakan salah satu tanda kemunafikan. Rasulullah bersabda.
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika bicara ia dusta, Jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya ia khianat.”
Kedua: Jujur dalam muamalah. Seorang muslim jika bermuamalah dengan orang lain, maka ia akan berlaku jujur, tidak menipu, tidak mengelabui, tidak berbohong, dan tidak berdusta, dalam kondisi bagaimanapun.
Ketiga: Jujur dalam tekad. Seorang muslim jika bertekad melakukan sesuatu yang semestinya dikerjakan, maka ia tidak akan ragu-ragu. la akan segera mengerjakannya dan tidak menghiraukan yang lain sampai pekerjaannya selesai.
Keempat: Jujur dalam berjanji. Seorang muslim jika berjanji kepada orang lain, maka ia akan menepati apa yang telah dijanjikannya. Sebab, menyelisihi janji merupakan salah satu tanda kemunafikan, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas.
Kelima: Jujur dalam keadaan. Seorang muslim tidak menampakkan penampilan (sikap) yang lain, tidak menampakkan sesuatu yang berbeda dengan batinnya, tidak memakai baju kebohongan, tidak bersikap riya’ dan tidak pula membebani diri dengan sesuatu yang tidak dimampuinya. Rasulullah bersabda:
“Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan.”
Ini artinya, bahwa orang yang berhias dan mempercantik diri dengan sesuatu yang tidak dimilikinya agar dilihat sebagai orang kaya, maka ia seperti orang yang mengenakan dua baju usang agar terlihat zuhud, padahal ia bukan orang yang zuhud ataupun orang yang menderita.
Contoh-contoh kejujuran yang sangat tinggi:
Contoh pertama: Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Al-Hamsa’, ia berkata, “Aku pernah berjanji kepada Rasulullah sebelum beliau diutus sebagai nabi. Aku menjual suatu barang kepada beliau, tapi barang tersebut masih kurang. Lalu aku berjanji mengantarkan sisanya ke tempat beliau, tapi aku lupa dan baru ingat tiga hari kemudian. Aku segera pergi ke tempat yang telah aku janjikan, dan mendapatkan beliau di tempat tersebut. Beliau bersabda, ‘Wahai anak muda, sungguh engkau telah menyusahkanku. Aku menunggumu di sini sejak tiga hari yang lalu’.”
Teladan pada diri Rasulullah ini juga ada pada diri kakeknya, Ismail bin Ibrahim Al-Khalil hingga Allah menyanjungnya di dalam kitab-Nya yang mulia:
“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ismail di dalam kitab (Al-Qur’an) Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 54)
Contoh kedua: Pada suatu hari, Al-Hajjaj bin Yusuf berkhotbah hingga lama sekali. Kemudian salah seorang dari para hadirin berkata, “Shalat, shalat! Sesungguhnya waktu tidak menunggumu, dan Allah tidak memaafkanmu.” Al-Hajjaj bin Yusuf menginstruksikan agar orang tersebut ditahan.
Tidak lama setelah itu, kaum dari orang tersebut menemui Al-Hajjaj bin Yusuf dan menjelaskan kepadanya bahwa orang tersebut gila. Al-Hajjaj bin Yusuf berkata, “Jika orang itu mengaku gila, aku akan membebaskannya dari penjara.”
Orang tersebut berkata, “Aku tidak bisa dipaksa untuk mengingkari nikmat Allah pada diriku dengan mengaku sebagai orang gila, padahal Allah membersihkanku dari gila.” Ketika Al-Hajjaj bin Yusuf mengetahui kejujuran ucapan orang tersebut, maka ia pun membebaskannya.
Contoh ketiga: Imam Al-Bukhari mengisahkan bahwa ia pergi mencari hadits dari seseorang, tapi ia melihat kuda orang tersebut terlepas. Untuk menangkapnya kembali, orang tersebut menunjukkan bungkusan kain seolah-olah di dalamnya ada gandum, sehingga kudanya tersebut datang kepadanya dan ia pun bisa menangkapnya kembali. Al-Bukhari berkata kepada orang tersebut, “Apakah engkau mempunyai gandum?”
Orang tersebut menjawab, “Tidak, aku mengelabui kudaku seolah-olah ada gandum dibungkus dengan kain tadi.”
Al-Bukhari berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadits dari orang yang bohong kepada hewan.” Sikap yang diperlihatkan Al-Bukhari ini merupakan contoh agung dalam masalah kejujuran.
Dermawan adalah akhlak orang muslim dan murah hati adalah karakternya. Orang muslim bukanlah orang yang kikir dan bukan pula orang yang bakhil. Sebab, kikir dan bakhil merupakan dua akhlak tercela yang bersumber dari kekotoran jiwa dan kegelapan hati. Dengan keimanan dan amal salehnya, jiwa orang muslim akan bersih dan hatinya bersinar, sehingga sifat kikir dan bakhil hilang dari hatinya.
Kikir adalah penyakit hati, di mana tidak ada seorang pun yang bisa selamat darinya. Hanya saja, seorang muslim dengan keimanan dan amal salehnya, seperti zakat dan shalat, maka Allah melindunginya dari penyakit yang membahayakan ini untuk menyiapkannya mendapatkan keberuntungan dan kesuksesan di akhirat kelak. Allah berfirman:
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh-kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia jadi kikir. Kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat. Mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.” (Al-Ma’arij: 19-25) ”
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (At-Taubah: 103)
“..Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Lantaran akhlak mulia hanya bisa diperoleh dengan latihan dan pembiasaan, maka seorang muslim harus berusaha menumbuhkan akhlak mulia yang ingin ia jadikan sebagai karakter dengan cara mencurahkan pikirannya kepada apa-apa yang disebutkan di dalam syariat yang bijak tentang anjuran untuk berakhlak dengan akhlak tersebut dan larangan berakhlak dengan akhlak kebalikannya.
Selanjutnya, untuk menumbuhkan akhlak dermawan di dalam hatinya, orang muslim harus menyibukkan hatinya untuk merenungkan firman Allah berikut ini:
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kalian, lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda kematianku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.” (Al-Munafiqun: 10)
“Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan) Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) Serta mendustakan (pahala) yang terbaik. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan) Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.” (Al-Lail: 5-11)
“Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu d jalan Allah, padahal milik Allah semua pusaka langit dan bumi…?” (Al-Hadid: 10)
“,..Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)” (Al-Baqarah: 272)
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu dermawan, menyukai kedermawanan, menyukai akhlak-akhiak yang mulia, dan membenci akhlak yang buruk.”
“Tidak boleh iri kecuali terhadap dua (jenis manusia): seseorang yang Allah berikan harta kepadanya, lalu dia menghabiskannya di dalam kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu agama) kepadanya, lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.”
Rasulullah bersabda, “Adakah di antara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun di antara kami kecuali lebih mencintai hartanya sendiri.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya, hartanya yang sebenarnya adalah yang ia infakkan. Sedangkan harta ahli warisnya adalah yang ia tinggalkan.”
Rasulullah bersabda:
“Takutlah kalian dari api neraka walaupun dengan menyedekahkan separuh kurma.”
“Setiap hari, ketika para hamba memasuki pagi hari, ada dua malaikat yang turun. Salah satu malaikat berdoa, ‘Ya Allah berilah ganti kepada orang yang berinfak.’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berilah kemusnahan bagi orang yang tidak berinfak’.”
“Hindarilah kekikiran, sesungguhnya kekikiran itu menyebabkan kebinasaan orang-orang sebelum kalian. Kekikiran itu membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan bagi mereka.”
“Semuanya tersisa, kecuali bahunya.” Beliau mengatakan itu kepada Aisyah ketika menanyakan apa yang masih tersisa dari kambing yang disembelihnya. Lalu Aisyah menjawab, “Tidak tersisa darinya kecuali bahunya.”
Maksudnya, Aisyah telah menyedekahkan semuanya dan tidak tersisa kecuali bagian bahunya.
Beliau juga bersabda, “Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari usaha yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik, Allah akan menerima sedekah itu dengan tangan kanan-Nya, kemudian Allah akan memelihara untuk orang yang bersedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak onta, sampai tumbuh menjadi sebesar gunung.”
Bentuk-bentuk kedermawanan di antaranya adalah:
- Seseorang memberikan suatu pemberian tanpa mengungkit-ungkit pemberiannya atau menyakiti perasaan orang yang menerimanya.
- Orang yang memberi merasa senang dengan orang yang meminta sesuatu kepadanya, dan ia dibuat senang karena pemberiannya tersebut.
- Orang yang berinfak menginfakkan hartanya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
4, Orang kaya memberi dengan pemberian banyak dari hartanya yang banyak, dan orang yang tidak kaya memberi sebatas kemampuanya dari hartanya yang sedikit dengan hati ridha, wajah yang berseri-seri, dan ucapan yang baik.
Contoh-contoh kedermawanan yang mulia:
Contoh pertama: Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah dikirimi uang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan sebanyak 180.000 dirham. Kemudian Aisyah menaruhnya di mangkok, dan membagikan uang tersebut kepada manusia.
Pada sore harinya, Aisyah berkata kepada budak wanitanya, “Sediakan makanan berbuka untukku.” Budak wanita tersebut menghidangkan roti dan minyak kepada Aisyah. Aisyah berkata, “Kenapa engkau tidak mengambil uang satu dirham dari uang yang aku bagi tadi untuk membeli daging sebagai makanan buka puasa kita?” Budak wanita tersebut menjawab, “Jika engkau mengingatkanku sejak tadi, aku pasti melakukannya.”
Contoh kedua: Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Amir membeli rumah di pasar Mekah seharga 70.000 dirham dari Khalid bin Uqbah bin Abu Mu’ith. Pada malam harinya, Abdullah bin Amir mendengar tangisan keluarga Khalid bin Uqbah bin Abu Mu’ith. Kemudian ia pun menanyakan hal tersebut. Kemudian dijelaskan kepadanya bahwa mereka menangisi rumahnya. Lalu Abdullah bin Amir berkata kepada pembantunya, “Datangilah mereka dan beritahukan bahwa rumah dan dirham semuanya untuk mereka.”
Contoh ketiga: Dikisahkan bahwa tatkala Imam Syafi’i menderita sakit yang menyebabkan kematiannya, ia berpesan agar ia dimandikan oleh seseorang. Ketika ia telah meninggal dunia, orang-orang memanggil Orang yang diwasiatkan untuk memandikannya.
Ketika orang tersebut datang, ia berkata, “Berikan buku agenda Imam Syafi’i kepadaku.” Maka buku itu pun diberikan kepadanya, dan ternyata isinya adalah catatan hutang Imam Asy-Syafi’i sebanyak 70.000 dirham. Kemudian orang itu mencatat hutang-hutangnya untuk dibayarkan kepada orang-orang yang memberikan piutang. Lalu orang itu berkata, “Inilah bentuk pemandianku terhadap Imam Syafi’i.” Setelah itu ia pergi.
Contoh kelima: Diriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersiap-siap untuk memerangi orang-orang Romawi, padahal kaum muslimin ketika itu berada dalam kesulitan yang luar biasa hingga pasukan beliau dinamakan Jaisyul usrah (pasukan yang kesulitan).
Pada perang tersebut, Utsman bin Affan bersedekah sebanyak sepuluh ribu dinar, tiga ratus onta lengkap dengan alas pelananya, dan lima puluh kuda. Dengan demikian, ia melengkapi separoh perbekalan pasukan.
Seorang muslim bersikap tawadhu’ (rendah hati), tapi tidak merendahkan atau menghinakan diri. Tawadhu’ merupakan akhlak yang sempurna dan sifat yang mulia. Sebaliknya, sifat sombong bukanlah akhlak yang pantas dimiliki seorang muslim.
Seorang muslim bersikap tawadhu’ agar ditinggikan kedudukannya, dan tidak bersikap sombong agar tidak direndahkan. Sebab, sunatullah telah berlaku untuk meninggikan kedudukan orang-orang yang tawadhu’ dan merendahkan orang-orang yang sombong. Rasulullah bersabda:
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta seseorang, dan Allah tidak menambahkan pada diri seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang itu tawadhu’ melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.’”
“Hak bagi Allah bahwa tidaklah sesuatu itu terangkat tinggi di dunia, melainkan Allah akan merendahkannya.”
“Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat seperti adz-Dzarr (semut-semut kecil) dalam bentuk laki-laki (berkelamin jantan). Mereka diliputi oleh kehinaan dari segala tempat. Mereka digiring ke dalam sebuah penjara di neraka Jahanam yang disebut dengan ‘Bulas’. Mereka akan ditutupi oleh api neraka yang menyala-nyala dan mereka diberi minuman usharah (perasan) penduduk neraka yaitu, ‘thinah al-Khabal’ (nanah dan darah yang keluar dari tubuh penduduk neraka).”
Ketika seorang muslim memerhatikan dengan telinga dan hatinya kepada kebenaran berita yang disampaikan oleh dan Rasul-Nya mengenai pujian untuk orang-orang yang tawadhu, celaan untuk orang-orang yang sombong, perintah agar bersikap tawadhu, dan larangan bersikap sombong, maka bagaimana mungkin ia tidak akan tawadhu dan menjadikan tawadhu sebagai akhlaknya? Bagaimana mungkin ia tidak akan menjauhi kesombongan dan membenci orang-orang yang sombong? Allah berfirman ketika memerintahkan Rasul-Nya agar bersikap tawadhu:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (Asy-Syu’ara’: 215)
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong…” (Al-Isra’: 37)
Allah berfirman ketika memuji para wali-Nya dengan sifat tawadhu yang ada pada diri mereka:
“..Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir…” (Al-Maidah: 54)
Allah juga berfirman mengenai balasan bagi orang-orang yang tawadhu:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi…” (Al Qashash: 83)
Rasulullah bersabda ketika memerintahkan agar bersikap tawadhu:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu sehingga seseorang tidak sombong kepada yang lain dan tidak pula berbuat aniaya kepada lainnya.”
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing.” Lalu para sahabat beliau bertanya, “Demikian juga engkau?” Beliau menjawab, “Ya, aku dahulu menggembalakan kambing milik seorang penduduk Mekah dengan imbalan beberapa qirath.”
“Seandainya aku diundang makan kaki kambing, niscaya akan aku penuhi undangannya. Dan seandainya aku diberi hadiah kaki kambing, tentu akan aku terima hadiah itu.”
‘Sabda Rasulullah ketika memerintahkan agar menjauhi sifat sombong:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang ahli neraka, yakni setiap orang yang kasar, kejam lagi sombong.”
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan disucikan dan tidak akan dilihat pada hari Kiamat, dan bagi mereka azab yang pedih. Yaitu, orang tua yang berzina, raja yang suka berdusta, dan orang miskin yang sombong.”
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah berfirman:
“Kemuliaan adalah pakaian-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku. Barang siapa yang mengambilnya dariku, maka Aku akan mengazabnya.”
Rasulullah bersabda:
“Ketika seorang laki-laki berjalan memakai pakaiannya yang membuat dirinya takjub, rambut tersisir rapi, dan berjalan dengan perasaan kagum terhadap diri sendiri, tiba-tiba Allah menenggelamkannya ke perut bumi dan ia terus tenggelam hingga hari Kiamat kelak.”
Di antara ciri-ciri tawadhu adalah sebagai berikut:
- Orang yang menonjolkan diri atas yang lain, maka ia adalah orang yang sombong. Dan orang yang mengakhirkan dirinya dari yang lain, maka ia adalah orang yang tawadhu.
- Orang yang bangkit dari tempat duduknya karena ada orang yang lebih berilmu dan memiliki keutamaan, lalu mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduknya, menyiapkan sandalnya ketika orang alim itu berdiri, serta berjalan di belakangnya ketika mengantar sampai ke depan pintu, maka ia adalah orang yang tawadhu.
- Orang yang berdiri untuk menyambut orang biasa dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berlemah lembut ketika bertanya, memenuhi undangannya, berusaha memenuhi kebutuhannya, dan tidak menganggap dirinya lebih baik darinya, maka ia adalah orang yang tawadhu.
- Orang yang mau menjenguk orang lain yang lebih rendah kedudukannya maupun yang setara dengan dirinya, ikut membawa barang-barangnya, dan berjalan bersama untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia adalah orang yang tawadhu.
- Orang yang sudi duduk bersama dengan kaum fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang sakit, maupun orang-orang yang cacat, memenuhi undangan mereka, makan bersama mereka, serta berjalan bersama mereka, maka ia adalah orang yang tawadhu.
- Orang yang makan atau minum dengan tidak berlebihan dan tidak berpakaian untuk kesombongan, maka ia adalah orang yang tawadhu.
Contoh-contoh sikap tawadhu:
Contoh pertama: Diriwayatkan bahwa suatu malam ada seorang tamu mendatangi Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu ia sedang menulis dan Jampunya hampir saja padam. Maka, tamunya itu berkata, “Bagaimana kalau aku memperbaiki lampu itu?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Bukan merupakan suatu kemuliaan jika seseorang mempekerjakan tamunya.”
Lalu sang tamu itu berkata, “Kalau begitu, aku akan membangunkan pelayan.”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Ia baru saja tidur, maka jangan engkau bangunkan.”
Kemudian Umar mengambil sebuah botol dan mengisi lampu itu dengan minyak. Tamu itu berkata, “Engkau melakukannya sendiri wahai Amirul Mukminin!”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku pergi sebagai Umar dan pulang sebagai Umar. Tidak berkurang sedikit pun sesuatu dariku. Dan sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah orang yang tawadhu (rendah hati).”
Contoh kedua: Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah a pernah kembali dari pasar dengan membawa seikat kayu, padahal saat itu ia menjadi gubernur kota Madinah di masa pemerintahan Marwan. Ia berkata, “Beri jalan kepada gubernur agar ia bisa lewat.” Sementara ia membawa seikat kayu.
Contoh ketiga: Diriwayatkan bahwa suatu hari Umar bin Khattab membawa daging dengan tangan kirinya dan membawa cemeti dengan tangan kanannya. Padahal saat itu ia adalah seorang khalifah dan pemimpin kaum muslimin.
Contoh keempat: Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah membeli daging dan meletakkannya dalam selimutnya. Lalu dikatakan kepadanya, “Biarkan seseorang membawakannya untuk Anda wahai Amirul Mukminin!” Maka, Ali bin Abi Thalib menjawab, “Tidak, kepala rumah tangga itu lebih berhak untuk membawanya.”
Contoh kelima: Anas bin Malik berkata, “Dahulu ada budak kecil perempuan dari penduduk Madinah meraih tangan Rasulullah Lalu dia mengajak beliau pergi ke mana saja ia suka.”
Contoh keenam: Abu Salamah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Bagaimana pendapatmu tentang produk manusia seperti pakaian, minuman, kendaraan, dan makanan?’
Abu Sa’id Al-Khudri menjawab, ‘Anak saudaraku, makanlah karena Allah, minumlah karena-Nya, dan berpakaianlah karena-Nya. Jika semua itu dimasuki kesombongan, riya’, dan sum’ah, maka itu adalah maksiat dan sikap berlebih-lebihan. Bekerjalah di rumahmu sebagaimana Rasulullah karena dulu beliau biasa memberi makan kepada hewan, mengikat onta, menyapu rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menambal baju, makan bersama pembantunya, membuat tepung jika pembantunya . kelelahan, serta membeli sesuatu di pasar. Rasa malu tidak menghalanginya untuk mengikat barang dengan tangannya, atau meletakkannya di ujung bajunya, pulang menemui keluarganya, berjabat tangan dengan orang kaya, berjabat tangan dengan orang miskin, berjabat tangan dengan orang tua, berjabat tangan dengan anak kecil, dan memulai mengucapkan salam kepada siapa saja yang ditemuinya. Baik itu anak kecil, orang tua, orang berkulit hitam, orang berkulit sawo matang, orang merdeka, ataupun budak di antara kaum muslimin’.”
Kezaliman Orang muslim tidak berbuat zalim dan tidak boleh dizalimi; tidak menimpakan kezaliman kepada orang lain dan tidak boleh menerima kezaliman untuk dirinya sendiri. Sebab, kezaliman dengan ketiga macamnya telah diharamkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan.” (Al-Baqarah: 279)
“..Dan barang siapa di antara kamu berbuat zalim, niscaya Kami timpakan kepadanya rasa azab yang besar.” (Al-Furqan: 19)
Allah berfirman sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi-Nya:
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”
“Berhati-hatilah terhadap kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat.”
“Barang siapa berbuat zalim (merampas) sejengkal tanah saja, maka ia akan dipikulkan tanah dari tujuh lapis bumi.’”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi tempo waktu kepada orang zalim, sehingga jika Dia telah menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian beliau membaca ayat, ‘Dan begitulah adzap Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim, sesungguhnya azab-Nya sangat pedih lagi keras.’ (Hud: 102).”
Rasulullah juga bersabda:
“Takutlah kepada doa orang yang dizalimi, karena doanya tidak mempunyai dinding pembatas dengan Allah.”
Tiga macam bentuk kezaliman: Pertama: Kezaliman hamba kepada Tuhan-nya,” yaitu dengan mengufuriNya. Allah berfirman:
“..Orang-orang kafir itulah orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)
Termasuk kezaliman hamba kepada Tuhannya adalah menyekutukanNya, yaitu memalingkan sebagian peribadatan-Nya kepada selain-Nya. Allah berfirman,
“…Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Kedua: Kezaliman hamba kepada makhluk Allah yang lain, yaitu dengan menyakiti mereka, baik dalam hal kehormatan, fisik, maupun harta benda tanpa alasan yang dibenarkan. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mempunyai kezaliman pada saudaranya, baik dalam hal kehormatannya atau sesuatu yang lain, hendaklah ia meminta saudaranya menghalalkannya sebelum ia tidak memiliki dirham dan dirham. Jika ia mempunyai amal saleh, maka amal salehnya diambil darinya sebesar kezalimannya. Jika ia tidak mempunyai amal saleh, maka dosa saudaranya diambil kemudian dipikulkan kepadanya.”
Rasulullah bersabda, “Barang siapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga baginya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Kendati merampas sesuatu yang sepele wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Kendati hanya potongan kayu urok.”
Rasulullah bersabda:
“Seorang mukmin senantiasa berada dalam kelapangan agamanya selagi ia tidak menumpahkan darah yang haram (membunuh).”
“Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’
Ketiga: Kezaliman hamba kepada dirinya sendiri, yaitu mengotori dirinya dengan noda-noda dosa, kejahatan, serta keburukan dari berbagai bentuk kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:
“…Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi merekalah yang selalu menzalimi dirinya sendiri.” (Al-A’raf: 160)
Jadi, orang yang melakukan dosa besar dan kekejian, berarti ia telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab, ia telah menjerumuskan dirinya kepada perkara-perkara yang memberikan pengaruh keburukan dan kezaliman sehingga ia berhak mendapat laknat Allah dan jauh dari-Nya.
Hasad
Seorang muslim tidak memiliki sifat hasad dan tidak menjadikannya sebagai kepribadiannya, selama ia mencintai kebaikan untuk semua orang dan lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Sebab, hasad itu dapat menghilangkan dua akhlak mulia, yaitu mencintai kebaikan dan mengutamakan orang lain.
Orang muslim membenci sifat hasad, karena hasad merupakan bentuk penolakan terhadap karunia yang telah Allah bagikan di antara hamba-Nya, Allah berfirman:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya…?” (An-Nisa’: 54)
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain…” (Az-Zukhruf: 32)
Hasad ada dua macam:
- Seseorang menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, baik itu berupa harta, ilmu, pangkat, ataupun kekuasaan agar ia juga bisa mendapatkannya.
- Seseorang menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain meski ia belum bisa mendapatkannya.
Adapun ghibthah tidak termasuk hasad. Yaitu, ingin mendapatkan nikmat sebagaimana nikmat yang di dapat oleh orang lain, baik berupa ilmu, harta, ataupun keadaan yang baik, tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh iri kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia hikmah, lalu ia menunaikan dan mengajarkannya.”
Maksud hikmah di sini adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hasad dengan kedua macamnya ini diharamkan secara mutlak. Sehingga seseorang tidak boleh hasad kepada orang lain. Allah berfirman:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya…?” (An-Nisa’: 54)
“..Karena rasa dengki dalam diri mereka…” (Al-Baqarah: 109)
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.” (Al-Falaq: 5)
Celaan Allah terhadap akhlak yang buruk ini selaras dengan pengharaman dan larangan-Nya. Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, saling membelakangi (membuang muka saat bertemu), dan jangan pula saling memutus hubungan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”
“Hati-hatilah kalian dari sifat hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar atau rumput kering.”
Apabila terlintas dalam pikiran seorang muslim untuk berlaku hasad karena sifat manusiawinya dan tidak terjaganya ia dari dosa, maka ia harus melawan dan mencegahnya dari dirinya sendiri, serta membencinya hingga tidak menjadi suatu keinginan atau niatan pada dirinya, lalu ia mengucapkan atau mengamalkannya sehingga ia menjadi celaka. Jika ia dibuat takjub oleh sesuatu, hendaklah ia mengucapkan, “Masyaallah la quwwata illa billah (Apa yang dikehendaki Allah, tidak ada kekuatan kecuali pada Allah).”
Dengan begitu, hasad tersebut tidak akan berpengaruh pada dirinya dan ia pun selamat.
Menipu
Seorang muslim tunduk kepada Allah dengan prinsip saling menasihati, dan hidup di atas prinsip tersebut. Sehingga, ia tidak boleh menipu atau mengkhianati orang lain.
Menipu, berbohong, dan berkhianat merupakan sifat-sifat buruk dan tercela. Dan seorang muslim tidak boleh menjadikan Hal-hal yang tercela sebagai akhlak dan kepribadiannya dalam kondisi apa pun. Sebab, kesucian Jiwa yang didapat dari keimanan dan amal saleh sangat bertentangan dengan akhlak tercela ini, yang tidak ada kebaikannya sama sekali. Orang muslim itu dekat dengan kebaikan dan jauh dari keburukan.
Penipuan memiliki banyak bentuk, di antaranya adalah:
- Seseorang menghiasi orang lain dengan keburukan, kejahatan, atau kerusakan agar orang tersebut terjerumus ke dalamnya.
- Memperlihatkan zahirnya yang baik dan menyembunyikan batinnya yang buruk dan rusak.
- Memperlihatkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang disembunyikan dan dirahasiakannya sebagai bentuk penipuan.
- Sengaja hendak merusak hartanya, istrinya, anaknya, pembantunya, ataupun temannya dengan cara memfitnah dan mengadu domba.
- Berjanji untuk menjaga harta, jiwa, atau menyimpan rahasia, tapi kemudian ia mengkhianatinya.
Seorang muslim yang menjauhi penipuan, kebohongan, serta pengkhianatan, berarti ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Sebab, ketiga sifat ini telah diharamkan dalam Kitabullah dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
“,.Maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri…” (Al-Fath: 10)
“..Rencana jahat itu. hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri…” (Fathir: 43)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, maka ia bukan dari golongan kami.”
“Ada empat hal, siapa yang pada dirinya terdapat keempat hal ini, berarti dia seorang munafik tulen. Sedangkan siapa yang pada dirinya terdapat salah satu darinya, maka pada dirinya terdapat salah satu tanda dari sifat kemunafikan, sampai ia meninggalkannya, yaitu: Jika dipercaya ia berkhianat, jika bicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bermusuhan ia berbuat keji.”
Suatu hari Rasulullah lewat di samping sebuah gundukan makanan (sejenis gandum). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut, dan ternyata jari-jari beliau basah. Beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Ia menjawab, “Kehujanan, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda, “Kenapa tidak engkau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya? Barang siapa menipu, maka dia bukan dari golongan kami.”
Riya’
Seorang muslim tidak berbuat riya’, karena riya’ merupakan kemunafikan dan kesyirikan. Orang muslim adalah orang yang beriman dan bertauhid, sehingga sifat riya’ dan nifak bertentangan dengan keimanan dan ketauhidannya. Oleh karenanya, bagaimanapun keadaan seorang muslim, ia tidak akan menjadi orang munafik ataupun orang yang suka berbuat riya’.
Cukuplah bagi seorang muslim dalam membenci dan menjauhi akhlak tercela ini dengan mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya membenci kedua akhlak tersebut. Sebab, Allah telah menjanjikan azab dan siksaan bagi orang-orang yang berbuat riya’:
“Maka celakalah orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat riya’. Dan enggan (memberikan) bantuan.” (Al-Ma’un: 4-7)
Di dalam hadits qudsi disebutkan, Allah berfirman:
“Barang siapa beramal untuk-Ku dengan satu amalan lalu ia sekutukan Aku dengan selain-Ku, maka semua amalannya itu bagi sekutunya dan Aku berlepas diri darinya, dan Aku adalah Zat yang tidak membutuhkan sekutu.”
“Barang siapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya di hadapan manusia. Barang siapa yang memperdengarkan amalannya, maka Allah akan mempermalukannya.’”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Riya. Allah berfirman pada hari semua amal hamba dibalas (hari Kiamat), ‘Datangilah orang yang dulu kalian tunjukkan amal kalian padanya di dunia, lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka’.”
Bentuk-bentuk riya’ di antaranya adalah:
- Seorang hamba menambah amal ketaatan ketika ia dipuji, tapi mengurangi atau meninggalkannya ketika ia dicela.
- Giat dalam ibadah ketika bersama orang banyak, tapi malas ketika jg sendirian.
- Bersedekah ketika dilihat orang dan tidak mau bersedekah ketika tidak, dilihat orang.
- Mengatakan sesuatu yang ia anggap sebagai kebenaran dan kebaikan, atau melakukan sesuatu yang ia anggap sebagai ketaatan, tapi tidak mengharapkan keridhaan Allah dan hanya mengharapkan pujian manusia.
Ujub dan Terpedaya Seorang muslim mewaspadai sifat ujub dan terpedaya, serta bersungguh sungguh agar kedua sifat itu tidak menjadi sifatnya dalam kondisi apa pun.
Sebab, keduanya merupakan penghalang dan bencana terbesar untuk mencapai kesempurnaan, baik di masa sekarang maupun yang akan datang.
Berapa banyak kenikmatan berubah menjadi siksaan lantaran dua sifat tersebut? Berapa banyak kemuliaan berubah menjadi kehinaan, dan berapa banyak kekuatan yang berubah menjadi kelemahan gara-gara dua sifat tersebut? Maka dari itu, cukuplah keduanya sebagai penyakit yang berbahaya, dan cukuplah keduanya menjadi bencana bagi pelakunya.
Seorang muslim harus waspada dan takut terhadap dua sifat tersebut, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengharamkan, membenci, serta memberikan peringatan terhadap keduanya. Allah berfirman:
“…Dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah, dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.”
(Al-Hadid: 14)
“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih.” (Al-Infithar: 6)
“…Dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (Jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu…” (At-Taubah: 25)
Rasulullah bersabda:
“Tiga perkara yang menghancurkan: kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.”
“Apabila engkau melihat sifat kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap pendapatnya sendiri, maka hendaklah engkau teguhkan hatimu.”
“Orang yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengangankan kepada Allah berbagai angan-angan.”
Contoh-contoh ujub dan terpedaya:
Contoh pertama: Iblis laknatullah membanggakan kedudukannya, terpedaya oleh dirinya sendiri dan asal kejadiannya. Dia berkata, “Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” Maka Allah menjauhkannya dari rahmat-Nya dan dari kesenangan di hadirat kesucianNya.
Contoh kedua: Kaum Ad merasa bangga dengan kekuatannya dan terpedaya oleh kerajaannya. Mereka berkata, “Siapakah yang lebih kuat dari kami?” Maka Allah menimpakan azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Contoh ketiga: Nabi Sulaiman pernah lalai. Beliau berkata, “Malam ini aku akan menggilir seratus istriku dan masing-masing akan melahirkan seorang pejuang di jalan Allah.” Beliau lupa tidak mengucapkan insya Allah, maka Allah menghalangi beliau dari harapan memiliki anak itu.
Contoh keempat: Para sahabat Rasulullah pada perang Hunain merasa bangga karena banyaknya jumlah pasukan mereka saat itu. Mereka mengatakan, “Hari ini kita tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang jumlahnya sedikit.” Maka, mereka pun ditimpa kekalahan yang pahit, hingga bumi yang luas itu terasa sempit bagi mereka. Kemudian mereka mundur ke belakang dan lari terbirit-birit.
Beberapa indikasi terpedaya di antaranya sebagai berikut:
Dalam masalah ilmu. Adakalanya seseorang merasa takjub dengan ilmunya dan terpedaya dengan pengetahuannya yang banyak. Sehingga hal tersebut membuatnya tidak mau lagi menambah ilmu, tidak mau mengambil faedah dari ilmu, meremehkan ahli ilmu yang lain ataupun memandang kecil selainnya. Cukuplah dengan ini menjadi kebinasaan baginya.
Dalam masalah harta. Adakalanya seseorang merasa takjub dan terpedaya dengan hartanya yang melimpah, sehingga ia berlaku foya-foya dan boros, bersikap sombong terhadap makhluk yang lain, serta meremehkan kebenaran, maka ia pun menjadi binasa karenanya.
Dalam masalah kekuatan. Adakalanya seseorang merasa takjub dengan kekuatannya dan terpedaya dengan kekuasaannya, sehingga ia berlaku sewenang-wenang dan aniaya, suka berjudi dan bertaruh. Maka, yang demikian itu menjadi kebinasaan dan bencana baginya.
Dalam masalah kehormatan (kemuliaan). Adakalanya seseorang merasa takjub dengan kemuliaannya dan terpedaya dengan nasab dan asal keturunannya. Sehingga ia pun menjadi lalai untuk menggapai kemuliaan, menjadi lemah untuk mencari kesempurnaan, berlambat-lambat dalam beramal, suka menghina, meremehkan, serta merendahkan orang lain.
Dalam masalah ibadah. Adakalanya seseorang merasa takjub dengan amalnya dan terpedaya dengan ketaatannya. Sehingga hal itu membuatnya berani menentang Tuhannya dan mengungkit-ungkit pemberian-Nya. Maka, menjadi sia-sialah amalannya, ia binasa dengan rasa ujubnya dan celaka dengan keterpedayaannya.
Terapi penyakit bangga diri
Cara mengobati penyakit ini adalah dengan mengingat Allah atas dasar ilmu, bahwa apa yang Allah berikan pada hari ini, baik itu berupa ilmu, harta, kekuatan, ataupun kemuliaan, bisa saja esok hari dirampas oleh Allah jika Dia menghendakinya.
Bagaimana pun besarnya ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, tidak akan pernah bisa menyamai apa yang telah Allah karuniakan kepada hamba-Nya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan pernah bisa diungkit ungkit pemberian-Nya dengan sesuatu pun. Sebab, Dia adalah sumber segala keutamaan dan Pemberi segala kebaikan. Rasulullah bersabda, “Tidaklah amalan salah seorang dari kalian itu dapat menyelamatkannya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, hanya saja Allah telah meliputiku dengan rahmat-Nya.”
Lemah dan Malas
Orang muslim tidak lemah dan tidak pula malas. Ia selalu teguh dan giat; beramal dan bersemangat. Sebab, kelemahan dan kemalasan merupakan akhlak tercela, di mana Rasulullah meminta perlindungan kepada Allah dari keduanya. Beliau sering berdoa:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, kepikunan dan kekikiran.”
Beliau juga mewasiatkan agar beramal dan bersemangat:
“Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.
Apabila ada sesuatu yang menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Allah telah menakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki itu Dia lakukan.’ Karena sesungguhnya ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.’
Dengan demikian, maka seorang muslim tidak boleh terlihat sebagai orang yang lemah, malas, pengecut, ataupun bakhil. Bagaimana mungkin ia akan malas beramal atau tidak bersemangat melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya, sementara ia meyakini adanya aturan-aturan sebab dan undang-undang sunah yang berlaku di alam ini? Bagaimana mungkin seorang muslim bersikap malas, sementara ia meyakini ajakan Allah untuk berlomba-lomba mendapatkan ampunan dan surganya.
Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi…” (Al-Hadid: 21)
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin: 26)
Bagaimana mungkin seorang muslim akan bersikap pengecut atau kerdil, sementara ia meyakini ketetapan dan takdir Allah, serta mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset dan apa yang meleset tidak akan menimpanya bagaimana pun kondisinya? Bagaimana seorang muslim tidak mau melakukan amal yang bermanfaat, sementara ia mendengar ayat Al-Qur’an menyerunya:
“Dan kebajikan apa pun yang mereka kerjakan, tidak ada yang mengingkarinya…” (Ali-Imran: 115)
“,.Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya…” (Al-Muzammil: 20)
Gambaran-gambaran sifat lemah dan malas:
- Seseorang mendengar panggilan shalat, tapi ia justru menyibukkan diri hingga tidak menyambut seruan tersebut, baik itu dengan tidur, ngobrol, ataupun pekerjaan lain yang tidak penting, sampai waktu shalat hampir habis. Setelah itu ia baru bangun lalu mengerjakan shalat sendirian di akhir waktunya.
- Seseorang yang menghabiskan waktunya di bangku-bangku cafe, di kursi-kursi hiburan, atau berkeliling di jalan-jalan dan pasar-pasar, padahal dia memiliki pekerjaan-pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
- Seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang bermanfaat, seperti mempelajari ilmu, menanami lahan, membangun tempat tinggal, serta pekerjaan-pekerjaan bermanfaat lainnya di dunia ataupun di akhirat. Dia meninggalkan pekerjaan-pekerjaan tersebut dengan alasan lanjut usia, bukan ahlinya, atau pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang lama. Dia membiarkan hari demi hari dan tahun demi tahun berlalu begitu saja, tanpa suatu amalan yang dapat memberikan manfaat baginya di dunia maupun di akhirat.
- Ketika dibukakan baginya satu pintu dari pintu-pintu kebaikan dan kebajikan, seperti kesempatan untuk berhaji di saat ia mampu melaksanakannya, ia justru tidak mau berhaji. Ketika ada orang yang berduka dan ia mampu untuk menolongnya, ia justru tidak mau menolong. Ketika diberi kesempatan memasuki bulan Ramadhan, ia tidak mau memanfaatkan malam-malamnya untuk melaksanakan qiyamullail. Ketika mendapati kedua orang tua atau salah satunya telah renta dan lemah, dan ia mampu untuk berbakti, menjalin hubungan, serta berbuat baik kepada mereka, ia tidak mau melakukannya, baik karena kelemahan, kemalasan, kekikiran, kebakhilan, ataupun kedurhakaan. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
- Seseorang yang menempati tempat tinggal yang penuh kehinaan dan kerendahan, tapi ia tidak mau mencari tempat tinggal lain yang dapat menjaga agamanya dan memelihara kemuliaan serta kehormatannya hanya karena kelemahan dan kemalasan.
Ya Allah, kami berlindung dengan-Mu dari kelemahan dan kemalasan, Aku berlindung dengan-Mu dari sifat pengecut dan bakhil. Aku berlindung dengan-Mu dari setiap akhlak yang tidak diridhai dan dari amalan yang tidak bermanfaat.
Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, serta para sahabatnya. Amin.
Hukum Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan kitab dan sunah. Allah berfirman:
“Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Al-Maidah: 6)
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 4)
“Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Rasululullah bersabda:
“Kunci shalat adalah bersuci.”
“Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima.”
“Bersuci merupakan sebagian dari iman.”
Penjelasan Thaharah
Thaharah ada dua macam, yaitu thaharah secara lahir dan thaharah secara batin.
Thaharah secara batin ialah menyucikan jiwa dari dampak-dampak dosa dan maksiat. Hal ini dilakukan dengan bertobat yang sungguh-sungguh dari seluruh dosa dan maksiat serta membersihkan hati dari kotoran syirik, keraguan, iri hati, dendam, dengki, menipu, sombong, ujub (merasa kagum pada diri sendiri), riya’, dan sum’ah (menceritakan kebaikannya kepada orang lain). Hal ini dilakukan dengan bersikap ikhlas, yakin, cinta kebaikan, santun, jujur, rendah hati, dan hanya mengharapkan keridaan dari Allah dalam semua niat dan amal kebajikannya.
Sedangkan thaharah secara lahir ialah bersuci dari najis dan hadats. Bersuci dari najis ialah dengan menghilangkan najis dengan air suci pada pakaian orang yang melakukan shalat, serta pada badannya, dan tempat Shalat.
Sedangkan bersuci dari hadats ialah dengan berwudhu, mandi, dan tayamum.
Sarana Bersuci
Bersuci dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu:
- Air Mutlak, yaitu air yang masih murni sebagaimana asal penciptaannya yang tidak tercampur dengan sesuatu yang biasanya dapat mempengaruhi keasliannya, baik berupa benda najis maupun suci.
Air mutlak itu seperti air sumur, air dari sumber mata air, air lembah, air sungai, salju yang mencair, dan air laut yang asin. Ini berdasarkan firman Allah:
“Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (Al-Furqan : 48)
Dan sabda Rasulullah :
“Air adalah suci menyucikan kecuali apabila air tersebut telah berubah baunya, rasanya, dan warnanya dengan najis yang terjatuh di dalamnya.
2, Debu yang suci, yaitu bagian permukaan bumi yang suci, berupa tanah, pasir, kerikil, atau lumpur.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Bumi ini dijadikan sebagai tempat shalat bagiku dan sebagai alat bersuci.”
Debu dapat digunakan sebagai alat bersuci ketika tidak ada air atau ketika tidak mampu menggunakan air lantaran sakit dan semisalnya. Ini berdasarkan firman Allah:
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)” (An-Nisa’: 43)
Sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya, debu yang baik merupakan sarana bersuci bagi seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika ia telah menemukan air, maka hendaklah ig menyentuhkan air pada kulitnya.”
Demikian pula berdasarkan penetapan Nabi terhadap Amr bin Al-Ash yang melakukan tayamum dari jinabat pada suatu malam yang sangat dingin dan ia mengkhawatirkan dirinya jika ia mandi dengan air dingin.’
Penjelasan Tentang
Najis An-Najasat merupakan bentuk jamak dari kata ‘najasah’ (najis), yaitu sesuatu yang keluar dari kedua kemaluan manusia (kubul dan dubur), berupa tinja, air kencing, madzi, wadi, mani. Demikian pula air kencing, tinja, dan kotoran binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, dan juga darah, nanah, atau muntahan yang telah berubah dalam jumlah yang banyak. Termasuk pula berbagai macam bangkai dan bagian-bagian anggota badannya kecuali kulit yang telah disamak, maka sesungguhnya kulit ini menjadi suci dengan disamak. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
‘Semua kulit yang telah disamak, maka menjadi suci.”
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Buang Hajat
- Mencari tempat yang sepi dari manusia dan jauh dari penglihatan mereka. Ini berdasarkan sebuah hadits; bahwa Nabi ketika hendak buang hajat, maka beliau pergi sehingga tidak dilihat oleh seorang pun.
2, Tidak membawa serta benda yang bertuliskan nama Allah. Ini berdasarkan riwayat hadits bahwa Nabi memakai cincin yang bertuliskan ‘Muhammad Rasulullah’. Beliau ketika akan masuk ke kamar kecil, maka beliau meletakkan cincinnya.”
3, Mendahulukan kaki kiri ketika masuk kamar kecil seraya berdoa:
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, saya mohon perlindungan kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan wanita.”‘ Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwa Nabi membaca doa tersebut.
4, Tidak mengangkat pakaiannya sebelum mendekat ke tanah untuk menutupi aurat yang memang menurut syariat diperintahkan untuk ditutupi.
- Tidak buang air besar dan kencing seraya menghadap arah kiblat atau membelakanginya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Janganlah kalian menghadap kiblat dengan kemaluan kalian, dan janganlah membelakangi kiblat ketika buang air besar dan kencing.”
- Tidak buang air besar dan kencing di tempat-tempat untuk berteduh nya, manusia, Di jalanan mereka, sumber air mereka, atau pepohonan mereka yang berbuah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Takutlah akan tiga hal yang dilaknat, yaitu membuang hajat di sumber-sumber air, di tengah jalan, dan tempat berteduh.”
Terdapat pula hadits Nabi yang melarang membuang hajat di bawah pohon yang berbuah.
- Tidak berbicara ketika membuang hajat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Apabila dua orang lelaki sedang buang hajat, maka hendaklah masing-masing dari keduanya saling menutup diri dari yang lainnya dan janganlah keduanya saling bercakap-cakap, karena sesungguhnya Allah membenci hal tersebut.”
Hal-hal yang Berkaitan dengan Istijmar dan Istinja’
- Tidak beristijmar dengan tulang atau kotoran binatang. Ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Janganlah kalian ber-istijimar dengan kotoran binatang dan tulang, karena sesungguhnya tulang merupakan makanan saudara kalian dari kalangan jin.”
Di samping itu, hendaklah tidak beristijmar dengan benda yang masih dapat dimanfaatkan, seperti kain yang masih layak dipakai, daun-daunan dan sebagainya dan tidak pula menggunakan benda yang perlu dihormati seperti makanan, karena sesungguhnya mengabaikan manfaat dan merusak kemaslahatan hukumnya haram.
- Tidak mengusap, beristinja’ dengan tangan kanan, atau menyentuh kemaluannya dengan tangan kanan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Janganlah salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanan ketika kencing dan janganlah dia mengusap dengan tangan kanannya.”
- Mencukupkan istijmar dengan hitungan ganjil, seperti beristijmar dengan batu tiga kali. Apabila belum merasa bersih, maka hendaknya beristijmar lima kali, misalnya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Salman:
“Rasulullah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar, kencing, beristinja’ dengan tangan kanan, atau beristinja’ kurang dari tiga batu, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.” (Ar-Raji’) artinya kotoran bagal dan keledai.
- Apabila memadukan antara air dan batu, maka hendaknya mendahulukan batu terlebih dahulu, kemudian baru beristinja’ dengan air. Apabila mencukupkan dengan salah satu dari keduanya, maka hal ini sudah mencukupi, hanya saja beristinja’ dengan air lebih baik. Ini berdasarkan pernyataan Aisyah :
“Suruhlah para suami kalian agar beristinja’ dengan baik menggunakan air, karena sesungguhnya saya malu kepada mereka. Sungguh, Rasulullah melakukan hal ini.”
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Setelah Buang Hajat
- Mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari kamar kecil, karena Rasulullah melakukan hal ini.
- Hendaknya membaca doa: “Saya memohon ampunan-Mu.”
Atau membaca: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menyelamatkanku.”
Atau membaca: “Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepadaku pada awalnya dan akhirnya.”
Atau membaca: “Segala puji bagi Allah yang telah mencicipkan kepadaku kelezatanNya, menyisakan kekuatan-Nya pada diriku dan menghilangkan penyakit dari diriku.”
Semua doa-doa terdapat di dalam hadits dan kedudukannya hadits hasan.
Ketentuan Syariat tentang Wudhu serta Keutamaannya
Ketentuan Syariat tentang wudhu
Wudhu disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (Al-Ma’idah: 6)
Rasulullah bersabda:
“Tidak akan diterima shalat salah seorang di antara kalian ketika berhadats sehingga ia berwudhu.”
Keutamaan wudhu
Dalil yang menunjukkan bahwa wudhu mempunyai keutamaan yang agung ialah sabda Rasulullah :
“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapuskan segala macam kesalahan dan mengangkat beberapa derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak disukai, memperbanyak langkah kaki ke masjid, dan menanti shalat setelah selesai melakukan shalat. Yang sedemikian itulah yang dinamakan perjuangan.”
“Apabila seorang muslim atau seorang mukmin berwudhu, lalu ia membasuh wajahnya, maka rontoklah dari wajahnya semua dosa-dosa yang ia lihat dengan kedua matanya bersamaan dengan air wudhu atau bersamaan dengan tetesan air terakhir. Apabila ia membasuh kedua tangannya, maka rontoklah semua dosa-dosanya yang ia memukul dengan kedua tangannya bersamaan dengan air wudhu atau bersamaan dengan tetesan air terakhir sehingga ia pun selesai dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.”
Hal-hal yang Difardhukan, Disunahkan, dan yang Dimakruhkan Dalam Wudhu
Hal-hal yang difardhukan dalam wudhu
- Niat, yaitu kemantapan hati untuk melakukan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya.”
2, Membasuh wajah dari bagian atas dahi hingga pangkal dagu dan dari daun telinga kanan sampai daun telinga kiri.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Maka basuhlah wajahmu.”
- Membasuh kedua tangan sampai siku. Ini berdasarkan firman Allah :
“Dan tanganmu sampai ke siku.”
- Mengusap kepala dari dahi sampai ke tengkuk. Ini berdasarkan firman Allah :
“Dan sapulah kepalamu.”
- Membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.”
- Tertib di antara anggota-anggota wudhu yang dibasuh, yakni dengan membasuh wajah terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, mengusap kepala, selanjutnya membasuh kedua kaki. Karena perintah Allah mengenai hal ini secara berurutan demikian, yaitu wajah terlebih dahulu, kemudian kedua tangan dan seterusnya.
- Berkesinambungan atau bersegera, artinya pelaksanaan wudhu dilakukan dalam satu waktu tanpa ada jeda waktu, karena memutus suatu ibadah setelah memulainya adalah dilarang. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu merusakkan amalmu.” (Muhammad: 33)
Hanya saja, jika jeda hanya sebentar ditoleransi. Demikian pula ketika jeda tersebut karena ada uzur, misalnya kehabisan air, terputusnya air, atau mengalirkan air jika membutuhkan waktu lama, karena Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Sebagian ahli ilmu menganggap bahwa menggosok-gosok termasuk bagian dari fardhu wudhu, sedangkan sebagian lain memandangnya termasuk kesunahan wudhu.
Pada hakikatnya, menggosok termasuk penyempurna membasuh anggota wudhu, oleh karena itu tidak dapat berdiri sendiri dengan nama atau hukum tersendiri.
Hal-hal yang disunahkan dalam wudhu, yaitu:
- Membaca basmalah, dengan mengucapkan ‘bismillahi’ ketika memulai wudhu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”
- Membasuh kedua telapak tangan tiga kali sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah air ketika bangun dari tidur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila salah seorang di antara kalian bangun tidur, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sebelum ia membasuhnya tiga kali, karena sesungguhnya ia tidak tahu ke mana tangannya semalam.”
Apabila seseorang tidak bangun tidur, maka diperbolehkan baginya memasukkan tangannya ke dalam wadah air dan mengambil air dengan tangannya untuk membasuh kedua telapak tangannya tiga kali sebagai kesunahan wudhu.
- Bersiwak. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Seandainya saya tidak khawatir memberatkan umatmu, pastilah saya perintahkan mereka bersiwak di setiap wudhu.”
- Berkumur, yaitu menggerak-gerakan air di dalam mulut dari satu sudut mulut ke sudut mulut lainnya, kemudian menyemburkannya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila engkau berwudhu, maka berkumurlah.”
- Istinsyaq dan istintsdr. Istinyaq ialah menghirup air ke dalam hidung, sedangkan istintsdr ialah menyemburkannya sambil bernafas. Ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Dan bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa.”
- Menyela-nyela jenggot. Ini berdasarkan perkataan Ammar bin Yasir Sungguh, ia dianggap aneh menyela-nyela jenggot, “Tidak ada yang dapat menghalangiku. Sungguh, saya pernah melihat Rasulullah menyela nyela jenggotnya.”
- Membasuh (seluruh anggota wudhu) tiga kali, karena membasuh sekali merupakan fardhu, sedangkan tiga kali adalah kesunahan.
- Mengusap kedua telinga, bagian luar telinga dan dalam telinga, karena Rasulullah melakukan hal tersebut.
- Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila engkau berwudhu, maka sela-selailah jari-jari kedua tanganmu dan kakimu.”
- Tayamun, yaitu mendahulukan bagian sebelah kanan ketika membagi, kedua tangan dan kaki. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila engkau berwudhu, maka dahulukanlah anggota wudhu bagian kanan kalian.”
Dan perkataan Aisyah:
“Nabi sangat gemar mendahulukan bagian kanan dalam mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua kegiatan beliau.”
- Memanjangkan serta melebarkan basuhan, yaitu ketika membasuh wajah sampai pangkal leher, ketika membasuh kedua tangan sampai lengan atas, dan ketika membasuh kedua kaki sampai betis. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Sungguh, umatku kelak datang pada hari Kiamat dalam keadaan bercahaya wajahnya dan kedua tangan serta kakinya karena bekas wudhu. Jadi, barang siapa di antara kalian mampu memanjangkan cahayanya, maka hendaklah ia melakukannya.”
- Pada saat mengusap kepala, hendaknya dimulai dari depan. Hal ini berdasarkan hadits:
“Rasulullah mengusap kepala dengan kedua tangannya. Beliau menghadapkan kedua tangannya dan mengundurkannya. Beliau memulainya dari bagian depan kepala, kemudian membawa kedua tangan beliau ke tengkuk kemudian beliau mengembalikan keduanya ke depan lagi.”
- Membaca doa berikut setelah wudhu:
“Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang bersuci.”
Doa ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Barang siapa berwudhu kemudian membaca, ‘Asyhadu an la ilaha illallah….dst.,’ niscaya dibukakan untuknya delapan pintu surga. Ia dapat masuk melalui pintu ia yang dia kehendaki.”
Hal-hal yang dimakruhkan dalam wudhu
- Berwudhu di tempat najis, karena dikhawatirkan najisnya terpercik kepadanya.
- Membasuh atau mengusap lebih dari tiga kali. Ini berdasarkan hadits:
“Nabi berwudhu dengan tiga kali (basuhan) seraya bersabda, ‘Barang siapa melebihi, maka sungguh ia telah berbuat keburukan dan kezaliman.”
- Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena Rasulullah berwudhu dengan satu mud air. Bahkan berlebih-lebihan dalam segaja hal memang dilarang.
- Meninggalkan salah satu atau beberapa sunah wudhu, karena dengan meninggalkan kesunahan wudhu, seseorang kehilangan pahala yang tidak semestinya hilang darinya.
- Berwudhu dengan air sisa wudhu wanita. Ini berdasarkan hadits:
“Rasulullah melarang menggunakan sisa bersuci wanita.”
Tata cara Berwudhu Meletakkan wadah di sebelah kanannya jika memungkinkan, lalu membaca basmalah dan menuang air pada kedua telapak tangan seraya berniat wudhu. Selanjutnya membasuh kedua telapak tangan tiga kali, berkumur tiga kali, istinsyaq dan istintsdar tiga kali, kemudian membasuh wajah tiga kali dengan batasan secara vertikal mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai pangkal dagu dan secara horisontal mulai dari daun telinga kanan sampai daun telinga kiri, selanjutnya membasuh tangan kanan sampai lengan atas sebanyak tiga kali seraya menyela-nyela jari-jarinya, lalu membasuh tangan kiri demikian pula. Selanjutnya mengusap kepala satu kali usapan seraya memulai dari bagian depan kepala dan menggeser kedua tangannya sambil mengusap sampai kepada tengkuknya, lalu mengembalikannya lagi ke tempat memulai usapan. Selanjutnya mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam dengan sisa basahan air yang masih terdapat ditangannya atau mengambil air baru untuk mengusap kedua telinga jika tidak ada sisa basahan air, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki, lalu membasuh kaki kiri demikian pula, kemudian membaca doa: ,
“Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang bersuci.”
Cara wudhu ini berdasarkan riwayat hadits; Bahwa Ali berwudhu, lalu beliau membasuh kedua telapak tangannya sampai bersih, berkumur tiga kali, beristinsyaq tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali, mengusap kepala sekali, kemudian membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Selanjutnya beliau berkata, “Saya senang dapat memperlihatkan kepada kalian bagaimana cara bersuci Rasulullah.”
Pembatal-Pembatal Wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu:
- Sesuatu yang keluar dari dua kemaluan, baik berupa air kencing, madzi, wadi, kotoran, kentut tak bersuara ataupun kentut yang bersuara. Ini semua dinamakan hadats. Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah:
“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika berhadats sehingga ia berwudhu.”
- Tidur lelap apabila dilakukan sambil berbaring. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Mata adalah pengikat dubur. Barang siapa tidur, maka hendaklah ia berwudhu.”
- Tertutupnya akal dan hilang kesadaran karena pingsan, mabuk, atau gila. Sebab, dalam kondisi-kondisi ini seseorang tidak tahu apakah wudhunya batal karena kentut ataukah tidak batal.
- Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan dan jari-jari bagian dalam, Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka janganlah ia melakukan shalat sehingga ia berwudhu.”
- Murtad, misalnya mengucapkan ucapan yang menyebabkan kekafiran, Sungguh, wudhunya batal dengan ucapan tersebut dan seluruh amal ibadahnya pun menjadi batal. Ini berdasarkan firman Allah:
“Sungguh, jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amal-amalmu.” (Az-Zumar: 65)
- Memakan daging onta. Ini berdasarkan pertanyaan salah seorang sahabat kepada Rasulullah ,“Apakah saya perlu berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika engkau mau.” Sahabat tersebut bertanya lagi, “Apakah saya perlu berwudhu karena makan daging onta?” Beliau menjawab, “Ya.”
Hanya saja mayoritas sahabat tidak berpendapat adanya kewajiban wudhu karena makan daging onta, dengan dasar bahwa hadits ini telah dinasakh dan bahwa mayoritas sahabat yang termasuk di antara mereka adalah para khalifah empat tidak berwudhu setelah memakan daging onta.
7, Menyentuh wanita dengan syahwat. Sebab, melampiaskan syahwat sama seperti menurutinya,. Hal ini dapat membatalkan wudhu. Dalilnya adalah adanya perintah berwudhu ketika menyentuh kemaluan, karena menyentuh kemaluan dapat mengobarkan syahwat. Ini berdasarkan hadits yang terdapat di dalam kitab Al-Muwaththa’ riwayat dari Ibnu Umar:
“Ciuman seorang laki-laki kepada istrinya dan menyentuhnya dengan tangan termasuk mulamasah (persentuhan). Barang siapa mencium istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib berwudhu.”
Hal-hal yang Disunahkan Berwudhu
Disunahkan berwudhu bagi tiap-tiap orang berikut ini:
- Orang yang tidak dapat menahan hadats, yaitu orang yang tidak dapat menahan kencing atau kentut dalam waktu yang sering. Disunahkan baginya berwudhu untuk setiap kali shalat dengan disamakan kepada wanita yang istihadhah.
- wanita yang istihadhah, yaitu wanita yang darahnya keluar selain pada hari-hari haid. Disunahkan baginya berwudhu untuk setiap kali shalat sebagaimana orang yang tidak dapat menahan hadats. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
“Kemudian berwudhulah untuk setiap kali shalat.’”
- Orang yang memandikan mayat atau memikul jenazah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi dan barang siapa memikulnya, maka hendaklah ia berwudhu.
Karena hadits ini dha’if, maka ahli ilmu menghukumi sunah berwudhu setelah memandikan jenazah atau memikulnya sebagai bentuk kehati-hatian.
Ketentuan Syariat tentang Mandi dan Penjelasan tentang Hal-hal yang Mewajibkannya
Ketentuan syariat mengenai mandi Mandi disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Allah berfirman:
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Ma’idah: 6)
“Dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)” (An-Nisa’: 43)
Rasulullah bersabda:
“Apabila khitan (kemaluan laki-laki) bertemu khitan (kemaluan wanita), maka sungguh diwajibkan mandi.”
Hal-hal yang mewajibkan mandi
1, jinabat yang meliputi bersetubuh, yaitu bertemunya dua khitan meskipun tanpa inzal, atau mengeluarkan mani dengan merasa nikmat, baik dalam kondisi tidur maupun terjaga, laki-laki maupun wanita. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Ma’idah: 6)
“Apabila dua khitan bertemu, maka sungguh diwajibkan mandi.”
2, Berhentinya darah haid dan nifas. Ini berdasarkan firman Allah:
“Karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222)
Dan sabda Nabi:
“Berdiamlah engkau (wanita) sekadar waktu haid menahanmu, kemudian mandilah.”
- Masuk Islam. Barang siapa dari orang kafir yang masuk Islam, maka jg wajib mandi lantaran Nabi memerintahkan Tsumamah Al-Hanaf untuk mandi ketika masuk Islam.”
- Kematian. Apabila seorang muslim meninggal dunia, maka wajib baginya dimandikan. Ini berdasarkan perintah Rasulullah mengenai hal ini, karena beliau memerintahkan untuk memandikan puterinya, Zainab, ketika wafat sebagaimana keterangan di dalam hadits shahih.
Hal-hal yang disunahkan untuk mandi
- Shalat Jumat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Mandi Jumat merupakan kewajiban bagi setiap orang balig.’”
- Ihram. Disunahkan mandi bagi orang yang hendak melakukan ihram untuk umrah atau haji, lantaran Nabi melakukan hal ini dan memerintahkannya.
- Memasuki kota Mekah dan berwukuf di Arafah, lantaran Nabi melakukan hal ini.
- Memandikan mayat. Barang siapa telah memandikan jenazah, maka disunahkan baginya untuk mandi berdasarkan hadits di depan.
Hal-hal yang Difardhukan, Disunahakan, dan Dimakruhkan dalam Mandi
Hal-hal yang difardhukan dalam mandi
- Niat, yaitu ketetapan dalam hati untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sesungguhnya, semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya.”
- Menyiramkan air ke seluruh tubuh secara merata seraya menggosok-gosok bagian yang memungkinkan digosok dan menuangkan air kepada bagian yang sulit digosok sampai ia mempunyai dugaan kuat bahwa air telah merata ke seluruh tubuh.
- Menyela-nyela jari-jari dan rambut, baik rambut kepala maupun rambut lainnya serta meneliti bagian tubuh yang sulit dilewati air, seperti pusar dan sebagainya.
Hal-hal yang disunahkan dalam mandi
- Membaca basmalah, karena membaca basmalah disyariatkan dalam semua perbuatan yang baik.
- Membasuh kedua telapak tangan pada permulaan sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah air sebagaimana uraian di depan.
- Memulai dengan membersihkan kotoran.
- Mendahulukan anggota-anggota wudhu sebelum membasuh tubuh.
- Berkumur, istinsyaq, dan membasuh lubang kedua telinga.
Hal-hal yang dimakruhkan dalam mandi
- Berlebihan dalam menggunakan air. Ini karena Rasulullah mandi dengan satu sha’ air, yaitu empat mud (sepenuh telapak tangan).
- Mandi di tempat najis karena khawatir terkotori dengan najis.
- Mandi dengan sisa air mandi wanita, karena Nabi melarang mandi dengan sisa air bersuci wanita sebagaimana uraian di depan.
- Mandi tanpa satir berupa dinding dan sebagainya. Ini berdasarkan perkataan Maimunah, “Saya memasang satir untuk Nabi ketika beliau sedang mandi jinabat.”
Jadi, seandainya mandi tanpa satir tidak dimakruhkan, Pastilah Maimunah tidak memasang satir untuk Nabi dan berdasarkan sabda, Nabi:
“Sesungguhnya, Allah Maha malu, Maha Menutupi dan mencintai
malu. Maka, apabila salah seorang di antara kalian sedang mandi, hendaklah ia menutup diri.”
- Mandi di air menggenang dan tidak mengalir. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air menggenang padahal ia sedang junub.”
Tata cara Mandi
Tata cara mandi ialah:
Membaca basmalah seraya berniat menghilangkan hadats besar dengan mandinya. Kemudian membasuh telapak tangan tiga kali, beristinja’, membasuh kotoran yang terdapat di kedua kemaluan dan sekitarnya. Lalu berwudhu tanpa membasuh kedua kaki, karena ia dapat membasuh kedua kakinya bersama wudhunya dan juga boleh mengakhirkannya sampai selesai mandi.
Selanjutnya, membenamkan kedua telapak tangan ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepala dengan jari-jarinya, kemudian membasuh kepala beserta kedua telinga tiga kali dengan tiga kali cidukan. Selanjutnya mengguyurkan air pada tubuh bagian kanan dengan membasuh sambil menggosok mulai dari bagian atas sampai ke bawah, kemudian tubuh bagian kiri demikian pula, di sela-sela mandi sambil meneliti bagian-bagian tubuh yang tersembunyi seperti pusar, bawah ketiak, bawah lutut, dan sebagainya.
Tata cara mandi ini berdasarkan perkataan Aisyah, “Rasulullah ketika hendak mandi jinabat, maka beliau memulai membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air, kemudian membasuh kemaluan, berwudhu sebagaimana wudhu shalat, membasahi rambutnya dengan air, kemudian memercikkan air pada kepalanya tiga kali percikan, selanjutnya mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya.”
Hal-hal yang Dilarang ketika Jinabat
Ketika jinabat dilarang melakukan Hal-hal berikut:
- Membaca Al-Qur’an kecuali membaca ta’awudz dan semisalnya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur’an.”
Dan perkataan Ali, “Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepada kami dalam setiap kondisi selama beliau tidak sedang junub.”
- Masuk ke dalam masjid kecuali hanya sekadar lewat bagi orang yang terpaksa. Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja.” (An-Nisa’: 43)
- Shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunah. Ini berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang yang beriman! janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).” (An-Nisa’: 43).
- Menyentuh mushaf meskipun dengan perantara kayu dan semisalnya, Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan (ini) sesungguhnya Al-Quran yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfizh), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waqi’ah: 77-79)
Dan sabda Nabi:
‘Janganlah engkau menyentuh Al-Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.’
Ketentuan Syariat tentang Tayamum dan Bagi Siapa Tayamum Disyariatkan
Ketentuan syariat tentang tayamum
Tayamum disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Allah berfirman:
‘Jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh wanita, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (An-Nisa’: 43)
Rasulullah bersabda: .
“Debu merupakan sarana berwudhu seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.”
Bagi Siapa Tayamum Disyariatkan?
Tayamum disyari’akan bagi orang yang tidak menemukan air setelah ia berusaha mencarinya semaksimal mungkin atau ia menemukannya, tetapi tidak dapat menggunakannya karena sakit atau jika menggunakan air iq khawatir sakitnya semakin parah, atau memperlambat kesembuhannya, atau ia tidak dapat bergerak, sedangkan ia tidak ada orang yang dapat mengambilkan air untuknya.
Adapun orang yang hanya menemukan sedikit air yang tidak mencukupi untuk berwudhu secara sempurna, maka ia berwudhu dengan air tersebut pada sebagian anggota wudhu yang mencukupi, kemudian sisanya ig bertayamum. Ini berdasarkan firman Allah:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
Hal-hal yang Difardhukan dan Disunahkan dalam Tayamum
Hal-hal yang difardhukan dalam tayamum, yaitu:
- Niat. Ini berdasarkan hadits:
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya.”
Orang yang bertayamum berniat dengan bertayamum mencari kebolehan melakukan Hal-hal yang dicegah berupa shalat dan sebagainya.
- Debu yang suci. Ini berdasarkan firman Allah :
“Maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)” (AnNisa’: 43)
- Pukulan yang pertama, yaitu meletakkan tangan di atas debu.
- Mengusap wajah dan kedua tangan berdasarkan firman Allah:
“Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (An-Nisa’: 43)
Hal-hal yang disunahkan dalam tayamum
- Tasmiyah, yaitu membaca basmalah, karena membaca basmalah disyariatkan pada setiap amal perbuatan yang baik.
- Pukulan yang kedua. Pukulan yang pertama merupakan fardhu, dan ini sudah mencukupi, sedangkan pukulan kedua merupakan kesunahan.
- Mengusap kedua lengan beserta telapak tangan, karena mengusap telapak tangan saja sudah cukup. Sedangkan mengusap kedua lengan sebagai bentuk kehati-hatian karena terdapat perbedaan pendapat mengenai arti yadain (kedua tangan) di dalam ayat. Apakah yadain hanya kedua telapak tangan atau telapak tangan beserta lengan sampai siku?
Hal-hal yang Membatalkan Tayamum dan Hal-hal yang Diperbolehkan karena Tayamum
Hal-hal yang Membatalkan Tayamum
Ada dua hal yang membatalkan tayamum, yaitu:
- Semua hal yang membatalkan wudhu, karena tayamum merupakan pengganti wudhu.
- Adanya air bagi orang yang bertayamum karena tidak menemukan air ketika belum memulai shalat atau di tengah-tengah shalat. Adapun ketika ia telah selesai shalat, maka shalatnya telah sah dan tidak ada kewajiban mengulang shalatnya apabila ia menemukan air. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Janganlah engkau melakukan satu shalat dalam sehari dua kali.”
Hal-hal yang Diperbolehkan Karena Tayamum
Dengan melakukan tayamum, maka ibadah yang sebelumnya dilarang menjadi boleh, seperti shalat, tawaf, menyentuh mushaf, membaca Al Qur’an, dan berdiam di masjid.
Tata cara Tayamum
Dimulakan dengan membaca basmalah seraya berniat mencari kebolehan melakukan ibadah yang diinginkannya dengan bertayamum, kemudian memukulkan kedua telapak tangannya ke permukaan bumi, berupa tanah, pasir, lumpur dan semisalnya dan tidak mengapa jika debunya dikibaskan sedikit, kemudian mengusap wajah sekali usapan, selanjutnya jika berkehendak memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah lagi, lalu mengusap kedua telapak tangan beserta lengannya sampai siku jika berkehendak. Apabila mengusap hanya kedua telapak tangan, maka ini sudah mencukupi.
Tanya jawab
Pertanyaan:
Apakah dengan satu kali tayamum seseorang boleh melakukan beberapa shalat apabila tayamumnya tidak batal?
Jawab:
Di dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad ahli ilmu, karena tidak ada nash yang jelas mengenai masalah ini yang menetapkan salah satunya dan membatalkan lainnya. Sebagai bentuk kehati-hatian, hendaknya melakukan tayamum untuk setiap kali shalat.
Ketentuan Syariat tentang Mengusap Khuf dan Perban
Disyariatkan mengusap khuf dan yang serupa dengannya meliputi kaos kaki, selubung sepatu, sejenis sepatu terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunah.
Adapun di dalam Al-Qur’an, sebagian qari’ (ahli qira’ah) ada yang membaca ‘Wa arjulikum’ dengan dibaca jar (kasrah) karena di-athaf-kan kepada ‘wamsahtt biru’tsikum’, maka hal ini menunjukkan kebolehan mengusap.
Sedangkan dalil haditsnya ialah Nabi bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu ia memakai kedua khufnya, maka hendaklah ia mengusap di atas keduanya, lalu shalatlah dan jangan melepas keduanya jika berkehendak kecuali karena jinabat.”
Dalam hadits ini, secara mutlak tidak ada batasan waktunya, maka dalam hadits lain menyebutkan batasan waktunya.
Adapun disyariatkannya mengusap perban, maka berdasarkan sabda Nabi mengenai seorang sahabat yang kepalanya bocor, lalu kepalanya dibasuh, sehingga ia meninggal dunia, “Sesungguhnya, cukup baginya apabila ia ditayamumi, lukanya dibalut dengan kain, kemudian diusap sedangkan tubuh selain yang terluka dibasuh.”
Syarat-syarat Mengusap Khuf (Sepatu)
Untuk mengusap khuf dan yang serupa dengannya disyaratkan Hal-hal sebagai berikut:
- Keduanya dipakai dalam keadaan suci. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada Mughirah bin Syu’bah ketika hendak melepas kedua khuf Nabi untuk membasuh kedua kaki beliau ketika wudhu, “Biarkanlah kedua khuf ini, karena aku memakainya dalam keadaan suci.”
- Keduanya dapat menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh.
- Keduanya tebal sehingga kulit tidak tampak dari balik keduanya.
- Masa mengusap tidak melebihi sehari semalam bagi orang mukim dan tidak melebihi tiga hari tiga malam bagi musafir. Ini berdasarkan perkataan Ali ag, “Rasulullah memberikan waktu tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang mukim.”
- Tidak melepas keduanya setelah mengusapnya. Jadi, jika ia melepasnya, maka ia wajib membasuh kedua kakinya. Apabila tidak, maka wudhunya batal.
- Sedangkan dalam mengusap perban, tidak disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu dan tidak ada batasan waktu tertentu. Syaratnya ialah perban tidak melebihi dari bagian tubuh yang terluka kecuali bagian yang memang harus terikut untuk mengikatkan, perban tidak terlepas dari tempatnya, dan lukanya masih belum sembuh. Apabila perban telah terjatuh atau lukanya telah sembuh, maka tidak boleh mengusap lagi dan wajib dibasuh.
Catatan:
- Diperbolehkan mengusap sorban karena darurat kedinginan atau bepergian. Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim:
“Sesungguhnya Nabi berwudhu dalam perjalanannya, lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan sorbannya.”
Akan tetapi, di samping mengusap sorban juga mengusap sebagian ubun-ubun, sebagaimana terdapat di dalam hadits.
- Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hal mengusap kedua khuf, perban, dan penutup kepala, seperti sorban dan lainnya. Jadi, Hal-hal yang diperbolehkan bagi laki-laki diperbolehkan pula bagi wanita dalam tataran yang sama.
Tata cara Mengusap Khuf (Sepatu)
Cara mengusap khuf ialah dengan membasahi kedua tangannya, lalu meletakkan bagian dalam telapak tangannya yang kiri di bawah tumit khuf dan telapak tangan kanan di atas ujung jari-jari kaki, kemudian menggeser tangan kanan sampai kepada betis dan menggeser tangan kiri sampai ke ujung jari-jari kaki. Apabila mengusap bagian atas khuf tanpa mengusap bagian bawahnya, maka hal ini pun sudah cukup berdasarkan perkataan Ali aa, “Seandainya agama itu berdasarkan akal, pastilah bagian bawah khuf itulah yang lebih berhak diusap daripada bagian atasnya.”
Sedangkan tata cara mengusap perban ialah dengan membasahi tangan, lalu mengusap bagian atas perban secara keseluruhan sekali saja.
Pengertian Haid dan Nifas
Haid ialah darah yang dikeluarkan rahim saat wanita mencapai usia balig dan biasa keluar pada waktu-waktu tertentu yang hikmahnya untuk merawat anak. Waktu haid paling minim ialah sehari semalam, paling banyak lima belas hari, dan pada umumnya enam atau tujuh hari. Sedangkan masa suci paling minim ialah tiga belas hari atau lima belas hari, paling banyak tidak ada batasnya, dan pada umumnya dua puluh tiga hari atau dua puluh empat hari.
Dalam masalah haid, wanita terbagi menjadi tiga golongan, yaitu mubtadi’ah (pemula), mu’tadah (terbiasa), dan mustahaddhah (wanita yang istihadhah).
Masing-masing ada ketentuan hukumnya sendiri.
- Mubtadi’ah ialah wanita yang melihat darah haidnya pada kali pertama. Ketentuan hukumnya ialah apabila ia melihat darah, maka ia meninggalkan shalat, shaum, dan berhubungan suami istri. la menunggu sampai suci. Apabila ia melihat darah haid setelah sehari semalam atau lebih hingga lima belas hari, maka ia mandi dan shalat. Dan apabila darahnya masih terus keluar setelah lima belas hari, maka darah setelah itu dianggap darah istihadhah.
Apabila keluarnya darah terputus-putus dalam rentang waktu lima belas hari, misalnya ia melihat darah haid sehari atau dua hari, lalu berhenti sehari atau dua hari, maka ia mandi dan melakukan shalat ketika melihat kondisinya suci dan meninggalkan shalat ketika melihat darah haid.
- Mu’tadah ialah wanita yang mempunyai hari-hari haid yang diketahui dalam sebulan. Ketentuan hukumnya, ia meninggalkan shalat, shaum, dan berhubungan suami istri pada hari-hari kebiasaan keluar darah haid. Apabila ia melihat darah kuning atau keruh setelah hari-hari biasanya haid, maka tidak perlu dipedulikan. Hal ini berdasarkan perkataan Ummu Athiyah, “Kami tidak menganggap sedikit pun darah yang kuning atau darah keruh setelah suci.’
Adapun jika ia melihat darah tersebut di sela-sela hari-hari biasanya haid, maka darah tersebut termasuk haid. Jadi, wanita tersebut tidak perlu mandi, shalat, dan puasa.
- Mustahddhah ialah wanita yang darahnya tidak berhenti keluar. Ketentuan hukumnya ialah apabila sebelum mengalami istihadhah ia telah terbiasa mengalami haid dan ia mengetahui hari-hari kebiasaan haid, maka ia meninggalkan shalat pada hari-hari kebiasaan haid untuk setiap bulan. Setelah hari-hari ini berlalu, maka ia mandi, melakukan shalat, shaum, dan boleh melakukan hubungan suami istri.
Apabila ia tidak mempunyai hari-hari biasanya haid atau ia mempunyai kebiasaan tapi ia lupa waktunya atau jumlahnya, maka apabila darahnya dapat dibedakan antara sebagian dengan lainnya, misalnya sesekali warnanya hitam dan sesekali merah, maka ia meninggalkan shalat pada hari-hari keluar darah hitam, lalu ia mandi dan melakukan shalat setelah darah hitam berhenti selama tidak melebihi lima belas hari.
Apabila darahnya tidak dapat dibedakan, baik berwarna hitam atau lainnya, maka ia meninggalkan shalat sebanyak hari-hari umumnya haid, yaitu enam atau tujuh hari dalam sebulan, kemudian ia mandi dan melakukan shalat.
Pada hari-hari istihadhah, wanita yang istihadhah berwudhu untuk setiap kali shalat, memakai pembalut, lalu melakukan shalat meskipun darahnya masih keluar dan ia tidak boleh berhubungan suami istri kecuali darurat.
Dalil-dalil mengenai ketentuan hukum istihadhah sebagaimana uraian di atas ialah hadits-hadits berikut:
- Hadits Ummu Salamah bahwa ia meminta fatwa kepada Rasulullah mengenai wanita yang selalu mengeluarkan darah, lantas beliau bersabda:
“Hendaklah dia menghitung hari-hari dan malam biasanya dia haid dalam sebulan sebelum ia mengalami sesuatu yang menimpanya tersebut. Oleh karena itu, tinggalkanlah shalat sekadar hari tersebut dalam sebulan. Apabila ia telah melewati masa tersebut, maka hendaklah ia mandi, kemudian membalut dengan kain, lalu hendaknya ia melakukan shalat.”
Hadits ini sebagai dalil bagi wanita istihadhah yang masih mempunyai kebiasaan haid.
- Hadits Fathimah binti Abu Hubaisy bahwa ia pernah istihadhah, lantas Nabi bersabda:
“Jika memang darah haid, maka sesungguhnya ia darah berwarna hitam yang dikenal. Jika demikian, maka tinggalkanlah shalat.
Jika darah yang lain, maka berwudhulah -setelah mandi dan shalatiah, karena itu hanyalah keringat.”
Hadits ini sebagai dalil bagi wanita yang tidak mempunyai kebiasaan haid atau wanita yang lupa kebiasaan haidnya dan darahnya dapat dibedakan.
- Hadits Hamnah binti Jahsy yang berkata, “Saya mengeluarkan darah haid banyak sekali, lalu saya datang menghadap Nabi meminta fatwa kepadanya, lantas beliau bersabda:
“Sesungguhnya, itu adalah gangguan dari setan. Hendaklah kamu hitung haid enam hari atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah bersih, maka shalatlah 24 hari : atau 23 hari, berpuasalah dan shalatlah, karena hal itu telah mencukupimu. Dan lakukan hal itu setiap bulan sebagaimana para wanita yang haid.”
Hadits ini sebagai dalil bagi wanita yang tidak mempunyai kebiasaan haid dan tidak dapat membedakan darahnya.
Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan dan tidak ada batas minimalnya. Ketika wanita yang nifas melihat dirinya telah suci, maka ia harus mandi dan shalat, kecuali bersetubuh karena hal ini dimakruhkan dengan makruh tanzih sebelum empat puluh hari karena dikhawatirkan akan merasakan sakit saat bersetubuh. Sedangkan paling banyak ialah empat puluh hari. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah yang berkata, “Wanita yang nifas duduk (meninggalkan shalat) selama empat puluh hari.” Lalu ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Berapa lama seorang wanita harus duduk (tidak shalat) setelah melahirkan?’ Beliau menjawab, ‘Empat puluh hari kecuali jika ia melihat telah suci sebelum itu’.”
Berdasarkan hadits di atas, maka apabila wanita yang nifas telah mencapai empat puluh hari, ia harus mandi, melakukan shalat dan Puasa meskipun belum suci. Hanya saja, apabila masih belum mampat, maka ketentuan hukumnya sama dengan wanita yang istihadhah.
Menurut sebagian ahli ilmu, wanita yang nifas duduk-duduk selama lima puluh hari atau enam puluh hari. Sedangkan hitungan nifas hanya empat puluh hari sebagai sikap kehati-hatian dalam urusan agama.
Cara Mengetahui Masa Suci
Masa suci dapat diketahui dengan dua hal. Pertama, cairan putih yang keluar setelah suci. Kedua, telah kering, caranya seorang wanita dapat memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, lalu ia mengeluarkannya dalam keadaan kering. Hal itu ia lakukan sebelum dan sesudah tidur untuk melihat apakah telah suci ataukah belum.
Hal-hal yang Dilarang dan Diperbolehkan Ketika Haid dan Nifas
Hal-hal yang dilarang ketika haid dan nifas . Ada beberapa hal yang dilarang ketika haid dan nifas, yaitu:
- Bersetubuh. Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.” (Al-Baqarah: 222)
2, Shalat dan puasa. Hanya saja, puasa wajib diqadha setelah suci sedangkan shalat tidak perlu diqadha.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Bukankah jika seorang wanita sedang haid, ia tidak shalat dan tidak puasa?”
Aisyah juga meriwayatkan:
“Kami pernah haid pada masa Rasulullah, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”
- Masuk masjid. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang haid dan orang junub.”
- Membaca Al-Qur’an. Ini berdasarkan hadits:
“Orang yang junub dan haid tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur’an.”
- Talak. Wanita yang sedang haid tidak boleh ditalak, tetapi ditangguhkan sampai dia suci dan sebelum disentuh, ditalak. Ini berdasarkan hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Umar telah menalak istrinya ketika sedang haid, lalu Rasulullah memerintahkannya agar merujuk kembali dan membiarkannya sampai suci.”
Hal-hal Yang Diperbolehkan Ketika Haid Dan Nifas
Ada beberapa hal yang diperbolehkan ketika haid dan nifas, yaitu:
- Bercumbu-rayu dan tidak boleh jima’. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Lakukan apa saja selain bersetubuh.”
- Zikir kepada Allah, karena tidak ada larangan dari syariat mengenai hal ini.
- Ihram, wukuf di Arafah, dan seluruh ritual ibadah haji dan umrah selain tawaf di Baitullah. Maka, tawaf tidak diperbolehkan kecuali setelah suci dan mandi. Ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Aisyah:
“Lakukanlah segala ritual yang dilakukan oleh orang haji selain melakukan tawaf di Baitullah sehingga engkau suci.”
- Makan dan minum berdua. Ini berdasarkan perkataan Aisyah, “Saya pernah minum ketika sedang haid, lalu saya memberikan minuman kepada Nabi, lalu beliau meletakkan mulut beliau di tempat mulutku ketika minum.”
Abdullah bin Mas’ud juga berkata, “Saya pernah bertanya kepada Nabi tentang makan bersama istri yang haid?” Beliau menjawab, “Makanlah bersamanya.”
Hukum, Hikmah, dan Keutamaan Shalat
Hukum Shalat
Shalat merupakan kewajiban dari Allah kepada setiap mukmin, karena Allah telah memerintahkan shalat tidak hanya dalam satu ayat saja di dalam kitab-Nya. Allah berfirman:
“Maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa) Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 103)
“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238)
Rasulullah menjadikan shalat sebagai dasar kedua dari kelima dasar-dasar Islam. Rasulullah bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji di Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Maka, orang yang meninggalkan shalat dihukum mati secara syar’i, sedangkan orang yang menggampangkan shalat dihukumi fasik secara pasti.
Hikmahnya
Di antara hikmah dalam syariat shalat ialah membersihkan dan menyucikan jiwa, menjadikan seorang hamba senang bermunajat kepada Allah dan berdekatan dengan-Nya di akhirat, sebagaimana shalat dapa, mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Allah berfirman.
“Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
Keutamaan shalat Untuk menguraikan keutamaan dan keagungan shalat cukup dengan membaca hadits-hadits Nabi berikut:
“Pangkal urusan ialah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.”
“Batas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
“Aku diperintah untuk memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka telah memelihara daripadaku darah serta harta benda mereka, melainkan dengan hak Islam, sedang perhitungan amal mereka adalah terserah Allah .”
Sabda Nabi ketika ditanya tentang manakah amal yang paling utama, Jalu beliau bersabda, “Shalat tepat pada waktunya.”
“Perumpamaan shalat lima waktu bagaikan sungai air tawar dan melimpah di pintu rumah salah seorang di antara kalian. Ia menceburkan diri ke dalamnya setiap hari lima kali. Lantas apakah kalian melihat masih ada kotoran darinya yang masih tersisa?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada sama sekali.” Beliau bersabda lagi, “Sungguh, shalat lima waktu dapat menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air menghilangkan kotoran.’”
“Tidak ada seorang muslim pun yang datang waktu shalat wajib, lalu ia melakukan wudhu, khusyuk, dan rukuk dengan baik kecuali menjadi pelebur terhadap dosa-dosa sebelum shalat selama tidak dilakukan dosa besar di tahun tersebut sepenuhnya.
Pembagian Shalat; Shalat Wajib, Shalat Sunah, dan Shalat Nafilah
Shalat Wajib
Shalat wajib ialah shalat lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Lima shalat yang diwajibkan oleh Allah atas para hamba-Nya, barang siapa melakukannya tanpa menyia-nyiakan sedikit pun dan meremehkan hak shalat-shalat tersebut, maka baginya janji Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barang siapa tidak melakukannya, maka tidak ada baginya janji Allah. Jika Allah berkehendak, maka Allah menyiksanya. Dan jika berkehendak, maka Allah mengampuninya.”
Shalat sunah
Di antara shalat sunah di sini ialah shalat Witir, shalat Sunah Fajar, dua shalat Ied, shalat Gerhana, dan shalat Istisqa’. Shalat-shalat ini merupakan shalat sunah muakkad.
Termasuk pula shalat Tahiyat masjid, shalat Rawatib, shalat dua rakaat setelah wudhu, shalat Dhuha, shalat Tarawih, dan shalat malam. Semua ini merupakan shalat sunah ghairu muakkadah.
Shalat Nafilah
Shalat Nafl ialah shalat sunah selain shalat sunah muakkadah dan shalat sunah ghairu muakkadah, yaitu shalat sunah mutlak, baik di lakukan di malam hari atau di siang hari.
Syarat-Syarat Shalat
Syarat-syarat wajib shalat
- Islam. Jadi, shalat tidak diwajibkan atas orang kafir, karena membaca dua kalimat syahadat terlebih dahulu merupakan syarat di dalam perintah melakukan shalat berdasarkan sabda Nabi:
“Aku diperintah untuk memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat.”
“Serulah mereka, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mematuhimu melakukan hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajiban kepada mereka shalat lima waktu dalam setiap sehari semalam.”
- Berakal. Maka, shalat tidak diwajibkan atas orang gila. Nabi bersabda:
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga hal, yaitu orang tidur sampai terbangun, anak kecil sehingga telah balig, dan orang gila sampai sembuh.”
- Balig, Jadi, shalat tidak diwajibkan atas anak kecil hingga dia balig. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“(Pena di angkat) dari anak kecil hingga ia balig.”
Hanya saja anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat dan disunahkan melakukannya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Perintahlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun serta pisahlah tempat tidur mereka dari orang tuanya.”
Telah tiba waktunya. Maka, tidak ada kewajiban shalat sebelum tiba waktunya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 103) Maksudnya, mempunyai waktu yang tertentu.
Di samping itu, Jibril turun mengajarkan kepada Nabi akan waktu-waktu shalat. Dia berkata kepada Nabi, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Zhuhur ketika tergelincirnya matahari. Kemudian Jibril datang lagi di waktu shalat Ashar. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Ashar ketika bayangan suatu benda menyamai panjang benda tersebut. Selanjutnya Jibril datang lagi di waktu shalat Maghrib. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Maghrib ketika matahari tenggelam. Lantas Jibril datang lagi di waktu shalat Isya’. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Isya’ ketika mega merah telah lenyap. Kemudian Jibril datang lagi di waktu shalat Subuh. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat ketika fajar telah terbit.
Kemudian besok harinya Jibril datang lagi ketika waktu shalat Zhuhur. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Zhuhur ketika bayangan setiap benda menyamai panjang benda tersebut. Kemudian Jibril datang lagi di waktu shalat Ashar. Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan suatu benda dua kali panjang benda tersebut. Selanjutnya Jibril datang lagi di waktu shalat Maghrib senantiasa di waktu yang sama. Lantas Jibril datang lagi untuk shalat Isya’ ketika telah berlalu separuh malam atau sepertiga malam. Maka, Nabi pun melakukan shalat isya’. Kemudian Jibril datang lagi ketika matahari telah bersinar terang, Jalu Jibril berkata, “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun melakukan shalat Subuh. Kemudian Jibril berkata, “Di antara kedua hal ini merupakan waktu shalat.”
- Bersih dari darah haid dan nifas. Jadi, shalat tidak diwajibkan atas wanita yang sedang haid dan nifas sebelum suci. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Apabila darah haidmu datang, maka tinggalkan shalat.”
Syarat sah shalat
- Suci dari hadats kecil, yaitu sudah berwudhu dan hadats besar, yaitu sudah mandi jinabat, dan suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat orang yang melakukan shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.”
- Menutup aurat. Ini berdasarkan firman Allah:
“Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31)
Dengan demikian, tidak sah shalat dalam keadaan aurat terbuka, karena perhiasan dalam pakaian ialah yang menutupi aurat.
Aurat laki-laki ialah anggota tubuh antara pusar dan kedua lutut, sedangkan aurat wanita ialah seluruh anggota tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita yang telah haid (balig) kecuali dengan mengenakan penutup kepala.”
Adapun sabda Nabi ketika ditanya mengenai shalat seorang wanita yang mengenakan pakaian rumahan dan penutup kepala tanpa mengenakan kain penutup badan, maka beliau bersabda:
“Apabila pakaian rumahan tersebut memanjang yang dapat menutupi belakang kedua telapak kakinya.”
- Menghadap kiblat, karena shalat tidak sah jika menghadap selain kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu.” (Al-Baqarah: 144)
Hanya saja bagi orang yang tidak mampu menghadap kiblat, karena takut, sakit, dan sebagainya, maka syarat ini tidak berlaku baginya karena ketidakmampuannya, sebagaimana orang musafir diperbolehkan melakukan shalat sunah di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, baik ke arah kiblat maupun tidak. Hal ini karena Nabi pernah dilihat melakukan shalat di atas kendaraannya dari Mekah ke Madinah sedangkan beliau menghadap sesuai arah kendaraan.
Hal-hal yang Difardhukan, Disunahkan dan Dimakruhkan dalam Shalat, Hal-hal yang Membatalkan Shalat, dan Hal-hal yang Boleh Dilakukan Saat Shalat
Hal-hal Yang Difardhukan Dalam Shalat Hal-hal yang difardhukan dalam shalat ialah:
- Berdiri ketika shalat fardhu bagi orang yang mampu. Oleh karena itu, shalat fardhu tidak sah apabila dilakukan dengan duduk bagi orang yang mampu berdiri. Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk.” (Al Baqarah: 238)
Serta sabda Rasulullah kepada Imran bin Hushain:
“Lakukanlah shalat dengan berdiri! Jika engkau tidak mampu, maka lakukan dengan duduk. Jika masih tidak mampu, lakukanlah sambil berbaring”
- Niat, yaitu ketetapan dalam hati untuk melakukan shalat tertentu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya.,”
- Takbiratul Ihram dengan mengucap, ‘Allahu Akbar’. Ini berdasarkan Sabda Rasulullah:
“Kunci shalat ialah bersuci, pengharamannya ialah takbir, dan penghalalannya ialah salam.”
- Membaca surat Al-Fatihah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al Fatihah.”
Hanya saja, hal ini tidak berlaku bagi makmum yang imamnya membaca surat dengan mengeraskan suara, karena makmum diperintahkan mendengarkan bacaan imamnya. Ini berdasarkan firman Allah :
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah, dan diamlah.” (Al-A’raf: 204)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah
“Apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah dan apabila imam membaca (Al-Qur’an), maka dengarkanlah.”
Apabila imam membaca pelan, maka makmum wajib membaca surat Al-Fatihah.
- Rukuk.
- Bangun dari rukuk (I’tidal). Ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang melakukan shalat dengan cara yang tidak benar:
“Kemudian rukuklah sehingga engkau melakukan thuma’ninah (berdiam diri) di dalam rukuk, kemudian bangunlah sampai engkau berdiri tegak.”
7, Sujud.
- Bangun dari sujud. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang melakukan shalat dengan cara yang tidak benar:
“Kemudian bersujudlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah sehingga engkau thuma’ninah dalam keadaan duduk.”
Allah juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! rukuklah, sujudlah.” (Al Hajj: 77)
- Thuma’ninah ketika rukuk, sujud, berdiri, dan duduk. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang melakukan shalat dengan cara yang tidak benar:
“Sehingga engkau thuma’ninah.”
Nabi menyebutkan hal ini di dalam rukuk, sujud, dan duduk. Dan beliau juga menyebutkannya ketika i’tidal dalam keadaan berdiri. Hakikat thuma’ninah ialah seseorang yang melakukan rukuk, sujud, duduk, maupun berdiri berdiam sejenak setelah anggota-anggota badannya tenang sekedar membaca ‘subhana Tuhaniyal ‘adlim’ seksi saja, jika membacanya lebih dari sekali maka hukumnya sunah.
- Salam.
- Duduk untuk mengucap salam. Seseorang tidak dapat menyelesaikan shalatnya tanpa mengucap salam dan ia tidak dapat mengucap salam kecuali dalam keadaan duduk. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Dan penghalalannya ialah salam.”
- Tertib dalam menjalankan rukun-rukun shalat. Jadi, seseorang tidak boleh membaca Al-Fatihah sebelum takbiratul ihram, dan tidak boleh melakukan sujud sebelum rukuk. Karena tata cara shalat bersumber dari Rasulullah, dan beliau mengajarkannya kepada para sahabat seraya bersabda:
“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat.”
Dengan demikian, tidak boleh mendahulukan rukun yang mestinya belakangan dan tidak boleh mengakhirkan rukun yang mestinya terlebih dahulu dilakukan. Jika masih melakukan hal ini, maka shalatnya batal.
Hal-hal Yang Disunahkan Dalam Shalat
Sunah-sunah dalam shalat ada dua, yaitu muakkadah yang seperti kewajiban dan ghairu muakkadah, yaitu sunah biasa.
Sunah Muakkadah meliputi:
- Membaca surat atau potongan surat dari Al-Qur’an, misalnya satu ayat atau dua ayat setelah membaca surat Al-Fatihah pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama ketika shalat Zhuhur dan shalat Ashar, Maghrib, dan Isya’. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi di dalam dua rakaat pertama shalat Zhuhur membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan dua surat lain, dan di dalam dua rakaat terakhir hanya membaca Ummul Kitab, dan terkadang beliau memperdengarkan bacaan satu ayat kepada para sahabat.
- Mengucap Sami‘allahu liman hamidah. Tuhanana lakal hamdu’ bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Dan mengucap ‘Tuhanana lakal hamdu’ bagi makmum. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Hurairah ws bahwa Nabi mengucap ‘Sami’allahu liman hamidah’ ketika mengangkat tulang punggungnya dari satu rakaat, kemudian sambil berdiri beliau mengucap ‘Tuhanana lakal hamdu’
Dan sabda Nabi :
“Apabila imam mengucap ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka bacalah ‘Allahumma Tuhanana lakal hamdu’.”
- Mengucap ‘Subhana Tuhaniyal azhim’ sebanyak tiga kali ketika rukuk dan mengucap ‘Subhana Tuhaniyal a’la ketika sujud. Ini berdasarkan hadits
“Ketika turun firman Allah ‘Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha besar,’ maka Nabi bersabda, ‘Jadikanlah tasbih tersebut di dalam rukuk kalian’.”
Dan ketika turun firman Allah, “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” maka Nabi bersabda, “Jadikanlah tasbih tersebut di dalam sujud kalian.”
- Takbir intiqal (perpindahan dari satu rukun ke rukun berikutnya) dari berdiri kepada sujud, dari sujud kepada duduk, dan dari duduk kepada berdiri, karena hal ini didengar dari Nabi.
- Tasyahud pertama dan kedua serta duduk untuk keduanya.
- Membaca tasyahud, yaitu:
“Segala kehormatan, shalawat, dan kebaikan adalah milik Allah, Keselamatan, rahmat Allah, serta keberkahan semoga tercurah kepadamu wahai Nabi. Keselamatan semoga terlimpah kepada kami serta hamba-hamba Allah yang saleh. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”
- Mengeraskan bacaan dalam shalat jahriyah. Jadi, hendaknya mengeraskan bacaan pada dua rakaat pertama shalat Maghrib dan Isya’, serta shalat Subuh dan membaca dengan pelan pada selain ini.
- Membaca pelan pada shalat sirriyah.
Ketentuan ini berlaku untuk shalat fardhu, sedangkan untuk shalat sunah, maka untuk shalat di siang hari disunahkan membaca pelan, dan shalat sunah di malam hari disunahkan mengeraskan bacaan, kecuali apabila khawatir bacaannya mengganggu orang lain, maka disunahkan baginya membaca dengan pelan.
- Membaca shalawat kepada Nabi di dalam tasyahud akhir. Jadi, setelah membaca tasyahud membaca:
“Ya Allah, curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad, dan para keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Limpahkanlah berkah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau melimpahkan keberkahan kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Sungguh, Engkau Maha Terpuji dan Maha Luhur.”
Adapun sunah ghairu muakkadah meliputi:
- Doa istiftah, yaitu:
“Mahasuci Engkau, ya Allah seraya memuji-Mu. Nama-Mu memberikan berkah, keagungan-Mu menjadi luhur, tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau.”
- Membaca ta’awwudz pada rakaat pertama dan basmalah dengan pelan dalam setiap rakaat. Ini berdasarkan firman Allah:
“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)
- Mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahu ketika takbiratul ihram, hendak rukuk, bangun dari rukuk, dan berdiri dari rakaat kedua. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi ketika berdiri melakukan shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, kemudian bertakbir. Ketika beliau hendak melakukan rukuk, maka beliau mengangkat kedua tangannya demikian pula. Ketika beliau hendak bangun dari rukuk, maka beliau mengangkat kedua tangannya demikian pula sambil mengucap ‘Sami‘allahu liman hamidah, Tuhanana lakal hamdu’.”
- Membaca ‘amin’ setelah membaca surat Al-Fatihah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi ketika membaca ‘Ghairil Maghdhibi ‘alaihim,’maka beliau membaca ‘amin’ seraya memanjangkan suaranya.
Nabi juga bersabda:
“Apabila imam membaca ‘Ghairil Maghdhubi ‘alaihim,’ maka bacalah ‘admin,’ karena sesungguhnya orang yang bacaan aminnya bersamaan dengan bacaan amin para malaikat, maka ampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”
- Memanjangkan bacaan surat setelah Al-Fatihah ketika shalat Subuh, memendekkan bacaan surat di dalam shalat Ashar dan Maghrib, dan pertengahan di dalam shalat Isya’ dan Zhuhur. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Ibnu Umar menulis surat kepada Abu Musa yang isinya hendaklah membaca surat panjang ketika shalat Subuh, dan membaca surat yang sedang ketika shalat Zhuhur, dan membaca surat pendek ketika shalat Maghrib.”
- Membaca doa di antara dua sujud sebagai berikut:
“Wahai Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku kesehatan, berikanlah aku petunjuk, dan berilah aku rezeki.”
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Nabi membaca doa tersebut di antara dua sujud.
- Membaca doa qunut di dalam rakaat terakhir saat shalat Subuh atau shalat Witir setelah membaca surat atau setelah bangun dari rukuk. Di antara redaksi doa qunut ialah sebagai berikut:
“Ya Allah, berilah saya petunjuk bersama orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah saya kesehatan bersama orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, berilah saya pertolongan bersama orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan. Berilah keberkahan rezeki yang telah Engkau berikan. Lindungilah saya dan jauhknalah saya dari kejelekan sesuatu yang Engkau putuskan. Sungguh, Engkau yang memutuskan dan tiada seorang pun yang menetapkan keputusan terhadap-Mu. Sesungguhnya, tidak akan hina seseorang yang telah Engkau beri pertolongan dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau musuhi. Engkau maha Agung dan maha tinggi, wahai Tuhanku. Ya Allah, saya memohon perlindungan dengan ridaMu dari murka-Mu, dengan pemaafan-Mu dari siksa-Mu. DenganMu dan dari-Mu saya tidak dapat menghitung pujian kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji dirimu sendiri.”
- Cara duduk yang diajarkan oleh Nabi mengenai tata cara shalat beliau, yaitu duduk iftirasy dalam semua duduk dan tawarruk dalam duduk yang terakhir.
Maksud duduk iftirasy ialah duduk di atas bagian dalam kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.
Sedangkan duduk tawarruk ialah memposisikan bagian dalam kaki kiri di bawah paha kanan, meletakkan pantat di atas tanah, menegakkan kaki kanan, meletakkan tangan kiri di atas lutut sebelah kiri dalam keadaan jari-jari terbuka, dan menggenggam jari-jari tangan kanan secara keseluruhan dan menunjuk dengan jari telunjuk dengan menggerakkannya ketika tasyahud.
Berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ketika duduk di dalam tasyahud, maka beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dan meletakkan tangan kiri di atas paha kiri, menunjuk dengan jari telunjuk dan pandangan mata beliau tidak melewati tunjukan jari telunjuk.
- Meletakkan kedua tangan di atas dada dengan posisi tangan kanan diatas tangan kiri. Ini berdasarkan perkataan Sahl, “Orang-orang diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri ketika melakukan shalat. Dan berdasarkan perkataan Jabir:
“Rasulullah pernah melewati seorang laki-laki sedang shalat dan ternyata orang tersebut meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, maka Rasulullah melepaskan tangannya, lalu meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.”
- Doa ketika sujud. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Ingatlah bahwa sesungguhnya saya dilarang membaca AlQuran ketika sedang rukuk dan sujud. Sedangkan ketika rukuk, maka agungkanlah Tuhan kalian. Dan di saat sujud, bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, maka pastilah doa kalian dikabulkan,”
- Membaca doa di dalam tasyahud akhir setelah membaca shalawat kepada Nabi sebagai berikut:
“Ya Allah, saya memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati, serta dari fitnah Dajal.”
Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila seseorang di antara kalian selesai membaca tasyahud, maka memohon perlindunganlah kepada Allah dari empat hal, yaitu “Ya Allah, saya memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahanam…. dan seterusnya.”
- Menoleh ke kanan sambil mengucap salam
- Mengucap salam kedua sambil menoleh ke kiri. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi mengucap salam ke arah kanan dan kiri sehingga putih pipi beliau terlihat.
- Zikir dan doa setelah salam. Ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
Diriwayatkan dari Tsauban, ia berkata, “Ketika Rasulullah selesai shalat, beliau membaca istighfar tiga kali dilanjutkan dengan bacaan, ‘Ya Allah, Engkaulah pemberi keselamatan, dari-Mu segala keselamatan. Mahasuci Engkau wahai Zat yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.”
Diriwayatkan dari Mu’adz bahwa Rasulullah memegang tangan Mu’adz seraya berkata, “Wahai Mu’adz, demi Allah, saya sungguh-sungguh menyukai kamu.”….. “Saya berwasiat kepadamu di setiap selesai shalat agar engkau jangan sampai meninggalkan bacaan berikut, “Ya Allah, berilah saya pertolongan untuk dapat berzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepadaMu dengan baik.”
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah bahwa Nabi setiap setelah shalat maktubah membaca, “Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada seorang pun yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, tiada seorang pun yang dapat memberikan sesuatu yang Engkau cegah, dan tidak manfaat orang yang memiliki kekayaan, dan dari-Mu segala kekayaan.”
Diriwayatkan dari Abu Umamah bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa membaca ayat kursi setiap setelah shalat, maka tidak ada yang mencegahnya masuk ke dalam surga kecuali mati.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa setiap usai shalat membaca tasbih sebanyak tiga puluh tiga kali, membaca tahmid sebanyak tiga puluh tiga kali, dan membaca takbir sebanyak tiga puluh tiga kali, dan sebagai kesempurnaan seratus ia membaca, ‘Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian, Dialah Mahakuasa atas segala sesuatu.’ niscaya dosa-dosanya akan diampuni meskipun laksana buih di lautan.’”
Diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash am bahwa Rasulullah ketika selesai shalat, beliau berlindung diri dengan membaca doa-doa berikut, “Ya Allah, sungguh saya berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, saya berlindung kepada-Mu dari sifat penakut, saya berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada usia yang paling hina, saya berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” Sa’d pun mengajarkan doa-doa ini kepada putra-putranya.
Hal-hal yang dimakruhkan di dalam shalat:
- Menoleh dengan memutar kepala atau hanya dengan mata. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Dia (menoleh) merupakan perampasan yang dilakukan oleh setan pada shalat seorang hamba.”
- Mengarahkan pandangan mata ke atas. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Kenapa orang-orang itu mengangkat pandangannya ke langit ketika sedang shalat?” Maka, beliau pun berkata dengan keras mengenai hal ini, sehingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka menghentikan perbuatan mereka itu atau sungguh mata mereka akan disambar.”
- Berkacak pinggang, yaitu meletakkan tangan pada pinggang. Ini berdasarkan riwayat Abu Hurairah :
“Nabi melarang seseorang melakukan shalat sambil berkacak pinggang. “
- Memegang rambutnya yang terurai, lengan bajunya atau bajunya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Aku diperintah untuk bersujud pada tujuh tulang dan aku tidak memegang baju dan rambut.”
- Menjalinkan atau menyembunyikan jari-jari. Ini berdasarkan hadits bahwa Nabi pernah melihat seorang laki-laki yang menjalinkan jari-jarinya ketika sedang shalat, lantas beliau merenggangkan antara jari-jarinya seraya bersabda, “Janganlah engkau sembunyikan jari-jarimu padahal kamu sedang shalat.”
- Menyapu kerikil lebih dari sekali dari tempat sujud. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Apabila salah seorang di antara kalian sedang shalat, maka janganlah dia menyapu kerikil, karena sesungguhnya rahmat berhadapan dengannya.”
Dan sabda Nabi
“Jika engkau melakukannya, maka sekali saja.”
- Bermain-main, dan segala hal yang menyibukkan diri sehingga melalaikan shalat dan menghilangkan kekhusukannya, misalnya memainkan jenggot, baju, melihat-lihat hiasan alas atau dinding dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Bersikap tenanglah di dalam shalat.”
- Membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan sujud. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Saya dilarang membaca Al-Qur‘an ketika sedang rukuk dan sujud.”
- Menahan buang air kencing dan buang air besar.
- Shalat ketika makan dihidangkan. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).”
- Duduk berjongkok dan menghamparkan dua lengan. Ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah:
“Rasulullah melarang duduk seperti cara duduk setan” (duduk jongkok di atas tumit) dan melarang seseorang menghamparkan kedua lengannya sebagaimana yang dilakukan binatang buas.”
Hal-hal yang membatalkan shalat Ada beberapa hal yang membatalkan shalat, yaitu:
- Meninggalkan salah satu rukun shalat jika tidak langsung melakukannya di tengah-tengah shalat atau tidak lama setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang melakukan shalat dengan cara yang tidak benar yang meninggalkan thuma’ninah dan i’tidal yang keduanya merupakan rukun shalat:
“Ulangilah dan shalatlah lagi karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat.”
- Makan dan minum. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sungguh, di dalam shalat terdapat kesibukan.”
3, Berbicara yang tidak ada kaitannya dengan shalat. Ini berdasarkan firman Allah
“Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk.” (Al-Baqarah: 238)
Dan sabda Rasulullah
“Sungguh, di dalam shalat ini tidak layak ada sedikit pun pembicaraan manusia.”
Apabila pembicaraan tersebut ada kaitannya dengan shalat, misalnya imam telah mengucap salam, kemudian bertanya tentang kesempurnaan shalatnya, apabila dikatakan kepadanya bahwa shalat belum sempurna maka ia menyempurnakan shalatnya. Atau imam memulai bacaan Al-Qur’an lalu makmum mengingatkan bacaan imam, maka hal ini tidak masalah. Karena Rasulullah pernah berbicara di dalam shalatnya, demikian pula Dzul Yadain dan shalat keduanya tidak batal. Dzul Yadain bertanya kepada Nabi, “Apakah engkau lupa atau shalatnya diqashar?” Maka Rasulullah menjawab, “Aku tidak lupa dan shalat tidak diqashar.”
- Tertawa terbahak-bahak, bukan hanya tersenyum. Kaum muslimin telah sepakat akan batalnya shalat orang yang tertawa. Bahkan sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa wudhunya juga batal. Ini diriwayatkan sabda Nabi:
“Menampakkan gigi ketika tersenyum tidak membatalkan shalat, akan tetapi yang memutus shalat ialah tertawa terbahak-bahak,”
- Melakukan banyak gerakan karena kontradiksi dengan ibadah dan menyibukkan hati serta anggota badan dengan aktivitas selain shalat, Sedangkan gerakan sedikit, misalnya membetulkan sorbannya, maju selangkah ke suatu shaf untuk mengisi kekosongan, menjulurkan tangan kepada sesuatu dengan satu gerakan, maka shalatnya tidak batal, Ini berdasarkan hadits shahih bahwa Nabi pernah menggendong Umamah dan meletakkannya padahal beliau sedang shalat dan sebagai imam bagi orang lain. Umamah adalah cucu Rasulullah dari Zainab.
- Menambah rakaat shalat dalam jumlah yang sama karena lupa, misalnya melakukan shalat Zhuhur delapan rakaat, shalat Maghrib enam rakaat, shalat Subuh empat rakaat. Hal ini lantaran lupa yang terlalu sampai menambah rakaat shalat dalam jumlah yang sama menunjukkan tidak ada kekhusyukan yang merupakan rahasia shalat dan ruhnya. Apabila shalat telah kehilangan ruhnya, maka shalatnya batal.
- Teringat shalat sebelumnya, misalnya ia sedang melakukan shalat Ashar, tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum melakukan shalat Zhuhur, maka shalat Asharnya batal hingga ia melakukan shalat Zhuhur terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan melakukan shalat lima waktu secara tertib merupakan kewajiban karena aturan dari syari’ secara tertib dari satu shalat fardhu kepada shalat fardhu yang lain. Dengan demikian, suatu shalat bisa dilakukan setelah melakukan shalat yang sebelumnya.
Hal-hal yang boleh dilakukan di dalam shalat Bagi orang yang melakukan shalat diperbolehkan melakukan Hal-hal berikut:
- Melakukan sedikit gerakan, seperti membetulkan pakaiannya, karena terdapat riwayat yang shahih tentang hal ini dari Nabi.
- Berdehem ketika memang diperlukan, Membetulkan posisi orang yang berada di suatu shaf dengan menariknya ke depan atau ke belakang atau menggeser makmum dari kiri ke kanan, sebagaimana Rasulullah pernah menggeser Ibnu Abbas am dari sebelah kiri ke sebelah kanan beliau ketika ia melakukan shalat di malam hari di samping beliau.
- Menguap dan meletakkan tangan di mulut
5, Mengingatkan bacaan imam dan membaca tasbih kepada imam ketika Jupa. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila terjadi sesuatu (kesalahan) di dalam shalat, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Subhanallah’ .”
- Menghalau orang yang melintas di depannya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat dengan memasang penghalang yang menghalangi dari manusia, lalu ada orang yang hendak melintas di depannya, maka halaulah dia. Jika ia masih membangkang, maka perangilah dia, karena sesungguhnya dia adalah setan.”
- Membunuh ular dan kalajengking yang menuju ke arah orang yang sedang shalat. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Bunuhlah dua binatang hitam, yaitu ular dan kalajengking.”
- Menggaruk badan dengan tangan, karena ini hanyalah gerakan sendi yang ditoleransi.
- Berisyarat dengan telapak tangan kepada orang yang memberi salam kepadanya, karena Nabi pernah melakukannya.’
Sujud Sahwi
Barang siapa mengalami lupa di dalam shalatnya, sehingga ia menambah rakaat, menambah sujud, dan semisalnya, maka ia harus melakukan sujud (untuk menambal shalatnya) dua kali setelah shalat sempurna, kemudian mengucap salam.
Demikian pula orang yang meninggalkan suatu sunah muakkad dalam shalat karena lupa, maka hendaknya ia melakukan sujud karena hal tersebut sebelum salam, misalnya ia meninggalkan tasyahud awal dan ia tidak langsung ingat atau ia ingat setelah berdiri dengan sempurna, maka ia tidak boleh kembali lagi untuk melakukan tasyahud, tetapi ia harus melakukan sujud sebelum salam. Demikian pula orang yang mengucap salam dari shalatnya sebelum shalatnya sempurna, maka jika jeda waktunya sebentar, maka ia boleh kembali lagi, lalu menyempurnakan shalatnya dan melakukan sujud setelah salam.
Dalil dalam masalah ini ialah sabda Nabi dan perbuatannya. Sungguh, beliau pernah mengucap salam ketika baru melaksanakan dua rakaat, lalu beliau diberitahu mengenai hal ini, kemudian beliau kembali lagi dan menyempurnakan shalat dan melakukan sujud setelah salam.
Sebagaimana pula beliau pernah langsung berdiri dari rakaat kedua dan belum melakukan tasyahud, maka beliau melakukan sujud sebelum salam. Lalu beliau bersabda:
Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu di dalam shalatnya, ia tidak tahu sudah berapa rakaat shalat yang dilakukan, apakah tiga rakaat ataukah empat rakaat? Maka hendaknya ia menghilangkan keraguan dan melanjutkan shalat sesuai rakaat yang diyakini, kemudian ia melakukan dua kali sujud sebelum salam. Jadi, seandainya ternyata ia melakukan shalat lima rakaat, maka sujud ini yang menggenapi shalatnya. Dan jika ia melakukan shalat dengan sempurna empat rakaat, maka dua kali sujud ini untuk menundukkan setan.”
Adapun makmum yang lupa, maka tidak ada kewajiban sujud baginya menurut mayoritas ahli ilmu—kecuali apabila imamnya lupa, lalu ia melakukan sujud bersama imam karena ada kewajiban mengikuti imam ada keterkaitan antara shalatnya dengan shalat imam. Sungguh, para sahabat Rasulullah melakukan sujud bersama Rasulullah ketika beliau lupa dan bersujud.
Tata Cara Shalat
Tata cara shalat yaitu seorang muslim berdiri setelah masuk waktu shalat dalam keadaan bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, sehingga ketika iqamat telah selesai, maka ia mengangkat kedua tangan sejajar bahu seraya berniat melakukan shalat yang hendak dilakukannya sambil mengucap ‘Allahu Akbar’, meletakkan tangan kanan pada tangan kiri di atas dada, kemudian membaca doa istiftah, membaca basmalah dengan suara pelan, lalu membaca surat Al-Fatihah, sehingga ketika sampai ayat ‘Waladhdhoolliin’, ia membaca ‘amin’, kemudian membaca surat atau ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah baginya.
Selanjutnya mengangkat kedua tangan sejajar bahu dan melakukan rukuk seraya mengucap ‘Allahu Akbar’, lalu kedua telapak tangan ditempelkan pada kedua lutut, menjulurkan tulang punggungnya, tidak mengangkat kepala dan tidak pula menurunkannya, bahkan dijulurkan sejajar dengan punggungnya, kemudian ketika rukuk membaca ‘Subhana Tuhaniyal azhimi’ sebanyak tiga kali atau lebih, kemudian bangun dari rukuk seraya mengangkat kedua tangan sejajar bahu sambil mengucap ‘sami’allahu liman hamidah’, sehingga ketika ia telah berdiri dengan tegak, maka ia membaca ‘Tuhanana lakal hamdu hamdan katstran thayyiban mubdrakan fihi’.
Kemudian turun untuk melakukan sujud seraya mengucap ‘Allahu Akbar’, lalu ia bersujud dengan meletakkan tujuh anggota badan; yaitu wajah, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua tumit, seraya menekankan dahi dan hidung ke bumi sambil membaca ‘Subhana Tuhaniyal a’la’ sebanyak tiga kali atau lebih, dan jika ia memanjatkan doa yang baik, maka baik pula.
Setelah itu, ia bangun dari sujud seraya mengucap ‘Allahu Akbar’, lalu ia duduk dengan membentangkan kaki kiri dan mendudukinya dan menegakkan kaki kanan sambil membaca ‘Tuhanighfir li warhamni wa’fint wahdini warzuqni’, lantas bersujud sebagaimana tata cara yang telah disebutkan, selanjutnya berdiri untuk melakukan rakaat kedua. Di dalam rakaat kedua ia melakukan tata cara sebagaimana di dalam rakaat pertama, kemudian duduk tasyahud. Apabila shalat yang dilakukan ialah shalat dua rakaat seperti shalat subuh, maka ia membaca tasyahud, membaca shalawat kepada Nabi dan mengucap salam dengan mengucapkan ‘As-Salamu ‘alaikum warahmatullah’ seraya menoleh ke kanan, kemudian mengucap salam lagi seraya menoleh ke kiri.
Apabila shalat yang dilakukan bukan dua rakaat, maka ketika ia telah membaca tasyahud, lalu ia bertakbir sambil mengangkat kedua tangan sejajar bahu, lalu menyempurnakan shalatnya sebagaimana tata cara di atas. Hanya saja di dalam membaca Al-Qur’an dicukupkan hanya membaca AlFatihah. Apabila telah selesai, maka ia duduk tawarruk dengan meletakkan pantatnya di tanah, menegakkan kaki kanan sedangkan bagian dalam jari-jari kaki menempel ke tanah. Kemudian membaca tasyahud, shalawat kepada Nabi, memohon perlindungan dari siksa neraka Jahanam, siksa neraka, siksa kubur, fitnah hidup dan kematian, dan fitnah Al-Masih Ad-Dajal, lalu mengucap salam dengan mengeraskan suara dengan mengucapkan ‘As-Salamu ‘alaikum warahmatullah’ seraya menoleh ke kanan, kemudian mengucap salam kedua seraya menoleh ke kiri, meskipun tidak ada seorang pun di sekitarnya.
Hukum Shalat Berjamaah, Keimaman, dan Makmum Masbuq
Shalat Berjamaah
Hukum Shalat Berjamaah Shalat berjamaah merupakan sunah wajib (sunah muakkad) bagi setiap mukmin yang tidak ada halangan untuk menghadirinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidak ada tiga orang dalam suatu desa atau padang sahara yang tidak didirikan shalat berjamaah di dalamnya pasti setan akan menguasai mereka. Oleh karena itu, tetaplah melakukan shalat berjamaah. Sesungguhnya serigala akan memangsa kambing yang menjauh (dari teman-temannya).”
Dan sabda Nabi
“Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sungguh, saya berkeinginan kuat untuk menyuruh agar kayu bakar dikumpulkan, kemudian saya menyuruh orang untuk mengumandangkan azan, dan menyuruh seseorang untuk menjadi imam bagi orang-orang, selanjutnya saya mendatangi para lelaki yang tidak menghadiri shalat jamaah, lalu saya bakar rumah-rumah mereka.”
Nabi bersabda kepada seorang sahabat yang buta yang pernah berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Sungguh, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid.” Maka, beliau pun memberi keringanan kepada orang buta tersebut. Namun ketika ia telah berpaling, maka beliau memanggilnya, lalu beliau bertanya, “Apakah engkau masih mendengar panggilan shalat (azan)?” Ia menjawab, “Ya, saya mendengar.” Beliau bersabda, “Maka, hadirilah shalat jamaah.”
Perkataan Ibnu Mas’ud “Sungguh, saya melihat kami (para sahabat), Tidak ada yang pernah meninggalkan shalat jamaah kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Sungguh, ada seorang laki-laki dari kami yang harus dibawa dengan dipapah oleh dua orang, hingga ia berdiri di shaf.”
Keutamaan Shalat Berjamaah
Keutamaan shalat berjamaah sangat besar dan pahalanya agung. Nabi bersabda:
“Shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan terpaut dua puluh tujuh derajat.”
“Shalat seseorang secara berjamaah melebihi shalat yang dilakukan di rumahnya dan di pasar terpaut dua puluh lebih derajatnya. Hal ini lantaran salah seorang di antara mereka melakukan wudhu dengan baik, kemudian ia datang ke masjid hanya berkeinginan untuk shalat, maka tiap kali ia melangkah satu langkah maka dengannya Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahan sampai ia masuk ke dalam masjid. Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia di dalam shalat selama shalat masih menahannya. Sedangkan para malaikat senantiasa mendoakan salah seorang dari kalian selama ta masih di tempat ia melakukan shalat seraya berdoa, ‘Ya Allah! ampunilah dia. Ya Allah! Sayangilah dia. ‘Selama dia belum berhadats.”
Jumlah minimal shalat berjamaah
Jumlah minimal melakukan shalat berjamaah ialah dua orang, yaitu imam dan satu makmum bersamanya. Semakin banyak jumlah orang yang ikut shalat berjamaah, maka lebih dicintai oleh Allah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Shalat seseorang bersama satu orang lain itu lebih banyak pahalanya daripada shalat sendirian, shalatnya bersama dua orang lain itu lebih banyak pahalanya daripada shalat bersama satu orang. Jumlah yang lebih banyak lagi lebih dicintai oleh Allah .”
Shalat berjamaah yang dilakukan di masjid lebih utama. Masjid yang lebih jauh lebih utama daripada masjid yang dekat. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sungguh, orang yang pahalanya paling besar ialah mereka yang paling jauh tempatnya menuju ke masjid.”
Kehadiran kaum wanita dalam shalat berjamaah
Kaum wanita diperbolehkan menghadiri shalat berjamaah di dalam masjid jika aman dari fitnah dan tidak dikhawatirkan adanya gangguan, Ini berdasarkan sabda Nabi
‘Janganlah kalian mencegah hamba-hamba Allah yang wanita masuk ke dalam masjid-masjid Allah, dan hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.”
Jika mereka memakai wewangian, maka ia tidak diperbolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Setiap wanita yang memakai dupa (wewangian), maka janganlah menghadiri shalat isya’ bersama kami.”
Shalat bagi seorang wanita lebih utama dilakukan di rumahnya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Rumah-rumah para wanita lebih baik bagi mereka…” Keluar dan berjalan untuk shalat berjamaah Disunahkan bagi orang yang keluar dari rumah menuju ke masjid untuk mendahulukan kaki kanan seraya membaca doa:
“Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakal kepada-Nya. Tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan Allah. Ya Allah, sungguh saya memohon perlindungan kepada-Mu dari tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, berbuat zalim atau dizalimi, berbuat bodoh atau dibodohi. Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu demi orang-orang yang memohon kepada-Mu dan demi tempat tujuan saya berjalan ini. Sungguh, saya tidak melangkah keluar dengan sombong, congkak, riya’, dan sum’ah. Akan tetapi, saya melangkah keluar karena takut akan murka-Mu dan mencari ridaMu. Saya memohon kepada-Mu agar menyelamatkanku dari neraka dan Engkau mengampuni semua dosa-dosaku. Sungguh, tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau. Ya Allah, berikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam lisanku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di dalam penglihatanku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, dan cahaya dari atasku. Ya Allah, agungkanlah cahaya pada diriku.”
Selanjutnya berjalan dengan tenang dan berwibawa. Ini berdasarkan sabda Nabi:
‘Jika kalian hendak mendatangi shalat (berjamaah), maka hendaklah kalian tetap tenang, maka shalatlah sesuai rakaat yang kalian dapaiti, sedangkan yang tertinggal, maka sempurnakanlah.”
Apabila ia telah sampai di masjid, maka hendaknya mendahulukan kaki kanan, lalu membaca doa:
“Dengan menyebut nama Allah, saya berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan Zat-Nya yang Maha Mulia, serta kekuasaan-Nya yang abadi dari setan yang terkutuk. Ya Allah, curahkanlah shalawat serta salam kepada Nabi kita, Muhammad dan para keluarganya. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan saya mohon Engkau membukakan untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”
Setelah masuk masjid tidak langsung duduk sebelum melakukan shalat Tahiyat masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka ia jangan duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.”
Kecuali apabila masuk masjid ketika waktu terbit atau tenggelamnya matahari, maka hendaknya ia langsung duduk dan tidak melakukan shalat, karena Nabi melarang melakukan shalat di dua waktu ini.
Apabila akan keluar dari masjid, maka hendaknya mendahulukan kaki kiri dan membaca doa yang dibaca waktu masuk masjid, hanya saja untuk redaksi ‘waftah li abwaba rahmatika’ diganti dengan redaksi:
“Dan bukakanlah untukku pintu-pintu anugerah-Mu.”
Keimaman
Syarat-syarat Imam
Imam disyaratkan laki-laki, adil, dan ahli fiqh. Dengan demikian, tidak sah seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Tidak sah pula orang fasik yang diketahui kefasikannya menjadi imam, kecuali jika ia seorang raja yang ditakuti. Tidak sah pula seorang ummi (tidak dapat membaca Al-Fatihah) yang bodoh menjadi imam kecuali menjadi imam bagi orang yang sepadan dengannya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sungguh, jangan sampai seorang wanita dan orang zalim menjadi imam terhadap seorang mukmin laki-laki, kecuali jika dipaksa oleh raja atau ditakutkan cambuknya atau pedangnya.”
Adapun riwayat yang menyebutkan tentang keimaman seorang wanita, hanya sebatas menjadi imam untuk anggota keluarganya dari kalangan wanita dan anak-anak, sebagaimana adanya riwayat yang menjelaskan seorang fasik menjadi imam sebatas pada kondisi-kondisi darurat.
Orang yang Lebih Utama Menjadi Imam
Orang yang paling utama sebagai imam di antara para jamaah ialah orang yang paling pandai membaca kitab Allah, lalu orang yang paling mengetahui tentang agama Allah, kemudian orang yang paling banyak takwanya, lantas orang yang usianya paling tua. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Yang berhak menjadi imam suatu kaum ialah orang yang paling ahli membaca terhadap kitab Allah di antara mereka. Apabila kemampuan di dalam membaca Al-Qur’an sama, maka orang yang paling mengetahui terhadap sunah. Apabila pengetahuan tentang sunah mereka sama, maka orang yang lebih dahulu pindah ke daerah tersebut. Apabila pindahnya bersamaan, maka orang yang lebih tua” usianya.”
Selama orang tersebut bukanlah raja atau tuan rumah, maka dalam hal ini dialah yang lebih berhak menjadi imam daripada yang lainnya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
‘Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah keluarganya atau kekuasaannya kecuali dengan izinnya.”
Keimaman Anak Kecil
Anak kecil sah menjadi imam di dalam shalat sunah, bukan di dalam shalat fardhu, karena orang yang melakukan shalat fardhu tidak boleh bermakmum dengan orang yang melakukan shalat sunah. Shalat yang dilakukan anak kecil hukumnya sunah. Oleh karena itu, ia tidak sah menjadi imam shalat fardhu. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah kalian berbeda dengan imam kalian.”
Termasuk perbedaan di sini ialah apabila seseorang melakukan shalat fardhu bermakmum dengan orang yang melakukan shalat sunah. Dalam masalah ini Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat dengan Jumhur ulama. Beliau berpendapat bahwa anak kecil boleh menjadi imam di dalam shalat fardhu dengan berdasarkan pada riwayat Amr bin Salamah dan Hal-hal yang ada di dalamnya bahwa Nabi bersabda kepada kaumnya, “Yang berhak menjadi imam bagi kalian ialah orang yang paling ahli membaca Al-Qur’an di antara kalian.” Amr bin Salamah berkata, “Maka, saya menjadi imam bagi mereka sedangkan usiaku tujuh tahun.”!
Hanya saja Jumhur ulama menganggap lemah riwayat ini. Mereka berkata, “Dengan memperkirakan riwayat ini shahih, maka ada kemungkinan bahwa Nabi tidak mengetahui bahwa Amr menjadi imam bagi mereka, karena mereka ada di padang pasir yang jauh dari Madinah.”
Wanita Sebagai Imam
Seorang wanita sah menjadi imam bagi makmum wanita dan ia tinggal di tengah-tengah mereka, karena Rasulullah memberi izin kepada Ummi Waraqah binti Naufal untuk menjadikan tukang azan di rumahnya agar ia dapat melakukan shalat dengan keluarganya.
Orang Buta Sebagai Imam
Orang buta sah menjadi imam, karena Nabi pernah meminta kepada Ibnu Ummi Maktum agar menggantikan sebagai imam di Madinah sebanyak dua kali, lalu Ibnu Ummi Maktum melakukan shalat bersama mereka padahal ia seorang yang buta.
Orang Yang Kurang Utama Sebagai Imam
Orang yang kurang utama sah menjadi imam meskipun ada orang yang lebih utama darinya, karena Rasulullah pernah melakukan shalat bermakmum kepada Abu Bakr dan Abdur Rahman bin Auf, padahal Nabi lebih utama dari keduanya, bahkan dari seluruh makhluk. !”
Orang Yang Bertayamum Sebagai Imam
Orang yang bertayamum sah menjadi imam atas orang yang berwudhu, karena Amr bin Al-Ash pernah melakukan shalat bersama satu peleton pasukan, padahal ia bertayamum sedangkan para makmum bersamanya berwudhu. Dan hal ini terdengar sampai kepada Rasulullah, dan beliau tidak mengingkarinya.
Seorang Musafir Sebagai Imam
Seorang musafir sah menjadi imam, hanya saja bagi seorang mukim apabila bermakmum kepada orang musafir, maka ia harus menyempurnakan shalatnya setelah imamnya selesai, karena Rasulullah pernah melakukan shalat bersama penduduk Mekah padahal beliau seorang musafir. Beliau bersabda kepada mereka:
“Wahai penduduk Mekah! Sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami adalah kaum musafir.”
Apabila seorang musafir melakukan shalat bermakmum dengan orang mukim, maka melakukan shalat sempurna bersama orang mukim, karena Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai menyempurnakan shalat bermakmum kepada orang mukim. Beliau menjawab, “Itu merupakan sunah Abu Qasim.”
Posisi Berdiri Makmum Dan Imam
Apabila seorang laki-laki menjadi imam bagi laki-laki, maka makmum berdiri di sebelah kanan imam. Demikian pula apabila wanita menjadi imam bagi wanita lain, maka makmum wanita berdiri di sebelah kanan imamnya. Orang yang mengimami dua makmum atau lebih, maka semua makmum berdiri di belakang imam.
Apabila makmumnya ada beberapa laki-laki dan beberapa wanita, maka makmum laki-laki berdiri di belakang imam, sedangkan makmum wanita di belakang makmum laki-laki. Apabila makmumnya seorang laki-laki dan seorang wanita, maka makmum laki-laki meskipun anak kecil berdiri di samping imam sedangkan makmum wanita berdiri di belakang keduanya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sebaik-baik shaf kaum laki-laki ialah shaf pertama dan seburuk-buruknya ialah shaf terakhir, sedangkan sebaik-baik shaf kaum wanita ialah shaf terakhir dan seburuk-buruknya ialah shaf pertama.”
Dan berdasarkan perbuatan Nabi, “Suatu ketika dalam suatu peperangan Nabi sedang berdiri untuk melakukan shalat, lalu Jabir datang dan berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau pun menggeser Jabir sehingga ia berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Jabbar bin Sakhr datang. Ia berdiri di sebelah kiri Nabi. Lantas Nabi memegang keduanya dengan kedua tangan beliau dan memosisikan keduanya berdiri di belakang beliau.”
Dan perkataan Anas ketika Nabi melakukan shalat bersama Anas dan ibunya, “Beliau memosisikanku berdiri di sebelah kanan beliau dan memosisikan wanita di belakang kami.”
Dan perkataan Anas pula:
“Saya dan anak yatim membuat barisan di belakang Rasulullah, sedangkan para nenek berdiri di belakang kami.”
Sutrah (pembatas shalat) Imam Merupakan Sutrah Bagi Makmum
Apabila imam melakukan shalat dengan memasang sutrah, maka makmum tidak perlu memasang sutrah lagi, karena Nabi pernah menancapkan tombak sebagai swtrah dan beliau tidak menyuruh seorang pun dari para makmumnya untuk meletakkan sutrah lagi.
Kewajiban mengikuti imam
Setiap makmum wajib mengikuti imamnya. Diharamkan baginya mendahului imam dan dimakruhkan baginya bersamaan dengan imamnya. Apabilaia mendahului takbiratulihramimam, maka ia harus mengulanginya. Apabila tidak diulangi, maka shalatnya batal. Demikian pula jika ia mengucap salam sebelum imam. Apabila ia mendahului imam ketika rukuk, sujud, dan bangkit dari keduanya, maka ia harus kembali lagi agar melakukan rukuk dan sujud sesudah imamnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian berbeda dengan imam. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah. Apabila ia rukuk maka rukuklah. Apabila ia mengucap ‘Sami’allahu lima hamidah’, maka ucapkanlah ‘Allahumma Tuhanana lakal hamdu’. Apabila ia bersujud, maka bersujudlah. Apabila ia melakukan shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.”
“Apakah salah seorang di antara kalian yang mengangkat kepalanya terlebih dahulu sebelum imamnya tidak khawatir jika Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah akan mengubah bentuknya menjadi bentuk keledai.”
Penggantian imam dengan makmum karena ada uzur
Apabila di tengah-tengah shalat imam teringat bahwa ia berhadats, mengalami hadats, hidungnya berdarah, atau terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan baginya untuk melanjutkan shalat, maka ia boleh meminta pengganti kepada salah seorang dari para makmum yang berada di belakangnya untuk menyempurnakan shalat bersama para makmum, lalu ia pergi. Karena Umar pun pernah meminta untuk diganti sebagai imam kepada Abdur Rahman bin Auf ketika beliau ditikam pada saat shalat. Ali juga pernah meminta digantikan sebagai imam ketika hidung beliau berdarah.’
Imam hendaknya meringankan shalat
Disunahkan bagi imam untuk meringankan shalat kecuali bacaan dalam rakaat pertama. Jika Rasulullah berharap agar orang yang tertinggal dapat menjumpainya di rakaat pertama, maka Nabi memperlama rakaat pertama.
Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat bersama orang-orang, maka ringankanlah, karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang sakit, dan tua renta. Apabila ia shalat sendirian, maka panjangkanlah sekehendaknya.”
Makruh mengangkat imam yang dibenci jamaahnya Dimakruhkan bagi seseorang menjadi imam apabila para makmum membencinya, jika kebencian mereka terhadapnya disebabkan alasan agama.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Ada tiga orang yang shalat mereka tidak diangkat dari atas kepala mereka meskipun sejengkal; yaitu seorang yang menjadi imam pada suatu kaum padahal kaum tersebut membencinya, seorang istri yang semalaman suaminya murka kepadanya, dua bersaudara yang tidak mau saling berbicara.”
Orang yang berhak berdiri di belakang imam dan berbaliknya imam setelah salam
Dianjurkan agar orang yang berada di belakang imam ialah orang yang berilmu dan memiliki keutamaan. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Hendaklah orang yang berada di belakangku dari kalian orang yang balig dan pintar.”
Sebagaimana pula disunahkan bagi imam ketika telah mengucap salam agar berbalik di tempat shalatnya ke arah kanan dan menghadapkan wajahnya kepada para jamaah, karena Rasulullah melakukan hal tersebut, Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan beliau menilai hadits ini hasan riwayat dari Qabishah bin Halb dari ayahnya yang berkata, “Nabi menjadi imam bagi kami, lalu beliau berbalik pada dua sisi, baik kanan dan kiri.”
Meluruskan shaf
Disunahkan bagi imam dan para makmum meluruskan dan merapatkan shaf sampai tegak lurus, karena Rasulullah menghadap kepada para jamaah seraya bersabda:
“Merapatlah kalian dan luruslah,”
Dan beliau juga bersabda:
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk dari kesempurnaan shalat.”
“Hendaknya kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah (hati) kalian berselisih.”
“Tidak ada suatu langkah yang pahalanya lebih besar daripada langkah yang dilalui oleh seseorang menuju tempat kosong di dalam shaf, lalu ia mengisinya.”
Makmum Masbuq
Masuk shaf shalat bersama imam ketika imam dalam posisi apa pun Apabila seseorang masuk ke dalam masjid dan ternyata shalat telah dimulai, maka ia harus segera mengikuti shalat bersama imam ketika imam dalam posisi apa pun, baik dalam posisi rukuk, sujud, duduk, atau berdiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi shalat sedangkan imam dalam suatu posisi tertentu, maka lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh imam.”
Dihitung satu rakaat dengan mendapati rukuk imam Makmum mendapat satu rakaat apabila mendapati imam dalam keadaan rukuk, lalu ia langsung melakukan rukuk bersama imam sebelum imam bangun dari rukuknya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Apabila kalian mendatangi shalat, sedangkan kami sedang bersujud, maka bersujudlah dan janganlah kalian menghitungnya (sebagai satu rakaat) dan barang siapa mendapati rukuk, maka sungguh ia mendapati shalat.”
Mengganti rakaat yang tertinggal setelah imam mengucap salam
Apabila imam telah mengucap salam, maka makmum berdiri untuk mengganti rakaat yang tertinggal. Jika ia berkehendak, ia dapat menjadikan rakaat yang tertinggal sebagai rakaat yang terakhir. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Maka shalatlah sesuai rakaat yang kalian dapati, sedangkan yang tertinggal, maka sempurnakanlah.”
Jadi, seandainya makmum mendapati satu rakaat bersama imam dalam shalat Maghrib misalnya, maka ia berdiri melakukan dua rakaat. Dalam rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan surat lain sedangkan pada rakaat kedua hanya membaca Al-Fatihah, lalu ia membaca tasyahud dan salam.
Jika ia berkehendak, boleh menjadikan rakaat yang tertinggal sebagai rakaat pertama. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Nabi dalam riwayat lain:
“Sedangkan yang tertinggal, maka gantilah.’
Dengan mengikuti hal ini, maka apabila tertinggal satu rakaat shalat Maghrib, maka ia berdiri melaksanakan satu rakaat serta membaca Al-Fatihah dan surat lain dengan mengeraskan suara sebagaimana rakaat yang tertinggal, kemudian membaca tasyahud dan salam.
Sebagian peneliti dari kalangan ahli ilmu berpendapat bahwa menjadikan rakaat yang diganti sebagai rakaat pertama adalah pendapat yang lebih unggul.
Bacaan Al-Fatihah makmum di belakang imam
Tidak ada kewajiban bagi makmum membaca Al-Fatihah apabila di dalam shalat jahriyah (shalat yang disunahkan membaca dengan mengeraskan suara), bahkan disunahkan baginya mendengarkan (bacaan imam) dan bacaan sang imam sudah mencukupi baginya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa mempunyai imam, maka bacaan sang imam merupakan bacaan baginya.”
“Mengapa aku diganggu dalam (bacaan) Al-Qur’an?”
Maka para sahabat pun menghentikan membaca Al-Fatihah ketika Nabi membaca dengan mengeraskan suara.
“Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti. Apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah dan apabila imam membaca (AI-Qur’an), maka dengarkanlah.”
Hanya saja disunahkan bagi makmum membaca Al-Qur’an ketika imam tidak mengeraskan suara sebagaimana disunahkan membaca Al-Fatihah dalam saktah (diam antara membaca Al-Fatihah dan surat) imam.
Tidak boleh melakukan shalat sunah ketika iqamah shalat fardhu telah dikumandangkan
Apabila iqamah shalat telah dikumandangkan sedangkan ia masih dalam shalat sunah, maka hendaknya ia menghentikan shalatnya jika ia mengira tidak mendapati satu rakaat karena imam sudah bangun dari rukuk. Apabila tidak demikian, maka ia boleh menyempurnakan shalatnya dengan cepat. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat maktubah.”
Seseorang yang mendapati iqamah shalat Ashar telah dikumandangkan padahal dia belum melaksanakan shalat Zhuhur
Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai hukum seseorang yang belum melaksanakan shalat Zhuhur sedangkan iqamah shalat Ashar sudah dikumandangkan. Apakah ia melakukan shalat bersama imam dengan niat shalat Zhuhur dan ketika imam telah mengucap salam, lalu ia berdiri melaksanakan shalat Ashar? Ataukah ia melakukan shalat bersama imam dengan niat shalat Ashar, lalu setelah selesai ia berdiri melakukan shalat Zhuhur dan Ashar secara bersamaan untuk menjaga urutan shalat.
Seandainya tidak ada sabda Nabi, “Janganlah kalian menyelisihi imam,” pastinya makmum melakukan shalat bersama imam dengan niat shalat Zhuhur itu pendapat yang lebih tepat. Dengan demikian, sebagai kehati-hatian hendaknya makmum melakukan shalat bersama imam dengan niat shalat Ashar, dan ketika telah selesai, ia berdiri melakukan shalat Zhuhur dan Ashar.
Shalatnya bersama imam merupakan shalat sunah baginya.
Tidak boleh berdiri di belakang shaf sendirian Makmum tidak diperbolehkan berdiri sendirian di belakang shaf. Jika ia berdiri sendiri dengan keinginannya sendiri, maka tidak ada shalat baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada seorang laki-laki yang melakukan shalat sendirian di belakang shaf:
Ulangilah shalatmu, karena tidak sah shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf. Apabila berdiri di sebelah kanan imam, maka diperbolehkan.
Shaf pertama lebih utama
Disunahkan untuk bersungguh-sungguh menempati shaf pertama dan di sebelah kanan imam. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada shaf pertama.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah termasuk shaf kedua?…. dan termasuk shaf ketiga?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk shaf kedua.”
“Sebaik-baik shaf kaum laki-laki ialah shaf pertama dan seburuk-buruknya ialah shaf terakhir, sedangkan sebaik-baik shaf kaum wanita ialah shaf terakhir dan seburuk-buruknya ialah shaf pertama”
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang berada pada shaf sebelah kanan imam,”
“Majulah, lalu ikuti aku dan hendaknya orang setelah kalian mengikuti kalian. Suatu kaum senantiasa terlambat sehingga Allah menjadikan mereka terbelakang.”
Azan dan Iqamah
Azan
Definisi Azan ialah pemberitahuan tentang tibanya waktu shalat dengan lafal tertentu. Hukumnya Azan hukumnya fardhu kifayah bagi penduduk kota dan desa. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila waktu shalat telah tiba, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan azan dan orang yang paling tua di antara kalian menjadi imam.”
Azan disunahkan bagi orang musafir dan orang di padang sahara.
“Apabila engkau bersama kambingmu atau di padang sahara, maka kumandangkanlah azan shalat dan keraskanlah suaramu, karena sesungguhnya setiap benda yang mendengar sejauh suara seorang mudzin, baik dari kalangan jin, manusia, dan apa pun juga kelak menjadi saksi baginya pada hari Kiamat.”
Lafal Azan
Lafal azan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah kepada Abu Mahzhurah ialah:
“Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
(Kemudian mengucap syahadat dua kali dengan suara yang keras. Inilah yang dinamakan Tarji).
“Marilah melaksanakan shalat, Marilah melaksanakan shalat, marilah meraih kemenangan, marilah meraih kemenangan.”
Apabila di dalam azan Subuh, maka ditambah:
“Shalat lebih utama daripada tidur, shalat lebih utama daripada tidur.”
“Allah Maha besar, Allah Maha besar. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah.”
Abu Mahdzurah ag berkata, “Nabi mengajariku azan:
‘Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.’
Selanjutnya beliau mengulang membaca, ‘Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah (dua kali) Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah (dua kali) Marilah melaksanakan shalat (dua kali), marilah meraih kemenangan (dua kali)’
Apabila azan untuk shalat Subuh, maka saya membaca ‘Shalat lebih utama daripada tidur, .whalat lebih utama daripada tidur. Allah Maha besar, Allah Maha besar. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah’.”
Kriteria yang harus dimiliki muazin
Hendaknya seorang muazin adalah orang yang dapat dipercaya, memiliki suara lantang, mengetahui waktu-waktu shalat, mengumandangkan azan di tempat yang tinggi, misalnya menara dan semisalnya, memasukkan dua ujung jari pada dua telinganya, menoleh ke kanan dan ke kiri ketika mengucap ‘Hayya ‘alash shalah, Hayya ‘alal falah’, tidak mengambil upah dari azannya kecuali jika diambilkan dari Baitul Mal atau wakaf.
Iqamah
Hukum iqamah Iqamah hukumnya sunah pada setiap shalat fardhu lima waktu, baik shalat tepat pada waktunya maupun shalat sebagai pengganti kewajiban (qadha’). Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada tiga orang dalam suatu desa atau padang sahara yang tidak didirikan shalat berjamaah di dalamnya melainkan setan akan menguasai mereka. Oleh karena itu, tetaplah melakukan shalat berjamaah. Sesungguhnya serigala akan memangsa kambing yang menjauh (dari teman-temannya).”
Dan berdasarkan perkataan Anas
“Bilal diperintah agar menggenapkan (membaca dua kali-dua kali) bacaan azan dan mengganjilkan (membaca satu kali-satu kali) bacaan iqamah.”
Lafal lqamah
Lafal iqamah sebagaimana terdapat di dalam hadits riwayat Abdullah bin Zaid yang bermimpi dengan bermimpi azan, yaitu:
“Allah Maha besar, Allah Maha besar. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, marilah melaksanakan shalat, marilah meraih kemenangan, shalat akan segera dilaksanakan, shalat akan segera dilaksanakan. Allah Maha besar, Allah Maha besar. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah.”
Catatan:
Imam adalah orang yang paling berhak untuk menentukan dikumandangkannya iqamah. Jadi, seorang muazin tidak boleh mengumandangkan iqamah kecuali jika imam telah hadir dan mengizinkannya. Hal ini berdasarkan hadits:
“Muazin lebih berhak untuk azan sedangkan imam yang lebih berhak iqamah.’
Di dalam sanad hadits ini ada perawi yang tidak diketahui, hanya saja yang mengamalkan hadits ini ialah kebanyakan ahli fikih. Barangkali hadits ini diperkuat dengan dalil lain yang mereka memandang bersumber dari Ali atau Umar a. Sedangkan untuk azan, muazinlah yang lebih berhak menentukan daripada lainnya. Dengan demikian, ia dapat mengumandangkan azan ketika waktu shalat telah tiba tanpa menunggu dan meminta izin kepada seorang pun, baik kepada imam maupun lainnya.
Hal-hal Yang Disunahkan Dalam Azan
- Tarassul (membaca pelan-pelan) ketika azan dan Hadr (membaca cepat) ketika iqamah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
‘Jika kamu mengumandangkan azan maka bacalah pelan-pelan, sedangkan jika igamah maka bacalah dengan cepat.’
- Menirukan bacaan muazin dan orang yang iqamah dengan suara pelan. Jadi, orang yang mendengar hendaknya mengucapkan semisal lafal yang dibaca oleh muazin atau orang yang iqamah, kecuali lafal ‘Hayya ‘alash shalah, Hayya ‘alal falah’, maka ia tidak menirukan lafal ini, tetapi membaca, ‘Lq haula wala quwwata illa billah’ (tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah), dan lafal ‘gad qamatish shalah’, maka hendaknya membaca, ‘Aqamahallahu wa adamaha’ (semoga Allah menegakkan shalat dan melanggengkannya).
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Bilal sedang mengumandangkan iqamah. Ketika ia sampai pada lafal ‘Qad qamatish shalah’, Nabi membaca, ‘Aqamahallahu wa adamaha’.
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi bersabda:
“Apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah semisal lafal yang dibacanya, kemudian bacalah shalawat kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa membaca shalawat kepadaku sekali, maka berkat shalawat tersebut Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kepada Allah wasilah untukku, karena sesungguhnya wasilah adalah suatu kedudukan di surga yang tidak layak diberikan melainkan kepada seorang hamba di antara para hamba Allah. Dan saya berharap sayalah orangnya. Oleh karena itu, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka ia berhak mendapat syafaat.’
- Berdoa memohon kebaikan setelah azan. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan beliau menilai hadits ini hasan dari Nabi
“Doa antara azan dan iqamah tidak akan ditolak.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan tentang doa azan Maghrib sebagai berikut:
“Ya Allah, inilah menyongsong malam-Mu, meninggalkan siang-Mu, dan suara orang-orang yang menyeru kepada-Mu. Oleh karena itu, ampunilah aku.”
Shalat Qashar, Shalat Jamak, Shalat Orang Sakit, dan Shalat dalam Keadaan Genting
Shalat Qashar
Pengertian Qashar
Qashar ialah shalat empat rakaat dilakukan dua rakaat dengan membaca Al-Fatihah dan surat. Sedangkan shalat Maghrib dan Subuh tidak dapat diqashar, karena Maghrib adalah shalat tiga rakaat dan Subuh adalah shalat dua rakaat.
Hukum Qashar
Shalat Qashar disyariatkan berdasarkan firman Allah
“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat.” (An-Nisa’: 101)
Dan sabda Rasulullah ketika ditanya mengenai shalat qashar, “Shalat qashar merupakan sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian semua. Oleh karena itu, terimalah sedekah-Nya.”
Karena Rasulullah menekuni shalat qashar maka shalat qashar dihukumi sunah muakkad, karena Rasulullah tidak pernah bepergian melainkan mengqashar shalatnya dan para sahabat beliau juga melakukannya bersama beliau.
Jarak yang disunahkan mengqashar shalat
Nabi tidak membatasi jarak perjalanan yang ditempuh untuk mengqashar shalat. Hanya saja mayoritas sahabat, tabi’in, dan para imam memandang jarak yang ditempuh oleh Nabi ketika mengqashar shalat. Ternyata mereka mendapatinya mendekati 4 burd, sehingga mereka menetapkan 4 burd—yaitu 48 mil—sebagai batas minimal jarak yang ditempuh untuk mengqashar shalat. Jadi, barang siapa melakukan perjalanan sejauh jarak tersebut bukan untuk maksiat kepada Allah , maka disunahkan baginya mengqashar shalatnya, sehingga ia melakukan shalat empat rakaat (shalat Zhuhur, shalat Ashar, dan shalat Isya’) hanya dua rakaat.
Permulaan dan berakhirnya qashar
Seorang musafir boleh mulai mengqashar shalat sejak ia meninggalkan pemukiman penduduk di daerahnya dan selama perjalanannya sampai ia kembali lagi ke daerahnya, kecuali jika ia berniat menetap empat hari atau lebih di daerah ia singgah, maka ia harus menyempurnakan shalatnya dan tidak boleh mengqashar shalat, karena dengan berniat menetap, maka hatinya beristirahat dan pikirannya tenang sehingga tidak ada lagi illat disyariatkannya qashar shalat, yaitu kegelisahan dan kecemasan hati musafir menghadapi perjalanan.
Rasulullah pernah berdiam di Tabuk selama dua puluh dan beliau mengqashar shalat.? Ada yang mengatakan bahwa beliau tidak berniat menetap di daerah tersebut.
Shalat sunah di dalam perjalanan
Apabila seorang muslim melakukan perjalanan, maka ia boleh meninggalkan beberapa shalat sunah, baik shalat rawatib ataupun yang lainnya kecuali shalat sunah Fajar dan shalat Witir, karena sesungguhnya tidak baik meninggalkan kedua shalat ini. Ibnu Umar pernah berkata, “Seandainya saya melakukan shalat sunah, pastilah saya menyempurnakan shalat saya.”
Sebagaimana seorang musafir juga boleh melakukan shalat sunah yang ia kehendaki tanpa ada kemakruhan. Sungguh, Nabi melakukan shalat Dhuha delapan rakaat padahal beliau sedang safar dan beliau melakukan shalat sunah di atas kendaraan beliau di tengah perjalanan.
Kesunahan melakukan qashar shalat berlaku umum mencakup seluruh musafir
Tidak ada perbedaan di dalam kesunahan mengqashar shalat antara musafir yang berkendaraan atau musafir yang berjalan kaki dan tidak ada perbedaan pula antara berkendaraan onta, mobil, atau pesawat kecuali pelaut jika ia tidak turun dari kapalnya sepanjang masa. Orang tersebut berarti menjadi penduduk kapal, sehingga ia tidak disunahkan mengqashar
shalat. Bahkan, ia harus menyempurnakan shalatnya, karena ia bagaikan orang yang menetap di dalam kapal.
Shalat Jamak
Hukum Shalat Jamak
Shalat jamak merupakan rukhshah yang boleh dilakukan, kecuali menjamak shalat antara shalat Zhuhur dan Ashar pada hari Arafah di padang Arafah serta menjamak antara shalat Maghrib dan Isya’ saat bermalam di Muzdalifah, karena hal ini merupakan kesunahan yang harus dilakukan. Ini berdasarkan hadits shahih dari Nabi, bahwa beliau melakukan shalat Zhuhur dan Ashar di Arafah dengan satu azan dan dua iqamah. Dan ketika beliau sampai di Muzdalifah, maka beliau melakukan shalat Maghrib dan Isya’ dengan satu azan dan dua iqamah.
Tata cara shalat jamak
Menjamak shalat yaitu seorang musafir melakukan shalat Zhuhur dan Ashar, baik dengan jamak taqdim, yaitu melakukan keduanya di awal waktu Zhuhur, atau jamak ta’khir, yaitu melakukan keduanya di awal waktu Ashar. Atau menjamak antara shalat Maghrib dan shalat Isya’, baik dengan jamak taqdim atau jamak ta’khir, yaitu ia melakukan kedua shalat ini di salah satu waktunya. Hal ini berdasarkan hadits:
“Pada suatu hari, Nabi mengakhirkan shalat di Tabuk, kemudian beliau keluar lalu beliau menjamak shalat Zhuhur dan Ashar. Kemudian beliau keluar, lalu beliau menjamak shalat Maghrib dan Isya’ sedangkan beliau singgah di Tabuk seraya berperang.”
Penduduk suatu daerah boleh menjamak antara shalat Maghrib dan Isya’ di dalam masjid ketika hujan, cuaca sangat dingin, atau angin besar apabila memberatkan jika mereka kembali lagi ke masjid untuk melakukan shalat Isya’, karena Rasulullah pernah menjamak antara shalat Maghrib dan Isya’ pada suatu malam ketika turun hujan lebat.”
Begitu pula orang sakit boleh menjamak antara Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ apabila ia merasa berat jika melakukan tiap-tiap shalat sesuai waktunya, karena illat menjamak shalat ialah masyaqqat (merasa berat). Jadi, apabila terdapat masyaqqat, maka diperbolehkan menjamak shalat.
Terkadang seorang muslim yang tidak dalam bepergian mengalami kondisi yang mendesak, misalnya mengkhawatirkan jiwa, kehormatan, dan harta benda, sehingga diperbolehkan baginya menjamak shalat. Terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi pernah satu kali menjamak shalat dalam kondisi tidak bepergian dan tidak dalam kondisi hujan.
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Nabi pernah melakukan shalat di Madinah tujuh rakaat dan delapan rakaat, yakni Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’.” caranya ialah mengakhirkan shalat Zhuhur di akhir waktunya dan melakukan shalat Ashar di awal waktunya serta mengakhirkan shalat Maghrib di akhir waktunya dan melakukan shalat Isya’ di awal waktunya. Hal ini karena kedua shalat berada dalam waktu yang bersamaan.
Shalat orang sakit
Apabila orang sakit tidak mampu berdiri sambil bersandar pada sesuatu, maka ia melakukan shalat dengan duduk. Apabila ia tidak mampu dengan duduk, maka ia melakukan shalat dengan berbaring pada lambungnya. Jika ia masih tidak mampu, maka ia melakukan shalat dengan terlentang pada tengkuknya seraya menjulurkan kedua kakinya ke arah kiblat. la menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. Apabila Ia tidak mampu melakukan rukuk dan sujud, maka ia cukup berisyarat dan tidak boleh meninggalkan shalat dalam kondisi apa pun.
Hal ini berdasarkan perkataan Imran bin Husain “Saya pernah menderita penyakit bawasir, lalu saya bertanya kepada Nabi, lantas beliau bersabda, ‘Shalatlah dengan berdiri. Apabila kamu tidak mampu, maka shalatlah dengan duduk. Apabila masih tidak mampu, maka shalatlah dengan berbaring pada lambungmu. Apabila masih tidak mampu, maka shalatlah dengan terlentang.”
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Shalat Khauf
Disyariatkannya shalat Khauf Shalat khauf disyariatkan berdasarkan firman Allah
“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan lain yang belum shalat, lalu mereka shalat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka.” (An-Nisa’: 102)
Tata cara shalat Khauf dalam bepergian
Terdapat banyak cara yang berbeda-beda dalam shalat Khauf, yang tolak ukurnya tergantung pada kondisi kuat dan lemah rasa ketakutannya.
Tata cara shalat Khauf paling populer ketika dalam kondisi perang jalah dengan membagi pasukan dua kelompok. Kelompok pertama berdiri menghadapi musuh sedangkan kelompok lain menyusun shaf di belakang imam dan melakukan shalat satu rakaat. Imam masih dalam keadaan berdiri, sedangkan para makmum kelompok pertama ini menambah satu rakaat sendiri dan mengucap salam, lalu pergi menggantikan posisi kelompok lainnya. Kemudian kelompok lainnya datang untuk melakukan shalat bersama imam satu rakaat. Lantas Imam masih tetap dalam keadaan duduk sedangkan para makmum kelompok kedua berdiri dan melakukan satu rakaat sendiri, kemudian imam mengucap salam bersama para makmum tersebut.
Dasar tata cara ini ialah hadits riwayat Sahl bin Abu Khatsmah yang di dalamnya terdapat ungkapan, “Sekelompok sahabat membentuk shaf bersama Nabi, sedangkan kelompok lainnya menghadapi musuh, lalu beliau melakukan shalat bersama kelompok ini satu rakaat, kemudian beliau masih dalam kondisi berdiri sedangkan para makmum menyempurnakan shalat mereka sendiri-sendiri, kemudian pergi menghadapi musuh.
Selanjutnya kelompok lain datang, lalu beliau melakukan shalat bersama mereka satu rakaat yang tersisa, lalu beliau masih tetap duduk, sedangkan para makmum menyempurnakan shalat mereka sendiri, kemudian beliau mengucap salam bersama mereka.”
Tata cara shalat khauf tidak dalam bepergian
Apabila peperangan dilakukan tidak dalam bepergian namun tidak dapat mengqashar shalat, maka kelompok pertama melakukan shalat bersama imam dua rakaat dan dua rakaat lagi dilanjutkan sendiri sedangkan imam masih tetap berdiri. Selanjutnya kelompok lainnya datang dan imam melakukan shalat bersama mereka dua rakaat, lalu imam masih tetap duduk sedangkan para makmum menambah sendiri dua rakaat, lalu imam mengucap salam bersama mereka.
- Jika tidak memungkinkan membagi pasukan karena peperangan yang berkecamuk dengan sengit.
Apabila perang telah berkecamuk dengan sengit dan tidak mungkin membagi pasukan, maka shalatlah sendiri-sendiri dalam kondisi apa pun, baik berjalan maupun berkendaraan, baik menghadap kiblat ataupun tidak dengan memberi isyarat. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (Al-Baqarah : 239)
Sabda Nabi :
“Apabila lebih dari itu, maka hendaklah mereka shalat dengan berdiri dan berkendaraan.”
Maksud dari ‘lebih dari itu’ ialah apabila rasa ketakutan sangat besar, peperangan telah memanas, dan mereka bercampur baur dengan musuh.
- Orang yang bertugas mengintai musuh atau lari dari incaran musuh. Seorang muslim yang sedang mengintai musuh dan khawatir kehilangan jejak atau orang yang jadi incaran musuh dan dikhawatirkan akan ditangkap, maka ia melakukan shalat dalam kondisi apa saja, baik berjalan, menghadap kiblat atau pun tidak. Demikian pula semua orang yang mengkhawatirkan dirinya sendiri, baik pribadinya, hewan atau selain keduanya, maka ia boleh melakukan shalat Khauf dalam kondisi apa pun. Dalil mengenai hal ini ialah firman Allah :
“Tika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239)
Dan tindakan Abdullah bin Unais yang diutus oleh Rasulullah untuk mencari Al-Hadzali, lalu ia berkata, “Ketika saya khawatir jika karena saya mencarinya dapat mengakibatkan saya mengakhirkan shalat, maka saya berangkat dengan berjalan sambil melakukan shalat berisyarat. Ketika saya telah dekat darinya…”
Shalat Jumat
Hukum Shalat Jumat Shalat Jumat hukumnya wajib. Ini berdasarkan firman Allah
“Hai orang-orang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al-Jumu’ah: 9)
Dan sabda Nabi
“Sungguh, hendaknya para kaum menghentikan meninggalkan shalat Jumat atau sungguh Allah akan menutup hati mereka, kemudian ia termasuk orang-orang yang lalai.”
“Shalat Jumat merupakan kewajiban atas setiap muslim secara berjamaah kecuali kepada empat orang; yaitu budak, wanita, anak kecil, atau orang sakit.”
Hikmah disyariatkan shalat Jumat
Di antara hikmah disyariatkan shalat Jumat ialah mengumpulkan orang-orang mukallaf, yang mampu mengemban tanggung jawab dari kalangan penduduk desa setiap awal pekan di satu tempat, tujuannya untuk menerima setiap keputusan dan penjelasan yang dikeluarkan oleh pimpinan kaum muslimin dan khalifah yang terkait dengan perbaikan agama dan dunia.
Di samping itu, agar mereka mendengar motivasi, intimidasi, janji, dan ancaman yang dapat mendorong mereka untuk bangkit melaksanakan kewajiban mereka dan membantu mereka melaksanakan kewajiban dengan giat dan teguh sepanjang pekan.
Hikmah ini tampak bagi orang yang merenungkan syarat-syarat shalat Jumat dan karakteristiknya, karena di antara syarat-syaratnya ialah bertempat di suatu desa, dilakukan secara berjamaah, dilakukan di masjid dan hanya di satu masjid, adanya khotbah dan hendaknya dilakukan oleh khalifah atau gubernur, diharamkan berbicara di sela-sela khotbah, tidak ada kewajiban bagi budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit, karena kemampuan mereka ini tidak sempurna dan mereka tidak mampu melaksanakan tanggung jawab dan taklif yang disampaikan di atas mimbar.
Keutamaan hari Jumat
Hari Jumat merupakan hari mulia, hari agung, dan termasuk hari terbaik dunia. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik hari di mana matahari terbit ialah hari Jumat. Pada hari ini, Nabi Adam diciptakan, pada hari ini juga Nabi Adam dimasukkan ke dalam surga, pada hari ini juga Nabi Adam dikeluarkan dari surga.
Hari Kiamat akan terjadi pada hari Jumat.”
Dengan demikian, seyogyanya hari Jumat diagungkan lantaran Allah mengagungkannya, sehingga pada hari Jumat hendaknya memperbanyak amal saleh serta menjauhi kejahatan-kejahatan.
Etika dan Hal-hal yang harus dilakukan pada hari Jumat
- Mandi bagi setiap orang yang menghadiri shalat Jumat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Mandi Jumat merupakan kewajiban atas setiap orang balig.”
- Memakai pakaian bersih. dan menggunakan parfum. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Setiap muslim hendaknya mandi pada hari Jumat, memakai pakaian bagus, dan jika mempunyai parfum, hendaknya ia menggunakannya.”
- Bersegera berangkat shalat Jumat sebelum waktunya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa mandi pada hari Jumat, kemudian ia berangkat shalat Jumat pada waktu yang pertama, maka seolah-olah ia berkurban seekor onta. Barang siapa berangkat shalat Jumat pada waktu yang kedua, maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barang siapa berangkat shalat Jumat pada waktu yang ketiga, maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang bertanduk, Barang siapa berangkat shalat Jumat pada waktu yang keempat, maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam betina. Barang siapa berangkat shalat Jumat pada waktu yang kelima, maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar, maka para malaikat mendengarkan khotbah.”
- Melakukan shalat sunah yang ringan empat rakaat atau lebih ketika masuk masjid”. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidaklah seorang lelaki mandi pada hari Jumat, bersuci sebisanya, mengenakan minyak rambut, atau menggunakan wewangian dari rumahnya, kemudian pergi ke masjid, tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian shalat (nafilah) seperti yang ditakdirkan untuknya, lalu diam untuk (mendengarkan khotbah) imam, melainkan dosa-dosanya antara Jumat tersebut dengan Jumat yang lalu diampuni. Selagi tidak melakukan dosa-dosa besar.’”
- Tidak berbicara dan bermain, semisal memegang kerikil ketika imam sedang khotbah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Apabila kamu berkata kepada temanmu saat imam berkhotbah pada hari Jumat, ‘Diamlah,’ maka kamu telah melakukan hal sia-sia.”
“Barang siapa memain-mainkan pasir, maka sungguh ia telah sia-sia. Dan barang siapa sia-sia, maka tidak ada (yang sempurna) shalat Jumat baginya.”
- Jika saat masuk masjid sedangkan imam berkhotbah, maka hendaknya ia melakukan shalat tahiyat masjid dua rakaat dengan ringan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Apabila salah seorang di antara kalian datang (masuk masjid) pada hari Jumat sementara imam sedang berkhotbah, maka shalatlah dua rakaat dan hendaknya melakukan Hal-hal yang wajib saja di dalam dua rakaat tersebut.”
- Dimakruhkan melangkahi pundak-pundak para makmum yang duduk dan merenggangkan antara mereka. Ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada orang yang melangkahi pundak-pundak orang lain:
“Duduklah! Sungguh engkau telah mengganggu.’”
“Janganlah engkau merenggangkan antara dua orang.”
- Diharamkan jual beli ketika azan Jumat dikumandangkan. Ini berdasarkan firman Allah
“Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al-Jumu’ah: 9)
- Disunahkan membaca surat Al-Kahf pada malam Jumat dan paginya. Inj berdasarkan sabda Rasulullah
“Barang siapa membaca surat Al-Kahf pada hari Jumat, maka cahaya antara dua Jumat akan menyinarinya.”
- Memperbanyak shalawat dan salam kepada Rasulullah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku pada hari Jumat dan malamnya. Barang siapa melakukan hal tersebut, maka aku menjadi saksi baginya atau memberi syafaat kepadanya pada hari Kiamat.”
- Memperbanyak doa di hari Jumat, karena hari itu terdapat waktu yang mustajab. Barang siapa berdoa bertepatan waktu ini, niscaya Allah mengabulkan dan memberikan apa yang dia minta. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya di dalam hari Jumat terdapat waktu yang jika seorang hamba muslim memohon kebaikan kepada Allah bertepatan waktu tersebut pasti Allah akan memberinya.”
Terdapat keterangan bahwa waktu tersebut ialah waktu antara keluarnya imam sampai selesai shalat dan ada yang berpendapat bahwa waktu tersebut ialah setelah Ashar.”
Syarat-syarat wajib shalat Jumat
- Laki-laki. Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas kaum wanita.
- Merdeka. Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas budak.
- Balig. Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas anak kecil.
4, Sehat. Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas orang sakit yang tidak mampu menghadiri shalat Jumat karena penyakitnya.
- Bermukim. Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas musafir. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ;
“Shalat Jumat merupakan kewajiban atas setiap muslim secara berjamaah kecuali kepada empat orang, yaitu budak, wanita, anak kecil, atau orang sakit.”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka ia wajib . melakukan shalat Jumat pada hari Jumat kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, atau budak.”
Semua orang yang menghadiri shalat Jumat dari kalangan orang-orang yang tidak berkewajiban ini, dan ia melakukan shalat bersama imam, maka shalatnya telah mencukupi untuknya dan kewajibannya telah gugur. Jadi, ia tidak perlu melakukan shalat Zhuhur lagi.
Syarat-syarat sah shalat Jumat
- Dilaksanakan di suatu pemukiman.
Jadi, shalat Jumat tidak sah dilaksanakan di padang sahara atau di perjalanan. Karena pada masa Rasulullah shalat Jumat tidak pernah dilaksanakan melainkan di kota atau di desa, sedangkan Rasulullah tidak pernah memerintahkan penduduk padang sahara melaksanakan shalat Jumat. Padahal Rasulullah sering melakukan perjalanan, tetapi tidak pernah ada sama sekali riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi melakukan shalat Jumat di perjalanan.
- Dilaksanakan di masjid.
Jadi, shalat Jumat tidak sah dilaksanakan di selain bangunan masjid dan halamannya, sehingga kaum muslimin tidak terkena panas atau dingin yang membahayakan.
- Khotbah.
Jadi, shalat Jumat tidak sah tanpa disertai khotbah. Shalat Jumat disyariatkan karena adanya khotbah. Shalat Jumat tidak diwajibkan atas orang yang jauh dari perkampungan Jadi, shalat Jumat tidak diwajibkan atas orang yang tempat tinggalnya jauh dari kota tempat dilaksanakan shalat Jumat sejauh lebih tiga mil. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Shalat Jumat hanya diwajibkan atas orang yang mendengar azan.”
Sesuai kebiasaan pada umumnya bahwa suara muazin jangkauannya tidak melebihi dari tiga mil (4,5 KM).”
Makmum yang hanya mendapati satu rakaat atau kurang dari shalat Jumat
Apabila makmum masbuk hanya mendapati satu rakaat, maka hendaknya ia menambah satu rakaat setelah imam mengucap salam, dan ini sudah mencukupi baginya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa mendapati satu rakaat shalat, maka sungguh ia mendapati seluruhnya.”
Sedangkan orang yang mendapati kurang dari satu rakaat, misalnya sujud dan semisalnya, maka ia berniat shalat Zhuhur dan menyempurnakan shalatnya empat rakaat setelah imam mengucap salam.
Mendirikan beberapa shalat Jumat dalam satu daerah
Apabila masjid raya tidak mampu menampung para jamaah dan tidak mungkin memperluas masjid, maka diperbolehkan mendirikan shalat Jumat di masjid lain dalam satu kota atau di beberapa masjid sesuai kebutuhan.
Tata cara shalat Jumat
Tata cara shalat Jumat ialah imam keluar setelah tergelincirnya matahari, lalu ia naik ke atas mimbar, memberi salam kepada para jamaah sehingga ketika ia telah duduk, maka muazin mengumandangkan azan sebagaimana azan Zhuhur. Ketika azan telah selesai, maka imam berdiri untuk berkhotbah di hadapan para jamaah seraya membukanya dengan membaca tahmid dan memuji Allah, membaca shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad selaku hamba dan utusan Allah. Kemudian memberi nasihat kepada para jamaah dan memberi peringatan kepada mereka dengan mengeraskan suaranya. Ia memerintahkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta melarang Hal-hal yang dilarang oleh keduanya, memberi motivasi dan intimidasi, mengingatkan adanya janji-janji dan ancaman Allah, lalu duduk sebentar.
Selanjutnya berdiri lagi dan memulai khotbahnya dengan membaca tahmid dan memuji Allah dan melanjutkan khotbahnya dengan gaya bahasa dan suara yang sama menyerupai suara orang yang memberi peringatan kepada tentara. Sehingga ketika khotbah telah selesai tanpa memperlama waktu. Imam pun turun dari mimbar dan muazin mengumandangkan iqamah, selanjutnya melakukan shalat dua rakaat bersama para jamaah dengan mengeraskan bacaan Al-Qur’an pada kedua rakaat tersebut. Di dalam rakaat pertama, setelah membaca surat Al-Fatihah hendaknya membaca surat Al-A’la dan di dalam rakaat kedua membaca surat Al-Ghasyiyah dan semisalnya.
Shalat Witir, Shalat sunah Fajar, Shalat Rawatib, dan Shalat Mutlak
Shalat Witir
Hukum dan Pengertian Shalat Witir
Shalat Witir adalah shalat sunah wajib yang tidak seyogyanya ditinggalkan oleh seorang muslim dalam kondisi apa pun.
Shalat Witir ialah seorang muslim melakukan shalat sunah paling akhir di malam hari setelah shalat Isya’, satu rakaat yang disebut witir. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila salah seorang dari kalian khawatir waktu Subuh telah tiba, maka hendaknya ia melakukan shalat satu rakaat yang dijadikan sebagai shalat Witir.”
Shalat sunah yang dilakukan sebelum shalat Witir Sebelum melakukan shalat Witir, disunahkan melakukan shalat dua rakaat atau lebih sampai sepuluh rakaat, kemudian melakukan shalat Witir. Karena Nabi melakukan hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.
Waktu shalat Witir
Waktu shalat Witir ialah setelah shalat Isya’ sampai menjelang fajar, namun shalat Witir di akhir malam lebih utama daripada di awal malam, kecuali bagi orang yang khawatir tidak dapat bangun malam. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa di antara kalian menduga tidak dapat terbangun di akhir malam, maka hendaklah ia melakukan shalat Witir di permulaan malam dan barang siapa di antara kalian menduga dapat terbangun di akhir malam, maka hendaklah ia melakukan shalat witir di akhir malam, karena sesungguhnya shalat di akhir malam dihadiri (disaksikan malaikat) dan inilah yang lebih utama.”
Orang yang tertidur sampai subuh, sehingga tidak melakukan shalat Witir Apabila seorang muslim tidur sedangkan ia belum melakukan shalat Witir dan tidak terbangun sampai Subuh, maka ia dapat mengqadha’nya sebelum melakukan shalat Subuh. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila salah seorang diantara kalian bangun di pagi hari sedangkan ia belum melakukan shalat Witir, maka hendaklah ia melakukan shalat Witir.”
“Barang siapa tidur dan belum shalat Witir atau ia lupa belum melakukannya, maka hendaklah ia melakukannya di pagi hari atau ketika ia telah ingat.”
Bacaan di dalam shalat Witir
Disunahkan di dalam dua rakaat sebelum Witir membaca surat Al-A’la dan surat Al-Kafirun. Sedangkan di dalam rakaat Witir membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas).
Melakukan shalat Witir berulang-ulang
Dimakruhkan melakukan shalat Witir berulang-ulang dalam satu malam, Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada dua kali Witir di dalam satu malam.’?”
Barang siapa telah melakukan shalat Witir di permulaan malam, kemudian ia terbangun dan hendak melakukan shalat Sunah, maka ia boleh melakukan shalat Sunah dan tidak perlu mengulang shalat Witir. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Tidak ada dua kali Witir di dalam satu malam.”
Shalat Sunah Fajar
Hukum Shalat Sunah Fajar
Hukum shalat sunah fajar adalah sunah muakkad semisal shalat Witir. Karena shalat ini merupakan permulaan shalat seorang muslim di pagi hari, sedangkan shalat Witir merupakan penutup shalat di malam hari. Ini yang dikuatkan oleh Rasulullah dengan melaksanakan shalat tersebut. Beliau senantiasa menjaga shalat tersebut dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Di samping itu, beliau juga memotivasi untuk melakukan shalat ini melalui sabdanya:
“Dua rakaat shalat Fajar lebih baik dari dunia dan seisinya,”
“Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat shalat Fajar meskipun dihalangi oleh kuda kalian.”
Waktu Shalat Sunah Fajar
Waktu shalat Sunah Fajar ialah waktu antara terbit fajar dan shalat Subuh. Barang siapa tidur sampai matahari terbit atau ia lupa melakukan shalat Sunah Fajar, maka hendaknya ia melakukannya ketika telah ingat kecuali apabila sampai tergelincirnya matahari, maka menjadi gugur melakukan shalat Sunah Fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa belum melakukan dua rakaat shalat Sunah Fajar sampai matahari terbit, maka hendaklah ia melakukannya.”
Sungguh, Nabi bersama para sahabatnya dalam perjalanan perang pernah sekali tertidur dan tidak terbangun sampai matahari tergelincir, lalu mereka berpindah sedikit dari tempat tidur mereka, kemudian Rasulullah memerintahkan Bilal, lalu ia pun mengumandangkan azan, lalu beliau melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh, kemudian Bilal mengumandangkan iqamah, lantas beliau melaksanakan shalat Subuh.”
Tata cara pelaksanaan shalat Sunah Fajar
Shalat Sunah Fajar adalah shalat dua rakaat ringan. Di dalamnya membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas setelah membaca Al-Fatihah dengan suara pelan. Apabila di dalam dua rakaat ini ia hanya membaca surat Al-Fatihah, maka ini sudah cukup. Ini berdasarkan perkataan Aisyah, “Rasulullah melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh.
Beliau melakukannya dengan cepat sampai saya ragu-ragu apakah beliau membaca Al-Fatihah apa tidak?”
Dan pernyataan Aisyah, “Rasulullah di dalam dua rakaat shalat Sunah Fajar membaca surat Al-Kafirun dan surat Al-Ikhlash dan beliau membacanya dengan suara pelan.”
Shalat Sunah Rawatib
Shalat sunah Rawatib ialah shalat sunah sebelum dan sesudah shalat fardhu, yaitu dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat sebelum Ashar, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat atau empat rakaat setelah Isya’. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar, “Saya menghafal kebiasaan shalat sunah Nabi sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumah beliau, dua rakaat setelah Isya’, dan dua rakaat sebelum subuh.”
Dan perkataan Aisyah, “Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur.”
Nabi juga bersabda:
“Setiap antara azan dan iqamah ada shalat.”
“Semoga Allah merahmati seseorang yang melakukan shalat sebelum Ashar empat rakaat.”
Shalat Tathawww’ atau Shalat Sunah Mutlak
Keutamaan shalat Mutlak
Shalat-shalat sunah mempunyai keutamaan yang agung. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Allah tidak mengizinkan terhadap seorang hamba sesuatu yang lebih utama daripada shalat dua rakaat yang dilakukannya. Dan sesungguhnya kebaikan akan ditaburkan di atas kepala seorang hamba selama dia masih dalam keadaan shalat.”
Dan sabda Nabi kepada seseorang yang meminta agar menjadi teman beliau di surga: “Kalau begitu bantulah aku dengan memaksa dirimu sendiri untuk memperbanyak bersujud.”
Hikmah shalat sunah Mutlak
Termasuk di antara hikmah shalat sunah ialah untuk menambal shalat fardhu yang masih ada kekurangan. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan manusia yang kali pertama dihisab pada hari Kiamat ialah shalat. Beliau bersabda, ‘Tuhan kami berfirman kepada para malaikat-Nya sedangkan Dia Maha Mengetahui, “Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah telah sempurna ataukah masih ada kekurangan?’ Apabila telah sempurna, maka dicatat baginya bahwa shalatnya sempurna. Apabila masih ada kekurangan, Dia berfirman, ‘Apakah apakah hamba-Ku melakukan shalat sunah?’ Apabila ia melakukan shalat sunah, Dia berfirman, ‘Sempurnakanlah shalat fardhu hamba-Ku tersebut dari shalat sunah.’ Selanjutnya semua amal perbuatan diperlakukan seperti itu’,”
Waktu shalat sunah Mutlak
Malam dan siang merupakan waktu untuk melakukan shalat sunah Mutlak, selain lima waktu berikut ini yang tidak boleh melakukan shalat sunah mutlak:
- Setelah terbit fajar hingga terbit matahari.
- Terbit matahari sampai matahari naik sekitar satu tombak.
- Tengah hari hingga matahari tergelincir.
- Setelah shalat Ashar hingga matahari berwarna kekuning-kuningan.
- Matahari berwarna kekuning-kuningan sampai matahari terbenam.
Batasan ini berdasarkan sabda Nabi kepada Amr bin Abasah yang bertanya kepada beliau mengenai shalat:
“Lakukanlah shalat Subuh, lalu hentikanlah shalat hingga matahari terbit dan naik (sekitar satu tombak), karena sesungguhnya matahari terbit di antara dua tanduk setan. Dan pada saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu, shalatlah karena shalat pada saat itu dihadiri dan disaksikan oleh malaikat hingga bayangan tombak menjadi sedikit, kemudian hentikanlah shalat, karena pada saat ini neraka Jahanam sedang dinyalakan. Ketika bayangannya kembali lagi, maka shalatlah, karena shalat pada saat itu dihadiri dan disaksikan oleh malaikat hingga engkau mekakukan shalat Ashar, lalu hentikanlah shalat sampai terbenamnya matahari, karena sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk setan. Dan pada saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.’”
Duduk saat shalat sunah
Diperbolehkan melakukan shalat sunah dengan duduk. Hanya saja orang yang melakukan shalat sunah dengan duduk pahalanya separuh dari pahala yang melakukannya dengan berdiri. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Shalat seseorang dalam keadaan duduk (pahalanya) setengah shalat.”?”
Macam-macam shalat sunah
- Tahiyat masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi : “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka ia jangan duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.”
- Shalat Dhuha, yaitu empat rakaat atau lebih sampai delapan rakaat. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam! Lakukan shalat empat rakaat karena-ku di permulaan siang, pasti Aku mencukupimu di akhir siang.’?”
- Shalat Tarawih di bulan Ramadhan. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa melakukan qiyamullail di bulan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
- Shalat dua rakaat setelah wudhu’. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidaklah seorang muslim berwudhu dengan baik, lalu melakukan shalat melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya antara dirinya dan shalat setelahnya.’?”
- Shalat dua rakaat di masjid setelah datang dari bepergian, karena Nabi melakukan hal tersebut. Ka’ab bin Malik berkata, “Nabi ketika datang dari perjalanan, maka beliau singgah di masjid terlebih dahulu. Beliau melakukan shalat dua rakaat di dalam masjid.”
- Shalat Tobat dua rakaat. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Tiada seorang laki-laki yang berbuat dosa, kemudian ia bersuci, melakukan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampunan kepada Allah melainkan Allah mengampuninya.”
Shalat dua rakaat sebelum Maghrib. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Lakukan shalat sebelum maghrib.” Kemudian yang ketiga kalinya beliau bersabda, “Bagi orang yang berkehendak.”
Shalat Istikharah dua rakaat. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila salah seorang di antara kalian bermaksud kepada suatu perkara, maka lakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu kemudian bacalah doa berikut, ‘Ya Allah, sungguh saya meminta pilihan terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, saya memohon Engkau berikan aku kemampuan dengan kekuasaan-Mu, dan saya memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang agung. Sungguh, Engkaulah Zat yang Mahakuasa sedangkan saya tidak punya kemampuan, Engkau Maha Mengetahui sementara saya tidak mengetahui apa-apa. Engkaulah Zat yang Maha Mengetahui Hal-hal yang gaib. Ya Allah, apabila Engkau tahu bahwa perkara ini lebih baik bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibat perkara ini, maka takdirkanlah perkara ini untukku. Berilah aku kemudahan untuk menjalaninya, dan berkahilah aku di dalamnya. Jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibat perkara ini, maka jauhkanlah perkara tersebut dariku dan jauhkanlah diriku dari perkara tersebut serta taqdirkanlah untukku sesuatu yang baik bagaimanapun adanya kemudian ridailah saya dengannya.”
Hendaklah menyebutkan” keperluannya ketika sampai pada redakgj Inna hadzal amra’ (sesungguhnya perkara ini).
- Shalat Hajat, yaitu seorang muslim sedang mempunyai keperluan, lalu ia berwudhu, melakukan shalat dua rakaat, dan memohon kebutuhannya kepada Allah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa berwudhu, lalu. menyempurnakan wudhunya, kemudian melakukan shalat dua rakaat dengan sempurna, maka Allah akan memberikan kepadanya apa yang dia minta, baik yang segera maupun yang ditunda.”
- Shalat Tasbih, yaitu shalat empat rakaat. Di tiap rakaat setelah membaca surat hendaknya membaca:
“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha besar.”
Membacanya sebanyak 15 kali, ketika rukuk membacanya 10 kali, bangun dari rukuk membacanya 10 kali, ketika sujud membacanya 10 kali, bangun dari sujud membacanya 10 kali, dan ketika duduk istirahat antara dua rakaat membacanya 10 kali. Sehingga, jumlah bacaan tasbih di tiap rakaat ialah 75 kali.
Berdasarkan sabda Nabi kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas! Wahai pamanku, bukankah saya pernah memberimu…… dan seterusnya” Kemudian beliau menuturkan tata cara shalat Tasbih dengan bersabda, “Jika engkau mampu melakukannya setiap hari sekali, maka lakukanlah. Jika tidak mampu, maka lakukan setiap Jumat sekali. Jika tidak mampu, maka lakukan setiap setahun sekali. Jika tidak mampu, maka lakukanlah seumur hidup sekali.”
- Sujud Syukur, yaitu apabila seorang muslim mendapat kenikmatan, misalnya meraih sesuatu yang diharapkan atau selamat dari hal yang ditakuti, lantas ia bersimpuh sujud kepada Allah a karena mensyukuri nikmat-Nya. Karena Nabi ketika mengalami sesuatu yang membahagiakan atau menggembirakan, maka beliau bersimpuh sujud kepada Allah karena mensyukuri nikmat-Nya.
Di antaranya, ketika Jibril mendatanginya dan menyampaikan kepadanya, “Barang siapa membaca shalawat untukmu sekali, maka karena shalawat tersebut, Allah memberi shalawat kepadanya sepuluh kali,” maka Nabi bersujud karena bersyukur kepada Allah .
- Sujud Tilawah. Disunahkan melakukan sujud Tilawah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Apabila seorang anak Adam membaca ayat sajdah, maka setan menyingkir seraya menangis. Ia berkata, ‘Celaka, anak Adam diperintahkan bersujud, lalu ia bersujud, maka baginya surga.
Sedangkan aku diperintahkan bersujud, tetapi saya berbuat maksiat, maka bagiku neraka.”
Apabila seorang muslim membaca ayat sajdah atau mendengar orang lain membacanya, maka disunahkan baginya bersujud sekali, seraya bertakbir ketika turun untuk bersujud dan bangun dari sujud. Di dalam sujud membaca:
“Diriku bersujud kepada Zat yang menciptakannya, Zat yang membukakan pendengaran dan penglihatan dengan daya upaya-Nya dan kekuatan-Nya. Maha Agung Allah, sebaik-baik pencipta.”
Yang lebih sempurna pahalanya apabila orang yang bersujud melakukannya dalam keadaan suci dan menghadap kiblat.
Tempat-tempat sujud tilawah di dalam Al-Qur’an dapat diketahui dalam mushaf Al-Qur’an, yaitu ada lima belas ayat sajdah. Ini berdasarkan perkataan Abdillah bin Amr bin Al-Ash, “Nabi membaca lima belas ayat sajdah di dalam Al-Qur’an. Tiga di antarnya di dalam surat-surat mufashhal dan dua ayat sajdah di dalam surat Al-Hajj.”
Shalat Dua Hari Raya
Hukum dan Waktu Pelaksanaan shalat Dua Hari Raya
Shalat Dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya sunah muakkad seperti wajib. Allah memerintahkan shalat Id melalui firmannya:
“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)” (Al-Kautsar: 1-2)
Allah menghubungkan shalat Id dengan kegembiraan orang mukmin di dalam firman-Nya:
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Rasulullah melakukannya dan menekuninya secara terus-menerus, memerintahkannya, menyuruh orang-orang keluar menghadiri shalat Id bahkan wanita dan anak-anak. Karena Shalat dua hari raya merupakan salah satu dari syiar Islam dan manifestasi dari keimanan dan ketakwaan.
Waktu pelaksanaannya ialah dari naiknya matahari sekadar satu tombak sampai tergelincirnya matahari. Yang lebih utama ialah melakukan shalat Idul Adha di awal waktu agar dapat memberi kesempatan menyembelih Kurban. Sedangkan shalat Idul Fitri hendaknya di akhirkan agar dapat memberi kesempatan untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena Rasulullah melakukan hal ini. Jundub berkata, “Nabi melakukan shalat Idul Fitri bersama kami ketika matahari setinggi dua tombak dan melakukan shalat Idul Adha ketika matahari setinggi satu tombak.”
Etika mendatangi shalat hari raya
- Mandi, menggunakan parfum, dan memakai pakaian bagus. Ini berdasarkan hadits riwayat Anas
“Rasulullah memerintahkan kami ketika melakukan dua Shalat hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami punya, menggunakan parfum terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan paling mahal yang kami punya.”
Rasulullah memakai pakaian hibarah setiap shalat hari raya.”
- Makan dahulu sebelum berangkat shalat Idul Fitri dan makan hati hewan kurban setelah shalat Idul Adha. Ini berdasarkan hadits riwayat Buraidah :
“Nabi tidak berangkat shalat Idul Fitri sebelum makan dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha sehingga beliau pulang dari shalat, lalu memakan daging kurban.”
- Membaca takbir di kedua malam hari raya. Di hari Idul Adha pembacaan takbir berlangsung terus sampai akhir hari Tasyriq sedangkan di hari Idul Fitri pembacaan takbir hanya sampai imam keluar untuk melakukan shalat hari raya.
Adapun lafal takbir ialah:
“Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar, tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah sedangkan Allah Maha besar dan bagi-Nya segala pujian.”
Membaca takbir lebih dianjurkan lagi ketika keluar menuju tempat shalat hari raya dan setelah shalat fardhu selama hari-hari Tasyriq. Ini berdasarkan firman Allah :
“Dan berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (Al-Baqarah: 203)
“Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (Al-A’la: 14-15)
“Dan hendaklah mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”(Al-Baqarah: 185)
- Berangkat menuju shalat melalui satu jalan dan pulang melalui jalan yang berbeda, karena Rasulullah melakukan hal ini. Jabir berkata:
“Nabi ketika di hari raya selalu berbeda jalan (berangkat dan pulangnya).”
- Shalat dilakukan di tanah lapang, kecuali karena darurat hujan ataupun yang lainnya maka shalat dilakukan di masjid. Karena Nabi senantiasa melakukannya di tanah lapang, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih.
- Memberi ucapan selamat. Seorang muslim berkata kepada saudaranya, “Taqabbalallahu minna waminka” (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadahmu). Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah ketika saling bertemu antara satu dengan yang lain, maka mereka mengucap:
“Taqabbalallahu minna waminkum (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadahmu).”
- Diperbolehkan makanan, minuman, dan hiburan yang diperbolehkan. Ini berdasarkan sabda Nabi tentang Idul Adha:
“Hari-hari Tasyriq merupakan hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah”
Juga berdasarkan perkataan Anas, “Ketika Nabi datang di Madinah, penduduk Madinah mempunyai dua hari biasanya mereka saling bermain. Lantas Rasulullah bersabda, ‘Sungguh, Allah telah mengganti untuk kalian yang lebih baik dari dua hari tersebut, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Nabi juga bersabda kepada Abu Bakar yang membentak dua orang wanita di rumah Aisyah yang sedang melantunkan syair pada hari ied, “Wahai Abu Bakr! Sungguh, setiap kaum mempunyai hari raya dan hari ini inilah hari raya kita.”
Tata cara Shalat Hari raya
Tata cara shalat hari raya ialah hendaknya orang-orang berangkat ke tempat shalat sambil bertakbir, sehingga ketika matahari telah naik beberapa meter, maka imam berdiri tanpa azan dan iqamah, lalu melakukan shalat dua rakaat. Di dalam rakaat pertama membaca takbir tujuh kali dan takbiratul ihram. Para makmum pun membaca takbir bersama imam di belakangnya, lalu membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-A’la dengan mengeraskan suara.
Di dalam rakaat kedua membaca takbir enam kali termasuk takbir ketika bangun untuk rakaat kedua, lalu membaca surat Al-Fatihah dan surat Al Ghasyiyah atau surat Asy-Syams. Ketika imam telah mengucap salam, maka ia berdiri untuk berkhotbah di hadapan para jamaah. Di tengah-tengah khotbah ia duduk sejenak.
Di dalam khotbahnya, ia memberi nasihat, memberi peringatan, dan menyela-nyelanya dengan takbir sebagaimana membuka khotbah dengan memuji dan menyanjung kepada Allah. Jika khotbah Idul Fitri, hendaknya ia memberi anjuran untuk zakat fitri serta menjelaskan sebagian dari ketentuan hukum zakat fitri.
Jika khotbah Idul Adha, maka hendaknya memberi anjuran kepada kesunahan berkurban dan menjelaskan usia yang cukup untuk dijadikan hewan kurban. Ketika khotbah telah selesai, maka para makmum bersama imam langsung meninggalkan tempat, karena tidak ada shalat sunah sebelum dan sesudah shalat hari raya, kecuali orang yang tertinggal shalat hari raya, maka ia boleh melakukannya empat rakaat.
Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Mas’ud a, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, maka hendaklah ia melakukan shalat empat rakaat.” Sedangkan orang yang mendapati sebagian dari shalat Hari Raya bersama imam meskipun hanya tasyahud, maka ia berdiri setelah imam salam, lalu melakukan shalat dua rakaat sebagaimana ia tertinggal shalat hari raya.
Shalat Kusuf (Gerhana)
Hukum dan waktu pelaksanaan shalat Kusuf
Shalat Kusuf hukumnya sunah muakkad bagi laki-laki dan wanita. Rasulullah memerintahkan shalat Kusuf melalui sabdanya:
“Sesungguhnya matahari dan rembulan merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka shalatlah.”
Pelaksanaan shalat Kusuf sama seperti shalat Hari Raya, sedangkan waktunya mulai sejak tampak gerhana, baik matahari maupun rembulan sampai terang kembali. Apabila gerhana terjadi di akhir siang yang dimakruhkan melakukan shalat sunah, maka shalat digantikan dengan zikir kepada Allah, isighfar, merendahkan diri, dan doa.
Hal-hal yang disunahkan untuk dilakukan pada saat gerhana
Disunahkan memperbanyak zikir, takbir, isighfar, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik dan shilatur rahim. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sesungguhnya matahari dan rembulan merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka berdoalah, bertakbirlah, bersedekahlah, dan shalatlah.”
Tata cara shalat Kusuf
Tata cara shalat Kusuf ialah para jamaah berkumpul di masjid tanpa azan dan iqamah dan tidak masalah jika dikumandangkan lafal ‘Ashshlatu Jami’ah’. Selanjutnya imam melakukan shalat bersama mereka dua rakaat. Tiap-tiap rakaat terdapat dua kali rukuk dan dua kali berdiri dengan memperlama bacaan Al-Qur’an, rukuk, dan sujud. Apabila gerhananya telah usai, maka mereka dapat menyempurnakan shalat sebagaimana shalat sunah biasa.
Di dalam shalat Kusuf tidak ada khotbah yang disunahkan. Hanya saja jika berkehendak, imam boleh memberi peringatan dan nasihat kepada para jamaah. Hal ini baik-baik saja. Ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah “Pada masa Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari. Lantas Rasulullah berangkat ke masjid. Beliau berdiri dan bertakbir, lalu para sahabat menyusun shaf di belakangnya.
Beliau membaca surat dengan bacaan yang panjang, kemudian bertakbir, rukuk sangat lama tetapi lamanya tidak seperti lamanya membaca surat, kemudian beliau mengangkat kepala seraya membaca ‘Sami’allahu liman hamidah, Tuhanana walakal hamdu’, kemudian beliau berdiri, lalu membaca surat dengan bacaan yang lama, tapi lamanya tidak seperti lamanya membaca surat yang pertama, kemudian bertakbir, rukuk yang lamanya tidak seperti lamanya rukuk pertama. Kemudian beliau membaca Sami’allahu liman hamidah, Tuhanana walakal hamdu’, kemudian beliau bersujud.
Kemudian beliau melakukan rakaat berikutnya sebagaimana rakaat pertama sehingga sempurna empat rukuk dan empat sujud. Matahari telah terang kembali sebelum beliau meninggalkan tempat. Kemudian beliau berdiri, lalu berkhotbah di hadapan orang-orang. Beliau memuji Allah dengan pujian yang memang milik-Nya, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan rembulan merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihat keduanya, maka bersegeralah melakukan shalat’.”
Shalat Khusuf (Gerhana bulan)
Shalat Khusuf sama seperti shalat Kusuf. Ini berdasarkan sabda Nabi, “Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah melakukan shalat.” Hanya saja sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa shalat Khusuf sama seperti shalat sunah lainnya yang dilakukan sendiri-sendiri di rumah dan di masjid dan tidak perlu berkumpul untuk melakukan shalat Khusuf. Hal ini lantaran tidak terdapat riwayat bahwa Rasulullah mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat khusuf sebagaimana yang beliau lakukan untuk shalat Kusuf. .
Ini berarti ada kebebasan. Barang siapa berkehendak, maka ia boleh berjamaah. Barang siapa berkehendak, maka ia boleh melakukan shalat sendirian, karena yang diperintahkan ialah hendaknya kaum muslimin bersegera melakukan shalat dan berdoa, baik laki-laki maupun wanita agar Allah menghilangkan kesulitan yang menimpa mereka.
Shalat Istisqa’
Hukum Shalat Istisqa’
Shalat Istisqa’ hukumnya sunah muakkad. Rasulullah melakukannya dan mengumumkannya pada orang-orang dan beliau berangkat ke tempat shalat untuk melakukan shalat Istisqa’. Abdullah bin Zaid berkata, “Nabi keluar untuk melakukan shalat Istisqa’. Beliau menghadap kiblat dan memindahkan selendangnya, kemudian melakukan shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan Al-Qur’an pada kedua rakaat ini.”
Arti istisqa’
Istisqa’ artinya memohon hujan kepada Allah untuk suatu daerah dan penduduknya dengan melakukan shalat, doa, dan istighfar ketika terjadi paceklik.
Waktu pelaksanaan shalat Istisqa’
Waktu pelaksanaan shalat Istisqa’ sama dengan waktu shalat Hari Raya. Ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah :
“Rasulullah berangkat untuk melakukan shalat Istisqa’ ketika alis matahari telah tampak.”
Hanya saja shalat Istisqa’ dapat dilakukan kapan saja selain waktu-waktu makruh yang dilarang melakukan shalat.
Hal-hal yang disunahkan dilakukan sebelum shalat istisqa’
Disunahkan bagi seorang pemimpin mengumumkan pelaksanaan shalat Istisqa’ beberapa hari sebelumnya, mengajak orang-orang untuk bertobat dari kemaksiatan, keluar dari kezaliman, berpuasa dan meninggalkan perselisihan, karena kemaksiatan merupakan penyebab datangnya paceklik sebagaimana ketaatan merupakan penyebab datangnya kebaikan dan keberkahan.
Tata cara Pelaksanaan Shalat Istisqa’
Imam bersama orang-orang berangkat ke tempat shalat, lalu melakukan shalat dua rakaat. Jika berkehendak, pada rakaat pertama membaca takbir tujuh kali dan pada rakaat kedua membaca takbir lima kali sebagaimana shalat hari raya. Pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la setelah surat Al-Fatihah dengan mengeraskan suara dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ghasyiyah. Selanjutnya imam menghadap ke arah para jamaah dan berkhotbah dengan memperbanyak bacaan istighfar, lalu berdoa dan para jamaah mengamininya, kemudian menghadap kiblat dan memindahkan selendangnya dari sebelah kanan ke sebelah kiri dan dari sebelah kiri ke sebelah kanan. Dan para jamaah pun mengikuti memindahkan selendang mereka, lalu berdoa sesaat, kemudian mereka semua meninggalkan tempat.
Tata cara ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi berangkat untuk melakukan shalat Istisqa’ dengan melakukan shalat dua rakaat bersama kami tanpa azan dan iqamah, kemudian beliau berkhotbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau menghadap ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya, kemudian membalikkan selendangnya dari sebelah kanan ke sebelah kiri dan dari sebelah kiri ke sebelah kanan.”
Di Antara Doa-Doa Istisqa’ Yang Diajarkan
Diriwayatkan bahwa Nabi ketika melakukan shalat Istisqa’ beliau membaca doa berikut:
“Ya Allah, berikanlah kepada kami hujan yang menyelamatkan, tidak mengandung bahaya, yang membawa akibat baik, menyegarkan, airnya melimpah, besar manfaatnya, merata, dalam waktu yang lama dan kuat curahannya terus-menerus. Ya Allah, siramkanlah hujan kepada kami dan janganlah Engkau menjadikan kami termasuk orang-orang yang berputus asa. Ya Allah, berkat para hamba, daerahdaerah, binatang-binatang ternak, dan para makhluk yang kelaparan, kesulitan, dan kesempitan yang tidak kami keluhkan kecuali kepadaMu. Ya Allah, tumbuhkanlah tanaman untuk kami, jadikanlah air susu ternak kami berlimpah ruah, siramilah kami dengan sebagian dari berkah langit, dan tumbuhkanlah untuk kami sebagian dari berkah bumi. Ya Allah, hilangkanlah dari kami kepayahan, kelaparan, kurang sandang, dan lepaskanlah kami dari malapetaka yang tidak seorang pun dapat melepaskannya selain Engkau. Ya Allah, sungguh, kami memohon ampun kepada-Mu karena sesungguhnya Engkau Zat yang Maha Pengampun, kirimkanlah kepada kami hujan yang deras. Ya Allah, siramilah hamba-hamba-Mu, binatang-binatang ternak-Mu, curahkanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah daerah-Mu yang mati.”
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi ketika hujan turun membaca doa berikut:
“Ya Allah, jadikan hujan ini mengandung rahmat dan bukan hujan yang membawa azab, menghancurkan, membawa bencana, merobohkan, dan menghanyutkan. Ya Allah, pada bukit-bukit dan tempat tumbuh pohon. Ya Allah, pada daerah sekeliling kami dan jangan di atas daerah kami.’
Hal-hal yang harus dikerjakan oleh orang sakit hingga meninggal dunia
- Wajib bersabar
Bagi setiap muslim yang ditimpa musibah seyogyanya bersikap sabar, tidak marah ataupun menampakkan keluhan, karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan bersabar tidak hanya dalam satu ayat atau satu hadits saja. Namun, tidak masalah apabila orang sakit ketika ditanya mengenai kondisinya, ia mengatakan, “Saya sakit,” atau “Pada diriku terdapat penyakit,” dan “Segala puji bagi Allah pada semua kondisi.”
- Disunahkan untuk Berobat
Disunahkan bagi setiap muslim yang sakit untuk berobat dengan pengobatan yang diperbolehkan. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sungguh, Allah tidak menurunkan suatu penyakit melainkan menjadikan obatnya. Oleh karena itu, berobatlah”
Hanya saja tidak diperkenankan berobat dengan sesuatu yang diharamkan, seperti arak, daging babi, dan selain keduanya. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sungguh, Allah tidak menjadikan obat bagi kalian pada hal yang diharamkan bagi kalian.”
- Bolehnya meruqyah Diperbolehkan bagi seorang muslim melakukan ruqyah dengan ayat-ayat Al-Qur’an, doa-doa nabi, dan bacaan-bacaan yang baik. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidak masalah melakukan ruqyah selama di dalamnya tidak ada kesyirikan.”
- Haram memakai jimat Diharamkan memakai jimat dan mantra. Jadi, bagi seorang muslim tidak boleh menggunakan jimat dan mantra. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa menggantungkan jimat, maka sungguh ia telah syirik,”
“Barang siapa menggantungkan jimat, maka Allah tidak akan menyempurnakan untuknya. Barang siapa menggantungkan jimat, maka Allah tidak akan memberinya keringanan.”
Dan sabda Nabi kepada seseorang yang ditangannya terdapat gelang dari kuningan, “Celaka kamu, apa ini?” la menjawab, “Ini adalah jimat.” Beliau bersabda, “Lepaslah gelang tersebut. Sungguh, benda itu hanya membuatmu semakin lemah. Dan sungguh, jika kamu mati sedangkan gelang itu masih ada pada dirimu, maka engkau tidak akan beruntung selamanya.”
- Doa-doa yang dibaca oleh Rasulullah untuk mengobati Nabi meletakkan tangannya yang mulia di atas orang sakit seraya membaca doa:
“Ya Allah, Tuhan para manusia, hilangkanlah segala penyakit dan berilah kesembuhan. Engkaulah Zat yang Maha Menyembuhkan, tiada kesembuhan selain kesembuhan-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan suatu penyakit pun.”
Rasulullah juga bersabda kepada seseorang yang mengeluhkan penyakitnya, “Letakkan tanganmu pada anggota tubuhmu yang terasa sakit dan bacalah ‘bismillah’ tiga kali serta bacalah doa berikut tujuh kali:
“Aku berlindung kepada Allah dan dengan kekuasaan-Nya dari kejahatan segala sesuatu yang kujumpai dan kuhindari.”
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim pula bahwa Nabi sedang sakit, lalu Jibril meruqyah beliau dengan membaca doa:
“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala makhluk atau kejahatan mata yang dengki. Allah lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu.”
- Bolehnya berobat kepada orang kafir dan wanita . Kaum muslimin sepakat tentang bolehnya seorang muslim berobat kepada orang kafir jika orang tersebut dapat dipercaya dan bolehnya seorang laki-laki berobat kepada wanita atau wanita berobat kepada laki-laki dalam kondisi darurat, karena Rasulullah pernah meminta tolong
kepada sebagian orang musyrik pada suatu kondisi. Para istri sahabat pun pernah mengobati orang-orang yang terluka dalam peperangan pada masa Rasulullah”
- Bolehnya membuat ruang isolasi.
Diperbolehkan bahkan disunahkan membuat untuk orang-orang yang menderita penyakit menular ruangan khusus di rumah sakit dan mencegah orang sehat berinteraksi dengannya selain para perawat. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada pemilik onta:
“(Onta) yang sakit jangan mendekat kepada (onta) yang sehat!”
Jika kepada hewan saja disarankan demikian, terlebih lagi kepada manusia. Selain itu, Nabi juga bersabda mengenai penyakit tha’un:
“Apabila penyakit tha’un mewabah di suatu daerah sedangkan engkau berada di dalamnya, maka janganlah engkau keluar dari daerah tersebut. Apabila penyakit tha’un mewabah di suatu daerah sedangkan engkau tidak berada di dalamnya, maka janganlah engkau mendatangi daerah tersebut.”
Adapun sabda Nabi:
“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan buruk.”
Maka maksud hadits ini ialah tidak ada penyakit menular yang dapat memberi pengaruh dengan sendirinya tanpa kehendak Allah, karena sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah tidak akan terjadi. Hal ini tidak menghalangi untuk melakukan usaha menjaga diri dengan tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang melindungi selain Allah dan bahwa orang yang tidak dilindungi oleh Allah tidak mungkin selamat.
Nabi pernah ditanya mengenai onta yang berpenyakit kurap, lalu beliau bersabda:
“Siapa yang terjangkiti pertama kali?
Jadi, Nabi menyampaikan bahwa yang dapat memberi pengaruh ialah Allah semata. Sungguh, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi.
- Kewajiban menjenguk orang sakit
Diwajibkan bagi setiap muslim menjenguk saudaranya sesama muslim ketika sakit. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Berilah makanan kepada orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan bebaskanlah para tawanan.”
Ketika menjenguk orang sakit, disunahkan mendoakan kesembuhan untuknya, berpesan agar selalu bersabar serta menyampaikan Hal-hal yang dapat membesarkan hatinya, begitu juga disunahkan agar segera beranjak dari tempat orang sakit. Nabi ketika menjenguk orang sakit, beliau berdoa untuknya:
“Tidak apa-apa. Insya Allah penyakit ini dapat membersihkan dosa-dosa,”
Maka hendaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya dengan doa ini.
- Kewajiban berbaik sangka kepada Allah ketika sakit
Seyogyanya bagi seorang muslim ketika sakit dan menjelang kematiannya untuk berbaik sangka kepada Allah bahwa Dia akan memberikan rahmat kepadanya, tidak menyiksanya, mengampuninya, dan tidak menghukumnya, Sungguh, Allah Maha Luas ampunan-Nya. Rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Ini berdasarkan sabda Nabi
‘Jangan sampai salah seorang di antara kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah’
- Mentalkin orang yang menghadapi kematian
Apabila seorang muslim mendampingi saudaranya yang menghadapi kematian hendaknya mentalkinnya (menuntunnya) mengucapkan kalimat keikhlasan. Yaitu dengan mengatakan kepadanya, “La ilaha illallah.” Ia mengingatkan kalimat tersebut sampai orang yang hendak meninggal dunia menuturkan dan mengucapkan kalimat tersebut. Apabila ia telah mengucapkannya, maka hendaknya ia menahan diri tidak mengucapkan kalimat lain. Apabila ternyata ia mengucapkan ucapan lain, maka hendaknya ia mentalkin lagi dengan harapan agar kalimat terakhir yang diucapkan adalah “La ilaha illallah,” sehingga ia masuk surga. Hal ini berdasar sabda Nabi
“Talkinlah orang-orang di antara kalian yang hampir meninggal dunia dengan ucapan ‘La ilaha illallah’.’
“Barang siapa ucapan terakhirnya ‘La Ilaha illallah,” maka ia masuk surga.
- Menghadapkan orang yang menghadapi kematian ke arah Kiblat
Orang yang telah tampak tanda-tanda kematian hendaknya dihadapkan ke arah Kiblat dengan membaringkannya pada lambung sebelah kanan. Jika tidak memungkinkan, maka dengan terlentang pada punggungnya sedangkan kedua kakinya menghadap ke arah Kiblat. Jika sangat berat menghadapi sakaratul maut, maka dibacakan surat Yasin kepadanya dengan berharap agar dengan berkat surat Yasin, Allah memberikan keringanan kepadanya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidak ada seorang pun yang menghadapi kematian, lalu dibacakan di sisinya surat Yasin melainkan Allah memberikan kemudahan kepadanya.”
- Memejamkan Kedua Mata Orang yang Meninggal dan Menutupinya
Apabila nyawa seorang muslim telah dicabut, maka wajib dipejamkan kedua matanya dan menutupinya dengan penutup serta tidak mengatakan sesuatu selain kebaikan dan doa, “Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila kalian mendampingi orang sakit atau orang yang telah meninggal dunia, maka ucapkanlah ucapan yang baik, karena para malaikat mengamini doa yang kalian ucapkan.”
Suatu ketika Rasulullah masuk ke rumah Abu Salamah sementara matanya terbuka ketika meninggal dunia, lalu beliau memejamkan matanya lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya ketika ruh dicabut, pandangan matanya mengikuti ruhnya.”
Maka, keluarganya pun gaduh. Lantas beliau bersabda:
“Janganlah kalian mendoakan untuk diri kalian kecuali doa yang baik, karena para malaikat mengamini doa yang kalian ucapkan.”
Hal-hal Yang Harus Dilakukan Sejak Kematian sampai Pemakaman
- Mengumumkan kematian
Disunahkan mengumumkan kematian seorang muslim kepada para kerabatnya, teman-temannya, dan orang-orang saleh di daerahnya agar mendatangi jenazahnya. Sungguh, Rasulullah memberitahukan berita kematian Raja Najasyi kepada orang-orang ketika ia wafat sebagaimana beliau memberitahukan berita kematian Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah ketika mereka mati syahid. Adapun pengumuman yang dilarang ialah pengumuman yang dilakukan di jalan-jalan raya dan di pintu-pintu masjid dengan mengeraskan suara dan teriakan, maka pengumuman seperti ini dilarang oleh syara’.
- Diharamkan meratap dan hanya diperbolehkan menangis
Diharamkan meratap dan berteriak-teriak atas kematian seseorang. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sungguh, mayat akan disiksa karena tangisan orang yang hidup.”
“Barang siapa diratapi, maka sungguh ia akan disiksa pada hari Kiamat lantaran diratapi.”
Nabi mengambil bai’at kepada para wanita agar tidak meratap. Hal ini disampaikan oleh Umu Athiyah di dalam Ash-Shahih.
Nabi bersabda:
“Sungguh, saya berlepas diri dari orang yang mengeraskan suara, memangkas rambutnya, dan menyobek pakaiannya ketika terkena musibah.”
Adapun hanya menangis (tanpa ratapan) diperbolehkan. Ini berdasarkan sabda Nabi ketika putranya, Ibrahim wafat:
“Sungguh, mata mengalirkan air mata, hati bersedih, dan kami tidak mengucapkan sesuatu melainkan yang membuat Tuhan kami rida. Wahai Ibrahim, sungguh kami bersedih hati berpisah denganmu.”
Rasulullah juga menangis ketika wafatnya Umamah binti Putri Nabi, Zaenab. Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Apakah engkau menangis. Bukankah engkau melarang menangis?” Beliau menjawab:
“Sesungguhnya (tangisan) ini adalah kasih sayang yang Allah karuniakan pada hati para hamba-Nya. Sungguh, Allah merahmati para hamba-Nya yang mempunyai kasih sayang.”
- Larangan Ihdad (berkabung) lebih dari tiga hari
Seorang wanita muslimah diharamkan melakukan ihdad lebih dari tiga hari kecuali untuk suaminya. Kalau untuk suaminya ia wajib ihdad selama empat bulan sepuluh hari. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Janganlah seorang wanita berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya. Ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh dari.”
- Melunasi hutang-hutang si mayat
Seyogyanya bersegera melunasi hutang-hutang si mayat jika ia mempunyai hutang, karena Rasulullah enggan menyalatkan orang yang mempunyai hutang hingga hutangnya dilunasi. Beliau bersabda:
‘Jiwa seorang mukmin digantungkan pada hutangnya hingga hutangnya dilunasi.”
- Istirja’ (mengucap ‘Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un’), berdoa, dan bersabar
Seyogyanya bagi keluarga mayat senantiasa bersabar, khususnya pada saat kematian tersebut. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya bersabar itu pada saat permulaan datangnya musibah.”
Hendaknya memperbanyak doa dan istirja’. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Tidak ada seorang hamba pun yang terkena musibah, lalu ia mengucap ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Ya Allah! berilah aku pahala dalam musibahku dan berilah ganti kepadaku yang lebih baik darinya”, melainkan Allah memberinya pahala atas musibahnya dan memberi ganti kepadanya yang lebih baik darinya.”
Dan sabda Nabi:
Allah berfirman, “Tidak ada balasan bagi seseorang hamba-Ku yang mukmin di sisi-Ku ketika Aku mengambil kekasihnya dari penduduk dunia, kemudian ia ikhlas menerima, melainkan surga.”
- Kewajiban memandikan mayat.
Apabila seorang muslim meninggal dunia, baik masih kecil atau sudah dewasa, maka ia wajib dimandikan, baik jasadnya utuh atau hanya sebagian saja. Sedangkan yang tidak dimandikan dari kalangan kaum muslimin ialah orang yang mati syahid dalam peperangan yang terbunuh di tangan orang-orang kafir di medan perang fi sabilillah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah kalian memandikan mereka, karena setiap luka atau darah akan semerbak harum misik kelak pada hari Kiamat.”
- Tata cara memandikan mayat.
Sebenarnya hanya cukup menyiramkan air pada tubuh si mayat hingga airnya merata ke seluruh tubuhnya, hal ini sudah mencukupi. Akan tetapi, ada tata cara yang disunahkan secara sempurna sebagai berikut:
Hendaknya mayat diletakkan di tempat yang tinggi dan yang memandikan ialah orang saleh yang dapat dipercaya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Hendaklah yang memandikan seseorang yang meninggal dunia di antara kalian ialah orang-orang yang dapat dipercaya.”
Kemudian menekan perut si mayat dengan lembut agar kotorannya keluar, lalu orang yang memandikan memakai sarung tangan dan berniat memandikan jenazah. Lalu membasuh kemaluan si mayat dan kotoran yang ada pada dirinya, kemudian melepas sarung tangannya, kemudian mewudhukan si mayat sebagaimana wudhu untuk shalat. Selanjutnya membasuh seluruh tubuh si mayat dimulai tubuh bagian atas sampai ke bagian bawah sebanyak tiga kali. Jika masih belum bersih, maka membasuhnya lima kali dan untuk basuhan terakhir menggunakan sabun ataupun semisalnya.
Apabila mayatnya seorang wanita, maka gelung rambutnya diurai, lalu dimandikan, kemudian rambutnya digelung kembali. Karena Rasulullah memerintahkan agar rambut putrinya diperlakukan seperti itu. Selanjutnya si mayat diberi wewangian ataupun semisalnya.
- Orang yang tidak mungkin dimandikan, maka ditayamumi.
Apabila tidak ditemukan air untuk memandikan mayat atau lelaki meninggal dunia di kalangan wanita atau seorang wanita meninggal di kalangan laki-laki, maka mayat tersebut ditayamumi, dikafani, dishalati, lalu dikubur. Tayamum ini menggantikan mandi ketika tidak dapat dilakukan, sebagaimana orang junub apabila tidak dapat mandi, maka ia bertayamum dan melakukan shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila ada seorang wanita meninggal dunia di kalangan kaum laki-laki dan tidak ada wanita selainnya. Demikian pula laki-laki yang meninggal dunia di kalangan wanita dan tidak ada laki-laki selainnya, maka kedua mayat ini ditayamumi lalu dimakamkan.”
Keduanya ini posisinya sama dengan orang yang tidak menemukan air.
- Istri memandikan suaminya atau sebaliknya.
Seorang suami boleh memandikan istrinya dan seorang istri boleh memandikan suaminya. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada Aisyah:
“Seandainya engkau meninggal dunia, sungguh saya akan memandikanmu dan mengafanimu.” Di samping itu, Ali juga memandikan Fathimah
Begitu juga diperbolehkan bagi seorang wanita memandikan anak laki-laki berusia kurang dari enam tahun. Adapun laki-laki yang memandikan anak wanita meskipun masih kecil, para ulama memakruhkannya.
- Kewajiban mengafani mayat.
Apabila mayat muslim telah dimandikan, maka ia wajib dikafani dengan sesuatu yang dapat menutupi seluruh tubuhnya. Sungguh, Mush’ab bin Umair salah seorang syuhada Perang Uhud dikafani dengan kain yang pendek. Lantas Rasulullah memerintahkan agar para sahabat menutupi kepala dan tubuh Mush’ab (dengan kain itu) dan menutupi kakinya dengan idzkhir—sejenis tanaman.
Jadi, hadits ini menunjukkan kewajiban menutup seluruh tubuh.
- Kesunahan menggunakan kafan putih dan bersih.
Disunahkan menggunakan kain kafan putih dan bersih, baik baru atau pun lama. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Pakailah di antara pakaian-pakaian kalian yang putih, karena sesungguhnya pakaian putih termasuk sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan kain putih,”
Sebagaimana disunahkan pula mengharumkan kain kafan dengan kayu gaharu. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Apabila kalian memberi wewangian pada mayat, maka berilah wewangian tiga kali.”
Hendaknya mengafani mayat laki-laki dengan tiga lapis sementara untuk mayat wanita lima lapis. Rasulullah pernah mengafani dengan tiga pakaian putih dari daerah Suhul yang baru yang tidak berupa gamis (berjahit) dan sorban kecuali orang yang meninggal dalam keadaan berihram, maka ia dikafani dengan pakaian ihramnya, yaitu selendang dan sarungnya saja. Ia tidak boleh diberi wewangian dan kepalanya tidak ditutupi karena ia tetap dalam keadaan ihram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi mengenai orang yang jatuh dari kendaraannya pada hari Arafah, lalu meninggal dunia:
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dia dengan dua pakaiannya. Janganlah kalian memberinya wewangian dan jangan menutupi kepalanya, karena sesungguhnya kelak dia dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”
- Mengafani dengan kain sutera.
Diharamkan mengafani seorang muslim dengan kain sutera, karena kain sutera haram dipakai oleh kaum lelaki, maka diharamkan mengafaninya dengan kain sutera. Sedangkan untuk wanita muslimah, meskipun ia diperbolehkan memakai kain sutera, tetapi dimakruhkan mengafaninya dengan kain sutera, karena hal ini termasuk berlebih-lebihan dan melampaui batas yang keduanya dilarang oleh syara’. Telah diriwayatkan dari Nabi :
‘Janganlah kalian menggunakan kain kafan yang mahal, karena sesungguhnya kain kafan lekas rusak.”
Abu Bakr a berkata, “Sesungguhnya orang hidup lebih berhak menggunakan pakaian baru daripada mayat, karena kain kafan adalah bagiannya nanah yang mengalir dari mayat.”
- Menshalatkan jenazah.
Menshalatkan seorang muslim yang telah meninggal dunia hukumnya fardhu kifayah sebagaimana memandikan, mengafani, dan menguburnya. Apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya, maka kewajiban ini telah gugur bagi selainnya. Rasulullah selalu menshalatkan kaum muslimin yang meninggal dunia, hingga beliau mewajibkan hutang seorang mukmin yang meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang yang belum dilunasi maka beliau tidak berkenan menshalatinya, beliau bersabda:
“Hendaklah kalian saja yang menshalati teman kalian.”
- Syarat-syarat shalat Jenazah.
Untuk melaksanakan shalat jenazah disyaratkan Hal-hal yang disyaratkan pada shalat, meliputi suci dari hadats dan najis, menutup aurat, dan menghadap kiblat, karena Rasulullah menyebutnya sebagai shalat dalam sabda beliau, “Hendaklah kalian saja yang menshalati teman kalian.” Dengan demikian shalat jenazah diberlakukan syarat-syarat shalat.
- Hal-hal yang diwajibkan dalam shalat Jenazah.
Hal-hal yang diwajibkan dalam shalat Jenazah ialah berdiri bagi orang yang mampu. Adapun niat, ini berdasarkan sabda Nabi, “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya.” Membaca Al-Fatihah atau memuji dan menyanjung kepada Allah, membaca shalawat dan salam kepada Nabi, takbir empat kali, membaca doa, dan salam.
- Tata cara shalat Jenazah
Adapun tata cara shalat Jenazah ialah jenazahnya diletakkan di arah Kiblat, sedangkan imam dan para makmum berdiri di belakangnya tiga shaf atau lebih. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa yang dishalati oleh tiga shaf, maka sungguh tiga shaf ini dapat memastikan (surga).”
Kemudian mengangkat kedua tangan seraya berniat menshalatkan seorang mayat atau beberapa mayat jika jumlahnya banyak seraya mengucap ‘Allahu Akbar’, kemudian membaca surat Al-Fatihah atau memuji kepada Allah dan menyanjungnya, kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangan jika berkehendak atau membiarkan keduanya pada dada. Tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri dan mengucap shalawat kepada Nabi dengan bacaan shalawat Ibrahimiyah, kemudian bertakbir dan berdoa untuk mayat. Selanjutnya bertakbir dan jika berkehendak, ia berdoa lalu mengucap salam atau ia mengucap salam setelah takbir keempat secara langsung dengan satu kali salam.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa ketentuan As Sunnah di dalam shalat Jenazah ialah hendaknya imam bertakbir, kemudian membaca Al-Fatihah dengan suara pelan setelah membaca takbir pertama, lalu membaca shalawat kepada Nabi dan memurnikan doa untuk jenazah di dalam beberapa takbir dan tidak membaca Al-Qur’an kemudian mengucap salam dengan suara pelan.
- Makmum masbuq pada shalat Jenazah.
Makmum masbuq jika ia menghendaki, maka ia boleh menambah takbir takbir yang tertinggal secara berturut-turut, dan jika menghendaki, ia boleh meninggalkan takbir yang terlewat dan langsung mengucap salam bersama imam.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada Aisyah yang bertanya kepada Nabi tentang adanya sebagian takbir imam yang terdengar samar-samar oleh Aisyah. Beliau bersabda:
“Takbir imam yang engkau dengar, maka ikutlah bertakbir. Sedangkan takbir yang tertinggal, maka kamu tidak perlu menggantinya.”
Ibnu Qudamah menjadikan hadits ini sebagai hujjah, tetapi saya tidak mengetahui takhrij hadits ini.
- Hukum jenazah yang telah dimakamkan tetapi belum dishalati.
Jenazah yang telah dimakamkan tetapi belum dishalati, maka ia tetap dishalati meskipun ia di dalam kubur, karena Rasulullah pernah menshalati wanita yang dulunya sering menyapu masjid setelah wanita tersebut dimakamkan, dan para sahabat ikut shalat di belakang beliau.
Sebagaimana pula tetap dilaksanakan shalat untuk jenazah yang ghaib meskipun jaraknya jauh, karena Rasulullah pernah menshalati Raja Najasyi yang berada di Habasyah (Etiopia), sedangkan Rasulullah dan para sahabat berada di Madinah Al-Munawwaroh
- Doa-doa yang dibaca dalam shalat Jenazah.
Diriwayatkan lafal doa yang bermacam-macam dari Nabi Lafal doa tersebut semuanya boleh dipakai, seperti:
“Ya Allah, sesungguhnya si fulan bin fulan berada dalam tanggungan-Mu dan dalam tali perlindungan-Mu. Oleh karena itu, lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa neraka. Engkau adalah Zat yang menepati janji dan Maha Benar. Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah dia. Sungguh, Engkau Zat Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Ya Allah, ampunilah orang-orang hidup dari kami dan orang-orang mati dari kami, anak-anak kecil kami, orang-orang dewasa kami, kaum laki-laki kami, kaum wanita kami, orang yang hadir di antara kami, dan orang yang tidak hadir di antara kami. Ya Allah, orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia dalam keadaan berpegang teguh pada Islam, dan orang-orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah dia dalam keadaan beriman. Ya Allah, janganlah Engkau haramkan kami pahalanya dan jangan pula engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”
Apabila yang meninggal adalah anak kecil, maka membaca doa berikut:
“Ya Allah, jadikanlah dia bagi kedua orang tuanya sebagai amal saleh, simpanan, dan pahala. Beratkanlah timbangan amal perbuatan orang tuanya dan agungkanlah pahala orang tuanya karenanya, janganlah Engkau haramkan pahala untuk kami dan orang tuanya dan janganlah Engkau jadikan fitnah bagi kami dan orang tuanya setelah kematiannya. Ya Allah, gabungkanlah dia bersama orang-orang saleh dari kalangan orang-orang mukmin terdahulu dalam asuhan Nabi Ibrahim. Gantikanlah tempat tinggalnya yang lebih baik dari tempat tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik daripada keluarganya dan selamatkanlah dia dari siksa kubur dan dari siksa neraka Jahanam.”
- Mengiringi jenazah dan keutamaannya.
Mengiringi jenazah termasuk sunah, yaitu keluar bersama jenazah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“‘Jenguklah orang sakit dan iringilah jenazah, karena itu dapat mengingatkan kalian akan akhirat.”
Bersegera ketika mengantar jenazah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Bersegeralah (dalam mengantar jenazah). Jika jenazah tersebut orang baik, maka kalian mempersembahkan kebaikan kepadanya. Jika jenazah tersebut tidak demikian, maka keburukan kalian letakkan dari pundak-pundak kalian.”
Adapun keutamaan mengiringi jenazah, Nabi bersabda:
“Barang siapa mengantar jenazah muslim dengan iman dan ikhlas, dan ia menyertai jenazah tersebut hingga ia menshalatinya dan selesai pemakamannya, maka ia pulang dengan membawa pahala dua girath. Tiap satu qirath sebesar gunung uhud. Dan barang siapa menshalatinya kemudian pulang sebelum jenazah dimakamkan, maka ia pulang dengan (membawa pahala) satu qirath.”
- Hal yang dimakruhkan ketika mengantar jenazah.
Makruh bagi kaum wanita ikut mengiringi jenazah. Ini berdasarkan perkataan Ummu Athiyah
“Kami dilarang mengantarkan jenazah tapi (larangan itu) tidak ditegaskan kepada kami.”
Sebagaimana dimakruhkan mengeraskan suara di dekat jenazah dengan bacaan zikir, bacaan Al-Qur’an, dan lainnya, karena para sahabat Rasulullah membenci mengeraskan suara pada tiga keadaan: ketika ada jenazah, ketika berzikir, dan ketika perang.
Begitu juga makruh hukumnya duduk sebelum jenazah diletakkan dari pundak orang-orang (yang memikulnya). Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila kalian mengantarkan jenazah, maka janganlah kalian duduk hingga jenazah diletakkan di tanah.”
- Menguburkan jenazah.
Menguburkan jenazah adalah menimbun seluruh jasad jenazah dengan tanah Menguburkan jenazah hukumnya fardhu kifayah. Ini berdasarkan firman Allah:
“Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya.” (Abasa: 21)
Dalam hal ini ada beberapa hukum, di antaranya:
- Memperdalam kuburan
Memperdalam kuburan ini dengan kedalaman yang dapat mencegah binatang buas atau burung pemakan bangkai sampai pada jasad jenazah, serta supaya baunya tidak tercium keluar dan mengganggu orang lain. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Buatlah galian, perdalamlah galiannya, baguskanlah, dan kuburkanlah dua atau tiga dalam satu liang kubur.”Para Sahabat bertanya, “Siapa yang kami dahulukan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dahulukanlah di antara mereka yang lebih banyak hafalan Al-Qur’annya.”
- Membuat liang lahad di dalam kubur
Karena liang lahad itu lebih utama, meskipun dikubur dengan liang syaq (liang yang cekungannya di tengah) itu diperbolehkan. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Liang lahad untuk kita dan liang syaq untuk selain kita.”
Liang lahad ialah melubangi sisi kubur sebelah kanan, sedangkan liang syaq adalah menggali di tengah kubur.
- Menaburkan tanah di arah kepala jenazah
Disunahkan bagi yang menghadiri pemakaman untuk mengambil tanah tiga kali dengan tangannya, lalu menaburkannya ke liang kubur dari arah kepala jenazah. Hal ini seperti yang Rasulullah lakukan, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Majah dengan sanad la ba’asa bih (yang tidak ada masalah).
- Memasukkan jenazah dari arah belakang kuburan.
Jenazah dimasukkan dari bagian belakang kuburan apabila hal ini mudah dilakukan, dan dihadapkan ke arah Kiblat dengan memiringkannya ke sebelah kanan, tali kafannya dibuka, dan orang yang meletakkan jenazah mengucapkan:
“Dengan nama Allah dan atas millah Rasulullah ” Hal ini sesuai yang dilakukan Rasulullah
- Menutupi kuburan jenazah wanita
Menutupi kuburan jenazah wanita dengan kain pada saat meletakkan jenazah di dalam liang kubur. Karena para salaf sholeh membentangkan kain di atas kuburan jenazah wanita ketika diletakkan di liang kubur dan tidak dilakukan pada mayat laki-laki.
Hal-hal Semestinya Dilakukan Setelah Acara Pemakaman
- Beristighfar (memohon ampun) untuk jenazah dan mendoakannya.
Disunahkan bagi orang yang menghadiri pemakaman agar beristighfar untuk jenazah dan memohonkan agar ia diberi ketetapan ketika ditanya oleh malaikat. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mohonkanlah agar ia diberi ketetapan, karena sekarang ini ia sedang ditanya.”
Doa ini diucapkan ketika selesai proses pemakaman. Sebagian ulama salaf ada yang berdoa dengan doa:
“Ya Allah, ini hamba-Mu singgah di sisi-Mu. Engkaulah sebaik-baik Zat yang disinggahi. Oleh karena itu, ampunilah dia dan lapangkanlah tempatnya.”
- Meratakan tanah kuburan.
Semestinya tanah kuburan diratakan dengan tanah sekitarnya, karena ada perintan Nabi untuk meratakan kuburan. Hanya saja diperbolehkan pula menggundukkan tanah, membuat gundukan tanah sekadar satu jengkal. Jumhur ulama berpendapat bahwa membuat gundukan tanah kuburan hukumnya sunah, karena kuburan Nabi dibuat gundukan.
Tidak mengapa meletakkan tanda di atas kubur dengan batu dan lainnya agar dapat dikenali, karena Nabi meletakkan tanda pada makam Utsman bin Math’un dengan batu besar seraya bersabda:
“Dengan ini saya dapat mengetahui makam saudaraku dan saya akan menguburkan di dekatnya orang yang meninggal dunia dari kalangan keluargaku.”
- Haram menyemen dan membangun sesuatu di atas kuburan.
Diharamkan menyemen kuburan atau membangun sesuatu di atas kuburan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim bahwa Nabi melarang menyemen kuburan dan membangun sesuatu di atasnya.
4, Makruh duduk di atas kuburan.
Makruh bagi seorang muslim duduk di atas kubur saudaranya yang muslim, atau menginjaknya dengan kakinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah shalat di atasnya.”
“Sungguh, salah seorang dari kalian duduk di atas bara lalu pakaiannya terbakar hingga sampai pada kulitnya itu lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan.”
- Haram membangun masjid di atas kuburan.
Diharamkan membangun masjid di atas kuburan dan memasang lampu di atasnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Allah melaknat wanita-wanita yang sering berziarah kubur (yang dapat menimbulkan fitnah) dan menjadikan kuburan sebagai masjid dan memasang lampu-lampu.”
“Allah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.’
- Haram membongkar kuburan dan memindahkan jasad mayat.
Diharamkan membongkar kuburan dan memindahkan jasad mayatnya atau mengeluarkan isinya dari kuburan kecuali karena kondisi darurat yang mendesak, misalnya dikuburkan tanpa dimandikan.
Sebagaimana dimakruhkan memindahkan mayat yang belum dikubur dari satu daerah ke daerah lain, kecuali jika tempat pemindahannya di salah satu dari dua tanah haram yang dimuliakan, yaitu Mekah dan Madinah, atau Baitul Maqdis. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Kuburkanlah orang-orang yang terbunuh di tempat gugurnya,”
- Sunah takziah.
Disunahkan bertakziah kepada keluarga orang yang meninggal, baik laki-laki maupun wanita sebelum jenazah dimakamkan sampai tiga hari setelah dimakamkan. Kecuali Jika orang yang akan bertakziah berada di tempat yang jauh dari tempat takziah, maka tidak mengapa jika terlambat (dari tiga hari). Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Tidaklah seorang mukmin bertakziah kepada saudaranya karena musibah yang menimpanya melainkan Allah akan memakaikan kepadanya sebagian perhiasan kehormatan pada hari Kiamat.”
- Makna takziah.
Takziah adalah menasehati untuk bersikap sabar dan memotivasi keluarga orang yang meninggal agar terlipur dan sabar dengan menuturkan sesuatu yang dapat meringankan musibahnya dan mengurangi kesedihan mereka yang mendalam.
Takziah dapat diungkapkan dengan ungkapan apa saja. Di antara ungkapan yang diriwayatkan dari Nabi mengenai takziah ini ialah sabda beliau kepada putrinya yang telah mengutus seseorang untuk mengabarkan kepada Nabi bahwa putranya telah wafat, kemudian Nabi mengutus seseorang untuk menyampaikan salam kepada putri beliau seraya menyampaikan kepadanya:
“Sungguh, milik Allah apa yang Dia ambil. Dan milik-Nya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu di sisi-Nya telah ada batas waktu yang ditetapkan. Oleh karena itu, bersabarlah dan ikhlaskanlah.”
Sebagian orang-orang salaf menulis surat dalam rangka bertakziah kepada seseorang lantaran putranya meninggal dunia. Isi suratnya sebagai berikut:
“Dari si fulan untuk si fulan, salam untukmu.
Saya memuji Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Amma ba’du, semoga Allah mengagungkan pahala untukmu, mengilhamkan kesabaran kepadamu, memberi kepada kami dan kepadamu rasa syukur.
Sesungguhnya jiwa-jiwa kita, harta-harta kita, dan keluarga kita termasuk karunia Allah yang membahagiakan dan pinjaman-Nya yang dititipkan. Semoga Allah memberi kesenangan kepadamu lantaran musibah ini dengan kebahagiaan dan kegembiraan serta mencabutnya darimu dengan memberikan pahala yang besar.
Kasih sayang, rahmat, dan petunjuk akan engkau peroleh jika engkau ikhlas kepada-Nya. Oleh karena itu, bersabarlah. Dan janganlah ketidaksabaranmu menghilangkan pahalamu, sehingga engkau akan menyesal. Ketahuilah bahwa perasaan tidak sabar tidak akan mengembalikan jenazah hidup lagi dan tidak pula dapat menolak kesedihan. Sementara keluhan ini tidak akan tetap. Wassalam.”
Takziah juga cukup hanya dengan mengucapkan, “Semoga Allah mengagungkan pahalamu, memberikan pelipur yang baik bagimu, dan mengampuni keluargamu yang meninggal dunia.” Maka orang yang ditakziahi menjawab, “Amin. Semoga Allah memberikan pahala kepadamu, dan saya tidak melihatmu dibenci.”
- Bid’ah upacara pemakaman
Di antara yang wajib ditinggalkan dan dijauhi ialah bid’ah yang dilakukan oleh banyak orang karena ketidaktahuan mereka, yaitu berkumpul di rumah-rumah untuk bertakziah, mengadakan perjamuan, dan membelanjakan harta benda untuk bermegah-megahan, karena para salaf saleh tidak berkumpul di rumah-rumah. Akan tetapi, sebagian dari mereka bertakziah kepada sebagian lain di tempat pemakaman dan ketika bertemu di mana saja.
Tidak mengapa jika ia bermaksud takziah dengan mendatangi tempatnya apabila tidak mungkin bertemu di tempat pemakaman atau di jalan, karena yang bid’ah ialah berkumpul secara khusus dan memang sengaja disiapkan.
- Berbuat baik kepada keluarga orang yang meninggal.
Disunahkan membuatkan makanan untuk keluarga orang yang meninggal. Yang melakukan hal ini hendaknya para kerabat atau tetangga ketika hari meninggalnya. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya mereka tertimpa sesuatu yang menyibukkan mereka.”
Sedangkan jika keluarga orang yang meninggal membuatkan makanan untuk orang lain, maka hal ini dimakruhkan dan tidak semestinya dilakukan, karena hal ini justru melipatgandakan musibah untuk mereka. Apabila hadir orang yang wajib diberi jamuan, misalnya orang jauh, maka disunahkan yang memberikan jamuan ialah para tetangga dan kerabatnya sebagai ganti dari keluarga orang yang meninggal.
- Sedekah atas nama si mayat.
Disunahkan bersedekah atas nama si mayat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Dari Abu Hurairah bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayah saya telah meninggal dan dia meninggalkan harta benda, tetapi dia tidak berwasiat. Apakah dapat melebur dosanya jika saya bersedekah atas nama ayah saya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya’.”
Juga berdasarkan hadits dari Sa’d bin Ubadah:
“Ibunda Sa’d bin Ubadah ag wafat, lalu ia bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya telah wafat. Apakah saya dapat bersedekah atas nama ibu saya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya.’ la bertanya lagi, ‘Lantas sedekah apa yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberi air minum’.”
- Membacakan Al-Qur’an untuk orang yang meninggal.
Tidak mengapa seorang muslim duduk di masjid atau di rumahnya, lalu membaca Al-Qur’an. Ketika ia telah selesai membaca Al-Qur’an, lalu ia memohon kepada Allah ampunan dan rahmat untuk si mayat seraya bertawassul kepada Allah dengan bacaan Al-Qur’an yang telah ia baca sebelumnya.
Adapun berkumpulnya para pembaca Al-Qur’an di rumah orang yang meninggal untuk membaca Al-Qur’an, lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada si mayat, dan keluarga si mayat memberi upah kepada mereka atas bacaan tersebut, maka ini adalah bid’ah mungkar yang wajib ditinggalkan dan mengajak saudara-saudara sesama muslim untuk menghindari dan menjauhinya.
Para salaf saleh tidak pernah mengajarkan hal ini dan tidak ada orang yang hidup pada kurun utama yang berpendapat tentang hal ini. Sesuatu yang bukan berupa ajaran agama pada permulaan umat ini berarti bukan ajaran agama pada umat terakhir dalam kondisi apa pun.
- Hukum ziarah kubur.
Ziarah kubur hukumnya sunah, karena ziarah kubur dapat mengingatkan kepada akhirat dan memberikan manfaat kepada si mayat dengan berdoa dan beristigfar untuknya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Dulu saya melarang kalian ziarah kubur, maka berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan akhirat.”
“Tidak boleh sering mengadakan perjalanan jauh kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi), dan masjid Aqsha.”
- Doa yang dibaca saat ziarah kubur.
Para peziarah kubur kaum muslimin hendaknya membaca doa yang dibaca oleh Rasulullah ketika berziarah di makam Al-Baqi’, yaitu membaca:
“Keselamatan semoga tercurah atas kalian, wahai ahli kubur dari kalangan orang mukmin dan kaum muslimin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul. Kalian adalah orang yang mendahului kami dan kami akan mengikuti kalian. Kami memohon kepada Allah, keselamatan untuk kami dan kalian. Ya Allah, ampunilah mereka. Ya Allah, rahamatilah mereka.”
- Hukum ziarah kubur bagi wanita
Para ulama telah sepakat akan keharaman terlalu seringnya seorang wanita ziarah kubur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Allah melaknat wanita-wanita yang sering berziarah kubur (yang dapat menimbulkan fitnah).”
Namun jika tidak dilakukan secara sering, maka sebagian ulama memakruhkan ziarah secara mutlak berdasarkan hadits di atas. Sedangkan sebagian lain membolehkan. Ini berdasarkan hadits yang meriwayatkan bahwa Aisyah berziarah ke makam saudaranya, Abdur Rahman, lalu beliau ditanya mengenai hal ini, lantas ia berkata, “Ya, benar, dahulu Nabi melarang ziarah kubur, kemudian beliau memerintahkan ziarah kubur,”
Ulama yang membolehkan ziarah dilakukan jarang-jarang bagi wanita mensyaratkan tidak melakukan kemungkaran dalam bentuk apa pun, seperti meratap di sisi kuburan, berteriak-teriak, atau keluar dalam keadaan bersolek, atau memanggil-manggil mayat dan memohon kepada si mayat dan Hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh wanita jahiliah mengenai Hal-hal yang terkait dengan agama pada masa dan tempat yang lain.
Hukum dan hikmah zakat, dan Hukum Orang yang Enggan mengeluarkan zakat
Hukum zakat
Zakat adalah kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada setiap muslim yang memiliki harta mencapai satu nishab dengan memenuhi beberapa syarat. Allah mewajibkan zakat di dalam kitab-Nya melalui firman-Nya:
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
“Wahai orang-orang yang beriman! infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu”. (Al-Baqarah: 267)
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat.” (Al-Muzzammil: 20)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah:
“Islam dibangun atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mau melakukan shalat dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah memelihara dari padaku darah serta harta benda mereka, melainkan dengan hak Islam, sedang perhitungan amal perbuatan mereka adalah terserah Allah “
Juga berdasarkan sabda Nabi dalam pesan beliau kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaati untuk melakukan itu, maka sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam setiap sehari semalam. Jika mereka telah menaati yang demikian itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, kemudian diserahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka menaati yang demikian itu, maka jagalah harta-harta mereka yang dimuliakan. Takutlah akan doa orang yang dizalimi, karena sesungguhnya tidak ada tabir yang menutupi antara doanya itu dengan Allah.”
Hikmah zakat
Di antara hikmah disyariatkannya zakat ialah sebagai berikut:
- Membersihkan jiwa manusia dari kotoran kikir, keburukan, dan kerakusan.
- Membantu orang-orang fakir dan memenuhi kebutuhan orang-orang miskin, kebutuhan orang yang sengsara, dan kebutuhan orang yang meminta-minta.
- Menegakkan kemaslahatan umum yang terkait dengan kehidupan dan kebahagiaan umat manusia.
- Membatasi kekayaan yang berlebihan di tangan orang-orang kaya, para pedagang, dan pengusaha agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang tertentu atau beredar di antara orang-orang kaya.
Hukum orang yang menolak menunaikan zakat
Orang yang menolak membayar zakat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir. Sedangkan orang yang menolak membayar zakat karena kikir, tapi masih mengakui kewajiban zakat, maka ia berdosa dan zakat diambil darinya secara paksa disertai dengan ta’zir.
Namun jika ia melawan karena menolak membayar zakat, maka ia diperangi sehingga ia tunduk kepada perintah Allah dan menunaikan zakat.
Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan jika mereka bertobat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (At-Taubah: 11)
Rasulullah bersabda:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mau melakukan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah memelihara dari padaku darah serta harta benda mereka, melainkan dengan hak Islam, sedang perhitungan amal perbuatan mereka adalah terserah Allah “
Sebagaimana perkataan Abu Bakar tentang memerangi para pembangkang zakat, “Demi Allah, jika mereka menolakku memberikan anak kambing yang dahulu mereka membayarkannya pada masa Rasulullah , sungguh saya akan memerangi mereka lantaran hal ini.”
Para sahabat pun sepakat dengan pernyataan Abu Bakar ini. Dengan demikian, pendapat Abu Bakar ini menjadi suatu ijma’ di kalangan sahabat.
Jenis-jenis Harta yang Wajib Dizakati dan Yang Tidak Wajib Dizakati
Harta Yang Wajib Dizakati
- Emas dan Perak.
Yaitu emas dan perak serta barang-barang yang diserupakan dengannya. Seperti barang dagangan, barang tambang, barang terpendam, dan uang kertas yang menggantikan emas dan perak. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (At-Taubah: 34).
Dan sabda Rasulullah
“Tidak ada kewajiban zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah, “
“Sesuatu yg dirusak oleh binatang tak ada tebusannya, barang tambang tak ada tebusannya, sumur yang mencelakai juga tak ada kewajiban diyat dan pada harta yang terpendam zakatnya adalah seperlima.”
- Hewan
Ternak Yang dimaksud hewan ternak dalam hal ini ialah onta, sapi, dan kambing, Ini berdasarkan firman Allah
“Wahai orang-orang yang beriman! infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (Al-Baqarah: 267)
Serta sabda Nabi kepada orang yang bertanya kepadanya mengenai hijrah:
“Celaka engkau ini, itu masalah besar. Apakah engkau mempunyai onta yang engkau keluarkan zakatnya?” la berkata, “Ya,” maka Rasulullah bersabda, “Maka lakukanlah amal perbuatan dari belakang lautan. Sungguh, Allah tak sedikit pun menyia-nyiakan amalmu.”
“Demi Zat yang tiada ilah selain-Nya. Tiada seorang pun yang mempunyai onta, sapi, ataupun kambing, tetapi ia tidak mengeluarkan zakatnya, melainkan kelak pada hari Kiamat akan didatangkan binatang-binatang tersebut dalam keadaan yang lebih besar dan gemuk dari sewaktu di dunia. Lalu, binatang yang tidak dikeluarkan zakatnya itu menginjak-injak orang tersebut dengan kuku-kuku kakinya dan menanduk orang tersebut dengan tanduknya. Setiap binatang yang terakhir telah melaluinya, maka dikembalikan kepadanya yang binatang yang pertama. Keadaan demikian ini berlangsung hingga diberi keputusan di antara semua manusia,
- Buah-buahan dan Biji-bijian
Yang dimaksud biji-bijian ialah setiap makanan pokok yang dapat disimpan, meliputi gandum, jelai, kedelai, kacang-kacangan, buncis, julbanah, kacang polong, jagung, gandum sult, beras, dan sebagainya. Sedangkan buah-buahan ialah kurma, zaitun, dan anggur. Ini berdasarkan firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” (Al-Baqarah: 267)
“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An’am: 141)
“Tidak ada kewajiban zakat yang kurang dari lima wasaq.”
“Tanaman yang diairi oleh air hujan, mata air atau berupa tanaman yang menyerap air tanah zakatnya sepersepuluh, sedangkan yang diairi dengan penyiraman zakatnya seperduapuluh,”
Harta-harta Yang Tidak Wajib Dizakati
- Budak, kuda, bagal, dan keledai. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada kudanya dan budaknya.”
Di samping itu, lantaran tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengambil zakat dari bagal dan keledai.
- Harta yang tidak mencapai satu nishab, kecuali pemiliknya mendermakan hartanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidak ada kewajiban zakat yang kurang dari lima wasaq, tidak ada kewajiban zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada kewajiban zakat pada onta yang kurang dari lima dzaud.”
- Buah-buahan dan sayur-sayuran.
Hal ini lantaran tidak ada riwayat sama sekali dari dari Rasulullah mengenai kewajiban zakat benda-benda ini. Hanya saja, disunahkan memberikan sebagian dari buah-buahan dan sayur-sayuran kepada orang-orang fakir dan para tetangga. Ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” (Al-Baqarah: 267)
- Perhiasan milik wanita, jika tidak ada tujuan selain untuk berhias. Jika tujuan berhias disertai dengan tujuan menyimpannya untuk memenuhi kebutuhan, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya karena hal ini berarti menyamai dengan tujuan untuk disimpan.
- Batu-batu mulia, seperti zamrud, yaqut, intan, dan permata lainnya, kecuali untuk diperdagangkan, maka nilainya wajib dizakati sebagaimana barang dagangan.
- Barang-barang yang dipakai bukan untuk diperdagangkan, seperti kuda dan semisalnya. Begitu juga rumah, pabrik, dan mobil, benda-benda ini tidak ada kewajiban zakat, karena tidak ada keterangan dari syari’ tentang kewajiban zakatnya.
Ketentuan Nishab Harta Yang Wajib Dizakati dan Kadar Zakat Yang Wajib Dikeluarkan
Logam mulia, Emas, Perak, dan Sejenisnya
- Emas.
Syarat zakat emas ialah kepemilikannya telah berjalan satu tahun dan mencapai nishab. Nishabnya ialah 20 dinar. Zakat yang wajib dikeluarkan ialah 2,5 %. Jadi, setiap 20 dinar, zakatnya setengah dinar. Sedangkan jika lebih dari itu maka kadar zakatnya disesuaikan, baik sedikit maupun banyak.
- Perak.
Syaratnya ialah mencapai satu tahun dan nishab sebagaimana emas. Nishabnya ialah 5 uqiyah, yaitu 200 dirham. Zakat yang wajib dikeluarkan ialah 2,5 % sebagaimana emas. Jadi, setiap 200 dirham, zakatnya 5 dirham. Sedangkan jika lebih dari itu maka kadar zakatnya disesuaikan.
- Orang yang mempunyai emas yang belum mencapai nishab dan mempunyai perak yang belum mencapai nishab, maka ia menggabungkan keduanya. Apabila keduanya mencapai nishab, maka ia membayarkan zakatnya sesuai dengan ukurannya. Hal ini berdasarkan hadits bahwa Nabi menggabungkan emas kepada perak dan perak kepada emas, lalu mengeluarkan zakat untuk keduanya.
Sebagaimana dapat mencukupi membayar dengan perak untuk membayar zakat emas ataupun sebaliknya. Jadi, barang siapa mempunyai kewajiban membayar zakat 1 dinar emas, maka diperbolehkan baginya mengeluarkan zakat 10 dirham perak ataupun sebaliknya.
Sebagaimana pula uang kertas yang berlaku pada hari ini dizakati sebagaimana ketentuan zakat emas dan perak, yaitu 2,5 %. Hal ini lantaran perhitungan uang kertas pada pemerintah terdiri dari emas dan perak.
- Barang-barang dagangan, baik dagangan yang diputar atau dagangan yang ditimbun. Jika berupa dagangan yang diputar, maka dinilai harganya setiap awal tahun. Apabila nilainya mencapai nishab atau tidak mencapai nishab tetapi ia mempunyai uang selain dagangan, maka ia mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %.
Apabila berupa dagangan yang ditimbun, maka ia mengeluarkan zakatnya pada saat menjualnya untuk satu tahun itu saja meskipun dagangan tersebut berada di tempatnya bertahun-tahun untuk menunggu harga mahal.
- Piutang.
Barang siapa mempunyai piutang pada orang lain dan memungkinkan baginya untuk mendapatkannya kembali kapan saja, maka ia wajib menggabungkannya dengan uang atau dagangan yang dimilikinya dan ia mengeluarkan zakatnya ketika berlalu satu tahun. Jika ia tidak mempunyai uang selain piutang tersebut dan piutangnya mencapai nishab, maka ia juga harus mengeluarkan zakatnya.
Namun barang siapa mempunyai piutang pada orang fakir dan tidak memungkinkan baginya mengambil uangnya kapan saja, maka ia mengeluarkan zakatnya pada saat menerima kembali piutangnya untuk satu tahun itu saja meskipun telah berlalu bertahun-tahun.
- Harta Rikaz (Harta Terpendam).
Rikaz adalah harta pendaman orang-orang terdahulu. Barang siapa menemukan di tanahnya atau rumahnya harta terpendam dari harta orang-orang terdahulu, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya 20 % kepada orang-orang fakir, miskin, dan proyek-proyek amal. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Dan pada harta rikaz (harta terpendam) ada kewajiban zakat satu perlima.”
- Barang tambang.
Jika barang tambang berupa emas atau perak, maka ia mengeluarkan zakat dari hasil tambang tersebut jika mencapai nishab, baik telah berlalu satu tahun atau belum berlalu satu tahun. Jadi, ia wajib mengeluarkan zakatnya setiap kali tambang tersebut mengeluarkan hasilnya ketika mencapai nishab.
Apakah zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 % ataukah 20 % sebagaimana rikaz? Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama yang berpendapat bahwa barang tambang dizakati 20 % berarti ia menyamakan dengan rikaz, sedangkan ulama yang berpendapat bahwa barang tambang dizakati sebagaimana emas dan perak, maka ia mengambil keumuman sabda Nabi :
“Tidak ada kewajiban zakat perak yang kurang dari lima uqiyah.”
Sabda Nabi, “lima uqiyah” dapat mencakup barang tambang dan lainnya. Uraian dalam hal ini luas sekali. Segala puji bagi Allah.
Sedangkan jika berupa tambang besi, tembaga, permata dan lain sebagainya, maka disunahkan mengeluarkan zakat dari hasil tambang tersebut dengan menghitung nilainya dan mengeluarkan zakat 2,5 %, karena tidak ada nash yang menjelaskan tentang kewajiban zakat dalam hal ini dan tambang ini bukan emas dan perak yang memang wajib dizakati.
- Harta Pendapatan.
Jika pendapatan berupa keuntungan dagang atau hasil dari binatang, maka ia wajib membayar zakatnya sama dengan zakat harta pokoknya. Dan ia tidak perlu memperhatikan telah berlalu satu tahun. Jika pendapatan bukan berasal dari keuntungan dagang atau hasil binatang, maka ia menunggunya. Apabila mencapai satu nishab dan telah berlalu setahun penuh, maka ia mengeluarkan zakatnya. Jadi, barang Siapa diberi hibah harta atau mendapat warisan, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya hingga berlalu satu tahun.
Binatang Ternak
- Onta.
Syarat kewajiban zakat onta ialah kepemilikannya berlalu satu tahun dan mencapai nishab. Nishabnya ialah 5 onta atau lebih. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidak ada kewajiban zakat onta yang kurang dari lima dzaud.”
Zakat yang dikeluarkan dari setiap 5 ekor onta ialah 1 ekor kambing berusia 1 tahun menginjak 2 tahun dari kambing yang biasa dizakati, baik berupa domba atau kambing kacang.
Zakat yang dikeluarkan dari 10 ekor onta ialah 2 ekor kambing, 15 ekor onta ialah 3 ekor kambing, 20 ekor onta ialah 4 ekor kambing, 25 ekor onta ialah bintu makhadh (anak onta betina usia satu tahun menginjak dua tahun). Jika tidak menemukan, maka mengeluarkan zakat ibnu labun (anak onta jantan usia dua tahun menginjak tiga tahun) dapat mencukupinya.
Jika jumlah onta mencapai 36 ekor, maka zakat yang dikeluarkan ialah bintu labun(anak onta betina usia dua tahun menginjak tiga tahun). Apabila jumlah onta mencapai 46 ekor, maka zakat yang dikeluarkan ialah hiqqah (onta betina usia tiga tahun menginjak empat tahun). Apabila jumlah onta mencapai 61 ekor, maka zakat yang dikeluarkan ialah jadza’ah (onta betina usia empat tahun menginjak lima tahun).
Apabila jumlah onta mencapai 76 ekor, maka zakat yang dikeluarkan ialah dua ekor onta bintu labun. Apabila jumlah onta mencapai 91 ekor, maka zakat yang dikeluarkan ialah dua ekor onta hiqqah. Apabila jumlah onta mencapai 120 ekor, maka setiap 40 ekor onta zakat yang dikeluarkan ialah onta bintu labun dan setiap 50 ekor onta zakat yang dikeluarkan jalah onta hiqqah.
Catatan:
Orang yang memiliki kewajiban mengeluarkan zakat onta usia tertentu tetapi ia tidak menemukan, maka ia dapat mengeluarkan zakat onta yang ada jika usianya lebih muda dari yang diwajibkan kepadanya dan menambah kepada amil 2 ekor kambing atau 20 dirham. Apabila lebih besar dari onta yang diwajibkan kepadanya, maka amil memberinya 2 ekor kambing atau 20 dirham untuk menambal kekurangan, kecuali ibnu labun (anak onta jantan usia dua tahun menginjak tiga tahun) maka mencukupi untuk menggantikan bintu makhadh (anak onta betina usia setahun menginjak dua tahun) tanpa ada tambahan sebagaimana uraian di atas.
- Sapi.
Syarat wajib zakat atas sapi ialah sebagaimana onta, yaitu kepemilikannya telah berlalu satu tahun dan mencapai nishab. Nishabnya ialah 30 ekor sapi. Sedangkan zakat yang wajib dikeluarkan ialah anak sapi usia 1 tahun. Apabila jumlah sapi mencapai 40 ekor, maka zakat yang wajib dibayarkan ialah sapi usia 2 tahun. Apabila jumlah sapi lebih dari itu, maka setiap 40 ekor sapi zakatnya adalah satu ekor sapi usia 2 tahun dan setiap 30 ekor sapi zakatnya adalah satu ekor anak sapi usia 1 tahun. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Pada setiap 30 ekor sapi, zakatnya satu ekor anak sapi usia 1 tahun dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya satu ekor sapi usia 2 tahun.”
- Kambing.
Yaitu kambing domba dan kambing kacang. Syarat zakat atas kambing adalah kepemilikannya telah berlalu setahun dan mencapai nishab. Nishabnya ialah 40 ekor kambing. Pada 40 ekor kambing ada kewajiban zakat seekor kambing. Apabila jumlahnya mencapai 120 ekor, maka kewajiban zakatnya 2 ekor kambing.
Apabila jumlahnya mencapai 201 ekor atau lebih, maka kewajiban zakatnya 3 ekor kambing. Apabila jumlahnya lebih dari 300 ekor, maka untuk setiap kelipatan 100 ekor kambing, kewajiban zakatnya satu ekor kambing. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila lebih dari itu, maka pada setiap seratus ekor (kambing) terdapat kewajiban (zakat) satu ekor kambing.”
Catatan:
- Hewan ternak harus digembalakan.
Pada hewan ternak, jumhur ulama mensyaratkan bahwa binatang tersebut harus digembalakan. Maksudnya, binatang itu selama setahun lebih sering digembalakan di padang rumput bebas. Akan tetapi, Imam Malik. tidak mensyaratkannya dalam kewajiban zakat. Pensyaratan ini adalah perbuatan penduduk Madinah. Dasar ulama Jumhur dalam pensyaratan ini ialah sabda Nabi:
“Pada kambing yang telah mencapai jumlah empat puluh hingga seratus dua puluh ekor maka zakatnya adalah satu ekor kambing.”
Sabda Nabi ‘Pada kambing yang digembalakan’, jumhur ulama menjadikannya sebagai dalil secara nash dalam persyaratan kambing harus digembalakan. Adapun pada onta dan sapi disamakan dengan kambing.
Mereka berpendapat bahwa karena sulitnya dan beban berat ketika harus memberi makan ternak inilah yang menjadikan adanya syarat hewan harus digembalakan.
- Tidak ada zakat pada waqash dari semua binatang ternak.
Waqash adalah jumlah antara dua kadar kewajiban zakat.
Orang yang memiliki kambing sejumlah 40 ekor sampai 120 ekor, maka ia hanya wajib mengeluarkan zakat seekor kambing. Namun jika jumlahnya melebihi satu saja/ 121, maka ia harus mengeluarkan zakat dua ekor kambing. Jadi, jumlah antara 40 sampai 120 disebut waqqash dan tidak ada kewajiban zakat atasnya (selain hanya satu ekor kambing). Demikian pula pada waqash bagi onta dan sapi.
Hal ini lantaran Nabi ketika menuturkan kadar-kadar kewajiban zakat hewan ternak, beliau bersabda:
“Jika jumlahnya mencapai sekian, maka zakatnya sekian.”
Maka, diketahui bahwa jumlah antara dua kadar kewajiban tidak ada zakatnya.
- Penggabungan dalam membayar zakat.
Dalam membayar zakat kambing domba boleh digabungkan dengan kambing kacang, karena keduanya satu jenis. Demikian pula zakat kerbau digabungkan dengan sapi, onta Jrab digabungkan dengan onta buhkti, karena sabda Nabi hanya menyebutkan keumuman jenisnya:
Pada kambing yang telah mencapai jumlah empat puluh hingga seratus dua puluh ekor maka zakatnya adalah satu ekor kambing.”
“Pada tiap-tiap lima dzaud onta ada kewajiban zakat seekor kambing.”
“Pada setiap 30 ekor sapi, zakatnya anak sapi usia 1 tahun.”
- Menggabungkan dua kepemilikan.
Dua orang yang menggabungkan ternaknya apabila masing-masing memiliki hewan ternak mencapai nishab, sedangkan penggembalanya, tempat menggembalakannya, tempat istirahat dan tempat bermalamnya sama, maka zakat dikeluarkan dari keduanya secara gabungan. Kemudian keduanya saling menyepakati untuk mengganti sesuai proporsinya.
Misalnya salah satu dari keduanya memiliki 40 ekor kambing, dan lainnya memiliki 80 ekor kambing, lalu petugas zakat mengambil zakat seekor kambing dari pemilik 40 ekor kambing, maka pemilik 80 ekor kambing mengganti senilai dua pertiga kambing kepada pemilik 40 ekor kambing.
Meskipun demikian, tidak diperbolehkan menggabungkan dua kambing yang berbeda karena bermaksud menghindari zakat dan tidak boleh pula memisahkan antara kambing yang digabungkan untuk menghindari zakat. Hal ini berdasarkan riwayat yang terdapat di dalam surat Abu Bakar Ash-Shiddiq:
“Tidak boleh digabungkan antara kambing yg dipisahkan dan tidak boleh dipisahkan antara kambing yg digabungkan karena khawatir wajib mengeluarkan zakat. Kambing yg berasal dari gabungan dua orang maka keduanya membagi dengan sama.”
- Tidak sah membayar zakat dengan binatang yang belum berumur.
Tidak dapat diterima untuk membayar zakat anak kambing yang masih kecil, anak sapi, dan anak onta. Akan tetapi, semua anak-anak hewan ternak yang masih kecil ini tetap dihitung untuk dizakati oleh pemiliknya. Hal ini berdasarkan perkataan Umar kepada amil zakatnya:
“Hitunglah anak-anak kambing dan janganlah engkau mengambilnya (untuk membayar zakat.)”
- Tidak sah membayar zakat dengan binatang yang terlalu tua atau cacat.
Tidak dapat diambil untuk membayar zakat ternak yang sangat tua dan ternak cacat yang dapat mengurangi harganya. Hal ini berdasarkan perkataan Abu Bakar
“Tidak dapat diambil untuk zakat ternak yang sangat tua, ternak yang buta sebelah, dan kambing hutan.”
Sebagaimana pula tidak boleh diambil harta-harta yang dimuliakan, seperti Al-Muhidh, yaitu binatang yang hampir melahirkan, kambing pejantan, kambing yang digemukkan untuk dimakan, dan hewan yang sedang merawat anak-anaknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada Mu’adz:
“Jagalah kamu mengambil harta-harta mereka yang dimuliakan (sebagai zakat).”
Umar pun melarang orang yang mengeluarkan zakat dengan Al-Akitlah, Ar-Rubba, Al-Muhidh, dan kambing pejantan.
Buah-buahan dan Biji-bijian
Ketentuan zakat pada biji-bijian dan buah-buahan ialah telah menguning atau memerah, biji-bijian terlepas dari kulitnya, buah anggur dan zaitun telah layak untuk dipanen. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An’4m:141)
Nishab buah-buahan dan biji-bijian adalah 5 wasaq. 1 wasaq adalah 60 sha’, 1 sha’ adalah 4 mud. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidak ada zakat (pada tanaman)yang kurang dari lima wasaq.”
Zakat yang wajib dikeluarkan dari buah-buahan dan biji-bijian apabila diairi tanpa biaya, misalnya tanaman yang menyerap air tanah atau diairi dengan sumber mata air atau air sumur, maka zakatnya 10 %.
Jadi, pada setiap 5 wasaq, ada kewajiban zakat setengah wasaq. Apabila diairi dengan biaya, misalnya diairi dengan menggunakan timba, As-Sawani,dan lain sebagainya, maka zakatnya 5 %. Jadi, pada 5 wasaq ada kewajiban zakat seperempat wasaq. Sedangkan kelebihan hitungannya disesuaikan, baik sedikit maupun banyak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Tanaman yang diairi oleh air hujan, mata air atau berupa tanaman yang menyerap air tanah zakatnya sepersepuluh, sedangkan yang diairi dengan penyiraman zakatnya seperduapuluh.”
Catatan:
- Orang yang mengairi tanamannya sesekali dengan alat dan sesekali tanpa alat (air hujan), maka kewajiban zakatnya ialah 7.5 %. Demikianlah pendapat ahli ilmu. Ibnu Qudamah berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini.”
- Kurma yang bermacam-macam jenisnya digabungkan, jika mencapai satu nishab, maka zakatnya dikeluarkan dari jenis kurma yang menengah. Jadi, tidak tertentu harus mengeluarkan kurma yang baik atau yang buruk.
- Gandum, jewawut, dan gandum Sult digabungkan untuk dikeluarkan zakatnya. Apabila gabungan semuanya mencapai nishab, maka dikeluarkan zakatnya dari jenis gandum yang paling banyak.
- Biji-bijian yang bermacam-macam digabungkan menjadi satu. Biji-bijian meliputi kedelai, kacang-kacangan, kacang polong, kacang kapri, dan turmus (sejenis kacang-kacangan), apabila gabungan semuanya mencapai nishab maka dikeluarkan zakatnya dari jenis biji-bijian yang paling banyak.
- Apabila masing-masing dari zaitun, lobak, atau ketumbar mencapai nishab, maka zakat yang dikeluarkan berupa minyaknya.
- Macam-macam anggur digabungkan menjadi satu, apabila mencapai nishab, maka wajib dizakati. Apabila anggur dijual sebelum menjadi anggur kering, maka yang dibayarkan zakatnya berupa harganya, yaitu 10 % atau 5 % dengan mempertimbangkan pengairannya.
- Beras, jagung, dan jewawut masing-masing merupakan jenis tersendiri, maka tidak dapat digabungkan satu dengan lainnya. Jika, masing-masing jenis ini tidak mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat.
- Bagi orang yang menyewa sebidang tanah dan menanaminya, dan ternyata hasil panennya mencapai nishab, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.
- Bagi orang yang memiliki buah-buahan atau biji-bijian dengan cara apa pun, baik karena hibah, pembelian, atau warisan setelah matang, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya, karena kewajiban zakat dari barang-barang tersebut adalah orang yang menghibahkan atau penjualnya. Namun jika ia memilikinya sebelum matang, maka ia terkena kewajiban zakat.
- Orang mempunyai hutang hingga menghabiskan seluruh hartanya atau mengurangi dari nishab, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya.
Golongan Penerima Zakat Ada delapan golongan penerima zakat yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Dia berfirman:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) budak, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)
Penjelasan seputar golongan penerima zakat
Penjelasan seputar golongan penerima zakat ialah sebagai berikut:
- Orang fakir.
Yang dimaksud orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta yang dapat memenuhi kebutuhannya serta kebutuhan orang-orang yang dinafkahinya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, meskipun ia memiliki harta mencapai nishab.
- Orang miskin.
Orang miskin terkadang lebih ringan kesengsaraannya daripada orang fakir dan terkadang lebih parah. Hanya saja hukum keduanya sama saja dalam segala hal. Rasulullah telah mendefinisikan miskin dalam sebuah hadits:
“Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta kepada manusia untuk diberi satu atau dua suap makanan, dan satu atau dua butir kurma. Akan tetapi, orang yang miskin itu adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan yang dapat mencukupinya dan ia tidak diketahui keadaannya, sehingga orang bersedekah kepadanya tanpa dia meminta-minta sesuatu kepada orang lain.’
- Amil zakat.
Amil zakat ialah orang yang menarik zakat, mengumpulkan zakat, mengurusi zakat, dan menulis dalam pembukuan zakat. Amil zakat diberi zakat sebagai upah dari pekerjaannya meskipun ia orang kaya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu amil zakat, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang terlilit hutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang kaya.”
- Mualaf (orang yang dilunakkan hatinya).
Orang yang dilunakkan hatinya adalah seorang muslim yang masih lemah Islamnya dan ia memiliki kaum yang mematuhinya. Maka ia diberi zakat untuk melunakkan hatinya dan kaumnya dengan harapan kemanfaatannya dapat merata atau mencegah kejahatannya, atau mualaf adalah orang kafir yang diharapkan Islamnya atau Islam kaumnya, maka ia diberi zakat sebagai memotivasi bagi mereka untuk masuk Islam dan menjadikan mereka cinta kepada Islam.
Terkadang bagian ini meluas kepada semua orang yang tugasnya dapat mewujudkan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin dari segi propaganda, seperti wartawan dan para penulis.
- Budak.
Yang dimaksud dengan penerima zakat bagian ini ialah seorang muslim yang menjadi budak, ia dibeli dari uang zakat dan dimerdekakan di jalan Allah, atau seorang muslim yang menjadi budak mukatab, lalu ia diberi zakat untuk menutupi cicilan akad kitabahnya agar ia dapat merdeka setelah itu.
- Orang yang berhutang.
Gharim ialah orang yang memiliki hutang bukan untuk kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia kesulitan untuk membayarnya, maka ia diberi zakat menutupi hutangnya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidaklah pantas meminta-minta kecuali bagi tiga orang, yaitu orang yang mempunyai kefakiran yang sangat, orang yang memiliki hutang yang berat, orang yang memiliki tanggungan darah yang menyakitkan.”
- Sabilillah.
Sabilillah adalah amal perbuatan yang mengantarkan kepada rida Allah dan surga-Nya, lebih khususnya jihad untuk meluhurkan kalimat Allah. Jadi, orang yang berperang di jalan Allah diberi zakat meskipun ia orang kaya. Sabililah ini dapat mencakup seluruh kemaslahatan syari’yah secara umum, seperti membangun masjid, membangun rumah sakit, membangun madrasah, dan panti asuhan anak yatim. Hanya saja yang didahulukan ialah untuk berjihad, meliputi menyediakan senjata, perbekalan pasukan, kebutuhan tentara, dan keperluan jihad dan perang lainnya.
- Ibnus sabil.
Ibnu sabil ialah orang yang sedang dalam perjalanan yang kehabisan bekal dan jauh dari daerahnya. Maka ia diberi zakat yang dapat memenuhi kebutuhannya di tempat perantauannya, meskipun ia orang kaya di daerahnya. Hal ini karena memandang kefakiran pada dirinya ketika dalam perjalanan dan kehabisan bekal. Ketentuan ini jika ia tidak menemukan orang yang memberinya pinjaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jika ia menemukan orang yang memberinya pinjaman, maka ia wajib berhutang dan ia tidak boleh diberi zakat selama ia adalah orang kaya di daerahnya.
Catatan:
- Apabila seorang muslim memberikan zakat hartanya kepada salah satu golongan dari delapan golongan penerima zakat, maka hal ini telah mencukupi. Hanya saja, semestinya lebih memprioritaskan kepada orang yang lebih membutuhkannya. Apabila harta zakat banyak, lalu ia membagikan kepada semua golongan penerima zakat yang ada dari delapan golongan, maka hal ini lebih utama.
- Seorang muslim tidak boleh memberikan zakat kepada orang-orang yang wajib ia nafkahi, seperti kedua orang tua, anak dan keturunan ke bawah, dan istri, karena mereka adalah orang-orang yang wajib ia nafkahi ketika mereka membutuhkan nafkah.
- Zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Nabi karena kemuliaan mereka. Yang dimaksud keluarga Nabi adalah Bani Hasyim, keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, dan keluarga Abbas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sesungguhnya zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Muhammad Sesungguhnya zakat adalah kotoran manusia.”
- Seorang muslim cukup menyerahkan zakat hartanya kepada pemimpinnya yang muslim, meskipun pemimpinnya seorang yang zalim. Dengan ini, ia telah bebas dari tanggungan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi mengenai zakat:
“Apabila kamu tunaikan zakatmu kepada utusanku maka kamu telah terbebas dari kewajiban zakat tersebut, kamu berhak mendapatkan pahalanya, sedangkan dosanya akan kembali kepada orang-orang yang menukar zakat tersebut.”
- Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir dan orang fasik, seperti orang yang meninggalkan shalat dan orang yang meremehkan syariat Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sedekah yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
Maksudnya, orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin dan orang-orang fakir dari kalangan kaum muslimin. Zakat juga tidak boleh diberikan kepada orang kaya, orang yang masih kuat bekerja. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Tidak ada bagian zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat bekerja.”
Maksudnya, mampu bekerja sekadar kemampuannya.
- Tidak diperbolehkan memindahkan zakat dari daerahnya ke daerah lain yang jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan qashar shalat atau lebih. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“(Zakat) Dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” Para ahli ilmu mengecualikan jika tidak ada orang fakir di daerah tersebut atau kebutuhan di suatu daerah lebih mendesak, maka diperbolehkan memindahkan zakat ke daerah lain yang terdapat orang-orang fakir, baik yang melakukan ini imam atau lainnya.
- Orang yang mempunyai piutang pada orang fakir dan ia hendak menjadikan piutangnya sebagai zakatnya, maka hal ini diperbolehkan jika seandainya ia menagih piutang tersebut, maka ia akan memaksakan diri dan ia dapat melunasi hutangnya. Namun jika ia telah putus asa piutangnya dapat dibayar atau ia memberinya zakat agar orang fakir tersebut mengembalikannya lagi, maka hal ini tidak boleh.
- Pembayaran zakat harus disertai dengan niat zakat. Jadi, seandainya seseorang menyerahkan zakat tanpa disertai niat zakat yang diwajibkan, maka hal ini tidak mencukupi. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya.”
Jadi, orang yang menyerahkan zakat diwajibkan berniat zakat pada hartanya dengan ikhlas karena Allah dengan zakatnya tersebut, karena ikhlas merupakan syarat diterimanya semua ibadah. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Zakat Fitrah
Hukum zakat fitrah
Zakat fitrah adalah sunah yang diwajibkan kepada setiap muslim. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar ;
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum atas seorang budak, orang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, dan orang dewasa dari kaum muslimin.”
Hikmah zakat fitrah
Hikmah zakat fitrah ialah membersihkan jiwa seseorang yang berpuasa dari Hal-hal yang menodai dirinya, baik dari omong kosong dan berkata kotor.
Hikmah zakat fitrah juga dapat mencukupi orang fakir miskin untuk tidak meminta-minta pada saat hari raya. Ibnu Abbas berkata:
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omong kosong dan berkata kotor serta memberi makan orang-orang miskin.”
Nabi juga bersabda:
“Berilah mereka kecukupan daripada meminta-minta pada hari ini,”
Jumlah zakat fitrah dan macam-macam makanan yang dapat dikeluarkan sebagai zakat fitrah
Jumlah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebanyak 1 sha’ 1 sha’ = 4 mud (1 mud setara dengan satu cakupan dua telapak tangan orang dewasa). Zakat yang dikeluarkan berupa makanan pokok mayoritas penduduk daerah setempat, baik gandum, jewawut, kurma, beras, anggur, atau keju. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id :
“Ketika Rasulullah masih ada di sisi kami, kami mengeluarkan zakat fitrah baik untuk anak kecil maupun orang dewasa, orang merdeka atau pun budak sebesar 1 sha’ makanan atau 1 sha’ keju atau 1 sha’ jewawut, atau 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ anggur.”
Zakat fitrah hanya dikeluarkan dari makanan
Kewajiban zakat fitrah ialah mengeluarkannya berupa makanan dan tidak boleh digantikan dengan uang kecuali dalam keadaan darurat. Karena tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi membayarkan uang sebagai pengganti makanan. Bahkan, dari para sahabat pun tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa mereka mengeluarkan zakat fitrah berupa uang.
Waktu kewajiban dan waktu menunaikan zakat fitrah
Zakat fitrah diwajibkan pada malam hari raya. Sedangkan waktu menunaikannya:
Waktu jawaz: Yaitu mengeluarkan zakat fitrah satu hari atau dua hari sebelum shalat hari raya, karena Ibnu Umar melakukan hal tersebut.
Waktu yang utama: Waktu antara terbit fajar hari raya hingga sebelum shalat hari raya dilaksanakan, karena Nabi memerintahkan agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat untuk melakukan shalat hari raya, Ibnu Abbas berkata:
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omong kosong dan berkata kotor serta memberi makan orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat hari raya, maka menjadi zakat yang diterima, dan barang siapa memberikannya setelah shalat hari raya, maka menjadi sedekah biasa.”
Waktu qadha’: waktu setelah shalat hari raya dan seterusnya, karena sesungguhnya zakat fitrah dapat ditunaikan pada waktu ini dan mencukupi, tetapi hal ini makruh.
Golongan yang berhak menerima zakat fitrah
Adapun golongan yang berhak menerima zakat fitrah sama dengan golongan orang yang berhak menerima zakat secara umum. Hanya saja orang fakir dan miskin lebih berhak menerima zakat fitrah daripada kelompok lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Berilah mereka kecukupan dari meminta-minta pada hari ini (hari raya).”
Jadi, zakat fitrah tidak diserahkan kepada selain orang-orang fakir kecuali jika mereka ini tidak ada atau kefakiran mereka ringan atau kelompok penerima zakat lainnya mempunyai kebutuhan yang mendesak.
Catatan:
- Seorang wanita kaya diperbolehkan memberikan zakatnya kepada suaminya yang fakir. Akan tetapi, sebaliknya tidak diperbolehkan, karena seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya.
- Kewajiban zakat fitrah gugur bagi orang yang tidak memiliki makanan pokok pada hari raya, karena Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
- Seseorang yang memiliki kelebihan makanan pokok pada hari raya, lalu ia mengeluarkan zakatnya, maka ini sudah mencukupi. Ini berdasarkan firman Allah
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
- Diperbolehkan memberikan zakat fitrah milik satu orang kepada beberapa orang dan diperbolehkan pula memberikan zakat fitrah milik beberapa orang kepada satu orang saja. Hal ini lantaran keterangan dari syari’ secara mutlak tanpa batasan tertentu.
- Zakat fitrah diwajibkan kepada seorang muslim di daerah tempat tinggalnya.
- Tidak diperbolehkan memindahkan zakat fitrah dari daerahnya ke daerah lain kecuali karena darurat. Ketentuan zakat fitrah sama dengan ketentuan zakat harta.
Definisi Puasa dan Waktu Diwajibkan Puasa
Definisi puasa Puasa secara bahasa artinya menahan. Sedangkan pengertian puasa secara syar’i ialah menahan diri dengan niat ibadah dari makan, minum, berhubungan suami istri, dan segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Waktu Diwajibkan Puasa Allah mewajibkan puasa atas umat Muhammad sebagaimana Dia mewajibkannya kepada umat-umat terdahulu. Ini berdasarkan firman Allah
“Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah:183)
Perintah ini turun pada hari Senin bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Keutamaan dan Manfaat Puasa
Keutamaan Puasa
Keutamaan puasa dijelaskan dan ditetapkan oleh hadits-hadits berikut: Sabda Nabi :
“Puasa merupakan perisai dari neraka sebagaimana perisai salah seorang di antara kalian dalam peperangan.”
“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah menjauhkan wajahnya dari neraka karena puasa sehari tersebut, sejauh jarak perjalanan tujuh puluh tahun,”
“Sesungguhnya orang yang berpuasa mempunyai doa yang tidak akan tertolak ketika berbuka.”
“Sesungguhnya, di surga ada satu pintu yang bernama Ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan memasukinya kelak pada hari Kiamat dan tidak ada seorang pun yang memasukinya dari pintu itu kecuali mereka. Dikatakan, ‘Manakah orang-orang yang suka berpuasa?’ Maka mereka pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk lewat pintu itu kecuali mereka. Jika mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup hingga tidak seorang pun masuk melaluinya lagi.”
Manfaat puasa
Orang yang berpuasa memiliki banyak manfaat, baik manfaat secara spiritual, sosial maupun kesehatan. Di antara manfaat puasa yang bersifat spiritual ialah melatih kesabaran dan menguatkan kesabaran, mengajarkan untuk mengendalikan diri dan memaksakannya untuk selalu mengendalikan diri, dan menanamkan rasa ketakwaan dalam jiwa serta membimbingnya (untuk selalu bertakwa). Terlebih takwa merupakan alasan disyariatkannya puasa, dijelaskan dalam firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Di antara manfaat puasa yang bersifat sosial ialah membiasakan umat untuk disiplin, menguatkan persatuan, cinta keadilan dan kesetaraan, serta membentuk rasa kasih sayang dan akhlak mulia antara kaum mukminin, sebagaimana pula puasa melidungi masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.
Di antara manfaat puasa yang bersifat kesehatan ialah membersihkan usus-usus, Memperbaiki pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak perut. Disebutkan di dalam hadits Nabi:
“Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat.”
Puasa yang Disunahkan,
Puasa yang Dimakruhkan, dan Puasa Yang Diharamkan
Puasa-puasa yang disunahkan
Puasa yang disunahkan adalah pada hari-hari berikut ini:
- Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak beribadah haji, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun, yaitu tahun lalu dan tahun mendatang, sedangkan puasa Asyura’ dapat menghapus dosa setahun yang lalu,”
- Puasa hari Asyura’ dan Tasu’a, yaitu tanggal 10 dan 9 Muharram. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sedangkan puasa Asyura’ dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu.”
Selain Rasulullah berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, beliau juga bersabda:
“Pada tahun depan, Insya Allah kami akan berpuasa pada hari Tasu’a.”
- Puasa enam hari pada bulan Syawal. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.”
- Puasa pertengahan pertama pada bulan Sya’ban. Ini berdasarkan perkataan Aisyah:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau melakukan puasa dalam suatu bulan yang lebih banyak daripada (puasa) pada bulan Sya’ban.”
- Puasa sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih disukai oleh Allah daripada hari-hari ini yaitu sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah) tidak pula jihad di jalan Allah (lebih baik dari itu)?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian dia tak kembali lagi dari berjihad dengan membawa sesuatu apapun.”
- Puasa bulan Muharram. Ini berdasarkan sabda Nabi ketika ditanya:
“Puasa apa yang lebih utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, ‘Bulan Allah yang kalian sebut dengan Muharram”
- Puasa hari-hari putih (Ayyamulbidh) setiap bulan, yaitu tanggal 13, 14 dan 15. Berdasarkan hadits yang diriwayat Abu Dzarr:
“Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk berpuasa pada hari-hari putih selama tiga hari setiap bulan, yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15. Dan beliau menyatakan, ‘Puasa itu bagaikan puasa sepanjang tahun’,”
- Puasa hari Senin dan Kamis. Berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis, lalu beliau ditanya mengenai hal ini, maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu dilaporkan pada hari Senin dan Kamis, lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukmin kecuali dua orang yang memutus tali silaturahim. Lantas Allah berfirman, ‘Akhirkanlah keduanya’.”
- Berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Puasa paling dicintai oleh Allah ialah puasa Nabi Dawud, dan shalat paling dicintai oleh Allah ialah shalat Nabi Dawud; Beliau tidur di separuh malam, dan melakukan shalat di sepertiga malam, lalu tidur lagi di seperenam malam. Dan beliau sehari berpuasa dan sehari berbuka.”
- Puasa bagi para bujang yang belum mampu menikah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Wahai kaum pemuda! Barang siapa yang telah mampu berkeluarga, maka hendaknya ia menikah, sesungguhnya hal itu lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Sedangkan barang siapa yang belum mampu, hendaknya berpuasa, karena hal itu dapat menjadi pengendali baginya.”
Puasa-puasa yang dimakruhkan
- Puasa hari Arafah bagi orang yang sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Karena Nabi melarang puasa pada hari Arafah bagi orang yang wukuf di Arafah.
- Puasa hari Jumat secara khusus. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sesungguhnya hari Jumat adalah hari raya kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian berpuasa pada hari itu kecuali kalian berpuasa sebelum atau sesudahnya juga.”
- Puasa hari Sabtu secara khusus. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian. Jika salah seorang kalian tidak menemukan apa pun selain kulit anggur atau tangkai pohon, maka hendaklah ia mengunyahnya.”
- Puasa di akhir bulan Sya’ban. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Apabila bulan Sya’ban telah mencapai pertengahannya, maka janganlah kalian berpuasa.”
Catatan:
Hukum makruh menjalankan puasa pada hari-hari yang disebutkan di atas adalah makruh tanzih (belum mencapai derajat haram). Sedangkan makruhnya puasa pada hari-hari yang akan disebutkan selanjutnya adalah makruh tahrim (mendekati haram), yaitu:
- Puasa Wishal, yaitu menyambung puasa dua hari atau lebih berturut-turut tanpa berbuka. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Janganlah kalian melakukan Wishal.”
“Jauhilah puasa Wishal.”
- Puasa pada hari yang meragukan (yaumusysyak), yaitu pada tanggal 30 Sya’ban. Ini berdasarkan hadits:
“Barang siapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka sungguh ia telah durhaka kepada Abu Qasim.”
- Puasa Ad-Dahr (sepanjang tahun), yaitu puasa setahun penuh tanpa berbuka. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada puasa bagi orang yang berpuasa sepanjang tahun.”
“Barang siapa yang berpuasa sepanjang tahun, maka ia tidak berpuasa dan tidak berbuka,”
4, Puasa seorang istri tanpa izin suaminya padahal suaminya tidak bepergian. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“‘Janganlah seorang istri berpuasa satu hari saja padahal suaminya tidak bepergian, kecuali dengan izin suaminya selain puasa pada bulan Ramadhan.”
Puasa-puasa yang diharamkan
- Puasa pada hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Ini berdasarkan perkataan Umar :
“Dua hari ini adalah hari yang dilarang oleh Rasulullah berpuasa, yaitu hari kalian berbuka dari puasa kalian (Idul Fitri) dan hari di mana kalian makan hewan sembelihan kalian (Idul Adha).”
- Puasa pada tiga hari Tasyrik, karena Rasulullah mengutus seseorang untuk mengumumkan di Mina agar mereka tidak berpuasa pada hari-hari ini. Karena hari-hari ini adalah hari-hari makan, minum, dan bersetubuh. Di dalam redaksi lain disebutkan, “Dan hari berzikir kepada Allah.”
- Puasa pada hari-hari ketika sedang haid atau nifas, karena terdapat ijmak dari ulama tentang rusaknya puasa wanita yang haid atau nifas. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Bukankah seorang wanita ketika sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa? Itulah kekurangan seorang wanita dalam agamanya.”
4, Puasa orang sakit yang dikhawatirkan meninggal dunia karena puasa. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)
Kewajiban Puasa Ramadhan dan Keutamaannya
Kewajiban puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, dan ijmak umat. Allah berfirman:
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan pembeda (antara yang benar dan yang batil) Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” (Al-Baqarah: 185)
Rasulullah bersabda:
“Islam didirikan atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji di Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
“Tali-tali Islam dan kaidah agama ada tiga, di atasnya Islam didirikan. Barang siapa meninggalkan salah satu dari ketiganya, maka dengan ini ia telah kafir dan halal darahnya, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, shalat maktubah(fardhu), dan puasa Ramadhan.”
Keutamaan Ramadhan
Bulan Ramadhan memiliki keutamaan-keutamaan yang agung dan keistimewaan-keistimewaan yang banyak yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan selainnya. Hadits-hadits berikut menetapkan dan menguatkan hal ini: Sabda Nabi :
“(Antara) shalat lima waktu, shalat Jumat ke shalat Jumat berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan selanjutnya menghapus dosa-dosa di antara semua itu jika dosa besar dijauhi.”
“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”
“Saya melihat seorang lelaki dari umatku menjulurkan lidahnya karena dahaga. Ketika ia mendatangi telaga, ia ditolak. Kemudian puasa Ramadhan mendatanginya, memberinya minuman dan menyegarkannya.”
‘Jika awal malam Ramadhan tiba, maka setan-setan dan jin-jin yang durhaka dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Sedangkan pintu-pintu surga dibuka, dan tidak satu pintu pun yang ditutup. Lalu ada ada yang berseru, ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan, datanglah! Wahai orang yang ingin kejahatan, tahanlah dirimu!’ Pada setiap malam, Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka.’”
Keutamaan Berbuat Baik di Bulan Ramadhan
Mengenai keutamaan Ramadhan, sungguh semua perbuatan baik dan segala macam kebaikan yang dilakukan di dalamnya akan dilipatgandakan. Di antaranya:
- Sedekah.
Rasulullah bersabda:
“Sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadhan.”
“Barang siapa memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka baginya semisal pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.”
“Barang siapa memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa berupa makanan dan minuman halal, maka para malaikat bershalawat untuknya di waktu-waktu bulan Ramadhan dan Jibril pun bershalawat untuknya ketika lailatul qadar.
Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi adalah orang paling dermawan dalam melakukan kebaikan. Beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya.
- Qiyamul lail.
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”
Dalam riwayat Aisyah menyebutkan bahwa Nabi selalu menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan. Dan ketika di sepuluh hari terakhir, beliau membangunkan keluarganya, semua anak kecil dan orang dewasa yang mampu melaksanakan shalat.
- Membaca Al-Qur’an.
Nabi banyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dan Jibril melakukan tadarus Al-Qur’an bersama Nabi di bulan Ramadhan.
Nabi memanjangkan bacaan Al-Qur’an pada saat melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan lebih panjang daripada di selain bulan Ramadhan. Pada suatu malam, Khudzaifah ikut melakukan shalat bersama Nabi. Beliau membaca surat Al-Baqarah, lalu surat Ali Imran, selanjutnya surat AnNisa’,
Setiap kali beliau melewati suatu ayat yang menakutkan, beliau berhenti sebentar untuk berdoa. Ketika beliau melakukan shalat dua rakaat, tiba-tiba Bilal datang dan memberitahukan kepada beliau tentang shalat, sebagaimana terdapat di dalam hadits shahih. Nabi bersabda:
“Puasa dan Al-Qur’an memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku cegah dia dari makan dan minum di siang hari.’ Al-Quran berkata, ‘Aku cegah dia dari tidur malam. Oleh karena itu, kabulkanlah syafaat kami kepadanya’.”
- I’tikaf.
I’tikaf adalah berdiam di masjid untuk ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Nabi melakukan i’tikaf dan senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat, sebagaimana terdapat di dalam hadits shahih. Nabi bersabda:
“Masjid adalah rumah semua orang yang bertakwa, dan Allah akan menjamin orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya dengan kasih sayang, rahmat dan mampu melewati shirath kepada rida Allah menuju surga.”
- Umrah, yaitu berziarah ke Baitullah Al-Haram untuk melakukan tawaf dan sa’i di bulan Ramadhan. Nabi bersabda:
“Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan melakukan haji bersamaku.”
“Satu umrah ke umrah lainnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.”
Penetapan Bulan Ramadhan
Awal bulan Ramadhan ditetapkan melalui dua hal:
Pertama, dengan sempurnanya bulan sebelumnya, yaitu bulan Sya’ban. Apabila bulan Sya’ban telah sempurna tiga puluh hari, maka hari ketiga puluh satu dapat dipastikan hari pertama bulan Ramadhan.
Kedua, dengan rukyat atau melihat hilal Ramadhan. Apabila hilal bulan Ramadhan terlihat pada malam ketiga puluh Sya’ban, maka bulan Ramadhan telah tiba dan wajib berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, maka berpuasalah.” (Al-Baqarah: 185)
Sabda Nabi:
“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Apabila terjadi mendung, maka sempurnakanlah jumlah bulan tiga puluh hari.”
Menetapkan rukyat hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang atau dua orang adil, karena Rasulullah menerima kesaksian seorang lelaki atas rukyat hilal Ramadhan.‘ Sedangkan rukyat hilal bulan Syawal untuk berbuka harus ditetapkan dengan kesaksian dua orang adil, karena Rasulullah tidak menerima kesaksian seorang lelaki adil untuk berbuka.
Catatan:
Barang siapa melihat hilal Ramadhan, maka ia wajib berpuasa meskipun kesaksiannya tidak diterima. Namun barang siapa melihat hilal bulan Syawal dan kesaksiannya tidak diterima, maka ia tidak boleh berbuka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Puasa ialah pada hari kalian berpuasa, Idul Fitri ialah pada hari kalian berbuka, dan Idul Adha ialah hari kalian berkurban.”
Syarat Puasa, dan Hukum Puasa Bagi Musafir, Orang Sakit, Orang Lanjut Usia, Wanita Hamil dan Menyusui
Syarat puasa
Syarat wajib puasa bagi seorang muslim ialah berakal dan balig. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Pena diangkat (amal perbuatan tidak dicatat) atas tiga orang; orang gila sampai dia sadar, orang tidur sampai dia bangun dan anak kecil sampai dia balig.”
Jika seorang wanita, maka disyaratkan pula dalam keadaan suci dari haid dan nifas. Ini berdasarkan sabda Nabi ketika menjelaskan kurangnya agama wanita:
“Bukankah jika seorang wanita sedang haid, ia tidak shalat dan tidak puasa.”
Musafir
Apabila seorang muslim melakukan perjalanan sejauh jarak yang memperbolehkan qashar, yaitu 48 mil. Syari’ memberikan keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir namun harus menggantinya ketika dia tidak safar. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Apabila pada bulan Ramadhan ia di perjalanan yang tidak memberatkannya lalu ia berpuasa, maka hal ini lebih baik. Namun jika puasa itu memberatkannya, lalu ia tidak berpuasa, maka hal ini lebih baik. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Sa’id Al-Khudri:
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan. Sebagian dari kami ada yang berpuasa dan sebagian lain tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa. Kemudian mereka memandang bahwa orang yang merasa kuat, lalu ia berpuasa, maka itulah yang baik. Dan mereka memandang bahwa orang yang merasa tidak mampu, lalu ia tidak berpuasa, maka itulah yang baik.”
Orang sakit
Apabila seorang muslim sedang sakit maka perlu ditinjau beberapa hal, jika ia masih mampu berpuasa tanpa merasakan keberatan, maka ia tetap berpuasa. Namun apabila ia tidak mampu berpuasa, maka ia tidak wajib berpuasa.
Jika ia masih ada harapan sembuh dari sakitnya, maka ia menunggu sampai sembuh lalu mengganti hari-hari puasa yang ia tinggalkan. Namun jika sakitnya tidak ada harapan untuk sembuh, maka ia tidak perlu berpuasa tetapi mengganti puasanya setiap hari dengan sedekah satu mud makanan, yaitu seukuran gandum sepenuh dua telapak tangan orang dewasa. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah : 184).
Orang yang telah lanjut usia
Apabila seorang muslim laki-laki maupun wanita telah mencapai usia lanjut dan tidak mampu berpuasa, maka ia tidak perlu berpuasa, tetapi ja harus mengganti puasanya setiap hari dengan bersedekah satu mud makanan. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas
“Orang yang telah lanjut usia diberi keringanan memberi makan orang miskin satu mud untuk setiap hari dan tidak ada kewajiban mengganti puasa baginya.”
lbu hamil dan menyusui
Apabila seorang muslimah sedang hamil dan ia mengkhawatirkan dirinya atau janin yang ada di dalam kandungannya, maka ia boleh berbuka. Ketika alasan ini sudah tidak ada, maka dia mengganti puasa yang telah ditinggalkannya. Apabila ia orang yang kaya, selain ia harus berpuasa ia juga harus bersedekah satu mud gandum setiap harinya. Maka, hal ini lebih sempurna baginya dan lebih besar pahalanya.
Demikian pula ketentuan hukum bagi ibu menyusui ketika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, dan ia tidak menemukan orang lain untuk menyusui anaknya atau anaknya tidak mau menyusu kepada orang lain. Ketentuan hukum ini diambil dari firman Allah :
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah: 184)
Karena pengertian dari ‘berat menjalankannya’ adalah mampu melakukannya dengan berat sekali. Maka, jika mereka tidak berpuasa, maka mereka menggantikannya di lain hari atau memberi makan orang miskin.
Catatan:
- Barang siapa lalai dalam menggantikan puasa Ramadhan tanpa ada uzur sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia wajib memberi makan orang miskin setiap hari sebagai ganti puasanya.
- Apabila ada seorang muslim meninggal dunia dan ia mempunyai hutang puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa meninggal dunia dan masih mempunyai hutang puasa, maka walinya yang berpuasa atas namanya.”
Dan sabda Nabi kepada seorang sahabat yang bertanya:
“Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia dan ia mempunyai hutang puasa, apakah saya boleh menggantikan puasa atas nama ibu saya?” Nabi menjawab, “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.”
Rukun-rukun Puasa,
Hal-hal yang Disunahkan dalam Puasa dan Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Puasa
Rukun Puasa
- Niat, yaitu kemantapan hati untuk melakukan puasa dalam rangka melaksanakan perintah Allah atau mendekatkan dirinya kepada-Nya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya.”
Apabila yang dilakukan puasa wajib, maka niat harus dilakukan di malam hari sebelum fajar. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
Apabila yang dilakukan puasa sunah, maka sah berniat meskipun setelah fajar bahkan di siang hari dengan syarat ia belum makan sesuatu pun. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah:
“Pada suatu hari Rasulullah datang menemuiku, lalu beliau bertanya, ‘Apakah engkau memiliki sesuatu?’ Saya menjawab, “Tidak ada.” Beliau bersabda, ‘Kalau begitu saya puasa hari ini’ .”
- Imsak, yaitu menahan diri dari Hal-hal yang membatalkan puasa, meliputi makan, minum, dan bersetubuh.
- Waktu. Maksudnya, siang hari, yaitu sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Jika seseorang berpuasa pada malam hari dan berbuka di siang hari, maka puasanya tidak sah selamanya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Hal-hal Yang Disunahkan Dalam Puasa
- Menyegerakan berbuka, yaitu berbuka ketika telah nyata-nyata matahari terbenam. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka selalu menyegerakan berbuka puasa.”
Anas berkata:
“Nabi tidak melakukan shalat Maghrib sebelum berbuka meskipun hanya seteguk air.”
- Berbuka dengan kurma basah, kurma kering, atau air. Yang paling utama dari ketiganya ialah kurma basah. Sedangkan yang terakhir yang paling rendah, yaitu air. Disunahkan juga berbuka dengan jumlah yang ganjil, yaitu tiga, lima, atau tujuh. Hal ini berdasarkan perkataan Anas :
“Rasulullah berbuka dengan beberapa kurma basah sebelum melakukan shalat. Jika tidak ada kurma basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada, maka beliau minum beberapa teguk air.”
- Berdoa Ketika berbuka. Rasulullah ketika berbuka membaca doa berikut:
“Ya Allah, hanya untuk-Mu kami berpuasa, dengan rezeki-Mu kami berbuka puasa. Oleh karena itu, terimalah dari kami. Sungguh, Engkau Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ibnu Umar membaca doa berikut:
“Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu berkat rahmat-Mu yang dapat mencakup segala sesuatu agar Engkau mengampuni dosa-dosaku.”
- Makan sahur, yaitu makan dan minum di waktu sahur di penghujung malam dengan niat puasa. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab ialah makan sahur.”
“Lakukanlah sahur, karena pada makan sahur terdapat keberkahan,”
- Mengakhirkan makan sahur sampai di bagian akhir malam. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur.”
Waktu sahur dimulai sejak tengah malam dan berakhir pada beberapa menit sebelum terbit fajar. Ini berdasarkan perkataan Zaid bin Tsabit
“Kami makan sahur bersama Rasulullah. Beliau kemudian beliau melakukan shalat. Saya bertanya, “Berapa lama waktu antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Kurang lebih lima puluh ayat.”
Catatan:
Barang siapa merasa ragu terbit fajar, maka ia boleh makan dan minum hingga dia yakin telah terbit fajar, kemudian ia menahan diri (dari makan sahur). Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas am, ia berkata, “Saya pernah makan sahur. Ketika saya ragu-ragu, maka saya menahan diri.” Kemudian Ibnu Abbas menjawab, “Makanlah ketika engkau ragu-ragu hingga engkau tidak ragu-ragu lagi.”
Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Puasa
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan Hal-hal yang dapat mengakibatkan puasanya menjadi rusak. Hal-hal itu meskipun tidak merusak puasa itu sendiri, di antaranya adalah:
- Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) ketika berwudhu. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali ketika engkau berpuasa.”
Nabi memakruhkan berlebihan dalam istinsyaq karena khawatir ada sebagian air yang sampai ke dalam tenggorokan, sehingga puasanya batal.
- Berciuman, karena dapat membangkitkan syahwat yang dapat mengakibatkan batalnya puasa karena keluar madzi atau bersetubuh yang mewajibkan kafarat.
- Memandangi istri dengan syahwat.
- Membayangkan aktivitas jima’.
- Menyentuh istri dengan tangan atau bersentuhan dengan kulit tubuh.
- Mengunyah permen karet karena khawatir ada sebagian darinya yang terserap ke dalam kerongkongan.
- Mencicipi makanan.
- Berkumur bukan karena wudhu atau keperluan lain yang mengharuskannya untuk berkumur.
- Bercelak di awal siang. Tidak mengapa jika dilakukan di akhir siang.
- Bekam, karena dikhawatirkan menjadikan lemas yang berakibat pada membatalkan puasa. Hal ini dapat membahayakan puasa.
Hal-hal yang Membatalkan Puasa, Hal-hal yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa, dan Hal-hal yang Ditoleransi Bagi Orang yang Berpuasa
Hal-hal yang membatalkan puasa
- Masuknya cairan ke dalam perut melalui hidung, seperti obat yang dimasukkan lewat hidung, atau melalui mata seperti obat tetes mata, atau melalui dubur atau qubul wanita seperti suntikan.
- Masuknya air ke dalam perut akibat berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq ketika berwudhu dan lainnya.
- Keluarnya air mani akibat selalu memandang wanita atau mengkhayalkannya, berciuman, atau bersentuhan.
- Muntah dengan sengaja. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha’ puasanya .”
Sedangkan orang yang tidak dapat menahan muntah, lalu ia muntah tanpa ia sengaja, maka puasanya tidak batal.
- Makan, minum, dan bersetubuh meskipun dipaksa untuk melakukannya.
- Orang yang makan dan minum karena mengira masih malam, dan ternyata telah terbit fajar.
- Orang yang makan dan minum karena mengira telah malam dan ternyata masing siang.
- Orang yang makan dan minum karena lupa, lalu ia tetap melanjutkan makan dan minum karena mengira bahwa ia tidak wajib puasa, karena ia telah makan dan minum sehingga ia meneruskan berbuka sampai malam.
- Masuknya benda ke dalam perut melalui mulut meskipun bukan berupa makanan atau minuman, seperti menelan permata atau benang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas, ia berkata:
“Puasa itu karena sesuatu yang masuk bukan karena sesuatu yang keluar.”
Maksud pernyataan ini ialah bahwa puasa dapat menjadi batal karena ada sesuatu yang masuk ke dalam perut bukan karena sesuatu yang keluar, seperti darah dan muntah.
- Membatalkan niat puasa meskipun ia tidak makan dan tidak minum, jika dengan niat tersebut diartikan sebagai berbuka. Namun jika tidak demikian, maka tidak batal.
- Murtad dari agama Islam, lalu ia kembali masuk Islam lagi. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Sungguh, jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan terhapus amal-amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (Az-Zumar: 65)
Semua perbuatan ini membatalkan puasa dan mewajibkan menggantikan puasa yang batal. Hanya saja tidak ada kewajiban kafarat padanya, karena tidak ada kewajiban kafarah kecuali pada dua hal berikut:
12, Bersetubuh dengan sengaja tanpa paksaan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah:
“Seorang laki-laki datang menghadap Nabi dan berkata, ‘Saya telah binasa, wahai Rasulullah!’ Beliau bersabda, ‘Apa yang membuatmu binasa?’ Dia menjawab, ‘Saya telah bersetubuh dengan istri saya di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk kamu merdekakan?’ la menjawab, ‘Tidak punya.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ la menjawab, ‘Tidak mampu.’ Nabi bertanya lagi, Apakah kamu mempunyai makanan untuk kamu memberikan kepada enam puluh orang miskin?’ Ila menjawab, ‘Tidak punya.’ Kemudian beliau duduk. Tiba-tiba datang seseorang dengan membawa keranjang berisi kurma dan ia berikan kepada Nabi. Lantas beliau bersabda, ‘Ambillah kurma ini dan sedekahkanlah.’la berkata, ‘Apakah saya sedekahkan kepada seseorang yang lebih fakir dari saya? Demi Allah, tidak ada penghuni rumah yang ada di antara dua bukit ini yang lebih membutuhkan akan kurma ini daripada saya.’ Lantas Nabi tersenyum sampai gigi-gigi geraham beliau terlihat, lalu beliau bersabda, ‘Pergilah! Berilah makan keluargamu dengan kurma ini’.”
- Makan atau minum tanpa ada uzur yang membolehkan.
Pendapat ini menurut Abu Hanifah dan Malik. Dalil mereka adalah ketika ada seorang laki-laki yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu Nabi memerintahkan agar membayar kafarat.
Serta hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah:
“Seorang laki-laki datang menghadap Nabi, lalu ia berkata, ‘Saya pernah tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan dengan sengaja.’ Lantas Nabi bersabda, ‘Merdekakanlah budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau berilah makan enam puluh orang miskin’,”
Hal-hal yang boleh dilakukan orang yang berpuasa
Ada beberapa hal yang diperbolehkan bagi orang yang berpuasa, yaitu:
- Bersiwak sepanjang hari, kecuali pendapat Imam Ahmad yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir.
- Mendinginkan badan dengan air karena kepanasan, baik dengan cara menuangkan air ke badannya atau dengan merendamkan badannya ke dalam air.
- Makan, minum, dan bersetubuh di malam hari sampai terbit fajar.
- Bepergian untuk keperluan yang mubah meskipun ia yakin bahwa kepergiannya mengakibatkannya dia tidak berpuasa.
- Berobat dengan segala obat yang halal, dengan syarat tidak ada obat sedikit pun yang masuk ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini menggunakan suntikan jarum selagi bukan suntik infus.
- Mengunyah makanan untuk anak kecil dan tidak ada orang lain yang mengunyahkan makanannya, dengan syarat tidak ada sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perut orang yang mengunyahkan makanan tersebut.
- Memakai parfum dan wewangian. Hal ini lantaran tidak ada larangan dari syari mengenai semua ini.
Hal-hal yang ditoleransi bagi orang yang berpuasa
- Menelan ludah meskipun banyak. Maksudnya adalah ludahnya sendiri, bukan ludah orang lain.
- Muntah yang tidak disengaja, dengan syarat tidak ada sebagian muntahan yang kembali lagi ke dalam perut setelah muntahan sampai ke ujung lisannya.
- Menelan lalat tanpa sengaja.
- Masuknya debu jalan dan asap pabrik, asap kayu bakar ataupun asap-asap lainnya yang tidak dapat dihindari.
- Dalam keadaan masih junub di pagi hari, meskipun berlalu sampai siang ; dia masih dalam keadaan junub.
- Mimpi basah. Tidak ada konsekuensi apa pun atas orang yang bermimpi basah dalam keadaan puasa. Hal ini berdasarkan hadits: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga hal, yaitu orang gila sampai sembuh, orang tidur sampai terbangun, dan anak kecil hingga telah balig.”
- Makan atau minum karena tidak sengaja atau lupa. Hanya saja Imam Malik berpendapat bahwa ia wajib mengganti puasa jika pada waktu puasa fardhu sebagaimand kehati-hatian beliau. Sedangkan puasa sunah dapat dipastikan tidak ada kewajiban menggantikannya. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa lupa ketika sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.”
“Barang siapa berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengganti puasa dan kafarat atasnya.”
Penjelasan Kafarat dan Hikmahnya
Kafarat
Kafarat ialah suatu upaya untuk menghapus dosa karena melanggar aturan Pembuat syariat. Barang siapa melanggar aturan Allah, misalnya ia bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan, atau makan atau minum dengan sengaja, maka ia wajib membayar kafarat atas kesalahan ini dengan melakukan salah satu dari tiga hal, yaitu memerdekakan budak yang beriman, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Masing-masing orang miskin satu mud gandum, jewawut, atau kurma menurut kadar kemampuannya.
Ketentuan ini berdasarkan hadits tentang lelaki yang bersetubuh dengan istrinya, lalu ia meminta fatwa kepada Rasulullah. Ketentuan kafarat ini setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Jadi, barang siapa bersetubuh di suatu hari, dan ia makan atau minum pada hari yang lain, maka ia mempunyai kewajiban kafarah yang berlipat.
Hikmah Kafarat
Adapun hikmah adanya kafarat ialah melindungi syariat agar tidak dipermainkan dan dicabik-cabik kehormatannya. Kafarat juga dapat membersihkan jiwa seorang muslim dari dosa-dosa kesalahan yang dilakukan tanpa uzur.
Dengan demikian, semestinya kafarat dilakukan sesuai aturan yang telah disyariatkan, baik kuantitas maupun tata caranya sehingga dapat tercapai tujuan kafarat, yaitu menghapuskan dosa serta menghilangkan pengaruh maksiat dari jiwanya. Dasar kafarat ialah firman Allah:
“Perbuatan-perbuatan yang baik itu dapat menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Huud: 114)
Sabda Rasulullah:
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, maka perbuatan baik tersebut akan menghapusnya, dan bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.”
Hukum Haji dan Umrah Serta Hikmah Keduanya
Hukum Haji dan Umrah
Haji merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada setiap muslim dan muslimah yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana.” (Ali Imran: 97)
Sabda Rasulullah:
“Islam didirikan atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji di Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“(Kewajiban) haji adalah sekali. Barang siapa melakukan lebih dari sekali, maka hukumnya sunah.”
Hanya saja disunahkan mengulanginya lagi setiap lima tahun. Ini berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan dalam hadits qudsi:
“Sesungguhnya seorang hamba yang saya beri kesehatan badannya dan saya beri keluasan penghidupannya dan telah berlalu lima tahun, tetapi ia tidak datang kepada-Ku, sungguh dia adalah orang yang terhalang dari kebaikan.”
Sedangkan umrah merupakan sunah yang diwajibkan. Ini berdasarkan firman Allah
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al-Baqarah: 196)
Sabda Nabi kepada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya ayah saya telah lanjut usia dan tidak mampu melaksanakan haji dan umrah serta melakukan perjalanan?”
“Lakukanlah haji dan umrah atas nama ayahmu.”
Hikmah Haji dan Umrah Di antara hikmah haji dan umrah ialah membersihkan jiwa dari pengaruh dosa dan maksiat agar menjadi seseorang yang mempunyai kemuliaan disisi Allah kelak di akhirat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa melakukan ibadah haji, sedangkan ia tidak berkata keji dan berbuat kefasikan, maka diampuni dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”
Syarat Wajib Haji Syarat wajib haji dan umrah atas seorang muslim adalah beberapa hal sebagai berikut:
- Islam. Jadi, selain orang muslim tidak dituntut melakukan ibadah haji dan umrah serta ibadah-ibadah selain keduanya, karena keimanan merupakan syarat sah dan diterimanya suatu amal perbuatan.
- Berakal sehat, karena tidak ada taklif (pembebanan) bagi orang-orang gila.
- Balig, karena tidak ada taklif bagi anak kecil yang belum balig. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga orang, yaitu orang gila sampai sembuh, orang tidur sampai terbangun, dan anak kecil hingga telah balig.”
- Memiliki kemampuan, baik bekal dan perjalanan. Ini berdasarkan firman Allah :
“Bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Ali Imran: 97)
Jadi, orang fakir yang tidak mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri ketika melaksanakan ibadah haji dan untuk menafkahi keluarganya jika ia mempunyai keluarga yang ditinggal di rumah, maka dia tidak wajib melakukan ibadah haji dan umrah.
Demikian pula orang yang memiliki harta untuk membiayai dirinya dan keluarganya, tetapi ia tidak menemukan kendaraan untuk ia kendarai dan ia tidak mampu berjalan kaki atau ia menemukan kendaraan tetapi jalan yang dilalui tidak aman, yaitu khawatir akan keselamatan jiwanya atau hartanya, maka dia tidak wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah karena ketidakmampuannya.
Motivasi Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah Serta Ancaman Meninggalkan Keduanya
Pembuat syariat telah memotivasi dan menghimbau untuk melakukan kedua ibadah agung ini. Pembuat syariat menyeru untuk melakukannya dengan beragam gaya bahasa serta uraian yang berbeda-beda. Di antaranya adalah sabda Nabi :
“Amal perbuatan yang paling utama ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu jihad di jalan Allah, kemudian haji mabrur.”
“Barang siapa memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah, tetapi ia tidak menunaikan ibadah haji, maka aku tidak peduli jika ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.”
Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (Ali Imran: 97)
Umar a berkata:
“Sungguh, saya berkeinginan mengutus beberapa orang ke beberapa kota ini, agar mereka memantau semua orang yang mempunyai kekayaan, tetapi tidak menunaikan ibadah haji. Maka, orang-orang yang tidak melaksanakan ibadah haji ini dikenakan pajak. Mereka itu bukanlah kaum muslimin, mereka itu bukanlah kaum muslimin.”
Ihram; Rukun Pertama Haji dan Umrah
Haji dan umrah memiliki rukun yang berbeda. Adapun haji mempunyai empat rukun, yaitu: ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah. Apabila ada salah satu rukun dari keempatnya yang tidak dilakukan, maka hajinya batal.
Sedangkan umrah hanya mempunyai tiga rukun, yaitu: ihram, tawaf dan sa’i. Umrah tidak akan sempurna tanpa melakukan semua ini.
Uraian rukun-rukun ini secara rinci ialah sebagai berikut:
Rukun pertama haji dan umrah ialah ihram, yaitu berniat untuk memulai salah satu dari haji dan umrah bersamaan dengan melepas pakaian berjahit dan membaca talbiyah. Ihram mempunyai beberapa kewajiban, sunah-sunah, dan larangan sebagai berikut:
Kewajiban dalam ihram
Yang dimaksud dengan kewajiban ialah perbuatan yang jika salah satu dari kewajiban tersebut ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya wajib membayar dam atau puasa sepuluh hari, jika ia tidak mampu membayar dam.
Kewajiban ihram ada tiga, yaitu:
- Ihram dari miqat, yaitu tempat yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat untuk melakukan ihram. Maksudnya, tidak boleh melewati batas ini tanpa melakukan ihram bagi orang yang hendak melakukan ibadah haji atau umrah. Ibnu Abbas berkata:
“Rasulullah menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Najed di Qarnul Manazil, penduduk Yaman di Yalamlam.” Beliau menjelaskan, “Tempat-tempat itu adalah buat mereka dan orang-orang yang datang dari arah mereka dari negara lain yang ingin menunaikan haji atau umrah. Sedangkan orang yang daerahnya lebih dekat dari daerah-daerah tersebut, maka tempat ihramnya dari daerahnya sendiri. Demikian juga penduduk Mekah membaca talbiyah (untuk melakukan ihram) dari Mekah.”
- Menanggalkan pakaian yang berjahit. Jadi, orang yang berihram tidak boleh memakai pakaian, gamis, mantel, dan tidak boleh memakai sorban atau menutup kepalanya dengan apa pun. Sebagaimana pula tidak boleh memakai khuf dan sepatu. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Orang yang berihram tidak boleh mengenakan baju, sorban, celana, mantel, dan khuf kecuali seseorang yang tidak memiliki sepasang sandal, maka dia boleh mengenakan sepasang khuf, tatapi hendaklah ia memotong keduanya di bawah mata kaki.”
Demikian pula tidak diperbolehkan memakai pakaian yang diberi parfum atau wewangian. Untuk wanita tidak diperbolehkan menutup muka dan memakai sarung tangan. Ini berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari yang melarang hal ini.
- Talbiyah, yaitu mengucapkan:
“Saya memenuhi panggilan-Mu ya Allah, saya memenuhi panggilan-Mu, saya memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, saya memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Orang yang berihram membaca talbiyah ketika memulai ihram, yaitu ketika di Miqat sebelum melewatinya. Disunahkan mengulanginya dan membacanya dengan mengeraskan suara serta selalu membacanya di setiap kesempatan, baik ketika singgah, naik kendaraan, hendak melaksanakan shalat, selesai shalat, atau bertemu rombongan.
Sunah-sunah dalam ihram
Yang dimaksud dengan sunah-sunah ihram adalah perbuatan yang jika ditinggalkan oleh orang yang berihram, maka ia tidak wajib membayar dam.
Akan tetapi, ia kehilangan pahala yang besar. Sunah-sunah ihram ialah:
- Mandi untuk ihram, meskipun bagi wanita yang sedang nifas atau haid, karena istri Abu Bakar a pernah melahirkan padahal ia sedang berniat haji, lalu Rasulullah memerintahkannya untuk mandi.
- Berihram dengan selendang dan kain putih bersih, karena Nabi melakukan hal ini.
- Berihram setelah melakukan shalat sunah atau shalat fardhu.
- Memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, karena Nabi melakukan hal ini.
- Mengulang-ulang dan membaca talbiyah setiap kali mengalami kondisi baru, misalnya naik kendaraan, turun, atau shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa bertalbiyah sampai matahari terbit, maka ia memasuki waktu sore dalam keadaan diampuni dosanya.”
- Berdoa dan membaca shalawat kepada Nabi setelah talbiyah, karena Rasulullah ketika selesai bertalbiyah, beliau memohon surga kepada Tuhannya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka.
Larangan-larangan dalam ihram
Yang dimaksud Larangan ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang dan jika dilakukan oleh orang yang ihram, maka ia wajib membayar fidyah berupa dam, atau puasa, atau memberi makan. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah:
- Menutup kepala dengan segala penutup.
- Mencukur rambut atau memotongnya meskipun sedikit, baik rambut kepala maupun rambut lainnya.
- Memotong kuku, baik kuku tangan atau kaki.
- Memakai parfum.
- Memakai pakaian yang berjahit.
- Membunuh hewan buruan darat. Ini berdasarkan firman Allah
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah)” (Al Maidah: 95)
- Melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan seks, berupa mencium dan sebagainya. Berdasarkan firman Allah
“Maka janganlah dia berbuat rafats, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 197)
Yang dimaksud dengan rafats ialah Hal-hal yang menjurus pada jimak dan segala hal yang mendorong untuk melakukannya.
- Melamar atau menikah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Orang yang berihram tidak boleh menikah, menikahkan, atau melamar.”
- Bersetubuh. Ini berdasarkan firman Allah :
“Maka janganlah dia berbuat rafats, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (Al-Baqarah [2] : 197)
Rafats mencakup bersetubuh dan segala perbuatan yang mengarah padanya.
Ketentuan Hukum Tentang larangan-larangan Ini
Adapun ketentuan hukuman dalam larangan ini adalah:
Barang siapa melakukan salah satu dari lima yang pertama larangan-larangan tersebut, maka ia wajib membayar fidyah, yaitu puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, masing-masing dari mereka mendapat 1 mud gandum, atau menyembelih kambing. Hal ini berdasarkan firman Allah
‘Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban.” (Al-Baqarah: 196)
Adapun orang yang membunuh binatang buruan, maka ia harus menggantinya dengan hewan ternak yang sepadan dengan hewan buruan yang ia bunuh. Ini berdasarkan firman Allah
“Maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya.” (Al-Ma’idah: 95)
Sedangkan orang yang melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan seks, maka ia wajib membayar dam, yaitu menyembelih kambing. Adapun orang yang bersetubuh, maka hal ini dapat merusak hajinya. Hanya saja ia tetap wajib melanjutkan hajinya hingga sempurna dan ia wajib menyembelih onta. Apabila ia tidak menemukan, maka berpuasa sepuluh hari dan wajib mengulangi hajinya pada tahun berikutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwattha’ bahwa Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Hurairah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang melakukan hubungan suami istri padahal ia sedang melakukan ihram haji? Maka mereka menjawab, “Keduanya tetap melanjutkan sampai menyelesaikan hajinya, kemudian keduanya wajib melakukan haji di tahun berikutnya dan menyembelih onta.
Sedangkan akad nikah, melamar, dan dosa-dosa lainnya, semisal menggunjing dan mengadu domba serta segala perbuatan yang masuk perbuatan fasik, maka wajib bertobat dan istighfar, karena tidak ada keterangan dari Pembuat syariat yang menetapkan kafarat untuk hal ini selain tobat dan istighfar.
Rukun Kedua; Tawaf
Tawaf adalah berputar mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali.
Tawaf memiliki beberapa syarat, sunah-sunah tawaf, dan Adab-adab yang terkait dengan tawaf.
Syarat-syarat tawaf, yaitu:
- Berniat ketika mulai melakukan tawaf, karena semua amal perbuatan disertai niat, maka bagi orang yang bertawaf harus berniat tawaf, yaitu ketetapan hati untuk melakukan tawaf dalam rangka beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya.
- Suci dari najis dan hadats. Ini berdasarkan hadits:
“Tawaf di sekitar Baitullah seperti shalat.”
- Menutup aurat, karena tawaf sama seperti shalat. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tawaf di sekitar Baitullah seperti shalat. Hanya saja kalian dapat berbicara di dalamnya. Barang siapa berbicara, maka hendaknya dia berbicara yang baik.”
Dengan demikian, barang siapa bertawaf tanpa niat, atau bertawaf dalam keadaan hadats, atau membawa kotoran najis, atau bertawaf sambil membuka aurat, maka tawafnya tidak sah dan ia wajib mengulanginya.
- Tawaf dengan mengelilingi Baitullah di dalam masjid, meskipun jauh dari Baitullah.
- Baitullah di sebelah kiri orang yang bertawaf.
- Tawaf dilakukan tujuh kali putaran, dengan memulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad, karena Rasulullah melakukan hal ini, sebagaimana terdapat di dalam hadits shahih.
- Dilakukan secara bersambung antara satu putaran dengan putaran lainnya. Maka tidak boleh ada jeda antara tiap putaran tanpa ada darurat. Jika antara tiap putaran ada jeda dan tidak dilakukan secara bersambung dan bukan karena darurat, maka tawafnya batal dan ia wajib mengulanginya.
Sunah-sunah Tawaf
- Lari-lari kecil. Sunah ini merupakan sunah bagi kaum laki-laki yang mampu, bukan untuk kaum wanita. Maksud lari-lari kecil ialah orang yang bertawaf berjalan dengan cepat dengan merapatkan langkahnya. Lari-lari kecil ini hanya disunahkan dalam tawaf Qudum pada tiga putaran pertama Saja.
- Idhthiba’, yaitu membuka ketiak bagian kanan. Hal ini hanya disunahkan pada tawaf Qudum dan khusus bagi laki-laki, bukan untuk kaum wanita dan dilakukan pada ketujuh putaran.
- Mencium hajar aswad ketika memulai tawaf jika memungkinkan. Jika tidak, maka cukup dengan menyentuhnya dengan tangan atau hanya dengan berisyarat ketika tidak dapat melakukan hal tersebut. Hal ini lantaran Rasulullah melakukannya.
- Membaca zikir berikut:
“Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha besar. Ya Allah, karena iman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, serta mengikuti sunah Nabi-Mu, Muhammad.”
5, Berdoa pada saat melakukan tawaf. Doa ini tidak terbatas dan tidak tertentu. Bahkan, semua orang yang bertawaf dapat berdoa apa saja yang ditunjukkan oleh Allah kepadanya. Hanya saja, di setiap akhir putaran disunahkan membaca doa:
“Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka.”
- Mengusap rukun Yamani dengan tangan dan mencium Hajar Aswad setiap melewatinya ketika tawaf, karena Rasulullah melakukan hal ini.
- Berdoa di Multazam ketika selesai tawaf. Multazam adalah tempat antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad, karena Ibnu Abbas melakukan hal ini.
- Shalat dua rakaat setelah selesai tawaf di belakang Maqam Ibrahim. Dalam shalat dua rakaat ini membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas setelah membaca surat Al-Fatihah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan Jadikanlah Maqam Ibrahim itu tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125)
- Minum air zamzam dan memenuhi air zamzam setelah selesai shalat dua rakaat.
- Mengusap Hajar Aswad sebelum pergi ke tempat sa’i.
Catatan:
Dasar amalan semua ini ialah perbuatan Rasulullah yang dijelaskan di dalam haji Wada’.
Adab-adab Tawaf
- Tawaf dilakukan dengan khusyuk, menghadirkan hati, merasakan keagungan Allah, merasa takut kepada Allah, dan semangat untuk mendapatkan pahala yang ada di sisi-Nya.
- Hendaknya orang yang bertawaf tidak berbicara kecuali karena darurat, Jika ia berkata, hendaknya hanya berkata yang baik-baik.
- Tidak mengganggu seorang pun dengan ucapan atau perkataan, karena mengganggu seorang muslim itu diharamkan, terutama di Baitullah.
- Memperbanyak zikir, doa, dan shalawat kepada Nabi
Rukun ketiga; Sa’i
Sa’i ialah berjalan antara Shafa dan Marwah bolak-balik dengan niat ibadah, yaitu rukun haji dan umrah. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Sabda Nabi
“Lakukanlah sa’i, karena sesungguhnya Allah mewajibkan kalian melakukan sa’i.”
Sa’i mempunyai syarat-syarat, sunah-sunah, dan adab.
Syarat-syarat sa’i
- Niat. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niatniatnya.” Maka, harus ada niat melakukan ibadah sa’i karena taat kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya.
- Antara sa’i dan tawaf dilakukan secara berurutan, dengan mendahulukan tawaf daripada sa’i.
- Dilakukan secara bersambung antara beberapa putaran. Hanya saja jeda sedikit tidak mengapa, terutama jika dalam kondisi darurat.
4, Menyempurnakan hitungan tujuh kali putaran. Jadi, apabila kurang satu putaran atau setengah putaran, maka hal ini tidak mencukupi, karena yang dihitung adalah dengan menyempurnakan putaran.
- Melakukan sa’i setelah tawafnya sah, baik tawaf wajib atau tawaf sunah. Hanya saja yang lebih utama dilakukan setelah tawaf wajib, seperti tawaf qudum atau tawaf rukun seperti tawaf ifadhah.
Sunah-sunah sa’i
- Berjalan cepat antara dua batas hijau yang dibuat di samping dua lembah lama di mana Hajar, ibunda Ismail berlari-lari kecil. Hal ini disunahkan bagi kaum lelaki yang mampu, bukan untuk orang-orang yang lemah dan kaum wanita.
- Berhenti di bukit Shafa dan Marwah untuk berdoa di atas dua bukit itu.
- Berdoa di atas bukit Shafa dan Marwah pada setiap putaran dari tujuh putaran.
- Membaca ‘Allahu Akbar’ tiga kali pada saat naik bukit Shafa dan Marwah pada setiap putaran. Demikian pula membaca:
“Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, Allah telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengusir golongan sekutu (yang memerangi Nabi) sendirian.”
- Antara sa’i dan tawaf dilakukan secara bersambung, tidak ada jeda antara keduanya tanpa ada uzur syar’i.
Adab-adab sa’i
- Keluar untuk melakukan sa’i dari pintu Shafa seraya membaca firman Allah
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 158)
- Orang yang melakukan sa’i dalam keadaan suci.
- Melakukan sa’i dengan berjalan jika mampu melakukannya tanpa kesusahan.
- Memperbanyak zikir dan doa serta menyibukkan diri hanya dengan doa dan zikir.
- Menundukkan pandangan mata dari Hal-hal yang diharamkan serta menjaga mulutnya dari dosa-dosa.
- Tidak mengganggu orang-orang yang melakukan sa’i atau orang lain yang lewat dengan gangguan apa pun, baik berupa ucapan atau perbuatan.
- Menghadirkan hati bahwa dirinya hina, fakir, dan butuh kepada Allah untuk memberi hidayah pada hatinya, membersihkan jiwanya, dan memperbaiki tingkah lakunya.
Rukun Keempat; Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah merupakan rukun keempat dari rukun-rukun haji. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Haji adalah Arafah.”
Wukuf ialah mendatangi sebuah tempat yang bernama Arafah, baik sebentar maupun lebih lama dengan niat wukuf, dimulai setelah Zhuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Wukuf mempunyai kewajiban, sunah-sunah, dan adab yang menyempurnakannya.
Kewajiban-kewajiban wukuf
- Datang di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah setelah tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari.
- Menginap di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah.
- Melempar jamrah Aqabah pada hari Nahr (hari Idul Adha).
- Mencukur atau memotong rambut setelah melempar jamrah Aqabah pada hari Nahr.
- Menginap di Mina selama tiga malam, yaitu malam 11, 12, dan 13 Dzulhijjah atau hanya dua malam bagi orang yang tergesa-gesa, yaitu pada malam 11 dan 12 Dzulhijjah.
- Melempar tiga jamrah setelah tergelincirnya matahari setiap hari pada tiga atau dua hari Tasyriq.
Catatan:
Dalil-dalil mengenai semua kewajiban-kewajiban ini ialah perbuatan Nabi dan beliau pernah bersabda:
“Ambillah cara ibadah haji kalian dariku.”
“Berhajilah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan ibadah haji.”
“Berdiamlah ditempat-tempat syiar haji kalian, karena sesungguhnya kalian mewarisi dari ayah kalian, Nabi Ibrahim.”
Sunah-sunah wukuf
- Berangkat ke Mina pada hari Tarwiyah, yaitu tanggal 8 Dzulhijjah dan menginap di sana pada malam 9 Dzulhijjah dan baru keluar dari Mina setelah tergelincirnya matahari untuk melaksanakan shalat lima waktu.
- Berada di Namirah setelah tergelincirnya matahari serta melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan mengqashar dan menjamak keduanya bersama imam.
- Mendatangi tempat wukuf, yaitu Arafah setelah melakukan shalat Zhuhur dan Ashar bersama imam serta senantiasa berzikir dan berdoa di tempat wukuf sampai matahari terbenam.
- Mengakhirkan shalat Maghrib hingga ia sampai di Muzdalifah, lalu melakukan shalat Maghrib dan Isya’ dengan jamak ta’khir.
- Berdiri seraya menghadap kiblat sambil berzikir dan berdoa di Masy’aril Haram, gunung Quzah sampai matahari bersinar terang.
- Melakukan secara urut antara melempar jamrah aqabah, menyembelih hewan kurban, mencukur rambut, dan tawaf ifadhah.
- Melakukan tawaf ifadhah pada hari Idul Adha sebelum terbenamnya matahari.
Adab-adab wukuf
- Meninggalkan Mina pada pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah ke Namirah melalui Dhabb, karena Nabi melakukan hal tersebut.
- Mandi setelah tergelincirnya matahari untuk melakukan wukuf di Arafah. Hal ini disyariatkan, bahkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas.
- Melakukan wukuf di tempat berdiam Rasulullah di sisi batu besar yang dibentangkan di bagian bawah Jabal Rahmah yang berada di tengah-tengah Arafah.
- Memperbanyak zikir dan doa seraya menghadap kiblat di tempat wukuf sampai matahari terbenam.
- Meninggalkan Arafah melalui Ma’zamin, bukan melewati Dhabb, jalan yang dilewati ketika datang, karena di antara sunah Rasulullah ialah datang melalui suatu jalan dan pulang melalui jalan yang berbeda.
- Tenang pada saat berjalan dan tidak tergesa-gesa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“‘Wahai manusia! Tetaplah dalam keadaan tenang, karena sesungguhnya kebaikan tidaklah dengan tergesa-gesa.”
- Memperbanyak membaca talbiyah saat perjalanan ke Mina, Arafah, Muzdalifah, dan Mina hingga mulai melempar jamrah aqabah.
- Mengambil tujuh kerikil di Muzdalifah untuk melempar Jamrah Aqabah.
- Berangkat dari Muzdalifah setelah matahari bersinar terang sebelum matahari terbit.
- Mempercepat perjalanan ke Bathn Muhassir, serta memacu hewan tunggangannya atau mempercepat gas mobilnya secepat lemparan batu jika tidak khawatir akan bahaya.
- Melempar jamrah Aqabah antara terbitnya matahari dan tergelincirnya matahari.
- Membaca ‘Allahu Akbar’ di setiap melemparkan satu kerikil.
- Bersegera menyembelih hewan kurban atau menyaksikan ketika disembelih dan setelah membaca ‘Bismillah wallahu akbar’ yang wajib diucapkan, maka membaca doa:
“Ya Allah, ini dari-Mu dan kepada-Mu. Ya Allah, terimalah ini sebagaimana Engkau menerima dari Ibrahim, kekasih-Mu.”
- Memakan hewan kurban, karena Rasulullah memakan hati hewan kurban beliau.
- Berjalan untuk melempar ketiga jamrah pada hari-hari Tasyriq.
- Membaca ‘Allahu akbar’ di setiap melempar satu kerikil dan membaca doa:
“Ya Allah! jadikanlah haji kami haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dan dosa-dosa kami diampuni.”
- Berdiri seraya menghadap kiblat untuk berdoa setelah melempar jamrah pertama dan kedua, bukan yang ketiga, karena pada saat melempar jamrah ketiga tidak disunahkan berdoa. Hal ini berdasarkan perbuatan Rasulullah, setelah beliau melempar lemparan ketiga langsung berpaling.
- Melempar jamrah Aqabah dari bagian dalam lembah seraya menghadap kiblat dan menjadikan Baitullah di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan.
- Orang yang meninggalkan Mekah hendaknya membaca doa:
‘Kami kembali seraya bertobat, menyembah dan memuji kepada Tuhan kami. Allah telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengusir golongan sekutu (yang memerangi Nabi) sendirian.”
Ihshar (Terhalang)
Barang siapa tertahan masuk ke Mekah atau wukuf di Arafah karena ada musuh, penyakit, ataupun penghalang-penghalang lainnya, maka ia wajib menyembelih kambing, onta, atau sapi di tempat terhalang atau ia mengirimnya ke tanah haram jika memungkinkan dan bertahallul dari ihramnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hewan sembelihan yang mudah didapat.” (Al-Baqarah: 196)
Tawaf Wada’
Tawafwada’ merupakan salah satu dari ketiga tawaf haji. Tawafwada’ hukumnya sunah yang diwajibkan. Barang siapa meninggalkannya tanpa ada uzur, maka ia wajib membayar dam. Barang siapa meninggalkannya karena uzur, maka tidak ada kewajiban membayar dam. Orang yang beribadah haji atau umrah melakukan tawaf wada’ ketika hendak pulang ke negerinya setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji dan umrah serta selesainya masa bermukim di Mekah Al-Mukaramah. Maka, tawaf wada’ ini dilakukan pada waktu-waktu terakhir hendak keluar dari kota Mekah Al-Mukarramah agar setelah ia tawaf tidak menyibukkan diri dengan kegiatan lain, tetapj; langsung keluar dari kota Mekah. Namun apabila ia masih tinggal beberapa waktu untuk melakukan jual beli dan sebagainya bukan karena darurat, maka dia mengulangi thawa wada’ lagi. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Sungguh, salah seorang dari kalian jangan meninggalkan (Mekah) sehingga yang terakhir kali adalah di Baitullah.”
Tata cara Haji dan Umrah
Tata cara haji dan umrah, yaitu orang yang hendak berihram haji atay umrah hendaknya memotong kuku, mencukur kumis, mencukur buly kemaluan, dan mencabut bulu ketiak, kemudian mandi, memakai kain dan selendang putih bersih, serta memakai sandal. Setelah sampai di Miqat, melakukan shalat fardhu atau shalat sunah, kemudian berniat haji atau umrah, seraya mengucap:
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu untuk berhaji.” Doa Ini dibaca ketika ia menghendaki haji lfrad (melakukan haji terlebih dahulu, Jalu melakukan umrah). Apabila ia hendak melakukan haji Tamattu’(melakukan umrah terlebih dahulu, lalu melakukan haji), maka ia membaca:
“Untuk umrah” Dan jika ia menghendaki haji Qiran (melakukan haji dan umrah secara bersamaan), maka ia membaca:
“Untuk haji dan umrah.”
Ia boleh memberi syarat kepada Tuhannya dengan berkata, “Sesungguhnya tahallul saya ialah tempat saya tertahan.” Sesungguhnya apabila ada penghalang yang mencegah dirinya melaksanakan haji atau umrah seperti sakit dan semisalnya, maka ia bertahallul dari ihramnya dan tidak dikenakan kewajiban membayar dam.
Selanjutnya membaca talbiyah dengan mengeraskan suara yang tidak melelahkan, kecuali bagi wanita, maka tidak perlu mengeraskan suara. Diperbolehkan bagi wanita mengeraskan suara hanya sekadar dapat didengar oleh teman rombongannya saja.
Disunahkan berdoa dan bershalawat atas Nabi setiap kali selesai bertalbiyah sebagaimana disunahkan baginya memperbaharui talbiyah ketika menjalani kegiatan baru, berupa naik kendaraan, turun dari kendaraan, shalat, dan bertemu rombongan. Semestinya selalu menjaga Jisannya hanya untuk berzikir kepada Allah dan menjaga pandangan matanya dari Hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sebagaimana semestinya di jalan memperbanyak berbuat kebaikan dengan berharap hajinya menjadi haji mabrur. Hendaklah berbuat baik kepada orang-orang yang membutuhkan,
selalu tersenyum dengan wajah berseri-seri dan riang gembira terhadap teman-teman rombongan, berkata lemah lembut kepada mereka, memberi salam dan saling berbagi makanan kepada mereka.
Apabila telah sampai di Mekah, disunahkan mandi untuk masuk kota Mekah. Apabila telah sampai, hendaknya masuk ke Mekah melalui daerah atas. Kemudian ketika telah sampai di Masjidil Haram, hendaknya ia masuk melalui pintu Bani syaibah Babus Salam sambil mengucap:
“Dengan nama Allah, dengan Allah, dan kepada Allah. Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu.”
Apabila ia melihat Baitullah, maka ia mengangkat kedua tangan sambil membaca doa:
“Ya Allah, Engkaulah pemberi keselamatan dan dari-Mu segala keselamatan. Ya Tuhan kami, hidupkanlah kami dengan keselamatan. Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan, kewibawaan dan kebaikan pada rumah-Mu ini. Tambahkanlah bagi orang-orang yang memuliakannya dan menghormatinya dari kalangan orang yang berhaji dan berumrah berupa kemuliaan, keagungan, kehormatan, kewibawaan dan kebaikan pada mereka. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, sebagaimana Dia adalah pemiliknya, dan sebagaimana layak bagi kemuliaan wajah-Nya dan kemuliaan keagungan-Nya. Segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan diriku pada rumah-Nya dan menganggapku pantas untuk melakukannya. Segala puji bagi Allah di dalam segala kondisi. Ya Allah! Sungguh, Engkau telah memanggilku untuk haji di rumah-Mu yang mulia dan saya pun telah datang untuk memenuhi panggilan-Mu. Ya Allah! terimalah dariku, ampunilah aku dan perbaikilah segala keadaanku. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau.”
Kemudian menuju tempat tawaf dalam keadaan bersuci dan membuka pundak sebelah kanan lalu mendatangi Hajar Aswad, lalu menciumnya atau mengusapnya, atau berisyarat kepadanya jika tidak mungkin mencium atau mengusapnya, kemudian menghadap ke arah Hajar Aswad dan berdiri seraya berniat tawaf dan membaca doa:
“Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha besar. Ya Allah, karena iman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, serta mengikuti sunah Nabi-Mu.”
Kemudian ia memulai tawaf dengan menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya dengan berlari-lari kecil, jika di dalam tawaf Qudum, hendaknya selalu berdoa, berzikir, atau membaca shalawat kepada Nabi sampai rukun Yamani, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya dan menutup putaran pertama dengan membaca doa:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.”
Kemudian melanjutkan tawaf putaran kedua dan ketiga dengan cara yang sama. Ketika melanjutkan putaran keempat, ia tidak perlu berlari-lari kecil, tetapi berjalan dengan tenang hingga selesai pada putaran ketujuh. Ketika telah selesai, hendaknya mendatangi Multazam untuk berdoa sambil menangis dengan khusyuk, lalu mendatangi Maqam Ibrahim untuk melakukan shalat dua rakaat di belakangnya. Pada shalat dua rakaat itu hendaknya membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun serta surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.
Setelah selesai shalat dua rakaat, dianjurkan untuk mendatangi sumur zamzam dan meminumnya sambil menghadap ke Baitullah sampai terasa segar. Ketika minum sambil berdoa sesuai kehendaknya, atau dengan doa berikut:
“Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang lapang, dan kesembuhan dari semua penyakit.”
Selanjutnya ia menuju Hajar Aswad untuk menciumnya atau menyentuhnya, lalu keluar menuju tempat sa’i melalui pintu Shafa sambil melantunkan firman Allah
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 158)
Ketika sampai di atas bukit Shafa, hendaknya ia menghadap ke Baitullah sambil mengucapkan:
“Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia maha kuasa atas segala sesuatu.Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, Allah telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengusir golongan sekutu (yang memerangi Nabi) sendirian.”
Kemudian ia berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Setelah itu, ia turun dari bukit Shafa menuju bukit Marwah, lalu berjalan di tempat sa’i sambil berzikir dan berdoa hingga ia sampai di lembah Marwah, yang sekarang diberi tanda dengan tiang hijau, lantas berjalan dengan cepat sampai ke tiang hijau kedua, kemudian kembali berjalan dengan tenang sambil berzikir, berdoa, dan bershalawat kepada Nabi hingga sampai di bukit Marwah.
Ketika sampai di Marwah, ia naik ke atas lalu membaca takbir, tahlil, dan berdoa seperti doa yang dibaca di bukit Shafa. Setelah itu, ia turun dari Marwah dan berjalan sampai lembah.
Ketika telah sampai di tiang warna hijau, ia berjalan cepat sampai bukit Shafa, lalu naik di atas bukit sambil bertakbir, bertahlil, dan berdoa. Kemudian turun dari Shafa menuju Marwah dan melakukan tata cara seperti pada putaran pertama hingga sempurna tujuh putaran dengan berhenti delapan kali, yaitu berhenti empat kali di Shafa dan empat kali di Marwah.
Jika menunaikan ibadah umrah, hendaknya memotong rambut dan bertahallul dari ihramnya, dengan demikian sempurnalah ibadah umrahnya.
Demikian juga bagi orang yang menunaikan ibadah tamattu’, yaitu umrah Jalu haji, maka umrahnya telah sempurna dengan selesainya melakukan sa’i dan memotong rambut.
Apabila menunaikan ibadah haji ifradatau giran dan ia telah memberikan hewan kurbannya, maka ia tetap wajib dalam keadaan ihram sampai wukuf di Arafah dan melempar jamrah Aqabah pada hari Idul Adha. Setelah itu ia bertahallul untuk mengakhiriihramnya, jika tidak maka ia boleh membatalkan hajinya untuk umrah, lalu bertahallul.
Pada hari Tarwiyah, yaitu pada hari kedelapan Dzulhijjah, melanjutkan ihram dengan niat haji sebagaimana tata cara ihram untuk umrah di atas jika melakukan haji tamattu’. Sedangkan orang yang melakukan ifrad dan qiran, maka keduanya masih dalam keadaan ihram yang pertama. Lantas keluar seraya bertalbiyah menuju Mina pada waktu dhuha untuk bermukim di Mina pada hari itu dan malamnya. Jadi, di Mina ia melakukan shalat lima waktu. Sehingga, ketika matahari telah terbit pada hari Arafah, keluar dari Mina sambi bertalbiyah menuju Namirah melalui Dhabb, lalu bermukim di Namirah sampai tergelincirnya matahari, kemudian mandi dan mendatangi masjid tempat shalat Rasulullah. Kemudian melakukan shalat Zhuhur dan Ashar secara qashar dan jamak taqdim bersama imam. Ketika shalat telah selesai, dilanjutkan berangkat ke Arafah untuk wukuf. Diperbolehkan wukuf di bagian mana saja dari Arafah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Saya melakukan wukuf di sini, sedangkan Arafah secara keseluruhan merupakan tempat wukuf.”
Namun jika berwukuf di samping batu besar di bawah Jabal Rahmah, yaitu tempat wukuf Rasulullah, maka ini lebih baik.
Diperbolehkan berwukuf sambil berkendaraan, berjalan kaki, atau duduk seraya berzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya sampai mataharj tenggelam dan mulai memasuki malam hari, lalu kembali dengan tenang seraya bertalbiyah menuju Muzdalifah melalui Ma’zamin dan singgah dij Ma’zamin. Sebelum menaruh kendaraannya, melakukan shalat Maghrib terlebih dahulu, lalu menaruh kendaraan lalu melaksanakan shalat Isya’ dan bermalam di tempat tersebut. Setelah terbit fajar, ia melaksanakan shalat Subuh lalu berangkat menuju Masy’aril Haram untuk berdiam di situ sambil membaca tahlil, takbir, dan berdoa. Diperbolehkan berdiam di bagian mana saja dari Muzadalifah. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Saya berdiam di sini, sedangkan Muzdalifah secara keseluruhan merupakan tempat wukuf.’
Setelah terbit fajar dan sebelum matahariterbit, iamengambil tujuh kerikil untuk melempar jamrah Aqabah dan bertolak ke Mina seraya bertalbiyah. Ketika tiba di Muhassir, iamemacu kendaraannya dan mempercepatjalannya secepat lemparan batu. Setelah sampai di Mina, pertama kali pergi ke jamrah
Aqabah dan melemparnya dengan tujuh kerikil. Pada saat melempar dengan mengangkat tangan kanan sambil mengucapkan:
“Allah Maha besar, Ya Allah! jadikanlah haji kami haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dan dosa-dosa kami diampuni.
Selanjutnya, jika ia membawa hewan kurban, ia menyembelihnya atau meminta orang lain untuk menyembelihnya jika ia tidak mampu. Ia boleh menyembelih di tempat mana saja. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Saya menyembelih di sini, dan Mina secara keseluruhan merupakan tempat menyembelih.”
Kemudian dilanjutkan mencukur atau memotong rambut. Akan tetapi, mencukur lebih utama. Dengan demikian, berarti ia telah melakukan tahallul kecil. Jadi, tidak ada keharaman lagi kecuali hubungan suami-istri, berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila salah seorang di antara kalian telah melempar jamrah Agqabah, maka sungguh telah halal baginya segala sesuatu kecuali wanita.“
Jadi, ia boleh menutup kepala dan memakai pakaian. Kemudian berjalan ke Mekah jika memungkinkan untuk melakukan tawaf ifadhah yang merupakan salah satu dari rukun haji yang empat. Kemudian masuk masjid dalam keadaan bersuci, lalu melakukan tawaf sebagaimana melakukan tawaf qudum, hanya saja ia tidak perlu membuka pundaknya dan tidak perlu berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama. Ketika telah menyempurnakan tujuh putaran, dilanjutkan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim.
Jika ia melakukan ifrad atau qiran, sementara ia telah melakukan sa’i bersamaan dengan tawaf qudum, maka hal ini sudah mencukupi. Namun jika ia melakukan tamattu’, maka ia keluar ke tempat sa’i untuk melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh putaran sebagaimana tata cara di depan. Jika telah selesai melakukan sa’i, berarti ia telah tahallul dengan sempurna dan tidak ada satu pun larangan yang tersisa baginya, karena ia telah menjadi halal dan boleh melakukan Hal-hal yang semula diharamkan karena ihram. Kemudian di hari itu kembali ke Mina dan bermalam di sana.
Ketika matahari telah tergelincir pada hari pertama dari hari-hari Tasyriq, ia berangkat ke jamrah, lalu melempar jamrah ula, yaitu yang berada di sebelah masjid Al-Khaif. Melempar Jamrah dengan tujuh kerikil, satu persatu seraya bertakbir pada setiap lemparan. Setelah melempar jamrah, ia bergeser dan menghadap kiblat seraya berdoa memohon kemudahan urusan kepada Allah. Kemudian berjalan ke jamrah wustha, lalu melemparinya sebagaimana melempar jamrah ula, lalu bergeser dan menghadap kiblat sambil berdoa. Kemudian berjalan ke jamrah Aqabah, yaitu jamrah terakhir. Di sini ia melempari jamrah ini dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap lemparan dan tidak berdoa setelah melempar jamrah ini, karena Nabi tidak berdoa setelah melempar jamrah ini, dan langsung meninggalkan tempat.
Ketika matahari tergelincir pada hari Tasyrik kedua, ia berangkat untuk melempar ketiga jamrah sebagaimana tata cara di atas. Setelah itu, jika ia tergesa-gesa, maka langsung singgah di Mekah pada hari itu juga sebelum terbenamnya matahari. Namun, jika ia tidak tergesa-gesa, hendaknya bermalam di Mina.
Ketika matahari tergelincir pada hari Tasyrik ketiga, ia melempar jamrah sebagaimana tata cara di atas. Kemudian berangkat ke Mekah dan ketika ia akan kembali ke tanah airnya, hendaknya melakukan tawaf wada’ sebanyak tujuh putaran. Setelah itu, melakukan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim lalu berangkat pulang ke tanah air sambil membaca:
“Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, Allah telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengusir golongan sekutu (yang memerangi Nabi) sendirian.”
Keutamaan Madinah serta Penduduknya dan Keutamaan Masjid Nabawi
Keutamaan Madinah
Madinah merupakan tanah haram Rasulullah tempat hijrahnya serta tempat turunnya wahyu. Rasulullah mengharamkan Madinah (sebagai tanah suci) sebagaimana Nabi Ibrahim mengharamkan Mekah AI-Mukarramah, maka beliau bersabda:
“Ya Allah, sesungguhnya Nabi Ibrahim telah mengharamkan Mekah, dan saya mengharamkan kota di antara dua tanah bebatuan (Madinah).”
“Madinah merupakan tanah haram antara pegunungan A’ir dan gunung Tsaur. Barang siapa membuat sesuatu yang baru atau membantu orang membuat sesuatu yang baru, maka ia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat manusia semuanya. Tidak akan diterima tobat dan tebusan darinya. Rumput-rumputnya tidak boleh dicabut, hewan buruannya tidak boleh dihalau, barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang akan mengumumkannya. Tidak layak seorang laki-laki membawa senjata di dalamnya untuk berperang dan tidak layak pepohonan darinya dipotong kecuali untuk seseorang yang memberi makan untanya.”
Adiy bin Zaid a berkata:
“Rasulullah membuat batas pada setiap sisi kota Madinah dengan jarak satu barid; pepohonannya tidak boleh dipotong dan ditebang kecuali untuk menggiring onta.”
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya keimanan akan kembali ke kota Madinah, sebagaimana halnya ular kembali menuju sarangnya. Tidaklah ada seorang penduduk Madinah yang tetap sabar akan kelaparan dan kesulitan hidup di dalamnya, melainkan aku jamin akan memperoleh syafaatku atau dirinya tertulis sebagai syahid kelak pada hari Kiamat.”
“Barang siapa di antara kalian yang bisa wafat di Madinah maka hendaklah ia melakukannya, karena sesungguhnya aku menjadi saksi bagi orang yang wafat di sana.”
“Sesungguhnya perumpamaan Madinah seperti Al-Kir (alat pembakar besi) yang menghilangkan sisi yang buruk dan membentuk sisi yang bagus.”
“Madinah lebih baik bagi mereka kalau sekiranya mereka mengetahuinya. Tidaklah seseorang meninggalkan Madinah karena membencinya melainkan Allah menggantinya bertempat di Madinah dengan seseorang yang lebih baik darinya. Tidaklah seorang penduduk Madinah yang tetap bertahan menghadapi kelaparan dan kesulitan hidup di dalamnya, melainkan aku jamin akan memperoleh syafaat ku atau dirinya tertulis sebagai syahid kelak pada hari Kiamat.”
Keutamaan Penduduk Madinah Penduduk Madinah merupakan tetangga Rasulullah, orang-orang yang memakmurkan masjid beliau, penduduk daerah beliau, mereka adalah orang-orang yang menjaga keharamannya dan menjaga Hal-hal yang dilindungi beliau. Ketika mereka konsisten dan berbuat baik, maka mereka berada dalam kedudukan tertinggi dan posisi paling mulia yang wajib dihormati, dicintai, dan disayangi. Rasulullah memberi peringatan kepada orang yang berani menyakiti mereka dengan bersabda:
“Tidaklah seseorang membuat makar atas penduduk Madinah kecuali ia akan melebur seperti meleburnya garam dalam air.”
“Tidaklah ada seseorang yang punya keinginan buruk terhadap penduduk Madinah, melainkan pasti Allah akan melelehkannya di dalam neraka seperti peluru meleleh atau seperti larutnya garam di dalam air.”
Nabi juga mendoakan penduduk Madinah agar diberi keberkahan rezeki mereka, kecintaan dan kemuliaan bagi mereka.
Beliau berdoa:
“Ya Allah! berilah keberkahan pada takaran-takaran mereka, berilah keberkahan pada sha’ dan mud mereka.”
Rasulullah juga berwasiat kepada seluruh umat agar berbuat baik kepada mereka, beliau bersabda:
“Madinah merupakan tempat hijrahku, di sana tempat pembaringanku, dan di sana aku dibangkitkan. Sungguh, suatu kewajiban atas umatku untuk menjaga para tetanggaku selama mereka tidak melakukan dosa besar. Barang siapa menjaga mereka, maka aku jamin akan memperoleh syafaatku atau dirinya tertulis sebagai syahid kelak pada hari Kiamat.”
Keutaman Masjid Nabawi Yang Mulia
Masjid nabawi merupakan salah satu dari ketiga masjid yang disebut AlQur’an Al-Karim, karena Allah berfirman:
“Mahasuci (Allah), yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” (Al-Isra: 1)
Karena di dalam lafal Al-Aqsha terdapat isyarat yang sangat jelas pada Masjid Nabawi, karena Al-Aqsha merupakan bentuk Tafdhil dari kata ‘Al-Qashi’ (jauh). Maka bagi orang yang berada di Mekah Al-Mukarramah, masjid yang jauh darinya ialah masjid Nabawi. Sedangkan masjid Al-Aqsha jalah Baitul Maqdis.
Jadi, Al-Qur’an menyebutkan Masjid Nabawi Secara isyarat yang termasuk dalam kedua masjid ini, karena pada hari-hari turunnya ayat ini masjid ini masih belum ada. Nabi menjelaskan keutamaan Masjid Nabawi melalui sabdanya:
“Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat yang dilakukan di masjid-masjid lainnya kecuali Masjidil Haram. Sedangkan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus ribu shalat yang dilakukan di masjid-masjid lain.”
Rasulullah menjadikan Masjid Nabawi sebagai masjid kedua dari ketiga masjid yang dianjurkan untuk dikunjungi. Beliau bersabda:
“Tidak boleh sering mengadakan perjalanan jauh kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Aqsha.”
Nabi memberi keistimewaan khusus bagi Masjid Nabawi yang tidak ada pada masjid lainnya, yaitu Raudhah Asy-Syarifah yang disabdakan oleh Rasulullah:
“Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga.”
“Barang siapa yang shalat di Masjidku ini (Masjid Nabawi) sebanyak empat puluh shalat, dan ia tidak tertinggal satu shalat pun, maka dia akan dicatat terbebas dari api neraka, terbebas dari siksa, dan terbebas dari kemunafikan.”
Oleh karena itu, berziarah ke masjid ini untuk melakukan shalat di dalamnya termasuk ibadah yang dijadikan perantara oleh seorang muslim kepada Tuhannya untuk memenuhi kebutuhannya dan meraih rida-Nya.
Berziarah ke Masjid Nabawi dan Mengucap Salam Kepada Rasulullah Serta Kedua Sahabatnya Ziarah ke Masjid Nabawi merupakan suatu ibadah, maka ia membutuhkan niat sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, karena amal-amal perbuatan harus disertai dengan niatnya. Hendaklah ketika seorang muslim berziarah ke Masjid Nabawi diniatkan untuk melakukan shalat di sana, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan dan rasa cinta.
Ketika seseorang telah sampai di masjid dalam keadaan bersuci, maka ia mendahulukan kaki kanan, sebagaimana sunah ketika masuk masjid pada umumnya dan membaca doa:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, curahkanlah shalawat serta salam kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah untukku pintu rahmat-Mu.”
Kemudian mendatangi Raudhah yang mulia (jika masih ada tempat yang kosong), jika tidak maka menempati di mana saja dari Masjid Nabawi. Kemudian shalat sunah dua rakaat atau shalat apa saja yang ia kehendaki, lalu menuju ke kamar Nabi yang mulia mengucap salam kepada Nabi, dengan berdiri menghadap ke arah kamar untuk mengucap salam kepada Rasulullah seraya mengucapkan:
“Semoga kesejahteraan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah, semoga kesejahteraan tercurahkan kepadamu wahai Nabi Allah, semoga kesejahteraan tercurahkan kepadamu wahai makhluk Allah yang pilihan. Semoga kesejahteraan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya dilimpahkan kepadamu wahai wahai Nabi. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan saya bersaksi bahwa engkau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Sungguh, engkau telah menyampaikan risalah, menyampaikan amanah, memberi nasihat kepada umat, berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Semoga Allah mencurahkan shalawat kepadamu, para keluargamu, istri-istrimu, dan keturunanmu, serta mencurahkan kesejahteraan yang melimpah ruah.”
Kemudian bergeser sedikit ke sebelah kanan, lalu menyampaikan salam kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan mengucapkan:
“Semoga kesejahteraan terlimpah kepadamu wahai Abu Bakar Ash Shiddiq, kekasih Rasulullah dan temannya di goa. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dari umat Rasulullah.”
Kemudian bergeser sedikit ke sebelah kanan, lalu menyampaikan salam kepada Umar dengan mengucapkan:
“Semoga kesejahteraan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya tercurahkan kepadamu wahai Umar Al-Faruq. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dari umat Muhammad.”
Kemudian ia meninggalkan tempat tersebut. Namun jika ia ingin bertawassul kepada Allah dengan ziarah ini, hendaknya dia menjauh sedikit dari menghadap makam yang mulia ini dan menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah apa saja yang dia kehendaki dan memohon kepada-Nya karunia-Nya yang dia inginkan.
Dengan demikian, ziarah seorang muslim ke Masjid Nabawi yang mulia telah sempurna. Jika ia berkehendak, maka ia langsung pergi dan jika ia berkehendak, maka ia bermukim dulu. Akan tetapi, bermukim di Madinah untuk melakukan shalat di masjid Rasulullah lebih utama, terutama terdapat anjuran untuk melakukan shalat empat puluh rakaat di Masjid Nabawi yang mulia.
Berziarah ke Tempat-Tempat yang Utama di Madinah Al-Munawwarah
Seorang muslim akan senantiasa berada dalam kebaikan ketika Allah memuliakannya untuk berziarah ke Masjid Nabawi dan berdiam di makam Nabi, Allah senantiasa memuliakannya karena telah memasuki Madinah. Seorang muslim juga dianjurkan untuk mengunjungi Masjid Quba’ untuk melakukan shalat di dalamnya, karena Nabi mengunjunginya dan shalat di dalamnya. Demikian pula para sahabat beliau melakukan hal ini setelah beliau wafat.
Nabi bersabda:
“Barang siapa bersuci di rumahnya, lalu mendatangi Masjid Quba’ dan hanya bermaksud untuk shalat di dalamnya, maka baginya pahala semisal pahala umrah,”
Nabi mendatangi Masjid Quba’ dengan berkendaraan dan berjalan, lalu beliau melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.
Disunahkan pula berziarah ke makam para syuhada’ Perang Uhud, karena Nabi juga berziarah kepada mereka di makam mereka dan mengucap salam kepada mereka. Dengan berziarah ke makam syuhada’ Uhud ini memungkinkan untuk menyaksikan gunung Uhud, yaitu suatu gunung yang pernah dinyatakan oleh Rasulullah:
“Gunung Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya.”
“Gunung Uhud merupakan salah satu gunung di antara gunung-gunung di surga.”
Gunung Uhud pernah bergoncang sekali di bawah kedua kaki Rasulullah ketika beliau disertai oleh Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Maka beliau bersabda kepada Uhud:
“Diamlah gunung Uhud—sambil menghentakkan kaki beliau di atasmu ada Nabi, Ash-Shiddiq, dan dua orang (calon) syuhada’.”
Disunahkan juga berziarah ke makam Al-Baqi’, karena Rasulullah berziarah kepada keluarganya dan mengucap salam kepada mereka, hal ini disebutkan dalam hadits shahih. Karena dalam makam Al-Baqi’ ini terdapat ribuan makam para sahabat, tabi’in, dan para hamba Allah yang saleh lainnya. Beliau mendatangi makam ini dengan mengucap salam kepada para penghuninya:
“Kesejahteraan semoga tercurah kepada kalian, wahai ahli kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului dari kalangan kita, dari kalangan kalian dan orang-orang yang akan datang. Kami memohon kepada Allah keselamatan untuk kita dan kalian di dunia dan akhirat. Ya Allah, ampunilah kami dan mereka serta rahmatilah kami dan mereka. Ya Allah, janganlah halangi kami dari pahalanya dan janganlah engkau menjadikan fitnah kepada kami setelah kematiannya.”
Hewan Kurban
Pengertian: hewan kurban
Hewan kurban yaitu kambing yang disembelih pada waktu Dhuha pada hari Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Hukum Menyembelih Hewan Kurban
Hukumnya ialah sunah yang diwajibkan kepada setiap keluarga muslim yang mampu berkurban. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)” (Al-Kautsar: 2)
Sabda Rasulullah:
“Barang siapa menyembelih (hewan kurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulanginya.”
Juga berdasarkan perkataan Abu Ayyub Al-Anshari:
“Ada seorang laki-laki pada masa Rasulullah menyembelih kambing atas nama dirinya dan keluarganya.”
Keutamaan Menyembelih Hewan Kurban
Keutamaan yang agung tentang sunah menyembelih hewan kurban didukung oleh sabda Rasulullah :
“Tidaklah anak Adam beramal pada hari Nahar dengan amal yang lebih dicintai Allah daripada mengalirkan darah (hewan kurban), dan sesungguhnya hewan kurban akan datang di hari Kiamat lengkap dengan tanduk, kaki, dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah (hewan kurban) akan sampai di suatu tempat di sisi Allah sebelum darah itu sampai di atas tanah. Oleh karena
itu, sucikanlah hatimu dengan berkurban.”
Dan sabda Nabi ketika para sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan hewan kurban ini?” Beliau menjawab, “Itu merupakan sunah bapak kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Lalu kebaikan apakah yang akan kami peroleh darinya?” Beliau menjawab, “Setiap helai dari bulunya adalah kebaikan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan bulu domba?” Beliau menjawab, “Setiap helai bulu domba itu bernilai satu kebaikan.”
Hikmah Berkurban
1, Mendekatkan diri kepada Allah . Ini berdasarkan firman Allah :
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)” (Al-Kautsar: 2)
Firman Allah :
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am:162-163) Adapun maksud dari ibadah di sini ialah menyembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
- Menghidupkan sunah imam tauhid, yaitu Nabi Ibrahim Al-Khalil, karena Allah memberi wahyu kepadanya untuk menyembelih putranya, Ismail, kemudian Allah menebusnya dengan kambing, lalu Nabi Ibrahim menyembelih kambing tersebut sebagai ganti dari Ismail. Allah berfirman:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107)
- Memberi kecukupan kepada keluarganya pada hari Idul Adha serta menebarkan kasih sayang kepada fakir miskin.
- Bersyukur kepada Allah atas ternak yang ditundukkan kepada kita. Allah berfirman:
“…Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan onta-onta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging onta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 36-37)
Ketentuan Hukum Seputar Kurban
- Usia hewan Kurban. Domba yang digunakan sebagai kurban tidak boleh kurang dari Al-Jadza’, yaitu domba umur satu tahun atau mendekati satu tahun.
Sedangkan untuk selain domba, baik kambing kacang, onta, dan sapi tidak boleh kurang dari Ats-Tsani. Ats-Tsani bagi kambing kacang ialah berumur satu tahun dan memasuki dua tahun. Untuk onta berumur empat tahun dan memasuki lima tahun. Adapun untuk sapi berumur dua tahun dan memasuki tiga tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
‘Janganlah kalian menyembelih (hewan kurban) kecuali yang musinnah, kecuali jika kalian sulit mendapatkannya, maka silakan kalian menyembelih jadza’ah dari kambing domba.’
Musinnah ialah tsaniyah (kambing berumur satu tahun, memasuki dua tahun)
- Terbebas dari cacat.
Tidak diperbolehkan berkurban kecuali dengan hewan yang terbebas dari cacat. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan berkurban dengan hewan yang buta sebelah, pincang, adhba’ (hewan yang pecah tanduknya atau telinganya robek), hewan yang sakit, hewan kurus ceking (sangat kurus dan tidak ada sumsumnya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Empat hal yang tidak boleh ada pada hewan kurban, yaitu buta sebelah yang jelas kebutaannya, hewan sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, atau kurus sekali.”
Maksudnya, hewan yang tidak ada sumsum di tulangnya dan sangat kurus.
- Hewan yang paling utama sebagai hewan kurban.
Hewan kurban yang paling utama ialah kambing bertanduk, jantan, dan warna putih bercampur hitam di sekeliling matanya dan pada kaki-kakinya, karena hewan dengan ciri-ciri inilah yang disukai oleh Rasulullah dan digunakan untuk berkurban. Aisyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi berkurban dengan kambing bertanduk dan menginjak dengan warna hitam, berjalan dengan warna hitam (kakinya hitam), dan melihat dengan warna hitam (sekitar matanya berwarna hitam).”
- Waktu penyembelihan.
Waktu menyembelih kurban ialah pagi hari Idul Adha setelah shalat ied. Jadi, Kurban tidak diterima jika dilakukan sebelum shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa menyembelih setelah shalat, maka sungguh ibadahnya telah sempurna dan ia mendapatkan sunah kaum muslimin.”
Adapun setelah hari Idul Adha, maka boleh ditunda sampai hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena terdapat hadits:
“Semua hari Tasyriq adalah hari untuk menyembelih.”
- Hal yang disunahkan ketika menyembelih.
Ketika menyembelih kurban disunahkan menghadapkan hewan kurban ke arah kiblat sambil membaca:
“Saya menghadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan pasrah dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sungguh, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dengan hal ini aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”
Pada saat menyembelih, hendaknya membaca:
“Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu.”
- Mewakilkan dalam penyembelihan.
Disunahkan bagi seorang muslim menyembelih sendiri hewan kurbannya. Akan tetapi, jika ia mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihkan kurbannya, maka hal ini diperbolehkan tanpa ada dosa dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ahli ilmu mengenai hal ini.
- Pembagian daging kurban.
Disunahkan membagi daging kurban tiga bagian; Sepertiga bagian dimakan oleh keluarganya sendiri, sepertiga bagian lain disedekahkan. Dan sepertiga bagian terakhir dihadiahkan kepada teman-teman. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah.”
Diperbolehkan juga menyedekahkan semuanya, dan boleh juga tidak menghadiahkannya sedikit pun.
Upah bagi penyembelih hewan kurban.
Orang yang menyembelih hewan kurban tidak boleh diberi upah dari hewan kurban. Ini berdasarkan hadits riwayat Ali , “Rasulullah memerintahkanku untuk menyembelih onta, dan menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan saya dilarang dari memberikan daging kepada orang yang menyembelih sedikit pun dari hewan kurban.” Lalu ia berkata, “Kami memberinya dari uang kami sendiri.”
- Cukupkah satu keluarga hanya berkurban satu ekor kambing?
Berkurban satu ekor kambing dapat mencukupi untuk satu keluarga secara keseluruhan meskipun jumlah mereka banyak. Hal ini berdasarkan perkataan Abu Ayyub :
“Seorang lelaki pada masa Rasulullah menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya.”
- Hal-hal yang harus dihindari oleh orang yang akan berkurban.
Bagi orang yang hendak berkurban dimakruhkan baginya mengambil sebagian dari rambut dan kuku hewan Kurban. Hal ini berlaku sejak hilal bulan Dzulhijjah telah tampak hingga penyembelihan hewan kurban. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka hendaklah dia menahan diri (tidak memotong) dari rambut dan kuku-kukunya hingga dia menyembelih kurban.”
- Kurban Rasulullah untuk seluruh umatnya.
Barang siapa dari kalangan kaum muslimin yang tidak mampu berkurban, maka ia akan mendapat pahala orang-orang yang berkurban, Hal ini dikarenakan Nabi ketika menyembelih salah satu dari kedua kambingnya, beliau berkata:
“Ya Allah, ini (hewan kurban) dariku dan dari orang-orang yang tidak mampu berkurban dari kalangan umatku.”
Aqiqah
Pengertian aqiqah Aqiqah adalah kambing yang disembelih untuk anak yang dilahirkan pada hari ketujuh kelahirannya.
Hukum aqiqah
Aqiqah hukumnya sunah muakkad bagi para orang tua anak yang mampu melaksanakannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, dilakukan penyembelihan untuknya pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya), diberikan nama, dan dicukur rambutnya.”
Hikmah Aqiqah
Aqiqah merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah atas karunia seorang anak dan sebagai wasilah kepada Allah untuk menjaga dan memelihara anak yang telah dilahirkan.
Ketentuan Hukum Seputar Aqiqah
- Kondisi kesehatan dan usia hewan aqiqah.
Hewan yang memenuhi syarat untuk kurban, baik dari umurnya dan terbebas dari cacat diperbolehkan untuk aqiqah, sedangkan hewan yang tidak memenuhi syarat untuk berkurban, maka tidak diperbolehkan untuk aqiqah.
- Memakan dagingnya sebagian dan memberikannya sebagian.
Disunahkan membagi daging aqiqah sebagaimana membagikan daging kurban, sehingga aqiqah dapat dimakan oleh anggota keluarganya, disedekahkan, dan dihadiahkan.
- Hal-hal yang disunahkan pada saat aqiqah.
Untuk anak laki-laki disunahkan melaksanakan aqiqah dengan dua ekor kambing, karena Rasulullah menyembelih dua ekor kambing untuk aqiqah Al-Hasan.
Disunahkan juga memberi nama anak pada hari ketujuh dan hendaknya memilihkan untuk anaknya nama yang terbaik, mencukur rambutnya, dan menyedekahkan emas, perak, atau logam mulia lainnya seberat rambut anak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, dilakukan penyembelihan untuknya pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya), diberikan nama, dan dicukur rambutnya.”
- Mengumandangkan azan dan iqamah di kedua telinga bayi.
Para ulama menganjurkan untuk mengumandangkan azan di telinga kanan bayi dan iqamah di telinga kiri bayi ketika baru lahir, dengan harapan agar Allah menjaganya dari gangguan ummu shibyan, jin yang mengikuti bayi. Ini berdasarkan hadits:
“Barang siapa mempunyai anak yang baru lahir, lalu ia mengumandangkan azan di telinga kanan bayi dan iqamah di telinga kirinya, maka Ummu Syibyan tidak dapat mengganggunya.”
- Apabila telah terlewati tujuh hari dan belum disembelih aqiqah untuknya.
Sah-sah saja disembelih aqiqah pada hari keempat belas atau kedua puluh satu. Jika bayi tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka tidak perlu aqiqah baginya.
Hukum Jihad
Jihad yang bersifat khusus, yaitu berperang melawan orang-orang kafir dan orang-orang yang memerangi kaum muslimin hukumnya fardhu kifayah. Jika sebagian telah melakukannya, maka kewajiban ini telah gugur bagi selainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang) Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Namun, hukum jihad bagi orang yang telah ditentukan oleh imam, adalah fardhu ain baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila kalian diminta untuk berangkat, maka berangkatlah.” Demikian pula apabila musuh datang dengan tiba-tiba di suatu daerah, maka menghadang dan memerangi musuh bagi penduduk daerah tersebut merupakan fardhu ain bahkan termasuk kaum wanita.
Macam-macam Jihad
- Jihad memerangi orang-orang kafir dan orang-orang yang memerangi kaum muslimin, yaitu dengan tangan, harta, mulut, dan hati. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Perangilah kaum musyrikin dengan harta-harta kalian, jiwa-jiwa kalian, dan lisan-lisan kalian.”?
- Jihad memerangi orang-orang fasik. Jihad ini dapat dilakukan dengan tangan, lisan, dan hati. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman.”
- Jihad memerangi setan, yaitu dengan menolak kemungkaran yang dibawa oleh setan, meliputi perkara-perkara syubhat serta meninggalkan kemewahan yang dibawa oleh setan, meliputi syahwat-syahwat. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Fathir: 5)
“Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6)
- Jihad memerangi hawa nafsu, yaitu dengan memaksakan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, mengamalkannya, dan mengajarkannya serta memalingkan dari mengikuti hawa nafsu, dan melawan kehendaknya. Jihad melawan nafsu ini merupakan jihad terbesar, sehingga jihad ini disebut Al-Jihad Al-Akbar (jihad paling besar).
Hikmah Jihad
Di antara hikmah dalam syariat jihad dengan berbagai macamnya ialah agar hanya Allah semata yang disembah, selain itu untuk menolak musuh dan kejahatan, menjaga jiwa dan harta, melindungi kebenaran dan memelihara keadilan, serta menebarkan kebaikan dan membumikan kemuliaan. Allah berfirman:
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata.” (Al-Anfal: 39)
Keutamaan Jihad
Terdapat banyak dalil yang pasti kebenarannya serta hadits-hadits Rasulullah yang shahih yang menjelaskan keutamaan jihad dan merindukan mati syahid di jalan Allah. Sehingga menjadikan jihad termasuk ibadah paling agung dan paling utama. Di antaranya ialah firman Allah:
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (At-Taubah: 111)
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.” (Ash Shaff: 10-12).
Dan firman Allah dalam menerangkan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad yang mencari mati syahid:
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya.” (Ali Imran: 169-170)
Dan sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang manusia paling utama, lalu beliau menjawab:
“Seorang mukmin yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah, kemudian seorang mukmin yang berada di suatu lereng gunung, menyembah kepada Allah serta menjauhi kejahatan manusia.”
“Perumpamaan orang yang berjihad (Allah Zat Yang Maha Mengetahui orang yang berjihad di jalan-Nya) bagaikan seorang yang berpuasa dan shalat malam. Allah menjamin orang yang berjihad di jalan-Nya, apabila ia wafat maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikannya dalam keadaan selamat dengan membawa pahala atau rampasan perang.”
Dan sabda Nabi ketika beliau ditanya oleh seorang laki-laki, “Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat mengimbangi jihad.” Beliau menjawab, “Saya tidak menemukannya.” Kemudian beliau balik bertanya:
“Ketika orang yang berjihad telah berangkat, sanggupkah kamu masuk ke dalam masjid, lalu kamu beribadah di dalamnya tanpa berhenti dan engkau berpuasa tanpa berbuka?” la menjawab, “Siapa yang sanggup melakukan hal tersebut?” Rasulullah bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah—dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya—kecuali ia akan datang pada hari Kiamat dengan luka yang berwarna darah, namun baunya seperti wangi minyak misik.”
“Barang siapa yang meninggal dunia namun belum ikut berperang, atau tidak meniatkan dirinya untuk ikut berperang, maka ia mati berada pada salah satu cabang kemunafikan.”
“Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena ada dari kaum mukmin yang tidak tenang hatinya karena tidak pergi bersamaku dan aku tidak mendapatkan kendaraan untuk membawa mereka, tentu aku tidak akan tertinggal dalam satu sariyyah (pasukan) pun yang berperang di jalan Allah. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan, lalu terbunuh lagi dan dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.”
“Tidaklah kedua kaki seorang hamba berdebu (karena berjihad) di jalan Allah tersentuh api neraka.”
“Tidak ada seorang pun yang masuk surga kemudian ingin kembali ke dunia dan ia memiliki kesenangan di bumi selain orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia, lalu terbunuh sepuluh kali karena keutamaan (syahid) yang ia ketahui.”
Ribath (berjaga-jaga diperbatasan), Hukum dan Keutamaannya
Pengertian Ribath
Ribath adalah keberadaan tentara kaum muslimin lengkap dengan persenjataan dan perlengkapan perang di lokasi-lokasi rawan dan daerah-daerah yang mungkin dimasuki oleh musuh atau darinya mereka menyerang kaum muslimin dan negeri mereka.
Hukum Ribath
Ribath hukumnya wajib kifayah sebagaimana jihad. Apabila sebagian telah melaksanakannya, maka kewajiban ini menjadi gugur bagi selainnya, Allah memerintahkan untuk ribath dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)
Keutamaan Ribath
Ribath termasuk amal perbuatan yang paling utama dan ibadah yang paling agung. Rasulullah bersabda mengenai ribath:
“Ribath sehari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan apa saja yang ada di atasnya.’”
“Semua orang yang meninggal dunia, amal perbuatannya telah ditutup kecuali orang yang melakukan ribath. Sesungguhnya amalnya terus bertambah hingga hari Kiamat dan ia diselamatkan dari dua penanya dalam kubur.”
Maksud dengan dua penanya dalam kubur adalah Munkar dan Nakir.
“Berjaga-jaga satu malam di jalan Allah lebih utama daripada seribu malam untuk melakukan shalat malam di malam hari dan puasa di siang hari.”
“Neraka diharamkan atas mata yang begadang di jalan Allah.”
“Barang siapa berjaga di belakang kaum muslimin secara sukarela, maka ia tidak akan melihat api neraka dengan matanya kecuali hanya sekedar menebus sumpah saja.”
Nabi bersabda kepada Anas bin Abu Martsad Al-Ghanawi setelah beliau memerintahkannya untuk menjaga pasukan di malam hari. Di pagi harinya beliau mendatanginya dan bertanya, “Apakah engkau beristirahat tadi malam?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali untuk shalat dan menunaikan hajat.” Lantas Nabi bersabda:
“Sudah pasti (bagimu surga), maka engkau tidak wajib beramal lagi setelah ini.”
Kewajiban i’dad (persiapan) untuk jihad
Mengadakan persiapan untuk jihad yaitu dengan mendatangkan sarana-sarana dan peralatan-peralatan perang dengan segala macamnya. Hukum i’dad adalah wajib yang pahalanya seperti melakukan jihad itu sendiri. Hanya saja hal ini dilakukan terlebih dahulu daripada jihad. Allah berfirman:
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (Al-Anfal: 60)
Uqbah bin Amir berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar:
“Persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.”
“Sesungguhnya Allah memasukkan tiga orang ke dalam surga karena satu anak panah, yaitu pembuatnya yang menginginkan kebaikan dalam membuatnya, orang yang memanah dengannya, serta orang yang mengambilkan anak panah untuknya. Memanahlah dan naiklah kuda! kalian memanah lebih aku suka daripada kalian menaiki kuda. Bukan termasuk hiburan (yang disunahkan) kecuali tiga perkara, yaitu seseorang melatih kudanya, bercanda dengan istrinya, dan memanah menggunakan busurnya serta anak panahnya.”
Berdasarkan hadits ini, wajib bagi kaum muslimin, baik mereka dalam satu negara atau berada di beberapa negara yang berbeda-beda untuk mempersiapkan senjata dan peralatan perang, melatih para pemuda dengan berbagai macam latihan perang yang memungkinkan bagi mereka. Hal ini tidak hanya untuk menolak serangan musuh semata, bahkan untuk perang di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah, menebarkan keadilan, kebaikan, dan rahmat di bumi.
Diwajibkan pula bagi kaum muslimin untuk mengikuti program wajib militer. Maka, setiap pemuda yang berusia 18 tahun harus mengikuti wajib militer selama satu setengah tahun. Pada kegiatan ini akan dibekali berbagai macam latihan perang. Kemudian namanya akan dicatat di dalam daftar tentara secara umum. Dengan demikian, ia telah siap menerima panggilan perang kapan saja ia diajak. Di samping niat yang baik, terkadang diberlakukan baginya sebagaimana orang yang melakukan Ribath di jalan Allah selama namanya tercatat di dalam daftar secara umum.
Diwajibkan pula bagi kaum muslimin untuk membuat pabrik senjata yang memproduksi berbagai macam senjata yang ada di dunia atau membuat produk baru. Meskipun hal itu mengakibatkan mereka meninggalkan hal yang dianggap tidak penting, berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Inilah perkara yang menjadikan mereka dapat melakukan jihad dan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan sempurna. Jika tidak, maka mereka semua berdosa dan mendatangkan siksa Allah di dunia dan akhirat.
Rukun-rukun Jihad
Jihad syar’i yang berakibat pada salah satu dari dua kebaikan, yaitu kepemimpinan atau mati syahid mempunyai beberapa rukun, yaitu:
- Niat yang baik, karena semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya. Niat dalam jihad adalah bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan yang lain. Rasulullah pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang berperang karena kesombongan, dan ada pula yang berperang karena riya’. Manakah di antara keduanya yang termasuk berperang di jalan Allah? Rasulullah menjawab:
“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah perang di jalan Allah,”
- Jihad harus di bawah kepemimpinan imam kaum muslimin, di bawah benderanya, dan dengan izinnya, sebagaimana tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin —meskipun jumlahnya hanya sedikit—hidup tanpa pemimpin. Maka, mereka tidak boleh berperang tanpa imam. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu.” (An-Nisa’: 59)
Berdasarkan hal ini, maka bagi kelompok umat Islam mana pun yang hendak berjihad untuk berperang di jalan Allah agar terlepas dan selamat dari cengkeraman orang-orang kafir, diwajibkan membai’at seseorang dari mereka yang telah memenuhi sebagian besar syarat-syarat kepemimpinan, meliputi ilmu, ketakwaan, dan kemampuan, kemudian mereka merapatkan barisan, menyatukan tujuan, dan berjihad dengan lisan, harta, dan tangan sehingga Allah menetapkan kemenangan atas mereka.
- Menyiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan dalam berjihad, baik senjata, perlengkapan, dan pasukan sebatas kemampuan meskipun harus dengan mencurahkan kemampuan semaksimal mungkin. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki.” (Al-Anfal: 60).
- Keridaan dan restu kedua orang tua bagi orang yang masih mempunyai kedua orang tua atau salah satu dari mereka. Berdasarkan sabda Nabi kepada seorang laki-laki yang meminta izin kepada beliau untuk berjihad, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Iya, masih.” Beliau bersabda:
“Kalau begitu, pada keduanya berjihadlah (bersungguh-sungguh berbakti kepada mereka) Kecuali jika musuh telah menyerang daerahnya atau imam telah menunjuk seseorang untuk berjihad, maka gugurlah syarat restu kedua orang tua.
- Patuh kepada pemimpin. Barang siapa berperang, tetapi dia durhaka kepada pemimpinnya lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah ia sabar menghadapinya, karena sesungguhnya jika seseorang keluar dari kepemimpinan meskipun sejengkal, lalu ia mati dalam keadaan demikian, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah.”
Hal-hal yang Harus Dilakukan Pada Saat Perang
Bagi orang yang berjihad di jalan Allah harus melakukan beberapa hal saat berperang, di antaranya:
- Bertahan dan siap mati ketika perang berkecamuk, karena Allah mengharamkan melarikan diri dari musuh ketika berperang. Ini berdasarkan firman Allah
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur)” (Al-Anfal: 15)
Ketentuan ini jika jumlah orang kafir tidak lebih dari dua kali lipat jumlah kaum muslimin. Jika lebih dari itu, misalnya satu banding tiga atau lebih, maka tidak diharamkan melarikan diri. Sebagaimana pula orang yang melarikan diri dengan maksud mengecoh orang kafir, lalu menyerbu mereka atau melarikan diri dengan tujuan untuk bergabung dengan kelompok kaum muslimin, maka hal ini tidak dianggap melarikan diri dan tidak ada dosa atasnya. Ini berdasarkan firman Allah
“Kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain.” (Al-Anfal: 16)
Berzikir kepada Allah dengan hati dan lisan dalam rangka memohon kekuatan dari Allah dengan menyebut janji-Nya, ancaman-Nya, kekuasaan-Nya, dan pembelaan-Nya terhadap para kekasih-Nya. Maka, hati menjadi mantap dan jiwa menjadi lebih tabah dengan berzikir.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa menentang perintah keduanya dan melanggar larangan keduanya.
Menjauhi pertikaian dan perselisihan agar ketika memasuki kancah peperangan dalam satu barisan, tidak ada keretakan dan perpecahan, hati yang menyatu, dan fisik saling melekat seperti bangunan yang kokok, masing-masing saling menguatkan yang lain.
Sabar, tabah, dan siap mati dalam peperangan sehingga musuh menyingkir dan barisan musuh melarikan diri. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (Al-Anfal: 45-46)
Adab dalam Jihad Ada beberapa adab dalam jihad yang wajib diperhatikan, karena Adab-adab ini merupakan faktor-faktor yang menunjang tercapainya kemenangan, yaitu:
- Tidak membocorkan rahasia pasukan dan strategi perang. Rasulullah ketika hendak keluar untuk berperang, beliau selalu merahasiakannya, (sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih).
- Memakai kode, simbol, dan isyarat kepada sesama pasukan agar sebagian dari mereka dengan yang lain dapat saling mengenali ketika bercampur dengan musuh atau dekat dengan lokasi musuh. Nabi pernah bersabda:
“‘Jika musuh menyergapmu pada malam hari, maka katakanlah, ‘Ha mim la yunsharun (Hamim, mereka tidak ditolong)’.”
Kode yang digunakan oleh pasukan yang berperang bersama Abu Bakar ialah ‘Amit, amit.
- Diam ketika telah masuk dalam kancah peperangan, karena suara gaduh dan berteriak dapat menyebabkan lemah lantaran membuang-buang tenaga dan memecah konsentrasi. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud bahwa para sahabat Rasulullah membenci bersuara ketika berperang.
- Memilih lokasi perang yang strategis, menertibkan pasukan, dan memilih waktu yang cocok untuk menyerang musuh, karena di antara petunjuk Nabi tentang perang ialah memilih tempat dan waktu untuk menyerang musuh.
- Mengajak orang-orang kafir untuk masuk Islam atau menyerah dengan membayar jizyah sebelum mengumumkan perang terhadap mereka atau sebelum menyerang mereka. Jika mereka tidak mau, maka diperangi. Hal ini lantaran Nabi ketika mengutus seorang panglima pasukan atau tentara, beliau memberinya wasiat agar bertakwa kepada Allah, khususnya untuk dirinya sendiri serta kaum muslimin yang menyertainya. Nabi bersabda:
‘Jika kalian bertemu dengan musuh kalian dari kaum musyrikin ajaklah mereka kepada tiga perkara. Apa saja yang mereka penuhi dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (untuk berperang) terhadap mereka; ajaklah mereka kepada Islam! Jika mereka menerima, maka terimalah dari mereka dan tahanlah (untuk berperang) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka tawarkan kepada mereka untuk membayar jizyah (upeti). Apabila mereka mau memenuhi, maka terimalah dari mereka dan tahanlah (untuk berperang) terhadap mereka. Apabila mereka menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangilah mereka.”
- Tidak mencuri harta rampasan perang, tidak membunuh wanita, anakanak, orang-orang lanjut usia, dan pendeta yang tidak ikut berperang. Jika mereka ikut berperang, maka mereka juga dibunuh. Ini berdasarkan perintah Nabi kepada para penglima perangnya:
“Berangkatlah dengan menyebut nama Allah, dengan Allah, dan atas nama Agama Rasulullah. Jangan kalian membunuh orang-orang yang sudah lanjut usia, anak-anak, dan wanita. Janganlah kamu melampaui batas (ketika membunuh), kumpulkanlah harta rampasan kamu, damaikanlah, dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
- Tidak berkhianat terhadap orang yang dilindungi atau mendapat jaminan keamanan oleh seorang muslim. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Janganlah kalian berkhianat.”
“Sesungguhnya seorang pengkhianat di hari Kiamat kelak akan membawa panji, kemudian akan diumumkan, “Inilah si pengkhianat fulan bin fulan.’
- Tidak membakar musuh dengan api. Ini berdasarkan sabda Nabi :
‘Jika kalian bertemu si fulan, maka bunuhlah dia dan janganlah kalian membakarnya, karena sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Pemilik api (Allah).”
- Tidak menyiksa musuh yang dibunuh. Ini berdasarkan hadits riwayat Imran bin Hushain, “Rasulullah menganjurkan kami untuk bersedekah dan melarang kami menyiksa musuh.”
Nabi juga bersabda:
“Orang yang paling baik cara membunuhnya ialah orang yang beriman.”
- Berdoa memohon kemenangan atas musuh, karena Rasulullah setelah menyatakan siap untuk bertempur, beliau membaca doa berikut:
“Ya Allah, Zat Yang menurunkan Al-Qur’’an, Yang menjalankan awan, Yang mengalahkan kelompok-kelompok musuh, kalahkan mereka dan menangkan kami atas mereka.”
Nabi bersabda:
“Dua doa yang tidak akan ditolak atau jarang sekali ditolak ialah doa ketika azan dan doa ketika terjadi peperangan tatkala mereka sudah saling menyerang.”
Akad Dzimmah dan Hukum-Hukumnya
Akad dzimmah
Akad dzimmah ialah pemberian keamanan kepada orang-orang kafir yang mau memenuhi ajakan kaum muslimin untuk membayar jizyah serta berjanji kepada kaum muslimin untuk komitmen dengan syariat Islam dalam hukum pidana, seperti pembunuhan, pencurian, dan pencemaran nama baik.
Orang yang menerima akad dzimmah
Akad dzimmah ini hanya dilaksanakan oleh pemimpin atau wakilnya dari para komandan pasukan. Selain keduanya tidak mempunyai hak untuk menerima akad dzimmah. Berbeda dengan memberi perlindungan dan jaminan keamanan, maka bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita boleh memberi perlindungan dan jaminan keamanan, karena Ummu Hani’ bin Abu Thalib pernah memberi jaminan keamanan kepada seorang laki-laki dari kaum musyrikin pada saat pembebasan Mekah, lalu ia mendatangi Nabi dan menuturkan hal ini kepada beliau, lantas beliau bersabda:
“Sungguh, saya telah melindungi orang yang engkau lindungi dan memberi jaminan keamanan kepada orang yang engkau beri kemanan, wahai Ummu Hani”.
Cara membedakan ahlu dzimmah dan kaum muslimin
Antara ahlu dzimmah dan kaum muslimin wajib dibedakan dalam pakaian dan sebagainya agar mereka dapat dikenali. Ahlu dzimmah tidak boleh dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, sebagaimana pula tidak boleh berdiri untuk jenazah mereka, tidak boleh memberi salam kepada mereka, dan tidak boleh menempatkan mereka pada tempat duduk di bagian depan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“‘Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kamu bertemu mereka di jalan, maka paksalah mereka kepada jalan yang paling sempit.’”
Hal-hal yang dilarang dilakukan oleh ahlu dzimmah
Ada beberapa hal yang dilarang dilakukan oleh ahli dzimmah, di antaranya ialah:
- Membangun gereja, biara, atau merenovasi gereja yang telah roboh. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Gereja tidak boleh dibangun di negara Islam dan gereja yang runtuh tidak boleh direnovasi.”
- Meninggikan bangunan rumahnya melebihi rumah-rumah kaum muslimin. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandinginya.”
- Menampakkan diri di hadapan kaum muslimin ketika minum arak, makan babi, serta makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, Akan tetapi, mereka wajib bersembunyi ketika melakukan semua hal yang diharamkan atas kaum muslimin karena dikhawatirkan mengganggu mereka.
Hal-hal yang membatalkan akad dzimmah
Akad dzimmah menjadi rusak karena beberapa hal, di antaranya:
- Menolak membayar jizyah.
- Tidak komitmen dengan aturan yang disepakati dalam akad.
- Berbuat zalim kepada kaum muslimin dengan membunuh, merampok di jalan, memata-matai, menjadi mata-mata untuk musuh, atau berbuat zina dengan wanita muslimah.
- Menghina Allah, Rasul-Nya, atau kitab-Nya.
Hak-hak Ahlu Dzimmah
Ahli dzimmah mempunyai hak atas kaum muslimin untuk dilindungi jiwa, harta, dan kehormatan mereka serta tidak diganggu selama merekamasih memenuhi perjanjian mereka dan mereka tidak membatalkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa menyakiti orang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat.”
Apabila mereka merusak perjanjian mereka dan membatalkannya dengan melakukan perbuatan yang dapat merusak perjanjian, maka yang dihalalkan hanya darah dan harta mereka, bukan kaum wanita dan anak-anak mereka karena seseorang tidak dihukum karena dosa orang lain.
Gencatan Senjata, Perjanjian, dan Perdamaian
Gencatan Senjata
Diperbolehkan mengadakan gencatan senjata dengan orang-orang yang memerangi kaum muslimin jika dapat merealisasikan kemaslahatan yang nyata bagi kaum muslimin. Karena Nabi sering melakukan gencatan senjata pada peperangan beliau. Di antara gencatan senjata yang Nabi lakukan adalah dengan Yahudi Madinah pada saat beliau tinggal di Madinah, hingga orang-orang Yahudi lah yang merusak perjanjian dan mengkhianati Nabi, maka beliau memerangi mereka dan mengusir mereka dari Madinah.
Perjanjian Damai
Diperbolehkan mengadakan perjanjian untuk tidak saling menyerang dan hidup berdampingan antara kaum muslimin dengan pihak musuh apabila hal ini dalam rangka merealisasikan kemaslahatan yang unggul bagi kaum muslimin. Rasulullah pernah mengadakan perjanjian, beliau bersabda:
“Kita penuhi hak-hak mereka sesuai perjanjian mereka, dan kita memohon pertolongan kepada Allah untuk mengalahkan mereka.”
Allah berfirman:
“Kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7)
Rasulullah mengharamkan membunuh orang kafir yang melakukan perjanjian dengan bersabda:
“Barang siapa membunuh orang kafir yang mengadakan perjanjian, maka ia tidak akan dapat mencium aroma surga.”
“Aku tidak akan mengkhianati perjanjian, dan aku tidak akan menahan seorang utusan.”
Perdamaian
Kaum muslimin diperbolehkan berdamai dengan musuh-musuh mereka yang mereka kehendaki, jika terpaksa harus dilakukan dan perdamaian ini dapat merealisasikan beberapa manfaat bagi mereka yang tidak dapat dicapai kecuali dengan perdamaian.
Nabi pernah melakukan perdamaian dengan penduduk Mekah berupa perdamaian Hudaibiyah, beliau juga melakukan perdamaian dengan penduduk Najran atas harta yang mereka bayarkan, melakukan perdamaian dengan penduduk Bahrain dengan syarat mereka membayar jizyah kepada Nabi, dan berdamai dengan Ukaidir Daumah,“jiwa mereka dilindungi dengan syarat membayar fidyah.
Pembagian Ghanimah, Fai’, Kharaj, Jizyah, dan Naft
Pembagian Ghanimah
Ghanimah ialah harta yang diambil oleh kaum muslimin di negeri musuh. Ketentuan hukumnya, ghanimah dibagi lima. Pemimpin mengambil seperlima, lalu menyalurkannya untuk kemaslahatan kaum muslimin dan empat perlima sisanya dibagi-bagikan kepada para tentara yang ikut berperang, baik yang ikut perang maupun yang tidak. Ketentuan ini berdasarkan perkataan Umar ag, “Ghanimah ialah untuk orang yang menghadiri perang.”
Lantas tentara berkuda mendapat tiga bagian sedangkan tentara yang berjalan kaki mendapat satu bagian. Allah berfirman:
“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan.” (Al-Anfal: 41)
Catatan:
Tentara juga mendapat bagian ghanimah seperti pasukan detasemen. Apabila pemimpin mengutus pasukan detasemen, lalu mereka berhasil mendapat ghanimah, maka ghanimah tersebut dibagi kepada seluruh tentara dan tidak dikhususkan pada pasukan detasemen saja.
Fai’
Fai’ ialah harta yang ditinggalkan orang-orang kafir atau orang-orang yang wajib diperangi dan mereka telah lari sebelum diserang dan diperangi, Ketentuan hukumnya ialah pemimpin menyalurkannya untuk kemaslahatan khusus dan umum bagi kaum muslimin sebagaimana seperlima dalam ghanimah.
Allah berfirman:
“Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Al-Hasyr: 7)
Kharaj
Kharaj ialah pajak yang ditetapkan atas tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan kekerasan. Pemimpin umat Islam ketika menguasai suatu tanah dengan kekuatan berhak memilih antara membagikannya kepada para tentara perang, atau diwakafkan untuk kaum muslimin dengan cara mengenakan kharaj atas orang yang menguasai tanah tersebut, baik muslim maupun kafir dzimmi yang dibayarkan setiap tahun secara terus menerus. Setelah dipungut pajaknya, lalu diinfakkan untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, sebagaimana yang dilakukan Umar terhadap daerah yang dibebaskannya, meliputi Syam, Irak, dan Mesir.
Catatan:
Apabila pemimpin mengadakan perdamaian dengan musuh dengan syarat membayar kharaj dari tanah mereka, kemudian penduduk daerah tersebut masuk Islam, maka kewajiban membayar kharaj menjadi gugur karena mereka telah masuk Islam, berbeda dengan daerah yang dibebaskan dengan kekerasan.“
Jizyah
Jizyah ialah pajak yang dipungut dari ahli dzimmah di akhir tahun. Kadarnya bagi orang-orang yang daerahnya ditundukkan dengan kekerasan jalah 4 dinar emas atau 40 dirham perak. Jizyah dipungut dari laki-laki yang balig, bukan dari anak-anak dan wanita.
Kewajiban membayar jizyah gugur atas orang fakir yang tidak mampu bekerja karena sakit atau lanjut usia. Adapun orang yang melakukan perdamaian, maka dipungut dari mereka sesuai kesepakatan damai dan ketika mereka masuk Islam, maka gugurlah semua ini atas mereka. Jizyah disalurkan untuk kemaslahatan umum. Dalil mengenai jizyah ialah firman Allah :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Nafl (bonus)
Nafl ialah bonus yang diberikan oleh seorang pemimpin kepada seseorang yang meminta untuk mengerjakan tugas-tugas perang. Maka, sang pemimpin memberinya tambahan atas bagiannya dari ghanimah setelah dikeluarkan bagian seperlima. Dengan syarat bonus ini tidak melebihi seperempat ketika mereka ditugaskan untuk masuk ke daerah musuh dan tidak melebihi sepertiga apabila setelah mereka kembali dari daerah tersebut. Hal ini berdasarkan perkataan Habib bin Maslamah, “Saya pernah menyaksikan Rasulullah memberi nafl seperempat di dalam permulaan dan sepertiga ketika kembali.”
Tawanan Perang Para ulama dari kalangan kaum muslimin berbeda pendapat mengenai hukum tawanan perang dari kalangan orang-orang kafir. Apakah mereka dibunuh, diminta tebusan, dibebaskan, atau dijadikan budak? Faktor penyebab perbedaan pendapat ini ialah karena ayat-ayat tentang tawanan bersifat mujmal. Di antaranya ialah firman Allah
“Maka pukullah leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad: 4)
Ayat ini memberikan opsi kepada pemimpin untuk membebaskan tawanan tanpa tebusan atau meminta tebusan berupa harta benda, senjata, atau tentara sesuai yang ia kehendaki.
Sedangkan firman Allah
“Maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui. ” (At-Taubah: 5)
Ayat ini memutuskan untuk membunuh orang-orang musyrik tanpa menawan mereka untuk dibebaskan atau dimintai tebusan.
Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa pemimpin diberi opsi antara membunuh, meminta tebusan, membebaskan, atau menjadikan budak sesuai yang dia pandang baik untuk kemaslahatan kaum muslimin, karena terdapat hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah membunuh sebagian tawanan perang, meminta tebusan sebagian Jain, dan membebaskan sebagian lainnya lagi dalam rangka merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin secara umum. Ya Allah curahkanlah shalawat dan keselamatan kepada Nabi kami, Muhammad, para keluarganya, dan para sahabatnya.
Tujuan dari Olah Raga
Sesungguhnya tujuan dari semua olah raga yang di kenal pada masa permulaan Islam dengan furusiyah (kepandaian menunggang kuda) adalah untuk membantu menegakkan kebenaran serta membela kebenaran. Tujuannya bukanlah untuk mendapatkan harta dan mengumpulkannya, mencari populeritas, ingin dikenal, dan tidak pula hal yang menjadi kelanjutan dari hal tersebut, meliputi bersikap sombong di muka bumi dan membuat kerusakan di bumi, sebagaimana kebanyakan para olahragawan dewasa ini.
Sesungguhnya tujuan dari semua olah raga dengan berbagai macamnya ialah untuk menguatkan dan mencapai kemampuan untuk berjihad di jalan Allah. Berdasarkan tujuan ini, maka diwajibkan memahami olah raga dalam Islam. Barang siapa memahaminya tidak sesuai dengan tujuan ini, maka sungguh ia telah mengeluarkannya dari tujuan baik kepada tujuan buruk, meliputi hiburan yang batil dan perjudian yang haram. Dasar tentang disyariatkannya olah raga ialah firman Allah
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan.” (Al-Anfal: 60)
Dan sabda Rasulullah
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.”
Maksud dari kekuatan dalam Islam mencakup pedang, tombak, argumentasi, dan bukti.
Macam-macam Olah Raga yang Diperbolehkan Taruhan dan yang Tidak Diperbolehkan
Ulama sepakat tentang diperbolehkannya taruhan dalam perlombaan pacuan kuda, onta, dan memanah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak ada perlombaan kecuali dalam hewan yang bertapak kaki, yang berkuku serta memanah.”
Maksud dengan lomba ialah suatu olah raga yang dijadikan sebagai taruhan dan diambil oleh pihak yang menang dalam pacuan atau memanah. Sedangkan macam-macam olah raga selain ini, seperti gulat, renang, lari, balap sepeda atau mobil, angkat besi, pacuan bagal atau keledai,dan dayung, perlombaan masalah-masalah ilmiah dan mengunggulkannya, karena meskipun semua ini merupakan olah raga yang diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan menetapkan taruhan dan mengambilnya menurut pendapat yang shahih.
Adapun gulat yang dilakukan Rasulullah melawan Rukanah bin Zaid tidak dapat dijadikan sebagai dasar, karena Rasulullah #% ketika bergulat dengannya dan dapat mengalahkannya, beliau mengembalikan kambing yang dijadikan taruhan oleh Rukanah.
Begitu juga taruhan yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada orang-orang Quraisy tidak dapat dijadikan sebagai dalil taruhan, karena beliau mengambil taruhan dari orang Quraisy pada masa kemenangan Romawi, sementara waktu itu permulaan Islam sebelum turunnya banyak syariat.
Hikmah terbatasnya kebolehan taruhan dan mengambilnya hanya pada ketiga hal yang disebutkan dalam hadits, karena ketiga hal ini mempunyai pengaruh positif dalam jihad. Adapun macam-macam olah raga selain ketiganya, maka tidak ada pengaruh positif dalam jihad, karena jihad bertumpu pada mengendarai kuda, onta, dan memanah. Apabila tank-tank dan pesawat zaman sekarang disamakan dengan onta dan kuda, maka dianggap sah melakukan perlombaan ini dan mengambil taruhan, karena hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam berjihad yang merupakan tujuan dari semua olahraga fisik.
Seandainya Pembuat syariat mengizinkan mengambil taruhan dari berbagai macam olah raga selain ketiga olah raga yang disebutkan dalam hadits, pastilah sebagian manusia menjadikan olah raga sebagai opsesi mereka untuk mencari pencaharian dan mencari rezeki. Dengan demikian, tujuan mulia disyariatkannya olah raga yaitu menghimpun kekuatan untuk berjihad dalam rangka menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan di muka bumi, tepatnya agar hanya Allah semata yang disembah dan syariatNya dijalankan secara konsisten, sehingga manusia beruntung di dunia dan di akhirat tidak celaka.
Cara Menetapkan Taruhan di dalam Perlombaan Pacuan Atau Memansah
Sebenarnya yang lebih utama dalam taruhan pada perlombaan pacuan dan memanah adalah yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga sosial atau sebagian orang dermawan. Hal ini agar terlepas dari kecurigaan dan memang murni untuk memotivasi dan tidak ada yang diinginkan selain memberi semangat dalam persiapan jihad.
Di samping itu, tidak mengapa jika yang memberikan taruhan ialah salah satu dari dua orang yang melakukan pacuan atau lomba memanah. Misalnya salah seorang berkata kepada temannya, “Jika kamu dapat mendahuluiku, maka kamu mendapat sepuluh atau seratus dinar dariku.” Jumhur ulama membolehkan mereka berdua yang memberi taruhan mengikutsertakan orang ketiga yang tidak memberikan taruhan apa-apa.
Ini adalah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab dan ditolak oleh Imam Malik dan disetujui oleh lainnya.
Tata cara Lomba Pacuan Dan Memanah Dalam lomba pacuan harus memerhatikan beberapa hal berikut:
- Menentukan kendaraan, baik berupa kuda, onta, tank atau pesawat
- Menyatukan jenis kendaraan. Maka tidak boleh memperlombakan antara onta dan kuda.
- Memberi batas jarak, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh.
- Menentukan taruhan jika perlombaan disertai taruhan.
Kemudian kuda-kuda peserta lomba berada pada satu garis star yang sejajar. Selanjutnya wasit memerintahkan peserta lomba untuk bersiap-siap, lalu bertakbir tiga kali dan para peserta lomba mulai berangkat pada saat takbir terakhir. Di ujung garis finish ada dua wasit, mereka semua berdiri di tepi garis finish agar dapat melihat orang yang kali pertama sampai pada garis tersebut, lalu menentukan pemenangnya. Apabila lomba pacuan kuda dilakukan secara berkelompok, maka hadiah dibagikan kepada sepuluh peserta saja.
Pemenang utamanya adalah Al-Mujalli, lalu Al-Mushalli, At-Tali, AlBari’, Al-Murtah, Al-Khathi, Al-Athif, Al-Muammil, Al-Lathim, As-Sukit, dan Al-Fiskil. Sedangkan orang setelah Al-Fiskil tidak diberi apa-apa. Tidak diperbolehkan melakukan Al-Jalab dan Al-Janab dalam perlombaan, karena Rasulullah melarang hal ini melalui sabdanya:
“Tidak ada janab dan syighar dalam Islam.”
Al-Jalab ialah peserta lomba menyuruh seseorang untuk berteriak di dekat kudanya dan membentaknya agar berlari kencang. Sedangkan Al-Janab ialah peserta lomba mengambil kuda yang lain di sampingnya agar memacu dan menghalau kudanya untuk berlari.
Sedangkan lomba memanah, yaitu lomba melemparkan anak panah, pistol, atau senapan dan lain sebagainya. Lomba ini lebih utama daripada pacuan kuda dan semisalnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Memanahlah dan naiklah kuda! kalian memanah lebih aku suka daripada kalian menaiki kuda.”
Hal ini lantaran pengaruh memanah dalam kaitannya dengan jihad lebih kuat dibangingkan dengan menunggang kuda, sebagaimana telah diketahui.
Dalam lomba memanah harus diperhatikan beberapa hal berikut:
- Dilakukan oleh orang-orang yang telah ahli memanah.
- Mengetahui jumlah poin pada sasaran, yaitu dengan membatasinya dengan poin tertentu.
- Mengetahui sistem lomba memanah yang digunakan, apakah mubadarah atau mufadhalah. Mubadarah ialah keduanya berkata, “Siapa yang terlebih dahulu tepat mengenai sasaran sebanyak lima kali dari dua puluh lemparan, maka dialah yang menang.” Sedangkan mufadhalah ialah keduanya berkata, “Siapakah di antara kita yang lebih banyak mengenai sasaran dengan tepat dari dua puluh lemparan, maka dialah yang menang.”
- Membatasi sasaran dan menentukannya, dan hendaknya jaraknya cukup rasional, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Setelah sepakat memanah, maka salah satu dari keduanya memulai memanah. Jika keduanya sama-sama tidak mau giliran yang pertama, maka ditentukan dengan undian. Jika yang memulai pertama adalah pihak yang memberikan taruhan, maka ini lebih utama. Hendaklah perlombaan ini berjalan tanpa kecurangan dan kezaliman sampai selesai, Barang siapa yang memenangkan perlombaan ini, maka ia berhak mendapat hadiah.
Catatan:
Lomba pacuan dan memanah merupakan akad yang diperbolehkan, bukan akad wajib. Dengan demikian, masing-masing dari kedua peserta lomba dapat membatalkan akad kapan saja dia berkehendak. Barang siapa berkata, “Barang siapa dapat mengalahkanku, maka baginya sekian, maka hal ini merupakan janji darinya.
Jadi, tidak dapat dipaksa untuk melaksanakannya. Hanya saja pemilik janji tersebut melaksanakannya karena ketakwaan dan kedermawanan, karena mengingkari janji merupakan keharaman. Sedangkan orang yang berkata, “Siapa yang dapat saya kalahkan, maka hendaklah dia memberikan kepadaku sekian atau ia wajib memberi sekian.” Maka hal ini tidak boleh, karena cara ini keluar dari jenis perlombaan yang disyariatkan dan menjadi cara untuk mencari uang dengan menyelisihi syariat.
Perlombaan yang Tidak Dibolehkan, Baik Dengan Taruhan ataupun Tanpa Taruhan
Tidak diperbolehkan mengadakan pertandingan dan perlombaan dengan permainan dadu, catur, dan permainan-permainan zaman sekarang yang semisal keduanya, meliputi remi, kartu bridge, domino, bola pingpong, dan sebagainya. Permainan sepak bola diperbolehkan dengan syarat berniat menjaga kekuatan fisik agar mampu untuk berjihad, tidak membuka paha, tidak mengakhirkan shalat, tidak berkata kotor, dusta, dan ucapan buruk semisal mencaci, mencela, dan sebagainya.
Catatan:
Diperbolehkan bagi Donatur untuk menawarkan, “Barang siapa dapat menghafal sebagian dari Al-Qur’an sekian juz, atau sebagian hadits Rasulullah, atau barang siapa dapat memecahkan suatu permasalahan atau masalah matematika, maka baginya uang sekian atau barang ini.” Dengan tujuan memberi motivasi untuk menghafal kitab Allah dan sunah Rasulullah, dan menjaga kualitas keilmuan yang pasti dibutuhkan umat. Apabila peserta lomba berhasil, maka ia dapat mengambil hadiahnya jika berkehendak atau ia boleh tidak mengambilnya dan bagi orang yang membuat taruhan hendaknya menyerahkan hadiah kepada pemenang lomba.
Hukum Jual Beli, Hikmahnya dan Rukun-rukunnya
Hukum jaul Beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an yang mulia. Allah berfirman:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-Baqarah: 275)
Juga berdasarkan sunah qauliyah (perkataan Nabi dan amaliyah (perbuatan Nabi). Nabi pernah melakukan jual beli dan beliau bersabda:
“Janganlah penduduk kota menjual kepada penduduk kampung.”
“Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Hikmah Jual Beli
Hikmah disyariatkannya jual beli yaitu manusia dapat memenuhi kebutuhannya dari barang yang ada di tangan orang lain tanpa berdosa dan susah payah.
Rukun-rukun Jual Beli
Rukun jual beli ada lima, yaitu:
1.Penjual, penjual harus orang yang memiliki barang yang dijual atau ia diberi izin untuk menjualkannya dan haruslah orang yang pintar, bukan orang idiot.
- Pembeli, pembeli harus orang yang diperbolehkan melakukan transaksi, yaitu bukan orang idiot atau anak kecil yang belum diizinkan untuk transaksi.
- Barang yang dijual, barang yang dijual harus barang yang suci, dapat diserahterimakan, diketahui oleh pembeli meskipun dengan sifat-sifatnya.
- Lafal akad (transaksi), yaitu ijab dan qabul, baik dengan ucapan, misalnya “Juallah kepadaku sekian,” lalu si penjual berkata, “Ini saya jual kepadamu.” Atau dengan perbuatan, misalnya pembeli berkata, “Juallah pakaian itu kepadaku.” Lalu si penjual menyerahkan barang tersebut kepadanya.
- Saling rela. Maka tidak sah jual beli tanpa disertai kerelaan dari kedua belah pihak. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Sesungguhnya jual beli berdasarkan saling rela.”
Syarat-syarat Jual Beli yang Diperbolehkan dan yang Tidak Diperbolehkan dalam Jual Beli
Syarat-Syarat Yang Dibenarkan Dalam Jual Beli
Memberikan sifat-sifat tertentu dalam jual beli merupakan syarat jual beli yang diperbolehkan. Maka jika sifat yang disyaratkan ini terpenuhi, maka jual belinya sah. Jika tidak terpenuhi, maka akadnya batal. Misalnya, si pembeli kitab mensyaratkan kertasnya harus kuning atau membeli rumah dengan syarat pintunya dari besi.
Demikian juga diperbolehkan mensyaratkan manfaat tertentu, seperti penjual kendaraan mensyaratkan mengantarkan kendaraannya ke suatu tempat, atau penjual rumah mensyaratkan untuk menempati rumah satu bulan, atau si pembeli pakaian mensyaratkan dijahitkan, atau pembeli kayu mensyaratkan kayunya dibelahkan, karena Jabir pernah mensyaratkan kepada Rasulullah untuk ia menaiki onta padahal untanya dijualnya kepada Rasulullah
Syarat Jual Beli yang Tidak Diperbolehkan
- Mengumpulkan dua persyaratan dalam satu jual beli. Misalnya pembeli kayu bakar mensyaratkan agar kayu bakarnya dibelah dan diantarkan. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Tidak diperbolehkan hutang dan jual beli, dan tidak boleh pula dua syarat dalam jual beli.”
- Mensyaratkan sesuatu yang merusak inti jual beli, misalnya penjual ternak mensyaratkan agar pembelinya tidak menjualnya lagi atau mensyaratkan agar si pembeli tidak menjual kepada Zaid, atau memberikannya kepada Umar, atau mensyaratkannya agar dia memberi hutangan kepadanya, atau mensyaratkan agar si pembeli menjual sesuatu kepadanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidak diperbolehkan hutang dan jual beli, tidak boleh pula dua syarat dalam jual beli, dan tidak boleh menjual barang yang belum ada pada dirimu.”
- Syarat batal yang akadnya tetap dianggap sah, tetapi syaratnya batal. Misalnya penjual mensyaratkan tidak dirugikan ketika menjual kepada pembeli, atau penjual budak mensyaratkan bahwa anak-anak budak menjadi miliknya. Syarat dalam kedua contoh ini batal sedangkan jual belinya sah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah, makasyaratitu batal meskipun ada seratus persyaratan.”
Hukum Khiyar Dalam Jual Beli
Khiyar dalam jual beli disyariatkan pada beberapa masalah, yaitu:
- Selama penjual dan pembeli masih dalam satu tempat dan belum berpisah. Maka masing-masing dari keduanya mempunyai opsi untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya bersikap jujur dan berterus terang, maka jual beli keduanya diberkahi. Akan tetapi, Jika keduanya menyembunyikan aib dan berdusta, maka dileburlah keberkahan jual beli keduanya itu.”
- Apabila salah satu dari penjual atau pembeli mensyaratkan khiyar berlangsung sampai waktu tertentu, lalu keduanya menyepakatinya, maka keduanya mempunyai hak khiyar sampai waktunya habis, kemudian jual beli tersebut berlangsung. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Orang-orang muslim itu ada pada syarat-syarat mereka.”
- Apabila salah satu dari keduanya menipu pihak yang lain dengan tipuan yang keji, yaitu tipuannya mencapai sepertiga atau lebih dari harga standar, misalnya barang senilai sepuluh dijual lima belas, maka pembeli boleh membatalkan atau membelinya dengan harga standar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi kepada seseorang yang tertipu ketika membeli karena akalnya yang lemah:
“Orang yang melakukan perjanjian denganmu, maka katakan, ‘Tidak ada pengkhianatan’,”
Karena jika ada pihak yang menipu dalam jual beli, maka pembeli dapat mendatangi orang yang menipu dan meminta kembali kelebihannya atau dengan membatalkan jual beli.
- Apabila penjual menyembunyikan aib barang yang dijual dengan memperlihatkan kebaikannya dan menyamarkan keburukannya, atau menampakkan barang yang layak dan menyembunyikan barang yang rusak, atau menahan air susu kambing dalam kantong kelenjar susunya, maka pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan jual beli atau melanjutkannya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
‘Janganlah kalian sengaja menahan air susu onta dan kambing. Barang siapa menjualnya setelah itu, maka ia (pembeli) boleh memilih dua pilihan setelah memerah susunya. Jika ia berkehendak, ia dapat mempertahankannya, namun jika ia berkehendak, ia boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.”
- Apabila ditemukan cacat yang dapat mengurangi harga pada barang yang dijual sedangkan pembeli belum mengetahui dan merelakannya pada saat tawar-menawar, maka pembeli mempunyai hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Tidaklah halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang didalamnya terdapat cacat, kecuali ia harus menjelaskan cacat tersebut.”
“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
- Apabila penjual dan pembeli berselisih mengenai harga atau ciri-ciri barang yang dibeli, maka masing-masing dari keduanya bersumpah kepada pihak yang lain, kemudian keduanya mempunyai hak khiyar untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila kedua orang yang melakukan jual beli berselisih, sedangkan barang dagangannya ada dan tidak ada saksi bagi salah satunya, maka keduanya disumpah.”
Penjelasan Macam-macam Jual Beli yang Dilarang
Rasulullah melarang beberapa macam jual beli, karena di dalamnya terdapat gharar (spekulasi) yang dapat mengakibatkan memakan harta orang Lain dengan batil dan terdapat tipuan yang dapat memicu rasa dendam, pertikaian, dan permusuhan antara kaum muslimin.
Di antara jual beli yang dilarang ialah:
- Menjual barang dagangan yang belum diterima.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim membeli barang dagangan, kemudian ia menjualnya kepada orang lain sebelum ia menerima barang tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila engkau membeli suatu barang, maka janganlah engkau menjualnya sebelum engkau menerima barang tersebut.”
“Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sebelum menyempurnakannya.”
Ibnu Abbas berkata, “Saya tidak menganggap segala sesuatu kecuali sama dengan hal ini.”
- Menjual di atas penjualan seorang muslim lainnya.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim ketika saudaranya sesama muslim sedang membeli dagangan seharga lima, lalu ia berkata kepadanya, “Kembalikan barang itu kepada penjualnya, saya akan menjual barang seperti itu kepadamu dengan harga empat.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Janganlah sebagian dari kalian menjual di atas penjualan orang lain.”
- Jual beli najasy.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menawar suatu barang dengan harga lebih tinggi padahal ia tidak ingin membelinya, hanya saja ia ingin agar orang-orang yang menawar barang tersebut tertarik untuk membelinya, sehingga ia membujuk si pembeli. Sebagaimana pula tidak diperbolehkan berkata kepada seseorang yang hendak membeli barang, “Sesungguhnya barang ini telah dibeli dengan harga sekian,” padahal ia berdusta dengan tujuan menipu si pembeli, baik hal ini dilakukan dengan cara bersekongkol dengan pemilik barang atau pun tidak. Ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar:
Rasulullah melarang najasy.”
Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian melakukan najasy.”
- Menjual barang haram dan najis.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual barang haram, najis, dan barang yang dapat mengantarkan kepada keharaman. Dengan demikian, tidak diperbolehkan menjual arak, babi, gambar, bangkai, berhala, dan anggur yang akan dibuat menjadi arak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Sungguh, Allah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi, dan berhala.”
“Allah melaknat orang-orang yang menggambar.”
“Barang siapa menahan (menimbun) anggur pada hari-hari panen lalu ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang membuatnya menjadi arak, maka sungguh ia masuk ke dalam neraka dengan seyakin-yakinnya.”
- Jual beli gharar (spekulasi)
Tidak diperbolehkan menjual sesuatu yang di dalamnya terdapat gharar. Dengan demikian, tidak diperbolehkan menjual ikan di dalam air, bulu domba yang masih menempel di punggungnya, janin hewan yang masih di dalam kandungan, susu yang masih di dalam puting susu, buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, biji-bijian yang belum mengeras, jual beli dagangan sebelum melihat, mengecek, dan memeriksa barang dagangan jika barangnya ada di hadapan. Atau tanpa menyebutkan ciri-cirinya, macamnya, dan kuantitasnya jika barangnya tidak ada di hadapan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
‘Janganlah kalian membeli ikan di dalam air, karena hal ini merupakan gharar.’
Dalam riwayat Ibnu Umar juga disebutkan:
“Rasulullah melarang menjual kurma sebelum layak dimakan, bulu yang masih di atas punggung, susu yang masih di dalam putingnya, dan lemak di dalam susu.”
“Rasulullah melarang menjual buah-buahan sebelum memerah.”
Ibnu Umar juga berkata, “Apabila Allah melarang buah-buahan, maka dengan apa engkau mengambil harta saudaramu secara halal?”
Abu Sa’id Al-Khudri juga meriwayatkan:
“Rasulullah melarang mulamasah dan mundabadzah dalam jual beli.”
Muldémasah ialah seseorang menyentuh pakaian orang lain (sebagai transaksi) dengan tangannya di malam hari atau siang hari tanpa membolak-balikkan nya, sedangkan mundbadzah ialah seseorang melemparkan pakaian miliknya dan pihak lain melemparkan pula, dan proses itu sebagai transaksi jual beli mereka tanpa melihat, memeriksa, dan membolak-balikkan.
- Jual beli dua transaksi dalam satu akad.
Seorang muslim tidak diperbolehkan melakukan jual beli dengan dua transaksi dalam satu akad. Akan tetapi, masing-masing dilakukan dengan akad yang berbeda, karena hal ini terdapat ketidakjelasan yang dapat mengantarkan kepada kerugian seorang muslim atau memakan harta orang lain tanpa hak.
Ada beberapa contoh jual beli dengan dua transaksi dalam satu akad. Di antaranya:
Seseorang berkata, “Saya menjual barang ini kepadamu seharga sepuluh secara kontan atau lima belas dengan bertempo.” lIa memberlangsungkan jual beli ini tanpa menjelaskan kepadanya mana dari kedua transaksi tersebut yang dia sahkan.
Contoh lainnya, seseorang berkata, “Saya menjual rumah ini kepadamu seharga sekian dengan syarat engkau menjual barang ini dengan harga sekian.”
Contoh lainnya, seseorang menjual salah satu dari dua barang yang berbeda seharga satu dirham, dan ia memberlangsungkan akad tersebut tanpa pembeli mengetahui barang mana di antara keduanya yang dibeli.
Larang jual beli ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi:
“Bahwasanya beliau melarang dua transaksi dalam satu akad.”
- Jual beli dengan sistem urbun (uang muka).
Seorang muslim tidak diperbolehkan melakukan jual beli dengan sistem urbun, atau mengambil uang muka secara kontan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi:
“Bahwasanya beliau melarang jual beli urbun.”
Imam Malik menjelaskan hadits tersebut yaitu seseorang membeli suatu barang atau menyewa kendaraan, lalu ia berkata, “Saya memberimu satu dinar dengan catatan jika saya membatalkan jual beli atau sewa, – maka satu dinar yang telah saya berikan menjadi milikmu.”
- Menjual barang yang tidak ada pada penjual.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual dagangan yang belum ada pada dirinya atau menjual suatu barang yang belum jadi miliknya, karena hal ini.dapat menimbulkan gangguan kepada penjual dan pembeli ketika tidak dapat mengambil barang yang dijual. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
“Janganlah engkau menjual barang yang belum ada pada dirimu. “
“Dan beliau melarang menjual sesuatu sebelum menerima barangnya.”
- Jual beli hutang dengan hutang.
Seorang muslim tidak diperbolehkan jual beli hutang dengan hutang, karena hal ini sama halnya dengan menjual barang yang tidak ada dengan barang yang tidak ada, sedangkan Islam tidak memperkenankan hal ini.
Contoh jual beli hutang dengan hutang ialah engkau mempunyai piutang pada orang lain satu kati biji kopi dengan bertempo, lalu engkau menjualnya dengan seratus real dengan bertempo pula.
Contoh lain, engkau mempunyai piutang pada orang lain seekor kambing bertempo. Ketika telah jatuh tempo, orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya kepadamu, lalu ia berkata, “Juallah kambing itu kepadaku dengan lima puluh real dengan tempo yang lain.” Berarti engkau telah menjual kepadanya hutang dengan hutang. Sungguh, Rasulullah telah melarang jual beli tempo dengan tempo.” Maksudnya jual beli hutang dengan hutang.
- Jual beli dengan sistem inah.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual suatu barang secara bertempo, lalu si penjual membelinya lagi dari pembelinya dengan harga yang lebih murah dari harga semula ia menjual,jika ia telah menjualnya seharga sepuluh, kemudian ia membelinya lagi seharga lima, berartisama saja ia memberikan lima dengan bertempo diganti dengan sepuluh. Jual beli ini merupakan esensi dari riba nasi‘ah yang diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
‘Jika manusia kikir akan dinar dan dirham, melakukan jual beli inah sambil memegang ekor lembu serta meninggalkan jihad di jalan Allah, pastilah Allah akan menurunkan bencana kepada mereka. Bencana itu tidak akan diangkat, sehingga mereka kembali kepada agama mereka.”
Ada seorang wanita berkata kepada Aisyah, “Sungguh saya menjual budak kepada Zaid bin Al-Arqam seharga 800 dirham secara kredit dan saya membelinya lagi seharga 600 dirham secara kontan.” Lantas Aisyah berkata, “Alangkah buruknya barang yang engkau beli dan alangkah buruknya barang yang engkau jual. Sungguh, jihadnya (Zaid bin Al Arqam) bersama Rasulullah menjadi rusak kecuali jika ia bertobat.”
- Jual beli penduduk kota kepada penduduk pedalaman.
Apabila ada seorang pedalaman atau orang asing datang membawa barang dagangan dan hendak menjualnya di pasar sesuai harga pasar hari itu, maka tidak boleh bagi orang kota berkata kepadanya, “Tinggalkanlah daganganmu kepadaku dan saya yang akan menjualkan daganganmu setelah hari ini atau beberapa hari lagi dengan harga yang lebih besar dari harga hari ini,” padahal orang-orang sangat membutuhkan barang tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
‘Janganlah orang kota menjualkan (dagangan) milik orang pedalaman. Biarkanlah orang-orang, maka Allah akan memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang lain.”
- Membeli dari kafilah dagang.
Seorang muslim tidak diperbolehkan mencari info dagangan yang akan datang ke suatu daerah, lalu dia keluar untuk mencegat kafilah dagang tersebut ketika masih di luar daerah untuk membeli dagangan mereka di tempat itu, kemudian ia masuk ke daerahnya dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi, karena dalam perbuatan tersebut terdapat penipuan kepada pemilik dagangan dan merugikan penduduk daerah, baik para pedagang maupun lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjualkan (dagangan) milik orang pedalaman.”
- Jual beli Musharrah.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menahan susu kambing, sapi, atau onta dengan tujuan menghimpun susu di dalam putingnya selama beberapa hari agar terlihat seakan-akan hewan perah sehingga orang-orang tertarik membelinya, lantas ia menjual hewan tersebut, karena hal ini mengandung tipuan dan pengkhianatan. Nabi bersabda:
“Janganlah kalian sengaja menahan susu onta dan kambing. Barang siapa menjualnya setelah itu, maka ia (pembeli) boleh memilih dua pandangan setelah memerah susunya. Jika ia berkehendak, ia dapat mempertahankannya. Dan jika ia berkehendak, ia boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.”
- Jual beli ketika azan kedua shalat Jumat dikumandangkan.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual atau membeli suatu barang padahal azan kedua shalat Jumat yang imam telah berada di atas mimbar telah dikumandangkan. Ini berdasarkan firman Allah
“Hai orang-orang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al-Jumu’ah: 9)
- Jual beli muzabanah dan muhaqalah.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual anggur di pohonnya secara perkiraan dengan anggur kering yang ditakar, tidak boleh pula menjual biji-bijian di dalam bulirnya dengan biji-bijian yang ditakar, dan tidak boleh pula menjual kurma di pohon secara perkiraan dengan kurma kering yang ditakar kecuali jual beli araya. Nabi telah memberi keringanan dalam jual beli araya. Jual beli araya yaitu seorang muslim memberikan kepada saudaranya sesama muslim pohon kurma atau beberapa pohon kurma yang kurmanya tidak melebihi lima wasaq, kemudian ia merasa terganggu dengan masuk ke dalamnya setiap kali hendak memetik buahnya, maka ia membelinya secara perkiraan dengan kurma kering.
Dalil masalah pertama ialah hadits riwayat Ibnu Umar
“Rasulullah melarang muzabanah.”
Muzabanah ialah menjual pohon buah-buahan, jika berupa pohon kurma maka dijual dengan kurma kering satu takar, jika berupa pohon anggur maka dijual dengan anggur kering satu takar, jika berupa tanaman maka dijual dengan biji-bijian yang ditakar. Nabi melarang semua itu.”
Dalil muhaqalah ialah perkataan Zaid bin Tsabit :
“Bahwa Nabi memberi keringanan kepada pemilik ariyah untuk menjualnya dengan perkiraan.’”
- Jual beli dengan tsunaya.
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjual suatu barang dan mengecualikan sebagiannya, kecuali jika yang dikecualikan diketahui, Apabila seseorang menjual kebun, maka tidak sah jika ia mengecualikan satu pohon kurma atau satu pohon lainya yang tidak diketahui, karena hal ini mengandung spekulasi yang diharamkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Jabir:
“Rasulullah melarang dari muhaqalah, muzabanah, tsunaya kecuali jika diketahui.”
Jual Beli Pohon dan Buah-buahan
Apabila seorang muslim menjual pohon kurma atau pohon lainnya, sedangkan jika pohon kurma telah diserbuki dan pohon yang lain buahnya telah tampak, maka buah-buahan ini menjadi milik si penjual kecuali jika si pembeli mensyaratkan untuknya. Jika tidak, maka buah tersebut masih milik si penjual. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Barang siapa menjual pohon kurma setelah diserbukkan, maka buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya.”
Riba dan Sharf
Riba
Pengertian Riba
Riba ialah tambahan pada harta-harta tertentu. Riba ada dua macam, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba fadhl yaitu menjual barang dengan barang lain yang sejenis yang perlaku hukum ribawi dan ukurannya tidak sama. Misalnya, menjual satu kuintal gandum dengan satu kuintal lebih seperempat gandum, menjual satu sha’ kurma dengan satu setengah sha’ kurma, atau menjual satu uqiyah perak dengan satu uqiyah lebih satu dirham perak.
Riba nasi’ah ada dua macam, yaitu riba jahiliah sebagaimana yang dijelaskan keharamannya oleh Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali Imran: 130)
Hakikat riba di sini ialah seseorang mempunyai piutang bertempo pada orang lain, namun ketika telah jatuh tempo ia berkata kepadanya, “Kamu melunasi hutangmu atau saya akan menambah lagi utangmu.” Jika ia tidak dapat melunasinya, maka ia akan menambahnya sesuai dengan kuantitas hartanya dan ia akan memberi tenggat waktu lagi. Demikian seterusnya hingga pada suatu saat hutangnya menjadi berlipat ganda.
Termasuk pula riba jahiliah ialah memberikan pinjaman kepada orang lain sepuluh dinar namun harus dikembalikan dengan lima belas dinar secara bertempo, baik dalam waktu dekat maupun lama.
Adapun riba nasi’ah yaitu menjual barang yang berlaku hukum riba, seperti emas dan perak, gandum, jewawut, atau kurma dengan barang lain yang berlaku hukum riba secara bertempo. Misalnya, seseorang menjual satu kuintal kurma dengan satu kuintal gandum secara bertempo atau menjual sepuluh dinar emas dengan seratus dua puluh dirham perak dengan bertempo.
Hukum riba
Hukum Riba haram berdasarkan firman Allah
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali Imran: 130)
Dan sabda Rasulullah
“Allah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, dua orang saksinya dan penulisnya.’
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu itu, lebih berat (dosanya)daripada tiga puluh kali zina.”
“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan seberat-berat riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim.”
‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara itu?” Nabi menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang Allah haramkan membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari pertempuran, menuduh wanita-wanita yang menjaga diri yang beriman yang tidak tahu-menahu dengan perbuatan buruk dengan tuduhan itu.’
Hikmah pengharaman riba
Di antara hikmah-hikmah diharamkannya riba sebagai tambahan dari hikmah-hikmah umum semua tuntutan syariat yaitu menguji keimanan seorang hamba dengan ketaatan, baik berupa tuntutan untuk melakukan perbuatan atau tuntutan meninggalkannya:
- Melindungi harta seorang muslim agar tidak dimakan dengan batil.
- Mengarahkan kaum muslimin untuk mengembangkan hartanya dengan cara-cara terhormat yang bersih dari rekayasa dan tipuan, serta jauh dari Hal-hal yang memberatkan kaum muslimin dan menimbulkan permusuhan di antara mereka, misalnya bertani, industri, perdagangan yang benar dan bersih.
- Menutup jalan yang dapat mengantarkan kepada permusuhan dan memberatkan kepada saudara sesama muslim serta Hal-hal yang menimbulkan kebencian.
- Menjauhkan seorang muslim dari hal yang dapat menyebabkan kebinasaan, karena pemakan riba adalah orang yang zalim, sedangkan akibat dari kezaliman adalah keburukan. Allah berfirman:
“Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa diri-mu sendiri.” (Yunus: 23)
Rasulullah bersabda:
“Hindarilah kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat! Jauhilah sifat kikir, karena kikir itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.’
- Membuka pintu-pintu kebaikan pada diri seorang muslim untuk dijadikan bekal di akhirat, yaitu dengan menghutangi saudaranya tanpa bunga, memberi pinjaman dan menunggu sampai mampu melunasi, memberi kemudahan dan menaruh rasa kasihan dalam rangka mencari rida Allah. Karena hal ini terkandung yang dapat menebarkan kasih sayang di antara kaum muslimin, mewujudkan rasa persaudaraan dan saling tulus di antara mereka.
Hukum-hukum riba
- Pokok-pokok riba. Pokok-pokok riba ada enam, yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Emas (ditukar) dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, silakan jual sekehendakmu jika dilakukan dengan kontan.” Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam menyamakan setiap benda yang sama dengan keenam benda ini dalam esensi dan illatnya, yaitu benda yang ditakar atau ditimbang berupa makanan yang dapat disimpan, seperti biji-bijian, minyak, madu, dan daging.
Sa’id bin Al-Musayyab. berkata, “Tidak ada riba kecuali dalam benda yang ditakar atau ditimbang dari makanan atau minuman.”
2, Semua benda ribawi terdiri dari tiga macam:
Pertama, menjual benda dengan benda lain yang sejenis, seperti emas dijual dengan emas, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dengan kadar yang berbeda. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Asy-Syaikhani:
“Bahwa Bilal datang menghadap Nabi dengan membawa kurma barni, lau Nabi bertanya kepadanya, ‘Dari mana kurma ini wahai Bilal?’ Ia menjawab, ‘Saya mempunyai kurma buruk, lalu saya menjualnya dua sha’ dengan satu sha’ agar dapat memberikannya kepada Nabi.’ Lantas Nabi bersabda, ‘Aduh.. aduh.., ini benar-benar riba. Janganlah engkau melakukan hal ini. Akan tetapi, jika engkau ingin membeli (kurma yang baik), maka juallah kurmamu dengan penjualan yang lain, kemudian belilah (kurma yang baik) dengan hasil penjualanmu’.”
Kedua, menjual benda dengan benda lain yang berbeda jenis, seperti menjual emas dengan perak, atau gandum dan kurma dengan selainnya sedangkan salah satunya barangnya kontan dan lainnya tidak kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Janganlah kalian menjual dari barang-barang itu dalam keadaan tidak kontan dengan barang kontan.”
‘Juallah emas dengan emas dengan saling serah terima.”
“Emas dijual dengan perak merupakan riba kecuali dibayar dengan kontan.”
Ketiga, menjual benda dengan benda yang sejenis dengan kadar yang sama, tetapi salah satunya tidak kontan, seperti emas dijual dengan emas, kurma dengan kurma, dengan kadar yang sama, hanya saja salah satu dari keduanya tidak kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Gandum dijual dengan gandum merupakan riba kecuali dibayar dengan kontan.”
- Tidak ada riba jika dilakukan secara kontan dan berbeda jenis.
Riba tidak akan terjadi pada jual beli dua barang yang berbeda jenis dan harga kecuali jika salah satu dari keduanya tidak kontan dan barang tersebut bukanlah emas dan perak. Dengan demikian, diperbolehkan menjual emas dengan perak dengan kadar berbeda, menjual gandum dengan kurma atau garam dengan jewawut dengan kadar berbeda asalkan saling serah terima. Yaitu salah satu dari keduanya tidak bertempo. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :
“Apabila jenisnya berbeda, maka silakan jual sekehendakmu jika dilakukan dengan kontan.”
Sebagaimana pula tidak ada riba dalam barang-barang ribawi yang dijual dengan emas dan perak yang kontan atau tidak, sama saja yang tidak kontan harga atau dagangannya. Rasulullah pernah membeli onta milik Jabir bin Abdillah ketika dalam perjalanan dan beliau tidak membayar harganya hingga sampai di Madinah, sebagaimana akad salam (pesan) diperbolehkan oleh Rasulullah melalui sabdanya:
“Barang siapa memesan sesuatu, maka hendaklah dia memesan dengan takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan tempo yang diketahui.”
Dalam akad salam (pesan), harga diberikan terlebih dahulu secara kontan, sedangkan barang yang dijual diakhirkan sampai waktu yang tertentu.
- Penjelasan tentang jenis-jenis barang ribawi
Barang ribawi jenisnya bermacam-macam. Menurut pendapat jumhur dari kalangan sahabat dan para imam bahwa emas merupakan jenis tersendiri, perak jenis tersendiri, gandum jenis tersendiri, jewawut jenis tersendiri, macam-macam kurma jenis tersendiri, kacang tanah merupakan jenis yang berbeda-beda, kacang panjang jenis tersendiri, kacang jenis tersendiri, beras jenis tersendiri, jagung jenis tersendiri, macam-macam minyak semuanya jenis tersendiri, madu jenis tersendiri, macam-macam daging merupakan jenis yang berbeda-beda, daging onta jenis tersendiri, daging sapi jenis tersendiri, daging kambing jenis tersendiri, daging burung jenis tersendiri, dan daging ikan jenis tersendiri.
- Makanan yang tidak berlaku hukum riba.
Tidak berlaku hukum riba pada buah-buahan dan sayur-mayur, karena makanan ini tidak dapat disimpan lama. Di samping itu, pada masa awal-awal Islam tidak termasuk barang-barang yang ditakar atau ditimbang, sebagaimana bahwa buah dan sayuran bukanlah termasuk makanan pokok seperti biji-bijian dan daging yang terdapat nash yang jelas dan shahih dari Nabi .
Catatan:
Pertama, tentang bank. Bank-bank yang ada di seluruh dunia Islam mayoritas memberlakukan riba. Bahkan, ia tidak menetapkan kecuali atas dasar riba murni. Dengan demikian, tidak diperbolehkan melakukan transaksi dengan bank kecuali dalam keadaan darurat, seperti pindah dari satu negara ke negara lain. Berdasarkan hal ini merupakan kewajiban atas orang-orang saleh dari kaum muslimin untuk mendirikan bank-bank syariah yang jauh dari riba dan lepas seluruh transaksi-transaksi riba.
Inilah kira-kira gambaran bank Islam yang diusulkan untuk didirikan: saudara sesama muslim dari penduduk daerah berkumpul dan sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga yang disebut kas jamaah. Mereka memilih seseorang di antara mereka yang dapat menjaga dan pandai dalam mengatur dan menjalankannya. Kas ini hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan berikut:
- Menerima tabungan (menjaga amanah para saudara) tanpa kompensasi.
- Memberi pinjaman kepada sesama saudara berupa pinjaman yang sesuai dengan keinginan dan usaha mereka tanpa bunga.
- Mengadakan kerja sama di bidang-bidang pertanian, perdagangan, pembangunan, dan industri. Jadi, kas ini berkontribusi dalam segala bidang yang dipandang dapat menjadi lahan usaha dan mendapatkan keuntungan bagi kas.
- Membantu mentransfer uang saudara dari satu daerah ke daerah lain tanpa biaya jika kas ini mempunyai cabang di daerah yang dituju.
- Setiap awal tahun dihitung total aset kas, dan keuntungan di bagikan kepada pemilik saham sesuai kadar saham mereka di dalam kas.
Kedua, Asuransi.
Tidak masalah penduduk suatu daerah dari kalangan muslimin yang saleh mengumpulkan dana. Mereka berkontribusi sesuai keinginan mereka perbulan atau sesuai kesepakatan mereka mengenai kontribusi tiap-tiap individu dengan bagian tertentu dengan jumlah yang sama. Dana ini disalurkan secara khusus kepada para saudara yang ikut bergabung. Jadi, barang siapa mengalami suatu musibah, semisal kebakaran, kehilangan, atau sesuatu yang menimpa badannya, maka ia diberi dari dana tersebut yang dapat membantu meringankan musibahnya. Hanya saja semestinya memperhatikan Hal-hal berikut:
- Orang yang berkontribusi hendaknya berniat karena Allah agar ia mendapat pahala lantaran melakukan hal tersebut.
- Kadar yang diberikan kepada pihak yang mengalami musibah besarannya sama, sebagaimana premi dari orang-orang yang berkontribusi juga ditetapkan besarannya agar terjadi kesetaraan yang sempurna.
- Tidak ada larangan untuk mengembangkan dana ini melalui investasi dagang, kontrak kerja, dan kegiatan industri yang mubah.
Sharf
Definisi Sharf ialah pertukaran mata uang dengan mata uang lainnya, seperti menukarkan dinar emas dengan dirham perak.
Hukum Sharf
Sharf diperbolehkan karena termasuk kategori jual beli, sedangkan jual beli diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Allah berfirman:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-Baqarah: 275)
Dan sabda Nabi :
“Silakan jual emas dengan perak sekehendakmu jika dilakukan dengan kontan.”
Hikmahnya
Hikmah disyariatkannya sharf ialah menolong seorang muslim dalam menukar uangnya dengan uang lain karena ada kebutuhan.
Syarat-syaratnya
Diperbolehkan melakukan sharf dengan syarat saling serah terima di tempat akad, yaitu sama-sama kontan. Ini berdasarkan sabda Nabi :
“Silakan jual emas dengan perak sekehendakmu jika dilakukan dengan kontan.”
Perkataan Umar, “Tidak, janganlah kamu berpisah darinya hingga engkau mengambil barang darinya. Rasulullah telah bersabda:
‘Emas dijual dengan mata uang lain merupakan riba kecuali dibayar dengan kontan.’
Perkataan ini disampaikan kepada Thalhah bin Ubaidillah ketika Malik bin Aus menukarkan uang kepadanya, lalu ia mengambil beberapa dinar dan ia berkata, “Sehingga para penjagaku datang dari hutan.”! Maksudnya, ketika itu ia memberikan beberapa dirham.
Ketentuan Hukum Sharf
- Diperbolehkan menukar emas dengan emas, perak dengan perak apabila timbangannya sama, salah satunya tidak melebihi yang lain. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan dengan yang sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan dengan yang sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan.’
Dan hal ini dilakukan di dalam satu tempat. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Emas dijual dengan emas merupakan riba kecuali dibayar dengan kontan, perak dijual dengan perak merupakan riba kecuali dibayar dengan kontan.”
- Diperbolehkan berbeda kadarnya jika berbeda jenis, seperti emas ditukar, dengan perak apabila diserahterimakan di tempat akad. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Apabila jenisnya berbeda, maka silakan jual sekehendakmu jika dilakukan dengan saling serah terima.”
- Apabila kedua belah pihak berpisah sebelum serah terima, maka sharf batal. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Kecuali dibayar dengan kontan.”
“Dengan saling serah terima.”
Salam (pesanan)
Definisi salam Salam atau salaf ialah menjual sesuatu yang disebutkan ciri-cirinya dalam tanggungan, yaitu seseorang membeli barang, baik berupa makanan, binatang atau selain keduanya dengan kriteria tertentu dan diserahkan pada waktu tertentu, lalu si pembeli menyerahkan harganya dan menunggu waktu yang telah ditentukan untuk menerima barang. Ketika waktunya telah tiba, maka si penjual menyerahkan barang tersebut kepada pembeli.
Hukum salam
Salam hukumnya boleh, karena salam merupakan jual beli, sedangkan jual beli diperbolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
“Barang siapa memesan sesuatu, maka hendaklah dia memesan dengan takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan waktu yang diketahui.”
Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas
“Rasulullah datang ke Madinah sedangkan penduduk Madinah memesan buah-buahan untuk setahun, dua tahun, dan tiga tahun.”
Syarat-syarat salam
Jual beli dengan sistem salam diperbolehkan dengan persyaratan berikut:
- Pembayarannya dengan emas atau perak atau benda yang dapat menggantikan keduanya, yaitu uang kertas agar tidak terjadi barang ribawi ditukarkan dengan semisalnya secara tidak kontan.
- Barang yang dijual harus dibatasi dengan keriteria-kriteria yang lengkap, yaitu dengan menyebutkan jenisnya, macamnya, dan kadarnya sehingga tidak terjadi perselisihan antara seorang muslim dengan saudaranya yang berakibat pertengkaran dan permusuhan.
- Waktu penyerahannya harus diketahui dengan jelas dan waktunya lama, semisal setengah bulan atau lebih.
- Pembayaran diserahkan langsung di tempat akad sehingga tidak terjadi jual beli hutang dengan hutang yang diharamkan.
Dalil dari beberapa persyaratan ini ialah sabda Nabi:
“Barang siapa memesan sesuatu, maka hendaklah dia memesan dengan takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan tempo yang diketahui.”
Hukum-hukum salam
- Lama waktu penyerahan barang yang dipesan termasuk waktu yang memungkinkan terjadi perubahan harga pasar, misalnya sebulan dan semisalnya, karena akad salam dengan tempo penyerahan yang dekat hukumnya seperti jual beli, sedangkan di dalam jual beli disyaratkan melihat dan memeriksa barang yang dijual.
- Waktu penyerahan barang yang dipesan merupakan waktu yang pada umumnya barang tersebut dapat ditemukan. Dengan demikian, tidak sah memesan kurma basah di musim semi atau anggur di musim hujan, karena hal ini dapat memicu perpecahan antara kaum muslimin.
- Jika tempat penyerahan barang yang dipesan tidak disebutkan pada waktu pemesanan, maka barang pesanan wajib diserahkan di tempat akad. Jika tempat penyerahan disebutkan dan telah ditentukan tempat tertentu, maka tempat penyerahannya sesuai tempat yang ditentukan ketika akad. Ketika kedua pihak telah sepakat mengenai tempat penyerahannya, maka wajib diserahkan di tempat tersebut, karena orang-orang Islam sesuai dengan persyaratan mereka.
Format Surat Perjanjian Jual Beli:
Setelah menuliskan basmalah yang mulia, lalu berkata, “Wa ba’du, sungguh si Fulan ….. telah membeli untuk dirinya sendiri dari si Fulan …….. atas nama diri sendiri, keduanya dalam keadaan sehat, sempurna akalnya, dalam keadan boleh melakukan jual beli, dia membeli darinya dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri semua rumah yang ada di lokasi ini, kota ini dan desa ini, berupa tanah dan bangunan bagian atas dan bawah yang ciri-cirinya sebagaimana dapat disaksikan langsung.
Kedua belah pihak, penjual dan pembeli saling membenarkan bahwa rumah tersebut berisikan ini dan itu (dijelaskan secara lengkap), di sebelah Timur berbatasan dengan rumah si fulan, sebelah Barat dengan ini, sebelah Utara dengan ini, dan sebelah Selatan berbatasan dengan ini dan itu dengan seluruh pekarangannya, sisi-sisinya, jalan-jalannya, tinggi dan rendahnya, bebatuannya, kayu-kayunya, pintu-pintunya, jendela-jendelanya, tempat aliran airnya, seluruh kemanfaatan yang masuk ke dalamnya dan yang keluar darinya dengan pembelian secara syar’i, tanpa pengecualian dan persyaratan yang merusak dan menyacat jual beli, dengan harga sekian.
Si pembeli telah membayar kepada penjual telah disebutkan dengan harga yang telah disepakati, lalu pembeli pun menyerahkan uangnya dengan penyerahan secara syar’i, sedangkan penjual tersebut menyerahkan semua barang yang dijual yang telah disebutkan ciri-cirinya di atas, lalu pembeli menerima barang tersebut darinya dengan penerimaan secara syar’i.
Masing-masing dari kedua belah pihak memberi hak khiyar kepada pihak lain, maka keduanya dengan kesadaran dan kehendak sendiri telah memilih untuk melangsungkan dan menetapkan akad. Keduanya berpisah setelah keduanya mempersaksikan kepada dua orang yang mengenal keduanya. Mereka berdua adalah Fulan dan Fulan. Jual beli ini selesai pada tanggal sekian.”
Format Surat Perjanjian Akad Salam:
Setelah membaca Alhamdulillah, “Fulan mengaku bahwa ia telah menerima dari Fulan harga sekian untuk memesan gandum demikian dan demikian (sambil menyebutkan macamnya), dengan takaran Madinah sekian. Pesanan ini dilaksanakan setelah berlalu dua bulan penuh sejak tanggal transaksi dan barang diserahkan dj tempat Fulan. la mengaku memenuhi dan mampu melakukan hal tersebut dan telah menerima uang pembayaran akad salam secara syar’i di tempat akad dengan jumlah sekian. Jual beli ini selesai pada tanggal sekian..”
Syuf’ah dan Ketentuan Hukumnya
Definisi Syuf’ah
Syufah ialah pengambilan seseorang akan bagian asset mitra usahanya yang telah dijual kepada orang lain dengan harga sesuai harga dia jual.
Hukum-hukum syuf’ah
- Syufah sah secara syar’i. Ini berdasarkan ketentuan Rasulullah tentang syuf’ah.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah:
“Rasulullah menetapkan syufah pada harta yang dapat dibagi-bagi. Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi hak syufah.”
- Syuf’ah Tidak sah kecuali pada harta yang dapat dibagi. Jika tidak mungkin dibagi-bagi, seperti kamar mandi, dan ruang sempit, maka tidak sah dilakukan syuf’ah. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Pada harta yang dapat dibagi-bagi.”
3, Syuf’ah tidak berlaku pada benda yang dapat dibagi yang telah ditetapkan batasannya dan jalan-jalannya telah diatur. Ini berdasarkan sabda Nabi
“Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syufah.”
Hal ini lantaran setelah barang dibagi-bagi, maka yang semula mitra telah menjadi tetangga, dan tidak ada hak syufah bagi tetangga menurut pendapat yang shahih.
- Tidak ada syufah bagi benda-benda bergerak, seperti pakaian dan binatang.
Syufah hanya berlaku pada tanah bersama dan Hal-hal yang melekat pada tanah tersebut, meliputi bangunan dan tanaman. Hal ini lantaran tidak ada kerugian yang dapat diilustrasikan selain pada tanah dan halhal yang melekat pada tanah, sehingga kerugian ini perlu dihilangkan dengan syufah.
- Hak syufah menjadi gugur jika ia menghadiri akad atau mengetahui adanya jual beli yang dilakukan oleh mitranya, namun ia tidak menuntut hak syufahnya sampai berlangsung beberapa waktu. Ini berdasarkan hadits:
“Syufah bagi orang yang bersegera melakukannya.”
“Syufah itu seperti melepaskan belenggu kaki binatang.”
Kecuali jika ia tidak berada di tempat, maka ia masih mempunyai hak untuk menuntut hak syufah meskipun telah berlalu beberapa tahun yang lama.
- Hak syuf’ah menjadi gugur jika pembeli telah mewakafkan barang yang dibelinya, atau diberikan kepada orang lain, atau disedekahkan. Karena syufah akan membatalkan ibadah-ibadah ini. Sedangkan keabsahan ibadah lebih utama daripada menetapkan hak syufah, karena tujuan syuf’ah hanyalah untuk menghilangkan kerugian yang diduga.
- Pembeli berhak mendapatkan hasil dan hal yang bertambah dari barang yang dibelinya. Jadi, jika ia membangun atau menanam pada tanah yang dibelinya, maka bagi orang yang mempunyai hak syuf’ah dapat memiliki bangunan atau tanaman ini dengan membayar harganya atau mencabutnya serta mengganti kekurangannya, karena tidak boleh membuat bahaya dan tidak boleh membalas membuat bahaya.
- Perjanjian orang yang mempunyai hak syuf’ah terhadap pembeli dan perjanjian pembeli terhadap penjual. Orang yang mempunyai hak syufah berhak menuntut pembeli dan si pembeli berhak meminta kembali kepada penjual dalam segala sesuatu yang terkait dengan kewajiban syufah.
- Hak syuf’ah tidak dapat dijual dan diberikan kepada orang lain. Jadi, orang yang mempunyai hak syuf’ah tidak boleh menjual haknya atau memberikannya kepada orang lain, karena menjual atau memberikan hak syuf’ah bertentangan dengan tujuan syariat syuf’ah, yaitu menolak kerugian terhadap mitra.
Iqalah (Pembatalan)
Definisi lqalah
Iqalah ialah membatalkan jual beli, pengembalian uang kepada pembeli dan pengembalian barang kepada penjual ketika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menyesali jual beli.
Hukum Iqalah
Iqalah disunahkan jika salah satu dari kedua belah pihak memintanya. Ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa mau membatalkan jual beli seorang muslim, maka Allah akan membebaskan kesalahannya.”
“Barang siapa mau membatalkan jual beli orang yang menyesal, maka Allah akan membebaskannya pada hari Kiamat.”
Hukum iqalah Ketentuan hukum iqalah:
- Masih menjadi perselisihan apakah iqalah dianggap membatalkan jual beli yang pertama ataukah iqalah merupakan jual beli yang baru?
Imam Ahmad, Asy-Syafi’i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa iqalah membatalkan jual beli yang pertama, sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa igalah merupakan jual beli yang baru.
- Diperbolehkan melakukan iqalah jika sebagian barang yang dijual mengalami kerusakan.
- Dalam iqalah tidak boleh ada pengurangan atau kenaikan harga. Jika tidak demikian, maka tidak boleh melakukan iqalah. Ketika demikian, maka hal ini menjadi jual beli yang baru yang berlaku hukum-hukum jual beli secara penuh, berupa adanya hak syufah, disyaratkan serah terima di dalam makanan, dan lain sebagainya berupa redaksi jual beli dan lainnya.
Masyru’iyah Syarikah disyariatkan berdasarkan firman Allah
“(Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang), maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa’: 12)
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain.” (Shad: 24).
Makna khulathd’ adalah syurakd’, yang artinya serikat-serikat. Syarikah juga disyariatkan berdasarkan hadits Nabi
“Allah berfirman, ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama masing-masing dari keduanya tidak menghianati yang lain.”
“Tangan Allah di atas kedua orang yang berserikat selama keduanya tidak saling berkhianat.”
Definisi
Syarikah adalah berserikatnya dua orang atau lebih dalam uang yang mereka miliki dari harta warisan dan semisalnya, atau yang mereka kumpulkan bersama-sama untuk dikembangkan dalam perdagangan, industri, atau pertanian. Syarikah mempunyai berbagai bentuk yaitu:
Syarikah Inan
Syarikah inan adalah dua orang atau lebih dari orang-orang yang diperbolehkan mengelola sejumlah uang yang jumlahnya dibagi di antara mereka, atau dalam bentuk saham yang jelas dan telah ditentukan, kemudian mereka mengembangkan uang tersebut secara bersama-sama, keuntungannya dan kerugiannya dibagi di antara mereka sesuai saham yang mereka miliki. Masing-masing dari mereka memiliki hak untuk mengelola syarikah ini, baik atas namanya sendiri atau mewakili para mitra usahanya (sekutu), menjual, membeli, menerima barang, membayar barang, menagih utang, dan mengembalikan barang yang cacat.
Kesimpulan
Masing-masing dari mereka berhak mengerjakan apa saja yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi syarikah. Syarat-syarat keabsahan syarikah, yaitu:
- Hendaknya syarikah dilakukan di antara dua orang Muslim, karena non-Muslim tidak bisa dijamin bisa meninggalkan berinteraksi dengan riba atau harta haram ke dalam syarikah. Kecuali jika hak menjual dan membeli diurus oleh orang Muslim, karena dengan demikian tidak ada lagi penghalang, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran kalau orang non Muslim tersebut akan memasukkan harta haram ke dalam syarikah.
- Modal dan bagian masing-masing orang (anggota) harus jelas dan diketahui, karena keuntungan dan kerugian sangat terkait dengan diketahuinya modal dan saham. Sebab, apabila modal atau saham mereka tidak diketahui maka akan menyebabkan sekutu memakan harta orang lain secara batil, padahal ini diharamkan oleh Allah melalui firman-Nya:
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham. Jadi, sekutu tidak boleh berkata, “Jika kita mendapatkan keuntungan berupa kambing, maka menjadi milik si Fulan dan jika kita mendapatkan keuntungan berupa pohon rami maka menjadi milik si Fulan,” karena di dalamnya terdapat unsur gharar (ketidak jelasan) yang diharamkan.
Modalnya harus berupa uang. Jika ada yang memiliki perhiasan, maka perhiasan tersebut harus dihargai dengan uang sesuai harga pada hari itu, setelah itu baru bergabung dalam syarikah. Pasalnya, perhiasan itu tidak diketahui nilainya, sementara berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya adalah dilarang menurut syariat. Dan hal ini bisa menyebabkan menyia-nyiakan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
Pekerjaan harus diatur sesuai dengan jumlah saham sebagaimana dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Misalnya, anggota yang memiliki saham sebanyak 25% di syarikah, maka ia bekerja satu hari dalam empat hari. Jika para sekutu sepakat mengontrak pekerja, maka gajinya diambil dari uang modal sesuai dengan nilai saham para pemberi saham.
- Jika salah seorang sekutu meninggal dunia, syarikah menjadi batal. Jika misalnya ia gila, ahli warisnya atau walinya berhak membatalkan syarikah atau mempertahankannya berdasarkan akad awalnya.
Syarikah Abdan
Syarikah abdan ialah perserikatan dua orang atau lebih untuk sepakat bekerja dengan badannya. Contohnya, keduanya berserikat memproduksi sesuatu, menjahit, laundry, dan lain sebagainya, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi dua secara sama rata, atau berdasarkan kesepakatan keduanya.
Dalil dibolehkannya syarikah abdan ialah hadits yang diriwayatkan
Abu Daud bahwa Abdullah, Sa’ad dan Ammar berserikat pada perang Badar terhadap harta rampasan yang mereka peroleh dari orang-orang musyrikin.
Akhirnya, Ammar tidak mendapatkan apa-apa, Abdullah juga tidak mendapat apa-apa, sedangkan Sa’ad berhasil mendapatkan dua tawanan, kemudian Rasulullah membuat keduanya berserikat terhadap dua tawanan yang diperoleh Sa’ad. Ini terjadi sebelum disyariatkannya pembagian rampasan perang. !!”
Hukum-hukum Syarikah Abdan:
- Masing-masing dari kedua sekutu berhak meminta gaji dan menerimanya dari pihak yang menyewa.
- Jika salah satu dari dua sekutu sakit atau absen dari kerja karena uzur, maka apa yang diperoleh sekutu lainnya tetap dibagi di antara keduanya.
- Jika salah satu dari kedua sekutu absen kerja dan sakit hingga waktu yang lama, maka sekutu yang sehat berhak menunjuk orang lain untuk menggantikan sekutu yang sakit atau yang absen tersebut, kemudian gajinya tetap menjadi jatah sekutu yang sakit atau yang absen.
4, Jika salah satu dari kedua sekutu berhalangan hadir, maka sekutu yang satunya berhak membatalkan syarikah.
Syarikah Wujuh
Syarikah wujuh adalah perserikatan dua orang atau lebih untuk membeli dan menjual barang dengan jabatan keduanya, dan keuntungannya dibagi untuk keduanya. Kerugian juga dibagi di antara keduanya, seperti halnya pembagian keuntungan.
Syarikah Mufawadzah
Syarikah mufawadzah jangkauannya lebih luas daripada syarikah inan, atau syarikah abdan, atau syarikah wujuh, karena syarikah mufawadhah mencakup semua syarikah tersebut dan mencakup mudharabah juga.
Syarikah mufawadzah ialah salah satu dari orang yang berserikat menyerahkan semua pengelolaan uang dan aktivitas fisik dari jenis syarikah. Ia menjual, membeli, mengadakan mudharabah, melakukan perwakilan, bersengketa, menggadaikan, bepergian, dan lain sebagainya kepada sekutu satunya, kemudian keuntungannya dibagi di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan keduanya, dan kerugiannya dibagi sesuai dengan jumlah uang keduanya.
Mudharabah
Definisi Mudharabah Mudharabah atau pinjaman ialah seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang lain untuk modal usaha, dan keuntungannya dibagi di antara keduanya sesuai dengan syarat yang disepakati oleh keduanya, Sedangkan kerugian ditanggung oleh si pemodal, karena kerugian yang didapatkan oleh si pekerja sudah cukup dengan kelelahan yang dialaminya. Oleh karena itu, kenapa ia harus dibebani dengan kerugian yang lain? Masyruiyyah Mudharabah Mudharabah disyariatkan berdasarkan ijmak para sahabat, dan para imam.
Mudharabah juga pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan beliau menetapkannya.
Hukum-hukum Mudharabah
Hukum-hukum mudharabah adalah sebagai berikut:
- Mudharabah harus dilakukan di antara kaum Muslimin yang diperbolehkan mengelola harta. Mudharabah juga boleh dilakukan antara orang Muslim dengan orang kafir dengan syarat modalnya dari orang kafir dan yang bekerja adalah orang Muslim, karena orang kafir tidak bisa dijamin meninggalkan transaksi dengan riba atau harta yang haram.
- Modalnya harus diketahui.
- Bagian keuntungan bagi pekerja harus ditentukan. Jika tidak ditentukan, ia berhak mendapatkan upah atas kerjanya dan pemilik modal berhak atas seluruh keuntungan. Tapi jika keduanya berkata, “Keuntungan menjadi milik kita bersama,” maka keuntungannya dibagi sama rata antara mereka berdua.
- Jika kedua belah pihak (pemodal dan pekerja) tidak sepakat tentang bagian yang disyaratkan; apakah seperempat atau setengah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemodal yang disertai dengan bersumpah.
- Pekerja (peminjam) tidak boleh melakukan mudharabah dengan orang lain jika merugikan harta orang pertama, kecuali jika orang pertama mengizinkannya, karena menimpakan kerugian kepada sesama kaum Muslimin itu di haramkan
- Keuntungan tidak dibagi selama akad masih berlangsung, kecuali jika kedua belah pihak rela dan sepakat melakukan pembagian keuntungan.
- Modal itu selamanya diganti dari keuntungan. Maka seorang pekerja tidak berhak sedikit pun atas keuntungan kecuali setelah modal diganti dari keuntungan. Ini jika keuntungan belum dibagi. Jika keduanya berdagang kambing kemudian mendapatkan keuntungan dan masing-masing dari keduanya mendapatkan bagian keuntungannya, kemudian berdagang biji-bijian atau pohon rami kemudian modal mengalami kerugian, maka kerugian diambilkan dari modal dan pekerja tidak mendapatkan potongan apa pun dari keuntungan bisnis sebelumnya.
- Jika mudharabah telah selesai, sedang sebagian harta berbentuk barang atau hutang di orang, kemudian pemodal meminta penjualan barang tersebut agar menjadi uang kontan dan meminta pelunasan hutang, maka pekerja harus melakukannya.
- Jika pekerja mengaku modal habis dan rugi maka ucapannya diterima jika tidak ada bukti yang membatalkan pengakuannya. Jika ia mengaku modal habis dan menunjukkan bukti-buktinya dan bersumpah maka pengakuannya diterima.
Musaqah dan Muzara’ah
Musaqah
Definisi Musaqah Musaqah ialah pemberian upah berupa buah dengan jumlah tertentu dari hasil pohon kurma atau pohon lainnya secara keseluruhan kepada orang yang mengairi dan merawatnya.
Hukum Musaqah
Musaqah itu diperolehkan. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau. Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang berkata bahwa Rasulullah memerintahkan penduduk Khaibar menggarap lahan Khaibar dengan upah separuh dari tanaman atau buah yang dihasilkan dari lahan tersebut. Dan sepeninggal beliau, akad jenis ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
Ketentuan Musaqah Di antara ketentuan-ketentuan musaqah adalah sebagai berikut:
- Pohon kurma atau pohon lainnya harus’ diketahui ketika penandatanganan akad musaqah. Jadi, musaqah tidak berlaku pada sesuatu yang tidak diketahui karena hal itu dikhawatirkan mengandung gharar (penipuan), dan itu haram.
- Bagian yang hendak diberikan kepada penggarap harus diketahui, misalnya seperempat atau seperlima dari hasil pohon, dan bagiannya berasal dari semua pohon kurma atau pohon lainnya. Sebab, jika dibatasi hanya pada pohon kurma atau pohon lainnya yang tertentu saja, yang kadang berbuah dan kadang tidak, maka yang demikian itu terdapat unsur gharar (penipuan) yang diharamkan dalam Islam.
- Penggarap harus mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon kurma atau pohon lainnya agar pohon kurma atau pohon lainnya tersebut subur menurut tradisi yang berlaku dalam musaqah.
- Jika pada lahan tanah yang digarap oleh si penggarap terdapat kewajiban pajak, pajak tersebut harus dibayar pemilik lahan dan bukan oleh penggarap, karena pajak sangat terkait dengan pokok harta. Buktinya, pajak tetap diminta kendati lahan tanah tidak ditanami. Adapun zakat, maka harus dibayar oleh orang yang buahnya mencapai nishab, baik itu oleh penggarap atau pemilik lahan tanah, karena zakat terkait dengan buah yang dihasilkan itu sendiri.
- Musaqah boleh dilakukan pada pokok harta (tanah), misalnya seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanamai pohon kurma atau pohon lainnya, diairi, dan dirawat hingga pohon kurma atau pohon lainnya tersebut berbuah, dengan imbalan ia akan mendapatkan seperempat atau sepertiganya dengan syarat masa buahnya ditentukan sampai batas waktu tertentu, kemudian setelah itu penggarap mengambil bagiannya berupa tanah sekaligus buahnya.
- Jika penggarap tidak bisa menggarap tanah sendirian, ia berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menggarap lahan tersebut dan ia berhak atas buah sesuai dengan akadnya dengan pemilik lahan.
- Jika penggarap kabur sebelum buah memasuki usia masak, pemilik lahan tanah berhak membatalkan akad musaqah. Jika penggarap kabur setelah buah memasuki usia masak, pemilik lahan tanah menunjuk orang lain untuk melanjutkan penggarapan lahan tanah tersebut dengan upah dari bagian penggarap yang kabur tersebut.
- Jika penggarap meninggal dunia, ahli warisnya berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menggantikannya. Jika kedua belah pihak sepakat membatalkan akad musaqah, maka musaqah menjadi batal.
Muzara’ah
Definisi Muzara’ah
Muzara’ah ialah seseorang menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah tertentu dari hasil tanah tersebut, misalnya sepertiganya, atau separuhnya.
Hukum Muzara’ah
Muzara’ah diperbolehkan oleh sebagian besar para sahabat, tabi’in, dan para imam, tetapi sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Dalil orang-orang yang memperbolehkannya ialah muamalah Rasulullah dengan penduduk Khaibar dan mereka mendapatkan setengah dari hasil tanah Khaibar.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar di tanah Khaibar dan mereka mendapatkan (upah) separuh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya. Ketika itu, Rasulullah memberi istri-istrinya sebanyak seratus wasaq (80 wasaq kurma dan 20 wasaq gandum).
Adapun mereka yang menafsirkan larangan muzara’ah ialah karena (akadnya) dengan sesuatu yang tidak diketahui. Mereka berhujah dengan hadist Rafi’ bin Khadij yang berkata, “Kami termasuk orang dari kaum Anshar yang paling banyak kebunnya. Dulu kami menyewakan tanah dengan syarat kami mendapatkan sesuatu dan para penggarap mendapatkan sesuatu. Terkadang pohon ini mengeluarkan hasil sementara pohon yang lain tidak, setelah itu kami kemudian dilarang melakukan hal itu semua.”
Atau sesungguhnya larangan tersebut adalah karena makruh tanzih (makruh yang tidak sampai tahap haram) berdasarkan ucapan Abdullah bin Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah tidak melarangnya, hanya saja beliau bersabda:
Jika salah seorang dari kalian memberi kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia mengambil pajak dalam jumlah tertentu kepadanya’.”
Ketetentuan-ketentuan dalam Muzara’ah
Di antara ketetentuan-ketentuan dalam muzara’ah adalah sebagai berikut:
- Masa muzara‘ah harus ditentukan, misalnya satu tahun.
- Bagian yang disepakati ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, atau sepertiga, atau seperempat, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya, “Engkau berhak atas apa yang tumbuh di tempat ini dan tidak di tempat lainnya,” maka hal ini tidak sah.
- Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah. Jika bibit tanaman berasal dari penggarap tanah, itu namanya mukhabarah. Perbedaan pendapat para ulama tentang mukhabarah itu lebih keras daripada perbedaan pendapat mereka tentang muzara’ah, karena Jabir mengatakan:
“Rasulullah melarang mukharabarah.”
- Jika pemilik tanah mensyaratkan pengambilan bibit dari hasil panen sebelum dibagi, sedangkan sisanya untuk dirinya dan penggarap sebagaimana yang disyaratkan oleh keduanya, maka muzara’ah seperti ini tidak sah.
- Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada dengan akad muzara’ah, karena Rafi’ bin Khadij pernah mengatakan, “Adapun dengan emas atau uang kertas, maka beliau tidak melarangnya.”
- Orang yang mempunyai tanah lebih, disunahkan untuk memberikan kepada saudara seagamanya tanpa kompensasi apa pun, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia memberikannya kepada saudaranya.”
‘Jika salah seorang dari kalian memberi kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia mengambil pajak dalam jumlah tertentu kepadanya.”
- Jumhur ulama sepakat melarang penyewaan tanah dengan makanan, karena itu artinya jual beli makanan dengan makanan yang lain dengan pembayaran tunda dan dengan harga yang berbeda. Praktik seperti ini dilarang oleh agama. Adapun hadist yang diriwayatkan dari Imam Ahmad yang memperbolehkannya, itu ditafsirkan kepada muzara’ah dan tidak kepada penyewaan tanah dengan makanan.
Ijarah (Sewa)
Definisi ljarah
Ijarah (sewa) ialah akad pemanfaatan (sesuatu) untuk masa tertentu dengan harga tertentu.
Hukum Ijarah Ijarah diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut :
Dalil Al-Qur’an: Firman Allah
‘Jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (AlKahfi:77)
“Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash:26)
“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun’.” (Al-Qhashash:27) Dalil Sunah:
Sabda Rasulullah :
“Allah berfirman, ‘Ada tiga orang di mana Aku menjadi musuh mereka pada hari Kiamat, yaitu orang yang memberi karena Aku kemudian ia mengkhianatinya, orang yang menjual orang merdeka kemudian ia memakan hasil penjualannya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian si pekerja sudah bekerja dengan baik untuknya namun ia tidak memberikan upahnya’.”
Dalil lainnya, dalam perjalanan hijrahnya, Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Siddiq juga menyewa orang dari Bani Ad-Dail sebagai pemandu jalan keduanya ke Madinah.
Syarat-syarat ijarah
Syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
- Manfaatnya dapat diketahui, misalnya menempati rumah, menjahit pakaian dan lain sebagainya. Sebab, ijarah itu seperti jual beli, di mana dalam jual beli barang yang dijual harus diketahui.
- Mubah manfaatnya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa budak wanita untuk digauli, atau menyewa wanita untuk bernyanyi atau meratap, atau menyewa tanah untuk membangun gereja, atau mendirikan pabrik minuman keras.
- Upahnya diketahui, karena Abu Sa’id Al-Khudri berkata “Rasulullah melarang penyewaan pekerja hingga upahnya dijelaskan kepadanya.
Hukum-hukum ljarah
- Menyewa guru untuk mengajarkan ilmu atau kerajinan itu diperbolehkan, karena Rasulullah pernah membebaskan sebagian tawanan perang Badar dengan syarat mereka mengajari menulis sejumlah anak-anak Madinah.’
- Menyewa seseorang dengan memberinya makanan dan pakaian itu diperbolehkan, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah membaca surat Al-Qashash dan ketika sampai pada ayat tentang kisah Nabi Musa beliau bersabda:
“Sesungguhnya Musa menyewakan dirinya selama delapan tahun atau sepuluh tahun demi menjaga kehormatan kemaluannya dan mendapatkan makanan bagi perutnya.”
- Menyewa salah satu rumah dalam waktu tertentu itu diperbolehkan.
- Jika seseorang menyewa sesuatu kemudian ia dilarang memanfaatkannya pada suatu waktu, maka uang sewa dipotong sesuai dengan masa ia dilarang memanfaatkannya. Jika penyewa tidak memanfaatkan apa yang disewanya karena kesalahannya sendiri, maka ia tetap harus membayar uang sewa secara penuh.
- Ijarah menjadi batal dengan rusaknya sesuatu yang disewakan, misalnya rumah yang disewakan roboh, atau hewan yang disewakan mati, dan penyewa harus membayar uang sewa selama ia memanfaatkan sesuatu yang disewanya sebelum ia rusak.
- Barang siapa menyewa sesuatu dan mendapatinya cacat, maka ia berhak membatalkan sewa jika sebelumnya ia tidak mengetahui dan tidak rela dengan adanya cacat tersebut. Jika ia telah memanfaatkanya hingga waktu tertentu, ia harus membayar sewanya.
- Orang yang disewa secara berserikat, seperti para penjahit dan tukang besi harus mengganti apa yang dirusaknya dan bukan apa yang hilang dari toko yang dijaganya. Sebab, ketika itu barang tersebut seperti titipan, dan titipan tidak wajib diganti selagi penerima titipan tidak ceroboh. Sedangkan pekerja khusus, seperti orang yang mempekerjakan seseorang secara khusus kepadanya, maka ia tidak berkewajiban mengganti apa yang dirusaknya selagi tidak ada bukti bahwa ia ceroboh atau berbuat zalim.
- Uang sewa harus dengan akad dan pembayarannya setelah selesainya pemanfaatan sesuatu yang disewakan atau selesainya pekerjaan. Kecuali jika disyaratkan bahwa uang sewanya harus dibayar pada saat akad, karena Rasulullah bersabda:
“Namun bagi pekerja, upahnya dibayarkan jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya.”
- Pekerja berhak menahan barang yang disuruh mengerjakannya hingga upahnya dibayar jika usahanya menahan barang tersebut berpengaruh pada barang yang ditahannya, misalnya penjahit pakaian. Tapi jika upayanya menahan barang tersebut tidak berpengaruh pada barang yang ditahannya, semisal orang yang disewa mengangkut barang dagangan ke satu tempat, maka ia tidak boleh menahannya, namun ia harus mengantarkan barang dagangan tersebut sampai ke tempat yang dimintanya kemudian ia meminta upahnya.
- Barang siapa mengobati orang sakit dengan upah, padahal sebenarnya ia bukan ahli pengobatan, kemudian merusak salah satu dari anggota tubuh pasiennya maka ia harus menggantinya, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mengobati padahal ia tidak ahli mengobati, maka ia harus mengganti (kerusakan yang dilakukannya).”
Ju’alah (Sayembara)
Definisi Ju’alah
Menurut bahasa, ju’alah ialah apa yang diberikan kepada seseorang atas sesuatu yang ia kerjakan.
Sedangkan menurut syariat, ju’alah ialah hadiah dalam jumlah tertentu yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang mengerjakan perbuatan tertentu, entah ia dikenal ataupun tidak. Misalnya, seseorang berkata, “Barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian.” Maka orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah yang ia sediakan, baik banyak ataupun sedikit.
Hukum Ju’alah
Ju’alah diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Firman Allah
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban onta dan aku menjamin terhadapnya’. (Yusuf: 72)
Sabda Rasulullah kepada para sahabat yang mendapatkan ju’alah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat:
“Ambillah ju’alah tersebut dan berikan aku satu bagian bersama kalian.’”
Hukum-hukum Ju’alah
Diantara hukum-hukum ju’alah ialah sebagai berikut:
- Ju’alah adalah akad yang diperbolehkan sehingga masing-masing dari kedua belah pihak juga diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Dan jika pembatalan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.
- Didalam ju’alah masa pengerjaannya tidak disyaratkan harus diketahui. Jika seseorang berkata, “Barang siapa bisa menemukan hewan kendaraanku yang hilang atau lari, ia mendapakan hadiah satu dinar,” maka orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah satu bulan atau satu tahun.
- Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi di antara mereka secara merata.
4, Ju’alah tidak boleh dilakukan pada Hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh berkata, “Barang siapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ju’alah (hadiah) sekian.”
- Barang siapa menemukan barang temuan, atau barang hilang, atau mengerjakan suatu pekerjaan padahal sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ju’alah, maka ia tidak berhak atas ju’alah tersebut, sekalipun ia telah menemukan barang temuan atau barang hilang tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi, dia tidak berhak mendapatkan ju’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, atau menyelamatkan orang yang tenggelam, maka ia diberi ju’alah sebagai balas budi atas perbuatan tersebut.
- Jika seseorang berkata, “Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ju’alah,” maka ju’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barang siapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ju’alah,” maka ju’alah seperti ini tidak sah.
- Jika pemilik ju’alah dan pekerja tidak sependapat terkait besarnya ju’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ju’alah yang disertai dengan sumpah. Jika keduanya berbeda pendapat tentang pokok Ju‘alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan diminta untuk bersumpah.
Hiwalah
Definisi Hiwalah
Hiwalah ialah memindahkan utang dari pengutang satu kepada pengutang lainnya. Misalnya, si fulan A mempunyai piutang pada si B, dan pada saat yang sama si A mempunyai utang kepada si C sejumlah piutangnya pada si B. Ketika si C menagih utangnya pada si A, maka si A berkata, “Aku alihkan pembayaran utangku padamu pada si B. la punya utang padaku sejumlah utangku padamu. Ambilah uang tersebut darinya.” Jika si C (penerima penagihan) menerima cara seperti itu, maka si A (pengalih pembayaran utang) tidak lagi mempunyai utang pada si C.
Hukum Hiwalah
Hiwalah diperbolehkan, hanya saja jika muhal (si penerima pengalihan) dialihkan untuk menagih orang kaya yang menunda pembayaran utangnya, ia harus menerimanya, karena Rasulullah bersabda:
“Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang dari kalian diminta menagih orang kaya yang menunda pembayaran utangnya, maka tagihlah.”
“Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman, Jika engkau dialihkan untuk menagih orang kaya yang menunda pembayaran utangnya, maka ikutilah (tagihlah) dia.”
Syarat-syarat Hiwalah
Syarat-syarat hiwalah adalah sebagai berikut.
- Utang yang dialihkan harus betul-betul berada dalam tanggungan si pengutang yang akan dilimpahi (pembayaran utang).
- Utang harus sama jenisnya, besarnya, sifatnya dan waktu pelunasannya.
- Hiwalah harus melalui kerelaan antara muhil (si pengalih pelunasan utang) dengan muhal (penerima pengalihan). Sebab, kendatipun muhil mempunyai hak, ia tidak harus melunasinya dengan cara hiwalah karena ia memiliki pilihan bagaimana ia harus menunaikan hak tersebut. Selain itu, si muhal (penerima pengalihan), sekalipun Allah meminta kepadanya untuk menerima hiwalah, namun itu bukan suatu keharusan dan hanya merupakan perbuatan baik saja. Karena hiwalah bukan akad yang wajib, namun hanya akad untuk memberi kemudahan kepada sesama kaum Muslimin.
Hukum-hukum Hiwalah
Di antara hukum-hukum hiwalah adalah sebagai berikut:
- Muhal alaih (orang yang dilimpahi pembayaran utang) harus mampu menepati janjinya, karena Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang dari kalian disuruh menagih orang kaya yang menunda pembayaran utangnya, hendaklah ia menagihnya.”
- Jika pelunasan utang dialihkan kepada seseorang dan ternyata ia terbukti bangkrut, atau meninggal dunia, atau tidak ada di rumah dalam jangka waktu yang lama, maka kewajiban pelunasan utang kembali kepada muhil (si pengalih pelunasan utang).
- Jika si A mengalihkan pelunasan utang kepada Si B, kemudian si B mengalihkan pelunasan utang kepada si C, maka hiwalah diperbolehkan, karena penagihan secara berulang-ulang itu tidak apa-apa selagi syarat-syaratnya terpenuhi.
Dhaman, Kafalah, Rahn, Wakalah, dan Shuth
Dhaman
Definisi Dhaman (Tanggungan)
Dhaman ialah menanggung kewajiban (utang) yang dimiliki orang lain. Misalnya, ada orang yang memiliki utang lalu ditagih, kemudian ada orang ketiga yang mengatakan, “Utang tersebut menjadi tanggunganku, aku yang menjaminnya.” Dengan demikian, orang ketiga tersebut menjadi dhamin, penjamin. Dengan demikian, si pemilik piutang berhak menagih kepada orang ketiga tersebut. Jika orang ketiga tidak menepati janjinya maka pemilik piutang berhak menagih kepada si pengutang yang dijamin tadi.
Hukum Dhaman Dhaman diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut: Firman Allah :
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban onta dan aku akan menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72).
Yakni sebagai penjamin atau penanggung.
Sabda Nabi:
“Penanggung itu peminjam.’
“Kecuali jika salah seorang dari kalian berdiri, kemudian menanggungnya.”
Hadits ini berkaitan dengan orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang dan ia tidak bisa melunasinya, kemudian beliau tidak mau menshalatinya.
Ketentuan-ketentuan Dhaman
Di antara ketentuan dhaman adalah sebagai berikut:
- Dalam dhaman, disyaratkan adanya kerelaan dari si dhamin (penanggung), sedangkan pada orang yang ditanggung tidak diperlukan adanya kerelaan darinya.
- Utang madhmun (orang yang ditanggung) tidak lunas kecuali setelah si dhamin melunasi utangnya. Jika utang madhmun telah terlunasi maka tugas dhamin selesai.
- Dalam dhaman, tidak diharuskan mengenal madhmum, karena seseorang diperbolehkan menanggung orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Dhaman adalah sumbangan dan amal kebaikan dari seseorang kepada orang lain.
4, Dhaman tidak terjadi kecuali pada utang yang pasti atau sesuatu yang mengarah kepada kepastian, misalnya ju’alah.
- Tidak apa-apa dhamin terdiri dari banyak orang dan tidak apa-apa juga dhamin menanggung orang lain lagi (selain orang yang sudah ditanggung).
Contoh Teks Dhaman
Setelah basmalah dan alhamdulillah,
“Dhamin telah menemui saksi-saksinya pada tanggal sekian dan dengan disaksikan oleh saksi-saksinya bahwa ia telah menanggung utang si Fulan sebesar sekian (harus dijelaskan apakah utang tersebut harus dibayar kontan, atau kredit, atau ditangguhkan pada waktu tertentu) dengan dhaman yang syar’i. la menyatakan kesanggupannya menjadi dhamin dan ia mengetahui arti dhaman, konsekuensinya menurut syariat Islam, dan madhmun menerima jaminan dari dhamin. Hal ini ditetapkan pada tanggal sekian.”
Kafalah
Definisi Kafalah (Jaminan)
Kafalah ialah seseorang berjanji menunaikan hak yang wajib ditunaikan orang lain, atau berjanji menghadirkan hak tersebut di pengadilan.
Hukum Kafalah
Kafalah diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Ya’qub berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kalian, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung musuh’.” (Yusuf: 66)
Sabda Nabi, “Tidak ada kafalah dalam hada (hukuman).”
Sabda Nabi, “Penanggung itu penjamin.” Penjamin adalah pemberi kafalah.
Hukum-hukum Kafalah Di antara hukum-hukum kafalah adalah sebagai berikut:
- Di dalam kafalah, kafil (penjamin) disyaratkan kenal dengan makful (orang yang dijamin), terutama dalam kafalah ihdhar (jaminan menghadirkan hak di pengadilan).
- Didalam kafalah, disyaratkan kerelaan pihak kafil.
- Jika seseorang menjamin dalam bentuk jaminan uang, kemudian si makful meninggal dunia, maka kafil tetap menanggung uang tersebut. Tetapi jika ia menjamin dalam kafalah wajh dan kafalah ihdhar, sementara orang yang dijamin meninggal dunia maka ia tidak terkena kewajiban apa-apa.’
- Jika seorang kafil menghadirkan orang yang ditanggung di hadapan hakim, maka ia sudah berlepas diri dari kafalah.
- Kafalah tidak sah kecuali dalam hak-hak yang boleh digantikan, misalnya dalam masalah uang. Adapun pada masalah-masalah yang tidak bisa digantikan, misalnya dalam masalah hudud (hukuman) atau qishas, maka kafalah tidak dibenarkan di dalamnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada kafalah dalam masalah had (hukuman).
Rahn (Gadai)
Definisi Rahn
Rahn ialah penjaminan utang dengan barangdimanautangdimungkinkan bisa dibayar dengan barang (jaminan) tersebut, atau dari hasil penjualannya.
Contoh, si A meminjam uang kepada si B, kemudian si B meminta kepada si A menitipkan suatu barang kepadanya berupa hewan, rumah atau lainnya sebagai jaminan atas utangnya. Jika utang telah jatuh tempo dan siA tidak bisa membayar utangnya, maka (pembayaran) utangnya diambilkan dari barang gadai tersebut. Si A sebagai pihak yang berutang disebut rahin (penggadai), si B yang meminjami uang disebut sebagai murtahin (penerima gadaian), dan barang yang digadaikan disebut rahn.
Hukum Rahn
Rahn diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Firman Allah :
‘Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang yang dipegang (oleh yang berpiutang)” (Al-Baqarah: 283)
Sabda Rasulullah
“Rahn tidak boleh diambil dari orang yang menggadaikannya. Karena ia (rahin) berhak mendapat keuntungan dan kerugiannya.”
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada salah seorang Yahudi Madinah dan beliau mengambil syair (sejenis gandum) untuk keluarganya.”
Hukum-hukum Rahn
Di antara hukum-hukum rahn adalah sebagai berikut:
- Rahn (barang gadai) harus berada di tangan murtahin dan bukan di tangan rahin. Jika rahin meminta pengembalian rahn dari tangan murtahin maka tidak diperbolehkan. Adapun murtahin, ia diperbolehkan mengembalikan rahn kepada pemiliknya, karena ia memiliki hak terhadap barang tersebut.
- Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak, karena keduanya haram diperjual-belikan, namun keduanya boleh digadaikan karena tidak ada gharar di dalamnya bagi murtahin karena piutangnya tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.
- Jika tempo gadai telah habis, maka murtahin berhak meminta rahin untuk melunasi utangnya. Jika rahin melunasi utangnya maka murtahin harus mengembalikan barang gadai kepada rahin. Jika rahin tidak bisa membayar utangnya maka murtahin mengambil piutangnya dari hasil barang yang digadaikan rahin kepadanya jika ada. Jika hasilnya tidak ada maka ia boleh menjualnya dan mengambil piutangnya dan hasil penjualan barang gadai tersebut. Jika hasil penjualan barang gadai melebihi piutangnya, ia harus mengembalikan sisanya kepada rahin. Jika hasil penjualan barang gadai tidak cukup untuk membayar utang, maka sisa utang tetap menjadi tanggungan rahin.
4, Rahn, barang gadai adalah amanah di tangan murtahin. Jadi, jika rahn mengalami kerusakan karena keteledorannya, ia wajib menggantinya. Jika rahn mengalami kerusakan bukan karena keteledorannya, ia tidak wajib menggantinya dan piutang tetap menjadi tanggungan rahin.
- Rahn Boleh dititipkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murtahin sebab yang terpenting dari rahn adalah dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya.
- Jika rahin mensyaratkan rahn tidak dijual ketika utangnya telah jatuh tempo, maka rahn menjadi batal. Begitu juga jika murtahin mensyaratkan kepada rahin dengan berkata kepadanya, “Jika tempo pembayaran utang telah jatuh dan engkau tidak membayar utangmu kepadaku maka rahn menjadi milikku,” maka tidak sah, karena Rasulullah 2% bersabda, “Rahn itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikannya. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya.”
- Jika rahin berselisih pendapat dengan murtahin mengenai besarnya utang, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin yang disertai dengan sumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Jika keduanya berselisih pendapat tentang rahn, misalnya rahin berkata, “Aku gadaikan onta dan anaknya kepadamu,” namun murtahin berkata, “Tidak, engkau hanya menggadaikan onta saja tanpa anaknya kepadaku,” maka ucapan yang diterima ialah ucapan murtahin dengan diminta bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah bersabda:
“Barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang mengingkari.”
- Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan diminta untuk bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya.
- Murtahin berhak menaiki rahn yang bisa dinaiki dan memerah rahn yang bisa diperah sesuai dengan besarnya biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut. Tapi, ia harus adil. Artinya, ia tidak boleh memanfaatkannya lebih banyak daripada biaya yang ia keluarkan untuk (merawat) rahn tersebut, karena Rasulullah bersabda:
“Punggung hewan itu bisa dinaiki dengan mengeluarkan biaya untuknya jika hewan tersebut digadaikan. Air susu bisa diperah dengan mengeluarkan biaya jika digadaikan. Dan orang yang menaiki dan memerah harus menanggung pembiayaannya.”
- Hasil rahn seperti anak dari rahn (jika rahn berupa hewan), panen (jika rahn berbentuk tanaman), dan lain sebagainya adalah menjadi milik rahin. Oleh karena itu, ia berhak memberi air dan apa saja yang dibutuhkannya, karena Rasulullah bersabda, “Rahn itu milik orang yang menggadaikannya. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya.”
- Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk rahn tanpa meminta izin kepada rahin, maka ia tidak boleh meminta rahin mengganti biaya yang telah dikeluarkannya untuk rahn tersebut. Jika murtahin tidak bisa meminta izin kepada rahin karena lokasinya berjauhan, ia berhak meminta rahin mengganti biaya tersebut jika ia meniatkan akan meminta ganti kepada rahin. Jika tempat keduanya tidak berjauhan, ia tidak boleh meminta pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya untuk rahn, karena orang yang bertindak sukarela itu tidak boleh meminta pengembalian atas apa yang telah dikerjakannya.
- Jika rumah yang digadaikan mengalami kerusakan, kemudian murtahin memperbaikinya tanpa seizin rahin, maka tidak apa-apa kalau ia meminta penggantian biaya yang telah ia keluarkan untuk perbaikan rumah tersebut, kecuali jika rahn berupa alat seperti kayu dan batu yang tidak bisa dicabut, maka ia boleh meminta penggantian kepada rahin.
- Jika rahin meninggal dunia, atau bangkrut, maka murtahin lebih berhak atas rahn daripada semua kreditur. Jika utang telah jatuh tempo maka murtahin boleh menjual rahn yang ada padanya dan ia mengambil piutangnya dari hasil penjualan rahn tersebut. Jika hasil penjualan rahn surplus, maka ia harus mengembalikannya kepada rahin dan jika hasil penjualannya tidak cukup untuk membayar piutangnya, maka ia memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap sisa rahn.
Contoh teks rahn:
Setelah membaca basmalah dan alhamdulillah.
“Si fulan A telah mengaku mempunyai utang pada si fulan B sebesar sekian (misalnya) dan bahwa tempo pembayarannya jatuh pada akhir tahun, atau akhir bulan Mei. Untuk menguatkan utangnya, si A telah menggadaikan semua rumah atau seluruh barangnya kepada si B hingga waktu rahn habis dengan pegadaian yang benar, syar’i dan telah diterima di tangan murtahin, kemudian murtahin menerimanya dengan penerimaan yang syar’i. Kesepakatan ini dibuat pada tanggal sekian.”
Wakalah (Perwakilan)
Definisi Wakalah
Wakalah ialah permintaan seseorang kepada orang lain untuk mewakili dirinya dalam (mengurusi) persoalan yang boleh diwakilkan, misalnya dalam urusan jual beli, persengketaan dan lain sebagainya.
Syarat-syarat Wakalah
Di dalam wakalah, masing-masing dari wakil dan muwakkal (orang yang diwakili) disyaratkan boleh mengelola harta (memenuhi syarat taklif).
Hukum Wakalah
Wakalah diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut: Firman Allah
“Dan orang yang mengurusnya (zakat)” (At-Taubah: 60)
Maksudnya, para pengurus zakat ialah wakil imam (pemimpin) dalam pengumpulan zakat.
“Maka perintahkanlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa uang perak kalian ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu,” (Al-Kahfi: 19).
Dalam ayat ini, para Ashhabul Kahfi mewakilkan salah seorang dari mereka untuk membeli makanan untuk mereka. Sabda Rasulullah kepada Unais:
“Pergilah hai Unais, kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah ia.”
Pada hadits di atas, Rasulullah mewakilkan Unais untuk memverifikasi tuduhan dan melaksanakan eksekusi.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah mewakilkan aku untuk menjaga zakat pada bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda kepada Jabir
‘Jika engkau bertemu dengan wakilku maka mintalah kepadanya lima belas wasaq (satu wasaq sama dengan 60 gantang), dan jika ia meminta tanda darimu, maka letakkan tanganmu di tulang selang kamu.”
Rasulullah mengutus Abu Rafi’ dan salah seorang dari Anshar untuk menikahkan beliau dengan Maimunah binti Al-Harits sementara itu beliau di Madinah. Beliau mewakilkan keduanya melangsungkan pernikahan untuk beliau.
Hukum-hukum Wakalah
Di antara hukum-hukum wakalah adalah sebagai berikut:
- Wakalah sah dengan perkataan apa saja yang menunjukkan adanya izin. Jadi, tidak disyaratkan harus dengan teks khusus.
- Wakalah berlaku pada hak-hak manusia seperti jual-beli, pernikahan, rujuk, pembatalan akad seperti perceraian dan khulu’. Wakalah juga berlaku pada hak-hak Allah yang boleh diwakilkan, misalnya memisahkan harta zakat, atau haji atau umrah untuk mewakili orang yang telah meninggal dunia, atau mewakili orang yang tidak bisa mengerjakannya.
- Wakalah diperbolehkan untuk memverifikasi perkara hudud dan melaksanakannya, karena Rasulullah bersabda kepada Unais, “Pergilah hai Unais, kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia.”
- Wakalah tidak sah pada ibadah-ibadah yang tidak boleh diwakili, misalnya shalat dan puasa. Wakalah juga tidak sah pada kasus li’an, zhihar, sumpah, nazar dan kesaksian. Wakalah juga tidak sah pada halhal yang diharamkan, karena apa saja yang tidak boleh dikerjakan maka juga tidak boleh diwakilkan.
- Wakalah menjadi batal jika salah satu dari dua pihak membatalkan, atau salah satunya meninggal atau gila, atau orang yang mewakilkan memisahkan (memecat) orang yang mewakili.
- Orang yang diwakilkan untuk melakukan jual beli tidak boleh membeli atau menjual untuk dirinya sendiri, anak, istri atau orang-orang yang ia tidak boleh menjadi saksi bagi mereka, karena hal itu dikhawatirkan ia dituduh melakukan korupsi. Dalam hal ini, wakil itu seperti mudharib yang menerima wasiat, sekutu, hakim dan pengelola wakaf.
- Wakil tidak berkewajiban mengganti apa yang hilang, atau rusak jika ia tidak teledor di dalamnya, atau tidak merusak apa yang diwakilkan kepadanya. Jika ia teledor atau merusak apa yang diwakilkan kepadanya, ia wajib mengganti apa yang ia hilangkan atau rusakkan.
- Secara umum wakalah diperbolehkan. Maka, menunjuk seseorang sebagai wakil dalam semua hak-hak pribadi itu diperbolehkan, kemudian wakil bertindak dalam semua hak-hak pribadi orang yang diwakilinya kecuali dalam perceraian, karena dalam perceraian mengharuskan adanya keinginan dan tekad dari si pencerai.
- Orang yang diwakilkan untuk membeli sesuatu tidak boleh membeli sesuatu yang lain. Jika ia membeli sesuatu yang bukan dipesankan oleh si pemberi hak perwakilan, maka orang yang mewakilkan berhak menerima atau menolaknya. Begitu juga jika orang yang diwakilkan itu membeli barang yang ada cacat di dalamnya, atau membeli sesuatu yang jelas-jelas mengandung penipuan di dalamnya, maka si pemberi hak perwakilan berhak mengambil atau tidak mengambilnya.
- Wakalah boleh dengan upah, namun besar upahnya harus ditentukan dan jenis pekerjaan yang akan dikerjakan wakil harus dijelaskan.
Contoh teks wakalah:
Setelah memuji Allah:
“Si fulan A telah mewakilkan kepada si B—yang keduanya sehat dan berakal sempurna serta boleh mengelola harta—untuk melakukan sesuatu untuk si A. Si A yang diwakili menerima wakalah dan mengakuinya setelah disaksikan oleh saksi si fulan C dan si fulan B. Kesepakatan ini dibuat pada tanggal sekian.”
Shulh (Damai)
Definisi Shulh
Shulh ialah akad antara dua pihak yang bertikai untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara keduanya. Contohnya, si penuduh mengaku memiliki hak terhadap si tertuduh, dan tertuduh mengakuinya karena tidak kenal dengannya. Kemudian si penuduh berdamai dengan si tertuduh dengan sebagian dari haknya pada tertuduh untuk menghindari perselisihan, dan sumpah diharuskan ada jika terjadi penolakan dari salah satu pihak.
Hukum Shulh
Shulh diperbolehkan berdasarkan Dalil-dalil berikut: Firman Allah
“(Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya), maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.” (An-Nisa’: 128)
Sabda Rasulullah
“Perdamaian (shulh) itu diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.”
Jenis-jenis Shulh
Shulh dalam masalah harta benda terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Shulh karena pengakuan. Misalnya, si A mengaku mempunyai piutang pada si B dan ia mengakuinya, kemudian si A memberi sesuatu kepada si B sebagai bentuk perdamaian karena si B tidak membantah piutang yang ada padanya, misalnya dengan memotong sebagian utang yang diakui si B, atau menghadiahkan kepada si B sebagian barang yang diakuinya., Atau melakukan shulh terhadap sesuatu kemudian hal itu diakui, seperti si A mengaku memiliki rumah, lalu ia memberinya beberapa dirham, atau si A mengaku memiliki hewan pada si B dan ia mengakuinya kemudian sj A memberi si B pakaian dan lain sebagainya.
- Shulh karena penolakan. Misalnya, si A mengaku mempunyai piutang pada si B, namun si B tidak mengakuinya. Kemudian si B berdamai dengan si A dengan memberikan sesuatu kepadanya agar membatalkan pengakuannya dan menghindarkannya dari perselisihan, dan sumpah diwajibkan jika terjadi penolakan dari salah satu pihak.
- Shulh karena diam. Misalnya, si A mengaku mempunyai piutang pada si B kemudian si B diam, tidak mengakuinya dan tidak membantah. Kemudian si B berdamai dengan si A dengan sesuatu yang bisa menggugurkan pengakuan dan meninggalkan perselisihannya. Hukum-hukum Shulh
Di antara hukum-hukum shulh adalah sebagai berikut:
- Shulh terhadap sesuatu yang dituduhkan dengan tidak boleh mengambil kompensasi darinya adalah seperti jual beli sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, dan pada semua hukum jual-beli berupa pengembalian barang karena cacat, hak pilih karena tertipu dan syufah yang tidak dibagi, maka jika ada si A mengaku mempunyai rumah pada si B, kemudian si B berdamai dengan si A dengan memberinya pakaian dan mensyaratkannya tidak memberikanya kepada seseorang, maka shulh seperti ini tidak sah, karena ini seperti jual beli yang di dalamnya ada syarat membatalkan akadnya.
Contoh lain, jika si A mengaku mempunyai beberapa dinar pada si B yang harus dibayar kontan, kemudian si B berdamai dengan si A dengan memberinya beberapa dirham yang dibayarkan pada suatu waktu, maka shulh seperti itu tidak sah. Sebab, pertukaran uang logam itu disyaratkan harus diserah-terimakan di satu majelis.
Contoh lain, jika si A mengaku mempunyai kebun pada si B, kemudian si B berdamai dengan si A dengan memberinya setengah rumah, maka sekutu yang ada dirumah berhak menuntut hak syuf’ah terhadap separuh rumah lainnya. Jika si B berdamai dengan si A dengan memberinya hewan kemudian si A mendapati hewan tersebut cacat, maka ia mempunyai khiyar (hak pilih) antara menolak atau mengambilnya. Demikianlah semua bentuk shulh dengan berbagai jenis istilahnya. Jadi, sulh adalah seperti jual beli dalam seluruh hukum-hukumnya.
- Jika salah satu dari pihak yang berdamai mengetahui kebohongan dirinya, maka shulh menjadi batal dan apa yang ia ambil karena shulh seperti itu adalah haram.
- Barang siapa mengakui kewajiban yang ada pada dirinya, namun menolak membayarnya kecuali ia diberi sesuatu dari kewajiban tersebut, maka yang seperti itu tidak diperbolehkan. Contohnya, si A mengaku mempunyai utang sebesar seribu dinar pada si B dan menolak membayarnya, kecuali jika utangnya dipotong lima ratus. Tapi jika si A tidak mensyaratkan pengurangan utangnya dan si B memotong utang si A dengan sukarela, atau karena rekomendasi orang lain, maka si A diperbolehkan menerima pengurangan utangnya. Alasannya, diriwayatkan bahwa Rasulullah berbicara kepada orang-orang yang memberi pinjaman uang kepada Jabir agar mereka mengurangi separuh utang Jabir.” Juga diriwayatkan bahwa Ibnu Abu Hadrad terlibat perselisihan tentang utangnya kepada Ka’ab bin Malik di masjid hingga suara keduanya didengar Rasulullah di biliknya, kemudian beliau keluar menemui keduanya dan bersabda, “Hai Ka’ab.” Ka’ab bin Malik menjawab, “Saya penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah” Rasulullah memberi isyarat kepadanya, “Hendaklah engkau potong separuh utangnya.” Ka’ab bin Malik berkata, “Sudah aku kerjakan, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Berdirilah, dan beri dia sesuatu.,”
- Jika si A berdamai dengan si B dalam masalah tembok dengan syarat si B membuka jendela atau pintunya dengan kompensasi tertentu maka diperbolehkan karena hal itu seperti jual beli. Contoh teks shuth:
Setelah mengucap basmalah, mengucap puji kepada Allah, dan bershalawat untuk Rasulullah:
“Si A telah berdamai dengan si B tentang apa yang diakuinya bahwa ia memiliki dan berhak atas rumah (sembari dijelaskan bentuk rumah dan batasnya) yang sekarang berada di bawah penguasaan siB setelah keduanya bersengketa tentang rumah tersebut dan pendamai pertama (si B) mengakui apa yang didakwakan oleh pendamai kedua (si A) dan dibenarkan saksi dengan kompensasi sebesar sekian (disebutkan jumlahnya) sebagai perdamaian yang syar’i dan kedua belah pihak menyepakatinya. Pendamai pertama (si B) memberikan kepada pendamai kedua (si A) semua kompensasi perdamaian dan menerimanya dengan penerimaan yang syar’i. Pendamai kedua (si A) juga mengaku bahwa ia tidak lagi bersama pendamai pertama (si B) mempunyai hak terhadap rumah tersebut, atau klaim, atau tuntutan, atau kepemilikan, atau separuh kepemilikan, dan manfaat sedikit atau banyak, dan lain sebagainya. Kedua belah pihak saling membenarkan yang lain dengan pembenaran yang syar’i, kemudian perkara ini selesai dengan jalur seperti ini.”
Ihya’ul Mawat, Fadhlul Ma’l, Al-Iqtha’ dan Al-Hima
Ihya’ul Mawat
Definisi Ihya’ul Mawat
Ihya’ul mawat ialah seorang Muslim pergi ke tanah yang tidak dimiliki siapa pun kemudian ia memakmurkannya dengan menanam pohon di dalamnya, atau membangun rumah di atasnya, atau menggali sumur untuk dirinya lalu tanah itu menjadi miliknya.
Hukum Ihya’ul Mawat
Ihyaul mawat diperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa menghidupkan lahan mati, maka lahan mati tersebut menjadi miliknya.”
Ketentuan Ihya‘ul Mawat
Di antara ketentuan ihya’ul mawat adalah sebagai berikut:
- Kepemilikan lahan mati oleh orang yang menghidupkannya tidak sah kecuali dengan dua syarat:
- Ia betul-betul memakmurkan lahan mati tersebut dengan menanami pohon, atau membangun rumah di atasnya, atau menggali sumur yang ada air di dalamnya. Jadi, menghidupkan lahan mati tidak cukup hanya dengan menanam tanaman di dalamnya, atau meletakkan tanda di dalamnya, atau memberinya pagar duri misalnya. Jika itu yang dilakukan, maka ia hanya lebih berhak kepadanya daripada orang lain (ia tidak otomatis langsung memilikinya).
- Lahan mati tersebut tidak dimiliki oleh siapa pun, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa memakmurkan salah satu lahan yang tidak dimiliki siapa pun maka ia lebih berhak terhadapnya.”
- Jika lahan mati dekat dengan salah satu daerah, atau masuk ke dalam area daerah tersebut, maka lahan tersebut tidak boleh dimakmurkan kecuali dengan izin hakim (pemimpin setempat), karena bisa jadi lahan mati tersebut adalah fasilitas umum untuk kaum Muslimin. Jadi, ia harus meminta izin untuk bisa memiliki dan memakmurkannya.
- Barang tambang di lahan mati, baik itu berupa garam, atau minyak, dan barang tambang lainnya tidak boleh dimiliki orang yang memakmurkannya karena barang tambang tersebut sangat terkait dengan kemaslahatan umum kaum Muslimin. Rasulullah pernah memberikan tambang garam kepada seseorang, kemudian seseorang mengusulkan agar pemberian itu ditinjau ulang. Akhirnya beliau menarik kembali tambang garam tersebut dari orang yang pernah diberinya.’
- Jika di lahan mati yang dihidupkan seseorang itu muncul air yang mengalir, maka ia menjadi orang yang paling berhak terhadap air tersebut daripada orang lain. Ia boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya sebelum siapa pun dan selebihnya untuk kaum Muslimin, karena Rasulullah bersabda,
“Manusia itu bersekutu dalam tiga hal; air, rumput, dan api.”
Catatan:
- Batas sumur di lahan mati jika sumur tersebut lama dan hanya penggaliannya saja yang baru ialah lima puluh hasta. Jika seseorang memang baru menggali sumur sejak awal, maka batasnya terhadap lahan di sekitarnya ialah dua puluh lima hasta. Jadi pemilik sumur berhak atas kepemilikan lahan di sekitar sumurnya seluas ukuran tersebut, karena diriwayatkan bahwa para salaf shalih berbuat seperti itu, dan karena diriwayatkan, “Batas sumur ialah sepanjang talinya,”
- Batas pohon atau pohon kurma ialah sepanjang dahan-dahan atau pelepahnya. Barang siapa memiliki pohon di lahan mati, ia berhak atas lahan di sekitarnya sepanjang dahan atau pelepahnya, karena Rasulullah bersabda, “Batas pohon kurma ialah sepanjang pelepahnya.'”
- Batas rumah ialah lahan seluas untuk tempat buang sampah, atau tempat berhentinya onta, atau parkir mobil. Maka siapa pun yang membangun rumah di lahan mati, ia berhak atas lahan di sekitarnya seluas itu menurut tradisi setempat.
Fadhlul Ma’i (Kelebihan Air)
Definisi Fadhlul Ma‘i
Fadhlul ma’i ialah orang Muslim mempunyai air sumur, atau air sungai yang melebihi kebutuhannya, baik untuk minum, mengairi tanaman maupun pohon.
Hukum Fadhlul Ma’i
Hukum fadhlul ma’i (kelebihan air dari kebutuhan) ialah diberikan kepada kaum muslimin yang membutuhkannya secara gratis, karena Rasulullah bersabda:
“Kelebihan air tidak boleh dijual sehingga ia seperti menjual rerumputan”
Rasulullah juga bersabda:
“Kelebihan air tidak boleh ditahan sehingga seolah-olah ia menahan rerumputan.”
Syarat-syarat Fadhlul Ma’i
Syarat-syarat fadhlul ma’i adalah sebagai berikut:
- Memberikan kelebihan air itu tidak merupakan fardhu ain kecuali setelah ia tidak membutuhkannya.
- Orang yang diberi kelebihan air ialah orang yang membutuhkannya.
- Pemberian kelebihan air tidak menimbulkan sedikit pun mudarat pada pemberinya.
Iqtha’
Definisi Iqtha’
Iqtha’ ialah pemimpin memberikan sebidang lahan di lahan umum yang tidak dimiliki siapa pun kepada seseorang untuk dimanfaatkan dengan ditanami, atau dibangun bangunan di atasnya, entah dengan status hak pakai atau hak milik.
Hukum Iqtha’
Iqtha’ boleh dilakukan imam (pemimpin) kaum muslimin dan tidak boleh dilakukan oleh selainnya, karena Rasulullah melakukan seperti itu. Begitu juga Abu Bakar dan Umar bin Khattab, sepeninggal beliau.
Ketentuan-ketentuan Iqtha’
Di antara hukum-hukum iqtha’ adalah sebagai berikut:
- Yang memutuskan pembagian lahan ialah imam, karena selain imam tidak boleh bertindak terkait aset umum.
- Imam tidak memberikan lahan kepada seseorang melebihi kemampuannya untuk menghidupkan dan memakmurkannya.
- Barang siapa diberi lahan oleh imam, kemudian tidak sanggup memakmurkannya, maka imam berhak menarik kembali lahan tersebut darinya untuk menjaga kemaslahatan umum kaum muslimin.
- Imam berhak memberikan lahan untuk fasilitas umum kepada siapa pun yang dikehendakinya. Lahan tersebut misalnya untuk tempat jual beli di pasar-pasar, halaman-halaman (taman) umum, jalan-jalan yang Juas, dan lain sebagainya dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudarat bagi kemaslahatan umum. Orang yang diberi lahan tersebut tidak berhak memilikinya, tetapi ia adalah orang yang paling berhak atas Jahan tersebut daripada orang lain. Karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa lebih cepat kepada apa yang tidak bisa dicapai seorang muslim, maka ia lebih berhak kepadanya.”
- Orang yang diberi lahan oleh imam untuk tempat duduk, atau ia lebih dahulu mendapatkannya tanpa pemberian imam maka ia tidak boleh mengganggu orang lain. Misalnya dengan tidak memberikan sinar kepadanya, atau menghalangi para pembeli melihat barang dagangannya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan juga tidak boleh mendatangkan bahaya terhadap orang lain.”
Catatan:
Jika air lembah mengalir, maka kaum muslimin boleh memanfaatkannya, mulai dari orang muslim di bagian atas lembah kemudian orang muslim di bawahnya dan seterusnya hingga lahan terakhir yang ingin diairi, atau hingga air lembah tersebut habis.
Lahan tanah yang sama dekatnya dengan sumber air mendapatkan aliran yang sama sesuai dengan luas-sempitnya lahan. Jika para pemilik lahan tersebut bersengketa di antara mereka maka diadakan undian untuk mereka. Hal ini karena Ibnu Majah meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah memutuskan tentang pengairan kebun kurma dari aliran air itu dimulai dari tempat yang paling tinggi sebelum tempat yang paling rendah, dan air dibiarkan (di tahan di kebun kurma) hingga mencapai dua telapak kaki, kemudian air dialirkan ke lahan di bawahnya. Begitulah seterusnya hingga air mencakup semua kebun kurma, atau hingga air habis. Juga karena Rasulullah bersabda, “Airilah hai Zubair, kemudian kirimkan air kepada lahan tetanggamu.”
Al-Hima (Padang Rumput)
Definisi Al-Hima
Al-Hima ialah lahan mati yang dilindungi dari penggembalaan agar rumputnya banyak sehingga bisa menjadi padang gembala bagi hewanhewan khusus.
Hukum Al-Hima
Siapa pun tidak boleh melindungi lahan-lahan umum kaum muslimin walau sehasta atau lebih kecuali imam, jika itu membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada hima kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.”
Hadits di atas menegaskan bahwa siapa pun tidak boleh melindungi (memprotek) Jahan umum kecuali Allah dan Rasul-Nya, atau khalifah keduanya, yaitu imam. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa imam tidak boleh melindungi lahan untuk kepentingan selain kemaslahatan umum, karena apa yang menjadi milik Allah dan Rasul-Nya itu selalu diinfakkan untuk kemaslahatan umum. Contohnya, seperlima dari ghanimah dan fa’i, atau seperlima dari harta terpendam (karun), dan lain sebagainya, karena Rasulullah telah melindungi salah satu sumur untuk onta dan kuda-kuda jihad. Umar bin Khattab juga pernah melindungi salah satu lahan. Ketika ditanya tentang kebijakannya tersebut, ia menjawab, “Harta ialah harta Allah dan hamba-hamba ialah hamba-hamba Allah. Demi Allah, dan demi Allah, jika aku tidak menggunakannya untuk di jalan Allah, maka aku tidak akan melindungi sejengkal pun salah satu lahan tanah.”
Ketentuan-ketentuan dalam Al-Hima
Di antara ketentuan-ketentuan dalam al-hima adalah sebagai berikut:
- Tidak ada yang boleh melakukan perlindungan terhadap tanah kecuali khalifah kaum muslimin atau imam mereka, karena Rasulullah bersabda, “Tidak ada hima kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.”
- Lahan tanah yang boleh dilindungi ialah lahan tanah mati yang tidak dimiliki siapa pun.
- Khalifah tidak boleh melindungi salah satu lahan untuk kepentingan pribadinya, namun untuk kemaslahatan umum kaum muslimin.
4, Termasuk dalam hal ini ialah beberapa gunung yang dilindungi negara untuk pengembangan pohon-pohon di hutan. Hal tersebut harus dilihat, jika itu menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin maka pemerintah mengesahkannya, namun jika terbukti merugikan dan tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi mereka, maka pemerintah tidak boleh mengesahkannya, karena tidak ada al-hima kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.
Definisi Al-Qardhu (Dana Talangan atau Pinjaman)
Menurut bahasa, al-qardhu artinya potongan, sedangkan menurut istilah syar’i al-qardhu ialah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya kemudian meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut. Contoh, orang yang membutuhkan uang berkata kepada orang yang layak dimintai bantuan, “Pinjamkan untukku uang sebesar sekian, atau perabotan, atau hewan hingga waktu tertentu, kemudian aku akan mengembalikannya kepadamu pada waktunya.” Lalu orang yang dimintai pinjaman pun memberikan al-qardhu (pinjaman) kepada orang tersebut.
Hukum Al-Qardhu
Al-Qardhu disunahkan bagi muqridh (kreditur/pemberi pinjaman). Ini berdasarkan Dalil-dalil berikut: Firman Allah
“Barang siapa yang mau meminjamkan pinjaman yang baik kepada – Allah, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (AI-Hadid: 11)
Sabda Rasulullah :
“Barang siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari saudaranya, maka Allah akan menghilangkan darinya salah satu kesulitan dari berbagai kesulitan pada hari Kiamat.’”
Al-Qardhu bagi muqtaridh (debitur) diperbolehkan karena Rasulullah pernah meminjam onta kepada Abu Bakar, dan mengembalikannya dengan onta yang lebih baik. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah orang yang paling baik pengembalian (utangnya).”
Syarat-syarat Al-Qardhu
Syarat-syarat al-qardhu adalah sebagai berikut:
- Besarnya al-gardhu harus diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya.
- Sifat al-qardhu dan usianya harus diketahui jika al-qardh berupa hewan.
- Al-Qardhu berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Jadi, algardhu tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
Ketentuan-ketentuan dalam Al-Qardhu
Di antara ketentuan-ketentuan dalam al-qardhu adalah sebagai berikut:
- Al-Qardhu (pinjaman) dimiliki dengan qabdh, penyerahan. Maka apabila mustaqridh (debitur) telah menerimanya (qardh) maka ia telah memilikinya dan menjadi tanggungannya.
- Al-Qardhu boleh sampai batas waktu tertentu, tetapi jika tidak sampai batas waktu tertentu itu lebih baik karena itu meringankan mustaqridh.
- Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat dipinjamkan, maka dikembalikan utuh seperti itu. Namun jika telah mengalami perubahan, kurang atau bertambah, maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya jika ada, tetapi jika tidak ada maka dengan uang seharga barang tersebut.
4, Jika pengembalian al-gardhu tidak membutuhkan biaya transportasi, maka boleh dibayar di tempat mana pun yang dikehendaki oleh muqridh, Jika merepotkan, maka muqtaridh tidak harus mengembalikannya di tempat lain.
- Muqridh haram mengambil manfaat dari al-gardhu, baik dengan penambahan jumlah pinjaman atau meminta pengembalian pinjaman yang lebih baik, atau manfaat lainnya yang keluar dari akad pinjaman jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tetapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk i’tikad baik dari mustaqridh, maka tidak ada salahnya, karena Rasulullah memberi Abu Bakar onta yang lebih baik dari onta yang dipinjamnya dan beliau bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah orang yang paling baik pengembalian (utangnya).”
Wadi’ah (Titipan)
Definisi Wadi’ah
Wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan, baik berupa uang atau lainnya kepada orang lain agar dijaga untuk dikembalikan kepada pemiliknya kapan pun ia diminta.
Hukum Wadi’ah
Wadi’ah disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah :
“(Akan tetapi sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain), maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.” (Al-Baqarah: 283)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’: 58)
Sabda Rasulullah :
“Tunaikan amanat kepada orang yang memberikan amanat kepadamu, dan jangan engkau mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu.”
Wadi’ah adalah salah satu bentuk amanat sehingga hukumnya menjadi berbeda-beda berdasarkan kondisinya. Terkadang menerima wadi’ah itu menjadi perkara wajib bagi seorang muslim. Contohnya, seorang muslim terpaksa harus menjaga harta saudaranya, karena saudaranya tersebut tidak mendapatkan orang yang bisa menjaga hartanya selain dirinya.
Menerima wadi’ah kadang juga sunah hukumnya bagi orang yang diminta menjaga sesuatu dan ia senang melakukannya karena hal tersebut termasuk bekerjasama dalam kebaikan yang diperintahkan Allah dengan firman-Nya, “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2).
Menerima wadi’ah itu kadang juga makruh hukumnya jika orang yang dititipi tidak bisa menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
Ketentuan dalam Wadi’ah
Di antara ketentuan dalam wadi’ah adalah sebagai berikut:
- Masing-masing dari penitip dan penerima wadi’ah harus orang mukallaf dan orang yang sempurna akalnya. Oleh sebab itu, anak kecil atau orang gila tidak boleh menitipkan atau dititipi.
- Penerima wadi’ah tidak wajib mengganti wadi’ah yang rusak padanya jika ia tidak teledor dan tidak sengaja merusaknya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada kewajiban mengganti bagi orang yang diberi amanat.”
“Barang siapa dititipi wadi’ah, ia tidak ada kewajiban mengganti.”
- Penitip berhak mengambil titipannya kapan saja, dan penerima wadi’ah berhak mengembalikan barang titipan kepada penitipnya kapan saja ia mau.
- Penerima wadi’ah tidak boleh memanfaatkan wadi’ah dalam bentuk apa pun kecuali dengan izin dan kerelaan dari penitipnya.
- Jika terjadi konflik apakah wadi’ah sudah diambil atau belum oleh penitipnya, maka ucapan yang diterima ialah ucapan penerima wadi’ah dengan diminta bersumpah, kecuali jika penitip bisa menunjukkan bukti yang menegaskan bahwa wadi’ah-nya belum ia ambil.
Contoh teks wadi’ah:
“Si A mengaku bahwa ia menerima uang dari si B sebesar sekian sebagai barang titipan secara syar’i, dan penerima wadi’ah berjanji menjaganya di tempat penyimpanan sebagaimana yang diperintahkan penitip. Pihak penerima wadi’ah yang namanya tertulis dalam akad ini hadir dalam akad ini dan disaksikan oleh saksi yang syar’i.”
Contoh teks pengembalian wadi’ah:
“Si A mengaku telah menerima uang dari si B sebesar sekian dengan penerimaan yang syar’i, kemudian wadi’ah tersebut berada di tangan si A dan dalam penjagaannya. Uang sebesar itulah yang dititipkan si B kepada siA dan si B tidak memberikan kompensasi apa pun, kecil atau besar kepada A. Hal ini dibenarkan oleh si B dengan pembenaran yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian.”
‘Ariyyah (Pinjam-meminjam)
Definisi ‘Ariyyah
‘Ariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga batas waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Contohnya, seorang muslim meminjam pensil untuk menulis, atau pakaian untuk dikenakan, kemudian ia mengembalikannya.
Hukum ‘Ariyyah
‘Ariyyah disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2)
“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al-Ma’un: 7)
Sabda Rasulullah :
“Namun ‘ariyyah (pinjaman) itu harus diganti.”
Hal ini diucapkan Rasulullah kepada Shafwan bin Umayyah ketika beliau meminjam baju besinya dan ia berkata, “Apakah ini perampasan hai Muhammad?” Kemudian Rasulullah bersabda seperti di atas,
“Apabila pemilik onta, pemilik lembu, dan pemilik kambing tidak menunaikan haknya, niscaya ia didudukkan untuk hewan-hewan tersebut pada hari Kiamat di tanah lapang yang luas dan datar kemudian diinjak oleh hewan-hewan tersebut dengan kaki-kakinya, ditanduk dengan tanduk-tanduknya, dan pada hari itu tidak ada hewan-hewan yang tak bertanduk atau tanduknya pecah.” Kita (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak hewan-hewan tersebut?” Rasulullah bersabda, “(Hak hewan-hewan tersebut) ialah hewan jantan dipinjamkan untuk dikawinkan dengan hewan betina, meminjamkan capnya, meminjamkannya untuk dimanfaatkan, dibawa ke air, dan dinaiki di jalan Allah.”
Dan hukum ‘ariyyah adalah sunah berdasarkan firman Allah, “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2),
Terkadang ‘ariyyah itu hukumnya wajib, misalnya bagi orang muslim yang terpaksa harus meminjamkan sesuatu yang amat dibutuhkan oleh saudara seagamanya sementara dirinya sendiri tidak membutuhkannya.
Ketentuan dalam ‘Ariyyah
Di antara ketentuan dalam ‘ariyyah adalah sebagai berikut:
- Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah (diperbolehkan). Jadi, seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli, atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir, atau meminjamkan parfum haram, atau pakaian yang diharamkan. Sebab, bekerjasama dalam dosa itu diharamkan. Allah berfirman:
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
9, Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan musta‘ir(peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusakannya, maka musta‘ir wajib menggantinya. Karena Rasulullah bersabda:
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
Jika mu’ir tidak mensyaratkannya, kemudian barang pinjaman tersebut rusak bukan karena keteledoran musta’ir dan bukan karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib menggantinya, namun ia disunahkan menggantinya, karena Rasulullah bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah satu tempat makanan:
“Makanan dengan makanan dan bejana dengan bejana.”
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena keteledoran dan disengaja oleh musta’ir, maka ia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena Rasulullah bersabda:
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”
- Musta’ir Harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”
4, Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu‘ir merelakannya. Jika mu’ir tidak merelakan hal itu maka tidak boleh dipinjamkan.
- Jika seseorang meminjam dinding untuk meletakkan kayu misalnya maka ia tidak boleh mengembalikan dinding tersebut hingga roboh. Begitu juga orang yang meminjam sawah untuk ditanami, ia tidak boleh mengembalikan sawah tersebut hingga tanaman tersebut dipanen. Sebab praktik seperti itu akan menimbulkan mudarat kepada seorang muslim, dan itu diharamkan.
- Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah batas waktu peminjaman habis.
Contoh teks ‘ariyyah: “Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah—atau kuda atau baju—dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati, menaiki atau memakai hingga batas waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang sah, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir menyerahkan barang yang tersebut di atas kepada musta’ir dan musta’ir menerimanya dengan penerimaan yang syar’i kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya, dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian.”
Al-Ghashbu (Gasab)
Definisi Al-Ghashbu
Al-Ghashbu ialah mempergunakan harta orang lain dengan paksa dan dengan cara yang tidak dibenarkan. Seperti seseorang yang merampas rumah orang lain kemudian menempatinya, atau merampas kendaraan orang lain kemudian menaikinya.
Hukum Al-Ghashbu
Al-Ghashbu hukumnya haram berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Sabda Rasulullah
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya darah kalian dan harta kalian adalah diharamkan terhadap kalian.”
“Barang siapa merampas tanah meskipun cuma sejengkal secara zalim, maka Allah memikulkan tujuh bumi kepadanya pada hari Kiamat.”
“Harta seorang muslim tidak halal kecuali dengan kerelaan hatinya.”
Ketentuan dalam Al-Ghashbu
Ketentuan dalam al-ghashbu adalah sebagai berikut:
- Ghashib (perampas) hak Allah harus dikenakan sanksi dengan dipenjara atau dipukul sebagai pelajaran baginya, dan bagi orang-orang seperti dirinya.
- Ghashib harus mengembalikan barang yang dirampasnya kepada pemiliknya. Jika barang yang dirampasnya mengalami kerusakan, ia wajib mengganti dengan barang yang sama, tetapi jika tidak bisa mengembalikan barang yang sama, ia harus membayarkan uang seharga barang tersebut.
- Barang siapamerampas sesuatu kemudian barang tersebut cacat, ia harus menemui pemiliknya dengan maksud menggantinya dengan sesuatu yang ia rampas, kemudian ia mengambil sesuatu yang dirampas dengan cacatnya. Jika hal itu tidak bisa ia lakukan, ia harus mengembalikan sesuatu yang ia rampas tersebut beserta uang pengganti cacatnya.
- Hasil dari barang rampasan dikembalikan utuh dengan barang rampasannya. Contohnya, hasil hewan, atau hasil pohon, atau hasil penyewaan hewan, dan lain sebagainya.
- Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian ghashib (perampas) membangun rumah, atau menanam tanaman di atasnya, maka rumah tersebut harus dirobohkan, tanaman tersebut harus dicabut, dan tanah tersebut harus diperbaiki karena kerusakan akibat pembangunan rumah tersebut atau karena penanaman tanaman tersebut. Atau rumah tersebut tidak dirobohkan, tanah tersebut tidak dicabut, dan sebagai gantinya ghashib meminta uang seharga rumah tersebut, atau tanaman tersebut kepada pemilik tanah, namun itu pun dengan syarat pemilik tanah menyetujuinya, karena Rasulullah bersabda:
“Keringat orang zalim tidak memiliki hak.”
- Jika ghashib menjual barang yang dirampasnya dan mendapatkan keuntungan, ia harus mengembalikan barang rampasan tersebut beserta keuntungannya kepada pemiliknya.
- Jika ghashib dan pemilik barang yang dirampas terlibat perbedaan pendapat tentang harga atau sifat barang yang dirampas, maka ucapan yang diterima ialah ucapan ghashib dengan diminta untuk bersumpah.
Itu pun dilakukan jika pemilik barang yang dirampas tidak mempunyai bukti-bukti tentang barangnya tersebut.
- Barang siapa merusak harta orang lain tanpa seizin pemiliknya, ia wajib mengganti. Misalnya ia membakar harta saudaranya, atau merobekanya, atau membuka pintunya yang terkunci atau membuka sangkar atau membuka salah satu tempatnya, atau membuka ikatan hingga menyebabkan hewan di dalamnya kabur.
- Jika anjing penjaga tidak diikat karena kecerobohan pemiliknya, kemudian menggigit orang lain maka pemiliknya wajib memberikan ganti rugi.
- Jika ada hewan yang dilepas pada malam hari kemudian merusak tanaman, maka pemiliknya wajib memberikan ganti rugi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya para pemilik harta harus menjaga hartanya pada siang hari, dan apa saja yang dirusaknya pada malam hari, maka harus mereka ganti.”
- Jika hewan tanpa pengendara, atau tanpa penuntun merusak sesuatu, maka tidak ada kewajiban mengganti, karena Rasulullah bersabda:
“Hewan itu tidak harus mengganti apa yang dirusaknya.”
Begitu juga jika hewan tersebut dinaiki, kemudian hewan tersebut merusak sesuatu dengan kakinya, maka tidak ada kewajiban mengganti, karena Rasulullah bersabda:
“Kaki hewan itu tidak wajib mengganti apa yang dirusaknya. Adapun yang ia rusak dengan mulutnya, atau kedua tangannya, maka wajib diganti jika dikendarai.”
Luqathah (Barang Temuan) dan Laqith (Penemu Barang)
Luqathah (Barang Temuan)
Definisi Luqathah Luqathah ialah sesuatu yang tercecer di tempat yang tidak dimiliki siapa pun. Contohnya orang muslim menemukan beberapa uang dirham atau pakaian di salah satu jalan tertentu. Ia khawatir barang-barang tersebut hilang sehingga ia memungutnya. Hukum Luqathah Memungut luqathah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Umumkan tempatnya beserta apa yang ada di dalamnya, dan talinya, kemudian umumkan selama setahun, Jika pemiliknya datang, berikan kepadanya. Dan jika pemiliknya tidak datang, maka terserah kepadamu.”
Rasulullah juga pernah ditanya tentang kambing yang hilang, kemudian beliau bersabda:
“Ambillah, karena ia menjadi milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala.”
Hanya saja, memungut luqathah itu hukumnya sunah bagi orang yang yakin bahwa dirinya amanah, dan makruh bagi orang yang tidak yakin akan kejujuran dirinya. Karena perbuatan yang menyebabkan kerusakan pada harta kaum muslimin itu tidak diperbolehkan.
Ketentuan dalam Luqathah
Di antara ketentuan dalam lugathah adalah sebagai berikut:
- Jika lugathah berbentuk sesuatu yang tidak ada harganya yang tidak diminati orang, misalnya sebutir kurma, atau sebutir biji anggur, atau kain usang, atau cambuk, atau cemeti, maka seorang muslim diperbolehkan memungutnya dan memanfaatkannya sejak saat itu juga. Ia tidak wajib mengumumkannya kepada khalayak dan juga tidak harus menjaganya, karena Jabir berkata, “Rasulullah memberi keringanan kepada kita tentang tongkat, cemeti, tali dan sejenisnya. Itu semua boleh dipungut untuk dimanfaatkan.”
- Jika luqathah berbentuk sesuatu yang berharga dan diminati orang maka multaqith (si pemungut) harus mengumumkannya selama setahun penuh. Dalam jangka waktu setahun tersebut, ia mengumumkan di pintu-pintu masjid, atau di tempat-tempat umum, atau di koran atau di radio. Jika pemiliknya datang kepadanya kemudian menyebutkan tempatnya beserta isinya, atau jumlahnya, atau ciri-cirinya, ia harus memberikannya kepada orang tersebut. Jika pemiliknya tidak datang kepadanya setelah setahun, ia boleh memanfaatkannya, atau bersedekah dengannya, namun dengan niat menggantinya jika suatu hari pemiliknya datang untuk memintanya.
- Luqathah di Mekah tidak boleh diambil kecuali jika dikhawatirkan mengalami kerusakan. Jadi, barang siapa memungut luqathah di Mekah, ia wajib mengumumkannya selama ia berada di Mekah. Jika ia hendak keluar dari Mekah, ia harus menyerahkannya kepada penguasa setempat dan tidak boleh memilikinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Sesungguhnya negeri ini (Mekah) adalah tanah haram. Tumbuh-tumbuhannya tidak boleh ditebang, rumputnya tidak boleh dipotong, hewan buruannya tidak boleh diusir, dan luqathahnya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang ingin mengumumkannya.”
- Luqathah hewan, atau disebut juga dengan hewan yang hilang. Jika hewan berupa kambing di padang pasir, maka boleh dipungut dan dimanfaatkan sejak dipungut, karena Rasulullah bersabda, “Ambillah, karena ia menjadi milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala.’”
Tapi jika luqathah berbentuk onta, maka tidak boleh dipungut, dengan alasan apa pun. Rasulullah bersabda:
“Apa urusanmu dengan onta tersebut. Onta tersebut berhak atas sepatunya dan tempat minumnya. Ia bebas pergi mendatangi air dan memakan daun di pohon hingga pemiliknya datang kemudian mengambilnya.”
Hewan yang (hukumnya) seperti onta ialah keledai, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan kuda. Semua hewan tersebut tidak boleh dipungut.
Contoh teks luqathah:
Pada hari ini, bulan ini, si fulan mengaku telah menemukan dompet dengan uang sejumlah sekian di tempat ini. Si fulan telah mengumumkannya sejak ia menemukannya di tempat ia menemukannya, di pasar-pasar, jalan-jalan dan masjid-masjid selama berhari-hari secara berturut-turut, berminggu-minggu secara berturut-turut, dan berbulan-bulan secara berturut-turut hingga berjalan lebih dari setahun, tapi tidak ada orang yang datang kepadanya, dan ia khawatir meninggal dunia dalam keadaan masih memegang dompet tersebut. Ada beberapa orang saksi yang bersaksi bahwa ia menemukannya, kemudian ia memungutnya, dan dompet tersebut sekarang ada di tangannya dan penjagaannya. Jika ada seseorang yang mengaku sebagai pemiliknya datang, dan terbukti sah sebagai pemiliknya, ia berhak mengambilnya dan dengan demikian multagith (pemungut) telah bebas dari tanggung jawab terhadap dompet tersebut dengan menyerahkannya kepada sang pemilik secara syar’i. Ini terjadi pada tanggal sekian.”
Laqith
Definisi Laqith (Penemu Barang)
Lagith ialah anak terbuang yang ditemukan di salah satu tempat tanpa diketahui nasabnya dan tidak ada seorang pun yang mengakuinya sebagai anaknya.
Hukum Laqith
Orang yang berkecukupan harus mengambil dan mendidik laqith, karena Allah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2).
Juga karena laqith adalah jiwa terlindungi yang wajib dijaga.
Ketentuan dalam Laqith Di antara ketentuan dalam lagith adalah sebagai berikut:
- Orang yang menemukan laqith harus disaksikan sejumlah saksi, termasuk terhadap apa saja yang ada pada laqith tersebut, seperti perhiasan dan uang.
- Jika lagith ditemukan di salah satu negeri Islam, ia menjadi anak muslim, kendati di negeri tersebut terdapat orang-orang non muslim.
- Jika laqith ditemukan bersama dengan uang yang ada padanya, maka uang tersebut dialokasikan untuknya. Jika ia ditemukan tanpa ada sesuatu apa pun padanya, ia dinafkahi dari Baitul Mal kaum muslimin. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, maka nafkahnya dibebankan kepada kaum muslimin.
- Harta warisan laqith jika meninggal dunia, atau diyatnya jika ia dibunuh menjadi milik Baitul Mal kaum muslimin sedang imam adalah walinya dalam qishash dan diyat. Imam mempunyai kebebasan mengambil qishash untuknya, atau mengambil diyat untuk Baitul Mal.
- Jika seorang laki-laki mengaku sebagai ayah si lagith, maka lagith diserahkan kepadanya jika dimungkinkan laqith tersebut adalah anaknya, Begitu juga jika ada seorang wanita datang dan mengaku sebagai ibunya si laqith, maka laqith tersebut diberikan kepadanya.
Contoh teks tentang laqith:
“Si fulan bersaksi bahwa pada suatu hari melewati suatu tempat, kemudian menemukan anak kecil yang terbuang di atas tanah dengan ciri-ciri berikut dan bahwa anak kecil tersebut adalah laqith yang tidak memiliki kepemilikan, atau semi kepemilikan, atau salah satu hak yang menyatu dengan kepemilikannya, dan bahwa ia berada di tangan si fulan tersebut berdasarkan hak pemungutan berdasarkan hukum yang dijelaskan di atas. Si fulan mengetahui hak pemungutan ini dan mengakuinya, kemudian lagith diserahkan kepadanya berdasarkan hukum syar’i dengan disaksikan sejumlah orang pada tanggal sekian.”
Al-Hajru dan At-Taflis
Al-Hajru (Pelarangan)
Definisi Al-Hajru
Al-Hajru ialah larangan bagi seseorang untuk mengelola harta kekayaannya, baik karena masih kecil, gila, akalnya tidak sempurna, atau bangkrut.
Hukum Al-Hajru
Al-Hajru disyariatkna dengan firman Allah,
“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)” (An-Nisa’: 5)
Dan juga berdasarkan perbuatan Rasulullah ketika melarang Mu’adz bin Jabal mengelola hartanya ketika terlilit utang. Rasulullah menjual harta Mu’adz dan melunasi semua utangnya hingga tidak ada harta Mu’adz yang tersisa sedikit pun.’
Ketentuan Orang yang Terkena Al-Hajru
Orang-orang yang terkena al-hajru ialah sebagai berikut:
- Anak Kecil, yaitu anak kecil yang belum mencapai usia balig. Ketentuannya ia tidak boleh mengelola hartanya kecuali dengan izin kedua orang tuanya, atau pengurusnya jika ia anak yatim. Al-Hajru tetap diperlakukan kepada anak tersebut hingga ia mencapai usia balig. Jika terlihat ketidakberesan pada akalnya setelah ia mencapai usia balig, maka al-hajru dilanjutkan hingga ia normal. Jika ia anak yatim yang mendapatkan wasiat, maka al-hajru masih diberlakukan kepadanya hingga ia berakal sehat setelah balighnya. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk nikah, kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.” (An-Nisa’: 6)
- Safih, yaitu orang yang menghambur-hamburkan hartanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya, atau dengan pengelolaan yang tidak baik, karena ia tidak mengetahui kemaslahatan dirinya. Orang seperti ini dikenakan al-hajru karena permintaan ahli warisnya, kemudian ia dilarang bertindak terhadap hartanya; ia dilarang menghibahkan, atau melakukan jual beli hingga dewasa (normal). Jika ia mengelola harta setelah pemberlakuan al-hajru padanya, maka tindakannya tidak sah dan tidak berlaku. Jika ia mengelola sebelum pemberlakuan al-hajru kepadanya, maka tindakannya berlaku.
- Orang gila, yaitu. orang yang akalnya tidak sehat kemudian pengetahuannya lemah. Ia dikenakan al-hajru dan seluruh pengelolaan keuangan tidak bisa diterapkan hingga ia normal dan akalnya sempurna. Karena Rasulullah bersabda:
“Pena diangkat dari tiga orang; orang gila yang betul-betul gila akalnya hingga normal kembali, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga bermimpi (mencapai usia balig).”
4, Orang sakit, yaitu orang yang menderita sakit yang biasanya menyebabkan meninggal dunia. Terhadap orang sakit seperti ini, ahli warisnya berhak memberlakukan al-hajru terhadapnya, kemudian ia dilarang mengelola harta melebihi kebutuhannya dalam hal makanan, minuman, pakaian, rumah dan obat hingga ia sembuh, atau meninggal dunia.
At-Taflis (Bangkrut)
Definisi At-Taflis
At-Taflis ialah seseorang yang terlilit banyak utang, sedangkan seluruh harta kekayaannya habis hingga tidak tersisa sedikit pun untuk membayar utang-utangnya.
Ketentuan At-Taflis
Ketentuan dalam at-taflis adalah sebagai berikut:
- Orang yang mengalami at-taflis dikenakan al-hajru jika para kreditur (para pemilik piutang) menghendakinya.
- Seluruh aset orang yang mengalami at-taflis dijual, kecuali pakaiannya dan sesuatu yang harus dimilikinya seperti makanan dan minuman, kemudian hasil penjualannya dibagi secara rata di antara para kreditur sesuai dengan piutang-piutang mereka.
- Jika di antara salah satu kreditur ada yang menemukan barang orang yang bangkrut tersebut dalam keadaan utuh tanpa perubahan sedikit pun, maka ia menjadi orang yang paling berhak mengambilnya daripada kreditur lainnya, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa menemukan barangnya di (tangan) orang yang telah bangkrut maka ia lebih berhak terhadapnya.”
Namun demikian, tetap disyaratkan bahwa ia memang belum mengambil harganya sedikit pun, karena jika tidak, maka ia menjadi contoh bagi para kreditur lainnya.
4, Barang siapa terbukti mengalami kesulitan keuangan, menurut hakim atau pengadilan dalam arti ia tidak mempunyai kekayaan yang bisa dijual untuk melunasi utangnya, ia tidak boleh ditagih, karena Allah berfirman:
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (Al-Baqarah: 280)
Rasulullah juga bersabda kepada salah seorang kreditur dari generasi sahabat:
“Ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak memiliki hak selain itu,”
- Jika harta orang yang mengalami at-taflis telah dibagi-bagi, kemudian datanglah seorang kreditur yang tidak pernah mengetahui pemberlakuan al-hajru terhadapnya dan juga tidak mengetahui penjualan asetnya, maka ia menemui para kreditur dan meminta hak yang sama dengan mereka.
- Barang siapa mengetahui pemberlakuan al-hajru pada salah seorang debitur (orang yang bangkrut), kemudian ia melakukan transaksi bisnis dengannya, maka ia tidak mempunyai hak yang sama seperti para kreditur lainnya dan utangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut (orang yang bangkrut) hingga ia bisa membayarnya.
Contoh teks pemberlakuan al-hajr pada orang yang bangkrut
Setelah basmalah dan memuji Allah
“Ini kesaksian hakim pengadilan si A bahwa ia mengenakan al-hajru kepada si B dengan al-hajru yang benar dan syar’i. Si A melarang si B mengelola harta yang dihasilkannya sejak saat itu dan harta yang dihasilkan sesudahnya dengan pelarangan yang sempurna, karena si B terbukti mempunyai utang kepada para kreditur dan utang tersebut melebihi jumlah kekayaannya. Jumlah utang si B adalah sekian. Penjelasan masalah ini bahwa harta orang tersebut menjadi milik si Fulan berdasarkan dokumen tanggal sekian dan milik si Fulan. Semua kreditur telah mengakui piutangnya pada orang tersebut di pengadilan berdasarkan dokumen-dokumen yang diakui undang-undang dan untuk itu masing-masing dari mereka disuruh bersumpah. Ini terjadi setelah terbukti di pengadilan dengan bukti-bukti yang syar’i bahwa debitur yang namanya tertulis di atas mengalami kesulitan keuangan dan tidak mampu melunasi utangnya yang disebutkan di atas, atau kekayaannya yang tersisa tidak cukup untuk membayar semua utangnya kecuali dengan dibagi secara merata kepada para kreditur. Juga setelah terbukti kebangkrutan orang yang bersangkutan dan keabsahan pemberlakuan al-hajru terhadapnya berdasarkan hukum syar’i yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengadilan juga menetapkan bahwa orang yang bersangkutan berhak atas kekayaan untuk nafkah dirinya dan nafkah orang-orang yang berada dalam tanggungannya; istri dan anaknya, yaitu untuk makan, minum, dan sesuatu yang harus dimiliki dalam setiap hari hingga selesai penjualan seluruh asetnya dan usai pembagian hasil penjualannya kepada para kreditur berdasarkan jumlah piutang mereka. Ini semua terjadi pada tanggal sekian.”
Contoh teks al-hajru terhadap safih yang menghambur-hamburkan harta
Setelah membaca basmalah dan memuji Allah :
Hakim pengadilan telah bersaksi telah menjatuhkan al-hajru terhadap si Fulan dengan al-hajru yang benar dan syar’i serta melarangnya mengelola harta yang dihasilkan sejak saat itu dan sesudahnya dengan pelarangan yang syar’i dan al-hajru yang benar. Hal ini karena telah terbukti di mata hakim dengan bukti-bukti kuat bahwa si Fulan yang namanya disebutkan di atas ini adalah safih (kurang waras) yang mengambur-hamburkan kekayaannya dalam belanja dan jual-belinya, bahwa ia berhak dikenakan al hajru dan dilarang mengelola harta hingga kondisinya membaik dan kedewasaannya terlihat. Kemaslahatan hal ini bisa diatasi dengan menjatuhkan al-hajru kepadanya dan tidak mengesahkan segala pengelolaan hartanya. Selain itu, hakim memutuskan bahwa orang yang bersangkutan adalah orang yang kurang waras berdasarkan hukum syar’i, melarangnya melakukan transaksi bisnis, membatalkan semua pengelolaan hartanya dengan pembatalan yang syar’i, mewajibkan mengambil hartanya untuk nafkah diri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya, yaitu istrinya yang bernama si Fulanah dan anak-anaknya yang bernama si Fulan dan untuk kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan menurut syariat dalam setiap harinya sejak tanggal sekian, dan mewajibkan mereka (istri dan anak-anaknya) mendapatkan hal tersebut berdasarkan ketetapan yang syar’i setelah terbukti di pengadilan dengan bukti-bukti kuat bahwa itu sudah cukup baginya dan bagi orang-orang yang berada dalam tanggungannya dan bahwa itu tidak melebihi kebutuhannya berdasarkan ketetapan yang syar’i. Hal ini diberlakukan sejak tanggal sekian.
Wasiat
Definisi Wasiat
Wasiat ialah perjanjian untuk mengurus sesuatu atau mengelola harta setelah kematian seseorang. Dengan definisi seperti ini, wasiat terbagi menjadi dua jenis:
- Wasiat kepada orang yang diminta untuk melunasi utang, atau memberikan hak, atau mengurus kepentingan anak-anaknya yang masih kecil hingga mereka dewasa.
- Wasiat untuk menyerahkan sesuatu kepada pihak yang diwasiatkan untuk menerimanya.
Hukum Wasiat
Wasiat disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Ma’idah: 106)
“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah utangnya dibayar.” (An-Nisa’: 106)
Sabda Rasulullah :
“Seorang muslim tidak layak mempunyai sesuatu yang harus ia wasiatkan kemudian tidur dua malam melainkan wasiatnya tertulis di sampingnya.”
Wasiat diwajibkan bagi orang yang memiliki utang, atau orang yang mendapatkan titipan, atau orang yang memiliki sebuah tanggungan kemudian ia khawatir meninggal dunia sehingga harta dan hak orang lain akan tersia-siakan. Akibatnya, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas itu semua pada hari Kiamat kelak.
Wasiat disunahkan bagi orang yang mempunyai kekayaan yang banyak dan ahli warisnya kaya. Dalam kondisi seperti itu, ia disunahkan mewasiatkan sepertiga kekayaannya untuk sanak kerabatnya selain ahli waris, atau yayasan-yayasan Islam, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Allah berfirman, Wahai anak Adam, ada dua hal di mana engkau tidak mempunyai hak di salah satu dari keduanya. Aku jadikan satu bagian untukmu dari hartamu ketika Aku mengambil kerongkonganmu (mewafatkanmu) agar Aku bisa membersihkanmu dan menyucikanmu dengannya, dan doa hamba-hamba-Ku kepadamu setelah habis ajalmu.”
Sa’ad bin Abu Waqash am pernah bertanya tentang wasiat kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda:
“Sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak. Jika engkau meninggalkan anak keturunanmu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir dan mengemis kepada manusia.”
Syarat-syarat Wasiat
Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:
- Penerima wasiat disyaratkan harus muslim, berakal, dan dewasa, karena selain mereka dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk ia urusi; menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
- Pemberi wasiat yang sakit disyaratkan harus berakal, bisa membedakan antara yang hak dan yang batil, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
- Sesuatu yang diwasiatkan harus berupa sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, wasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan agar setelah kematiannya ia diratapi, atau mewasiatkan agar uangnya disumbangkan ke geraja, untuk perbuatan bid’ah yang makruh, atau untuk tempat hiburan atau tempat kemaksiatan.
- Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat menjadi batal, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.
Ketentuan dalam Wasiat
Di antara ketentuan wasiat adalah sebagai berikut:
- Pemberi wasiat diperbolehkan mengoreksi ulang atau mengubah wasiatnya, sesukanya, karena Umar bin Khattab a berkata, “Seseorang boleh mengubah wasiat semaunya.”
2, Pemberi wasiat yang mempunyai ahli waris tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga dari total kekayaannya, karena hadits bahwa Sa’ad bin Abi Waqash ag di mana ia bertanya kepada Rasulullah, “Apakah aku (boleh) bersedekah dengan dua pertiga dari kekayaanku?” Beliau bersabda, “Tidak.” Sa’ad bertanya lagi, “Apakah dengan separuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak.” Sa’ad bertanya lagi, “Apakah sepertiga?” Beliau menjawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Jika engkau meninggalkan anak keturunanmu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir dan mengemis kepada manusia.”
- Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris meskipun sedikit hingga seluruh ahli waris merelakannya setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada masing-masing orang yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris kecuali jika dikehendaki para ahli waris.”
4, Jika sepertiga yang diwasiatkan itu tidak cukup untuk semua wasiat, maka dibagi secara rata kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkannya sebagaimana pembagian secara merata diberikan kepada para kreditur dalam kasus orang yang mengalami kebangkrutan.
- Wasiat tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah semua utang dilunasi. Hal ini berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib, “Rasulullah memerintahkan agar utang dilunasi sebelum pelaksanaan wasiat.” Sebab, utang adalah wajib (dilunasi), sedangkan wasiat adalah sunah. Perkara yang wajib harus didahulukan daripada yang sunah.
- Wasiat memberikan sesuatu yang tidak ada di tempat, atau dengan sesuatu yang tidak ada itu diperbolehkan, karena wasiat adalah perbuatan baik kepada seseorang. Jika sesuatu yang diwasiatkan itu memang ada maka seseorang berhak mendapatkannya, dan jika tidak ada maka tidak apa-apa. Misalnya, seseorang mewasiatkan apa yang akan dihasilkan kambingnya, atau panen yang dihasilkan pepohonannya.
- Penerimaan wasiat oleh penerima wasiat boleh dilakukan semasa hidup pemberi wasiat, atau sepeninggalnya, dan penerima wasiat diperbolehkan mengundurkan diri dari jabatan penerima wasiat karena khawatir menyia-nyiakan harta, atau hak anak yatim yang diwasiatkan kepadanya.
- Orang yang diwasiatkan kepada sesuatu tidak boleh mengalihkannya kepada sesuatu yang lain karena tidak adanya izin tentang hal tersebut. Karena menurut syariat, seseorang tidak diperbolehkan mengelola hak orang lain tanpa seizinnya.
- Jika setelah pelaksanaan wasiat terbukti bahwa si pemberi wasiat ternyata mempunyai utang, maka si penerima wasiat tidak menanggung utang tersebut, karena ia tidak mengetahui sebelumnya dan tidak menyia-nyiakan amanah yang diberikan kepadanya.
- Jika pemberi wasiat mewasiatkan dengan barang, kemudian barang tersebut mengalami kerusakan, maka wasiat batal dan wasiat tersebut tidak harus diambil dari kekayaan yang lain.
- Jika pemberi wasiat mewasiatkan sesuatu kepada salah satu dari ahli waris kemudian hal tersebut tidak disetujui oleh sebagian ahli waris dan disetujui sebagian lainnya, maka wasiat tetap dilaksanakan dengan diambilkan dari jatah ahli waris yang menyetujuinya, karena Rasulullah bersabda,
“Kecuali jika dikehendaki oleh para ahli waris.”
- Jika pemberi wasiat berkata dalam wasiatnya, “Aku wasiatkan untuk anak-anak (aulad) si Fulan sebesar sekian,” maka penerima wasiat harus menyamaratakan hak mereka dalam wasiat; laki-laki atau perempuan, karena kata anak-anak itu mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa’: 11)
Begitu juga jika pemberi wasiat berkata, “Aku wasiatkan untuk anak Laki-laki si Fulan sebesar sekian,” maka wasiat tersebut hanya khusus untuk anak laki-laki, tanpa anak-anak perempuannya. Begitu juga jika pemberi wasiat berkata, “Aku wasiatkan untuk anak-anak perempuan si Fulan,” maka wasiat tersebut khusus hanya untuk anak-anak perempuan si Fulan tersebut tanpa anak laki-lakinya.
- Barang siapa menulis wasiat tanpa disaksikan para saksi, maka diperbolehkan, selagi ia tidak diketahui menarik kembali wasiatnya, karena jika ia diketahui menarik kembali wasiatnya, maka wasiatnya batal dan tidak boleh dilaksanakan.
Contoh teks wasiat:
Setelah basmalah dan memuji Allah:
“Inilah yang diwasiatkan Fulan bin Fulan dan saksi-saksinya mengetahui kesehatan akalnya dan pemahamannya yang baik. Dia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa surga benar adanya, bahwa neraka benar adanya, bahwa hari Kiamat benar akan tiba tanpa ada keraguan di dalamnya, dan bahwa Allah membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kuburan. Orang tersebut mewasiatkan anak-anaknya, istrinya dan sanak kerabatnya untuk bertakwa kepada Allah, taat kepada-Nya, komitmen dengan syariat-Nya, menegakkan agama-Nya, dan mati dalam keadaan Islam.
Orang tersebut juga berwasiat—semoga Allah memaafkannya dan bersikap lembut kepadanya—bahwa jika kematian yang telah ditetapkan Allah kepada makhluk telah datang kepadanya, maka semua hartanya dijaga dengan baik; pertama-tama hartanya digunakan untuk penyiapan dirinya, pengafanan dirinya, dan pemakamannya, kemudian dilanjutkan dengan pelunasan utang-utangnya yang berada dalam tanggungannya dan diakui di hadapan para saksi bahwa ia mempunyai utang kepada si Fulan sebesar sekian, sepertiga dari hartanya dikeluarkan untuk si Fulan, kemudian sisa hartanya dibagikan kepada ahli warisnya yaitu Fulan, Fulan dan Fulan karena itu kewajiban yang diwajibkan Allah.
Pemberi wasiat juga mewasiatkan si Fulan untuk mengurus anak-anak kecilnya yaitu Fulan dan Fulan, menjaga harta mereka hingga mereka dewasa, dan membantu pendewasaan mereka. Itu semua diwasiatkan kepada orang tersebut dan menyerahkan kepadanya setelah ia sebelumnya menyerahkan kepada Allah, karena ia mengetahui kualitas agama, kejujuran, keadilan, dan kapabilitasnya. Selain itu pemberi wasiat memberi kebebasan kepada orang tersebut untuk menyerahkan anak-anak kecilnya kepada siapa pun yang dikehendakinya dan mewasiatkan mereka kepada siapa pun yang diinginkannya. Penerima wasiat menerima wasiat ini di majelis wasiat di depan para saksi dengan penerimaan yang syar’i. Wasiat ini ditandatangani setelah dikoreksi, dan dibaca pada tanggal sekian.”
Wakaf
Definisi Wakaf
Wakaf ialah penahanan harta yang diwakafkan sehingga tidak bisa diwarisi, dijual, atau dihibahkan, dan melepaskan pemanfaatannya untuk penerima wakaf.
Hukum Wakaf
Wakaf itu disunahkan dan dianjurkan. Ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah:
“Kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara kalian (seagama)” (Al-Ahzab: 6)
Sabda Rasulullah :
‘Jika manusia meninggal dunia, maka amal perbuatannya telah terputus darinya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.”
Di antara bentuk sedekah jariyah ialah mewakafkan rumah, tanah, masjid dan lain sebagainya.
Syarat-syarat Wakaf
Syarat-syarat keabsahan wakaf adalah sebagai berikut:
- Pewakaf adalah orang yang layak berderma, artinya ia berakal sempurna dan memiliki apa yang akan diwakafkan.
- Jika penerima wakaf telah ditentukan, maka ia harus masuk bagian dari orang yang berhak memiliki. Jadi tidak sah mewakafkan sesuatu kepada janin di kandungan, atau kepada budak. Jika penerima wakaf belum ditentukan, maka disyaratkan agar barang yang diwakafkan bisa dijadikan sebagai sarana untuk beribadah. Jadi, tidak boleh mewakafkan sesuatu yang digunakan untuk senda gurau, untuk gereja, atau mewakafkan sesuatu yang diharamkan.
- Proses pewakafan harus didasari dengan teks yang jelas sebagaimana layaknya wakaf, penahanan harta atau sedekah.
- Hendaknya sesuatu yang diwakafkan merupakan sesuatu yang tetap ada setelah diambil hasilnya, misalnya rumah, tanah, dan lain sebagainya. Jika sesuatu tersebut habis dalam arti hanya bisa dimanfaatkan saja seperti makanan, parfum dan lain sebagainya, maka tidak boleh diwakafkan dan tidak dinamakan wakaf, tetapi sedekah.
Ketentuan Wakaf
Di antara ketentuan wakaf adalah sebagai berikut:
Memberikan wakaf kepada anak-anak kandung itu diperbolehkan. Jika seseorang berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada anak-anakku,” maka kata-kata ini mencakup anak laki-lakinya, anak-anak perempuannya, cucu dari anak laki-lakinya dan tidak mencakup cucu dari anak-anak perempuannya. Jika ia berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada anak-anakku dan anak keturunanku,” maka mencakup cucu dari anak laki-lakinya dan cucu dari anak perempuannya. Jika ia berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada anak laki-lakiku,” maka itu khusus bagi anak laki-lakinya dan tidak mencakup anak-anak perempuannya. Jika ia berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada anak-anak perempuanku,” maka itu khusus bagi anak-anak perempuannya. Ini semua dilakukan jika pemisahan di antara makna kata-kata tersebut dapat dipahami, tetapi jika tidak dapat dipahami pemisahannya maka tidak perlu.
Syarat-syarat yang diminta pewakaf misalnya tentang sifat, atau mendahulukan seseorang atau mengakhirkan seseorang itu harus dilaksanakan. Jika pewakaf berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada ulama ahli hadits, atau ahli fikih,” maka kata tersebut tidak mencakup ulama ahli bahasa Arab, atau ulama ahli arudh (wazan syair), dan lain sebagainya. Begitu juga jika pewakaf berkata, “Aku wakafkan sesuatu kepada anak-anakku, kemudian anak-anak mereka, kemudian anak-anak mereka,” atau ia berkata, “Tingkatan yang tinggi menghalangi tingkatan yang bawah,” maka ucapannya diberlakukan. Jadi, tingkatan yang bawah tidak mempunyai hak atas wakaf kecuali jika tingkatan yang di atasnya tidak ada. Seandainya pewakaf mewakafkan sesuatu kepada tiga bersaudara, kemudian salah seorang dari ketiganya meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anaknya, maka anak-anaknya tersebut tidak mempunyai hak atas bagian ayahnya, dan jatah ayahnya harus diserahkan kepada dua saudaranya. Itu berlaku jika pewakaf mensyaratkan bahwa tingkatan yang atas menghalangi tingkatan yang bawah.
3, Wakaf tetap berlaku meski hanya dengan pengumuman, atau penyerahan harta wakaf kepada penerimanya. Jika wakaf telah diserahkan kepada penerimanya, maka tidak boleh dibatalkan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dihibahkan.
Contoh teks wakaf:
Setelah basmalah dan memuji Allah :
“Si fulan telah bersaksi bahwa ia mewakafkan sesuatu yang akan disebutkan nanti kepada sifulan B, kemudian sesuatu tersebut menjadi milik si B, berada dalam pengelolaannya, dan kepemilikannya sejak tanggal keluarnya wakaf ini berdasarkan keputusan nomor sekian dan ia mendapatkan sesuatu tersebut dari warisan orang tuanya. Sesuatu yang diwakafkan tersebut ialah semua yang ada di tempat ini sebagai sebuah wakaf yang benar, syar’i dan terlindungi dalam arti tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwariskan, tidak boleh digadaikan, tidak boleh dimiliki, dan tidak boleh diganti kecuali dengan sesuatu yang sama dengannya jika manfaatnya telah habis dalam rangka mencari keridhaan Allah dan mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah. Wakaf tersebut tidak bisa dibatalkan oleh pergantian tahun, atau dilemahkan oleh pergantian abad, karena pergantian tahun justru menguatkannya dan pergantian abad itu juga mengokohkannya.
Pewakaf yaitu si Fulan—semoga Allah menjalankan kebaikan dengan kedua tangannya—mensyaratkan dalam wakafnya yaitu hendaknya pengelolaannya memakmurkan seperempat wakaf, mengurusnya, dan memperbaikinya agar harta wakaf tetap utuh, keinginan pewakaf tercapai, hasilnya meningkat, dan sisanya untuk kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yaitu ini dan itu. Ini berlaku sepanjang zaman hingga Allah mewarisi bumi beserta segala isinya, karena Allah adalah sebaik-baik pewaris.
Jika pihak penerima harta wakaf ini tidak bisa mengambil hasilnya, maka diserahkan kepada orang-orang fakir, dan orang-orang miskin dari umat Nabi Muhammad .
Pewakaf yang namanya tersebut di atas mensyaratkan bahwa ia berhak mengawasi wakafnya dan mengelolanya sepanjang hidupnya. Ia sendirian mengelolanya tanpa siapa pun, tidak ditentang siapa pun, berhak memberi wasiat kepada seseorang untuk mengurusnya, menyerahkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya misalnya anaknya yaitu si Fulan, atau orang yang paling pandai di antara anak-anaknya atau cucu-cucunya, atau anak keturunannya. Jika mereka semua telah meninggal dunia dan tidak tersisa seorang pun maka pengurusannya diserahkan kepada si Fulan.
Pewakaf yang namanya disebutkan di atas mensyaratkan bahwa harta wakafnya atau apa saja yang ada di dalamnya tidak boleh disewakan lebih dari satu tahun dan hendaknya penyewa tidak memasukkan satu akad ke dalam akad berikutnya hingga masa akad pertama habis dan sesuatu yang disewakan kembali kepada pengurus wakaf.
Pewakaf mengeluarkan wakafnya dari aset dan hartanya, kemudian menjadikan sebagai sedekah murni, abadi, dan berlangsung berdasarkan hukum yang dijelaskan di atas, mulai dari sekarang, lepas dari kepemilikannya dan meletakkan pengawasan dan pengelolaan dari dirinya.
Wakaf ini telah sah, hukumnya harus dilaksanakan, dan menjadi salah satu dari wakaf kaum muslimin. Jadi, siapa pun tidak diperbolehkan membatalkan, mengubah, merusak atau meniadakannya baik itu dengan perintah, fatwa, pertimbangan, atau dengan tipu-muslihat. Pewakaf meminta bantuan Allah terhadap orang yang bermaksud merusak atau menzalimi wakafnya dan melawannya di sisi-Nya pada hari kemiskinan dan kehinaannya, yaitu hari di mana alasan tidak lagi berguna bagi orang-orang yang zalim, mereka mendapatkan laknat, dan mendapatkan tempat kembali yang sangat buruk.
Pewakaf menerima semua ketentuan ini dengan penerimaan yang syar’i dan bersaksi atas dirinya yang mulia dalam keadaan sehat, sukarela, dan tindakannya dibenarkan oleh syariat. Ini ditetapkan pada tanggal sekian.”
Hibah, ‘Umra, dan Ruqba
Hibah
Definisi Hibah
Hibah ialah pemberian hak milik baik berupa harta maupun perhiasan yang mubah oleh orang yang berakal sempurna kepada orang lain. Seperti seorang muslim yang menghibahkan kepada saudara seagamanya sebuah rumah, atau pakaian, atau makanan, atau sejumlah beberapa dirham dan dinar.
Hukum Hibah
Hibah adalah seperti hadiah; disunahkan. Karena keduanya merupakan perbuatan baik yang dianjurkan untuk dikerjakan, dan berlomba-lomba untuk melakukannya. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92)
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (Al-Ma’ idah: 2)
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya.” (Al-Baqarah: 177)
Sabda Rasulullah:
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mencintai; dan hendaklah kalian saling berjabat tangan niscaya perasaan tidak senang (ghill) hilang dari kalian.’
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang meminta kembali (menelan) muntahannya.”
“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan ditunda (diperpanjang) ajalnya, hendaklah ia menyambung kekerabatan.’?”
Perkataan Aisyah:
“Nabi menerima hadiah, dan memberikan ganti yang lebih baik darinya.”
Ketentuan Hibah
Di antara ketentuan hibah adalah sebagai berikut:
- Jika hibah diberikan kepada salah satu anak, maka disunahkan agar anakanak yang lain diberi hibah dengan jumlah dan besar yang sama, karena Rasulullah bersabda:
“Bertakwalah kalian kepada Allah dan adillah kalian terhadap anakanak kalian,”
- Mengambil kembali hibah adalah haram. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang meminta kembali (menelan) muntahannya.” Kecuali hibah dari seorang ayah kepada anaknya, maka ia diperbolehkan menariknya kembali. Sebab, anak beserta hartanya sebenarnya adalah milik ayahnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Tidak halal bagi seseorang untuk memberi sesuatu kemudian menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang mengambil kembali sesuatu yang ia berikan kepada anaknya.”
- Makruh hukumnya menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan. Maksudnya, seorang muslim menghadiahkan sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang tersebut akan membalasnya dengan pemberian yang lebih besar, karena Allah berfirman:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan pada zakat yang kalian berikan dengan maksud untuk mendapatkan keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Ar-Rum: 39)
Jika demikian, maka penerima hibah memiliki hak pilih antara menerima hibah atau menolaknya. Jika ia menerimanya, ia harus memberi imbalan dengan nilai yang sama atau lebih besar, karena Aisyah berkata, “Rasulullah menerima hadiah dan membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa berbuat baik kepada kalian, maka balaslah.”
“Barang siapa berbuat baik kepada seseorang, kemudian ia berkata kepada pemberinya, ‘Semoga Allah memberi balasan yang baik kepadamu,’ maka ia telah menyanjung dengan amat baik.’?
Syarat-syarat Hibah
Syarat-syarat hibah adalah sebagai berikut:
- Ijab, yaitu jawaban si pemberi hibah kepada orang yang meminta sesuatu kepadanya, dengan senang hati.
- Qabul, yaitu penerimaan dari si penerima hibah dengan berkata, “Aku terima apa yang telah engkau hibahkan kepadaku,” atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang muslim memberi sesuatu atau menghibahkan sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh penerimanya, kemudian penghibah meninggal dunia, maka sesuatu atau hibah tersebut menjadi hak ahli warisnya dan penerima hibah tidak mempunyai hak terhadapnya karena hibah seperti itu tidak memenuhi syarat, yaitu tidak adanya qabul. Sebab, jika ia telah menerimanya pasti ia memegangnya (menguasainya) secara penuh.
Contoh teks hibah
Setelah basmalah dan memuji Allah:
“Sifulan A yang telah balig dalam kondisi sehat dan diperbolehkan mengelola harta telah menghibahkan kepada si B semua tanah yang mempunyai batas-batas tertentu di tempat ini yang telah diketahui oleh kedua belah pihak dengan pengetahuan yang syar’i sebagai hibah yang syar’i tanpa imbalan balik, atau hibah balik. Hibah ini mengandung ijab dan qabul. Pemberi hibah membedakan antara wasiat dengan sesuatu yang dihibahkan kepada penerima hibah dengan perbedaan yang syar’i. Oleh karena itu, penerima hibah wajib menerima hibah kepadanya dan hibah yang tersebut di atas menjadi salah satu aset dan salah satu haknya. Ini terjadi pada tanggal sekian.”
Catatan:
Jika hibah dari ayah kepada anaknya maka disebutkan dalam teks tersebut, “Penghibah yang namanya tertulis di atas menerima hal ini dari dirinya untuk anak yang namanya disebutkan di atas dengan penerimaan yang syar’i dan hibah di atas menjadi salah satu aset anaknya tersebut dan salah satu haknya, namun barang hibah tetap berada di tangan ayah sedangkan pemiliknya adalah anaknya tersebut. Hibah ini ditetapkan pada tanggal sekian.”
‘Umra
Definisi ‘Umra
‘Umra ialah seorang muslim berkata kepada saudara seagamanya,
“Aku memintamu untuk memakmurkan rumahku, atau kebunku, atau aku hibahkan pemakaian rumahku, atau aku hibahkan hasil kebunku kepadamu sepanjang hidupmu.”
Hukum ‘Umra
‘Umra diperbolehkan, karena Jabir a berkata, “Hanyasanya ‘umra yang diperbolehkan Rasulullah ialah seseorang yang berkata, ‘Ini untukmu dan anak-anakmu.’ Namun jika ia berkata, ‘Ini untukmu selama kamu hidup,’ maka pada suatu saat nanti ia harus dikembalikan kepada pemiliknya.”
Ketentuan dalam ‘Umra
Di antara ketentuan dalam ‘umra adalah sebagai berikut:
- Jika kalimat ‘umra disebutkan mutlak, misalnya seseorang berkata, “Aku memintamu memakmurkan rumahku,” maka rumah tersebut menjadi milik orang yang memakmurkannya dan anak keturunan sepeninggalnya, karena Rasulullah bersabda:
“Umra itu menjadi milik orang yang diberinya.’?”
Begitu juga, jika kalimat ‘umra diikat dengan kalimat, “Ini untukmu dan anak keturunanmu sepeninggalmu,” maka ‘umra tersebut menjadi milik penerimanya, anak keturunan sepeninggalnya, dan tidak kembali kepada pemberi ‘umra, karena Rasulullah bersabda:
“Siapa pun yang memakmurkan ‘umra, maka ‘umra tersebut menjadi miliknya dan anak keturunannya, karena ‘umra tersebut menjadi milik orang yang diberi dan tidak kembali kepada pemberinya, karena pemberi tersebut memberikan sesuatu yang bisa diwarisi.”
- Jika kalimat ‘umra dibatasi dengan pernyataan, “‘Umra ini menjadi milikmu selama kamu hidup, dan jika engkau meninggal dunia maka kembali lagi kepadaku dan kepada anak keturunanku,” maka ‘umra tersebut dikembalikan kepada pemberinya setelah kematian penerimanya, karena Jabir ag berkata, “Umra yang diperbolehkan Rasulullah ialah seseorang berkata, ‘Ini untukmu dan anak-anakmu.’ Namun jika ia berkata, ‘Ini untukmu selama kamu hidup,’ maka pada suatu saat nanti dikembalikan kepada pemiliknya.”
Ruqba (Hibah Hunian)
Definisi Ruqba
Ruqba ialah seorang muslim berkata kepada saudara seagamanya, “Jika aku mati sebelum kamu, maka rumahku atau kebunku menjadi milikmu, dan jika mati sebelum aku, maka rumahmu menjadi milikku.” Atau ia berkata, “Rumah ini menjadi milikmu sepanjang hidupmu dan jika engkau mati sebelum aku, maka rumah itu kembali kepadaku, dan jika aku mati sebelum kamu, maka rumah tersebut menjadi milikmu.” Jadi, rumah tersebut menjadi milik orang yang terakhir mati di antara keduanya.
Hukum Ruqba
Hukum ruqba adalah makruh. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Janganlah kalian saling menanti, karena barang siapa menanti sesuatu maka itu jalan kepada pewarisan.’”
Yang dimaksud dengan penantian di atas ialah menanti kematian orang yang memberi ruqba. Hal ini terkadang bisa menyebabkan orang yang diberi ruqba mengharapkan kematian saudaranya yang memberinya ruqba, bahkan lebih dari itu terkadang ia berupaya menghabisi nyawanya, wal iyadzu billah. Oleh karena itu, jumhur ulama memakruhkan ruqba. Ketentuan dalam Ruqba | Jika seorang muslim mengerjakan sesuatu yang dimakruhkan dan melakukan ruqba, maka ketentuan ruqba sama seperti ‘umra. Kalimat ruqba yang dibuat mutlak akan menjadi milik orang yang diberi ruqba dan bagi anak keturunan sepeninggalnya. Dan kalimat rugba yang terikat maka disesuaikan dengan ikatannya atau batasannya. Jika ruqba disyaratkan dikembalikan lagi kepada pemberinya, maka ruqba dikembalikan lagi kepadanya. Jika tidak disyaratkan kembali kepada pemberinya, maka tidak dikembalikan lagi kepadanya.
Contoh teks ‘umra atau ruqba
Setelah basmalah, memuji Allah , serta bershalawat dan salam untuk Rasulullah,:
“Si fulan A telah memberikan ‘wnra, atau ruqba kepada si fulan B dalam bentuk rumah, atau kebun yang berbatasan dengan ini dan itu sebagai ‘umra, dan ruqba yang syox’i dan benar karena si A berkata kepada si B, “Aku beri engkau ‘umra, atau ruqba rumah ini, atau kebun ini untukmu sepanjang hidupmu, dan jika engkau meninggal dunia maka itu semua kembali kepadaku,” dan jika si pemberi juga ingin memberikan kepada anak keturunannya sepeninggalnya, ia berkata, “Juga untuk anak keturunanmu sepeninggalmu.” Kemudian penerima ‘umra, atau ruqba menerima rumah tersebut atau kebun tersebut dari pemberinya dan menjadi miliknya di mana ia boleh berbuat apa saja terhadapnya; menempatinya dan memanfaatkannya sepanjang hidupnya. Kesaksian dan penandatanganan atas masalah ini terjadi pada tanggal sekian.”
Nikah
Definisi Nikah
Nikah ialah sebuah akad yang menghalalkan dua belah pihak (suami dan istri) untuk bersenang-senang dengan pasangannya.
Hukum Nikah
Nikah disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat, kemudian jika kalian takut tidak dapat berbuat adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki.” (An-Nisa’: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (nikah) dari budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak wanita kalian.” (an-Nur: 32)
Namun begitu, nikah hukumnya wajib bagi siapa saja yang mampu membiayainya dan ia khawatir akan terjerumus ke dalam Hal-hal yang haram. Nikah hukumnya sunah bagi orang yang sanggup membiayainya, namun ia tidak khawatir akan terjerumus ke dalam Hal-hal haram.
Rasulullah bersabda:
“Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian sanggup menikah, maka nikahlah, karena nikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih mampu menjaga kemaluan.’
“Nikahilah wanita-wanita yang banyak anak dan penyayang, karena aku bangga dengan kalian atas umat-umat lain pada hari Kiamat.”
Hikmah Nikah
Di antara hikmah nikah adalah sebagai berikut:
- Melestarikan populasi manusia dengan keturunan yang dilahirkan dari menikah.
- Kebutuhansuami-istrikepada pasangannya untuk menjaga kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang sesuai dengan fitrah.
- Kerjasama suami-istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
- Mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan asas pertukaran hak dan saling bekerjasama yang produktif dalam ruang lingkup cinta kasih dan perasaan saling menghormati pasangannya
Rukun-rukun Nikah
Keabsahan nikah mengharuskan terpenuhinya empat rukun, yaitu: wali, dua saksi, shighat akad, dan mahar.
- Wali Yaitu ayah kandung mempelai wanita, atau penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan ahli waris wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita tersebut, atau pemimpin setempat, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.’
Umar bin Khattab juga berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi kecuali dengan izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya, atau penguasa setempat.”
Ketentuan bagi wali:
Wali memiliki sejumlah ketentuan yang wajib diperhatikan, yaitu:
- Ia layak menjadi wali, yaitu laki-laki, balig, berakal sempurna, dan orang merdeka.
- Orang yang hendak menikahi seorang wanita harus meminta izin kepada walinya jika wanita tersebut seorang gadis, dan walinya adalah ayahnya sendiri, atau menanyakan wanita tersebut kepada walinya jika wanita tersebut janda dan walinya bukan ayahnya tetapi dirinya sendiri, karena Rasulullah bersabda,
“Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedangkan gadis itu harus dimintai izin, dan izinnya ialah diamnya.”
c, Perwakilan wali kerabat tidak sah dengan keberadaan wali yang lebih dekat. Maka tidak sah perwalian saudara seayah dengan keberadaan saudara kandung, atau tidak sah perwalian anak saudara dengan keberadaan saudara.
- Jika seorang wanita meminta dua orang dari kerabatnya menikahkan dirinya, kemudian masing-masing dari keduanya menikahkannya dengan orang lain, maka wanita tersebut menjadi milik laki-laki yang lebih dahulu dinikahkan dengannya, dan jika akad dilaksanakan pada waktu yang sama, maka pernikahan wanita tersebut dengan kedua laki-laki tersebut menjadi batal
2, Dua Orang saksi.
Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah akad nikah harus dihadiri oleh dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum muslimin, karena Allah berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (Ath-Thalaq: 2)
Rasulullah juga bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
Ketentuan bagi dua orang saksi
Di antara ketentuan bagi dua orang saksi adalah sebagai berikut:
- Saksi nikah harus dua orang atau lebih.
- Kedua saksi tersebut harus adil, dan adil itu terealisasi dengan menjauhi dosa-dosa besar dan meninggalkan sebagian besar dosa-dosa kecil. Sedangkan orang fasik yang melakukan zina, atau meminum minuman keras, atau memakan harta riba itu tidak sah dijadikan saksi pernikahan, karena Allah berfirman, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian,” (Ath-Thalaq: 2). Dan juga karena Rasulullah bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
- Alangkah baiknya jika jumlah saksi diperbanyak pada zaman kita karena sedikitnya sifat adil pada zaman sekarang.
- Shighat Akad Nikah Shighat akad ialah ucapan calon suami, atau wakilnya pada saat nikah, “Nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama si Fulanah,” dan jawaban wali, “Aku nikahkan engkau dengan anak putriku yang bernama Fulanah,” serta ucapan calon suami, “Aku terima pernikahan anak putrimu denganku.”
Ketentuan tentang shighat akad Rukun shighat akad nikah ini mempunyai beberapa ketentuan, di antaranya adalah:
- Mempelai pria memiliki kemampuan membimbing calon istri. Artinya suami adalah orang merdeka, berakhlak mulia, religius dan amanah, karena Rasulullah bersabda,
‘Jika telah datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan anak putri kalian) Jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata bahwa hadits ini hasan gharib)
- Wakalah (mewakilkan) diperbolehkan dalam akad nikah. Jadi calon suami boleh mewakilkan siapa pun dalam akad. Adapun calon istri, maka yang melangsungkan akad pernikahannya adalah walinya.
4, Mahar
Mahar ialah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk menghalalkan menikmatinya, dan hukum mahar adalah wajib berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)
Sabda Rasulullah
“Carilah mahar kendati cuma cincin dari besi.” (Muttafaq Alaih).
Ketentuan tentang Mahar
Di antara hukum-hukum mahar adalah sebagai berikut:
- Mahar disunahkan ringan, karena Rasulullah bersabda,
“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.”
Juga karena mahar putri-putri Nab cuma 400 atau 500 dirham. Begitu pula dengan mahar istri-istri Nabi; hanya sebesar 400 atau 500 dirham.
- Disunahkan agar mahar disebutkan pada saat akad.
- Mahar boleh dengan sesuatu yang mubah yang harganya lebih dari seperempat dinar, karena Rasulullah bersabda, “Carilah mahar kendati hanya cincin dari besi.”
- Mahar boleh dibayar kontan pada saat akad nikah, atau ditunda, atau sebagiannya saja yang ditunda, karena Allah berfirman:
‘Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, (maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu)” (Al-Baqarah: 237)
Hanya saja, sebagian mahar disunahkan diberikan sebelum suami menggauli istrinya, karena Abu Dawud dan An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib memberi sesuatu (mahar) kepada Fathimah sebelum berhubungan dengannya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tidak mempunyai apa-apa.” Rasulullah bersabda, “Mana baju besimu?” Ali bin Abi Thalib pun memberikan baju besinya kepada Fatimah Sebelum berhubungan dengannya.
- Mahar menjadi tanggungan suami pada saat akad dan menjadi wajib ketika suami menggauli istrinya. Jika suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka separuh mahar gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar separuhnya, karena Allah berfirman:
‘Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (Al-Baqarah: 237)
- Jika suami meninggal dunia sebelum menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya dan mendapatkan maharnya secara utuh, karena Rasulullah memutuskan demikian. Hal ini berlaku jika maharnya telah ditentukan. Jika maharnya belum ditentukan, maka istri mendapatkan mahar mits! (mahar sebesar mahar wanita yang sekufu dengannya) dan ia harus menjalani masa iddah sepeninggal suaminya.
Etika dan Sunah Nikah
- Khotbah
Yaitu khotbah oleh penceramah yang berkata, “Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kita memohon pertolongan dan meminta ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada-Nya dari keburukan jiwa kita dan kejelekan amal kita. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan Allah maka tidak ada yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Setelah itu, ia membaca firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Kemudian membaca firman Allah:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’: 1)
Kemudian membaca firman Allah
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagi kalian amal-amalan kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)
Penceramah harus berkata seperti itu, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian ingin berkhotbah untuk salah satu keperluan pernikahan, atau keperluan lainnya, hendaklah ia berkata segala puji bagi Allah, dan seterusnya.’
- Walimah.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Abdurrahman bin Auf setelah menikah:
“Adakanlah walimah kendati dengan satu kambing.”
Walimah ialah makanan (jamuan) untuk resepsi pernikahan. Orang yang diundang untuk menghadiri walimah wajib datang, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa diundang kepada walimah, atau yang lain, hendaklah ia datang.”
Namun tidak menghadiri undangan walimah juga diperbolehkan jika di dalamnya terdapat sesuatu yang sia-sia, atau kebatilan. Barang siapa diundang oleh dua orang, maka ia harus mendahulukan orang yang pertama kali mengundangnya.
Orang-orang fakir juga harus diundang ke walimah sebagaimana orang-orang kaya diundang, karena Rasulullah bersabda:
“Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah di mana orang yang datang kepadanya (orang fakir) tidak boleh memakannya dan orang yang tidak bersedia datang tapi diundang kepadanya (orang kaya). Barang siapa tidak memenuhi undangan, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Barang siapa berpuasa kemudian diundang menghadiri walimah, ia harus memenuhi undangan; jika mau, ia boleh memakan makanannya jika ia berpuasa sunah; dan jika mau, tidak memakan jamuan dan itu tidak apa-apa, karena Rasulullah bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia berpuasa, hendaklah ia tinggalkan (tidak makan). Dan jika ia tidak berpuasa, hendaklah ia memakan.”
- Pengumuman
Nikah Yaitu diumumkannya pernikahan dengan rebana, atau nyanyian yang diperbolehkan, karena Rasulullah bersabda:
“Pembeda antara yang halal dan yang haram ialah rebana dan suara.”
- Doa Yaitu doa untuk kedua mempelai, karena Abu Hurairah berkata, “Rasulullah adalah manusia yang paling lembut. Jika ada orang menikah, beliau berkata: “Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu, baik pada waktu suka dan duka, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
- Menggauli istri untuk kali pertama pada bulan Syawal
Hal ini karena Aisyah berkata, “Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, dan menggauliku juga pada bulan Syawal. Adakah istri-istri beliau yang lebih beruntung dari padaku?” Aisyah menganjurkan hendaknya suami menggauli istrinya untuk pertama kalinya pada bulan Syawal.
- Memegang ubun-ubun istri
Jika seorang suami menemui istrinya hendaknya memegang ubun-ubun nya sembari berdoa:
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan wanita ini, dan kebaikan yang Engkau ciptakan pada dirinya. Aku juga berlindung kepada-Mu dari keburukan wanita ini dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Karena doa ini diriwayatkan bahwa Rasulullah berdoa seperti itu.
7, Berdoa sebelum berhubungan badan
Jika ingin melakukan hubungan suami-istri hendaknya masing-masing dari keduanya berdoa:
“Bismillah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.”
Diharuskannya berdoa sebelum berhubungan badan seperti itu karena diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Seandainya salah seorang dari kalian mendatangi (menggauli) istrinya dan berkata, ‘Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.’ Maka jika keduanya ditakdirkan mendapatkan anak dari hubungan keduanya tersebut, maka anak tersebut tidak bisa diganggu oleh setan selama-lamanya,”
- Tidak boleh menceritakan perihal hubungan seksual
Dimakruhkan bagi suami-istri untuk menceritakan perihal hubungan seksual kepada orang lain, karena Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah seorang suami yang berhubungan dengan istrinya, dan istrinya berhubungan dengannya, kemudian ia menceritakan rahasia keduanya.”
Syarat dalam Nikah
Terkadang seorang wanita membuat syarat-syarat tertentu kepada orang yang melamarnya. Jika apa yang ia syaratkan itu menguatkan akad, misalnya meminta syarat berupa nafkah, atau hubungan seks, atau jatah hari jika calon suaminya mempunyai istri lain, maka syarat-syarat seperti itu sudah tercakup dengan tujuan akad pernikahan itu sendiri dan tidak diperlukan lagi.
Jika ia mensyaratkan sesuatu yang merusak akad, misalnya calon suaminya tidak boleh menikmati dirinya, atau tidak perlu membuatkan makanan atau minuman untuk suaminya nanti seperti yang biasa dikerjakan istri untuk suaminya, maka syarat seperti itu batal dan tidak wajib dipenuhi, karena bertentangan dengan tujuan menikahinya.
Jika syarat-syarat yang diajukan calon istri adalah selain yang tertera di atas, misalnya ia mensyaratkan suaminya nanti mengunjungi kerabat-kerabatnya, atau tidak membawanya pergi dari daerahnya dalam arti bahwa wanita tersebut membuat syarat-syarat yang tidak menghalalkan Hal-hal yang haram, dan tidak mengharamkan Hal-hal yang halal, maka suaminya kelak harus memenuhinya. Jika tidak, maka istrinya boleh membatalkan pernikahannya jika mau, karena Rasulullah bersabda:
“Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi ialah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (wanita).”
Wanita juga diharamkan mensyaratkan seseorang menceraikan istri yang lain terlebih dahulu jika ingin menikah dengannya, karena Rasulullah bersabda:
“Seorang wanita tidak halal dinikahi dengan menceraikan istri yang lain. Selain itu, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang seorang wanita mensyaratkan perceraian saudarinya sesama muslimah.
Khiyar (Hak Pilih) dalam Nikah
Masing-masing dari suami-istri mempunyai khiyar (hak pilih) untuk tetap menjaga keutuhan pernikahan, atau membatalkannya karena salah satu sebab berikut ini:
- Istri mempunyai kekurangan, misalnya gila, atau menderita sakit kusta, atau sakit di kemaluan yang menghilangkan kenikmatan berhubungan badan dengannya, atau suami telah mengebiri dirinya, atau gila, atau menderita impotensi sehingga dia tidak bisa menggauli atau memuaskan istrinya.
Keinginan untuk membatalkan pernikahan harus diperhatikan dengan cermat. Jika pembatalan tersebut terjadi sebelum suami-istri melakukan hubungan badan, maka suami berhak meminta kembali mahar yang pernah ia berikan kepada istrinya. Jika pembatalan tersebut terjadi setelah keduanya melakukan hubungan badan, maka suami tidak berhak menarik kembali sedikit pun mahar yang telah ia berikan kepada istrinya, karena mahar tersebut menjadi milik istrinya dikarenakan ia telah menggaulinya.
Ada yang berpendapat bahwa suami berhak meminta pengembalian maharnya kepada salah seorang dari keluarga istrinya yang menipunya dan itu pun jika orang yang menipunya itu mengetahui kekurangan pada istrinya tersebut.
Dalilnya masalah ini ialah atsar dari Umar bin Khattab am di dalam Al-Muwattha’ yang berkata, “Wanita mana pun yang ditawarkan kepada seseorang, padahal wanita tersebut gila, atau menderita sakit lepra atau kusta, maka maharnya tetap menjadi milik wanita tersebut karena suaminya telah mendapat sesuatu (kemaluan) darinya, sedang sang suami meminta ganti mahar kepada orang yang menawarkannya.”
- Terdapat ketidak jelasan, misalnya seorang muslim menikahi wanita muslimah kemudian terbukti bahwa wanita tersebut adalah wanita Ahlul Kitab, atau seorang muslim menikahi wanita merdeka kemudian terbukti ternyata ia budak, atau orang muslim menikahi wanita sehat tapi kemudian terbukti bahwa ia sakit; buta sebelah atau pincang, karena Umar bin Khattab a berkata, “Wanita mana pun yang ditawarkan kepada seseorang, padahal wanita tersebut gila, atau menderita sakit lepra atau kusta, maka maharnya tetapi menjadi milik wanita tersebut karena suaminya telah mendapat sesuatu (kemaluan) darinya, sedang orang tersebut meminta ganti mahar kepada orang yang menawarkannya.”
- Suami tidak mampu menyerahkan mahar secara kontan. Jadi, jika suami tidak sanggup menyerahkan mahar secara kontan, maka istrinya berhak membatalkan pernikahannya sebelum suaminya menggaulinya. Jika suaminya telah menggaulinya, ia tidak berhak membatalkan pernikahannya, akad tetap berlaku, mahar menjadi utang suaminya, dan istri tersebut tidak boleh mengharamkan dirinya terhadap suaminya.
- Suami tidak bisa memberikan nafkah. Jika suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istrinya, maka istrinya boleh menunggunya beberapa waktu hingga mampu memberikan nafkah kepadanya. Jika suaminya tetap tidak bisa memberinya nafkah, ia berhak membatalkan pernikahannya dengan suaminya melalui hakim agama. Ini pendapat para sahabat seperti Abu Hurairah, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,. Pendapat ini juga pendapat generasi tabi’in seperti Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah dan Imam Malik Rahimahumullah ajma’in.
- Jika suami pergi, tidak diketahui domisilinya, tidak meninggalkan nafkah untuk istrinya, tidak mewasiatkan seseorang untuk menafkahi istrinya, tidak ada orang lain yang menafkahi istrinya, dan istri tersebut tidak mempunyai sesuatu apa pun untuk menafkahi dirinya atau untuk mencari suaminya, maka ia berhak membatalkan pernikahan melalui hakim agama. Ia membawa masalahnya ke pengadilan agama, pengadilan agama harus menasihatinya, dan menyuruhnya bersabar. Jika istri tersebut menolak nasihat pengadilan dan tidak bisa bersabar, maka hakim agama menulis laporan dengan perantaraan saksi-saksi yang kenal dengan wanita tersebut dan kenal dengan suaminya. Semua saksi bersaksi tentang kepergian suami wanita tersebut dan ketidakmampuannya memberikan nafkah kepada istrinya. Setelah itu, pernikahan keduanya dibatalkan dan pembatalan tersebut adalah talak rujt. Artinya, jika suami wanita tersebut pulang pada masa iddah, maka wanita tersebut berhak kembali kepada suaminya.
contoh teks laporan:
Setelah basmalah, memuji Allah, dan bershalawat dan salam untuk Rasulullah:
Dua orang saksi yang bernama si A dan si B telah datang kepada kami. Keduanya orang-orang yang diperbolehkan memberikan kesaksian Karena keduanya adil dan akal keduanya sempurna. Dua saksi tersebut bersaksi dengan taat dengan kesaksian yang tidak mengharapkan apa-apa selain keridhaan Allah. Keduanya bersaksi bahwa keduanya kenal dengan si Fulan (suami yang pergi) dan si Fulanah (istri suami tersebut) dengan pengenalan yang benar dan syar’i.
Dua saksi bersaksi si Fulan dan si Fulanah tersebut adalah sepasang suami-istri yang menikah dengan pernikahan yang syar’i dan benar. Suami tersebut telah menggauli istrinya dan berduaan dengannya, kemudian pergi meninggalkan istrinya dalam jangka waktu yang lebih dari sekian. Ia tinggalkan istrinya tanpa nafkah, tanpa pakaian, tidak meninggalkan sesuatu apa pun yang bisa dinafkahkan istrinya untuk kepentingan dirinya selama kepergian suaminya, tidak ada orang yang sukarela memberikan nafkah kepadanya, tidak mengirim sesuatu yang tiba di tangan istrinya, dan istrinya tidak mempunyai uang untuk menafkahi dirinya dan untuk mencari suaminya.
Wanita tersebut sekarang tetap patuh kepada suaminya dan menetap di tempat di mana ia ditinggalkan suaminya dan terpaksa membatalkan pernikahannya dengan suaminya tersebut. Dua saksi mengetahui betul kondisi tersebut dan bersaksi siap dimintai pertanggungjawaban tentang masalah tersebut kelak di hadapan Allah.
Kemudian wanita yang bernama si Fulanah berdiri dan bersumpah dengan nama Allah yang Maha agung yang tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Ia bersumpah dengan sumpah yang syar’i bahwa suaminya yang namanya si Fulan telah pergi meninggalkannya selama sekian waktu tanpa meninggalkan nafkah dan pakaian, tidak meninggalkan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menafkahi dirinya selama kepergiannya, tidak ada orang yang memberinya nafkah, tidak mengirim sesuatu yang tiba di tangannya. Ia (istri) tidak mempunyai uang untuk menafkahi dirinya, dan menuntut suaminya.
Wanita tersebut juga bersumpah bahwa orang yang bersaksi tentang masalahnya adalah jujur dalam kesaksiannya, ia tetap patuh pada suaminya, dan terpaksa membatalkan pernikahan dengannya. Oleh karena itu, kami menerima permintaan wanita tersebut untuk membatalkan pernikahannya dengan suaminya, karena adanya bukti-bukti kuat dan sumpah dari wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata, “Aku batalkan pernikahanku dengan suaminya yang bernama si Fulan.” Ini talak satu yang memungkinkan diadakan rujuk. Dan dengan ini, maka pernikahan wanita tersebut dengan suaminya yang namanya tersebut di atas menjadi batal sejak tanggal sekian.
Merdeka setelah menjadi budak.
Jika seorang istri adalah budak milik seseorang kemudian dimerdekakan, maka ia mempunyai khiyar (hak pilih) untuk membatalkan pernikahannya dengan suaminya yang masih berstatus budak dengan syarat wanita tersebut tidak mengizinkan suaminya “menyentuh” dirinya setelah ia mengetahui kemerdekaan dirinya. Namun jika wanita mengizinkan suaminya “menyentuh” dirinya setelah ia mengetahui kemerdekaannya, maka tidak mempunyai hak untuk membatalkan pernikahan dengannya, karena Aisyah berkata, “Barirah dimerdekakan sedang suaminya adalah budak. Kemudian Rasulullah memberinya khiyar (hak pilih). Jika suaminya tidak budak, beliau tidak memberinya hak pilih.”
Hak-hak Suami-istri
Hak-hak Istri atas Suami Pada suaminya, seorang istri mempunyai banyak hak yang ditetapkan oleh Dalil-dalil berikut:
Firman Allah
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (Al-Baqarah: 228)
Sabda Rasulullah
“Sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri-istri kalian dan mereka mempunyai hak atas kalian.”
Di antara hak istri atas suaminya adalah sebagai berikut:
- Mendapat nafkah, baik berupa makanan, minuman, pakaian atau tempat tinggal dengan cara yang baik, karena Rasulullah bersabda kepada orang yang bertanya tentang hak istri atas suaminya:
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan engkau jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah.”
Maksudnya, seorang suami tidak boleh memindahkan istrinya ke rumah yang lain untuk mendiamkannya di sana.
- Istimta’ atau nafkah batin. Jadi, suami wajib menggauli istrinya kendati hanya satu kali dalam setiap bulan jika tidak mampu memberikan layanan yang cukup baginya. Allah berfirman:
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya), kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 226)
- Menginap di rumahnya semalam dalam setiap empat malam, karena demikianlah yang diputuskan pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab am.
- Istri mendapatkan bagian yang adil dari suaminya jika suaminya mempunyai istri yang lain, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mempunyai dua istri kemudian ia condong ke salah satu dari keduanya, maka pada hari Kiamat ia datang dalam keadaan menarik salah satu pundaknya dalam keadaan jatuh dan miring.”
- Suami tinggal bersama istrinya pada hari pernikahannya selama seminggu jika istrinya seorang gadis, dan selama tiga hari jika ia janda, karena Rasulullah bersabda:
“Gadis mempunyai hak tujuh hari dan janda memiliki hak tiga hari, kemudian ia (suami yang mempunyai istri lebih dari satu) kembali menemui istri-istrinya,”
- Suami disunahkan mengizinkan istrinya merawat salah seorang dari mahramnya, atau menyaksikan jenazah dari mereka yang meninggal dunia, atau mengunjungi sanak kerabatnya jika kunjungannya tidak merugikan bagi kemaslahatan suami.
Hak-hak Suami atas Istri
Seorang suami memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh istri, di mana hak-hak tersebut diakui oleh Dalil-dalil berikut: Firman Allah
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (Al-Baqarah: 228)
Yang dimaksud dengan kewajiban istri pada suami pada ayat di atas ialah hak suami atas istrinya. Sabda Rasulullah
“Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian.”
Di antara hak-hak suami atas istrinya adalah sebagai berikut:
- Istri menaati suaminya dalam hal kebaikan. Jadi, istri harus menaati suami dalam Hal-hal yang bukan maksiat kepada Allah a dan dalam kebaikan. Istri tidak wajib menaati suaminya dalam Hal-hal yang tidak sanggup ia kerjakan, atau dalam Hal-hal yang memberatkannya. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Firman Allah
“Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (An-Nisa’: 34).
Sabda Rasulullah
“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”
- Istri Menjaga harta suaminya, menjaga kehormatannya, dan tidak keluar dari rumah kecuali dengan izinnya. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut: Firman Allah :
“Wanita-wanita yang salehah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (An-Nisa’: 34)
Sabda Rasulullah
“Istri yang paling baik ialah istri yang jika engkau melihat kepadanya, memakai membuatmu senang, jika engkau menyuruhnya mengerjakan sesuatu, maka ia taat kepadamu, dan jika engkau pergi darinya, maka ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan hartamu.”
- Istri bepergian dengan suami jika suami menginginkannya dan istri pada saat akad tidak mensyaratkan untuk tidak bepergian dengannya, karena kepergian istri bersama suami termasuk ketaatan yang diwajibkan kepadanya.
- Istri menyerahkan dirinya kepada suaminya kapan pun suami meminta untuk menikmatinya (berhubungan badan), karena menikmatinya termasuk salah satu hak suami atas istri. Rasulullah bersabda:
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya kemudian istrinya menolak datang kepadanya, kemudian suami semalaman marah kepadanya, maka istri tersebut dilaknat para malaikat hingga pagi.”
5, Jika suami berada di rumah, seorang istri harus meminta izin kepadanya jika berniat ingin berpuasa sunah. Rasulullah bersabda:
“Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya.”
Nusyuz (Pembangkangan) Istri
Jika istri berbuat nusyuz, membangkang terhadap suaminya, melecehkan suami, dan menolak menunaikan kewajibannya, maka suami harus menasihatinya. Jika istri tetap membangkang, maka suami mendiamkannya di ranjangnya dalam jangka waktu sekehendak suami. Mendiamkannya dalam arti tidak mengajaknya bicara itu tidak boleh lebih dari tiga hari, karena Rasulullah bersabda:
“Orang mukmin tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam.”
Jika istri taat maka hukuman disudahi. Tetapi jika masih tetap membangkang dan tidak patuh kepada suami maka suami boleh memukulnya pada selain wajahnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika istri masih tetap membangkang dan tidak patuh kepada suaminya maka diutuslah wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri kemudian keduanya menemui masing-masing dari suami-istri secara terpisah untuk mendamaikan keduanya dan menyatukan keduanya. Jika itu semua tetap tidak tercapai, maka keduanya dipisah dengan talak ba’in (talak yang tidak memungkinkan keduanya rujuk).
Allah berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya; sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar. Dan jika kalian khawatir akan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (wakil yang bijaksana) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan,; jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’: 34-35)
Etika di Ranjang
Ketika di ranjang, ada sejumlah etika yang harus diperhatikan, antara lain:
- Mula’abah (foreplay) dan mencumbunya hingga membuat istri bergairah untuk berjimak.
- Hendaknya suami tidak melihat kemaluan (vagina) istrinya, karena bisa jadi istrinya tidak menyukainya, dan ini termasuk salah satu hal yang sebaiknya ditinggalkan.
3, Ketika hendak melakukan hubungan badan, suami harus berdoa dengan doa berikut:
“Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.” Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menggauli) istrinya dan berdoa, ‘Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami,’ maka jika keduanya ditakdirkan mendapatkan anak dari hubungan tersebut, maka anak tersebut tidak bisa diganggu oleh setan, selama-lamanya.
- Suami diharamkan menggauli istrinya dalam masa haid, atau nifas, atau sebelum mandi setelah haid dan nifas jika telah suci.
Allah berfirman:
“Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Al-Baqarah: 222)
- Suami diharamkan menggauli istrinya pada selain vaginanya, karena adanya larangan keras tentang hal itu, di antaranya adalah sabda Nabi:
“Barang siapa mendatangi istrinya di duburnya, maka Allah tidak melihat kepadanya pada hari Kiamat.”
- Suami tidak boleh melakukan azl (menumpahkan air sperma di luar
vagina) karena tidak menghendaki kehamilan kecuali dengan izin istrinya dan tidak melakukan azl kecuali kondisi darurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah tentang ‘azl:
“(Azl) adalah menguburkan anak (hidup-hidup) yang terselubung.”
- Jika ingin mengulangi hubungan badan, suami disunahkan berwudhu. Begitu pula jika ingin tidur, atau ingin makan sebelum mandi janabat.
- Suami boleh berhubungan dengan istrinya ketika sedang menjalani masa haid atau nifas, tetapi pada tempat selain di antara pusar sampai Lutut. Rasulullah bersabda:
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (hubungan suami-istri).”
Pernikahan yang Rusak (Tidak Sah)
Pernikahan yang dilarang Rasulullah adalah sebagai berikut:
- Nikah Mut’ah, yaitu menikah sampai batas waktu tertentu, baik lama maupun sebentar. Contohnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dalam jangka waktu tertentu seperti satu bulan atau satu tahun. Hal ini dilarang karena hadits dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa
Rasulullah melarang pernikahan mut’ah dan (makan) daging keledai liar pada Perang Khaibar.
Hukum pernikahan ini adalah batil, tidak sah, sehingga wajib dibatalkan kapan pun terjadi, sedangkan mahar tetap harus dibayarkan jika orang tersebut telah menggauli pasangannya, dan tidak wajib jika ia belum menggaulinya.
2, Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya dengan si fulan dengan syarat si fulan mau menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak yang satunya atau tidak. Nikah seperti ini dilarang berdasarkan Dalil-dalil berikut:
- Sabda Rasulullah, “Tidak ada syighar dalam Islam.”
- Abu Hurairah berkata, “Rasulullah melarang syighar. Syighar ialah seseorang berkata, ‘Nikahkan aku dengan putrimu niscaya aku menikahkanmu dengan putriku,’ atau ia berkata, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, niscaya aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku.”
- Abdullah bin Umar berkata, “Sesungguhnya Rasulullah melarang syighar. Syighar ialah seorang ayah menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan putrinya tanpa ada mahar di antara keduanya.”
Hukum pernikahan syighar ialah dibatalkan sebelum suami menggauli istrinya. Jika suami telah menggauli istrinya, maka pernikahannya dibatalkan jika pernikahan tersebut tidak menggunakan mahar, dan jika masing-masing dari keduanya memberikan mahar, maka pernikahan tidak dibatalkan.
- Nikah muhallil, yaitu seorang wanita yang ditalak tiga kali sehingga (mantan) suaminya diharamkan rujuk kepadanya berdasarkan firman Allah
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230).
Kemudian wanita tersebut dinikahi laki-laki lain dengan tujuan agar ia menjadi halal dinikahi lagi oleh suami pertamanya. Pernikahan seperti ini tidak sah, karena Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah melaknat muhalli” dan muhallal lahu?”
Pernikahan seperti ini harus dibatalkan dan wanita tersebut tidak halal bagi suami yang telah menalaknya dengan talak tiga, dan mahar tetap dimiliki wanita tersebut jika ia telah digauli, kemudian keduanya (si wanita dan muhallil harus dipisahkan.
- Pernikahan orang yang sedang ihram, yaitu pernikahan yang dilangsungkan ketika ihram untuk haji atau umrah dan belum memasuki waktu tahallul. Pernikahan seperti ini tidak sah. Kemudian jika ia tetap ingin menikah dengan wanita yang dinikahinya pada saat ihram maka ia harus mengulangi akadnya setelah ia selesai melaksanakan ibadah haji atau umrah, karena Rasulullah bersabda:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan dan tidak boleh dinikahkan.”
- Nikah dalam masa iddah, yaitu seseorang menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah karena bercerai dengan suaminya, atau karena suaminya meninggal dunia.’ Pernikahan seperti ini batil dan tidak sah, dan hukumnya ialah keduanya harus dipisahkan karena akad keduanya tidak sah dan wanita tetap mendapatkan mahar jika suaminya telah berduaan dengannya dan orang tersebut diharamkan menikahi wanita tersebut setelah masa iddahnya habis sebagai hukuman baginya karena Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum masa iddahnya.” (Al-Baqarah: 235)
- Nikah tanpa wali, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya. Nikah seperti ini batil dan tidak sah karena rukun-rukun nya tidak sempurna, yaitu wali. Sebab, Rasulullah bersabda:
“Tidak ada pernikahan tanpa wali.”
Hukum pernikahan seperti ini ialah keduanya harus dipisahkan; pihak wanita berhak atas mahar yang diberikan kepadanya jika ia telah digauli dan setelah suci dari haid, dan laki-laki tersebut boleh menikahinya dengan akad dan mahar yang baru jika wali wanita tersebut merestui pernikahan keduanya.
Menikah dengan wanita kafir selain wanita-wanita Ahli Kitab, karena Allah berfirman:
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, hingga mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Jadi, seorang muslim haram menikah dengan wanita kafir, baik ia beragama Majusi, wanita Komunis, atau wanita penyembah berhala. Sebagaimana halnya wanita muslimah juga diharamkan secara mutlak menikah dengan laki-laki Ahli Kitab, atau non Ahli Kitab, karena Allah berfirman:
“Mereka (wanita-wanita muslimah) itu tidak hati bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Hukum-hukum dalam permasalahan pernikahan ini adalah sebagai berikut:
- Jika salah seorang dari suami-istri, misalnya suami masuk Islam, maka pernikahan keduanya menjadi batal. Jika kemudian istrinya juga masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka keduanya tetap dalam pernikahan awal keduanya dan jika ia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka harus dilangsungkan akad baru berdasarkan pendapat jumhur ulama.?
- Jika seorang istri yang kafir masuk Islam sebelum digauli suaminya yang kafir, maka ia tidak berhak atas mahar, karena perceraian disebabkan dirinya. TetapijikasuaminyamasukIslam, wanita tersebut berhak mendapat separuh mahar. Jika wanita tersebut masuk Islam setelah digauli suaminya, ia berhak atas mahar secara utuh.
Hukum kemurtadan salah satu dari suami-istri sama seperti hukum masuk Islamnya salah satu dari keduanya tanpa ada perbedaan sedikit pun.
- Jika seorang suami yang beristrikan lebih dari empat istri yang juga ikut masuk Islam bersamanya, atau istri-istrinya tersebut adalah Ahli Kitab yang tidak mau masuk Islam bersamanya, maka ia harus memilih empat istri saja dari mereka dan menceraikan yang lainnya, karena Rasulullah bersabda kepada orang yang masuk Islam dan mempunyai sepuluh istri:
“Pilihlah empat istri dari mereka.”
Begitu juga jika orang yang beristrikan dua wanita bersaudara yang masuk Islam, ia harus menceraikan salah satu dari keduanya sesuai dengan kemauannya, karena memperistri dua wanita bersaudara itu tidak halal. Allah berfirman:
“(Dan diharamkan) menghimpun (dalam pernikahan) dua wanita yang bersaudara.” (An-Nisa’: 23)
Juga karena Rasulullah bersabda kepada seseorang yang memperistri dua wanita yang bersaudara kemudian masuk Islam:
“Ceraikanlah salah satu dari keduanya, semaumu.”
Nikah dengan Mahram (Wanita yang Haram Dinikahi)
- Wanita-wanita yang Haram Dinikahi Selama-lamanya (Tahrim Muabbaa)
1) Wanita yang haram dinikahi karena nasab.
Mereka adalah:
Ibu dan Nenek secara mutlak dan semua jalur ke atasnya.
Anak perempuan dan anak perempuannya (cucu) beserta semua jalur ke bawahnya.
Anak perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuannya (cucu), beserta semua jalur ke bawahnya.
Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuannya dan anak-anak perempuannya dari anak laki-laki dari saudara perempuan tersebut (keponakan) beserta jalur ke bawahnya.
Amah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak beserta jalur ke atasnya.
Khalah (bibi dari jalur ibu) secara mutlak beserta jalur ke atasnya.
Anak perempuan saudara laki-laki secara mutlak.
Anak perempuan anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke bawahnya.
Ketentuan di atas berdasarkan Allah berfirman,
“Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian (bibi dari jalur ayah), saudara-saudara perempuan ibu kalian (bibi dari jalur ibu), anak-anak perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara-saudara perempuan kalian.” (An-Nisa’: 23).
2) Wanita yang haram dinikahi karena pernikahan (besanan).
Mereka adalah:
Istri ayah dan istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena Allah berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi ayah-ayah kalian.” (An-Nisa’: 22),
Ibu istri (ibu mertua) dan nenek istri.
Anak perempuan istri (anak perempuan tiri) jika seseorang telah menggauli ibunya
Anak perempuannya anak perempuan istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri)
Anak perempuannya anak laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri).
Allah berfirman:
“(Diharamkan atas kalian menikahi) ibu-ibu istri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisa’: 23).
3) Wanita yang haram dinikahi karena susuan.
Mereka adalah:
Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab.
Anak-anak perempuan.
Saudara-saudara perempuan.
Para amah (para bibi dari jalur ayah).
Para khalah (para bibi dari jalur ibu).
Anak perempuanya saudara laki-laki.
Anak perempuannya saudara perempuan.
Mereka semua haram dinikahi karena Rasulullah bersabda:
“Apa saja yang diharamkan karena nasab itu juga diharamkan karena susuan.’?
Tolok ukur susuan yang diharamkan ialah susuan di bawah dua tahun, dan air susu betul-betul masuk ke perut anak yang menyusu sebagaimana lazimnya susuan. Karena Rasulullah bersabda:
“Satu hisapan atau dua hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan).”
Karena satu hisapan itu sangat sedikit dan bisa jadi tidak masuk ke perut anak yang menyusu.
Catatan:
- Suami ibu susuan dikategorikan sebagai ayah bagi anak susuan. Maka anak-anaknya dari selain ibu susuan adalah saudara bagi anak susuan tersebut. Anak susuan diharamkan menikahi ibu-ibu (termasuk nenek) ayah susuannya, saudara-saudara perempuannya, bibi-bibi dari jalur ayah susuan, dan bibi-bibi dari jalur ibu susuan. Selain itu, semua anak ibu susuan dari suami mana pun adalah saudara bagi anak susuan, karena Rasulullah bersabda kepada Aisyah “Izinkan masuk Aflah saudara Abul Qua’is, karena ia pamanmu.” Rasulullah bersabda seperti itu karena istri Abul Qu’ais menyusui Aisyah
- Saudara laki-laki dari anak susuan dan saudara-saudara perempuannya tidak haram menikah dengan orang-orang yang diharamkan menikah dengan anak susuan, karena mereka tidak menyusu seperti dirinya. Jadi, saudara anak susuan boleh menikahi wanita yang menyusui saudaranya (anak susuan), atau menikahi ibu dari ibu susuan (neneknya anak susuan), atau menikahi anak perempuan ibu susuan, atau menikahi wanita yang menyusui ayah anak susuan tersebut, atau menikahi wanita yang menyusui anak laki-lakinya. Saudara perempuan dari anak susuan juga boleh menikah dengan pemilik susu di mana saudara laki-lakinya atau saudara perempuanya menyusu darinya, atau menikah dengan ayah dari saudara sesusuan, atau menikah dengan anaknya ayah dari saudara sesusuan.
- Apakah istri anak susuan itu seperti istri anak kandung sehingga haram dinikahi? Jumhur ulama berpendapat istri anak susuan adalah sama persis istri anak kandung. Sedangkan ulama yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut berhujah bahwa istri anak kandung itu haram dinikahi karena pernikahan, sedang susuan itu tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan nasab saja.
4) Wanita yang telah dili’an. Suami haram menikahi wanita yang telah di-li’annya, untuk selama-lamanya, karena Rasulullah bersabda:
“Suami-istri yang telah saling melaknat; jika keduanya telah bercerai, maka tidak boleh berkumpul (menikah) lagi selama-lamanya.”
- Wanita-wanita yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
(Tahrim Muaqqat)
Mereka adalah sebagai berikut:
@ Saudara perempuan istri hingga istri tersebut dicerai dan masa iddahnya habis, atau ia meninggal dunia, karena Allah berfirman, “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara.” (An-Nisa’: 23).
@ Bibi istri; baik bibi dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu. Jadi, ia tidak boleh dinikahi hingga istrinya dicerai dan masa iddahnya telah selesai, atau meninggal dunia, karena Abu Hurairah berkata, “Rasulullah melarang seorang wanita dinikahi beserta bibi dari jalur ayahnya, atau bibi dari jalur ibunya.”
@ Wanita yang bersuami. Ia tidak boleh dinikahi hingga ia diceraikan suaminya, atau menjanda dan masa iddahnya habis. Allah a berfirman, “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami.” (An-Nisa’: 24).
@ Wanita yang sedang menjalani masa iddah karena perceraian, atau suaminya meninggal. Ia haram dinikahi dan dilamar hingga masa iddahnya selesai. Tapi tidak ada salahnya menyindir wanita tersebut, misalnya dengan berkata kepadanya, “Aku tertarik kepadamu.” Karena Allah berfirman:
“Dan janganlah kalian mengadakan janji nikah dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf, dan janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum iddahnya habis.” (Al-Baqarah: 235)
@ Wanita yang telah ditalak tiga, hingga ia menikah dengan suami lain dan berpisah dengannya karena perceraian, atau suaminya meninggal dunia, dan setelah masa iddahnya selesai. Karena Allah berfirman:
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia nikah dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230).
@ Wanita yang berzina hingga bertobat dari zina dan diketahui betul-betul bertobat. Allah berfirman:
“Dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin.” (An-Nur: 3).
Rasulullah juga bersabda:
“Laki-laki penzina yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan wanita seperti dirinya.”
Talak (Cerai)
Definisi Talak
Talak atau cerai ialah terurainya ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang jelas, seperti perkataan suami kepada istrinya, “Engkau aku ceraikan,” atau dengan bahasa sindiran yang disertai niat menceraikan, seperti suami berkata kepada istrinya, “Pergilah kepada keluargamu!”
Hukum Talak
Talak diperbolehkan untuk menghilangkan mudarat dari salah satu pasangan suami-istri, karena Allah berfirman:
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 229)
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (Ath-Thalaq: 1)
Bisa jadi talak itu hukumnya wajib jika mudarat yang menimpa salah satu dari suami-istri tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talak, tetapi terkadang talak juga diharamkan jika mendatangkan mudarat bagi salah satu pasangan suami-istri, dan tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik atau sebanding dengan mudaratnya.
Dalil masalah yang pertama adalah hadits Nabi kepada orang yang mengeluh kepada beliau tentang kelancangan istrinya, lalu beliau bersabda, “Ceraikan dia.” Sedangkan dalil untuk masalah yang kedua adalah Sabda Rasulullah :
“Istri mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, maka diharamkan baginya wanginya surga.”
Rukun-rukun Talak
Talak mempunyai tiga rukun, yaitu:
- Suami yang mukallaf. Jadi, selain suami tidak boleh menjatuhkan talak, Begitu juga jika suami tidak berakal, tidak balig, tidak sukarela dalam arti dipaksa, maka talak olehnya tidak sah. Rasulullah bersabda, “Pena diangkat dari tiga orang; dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga dewasa, dan dari orang gila hingga berakal.” Rasulullah juga bersabda, “Salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada orang lain itu dihilangkan (tidak dicatat) dari umatku.”
- Istri yang terikat dengan ikatan pernikahan yang hakiki dengan suami yang mencerai. Artinya, istri tersebut harus berada dalam perlindungan suaminya dan pernikahan dengan suaminya tidak batal oleh pembatalan, atau perceraian, atau hukum. Seperti wanita yang menjalani masa iddah dalam talak raj’i (talak yang masih memungkinkan suami-istri rujuk kembali), atau dalam talak ba’in shughra. Jadi, talak tidak boleh dijatuhkan terhadap wanita yang bukan menjadi istri pencerai, atau wanita yang tidak lagi menjadi istrinya karena talak tiga, atau wanita yang tidak lagi menjadi istrinya karena pernikahannya telah dibatalkan, atau wanita yang telah ia ceraikan sebelum ia gauli. Karena talak jenis ini tidak terjadi pada tempatnya dan itu tidak ada artinya sama sekali.
Rasulullah bersabda:
“Tidak ada nazar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada memerdekakan budak yang tidak dimilikinya, dan tidak ada talak terhadap istri yang tidak dimilikinya.”
- Ungkapan yang menunjukkan tentang talak, baik ungkapan langsung maupun sindiran. Jadi niat talak saja tanpa ungkapan talak itu tidak cukup dan tidak bisa menjatuhkan talak kepada istri, karena Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku terhadap apa saja yang terdetik dalam hatinya selama mereka tidak mengucapkannya atau mengamalkannya.”
Macam-macam Talak Talak itu ada bermacam-macam, yaitu:
- Talak Sunah, yaitu suami mentalak istri pada masa suci yang dalam masa tersebut tidak digauli. Jadi, jika seorang Muslim hendak mentalak istrinya karena mudarat yang menimpa salah seorang dari keduanya dan mudarat tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talak, maka ia harus menunggu istrinya haid dan suci. Jika istrinya telah suci dan ia tidak menggaulinya pada masa sucinya tersebut, maka pada saat itulah ia (Sunah) menjatuhkan talak satu kepadanya, misalnya dengan berkata kepadanya, “Engkau aku cerai.”
Allah juga berfirman:
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Ath-Thalaq: 1).
- Talak Bid’ah, yaitu suami mentalak istrinya pada waktu haid, atau menjalani masa nifas, atau menalaknya dalam keadaan suci di mana pada waktu tersebut ia menggauli istrinya, atau menalaknya dengan talak tiga dengan satu ungkapan atau tiga ungkapan sekaligus, misalnya ia berkata, “Ia aku ceraikan, ia aku ceraikan, dan ia aku ceraikan.” Karena Rasulullah memerintahkan Abdullah bin Umar yang telah mentalak istrinya ketika haid untuk rujuk kepadanya, kemudian menunggunya hingga suci kemudian haid, kemudian suci kemudian setelah itu ia boleh menahannya (tidak mentalak) atau mentalak sebelum menggaulinya.
Setelah itu, Rasulullah bersabda:
“Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah dan denganya engkau mentalak istri.”
Ketika Rasulullah diberitahu bahwa ada orang yang menalak istrinya dengan talak tiga dalam satu ungkapan, beliau bersabda:
“Layakkah ia mempermainkan Kitabullah, padahal aku di tengah-tengah kalian?”
Rasulullah terlihat marah besar karena masalah tersebut. Menurut pendapat jumhur ulama, talak bid’ah ini sama dengan talak sunah, yaitu sah dan mengurai ikatan pernikahan.
- Talak Ba’in, yaitu suami pencerai yang tidak mempunyai hak rujuk kepada istrinya. Dengan jatuhnya talak tiga, maka suami pencerai sama dengan pelamar-pelamar lainnya. Jika istri yang diceraikannya mau, maka ia menerimanya dengan akad dan mahar baru. Jika tidak mau, ia menolaknya.
Talak telah menjadi ba’in karena lima hal:
- Suami Mentalak Istrinya dengan talak raj’i, kemudian membiarkannya tanpa merujuknya hingga masa iddahnya habis. Jadi, talaknya terhadap istri menjadi talak ba’in hanya dengan habisnya masa iddah.
- Suami Mentalak istrinya dengan cara istrinya menyerahkan sejumlah uang kepadanya, yaitu khulu’.
- Istri ditalak oleh dua utusan dari suami-istri karena keduanya berpendapat bahwa talak itu lebih bermanfaat daripada keduanya tetap dalam jalinan pernikahan.
- Suami mentalak istrinya sebelum menggauli, karena wanita yang dicerai sebelum digauli itu tidak mempunyai masa iddah. Jadi, talak terhadap dirinya menjadi talak ba’in hanya dengan jatuhnya talak.
- Suami berketetapan hati mentalak istrinya dengan talak tiga dalam satu ungkapan, atau tiga ungkapan dalam satu tempat, atau ia menalaknya setelah dua talak sebelumnya. Jika itu terjadi, maka istrinya dipisahkan darinya dengan pemisahan besar. Istri sudah tidak halal lagi dengan (mantan) suaminya, kecuali setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain.
4, Talak Raj’i, yaitu talak di mana suami berhak rujuk dengan istrinya kendati istrinya tidak menghendaki. Allah berfirman:
“Dan suami-suami mereka berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan).” (Al-Baqarah: 228).
Rasulullah juga bersabda kepada Abdullah bin Umar yang telah mentalak istrinya:
“Rujuklah kepada istrimu.
Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua pada istri yang telah digauli dan tanpa iwadh (pengembalian mahar). Wanita yang ditalak dengan talak raj’i adalah seperti istri biasa di mana ia berhak mendapatkan uang nafkah, tempat tinggal dan lain sebagainya hingga masa iddahnya habis.
Jika masa iddahnya telah habis, ia dipisahkan dari suaminya dan jika suaminya berniat rujuk kepadanya, maka cukup dengan berkata, “Aku berniat rujuk kepadamu.” Dalam merujuk, disunahkan agar disaksikan dua saksi yang adil.
- Talak Sharih (jelas), yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak, namun hanya membutuhkan ungkapan talak yang jelas. Misalnya suami berkata, “Engkau aku ceraikan, “Engkau menjadi wanita yang dicerai,” atau “Aku telah menceraikanmu.” Atau ungkapan-ungkapan lainnya yang semisal.
- Talak Kiasan, yaitu talak yang membutuhkan niat talak, karena ungkapan talaknya tidak jelas. Misalnya suami berkata, “Pulanglah ke rumah keluargamu,” atau “Keluarlah dari rumah ini,” atau “Engkau jangan berbicara denganku.” Dan ungkapan-ungkapan lainnya yang tidak menyebutkan tentang talak atau makna talak secara jelas. Ungkapan-ungkapan seperti di atas tidak dinamakan talak kecuali jika orang yang mengatakannya meniatkan talak. Rasulullah bersabda kepada salah seorang dari istrinya:
“Pulanglah kepada keluargamu.”
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah meniatkan talak dengan sabdanya tersebut.
Sedangkan yang tidak diniatkan adalah seperti yang dikatakan kepada Ka’ab bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.” Ka’ab bin Malik pun bertanya, “Apakah aku harus menalaknya, atau apa yang harus aku perbuat?” Dikatakan kepada Ka’ab bin Malik, “Jauhilah istrimu dan engkau jangan mendekatinya.” Kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada istrinya, “Pulanglah ke keluargamu.” Istrinya pun pulang ke keluarganya dan perkataan ini tidak termasuk talak.
Talak jenis ini diterapkan pada kiasan yang tidak jelas. Jika Kiasannya jelas, misalnya suami berkata kepada istrinya, “Engkau khaliyyah” Maksudnya, telah halal (dinikahi) bagi laki-laki, maka kiasan seperti itu tidak membutuhkan niat dan dengan diucapkannya kiasan seperti itu maka talak telah jatuh.
7, Talak Munajjaz dan Talak Mu’allaq.
Talak munajjaz ialah talak yang menjadikan istri tertalak sejak saat itu juga, misalnya seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau telah ditalak,” maka istrinya menjadi wanita yang ditalak sejak saat itu juga. Adapun talak mu’allaq ialah talak yang dikaitkan dengan mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Talak seperti ini tidak terhitung talak kecuali setelah terjadinya sesuatu yang dikaitkan dengannya, misalnya suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau keluar dari rumah, maka engkau aku cerai,” atau “Jika engkau melahirkan anak perempuan, maka engkau aku cerai.” Dalam masalah ini, istri tidak dicerai kecuali jika ia keluar dari rumahnya, atau melahirkan anak perempuan.
- Talak Takhyir dan Talak Tamlik.
Talak takhyir ialah seorang suami berkata kepada istrinya, “Pilihlah, atau aku akan memberikan pilihan kepadamu; engkau berpisah denganku atau tetap bersamaku.” Jika istri memilih talak, ia ditalak. Karena Rasulullah pernah memberikan pilihan kepada istri-istrinya, kemudian mereka semua memilih tetap bersama beliau dan mereka pun tidak dicerai. Allah juga berfirman, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Ath-Thalaq: 1).
Adapun talak tamlik ialah seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku serahkan semua urusanmu kepadamu, dan semua masalahmu ada di tanganmu.” Jika ia berkata seperti itu kepada istrinya, kemudian istrinya berkata, “Kalau begitu, aku memilih talak.” Maka talak raj’i satu jatuh pada istrinya.
- Talak dengan wakil atau tulisan. Jika suami mewakilkan kepada seseorang untuk mentalak istrinya atau ia menulis surat talak kemudian ia mengirimkan kepada istrinya, maka istrinya menjadi wanita yang tertalak. Semua ulama tidak berbeda pendapat tentang hal ini, karena wakalah (mewakilkan) itu diperbolehkan dalam hak-hak, dan surat itu menggantikan posisi ucapan jika tidak bisa dikeluarkan karena tidak ada di tempat, atau bisu.
- Talak dengan Tahrim (pengharaman),” misalnya suami berkata kepada istrinya, “Engkau haram bagiku.” Jika ia meniatkan talak, maka talak telah jatuh dan jika meniatkannya zhihar maka zhihar telah jatuh dan ia wajib membayar kafarat (tebusan) zhihar. Jika ia tidak meniatkannya talak, atau tidak meniatkannya zhihar, atau meniatkannya sumpah, misalnya ia berkata, “Engkau haram bagiku jika engkau mengerjakan sesuatu,” kemudian istrinya mengerjakan sesuatu tersebut, maka ia wajib membayar kafarat sumpah saja. Abdullah bin Abbas berkata, “Jika seorang suami mengharamkan istrinya untuknya, itu adalah sumpah yang harus dibayar kafaratnya.” Setelah itu, Abdullah bin Abbas berkata, “Sungguh pada Rasulullah terdapat suri tauladan bagi kalian.”
- Talak Haram, yaitu seorang suami mentalak istrinya dengan talak tiga dengan satu ungkapan, misalnya ia berkata kepada istrinya, “Engkau aku talak tiga,” atau dengan tiga ungkapan talak dalam satu tempat, misalnya ia berkata kepada istrinya, “Engkau aku talak, engkau aku talak, dan engkau aku talak.” Talak seperti ini haram menurut ijmak ulama, karena ketika Rasulullah diberitahu bahwa ada seseorang menalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, maka beliau berdiri dalam keadaan marah sembari bersabda, “Layakkah ia mempermainkan Kitabullah, padahal aku di tengah-tengah kalian.” Kemudian seseorang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?”
Hukum talak seperti di atas menurut empat imam Islam dan selain mereka bahwa talak seperti itu terhitung talak tiga dan istrinya yang diceraikan tidak halal lagi bagi si suami hingga istrinya menikah dengan laki-laki lain. Ulama lainnya berpendapat bahwa talak seperti itu dihitung talak satu atau talak raj’i. Para ulama berbeda pendapat karena perbedaan dalil dan pemahaman masing-masing dari mereka terhadap nash-nash.
Berdasarkan pada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, maka—wallahu a’lam—kondisi suami yang menceraikan istrinya dengan cara seperti itu harus dilihat; jika dengan ucapannya, “Engkau aku talak tiga,” itu hanya sekadar untuk menakut-nakuti istrinya, atau ingin bersumpah terhadap istrinya misalnya mengaitkan talak dengan perbuatan sesuatu, misalnya ia berkata, “Engkau aku talak jika engkau mengerjakan ini dan itu,” dan ternyata istrinya mengerjakannya, atau ia berkata seperti itu dalam keadaan marah besar, atau ia berkata seperti itu tanpa menginginkan talak sedikit pun, maka talak seperti itu terhitung talak satu.
Sebaliknya, jika ia bermaksud dengan ucapannya, “Engkau aku talak,” itu berpisah dengan istrinya hingga istrinya tidak kembali lagi kepadanya sejak saat itu juga, maka talak seperti ini dikategorikan talak tiga, kemudian istrinya tidak dihalalkan baginya hingga sang istri menikah dengan laki-laki lain. Ini semua berdasarkan Dalil-dalil yang ada dan rahmat untuk umat Islam.
Catatan:
- Para ulama sepakat bahwa jika wanita yang ditalak tiga itu menikah dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang benar dan keduanya telah melakukan hubungan suami-istri (lalu cerai), maka jika wanita tersebut ingin kembali kepada suami pertamanya, maka diperbolehkan, dan talak sebelumnya tidak berlaku lagi dan akan menghadapi tiga talak.
Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang ditalak satu atau talak dua kemudian menikah dengan laki-laki lain, kemudian kembali kepada suami pertamanya; apakah pernikahannya kali ini menghapus talak sebelumnya, ataukah talak pertama tetap dihitung? Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan wanita tersebut dengan laki-laki lain tidak menghapus kecuali talak tiga saja. Di sisi lain, Abu Hanifah berkata dalam salah satu riwayat dari Ahmad, “Jika talak seperti itu menghapus talak tiga, maka ia juga menghapus sebelum talak tiga (talak satu dan talak dua).” Pendapat Abu Hanifah adalah pendapat Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
- Jumhur ulama dari generasi sahabat, tabi’in dan para imam sepakat bahwa budak hanya mempunyai talak dua terhadap istrinya. Jadi, jika ia mentalak istrinya dengan talak dua, maka istrinya terpisahkan darinya dan tidak lagi halal baginya hingga menikah dengan laki-laki lain.
Khulu’
Definisi Khulu’
Khulu’ ialah istri menebus diri dari suami yang tidak disukainya dengan sejumlah uang yang ia serahkan kepada suaminya agar ia bisa terlepas darinya.
Hukum Khulu’
Khulu’ diperbolehkan jika memenuhi syarat-syaratnya. Istri Tsabit bin Qais pernah menghadap Rasulullah dan mengadukan perihal suaminya, “Wahai Rasulullah, aku sama sekali tidak mencacat akhlak dan agamanya, namun aku membenci kekafiran setelah beriman.” Rasullah bersabda kepadanya, “Apakah engkau berkenan mengembalikan kebunnya kepadanya?” Istri Qais bin Tsabit berkata, “Ya.” Rasulullah bersabda kepada Qais, “Terimalah kebun darinya dan talaklah ia dengan talak satu.”
Syarat-syarat Khulu’
Syarat-syarat khulu’ adalah sebagai berikut:
- Kebencian harus berasal dari pihak istri. Jika kebencian bersumber dari pihak suami, maka suami tidak berhak mengambil tebusan dari istrinya dan ia harus bersabar terhadapnya, atau menalaknya jika khawatir terjadi mudarat padanya.
2 istri tidak boleh menuntut khulu’ kecuali setelah mudarat telah membesar dan ia khawatir tidak bisa menerapkan hukum-hukum Allah terhadap dirinya, atau pada hak-hak suaminya.
- Suami tidak boleh sengaja menganiaya istri agar istri meminta khulu’ terhadapnya. Jika suami berbuat seperti itu, ia tidak berhak mengambil sesuatu pun dari istrinya, selama-lamanya dan ia telah bermaksiat kepada Allah.
Khulu’ terhitung talak bain. Jadi, jika suami ingin rujuk kepada istrinya maka tidak halal baginya kecuali dengan akad baru.
Ketentuan-ketentuan Khulu’
Di antara ketentuan dalam khulu’ ialah sebagai berikut:
1, Suami disunahkan tidak mengambil tebusan melebihi nilai maharnya, karena Qais bin Tsabit menerima kebun—seperti yang diberikan kepada istrinya ketika istrinya meminta khulwu’ dan itu atas perintah Rasulullah
- Jika khulu’ terjadi dengan kalimat khulu’, maka wanita yang melakukannya menjalani masa iddah sekali haid, karena Rasulullah memerintahkan istri Qais bin Tsabit menjalani masa iddah sebanyak satu kali. Jika khulu’ dilakukan dengan kalimat talak, maka jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan khulu’ harus menjalani masa iddah sebanyak tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).
- Suami yang telah dikhulu’ tidak boleh kembali kepada istrinya, karena khulu’ telah memisahkan darinya.
- Seorang ayah boleh melakukan khulu’ mewakili putrinya yang masih kecil jika terpaksa karena putrinya belum dewasa.
Ila’
Definisi Ila’
Ila’ ialah sumpah seseorang dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya selama lebih dari empat bulan.
Hukum ila’
Ila’ diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika dilakukan kurang dari empat bulan, karena Allah berfirman:
“Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya), kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 226)
Dan juga karena Rasulullah pernah meng-ila’ istrinya selama satu bulan penuh. Akan tetapi ila’ haram dilakukan jika hanya dimaksudkan untuk menganiaya istri dan bukan ditujukan untuk memberi pelajaran kepadanya.
Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh ada mudarat dan tidak boleh menimpakan mudarat.’
Ketentuan-ketentuan Ila’
Di antara ketentuan dalam ila’ adalah sebagai berikut:
- Jika masa ila’ yaitu empat bulan sudah habis, dan suami tetap tidak menggauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali kepadanya, atau menalaknya di depan hakim. Ini berdasarkan firman Allah “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah 226-227).
Abdullah bin Umar juga berkata, “Apabila sudah berlalu empat bulan maka (ila’) dihentikan hingga ia mentalak istrinya.”
- Jika suami yang meng-ila’ istrinya menghentikan ila’-nya dan tidak menalaknya, maka hakim mentalakkannya untuk menghindari terjadinya mudarat terhadap sang istri.
3, Jika suami yang meng-ila’ mentalak istrinya setelah menghentikan ila’nya, maka itu tergantung talaknya. Jika talaknya adalah talak satu, maka talak tersebut adalah talak satu yang memungkinkan untuk rujuk, tetapi jika ia enggan kembali, berarti menjadi talak ba’in, sehingga suami tidak berhak kembali kepadanya kecuali dengan akad baru.
4, Istri yang ditalak karena ila’ harus menjalani iddah sebagaimana iddah karena talak, dan iddahnya tidak cukup hanya dengan bersih rahim dengan adanya haid, karena bersihnya rahim bukan merupakan illah (alasan) dari iddah semata.
5, Jika suami tidak melakukan hubungan badan dengan istrinya selama jangka waktu ila’ maka harus dihentikan seperti suami yang melakukan ila’. la harus menggauli istrinya, atau menalaknya jika istri memintanya.
- Jika suami yang melakukan ila’ kembali kepada istrinya sebelum habis masa sumpahnya untuk tidak akan menggaulinya, maka ia harus membayar kafarat sumpahnya, karena Rasulullah bersabda:
“Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik darinya, maka hendaklah engkau kerjakan sesuatu yang lebih baik tersebut, dan bayarlah kafarat atas sumpahmu.,”
Zhihar
Definisi Zhihar
Zhihar ialah ucapan suami kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”
Hukum Zhihar
Zhihar diharamkan karena Allah menamakannya kemungkaran dan kedustaan, yang mana keduanya diharamkan. Allah berfirman tentang suami-suami yang melakukan zhihar:
“Dan sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.” (Al-Mujadalah: 2)
Hukum-hukum Zhihar
Di antara hukum-hukum zhihar adalah sebagai berikut:
Jumhur ulama bersepakat bahwa zhihar tidak hanya menyerupakan istri seperti ibu, namun juga dengan mengumpamakan istri semisal semua wanita-wanita yang haram dinikahi suami dengan pengharaman selama-lamanya seperti anak perempuan, nenek, saudara perempuan, bibi dari jalur ayah, dan bibi dari jalur ibu, karena semua wanita tersebut sama seperti ibu dalam hal haram dinikahi untuk selama-lamanya. Suami yang melakukan zhihar harus membayar kafarat jika ingin kembali kepada istrinya yang ia zhihar. Allah berfirman:
“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu bercampur.” (Al-Mujadalah: 3).
Kafarat harus dibayar suami sebelum ia “menyentuh” istri yang telah ia zhihar. “Menyentuh” dalam arti melakukan hubungan suami-istri atau pengantar hubungan suami-istri berdasarkan ayat di atas. Jika suami yang telah men-zhihar menggauli istrinya sebelum membayar kafarat, maka ia berdosa dan hendaknya ia bertobat kepada Allah dengan menyesal dan beristighfar, serta membayar kafarat. Itu saja yang harus ia lakukan, karena seseorang berkata kepada Rasulullah, “Aku telah menzhihar istriku kemudian aku menggaulinya sebelum aku membayar kafarat.” Kemudian beliau bersabda, “Apa yang mendorongmu berbuat seperti itu, semoga Allah merahmatimu? Engkau jangan mendekatinya hingga engkau mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.”
Pada hadits di atas Rasulullah tidak menyuruh apa-apa kepada orang tersebut selain membayar kafarat saja.
5, Kafarat adalah salah satu dari tiga alternatif dan tidak boleh pindah dari alternatif pertama ke alternatif ke dua kecuali jika alternatif pertama tidak dapat dikerjakan. Kafarat zhihar ialah memerdekakan budak yang beriman, atau berpuasa dua bulan secara berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Allah berfirman:
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu. bercampur; demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barang siapa tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur, maka barang siapa tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.” (Al-Mujadalah: 3-4)
- Puasa wajib dilakukan secara berturut-turut; baik berpuasa dua bulan Hijriyah, atau 60 hari dengan hitungan biasa. Jika suami memutus puasanya dalam arti tidak mengerjakannya berturut-turut tanpa uzur sakit, maka puasanya batal dan ia harus mengulangi lagi dari awal. Allah berfirman, “Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.” (Al-Mujadalah: 4).
- Besarnya kewajiban memberi makan ialah satu mud (genggam) gandum, atau dua mud kurma bagi setiap orang miskin. Jika memberi makan kurang dari 60 orang miskin, maka itu belum mencukupi.
Li’an
Definisi Li’an
Li’an ialah tuduhan seorang suami bahwa istrinya berzina dengan mengatakan, “Aku melihat wanita ini berzina,” atau ia tidak mengakui bayi yang dikandung istrinya karena bukan berasal darinya, kemudian masalah inj dibawa ke hadapan hakim. Di depan hakim, suami diminta mendatangkan bukti-bukti, yaitu empat orang saksi yang bersaksi melihat istrinya berzina. Jika suami tidak bisa mendatangkan bukti tersebut maka hakim menerapkan li’an (saling melaknat) kepada keduanya. Suami bersaksi sebanyak empat kali kesaksian sembari berkata, “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa aku benar-benar melihat istriku berzina atau janin yang dikandungnya itu bukan dariku.” Hakim berkata, “Laknat Allah jatuh pada suami jika ia termasuk orang-orang yang berdusta.”
Kemudian jika istrinya mengaku telah berzina, maka ia dijatuhi hukuman had, tetapi jika ia tidak mengakuinya maka ia bersaksi sebanyak empat kali dengan berkata, “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa suami tidak melihatku berzina atau bahwa janin di rahimku adalah darinya.” Hakim berkata, “Kemurkaan Allah untuk wanita ini jika suaminya termasuk orang-orang yang jujur.” Kemudian hakim memisahkan keduanya, dan keduanya tidak boleh rujuk lagi untuk selama-lamanya.
Masyru’iyah
Li’an
Li’an disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah:
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.” (An-Nar: 6-9)
Dalil yang lain adalah li’an yang diterapkan Rasulullah kepada Uwaimir
Al-Ajlani dengan istrinya dan terhadap Hilal bin Umayyah dengan istrinya. Rasulullah juga pernah bersabda:
‘Jika suami-istri yang saling melaknat itu telah berpisah, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selama-lamanya.’
Hikmah Li’an
Di antara hikmah disyariatkannya li’an adalah sebagai berikut:
- Melindungi kehormatan suami-istri, dan menjaga kemuliaan seorang Muslim.
- Menghindarkan had qadzaf(menuduh berzina) dari suami dan had zina dari istri.
- Sebagai sarana untuk tidak mengakui anak yang bisa jadi tidak berasal dari pemiliknya, yaitu suami.
Ketentuan-ketentuan dalam Li’an
Di antara ketentuan dalam li’an adalah sebagai berikut:
- Suami-istri harus balig dan berakal, karena orang gila dan anak kecil tidak terkena taklif. Rasulullah bersabda:
“Pena diangkat dari tiga orang; dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga bermimpi (balig), dan dari orang gila hingga berakal.”
- Suami harus mengaku melihat istrinya berzina, dan dalam kasus menolak janin di kandungan istrinya, ia harus mengaku bahwa ia sama sekali tidak menggauli istrinya, atau ia tidak menggauli dalam jangka waktu yang menyebabkan kehamilan. Misalnya, ia mengaku baru menggauli istrinya kurang dari enam bulan. Jika itu semua tidak dapat dilakukan, maka li’an tidak dapat diterapkan, karena li’an tidak disyariatkan hanya berdasarkan dugaan atau tuduhan. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah juga bersabda:
“Jauhilah oleh kalian buruk sangka.”
Jika li’an hanya berdasarkan tuduhan, maka sangat lebih baik kalau suami menalak istrinya. Dengan begitu ia bisa bebas dari tekanan batin dan sakit hati.
- Hakim harus melangsungkan li’an di depan beberapa orang dari kaum Muslimin dan menggunakan kalimat yang disebutkan di dalam AlQur’an.
- Hakim harus menasihati suami, misalnya dengan membacakan kepadanya hadits Rasulullah berikut ini:
“Suami mana pun yang menolak mengakui anaknya padahal ia melihat kepadanya, maka Allah berpaling darinya dan akan membuka aibnya di depan manusia generasi pertama hingga manusia generasi terakhir.”
Selain itu, hakim juga harus menasihati pihak istri. Misalnya membacakan hadits Nabi kepadanya:
“Wanita mana pun yang memasukkan seseorang pada suatu kaum, padahal orang tersebut bukan berasal dari kaum tersebut, maka Allah tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan wanita tersebut, dan tidak akan memasukkannya ke surga.”
5, Hakim harus memisahkan suami-istri yang telah melakukan li’an dan keduanya tidak boleh bersatu lagi selama-lamanya, karena Rasulullah bersabda, “Jika suami-istri yang telah melaknat berpisah, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selama-lamanya.”
- Karena lian seorang suami terhadap istrinya, maka anaknya dan suami tersebut tidak berhak saling mewarisi dan suami tersebut tidak berkewajiban menafkahinya. Hanya saja, sebagai langkah antisipasi, anak tersebut tetap harus diperlakukan seperti anak sendiri. Jadi, suami (ayahnya) tidak boleh memberikan zakat kepadanya, hubungan haram diterapkan antara anak tersebut dengan anak-anaknya yang lain, qishash tidak diterapkan kepada keduanya, dan masing-masing dari keduanya tidak boleh menjadi saksi bagi pihak yang lain.
- Namun begitu, anak tersebut disatukan dengan ibunya. Jadi, ibunya berhak menjadi ahli warisnya dan anak tersebut berhak menjadi ahli waris ibunya, karena Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang telah melakukan li’an bahwa anak tersebut berhak menjadi ahli waris ibunya dan ibunya berhak menjadi ahli waris anak tersebut.
- Jika setelah li’an suami mendustakan dirinya sendiri, maka anak yang tadinya tidak diakuinya itu dinasabkan kepadanya.
Iddah
Definisi Iddah
Iddah ialah hari-hari di mana wanita yang ditalak menjalani masa penantian. Pada masa-masa tersebut, ia tidak boleh menikah dan tidak boleh meminta dinikahi.
Hukum Iddah
Iddah adalah kewajiban bagi setiap wanita yang berpisah dengan suaminya, baik karena talak atau karena suaminya meninggal dunia. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Firman Allah:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Al-Baqarah: 228)
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234)
Kecuali wanita yang ditalak dan belum digauli, maka ia tidak menjalani masa iddah, tidak mendapatkan mahar, dan hanya mendapatkan mut’ah (pemberian).
“Hai orang-orang yang beriman apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian menggaulinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik baiknya.” (Al-Ahzab: 49)
Hikmah-hikmah Iddah
Di antara hikmah diisyariatkannya iddah adalah sebagai berikut:
- Memberikan kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istrinya tanpa kesulitan yang berarti, jika talaknya adalah talak raj’i.
- Untuk mengetahui kekosongan rahim agar tidak terjadi percampuran nasab.
- Agar istri dapat membantu keluarga suami dan setia kepada suami, jika iddah-nya adalah iddah karena suami meninggal dunia.
Jenis-jenis Iddah
Jenis-jenis iddah adalah sebagai berikut:
- Iddah wanita yang ditalak yang masih haid, yaitu tiga quru’, karena Allah berfirman: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dirt (menunggu) tiga kali quru’.” (Al-Baqarah:228)
Jadi Jika wanita ditalak dalam keadaan suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian haid lagi, kemudian suci, kemudian haid lagi, kemudian suci maka masa iddah-nya telah habis.
Yang demikian ini jika yang kita maksudkan dengan quru adalah suci yang merupakan pendapat jumhur ulama. Jadi, iddah wanita tersebut habis ketika ia memasuki haid ketiga. Namun harus diperhatikan jika ia ditalak dalam keadaan haid, maka haidnya tersebut tidak dihitung sebagai satu haid baginya dan itu semua berlaku bagi wanita merdeka.
Adapun bagi budak wanita, maka masa iddahnya ialah dua qurw’ saja. Rasulullah bersabda:
“Talak bagi budak wanita adalah dua talak dan iddahnya ialah dua haid.”
- Iddah karena talak bagi wanita yang tidak haid lagi karena usianya telah lanjut atau karena masih kecil adalah tiga bulan, karena Allah berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuan kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Ketentuan ini bagi wanita merdeka, sedangkan bagi budak wanita maka masa iddahnya adalah dua bulan.
- Iddah wanita hamil yang ditalak ialah sampai ia melahirkan bayinya. Ketentuan ini berlaku bagi wanita merdeka dan budak wanita, karena Allah berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, maka waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)
- Iddah wanita yang haid kemudian terhenti karena sebab yang bisa diketahui, atau karena sebab yang tidak bisa diketahui. Jika penyebab terhentinya bisa diketahui, misalnya karena menyusui, atau karena sakit, maka ia menunggu kelanjutan haidnya dan ia beriddah dengannya, kendati waktunya sangat lama. Jika penyebab terhentinya tidak diketahui, maka iddahnya adalah setahun, yaitu sembilan bulan iddah wanita hamil dan tiga bulan iddah wanita yang tidak haid.
Sedang iddah budak wanita ialah sebelas bulan, karena Umar bin Khattab menetapkan seperti itu terhadap kaum Anshar dan kaum Muhajirin, dan tidak ada seorang pun dari mereka (sahabat) yang membantahnya.
- Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bagi budak wanita, karena Allah berfirman:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah:234)
- Iddah wanita mustahadhah, yaitu wanita yang darahnya keluar terus, Jika darah (haid)nya bisa dibedakan dengan darah istihadhah, atau ia mempunyai kebiasaan rutin haid yang bisa diketahui, maka iddah-nya tiga quru’. Jika darahnya tidak bisa dibedakan dan ia tidak mempunyaj kebiasaan rutin haid yang bisa diketahui sebagaimana wanita yang baru haid, maka iddah-nya tiga bulan seperti iddah-nya wanita yang lanjut usia dan gadis kecil. Hukum wanita mustahadhah yang seperti itu diqisyaskan dengan hukumnya dalam shalat.
- Iddah wanita yang ditinggal pergi suaminya dan tidak diketahui nasibnya; apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia, maka ia harus menunggu empat tahun sejak ia tidak mendapatkan berita tentang suaminya, kemudian menjalani masa iddah seperti iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu tiga bulan.
Tumpang-tindih Iddah Terkadang iddah bisa tumpang-tindih seperti berikut:
- Jika wanita ditalak suaminya dengan talak raj’i, kemudian suaminya meninggal dunia ketika menjalani masa iddah, maka iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah meninggal dunia. Jadi ia iddah empat bulan sepuluh hari sejak hari suami yang menalaknya meninggal dunia, karena pada talak raj’i, ia masih berstatus sebagai istri dari suami yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan istri yang ditalak tiga, maka iddahnya tidak berubah, karena wanita yang ditalak dengan talak raj’i tetap memiliki hak mewarisi suaminya yang meninggal dunia, sedang wanita yang ditalak dengan talak tiga tidak mempunyai hak mewarisi suaminya.
2, Wanita yang ditalak iddah dengan haid kemudian ia haid satu atau dua kali kemudian haidnya terhenti, maka iddah-nya berubah menjadi iddah dengan bulan. Ia iddah selama tiga bulan.
3, Wanita yang ditalak yang belum pernah haid, atau wanita menopause, maka ia beriddah dengan tiga bulan. Dan ketika iddahnya telah berjalan satu bulan atau dua bulan lalu ia melihat darah (haid), maka iddah-nya berubah dari iddah dengan bulan kepada iddah dengan haid. Hal ini berlaku jika iddah-nya dengan tiga bulan itu belum selesai. Jika iddahnya dengan tiga bulan telah selesai, kemudian ia melihat darah haid, maka tidak berarti apa-apa karena iddah-nya telah selesai.
- Wanita yang ditalak yang sedang menjalani iddah tiga bulan atau iddah tiga quru’ kemudian hamil, maka iddah-nya berubah, yaitu hingga ia melahirkan bayinya. Allah berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil maka waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Catatan:
Tentang istibra’ (tidak menggauli wanita hingga haid). Orang yang memiliki budak wanita yang bisa digauli dengan kepemilikan apa pun, ia wajib tidak menggaulinya hingga budak wanita tersebut bersih. Jika budak wanita tersebut haid, maka ia harus menunggu satu haid. Jika budak wanita tersebut hamil maka ia menunggunya hingga melahirkan bayinya, dan jika budak wanita tersebut tidak haid karena masih kecil atau menopouse maka ia menunggunya beberapa waktu untuk memastikan budak wanita tersebut tidak hamil, karena Rasulullah bersabda, “Wanita hamil tidak boleh digauli hingga ia melahirkan dan selain wanita hamil tidak boleh digauli hingga haid selesai.”
Wanita-wanita merdeka yang digauli karena keliru (dikira wanita tersebut adalah istrinya), atau kasus pemerkosaan, atau karena zina wajib tidak digauli selama tiga quru’ jika ia haid, atau selama tiga bulan jika ia tidak haid, atau hingga melahirkan bayinya jika ia hamil, karena Rasulullah bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, ia jangan mengalirkan airnya ke anak orang lain.” Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu menumpahkan airmu ke tanaman orang lain.”
Tentang ihdad. Ihdad ialah wanita yang menjalani iddah menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya, atau tidak mengenakan apa saja yang membuat orang lain tertarik melihat kepadanya.
Wanita yang ditinggal mati suaminya wajib ihdad selama masa iddah-nya dalam arti ia tidak mengenakan pakaian bagus, tidak bercelak, tidak menggunakan parfum, dan tidak mengenakan perhiasan, karena Rasulullah bersabda, “Wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir itu tidak halal ihdad lebih dari tiga hari kecuali terhadap kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.”
Dan juga karena Ummu Athiyyah w berkata, “Kami dilarang ber-ihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami juga dilarang menggunakan celak dan tidak boleh mengenakan pakaian berwarna, kecuali pakaian ashab.”
Wanita yang menjalani masa iddah juga tidak boleh keluar rumah, Jika ia ingin keluar rumah karena satu kebutuhan, ia tidak boleh bermalam kecuali di rumah tempat suaminya meninggal dunia. Ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang meminta izin kepada beliau untuk pindah ke rumah keluarganya setelah suaminya meninggal dunia, kemudian beliau bersabda, “Tinggallah di rumah di mana berita kematian suamimu datang kepadamu hingga masa iddah-mu habis.” Wanita tersebut berkata, “Kemudian aku iddah di rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari.”
Nafkah
Definisi Nafkah
Nafkah ialah makanan, pakaian dan tempat tinggal yang diberikan kepada orang yang wajib menerima itu semua.
Siapakah yang Wajib Mendapat Nafkah, dan Kepada Siapakah Nafkah Diwajibkan? Nafkah wajib diberikan kepada enam orang, yaitu:
- Istri, dan orang yang wajib menafkahinya ialah suami; baik nafkah hakiki seperti istri yang masih dalam perlindungan suaminya (tidak ditalak), atau nafkah berdasarkan hukum seperti nafkah bagi wanita yang ditalak dengan talak raj’i sebelum masa iddahnya habis, karena Rasulullah bersabda:
“Ketahuilah bahwa hak-hak para istri atas kalian (para suami) ialah hendaknya kalian memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.”
- Wanita yang ditalak dengan talak ba’in sejak masa iddah-nya, dan orang yang wajib memberinya nafkah ialah suami yang menalaknya. Dengan syarat wanita tersebut hamil, karena Allah berfirman:
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka bersalin.” (Ath-Thalaq:6)
- Orang tua, dan orang yang wajib menafkahinya adalah anaknya, karena Allah berfirman:
“Dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Baqarah:83)
Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah tentang manusia yang paling berhak mendapatkan baktinya, kemudian beliau bersabda, “Ibumu—beliau mengucapkan itu tiga kali—kemudian ayahmu.”
- Anak-anak yang masih kecil dan orang yang wajib menafkahi mereka ialah ayahnya, karena Allah berfirman:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik.” (Ath-Thalaq: 6)
Juga karena Rasulullah bersabda:
“Anak berkata, ‘Berilah aku makan, dan kepada siapakah aku engkau serahkan’.”
- Budak (pembantu), dan orang yang wajib memberinya nafkah ialah majikannya. Rasulullah bersabda:
“Budak (pembantu) berhak mendapatkan makanan dan pekerjaannya dengan cara yang baik, serta ia tidak dibebani pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan.’”
- Hewan dan orang yang wajib memberinya nafkah ialah pemiliknya, karena Rasulullah bersabda:
“Seorang wanita masuk neraka karena kucing yang ditahannya hingga mati kelaparan; ia tidak memberinya makan, dan tidak melepaskannya untuk memakan serangga di tanah.”
Kadar Nafkah yang Wajib
Nafkah yang wajib ialah nafkah untuk mempertahankan hidup, yaitu berupa makanan yang baik, minuman yang baik, pakaian yang melindungi dari hawa panas dan hawa dingin, dan tempat tinggal untuk istirahat. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang ada hanya pada banyak-sedikitnya, dan baik-buruknya, karena ini semua tergantung kepada kaya tidaknya pemberi nafkah dan kondisi orang yang dinafkahi, orang kota dan orang desa. Oleh karena itu, akan lebih baik jika masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada para hakim kaum Muslimin. Biarkan mereka yang menentukan dan mengira-ngiranya sesuai dengan kondisi kaum Muslimin yang beragam dan sesuai dengan adat istiadat mereka.
Kapan Nafkah Berhenti?
Nafkah dihentikan pada kondisi-kondisi di bawah ini:
- Nafkah untuk istri dihentikan jika ia membangkang, atau tidak mengizinkan suami menggaulinya, karena nafkah adalah konpensasi menikmatinya. Jika suami tidak dapat menikmatinya, maka otomatis nafkah terhadap dirinya dihentikan.
- Nafkah untuk wanita yang ditalak raj’i dihentikan jika masa iddah-nya telah habis, karena dengan selesainya masa iddah maka ia menjadi orang lain bagi suaminya.
- Nafkah untuk wanita hamil dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, namun jika menyusui anaknya maka ia berhak mendapatkan upah atas susuannya, karena Allah berfirman:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik.” (Ath-Thalaq : 6)
- Nafkah untuk orang tua dihentikan jika orang tua telah kaya atau dia (anaknya) jatuh miskin dalam arti tidak mempunyai sisa uang untuk makanan sehari-harinya, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan apa yang Dia berikan kepadanya.
- Nafkah untuk anak laki-laki dihentikan jika ia sudah dewasa, atau nafkah terhadap anak perempuan dihentikan jika ia sudah menikah. Namun dikecualikan jika anak laki-laki yang telah balig itu menderita sakit, atau gila, maka nafkah untuknya tetap menjadi tanggungan ayahnya.
Catatan:
- Orang Muslim wajib menyambung tali silaturahim. Mereka adalah kerabatnya, dan kerabatnya ialah keluarganya dari jalur ayah dan ibu. Jika salah seorang dari mereka membutuhkan makanan, pakaian, atau rumah, maka ia harus memberinya makan dan memberinya rumah jika ia memiliki kelebihan harta. Dan hendaknya ia mulai memberi kepada kerabatnya yang paling dekat dan seterusnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tangan pemberi itu tinggi dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu; ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian keluarga yang paling dekat dan seterusnya.”
- Jika pemilik hewan menolak memberi makanan kepada hewannya, maka hewan tersebut dijual atau disembelih agar tidak tersiksa karena kelaparan. Selain itu, menyiksa hewan itu haram. Rasulullah bersabda, “Seorang wanita masuk neraka karena kucing yang ditahannya sehingga mati kelaparan, ia tidak memberinya makan, dan tidak melepaskannya untuk memakan serangga di tanah.’
Hadhanah (Pengasuhan)
Definisi Hadhanah
Hadhanah ialah merawat anak kecil dan membiayainya hingga mencapai usia balig.
Hukum Hadhanah
Hadhanah atau pengasuhan wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil untuk menjaga badan, akal dan agama mereka.
Kepada Siapa Hadhanah Diwajibkan?
Hadhanah (pengasuhan) anak-anak yang masih kecil menjadi kewajiban kedua orang tuanya. Jika keduanya telah meninggal dunia, maka hadhanah terhadap mereka menjadi kewajiban sanak kerabatnya yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika sanak kerabatnya tidak ada, maka hadhanah terhadap mereka menjadi tanggungjawab pemerintah, atau salah satu jamaah dari kaum muslimin.
Siapa yang Paling Berhak Mengasuh Anak Kecil?
Jika terjadi perpisahan antara suami-istri karena talak, atau meninggal dunia, maka orang yang paling berhak mengasuh anak-anak ialah ibunya jika ia belum menikah lagi, karena Rasulullah bersabda kepada wanita yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil darinya:
“Engkau lebih berhak atas anakmu, selagi engkau belum menikah lagi.”
Jika ibunya tidak ada maka orang yang paling berhak mengasuh ialah nenek dari jalur ibu karena nenek dari jalur ibu adalah seperti ibu bagi anak kecil tersebut dan jika nenek dari pihak ibu tidak ada maka orang yang paling berhak mengasuh ialah bibi dari jalur ibunya karena bibi dari jalur ibu ialah ibarat ibu bagi anak kecil tersebut karena Rasulullah bersabda:
“Bibi dari jalur ibu itu seperti kedudukan ibu.”
Jika bibi dari jalur ibu tidak ada, maka orang yang paling berhak mengasuh ialah ibu dari ayah (nenek), jika tidak ada maka saudara perempuan, jika tidak ada maka bibi dari jalur ayahnya, dan jika tidak ada maka anak perempuan dari saudara ayah tersebut.
Jika semua orang yang disebutkan di atas tidak ada, maka hak pengasuhan kembali kepada ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian saudara ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian paman dari jalur ayahnya, kemudian keluarga yang paling dekat, dan keluarga lainnya sesuai urutan kekerabatan. Saudara kandung lebih didahulukan untuk mengasuh anak kecil tersebut daripada saudara seayah dan saudara perempuan sekandung juga lebih didahulukan untuk mengasuh daripada saudara perempuan seayah.
Kapan Hak Pengasuhan Gugur?
Tujuan pengasuhan ialah untuk melindungi kehidupan anak kecil, dan mendidiknya, baik secara jasmani, akal, maupun ruhani. Oleh karena itu, hak tersebut gugur dari siapa saja yang tidak dapat mewujudkan tujuan tersebut. Jadi, hak pengasuhan gugur dari ibu jika ia telah menikah dengan orang selain kerabat anak kecil yang diasuhnya. Sebab, Rasulullah bersabda, “Engkau lebih berhak atas anakmu, selagi engkau belum menikah lagi.” Karena pernikahannya dengan orang selain kerabatnya membuatnya tidak bisa mengasuh anak kecilnya, tidak bisa mengasuhnya, dan tidak bisa melindunginya dengan baik.
Hak pengasuhan akan gugur dari hadhinah (pengasuh dari kalangan wanita) jika terjadi Hal-hal berikut ini:
- Jika hadhinah tersebut gila, atau akalnya kurang sempurna.
- Jika hadhinah tersebut menderita sakit yang menular, misalnya penyakit lepra.
- Jika hadhinah tersebut masih kecil dalam arti belum balig dan belum dewasa.
- Jika hadhinah tersebut tidak sanggup melindungi anak kecil tersebut, tidak bisa menjaga badannya, akalnya dan agamanya.
- Jika hadhinah tersebut wanita kafir, karena ia dikhawatirkan merusak agama dan akidah anak tersebut.
Waktu Pengasuhan
Waktu pengasuhan berlaku hingga anak laki-laki mencapai usia balig, dan hingga anak perempuan menikah serta telah digauli suaminya. Hanya saja, pada saat seorang istri berpisah dari suaminya, atau nenek si bocah mengasuhnya maka batas waktu pengasuhan mereka adalah tujuh tahun, dan setelah tujuh tahun hak pengasuhan berpindah ke ayahnya, karena ayahnya lebih berhak mengasuhnya daripada para pengasuh lainnya.
Adapun waktu pengasuhan untuk anak laki-laki adalah ketika sudah mencapai usia 7 tahun, ia disuruh memilih apakah ia memilih ikut ibunya atau ikut ayahnya? Siapa pun yang dipilih oleh anaknya tersebut, maka hak pengasuhan berpindah kepadanya. Jika anak tersebut tidak memilih ikut kepada salah satu dari orang tuanya, atau keduanya memperebutkannya, maka diadakan undian untuk menentukan anak tersebut nanti ikut siapa di antara keduanya.
Nafkah Anak yang Diasuh dan Upah bagi Hadhinah (Pengasuh dari kalangan Wanita)
Ayah anak kecil yang diasuh, wajib memberikan nafkah kepada anaknya dan membayar upah kepada hadhinah-nya sesuai dengan kondisi dirinya, karena hadhinah itu seperti wanita yang menyusui dan wanita yang menyusui anak itu berhak mendapatkan upah atas susuannya terhadap anak kecil. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik.” (Ath-Thalaq : 6)
Namun jika hadhinah melakukan tugasnya tanpa imbalan pun tidak apa-apa. Dan besarnya nafkah anak dan upah bagi hédhinah ini disesuaikan dengan kaya-miskinnya ayah dari anak yang diasuh. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Ikut Ayah atau Ibunya
Ketika anak (yang diasuh) sudah berusia tujuh tahun, ia diminta untuk memilih antara ikut ibunya atau ayahnya. Jika ia memilih ikut ibunya maka ia berada di tempat ibunya pada malam hari dan berada di tempat ayahnya pada siang hari. Tetapi jika lebih memilih ikut ayahnya maka ia berada di tempat ayahnya siang-malam. Tujuan keberadaan anak tersebut di tempat ayahnya pada siang hari adalah karena hal itu lebih bisa menjaganya. Artinya, seorang ayah lebih bisa membina dan mengajarinya yang mana itu semua jarang bisa dilakukan ibu.
Begitu pula jika anak tersebut memilih ikut ayahnya, maka ia tidak boleh dilarang pergi ke tempat ibunya kapan pun, karena menjalin silaturahim itu wajib sedangkan durhaka itu haram.
Bepergian Membawa Anak
Jika salah satu dari kedua orang tua ingin bepergian dan akan pulang lagi ke daerahnya, maka anak tersebut berada di rumah pihak yang tidak bepergian. Jika salah satu dari keduannya ingin berpergian ke daerah lain dan berniat tidak kembali lagi ke daerahnya, maka kemaslahatan anak tersebut harus diperhatikan, apakah kemaslahatannya terpenuhi bersama pihak yang tidak berpergian, atau sebaliknya? Pada siapa kemaslahatannya dapat tercapai, maka anak tersebut bersamanya karena kemaslahatan adalah tujuan utama dari pengasuhan yang diinginkan Allah.
Anak yang dalam Pengasuhan adalah Amanah
Hadhinah, pengasuh wajib mengetahui bahwa anak yang berada dalam asuhannya adalah amanah yang harus dijaga dan lindungi. Jika ia merasa tidak mampu melakukan pembinaan yang memadai, atau pengasuhan yang sempurna, ia wajib menyerahkan amanah tersebut kepada pihak yang sanggup mengasuh dan menjaganya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya upah pengasuhan semata yang menjadi tujuan utama, sehingga ia terus menerus mengasuh anak tersebut demi mendapatkan upah tersebut.
Maka dari itu, wali anak tersebut dan para hakim wajib memberi perhatian penuh terhadap pengasuhan anak kecil tersebut, yaitu dengan membina badan, akal dan spiritualnya tanpa menoleh kepada Hal-hal lainnya, karena perlindungan terhadap anak kecil tersebut adalah tujuan utama pengasuhan yang diinginkan Pembuat Syariat.
Hukum kewarisan
Saling mewarisi di antara kaum Muslimin hukumnya adalah wajib. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antara Dalil-dalil tentang warisan adalah sebagai berikut. Firman Allah Ta’ala:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa: 11)
Sabda Rasulullah :
“Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerima dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”
Sebab, Penghalang dan Syarat Mewarisi
Sebab-sebab Mewarisi Seseorang tidak bisa mewarisi harta orang lain kecuali karena sebab-sebab berikut ini:
- Nasab, yaitu kekerabatan. Artinya, ahli waris ialah ayah dari pihak yang diwarisi, atau anak-anaknya, dan jalur (nasab) sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak-anak mereka, dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka, karena Allah berfirman:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.”(An Nisa:33)
- Pernikahan, yaitu akad yang sah terhadap istri, sekalipun suami belum menggauli dan berduaan dengannya, karena Allah berfirman:
“Dan bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian. “(An-Nisa: 12)
Suami-istri masih saling mewarisi dalam talak raj’i dan dalam talak ba’in jika suami menjatuhkan talak kepada istrinya ketika sakit yang menyebabkannya meninggal dunia.
- Wala’, yaitu seseorang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan sehingga dengan memerdekakan tersebut kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan itu meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi orang yang memerdekakannya. Rasulullah bersabda:
“Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.”
Penghalang Menerima Warisan
Bisa jadi pada diri seseorang terdapat sebab-sebab mewarisi, tetapi ia terhalang oleh penghalang (mewarisi) sehingga tidak bisa mewarisi dari pihak lain. Penghalang-penghalang (mewarisi) tersebut adalah:
- Kekafiran.
Kerabat yang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir dan sebaliknya, orang kafir tidak bisa mewarisi kerabatnya yang Muslim. Hal inj berdasarkan sabda Rasulullah :
“Orang kafir tidak mewarisi orang Muslim dan orang Muslim tidak mewarisi orang kafir.”
- Pembunuhan.
Pembunuh tidak bisa mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman atas pembunuhan tersebut. Ketentuan ini berlaku jika pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja, karena Rasulullah bersabda:
“Pembunuh tidak berhak atas sesuatu pun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.”
- Budak.
Budak tidak mewarisi dan tidak bisa diwarisi; baik perbudakannya sempurna, atau sebagian seperti budak mukatab (budak yang ingin membebaskan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada tuannya), dan ummu walad, karena mereka semua masih tercakup dalam hukum budak. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi dan bisa diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagiannya:
‘Ia berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan apa yang telah dimerdekakan darinya.”
4, Perzinaan.
Anak hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi harta ayahnya. Ia hanya bisa mewarisi harta ibunya dan ibunya mewarisi hartanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Anak itu bagi pemilik ranjang (istri) dan bagi pezina adalah (dirajam) batu”
- Li’an.
Anak dari suami-istri yang melakukan li’an tidak bisa mewarisi harta ayah yang tidak mengakuinya sebagai anak, dan ayahnya juga tidak bisa mewarisi hartanya. Hal ini disamakan dengan anak hasil zina.
- Bayi yang meninggal ketika lahir.
Maksudnya, bayi yang dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia dan tidak sempat menangis ketika lahir maka ia tidak bisa mewarisi dan diwarisi. Sebab, tidak ada kehidupan yang disusul dengan kematian yang menjadi penyebab seseorang bisa mewarisi.
Syarat-syarat Mewarisi
Seseorang akan sah mewarisi apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini:
- Tidak ada penghalang.
Semua hal yang menghalangi seseorang menerima warisan yang disebutkan di atas dapat membatalkan seseorang untuk mewarisi.
- Kematian orang yang diwarisi. Kendatipun kematian tersebut hanya berdasarkan vonis, misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu telah meninggal dunia.
Ahli waris hidup pada saat pewaris meninggal dunia.
- Apabila seorang anak meninggal dunia sementara ibu dari anak tersebut mengandung janin maka janin itu berhak mewarisi dari saudaranya (yang meninggal) apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Sebab, kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya. Akan tetapi, apabila si ibu hamil setelah kematian saudaranya maka janin (dalam kandungan) itu tidak berhak mewarisi dari saudaranya yang telah meninggal dunia itu, karena ia belum tercipta sebelumnya.
Ahli Waris dari Kalangan Laki-laki dan Perempuan
Ahli Waris dari Kalangan Laki-laki
Ahli waris dari kalangan laki-laki ada tiga pihak:
- Suami. Seorang suami berhak mewarisi harta istrinya jika istrinya meninggal dunia, sekalipun istrinya ditalak, asalkan masa iddah-nya belum habis. Jika masa iddah-nya sudah habis maka ia tidak berhak
mewarisi hartanya.
- Orang lelaki yang memerdekakan budak, atau kerabat lelaki tersebut jika lelaki yang memerdekakan budak itu tidak ada. Kerabat. Mereka adalah kerabat utama, cabang, dan samping. Yang dimaksud kerabat utama ialah ayah dan kakek beserta semua orang ke jalur atasnya.
- Kerabat cabang ialah anak dan cucu beserta semua orang ke jalur bawahnya. Dan kerabat samping yang dekat ialah para saudara dan anak-anaknya beserta orang yang ada di bawahnya, para saudara seibu. Sedangkan kerabat jauh ialah para paman dari jalur ayah sekandung, atau ayah seayah saja.
Semua kerabat laki-laki di atas berhak mewarisi tetapi mereka tidak bisa sama-sama mewarisi dalam satu harta warisan, karena mereka menjadi penghalang antara satu dengan yang lain. Maka, ayah menghalangi kakek dan saudara seibu; anak menghalangi saudara; dan saudara menghalangi paman dan seturusnya.
Jika semua orang dari pihak laki-laki tersebut ada semua pada salah satu harta warisan, maka pihak yang bisa mewarisi hanya tiga pihak, yaitu suami, anak dan ayah saja.
Ahli Waris dari Kalangan Perempuan
Ahli waris dari kalangan perempuan ada tiga pihak:
- Istri
- Perempuan yang memerdekakan budak
- Kerabat dari kalangan perempuan yaitu:
- Kerabat utama, yaitu ibu, nenek dari ibu, dan nenek dari ayah.
- Kerabat cabang, yaitu anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki beserta jalur di bawahnya.
- Kerabat samping, yaitu saudara perempuan secara umum; saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
Catatan:
Bibi dari jalur ayah, bibi dari jalur ibu, cucu perempuan dari anak perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari paman dari jalur ayah, mereka semua tidak berhak mewarisi.
Furudh (Bagian Warisan)
Furudh (bagian warisan) yang ditentukan Allah di dalam surat AnNisa’ ada enam. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Setengah (1/2).
Ada lima orang yang mendapatkan bagian warisan setengah, yaitu:
- Suami jika istrinya meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak laki-laki, atau tidak mempunyai cucu dari anak laki-laki; cucu laki-laki atau cucu perempuan.
- Anak perempuan jika tidak ada saudara Laki-laki, atau tidak ada satu saudara perempan atau lebih. Ia mendapatkan warisan setengah dari harta warisan jika tidak ada orang-orang tersebut
- Cucu perempuan dari anak laki-laki jika sendirian, maksudnya tidak ada cucu Jaki-laki dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan kandung jika sendirian, maksudnya jika tidak ada saudara laki-laki, atau tidak ada ayah, atau tidak ada anak, atau cucu (laki-laki) dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan seayah jika sendirian, maksudnya tidak ada saudara laki-laki, tidak ada ayah dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
- Seperempat (1/4).
Bagian seperempat dari harta warisan hanya bisa diwarisi dua orang saja, yaitu:
- Suami jika istrinya meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki, atau cucu dari anak laki-laki; baik cucu tersebut laki-laki atau perempuan.
- Istri jika suaminya yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak laki-laki dan tidak mempunyai cucu dari anak laki-laki; baik cucu tersebut laki-laki atau perempuan.
- Seperdelapan (1/8).
Seperdelapan dari harta warisan bisa diwarisi oleh satu orang saja, yaitu istri. Jika jumlah istri lebih dari satu, maka seperdelapan tersebut dibagi rata di antara mereka. Istri mendapatkan bagian seperdelapan jika suaminya yang meninggal dunia mempunyai anak laki-laki, atau mempunyai cucu dari anak laki-laki; baik cucu tersebut laki-laki atau perempuan.
- Dua Pertiga (2/3).
Dua Pertiga dari warisan bisa diwarisi oleh empat pihak yaitu:
- Dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada anak laki-laki, maksudnya mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.
- Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih jika tidak ada anak kandung; laki-laki atau perempuan, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka.
- Dua saudara perempuan kandung atau lebih jika tidak ada saudara perempuan seayah, atau tidak ada anak laki-laki sekandung; laki-laki atau perempuan, dan tidak ada saudara laki-laki sekandung.
- Dua saudara perempuan seayah atau lebih jika tidak ada pihak-pihak yang disebutkan di poin sebelumnya dan tidak ada saudara laki-laki seayah.
- Sepertiga (1/3).
Bagian sepertiga dari harta warisan bisa diwarisi oleh tiga pihak, yaitu:
- Ibu jika pihak yang meninggal dunia tidak meninggalkan cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, dan juga tidak meninggalkan dua saudara atau lebih; saudara laki-laki atau saudara perempuan.
- Saudara laki-laki seibu jika jumlah mereka dua atau lebih, dan orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ayah, atau kakek, atau anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki; baik cucu tersebut laki-laki atau perempuan.
- Kakek jika ia bersama saudara-saudara. Sepertiga sudah cukup baginya jika jumlah saudara laki-laki lebih dari dua, dan jika jumlah saudara perempuan lebih dari empat.
Catatan:
Sepertiga yang tersisa:
- Jika seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ayah dan ibu, maka permasalahannya terdiri dari enam; suami mendapatkan setengahnya yaitu tiga, ibu mendapatkan sepertiga dari setengah yang tersisa yaitu satu, dan ayah mendapatkan dua dengan ashabah.
- Jika seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan istri, ibu dan ayah, maka permasalahannya terdiri dari empat; seperempatnya yaitu satu menjadi milik istri, ibu mendapatkan sepertiganya dari sisanya yaitu satu, dan ayah mendapatkan dua dengan ashabah.
Ibu, pada dua kasus di atas tidak mewarisi sepertiga dari total harta warisan, namun mewarisi sepertiga dari harta yang tersisa. Itulah keputusan Umar bin Khattab ag sehingga dua masalah di atas dinamakan “Umariyyataini…, dua keputusan Umar”.
- Seperenam (1/6).
Bagian seperenam diwarisi oleh tujuh pihak, yaitu:
- Ibu jika orang yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki, atau cucu laki-laki, atau dua saudara atau lebih; baik saudara laki-laki atau saudara perempuan, saudara-saudara sekandung atau seayah atau saudara seibu, baik mereka mewarisi atau terhalang oleh pihak lain.
- Nenek jika orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ibu, dan ia mewarisinya sendiri. Jika ada nenek lain yang sederajat dengannya, maka bagiannya dibagi rata dengannya.
Catatan:
Nenek yang asli dalam warisan ialah ibunya ibu (nenek dari jalur ibu). Sedangkan ibunya ayah, maka dimasukkan ke dalam arti nenek dari jalur ibu saja.
- Ayah. Ia mewarisi seperenam secara mutlak, baik orang yang meninggal dunia meninggalkan anak atau tidak.
- Kakek. Ia mewarisi seperenam jika tidak ada ayah karena kakek menduduki kedudukan ayah yang tidak ada.
- Saudara seibu; saudara laki-laki atau saudara perempuan. ia mewarisi seperenam jika orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ayah, kakek, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki; laki-laki atau perempuan. Ini dengan syarat saudara laki-laki seibu, atau saudara perempuan seibu tersebut sendirian, artinya tidak meninggalkan saudara laki-laki seibu yang lain, atau saudara perempuan seibu yang lain.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki. la mewarisi seperempat jika ia bersama satu cucu perempuan dari anak laki-laki, dan orang yang meninggal tidak meninggalkan saudara laki-lakinya (cucu laki-laki), serta tidak meninggalkan anak laki-laki dari paman dari jalur ayah yang sederajat dengannya. Berapa pun jumlah anak perempuan dari anak laki-laki, mereka tetap mendapatkan bagian seperenam.
- Saudara perempuan seayah jika ia bersama satu saudara perempuan sekandung, dan tidak ada saudara laki-laki seayah, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki, tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Ta’shib
Definisi ‘Ashib
‘Ashib ialah orang yang mendapat semua harta warisan jika ia sendirian, atau mendapat sisa warisan jika ada, dan tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang tercantum di dalam Ash-Shahih:
“Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.” (Muttafaq Alaih).
Macam-macam ‘Ashabah
Macam-macam ‘ashabah adalah sebagai berikut:
- Ashib bi nafsih (Ashabah sendirian). Mereka adalah:
- Ayah dan kakek dan jalur ke atasnya.
- Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan jalur ke bawahnya.
- Saudara kandung atau saudara seayah
- Anak saudara sekandung, atau anak saudara seayah beserta jalur di bawahnya.
- Paman dari jalur ayah yang sekandung atau seayah.
- Anak paman dari jalur ayah yang sekandung, atau seayah beserta jalur ke bawahnya.
- Pemerdeka budak; laki-laki atau perempuan.
- Kerabat pemerdeka budak yang menjadi ashib binafsih (ashabah dengan dirinya sendiri).
- Baitul Mal
- Ashib bi ghairihi (Ashabah karena orang lain).
Yaitu setiap wanita yang menjadi ashib karena orang laki-laki, kemudian wanita tersebut mewarisi bersama laki-laki tersebut dan laki-laki tersebut mendapatkan dua jatah perempuan. Para wanita yang menjadi ashib karena orang laki-laki adalah sebagai berikut:
- Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
- Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
- Anak perempuan bersama saudara laki-lakinya.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama saudara laki-lakinya jika cucu perempuan tersebut tidak mendapatkan bagian, dan jika ia mempunyai bagian tersendiri maka ia tidak bisa dijadikan ashib oleh cucu dari anak laki-laki yang menduduki kedudukannya.
Contoh, seorang anak laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan satu anak perempuan, satu cucu perempuan dari anak laki, dan anak laki-laki dari cucu laki-laki. Maka, bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari harta warisan, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam agar genap dua pertiga dan sisanya untuk anak laki-laki dari cucu laki-laki sebagai ashib, mendapatkan bagian yang tersisa. Atau, jika yang meninggal dunia meninggalkan cucu perempuan dari anak laki-laki, dan anak laki-laki dari cucu laki-laki, maka cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan setengah dari harta warisan dan setengah sisanya milik anak laki-laki dari cucu laki-laki sebagai ashib.
Atau, jika orang tersebut meninggalkan dua cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan setengah dari harta warisan dan ashib. Atau, jika orang tersebut meninggalkan dua cucu perempuan dari anak-anak laki-laki, dan anak laki-laki dari cucu lelaki, maka dua cucu perempuan tersebut mendapat dua pertiga dari harta warisan berdasarkan bagiannya dan sisanya milik anak laki-laki dari cucu laki-laki sebagai ashib.
Semua itu berlaku jika cucu perempuan dari anak laki-laki itu sederajat dengan anak cucu laki-laki dari anak laki-laki tersebut, atau ia lebih tinggi derajatnya. Namun jika derajatnya lebih rendah satu derajat, atau lebih, maka cucu laki-laki dari anak laki-laki tersebut menghalangi cucu perempuan dari anak laki-laki tersebut dengan penghalangan yang menggugurkan, artinya anak perempuan dari cucu laki-laki tersebut tidak mewarisi sama sekali.
- Ashib ma’al ghair (Ashabah bersama pihak lain)
Yaitu setiap wanita yang menjadi ashibah karena berkumpul dengan pihak lainnya, misalnya saudara perempuan sekandung bersama satu anak perempuan atau lebih, atau saudara perempuan sekandung bersama satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih. Dalam hal ini, saudara perempuan seayah sama dengan saudara perempuan sekandung. Jadi, jika saudara perempuan sekandung tanpa adanya satu anak perempuan atau lebih, atau tanpa cucu perempuan dari anak laki-laki maka ia mewarisi sendiri, atau mewarisi bersama saudara-saudara perempuan sekandungnya jika mereka ada.
Dalam persoalan ini harus diperhatikan bahwa saudara perempuan sekandung itu sama dengan saudara laki-laki sekandung. Jadi, ia menghalangi saudara perempuan seayah. Dan saudara perempuan seayah itu sama dengan saudara laki-laki seayah, jadi saudara perempuan seayah tersebut menghalangi anak saudara secara mutlak.
Catatan:
Permasalahan Bersama
Jika seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ibu saudara-saudara seibu dan satu saudara kandung atau lebih, maka permasalahannya berasal dari enam (6); suami mendapatkan setengah dari harta warisan yaitu tiga, ibu mendapatkan seperenamnya yaitu satu, saudara-saudara seibu mendapatkan sepertiganya yaitu dua, sedang saudara kandung tidak mendapatkan apa-apa karena ia ashib dan seorang ashib itu tidak mendapatkan apa-apa jika para penerima bagian warisan telah menghabiskan semua harta warisan. Inilah ketentuan masalah tersebut.
Hanyasaja Umar bin Khattab sg memutuskan untuk menyertakan satu saudara kandung atau lebih bersama saudara-saudara seibu dalam sepertiga bagian mereka, kemudian bagian sepertiga tersebut dibagi rata di antara mereka; saudara perempuan itu seperti saudara seibu dan anak perempuan sama seperti anak laki-laki. Oleh karena itu, permasalahan ini dinamakan permasalahan bersama, atau permasalahan hajariyah, karena para saudara kandung berkata kepada Umar bin Khattab, “Taruhlah misalnya ayah kami tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan karena terhalangi oleh pihak lain, namun bukankah ibu kami tetap mendapatkan satu? Maka bagaimana mungkin kami tidak boleh mendapatkan warisan, sedangkan saudara-saudara perempuan kami mendapatkannya?” Akhirnya Umar bin Khattab memutuskan menyertakan saudara-saudara sekandung dengan saudara-saudara seibu dalam jatah sepertiga tersebut.
Al-Hajbu
Definisi Al-Hajbu
Al-Hajbu ialah terhalang dari semua harta warisan, atau terhalang dari sebagiannya.
Macam-Macam Al-Hajbu
- Hajbu An-Naqsh (Penghalang yang Mengurangi)
Maksudnya, beralihnya ahli waris dari mendapatkan bagian yang banyak kepada bagian yang lebih sedikit, atau beralihnya ahli waris dari mendapatkan harta warisan berdasarkan bagian (furudh) kepada mendapatkan harta warisan berdasarkan ashabah, atau sebaliknya, beralihnya ahli waris dari mendapatkan harta warisan dengan ashabah kepada furudh (bagian warisan).
Orang-orang yang menghalangi pihak lain dengan penghalang pengurangan adalah sebagai berikut:
- Anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki beserta jalur ke bawahnya. Keduanya mengalihkan suami dari mendapatkan setengah dari harta warisan menjadi seperempat, dan mengalihkan istri dari mendapatkan seperempat dari harta warisan menjadi seperdelapan, atau mengalihkan ayah dan kakek dari mendapatkan harta warisan dengan cara ashabah seperenam bagian.
- Anak perempuan. Ia menghalangi cucu perempuan dari anak laki-laki dari mendapatkan setengah menjadi seperenam, menghalangi dua cucu perempuan dari anak laki-laki dari mendapatkan dua pertiga menjadi seperenam, menghalangi saudara perempuan sekandung atau seayah dari mendapatkan setengah menjadi seperenam, menghalangi dua saudara perempuan sekandung atau seayah dari mendapatkan dua pertiga menjadi ashabah, menghalangi suami mendapatkan setengah menjadi seperempat, mengalihkan ibu dari mendapatkan sepertiga menjadi seperenam, mengalihkan ayah dan kakek dari mendapatkan harta warisan dengan ashabah menjadi seperenam dan sisa harta warisan jika masih ada.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki. la mengalihkan orang-orang yang berada di bawahnya, seperti cucu perempuan dari anak laki-laki yang tidak bisa dijadikan ashibah oleh saudara, atau anak paman dari jalur ayah yang sama derajatnya dengan mereka. Jadi, cucu perempuan dari anak laki-laki mengalihkan satu cucu perempuan dari anak laki-laki dari mendapatkan setengah menjadi seperenam, memindahkan dua cucu perempuan anak laki-laki dari mendapatkan dua pertiga menjadi seperenam, mengalihkan saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah dari mendapatkan setengah menjadi ashabah, dan mengalihkan dua saudara perempuan sekandung atau seayah dari mendapatkan dua pertiga menjadi ashabah. Selain itu, cucu perempuan dari anak laki-laki juga mengalihkan suami dari mendapatkan setengah kepada seperempat, mengalihkan istri dari mendapatkan seperempat kepada seperdelapan, memindahkan ibu dari mendapatkan sepertiga kepada seperenam, mengalihkan ayah dan kakek dari mendapatkan warisan dengan ashabah kepada seperenam plus ashabah jika harta warisan masih tersisa.
- Dua saudara laki-laki atau lebih. Keduanya secara mutlak menghalangi ibu dengan mengalihkannya dari mendapatkan sepertiga menjadi seperenam.
- Satu saudara perempuan kandung menghalangi saudara perempuan seayah dengan mengalihkannya dari mendapatkan setengah menjadi seperenam jika saudara perempuan seayah tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang bisa menjadikannya sebagai ashibah, dan menghalangi dua saudara perempuan kepada seperenam jika keduanya tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang bisa menjadikan keduanya sebagai ashibah.
- Hajbu Al-Isqath (Penghalang yang Menggugurkan)
Terhalangnya ahli waris mewarisi harta yang seharusnya dapat ia warisi kalau tidak ada penghalang. Orang-orang yang bisa menghalangi pihak lain dengan halangan pengguguran ada sembilan belas orang yaitu:
- Anak laki-laki. Keberadaannya membuat cucu laki-laki dari anak Jaki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, semua saudara secara mutlak, dan semua paman secara mutlak tidak dapat mewarisi.
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Keberadaannya menyebabkan anak Jaki-laki dan anak perempuan dari cucu anak laki-laki tidak dapat mewarisi. Cucu laki-laki menghalangi semua pihak yang dihalangi anak laki-laki tanpa ada perbedaan di dalamnya.
- Anak perempuan. Keberadaannya membuat saudara perempuan seibu tidak dapat mewarisi secara mutlak.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki. Karena keberadaanya, maka saudara seibu secara mutlak tidak dapat mewarisi.
- Duaanak perempuan atau lebih. Karena keberadaan keduanya, maka saudara laki-laki seibu tidak dapat mewarisi secara mtlak dan satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih tidak dapat mewarisi kecuali jika ia mempunyai pihak-pihak yang bisa menjadikannya sebagai ashabah, misalnya saudara, atau anak paman dari jalur ayah yang sederajat dengannya.
- Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Karena keberadan keduanya, maka saudara laki-laki seibu tidak dapat mewarisi, dan anak perempuan dari cucu laki-laki atau lebih tidak dapat mewarisi kecuali jika ia mempunyai pihak-pihak yang bisa menjadikannya sebagai ashabah, misalnya saudara atau anak paman dari jalur ayah yang sederajat dengannya.
- Saudara laki-laki kandung. Karena keberadaannnya, maka saudara laki-laki seayah tidak dapat mewarisi dan paman dari jalur ayah secara mutlak tidak dapat mewarisi.
- Anak saudara laki-laki sekandung. Karena keberadaannya, maka paman dari jalur ayah secara mutlak tidak dapat mewarisi, anak saudara laki-laki seayah tidak dapat mewarisi, dan orang-orang yang derajatnya berada di bawahnya misalnya anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
- Saudara laki-laki seayah. Karena keberadaannya, maka paman dari jalur ayah secara mutlak tidak dapat mewarisi, begitu pula dengan anak laki-laki dari saudara kandung atau saudara seayah tidak dapat mewarisi.
- Anak saudara laki-laki seayah. Karena keberadaannya, maka paman dari jalur ayah secara mutlak tidak dapat mewarisi, begitu pula dengan orang-orang yang berada di bawahnya seperti cucu dari anak lelaki paman dari jalur ayah.
- Paman (paman dari jalur ayah) sekandung. Karena keberadaannya, maka paman seayah tidak dapat mewarisi, dan orang-orang yang derajatnya berada di bawahnya, seperti anak-anak lelaki dari para paman secara mutlak.
- Anak laki-laki paman sekandung. Karena keberadaannya, maka anak paman seayah tidak dapat mewarisi dan orang-orang yang derajatnya di bawahnya seperti cucu laki-laki dari anak lelaki paman secara mutlak.
- Paman seayah. Karena keberadaannya, maka anak paman secara mutlak tidak dapat mewarisi.
- Saudara perempuan kandung bersama anak perempuan. Karena keberadaannya, maka saudara laki-laki seayah tidak dapat mewarisi. Hal ini disebabkan saudara perempuan bersama anak perempuan ditempatkan pada posisi saudara laki-laki sekandung dan dengan keberadaan saudara laki-laki sekandung itu maka saudara laki-laki seayah tidak dapat mewarisi.
- Saudara laki-laki sekandung bersama cucu perempuan dari anak laki-laki. Karena keberadaannya, maka saudara laki-laki seayah tidak dapat mewarisi.
- Dua saudara perempuan sekandung. Karena keberadaan keduanya, maka saudara perempuan seayah tidak dapat mewarisi, kecuali jika ia mempunyai pihak lain yang menjadikannya sebagai ashibah, misalnya saudara laki-laki. Oleh karena itu, saudara perempuan seayah bersama dua saudara perempuan sekandung adalah seperti cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dua anak perempuan, maka ia tidak mendapatkan warisan, kecuali jika mempunyai pihak lain yang bisa menjadikannya sebagai ashibah, seperti saudara atau anak paman yang sederajat dengannya.
- Ayah. Karena keberadaannya, maka kakek tidak bisa mewarisi, begitu pula dengan nenek, paman dan saudara; mereka tidak dapat mewarisi.
- Kakek. Karena keberadaannya, maka ayah kakek tersebut tidak dapat mewarisi, saudara-saudara seibu tidak dapat mewarisi, paman secara mutlak tidak dapat mewarisi, dan juga anak-anak saudara tidak dapat mewarisi.
- Ibu. Karena keberadaannya, maka nenek tidak dapat mewarisi secara mutlak.
Kondisi-kondisi Kakek-kakek, cucu dari anak laki-laki, paman dari jalur ayah, anak paman dari jalur ayah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki; sekalipun hak waris mereka tidak dijelaskan dengan tegas dalam Al-Qur’an, namun sabda Rasulullah, “Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak, menegaskan dan menetapkan hak waris mereka. Sebagaimana cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki juga tercakup dalam lafal anak sebagaimana tercantum dalam firman Allah
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian….” (An-Nisa’:11)
Oleh karena itu, ijmak menetapkan bahwa orang-orang yang tersebut pada ayat di atas memiliki hak mewarisi. Sementara itu, bagian kakek tercakup dalam firman Allah :
“Dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja) ….” (An-Nisa’: 11), dan dalam firman Allah
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam.” (An-Nisa’:11)
Dengan demikian, kakek berkedudukan seperti ayah dalam arti bahwa ia mewarisi seperenam jika orang yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, mendapatkan semua harta warisan jika sendirian, dan mendapatkan sisa bagian warisan jika masih tersisa. Kakek tidak berbeda dengan ayah, kecuali dalam masalah saudara-saudara. Dan sesungguhnya keberadaan ayah menggugurkan mereka semua (untuk mendapatkan warisan), namun kakek mewarisi bersama mereka dikarenakan kakek mempunyai kedekatan yang sama dengan mereka terhadap orang yang meninggal dunia. Jika para saudara dekat kepada orang yang meninggal dunia melalui ayah mereka, maka kakek mendekat kepada orang yang meninggal dunia melalui ayahnya yang tidak lain adalah anaknya.
Oleh karena itu, kakek mempunyai lima kondisi, yaitu:
- Ia tidak bersama dengan ahli waris lainnya. Jika hal itu terjadi, ia menerima seluruh harta warisan sebagai ashib.
- Ia bersama ahli waris penerima bagian-bagian tertentu saja. Jika hal ini yang terjadi, ia menerima seperenam bersama mereka dan jika harta warisan masih tersisa maka ia yang mewarisinya sebagai ashib.
- Ia bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Jika hal itu terjadi, ia hanya berhak mendapatkan seperenam saja.
- Ia bersama para saudara saja. Jika hal itu yang terjadi, ia diberi jatah paling banyak yaitu sepertiga dari warisan, atau dengan berbagi dengan saudara, namun berbagi dengan saudara lebih pas untuknya jika jumlah saudara tidak lebih dari dua orang laki-laki, atau jumlah saudara perempuan setara dengan itu (empat orang perempuan).
- Ia bersama para saudara dan para penerima bagian warisan. Jika hal ini yang terjadi, ia diberi jatah yang paling baik, yaitu seperenam dari total warisan, atau sepertiga dari sisa warisan, atau berbagi dengan para saudara. Jika para penerima bagian warisan telah menghabiskan warisan, maka para saudara digugurkan, sedangkan kakek tidak digugurkan dalam arti ia diberi seperenam dan ashlul mas’alah (akar masalah) di-aul-kan, dinaikkan.
Catatan:
Pertama: Tentang Masalah Mu’addah
Jika kakek bersama para saudara sekandung dan para saudara seayah, maka sesungguhnya para saudara sekandung mengikutsertakan dalam hitungan bersama saudara-saudara seayah untuk membatalkan bagian kakek, kemudian mereka membaginya sesuai dengan hak mereka sendiri-sendiri, lalu para saudara kandung menggugurkan hak saudara-saudara seayah dan mengambil hak mereka tanpa keberadaan kakek. Contohnya, masalah ini menjadi tiga berdasarkan jumlah kepala mereka; kakek mendapatkan satu, saudara laki-laki sekandung mendapatkan satu, dan saudara seayah mendapatkan satu. Hanya saja, saudara sekandung setelah membagi dengan kakek dengan keberadaan saudara seayah lalu saudara kandung mengambil hak saudara seayah, sebab saudara kandung menghalangi saudara seayah mendapatkan warisan sebagaimana telah dijelaskan di depan.
Kedua: Tentang Masalah Al-Akdariyah
Jika seseorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah, dan kakek, maka permasalahannya dari (akar masalah) enam karena adanya bagian seperenam di dalamnya; suami mendapatkan setengahnya yaitu tiga, ibu mendapatkan sepertiganya yaitu dua, saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan setengahnya yaitu tiga, saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan setengahnya yaitu tiga, dan kakek mendapatkan seperenam yaitu satu. (Akar) Masalahnya di-aulkan menjadi sembilan, kemudian kakek meminta saudara perempuan sekandung atau saudara seayah berbagi dengannya; kemudian jatah kakek yaitu satu disatukan dengan jatah saudara perempuan sekandung, dan hasilnya adalah empat. Kemudian empat tersebut dibagi dengan perhitungan seorang laki-laki mendapatkan dua bagian orang perempuan. Masalah ini hanya dikhususkan bagi laki-laki, karena semestinya saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan dua bagian orang laki-laki yang dalam hal ini adalah saudara perempuan sekandung, atau seayah.
Jadi, saudara perempuan sekandung atau seayah mendapat warisan seperenam dan kakek mendapatkan sepertiga, dan itu berbeda dengan pembagian sebelumnya. Permasalahan ini disebut al-akdariyah karena merugikan saudara perempuan sekandung atau seayah; ia tadinya ditentukan mendapat bagian banyak, namun malah menerima bagian yang sedikit.
Tash-hihul Fara’idh (Penyelarasan Bagian Warisan)
Pokok-pokok Fara’idh (Bagian Warisan) Pokok-pokok bagian warisan ada tujuh, yaitu:
- Dua (2),
- Tiga (3),
- Empat (4),
- Enam (6),
- Delapan (8),
- Dua belas (12),
- Dua puluh empat (24).
Pokok bagian warisan setengah ialah dua; pokok warisan sepertiga ialah tiga; pokok warisan seperempat ialah empat; pokok warisan seperenam ialah enam; pokok warisan seperdelapan ialah delapan. Jika dalam bagian warisan terkumpul seperempat dan seperenam maka pokok bagian warisannya jalah dua belas, dan jika dalam bagian warisan terkumpul seperdelapan dan seperenam atau sepertiga maka pokok bagian warisannya ialah dua puluh empat.
Contoh:
- Suami dan saudara laki-laki. Pokok bagian warisannya adalah dua; setengah untuk suami dan setengah lainnya untuk saudara kandung.
- Ibu dan ayah. Pokok bagian warisannya adalah tiga; sepertiganya yaitu satu untuk ibu dan sisanya yaitu dua untuk ayah sebagai ashib atau ashabah.
- Istri dan saudara laki-laki. Pokok bagian warisannya ialah empat; seperempatnya yaitu satu untuk ibu, seperempatnya yaitu satu untuk ayah, dan sisanya untuk anak laki-laki sebagai ashib atau ashabah.
- Ibu, ayah dan anak laki-laki. Pokok bagian warisannya ialah enam; seperenamnya yaitu satu untuk ibu, seperenamnya yaitu satu untuk ayah dan sisanya untuk anak laki-laki sebagai ashib.
- Istri dan anak laki-laki. Pokok bagian warisannya ialah delapan; seperdelapannya yaitu satu untuk istri dan sisanya untuk anak laki-laki sebagai ashib atau ashabah.
- Istri, ibu dan paman dari jalur ayah. Pokok bagain warisannya ialah dua belas karena terdapat bagian seperempat dan sepertiga di dalamnya; seperempatnya yaitu tiga untuk istri, sepertiganya yaitu empat untuk ibu dan sisanya untuk paman dari jalur ayah sebagai ashib atau ashabah.
- Istri, ibu dan anak laki-laki. Pokok bagian warisannya ialah dua puluh empat karena di dalamnya terdapat bagian seperdelapan dan bagian seperenam; seperdelapannya yaitu tiga untuk istri, seperenamnya yaitu empat untuk ibu, dan sisanya untuk anak laki-laki.
Al-‘Aul
Definisi Al-‘Aul Al-‘Aul ialah bertambahnya saham (pembagi) dan berkurangnya nilai (bagian ahli waris).
Hukum Al-‘Aul Para sahabat kecuali Abdullah bin Abbas sepakat menggunakan metode al-‘aul. Metode al-‘aul ini dipraktikkan oleh seluruh kaum Muslimin.
Yang Masuk dalam Al-‘Aul
Al-‘Aulhanya masuk ke tiga pokok bagian warisan, yaitu enam, dua belas, dan dua puluh empat.
Pokok bagian warisan enam bertambah menjadi sepuluh dengan sendirinya, dan dengan suami. Pokok bagian warisan dua belas bertambah menjadi tujuh belas dengan sendirinya, dan pokok bagian warisan dua puluh empat bertambah menjadi dua puluh tujuh dengan sendirinya.
Contoh:
- Al-‘Aul dari enam ke tujuh; suami, saudara perempuan sekandung dan nenek. Pokok bagian warisannya ialah enam; setengahnya yaitu tiga untuk suami, setengahnya yaitu tiga untuk saudara perempuan sekandung, seperenamnya yang lain yaitu satu untuk nenek. Jadi pokok warisannya bertambah dari enam ke tujuh dengan sendirinya.
- Al-‘Aul dari enam ke delapan; suami, dua saudara perempuan sekandung, dan ibu. Pokok warisannya ialah enam; setengahnya yaitu tiga untuk suami, dua pertiganya yaitu empat untuk dua saudara perempuan sekandung, dan seperenamnya yaitu satu untuk ibu. Jadi, pokok bagian warisannya bertambah dari enam ke delapan karena suami.
- Al-‘Aul dari dua belas ke tiga belas; istri, ibu dan dua saudara perempuan seayah. Pokok bagian warisannya ialah dua belas karena adanya seperenam dan seperempat di dalamnya; seperempatnya yaitu tiga untuk istri, seperenamnya yaitu dua untuk ibu, dan dua pertiga yaitu delapan untuk dua saudara perempuan seayah. Jadi, pokok warisannya bertambah dari dua belas menjadi tiga belas.
4, Al-‘Aul dari dua puluh empat ke dua puluh tujuh; istri, kakek, ibu dan dua anak perempuan. Pokok bagian warisannya ialah dua puluh empat karena adanya seperdelapan dan seperenam di dalamnya; seperdelapannya yaitu tiga untuk istri, seperenamnya yaitu empat untuk kakek, seperenamnya yaitu empat untuk ibu, dua pertiganya yaitu enam belas untuk dua anak perempuan. Jadi, pokok bagian warisannya bertambah dari dua puluh empat menjadi dua puluh tujuh.
Cara Menentukan Asal Masalah Kondisi ahli waris terkadang menjadi ashabah yang terdiri dari pihak laki-laki saja atau laki-laki dan perempuan; atau menjadi ashabah bersama dzawil furudh (ahli waris dengan bagian tertentu); atau hanya menjadi dzawil furudh saja.
Jadi, jika kondisi ahli waris menjadi ashabah, maka asal masalahnya dihitung sesuai dengan jumlah kepala mereka. Contohnya, jika ahli waris adalah tiga anak laki-laki, maka pokok warisannya adalah tiga; masing-masing dari mereka mendapat satu. Begitu juga apabila kondisi ahli waris yang menjadi ashabah adalah laki-laki dan perempuan. Hanya saja, (satu) laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan, seperti satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Maka, asal masalahnya adalah empat, sesuai dengan kepala anak laki-laki yang dihitung dua; (satu) anak laki-laki mendapat dua bagian dan masing-masing dari anak perempuan mendapatkan satu bagian.
Jika ahli waris adalah orang-orang yang menjadi ashib (ashabah) bersama dzawil furudh (ahli waris dengan bagian tertentu), maka pokok warisannya sesuai dengan bagian yang di warisan tersebut. Contohnya, jika ahli waris adalah suami, anak laki-laki dan anak perempuan, maka pokok warisannya adalah empat dari bagian suami. Jadi, suami mendapatkan seperempatnya yaitu satu, anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari anak perempuan, dan anak perempuan mendapatkan satu bagian.
| 4 |
Suami | 1 |
Anak Laki-laki | 2 |
Anak Perempuan | 1 |
Apabila pada pembagian warisan terdapat dzawil furudh (ahli waris
dengan bagian tertentu) lebih dari satu orang, maka kedua bagian dzawil furudh atau bagian-bagian mereka harus diproses dengan empat teori, yaitu tamatsul, tadakhul, tawafuq dan takhaluf. Hal ini untuk menentukan pokok bagian warisan dan menyelaraskannya.
Contoh: Tamatsul (angka penyebutnya sama):
Adalah dua dzawil furudh yang sama-sama mendapatkan bagian setengah (1/2) atau bagian seperenam (1/6). Dalam hal ini, proses penghitungan cukup dengan salah satu dari dua bagian yang sudah disebutkan di atas, kemudian dijadikan sebagai pokok masalah, dan dengan angka itu pembagian dilaksanakan. Misalnya, ahli waris terdiri suami dan saudara perempuan sekandung. Suami mendapatkan bagian setengah (1/2) dan saudara perempuan sekandung mendapatkan setengah (1/2). Oleh sebab itu, pokok masalahnya adalah dengan mengambil angka (penyebut) itu, karena bagian masing-masing dari keduanya sama ( yaitu setengah). Penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
| 2 |
Suami | 1 |
Saudara perempuan sekandung | 1 |
Tadakhul (salah satu bagian masuk ke bagian lainnya):
Misalnya angka penyebut ada enam dan tiga, maka asal masalah diambilkan dari angka yang paling besar, karena bilangan kecil masuk ke bilangan yang lebih besar, kemudian bilangan terbesar dijadikan asal masalah dan dengan itu pembagian warisan dilaksanakan.
Contoh, jika ahli waris adalah ibu dan dua saudara laki-laki seibu, maka asal masalahnya adalah enam; bagian ibu seperenam, yaitu satu; dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga, yaitu dua. Dan sisanya yaitu tiga untuk ashabah. Jadi proses penghitungannya cukup dengan mengambil (penyebut) seperenam sebagai asal masalah, karena sepertiga masuk ke dalam seperenam.
| 6 (asal masalah) |
Ibu | 1 |
2 saudara laki-laki seibu | 2 |
Dalam teori tawafuq ini harus dilihat nisbah (angka penyebut ) terkecil di antara dua bilangan yang serasi, kemudian nisbah terkecil di antara keduanya dikalikan dengan bilangan lainnya dan hasilnya dijadikan sebagai asal masalah dan pembagian dilakukan daripadanya.
Misalnya, ahli waris terdiri dari suami, ibu, tiga anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempatnya dan nisbahnya adalah empat, dan ibu mendapatkan seperenamnya dan nisbah-nya adalah enam. Nisbah antara kedua bilangan tersebut (seperempat dan seperenam) adalah serasi, yaitu setengah. Sebab, masing-masing dari kedua bilangan tersebut (seperempat dan seperenam) adalah serasi yaitu setengah. Kemudian setengah dari bilangan terkecil yaitu empat dikalikan dengan bilangan satunya yaitu enam, maka hasilnya adalah dua puluh empat, lalu dibagi dua dan hasilnya adalah dua belas. Kemudian angka dua belas ini dijadikan sebagai asal masalah.
| 12 |
Ibu | 3 |
2 saudara laki-laki seibu | 2 |
Paman | 2 |
Suami | 2 |
Ibu | 2 |
Anak laki-laki | 1 |
Takhaluf
Takhaluf ialah dua angka penyebut (bagian warisan) yang tidak sama, misalnya bilangan tiga dan empat. Cara penghitungan cukup dengan mengalikan kedua bilangan tersebut kemudian hasilnya dijadikan sebagai asal masalah dan pembagian dilakukan angka dengan itu. Contoh, jika ahli waris adalah suami, ibu dan saudara laki-laki kandung, maka suami mendapatkan setengahnya dan nisbah-nya adalah dua, ibu mendapatkan sepertiganya dan nisbah-nya adalah tiga; angka penyebut keduanya tidak sama. Cara penyelesaiannya, dua dikalikan tiga dan hasilnya adalah enam, kemudian enam tersebut dijadikan sebagai asal masalah dan pembagian dilakukan daripadanya.
| 6 |
Suami | 3 |
Ibu | 2 |
Saudara kandung | 1 |
Inkisar
Inkisar ialah sebagian saham (bagian) warisan tidak dapat dibagi kepada ahli warisnya. Karena itu, cara penghitungannya ialah diperhatikan bagian dan ahli waris yang bagiannya belum dibagi (inkisar); jika keduanya tawafuq (serasi), maka angka keserasian ahli waris diambil dan diletakan di atas pokok warisan, kemudian pokok warisan dikalikan dengannya. Lalu hasilnya dijadikan sebagai tash-hih faridhah, kemudian bagian masing-masing ahli waris dikalikan dengan angka keserasian yang diletakkan di atas pokok warisan itu. Misalnya, ahli waris terdiri dari suami, dua anak laki-laki, dan dua anak perempuan. Lihat tabel berikut:
| 4 | 8 |
Suami | 1 | 2 |
Anak laki-laki | 3 | 2 |
Anak laki-laki |
| 2 |
Anak perempuan |
| 2 |
Anak perempuan |
| 1 |
Jika antara bagian warisan dan ahli waris yang bagiannya belum dibagi (inkisar) terjadi takhaluf (bilangannya selisih), maka jumlah kepala ahli waris diletakkan di atas asal masalah kemudian dikalikan. Setelah itu hasilnya dijadikan sebagai tash-hih faridhah, kemudian bagian warisan masing-masing ahli waris dikalikan dengan angka di atas asal masalah dan hasilnya seperti contoh sebelumnya.
Contoh, jika ahli waris terdiri dari istri, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka asal masalahnya adalah 8 (delapan); istri mendapatkan seperdelapannya yaitu satu dan sisanya yaitu tujuh untuk ashabah (anak laki-laki dan anak perempuan). Bagian tujuh tersebut tidak dapat dibagi kepada keduanya karena jumlah mereka ada tiga. Satu anak laki-laki dihitung dua sedangkan anak perempuan satu. Kemudian antara bagian warisan dengan kepala harus diperhatikan, ternyata terjadi takhaluf di antara keduannya, maka selanjutnya jumlah mereka yaitu tiga diletakkan di atas pokok warisan, dan dikalikan dengannya (3×8) dan hasilnya adalah dua puluh empat, kemudian pembagian warisan dimulai daripadanya; istri mendapat tiga, anak laki-laki mendapatkan empat belas, dan anak perempuan mendapatkan tujuh. Lihat tabel:
| 8 | 24 |
Istri | 1 | 3 |
Anak laki-laki | 4 | 14 |
Anak perempuan |
| 7 |
Itu jika inkisar terjadi pada suatu kelompok ahli waris maka proses penghitungannya adalah dengan melihat masing-masing kelompok ahli waris dan bagiannya yang mengalami inkisar dengan menggunakan tawafuq dan takhaluf, kemudian hasilnya diletakkan di belakang setiap kelompok. Kemudian diproses dengan empat teori. Pada tamatsul, maka cukup dengan salah satu dari dua bilangan. Pada tadakhul, maka cukup dengan bilangan terbesar karena bilangan terkecil telah masuk ke bilangan yang lebih besar. Pada tawafuq, maka cukup dengan hasil pengalian antara satu bilangan yang sesuai dengan jumlah bilangan yang cocok. Sedang pada takhaluf, maka cukup dengan mengalikan jumlah bilangan yang tidak sesuai (mukhaiif), dengan semua bilangan yang lain. Setelah itu hasilnya diletakkan di atas bagian, kemudian dikalikan dengannya. Lalu hasilnya diletakkan di satu kotak, dan proses penghitungannya sama seperti pada contoh sebelumnya.
Misalnya, inkisar pada dua kelompok ahli warisan; dua istri dan dua saudara laki-laki sekandung, maka asal masalahnya adalah empat. Istri mendapatkan satu dan tidak dapat dibagi kepada keduanya, sedang sisanya yaitu tiga untuk dua saudara laki-laki sekandung sebagai ashabah dan juga tidak dapat dibagi kepada mereka. Setelah itu, bagian istri dan jumlah kepalanya harus dilihat dan ternyata yang terjadi adalah takhaluf di antara keduanya. Kemudian jumlah kepalanya yaitu dua diletakkan dibelakang keduanya. Kemudian dua saudara laki-laki sekandung dan bagiannya juga dilihat, dan ternyata terjadi takhaluf padanya, karena angka tiga takhaluf dengan angka dua. Kemudian jumlah kepala dua saudara laki-laki sekandung diletakkan di belakang keduanya. Tahap selanjutnya jumlah kepala dua istri dan jumlah kepala dua saudara dilihat, dan ternyata keduanya adalah tamatsul. Lihat tabel:
|
| 4 | 8 |
2 | Istri | 1 | 1 |
Istri |
| 1 | |
3 | Saudara laki-laki kandung | 3 | 3 |
Saudara laki-laki kandung |
| 3 |
Oleh karena itu, cukup dengan salah satu dari kedua bilangan kemudian diletakkan di atas asal masalah dan dikalikan dengannya, kemudian hasil perkalian keduanya diletakkan di kotak, dan proses pembagian warisan bagi masing-masing ahli waris dilakukan dari angka tersebut seperti sebelumnya. Ini jika terjadi tamatsul pada jumlah kepala ahli waris.
Contoh tadakhul dan takhaluf pada inkisar lebih dari satu kelompok ialah empat istri, tiga anak perempuan, dan dua saudara perempuan sekandung. Jika diperhatikan, ternyata terjadi inkisar pada tiga kelompok dan bahwa pada masing-masing kelompok terjadi takhaluf dengan bagiannya. Oleh karena itu, jumlah kepala masing-masing kelompok diletakkan di belakangnya, kemudian diadakan kajian ulang terhadap jumlah kepala masing-masing kelompok. Ternyata, terjadi tadakhul antara dua dengan empat, jadi cukup dengan bilangan terbesar yitu empat. Kemudian diadakan pengecekan antara empat dengan tiga, ternyata terjadi takhaluf di antara keduanya, maka bilangan satunya, maksudnya tiga dikalikan empat atau sebaliknya dan hasilnya adalah dua belas. Kemudian hasilnya diletakkan di atas asal masalah dan dikalikan dengannya dan hasilnya adalah dua ratus delapan puluh delapan kemudian diletakkan di kotak yang bersebelahan dengan kotak pokok warisan dan proses pembagian ahli waris dilakukan dari angka tersebut. Lihat tabel:
|
| 24 | 288 |
4 | Istri | 3 | 9 |
Istri |
| 9 | |
Istri |
| 9 | |
Istri |
| 9 | |
3 | Anak perempuan | 16 | 64 |
Anak perempuan |
| 64 | |
Anak perempuan |
| 64 | |
2 | Saudara perempuan sekandung | 5 | 30 |
Saudara perempuan sekandung |
| 30 |
Pembagian warisan ialah buah yang diharapkan setelah mempelajari ilmu Faraidh. Pembagian warisan mempunyai banyak metode dan saya cukupkan dengan dua metode:
Pertama, jika warisan berbentuk barang.
Kedua, jika warisan berbentuk uang.
Metode pertama dikenal dengan istilah tagrith, yaitu pembagian warisan ke dalam dua puluh empat bagian dan masing-masing bagian dinamakan qirath.
Cara pembagian dengan metode tagrith ialah dengan meletakkan bilangan dua puluh empat di kotak yang bersebelahan dengan kotak asal masalah, kemudian dilihat jumlah girath dan asal masalahnya. Jikakeduannya mutamatsil (sama), maka proses pembagiannya sangat mdah. Anda tingga] memindahkan bagian masing-masing ahli waris dan meletakkannya dj bawah kotak girath dan itulah bagian masing-masing dari mereka dari qirath tersebut.
Contohnya, jika ahli waris terdiri dari istri, ibu dan satu anak laki-laki. (istri mendapat seperdelapan, yaitu tiga dari dua puluh empat, ibu mendapat seperenam, yaitu empat dari dua puluh empat, dan anak laki-laki mendapatkan ashabah, yaitu tujuh belas dari dua puluh empat).
| 24 | 24 |
Istri | 3 | 3 |
Ibu | 4 | 4 |
1 anak laki-laki | 17 | 17 |
Jika tidak terjadi tamatsul di antara keduanya dan yang terjadi adalah tawafuq pada salah satu nisbah dari nisbah-nisbah yang ada, maka Anda mengambil angka keserasian girath kemudian meletakkan di atas asal masalah, kemudian mengambil angka keserasian asal masalah dan meletakkannya di belakang kotak qirath, kemudian tinggal Anda mengalikan bagian setiap ahli waris dengan angka keserasian qirath yang diletakkan di atas asal masalah. Dan hasilnya Anda bagikan kepada angka keserasian pokok masalah yang Anda letakkan di belakang kotak qirath.
Jika hasilnya angka utuh (bukan angka pecahan), maka Anda tinggal meletakkan di bawah kotak girath. Jika hasilnya angka utuh dan angka pecahan maka Anda tinggal meletakkan angka utuh di bawah kotak qirath dan Anda letakkan angka pecahan di bawah kotak akhir yang tidak lain adalah kotak keserasian asal masalah dan akhimya angka pecahan tersebut menjadi salah satu bagian di atasnya.
Ketika proses penghitungan dimulai, maka Anda mengumpulkan angka utuh terlebih dahulu kemudian menghitung angka pecahan, kemudian angka pecahannya Anda satukan dengan angka utuh. Jika hasil pengumpulan Anda berjumlah dua puluh empat sesuai dengan jumlah girath, maka proses penghitungan Anda benar dan jika tidak sesuai maka salah. Contohnya, jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan.*
| 2 | 3 |
|
|
| 12 | 36 | 24 | 3 |
Suami | 3 | 9 | 6 |
|
Ibu | 2 | 6 | 4 |
|
Anak laki-laki | 7 | 14 | 9 | 1 |
Anak perempuan |
| 7 | 4 | 2 |
Perlu diperhatikan bahwa asal masalah adalah dua belas kemudian diluruskan menjadi tiga puluh enam karena adanya inkisar pada bagian satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Untuk selanjutnya, proses pembagian dilakukan persis seperti proses pembagian sebelumnya.
Contoh lain ialah ahli waris terdiri dari istri, ibu dan saudara laki-laki sekandung. Anda lihat bahwa tawafuq terjadi pada angka setengah dari seperenam, kemudian setengahnya seperenam qirath yaitu dua diletakkan di atas warisan dan angka keserasian asal masalah yaitu satu diletakkan di kotak yang bersebelahan dengan kotak girath, kemudian proses pembagian dilakukan seperti sebelumnya. Hanya saja pembagian salah satu angka itu mengeluarkan angka yang sama; tanpa tambahan dan pengurangan, kemudian hasilnya diletakkan di depan pemiliknya seperti sebelumnya. Lihat tabel:
| 12 | 24 | 1 |
Istri | 3 | 6 | 0 |
Ibu | 4 | 4 | 0 |
Saudara kandung | 17 | 17 | 0 |
Jika terjadi takhaluf antara jumlah girath dengan jumlah asal masalah, maka yang harus Anda lakukan adalah mengambil jumlah total girath yaitu dua puluh empat, lalu meletakkannya di atas asal masalah, mengambil total asal masalah, dan meletakkan dikotak yang bersebelahan dengan kotak qirath. Setelah itu, Anda mengalikan bagian masing-masing ahli waris dengan angka di atas asal masalah dengan angka yaitu dua puluh empat dan hasilnya Anda bagi dengan total asal masalah yang diletakkan di kotak yang bersebelahan dengan kotak qirath. Jika hasilnya adalah angka utuh saja, maka Anda letakan di depan pemiliknya di bawah kotak girath, dan jika hasilnya angka pecahan maka Anda letakan di bawah kotak yang bersebelahan dengan kotak qirath dan menjadi bagian dari angka di atasnya. Jika Anda menggabungkan angka-angka pecahan tersebut, maka Anda membentuk angka utuh, kemudian Anda gabungkan dengan angka-angka utuh dan akhirnya total qirath ialah dua puluh empat.
Contoh, seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris terdiri dari istri, ibu dan dua saudara perempuan seayah. Anda lihat Hal-hal berikut:
| 12 | 13 | 24 | 13 |
Istri | 3 | 3 | 5 | 7 |
Ibu | 2 | 2 | 3 | 9 |
Saudara perempuan seayah | 4 | 4 | 7 | 5 |
Saudara perempuan seayah | 4 | 4 | 7 | 5 |
- Bahwa antara asal masalah dengan jumlah qirath terjadi takhaluf, karena 13 itu takhaluf dengan 24 dan keduanya tidak sama dalam nisbah berapa pun. Oleh karena itu, kita letakkan jumlah girath di atas bilangan bagian ahli waris dan kita letakkan jumlah bagian ahli waris di kotak yang bersebelahan jumlah girath.
- Angka-angka pecahan di bawah kotak terakhir jika dijumlahkan maka membentuk angka utuh yaitu dua. Oleh karena itu, kita letakkan di bawah kotak qirath dan dengan demikian, jumlah total girath ialah 24 qirath. Dengan demikian proses pembagian berjalan dengan benar.
Sedangkan tata cara pembagian warisan dengan metode yang kedua yaitu jika warisan berbentuk uang, baik dirham maupun dinar maka proses pembagiannya tidak berbeda dengan proses pembagian metode taqrith. Hanya saja, Anda harus meletakkan jumlah harta warisan pada kotak yang menjadi tempat jumlah girath, kemudian Anda melakukan proses pembagian Seperti metode taqrith.
Contoh, jika istri meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan satu anak laki-kali, serta uang sebesar 40 riyal, maka penghitungannya adalah sebagai berikut:
Jika kita perhatikan, antara bagian ahli waris dan jumlah warisan maka kita dapatkan di antara keduanya terjadi dengan angka (1/4) seperempat. Kemudian kita letakkan bilangan yang sesuai dengan jumlah harta warisan, yaitu 10 untuk mengalikan. Selanjutnya, kita kalikan bagian suami yaitu (1) satu dengan angka di atas bagian ahli waris yaitu 10 dan hasilnya adalah (10) sepuluh. Kemudian kita bagi dengan angka keserasian dengan bagian ahli waris yaitu satu dan hasilnya adalah 10 kemudian kita letakkan di depan pemiliknya (suami). Seperti itu pula yang kita lakukan terhadap satu anak Jaki-laki. Jika suami mendapatkan bagian 10 riyal dari warisan empat puluh riyal, yaitu seperempat, maka satu anak laki-laki mendapatkan 30 riyal, yaitu tiga perempat dari 40 riyal.
| 10 |
|
|
| 4 | 40 | 1 |
Suami | 1 | 10 |
|
Anak laki-laki | 3 | 30 |
|
Contoh lain, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan waris terdiri dari suami, ibu dan satu saudara laki-lakisekandung dan meninggalkan warisan 60 dirham. Bisa Anda, terjadi tawafuq antara bagian ahli waris dan asal masalah pada bilangan (1/6) seperenam.
| 10 |
|
|
| 6 | 60 | 1 |
Suami | 3 | 30 |
|
Ibu | 2 | 20 |
|
Saudara kandung | 1 | 10 |
|
Contoh lain, jika terjadi takhaluf antara bilangan bagian ahli waris dan harta peninggalan di mana ahli waris terdiri dari istri, ibu dan ayah, sedang jumlah warisan ialah 235 dirham. Dalam hal ini tidak terjadi tawafuq pada nisbah berapa pun antara warisan dengan pokok warisan, dan bahwa proses pembagian warisan sedikit pun tidak berbeda dengan proses pembagian pada metode taqrith kecuali dengan meletakkan jumlah warisan untuk menggantikan taqrith, sedangkan pembagian berlangsung sama seperti proses pembagian sebelumnya.
Dengan demikian, istri mengambil seperempatnya, yaitu 3 warisan, yang dikalikan dengan jumlah warisan yaitu 235 dirham, kemudian dibagi dengan pokok warisan yaitu 12 dan hasilnya adalah 58 dirham yang diletakkan dj depannya di bawah kotak pokok, dan yang tersisa adalah angka pecahan yaitu 9. Lalu angka tersebut diletakkan di bawah kotak asal masalah sehingga menjadi 9/21. Bagian ibu dikalikan dengan angka di atas kotak warisan yaitu 235 dirham dan hasilnya dibagi dengan 12, hasilnya 58 plus angka pecahan dari 12. Bagian ayah dikalikan dengan angka di atas pokok warisan yaitu 235 dirham dan hasilnya dibagi 12 kemudian hasilnya 97 plus angka pecahan yaitu 11 dari 12.
| 235 |
|
|
| 12 | 235 | 12 |
Istri | 3 | 58 | 9 |
Ibu | 4 | 78 | 4 |
Ayah | 5 | 95 | 11 |
Selanjutnya seluruh angka pecahan dikumpulkan hingga membentuk angka utuh 2, kemudian diletakkan di bawah seluruh angka di bawah kotak, kemudian total angka adalah 235; sesuai dengan jumlah harta warisan. Dengan demikian, proses pembagian berlangsung dengan benar dan itulah yang diharapkan.
Munasakhsah
Munasakhah ialah proses penghitungan untuk mengetahui bagian mayat kedua dari warisan mayat pertama sebelum pembagian warisan dilakukan. Tata cara pembagian munasakhah ialah dengan menyelesaikan bagian warisan untuk mayat pertama dan diberi tanda W (wafat) sebagai tanda kematian ahli waris. Kemudian ahli waris dari mayat pertama diberi tanda yang lain. Dengan demikian, bisa jadi wanita yang menjadi istri pada pembagian warisan pertama menjadi ibu pada pembagian warisan kedua. Letakkan bagian mereka (ahli waris) kedua di samping bagian mereka pertama dari mayat pertama. Jika terdapat satu atau lebih dari ahli waris baru, maka letakkanlah di kotak di bawah susunan yang pertama, kemudian tentukan asal masalah mereka dan perhatikanlah antara asal masalah kedua dan bagian warisan orang yang pertama. Jika kedua warisan bisa terbagi kepada ahli waris yang kedua, maka pembagian keduanya benar.
Contoh, seorang istri meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ibu, satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, kemudian suami tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan tersebut. Maka asal masalah pada warisan pertama adalah 12 dan diluruskan menjadi 36 karena terjadi inkisar pada bagian satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, sedangkan asal masalah pada warisan kedua ialah 3, sedangkan bagian suami adalah sembilan yang dibagi kepada ahli waris kedua yaitu tiga. Jadi, kedua warisan dengan asal masalah 36, kemudian Anda meletakkan di kotak akhir yang dinamakan kotak munasakhah.
|
| 3 |
|
| 3 |
|
|
| 12 | 36 |
| 3 | 36 |
| Suami | 3 | 9 | W |
|
|
| Ibu | 2 | 6 |
|
| 6 |
3 | Anak laki-laki | 7 | 14 | Anak laki-laki | 1 | 20 |
Anak perempuan |
| 7 | Anak perempuan | 2 | 10 |
Setelah itu pindahkanlah pokok warisan pada warisan pertama yaitu 36 pada kotak tersebut, dan juga bagian ahli waris kemudian Anda letakkan di bawahnya. Ahli waris yang tidak mendapatkan bagian pada warisan kedua Anda letakkan bagiannya dari warisan pertama di depannya di bawah kotak munasakhah. Sedang ahli waris yang mendapatkan bagian pada warisan kedua, maka Anda kalikan bagiannya dengan angka di atas asal maalah dan hasilnya Anda tambahkan ke bagian dari warisan pertama jika ia mendapatkan bagian di dalamnya kemudian Anda meletakkan di bawah kotak munasakhah.
Namun, jika bagian (saham) mayat kedua tidak bisa dibagi dengan faridhah (bagian) ahli waris kedua, maka Anda memprosesnya dengan teori tawafuq dan tahkaluf Jika bagian mayat kedua tawafuq dengan warisan kedua pada salah satu nisbah paling kecil, maka Anda ambil angka wifqu (yang serasi) dari bagian mayat kedua kemudian diletakkan di atas kotak bagian ahli waris. Selain itu, ambillah angka yang serasi dengan faridhah (bagian ahli waris) lalu letakkan di atas bagian ahli waris yang pertama, lalu kalikan.
Dan hasilnya diletakkan pada kotak terakhir yang disebut dengan kumpulan munasakhah. Kemudian bilangan yang ada pada ahli waris dikalikan dengan bilangan yang berada di atas faridhah (bagian ahli waris) pertama; angka yang serasi yang terletak di atasnya. Lalu hasilnya diletakkan di depannya di bawah kumpulan munasakhah. Jika ahli waris memiliki bagian pada bagian ahli waris kedua maka dikalikan dengan bilangan di atas bagian ahli waris yang kedua, dan hasil perkaliannya digabungkan dengan hartanya dalam bagian ahli waris yang pertama. Lalu taruhlah hasilnya di depannya, di bawah (kotak) kumpulan munasakhah, dan itulah bagiannya.
Contoh, suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri, satu anak perempuan dan satu saudara perempuan kandung, kemudian satu anak perempuan tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ibunya yang tidak lain adalah (berstatus) istri pada warisan pertama, suami dan anak. Maka asal masalah pada warisan pertama adalah 8, dan asal masalah yang kedua adalah 12. Antara bagian mayat kedua (anak perempuan) yaitu empat dengan asal masalah kedua yaitu 12 terdapat tawafuq pada angka seperempat. Maka keserasian saham (bagian), yaitu (1) satu diletakkan di atas faridhah (bagian ahli waris) kedua dan keserasian faridhah kedua yaitu tiga diletakkan di atas faridhah yang pertama, kemudian proses penghitungan dilakukan seperti pada contoh sebelumnya.
| 3 |
| 1 |
|
| 8 |
| 12 | 24 |
Istri | 1 | Ibu |
| 05 |
Anak perempuan | 4 | W (wafat) |
| 0 |
Saudara perempuan sekandung | 3 |
|
| 09 |
|
| Suami | 3 | 03 |
|
| Anak laki-laki | 7 | 07 |
Jika saham mayat berbeda dengan faridhah kedua, maka Anda mengambil saham kedua dan meletakkannya di atas faridhah kedua, dan ambillah faridhah kedua lalu letakkan di atas faridhah pertama lalu kalikan. Dan hasilnya Anda letakkan di kumpulan munasakhah pertama setelah kumpulan munasakhah kedua. Selanjutnya proses pembagian Anda lakukan seperti cara sebelumnya.
Misalnya, suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri, tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan, kemudian istri tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ketiga anak laki-laki dan satu anak perempuannya tersebut.
| 7 |
| 1 |
|
| 8 |
| 7 | 56 |
Suami | 1 | W (wafat) |
|
|
Anak laki-laki | 2 | Anak laki-laki | 2 | 16 |
Anak laki-laki | 2 | Anak laki-laki | 2 | 16 |
Anak laki-laki | 2 | Anak laki-laki | 2 | 16 |
Anak perempuan | 1 | Anak perempuan | 1 | 08 |
Yang perlu diperhatikan di sini:
- Mayat kedua yaitu istri tidak meninggalkan ahli waris baru
- Proses pembagian dilakukan seperti sebelumnya.
Khuntsa Musykil
Yang dimaksud dengan khuntsa musykil ialah orang yang dilahirkan dalam keadaan tidak jelas jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan. Untuk itu, ia ditunggu hingga usia balig untuk memastikan kondisi dirinya. Jika pembagian warisan ingin ditetapkan terhadapnya, maka cara yang dilakukan oleh para ulama ialah dengan memberinya separuh bagian laki-laki dan separuh bagi perempuan.
Cara pembagiannya ialah warisan dihitung dengan asumsi khuntsa musyikil tersebut laki-laki dan (kedua) warisan dibagi dengan asumsi ia sebagai perempuan. Ini jika khuntsa musykil tersebut satu orang. Jika ia dua orang, maka faraidh (bagian ahli waris) adalah empat. Setelah penghitungan maka dilihat faraidh-nya dengan menggunakan empat teori hingga Anda menjadikannya sebagai satu bilangan. Kemudian hasilnya dikalikan dengan jumlah kondisi khuntsa musykil, dan hasilnya untuk penghitungan faridhah, Karena itu, letakkan di kotak sebelah (kotak) kumpulan faridhah.
Kemudian hasilnya tersebut bagikan dengan masing-masing setiap faridhah dan bagian yang di luar diletakkan di atasnya. Kemudian kalikanlah bilangan dari setiap faridhah dengan angka di atasnya dan hasil perkalian tersebut digabungkan. Setelah itu, hasilnya dibagi dengan semua kondisi khuntsa musykil yaitu dua (diambil dari kemungkinan ia laki-laki atau perempuan) dan hasilnya Anda letakkan di depan ahli warisnya di bawah kotak terakhir, kemudian jumlahlah bagian setiap ahli warisan. Jika jumlahnya sama dengan jumlah gabungan, maka penghitungannya benar, dan jika hasilnya tidak sama maka penghitungannya salah.
Contoh, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan satu anak laki-laki dan satu khuntsa. Cara penghitungannya adalah begini:
| 6 | 4 |
|
| 2 | 3 | 12 |
Anak laki-laki | 1 | 2 | 07 |
Khuntsa | 1 | 1 | 05 |
1, Kita tetapkan dua macam faridhah (bagian ahli waris) untuknya, pertama dengan asumsi sebagai anak laki-laki dan kedua sebagai anak perempuan.
- Ketika kita cermati bahwa pada dua faridhah (bagian ahli waris) terjadi takhaluf (ketidaksesuaian) maka kita kalikan jumlah bilangan (faridhah) pertama dan kedua, yang hasilnya adalah (6) enam. Lalu bilangan tersebut (6) kita kalikan dengan jumlah keadaan yang bersangkutan (khuntsa musykil), yaitu (2) dua. Maka hasilnya adalah (12) dua belas. Lalu angka tersebut kita jadikan penggabungan untuk penghitungan.
- Kita bagi angka dua belas tersebut dengan setiap faridhah (bagian ahli waris), yaitu dua maka pertama hasilnya adalah enam. Kemudian angka enam tersebut kita letakkan di atasnya, kedua hasilnya (4) empat lalu kita letakkan di atasnya.
- Kita kalikan faridhah (bagian ahli waris) yang berada di di depan setiap nama ahliwaris dengan angka diatasnya. Ternyata hasilnya untuk khuntsa adalah (10) sepuluh kemudian kita bagi dengan total kondisinya yaitu dua dan hasilnya adalah (5) lima. Kemudian kita letakkan di depannya di bawah kotak terakhir (kotak penghitungan warisan ) dan itulah bagian yang diterima khuntsa. Total bagian satu anak laki-laki adalah (14) empat belas, kemudian kita bagi dengan total kondisinya dan hasilnya adalah tujuh, kemudian kita letakkan di depannya di bawah kotak terakhir dan itulah bagian satu anak laki-laki tersebut.
Contoh lain, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan anak laki-laki dan khuntsa. Yang perlu diperhatikan di sini bahwa proses pembagian warisan tidak berbeda dengan proses pembagian sebelumnya. Namun ada teori lain menurut sebagian ulama, yaitu masing-masing ahli waris diberi bagian terkecil dari masing-masing ahli waris yang terpengaruh dengan status khuntsa-nya, sedangkan sisanya ditahan hingga terlihat dengan jelas status khuntsa, atau mereka sepakat membaginya sesama mereka.
| 10 | 6 |
|
| 3 | 5 | 30 |
Anak laki-laki | 1 | 2 | 11 |
Anak laki-laki | 1 | 2 | 11 |
Khuntsa | 1 | 2 | 08 |
Proses pembagiannya ialah khuntsa diasumsikan sebagai anak perempuan untuk hak dirinya agar ia mempunyai bagian terkecil yang pasti, kemudian ia diasumsikan lagi sebagai anak laki-laki untuk hak orang lain agar orang lain tersebut mempunyai bagian terkecil yang pasti, sedang sisanya ditahan.
Dalam kasus seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan satu anak laki-laki dan satu khuntsa, maka ditetapkan dua faridhah (bagian ahli waris) untuknya. Pada faridhah pertama, khuntsa diasumsikan sebagai anak laki-laki sehingga faridhah pada pembagian pertama adalah dua. Kemudian pada penghitungan kedua, khuntsa diasumsikan sebagai anak perempuan sehingga faridhahnya adalah tiga. Setelah itu kedua faridhah dilihat, ternyata keduannya mengalami takhaluf. Karena itu, kedua faridhah dikalikan dan hasilnya adalah enam, kemudian bilangan enam tersebut dijadikan sebagai angka total penghitungan faridhah. Setelah itu, bagian setiap ahli waris digabungkan pada dua perhitungan dan diletakkan di depannya di bawah kotak total pokok warisan, maka bagian anak laki-laki adalah tiga, sedangkan bagian khuntsa adalah dua dan tersisa satu bagian, kemudian satu bagian tersebut ditahan hingga terdapat titik kejelasan pada khuntsa tersebut.
Jika setelah itu, si khunsta tersebut terbukti anak laki-laki maka saty bagian tersebut diberikan kepadanya, tetapi jika ia terbukti anak perempuan maka diberikan kepada ahli waris anak laki-laki tersebut, dan jika tetap tidak ada titik kejelasan maka keduanya berdamai dengan sukarela di antara keduanya.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tersisa satu bagian. Buktinya ialah total angka pelurusan pokok warisan adalah enam, sedang total angka di bawahya adalah lima. Satu bagian inilah yang ditahan hingga terdapat titik kejelasan pada khuntsa tersebut.
Anak dalam Kandungan, Orang Hilang, Orang Tenggelam, dan yang Semisalnya
Anak dalam Kandungan
Adapun tentang anak dalam kandungan (janin), jika mau, ahli waris boleh tidak melakukan pembagian warisan hingga janin lahir dan pembagian warisan baru dilakukan setelah kelahirannya. Namun begitu, mereka juga diperbolehkan melakukan pebagian warisan tanpa menunggu kelahiran janin, dan caranya sama persis seperti pembagian khuntsa pada contoh terakhir. Dalam arti ahli waris yang terpengaruh dengan keberadaan janin; laki-laki atau perempuan diberi bagian terkecil yang pasti, dan bagian sisanya ditahan hingga kelahiran janin.
Contoh, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan (ahli waris) istri yang hamil, maka ia mendapatkan (1/8) seperdelapan karena keberadaan janin tersebut, dan kelahirannya dalam keadaan hidup, atau mendapatkan (1/4) seperempat jika janin tidak ada atau janin ada namun lahir dalam keadaan meninggal dunia. Dengan demikian, istri tersebut diberi bagian (1/8) seperdelapan karena angka tersebut pasti, sedang bagian sisanya ditahan hingga janin lahir. Jika nantinya janin lahir dalam keadaan hidup, maka istri tidak mendapatkan bagian tambahan selain bagian seperdelapan. jika janin lahir dalam keadaan meninggal dunia, maka istri mendapatkan pagian seperempat, karena itulah bagian dirinya jika tidak ada anak.
Orang Hilang
Jika salah satu ahli waris hilang, kemudian ahli waris lainnya ingin melakukan pembagian harta warisan sebelum adanya kepastian kematian orang hilang tersebut atau sebelum adanya vonis kematiannya, maka mereka memperlakukan orang hilang tersebut seperti mereka memperlakukan janin. jadi, mereka diberi sebagian kecil yang pasti, sedang sisa bagian ditahan hingga mendapat kepastian bahwa orang hilang tersebut telah meninggal dunia atau masih hidup.
Contoh, suami meninggal dunia dengan meninggalkan dua anak laki-laki namun salah satu dari keduanya hilang. Untuk itu anak laki-laki yang tidak hilang diberi bagian setengah karena bagian tersebut sudah pasti, sedangkan bagian sisanya ditahan hingga ada kepastian tentang anak laki-laki yang hilang tersebut apakah telah meninggal dunia atau masih hidup.
Contoh lain, suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri, ibu, dan dua saudara laki-laki sekandung namun salah satu dari keduanya hilang. Istri mendapat bagian seperempat dari warisan secara penuh karena ja tidak terpengaruh dengan ada tiadanya orang hilang tersebut. Ibu diberi bagian seperenam karena bagian tersebut sudah pasti, dan satu saudara laki-laki sekandung yang tidak hilang diberi bagian seperenam karena bagian tersebut pasti, sedang sisa warisan ditahan. Jika setelah itu terbukti bahwa saudara laki-laki sekandung yang hilang tersebut ternyata masih hidup, maka sisa warisan yaitu tujuh menjadi haknya dan ia menerima secara penuh. Sebaliknya, jika ia terbukti telah meninggal dunia maka sisa warisan tersebut dibagikan lagi. Jadi, ibu mendapatkan sepertiga, sedangkan sisanya diberikan kepada saudara laki-laki sekandung yang tidak hilang. Dengan demikian asal masalahnya adalah dua belas, kemudian diluruskan menjadi dua puluh empat. Lihat tabel berikut:
|
| 1 | 2 |
|
| 12 | 24 | 12 | 24 |
Istri | 3 | 6 | 3 | 6 |
Ibu | 2 | 4 | 4 | 4 |
Saudara laki-laki | 7 | 7 | 5 | 7 |
Saudara laki-laki |
| 7 | 0 | 0 |
Yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal berikut ini:
- Kita membuat dua penghitungan. Pada penghitungan pertama, orang hilang kita asumsikan masih hidup, jadi pokok warisannya adalah dua puluh empat, karena inkisar-nya bagian dua saudara laki-laki sekandung. Yang kedua, orang hilang kita anggap sudah meninggal, jadi pokok warisannya adalah dua belas.
- Kita perhatikan antara kedua pokok warisan, ternyata keduanya tawafuq pada setengah dari seperenam. Untuk itu, kita letakkan keserasian faridhah pertama yaitu dua di atas, faridhah kedua yaitu satu di atas faridhah pertama. Kemudian kita kalikan dengan faridhah yang diluruskan yaitu dua puluh empat dan hasilnya adalah dua puluh empat kemudian kita letakkan dikotak terakhir dan itulah total angka pelurusan warisan .
- Kita memberi bagian terkecil yang pasti pada ahli waris yang terpengaruh Pdengan masih hidupnya orang hilang. Kita kalikan bagian istri itu yaitu 6 dengan angka di atas faridhah dan hasilnya adalah 6, kemudian kita letakkan di depannya di bawah kotak angka pelurusan pokok warisan terakhir. Kita kalikan bagian ibu yaitu 4 dengan angka di atas faridhah pertama dan hasilnya pelurusan faridhah terakhir. Dan kita kalikan bagian saudara laki-laki sekandung yang masih hidup itu yaitu 7 dengan angka di atas pokok warisan pertama dan hasilnya adalah 7, kemudian kita letakkan di depannya di bawah gabungan tashhih, pelurusan.
- Total bagian (saham) di bawah kotak penelusuran pokok warisan terakhir adalah 17 dari total bagian 24. Jadi sisanya ialah 7, kemudian sisa tersebut ditahan hingga mendapat kepastian tentang orang hilang apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Jika orang hilang tersebut dipastikan masih hidup, maka ia mengambil sisa tersebut secara penuh dan jtulah bagian dirinya. Jika ia dipastikan telah meninggal dunia, maka sepertiganya menjadi milik ibu, total bagian ibu adalah 7, sedang sisanya disatukan dengan bagian saudara laki-laki sekandung yang masih hidup sehingga ia mendapatkan bagian 11. Inilah penghitungan yang benar.
Orang Tenggelam dan Orang-orang yang Semisalnya
Adapun orang tenggelam dan orang-orang yang semisalnya seperti orang yang tertimpa bangunan dan para korban kebakaran, maka ulama menetapkan bahwa mereka tidak saling mewarisi dari yang lain dan masing-masing dari mereka mewariskan kekayaannya kepada ahli waris tanpa mendapatkan warisan dari korban musibah satunya.
Misainya, ada saudara laki-laki sekandung meninggal dunia karena kecelakaan dan nama di antara keduanya yang meninggal terlebih dahulu tidak diketahui. Saudara laki-laki sekandung pertama meninggalkan istri, satu anak perempuan dan paman sedangkan satu saudara laki-laki sekandung kedua meninggalkan dua anak perempuan dan paman yang disebutkan di atas. Hukum masalah ini ialah masing-masing dari keduanya mewariskan kekayaannya kepada ahli warisnya saja.
Jadi, istri saudara laki-laki sekandung pertama mendapatkan warisan seperdelapan, anak perempuannya mendapatkan setengah, dan sisa kekayaan untuk paman, sedangkan dua anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung kedua mendapatkan 2/3 (dua pertiga) dan sisanya yaitu 1/3 (sepertiga) untuk paman.
Warisan Dzawil Arham
Siapakah Dzawil Arham itu?
Dzawil Arham adalah kerabat-kerabat yang bukan merupakan dzawil furudh (orang-orang yang mendapatkan bagian-bagian tertentu dari warisan), dan bukan dari kalangan ashabah seperti kakek dari jalur ibu, nenek dari jalur ibu, nenek dari jalur ayah, anak perempuan dari kakek jalur ibu, anak laki-laki dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, dan seperti anak-anak lelaki dari saudara perempuan, dan setiap kerabat yang bukan ahli waris; karena dia tidak menjadi ashhabul furudh dan juga tidak menjadi ashabah.
Hukum Memberikan Warisan Kepada Dzawil Arham
Terjadi perbedaan pendapat tentang memberikan warisan kepada dzawil arham. Sebagian sahabat, tabi’in dan para imam menyatakan bahwa mereka tidak mendapat warisan karena Allah tidak menyebutkan warisan mereka dalam Kitab-Nya. Allah sudah membatasi pembagian harta warisan pada ashhabul furudh dan ashabah. Di antara para imam yag berpendapat bahwa dzawil arham tidak mendapatkan bagian warisan adalah Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i
Sebagian yang lain berpendapat bahwa dzawil arham mendapatkan warisan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad . Mereka berdalil dengan atsar yang menunjukkan bahwa Nabi memberikan warisan kepada sebagian dzawil arham ketika tidak ada ahli waris yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya. Yaitu sabda Nabi:
‘Paman dari jalur ibu adalah ahli waris ketika tidak punya ahli waris,’
Pendapat yang Kuat dari Dua Pendapat di Atas:
Pendapat yang kuat dari dua pendapat di atas ialah pendapat ulama yang mengatakan bahwa dzawil arham mendapatkan warisan. Oleh karena itu, sebagian besar fuqaha Malikiyah dan Syafi’iyah mengoreksi pendapat mereka, dan berpendapat bahwa dzawil arham mendapatkan warisan. Alasannya, dzawil arham termasuk kerabat, dan kerabat wajib disambung.
Alasan yang lain, adanya ikatan kekerabatan dan ikatan Islam antara mereka dengan si mayat. Berbeda dengan Baitul Mal, karena orang yang meninggal dunia tidak terikat dengannya, kecuali Islam. Lebih daripada itu, bahwa mereka mensyaratkan agar Baitul Mal ditata rapi, dan yang memegang adalah orang yang adil dan dapat dipercaya serta alokasi hartanya diinfakkan untuk kemaslahatan kaum Muslimin secara umum. Syarat-syarat ini telah hilang, sehingga menjadi jelas bahwa dzawil arham berhak mendapatkan warisan sebagai ganti Baitul Mal.
Tata Cara Memberikan Warisan kepada Dzawil Arham:
Dzawil Arham mendapatkan warisan dengan mendudukkan mereka sesuai dengan kedudukan orang yang dekat dengannya dari kalangan ashhabul furudh dan ashabah. Dengan demikian salah seorang dari mereka diberi bagian sebagaimana ahli warisnya mendapatkan bagiannya. Misalnya jika ada orang yang meninggal, kemudian ia meninggalkan anak perempuan dari anak perempuannya (cucu), dan anak laki-laki dari saudara perempuannya (keponakan), maka harta warisan dibagi di antara mereka berdua sama rata.
Cucu mendapat bagian setengah, karena itu menjadi bagian ibunya, dan keponakan mendapatkan bagian setengah juga karena itu menjadi bagian ibunya. Karena hal ini sama saja dengan orang yang meninggal dan ia meninggalkan anak perempuan dan saudara perempuan, sehingga harta warisannya dibagi sama rata di antara mereka berdua. Sebab, bagian anak perempuan adalah setengah dan bagian saudara perempuan adalah setengah.
| 2 |
Cucu perempuan dari anak perempuan | 1 |
Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung | 1 |
Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah | 0 |
Kalau kita katakan bahwa saudara perempuan adalah sepupu, dan ia bersama anak perempuan dari saudara laki-laki ayah, niscaya anak perempuan dari saudara laki-laki ayah tersebut tidak mendapatkan apa-apa, karena orang yang dekat dengannya adalah saudara laki-laki ayah di mana ia termahjub (terhalang) oleh saudari sepupu. Sehingga harta warisan dibagi di antara cucu dan keponakannya setengah-setengah.
Contoh lain, jika ada seorang istri meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan dari saudari kandung, anak perempuan dari saudari seayah, anak laki-laki dari saudari seibu, anak perempuan dari paman kandung, maka bagian anak perempuan dari saudari kandung adalah setengah sebagai ganti ibunya, bagian anak perempuan dari saudari seayah adalah seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, ini adalah warisan pengganti ibunya, bagian anak laki-laki dari saudari seibu adalah seperenam sebagai ganti bagian ibunya, dan sisanya diberikan kepada saudari dari paman kandung sebagai bagian ashabah yaitu paman.
| 6 |
Anak perempuan dari saudara kandung | 1 |
Anak perempuan dari saudari ayah | 1 |
Anak laki-laki dari saudari ibu | 1 |
Anak perempuan dari paman sekandung | 1 |
Asal masalah dalam penghitungan di atas adalah enam karena ada bagian seperenam, maka setengahnya adalah tiga bagian untuk anak perempuan dari saudari kandung, seperenamnya adalah satu bagian untuk anak perempuan dari saudari seayah sebagai pelengkap dua pertiga, seperenamnya adalah satu bagian untuk anak laki-laki dari saudari seibu, dan sisanya yaitu seperenam, atau satu bagian untuk anak perempuan dari paman kandung.
Contoh lain: Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan dari putrinya (cucu), anak laki-laki dari saudari kandung, anak laki-laki dari saudari seibu, dan anak perempuan dari saudara seayah, maka bagian untuk cucu adalah setengah sebagai pengganti ibunya, anak laki-laki dari saudari kandung adalah setengah sebagai ganti ibunya, dan anak laki-laki dari saudari seibu tidak mendapatkan apa-apa; karena ibunya yang tempatnya ia gantikan bukan termasuk ahli waris karena terhalang oleh anak perempuan. Sebagaimana anak perempuan dari saudara seayah juga tidak mendapat bagian apa-apa karena kedudukan yang ia tempati, yaitu saudara ayah terhalang oleh saudari kandung.
| 2 |
Anak perempuan dari anak perempuan (cucu) | 1 |
Anak dari saudara sekandung | 1 |
Anak laki-laki dari saudara seibu | 0 |
Anak perempuan dari saudara seayah | 0 |
Masalah di atas bisa diselesaikan dengan dua bagian karena adanya bagian setengah di dalamnya. Maka setengahnya adalah satu bagian untuk cucu perempuan; karena ia menggantikan posisi ibunya, dan anak laki-laki dari saudari kandung juga mendapatkan setengah yaitu satu bagian karena menempati posisi ibunya, saudari kandung. Sementara anak laki-laki dari saudari seibu tidak mendapatkan apa-apa karena ibunya yang ia tempati’ terhalang oleh anak kandung, dan anak perempuan dari saudara seayah juga tidak mendapatkan apa-apa karena ayahnya yang ia tempati juga terhalang oleh saudari kandung.
Contoh lain, ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan bibi dari jalur ibu dan bibi dari jalur ayah. Bibi dari jalur ibu mendapatkan bagian sepertiga, karena ia menduduki kedudukan ibunya, sementara bibi dari jalur ayah mendapatkan sisanya yaitu dua pertiga, karena keduanya adalah warisan yang didapatkan oleh orang terdekatnya yaitu ayah, sedangkan ayah adalah ashabah yang mewarisi warisan yang tersisa. Masalah ini bisa diselesaikan dengan (asal masalah) tiga karena adanya bagian dua pertiga di dalamnya. Maka, sepertiganya adalah satu sebagai bagian bibi dari jalur ibu karena ia menduduki kedudukan ibunya, sedangkan dua pertiganya adalah dua, karena ia menempati kedudukan ayah yang menjadi ashabah yang akan mengambil bagian yang tersisa. Lihat tabel:
| 3 |
Bibi dari jalur ibu | 1 |
Bibi dari jalur ayah | 2 |
Catatan:
- Dzawil Arham tidak mendapatkan warisan jika ada ashhabul furudh atau ashabah; karena bagian yang tersisa diperuntukkan bagi ashhabul furudh hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun, kecuali jika ashhabul furudh-nya adalah salah satu dari suami atau istri, maka ketika itulah dzawil arham mendapatkan bagian warisan.
Jadi, jika ada seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan saudara seibu atau seayah dan bibi dari jalur ayah, maka saudara seibu atau seayah ini mengambil semua harta warisan, dan si bibi dari jalur ibu ayah tidak mendapatkan bagian apa-apa karena ia termasuk dzawil arham, dan tidak ada harta warisan yang tersisa.
Contoh lainnya, jika ada yang meninggal dunia dan meninggalkan ibu dan bibi dari jalur ibu, maka seluruh harta warisan menjadi bagian ibu, dan bibi tidak mendapatkan bagian apa-apa. Adapun jika ada yang meninggal dan meninggalkan istri dan anak perempuan dari saudara laki-laki, maka bagian istri adalah seperempat sedangkan sisanya adalah bagian anak perempuan dari saudara laki-laki; karena ia menduduki kedudukan ayahnya, yaitu ashabah yang mengambil bagian yang tersisa.
- Ketika dzawil arham berkumpul, maka posisi mereka dilihat terlebih dahulu. Jadi, seolah-oleh mereka adalah ahli waris asli dari ashhabul furudh dan ashabah, maka yang atas menghalangi yang bawah, dan yang sekandung menghalangi pihak ayah. Ketika kedudukan mereka sama, baik secara tingkatan maupun kekerabatan dalam mendapatkan warisan, maka sebagiannya tidak boleh dilebihkan atas sebagian yang lain. Bagian satu laki-laki seperti bagian dua perempuan.
Contohnya, ada seorang ayah yang meninggal lalu ia meninggalkan anak perempuan dari putrinya (cucu), anak perempuan dari cucu perempuannya atau anak laki-laki dari cucu perempuannya, maka seluruh harta warisan menjadi hak anak perempuan dari putrinya, dan anak perempuan dari cucunya tidak mendapatkan bagian apa-apa, begitu pula dengan anak lelaki dari cucunya. Karena anak perempuan dari putrinya lebih tinggi derajatnya, sedangkan kedudukan orang yang di atas menghalangi orang yang di bawah.
Contoh yang lain, ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung dan anak perempuan dari saudara seayah, maka seluruh harta warisan menjadi milik anak perempuan saudara sekandung, dan anak perempuan dari saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa karena saudara kandung menghalangi saudara seayah. Maka siapa pun yang menempati posisinya, maka ia mendapatkan seperti itu dalam hal mendapatkan warisan atau tidak mendapatkan warisan. Siapa yang dekat dengan ahli waris maka ia akan mewarisi, dan siapa yang dekat dengan non ahli waris maka ia tidak akan mewarisi. Misalnya, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan dari cucu perempuan dari anak laki-laki (bintu binti ibnin), dan anak laki-laki dari cucu laki-laki dari anak perempuan (ibnu ibni bintin), maka harta warisan di sini untuk anak perempuan dari cucu perempuan dari anak laki-laki (bintu binti ibnin), sementara anak lakiJaki dari cucu laki-laki dari anak perempuan tidak mendapatkan apaapa. Karena keduanya sekalipun sama tingkatannya, hanyasaja masingmasing dari keduanya sampai kepada orang yang meninggal dengan dua tingkatan. Tetapi anak perempuan dari cucu perempuan bersambung kepada ahli waris sehingga ia mewarisi, sementara anak laki-laki dari cucu Jaki-laki bersambung dengan non ahli waris sehingga ia tidak mewarisi. Karena anak laki-laki dari anak laki-laki adalah ahli waris sementara anak Jaki-laki dari anak perempuan bukan ahli waris.
Definisi Sumpah
Sumpah ialah bersumpah dengan nama-nama Allah Ta’la atau sifat-sifat-Nya. Misalnya seseorang berkata. “Demi Allah, aku pasti mengerjakan ini,” atau mengatakan, “Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, atau demi Zat yang membolak-balikkan hati,” dan lain sebagainya.
Sumpah yang Diperbolehkan dan yang Tidak Sumpah yang diperbolehkan ialah sumpah dengan nama-nama Allah, karena Rasulullah bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Beliau juga bersumpah dengan berkata, “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya.” Malaikat Jibril juga bersumpah dengan keagungan Allah, “Demi keagungan-Mu, tidak ada seorang pun yang mendengar tentang surga kecuali dia akan memasukinya.”
Sumpah yang tidak diperboehkan ialah sumpah dengan selain nama-nama Allah dan dengan selain sifat-sifat-Nya; baik sesuatu yang digunakan untuk bersumpah itu sesuatu yang diagungkan seperti Ka’bah misalnya atau bahkan bersumpah dengan Nabi Muhammad. Sumpah seperti itu tidak diperbolehkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini: Sabda Rasulullah
“Barang siapa ingin bersumpah hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah, atau hendaklah ia diam.”
‘Janganlah kalian bersumpah kecuali dengan Allah dan janganlah kalian bersumpah kecuali kalian jujur.”
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah . menyekutukan Allah.’
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah kafir.”
Macam-macam Sumpah Sumpah terbagi menjadi tiga macam:
- Sumpah Palsu (Ghamus)
Yaitu seseorang bersumpah dengan sengaja berbohong di dalamnya. Misalnya ia berkata, “Demi Allah, aku telah membeli barang ini seharga lima puluh ribu,” padahal ia tidak membeli seharga itu. Atau ia berkata, “Demi Allah, aku telah melakukan hal ini,” padahal ia belum melakukannya. Sumpah seperti itu dinamakan sumpah ghamus, karena sumpah tersebut membenamkan pelakunya ke dalam dosa. Sumpah inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Barang siapa bersumpah dan ia berbohong di dalamnya untuk merampas harta orang Muslim, maka ia bertemu Allah dan Dia dalam keadaan marah kepadanya.”
Hukum sumpah ghamus ialah tidak cukup dengan kafarat, tetapi juga harus dengan tobat dan beristighfar karena dosanya terlalu besar, terlebih ia menggunakan sumpah ghamus tersebut untuk merampas kekayaan sesama Muslim dengan cara yang batil.
- Sumpah Tidak Sengaja (Laghwun)
Yaitu sumpah yang diucapkan oleh seorang Muslim tanpa sengaja, misalnya orang yang sering kali berkata, “Tidak, demi Allah. Ya demi Allah.” Karena Aisyah berkata, “Laghwun dalam sumpah ialah ucapan seseorang di rumahnya, ‘Tidak demi Allah’.”
Contoh lain, misalnya orang Muslim bersumpah terhadap sesuatu berdasarkan prasangkanya, tetapi ternyata kejadiannya berbeda dengan apa yang disangkanya.
Hukum sumpah seperti di atas adalah tidak berdosa, dan tidak ada kewajiban membayar kafarat bagi yang mengucapkannya. Karena Allah berfirman:
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah : 89).
Sumpah Sengaja (Mun’aqidah)
Yaitu sumpah yang dimaksudkan untuk urusan yang akan datang, seperti seorang muslim yang mengatakan, “Demi Allah, aku akan melakukan ini, atau demi Allah aku tidak akan melakukan ini.” Ini adalah sumpah yang akan dikenai sanksi. Allah berfirman:
“Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah : 89)
Hukumnya; orang yang bersumpah seperti ini adalah berdosa. Ia wajib melaksanakan kafarat karenanya. Apabila kafarat sudah dilaksanakan maka gugurlah dosanya.
Hal-hal yang Dapat Menggugurkan Kafarat Kafarat dan dosa akan gugur dari orang yang bersumpah karena dua hal:
Ia mengerjakan sesuatu yang ia bersumpah untuk mengerjakannya; atau tidak mengerjakan sesuatu yang ia bersumpah untuk tidak mengerjakannya; atau ia mengerjakan sesuatu yang ia bersumpah untuk tidak mengerjakannya namun karena lupa, keliru atau karena dipaksa, atau ia tidak mengerjakan sesuatu namun ia bersumpah untuk mengerjakannya tetapi hal itu karena lupa atau salah atau dipaksa. Sebab, Rasulullah bersabda:
“Akan dimaafkan dari umatku; (dosa karena) kekeliruan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.”
2, Ia membuat pengecualian dalam sumpahnya, misalnya dengan berkata, “Insya Allah,” itu jika pengecualian tersebut ia ucapkan di tempat ia bersumpah, karena Rasulullah bersabda bahwa siapa yang bersumpah Jalu mengatakan “Insya Allah, maka ia tidak melanggar sumpahnya.”
Dan jika ia tidak melanggar sumpahnya, maka ia tidak berdosa dan tidak perlu membayar kafarat.
Disunahkan Membatalkan Sumpah dalam Hal-hal yang Baik
Jika seorang Muslim bersumpah untuk tidak mengerjakan suatu amal kebaikan, maka ia disunahkan untuk mengerjakan sesuatu yang disumpahkan untuk tidak dikerjakan itu, kemudian membayar kafarat sumpahnya, karena Allah bersumpah:
“Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang.” (Al-Baqarah: 224)
Rasulullah bersabda:
“Jika engkau bersumpah kemudian engkau melihat hal lain yang lebih baik darinya, maka bayarlah kafarat sumpahmu, dan kerjakanlah apa yang lebih baik itu.”
Kewajiban Melaksanakan Sumpah
Jika orang Musim bersumpah kepada sesamanya bahwa ia akan mengerjakan sesuatu, maka ia wajib melaksanakannya dan tidak membiarkan dirinya melanggar sumpahnya jika ia sanggup mengerjakan atau meninggalkan apa yang disumpahkannya. Sebab, Rasulullah bersabda kepada perempuan yang diberi kurma, kemudian ia memakan sebagian kurma dan tidak memakan sebagian yang lainnya. Kemudian wanita pemberi kurma bersumpah agar perempuan tersebut memakan sisa kurma yang lainnya, namun perempuan tersebut menolak memakannya:
“Laksanakan sumpah perempuan tersebut, karena dosanya itu bagi orang yang melanggar sumpah.’’
Sumpah itu Sesuai dengan Niat Pelakunya
Parameter ada tidaknya pelanggaran sumpah adalah niat orang yang bersumpah, karena semua amal perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya. Oleh karena itu, barang siapa bersumpah untuk tidak tidur di atas tanah, dan yang ia maksudkan dengan tanah ialah ranjang, maka (pelaksanaan) sumpah itu sebagaimana niatnya. Ia tidak melanggar sumpahnya jika ia tidak tidur di atas ranjang. Begitu pula para orang yang bersumpah untuk tidak memakai kain linen sebagai baju, lalu ia menggunakannya sebagai celana, maka ia tidak melanggar sumpahnya karena ia hanya meniatkan pada baju saja. Jika tidak meniatkan demikian, maka berarti ia melanggar sumpahnya.
Kafarat Sumpah
Kafarat sumpah ada empat, yaitu:
- Memberi makan sepuluh orang miskin. Caranya bisa dengan memberikan satu mud gandum kepada mereka masing-masing, atau mengumpulkan mereka semua dalam jamuan makan siang atau makan malam lalu mereka makan hingga kenyang, atau memberikan roti plus kuahnya kepada mereka masing-masing.
2, Memberi mereka pakaian yang layak dipakai untuk shalat. Jika memberi pakaian kepada perempuan, maka berupa pakaian plus kerudung, karena batas minimal keabsahan shalat perempuan adalah dengan (memakai) pakaian tersebut.
- Memerdekakan budak yang beriman.
4, Puasa tiga hari secara berturut-turut jika mampu melaksanakannya, dan jika tidak mampu melaksanakannya, maka ia kerjakan tanpa berurutan. Seseorang yang membayar kafarat tidak boleh berpindah mengambil karafat puasa kecuali setelah ia tidak mampu memberi makan kepada orang miskin, atau tidak sanggup memberinya pakaian, atau tidak mampu memerdekakan budak, karena Allah berfirman:
“Maka kafarat (melanggar) sumpah ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kalian langgar)” (Al-Maidah : 89)
Nazar
Definisi Nazar
Nazar ialah orang Muslim mewajibkan kepada dirinya untuk melaksanakan kepada Allah ,dimana ketaatan tersebut tidak wajib baginya jika tanpa nazar. Misalnya, ia berkata, “Demi Allah, aku akan berpuasa atau aku harus shalat dua rakaat.”
Hukum Nazar
Hukum nazar adalah sebagai berikut:
- Mubah Nazar mutlak hukumnya mubah. Yaitu nazar yang dimaksudkan untuk mencari ridha Allah. Misalnya bernadzar akan berpuasa, atau mengerjakan shalat, atau bersedekah itu diperbolehkan, dan orang yang bersangkutan wajib melaksanakan nadzarnya.
- Makruh
Nazar muqayad (bersyarat) hukumnya makruh. Misalnya seorang Muslim berkata, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku akan berpuasa, atau aku akan bersedekah sekian.” Alasan dimakruhkannya nazar ini ialah karena Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah melarang nazar dan beliau bersabda:
“Sesungguhnya nazar itu tidak menolak sesuatu, namun dengan (nazar) itu harta orang pelit dikeluarkan.”
- Haram Hukum nazar menjadi haram jika nazar dimaksudkan untuk mencari selain keridhaan Allah, seperti nazar untuk kuburan para wali, atau arwah orang-orang saleh. Misalnya, seorang Muslim berkata kepada kuburan wali, “Tuanku fulan, jika Allah menyembuhkan sakitku, aku akan menyembelih hewan di kuburanmu atau aku akan bersedekah untukmu sebesar sekian.” Semua itu tidak diperbolehkan, karena nazar seperti itu berarti melakukan ibadah untuk selain Allah, dan termasuk syirik yang diharamkan Allah melalui firman-Nya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An-Nisa’: 36)
Macam-macam Nazar Nazar ada tujuh macam, yaitu:
- Nazar mutlak .
Yaitu nazar yang diucapkan untuk kebaikan, misalnya orang Muslim berkata, “Demi Allah, aku harus berpuasa tiga hari, atau aku harus memberi makan sepuluh orang miskin,” karena ia ingin bertaqarrub kepada Allah dengannya.
Hukum nazar seperti ini adalah wajib dilaksanakan, karena Allah ax berfirman, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji,” (An-Nahl: 91), dan berfirman, “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Al-Hajj: 29).
- Nazar mutlak ghairu mu’ayan
Yaitu nazar mutlak tetapi tidak definitif, misalnya seorang Muslim berkata, “Demi Allah, aku harus membayar nazar,” namun ia tidak menentukan berupa apa nadzarnya itu.
Hukum nazar seperti ini ialah pelakunya harus membayar kafarat sumpah, karena Rasulullah bersabda:
“Kafarat nazar jika tidak ditentukan ialah kafarat sumpah.”
Ada yang berpendapat bahwa batas minimal yang harus ditentukan sebagai nazar ialah nazar untuk shalat dua rakaat, atau berpuasa saty hari.
- Nazar muqayad bifi’lil Khaliq
Yaitu nazar yang terikat dengan perbuatan Allah. Nazar seperti ini sama juga dengan membuat persyaratan kepada-Nya, misalnya orang Muslim berkata, “Jika Allah menyembuhkan sakitku, atau jika Allah mengembalikan barangku yang telah hilang, aku akan memberi makan sekian orang, atau aku akan berpuasa sekian hari.”
Hukum nazar seperti ini makruh tetapi tetap harus dilaksanakan. Jadi, jika Allah mengabulkan keinginannya, ia harus mengerjakan sesuatu yang ia tentukan sebagai ibadah, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa bernadzar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia taat kepada-Nya (dengan melaksanakan nadzarnya).”
Dan jika Allah ex tidak mengabulkan keinginannya maka ia tidak wajib melaksanakan nadzarnya.
- Nazar yang terikat dengan perbuatan makhluk
Yaitu nadzarnya orang yang sedang marah, misalnya ia berkata, “Aku akan berpuasa sebulan jika engkau kerjakan ini dan terjadi begini dan begitu, atau aku akan bersedekah jika engkau mengerjakan ini dan itu.”
Hukum nazar seperti ini ialah, orang yang bernadzar disuruh memilih antara melaksanakan nadzarnya atau membayar kafarat sumpah jika tidak mengerjakan nadzarnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada nazar ketika marah, dan kafaratnya ialah kafarat sumpah.”
Sebab, pada umumnya nazar orang yang sedang emosi itu terucap sambil marah, dan yang dimaksud dengan nadzarnya tersebut ialah melarang orang yang ada di depannya dari mengerjakan sesuatu, atau meninggalkan sesuatu.
5, Nazar maksiat
Yaitu nazar untuk mengerjakan Hal-hal yang diharamkan, atau nazar untuk tidak mengerjakan Hal-hal yang diperintahkan, misalnya seseorang bernadzar akan memukul orang Jain, atau bernadzar untuk tidak shalat.
Hukum nazar seperti ini ialah wajib tidak dilaksanakan, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia taat kepada-Nya. Dan barang siapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.’”
Hanya saja sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang bersangkutan harus membayar kafarat sumpah, karena Rasulullah bersabda, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat, dan kafaratnya ialah kafarat sumpah.”
- Nazar diluar kemampuan
Yaitu seseorang menadzarkan sesuatu yang tidak dimilikinya, atau menadzarkan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, seperti bernadzar untuk membebaskan budak si fulan, atau bersedekah dengan emas.
Hukum nazar seperti ini adalah ia harus membayar kafarat. Ini berdasarkan hadits Nabi:
“Tidak ada nazar pada apa yang tidak dia miliki.”
- Nazar untuk mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
Misalnya, seseorang bernadzar untuk mengharamkan memakan makanan atau minuman yang halal.
Hukum nazar mengharamkan apa yang dihalalkan Allah adalah tidak boleh, kecuali istri. Maka, barang siapa bernadzar mengharamkan istrinya, ia wajib membayar kafarat zihar. Selain pengharaman terhadap istri, kafaratnya ialah kafarat sumpah.
Catatan :
- Barang siapa bernadzar bersedekah dengan semua hartanya, maka ia cukup bersedekah dengan sepertiga hartanya jika hartanya mutlak dan jika nadzarnya adalah nazar orang yang sedang marah maka ia cukup membayar kafarat sumpah.
- Barang siapa bernadzar mengerjakan salah satu ketaatan kemudian meninggal dunia dan belum megerjakan nadzarnya, maka ahli warisnya harus mewakilinya melaksanakan nadzarnya, karena telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ada seorang wanita berkata kepada Abdullah bin Umar bahwa ibunya bernadzar untuk shalat di Masjid Quba’ kemudian meninggal dunia. Abdullan bin Umar kemudian memerintahkan wanita tersebut shalat di Masjid Quba mewakili ibunya.
Definisi Dzakat
Dzakat ialah penyembelihan hewan yang boleh dimakan. m Hewan yang disembelih dengan cara dzabh dan nahr
Kambing atau domba, semua jenis burung seperti ayam dan lain sebagainya adalah disembelih dengan cara dzabh, dan tidak ditikam. Sebab, Allah berfirman:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Ash-Shaffat: 67)
Sapi juga harus disembelih, karena Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina.” (Al-Baqarah:67)
Sapijuga boleh disembelih dengan cara nahr(tikam), karena diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menikamnya. Hal ini karena sapi mempunyai dua tempat penyembelihan; satu untuk dzabh dan satu lagi untuk nahr (penikaman).
Adapun untuk onta, maka disembelih dengan cara nahr (tikam) dan tidak dengan dzabh (sembelih) karena Rasulullah pernah melakukan (penyembelihan) nahr terhadap onta dalam keadaan berdiri dan tangan kiri terikat.
Definisi Dzabh dan Nahr (Penyembelihan dan Penikaman)
Dzabh ialah penyembelihan dengan cara memotong kerongkongan dan dua urat leher. Sedangkan nahr ialah penyembelihan dengan cara menikam onta tepat pada bagian labbah-nya. Labbah ialah tempat kalung dileher. Dari tempat tersebut, alat penyembelihan masuk ke dalam hati kemudian mati dengan cepat.
Penyembelihan Hewan Dengan Cara Dzabh dan Nahr
Penyembelihan hewan dengan dzabh caranya adalah kambing direbahkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat, setelah mempersiapkan alat penyembelihan (pisau) yang tajam. Kemudian si penyembelih membaca:
- “Dengan nama Allah, dan Allah Maha besar.” Lalu seketika itu juga memotong kerongkongan dan dua urat lehernya. Penyembelihan dengan cara nahr (penikaman) ialah onta diikat dari tangan kirinya dalam keadaan berdiri, kemudian si penyembelih menikamnya pada bagian labbah-nya sembari berkata:
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha besar.”
Gerakan nahr atau penikaman tetap dilakukan hingga nyawa onta tersebut melayang, karena Abdullah bin Umar berkata ketika berjalan melewati seseorang yang mendudukkan untanya untuk disembelih, “Biarkan onta tersebut berdiri dalam keadaan terikat sepert sunah Rasulullah “
Syarat-syarat Sah Dzakat (Penyembelihan)
Keabsahan dzakat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1.Alat sembelihan harus tajam dalam arti bisa mengeluarkan darah karena Rasulullah bersabda:
“Apa yang telah menumpahkan darah yang bukan tulang dan kuku serta di dalamnya nama Allah disebutkan, maka makanlah.”
- Berdoa dengan berkata, “Bismillah Allahu Akbar (Dengan nama Allah dan Allah Maha besar),” atau hanya mengucapkan “Bismillah (Dengan nama Allah)” karena Allah berfirman:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am:121)
Rasulullah juga bersabda: “Apa yang bisa menumpahkan darah dan di dalamnya nama Allah disebutkan, maka makanlah.”
- Memotong tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher dalam waktu yang sama.
- Penyembelih harus Muslim yang berakal, balig, atau anak yang mumayiz, sudah mampu membedakan sesuatu. Penyembelih juga tidak apa-apa dari kalangan wanita atau Ahli Kitab, karena Allah berfirman:
“Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah: 5)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan makanan Ahli Kitab pada ayat di atas adalah hewan sembelihan mereka.
- Jika hewan tidak dapat disembelih dengan cara dzabh atau nahr karena misalnya jatuh ke sumur, atau kabur, maka penyembelihannya boleh dengan cara melempar salah satu bagian tubuhnya dengan sesuatu yang bisa menumpahkan darahnya. Sebab, Rasulullah bersabda ketika onta kabur (lepas dari talinya) sementara orang-orang ketika itu tidak mempunyai kuda untuk mengejarnya, maka onta tersebut dilempar seseorang dengan anak panah dan onta tersebut pun berhenti karenanya:
“Sesungguhnya hewan-hewan tersebut ada sesuatu yang menakutkan sebagaimana yang dimiliki binatang buas. Jika hewan-hewan tersebut berbuat seperti itu, maka lakukanlah seperti ini.”
Para ulama menyamakan hal tersebut pada hewan apa Saja yang tenggorokannya atau labbah-nya tidak dapat disembelih atau tidak dapat ditikam.
Catatan:
- Penyembelihan anak hewan sudah termasuk dalam penyembelihan induknya. Oleh karena itu, anak hewan tersebut boleh dimakan jika penciptaannya telah sempurna dan rambutnya telah tumbuh, karena Rasulullah bersabda:
“Makanlah anak hewan tersebut jika kalian mau, karena penyembelihannya adalah penyembelihan induknya.”
- Lupa membaca basmalah itu tidak mempengaruhi penyembelihan atau penikaman, karena umat Muhammad tidak dihukum karena lupa. Rasulullah bersabda, “Salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada itu semua diangkat (dimaafkan) dari umatku.,”
Rasulullah juga bersabda:
“Sembelihan seorang Muslim adalah halal, baik ia membaca nama Allah atau tidak, karena ketika ingat, ia tidak menyebut selain nama Allah,”
- Berlebih-lebihan dalam menyembelih hingga memotong kepalanya adalah perbuatan tidak baik, namun dagingnya boleh dimakan, tidak makruh.
4, Jika dalam penyembelih keliru, misalnya ia menikam hewan yang harus disembelih atau menyembelih hewan yang seharusnya ditikam, maka daging hewan tersebut boleh dimakan namun makruh.
- Jika hewan sakit, atau tercekik atau dipukul atau jatuh atau ditanduk atau dimakan binatang buas, namun masih hidup kemudian mati karena penyembelihan dan bukan karena sakit, maka boleh dimakan, karena Allah berfirman:
“Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya.” (Al-Maidah:2)
Maksudnya, kalian masih mendapatinya hidup kemudian kalian menumpahkan darahnya dengan salah satu alat penyembelihan.
- Jika penyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihannya selesai, lalu setelah beberapa lama kemudian ia menurunkan tangannya lagi untuk menyembelih hewan tersebut, maka ulama berkata bahwa hewan penyembelihannya tidak boleh dimakan kecuali jika ia telah menyelesaikan penyembelihan pada penyembelihan pertama.
Shaid (Hewan Buruan)
Definisi Shaid
Shaid ialah hewan-hewan yang menjadi obyek buruan; hewan buas daratan, atau hewan air yang hidup di laut.
Hukum Shaid (Hewan Buruan)
Shaid diperbolehkan bagi selain orang yang sedang ihram haji atau umrah, karena Allah berfirman:
“Dan apabila kalian telah menyelesaikan haji, maka bolehlah berburu.” (Al-Maidah: 2)
Hanya saja, berburu itu dimakruhkan jika dijadikan sebagai sarana hiburan atau mainan.
Macam-macam Shaid (Hewan Buruan)
Hewan buruan terbagi menjadi dua macam:
- Hewan buruan laut, yaitu semua hewan yang hidup di laut seperti ikan dan hewan-hewan lainnya.
Hukum hewan buruan laut adalah halal bagi orang yang sedang ihram dan orang yang tidak sedang ihram, serta tidak ada yang dimakruhkan kecuali insanul ma’ (duyung) karena namanya mirip dengan manusia yang haram dimakan, dan babi air karena namanya mirip babi yang haram dimakan.
- Hewan buruan darat. Macamnya sangat banyak. Hewan darat apa saja yang diperbolehkan syariat untuk dimakan maka boleh dimakan, dan hewan yang tidak diperbolehkan syariat untuk dimakan maka tidak boleh dimakan.
Penyembelihan Hewan Buruan
Penyembelihan hewan laut cukup dengan kematiannya, karena rasulullah bersabda:
“Ada dua bangkai yang dihalalkan bagi kita, yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang.”
Adapun hewan buruan darat, jika diketahui masih hidup maka harus disembelih dan tidak boleh dimakan tanpa disembelih, karena Rasulullah bersabda:
“Apa yang engkau buru dengan hewan yang tidak diajari berburu dan engkau sempat menyembelihnya, maka makanlah.”
Jika seseorang mendapati hewan buruan darat telah mati, ia boleh memakannya jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi, yaitu:
- Pemburunya adalah orang yang boleh menyembelih hewan tersebut dalam artiia Muslim, berakal dan bisa membedakan sesuatu (mumayyiz).
- Pemburunya harus membaca basmalah ketika melempar hewan buruan tersebut, atau ketika melepas hewan pemburunya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Buruan yang kamu dapat dengan tombakmu, setelah menyebut nama Allah, maka makanlah, buruan yang didapat oleh anjingmu yang terlatih, setelah menyebut nama Allah saat melepasnya maka makanlah, dan buruan yang didapat oleh anjingmu yang tidak terlatih, jika kamu sempat menyembelihnya maka makanlah”
- Alat berburu—sekalipun tidak melukai, tetapi harus tajam yang bisa merobek kulit. Jika alat berburu tidak tajam seperti tongkat dan batu, maka hewan buruannya tidak boleh dimakan karena buruan tersebut seperti hewan yang dilempar, kecuali jika pemburunya masih melihatnya hidup kemudian ia menyembelihnya, karena Rasulullah pernah ditanya tentang hewan buruan yang terkena batang anak panah, kemudian beliau bersabda:
“Jika hewan tersebut terkena batangnya, maka jangan makan, karena hewan tersebut mati bukan karena alat tajam.”
Jika alat pemburu berupa hewan seperti anjing atau burung elang, maka hewan tersebut harus diajari, karena Allah berfirman:
“Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajari dengan melatihnya untuk berburu, kalian mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)” (Al-Maidah: 4)
Dan juga karena Rasulullah bersabda:
“Apa yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih, maka sebutlah nama Allah padanya, kemudian makanlah.”
Catatan:
Di antara tanda-tanda hewan terlatih, khususnya anjing ialah jika ia dipanggil maka ia datang, jika ia disuruh berjalan maka berjalan, dan jika dilarang maka ia berhenti.
- Hendaknya selain anjing pemburu tidak dilibatkan dalam penangkapan hewan buruan bersama anjing pemburu, karena tidak diketahui hewan mana yang menangkap hewan buruan tersebut, apakah hewan yang dilepaskan dengan menyebut nama Allah atau hewan yang lain. Sebab, Rasulullah bersabda:
‘Jika engkau melihat anjing lain bersama anjingmu dan hewan buruan telah mati, maka jangan memakannya karena engkau tidak tahu (anjing) mana yang telah membunuhnya.’
- Anjing pemburu tidak boleh memakan sedikit pun dari hewan buruan, karena Rasulullah bersabda:
“Kecuali jika anjing memakan hewan buruan, maka engkau jangan memakannya, karena aku khawatir anjing tersebut menangkap hewan buruan tersebut untuk dirinya sendiri.”
Juga karena Allah berfirman:
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian.” (Al-Maidah: 4)
Catatan:
- Jika pemburu kehilangan buruannya, kemudian ia mendapatinya terluka oleh anak panahnya dan tidak ada luka lainnya, maka ia boleh memakannya selagi belum lewat tiga malam, karena Rasulullah bersabda kepada pemburu yang mendapatkan hewan buruannya lebih dari tiga malam:
“Makanlah selama belum busuk”
- Jika hewan diburu kemudian jatuh ke dalam air dan mati di dalamnya, maka ia tidak halal dimakan karena bisa jadi ia mati karena air, bukan karena lemparan anak panah.
- Jika salah satu anggota tubuh buruan terlepas karena hewan pemburu, maka bagian tubuh yang terlepas tersebut tidak halal dimakan karena masuk dalam sabda Rasulullah :
“Apa saja yang dipotong dari hewan hidup maka itu bangkai.”
Makanan dan Minuman
Makanan
Definisi Makanan Tha’am atau makanan ialah apa saja yang bisa dimakan seperti biji-bjian, kurma atau daging.
Hukum Makanan Pada dasarnya semua makanan adalah halal berdasarkan keumuman firman Allah
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (Al-Baqarah: 29)
Jadi, tidak ada makanan yang diharamkan selain yang dikecualikan oleh Al-Quran, As-Sunnah dan yang benar. Perlu dicatat, Allah sz mengharamkan suatu makanan adalah karena makanan tersebut merusak padan dan akal, tetapi terhadap selain umat Muhammad, Allah mengharamkan makanan kepada mereka hanya untuk menguji mereka.
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka.” (An-Nisa’: 160)
Macam-macam Makanan yang Diharamkan
- Makanan yang diharamkan berdasarkan dalil Al-Quran adalah:
- Makanan orang lain, karena Allah berfirman:
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Dan karena Rasulullah bersabda:
‘Janganlah salah seorang dari kalian memerah kambing orang lain kecuali dengan izinnya.’
- Bangkai, yaitu hewan yang mati secara wajar. Yang termasuk bangkai adalah hewan yang tercekik, terpukul, jatuh, dan bekas dimakan binatang buas.
- Darah yang mengalir dan darah yang tidak mengalir ketika disembelih, baik sedikit atau banyak.
- Daging babi beserta seluruh anggota tubuhnya, darahnya, lemaknya dan lain sebagainya.
- Apa saja yang disembelih untuk selain Allah, yaitu sembelihan yang disebut dengan selain nama Allah.
- Hewan yang disembelih untuk berhala termasuk apa saja yang disembelih di kuburan, atau kubah Yang dijadikan sebagai tanda sesuatu yang disembah selain Allah, atau sebagai tawasul kepada selain Allah Dalil dari keenam poin di atas adalah firman Allah
“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik yang dipukul yang jatuh yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala.” (Al-Maidah: 3)
- Makanan yang diharamkan berdasarkan dalil As-Sunnah
- Keledai jinak, karena Jabir berkata, “Pada Perang Khaibar, Rasulullah melarang (kami) memakan daging keledai jinak dan mengizinkan memakan daging kuda.”
- Bighal (peranakan kuda dan keledai) karena disamakan dengan keledai jinak. Jadi bighal termasuk dalam hukum makanan yang haram dimakan, karena Allah berfirman:
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan keledai agar mereka menungganginya.” (An-Nahl: 8)
Ayat di atas adalah dalil larangan memakan bighal. Jika ada yang berkata, “Bagaimana kuda boleh dimakan, padahal dalil larangan memakan bighal dan kuda itu sama?” Jawabannya, karena kuda diperbolehkan dimakan berdasarkan nash yaitu izin dari Rasulullah untuk memakannya seperti tercantum dalam hadits Jabir.
- Semua binatang buas yang mempunyai taring seperti singa, harimau, beruang, macan kumbang, gajah, serigala, anjing, musang, tupai, dan hewan-hewan pemangsa lainnya.
- Semua burung yang mempunyai cakar, misalnya burung elang, burung rajawali, dan burung-burung lainnya yang mempunyai cakar untuk berburu.
Dalil poin tiga dan empat adalah ucapan Abdullah bin Abbas, “Rasulullah melarang memakan semua binatang buas yang mempunyai taring dan semua burung yang mempunyai cakar.’”
- Jallalah, yaitu hewan yang sebagian besar makanannya adalah kotoran, misalnya ayam yang sebagian besar makanannya adalah kotoran.
Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang memakan daging jallalah dan susunya. Jadi hewan jallalah harus ditahan selama beberapa saat terlebih dahulu dari memakan kotoran hingga dagingnya bersih dari padanya. Air susu hewan jallalah juga tidak boleh diminum kecuali setelah hewan jallalah tersebut dijauhkan beberapa hari dari memakan kotoran hingga air susunya bersih dari padanya.
- Makanan yang diharamkan dalam rangka menolak mudarat:
- Racun karena bisa membahayakan tubuh.
- Tanah, batu dan arang, karena membahayakan dan tidak ada manfaatnya.
- Hewan-hewan yang dipandang kotor oleh manusia dan mereka jijik kepadanya, seperti serangga dan lain sebagainya, karena hewan yang kotor itu bisa menimbulkan penyakit dan menimpakan gangguan pada tubuh.
- Makanan yang diharamkan agar orang Muslim bersih dari najis (kotoran)
Makanan yang diharamkan agar orang Muslim bersih dari najis (kotoran) adalah sebagai berikut:
- Semua makanan atau minuman yang dicampuri Hal-hal yang najis. Karena Rasulullah bersabda tentang tikus yang jatuh ke minyak samin:
“Apabila ada tikus jatuh pada minyak samin, jika minyak samin tersebut beku maka buanglah tikus tersebut dan apa yang ada di sekitarnya dan makanlah sisanya. Dan jika minyak samin tersebut cair, maka kalian jangan mendekat kepadanya.”
- Apa saja yang tabiatnya sudah najis, seperti kotoran manusia dan kotoran hewan, karena Allah berfirman:
“Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (AlA’raf: 157)
Makanan Haram yang boleh dimakan bagi orang yang berada dalam kondisi darurat
Jika seseorang berada dalam keadaan darurat, misalnya berada dalam kelaparan yang luar biasa dan dia menghawatirkan keselamatan dirinya,
maka dia diperbolehkan memakan apa saja yang tadinya diharamkan baginya seperti makanan milik orang lain, bangkai, daging babi dan lain sebagainya kecuali racun untuk menjaga kehidupannya dengan syarat tidak melebihi takaran yang bisa melindunginya dari kematian. Ketika memakannya, ia harus membenci Hal-hal tersebut, dan tidak menikmatinya, karena Allah berfirman:
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,” (Al-Maidah: 3)
Minuman
Definisi Minuman
Syarab atau minuman ialah semua jenis cairan yang bisa diminum.
Hukum Minuman
Pada dasarnya hukum minuman sama dengan hukum makanan, yaitu diperbolehkan, karena Allah berfirman:
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (Al-Baqarah: 29)
Kecuali minuman yang diharamkan berdasarkan dalil, antara lain:
- Khamer (minuman keras)
Allah berfirman:
“Sesungguhnya khamer, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian beruntung.” (Al-Maidah: 90)
Rasulullah juga bersabda:
“Allah melaknat khamer (minuman_ keras), peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya,, pemerasnya, orang yang meminta memerasnya, pembawanya, orang yang minta dibawakannya, dan orang yang memakan hasil penjualannya.”
- Semua jenis cairan dan alkohol yang memabukkan, karena Rasulullah bersabda:
“Semua yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer adalah haram.”
- Perasan dua unsur makanan, yaitu menyatukan kurma muda dengan kurma basah, atau anggur kering dengan kurma matang dalam satu tempat kemudian dicampur dengan air agar menjadi minuman yang manis, baik minuman tersebut memabukkan atau tidak memabukkan. Rasulullah bersabda tentang minuman tersebut:
‘Janganlah kalian memeras kurma muda dengan kurma matang secara bersamaan dan janganlah kalian memeras anggur kering dan kurma matang bersama-sama, namun peraslah masing-masing dari keduannya secara terpisah (sendiri-sendiri)
Karena pencampuran kedua makanan tersebut membuat lebih cepat memabukkan. Maka untuk menghindari terjadinya hal tersebut maka Rasulullah melarangnya.
- Air kencing semua hewan yang haram dimakan karena ia najis dan najis itu haram.
- Air susu hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, kecuali susu manusia (wanita) maka halal.
- Cairan-cairan yang secara nyata membahayakan tubuh, seperti minyak tanah.
- Semua minuman yang berasap seperti rokok dan narkoba, karena sebagiannya membahayakan tubuh dan sebagian lainnya memabukkan, juga karena sebagiannya melemahkan tubuh dan sebagian lainnya baunya tidak sedap yang mengganggu orang lain di sekitarnya. Jadi, apa saja yang keberadaannya seperti itu maka haram dikonsumsi.
Minuman yang boleh diminum oleh orang yang berada dalam keadaan darurat
Orang yang kerongkongannya tersumbat oleh makanan atau Hal-hal lain diperbolehkan meminum khamr untuk memudahkan memasukkan makanan yang tersumbat tersebut jika tidak ada cara lain selain knamer demi menjaga jiwanya dari kematian. Begitu juga orang yang sangat kehausan dan khawatir akan meninggal dunia karenanya, maka dia diperbolehkan meminum minuman haram yang bisa melenyapkan dahaganya, karena Allah berfirman, “Kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An’am: 119).
Jinayat Terhadap Jiwa
Definisi Jinayat terhadap Jiwa
Jinayat terhadap jiwa ialah pelanggaran terhadap seseorang dengan melenyapkan nyawanya, atau merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu anggota badannya.
Hukum jinayat Terhadap jiwa
Seseorang haram menghilangkan nyawa orang lain (tanpa alasan syar’i), atau merusak salah satu organ tubuhnya, dan menimpakan gangguan apa pun pada tubuhnya. Sebab, setelah kekafiran tidak ada dosa yang lebih besar daripada membunuh orang mukmin. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah :
“Dan barang siapa membunuh orang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka Jahanam. Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-nisa’: 93)
Sabda Rasulullah
“Hal pertama yang diadili di antara manusia pada hari Kiamat adalah masalah darah.”
“Seorang Mukmin itu senantiasa berada dalam kelapangan agamanya selama ia tidak menumpahkan darah yang diharamkan.”
Macam-macam jinayat Terhadap Jiwa
Ada tiga jenis jinayat terhadap jiwa, yaitu:
1, Al-‘Amd (Sengaja)
Yaitu seorang penjahat yang sengaja ingin membunuh seorang Muslim, atau menyakitinya, lalu ia pergi kepada orang Muslim tersebut kemudian memukulnya dengan besi, tongkat atau dengan batu, atau menjatuhkannya dari tempat yang tinggi, atau menenggelamkannya ke dalam air, atau membakarnya dengan api, atau mencekiknya, atau memberinya makanan yang telah dicampur racun kemudian orang Mukmin tersebut meninggal dunia, atau merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukainya.
Hukum jinayat dengan sengaja semacam ini wajib diqishas, karena Dalil-dalil berikut:
Firman Allah
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya.” (Al-MAidah: 45).
Sabda Rasulullah:
“Barang siapa salah satu dari orangnya dibunuh, maka ia mempunyai dua pilihan; ia diberi diyat, atau diberi qishas.’”
“Barang siapa ditumpahkan darahnya atau dilukai, maka ia bisa memilih salah satu dari tiga hal; ia meminta qishas, atau mengambil diyat, atau memaafkan (pelakunya). Dan jika ia mengambil pilihan keempat, maka halangilah keinginannya.”
- Syibhul ‘amd (Setengah sengaja)
Yaitu seseorang ingin melakukan tindak jinayat terhadap seorang Mukmin namun tidak untuk membunuhnya, atau tidak untuk melukainya, misalnya ia memukulnya dengan tongkat sederhana yang biasanya tidak bisa membunuh seseorang, atau menamparnya dengan tangannya, atau menyeruduknya dengan kepala, atau melemparnya dengan air sedikit, atau berteriak keras di depannya, atau mengancamnya kemudian orang Mukmin tersebut meninggal dunia karenanya.
Hukum jinayat setengah sengaja seperti ini pelakunya wajib membayar diyat yang ditanggung keluarga, dan pelakunya sendiri harus membayar kafarat, karena Allah berfirman:
“Dan barang siapa membunuh orang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (An-Nisa’ 92)
- Al-Khatha’ (Tidak sengaja)
Yaitu orang Muslim mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan, misalnya melempar atau berburu, atau memotong-motong daging hewan, kemudian alatnya terlepas dari tangannya kemudian mengenai orang lain yang menyebabkannya meninggal dunia atau terluka.
Hukum jinayat seperti itu hukumnya sama dengan jinayat poin kedua. Hanya saja, diyatnya lebih ringan dan pelakunya tidak berdosa, sedang dosa pada jinayat setengah sengaja itu diperberat dan pelakunya berdosa.
Ketentuan jinayat
Syarat-syarat Wajibnya Qishas
Qishas tidak diwajibkan pada kasus pembunuhan, atau pencideraan organ tubuh, atau pelukaan terhadap tubuh, kecuali jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
- Pihak yang dibunuh adalah orang darahnya terlindungi. Jika ia penzina muhshan (telah menikah), atau orang murtad, atau orang kafir, maka tidak ada qishas di dalamnya, karena darah mereka boleh ditumpahkan karena kejahatan mereka.
Si pembunuh adalah seorang mukallaf dalam arti telah balig dan berakal. Jika ia anak kecil, atau orang gila, maka tidak ada qishas terhadapnya, karena ia tidak terkena beban taklif. Rasulullah bersabda:
“Pena diangkat dari tiga orang; anak kecil hingga balig, orang gila hingga normal kembali, dan orang tidur hingga bangun.”
Orang yang dibunuh dan pembunuhnya adalah sederajat dalam hal agama, kemerdekaan, dan perbudakan. Pasalnya, seorang Muslim tidak tidak boleh dibunuh lantaran membunuh orang kafir; dan orang merdeka tidak boleh dibunuh karena membunuh budak. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
- Sabda Rasulullah
“Orang Muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.”
- Karena budak adalah pihak yang bisa dihargai, jadi ia bisa diganti harga sesuai dengan nilainya.
- Karena Ali bin Abi Thalib as berkata, “Termasuk sunah adalah bahwa orang merdeka itu tidak dibunuh karena membunuh budak.”
- Karena hadits Abdullah bin Abbas , “Orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.”
- Si pembunuh bukan berstatus sebagai ayah atau ibu, bukan pula kakek atau neneknya dari pihak yang terbunuh, karena Rasulullah bersabda:
“Ayah tidak boleh dibunuh karena membunuh anaknya.”
Syarat-syarat Pelaksanaan Qishas
Pemilik hak qishas tidak dapat memperoleh haknya dalam qishas sampai terpenuhinya syarat-syarat berikut:
1, Pemilik hak qishas tersebut mukallaf.
Jika ia anak kecil, atau orang gila, maka pembunuh ditahan terlebih dahulu hingga anak kecil tersebut menjadi balig, atau orang gila tersebut sembuh dari gilanya. Setelah itu keduanya bisa melakukan qishas, atau mengambil diyat, atau memaafkan pembunuh. Pendapat ini diriwayatkan dari generasi sahabat .
- Semua pemilik hak darah sepakat meminta qishas. Jika ada sebagian dari mereka yang memaafkan pembunuh, maka qishas tidak dapat dilakukan, dan sebagian lain yang tidak memaafkan pembunuh berhak mendapatkan diyat.
- Tidak ada tindakan berlebihan pada pelaksanaan qishash. Artinya, hendaknya tidak melukai pelaku jinayat melebihi pelukaan yang dilakukannya. Dalam qishash, yang dibunuh adalah si pembunuh itu sendiri, dan apabila ia seorang wanita yang mengandung maka tidak boleh dibunuh hingga melahirkan dan menyapih anaknya. Karena Rasulullah bersabda ketika ada seorang wanita yang membunuh dengan sengaja:
“Perempuan tersebut tidak boleh dibunuh hingga ia melahirkan bayi yang ada di perutnya jika ia hamil, dan hingga ia mencukupi nafkah anaknya.”
- Hendaknya pelaksanaan gishash dilakukan di hadapan penguasa atau wakilnya sehingga aman dari tindakan melampaui batas atau berlebih-lebihan.
- Qishas dilakukan dengan alat tajam, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak ada qishas kecuali dengan pedang.”
Pilihan Antara Qishas, Diyat, dan Memaafkan
Jika seorang Muslim memiliki hak darah (qishash) maka ia dipersilakan memilih antara tiga hal; qishas, diyat, atau memaafkan pembunuh. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut:
Firman Allah :
“Maka barang siapa yang mendapat maaf dari saudaranya, hendaklah (orang yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (Al-Baqarah: 178)
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (Asy-Syara: 40)
Sabda Rasulullah:
“Barang siapa yang salah satu keluarganya dibunuh, maka ia mempunyai dua pilihan,; diberi diyat, atau ditegakkan qishas.”
“‘Tidaklah seseorang memaafkan bila dizalimi melainkan Allah menambah kemuliaannya.”
Catatan:
- Jika seseorang memilih diyat, maka haknya terhadap qishas menjadi gugur. Oleh karena itu, jika setelah itu ia meminta diberlakukan qishas maka permintaan ini tidak dapat dilaksanakan dan seandainya ia membalas dendam lalu membunuh si pembunuh maka ia dibunuh karenanya. Namun jika ia memilih qishah, maka ia boleh mengubahnya dengan meminta diyat.
- Jika pembunuh telah meninggal dunia maka keluarga pemilik darah tidak mempunyai hak apa-apa kecuali diyat. Qishas tidak dapat dilakukan karena pembunuh telah meninggal dunia dan selain pembunuh tidak boleh dibunuh (sebagai pengganti). Allah berfirman, “Dan barang siapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh; sesungguhnya ia orang yang mendapat pertolongan.” (Al-Isra’: 33).
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan berlebih-lebihan dalam pembunuhan ialah membunuh orang selain pembunuh.
- Kafarat pembunuhan itu wajib dibayarkan karena semua jenis pembunuh, baik karena keliru atau setengah sengaja tanpa ada perbedaan, apakah orang yang dibunuhnya adalah janin atau orang lanjut usia, orang merdeka atau budak. Kafarat tersebut adalah memerdekakan budak yang beriman, dan jika pembunuh tidak mendapatkannya maka puasa dua bulan secara berturut-turut. Allah berfirman, “Maka memerdekakan budak yang mukmin, barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 92).
Pidana Terhadap Anggota Badan
Definisi Pidana Terhadap Anggota Badan
Jinayat atau pidana terhadap anggota badan ialah seseorang berbuat jahat terhadap orang lain, misalnya dengan mencukil matanya, atau mematahkan kakinya, atau memotong tangannya.
Hukum Pidana Terhadap Anggota Badan
Jika pelakunya melakukan dengan sengaja sementara ia bukan ayah dari korban dan korban selevel dengan pelaku dalam hal agama dan kemerdekaan, maka qishas diberlakukan terhadap pelaku, misalnya dengan memotong apa yang telah ia potong dari korban dan melukai apa yang telah ia lukai pada korban. Allah berfirman:
“Dan luka-luka (pun) ada gishasnya.” (al-Ma’idah: 45).
Kecuali jika korban bersedia menerima diyat dari pelaku, atau memaafkannya, maka qishas tidak diberlakukan.
Syarat-syarat Qishash Anggota Badan
Pelaksanaan qishas terhadap anggota badan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
- Harus aman dari ketidakadilan. Jika terjadi ketidakadilan di dalamnya, gishash tidak boleh dilakukan.
- Qishash memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika tidak dapat dilaksanakan maka diganti dengan diyat.
- Anggota tubuh yang akan dipotong harus sesuai dengan nama dan tempat anggota tubuh yang telah dirusak pelaku. Jadi, jika pelaku memotong tangan kiri korban maka ia tidak boleh diqishash dengan memotong tangan kanannya, atau jika ia memotong kaki korban maka ia tidak boleh diqishash dengan memotong tangannya, atau jika ia memotong jari jemari asli dengan jari jemari palsu.
- Adanya kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan antara anggota tubuh yang dirusak dengan anggota tubuh yang hendak diqishash. Jadi, tangan yang lumpuh tidak boleh diqishash atas tangan yang sehat, atau mata yang juling atas mata yang sehat.
- Jika luka terjadi di kepala, atau wajah maka dinamakan syajjah, luka. Tidak ada qishash pada luka seperti ini, kecuali bila tidak sampai ke tulang. Dan semua tindakan melukai yang tidak mungkin dilakukan pembalasan karena bahaya maka tidak diberlakukan qishash. Oleh sebab itu, tidak ada qishash pada tindakan mematahkan tulang dan tusukan sampai ke dalam, tetapi yang diberlakukan adalah diyat.
Catatan:
- Sekelompok orang boleh dibunuh (qishash) karena membunuh satu orang. Dan anggota tubuh sekelompok orang boleh diqishahs (potong) karena tindakan mereka memotong anggota tubuh satu orang. Hal ini berlaku jika mereka terlibat bersamasama secara langsung dalam pembunuhan dan penganiayaan terhadap anggota tubuh seseorang (korban). Umar bin Khattab berkata, “Jika semua penduduk Shan’a bersepakat untuk membunuh, maka aku akan membunuh mereka semua karenanya.” Umar bin Khattab berkata seperti itu setelah ia membunuh tujuh orang karena mereka telah membunuh seorang penduduk Shan’a.
- Ekses yang ditimbulkan dari tindak pidana (jinayat) harus diganti. Jadi, jika seseorang berbuat jahat terhadap orang lain dengan memotong salah satu jarinya, kemudian lukanya tidak sembuh hingga seluruh tangannya lumpuh karenanya atau ia meninggal dunia karenanya maka diberlakukan qishas atau diyat sesuai dengan ekses jinayat tersebut.
Adapun ekses dari gishas tidak wajib diganti. Jadi, seandainya seseorang memotong tangan orang lain, kemudian dilakukan qishas terhadap dirinya dengan pemotongan tangannya dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia karena ekses dari luka qishas maka ia tidak ada perhitungan apa pun untuknya, kecuali jika terjadi ketidakadilan dalam pelaksanaan qishas, misalnya pemotongan tangan tersebut menggunakan alat yang tumpul, atau dengan alat beracun. Apabila hal itu yang terjadi maka ekses luka karena qishas seperti itu ada perhitungannya.
- Tidak boleh melakukan gishash pada luka atau anggota tubuh yang belum sembuh, karena Rasulullah melarang penerapan qishas terhadap luka yang belum sembuh. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan luka melebar ke anggota tubuh lainnya kemudian membuatnya rusak. Oleh karena itu, jika seseorang tidak mengindahkan ketetapan ini kemudian ia melakukan qishas pada luka yang belum sembuh, kemudian luka orang yang diqishash bertambah parah dan merusak organ tubuh lainnya, maka orang tersebut berhak menuntut kompensasi dari ekses luka tersebut, karena ia telah melanggar larangan; tidak boleh melakukan qishas terhadap luka yang belum sembuh.
Diyat
Definisi Diyat
Diyat ialah sejumlah harta yang diberikan kepada keluarga korban.
Hukum Diyat
Diyat disyariatkan berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-sunnah. Allah berfirman:
“Serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (An-Nisa’: 92)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang salah satu keluarganya terbunuh, ia mempunyai dua pilihan; diyat atau qishas.”
Kepada Siapa Diyat Diwajibkan?
Diyat diwajibkan bagi siapa saja yang membunuh orang lain secara langsung atau karena salah satu sebab yang lainnya setengah sengaja atau tidak sengaja. Jika ia membunuh dengan sengaja maka diyat diambil dari hartanya. Jika ia membunuh dengan setengah sengaja atau tidak sengaja maka diyatnya diambilkan dari keluarganya, karena Rasulullah memutuskan seperti itu. Dikisahkan bahwa ada dua wanita berkelahi kemudian salah seorang dari keduanya melempar wanita satunya dengan batu dan membuatnya mati beserta janin yang ada di perutnya, kemudian Rasulullah memutuskan bahwa diyat wanita pembunuh ditanggung keluarganya.
Yang dimaksud keluarga di sini ialah sejumlah orang yang membayar diyat, dan mereka adalah keluarga darijalurlaki-laki; ayah pembunuh, saudara laki-lakinya, anak-anak saudara laki-lakinya, paman dari jalur ayahnya, dan anak paman dari jalur ayahnya. Tanggungan diyat dibagi di antara mereka dan masing-masing membayarnya sesuai dengan kemampuannya. Diyat bisa di kredit selama tiga tahun; dalam setiap tahun dibayar sepertiganya hingga lunas pada tahun ketiga, namun jika mereka mampu membayar kontan maka tidak mengapa.
Diyat Gugur dari Siapa?
Diyat gugur dari ayah yang memukul anaknya kemudian meninggal dunia karenanya, atau penguasa yang memukul rakyatnya kemudian meninggal dunia karenanya, atau guru yang memukul muridnya kemudian meninggal dunia karenanya. Itu semua dengan syarat mereka tidak memukul dengan berlebih-lebihan dan tidak melebihi batas pemukulan yang diperbolehkan.
Jumlah Diyat
Diyat jiwa
Jika penerima diyat adalah orang merdeka yang Muslim maka diyatnya adalah 100 (seratus) onta, atau 1.000 (seribu) mitsqal emas, atau 12.000 (dua belas ribu) dirham perak, atau 200 (dua ratus) sapi, atau 2.000 (dua ribu) kambing.
Jika pembunuhannya adalah pembunuhan setengah sengaja maka diyatnya diperberat dengan 100 (seratus) onta dan 40 (empat puluh) ekor di antaranya harus onta yang mengandung.
Jika pembunuhannya karena keliru, diyatnya tidak diperberat, karena Rasulullah bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya pembunuhan setengah sengaja dengan cambuk, tongkat dan batu, maka diyatnya diperberat yaitu seratus onta dan empat puluh ekor dari tsaniyyah (onta yang telah berumur enam tahun) hingga bazil’ dan keempat puluh ekor onta tersebut semuanya mengandung.”
Jika pembunuhannya dengan sengaja, maka besarnya diyat ditentukan dengan kerelaan keluarga korban. Mereka berhak meminta diyat lebih banyak dari jumlah di atas, karena mereka mempunyai hak meminta qishas dan mereka juga berhak meminta diyat kurang dari jumlah tersebut.
Dalil penetapan jumlah diyat di atas adalah sebagai berikut:
- Perkataan Jabir:
“Rasulullah # menentukan seratus onta bagi pemilik onta, dua ratus sapi bagi pemilik sapi, dan duaribu kambing bagi pemilik kambing.”
- Perkataan Abdullah bin Abbas:
“Ada orang yang dibunuh, kemudian Rasulullah menentukan diyatnya ialah dua belas ribu dirham.”
- Surat Amr bin Hazm yang diterima seluruh umat:
“Dan seribu dinar pada pemilik emas.’”
Dari kelima macam ketentuan diyat yang disebutkan di atas, mana saja yang diampuni oleh si pembunuh, keluarga korban harus menerimanya.
Jika pihak yang diberi diyat adalah wanita Muslimah yang merdeka, maka jumlah diyatnya adalah setengah diyat laki-laki Muslim, karena Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dari Urwah bin Az-zubair yang berkata, “Sesungguhnya wanita diberi diyat seperti laki-laki selagi diyatnya tidak mencapai sepertiga diyat laki-laki. Jika diyatnya mencapai sepertiga diyat laki-laki, maka wanita diberi diyat separuh diyat laki-laki.”
Jika pihak yang diberi diyat adalah Ahlul Dzimmah Yahudi, atau Kristen, atau selain keduanya, maka besarnya diyat ialah separuh diyat laki-laki Muslim dan diyat wanita mereka adalah separoh diyat laki-laki mereka, karena Rasulullah bersabda:
“Diyat orang kafir ialah separuh diyat laki-laki Muslim.”
Jika pihak yang diberi diyat adalah budak, maka jumlah diyatnya ialah sebesar nilai budak itu sendiri; berapa pun jumlahnya, karena ia dihargai dengan nilai jualnya. Jadi, budak diberi diyat sebesar nilai dirinya sendiri.
Jika pihak yang diberi diyat adalah janin laki-laki atau perempuan maka besarnya diyat adalah setara diyat budak laki-laki atau budak wanita. Hal ini berdasarkan ketetapan Rasulullah bahwa diyat untuk bayi ialah setara diyat budak laki-laki atau budak perempuan seperti disebutkan dalam hadits shahih. Hal ini berlaku jika janin berstatus merdeka dan lahir dari perut ibunya dalam keadaan meninggal. Tetapi jika janin tersebut lahir dari perut ibunya dalam keadaan hidup kemudian meninggal, maka (pilihannya) harus ditegakkan qishash atau diyat secara penuh.
Catatan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa nilai diyat budak ialah sepersepuluh diyat ibu si janin. Imam Malik menentukan diyatnya sebesar 50 (lima puluh) dinar, atau 600 (enam ratus) dirham.
Diyat Anggota Tubuh
Diyat wajib dibayar penuh pada Hal-hal berikut:
- Menghilangkan akal.
- Menghilangkan pendengaran karena kedua telinga dihilangkan.
- Menghilangkan penglihatan karena kedua mata dirusak.
- Menghilangkan suara karena lidah atau dua bibir dipotong.
- Menghilangkan daya penciuman, karena hidung dipotong.
- Menghilangkan kemampuan melakukan hubungan seksual, karena kemaluan laki-laki dipotong, atau karena kemaluan wanita dirusak.
- Menghilangkan kemampuan untuk berdiri, atau duduk, karena tulang punggung dipatahkan.
Ketentuan tersebut berdasarkan riwayat yang disebutkan di dalam surat Amr bin Hazm yang ditulis Rasulullah bahwa pada hidung, jika dipotong semuanya maka di dalamnya terdapat diyat; pada lidah terdapat diyat; pada kedua bibir terdapat diyat; pada kemaluan wanita terdapat diyat; pada kemaluan laki-laki terdapat diyat; pada tulang punggung terdapat diyat; dan pada kedua mata juga terdapat diyat.
Selain itu, Umar bin Khattab telah membuat keputusan pada orang yang memukul orang lain kemudian orang yang dipukul tersebut kehilangan pendengaran, penglihatan, alat untuk berhubungan seksual, dan akalnya, bahwa si pemukul harus membayar empat diyat, padahal orang yang dipukulnya itu masih hidup, tidak mati.
Diyat untuk anggota tubuh bagi wanita adalah separuh diyat untuk anggota tubuh bagi laki-laki. Adapun diyat luka; apabila jumlah diyatnya mencapai sepertiga diyat laki-laki maka diyat luka untuk wanita adalah separuh diyat laki-laki dan jika diyat luka wanita kurang dari sepertiga diyat luka laki-laki, maka diyat luka wanita disamakan dengan diyat luka laki-laki.
Diyat wajib dibayar separuh pada kasus-kasus jinayat berikut:
- Menghilangkan salah satu dari dua mata.
- Menghilangkan salah satu dari dua telinga.
- Menghilangkan salah satu dari dua tangan.
4, Menghilangkan salah satu dari dua kaki.
- Menghilangkan salah satu dari dua bibir.
- Salah satu dari dua pantat.
- Salah satu dari dua alis.
- Salah satu dari dua payudara wanita.
Catatan:
Diyat karena memotong salah satu jari adalah sepuluh ekor onta, karena Rasulullah bersabda:
“Diyat jari tangan dan jari kaki adalah sama, yaitu sepuluh ekor onta untuk setiap jari.”
Diyat gigi ialah lima ekor onta, karena Rasulullah bersabda dalam surat Amr bin Hazm:
“Dan diyat satu gigi adalah lima ekor onta.”
Diyat Syijaj dan Jirah
- Definisi Syijaj
Syijaj ialah luka di kepala atau wajah. Menurut kaum salaf, syijaj ada sepuluh macam; yang lima sudah dijelaskan diyatnya oleh Pembuat Syariat, dan lima yang lainnya tidak dijelaskan diyatnya oleh Pembuat Syariat.
- Hukum Syijaj
Hukum kelima syijaj yang diyatnya telah dijelaskan oleh Pembuat Syariat adalah sebagai berikut:
- Mudhihah, yaitu luka yang menyebabkan tulang terlihat. Diyatnya ialah lima onta, karena Rasulullah bersabda:
“Pada mudhiah terdapat (diyat) lima onta.”
- Hasyimah, yaitu luka yang meremukkan atau mematahkan tulang. Diyatnya ialah sepuluh onta, karena Zaid bin Tsabit berkata:
“Rasulullah mewajibkan sepuluh onta untuk hasyimah.”
Munaqqilah, yaitu luka yang memindahkan tulang dari tempat asalnya. Diyatnya ialah lima belas onta, karena disebutkan dalam surat Amr bin Hazm:
“Dan pada munaqqilah lima belas onta.”
- Ma’mumah, yaitu luka yang sampai menembus selaput otak. Diyatnya ialah sepertiga diyat. Karena disebutkan dalam surat Amr bin Hazm:
“Dan pada ma’mumah terdapat sepertiga diyat.”
- Damighah, yaitu luka yang merobek selaput otak. Luka ini lebih parah daripada ma’mumah, namun diyatnya sama yaitu sepertiga diyat.
Adapun lima syijaj yang diyatnya tidak dijelaskan oleh Allah adalah sebagai berikut:
- Harishah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak membuatnya berdarah.
- Damiyah, yaitu luka yang membuat kulit berdarah.
- Badhi’ah, yaitu luka yang merobek daging.
- Mutalahimah. Luka ini lebih parah daripada badhi’ah, karena luka ini menembus daging.
- Simhaq, yaitu luka nyaris menembus tulang jika tidak ada selaput tipis.
Hukum diyat kelima syijaj di atas menurut ulama ialah berdasarkan kebijakan; seandainya korban adalah budak maka harga budak tersebut ditaksir dalam keadaan dirinya sehat dari ekses jinayat, kemudian harganya ditaksir lagi dalam keadaan dirinya terkena ekses jinayat namun: telah sembuh. Setelah itu, selisih harga pada dua kali penaksiran tersebut dinisbatkan ke harga budak tersebut jika ia sehat. Jika selisih harganya adalah seperenam maka ia diberi diyat sebesar seperenam dari harga dirinya dan jika perbedaan harganya adalah sepersepuluh maka ia diberi diyat sebesar sepersepuluh dari harga dirinya, dan seterusnya.
Penentuan diyat untuk kelima syijaj di atas yang paling mudah pada zaman kita sekarang ialah dengan menjadikan mudhihah sebagai tolok ukur diyat, yang jumlahnya adalah lima onta. Dengan demikian, kelima syijaj di atas disamakan kepadanya (mudhihah). Jika syijaj tersebut seperlima mudhihah maka diyatnya adalah satu onta; jika syijaj tersebut sepertiga mudhihah, maka diyatnya ialah sepertiga mudhihah, yaitu tiga onta, dan seterusnya. Diyat semua luka di tubuh disamakan kepada mudhihah oleh dokter ahli.
- Definisi Jirah Jirah ialah luka pada selain kepala atau wajah.
- Hukum Jirah
Diyat luka ja’ifah—luka yang menembus perut—ialah seperti diyat, karena disebutkan dalam surat Amr bin Hazm:
“Diyat luka yang menembus perut ialah sepertiga diyat.” (HR. AnNasa’i).
Diyat luka yang membuat tulang rusuk patah ialah satu onta.
Diyat pematahan lengan, atau tulang betis, atau tulang pergelangan tangan ialah dua onta, karena generasi sahabat memutuskan seperti itu.
Luka selain itu, diyatnya adalah berdasarkan hukumah atau disamakan kepada mudhihah supaya lebih mudah.
Cara Memastikan Tindakan Jinayat
Pada tindakan jinayat selain pembunuhan dapat dibuktikan dengan salah satu dari dua hal, yaitu; pengakuan pelaku atau kesaksian dua orang yang adil.
Adapun tindakan jinayat pembunuhan dapat dibuktikan dengan pengakuan si pembunuh, atau kesaksian dua orang yang adil, atau dengan muqasamah (saling bersumpah) jika di dalamnya terdapat lauts; permusuhan nyata antara korban dan orang yang tertuduh pembunuh.
Bentuk qasamah (sumpah) misalnya, korban pembunuhan ditemukan di salah satu tempat kemudian keluarganya menuduh seseorang atau salah satu kelompok telah membunuhnya. Kesimpulan ini didasarkan pada permusuhan antara mereka yang telah diketahui khalayak, kemudian disimpulkan berdasarkan dugaan kuat bahwa ia menjadi korban dari permusuhan tersebut.
Atau permusuhan tidak terjadi antara korban dan tertuduh, namun seorang saksi bersaksi bahwa orang tersebut dibunuh oleh si tertuduh. Namun karena tuduhan itu tidak sah kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil, maka satu saksi tersebut dikategorikan sebagai lauts sehingga qasamah harus dilakukan. Oleh karena itu, pihak keluarga korban dari kalangan laki-laki harus bersumpah sebanyak 50 kali. Dan ke-50 sumpah tersebut dibagi antara mereka sesuai dengan besarnya warisan mereka. Isi sumpah tersebut adalah bahwa tertuduh betul-betul telah membunuh korban. Setelah bersumpah, mereka berhak atas darah tertuduh, kemudian dilakukan qishash terhadapnya, atau mereka mendapatkan diyat. Apabila salah seorang dari mereka tidak mau bersumpah, maka hak mereka gugur dan sebagai gantinya tertuduh bersumpah 50 kali untuk mereka dan kemudian bebas.
Begitu juga orang yang dituduh melakukan pembunuhan tanpa lauts di dalamnya, maka ia bebas dengan bersumpah satu kali. Disebutkan dalam hadits shahih bahwa ada sebuah kasus pembunuhan diajukan kepada Rasulullah, maka beliau memutuskan untuk diadakan gasamah di kasus tersebut. Rasulullah bersabda kepada keluarga korban:
“Apakah kalian mau bersumpah (50 kali) kemudian kalian berhak atas pembunuh (keluarga) kalian atau sahabat kalian?” Keluarga korban menjawab, “Bagaimana kami harus bersumpah sementara kami tidak menyaksikan atau melihatnya?” Rasulullah bersabda, “(Atau) Orang yahudi (si tertuduh) ini bebas dengan 50 sumpah.” Mereka berkata, “Bagaimana kami bisa menerima sumpah dari orang-orang kafir?” Kemudian Rasulullah membayarkan diyat (kepada keluarga korban) dari harta beliau sendiri.
Had Khamr
Definisi Had dan Khamr
Had ialah larangan melakukan hal yang diharamkan Allah dengan pemukulan atau pembunuhan. Had-had Allah ialah larangan-larangan-Nya yang Dia perintahkan untuk dijauhi dan tidak didekati. Sedang khamr ialah semua minuman yang memabukkan, apa pun jenisnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Setiap yang memabukkan adalah thane dan setiap khamr adalah haram.,”
Hukum Meminum Khamr Hukum meminum khamr adalah haram; baik sedikit atau banyak.
Ketentuan ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingatAllah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al-Ma’idah: 90-91).
Sabda Rasulullah
“Allah melaknat peminum khamr dan penjualnya.”
Dalil yang lain, Rasulullah pernah menjatuhkan had kepada peminum khamr dengan pukulan di halaman Masjid Nabawi seperti disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Hikmah Pengharaman Khamr
Di antara hikmah pengharaman khamrialah untuk menjaga keselamatan agama, akal, badan dan harta seorang muslim.
Hukuman Bagi Peminum Khamr
Hukuman bagi orang yang meminum khamr, yang terbukti dengan pengakuan atau kesaksian dua orang yang adil adalah dicambuk punggungnya sebanyak 80 kali jika ia orang merdeka dan jika ia budak maka dicambuk punggungnya sebanyak 40 kali. Yang demikian ini karena Allah berfirman tentang para budak:
“Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (An-Nisa’: 25)
Budak laki-laki disamakan kepada budak wanita dalam mendapatkan separuh hukuman, yaitu dera.
Syarat-syarat Had bagi Peminum Khamr
Dalam penerapan had bagi peminum khamr disyaratkan, pelaku harus: Muslim, berakal, balig, meminum khamr dengan sukarela, mengetahui keharamannya, dan sehat. Hal ini bukan berarti hukuman menjadi gugur bagi orang yang sakit, hanya saja pelaksanaannya ditunda hingga ia sembuh, apabila sudah sembuh baru dilaksanakan.
Tidak ada Pengulangan Had bagi Peminum Khamr
Jika orang Muslim meminum khamr hingga beberapa kali kemudian had dilaksanakan terhadapnya, maka cukup dengan satu had saja, kendati ia meminum khamr beberapa kali. Jika ia minum khamr lagi setelah penerapan had terhadapnya, maka had dijatuhkan lagi terhadapnya dan begitu seterusnya.
Cara Pelaksanaan Had Peminum Khamr
Orang yang hendak dijatuhi had didudukkan di atas tanah, kemudian punggungnya dipukul dengan cambuk berukuran sedang; tidak keras dan tidak ringan, sebanyak 80 kali. Wanita juga begitu, hanya saja badan wanita ditutup dengan kain tipis yang menutup auratnya tetapi tidak melindungi tubuhnya dari cambuk.
Catatan:
Had terhadap peminum khamr tidak dilakukan pada saat cuaca sangat dingin, atau cuaca sangat panas, namun ditunggu hingga cuaca sejuk pada siang. Had juga tidak dilaksanakan kepada pelaku yang sedang mabuk dan sakit, namun ditunda hingga ia sadar dan sembuh dari sakitnya.
Had Qadzaf
Definisi Qadzaf
Qadzafialah menuduh orang lain berzina, misalnya si A berkata kepada si B, “Hai pezina,” atau ia berkata, “Aku lihat si B berzina,” atau ia berkata, “Aku lihat si B melakukan zina atau liwath.”
Had qadzaf ialah 80 kali dera dengan cambuk berdasarkan firman Allah :
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan 80 kali dera.” (An-Nur: 4)
Juga karena Rasulullah mendera 80 kali kepada para pelaku penyebar fitnah (haditsul ifki) tentang Aisyah
Hukum Qadzaf
Qadzaf adalah salah satu dosa besar. Oleh karena itu, Allah memvonis pelakunya sebagai orang fasik, menggugurkan keadilan dirinya dan mewajibkan penerapan had terhadapnya.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 4-5)
Hikmah Ditetapkannya Had Qadzaf
Di antara hikmah pensyariatan had qadzaf adalah untuk menjaga kebersihan kehormatan dan kemuliaan seorang Muslim, dan menjaga masyarakat dari maraknya perzinaan dan tersebarnya akhlak tercela di antara kaum Muslimin di mana mereka adalah orang-orang adil dan orang-orang bersih.
Syarat-syarat Penerapan Had Qadzaf
Dalam penerapan had qadzaf harus memenuhi beberapa syaratkan berikut ini:
- Pelaku qadzafadalah Muslim yang berakal dan balig.
- Orang yang dituduh berzina adalah orang bersih, tidak pernah dikenal berbuat zina oleh masyarakat.
- Orang yang dituduh berbuat zina menuntut penerapan had qadzaf terhadap penuduh, karena ia mempunyai hak untuk hal tersebut. Ia boleh menuntut atau memaafkan.
- Penuduh tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang bersedia bersaksi atas kebenaran qadzaf-nya terhadap tertuduh.
Jika salah satu syarat gadzaf di atas tidak terpenuhi, maka had qadzaf tidak dapat dilaksanakan.
Had Zina
Definisi Zina
Zina adalah melakukan hubungan seksual yang diharamkan, baik di kemaluan atau di dubur.
Hukum Zina
Zina adalah salah satu dosa yang terbesar setelah dosa kekafiran, kesyirikan dan pembunuhan jiwa, serta perbuatan keji yang paling besar secara mutlak. Allah mengharamkan zina melalui firman-Nya,
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Allah menetapkan had bagi pelaku zina dalam firman-Nya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera.” (An-Nur: 2)
Allah berfirman dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang telah dihapus lafalnya tetapi hukumnya tidak:
“Laki-laki tua dan wanita tua; jika keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah,”
Tentang zina, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang penzina berzina tatkala ia tengah berzina sedangkan ia dalam keadaan beriman.”
Rasulullah pernah ditanya tentang dosa terbesar, kemudian beliau bersabda:
“Yaitu, engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
Hikmah Diharamkannya Zina
Di antara hikmah diharamkannya zina adalah sebagai berikut:
- Untuk menjaga kesucian masyarakat Islam.
- Melindungi kehormatan kaum muslimin dan menyucikan jiwa-jiwa mereka.
- Mempertahankan kemuliaan mereka, menjaga kemuliaan nasab mereka, dan menjaga kesucian jiwa mereka.
Had Zina
Had zina dibedakan sesuai pelakunya. Jika pelakunya adalah ghairu muhshan, yaitu orang yang belum pernah menikah dalam pernikahan yang syar’i, kemudian karena pernikahan tersebut ia bisa berduaan atau menggauli pasangannya, maka ia didera sebanyak seratus kali dan diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Hal yang sama juga diberlakukan bagi wanita penzina ghairu muhshanah. Hanya saja, jika dalam pengasingan dari negerinya menimbulkan mudarat, maka ia tidak diasingkan, karena Allah berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera.” (An-Nur: 2)
Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah menjatuhkan (hukuman) dera dan pengasingan )terhadap pezina ghairu muhshan), Abu Bakar juga menjatuhkan dera dan pengasingan, dan Umar bin Khatab juga melakukan dera dan pengasingan.”
Jika pelaku zina adalah budak maka ia didera sebanyak 50 (lima puluh) kali dera, dan tidak diasingkan karena bisa menghilangkan hak-hak pemiliknya, yaitu budak tersebut tidak dapat bekerja untuknya.
Jika penzina adalah laki-laki muhshan atau wanita muhshanah, maka dirajam dengan batu hingga meninggal dunia, karena disebutkan dalam ayat yang dihapus teksnya namun hukumnya tetap berlaku:
“Laki-laki tua dan wanita tua; jika keduanya berzina, rajamlah keduanya sebagai hukuman dariAllah; Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Di samping karena Rasulullah pernah memerintahkan perajaman. Beliau pernah melakukan perajaman terhadap wanita dari Al-Ghamidiyyah, Ma’iz, dan dua orang Yahudi—semoga Allah melaknat keduanya.
Syarat Penegakkan Had Zina
- Dalam menegakkan had terhadap pelaku zina harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pelakunya adalah orang Muslim yang berakal, balig, dan melakukan zina dengan sukarela tanpa paksaan.
Hal ini karena Rasulullah bersabda:
“Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil hingga bermimpi, dari orang tidur hingga bangun, dan dari orang gila hingga waras.”
“Kekeliruan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan itu diangkat dari umatku. “
- Perzinaan betul-betul terbukti
Perzinaan bisa terbukti dengan:
- pengakuan pelaku dalam kondisi dirinya normal bahwa ia telah berzina, atau berdasarkan kesaksian empat orang saksi yang adil yang bersaksi bahwa mereka melihat pelaku berzina, dan menyaksikan kemaluannya masuk kemaluan wanita yang ia zinai sebagaimana masuknya alat celak ke dalam celak, atau masuknya timba ke dalam sumur. Karena Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya)” (An-Nisa’: 15)
Juga karena Rasulullah bersabda kepada Ma’iz,“Apakah engkau menyetubuhinya?” Ma’iz menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Seperti masuknya kuas celak mata ke dalam botol celak, dan masuknya timba ke dalam sumur”
- atau dengan terlihatnya kehamilan pada seorang wanita dan ketika ditanya tentang sebab kehamilannya, ia tidak mampu mendatangkan bukti yang dapat menggugurkan had darinya, misalnya ia hamil karena diperkosa, atau karena ia digauli karena syubhat (salah pasangan), atau karena ia tidak mengetahui keharaman zina. Jika ia bisa mendatangkan syubhat (keragu-raguan), maka had tidak dijatuhkan terhadapnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tolaklah had-had dikarenakan adanya syubhat.’
Juga karena Rasulullah bersabda:
“Seandainya saja aku mau merajam seseorang tanpa bukti maka aku merajamnya.’
Beliau bersabda demikian perihal istri dari Al-Ajlani.
- Pelaku tidak menarik kembali pengakuannya.
Apabila pelaku menarik kembali pengakuannya sebelum had ditegakkan kepadanya, misalnya ia mendustakan pengakuan dirinya dengan berkata, “Aku tidak berzina,” maka had zina tidak dijatuhkan kepadanya. Sebab, diriwayatkan bahwa ketika Ma’iz dirajam dengan batu, ia lari Kemudian para sahabat mengejarnya dan berhasil menangkapnya. Setelah itu mereka merajamnya lagi hingga meninggal dunia. Ketika masalah ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Ah, kenapa kalian tidak membiarkannya (Ma’iz)?” Sepertinya Rasulullah mengategorikan pelariannya itu sebagai penarikan kembali pengakuannya. Diriwayatkan bahwa ketika Ma’iz melarikan diri, ia berkata, “Kembalikan aku kepada Rasulullah, karena kaumku membunuhku dan menipuku. Mereka memberitahuku bahwa Rasulullah tidak akan membunuhku.”
Tata Cara Pelaksanaan Had Terhadap Pelaku Zina
Pelaku zina dibuatkan lubang di tanah dengan kedalaman sedada. Setelah itu ia dimasukkan ke dalam lubang tersebut dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia dengan disaksikan oleh imam atau wakilnya dan sekelompok dari kaum muslimin yang berjumlah minimal empat orang, karena Allah berfirman:
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (An-Nar: 2)
Wanita penzina juga diperlakukan sama, hanya saja pakaiannya diikat agar auratnya tidak tersingkap. Ketentuan tersebut untuk had rajam. Adapun had cambuk bagi pelaku zina ghairu muhshan, maka seperti had qadzaf dan had meminum khamr.
Catatan:
- Had liwath (homoseks) adalah dirajam hingga meninggal dunia tanpa membedakan apakah ia muhshan atau ghairu muhshan, karena Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (liwath) maka bunuhlah pelakunya dan juga obyeknya.”
Para sahabat berbeda pendapat tentang tata cara pembunuhan keduanya. Di antara mereka ada yang membakar keduanya dengan api, dan di antara mereka ada yang membunuhnya dengan merajam dengan batu hingga meninggal dunia. Abdullah bin Abbas berkata, “Dicarikan rumah paling tinggi di salah satu desa, kemudian keduanya dijatuhkan dari atasnya dalam keadaan terjungkir kemudian dirajam dengan batu.”
- Barang siapa menggauli salah satu hewan, ia wajib dijatuhi sanksi disiplin terberat yaitu pemukulan dan penjara karena ia melakukan perbuatan keji yang diharamkan berdasarkan ijmak dan karena saksi terberat itu bisa meluruskan penyimpangan fitrahnya.
Ada atsaryang menyebutkan bahwa pelaku Jiwath dan hewan yang disodominya dibunuh, namun hadits tersebut tidak kuat untuk dijadikan hujjah. Jadi, cukup dengan sanksi disiplin yang ditetapkan imam dan sanksi disiplin tersebut dapat menjamin memperbaiki kerusakan (fitrahnya).
- Jika budak laki-laki dan budak wanita berzina, maka had keduanya adalah cambuk saja, kendati keduanya adalah muhshan (sudah menikah), karena Allah berfirman:
“Maka atas mereka separuh hukuman dari wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (An-Nisa’: 85).
Juga karena kematian itu tidak bisa dibagi dua, maka cambuk ditentukan sebanyak 50 kali tanpa dirajam.
Tuan dari budak tersebut berhak mencambuk budak laki-lakinya, atau budak wanitanya, atau menyerahkan keduanya kepada imam. Hal ini berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib, “Rasulullah mengutusku untuk menemui budak wanita hitam yang telah berzina untuk aku cambuk, namun aku mendapatinya menjalani masa nifas, kemudian hal tersebut aku laporkan kepada Rasulullah dan beliau bersabda:
“Jika ia telah selesai menjalani masa nifasnya, maka cambuklah 50 kali.”
Juga karena Rasulullah bersabda:
“‘Jika budak yang kalian miliki berzina dan zinanya terbukti, maka cambuklah dia, dan tidak usah diasingkan.”
Had Sariqah (Mencuri)
Definisi Sariqah (Mencuri)
Sariqah atau mencuri ialah mengambil harta yang tersimpan di tempat yang aman, misalnya seseorang memasuki toko atau rumah kemudian mengambil pakaian atau biji-bijian atau emas dan yang semisalnya.
Hukum Mencuri
Mencuri termasuk dosa besar yang diharamkan Allah melalui firmanNya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (Al-Ma’idah: 38)
Rasulullah melaknat pencuri melalui sabdanya:
“Allah melaknat pencuri. Ia mencuri telur, kemudian tangannya dipotong.’”
Rasulullah tidak mengakui keimanan pelakunya ketika melakukan
pencurian dengan sabdanya:
“Seorang pencuri tidak akan mencuri ketika mencuri sedangkan ia dalam keadaan beriman.”
Rasulullah menjelaskan bahwa had mencuri ialah salah satu had Allah yang diterapkan kepada semua orang, tanpa terkecuali:
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
Dengan Apa Pencurian Ditetapkan?
Pencurian dapat dibuktikan dengan salah satu dari dua hal berikut:
- Pengakuan jelas oleh pencuri bahwa ia telah mencuri. Ia membuat pengakuan tanpa diintimidasi dan tanpa diteror.
- Kesaksian dua orang saksi yang adil yang bersaksi bahwa pelaku telah mencuri. Jika pencuri menarik kembali pengakuannya, maka tangannya tidak dipotong, namun ia harus mengganti barang yang ia curi. Karena terkadang penarikan itu disunahkan untuk menjaga tangan seorang Muslim, karena Rasulullah bersabda:
“Tolaklah had-had dengan syubhat-syubhat, semampu kalian.”
Syarat-syarat Pemotongan Tangan
Dalam pemotongan tangan pencuri wajib memenuhi syarat-syarat berikut ini:
- Pelaku pencurian adalah seorang mukallaf, berakal, dan balig, karena Rasulullah bersabda, “Pena diangkat dari tiga orang….” ; di antara mereka adalah orang gila dan anak kecil.
- Pencuri bukan ayah dari pemilik harta yang dicuri, bukan anaknya, dan bukan suami atau istrinya, karena masing-masing mereka mempunyai hak terhadap harta pemiliknya.
- Pencuri tidak memiliki syubhat kepemilikan terhadap harta yang dicuri dalam bentuk syubhat kepemilikan apa pun, misalnya ia mencuri barang yang ia gadaikan pada orang lain, atau ia mencuri barang yang ia sewa kepada orang lain.
- Harta yang dicuri adalah harta yang diperbolehkan dimiliki, misalnya bukan khamer atau seruling yang nilainya mencapai seperempat dinar, karena Rasulullah bersabda:
“Tangan tidak dipotong kecuali pada seperempat dinar keatas.”
- Harta yang dicuri berada di tempat penyimpanan, misalnya di rumah, toko, kandang, kotak, dan lain sebagainya yang disebut sebagai tempat penyimpanan.
- Harta tidak diambil dengan cara khalsah, yaitu dirampas dari depan pemiliknya kemudian dibawa lari, atau tidak dengan cara ghashab yaitu mengambil harta dengan paksa dan mengalahkan pemiliknya, atau tidak dengan cara intihab (perampasan), yaitu mengambil harta rampasan perang, karena Rasulullah bersabda, “Tidak ada pemotongan tangan pada penghianat, atau perampas, atau mukhtalish (pengambil harta orang lain dengan cara khalsah).”
Kewajiban Pencuri Ada dua kewajiban yang harus ditunaikan pencuri, yaitu:
- Mengembalikan harta yang dicuri jika masih berada di tangannya, atau ia orang kaya. Jika barang yang dicurinya telah rusak, maka itu menjadi utangnya kepada orang yang ia curi.
- Pemotongan tangan adalah hak Allah, karena had-had adalah larangan-larangan Allah.
Jika pemotongan tangan tidak wajib dilakukan karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi maka pencuri harus mengembalikan harta; baik barang yang dicuri sedikit maupun banyak, baik pencuri tersebut miskin atau kaya.
Tata Cara Pemotongan Tangan
Jika yang dipotong adalah telapak tangan kanan, maka dimulai dari persendian telapak tangan, karena Abdullah bin Mas’ud membaca ayat tersebut begini:
“Maka potonglah tangan kanan keduanya.”
Kemudian (tangan yang dipotong) dicelupkan ke dalam minyak yang mendidih untuk menutup mulut urat tangan agar darah berhenti mengalir. Disunnahkan potongan tangan digantungkan beberapa saat ke leher pencuri tersebut untuk dijadikan sebagai ibrah.
Pencurian Tanpa Had Potong Tangan
Pemotongan tangan tidak dibolehkan pada pencurian harta yang tidak disimpan, atau harta yang tidak mencapai seperempat dinar, atau buah-buahan yang di pohon, atau kurma yang di pohon. Hanya saja, harganya dilipatgandakan jika pencurinya menyembunyikan dan ia diberi sanksi disiplin dengan pemukulan.
Adapun sesuatu yang sudah dimakan pencuri di perutnya, maka tidak ada perhitungan baginya, karena Rasulullah bersabda ketika ditanya tentang kambing (harisah) yang diambil dari tempat penggembalaannya:
“Di dalamnya terdapat harga dua kali lipat dan memukul (pencurinya) sebagai hukuman. Adapun yang diambil dari tempat pemberhentian onta terdapat pemotongan tangan jika sesuatu yang diambil tersebut mencapai harga baju besi (yang ketika itu berharga seperempat dinar).”
Rasulullah pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan buah-buahan yang diambil dari kelopaknya?” Beliau bersabda:
“Barang siapa mengambil dengan mulutnya dan tidak menyembunyikannya, maka tidak apa-apa baginya. Dan apa yang ia bawa, maka di dalamnya terdapat harga dua kali lipat dan pukulan hukuman. Dan barang siapa mengambil dari ajran-nya, maka di dalamnya terdapat pemotongan tangan jika yang diambil tersebut seharga baju besi (yang ketika itu seharga seperempat dinar).”
Catatan:
- Jika pemilik harta memaafkan pencuri dan tidak membawa kasus pencurian yang dialaminya kepada penguasa (sultan), maka tidak ada pemotongan tangan. Jika ia membawa kasus pencurian kepada penguasa (sultan), maka pemotongan wajib dilakukan dan setelah itu pembelaan dari siapa pun tidak bermanfaat bagi pencuri tersebut, karena Rasulullah bersabda:
“Ah seandainya ia datang kepadaku sebelum orang tersebut datang kepadaku.”
Sabda di atas diucapkan Rasulullah kepada orang yang ingin memaafkan pencuri setelah pencuri tersebut didatangkan kepada beliau untuk dieksekusi.
- Pembelaan dalam masalah hudud diharamkan jika hudud tersebut telah sampai kepada penguasa (sultan), karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa pembelaannya menghalangi salah satu had Allah, sungguh ia telah melawan Allah dalam perintah-Nya.”
Beliau juga bersabda kepada Usamah :
“Apakah engkau hendak melakukan pembelaan dalam urusan salah satu had Allah?”
- Hukum orang yang mendobrak rumah kemudian membunuh penghuninya dan mengambil harta mereka adalah sama seperti hukum para muharibin.
Had Muharibin
Definisi Muharibin
Muharibin ialah sekelompok kaum Muslimin yang memiliki kekuatan yang mengancam dengan senjata kepada khalayak; mereka menyamun dengan cara menyergap orang yang lewat, membunuh mereka, dan merampas harta mereka.
Hukum Muharibin
Hukum muharibin adalah sebagai berikut:
Dinasihati dan diminta untuk bertobat. Jika mereka bertobat maka tobat mereka diterima. Jika mereka menolak, maka mereka diperangi, dan memerangi mereka adalah jihad di jalan Allah. Barang siapa di antara mereka terbunuh maka darahnya tidak ada perhitungan, dan barang siapa di antara kaum muslimin terbunuh karena memerangi mereka, maka ia syahid, karena Allah berfirman:
“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)
Jika di antara muharibin ada yang tertangkap sebelum bertobat maka had dijatuhkan kepadanya; dibunuh, disalib, dipotong kedua tangan atau kedua kakinya, atau diusir. Allah berfirman:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara terbalik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)” (Al-Ma’idah: 34)
Dalil yang lain adalah perbuatan Rasulullah terhadap orang-orang
Uraniyyin yang merampas onta zakat dan membunuh penggembalanya, lalu mereka melarikan diri.
Jadi, imam bebas menjatuhkan salah satu dari hukuman tersebut kepada mereka. Sebagian ulama berpendapat bahwa para muharibin dibunuh jika mereka telah membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara silang jika mereka merampas harta, dan mereka diasingkan atau dipenjara jika mereka tidak membunuh atau tidak merampas harta hingga mereka bertobat.
Jika mereka bertobat sebelum ditangkap dengan berhenti dari kejahatannya dan menyerahkan diri kepada sultan, maka hak Allah gugur dari mereka. Yang tersisa adalah hak-hak manusia. Oleh karena itu, mereka diadili dalam kasus darah dan harta; mereka wajib mengganti harta yang pernah mereka rampas, dan diqishash dalam urusan nyawa kecuali jika diyat diterima dari mereka, atau mereka dimaafkan wali korban. Semua itu diperbolehkan berdasarkan firman Allah
“Kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah: 34)
Tidak ada salahnya kalau imam membayar diyat mewakili mereka atau membayar ganti harta yang pernah mereka rampas, jika harta tersebut sudah tidak ada di tangan mereka atau sudah tidak mereka miliki.
Ahlul Baghyi (Pemberontak)
Definisi Ahlul Baghyi
Ahlul baghyi ialah sekelompok orang yang mempunyai kekuatan yang memberontak imam karena alasan yang rasional, misalnya mereka mengira imam telah kafir, atau mengira imam curang dan zalim, kemudian mereka menjadi radikal, menolak untuk taat kepada imam, dan keluar dari ketaatan kepadanya.
Ketentuan terhadap Ahlul Baghyi
Ketentuan terhadap ahlul baghyi adalah sebagai berikut:
- Imam mengirim surat, menghubungi dan bertanya kepada mereka alasan mereka membenci dirinya dan alasan mereka memberontak. Jika mereka menyebutkan adanya kezaliman terhadap diri mereka dan orang selain mereka, maka imam harus menghapuskan kezaliman tersebut. Jika mereka menyebutkan salah satu syubhat, maka imam menghilangkannya dengan menjelaskan yang benar dan menyebutkan dalilnya kepada mereka. Jika mereka kembali kepada kebenaran maka kelompok mereka diterima. Dan jika menolak kembali kepada kebenaran maka memerangi mereka menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Allah berfirman:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya; jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)
- Jika harus memerangi mereka, maka tidak boleh menghabisinya. Misalnya menyerang dengan pesawat tempur, atau dengan meriam penghancur. Namun mereka diperangi dengan melumpuhkan kekuatan mereka dan memaksa mereka menyerahkan diri saja.
- Anak-anak dan wanita-wanita mereka tidak boleh dibunuh, dan harta mereka tidak boleh dirampas.
- Ahlul baghyi yang terluka tidak boleh dibunuh, yang tertawan juga tidak boleh dibunuh, dan begitu pula yang mundur dan lari dari perang juga tidak boleh dibunuh. Karena Ali bin Abi Thalib berkata pada Perang Jamal, “Orang yang mundur dari perang sama sekali tidak boleh dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dibunuh, dan siapa saja yang menutup pintunya maka ia aman.”
- Jika perang telah usai dan ahlul baghyi kalah, maka mereka tidak diqishas dan tidak dituntut apa-apa selain bertobat dan kembali kepada kebenaran, karena Allah berfirman:
‘Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Catatan:
Jika dua kelompok dari kaum muslimin terlibat peperangan di antara mereka karena fanatisme golongan, atau karena harta, atau karena jabatan tanpa alasan apa pun, maka kedua kelompok tersebut zalim dan masing-masing dari keduanya wajib mengganti apa yang telah dirusaknya; jiwa atau harta pihak lawannya.
Orang yang Dibunuh karena Had
Orang Murtad
Definisi Orang Murtad
Orang murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam dan pindah ke agama yang lain, misalnya agama Nashrani, atau agama Yahudi. Atau ia pindah ke ideologi yang bukan agama, seperti orang-orang atheis dan orang-orang Komunis. Dan ketika pindah agama, mereka dalam keadaan berakal, sukarela tanpa dipaksa.
Hukum Orang Murtad
Hukum orang murtad ialah diajak kembali kepada Islam selama tiga hari. Ini dilakukan dengan serius. Jika ia kembali kepada Islam dalam jangka waktu tiga hari tersebut maka tobatnya diterima, namun jika tidak mau kembali kepada Islam maka ia dibunuh dengan pedang karena had. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
“Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.”
“Darah seorang Muslim tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga hal; orang tua (sudah menikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash), dan orang yang meninggalkan agamanya yang keluar dari jamaah.”
Hukum Orang Murtad setelah Pembunuhannya
Jika orang murtad telah dibunuh maka ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, dan hartanya tidak boleh diwarisi. Harta yang ia tinggalkan menjadi fa’i kaum muslimin, yang dialokasikan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin. Allah berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalatkan (jenazah) yang mati di antara mereka dan janganlah engkau berdiri (mendoakannya) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
Rasulullah juga bersabda:
“Orang kafir tidak mewarisi orang Muslim dan orang Muslim tidak mewarisi orang kafir.”
Kaum Muslimin juga telah bersepakat tentang hukum-hukum yang kami sebutkan di atas.
Perkataan dan Keyakinan yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Kafir
- Siapa pun yang menghina Allah s# atau menghina salah seorang dari Rasul-Nya, atau menghina salah satu dari malaikat-Nya alaihimus salam, ia telah kafir.
- Siapa pun yang mengingkari rububiyah Allah, uluhiyah-Nya, risalah salah satu para rasul, atau beranggapan bahwa ada Nabi setelah penutup para Nabi, Muhammad 2&, ia telah kafir.
- Siapa pun yang menentang salah satu kewajiban syariat Islam yang telah disepakati para ulama, misalnya shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada kedua orang tua atau jihad, sungguh ia telah kafir.
- Siapa pun yang menghalalkan perkara haram yang sudah diijmakkan keharamannya dan sudah diketahui oleh setiap Muslim seperti zina, meminum khamr, mencuri, membunuh jiwa, atau sihir, maka ia telah kafir.
- Siapa pun yang tidak mengakui salah satu surat Al-Qur’an, atau salah satu ayatnya, atau salah satu hurufnya, sungguh ia telah kafir.
- Siapa pun yang mengingkari salah satu sifat Allah, misalnya menolak sifat Allah yang Maha hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, atau Maha Penyayang, sungguh ia telah kafir.
- Siapa pun yang menampakkan pelecehan terhadap kewajiban dan sunah-sunah agama, atau meremehkannya, atau melempar Al-Qur’an ke kotoran atau menginjaknya dengan kaki karena menghinanya, sungguh ia telah kafir.
- Siapa pun yang meyakini bahwa tidak ada hari kebangkitan, tidak ada siksa di Jahanam, atau tidak ada kenikmatan pada hari Kiamat, atau bahwa siksa dan nikmat itu hanya merupakan makna saja, sungguh ia telah kafir.
- Siapa pun yang mengatakan bahwa para wali itu lebih utama daripada para nabi, atau sesungguhnya (kewajiban) ibadah gugur dari sebagian para wali, sungguh ia telah kafir. Dalil semua poin di atas adalah ijmak umum kaum muslimin setelah firman Allah
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa pun yang mengolok-olok Allah , atau sifat-sifat-Nya, atau syariat-Nya, atau Rasul-Nya, sungguh ia telah kafir.
Hukum Orang yang Kafir karena Sebab-sebab di atas Hukum orang yang kafir karena salah satu sebab dari sebab-sebab di atas ialah disuruh bertobat selama tiga hari. Jika ia bertobat dari ucapannya, atau dari keyakinannya maka tobatnya diterima, dan jika tidak mau bertobat maka dibunuh karena had, kemudian hukum setelah kematiannya sama seperti hukum orang yang murtad.
Para ulama membuat pengecualian bahwa orang yang menghina Allah atau Rasul-Nya itu dibunuh seketika itu juga dan tobatnya tidak diterima.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ia disuruh bertobat dan tobatnya diterima. Kemudian ia harus bersyahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, ia harus beristigfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.
Catatan:
Barang siapa mengucapkan kata-kata kekafiran dalam keadaan dipaksa karena disiksa, atau diintimidasi, sedangkan hatinya tenteram dengan keimanan, maka ia tidak berdosa. Allah berfirman:
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)” (An-Nahl: 106)
Zindiq
Definisi Zindiq
Zindiq ialah orang yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kekafirannya, seperti orang yang mendustakan hari kebangkitan, atau orang yang mengingkari risalah Nabi Muhammad 2, atau tidak mengakui Al-Qur’an sebagai firman Allah, dan ia tidak mampu mengungkapkan itu semua dengan terang-terangan karena takut, atau lemah.
Hukum Orang Zindiq
Hukum orang zindiq ialah kapan pun ia ditemukan seperti itu, dan keadaan dirinya diketahui maka ia dibunuh karena had. Ada yang berpendapat bahwa ia disuruh bertobat dan itu yang paling baik. Jika ia bertobat maka tobatnya diterima dan jika tidak mau bertobat maka dibunuh. Hukum dirinya setelah kematiannya sama seperti hukum orang yang murtad dalam semua hukumnya, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
Penyihir Definisi Penyihir
Penyihir ialah orang yang mempelajari sihir dan mempraktikkannya.
Ketentuan Hukum bagi Penyihir
Hukum penyihir ialah semua aktivitasnya diamati dengan cermat. Jika perbuatan atau ucapannya termasuk Hal-hal yang membuatnya menjadi kafir, ia dibunuh, karena Rasulullah bersabda:
“Had penyihir ialah pukulan dengan pedang.”
Tetapi jika perbuatan atau ucapannya bukan sesuatu yang membuatnya menjadi kafir, maka ia diberi hukuman (ta’zir) dan diminta bertobat. Jika ia bertobat maka tobatnya diterima dan jika menolak bertobat maka dibunuh, karena ia tidak lepas dari tindakan, atau ucapan yang membuatnya menjadi kafir. Ini berdasarkan keumuman firman Allah ,
“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun hingga keduanya mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
“Sungguh, mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah dengan sihir itu), maka tidak ada keuntungan baginya di akhirat.” (Al-Baqarah: 102)
Orang yang Meninggalkan Shalat
Definisi Orang yang Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan shalat ialah seseorang dari kaum Muslimin yang tidak mengerjakan shalat lima waktu karena meremehkan atau mengingkarinya.
Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Hukum orang yang meninggalkan shalat ialah diminta shalat secara terus-menerus dan diberi batas waktu hingga waktu darurat untuk shalat, yaitu waktu shalat masih tersisa untuk shalat satu rakaat. Jika ia shalat maka tidak dikenakan tindakan apa-apa dan jika tetap tidak mau shalat maka dibunuh karena had, karena Allah berfirman:
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama.” (At-Taubah: 11)
Rasulullah juga bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mengerjakan semua itu maka darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan hak Islam, “
Catatan:
- Batas waktu yang diberikan kepada orang yang meninggalkan shalat adalah hingga waktu darurat untuk shalat, yaitu waktu shalat masih tersisa untuk shalat satu rakaat. Kemudian jika ia menolak shalat, maka ia dibunuh sebagai had. Ini adalah pendapat Malik, sedang Imam Ahmad berpendapat batasan hingga tiga hari.
- Barang siapa murtad karena mengingkari sesuatu yang diwajibkan agama, maka tobatnya tidak diterima jika ia bertobat, kecuali jika ia mengakui apa yang tadinya ia ingkari, ditambah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan beristigfar dari dosanya tersebut.
- Yang dimaksud dengan had pada perkataan kami bahwa orang murtad, orang zindiq dan penyihir dibunuh karena had ialah hukuman syar’i, seperti sabda Rasulullah, “Had penyihir ialah pukulan dengan pedang.” Had tersebut artinya bahwa seseorang dibunuh karena alasan syar’i lantaran kejahatannya yaitu murtad, atau zindiq, atau sihir yang semuanya adalah bentuk-bentuk kekafiran. Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan kafir seperti yang telah kami jelaskan, maka ia tidak bisa diwarisi, tidak disalatkan dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslimin.
Ta’zir
Definisi Ta’zir
Ta’zir ialah sanksi disiplin dengan pemukulan, atau penghinaan atau embargo atau pengasingan.
Hukum Tazir
Ta’zir wajib diterapkan kepada semua kemaksiatan yang tidak ditetapkan hadnya oleh Allah dan tidak ada kafaratnya, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab pemotongan tangan, atau menyentuh dan mencium wanita yang bukan mahram, atau menghina seorang Muslim dengan selain tuduhan berzina (qadzaf), atau pukulan yang tidak melukai atau mematahkan salah satu anggota badan dan lain sebagainya.
Ketetentuan dalam Ta’zir
Ketentuan dalam ta’zir adalah sebagai berikut:
- Jika ta’zir berupa pukulan, maka tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, karena Rasulullah bersabda:
“Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh cambuk, kecuali dalam salah satu had dari had-had Allah .”
- Penguasa harus bersungguh-sungguh menjalankan ta’zir dan menentukannya sesuai dengan kondisi. Jika dengan celaan sudah cukup untuk menghentikan orang yang berbuat kemaksiatan, maka cukuplah dengan itu.
Jika dengan dipenjara satu hari satu malam sudah cukup untuk menyadarkan seseorang dari kemaksiatannya, maka tidak boleh memenjarakannya lebih dari itu.
Jika dengan denda yang sederhana sudah cukup membuat seseorang jera, maka cukup mendenda orang tersebut dengan denda yang tidak banyak, dan begitulah seterusnya, karena tujuan ta’zir ialah untuk memberikan pelajaran dan bukan penyiksaan, atau balas dendam.
Rasulullah pernah memberikan pelajaran kepada Abu Dzar dengan sabdanya:
“Sungguh, engkau adalah orang yang pada dirimu terdapat (sifat) Jahiliah.”
Rasulullah juga bersabda:
“Katakan oleh kalian kepada orang yang menjual dan membeli di masjid, ‘Mudah-mudahan Allah tidak memberi keuntungan pada perniagaanmu.”
Terhadap orang yang mengumumkan barang yang hilang di masjid, Rasulullah bersabda:
“Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu, karena masjid tidak dibangun untuk itu.”
Rasulullah pernah memerintahkan untuk mengisolasi tiga orang sahabat yang tidak ikut jihad tanpa uzur syar’i dan cukup dengan boikot tersebut.”
Beliau pernah memerintahkan seorang laki-laki yang berperilaku seperti perempuan untuk meninggalkan kota Madinah. Beliau pernah menahan seseorang sehari semalam karena kasus menuduh tanpa alasan.
Beliau juga pernah melipatgandakan denda terhadap orang yang mengambil buah kurma dari pohon dan menyimpannya, dan ta’zir-ta’zir lainnya yang pernah Rasulullah terapkan. Dan semua (ta’zir) itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran dan mendidik kaum muslimin.
Qadha’
Definisi Qadha’
Qadha’ ialah penjelasan tentang hukum-hukum syariat dan penerapannya.
Hukum Qadha’
Qadha’ termasuk salah satu fardhu kifayah. Seorang imam (pemimpin) wajib mengangkat qadhi (hakim) di semua wilayahnya untuk mewakilinya dalam menjelaskan hukum-hukum syariat dan mewajibkan kepada rakyat untuk menaatinya. Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di salah satu daerah di bumi, kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya.”
Urgensi Jabatan Qadha’
Jabatan qadha’ adalah jabatan yang paling penting dan strategis, karena qadhi adalah wakil Allah dan khalifah Rasulullah Oleh karena itu, beliau memperingatkan hal tersebut dan menjelaskan urgensinya dengan sabdanya:
“Barang siapa diangkat sebagai qadhi di antara manusia, sungguh ia disembelih tanpa pisau.”
Rasulullah bersabda:
“Qadhi itu ada tiga; satu di surga dan dua di neraka. Adapun qadhi yang masuk surga ialah qadhi yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya. Sedangkan qadhi yang mengetahui kebenaran tetapi bertindak zalim dalam menetapkan hukum maka ia berada di neraka. Dan qadhi yang memutuskan perkara untuk manusia berdasarkan kebodohannya maka ia juga berada di neraka.”
Rasulullah bersabda kepada Abdurrahman:
“Hai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, karena jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya maka engkau akan dibantu di dalamnya. Tetapi jika engkau diberi jabatan karena memintanya maka jabatan itu akan dipasrahkan kepadamu.”
Rasulullah juga bersabda:
“Mereka akan rakus kepada jabatan padahal jabatan akan menjadi penyesalan pada hari Kiamat. Alangkah nikmat hidup (mereka) dan alangkah buruk setelah kematian (mereka).”
Jabatan Qadhi tidak Boleh Diberikan kepada Orang yang Memintanya
Jabatan qadhi seyogianya tidak diberikan kepada orang yang memintanya, atau orang yang berambisi untuk mendapatkannya, karena jabatan qadhi adalah tugas berat dan amanah besar di mana tidak ada yang memintanya kecuali orang yang meremehkan urgensinya, menyia-nyiakan haknya, dan kemungkinan besar mengkhianati serta menyepelekannya. Dan hal itu jelas merupakan kerusakan bagi agama, negara dan hamba-hamba Allah yang tidak sanggup dipikul siapa pun. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda:
“Demi Allah, kami tidak akan memberikan tugas (jabatan) ini kepada orang yang memintanya, atau orang yang berambisi terhadapnya.”
Rasulullah juga bersabda:
“Sungguh, kita tidak akan meminta untuk mengerjakan tugas ini orang yang menginginkannya.”
Syarat-syarat Pengangkatan Qadhi
Jabatan qadhi tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang memenuhi syarat-syarat berikut ini: Muslim, berakal, balig, merdeka, memiliki ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengetahui apa yang ia putuskan, adil dan bisa mendengar, melihat dan berbicara.
Adab-adab Seorang Qadhi
Orang yang diangkat menjadi qadhi harus memiliki Adab-adab berikut:
- Kuat tapi tidak kasar, lemah lembut tapi tidak lemah agar orang zalim berani kepadanya dan agar pemilik hak tidak takut kepadanya. Ia harus lemah lembut tapi tidak merendahkan diri agar orang-orang yang kurang sempurna akalnya tidak lancang terhadapnya, hati-hati tetapi tidak menunda-nunda dan meremehkan, dan cerdas serta berhujah kuat tanpa bangga terhadap diri sendiri serta tidak merendahkan orang lain.
- Tempat kerjanya berada di tengah wilayah tugasnya dan luas sehingga bisa menampung semua pihak yang berperkara dan para saksi.
- Adil kepada semua pihak yang bertikai, dalam berbicara, memandang, majelis, menemui,dan tidak mengutamakan salah satu pihak yang berperkara atas pihak yang lain. Majleisnya dihadiri para fuqaha’ dan orang-orang yang berilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemudian ia bermusyawarah dengan mereka dalam Hal-hal yang menurutnya pelik.
Hal-hal yang Harus Dijauhi Qadhi
Qadhi harus menjauhi Hal-hal berikut ini:
- Memutuskan perkara dalam keadaan marah, atau dalam kondisi tidak normal karena sakit, atau lapar, atau haus, atau kepanasan, atau kedinginan, atau jenuh, atau malas. Karena Rasulullah bersabda:
“Janganlah seorang hakim memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah.”
- Memutuskan perkara tanpa kehadiran para saksi.
- Memutuskan perkaranya sendiri, atau perkara orang-orang yang ia tidak boleh menjadi saksi bagi mereka seperti anak, ayah dan istrinya.
- Menerima suap atas keputusannya, karena Rasulullah bersabda:
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum.”
- Menerima hadiah dari orang yang tidak memberinya sebelum ia menjadi gadhi, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang kami angkat untuk satu tugas, kemudian kami beri dia gaji, maka apa yang ia dapatkan setelah itu adalah pengkhianatan.”
Tugas dan Wewenang Qadhi
Di antara tugas-tugas yang berada di bawah wewenang Qadhi adalah sebagai berikut:
- Memutuskan perkara semua pihak yang berperkara dalam semua tuduhan dan kasus dengan keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan atau dengan perdamaian yang diterima kedua belah pihak jika barang buktinya saling berlawanan, hujah-hujahnya tersembunyi atau hujah-hujahnya lemah.
- Mengalahkan orang-orang yang zalim, membantu para pemilik hak dan orang-orang yang terzalimi, serta memberikan hak kepada pemiliknya. Melaksanakan hudud (hukuman) dan vonis dalam perkara darah dan luka.
- Menangani masalah nikah, talak, nafkah dan lain sebagainya.
- Mengelola harta orang-orang yang belum dewasa, seperti anak-anak yatim, orang-orang gila, orang-orang yang pergi tidak jelas ke mana perginya, dan orang-orang yang terkena al-hajru (karena belum bisa mengelola harta dengan baik).
- Memikirkan kemaslahatan-kemaslahatan umum di wilayah kerjanya seperti di jalan-jalan, fasilitas-fasilitas umum dan lain sebagainya.
- Menegakkan amar makruf dan mewajibkan manusia melakukannya, melarang kemungkaran dan mengubahnya, serta menghilangkan bekasbekas kemungkaran dari wilayah kerjanya.
- Menjadi imam Shalat Jum’at dan Shalat Hari Raya.
Berdasarkan Apa Qadhi Memutuskan?
Ada empat media hukum yang bisa digunakan qadhi untuk bisa memberikan hak kepada pemiliknya, yaitu:
- Pengakuan, yaitu pengakuan terdakwa yang memiliki hak. Karena Rasulullah bersabda:
“Jika wanita tersebut mengaku, maka rajamlah “
- Barang bukti, yaitu para saksi. Karena Rasulullah bersabda:
“Barang bukti diminta dari penuduh, dan sumpah diminta dari orang yang tidak mengaku (mengingkari).”
Rasulullah juga bersabda:
“Dua orang saksimu, atau sumpahnya.”
Batas minimal saksi adalah dua orang. Jika dua saksi tidak ada, maka cukup dengan satu saksi dan sumpah, karena Abdullah bin Abbas berkata:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad memutuskan n dengan sumpah dan satu saksi.”
- Sumpah, karena Rasulullah bersabda:
“Barang bukti diminta dari penuduh, dan sumpa diminta dari orang yang tidak mengaku (mengingkari)” Jika penuduh tidak dapat menghadirkan barang bukti, maka tertuduh disuruh bersumpah satu kali, kemudian ia dibebaskan dari tuduhan.
- Nukul, maksudnya bahwa tertuduh menolak bersumpah. Dalam hal ini, qadhi berkata kepadanya, “Jika engkau bersumpah, maka aku membebaskanmu dan jika tidak bersumpah maka aku akan memutuskan perkaramu.” Jika si tertuduh menolak bersumpah, maka perkaranya diputuskan. Hanya saja Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa pada saat nukul, sumpah harus dikembalikan kepada penuduh; jika ia bersumpah maka perkaranya diputuskan. Imam Malik berhujah bahwa Rasulullah mengembalikan sumpah kepada penuduh dalam kasus gasamah dan itu lebih aman bagi hukum dan lebih bersih dari tanggungan.
Tata Cara Menetapkan Hukum (Keputusan)
Apabila ada dua pihak yang bersengketa datang, qadhi mendudukkan keduanya di depannya, kemudian berkata, “Mana di antara kalian berdua yang menjadi penuduh?” Jika qadhi diam hingga salah satu dari pihak yang berperkara menjelaskan tuduhannya, maka tidak ada salahnya. Jika penuduh telah menjelaskan tuduhannya lengkap dengan barang buktinya, qadhi berkata kepada tertuduh, “Apa jawabanmu atas tuduhan tadi?” Jika tertuduh mengakuinya, maka qadhi memenangkan penuduh. Jika tertuduh tidak mengakui tuduhan terhadap dirinya, qadhi berkata, “Mana barang buktimu?”
Jika tertuduh mendatangkan barang bukti, qadhi memutuskan perkara berdasarkan barang bukti tersebut. Jika tertuduh meminta waktu untuk mendatangkan barang bukti, qadhi memberinya waktu sehingga ia dapat mendatangkan barang bukti tersebut.
Jika tertuduh tidak mendatangkan barang bukti, qadhi berkata kepada tertuduh, “Mana sumpahmu?” Jika tertuduh bersumpah, maka qadhi membebaskannya. Jika ia menolak bersumpah, maka qadhi akan menjatuhkan vonis. Hanya saja, akan sangat baik jika sumpah dikembalikan kepada penuduh dan jika ia bersumpah maka qadhi memberi vonis karenanya.
Ini berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari Wail bin Hajar ass, bahwa dua orang yang terlibat persengketaan; yang satu dari Hadramaut dan yang lainnya dari Kindah. Kemudian keduanya membawa perkaranya kepada Rasulullah Orang Hadramaut berkata, “Wahai Rasulullah, orang ini (Kindah) merampas tanahku.” Orang Kindah berkata, “Tanah tersebut tanahku dan dalam penguasaanku, dan ia tidak mempunyai hak di dalamnya.” Rasulullah bersabda kepada orang Hadramaut, “Apakah engkau mempunyai barang bukti?” Orang Hadramaut menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda kepada orang Hadramaut, “Kalau begitu, engkau mendapat sumpahnya.” Orang Hadramaut berkata, “Wahai Rasulullah, orang tersebut fajir yang tidak peduli dengan apa yang ia sumpahkan dan ia tidak takut dari apa pun.” Rasulullah bersabda, “Engkau tidak mempunyai apa-apa darinya kecuali itu.”
Catatan:
- Jika qadhi mengetahui keadilan saksi, maka ia memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi tersebut.
- Jika tuduhan diarahkan kepada wanita yang mempunyai halangan dan tidak bisa berdialog dengan laki-laki dan tidak dapat hadir di pengadilan, ia tidak usah diperintahkan hadir di pengadilan dan sebagai gantinya, ia menyuruh orang lain menggantikan dirinya hadir di pengadilan untuk mendengar tuduhan kepadanya.
- Qadhi tidak memutuskan perkara berdasarkan ilmunya, namun harus berdasarkan barang bukti agar ia tidak diragukan keadilannya dan kebersihannya, karena Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Seandainya aku melihat seseorang mengerjakan salah satu had Allah, maka aku tidak menghukumnya dan aku tidak memanggil orang lain untuknya hingga ada orang lain bersamaku.”
- Jika tuduhan diarahkan kepada orang yang tidak bepergian, orang tersebut harus hadir di pengadilan dan vonis tidak boleh dijatuhkan tanpa kehadirannya, kecuali jika ia mengutus wakil yang menggantikan dirinya. Jika tidak berada di tempat, ia harus diundang dan diminta hadir di pengadilan, atau ia mengutus seseorang hadir di pengadilan menggantikan dirinya.
- Rekomendasi seorang qadhi kepada qadhi lain dalam selain had diperbolehkan, jika rekomendasi tersebut disaksikan dua orang saksi.
- Tuduhan yang tidak dijelaskan dengan rinci oleh penuduh tidak boleh didengar, misalnya penuduh berkata, “Aku mempunyai sesuatu pada si Fulan.” Atau ia berkata, “Aku kira mempunyai sesuatu pada si fulan.” Tuduhan seperti itu tidak boleh didengar hingga penuduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuatu tersebut dan serius dengan tuduhan yang ia arahkan kepada tertuduh.
- Keputusan qadhi tidak boleh menghalalkan Hal-hal yang haram dan tidak boleh mengharamkan yang halal, karena Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya aku manusia biasa dan jika kalian membawa perkaranya kepadaku dan barangkali sebagian dari kalian lebih kuat argumentasinya daripada sebagian yang lain, kemudian aku memutuskannya berdasarkan sesuatu yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan mendapatkan sesuatu dari hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya, karena aku memberinya potongan dari neraka.”
- Jika ada dua barang bukti saling bertentangan dan tidak ada sumber lain bagi salah satu dari keduanya yang kuat, maka tuduhan dibagi rata di antara kedua belah pihak yang berperkara, karena Rasulullah memutuskan seperti itu.
Syahadah (Kesaksian)
Definisi Syahadah
Syahadah atau kesaksian ialah seseorang menjelaskan dengan jujur apa yang telah ia lihat atau ia dengar.
Hukum Kesaksian
Kesaksian adalah fardhu kifayah bagi orang yang ditunjuk untuk melakukannya. Hal ini berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu; jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai.” (Al-Baqarah: 282)
“Dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan kesaksian, dan barang siapa menyembunyikannya maka sesungguhnya ia orang yang berdosa hatinya.” (Al-Baqarah: 283)
Sabda Rasulullah:
“Maukah kalian aku beritahu tentang para saksi yang paling baik, yaitu yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta bersaksi.”
Syarat-syarat Saksi
Seorang saksi disyaratkan Muslim, berakal, balig, adil, dan tidak tertuduh. Yang dimaksud dengan tidak tertuduh bahwa ia bukan termasuk orang-orang yang kesaksiannya tidak diterima seperti kesaksian dari orang yang satu nasab, atau kesaksian suami untuk istri dan sebaliknya, atau kesaksian orang yang ingin menarik manfaat bagi diri sendiri atau menolak mudarat dari dirinya, atau seperti kesaksian musuh atas musuh lainnya, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak sah kesaksian laki-laki penghianat, (kesaksian) wanita penghianat, dan (kesaksian) orang yang mempunyai permusuhan terhadap saudaranya. Juga tidak sah kesaksian (pembantu) seseorang untuk keluarganya.’
Ketentuan dalam Kesaksian
- Saksi tidak boleh bersaksi kecuali dengan sesuatu yang betul-betul diketahuinya berdasarkan penglihatan atau pendengarannya. Rasulullah bersabda kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang kesaksian, “Apakah engkau pernah melihat matahari?” Orang tersebut menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Seperti Itulah engkau hendaknya bersaksi, atau engkau tidak bersaksi.”
- Boleh memberikan kesaksian berdasarkan kesaksian saksi lain jika saksi tersebut berhalangan hadir di pengadilan karena sakit atau tidak berada di tempat, atau meninggal dunia, jika vonis hakim sangat terkait dengan kesaksian tersebut.
- Seorang saksi harus direkomendasikan dua orang yang adil bahwa saksi tersebut memang orang yang adil dan diridai. Itu jika keadilan saksi tersebut tidak begitu terlihat. Jika keadilannya telah terlihat, qadhi tidak perlu meminta rekomendasi untuknya.
- Jika ada dua orang yang merekomendasikan seorang saksi dan ada dua Orang lainnya mencacat saksi tersebut, maka pencacatan kedua orang tersebut harus didahulukan daripada rekomendasi dua orang lainnya tersebut, sebagai kehati-hatian.
- Saksi yang berbohong harus di-ta’zir (diberi sanksi) dengan sesuatu yang membuatnya jera dan menjadi ibrah bagi orang yang memiliki niatan untuk berbuat seperti itu.
Macam-macam Kesaksian
- Kesaksian kasus zina.
Saksi untuk kasus zina harus berjumlah empat orang, karena Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya)” (An-Nisa’: 15)
Dengan demikian, saksi yang berjumlah kurang dari empat orang tidak mencukupi.
- Kesaksian untuk kasus selain zina.
Saksinya cukup dua orang yang adil.
- Kesaksian dalam masalah harta.
Dalam hal ini, cukup dengan kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, karena Allah berfirman:
“Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
- Kesaksian hukum.
Di dalam kesaksian ini, cukup dengan kesaksian satu orang dan sumpah, karena Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah pernah menetapkan vonis hukum dengan sumpah dan satu saksi.”
Kesaksian kehamilan, haid dan Hal-hal yang tidak boleh dilihat kecuali oleh para perempuan. Dalam masalah ini cukup dengan kesaksian dua orang perempuan.
Iqrar (Pengakuan)
Definisi Pengakuan
Iqrar (pengakuan) ialah seseorang mengaku mempunyai tanggungan terhadap orang lain, misalnya ia berkata, “Zaid mempunyai piutang kepadaku sebesar 50.000 dirham.” Atau ia berkata, “Perhiasan ini miliki si fulan.”
Dari Siapa Pengakuan Diterima?
Pengakuan dapat diterima dari orang yang berakal dan balig, sedangkan pengakuan orang gila, anak kecil dan orang yang dipaksa tidak diterima, karena mereka tidak mendapatkan taklif. Rasulullah bersabda:
“Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil hingga bermimpi, dari orang tidur hingga bangun, dan dari orang gila hingga waras kembali.’
Dan juga karena Rasulullah bersabda:
“Kekeliruan, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan itu diangkat dari umatku.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad yang baik)
Hukum Iqrar (Pengakuan)
Hukum pengakuan adalah luzum, diperlukan. Jika ada orang berakal, balig dan sukarela tidak dipaksa mengakui bahwa sesuatu yang ada pada dirinya adalah milik orang lain, maka pengakuannya tersebut merupakan keharusan baginya. Rasulullah bersabda:
‘Jika wanita tersebut mengaku, rajamlah ia.”
Pada hadits di atas, Rasulullah menjadikan pengakuan wanita tersebut sebagai hal yang mewajibkan penerapan had terhadapnya.
Beberapa Ketentuan Terkait Iqrar (Pengakuan)
Pengakuan memiliki beberapa ketentuan, yaitu:
- Pengakuan orang yang bangkrut atau orang yang terkena al-hajru dalam urusan harta adalah tidak sah, karena orang yang bangkrut tersebut dicurigai dengki kepada para kreditur, dan jika pengakuan orang yang terkena al-hajru diterima maka seolah-olah ia seperti orang yang tidak terkena al-hajru. Oleh karena itu, pengakuan ini tetap menjadi tanggungan keduanya dan keduanya harus membayar jika halangan di atas sudah tidak ada lagi. (Maksudnya, orang bangkrut tersebut tidak bangkrut lagi dan orang yang terkena al-hajru tidak lagi mendapatkan al-hajru).
- Pengakuan orang yang sakit keras untuk ahli waris itu tidak sah, kecuali dengan barang bukti, karena ia dicurigai pilih kasih. Jadi, jika orang sakit keras berkata, “Saya mengaku bahwa anakku si fulan mempunyai piutang padaku sebesar sekian.” Maka pengakuan tersebut tidak diterima karena dikhawatirkan ia pilih kasih kepada anaknya tersebut.
Jadi perkataan (pengakuan) orang yang sakit keras, “Anakku si fulan berhak atas ini (sembari menyebutkan barangnya).” Dan hal tersebut tidak diberikan kepada anak-anaknya yang lain adalah mirip dengan wasiat, padahal Rasulullah bersabda:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Kecuali jika hal tersebut diizinkan oleh ahli waris dan tidak ada barang bukti yang memastikan bahwa apa yang ia akukan itu milik ahli warisnya, apabila demikian maka pengakuannya dapat diterima.
Ar-Riqq (Perbudakan)
Definisi Ar-Riqq
Ar-Riqq ialah kepemilikan dan perbudakan. Sedangkan Ar-Raqiq adalah budak yang dimiliki. Kata Ar-Ragiq diambil dari ar-riqq yang merupakan lawan kata al-ghilzhah (keras), karena budak itu lembut kepada tuannya dan tidak keras terhadapnya, karena dirinya dimiliki tuannya.
Hukum Ar-Riqq
Hukum Ar-Riqq adalah diperbolehkan, karena Allah berfirman:
“Dan budak-budak kalian.” (An-Nisa’: 36)
Sabda Rasulullah :
“Barang siapa menampar budaknya, atau memukulnya, maka kafarahnya ialah memerdekakannya.’
Sejarah Ar-Riqq (Perbudakan) dan Perkembangannya
Ar-Riqq telah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang silam dan dijumpai di bangsa-bangsa kuno seperti bangsa Mesir, Cina, Hindi, Yunani, dan Romawi. Di dalam kitab-kitab seperti Taurat dan Injil juga disebutkan masalah perbudakan.
Adalah Hajar, ibunda Nabi Isma’il bin Ibrahim Al-Khalil alaihimas salam, dahulunya adalah budak wanita yang dihadiahkan raja Mesir kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim alaihis salam, kemudian Sarah mengambilnya dan menghadiahkan kepada suaminya, Ibrahim alaihis salam. Kemudian beliau menjadikannya sebagai istri dan melahirkan Nabi Isma’il alaihimas salam untuknya.
Adapun tentang asal-usul perbudakan, maka kembali kepada sebab-sebab berikut ini:
- Perang
Jika sekelompok manusia memerangi kelompok lainnya dan berhasil mengalahkannya, mereka menjadikan istri-istri dan anak-anak mereka (musuh yang diperangi) sebagai budak.
- Kemiskinan
Seringkali kemiskinan mendorong manusia menjual anak-anaknya sebagai budak kepada orang lain.
- Pencurian dan pembajakan
Pada zaman dahulu rombongan besar orang-orang Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Selain itu, para pembajak laut Eropa juga membajak kapal-kapal yang melewati laut dan menyerang para penumpangnya. Jika mereka berhasil mengalahkan para penumpang tersebut, mereka menjualnya di pasar-pasar budak di Eropa dan menikmati hasil penjualannya.
Dan Islam, sebagai agama Allah yang benar tidak membenarkan sebabsebab di atas kecuali satu sebab, yaitu perbudakan karena perang dan itu adalah rahmat untuk manusia. Kebanyakan para pemenang perang terdorong berbuat kerusakan karena pengaruh dorongan balas dendam, sehingga mereka membunuh para wanita dan anak-anak untuk mengobati kebencian mereka terhadap orang laki-laki. Islam pun mengizinkan para pemeluknya memperbudak wanita-wanita dan anak-anak, pertama untuk menjaga kelangsungan kehidupan mereka kemudian kedua untuk membahagiakan mereka dan memerdekakan mereka.
Adapun tentara laki-laki maka imam bebas menentukan antara membebaskan mereka secara gratis atau membebaskan mereka dengan tebusan uang atau senjata. Allah berfirman:
“Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka, sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai, perang berhenti.” (Muhammad: 4)
Perlakuan Terhadap Ar-Raqiq (Budak)
Perlakuan bangsa-bangsa di dunia terhadap Ar-Raqiq (budak) tidak banyak berbeda, kecuali perlakuan umat Islam terhadapnya. Dalam tradisi bangsa-bangsa selain Islam, budak tidak lebih dari alat yang digunakan untuk mengerjakan segala hal dan segala tujuan. Selain itu, mereka juga dibiarkan lapar, dipukul, dibebani pekerjaan melebihi kemampuannya, disetrika dengan api, dan anggota tubuhnya dipotong karena sebab yang sangat sepele. Bangsa-bangsa tersebut menamakan budak sebagai alat yang mempunyai ruh dan perhiasan yang menopang kehidupan.
Adapun budak dalam Islam diperlakukan dengan perlakuan yang sesuai dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Islam mengharamkan pemukulan, pembunuhan, penghinaan dan pelecehan terhadap budak. Selain itu, Islam juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik kepada mereka.
Nash-nash yang menjelaskan masalah tersebut antara lain:
- Firman Allah
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan budak-budak kalian.” (An-Nisa’: 36)
- Sabda Rasulullah:
“Mereka (para budak) adalah saudara-saudara kalian dan paman paman kalian dari jalur ibu kalian yang Allah menjadikan mereka di bawah penguasaan kalian. Maka barang siapa saudaranya berada di bawah penguasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian dari apa yang ia kenakan, dan kalian jangan membebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka kerjakan, serta jika kalian membebani mereka dengan pekerjaan maka bantulah mereka dalam mengerjakannya.”
Rasulullah juga bersabda:
“Barang siapa menampar budaknya, atau. memukulnya, maka kafaratnya ialah memerdekakannya.”
Selain itu, secara umum Islam menyerukan untuk memerdekakan budak, dan menganjurkan untuk memerdekakannya. Hal-hal berikut ini menguatkan pernyataan di atas:
- Islam menjadikan memerdekakan budak sebagai kafarat untuk pembunuhan karena keliru dan beberapa pelanggaran seperti zhihar, juga kafarat karena tidak melaksanakan sumpah dengan nama Allah dan melanggar kehormatan bulan Ramadhan dengan tidak berpuasa pada siang harinya.
- Perintah Islam kepada pemilik budak untuk melakukan perjanjian pembebasan dengan budak yang menginginkan pembebasan dirinya, dan perintah Islam kepada para pemilik budak agar mereka membantu pembebasan budaknya dengan memberinya uang.
Allah berfirman:
“Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (an-Nur: 33)
- Islam memberikan alokasi zakat khusus untuk membantu pembebasan budak. Allah berfirman:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (At-Taubah: 60)
- Seorang tuan harus memerdekakan bagian kepemilikan budak yang dipegang orang lain apabila ia membebaskan bagian hak kepemilikannya. Jadi, jika seorang Muslim memerdekakan bagian kepemilikannya dalam salah satu budak, maka ia diperintahkan menaksir bagian yang tersisa kemudian menghargai dengan uang, dan uangnya diberikan kepada pemilik-pemilik lainnya lalu budak tersebut dimerdekakan. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa memerdekakan persekutuannya dalam satu budak dan ia mempunyai uang seharga budak maka budak tersebut ditaksir dengan harga yang adil, lalu ia memberikan uang tersebut kepada para sekutu lainnya, kemudian budak tersebut dimerdekakan.’”
- Islam mengizinkan menggauli budak-budak wanita, agar kelak pada suatu hari mereka menjadi ibu dari anak-anak yang dikandungnya, kemudian mereka dimerdekakan karenanya. Rasulullah bersabda:
“Budak wanita mana pun yang melahirkan anak dari tuannya, ia merdeka setelah kematian tuannya,
- Islam menetapkan kafarat memukul budak dengan memerdekakannya. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa memukul budak karena hukuman yang tidak dikerjakannya, atau menamparnya, maka kafaratnya ialah memerdekakannya.”
Seorang budak harus dimerdekakan jika ia dimiliki oleh kerabatnya, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa memiliki budak yang masih ada ikatan keluarga maka ia merdeka.’’
Catatan:
Jika ada orang bertanya, “Kenapa Islam tidak mewajibkan memerdekakan budak sebagai sesuatu yang wajib yang tidak boleh ditinggalkan orang Muslim?” Jawabnya, “Ketika Islam datang, budak-budak di tangan manusia. Maka tidak sepantasnya syariat Allah yang adil ini yang turun untuk menjaga kehidupan manusia, kehormatan dan hartanya mewajibkan manusia keluar dari harta mereka secara seketika. Selain itu, terkadang pembebasan budak-budak itu tidak mendatangkan kemaslahatan, karena di antara para wanita, anak-anak, bahkan laki-laki sekalipun ada yang tidak sanggup membiayai dirinya sendiri karena tidak mampu bekerja, atau karena tidak mengetahui cara-cara kerja. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan budak bersama tuannya yang Muslim yang memberinya makan dari apa yang dimakan tuannya, memberinya pakaian dari yang dikenakan tuannya, dan tidak membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan adalah lebih baik daripada ia dijauhkan dari rumah (tuan) yang berbuat baik kepadanya dan menyayanginya karena mereka.”
Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Ar-Raqiq (Budak)
Al-itqu
Definisi Al-Itqu
Al-Itqu ialah pembebasan budak dan pelepasannya dari belenggu perbudakan.
Hukum Al-Itqu
Hukum al-itqu ialah sunah dan dianjurkan, karena Allah berfirman:
“(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Al-Balad: 13)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang memerdekakan budak Mukmin, maka Allah memerdekakan setiap anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak tersebut dari api neraka, hingga Allah memerdekakan tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, dan kemaluan dengan kemaluan.”
Hikmah Al-‘Itqu (Memerdekakan budak)
Di antara hikmah al-‘itqu (memerdekakan budak) ialah pembebasan manusia yang terlindungi dari mudarat perbudakan sehingga ia memiliki dirinya sendiri dan memperoleh manfaat untuk dirinya, hukum-hukum bagi dirinya berlaku sempurna, dan bisa bertindak untuk dirinya sendiri dan memperoleh manfaat untuk dirinya sesuai dengan keinginan dan pilihannya.
Ketentuan dalam Al-‘Itqu (Memerdekakan Budak) Di antara ketentuan di dalam al-‘itqu adalah sebagai berikut:
- Al-‘Itqu Harus dengan bahasa yang jelas, misalnya, “Engkau merdeka, atau engkau budak merdeka, atau aku telah membebaskanmu.” Al-‘Itqu bisa juga dengan bahasa kiasan tapi harus disertai dengan niat membebaskan, misalnya dengan perkataan, “Sungguh, aku telah membebaskanmu, atau aku tidak mempunyai kekuasaan lagi terhadapmu.”
- Al-‘Itqu sah bila dilakukan oleh orang-orang yang diperbolehkan (syariat) mengelola harta, yaitu orang yang berakal, balig dan dewasa. Jadi, pembebasan budak oleh orang gila, atau anak kecil, atau orang kurang waras yang mendapatkan al-hajru tidak sah, karena mereka tidak boleh mengelola harta.
- Jika budak dimiliki oleh dua orang atau lebih, kemudian salah seorang dari sekutu memerdekakan bagiannya terhadap budak tersebut, maka bagian sisanya ditaksir. Jika orang tersebut kaya, kemudian budak yang menjadi milik bersama tersebut dibebaskan. Jika orang tersebut miskin, maka yang dibebaskan dari budak tersebut ialah apa yang telah ia bebaskan darinya saja, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa memerdekakan persekutuannya dalam satu budak dan ia mempunyai uang seharga budak, maka budak tersebut ditaksir dengan harga yang adil, dan orang tersebut memberikan uang tersebut kepada para sekutu lainnya, kemudian budak dimerdekakan. Kalau tidak begitu, maka dimerdekakan dari budak tersebut apa yang telah la merdekakan darinya.”
- Barang siapa mengaitkan pembebasan budak dengan syarat, maka budak tersebut dimerdekakan jika syarat telah terpenuhi dan jika syarat tersebut belum terpenuhi maka ia belum dimerdekakan. Jadi, barang siapa berkata kepada budaknya, “Engkau merdeka jika istriku melahirkan anak laki-laki,” jika istrinya betul-betul melahirkan anak laki-laki maka budak tersebut dimerdekakan sejak kelahiran anak laki-laki tersebut.
- Barang siapa mempunyai budak kemudian memerdekakan sebagiannya, maka sebagian lainnya harus dimerdekakan, karena keumuman sabda Nabi Muhammad, “Barang siapa memerdekakan persekutuannya dalam satu budak….” (Al-Hadits) dan “Barang siapa memerdekakan bagiannya terhadap budak dan ia mempunyai uang seharga budak tersebut.”
- Barang siapa memerdekakan budak dalam ketika sakit yang membuatnya meninggal dunia, maka yang dimerdekakan dari budak tersebut adalah sepertiganya, karena hal itu mirip dengan wasiat dan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga.
Tadbir
Definisi Tadbir
Tadbir ialah menggantungkan memerdekakan budak dengan kematian pemiliknya, misalnya pemilik budak berkata, “Engkau merdeka setelah kematianku.” Dengan demikian, apabila pemilik budak telah meninggal dunia maka budak tersebut dimerdekakan.
Hukum Tadbir
Hukum tadbir adalah diperbolehkan, kecuali jika seseorang tidak mempunyai harta lain selain budak yang ingin ia tadbir (merdekakan setelah kematiannya), karena Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa ada seseorang yang ingin memerdekakan budak setelah kematiannya, kemudian ia jatuh miskin, lalu Rasulullah bersabda, “Siapa yang siap membeli budak ini dariku?” Kemudian budak tersebut dijual kepada Nu’aim bin Abdullah seharga 800 dirham dan Rasulullah memberikan hasil penjualannya kepada orang tersebut, sembari bersabda, “Engkau lebih membutuhkan daripada budakmu.”
Hikmah Tadbir
Di antara hikmah tadbir ialah memberi kemudahan kepada orang Muslim, karena bisa jadi ia mempunyai budak dan berniat memerdekakannya, namun ia melihat dirinya sendiri membutuhkan bantuan budak tersebut. Oleh karena itu, ia mentadbirkannya. Jadi, ia mendapatkan pahala memerdekakan budak tetapi tidak kehilangan manfaat budak tersebut sepanjang hidupnya.
Ketentuan dalam Tadbir Ketentuan dalam tadbir adalah sebagai berikut:
- Tadbir harus dengan ungkapan. Misalnya, “Engkau merdeka sepeninggalku,” atau “Engkau aku merdekakan setelah kematianku,” atau “Jika aku telah meninggal dunia maka engkau merdeka,” dan lain sebagainya.
- Sepeninggal pemilik budak, budak dimerdekakan senilai sepertiga harta orang tersebut. Jika budak memungkinkan dimerdekakan lebih dari sepertiga, maka ia dimerdekakan dan jika tidak mungkin maka dimerdekakan dengan harganya. Ini adalah pendapat jumhur sahabat, tabi’in dan para imam. Karena budak tersebut sama dengan wasiat, dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga.
- Tadbir boleh digantungkan pada syarat. Apabila syarat telah terpenuhi, maka budak tersebut merdeka, dan jika tidak terpenuhi maka ia tidak merdeka. Karena Rasulullah bersabda:
“Kaum mukminin itu sesuai dengan syarat mereka.”
Jadi, seandainya pemilik budak berkata, “Jika aku meninggal dunia karena penyakitku ini, maka engkau merdeka,” ketika pemilik budak tersebut meninggal dunia maka budak tersebut menjadi merdeka dan jika pemiliknya tidak kunjung meninggal dunia maka budak tersebut tidak jadi merdeka.
- Budak mudabbar boleh dijual untuk membayar utang, atau karena pemiliknya jatuh miskin, karena Rasulullah menjual budak seseorang yang telah ditadbirnya ketika beliau melihat orang tersebut membutuhkan uang hasil penjualan budak tersebut. Ibunda Aisyah juga pernah menjual budak wanita yang telah ditadbirnya, karena budak wanita tersebut menyihirnya.”
- Jika budak wanita dalam keadaan hamil ditadbir, maka anaknya seperti dirinya, yaitu dimerdekakan setelah kematian pemiliknya. Karena Umar bin Khattab dan Jabir berkata, “Anak budak yang ditadbir adalah seperti kedudukan ibunya.”
- Pemilik budak diperbolehkan menggauli budak wanita yang telah ditadbirnya, karena budak wanita tersebut masih miliknya. Allah a berfirman, “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki.” (Al-Mu’minin: 6).
Juga, karena jumhur para sahabat. membolehkan pemilik budak menggauli budak wanita yang telah ditadbirnya.
- Jika budak yang telah ditadbir membunuh pemiliknya, maka tadbir menjadi batal dan budak tersebut tidak jadi merdeka sebagai hukuman untuknya dan agar para budak yang ditadbir tidak buru-buru mengharapkan kematian para pemiliknya.
Mukatab
Definisi Mukatab
Mukatab ialah budak yang dimerdekakan pemiliknya dengan uang yang dibayarkan kepadanya secara kredit dalam jumlah tertentu. Kemudian pemiliknya membuat dokumen dan jika budak tersebut telah melunasi kredit pelunasan dirinya pada waktunya, maka ia menjadi orang merdeka.
Hukum Mukatab
Mukatab itu disunahkan, karena Allah berfirman:
“Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (An-Nur: 33)
Dan karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa membantu orang yang berutang, atau mujahid, atau budak mukatab untuk pembebasan dirinya, maka Allah menaunginya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya.”
Ketentuan bagi Mukatab
Mukatab memiliki memiliki beberapa ketentuan, yaitu:
Mukatab merdeka pada akhir pembayaran kredit yang telah ditentukan untuk dirinya.
Mukatab tetap menjadi budak di mana hukum-hukum perbudakan berlaku terhadap dirinya kendati pembayaran dirinya hanya tersisa satu dirham. Hal ini didasarkan pada pendapat sebagian besar para sahabat dan hadits riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda:
“Mukatab adalah budak, selama pembayarannya masih tersisa satu dirham. “
Seorang tuan dari budak mukatab wajib membantu budak mukatabnya dengan uang, misalnya dengan membebaskan seperempat harga pembebasan mukatab tersebut sebagai partisipasi dirinya untuk kemerdekaan mukatab-nya, karena Allah berfirman:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (An-Nar: 33). Ia boleh memberikan uang bantuan secara kontan, atau memotong harga pelunasan mukatab tersebut.
- Jika mukatab menyegerakan penyerahan uang pembebasan dirinya sekali atau dua kali bayar, maka pemilik budak mukatab harus menerimanya, kecuali jika hal tersebut menimbulkan mudarat pada mukatab tersebut, maka pemilik mukatab tidak boleh menerimanya. Hal seperti ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab
- Jika tuan dari mukatab meninggal dunia sebelum mukatab melunasi pembayaran pembebasan dirinya, maka mukatab tetap harus melunasinya dan menyerahkan sisa uang pelunasan dirinya kepada ahli waris tuannya. Jika mukatab tidak mampu melunasi pembayaran dirinya, maka ia dijadikan budak lagi dan menjadi milik ahli waris tuannya yang telah meninggal dunia tersebut.
- Tuan dari mukatab tidak boleh melarang mukatab bepergian, atau bekerja, namun ia berhak melarang mukatab-nya menikah, karena Rasulullah bersabda:
“Budak mana pun yang menikah tanpa izin tuannya maka ia penzina.”
- Tuan dari mukatab tidak boleh menggauli mukatab wanitanya, karena perjanjian pelunasan diri kepada tuannya menjadikan tuan tidak bisa menggunakan dan memanfaatkannya, dan hubungan seksual termasuk pemanfaatan yang tidak diperkenankan lagi (terputus) dengan perjanjian pelunasan budak tersebut. Ini pendapat jumhur para imam i.
- Jika mukatab tidak mampu melunasi pembayaran dirinya pada kredit terakhir dan tidak mampu melunasinya, maka pemiliknya diperbolehkan melemahkannya dan mengembalikannya ke posisi budak seperti sebelumnya, karena Ali bin Abi Thalib berkata, “Mukatab tidak dikembalikan menjadi budak hingga menunggak dua kali pembayaran.”
- Anak mukatab wanita dimerdekakan bersamaan dengan ibunya ketika ibunya telah melunasi kredit kemerdekaan dirinya dan ia dimerdekakan. Jika ibunya tidak mampu melunasi kredit kemerdekaan dirinya, maka ia dikembalikan menjadi budak lagi termasuk anaknya. Hal ini berlaku baik mukatab wanita tersebut hamil ketika ia membuat perjanjian kemerdekaan dirinya, atau ia hamil setelah itu. Ini pendapat jumhur ulama.
- Jika mukatab tidak bisa melunasi pembayaran dirinya dan ia mempunyai uang, maka uang tersebut menjadi milik tuannya, kecuali jika uang tersebut dari pemberian zakat, maka uang tersebut harus diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin, karena mereka lebih berhak menerimanya daripada tuan dari mukatab yang kaya tersebut.
Ummu Walad
Definisi Ummu Walad
Ummu walad ialah budak wanita yang digauli tuannya kemudian melahirkan anak laki-laki atau anak perempuan darinya.
Hukum Menggauli Budak Wanita
Seorang tuan dari budak wanita diperbolehkan menggauli budak wanitanya, dan jika budak wanita tersebut melahirkan anak maka ia menjadi ummu walad. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Al-Ma’arij: 29-30)
Rasulullah juga menggauli Mariyah Al-Qibthiyah kemudian melahirkan Ibrahim, kemudian beliau bersabda, “Mariyah dimerdekakan oleh anaknya.”
Begitu pula dengan Hajar, ibunda Ismail yang menjadi budak milik Ibrahim. Lalu Hajar melahirkan anak untuk Ibrahim yaitu Isma’il
Hikmah Menggauli Budak Wanita
Di antara hikmah diperbolehkannya menggauli budak wanita adalah sebagai berikut:
- Berkasih sayang kepada budak wanita dengan memenuhi kebutuhan syahwatnya.
- Menyiapkan budak wanita tersebut untuk menjadi ummu walad lalu dimerdekakan dengan kematian tuannya.
- Bisa jadi dengan digauli oleh tuannya, maka tuan budak wanita tersebut semakin memberikan perhatian lebih kepada budak wanitanya dengan memerhatikan kebersihannya, pakaiannya, kamar tidurnya, makanannya dan lain sebagainya.
- Memberi kemudahan kepada orang muslim, karena bisa jadi ia tidak mampu menikahi wanita merdeka, kemudian ia diberi keringanan boleh menggauli budak wanitanya untuk meringankannya dan sebagai ungkapan kasih sayang terhadapnya.
Ketentuan Terkait Ummu Walad
Ummu walad memiliki ketentuan-ketentuan, yaitu:
- Ummu walad berstatus sama dengan budak wanita lainnya dalam seluruh urusan pelayanan, hubungan seksual, kemerdekaan dirinya, batasan auratnya dan pernikahannya. Hanya saja, ummu walad tidak boleh dijual, karena Rasulullah melarang penjualan para ummu walad.,
- Ummu walad dimerdekakan dengan kematian tuannya, karena Rasulullah bersabda:
“Budak wanita mana pun yang melahirkan anak dari tuannya, maka ia merdeka setelah kematian tuannya.’
- Budak wanita tetap menjadi ummu walad, sekalipun ia mengalami keguguran. Dengan syarat dalam keguguran tersebut penciptaan janin telah sempurna dan bentuknya bisa dibedakan, karena Umar bin Khattab berkata, “Jika budak wanita melahirkan anak dari tuannya, ia dimerdekakan kendati ia mengalami keguguran.”
- Ummu walad harus dimerdekakan, baik dia muslimah atau kafir. Hanya saja sebagian ulama berpendapat bahwa budak wanita kafir tidak dimerdekakan, namun keumuman dalil menghendaki memerdekakan budak wanita, baik ia muslimah maupun kafir. Inilah pendapat jumhur ulama.
- Jika ummu walad dimerdekakan setelah kematian tuannya, maka harta yang ada di tangan ummu walad tersebut menjadi milik ahli waris tuannya, karena ummu walad adalah budak sebelum kematian tuannya, dan sebagaimana diketahui bahwa pendapatan budak itu menjadi milik tuannya.
- Jika tuan dari ummu walad meninggal dunia, maka ummu walad menunggu satu kali haidh, karena ia keluar dari kepemilikan tuannya dan berubah menjadi wanita merdeka.
Al-Wala’
Definisi Al-Wala’
Wala’ ialah kekerabatan karena seseorang memerdekakan budak. Maka, siapa pun yang memerdekakan budak dengan cara apa pun, ia menjadi kerabat budak tersebut. Jika budak yang telah ia merdekakan meninggal dunia, dan tidak meninggalkan ahli waris dari nasabnya, maka orang yang memerdekakan dan kerabatnya menjadi ahli warisnya. Rasulullah bersabda:
“Hanyasanya wala’ itu menjadi milik orang yang memerdekakan budak.”
Hukum Al-Wala’
Al-Wala’ disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah
“Maka mereka adalah saudara-saudara kalian seagama dan kerabat-kerabat kalian.” (Al-Ahzab: 5)
Sabda Rasulullah :
“Wala’ itu menjadi milik orang yang memerdekakan budak.”
Sabda Rasulullah
“Wala’ itu seperti daging nasab yang tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.’
Ketentuan bagi Al-Wala’
Ketentuan bagi al-wala’ adalah sebagai berikut:
Al-Wala’ menjadi milik orang yang memerdekakan budak, dengan cara apa pun seperti mukatab, atau tadbir, atau cara lainnya.
Al-Wala’ tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan. Jadi, wala’ tidak berpindah dari pemiliknya kepada orang lain dengan jual beli, atau hibah. Sebab, wala’ itu seperti nasab dan nasab itu tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan, apa pun kondisinya. Rasulullah bersabda:
“Wala’ itu seperti daging nasab yang tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”
- Tidak boleh mewarisi dengan wala’ kecuali pemerdeka budak; laki-laki atau perempuan dan ashabah keluarga laki-laki dari pemerdeka budak seperti dijelaskan dengan rinci dalam ilmu waris.
Wallahu A’lam, hanya Allah yang lebih Mengetahui, dan jalan-Nya lebih jelas dan lebih lurus. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, dan sahabat-sahabatnya.
Alhamdulillah, selesai sudah (penulisan kitab ini). Saya mengharapkan para pembaca berkenan memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pena, dan pemahaman yang masih membingungkan. Maafkanlah saya, karena terkadang orang yang dermawan itu tergelincir, dan kesempurnaan itu hanya milik Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.