Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan segala nikmat-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan atas Nabi-Nya yang pemungkas, kelyarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia.

 

Selanjutnya, sudah sejak lama aku menyempatkan diri untuk mempelajari secara mendalam terhadap dua buku yang ditulis seorang tokoh Islam (syekh al-Islam) Aby Al-’ Abbas Akhmad bin Abd. al-Halim al-Hurrani al-Dimisqi yang dikenal dengan Ibnu Taimiyyah yang wafat pada tahun 728 H.

 

Dua buku tersebut berjudul Manhaj al-Sunnah alMuhammadiyah fi naqd al-Syi’ah wa al-Qadariyah dan Muwafagqat Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul.

 

Setiap hari aku membaca beberapa halaman, dan pada akhir setiap pembahasan aku senantiasa mencatat pandanganpandangannya yang sangat penting, yang akan disampaikan kepada para pembaca lainnya. Dan aku pun senantiasa mendapatkan ilmu yang berlimpah dari penulis buku tersebut, yang telah membahasnya secara luas dan mendalam terhadap segala hal yang dikemukakan ummat Islam pada waktu itu.

 

Di samping itu, buku tersebut dipaparkan dengan dialog dan diskusi yang panjang lebar, berwawasan pemikiran yang sanggup memilah berbagai pandangan, disertai pula dengan kemampuan mempertahankan argumentasinya sehingga membuat keheranan seseorang tak kunjung usai

 

Namun pada hari itu pula, kiranya ada suatu hal yang sangat menyita perhatianku, mengapa syekh al-Islam (Ibn Taimiyah) tidak henti-hentinya menuturkan perintis aliran Ahlussunnah waalJama’ah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa Abdillah bin Qasys al-Asy’ari, wafat pada awal bulan Rabi’ .al-Tsani abad ke 7 H.

 

Berbagai sanjungan ditujukan kepada al-Asy’ari, karena beliau dianggap lebih condong kepada pandangan tokoh Islam (salaf) waktu itu. Tokoh Islam pada waktu itu tiada lain adalah Ahmad bin Hanbal yang hanya pengikutnya.

 

Dan mudah-mudahan Allah senantiasa memberkati penulis dan pentahkik pandangan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah ini. Juga diturunkan bahwa penulis buku tersebut seorang yang telah banyak membuat sanjungan dan kebesaran bagi dirinya.

 

Secara umum penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Abu Hasan al-Asy’ari penulis buku Magalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin.

 

Kemudian kiranya aku belum merasa jenuh membaca buku tersebut, sehingga rasanya aku ingin sekali terus membaca bukubuku yang ditulisnya, diantaranya yaitu, buku Maqalat ini.

 

Dan apa yang dikemukakan dalam buku tersebut rasanya aku jadi mengetahui bahwa pandangan-pandangan Ibn Taimiyyah mengacu dan merujuk kepadanya.

 

Sehingga keinginanku senantiasa bergelora untuk menggeluti buku al-Maqalat,-sampai aku mendapat kesempatan menyebar – luaskannya sesuai yang dikehendaki para cendikiawan (ulama) dalam bidang ilmu agama ini. ‘Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan bersungguh-sungguh -aku berusaha mentahkik naskah aslinya, menerangkan ‘secara jcias dan ringkas dengan merujuk kepada buku-buku yang sesuai dengan materi pembahasannya, serta tak lupa mengacu kepada buku-buku sejarah (tarikh), karena tidak sedikit para pengikut aliran teologi Islam banyak menyimpang jauh dari peristiwa sejarah yang pernah dialaminya, sebagaimana banyaknya kesalahan mereka terhadap suatu peristiwa sejarah dan para tokoh pelakunya. .

 

Pada ghalibnya, secara umum bertujuan menjelaskan dan mendudukkan suatu peristiwa sejarah pada proporsinya. Dan akupun telah berusaha ke arah itu tidak kurang dari dua tahun Iamanya.

 

Adapun setelah itu semua, aku akan menyempurnakan buku ini dengan mengetengahkan materi pembahasannya secara rinci dan mengemukakan keterangan-keterangan yang benar kepada para pembaca, sehingga timbul keyakinan dalam mempelajarinya.

 

Juga, terhadap pentahkikan buku ini, dan kepada orang yang mempelajarinya disetiap saat secara bersungguh-sungguh disampaikan penghargaan yang tinggi.

 

Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian bersemayam dalam hati kami terhadap orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

 

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

 

Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.

 

Pentahkik

 

Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid

 

Maha Terpuji Allah, Tuhan semesta alam, Keselamatan semoga selalu menyertai Rasulullah, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Tatkala Allah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, kondisi dunia berada dalam ketidak menentuan akibat terkungkung dalam kejahiliyahan, kezaliman, taklid, anarkisme moral, dan porak-porandanya fondasi kehidupan sosial. Masyarakat Arab ketika itu merupakan ummat yang tenggelam dalam kejahilan dan pemujaan terhadap berhala Mereka tidak memiliki kemajuan dan keteladanan dalam kehidupan sosial yang sehat mereka tidak memiliki rasa belas kasihan atau: kelembutan jiwa. Tidak ada pula pembimbing yang memalingkan mereka dari praktek penipwar dan perampokan, tradisi. berperang, merampas hak-hak, dan kehormatan memusnahkan anak-anak perempuan dan‘ perbuatan-perbuatan keji lainnya. Mereka juga tidak memiliki kecemerlangan akal, kepekaan penalaran dan cahaya pengetahuan yang Jahir di antara mereka dan para penyembah berhala, berusaha mendekatkan diri padanya, senang mendatangi tukang sihir, dukun dan orang pintar yang diharapkannya dapat menyingkap rahasia dibalik tabir kehidupan dan dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan dan perpecahan. Kalaupun di antara mereka ada yang memeluk agama, itu pun memeluk agamanya yang telah berubah dan praktek peribadahannya yang telah diganti oleh bentuk yang ditetapkan oleh pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin agama maupun pemimpin negara. Mereka merupakan masyarakat yang selalu membungkus amal kebaikannya agar terlihat senantiasa cantik; mereka mempercayai akidah trinitas, kesatuan dengan Tuhan (hulul), dan adanya perantara antara khalig dan makhluq. Mereka ini adalah masyarakat yang menjauhkan diri dari penggunaan akal sehat untuk kemudian meyakini bid’ah yang dilakukan rahib-rahibnya, seperti keyakinan antrofomorfisme dan lainnya yang tidak pantas untuk diatributkan kepada Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Mereka merupakan masyarakat yang meyakini jasad yang luhur (halus), mengatakannya dengan tempat peribadatan (sinagog) dengan mengagungkan dan mensucikannya. Orang-orang non Arab pun kala itu tidak kalah bobroknya; di antara mereka ada yang menjadi penyembah berhala, api, materialis, mengingkari hal-hal yang meitafisis, dan menolak kenabian, Kalaupun ada yang beragama, maka keberagamaannya itu tidaklah lebih baik dari apa yang diyakini oleh orang Arab; mereka juga tidak bisa dijadikan sebagai pembimbing ke jalan yang lurus.

 

Di tengah gejolak sosial dan gejolak agama seperti ini, Allah -mengutus hamba pilihan-Nya menjadi utusan (Rasul) yakni Muhammad bin Abdullah dengan membawa hidayah dan agama yang haq, untuk menggantikan agama yang lainnya, walaupun ternyata orang-orang kafir tidak menyukainya. Ia membangun argumentasi, membangkitkan kefungsian akal, mengajak manusia untuk memuliakannya, menyadarkan keputusan terhadapnya dan mengajak masyarakat untuk mencampakkan taklid dan tidak mengangkat manusia menjadi Tuhan selain Allah. Untuk menyukseskan (dakwah) dan hal-hal semisalnya, ia menempuh cara yang tidak menyudutkan perasaan dan jangkauan pemahaman masyarakat, dan juga tidak melambung tinggi dari kemampuan mereka yang dapat menjauhkannya dari pengetahuan yang sebenarnya tentang hidayah dan agama yang didakwahkan. Begitu juga tidak terlalu sederhana sehingga sebagian orang tidak merasa terhina dan teringkari. Lihatlah betapa ajakan berikut sangat memuliakan akal dan ilmu serta menegaskan argumentasi dengan cara yang gamblang dan etis, Firman-Nya: ”Katakanlah wahai pemegang kitab suci (ahli Kitab), marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan Sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikan, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.

 

Hai ahli kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?

 

Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi.menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.

 

Jika anda selesai membaca ini, maka renungkanlah betapa mudahnya dipahami oleh akal, dengan demikian, tidak perlu memahaminya susah payah. Selanjutnya bacalah untuk kedua kalinya dan renungkanlah: Apakah pernah didapati ungkapan (perkataan) yang lebih baik dan lebih argumentatif? Adakah ditemukan dalam mata rantai ahli logika yang selalu dibanggakan oleh para peneliti, ungkapan-ungkapan yang lebih baik dari pada ayat ini? Jika anda sudah merasa yakin dengan semua ini, maka ketahuilah bahwa anda akan menemukannya dalam seluruh wahyu Allah yang diterima Muhammad SAW dalam seluruh timbingan Allah yakni sunnah rasul-Nya, dan dalam seluruh kehidupan kesehariannya. Ketahuilah bahwa anda akan menemukan teladanteladan dan kemuliaan dalam agama ini, sebagaimana telah diisyaratkan (sebagian kekhususannya) di atas kepada kita sekalian.

 

Orang Arab, ketika melihat kehancuran argumentasi mereka dan setelah menentangnya, tidak tinggal diam sampai di situ saja, melainkan ia memilih dan mengikuti agama ini dengan gembira. Mereka melihat Nabi memberikan atribut kepada Tuhan dengan atribut yang diberikan kepada Tuhan-Nya Yang Maha Suci: sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak ada seorang pun yang mempertanyakan sesuai dengan kemampuan akalnya sedikit pun dari hal-hal seperti itu. Padahal dalam masalah Shalat, puasa, zakat, haji, dan hal-hal yang diketahui terkandung perintah dan larangan (kwalitas hukum). Begitu juga berkenaan dengan keadaan hari akhirat, surga dan neraka, kita dapat mengatakan” tak seorang pun yang bertanya tentang atribut (sifat) Tuhan selain yang telah disifatkan Tuhan bagi diri-Nya”. Hal itu demikian adanya, karena persoalan ini akan menggiring kepada pengklaiman-pengklaiman. Makanya kita belum pernah menemukan riwayat yang mengatakan bahwa ada di antara mereka yang merasa tidak memahaminya untuk selanjutnya bertanya guna mengungkap keragu-raguan, menghilangkan ketidak yakinan atau menghalau kabut tebal yang menghalangi, sebagaimana yang terjadi yang diambil dalam hadits yang cukup banyak penjelasannya tentang pertanyaan yang diajukan dalam bidang hukum halal dan haram, keadaan pada saat kiamat, dan persoalan fitnah (petaka besar) dan semisalnya. Semua ini menjadi bukti bahwa mereka memahami ketuhanan dengan begitu mudah tanpa harus memfilsafatkannya.

 

Di antara yang menyejukkan pandangan dari para pengkodifikasi hadits Nabi dan berdasarkan. atsar-atsar -salafiyah, adalah bahwa tidak pernah sama sekali terjadi ’memperdebatkan sifat-sifat Tuhan” sungguh pun dengan secara baik-baik apalagi dengan cara tercela dari salah seorang sahabat sekalipun dengan perbedaan tingkat dan jumlahnya. Mereka bertanya kepada Rasulullah akan makna sesuatu yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yang telah diatributkan bagi diri-Nya. Didapatkan dalam Al-Qur’an melalui lisan’ Rasulullah, mereka mengetahui seluruh makna dan memilih diam dalam meniperdebatkan sifat-sifat Tuhan; mereka tidak pernah membeda-bedakan sifat-sifat tersebut menjadi sifat dzati dan sifat fi’li, melainkan mereka menetapkan sifat-sifat azali bagi Tuhan, seperti sifat mengetahui (al-ilm), kuasa (al-Qudrat), hidup (al-Hayat),; berkehendak (al-Iradat); melihat (al-Bashar), mendengar (al-Sama’) berbicara (al-Kalam), mulia (al-Jalal), agung (al-Ikram), pengasih (al-Jawad), pemberi nikmat (al-In’am) perkasa (al-Izzu) dan luhur (al-’Udzmah). Mereka hanya memiliki kalimat seperti itu. Begitu juga, mercka memutlakkan makna yang telah dimutlakkan Tuhan sendiri bagi diri-Nya, seperti wajah, tangan dan semisalnya, seraya tetap menafikan kesamaan dengan makhluk. Mereka menetapkan tanpa ada keraguan, mensucikan-Nya tanpa kebatilan. Mereka bersepakat untuk mengakui sifat-sifat-Nya apa adanya sebagaimana diajarkan; tidak ada yang berusaha mengargumentasikan sifat keesaan Allah dan kerasulan Muhammad selain dengan Al-Qur’an; tidak ada yang pernah mengambil cara-cara kaum teolog dan tidak juga para filosof.!

 

Dalam keadaan ini, yakni sebagaimana telah diuraikan di atas, berakhirlah kurun awal. Para sahabat RasuluJlah dan orang yang mengikutinya secara baik adalah orang yang memahami apa yang diuraikan Rasulullah dari Tuhan-Nya. Mereka tidak memandang periu untuk berfilsafat, dan tidak juga terhadap metode pembahasan kalami (teologis) yang bertumpu pada filsafat. Terhadap kitab suci yang diwahyukan Allah; berisi hak-hak terhadap-Nya dan terhadap sesama yang harus dipenuhi; sebuah kitab suci berbahasa Arab yang jelas, mereka telah memahami ungkapan-ungkapannya. Jika mereka -merasa perlu untuk mengungkapkan makna yang tidak dipahaminya, maka-mereka menanyakannya kepada Rasulullah. Kalaulah tidak demikian, lantas untuk: apa mereka tidak mau memahami ungkapan-ungkapan yang berbicara kepada mereka dari kitab suci itu? Bagaimana mungkin mereka tidak bertanya, selain bahwa mereka telah memahami maknanya? Lisan Rasul adalah lisan Arab, dan permasalahan yang biasa diperbincangkan di antara mereka itulah yang menjadi perbincangan Al-Qur’an. Mayoritas mereka adalah bangsa Arab yang mampu berbicara dengan bahasanya yang baik ini benar. Serta memahaminya jika ada yang berbicara dengannya. Adapun bagi orang non Arab, tidaklah perlu menguasai kemahiran sebagaimana yang dimiliki orang Arab asli, melainkan cukuplah mengetahui seluk-beluk bahasa dan. kekhususan-kekhususannya. Jika hal itu sudah tercapai, maka jalan terbentang baginya untuk mampu memahami sebagaimana orang Arab asli.

 

II

 

Pada masa kurun awal, hidup dua orang tokoh yang mengajarkan kepada masyarakat sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi, dan juga tidak diajarkan oleh sahabat-sahabatnya. Mereka juga mempengaruhi sebagian kecil sahabat, dan sebagian besar tabi’in, pemangku bendera Islam dan sebagian penduduk Madinah

 

Salah satu tempat kelahiran agama Islam, tempat diturunkannya wahyu kepada Rasulullah, tempat berhijrah, dan tempat tumbuhnya pribadi-pribadi suci. Kedua tokoh tersebut masuk Islam dengan target buruk (niat jahat), dan boleh jadi kemenangan-kemenangan yang diperoleh ummat Islam dalam penaklukan berbagai wilayah telah menumbuhkan dalam jiwanya sifat kecewa dan dendam, yang membuatnya berkesimpulan untuk menghancurkan ummat Islam dari dalam.

 

Salah seorang di antaranya pemeluk Nasrani bangsa Irak bernama Susan yang masuk Islam kemudian bersahabat dengan Ma’bad bin Abdillah al-Juhani al-Bisriy. Dalam dirinya terkandung racun yang berbahaya, dan mengajarinya tentang Qadar. Ma’bad inilah akhirnya yang pertama-kali membicarakan masalah gadar dalam agama yang dibawa Muhammad. Ia datang ke Madinah untuk menghasut masyarakatnya. Tokoh-tokoh dan masyarakat pada zaman itu memperingatkan untuk menjauhinya. Diriwayatkan, ketika hal itu disampaikan kepada Ibn Umar, maka ia mengumumkan berlepas diri. Hasan berkata: Jauhilah Ma’bad, karena Ia sesat dan menyesatkan. Diriwayatkan bahwa tatkala Muslim bin Yasar sedang duduk bersandar di sebuah tiang mesjid, Ia berkata: Sesungguhnya Ma’bad itu berbicara layaknya penganut kristiani, dan ia tidak berhenti darinya hingga Abdul Malik bin Marwan menangkapnya untuk kemudian dihukum mati dan disalib di Damaskus pada tahun delapan hijriyah.

 

Ma’bad al-Juhani mentransferkan pahamnya kepada muridnya, Gilan ibn Marwan (ibn Muslim) al-Dimisygi. Di antaranya Ia berpendapat: Qadar baik dan buruk berasal dari manusia; imamah (kepemimpinan) itu boleh dari selain keturunan Quraisy; setiap orang berhak menegakkan Al-Qur’an dan sunnah; Imamah juga tidak sah kecuali dengan kesepakatan (konsensus) masyarakat. Hidupnya berakhir setelah ditangkap oleh Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan dengan mencincang kaki tangannya.

 

Adapun tokoh satunya lagi adalah seorang Yahudi yang bergaul dengan kaum’ beriman, lalu ia memeluk Islam dengan menyembunyikan niatnya untuk menyiasati Islam. Ia adalah Abdullah bin Wahab bin Saba, yang terkenal dengan panggilan Ibn Sauda’. Kita telah banyak membicarakannya, dan dirasa cukup di dalam komentar-komentar pelengkap buku ini. Cukuplah menyebutkan tiga masalah yang dia munculkan, yang merupakan petaka dan mengada-ngada. Pertama, Ia adalah orang yang pertama kali mengada-ngada tentang wasiat imamah dari Rasulullah terhadap Ali ibn Abi Thalib RA. Ia berbicara tentang imamah dan kekhalifahan Ali yang diwasiatkan, dengan nash agama. Kedua, Ia adalah orang yang mula-mula mengemukakan pendapat kembali hidupnya Ali, dan juga Rasulullah setelah kewafatannya. Ketiga, Ia adalah orang yang mula-mula mengatakan bahwa, Ali tidak mati terbunuh, namun ia tetap hidup ia berada di awan; geledek itu suaranya dan kilat itu merupakan cametinya, dan di dalam diri Ali terdapat bagian dari diri Tuhan. Ia pasti akan datang ke bumi mengisinya dengan keadilan, sebagaimana sekarang ini dipenuhi oleh kejahatan. Hampir keseluruhan dari keputusan-keputusan logika seperti ini diambilnya dari ummat Yahudi yang diajarkan golongannya ketika itu. Namun untuk membenarkannya, ia berdalih dengan kisah-kisah tentang keadaan Nabi Musa, tentunya dengan berbagai bumbu dan perubahan.

 

Akibat dari pendapat yang kacau. seperti ini, yang merupakan hembusan racun Abdullah ibn Saba, maka perbedaan pendapat dan kelahiran firqah-firqah menjadi tak terhindarkan. Di antara yang paling banyak mendapat penganutnya adalah golongan Rafidhah Ekstrem, bukanlah mereka berpendapat bahwa sesungguhnya /mamah (kepemimpinan) itu terbatas kepada orang, Orang tertentu, sebagaimana halnya Syi’ah Imamiyah berkata: Imamah itu terbatas hanya dua belas imam saja, dan pendapat aliran Syi’ah Isma’iliyyah bahwa imamah itu terbatas hanya sampaj pada keturunan Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq saja.

 

Selanjutnya, bukanlah kebanyakan para pengikut aliran Syi’ah Imamiyyah meyakini kebangkitan kembali para pemimpinnya ke dunia setelah kewafatannya. Dan itulah yang diisyaratkan melaluj ungkapan Kutsair Ibn Abdurrahman yang’ masyhur dengan panggilan Kutsair ’Izzah dalam syairnya:

 

Artinya:

 

Seseorang penerus (imam) yang tiada mengenyam kematian Sampai panji-panji mengiringkannya ketika berkuda. Dia memang ghaib, tiada terlihat. sampai datang masanya dan kini di Radhwa, madu dan air melimpahinya.

 

Demikian pun al-Sayyid al-Hamiry bersyair:

 

Artinya:

 

Dia ghaib dari para pengikutnya hingga mereka pun berkata di kota Taybah, perut bumi mengandungnya.

 

Selanjutnya, bukanlah pula di antara aliran Syi’ah Imamiyah ini banyak yang berkeyakinan bahwa unsur ketuhanan (ilahiyah) menyatu dalam diri para imam pengganti Ali ibn Abu Thalib RA. Dan yang demikian ini menurut mereka yang berhak memegang Imamah, Berdasarkan pendapat ini sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah maka Dinasti Fatimiyyah memegang penuh kepemimpinan (imamah) di Mesir.

 

Ibnu Saba inilah yang telah memberikan pengaruh terjadinya fitnah terhadap Amirul Mukminiin utsman ibn Affan RA. dan kobaran apinya masih terus menyala, yang kemudian diikuti oleh sejumlah manusia, sehingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang dihukumi zalim oleh mereka.

 

Ia memiliki pengikut yang banyak di setiap penjuru wilayah Islam. Itulah sebabnya mengapa aliran Syi’ah banyak pengikutnya.

 

Hal demikian terus berlanjut, sehingga kekuatan mereka semakin bertambah seiring dengan makin bertambahnya pengikut mereka.

 

III

 

Pada kurun pertama juga, pengikut-pengikut Ali dari golongan Syi’ah terpecah belah, timbul saling bermusuhan, masing-masing berusaha meraihpengikut sebanyak-banyaknya dan akhirnya peperangan pun tak terhindarkan. Setelah ditebus dengan jiwa dan harta, juga setelah ketaatannya nampak, adalah kaum Khawari; yang scbelumnya mendukung Ali ibn Abu Thalib RA dan pertama kali memerangi Mu’awiyyah dan penduduk Syam, schingga ketika kemenangan hampir diraihnya, mungkin tinggal dua tumbak lag; bahkan lebih pendek, namun ketika itu juga Mu’awiyyah dan para pendukungnya mengatur siasat. Dan akhirnya Amr bin Ash berhasij membawa Ali dan pendukungnya untuk menerima arbitrase (tahkim) dan agar proses selanjutnya diwakili oleh Abu Musa al, Asy’ari. Adapun kaum Khawarij, mereka tidak mau menerima tahkim sebelum dapat mengalahkan penduduk Syam, sebagaimana juga mereka tidak mau menerima pilihan Ali juga Mu’awiyyah. Ketika Ali dan pasukannya memenuhi permintaan Mu’awiyyah, serta arbitrase telah berakhir, kaum Khawarij memproklamirkan diri menentang pihak Ali dan seluruh pihak yang menerima arbitrase (tahkim). Pendirian mereka tidak dapat dilunturkan dengan argumentasi dan nasehat. Mereka menolak untuk kembalj mendukung Ali, kecuali apabila ia mengumumkan penolakannya terhadap hasil arbitrase dan bertobat kepada Allah SWT. Namun Ali tidak menyetujui pengumuman tersebut, ia tidak memilih arbitrase selain bertujuan untuk membendung revolusi kaum reaksioner dan berkeyakinan bahwa dengan pilihannya itu, maka tidak akan ada pengingkaran-pengingkaran, bahkan tidak akan ada maksiat sekalipun.

 

Adalah suatu yang mengganjal dalam pikiran kita sehingga menjadi kepenasaranan, yakni bahwa mereka mengelwarkan diri dari kelompok Ali secara tiba-tiba dan tanpa didahului perselisihan. Padahal mereka adalah pengikut yang sangat fanatik. Mereka keluar dengan alasan memelihara hukum-hukum Tuhan dan ketulusan dalam mengaplikasikannya. Mereka juga dikenal sebagai Pemikir Islam yang handal sehingga membuat ragu tiap orang untuk berprasangka terhadap tingkah laku dan tindakannya.

 

Apakah dengan demikian para sejarawan telah mendustakan kita, baik yang Syi’ah maupun non Syi’ah mereka menceritakan sebuah gambaran yang memunculkan ekstremitas dan kebatilan serta bersikukuh dalam sesuatu yang tidak perlu disikapi seperti itu? Jika semua fakta ini merupakan kebenaran dari para sejarawan pihak Ali, bagaimana bisa dikatakan benar bagi yang terpercaya untuk mengungkapkan kebenaran? Bagaimana hal itu dibenarkan, sedangkan para sejarawan sendiri belum mengimbangi tulisan para sejarawan golongan Ali atau para pembelanya? Hanyalah sedikit orang kita yang menulis tentang suatu kelompok yang mereka biasa dikatakan bahwa mereka tidak menguraikan masa lalu kelompok Ali. Bagi mereka sama saja untuk memberikan penilaian tentang masa lalu kelompok Ali, apakah mereka dikategorikan orang-orang yang zalim ataukah yang dizalimi.

 

Jika memang ternyata para sejarawan tidak mendustai kita, dan itu merupakan kemungkinan terbaik, maka apakah dalam golongan Syi’ah atau orang yang mendukungnya ada orang yang menyembunyikan permusuhannya untuk dimunculkan setiap saat ketika keadaan memungkinkan? Atau ia sendiri berusaha menciptakan kesempatan yang mendukungnya? Apa yang sebenarnya saya maksud adalah: Apakah Abdullah ibn Wahab ibn Saba memang nyata-nyata dengan kecerdikan dan kedekatannya terhadap Syi’ah Ali berusaha menarik simpati masyarakat yakni dengan cara memuliakan Ali, dan terkadang juga mentuhankannya, serta dengan menyebarkan keyakinan bahwa Rasulullah berwasiat tentang kepemimpinan Ali. Semuanya itu hanyalah tipuan belaka. Suatu tipuan yang diciptakan Abdullah bin Wahab bin Saba dengan maksud agar kelompok pendukung Ali merasa kagum: dan salut terhadapnya, yang dalam tujuan sebenarnya adalah menghancurkan semua hubungan Ali dan pendukung-pendukungnya. Ia mengambil sumpah terlebih dahulu untuk berlaku setia terhadap Ali dan dirinya, . sebelum mengutarakan maksud yang sebenarnya.

 

Adapun yang sebenarnya terjadi, yang jelas, kaum Khawarij telah memisahkan diri dari kelompok Ali pada perang Shifin, yakni peperangan antara penduduk Syam yang sebagian besar merupakan pendukung Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Kaum Khawarij ini sangat besar, akan tetapi kemudian menjadi madzhab yang memiliki banyak pengikut, Mereka mencampur-adukan antara masalah agama dan masalah negara. Makanya tidak mengherankan jika mereka banyak berbicara tentang agama, pokok-pokok dan. cabangnya, pandangannya tentang kesetiaan terhadap negara dan pemimpinnya atau bahkan ‘sebaliknya, sebagaimana akan ditemukan pembahasannya dalam buku ini.

 

IV

 

Pada masa akhir kurun awal, atau pada masa awal kurun kedua, muncullah seorang tokoh yang dipanggil Jaham bin Shafwan di daerah Turmudz dan daerah Timur. Ia telah melahirkan dan menularkan sikap skeptis terhadap ummat Islam, suatu sikap yang memiliki dampak negatif bagi umat Islam yang pada giliranny, melahirkan malapetaka besar. Namun pengikut dia tidak sedikit. Bagi Dia, iman hanyalah mengetahui Tuhan saja, sedangkan kufur didefinisikan sebagai kejahilan tentang Allah. Tidak ada tindakan manusia sedikit pun; semua gerak atau perbuatan pada hakikatnya adalah tindakan atau pekerjaan Allah semata. Ia adalah pelaku, sedangkan kaitan pekerjaan manusia dengan-Nya adalah kiasan semata, sebagaimana ungkapan: Pohon bergerak, angkasa berputar, dan matahari lenyap. Dia menafikan adanya atribut sifat-sifat bagi Tuhan. Ia juga mengemukakan bahwa ilmu (pengetahuan) Tuhan adalah baru, Qur’an adalah makhluk. Karena pendapatnya yang terakhir inilah, maka ada juga yang menghubungkan Jahm dengan Mu’tazilah. Namun. dikatakan, menurut golongan Mu’tazilah, Jahm dalam keburukan tingkah-laku dan keengganannya untuk bergabung dengan Mu’tazilah, tak ubahnya seperti Hisyam bin Hakam. Para pemuka agama telah menghukuminya sebagai pelaku bid’ah terbesar terhadap agama, menggiring penganutnya untuk ingkar dan sesat. Masyarakat menjauhkan diri dari pengaruh Jahm dan memeranginya atas nama Tuhan. Mereka juga mencela orang yang berguru kepadanya, yang mengutip pendapatnya atau meniru tingkah laku mereka.

 

Rupanya Tuhan hendak menggiring Jahm bin Shafwan menuju kematiannya. Suatu ketika, ia bersama dengan Harist bin Suraij, pada tahun 128 H., datang menemui khalifah bani Umayyah yang kala itu dipegang oleh Marwan bin Muhammad, akan tetapi Harits bin Suraij menolaknya. Akhirnya ia sendirian menemui dan berbincang-bincang dengan Hakam. Ketika itu datanglah Salim bin Ahwaz, kepala kepolisian beserta para perwira angkatan bersenjata dan para pejabat pemcrintahan (para gubernur). Mereka semuanya meminta agar Jahm bin Shafwan menghentikan perbuatan dan tindakannya dalam menyebarkan fahamnya, dan agar tidak memecah belah ummat Islam, namun ia menolak. Ketika itu, sekelompok masyarakat datang. Jahm bin Shafwan memanggil Nasr bin Sayar seorang Gubernur Khurasan untuk membela apa yang didakwahkannya sebagai ajakan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Namun Nasr bin Sayar menolak untuk menyetujuinya, akhirnya ia tetap tidak diakui sebagai bagian dari ummat Islam, bahkan Nasr bin Sayar menyuruh Jahm bin Shafwan untuk membacakan buku kepada masyarakat yang di dalamnya berisi biografi Harits bin Suraij. Suatu ketika, setelah dalam suatu temu wicara/diskusi Nasr bin Sayar berdebat pandangan dengan Harists bin Suraij sehingga keduanya mengadakan musyawarah, dengan moderator arbiter Muqatil bin Hasan dan Jahm bin Shafwan. Keputusannya adalah membebaskan Jahm bin Shafwan dari perintah tersebut. Akan tetapi, Nasr bin Sayar menolak untuk menerimanya, sehingga Jahm bin Shafwan tetap harus membacakan biografi Harits bin Suraij, di mesjid-mesjid dan di jalanan yang banyak dikerumuni masyarakat. Ketika itu pula sekelompok tentara merasa leluasa untuk membunuhnya, tentunya atas perintah Nasr bin Sayar. Terjadilah bentrokan yang cukup dahsyat yang menyebabkan terbunuhnya banyak orang, termasuk Jahm bin Shafwan sendiri; seorang melukai mulutnya, lalu membunuhnya. Ada juga versi sejarah yang mengatakan: Ia ditawan terlebih dahulu, lalu Salim bin Ahwar memerintahkan untuk membunuhnya. Namun Jahm bin Shafwan berkata: Aku memiliki jaminan hidup dari ayahmu, Salim menjawab: Ia tidak pernah menjamin keselamatanmu, dan kalaupun ia melakukannya, aku tidak akan pernah mempercayaimu; kalaupun ruangan ini dipenuhi bintang-bintang angkasa, dan Isa bin Maryam didatangkan, kamu tetap tidak akan selamat. Demi Allah! Andai aku mengandungmu, tentu akan aku gugurkan kandunganku, sehingga kamu mati. Ia akhirnya menyuruh Ibnu Musayar untuk membunuhnya.

 

Kita ingin sejenak membahas Icbih lanjut mengenai Jahm bin Shafwan dan Harits bin Suraij yang dijadikan Jahm bin Shafwap sebagai tali pegangannya. Hal itu karena kita melihat ada kecurigaan bada keduanya, keraguan tersebut bermula ketika kubaca al-Hafid, bin Katsir berkata: Tahun 128 H. adalah waktu terbunuhnya Harit, bin Suraij. Adapun sebabnya adalah karena Yazid bin al-Waliq mengirim surat jaminan sampai dia mampu keluar dari Turki dan bergabung dengan kaum muslimin, dan dia kembali berpihak kepada agama Islam dan kaum’ muslimin setelah mendukung kaum politeis Jika demikian keadaannya, maka Harits bin Suraij adalah seSeorang yang tidak taat dan tidak saleh dalam keberagamaannya, karena dia telah mendukung kepemimpinan kaum politis; dia bergabung dengan mereka, meminta pertolongan untuk mengalahkan kaum muslimin dan ikut mengerahkan pasukannya memerangi ummat Islam. Sedangkan Jahm bin Shafwan sendiri adalah sekretaris Harits bin Suraij, bahkan lebih dari itu juga, ia selalu membacakan tulisannya mengenai kelebihan yang dimiliki Harits. Ini artinya bahwa dia adalah penganjur untuk mengikuti ajaran Harits bin Suraij dan jika demikian berarti tulisan-tulisannya bersumber dari kepentingan-kepentingan yang jelek. Data ini memberikan penjelasan apa yang dikatakan oleh al-Muqrizi mengenai Jahm bin Shafwan ini, dia mengatakan: Dia telah membangkitkan upaya tasykik (peraguan) terhadap Islam yang melahirkan dampak negatif dan malapetaka besar dalam agama Islam. Kesemua ini semakin memperkuat anggapan kita bahwa sebab utama perpecahan yang terjadi dalam Islam, yang dalam substansinya tidak terdapat hal Semacam itu, adalah dikarenakan adanya invansi dari mereka ini, yang motivasi utama mereka adalah menghancurkan sesuatu agama Islam yang oleh Tuhan dikehendaki sebagai agama yang melebihi agama lainnya. Tuhan Maha Menguasai urusan-Nya dan tidak akan ada seorang pun yang menyerangnya, kecuali ia menghancurkanNya.

 

Sejarah telah mencatat bagi kita, dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad kedua Hijriah dan juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat keagamaan yang dipegang oleh mayoritas muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah ar Rad’ala al-Qadariyyah yang disusun oleh Umar bin Ubaid (80-144 H.) scorang tokoh (syaikh) dan zahid muktazilah dan. buku Asnaf al-Murji’ah yang disusun oleh Washil bin ’Atha (80-181 H.) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga dikatakan scorang budak bani Makhzum, yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka madzhab Mukta’zilah.

 

V

 

Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni neraka secara abadi, Sedangkan mayoritas umat Islam kala itu mengatakan: Mereka masih seorang mukmin, hanya saja ta seorang mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin ’Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari masalah pelaku dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al-Basri mengatakan apa yang dipegang oleh umat. Akan tetapi Washil bin ’Atha mempunyai pendapat lain, dia berkata: Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa _ ini adalah bahwa ia bukan seorang mukmin dan bukan pula seorang kafir, ia berada dalam suatu tempat di antara dua tempat (alManzilah baina al-Manzilatain). Pendapatnya ini membuat Hasan al-Basri marah dan mengusirnya dari majelis pengajiannya dan Washil bin ’Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid sebagai tempat pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itulah dia dan pengikutnya dijuluki al-Mu’tazilun atau Mu’tazilah.

 

Washil bin ’Atha sendiri adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan mutakallimin. Dia selalu menukar huruf ra dengan huruf ghin: Di dalam al-Kamil, Abu al-’ Abbas alMubarrad berkata: Washil bin ’Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf’ra, oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakannya dalam setiap kata pembicaraannya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya. Hal itu karena rendah susunan kata-katanya. Dalam hal ini seorang penyair mukatazilah, Abu Thuruq ad-Dlabiy, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta kemampuan menghindarkan diri dar; keseringan menggunakan huruf ra dalam pembicaraan Sehingga nampak hampir tidak pernah ada sama sekali dalam kalimat. kalimatnya, sebagaimana dilukiskan dalam syair:

 

Seorang ’alim yang pandai menukar huruf penakluk Setiap rival diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenaran.

 

Ulama lain mengomentarinya dengan bersyair:

 

Artinya:

 

Dia jadikan kebajikan bagi hiasan kehidupannya menghindari huruf ra hingga syair-pun tercela jadinya. Tidaklah pernah berucap “mathara” dan semisalnya namun menjadikan ”al-Ghaits” sebagai penggantinya.

 

Washil ibn ‘Atha sebenarnya bukanlah seorang sastrawan, namun ia menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud agar mempunyal prestise di mata para wanita shaleh; sehingga ia dapat mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, di antaranya talah: Ashnaf al-Murji’ah, AlTaubat, Al-Manzilah bain al-Manzilatain, Ma’ani al-Quran, alKhitab fi al-Tauhid wa al-’Adl, Ma Jara Bainah wa Bain ’Amr bin ’Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-Haq, al-Da’wah dan kitab Thabagat Ahl al-’Ilm wa al-Jahl.

 

Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H. dan meninggal dunia pada tahun 181 H.

 

Sedangkan yang dimaksud ’Amr bin ’Ubaid adalah Abu Utsman ’Amr bin ’Ubaid bin Bab budak Bani ’Aqil, seorang theolog dan zahid. Kakeknya berasal dari Sabi Kabil, salah satu daerah di Shind.

 

‘Amr bin ’Ubaid merupakan tokoh Mu’tazilah pada zamannya. Di antara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan al-Bisri pernah diminta komentarnya, seraya berkata: ” Aku ditanya tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik oleh malaikat, seolah-olah dibina oleh nabi, jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak menyelesaikannya, jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling komitmen terhadapnya, dan jika melarang sesuatu maka dialah yang paling gigih menghindarinya, berdiri dikarenakan oleh suatu masalah maka langsung duduk, jika duduk karena suatu masalah maka langsung berdiri. Aku tidak pernah melihat seorang pun selainnya yang keadaan lahirnya selaras dengan keadaan rohaninya dan keadaan rohaninya selaras dengan keadaan lahirnya’’.

 

Suatu hari Amr bin ’Ubaid masuk ke dalam istana khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memenuhi undangannya sebelum menjadi khalifah, Abu Ja’far al-Manshur adalah sahabat dekatnya, keduanya mempunyai satu majlis untuk berdiskusi lalu Abu Ja’far al-Manshur duduk didekatnya dan berkata kepadanya: Berilah aku nasihat!. Lalu ia memberikan nasihat yang dipinta oleh khalifah, Di antara isi nasihatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekuasaan yang Kamu pegang sekarang ini tidak akan pernah Kamu peroleh. jika orang sebelummu tidak melepaskannya, maka hindarilah untuk menyibukkan malam hari dengan urusan siang hari. Ketika ia bangkit hendak berdiri untuk pulang, khalifah berkata: Kami menyediakan 10.000 dirham untuk anda, ambillah. Ila menjawab: Aku tidak membutuhkannya. Khalifah berkata: Afas nama Allah, Ambillah!. Ia menjawab: Atas nama Allah aku tidak mau menerimanya. Ketika itu hadir pula Mahdi bin Abu Ja’far seraya berkata: Amirul mukminin bersumpah atas nama Allah dan engkau juga?. ’Amr bin ’Ubaid berpaling kepadanya dan bertanya kepada khalifah: Siapakah pemuda ini? Khalifah menjawab: Ia adalah calon pewaris mahkota, anak seorang al-Mahdi. Amr bin ’Ubaid berkata Demi Allah! kau telah berikan kepadanya bukan pakaian orang-orang yang saleh, kau namai dia dengan nama yang bukan haknya, kau serahkan. kepadanya suatu urusan yang dapat disia-siakan dan membuatnya kewalahan!. Kepada al-Mahdi ia berkata: Benar nak!, Jika ayahmu bersumpah, itu membuat aku merasa berdosa karena kifarat yang harus ditebusnya lebih besar lagi ketimbang pamanmu ini. Al-Mashur berkata kepadanya: Apakah ada yang diperlukan?

 

Ia menjawab: Aku belum menemukannya sampai menjumpaimu sekalipun. Khalifah berkata: Kalau. begitu, jangan temui aku lagi. Kata Amr bin ’Ubaid: Itulah sebenarnya keperluanku. Lalu ia pulang dan diantar oleh al-Manshur dengan dendangan:

 

Artinya: Semua orang berjalan berbungkuk

Mengharap yang diburunya tertangkap

Kecuali Amr bin ’Ubaid

 

Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. dan wafat di Marran di makamkan di Mekkah pada tahun 144 H. yang diantar Abu Ja’far al-Manshur dengan dendangan puisinya:

 

Semoga Tuhan memberkatimu selamanya Penghuni kuburan Harran yang kulewati Kuburan yang dihuni seorang mukmin hanif Jika zaman ini menjadikan orang saleh abadi Maka hanya Abu ’Utsman ’Amr bin ’Ubaid yang ada Belum pernah seorang pun yang menyadarkan khalifah Selainnya.

 

Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sebuah sekte (Madzhab) yang memiliki prinsip-prinsip dasar ajarannya yang tersusun secara hierarkis, ditambah lagi Tuhan berkehendak untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap zamannya sekclompok manusia yang terpelajar dan yang menguasai ilmy pengetahuan. Lewat merekalah faham-faham mazhab ini tersebar secara meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi dengan pihak penguasa, yang dimanfaatkan mereka untuk memberikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang mereka jadikan sebagai pandangan keagamaan.

 

Basyar ibn al-Muktamar dan Abu al-Hudzail Muhammad ibn al-Hudzail ibn Abdullah ibn al-Makhul, yang masyhur dengan panggilan al-’ Alaf!, berguru kepada Umar ibn ’Ubaid dan sahabatsahabat dekatnya. Kepada Abu al-Hudzail bergurulah anak keponakan dari saudara perempuannya, Ibrahim ibn Sayyar yang masyhur dengan panggilan an-Nidlam, Hisyam ibn Umar asy-Syaibani yang akrab dipanggil al-Fuwathi dan Abu Yusuf ibn Ya’kub ibn Abdullah asy-Syaham al-Bisriy. Al-Nidlam mempunyai murid, di antaranya, Abu ’Utsman ibn Bahr ibn Mahbub, alKinaniy, al-Bisriy yang terkenal dengan nama al-Jahidz dan Qadli Abu Abdullah ibn Farh ibn Jarir al-Iyadiy yang lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Abu Du’ad, Kepada Abu Yusuf bergurulah Muhammad ibn Abdul wahab ibn Salam ibn Khalid ibn Humran ibn Aban yang dikenal dengan julukan al-Juba’ir. Kepada Jahidz bergurulah Ja’far ibn Mubasyar dan Ja’far ibn Harb yang kemudian keduanya mempunyai murid yang bernama Muhammad ibn Abdullah al-Iskafi.

 

Abu Ali al-Juba’i menyebarkan ajaran sekte ini lewat muridmuridnya, di antaranya, Abu Hasyim Abdussalam ibn Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’i dan Abu Hasan al-Asy’ari yang kemudian menjadi tokoh pendiri madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mengenai kisah diskusi dan debat antara al-Juba’i dengan al-Asy’ari ini dianggap oleh para ulama sebagai keberakhiran bergurunya al-Asy’ari kepada al-Juba’i.

 

VI

 

Di antara sekte yang muncul kepermukaan. Mu’tazilah-lah yang paling banyak mendapat tekanan, akan tetapi mereka tertolong oleh tiga hal dalam menghadapi tekanan-tekanan ini. Ketiga penolong tersebut adalah:

 

Pertama. Tuhan menganugerahkan kepada setiap generasi penganutnya pemuka-pemuka yang pandai dan ahli debat. Washil bin Atha sendiri adalah seorang yang cerdas dan genius, penguasaannya akan kemampuan berdebat dan berdiskusi dan dia juga yang paling cepat mengungkapkan hafalan ayat-ayat Al-Qur’an baik makna lahirnya maupun melalui takwil-takwilnya selama mendukung pendapat-pendapat mazhabnya. Dalam posisi seperti ini, dia berada pada garda paling depan dalam memahami dan mengetahui arti perkataan-perkataan filosofis mazhab Syi’i dan apa yang dilontarkan oleh mazhab Khawarij, perbincangan mazhab Murji’ah Zindiq dan Naturalis dan penentang-penentang lainnya sekaligus dialah yang dapat mencounter pendapat-pendapat mereka. Adapun Abu Hudzail al-Allaf satu-satunya orang yang menguasai pemahaman arti kata dan mampu berbicara baik. Dialah yang dimaksud oleh al-Mubarrad ketika berkata: ”Aku belum pernah melihat orang yang fasith berkomunikasi melebihi kemampuan Abu Hudzail dan Jahidz; Abu Hudzai! sangat baik dan mahir berdiskusi. Kusaksikan hal itu dalam sebuah kuliahnya yang kala itu pembicaraannya di isi lebih dari tiga ratus bait syair. Hidupnya dipenuhi dengan berdiskusi dan berdebat dengan penganut Zindiq, Sofis, Majusi dan Paganis. Dikabarkan bahwa dia telah mengislamkan lebih dari tiga ribu orang. Musuh-musuhnya berdiskusi dan berdebat dengannya dengan tidak terungguli, padahal ketika itu umurnya baru 15 tahun. Ibrahim bin Sayyar adalah guru Abu Utsman al-Jahidz, pemuka/tokoh sastrawan yang paling cemerlang. Dia merupakan salah satu bukti di antara bukti-bukti kekuasaan Tuhan dalam menyatukan hati, kesucian jiwa, keluasan menelaah dan kedalaman menyelami makna-makna yang dalam dan rumit lalu menyusunnya dalam ungkapan dan penjelasan yang prima dan hal-hal lainnya yang tak terhitung jumlahnya.”

 

Kedua. Adanya hubungan baik dengan pihak penguasa, kemampuan mereka dalam melobi dan menanamkan pengaruhnya terhadap penguasa, mampu menjaga rumah-rumah mereka darj tekanan pemerintah meminta pertolongan kekuatan negara dalam menyerang lawan-lawannya jika mereka mau. Amr ibn Ubaid, salah satu tokoh madzhab ini, adalah penasihat dan teman dekat Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, hanya saja Amr ibn Ubaid menolak tawaran Khalifah, malah ia meminta Khalifah untuk tidak mengundangnya lagi. Walaupun demikian, ia dengan beraninya berbicara dihadapan khalifah mengritik apa yang telah ditetapkannya mengenai Wali al-Ahad. Andaikan bukan Amr ibn Ubaid yang berbicara demikian, tentu khalifah tidak akan membiarkannya begitu saja, akan tetapi terhadap yang satu ini, ia membiarkannya bahkan menghormatinya, sedangkan Abu Hudzail adalah guru khalifah al-Makmun. Mengenai orang ini, Abu Hanifah al-Dainuri berkata: ’Khalifah al-Makmun menyelenggarakan majelis untuk berdiskusi mengenai permasalahan keagamaan dan permasalahan-permasalahan lainnya dan yang menjadi guru pembimbingnya adalah Abu al-Hudzail al-Allaf..An‘ Nidlam berhubungan erat dengan Muhammad ibn ’Ali ibn Sulaiman, salah seorang pejabat dinasti Abasiyah dan dengan Ahmad ibn Abu Dawud, seorang hakim Agung khalifah alMu’tasim dan dialah yang dituju oleh surat al-Makmun kepada Saudaranya, al-Mu’tasim, ketika berwasiat menjelang kematiannya: Abu Abdullah bin Abu Dawud tidak boleh anda alpakan dalam setiap musyawarah urusan-urusan kamu karena di sanalah ia tempatnya yang sangat tepat.”

 

Ketiga, kerjasama yang baik antara pengikutnya, kuatnya tali persahabatan yang mereka bangun dan membangun hubungan persahabatannya di atas kasih sayang. Mengenai gambaran ini, telah banyak para sastrawan yang membuat permisalan untuknya. Abu Muhammad al-Alawi mengirim surat kepada Abu Bakar alKhawarijmi yang di antara isinya dia berkata: “Sungguh kasih sayang mereka bagaikan kasih sayang orang Syi’i terhadap Ali RA”.

 

Akibat dari kesemuanya itu adalah terjalinnya hubungan yang erat antara pengikut madzhab Mu’tazilah dengan khalifah al-Makmun di sctiap dacrah kekuasaannya dan sctiap orang pada zaman kekuasaan khalifah ini menganut faham bahwa Al-Qur’an itu diciptakan (Makhluk). Untuk menyebarkan faham ini, khalifah mengirim surat edaran kepada setiap penguasa daerah untuk menyebarkannya sehingga menjadi faham resmi bagi rakyat. Surat edaran yang dikirimkan ke Mesir sampai pada bulan Jumad altsani tahun 218 H. Menanggapi surat ini, penguasa Mesir melakukan mihnah (inquisi/pengadilan faham yang dianut seseorang) sehingga mengakui faham kemakhlukan Al-Qur’an yang dimulai dari hakim, para saksi dan para ahli Hadits. Malapetaka ini terus berlanjut pada masa kekuasaan al-Makmun dan khalifah sesudahnya sampai tidak ada yang terlewatkan untuk diadili (mihnah), mulai dari ahli fiqih, ahli hadits, muadzin sampai seluruh tenaga pengajar sehingga masyarakat banyak yang melarikan diri dan penjara penuh dengan orang-orang yang menolak seruan pemerintah, ketika itu juga Ibnu Abu al-Laits diperintahkan untuk mengirim surat ke setiap mesjid kalimat la ilah illa Allah Rabb Al-Qur’an al-Makhluq (tidak ada Tuhan selain Allah Rabb AIQur’an yang diciptakan) dan ia menulis surat ke mesjid-mesjid Fustat, Mesir. Pada zaman ini pula para fuqaha penganut mazhab Syafi’i dan Maliki dilarang untuk memasuki mesjid.

 

Sebelum terjadinya malapetaka inj, semua hidup Washil ibn Atha, ia sukses dalam meraih tokoh yang menjadi pengikutnya lalu mereka dikirim menjadi da’i ke setiap daerah dan negara untuk menyebarkan faham i’tizalinya kepada masyarakat. Abdullah ibn al-Harits dikirim ke wilayah barat, Hafz ibn Salim ke Khurasan dan Tarmudz, juga diutus untuk berdebat dengan Jahm ibn Shafwan sampai akhirnya Jahm kalah olehnya, al-Qosim ke daerah Yaman, Ayub ke daerah semenanjung Arab, Hasan ibn Dakwan ke Kufah dan mengutus Utsman ath-Thawil ke Armenia. Seluruh da’i ini sangat bertanggung-jawab terhadap keberhasilan misinya masingmasing. Dalam menjalankan tugasnya,.mereka banyak mendapatkan serangan yang sengit, terutama dari para ulama setempat sehingga misi mereka hampir tidak berhasil dan barulah mereka mendapat banyak pengikut setelah memasuki masa inkuisi (dukungan) yang diinstruksikan khalifah al-Makmun. Pada zaman inilah kekuatan mereka semakin kokoh, kekuasaan mereka semakin meluas sampai Yaqut berkata: ’’Pengikut Washil sangat banyak! jumlah mereka hampir mencapai 30.000 dalam setiap khalaqahnya’’. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Al-Shafadiy seraya berkata: ”Barang Siapa yang menelusuri rangkaian pengikutnya lewat jalur Abdul Jabbar, maka ia akan mengetahui sejumlah pengikutnya yang sangat banyak.”

 

VII

 

Adalah Mu’tazilah yang pertama kali menyandarkan kekuatan mazhabnya kepada filsafat Yunani, dengan filsafat mereka memperkuat argumentasi-argumentasinya; Cukup banyak perkataan. perkataan Al-Nidlam, Abu Hudzail, Jahidz dan selainnya mengutip ungkapan-ungkapan filosof Yunani, sedangkan tokoh yang lainnya menjadikannya sebagai metode dalam dialog dan memberikan penilaian.

 

Merekalah yang pertama kali memperkenalkan, berinteraksj dan menjadikannya sebagai metode ilmu dan dialog mereka dengan rivalnya. Mereka menuduh para teolog, khususnya yang bermazhab Ahlu Sunnah wal-Jama’ah, bersikap ta’ashub (fanatik), Taqlid dan memusuhi, pintu kebimbangan menanti para teolog ini dan pintu keyakinan telah tertutup dari mereka dan bukanlah merupakan takdir Allah terlahirnya seorang tokoh dalam agama ini yang terpercaya baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan ramai, yang berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, sahabat-sahabatnya yang suci dan baik terhadap hal yang menjadi pegangan para pendahulu yang saleh (salaf as-shaleh) seperti tokohtokoh ahli Hadits, seseorang yang kemudian menguasai ilmu debat dan diskusi, memahami penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam agama (Islam), mampu melepaskan diri dari cengkeraman dan kungkungan orang-orang yang berada dalam jalur yang bathil serta mampu ke luar dari tipu daya mereka. itulah dia Abu Hasan Asy’ari yang mereka maksud.

 

Al-Asy’ari tampil di depan publik seraya memproklamirkan teologi yang ia anut dengan pidatonya: ”Sandaran otoritas pendapat kami dan keyakinan keagamaan yang kami anut adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., atsar sahabat, perkataan tabi’in, para pembela Hadits dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya dan melipat gandakan pahalanya. Barang siapa yang menyalahi perkataannya, maka ia berarti jauh dari agama yang benar karena ia adalah seorang imam yang paripurna. Lewatnyalah Allah menampakkan kebenaran di atas kebathilan”. Penegasan lebih lanjut mengenai masalah yang sama dapat kita temukan dalam buku karyanya, Maqalat al-Islamiyyin, yaitu buku yang ada di tangan pembaca. Setelah ia membahas tentang Ahli Sunnah dan Hadits, ia menulis: dengan ilmu dari yang telah disebutkan itulah kami berkata dan bermazhab. Tak ada yang memberikan pertolongan kecuali Allah. Cukuplah la sebaik-baik penghisab dan sebaik-baik wakil kami; kepada-Nya kami memohon pertolongan, bertawakal dan kembali.”

 

Sebenarnya, Ahlu Hadits, mula-mulanya tidak mengakui dan menerima usaha Asy’ari untuk memadukan mazhab Ahlusunnah dengan mazhab rasionalis baik karena dengan alasan prasangka (prejudice) bahwa sisa-sisa faham i’tizali belum sirna dalam jiwa Asy’ari maupun dengan alasan penolakan mereka terhadap metode berpikir kalami.yang pada gilirannya melahirkan keengganan mereka untuk menggunakan idiom-idiom dan jargon-jargon yang digunakan oleh para teolog (mutakallimin). Bukti penolakan Ahlul Hadits terhadap ini dapat kita temukan dalam tulisan Ibnu alJauzi: ”Asy’ari itu hidup dalam faham Mu’tazilah dalam rentang waktu yang cukup panjang, lalu ia menawarkan faham baru terhadap masyarakat’”. Akan tetapi, pada kurun berikutnya, banyak juga yang menerima faham Asy’ari ini dan mereka meyakini bahwa apa yang dilakukan olehnya berdasarkan motif yang baik, hal itu dapat kita buktikan dari komentar Ibnu Taimiyyah dalam buku Muwafagat Shahih al-Manqul li as-Sharih al-Ma’qul; Ia berkata:” Ketika al-Asy’ari konversi dari mazhab Mu’tazilah, ia menempuh cara Ibnu Kullab, membela Sunnah dan Hadits dan menyadarkan pendapat-pendapatnya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana dikemukakannya sendiri dalam seluruh buku karangannya, seperti dalam al-Ibanah, al-Mujaz, al-Maqalat, dan lain-lain; ia bergaul dengan para pembela sunnah dan hadits sebagaimana halnya ia bergaul dengan para teolog (Mutakallimun) seperti dengan Ibnu Aqil seorang ulama mutakhir penganut mazhab Hanbali. Akan tetapi Asy’ari dan imam-imam sahabatnya mengikutj mazhab Hanbali lewat imam-imam ahli sunnah dan hadits, sepertj dari Ibnu Aqil dan murid-muridnya, di antaranya; Abu al-Faraj al-Jauzi. Sedangkan para pendahulu pengikut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Bakar Abdul Aziz dan Abu Hasan at-Taimiy, dalam karya-karyanya, mereka secara keseluruhannya mengungkapkan dalil-dalil hanya yang bersesuaian dengan sunnah, dan mereka menganggap apa yang dikatakan oleh Asy’ari merupakan penentangan seorang iktizali. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah juga mengungkapkan sebab-sebab berpalingnya sebagian Ahli Hadits dari faham.al-Asy’ari. Tentang hal itu ia mengatakan: ”Adapun dalam hal masalah [khtiyariah (kebebasan memilih free will) maka Ibnu Kullab dan Asy’ari serta orang-orang yang sependapat dengannya, menafikannya dan ia juga membangun pendapat yang berbeda dalam menyikapi masalah Al-Qur’an. Oleh sebab itulah mereka menjadi bahan perbincangan masyarakat kKarena bertentangan dengan apa yang mereka dapatkan dalam buku-buku yang mereka pelajari dari tulisan-tulisan Ulama pendahulunya”, Tidak hanya sampai di situ, al-Asy’ari juga dituduh melakukan bid’ah dan masih adanya sisa-sisa kemu’tazilahannya dan pendapat ini sangat tersebar luas di antara pengikut-pengikut mazhab Hanbali sebagaimana dalam mazhab-mazhab lainnya.

 

Jika demikian duduk persoalannya, maka perbedaan antara Asy’ari dengan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mazhab anutannya, sebenarnya bukan hanya dilakukan olehnya saja; melainkan hampir keseluruhan pengikut imam ini mempunyai perbedaan pendapat dengan tokoh pendiri mazhabnya, di antaranya Qadli Abu Ya’la dan pengikut-pengikutnya; Ibnu Aqil, Abu Hasan Azzaguni dan yang lainnya. Oleh karena itu perbedaan pendapat antara Asy’ari bukanlah merupakan bid’ah dan bukan pula karena masih adanya sisa-sisa pengaruh i’tizali dalam dirinya . Hal itu semata-mata terdorong oleh kecintaannya yang tulus dan jujur untuk memadukan antara penganut rasionalis dan penganut Sunnah.

 

Inilah apa yang menjadi anggapan kita sebelumnya dan juga orang-orang sebelum kita bahwa setelah terjadinya malapetaka besar yang menimpa Umat Islam, dalam suasana yang tenang mereka dapat mempelajari setiap perbedaan yang terjadi pada mereka, akan tetapi-malangnya-sejarah tidak mengisahkan harapan ini ketika mazhab Asy’ari muncul dan juga sesudahnya karena, hampir mazhab ini tidak pernah menyebarkan pendapat-pendapatnya karena banyaknya penindasan dan represi yang dialaminya. Pengikut Mazhab Hanbali membuat peraturan untuk melarang Khatib alBaghdadi (w. 463 H.) untuk masuk Mesjid Jami’ Baghdad hanya karena 1a pengikut Mazhab Asy’ari, dan yang dialami oleh tokoh~ tokoh terkemuka pada zaman tersebut adalah penindasan dan pencercaan; seorang pejabat pemerintahan mendatangi seorang tokoh Asy’ariyah, yaitu al-Qusyairi (w. 514 H.) yang akhirnya menyebabkan pertarungan fisik di jalanan dan memaksa al-Qusyairi untuk” meninggalkan Baghdad. Peristiwa inilah yang dijadikan seorang sejarawan muslim, Ibnu ’Asakir, sebagai permulaan sejarah perpecahan yang terjadi antara pengikut Asy’ariyah dengan pengikut Hanabalah. Kejadian lainnya, seorang pemimpin tertinggi Mazhab Hanbali, pada akhir abad keempat hijriyah, mencerca Abu Hasan al-Asy’ari dan menjauhkan diri dari pengikut-pengikutnya.! Di sisi lain, pengikut mazhab Karamiah menteror pengikut Asy’ariyah dan menyerangnya dengan sengit; mereka juga melaporkan dan mengadukan permasalahan ini kepada Raja Mahmud bin Sabaktakin dengan tuduhan bahwa pengikut Asy’ariah meyakini nabi Muhammad SAW bukan nabi untuk hari ini dan risalahnya tidak berlaku lagi setelah kematiannya, padahal, semua ini sama sekali bukanlah merupakan keyakinan Asy’ariyah.’”

 

VII

 

Apapun yang terjadi terhadap Madzhab Asy’ariyah, Allah SWT. telah menghendakinya untuk tersebarkan di antara ummat walaupun dengan penyebaran yang sangat lambat. Di Timur, penycbaran mazhab ini dilakukan oleh Mazhab Abu Manshur al-Maturidi yang faham teologinya banyak kesamaan dengan mazhab Asy’ariyah Pada awal abad ke lima Hijriyah, pemerintah mempunyi kebijaksanaan resmi yang baru untuk menyelesaikan masalah pertentangan sekatarianisme. Pada tahun 408 H. (1017 M), Khalifah al-Qadir menerbitkan sebuah buku yang menentang Mu’tazilah, juga berisi tentang pelarangan memperbincangkan, mempelajarj dan mendiskusikan mazhab ini dan aliran-aliran teologi sesat lainnya, la juga memperingatkan masyarakat jika menentang dan menyalahj perintahnya dengan siksaan dan hukuman. Kebijaksanaan yang diambil oleh khalifah al-Qadir ini, juga dilakukan oleh Sultan Mahmud di Ghaznah. Tidak hanya itu, ia pun tidak segan-segan memerangi, membuang dan memenjarakan orang yang tidak mematuhi perintahnya dan disuruh untuk dikecam di atas mimbar. Di Baghdad, pada tahun 433 H. (1041 M.), terbit sebuah buku yang berjudul al-i’tiqad al-Qadiriy yang di baca di parlemen dan dewan, diberi komentar oleh para ulama dan dipromosikan bahwa isinya adalah keyakinan seluruh masyarakat muslim, maka barang Siapa menyalahinya, ia dihukumi fasik dan kafir. Dan bisa jadi ini semua merupakan akhir dari semua yang belum dipahami, dan tindakan yang dilakukan oleh Khalifah al-Qadir ini merupakan akhir penyelesaian tindakan al-Makmun sebelumnya. Dalam surat edaran resmi dikemukakan: Allah adalah Yang: berkuasa dengan kekuasaan-Nya, Yang Maha Mengetahui dengan Ilmu Azali dan bukan kasabi, Mengetahui dengan Pendengaran-Nya dan melihat dengan Penglihatan-Nya, sifat-Nya dapat diketahui dari Diri-Nya; tak seorang pun dari makhluknya yang mengetahui keadaan HakikatNya; Ia dzat yang berbicara dengan Kalam-Nya, bukan dengan alat yang tercipta sebagaimana yang terjadi pada Makhluk-Nya; Ia tidak disifati kecuali dengan apa yang Ia berikan bagi diri-Nya atau yang diberikan oleh diri-Nya atau oleh nabi-Nya adalah sifat . Hakiki, bukan Majazi; Kalam Allah bukanlah makhluk (tercipta) la berbicara dengan kalam-Nya, [a mewahyukannya kepada RasulNya dengan perantaraan Jibril AS sesuai yang ia terima dari-Nya, Muhammad SAW membacakannya kepada sahabat-sahabatnya, sahabat-sahabatnya menyampaikan semua itu kepada ummat, walaupun ada peran serta bacaan makhluk, akan tetapi tidak menjadikan kalam-Nya makhluk, karena apa yang dibaca oleh makhluk itu pada esensinya merupakan kalam-Nya yang bukan makhluk dan hal apa pun, baik dibaca, dihapal, ditulis dan atau didengar. Barang siapa yang mengatakan bahwa kalam-Nya adalah makhluk, dengan alasan apa pun, maka ia kafir dan darahnya menjadi halal jika tidak mau bertobat.

 

IX

 

Efek dari skisme dan ikhtilaf yang telah kita sebutkan terdahulu ketika diperinci, dipertimbangkan, pengembalian masalah kepada pokok permasalahannya dan menjelaskan terjadinya pengkotakan masyarakat, adalah terpecahnya masyarakat menjadi berbagai aliran teologis. Jika kita telusuri periode ini, maka akan kita temukan karya-karya mereka dalam tiga corak: Pertama, Mengungkapkan satu aliran teologi yang bertentangan dengan mazhab anutan pengarangnya,’ mengunggulkan pendapat kelompoknya dan melemahkan pendapat lainnya, serta mereka menggunakan dalil aqli, naqli atau keduanya sekaligus untuk dapat melemahkan lawannya. Sejarah telah banyak mencatat bagi kita buku-buku jenis ini. Untuk melihat secara terinci, anda dapat merujuk pada karya Ibnu an-Nadim al-Fihrist, tentang biografi para teolog yang termasuk tipe ini’sekaligus karya-karya mereka yang berisi bantahan terhadap orang yang berbeda faham dengannya. Kedua, Mengungkapkan seluruh aliran yang lahir dalam agama Islam dengan disertai penyebutan tokoh-tokoh terkemuka setiap alirannya dan penjelasan mengenai ciri khas yang membedakan sesuatu aliran dari yang lainnya. Serta tidak terlewatkan pula mengungkapkan perpecahan internal dalam suatu aliran. Sejarah telah memelihara baik buku-buku karangan dalam jenis ini, dan kita akan membahasnya nanti, Insya Allah. Ketiga, Mengungkapkan aliran-aliran di luar agama Islam, seperti aliran dalam filsafat Yunani, Hindu, penyembah berhala (paganisme) dan lain-lain. Akan tetapi kadangkala juga seorang pengarang menulis dengan menggabungkan tipe kedua dan ketiga dalam sebuah tulisannya.

 

Adapun buku dalam jenis kedua, buku yang ada di hadapan pembaca kali ini, Maqalat al-Islamiyin wa al-Ikhtilaf al Mushallin karya Abu Hasan al-Asy’ari (w. 330 H.), seorang tokoh Ahlusunnah wal Jama’ah, buku catatan perjalanan seorang seyarawan Islam, Abu al-Hasan bin al-Husein Ali al-Mas’udi (w. 347 H.) yang ia beri judul Muruj ad-Dzahab wa Ma’adin al-Jauhar. dalam buku ini, pengarangnya berulang kali mencertiakan Asy’ari ini dan kadang-kadang mengutipnya walaupun secara sekilas dan contoh terakhir tipe ini adalah buku al-Farq bain al-Firag karya Abu Manshur Abdul Qahir ibn Thahir al-Baghdadi (w. 429 H.).

 

Kita juga telah mendengar bahwa jenis buku tipe ketiga dapat disebutkan Magalat ghair al-Islamiyin karya al-Asy’ari juga. Syeikh Islam (pemimpin tertinggi Islam), Ibnu Taimiyyah, menyinggung adanya kitab ini dalam bukunya Muwafagat sharih al manqul li shahih al-ma’qul ketika membahas tentang persoalan skisme dan pengkotak-kotakan menjadi beberapa sekte, dan sebenarnya mereka yang paling banyak perpecahan di antara mazhab dalam Islam, Yahudi dan Nasrani, ia menulis: ”Hal ini di dukung dengan fakta yang diungkapkan oleh para pemikir sekte dalam aliran matematika dan fisika sebagaimana banyak dikutip oleh al-Asy’ari dalam bukunya Magalat ghairal-Islamiyin”. Kita juga dapat menyebut buku lainnya, yakni Tahgiq ma Lilhind min Maqulil, Maqbulat fi al-’Aql aw Mardzulat karya Abu Raihan al-Biruni (w. 440 H.).

 

Adapun orang yang menggabungkan tipe kedua dan ketiga dalam sebuah buku, juga dapat dicontohkan dengan karya al-Asy’ ari juga yang dinamainya Jumal al-Maqalat, kemudian karya alMas’udi (w. 347 H.). Ia menulis buku lainnya yang isinya banyak juga dikemukakan dalam Muruj adz-Dzahab, yang dimaksud adalah al-Mdgalat fi Ushul ad-Diyanat, al-Baghdadi (w. 429 H.) menulis buku al-Milal wa al-Nihal, al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm ad-Dhahiri (w. 456 H.) menulis buku al-Fishal fi al Milal wa an-Nihal, Abu al-Fatah Muhammad bin Abdul Karim Asy-Syihristani (w. 548 H.) pengarang buku al-Milal wa an-Nihal dan juga pengarang buku-buku dalam bidang teologi, dan yang paling masyhur di bidang ini adalah buku Nihayah al-Aqdam fi ‘Ilmi al Kalam.

 

X

 

Tidak dapat kita ragukan bahwa buku Magalat alIslamiyin wa al-Ikhtilaf al-Mushallin yang kita terjemahkan menjadi Prinsipprinsip Dasar Aliran Theologi Islam ini merupakan salah satu karya tokoh pendiri mazhab Ahlusunah Waljama’ah, Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Buku ini merupakan salah satu dari tiga buku lainnya dalam thema al-Maqalat. Buku lainnya adalah Magalat Ghair al-Islamiyin sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah dan yang ketiganya adalah Jumal al-Magqalat yang di dalamnya membahas tentang aliran-aliran sempalan dan seluruh pendapat penganut ajaran tauhid sebagaimana diisyaratkan dalam pembahasan terdahulu.

 

Sudah menjadi niat dari semula untuk kami nukilkan di sini apa yang dikutip oleh Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan buku ini dalam dua bukunya; Minhaj al-Sunah al-Muhammadiyah dan Muwafagqat as-Sharih al Manqul li ash-Sharih al-Ma’qul dan apa yang dikutip oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam beberapa buku karyanya; Hadiy al-Alwah, Ijtima’ aj-Juyus alIslamiyyah ’Ala Ghazwi al-Mu’athalah wa al-Jahamiyyah dan buku ar-Ruuh serta kutipan yang dilakukan oleh selain kedua tokoh ini. Selanjutnya menunjukkan letak kutipan tersebut dalam buku Asy’ari ini. Dengan harapan dapat dijadikan sebagai bukti dan argumentasi kelayakan buku ini sebagai tulisan Asy’ari. Akan tetapi niat tersebut kami hindari karena dengan pertimbangan untuk menghindari bertele-tele dalam membahas masalah ini. Cukuplah sebagai penggantinya dengan menyebutkan bahwa Abu Hasan alAsy’ari sendiri telah menyebutkan nama-nama buku karangannya Sampai tahun 320. Sebagaimana dikutip oleh seorang sejarawan Islam, al-Hafidz Abu Qasim ’Ali bin al-Hasan bin Hibatullah Allah, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu ’Asakir (w. 571 H.) yang merupakan bukti terbaik dan berharga ketimbang bukti-bukt; lainnya: “Aku telah menulis sebuah kitab tentang aliran-aliran teologi Islam yang mengungkap skisme dan aliran-alirannya, Aku juga telah menulis sebuah buku yang berkenaan dengan aliran, aliran sempalan dan pendapat-pendapat penganut ajaran tauhid yang aku namakan Jumal al-Maqalat.”

 

Inilah sebabnya mengapa kita mengharapkan dengan diterbitkannya buku ini. dapat diterima di sisi para pecinta dan penggali Ilmu, memenuhi kebutuhan ummat dalam mewarisi Atsar, dan menjadi motivasi mengambil kebaikan-kebaikan dan pelajaran darinya. Akhirnya, puji bagi Allah, penolong yang selaly mengabulkan harapan. Tidak ada penclong selain-Nya dan tidak ada tempat menggantungkan harapan selain kepada-Nya.

 

Pentahkik

 

Muhammad Muhyi ad-Din Abdul Hamiq

 

SEKAPUR SIRIH

 

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segenap puji hanya bagi Allah Yang mempunyai kemuliaan, keutamaan, kemurahan dan kedermawanan, dan dengan ini aku memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya atas segenap nikmat-Nya, baik yang tertentu atau tidak, bahkan pun memintakan tolong (hanya) kepadanya untuk senantiasa dapat melaksanakan segenap perintahnya. Sungguh kiranya Dia pun senantiasa melimpahkan shalawat kepada rasulnya yang terakhir.

 

Ketahuilah, bagi orang yang ingin mengetahui seluk beluk agama Islam atau pun perbedaan paham di antaranya adalah suatu keharusan untuk mengetahui aliran-aliran dan ajaran-ajaran dari agama (Islam) tersebut.

 

Aku tahu bahwa telah cukup banyak orang membicarakan agama (Islam) ini dengan mengemukakan ajaran-ajaran-Nya, mengklasifikasikan macam-macam mazhab ataupun alirannya. Tetapi di antara mereka masih juga terdapat orang-orang yang membicarakannya secara sempit dan sepihak, bahkan (mereka) sampai-sampai berani menyalahkan dan menistakan orang yang berbeda anggapan dengannya; dan ada pula yang membicarakannya dengan penuh kebohongan, tidak lagi obyektif, sehingga (hanya) mempertajam adanya perselisihan di antara aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang berbeda itu. Maka dalam usaha mendalami dan menghayati agamanya, cara-cara tersebut sebenarnya bukan merupakancara bagi orang-orang beragama, bukan pula merupakan cara bagi orang-orang arif dan luas pikiran.

 

Sungguh, hal itulah yang menggerakkan diriku untuk mengemukakan pembahasan ini, dengan cara-cara yang tidak seperti mereka. Di samping itu, insya Allah, aku pun akan berusaha menjelaskan ajaran-ajaran dan aliran-aliran Islam tersebut secara ringkas dan jelas.

 

Akhirnya, dengan pertolongan dan kekuasaan Allah, aku mulai menjelaskan semua ini.

 

Abul Hasan ’Ali ibn Ismail al-Asy’ari

 

Sesungguhnya, setelah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW ummat Islam saling berselisih dalam berbagai hal. Mereka saling sesat-menyesatkan, saling salah-menyalahkan, sehingga mereka pun pecah beraliran-aliran dan berkelompok-kelompok, padahal Islam itu sebenarnya menyatukan mereka dalam (satu) persatuan dan kesatuan.

 

Awal terjadinya perselisihan tersebut adalah pertentangan mereka tentang kepemimpinan (imamah) sepeninggal Nabi SAW yaitu ketika para sahabat golongan al-Anshar berkumpul di Sagifah bani Sa’adah untuk menetapkan Sa’ad ibn ’Ubadah sebagai pemimpin ummat Islam. Hal ini terdengar oleh Abu Bakar asShiddiq dan ’Umar bin Khaththab. Maka mereka pun segera menghadiri pertemuan para sahabat golongan al-Anshar tersebut, mewakili para sahabat golongan al-Muhajirin.

 

Kemudian dalam pertemuan itu Abu Bakar as-Shiddigq mengemukakan pendapatnya, bahwa kepemimpinan tersebut tidak boleh dipegang golongan lain, kecuali (golongan) suku-bangsa Quraisy. Dan hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

 

Artinya: “Kepemimpinan ini berada di.tangan suku-bangsa Quraisy.”

 

Mereka tunduk kepada pendapat Abu Bakar as-Shiddiq, lalu kembali kepada kebenaran. Padahal sebelum itu mereka terpengaruh oleh para pemimpin golongannya, yang telah berkata: ’Golongan kami pun berhak menjadi penguasa (amir), sebagaimana golongan anda (al-Muhajirin) berhak menjadi penguasa,’” Sebelumnya pun mereka terpengaruh oleh al-Habab ibn al-Mundzir yang menghunug pedangnya seraya berseru: ”Aku inilah benteng dan tulang, punggung golongan (al-Anshar) ini! siapa berani melawanku! Bahkan sebelum itu mereka terpengaruh oleh tindakan Qais ibn Sa’ad yang mempertahankan (pengangkatan) ayahnya, Sa’ad ibn Ubadah, sehingga ’Umar ibn Khaththab mesti tegas dengan mengukuhkan pendapat Abu Bakar as-Shiddiq.

 

Dengan demikian mereka pun segera membai’at Abu Bakar as-Shiddiq RA, menyepakati dan menyetujui kekhalifahannya tunduk dan patuh kepadanya; dan mereka sama-sama memerangi orang-orang murtad, sebagaimana Rasulullah SAW memerangi orang-orang kafir dari golongan yang sebelum mereka. Dan Allah pun memenangkan mereka dari orang-orang murtad, sehingga orang-orang murtad itu kembali memeluk agama Islam, setelah Allah menunjukan mereka ke arah yang terang dan kebenaran.

 

Sungguh, itulah perselisihan yang timbul di antara ummat Islam sepeninggal Rasulullah SAW yaitu perselisihan mereka tentang kepemimpinan (imamah).

 

Di masa kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq dan ’Umar ibn Khaththab tidak lagi terjadi perselisihan dalam menetapkan kepemimpinan, sampai masa-masa awal kekhalifahan ’Utsman ibn ‘Affan RA; dan di masa-masa akhir kekhalifah ’Utsman ibn ’Affan barulah terdapat orang-orang yang mengingkari kekhalifahannya, di mana mereka berusaha menggulingkan dan membuka jalan. pertentangan dengannya. Adapun apa yang mereka ingkari sampai sekarang menjadi perselisihan, bahkan (sebab) terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ’Affan masth pula diperselisihkan. Golongan Ahli Sunnah menyatakan bahwa tindakan-tindakan Khalifah ’Utsman ibn ’Affan itu benar, sementara yang membunuhnya adalah orang-orang jahat dan musuh; tetapi golongan lain berpendapat sebaliknya dari Ahli Sunnah, sehingga hal ini menjadi sumber perselisihan antara ummat Islam sampai sekarang.

 

Ketika ’Ali ibn Abu Thalib dibai’at sebagai pengganti Khalifah ’Utsman ibn ’Affan RA, bertambahlah (sumber) perselisihan di antara ummat Islam, sebab sebagian mereka mendukung kekhalifahan ’Ali dan sebagian yang lain menentangnya; dan hal ini pula yang merupakan sumber perselisihan di antara ummat Islam, sampai sekarang. Di masa kekhalifahan ’Ali ibn Abu Thalib itu Thalhah ibn ’Ubaidillah dan Zubeir ibn al’ Awwam menentangnya, sehingga timbul peperangan di antara para pengikut “Ali melawan para pengikut Thalhah dan Zubeir. Begitu pula perselisihan di antara Mu’awiyyah dan ’Ali membawa mereka ke medan perang Shiffin, di mana pihak yang bermusuhan itu berusaha saling hancur-menghancurkan dan tunduk-menundukan, sehingga porak-porandalah kekuatan mereka semua.

 

Maka (diceritakan) Mu’awiyyah berkata kepada ’Amr ibn al Ash: ”Wahai ’Amr, tidakkah anda mengira bahwa anda tidak akan jatuh pada perkara yang keji, maka anda mengharuskan (diri) hendak ke luar dari perkara tersebut?”

 

Amr ibn al-Ash menjawab: ’Ya!”

 

Mu’awiyyah: ”Lalu apakah jalan keluar dari perkara itu?’’

 

Amr al-Ash: ”Bagiku, hendaklah anda tidak menyerahkan negeri Mesir selagi aku masih hidup.”

 

Mu’awiyyah: ”Anda menghendaki begitu, baiklah, mudahmudahan janji dan kemenangan Allah berada di tangan kita.”

 

’Amr ibn al-Ash: “Nah berjalanlah anda sambil membawa Al-Qur’an dan angkatlah (Al-Qur’an) itu di hadapan mereka.”’

 

Maka kemudian para pengikut Mu’awiyyah yang penduduk Syam itu berkatalah kepada para pengikut ’Ali ibn Abi Thalib yang penduduk Irak: ’Wahai penduduk Irak, Kitabullah (Al-Qur’an) ini merupakan pegangan di antara kami dan kamu sekalian, karena itu cukuplah peperangan ini dan belas-kasihanilah yang masih hidup.”

 

’Amr ibn al-Ash ketika mengemukakan pendapatnya tersebut penuh pertimbangan yang jauh, seakan-akan dia melihat bayangan yang menguntungkan di balik pernyataannya yang terselubung. Sebab, seandainya ’Ali ibn Abu Thalib menerima pernyataan

 

Induk Aliran-aliran dalam Islam. Ummat Islam terpecah dalam sepuluh aliran besar, yaitu:

 

  1. Syi’ah
  2. Khawarij
  3. Murji’ah
  4. Mu’tazilah dan Jahamiyyah:
  5. Dhirariyyah
  6. Huseinniyyah
  7. Bakriyyah
  8. ’Ammah (masyarakat yang umum).
  9. Para Ahli Hadits/Ahli Sunnah.
  10. Kullabiyyah.

 

Aliran Syi’ah terbagi dalam tiga golongan. Adapun mereka disebut Syi’ah, karena mereka mengikuti ’Ali ibn Abu Thalib dan melebihkannya ketimbang sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya.

 

SYi’AH GHALIYYAH

 

Dari ketiga golongan (Syi’ah) ini salah satunya adalah golongan Syi’ah ekstrim (Syi’ah Ghaliyyah), di mana mereka begitu melebihkan ’Ali ibn Abu Thalib sebagai makhluk yang termulia yang memiliki ajaran tinggi dan agung. Adapun golongan Syi’ah Ghaliyyah ini terbagi lagi dalam limabelas kelompok.

 

  1. Bayaniyyah,

 

Kelompok pertama ini ialah para pengikut Bayan Ibn Sam’an at-Tamimi, di mana mereka beranggapan bahwa Allah berbentuk manusia. Semua bentuk manusia-Nya akan binasa, kecuali wajahNya. Bayan pun memanjatkan doa pada bintang, karena bintangbintang itu mengabulkan doanya; dan dia berbuat begitu dengan menyebut kebesaran-Nya (bil-ism al-A’dzam). Sungguh, karena itu Khalid ibn ’Abdullah al-Farsi membunuhnya.

 

Bahkan diriwayatkan dalam suatu riwayat, bahwa sebagian pengikutnya menganggap Bayan ibn Sam’an at-Tamimi sebagai Nabi; dan Abu Hasyim (Abdullah ibnu Muhammad ibn alHanafiyah), menurut anggapan mereka, adalah orang yang ditetapkan Bayan ibn Sam’an (sendiri) sebagai penerus kepemimpinan kelompok mereka.

 

  1. Janahiyyah Kelompok kedua ini ialah para pengikut ’Abdullah ibn Mu’awiyyah ibn ’Abdullah ibn Ja’far Dzul-Janahain, di mana mereka beranggapan: bahwa Abdullah ibn Mu’awiyyah ity mengatakan ilmu telah tumbuh mekar di dalam hatinya, sebagaimana tumbuh mekarnya cendawan dan rumput. Dan (menurutnya) ruh itu pindah-pindah ataupun reinkarnasi, sementara ruh Allah SWT telah pindah kepada Nabi Adam AS sehingga terciptalah Adam.

 

Bahkan ’Abdullah ibn Mu’awiyyah menganggap dirinya sebagai Tuhan, sebagai Nabi, sehingga para pengikutnya pun menyembah dirinya; dan mereka mengingkari adanya (hari) kiamat, lalu menganggap dunia ini tidak akan lenyap. Mereka pun menghalalkan bangkai, minuman keras ataupun makanan lainnya yang diharamkan, yang mereka takwilkan dari firman Allah:

 

Artinya: “Tidak ada dosa. bagi orang yang beriman dan beramal shaleh, karena memakan makanan yang dahulu mereka makan, apabila mereka bertaqwa dan beriman…” , (QS. al-Maidah (5): 93)

 

  1. Harbiyyah

 

Kelompok ketiga ini ialah para pengikut ’Abdullah ibn ’Amr ibn Harb.!) di mana mereka beranggapan bahwa Ruh Abu Hasyim “Abdullah ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah (penerus kelompok Bayaniyyah) itu pindah kepada ’Abdullah ibn ’Amr, bahkan Abu Hasyim sendiri yang menctapkan ’Abdullah ibn ’Amr sebagai pemimpin (imam) sepeninggalnya.

 

  1. Mughiriyyah

 

Kelompok keempat ini ialah para pengikut Mughirah ibn Sa’id, di mana mereka beranggapan bahwa Mughirah ibn Sa’id itu Nabi dan mengetahui nama-nama Allah yang Maha Besar. Adapun Tuhan yang mereka sembah (menurutnya) berbentuk pria dari cahaya, yang di atas kepalanya terdapat mahkota. Dia mempunyai organ dan perangai yang semisalkan pria, sementara dari jantung dan hatinya terpencar hikmah. Di samping itu, menurut anggapan mereka, pada organ-Nya pun terdapat huruf-huruf abjad.

 

Bahkan Mughirah ibn Sa’id beranggapan bahwa huruf  terletak di kakinya yang bengkok. Sementara tentang huruf   dia menyatakan, ”Seandainya anda melihat tempat huruf   tersebut, niscaya pula anda melihat sesuatu yang maha besar,” seraya kepada para pengikutnya pun dia perlihatkan tempat huruf  itu dengan (telanjang) membukakan auratnya. Sungguh, kutukan Allah atasnya!

 

Mughirah ibn Sa’id pun menganggap dirinya dapat . menghidupkan orang yang telah meninggal dengan menyebut nama kebesaran-Nya (bil-ism al-A’dzam), kemudian dia perlihatkan keluarbiasaan yang ada padanya itu kepada para pengikutnya; dan

 

HALAMAN 66-67

 

Dan Mughirah pun menganggap ’Umar telah berkata kepada Abu Bakar, ’Aku akan menolongmu atas “Ali, sungguh, demi . terjadinya diriku sebagai khalifah sesudahmu,” sebagaimana takwilnya atas firman Allah:

 

Artinya: “Maka (bujuk-rayu orang yang munafik itu) semisalkan (bujukrayu) setan ketika ia berkata kepada manusia, kafirlah kamu…” (QS. al-Hasyr (59): 16)

 

Sementara yang dimaksud dengan kata setan dalam ayat ini, menurut anggapan Mughirah, tiada lain dari ’Umar ibn Khaththab. Di samping itu dia pun menganggap bumi ini akan terbelah dengan munculnya orang yang telah meninggal, yang (hidup) kembali ke dunia ini.

 

Ketika kabar tentang ajaran tersebut sampai ke telinga Khalid ibn Abdullah, maka dia pun membunuh Mughirah. Tetapi para pengikut Mughirah beranggapan bahwa yang terbunuh itu sebenarnya Jabir al-Ja’fa, yaitu salah seorang pengikut Mughirah yang kebetulan sedang menempati tempat duduk Mughirah, sehingga terbunuhlah Jabir. Bahkan, menurut anggapan mereka, Mughirah telah berwasiat kepada Bakar al-An’war al-Hijri al-Qattat untuk melanjutkan kepemimpinannya. Karena itu mereka pun menganggap Mughirah tidak akan mati, bahkan dia senantiasa makan dari harta-benda mereka.

 

Di samping itu Mughirah pernah memerintahkan para pengikutnya agar menantikan (kedatangan) Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan ibn ’Ali ibn Abu Thalib, di mana Malaikat Jibril dan Mika’il pun akan berbai’at kepadanya di suatu tempat antara sudut Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Bahkan Muhammad ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan akan menghidupkan tujuhbelas orang pria yang telah meninggal, lalu ketujuh belas orang tersebut (masingmasing) akan diberi salah satu huruf dari nama kebesaran-Nya (al-ism alA’dzam). Kemudian mereka akan memerangi balatentara zalim, sehingga mereka menjadi penguasa di muka bumi ini. Ketika Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan terbunuh, para pengikut Mughirah beranggapan bahwa Yang terbunuh itu bukanlah Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan, tetapi setan yang menyerupainya. Sementara Muhammad ibn ’Abdullah akan muncul (kembali) dan menjadi raja, sebagaimana yang dikatakan Mughirah.

 

Adapun sebagian pengikut Mughirah menyatakan diri keluar dari kelompoknya.

 

  1. Manshuriyyah

 

Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Manshur al-’Ijli, di mana mereka beranggapan bahwa Pemimpin (imam) sesudah Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali ibn al-Hasan ibn ’Ali Abu Thalib itu semestinya Abu Mansur.

 

Abu Manshur pun beranggapan bahwa Keluarga Nabi Muhammad SAW itu (keturunan) langit, sementara Syi’ah keturunan bumi. Sungguh, Nabi Muhammad itu mula-mula merupakan sekeping benda langit. yang jatuh ke bumi (al-kisf al-sagith) lewat Bani Hasyim, sementara Abu Manshur sendiri keturunan Bani ’Jili dan dia pun menganggap.dirinya telah naik ke langit, lalu Tuhan mengusapkan tangan-Nya pada kepalanya seraya berfirman: ”Wahai anak-Ku, pergilah dan sampaikanlah apa-apa yang datang dariKu”. Kemudian turunlah Abu Manshur ke bumi.

 

Di samping itu dia pun beranggapan bahwa Nabi “Isa AS itu manusia pertama yang diciptakan Allah dari segenap makhlukNya, kemudian ’Ali ibn Abu Thalib. Bahkan (menurutnya) utusan Allah pun tidak akan terhenti, tetapi terus-menerus muncul; dan dia mengingkari adanya surga ataupun neraka, sebab surga ataupun neraka itu hanya berupa (nama) seorang pria. Abu Manshur . menghalalkan pula para wanita ataupun segenap hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya itu buat para pengikutnya, di mana bangkai, darah, daging babi, minuman keras, perjudian ataupun hal-hal lain yang diharamkan Allah itu menurutnya halal. Menurut anggapannya Allah tidak pernah ataupun akan melarang sesuatu kepada mereka selagi (mereka) taqwa kepada-Nya, sehingga larangan-larangan itu hanya berupa nama-nama seorang pria yang kekuasaannya telah diharamkan Allah, di mana hal ini dia takwilkan dari firman Allah SWT:

 

Artinya: “Tidak ada dosa bagi orang yang beriman dan beramal shaleh, karena memakan-makanan yang dahulu mereka makan…” (QS. al-Maidah (5): 93)

 

Bahkan dia menggugurkan berbagai hal yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya, yang menurut anggapannya kewajiban kewajiban itu hanya berupa nama-nama seorang pria yang kekuasaannya telah diwajibkan Allah; dan dia pun menghalalkan jiwa orang munafik, bahkan memperbolehkan perampasan harta benda mereka. Maka ketika Yusuf ibn ’Umar al-Tsaqafi menjadi Gubernur Irak, di masa daulat Bani Umayyah, dia pun menangkap dan membunuh Abu Manshur.

 

  1. Khaththabiyyah

 

Kelompok keenam ini yang terpecah lagi dalam lima cabang ialah para pengikut Abu Khaththab ibn Abu Zainab, di mana mereka beranggapan bahwa Sebenarnya para pemimpin (imam) itu merupakan Nabi-nabi pembaharu, utusan-utusan dan celup celupan Allah SWT yang terus-menerus ada buat makhluk-Nya. Adapun para utusan itu ada dua macam, yaitu utusan yang dinamis (rasul nathiq) dan utusan yang statis (rasul shamit); dan yang dimaksud dengan rasul nathiq ialah Nabi Muhammad SAW, sementara yang dimaksud dengan rasul shamit ialah Ali ibn Abu Thalib. Begitulah, kedua macam utusan tersebut mewajibkan semua makhluk untuk taat kepada ’Ali ibn Abu Thalib. Bahkan Abu Khaththab, menurut anggapan mereka, adalah seorang nabi; dan para utusan itu pum mewajibkan mereka untuk taat kepada Abu Khaththab, katanya.

 

Di samping itu mereka beranggapan bahwa para pemimpin (imam) tersebut sebenarnya adalah (pengejawantahan) Tuhan, sehingga dirinya pun dianggap sebagai Tuhan. Adapun anak keturunan al-Husein adalah putra-putra dan kekasih-kekasih Allah, begitu pun para pengikutnya, sebagaimana yang mereka takwilkan dari firman Allah SWT:

 

Artinya: “Maka, apabila.telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya (sebagian) ruh-Ku, hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.” (QS. Shaad, (38): 72)

 

Menurut anggapan mereka yang dimaksud dengan kejadiannyq dalam ayat tersebut adalah (kejadian) nabi Adam AS di mana mercka semua adalah anak-anak keturunannya. Mereka pun menyembah Abu Khaththab, yang dianggapnya scbagai Tuhan, sebagai halnya mereka mempertuhankan Ja’far ibn Muhammad, Bahkan Abu Khaththab menurut anggapan mereka, lebih mulia ketimbang Ja’far ibn Muhammad ataupun ’Ali ibn Abu Thalib.

 

Ketika Abu Khaththab keluar untuk mengunjungi Abu Ja’far, “Isa ibn Musa membunuhnya di pantai Kuffah. Sementara kebanyakan pengikut Abu Khaththab hanya beragama dengan mengucapkan syahadat palsu, karena mereka hanya beragama dalam rangka mencari keuntungan pribadi semata.

 

  1. Ma’mariyyah

 

Kelompok ketujuh ini sebagai cabang kedua dari kelompok Khaththabiyyah ialah para pengikut seorang pria yang bernama Ma’mar, di mana mereka beranggapan bahwa Ma’mar itu pemimpin (imam) sepeninggalnya Abu Khaththab. Lebih dari itu. mereka menyembah Ma’mar, sebagaimana mereka menyembah Abu Khaththab.

 

Mereka pun beranggapan bahwa sebenarnya dunia ini tidak akan lenyap, sementara yang dimaksud dengan surga adalah apaapa yang memberi kebaikan, kenikmatan dan kesehatan kepada manusia; dan neraka adalah apa-apa yang memberi kebalikannya. Adapun ruh (manusia) itu dapat berpindah-pindah, di mana (sebenarnya) manusia tidak akan mati, tetapi jasadnya diangkat ke langit dan digantikan dengan jasad lain yang serupa. Di samping itu mereka pun menghalalkan minuman keras, zina ataupun (perbuatan) lainnya yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, bahkan mereka menyerukan untuk meninggalkan shalat.

 

Selain disebut Ma’mariyyah, para pengikut kelompok ini pun kadang-kadang disebut (kelompok) Ya’mariyyah.

 

  1. Bazighiyyah

 

Kelompok kedelapan ini sebagai cabang ketiga dari kelompok Khaththabiyyah ialah para pengikut Bazigh ibn Musa, di mana mereka beranggapan bahwa Ja’far ibn Muhammad adalah (pengejawantahan) Allah, yang seringkali tidak terlihat oleh orang kebanyakan, sekali pun kadang-kadang dia mengejawantah sebagai manusia biasa. Di samping itu apa pun yang terbersit dalam relung hati manusia, menurut anggapan mereka, itu merupakan wahyu; dan (sebenarnya) setiap orang mukmin diberi wahyu, sebagaimana yang mereka takwilkan dari firman. Allah SWT:

 

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa itu tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah…” (QS. an-Nahl (3): 145)

 

Dan dengan. izin Allah ini mereka tafsirkan dengan wahyu Allah. Kemudian, sebagaimana yang mereka takwilkan dari firman-firman Allah ini:

 

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah…” . (QS. an-Nahli (16): 68)

 

Artinya: “Dan ingatlah ketika aku mewahyukan kepada kaum Hawarriyyin (pengikut Nabi ’Isa yang setia) itu…” (QS. al-Ma’idah (5): 111)

 

Mereka pun beranggapan bahwa di antara makhluk-makhluk Tuhan terdapat yang (diciptakan) lebih baik ketimbang Jibril, Mika’il dan Nabi Muhammad SAW dan salah satu di antaranya pun tidak akan meninggal, bahkan apabila salah satu di antaranya itu sampai kepada puncak ibadahnya, niscaya pula dia diangkat naik ke kerajaan Allah. Lebih dari itu mereka pun, katanya mengetahui (kapan) saat kematian seseorang; dan orang yang telah meninggal niscaya mengetahui orang-orang yang masih hidup, batk pagi atau pun petang hari.

 

  1. ’Umairiyyah .

 

Kelompok kesembilan ini sebagai cabang keempat dari kelompok Khaththabiyyah ialah para pengikut ’Umair ibn Bayan al ’Ijli, di mana mereka beranggapan bahwa tidak percaya pada omongan seseorang yang menganggap dirinya tidak akan meninggal, tetapi sebaliknya. Sementara di muka bumi ini selalu ada khalifah, katanya, baik itu-dari kalangan pemimpin (imam) ataupun kalangan nabi. Bahkan mereka menyembah Ja’far ibn Muhammad, sebagaimana halnya para pengikut Ya’mariyyah.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Ja’far ibn Muhammad adalah (pengejawantahan) Tuhan. Karena itu mereka memisahkan diri ke Kunasah, lalu membuat tempat khusus untuk menyembah Ja’far. Tetapi kemudian Yazid ibn ’Umar ibn Habiran menangkap dan membunuh ’Umair ibn Bayan al-’Ijli di daerah Kunasah tersebut.

 

  1. Mufadhaliyyah

 

Kelompok kescpuluh ini sebagai cabang kelima dari kelompok Khaththabiyyah ialah para pengikut seorang penukar uang (shairafiy) yang juga dikenal sebagai mufadhal, dimana mereka beranggapan bahwa Ja’far ibn Muhammad: adalah (pengejawantahan) Tuhan, sebagaimana halnya anggapan para pengikut Khaththabah lainnya; dan Abu Khaththab itu merupakan nabi ataupun rasul, tetapi imam Ja’far ibn Muhammad lebih utama ketimbang Abu Khaththab.

 

Mereka pun beranggapan bahwa para imam (yang mereka akui) itu hanya yang telah diangkat dan ditetapkan ’Ali ibn Abu Thalib dari enam orang keturunan Bani Hasyim, yaitu ’Abdullah ibn:’Amr ibn Harb al-Kindi, Bayan ibn Sam’an at-Tamimi, Mughirah ibn Sa’id, Abu Manshur, al-Hasan ibn Abu Manshur dan Abu Khaththab al-’Asad; dan mereka menganggap Abu Khaththab itu merupakan seorang (imam) yang paling utama dari Bani Hasyim. Bahkan sebagiannya pun sampai mempertuhankan Salman al-Farisi.

 

Dalam masalah tasawuf, mereka menganggap Aulul itu bolehboleh saja terjadi, di mana Allah (boleh) menyatu dengan seseorang; dan menurut anggapan mereka, Allah memang boleh (Gaiz) bertempat pada manusia, binatang buas ataupun benda yang lain. Sehingga, kalau para pengikut golongan ini melihat sesuatu, maka mereka pun memujanya dan bersikap baik terhadapnya. Dan mereka beranggapan bahwa siapa tahu Allah bertempat padanya. Di samping itu mereka pun cenderung tidak menetapi Syariat (Islam) bahkan menganggap setiap manusia sebenarnya tidak memiliki kewajiban-kewajiban. Sehingga, kalau seseorang telah sampa: nada yang disembahnya, maka menurut anggapan mereka tidaklah dia memiliki kewajiban untuk beribadah lagi.

 

  1. Kelompok kesebelas ini beranggapan: Ruh al-Qudus itu ialah Allah, yang bisa juga bertempat pada diri Nabi Muhammad SAW. kemudian pindah pada diri ’Ali ibn Abu Thalib, pada diri al-Hasan, al-Husein, ’Ali ibn al-Husein, Muhammad.ibn ’Ali, Ja’far ibn Muhammad, Musa ibn Ja’far, ’Ali ibn Musa, Muhammad ibn ’Ali, ’Ali ibn Muhammad, al-Hasan ibn ’Ali Muhammad ibn al-Hasan dan terus pindah pula pada diri anak. keturunan terkemudiannya; dan menurut anggapan mereka masing-masing (imam) itu merupakan reinkarnasi Tuhan. Bahkan mereka beranggapan bahwa Tuhan pun dapat sajy memasuki tubuh patung-patung.

 

  1. Kelompok keduabelas ini beranggapan: ’Ali ibn Abu Thalib itu (pengejawantahan) Allah. Mereka pun mendustakan kenabian Nabi Muhammad SAW, bahkan sudah bersifat angkuh terhadapnya. Di samping itu mereka beranggapan bahwa sebenarnya ’Ali ibn Abu Thalib telah mendatangi Nabj Muhammad SAW untuk menyelesaikan perkaranya, yaitu menuntut perkara (kenabian) tersebut bagi dirinya.

 

  1. Syariiyyah .

 

Kelompok ketigabelas ini ialah para pengikut al-Syari’i, dj mana mereka beranggapan bahwa Allah itu bertempat pada diri lima orang, yaitu pada diri Nabi Muhammad SAW ’AIli ibn Abu Thalib, al-Hasan ibn ’Ali, al-Husein ibn ’Ali dan diri Fatimah binti Muhammad SAW dan menurut anggapan mereka, kelimanya ialah (pengejawantahan) Tuhan.

 

Mereka tidaklah mencela kenabian Nabi Muhammad SAW tidak juga memiliki anggapan yang seperti kelompok lainnya seperti (kelompok) yang kusebutkan sebelum ini di mana mereka hanya menganggap Allah itu bertempat pada diri lima orang tersebut, yang kelimanya pun memiliki lima orang lawan, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ’Ustman, Mu’awiyyah dan ’Amr ibn Al-’ Ash.

 

Tetapi para pengikut kelompok ini berbeda anggapan tentang (sifat) kelima lawan tersebut, yaitu (1) sebagiannya menganggap kelima lawan tersebut bersifat terpuji, sebab tidak mungkin diketahui keutamaan dari lima orang (Muhammad, ’Ali, al-Hasan, al-Husein dan Fatimah) itu melainkan dengan adanya kelima lawannya. Maka, berdasarkan anggapan ini, kelima lawannya tersebut niscaya terpuji; dan (ii) sebagian lainnya menganggap kelima lawannya itu niscaya bersifat tidak terpuji, baik dari apa pun.

 

Namiriyyah

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut al-Namiri, di mana mereka beranggapan bahwa Sang Pencipta itu scbenarnya hanya bertempat pada diri al-Namiri saja.

 

  1. Saba’iyyah

 

Kelompok keempatbelas ini ialah para pengikut ’Abdullah ibn Saba’, di mana mereka beranggapan bahwa ’Ali ibn Abu Thalib itu belum mati, bahkan sebelum hari kiamat dia akan kembali ke dunia ini untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi, yaitu ketika bumi dipenuhi segenap kejahatan dan kezaliman. Diceritakan, Abdullah ibn Saba’ pernah berkata kepada ’Ali ibn Abu Thalib: “Engkau! Engkau (adalah pengejawantahan Tuhan)!”

 

Bahkan diceritakan mereka pun mempercayai adanya reinkarnasi (raj’ah), di mana orang-orang yang telah meninggal jtu akan hidup kembali ke dunia. Al-Sayyid al-Hamyari, salah seorang penyair terkenal dari kalangan mereka, dalam syairnya mengungkapkan anggapan begini:

 

Artinya: Dihari kembali manusia bakalnya ke dunia kembali sebelum perhitungannya. ;

 

  1. Kelompok kelimabelas ini beranggapan bahwa: Allah SWT. telah menyerahkan segenap perkara kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadikannya kuasa atas segenap kejadian dunia, baik (kuasa) mencipta atau mengaturnya. Bahkan, menurut anggapan mereka, Allah pun tidaklah menjadikan segenap sesuatu, tetapi (Dia) telah melimpahkannya kepada “Ali ibn Abu Thalib.

 

Mereka pun beranggapan bahwa imam itu dapat saja mem. batalkan syari’at, sebab para malaikat telah membekali ilmu, mu’jizat dan wahyu kepadanya. Bahkan apabila awan melintasj dirinya, sebagian mereka serentak memberi salam kepada awan tersebut, karena anggapan mereka (awan) yang lewat itu sebenarnya Ali ibn Abu Thalib RA, sebagaimana yang ditetapkan sebagian penyarr:

 

Artinya: Aku terbebas dari Khawarij, bukan pengikutnya bukan pengikut al-Ghazali ataupun ibn Bab. ” Dan bukan pengikut mereka yang kalau ’Ali disebutnya mereka serentak memberi salam kepada awan-awan lembah.

 

SYI’AH RAFIDHAH (IMAMIYYAH)

 

Golongan kedua aliran Syi’ah ini ialah (golongan) Rafidhah, disebut begitu karena para pengikutnya menolak kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan ’Umar ibn Kaththab. Mereka pun beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengangkat dan menetapkan ’Ali ibn Abu Thalib sebagai khalifah, sebagaimana yang dinyatakan Nabi SAW tctapi setelah Nabi wafat banyak para sahabat yang tidak mau mengakui ’Ali ibn Abu Thalib sebagai panutan dan pemimpin. Padahal, menurut anggapan mereka, kepemimpinan (imamah) itu tidak boleh terjadi melainkan harus melalui nasb ataupun ketetapan dogmatis, dan mereka sepakat bahwa kepepimpinan itu merupakan pengabdian, bahkan seorang imam dibolehkan bohong demi keselamatan diri (taqiyyah), seperti dia menyatakan dirinya bukanlah seorang imam. Di samping itu mereka pun membatalkan adanya ijtihad dalam suatu hukum; dan menurut anggapan mereka, seorang imam itu merupakan orang yang utama. Adapun di antara (imam) yang paling utama adalah Ali ibn Abu Thalib, sehingga apa pun yang diperbuat ’Ali senantiasa benar dan tidaklah mungkin dia berbuat salah dalam menetapkan (hukum) agama.

 

Bahkan kelompok Kamiliyyah yaitu para pengikut Abu Kamal beranggapan bahwa seseorang yang meninggalkan kepanutannya terhadap ’Ali ibn Abu Thalib itu orang kafir. Tetapi (sebaliknya) mereka pun sempat mengkufurkan Ali ibn Abu Thalib, karena dia tidak menindak orang-orang yang meninggalkan dirinya; dan mereka pun menolak untuk keluar dari penguasa yang lancang, sebagaimana mereka katakan, ”Tidaklah dapat ditolerir perbuatan keluar dari penguasa yang lancang, selagi tiada pemimpin (imam) yang diakui kepemimpinannya!”

 

Di samping kelompok Kamiliyyah tersebut, aliran Syi’ah Rafidhah pun terbagi dalam duapuluh empat kelompok lainnya; dan mereka dikenal pula dengan sebutan Syi’ah Imamiyyah, karena mereka hanya mengakui kepemimpinan (imamah) ’Ali ibn Abu Thalib RA.

 

  1. Qath’iyyah

 

Kelompok pertama ini disebut Qath’iyyah karena mereka telah menggagalkan kematian Musa ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Ali, di mana kelompok ini merupakan (kelompok yang terbesar dari aliran Syi’ah – beranggapan bahwa Nabj Muhammad SAW. telah menctapkan kepemimpinan (imamah) Ali ibn Abu Thalib sebagai pengganti sepeninggalnya, sementara Ali ibn Abu Thalib pun menetapkan kepemimpinan putranya al-Hasan ibn Ali sebagai pengantinya; dan al-Hasan ibn Ali menetapkan kepemimpinan saudaranya al-Husein ibn Ali, lalu al-Husein ibn Ali menetapkan kepemimpinan putranya Ali ibn al-Husein, sampai dengan seterusnya. Ali ibn al-Husein menetapkan kepemimpinan putranya Muhammad ibn Ali, Muhammad ibn Ali menetapkan kepemimpinan putranya Ja’far ibn Muhammad, Ja’far ibn Muhammad menetapkan kepemimpinan putranya Musa ibn Ja’far, Musa ibn Ja’far menetapkan kepemimpinan putranya Ali ibn Musa, Ali ibn Musa menetapkan kepemimpinan putranya Muhammad ibn Ali, Muhammad ibn Ali menetapkan kepemimpinan putranya Ali ibn Muhammad dan Ali ibn Muhammad pun menetapkan kepemimpinan putranya al-Hasan ibn Ali; dan ketika dia berada di kota Samara, al-Hasan ibn Ali menetapkan kepemimpinan putranya Muhammad ibn al-Hasan sebagai penggantinya, kemudian dia menghilang (ghaib). Maka menurut kelompok Qath’iyyah ini al-Hasan ibn ’Ali ialah seorang imam yang kedatangannya kembali sangat dinantikan, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, ketika nanti dunia dipenuhi kezaliman dan kejahatan.

 

  1. Kaisaniyyah

 

Kelompok kedua ini terpecah lagi dalam sebelas cabang. Disebut Kaisaniyyah karena al-Mukhtar ibn Abu ’Ubaid, pemimpinnya, telah ke luar dan menuntut balas kematian al-Husein ibn ’Ali; dan mengajak para pengikutnya untuk mendukung Muhammad ibn al-Hanafiyyah, yang dikenal dengan sebutan Kaisan, di mana tadinya diceritakan dia adalah seorang hamba-sahaya ’Ali ibn Abu Thalib.

 

Cabang pertama kelompok Kaisaniyyah beranggapan bahwa ’Ali ibn Abu Thalib telah menetapkan kepemimpinan Muhammad ibn al-Hanafiyyah sebagai penggantinya, di mana “Ali menebusnya dengan sebidang tanah pertanian yang terletak di daerah Bashrah.

 

  1. Kelompok ketiga ini, sebagai cabang kedua kelompok Kaisaniyyah, mereka beranggapan bahwa ’Ali ibn Abu Thalib telah menetapkan kepemimpinan putranya al-Hasan ibn ’Ali sebagai penggantinya lalu al-Hasan ibn ’Ali menetapkan kepemimpinan saudaranya al-Husein ibn ’Ali dan al-Husein – ibn ’Ali pun menetapkan kepemimpinan saudaranya Muhammad ibn ’Ali, yaitu Muhammad ibn al-Hanafiyyah.

 

  1. Karbiyyah

 

Kelompok keempat ini sebagai cabang ketiga kelompok Kaisaniyyah ialah para pengikut Abu Karb di mana mereka beranggapan bahwa Muhammad ibn al-Hanafiyyah itu masih hidup di gunung Radhwa, dikawal singa di sisi kanannya dan harimau di sisi kirinya. Bahkan rejeki senantiasa mengalir kepadanya, baik pagi atau pun petang hari, sampai dia ke luar dari sana; dan kejadian yang menimpanya ini, di mana dia sekarang menghilang,. diterimanya penuh kesabaran. Adapun kejadian ini merupakan kehendak Allah SWT tanpa diketahui siapa pun yang selain diri-Nya. Begitulah, Kutsair ibn ’Abdul Rahman al-Hijazi mengungkapkan (kejadian) ini dalam syairnya:

 

Artinya: ” Ingatlah, para imam itu suku Quraisy semata yang benar-benar hak pun hanya empat (orang) setara Ali dan tiga orang anak keturunannya sebagai penerus yang tiada samar bakalnya. Maka, yang seorang penerus keimanan dan kebenaran seorang lagi penerus yang gugur di padang Karbala.

 

Seorang lagi penerus yang tiada mengenyam kematian sampai panji-panji mengiringkannya ketika berkuda. Dia memang gaib, tiada sampai datang masanya dan kini di Radhwa, madu dan air melimpahinya.

 

  1. Kelompok kelima ini sebagai cabang keempat kelompok Kaisantyyah. Mereka beranggapan bahwa Muhammad ibn alHanafiyyah itu berada di gunung Radhwa karena alasan kecenderungannya untuk memihak ’ Abdul malik ibn Marwan, bahkan dia pun telah berbai’at kepadanya.

 

  1. Kelompok keenam ini sebagai cabang kelima kelompok – Kaisaniyyah. Mereka beranggapan bahwa Muhammad ibn alHanafiyyah telah meninggal, sementara imam penggantinya itu putranya Abu Hasyim ’Abdullah ibn Muhammad alHanafiyyah. .

 

  1. Kelompok ketujuh ini.

 

  1. Kelompok kedelapan ini sebagai cabang ketujuh kelompok Kaisaniyyah. Mereka beranggapan bahwa Imam sesudah Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad ibn al-hanafiyyah itu (keponakannya) al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah, karena Abu Hasyim sendiri telah mewasiatkan hal ini kepadanya. Kemudian al-Hasan pun mewasiatkan hal. itu kepada putranya ’Ali ibn al-Hasan, tetapi dia meninggal dunia sebelum dinobatkan.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Muhammad ibn al-Hanafiyyah akan. kembali ke dunia ini untuk memimpin mereka lagi, yaitu ketika mereka bertempat di padang Tiyyah tanpaseorang pemimpin (imam) pun, sampai kembalinya Muhammad ibn al-Hanafiyyah kepada mereka lagi.

 

  1. Kelompok kesembilan ini sebagai cabang kedelapan kelompok Kaisaniyyah. Mereka beranggapan bahwa Imam sesudah Aby Hasyim ’Abdullah ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah ity Muhammad ibn ’Ali ibn ’ Abdullah ibn al-’ Abbas. Abu Hasyim meninggal dunia di daerah Syarrah, yang termasuk wilayah negeri Syam; dan menurut anggapan mereka, di sana pula dia mewasiatkan. hal ini kepada Muhammad ibn ’Ali ibn Abdullah ibn al-’ Abbas, Muhammad ibn ’Ali mewasiatkan hal itu kepada putranya Ibrahim ibn Muhammad dan Ibrahim ibn Muhammad pun mewasiatkan hal itu kepada Abu al-Abbas. Begitulah, sampai masa kekhalifahan Abu Ja’far alMansur semua kepemimpinan mereka berdasarkan wasiat.

 

Rawandiyyah

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut Abu Hurairah alRawandi, di mana mereka beranggapan bahwa sebenarnya Nabj Muhammad SAW telah menetapkan al-’ Abbas ibn ’Abdul Muthalib sebagai imam kemudian al-’ Abbas ibn ’Abdul Muthalib menetapkan putranya ’Abdullah ibn al-’ Abbas sebagai penggantinya, ’Abdullah ibn al-’ Abbas pun menetapkan hal ini kepada putranya ’Ali ibn “Abdullah, sampai kepemimpinan tersebut dipegang Khalifah Abu Ja’ far al-Manshur.

 

Razamiyyah (Abu Muslimiyyah)

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut kekuasaan Abu Muslim, yang terpecah lagi ke dalam dua cabang. Cabang yang satunya disebut Razamiyyah karena para pengikutnya berasal dari Razam, di mana mereka menganggap bahwa Abu Muslim itu telah terbunuh. Sementara cabang yang lainnya disebut Abu Muslimiyyah karena mereka menganggap bahwa Abu Muslim itu masih hidup dan tidak Akan meninggal, bahkan mereka konon menghalalkan apa pun yang diharamkan (Allah) terhadap orang-orang sebelum mereka.

 

  1. Harbiyyah

 

Kelompok kesepuluh ini, sebagai cabang kesembilan kelompok Kaisaniyyah ialah para pengikut ’Abdullah ibn ’Amr ibn Harb, di mana mereka beranggapan bahwa Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah telah menetapkan Abdullah ibn ’Amr ibn Harb sebagai imam, bahkan sebelumnya ’Abdullah ibn ’Amr ibn Harb pun mendakwakan ruh Abu Hasyim telah berpindah (reinkarnasi) kepadanya. Tetapi begitu para pengikut ’Abdullah ibn ’Amr ibn Harb itu mengetahui kebohongan dirinya, mereka pun berangkat ke Madinah dan menemui ’Abdullah ibn Mu’awiyyah ibn Abdullah ibn Ja’far ibn Abu Thalib, menuntut adanya seorang imam baru. Abdullah ibn Mu’awiyyah menghendaki dirinya diangkat sebagai imam. begitulah, mereka menerima dan mengakui kepemimpinannya, bahkan mereka pun menyatakan kepemimpinan ’Abdullah ibn Mu’awiyyah tersebut juga berdasarkan wasiat.

 

Sepeninggal ’Abdullah ibn Mu’awiyyah kelompok Harbiyyah ini terpecah dalam tiga cabang, yaitu (i) cabang  yang menganggap ’ Abdullah ibn Mu’awiyyah telah meninggal; (ii) cabang yang menganggap ’Abdullah ibn Mu’awiyyah ada di gunung ’Ashfahan, belum meninggal, bahkan tidak akan meninggal sampai dia nanti mendatangi orang-orang Bani Hasyim dengan mengendarai kuda dan (iii) cabang yang menganggap bahwa ’Abdullah ibn Mu’awiyyah masih hidup di gunung ’Ashfahan, tidak akan meninggal sampai tegaknya kebenaran, bahkan dia adalah orang yang dinantikan (alMahdi) yang seperti halnya konon pernah diceritakan Nabi Muhammad SAW. .

 

  1. Bayaniyyah

 

Kelompok kesebelas ini sebagai cabang kesepuluh kelompok Kaisaniyyah ialah para pengikut Bayan ibn Sam’an at-Tamimi, di mana mereka beranggapan bahwa Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad telah berwasiat kepada Bayan ibn Sam’an at-Tamimi untuk melanjutkan kepemimpinannya.

 

  1. Kelompok keduabelas ini, scbagai cabang kesebelas kelompo, Kaisaniyyah, Mereka beranggapan bahwa sebenarnya imam sesudah Abu Hasyim ’Abdullah ibn Muhammad itu adalah Ali ibn al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib.

 

  1. Mughiriyyah

 

Kelompok ketigabelas ini ialah para pengikut al-Mughirah ibn Sa’id, di mana mereka beranggapan bahwa Nabj Muhammad SAW. telah menetapkan adanya para pemimpin (imam) yang dimulai dari imam ’Ali ibn Abu Thalib sampaj imam ’Ali ibn al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Imam sesudah ’Ali ibn al-Husein itu putranya Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali ibn al-Husein, lalu Abu Ja’far mewasiatkan kepemimpinan tersebut kepada al-Mughirah ibn Sa’id sampai keluarnya orang yang dinantikan (Al-Mahdi), yaitu Muhammad ibn Abdullah ibn al-Hasan (ibn al-Hasan) ibn.’Ali ibn Abu Thalib RA. yang masih hidup di bukit Nahiyyah al-Hajr.

 

Adapun yang dimaksud dengan anggapan mereka, bahwa nabi Muhammad SAW telah menetapkan adanya para pemimpin (imam) yang dimulai dari imam ’ Ali ibn Abu Thalib sampai imam ’Ali ibn al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib, sebenarnya itu Nabi Muhammad SAW (menurut anggapan mereka) hanya menetapkan kepemimpinan ’Ali ibn Abu Thalib; dan ’Ali ibn Abu Thalib yang menetapkan kepemimpinan al-Hasan ibn ’Ali ibn Abu.Thalib, al-Hasan ibn ’Ali menetapkan kepemimpinan al-Husein ibn.’Ali ibn Abu Thalib dan al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib pun penetapkan kepemimpinan ’Ali ibn al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib.

 

  1. Kelompok keempatbelas ini beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan adanya kepemimpinan (imamah) yang dimulai dari imam ’Ali ibn Abu Thalib sampai imam ’Ali ibn al-Husein ‘ibn ’Ali ibn Abu Thalib.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Imam sesudah ‘Ali ibn al-Husein itu putranya Abu Ja’far Muhammad tbn Ali ibn al-Husein, sementara imam sesudahnya ialah Muhammad ibn “Abdullah ibn al-Hasan yang hilang ke luar dari Madinah, dan, menurut anggapan mereka, Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan ialah orang yang mereka nantikan (al-mahdi) itu, di mana mereka tidak mengakui kepemimpinan alMughirah ibn Sa’id.

 

  1. Kelompok kelimabelas ini beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) yang bermula dari ’Ali ibn Abu Thalib itu berlangsung terus sampai ’Ali ibn al-Husein ibn ’Ali ibn Abu Thalib, kemudian ’Ali ibn al-Husein ibn ’Ali menetapkan kepemimpinan putranya Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali ibn al-Husein dan Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali pun menetapkan kepemimpinan Abu Manshur. Setelah itu kelompok ini terpecah dalam dua cabang, yaitu (i) cabang Huseniyyah, yang menganggap Abu Manshur telah menetapkan kepemimpinan putranya al-Husein ibn Abu Manshur sebagai penggantinya; dan (ii) cabang Muhammadiyah, yang menganggap Muhammad ibn ’ Abdullah ibn al-Hasan itulah yang sebenarnya imam mereka. Mereka pun beranggapan bahwa Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali telah mewasiatkan kepemimpinan Abu Manshur yang bukan Bani Hasyim, sebagaimana Nabi Musa AS telah mewasiatkan (kepemimpinan) Yusya’a ibn Nun yang bukan putranya, bukan pula putra Nabi Harun AS. Karena Yusya’a itu merupakan orang yang berhak menjadi pemimpin, dengan berdasarkan wasiat Nabi Musa AS tersebut, maka Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali tentu berhak pula mewasiatkan Abu Manshur sebagai pemimpin. Di samping itu Abu Manshur sendiri, menurut anggapan mereka, telah berkata: ”Sesungguhnya, aku hanya orang yang diamanati (kepemimpinan) ini. Maka tidaklah aku akan memberikannya kembali kepada yang selainku, kecuali yang meminta ini Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan.”

 

  1. Nawusiyyah

 

Kelompok kcenambelas ini ialah para pengikut ’Ajlan ibn Nawus, para penduduk Bashrah di Irak di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu telah sampai kepada Abu Ja’far Muhammad ibn ’Ali, lalu Abu Ja’far pun menetapkan kepemimpinan putra Ja’far ibn Muhammad, Adapun Ja’far ibn Muhammad ini masih hidup, tidak akan mati, sampai datangnya kembali pemerintahannya; dan dia ialah orang yang dinantikan (al-mahdi) itu.

 

  1. Kelompok ketujuhbelas ini beranggapan bahwa Ja’far ibn Muhammad itu sebenarnya telah meninggal, sementara imam sepeninggalnya ialah putranya Isma’il. Mereka pun mengingkari anggapan bahwa Isma’il telah meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup, sebab mereka beranggapan bahwa Isma’il tidak akan meninggal dunia sampai dia (kembali)

 

datang sebagai penguasa, karena ayahnya telah mewasiatkan dia sebagai pemimpin.

 

  1. Qaramithah .

 

Kelompok kedelapanbelas ini beranggapan bahwa sebenarnya Nabi Muhammad SAW telah menetapkan kepemimpinan ’Ali ibn Abu Thalib dan ’Ali ibn Abu Thalib pun menetapkan kepemimpinan putranya al-Hasan ibn ’ Ali dan seterusnya al-Hasan ibn ’Ali pun menetapkan kepemimpinan saudaranya al-Husein ibn ’ Ali, al-Husein ibn ’ Ali menetapkan kepemimpinan putranya ’Ali ibn al-Husein, ’ Ali ibn al-Husein mengtapkan kepemimpinan putranya Muhammad ibn ’Ali, Muhammad ibn ’Ali menetapkan kepemimpinan putranya Ja’far ibn Muhammad dan Ja’far ibn Muhammad pun menetapkan kepemimpinan cucunya Muhammad ibn Isma’il.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Muhammad ibn Isma’il sekarang masih hidup, belum meninggal, bahkan terus hidup sampai dia menjadi penguasa dunia ini. Dia adalah orang yang dinantikan kedatangannya (al-mahdi) itu, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya; dan konon mereka mendasarkan anggapannya itu kepada cerita-cerita dan beritaberita dari orang-orang terdahulu, yang juga mencanangkan Muhammad ibn Isma’il ini sebagai salah seorang dari ketujuh imam mereka.

 

  1. Mubarakiyyah

 

Kelompok kesembilanbelas ini ialah para pengikut alMubarakiyyah, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu bermula dari imam ’Ali ibn Abu. Thalib, sebagaimana anggapan kelompok Qaramithah, terus sampai imam Ja’far ibn Muhammad dan Ja’far ibn Muhammad pun mula-mula menetapkan kepemimpinan Isma’il ibn Ja’far, tetap karena Isma’il meninggal ketika ayahnya masih hidup, Ja’far ibn Muhammad kemudian menetapkan kepemimpinan muhammad ibn Isma’il sebagai penggantinya.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Muhammad ibn Isma’il sebenarnya meninggal pula, karena itu kepemimpinan . (Imamah) sepeninggalnya pun dipegang oleh putranya.

 

  1. Samithiyyah

 

Kelompok-keduapuluh ini ialah para pengikut Yahya ibn Abu Samith, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu berlangsung terus dari ’ Ali ibn Abu Thalib sampai Ja’far ibn Muhammad, sementara imam sepeninggalnya ialah putra-putra dan cucu-cucunya.

 

  1. Ammariyyah (Futhhiyyah)

 

Kelompok keduapuluh satu ini ialah para’ pengikut “Ammar ibn Musa al-Sabathi, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) yang bermula dari ’Ali ibn “Abu Thalib itu berlangsung terus sampai Ja’far ibn Muhammad, sebagaimana juga anggapan kelompok-kelompok yang dinantikan kedatangannya (al-mahdi) itu, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya; dan konon mereka mendasarkan anggapannya itu kepada cerita-cerita dan beritaberita dari orang-orang terdahulu, yang juga mencanangkan Muhammad ibn Isma’il ini sebagai salah seorang dari ketujuh imam mereka.

 

  1. Mubarakiyyah

 

Kelompok kesembilanbelas ini ialah para pengikut alMubarakiyyah, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu bermula dari imam ’Ali ibn Abu Thalib, sebagaimana anggapan kelompok Qaramithah, terus sampai imam Ja’far ibn Muhammad dan Ja’far ibn Muhammad pun mula-mula menetapkan kepemimpinan Isma’il ibn Ja’far, tetap karena Isma’il meninggal ketika ayahnya masih hidup, Ja’far ibn Muhammad kemudian menetapkan kepemimpinan muhammad ibn Isma’il sebagai penggantinya. Mereka pun beranggapan bahwa Muhammad ibn Isma’il sebenarnya meninggal pula, karena itu kepemimpinan . (Imamah) sepeninggalnya pun dipegang oleh putranya.

 

  1. Samithiyyah

 

Kelompok keduapuluh ini ialah para pengikut Yahya ibn Abu Samith, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu berlangsung terus dari ’Ali ibn Abu Thalib sampai Ja’far ibn Muhammad, sementara imam. sepeninggalnya ialah putra-putra dan cucu-cucunya.

 

  1. ’Ammariyyah (Futhhiyyah)

 

Kelompok keduapuluh satu ini ialah para pengikut “Ammar ibn Musa al-Sabathi, di mana mereka beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) yang bermula dari ’Ali ibn Abu Thalib itu berlangsung terus sampai Ja’far ibn Muhammad, sebagaimana juga anggapan kelompok-kelompok sebelumnya, Sementara imam sesudah Ja’faribn Muhammag itu. putranya ’Abdullah ibn Ja’far; dan berlangsung terug Sampai anak keturunannya.

 

Adapun kelompok ini dikenal pula dengan sebutan Futhiyyah karena (konon) ’Abdullah ibn Ja’far itu kakinya cacad (afthah al-rijlain), di samping kata ini pun punya maksud-maksud lain.

 

Zarariyyah (Taymiyyah) ,

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut Zararah ibn A’yan al-Rafidhi, sebagian dari kelompok Ammariyyah yang meninggalkan kepemimpinan ’Abdullah ibn Ja’far, Masalahnya, ketika mereka mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya, dia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka pun berbalik hanya mengakui kepemimpinan Musa Ibn Ja’far ibn Muhammad semata. Adapun kelompok ini dikenal pula dengan sebutan Jaymiyyah.

 

  1. Wagqifah.(Mamthurah) Kelompok keduapuluh dua ini beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) itu berlangsung sampai Ja’far ibn Muhammad, kemudian Ja’far ibn Muhammad menetapkan kepemimpinan putranya Musa ibn Ja’far sebagai penggantinya; dan Musa ibn Ja’far ini, menurut anggapan mereka, masih hidup tidaklah akan meninggal sampai nanti, dia menguasai belahan dunia bagian timur dan barat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, ketika dunia dipenuhi kejahatan dan kezaliman.

 

Adapun kelompok ini disebut Wagifah karena anggapan mereka bahwa kepemimpinan itu terhenti (waqafu) hanya sampai imam Musa ibn Ja’far, di mana mereka tidak lagi mempercayai imam-imam lain sesudahnya.

 

Dan pembangkang mereka adalah kelompok Mamthurah, yang dipimpin Yunus ’Abdul Rahman (bekas) pengikut kelompok Qath’iyyah, dia itulah yang membatalkan kepemimpinan Musa ibn Ja’far di mana Yunus ’Abdul Rahman pernah berkata lancang kepada kelompok Wagqifah: ”Kamu sekalian lebih hina ketimbang anjing kehujanan!” Karena mereka sendiri yang selayaknya digelari begitu.

 

Musa’iyyah (Mufadhaliyya)

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut al-Mufadhal ibn “Umar yang mendukung kepemimpinan (imamah) Musa ibn Ja’far di mana mereka beranggapan bahwa imam itu terhenti hanya sampai Musa ibn Ja’far ibn Muhammad.

 

Mereka pun berkata: ”Kami tidak peduli apakah imam Musa ibn Ja’far sudah meninggal atau belum, tetapi yang jelas bagi kami tidak ada pemimpin (imam) sesudahnya; dan seandainya ada seseorang yang mengaku imam sesudahnya, ‘maka dengan tegas kami akan menentangnya.”’

 

  1. Kelompok keduapuluh ‘tiga ini beranggapan bahwa kepemimpinan (imamah) yang bermula dari imam ’Ali ibn Abu Thalib itu berlangsung terus sampai imam Musa Ibn Ja’far, sebagaimana anggapan kelompok-kelompok sebelumnya, tetapi (di samping itu) mereka pun menganggap Musa ibn Ja’far telah menetapkan kepemimpinan putranya Ahmad ibn Musa ibn Ja’far sebagai penggantinya.

 

  1. Kelompok keduapuluh empat ini beranggapan bahwa sebenarnya Nabi Muhammad SAW telah’ menetapkan kepemimpinan ’Ali ibn Abu Thalib dan ’Ali ibn Abu Thalib pun menetapkan kepemimpinan al-Hasan ibn ’Ali sebagai penggantinya, di mana kepemimpinan (imamah) ini berakhir sampai imam Muhammad ibn al-Hasan ibn ’Ali ibn Muhammad ibn ’Ali ibn Musa ibn Ja’far, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Muhammad ibn al-Hasan itu merupakan imam yang akan datang kembali, yang nanti akan menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman di dunia ini.

 

Golongan Syi’ah Rafidhah berbeda anggapan tentang kepemimpinan Muhammad ’Ali ibn Musa ibn Ja’far karena dia memang tidak berumur panjang, karena ayah Muhammad ibn ’Alj telah meninggal pula ketika dia masih berumur delapan tahun, bahkan yang lainnya menganggap dia masih berumur empat tahun ketika ayahnya meninggal. Masalahnya, benarkah dia itu merupakan imam yang wajib ditaati?

 

Sebagian mereka beranggapan bahwa dalam hal inj Muhammad ibn ’Ali tetap seorang imam yang wajib ditaati, kareng dia telah mengetahui berbagai hukum dan permasalahan dunia, sebagaimana layaknya seorang imam; dan dengan demikian mereka pun tetap wajib mengakui kepemimpinannya, mengikuti dan meneladani dirinya, sebagaimana kewajiban mereka terhadap imamimam sebelumnya.

 

Sebagian lainnya beranggapan: dalam hal ini tidaklah wajib mengakui kepemimpinan Muhammad ibn ’Ali, karena (sebelum dia dewasa) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan ibadah shalat (Islam) sampai dia mencapai kedewasaan dan layak melaksanakan kepemimpinan tersebut.

 

Kejisiman Allah

 

Para pengikut golongan Rafidhah (Syi’ah Imamiyah) ini berbeda anggapan tentang kejisiman Allah (al-tajsim), yang terpecah dalam enam (kelompok) anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini, Hisyamiyyah, ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa Tuhan itu jisim’ yang berbatas dan berkesudahan, yang memiliki dimensi tinggi, panjang ataupun lebar; dan tinggi-Nya sama dengan lebar-Nya, di mana tidaklah satu sama lain saling melebihi. Sekali pun begitu mereka tidak memaksudkan pernyataan tinggi-Nya sama dengan lebar-Nya ini secara hakiki, tetapi secara kiasan.

 

Mereka pun beranggapan bahwa Tuhan itu cahaya yang cemerlang, yang memiliki ukuran tertentu dan menempat secara tertentu bagai perak mumi yang bulat dan bersinar-sinar dari segenap sisinya yang memiliki indra, warna, bau atau pun rasa, di mana warna-Nya adalah rasa-Nya, rasa-Nya adalah bau-Nya dan bau-Nya adalah warna-Nya, sehingga Dia pun adalah warna, rasa, yang menempat pada sesuatu. Maka kemudian dengan gerakan-Nya terjadilah Arsy sebagai tempat Diri-Nya.

 

Dalam sebagaian kitabnya, Abu al-Hudzail menceritakan kembali perkataan Hisyam ibn al-Hakam kepadanya: ”Tuhan itu jisim yang bisa datang dan pergi, yang kadang-kadang bergerak dan kadang-kadang pula diam, suatu ketika Dia duduk dan ketika yang lain Dia berdiri; dan Dia pun memiliki dimensi tinggi  panjang atau pun Iebar, karena sesuatu yang tidak begitu akan berada pada batas-batas kchancuran.” Abu al-Hudzail pun berkata: Aku bertanya kepada Hisyam ibn al-Hakam, manakah yang Icbih besar antara Tuhanmu dan gunung itu?” Dan ketika itu aku pun berisyarat ke arah gunung Abu Qubais. Hisyam ibn al-Hakam menjawab: ””Sungguh, gunung itu lebih besar ketimbang Dia.”

 

Ibn al-Rawandi pun di dalam kitabnya menceritakan pernyataan Hisyam ibn al-Hakam: ’’Dari satu segi antara Tuhan dan jisim-jisim yang ada ini memiliki kesamaan, sebab kalau tidak begity tiada mungkin tertunjukkan keberadaan-Nya”. Tetapi ada pula pernyataan Hisyam ibn al-Hakam yang bertentangan dengan (pernyataan) ini, dimana katanya: ’Menang Tuhan itu jisim, tetapi tidak seperti layaknya jisim-jisim yang ada.”

 

Dalam salah satu kitabnya, al-Jahizh pun menceritakan pernyataan Hisyam ibn al-Hakam: ”Tuhan SWT itu mengetahui sesuatu yang berada di bumi dengan perantaraan sinar yang terdapat di dasar bumi, sebab kalau tiada jangkauan antara sinar itu dengan sesuatu yang terdapat di bumi, tidak mungkin Tuhan SWT mengetahui sesuatu yang berada di sana. Kemudian yang diketahui-Nya bercampur dan menetap dalam diri-Nya, sebagai cahaya-Nya, di mana percampuran tersebut mustahil kalau hanya sebagian saja. Kalau tiada perantaraan, jangkauan, berita ataupun analogi (giyas), maka sebenarnya Tuhan dapat saja mengetahui sesuatu yang berada di bumi ini dengan me-nyaksikannya secara langsung.”

 

Tetapi diceritakan Hisyam ibn al-Hakam dalam satu tahun yang sama bisa menyatakan anggapan yang berlainan tentang Tuhannya tersebut di suatu ketika dia menganggap Tuhan itu merupakan benda kristal, di lain ketika dia menganggap Tuhan itu merupakan perak murni yang berwarna keputih-putihan, lalu dia menganggap Tuhan itu tidak berupa apa pun. Bahkan dia pernah menganggap Tuhan itu memiliki dimensi, yang konon tinggi-Nya tujuh jengkalan dirinya, tetapi pernah pula dia meralat anggapananggapannya tersebut, di mana dia kemudian menganggap Tuhan itu jisim seperti layaknya jisim-jisim yang ada..

 

Menurut Abu Isa al-Warraq, sebagian pengikut Hisyam ibn alHakam pun mengikutinya ketika dia beranggapan, Tuhan SWT itu bertempat di ’Arsy, di mana Dia dan ’Arsy tersebut tempatnya tidak saling melebihi.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Sekalipun Tuhan SWT itu jisim, tetapi tidaklah Dia menyerupai ataupun berbentuk seperti layaknya jisim-jisim yang ada, bahkan tidak pula Tuhan itu memiliki dimensi ataupun bagian yang tersusun dan melekat pada-Nya. Mereka pun menganggap Tuhan SWT itu bertempat di ’Arsy, tetapi mereka tidak mempersoalkan bagaimana Dia menempat, karena Dia tidak seperti layaknya suatu benda menempat.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, Tuhan itu mempunyai jisim manusia, sekalipun begitu mereka pernah pula menganggap Tuhan itu bukan jisim.

 

  1. Kelompok keempat ini, Hisyamiyyah (lain), ialah para pengikut Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi, di mana mereka beranggapan bahwa, Tuhan itu: menyerupai. jisim manusia, tetapi tidak berdaging dan berdarah. Lalu mereka menganggap Tuhan itu merupakan cahaya yang cemerlang dan putih kemilauan, Dia pun memiliki indra seperti layaknya manusia, memiliki tangan, kaki, hidung, telinga, mata dan mulut dan Dia dapat mendengar sesuatu, sekalipun tanpa melihatnya, tetapi konon pancaindraNya senantiasa berubah.

 

Abu Isa al-Warraq di dalam kitabnya menceritakan pernyataan Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi, ”Tuhan itu memiliki rambut yang terurai panjang dan hitam pekat, sehingga Dia pun berupa cahaya yang hitam pekat pula.”

 

  1. Kelompok kelima ini beranggapan bahwa, Tuhan pemelihara alam itu cahaya (nur) yang cemerlang, bagai nyala lampu yang sinarnya terang-bendcrang, di mana Dia tidaklah berbentuk, tidak pula memiliki bagian-bagian anggota yang berlainan. Karena itu mercka pun mengingkari Dia memiliki jisi seperti manusia ataupun binatang.

 

  1. Kelompok keenam ini beranggapan bahwa, Tuhan itu bukay jisim. yang memiliki bentuk, tidak pula Dia menyerupai sesuaty benda, Dia tidak bergerak, tidak diam dan tidaklah terjangkay pancaindera. Adapun anggapan mereka, dalam masalah tauhid bersesuaian dengan anggapan-anggapan aliran Mu’tazilah dan Khawarij, dan di samping itu, mereka adalah kelompok terakhi; golongan Syi’ah Rafidhah yang berlainan anggapan dengan kelompok-kelompok sebelumnya.

 

Malaikat Pembawa ’Arsy.

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang malaikat pembawa ’Arsy, apakah malaikat itu membawa ’Arsy atay membawa Tuhan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, Yunusiyyah, ialah para pengikut Yunus ibn Abdul Rahman al-Qammi, seorang pembantu keluarga Yaqthin, di mana mereka beranggapan bahwa, Malaikat itu sebenarnya membawa Tuhan SWT, karena malaikat pembawa

 

“Arsy memang sanggup membawa-Nya. Mereka pun menyerupakan malaikat pembawa “Arsy itu dengan burung kurki (sejenis burung rajawali), yang membawa Tuhan dengan kedua kaki kecilnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Malaikat itu sebenarnya membawa ’Arsy, bukan membawa Tuhan, karena sangat mustahil kalau Tuhan itu merupakan sesuatu yang dapat dibawa.

 

Para pengikut golongan Rafidhah pun berbeda anggapan, apakah Allah SWT kuasa atas perbuatan zalim atau tidak? Sebagian mereka menolak hal ini, tetapi sebagian lainnya menganggap. Allah dapat saja berbuat begitu.

 

Para pengikut golongan Rafidhah pun berbeda anggapan, apakah Allah SWT. bersifat tahu (’alim), hidup (hayyun), kuasa (qadr), mendengar (sami’) dan melihat (bashir) atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam sembilan kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, Zarariyyah atau Taymiyyah, ialah para pengikut Zararah ibn A’yan al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa, Allah SWT tidaklah selalu bersifat mendengar (sami’), tahu (‘alim) ataupun melihat (bashir) sampai tiba saat terciptanya sifat-sifat itu bagi Diri-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini, Sababiyyah, ialah para pengikut ’Abdul Rahman ibn Sababah, di mana mereka tidak mempunyai anggapan yang tegas tentang masalah tersebut. Sekalipun begitu mereka menganggap dirinya, dalam hal ini, mengikuti anggapan dari imam Ja’ far.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, Allah SWT tidaklah selalu bersifat kuasa, tahu ataupun mendengar sampai tiba saat terjadinya sesuatu, karena sebelumnya terjadi sesuatu tidaklah sesuatu itu nyata adanya sehingga Allah pun, dengan begitu, tidak layak bersifat kuasa ataupun tahu atas sesuatu sebelum terjadinya sesuatu ita nyata adanya.

 

Adapun sebagian besar pengikut golongan Rafidhah beranggapan bahwa, kalau Allah menghendaki sesuatu, maka Dia pun akan menampakan Diri-Nya dalam sesuatu itu.

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, Allah SWT tidaklah selalu bersifat hidup, tetapi bukan pula berarti Dia tidak hidup baru kemudian hidup.

 

  1. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Syaithan al-Thaq, di mana mereka beranggapan bahwa, Allah hanya mengetahui Diri-Nya semata. Allah akan mengetahui sesuatu kalau Dia telah menentukan dan menghendaki sesuatu itu, karena sebelum Allah menentukan dan menghendaki sesuatu itu mustahil Dia mengetahuinya. Dalam hal ini bukanlah berarti Dia tidak bersifat – tahu, tetapi karena sesuatu itu mustahil adanya diketahui sebelum Dia menetapkannya dengan kekuasaan-Nya, dan yang dimaksud kekuasaan oleh mereka adalah kehendak (iradat) Allah.

 

  1. Kelompok keenam ini, Misyamiyyah, ialah para pengikut Hisyam bn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka berangeapan bahw: mustahil Allah selalu bersifat tahu atas sesuatu dengan sendiri. Nya, tetapi) Allah akan mengetahut scsuatu kalau sebelumnya Dia tidak mengetahui scsuatu itu, di mana Dia akan mengetahui Sesuatu itu melalui pengetahuan (‘ilma) yang datang kepada. Nya. Karena tahu itu merupakan sifat bagi diri-Nya, maka tentu Saja sifat-Nya tersebut bukanlah Diri-Nya ataupun bagian Diri-Nya, dan dapatlah dikatakan, sifat tahu itu sebenarnya temporar ataupun tidak kekal, karena ia hanya sifat dan tidaklah yang disebut sifat itu dapat disifati.

 

Hisyam ibn al-Hakam berkata, ’’Seandainya Allah selalu bersifat tahu, niscaya sesuatu yang diketahui-Nya itu selalu ada, karena mustahil Dia bersifat tahu tanpa adanya sesuatu yang diketahuj tersebut”. Dan katanya lagi, ’Seandainya Allah bersifat tahy atas sesuatu yang akan diperbuat hamba-Nya, niscaya pula tidak layak terjadi adanya percobaan ataupun malapetaka atas hambaNya tersebut.”’

 

Di samping itu Hisyam pun menganggap semua sifat Allah SWT, seperti (sifat) kuasa, hidup, mendengar, melihat ataupun berkehendak, itu hanya merupakan sifat bagi Diri-Nya, dan bukanlah sifat-sifat itu merupakan Allah ataupun yang selainNya. Adapun tentang sifat kuasa dan hidup,’ sebagian orang menceritakan bahwa, Hisyam menganggap Allah selalu bersifat hidup dan kuasa, tetapi sebagian lainnya menceritakan bahwa, dia mengingkari anggapan begitu.

 

  1. Kelompok ketujuh ini beranggapan bahwa, tidaklah Allah hanya mengetahui Diri-Nya semata, sebagaimana yang dikemukakan Syaithan al-Thaq, tetapi mereka pun menganggap Allah tidak akan mengetahui sesuatu sebelum (sesuatu) itu menjadi kehendakNya. Seandainya Dia berkehendak atas sesuatu, niscaya Dia mengetahuinya, dan seandainya Dia tidak menghendakinya, niscaya pula Dia tidak mengetahuinya. Adapun arti berkehendak, menurut anggapan mereka, Allah itu bergerak dengan kehendak Nya. Karena itu Allah pun niscaya mengetahui sesuatu hanya seandainya Dia bergerak, schingga mustahil Allah bersifat tahu atas sesuatu scandainya Dia tidak bersifat begitu, dan menurut anggapan mercka, Dia pun mustahil bersifat tahu atas sesuatu yang tidak akan terjadi.

 

  1. Kelompok kedelapan ini beranggapan bahwa, sebenarnya yang dimaksud Allah mengetahui itu Allah berbuat. Tetapi kalau mereka ditanya, apakah Allah selalu bersifat tahu atas sesuatu jtu dengan sendiri-Nya? Maka dalam hal ini mereka pun berbeda anggapan.

 

Sebagian mereka beranggapan bahwa, Allah tidaklah selalu mengetahui sesuatu dengan sendiri-Nya, sebelum Dia menciptakan pengetahuan pada-Nya. Sekalipun Dia telah bersifat tahu, tetapi belumlah Dia berbuat dengan sifat tahu yang terdapat dalam Diri-Nya tersebut.

 

Sebagian lainnya beranggapan bahwa, Allah selalu mengetahui sesuatu dengan sendiri-Nya. Kemudian kalau ditanyakan kepada mereka, apakah Allah pun selalu berbuat? Maka mereka menjawab, ya! Dan, dengan begitu, tidaklah mereka menganggap sifat tahu bagi Allah itu harus didahului adanya perbuatan Dia. Adapun sebagian besar pengikut golongan Rafidhah beranggapan bahwa, Allah mengetahui sesuatu yang sudah, yang sedang ataupun yang akan terjadi, kecuali perbuatan hamba-Nya. Karena itu tidaklah Allah akan mengetahui perbuatan hamba-Nya, kecuali ketika sedang terjadinya perbuatan hamba tersebut.

 

  1. Kelompok kesembilan ini beranggapan bahwa, Allah SWT selalu bersifat tahu, hidup dan kuasa, dan mereka pun menolak adanya penyerupaan terhadap Allah, menolak, anggapan temporalnya alam, menolak anggapan adanya kejisiman Allah, sebagaimana dikemukakan kelompok-kelompok lainnya yang menyerupakan Allah dengan selain-Nya.

 

Allah boleh Menampakkan Diri

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan, apakah Allah boleh menampakkan Diri-Nya kalau Dia menghendaki sesuatu?

 

Tentang hal ini mereka terpecah dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama tni beranggapan bahwa, Allah SWT tidak boleh menampakkan Diri-Nya ketika Dia menghendaki sesuatu kecuali kalau Dia menghendaki sesuatu yang kemudian tidak menjadikannya, maka Dia boleh menampakkan Diri-Nya. Begitu pun kalau Dia memerintahkan syari’at, kemudian Diag menghapuskannya, maka Dia pun menampakkan Diri-Nya dalam syari’at itu. Bahkan dengan sesuatu yang diketahui Allah, tetapi Dia tidak memperlihatkan sesuatu itu kepada hamba-Nya, maka Dia pun tidak boleh menampakkan Diri-Nya dalam sesuaty tersebut.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Allah boleh menampakkan Diri-Nya dalam sesuatu yang diketahui-Nya, baik yang akan terjadi ataupun yang tidak. Begitu pun Allah boleh menampakkan Diri-Nya dalam sesuatu, baik yang diperlihatkan kepada hamba-Nya ataupun yang tidak.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, Allah tidak boleh menampakkan Diri-Nya. Mereka pun menolak anggapan-anggapan seperti di atas, karena Allah itu Maha Tinggi dan Maha Suci dari anggapan begitu.

 

Kedudukan Al-Qur’an

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang kedudukan Al-Qur’an, yang terpecah lagi dalam dua (kelompok) anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa, Al-Qur’an itu bukanlah Khalik dan bukan pula makhluk. Konon Hisyam ibn al-Hakam pun menyatakan Al-Qur’an memang bukan Khalik, tetapi tidak boleh dikatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Al-Qur’an sebagai Kalamullah ialah sifat Tuhan, dan sebagai sifat Tuhan tidak boleh ia disifati.

 

Zurqan di dalam kitabnya menceritakan pernyataan Hisyam yang selain itu: ’Jika anda mendengar Al-Qur’an, ketahuilah, Al-Qur’an diciptakan Allah SWT dengan kalimat yang terpotong-potong dan habint merupakan bentuk lahir Al Qur’an, sementara hakikat Al-Our’an it sendiri sebenarmya perbuatan Allah scbagaimana halnya mengetahui ataupun bergerak schingga dapat pula dikatokan Al-Qur’an itu sama dengan Dia, bukan yang selainNya.

 

  1. Kelompok kedua int beranggapan bahwa, Al-Qur’an itu makhluk yang diciptakan Allah, yang dari tiada menjadi ada. Adapun anggapan ini sama dengan anggapan orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij, dan mereka pun, yang mempunyai anggapan seperti ini, hanya para pengikut golongan Rafidhah di masamasa yang akhir.

 

Perbuatan Hamba Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan seorang hamba, yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa, perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakan Allah. Ja’far ibn Harb di dalam kitabnya menceritakan pernyataan Hisyam ibn al-Hakam: ’Sebenarnya dari satu segi perbuatan manusia ini merupakan daya (ikhtiar) manusia itu sendiri, karena dia-itulah yang menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan manusia ini pun merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya, karena perbuatan manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya sebab yang menggerakkan ataupun mendorong ke arah terjadinya perbuatan manusia tersebut.”’

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, manusia itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Jahamiyyah, tetapi manusia itu pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah. Sungguh, anggapan seperti inilah yang dikemukakan imam-imam gaib mereka. Karena itu mereka pun tidak dapat menjawab. pernyataan, apakah perbuatan manusia ini diciptakan Allah atau bukan?

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, perbuatan hamba Allah itu bukan diciptakan Allah, Adapun munculnya anggapan begini dari sebagian mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan (imamah).

 

Kehendak Allah

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang kehendak (iradat) Allah, yang terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi dan Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi, di mana mereka beranggapan: bahwa, kehendak Allah SWT itu merupakan gerakan (harakat) yang sangat berarti, yang bukan Allah ataupun selain-Nya, tetapi gerakan itu merupakan sifat Allah, bukan sifat selain-Nya. Karena itu mereka pun beranggapan bahwa, kalau Allah berkehendak atas sesuatu, maka Dia akan bergerak, yang secara begitu terwujudlah apa yang dikehendaki-Nya tersebut. Mahatinggi Allah dari anggapan begini!

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Abu Malik al-Hadhrami dan Ali ibn Mitsam, di mana mereka beranggapan bahwa, Kehendak Allah itu bukan Allah, tetapi hanya gerakan (harakat) Allah sebagaimana yang dikemukakan Hisyam. Sedikit perbedaannya dengan anggapan-anggapan Hisyam ialah mereka lebih menganggap kehendak-Nya tersebut sebagai gerakan semata, bukan sifat Allah, sekalipun dengan kehendak itulah Allah bergerak.

 

  1. Kelompok ketiga ini, yang memisahkan diri serta menetapkan . adanya kepemimpinan. Mereka beranggapan bahwa, kehendak Allah itu bukanlah gerakan (harakat), bahkan sebaliknya gerakan pun diciptakan Allah bukan sebagai kehendak. Tetapi sebagian kelompok ini beranggapan bahwa, kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu itu merupakan sesuatu, sementara kehendakNya atas perbuatan hamba-Nya ini merupakan perintah-Nya untuk berbuat, sehingga perbuatan hamba-Nya tersebut tidak merupakan perbuatan manusia itu sendiri, Sckalipun begitu kelompok ini menolak anggapan kalau) Allah SWT berkehendak atas kemaksiatan, terjadilah kemaksiatan itu.

 

4, Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, Allah memang berkehendak atas perbuatan manusia, kalau manusia berbuat ketaatan, tetapi kalau manusia tersebut berbuat kemaksiatan, maka Dia pun tercegah dan tidak berkehendak menganjurkan perbuatan itu.

 

Adanya Kemampuan Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang adanya kemampuan (istitha’ah), yang terpecah lagi dalam empat (kelompok) anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa, kemampuan itu ada lima unsur, yaitu (i) sehat, (ii) tidak disibukkan oleh perbuatan, (iii) berkesempatan, (iv) adanya sarana untuk mencapai perbuatan, seperti adanya tangan untuk memukul, kapak untuk membelah kayu, jarum untuk menjahit ataupun adanya alat-alat lain, dan (v) unsur sebab yang dapat mendorong terciptanya suatu perbuatan. Begitulah, kalau semua unsur tersebut dapat dipenuhi, maka perbuatan itu pun akan terlaksana dengan baik. Adapun di antara unsur kemampuan ini yang hanya diperlukan ketika perbuatan itu belum dilaksanakan, yang tidak lagi diperlukan ketika perbuatan tersebut sedang dilaksanakan, ialah unsur sebab. Karena itu tanpa adanya unsur sebab yang merupakan salah satu unsur kemampuan, niscaya Allah pun tidak mewajibkan suatu perbuatan.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Zararah ibn A’yan, ’Ubaid ibn Zararah, Muhammad ibn Hakim, Abdullah ibn Bakir, Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi, Hamid ibn Rabah (i) dan Syaithan al-Thag, di mana mereka beranggapan: ”Adapun unsur kemampuan sebelum terlaxsananya suatu perbuatan itu hanya unsur sehat, sebab hanya dengan adanya sehat itulah seseorang mampu melaksanakan perbuatannya, dan karena itu seseorang yang sehat ialah orang yang berkemampuan.”

 

Syaithan al-Thaq berkata: “Tiada suatu perbuatan yang selain dan khehendak Allah.” Dan Hisyam ibn Salim al-Jawalhqt pun mencentakan pemyataannya: Kemampuan itu terlctak pada Jisim, sebagai bagian dari jisim orang yang berkemampuan.”

 

Adapun sebagian kelompok ini beranggapan bahwa, setiap perbuatan apa pun tidak dapat dilaksanakan secara batik, kecualj dengan adanya kemampuan, di mana semua unsur kemampuan itu harus ada sebelum seseorang melaksanakan perbuatannya, Begitulah anggapan terakhir ini dikemukakan Hasyim ibn Harwaj,

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Abu Malik al-Hadhrami, di mana mereka beranggapan bahwa, seseorang itu dianggap mampu berbuat kalau dia berkemampuan melaksanakan perbuatannya, tanpa bantuan orang lain. Zurqan pun menceritakan perkataan Abu Malik al-Hadhrami: ’Kemampuan seseorang untuk melaksanakan sesuatu perbuatan ataupun tidak munculnya sebelum dia memutuskan untuk berbuat atau tidak.”

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, seseorang hanya mampu melaksanakan suatu perbuatan kalau dibantu adanya sarana. Karena itu dari satu segi dia dianggap mampu, tetapj dari segi lain dia pun dianggap tidak mampu.

 

Perbuatan Manusia dan Hewan

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan manusia dan hewan, apakah perbuatan-perbuatan itu merupakan sesuatu atau bukan Dan apakah perbuatan itu pun meruapakan jisim. atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan :

 

  1. Kelompok pertama ini, Hisyamiyyah, ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa, perbuatan-perbuatan itu merupakan sifat dari yang berbuat (fa’il), bukan sebagai yang berbuat dan bukanlah selainnya, dan perbuatan itu pun bukan jisim, bukan pula sesuatu yang lain. Hisyam ibn al-Hakam pun menyitir lagi anggapannya, bahwa, perbuatan-perbuatan ini mempunyai dua makna, tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan sesuatu dan bukan pula jisim. Begitu pun anggapannya tentang sifat-sifat jisim, seperti halnya gerak, diam, kehendak, benci, bicara, taat, maksiat, kufur atanpun iman, Sementara yang seperti halnya warna scsuatu itu: merupakan rasanya dan juga baunya.

 

Zurqan pun menceritakan perkataan Hisyam ibn al-Hakam: ”Gerakan itulah perbuatan, sementara dia bukan perbuatan.”

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi dan Syaithan al-Thaq, di mana mereka beranggapan bahwa, gerakan, perbuatan dan diamnya hamba Allah itu merupakan sesuatu, bahkan merupakan jisim. Sehingga hal ini bukanlah sesuatu yang lain, kecuali sebagai jisim, di mana hamba tersebut sebenarnya membuat berbagai jisim.

 

  1. Kelompok ketiga ini, yang cenderung memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan (imamah), memiliki anggapan seperti aliran Mu’tazilah, dan apa boleh buat, dalam tubuh aliran itu pun terdapat perbedaan-perbedaan anggapan. Sebagian mereka beranggapan bahwa, perbuatan-perbuatan manusia dan hewan itu merupakan jisim. Begitupun anggapan mereka tentang warmna, bau, suara ataupun semua sifat-sifat jisim.

 

Adapun perbedaan-perbedaan anggapan aliran Mu’tazilah itu, untuk makin jelasnya, akan diuraikan lebih jauh dalam pembahasan tentang doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah, dan di dalam bab ini cukuplah kiranya dengan mengemukakan pembahasan tentang doktrin aliran Syi’ah Rafidhah semata, bukan doktrin-doktrin lainnya.

 

Akibat Perbuatan Seseorang

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang sesuatu yang terjadi akibat perbuatan seseorang, apakah hal ini merupakan akibat perbuatan yang diciptakannya? Dan apakah seseorang itu menciptakan akibat perbuatan kepada selainnya ataupun hanya kepada dirinya semata? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, seseorang tidaklah menciptakan akibat perbuatan kepada selainnya, kecuali hanya kepada dirinya sendiri. Mercka pun tidaklah menganggap seseorang itu sebagai pencipta sesuatu yang terjadi akibat perbuatannya seperti adanya rasa sakit akibat pukulan, rasa lezat akibat makanan ataupun hal-hal lain yang terjadi akibat perbuatannya.

 

  1. Kelompok kedua ini, ialah memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan (imamah) ’Ali ibn Abu Thalib, beranggapan bahwa, seseorang itu menciptakan akibat perbuatan kepada selainnya, bahkan dia pun sebagai pencipta sesuatu yang terjadi akibat perbuatannya seperti adanya rasa sakit akibat pukulan, rasa lezat makanan, letupan suara akibat dua buah batu yang berbenturan ataupun anak panah lepas dari busurnya, di mana hal ini merupakan sesuatu yang terjadi akibat perbuatannya.

 

Hidup Lagi .

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang orang yang telah meninggal itu akan hidup lagi ke dunia sebelum hari kiamat, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, orang yang telah meninggal itu akan hidup lagi ke dunia sebelum hari perhitungan. Adapun anggapan begini diikuti sebagian besar pengikut golongan Rafidhah.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, kepercayaan ini tidak hanya diikuti oleh Bani Isra’it, tetapi juga diikuti umat selainnya seperti halnya mereka. Karena Allah SWT pun tidak hanya menghidupkan lagi Bani Isra’il yang telah meninggal, tetapi juga Allah SWT akan menghidupkan lagi seluruh umat manusia ke dunia ini sebelum hari kiamat.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah orang-orang yang ekstrim (ahli al-ghulu), yang mengingkari adanya hari kiamat ataupun akhirat, di mana mereka beranggapan bahwa, tidak ada hari kiamat ataupun akhirat, tetapi yang ada hanya ruh orang-orang yang telah meninggal itu akan hidup menjelma lagi pada jasad yang lain. Dan barang siapa semasa hidupnya berbuat baik, maka ruhnya akan hidup menjelma lagi pada suatu jasad yang tidak mengenal kesengsaraan, tetapi barang siapa semasa hidupnya berbuat jahat, maka ruhnya pun akan hidup menjelma lagi pada suatu jasad yang selalu dipenuhi kesengsaraan. Begitulah, kehidupan itu berlangsung terus seperti di atas, sehingga dunia ini pun selalu kekal.

 

Bertambahnya ataupun Berkurangnya Al-Qur’an Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang Al-Qur’an, apakah Al-Qur’an itu berkurang ataupun bertambah? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, Al-Qur’an itu berkurang, tidak seperti semula ketika diturunkannya, karena banyak orang yang mengurangkannya. Sekalipun begitu AlQur’an tidak boleh lagi bertambah karena toh para imam sudah menguasai segenap ilmu.

 

  1. Kelompok kedua ini

 

  1. Kelompok ketiga ini, ialah memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan (imamah), mereka beranggapan bahwa, Al-Qur’an tidaklah bertambah ataupun berkurang, tetap seperti semula ketika diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW karena Al-Qur’an itu tidak mungkin berubah ataupun berganti.

 

Para Imam

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang para imam, apakah para imam itu lebih utama ketimbang para Nabi atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, para imam itu tidak lebih utama ketimbang para nabi, bahkan sebaliknya para nabi itulah yang lebih utama ketimbang para imam. Namun, mereka pun tidak menutup kemungkinan adanya para imam yang Ichih utama ketimbang para malaikat.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, para imam itu lebih utama ketimbang para nabi dan malaikat, sehingga tidak scorang nabi dan malaikat pun yang lebih utama ketimbang para imam, Adapun anggapan ini diikuti sebagian besar pengikut golongan Rafidhah.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, malaikat dan nabi ity niscaya lebih utama ketimbang para imam, bahkan tidak boleh para imam dianggap lebih utama ketimbang para nabi dan malaikat. 

 

Perbuatan Rasulullah

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan Rasulullah, apakah beliau boleh durhaka atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, Rasulullah (Muhammad) SAW boleh-boleh saja berbuat durhaka terhadap Allah, sebagaimana terjadi ketika Rasulullah seusai perang Badar mendurhakai Allah untuk mengambil tebusan atas orang-orang kafir, sementara para imam tidak boleh berbuat durhaka. Masalahnya, Rasulullah itu kalau berbuat durhaka pun Allah langsung menurunkan wahyu kepadanya, sementara para imam tidak diberi wahyu dan tidaklah diturunkan malaikat kepadanya. Karena itu para imam pun tercegah dari berbuat durhaka (ma’shum), tidak pernah lupa, tidak salah ataupun keliru. Bahkan, menurut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi Rasulullah SAW itu dibolehkan berbuat durhaka apa pun.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Rasulullah SAW tidak dibolehkan berbuat durhaka terhadap Allah SWT, begitupun halnya dengan para imam, karena mereka adalah para pembela agama Allah. Mereka dijauhkan dari hal-hal yang menjurus kepada perbuatan durhaka (ma’shum), sekalipun tidak tertutup kemungkinan adanya perbuatan khilaf atas diri mereka, seperti layaknya orang-orang mukmin yang berbuat salah. Dalam hal ini, sckalipun perbuatan para imam itu seperti layaknya orang-orang mukmin, tidak ada perbuatan scorang mukmin pun yang sampai pada derajat para imam terscbut.

 

Tidak Mengetahui Imam

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang para imam, apakah orang-orang hanya diwajibkan untuk mengetahuinya ataupun diwajibkan pula untuk menegakkan syari’at Islam yang telah dibawa Rasulullah SAW? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, mengetahui para imam itu wajib, begitupun dengan menegakkan syari’at (Islam) yang telah dibawa Rasulullah SAW, dan orang yang tidak mengetahul imam sampai akhir hayatnya, niscaya dia meninggal dalam keadaan bodoh (jahil).

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, kalau seseorang telah mengetahui para imam, maka dia tidak berkewajiban untuk menjalankan syari’at Islam ataupun kewajiban lainnya yang dibebankan kepada dirinya, karena kewajiban seseorang itu hanya mengetahui para imam. Jadi, kalau dia telah mengetahui para imam, maka tidak ada kewajiban apa pun yang dibebankan kepada dirinya. .

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Ya’furiyyah, di mana mereka beranggapan bahwa, seseorang yang tidak mengetahui para imam, niscaya dia pun bukanlah termasuk orang-orang mukmin dan bukan pula termasuk orang-orang kafir.

 

  1. Kelompok keempat ini, ialah dalam masalah gadar cenderung mengikuti anggapan aliran Mu’tazilah. Mereka beranggapan bahwa, mengetahui imam itu memang penting. Tetapi mereka berbeda anggapan dan tidaklah menyetujui kelompok Ya ’furiyyah seperti di atas, dan mereka hanya menyetujui anggapan kelompok Ya’furiyyah untuk tidak saling bermusuhan dalam masalah agama.

 

Ilmu Para Imam

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang para imam; apakah para imam itu mengetahui segenap sesuatu atau tidak?. Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, para imam ity mengetahui segenap sesuatu, baik yang sudah ataupun akan terjadi, yang berkaitan dengan masalah agama ataupun keduniawian. Mereka pun beranggapan bahwa, Rasulullah SAW itu konon dapat menulis dan membaca, bahkan menguasai pengetahuan segenap bahasa.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, para imam itu tidaklah mengetahui segenap masalah, tetapi hanya mengetahui masalah yang berkaitan dengan hukum dan syari’at, karena mereka begitu taat menjalankan syari’at dan menjaganya selagi manusia membutuhkannya. Jadi, kalau manusia tidak’ lagi membutuhkannya, maka boleh jadi para imam pun tidak banyak mengetahui masalah hukum dan syari’at tersebut.

 

Keluarbiasaan Para Imam Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang para

 

imam, apakah para imam itu memiliki keluarbiasaan atau tidak?

 

Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, para imam itu memang memiliki keluarbiasaan ataupun mukjizat, sebagaimana yang dimiliki para rasul, karena mereka pun seperti juga halnya para rasul adalah pembela (agama) Allah, sekalipun kepada mereka tidak turun malaikat dengan membawa wahyu seperti layaknya kepada para rasul.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, para imam itu boleh memiliki keluarbiasaan, bahkan malaikat pun bisa saja turun kepadanya dengan membawa wahyu, tetapi mereka tidak dibolehkan menghapus, mengganti ataupun mengubah syari’at Islam yang telah ada.

 

3, Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, para imam itu bolch memiltki keluarbiasaan, bahkan malaikat pun bisa saja turun kepadanya dengan membawa wahyu, dan mereka dibolehkan menghapus, mengganti ataupun mengubah syari’at Islam yang telah ada.

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, para imam itu tidaklah memiliki keluarbiasaan ataupun mukjizat, karena hal ini hanya ditetapkan bagi para rasul, bahkan malaikat pun tidak akan turun kepadanya dengan membawa wahyu, dan Allah tidak mungkin menghapus, mengganti ataupun mengubah syari’at Islam melalui para imam, tetapi sebaliknya para imam itu justru diwajibkan menjalankan syari’at yang disampaikan rasul-Nya dan juga menjaganya.

 

Akal dan Analogi

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang penggunaan dalil akal dan analogi, yang terpecah lagi dalam delapan kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini, yang terdiri sebagian besar pengikut golongan Rafidhah: Mereka beranggapan bahwa, semua bentuk pengetahuan adalah paksaan, bahkan semua makhluk itu sendin sebenarnya dalam keadaan terpaksa, sehingga dalil akal (nadhar) dan analogi (giyas) pun tidaklah menunjang adanya pengetahuan, dan tidaklah sekali-kali Allah memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya dengan menggunakan dalil akal dan analogi.

 

  1. Kelompok kedua ini talah para pengikut Syaithan al-Thaq, di mana mereka beranggapan bahwa, semua bentuk pengetahuan adalah paksaan dan Allah kadang-kadang menghalangi adanya pengetahuan itu kepada sebagian makhluk-Nya. Jadi, apabila Allah menghalangi adanya pengetahuan tersebut kepada sebagian makhluk-Nya, berarti Allah pun membebani pernyataan dengan menghalangi adanya pengetahuan itu kepada mereka.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Abu Malik al-Hadhrami. Mereka beranggapan bahwa, semua bentuk pengetahuan adalah paksaan dan Allah kadang-kadang menghalangi ataupun member; pengetahuan itu kepada schagian makhluk-Nya. Jadi, apabila Allah menghalangi ataupun memberi pengetahuan tersebut kepada sebagian makhluk-Nya, berarti Allah pun membebani pernyataan dengan menghalangi ataupun memberi pengetahuan itu kepada mereka.

 

  1. Kelompok keempat ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi. Mereka beranggapan bahwa, semua bentuk pengetahuan adalah paksaan, sehingga adanya pengetahuan ity tidaklah terjadi tanpa dalil akal (nadhar) dan analogi (qiyas) yang menunjukkan arahnya. Jadi, mereka pun bersikeras bahwa pengetahuan kepada Allah itu tidaklah terjadi tanpa adanya dali] akal dan analogi yang menunjukkan arahnya tersebut.

 

  1. Kelompok kelima ini beranggapan bahwa, tidak semua bentuk pengetahuan adalah paksaan, bahkan adanya pengetahuan itu dapat saja diusahakan ataupun dipaksakan. Tetapi, karena adanya pengetahuan tersebut dapat saja diusahakan ataupun dipaksakan, maka berdasarkan salah satu segi mereka lebih menganggap adanya pengetahuan kepada Allah itu tidak mungkin diusahakan melalui dalil akal dan analogi. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Hasan ibn Musa.

 

  1. Kelompok keenam ini beranggapan bahwa sebenarnya dalil akal (nadhar) dan analogi (qiyas) itu dapat menunjang adanya pengetahuan kepada Allah, bahkan hal ini pun merupakan pembela atas kedatangan rasul. Adapun sebelum kedatangannya rasul, akal dan analogi itu tidak sanggup mengetahui kebenaran syari’at-Nya, sebagaimana yang mereka takwilkan dari firman Allah:

 

Artinya:

“,… Dan Kami tidaklah akan menyiksa (seseorang) sebelum kami mengutus seorang rasul,” (QS. Al-Isra’ (17): 15)

 

  1. Kelompok ketujuh ini beranggapan bahwa, pada dalil akal (nadhar) dan analogi (giyas) itu terdapat kebenaran, bahkan hal jtu pun menunjang adanya pengetahuan kepada Allah. Jadi, akal dan analogi itu merupakan pembela ketauhidan, baik sebelum ataupun setelah diutusnya seorang rasul.

 

  1. Kelompok kedelapan ini beranggapan bahwa, akal dan analogi jtu dapat menunjukkan arah pengetahuan sesuatu, baik sebelum ataupun setelah diutusnya seorang rasul, bahkan hal ini pun tidaklah menunjang adanya pengetahuan yang datang dari agama. Jadi, seseorang itu tidak dibebani untuk menjalankan sesuatu kewajiban agama kecuali setelah adanya pernyataan rasul ataupun para imam, karena para imam itu pun merupakan pembela kebenaran setelah rasul SAW.

 

Nasikh Dan Mansukh.

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang nasikh dan mansukh, apakah hal itu terjadi pada Al-Qu’ran atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua. kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, nasikh itu mungkin saja terjadi pada khabar (Al-Qu’ran) yang disampaikan Allah, karena Allah pun mungkin saja mengabarkan sesuatu yang akan terjadi, sementara dalam kenyataannya sesuatu itu tidaklah terjadi.

 

Adapun anggapan ini merupakan anggapan kebanyakan pengikut golongan Rafidhah dan pemimpin-pemimpinnya di masa-masa pertama.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, nasikh itu tidaklah. mungkin terjadi pada khabar (Al-Qu’ran) yang disampaikan Allah, karena Allah pun tidak: mungkin mengabarkan sesuatu yang akan terjadi, dan hal ini merupakan kebohongan, di mana Allah tidak mungkin berbuat begitu.

 

Iman

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang iman ataupun penamaannya, apakah iman itu? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, yang terdiri dari sebagian besar pengikut golongan Rafidhah, beranggapan bahwa, iman itu pernyataan terhadap Allah, rasul-Nya dan apapun yang datang dari keduanya, di mana pengenalan terhadap keduanya itu justru. merupakan hal yang sangat penting. Jadi, kalau seseorang menyatakan dan mengenal hal ini, maka dia pun disebut orang mukmin yang muslim, dan kalau séseorang hanya menyatakan saja, tanpa mengenal hal yang dinyatakannya, maka dia pun disebut orang muslim yang bukan mukmin.

 

  1. Kelompok kedua ini, yang merupakan para pengikut golongan Rafidhah di masa-masa terakhir. Mereka beranggapan bahwa, Iman itu mencakup seluruh aspek ketaatan, sementara kufur mencakup seluruh aspek kemaksiatan, yang niscaya mendapat siksa Allah.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, orang yang mentakwilkan sesuatu, yang bertentangan kebenaran, termasuk orang kafir. Adapun anggapan ini merupakan anggapan ibn Jabarawiyyah.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Ali ibn Mitsam. Mereka beranggapan bahwa, iman itu mencakup aspek pengenaian serta pernyataan terhadap adanya Allah dan taat kepada-Nya. Jadi. barang siapa yang dapat menetapi hal ini, dia pun niscaya sebagai orang yang sempurna imannya, dan barang siapa yang meninggalkan suatu kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya, dia pun berarti telah mengingkari Allah dan bukanlah sebagai Orang mukmin, tetapi orang fasiq, sekalipun dia tetap diakui sebagai pemeluk agama Islam yang pernikahannya halal dan juga memiliki hak waris. Adapun mereka tidaklah mengkufurkan orang-orang ahli takwil.

 

Siksa Allah

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang siksa Allah, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, sebenarnya orang yang menentangnya itu niscaya disiksa Allah SWT, sementara orang yang tidak menentangnya ataupun hanya memiliki kesesuaian anggapan dengannya tidaklah djsiksa Allah, bahkan Allah pun niscaya memasukkannya ke surga, dan seandainya Allah memasukkannya ke neraka, niscaya Dia akan mengeluarkannya lagi.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, sekiranya para imam dan pengikut Syi’ah itu berbuat salah terhadap Allah, kemudian meminta ampun kepada-Nya, niscaya Allah pun mengampuninya.

 

Begitupun sekiranya terjadi kesalahan di antara pengikut Syi’ah terhadap para imam, niscaya para imam pun akan mengampuninya, dan sekiranya terjadi kesalahan dari orang-orang yang berbuat zalim terhadap pengikut Syi’ah, niscaya pengikut Syi’ah akan memberikan syafa’at untuk mengampuninya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, ‘Allah SWT akan menyiksa semua orang yang berbuat dosa besar, baik dari aliran Syi’ah ataupun lainnya, di mana Allah pun mengekalkannya dalam neraka selama-lamanya.

 

Penciptaan Sesuatu

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang penciptaan sesuatu, apakah ia merupakan sesuatu itu sendiri ataupun selainnya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi ke dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi. Mereka beranggapan bahwa, Penciptaan sesuatu itu merupakan sifat sesuatu tersebut, bukan sesuatu itu sendiri ataupun selainnya, karena ia hanya sifat dan sifat pun tidaklah disifati. Begitupun dengan kekekalan (baqa), menurut anggapan mereka, itu hanya merupakan sifat zat yang kekal (baqi) dan bukanlah zat yang kekal itu sendiri ataupun selain-Nya, dan ketidakkekalan (fana’) itu pun hanya merupakan sifat zat yang tidak kekal (fani’), bukan sifat zat yang tidak kekal itu sendiri ataupun selainnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa penciptaan sesuatu ity merupakan makhluk. Adapun tentang zat yang kekal (baqi’) sebenarnya Dia kekal bukan dengan sifat kekckalannya, dap sebaliknya tentang zat yang tidak kekal (fant’), sebenarnya j, pun tidak kekal bukan dengan sifat ketidakkekalannya.

 

Siksa Allah terhadap Anak-anak

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang siksa Allah terhadap anak-anak di akhirat, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Allah dapat saja menyiksa ataupun mengampuni anak-anak, karena menyiksa ataupun mengampuni itu merupakan hak Allah.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka yang menurut Zurqan, mereka paling sering memperbincangkan ketidakmungkinan siksa Allah terhadap anak-anak beranggapan bahwa Allah tidak mungkin menyiksa anak-anak itu di neraka, tetapi sebaliknya Allah niscaya memasukkan mereka ke surga.

 

Kesakitan Anak-Anak di Dunia

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang kesakitan yang diderita anak-anak di dunia, yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan: 

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa kesakitan yang diderita anak-anak di dunia ini semata-mata merupakan perbuatan Allah terhadap makhluk-Nya, karena kesakitan itu merupakan kepastian Allah, dan Allah pun memang menciptakan mereka sebagai makhluk yang merasakan sakit kalau terkena sesuatu yang melukai dirinya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa kesakitan yang diderita anak-anak di dunia ini merupakan perbuatan Allah terhadap makhluk-Nya, tetapi kesakitan itu bukan merupakan kepastian Allah, karena hal ini semata-mata merupakan suatu kejadian yang timbul dari diri mereka sendiri. Begitu pun dengan hal-hal yang timbul akibat suatu kejadian, seperti timbulnya suara akibat perbenturan suatu benda, lenyapnya batu akibat dilemparkan seseorang ataupun kejadian lainnya yang seperti itu.

 

  1. Kelompok ketiga ini, yang cenderung memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan (imamah). Mereka beranggapan bahwa kesakitan yang diderita anak-anak di dunia jini semata-mata merupakan perbuatan mereka sendiri, bukan perbuatan Allah SWT ataupun selain-Nya, Karena kesakitan itu merupakan sesuatu kejadian yang timbul dari diri mereka sendiri, dan bukanlah hal ini merupakan suatu kepastian Allah terhadap mereka.

 

Orang-orang yang Memusuhi Ali

 

Para pengikut Rafidhah berbeda anggapan tentang orang-orang yang memusuhi. Ali-ibn Abu Thalib, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa orang-orang yang memusuhi ’Ali ibn Abu Thalib itu sebenarnya kufur ataupun sesat, seperti telah kufurnya (menurut anggapan mereka) Thalhah, Zubeir, Mu’awiyyah dan Abu Sufyan. Begitupun dengan orang-orang yang tidak mengakui kepemimpinan (imamah) Ali ibn Abu Thalib sepeninggal Rasulullah SAW .

 

  1. Kelompok kedua iniberanggapan bahwa orang-orang yang. memusuhi ’Ali ibn Abu Thalib itu memang tidak dikategorikan kufur ataupun sesat, tetapi dianggap fasiq. Kecuali kalau permusuhan terhadap Ali ibn Abu Thalib itu sekaligus merupakan pengingkaran terhadap Rasulullah SAW, barulah dianggap kufur, : begitupun dengan anggapan mereka terhadap para sahabat yang tidak mengakui kepemimpinan (imamah) Ali ibn Abu Thalib sepeninggalnya Rasulullah SAW. Menurut anggapan mereka, kalau para sahabat yang tidak mengakui kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib itu karena pengingkarannya terhadap Rasulullah, maka para sahabat tersebut termasuk orang kafir, tetapi kalau para sahabat yang tidak mengakui kepemimpinan ’Ali ibn Abu Thalib itu bukan karena peng-ingkarannya terhadap Rasulullah maka para sahabat tersebut hanya dianggap fasiq dan tidak termasuk orang kafir.

 

Tahkim

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang tahkim, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan,

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa sebenarnya Ali ibn Abu Thalib menerima tahkim itu demi melindungi diri (taqiyyah), di mana haleini dapat dibenarkan, karena seorang imam dibolehkan melindungi diri kalau dirinya merasa terancam, . Alasannya, menurut anggapan mereka, Rasulullah SAW pun di masa-masa pertama Islam melindungi dirinya dengan-menyiarkan a dakwah agama secara sembunyi-sembunyl.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa tahkim itu dapat dibenarkan, ‘bahkan dapat dilakukan dengan alasan apa pun, baik demi melindungi diri ataupun selainnya.

 

Memberontak Terhadap Penguasa

 

Seperti pengikut Khawarij (yang keluar dari aliran Syi’ah), mereka pun bersepakat: Membatalkan dan mengingkari adanya pemberontakan terhadap penguasa, sekalipun akan dibunuh, sebelum munculnya pemimpin (imam) yang akan memerintahkannya untuk mengangkat senjata. Alasannya, menurut anggapan mereka, Nabi SAW pun sebelum Allah memerintahkannya berperang telah melarang para sahabatnya untuk memerangi orang-orang kafir.

 

Salat di Belakang Musuh

 

Seperti pengikut Khawarij, mereka pun bersepakat: Tidak dibolehkan salat di belakang orang fasiq, kecuali yang salat di belakang orang fasiq itu semata-mata demi melindungi diri, lalu hendaklah dia mengulangi salatnya. 

 

Tawanan Wanita

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang tawanan wanita dan pengambilan hartanya, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Menghalalkan tawanan wanita dan pengambilan hartanya. Bahkan mereka pun menghalalkan segenap sesuatu yang dilarang Allah, sebagaimana pentakwilan mereka terhadap firman-Nya:

 

Artinya: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal soleh, karena memakan makanan yang dahulu mereka makan, kalau mereka bertakwa dan beriman serta beramal saleh…” (QS. Al-Ma’dah (5): 93)

 

Artinya: ”Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah, yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya ataupun rezeki yang baik? Katakanlah: Semua itu disediakan Allah bagi orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) dihari kiamat …” (QS. Al-A’raf (7): 32)

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Mengharamkan tawanan wanita dan pengambilan hartanya tanpa hak. Bahkan mereka pun tidak menghalalkan segenap sesuatu yang diharamkan Allah.

 

Bagian yang Tidak Terbagi

 

Para pengikut golongan Rafidhah.berbeda anggapan tentang bagian yang tidak terbagi, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa bagian itu selamanya akan terbagi, bahkan tidak ada suatu bagian yang tidak memiliki bagian-bagian lainnya, kecuali dari segi jarak ataupun ukuran, karena jarak ataupun ukuran suatu jisim itu memiliki batas akhir yang tidak terbagi lagi. Adapun anggapan ini dikemukakan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi ataupun selainnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa bagian itu tidak selalu terbagi dalam bagian-bagian lainnya, tetapi memiliki batas akhir pembagian yang sesuai dengan tiap-tiap kesatuannya, niscaya Dia pun tidak menghilangkan bagian suatu jisim sekalipun tidak memiliki tiap-tiap kesatuannya sehingga bagian itu pun tidak selalu terbagi dalam bagian-bagian lainnya.

 

Hakikat Jisim

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang hakikat jisim, apakah jisim itu? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa jisim itu memiliki panjang, lebar dan dalam, dan tidaklah sesuatu bisa dikatakan wujud, Kecuali sesuatu itu merupakan jisim yang panjang, lebar dan dalam. Mereka pun mengingkari terdapatnya aksiden (a’radh) dari suatu jisim, bahkan yang mereka maksud dengan pernyataan jisim itu memiliki panjang, lebar dan dalam adalah suatu wujud. Jadi, seandainya Allah dinyatakan sebagai sesuatu yang wujud, niscaya Dia pun merupakan jisim.

 

2, Kelompok kedua ini beranggapan bahwa hakikat jisim itu diciptakan, memiliki susunan dan kesatuan. Jadi, seandainya Allah tidak dinyatakan sebagai sesuatu yang diciptakan, tidak memiliki susunan dan kesatuan, niscaya Dia pun bukan merupakan jisim.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa hakikat jisim itu sesuatu yang memiliki aksiden (a’radh) dari suatu jisim, setidak-tidaknya, merupakan bagian yang tidak terbagi. Jadi, seandainya Allah tidak dinyatakan memiliki aksiden (a’radh) dari suatu jisim, niscaya Dia pun bukan merupakan jisim.

 

Persenyawaan

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang persenyawaan (mudakhalah), yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ‘ini, Hisyamiyyah, sebagaimana yang diceritakan Zurqan dari pernyataan Hisyam. Mereka beranggapan bahwa persenyawaan (mudakhalah) itu keadaan dari dua jisim yang halus, yang menempat pada satu tempat, seperti panas dan warna. Adapun aku (al-Asy’ari) tidaklah mengukuhkan apa pun yang diceritakan Zurqan tentang hal ini.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Tidak mengakui adanya persenyawaan (mudakhalah), sebab mustahil adanya ‘dua jisim yang menempat pada satu tempat. Menurut anggapan mereka, dua jisim itu hanya saling berdekatan, di mana keduanya pun biasa saja dijangkau pancaindera. Karena itu anggapan tentang adanya persenyawaan dua jisim yang saling tempat-menempati pada satu tempat, sehingga keduanya pun bersenyawa menjadi satu, itu merupakan sesuatu yang mustahil.

 

Hakikat Manusia

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang hakikat manusia, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini, sebagaimana yang diceritakan Zurqan dari pernyataan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, beranggapan. Yang dinamakan manusia itu terdiri jasad dan ruh. Adapun jasaq sebenarnya tidak hidup, sementara ruh sebenarnya pun cahaya dari cahaya-cahaya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Yang dinamakan manusia itu sebenarnya merupakan suatu bagian yang tidak terbagi, Karena tidak mungkin seandainya manusia terdiri dari bagian-bagian, Kalau manusia terdiri dari bagian-bagian, maka boleh jadi di suatu bagiannya pun terdapat keimanan dan boleh jadi pula di bagian lainnya terdapat kekufuran, dan dengan manusia itu pun merupakan orang mukmin yang sekaligus juga orang kafir, padahal hal ini mustahil.

 

Kadang-kadang sebagian pengikut golongan Rafidhah di masamasa terakhir ada yang menganggap hakikat -manusia itu sebenarnya ruh, dan ada pula yang cenderung mengikuti anggapan Abu al-Hudzail, di mana manusia menurutnya terdiri dari jasad kasar semata.

 

Perlompatan

 

Para pengikut golongan Rafidhah berbeda anggapan tentang perlompatan (thafrah), yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, sebagaimana diceritakan Zurqan. Mereka beranggapan bahwa sebenarnya jisim itu mula-mula berada di satu tempat pertama, kemudian akan melakukan lompatan ke tempat ketiga, tanpa melalui tempat kedua lagi.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Mengingkari anggapan di atas, karena mustahil adanya suatu jisim yang mula-mula berada di satu tempat pertama, kemudian akan melakukan lompatan ke tempat ketiga, tanpa melalui tempat kedua lagi.

 

Doktrin Hisyam ibn Al-Hakam AI-Rafidhi

 

Dan inilah cerita-cerita tentang beberapa doktrin Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, tentang beberapa masalah, yang dituangkannya dengan (kalimat-kalimat) profokatif.

 

  1. Tentang jin: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, bangsa jin pun dibebani untuk menjalankan perintah-perintah ‘dan larangan-larangan Allah SWT. Allah pun berfirman.

 

Artinya: “Hai sekalian jin dan manusia, sekiranya kalian sanggup. . “(QS. Al-Rahman (55): 33) ,

 

Artinya: “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang Kalian dustakan?” (QS. Al-Rahman (55): 34)

 

  1. Tentang bisikan setan: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, setan itu memang berbisik-bisik kepada manusia, tetapi bukan dengan cara memasuki tubuh. Dan anggapan ini ditakwilkannya dari firman Allah: ,

 

Artinya: “Dari (bisikan) jahat setan yang biasa sembunyi, yang berbisik-bistk dalam hati manusia.” (QS. An-Nas (114): 4 — 5)

 

Setan itu menyampaikan bisik-bisiknya ke dalam hati manusia melalui udara yang menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi diciptakan Allah sebagai sarana bagi setan untuk menyebarkan maksud-maksud jahatnya, tanpa harus memasuki tubuh manusia. Bahkan, menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, setan pun mengetahui hal-hal yang terlintas dalam hati seseorang, dan isyaratnya itu bukanlah sesuatu yang gaib, tetapr seperti halnya seseorang yang berisyarat kepada orang lain agar menghadap ataupun membelakang. Jelasnya, setan mengetahui hal-hal yang dikehendaki seseorang, dan karena itu kalau seseorang menghendaki suatu kebaikan, maka setan pun mengetahuinya dan berusaha menghalanginya.

 

  1. Tentang malaikat: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam alRafidhi, sebagaimana halnya manusia dan jin, para malaikat pun dibebani untuk menjalankan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Dan Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan barang siapa di antara mereka ( yang malaikat itu) berkata: Sesungguhnya, aku adalah Tuhan yang selain Allah niscaya mereka pun Kami balas dengan neraka Jahanami.. (QS. Al-Anbiya’ (21): 29)

 

Artinya: ” Mereka (yang malaikat itu) takut kepada Tuhannya, yang kuasa atas diri mereka, dan mereka. pun melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepadanya.” (QS. Al-Nahl (16): 50)

 

Tentang gempa bumi: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, sebenarnya Allah menciptakan bumi ini dari alam yang bermacam-macam, yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Jadi, kalau di antara kekuatan-kekuatan. alam itu baginya yang satu lebih rendah ketimbang bagian lainnya, maka sebagiannya pun niscaya mengalahkan kekuatan sebagian lainnya yang lebih rendah atau akan menang yang karena itu terjadi gempa bumi. Tetapi kalau kekuatannya yang satu jauh sangat rendah ketimbang kekuatan lainnya, maka terjadi gerhana.

 

Tentang sihir: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam alRafidhi, sebenarnya sihir itu merupakan tipu-daya ataupun kebohongan, sehingga tukang sihir tidak boleh menyihir seorang manusia.menjadi seekor keledai (semisalnya) ataupun tongkat menjadi ular. Tetapi diceritakan Zurqan, Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi pernah membolehkan seseorang berjalan di atas udara, asal selain nabi, dan dia tidak membolehkan hal-hal yang luar biasa, kalau saja hal itu timbul dari seseorang yang bukan nabi.

 

Tentang hujan: Menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, bisa jadi Allah menaikkan air ke atas langit dan menurunkannya kembali menjadi hujan, bahkan (bisa juga Allah) menciptakan udara sampai beku dan menjatuhkannya lagi sebagaj hujan, dan menurut anggapan Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, sebenarnya udara itu merupakan jisim yang lembut.

 

Para Pemimpin dan Penulis Kitab

 

Para pemimpin dari golongan Rafidhah di antaranya ialah Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, Ali ibn Manshur, Yunus ibn Abdul Rahman al-Qammi, al-Skak dan Abu al-Ahwas Dawud ibn Rasyad al-Bashri., Dan para penulis (riwayat) hadis dari golongan Rufidhah di antaranya ialah al-Fadhl ibn Syadzan, al-Husein ibn Asykib dan alHusein ibn Sa’id. Sementara para ahli aliran-aliran agama dari golongan Rafidhah di antaranya ialah Abu Isa al-Warraq dan ibn al-Rawandi, di mana keduanya telah banyak menulis kitab kepemimpinan (imamah).

 

Adapun mereka sebagian.besar tinggal di daerah Qumm dan Thanjah, termasuk kawasan Persia, dan sebagian lainnya tinggal di Kuffah, termasuk kawasan Irak.

 

Menurut cerita Sulaiman. ibn Jarir al-Zaidi, sebagian besar pengikut golongan Syi’ah Imamiyyah beranggapan bahwa sepeninggal Nabi SAW, yang berhak menyelesaikan berbagai masalah itu sebenamya Ali ibn Abu Thalib, bahkan yang berhak membentuk “kepemimpinan (imamah) sesuai dengan keinginannya baik dia menginginkan dirinya sebagai pemimpin ataupun menyerahkannya kepada orang lain, yang dianggap adil, atau dia menetapkan wakilnya dan menyerahkan kepemimpinannya kalau hal ini memang diinginkannya ataupun disukainya.

 

Bahkan sebagian yang lain beranggapan bahwa semua urusan agama itu hanya di tangan Ali ibn Abu Thalib, di mana dia pun merupakan sumber masalah-masalah agama. Tetapi mereka mewajibkan untuk memegang rahasia ini, dan menurut anggapan mereka, dalam hal ini cukuplah kiranya dengan menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) sepeninggal Nabi SAW itu berada di tangan keluarga nabi. .

 

Adapun perbedaan pokok sebagiannya dengan sebagian lainnya karena dua hal, yaitu: (i) sebagiannya membenarkan anggapan bahwa Ali ibn Abu Thalib telah menerima pengangkatan Abu Bakar asShiddiq dan Umar ibn Khaththab sebagai pemimpin, dan (ii) sebagian lainnya tidak-membenarkan anggapan bahwa keluarga Nabi SAW jtu merupakan orang-orang suci, sebagaimana anggapan sebagian golongan imamiyyah, tetapi mereka hanya memohonkan rahmat dan pahala Allah bagi keluarga Nabi SAW tersebut.

 

Golongan ketiga aliran Syi’ah ini ialah golongan Zaidiyyah, Disebut begitu karena para pengikutnya berpegang-teguh pada doktrin. doktrin Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib.

 

Zaid ibn Ali dinobatkan oleh para pengikutnya di Kuffah, pada masa Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam, di mana yang menjadi gubermur (amir) Kuffah ketika itu talah Yusuf ibn Amr al-Tsaqfi. Dalam hal kepemimpinan, sekalipun Zaid ibn Ali mengakui kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab, pada kenyataannya dia lebih memuliakan Ali ibn Aby Thalib ketimbang para sahabat Rasulullah lainnya, dan dia pun menganjurkan untuk memberontaki para pemimpin yang lancung, sehingga ketika dia berada di Kuffah banyak para pengikutnya yang berbai’at untuk tidak lagi mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab, yang menimbulkan perpecahan di antara para pengikutnya tersebut.

 

Karena itu Zaid ibn Ali, kepada mereka yang menolaknya tersebut, berkata: ’Kamu sekalian menolak (rafdhatu) diriku!” Sehingga mereka yang .menolaknya tersebut dikenal pula sebagai golongan Rafidhah, golongan yang menolak, sebagaimana perkataan Zaid ibn Ali kepada mereka: ’’Kamu sekalian menolak diriku!’’ Maka para pengikutnya pun tinggal sedikit sekall. .

 

Yusuf ibn Amr memerangi orang-orang yang menolak Zaid ibn Ali tersebut, tetapi dia terbunuh dan dikebumikan di malam itu juga. Dalam memerangi golongan yang menolak Zaid ibn Ali itu dia dibantu Nasr ibn Huzaimah al-Abasi, yang tertawan dan dihukum gantung secara telanjang oleh para penolak tersebut.

 

Banyak sekali kisah Zaid ibn Ali, sehingga kalau diceritakan semua dalam kitab ini akan sangat panjang.

 

Maka di masa-masa Khalifah al-Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam, Zaid ibn Ali pun mengangkat putranya Yahya ibn Zaid ibn Ali sebagai penggantinya, dan ketika itulah Nasr ibn Sayyar, pemimpin Khurasan, datang beserta tentaranya yang dipimpin Salim ibn Ahwaz al-Mazani untuk membunuh Zaid ibn Ali. .

 

Tentang ayahnya Zaid ibn Ali yang terbunuh di Kuffah ini Yahya ibn Zaid bersyair:

 

Artinya: Wahai.dua kasihku, sampaikan pesanku dari kota ini untuk Bani Hasyim yang pemikir dan para penguji.

Sampai kapan orang pilihanmu akan dibunuh Marwan

sehingga masa pun penuh hal-hal mengherankan.

Sampai kapan pula bencana mereka itu kau ridai

padahal kalian penentang bencana ketika diuji.

Setiap yang terbunuh ada penuntut balasnya

namun kematian Zaid di Irak tiada pembelanya.

 

Begitulah, tentang terbunuhnya Yahya ibn Zaid pun Di’bil ibu Ali ibn Razin ibn Sulaiman al-Khuza’i bersyair:

 

Artinya: Kuburan-kuburan di Kuffah dan Taybah bahkan di Fakh, yang selalu kukirimi shalawat.

 

Di samping yang di (kota) Jauzajan dan di Bakhmara, yang dinaungi pohon rindang.

 

Konon, yang dimaksud kuburan-kuburan di kota Jauzajan itu kuburan Yahya ibn Zaid dan pengikut-pengikutnya. Adapun golongan Syiah Zaidiyyah ini terbagi dalam enam kelompok.

 

  1. Jarudiyyah

 

Kelompok pertama itu ialah para pengikut al-Jarud. Mereka beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menetapkan Ali ibn Abu Thalib sebagai pemimpin (imam) sepeninggalnya melalui penyifatan, bukan melalui penyebutan namanya langsung, dan Orang-orang yang tidak mengakui kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib, sepeninggal Nabi SAW mercka dianggap sesat dan kafir. Adapun pemimpin setelah Ali ibn Abu Thalib adalah al-Hasan ibn Ali, lalu al-Husein ibn Ali.

 

Begitupun kelompok Jarudiyyah ini terpecah dalam dua cabang, yaitu (i) cabang yang menganggap Ali ibn Abu Thalib telah menetapkan al-Hasan sebagai pemimpin sepeninggalnya, lalu al-Hasan menetapkan al-Husein sebagai penggantinya, dan selanjutnya kepemimpinan ‘sepeninggal al-Husein itu dilaksanaKan secara musyawarah di antara anak-keturunan al-Hasan dan alHusein. Maka siapa pun dari mereka yang tampil dengan menyeru Tuhannya, dia itulah orang yang mengetahui dan memiliki kemuliaan, yang layak tampil sebagai pemimpin, (ii) cabang yang menganggap Nabi Muhammad SAW itu sendiri yang menetapkan kepemimpinan al-Hasan sepeninggal Ali ibn Abu Tahlib, bahkan beliau pun menetapkan kepemimpinan al-Husein sepeninggal al-Hasan, sampai dengan seterusnya.

 

Tentang hal-hal lain, kelompok Jarudiyyah ini pun terpecah lagi ke dalam tiga cabang, yaitu (i) cabang yang menganggap Muhammad ibn ’Abdullah ibn al-Hasan belum meninggal, tetapi dia akan datang lagi ke dunia ini untuk menguasainya, dan (ii) cabang yang menganggap Muhammad ibn al-Qasim, pemimpin kota Thaliqan, masih hidup dan belum meninggal, bahkan dia itulah yang akan datang lagi ke dunia untuk menguasainya, dan (iii) .cabang yang menganggap Yahya ibn Umar,!) pemimpin kota Kuffah, masih hidup dan belum meninggal, bahkan dia itulah yang sebenarnya akan datang ke dunia untuk menguasainya.

 

  1. Sulaimaniyyah

 

Kelompok kedua ini ialah para pengikut Sulaiman ibn Jarir al-Zaidi, di mana mereka beranggapan: Kepemimpinan (imamah) itu ditetapkan secara musyawarah, sehingga dianggapnya baik kalau kepemimpinan itu dipegang oleh dua orang utama dari kaum muslimin, bahkan dianggapnya lebih baik lagi kalau kepemimpinan itu dipegang olch salah scorang yang paling utama, dari kaum muslimin, dan konon mereka pun mengakui; kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan ’Umar ibn Kaththah Tetapi Zurqan menceritakan Sulaiman ibn Jarir pun sebaliknya, beranggapan bahwa pembai’atan terhadap Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab itu salah, karena sebenarnya kedua Orang ini tidak berhak atas kepemimpinan tersebut, bahkan ketika ity seluruh umat muslimin pun telah berbuat tidak patut dengan membai’at keduanya.

 

Adapun Sulaiman ibn Jarir ini ialah orang yang memberontaki Utsman ibn Affan, bahkan dengan terjadinya fitnah pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn Affan itu dia pun mengkufur-kannya, dan dia sesat, sehingga menurutnya kesaksian seseorang yang betapa.adilnya pun. tidak mungkin. dapat membuktikan kesesatannya. Tentang hal ini siapa pun tidak diharuskan lebih mengetahuinya, tetapi cukuplah kiranya sekedar menelusuri berdasarkan riwayat-riwayat yang benar.

 

  1. Butriyyah

 

Kelompok ketiga ini ialah para pengikut al-Hasan ibn Shalih ibn Hayy dan Katsir al-Nawa’. Disebut Butriyyah karena Katsir digelari sebagai orang yang terpotong (al-abtar), di mana mereka beranggapan bahwa Ali ibn Abu Thalib itu ialah orang yang paling mulia sepeninggal Rasulullah SAW, bahkan seorang pemimpin yang. paling utama. Tentang pembai’atan terhadap Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab, menurut anggapan mereka, itu bukan merupakan suatu kesalahan karena Ali ibn Abu Thalib pun berbuat begitu terhadap keduanya sementara tentang Utsman ibn Affan dan pembunuhannya itu mereka tidak berkomentar, tidak juga mengkufurkannya. Mereka pun mengingkari anggapan bahwa orang yang telah meninggal dunia itu akan hidup kembali ke dunia. Adapun tentang kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib, mereka tidak hanya menganggapnya ketika dibai’at.

 

Diceritakan al-Hasan ibn Shalih ibn Hayy ini berlepas tangan dalam hal-hal yang menyangkut pemberontakan dan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn Affan RA.

 

  1. Na’imiyyah . Kelompok keempat ini ialah para pengikut Na’im ibn al-Yaman?). Mereka beranggapan bahwa Ali ibn Abu Thalib itu orang yang paling berhak atas kepemimpinan (imamah), bahkan yang paling mulia sepeninggal Rasulullah SAW. Tentang pembai’atan umat Islam terhadap Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab, . menurut anggapan mereka, itu bukanlah suatu kesalahan, tetapi juga dianggap salah karena umat Islam ini melepaskan pilihannya ‘terhadap orang yang paling mulia, yaitu Ali ibn Abi Thalib. Bahkan mereka pun mengkafirkan Utsman ibn Affan dan orang. orang yang memusuhi Ali ibn Abu Thalib, di samping mengingkarinya.

 

5, Kelompok kelima ini beranggapan: Mengingkari kepemimpinan (imamah) Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Kaththab. Tetapimereka tidak mengingkari anggapan bahwa orang yang telah meninggal itu akan hidup kembali ke dunia ini sebelum hari kiamat.

 

  1. Ya’qubiyyah

 

Kelompok keenam ini ialah para pengikut seorang pria yang bernama Ya’qub, di mana mereka beranggapan: Mengakui kepemimpinan (imamah) Abu Bakar ‘as-Shiddiq dan Umar ibn Khaththab, tetapi tidak memusuhi orang-orang: yang mengingkari kepemimpinan keduanya tersebut. Mereka pun mengingkari anggapan bahwa orang yang telah meninggal itu akan hidup kembali ke dunia ini sebelum hari kiamat, tetapi mereka tidak memusuhi orang-orang yang memiliki anggapan begitu.

 

Allah SWT Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang Allah SWT apakah Dia itu merupakan sesuatu atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, yang terdiri dari sebagian besar pengikut golongan Zaidiyyah. Mereka beranggapan bahwa Allah SWT itu merupakan sesuatu, tetapi bukan seperti layaknya kebanyakan sesuatu, bahkan tidaklah kebanyakan sesuatu itu: menyerupai Dia.

 

  1. Kelompok kedua ini mula-mula beranggapan bahwa Allah SWT itu bukan sesuatu. Tetapi kalau ditanyakan kepada mereka, apakah benar Allah itu-bukan sesuatu? Mereka malah menjawab: “Kami tidak menganggap Dia itu bukan sesuatu.”

 

Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Sulaiman ibn Jarir al-Zaidi. Mereka beranggapan bahwa Allah mengetahui dengan sifat ilmu, tetapi bukanlah sifat itu merupakan Dia atau selainNya, sebab ilmu sebenarnya adalah sesuatu. Dia pun menguasai dengan sifat qudrat, tetapi bukanlah sifat itu merupakan Dia atau selainnya, sebab gudrat sebenarnya adalah sesuatu: Begitupun dengan anggapan-anggapan mereka tentang sifat-sifat DiriNya, seperti sifat hidup, mendengar ataupun melihat, bahkan tentang sifat-sifat Zat-Nya, di mana mereka menganggap sifat sifat itu merupakan sesuatu.

 

Tetapi mereka beranggapan bahwa wajah Allah itu sebenarnya Allah dan Allah pun senantiasa berkehendak, sekalipun Dia tidak menghendaki orang berbuat maksiat kepada-Nya, dan karena itu sebenarnya kehendak Allah adalah sesuatu, yaitu Dia murka sebagai lawan kehendak-Nya.

 

Begitupun Allah senantiasa bersifat rida, tidak senantiasa benci, dan kebencian Allah terhadap orang-orang kafir itu merupakan keridaan Allah untuk menyiksanya, sementara keridaan Allah untuk menyiksa orang-orang kafir itu merupakan kebencian

 

Dia terhadapnya. Sebaliknya keridaan Allah terhadap orang-orang mukmin itu merupakan kebencian Dia untuk menyiksanya, sementara kebencian, Allah untuk menyiksa orang-orang mukmin itu pun merupakan keridaan Dia terhadapnya, bahkan untuk mengampuninya. Tetapi mereka berkata, ”Tidaklah kami menganggap kebencian Allah terhadap orang-orang kafir itu sama halnya dengan keridaan Dia terhadap orang-orang mukmin.”

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, bukanlah Allah itu mengetahui dengan sifat itu, menguasai dengan sifat qudrat, mendengar dengan sifat sama’ dan melihat dengan sifat bashar. Begitupun dengan anggapan-anggapan mereka tentang sifat-sifat zat-Nya, bahkan mereka melarang untuk menganggap Allah senantiasa menghendaki, senantiasa memurkai, senantiasa meridai ataupun senantiasa membenci.

 

Kekuasaan Allah.

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang kekuasaan Allah SWT, apakah Dia kuasa untuk berbuat zalim dan bohong atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Sulaiman ibn Jarir al-Zaidi. Mereka beranggapan bahwa, Allah SWT tidak bersifat kuasa untuk berbuat zalim dan bohong, karena mustahil Allah berbuat begitu. Tetapi ketidak kuasaan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan, dan mereka pun memustahilkan anggapan seperti itu, bahkan tidak membolehkan untuk mempermasalahkannya.

 

Adapun tentang perkataan, Allah kuasa untuk mengetahui perbuatan-perbuatan tersebut, sekalipun Dia sendiri tidak memperbuatnya, Sulaiman ibn Jarir mengomentarinya dengan dua alternatif, yaitu (1) kalau yang dimaksud dengan perkataan tersebut Allah mengetahui suatu kezaliman dan kebohongan sekalipun Dia sendiri tidak memperbuatnya, maka Allah sebenarnya tidak memperbuat hal itu. Sehingga tidak boleh dikatakan, Dia kuasa atas perbuatan tersebut, tetapi juga tidak boleh dikatakan, Dia tidak kuasa atas perbuatan itu. Sungguh, karena kedua perkataan ini mustahil. Sementara tentang sesuatu yang tidak diberitakan-Nya, kalau bisa diterima akal, maka perkataan Allah kuasa atas pemberitaan tersebut niscaya tidak boleh disifatkan kepada-Nya, dan kalau orang menyifatinya begitu, maka ini mustahil, bahkan jawaban atas perkataan tersebut sama halnya dengan jawaban atas. pemberitaan Allah tidak ada. Tetapi tentang sesuatu’ yang tidak diberitakan-Nya itu, kalau sekaligus juga tidak bisa diterima akal, maka perkataan Allah kuasa atas pemberitaan tersebut tentu boleh-boleh saja. Dan (ii) dibolehkannya perkataan seperti di atas, menurut komentar Sulaiman ibn Jarir, hanya ketidaktahuan makhluk atas sesuatu yang gaib, yang tidak bisa diterima akal. Sungguh, hal ini seperti -layaknya terjadi pada semua makhluk.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Allah SWT itu bersifat kuasa untuk berbuat zalim dan bohong, bahkan Dia pun kuasa atas sesuatu yang diketahui-Nya ataupun diberitakan-Nya, sekalipun Dia sendiri tidak memperbuat hal itu.

 

Terciptanya Perbuatan

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang terciptanya perbuatan manusia, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, perbuatan-perbuatan manusia itu diciptakan Allah, karena Allah itulah yang menciptakan ataupun menjadikan perbuatan-perbuatan setiap manusia, sejak tidak ada sampai ada.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, perbuatan-perbuatan manusia itu bukan diciptakan Allah, tetapi hanya usaha dan kreasi manusia itu sendiri, karena sebenarnya dia itulah yang menciptakan ataupun menjadikan perbuatan-perbuatan tersebut.

 

Kemampuan .

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang kemampuan (istitha’ah), yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini terdiri dari sebagian besar pengikut Zaidiyyah. Mereka beranggapan bahwa, kemampuan (istitha’ah) . itu menyertai perbuatan, sebagai sesuatu sebelum orang berbuat, yang dengan kemampuan itulah orang dapat memiliki keimanan ataupun kekufuran.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, kemampuan (istitha’ah) itu sebelum perbuatan, tetapi ia pun menyertai perbuatan, bahkan sangat dibutuhkan ketika terjadinya perbuatan tersebut, dan orang pun dikatakan berkemampuan menjadikan perbuatannya itu hanya ketika dia berbuat. Adapun para ahli ilmu kalam (Mutakallimin) mengutip anggapan ini dari Sulaiman ibn Jarir.

 

Aku (al-Asy’ari) telah membaca kitab-kitab Sulaiman ibn Jarir, di mana dia menganggap kemampuan itu merupakan sebagian dari diri orang yang mampu, yang bercampur pada diri orang yang mampu tersebut dengan tidak dapat terpisahkan lagi.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, kemampuan (istitha’ah) itu sebelum perbuatan, sebagai sesuatu sebelum orang berbuat, sehingga tidaklah seseorang itu dikatakan berkemampuan ataupun berkuasa atas sesuatu ketika terjadinya perbuatan tersebut.

 

Iman dan Kufur

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang iman dan kufur, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, iman adalah mengenal, menyatakan (keimanan) dan juga menjauhi perbuatan yang diancam Allah dengan siksa-Nya, sementara orang yang terjatuh ke dalam perbuatan yang diancam Allah dengan siksanya itu disebut kufur, tetapi kalau terjatuhnya itu bukan karena menyekutukan ataupun membelakangi Allah, maka dia hanya disebut kufur nikmat. Mereka pun menganggap orang-orang yang mentakwilkan sifat-sifat Allah sebagai orang yang berbuat dosa dan Fasiq.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, iman itu mencakup aspek-aspek taat, sementara orang-orang yang berbuat dosa tidaklah dianggap kufur. Adapun anggapan ini merupakan anggapan golongan Zaidiyyah di masa-masa akhir, sementara anggapan sebagian besar mereka termasuk dalam kelompok pertama, yaitu golongan Zaidiyyah di masa-masa awal.

 

Dosa Besar

 

Mereka pun bersepakat bahwa, orang-orang yang melakukan dosa besar itu akan disiksa di dalam neraka, kekal di dalamnya, bahkan tidak akan dikeluarkan lagi dari sana. Di samping itu mereka pun sepakat membenarkan tindakan Ali ibn Abu Thalib ketika memerangi musuh-musuhnya, bahkan menyalahkan orang-orang yang menentangnya.

 

Ijtihad Secara Akal.

 

Para pengikut golongan Zaidiyyah berbeda anggapan tentang ijtihad secara akal (ijtihad al-ra’yi), yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, ijtihad secara akal, dalam permasalahan hukum-hukum (syari’at) Islam, itu memang dibolehkan.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, tidak ada ijtihad secara akal bagi hukum-hukum (syari’at) Islam, bahkan hal itu tidak dibolehkan.

 

Tahkim

 

Mereka pun bersepakat, Membenarkan tindakan Ali ibn Abu Thalib dalam menerima tahkim yang dibuat oleh dua delegasi dari kedua pihak yang saling bersengketa (antara pihak Ali dan pihak Mu’awiyyah), karena tindakannya itu berdasarkan kekhawatiran Ali ibn Abu Thalib atas kehancuran pasukannya. Bahkan hal inilah yang dianggapnya tepat bagi kaum muslimin, sehingga Ali berusaha untuk menjunjungnya, di mana dia mengira kedua delegasi dari dua pihak (yang saling bersengketa) itu sungguh-sungguh akan merundingkan -masalah tahkim tersebut berdasarkan Al-Qur’an, tetapi menurut AlQur’an anggapan mereka, pada kenyataannya kedua delegasi itu tidaklah seperti yang diperkirakan Ali ibn Abu Thalib. Karena itu mereka pun bersepakat: Kedua delegasi tersebutlah yang salah, sementara Ali ibn Abu Thalib adalah benar.

 

Memberontak Terhadap Penguasa dan Salat di Belakang Musuh

 

Mereka pun sepakat, Wajib mengangkat senjata dan membrontak terhadap penguasa yang zalim, untuk menumpas kezaliman dan menegakkan kebenaran. Di samping itu mereka sepakat tidak mendirikan salat di belakang orang-orang keji dan fasiq, dan seperti pengikut-pengikut golongan Rafidhah, mereka pun sepakat lebih memuliakan Ali ibn Abu Thalib ketimbang sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya. Bahkan mereka pun menganggap tidak ada lagi orang yang lebih mulia sepeninggal Nabi Muhammad SAW, yang sepadan dengannya, kecuali Ali ibn Abu Thalib.

 

Keluarga Nabi yang Memberontak Terhadap Penguasa

 

Sekarang akan kuceritakan tentang keluarga Nabi Muhammad SAW yang memberontaki para penguasa.

 

  1. Al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib bersama para pengikutnya melakukan pemberontakan terhadap Khalifah Yazid ibn Mu’awiyyah, yang nyata-nyata banyak berbuat zalim, tetapi dia terbunuh di padang Karbala, dan tragedi ini begitu termasyhur, di mana dia terbunuh oleh Amr ibn Sa’ad. Ketika itu yang memimpin penyerangan terhadap al-Huscin adalah Ubaidullah ibn Ziyad. Setelah al-Husein terbunuh, dibawalah kepalanya ke hadapan Yazid ibn Mu’awiyyah, dan Yazid pun (konon) dengan bengisnya merontokkan gigi-gigi al-Husein dengan tongkatnya, lalu dia tangkap putra-putri al-Husein, dia bunuh yang prianya dan dia tawan yang wanitanya.

 

Adapun yang ikut terbunuh bersama al-Husein di padang Karbala, dari keluarga Nabi Muhammad SAW, di antaranya adalah putranya Ali al-Akbar, dan juga putra-putra saudaranya al-Hasan, di antaranya adalah Abdullah ibn al-Hasan, al-Qasim ibn al. Hasan dan Abu Bakar ibn al-Hasan. Sementara dari kalangan saudara-saudara al-Husein yang lain, di antaranya adalah alAbbas ibn Ali, Abdullah ibn Ali, Ja’far ibn Ali, Utsman ibn – Ali, Abu Bakar ibn Ali dan Muhammad ibn Ali, dan darj kalangan anak keturunan Ja’far ibn Abu Thalib, di antaranya adalah Muhammad ibn Abdullah tbn Ja’far dan Aun ibn Abdullah ibn Ja’far. Dar’ kalangan anak-keturunan Aqil, di antaranya adalah Abdul Rahman ibn Aqil, Ja’far ibn Aqil, Abdullah ibn Muslim ibn Aqil, Abdullah ibn Agqil dan muslim ibn Aqil yang keduanya terbunuh di Kuffah.

 

Tentang terbunuhnya al-Husein ibn Ali ini Abu Ramah al-Khuza’i bersyair:

 

Artinya:

Betapa, terbunuhnya pemuka-pemuka Bani Hasyim lebih menghinakannya ketimbang hamba Quraisy. Telah kusinggahi rumah-rumah keluarga Muhammad namun, tidaklah kulihat layaknya di hari duka. Kiranya Allah tidak meninggalkan penghuninya walau mereka yang bahkan telah meninggalkan-Nya. Mereka tumpuan harap, lalu jadinya bencana yang begitu dahsyat menimpa. Tahukah kau betapa nyerinya bumi dan pedihnya negeri, yang kehilangan Husein.

 

Begitulah, tentang hal ini Manshur ibn al-Jabarqan ibn Maslamah al-Namri pun bersyair:

 

Artinya:

 

Kapan air matamu kering dari menangis dan hatimu kan beku dari dengki.

Ingat, banyak yang diderita bisa bahagia dengan sabar diri, dan keluh pun kunci.

Yang terbunuh bukannya dibunuh Bani Ziyad demi ayahku dan diriku, dari yang terbunuh.

Kan banyak pedang tajam bahkan aniaya di tangan setiap yang sedarah marga.

Betapa sampai pasukan sesat mereka pamer keislaman dengan kebodohan marganya.

Ketika berangkat Amr ibn Sa’ad dengan pasukannya dia bawakan pula minuman dan obat-obatan.

Mereka itulah yang di hari perang Badar dulu di relung hatinya sarat. dengki dan fitnah.

Darah Husein ditumpahkannya, tanpa risi betapa, dalam hidup niscaya akalnya mati.

 

Bahkan tentang hal ini, Di’bil ibn Ali ibn Razim ibn Sulaiman al-Khuza’i pun bersyair:

 

Artinya:

Kuburan-kuburan di Kuffah dan di Thaybah bahkan di Fakh, yang selalu kukirimi shalawat.

Di samping yang dari (kota) Jauzajan dan di Bakhmara, yang dinaungi pohon rindang.

Betapa, luka itu bukannya senilai sifatku sampai kesakitan lewat dari sekujur tubuhku.

Satu kuburan antara dua sungai di Karbala jadi peristirahatan luka di sepanjang pesisir Eufrat.

 

  1. Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib RA ketika di Kuffah melakukan pemberontakan terhadap Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik, di mana Gubernur Kuffah ketika itu ialah Yusuf ibn Amr al-Tsaqfi, tetapi dia pun terbunuh di medan pertempuran dan dikuburkan di sana, dan begitu Yusuf ibn Amr mengetahui letak kuburan Zaid, dibongkarnya lagi kuburan tersebut dan digantungnya jenazah Zaid di tengah masyarakat ramai. Kemudian Hisyam ibn Abdul Malik memerintahkan Yusuf ibn Amr untuk membakar jenazah Zaid, dan setelah perintah itu dilaksanakan, abu jenazah Zaid ibn Ali pun ditaburkan di sungai Eufrat (al-Furat). Tentang terbunuhnya Zaid ibn Ali ini putranya Yahya ibn Zaid pun bersyair:

 

Artinya:

Setiap yang terbunuh ada penuntut balasnya namun kematian Zaid di Irak tiada pembelanya.

 

  1. Yahya ibn Zaid ketika di Jauzajan melakukan pemberontakan terhadap Khalifah al-Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik, tetapi gubernur Khurasan Nashar ibn Sayyar al-Laitsi memerintahkan Salm ibn Ahwaz ‘al-Mazani untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga Yahya ibn Zaid pun terbunuh di medan pertempuran dan dikuburkan di sana.

 

  1. Muhammad ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib melakukan pemberontakan terhadap penguasa di Madinah, tetapi Khalifah Abu Ja’far ibn al-Manshur memerintahkan Isa ibn Musa dan Hamid ibn Qahthabah untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga Muhammad ibn Abdullah pun terbunuh di medan pertempuran, disusul dengan kematian ayahandanya Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali serta pamannya Ali ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali, sehingga banyaklah keluarga Nabi yang terbunuh karena pemberontakan Muhammad ibn Abdullah tersebut. Tetapi sebelum kematiannya, Muhammad ibn Abdullah sempat menyelamatkan saudaranya Idris ibn Abdullah ke Maroko, di mana anak-keturunan Idris ibn ’ Abdullah nanti di antaranya ada yang mendirikan kerajaan di sana.

 

  1. Ibrahim ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib, setelah saudaranya Muhammad ibn Abdullah terbunuh, ketika di Bashrah melakukan pemberontakan terhadap penguasa dan dari kota tersebut pasukannya menycberang ke kota Ahwaz, Persia dan Sawal, dengan mendapat dukungan dari orang-orang Mu’tazilah dan Zaidiyyah lainnya yang sama-sama ingin menggulingkan pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al. Manshur bahkan dengan didampingi Isa ibn Zaid ibn Ali. Tetap; Abu Ja’far al-Manshur memerintahkan Isa ibn Musa dan Sa’iq ibn Salim untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga Ibrahim ibn ’Abdullah pun terbunuh di medan pertempuran, disusul dengan kematian orang-orang Mu’tazilah.

 

  1. Al-Husein ibn Ali ibn al-Hasan ibn al-Hasan (ibn al-Hasan) ibn Ali ibn Abu Thalib, setelah orang-orang membai’atnya, ketika di Fakh (sekitar 6 mil dari Makkah) melakukan pemberontakan terhadap penguasa, tetapi “Isa ibn Musa beserta empat ribu pasukannya menyerang al-Husein, sehingga al-Husein pun terbunuh di medan pertempuran, disusul dengan kematian sebagian besar pengikutnya. Konon, karena tidak seorang pun yang berani menguburkan jenazah mereka, maka banyak sekali jenazah yang dimakan sekawanan binatang buas, dan di antara penduduk Fakh, yang terbunuh karena pemberontakan al-Husein tersebut, terdapat pula sebagian keluarga Nabi.

 

Tentang terbunuhnya al-Husein ibn Ali al-Hasan di Fakh ini para penduduk Bashrah bersyair:

 

Artinya:

 

Mengenangkan (al-Husein) ini tersayatlah hati bahkan tersapulah kantuk terbeliaklah

Beliak mata nyalang tanpa pejam, mengenangkan yang terbunuh di tikungan keramat al-Hajun

 

  1. Yahya ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib melakukan pemberontakan terhadap Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, tetapi dalam pertempurannya itu dia terusir sampai ke al-Dailam, lalu dia terbunuh di sana.

 

  1. Muhammad ibn Ja’far ibn Yahya ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan ketika di Taharta (Maroko) melakukan pemberontakan terhadap penguasa, bahkan mendapatkan kemenangan, sehingga Taharta pun berada di bawah kekuasaannya.

 

  1. Muhammad ibn Ibrahim ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Hasan ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib, atas ajakan Abu al-Saraya, ketika di Kuffah melakukan pemberontakan terhadap Khalifah al-Ma’mun, dan al-Ma’mun pun, yang ketika itu berada di Khurasan, memerintahkan Zaid ibn Musa ibn Ja’far ibn Muhammad untuk menggiring Muhammad ibn Ibrahim Ke Bashrah. Setelah kurang lebih empat bulan sejak pemberontakkanya tersebut, Muhammad ibn Ibrahim ‘pun terbunuh dan dikuburkan di Kuffah.

 

  1. Muhammad ibn Muhammad ibn Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib, setelah Muhammad ibn Ibrahim terbunuh, bersama Abu al-Saraya (lagi) melakukan pemberontakan terhadap penguasa, dan dia pun menyerang Zuhair ibn al-Musayyab serta Abdus ibn Muhammad ibn Abu Khalib, bahkan membunuh keduanya. Lalu datanglah Hartsamah ibn A’yan balas menyerangnya, tetapi Muhammad ibn Muhammad bersama alSaraya dapat melarikan diri melalui Khurasan, dan akhirnya mereka tertangkap, keduanya segera dihadapkan ke al-Hasan ibn Sahl. Maka Abu al-Saraya pun dijatuhi hukum mati, sementara kematian Muhammad ibn Muhammad dinyatakan kemudian. Diceritakan (pada versi lain) setelah Muhammad ibn Muhammad tertangkap,.dia segera dihadapkan ke Khalifah al-Ma’mun, yang ketika itu berada di Marwa, dan Muhammad ibn Muhammad pun, konon terbunuh di sana.

 

  1. Ibrahim ibn Musa ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn al Husein ibn Ali ibn Abu Thalib, atas dukungan Muhammad ibn Ibrahim ibn Isma’il yang sahabat Abu al-Saraya, ketika di Yaman melakukan pemberontakan terhadap al-Ma’ mun, tetapi Khalifah al-Ma’mun, yang ketika itu berada di Khurasan, memerintahkan pasukannya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Konon, Ibrahim ibn Musa tertangkap dan al-Ma’mun mengamankannya di penjara Irak.

 

  1. Ibrahim ibn Musa ibn Ja’far ibn Muhammad melakukan pemberontakan terhadap Khalifah al-Ma’mun, yang ketika ity berada di Baghdad, tetapi al-Ma’mun memerintahkan Dinar ibn Abdullah untuk menumpas pemberontakan tersebut, dan Dinar. dapat menangkap Ibrahim ibn Musa, menghadapkannya ke al-Ma’mun, sehingga Ibrahim ibn Musa pun dijatuhi hukum mati di Baghdad.

 

  1. Muhammad ibn al-Qasim ibn Ali ibn ’Umar ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib ketika di Thaliqan (termasuk Kawasan . Khurasan) melakukan pemberontakan terhadap Khalifah alMu’tashim memerintahkan Abdullah ibn Thahir pemimpin / Khurasan untuk menumpas pemberontakan tersebut.. Konon, Muhammad ibn al-Qasim tertangkap dan Abdullab ibn Thahir pun menghadapkannya ke al-Mu’tashim, lalu al-Miu’tashim mengamankannya di penjara istana. Diceritakan, sebagian orang ‘ menganggap Muhammad ibn al-Qasim menghilang dari penjara. Tetapi sebagian lainnya menganggap Dia telah meninggal. Karena itu sebagian pengikut Syi’ah Zaidiyyah menganggap Muhammad ibn al-Qasim masih hidup, bahkan dia itulah yang nanti akan muncul ke dunia ini lagi.

 

  1. Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib, yang digelari sebagai orang tampan (dibajah) itu, ketika di Makkah melakukan pemberontakan terhadap penguasa untuk menuntut balas kematian Muhammad ibn Ibrahim ibn Isma’il, karena Muhammad ibn Ibrahim (konon) menjelang ajalnya telah meminta Muhammad ibn Ja’far agar menuntutbalaskan kematiannya. Tetapi Khalifah al-Ma’mun memerintahkan Isa al-Jaludi untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga Muhammad ibn Ja’far tertangkap dan ’Isa al-Jaludi pun menghadapkannya ke al-Ma’mun di Baghdad, dan al-Ma’mun mengamankannya di penjara Jurjan sampai Muhammad ibn Ja’far meninggal dunia.

 

  1. Al-Afthas’) ketika di Madinah melakukan pemberontakan terhadap penguasa untuk menuntut balas kematian Muhammad ibn [brahim ibn Isma’il, karena Muhammad ibn Ibrahim pun menjelang ajalnya telah meminta al-Afthas agar menuntutbalaskan kematiannya.

 

  1. Ali ibn Muhammad ibn Isa ibn Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib, setelah al-Afthas terbunuh, melakukan – pemberontakan terhadap Khalifah al-Mu’tashim, tetapi Ali ibn Muhammad pun terbunuh di tangan keluarga Murrah ibn Amr.

 

  1. Al-Hasan ibn Zaid ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib ketika di Thabristan, tahun 250 H,”) melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Sulaiman ibn Abdullah ibn Thahir, dan dari kota tersebut pasukannya menyeberang ke Jurjan, bahkan dapat menguasai negeri-negeri sekitarnya. Setelah al-Hasan ibn Zaid . meninggal, pemberontakan tersebut dilanjutkan saudaranya Muhammad ibn Zaid, yang terbunuh di tangan Muhammad ibn Harun.

 

  1. al-Kubi, seorang anak keturunan al-Arqath nama al-Argath ini sebenarnya al-Husein ibn Ahmad ibn Isma’il, seorang anak keturunan al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib ketika di Qazwin melakukan pemberontakan terhadap penguasa, bahkan dapat menguasai kota tersebut, tetapi pasukan Turki kemudian menyerangnya.

 

  1. Abu al-Husein Yahya ibn Umar (ibn Yahya) ibn al-Husein ibn Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib melakukan pembcrontakan terhadap Khalifah al-Musta’in, yang ketika ity berada di Kuffah, dan al-Musta’in segera memanggil al-Hasan ibn Isma’il agar memerintahkan Muhammad ibn Abdullah ibn Thahir untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga Aby al-Husein pun terbunuh.

 

  1. Al-Hamzi (al-Husein) ibn Muhammad ibn Hamzah ibn Abdullah, seorang anak keturunan al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib, melakukan pemberontakan terhadap Khalifah al-Musta’in, tetapj al-Musta’in memerintahkan pasukannya untuk menangkap dan menahan al-Hamzi, sampai dia kembali dilepaskan oleh Khilafah al-Mu’tamad.

 

  1. Ibn al-Afthas ketika di Kuffah, dalam keadaan lemah, melakukap pemberontakan terhadap Khalifah al-Musta’in, dan terjadilah bencana.

 

  1. Isma’il ibn Yusuf ibn Ibrahim ketika di Madinah, tahun 250 H, melakukan pemberontakan terhadap penguasa, dan dari kota Nabi SAW. tersebut pasukannya menyeberang ke negeri-negerj sekitarnya, sampai dia meninggal, bulan Rabi’al Awwal 250 H. Setelah itu pemberontakan tersebut dilanjutkan saudaranya Muhammad ibn Yusuf, yang terboikot dalam pengadaan makanan buat penduduk Madinah, dan penguasa pemerintahan Abu alSaj untuk menyerang Makkah serta Madinah, sehingga para pengikutnya pun terbunuh secara besar-besaran, sementara Muhammad ibn Yusuf meninggal dalam pelarian.

 

  1. Abdullah ibn Mu’awwiyyah ibn Abdullah ibn Ja’far ibn Abu Thalib ketika di Kuffah di masa-masa terakhir daulat Bani Umayyah melakukan pemberontakan terhadap penguasa, tetapi pasukan Abdullah ibn Umar balik menyerangnya. Maka Abdullah ibn Mu’awiyyah pun mundur ke Persia, lalu menguasai kota Ashfahan, sampai dia meninggal dunia.

 

  1. Ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Isa ibn Zaid ibn Ali ibn alHusein ibn Ali ibn Abu Thalib, penguasa Bashrah orang-orang pun menyebutnya sebagai Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Zaid ibn Ali ibn al-Husein ibn Ali ibn Abu Thalib atas bantuan al-Zanj melakukan pemberontakan terhadap penguasa, di mana dia menduduki dan menguasai Bashrah tahun 257 H, lalu terbunuh tahun 270 H di tangan Abu Ahmad al-Muwaffiq Billah ibn al-Mutawakkil Allallah.

 

  1. Al-Maqtul Ali al-Dakkah ketika di Syam (Syiria) melakukan pemberontakan terhadap penguasa, tetapi al-Muktafi Billah menumpas pemberontakan tersebut, setelah terjadi banyak pertumpahan darah.

 

Aliran Khawarij bersepakat: Mengkufurkan Ali ibn Abu Thalib RA, karena dia telah menyetujui tahkim. Tetapi mereka pun berbeda anggapan, apakah kekufuran Ali ibn Abu Thalib itu termasuk menyekutukan Tuhan (syirik) atau bukan?

 

Bahkan mereka menganggap orang-orang yang melakukan dosa besar itu termasuk orang kafir, sehingga Allah pun niscaya menyiksanya di neraka selama-lamanya. Hanya saja kelompok Najadar, yaitu para pengikut Najadat al-Haruri, mengingkari anggapan seperti ini.

 

Adapun diceritakan yang pertama kali mengobarkan perselisihan di antara para pengikut Ali ibn Abu Thalib itu ialah Nafi’. ibn al-Azraq al-Hanafi, di mana dia mencela orang-orang yang menyetujui tahkim, bahkan mengkufurkan orang-orang yang menentang anggapannya. Diceritakan (dalam versi lain) yang pertama kali beranggapan seperti itu sebenarnya Abdu Rabih al-Kabir. Tetapi diceritakan pula yang pertama kali beranggapan seperti itu sebenarnya bukan kedua orang tersebut, melainkan Abdullah ibn al-Wadhin. Maka akhirnya diceritakan, pada mulanya Nafi’ ibn al-Azraq menentang anggapan Abdullah ibn al-Wadhin, tetapi, setelah AbduHah ibn alWadhin meninggal, Nafi’ ibn. al-Azraq pun. balik mengikuti anggapannya. Kemudian Nafi’ ibn al-Azraq menganggap dirinya yang paling benar, sehingga dia pun mengkufurkan orang-orang yang menentang anggapannya.

 

Tetapi kelompok Azarigah, yaitu para pengikut Nafi’ ibn alAzraq ini yang tidak keluar dari aliran Khawarij terdahulu tidak mengkufurkan orang-orang yang menentang anggapan mereka, karena mereka menganggap semua persoalan itu telah jelas baginya, sekalipun mungkin kurang jelas bagi orang-orang selainnya.

 

Kelompok Azariqah beranggapan bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar itu termasuk orang kafir. Bahkan negerinya pun disebut negeri kufur, sehingga mereka menganjurkan para pengikutnya untuk memerangi negeri yang dianggap kufur tersebut, dan orang-orang yang melakukan dosa besar itu, menurut anggapan mereka, niscaya disiksa di neraka selama-lamanya. Di samping itu mereka pun mengkufurkan Ali ibn Abu Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Amr ibn al-Ash, karena ketiga orang tersebut telah menyetujui tahkim, dan, lebih jauh lagi, mereka pun menganjurkan para pengikutnya untuk membunuh anak-anak orang kafir.

 

Mereka mula-mula mempercayakan kepentingannya kepada Qathari ibn al-Fuja’ah, seorang pria yang berperangai kasar, tetapi, ketika Qathari ibn al-Fuja’ah berada dalam pasukannya, dia berselisih dengan seorang pria Bani Tamim. Maka mereka menegurnya, yang dia jawab: ”Baiklah, setelah ini aku tidak akan berselisih lagi,”’ lalu dia pun kemibali menggabungkan diri ke dalam pasukannya tersebut. Tetapi ketika dia melakukan salat fajar berjamaah, beberapa orang berkata seraya mencelanya: ”Tidaklah kau menganggap dirimu tidak berani berselisih?’” Adapun di antara mereka yang mencelanya itu jalah Amr al-Qana, Ubaidah ibn Hilal, Abdu Rabbih al-Saghir dan *Abdu Rabbih al-Kabir. Qathari pun berkata kepada mereka: ”Kufurkah kalian ini, halalkah darah kalian?’’ Tiba-tiba pula Shalih ibn Mukhraq, seorang pria yang tidak pernah meninggalkan sujud sajdah kalau di membacakan ayat-ayat sajdah dalam Al-Qur’an, berdiri dan berkata: ”Apakah kau menganggap kami kufur? Bertobatlah dari apa yang kau katakan!”. Qathari menjawab: “Wahai, sebenarnya aku hanya ingin memberi pengertian kepada kalian’’ Orang-orang pun berkata: ”Tetapi, lebih dulu kau harus bertobat’, lalu pergi ke Thabristan, di mana dia kemudian menguasali kota tersebut.

 

Adapun sebab terjadinya perselisihan di antara para pengikut Nafi’ ibn Al-Azraq (konon) karena adanya seorang wanita Arab Yaman yang berdasarkan pertimbangannya sendiri menikah dengan seorang pria hamba-sahaya, padahal dia pun tahu bagaimana anggapan orang-orang Khawarij tentang itu. Diceritakan sanak keluarganya berkata kepadanya: ’ Kau mempermalukan kami, tahu Maka setelah dicerca sanak keluarganya wanita itu pun berbalik timbangan, sehingga ketika suaminya datang berkatalah dia: ”’Sanak-keluargaku telah turut-campur tentang urusanku, bahkan mercka mencercaku, sementara aku jadj takut kalau mesti terus-terusan menolak dinikahkan dengan salah seorang mereka. Sungguh karena itu pilihlah tiga alternatif: Pertama, kau pindahlah ke pasukan Nafi’, sehingga kita bisa disebut beradag di tengah-tengah orang muslim. Kedua, kau sembunyikan aku di mana saja yang kau sukai. Ketiga, kau ceraikan aku segera!’’ Maka singkat cerita suami itu pun menceraikannya, sehingga keluarganya tidak lagi mencerca wanita tersebut bahkan mereka segera menikahkannya lagi dengan salah seorang saudara sepupunya, sekalipun tidak berdasarkan pertimbangannya sendiri.

 

Para pengikut. kelompok Azariqah mencatat peristiwa ini dan mengajukannya kepada Nafi’ ibn al-Azraq, lalu berkatalah salah seorang di antara mereka: ’”Sebelum perceraian keduanya, tentu wanita itu tidak menghendaki terjadinya perceraian tersebut begitu pun dengan suaminya. Sungguh, semestinya mereka menemui kita di sini, sebab kita imilah yang sekarang tinggal di Madinah tempat orang-orang al-Muhajirin, dan tidak seorang muslimin pun yang boleh menentang kita, sebagaimana tidak bolehnya terdapat penentang atas mereka! Dan Nafi’ ibn al-Azraq beserta sebagian besar pengikutnya menyetujui perkataan tersebut, kecuali beberapa lainnya, sehingga karena adanya orang-orang yang mengecualikan diri itu mereka pun terlepaslah dari beberapa orang yang secara terselubung (taqiyyah) sebenarnya mengakui tahkim.

 

Lalu mereka mengada-adakan beberapa ketetapan yang baru, yang di antaranya: Mengharamkan hukum rajam, dengan alasan di negeri hijrah (dar al-hijrah) yang di huni umat Islam ini Allah pun niscaya meridai apa-apa yang diperbuat di antara orang-orang Madinah tersebut. Di samping itu mereka menghalalkan tidak menyampaikan amanat Allah kepada orang-orang musyrik. Bahkan mereka tidak menjatuhkan hukum terhadap pria yang berbuat zina, kecuali terhadap wanitanya, dengan alasan sejak Allah SWT menurunkan keringanan tidaklah seorang pria itu dapat dijatuhi hukum melainkan kalau dia ini orang kafir.

 

Mereka pun bersepakat: Anak-anak orang musyrik (yang meninggal kanak-kanak) itu niscaya pula disiksa di neraka, sebagaimana orang tuanya, begitu pun sebaliknya dengan anak-anak orang mukmin. Adapun orang yang tetap tinggal di negeri kufur itu menurut sepakat mereka termasuk orang kafir, kecuali dia memberontaki penguasa negeri kufur tersebut.

 

Najdiyyah.

 

Kelompok Najdiyyah” ini ialah para pengikut Najdah ibn ’Amir al-Hanafi, di mana dia beserta beberapa orang pengikutnya mulamula keluar dari Yamamah dan bermaksud menggabungkan diri pada kelompok Azarigah, tetapi serombongan pasukan bekas pengikut Nafi’ ibn Al-Azraq mencegatnya dan memberitahunya, bahwa mereka bukan orang-orang yang terlibat dengan Nafi’ lagi, bahkan sudah memisahkan diri dari kelompok Azarigah. Karena itu mereka pun meminta Najdah tinggal bersama mereka, lalu mereka membai’at Najdah sebagai pemimpin, dan Najdah menyetujuinya, sehingga dia pun bertahuntahun sudah memimpin mereka.

 

Kemudian Najdah mengutus anaknya menduduki Qathif dan menguasainya, tetapi anaknya tersebut beserta para pengikutnya justru mengadakan pembunuhan dan perampokan terhadap penduduk Qathif, bahkan merampas wanita-wanitanya dan memperbudaknya. Dalam hal itu mereka berkata: ’Semua ini toh merupakan bagian kami. Kalau tidak pun, toh kami menebus kelebihannya terhadap penduduk Qathif.” Lalu mereka pun saling menikahi wanita-wanitanya dan memakan harta-hartanya, tanpa dibagi-bagikan di antara mereka, dan setelah itu mereka kembali menghadap Najdah, menceritakan peristiwa tersebut. Najdah pun berkata: ’Wah, kalian tidak patut berbuat begitu.”

 

Maka mereka menjawab: ”Tetapi kami tidak tahu kalau hal itu tidak boleh.” Begitulah, Najdah mengampuni karena ketidaktahuan mereka, sehingga para pengikutnya pun mengikuti apa yang diperbuatnya tersebut yang mengampuni suatu kesalahan asalkan hal itu dilakukan karena ketidaktahuan.

 

Mereka pun beranggapan: Agama itu terbagi dalam dua perkara, yaitu (i) mengenal Allah dan para Rasul-Nya, mengharamkan darah dan harta orang-orang muslim, bahkan diharamkan merampas dan melanggar perintah ataupun larangan Allah, di mana semua inj merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim, dan (ii) kalauseseorang itu memang tidak tahu, dia bisa diampuni sampai nanti diperbolehkannya alasan yang menghalalkannya. Bahkan barang siapa menghalalkan sesuatu yang diharamkan itu berdasarkan ijtihad ahliahli hukum, dia pun diampuni.

 

Tetapi mereka beranggapan: Barang siapa takut dikenai siksaan itu berdasarkan ijtihad para mujtahid, sebelum diperolehnya alasan atas hukum sesuatu tersebut, dia termasuk kufur, dan barang siapa menganggap enteng atas kepindahannya, yaitu pindah dari keburukan ke arah kebaikan, dia pun termasuk orang munafik.

 

Diceritakan, mereka pun menghalalkan darah dan harta orang-orang yang tinggal di negeri musuh, tetapi sebaliknya mereka membolehkan bergaul dan berkawan dengan orang-orang hukuman, asal saja orang-orang hukuman itu mengakul anggapan-anggapan mereka. Dalam hal.ini mereka berkata: ”Kita toh tidak tahu, apakah Allah SWT akan menyiksa orang mukmin yang bersalah itu akan disiksa Allah sesuai kesalahannya, tetapi toh tidak mungkin dia disiksa selamanya, karena akhirnya pun Allah niscaya memasukkannya lagi ke surga.”

 

Lalu mereka beranggapan: Seseorang yang berbuat dosa kecil pun kalau terus-terusan niscaya dia termasuk orang musyrik, sementara yang berbuat zina, mencuri ataupun minum arak kalau tidak diteruskan lagi niscaya dia masih termasuk orang muslim.

 

Konon di antara para pengikut Najdah ibn Amir itu terdapat Orang-orang yang memusuhinya, yang salah satunya adalah seorang pria Bani Wa’il, di mana dia pernah ymenyarankan agar Najdah membunuh saja pengikut-pengikutnya yang kira-kira dibencinya, tetapi Najdah tidak mau menuruti saran-saran tersebut, bahkan dia pun menghardik pria itu. Yang juga memusuhinya adalah Athiyyah,” seorang bekas kepercayaan Najdah yang pernah memimpin berbagai pertempuran baik di darat ataupun di laut yang memusuhinya itu karena Najdah pernah membatalkan hukuman bagi orang meminum arak, membagikan harta rampasan semaunya, memberikan keleluasaan terhadap seorang sekretaris Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dan juga membeli anak gadis keturunan Utsman. Karena sebagian pengikutnya memohonkan ampunan, maka Najdah pun mengampuni Athiyyah.

 

Sebagian lain pengikutnya menyesalkan pengampunan itu, lalu mereka berkata: ’Sebenarnya permohonan ampunan sebagian kami ini keliru, karena anda toh seorang imam, tetapi kami telah bertobat. Jadi, seandainya anda pun bertobat, niscaya kami akan menerima anda kembali, tetapi seandainya anda tidak mau bertobat, niscaya kami akan menentang anda.”

 

Mereka pun menyesalkan perbuatan Najdah yang memilah-milah harta di antara orang-orang kaya, bahkan dia mengharamkKan kepentingan orang-orang kaya tersebut, sehingga Abu Fudaik beserta sebagian besar pengikutnya berlepas diri darinya. Lebih dari itu Abu Fudaik pun berhasil membunuh Najdah, lalu dia membai’at dirinya. Tetapi sebagian lain pengikut Najdah mengingkari pembai’atan Abu Fudaik tersebut, sehingga Abu Fudaik pun segera menuliskan surat kepada ’Athiyyah ibn al-Aswad seorang bekas kepercayaan Najdah yang kemudian memusuhinya di kota al-Jubar, di mana dia memburukburukan Najdah, sehingga Najdah dibunuhnya. Karena Athiyyah merasa lebih berhak atas kepemimpinan itu ketimbang Abu Fudaik, ditulisnya pula surat balasan kepada Abu Fudaik agar membai’atnya, tetapi Abu Fudaik tegas-tegas menolaknya, sehingga masing-masing pun berdiri sendiri tanpa mengikat lagi persahabatan.

 

Akhirnya kekuasaan berada di tangan Abu Fudaik, sebab orang-orang lebih banyak mengikutinya, kecuali sebagian kecil saja yang masih setia kepada Najdah, dan dengan begitu mereka pun terpecah dalam dua kelompok, yaitu kelompok Najdiyyah dan Fudaikiyyah.

 

Athawiyyah

 

Kelompok ini ialah para pengikut Athiyyah ibn al-Aswad, di mana mereka sebenarnya tidak menciptakan suatu anggapan baru, kecuali sekedar membantah anggapan orang-orang yang mengingkari Nafi’ ibn al-Azraq. Karena itu mereka memencilkan dirinya, dan mereka pun mengingkari Najdah, sebagaimana halnya kukemukakan di atas, di mana mereka terus menetap di Sijistan.

 

Golongan Ajaridah

 

Dari kelompok Athawiyyah ini muncul pengikut-pengikut Abdul Karim ibn Ajrad, yang kemudian disebut golongan Ajaridah, di mana mereka pun terbagi dalam limabelas kelompok.

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa seorang anak yang sudah dewasa wajib diserukan untuk memasuki Islam, sementara yang belum dewasa tidak wajib diserukan untuk memasukinya.

 

  1. Maimuniyyah

 

Kelompok kedua ini adalah para pengikut Maimun, yang dalam masalah gadar lebih cenderung pada anggapan-anggapan aliran Mu’tazilah. Mereka beranggapan bahwa Allah SWT menyerahkan perbuatan seseorang itu kepada orangnya sendiri, sebab orang tersebut memiliki kemampuan-suntuk memperbuat sesuatu yang dikehendakinya. Karena itu orang pun mampu memperbuat sesuatu kekufuran ataupun keimanan, tidaklah Allah menghendaki perbuatan orang tersebut, bahkan tidak pula perbuatan orang itu diciptakan Allah.

 

  1. Khalafiyyah

 

Kelompok ketiga ini ialah, para pengikut seorang pria yang bernama Khalaf, yang dalam masalah gadar itu berbeda anggapan dengan kelompok Maimuniyyah, di mana mereka beranggapan bahwa, qadar itu merupakan ketentuan Allah, sebab orang tidak mempunyai daya untuk memperbuat sesuatu pun.

 

  1. Hamziyyah

 

Kelompok keempat ini ialah, para pengikut seorang pria yang bernama Hamzah, yang dalam masalah gadar tersebut mengokohkan anggapan kelompok Maimuniyyah. ; Lebih dari itu mereka menganjurkan untuk memberontaki para penguasa yang berbeda anggapan dengan kelompoknya, bahkan menganjurkan untuk memerangi orang-orang yang membantu para penguasa tersebut, kecuali orang-orang yang tidak membantunya ataupun yang tidak mengkhianati agama, yang tidak menjadi kaki-tangan para penguasa itu. Tetapi, menurut cerita Zurqan, para pengikut Hamzah ini pun mengharamkan untuk melukai orang-orang muslim yang ahli kiblat, dan mengharamkan untuk merampasi harta musuh ketika negerinya dalam keadaan aman, karena hal itu bisa menimbulkan perang.

 

  1. Su’aibiyyah

 

Kelompok kelima ini ialah, para pengikut Su’aib, yang dalam masalah gadar keluar dari anggapan kelompok Maimuntyyah, di mana mereka beranggapan bahwa, seseorang tidaklah memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu, kecuali dikehendaki Allah, sebab Allah itulah yang sebenarnya menciptakan perbuatan orang tersebut.

 

Pada mulanya Su’aib adalah pengikut Maimun, tetapi kemudian dia melepaskan diri karena pertikaian tentang harta Maimun yang ada pada dirinya.

 

Su’aib diceritakan berkata kepada Maimun, ”Kalau Allah menghendaki, akan ku berikan hartamu ini kepadamu.” Maimun menjawab, ’’Justru, ketika ini pun Allah menghendaki kau berikan hartaku itu kepadaku.”

 

Su’aib, ”Sekalipun Allah menghendaki, aku tidak mampu, bagaimana harus ku berikan ini kepadamu?”

 

Maimun, ’Sesuatu yang dia perintahkan artinya dikehendaki Allah, sebab yang tidak dikehendaki Allah niscaya tidak Dia perintahkan, begitupun sebaliknya.”

 

Begitulah, sehingga orang-orang pun mengikuti apa yang dikemukakan oleh keduanya, di mana mereka kemudian mengirimkan surat kepada ’Abdul Karim ibn ’Ajrad yang ketika itu sedang berada dalam penjara Khalid ibn ’Abdullah al-Bajli untuk memberitahukannya tentang pertikaian Maimun dengan Su’aib itu.

 

Abdul Karim membalas surat tersebut, katanya, “Aku sebenarnya beranggapan, sesuatu yang Allah kehendaki itu niscaya terjadi, sementara yang tidak Allah kehendaki pun niscaya tidaklah terjadi, dan tidaklah aku menghubungkan Allah dengan sesuatu yang buruk.”

 

Sepeninggal Abdul Karim, para pengikut Maimun pun beranggapan bahwa, apa yang dikemukakan Abdul Karim ity memang sesuai dengan anggapan Maimun, yang jelas terbukti dari Kata-kata, ’tidaklah aku menghubungkan Allah dengan sesuatu yang buruk.’ Tetapi para pengikut Su’aib beranggapan, Tidak, apa yang dikemukakan Abdul Karim tersebut justru sesuaj dengan anggapan Su’aib, yang jeias terbukti dari kata-kata, sesuatu yang Allah kehendaki itu niscaya terjadi!’ Begitulah, keduanya itu mengakui ”? Abdul Karim, sekalipun masing-masing memiliki anggapan yang berlainan.

 

Diceritakan, sebenarnya Abdul Karim ibn Ajrad pemimpin golongan Ajaridah dan juga Maimun, adalah sama-sama ‘ keturunan penduduk kota Balkh, dan diceritakan pula, pada mulanya Abdul Karim adalah pengikut Abu Bayhas, tetapi kemudian dia melepaskan diri Karena pertikaian tentang menjualbelikan hamba-sahaya wanita (ammat). Al-Karabisi dalam beberapa kitabnya menceritakan, golongan Ajaridah dan terutama kelompok Maimuniyyah memperbolehkan seorang pria menikahi wanita yang merupakan anak-cucu keturunannya ataupun anak-cucu keturunan saudaranya, karena mereka beranggapan bahwa, Allah hanya melarang seorang pria menikahi wanita yang merupakan anak-puterinya sendiri ataupun anak-puteri saudaranya Saja.

 

  1. Khazimiyyah Kelompok keenam ini, yang dalam masalah qadar juga keluar dari anggapan kelompok Maimuniyyah. Mereka beranggapan bahwa, perbuatan seseorang itu merupakan kehendak dan ketentuan Allah. Lebih jauh lagi mereka pun menganggap adanya rasa persahabatan ataupun permusuhan itu merupakan sifat Dzat-Nya, dan Allah mengadakan rasa-rasa tersebut pada sescorang karcena orang itu tidak pernah menentang-Nya, Karena orang itu pun dalam keadaan beriman.

 

  1. Ma’lumiyyah

 

Kelompok ketujuh ini sebagai cabang kedua kelompok Khazimiyyah. Mereka beranggapan bahwa, barang siapa tidak mengenal Allah dan juga nama-Nya, dia adalah orang jahil atasNya. Adapun perbuatan seseorang itu bukan diciptakan Allah, sebab ada kemampuan bersama perbuatannya, tetapi tidaklah ada kemampuan tersebut, kecuali hal itu dengan kehendak Allah pula.

 

  1. Majhuliyyah

 

Kelompok kedelapan ini sebagai cabang ketiga kelompok Khazimiyyah. Mereka beranggapan bahwa, barang siapa mengenal Allah dan nama-Nya dia bukanlah orang jahil atas-Nya. Adapun perbuatan seseorang, menurut anggapan mereka, itu semata-mata diciptakan Allah.

 

  1. Shultiyyah

 

Kelompok kesembilan ini ialah para pengikut Utsman ibn Abu al-Shult. Mereka beranggapan bahwa, kalau seseorang menerima ajakan mereka, sementara dia memang. beragama Islam; maka mereka niscaya setia-kawan dengannya. Tetapi mereka tetap tidak akan melepaskan permusuhan terhadap anak-keturunan orang – tersebut, kalau dia tidak beragama Islam, sampai dia mau -menerima ajakan mereka serta beragama Islam.

 

  1. Tsa’alibah (Tsa’labiyyah)

 

Kelompok kesepuluh ini adalah para pengikut Tsa‘alibah. Mereka beranggapan bahwa, tidaklah ada persahabatan, permusuhan ataupun perdamaian bagi anak-anak orang kafir, sampai dia nanti dewasa dan diserukan untuk mengingkari ataupun memasuki Islam. Adapun Tsa’alibah dengan. Abdul Karim ibn Ajrad itu dulu mulanya seiring, tetapi kemudian mereka bertikaian tentang anak-anak tersebut.

 

  1. Akhnasiyyah

 

Kelompok kesebelas ini sebagai cabang pertama kelompok Tsa’alibah ialah para pengikut seorang pria yang disebut Akhnasa, Mereka beranggapan bahwa, tidaklah ada persahabatan bagi orang yang terselubung (al-tagiyyah), apakah dia muslim atau bukan, kecuali yang diketahui benar keimanannya, dan yang diketahyj benar kekufurannya, tidak boleh baginya ada persahabatan. Lebih dari itu. mereka mengharamkan pengkhianatan ataupun pembunuhan secara rahasia, tetapi mereka menganjurkan untuk memerangi orang yang dianggap zalim, kecuali yang diketahuj benar keimanannya.

 

  1. Ma’badiyyah

 

Kelompok keduabelas ini sebagai cabang kedua kelompok Tsa’alibah ialah para pengikut seorang pria yang disebut Ma’bad. Mereka mula-mula beranggapan bahwa, zakat atas harta hambasahaya itu sewajibnya dipungut, kalau dia sudah menjadi kaya, dan memberikannya lagi, kalau dia kembali menjadi miskin. Tetapi kemudian anggapan ini mereka ralat lagi, bahkan mereka tidak membolehkan siapa pun untuk -berbuat begitu, sehingga Ma’bad berkata, ’Sekiranya kalian tetap tidak membolehkan siapa pun untuk berbuat begitu, niscaya aku menuntut dan menghukum kalian.” Begitulah, sampai akhirnya kelompok Tsa’alibah pun di samping para pengikut Ma’bad kembali mcmbolehkan zakat tersebut.

 

  1. Syaibaniyyah

 

Kelompok ketigabelas ini sebagai cabang ketiga kelompok Tsa’alibah ialah para pengikut Syaiban ibn Salamah, yang keluar dari kelompok Tsa’alibah dan bergabung dengan pemerintahan Abu Muslim al-Khurasani. Diceritakan, ketika terjadi pemberontakan terhadap Abu Muslim, Syaiban datang membantunya, dan karena itu para pengikut kelompok Tsa’alibah . tidak lagi mengakuinya. Setelah Syaiban terbunuh pun datang beberapa orang yang .menceritakan penyesalannya, tetapi kelompok Tsa’alibah tetap tidak menerima penyesalan Syaiban, bahkan mereka berkata, “Kesalahan Syaiban itu fatal karena dia telah banyak membunuh orang-orang muslim, merampas hartanya dan menghancurkannya. Maka sekalipun kalian dan seluruh keluarga yang terbunuh itu mengampuninya, kami tetap tidak bisa menerima penyesalan seseorang yang telah menghancurkan orang-orang muslim, sampai dia menjalani hukum setimpal (gishash) serta mengembalikan semua harta orang-orang muslim, tetapi toh tidak mungkin Syaiban melakukan hal ini lagi, sehingga kalian pun karena menerima penyesalannya itu jadinya malah berbohong.” Tetapi yang mereka kemukakan adalah kenyataan, di mana Syaiban sebenarnya terbunuh, sehingga wajarlah kalau di antara kelompok Tsa’alibah itu pun ada sebagian Orang yang menerima penyesalannya, dan mereka karena menerima penyesalannya itu, kemudian disebut sebagai kelompok Syaibaniyyah.

 

Adapun mereka beranggapan bahwa, Allah itu serupa dengan makhluk-Nya. Bahkan tentang persahabatan dan permusuhan pun mereka menganggap kedua hal itu sebenarnya merupakan sifat Allah, sebagai suatu sifat Dzat-Nya, bukan sifat perbuatan-Nya.

 

Ziyadiyyah

 

Kelompok (lain) ini, di samping mereka yang cenderung kepada Syaiban, ialah sebagian besar orang-orang yang tetap setia mengikuti anggapan Tsa’alibah, dan orang-orang ini pun menyebut dirinya sebagai kelompok Ziyadiyyah, dinisbatkan kepada pemimpinnya yang bernama Ziyad ibn ’Abdul Karim, seorang ahli hukum Islam pada masa itu.

 

  1. Rusyaidiyyah/Usyiyyah

 

Kelompok keempatbelas ini sebagai cabang keempat kelompok Tsa’alibah ialah para pengikut seorang pria yang disebut Rusyaid, di mana mereka yang keluar dari beberapa anggapan kelompok Tsa’alibah itu mula-mula beranggapan. Mewajibkan pengeluaran zakat hasil pertanian yang diairi sumber mata-air ataupun sungai dengan ketentuan sebanyak 1/20 hasil yang didapat. Tetapi kemudian sebagian mereka kembali meralat anggapannya itu dan menulis surat kepada Ziyad ibn ’Abdul Rahman, memohon jawabannya dalam persoalan tersebut. Maka Ziyad pun Segerg mendatangi mereka, memberitahukan bahwa dalam persoalan tersebut yang benar mestinya 1/10 hasil yang didapat. Lebih dari itu, dia pun tidak memperkenankan untuk memaafkan Orang yang berbuat salah dalam persoalan tersebut, sehingga tampillah Rusyaid dengan kata-katanya, ’’Kalau hal itu sempat diperbuai oleh kita, karena memang hal itu pernah kita perbuat sebagaimana yang diperbuat. oleh seseorang, maka apakah dalam persoalan tersebut kita tidak boleh memaafkan orang yang memperbua hal itu?”

 

Begitulah. Rusyaid dan para pengikutnya pun menetapkan untuk terus memperbuat hal itu, sehingga mereka dinyatakan keluar dari kelompok Tsa’alibah, dan akhirnya mereka pun sering kalj disebut sebagai kelompok Usyriyyah.

 

  1. Makramiyyah

 

Kelompok kelimabelas ini sebagai cabang kelima kelompok Tsa‘alibah ialah para pengikut Abu Makram, di mana mereka yang keluar dari beberapa anggapan kelompok Tsa‘alibah itu beranggapan: Seorang muslim yang tidak mendirikan salat adalah orang kafir, yang kekufurannya itu bukanlah semata-mata Karena dia meninggalkan salat, tetapi karena dia telah jahil terhadap Allah. Begitupun dengan. seseorang yang berbuat: dosa ‘besar, yang mereka anggap orang itu telah jahil pula terhadap Allah SWT, sehingga kejahilannya pun menjadikannya sebagai orang kafir. Bahkan kekufuran itu bukanlah semata-mata Karena seseorang berbuat kemaksiatan, tetapi karena kebiasaan, dan Allah pun sebenarnya menyayangi seseorang Karena kebiasaan dia yang selalu dekat kepada-Nya, bukan Karena suatu perbuatan yang ada padanya. Karena anggapan-anggapannya ini, mereka pun dinyatakan keluar dari kelompok Tsa‘alibah.

 

Adapun tentang anak-anak, segenap kelompok Tsa’alibah bersepakat bahwa, anak-anak itu niscaya mendapat hukuman seperti apa yang dijatuhkan terhadap bapaknya, bahkan niscaya disiksa kalau bapaknya pun mendapat siksaan, sebab anak-anak itu merupakan bagian dari bapak-bapak mereka sendiri.

 

Fudaikiyyah

 

Kelompok ini ialah para pengikut Abu Fudaik, di mana mereka sebagaimana halnya yang telah diterangkan sebelum ini banyak memiliki anggapan yang bertikaian dengan anggapan-anggapan Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah ibn Amir, bahkan mereka pun telah mengingkari keduanya itu.

 

Shafriyyah

 

Kelompok ini ialah para pengikut Ziyad ibn al-Ashfar, di mana mereka dalam hal siksaan terhadap anak-anak orang kafir itu tidaklah menyetujui anggapan kelompok Azariqah, para pengikut Nafi’ ibn al-Azraq, tetapi mereka justru menganggap anak-anak orang kafir itu tidak boleh disiksa.

 

Diceritakan, kelompok Shafriyyah ini pun dinisbatkan kepada Ubaidah salah seorang pemimpin mereka yang menentang Najdah ibn Amir yang datang dari Yamamah. Ketika Najdah menulis surat kepada penduduk Bashrah. Ubaidah dan Abdullah ibn Ibadh (pemimpin golongan /badhiyyah) sedang berkumpul di sana, sehingga keduanya pun turut membaca surat Najdah. Karena itu Abdullah ibn Ibadh mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan anggapan-anggapan kelompok Najdiyyah, sementara Ubaidah mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan anggapan-anggapan aliran Khawarij, dia: berkata, ”Seseorang yang menentang mereka (Khawarij) itu terhitung orang musyrik, sementara yang memusuhinya pun mestilah dihukum, sebagaimana hukuman bagi orang musyrik yang memusuhi Rasulullah SAW.”

 

Tetapi pada dasarnya anggapan-anggapan sebagian besar aliran Khawarij itu bersesuaian dengan anggapan kelompok Azariqah, Ibadhiyyah, Shafriyyah dan Najdiyyah, dan anggapan-anggapan lainnya, yang selain keempat kelompok tersebut, itu hanya bersesuaian dengan anggapan kelompok Shafriyyah saja.

 

Adapun tentang anggapan lainnya dari aliran Khawarij, selain yang bersesuaian dengan kelompok di atas, terdapat pula mereka yang beranggapan bahwa, orang muslim itu sekalipun dia berbuat sesuatu (semisalnya meninggalkan salat ataupun puasa) yang semestinya tidak dijatuhi hukum, tetapi dia harus diakui sebagai orang kafir, bahkan tidak ada keimanan dalam perbuatan salat atau pun puasa orang kafir tersebut.

 

Golongan Ibadhiyyah Adapun dari aliran Khawarij itu terdapat pula golongan Ibadhiyyah (para pengikut Abdullah ibn Ibadh) yang terbagi lagi dalam beberapa kelompok.

 

  1. Hafshiyyah

 

Kelompok pertama ini ialah para pengikut Hafsh ibn Abu al. Miqdam; di mana mereka beranggapan, yang membedakan antara menyekutukan Allah (syirik) dan iman adalah pengenalan terhadap Allah yang Maha Esa. Karena barang siapa mengenal Allah, kemudian mengingkari sesuatu yang selain-Nya, seperti halnya mengingkari Rasulullah, surga ataupun neraka atau dia berbuat sesuatu yang diharamkan Allah, seperti halnya membunuh ataupun berzina, maka dia adalah orang kafir yang tidak disebut musyrik. Begitupun halnya kalau seseorang berbuat sesuatu yang dilarang Allah, seperti halnya memakan ataupun meminum sesuatu yang telah diharamkan. tetapi barang siapa tidak mengenal Allah (ahl) dan kemudian mengingkari-Nya, maka dia adalah orang kafir yang juga disebut musyrik. Dan mereka mentakwilkan kekhalifahan Utsman ibn Affan seperti halnya aliran Syi‘ah telah mentakwilkan kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn Khaththab, bahkan mereka pun menganggap Ali ibn Abu Thalib sebagai orang yang keheranheranan (al-hayran), sebagaimana firman Allah:

 

Artiny ; ”… Seperti yang. dipukau setan di muka bumi, keheranheranan, sementara dia mempunyai kawan yang menyerunyd ke arah petunjuk (yang selalu berkata): mari ikut kami …” (QS. Al-An’am (6): 71)

 

Adapun maksud kata-kata ‘kawan yang menyerunya ke arah petunjuk’ itu, menurut anggapan mereka, talah penduduk Nahrawan (kelompok dia sendiri). Dan, lebih jauh lagi, mereka pun menganggap Ali ibn Abu Thalib sebagai yang digambarkan firman Allah:

 

Artinya:  “Dan di antara manusia terdapat orang yang kata-katanya tentang (kehidupan) dunia ini menarik hatimu…” (QS. Al-Baqarah (2): 204)

 

Sementara Abdul Rahman ibn Muljam (seorang pemimpin mereka) justru dianggapnya sebagai yang digambarkan firman Allah:

 

Artinya: “Dan di antara manusia terdapat pula orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah….” (QS. Al-Baqarah (2): 207)

 

Mereka pun beranggapan: Keimanan terhadap kitab-kitab dan Rasul-rasul (Allah) itu merupakan rangkaian yang berkaitan era dengan mengesakan Allah, sebab barang siapa mengingkari hal ini berarti telah menyekutukan Allah.

 

  1. Yazidiyyah

 

Kelompok ini ialah para pengikut Yazid ibn Unaysah, di mana mereka beranggapan: Hanya mengakui pemerintahan hukum yang pertama (al-mahkamah al-uwla), sementara pemerintahan hukum setelah itu semata-mata terdiri dari orang-orang yang banyak menciptakan hal-hal baru (ahlal-ahdats), sehingga mereka tidak mengakuinya. Lebih jauh lagi mereka pun mengakui hanya kelompoknya saja yang layak disebut sebagai orang-orang muslim, kecuali beberapa orang yang mendustakan anggapannya ataupun keluar dari kelompoknya tersebut. Bahkan dalam masalah kufur dan syirik pun mereka berbeda anggapan dengan kelompok Hafshiyyah, di mana anggapan mereka seperti layaknya anggapananggapan sebagian besar pengikut golongan Ibadhiyyah ini. Yaman ibn Rahab menceritakan, Yazid lebih dulu mengakui adanya pemerintahan hukum yang pertama dan tidak mengakui adanya pemerintahan hukum setelah itu jauh sebelum Nafi’i, dan Yazid pun, diceritakan, mengharamkan untuk memerangi orang-orang yang memisahkan diri dari kelompoknya. Di samping itu Yazid menetapkan adanya kepemimpinan hanya dari golongan Ibadhiyyah, kecuali beberapa orang yang mendustakan anggapannya ataupun keluar dari kelompoknya tersebut.

 

Dia pun beranggapan bahwa, Allah akan mengutus seorang Nabi dari bangsa Ajam (non Arab), bahkan sekaligus akan menurunkan kitab yang ditulis-Nya di langit. Lalu Nabi tersebut akan meninggalkan syari’at Muhammad SAW dan menjalankan syari‘atnya yang lain. di mana agamanya pun akan disebut Shabi’ah, tetapi bukan seperti Shabi’ah yang telah ada ketika itu, bukan pula seperti Shabi’ah yang disebut-sebut dalam Al-Qu’ran, sebab ia adalah suatu agama yang belum pernah didatangkan Allah kepada hamba-Nya. Di samping itu orang-orang yang telah bersaksi kepada Muhammad SAW, konon, akan disebut sebagai Ahli Kitab, dan seandainya mereka pun memasuki agama yang akan di bawa Nabi baru tersebut, bahkan mengamalkan syari’atnya, mereka itulah yang niscaya dianggap sebagai orang-orang mukmin. Adapun dalam masalah-masalah yang disebutkan di atas, sebagian kelompok dari golongan Ibadhiyyah itu sebenarnya tidak menyatakan anggapan apa pun, di samping sebagian lainnya yang ngotot mengakui anggapan begitu, dan ada pula sebagian lagi yang tidak mengakui anggapan begitu, bahkan sangat menentangnya, di mana mereka merupakan kelompok terbesar dari golongan Ibadhiyyah tersebut.

 

  1. Ubadhiyyah

 

Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Harits al-Ubadhi. Mereka beranggapan bahwa, kemampuan (istitha’ah) itu adanya sebelum perbuatan. Sebagian besar mereka pun hanya mengakui adanya kepemimpinan dari kelompoknya saja, kecuali yang nyata-nyata memberontak. Lalu mereka menganggap penentangnya sebagai orang kKafir, sekalipun dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, tetapi dia masih dihalalkan pernikahannya, masih berhak mendapat warisan ataupun pembagian harta rampasan perang, Bahkan diharamkan untuk membunuh ataupun merampas harta orang yang dinyatakan seperti itu, kecuali dia menyeru kepada kemusyrikan ataupun berada di negeri musuh. Lebih jauh lagi mereka pun menganggap negeri orang-orang yang berbeda anggapan dengan kelompoknya masih dinyatakan sebagai negeri tauhid, kecuali kalau orang-orangnya telah nyata-nyata berpihak kepada penguasa zalim niscaya negeri tersebut dinyatakan sebagai negeri kufur. Diceritakan, mereka pun mengakui persaksian orang yang menentangnya, mengharamkan untuk melucuti orang yang memberontakinya dan juga mengharamkan darah orang yang memusuhinya, sebelum orang itu diajaknya agar mengikuti anggapan mereka. Bahkan mereka beranggapan bahwa, setiap ketaatan itu mencakup aspek keimanan dan keagamaan, sehingga orang yang memperbuat dosa besar pun berada dalam kategori yang tersendiri (muwahhid) dan bukan termasuk orang mukmin.

 

  1. Kelompok keempat ini sebagai pengikut Abu al-Hudzail yang beranggapan bahwa, ketaatan itu sebenarnya tidak datang dari kehendak Allah atas seorang hamba-Nya. Artinya, seseorang niscaya dianggap taat kalau saja dia memperbuat sesuatu yang diperintahkan Allah képadanya, sementara Allah sebenarnya bukanlah yang memaksudkan dan mendatangkan kehendak taat itu sendiri.

 

Adapun tentang kemunafikun, kelompok ini berbeda anggapan yang pada dasarnya terbagi dalam tiga cabang, yaitu (i) cabang yang beralasan dengan firman Allah:

 

”Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara masalah (iman atau syirik) tersebut, sehingga mereka pun tidaklah termasuk golongan yang (mukmin) ini atau tidak pula termasuk golongan yang (musyrik) itu….” (QS. An-Nisa (4): 143)

 

Cabang ini menganggap, beralasan dengan firman Allah tersebut, kemunafikan itu sebenarnya tidaklah termasuk syirik, dan (ii) . cabang yang menganggap kemunafikan itu sebenarnya merupakan syirik, dan (iii) cabang yang menganggap kemunafikan itu sebenarnya merupakan sebutan yang tidak berubah ataupun bergeser kedudukannya, sebab penyebutannya pun telah ditetapkan Allah di suatu masa. Karena itu mereka tidaklah menyebut kemunafikan tersebut selain dari munafik semata.

 

Dan kelompok ini pun bersepakat bahwa, orang yang mencuri itu sekalipun hanya lima dirham, kalau dengan sengaja, maka mestilah dihukum potong tangan. tetapi tentang orang munafik justru kebanyakan mereka menganggap dia sebagai orang kafir yang tidak musyrik, karena di masa Rasulullah pun orang munafik itu termasuk yang masih mengakui keesaan Allah, sekalipun dia berbuat dosa-dosa besar. Di samping itu mereka bersepakat bahwa, segenap sesuatu yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya adalah bersifat umum, tidak bersifat khusus, karena perintah-Nya itu pun di sampaikan kepada orang mukmin sekaligus kepada orang kafir. Bahkan di antara mereka ada yang beranggapan bahwa, tidak ada suatu keharusan vagi seorang makhluk pun untuk mengesakan Allah, kecuali melalui kabar yang diberitahukan-Nya, yang berupa isyarat ataupun tanda-tanda.

 

Sebagian mereka béranggapan bahwa, tidak boleh Allah membebaskan hamba-Nya dari suatu kewajiban agama, sekalipun dia telah mengenal dan mengesakan diri-Nya, tetapi hamba-Nya tersebut boleh-boleh saja tidak melaksanakan suatu kewajiban agama kalau dia telah mengenal dan mengesakan Tuhannya. Sebagian lain beranggapan bahwa, orang yang telah memeluk agama Islam wajib * melaksanakan syari’at dan hukum-hukum Islam, baik dia mengenalnya atau tidak, mendengarnya atau tidak. Sebagian lagi beranggapan bahwa, tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali dia telah lebih dahulu . dibekali bukti (mukjizat) kenabian bagi dirinya, sehingga bisa dipastikan adanya seorang yang menyaksikan bukti kenabiannya tersebut.

 

Di antaranya ada juga yang beranggapan, barang siapa mendengar kabar arak itu diharamkan ataupun kiblat salat telah dipindahkan dari bait al-Maqdis ke Baitullah, maka wajiblah dia membcnarkan hal-hal tersebut, baik itu dia orang mukmin ataupun orang kafir. Di antaranya lagi beranggapan: Barang siapa dengan lisannya telah berkata, ”Allah itu Esa” tetapi dia masih juga mempercayai ’Isa al-Masih, maka yang dibenarkan pun hanya perkataannya saja, sementara hatinya sendiri musyrik.

 

Bahkan di antaranya beranggapan: Yang menyampaikan seseorang ke pada ketaatan itu bukanlah perbuatan salat, menunaikan haji ataupun kewajiban-kewajiban agama lainnya, tetapi yang menyampaikan seseorang kepada ketaatan, hanya Dzat ketaatan itu sendiri yang herada dalam dirinya.

 

Kelompok ini bersepakat: Wajib menerima tobat sescorang yang memusuhi, karena perbedaan anggapan tentang turunnya Al-Qu’ran ataupun takwilnya, kalau saja dia benar-benar tobat, tetapi kalay sebaliknya wajib pula dia diperangi, begitupun kalau perbedaan anggapan (tentang turunnya Al-Qu’ran ataupun takwilnya) itu Karena kejahilan seseorang terhadapnya ataupun sebaliknya. Lalu mereka bersepakat: Barang siapa berbuat zina ataupun mencuri wajib dijatuhj hukum, kecuali dia tobat, tetapi kalau sebaliknya wajib pula di bunuh,

 

Sebagiannya pun beranggapan: Orang yang membangkang dan mengingkari Allah, sebelum benar-benar menjadikan sesuatu yang selain Allah sebagai Tuhannya, dia bukanlah termasuk orang musyrik, Sebagian lainnya beranggapan: Setiap orang yang membangkang dan mengingkari Allah, ditinjau dari sudut mana pun, dia tetap saja termasuk orang musyrik dan orang kafir. Bahkan mereka beranggapan: Barang siapa berbuat dosa, niscaya dia adalah orang kafir.

 

Mereka pun beranggapan: Alam semesta akan lenyap ketika Allah melenyapkan segenap hamba-Nya yang patuh (ahi al-taklif). Karena Allah menciptakan alam semesta ini hanya untuk segenap hambaNya tersebut. Jadi, kalau saja Allah melenyapkan segenap hambaNya yang patuh itu, maka kekekalan alam semesta ini pun tidaklah berarti.

 

Di antara mereka pun ada yang beranggapan bahwa, kemampuan (istitha’ah) dan kepatuhan (taklif) itu bersamaan adanya dengan perbuatan, sementara kemampuan itu sendiri adalah keringanan atas perbuatan yang dibebankan kepadanya. Tetapi kebanyakan mereka jJustru beranggapan bahwa, kemampuan itu bukanlah keringanan atas perbuatan yang dibebankan kepadanya, melainkan yang mengadakan perbuatan itu sendiri, yang tidak mungkin berada pada dua waktu secara bersamaan, dan kemampuan itu pun merupakan sesuatu yang mempunyai hamba-Nya dengan sesuatu yang mustahil dapat dilaksanakan oleh hamba-Nya tersebut, tidak pula seorang hambaNya dapat meninggalkan sesuatu yang dibebankan kepadanya karena ketidakmampuan. Lebih jauh lagi dikatakan kemampuan taat dapat menimbulkan Keserasian, kesungguhan, keutamaan, kenikmatan, kebaikan dan kelemahlembutan, dan schaliknya kemampuan kufur dapat menimbulkan kesesatan, kekejaman, keburukan, kekejian dan kejahatan. Di samping itu seandainya Allah lemah-lembut terhadap orang kafir, niscaya dia pun menjadi orang mukmin yang taat. Lalu dikatakan pula kalau Allah menciptakan sesuatu bagi seorang hambanya, maka tidaklah Dia lebih dulu melihat kepentingan hamba-nya tersebut, dan tidaklah Allah menciptakan suatu kebaikan saja, tidak pula Allah menciptakan suatu kebaikan itu dalam masalah agama saja, sebab Allah pun menciptakan suatu keburukan dan melekatkannya dalam hati hamba-Nya tersebut. Adapun semua kata-kata ini dikemukakan pula oleh Yahya ibn Kamil, Muhammad ibn Harb dan Idris al-Ubadhi.

 

Bahkan sebagian besar mereka beranggapan bahwa, perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakan Allah, sehingga Allah pun senantiasa mengetahui sesuatu yang akan ataupun tidak terjadi, baik jtu merupakan suatu kebaikan ataupun keburukan. Dalam masalah kebaikan tidaklah berarti Allah menyenanginya, begitupun sebaliknya dalam masalah keburukan -tidaklah berarti Allah membencinya, dan mengenai hal.itu akan diuraikan lagi secara lebih terinci dalam pembicaraan yang membahas doktrin-doktrin. aliran Khawarij ini tentang gadar berbagai manusia.

 

Adapun semua pengikut aliran Khawarij telah bersepakat bahwa, Al-Qu’ran itu makhluk. Dan golongan ibadhiyyah pun bersepakat: Dibolehkan dalam suatu masalah terdapat dua Ketetapan hukum yang berbeda, karena dua motivasi. Misalnya, kalau seorang pria memasuki sebuah ladang tanpa izin pemiliknya, maka niscaya Allah pun melarang dia keluar dari ladang tersebut, karena dikhawatirkan terjadi kerusakan atasnya, tetapi sekaligus, niscaya Allah pun menyuruh dia keluar dari ladang tersebut, karena ladang itu bukan kepunyaannya. Sementara sebagian besar mereka beranggapan: Tidaklah dibenarkan Allah membebaskan hamba-Nya yang dewasa (baligh) dari perbuatan yang dibebankan kepadanya.

 

Mereka pun beranggapan: Tidaklah kekekalan bagi sesuatu aksiden (a’radh) melainkan kalau sebagian dari aksiden itu merupakan jisim. Begitulah, konon menurut orang-orang yang menganggap jisim itu merupakan gabungan dari berbagai aksiden, dan sebagian besar mereka pun memang menganggap aksiden itu merupakan bagian dari Jisim.

 

Lalu di antaranya beranggapan: Bahkan bagian sesuatu yang tidak terbagi itupun merupakan jisim. Adapun kata-kata ini kemukakan al-Husein.

 

Di antaranya lagi beranggapan bahwa, karunia Allah kepada hamba-Nya lebih banyak yang berupa kebaikan ketimbang ketidak, baikan, lebih banyak yang berupa kesehatan ketimbang ketidaksehatan, dan pahala itu merupakan sesuatu yang pasti diperoleh hamba-Nya, di samping karunia dan siksa Allah. .

 

Bahkan sebagian mereka beranggapan: Halal meminum minuman yang memabukkan, asal bukan yang berupa arak. Tetapi mereka tidak membolehkan untuk memerangi orang muslim yang ahli kiblat, tidak membolehkan untuk membunuh wanita, dan mereka hanya membolehkan untuk memerangi orang yang tidak diketahui keislamannya, karena dia pun diserupakan dengan orang yang bukan Islam, bahkan mereka membolehkan untuk merampas hartanya. Lebih jauh lagi mereka pun membolehkan untuk memerangi orang yang hanya mengikuti agama nenek-moyangnya, sebagaimana Abu Bakar as-Shiddiq telah memerangi orang-orang murtad.

 

Adapun para pemimpin yang terdahulu (al-salaf) dari kelompok ini di antaranya ialah Jabir ibn Zaid, Ikrimah, Mujtahid dan Amr ibn Dinar.

 

Dari golongan Ibadhiyyah itu terdapat pula seorang pria, Ibrahim, yang anggapannya membolehkan jual-beli para hamba-sahaya wanita musuh, tetapi seorang pria lainnya, Maimun menentang anggapan tersebut. Dan sebagiannya tidak mengemukakan anggapan apa pun tentang: hal ini, yaitu pengikut Wagqf, di mana mereka tidaklah menghalalkannya ataupun mengharamkannya.

 

Kemudian para pengikut Ibrahim menuliskan anggapannya tersebut, di mana dia menganggap jual-beli hamba-sahaya wanita musuh itu dihalalkan, bahkan menghibahkannya pun dihalalkan, tetapi sebagian pengikutnya kembali menyangkal anggapan tersebut dan sangat menyesal karena mengikuti Ibrahim, begitupun dengan Maimun, sehingga mereka segera membebaskan hamba-sahaya wanita yang ada padanya. Sayang Ibrahim (konon) keburu meninggal sebelum anggapannya keluar.

 

Adapun pengikut Waqf, yang tidak mengemukakan anggapan apa pun tentang hamba-sahaya wanita itu, justru telah menganggap Maimun sebagai orang kafir yang begitu nyata kekufurannya. Lalu pengikut Waqf ini disebut pula sebagai kelompok Waqifah, yang kemudian melepaskan diri dari aliran Khawarij. Sementara pengikut Ibrahim masih juga dengan anggapannya, yang menghalalkan jual beli para hamba-sahaya wanita musuh, dan tentang Maimun konon, akhirnya dia tobat.

 

Golongan Ibadhiyyah bersepakat: Segenap perkara yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya itu merupakan suatu rentetan iman, sementara orang yang selalu berbuat dosa besar hanya kufur nikmat sekalipun bukan kufur syirik yang niscaya pula berada dalam neraka selama-lamanya.

 

Adapun sebagian besar mereka tidak menetapkan adanya siksaan bagi anak-anak orang musyrik di akhirat nanti, di mana mereka beranggapan: Boleh-boleh saja Allah menyiksa anak-anak orang musyrik itu, tetapi bukan sebagai balas-dendam dari-Nya, dan boleh pula Allah memasukkannya ke surga, tetapi hanya sebagai karunia yang dianugerahkan-Nya. Sebaliknya, sebagian mereka beranggapan: Siksaan Allah terhadap anak-anak orang musyrik itu sebenarnya adalah sesuatu yang pasti, bukan sesuatu yang boleh-boleh saja.

 

Dhahakiyyah

 

Kelompok (lain) ini di mana kita mesti lebih dulu kembali kepada kelompok Wagifah yang tidak mengemukakan anggapan apa pun tentang hamba-sahaya wanita musuh itu ialah pecahan dari kelompok Waqifah yang beranggapan bahwa, seorang wanita muslim boleh menikah dengan seorang pria kafir, asalkan berada di negeri musuh, sebagaimana halnya seorang pria muslim boleh pula di negeri musuh menikah dengan seorang wanita kafir. Sebaliknya, kalau dia tidak berada di negeri musuh, maka pernikahannya pun tidak dibolehkan.

 

Tetapi sebagian mereka melepaskan anggapan tersebut dan tidak lagi membebaskan siapa pun berbuat begitu, bahkan mereka beranggapan: tidak akan memberi apa pun dari hak-hak yang sclayaknya diperoleh seorang muslim, kalau seorang wanita muslim

 

menikah dengan seorang pria kafir, bahkan tidak pula akan menyalatkannya kalau dia meninggal. Kemudian sebagiannya pun melepaskan lagi anggapan begini. Lebih jauh lagi kelompok Dhahakiyyah ini berbeda anggapan tentang orang yang terhukum (ashhab al-hudud), sebagian mereka mengakuinya, sebagian lain tidak mengakuinya dan sebagian lain lagi tidak beranggapan apa pun,

 

Mereka pun berbeda anggapan tentang penduduk negeri kufur, sebagian mereka menganggapnya sebagai orang-orang kafir saja, kecuali yang benar-benar diyakini keimanannya, tetapi sebagian lain menganggapnya sebagai orang-orang ’baur’ antara kufur dan bukan yang belum bisa dinyatakan Islam, kecuali yang benar-benar diyakinikeislamannya. Selanjutnya.mereka pun selalu mempertikaikan anggapan masing-masing, sehingga mereka beranggapan: Hanya penguasa yang dapat mempersatukan lagi. Begitulah, sebagian mereka akhimya disebut sebagai kelompok Ashhab an-Nisa’, sebagian lain yang menentangnya disebut kelompok Ashhab al-Mar’ah.

 

Adapun kelompok Wagifah itu terpecah pula dalam dua cabang, ; yaitu (i) cabang yang membolehkan seorang wanita muslim menikah ‘ dengan seorang pria kafir, dan (ii) cabang yang dipimpin Abdul Jabar ibn Sulaiman, di gnana mereka menolak anggapan yang membolehkan seorang wanita muslim menikah dengan: seorang pria kafir.

 

‘Diceritakan, Abdul Jabar.mula-mula meminang putri Tsa’labah, tetapi kemudian dia. meragukan kedewasaan putri tersebut. Maka ditanyakannya hal itu langsung kepada ibu si putri, sehingga menimbulkan pertikaian antara Tsa’labah dan Abdul Karim ibn Ajrad tentang kedewasaan anak-anak.

 

Konon Abdul Jabar, yang meminang putri Tsa’labah tersebut, Oleh Tsa’labah diminta memberi mas-kawin (mahar) sebesar empat ribu dirham, dan Abdul Jabar pun segera mengirim seorang comblang wanita, Ummu Sa’id, yang diterima oleh ibu si putri tersebut. Bertanyalah Ummu Sa’id, Apakah putrimu sudah dewasa (baligh) atau belum? Seandainya putrimu sudah dewasa, bahkan sudah pula menyatakan keislamannya, maka kami tidak keberatan dengan berapa pun yang diminta sebagai mas-kawinnya. ’’Tetapi ibu si putri menjawab dengan lantang, ’Putriku itu muslim, persetan dia sudah dewasa atau belum, dan tidak perlu lagi seruan-seruan keislaman itu, betapapun toh dia cukup dewasa.” Dan kata-kata itu diulanginya berkali-kali, sehingga masuklah Tsa’labah karena mendengar perdebatan tersebut untuk meleraikannya.

 

Lalu masuk pula Abdul Karim ibn Ajrad, yang sempat melihat kejadian tersebut, sehingga Tsa’labah pun menceritakan perdebatan yang terjadi itu kepadanya. Abdul Karim beranggapan: Putri tersebut memang sewajibnya diseru (untuk menyatakan keislamannya) kalau dia sudah cukup dewasa, sebab kalau tidak niscaya dia terlepas dari kalangan Islam.

 

Tetapi Tsa’labah menyangkalnya, bahkan dia berkata, ’’Tidak, karena kami inilah yang akan menetapkan perwaliannya, sehingga tidak perlu lagi seruan-seruan keislaman itu.”

 

Adapun konon akhimya mereka tetap bersikeras dengan anggapan masing-masing, yang mengakibatkan putusnya hubungan di antara kedua sahabat tersebut.

 

Baihasiyyah

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut Abu Baihas,?) di mana mereka beranggapan bahwa, Maimun itu kufur ketika dia mengharamkan jual-beli hamba-sahaya wanita musuh, apalagi ketika dia sampai menentang Ibrahim yang menghalalkan itu. Lalu mereka pun mengkufurkan orang-orang yang tidak mengetahui kekufuran Maimun dan kebenaran Ibrahim misalnya kelompok Wagqifah bahkan mengkafirkan Ibrahim itu sendiri, karena mereka menganggap Ibrahim tidaklah berani menentang orang-orang yang tidak mengikuti anggapannya tersebut (yaitu kelompok Wagifah) yang dianggapnya pula . kelompok Wagifah itu telah mengingkari pemerintahan dan malah mengakui Maimun.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, kekufuran kelompok Waqifa, itu tidak berkenaan dengan perbuatan badan, tetapi berkenaan dengan asas-asas hukumnya yang tidak pernah diputuskan olch seorang muslim pun. Karena itu kalau orang-orang muslim pernah memutuskan hukumnya tersebut, maka tidak seorang pun yang dibolehkan tidak mengetahui kebenarannya, bahkan dia wajib tunduk kepadanya, dan sebaliknya dibolehkan mengetahui kesalahannya, tetapi tidak wajib tunduk terhadapnya.

 

Lebih jauh lagi Abu Baihas pun beranggapan: Tidaklah seorang hamba Allah dapat dikatakan sebagai orang muslim sebelum dia menyatakan pengenalannya terhadap Allah, terhadap rasul-Nya dan segenap sesuatu yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW selengkap-lengkapnya, dan mengenal pula adanya kewalian bagi para walj Allah, berlepas diri dari musuh-musuh Allah, mengharamkan segenap sesuatu yang dilarang Allah, yang kalau hal itu diperbuatnya niscaya mendapat siksa, tidak mengemukakan anggapan apapun terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya, kKecuali dia benar-benar mengetahuinya. Karena itu orang-orang aliran Khawarij kebanyakan mengikuti anggapannya ini, di mana mereka. kemudian disebut sebagai kelompok Baihasiyyah, yang menentang anggapan kelompok Waqifah.

 

Sebagian lain beranggapan bahwa seseorang itu dapat Saja dikatakan sebagai orang muslim kalau dia telah menyatakan kesaksian (syahadat) tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hambaNya serta utusan-Nya, menetapkan adanya segenap sesuatu vang didatangkan Allah selengkap-lengkapnya, mengakui adanya kewalian bagi para wali Allah dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah, dan sekiranya seseorang itu tidak mengenal semua ini, tetap saja ‘dia disebut sebagai orang muslim, sebelum hal itu ditetapkannya dengan perbuatan. Lebih jauh lagi, barang siapa melanggar apa yang diharamkan Allah, niscaya mendapat siksa. Bahkan sekiranya dia tidak mengetahui keharamannya, niscaya dia termasuk orang kafir, dan barang siapa meninggalkan apa yang diperintahkan Allah, sekalipun dia tidak mengetahuinya, niscaya pula dia termasuk orang kafir. Tetapi kalau seorang penguasa berbuat hal-hal yang diharamkan Allah, sementara dia memang tidak tahu apakah hal ini halal, haram ataupun subhat, maka lebih baik janganlah menemaninya ataupun memusuhinya, sebelum dia benar-benar mengetahui apakah hal itu falal atau haram.

 

Begitulah, karena anggapannya ini sebagian mereka pun dinyatakan keluar dari kelompok Baihasiyyah.

 

Aufiyyah

 

Kelompok (lain) ini sebagai pecahan dari kelompok Bathasiyyah terpecah pula dalam dua cabang, yaitu (i) cabang yang menganggap barang Siapa keluar dari negeri hijrah Madinah ataupun meninggalkan jihad, karena enggan berperang, terlepaslah dia dari kalangan mereka, dan (ii) cabang yang menganggap dia justru tidaklah terlepas dari kalangan mereka Karena yang dia enggankan toh keluarnya itu merupakan sesuatu yang dihalalkan Allah baginya.

 

Tetapi kedua cabang dari kelompok Aufiyyah ini bersepakat: Kalau seorang pemimpin (imam) itu kufur, maka kufur pulalah rakyatnya semua, baik yang tiada (gaib) maupun yang ada (syahid).

 

Adapun para pengikut kelompok Baihasiyyah lainnya membebaskan saja mereka, sehingga mereka pun akhirnya tetaplah mengakui Abu Baihas lagi.

 

Kelompok Aufiyyah ini pun beranggapan bahwa mabuk itu suatu perbuatan kufur, kalau saja dalam keadaan mabuk tersebut seseorang sampai meninggalkan salat dan ibadah lainnya, bahkan kalau lagi sampai berbuat sesuatu yang diancam hukum.

 

Syabibiyyah.

 

Kelompok (lain) ini sebagai pecahan ‘dari kelompok Baihasiyyah ialah para pengikut Syabib al-Najrani, yang terkenal dengan sebutan al-Sa’wal,.di mana mereka beranggapan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang muslim kalau dia telah menyatakan kesaksian (syahadat) tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya serta utusan-Nya, mengakui adanya kewalian bagi para wali Allah, berlepas diri dari musuh-musuh Allah selengkap-lengkapnya, dan sekiranya seseorang itu tidak mengenal semua ini, tetap saja dia disebut sebagai Orang muslim, sebelum hal itu ditetapkannya dengan perbuatan.

 

Mercka dalam masalah anak-anak, berbeda anggapan dengan kelompok Wagifah dan sepakat dengan kelompok tsa’alibah yang beranggapan bahwa anak-anak orang muslim itu sebelum dewasa (baligh) pun dinyatakan sebagai orang mukmin, tetapi kalau setelah dewasa dia tidak juga menyatakan keislamannya, niscaya dia termasuk orang kafir, dan sebaliknya anak-anak orang kafir itu sebelum dewasa pun dia dinyatakan sebagai orang kafir, tetapi kalau setelah dewasa dia menyatakan keislamannya dan meninggalkan kekufurannya, niscaya dia termasuk orang mukmin.

 

Adapun dalam masalah gadar mereka memiliki anggapan. anggapan yang bersesuaian dengan anggapan aliran Mu’tazilah.

 

Sebagian pengikut kelompok Baihasiyyah beranggapan bahwa orang muslim yang berbuat suatu dosa besar (misalnya berbuat zina) itu tidaklah disebut sebagai orang kafir, sebab dia cukup diajukan saja ke hadapan seorang pemimpin untuk dijatuhkan hukum ataupun dimaafkan. Sementara kelompok Shafriyyah malah beranggapan bahwa orang muslim yang berbuat dosa besar itu sebelum diajukan ke hadapan seorang pemimpin niscaya diragukan kemuslimannya, sehingga dia pun tidaklah dapat disebut sebagai orang mukmin ataupun orang kafir.

 

Lalu sebagian pengikut kelompok Baihasiyyah. pun beranggapan: Kalau seorang pemimpin telah kufur, maka rakyatnya pun niscaya kufur, dan kalau negaranya itu musyrik, maka musyrik pulalah setiap penduduknya. Di samping itu mereka pun melarang untuk mendirikan Salat di belakang orang-orang yang tidak dikenal, yang bukan dari kalangan mereka, dan membolehkan untuk memerangi dan merampasi harta orang muslim yang ahli kiblat, yang berbuat kemaksiatan apa pun.

 

Pengikut kelompok Baihasiyyah pun beranggapan bahwa seseorang disebut musyrik kalau jahil terhadap agama dan kalau berbuat suatu dosa, tetapi kalau suatu dosa itu belum lagi memutuskan beratnya hukuman maka dia diampuni, sebab tidak dibolehkan Allah menyembunyikan hukum-hukum suatu dosa yang diperbuat hambaNya. Kalau hal seperti itu dibolehkan, maka perbuatan syirik pun harus dibolehkannya.

 

Lalu mereka beranggapan bahwa seseorang yang harus tobat di tempat dia menjalani siksa ataupun eksekusi (gishash), yang harus menyatakan dirinya sebagai orang musyrik, ketika menyatakan hal jtu dia pun sebenarnya telah menjadi kufur. Sebab seseorang yang tobat itu sebenarnya tidak boleh dijatuhi siksa ataupun eksekusi, kecuali orang kafir yang nyata-nyata kekufurannya terhadap Allah.

 

Sebagian mereka beranggapan bahwa seseorang yang mabuk, sekalipun karena minuman yang dihalalkan, tetap disebut sebagai orang mabuk, tetapi kalau dalam keadaan mabuknya itu dia sampai meninggalkan salat ataupun menghujat Tuhan, maka tidaklah dia boleh didenda dan dijatuhi keputusan hukum, tidak pula dia boleh disebut sebagai orang kafir.

 

Bahkan mereka beranggapan: Pada dasarnya semua jenis minuman itu halal sebelum-datang keharaman pada sebagiannya baik hanya sedikit, banyak, memabukkan atau tidak.

 

Ashhab al-Tafsir

 

Kelompok (lain) ini sebagai bagian dari kelompok Baihasiyyah ialah para pengikut al-Hakam ibn Marwan, para penduduk Kuffah di mana mereka beranggapan bahwa seseorang yang menjadi saksi atas perbuatan orang muslim tidaklah kesaksiannya itu dapat diterima, tanpa dia sanggup mengemukakan tafsir apa pun terhadap sesuatu yang disaksikannya, *bagaimana hal itu sampai terjadi?’ Bahkan seandainya ada empat orang yang menjadi saksi atas perbuatan zina seorang pria, misalnya, maka kesaksiannya itu tetap saja belum dapat diterima, sebelum keempat orang saksi tersebut sanggup mengemukakan (tafsir) keterangan yang terinci bagaimana si pria yang zina itu sampai berbuat hal tersebut. Begitupun dengan anggapan mereka tentang kesaksian seseorang atas sesuatu perbuatan yang diancam hukum.

 

Adapun para pengikut kelompok Baihasiyyah berlepas diri dari anggapan mereka ini, bahkan menyebutnya sebagai kelompok Ashhab al-Tafsir.

 

Ashhab al-Shalih

 

Kelompok (lain) int sebagai bagian dari kclompok Shafriyyah dalam anggapan-anggapannya tidaklah keluar dari anggapan induknya kelompok Shafriyyah tersebut.

 

Adapun kelompok Shafriyyah dan sebagian besar pengikut aliran Khawarij (termasuk kelompok Ashhab al-Shalih ini) beranggapan bahwa seseorang yang berbuat dosa besar itu niscaya dia kufur, yang kufur pun niscaya dia syirik, sementara yang syirik niscaya pula dia menyembah setan.

 

Fadhliyyah

 

Kelompok (lain) ini pun beranggapan bahwa seseorang yang perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya, seperti halnya dia berkata, “tiada Tuhan selain Allah” sementara yang dimaksudnya pun hanya anggapan kaum Nasrani yang menyatakan tiada Tuhan selain Dia yang berputra ataupun beristri, atau sesuatu berhala yang dipertuhannya bahkan seperti. halnya dia berkata, “Muhammad ity utusan (rasul) Allah”. Sementara yang dimaksudnya pun justru selainnya, maka dalam hal ini dia tidaklah dianggap kufur, selama niat hatinya itu bukanlah tertuju kepada yang selain Allah.

 

Al-Yaman ibn Rabab al-Khariji menceritakan, sebagian pengikut kelompok Shafriyyah dan Baihasiyyah bersepakat bahwa seseorang yang berbuat dosa besar tidaklah dianggap kufur, sebelum dia diajukan ke hadapan penguasa (al-Sulthan) dan dijatuhi hukuman, kalau dijatuhi hukuman niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.

 

Adapun sebagian lain pengikut kelompok Baihasiyyah itu tidak “menyebutnya sebagai orang mukmin ataupun orang kafir, sebelum dia dijatuhi hukuman, tetapi sebagian lain pengikut kelompok Shafriyyah tetap menganggapnya sebagai orang mukmin, sebelum dia dijatuhi hukuman.

 

Diceritakan, sebagian kecil pengikut aliran Khawarij melepaskan diri dari anggapan sebagian lainnya, di mana mereka tidak mengakui adanya kesaksian (syahadat) atasnya, dan orang-orang yang menyetujui anggapan mereka pun disebutnya sebagai ahli-ahli surga (ahl aljannah), tanpa persyaratan ataupun perkecualian.

 

Huseiniyyah

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut seorang pria yang bernama Abu al-Husein, di mana mereka beranggapan bahwa sesuatu negeri adalah kawasan peperangan, tetapi sebenarnya tidak dibolehkan menyerang para penduduk suatu negeri, kecuali setelah diketahui benar adanya kejahatan dari orang-orangnya tersebut. Bahkan mereka pun menganjurkan untuk berlaku surut dari menyerang orang-orang yang menyetujui anggapan-anggapannya, sebagaimana diceritakan Najdat, tetapi orang-orang yang memusuhinya (menurut anggapan mereka) adalah orang yang berdosa besar, yang termasuk orang kafir musyrik. .

 

Syamrakhiyyah

 

Kelompok (jain) ini sebagaimana diceritakan al-Yaman ialah para pengikut Abdullah ibn Syamrakh, di mana mereka beranggapan: Dalam keadaan aman darah penduduk suatu negeri itu diharamkan, tetapi dalam keadaan kacau darahnya pun dihalalkan. Sementara memerangi kedua orang tua di-negeri pengungsian (al-hijrah) itu sangat diharamkan, sekalipun sebagai musuh.

 

Adapun para pengikut aliran Khawarij berlepas diri dari anggapan mereka.

 

Tokoh-tokoh Aliran Khawarij

 

Di antara ulama-ulama aliran Khawarij yang ahli bahasa ialah Abu Ubaidah Ma’mur ibn al-Mutsanna, dari kelompok Shafriyyah, sementara salah seorang penyairnya ialah Imran ibn Hiththan, dan di antara pengarang-pengarang kitabnya ataupun ahli-ahli kalamnya ialah Abdullah ibn Yazid, Muhammad 1bn Harb dan Yahya ibn Kamil, dari golongan Ibadhiyyah, lalu al-Yaman ibn Rahab, dari kelompok Tsa’alibah yang beralih kepada kelompok Baihasiyyah, kemudian Sa’id

ibn Harun, yang diperkirakan masih dari golongan ibadhiyyah pula.

 

Dan di antara ulama-ulama aliran Khawarij yang mengaku ulama salaf ialah Abu al-Sya’tsa’ Jabir ibn Zaid, ’Ikrimah, Isma’il ibn Sami’, Abu Harun al-Abdi dan Habirah ibn Maryam.

 

Dan di antara ulama-ulama aliran Khawarij yang cukup terkenal yang tidak mempunyai banyak ikutan ialah Shalih ibn Musarrih dap Dawud, di mana keduanya telah menimbulkan berbagai masalah yang mendatangkan perpecahan dan pertikaian di antara para pengikut aliran Khawarij itu sendiri. Setelah itu pun ada lagi seorang ulama lain yang kurang terkenal, Rabab al-Sijistani, yang malah menimbulkan perpecahan di antara pengikut aliran Khawarij tentang hukum Orang yang terbunuh dalam ketentaraan. sehingga sebagian pengikut aliran Khawarij pun beranggapan: Seseorang yang terbunuh dalam ketentaraan dihukumi sebagai orang mukmin, sebelum dia diketahyui benar kematiannya itu dalam keadaan tiada hak sebagai orang mukmin,

 

Harun al-Dha’if pun menceritakan, Rabab al-Sijistani inj membolehkan untuk menikahi wanita-wanita musuh, Karena para musuh itu pun menurutnya adalah orang-orang yang ahli kitab.

 

Raji’ah

 

Kelompok (lain) ini disebut Raji’ah karena para pengikutnya kembali (raja’a) dari Shalih ibn Musarrih, bahkan mereka berlepas diri dari hukum-hukum yang ditetapkan olehnya.

 

Hal ini terjadi konon ketika sebagian pengawal Shalih datang memberitahukannya, ada seorang penunggang kuda di lereng gunug memperhatikan tentaranya itu, dan Shalih pun segera menyuruh dua orang pengawalnya untuk menyelidiki siapa penunggang kuda tersebut. Ketika penunggang kuda itu mengetahui kedua pengawal Shalih yang mendekati dirinya, maka larilah dia, tetapi kedua pengawal Shalih mengerjarnya, bahkan seorang pengawal itu menyerangnya, lalu turun pula kedua pengawal tersebut menyergapnya dan menangkapnya. Maka Si penunggang kuda pun berkata kepada kedua pengawal Shalih yang menangkapnya: ”Aku seorang muslim, bahkan salah seorang saudara Rib’i ibn Kharrasy” Adapun yang disebut Rib’i ibn Kharrasy adalah seorang pria yang pernah menjadi komandan dalam ketentaraan mereka. Karena itu kedua pengawal Shalih pun membawanya seraya menanyainya: ’’Adakah seseorang dalam ketentaraan yang mengenal dirimu?” Si penunggang kuda yang ditangkap itu menjawab: ’Ya, aku mengenal dua orang pengikut Shalih, yang satu bernama Jabir dan satunya lagi Walid.” Maka kedua pengawal yang menangkap penunggang kuda tersebut membawanya ke markas tentara Shalih, Jalu mercka ceritakan kepada Shalih ibn Musarrih tentang hal itu, dan Shalih pun segera memanggil kedua orang yang dikenal oleh penunggang kuda tersebut, Jabir dan Walid, di mana Shalih menanyakan kepada Jabir dan Walid itu tentang si penunggang kuda yang ditangkapnya. Keduanya pun menjawab: ’’Kami mengenalnya sebagai orang jahat dan kufur, bahkan mengenalnya pula sebagai seorang saudara Rib’i, sementara Rib’i suka menyebarkan isyu kejahatan dan permusuhan terhadap orang-orang muslim” Maka Shalih pun, konon, memerintahkan pengawalnya untuk mendera punggung penunggang kuda tersebut. Karena itu kelompok Raji’ah berkata: ”Shalih ibn Mussarih membunuh seorang muslim yang menyatakan keislamannya” sehingga cabang ini akhirnya pun berlepas diri dari Shalih ibn Musarrih.

 

Cerita lain menyebutkan, seorang pengawal Shalih ibn Musarrih mengabarkannya, ada seorang penunggang kuda berhenti di lereng gunung memperhatikan markas tentaranya itu, sementara hari ketika itu sudah larut malam, dan Shalih pun segera menyuruh dua orang pengawalinya, Abu Umar dan Yazid ibn Kharijah, untuk menangkap penunggang kuda tersebut.

 

Ketika penunggang kuda itu mengetahul kedua pengawal Shalih yang mendekati. dirinya,-maka larilah dia, tetapi kedua pengawal Shalih mengejarnya, bahkan salah seorang pengawal itu. menikamnya dan yang lain pun menghatamnya, sehingga tertangkaplah penunggang kuda.tersebut. Maka kedua pengawal itu membawanya ke hadapan Shalih, lalu Shalih memerintahkan seorang pengawalinya untuk menahan penunggang kuda tersebut, katanya: Kalau sampai esok pagi hadapkanlah dia kepadaku,.sehingga aku dapat mengetahui luka-lukanya, dan aku pun dapat memikirkan, apakah dia akan dijatuhi hukuman denda berat (Diyat al-Nafs) ataupun denda ringan (diyat al-Arsy).” Kemudian pengawal yang diperintahkan menahan penunggang kuda tersebut pulang ke rumahnya lagi, membawa si penunggang kuda yang terluka itu sebagai tahanannya, tétapi ketika pengawal Shalih tersebut tertidur lelap, si penunggang kuda yang menjadi tahanannya itu bangun serta melarikan diri dari Shalih ibn Musarrih, bahkan mereka berkata: ”Penunggang kuda . tersebut belum sembuh dari lukanya, sementara dia telah menyatakan dirinya itu seorang kafir yang berhak dilindungi.”

 

Dan diceritakan lain menyebutkan pula, seorang pengikut Shalih ibn Musarrih, yang bernama Shakhar, berkata kepada pengikutnya yang lain: ”Orang tahanan ini musuh Allah, sementara Shalih ketika itu tidak meluruskan apa yang dikatakan pengikutnya tersebut.

 

Tetapi cerita lain menyebutkan, Shakhar itu sebenarnya menggelapkan seekor kuda rampasan, sehingga Shalih pun mengundj para pengikutnya kalau saja mereka ingin menunggang kuda tersebut, dan konon, mereka pun berebut untuk dapat berperang dengan kuda itu.

 

Maka terjadilah perpecahan di antara pengikut Shalih karenag masalah-masalah ini, sehingga sebagian pengikutnya yang disebut sebagai kelompok Raji’ah berlepas diri darinya, sekalipun kebanyakan pengikut aliran Khawarij membenarkan apa yang ‘diperbuat Shalih tersebut. Sementara Syabab tidak mengemukakan komentar apa pun (abstain) tentang masalah ini, bahkan dia berkata: ’’Aku tidak tahu, apakah yang diputuskan Shalih itu benar atau salah.”’ Tetapi akhirnya diceritakan, kebanyakan pengikut kelompok Raji’ah kembali mengakui apa yang dinyatakan Shalih, bahkan mereka pun balik membenarkan apa yang diperbuatnya.

 

Adapun golongan ibadhiyyah beranggapan bahwa seseorang yang berlepas diri dari Shalih termasuk orang kafir, bahkan yang tidak menganggap kufur terhadapnya.pun termasuk orang kafir pula. Tetapi golongan /badhiyyah ini tidak berani salah sangka terhadap orang seperti dia,” yang disambungnya lagi: “Bahkan kami tetap menunjukkan sikap baik-sangka terhadapnya, dengan selalu bersamanya, sampai dia terbunuh.” Lebih dari itu, menurut anggapan mereka, Syabab adalah keimanan yang seasli-aslinya.

 

Syababiyyah (Murji’ah al-Khawarij)

 

Kelompok (lain) ini ialah para pengikut Syabab, yang tidak mengemukakan komentar apa pun (abstain) tentang persoalan Shalih dengan Raji’ah tersebut, di mana mereka beranggapan: Tidak tahu, apakah yang diputuskan Shalih itu benar atau salah, begitupun yang dinyatakan Raji’ah itu benar atau salah. Maka para pengikut Khawarij pun berlepas diri dari mereka, bahkan menyebutnya sebagai Murji’ah al-Khawarij.

 

Diceritakan, ketika berada di kota Jarjaraya, Syabab menemukan harta yang tertinggal yang kemudian dibagi-baginya berupa seekor kuda, sebuah sabuk dan sehelai sorban. Maka berkatalah dia kepada salah seorang pengikutnya: Ayo, kau naiklah kuda ini, sebelum aku membaginya,” sementara kepada pengikutnya yang lain dia berkata: ”Kau pun pakailah sabuk dan sorban ini, sebelum aku membaginya.” Tetapi apa yang dikatakannya itu terdengar oleh pengikutnya yang lain, sehingga tampillah dua orang di antara mereka yaitu Salim ibn Abu al-Ja’ad al-Asyja’i dan Ibn Dajajah al-Hanafi yang berkata lantang: “Wahai kaum muslimin, ketahuilah, Syabab sedang mengundi nasib kita dengan anak-panah.”

 

Syabab pun menjawab: ”Aku hanya seekor kuda, dan aku suka benar ada orang yang menaikinya barang satu ataupun dua hari, sebelum aku membaginya.”

 

Kedua orang tadi kembali berkata: ”Tetapi kenapa anda pun memberikan sabuk dan sorban itu, bagaimana kalau orang yang’ empunya barang-barang tersebut telah meninggal secara syahid, sementara barang-barangnya malah anda ambil? Sudahlah bertobatlah dari apa yang anda perbuat.”

 

Tetapi Syabab menolak ditanggalkannya lagi pakaian terebut, bahkan dia berkata: ”Aku tidak tahu kedudukan tobat.”

 

Karena itu orang-orang pun berlepas din dari anggapan-anggapan Syabab, keluar dan tidak mengakuinya lagi, bahkan menghindarkan diri dari perintah-perintahnya, tetapi, mereka tidak mengkufurkannya, tidak pula menetapkannya dengan keimanan.

 

Tauhid

 

Para pengikut aliran Khawarij ini, tentang tauhid, sebenarnya mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, dan aku pun lebih baik menerangkannya nanti, sekalian, kalau sampai pada bab-bab pembahasan tentang doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah tersebut.

 

Kedudukan Al-Qur’an

 

Para pengikut aliran Khawarij beranggapan bahwa AlI-Qur’an itu makhluk.

 

Adapun golongan Ibadhiyyah, tentang tauhid dan kehendak Allah (iradah), berbeda anggapan dengan aliran Mu’tazilah. Bahkan mereka beranggapan: Allah senantiasa berkehendak atas sesuatu yang diketahui-Nya, baik yang akan ataupun tidak akan terjadi. Sementara para pengikut aliran Mu’tazilah, kecuali Basyar ibn al-Mu’tamir, mengingkari anggapan begitu.

 

Qadar

 

Para pengikut aliran Khawarij ini, tentang qadar, sebenarnya kebanyakan mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah sebagaimana telah kuterangkan pada beberapa bagian terdahulu di samping yang mempunyai anggapan (menisbatkan) qadar itu merupakan ketentuan Allah.

 

Siksa Allah

 

Para pengikut aliran Khawarj ini, tentang siksa Allah, sebenarnya mempunyai anggapan yang. bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, dan mereka pun menganggap orang yang melakukan dosa besar, yang sampai meninggalnya tetap melakukan dosa besar, niscaya dia berada dalam neraka selama-lamanya. Tetapi aliran Khawarij pun menganggap orang muslim yang melakukan dosa besar niscaya disiksa pula seperti layaknya orang kafir, sementara aliran Mu’tazilah menganggap orang muslim yang melakukan dosa besar niscaya tidak disiksa seperti layaknya orang kafir.

 

Perlawanan Senjata

 

Para pengikut aliran Khawarij bersepakat: Terhadap orang yang dianggap musuh agama itu wajib mengadakan perlawanan senjata, kalau perlu juga dengan kekerasan. Tetapi golongan ibadhiyyah tidak menyetujui hal ini, kecuali hanya menganjurkan untuk memberontak terhadap penguasa yang lancung.

 

Lebih jauh lagi para pengikut aliran Khawarij pun bersifat: Mengingkari orang yang menganggap bahwa Allah bersifat kuasa untuk berbuat kezaliman.

 

Kepemimpinan

 

Para pengikut aliran Khawarij bersepakat: Mengakui kepemimpinan Utsman ibn Affan RA di saat terjadi malapetaka yang menimpa dirinya. Konon pula mereka mula-mula mengakui kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib, tetapi setelah Ali ibn Abu Thalib menyetujui tahkim, mereka berbalik mengingkarinya, dan mereka pun mengkufurkan Mu’awiyyah, Amr ibn al Ash dan Abu Musa al-Asy’ ari. Tetapi mereka menganggap kepemimpinan itu sebenarnya boleh dikuasai oleh siapa saja, baik dari suku Quraisy ataupun selainnya, asalkan yang sanggup dan berhak untuk itu, dan asalkan lagi bukan pemimpin yang lancung.

 

Adapun Zurgan meriwayatkan dari Najdat, kelompok Najdiyyah itu malah tidak membutuhkan adanya seorang pemimpin, tetapi cukuplah mereka dengan mengetahui Kitabullah semata.

 

Anak-anak

 

Para pengikut aliran Khawarij berbeda anggapan tentang anakanak, yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa anak-anak orang musyrik itu niscaya dihukum seperti bapaknya disiksa dalam neraka begitu pun anak-anak orang mukmin niscaya dihukum sepert; bapaknya.

 

Tetapi, sekiranya si bapak anak-anak itu berpindah agama setelah anaknya lama meninggal, maka dalam hal ini mereka berbeda anggapan. Sebagian mereka beranggapan bahwa anak-anak itu tetap dihukum seperti bapaknya yang berpindah agama. Sebagian lainnya beranggapan bahwa anak-anak itu hanya dihukum seperti bapaknya yang belum berpindah agama, sebagaimana keadaan bapaknya ketika anak-anak itu meninggal, bukan dihukum seperti bapaknya yang kemudian berpindah agama.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa: boleh-boleh saja (ja’iz) memberi siksaan ataupun tidak kepada anak-anak orang musyrik itu, Sementara kepada anak-anak orang mukmin, Allah niscaya memberj balasan seperti apa yang diperoleh bapaknya, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Artinya:

“Dan orang-orang mukmin serta anak-cucunya yang: mengikuti mereka dalam.keimanan, niscaya Kami hubungkan anak-cucunya itu dengan mereka…” (QS. Al-Thur, 52:21)

 

  1. Kelompok ketiga ini, Qadariyyah, beranggapan bahwa anakanak orang musyrik ataupun orang mukmin itu niscaya berada dalam surga.

 

Diceritakan oleh seseorang yang bernama Hak bahwa kelompok Akhnasiyyah membolehkan untuk menikahi wanita-wanita, baik dalam keadaan perang ataupun tidak. Sementara kelompok Syamrakhiyyah dan Shafriyyah, diceritakan, mem-bolehkan salat di belakang orang-orang yang tidak dikenal. Adapun kelompok Baihasiyyah, diceritakan, membolehkan untuk memerangi dan merampasi harta orang-orang muslim ahli kiblat yang melakukan dosa besar, dan melarang salat di belakang orang-orang yang tidak dikenal, bahkan mereka pun menyatakan kufur terhadap negeri-negeri yang tidak dikenal.

 

Lebih jauh lagi diceritakan oleh Hak bahwa kelompok Bad’iyyah memiliki anggapan yang bersesuaian dengan kelompok Azariqah, di samping mereka pun menganggap salat hanya dua-dua raka’at yaitu dua raka’at pagi dan dua raka’at sore.

 

Ijtihad Secara Akal

 

Para pengikut aliran Khawarij berbeda anggapan tentang ijtihad secara akal (ijtihad al-ra’yi), yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, para pengikut Najdat dan lain-lainnya, beranggapan: Dibolehkan ijtihad secara akal dalam permasalahan hukum-hukum syari’at Islam.

 

  1. Kelompok kKedua ini, para pengikut kelompok Azariqah, beranggapan: Tidak dibolehkan ijtihad secara akal, bahkan tidak dibenarkan adanya ijtihad tanpa didasarkan zhahir Al-Qur’an.

 

Beban Sebelum Datangnya Utusan .

 

Para pengikut aliran Khawarij, sebagaimana yang diceritakan oleh Hak, beranggapan bahwa manusia tidaklah dibebani kewajiban apa pun, sebelum datangnya seorang utusan (rasul) kepadanya. Bahkan difirmankan Allah:

 

Artinya:  ”… Dan tidaklah kami akan menyiksanya (seseorang) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’ (17): 15)

 

Rejeki Haram .

 

Para pengikut aliran Khawartj berbeda anggapan, apakah Allah memberi rejeki haram kepada hamba-Nya? Karena sebagian pengikut aliran Khawarij ini mempunyaj anggapan yang cenderung bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, tentang qadar itu, maka mereka pun niscaya menolak anggapan tersebut, tetapi sebagian lain pengikut aliran, Khawarij ini mempunyaj anggapan yang menisbatkan gadar itu merupakan ketentuan-Nya, sehingga mereka pun niscaya menerima anggapan bahwa Allah boleh. boleh saja memberi rejeki haram kepada hamba-Nya.

 

Nama-nama yang Diberikan Kepada Khawarij

 

Aliran Khawawarij ini mempunyai beberapa nama. lain, di antaranya ialah Harurtyyah, Syura’ah, Mariqah, Harariyyah dan juga Muhakkimah.

 

Para pengikut aliran Khawarij itu sendiri menerima nama-nama yang disebutkan kepadanya, kecuali sebutan Marigah, dan mereka tegas-tegas menolak sebutan ini karena yang dimaksud Marigah adalah seseorang yang keluar dari suatu agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya. Sementara yang menyebabkan mereka disebut aliran Khawarij, karena mereka keluar dari kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib.

 

Mereka pun disebut Muhakkimah karena pengingkarannya terhadap persetujuan gencatan senjata (tahkim) itu, sehingga mereka terkenal dengan kata-katanya:

 

Artinya:

“Tiada hukum selain (hukum dari ) dari Allah.”

 

Bahkan mereka disebut Haruriyyah karena pertama kalinya mengingkari kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib itu di kawasan Haraura’, sementara disebut Syura’ah karena mereka pun menganggap dirinya sebagai orang-orang yang menukar jiwa-raganya dengan surga, sehingga mereka terkenal dengan kata-katanya:

 

Artinya:

”Kami telah menjual jiwa-raga ini dengan ketaatan terhadap Allah.”

 

Adapun aliran Khawarij ini kebanyakan berkembang di jazirah Arab, Maushil (Irak), Oman, Hadhramaut (Yaman), di kawasan sekitar Afrika Utara, di kota Khurasan (Persia) dan di daerah Siilmasah (Maroko), di mana kelompok Shafriyyah pernah mendirikan kesultanan.

 

Diceritakan, orang yang pertama kali mengatakan tiada hukum selain (hukum) dari Allah itu ialah Urwah ibn Bilal ibn Mardas,” ketika dia berada-di Shiffin, tetapi diceritakan pula, yang pertama kali mengatakan Yazid ibn Ashim al-Maharibi, dan juga diceritakan yang pertama kali mengatakan itu ialah seorang pria Bani Tamim, Sa’id ibn Zaid Manah, tetapipada versi lain diceritakan, yang pertama kali menyatakan itu sebenarnya ialah seorang pria Bani Yasykur.

 

Adapun seorang Gubernur (amir) yang pertama kali tidak mengakui Ali ibn Abu Thalib, yang bergabung dengan aliran Khawarij, ialah Abdullah al-Kawa’, dan panglima perang aliran Khawarij yang pertama ialah Syabats ibn Rab’i, yang kemudian membai’at Abdullah ibn Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin aliran Khawarij tersebut tanggal 20 syawal tahun 37 Hijriyah. Setelah itu pun seorang pemimpin aliran Khawarij lain dari kota Bashrah, Mis’ar ibn Fadki, bergabung pula di bawah kepemtmpinan Abdullah ibn Wahab al-Rasibi, tetapi sebelumnya pun, konon, dita beserta tentara itu tclah membunuh Abdullah ibn Khabbab.

 

Sebagian pengikut aliran Khawarij menceritakan, Abdullah ibn Wahab al-Rasibi itu sebenarnya tidak menyukai tindakan Mis’ar ibn Fadki yang membunuh Abdullah ibn Khabbab, begitupun dengan sebagian besar pengikutnya, dan sebagian kecilnya pun hanya mentakwilkan tindakan Mis’ar ibn Fadki dalam kasus pembunuhan Abdullah ibn Khabbab itu, di mana mereka menganggap Mis’ar ibn Fadki mula-mula meminta Abdullah ibn Wahab menerangkan suatu hadits Nabi SAW yang pernah didengar dari ayahnya, tetapi Abdullah ibn Wahab menerangkannya sebagai hadits fitnah yang seakan-akan mewajibkan tidak ikut-serta dalam peperangan. Karena itu mereka pun hanya mentakwilkan tindakan Mis’ar. ibn Fadki dalam kasus pembunuhan Abdullah ibn Khabbab tersebut sebagai balas-dendam terhadap Abdullah ibn Wahab, yang dianggap bersalah kepadanya dan kepada Ali ibn Abu Thalib RA, sehingga Mis’ar ibn Fadki pun akhirnya menghalalkan darah Abdullah ibn Wahab.

 

Di saat-saat menjelang timbulnya suatu pemberontakan terhadap Ali ibn Abu Thalib, konon, Abdullah ibn Wahab begitu ketakutan kalau berhadapan dengan Ali ibn Abu Thalib. Karena itu cukup banyak pengikutnya yang memisahkan diri darinya, di antaranya Juwairiyyah ibn Fadi’ ‘yang disertai kurang lebih 300 orang tentaranya, dan Mis’ar ibn Fadki yang berangkat ke Mashrah disertai kurang lebih 200 orang tentaranya, konon, untuk bergabung ke bawah panji-panji kepemimpinan Abu Ayyub al-Anshari.

 

Begitupun dengan Farwah ibn Naufal al-Asyja’i yang disertai kurang lebih 500 orang tentaranya, dan Abdullah al-Tha’i yang mulamula berangkat ke Kuffah disertai kurang lebih 300 orang tentaranya, dan Salim ibn Rabi’ah yang disertai kurang lebih 18 orang tentaranya, dan Abu Maryam al-Sa’di yang disertai kurang lebih 200 orang tentaranya, dan Asyras ibn Auf yang mula-mula berangkat ke Daskirah disertai kurang lebih 200 orang tentaranya, konon, mereka semua bergabung ke bawah panji-panji kepemimpinan Abu Ayyub al-Anshari pula.

 

Al-Madaini menceritakan, sebagian pengikut aliran Khawarij beserta Ali ibn Abu Thalib telah menyerang penduduk Syam (Syria), tetapi begitu Ali ibn Abu Thalib ingin terus menyerang penduduk Nahr, mereka pun memisahkan diri ke Nakhilah dan tinggal di sana, di mana kawasan Nakhilah ini sebelumnya telah dikosongkan Abdullah ibn Wahab al-Rasibi beserta tentaranya sejak tanggal 23 Shafar tahun 38 Hijriyyah.

 

Adapun orang-orang yang memberontak terhadap Ali ton Abu Thalib setelah Abdullah ibn Wahab al-Rasibi, di antaranya Asyras ibn Auf, tetapi kemudian Ali ibn Abu Thalib mengirimkan tentaranya untuk menumpas pemberontakan tersebut, sehingga terbunuhlah Asyras ibn Auf di daerah Anbar bulan Rabi’al-Awal tahun 38 Hijriyyah. Lalu ibn Ullafah al-Taymi, tetapi Ali ibn Abu Thalib pun mengirimkan tentaranya yang dipimpin Mu’aqqal ibn Qais al-Riyahi, sehingga terbunuhlah ibn Ullafah di daerah Masabdzan bulan Jumadil-Ula tahun yang sama. Kemudian al-Asyhab ibn Basyar, tetapi Ali ibn Abu Thalib pun mengirimkan tentaranya yang dipimpin Jariyyah ibn Qadamah, sehingga terbunuhlah al-Asyahab beserta para pengikutnya di daerah Jarjaraya bulan Jumadil-Akhir tahun itu pula. Terus juga Sa’ad, seorang pria pengikut aliran Khawarij, tetapi Ali ibn Abu Thalib pun menuliskan surat kepada Sa’ad ibn Mas’ud al-Tsaqafi yang tinggal di daerah Madain untuk menumpas pemberontak tersebut, sehingga terbunuhlah Sa’ad beserta para pengikutnya bulan Rajab tahun im juga. Selanjutnya Abu Maryam al-Sa’di, tetapi Ali ibn Abu Thalib pun mengirimkan tentaranya yang dipimpin Syarih ibn Hani, sehingga terpukul mundurlah Abu Maryam beserta para pengikutnya ke luar kota Kuffah sejauh kurang lebih 2 farsakh, dan Ali ibn Abu Thalib kembali mengirimkan tentaranya yang dipimpin Jariyyah ibn Qadamah al-Sa’di, sehingga terbunuhlah Abu Maryam beserta para pengikutnya kecuali yang menyerah, sekitar 50 orang bulan Ramdhan tahun 38 Hyriyyah tersebut.

 

Akhirnya, Ali ibn Abu Thalib pun terbunuh oleh para pemberontak, dan sekiranya mesti kuceritakan semua orang yang terlibat memberontak terhadap Ali ibn Abu Thalib RA, dari para pengikut aliran Khawarij, niscaya bertele-telelah penulisan kitab ini.

 

Iman

 

Para pengikut aliran Murji’ah ini berbeda anggapan tentang iman yang terpecah dalam duabelas kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini Jahamiyyah, ialah para pengikut Jahan ibn Shafwan, di mana mereka beranggapan bahwa iman kepada Allah itu meliputi pengenalan terhadap-Nya, rasul-Nya dan segenap apa pun yang didatangkan -Allah.Selain pengenalan itu seperti menyatakan ikrar secara lisan, meyakini dalam hati, mencintai Allah dan rasulNya, mengagungkan keduanya, merasa takut dengan ancaman-Nya. ataupun beramal baik bukanlah termasuk iman. Kelompok Jahamiyyah ini pun menganggap kekufuran terhadap Allah itu merupakan keyjahilan atas-Nya.

 

Lebih jauh lagi mereka beranggapan bahwa seseorang yang mengenal Allah ini kemudian dia mengingkari-Nya secara lisan niscaya tidaklah dia dinyatakan kufur, karena pernyataan dan perbuatan tersebut jelas bukanlah termasuk iman ataupun kufur. Bahkan keimanan ataupun kekufuran ini tidak diadakan oleh pernyataan dan perbuatan, tetapi hal itu merupakan sesuatu yang berada dalam relung hati sanubari manusia.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Abu al-Husein al-Shalihi di mana mereka beranggapan bahwa iman ini hanya pengenalan terhadap Allah semata dan kufur pun hanya kejahilan atas-Nya, sehingga tiadalah keimanan tanpa mengenal-Nya dan tiada pula kekufuran kalau tidak jahil atas-Nya. Karena itu seseorang yang berkata Allah ada tiga tidaklah. disebut kufur, kecuali dia senyata-nyatanya (Zhahir) sebagai orang kafir, sebab kaum. muslimin pun bersepakat (menurut anggapan mereka) tidak mengkufurkan perkataan seseorang kalau dia bukan orang Kafir.

 

Mereka pun beranggapan bahwa mengenal Allah itu sama dengan mencintai-Nya, sama dengan mematuhi-Nya pula, walaupun begitu mereka tidaklah menganggap keimanan terhadap Allah sama halnya dengan iman kepada rasul-Nya, sekalipun tidak mungkin iman terhadap Allah tanpa keimanan atas kedatangan rasul-Nya tersebut, dan tidaklah hal ini mustahil, menurut anggapan mereka, sekalipun rasul-Nya itu bersabda:

 

Artinya:

”Barang siapa tidak iman kepadaku, niscaya tidaklah dia iman terhadap Allah.” .

 

Bahkan mereka beranggapan: Bukanlah salat itu merupakan ibadah kepada Allah, karena tidaklah yang disebut ibadah selainnya . iman terhadap-Nya saja, yaitu dengan mengenal-Nya. Adapun yang disebut. keimanan tidaklah bertambah ataupun berkurang, tetapi-hal itu merupakan suatu kesatuan yang sangat menyatu, begitu pun dengan kekufuran.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Yunus al-Samiri, di mana mereka beranggapan bahwa iman itu pengenalan terhadap Allah, patuh atas-Nya, tidak bersikap sombong kepada-Nya dan mencintaiNya. Kalau hal ini terhimpun pada diri seseorang, maka dia pun disebut orang mukmin. Bahkan iblis pun mengenal Allah, menurut anggapan mereka, tetapi toh dia disebut kufur karena bersikap sombong kepada-Nya.

 

Mereka pun beranggapan bahwa seseorang itu tidaklah disebut sebagai orang mukmin, kecuali pada dirinya terhimpun semua hal yang seperti di atas. Kadang-kadang mereka menyebut seseorang itu sebagai orang kafir, kalau dia meninggalkan salah satu dari semua hal ini, sekalipun Yunus al-Samiri itu sendiri konon tidak beranggapan begitu.

 

  1. Kelompok kcempat ini, Syamriyyah, ialah para pengikut Aby Syamr dan Yunus, di mana mereka beranggapan bahwa iman ity pengenalan terhadap Allah, patuh atas-Nya, mencintai-Nya sepenuh hati dan menyatakan ikrar bahwa Dia itu Esa tanpa sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Maka mereka menganggap iman itu ialah menyatakan dan membenarkan semua hal ini, sementara pengenalan terhadap sesuatu yang didatangkan Allah termasuk iman.

 

Tetapi mereka tidak menyebut setiap bagian dari hal-hal di atag sebagai keimanan, sebelum terhimpunnya hal ini semua, dan kalay semua hal itu sudah terhimpun, maka niscaya disebut ada keimanan. Masalahnya, mereka menyerupakan iman seperti layaknya warna putih yang ada pada binatang. Tidaklah seekor binatang yang hanya mempunyai satu macam warna (misalkan warna putih) disebut sebagaj binatang yang belang, bahkan binatang belang pun tidaklah disebut sebagai binatang yang belang sebelum terhimpunnya warna putih dengan warna hitam, dan kalau kedua warna tersebut terhimpunkan pada seekor binatang, maka binatang itu pun niscaya disebut sebagai binatang yang belang.

 

Karena itu seseorang yang meninggalkan sebagian, apalagi kalay semua, hal-hal yang berkenaan dengan keimanan seperti yang disebutkan di atas, dia pun niscaya disebut sebagai orang kafir, karena (menurut anggapan mereka) keimanan bukanlah terdiri dari bagian perbagian hal ini. Bahkan mereka tidaklah menganggap keimanan itu bertambah ataupun berkurang.

 

Diceritakan, Abu Syamr berkata: “Tidaklah aku menganggap Seseorang yang berlaku fasiq secara mutlak disebut. sebagai orang fasiq, tanpa adanya suatu batasan tertentu, karena toh fasiq itu sebenarnya hanya seseorang yang fasiq terhadap sesuatu dan tidak fasiq terhadap yang lainnya.”

 

Bahkan diceritakan oleh Muhammad Ibn Syabib dan Ibad ibn Sulaiman bahwa Abu Syamr berkata: ’’Iman itu pengenalan terhadap Allah, menyatakan ikrar kepada-Nya,. membenarkan apa pun yang didatangkannya, mengenal keadilan-Nya tentang qadar, menolak penyerupaan sesuatu dengan-Nya dan meyakini keesaan-Nya. Sungguh, semua inilah yang termasuk iman. Seseorang yang merupakan salah satu dari hal-hal di atas, niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir, dan lebih-lebih kalau seseorang meragukan semua hal-hal di atas. Niscaya dia pun selama-lamanya disebut sebagai orang kafir. Bahkan mengenal semua hal itu pun tanpa diikuti menyatakan ikrar tidaklah sebagai orang mukmin, karena yang disebut keimanan talah terhimpunnya kedua hal (mengenal dan menyatakan) itu secara bersamaan.”

 

  1. Kelompok kelima ini, Tsaubaniyyah, ialah para pengikut Abu Tsauban. Mereka beranggapan bahwa, iman itu menyatakan ikrar kepada Allah, rasul-Nya, terhadap apa pun yang wajid. secara akal untuk diperbuat dan terhadap apa pun yang boleh secara akal untuk tidak diperbuat. Karena itu iman, menurut anggapan mereka, bukanlah sekedar mengenal Allah semata.

 

  1. Kelompok keenam ini, Najariyyah, ialah para pengikut Husein ibn Muhammad al-Najar. Mereka beranggapan bahwa, iman itu – pengenalan terhadap Allah, rasul-Nya, segenap kewajiban dari-Nya, patuh atas semua yang diwajibkan-Nya dan menyatakan ikrar secara lisan. Karena itu kalau seseorang tidak mengenal semua hal ini ataupun hanya mengenalnya tanpa menyatakan ikrar niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir, sebab keimanan itu bukanlah terdiri dari bagian perbagian hal ini sebagaimana halnya yang kuceritakan dari Abu Syamr.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, hal-hal keimanan itu merupakan ketaatan, sehingga kalau seseorang hanya berbuat salah satu dari hal ini dengan meninggalkan sebagian lainnya, niscaya dia pun tidaklah disebut berada dalam ketaatan. Bahkan kalau seseorang hanya mengenal Allah tanpa menyatakan ikrar niscaya tidaklah ada ketaatan baginya, karena Allah pun sebenarnya memerintahkan seseorang dengan keimanan yang menyeluruh, dan barang siapa tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan Allah kepadanya, niscaya tidaklah dia berada dalam ketaatan.

 

Lalu mereka beranggapan bahwa, seseorang yang me-ninggalkan Salah satu hal itu, niscaya dia pun disebut maksiat, sekalipun tidak sampai disebut orang kafir. Adapun manusia sebenarnya mempunyai tingkatan dalam keimanannya, di mana scbagiannya Iebih mengenal Allah dan membenarkan-Nya ketimbang sebagian lainnya. Bahkan keimanan itu (menurut anggapan mereka) dapat saja bertambah ataupun berkurang, dan orang mukmin pun niscaya tidaklah kehilangan iman yang ada padanya, kecuali dia kufur. .

 

  1. Kelompok ketujuh ini, Ghailaniyyah, ialah para pengikut Ghailan, Mereka beranggapan bahwa, iman itu pengenalan terhadap Allah berdasarkan akal dan dalil-dalilnya, mencintai-nya, mematuhinya, menyatakan ikrar kepada rasul-nya dan atas segenap yang didatangkan Allah. Karena itu mengenal Allah pun kalau tidak berdasarkan aka] dan dalil-dalilnya, yang keduanya sudah menjadi keharusan, tidaklah hal itu merupakan iman.

 

Diceritakan oleh Muhammad ibn Syabib bahwa, para pengikut Ghailaniyyah pun menyepakati anggapan kelompok Syamriyyah tentang adanya beberapa hal sebagai bagian keimanan, sehingga mereka beranggapan: Barang siapa meninggalkan salah satu hal ini, niscaya dia tidaklah disebut sebagai orang mukmin ataupun setengah iman. Bahkan mereka pun menganggap keimanan itu tidaklah bertambah ataupun berkurang.

 

Tetapi kelompok ini dengan kelompok Syamriyyah berbeda anggapan tentang ilmu, bahkan mereka beranggapan: Iimu adalah mengetahui bahwa sesuatu itu ada penciptanya dan pengaturnya, di mana pencipta dan pengatur sesuatu itu sebenarnya tiadalah dua ataupun lebih. Mereka pun beranggapan: Mengetahui Nabi SAW dan segenap yang didatangkan Allah itu berdasarkan usaha (iktisab) bahkan sebagai keimanan, kalau segenap yang didatangkan Allah tersebut sesuai dengan nash-nash dan kesepakatan orang-orang muslim. Karena itu mereka tidaklah menganggap sesuatu yang bersifat keagamaan ini keluar dari keimanan.

 

Adapun kelompok-kelompok yang kusebutkan itu seperti kelompok Syamriyyah, Jahamiyyah, Ghailaniyyah dan Najariyyah semua mengingkari adanya keimanan pada orang-orang kafir, sekalipun pada orang-orang kafir tersebut ada pula sebagian iman, Karena iman itu menurut anggapan mereka terdiri dari bagian perbagian.

 

Zurqan pun menceritakan bahwa Ghailan berkata, ’Keimanan itu sebenarnya menyatakan ikrar secara lisan, yaitu sebagai pembenaran (tasdiq), sementara pengenalan terhadap Allah adalah perbuatan-Nya, dan bukanlah hal yang diperbuat seseorang ita merupakan iman, baik sedikit ataupun banyak, karena yang disebut iman secara bahasa adalah pembenaran.”

 

  1. Kelompok kedelapan ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib, di mana mereka beranggapan bahwa, iman itu menyatakan ikrar kepada Allah, mengenal bahwa Dia adalah Esa tanpa sesuatu pun yang menyerupai-Nya menyatakan ikrar dan mengenal para nabi ataupun rasul-Nya, bahkan mengakui segenap apa pun yang didatangkan Allah kepada orang-orang muslim melalui Rasulullah SAW seperti halnya salat, puasa dan hal-hal yang seperti itu, yang tidak dipertikaikan dan dipertentangkan orang-orang muslim.

 

Adapun hal-hal lain yang bukan persoalan agama, seperti perbedaan anggapan di antara manusia tentang sesuatu hal yang menyangkut kebenaran masing-masing, tidaklah hal itu’ membuat seseorang disebut sebagai orang kafir. Karena itu keimanan ataupun lepasnya keimanan seseorang bukanlah karena penolakannya terhadap Rasulullah SAW, terhadap apa pun yang didatangkannya dari Allah, bahkan tidak pula karena penolakannya terhadap apa pun yang dikutipkan orang-orang muslim dari ketetapan nabi-Nya tersebut.

 

Lalu yang dimaksud mematuhi Allah itu tidak berlaku sombong atas-Nya, karena mereka beranggapan bahwa, iblis pun mengenal dan. menyatakan ikrar kepada Allah, tetapi dia jelas-jelas dicap kufur karena kesombongannya, padahal kalau saja tidak sombong niscaya dia tidaklah sampai dicap kufur.

 

Mereka pun beranggapan bahwa, iman itu terdiri dari bagian perbagian, sehingga masing-masing bagian pun merupakan jenjang yang menaikan tingkat keimanan orang yang memilikinya. Bahkan sesuatu hal yang merupakan jenjang keimanan dapat menyampaikan seseorang kepada tingkat ketaatan, begitupun sebaliknya kalau seseorang meninggalkan sesuatu hal yang merupakan jenjang keimanan niscaya dia disebut sebagai orang kafir, sebab tidaklah seseorang itu disebut sebagai orang mukmin kalau dia tidak menjalankan semua hal yang merupakan jenjang keimanan tersebut. Karena itu kalau seseorang mengenal keesaan Allah tanpa sesuatu pun menyerupaiNya, tetapi dia mengingkari para nabi, niscaya dia pun disebut sebagaj orang kafir. Karena mengakui para nabi pun, sebagai bagian keimanan, itu merupakan suatu pengenalan terhadap Allah pula, dan hal in; memang diperintahkan Allah agar seseorang mengenal dan menyatakan ikrar kepada nabi-Nya kalau saja dia bisa kenal. Tetapi mengena tanpa menyatakan ikrar ataupun mengenal Allah, tetapi mengingkar, nabi-Nya berarti seseorang itu hanya menjalankan sebagian perintah keimanan saja, padahal kalau saja menjalankan semua perintah Allah niscaya dia pun disebut sebagai orang mukmin, sementara sesuaty hal yang dijalankan seseorang itu baru merupakan salah satu bagian dari keimanan saja.

 

Muhammad ibn Syabib pun beserta sebagian besar pengikut aliran Murji‘ah itu beranggapan: Orang mukmin yang berbuat dosa besar niscaya disebut sebagai orang mukmin yang fasiq.

 

  1. Kelompok kesembilan ini, Hanafiyyah, ialah para pengikut Aby Hanifah, di mana mereka beranggapan bahwa, iman itu mengenal ‘ dan menyatakan ikrar kepada Allah, rasul-Nya dan apa pun yang didatangkan: Allah, secara total dan bukan secara bagian perbagian.

 

Abu Utsman al-Adami menceritakan, ketika Abu Hanifah dan Umar ibn Abu Utsman al-Samzi berada di Mekah, Umar ibn Abu Utsman bertanya, ’Kabarkanlah kepadaku tentang seseorang yang memiliki anggapan bahwa makan daging babi itu diharamkan Allah, tetapi dia tidak pernah tahu rupa daging babi yang diharamkan tersebut, maka bagaimanakah dia?’’.

 

Abu Hanifah menjawab, ”Dia tetap sebagai orang mukmin.”

 

Umar ibn Abu Utsman, ”Kalau seseorang mempunyai anggapan bahwa menunaikan haji ke Ka’bah itu diwajibkan Allah, tetapi dia tidak pernah tahu letak Ka’bah tersebut, bahkan dia pun menganggap Ka’bah itu berada di tempat lain dan bukan Mekah?”

 

Abu Hanifah, ”Dia tetap juga disebut sebagai orang mukmin.”

 

Umar ibn Abu Utsman, ’’Bagaimana kalau seseorang memiliki anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu diutus Allah sebagai rasul-Nya, tetapi dia tidak pernah tahu kepadanya, bahkan dia pun menganggap Nabi Muhammad SAW itu orang Negro?”

 

Abu Hanifah, ’Dia tetap saja orang mukmin.”’

 

Bahkan Abu Hanifah pun tidaklah menganggap sesuatu perbuatan yang dari agama itu di luar keimanan, sekalipun dia menganggap keimanan itu tidaklah terbagi-bagi, dan juga menganggap keimanan itu tidaklah bertambah ataupun berkurang, sehingga dalam hal keimanan tersebut seorang mukmin tidak mungkin punya kelebihan dari yang lainnya.

 

Adapun Ghassan dan kebanyakan pengikut Abu Hanifah itu sendiri menceritakan, Abu Hanifah beranggapan bahwa, iman itu menyatakan ikrar kepada Allah, mencintai-Nya, meng-agungkan-Nya, meninggikan-Nya dan tidak merendahkan-Nya, dan keimanan itu sebenarnya tidaklah bertambah ataupun berkurang.

 

  1. Kelompok kesepuluh ini, Tumaniyyah (Mu’adziyyah), ialah para pengikut Abu Mu’adz al-Tumani. Mereka beranggapan bahwa, iman jtu merupakan hal yang menghindarkan seseorang dari kekufuran, yang penamaan tersebut diberikan untuk beberapa hal, dan kalau seseorang meninggalkan hal ini ataupun sebagiannya, niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir. Karena itu semua hal yang merupakan bagian keimanan disebut sebagai iman, sementara salah satu ataupun sebagian hal ini tidaklah disebut sebagai iman ataupun sebagainya.

 

Mereka pun beranggapan bahwa orang mukmin yang meninggalkan kewajiban agamanya, niscaya dia pun disebut sebagai orang yang berbuat fasiq, sekalipun dia tidak secara mutlak disebut sebagai orang fasiq. Bahkan orang mukmin yang berbuat dosa besar tidaklah disebut keluar dari keimanan, .selagi dia tidak menjadi kufur, tetapi kalau seseorang meninggalkan shalat, puasa, haji ataupun kewajiban-kewajiban agama lainnya, itu karena pengingkaran, penolakan ataupun penyepelean terhadap Allah, niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir. Sebaliknya kalau seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agama tersebut bukan karena pengingkaran, penolakan ataupun penyepelean terhadap Allah, melainkan misalnya karena penangguhan ataupun kesibukan lainnya, niscaya dia pun tidak disebut sebagai orang kafir, tetapi orang yang berbuat fasiq.

 

Tetapi Abu Mu’adz pun beranggapan: Barang siapa membunuh ataupun hanya melukai seorang nabi, karena perlawanan dan permusuhan terhadapnya, niscaya dia pun discbut scbagai orang kafir. Sementara orang yang berbuat fasiq, sckalipun karena suatu dosa besar, niscaya.dia tidaklah disebut sebagai kekasih Allah ataupun musuh-Nya.

 

Adapun para pengikut aliran Murji’ah bersepakat: Orang kafir itu tidaklah memiuliki iman kepada Allah SWT.

 

  1. Kelompok kesebelas ini, Marisiyyah, ialah para pengikut Bisyr al-Marisi. Mereka beranggapan bahwa iman itu pembenaran (fashiq). karena secara bahasa pun iman itu berarti pembenaran. Jadi, kalay tanpa pembenaran, niscaya tidak ada iman. —

 

Mereka pun beranggapan bahwa pembenaran itu dinyatakan secara lisan dan sepenuh hati. Adapun anggapan terakhir inj dikemukakan pula oleh Ibn al-Rawandi, bahkan dia menganggap kufur itu semata-mata pembangkangan ataupun pengingkaran. Karena ity al-Rawandi menganggap penyembahan sujud pada matahari pun bukan kufur,’ tetapi hanya tanda-tanda kekufuran, sebab Allah sebenamya  menerangkan bahwa tidak mungkin sujud pada matahari selain orang kafir.

 

  1. Kelompok keduabelas ini, ‘Karamiyyah, ialah para pengikut Muhammad ibn Karam.’ Mereka beranggapan. bahwa iman itu menyatakan ikrar dan pembenaran secara lisan, bukan sepenuh hati sehingga mereka pun mengingkari kalau pengenalan dengan hati ataupun pembenaran yang bukan dengan lisan itu disebut sebagai iman. Bahkan orang-orang munafik di zaman Rasulullah SAW pun, menurut anggapan mereka, pada dasarnya adalah orang-orang mukmin. Karena itu seseorang niscaya disebut kufur kepada-Nya, kalau dia membangkang dan mengingkari Allah secara lisan.

 

Sebagian pengikut aliran Murji’ah menganggap orang muslim yang ahli kiblat itu kalau berbuat dosa pun tidaklah disebut sebagai orang fasiq, tetapi sebagian lainnya menganggap orang yang seperti itu niscaya disebut sebagai fasiq, dan sebagian mereka pun menganggap orang muslim yang berdosa besar itu tidaklah secara mutlak dipanggil sebagai orang fasiq, selain hanya dianggap orang yang berbuat fasiq atas sesuatu tetapi sebagian yang lain menganggap orang tersebut niscaya secara mutlak dipanggil sebagai orang fasiq.

 

Batasan Kufur

 

Para pengikut aliran Muji’ah berbeda anggapan tentang batasan kufur, yang terpecah lagi dalam tujuh kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, di mana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (jah!) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati ataupun secara lisan, begitu pula dengan mémbangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan rasulNya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.

 

Mereka pun beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena.membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salat dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.

 

Tetapi mereka beranggapan: Kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan ‘perbuatan yang merupakan suatu kekufuran, niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.

 

  1. Kelompok ketiga ini

 

  1. kelompok keempat ini beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkariNya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Karam dap para pengikutnya.,

 

  1. Kelompok kelima ini beranggapan: Kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.

 

  1. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah kukemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.

 

  1. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah kukemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.

 

Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan Al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu. telah disepakati orang-orang muslim.

 

Perbuatan Maksiat

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang perbuatan maksiat, apakah termasuk dosa besar atau kecil? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Bisyr al-Marisi, di mana mereka beranggapan bahwa segenap perbuatan maksiat terhadap Allah itu termasuk dosa besar.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa perbuatan maksiat itu ada dua macam, yang termasuk dosa besar dan dosa kecil. Adapun tentang negeri, para pengikut aliran Murji’ah bersepakat:

 

Negeri yang merupakan negeri iman itu penduduknya pun niscaya disebut sebagai orang-orang mukmin, kecuali yang senyata-nyatanya menentang keimanan.

 

Orang yang Taqlid Dalam Keimanan

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang seseorang yang itikadnya atas keesaan Tuhan itu taqlid tanpa melalui pemikiran, apakah dia disebut sebagai orang mukmin dan alim atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa seseorang yang itikadnya atas keesaan Allah itu taqlid tanpa melalui pemikiran, niscaya dia tidaklah disebut sebagai orang mukmin.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa seseorang yang itikadnya atas keesaan Allah itu taqlid tanpa melalui pemikiran, niscaya dia tetaplah disebut sebagai orang mukmin.

 

Kabar yang Didatangkan Allah Para pengikut aliran Murji’ah berbeda pendapat tentang kabar yang didatangkan Allah SWT. sebagai kenyataan umum, yang terpecah lagi dalam tujuh kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Menyetujui kebenaran kabar yang didatangkan Allah SWT itu kalau saja menyatakan Dia akan menyiksa hamba-Nya yang melakukan pembunuhan, memakan harta anak yatim secara zhalim ataupun berbuat sesuatu dosa besar. Bahkan difirmankan-Nya:

 

Artinya: “Sesungguhnya, Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia pun hanya mengampuni dosa yang selain (syirik) itu, bagi yang dikehendaki-Nya …” . (QS. Al-Nisa’(4): 48)

 

Mereka pun beranggapan: Boleh-bolch saja Allah yang Maha Benar mengabarkan hal itu, kemudian Dia mengecualikan dengan berbuat mengampuni begitu atau tidak, dengan suatu perkecualian dan Dia pun niscaya discbut scbagai yang Mahabenar, sekalipun Dia tidak berbuat begitu. Adapun sccara bahasa adanya hal ini tidaklah bertentangan dan tidak pula discbut sebagai kcbohonyan, bahkan mereka pun menganggap perkecualian itu. merupakan kenyataan (zhahir) atas kabar tersebut.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Janji pahala Allah itu tidaklah mengenal perkecualian, sementara janji siksa-Nya mengenal perkecualian, sekalipun tidak jelas, dan hal ini, menurut ahli bahasa, memang boleh-boleh. saja. Karena seperti seorang majikan yang menjanjikan untuk memukul hamba-sahayanya, tetapi kemudian hamba-sahayanya itu diampuninya, maka tidaklah hal ini berarti adanya kebohongan dalam masalah janji tersebut,

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikut Waqf, di mana mereka beranggapan bahwa kabar yang didatangkan Allah sebagai kenyataan umum, baik yang. berupa: janji pahala (al-wa’ad) ataupun. janji siksa (al-wa’id), hendaklah , diketahui tanpa diragukan lagi bahwa hal itu bersifat umum. Karena Seperti seseorang yang mengetahui bahwa di kalangan suatu masyarakat tidak lagi ada orang yang benar-benar tetap beragama Islam, lalu dia pun-berdasarkan hukum ingin membunuhnya, dan seperti seseorang yang mengetahui bahwa si Fulan adalah anak si Fulan, maka tidaklah hal ini dia ragukan lagi, kecuali memang ada hal-hal yang mengundang keraguan.

 

Begitulah, mereka hanya menetapkan ‘hal ini berdasarkan kenyataan (zhahir) semata, dan Kalau terjadi perbedaan anggapan atas. ketetapan tersebut, mereka pun membolehkannya, asal perbedaan itu: menyangkut hal-hal yang memang tidak jelas dan berdasarkan kenyataan pun masing-masing yang: berbeda anggapan ini tidak meragukannya lagi.

 

Karena itu mereka pun beranggapan: Kalau janji pahala ataupun. Janji siksa itu masing-masing terpisah; maka salah satunya pun hendaklah berdiri sendiri dan diketahui sebagai kenyataan umum, bahkan dibolehkan adanya perbedaan anggapan atas hal-hal tersebut, tetapi kalau besetta janji siksa itu terdapat janji pahala, maka salah satunya pun hendaklah diketahut sebagai perkecualian dart yang lainnya, baik janji pahala itu: yang merupakan perkecualian dart janji siksa ataupun sebaliknya.

 

Bahkan hendaklah ditetapkan hal itu, baik oleh keseluruhan ahli tauhid ataupun sebagainya, dan hendaklah diketahul, bahwa tidaklah berhimpun pada seseorang antara janji pahala dan janji siksa, karena keduanya itu saling bertentangan.

 

  1. Kelompok keempat ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib, di mana mereka beranggapan: Secara bahasa keduanya itu dibolehkan, sebagaimana halnya ungkapan telah datang orang-orang Bani Tamim, bahkan telah datang pula orang-orang Bani Azad yang berarti datangnya sebagian orang Bani Tamim dan sebagian orang Bani Azad pula, dan sebagaimana ungkapan dia membagi tanahnya yang berarti dia hanya membagi sebagian tanahnya semata, dan juga sebagaimana halnya ungkapan penguasa (amir) memukul orang-orang hukuman yang berarti penguasa itu hanya memukul sebagian tubuh orang-orang hukuman tersebut. Jadi, mereka menganggap karena secara bahasa pun hal ini memang dibolehkan, sementara mereka konon mendengar bahwa Al-Quran itu dinyatakan secara umum, maka mereka membolehkan saja kalau yang dimaksud adalah secara khusus, sesuai tingkatan orang yang menerimanya seperti yang diperingatkan Allah SWT dengan janji siksa tersebut. Bahkan mereka pun membolehkan saja kalau yang dimaksud tetap secara umum, seperti dalam firman-firman Allah:

 

Artinya: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah (neraka) jahanam …” (QS. an-Nisa (4): 93)

 

Artinya : “Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak ‘ yatim secara zhalim …” (QS. An-Nisa’ (4): 10)

 

Artinya: “Dan yang ‘menuduh (berbuat ‘zina kepada para wanita yang baik-baik itu …(QS. Al-Nur (24): 4)

 

Adapun ayat-ayat ini. merupakan ‘janji.siksa yang dinyatakan secara umum, yang mereka pun membolehkannya kalau dimaksud secara khusus, sebagaimana bahasa pun membolehkan kabar yang dinyatakan secara umum malah dimaksud secara khusus. Begitupun dengan janji siksa yang dinyatakan secara khusus, bagi orang-orang tertentu misalkan saja orang yang membunuh, yang menuduh zina, yang memakan harta anak yatim dan lain sebagainya mereka pun membolehkannya kalau dimaksud secara umum, karena sekalipun yang dinyatakan ini hanya sebagian, tetapi yang dimaksudnya niscaya pula lebih dart itu. Bahkan tidak saja Allah bolch menyiksa orang yang tertentu, tetapt Allah pun boleh mengampuni sebagian orang yang lebih banyak darinya.

 

5 Kelompok kelima ini beranggapan: Tidak ada janji siksa bagi orang muslim yang ahli salat, karena janji siksa itu hanya bagi orang-orang musyrik semata. Bahkan firman Allah:

 

Artinya: ”’Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah (neraka) Jahanam…” (QS. Al-Nisa’ (4): 93)

 

Mereka pun beranggapan bahwa ayat ini hanya tertentu bagi orang-orang yang menghalalkan pembunuhan, bukan tertentu pula bagi orang-orang yang mengharamkannya. Adapun tentang janji pahala Allah kepada orang mukmin ini merupakan hal yang wajib, karena Allah niscaya tidaklah menghianati janji-Nya, bahkan pengampunan-Nya itu pun merupakan sesuatu yang utama. Tentang janji pahala ini Allah pun berfirman:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah serta rasulNya, mereka itulah orang-orang shiddigin (yang dtjanjikan pahala) …” (QS. Al-Hadid (57): 19)

 

Bahkan terdapat pula ayat-ayat lain, di dalam Al-Quran, yang senada dengan ayat-ayat tersebut. Karena itu. mereka pun beranggapan: Tidaklah berguna segenap perbuatan baik yang dilakukan orang-orang musyrik, sebaliknya tidak pula berbahaya segenap perbuatan jahat yang dilakukan orang-orang mukmin, sebab tidaklah orang-orang mukmin yang ahli kiblat ini akan dimasukan ke dalam neraka.

 

  1. Kelompok keenam ini diceritakan ialah para ahli ilmu bahasa, di mana mereka beranggapan: Barang siapa mengabarkan Allah menjanjikan pahala, niscaya Dia pun menepati janji-Nya. Bahkan barang siapa mengabarkan Allah menjanjikan siksa pula kepada orang mukmin tersebut, tetapi Dia tidak sampai menyiksanya, niscaya hal itu merupakan karunia-Nya.

 

  1. Kelompok ketujuh ini beranggapan: Kabar-kabar yang terdapat dalam Al-Quran itu sebenarnya dimaksudkan secara khusus, kecuali yang keumumannya telah disepakati, begitupun kabar yang berkenaan dengan perintah ataupun larangan Allah.

 

Perintah dan Larangan

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang perintah dan larangan Allah, apakah keduanya itu dinyatakan secara umum atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan: :

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa perintah dan larangan Allah itu sebenarnya dinyatakan secara khusus, sampai nanti datangnya alasan yang memaksudkannya secara umum.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa perintah dan larangan Allah itu dinyatakan secara umum, kecuali datangnya alasan yang memaksudkannya secara khusus.

 

Kekekalan Orang-orang Kafir

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang kekekalan orang-orang kafir, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Jaham ibn Shafwan, di mana mereka beranggapan: Surga ataupun neraka itu niscaya lenyap, pahkan para penghuni keduanya pun niscaya lenyap pula, sehingga hanya Allahlah yang pasti tetap ada (maujud) tanpa sesuatu pun yang menyertai keberadaan-Nya, dan hal ini seperti keberadaan-Nya semula, di mana ada-Nya tanpa disertai sesuatu pun. Karena itu Allah pun tidaklah boleh mengekalkan para penghuni surga di dalamnya, tidak boleh pula mengekalkan para penghuni neraka di dalamnya, dan hal ini merupakan kesepakatan orang-orang muslim, sebagaimana telah dinukilkan berdasarkan nash-nash yang ada.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut aliran Murji’ah yang selain kelompok Jahamiyyah, di mana mereka beranggapan: Allah itu niscaya mengekekalkan orang-orang kafir di dalam neraka.

 

Orang-orang Muslim yang Berdosa Besar

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang orang-orang muslim ahli kiblat yang berdosa besar, apakah dia dikekalkan Allah di neraka ataupun dimasukan ke surga? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam lima kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Bisyr al-Marisi, di mana mereka beranggapan: Mustahil Allah mengekalkan orang muslim ahli kiblat yang berdosa besar itu di dalam neraka. Bahkan Allah pun berfirman:

 

Artinya:

 

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom (dzarrah) pun, niscaya (balasannya) akan di lihat, dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat atom (dzarrah) pun, niscaya (balasannya) dia lihat pula.” (QS. Al-Zalzalah (99): 7~8)

 

Karena itu orang muslim pun niscaya akhirnya berada di surga, sekalipun tidak mustahil Allah memasukkannya dulu ke neraka. Adapun anggapan yang terakhir ini dikemukakan Ibn al-Rawandi.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Abu Syamr dan Muhammad ibn Syabib, di mana mereka beranggapan: Boleh Boleh saja Allah memasukkan orang muslim ahli kiblat yang berdosa besar itu ke dalam neraka, baik secara kekal atau tidak.

 

  1. Kelompok ketiga beranggapan: Orang muslim yang berdosa besar itu niscaya dimasukkan Allah ke dalam neraka, kecuali yang memperoleh syafa’at Rasulullah SAW di mana dia niscaya dikeluarkan lagi dari neraka dan dimasukkan ke surga.

 

  1. Kelompok keempat ini ialah para pengikut Ghalian, di mana mereka beranggapan: Boleh-boleh saja orang muslim yang berdosa besar itu disiksa Allah, diampuni-Nya ataupun tidak dikekalkan-Nya di dalam neraka, sesuai dosa yang dia perbuat, tetapi kalau Allah mengekalkan orang muslim yang berdosa besar itu di dalam neraka, bahkan kalau mengampuninya, maka hal seperti ini niscaya pula berlaku bagi siapa pun.

 

  1. Kelompok kelima ini beranggapan: Boleh-boleh saja orang muslim yang berbuat dosa besar itu disiksa Allah atau tidak, bahkan sekalipun disiksa, boleh-boleh saja disiksanya itu dikekalkan Allah atau tidak.

 

Dosa Besar ataupun Kecil Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang dosa besar ataupun kecil, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Setiap perbuatan maksiat itu merupakan dosa besar.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Perbuatan maksiat itu terbagi dalam dua bagian, yaitu (i) perbuatan maksiat yang termasuk dosa besar, dan (ii) perbuatan makstat yang hanya termasuk dosa kecil.

 

Pengampunan Allah Karena Tobat

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang pengampunan Allah atas orang yang berdosa besar karena melakukan tobat, apakah dia pasti diampuni Allah atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Pengampunan Allah atas orang yang berdosa besar karena melakukan tobat itu merupakan suatu karunia-Nya, yang bisa saja terjadi, tetapi hal ini bukan merupakan suatu kewajiban-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Pengampunan Allah atas orang yang berdosa besar karena melakukan tobat itu merupakan suatu kewajiban-Nya.

 

Perbuatan Maksiat Para Nabi

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang perbuatan maksiat yang dilakukan para nabi, apakah hal itu termasuk dosa besar ataupun kecil? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Perbuatan maksiat yang dilakukan para nabi itu merupakan dosa besar, karena para nabi pun bisa saja melakukan dosa besar seperti halnya membunuh, berzina ataupun perbuatan maksiat lainnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Perbuatan maksiat yang dilakukan para nabi itu merupakan dosa kecil, bukan dosa besar.

 

Timbangan Amal Seseorang

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang timbangan amal perbuatan seseorang, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Keimanan itu niscaya menghapuskan siksa yang diakibatkan olEh fasiqnya seseorang, karena iman timbangannya lebih berat ketimbang fasiq, sehingga Allah pun niscaya tidak menyiksa orang yang mengesakan-Nya, Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muqatil ibn Sulaiman,

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Boleh-boleh saja Allah menyiksa orang yang mengesakan-Nya, karena Allah pun niscaya menimbang berat-ringan amal perbuatan seseorang, baik yang berupa keburukan ataupun kebaikan, dan kalau kebaikannya lebih berat ketimbang keburukannya, niscaya Allah pun memasukkannya ke surga, begitupun sebaliknya. Tetapi kalau kebaikannya tidak lebih berat ketimbang keburukannya, bahkan kalau keburukannya pun tidak lebih berat ketimbang kebaikannya, niscaya pula Allah tetap memasukkanya ke surga. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Abu Mu’adz.

 

Mengkufurkan Orang yang Mentakwilkan Al-Qur’an Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang mengkufurkan orang yang mentakwilkan Al-Qur’an, yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Tidaklah boleh mengkufurkan orang yang mentakwilkan Al-Qu’ran, kecuali kalau kekufuran orang tersebut disepakati benar oleh segenap orang-orang muslim.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Abu Syamr, di mana mereka beranggapan: Hanya mengkufurkan seseorang yang mengingkari anggapannya dalam masalah qadar dan tauhid, bahkan hanya mengkufurkan seseorang yang ragu-ragu dalam keraguannya terhadap Allah.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan: Kekufuran itu tidak mengenal Allah (ahl) semata, sehingga tidaklah boleh mengkufurkan seseorang, kecuali orang tersebut memang tidak mengenal Allah. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Jaham ibn Shafwan.

 

pengampunan Atas Orang Zhalim Kepada Sesamanya

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang pengampunan Allah atas orang yang berbuat zhalim kepada sesamanya, yang terpecah lagi dalam dua (kclompok) anggapan.

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Orang yang berbuat zhalim kepada sesamanya itu sebenarnya diampuni Allah di hari kiamat kelak, ketika dia nanti dikumpulkan Allah dengan orang yang dizhaliminya. Di mana Allah pun niscaya mengampuninya setelah dosa-dosa yang dizhaliminya itu ditukarkan kepadanya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Secara akal pun pengampunan Allah atas orang yang berbuat dosa di dunia ini boleh-boleh saja, baik yang berbuat dosa kepada Allah ataupun kepada sesamanya.

 

Mengesakan Allah Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang mengesakan Allah, diceritakan, sebagian mereka mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, sementara mengenai aliran

 

Mu’tazilah itu niscaya kuuraikan nanti dengan menjelaskan anggapannya tentang mengesakan Allah tersebut dan juga sebagian mereka pun menyerupakan Allah dengan selain-Nya, yang terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Muqatil ibn Sulaiman, di mana mereka beranggapan bahwa Allah itu jisim yang terbilang, bahkan seperti halnya manusia, yang mempunyai daging, darah, rambut dan tulang sebenarnya Dia pun mempunyai anggota tubuh, seperti halnya tangan, kaki, kepala dan dua mata yang tidak berlubang, tetapi dalam hal ini Dia tidaklah serupa dengan selain-Nya, karena tiada yang menyerupai-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut al-Jawaribi, di mana mereka beranggapan: Sama halnya dengan anggapan yang pertama di atas, bahkan mereka pun menambahkan bahwa dari mulut sampai dada-Nya itu berlubang, sementara anggota tubuhNya yang lain tertutup rapat.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Allah itu jisim, tetapi Dia udaklah seperti layaknya jisim-jisim lain.

 

Melihat Allah

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang melihat Allah (ru’yah), yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, yang cenderung bersesuaian dengan anggapan-anggapan aliran Mu’tazilah, beranggapan: Menafikan anggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dilihat dengan penglihatan mata.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Allah itu niscaya dapat dilihat dengan penglihatan mata, di akhirat kelak.

 

Al-Qur’an Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang Al-Qur’an, apakah Al-Qur’an itu merupakan makhluk atau bukan?

 

Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Al-Qur’an itu makhluk,

 

  1. Kelompok kedua beranggapan bahwa AI-Qur’an itu sebenarnya bukan makhluk.

 

  1. Kelompok ketiga ini, yang selalu ragu-ragu memutuskan apakah Al-Qur’an itu mahkluk atau bukan, beranggapan bahwa kalamullah. (Al-Qur’an) itu tidak bisa dianggap makhluk, tetapi tidak bisa pula dianggap bukan makhluk. .

 

Hakikat Allah

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang hakikat Allah, apakah bagi-Nya itu ada hakikat atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Bagi Allah itu ada hakikat yang tidak diketahui manusia di dunia ini, tetapi bagi manusia pun telah diciptakan-Nya indra yang keenam, yang dengan indra itulah manusia pasti mengetahui hakikat-Nya di akhirat kelak.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Mengingkari anggapan yang pertama di atas, bahkan sangat menolaknya.

 

Qadar

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang qadar, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini mempunyai anggapan yang bersesuaian dengan aliran Mu’tazilah, sementara mengenai aliran Mu’tazilah itu akan ku uraikan nanti dengan menjelaskan anggapannya tentang gadar tersebut.

 

2, Kelompok kedua ini mempunyai anggapan yang sebaliknya, yang menisbatkan qadar itu datang dari Allah, dan niscaya ku uraikan Jagi nanti dengan menjelaskan anggapan-anggapan Husein ibn Muhammad al-Najar tentang gadar tersebut.

 

Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

 

Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang namanama dan sifat-sifat Allah dan sebagainya mempunyai anggapan yang bersesuain dengan aliran Mu’tazilah, sementara sebagian lainnya bersesuaian dengan anggapan Abdullah ibn Muhammad ibn Kullab, yang akan ku uraikan pula nanti.

 

Maka selesailah sudah uraianku tentang anggapan-anggapan para pengikut aliran Murji’ah ini, di mana selanjutnya akan ku uraikan pula tentang anggapan-anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah, insya Allah.

 

PRINSIP-PRINSIP DASAR (AJARAN) MU’TAZILAH

 

Tauhid dan Lain-lainnya

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. itu Maha Esa, tanpa sesuatu pun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar dan Maha Melihat; dan Dia pun tanpa jisium, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging, tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa panas, tanpa dingin, tanpa kering, tanpa basah, tanpa dimensi panjang, tanpa lebar dan dalam, dan tanpa unsur tergabung ataupun terpisah, tanpa gerak, tanpa diam, tanpa terbagi, tanpa bagian, tanpa anggota, tanpa arah kiri ataupun kanan, tanpa depan ataupun belakang, tanpa atas ataupun bawah, tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa terdekati ataupun terjauhi, tanpa terpadukan ataupun terpisahkan, tanpa sifat-sifat makhluk, tanpa permulaan dan kesudahan; dan tanpa jarak, tanpa hitungan ataupun tanpa ukuran, tanpa dilahirkan ataupun melahirkan, tanpa terhalang, tanpa terindra, tanpa tersamakan, tanpa terkena dan terpengaruh musibah apa pun; dan tanpa terpikir ataupun terduga, yang senantiasa Azali, yang Maha Terdahulu, yang senantiasa Ada, yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa, yang Maha Hidup, yang tidak terlihat, yang tidak terdengar, yang tidak terbayangkan, yang tidak terpadankan dan tertirukan; dan Dia adalah Sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu, yang tahu tidak seperti layaknya orang tahu, yang Kuasa tidak seperti layaknya orang kuasa, yang Hidup tidak seperti layaknya orang hidup, yang Kekal dan dahulu sendiri; dan tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada sekutu-Nya, tidak ada pemimpin-Nya ataupun pembantu-Nya, tidak ada teladan-Nya ataupun tiruan-Nya dalam penciptaan apa pun, tidak ada pencipta selain Dia yang Maha Mencipta, yang tidak menciptakan apa pun tanpa guna ataupun musibah dengan mengakibatkan kerendahan-Nya, yang tidak membutuhkan kebahagiaan dan kelezatan; dan tiada kepedihan ataupun kesakitan menimpa diri-Nya, ada kesudahan dan penghabisan, tiada lenyap, tiada sifat lemah dan kurang; dan Dia pun terbatas dari kehendak beristri ataupun berputra.

 

Sungguh, itulah anggapan-anggapan para pengikut aliran Mu’tazilah tentang tauhid dan lain-lainnya, sehingga banyak pula pengikut aliran yang lain seperti halnya pengikut aliran Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah yang mengikuti ataupun menyetujui anggapannya tersebut, sekalipun tidak secara keseluruhan anggapan-anggapan para pengikut aliran Mw’tazilah ini diikuti ataupun disetujui mereka.

 

Tempat Tinggal Allah SWT.

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang hal ini, sebagian beranggapan bahwa, Allah SWT. itu berada di setiap tempat, yang berarti Dia mengatur sesuatu di setiap tempat, sehingga aturan-Nya pun berada di setiap tempat, dan anggapan ini dikemukakan sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah yang dipelopori Abu alHudzail,” al-Ja’farah,”) al-Iskafi dan Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’i. Sementara sebagian lainnya beranggapan bahwa, Allah SWT. itu tidak berada di setiap tempat, tetapi hanya bertempat dalam diriNya sendiri, dan anggapan ini dikemukakan Hisyam al-Fuwathi, Abu Zufar Abbad ibn Sulaiman dan para pengikut aliran Mu’tazilah lainnya.

 

Adapun tentang firman Allah SWT:

 

Artinya:

 

“Allah yang Maha Pemurah itu bersemayam di ‘Arsy.” (QS. Thaha (20): 5)

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah menafsirkan kata: ini (yang artinya bersemayam) dengan:   yang artinya berkuasa.

 

Melihat Allah SWWT Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, Allah SWT

 

tidak dapat dilihat dengan penglihatan. Sekalipun begitu mereka berbeda anggapan, apakah Allah SWT. dapat dilihat dengan hatisanubari? Abu al-Hudzail dan sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah berkata, Kami melihat Allah SWT dengan hati-sanubari, yang berarti dengan hati-sanubari itulah kami mengetahui-Nya. Sementara Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman mengingkari hal demikian ini.

 

Tentang Allah SWT. Bersifat Tahu dan Kuasa Orang-orang muslim berbeda anggapan tentang Allah SWT. bersifat tahu (alim) dan kuasa (qadir). Sebagian besar pengikut golongan Syi’ah Rafidhah dan golongan-golongan lainnya mengingkari anggapan bahwa Allah SWT. itu selalu bersifat tahu dan kuasa, sementara para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu, kuasa dan hidup. Sekalipun begitu para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah SWT dapat dinyatakan selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim? Dan apakah pengetahuan-Nya itu sebelum terjadinya jisim-jisim tersebut? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tujuh anggapan:

 

  1. Hisyam al-Fuwathi beranggapan bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu dan kuasa. Tetapi kalau ditanyakan kepadanya, apakah Allah pun selalu bersifat tahu terhadap sesuatu? Dia menjawab, ” Aku tidak mengatakan Allah SWT. selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, yang kukatakan hanya Dia itu selalu bersifat tahu yang berarti Dia itu Esa dan bukan dua ada-Nya, karena kalau kukatakan Allah itu sclalu bersifat tahu terhadap – sesuatu, maka harus ditetapkan pula adanya sesuatu yang lain di samping Allah tersebut’’.

 

Lalu kalau ditanyakan kepadanya, apakah anda pun menganggap Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi? Dia hanya menjawab, ’’Kalau aku menyatakan Allah selalu bersifat tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi, maka hal ini berarti mengisyaratkan kepastian akan terjadinya sesuatu tersebut. Padahal tidaklah dibolehkan seseorang mengisyaratkan kepastian terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wajudnya (maujud), dan perlu diketahui bahwa sesuatu yang tidak akan diciptakan Allah, niscaya sesuatu itu tidak akan terjadi, sementara sesuatu yang tidak akan terjadi itu berarti tidak akan ada (ma’dum).”

 

Abu Husein al-Shalihi beranggapan bahwa, Allah SWT selalu bersifat tahu terhadap sesuatu yang sedang terjadi, tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi, bahkan tahu pula terhadap jisim-jisim dan segenap makhluk yang terjadi.

 

Dia pun beranggapan, Tidaklah Allah itu bersifat tahu terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya (maujud), karena mustahil sesuatu yang tidak ada wujudnya itu diketahui Allah. Bahkan sesuatu yang tidak terjadi itu tidaklah dikuasaiNya, karena sesuatu itu tidaklah dikatakan sebagai sesuatu itu terjadi, dan tidaklah dikatakan sebagai sesuatu, kalau sesuatu itu tidak terjadi.

 

Abbad ibn Sulaiman beranggapan bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap pengetahuan-Nya, tahu terhadap segenap sesuatu, tahu terhadap substansi (jauhar) dan aksiden (a’radh) sesuatu tersebut, tahu terhadap setiap perbuatan dan tahu terhadap semua kejadian, tetapi tetap tidak dinyatakan Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim, tidak dinyatakan tahu terhadap apa pun yang diperbuat dan juga tidak dinyatakan tahu terhadap apa pun yang diciptakan. Sementara terhadap jenis-jenis aksiden (a‘radh), seperti terhadap warna-warna, gerak-gerak dan rasa-rasa, dapatlah Dia dinyatakan sclalu bersifat tahy terhadapnya dan juga terhadap semua jenis aksiden terscbut, Dia pun beranggapan bahwa, sesuatu yang dikctahui Allah sudah diketahui-Nya scbelum itu terjadi, yang dikuasai Allah sudah diketahui-Nya sebelum itu terjadi, bahkan segenap sesuatu itu sudah merupakan sesuatu sebelum terjadinya. Karena itu substansi (Jauhar) pun sudah merupakan substansi sebelum terjadinya substansi tersebut, aksiden (a’radh) pun sudah merupakan aksiden sebelum terjadinya aksiden tersebut, bahkKan perbuatan-perbuatanpun sudah merupakan perbuatan sebelum terjadinya perbuatan itu sendiri. Tetapi sebaliknya mustahil Jisim-jisim itu sudah merupakan jisim-jisim sebelum terjadinya Jisim-jisim tersebut, mustahil makhluk-makhluk itu sudah merupakan makhluk-makhluk sebelum terjadinya makhluk-makhluk tersebut, bahkan mustahil pula sesuatu yang diperbuat tersebut sudah merupakan sesuatu yang diperbuat sebelum terjadinya sesuatu yang diperbuat itu sendiri, sebab perbuatan itu merupakan sesuatu yang selain-Nya, begitupun dengan ciptaan-Nya.

 

Tetapi kalau ditanyakan kepadanya, apakah anda meng-anggap sesuatu yang ada ini tidak merupakan sesuatu yang ada? Dia hanya menjawab, ’Aku tidak berkata begitu. Bahkan kKalau ditanyakan lagi kepadanya, apakah anda pun menganggap sesuatu yang ada ini bukan merupakan sesuatu itu sendiri Dia hanya kembali menjawab, ’’Aku tidak berkata begitu.”

 

  1. Ibn al-Rawandi beranggapan bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, yang berarti Dia pun selalu bersifat tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi. Begitupun dengan anggapannya tentang jisim-jisim, substansi-substansi dan makhluk-makhluk, karena Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap apa yang terjadi itu.

 

Dia pun beranggapan bahwa, sesuatu yang diketahui Allah SWT. itu sudah diketahui sebelum terjadinya sesuatu tersebut. Adapun penetapan ini berarti Allah dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadinya sesuatu itu sendiri, tetapi penetapan ini tidaklah berarti si Zaid pun dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadinya sesuatu tersebut, sebab Allah dapat pula menguasai sesuatu sebelum terjadinya sesuatu itu sendiri. Begitupun terhadap sesuatu yang berhubungan dengan selainNya, seperti terhadap sesuatu yang diperintahkan, maka dapat dinyatakan bahwa adanya scsuatu yang dipcrintahkan itu karena adanya perintah, dan adanya sesuatu yang dilarang itu karena adanya larangan, adanya sesuatu yang dikehendaki sebelum adanya larangan, adanya sesuatu yang dikehendaki sebelum adanya kehendak terhadap sesuatu yang dikehendaki sebelum adanya sesuatu itu sendiri, sehingga dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa adanya kehendak itu sebelum adanya sesuatu yang dikehendaki. Selanjutnya hal semacam ini pun berlaku terhadap segala sesuatu yang diperintahkan dan dilarang, bahkan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan selain-Nya. Bahkan dia beranggapan bahwa, sesuatu itu disebut sesuatu kalau ia berwujud, karena yang dimaksudkan sesuatu adalah apa-apa yang berwujud tersebut. Begitupun nama sesuatu itu tidak berhubungan dengan ‘selainnya, tetapi hanya menunjukkan dan mengabarkan tentang sesuatu itu sendiri, sehingga sesuatu itu tidaklah dinamakan sesuatu sebelum ia berwujud atau ketika (ia) jelas-jelas tidak berwujud.

 

  1. Para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) beranggapan, Tidak mengakui Allah itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, sebelum sesuatu itu terjadi. Begitupun dengan kekuasaan-Nya, mereka tidak mengakui Dia selalu bersifat kuasa atas sesuatu, sebelum sesuatu itu terjadi pula, dan sesuatu itu bukanlah merupakan sesuatu, sebelum ia berwujud. Bahkan mereka pun melarang untuk menganggap sesuatu itu merupakan aksiden (a’radh).

 

  1. Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’i beranggapan bahwa Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, baik yang berupa substansi ataupun aksiden. Dia pun beranggapan bahwa, sesuatu itu sebenarnya sudah diketahui dan dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi. Begitupun dengan substansi, dia menganggap substansi itu sudah diketahui dan dinamai substansi, sebelum ia terjadi, dan hal ini berlaku juga tethadap yang lain, yang seperti gerak, diam, warna, rasa bau ataupun kehendak. Karena itu. dia pun menganggap taag itu sebenarnya sudah dinamai taat, sebclum ia terjadi, dan begitupun halnya dengan maksiat, dia menganggup maksiat itu sudah dinamai maksiat pula, sebclum terjadi.

 

Adapun tentang pemberian nama terhadap sesuatu tersebut, menurutnya, karena beberapa hal di antaranya (i) Karena dirinya sendiri. Sesuatu itu wajib dinamai sesuatu, sebelum ta terjadi, seperti halnya warna hitam itu wajib dinamai hitam Karena dirinya sendiri, begitupun dengan warna putih ataupun lainnya, (ii) Karena adanya kemungkinan untuk menyebutkan dan mengabarkannya. Sesuatu itu pun dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi, Karena adanya kemungkinan untuk menyebutkan dan mengabarkannya, (iii) karena perbedaannya dengan jenis-jenis lain. Sesuatu itu pun dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi, seperti halnya penamaan terhadap suatu warna ataupun selainnya, karena perbedaannya dengan jenis-jenis lain, (iv) karena adanya sebab yang menimbulkannya sebelum ia terjadi. Sesuatu itu pun dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi, seperti halnya sesuatu yang diperintahkan. (ma’mur bih). itu dinamai sesuatu yang diperintahkan karena adanya suatu perintah (amr bih), sehingga sesuatu itu wajib dinamai sesuatu yang diperintahkan karena -adanya suatu perintah tersebut, sekalipun sesuatu yang diperintahkan itu belum terjadi ataupun tidak terjadi, besitupun dengan sesuatu lainnya, -karena adanya sebab yang menimbulkannya sebelum ia terjadi, (v) Karena adanya perbuatan. Sesuatu itu tidak dinamai sesuatu, sebelum adanya sesuatu perbuatan, seperti halnya penamaan terhadap sesuatu yang telah. terjadi, dan (vi) karena adanya sebab pada dirinya sendiri. Sesuatu itu pun tidak dinamai sesuatu, sebelum adanya sebab pada dirinya sendiri, seperti halnya penamaan terhadap sesuatu jisim, sesuatu yang bergerak ataupun sesuatu yang lain, yang serupa dengannya. Tetapi Muhammad ibn Abdul Wahab pun mengingkari anggapan bahwa sesuatu itu sudah merupakan sesuatu sebelum ia terjadi, di mana katanya: ”Anggapan itu tidak benar, karena sesuatu itu dinamai sesuatu kalau ia sudah terjadi, lain tidak. Karena itu kalau seseorang menganggap scsuatu itu sudah merupakan sesuatu sebeclum ia terjadi, sama halnya dengan menganggap sesuatu. itu sudah merupakan scsuatu sebclum terjadi dirinya, tetapi ini mustahil”.

 

  1. Sebagian mercka beranggapan bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap benda-benda langit dan jisim-jisim sebelum ia terjadi, begitupun dengan segala sesuatu, substansi-substansi ataupun aksiden-aksiden, baik yang belum ataupun sudah terjadi. Tetap1 mereka tidak menganggap Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap perbuatan-perbuatan orang kafir ataupun orang mukmin, Karena setiap yang dikuasai dan dijadikan-Nya itu (menurut anggapan mereka) hanya diketahui sifat-sifatnya semata.

 

Maka perbuatan-perbuatan orang kafir ataupun orang mukmin itu hanya diketahui Allah kalau sifat-sifat yang ada tersebut dikuasai-Nya. Mereka pun menganggap mustahil seseorang yang mukmin itu disebut sebagai orang kafir ketika dia dalam keadaan beriman, sebab mustahil seseorang itu disifati dengan suatu sifat yang lain ketika dia dalam keadaan sesuatu sifat tertentu sesuatu sifat yang ada pada dirinya ketika itu yang mustahil pula seseorang disifati dengan suatu: sifat sebelum ia terjadi.

 

Bahkan ketika Allah SWT. itu misalnya mengetahui suatu jisim yang panjang, hendaklah dinyatakan bahwa jisim yang panjang tersebut diketahui Allah. Adapun anggapan ini dikemukakan Syahham, yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Abdullah, dan dia pun menganggap jisim itu merupakan sesuatu wujud yang diciptakan ketika ia terjadi, yang tidaklah jisim itu merupakan sesuatu wujud yang ditetapkan sebelum ia terjadi.

 

Di samping tujuh kelompok anggapan di atas, terdapat juga sekelompok pengikut aliran Mu‘tazilah yang beranggapan bahwa, Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim, baik sebelum ataupun sesudah jisim-jisim itu terjadi. Begitupun Dia selalu bersifat tahu terhadap orang mukmin ataupun orang kafir, dengan segenap perbuatan mereka, sebelum mereka terjadi ataupun baru tercipta sifatsifatnya semata. Karena itu mereka pun beranggapan: Orang-orang kafir itu niscaya memperoleh siksa di dalam neraka berdasarkan sifat-sifatnya semata, begitu pula orang-orang mukmin niscaya mempcroleh pahala dan nikmat di dalam surga berdasarkan sifat-sifatnya semata, bukan berdasarkan wujudnya. Bahkan sckiranya Allah SWT. bersifat kuasa menciptakan orang-orang yang taat, kemudian memberinya pahala atau bersifat kuasa menciptakan orang-orang yang maksiat, kemudian memberinya siksa maka hal ini mcrupakan sesuatu yang dikuasai-Nya dan diketahui-Nya semata.

 

Anib ibn Sahl al-Kharraz menyampaikan anggapannya Kepadaky (al-Asy’ari) di mana Katanya, ”Sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah itu sudah merupakan makhluk di dalam sifatnya, sebelum ia terwujud.” Begitulah, dia menganggap sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah itu sudah merupakan wujud di dalam sifat-Nya.

 

Pengetahuan Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang pengetahuan Allah SWT. dan kekuasaan-Nya, apakah bersifat universal atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua anggapan.

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan bahwa, pengetahuan Allah SWT, itu bersifat universal begitupun dengan kekuasaan-Nya, sehingga gerakan-gerakan para penghuni surga pun pasti terputus dan terhenti selama-lamanya.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan Allah dan kekuasaan-Nya terhadap sesuatu tidaklah bersifat universal.

 

Perbuatan Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbuatan Allah SWT. itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua anggapan:

 

  1. Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah SWT. itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhirnya, sehingga tinggallah Allah SWT. sendiri sebagai Dzat yang Maha Akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan Dzat yang Maha Awal yang tiada sesuatu pun menyertai-Nya.

 

  1. Para pengikut ahran Mu‘tazilah lainnya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya kekal di dalam surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan (pahala) yang dikaruniakan Allah SWT. kepada mereka sementara para penghuni neraka itu niscaya pula kekal di dalam nerakanya, mengenyam kepedihan-kepedihan (siksa) yang ditimpakan Allah SWT. kepada mereka. Begitulah, semua itu niscaya tidak berakhir, begitupun dengan segala sesuatu yang diketahui dan dikuasai Allah SWT.

 

Sifat-sifat Azali bagi Allah Para pengikut Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan sendiri-Nya atau karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan-Nya? Lalu apa pula arti pernyataan Allah itu Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha hidup?

 

Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam beberapa anggapan:

 

  1. Sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, Murji’ah dan Syi’ah Zaidiyyah beranggapan bahwa, Allah yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan sendiri-Nya, bukan karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan-Nya. Bahkan terdapatnya pengetahuan pada Allah (menurut anggapan mereka) dalam arti Allah itu bersifat tahu, terdapatnya kekuasaan dalam arti Allah itu bersifat kuasa, tetapi terdapatnya keperihidupan (hayat) tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada Allah itu terdapat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada Allah itu terdapat kekuatan (quwwat) dan pengetahuan (ilmu), karena yang layak pada-Nya pun hanyalah hal itu semata.

 

  1. Sebagian lain pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan: Terdapatnya pengetahuan pada Allah itu dalam arti sesuatu yang diketahui, terdapatnya kekuasaan itu sendiri adalah Dia. Begitupun dengan sifat-sifat mendengar-Nya melihat-Nya, terdahulu-Nya. mulia-Nya, agung-Nya, suci-Nya, besar-Nya dan sifat-sifat lain bagi Dzat-Nya.

 

Bahkan Abu al-Hudzail pun berkata: ’Kalau aku nyatakan Allah itu bersifat tahu, maka artinya pun kutetapkan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, sementara pengctahuan itu scndiri adalah Dia. Sehingga dengan begitu aku tegas-tcegas menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu yang sudah ataupun akan terjadi, dan kalau-kunyatakan Allah itu bersifat kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah ity lemah (’ajz) dan kutetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan, sementara kekuasaan, itu sendiri adalah Dia, tetapi kekuasaanNya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitupun kalau kunyatakan pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayaz), maka artinya pun kutetapkan bahwa keperihidupan itu sendirj adalah Dia, karena aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu mati.”

 

Selanjutnya dia beranggapan bahwa Allah mempunyai wajah dan wajah-Nya itu sendiri adalah Dia, begitupun dengan diri Nya. Lebih jauh lagi Abu al-Hudzail pun mentakwilkan firmanfirman Allah seperti halnya kata tangan dia takwilkan sebagai nikmat bahkan terhadap firman Allah berikut:

 

”… Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. ” (QS. Thaha (20): 39) 

 

Lafadz   yang semestinya diartikan di bawah  “pengawasan-Ku” ini dia takwilkan sebagai alas atau  “dengan pengetahuan-Ku” semata.

 

  1. Abd ibn Sulaiman beranggapan bahwa Allah itu bersifat tahu, kuasa dan hidup. Tetapi dia tidak menetapkan terdapatnya pengetahuan kekuasaan, keperihidupan, pendengaran dan penglihatan. Bahkan dia menganggap Allah itu bersifat tahu bukan dengan pengetahuan, bersifat kuasa bukan dengan kekuasaan, bersifat hidup bukan dengan keperihidupan dan bersifat mendengar bukan dengan pendengaran; dan begitupun sifat-Nya yang lain, yang selalu dinyatakan sebagai nama-Nya, itu semua bukan dengan perbuatan ataupun selain-Nya.

 

Dia pun mengingkari anggapan bahwa Allah bersifat tahu, kuasa dan hidup karena Diri-Nya ataupun karena Dzat-Nya, bahkan dia menolak untuk menyebutkan diri’ ataupun Dzat terhadapNya; dan juga menolak untuk menyebutkan diri’ ataupun Dzat terhadap-Nya; dan juga menolak untuk menyebutkan tahu, kuasa, mendengar, melihat, hidup ataupun terdahulu kepada-Nya. Bahkan dia menganggap pernyataan Maha Tahu itu hanya merupakan suatu penetapan nama bagi Allah, karena pada-Nya terdapat pengetahuan terhadap sesuatu yang diketahui; dan pernyataan Maha Kuasa itu hanya merupakan suatu penetapan nama baginya, karena pada-Nya pun terdapat pengetahuan terhadap sesuatu yang dikuasai, begitu pun dengan pernyataan Maha Hidup ataupun pernyataan-pernyataan yang lain.

 

Dan dia pun mengingkari anggapan bahwa Allah itu mempunyai wajah, tangan, mata ataupun bahu, sampai-sampai dia berkata: “Tentang hal ini aku hanya membaca AI-Qur’an, sementara firman Allah itu sendiri tidak bermaksud begitu.” Bahkan dia mengingkari anggapan bahwa Allah bersifat hidup; dan begitupun dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang dikarenakan perbuatanNya.

 

  1. Dhirar beranggapan: Arti pernyataan Allah bersifat tahu itu ialah Dia tidak bodoh, begitupun dengan Allah bersifat kuasa itu ialah Dia tidak lemah dan Allah bersifat hidup itu ialah Dia tidak mati. .

 

  1. Al-Nizham beranggapan: Arti pernyataan Allah bersifat tahu itu ialah menisbahkan Dzat-Nya sebagai yang bersifat tahu dan menafikan Dia scbagai bersifat bodoh, Allah bersifat Kuasa itu menisbatkan Dzat-Nya sebagai yang bersifat kuasa dan menafikan Dia sebagai bersifat lemah, bahkan bersifat hidup itu ialah menisbatkan Dzat-Nya sebagai yang bersifat hidup dan menafikan Dia sebagai bersifat mati; dan begitupun dengan sifat-sifat Dzat. Nya yang lain, secara teruntun.

 

Dia pun beranggapan bahwa perbedaan sifat-sifat Dzat-Nya itu karena adanya kebalikan sifat-sifat Dzat-Nya yang wajib yang berbeda-beda pula seperti sifat lemah ataupun mati, serta karena adanya lawan sifat-sifat Dzat-Nya yang lain, seperti sifat buta ataupun tuli. Karena itu terjadinya perbedaan-perbedaan dari “sesuatu yang diketahui dan dikuasai Allah, bukan disebabkan terdapatnya perbedaan dalam sifat-sifat Dzat-Nya tersebut bukan dari Diri-Nya sendiri. Sebagian pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan bahwa terjadinya perbedaan dalam sifat-sifat Dzat-Nya tersebut disebabkan terdapatnya perbedaan-perbedaan dari sesuatu yang diketahui dan dikuasai Allah, bukan disebabkan terdapatnya perbedaan dalam Diri-Nya sendiri. Maka al-Nizham beranggapan: Bahkan disebutkannya Allah itu mempunyai wajah bukan secara hakikat Dia mempunyai wajah, tetapi hanya disebabkan keluasan arti bahasa semata,

 

sebagaimana halnya firman Allah  yang semestinya berarti: ”’dan kekallah wajah ‘’Tuhanmu” (QS. Ar. Rahman (55): 27) ini diartikan sebagai

 

atau “dan kekallah Tuhanmu’’ semata, bahkan ayat yang menyebutkan kata ’tangan’’ dia artikan pula sebagai “nikmat’’. Dan sebagian lain pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan bahwa perbedaan nama-nama dan sifat-sifat Dzat-Nya itu karena adanya faedah-faedah yang muncul terhadap nama-nama dan sifat-sifat itu sendiri, sehingga apabila dinyatakan Allah itu. Maha Tahu artinya pun dinisbatkan bahwa tidaklah dibolehkan Allah itu tidak mengetahui, bahkan dinafikan pula orang yang menganggap Allah itu bodoh, sebab pada Dzat-Nya terdapat pengetahuan; dan apabila dinyatakan Allah itu Maha Kuasa artinya pun dinisbatkan bahwa tidaklah dibolehkan Allah itu tidak menguasai, bahkan dinafikan pula orang yang menganggap Allah itu lemah, sebab pada Dzat-Nya terdapat kekuasaan. Bahkan apabila dinyatakan Allah itu Maha Hidup artinya pun dinisbatkan bahwa tidaklah dibolehkan Allah itu mati, sebab tidaklah Allah itu merupakan Dzat yang tidak hidup. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’ kepadaku.

 

7, Abu al-Husein al-Shalihi beranggapan bahwa arti pernyataan Allah bersifat tahu itu ialah pengetahuan Dzat-Nya tidaklah seperti layaknya orang yang tahu, kekuasaan Dzat-Nya pun tidaklah seperti layaknya orang yang kuasa, bahkan keperihidupan DzatNya itu tidaklah seperti layaknya orang hidup. Dia itu merupakan sesuatu, tetapi bukanlah seperti layaknya sesuatu, begitupun dengan anggapannya tentang sifat-sifat Allah lainnya.

 

Apabila ditanyakan kepadanya, apakah anda menganggap kemahatahuan Allah tidak seperti layaknya orang yang tahu itu berarti pula kemahakuasaan Dia tidak seperti layaknya orang yang kuasa? Dia niscaya menjawab, ya! Bahkan hal ini berarti Dia itu merupakan sesuatu yang bukan seperti layakanya sesuatu, begitupun dengan sifat-sifat Allah lainnya. Adapun pernyataan Allah itu merupakan sesuatu yang bukan seperti layaknya sesuatu, menurut anggapan Abu al-Husein lagi, itu pun berarti kemahatahuan Dzat-Nya tidaklah seperti layaknya orang tahu.

 

  1. Mu’ammar beranggapan bahwa Allah bersifat tahu itu dengan pengetahuan, di mana pengetahuan-Nya tersebut semata-mata untuk sesuatu makna, bukan untuk sesuatu tujuan; dan begitupun dengan anggapannya tentang sifat-sifat lainnya yang ada pada Allah, yang kesemuanya ini diceritakan kepadaku oleh Abu Amr al-Furati dari Muhammad ibn Isa al-Sayyarafi.

 

  1. Para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) beranggapan bahwa bukanlah Allah bersifat tahu itu berarti pula Dia bersifat kuasa dan hidup, tetapi Allah bersifat hidup itu sebenarnya berarti Dig bersifat kuasa; dan Allah bersifat mendengar itu sebenarnya berarti . Dia bersifat mengetahui apa pun yang didengar-Nya, bahkan Allah bersifat melihat itu sebenarnya berarti Dia bersifat mengetahui apa pun yang dilihat-Nya.

 

Mereka pun beranggapan: Bukanlah Allah yang bersifat terdahulu itu berarti Dia bersifat hidup, bahkan tidaklah Allah yang bersifat tahu itu berarti pula Dia bersifat kuasa; dan bukanlah Allah yang bersifat terdahulu itu berarti Dia bersifat tahu, sehingga tidaklah Allah yang bersifat hidup itu berarti pula Dia bersifat kuasa.

 

Nama-nama ataupun Sifat-sifat Allah

 

Abdullah ibn Kullab beranggapan bahwa Allah itu senantiasa (bersifat) Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Pemurah, Maha. Indah, Maha Esa, Maha Kekal, Maha Tersendiri, Maha Awal, Maha Pemelihara, Maha Berkehendak dan Maha Pembenci; dan Dia pun senantiasa Maha Meridai orang-orang yang di akhir hayatnya sebagai orang mukmin, sekalipun selama hayatnya sebagai orang kafir. Dia pun senantiasa Maha Memurkai orang-orang yang akhir hayatnya sebagai orang kafir, sekalipun, selama hayatnya sebagai orang mukmin; dan Dia pun Maha Pencipta, Maha Pecemburu, Maha Pelindung, Maha Tumpuan kembali dan Maha Berkata dengan kemahaahlian-Nya bicara; dan Maha Dermawan dengan pengetahuan, kekuasaan, keperihidupan, pendengaran, penglihatan, kemuliaan, keagungan, ketinggian, kebesaran; kemurahan, keindahan, keesaan, kekekalan, kebencian, keridaan, kemurkaan, kecintaan, kecemburuan, perlindungan, penumpuan, perkataan, pembicaraan dan rahmat-Nya; dan Dia pun sebenarnya Maha Terdahulu dengan segenap nama dan sifat-Nya tersebut.

 

Dan Abdullah ibn Kullab pun beranggapan bahwa Allah bersifat Maha Tahu itu berarti pada-Nya terdapat pengetahuan, bersifat Maha Kuasa itu berarti pada-Nya terdapat kekuasaan dan bersifat Maha Hidup itu berarti pula padanya terdapat keperihidupan; dan begitupun dengan segenap nama ataupun sifat-Nya yang lain. Bahkan dia beranggapan bahwa nama-nama ataupun sifat-sifat Allah itu hanya bagi Dzat-Nya, bukan sebagai Allah ataupun selain-Nya; dan nama ataupun sifat-sifat Allah ditegakkan karena Dia itu sendiri, sehingga tidaklah dibolehkan tegaknya sifat-sifat Allah tersebut karena sifat itu sendiri.

 

Lalu dia beranggapan bahwa wajah Allah itu bukan sebagai Allah ataupun selainnya, tetapi hanyalah sifat bagi-Nya; dan begitupun dengan tangan-Nya, mata-Nya ataupun penglihatan-Nya itu hanyalah sifat bagi-Nya, bukan sebagai Allah ataupun selain-Nya. Bahkan Dazat. Nya ataupun Diri-Nya itulah yang sebenarnya Allah, tetapi bukanlah kemahaadaan Dia itu karena sesuatu yang ada; dan sesuatu yang tidak berarti pun bagi-Nya itu tetap merupakan sesuatu.

 

Abdullah ibn Kullab pun beranggapan bahwa sifat-sifat Allah itu tidaklah berubah, bahkan tidaklah sifat tahu itu merupakan sifat kuasa ataupun selainnya, begitupun dengan sifat-sifat Dzat-Nya yang lain.

 

Para pengikut Abdullah ibn Kullab berbeda anggapan, apakah Allah Maha Terdahulu itu karena sifat-Nya yang terdahulu atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua kelompok anggapan

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Allah Maha Terdahulu itu bukan Karena sifat-Nya yang terdahulu.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Allah Maha Terdahulu itu karena sifat-Nya yang terdahulu.

 

Para pengikut Abdullah ibn Kullab berbeda anggapan, apakah sifat-sifat Allah itu merupakan sifat yang disifati-Nya atau selainNya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua (kelompok) anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa sifat-sifat Allah itu merupakan sifat yang disifati-Nya, bukan selain-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa tidaklah sifat-sifat Allah itu merupakan sifat yang disifati-Nya, bukan pula selain-Nya. Sekalipun begitu mereka tegas-tegas melarang untuk menyatakan hal ini.

 

Para pengikut Abdullah ibn Kullab yang menganggap tidaklah sifat-sifat Allah itu merupakan sifat yang disifati-Nya, bukan pula selain-Nya berbeda anggapan lagi, apakah sifat-sifat tersebut berubah dan apakah pula sifat-sifat itu merupakan sifat selain-Nya atau bukan?

 

Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Setiap sifat Allah itu berubah, bahkan selalu mengalami perubahan, schingga bukanlah sifat-sifat yang berubah itu sebagai Allah.

 

2, Kelompok kedua ini beranggapan bahwa setiap sifat Allah itu bukanlah sebagai Allah, bukan pula selain-Nya.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa setiap sifat Allah itu bukanlah sebagai selain-Nya, sehingga tidaklah sifat-sifat Allah jtu dinyatakan bukan selain-Nya dan bukan pula lain dari selainnya.

 

Pengikut aliran Mu’tazilah yang menisbatkan sifat tahu dan wajah Allah berbeda anggapan pula, apakah sifat tahu dan wajah Allah tersebut sebagai Dia atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Sulaiman ibn Jarir beranggapan bahwa wajah Allah itu sebagai Dia, tetapi bukanlah sifat tahu-Nya itu pun sebagai Allah.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan bahwa wayjah Allah itu merupakan sifat-Nya yang bukan sebagai Dia ataupun selain-Nya, sekalipun begitu mereka tegas-tegas melarang untuk menyatakan hal ini.

 

Pengikut aliran Mu’tazilah pun berbeda anggapan, apakah sifatsifat Allah itu merupakan sesuatu atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Sulaiman ibn Jarir beranggapan: bahwa pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan Allah itu merupakan sesuatu, tetapi bukanlah sifat-sifat Allah itu merupakan sesuatu pula.

 

  1. Sebagian orang yang menisbatkan sifat-Nya (ashhab al-shifat) beranggapan bahwa sifat-sifat Allah itu merupakan sesuatu.

 

  1. Sebagian pengikut Abdullah ibn Kullab beranggapan bahwa tidaklah pengetahuan Allah itu merupakan sesuatu, bahkan tidaklah sifat-sifat Allah yang selain itu merupakan sesuatu pula, karena Allah itulah yang merupakan sesuatu dengan segenap sifat-Nya sendiri. Jadi, tidaklah segenap sifat-Nya itu merupakan sesuatu.

 

Pengikut aliran Mu’tazilah pun yang cenderung menisbatkan sifat Nya (ashhab al-shifat) itu berbeda anggapan lagi, apakah sifat-sifat Allah itu terdahulu atau baru? Tentang hal ini mereka terpecah lapi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa sifat-sifat Allah it terdahulu.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa kalau dinyatakan Allah itu Maha ‘Terdahulu dengan segenap sifat-Nya, maka berarti segenap sifat-Nya tersebut terdahulu pula. Karena itu mereka tidak menyatakan segenap sifat-Nya tersebut terdahulu ataupun aru.

 

Orang-orang berbeda anggapan tentang nama-nama Allah SWT, apakah nama-nama tersebut sebagai Allah itu sendiri atau selainNya? Tentang hal ini,mereka terpecah dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa nama-nama tersebut sebagai Allah itu sendiri. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh para ulama Mutakallim yang ahli hadis (ashhab al-hadis).

 

  1. Kelompok kedua ini ialah sebagian pengikut ’Abdullah ibn Kullab. Mereka beranggapan bahwa nama-nama tersebut bukanlah sebagai Allah itu sendiri ataupun selain-Nya.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah sebagian pengikut ’Abdullah ibn Kullab lainnya. Mereka beranggapan bahwa tidaklah nama-nama tersebut dinyatakan sebagai Allah ataupun selain-Nya, bahkan mereka tegas-tegas melarang untuk menyatakan hal ini.

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa nama-nama tersebut bukanlah sebagai Allah, begitupun dengan segenap sifat-Nya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah, Khawarij, sebagian besar pengikut aliran Murji’ah dan Syi’ah Zaidiyyah.

 

Orang-orang yang menganggap bukanlah nama-nama dan sifatsifat tersebut sebagai Allah itu pun berbeda anggapan, apakah sebutan bagi-Nya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Para pengikut aliran Mu’tazilah dan Khawarij beranggapan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu hanya merupakan kata-kata semata, seperti layaknya kata-kata: Allah Maha Tahu, Allah Maha Kuasa dan lain sebagainya.

 

  1. Abdullah ibn Kullab beranggapan bahwa nama-nama Allah itu merupakan sifat-sifat pula bagi Nya, seperti layaknya sifat-sifat tahu, kuasa, mendengar, melihat dan lain sebagainya.

 

Orang-orang pun berbeda anggapan tentang Allah itu selalu bersifat mendengar dan melihat, yang terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Abu al-Hudzail, sebagaimana konon diceritakan Ja’far ibn Harb, beranggapan: Tidak menyatakan Allah itu selalu bersifat mendengar dan melihat, karena sekiranya benar Allah itu bersifat begitu niscaya Dia pun membutuhkan adanya sesuatu yang harus didengar-Nya atau dilihat-Nya.

 

Catatan: Secara pribadi aku (al-Asy’ari) menduga anggapan ini bukan dikemukakan oleh Abu al-Hudzail.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Tidak menyatakan Allah itu selalu bersifat mendengar dan melihat, karena sekiranya benar Allah itu selalu bersifat begitu niscaya Dia pun membutuhkan adanya sesuatu yang harus didengar-Nya atau dilihat-Nya. Adapun pernyataan Allah Maha Mendengar itu hanya merupakan penisbatan nama-Nya semata. Karena pada-Nya pun terdapat pengetahuan terhadap sesuatu yang didengar, dan begitu pula dengan pernyataan Allah Maha Melihat itu hanya merupakan penisbatan nama-Nya semata, karena pada-Nya pun terdapat pengetahuan terhadap sesuatu yang dilihat. Jadi, tidaklah boleh menganggap Allah itu.selalu Maha Mendengar, tetapi cukuplah menganggap (sifat) mendengar itu terdapat pada-Nya.

 

  1. Al-Nizham, sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah Zaidiyyah, bahkan Abdullah ibn Kullab beserta para pengikutnya, beranggapan bahwa Allah itu selalu bersifat mendengar dan melihat.

 

  1. Sebagian pengikut aliran Mu ’tazilah lainnya yang menganggap pengetahuan Allah itu sebagai Allah, menganggap pernyataan Allah bersifat mengetahui itu pun berarti menisbatkan adanya sifat tahu tersebut sebagai Allah, bahkan menafikan adanya sifat bodoh itu sebagai Allah beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, sehingga niscaya dinisbatkan adanya sifat mendengar tersebut sebagai Allah dan dinafikan adanya sifat tuli, bahkan niscaya pula dinisbatkan adanya sifat melihat tersebut sebagai Allah dan dinafikan adanya sifat buta.

 

Adapun yang menganggap Allah bersifat tahu dengan dirinya itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, di mana Allah bersifat begitu bukan dengan adanya pendengaran dan penglihatan.

 

Bahkan yang menganggap Allah bersifat tahu dengan menisbatkan nama-Nya dan pengetahuan terhadap yang diketahui-Nya itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar, karena adanya sifat ini menisbatkan pula nama-Nya dan pengetahuan terhadap yang didengar-Nya, bahkan adanya sifat melihat pun menisbatkan namaNya dan pengetahuan terhadap yang dilihat-Nya.

 

Lalu yang menganggap Allah bersifat tahu pun berarti menisbatkan pengetahuan tersebut sebagai sifat Dzat-Nya dan menafikan kebodohan bagi-Nya itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, di mana adanya sifat-sifat ini berarti menisbatkan pula Dzat-Nya, bahkan menafikan sifat tuli dan buta bagi-Nya.

 

Sementara yang menganggap Allah bersifat tahu pun berarti Dia tidaklah bersifat bodoh itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, karena adanya sifat-sifat ini berarti pula Allah tidak bersifat tuli dan buta.

 

Dan yang menganggap Allah bersifat tahu atau kuasa pun karena adanya perbedaan sifat bodoh atau lemah itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, di mana adanya sifat-sifat ini hanya mungkin dengan adanya perbedaan sifat tuli dan buta.

 

Lebih lanjut lagi yang menganggap Allah bersifat tahu atau kuasa pun karena adanya perbedaan yang diketahui atau yang dikuasai itu beranggapan: Begitupun dengan sifat mendengar dan melihat, karena adanya sifat-sifat ini hanya mungkin dengan adanya perbedaan yang didengar dan yang dilihat pula, atau (dengan kata lain) karena adanya perbedaan faedah yang timbul ketika dinyatakan Allah itu bersifat mendengar dan melihat.

 

Orang-orang yang menganggap Allah bersifat mendengar dan melihat itu pun berbeda anggapan, apakah bisa dinyatakan Allah itu selalu mendengar dan melihat atau tidak’? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Al-Iskafi dan para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan bahwa Allah bersifat mendengar dan melihat, karena itu niscaya Dia pun selalu mendengar dan melihat berbagai hal dan kata-kata. Artinya, Allah selalu mengetahui berbagai hal dan kata-kata yang tersembunyi sekalipun, atau dengan kata lain segenap apa pun selalu didengarNya dan dilihat-Nya.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan bahwa Allah bersifat mendengar dan melihat, tetapi Dia pun tidaklah selalu mendengar dan melihat, karena sifat mendengar dan melihat itu membutuhkan adanya yang harus didengar dan dilihat; dan hal ini pun berarti mengharuskan adanya obyek yang didengar dan dilihat, sementara yang Maha Mendengar dan Maha Melihat tidak membutuhkan adanya yang di dengar dan dilihat tersebut. Adapun halnya orang yang tertidur itu bersifat mendengar dan melikhat pula, tetapi kehadirannya yang tidak mendengar dan melihat apa pun tidaklah bisa dikatakan orang yang tertidur itu mendengar dan melihat. Dia pun beranggapan bahwa pernyataan Allah bersifat mendengar itu berarti menisbatkan Dia selalu mendengar apa pun yang didengar, bahkan menafikan anggapan bahwa Allah itu tuli. Adapun pernyataan Allah bersifat melihat itu ada dua pengertian, yaitu (i) dinyatakan melihat itu berarti pula bersifat mengetahui, sebagaimana halnya seseorang dinyatakan: melihat perbuatannya yang berarti dia mengetahuinya; dan (ii) dinyatakan melihat itu berarti pula menisbatkan Dzat-Nya wajib melihat apa pun yang dilihat, bahkan menafikan anggapan bahwa Allah itu buta.

 

Orang-orang yang menganggap Allah itu bersifat hidup pun berbeda anggapan, apakah dengan sifat itu dapat pula dinyatakan

 

Dia bersifat kuasa atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Para penduduk Bashrah (Bashriyyin) beranggapan bahwa pernyataan Allah bersifat hidup itu tidaklah berarti Dia bersifat kuasa.

 

  1. Para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) beserta pengikut al-Iskafi beranggapan bahwa pernyataan Allah bersifat hidup itu berarti pula Dia bersifat kuasa.

 

Orang-orang yang menganggap Allah sclalu bersifat kaya, mulia, qgungs tinggi, besar, gagah, diraja dan perkasa itu pun berbeda anggapan, apakah hal ini karena adanya kekayaan, kemuliaan, keagungan, ketinggian, kebesaran, kegagahan, kedirajaan dan keperkasaan atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam lima kelompok anggapan:

 

  1. Para pengikut aliran Mu’tazilah, Khawarij, kebanyakan pengikut aliran Murji’ah dan Syi’ah Zaidiyyah beranggapan bahwa Allah selalu bersifat kaya, mulia, agung, tinggi, besar, gagah, diraja dan perkasa itu bukanlah karena adanya kekayaan, kemuliaan, keagungan, ketinggian, kebesaran, kegagahan, kedirajaan dan keperkasaan. Begitupun dengan sifat-sifat Allah lainnya misalnya, sifat esa, sendiri, wujud, kekal dan luhur, di mana hal ini bukanlah karena adanya ketuhanan, kekekalan, keesaan dan kewujudan; dan begitupun dengan sifat-sifat yang bukan sifat-Nya, bahkan tidak pula Allah disifati oleh sifat-sifat itu karena maksud-maksud tertentu.

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan bahwa menisbatkan kemuliaan, keagungan, ketinggian, kebesaran dan sifat-sifat Allah yang selain itu sebagai sifat karena Diri-Nya. Bahkan dia pun menganggap sifat-sifat itu sebagai Allah, sebagaimana anggapannya tentang pengetahuan dan kekuasaan. Hanya kalau ditanyakan: Apakah pengetahuan itu sebagai kekuasaan pula? Dia menjawab: Salah kalau pengetahuan itu dianggap sebagai kekuasaan, tetapi juga salah kalau pengetahuan itu dianggap sebagai bukan kekuasaan. Adapun anggapannya ini mirip dengan anggapan Abdullah ibn Kullab.

 

  1. Al-Nizham beranggapan bahwa Allah bersifat mulia itu sebagai penisbatan terhadap Dzat-Nya dan menafikan adanya sifat hina, begitupun dengan sifat-sifat lainnya yang menyifati Dzat Allah secara teruntun. .

 

  1. Abbad, kalau ditanyakan kepadanya tentang pernyataan Allah bersifat mulia tersebut, beranggapan bahwa Allah bersifat mulia itu sebagai penisbatan terhadap nama-Nya, tidak Iebih dari itu, Begitu pun dengan jawabannya tentang pernyataan Allah bersifat Agung, diraja, perkasa dan scbagainya.

 

  1. Ibn Kullab, yang anggapan-anggapannya telah kukemukakan dalam pembahasan terdahulu, di antara para pengikutnya terdapat perbedaan anggapan tentang sifat-sifat ketuhanan. Sebagian menisbatkan adanya pengertian tertentu pada sifat-sifat ketuhanan itu, sebagian lainnya menisbatkan tidak adanya pengertian tertenty pada sifat-sifat ketuhanan tersebut.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan tentang pernyataan Allah bersifat pemurah, apakah pemurah itu sebagai sifat bagi Diri. Nya atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam empat anggapan:

 

  1. Isa al-Shufi beranggapan bahwa sifat pemurah itu sebagai salah satu perbuatan-Nya, yang berarti pula dermawan. Tetapi kalau ditanyakan: Tidakkah Allah. itu selalu bersifat pemurah? Jawabnya: Bukan, bukan berarti begitu! Bahkan tentang Allah bersifat baik pun dia hanya beranggapan: Sifat baik itu sebagai salah satu perbuatan Allah, yang mencegah untuk menyatakan Dia tidak selalu berbuat baik. Begitupun jawabannya tentang sifat-sifat adil dan kasih-sayang.

 

  1. al-Iskafi beranggapan bahwa, sifat pemurah itu mencakup dua hal, yaitu (1) sebagai perbuatan Allah, kalau yang dimaksudkan adalah dermawan, dan (11) sebagai Diri-Nya sendiri, kalau yang dimaksudkan adalah ketinggian dan keluhuran Allah atas sesuatu karena Diri-Nya.

 

  1. Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’i beranggapan bahwa, Allah bersifat pemurah itu mempunyai dua pengertian, yaitu (i) sifat pemurah tersebut berarti pula mulia, sebagai salah satu bagian Diri-Nya sendiri, dan (ii) sifat pemurah itu berarti dermawan, sebagai salah satu perbuatan-Nya.

 

  1. Ibn Kullab beranggapan bahwa, sifat pemurah itu bukanlah sebagai perbuatan Allah.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan tentang sifat-sifat perbuatan batik ataupun adil dan yang semacamnya, apakah bisa dinyatakan Allah itu bukan sebagai Dzat yang berbuat kebaikan ketika Dia berbuat batik, bukan pula sebagai Dzat yang berbuat keadilan ketika Dia berbuat adil? Tentang hal ini mercka terpecah lagi dalam dua anggapan:

 

  1. Sebagian besar mereka, kalau ditanyakan kepadanya tentang anggapan bahwa sifat baik ataupun adil itu sebagai perbuatan niscaya mereka pun menganggap Allah bukan Dzat yang selalu berbuat kebaikan dan tidak pula keadilan, beranggapan: Tidaklah menyatakan Allah itu bukan Dzat yang selalu berbuat kebaikan dan tidak pula kejahatan, bahkan tidaklah menyatakan Allah itupun bukan Dzat yang selalu berbuat keadilan dan tidak pula kelancungan, sebelum lenyapnya keraguan. Begitupun mereka tidaklah menganggap Allah itu bukan Dzat yang berbuat kebenaran dan tidak pula kebohongan. Adapun anggapan terakhir ini dikemukakan al-Juba’i.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman, kalau ditanyakan kepadanya tentang pernyataan Allah itu apakah Dzat yang selalu berbuat kebaikan ataupun keadilan, beranggapan: Bukan berarti begitu. Kalau ditanyakan lagi kepadanya tentang pernyataan Allah itu apakah Dzat yang selalu berbuat penciptaan, maka dia mengingkarinya, bahkan dia pun mengingkari kalau ditanyakan terus kepadanya tentang pernyataan Allah itu apakah bukan Dzat yang selalu berbuat penciptaan.

 

Tetapi kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah tidak mengingkari pernyataan Allah itu bukan Dzat yang selalu berbuat penciptaan, bukan Dzat yang selalu berbuat keji ataupun perbuatan lainnya, dan begitupun tentang hal-hal yang tidak jelas, yang terdapat pada sifatsifat perbuatan-Nya, mereka tidaklah mengingkari pernyataan tersebut misalnya, pernyataan Allah itu Dzat yang selalu berbuat keperihidupan, kematian, pembangkitan, pewarisan dan sebagainya.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan tentang arti pernyataan Allah itu bersifat terdahulu, yang terpecah dalam beberapa anggapan:

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, arti pernyataan Allah bersifat terdahulu itu scbenarnya Dia tidaklah berawal, bahkan Dia itulah yang Maha Terdahulu dari segenap apa pun yang baru, yang tidak pula Dia berakhir ataupun berkesudahan.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan bahwa, arti pernyataan Allah bersifat terdahulu itu sebenarnya Dia sebagai Dzat yang seluly Maha Terdahulu. Tetapi dia mengingkari Allah itu sebagai Dzat yang Maha Terdahulu dari segenap apa pun yang baru, bahkan dia berkata, ’’Tidak boleh berkata begitu.”’

 

  1. Para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) beranggapan bahwa, arti pernyataan Allah bersifat terdahulu itu sebenarnya Dia adalah Tuhan (ilah) sebagai sumber segala.

 

  1. Abdullah ibn Kullab beranggapan bahwa, arti pernyataan Allah bersifat terdahulu itu sebenarnya Dia memiliki sifat terdahulu pada Dzat-Nya.

 

  1. Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa, arti pernyataan Allah bersifat terdahulu itu sebenarnya menisbatkan sifat terdahulu bagi Dzat-Nya tersebut sebagai Allah itu sendiri.

 

  1. Mu’ammar diceritakan beranggapan bahwa, tidaklah Allah itu dinyatakan bersifat terdahulu, kecuali Dia telah menciptakan sesuatu yang baru.

 

  1. Sebagian ulama terdahulu diceritakan beranggapan bahwa, tidaklah Allah itu dinyatakan bersifat terdahulu dari segenap apa pun yang baru.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan, apakah Allah itu disebut sebagai sesuatu atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua anggapan:

 

  1. Jaham ibn Shafwan dan sebagian pengikut golongan Syi’ah Zaidiyych beranggapan bahwa, Allah itu tidaklah bisa disebut sebagai sesuatu, karena yang disebut sesuatu itu merupakan ciptaan, yang mempunyai persamaan.

 

  1. Kebanyakan orang-orang muslim beranggapan bahwa, Allah itu merupakan sesuatu yang tidak seperti layaknya sesuatu.

 

Pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang pernyataan Allah itu bukan merupakan sesuatu, yang terpecah lagi dalam empat anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, Allah itu bukan merupakan sesuatu, yang berarti Dia pun bukanlah sebagai sesuatu itu karena Diri-Nya sendiri dan tidak pula karena selain-Nya. Adapun anggapan ini dikemukakan Abbad ibn Sulaiman.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Allah itu bukan merupakan sesuatu, sementara yang disebut sesuatu adalah selainNya, maka Dia pun bukanlah sebagai sesuatu itu karena DiriNya sendiri. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’i.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, Allah ,bukan menyerupakan sesuatu itu karena yang lain, tidak karena DiriNya sendiri, dan yang lain (ghairiyyah) ini pun sebagai sifat bagi Allah, bukan sebagai Allah itu sendiri dan bukanlah selainNya. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Halqani, di mana dia pun beranggapan: Bahkan substansi-substansi (jauhar) itu pun berubah karena yang lain, sehingga kalau yang lain tersebut musnah niscaya pula substansi-substansi itu tidak berubah, di mana aksiden-aksiden (a’radh) pun niscaya tidak berubah pula. Begitupun dengan sifat-sifat manusia, al-Halqani menganggap sifat-sifat manusia tersebut bukanlah sebagai manusia itu sendiri ataupun selainnya, sebagaimana anggapannya tentang sifat-sifat Allah di atas.

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, Allah bukan merupakan sesuatu itu pengertiannya adalah Dia lain dari segenap apa pun.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan tentang arti pernyataan Allah itu bersifat pemurah, apakah sifat tersebut sebagai suatu sifat Diri-Nya atau sifat perbuatan-Nya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga anggapan:

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, sifat pemurah yang ada pada Allah itu sebagai suatu sifat perbuatan-Nya, sehingga Allah pun sebagai Dzat yang berbuat karena kemurahan-Nya tersebut, tetapi kadang-khadang bukan sebagai Dzat yang berbuat kareng kemurahan-Nya itu.

 

  1. Al-Husein ibn Muhammad al-Najar beranggapan bahwa, Allah itu selalu bersifat pemurah dengan menafikan sifat Kikir dari. Nya, bukan karena menisbatkan sifat pemurah itu sendiri.

 

  1. Abdullah ibn Kullab beranggapan bahwa, Allah itu selalu bersifat pemurah, bahkan menisbatkan kemurahan scbagai suatu sifat Allah, tetapi bukanlah sifat itu sebagai Dia atau selain-Nya.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan, apakah pengetahuan Allah itu bersyarat atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam beberapa anggapan.

 

  1. Sebagian besar penduduk Bashrah (Bashriyyin) dan penduduk Baghdad (Baghdadiyyin), kecuali Hisyam ibn Abbad, beranggapan, Allah itu tahu bahwa Dia niscaya menyiksa orang-orang kafir kalau mereka tidak bertobat dari kekafirannya, tetapi Dia pun niscaya tidak menyiksa orang-orang kKafir itu kalau mereka bertobat dari kekafirannya dan meninggal dalam keadaan tobat tanpa dipenuhi dosa.

 

  1. Hisyam.al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman beranggapan, Tidaklah hal yang semacam itu dibolehkan, bahkan tidak ada syarat dalam hal-hal yang semacam di atas, Karena tidak dibenarkan Allah itu bersifat tahu ataupun memberitakan sesuatu berdasarkan syarat.

 

Adapun para ulama Mutakallim yang berbeda anggapan dengan mereka itu membolehkan Allah memberitakan hal-hal yang semacam di atas berdasarkan syarat, serta mensyarakatkan hal-hal yang diberitakan-Nya, dan Dia pun bersifat tahu itu berdasarkan syarat, bahkan mensyaratkan yang diketahui-Nya pula.

 

Para ulama Mutakallim berbeda anggapan tentang pernyataan ‘Allah itu bersifat tahu, hidup, kuasa, mendengar dan melihat, apakah dinyatakannya sifat-sifat tersebut secara hakikat atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam enam anggapan:

 

  1. Kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan bahwa, Allah bersifat tahu, kuasa, mendengar dan melihat itu secara hakikat, sekalipun begitu: tidaklah terlarang untuk menyatakan Allah disifai dengan sifat-sifat tcrsebut (hakikatnya) secara kiasan.

 

2, Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Tidak boleh menyatakan Allah bersifat tahu itu hakikatnya secara kiasan, karena dengan menyatakan begitu niscaya tidaklah ada Dzat lain yang bersifat tahu lagi selain Dia. Begitupun tentang sifat-sifat Allah lainnya misalkan (sifat) kuasa, hidup, mendengar dan melihat. Tetapi Abbad pun menganggap Allah bersifat terdahulu itu hakikatnya (justru) secara kiasan, karena kiasan ini niscaya terbalik dan Dia pun ada-Nya selalu bersifat terdahulu, dan barang siapa selalu ada, niscaya sebagai Dzat yang terdahulu. Maka, kalau Allah bersifat tahu itu hakikatnya secara kiasan, niscaya pula tidak ada Dzat lain yang bersifat tahu lagi selain Dia.

 

  1. Sebagian filosof konon beranggapan, Tidak menyekutukan antara nama-nama (sifat) Allah ini dengan selain-Nya, sehingga tidaklah mereka pun menyatakan Allah itu sebagai bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat, dan mereka hanya menganggap Allah itu selalu ada.

 

  1. Salah seorang ulama Mutakallim yang dikenal sebagai Ibn alIyyad beranggapan bahwa, Allah bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu hakikatnya secara kiasan, sementara manusia bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu secara hakikat, begitupun dengan sifat-sifat Allah yang lain.

 

  1. Al-Nasya’i beranggapan bahwa, Allah bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar, melihat, terdahulu, mulia dan agung itu secara hakikat, sementara manusia bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu hakikatnya secara kiasan. Karena itu Nasya’i pun menganggap Allah sebagai sesuatu yang ada (maujud) secara hakikat, sementara manusia hanyalah sebagai sesuatu yang ada secara kiasan, tetapi dia pun pernah mengatakan Allah itu bukan sebagai sesuatu, karena hakikatnya sesuatu itu niscaya bukanlah Allah.

 

Dia pun beranggapan bahwa, Nabi Muhammad SAW itu hakikatnya sebagai orang yang benar (shadiq), sementara kiasannya hanyalah sebagai orang yang berbuat (fa’il) semata.

 

Lalu dia beranggapan: Nama ataupun sifat itu bisa terjadi pada dua hal, yang hanya dimungkinkan (i) Karena adanya persamaan di antara keduanya, misalkan substansi dan substansi, air dan air, (ii) karena adanya persamaan arti di antara keduanya, misalkan yang gerak dan yang gerak, yang hitam dan yang hitam, (iii) karena adanya hubungan di antara keduanya, misalkan yang terasakan dan yang terasakan, yang diciptakan dan yang diciptakan, dan (iv) karena yang satu secara kiasan, sementara yang lain secara hakikat, misalkan sandal (sebagai nama benda) dan Sandal (sebagai nama orang). Maka pernyataan Allah bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu pun tidak boleh adanya pada Dzat Allah tersebut karena persamaan dengan selainNya, karena persamaan arti yang ada pada Dzat-Nya ataupun karena hubungan Allah dengan selain-Nya. Bahkan Allah selalu bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu pun sebelum adanya segenap sesuatu. Karena itu nama-nama pun tidaklah kekal, kecuali nama-nama tersebut secara kiasan. Adapun nama-nama Allah yang seperti Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar ataupun Maha Melihat itu adanya bukanlah ditunjukkan dengan perbuatan-perbuatan secara hukum, dan sekalipun manusia dinyatakan dengan perbuatan secara hukum, tetapi secara hakikat tidaklah manusia dinamai tahu, kuasa, hidup, mendengar ataupun melihat. .

 

  1. Sebagian besar ulama Mutakallim beranggapan bahwa, Allah bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar dan melihat itu secara hakikat, bahkan manusia pun disifati dengan nama-nama (sifaf) tersebut secara hakikat pula.

 

Allah Sebagai Dzat yang Berbicara Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang Allah sebagai Dzat yang berbicara, di mana sebagiannya menisbatkan Allah itu sebagai Dzat yang berbicara, sementara yang lainnya melarang untuk menisbatkan Allah itu sebagai Dzat yang berbicara, bahkan mereka beranggapan: Seandainya Allah itu dinisbatkan sebagai Dzat yang Berbicara (Mutakallim), niscaya Dia dinisbatkan pula sebagai Dzat yang Menerima-Adanya-Perbuatan (Mutafa’il). Adapun anggapan jni dikemukakan al-Iskafi dan Abbad ibn Sulaiman.

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah secara keseluruhan rmengingkari Allah itu selalu berkehendak atas kemaksiatan ataupun ketaatan seorang hamba kepada-Nya.

 

Bahkan mereka pun mengingkari Allah itu selalu (bersifat) sebagai Dzat yang Berbicara, yang Meridai, yang Pemarah, yang Mencintai, yang Membenci, yang Penyayang, yang Pemurah, yang Adil, yang Baik, yang Benar, yang Pencipta, yang Pemberi, yang Mengadakan, yang Membentuk, yang Menghidupkan, yang Mematikan, yang Memerintah, yang Melarang, yang Memujikan dan yang Menghinakan, dan mereka semua menganggap sifat-sifat Allah itu sebagai sifat perbuatan-Nya, di mana Dia disifati dengan sifat-sifat tersebut karena Diri-Nya. Dengan pernyataan ini sebagaimana halnya Dia disifati yang Kuasa, yang Hidup ataupun sifat-sifat lainnya niscaya pula tidak boleh Allah disifati dengan sifat-sifat yang beriawanan dengan-Nya, tidak juga dengan sifat yang Kuasa atau lawan sifatnya.

 

Jadi, kalau Allah disifati dengan sifat yang Tahu, niscaya tidak boleh Dia disifati dengan sifat yang bodoh, tidak juga dengan sifat yang Kuasa atas kebodohan. Bahkan Dia tidak danat disifati dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan-Nya, tidak juga dengan sifat yang Kuasa untuk berbuat apa pun berdasarkan sifat yang bertentangan dari sifat-sifat wajib-Nya, dan kalau Allah disifati dengan sifat yang Berkehendak, niscaya pula tercegahlah Dia disifati dengan sifat yang bertentangan dari (sifat) yang berkehendak tersebut.

 

Tetapi mereka beranggapan: Kalau Allah tetap disifati dengan sifat yang Membenci, hendaklah pula Dia disifati dengan sifai yang berlawanan dengan-Nya, yaitu dengan sifat yang Mencintai, dan kalau Allah pun dapat disifati dengan sifat yang Adil, niscaya dapat pula Dia disifati dengan sifat yang Kuasa atas keadilan.

 

Sifat-sifat Perbuatan Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang sifat-sifat perbuatan Allah, seperti (sifat) pencipta, pemberi, pemurah ataupun lainnya, apakah boleh dinyatakan Allah itu selalu: pemberi ataupun bukan pemberi dan bukan pemurah atau tidak’? Tentang hal Ini mereka terpecah lagi dalam tiga kclompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, Allah itu tidak bolch dinyatakan selalu bersifat pencipta ataupun bukan pencipta, tidak boleh pula dinyatakan selalu pemberi ataupun bukan pemberi, begitupun dengan sifat-sifat perbuatan lainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan Abbad ibn Sulaiman.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa, Allah itu selalu bersifat bukan pencipta ataupun bukan pemberi. Bahkan kalau ditanyakan kepadanya, apakah Allah pun selalu bukan yang adil? Maka mereka menjawab: Allah itu bukan selalu yang adil dan bukan pula yang Kejam, bukan selalu yang Baik dan bukan pula yang Jahat, bukan selalu yang Benar dan bukan pula yang Bohong. Sebab kalau hanya dinyatakan Allah itu bukan selalu yang benar saja, lalu berdiam diri, niscaya timbul keraguan (jangan-jangan) Dia pun selalu yang Bohong, dan begitupun kalau hanya dinyatakan Allah itu bukan selalu yang santun saja, lalu berdiam diri, niscaya timbul keraguan (jangan-jangan) pula Dia selalu yang Dungu. Tetapi kalau tidak sampai timbul keraguan, sebagaimana halnya dengan pernyataan Allah selalu pencipta atau pemberi, maka hendaklah dinyatakan Dia itu bukan selalu pencipta dan bukan pula pemberi. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’i.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Allah itu bukan selalu pencipta dan bukan pula pemberi. Tetapi mereka tidaklah menyatakan Dia pun bukan selalu yang Adil, bukan yang Baik, bukan yang Pemurah, bukan yang Benar dan bukan pula yang Santun tidak secara terbatas dan tidak secara mutlak kalau dalam hal ini tidak timbul keraguan. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh para penduduk Baghdad (Baghdadiyyin) dan juga Bashrah (Bashriyyin).

 

Sifat-sifat Dzat Allah Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah boleh dinyatakan pada Allah itu terdapat pengetahuan dan kekuasaan atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, pada Allah itu terdapat pengetahuan, sehingga mereka menyatakan Dia bersifat yang Tahu. Begitupun pada-Nya terdapat kekuasaan, sehingga mereka pun menyatakan Dia bersifat yang Kuasa. Bahkan Allah menyatakan sendiri bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, sebagaimana firman-Nya:

 

Artinya: ”… Allah menurunkan (Al-Quran) itu dengan ilmu-Nya.” (QS. Al-Nisa’ (4): 166)

 

Dan pada-Nya pun terdapat kekuasaan, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Artinya: . ”..Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah yang menciptakan mereka itu lebih besar kekuasaanNya ketimbang mereka… ? (QS. Fushshilat (41): 15)

 

Sekalipun begitu mereka tidak menyatakan hal ini sebagai sifatsifat Dzat Allah, bahkan mereka pun tidak menganggap terdapatnya keperihidupan pada-Nya itu berarti Dia bersifat yang Hidup dan terdapatnya pendengaran pada-Nya itu pun berarti Dia bersifat Mendengar, tctapi mereka justru. menyatakan terdapatnya (Kesesuatan) hal itu hanya pada sifat-sifat pengetahuan dan Kehuasaan Dzat-Nya semata. Adapun anggapan ini dtkemukakan al-Nizham dan kebanyakan penduduk Bashrah (Bashriyyii) dan penduduk Baghdad (Baghdadiyyin).

 

  1. Kelompok kedua ini beranggipan bahwa, pada Allah terdapat pengetahuan itu berarti sesuatu yang diketahui, terdapat kekuasaan itu. pun berarti sesuatu yang dikuasai. Hal ini terjadi seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:  ”… Dan mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmunNya …” (QS. Al-Bagarah (2): 225)

 

Adapun yang dimaksudkan   atau dari ilmu-Nya   ini menurut anggapan mereka, ialah  atau  dari suatu yang diketahui-Nya tersebut. Begitupun dengan seseorang yang muslim kalau melihat hujan niscaya dia berkata,  “Ini kekuasaan Allah”, Tetapi mereka tidaklah menganggap sesuatu yang diketahui (ma’lum) ataupun sesuatu yang dikuasai (maqdur) itu sebagai sifat-sifat Dzat Allah, kecuali pada sifat pengetahuan dan kekuasaan semata.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, pada Allah terdapat pengetahuan tu Diri-Nya, terdapat kckuasaan itu sebagai DiriNya, terdapat keperihidupan itu sebagai Dini-Nya dan terdapat pendengaran itu pun sebagai Diri-Nya, dan begilupun dengan sifat-sifat Dzat-Nya yang lain. Adapun anggapan int dikemukakan Abu al-Hudzail,

 

4, Kelompok keempat ini beranggapan bahwa, tidaklah boleh menyatakan pada Allah itu terdapat atau tidak terdapat pengetahuan, terdapat atau tidak terdapat kekuasaan, terdapat atau tidak terdapat pendengaran dan terdapat atau tidak terdapat penglihatan, dan begitupun dengan sifat-sifat Dzat-Nya yang lain. Adapun anggapan ini dikemukakan kelompok Abbadiyyah, yaitu para pengikut Abbad ibn Sulaiman.

 

Wajah Allah :

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah jtu bisa dinyatakan mempunyai wajah atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Allah itu mempunyai wajah, di mana wajah-Nya pun sebagai Dia itu sendiri. Adapun anggapan ini dikemukakan Abu al-Hudzail.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Kata wajah itu sebenarnya perluasan bahasa semata, di mana yang dinisbatkannya adalah Allah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Arab, karena sekiranya mereka menyatakan kata wajah tersebut yang dimaksud adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana halnya  seseorang berkata  (yang arti harfiyahnya: kalau tidak ada ’wajahmu’ tentu aku tidaklah  bekerja) diartikan  yang artinya kalau tidak ada ’kamu’ tentu aku tidaklah bekerja). Adapun anggapan ini dikemukakan al-Nizham beserta kebanyakan penduduk Bashrah dan penduduk Baghdad.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa, Mengingkari pernyataan Allah itu mempunyai wajah. Bahkan kalau dikatakan kepada mereka, bukanlah Allah SWT itu sendiri menyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:

“1. Setiap sesuatu niscaya binasa, kecuali wajah-Nya …”. (QS. Al-Qashash (28): 88)

 

Maka mereka berkata: ”Hal itu kami nyatakan ketika membaca Al-Qur’an, sementara kalau tidak sedang membacanya, kami tidak menyatakan Allah itu mempunyai wajah.” Adapun anggapan ini dikemukakan oleh kelompok Abbadiyah, yaitu para pengikut Abbad ibn Sulaiman.

 

Allah Itu yang Maha Berkehendak

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang hal ini, yang terpecah lagi dalam lima kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini ialah para pengikut Abu al-Hudzail, di mana mereka beranggapan: Kehendak (iradat) Allah itu bukanlah sebagai yang dikehendaki-Nya, bukan pula sebagai yang diperintahkan-Nya, bahkan pada hakikatnya pun bukanlah sebagai yang diciptakan-Nya sekalipun dengan perkataan ”terjadilah” kalian (kun) itu terciptalah pula sesuatu makhluk. Karena itu mereka pun menganggap kehendak Allah terhadap keimanan seseorang bukanlah sebagai ciptaan-Nya, bukan pula sebagai perintah-Nya, bahkan kehendak Allah terscbut berada pada-Nya dan bukan pada suatu tempat.

 

Adapun sebagian pengikut Abu al-Hudzail beranggapan: kehendak Allah itu memang bukan berada pada suatu tempat, tetapi tidak pula bisa dinyatakan kehendak-Nya tersebut berada pada-Nya itu sendiri.

 

2, Kelompok kedua ini ialah para pengikut Bisyr ibn al-Mu’tamir, di mana mereka beranggapan bahwa kehendak (iradat) Allah itu ada dua macam, yaitu (i) kehendak yang merupakan sifat Dzat-Nya; dan (ii) kehendak yang merupakan sifat perbuatannya. Adapun kehendak yang merupakan sifat Dzat-Nya itu tidaklah berkehendak terhadap kemaksiatan para hamba-Nya.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah para pengikutnya Abu Musa al-Mirdar, di mana mereka sebagaimana halnya diceritakan Abu al-Hudzail beranggapan: Pernyataan Allah menghendaki kemaksiatan para hamba-Nya itu berarti Dia membiarkan para hambanya tersebut berbuat maksiat. Bahkan Abu Musa al-Mirdar pun berkata, “Terciptanya sesuatu pada seseorang itu bukanlah sebagai ciptaannya sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang diciptakan Allah SWT.”

 

  1. Kelompok keempat ini ialah para pengikut Al-Nizham, di mana mereka beranggapan: Pernyataan Allah bersifat Maha Berkehendak terhadap adanya sesuatu itu berarti Dia itulah yang mengadakan sesuatu tersebut, bahkan kehendak Allah terhadap adanya sesuatu tersebut pun berupa keadaan yang mengada itu sendiri. Karena itu Allah bersifat Maha Berkehendak terhadap perbuatan para hamba-Nya pun berarti Dia itulah yang memerintahkan adanya perbuatan-perbuatan para hamba-Nya tersebut, sehingga apa pun yang diperbuat para hamba-Nya tersebut bukan merupakan perbuatan para hamba-Nya itu sendiri. Mereka pun beranggapan: Pernyataan Allah bersifat Maha Berkehendak terhadap adanya hari kiamat itu pun berarti Dia memutuskan dengan apa yang diberitakan-Nya tersebut. Adapun pengikut aliran Mu’tazilah yang cenderung pada anggapan ini ialah para penduduk Baghdad.

 

  1. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Ja’far ibn Harb, di mana mercka beranggapan bahwa Allah menghendaki kekufuran itu scbagai imbangan terhadap adanya keimanan, begitupun Diag menghendakt kejahatan itu sebagai timbangan terhadap adanya kebaikan, di mana Allah memutuskan hal itu berarti Dia pun menghendaki adanya hal itu.

 

Kalamullah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Kalamullah itu jisim atau bukan? Dan apakah Kalamullah itu makhluk atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam enam kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Kalamullah itu jisim, bahkan Kalamullah itu pun sebenarnya makhluk yang berupa jisim, tetapi bukanlah jisimnya itu berupa sesuatu.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Kalamullah itu makhluk yang berupa aksiden, yaitu suatu gerakan, sehingga tidak ada sesuatu aksiden yang lain berupa gerakan. Kalamullah itu pun sebenarnya makhluk yang berupa jisim, yaitu.suatu suara yang tersusun dan terdengar, yang berupa perbuatan dan ciptaan Allah; dan begitupun dengan apa yang diperbuat manusia kalau membacanya, yang berupa gerakan, sehingga ia pun bukan berupa bacaan Al-Qur’an. Adapun anggapan ini dikemukakan Al-Nizham dan para pengikutnya.

 

Bahkan Al-Nizham pun beranggapan: Kalamullah itu mustahil berada pada beberapa tempat dalam satu waktu, tetapi ia hanyalah berada pada suatu tempat yang ada pada-Nya.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa AJl-Qur’an itu makhluk Allah yang berupa aksiden, bahkan mereka menolak anggapan Al-Qur’an itu berupa jisim. Mereka pun menganggap Al-Qur’an itu sebenarnya berada pada beberapa tempat dalam satu waktu, sehingga kalau seseorang membacanya pun niscaya Al-Qur’an itu berada pada bacaannya; dan kalau sescorang menulisnya pun niscaya Al-Qur’an itu berada pada tuilisannya, bahkan kalau seseorang menghafalnya pun niscaya Al-Qur’an itu berada pada hafalannya pula. Karena itu Al-Qur’an berada pada beberapa tempat seperti pada bacaan, tulisan ataupun hafalan seseorang, walaupun begitu tidak boleh Al-Qur’an tersebut dinyatakan pindah ataupun lenyap.Adapun anggapan ini dikemukakan Abu alHudzail dan para pengikutnya, sehingga di samping anggapan mereka yang menyatakan Kalamullah itu makhluk, mereka pun menganggap Kalamullah itu boleh-boleh saja berada pada beberapa tempat dalam satu waktu.

 

  1. Kelompok keempat ini beranggapan bahwa Kalamullah itu aksiden yang juga berupa makhluk, tetapi Kalamullah itu tidaklah berada pada beberapa tempat dalam satu waktu, tidak juga pindah ataupun lenyap dari suatu tempat yang diciptakan Allah baginya, yang mustahil Kalamullah itu berada pada suatu tempat lainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan Ja’far ibn Harb dan kebanyakan pentluduk Baghdad (Baghdadiyyin).

 

  1. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Mu’ammar, di mana mereka beranggapan bahwa Kalamullah itu aksiden, sementara aksiden itu pun terbagi dalam dua macam, yaitu (1) aksiden yang membuat kehidupan ataupun yang menghidupkan; dan (11) aksiden yang membuat kematian ataupun yang mematikan. Mereka pun beranggapan: Mustahil aksiden yang mematikan dapat membuat suatu kehidupan, sementara Kalamullah (AIQur’an) itu sesuatu yang dibuat, yang berupa aksiden. Jadi, pada hakikatnya Allah pun mustahil membuat Al-Qur’an, karena aksiden pun tidaklah berupa perbuatan pada suatu tempat yang didengar darinya, sehingga kalau sesuatu didengar dari pohon misalnya niscaya sesuatu tersebut berupa perbuatan pohon itu sendiri. Bahkan dari tempat mana pun adanya sesuatu didengar, niscaya pula sesuatu tersebut berupa perbuatan tempat itu sendiri, karena itu ia pun menempat padanya.

 

  1. Kelompok keenam ini beranggapan bahwa Kalamullah itu hanya berupa aksiden semata, yang berada pada beberapa tempat dalam satu waktu. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Iskafi.

 

Apakah Kalamullah Itu Kekal?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Kalamullah itu kekal atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Kalamullah itu berupa jisim yang kekal, karena boleh-boleh saja jisim-jisim pun bersifay kekal, sementara kalam makhluk-makhluk tentu tidak kekal.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa Kalamullah itu berupa aksiden yang tidak bersifat kekal, sementara kalam yang selain. Nya itu hanya dikekalkan.

 

  1. Kelompok ketiga ini beranggapan bahwa Kalamullah itu berupa aksiden yang tidak bersifat kekal, begitupun dengan kalam yang selain-Nya. Karena itu mereka pun berkata: ”Kalamullah itu tidaklah bersifat kekal, sebab ia hanyalah ada kalau diciptakan Allah, di mana ia pun kemudian ditiadakan lagi.”

 

Apakah di Samping Bacaan Seseorang Terdapat Kalam Selainnya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah dj samping bacaan seseorang terhadap kalam yang selainnya dan kalam itu sendiri terdapat kalam yang lain dari keduanya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Di samping bacaan seseorang terhadap kalam yang selainnya dan kalam itu sendiri terdapat kalam yang lain dari keduanya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Bacaan seseorang terhadap kalam yang selainnya tersebut berupa kalam itu sendiri.

 

Apakah Kalam Itu Sendiri Berupa Bacaan? Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap bacaan seseorang terhadap kalam yang selainnya tersebut berupa kalam itu sendiri berbeda anggapan pula, apakah kalam itu sendiri berupa bacaan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Bacaan itu sendiri berupa kalam, Karena seorang pembaca niscaya melagukan bacaannya sementara lagunya tersebut hanyalah terdapat pada Kalam itu sendiri sehingga dia pun berupa ahli Mutakallim, yaitu berupa orang yang berbicara. Bahkan kalaupun dia membaca kalam yang selainnya, tetap saja mustahil dia dinyatakan berupa orang yang berbicara dengan kalam yang selainnya tersebut, karena bacaan tersebut berupa kalamnya itu sendiri.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Bacaan itu berupa suara, sementara kalam tersebut berupa huruf; dan suara bukan pula huruf, sehingga bacaan pun bukanlah berupa kalam.

 

Apakah Kalam Itu Berupa Huruf?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kalam itu berupa huruf atau bukan? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan; Kalamullah itu berupa huruf.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Kalamullah itu bukanlah berupa huruf

 

Apakah Kalam Itu Ada Bersama Tulisannya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kalam itu ada bersama tulisannya atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Kalam itu ada bersama tulisannya pada tempatnya sendiri, sebagaimana terkumpulnya bacaan pada tempatnya sendiri pula.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa tulisannya itu sendiri berupa tanda yang membuktikan adanya kalam tersebut, tetapi tidaklah kalam itu ada bersama tulisannya.

 

Apakah Allah Itu Subyek Yang Berbuat Terhadap Ciptaan-Nya? Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah bisa dinyatakan Allah itu berupa subyek yang menghamilkan terhadap orang hamil atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Karena Dia menciptakan kehamilan, maka Allah itu berupa subyek yang menghamilkan. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’i dan para pengikutnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Tidak boleh dinyatakan Allah itu berupa subyek yang menghamilkan karena Dia menciptakan kehamilan tersebut, sebagaimana halnya tidak boleh pula dinyatakan Allah itu berupa subyek yang beranak karena Dia menciptakan anak.

 

Pengertian Allah Itu, Yanz Menciptakan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang pengertian Allah itu Menciptakan, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Pengertian Allah itu yang Menciptakan adalah Dia telah berbuat sesuatu secara tertentu, sehingga manusia pun kalau telah berbuat sesuatu secara tertentu menurut anggapan mereka maka dia layaklah disebut yang menciptakan pula. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’i dan para pengikutnya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Pengertian Allah itu yang Menciptakan adalah Dia telah berbuat sesuatu’ bukan dengan suatu alat, bukan pula dengan suatu kekuatan yang diciptakannya, sehingga barang siapa telah berbuat sesuatu bukan dengan alat ataupun kekuatan yang diciptakannya menurut anggapan mereka maka dia pun layaklah disebut yang menciptakan perbuatannya tersebut; tetapi barang siapa telah berbuat sesuatu dengan alat , ataupun kekuatan yang diciptakannya, menurut anggapan mereka, maka dia pun tidaklah layak disebut yang menciptakan perbuatannya itu,

 

Mata Dan Tangan Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang kebanyakannya mengingkari adanya tangan dan mata pada Allah itu berbeda anggapan tentang hal ini, yang terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Menolak untuk menyatakan ‘ Allah itu mempunyai dua tangan dan mata.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Allah itu barangkali mempunyai tangan, kalau saja pada-Nya terdapat dua tangan. Tetapi yang dimaksud dengan tangan (yad) itu sebenarnya nikmat (ni’mat) sementara yang dimaksud dengan mata (’ain) itu sebenarnya pengetahuan (’ilm), sehingga Allah pun sebenarnya yang Mengetahui (’Alim). Karena itu mereka pun mentakwilkan

 

firman Allah:   ini yang semestinya berarti: agar kamu diasuh di bawah pengawasan mata-Ku)  menjadi yang berarti: agar kamu  (yang diasuh dengan pengetahuan-Ku).

 

Apakah Allah Dinyatakan yang Maha Wakil Ataupun Maha Lembut? .

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu dinyatakan yang Maha Wakil ataupun yang Maha Lembut? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa, Allah itu tidak boleh dinyatakan yang Maha Wakil. Bahkan mereka pun mengingkari adanya pernyataan dalam firman Allah: .

 

Artinya: “… Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baiknya yang mewakili kami.” (QS. Ali Imran (3): 173)

 

Sungguh, mereka pun mengingkari selain ketika membaca Al-Quran semata. Kemudian mereka pun mengingkari pernyataan Allah itu yang Maha Lembut, tanpa juga menghubungkannya dengan kata lain yang sesudahnya, sehingga misalnya bisa saja ia menjadi pernyataan  atau yang  Maha Lembut dengan para hantba-Nya. Adapun anggapan ini dikemukakan Abbad ibn Sulaiman.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Secara mutlak Allah itu boleh dinyatakan yang Maha Wakil ataupun yang Maha Lembut, tanpa batas ketentuan.

 

Apakah Allah Itu Dinyatakan Sebelum Sesuatu?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu dinyatakan sebelum sesuatu atau hanya sebelum semata, tanpa dilanjutkan kata sesuatu itu? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam tiga kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini (Abbadiyyah) ialah para pengikut Abbad ibn Sulaiman, di mana mereka beranggapan bahwa Allah itu hanya boleh dinyatakan sebelum semata, tidak boleh dinyatakan sebelum sesuatu atau sesudah sesuatu, sebagaimana tidak boleh dinyatakan Dia awal sesuatu pula.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Abu al-Husein al-Shalihi, di mana mereka beranggapan bahwa Allah selalu dinyatakan  atau sebelum sesuatu dengan mengucapkan rafa berbunyi pada huruf lam dari kata  itu, sehingga bukan nyang menyatakan  dengan mengucapakan nashab berbunyi a pada huruf lam dari kata  tersebut.

 

  1. Kelompok ketiga ini ialah sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, di mana mereka beranggapan: Allah selalu dinyata atau. sebelum sesuatu dengan  mengucapkan nashab berbunyi a pada huruf lam dari kata  tersebut, mutlak.

 

Apakah Allah Itu Dinamakan Yang Maha Tahu?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu boleh dinamakan yang Maha Tahu atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Boleh (ja’iz) saja Allah itu dinamakan yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa, yang Maha Hidup, yang Maha Mendengar ataupun yang Maha Melihat, kalau nama-nama itu menunjukkan pengertian yang layak bagi-Nya, sekali pun Rasulullah tidak mengajarkan hal ini.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Tidak boleh Allah itu dinamakan dengan nama-nama tersebut, sekalipun pengertiannya dapat saja diterima akal, kecuali Rasulullah mengajarkannya berdasarkan perintah-perintah Allah SWT.

 

Apakah Allah Itu Boleh Mengubah Nama-Nya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu boleh mengubah nama-Nya seperti halnya nama yang Maha Tahu itu diubah menjadi yang Maha Bodoh ataupun sebaliknya atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Dari segi apa pun tidak boleh hal itu terjadi pada wajah Allah. Adapun anggapan ini hanya dikemukakan Abbad ibn Sulaiman dan para pengikutnya semata.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Hal itu boleh (ja’iz) saja terjadi pada Allah SWT, karena sekalipun Dia selalu mengubah namaNya tersebut tidak seorang pun yang dapat mengingkari-Nya.

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu boleh setiap saat mengubah nama-Nya dan bahasa-Nya atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Boleh (ja’iz) saja hal itu terjadi pada-Nya, setiap saat pun.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Mengingkari hal itu boleh terjadi pada-Nya.

 

Apakah Allah Menamakan Diri-Nya Dengan Imbangan NamaNya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu boleh menamakan Diri-Nya dengan nama-nama seperti yang Bodoh, yang Mati ataupun yang Lemah, baik secara berubah-ubah ataupun secara bahasa yang ada pada-Nya? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan: Hal itu boleh terjadi padaNya. Sungguh, Allah itu tidak boleh secara berubah-ubah menamakan diri-Nya dengan nama-nama tersebut.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Hal itu boleh saja terjadi pada-Nya, karena sekalipun Allah itu. menamakan Diri-Nya dengan nama-nama tersebut tidak seorang pun yang dapat mengingkari-Nya. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Shalihi.

 

Sifat-sifat Dzat Dalam Pernyataan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Sifat-sifat ataupun nama-nama Allah SWT itu hanya dalam pernyataan dan pembicaraan semata, seperti halnya yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa ataupun yang Maha Hidup, itu hanya berupa nama-nama ataupun sifat-sifat Dzat-Nya semata; dan begitu juga dengan pernyataan-pernyataan yang dikenakan terhadap makhluk-Nya. Bahkan mereka tidak menisbatkan adanya Sifat tahu ataupun kuasa itu kepada-Nya, begitu juga dengan sifat-sifat Dzat-Nya yang lain. .

 

Apakah Allah Itu Kuasa Menciptakan Aksiden?

 

Para pengikut aliran Mu‘tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu kuasa menciptakan aksiden-aksiden atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Allah itu kuasa menciptakan ataupun menjadikan aksiden.

 

  1. Kelompok kedua ini ialah para pengikut Mu’ammar, di mana mereka beranggapan bahwa Allah itu tidak boleh menciptakan aksiden, bahkan Dia pun tidak disifati dengan sifat kuasa menciptakan aksiden tersebut. .

 

Apakah Allah Itu Bersifat Kuasa Atas Usaha Hamba-Nya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu bersifat kuasa atas usaha hamba-Nya atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, yang terdiri dari sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, beranggapan: Dari segi apa pun Allah itu tidak boleh bersifat kuasa atas usaha hamba-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini, di antaranya al-Syahham, beranggapan bahwa Allah itu bersifat kuasa atas usaha hamba-Nya, karena apa yang disebut gerakan (harakat) itu yang dikuasai Allah dan juga manusia pada hakikatnya satu, hanya saja gerakan yang diperbuat Allah itu adanya secara pasti, sementara gerakan yang diperbuat manusia adanya secara usaha.

 

Apakah Allah Itu Kuasa Atas Jenis Usaha Hamba-Nya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu bersifat kuasa atas jenis usaha hamba-Nya atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapannya:

 

  1. Kelompok pertama ini beranggapan bahwa Allah itu tidaklah bersifat kuasa atas usaha hamba-Nya baik yang berupa gerak, diam ataupun perbuatan yang diusahakan hamba-Nya itu tidak pula bersifat kuasa atas jenis-jenis usaha hamba-Nya tersebut, karena apa yang disebut gerakan-gerakan yang dikuasai Allah itu sebenarnya tidaklah mencakup jenis-jenis gerakannya yang diusahakan hamba-Nya.

 

  1. Kelompok kedua ini beranggapan: Kalau Allah itu menguasai hamba-Nya baik dalam hal gerak, diam ataupun perbuatan yang diusahakan hamba-Nya itu) niscaya Dia pula bersifat kuasa atas jenis-jenis usaha hamba-Nya tersebut. Adapun anggapan ini dikemukakan al-Juba’i dan beberapa pengikut aliran Mu’tazilah lainnya.

 

Apakah Allah Itu Bersifat Kuasa Atas Kezaliman?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu bersifat kuasa atas kezaliman dan kejahatan atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua kelompok anggapan:

 

  1. Kelompok pertama ini, yang terdiri dari sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, beranggapan Allah itu bersifat kuasa atas kezaliman dan kejahatan, bahkan dia pun mempunyai kekuasaan untuk berbuat zalim dan jahat.

 

  1. Kelompok kedua ini, di antaranya para pengikut Abbad ibn Sulaiman, beranggapan bahwa Allah itu bersifat kuasa atas kezaliman dan kejahatan, tetapi tidaklah dia mempunyai kekuasaan untuk berbuat zalim dan jahat.

 

Jawaban Terhadap Persoalan Allah Kuasa Atas Kezaliman

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang jawaban-jawaban terhadap orang yang mempecrsoalkan apakah Allah itu bersifat kuasa atas kezaliman dan kejahatan? Mereka terpecah lagi dalam tujuh kelompok anggapan:

 

  1. Abu al-Hudzail dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Seandainya benar Allah berbuat kezaliman dan kejahatan yang dikuasai-Nya itu, maka dengan cara bagaimana perkara ini terjadi? Sungguh, mustahil sekali Allah berbuat kezaliman dan kejahatan tersebut, karena hal itu niscaya menjadikan-Nya bersifat kurang, sementara Allah tidak boleh bersifat kurang.

 

  1. Abu Musa al-Mirdar dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Dimutlakkannya pernyataan seperti di atas kepada Allah itu tidak baik, bahkan kalau dimutlakkan kepada seorang muslim pun sudah tidak baik, maka dengan cara bagaimana hal seperti ini boleh dimutlakkan kepada Allah? Karena itu terlarang untuk menyatakan, ’Seandainya Allah berbuat kezaliman,’’, bukan semata-mata terlarang karena ketidakbaikan untuk menyatakannya, tetapi juga karena Allah itu mustahil sekali berbuat kezaliman. Dan Abu Musa pun memperbaharui pernyataan tersebut dengan menyatakan: ’Seandainya Allah berbuat kezaliman itu niscaya Dia pun adalah Tuhan yang Maha Zalim,’ bahkan kalau terdapat suatu dalil yang membuktikan Dia berbuat kezaliman tersebut, maka dengan adanya dalil ini niscaya terbuktilah Allah tidak berbuat kezaliman.

 

  1. Bisyr ibn al-Mu’tamir dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Allah pun bersifat kuasa untuk menyiksa anakanak orang kKafir itu. Kalau ditanyakan kepadanya, kenapa pula Allah menyiksa anak-anak? Maka jawabannya: Aliah menyiksanya karena anak-anak itu kalau sampai dewasa tentu menjadi kafir, sehingga berhak disiksa.

 

  1. Muhammad ibn Syabib dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Allah itu bersifat kuasa atas kezaliman, tetapi kezaliman-Nya tersebut tidaklah terjadi selain terhadap orang-orang jahat, sebab pada dasarnya hal itu tidaklah bersumber dari Allah sendiri. Karena itu tidak ada artinya seseorang menyatakan: ’Seandainya Allah berbuat kezaliman.”

 

  1. Sebagian pengikut aliran Mu’tazilah dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Allah bersifat kuasa untuk berbuat keadilan dan kebenaran ataupun schaliknya, tetapi tidaklah boleh menganggap Allah bersifat kuasa untuk berbuat kezaliman dan kebohongan. Kalau ditanyakan kepadanya, apakah terasakan manfaat dari perbuatan Allah? Maka jawabnya, ya! Apa pun‘ yang tampak secara nyata ini merupakan bukti bahwa AlJah tidaklah berbuat kezaliman tersebut.

 

Tetapi kalau ditanyakan lagi kepadanya, apakah Allah bersifat kuasa untuk berbuat kezaliman dengan adanya dalil yang membuktikan Dia tidak berbuat kezaliman tersebut? Dia hanya menjawab, Allah bersifat kuasa untuk berbuat kezaliman itu sebenarnya dengan adanya dalil yang terpisah dari bukti-bukti tersebut, karena bukti-bukti itu tidaklah dianggap dalil bagi yang selainnya, sementara kezaliman tersebut telah terjadi.

 

Begitupun kalau ditanyakan lagi kepadanya, kalau Allah berbuat kezaliman itu berdasarkan dalil yang. membuktikan Dia tidak berbuat kezaliman tersebut padahal Allah telah berbuat kezaliman maka dengan cara bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Maka jawabnya: Seandainya kezaliman tersebut telah terjadi, niscaya . akal pun tidak mempercayainya dan karena sesuatu yang dulu telah dijadikan dalil oleh para ahli pikir itu sekarang bukan lagi berupa dalil, sekalipun sesuatu tersebut masih itu juga adanya, tetapi toh tentu berbeda sekali susunannya dan hakikatnya pada kedua jarak waktu itu. Adapun anggapan ini dikemukakan Ja’far ibn Harb.

 

  1. Al-Iskafi dalam menjawab persoalan tersebut beranggapan: Allah bersifat kuasa atas kezaliman, walaupun begitu jisim-jisim yang termasuk padanya itu akal ataupun nikmat yang telah diciptakan Allah bagi hamba-Nya itu merupakan bukti bahwa Dia tidaklah .berbuat kezaliman, bahkan akal itu sendiri telah membuktikan bahwa Allah tidak zalim, sehingga tidaklah boleh menyatakan kezaliman tersebut datang dari Allah.

 

Kalau ditanyakan kepadanya, seandainya kezaliman tersebut datang dari Allah, maka dengan cara bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Maka jawabnya: Jisim-jisim itu merupakan ekspresi akal yang membuktikan bahwa Allah tidaklah berbuat kezaliman.

 

7, Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman kalau ditanyakan kepadanya, seandainya Allah itu berbuat kezaliman, maka dengan cara bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Dalam menjawab permasalahan tersebut beranggapan: Mustahil adanya pernyataan jni. Bahkan mereka berkata: ”Kalau yang dikehendaki dengan kata-kata seandainya itu adanya suatu keraguan padanya, maka kami tidaklah memiliki keraguan untuk menyatakan Allah itu tidak berbuat kezaliman, dan kalau yang dikehendaki dengan kata-kata: seandainya itu adanya suatu penolakan padanya,‘maka kami pun tidaklah menyatakan Allah itu berbuat kezaliman dan kejahatan. Karena itu tidaklah layak untuk menyatakan: “Seandainya Allah berbuat kezaliman.”

 

Kuasa Atas Sesuatu Yang Diketahui-Nya Tidak Akan Terjadi

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang Allah itu kuasa atas sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan terjadi, di mana mereka terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Abu al-Hudzail dan Ja’far ibn Harb, beserta para pengikutnya, beranggapan: Allah itu kuasa terhadap sesuatu yang diketahuiNya tidak akan terjadi, bahkan Dia pun telah mengabarkan tidak akan terjadi sesuatu tersebut. Jadi, seandainya sesuatu yang diketahui-Nya pun tidak akan terjadi itu dalam kenyataannya terjadi, maka tetap saja Allah bersifat Maha Tahu, dan Dia pun tetap menjadikannya, sehingga adanya kabar itu hanya membuktikan bahwa sesuatu tersebut telah terjadi sejak duludulu.

 

  1. Al-Aswari beranggapan: Mustahil sekali untuk menggabungkan pernyataan Allah itu kuasa untuk berbuat sesuatu, dengan pernyataan Allah itu Maha Tahu terhadap sesuatu yang tidak akan terjadi, bahkan telah mengabarkan tidak akan terjadi sesuatu tersebut. Tetapi kalau salah satu dari kedua pernyataan itu dipisahkan, maka benarlah pernyataan tersebut, sehingga hanya dinyatakan Allah itu kuasa untuk berbuat sesuatu semata.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Tidak (boleh) menyatakan Allah itu kuasa terhadap scsuatu yang dikctahui-Nya tidak akan terjadi, tctapi hanya boleh menyatakan Allah itu Kuasa terhadap sesuatu semata, scbagaimana halnya bolch menyatakan Allah itu Maha Tahu terhadap sesuatu tersebut. Bahkan tidak boleh pula menyatakan Allah itu Maha Tahu terhadap sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan terjadi, padahal dalam kenyataannya terjadi, karena kabar yang menyatakan Allah itu kuasa untuk menjadikan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan terjadi tersebut sebenarnya berarti Dia pun menguasainya dan akan menjadikannya. Karena itu kalau ditanyakan kepadanya, apakah Allah itu akan berbuat sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diperbuat? Maka dia menjawab, mustahil sekali hal seperti itu terjadi.

 

  1. Al-Juba’i, kalau ditanyakan kepadanya: Seandainya Allah itu berbuat sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan terjadi serta mengabarkannya pula, maka dengan cara bagaimana pengetahuan serta pekabaran tersebut akan terjadi. Dia beranggapan: Mustahil sekali hal seperti itu terjadi. Bahkan dia menganggap seandainya seseorang beriman, niscaya Allah pun tetap memasukkannya ke surga. Karena itu dia menganggap sesuatu yang telah dikuasaiNya tersebut, kalau dihubungkan dengan sesuatu yang telah dikuasai-Nya pula, maka akan terdapatlah suatu pernyataan yang absah benarnya, dan hal-ini seperti adanya’suatu pernyataan, seandainya seseorang itu beriman, niscaya Allah pun akan memasukkannya ke surga, karena iman itu merupakan suatu kebaikan baginya. Allah pun berfirman:

 

Artinya:  ”… Seandainya mereka dikembalikan (ke dunia) pun niscaya mereka akan kembali …” (QS: Al-An’am (6): 28)

 

Artinya, dikembalikannya itu merupakan hal yang dikuasai Allah atasnya. Karena itu al-Juba’i menyatakan, kalau dikembalikannya itu merupakan hal yang dikuasai Allah darinya, maka begitu pun dengan kembalinya itu metupakan hal yang dikuasai Allah pula.

 

Bahkan menurutnya kalau sesuatu yang mustahil dihubungkan dengan sesuatu yang mustahil Jainnya, maka akan terdapatlah peryataan yang absah benarnya seperti halnya pernyataan: Seandainya dalam satu keadaan yang sama suatu jisim bergerak dan juga diam, niscaya dibolehkan pula dalam satu keadaan yang sama jisim tersebut hidup dan juga matt, bahkan begitupun dengan hal yang: serupa itu.

 

Tetapi kalau sesuatu yang dikuasai ‘Ailah itu dikubungkan’ dengan sesuatu yang mustahil, maka akan terdapatlah pemyataan yang mustahil seperti, halnya pernyataan: Seandainya seseorang ‘beriman, padahal diketahui-Nya ‘dan dikabarkan-Nya, bahwa orang itu tidak akan beriman, maka dengan cara bagaimana Allah bisa’ mengetahui dan mengabarkan hal itu?. Karena mustahil sekali sesuatu yang tidak akan diadakan itu dinyatakan ada, mustahil pula sesuatu yang tidak akan terjadi itu.dinyatakan terjadi. Bahkari mustahil sekali-Allah itu tidak akan menjadikan sesuatu yang diketahui-Nya, sehingga:tidaklah Dia (bersifat) yang Maha Tahu. Kalau. dinyatakan kepadanya, pekabaran dan pengetahuan Allah itu menyatakan bahwa sesuatu. tersebut tidak akan terjadi, padahal. dalam kenyataannya terjadi, Maka jawabnya, pernyataan, itu mustahil sekali seperti halnya, pernyataan. Benar dinyatakan bohong ataupun tahu dinyatakan bodoh niscaya mustahil pula

 

Lebih dari itu sekalipun yang menjawab pettanyaan ‘tersebut berdasarkan salah satu jawaban ini, tetapi mustahil ‘pula’ ‘selain jawabannya tersebut senada dengan kemustahilan adanya pertanyaan itu. “

 

Wujud Sesuatu Yang Diketahui-Nya Tidak Akan Terjadi

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda’ anggapan tentang ‘boleh terjadinya sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, di mana mereka terpecah lagi dalam empat kelompok anggapan:

 

  1. Kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan, Selagi Dia bersifat lemah, mustahil adanya sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi itu terjadt. Tetapi salah seorang di antaranya menganggap boleh saja Allah bersifat lemah terhadap hal tersebut, hanya saja kalau sifat lemah yang ada pada-Nya itu hilang dan berubah dengan sifat kuasa terhadap hal tersebut, maka Dia pun niscaya bersifat Maha Tahu bahwa sesuatu itu akan terjadi. Orang yang menyatakan boleh itu pun mengartikan Allah itu kuasa terhadap hal tersebut. Benar, sesuatu yang diketahui Allah ity tidak akan terjadi karena Dia meninggalkan untuk menjadikannya. Maka orang itu pun menganggap boleh saja yang menjadikan hal tersebut tidak meninggalkannya, dengan Kata lain menjadikannya tersebut sebagai pengganti meninggalkannya, sehingga Allah yang Maha Tahu itu pun menjadikannya. Adapun yang dimaksud boleh tersebut sebenarnya ialah kuasa, karena hal itu absahlah benarnya.

 

  1. Ali al-Iswari beranggapan: Tidaklah sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi itu boleh saja terjadi, karena kalau dihubungkan hal ini dengan pengetahuan Allah itu sendiri, maka hal ini sebenarnya tidak akan terjadi.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Orang yang menyatakan boleh saja sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi itu tidak terjadi, seperti halnya orang tersebut menyatakan sesuatu yang diketahui Allah itu, tidak akan terjadi, karena makna kata boleh tersebut (menurutnya) berarti wenang.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Sesuatu yang diketahui dan diberitahukan ‘Allah tidak akan terjadi, menurut orang-orang yang membenarkan berita-Nya tersebut, tidak boleh hal itu terjadi. Sementara menurut al-Juba’i boleh saja terjadi sesuatu yang diketahui dan diberitakan Allah tidak akan terjadi, kKarena pembolehannya terhadap hal itu, yang berarti keraguan akan terjadi atau tidak. Adapun menurutnya kata boleh itu secara bahasa mempunyai dua pengertian, yaitu berarti ragu ataupun berarti halal.

 

Allah Itu Tidak mempunyai Ilmu Yang Baru

 

Para pengikut Mu‘tazilah bersepakat: Allah itu tidak mempunyai ilmu yang baru, tidak boleh timbul pada-Nya anggapan-anggapan yang baru. Bahkan pada sesuatu yang telah diberitakan-Nya pun tidak boleh terjadi pembatalan (nasikh), karena seandainya terjadi pembatalan serhadap apa yang telah diberitakan-Nya seperti halnya Dia telah . memberitakan tentang sesuatu yang akan terjadi, kemudian Dia membatalkan itu dengan berita yang menyatakan bahwa sesuatu tersebut tidak akan terjadi niscaya pula salah satu dari kedua berita jtu tidak benar adanya, sehingga mereka pun menganggap nasikh dan mansukh tersebut hanya terjadi dalam perintah (amar) dan larangan (nahyt) semata.

 

Mengingkari Pernyataan Allah Itu Hakikat Sesuatu

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Mengingkari pernyataan Allah itu hakikat sesuatu, bahkan pada-Nya terdapat hakikat yang tidak diketahui para hamba-Nya, sehingga mereka pun menganggap itikad begitu terhadap Allah jelas-jelas salah dan bathil.

 

Perbedaan Tentang Penjisiman Kepada Allah

 

Aku telah mengemukakan beberapa anggapan para Mutakallim yang mengingkari penjisiman kepada Allah (tajsim), di mana mereka beranggapan: Allah itu sebenarnya bukan jisim, Dia tiada berbatas ataupun berpenghabisan. Sekarang aku akan mengemukakan beberapa anggapan kelompok Mujassimah (para Mutakallim yang menganggap Allah itu jisim) dan beberapa perbedaan di antara mereka tentang penjisiman kepada Allah tersebut.

 

Anggapan Kelompok Mujassimah

 

Para Mutakallim dari kelompok Mujassimah berbeda anggapan tentang penjisiman kepada Allah tersebut, apakah Dia mempunyai ukuran atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam enambelas anggapan.

 

Hisyam ibn al-Hakam beranggapan: Allah itu jisim yang mempunyai keterbatasan, Dia mempunyai dimensi (ukuran) lebar,

 

HALAMAN 276-277

 

Al-Jawaribi pun diccritakan beranggapan: Allah itu pun berupa tubuh, dari mulut sampai dada-Nya berlubang, sementara yang selain itu tertutup semua. .

 

Kebanyakan orang beranggapan: Allah itu tubuh yang tidak berlubang, berdasarkan pentakwilan mereka atas firman Allah SWT,  atau Allah itu tempat pergantungan segala sesuatu (QS. Al-Ikhlas (112): 2) yang ditakwilkan menjadi  yang justru berarti Allah itu tubuh yang tidak berlubang.

 

Hisyam ibn Salim al-Jawaligi beranggapan: Allah itu berupa manusia, tetapi tidaklah Dia mempunyai daging dan darah, sebab menurutnya Allah itu cahaya yang memancarkan sinar:keputih-putihan. Dia mempunyai pancaindra sebagaimana layaknya pancaindra manusia, tetapi pendengaran-Nya bukanlah penglihatan-Nya, begitupun dengan seluruh pancaindra-Nya; dan Dia mempunyai tangan, kaki, telinga, mata, hidung dan mulut, bahkan Dia pun mempunyai rambut panjang yang berwarna hitam pekat.

 

Sebagiannya yang menganggap sekalipun Allah itu berupa suatu bentuk, mereka mengingkari Allah itu jisim.

 

Sebagian lainnya yang menganggap sekalipunAllah itu jisim, mereka mengingkari Allah itu berupa suatu bentuk.

 

Al-Jawaribi pun diccritakan beranggapan: Allah itu pun berupa tubuh, dari mulut sampai dada-Nya berlubang, sementara yang selain itu tertutup semua. .

 

Kebanyakan orang beranggapan: Allah itu tubuh yang tidak berlubang, berdasarkan pentakwilan mereka atas firman Allah SWT,  atau Allah itu tempat pergantungan segala sesuatu (QS. Al-Ikhlas (112): 2) yang ditakwilkan menjadi  yang justru berarti Allah itu tubuh yang tidak berlubang.

 

Hisyam ibn Salim al-Jawaligi beranggapan: Allah itu berupa manusia, tetapi tidaklah Dia mempunyai daging dan darah, sebab menurutnya Allah itu cahaya yang memancarkan sinar:keputih-putihan. Dia mempunyai pancaindra sebagaimana layaknya pancaindra manusia, tetapi pendengaran-Nya bukanlah penglihatan-Nya, begitupun dengan seluruh pancaindra-Nya; dan Dia mempunyai tangan, kaki, telinga, mata, hidung dan mulut, bahkan Dia pun mempunyai rambut panjang yang berwarna hitam pekat.

 

Sebagiannya yang menganggap sekalipun Allah itu berupa suatu bentuk, mereka mengingkari Allah itu jisim.

 

Sebagian lainnya yang menganggap sekalipunAllah itu jisim, mereka mengingkari Allah itu berupa suatu bentuk.

 

Beberapa perbedaan anggapan para Mutakallim tentang Allab SWT apakah Dia bersemayam di suatu tempat tertentu yang bukan seperti layaknya suatu tempat atau Dia tidak bersemayam di suatu tempat tertentu, tetapi Dia bersemayam di setiap tempat?, Apakah para malaikat pembawa ’Arsy itu membawa Diri-Nya atau membawa ‘Arsy? Dan apakah para malaikat pembawa ’Arsy itu terdiri dari delapan malaikat atau terdiri dari delapan golongan malaikat?

 

Ajaran yang Mengingkari Allah Itu Bersemayam di Suatu Tempat Tertentu.

 

Para Mutakallim berbeda anggapan tentang hal ini, yang terpecah dalam tujuhbelas kelompok anggapan, dan aku telah mengemukakan ajaran-ajaran para Mutakallim yang mengingkari Allah itu bersemayam di suatu tempat tertentu tersebut, di mana mereka menganggap Allah itu bersemayam di setiap tempat, bahkan aku pun telah mengemukakan ajaran-ajaran para Mutakallim yang menyatakan bahwa Allah itu tidak bersemayam pada suatu tempat yang berbatas. Adapun kedua golongan Mutakallim tersebut merupakan golongan yang mengingkari Allah itu bersemayam di suatu tempat tertentu, yang tidak seperti layaknya. suatu tempat.

 

Ajaran yang Menisbatkan Allah Itu Bersemayam di Suatu Tempat Tertentu.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Allah itu jisim yang tidak mempunyai sifat-sifat jisim (seperti layaknya suatu jisim) sehingga Dia pun tidak mempunyai dimensi panjang, lebar dan dalam.

 

HALAMAN 280-281

 

Artinya:  “Yang berlayar. (perahu Nuh itu) dengan pengawasan mataku….” (QS. Al-Qamar (54): 14)

 

Allah pun niscaya datang beserta para malaikat di hari kiamat kelak, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:

“Dan datanglah Tuhanmu beserta para malaikat yang berbaris-baris.”  (QS. al-Fajr (89): 22)

 

Serta Allah pun niscaya turun ke langit dunia, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah SAW:

 

“Tuhan kami (Allah) yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu niscaya turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika malam tinggal berakhir sepertiga baginya, seraya berfirman: Barang siapa memohon kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya. Barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, dan barang siapa mengharap ampunan-Ku, niscaya Aku pun mengampuninya.’’

 

Di samping itu kelompok Ahli. Sunah dan Hadis ini pun menyatakan anggapan-anggapannya hanya berdasarkan kitab (AlQur’an) dan riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah SAW:  Al-Hadis semata.

 

  1. Aliran Mu’tazilah beranggapan: Yang dimaksud dengan Allah bersemayam (istawa) di atas ’Arsy itu ialah Dia berkuasa (istaula) di atasnya.

 

  1. Sebagian orang beranggapan: Allah itu bertempat ataupun menetap di ’Arsy.

 

Perbedaan Tentang Malaikat Pembawa ’Arsy

 

Para Mutakallim berbeda anggapan, apakah yang dibawa para malaikat pembawa ’Arsy.

 

  1. Sebagiannya beranggapan: Para malaikat pembawa ’Arsy itu membawa Allah, karena para malaikat tersebut pada punggungnya merasa ada sesuatu yang memberati kalau Allah marah, tetapi

 

HALAMAN 284-285

 

Sungguh, Allah itu: Maha Suci lagi Maha Tinggi dari hal sepert; itu.

 

Perbedaan Tentang Melihat Allah

 

Para Mutakallim berbeda anggapan tentang melihat Allah (ru’yatullah) dengan penglihatan mata, yang terpecah dalam sembilanbelas anggapan.?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Di dunia ini bisa melihat Allah dengan penglihatan mata. Karena itu mereka pun tidak mengingkari adanya sebagian orang yang bisa melihat Allah (misalnya) di jalan-jalan raya.

 

  1. Sebagiannya lagi beranggapan: Boleh-boleh saja Allah itu menyatu pada suatu jisim. Karena itu mereka pun kalau melihat orang lain niscaya selalu bersikap baik, sebab mereka menganggap barangkali saja Tuhan menyatu pada diri orang tersebut.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Di dunia ini boleh-boleh saja melihat Allah. Karena itu mereka pun menganggap boleh-boleh saja seseorang menjumpai, menyentuh ataupun mendekati Diri-Nya, dan seseorang yang berbuat baik itu boleh-boleh pula seiring sejalan dengan-Nya, kalau Dia menghendaki hal itu. Adapun anggapan ini, konon, dikemukakan oleh Mudhar dan Kahmas.

 

  1. Abdul Wahid ibn Zaid diceritakan beranggapan: Allah itu . sebenarnya bisa dilihat oleh hamba-Nya, sesuai dengan amal perbuatan yang ada pada hamba-Nya itu sendiri. Karena itu kalau amal perbuatan hamba-Nya tersebut baik, maka dia pun niscaya bisa melihat-Nya.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Di dunia ini dapat melihat Allah ketika tidur, sementara ketika sadar tidaklah dapat melihat-Nya. Adapun Raqabah ibn Mashgalah diceritakan berkata: ’Aku melihat Tuhan yang Maha Mulia ketika tidur.” Dan hal ini seperti yang telah dialami Sulaiman al-Tamimi, yang selama 40 tahun selalu melakukan salat fajar dengan bersuci sejak awal waktu Salat Isya.

 

  1. Sebagian besar beranggapan: Mengingkari di dunia ini bisa melihat Allah. Tetapi sebagiannya pun tidak menutup kemungkinan Allah itu bisa dilihat kelak di hari akhirat.

 

Perbedaan Tentang Cara Melihat Allah

 

Para Mutakallim yang menganggap Allah bisa dilihat itu berbeda anggapan lagi tentang cara (kayftat) melihat-Nya.

 

1, Sebagiannya pun beranggapan: Bisa melihat Allah itu sebagai jisim yang terbatas, yang dapat dijumpai di suatu tempat tertentu, tetapi tidak seperti layaknya suatu tempat.

 

  1. Zuhair al-Atsari betanggapan: Dzat Allah itu bersemayam di setiap tempat, yaitu bersemayam di atas ’Arsy-Nya. Bahkan mereka pun menganggap bisa melihat-Nya bersemayam di atas ‘Arsy-Nya kelak di hari akhirat, tanpa mempersoalkan bagaimana cara melihat-Nya itu.

 

Perbedaan Tentang Melihat Allah Dengan Penglihatan Mata

 

Para Mutakallim berbeda anggapan, apakah Allah bisa dilihat dengan penglihatan mata atau tidak?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Allah bisa dilihat dengan penglihatan mata.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Allah tidak bisa dilihat dengan penglihatan mata.

 

Perbedaan Tentang Alat untuk Melihat Allah

 

Para Mutakallim berbeda anggapan tentang alat untuk melihat Allah.

 

  1. Sebagiannya beranggapan: Niscaya mereka bisa melihat Allah dengan penglihatan mata secara jelas dan terang.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Niscaya mereka tidak bisa melihat Allah dengan penglihatan mata secara jelas dan terang.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Kalau bisa melihat Allah, niscaya mata pun terbelalak kepada-Nya.

 

HALAMAN 288-289

 

ataupun yang berlayar dengan  pengetahuan-Ku pula, bahkan pengertian sisi (al-janb) ditakwilkan menjadi perintah (al’amr) seperti dalam firman-Nya  atau di sisi Allah itu ditakwilkan menjadi  ataupun dalam perintah Allah. Lalu mereka beranggapan: Diri-Nya pun berupa Allah itu sendiri, begitupun dengan Dzat-Nya. Sementara takwil kata  atau pergantungan segala sesuatu itu menurutnya mempunyai dua pengertian, yaitu  ataupun yang dipertuan dan  alias yang dimaksudkan, 

 

Adapun tentang Allah mempunyai wajah itu terdapat dua anggapan dalam aliran Mu’tazilah.

 

  1. Sebagiannya beserta Abu al-Hudzail beranggapan: Wajah Allah itu ialah Allah itu sendiri.,

 

  1. Sebagian lainnya ‘beranggapan: Pengertian firman Allah. atau dan tetap kekallah wajah Tuhanmu itu sebenarnya ialah atau dan tetap kekallah Tuhanmu. Karena itu mereka tidaklah menisbatkan adanya wajah Allah tersebut sclain dari hanya menyatakan Allah semata.

 

Perbedaan Tentang Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

 

Aku telah mengemukakan anggapan para Mutakallim, baik yang menyatakan bahwa Allah itu bukan selalu yang Maha Tahu, bukan selalu yang Maha Kuasa, bukan selalu yang Maha Mendengar dan bukan selalu yang Maha Melihat, maupun mereka yang menyatakan Allah itu selalu yang Maha Tahu, selalu yang Maha Kuasa dan selalu yang Maha Hidup.

 

Adapun mereka yang mengingkari pernyataan Allah itu selalu yang Maha Tahu, sungguh, mereka pun beranggapan bahwa, Allah itu tidaklah mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu sendiri terjadi. Karena itu mereka berbeda anggapan, apakah Allah itu selalu yang Maha Hidup atau tidak?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan bahwa, Allah itu selalu yang Maha Hidup.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan bahwa, mengingkari anggapan pertama. Karena itu mereka pun mengingkari adanya Allah itu selalu sebagai Tuhan.

 

Perbedaan Tentang Pernyataan Allah Tidaklah Mengetahui Sesuatu Sebelum Sesuatu Itu Sendiri Terjadi

 

Para Mutakallim yang menyatakan Allah tidaklah mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu sendiri terjadi pun terbagi dalam limabelas anggapan.

 

  1. Kelompok Sakakiyyah beranggapan bahwa, Allah itu hanya mengetahui Diri-Nya semata, sementara pengetahuan-Nya itu sendiri merupakan sifat Dzat-Nya. Dia tidaklah mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu sendiri terjadi, sehingga kalau sesuatu itu sendiri belum terjadi, maka Dia pun tidaklah mengetahuinya, dan karena sesuatu itu sendiri tidaklah discbut sesuatu sebelum terjadinya, niscaya tidaklah layak dinyatakan Allah itu mengetahui sesuatu yang tidak terjadi.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan bahwa, Allah itu selalu yang Maha Tahu, bahkan pengetahuan-Nya itu sendiri merupakan sifat Dzat-Nya. Tetapi Allah tdaklah bersifat yang Maha Tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu sendiri terjadi, sebagaimana halnya manusia bersifat melihat dan mendengar, tetapi dia tidaklah dinyatakan melihat sebelum terjadi sesuatu yang dilihatnya, dan begitupun dia tidaklah dinyatakan mendengar sebelum terjadi sesuatu yang didengarnya, bahkan manusia sebagat makhluk yang mempunyai akal pun tidaklah dinyatakan berakal sebelum dia berbuat sesuatu dengan akalnya tersebut.

 

  1. Syaithan al-Thaq beranggapan bahwa, Allah itu tidaklah mengetahui sesuatu sebelum terbukti sesuatu yang dikehendakiNya ataupun dikuasai-Nya. Karena itu kalau Allah menghendaki sesuatu, maka berarti Dia mengetahuinya, dan kalau Allah tidak menghendaki sesuatu, maka berarti Dia tidak mengetahuinya. Bahkan menurutnya kalau Allah menghendaki ‘sesuatu, maka Dia pun niscaya bergerak, sementara gerakan-Nya itu merupakan kehendak-Nya pula. Jadi, kalau Allah bergerak, maka berarti Dia mengetahui terhadap sesuatu dan kalau Dia tidak bergerak, maka berarti Dia tidak -layak. dinyatakan yang Maha Tahu terhadap sesuatu. Maka mereka menganggap Allah itu sebenarnya tidaklah mengetahui sesuatu yang tidak terjadi. –

 

4, Sebagian lainnya beranggapan bahwa, Allah itu tidaklah mengetahui sesuatu sebelum Dia berkehendak. Karena itu kalau Allah berkehendak terhadap sesuatu, maka Dia mengetahuinya, baik yang terjadi ataupun yang tidak terjadi, dan sebaliknya kalau Allah tidak berkehendak terhadap sesuatu, maka Dia tidak mengetahuinya, baik yang terjadi ataupun yang tidak terjadi.

 

  1. Sebagian pengikut Syi’ah Rafidhah beranggapan: Pengertian Allah itu mengetahui ialah Dia berbuat. Tetapi kalau ditanyakan kepada mereka, apakah Allah itu selalu mengetahui Diri-Nya? Mereka berbeda anggapan. Sebagiannya pun menganggap Allah itu tidaklah selalu mengetahui Diri-Nya sebelum Dia menjadikan pengetahuan, Karena sckalipun Dia bersifat yang Maha Tahu, tetapi belumlah Dia berbuat dengan sifat Diri-Nya tersebut. Sebagian lainnya menganggap Allah itu sclalu mengetahui DiriNya. Adapun kalau ditanyakan kepada mercka, apakah Allah ida sclalu berbuat? Maka mereka menjawab, ya! Tetapi sekalipun begitu mereka tidaklah menganggap adanya pengetahuan pada Allah tersebut harus didahului adanya perbuatan pada-Nya.

 

  1. Sebagian pengikut Syi’ah Rafidhah lain beranggapan: Pada Allah itu niscaya muncul adanya anggapan sehingga Dia tidak menampakkan Diri-Nya dan Dia pun niscaya menampakkan DiriNya kalau Dia berkehendak berbuat sesuatu, tetapi kemudian Dia tidak berbuatnya.

 

  1. Sebagian pengikut Syi’ah Rafidhah lagi beranggapan: Kalau sesuatu yang diketahui Allah itu terjadi dan benar-benar diperlihatkan kepada seorang makhluk-Nya, maka Dia tidak boleh memperlihatkan Diri-Nya pada sesuatu tersebut, dan kalau sesuatu . yang diketahui Allah itu tidak diperlihatkan kepada seorang pun makhluk-Nya, maka Dia boleh-boleh saja memperlihatkan Diri: Nya pada sesuatu itu.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Boleh-boleh saja Allah itu. memperlihatkan Diri-Nya pada .sesuatu yang diketahui-Nya ataupun diberitakan-Nya‘ akan terjadi, sekalipun sesuatu yang diketahui-Nya ataupun diberitakan-Nya tersebut pada . kenyataannya tidaklah terjadi.

 

9, Para ahli Tasbiyyah (yang.menyerupakan Allah dengan selainNya) beranggapan bahwa, Allah mengetahui sesuatu yang akan terjadi sebelum sesuatu itu sendiri terjadi, kecuali perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Sungguh, Dia tidak akan mengetahui hal itu selain ketika perbuatan hamba-Nya tersebut sedang. terjadi. Karena itu Dia pun tidak-akan mengetahui, apa hamba-Nya ‘ tersebut taat ataupun maksiat, kecuali ketika dia sedang berbuat ‘ ketaatan ataupun kemaksiatan itu.

 

Apakah Allah Mengetahui Sesuatu Tanpa Menyaksikannya

 

Para Mutakallim berbeda anggapan, apakah Allah mengetahui sesuatu tanpa menyaksikannya atau tidak?

 

  1. Hisyam ibn al-Hakam beranggapan bahwa, Allah mengetahui sesuatu yang berada di bawah bumi itu. melalui Sinar-sinar dj dasar bumi, yang berhubungan langsung dengan Diri-Nya, kalau saja tidak ada penyaksian langsung dari Diri-Nya tersebut.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan bahwa, Allah mengetahui sesuaty itu. melalui penyaksian langsung terhadap sesuatu tersebut, sekalipun memang kadang-kadang tidak melalui penyaksian langsung.

 

  1. Para pengikut Hisyam ibn al-Hakam beranggapan bahwa, pengetahuan itu merupakan sifat Allah, bukan merupakan DiriNya ataupun selain-Nya. Bahkan tidaklah boleh dinyatakan sifatNya tersebut baru ataupun kekal, karena sifat itu bisa disifati, dan begitupun dengan sifat-sifat Allah yang lain, misalnya kekuasaan ataupun keperihidupan, di mana sifat-sifat itu bukan merupakan Diri-Nya ataupun selain-Nya, bahkan tidaklah sifatsifat itu baru ataupun kekal.

 

  1. Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, pengetahuan Allah itu baru, di mana Dia menciptakannya serta mengetahui sesuatu dengan menggunakannya, sehingga pengetahuan itu pun bukan merupakan Diri-Nya. Tetapi, kadang-kadang, Allah mengetahui sesuatu secara keseluruhan sebelum sesuatu itu sendiri terjadi. Diceritakan, Jaham pun mempunyai anggapan yang bertentangan dengan anggapannya semula, di mana dia konon beranggapan bahwa, Allah tidaklah mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu sendiri terjadi, karena sesuatu itu sendiri tidaklah disebut sesuatu sebelum terjadinya. Adapun para penentang Jaham ibn Shafwan menganggap Allah mempunyai pengetahuan yang baru.

 

Ayat-ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang ayatayat muhkamat dan Mutasyabihat di dalam Al-Qu’ran. .

 

  1. Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid beranggapan bahwa, ayatayat muhkamat adalah firman-firman Allah yang memberitakan ancaman hukum terhadap orang-orang yang berbuat apa pun yang menjurus pada kefasiqan, di samping ayat-ayat lainnya yang memberikan hukuman. Allah pun berfirman:

 

Artinya: “Dan barang. siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja…..” (QS. Al-Nisa’ (4): 93)

 

Adapun ayat-ayat Mutasyabihat adalah firman-firman Allah yang tidak berisi ancaman hukum terhadap hamba-Nya, bahkan tidaklah . memberitakan hukuman tidak seperti dalam ayat-ayat muhkamat tersebut. Allah pun berfirman:

 

Artinya:  “… Dan yang selain itu ialah (ayat-ayat) Mutasyabihat Jo QS. Ali Imran (3): 7)

 

  1. Abu Bakr al-Asham beranggapan bahwa, ayat-ayat muhkamat adalah firman-firman Allah yang sudah jelas dan tidak lagi membutuhkan kejadian penafsiran lainnya, misalnya, firman Allah yang memberitakan kejadian manusia itu pada dasarnya berasal dari air mani (al-nuthfah). Begitupun dengan ayat-ayat yang memberitakan Allah mengeluarkan buah-buahan ataupun binatang ternak bagi manusia, yang pada dasarnya semua itu berasal dari air pula, bahkan ayat-ayat lainnya yang semacam di atas. Sementara itu Allah pun berfirman: siksa Allah terhadap hamba-Nya yang berbuat maksiat itu sebenarnya bolch terjadi kapan pun kalau Dia menghendakinya bahkan kalau Allah menghendaki, siapa pun dan ke mana pun Dia bisa memindahkan mereka.

 

  1. Al-Iskafi beranggapan bahwa, ayat-ayat muhkamat adalah firmanfirman Allah yang tidak boleh ditafsirkan, kecuali seperti apa yang diturunkan-Nya, sehingga tidaklah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.

 

Adapun ayat-ayat Mutasyabihat adalah firman-firman Allah yang bagi para pendengarnya, menimbulkan pengertian dan penafsiran yang berbeda-beda.

 

4, Sebagian mereka beranggapan bahwa, ayat-ayat Mutasyabihat adalah firman-firman Allah yang menimbulkan keraguan, misalnya  atau  ataupun  atau  dan lain sebagainya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan bahwa, Ayat-ayat Mutasyabihat adalah firman-firman Allah yang mengandung cerita-cerita ataupun kisahkisah, yang ada dalam Al-Qu’ran.

 

Perbedaan Tentang Mengetahui Ayat-ayat Mutasyabihat

 

Para Mutakallim berbeda anggapan dalam mentakwilkan firman Allah ini.

 

Artinya: “.. Dan tidaklah ada yang mengetahui takwil ayat-ayar (Mutasyabihat) int selain Allah, sementara orang-orang yang mendalam ilmunya cukuplah berkata: Kami beriman pada ayat-ayat Mutasyabihat tersebut …”(QS. Ali Imran (3): 7)

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyabihat itu, kecuali Allah.

 

  1. Sebagian lain beranggapan bahwa, orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyabihat itu,  karena menurutnya lafazh  tersebut   berhubungan langsung dengan lafazh pula. Bahkan  mereka pun beralasan dengan suatu syair:

 

Artinya:

Angin pun menangis-nangis pilu dan petir berkilat di sela-sela awannya.

 

Menurut anggapan mereka, dalam syair ini pun lafazh:  atau petir itu berhubungan langsung dengan  ataupun angin tersebut.

 

Bacaan Al-Qu’ran

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, bacaan Al Qu’ran itu Kalamullah. Tetapi mereka berbeda anggapan, apakah bacaan Al-Qu’ran itu berupa hikayat atau bukan?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, bacaan AI-Qu’ran itu berupa hikayat.

 

  1. Sebagian lain beranggapan bahwa, bacaan Al-Qu’ran itu bukan berupa hikayat.

 

Perbedaan Tentang Melafazkan Kata-kata Dengan Al-Qu’ran

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah boleh melafazkan kata-kata dengan AI-Qu’ran atau. tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Boleh-boleh saja melafazkan katakata dengan Al-Qu’ran, sebagaimana dibolehkan membacanya.

 

  1. Al-Iskafi beranggapan: Yang dibolehkan itu hanya membaca Al-Qu’ran semata, sementara melafazkan kata-kata dengannya niscaya tidak boleh.

 

Perbedaan Tentang Susunan Kemukjizatan Al-Qu’ran

 

Para Mutakallim berbeda anggapan tentang susunan Al-Qu’ran, apakah hal itu merupakan suatu kemukjizatan atau bukan?

 

  1. Sebagian pengikut aliran Mu’tazilah, kecuali-al-Nizham, Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman, beranggapan: Susunan dan puitisasi Al-Qu’ran itu merupakan suatu kemukjizatan, karena sangat mustahil susunan dan puitisasi Al-Qu’ran tersebut berasal dari makhluk sekalipun Allah mengajarkan kepada Rasulullah | SAW sebagaimana mustahilnya seseorang menghidupkan orang yang telah meninggal.

 

  1. Al-Nizham beranggapan: Hanya ayat-ayat yang memberitakan hal-hal gaib itulah yang bisa dinyatakan sebagian mukyjizat, sementara yang selain itu (sebenarnya) manusia pun sanggup menyusunnya, kalau saja Allah tidak melarangnya untuk membuatnya. .

 

  1. Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Al-Qu’ran itu sebenarnya aksiden (a’radh). Karena itu mereka tidaklah mengatagorikan apa yang termasuk aksiden tersebut sebagai sesuatu yang diciptakan Allah ataupun yang diperbuat rasul-Nya, bahkan mereka pun tidaklah menganggap AI-Qu’ran itu sebagai scsuatu yang hanya diketahui Nabi-Nya semata., Para pengikut aliran Mu’tazilah berscpakat bahwa, seseorang tidaklah diharuskan menjalankan syart’at yang dibawa Nabi-Nya, kecuali dia telah memahami ataupun menyampaikan syari. at-syari’ at tersebut. Sekalipun begitu seseorang yang berakal tidak hanya diharuskan menjalankan syari’at-syari’at Nabi-Nya semata, Karena dia pun dituntut mempergunakan alasan-alasan ataupun bukti-buktj secara akal. Bahkan para pengikut aliran Mu’tazilah itu secara keseluruhan menuntut pula manusia agar mempergunakan akalnya, baik kepada manusia tersebut telah disampaikan syari’at Rasulullah SAW atau belum.

 

Apakah Para Nabi Berbuat Dosa Besar

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Allah tidak layak mengutus seorang Nabi-Nya yang akan berbuat kufur ataupun dosa besar, bahkan Allah pun tidak layak mengutus: seorang Nabi-Nya yang kafir ataupun fasiq.

 

Apakah Para Nabi Diutus untuk Golongan Tertentu?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Boleh-boleh ‘saja Allah mengutus seorang Nabi-Nya untuk golongan tertentu, ‘bukan untuk golongan Jainnya, bahkan mereka pun bersepakat para malaikat itu jauh lebih utama ketimbang para Nabi.

 

Tentang Perbuatan Maksiat Para Nabi

 

Para Mutakallim bersepakat: Para Nabi itu hanya sampai pada perbuatan dosa kecil semata. Tetapi mereka berbeda anggapan, apakah para Nabi pun bisa mendatangkan perbuatan maksiat? Dan-apakah – para Nabi tersebut mengetahui dirinya berbuat maksiat ketika mereka ‘berbuat maksiat itu atau tidak? .

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan bahwa, para Nabi itu tidaklah mengetahui dirinya berbuat maksiat ketika mereka mendatangkan kemaksiatan tersebut, karena kcmaksiatan yang diperbuatnya itu tidak disengaja.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Boleh-bolch saja para Nabi itu secara sengaja berbuat kemaksiatan, karena mereka mengetahui dirinya berbuat maksiat, di mana kemaksiatan yang diperbuatnya jtu hanya sampai pada kategori‘dosa kecil semata.

 

Bukti-bukti Aksiden

 

Para Mutakallim berbeda anggapan tentang bukti-bukti aksiden (a’radh) dan juga perbuatan (af’al) hambanya.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, bukti-bukti aksiden dan juga perbuatan hamba-Nya itu menunjukkan kebaruan suatu jisim.

 

  1. Hisyam dan Abbad beranggapan bahwa, mengingkari bukti-bukti aksiden dan juga perbuatan hamba-Nya itu menunjukkan adanya Allah.

 

Apakah Kenabian Itu Merupakan Imbalan.

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kenabian itu merupakan imbalan atau bukan

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, kenabian itu merupakan imbalan ataupun pahala.

 

  1. Sebagian lain beranggapan bahwa, kenabian itu bukan merupakan imbalan atau pahala.

 

Kekuasaan Allah Menciptakan Kemaksiatan

 

Para pengikut ‘aliran Mu’tazilah bersepakat: Allah tidaklah menciptakan kekufuran ataupun kemaksiatan, tidak juga sesuatu dari perbuatan yang selain-Nya. Hanya seorang pengikut aliran Mu’tazilah, Shalih Qubbah, yang menganggap Allah menciptakan dan menghukumi perbuatan-perbuatan tersebut. .

 

Kebajikan Iman Dan Keburukan Kufur

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah, kecuali Abbad ibn Sulaiman, bersepakat bahwa, Allah menjadikan iman itu merupakan kebajikan dan kufur itu pun merupakan keburukan. Artinya, Allah menamakan dan menetapkan iman itu merupakan suatu kebajikan dan kufur itu pun merupakan suatu keburukan. Bahkan Allah pun menciptakan Orang-orang kafir itu bukanlah karena kekafirannya ataupun kekufurannya, begitupun dengan orang-orang mukmin.

 

Adapun Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Mengingkari Allah menjadikan kufur ataupun menciptakan orang kafir dan orang mukmin.

 

Apakah Manusia Itu Pencipta Perbuatannya Sendiri

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu bisa dinyatakan sebagai pencipta perbuatannya sendiri atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Pengertian yang berbuat (fa’il) dan yang menciptakan (khaliq) itu jelas-jelas sama, tetapi menurutnya tidaklah manusia itu layak dinyatakan sebagai pencipta.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Kalau seseorang telah menciptakan sesuatu bukan dengan menggunakan alat atau pun anggota tubuhnya, maka dia pun dinyatakan sebagai pencipta, tetapi hal ini mustahil diperbuat manusia.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Pengertian pencipta itu sebenarnya yang berbuat sesuatu. Karena itu kalau seseorang telah berbuat sesuatu, maka dia pun dinyatakan sebagai pencipta, baik dia kekal ataupun baru adanya.

 

Apakah Allah Menghendaki Kemaksiatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, Allah tidak menghendaki kemaksiatan hamba-Nya itu. Hanya al-Mirdar yang menganggap Allah menghendaki kemaksiatan hamba-Nya, dengan pengertian Dia membiarkan hamba-Nya itu berbuat maksiat.

 

Adapun perbedaan anggapan ini sebenarnya telah kukemukakan lebih jauh dalam pembahasan doktrin-doktrinnya aliran Mu’tazilah ‘ tentang kehendak (iradat) Allah.

 

Manusia Itu Hidup Berkemampuan Dengan Sendirinya

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu hidup berkemampuan dengan sendirinya atau tidak?

 

  1. Al-Nizham dan Ali al-Iswari beranggapan bahwa, manusia itu hidup berkemampuan dengan sendirinya, bukan dengan hidup ataupun kemampuan yang selainnya. Bahkan menurut al-Nizham pun hakikat manusia itu sebenarnya ruh, yaitu suatu jisim halus yang manunggal pada jisim kasar.

 

Tetapi mereka beranggapan bahwa, manusia itu sebenarnya tidak boleh menjadikan adanya kemampuan pada dirinya sendiri, karena padanya itu terdapat sifat lemah, kecuali sifat tersebut hilang darinya. Dan menurut al-Nizham pun manusia itu hanya kuasa terhadap sesuatu sebelum terjadinya semata, tetapi ketika terjadi sesuatu tersebut dia tidak kuasa lagi.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa, manusia itu hidup berkemampuan, tetapi hidup ataupun kemampuan itu berupa yang selainnya, sehingga dia pun tidak hidup berkemampuan dengan sendirinya. Adapun anggapan ini dikemukakan Abu al-Hudzail, Mu’ammar, Hisyam al-Fuwathi dan kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah lainnya. .

 

Apakah Kemampuan Itu Keselamatan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kemampuan itu kesehatan ataupun keselamatan atau bukan?

 

  1. Abu al-Hudzail, Mu’ammar dan al-Mirdar beranggapan bahwa, kemampuan itu aksiden (a’radh) dan bukan kesehatan ataupun keselamatan.

 

  1. Bisyr ibn al-Mu’tamir, Tsumamah ibn Asyras dan Ghailan beranggapan bahwa, kemampuan itu keselamatan, kesehatan jasmani dan jauh dari bencana.

 

Apakah Kemampuan Itu Kekal?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kemampuan itu kekal atau tidak?

 

  1. Sebagian besar mereka, di antaranya abu al-Hudzail, Hisyam, Abbad, Ja’far ibn Harb, Ja’far ibn Mubsyir dan al-Iskafi, beranggapan bahwa, kemampuan itu niscaya kekal.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan bahwa, kemampuan itu tidak kekal di dua waktu yang bersamaan, sehingga mustahil terjadi kekekalan pada kemampuan tersebut. Tetapi suatu perbuatan niscaya terjadi di waktu kedua, dengan kekuasaan yang terdahulu yang telah tiada asal saja dia tidak lemah, telapi mempunyai kekuasaan yang diciptakan Allah di waktu kedua itu, sehingga suatu perbuatan niscaya terjadi dengan kekuasaan yang terdahuly tersebut. Adapun anggapan ini dikemukakan Abu al-Qasim al-Balkhi.

 

Anggapan int sebenarnya hanya berkenaan dengan suaty perbuatan langsung scmata, semcntara yang berkenaan dengan suaty perbuatan dari perbuatan’ lain menurutnya boleh-boleh saja terjadj dengan kekuasaan ataupun sebab-sebab yang telah tiada, sehingga seseorang pun ketika terjadi perbuatan itu bagai orang mati yang lemah.

 

Kekuasaan Itu Adanya Sebelum Ataupun Bersama Perbuatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, kemampuan itu adanya sebelum perbuatan, bahkan kuasa atas perbuatan tersebut, tetapi adanya kemampuan itu tidak mewajibkan diadakannya perbuatan, Karena itu mereka pun mengingkari:Allah membebani seorang hamba.Nya dengan sesuatu perbuatan yang dia tidak kuasa menanggungkannya.

 

Sebagian pengikut aliran Mu’tazilah yang akhir (muta’akhirin) beranggapan bahwa kekuasaan itu adanya bersama perbuatan, sehingga tanpa adanya kekuasaan itu tidak mungkin sesuatu terjadi. Adapun anggapan ini dikemukakan Ibn al-Rawandi.

 

Apakah Kemampuan Itu Merupakan Kekuasaan Ketika Terjadi Perbuatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kemampuan itu merupakan kekuasaan ketika terjadi perbuatan atau bukan?

 

  1. Abu al-Husein al-Shalihi beranggapan bahwa kemampuan itu merupakan kekuasaan yang ada’ pada seseorang ketika terjadi perbuatan, di mana kemampuan itu adanya. sebelum perbuatan.

 

  1. Sebagian besar mereka beranggapan: Mustahil kemampuan itu merupakan kekuasdan yang ada.pada seseorang ketika terjadi -perbuatan.

 

Apakah Manusia Kuasa Atas Dua Perbuatan yang Berlawanan?

 

Para pengikut aliran Mu‘tazilah berbeda anggapan kalau seorang manusia berbuat salah satu dart dua perbuatan yang saling berlawanan, di mana sebelum perbuatan itu terjadi dia kuasa atasnya, apakah dia kuasa atas dua perbuatan yang saling berlawanan tersebut atau tidak?

 

1, Sebagian besar mereka beranggapan: Mustahil sekali manusia itu kuasa atas dua perbuatan, di mana satu sama lain saling berlawanan.

 

2, Al-Iskafi beranggapan: Tidaklah seseorang kuasa atas dua perbuatan yang satu sama lain saling berlawanan itu di waktu yang bersamaan, tetapi dia kuasa untuk berbuat salah satu dart dua perbuatan yang saling berlawanan tersebut.

 

Apakah Kemampuan Itu Lenyap di Waktu Kedua?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kemampuan itu lenyap di waktu kedua sehingga perbuatan manusia terhadap dirinya itu langsung diperbuatnya dengan kekuasaan yang -telah tiada?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan bahwa manusia itu sebelum berbuat sesuatu niscaya membutuhkan adanya kemampuan. Sekalipun begitu di waktu kedua tidak lagi membutuhkan adanya kemampuan tersebut, sehingga dia pun boleh-boleh saja dinyatakan lemah atas perbuatannya di waktu kedua itu, tetapi dia tidak boleh dinyatakan lemah atas sesuatu. yang ada. Karena itu perbuatannya pun dinyatakan terjadi dengan kekuasaan yang telah tiada, sehingga boleh-boleh saja adanya seseorang yang bisu itu bisa sedikit bicara. Bahkan seseorang yang meninggal pun bisa pula berbuat sesuatu dengan kemampuan yang telah tiada tersebut, sekalipun tidak mungkin adanya pengetahuan ataupun kehendak pada orang ’ meninggal itu.

 

  1. Sebagian besar mereka beranggapan bahwa manusia itu sebelum ataupun ketika berbuat sesuatu niscaya membutuhkan adanya kemampuan, karena mustahil adanya perbuatan pada anggota tubuh yang lemah ataupun mati. Bahkan mustahil sekali perbuatan langsung tersebut adanya dengan kekuatan yang telah tiada, sekalipun hal ini boleh-boleh saja terjadi pada perbuatan-perbuatan yang timbul dari perbuatan lain, misalkan hilangnya atau jatuhnya batu setclah dilemparkan di mana hal ini terjadi dengan kekuasaan yang telah tiada. Ada pun anggapan ini dikemukakan Ja’far ibn Harb dan Al-Iskafi.

 

  1. Abu Al-Qosim AI-Balkhi dan yang lainnya beranggapan bahwa perbuatan langsung itu boleh-boleh saja adanya dengan kekuatan yang telah tiada, sebab kekuasaan pun sebenarnya tidak kekal, tetapi kekuasaan itu tidak mungkin ada pada anggota tubuh yang lemah ataupun mati.

 

  1. Abu Al-Husein Al-Shalihi beranggapan bahwa perbuatan itu tidak mungkin adanya dengan kekuatan yang telah tiada, sebab manusia pun membutuhkan adanya kekuatan ketika berbuat sesuatu., Karena itu adanya kekuatan pun niscaya sebelum manusia berbuat sesuatu tersebut, sehingga dia pun mengingkari suatu perbuatan yang timbul dari perbuatan lain itu adanya dengan kekuatan yang telah tiada.

 

Adapun orang-orang yang cenderung kepadanya beranggapan: Manusia itu kuasa atas suatu perbuatan, baik ketika terjadinya perbuatan tersebut atau tidak.

 

Apakah Manusia Itu Kuasa Berbuat Di Waktu Pertama?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, anakah manusia itu dinyatakan kuasa berbuat di waktu pertama ataupun di waktu ke dua?

 

  1. Abu AlIl-Hudzail beranggapan bahwa Manusia itu hanya kuasa berbuat di waktu pertama saja, sekalipun perbuatan tersebut terjadinya di waktu kedua, karena waktu pertama itu waktu yang akan berbuat yang masih berencana dan waktu kedua itu waktu yang sedang berbuat.

 

  1. Bisyr ibn Al-Mu’tamir beranggapan: Tidak menyatakan manusia itu kuasa berbuat di waktu pertama ataupun di waktu kedua, tidak pula menyatakan kuasa atas perbuatan di waktu pertama ataupun di waktu kedua itu, sehingga mustahil terjadi suatu perbuatan dengan kekuasaan yang tersembunyi ataupun ketika manusia dalam keadaan lemah. Bahkan dia pun menganggap manusia ma sejak penciptaan semulanya dalam keadaan lemah, schingga dia tidak kuasa berbuat, batk di waktu pertama ataupun di waktu kedua.

 

3, Al-Nizham dan sebagian mereka beranggapan bahwa manusia jtu kuasa di waktu pertama atas perbuatan di waktu kedua. Karena jtu sebelum waktu kedua terjadi kepadanya akan dinyatakan, perbuatan itu akan diperbuatnya di waktu kedua, dan menjelang waktu kedua terjadi kepadanya pun akan dinyatakan, perbuatan itu akan diperbuatnya di waktu kedua sebelum waktu kedua terjadi, yang maksudnya perbuatan itu akan diperbuat ketika waktu kedua terjadi.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan bahwa manusia itu kuasa dalam keadaan pertama atas perbuatan dalam keadaan kedua. Karena jtu kalau dalam keadaan waktu kedua tersebut dia ternyata lemah, maka dia pun dinyatakan tidak kuasa berbuat atas perbuatan yang akan terjadi pada keadaan kedua itu sejak keadaan pertamanya.

 

5, Sebagian besar beranggapan bahwa manusia itu kuasa berbuat dalam keadaan kedua, baik dalam keadaan kuasa ataupun lemah. Bahkan perbuatan orang yang lemah pun tetap dinyatakan ke Juar dari suatu kekuasaan, sehingga dia tetap pula dinyatakan sebagai orang yang kuasa sekalipun dia dalam keadaan lemah sebab lemahnya itu pun hanya suatu keadaan yang berhubungan dengan syarat-syarat semata, sementara syarat seseorang yang kuasa atas perbuatannya itu ialah dia tidak lemah.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan bahwa manusia itu kuasa dalam keadaan pertama atas perbuatan dalam keadaan kedua. Tetapi kalau dalam keadaan kedua itu dia lemah, maka perkataannya pun terjadi ketika dia lemah tersebut, sehingga tidaklah dia boleh dinyatakan tidak kuasa berbuat. Bahkan menurutnya lemah itu tidak boleh dinyatakan sebagai suatu kondisi yang berhubungan dengan syarat-syarat seperti yang dikemukakan di atas.

 

  1. Burghuts beranggapan: Kalau terjadi suatu rintangan. dalam keadaan kedua, maka manusia pun dinyatakan tidak kuasa berbuat, sekalipun padanya itu terdapat kemampuan dalam keadaan pertamanya.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan bahwa Manusia itu hanya kuasa berbuat di waktu kedua semata.

 

Apakah Perbuatan Itu Terjadi dengan Kemampuan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbuatan itu terjadi dengan kemampuan atau tidak?

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Tidak menyatakan telah berbuat sesuatu dengan kemampuan. .

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Menisbatkan adanya kekuasaan pada manusia, di mana perbuatan itu pun terjadi dengan kemampuan.

 

Apakah Manusia itu Kuasa di Waktu Ketiga?

 

Para pengikut. aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu kuasa atas sesuatu yang akan terjadi di waktu ketiga ataupun hanya di waktu kedua semata?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa manusia itu hanya kuasa berbuat di waktu kedua semata, sementara atas sesuatu yang akan terjadi di waktu ketiga itu tidaklah kuasa berbuatnya.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan bahwa manusia itu kuasa atas perbuatannya sendiri, baik di waktu kedua ataupun di waktu ketiga bahkan atas suatu perbuatan yang tidak terbatas asal saja ada kesempatan untuk berbuat itu, di mana kekuasaannya pun kekal: Tetap1 mereka pun mengingkari adanya kekuasaan seseorang di waktu kedua itu atas suatu perbuatan yang akan terjadi di waktu ketiga, begitupun misalnya dengan kekuasaan di waktu ketiga atas sesuatu perbuatan yang akan terjadi di waktu keempat.

 

Apakah Manusia Kuasa Di Waktu Pertama Atas Perbuatan yang Berlawanan Di Waktu Kedua?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu kuasa di waktu pertama atas perbuatan yang saling berlawanan diwaktu kedua atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa manusia itu kuasa berbuat sesuatu di waktu kedua. Karena itu kalau dia menghendaki, maka dia pun kuasa berbuat hal-hal yang saling berlawanan di waktu kedua tersebut, sebagai perimbangannya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan bahwa manusia itu kuasa yang saling berlawanan di waktu kedua itu secara bergantian, asal saja padanya terdapat kekuasaan. :

 

Apakah Manusia Kuasa Di Waktu Kedua Atas Satu atau Banyak Gerak?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu kuasa di waktu kedua atas satu gerak saja ataupun lebih banyak gerak lagi?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Di waktu kedua itu manusia pun hanya kuasa berbuat satu hal semata, yaitu dia gerak atau diam. Karena itu kalau dia hanya menggerakkan bagian tubuh yang kanan semata, maka bagian itulah yang gerak, dan begitupun kalau dia hanya menggerakkan bagian tubuh yang kiri semata, maka bagian itulah yang gerak.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Di Waktu kedua itu manusia . pun kuasa berbuat lebih dari satu gerak yang saling berlawanan, . seperti halnya gerak dan diam, sebagai perimbangannya. Karena itu. menurutnya gerak adalah bagian dari kejadian yang lain, seperti halnya menggerakkan bagian kanan adalah lawan dari gerak bagian kiri.

 

Apakah Kekuasaan Berbicara Itu Sama Dengan Kekuasaan Berjalan?

 

Para aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kekuasaan yang membuat seseorang dapat berbicara melalui lisannya itu sama dengan kekuasaan yang membuatnya dapat berjalan melalui kakinya atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Kekuasaan yang membuat seseorang dapat berbicara melalui lisannya dan kekuasaan yang membuat sescorang dapat berjalan melalui kakinya ttu pada dasarnya keduanya berada dalam satu tempat yang sama, sementara tercegahnya seseorang untuk berbicara melalui Kakinya tersebut hanyalah karena terdapatnya perbedaan-perbedaan fungsj yang mencegah terjadinya hal itu.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Kekuasaan yang membuat seseorang dapat berbicara melalui lisannya itu tidak sama dengan kekuasaan yang membuat seseorang dapat berjalan melalui Kakinya, begitupun tempat kekuasaan yang satu dan lainnya itu pun berbeda-beda. Karena itu kekuasaan untuk berjalan terletak dj kaki, kekuasaan untuk berkehendak terletak di hati dan kekuasaan untuk melthat pun terletak di mata.

 

Apakah Kekuasaan Itu Merupakan Jenis yang Satu

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menyatakan adanya perubahan atas kekuasaan untuk berkehendak, berjalan ataupun berbicara itu berbeda anggapan, apakah kekuasaan atas hal itu semua merupakan jenis yang satu atau bukan?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Semua kekuasaan itu merupakan jenis yang satu, sehingga boleh-boleh saja terjadi kekuasaan untuk berbicara itu berasal dari kekuasaan untuk berjalan, asal saja yang dikuasai seseorang itu tidak sampai berjenis-jenis.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Tidak boleh adanya kekuasaan untuk berbicara itu dari jenis kekuasaan untuk berjalan. Burghuts pun menceritakan, sekelompok orang yang menganggap adanya kemampuan sebelum berbuat itu mereka menolak akan terjadinya Seuatu perbuatan sebelum adanya kemampuan. Bahkan mereka pun menganggap pada manusia itu terdapat kemampuan sebanyak rencana perbuatan yang akan ataupun tidak akan diperbuatnya, sehingga kalau salah satu rencana perbuatannya tersebut dapat diperbuatnya yang lain pun batal, tetapi seketika itu timbul lagi kemampuan untuk merencanakan perbuatannya yang lain, baik yang akan ataupun tidak akan diperbuatnya. Karena itu padanya pun terdapat kelemahan.

 

Kapan Saja Terjadinya Perbuatan Anggota Tubuh

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbcda anggapan tentang kapan saja terjadinya perbuatan anggota tubuh (Al-Jawarih) itu setelah adanya kemampuan pada seseorang.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa manusia itu kuasa atas gerak-gerak tubuh ketika padanya terdapat kekuasaan, sementara gerak-gerak itu pun terjadinya di waktu kedua.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Kekuasaan atas perbuatan itu ketika padanya terdapat kemampuan, sementara terjadinya perbuatan tersebut di waktu ketiga, karena antara kekuasaan Gan terjadinya perbuatan itu harus diselingi adanya kehendak.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Kekuasaan atas perbuatan itu ketika padanya terdapat kemampuan, tetapi terjadinya perbuatan tersebut di waktu keempat, karena setelah adanya kemampuan itu niscaya timbul dulu kehendak, lalu rencana gambar dari sesuatu yang akan diperbuat, baru kemudian adanya gerak-gerak perbuatan itu.

 

Apakah Manusia Kuasa Atas Sesuatu yang tidak Terbesit Dalam Hatinya

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia itu kuasa atas sesuatu yang tidak terbesit dalam hatinya sendiri atau tidak?

 

  1. Ibrahim al-Nizaam beranggapan bahwa manusia itu tidaklah kuasa atas sesuatu yang tidak terbesit dalam hatinya sendiri.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa manusia itu kuasa atas segala sesuatu yang dikuasainya, baik sesuatu itu terbesit dalam hatinya sendiri atau tidak.

 

Apakah Allah Mengukuhkan Orang Kafir Atas Kekufurannya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Aliah itu mengukuhkan orang kafir atas kekafirannya atau tidak?

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa Allah itu tidak mengukuhkan seseorang atas kekafirannya, sekalipun Dia kuasa atasnya.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan bahwa Allah itu mengukuhkan dan menguasai sescorang atas kekafirannya.

 

Apakah Sesuatu Yang Dirasakan Itu Tanpa Kekuasaan Padanya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah seseorang itu dapat merasakan sesuatu tanpa kekuasaan padanya atau tidak.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: mengingkari seseorang itu bisa merasakan sesuatu tanpa kekuasaan padanya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Seseorang itu boleh-boleh saja merasakan sesuatu kekuasaan padanya

 

Apakah Seseorang yang Hidup Itu Dengan Tiadanya Kekuasaan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah seseorang yang dinyatakan hidup itu dengan tiadanya kekuasaan atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Boleh-boleh saja seseorang yang dinyatakan hidup itu dengan tiadanya kekuasaan.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Mengingkari seseorang yang hidup itu dengan tiadanya kekuasaan.

 

Apakah Seseorang yang Kuasa Itu Lemah?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah boleh terjadinya seseorang yang kuasa itu lemah atau tidak?

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Mengingkari terjadinya seseorang yang kuasa itu lemah, karena yang lemah itu pun hanya bangkai (mayit) semata.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Seseorang itu kadang-kadang kuasa atas Sesuatu, kadang-kadang pula lemah atasnya.

 

Apakah Manusia Tidak Bisa Dinyatakan yang Kuasa?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah manusia yang mempunyai kekuasaan itu tidak dinyatakan sebagai orang yang kuasa atau bukan?

 

Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Dalam keadaan tertentu memang manusia mempunyai kekuatan, tctapi Udaklah dia biasa dinyatakan sebagai orang yang kuasa.

 

Kebanyakan mercka beranggapan: Mengingkari adanya kekuasaan itu pada manusia, sehingga dia pun bukan orang yang kuasa.

 

Apakah Seseorang yang Terhalang Itu Kuasa?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah seseorang yang terhalang itu kuasa atau tidak?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Kalau seseorang itu terhalang untuk pergi karena terikat ataupun terkurung di sebuah rumah karena pintunya terkunci, maka dia pun tetap dinyatakan sebagai orang yang kuasa atas sekalipun dia dalam keadaan terhalang karena terikat ataupun terkunci itu sebab keterhalangannya tersebut bukan sebagai hambatan bagi kekuasaan yang ada padanya.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Seseorang ang terhalang karena terikat ataupun terkunci itu pada dasarnya’ memang tetap mempunyai kekuasaan, tetapi tidaklah dia bisa dinyatakan sebagai orang yang kuasa atas sesuatu yang menghalanginya tersebut.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Seseorang yang terhalang karena terikat ataupun terkunci itu memang tetap dinyatakan sebagai orang yang kuasa, asal saja dia pun terlepas dari keterhalangannya.

 

  1. Ja’far ibn Harb beranggapan: Seseorang yang terhalang karena terikat ataupun terkunci itu memang tetap dinyatakan sebagai orang yang kuasa sekalipun ketika itu dia tidak kuasa atas sesuatu sebagaimana halnya seseorang yang memejamkan mata pun tetap dinyatakan sebagai orang yang melek, sekalipun ketika itu dia tidak melihat sesuatu.

 

Apakah Seseorang Kuasa Atas Beban yang Melebihi Kekuasaan Dirinya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang seseorang yang kuasa atas beban sebesar 50 Kg itu akan kuasa pula atas beban seberat 100 kg.

 

  1. Sebagian mercka beranggapan: Seseorang yang hanya kuasa atas beban seberat 50 kg itu tidak akan kuasa atas beban yang melebhi kckuasaan dirinya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Scscorang yang Kuasa atas beban seberat 5O kg itu tidaklah dinyatakan tidak kuasa atas beban yang melebihi kekuasaan dirinya, sekalipun ketika itu sedang tiadanya kekuatan atas beban yang melebihi kekuasaan dirinya tersebut.

 

Apakah Seseorang Kuasa Atas Dua Beban dengan Sebagian Kekuatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah seseorang itu kuasa atas dua bagian beban dengan hanya menggunakan sebagian kekuatan dirinya semata-semata atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Seseorang itu kuasa atas dua bagian beban ataupun lebih dengan hanya menggunakan sebagian kekuatan dirinya semata.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Seseorang itu tidak kuasa atas dua bagian beban dengan hanya menggunakan sebagian kekuatan dirinya semata, karena seandainya kuat niscaya dia pun berkuatkuatlah mengangkat langit dan bumi dengan menggunakan sebagian kekuatan dirinya tersebut. Adapun anggapan ini dikemukakan Al-Juba’i.

 

Bahkan Al-Juba’i beranggapan: Seandainya seseorang itu kuasa atas dua bagian beban dengan hanya menggunakan sebagian kekuatan dirinya semata, niscaya dia pun mempunyai kekuatan lain yang kuat mengangkat misalnya empat bagian beban yang dibebankan kepadanya.

 

Perbedaan Tentang Suatu Kelemahan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang suatu kelemahan.

 

  1. Al-Asham beranggapan: Suatu kelemahan itu membuat seseorang disebut sebagai orang yang lemah, sekalipun tidaklah padanya terdapat kelemahan lainnya yang membuatnya benar-benar lemah.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Kelemahan itu tidaklah membuat sescorang discbut scbagai orang yang lemah.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Kelemahan itu tidaklah identik dengan seseorang, sehingga tidak boleh menyatakan kelemahan jtu ialah orang yang lemah pula, karena ungkapan kalimat orang yang lemah itu hanya merupakan suatu keterangan dari gabungan kata orang dan lemah semata.

 

Apakah Kelemahan Itu Membuat Seseorang Lemah Atas Sesuatu?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan,: apakah kelemahan itu bisa membuat seseorang dinyatakan lemah atas sesuatu atau tidak?

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Kelemahan itu tidaklah bisa membuat seseorang dinyatakan lemah atas sesuatu, begitupun dengan adanya kekuatan itu belum tentu bisa membuat seseorang dinyatakan kuat atas sesuatu pula.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Kelemahan itu bisa membuat seseorang dinyatakan lemah atas sesuatu.

 

Apakah Kelemahan Berbuat Itu Terjadi Ketika Seseorang Lemah?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap kelemahan itu bisa membuat seseorang dinyatakan lemah atas sesuatu tersebut berbeda anggapan, apakah kelemahan berbuat itu terjadi ketika seseorang lemah atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Seseorang itu niscaya lemah atas perbuatan di waktu:kedua, karena kelemahan itu tidak bisa menafikan terjadinya suatu perbuatan. Bahkan kelemchan itu kadang-kadang terjadinya bersamaan dengan suatu perbuatan, sehingga terjadinya kelemahan tersebut bisa membuat seseorang lemah atas suatu perbuatan lainnya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Kalau kelemahan itu bisa membuat seseorang lemah di waktu kedua, maka kelemahan tersebut bisa menafikan terjadinya perbuatan pula. Sekalipun begitu penafian tersebut bukan semata-mata karena terjadinya kelemahan, tetapi juga karena terjadinya sesuatu yang lain bersamaan dengannya..

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Kelemahan itu bisa menafikan terjadinya suatu perbuatan, schingga mustahil ada (wujud) perbuatan ketika teryadinya kelemahan terscbut.

 

Adapun kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat Perintah berbuat itu: adanya sebelum perbuatan, schingga ketika teryadinya suatu perbuatan pun niscaya perintah berbuat tersebut tidak berarti lagi, karena sesuatu yang diperintahkan itu telah terjadi.

 

Apakah Perintah Berbuat Itu Kekal pada Perbuatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perintah berbuat itu kekal pula adanya pada perbuatan atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Perintah berbuat itu niscaya kekal adanya sampai akhir perbuatan yang diperintahkan tersebut.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Perintah berbuat itu tidak mungkin kekal adanya.

 

Apakah Seseorang Boleh Diperintahkan Salat Sebelum Waktunya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah seseorang itu boleh diperintahkan mendirikan salat sebelum sampai waktunya atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: boleh-boleh saja seseorang itu diperintahkan salat sebelum sampai. waktunya.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan:. Tidak boleh seseorang itu diperintahkan mendirikan salat sebelum sampai waktunya.

 

Apakah Allah Bisa Memerintahkan Seseorang Berbuat Padahal Dihalangi-Nya Antara Orang Itu dengan Perbuatan Tersebut?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah bisa memerintahkan seseorang berbuat sesuatu padahal di halangiNya antara orang itu dengan perbuatan yang diperintahkan tersebut atau tidak?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Boleh-boleh saja Allah memerintahkan seseorang berbuat sesuatu, sekalipun dihalangiNya antara orang itu dengan perbuatan yang diperintahkan terjadinya hanya di waktu kedua semata. Karena itu dinyatakan perintah Allah tersebut niscaya terjadinya hanya di waktu kedua semata, di mana ketika itu Dia pun tidak lagi menghalangi antara orang tersebut dengan perbuatan yang diperintahkan kepadanya. Jadi, sescorang itu. scbenarnya kuasa berbuat sesuatu yang diperintahkan Allah hanya di waktu kedua semata.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Tidak boleh terjadinya hal seperti ita, baik dalam hal yang berhubungan dengan perintah Allah ataupun yang berhubungan dengan hal kekuasaan (seseorang) tersebut.

 

  1. Sebagian lagi …*)

 

Perbedaan Tentang Kekuasaan Seseorang untuk Mengimani Allah

 

Para pengikut aliran. Mu’tazilah berbeda anggapan tentang kekuasaan seseorang untuk mengimani Allah.

 

  1. Kebanyakan mereka, kecuali Ali al-Iswari, beranggapan: Seseorang yang diperintahkan beriman itu kuasa berbuat keimanan tersebut.

 

  1. Ali al-Iswari beranggapan: Kalau keimanan itu dihubungkan dengan pengetahuan, maka tidak mungkin seseorang itu diperintahkan beriman ataupun dia kuasa berbuat keimanan tersebut. Tetapi kalau pernyataan itu dipisahkan satu sama lain, maka menurutnya muncul pertanyaan kepadanya, apakah Allah memerintahkan orang kafir itu beriman ataupun memberikan kekuasaan kepadanya berbuat keimanan tersebut dan sebaliknya Dia pun melarang orang mukmin berbuat kekafiran? Jawabnya, ya!

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Mustahil adanya dua keadaan yang saling berlawanan di satu waktu secara bersamaan. Karena itu kebanyakan mereka pun menganggap orang kafir tidaklah beriman ketika di dalam keadaan kufur, bahkan menurutnya mustahil sesuatu yang diadakan terkemudian itu merupakan pengganti sesuatu yang ada (wujud) sejak terdahulu sekali.

 

Apakah Sesuatu Bisa Terjadi Padahal Ada Selainnya yang Berlawanan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah sesuatu itu bisa dinyatakan terjadi padahal ada sesuatu yang sclainnya yang berlawanan dengan sesuatu tersebut atau tidak?

 

  1. Ja’far ibn Harb dan Al-Iskafi beranggapan: Seandainya orang kafir itu. beriman ketika dia dalam keadaan kufur, sebagai pengganti kekufuran yang ada padanya, niscaya hal init merupakan sesuatu yang baik. Tetapi menurutnya dari segi apa pun tidaklah orang kafir itu bisa beriman ketika dia dalam keadaan kufur tersebut, bahkan seandainya orang kafir itu beriman, niscaya keimanannya tersebut bukan sebagai pengganti kekufurannya yang terdahulu.

 

  1. Kebanyakan mereka, kecuali Ja’far ibn Harb dan Al-Iskafi itu, beranggapan: Mustahil sesuatu itu bisa terjadi padahal ada sesuatu yang selainnya yang berlawanan dengan sesuatu tersebut. Sekalipun begitu sebagiannya, kecuali Al-Juba’i, menganggap sesuatu itu boleh-boleh saja terjadi di waktu kedua sebagai ganti dari yang selainnya tersebut sehingga kalau hal itu boleh-boleh saja terjadi di waktu kedua, maka berarti dibolehkan pula sesuatu yang akan terjadi itu sebagai pengganti yang sudah tiada. Tetapi Al-Juba’1 dan Abbad ibn.Sulaiman menganggap boleh-boleh saja terjadi ataupun tidak sesuatu itu di waktu kedua, asal terjadinya itu sebelum waktu kedua tersebut. Bahkan Al-Juba’i menganggap Allah tidaklah mengetahui sesuatu yang akan terjadi di waktu kedua ataupun di waktu-waktu lainnya. Adapun kalau terdapat berita tentang akan terjadinya sesuatu, maka dari segi apa pun tidak boleh menganggap sesuatu itu akan terjadi, karena hal itu merupakan keraguan, sementara keraguan atas sesuatu yang diberitakan Allah itu merupakan kekufuran.

 

Aku (Al-Asy’ari) sebenarnya telah membahas masalah di atas dalam pasal-pasal sebelum ini, di mana kebanyakan pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan: Sesuatu yang telah diberitakan Allah itu boleh-boleh saja terjadi atau tidak.

 

Apakah Allah Itu Menciptakan Kejahatan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah itu menciptakan kejahatan atau tidak?

 

  1. Keseluruhan mercka, kecuali Abbad ibn Sulaiman, beranggapan: Allah itu menciptakan kejahatan yang berupa penyakit ataupun balasan, tetapi kejahatan-Nya tersebut sebenarnya hanya kiasan semata.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Mengingkari Allah itu menciptakan kejahatan yang hanya kiasan semata, karena menurutnya justru Dia menciptakan kejahatan itu benar-benar hakiki.

 

Kelemahlembutan Allah Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang kelemah lembutan (al-luthfu) Allah.

 

  1. Bisyr ibn al-Mu’tamir dan para pengikutnya beranggapan: Pada Allah itu terdapat kelemahlembutan. Tetapi Dia tidak wajib berbuat lemahlembut kepada hamba-Nya misalnya dengan membuat hamba-Nya yang kufur menjadi beriman, sebab seandainya Dia berbuat lemah lembut yang seperti itu, niscaya orang kafir yang beriman tersebut berhak atas pahalanya. Karena itu Dia pun tidak wajib berbuat maslahat kepada hamba-Nya, ‘bahkan sebaliknya hal itu mustahil, sebab kemaslahatan yang dibuat-Nya tidak mengenal batasan ataupun tujuan. Sebenarnya Allah itu berbuat maslahat kepada hamba-Nya dalam hal agama, sehingga hamba-Nya pun bisa menghilangkan segenap penghalang dalam menanggungkan sesuatu yang dibebankan ataupun mewujudkan perbuatan yang diperintahkan kepadanya itu. Tetapi, setelah hal ini Dia pun tidak lagi berbuat begitu.

 

  1. Ja’far ibn Harb beranggapan: Pada Allah itu terdapat kelemahlembutan. Tetapi seandainya orang kafir yang beriman tersebut karena ikhtiarnya sendiri, niscaya tidaklah berhak pahala atasnya, sekali pun Dia wajib berbuat maslahat kepada hambaNya, sebab Allah itu sebenarnya tidaklah menuntut hamba-Nya selain dari adanya kedudukan dan kemuliaan hamba-Nya itu sendiri, bahwa agar hamba-Nya tersebut hanya mempcrolch karunia dan pahala semata.

 

Adapun setelah menyatakan angpapannya di atas, diceritakan, Ja’far ibn Harb pun berbalik kembali mengikuti anggapan yang terbanyak.

 

3, Kebanyakan mereka beranggapan: Pada Allah itu tidak terdapat kelemahlembutan untuk membuat hamba-Nya yang kufur menjadi, beriman, tetapi hamba-Nya tersebut kuasa berbuat ataupun tidak keimanannya itu sendiri. Sekalipun begitu. Dia wayjib berbuat maslahat kepada hamba-Nya untuk berbuat yang seperti diperintahkan kepadanya itu, dan wajib pula Dia tidak menghinakan hamba-Nya, bahkan wajib memberikan pahala yang berhak atasnya pun karena ketaatan yang diperbuatnya, sebagaimana yang dijanjikan-Nya pula. Kalau diajukan pertanyaan kepada mereka, apakah Allah itu kuasa berbuat yang lebih maslahat lagi kepada hamba-Nya? Maka mereka menjawab, seandainya Allah dihendaki kuasa berbuat maslahat kepada hamba-Nya, niscaya Dia kuasa berbuat yang seperti itu. Jadi, seandainya Allah itu dikehendaki kuasa berbuat yang lebih maslahat lagi, niscaya Dia pun kuasa berbuat yang seperti itu pula, tetapi Dia pun tidak berkehendak menghinakan hamba-Nya, bahkan tidak pula Dia membutuhkan hamba-Nya tersebut. Karena itu kalau sesuatu -yang diperbuat-Nya pun dianggap lebih maslahat lagi, maka. hal itu -hanya yang dikehendaki-Nya semata, sehingga menurutnya tidaklah terdapat keraguan untuk menganggap Allah itu sebenarnya kuasa dan juga lemah berbuat yang lebih maslahat lagi.

 

  1. Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’i beranggapan: Pada Allah itu tidak terdapat kelemahlembutan. Tetapi Dia kuasa membuat hamba-Nya yang kufur menjadi beriman, bahkan Dia pun kuasa berbuat yang lebih maslahat lagi kepada hamba-Nya tersebut dalam hal agama, dan seandainya Dia mengetahui hamba-Nya yang kufur itu akan menjadi beriman, tetapi Dia tidak berbuat seperti yang diketahui-Nya, niscaya Dia pun menghendaki kerusakan hamba-Nya tersebut. Lain dari itu sebenarnya Dia kuasa pula memberikan pahala kepada hamba-Nya yang berbuat taat, sekalipun hal ini bukan suatu kewajiban bagi-Nya, dan Dia pun niscaya tidak meninggalkan hal itu, karena seandainya tidak begitu berarti Dia pun berbuat sia-sia ketika menyeru hamba-Nya agar beriman.

 

Kelezatan ataupun Kepedihan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang kepedihan ataupun kelezatan.

 

  1. sebagaimana mereka beranggapan: Allah tidak boleh berbuat kepedihan kepada hamba-Nya, tetapi sebaliknya hendaklah Dia berbuat kelezatan untuk menunaikan kewajiban-Nya berbuat yang maslahat kepada hamba-Nya tersebut.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Boleh-boleh saja Allah berbuat kepedihan ataupun kelezatan kepada hamba-Nya.

 

Apakah Allah Boleh Memasukkan Makhluk-Nya ke Surga Tanpa Membebankan Sesuatu?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah boleh. memasukkan makhluk-Nya ke surga tanpa lebih dahulu membebankan sesuatu kepadanya atau tidak?

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Allah tidak boleh memasukkan makhluk-Nya ke surga tanpa lebih dahulu membebankan sesuatu kepadanya, karena makhluk-Nya itu dituntut untuk mencapai tingkat pahala yang lebih tinggi.

 

Bahkan mereka beranggapan: Tidak boleh tidak, Allah harus membebankan makhluk-Nya untuk mengenal-Nya. Karena seandainya makhluk-Nya tersebut tidak diperintahkan untuk mengenal-Nya itu, niscaya Allah pun membiarkan makhluk-Nya bodoh, sementara hal ini jelas-jelas keluar dari kebijaksanaanNya. .

 

  1. Al-Juba’i dan sebagian lainnya beranggapan: Boleh-boleh saja Allah memasukkan makhluk-Nya ke surga serta memberikan kelezatan kepadanya,. karena hal ini merupakan karunia Allah. Bahkan Allah pun tidaklah menuntut makhluk-Nya untuk mencapai tingkat pahala yang lebih tinggi, tidak juga kepada makhlukNya itu Dia membebankan sesuatu untuk mengenal-Nya.

 

Perbedaan Tentang Kutukan Allah Atas Orang Kafir

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbcda anggapan tentang kutukan Allah atas orang kafir di dunia ini.

 

  1. Kebanyakan mercka beranggapan: Kutukan Allah atas orang kafir di dunia ini merupakan suatu keadilan, kebijaksanaan, kebaikan dan kemaslahatan Allah atasnya, bahkan sebagai balasan atas kemaksiatannya kepada Allah. Lebih ekstrim lagi menurutnya siksaan pedih Allah atas orang kafir di akhirat kelak, sebagai hukuman yang ditimpakan kepadanya, sementara kutukan Allah di dunia ini hanya merupakan suatu rahmat semata. Artinya, semua hukuman Allah yang diberikan kepada orang kafir di akhirat kelak itu dilaksanakan di dunia, sebagai suatu peringatan, untuk menyadarkannya dari suatu kekafiran. Adapun anggapan init dikemukakan Al-Iskafi.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Kutukan Allah atas orang kafir di dunia ini hanya merupakan keadilan dan kebijaksanaan Allah semata, bukan sebagai kebaikan dan kemaslahatan, bahkan bukan pula sebagai pemberian nikmat dan rahmat Allah atasnya.

 

Apakah Kemaslahatan Itu Mempunyai Totalitas?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah kemaslahatan Allah itu mempunyai totalitas atau tidak?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Kemaslahatan dan kebaikan A!lah itu mempunyai totalitas, begitupun dengan apa yang dikuasaiNya, sehingga tidak ada kemaslahatan apa: pun yang lebih maslahat dari apa yang diperbuat Allah.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Kemaslahatan -Allah itu tidak mempunyai totalitas, bahkan tidak pula berbatas. Tetapi mereka pun menganggap Allah itu sebenarnya kuasa atas kemaslahatan yang tidak diperbuat-Nya, kalau saja hal ini seperti apa yang diperbuat-Nya pula.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Perbuatan Allah itu boleh-boleh saja mempunyai totalitas, tetapi tidaklah Dia boleh mempunyai kemaslahatan dari sesuatu yang tidak diperbuat-Nya.

 

Adapun scbagainya beranggapan: Allah itu hanya kuasa berbuat scsuatu yang maslahat semata, tetapi Dia pun bolch-bolch saja berbuat sesuatu yang lain yang Icbih maslahat lagi di mana Dia pun menempati kedudukan maslahat yang lain pula.

 

Apakah Allah Bolch Mematikan Scseorang yang Diketahui-Nya Akan Beriman?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang anakanak orang kafir ataupun fasik yang diketahui-Nya kelak mereka akan beriman ataupun bertobat, apakah Allah boleh mematikannya sebelum mereka beriman ataupun bertobat itu atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka yang menetapkan Allah selalu berbuat kemaslahatan (ashhab al-ishlah) itu beranggapan: Allah tidak boleh tambah memuliakannya. Bahkan tentang Nabi SAW pun mereka menganggap Allah memuliakannya itu hanya karena ketaatannya semata, sehingga seandainya Allah mengekalkannya sampai hari kiamat, niscaya Dia pun selalu memberikan pahala kepadanya. Adapun hal ini sebenarnya merupakan percobaan Allah, di samping Dia mencoba Nabi-Nya tersebut dengan memberikan pengetahuan tentang kematiannya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Boleh-boleh saja Allah tambah memuliakan seseorang.

 

Allah Menciptakan Makhluk untuk Kemanfaatannya Sendiri

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Allah menciptakan makhluk-Nya itu untuk kemanfaatan dirinya sendiri, bukan untuk kecelakaannya. Karena itu apa yang ada pada makhluk-Nya, yang bukan mukallaf, itu diciptakan untuk kemanfaatan makhluk-Nya yang mukallaf, dan adanya semua itu merupakan bahan pemikiran dan pembuktian bagi makhluk yang diciptakan-Nya.

 

Allah Menciptakan Sesuatu Bukan Untuk Pemikiran

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang terciptanya sesuatu bukan untuk bahan pemikiran.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Allah tidak boleh menciptakan sesuatu selain untuk bahan pemikiran dan pemanfaatan hambaNya. Karena itu Dia pun tidaklah boleh menciptakan sesuatu yang tidak dapat dipikirkan dan dimanfaatkan oleh orang mukallaf,

 

  1. Sebagian lain, di antaranya Tsamamah ibn Asyras, beranggapan: Segala sesuatu yang sudah ataupun akan diciptakan Allah itu hanya untuk bahan pemikiran dan pembuktian bagi hamba-Nya semata.

 

Perbedaan Tentang Orang Kafir yang Potong Tangannya Ataupun Sebaliknya

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang orang kafir yang potong tangannya ataupun sebaliknya orang mukmin yang potong tangannya.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Di akhirat kelak Allah tidak boleh mengganti tangan orang yang terpotong, baik tangan orang mukmin ataupun orang kafir.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Seandainya orang: mukmin yang potong tangannya dimasukkan ke neraka, niscaya tangannya itu akan diganti Allah seperti ketika dia beriman. Begitupun sebaliknya dengan orang kafir yang potong tangannya, kemudian dia beriman, tentu Allah akan menggantinya. Karena manusia disebut kufur ataupun beriman itu termasuk semua anggota jasmaninya, seperti tangan dan juga kakinya.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Seandainya orang mukmin yang potong tangannya itu-terus meninggal dalam keadaan -kufur, niscaya tangannya disambung dengan tangan: orang kafir yang meninggal dalam keadaan beriman. Begitupun sebaliknya dengan orang kafir yang meninggal dalam keadaan beriman, tentu tangannya disambung dengan tangan orang mukmin yang meninggal dalam keadaan kufur pula. 

 

Apakah Allah Menciptakan Makhluk-Nya Karena Sesuatu Sebab?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah. menciptakan makhluk-Nya itu karena sesuatu sebab (’ilat) atau tidak?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Allah menciptakan makhluk-Nya itu karena scsuatu-scbab, sementara scbab itu sendiri adalah suatu penciptaan yang berupa kchendak-Nya dan juga firman-Nya. Dan Allah pun menciptakan makhluk-Nya itu sebenarnya untuk kemanfaatannya sendiri, karena kalau tidak begitu, maka semua itu tiada artinya sama sekali. Bahkan Siapa pun yang menciptakan scsuatu’ tanpa bermanfaat kepadanya ataupun selainnya, begitupun dengan siapa yang menciptakan sesuatu tanpa menghilangkan kemadharatan baginya ataupun selainnya pula, tentu hal ini hanya merupakan tindakan yang sia-sia semata

 

  1. Al-Nizham beranggapan: Allah menciptakan makhluk-Nya itu karena suatu sebab, sementara sebab itu sendiri adalah suatu kemanfaatan. Bahkan sebab penciptaan-Nya itu merupakan tujuan penciptaan-Nya pula, sehingga dia pun menganggap tidak -akan terjadi suatu penciptaan tanpa. adanya sebab bagi penciptaan tersebut. Karena itu dia.menganggap sebab adanya sesuatu itu merupakan tujuan sesuatu itu sendiri.

 

3, Mu’ammar beranggapan: Allah menciptakan makhluk-Nya itu karena suatu sebab, sementara sebab itu sendiri karena suatu sebab yang lain, sehingga adanya sebab-sebab itu tidaklah berbatas penghabisan dan tidak bersifat keseluruhan pula.

 

  1. Abbad bin Sulaiman beranggapan: Allah menciptakan makhluk-Nya itu bukan karena sesuatu sebab.

 

Perbedaan Tentang Kesakitan Anak-anak

 

Para pengikut aliran. Mu’tazilah berbeda anggapan tentang: kesakitan yang diderita anak-anak.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Mengingkari kalau Allah menimpakan kesakitan kepada anak-anak itu karena suatu sebab ataupun akan menggantikan kesakitan tersebut, bahkan mengingkari pula Allah itu akan menyiksa anak-anak di akhirat kelak.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Allah menimpakan kesakitan kepada anak-anak itu sebagai peringatan terhadap orang dewasa, tetapi kemudian Allah pun niscaya menggantikan kesakitan tersebut. Karena scandainya Allah tidak menggantikan kesakitan

 

itu, niscaya kesakitan yang ditimpakan kepada anak-anak terecbut bersifat zalim.

 

  1. Sebagian lain yang menctapkan adanya kelemahlembutan Allah (ashhab al-luthfu) itu beranggapan? Boleh-boleh saja Allah menggantikan kesakitan yang ditimpakan kepada anak-anak itu dengan suatu kemaslahatan, sekalipun Allah itu sebenarnya tidak wajib berbuat maslahat.

 

Apakah Allah Boleh Menggantikan Kesakitan kepada Anak-anak?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah Allah boleh menggantikan kesakitan yang ditimpakan kepada anak-anak itu dengan kebahagiaan ataupun yang lainnya.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Boleh-boleh saja Allah menggantikan kesakitan yang ditimpakan kepada anak-anak itu dengan kebahagiaan ataupun yang lainnya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Tidak boleh hal seperti itu terjadi.

 

Apakah Pengganti Kesakitan Anak-anak Itu Kekal?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang pengganti kesakitan yang ditimpakan kepada anak-anak tersebut, apakah haknya itu kekal atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Anak-anak tersebut berhak memperoleh pengganti kesakitan yang ditimpakan Allah kepadanya itu secara kekal. .

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Pengganti kesakitan yang ditimpakan Allah kepada anak-anak itu memang kekal, tetapi hal itu bukan merupakan haknya, melainkan hanya kaiunia Allah kepada mereka semata.

 

Allah Tidak Menyakiti Anak-anak Di Akhirat Kelak

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat: Allah tidak boleh menyakiti ataupun menyiksa anak-anak itu di akhirat kelak.

 

Perbedaan Tentang Kebahagiaan yang Diberikan Kepada Hewan-hewan ;

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang kebahagiaan yang dibcrikan Allah kepada hewan-hewan.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Allah niscaya memberi pengganti kepada hewan-hewan, yaitu dengan memberi kebahagiaan yang kekal di surga, bahkan dijadikan-Nya hewan-hewan itu sebaik- baik bentuk.

 

2 Sebagian lain beranggapan: Boleh-boleh saja Allah memberi kebahagiaan kepada hewan-hewan, baik di dunia, di alam perhentian (al-mauquf) ataupun di surga.

 

3, Ja’far ibn Harb dan Al-Iskafi beranggapan: Kadang-kadang pula beberapa jenis hewan itu misalnya ular, kalajengking, harimau ataupun binatang buas lainnya hanya memperoleh kebahagiaan di dunia ini ataupun di alam perhentian semata, kemudian dimasukkan ke neraka dan di siksa pula, sebagaimana orang-orang kafir ataupun yang berdosa.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Kadang-kadang pula hewan itu memperoleh kebahagiaan pengganti, tetapi tidaklah diketahui bagaimana bentuk pengganti tersebut.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Hewan-hewan itu niscaya dihimpun dan dibinasakan Allah.

 

Apakah Allah Di Akhirat Akan Menyempurnakan Akal Hewanhewan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap kekalnya kebahagiaan pengganti yang diberikan Allah pada hewan-hewan itu berbeda anggapan lagi, apakah Allah di akhirat kelak akan menyempurnakan akal hewan-hewan tersebut ataupun membiarkannya dalam keadaan seperti di dunia ini?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Allah niscaya menyempurnakan akal hewan-hewan itu sebelum Dia memberi kebahagiaan yang kekal padanya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Allah tidak akan menyempurnakan : akal hewan-hewan itu, tetapi justru: membiarkannya dalam keadaan seperti di dunia.

 

Apakah Scbagian HWewan Akan Dihukum Karena Sebagian lainnya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan; apakah Sebagian Hewan itu akan dihukum karena sebagian lainnya atau tidak?

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Sebagian hewan itu memang akan dihukum karena sebagian lainnya di alam perhentian, tetapi tidaklah hewan-hewan tersebut boleh dihukum ataupun disiksa di neraka secara kekal, sebab bukanh mukallaf (yang dibebani) adanya.

 

  1. Sebagiannya lagi beranggapan: Sebagian hewan itu tidak boleh dihukum karena sebagian lainnya, karena-tidak ada hukum balas (gishash) di antara hewan dengan hewan.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Allah akan memberikan kebahagiaan pada hewan-hewan tersebut, sekalipun begitu tidak juga tertutup kemungkinan Allah menghukum sebagiannya karena sebagian lainnya.

 

Perbedaan Tentang Seseorang Yang Memasuki Kebun Orang Lain

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang seseorang yang memasuki kebun orang lain. 

 

  1. Abu Syamr, yang menyokong anggapan tentang keesaan dan kekuasaan Allah, beranggapan: Kalau seseorang memasuki kebun orang lain, maka diharamkan tinggal ataupun melangkah lebih yauh lagi. Bahkan kalau tidak dimungkinkan bertobat, maka dia pun bermaksiat kepada Allah, sehingga dia niscaya. disiksa.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Wajib bagi seseorang yang memasuki kebun orang lain untuk menyesali dan segera keluar dari sana, bahkan dia pun bertanggungjawab atas kerusakankerusakan yang terjadi.

 

Apakah Kenikmatan Surga Itu Karunia ataukah Merupakan Imbalan Allah?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang kenikmatan yang diberikan Allah di surga, apakah hal itu: merupakan karunia ataukah imbalan Allah kepada hamba-Nya?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Segala kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di surga itu hanya merupakan imbalan semata, bukan karunia.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Segala kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di surga itu hanya: merupakan karunia semata, bukan imbalan kepada hamba-Nya tersebut.

 

Ajal Manusia

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang ajal manusia

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Ajal manusia itu saat-saat meninggalnya ataupun terbunuhnya seseorang, yang hanya diketahui Allah semata. Bahkan menurutnya kalau seseorang terbunuh ataupun meninggal, maka dia terbunuh ataupun meninggal itu karena telah sampai ajalnya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Ajal manusia itu hanya diketahui Allah semata. Tetapi menurutnya kalau seseorang yang meninggal itu karena terbunuh, maka ajalnya pun sebenarnya masih ada, sehingga dia meninggal itu bukan karena ajal.

 

Apakah yang Terbunuh Akan Meninggal Kalau Tidak Terjadi Pembunuhan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap ajal manusia itu hanya diketahui Allah semata berbeda anggapan lagi, apakah seseorang yang terbunuh itu akan meninggal pula kalau tidak dibunuh ketika terjadi pembunuhan pada dirinya tersebut atau tidak?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Seseorang yang meninggal karena terbunuh itu, kalau dia tidak dibunuh, maka tetap meninggal pula di saat-saat terjadi pembunuhan pada dirinya tersebut.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Seseorang yang terbunuh itu, kalau tidak dibunuh, maka di saat-saat terjadi pembunuhan tersebut dia boleh-boleh saja meninggal ataupun hidup terus.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Sescorang yang terbunuh itu, kalau tidak dibunuh, maka dia pun niscaya hidup terus sampai ajalnya datang.

 

Rejeki Haram

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah sebagian beranggapan: Allah itulah yang menciptakan segenap jisim, begitupun dengan segenap rejeki, sehingga harta ataupun makanan hasil rampasan yang dimakan manusia itu merupakan rejeki yang diberikan Allah kepadanya pula.

 

Tetapi kebanyakan mereka bersepakat: Allah tidak memberikan rejeki haram kepada hamba-Nya, sebagaimana halnya Dia pun tidaklah menjadikan suatu keharaman, sehingga makanan yang dimakan hamba-Nya dengan jalan merampas itu bukanlah dari-Nya.

 

Adapun para ahli yang menisbatkan segala sesuatu itu dari Allah (ahli itsbat) beranggapan: Rejeki itu ada dua macam, yaitu (i) rejeki yang dimiliki manusia, yang bukan berupa makanan, dan (ii) rejeki yang berupa makanan, yang dapat menumbuhkan dan menguatkan anggota tubuh. Bahkan kalau makanan yang diciptakan Allah itu diharamkan untuk dimakan, maka makanan tersebut tetap saja sebagai rejeki dari-Nya, sebab Dia menjadikannya untuk menumbuhkan dan menguatkan anggota tubuh. Karena itu Allah pun boleh-boleh saja memberikan rejeki haram kepada hamba-Nya.

 

Berjuang di Jalan Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang apa yang dimaksud dengan berjuang di jalan Allah (al-syahadah) itu.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Berjuang di jalan Allah itu talah seseorang bersikap sabar menanggulangi musibah yang menimpa dirinya, bahkan dia pun berketetapan hati untuk memeranginya. Begitupun dengan musibah yang seperti berjangkitnya penyakit, tenggelam, kebanjiran, ancaman bahaya kematian dalam peperangan dan lain sebagainya.

 

Adapun kalau scorang sabar menanggulangi dan berketetapan hati dalam memerangi musibah tersebut, maka menurutnya sikap orang ttu merupakan bagian dari i’tikadnya.

 

  1. Scbagiannya lagi beranggapan: Berjuang di jalan Allah ttu talah ketetapan hukum dari-Nya bagi orang mukmin yang terbunuh dalam peperangan untuk menegakkan agama-Nya, di mana dia pun kemudian disebut sebagai orang yang mati syahid.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Berjuang di jalan Allah itu ialah hadir dalam memerangi musuh, sehingga seseorang itu seandainya terbunuh niscaya dia pun disebut sebagai syuwhada.

 

4, Sebagian mereka beranggapan: Berjuang di jalan Allah itu ialah menegakkan keadilan, baik dengan berperang atau tidak. Bahkan sebagiannya menganggap berjuang di jalan Allah itu jalah seseorang mempersaksiken dirinya dan perbuatannya, sehingga dia pun disebut sebagai orang yang adil dan juga diridai Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:

“Dan begitupun Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam) sebagai ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi .atas (perbuatan) manusia….” (QS. Al-Baqarah (2): 143)

 

Stempel Ataupun Segel Dalam Hati Orang-orang Kafir

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang stempel (al-khatmu) ataupun segel (al-Thab’u) yang terdapat dalam hati orang-orang kafir.

 

1, Sebagian mereka beranggapan: Stempel itu sebenarnya datang dari Allah, sementara segel atas hati orang-orang kafir ialah kesaksian ataupun ketetapan hukum yang menegaskan. orang-orang kafir itu Gidaklah beriman, tetapi hal int bukan merupakan penghalang untuk beriman.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Stempel ataupun segel itu talah noda hitam yang terdapat dalam hati orang-orang kafir, sebagaimana karat yang terdapat pada suatu pedang, di mana hal ini merupakan penghalang. bagi orang-orang kafir.tersebut untuk dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Bahkan mereka menganggap Allah menjadikan stempel ataupun segel itu sebagai tanda, agar dikenali para malaikat dalam membedakan hati orang-orang yang dikasihi Allah dari hati orang-orang yang . dimusuhi-Nya.

 

Adapun para ahli itsbat beranggapan: Allah telah menstempel ataupun menyegel hati orang‘orang: kafir itu dengan suatu daya kekafiran.

 

Sebagtan lain beranggapan: Pengertian Allah menstempel ataupun -menyegel hati orang-orang kafir itu ialah Dia menciptakan kekufuran atasnya.

 

Insya Allah, dalam pasal-pasal berikutnya nanti akan’ kukemukakan pula anggapan-anggapan aliran Bakriyyah tentang hal ini.

 

Petunjuk Allah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah bisa dikatakan Allah itu. memberi petunjuk (huda) kepada orang-orang . kafir atau tidak?

 

  1. Kebanyakan mereka. beranggapan: Allah memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, tetapi orang-orang kafir itu tidak memperoleh petunjuk-Nya. Allah pun memberi kemanfaatan dan kekuatan kepadanya untuk taat, tetapi orang-orang kafir tersebut tidak memperoleh apa pun dari hal itu..Bahkan Allah berbuat maslahat pula kepadanya, tetapi sebaliknya orang-orang kafir itu tidak berbuat maslahat kepada Allah.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Dari segi apa pun tidak bisa dikatakan Allah memberi petunjuk ataupun penerangan kepada orang-orang kafir, apalagi sampai menyerunya. Karena penerangan ataupun seruan Allah ita merupakan petunjuk bagi orang menerimanya. Begitupun seruan iblis itu hanya merupakan kesesatan bagi orang yang menerimanya scmata, bukan bagi orang yang tidak menerimanya.

 

  1. Para abhi itsbat beranggapan: Seandainya Allah memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, niscaya orang-orang kafir itu merupakan orang yang memperoleh petunjuk. Sementara kenyataannya Dia tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir tersebut, sehingga orang-orang kafir itu pun tidak memperoleh petunjuk-Nya. Sekalipun begitu kadang-kadang Allah memberi semacam petunjuk kepada orang-orang kafir tersebut.

 

Adapun mereka menyebut kekuasaan untuk memperoleh petunjuk itu sebagai petunjuk pula, sehingga Allah pun kadang-kadang memberi petunjuk dengan menciptakdn kekuasaan untuk, memperoleh petunjukNya itu.

 

Petunjuk Apakah yang Diberikan Kepada Orang-orang Mukmin?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang: menganggap Allah memberi petunjuk ataupun penerangan kepada orang-orang kafir. itu berbeda anggapan lagi, macam apakah petunjuk yang diberikan Allah kepada orang-orang mukmin?.

 

  1. Sebagian di antaranya beranggapan: Allah memberi petunjuk kepada orang-orang mukmin itu agar mereka disebut sebagai orang yang memperoleh petunjuk (muhtadin), di mana Allah menetapkan hal ini baginya. Bahkan apa pun yang diberikan Allah kepada orang-orang mukmin, baik yang berupa kemanfaatan . ataupun anugerah, itu semua adalah petunjuk Allah kepadanya, sebayaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: “Dan orang-orang yang memperoleh petunjuk, niscaya Allah menambahkan petunjuk kepadanya ….” (QS. Muhammad (47): 17)

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Tidaklah Allah memberi, menyebut ataupun menetapkan hal itu sebagai petunjuk. Sungguh, karena Dia memberi petunjuk kepada makhluk-Nya secara keseluruhan dengan memberi anugerah pahala kepadanya di dunia dan di akhirat kelak, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya:

 

Allah memberi petunjuk kepada mereka karena keimanannya, dari bawah mereka pun mengalir sungai-sungai di surga yang penuh kenikmatan. (QS. Yunus (10): 9)

 

Adapun anggapan ini dikemukakan Al-Juba’ i, sementara Ibrahim al-Nizham menganggap Allah menyebut ketaatan dan keimanan hambaNya itu sebagai agama, sehingga dia pun menganggap ungkapan itu (artinya: ini merupakan petunjuk Allah)  hanya disebut-Nya sebagai  semata (artinya, ini merupakan agama Allah).

 

Makna Penyesatan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbcda anggapan tentang makna penyesatan (idhlal) atas orang-orang kafir.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Makna penyesatan yang datang dari Allah itu mencakup beberapa segi, di antaranya (i) suatu penamaan dan penetapan atas orang yang disesatkan dari perintah Allah, sehingga dia pun dinamakan dan ditetapkan sebagai orang yang sesat (dhalun) dari agama-Nya, (ii) dia tidak diberinya kasih sayang ataupun anugerah yang seperti telah Allah berikan kepada orang mukmin, dan (iii) karena dia pun ditemukan dalam keadaan sesat, maka diberitakan bahwa Allah menyesatkan mereka, sebagaimana halnya menyatakan si Filan menakut-nakuti si Fulan itu kalau ditemukan pada diri si Fulan terdapat rasa ketakutan.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Penyesatan dari Allah atas orang . kafir itu berarti Dia membinasakannya, sebagai hukuman, yang Allah berikan kepadanya. Allah pun berfirman:

 

“.. Dalam kesesatan itu (mereka) dan berada dalam api neraka”  (QS. Al-Qomar (54): 47)

 

Artinya: “… Apakauh kalau kami (orang-orang yang sesat) ini disesatkan di muka bumi  (QS. As-Sajdah, (32): 10)

 

Para ahli itsbat, yang dalam hal ini terbagi lagi atas tiga anggapan, sebagiannya pun beranggapan: Penyesatan dari agama itu merupakan suatu kekuatan yang terdapat pada diri orang kafir, Sebagian lainnya beranggapan: Penyesatan dari agama itu berarti meninggalkan agama-Nya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Al-Kumani. Sebagian lagi beranggapan: Penyesatan dari Allah atas orang kafir berarti Dia menciptakan kesesatan atasnya,

 

Sekalipun begitu sebenarnya para pengikut aliran Mu’tazilah melarang untuk menyatakan Allah itu menyesatkan seorang makhlukNya dari agama-Nya.

 

Makna Taufiq dan Tasdid

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang makna taufiq dan tasdid atas orang-orang mukmin.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Taufig itu merupakan pahala yang diberikan Allah karena keimanan hamba-Nya, sehingga orang kafir pun tidaklah disebut sebagai orang yang memperoleh taufiq (muwaffiq) dari-Nya. Adapun tentang tasdid sama halnya dengan taufiq.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Taufiq itu ketetapan dari Allah kepada manusia yang memperolehnya, begitupun dengan tasdid.

 

  1. Ja’far ibn Harb beranggapan: Taufiq dan tasdid. itu merupakan. anugerah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya bukan sematamata karena ketaatannya, sekalipun begitu kalau seseorang taat kepada-Nya, maka dia pun disebut sebagai orang yang memperoleh taufiq dan tasdid Gnusaddad).

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Taufiq itu anugerah Allah yang hanya diketahui-Nya semata, yang diberikan kepada manusia:di waktu dia beriman. Karena Allah memberi anugerah taufiq-Nya kepada orang kafir untuk beriman di waktu kedua, maka dia dapat saja disebut sebagai orang yang memperoleh taufiq, sekalipun di waktu itu dia dalam keadaan kufur. Begitupun menurutnya dengan ‘tshmah yang diberikan Allah kepada manusia.

 

Ishmah

 

Para pengikut aliran Mu‘tazilah betbeda anggapan tentang makna ishmah yang diberikan Allah,

 

  1. Sebagian mercka beranggapan: ishmah itu pahala yang diberikan Allah kepada sescorang yang tercegah dari perbuatan dosa.

 

2, Sebagian lainnya beranggapan: ishmah itu anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, sehingga dengan anugerah tersebut dia pun tercegah dari perbuatan dosa.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: ishmah itu ada dua macam, yaitu (i) yang berupa seruan (doa), keterangan, celaan, ancaman ataupun janji Allah yang ditunjukkan kepada orang kafir, tetapi tidaklah dinyatakan dia tercegah dari perbuatan dosa. Dengan begitu bisa disebut boleh-boleh saja Allah memberikan ishmah kepada orang kafir, tetapi dia tidak tercegah dari perbuatan dosa, dan (ii) yang berupa anugerah (kelemahlembutan) Allah yang diberikan kepada orang-orang mukmin karena bertambahnya keimanan, sehingga dia pun tercegah dari perbuatan dosa. Karena itu seseorang yang dianugerahi ishmah niscaya keimanannya pun bertambah, sekalipun terdapat juga orang yang sebaliknya, di mana dia dengan dianugerahi ishmah tersebut malah kekufurannya bertambah.

 

Mereka pun beranggapan:. Kadang-kadang sesuatu itu mendatangkan maslahat terhadap seseorang, tetapi tidak jarang pula sesuatu tersebut mendatangkan bahaya terhadap seseorang lainnya.

 

Bahkan mereka beranggapan:Kadang-kadang pula Allah memelihara hamba-Nya ataupun memberi ishmah itu secara langsung dan pasti, sebagaimana terpeliharanya Nabi SAW dari orang-orang yang hendak membunuhnya.

 

Makna Nushrah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang makna nushrah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Nushrah itu pertolongan Allah yang diberikan kepada orang mukmin untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Allah pun menyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: ” Sesungguhnya, Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang mukmin dalam kehidupan dunia ini…” (QS. Al-Mu’min (40): SI)

 

Bahkan pertolongan Allah (al-nushrah) yang diberikan kepada hamba-Nya itu kadang-kadang datang dengan cara menggoyah kedudukan ataupun memberi ketakutan dalam hati orang kafir,. sehingga akhirnya orang kafir itu pun kalah dalam menghadapi orang mukmin, dan sekalipun orang mukmin tersebut kalah dalam menghadapi orang kafir, tetapi hal ini tidaklah berarti Allah menyia-nyiakan ataupun menelantarkan (khizlan) orang mukmin itu, bahkan Dia tetap akan menolong dan memberi pertolongan kepadanya dalam menghadapi orang kafir.

 

Para ahli itsbat beranggapan: Pertolongan Allah terhadap hambaNya itu melalui hati, yang mendorongnya untuk bertindak secara gagah berani dalam menghadapi orang kafir. Begitupun dengan kekuatan iman yang terdapat pada orang mukmin, menurutnya, kadang-kadang disebut sebagai nushrah pula.

 

Makna Khidzlan

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang makna Khidzlan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Khidzlan itu Allah meninggalkan berbuat lemah-lembut terhadap orang mukmin, di mana Dia artinya tidak memberi anugerah kepada seorang hamba-Nya yang seperti telah Dia berikan kepada mukmin lainnya. Allah pun . menyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:

 

“Dan orang-orang yang memperoleh petunjuk, niscaya Allah menambahkan petunjuk kepadanya …” (QS. Muhammad (47): 17)

 

Karena itu kalau Allah meninggalkan berbuat lemah-lembut atau dengan kata lain tidak memberi anugerah kepada orang-orang kafir, maka hal ini berarti khidzlan pun telah datang dari-Nya kepada orang kafir tersebut.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Khidzlan itu suatu penamaan penetapan dari Allah kepada seseorang yang tidak memperoleh anugerah kelemahlembutan dari-Nya.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Khidzlan itu hukuman siksa yang diberikan Allah kepada orang kafir, sebagai akibat kekufurannya. Adapun para ahli itsbat, yang dalam hal ini terbagi lagi atas dua anggapan, sebagiannya pun beranggapan: Khidzlan itu merupakan daya kekufuran yang terdapat pada orang kafir. Sebagian lainnya beranggapan: Khidzlan itu berarti Allah yang menciptakan kekufuran dari orang kafir tersebut.

 

Walayah dan ’Adawah

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang walayah dan ’adawah yang diberikan Allah.

 

  1. Kebanyakan mereka, kecuali Bisyr ibn al-Mu’tamir dan beberapa lainnya, beranggapan: Walayah itu ialah kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang mukmin karena keimanannya, sementara ‘adawah ialah permusuhan yang datangnya dari Allah kepada orang kafir karena kekufurannya.

 

Bahkan walayah pun menurutnya berupa ketetapan syari’at, pujian ataupun anugerah Allah yang dibcrikan kepada orang mukmin, sementara ’adawah ialah hal-hal yang berlawanan dengan walayah schingga hal ini mcrupakan Kemarahan Allah.

 

  1. Bisyr ibn al-Mu’tamir beranggapan: Walayah itu merupakan suatu keadaan setelah sescorang beriman kepada Allah, sementara ‘adawah scbaliknya ialah suatu keadaan setelah seseorang kKufur.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Walayah itu sesuatu yang terdapat pada diri orang mukmin, sementara ’adawah ialah sesuatu yang terdapat pada diri orang kafir, di mana keduanya itu bukan merupakan penamaan dan penetapan yang seperti halnya rida ataupun marah.

 

Imbalan di Dunia

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda” anggapan tentang imbalan (pahala) di dunia ini kepada orang mukmin.

 

  1. Ibrahim al-Nizham beranggapan: Imbalan itu. tidak ada selain di akhirat kelak. Adapun apa yang dianugerahkan Allah kepada orang mukmin di dunia, baik yang berupa kasih-sayang, rasa cinta ataupun karunia-Nya, itu bukan merupakan imbalan, karena apa yang dianugerahkan-Nya tersebut sebenarnya hanya ujian agar tambah beriman ataupun bersyukur kepada-Nya semata.

 

  1. Sebagian besar .mereka beranggapan: Iimbalan yang diberikan Allah kepada orang mukmin itu seringkali berlangsung pula di dunia. Karena itu apa yang dianugerahkan Allah kepada orang mukmin, baik yang berupa kasih-sayang ataupuf rida-Nya, itu merupakan imbalan dari Allah.

 

Apakah Pengertian Iman?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah yang dimaksud dengan iman?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Iman itu ialah segala sesuatu yang menjurus kepada ketaatan terhadap Allah, baik dengan melaksanakan kewajiban agama ataupun yang dianjurkan.

 

Adapun maksiat itu. ada dua macam, yaitu (i) maksiat yang termasuk dosa kecil, dan (ii) maksiat yang termasuk dosa besar, di mana dosa besar pun terdiri dari perbuatan yang pelakunya dapat dinyatakayn kufur dan yang pclakunya tidak dapat dinyatakan hufur. Bahkan scscorang yang dapat dinyatakan kufur itu karena tiga alasan, yaitu (i) karena mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya, (ii) Karena mclanggar ketentuan Allah ataupun mendustakan sesuatu yang diberitakan-Nya, dan (iii) karena menolak kesepakatan ummat Islam yang berdasarkan nash-nash ataupun berita dari Nabi SAW. Lebih jauh lagi mereka pun mengkufurkan seseorang yang menganggap Allah itu jisim dengan susunan anggota tubuh yang berbatas, kecuali kalau dia tidak memberikan pengertian apa pun tentang jisim-Nya tersebut, dan mereka mengkufurkan seseorang yang menganggap Allah itu dapat dilihat dengan penglihatan ataupun menempat di suatu tempat, yang seperti layaknya manusia, bahkan menciptakan dan berbuat kejahatan. Sekalipun begitu mereka tidak mengkufurkan seseorang yang menganggap Allah itu hanya kuasa terhadap kejahatan semata, tetapi Dia tidak berbuat kejahatan apa pun. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Abu al-Hudzail dan para pengikutnya. Mereka pun diceritakan beranggapan: Dosa-dosa kecil yang diperbuat seseorang itu dapat diampuni Allah dengan meninggalkan dosa besar, di mana hal ini merupakan anugerahNya, bukan sesuatu yang berhak dimiliki. Bahkan mereka beranggapan: Pada dasarnya semua aspek keimanan itu merupakan iman kepada Allah (iman billah) pula, sehingga ditinggalkannya aspek-aspek keimanan tersebut ada yang dapat mengakibatkan kufur ataupun fasiq, seperti halnya salat, zakat dan puasa wajib di bulan Ramadhan, dan ada pula yang dapat mengakibatkan dosa kecil, yang tidak sampai menjadikan kufur atau pun fasiq, seperti halnya perbuatan yang dianjurkan.

 

  1. Hisyam al-Fuwathi beranggapan: Iman itu mencakup segala aspek perbuatan yang menjurus kepada ketaatan, baik yang berupa pe: buatan-perbuatan wajib ataupun yang dianjurkan. Bahkan iman itupun ada dua macam, yaitu (i) yang discbut sebagai iman billah serta mencakup segala aspek perbuatan, schingga ditinggalkannya aspek-aspek keimanan ini dapat mengakibatkan kufur, dan (ii) yang disebut sebagai iman lillah serta mencakup segala aspek perbuatan schingga ditinggalkannya aspek-aspek keimanan inj dapat mengakibatkan fasiq, sepe’ti halnya salat dan zakat. Tetapj kalau seseorang meninggalkan salat, zakat ataupun suatu perbuatan wajib lainnya karena dia menghalalkan hal itu, maka dia pun dinyatakan kufur.

 

Hisyam al Fuwathi pun menganggap di antara aspek-aspek yang termasuk iman lillah itu ada perbuatan lainnya, di mana ditinggalkannya perbuatan tersebut hanya mengakibatkan dosa kecil semata, bukan mengakibatkan fasiq.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Iman itu mencakup segala perbuatan yang diperintahkan Allah, baik yang wajib ataupun yang dianjurkan. Bahkan iman pun ada dua macam, yaitu (i) yang disebut sebagai iman billah serta meliputi segala perbuatan, sehingga yang meninggalkannya akan dinyatakan kufur, seperti halnya mengimani keesaan Allah dan lain sebagainya, dan (ii) yang disebut sebagai iman lillah serta meliputi segala perbuatan, sehingga yang meninggalkannya dinyatakan sesat dan fasiq, tetapi tidak sampai dinyatakan kufur. Bahkan sebagiannya pun hanya dianggap berdosa kecil semata.

 

Abbad ibn Sulaiman pun menganggap seseorang yang bodoh (ahl) kepada Allah niscaya pula dinyatakan kufur.

 

  1. Ibrahim al-Nizham beranggapan: Iman itu menjauhi perbuatan dosa besar, yaitu perbuatan maksiat yang diancam siksa Allah. Jadi, keimanan itu ialah menjauhi segala perbuatan yang diancam siksa Allah dan juga dicela sekalian makhluk-Nya. Karena itu seseorang yang beriman niscaya selalu menjauhi segala perbuatan maksiat, baik yang dicela sekalian makhluk-Nya ataupun diancam Allah yang berupa dosa besar atas-Nya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Iman itu menjauhi segala perbuatan yang diancam hukuman, baik oleh sekalian makhluk-Nya ataupun oleh Allah. Lain dari itu hanya dosa kecil semata, yang niscaya diampuni Allah seandainya menjauho scgala perbuatan dosa besar.

 

  1. Muhammad ibn Abdul Wahab al Juba’ beranggapan: Iman itu melaksanakan segala sesuatu: yang diwajibkan Allah kepada hamba Nya, sementara perbuatan yang dianjurkan tidaklah termasuk iman. Bahkan setiap perbuatan yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya itu merupakan iman lillah yang sekaligus juga uman billah, tetapi seseorang yang berbuat fasiq dari segi penamaan iman secara bahasa tetap disebut sebagai orang mukmin, karena pada dirinya terdapat keimanan.

 

Adapun penamaan iman kadang-kadang ditinjau dari dua segi yaitu (i) dari segi penamaan secara bahasa, yang berarti iman itu tidak berkaitan dengan perbuatan, sehingga seseorang yang berbuat fasiq pun secara bahasa tetap disebut orang mukmin, dan (ii) dari segi penamaan secara agama, yang berarti seseorang disebut sebagai orang mukmin karena dia melaksanakan perbuatan wajib, baik yang telah atau sedang dilaksanakannya. Karena itu, dari segi penamaan secara agama, seseorang yang berbuat fasiq tidak disebut sebagai orang mukmin.

 

Tetapi menurutnya orang Yahudi itu mempunyai iman, sehingga dari segi penamaan secara bahasa dia pun bisa disebut sebagai orang mukmin ataupun muslim.

 

Nyaris seluruh pengikut aliran Mu’tazilah, kecuali Al-Asham mengingkari anggapan seseorang yang berbuat fasiq itu bisa disebut sebagai orang mukmin. Bahkan mereka beranggapan orang yang fasik itu bukan orang mukmin ataupun orang kafir, tetapi disebut sebagai orang yang berada di antara keduanya. Pada dirinya memang terdapat keimanan, tetapi dia tidak disebut orang mukmin, dan seperti orang Yahudi pun terdapat keimanan, tetapi dia tidak disebut sebagai orang mukmin.

 

Kemudian al-Juba’i beranggapan: Dari segala perbuatan dosa itu terdapat dosa kecil dan dosa besar, di mana orang yang berdosa kecil pun niscaya diampuni Allah seandainya menjadi dosa besar. Tetapi sebaliknya dosa besar itu bisa menghapus pahala yang diperbuat seseorang atas keimanannya, sementara menjauhi dosa besar pun bisa menghapus siksa atas dosa kecil yang telah diperbuat seseorang.

 

Bahkan kalau sescorang itu bercita-cita (azam) untuk berbuat dosa besar, maka dia pun berdosa besar, dan kalau dia bercita-cita untuk berbuat dosa kecil, maka dia berdosa kecil, sebugaimana yang dicita. citakan untuk berbuat kufur niscaya menjadi orang kafir.

 

Begitupun dengan anggapan abu al-Hudzail tentang orang yang bercita-cita untuk berbuat sesuatu, di mana dia dinyatakan seperti halnya perbuatan yang dicita-citakannya

 

Abu Bakr al-Asham beranggapan: Iman itu berbuat segalg ketaatan, tetapi barang siapa berbuat dosa besar tidaklah disebut sebagai orang kafir, melainkan hanya dinyatakan fasiq semata. Bahkan dia pun bukan orang kafir ataupun orang munafik, tetapi orang mukmin yang tidak taat.

 

Dan Para pengikut aliran Mu’tazilah beranggapan: Allah menamakan iman itu bukan hanya secara bahasa semata

 

Batasan Dosa Kecil dan Besar

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap perbuatan dosa pun terbagi dalam dosa kecil dan dosa besar itu berbeda anggapan lagi tentang batasannya.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Dosa besar itu ialah setiap perbuatan maksiat yang diancam Allah dengan hukuman berat, sementara dosa kecil ialah setiap perbuatan yang tidak diancam hukuman berat.

 

  1. Sebagiannya lagi beranggapan: Dosa-besar itu ialah setiap perbuatan maksiat yang diancam Allah dengan hukuman berat ataupun semacamnya, sementara dosa kecil ialah setiap perbuatan yang tidak diancam Allah dengan hukuman berat ataupun semacamnya. Bahkan kadang-kKadang suatu perbuatan itu sebagiannya termasuk dosa kecil dan sebagian lainnya tidaklah termasuk dosa apa pun. Ja’far ibn Mubasysyir beranggapan: Dosa besar itu ialah setiap perbuatan maksiat yang disengaja. Karena itu kalau seseorang berbuat maksiat dengan menyengaja, maka dia pun dinyatakan berdosa besar.

 

Pengampunan Allah atas Dosa-dosa Kecil

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbcda anggapan tentang pengampunan Allah atas perbuatan dosa-dosa kecil itu.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Allah niscaya mengampuni seorang hamba-Nya yang berbuat dosa kecil, seandainya dia menjauhi dosa besar. Adapun pengampunan Allah itu merupakan anugerah-Nya kepada seorang hamba-Nya

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Allah niscaya mengampuni seorang hamba-Nya yang berbuat dosa kecil, seandainya dia menjauhi dosa besar. Adapun pengampunan Allah itu merupakan hak seorang hamba-Nya yang mesti diperoleh karena meninggalkan dosa besar tersebut.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Allah niscaya tidak mengampuni seorang hamba-Nya yang berbuat dosa kecil, kecuali dia bertobat.

 

Apakah Dosa Kecil yang Sering Diperbuat Akan Menjadi Dosa Besar?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah dosa kecil yang sering diperbuat seseorang itu akan terkumpul sehingga menjadi dosa besar atau tidak?

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Dosa kecil yang sering diperbuat seseorang itu tidaklah akan terkumpul sehingga menjadi dosa besar, begitupun dengan seringnya perbuatan dosa yang tidak dinyatakan kufur tidaklah mungkin terkumpul sehingga menjadi kufur.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Seseorang yang berbuat dosa kecil niscaya diampuni Allah seandainya menjauhi dosa besar, tetapi dosadosa kecil yang sering diperbuat itu akan terkumpul sehingga menjadi dosa besar, seperti halnya seseorang yang sering mencuri uang senilai satu dirham akan terkumpul sehingga misalnya menjadi lima dirham ataupun lebih.

 

Sebagian lainnya beranggapan: Seseorang yang sering mencuri uang senilai satu dirham, tctapi secara terpisah-pisah, tidaklah dinyatakan berbuat dosa besar, Sckalipun begitu seseorang yang mencuri uang senilat lima dirham sckaligus niscaya dinyatakan berdosa besar.

 

Apakah yang Bertobat Lalu Kembali Berdosa Diperhitungkan Dosa Sebelum Tobatnya?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang seseorang yang sudah bertobat lalu kembali berdosa, apakah akan diperhitungkan dosa-dosa sebelum tobatnya itu atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Seseorang yang sudah bertobat itu kalau dia kembali berdosa, maka akan diperhitungkan dosadosa sebelum tobatnya tersebut.

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Seseorang yang sudah bertobat itu kalau dia kembali berdosa, maka tidaklah akan diperhitungkan dosa-dosa sebelum tobatnya, karena sebelumnya toh sudah bertobat.

 

Apakah yang Mencuri Uang dari Penyimpanannya Dinyatakan Fasiq?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang seseorang yang mencuri uang dari tempat penyimpanannya yang terjaga ketat, apakah dia dinyatakan fasiq atau tidak?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Seseorang yang mencuri uang dari tempat penyimpanannya yang terjaga ketat itu niscaya dia tetap dinyatakan fasiq, karena para ahli hukum (fugaha) Islam pun telah menghalalkan untuk memotong tangan seorang pencuri.

 

  1. Sebagian lainnya, kecuali Ja’far ibn Mubasysyir, beranggapan: Seseorang yang mencuri uang dari tempat penyimpanannya yang terjaga ketat itu niscaya tidaklah dinyatakan fasiq, kecuali hal ini diperbuatnya secara sengaja.

 

Maksiat Seseorang Secara Sengaja

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang maksiat sescorang yang secara sengaja mencuri uang senilai satu dirham ataupun lebth.

 

  1. Jafar ibn Mubasysyir beranggapan: Scscorang yang berbuat makstat secara sengaja itu dinyatakan fasigq, batik dia mencuri uang senilai kurang ataupun lebih dari satu dirham, atau berbuat maksiat lainnya.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Seseorang yang bercita-cita untuk mencuri uang senilai kurang ataupun lebih dari satu dirham kemudian pada suatu ketika dia melaksanakan cita-citanya tersebut, niscaya dia dinyatakan fasiq. Karena bercita-cita untuk berbuat maksiat itu sama dengan berbuatnya, tentu saja berkehendak untuk mencuri uang senilai kurang ataupun lebih dari satu dirham tersebut sama dengan berbuatnya pula, sehingga dengan seringnya perbuatan itu sendiri niscaya terkumpul menjadi dosa besar.

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Seseorang yang mencuri uang senilai kurang dari lima dirham serta bukan mencurinya dari tempat penyimpanan niscaya tidaklah dinyatakan fasiq, kecuali pencuri terscbut dihalalkan oleh para ulama (fugaha’) Islam untuk dipotong tangannya.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Seseorang yang mencuri uang senilai kurang dari sepuluh dirham niscaya tidaklah dinyatakan fasiq, kecuali dia mencuri lebih dari sepuluh dirham.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Seseorang yang mencuri uang niscaya tidaklah dinyatakan fasiq, kecuali dia mencuri lebih dari seratus dirham. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Al-Nizham.

 

Orang yang Tidak Membayarkan Zakat

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang orang yang tidak membayarkan kewajiban zakat.

 

  1. Hisyam al-Fuwathi beranggapan: Orang yang tidak membayarkan kewajiban zakatnya tidaklah disebut sebagai orang yang menahan zakat, kecuali kalau dia bercita-cita untuk tidak membayarkan kewajibun zakatnya seumur hidup. Begitupun dengan orang yang bercita-cita untuk tidak membayarkan kewajiban zakatnya dalam satu tahun pembayaran zakat tidaklah dia disebut sebagai orang sesat.

 

  1. Sebagian lainnya beranggapan: Orang yang menahan zakat kepada yang berhak menerimanya, dia dinyatakan fasiq. Adapun mereka yang membatasi kefasiqan mencuri uang itu sampai minimal lima dirham (ashhab al-khamsah) menganggap orang yang menahan zakat sampai minimal lima dirham pun dinyatakan fasiq, sementara ashhab al-’asyrah menganggap minimal sepuluh dirham dan ashhab al-mi’atain menganggap minimal duaratus dirham saja.

 

Pengikut aliran Mu’tazilah yang menganggap Allah menyajikan pahala dan siksa (ashhab al-wa’id) itu bersepakat: Allah pun niscaya memasukkan orang yang tidak membayar kewajiban zakatnya tersebut ke neraka sclama-lamanya.

 

Apakah yang Fasiq Bisa Disebut Sebagai Orang Mukmin.

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah orang fasiq itu bisa disebut sebagai orang mukmin atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Orang yang fasiq itu masih memiliki iman, tetapi dia tidak boleh disebut sebagai orang mukmin. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Abbad ibn Sulaiman.

 

  1. Sebagian lagi beranggapan: Orang yang fasiq itu tidak mempunyai iman, sehingga dia pun tidak boleh disebut sebagai orang mukmin.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan: Berdasarkan sifatnya ataupun namanya, secara bahasa, boleh-boleh saja orang yang fasiq itu disebut sebagai orang mukmin.

 

Apakah Ancaman Atas Orang Kafir Bisa Diketahui Akal?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah ancaman (siksa) Allah atas orang kafir itu bisa diketahui secara akal atau tidak?

 

  1. Sebagian mereka beranggapan: Siksa Allah atas orang kafir ataupun yang tidak itu, yang melakukan maksiat, wajib diketahui secara akal dan niscaya pula siksa Allah tersebut kekal adanya.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Siksa Allah itu tidak wajib diketahui secara akal, kalau diberikan kepada orang yang berdosa, tetapi wajib kalau dikhususkan kepada orang kafir.

 

  1. Sebagian lain beranggapan: Siksa Allah itu tidak wayjib diketahui secara akal, kecuali terjadi perbedaan antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat ataupun antara orang yang dikasihiNya dan yang dimusuhi-Nya.

 

Adapun perbedaan tersebut dapat menimbulkan beberapa hal, di antaranya orang yang maksiat niscaya disiksa Allah secara terus menerus, sementara orang yang taat niscaya selamat dari siksaan-Nya dan dilimpahi segala kenikmatan akhirat. Tetapi Allah pun akan mengampuni orang yang berdosa, lalu diberiNya kenikmatan secara terus-menerus pula.

 

  1. Sebagiannya pun beranggapan: Orang yang menzalimi sesamanya itu wajib diketahui secara akal tidak diampuni Allah, kecuali setelah dia diampuni oleh orang yang dizaliminya tersebut, maka Allah pun niscaya menjatuhkan siksa yang setimpal kepadanya.

 

  1. Abbad ibn Sulaiman beranggapan: Allah niscaya memeriksa setiap orang yang berbuat dosa, sehingga bisa dibedakan antara orang yang berbuat dosa dan yang tidak. Dan siksa Allah itu tidak wajib diketahui secara akal selain oleh Diri-Nya sendiri, sementara manusia hanya bisa mengetahuinya melalui berita-berita yang pernah didengarnya semata-mata.

 

  1. Sebagiannya beranggapan: Siksaan Allah atas orang kafir itu hanya wajib diketahui secara akal melalui berita-berita yang disampaikan-Nya semata.

 

Apakah Allah Mengampuni yang Berdosa dan Menyiksa yang tidak Berdosa?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah secara akal Allah boleh mengampuni hamba-Nya yang berdosa dan menyiksa hamba-Nya yang tidak berdosa atau tidak?

 

  1. Ajl-Juba’i beranggapan: Secara akal boleh-boleh saja Allah berbuat hal itu.

 

  1. Kebanyakan mereka beranggapan: Mengingkari hal itu, karena secara akal tidak mungkin terjadi begitu.

 

Berita yang Umum Tetap Pada Keumumannya

 

Para pengikut aliran Mu’trazilah yang menganggap Allah menyanjikan pahala dan siksa (al-wa’id) itu bersepakat: Secara lahiriah berita-berita yang datang dati Allah itu bersifat umum. Umpama saja firman-Nya:

 

Artinya: “Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu niscaya berada dalam neraka” (OS. Al-Infithar (82): 14)

 

Artinya: ”Barang siapa berbuat kebaikan seberat atom (dzarrah) pun, niscaya dia melihat balasannya. Dan barang siapa berbuat kejahatan seberat atom (dzarrah) pun, niscaya pula dia melihat balasannya”’ (QS. Al-Zalzalah (99): 7—8)

 

Nash-nash seperti di atas ataupun yang memberitakan halal dan haram itu secara lahiriah bersifat umum, di mana berita-berita yang bersifat umum tidaklah mempunyai pengecualian ataupun pengkhususan karena adanya pengecualian ataupun pengkhususan ini bukan merupakan lahir (dhahir) dari suatu berita. Karena itu beritaberita yang datang dari Allah pun yang secara lahiriah bersifat umum tidak boleh mempunyai pengecualian ataupun pengkhususan, kecuali terdapat nash-nash lain yang menunjukkan adanya pengkhususan dan yang dapat diterima akal, dan adanya pengkhususan itu pun tidak boleh setelah datangnya berita tersebut.

 

Apakah yang Wajib Diperbuat Kalau Ada Pengkhususan?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah yang wajib diperbuat oleh seseorang yang mendengar berita yang secara lahiriah bersifat umum kalau tidak ada pengkhususan dan yang dapat diterima akal?

 

  1. Al-Nizham beranggapan: Terhadap hal itu seseorang hendaklah berpegang teguh pada keumuman berita tersebut, sebelum ditemuinya pengkhususan atas berita yang bersifat umum itu, baik yang datang dari Al-Qu’ran, Hadis ataupun kesepakatan (ijma’) segenap ummat Islam.

 

  1. Abu al-Hudzail dan Al-Syaham beranggapan: Kalau berita yang datang itu secara lahiriah bersifat umum, maka hendaklah orang yang mendengarnya pun berpegang teguh pada keumuman berita tersebut, sebagaimana halnya telah dikemukakan para ahli yang menyifati Allah (ahl al-shifat) itu. Tetapi para ahli bahasa tidak bisa menemukan maksud-maksud yang dikehendaki oleh suatu berita yang bersifat umum tersebut.

 

Adapun ,seseorang yang mendengar berita itu kalau menganggapnya secara lahiriah bersifat umum, sementara yang tidak mendengar berita tersebut menganggapnya bersifat khusus, maka orang yang mendengarmya itu hendaklah berpegang teguh pada keumuman berita tersebut sebelum dia menemukan adanya berita lain yang mengkhususkan di samping yang tidak mendengarnya itu pun bolehboleh saja menganggap berita tersebut bersifat khusus dan mempunyai pengkhususan.

 

Apakah yang Digunakan Untuk Mengetahui Ancaman Allah?

 

Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah yang bisa digunakan untuk mengetahui ancaman siksa Allah atas orang yang berdosa itu?

 

  1. Abu al-Hudzail beranggapan: Ancaman siksa Allah atas orang yang berdosa itu bisa diketahui melalui tirman-firman (Al-Qu’ran) yang diturunkan-Nya.

 

  1. Al-Fuwathi beranggapan: Ancaman siksa Allah atas orang yang berdosa itu tidak bisa diketahui, kecuali melalui pentakwilan terhadap berita-berita yang diturunkan-Nya tersebut.

 

  1. Al-Asham beranggapan: Ancaman siksa Allah atas orang yang berdoa itu hanya bisa diketahui melalui adanya orang yang fasiq semata, yang dicela oleh orang-orang muslim ataupun oleh Allah itu sendiri. Maka tidaklah seseorang itu tercela, kecuali dia telah dimusuhi Allah, sehingga dia pun niscaya termasuk para penghuni neraka.

 

’Amr Ma’ruf dan Nahyi Munkar Para pengikut aliran Mu‘tazilah, kecuali Al-Asham, bersepakat:

 

Wajib mengajak kebaikan (’amr ma’ruf) dan mencegah kejahatan (Nahyi munkar) berdasarkan kesanggupan masing-masing, baik melalui lisan ataupun kekuatan pedang yang ada padanya.

 

Bahkan mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan ini pun merupakan salah satu dari lima ajaran utama aliran Mu’tazilah (ushul al-Mu’tazilah al-khams) pula, yang terdiri dari (i) menetapkan kemahaesaan Allah, (ii) kemahaadilan-Nya, (iii) yang menempati antara dua tempat, (iv) menisbatkan pahala dan siksa itu dijanjikan Allah, dan (v) mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan.

 

Di antara prinsip dasar (ajaran) Jaham ibn Shafwan ialah (i) surga dan neraka itu kekal selama-lamanya, (ii) kermanan itu mengenal Allah, sementara kekufuran talah bodoh atas-Nya, (iii) perbuatan manusia ini hakikatnya merupakan perbuatan Allah itu sendiri. Karena itu Dia sebenarnya pelaku dari setiap perbuatan, sementara perbuatan manusia hanya sebagai kiasan (majazi) semata sebagaimana pohon yang bergerak, bintang yang beredar dan matahari yang terbit, di mana yang berbuat semua itu hakikatnya pun adalah’ Allah hanya saja pada diri manusia ini Allah menciptakan kekuatan dan kehendak, sehingga dengan kekuatan dan kehendak itu manusia pun dapat berikhtiar untuk berbuat. Bahkan hal ini seperti pula Allah yang menciptakan warna, lalu manusia dengan dayanya dan ikhtiarnya itu membuat sesuatu menjadi berwarna, dan (iv) mengajak kebaikan dan mencegah Kejahatan.

 

Diceritakan, Jaham ibn Shafwan dibunuh oleh Salim ibn Ahwaz al-Mazani di Maru (di wilayah Turkistan) pada masa-masa terakhir kedaulatan Bani Umayyah.

 

Jaham ibn Shafwan pun konon pernah berkata: ”Aku tidak menganggap Allah itu merupakan sesuatu, karena hal itu berarti menyerupakan Allah dengan materi sesuatu.” Tetapi dia pun menganggap ilmu Allah itu baru. Al-Qu’ran itu makhluk, bahkan menurutnya tidaklah Allah selalu mengetahui sesuatu sebelum terjadinya.

 

Di antara prinsip dasar (ajaran) Dhirar ibn Amr, yang berbeda dengan aliran Mu’tazilah, ialah (i) perbuatan manusia itu sebenarnya diciptakan Allah. Sekalipun begitu dapat saja suatu perbuatan diciptakan oleh dua pelaku, yaitu Allah dan juga oleh manusia itu sendiri, yang mengusahakan adanya perbuatan tersebut, sehingga hakikatnya pun keduanya itu nierupakan pelaku dari suatu perbuatan, (ii) adanya kemampuan itu sebelum perbuatan, bahkan menyertai adanya perbuatan tersebut, sechingga kemampuan itu merupakan suatu unsur penting yang mengakibatkan seseorang mampu berbuat, (iii) manusia itu merupakan kumpulan aksiden yang seperti juga jisimjisim lainnya, yang terdiri dari warna, rasa, bau, panas, dingin dan. materi-materi lainnya, sehingga aksiden pun boleh-boleh saja menggantikan jisim. Bahkan manusia dapat pula membuat panjang, lebar ataupun dalam, kalau semua itu merupakan bagian dari jisim, (iv) suatu perbuatan yang terjadi akibat perbuatan lainnya, sebagaimana halnya rasa sakit akibat pukulan ataupun lenyapnya batu karena dilemparkan itu sebenarnya merupakan perbuatan yang diciptakan Allah dan bukannya diciptakan manusia, (v) pengertian Allah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa itu sebenarnya Dia tidak bersifat bodoh ataupun lemah, begitupun dengan pengertian sifat-sifat Dzat-Nya yang lain, dan (vi) mengingkari anggapan Ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’ab RA yang menyatakan huruf-huruf Al-Qu’ran itu diturunkan Allah.

 

Bisikan Kalbu

 

Para pengikut aliran Dhirariyyah ini sebenarnya menganggap tidak begitu tahu bisikan kalbu manusia, bahkan menurutnya bisikan kalbu manusia itu barangkali secara Umum hanya menjurus pada kemaksiatan semata, sehingga hal ini bisa dianggap sebagai kekufuran ataupun penipuan.

 

Di antaranya berkata: “Seandainya beberapa orang memperlihatkan gerak-gerik kalbunya kepadaku, niscaya kukatakan bahwa dalam kalbu orang-orang itu barangkali tersimpan gejala kckufuran.”

 

Dan di antaranya lagi berkata: “Begitupun seandainya aku ditanyai olch beberapa orang yang memperlihatkan gerak-gerik kalbunya, niscaya pula kujawab bahwa aku tidak begitu tahu apa orang-orang itu barangkali menyimpan gejala kekufuran dalam kalbunya.”

 

Melihat Allah di Akhirat

 

Para pengikut aliran Dhirariyyah menganggap di hari kiamat kelak Allah akan menciptakan indera keenam untuk orang-orang mukmin, agar mereka dapat melihat-Nya. Adapun anggapan ini diikuti pula oleh Hafsh al-Fard dan yang lain-lain.

 

Perbuatan Manusia

 

Al-Husein ibn Muhammad al-Najar’) serta para pengikutnya (Huseiniyyah) beranggapan: Perbuatan manusia itu sebenarnya diciptakan Allah. Tetapi perbuatan manusia itu pun bukanlah milikNya, sekalipun Allah itulah yang menghendakinya karena Dia selalu berkehendak atas sesuatu yang diketahui-Nya, baik yang akan ataupun tidak akan terjadi.

 

Kemampuan

 

Para pengikutnya (Huseiniyyah) beranggapan: Kemampuan itu tidaklah mendahului perbuatan, tetapi muncul ketika seseorang berbuat dan adanya pun bersama perbuatan itu sendiri, yaitu sebagai pertolongan Allah. Bahkan menurutnya kemampuan itu tidak kekal adanya, sekalipun ia menentukan akan ataupun tidak akan terjadinya suatu perbuatan. Karena itu kalau kemampuan tersebut terjadi, maka terjadilah suatu perbuatan, dan kalau kemampuan tersebut tidak terjadi, maka perbuatan itu tidaklah teryadi. Adapun kemampuan seseorang untuk beriman ini merupakan taufiq, tasdid, anugerah, nikmat, kebaikan dan petunjuk Allah atas hamba-Nya, dan begitupun dengan kemampuan seseorang untuk kufur. itu merupakan kesesatan, kesiasiaan, kecelakaan dan kejahatan yang ditimpakan Allah atasnya. Mereka pun beranggapan: Boleh-boleh saja terjadi ketaatan ketika seseorang akan meninggalkan kemaksiatan, sekalipun di waktu itu tiada kemaksiatan yang ditinggalkannya, sehingga tidaklah ketaatan tersebut hanya terjadi waktu seseorang meninggalkan kemaksiatan semata.

 

Dan mereka beranggapan: Orang mukmin itu orang yang mendapat petunjuk dan taufiq Allah, sementara orang kafir ialah orang yang disesatkan-Nya, disia-siakan, ditutup mata hatinya dan tidak dianugerahi Allah. Sckalipun begitu scandainya Allah berbuat kebaikan kepadanya, niscaya dia pun menjadi orang yang baik.

 

Kesakitan Anak-anak

 

Para pengikut aliran Huseiniyyah beranggapan: Boleh-boleh saja Allah memberi kesakitan ataupun kesenangan kepada anak-anak di akhirat kelak. Bahkan Allah pun berkuasa memberi anugerah kepada orang kafir untuk menjadi beriman, sehingga tidaklah Allah membebani orang kafir tersebut dengan sesuatu yang tidak dikuasainya. Jadi, orang kafir yang meninggalkan bebannya tidaklah karena ketidakmampuannya, tidak juga karena Allah berusaha membinasakannya.

 

Di antara doktrin-doktrin Al-Husein ibn Muhammad al-Najar lainnya ialah, (i) manusia tidaklah dapat berbuat sesuatu kepada yang selain dirinya, misalnya saja bergerak, diam, berkehendak, tahu, beriman ataupun kufur. Karena itu tidaklah seseorang dapat membuat penderitaan kepada orang lain, bahkan tidak pula dia dapat menimbulkan suatu perbuatan dari perbuatannya yang lain. Diceritakan, Burghuts pun cenderung mengikuti anggapannya tentang suatu perbuatan tidak dapat menimbulkan perbuatan lainnya itu, sehingga Burghuts beranggapan: Suatu perbuatan yang.timbul dari perbuatan lainnya itu semata-mata diciptakan Allah, yang sudah menjadi suatu tabiat, sehingga lenyapnya batu karena dilemparkan ataupun rasa sakit karena dipukul itu sudah merupakan suatu tabiat pula, (ii) sifat Allah itu selalu yang Maha Pemurah, dengan menolak sifat kikir bagiNya. Bahkan Dia pun selalu yang berkata-kata, yang berarti Dia tidak lemah untuk selalu berkata. Tetapi kalamullah itu sebenarnya makhluk yang bersifat baru, (iii) anggapannya dalam masalah tauhid sama dengan anggapan-anggapan segenap pengikut aliran Mu’tazilah, kecuali tentang masalah kehendak dan sifat pemurah-Nya, (iv) pada hati itu niscaya Allah menciptakan mata, sehingga dengan kekuatan mata-hati tersebut seseorang dapat melihat ataupun mengenal TuhanNya. Karena itu mereka pun mengingkari Allah bisa dilihat dengan penglihatan mata biasa, (v) orang yang meninggal itu karena sudah Sampai ajalnya, begitupun dengan orang yang terbunuh ataupun yang bunuh diri, dan (vi) tentu saja Allah yang memberi rejeki halal ataupun haram kepada hamba-Nya, di mana rejeki-Nya tersebut ada yang – berupa makanan dan juga yang berupa kekayaan.

 

Aliran Bakriyyah ini ialah para pengikut seorang laki-laki yang bernama Bakr ibn Zaid, seorang keponakan.Abdul Wahab ibn Zaid. Mereka beranggapan: Orang muslim yang berdosa besar itu sebenarnya munafik, hamba setan yang dusta dan ingkar kepada Allah, sehingga dia pun akan dimasukkan ke neraka secara kekal. Bahkan orang muslim yang selalu berdosa itu di dalam hatinya tidak ada keimanan terhadap Allah, sekalipun dia masih disebut sebagai orang mukmin ataupun orang muslim. Adapun orang yang sering berdosa kecil, lamalama pun menjadi berdosa besar.

 

Orang yang Hatinya Ditutup Allah

 

Para pengikut aliran Bakriyyah beranggapan: Kalau. Allah menutup hati seseorang untuk beriman kepada-Nya, maka dia pun selama-lamanya tidaklah bisa menjadi orang yang maslahat.

 

Zurqan menceritakan, Bakr ibn Zaid pun menganggap manusia itu diperintahkan Allah agar berbuat maslahat, tetapi ketertutupan hatinya menjadi penghalang antara dirinya dengan kemaslahatan tersebut, sehingga siksa Allah pun dijatuhkan atasnya. Begitupun manusia itu sebenarnya diperintahkan Allah agar beriman, tetapi ketertutupan hatinya menjadi penghalang untuk berbuat begitu.

 

Anggapan-anggapan Abdul Wahid ibn Zaid

 

Zurqan pun menceritakan, Abdul Wahid ibn Zaid beranggapan: Tidaklah manusia itu diperintahkan Allah agar berbuat maslahat. Sementara sebagian pengikutnya menceritakan, dia menganggap dalam hati manusia itu terdapat tabiat yang selalu berusaha menghalangi dirinyg berbuat masiahat tersebut.

 

Bahkan dia pun menganggap tidak ada tobat bagi orang yang membunuh, dan anak-anak kecil yang masih dalam ayunan itu tidaklah diberi kesakitan oleh Allah, tetapi sclalu diberi kelezatan dan kesenangan, sekalipun misalnya anak-anak kecil tersebut cacat terpotong.

 

Ali, Thalhah dan Zubair

 

Para pengikut aliran Bakriyyah beranggapan: Permusuhan antara Ali ibn Abu Thalib, Thalhah dan Zubair itu sampai membawa mereka ke medan peperangan, sehingga mereka pun termasuk kufur ataupun syirik. Tetapi Allah tetap mengampuni mereka, karena Dia sendirj menganggap mereka sebagai ahli perang Badar yang diampuni dosanya, sebagaimana dinyatakan firman-Nya dalam suatu hadis qudsi:

 

“Perbuatlah apa pun yang kamu kehendaki, karena Aku (Allah) telah mengampuni kamu.”

 

Di antara prinsip-prinsip dasar (ajaran) Bakr ibn Zaid lainnya: (i) di hari kiamat kelak Allah niscaya menciptakan suatu bentuk yang berupa Diri-Nya, sehingga Dia dapat berbicara dengan segenap hambaNya, (ii) manusia itu hakikatnya ruh, begitupun dengan hewan-hewan, karena tidaklah Allah menciptakan keperihidupan, pengetahuan dan kekuasaan pada suatu benda yang mati, (iii) rasa sakit karena dipukul itu sebenarnya diciptakan Allah, tetapi boleh-boleh saja terjadi adanya pukulan tanpa rasa sakit, begitupun dengan anggapannya tentang sesuatu perbuatan yang timbul dari perbuatan lainnya, (iv) sebenarnya Allah itu bersemayam di setiap tempat, (v) kemampuan itu adanya sebelum terjadi suatu perbuatan, sebagaimana yang diceritakan Zurqan, dan (vi) haram memakan bawang putih ataupun bawang merah, sehingga diharamkan pula orang yang memakannya itu mendatangi mesjid, sementara orang yang perutnya berbunyi hendaklah berwudhu.

 

Dalam kalangan ummat Islam ini terdapat sekelompok asketis ataupun ahli ibadah (an-nussak) dengan beberapa anggapannya, di antaranya talah (i) boleh-boleh saja Allah menempat pada suatu jisim. Karena itu kalau mereka melihat sesuatu, maka mereka pun bersikap baik kepadanya, “Kami toh kurang begitu tahu, barangkali saja Allah itu menempat pada sesuatu,”’ katanya, (ii) bisa pula Allah pun dilihat mata di dunia ini, sesuai dengan kadar perbuatan seseorang. kalau seseorang itu perbuatannya baik, maka dia bisa melihat-Nya dengan baik pula. Bahkan sebagian mereka pun menganggap Allah itu secara hakiki dapat membarengi seseorang di dunia ini, sehingga Dia dapat pula disentuh ataupun diraba, ’”Sungguh, kami pernah menyentuhNya”, katanya, -dan (iii) sebenarnya Allah itu menyerupai bentuk manusia. Jadi, seperti layaknya manusia, mereka pun menganggap Allah itu berdaging dan berdarah. Betapa, Maha Suci Allah dari anggapan mereka.

 

Seorang sufi yang bernama Abu Syu’aib beranggapan: Allah pun niscaya merasa gembira dan sukacita seandainya mengetahui manusia berbuat taat kepada-N’ya, tetapi sebaliknya Dia niscaya merasa sedih dan dukacita seandainya mengetahui manusia berbuat maksiat kepada-Nya.

 

Di antara mereka pun terdapat sekelompok. asketis yang beranggapan: Ibadah itu bisa menyampaikan seseorang pada suatu kedudukan yang dapat membebaskan dirinya dari perbuatan terlarang, sehingga perbuatan itu dibolehkan baginya dan tidak dibolehkan bag! yang selainnya, seperti halnya dia dibolehkan berbuat zina ataupun perbuatan maksiat lainnya.

 

Sekelompok asketis lagi beranggapan: Ibadah itu bisa menyampaikan seseorang di dunia ini dapat melihat Allah, mengeca buah-buahan surga, melihat bidadari dan juga memerangi setan secars langsung.

 

Sekelompok asketis lainnya beranggapan: Ibadah itu bisa menyampaikan seseorang pada suatu kedudukan yang lebih utama dan mulia ketimbang para nabi ataupun para malaikat.

 

Para ahli hadis (ahli sunah) bersepakat: Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, semua kitab-Nya, segenap Rasul-Nya, bahkan tidak menolak apa pun yang didatangkan Allah dan diriwayatkan RasulNya. Allah itu Tuhan yang Mahaesa, yang tiada Tuhan selain Dia, Dia tidaklah butuh berteman, tidak beranak ataupun diperanakkan

 

Adapun Nabi Muhammad SAW itu hamba dan utusan Allah, dan surga ataupun neraka itu benar adanya, di mana hari kiamat pun niscaya datang tanpa diragukan lagi, bahkan Allah akan membangkitkan manusia-manusia dari lubang kuburnya. Allah pun bersemayam di atas ’Arsy-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya:

 

Artinya: ”Tuhan yang Maha Pemurah itu bersemayam di atas ’Arsy.” (QS. Thaha (20): 5)

 

Allah pun mempunyai dua tangan, tanpa mempersoalkan bagaimana bentuk tangan-Nya tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: “… Yang Kuciptakan (Adam) itu dengan kedua tangan-Ku….” (QS. Shad (38): 75)

 

Artinya: ” … Bahkan kedua tangan Allah itu terbuka…”. (QS. Al-Maidah (5): 64)

 

Dan Allah pun mempunyai dua mata, tanpa mempersoalkan bagaimana bentuk mata-Nya tersebut, sebagaimana dinyatakan dalum firman-Nya:

 

Artinya: “Yang berlayar (perahu Nuh) itu di bawah pengawasan mataKu… .” (QS. Al-Qamar (54): 14)

 

Bahkan Allah pun mempunyai wajah, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:  “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran serta kemuliaan.” . (QS. Al-Rahman (55): 27)

 

Kemudian Allah pun mempunyai ilmu, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: “… Ialah Allah menurunkan (Al-Qu’ran) itu dengan ilmu-Nya…” . (QS. Al-Nisa’ (4): 166)

 

Artinya: : ”… Dan. tidaklah ada seorang perempuan yang mengandung ataupun melahirkan, kecuali dengan ilmu-Nya….” (QS. Fathir (35): 11)

 

Di samping itu mereka menisbatkan Allah bersifat melihat ataupun mendengar, sehingga tidaklah mereka menafikan adanya sifat-sifat ini terhadap Allah, sementara segenap pengikut aliran Mu’tazilah justru menafikan adanya sifat-sifat tersebut. Bahkan mereka menisbatkan Allah mempunyai kekuatan pula, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

Artinya: ”… Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah yang menciptakan mereka itu mempunyai kekuatan lebih ketimbang mereka…” . (QS. Fushshilat (41): 15)

 

Mereka pun beranggapan: Tidaklah di muka bumi tni ada kebaikan ataupun keburukan, kecuali dengan kehendak Allah. Bahkan segala sesuatu pun hanya bisa terjadi dengan kehendak Allah semata, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: ”Dan kamu tidaklah dapat menghendaki (sesuatu) selain yang dikehendaki Allah… (OS. Al-Takwir (81): 29)

 

Adapun hal ini seperti ungkapan orang-orang muslim yang sering dikatakannya, ”Segala sesuatu yang dikehendaki Allah niscaya terjadi, sementara yang tidak dikehendaki-Nya tidaklah bisa terjadi”.

 

Para ahli hadis (abli sunah) ini pun beranggapan: Tidaklah seseorang itu bisa dinyatakan tidak kuasa berbuat sebelum dia berbuat sesuatu, sehingga dia kuasa keluar dari pengetahuan Allah, atau sebelum berbuat sesuatu yang diketahui Allah itu dia tidak berbuatnya. Dan menurutnya tiada pencipta yang selain Allah, yang juga menciptakan segala perbuatan manusia, sehingga pada dasarnya manusia pun tidaklah kuasa menciptakan sesuatu. Di samping itu Allah memberi taufiq-Nya kepada orang mukmin karena ketaatannya, bahkan memberi siksanya kepada orang kafir karena kekufurannya. Karena itu Dia memberi anugerah, perhatian, kemaslahatan dan petunjuk-Nya hanya kepada orang mukmin semata, tidak kepada orang kafir. Sckalipun begitu scandainya Allah berkehendak memberi kemaslahatan ataupun petunjuk kepada orang kafir itu, niscaya dia menjadi orang yang twaslahat dan memperolch petunjuk-Nya pula. Jadi, Allah pun sebenarnya kuasa memaslahatkan orang kafir tersebut menjadi beriman, tetapi Dia menghendaki orang kafir itu tetap dalam kekufurannya, sebagaimana yang diketahui-Nya, di mana Allah menyia-nyiakannya dan menutup pintu hatinya dengan kesesatan.

 

Bahkan mereka beranggapan: Kebaikan ataupun keburukan itu merupakan kehendak (qadha) serta ketentuan (qadar) Allah. Karena itu mereka beriman kepada kehendak serta ketentuan yang baik dan buruk, yang manis dan getir, bahkan tidak seorang pun yang dapat mencelakakan ataupun membahagiakan dirinya dan juga selainnya, kecuali dengan kemauan Allah, dan mereka pun menyerahkan semua perkaranya itu hanya kepada Allah semata, di mana mereka selalu membutuhkan-Nya.

 

Adapun Al-Qur’an itu: merupakan Kalamullah dan bukan makhluk, hanya saja kedudukan (waqef) dan lafazhnya diciptakan, sehingga mereka pun tidaklah menyatakan apa lafazh-lafazh itu makhluk atau bukan. Dan orang mukmin pun niscaya melihat Allah dengan penglihatannya di hari kiamat kelak, seperti halnya melihat bulan di malam purnama, sementara orang kafir trdaklah melihatNya karena terhalang, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya:

“Sekali-kali tidaklah begitu, bahkan sebenarnya, mereka pada hari kiamat itu terhalang dari (melihat) Tuhannya.” (QS. Al-Muthaffifin (83): 15)

 

Dan Nabi Musa As pun diceritakan meminta kepada Allah agar menampakkan Diri-Nya, kemudian Dia mengabulkan permintaan tersebut, schingga menampaklah Diri-Nya di atas gunung dan scketika itu. Nabi Musa As pun pingsan. Jadi, berdasarkan cerita ini para ahli hadis (ahli sunah) itu menganggap Allah tidak bisa dilihat dengan penglihatan di dunia ini, tetapi hanya bisa dilihat di hari akhirat semata. Lebih jauh lagi mercka tidaklah mengkufurkan orang muslim ahli kiblat yang melakukan dosa besar seperti halnya berzina, mencuri ataupun berbuat dosa besar lainnya karena dia tetap dianggap beriman, sekalipun dia berbuat dosa besar.

 

Mereka pun beranggapan: Iman itu ialah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, segenap kitab-nya dan sekalian rasul-Nya, bahkan percaya pada ketentuan yang baik dan buruk yang manis dan getir itu dari Allah, tetapi segala sesuatu yang.dicela Allah pun bagi yang berbuatnya akan memperoleh siksa, sekalipun siksa Allah tersebut bukanlah semata-mata karena seseorang berbuat celaan. Sementara Islam ialah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu hamba serta utusan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW., sehingga apa yang disebut sebagai orang muslim pun tidak sama dengan orang mukmin.

 

Di samping itu Allah ialah Dzat’ yang membolak-balikan hati manusia, sementara Rasulullah pun niscaya memberi syafa‘at kepada ummatnya yang berdosa, dan mereka pun membenarkan siksa kubur, adanya telaga Al-Kautsar, adanya jembatan akhirat, adanya kebangkitan dari lubang kubur dan juga membenarkan adanya perhentian di hadapan (Mahsyar) Allah.

 

Adapun yang disebut sebagai iman meliputi perkataan dan perbuatan, di mana iman pun mungkin saja bertambah ataupun berkurang, tetapi tidaklah mereka menganggap iman itu makhluk atau bukan. Bahkan nama-nama Allah ialah Allah itu sendiri. Tetapi tidaklah mereka menganggap orang yang berdosa niscaya dimasukkan ke neraka, tidak juga menganggap orang yang beriman niscaya berada di surga, sebab Allah itulah yang menentukan semua kehendak-Nya. Karena itu pun mereka menyerahkan perkaranya hanya kepada Allah semata. Kalau Allah menghendaki untuk menyiksanya, maka seseorang itu akan disiksa, dan begitupun sebaliknya kalau Allah menghendaki untuk mengampuninya, maka seseorang itu akan diampuni saja.

 

Bahkan Allah pun niscaya mengeluarkan orang mukmin yang disiksa di neraka, di mana hal ini merupakan suatu syafa’at yang datang dari Rasulullah SAW. Karena itu tidak boleh berbantah-bantah dalam masalah agama ataupun bermusuh-musuhan karena masalah ketentuan (qadar) Allah, tetapi hendaklah masalah-masalah tersebut diterima berdasarkan apa yang diriwayatkan orang-orang terpercaya dan adil, dan janganlah mempertanyakan bagaimana ataupun kenapa pula karena hal itu merupakan bid’ah.

 

Mereka pun beranggapan: Allah tidaklah memerintahkan kepada keburukan, sebaliknya Dia memerintahkan kepada kebaikan, bahkan – tidaklah Dia meridai adanya keburukan itu, sekalipun Dia itulah yang menghendaki adanya. Adapun para sahabat (salaf) itu. merupakan orang-orang yang pilihan di antara ummat Islam terdahulu, sehingga mereka perlu diteladani segala kebaikannya, dengan menyisihkan apa pun yang kurang baik darinya. Jadi, para ahli hadis (ahli sunah) ini mengakui kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abu Thalib RA. Bahkan mereka pun meyakini para khalifah pilihan itu merupakan orang-orang utama dan mulia setelah Nabi Muhammad SAW di samping membenarkan hadis-ladis yang didatangkan Rasulullah kepada mereka.

 

Dan menurutnya Allah selalu turun ke langit dunia setiap tengah malam seraya berfirman: ’’Masith adakah orang yang memohon ampunan-Ku?’’ sebagaimana yang diceritakan hadis Nabi SAW. Mereka pun berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunah rasulNya, karena hal ini diperintahkan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

“… Kalau kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah. (Al-Qur’an) dan (sunah) rasul-Nya …” (QS. Al-Nisa’ (4): 59)

 

Lalu mereka anjurkan kepada segenap orang muslim untuk mengikuti pendapat pemimpin-pemimpin Islam yang terdahulu dan melarang berbuat bid’ah dalam masalah agama, Karena hal itu tidak diperkenankan Allah. Dan Allah pun akan mendatangi para hambahamba-Nya di akhirat kelak, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya:

 

Artinya:

“Dan datanglah Tuhanmu, sementara para malaikat pun berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr (89): 22)

 

Di samping itu mereka pun meyakini Allah dekat kepada hambaNya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

 

Artinya: Dan Aku lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya. (QS. Qaf (50): 16)

 

Bahkan mereka membolehkan salat wajib ataupun sunat di belakang seorang imam, baik imam itu orang taat atau tidak, dan juga membolehkan mengusap sepatu ketika berwudhu, baik dalam perjalanan atau tidak. Sementara memerangi orang musyrik itu merupakan suatu kewajiban agama, sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman. Lalu mercka anjurkan untuk mendoakan para pemimpin Islam, karena hal ini merupakan perbuatan maslahat, dan melarang untuk membcrontak terhadapnya, baik dengan pedang ataupun desas-desus fitnah. Mercka pun membenarkan akan datangnya Dayal, tetapi dia akan terus diperangi olch Nabi Isa AS. dan mereka percaya adanya malaikat Munkar serta Nakir dit alam kubur, mi’raj Nabi SAW, bahkan percaya doa dan sedekah bagi orang muslim yang meninggal itu pahalanya akan sampai kepadanya.

 

Lebih jauh lagi mereka membenarkan adanya sihir di dunia ini, tetapi Orang-orang yang ahli sihir dianggapnya sebagai orang kafir, sebagaimana dinyatakan Allah. Dan mereka anjurkan untuk mendirikan salat bagi orang muslim ahli kiblat yang meninggal, baik dia orang yang taat atau tidak. Adapun surga dan neraka itu sebenarnya makhluk. Allah pun memberikan rejeki kepada hamba-Nya, baik yang halal ataupun haram. Sementara setan selatu berbisik-bisik direlung hati manusia, mengajak kepada keragu-raguan dengan tenungannya. Sebaliknya orang yang berbuat maslahat akan mendapat anugerah, yang khusus diberikan Allah kepadanya.

 

Mereka pun beranggapan: Anak-anak (yang meninggal ketika masih kanak-kanak) itu persoalannya berada dalam kekuasaan Allah. Kalau Dia hendak menyiksanya, maka anak-anak itu akan dimasukkanNya ke neraka, dan begitupun sebaliknya, sehingga akhirnya hal ini terletak dalam kekuasaan-Nya. Lalu mereka anjurkan untuk bersikap sabar atas ketentuan Allah, selalu melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, dan ikhlas dalam setiap perbuatan, saling menasihati sesama orang muslim, memperbanyak ibadah kepada-Nya, menjauhi kemaksiatan yang menjurus kepada dosa besar ataupun kecil seperti halnya berzina, berkata-kata dusta, suka ingin menang sendiri, bermewah-mewah, takabur, berbangga-banggaan ataupun mencela orang lain serta menghindari apa pun yang mengarah kepada perbuatan bid’ah. Bahkan mereka anjurkan untuk memperbanyak membaca dan menelaah Al-Qur’an, kitab-kitab atsar ataupun fiqh dengan penuh kerendahhatian (tawadhu’), dan hendaklah seseorang menghiasi dirinya : dengan akhlak yang baik, dengan tidak menyakiti orang lain, tidak mengumpat, tidak mengadukan orang lain dan juga tidak serakah.

 

Begitulah, semua ini merupakan doktrin-doktrin ahli sunah (ahli hadis) yang juga scpadan dengan ajaranku, sehingga aku pun dituntut untuk menctapkannya dan menyampaikannya. Sungguh, kepada Allah saja aku memohon taufig dan pertolongan-Nya, bahkan kepada-Nya pula aku bertawakai dan berscrah diri hasbunallahu wa ni’mal wakiil.

 

Doktrin Pengikut Abdullah ibn Sa’id Al-Qaththan

 

Para pengikut Abdullah ibn Sa’id al-Qaththan, di samping berpegang kepada doktrin-doktrin ahli sunah (ahli hadis), mereka beranggapan bahwa Allah itu selalu bersifat yang Maha Hidup, yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa, yang Maha Mendengar, yang Maha Melihat, yang Maha Sempurna, yang Maha Agung, yang Maha Tinggi, yang Maha Besar, yang Maha Mulia, yang Maha Berkehendak, yang Maha Berbicara dan yang Maha Pemurah, dan Allah pun selalu memiliki keperihidupan, pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kesempurnaan, keagungan, ketinggian, kesabaran, kemuliaan, keberkehendakan, pembicaraan dan kemurahan dalam sifatNya tersebut. Bahkan mereka tidaklah menganggap nama-nama dan sifat-sifat Allah itu bukan Allah, sehingga tidaklah menganggap misalkan ilmu-Nya itu bukan Dia, sebagaimana halnya anggapan aliran Jahamiyyah, tetapi mereka tidak pula menganggap ilmu Allah itu Allah, sebagaimana halnya anggapan sebagian pengikut aliran Mu’tazilah. Begitupun dengan anggapan-anggapannya atas sitat-sifat Allah yang lain, dan mereka tidaklah menganggap pengetahuan-Nya itu kekuasaan-Nya, tetapi tidak pula menganggap pengetahuan-Nya itu bukan kekuasaan-Nya. Mereka hanya menganggap sifat-sifat Allah itu berada dalam Diri-Nya semata, lain tidak.

 

Di samping itu mereka beranggapan bahwa Allah pun selalu meridai orang yang diketahui-Nya akan meninggal dalam keadaan beriman, tetapi sebaliknya Allah selalu membenci orang yang diketahui-Nya akan meninggal dalam keadaan kufur. Begitupun dengan anggapan mereka tentang kasih-sayang, kemurkaan ataupun perlindungan-Nya.

 

Lalu mereka beranggapan bahwa Al-Qur’an yang berupa Kalamullah itu bukan makhluk. Sementara anggapannya tentang ketentuan Allah seperti anggapan para ahli sunah (ahli hadis), begitupun dengan anggapannya tentang kedudukan orang yang berdosa ataupun tentang melihat Allah dengan penglihatan mata.

 

Adapun pengertian Allah bersemayam pada Diri-Nya sendiri menurutnya ialah Dia berada dalam ’Arsy-Nya dan juga di atas scgala sesuatu. Bahkan mercka pun menganggap scbclum adanya penciptaan ini tidak ada zaman.

 

Doktrin Zuhair Al-Atsari

 

Para pengikut Zuhair al-Atsari beranggapan: Allah itu bersemayam di setiap tempat, yang artinya Dia pun bersemayam dalam ’Arsy-Nya. Di samping itu boleh-boleh saja Allah dilihat dengan penglihatan mata, tanpa mempersoalkan bagaimana caranya. Bahkan adanya Dzat Allah itu menurutnya, di setiap tempat. Sekalipun begitu Allah bukan jisim. Dia tidaklah berbatas, sehingga tidak bisa diraba ataupun dirasa. Dan Allah pun akan datang di hari kiamat kelak, sebagaimana dinyatakan dalam firmannya:

 

Artinya:

”Dan datanglah Tuhanmu …” (QS. Al-Fajr (89): 22)

 

Tetapi tidak usah dipersoalkan bagaimana cara kedatangan-Nya itu. Lebih jauh lagi mereka pun menganggap Al-Qur’an yang berupa Kalamullah itu sebenarnya baru, tetapi bukan makhluk, bahkan AlQur’an itu pun berada di setiap tempat dalam waktu yang bersamaan.

 

Kehendak ataupun kasih-sayang Allah itu menurutnya berada dalam Diri-Nya sendiri. Adapun anggapannya tentang pengecualian Allah atas orang-orang mukmin yang berdosa itu seperti anggapan aliran Murji’ah tentang ancaman siksa-Nya, sementara anggapannya tentang ketentuan Allah seperti anggapan aliran Mu’tazilah. Mereka pun menganggap orang muslim ahli kiblat yang berbuat dosa itu masih disebut sebagai orang mukmin, sebab pada dirinya masih terdapat iman, hanya saja dia pun disebut sebagai orang fasiq kareng dosanya itu, dan orang fasiq ini perkaranya berada dalam kekuasaan Allah, sehingga Allah pun niscaya memasukkannya ke neraka kalay Dia menghendaki untuk menyiksanya, begitu pun sebaliknya Allah niscaya memasukkannya ke surga kalau Dia menghendaki untuk mengampuninya.

 

Para pengikut Abu Mu’adz al-Tumani init sebenarnya mempunyai anggapan yang sama dengan anggapan-anggapan Zuhair al-Atsari, hanya saja mereka sedikit berbeda anggapan tentang masalah AlQur’an, di mana Abu Mu’adz al-Tumani menganggap bahwa Al-Qur’an yang berupa Kalamullah itu sebenarnya kejadian baru yang tidak baru, dan bukan makhluk, bahkan Al-Qur’an itu pun overada dalam Diri-Nya sendiri, sehingga tidaklah menempat di tempat yang selain-Nya. Begitupun dengan anggapan mereka tentang kehendak ataupun kasih sayang Allah, di mana hal itu menurutnya berada dalam Diri-Nya sendiri pula. .

 

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas taufiq dan berkah-Nya, selesailah sudah jilid I kitab Magalat al-Islamiyyin ini. Insya Allah, segera dilanjutkan dengan jilid II yang akan membahas problematika-problematika Ilmu Kalam, yang mengemukakan berbagai masalah sehubungan dengan Ilmu Kalam tersebut dan juga perbedaan anggapan aliran-aliran dalam Islam. Kiranya Allah selalu memberi tauriq dan hidayah-Nya, sehingga kita pun selalu dalam petunjukNya menuju jalan yang lurus. Amin.