Definisi – Kehujjahannya – Sejarah Penulisannya -Kerja Keras

 

Ulama dalam Memeliharanya As-Sunnah menurut bahasa : perilaku yang baik maupun yang buruk. Dalam hadist disebutkan :

 

“Barangsiapa mengadakan dalam Islam perilaku yang baik, maka Ia mendapat pahalanya dan pahala dari orang yang mengerjakannya selain dia tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang mengadakan dalam Islam perilaku yang buruk maka ia mendapat dosanya dan dosa dari orang yang mengerjakannya selain dia tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”

 

Dalam hadist tersebut telah diulang-ulang pemakaian kata as-Sunnah dan segala yang berasal darinya. Asalnya berarti jalan /cara atau perilaku.

 

Nabi SAW, bersabda :

 

“Kalian akan mengikuti perilaku orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai seandainya mereka memasuki sarang biawak, kalian pasti akan mengikuti mereka.”’

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna asSunnah menurut syara’. Oleh karena itu defenisinya bermacam-macam. Sebabnya ialah perbedaan tujuan dari berbagai ilmu dan objek pembahasannya.

 

Para ulama hadist mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Ada yang mengatakan : atau kepada sahabat Nabi SAW, atau tingkatan di bawahnya, berupa perkataan atau perbuatan atau ketetapan atau sifat.

 

Para ulama Ushulul Figh mendefinisikannya : asSunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, selain al-Qur’anul Karim, berupa perkataan atau perbuatan atau peristiwa yang cocok untuk menjadi dalil bagi sebuah hukum syar’iy.

 

Para ulama Fiqh mendefinisikannya : as-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, dan bukan termasuk fardhu maupun wajib pada jalan yang ditempuh dalam agama tanpa difardhukan maupun diwajibkan, karena tugas mereka adalah membahas tentang hukum-hukum syariy, yaitu fardhu, wajid, mandub, haram dan makruh serta pengetahuan tentang kedudukan setiap hukum.

 

Para ulama yang bekerja dalam bidang nasehat dan bimbingan, mendefinisikan bahwa as-Sunnah adalah kebalikan bid’ah, karena tugas mereka adalah memperhatikan segala yang diperintahkan oleh asy-syara’ atau dilarangnya.

 

Ketahuilah as-Sunnah menurut definisi ulama hadist sama dengan hadist Nabawi menurut mereka. Hadist ini mencakup pula sifat-sifat Nabi SAW, yang mengenai jasmani, moral, perilaku, peperangan dan sebagian khabarnya sebelum diangkat menjadi Nabi.

 

Itulah sebabnya para ahli hadist menyebutkan bahasan-bahasan ini dalam kitab-kitab asy-syama-il, al-jawaami’, dan al-khasha-is.

 

As-Sunnah adalah dasar kedua bagi tasyri’ Islami. Oleh karena itu kewajiban mengikutinya dan kembali kepadanya serta pengandalannya dilakukan dengan perintah Allah SWT, dan pembuat syara’ Yang Maha Agung.

 

Allah Ta‘ala berfirman :

 

“Taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah.” (QS. Al-Maidah : 92)

 

Dan Allah Ta’ala berfirman

 

“Barang siapa mentaati Rasul, ia pun-telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa’ : 80)

 

Allah Ta’ala berfirman :

 

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkantah.” (QS. Al-Hasyr :7)

 

Allah Ta’ala berfirman :

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. al-Ahzab : 21)

 

Allah Ta’ala berfirman :

 

“Katakanlah : Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.”(QS. Ali tmran :31)

 

Nabi SAW, bersabda:

 

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya .”‘

 

Oleh sebab itu orang yang mengingkari kehujjahan as-Sunnah dan menganggap cukup berpegang hanya pada al-Kitab saja, maka ia terlalu kecil dan terlalu remeh untuk disanggah atau didebat, karena dengan menganggap dirinya benar ia pun telah terjurumus ke dalam kebathilan. Dan pengakuannya bahwa ia melakukan ketaatan dan mengikuti kebenaran pada hakikatnya adalah kedurhakaan dan perbuatan bid’ah.

 

inilah al-Qur’an yang menyerukan dengan ayat-ayat yang terang dan tegas bahwa tidaklah dianggap beriman siapa yang tidak menjadikan Rasulullah SAW, sebagai hakim dan menyerahkan keputusan kepadanya, kemudian tunduk kepada keputusan dan perintahnya dengan penuh kerelaan dan dengan penyerahan diri yang menyeluruh dan tulus.

 

Allah SWT berfirman :

 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” (QS.an-Nisa’ : 65)

 

Tidak adalah arti dari menjadikan Nabi SAW, sebagai hakim, kembali dan tunduk kepada ucapannya, melainkan kembali dan tunduk kepada sunnahnya.

 

Al-Qur’an ini memberitahu kita pula bahwa tiada pilihan bagi orang mukmin bila dihadapkan dengan putusan Allah dan putusan Rasul-Nya SAW.

 

Allah Ta’ala) menggambarkan siapa yang melanggarnya sebagai kedurhakaan. Maka Allah Ta‘ala berfirman :

 

“Maka tidaklah patut bagi laki-aki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab : 36):

 

Nabi SAW, telah memberitahu kita dengan pemberitahuan Allah kepadanya tentang terjadinya pengingkaran seperti ini, maka terjadilah sebagaimana yang diberitahukannya kepada kita. Allah menampakkan mujizat Nabi SAW, dengan kemunculan golongan-golongan yang mengaku dirinya Islam, padahal Islam bersih dari mereka.

 

Maka Nabi SAW, bersabda :

 

“Akan datang waktunya seseorang dari kamu duduk di atas tempat duduknya sambil menceritakan hadijst dariku, lalu dia berkata : Cukuplah kitabullah di antara kami dan kamu. Bilamana kami dapati sesuatu yang halal di dalamnya, maka kami pun menganggapnya halal. Dan bilamana kami dapati sesuatu yang haram di dalamnya, maka kami pun mengharamkannya. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah SAW, adalah seperti yang diharamkan Allah SWT’. ‘

 

Fungsi As-Sunnah Dalam Tasyri’

 

Hubungan as-Sunah dengan al-Qur’anul Karim adalah besar dan erat sekali bila kita ketahui bahwa fungsi Sunnah Nabawiyah adalah menafsirkan al-Quranul Karim dan menyingkap rahasia-rahasianya serta menjelaskan keinginan Allah Ta’ala berupa perintah dan hukum-hukumNya.

 

Apabila kita menelusuri Sunnah dari sisi as-Sunnah sebagai dilalaah (petunjuk) terhadap hukum-hukum yang tercakup dalam al-Qur’an secara ringkas dan rinci, niscaya kita mendapatinya terdiri dari empat macam inl :

 

Pertama : As-Sunnah itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’anul Karim hingga berfungsi sebagai pendukung.

 

Misalnya sabda Nabi SAW, :

 

“Sesungguhnya Allah memberi penangguhan bagi orang: yang zhalim. Maka apabila Dia menghukumnya, iapun tidak bisa lolos”.

 

Hadist ini sesuai dengan firman Allah SWT :

 

“Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa penduduk negri-negri yang zhalim.” (QS. huud :102)

 

Begitu pula semua hadist yang -menunjukkan kewajiban sholat, zakat, haji, kebaiikan, perbuatan baik, maaf dan sebagainya.

 

Kedua : As-Sunnah menjelaskan maksud al-Qur’an. Macam-macam penjelasan ini adalah sebagai berikut :

 

  1. Menjelaskan yang ringkas. Hal itu adalah seperti hadist-hadist yang menjelaskan semua yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ibadah dan hukum-hukum, berupa cara-cara, syarat-syarat, waktu-waktu dan gerakan-gerakan. Misalnya al-Qur’an tidak menjelaskan jumlak dan waktu serta rukun-rukun setiap shalat, tetapi -sunnahlah yang menjelaskannya.

 

  1. Mengikat yang mutlak. Hal itu adalah seperti. hadisthadist yang menerangkan tentang maksud tangan dalam firman Allah Ta’ala :

 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang menturi, potonglah tangan keduan ya.” (QS. Al-Maidah : 38). Yaitu , bahwa yang dimaksud adalah tangan kanan dan yang dipotong adalah dari pergelangan tangan bukan dari siku.

 

  1. Mengkhususkan yang umum. Misalnya hadist yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezhaliman dalam firman Allah Ta’ala :

 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka dengan kezhaliman. “ (QS. anAn‘am : 82) adalah syirik.

 

Seorang sahabat memahami keumuman lafazd zhalim, sehingga ia berkata :

 

Siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim Maka Nabi SAW, bersabda :

 

“Bukan itu. maksudnya. Sesungguhnya yang dimaksud adalah syirik.”’

 

  1. Menjelaskan yang rumit, seperti hadist yang menjelaskan maksud dari dua benang dalam firman Allah Ta‘ala :

 

 

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al Baqarah : 187)

 

Seorang sahabat memahaminya sebagai benang putih dan benang hitam. Maka Nabi SAW bersabda ;

 

“Maksudnya ialah putihnya siang dan hitamnya malam”? Ketiga ; As-Sunnah menunjukkan hukum yang didiamkan oleh al-Qur’an.

 

Contoh-contoh dari itu banyak. Di antaranya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai pengharaman menggabung antara wanita dan saudara perempuan ayahnya maupun saudara perempuan ibunya. Dan haditshadits yang diriwayatkan mengenai ribal fadhi dan pengharaman makan daging keledai.

 

Keempat : As-Sunnah menghapus hukum yang telah ditetapkan oleh al-kitab, menurut ulama yang membolehkan nasakh al-Kitab dengan as-Sunnah.

 

Contoh-contoh itu banyak, di antaranya hadits :

 

“Tiada wasiat untuk ahli waris”‘

 

Hadist ini menaskh (membatalkan) hukum wasiat bagi ayah, ibu dan para kerabat yang mewarisi yang ditetapkan dengan firman Allah Ta‘ala :

 

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang dari kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, agar berwasiat untuk ibu bapak dan sanak kerabatnya secara ma’ruf, (itu adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah :180)

 

Sunnah yang suci telah melewati berbagai tahapan, dalam rangkaian yang sambung menyambung satu sama lain, hingga mencapal keadaan yang sekarang, dengan menjelaskan perbedaan antara setiap tahapan dan sifatnya, menjadi jelas bagimu sejarah penulisan as-Sunnah menurut hakikatnya dengan sejelas-jelasnya.

 

Tahapan-tahapan yang sangat penting dalam sejarah as-Sunnah ada tiga:

1) Penulisannya.

2) Pembukuannya secara umum.

3) Pembukuannya dengan membatasi pada hadits-hadits yang shahih.

 

1) Penulisan As-Sunnah

 

Nabi SAW, sangat memperhatikan peningkatan kepandaian menulis dan pengajarannya serta berusaha keras menyebarkannya.

 

ini adalah jelas dari tindakan Nabi SAW, dalam perang Badr. Ketika itu beliau menetapkan tebusan untuk sebagian tawanan perang Badr yang bisa menulis, yaitu seorang dari mereka mengajari sepuluh anak kaum Muslimin di Madinah membaca dan menulis, dan tidak dibebaskan melainkan setelah selesai mengajart mereka.

 

Nabi SAW, telah menggunakan tulisan dalam membukukan al-Qur’an dan mengirim surat-surat kepada raja-raja untuk mengajak mereka masuk Islam. Untuk keperluan itu beliau menggunakan beberapa juru tulis di antara para sahabat.

 

Al-Qur’an seluruhnya telah ditulis di hadapan Nabi SAW, di atas lembaran-lembaran kutit, pelepah kurma dan lempengan batu.

 

Sebagai kebalikan dari perintahnya untuk menulis al-Qur’an, Nabi SAW, melarang menulis hadits demi mencegah agar tidak terjerumus dalam bahaya perubahan dan penggantian. Dan supaya ayat al-Qur’an tidak bercampur dengan hadits perkataan Rasulullah SAW, maka beliau melarang para sahabatnya menulis sunnah-sunnah dan membukukan hadits-hadits hingga terbuka kesempatan luas untuk menghafal dan menulis al-Qur’an sekaligus. Dan supaya al-Qur’an itu tertanam dalam dada para ahli hafal serta terbiasa didengar oleh pendengaran mereka. Dengan demikian hilanglah bahaya percampuran.

 

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri r.a, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda :

 

Janganlah kalian menulis dariku sesuatu selain alQuran. Dan barang siapa yang menulis dariku selain alQuran, hendaklah ia menghapusnya. ‘

 

Maka beliau melarang mereka menulis hadits dan membiarkan mereka menghapalnya serta membolehkan mereka meriwayatkan dan menukilnya darinya. Namun beliau. memperingatkan mereka untuk tidak berdusta terhadapnya.

 

Saya katakan : “Inilah dia hadist shahih satu-satunya dalam bab ini dan ada banyak hadist dan atsar yang bermacam-macam. Semuanya tidak kosong dari kritikan yang tidak perlu kami sebutkan.”

 

Nabi SAW, telah memberi izin secara khusus kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist seperti Abi Syah. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa ketika Allah membukakan Makkah untuk Rasul-Nya, Rasulullah SAW, berdiri dan berkhutbah di hadapan orang banyak. Kemudian seorang penduduk Yaman bernama Abu Syah berdiri, tatu berkata :

 

“Ya Rasulullah, tulislah sesuatu bagiku.”

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Tulislah untuknya”

 

Dan dalam satu riwayat :

 

“Tulislah sesuatu untuk Abi Syah”‘

 

Telah diriwayatkan izin umum dari Nabi. SAW, untuk menulis dalam hadist dari Abdullah bin Amru bin Ash. Ketika itu Nabi SAW, berkata kepadanya :

 

“Tulislah ! Demi Tuhan yang nyawaku berada ditangan-Nya, tidaklah keluar ‘dariku, kecuali kebenaran? Nabi mengisyarat ke arah mulutnya.

 

Abdullah bin Amru berkata :

 

“Apakah aku harus mengikat ilmu ?”

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Ya”

 

Aku berkata :

 

* Bagaimana mengikatnya ? *

 

Nabi SAW, menjawab :

 

” Menulis.“

 

Thabrani meriwayatkannya dalam al-Kablir dan alAusath.!

 

Diriwayatkan dari Anas r.a, secara marfu’ :

 

“Ikatlah imu dengan tulisan.”?

 

Tampak adanya pertentangan di antara hadits-hadits ini. Sebagiannya dengan tegas melarang menulisnya dan sebagiannya dengan tegas mengizinkan penulisannya.

 

Sebenarnya tiada pertentangan Banyak ulama berijtihad untuk menggabung di antara hadits-hadits itu.

 

Menurut saya, pendapat terbaik mengenai hal itu adalah pendapat yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang farangan penulisan telah dinasakh (dibatalkan). Penjelasannya ialah ada kemungkinan farangan penulisannya mendahului izinnya atau izin penulisannya berlangsung lebih dahulu.

 

Saya katakan : “Jika larangannya yang berlangsung lebih dahulu sebelum izinnya, maka selesailah kerumitannya dan terpecahkan problemnya.”

 

Ternyata izin penulisannya itulah yang tetap berlaku dan dimanfaatkan oleh orang-orang dengan mencatat apaapa yang bisa mereka catat.

 

Bilamana Izin penulisannya berlangsung lebih dahulu dan larangannya belakangan, maka hal ini tidak sesuai dengan hikmah yang menyebabkan timbulnya larangan ity dan yang telah ditegaskan dalam banyak hadits dan atsar.

 

Hikmah itu ialah takut terjadinya percampuran antara al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam hadits

 

“Barangsiapa menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.”

 

Demikian pula sabda Nabi SAW, :

 

“Khususkanlah Kitabullah dan murnikanlah dia. ” (HR. Ahmad).

 

Takut pencampuran antara al-Qur’an dan hadits adalah masuk akal pada awal keperluannya dan di awal hijrah, ketika. kaum muslimin berada di Madinah sementara di antara mereka ada orang-orang yang belum masuk Islam dari kaum munafik dan yahudi di samping para ahli baca dan ahli hafal masih sedikit.

 

Daiam keadaan ini dapatiah dibayangkan terjadinya percampuran antara al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu. berlakulah larangan pada waktu itu, hingga kaum mustimin selesai menghafal al-Qur’an dan para pembaca menjadi banyak. Apabila para ahij hafal Kitabullah telah banyak tersebar, mereka baru menyibukkan diri dengan asSunnah dan figth di samping al-Qur’an.

 

Tidaklah masuk akal bahwa terjadi percampuran setelah tersebarnya para ahli hafal al-Qur’an yang telah kuat hafalannya. Jadi larangan penulisan itu tidak mungkin terjadinya belakangan, maka inilah yang terjadi, yaitu larangan, izin dan tertib ta‘limi dalam menghasilkan ilmu dan mendahulukan yang lebih penting daripada yang penting.

 

Apabila umat telah memahami kitabullah dengan baik maka mereka mulai belajar sunnah-sunnah dan penjelasan Kitabullah azza wa jalla.

 

Banyak sahabat radhiyallahu ‘anhum telah memahami izin yang datang sesudah larangan, lalu mereka mencatat ‘banyak dari sunnah-sunnah sebagaimana diriwayatkan kepada kita. Di antaranya :

 

  1. Shahifah Ali R.a, yang Tersohor.

 

Diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Abi juhaifah, ia berkata : Aku berkata kepada Ali : ” Apakah kalian mempunyai sebuah kitab ? Ali menjawab : ” Tidak, kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada orang muslim atau yang terdapat dalam shahifah (lembaran) ini” Aku oerkata : “Apakah yang terdapat dalam shahifah ini ?” Ali menjawab : “Diyat, pembebasan tawanan, dan seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh seorang kafir.”

 

Dalam riwayat-riwayat lain dari hadits ini terdapat tambahan-tambahan tentang sebagian masalah yang termuat dalam shahifah ini’

 

  1. Ash-Shahifah ash-Shadiaah milik Abdullah bin Amru Ibnu Ash. Ibnul Atsiir menyebutkan bahwa shahifah itu memuat seribu hadits.? ta sendiri menamakannya ash-Shodigah.

 

  1. Shahifah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi berkata tentang shahifah ini : “Bahwa ia memeliharanya dan memperhatikannya lebih banyak dari pada lainnya.” ‘

 

2) Pembukuan As-Sunnah

 

Telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian sahabat Nabi SAW, menulis banyak dari hadits-haditsnya dj samping yang diingat oleh daya hafal mereka yang kuat dan naluri mereka yang bersih.

 

Demikian pula para tabi’in sesudah mereka, karena mereka mewarisi ilmu para sahabat dan meriwayatkan dari mereka apa yang mereka hafal dan mereka tulis.

 

Kemudian Islam tersebar dan negeri-negeri Islam meluas sementara perbuatan bid’ah tersebar. Para sahabat terpencar-pencar di kota-kota. Banyak dari mereka mati dalam berbagai peperangan dan lainnya. Nyaris ketelitian dan kemampuan hafal menjadi sedikit.

 

Oleh sebab itu timbul keperluan. mendesak untuk membukukan as-Sunnah seluruhnya dan menulisnya.

 

Maka Amirul Mu’minin Umar bin Abdul Aziz menulis surat pada penghujung seratus tahun pertama kepada pejabat dan hakimnya di Madinah, yaitu Abu Bakar bin Hazm : “Perhatikanlah hadits Rasulullah SAW, dan tulislah, karena aku takut ilmu.akan punan dan para ulama akan lenyap:.”?

 

Umar bin Abdul Aziz mewasiatkan kepadanya untuk menulis baginya hadits-hadits yang terdapat. pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshariyah dan al-Qaasim_ bin Muhammad bin Abu Bakar.

 

Begitu pula ia-‘menulis surat kepada para pejabatnya di kota-kota besar Islam agar mengumpulkan hadits.

 

Di antara yang ia tulisi surat untuk keperluan itu jalah Muhammad bin Syihab az-Zuhri. Sejak waktu itu para ulama mulai menulis sunnah-sunnah dan membukukannya. Hal itu meluas pada generasi berikutnya sesudah generasi az-Zuhri.

 

Ibnu Juraij (w.150 H) menulis hadits di Makkah, ibnu Ishaq (w.150 H) dan Mafik (w.179 H) di Madinah, ar-Rabi’ bin Shabiih (w.160 H ), Said bin Abi Arubah (w.156 H ) dan Hammad bin Salamah (w.167 H) di Bashrah, Sufyan atsTsaury (w.161 H) di Kufah, al-Auza’iy (w.157 H) di Syam, Husyaim (w.183 H) dan Ibnul Mubarak (w.181 H) di Khurasan. Rahimahumullah

 

Mereka ini semuanya hidup dalam satu masa. Tidak diketahui mana yang lebih dulu mengumpulkan hadits di antara mereka. Kemudian banyak orang di masa mereka yang mengikuti jejak mereka.

 

Cara mereka dalam mengumpulkan hadits ialah Gengan meletakkan hadits-hadits yang saling bersesuaian dalam satu bab, kemudian menggabungkan beberapa bab menjadi satu kitab. Mereka mencampur hadits-hadits dengan perkataan para sahabat dan fatwa-fatwa para tabi’in.

 

Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama abad pertama, seperti az-Zuhri. Mereka mengkhususkan setiap karangan untuk satu bab iimu. Mereka mengumpulkan di dalamnya hadits-hadits yang bersesuaian dicampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa-fatwa para tabi’in.

 

Namun dengan begitu, tidak ada yang sampai kepada kita dari karangan-karangan ini selain buah karya Malik, yaitu kitab al-Muwaththa’. Barangkali penyebabnya ialah hukum perkembangan dalam penulisan. Hukum itulah yang menghilangkan karangan-karangan ini.

 

Al-Hafidh as-Suyuthi berkata mengenai tahapan ini :

 

Yang Pertama mengumpulkan hadits dan atsar

 

Adalah ibnu Syihab. Ia disuruh oleh Umar ‘

 

Inilah awal pembukuan umum dalam tahapan ini, yaitu pembukuan resmt yang disuruh oleh pemerintah Islam di waktu itu pada separuh pertama dari abad Hijriyah kedua. Di masa itu gerakan karangan, pengumpulan dan penulisan hadits maju pesat. ikut serta dalam half itu banyak ulama terkemuka dan ahli riwayat.

 

3) Pembukuan Kitab Shahih

 

Telah kami sebutkan bahwa kitab-kitab dan karangan-karangan yang merupakan buah dari perintah resmi untuk membukukan as-Sunnah pada tahapan kedua kebanyakan tidak memperhatikan pemisahan dalam pengumpulan ituantara khabar yang sahih dan dlo’ff, nasikh dan mansukh, tertib dan pengaturannya dan penggabungan sebagiannya dengan sebagian yang lain sesuai dengan materi-materinya.

 

Hal itu tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang ahli dibidangnya dan sulit dipelajari oleh pelajar yang terburu-buru.

 

itulah sebabnya semangat imam ahli hadits Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari tergerak untuk mengumpulkan sejumlah besar hadits yang shahih sanadnya dan bersih matan-matannya dari cacat, teratur menurut bab-bab figh, siirah dan tafsir dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan ushu! yang ditulis oleh para ulama Ushulil Hadits guna mendapatkan ukuranukuran keshahihan dan kriterianya.

 

Ia terdorong melakukan itu oleh perkataan gurunya Ishaq bin Rahuwaih kepada murid-muridnya : “Kiranya kalian kumpulkan sebuah hadits ringkasan berisi Sunnah Rasulullah SAW, yang shahih.” Bukhari berkata :”Maka timbul keinginan dalam hatiku, dan akupun mulai mengumpulkan al-faami’ AshShahih.”

 

Kemudian bermunculan kitab-kitab shahih mengenai bab ini, seperti Shahih Muslim, Ibnu Hibban, – Ibnu Khuzaimah dan fainnya.

 

Mengenai tahapan ini as-Suyuthi berkata :

 

Yang pertama mengumpulkan hacits shahih saja adalah Bukhari

 

PERHATIAN UMAT TERHADAP SUNNAH DAN KERJA KERAS PARA ULAMA UNTUK MEMELIHARANYA

 

Para ulama Muslimin di masa dahulu dan sekarang, kecuali ahli bid’ah yang menyimpang, sepakat bahwa sunnah Rasulullah SAW, berupa perkataan atau perbuatan atau penetapan adalah dasar yang asli dari ushuluddin dan rukun yang besar di antara rukun-rukunnya.

 

Beriman pada sunnah adalah cabang dari beriman pada agama dan penerimaannya adalah buah dari penerimaan agama.

 

Telah disebutkan dalam atsar yang masyhur :

 

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” ‘

 

Atsar yang mulia ini menunjukkan dengan tegas kepada dua hal :

 

Pertama : Nilai pemberlakuan sunnah yang mulia dan kedudukannya sebagai agama, sedangkan penerimaannya dan mempercayainya termasuk keharusan iman. Dan sudah lewat pembicaraan mengenai ini.

 

Kedua: Sistem yang bersih dan lurus yang berdiri di atas pemberlakuan ini dan tidak patut menjadi selain itu, yaitu bidang sistemnya. Dalam bidang ini tampak oleh kita tanda-tanda yang jelas -yang kami berusaha mengumpulkan apa-apa yang tercecer darinyamenjelaskan kepada kita bagaimana perhatian umat untuk memelihara dasar yang besar inl.

 

Yang pertama perlu diketahul adalah perhatian para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk menerima sunnah. Pada hakikatnya hal ini tidak aneh bila kita ketahui bahwa sikap itu adalah hasil dari perhatian Nabi SAW, yang sangat besar dalam menyampaikan ajaran agama dan memberi mereka faedah. Beliau hidup di antara mereka. Mereka menyaksikan semua tindakan luarnya, gerak dan diamnya dalam ibadah dan kebiasaannya. Dan di samping itu beliau menyuruh dan menganjurkan mereka untuk menyampaikan, menukil dan meriwayatkan.

 

Nabi SAW, bersabda : .

 

“Semoga Allah membaguskan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian ia sampaikan sebagaimana yang ia dengar. Adakalanya orang yang menerima lebih hapal dari pendengarnya.”

 

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah berupaya keras untuk mengambil dan belajar serta mengikuti semua yang mereka dengar. Sebagian dari mereka bergiliran menghadari majlisnya sehari demi sehari. Seseorang dari mereka bersepakat dengan temannya untuk pergi ke majlis Nabi SAW. Dan yang fain pergi untuk menangani urusanurusannya

 

Maka yang pertama mengabari yang kedua tentang imu yang ia saksikan dan ia dengar. Kemudian pada hari kedua datang giliran yang Jain. Maka ia pun pergi untuk menyelesaikan urusan-urusannya. Kemudian keduanya bertemu, lalu ia beritahukan kepadanya ilmu yang didapatnya pada hari itu. ‘

 

Delegasi suku-suky datang ke Madinah. Mereka tinggal selama sebulan atau dua bulan belajar hukumhukum, kemudian mereka kembali kepada kaum mereka untuk mengajari dan membimbing mereka.

 

Semangat para sahabat untuk mempelajari sunnah dan mengambilnya sedemikian besarnya hingga seseorang dari mereka pergi ke tempat sahabat lainnya untuk mencari hadist atau mendengar sebuah atsar.

 

Inilah Jabir bin Abdullah r.a, meninggalkan Madinah al-Munawwarah guna menemuj Abdullah bin Unais r.a, di Syam untuk menanyainya tentang sebuah hadist yang sampai pada dirinya, yaitu hadist yang masyhur tentang hak-hak yang dirampas. ?

 

Inilah Abu Ayyub al-Anshori r.a, meninggalkan Madinah al-Munawwarah menuju Uqbah bin Amir r.a, di Mesir untuk menanyainya tentang hadist :

 

“Barang siapa yang menutupi kejelekan orang mukmin di dunia, Allah akan menutupi kejelekannya di hari Kiamat,”? (HR. Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr)

 

Semangat yang besar untuk mencari hadist ini menghasilkan orang-orang yang meriwayatkan banyak hadist di antara para sahabat sebagai hasil terbesar.

 

Yang dimaksud meriwayatkan banyak hadits ialah sahabat yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits. Mereka itu adalah Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas, Abdullah bin Abbas, Jabir, Aisyah Ummul mu’minin – semoga Allah meridhai mereka semua.

 

Para tabi’in telah mewarisi semangat ini untuk menghasilkan sunnah-sunnah Nabawiyah sebagaimana diceritakan dalam riwayat hidup dan khabar-khabar mereka yang merupakan bukti paling benar dan paling kuat atas ha! itu.

 

Kemudian sesudah itu datang peranan besar dalam memelihara as-Sunnah dan menjaganya supaya tetap bersih murni dari permainan orang-orang yang menyeleweng, kejahatan orang-orang yang berbuat kerusakan, penyimpangan orang-orang yang melampaui batas dan pemaisuan orang-orang yang berbuat bathil.

 

Kerja keras Ulama Muslim dalam hal ini -di masa dahulu dan sekarang memiliki keutamaan yang masyhur dan merupakan upaya yang disyukuri dan tidak dilupakan. Kerja keras yang terus menerus sesuai dengan sistemsistem mereka yang berbeda-beda.

 

Sistem-sistem ini berbeda-beda menurut perbedaaan masa dan zaman. Akan tetapi cara yang tetap tidak berubah ialah berhati-hati dalam menerima khabar-khabar.

 

Bukti-bukti atas hal itu di masa para sahabat cukup banyak.

 

Di antaranya:

  1. Kisah al-Mughirah ketika dia berkata kepada Abu Bakar : “Bagian nenek dari warisan adalah seperenam.” Maka Abu Bakar menyuruhnya menghadirkan Muhanimad bin ldaslamah yang bersaksi untuknya.

 

  1. Kisah Abu musa bersama Umar bin Khattab mengenai salam, yaitu bila memberi salam tiga kali, namun tidak dijawab hendaklah ia kembali.

 

Maka Umar menyuruhnya menghadirkan bukti. Kemudian Abu Musa menghadirkan seorang saksi yang bersakéi untuknya atas khabar itu.’

 

Kemudian sistem ini dalam menerima khabar-khabar berkembang hingga memisahkan antara keadilan dan ketelitian dan menganggap keduanya sebagai syarat yang harus ada pada rawi.

 

Hal itu bisa disimpulkan dari perkataan Malik rahimahullah : “Aku mendapati 70 orang yang mengatakan : “Rasulullah SAW, bersabda.” Andai kata salah seorang dari mereka dipercaya untuk menjaga baitu! maal, niscaya ia seorang yang jujur. Akan tetapi aku tidak mengambil hadits dari mereka, karena mereka bukaniah orang yang ahli dalam urusan ini.”

 

Kemudian sistem ini mengalami perkembangan besar. Maka di antara hasil-hasilnya ialah :

 

Pertama :Kriteria-kriteria keritik bagi sanad dan matan.

Kedua : Ilmu Musthalahul hadits.

Ketiga : Pembukuan hadits shahih.

Keempat : Kitab-kitab yang mengungkap tentang orang-orang yang meriwayatkan hadits.

Kelima : Kitab-kitab yang mengungkap tentang hadits hadits maudlu’.

 

Pertama : Kriteria-kriteria Kritik Bagi Sanad dan Matan

 

Berkenaan dengan sanad, mereka mensyaratkan pada rawi adanya keadilan, ketelitian dan hafalan yang kuat pada setiap rawi hadits. Maka tidak boleh mengambil hadits dari para pendusta, orang-orang yang fasik maupun para ahli bid’ah dan penganut aliran sesat, kecuali dengan syarat-syarat yang khusus mengenai hal itu.

 

Mereka mensyaratkan. dalam seluruh sanadnya adanya kesinambungan dari awal hingga akhirnya. Maknanya ialah setiap rawinya mendengar hadits yang dirtwayatkan itu dari rawi yang di atasnya. Demikianlah seterusnya hingga bersambung. dengan orang terakhir dari siapa ia meriwayatkan khabar itu, baik marfu’ atau mauquf.

 

Adapun yang berkenaan dengan matan, para ulama telah menyebut istilah-istilah dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits yang shahih, hasan dan dlo’if .

 

Mereka menyebut pula tanda-tanda untuk mengenali hadits maudlu’ (palsu), yaitu :

 

  1. Pengakuan pemalsunya bahwa ia memalsukannya,

 

  1. Sesuatu yang dianggap sama dengan pengakuannya.

 

  1. Bilamana suatu hadits bertentangan dengan akal sehingga tidak bisa ditakwilkan.

 

4, Bilamana hadits bertentangan dengan perasaan dan penyaksian.

 

  1. Bila suatu hadits bertentangan dengan dalil-dalil kitab yang gath’iy atau Sunnah yang mutawatir atau ijma’ yang qath’iy tanpa ada kemungkinan menggabungkannya.

 

  1. Penegasannya dengan mendustakan para mutawatir.

 

  1. Bilamana hadits ini merupakan khabar tentang suatu perkara besar yang seharusnya patut disampaikan di hadapan orang banyak, namun hanya seorang saja yang meriwayatkannya dari mereka.

 

  1. Bilamana: terdapat ancaman keras yang berlebihan atas perkara kecil atau janji pahala besar atas perbuatan yang remeh. {ni banyak terdapat dalam hadits tukang bohong.

 

  1. Bilamana rawinya seorang rafidhi sedangkan haditsnya tentang keutamaan ahli bait.’

 

Kedua : Ilmu Mushthalahul Hadits

 

Ilmu ini adalah hukum yang diandalkan untuk menetapkan kaidah-kaidah penerimaan dan penolakan daiam bidang studi ini dan menjelaskan macam-macam sanad dan tingkatan-tingkatan rawi.

 

imu ini juga menjelaskan cara pengambilan hadits oleh para rawi dan pembagian jalan-jalannya serta pengetahuan tentang lafadz para rawi dan penyampaian apa yang mereka dengar, kesinambungannya hingga orang yang mengambilnya. dari mereka, penyebutkan tingkatan-tingkatannya dan pengetahuan tentang’ kebolehan meriwayatkan hadits secara makna, riwayat sebahagiannya dan tambahan di dalamnya, penambahan sesuatu kepadanya yang bukan berasal darinya, kesendirian orang yang dapat dipercaya ketika meriwayatkan tambahannya, pengetahuan tentang hadits musnad dan syarat-syaratnya, al-‘aali dan an-naazil, pengetahuan. tentang hadits mursal , mungathi’, mu’dhal dan lain-lainnya dan pengetahuan tentang macam-macam hadits shahih, hasan dan dlo’f.

 

ilmu tentang khabar-khabar mutawatir dan ahad serta lainnya adalah suatu yang disepakati oleh imam-imam ahli hadits dan populer di antara mereka.

 

Karangan pertama dalam bidang ini adalah kitab alMuhaddits al-Faashil bainar Raawi wal Waa’iy oleh al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi yang wafat tahun 360 Hijriyah.’ .

 

Kemudian kitab-kitab menjadi banyak hingga Ibnu asSholah menulis mukaddimahmya yang masyhur, maka orang-orang mempelajarinya dan mengikuti jejaknya. Tidak terhitung berapa banyak orang yang menulis nadzomannya dan meringkasnya, memperbaiki dan membatasi, mengeritik dan membelanya.

 

Ketiga : Pembukuan Hadits Shahih

 

Cara ini merupakan tambahan dalam ketelitian dan kehati-hatian dan pelayanan terhadap sunnah Nabawiyah. Tak seorang pun yang tidak mengetahui Shahihain. ia pun mengetahui bagaimana Bukhari dan Muslim mengalami kepayahan dan mencurahkan tenaga untuk mengumpulkan, menyaring dan menelitinya. Bagaimana kedua kitab ini mendapat perhatian penuh dari ulama muslimin dengan mempelajari, menerangkan, meringkas, mengomentari dan memberi catatan kaki dan umat menerima keduanya sepenuhnya. Rincian tentang hal ini memerlukan karangan khusus.

 

Sebagian ulama terkemuka telah melakukan itu. Keutamaan pertama telah diperoleh oleh al-Hafidh Ibnu Hajar yang menulis kitab Fathul Baariy berisi syarah (penjelasan) tentang shahih Bukhari.

 

Keempat : Kitab-Kitab Yang Membahas Tentang Para Rawi Hadits

 

Yakni Wmu al-farh wat-Ta’dil. mu ini membahas tentang kritikan terhadap para rawi dan pujian terhadap mereka, kata-kata khusus serta tingkatan-tingkatan kata-kata itu.

 

Adz-Dzahabi menyebutkan dalam mukaddimah kitabnya? bahwa orang yang pertama yang memperhatikan hal itu dari imam-imam huffadh hadits ialah Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan diikuti oleh murid-muridnya Yahya bin Ma’in, Ali bin tbnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Amru Ibnul Fallas, Abu Khaitsamah, dan murid-murid mereka seperti Abi Zur’ah, Abi Hatim, Bukhari, Muslim, Abi tshaq Jauzajani as-Sa’di dan para imam sesudah mereka seperti an-Nasa’iy, tbnu Khuzaimah, at-Tirmidzi, ad-Dulabi dan al-Uqaili.

 

Kitab tertua dalam bab ini yang disebutkan dalam Kasyfudh Dhunuun ialah Kitab al-farhu wat-Ta’dil oleh Abil Hasan Ahmad bin Abdullah al-‘Ijliy, kemudian al-farhu watTa’diil oleh Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim. arRazi. Dan menyebut kitab al-Kaamil oleh Ibnu Adiy, dia berkata ; ” Kitab itu adalah kitab yang terlengkap mengenai ilmu ini.”

 

Saya katakan : “Bukti terbesar atas perhatian para ulama yang sangat terhadap ilmu ini, yang menjadi alat untuk memelihara sunnah yang mulia adalah pembagian mereka atas kitab-kitab yang membahas tentang para rawi hadits menjadi kelompok-kelompok berbeda yang dikhususkan”.

 

  1. Di antaranya ada yang dikhususkan menyebut orangorang yang dio’if.

Seperti Kitab Adl-dlu’afa oleh Bukhari dan kitab Adl-dlu’afa oleh an-Nasa’iy dan adl-diu’afa oleh Uqaili ‘ dan al-Kaamil oleh Ibnu Adiy dan adl-dlu’afa oleh adDaruquthni dan al-Hakim ?. dan Miizanul I’tidaal AdiDzahabi dan Lisaanul Miizan oleh !bnu Hajar yang meringkas al-Miizan di dalamnya dan membuang rawi rawi dari kitab hadits yang enam sebagaimana dinyatakannya dalam khutbahnya dan kitab  aj Majruuhin oleh Abi Hatim Muhammad bin Hibban yang mengumpulkan di dalamnya para muhaddits yang dlo’if (temah).

 

  1. Di antaranya ialah kitab yang dikhususkan untuk menyebut orang yang tsiqah (dapat dipercaya).

Seperti Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibban, dan Ats-Tsigaat min man lam yaqa’ fil kutub as-Sittah (orang-orang yang tsiqat yang tidak terdapat dalam kitab hadits yang enam) oleh Zainuddin Qasim bin Qathlubugha dan ats-Tsigaat oleh al-Khalil bin Syahin dan ats-Tsiqaat oleh al-ijliy

 

  1. Di antaranya ada yang menggabung antara keduanya.

Seperti Taarikh Bukhari. Taarikh ibnu Abi Khaitsamah dan kitab al-farhu watTa’diil oleh Ibnu Abi Hatim.

 

  1. Di antaranya ada yang dikhususkan untuk rawi-rawi kitab hadits yang enam Saja.

Seperti : al-Kamai oleh Abdul Ghani al-Maadisi, dan Tahdzibnya oleh al-Mizziy, Tahzhibnya oleh Ibnu Hajar dan Taqribnya oleh Ibnu Hajar pula serta al-Khulashah oleh al-khazraji.

 

Kelima : Kitab-kitab yang Membahas tentang Hadits-Hadits Maudlu’

 

Sebagai perhatian, para ulama mengkhususkan kitabkitab yang isinya hanya membahas tentang hadits-hadits maudlu’ , dlo’if dan masyhur.

 

Kitab-kitab itu ada dua macam :

 

Pertama ; Kitab-kitab yang pengarangnya bertujuan menyebut para pendusta dan pemalsu serta orang-orang yang dlo’if. Di samping mereka sebutkan setiap pendusta atau. orang yang dilo‘if, mereka sebutkan pula sejumlah haditsnya.

 

Kitab-kitab macam ini adalah kitab-kitab tentang orang-orang dio’if dan sejarah mereka dan kitab-kitab at Jarh. Hal-itu dapat diketahui dengan jelas dari tulisan adzDzahabi. dalam Miizanul I’tidaal dan juga dalam Lisaanu Miizan oleh Ibnu Hajar.

 

Kedua : Kitab-kitab yang para penulisnya bertujuan menyebutkan hadits-hadits maudiu’ dan orang-orangnya.

 

Dan telah dikumpulkan kitab-kitab dari penulis terdahulu mengenai sejarah-sejarah dan cacat-cacat hadits dengan kitab-kitab lainnya yang dilakukan oleh para huffadh yang menguasai bidang ini. Kitab-kitab ini memcapai sekitar 40 karangan. ‘

 

Selanjutnya, demikianlah semangat dan perhatian para ulama dalam mencari as-Sunnah dan meriwayatkannya dan inilah kerja keras mereka yang luar biasa dalam memelihara dan membersihkannya dari kerusakan yang menimpanya serta menjayanya dari kesia-siaan.

 

Semua itu adalah kerja keras yang patut dihargai dan dihormati serta diakui bahwa kalau bukan karena taufig dari Allah SWT, dan Kehendak-Nya supaya as-Sunnah tetap hidup dan berlaku, niscaya manusia tidak mungkin melakukan ini dan bagaimana bisa mereka melakukan ini.

 

Sebelum saya sebutkan kaidah-kaidah dan istilah-istilah ilmiah dalam ilmu hadits, kami kemukakan sebuah muqaddimah yang memuat definisi-definisi penting yang harus diketahui dalam pasa! berikut ini (pasal kedua).

 

Kata “al-Hadits” (baru) adalah lawan kata “al-Qadiim” (lama). Adapun menurut istilah, maka banyak ulama terdahulu telah mendefinisikan ilmu hadits dan ungkapan mereka berbeda-beda mengenai ha! itu. Karena masinomasing melihat dari sudut tertentu sehingga menetapkan defenisinya terhadap ilmu ini atas dasar itu.

 

Barang siapa menelusuri perkataan-perkataan mereka, ia dapat mengetahui bahwa semuanya menunjukkan bahwa ilmu hadits ditetapkan atas tiga arti:

 

Pertama : ilmu hadits dengan arti menukil dari meriwayatkan segala yang berhubungan dengan Rasulullah SAW, dari perxatan yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya atau penetapannya atau apa yang dilakukan di depannya, lalu dibenarkannya atau sifat-sifatnya, yakni sifat-sifat Nabi SAW, dan perilakunya sebelum diangkat menjadi Nabi dan sesudahnya atau menukil segala yang berkenaan dengan para sahabat dan tabi’in. limu hadits dengan makna ini dikenal dengan ilmu riwayatul hadits.

 

Kedua : ilmu hadits dengan arti cara atau sistem yang diikuti tentang cara kesinambungan haditshadits dari segi hal inwal rawinya, ketelitian dan keadilannya dan dari segi keadaan sanadnya, kesinambungan dan keterputusanya. ilmu hadits dengan makna ini dikenal dengan ilmu ushulil hadits dan ia adalah objek pengkajian kita ini.

 

Ketiga : ilmu hadits dengan arti pembahasan tentang makna yang di pahami dari kata-kata hadits dan maksudnya berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ketetapan-ketetapan syar’iat serta sesuai dengan hal ihwal Nabi SAW.

 

Masing-masing makna ini mempunyai faedah-faedah.

 

Faedah yang pertama ialah perhatian untuk memelihara Sunnah Nabawiyah dan pengetahuannya serta penyebarannya di antara kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat faedah berupa kelanggengannya hingga tidak punah.

 

Objeknya adalah pribadi Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan dan penetapan (pendiamannya ) nya.

 

Pengarangnya adalah Muhammad bin Syihab az-Zuhri di masa khilafah Sayyidina Umar bin Abdul Aziz. Maksudnya, dialah orang yang pertama mengumpulkannya dengan perintah Sayyidina Umar bin Abdul Aziz .

 

Umar bin Abdul Aziz menulis surat ke berbagai wilayah : “Hendaklah kalian mencari hadits Rasululfah SAW, atau sunnahnya, lalu menulisnya. Karena aku khawatir ilmu akan punah dan ulama akan lenyap.”

 

Adapun yang kedua, faedahnya ialah mengetahui derajat hadits-hadits dan bisa mernbedakan hadits shahih dan hasan dari yang dlo’if dan-maudlu’,

 

Adapun yang ketiga, faedahnya ialah mengetahui hukum-hukum syari’ah dan menjelaskan al-Qur’anul Karim dan mengikuti teladan Nabi SAW. Sedangkan tujuannya ialah mengamalkan adab-adab Nabawi setelah meninggalkan segala yang tidak disukal dan dilarang oleh Nabi SAW, hingga orang mu’min beruntung mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

 

Akan tetapi yang masyhur dalam kitab-kitab ilmu ini ialah pembagian hadits menjadi dirayah dan riwayah. Nampaknya mereka menjadikan macam pertama meliputi macam ketiga.

 

ilmu ini dinamakan ilmu dirayatul hadits atau ilmu ushul riwatil hadits atau ilmu mushthalahul hadits atau mushthalah ahlil atsar.

 

Penamaan ini, yakni mushthalahul hadist atau mushthalah ahli atsar adalah yang lebih masyur dan lebih jelas. Penamaan ini lebih tegas menunjukkan maksudnya dan tidak ada kesamaran dan keraguan di dalamnya. Hal itu telah dilakukan al-Hafidh tbnu Hajar . Maka ia menamakan risalahnya yang masyhur mengenai ilmu itu dengan nama Nukhbatul Fikar fi Mushthalahi Ahlil Atsar.

 

Makna Mushthalah ialah kaidah-kaidah dan ushul yang disepakati oleh ahli hadits.

 

Defenisi Yang Masyhur

 

Defenisi yang masyhur bagi ilmu mushthalahut hadits ialah ilmu tentang hukum-hukum dengan mana bisa diketahui keadaan-keadaan sanad dan matan.

 

Penjelasan Definisi

 

Hukum : yang dimaksud dengannya adalah memuat rincian-rincian, baik defenisi atau kaidah.

 

Sanad : ialah jalan yang menyampaikan kepada matan, yakni orang-orang yang menyampaikan kepada matan hadits, guru dari guru hingga sampai kepada lafadz hadits. Jalan itu dinamakan sanad (sandaran), Karena para ahli hapal mengandalkannya dalam menghukumi hadits.

 

Matan : lalah kalam (perkataan) yang dicapai oleh sanad. Dinamakan matan, karena ia berasal dari kata mumaatanah, yaitu kejauhan dalam tujuan, karena matan adalah akhir sanad atau dari perkataan orang Arab matantul kabsyah yang berarti aku membelah kulit biji pelir domba dan mengeluarkan isinya hingga nampak setelah tersembunyi. Begitu pula orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, karena ia menampakkannya menurut hakikatnya setelah tadinya tersembunyi, tidak nampak.

 

Atau dari kata al-Matn, yaitu tanah yang keras dan tinggi. Karena rawinya menguatkannya dengan sanadnya dan mengangkatnya kedarajatnya yang lebih tinggi dari derajatnya.

 

isnad : ialak pemberitahuan tentang jalan matan dan ceritanya. Terkadang isnad dinamakan sanad dan sanad dinamakan isnad. Maka keduanya bermakna sama.

 

Misalnya’ perkataan Bukhari : Diceritakan kepada kami oleh Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah bin Umar, ia berkata : Diceritakan kepadaku oleh Habib bin Abdur Rahman dari Hafsh bin ‘Ashim dari Abi Hurairah r.a, dari Nabi SAW,, beliau bersabda :

 

“Di antara rumahku dan minbarku ada taman surga dan minbarku berada di atas telagaku.”

 

Bukhari meriwayatkannya dalam kitab Fadha-il Madinah.

 

Musaddad dan seterusnya hingga Abi Hurairah inilah yang dinamakan sanad dan sabda Nabi SAW, :

 

“Di antara rumahku dan minbarku ………”

 

Inilah yang dinamakan matan.

 

Keadaan-keadaan sanad dan matan: yaitu sesuatu sifat yang meéenimpa sanad, seperti bersambung atau terputus, naik atau turun, dan sesuatu sifat yang menimpa matan, seperti marfu’ atau mauquf , syudzudz atau sahih.

 

Apabila anda telah mengetahui defenisinya maka anda tinggal mengetahui obyek, faedah dan pengarangnya.

 

Obyeknya : ialah rawi dan hadits yang diriwayatkan, apakah diterima atau ditolak.

 

Adapun faedahnya : ialah mengetahui mana yang diterima dan ditolak dari hadits yang diriwayatkan.

 

Pengarangnya adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan bin Khallad yang masyhur dengan nama ar-Ramahurmuzi. Ia adalah orang pertama yang mengarang tentang istilah ilmu ini.

 

Sufyan ats-Tsauri berkata : “Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu hadits bagi siapa yang menginginkan ridha Allah Ta‘ala, karena orang-orang membutuhkanya, hingga mengenai makanan dan minuman mereka.”

 

Ilmu hadits lebih utama dari pada shalat dan puasa sunnah karena hukumnya fardhu kifayah.

 

ilmu hadits yang mulia adalah pusat di mana syara’ bergerak di atasnya untuk kepentingan umat.

 

ilmu hadits ialah sumber setiap larangan. dan perintah dan di atasnya bangunan hukum-hukum berdiri. Ahli hadist memiliki kemuliaan besar dan keutamaan yang mulia yang sudah jelas. Dengan itu mereka memperoijeh makna persahabatan, karena pada hakikatnya sama dengan pengetahuan tentang rincian-rincian keadaan Nabi SAW, dan penyaksian gerak-geriknya di dalam ibadah serta sefuruh kebiasaannya.

 

Dengan menangani ilmu ini, gambaran ini menjadi mantap dalam pikirannya dan keadaan-keadaan ini tergambar dalam khayalannya sehingga hukumnya sama dengan menyaksikan dan melihat. Seakan-akan tidak ada yang luput darinya kecuali melihat al-Mushthafa SAW.

 

Mengenai keutamaan ilmu hadits dan ahlinya telah diriwayatkan banyak hadits. Saya sebutkan yang masyhur, di antaranya:

 

  1. Dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata : Rasutuflah SAW, bersabda :

 

“Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat ialah orang yang paling banyak mengucapkan shalawat untukku.” HR. Tarmidzi’ dan dinilainya hasan.

 

Ini adalah keistimewaan yang khusus mengenai para rawi atsar-atsar dan para penukilnya, karena mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Nabi SAW, dan paling dekat -insya Allahuntuk menjadi perantara Nabi SAW, pada hari kiamat, karena tidak diketahui kelompok ulama yang lebih banyak mengucapkan shalawat dari pada golongan ini.

 

Mereka mengekalkan sebutannya di dalam kitab-kitab mereka dan memberi salam kepadanya dalam sebagian besar waktu di majlis-majlis diskusi dan pengkajian mereka.

 

  1. Dari tbnu Mas‘ud r.a, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda ;

 

“Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu ia sampaikan sebagaimana yang ia dengar, Adakalanya orang yang menerima lebih faham dari yang mendengarnya.“ ? HR. Tirmizdi dan ia berkata : hasan shahih.

 

Demikianlah Nabi SAW, mengkhususkan mereka dengan doa yang tidak mengikutkan golongan lain dari umat di dalamnya .

 

Seandainya tidak ada faedah dalam mencart hadits, menghapal dan menyampaikannya selaim mendapatkan berkah dari doa yang diberkati ini, maka cukuplah itu sebagai faedah dan keuntungan serta keberuntungan yang besar di dunia dan akhirat.

 

Dan doa ini sesuai dengan keadaan penyampai hadits, karena dia berupaya menghasilkan ilmu yang bagus dan memperbaharui Sunnah sehingga Allah membalasnya sesuai dengan keadaannya.

 

  1. Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata : Rasulullah SAW, bersabda

 

“Ya Allah, rahmatilah para khalifahku.”

 

Kami berkata : 

 

“Ya Rasulullah, siapakah para khalifahmu”.

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Yaitu orang-orang yang sesudahku, meriwayatkan hadits-haditsku dan mengajarkannya kepada orang-orang.” HR. Thabrani dalam al-Ausath. ‘

 

Al-Qasthalani berkata dalam mukaddimah Irsyadus Saari setelah menyebut hadits ini: “Tiada keraguan bahwa dalam menyampaikan Sunnah kepada kaum muslimin, sebagai nasehat bagi mereka, adalah termasuk tugas para Nabi shalawatullahi wa salamahu ‘alaihim. Maka siapa yang -melaksanakan itu, ia pun adalah khalifah bagi orang dari siapa ia menyampaikan haditsnya. Itulah sebabnya Nabi SAW, mendoakan rahmat bagi mereka dan menamai mereka khalifah.”

 

“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang yang adil dari Setiap generasi. Mereka menyingkirkan darinya (ilmu) perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dan dan pemalsuan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat bathil serta penakwilan orangorang bodoh.” :

 

Baihaqi meriwayatkannya dalam al-Madkhal dan al. Qasthalani menyebutkan bahwa dengan jalan-jalannya hadits ini menjadi hasan. Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keadilan ahli hadits.

 

Sunnah : Menurut bahasa, artinya cara. Menurut istilah : Segala sesuatu yang dihubungkan dengan Nabi SAW, berupa perkataan atau perbuatan atau penetapan (pendiaman suatu perbuatan). Berdasarkan ini, makna sunnah sama dengan makna hadits yang telah falu.

 

Ada yang mengatakan : Hadits adalah khusus mengenai perkataan dan perbuatan Nabi SAW, sedangkan sunnah bersifat umum.

 

Khabar : menurut bahasa adalah lawan dari kata Insya’..

 

 Dan menurut istilah:

 

1) Ada yang mengatakan : Khabar sama dengan hadits.

 

2) Ada yang mengatakan : Khabar adalah sesuatu yang berasal dari selain Nabi SAW. Sedangkan Hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.

 

Dengan demikian dikatakan : orang yang mengurusi hadits dinamakan muhaddits dan yang ahli sejarah dinamakan akhbaary.

 

3) Ada yang mengatakan : Hadits lebih khusus daripada khabar. Setiap hadits adalah khabar, tetapi tidak semua khabar adalah hadits.

 

Atsar : menurut bahasa, .artinya sisa reruntuhan rumah dan semacamnya.

 

Menurutistilah :

 

1) Ada yang mengatakan : Atsar sama dengan hadits.

 

An-Nawawi berkata : “Sesungguhnya para muhaddits menamakan hadits marfu’ dan mauquf sebagai atsar.”

 

2) Ada yang mengatakan : Atsar adalah sesuatu perkataan yang berasal dari sahabat. Yaknj atsar itu dinamakan untuk hadits mauquf. Barangkali maksudnya, atsar adalah sisa sesuatu, sedangkan khabar. adalah sesuatu yang dikhabarkan. Oleh karena perkataan sahabat adalah sisa dari perkataan al-Mushthafa SAW, sedangkan asal darj khabar yang disampaikan itu adalah Nabi SAW, maka perkataan sahabat patut dinamakan atsar, dan perkataan al-Mushthafa dinamakan khabar.

 

Dengan ini nampak bahwa as-Sunnah, al-Hadits, -alkhabar dan al-Atsar adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sama, yaitu perkataan atau perbuatan atau penetapan atau sifat yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, atau sahabat atau tabi’iy.

 

Qarinah-qarinah riwayat dari Nabi SAW, dan para sahabat serta tabi’in) menentukan dan menetapkan pengertian istilah-istilah ini.

 

Hadits Qudsi

 

Nisbat kepada al-Qudsi dan al-Quds, aftinya : kesucian dan pembersihan. Hadits macam ini dinamakan juga hadits Hahi, nisbat kepada al-lilah dan hadits Rabbani, nisbat kepada ar-Rabb Jalla wa Alaa.

 

Menurut istilah : Sesuatu yang dihubungkan oleh Rasulullah SAW, dan disandarkannya kepada Tuhannya azza wa jalla darj selain al-Qu’ran, misalnya : Allah Tabaaraka wa Ta‘ala berfirman :

 

“Hai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku’ dan Aku menjadikannya diharamkan atas kamu, maka janganlah kamu.saling menzhalimi……..”‘ al-Hadits,

 

Atau seperti perkataan sahabat, misalnya : Rasulullah SAW, bersabda dalam hadits yang diriwayatkannya dari Tuhan Azza wa jalla…….. dan demikian seterusnya.

 

Dinamakan hadits, karena merupakan perkataan Rasulullah SAW, dan cerita yang disampaikannya dari Tuhannya.

 

Dinamakan Qudsi, karena disandarkan kepada ar-Rabb Azza wa Jalla sebagai pihak yang mengucapkannya dan mengarangnya, sedangkan dia bersih dari segala yang tidak pantas.

 

Dari pengetahuan tentang hakikat hadits Qudsi, tampaklah perbedaan antara hadits Qudsi dan al-Quran serta hadits Nabawi.

 

Perbedaan Antara Hadits Qudsi dan Al-Qu’ran

 

Al-Quran memiliki berbagai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh hadits-hadits itu. Keistimewaan dan kekhususan itu menggambarkan perbedaan antara al-Qur’an dan hadits, yaitu :

 

  1. Al-Qur’an adalah mu’jizat yang kekal sepanjang masa, terpelihara dari perubahan dan penggantian, lafadznya mutawatir dalam semua kata, huruf dan gaya bahasanya,

 

  1. Keharaman meriwayatkannya dengan makna.

 

  1. Keharaman menyentuhnya bagi orang yang berhadats.

 

4, Ditetapkannya sebagai bacaan dalam shalat.

 

  1. Penamaannya al-Quran.

 

  1. Beribadah dengan membacanya dan setiap huruf darinya mendapat sepuluh kebaikan.

 

  1. Larangan menjuainya “dalam riwayat Ahmad” dan kemakruhan menjualnya “menurut as-Syafi’i”.

 

  1. Kalimatnya dinamakan ayat dan sejumlah tertentu dari ayat-ayatnya dinamakan surah.

 

  1. Lafadz dan maknanya berasal dari sisi Allah dengan wahyu yang terang dan disepakati olah semua orang, berbeda dengan hadits.

 

MACAM-MACAM HADITS

 

Hadits menurut ulama musthalah terbagi menjadi bermacam-macam dengan berbagai. pertimbangan.

 

Ada yang mempertimbangkan matannya, ada yang mempertimbangkan sanadnya, dan ada yang mempertimbangkan kedua-duanya. Akan tetapi kebanyakan ulama membagi hadits Nabawi menjadi tiga macam : shahih, hasan dan dlo’f.

 

As-Suyuti berkata dalam Alfiyahnya :

 

Sebagian besar ulama membagi sunnah ini menjadi shahih, dlo’if dan hasan. Alasan pembatasan pada ketiga macam ini adalah karena hadits bisa diterima dan bisa ditolak.

 

Adapun yang diterima adalah yang memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat diterima atau memiliki sebagiannya. Yang memiliki sifat-sifat tertinggi yang dapat diterima adalah hadits shahih. Yang memiliki sebagiannya adalah hadits hasan. Hadits yang ditolak adalah hadits dlo’if.

 

Macam-macam hadist tidak keluar dari ketiga macam ini. Oleh karena itu, macam-macam ilmu hadits berkenaan dengan shahih, hasan dan dlo’ifnya dapat dibagi menjadi dua bagian :

 

Bagian pertama :Macam-macam dan istilah-istilah yang bersekutu antara hadits shahih, hasan dan dlo’if, dengan arti setiap macam bisa disifati dengan shahih atau hasan atau dlo’if sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat dan ikatan-ikatannya. Macam-macam ini adalah : marfu’, musnad, muttashil, mu’allaq, mu’an’an, muannan, mufrad, gharib, ‘aziz, masyhur, mustafid, ‘aaliy, naazil, mutaabi’, syaahid, mudraj, musalsal dan mushahhaf. Kami telah menyebutkan sebagian besar dari macam-macam inj dan mendefinisikannya dalam risalah ini sebagaimana yang akan anda lihat.

 

Bagian kedua -: Macam-macam dan istilah-istilah yang menyangkut hadits dlo’if : yaitu. mursal, munqati’, mu’dhal, mudallas, mu’‘allal , mudh-tharib, maalub, syaadz, munkar, dan matruk. Mengenai sebagiannya terdapat perselisihan yang bukan di sini tempat penjelasannya.

 

Shahih (sehat) menurut bahasa artinya lawan kata sakit . Menurut istilah ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil dan teliti dari orang seperti dia, tanpa ada penyimpangan maupun cacat yang merusaknya. Oleh karena itu wajib terkumpul padanya beberapa hal yang merupakan syaratsyarat hadits shahih.

 

Pertama : Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan itu, dengan cara setiap orangnya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai dari awal sanad hingga akhirnya. Maka tidak termasuk hadits yang tidak muttashil (bersambung) yaitu mursal, munqati’, mu’dal, mu’allaq.

 

Kedua : Keadilan rawi, keadilan adalah sifat yang mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Yang dimaksud dengan itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.

 

Ketiga : Ketelitlan sempurna dari rawinya, yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaannya dan. kedudukannya pada tingkat yang tinggi.

 

Ketelitian itu ada dua macam :

 

1.Ketelitian hapalan. 2. Ketelitian tulisan.

 

Ketelitian hapalan ialah apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya sehingga ia bisa mengingatnya kapan saja bila ia mau.

 

Ketelitian tulisan ialah bila riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.

 

Keempat : Kosong dari penyimpangan, yakni tidak pertentangan dengan rawi yang lebih tsiqah dari dia.

 

Kelima : Kosong dari cacat, yakni tidak ada cacat padanya. Cacat itu ialah sifat tersembunyi yang menimt-ulkan kendala bagi penerimaannya, sedangkan lahirnya adalah bersih darinya.

 

Hukum-Hukum Hadits Shahih.

 

1)Keshahihan hadits menyebabkan pembenarannya bilamana terdapat dalam Shahihain sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Sholah dan ia tetapkan keshahihannya

 

2) Adalah wajib mengamalkan setiap hadits yang shahih, walaupun tidak dikeluarkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim). Demikiantah dikatakan oleh Ibnu Hajar. dalam syarah an-Nukhbah.

 

3} Hadits shahih harus diterima, meskipun tidak diamaikan oleh seseorang. Demikianlah dikatakan oleh al-Qaasimi dalam Qawaa’idit Tahdits.

 

4) Setelah sampainya hadits shahih, pengamalannya tidak tergantung pada pengetahuan tidak adanya naasikh (yang membatalkan) atau tidak adanya ijma’, atas kebalikannya atau tidak adanya penentang. Akan tetapi patutlah mengamalkannya hinggga tampak suatu penghaiang, lalu haf itu dipertimbangkan. ini diperoteh dari perkataan asySyeikh al-Fullani dalam iqaadzul Himam.

 

5) Adanya seorang sahabat saja yang meriwayatkan hadits shahih tidaklah merusak keshahihan hadits itu. -Ini diperoleh dari perkataan asy-Syeikh Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfaan.

 

6) Tidak setiap hadits boleh dibicarakan oleh orang awam. Dalilnya lalah hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan dari Mu’adz r.a, dan disebutkan di situ :

 

“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan membenarkan dalam hatinya, melainka Allah mengharamkannya atas api neraka.”

 

Maka Mu‘adz berkata :

 

“Ya Rasulullah, tidakkah kuberitahukan hadits ini kepada orang banyak supaya mereka gembira.”

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Kalau begitu mereka akan mengandalkannya.”‘

 

Kemudian Mu’adz memberitahukannya kepada orangorang menjelang wafatnya guna menghindari dosa. Bukhari meriwayatkan dengan ta’liq dari Ali ra, :

“Ceritakanlah kepada orang-orang apa yang mereka ketahui, Apakah kalian suka (ingin) agar Allah dan RasulNya didustakan ?”

 

Dan contoh yang seperti Ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud r.a, :

 

“Tidaklah engkau menceritakan suatu hadits kepada suatu. kaum sedang akal-akal mereka tidak bisa menerimanya, melainkan akan menimbulkan fitnah pada sebagian dart mereka” (HR. Muslim).’

 

Al-Hafidh tbnu Hajar berkata : “Di antara ulama yang tidak menyukai periwayatan sebagian hadits adalah tmam Ahmad mengenai hadits-hadits yang Jlahirnya adalah perlawanan terhadap pemimpin dan imam Malik mengenai hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah.”

 

Saya katakan : seorang terkemuka berkata : “Adakalanya sebagian orang-orang bodoh menjadikan hadits-hadits seperti itu sebagai dali! untuk meninggalkan taklif dan menghilangkan hukum-hukum, sedangkan hal itu menyebabkan kerusakan dunia di samping kerusakan akhirat.”

 

Di manakah mereka ini yang apabila diberi khabar gembira semakin giat beribadah ?

 

Pernah dikatakan kepada Nabi SAW, : .

 

“Apakah anda mengerjakan shaiat malam, padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa anda?“

 

Maka beliau menjawab: ;

 

“Bukankah aku harus menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur ?”

 

Tingkatan-Tingkatan Hadits Shahih

 

Tingkatan-tingkatan hadits shahih berbeda-beda dengan sebab sifat-sitat keadilan, ketelitian dan sifat-sifat lainnya yang menentukan keshahihan suatu hadits. Apabila para rawinya berada pada tingkatan keadilan dan ketelitian tertinggi serta sifat-sirat lain yang bisa diterima, maka ia lebih shahih dart pada yang di bawahnya.

 

Berdasarkan itu para ulama hadits menetapkan tingkatan-tingkatan hadits shahih. menurut pembagian berikut :

 

Tingkatan pertama : Hadits yang disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim dan dinamakan muttafaqun ‘alaihi.

 

Tingkatan kedua = Hadits yang hanya diriwayatkan Oleh Bukhari.

 

Tingkatan ketiga =: Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Muslim.

 

Tingkatan keempat : Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat kedua imam itu.

 

Al-imam an-Nawawi berkata : “Yang dimaksud dengan perkataan mereka : menurut syarat kedua. imam itu, ialah apabila orang-orang isnadnya (para perawinya) terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, karena kedua imam itu tidak mempunyai syarat yang ditegaskan dalam kedua kitab itu maupun lainnya.,”

 

Tingkatan kelima : Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat Bukhari.

 

Tingkatan keenam : Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat Muslim.

 

Tingkatan ketujuh : Shahih menurut para imam lainnya yang dapat diandalkan dan bukan menurut syarat Bukhari dan Muslim maupun syarat salah seorang’ dari keduanya.

 

Tingkatan-tingkatan ini telah dikumpulkan oleh al‘Allamah asy-Syeikh Abdullah bin Ibrahim al-‘Alawi dalam mandzumahnya yang bernama Thal’atul Anwar ia berkata :

 

Hadits shahih tertinggi adalah hadits yang disepakati oleh kedua imam itu, berikutnya yang terpilih adaiah hadits yang diriwayatkan oleh. al-Ju’fi (Bukhari) sendirian lalu Muslim begitu pula diketahui menurut syaratnya kemudian syarat selain kedua imam ini berlaku.

 

Perkataannya : “Yang disepakati oleh: kedua imam itu,” yakni yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dan ini adalah tingkatan pertama. Dan perkataanya : . “Berikutnya adalah yang diriwayatkan al-ju’fi,”, yakni yang mengikuti tingkatan pertama adalah yang diriwayatkan al-Ju’fi, yaitu Bukhari. Dan ini adalah tingkatan kedua. Adapun tingkatan ketiga, maka diisyaratkan dengan perkataannya: “kemudian Muslim.” Perkatannya. : “Begitu pula diketahui menurut syaratnya,” maksudnya ialah tiga tingkatan. yang menyusul tiga tingkatan pertama, yaitu menurut syarat Bukhari dan Muslim, kemudian yang menurut syarat Bukhari, kemudian yang menurut syarat Muslim. Maka inilah enam tingkatan.

 

Dan perkataannnya : “Kemudian syarat selain kedua imam ini berlaku” mengisyaratkan kepada _tingkatan ketujuh, yaitu syarat yang selain Bukhari dan Muslim.

 

Hasan menurut bahasa artinya baik. Menurut Istilah adalah hadits yang sanadnya bersambung dengan penukitan orang adil yang ketelitiannya kurang dari hadits shahih dan kosong dari penyimpangan dan cacat.

 

Syarat-syarat hadits hasan ada lima :

 

Pertama : Kesinambungan sanad.

Kedua : Keadilan rawi.

Ketiga : Ketelitian rawi. Yang dimaksud bahwa ketelitiannya kurang dari rawi hadits shahih, yakni ketelitiannya ringan.

Keempat : Kosong dari penyimpangan.

Kelima : Kosong dari cacat.

 

Dengan ini dapat diketahui bahwa syarat-syarat hadits hasan seperti syarat-syarat hadits shahih, kecuali syarat ketiga, yaitu ketelitian. Karena dalam hadits shahin disyaratkan ketelitian dalam tingkatan tinggi. Adapun dalam hadits hasan kurang dari itu. Misalnya : Hadits Muhammad bin Amru bin ‘Alqamah dari Abi Salamah dari Abi Hurairah ra. Muhammad bin Amru ini dikenal sebagai orang yang jujur tetapi hapalannya tidak mencapai tingkat tinggi.

 

Hukum Hadits Hasan

 

Hukumnya iala hadits shahih dalam hal penggunaannya sebagai hujjah dan pengamalannya, meskipun kekuatannya berada di bawah hadits shahih. Akan tetapi bila terjadi pertentangan, maka hadits shahih didahulukan karena tingkatannya berada di bawah hadits shahih lantaran para rawi hadits hasan kurang kuat hapalannya dibandingkan para rawi hadits shahih. Adapun para rawi hadits shahih, mereka berada dalam tingkat hapalan dan ketelitian tertinggi. Sebutan-Sebutan Yang Meliputi Hadits Shahih Dan Hasan

 

Ada lafadz-lafadz yang dipakai oleh ahli hadits mengenaj khabar yang bisa diterima, yaitu perkataan mereka :

 

Lafadz-lafadz ini bisa mengungkapkan tentang keshahihan. Akan tetapi mereka mengatakan : bahwa peneliti dari ahli hadits, apabila menghukumi suatu hadits maka ia tidak mengalihkan dari istilah :  menjadi istilah :  atau semacamnya kecuali dengan alasan, misalnya seperti keshahihannya kurang sempurna. Maka ketika itu penetapan sifat dengan istilah : dan , tingkatannya di bawah penetapan sifat dengan istilah : .

 

Macam-Macam Hadits Shahih

 

Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian : shahih dengan sendirinya dan shahih karena fainnya.

 

Adapun hadits shahih dengan sendirinya, ialah hadits yang mengandung sifat-sifat tertinggi yang bisa diterima dan inilah yang telah dikemukakan defenisinya.

 

Adapun hadits shahih karena yang lainnya, maka hadits ini tidak mengandung sifat-sifat tertinggi yang bisa diterima, yakni aslinya bukan shahih tetapi naik ke derajat hadits shahih dengan sesuatu yang memperbaiki <ekurangannya.

 

itu adalah hadits yang hasan dengan sendirinya bila ciperbaiki dengan sesuatu hingga menjadi kuat dengan mutaabi’ atau syahid yang sama atau lebih baik atau dengan beberapa jalan, bilamana lebih rendah derajatnya.

 

Dengan demikian kami katakan dalam definisinya, bahwa hadits shahih karena yang lainnya ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan nukilan orang yang adil, tetapi ketelitiannya kurang dari derajat ketelitian tertinggi dan didukung oleh jalan lain yang sama atau lebih baik atau oleh beberapa jalan, jika derajatnya lebih rendah sedang hadits itu tidak mengandung keganjilan atau tidak mempunyai Cacat.

 

Macam-Macam Hadits Hasan

 

Hadits hasan terbagi menjadi dua macam : hasan dengan sendirinya sebagaimana telah dikemukan definisi dan penjelasannya. Dan hasan karena yang lainnya, yaitu hadits yang aslinya tidak hasan, kemudian naik dengan adanya sesuatu yang memperbaikinya hingga mencapai derajat hadits hasan.

 

Aslinya adalah dlo’if dengan sebab kemursalan atau tadlis atau ada rawi yang tidak dikenal atau kelemahan hapalan rawinya yang jujur dan terpercaya atau dalam isnadnya terdapat orang yang tidak dikenal tetapi bukan lengah maupun banyak kesalahannya dan tidak tertuduh sebagai pendusta maupun dianggap fasik.

 

Hadits tersebut dikuatkan oleh seorang rawi yang andal dengan mutaabi’ atau syahid yang dengan sebabnya hadits itu naik kederajat hadits hasan. Oleh sebab itu dinamakan hasan karena lainnya.

 

Hal ini disebabkan adanya hadits serupa yang datang dari jalan fain dan berfungsi sebagai mutaabi’ (hadits nendukung) atau syahid (saksi). Oleh karena itu kami Katakan dalam defenisnya : yaitu hadits dlo’if yang tidak mengandung sifat hadits sh nih atau sifat hadits hasan jika diriwayatkan dalam jalar ‘ain, sedangkan kedlo’ifannya bukan karena kefasikan atau kebohongan rawinya.

 

Bilamana kedlo’ifan hadits disebabkan oleh kefasikan rawi atau kedustaannya, maka kecocokannya dengan yang lain tidak berpengaruh padanya jika yang lain itu serupa dengannya, karena kedlo’ifannya yang sangat dan kegagalan penguat ini.

 

Hadits tersebut bisa naik dengan segenap jalannya dari keadaannya sebagai hadits munkar atau tidak ada asalnya. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dinilainya hasan dari jalan Syu’bah dari Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah dari bapaknya bahwa seorang wanita dari bani Fuzarah kawin dengan mahar sepasang sandal, -kemudian Rasululllah SAW, bersabda :

 

“Apakah engkau rela untuk diri dan hartamu dengan sepasang sandal ?”

 

Wanita itu menjawab :

 

“Ya!” Maka Nabi SAW, membolehkan.

 

Tirmidzi berkata : mengenai bab ini diriwayatkan pula dari Umar, Abi Hurairah, ‘Aisyah dan Abi Hadrad. ‘Ashim dlo’if karena hapalannya yang buruk. Tirmidzi menilai hadits ini hasan, karena diriwayatkan pula dari jalan lain.

 

Hadits dlo’if menurut sahasa berasal dari kata :  yang berarti temah lawan uari kuat.

 

Menurut istilah yaitu hadits yang tidak memiliki sifatsifat yang bisa diterima dan dinamakan al-mardud (yang ditolak),

 

Misalnya, hadits bahwa Nabi SAW, berwudh:: dan mengusap di atas kedua kaos kakinya ‘. Hadits ini dlo’if karena diriwayatkan dari Abi Qais al-Awadi, sedangkan ia dipersoalkan.

 

Macam-Macam Hadits Dio’if

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagiannya. Sebagian mereka membaginya menjadi 81 macam, sebagian mereka membaginya menjadi 49 macam dan sebagian mereka membaginya menjadi 42 macam. Akan tetapi pembagian ini tidak berguna.

 

ibnu Hajar berkata : “Sesungguhnya upaya itu hanya menimbulkan kepayahan dan tidak ada keperluan di belakangnya, selain itu mereka yang berpendapat mengenai pembagian ini tidakmenyebutkan bagi kita macammacamnya, kecuali sedikit dan mereka juga tidak mengkhususkan bagi setiap keadaan dlo’if itu sebuah nama tertentu.”

 

Hukum Hadits Dlo’if.

 

Pertama : Hadits dlo’if tidak boleh diamalkan mengenai aqidah dan hukum. Hadits dlo’lf boleh diamalkan mengenai keutamaan-keutamaan amal, tarhgib (anjuran beramal baik) dan tarhib (ancaman siksa yang keras) serta menyebutkan sifat-sifat yang baik. Inilah pendapat yang diandalkan dari para ulama terkemuka, kalau tidak maka mengenai masalah ini terdapat perbedaan di sarnping orang-orang yang -membolehkan . pengamalannya menetapkan syarat-syarat untuk itu yang disebutkan oleh Ibnu Hajar, yaitu :

 

  1. Harus mengenai keutamaan-keutamaan amal.

 

  1. Kedlo’ifannya tidak parah, maka tidaklah boleh diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta dan tertuduh sebagai pendusta dan orang yang besar kesalahannya. .

 

  1. Harus masuk di bawah dasar yang diamalkan.

 

  1. Tidak boleh menyakini kekuatan hadits itu. ketika mengamalkannya, tetapi menyakini kehati-hatian.

 

Penerimaan hadits dlo’if mengenai keutamaankeutamaan amal telah disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam at-Tagqrib, al-raqi dalam Alfiyahnya, tbnu Hajar alAsqalani dalam Syarah an-Nukhbah, asy-Syeikh Zakaria alAnshari dalam syarah Alfiyah al-‘lraqi, al-Hafidz as-Suvuti dalam at-Tadrib, |bnu Hajar al-Makki dalam syarahnya atas al-Arbaiin.

 

Al-‘Allamah al-Laknawi mempunyai sebuah risalah bernama al-Ajwibatil Faadhilah. Di dalamnya ia melakukan pembahasan secara luas mengenai hal! itu. Sayyidi al-lmam al-Walid as-Sayyid Alawi al-Maliki rahimahuliah mempunyai sebuah risalah khusus mengenai hadits-hadits dlo’if.

 

Kedua ; Barang siapa melihat sebuah hadits dengan isnad dlo’if, ia boleh mengatakan : “Hadits ini dlo’if karena isnad ini” dan tidak boleh mengatakan : “Matannya dlo’if” hanya karena isnad ini, boleh jadi ada isnad lain yang shahih. Kecuali bila seorang ahli hadits berkata : “Hadits ini tidak datang dari jalan yang shahih” atau ia menetapkan itu hadits dlo’if.

 

Ketiga : hadits dlo’if yang tanpa isnad_ tidak dikatakan “Nabi SAW, berkata” melainkan dikatakan “diriwayatkan begini darinya” atau “telah sampai pada kami begini darinya” atau “datang begini darinya” atau “dinukil begini darinya” dan bentuk-bentuk semacamnya yang menunjukkan kelemahan. Adapun yang shahih, maka dikatakarr dengan bentuk yang memastikan dan dianggap buruk bentuk yang melemahkan.

 

Keempat ; Apabila hadist dlo’if itu rumit, maka tidak perlu menjawabnya atau menolak kerumitannya atau penakwilannya, hal itu hanya terjadi pada hadits shahih.

 

Kelima : Hadits dlo’if tidak bisa membuat cacat hadits shahih. Demikian dikatakan oleh ibnu Hajar dalam mukaddimah al-Fath.

 

Hadits marfu’ ialah perkataan atau perbuatan atau penetapan yang dihubungkan kepada Nabi SAW.

 

Dinamakan marfu’ (terangkat), karena tingkatannya yang tinggi lantaran dihubungkan kepada Nabi SAW, baik sanadnya bersambung atau tidak. –

 

Apabila secrang sahabat Nabi SAW mengatakan : “Rasulullah SAW, bersabda begini atau melakukan begini”, maka hadits ini marfu’. Demikianlah pula seandainya seorang taabi‘iy atau taabi’i taabi’iy atau generasi sesudah mereka berkata : “Rasulullah SAW, bersabda atau “melakukan begini,” maka hadits itu dinamakan marfu’.

 

Dikecualikan dari ikatan penisbatannya kepada Nabi SAW, adalah hadits mauquf, yaitu yang dihubungkan kepada sahabat.

 

Dikecualikan pula hadits maqthu’, yaitu yang dihubungkan kepada tabi’iy dan yang di bawahnya.

 

Termasuk dalam definisi ini, macam-macam yang tidak disyaratkan bersambung di dalamnya seperti mursal, munqathi’, mu’dhal dan mu’allaq. Semua macam ini tidak bertentangan dengan rafa’. Oleh karena itu terkadang hadits mursal itu marfu’. Begitu pula hadits mungathi’, mu’dhal dan mu’allaq bisa juga marfu’.

 

Macam-macam Rafa’

 

Rafa’ ada dua macam :

 

Pertama: Rafa’ yang tegas, yaitu apabila perkataan atau pebuatan atau penetapan dihubungkan kepada Nabi SAW, secara tegas.

 

Contoh perkatan yang marfu’ secara tugas ialah bila seorang sahabat Nabi SAW, berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda begini,” atau “Rasulullah SAW, menceritakan kepada kami begini,” atau ia berkata : “Rasutullah SAW bersabda begini,” atau “dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda begini.”

 

Contoh perbuatan marfu’ secara tegas ialah bila seorang sahabat Nabi SAW, berkata : “Aku melihat Rasulullah SAW, melakukan begini,” atau ia atau lainnya berkata : “Adalah Rasulullah SAW, pernah melakukan begini.”

 

Contoh penetapan yang marfu’ secara tegas ialah bila seorang sahabat Nabi SAW, berkata: “Aku melakukan begini di hadapan Nabi SAW,” dan tidak menyebut pengingkaran Nabi SAW, atas perbuatan itu.

 

Kedua : Rafa’ hukmi, yaitu yang tidak dinisbatkan oleh sahabat kepada Nabi SAW, secara tegas dengan perkataannya: “Rasulullah SAW, bersabda” atau “melakukan” atau “dilakukan di hadapannya.”

 

Contoh hadits marfu’ berupa perkataan secara hukum, bukan secara tegas, ialah bila sahabat yang tidak mengambil dari {srailiyat mengatakan hal yang tidak ada ‘tempat padanya untuk berijtihad dan tidak berkaitan dengan penjelasan bahasa atau keterangan tentang sesuatu yang asing, seperti pemberitahuan tentang kejadiankejadian di masa falu mengenai awal penciptaan makhluk dan khabar-khabar tentang. para Nabi, atau tentang kejadian-kejadian di masa yang akan datang seperti peperangan, kekacauan dan hal ihwal hari kiamat. Begitu pula akibat suatu perbuatan berupa pahala tertentu atau hukuman tertentu.

 

Hadits itu memiliki hukum = marfu’, karena pemberitahuannya dengan itu mengharuskan adanya orang yang mengabarkan. Sesuatu yang tidak mempunyai tempat untuk ijtihad mengharuskan adanya sumber bagi yang mengatakannya dan tiada sumber bagi para sahabat kecualj Nabi SAW. Apabila demikian halnya, maka hukumnya seperti orang yang mengatakan : “Rasulullah SAW bersabda.”

 

Contoh perbuatan marfu’ secara hukum ialah bila sahabat melakukan sesuatu yang tidak ada tempatnya untuk berijtihad. Maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan ity berasal dari Nabi SAW, sebagaimana dikatakan oleh asySyafii mengenai shalat Ali 7.a, untuk gerhana matahari : “Dalam setiap raka‘at lebih dari dua ruku’.”

 

Contoh tagqrir (penetapan) yang marfu’ secara hukum ialah bila sahabat Nabi SAW, mengabarkan bahwa mereka dulu di zaman Nabi SAW, melakukan begini. Maxa hukumnya adalah marfu’ dengan pertimbangan Nabi SAW, mengetahui hal itu, karena besar kemungkinan bahwa mereka menanyainya tentang urusan-urusan agama mereka.

 

Dan karena zaman itu adalah zaman turunnya wahyu. Maka tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu dan tetap melakukannya, melainkan perbuatan itu tidak dilarang, karena jika terlarang niscaya Jibril turun mengabari Nabi SAW, agar melarang para sahabat melakukanya.

 

Termasuk bentuk-bentuk ucapan yang mengandung pengertian rafa’, ialah perkataan sahabat : “Kami disuruh” atau “kami dilarang” atau “diwajibkan atas kami” atau “dibolehkan bagi kami” atau khabar-khabar semacamnya tentang hukum-hukum dengan bentuk perkataan yang pelakunya tidak disebut, atau perkataannya : “Termasuk sunnah adalah begini” atau “sunnahnya adalah begini dan begini.” Semua itu hukumnya sama dengan marfu’,

 

Termasuk bentuk ucapan yang mengandung kemungkinan pengertian rafa’ pula adalah perkataan Sahabat : “Kami melakukan begini dan begini.” Akan tetapi dengan syarat ia hubungkan hal itu kepada masa Nabi SAW, atau sesuatu yang mengandung pengertian itu, seperti perkataan Jabir : “Kami melakukan ‘azl sementara wahyu turun.”

 

Al-Hafidz al-‘Iraqi berkata: 

 

Perkataan sahabat termasuk sunnah seperti kami disuruh, hukumnya marfu’, Meskipun diucapkannya beberapa masa sesudah Nabi, Menurut pendapat yang shahih, dan itu adalah pendapat sebagian besar ulama.

 

Termasuk bentuk ucapan rafa’ pula ialah perkataan rawi tentang sahabat : “Ia merafa’kannya” atau “ia menisbatkannya” atau “sampai dengannya.”

 

Al-Maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada tabi’iy dan tingkatan di bawahnya, balk tabi’iy itu masih kecil atau sudah dewasa, baik: isnadnya bersambung atau tidak. Dengan syarat penisbatannya kepada tabi’ty, maka tidaklah termasuk yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, dan sahabatnya.

 

Hadits maqthu’ bisa dinamakan mauquf dengan syarat harus ditentukan. Seperti perkataan mereka:   atau   , sebagaimana kadang-kadang disebutkan dalam kitab-kitab hadits. Adapun hadits mauquf secara muthaq ialah perkataaan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat.

 

Contoh hadits maqthu’: Perkataan Mujahid (termasuk taabi’in) :  “Ilmu tidak bisa didapat oleh orang yang‘malu dan sombong.”

 

Dan perkataan Malik (termasuk taabi’ taabi’in) ketika melepas murid-murudnya :

 

“Takutlah kalian kepada Allah, dan siarkanlah ilmu ini dan ajarkanlah. Janganlah kalian menyembunyikannya.”

 

Hukum Hadits Maqthu’.

 

Hadits maqthu’ bukan hujjah apabila kosong dari qarinah (tanda) yang menunjukkan rafa’.

 

Adapun apabila terdapat qarinah yang menunjukkan

 

penisbatannya kepada Nabi SAW, maka hukumnya adalah marfu’. Demikian pula bila terdapat yang menunjukkkan penghentiannya kepada sahabat, maka hukumnya adalah mauaquf. . Termasuk maqthu’ yang hukumnya sama dengan marfu’ ialah perkataan para tabi’in tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’anul Karim. Begitu pula perkataan mereka mengenai suatu hal yang tidak mungkin merupakan pendapat seseorang dan hanya bisa diambil dari Nabi SAW. Semua itu hukumnya sama dengan marfu’ yang mursal.

 

Adapun perkataan para tabi’in : “Termasuk sunnah adalah begini” maka pendapat yang shahih hadits itu mauquf. Ada yang mengatakan marfu’ mursal, akan tetapi pendapat ini lemah.

 

Mereka berselisih mengenai perkataan tabi’iy : “Kami disuruh melakukan begini.” Pendapat yang tepat, perkataan itu adalah mauquf.

 

Al-Mauquf jialah -hadits yang dinisbatkan kepada sahabat Nabi SAW, baik berupa perkataan atau perbuatan, baik sanadnya bersambung atau terputus. 

 

Mauquf Qauli seperti Ibnu Umar mengatakan begini, Ibnu Mas’ud mengatakan begini.

 

Mauquf Fi’li seperti Ibnu Umar mengerjakan shalat witir di atas kenderaan dalam perjalanan dan lainnya. ‘

 

Dinamakan mauquf, karena masih ada tempat untuk mengajukan pendapat, jika tidak ada tempat untuk mengajukan pendapat, maka hukumnya marfu’. Sekalipun ada kemungkinan sahabat mengambil dari ahli kitab. Anggapan ini adalah sebagai sangkaan baik terhadap sahabat.

 

Hadits mauquf bisa dimaksudkan untuk sesuatu yang dinisbatkan kepada tabi’iy atau generasi di bawahnya dengan syarat ditentukan.

 

Maka kita katakan misalnya : “Ini mauquf pada ‘Atha’ atau Thawus atau Malik.”

 

Hukum Hadits Mauquf

 

Hadits mauquf bisa shahih dan bisa hasan bisa pula dlo’if .

 

Al-Musnad ialah kitab yang mengumpulkan haditshadits yang diisnadkan oleh sahabat Nabi SAW, dan diartikan pula untuk hadits yang defenisinya sebagai berikut al-musnad ialah hadits yang bersambung isnadnya dari rawinya hingga berakhir pada Nabi SAW.

 

Nampak dengan definisi ini bahwa diisyaratkan pada hadits musnad dua perkara :

 

Pertama =: Sampai kepada Nabi SAW.

Kedua : Kesinambungan dalam sanadnya..

 

Dikecualikan dari ini adalah semua_ yang bertentangan dengan rafa’, yaitu mauquf, maqthu’ dan semua yang bertentangan dengan kesinambungan, yaitu hadits mursal, munqati’, mu’dhal dan mu‘allaq. Inilah pendapat yang masyhur mengenai defenisinya.

 

Ada yang mengatakan : sesungguhnya al-musnad itu yang marfu’ saja, berdasarkan itu tidaklah disyaratkan bersambung. Ada yang mengatakan : al-musnad itu yang muttashil saja, berdasarkan itu tidaklah disyaratkan rafa’..

 

Ketiga pendapat int telah dikumpulkan oleh al-lmam as-Suyuthi dalam-Alfiyahnya, maka ia berkata :

 

Al-musnad adalah yang marfu’ yang memiliki kesinambungan (yang bersambung)

 

Ada yang mengatakan pertama dan ada yang mengatakan berikutnya

 

Perkataannya “Al-musnad adalah yang marfu’ yang memiliki kesinambungan (yang bersambung)”, ini adalah pendapat pertama dan itulah yang diandalkan mengenai defenisi al-musnad bahwa ia adalah al-marfu’ al-muttashil.

 

Dan perkataannya “Ada yang mengatakan pertama,” yakni ada yang mengatakan al-musnad adalah yang pertama, yaitu al-marfu’. Dan ada yang mengatakan yang berikutnya, yakni yang memiliki kesinambungan (yang bersambung) atau al-muttashil.

 

Hukum Hadits Musnad.

 

Hadits musnad terkadang shahih atau hasan atau dlo’if, dengan memandang adanya sifat-sifat yang diterima atau tidak.

 

Al-Muttashil ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan pendengaran masing-masing rawi dari orang-orang yang dj atasnya sampai akhirnya, baik akhirnya itu Nabi SAW, atau sahabat dan dinamakan al-maushul. dan almuttashil.

 

Nampak dari defenisi itu bahwa al-muttashil meliputi perkataan para taabi’in dan orang-orang sesudah mereka apabila sanad-sanadnya bersambung hingga mereka.

 

Maka apabila sanadnya bersambung hingga perkataan taabi’iy, maka hadits itu dinamakan muttashil. Akan tetapi oleh karena istilah telah berlaku untuk menamai hadits yang dinisbatkan kepada taabi’iy dengan nama hadits maqhtu’, maka penamaan muttashil atasnya seperti mensifatkan satu obyek dengan dua nama yang saling bertentangan.

 

Oleh karena itu Ibnu Shalah berpendapat bahwa almuttashil tidak mencakup perkataan yang dinisbatkan kepada tabi’iy, yaitu yang dinamakan al-magqthu”. Istifah almuttashil hanya mencakup al-marfu’ dan al-mauquf saja.

 

Al-Iraqi mempunyai pendapat tengah, yattu bahwa perkataan tabi’iy tidak dinamakan muttashil secara mutiak, tetapi dinamakan muttasnil dengan penentuan hingga siapa sariad itu bersambung. Apabila sanadnya bersambung hingga tabi’iy, maka boleh dikatakan “muttasil (bersambung) hingga si fulan.”

 

Seperti perkataan mereka : “Sanad ini bersambung hingga Sa’id ibnul Musayyib atau az-Zuhri atau Malik”. Ini adalah pendapat yang baik. Karena dinisbatkan kepada tabi’ly, dinamakan maqthu’, maka bagaimana dinamakan muttashil pada saat yang sama. Akan tetapi dengan penentuan itu bisa diterima dan baik.

 

Al-Iraqi berkata dalam Alfiyahnya :

 

jika anda’ menyambung suatu nukilan dengan sebuah sanad .

Maka namakanlah dia muttashil maushul,

Baik yang mauquf maupun yang marfu’

Dan mereka tidak sependapat untuk memasukkan maqthu’.

 

Menurut bahasa : Isim maful dari yang artinya menyambung.

 

At-Tasalsul artinya bersambungnya bagian dari sesuatu dengan bagian yang lainnya.

 

Menurut istilah. : ialah hadits yang orang-orang isnadnya (para rawinya) disebutkan satu demi satu dengan sifat yang sama, baik sifat itu untuk para rawi atau untuk isnad. Begitu pula, sama halnya apakah yang terdapat dalam isnad itu berkaitan dengan sifat penyampaian atau berkaitan dengan masa riwayat atau tempatnya.

 

Dan sama halnya apakah sifat para rawi itu berupa perkataan atau perbuatan, atau perkataan dan perbuatan sekaligus. Inilah pendapat yang dipegangi oleh sebagian besar ulama. .

 

Definisi ini telah mencakup macam-macam musalsal yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, waktu, tempat dan sifat. Dari situ dapat diketahui bahwa tasalsul bisa terjadi :

 

  1. Dalam keadaan para rawi mengenai perkataan. Seperti sabda Nabi SAW, kepada Mu’adz

 

“Wahai Muadz, sesungguhnya aku mencintaimu, maka ucapkanlan setiap selesai shalat “ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu dan mensyukuri-Mu.”‘

 

Karena masing-masing dari perawi hadits ini berkata kepada orang yang sesudahnya :

 

“Wahai fulan, sesungguhnya aku mencintaimu, maka ucapkanlah.. .”

 

Macam ini dinamakan ‘“musalsal bil mahabbah” (kecintaan).

 

  1. Dalam keadaan para rawi mengenai perbuatan. Seperti hadits Abi Hurairah :

 

“Abul Qasim SAW, mengait tanganku dan berkata : Allah mencipatakan bumi pada hari sabtu.”* Al-Hadist.

 

Masing-masing rawinya. mengaitkan tangannya dengan tangan orang yang meriwayatkan darinya dan berkata kepadanya :

 

“Si fulan mengaitkan tangannya dengan tanganku dan berkata… ,” demikianlah seterusnya. Dan hadits ini dinamakan “musalsal bil musyabakah” (saling mengaitkan tangan).

 

  1. Keadaan perawi dalam hal perkataan dan perbuatan. Seperti hadits Anas bin Malik r.a, yang bersambung rawi yang satu dengan rawi yang lain dan masing-masing memegang jenggotnya dan dengan ucapannya:

 

“Aku beriman dengan takdir yang baik dan buruk, yang manis dan yang pahit.”

 

  1. Dalam sifat-sifat penyampaian, seperti pendengaran. . Maka masing-masing rawi berkata :

 

“Aku mendengar si fulan berkata, aku mendengar si fulan berkata.” Demikian seterusnya dari awal sanad hingga akhirnya.

 

Dalam masa riwayat. Seperti hadits Ibnu Abbas r.a, ia berkata.: “Aku ikut shalat bersama Rasulullah SAW, pada hari raya ‘Idul Fitri atau Adhha, setelah selesai shalat beliau menghadap ke arah kami lalu berkata

 

“Hai orang-orang, kalian telah melakukan kebaikan, maka siapa yang ingin pergi, ia bolen pergi. Dan siapa yang ingin tinggal hingga selesai mendengar khutbah, ia pun boleh tinggal.”

 

Al-Gharib menurut bahasa ialah orang yang jauh menyendiri dari kampung halamannya.

 

Menurut istilah ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi hingga tidak diriwayatkan oleh orang lain, atau hadits yang hanya padanya ada tambahan dalam matan atau isnadnya.

 

Dinamakan gharib, karena hanya rawi itu yang meriwayatkannya seperti orang yang gharib yang jauh menyendiri dari kampung halamannya.

 

Keadaan gharib terbagi menjadi dua macam : gharib mutlak dan gharib nisbi

 

Macam pertama : ialah kesendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu, walaupun hanya dalam satu tingkatan, dan macam ini dinamakan kesendirian mutiak.

 

Contohnya, hadits :

 

“Al-Walaa’ (hubungan antara bekas budak dan tuannya) adalah seperti hubungan nasab, tidak bisa dijual dan tidak bisa dihibahkan.”

 

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar.

 

Dan di antara contohnya adalah perkataan Tirmidzt dalam banyak hadits :

 

“Hadits ini gharib kami tidak mengetahuinya, kecuali dari jalan ini.”

 

Macam kedua : yaitu, bilamana kesendirian itu terikat dengan pihak tertentu.

 

Misalnya, ta meriwayatkan sendiri tanpa seorang rawi tertentu, atau ia sendiri yang meriwayatkan tanpa penduduk negri tertentu, atau hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang dapat dipercaya.

 

Maka dikatakan mengenai misalnya “si fulan meriwayatkannya.sendirian tanpa si fulan” atau .si fulan sendiri yang meriwayatkan dj antara penduduk Madinah,” atau “tidak diriwayatkan oleh seorang dapat dipercaya kecuali si fulan.”

 

Macam ini dinamakan kesendirian nisbi. Contoh-contohnya :

 

1, Contoh hadits yang yang hanya diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya ialah hadits:

 

“Adalah Nabi SAW, membaca surah Qaaf dan surah Igtarabatis sa’aatu dalam shalat ‘Idhul ‘Adhha dan ‘Idhul Fithri.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah (dapat dipercaya), kecuali Dhamrah bin Said al-Maazini. Ia meriwayatkannya sendirian dari Ubaidillah bin Abdullah bin Abi Waqid al-Laitsi dari Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan ashabus sunan. .

 

Yang meriwayatkannya di antara orang-orang yang tidak tsiqat ialah ibnu Lahi’ah. ia dlo’if menurut jumhur

 

ulama, karena akalnya terganggu setelah kitab-kitabnya terbakar. Ia meriwayatkannya dari Khalid bin Yazid dari azZuhri dari Urwah dari Aisyah r.a.

 

  1. Contoh hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seoranc ~awi adalah hadits Anas r.a, :

 

“Bahwa Nabi SAW, mengadakan walimah untuk pernikahannya dengan Shafiyah dengan kurma dan hidangan roti gandum.”‘

 

Az-Zuhri meriwayatkannya dari Anas dan Bakr bin Wait meriwayatkannya darinya dan tiada yang meriwayatkannya dari Bakr bin Wa-il, kecuali ayahnya yaitu Wa-il bin Daud dan yang meriwayatkannya dari Wa-i! adalah Sufyan bin Uyainah.

 

Meskipun diriwayatkan dari az-Zuhri melalui dari jalan-jalan lain, tetapi gharib dengan pertimbangan bahwa tiada yang meriwayatkannnya dari Bakr bin Wa-il, kecuali ayahnya yaitu Wa-il bin Daud.

 

Termasuk macam ini adalah hadits Abdurrahman bin Ya’mur :

 

“Bahwa Nabi SAW, melarang menggunakan addubba’, dan al-muzaffat (wadah pembuat khamar).” ? Hadits inl tidak diceritakan dari Syu’bah, kecuali oleh Syababan bin Sawwar:

 

Telah diriwayatkan dari’ Nabi SAW, melalui banyak jalan bahwa beliau melarang membuat sari kurma (sejenis khamar) dalam ad-dubba’ dan al-muzaffat.

 

Ketahuilah, bahwa al-fardu dan al-gharib adalah dua kata yang sama artinya menurut bahasa dan istilah.

 

Akan tetapi ahli istilah membedakan antara keduanya Gui cegi banyaknya pemakaian dan sedikitnya. Kata alfardu lebh banyak mereka gunakan dengan arti al-fardul muthlaq (kesendirian mutlak). Sedangkan kata al-gharib lebth banyak mereka gunakan dengan arti al-fardun nisbi (kesendirian nisbi).

 

ini adalah dari segi penetapan nama-nama atas kedua kata itu. Adapun dari segi penggunaan mereka sebagai fi’il musytaq, maka mereka tidak menggunakannya.

 

Maka mereka mengatakan tentang yang mutiaq dan yang nisbi :

 

“Si fulan sendirian yang meriwayatkan.”

 

Faedah

 

Seorang sahabat yang sendirian meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW, tidaklah mengeluarkannya dari kemasyhuran menjadi kesendirian, karena kesendirian sahabat sama dengan beberapa orang dari selain mereka, bahkan lebih kuat.

 

Hukum Hadits Gharib

 

Hadits gharib bisa shahih, bisa hasan serta bisa pula dio’if. Kebanyakannya adalah dlo’lf. Yang dinilai adalah keadaan rawinya, apakah teliti atau tidak.

 

Menurut bahasa wazan (timbangan) dari : Adakalanya berasal dari kata  (dengan kasrah) yang berarti jarang dan adakalanya berasal dari kata pager (dengan fathah) yang berarti kuat.

 

Menurut istilah, iatah hadits yang diriwayatkan dalam satu tingkatan rawinya atau lebih dari satu tingkatan oleh dua orang. Inilah pendapat yang masyhur dan diandalkan oleh Ibnu Hajar dalam an-Nukhbah.

 

Ibnu Sholah dan yang-lainnya berpendapat bahwa alaziz falah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang. Dan ini adalah mazhab penulis al-Baiquniyah, karena ia berkata :

 

Aziz diriwayatkan oleh dua atau tiga orang

Sedangkan masyhur diriwayatkan lebih dari ‘tiga orang .

 

Contoh hadits aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhan dari Anas r.a,’ dan Bukhari dari Abu Hurairah r.a,? bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

 

“Tidaklah seorang dari kamu: beriman hingga aku lebih dicintainya dari pada ayah dan anaknya.”

 

Hadits tersebut diriwayatkan dari Anas r.a, oleh Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan diriwayatkan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Said dan diriwayatkan oleh Isma’il bin Uliyyah dan Abdul Warist dan diriwayatkan dari semuanya oleh sejumlah orang.

 

Hukum Hadits Aziz

 

Hadits ini ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang dlo’if.

 

Al-Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau Jebih, walaupun dalam satu tingkatan, sekalipun setelah tiga orang itu diriwayatkan pula oleh sejumlah orang.

 

Sebagian ulama menamainya al-Mustafidh. AtMustafidh sama dengan al-Masyhur menurut mereka. Dan menurut selain mereka bahwa al-Mustafidh adalah hadits yang awal dan akhir.sanadnya sama, begitulah yang terdapat dalam an-Nukhbah.

 

Al-Masyhur menurut istilah ahli hadits termasuk hadits ahad dan bagian al-Aziz dan al-Gharib. Oleh karena itu ada yang shahih, ada yang hasan dan ada yang dlo’if.

 

Contoh hadits al-Masyhur yang shahih :

 

“Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu. dengan mencabutnya sekaligus. “

 

Dan hadits :

 

“Barang siapa hendak menunaikan — sholat jum’at hendakiah ia mandi. “

 

Contoh hadits al-Masyhur yang hasan :

 

“Mencari ilmu itu wajib atas Setiap muslim.”

 

Contoh hadits al-Masyhur yang dloi‘f :

 

“Kedua telinga itu termasuk kepala.”?

 

Adapun al-Masyhur dengan makna bahasanya, maka ia meliputi mutawatir dan mustafidh serta musytahir (yang masyhur)’ menurut lisan orang banyak, walaupun tidak memiliki sanad. Dan meliputi al-Masyhur menurut ahli hadits, ahli ilmu atau kaum awam.

 

Oleh karena itu ditetapkan nama masyhur atas semua itu. Ibnu Sholah telah menjadikan hadits mutawatir sebagai satu macam dari hadits masyhur,

 

Adapun hadits masyhur menurut ahli hadist dan ahli ilmu serta kaum awam, maka mereka mencontohkan hadits:

 

“Orang muslim (sejati) itu ialah orang yang tidak suka mengganggu kaum muslim dengan lidah dan tangannya.”

 

Adapun hadits masyhur menurut ahli hadits secara khusus ialah seperti hadits :

 

“Sesungguhnya Rasulullah SAW, membaca qunut selama sebulan setelah ruku’ mendo’akan. kecelakaan atas kaum Ri’il dan Dzakwan. H.R. Syaikhan

 

Selain mereka .menganggapnya aneh, – karena kebanyakan riwayat at-Talmi dari Anas r.a, adalah keadaannya yang tanpa perantara. Sedangkan di sini dari Sulaiman at-Taimi dari Abi Mijlaz dari Anas r.a.

 

Contohnya menurut para ahli fikih :

 

“Perbuatan halal yang paling dibenci. di sisi Allah adalah thalaq.”? Al-Hakim menilainya shahih. Contohnya menurut ahli ushul ialah hadits :

 

“Dibebaskan dari umatku dosa akibat kekeliruan dan kelupaan serta perbuatan yang mereka dipaksa melakukannya.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh .al-Hakim dan ia menilainya shahih dengan lafadz :

 

“Allah memaafkan’.

 

Dan Ibnu Majah dengan lafazd :

 

“Sesungguhnya Allah membebaskan.”

 

Contohnya menurut para ahli nahwu :

 

“Sesungguhnya Suhaib hamba yang baik. Seandainya ia tidak takut Allah, tentu ia tidak mendurhakai-Nya.”

 

Aliraqi dan lainnya berkata : “Hadits ini tiada asal baginya dan tidak terdapat dengan perkataan ini dalam satu kitab hadits pun.”

 

Contohnya menurut kaum awam :

 

“Barangsiapa menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pelakunya.”

 

H.R. Muslim. Dan hadits :

 

“Sikap terburu-buru itu berasal dari syaithan.”

 

Tirmidzi menilainya dlo’if. Dan hadist :

 

“Hari puasamu adalah hari penyembelihan kurbanmu,” adalah hadits bathil yang tidak ada asalnya.

 

Adapun hadits yang masyhur pada lisan orang-orang, maka sejumlah ulama di antaranya al-‘Azluni telah menulis mengenainya dalam kitabnya Kasyful Khafa’ Wa Muzilul libas. ‘Ammasy-tahara minal Ahadits ‘ala alsinatin Naas. Dalam kitab itu ia menyebutkan hadits-hadits yang shahih, hasan, saqim, maudhu’, yang mempunyai sanad dan yang tidak mempunyai sanad.

 

Al-Mutawatir menurut bahasa artinya yang berturut-turut.

 

Menurut istilah artinya hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin menurut akal bahwa mereka sepakat-untuk berdusta pada kebiasaan dari perkara yang kongkrit, atau terjadinya dusta dari mereka secara kebetulan.

 

Hal itu dianggap berlaku dalam semua tingkatan, jika terdapat dalam beberapa tingkatan.

 

Makna perkataan kami “tidak mungkin menurut mereka sepakat untuk berdusta” ialah bahwa akal dalam hukumnya bersandar kepada kebiasaan Allah yang berlaku pada semua orang, yaitu bahwa para pengabarnya tidak dipersatukan oleh suatu ikatan dan tidak masuk di bawah pemerintahan seorang penguasa yang sewenang-wenang. Misainya : mereka berasal dari berbagai negri, pekerjaan yang bermacam-macam dan kalangan yang berbeda-beda.

 

Dari definisi itu dapat diketahui. bahwa kemutawatiran tidak terwujud, kecuali dengan empat syarat

 

  1. Para rawinya berjumlah banyak.
  2. Tidak mungkin menurut akal bahwa mereka sepakat untuk berdusta atau terjadinya dusta secara kebetulan.
  3. Mereka meriwayatkan hadist itu dari orang-orang seperti mereka sejak permulaan hingga akhirnya.
  4. Sandaran dari kesudahan mereka adalah jangkauan . indera, yaitu bahwa akhir yang dicapai jalan itu dan di situ isnadnya berakhir, adalah perkara yang nyata dan terjangkau oleh salah satu dari panca indera berupa perasaan, sentuhan, penciuman, pendengaran dan penglihatan.

 

Apabila keempat syarat itu terpenuhi, maka tentulah timbul pengetahuan. Berkumpulnya syarat-syarat itu tidak dapat diketahui, kecuali bila terdapat pengetahuan tentang kebenaran khabar.

 

Hadits mutawatir menghasilkan pengetahuan yang pasti dan pengingkarnya adalah kafir.

 

Hadits mutawatir terbagi menjadi dua macam :

 

Pertama : Mutawatir Lafdzi. Yaitu kemutawatirannya berlangsung dalam satu peritiwa, walaupun dengan lafazd-lafazd yang sama artinya dan gaya bahasa yang banyak dan sepakat untuk menghasilkan makna yang sesuai dalam peristiwa yang sama, seperti hadits :

 

“Barangsiapa berdusta terhadapku dengan sengaja, biarlah ia menempati tempatnya di neraka.”‘ Hadits ini dinukil oleh sejumlah besar sahabat Nabi SAW, radhiyallahu anhum. Seorang al-Hafidh menyebutkan bahwa hadits itu diriwayatkan dari Nabi SAW, oleh 62 orang sahabat, termasuk 10 orang yang dikabarkan masuk surga.

 

Menurut Ibnu Sholah hadits macam ini jarang ada.

 

Kedua: Mutawatir Maknawi. Vaitu kemutawatirannya berlaku pada berbagai peristiwa yang mempunyai makna sama dan ditunjukkan secara tersirat.

 

Contohnya ialah hadits-hadits mengenai telaga Nabi SAW, diriwayatkan lebih dari 50 orang sahabat. Baihaqi meriwayatkan dalam kitab al-Ba’tsi wan Nusyur. Adh-Dhiya’ al-Maqdisi mengkhususkannya dengan penggabungan.

 

Termasuk macam ini adalah hadits-hadits tentang Syafa’at, Al-Qadhi ‘lyadh menyebutkan bahwa keseluruhanya mencapai derajat mutawatir.

 

Termasuk macam itu adalah hadits-hadits tentang mengusap di atas kedua khuf. Ibnu Abdil Barr berkata : “Hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat dan tersiar serta mutawatir.”

 

Termasuk macam itu adalah hadits-hadits tentang mengangkat kedua tangan di waktu berdo’a. telah diriwayatkan tentang hal itu sekitar 100 hadits dan dalam setiap hadits disebutkan “mengangkat kedua tangannya’. As-Suyuti berkata : “Aku telah mengumpulkannya dalam satu bagian, tetapi dalam kejadian yang berbeda-beda dan setiap kejadian darinya tidak mutawatir.”

 

Kadar yang bersamaan di dalamnya,  yaitu mengangkat tangan di waktu berdo’a” adalah mutawatir yang tersirat dengan pertimbangan keseluruhannya.

 

Termasuk macam itu adalah hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keberanian Nabi SAW, kecerdasan dan kemurahan hatinya.

 

As-Suyuthi mengarang sebuah kitab mengenai macam ini.yang dinamainya “ Al-Azhaarul Mutanaatsirah fil Akhbaaril Mutawatir.”

 

ia meringkasnya dalam kitabnya ” Qathful Azhaar

 

Para ulama bersilisth mengenai penafsirannya. Ada yang mengatakan : Ia adalah hadits yang isnadnya tidak bersambung dengan jalan apapun.

 

Maka hadis itu mencakup mursal, mu’dhal mu‘allaq. Karena tiadanya kesinambungan itu berlaku apabila yang hilang satu atau lebih, sama.saja apakah hilangnya itu di awal sanad atau tengahnya atau akhirnya.

 

Akan tetapi kebanyakan pemakaian hadits munqathi’ apabila diriwayatkan oleh seseorang di bawah tabi’iy dari sahabat, yaitu seorang tabi’iy tabi’in dan orang sesudah mereka meriwayatkannya dari sahabat. Seperti Malik dari Ibnu Umar. Malik tidak mendapati seorangpun dari sahabat.

 

la adalah taabi’ tabi’iy. Ini adalah pendapat ibnu Abdil Barr dan sejumlah ulama.

 

Penulis al-Baiquniyyah mengisyaratkannya kepada hal itu dengan perkataanya.

 

Setiap hadits yang ‘isnadnya tidak bersambung sama sekali adalah terputus bagian-bagiannya

 

Jelaslah bahwa penafsiran ini lebih sesuai dengan arti bahasa dari munqathi’, -karena. kebalikan ‘dari ittishal (bersambung) .

 

Oleh karena itu ibnu Shotah berkata penafsiran itu lebih dekat. Itulah yang disebutkan oleh al-Khatib dalam kifayahya.

 

Ada yang imengatakan : al-Munqathi’ jalah hadits yang riwayatnya tidak dikenal. Seperti : Dari seorang lelaki. Pendapat itu dinyatakan oleh al-Hakim, akan tetapi ini bukan munqathi’ (terputus) tetapi muttashil (bersambung) dan dalam sanadnya terdapat orang yang tak dikenal.

 

Ada yang mengatakan : al-Munqathi’ ialah bila ada seorang rawi yang hilang sebelum sahabat disatu tempat atau beberapa tempat sehingga yang hilang disetiap tempat tidak boleh lebih dari satu rawi. :

 

Dan dengan syarat bahwa rawi yang hilang itu tidak berada di-awal kalimat. Maka dengan syarat hilangnya seorang rawi dikecualikan al-Mu’dhal. Dan dengan syarat sebelum sahabat dikecualikan al-Mursal. Dan dengan syarat rawi vang hilang tidak berada di awal.sanad dikecualikan alMu’allaq. Definisi inilah yang masyhur. Inilah definisi yang ditetapkan oleh al-Hafidh al-‘iraqi dan Ibnu Hajar.

 

Hukum Hadits Maqthu’

 

Hukumnya adalah dlo’if.

 

Al-Mu’dhal (bentuk isim maful) menurut bahasa ialah berasal dari ucapan orang Arab :   yang berarti ia membuatnya payah.

 

Hadits ini dinamakan mu’dhal karena muhaddits yang menyampaikan hadits itu seakan-akan dipayahkan olehnya, sehingga siapa yang meriwayatkannya darinya tidak dapat memanfaatkannya.

 

la adalah hadits yang hilang dari sanadnya dua orang rawi atau lebih dari tempat manapun dengan syarat berturut-turut pada dua orang yang hilang itu.

 

Misalnya, seorang sahabat dan seorang taabi’iy hilang dari sanadnya atau taabi’iy dan taabi’nya atau dua orang sebelum keduanya.

 

Adapun bila hilang satu orang di antara dua orang, kemudiaan hilang dari tempat lain dari isnad itu satu orang lain, maka ia terputus di dua tempat sebagaimana telah dijelaskan mengenai al-munqathi’.

 

Dengan defenisi ini dikecualikan al-munqathi’ dan almuttashil dan masuk di dalamnya semua hadits yang tidak disyaratkan dengan adanya kesinambungan (bersambung) di dalamnya seperti al-marfu’, al-mauquf dan al-mungathi’.

 

Contoh Hadits Mu’dhaf.

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa bahwa ia berkata : telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW, bersabda :

 

“Budak yang dimiliki harus diberi makanan dan pakaian…”  Al-Hadits.

 

Malik menyambungnya di luar Muwaththa’ dari Muhammad bin ‘Ajlan dari bapaknya dari Abu Hurairah. Maka dengan itu kita ketahui hilangnya dua orang sehingga Karena itu ia menjadi mu’dhal.

 

Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadits yang mauquf pada tabi’yi dianggap mu’dhal dengan dua. syarat, yaitu bahwa hadits itu boleh dinisbatkan kepada selain Nabi SAW, dan diriwayatkan secara musnad dari jalan orang itu yang padanya hadits itu berhenti.

 

Al-‘lraqi berkata dalam.Alfiyah-nya :

 

Al-Mu’dhal ialah yang hilang darinya dua orang atau lebih, dan darinya macam kedua.

 

Yaitu Nabi dan sahabat dihilangkan bersama-sama, dan matannya berhenti pada taabi’iy.

 

Al-Mudallas menurut bahasa diambil dari kata al yaitu percampuran gelap dengan cahaya. Hadits ini dinamakan demikian, karena sama-sama_ tersamar, alMudallas ialah hadits di mana rawinya menghilangkan sesuatu dengan salah satu cara tadlis. Tadlis ada dua macam : Tadlis sanad dan tadlis syuyukh.

 

Macam pertama

 

Tadlis sanad : ialah bila rawi meriwayatkan dari orang yang semasa dengannya hadits yang tidak didengarnya dengan memberikan kesan ia telah mendengarnya.

 

Riwayat dari orang yang semasa lebih umum daripada . tidak berjumpa dengannya atau berjumpa dengannya dan tidak mendengar darinya atau mendengar darinya selain hadits ini.

 

Riwayat orang yang semasa dengannya dan tidak berjumpa dengannya dinamakan dengan Irsaal Khafiy menurut syaikhul islam. Istilah Ibnu Sholah dan an-Nawawi ialah menamai tadlis sanad dengan irsaal khafiy (samar). Dan !bnu Hajar mengkhususkan tadlis dari orang yang diketahui pernah bertemu dengan orang dari siapa dia meriwayatkan hadits itu.

 

Termasuk tadlis sanad adalah tadlis al-qath’l, yaitu rawinya menghilangkan alat riwayat dengan membatasi pada nama syeikh, atau menyebutnya, -kemudian diam dengan niat memutuskannya.

 

Termasuk tadlis sanad adatah tadlis ‘athf, yaitu bila rawinya menegaskan penyampaian hadits dari seorang syeikhnya dan membelokkannya kepada syeikhnya yatig lain yang dia belum pernah mendengar hadits itu dari syekh tersebut.

 

Termasuk tadlis sanad jalah tadlis taswiyah, yaitu : bila rawinya seorang yang dlo’if di antara dua orang tsiqat, yang satu berjumpa dengan yang lain dan meriwayatkan dari syeikh lain.

 

Apabila ia sebutkan syeikhnya yang tsiqah dan ia menghilangkan syeikh dari syeikhnya yang dlo’if atau yang kecil dan ia menyampaikan dengan lafadz yang mengandung kemungkinan ia meriwayatkan dari syeikh dari syeikhnya untuk membaguskan hadits itu, maka ia pun telah melakukan tadlis taswiyah.

 

Hadits itu terputus sanadnya, terutama bahwa yang hilang darinya adalah seorang yang dlo’if. Oleh karena itu ia adalah macam tadlis yang terburuk dan dapat merusak riwayat dari orang yang sengaja melakukannya.

 

Para ulama di masa duiu menamainya tajwid. Mereka berkata :   yakni si fulan menyebut orang-orang baik di dalamnya dan menghilangkan yang fain. Yang tersohor melakukan itu adalah Bagiyyah Ibnul Walid dan al-Walid bin Muslim.

 

Hukum dari macam ini

 

Hadits yang dirlwayatkan oleh seorang mudallis dengan lafadz yng mengandung ada kemungkinan mendengar atau th ak seperti lafadz “an” maka tidak bisa diterima.

 

Sedangkan yang ditegaskan oleh rawi bahwa ia mendengarnya seperti ;  dan  dan  maka haditsnya bisa diterima jika dia seorang yang tsiqah.

 

Macam yang kedua

 

Tadiis syuyukh :  yaitu bila seorang. rawi meriwayatkan sebuah hadits yang ia dengar dari seorang syeikh kemudian ia menyebut namanya atau kun-yahnya atau nasabnya atau menggambarkan sifatnya yang tidak dikenal padanya supaya ia tidak .dikenal.

 

Hal itu ia lakukan adakalanya karena syeikh itu dlo’if, fatu. ia gambarkan  sifat yang tidak dikenal guna menutupinya. Dan bisa pula karena rawinya ingin menampakkan bahwa ia mempunyaj banyak syeikh.

 

Maka sekali waktu ia berkata : “Haddatsani Mustim,” sekali waktu ia katakana : “Haddatsani Abul Husein alQusyairi” dan sekali waktu ia katakana : ““Haddatsani Ibnul Hajjaj an-Na’saburi.” Maka pendengar mengira bahwa mereka adalah tiga orang.. Padahal semua itu adalah sifat bagi satu orang. ini adalah sebagian contoh.

 

Bisa pula karena syeikh itu masih muda sehingga rawinya merasa malu meriwayatkan darinya, supaya tidak dikatakan ““sesungguhnya sanadnya turun.” Maka ia gambarkan syeikh itu sifat itu supaya hal itu tidak tampak.

 

Hukum Tadlis Syuyukh

 

Hukumnya adalah dlo’if, tetapi lebih ringan daripada pendahulunya.

 

As-Suyuthi berkata dalam Alfiyah-nya :

 

Tadlis isnad ialah meriwayatkan dari orang yang hidup semasa, hadits yang tidak diriwayatkannya. Kemudian ia berkata :

 

Seluruhnya tercela dan ada yang mengatakan bahkan pelakunya tercela, walaupun sekali secara jelas.

 

Kemudian ia berkata :

 

Seburuk-buruknya (tadlis) adalah at-tajwid. Dan at-taswiyah yaitu menghilangkan selain syeikhnya dan menetapkan

 

Seperti “an” dan itu tentu saja tercela dan di bawahnya adalah tadlis syeikh yang dijelaskan menetapkan sifat yang tak dikenal padanya, maka jika hal itu disebabkan ia dinilai dlo’if

 

Maka dikatakan tercela atau karena dianggap kecil maka perkaranya lebih ringan seperti Supaya tampak banyak syeikhnya.

 

Kata al-mursal (bentuk isim maful) berasal dari kata : yang berarti.melepasakan, karena rawi hadits mursal melepaskan haditsnya dan tidak mengikatnya dengan semua rawinya tanpa .menyebut rawi dari mana ia meriwayatkan hadits itu.

 

Defenisinya

 

Ia adalah hadits yang dinisbatkan taabi‘iy kepada Nabi SAW. Yakni tabi’iy itu berkata’: “Rasulullah SAW bersabda.”

 

Contoh Hadits Mursal

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththanya’ dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar bahwa Rasulullah SAW, bersabda :

 

“Sesungguhnya panas yang sangat adalah imbas dari neraka jahannam ……”.Al-Hadits Hukumnya

 

Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukum hadits mursal dalam beberapa pandapat. Yang paling masyhur ada tiga pendapat :

 

Pertama : Boleh digunakan sebagai hujjah secara mutiak. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan imam Malik serta sejumlah fuqaha dan muhadditsin serta ahli usnul, bahkan sebagian dari mereka berlebihan sehingga menguatkanya dari hadits musnad: Ia berkata:

 

“Barang siapa yang meriwayatkan dengan isnad, maka ia telah menyerahkan putusan kepadamu dan siapa yang meriwayatkan secara mursal berarti ia telah menjamin bagimu.”

 

Kedua : Bahwa hadits mursal adalah dlo’if dan. tidak bisa digunakan sebagai hujjah. ini adalah pendapat jumhur muhadditsin.

 

Ketiga : Diperinci. Bahwa hadits mursal bisa diterima dengan beberapa syarat : yaitu, dikuatkan dengan jalan fain secara musnad atau mursaf, si mursil (rawi hadits mursal) mya termasuk tokoh taabi’in, orang yang apabila ia menyebut orang yang ia meriwayatkan mursal itu adalah orang yang tsiqah, apabila. para ahli hapal yang dapat dipercaya ikut serta dengannya, tidak berselisik dengannya. Dan ditambahkan dalam syarat untuk menquatkan, yaitu cocok dengan perkataan sahabat atau sebagian besar ulama menfatwakan sesuai dengannya. Jika tidak terpenuhi salah satu syarat yang tersebut di atas maka mursalnya tidak diterima, Semua ini berlaku pada mursal taabi’iy.

 

Adapun mursat sahabat, yaitu yang diriwayatkan seprang sahabat dari Nabi SAW, berupa perkataan atau perbuatan kemudian menjadi jelas -bahwa ia tidak mendengar dari Nabi SAW, atau tidak menghadirinya karena usianya masih kecil, seperti riwayat Anas r.a, dan Ibnu Abbas r.a, atas hadits terbelahnya bulan, karena keduanya tidak mendapati peristiwa itu. Dan seperti hadits wahyu yang diriwayatkan ‘Aisyah

 

‘cara pertama turunnya wahyu’ . Maka jumhur ulama berpendapat bahwa hadits-shadits mursal para sahabat adalah bersambung dan shahih, dapat digunakan sebagai hujjah, karena sebagian besar riwayat mereka dari sahabat dan mereka semua adil. Adapun riwayat mereka dari selain sahabat jarang terdapat. Faedah

 

Apabila terjadi saling bertentangan antara muttashil (yang bersambung) dan yang mursal, maka mazhab jumhur ahli hadits dan lainnya mendahulukan yang muttashil daripada yang mursal, karena kesinambungan (sambungan) adalah tambahan dan bisa diterima dari orang yang tsiqah dan teliti.

 

 (Dengan fathat lam dan bertasydid), diambil dari kata :  (menggantung di dinding) dan semacamnya, karena semuanya sama-sama terputus.

 

Definisinya

 

Al-mu’allaq -ialah hadits yang awal isnadnya dihilangkan darinya, baik yang dihilangkan itu seorang atau lebih, secara berturut-turut ataupun tidak, walaupun hingga akhirnya. Definisi ini mencakup marfu’, mauquf dan maqthu’ serta segala hadits yang tidak disyaratkan kesinambungan (bersambung) padanya.

 

Hadits mutallaq dlo’if karena keadaan rawi yang dihilangkan dari sanad tidak diketahui. Ta’liqaat Bukhari dan Muslim

 

Bukhari meriwayatkan banyak hadits mutallaq. Adapun Muslim ia meriwayatkannya di satu tempat mengenai tayamum, dua tempat mengenai hudud setelah meriwayatkan keduanya secara bersambung dan 14 tempat, setiap haditsnya diriwayatkannya secara bersambung, kemudian dikomentarinya dengan perkataanya : “Diriwayatkan oleh si fulan.”

 

Kebanyakan adits mu’allaq pada Bukhari bersambung di tempat lain dalam kitabnya dan hadits yang tidak diriwayatkannya secara bersambung di tempat lain ada 160 hadits, tetapi Syeikhul islam menyambungnya dalam sebuah karangan tipis yang dinamakannya at-Taufiq.

 

Oleh karena: itu para ulama mengecualikan dari hukum mutallaq hadits-hadits mu’allaq yang terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim).

 

An-Nawawi berkata : “Sesungguhnya bentuk kata yang menujukkan kepastian seperti:   dan   serta  maka bentuk-bentuk itu menetapkan keshahihannya dari orang yang kepadanya hadits itu dinisbatkan.”

 

Sedangkan yang tidak mengandung kepastian seperii  maka bentuk itu tidak menetapkan keshahihannya dari orang yang kepadanya hadits itu dinisbatkan.

 

Hukum ini berkenaan dengan sejumlah hadits mu’allaq dan sering terjadi. Adapun dari segi rincian, maka kadang-kadang sering terjadi kebalikannya, karena kami

 

telah menyelidikinya, maka kami dapati sebagian hadits-hadits mu’atlaq yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dalam bentuk yang menunjukkan kelemahan.

 

Maksudnya ialah riwayat hadits dengan lafadz :   seperti ;   (dari fulan, dari fulan) tanpa lafadz yang tegas bahwa ia mendengar atau menceritakan atau mengabarkan dengan syarat riwayat itu datang dari para rawi tertentu dan dikenal.

 

Hadits Mu’an’an bersambung: menurut jumhur ulama dengan syarat para rawi mu’an‘an hidup semasa dan hadits mu’an‘an: itu selamat dari tadlis.

 

Disyaratkan harus hidup semasa dalam riwayat Muslim, dan harus bertemu dalam riwayat Bukhari dan tbnul Madani, dan ini sesuai dengan perkatan asy-Syafi’. Adapun riwayat mu‘an’an mudailas, maka tidak bisa diterima.

 

Al-Muannan ialah perkataan rawi :   (diceritakan kepada kami oleh fulan bahwa fulan berkata).”

 

Syaratnya seperti (  ) dalam hal pertemuan, duduk dan mendengar disertai keselamatan dari tadlis dan termasuk hadits yang bersambung menurut jumhur ulama dengan syarat yang tersebut pada al-mu’an’an.

 

Al-Mubham ialah hadits yang dalam Sanadnya atau matannya terdapat seorang laki-laki atau seorang perempuan yang tidak disebut namanya, tetapi diungkapkan dengan lafadz umum. Macam-Macam Al-Mubham

 

Al-Mubham ada dua macam :

 

Pertama: Yaitu ibham (kesamaran) terdapat dalam sanad hadits dan hal itu terjadi bila sebagian rawinya tidak disebut namanya, misainya : “Dari Sufyan dari seorang lelaki.”

 

Kedua : Kesamaran itu terjadi dalammatan hadits, misalnya disebutkan dalam banyak hadits shahih dan. lainnya dari perkataan mereka : “Bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi SAW, dan seorang perempuan bertanya kepada Nabi SAW,” dan sebagainya.

 

Apabila kesamaran itu terjadi dalam sanad dan tidak diketahui, maka hadits itu dlo’if. Bilamana kesamaran itu terjadi dalam matan, maka tidak mengganggu.

 

Ada baiknya di sini kami golongkan dengan hadits almubham adalah hadits al-Muhmal karena memiliki kesesuaian, yaitu rawinya meriwayatkan dari dua orang syeikh yang sama namanya atau sama namanya dan nama ayahnya atau semacam itu dan tidak bisa dibedakan keduanya.

 

Bilamana kedua . syeikh itu tsiqah, maka ketidaktahuan akan kedua orang itu tidaklah mengganggu. Termasuk macam itu ialah yang terjadi pada riwayat Bukhari dari Ahmad dari Ibnul Wahab, ia bisa jadi Ahmad bin Shalih atau Ahmad bin Isa dan keduanya dapat dipercaya (tsigah).

 

Adapun bila yang satu tsiqah dan yang lain dlo’if Muka ketidak tahuan itu mengganggu, misalnya Sulaiman bin Daud . haulani adalah tsiqah dan Sulaiman bin Daud al-Yamani adalah dlo’if .

 

Perbedaan antara al-Mubham dan al-Muhmal ialah, alMuhmal disebutkan namanya namun terjadi kesamaran, sedangkan al-Mubham tidak disebutkan namanya, maka perhatikanlah

 

Al-Majhul menurut para muhadditsin talah bisa jadi majhulul ‘ain atau majhulul ‘adaalah. Majhulul ‘adaalah bisa jadi tidak diketahui keadilannya lahir dan batin atau tidak diketahui keadilannya pada batinnya saja, sedangkan fahirnya telah diketahui keadilannya dan dinamakan al-Mastur..

 

Majhul ‘ain .ialah orang yang tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang menurut jumhur, walaupun perawi menyebutkan . namanya. Contohnya adalah : Jabbar ath-Tha’iy, tiada yang meriwayatkan darinya selain as-Sabii’iy, dan Jurayyu bin Kulaib tiada yang meriwayatkan darinya selain Qatadah.

 

Sekurang-kurangnya yang dapat . menghilangkan ketidaktahuan adalah adanya dua orang~ yang adil meriwayatkan darinya. Apabila ada dua orang yang meriwayatkan darinya, maka hilang ketidaktahuan akan dirinya dan menjadi ma’ruful ‘ain. Setelah dirinya dikenali, maka keadilannya tidak berlaku, kecuali dengan penilaian tsiqah oleh para ulama, menurut pendapat yang febih Shahih, .

 

Rawi yang tidak diketahui keadilannya lahir dan batin dan tidak ada kritikan maupun penilaian tsiqah, maka rawinya tidak dapat diterima menurut sebagian besar ulama. Ini adalah mazhab al-Khatib dan an-Nawawi.

 

Rawi yang tidak diketahuikeadiflannya fahir dan batin, yaitu al-Mastur -sedang dirinya telah diketahui dengan riwayat seorang atau febih sesuai dengan perbedaan pendapatdan tidak dinilai tsiqah dan tidak pula dikritik maka banyak para muhaqqiq menjadikannya sebagai hujjah dan-ini didukung oleh Salim bin Ayyub alFagih dan disetujui oleh Ibnu Shalah.

 

Keadilan dapat berlaku dengan adanya penetapan dari dua orang yang adil atau-dengan adanya kemasyhaoran, Seperti Malik, asy-Syafl’i, Anmad dan yang seperti mereka.

 

Para ulama berselisih pendapat mengenal defenisi asy-syazd dalam beberapa pendapat. Yang paling masyhur ada tiga pendapat :

 

Pertama : Perbedaan rawi yang tsiqah yang lebih kuat darinya.

Kedua : Kesendirian rawi yang tsiqah secara mutlak

Ketiga : . Kesendirian rawi secara mutlak

 

Pendapat pertama adalah yang dipegangi (yang diandalkan), tetapi memerlukan tambahan syarat, yaitu disertai tiadanya kemungkinan untuk mengabung.

 

Maka defenisinya adalah sebagai berikut :

 

Asy-syaadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah berbeda -dalam matan atau sanadnya dengan rawi yang lebih tsiqah darinya dengan tambahan atau kekurangan di samping tidak ada kemungkinan untuk menggabungnya.

 

Defenisi ini lebih sempurna dan lebih lengkap, karena menunjukkan bahwa disyaratkan dalam hadits syaadz, yaitu kesendirian rawi yang tsiqah ketika meriwayatkan hadits itu disertai perbedaan dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.

 

Disyaratkan pula tidak ada kemungkinan menggabung antara hadits rawi yang tsiqah dan yang lebih tsiqah.

 

Contoh Syudzudz Dalam Sanad

 

Hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasaiy’ dan ibnu Majah dari jalan Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Ausajah (bekas sahaya Ibnu Abbas) dari ibnu Abbas bahwa seorang lelaki wafat di zaman Rasulullah SAW, dan tidak meninggalkan ahli waris, kecuali sahaya yang telah dibebaskannya. Kemudian Rasulullah SAW, memberikan warisannya kepada bekas sahayanya itu. ‘

 

Hadits Ibnu Uyainah didukung oleh hadits Ibnu Juraij dan lainnya. mengenai kesinambungannya, sedangkan Hammad bin Zaid berbeda dengan mereka. Ia meriwayatkannya dari Amru bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebut Ibnu Abbas, melainkan meriwayatkannya secara mursal,

 

Dari keterangan yang lalu menjadi jelas bahwa Hammad meriwayatkannya sendirian secara mursal berbeda dengan riwayat Ibnu Uyainah dan Ibnu Juraij serta Jainnya, yaitu riwayat yang bersambung.

 

Riwayat Ahmad syaadzdzah,-sedangkan riwayat Ibnu Uyainah mahfudhah, walaupun Hammad dan Ibnu Uyainah keduanya tsiqah.

 

Contoh Syudzudz Dalam Matan .

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Nubaisyah

 

al-Hudzali ia berkata, Rasulullah SAW, bersabda :  “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”

 

Hadits ini diriwayatkan demikian dalam semua jalannya.

 

Akan tetapi Musa bin Ulaiy (dengan bentuk tashghir) bin Rabah meriwayatkannya dari ayahnya dari Uqbah bin Amir dengan tambahan :

 

“Hari ‘Arafah.”

 

Maka hadits Musa syadzdzah karena berbeda dengan riwayat jamaah dengan tambahan itu.

 

Contoh lainnya ialah yang disebutkan dalam hadits delegasi Abdul Qais bahwa Nabi SAW, menyuruh mereka melakukan empat perkara dan melarang mereka empat perkara, Nabi SAW, menyuruh mereka beriman kepada Allah sendiri, Nabi SAW, bersabda :

 

“Tahukah kalian. apakah itu iman kepada Allah sendiri ?”

 

Para sahabat berkata :

 

“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”

 

Nabi SAW, bersabda : 

 

“Yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dibulan Ramadhan dan kalian berikan seperlima dari rampasan perang.”‘ Al-Hadits.

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Syaikhan dan lainnya tanpa menyebut haji, tetapi dalam riwayat Baihaqi

 

“Dan pergilah kalian haji ke Baitullah”.

 

Maka inilah syadzdzah.

 

Kebalikan dari asy-syadzdzah ialah al-mahfudz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah (lebih kuat) berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah dengan tambahan atau kekurangan dalam matan atau sanad.

 

Hukum Asy-Syadz

 

Hadits yang syadz tertolak, tidak dapat dijadikan hujjah. Dan yang hanya dapat dijadikan hujjah ialah kebalikannya, yaitu al-mahfudz, apabila tidak adanya kemungkinan menggabung keduanya (al-mahfudz dan asy-syadz), dan apabila mungkin untuk mengabung keduanya maka kedua-duanya dapat diterima.

 

Dan kesendirian rawi yang adil dan teliti dengan suatu hadits, juga diterima.

 

Al-Munkar falah hadits oleh rawi yang dlo’if berbeda dengan rawi yang lebih baik darinya, yaitu para rawi yang tsiqah.

 

Kebalikannya adalah al-ma’ruf, yaitu hadits rawi yang tsiqah berbeda dengan rawi yang dlo’if. .

 

Hadits yang diriwayatkan dari jalan rawi yang tsiqah dinamakan ma’ruf dan yang dari jalan Jain dinamakan munkar. Inilah pendapat yang diandalkan dan yang masyhur sebagaimana yang diunggulkan oleh Syaikhul Islam tbnu Hajar.

 

Ibnu Sholah berpendapat. bahwa al-munkar dan asysyadz sama artinya, akan tetapi imam-imam hadits berbeda dengan dia mengenai hal ini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Hajar, ia berkata : “Telah lalai siapa yang menyamakan antara keduanya.” .

 

Kemudian ia menjelaskan bahwa al-munkar dan asysyazd mempunyai kesamaan dalam makna mukhalafah. Dan keduanya berbeda, yaitu almunkar rawinya dlo’if atau mastur, sedangkan asy-syadz rawinya tsiqah atau shaduq.

 

Asy-Syeikh Mullaa Ali al-Qaari berkata dengan menegaskan perbedaan antara keduanya : “Apakah asysyazd itu dlo’if atau tidak ?”, yang jelas asy-syazd dan almunkar keduanya dlo’if, tetapi rawi asy-syadz terkadang bisa diterima, sedang rawi al-munkar dlo’if.

 

Contoh Al-Munkar Dan Al-Ma’ruf

 

Hadits yang diriwiyatkan oleh Ibnu Hatim dair jalan Hubayyib bin Habib saudara Hamzah az-Zayyat dari Abi Ishaq dari al-‘Alzar bin Huraits dari ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda :

 

“Barang siapa yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan berpuasa serta menghormati tamu, ia akan masuk surga.”’

 

Abu Hatim berkata : “Hadits ini munkar.” Karena rawi yang lainnya yang tsiqah meriwayatkannya dari Abi Ishaq secara mauguf dan itulah yang ma’ruf. Dan Hubaib sedangkan dia tidak tsiqah, memarfu’kan hadits itu kepada Nabi SAW, sehingga keduanya saling bertentangan. Oleh karena rawi yang berbeda itu tidak tsiqah, maka haditsnya menjadi munkar dan hadits rawi yang tsiqah itulah yang ma’ruf,

 

Al-Maqlub ialah hadits yang terdapat perubahan dalam matan atau sanadnya dengan mengganti sebuah lafadz dengan lafadz yang lain atau dengan memajukan dan mengakhirkan dan semacamnya,

 

Al-Maqlub ada dua macam : maqlub matannya dan maqlub sanadnya. Contoh Hadits-Hadits Yang Maqlub Matannya 1.Hadits ;

 

“Apabila seseorang dari kamu sujud, janganlah ia menjatuhkan badannya seperti unta yang menjatuhkan badannya, hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum dua lututnya.” Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’iy, ad-Darimi dan al-Baihaqi.

 

Dan dikeluarkan pula oleh Abu Daud, at-Tarmidzi, an-Nasaiy dan al-Baihaqi dengan lafazd : 

 

“Salah seorang dari kalian ingin shalat …..”

 

Dan tanpa lafadz :

 

“Hendaklah ia meletakkan……”

 

Dan mengeluarkan Abu Daud, Tirmidzi dan ia menilainya hasan, an-Nasa’iy, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban ? dari hadits Waail bin Hujr r.a, dengan lafadz :

 

“Kulihat Rasulullah SAW, apabila sujud meletakkan dua lututnya sebelum dua tangannya, dan apabila bangkit, ia angkat kedua tangannya sebelum dua lututnya.”

 

Oleh karena itu Ibnu Qayyim menegaskan dalam Zaadul Ma’ad bahwa hadits yang lafadznya:

 

“Hendaknya ia letakkan dua tangannya sebelum kedua lututnya.”

 

Berubah pada salah seorang rawinya. Aslinya adalah :

 

“Hendaklah ta letakkan kedua lututnya sebelum dua tangannya.”

 

Kemudian salah seorang rawinya mendahulukan kedua tangan. sebelum kedua lutut. Bagaimana tidak ?

 

Sesungguhnya yang pertama bertentangan dengan akhimya. Karena jika ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya berarti ia menjatuhkan badannya seperti unta menjatuhkan badannya, sebab unta meletakkan kedua tangannya lebih dulu.

 

  1. Hadits tentang penyembunylan shadaqah

 

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’iy dari Abi Hurairah r.a, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda : 

 

“Tujuh macam orang yang dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitau pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam .beribadah kepada Allah azza’’wa jalla, seorang yang hatinya cinta kepada mesjid, dua orang yang mencintai Karena Allah, keduanya bertemu kerena itu (rasa cinta itu) dan berpisah karena itu, seorang lelaki yang yang dipanggil oleh seorang wanita yang berkedudukan dan cantik, kemudian. ia menjawab : aku takut kepada Allah, seseorang yang mengeluarkan shadaqah dan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahul apa yang dinafkahkan tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah dengan tulus hingga berlinang air matanya,”

 

Terjadi perubahan di dalamnya dari salah seorang rawinya pada kalimat :

 

“Dan seorang laki-laki yang mengeluarkan shadaqah …”

 

Maka diriwayatkan :

 

“Sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kirinya”

 

Hadits-hadits semacam ini banyak dan ini. yang tersebut sudah mencukupi.

 

Contoh-Contoh Hadits Yang Sanadnya Maqlub

 

Contoh-contoh dari hadits yang sanadnya maqlub lalah bila sebuah hadits yang masyhur dari seorang rawi, lalu ia jadikan hadits itu dari rawi Jain supaya hadits itu disukal.

 

Seperti hadits yang diriwayatkan dari “Salim”, lalu ia riwayatkan dari “Naafi™ sebagai ganti “Salim”. ‘Dan seperti mendahulukan ayah sebelum anak seperti “Murrah bin Ka’ab”, namun rawinya mengatakan “Ka’ab bin Murrah”. Dan seperti “Muslim Ibnul Walid”, namun rawinya mengatakan “al-Walld bin Muslim”.

 

Termasuk perubahan dalam sanad ialah bila sanadnya dirubah seluruhnya, lalu hadits ini diriwayatkan dengan sanad hadits yang itu dan hadits yang itu dengan sanad hadits yang ini.

 

Macam perubahan ini terjadi pada Bukhari ketika ia tiba di Baghdad, kemudian ulama-ulama hadits ingin mengujinya, mereka memilih seratus hadits, lalu mengubah matan-matan dan isnad-isnadnya, Mereka mengganti matan isnad ini dengan Isnad lainnya dan isnad matan ini untuk matan lain.

 

Kemudian ia kembalikan setiap matan kepada isnadnya dan setiap isnadnya kepada matannya. Maka mereka mengakui kehebatan hapalannya dan kelebihannya .

 

Hukum Hadits Maqlub

 

Wajib mengembalikannya kepada asal yang tetap dan mengamalkan asal yang tetap itu.

 

Al-Mutaaba’at, asy-Syawaahid dan al-i’tibar adalah

 

istilah yang sering digunakan oleh para muhadditsin untuk mengetahui keadaan hadits dan bukan termasuk macam dan bagian hadits.

 

Hadits mutaabi’ jalah hadits yang mempunyai lafadz atau makna yang sama dengan hadits yang lain di samping sahabat yang sama. Hadits mutaabi’ terbagi menjadi : mutaabi’ tammah (lengkap) dan mutaabi’ goshirah (kurang). Bila mana kesamaan itu sejak awal sanad maka dinamakan mutaaba’ah lengkap, dan jika tidak dari awal sanadnya maka dinamakan mutaaba’ah kurang.

 

Hadits yang menjadi syahid ialah hadits yang sama dalam lafadz atau makna, tetapt sahabat tidak sama.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits yang sama dalam lafadz tetapi sahabat tidak sama, maka sebagian mereka menamakannya dengan mutaabi’ (mutaaba’ah kurang) dan sebagian mereka menamakannya dengan syahid.

 

ibnu Hajar berkata : “Terkadang mutaaba’ah disebut syaahid atau sebaliknya. Permasalahan ini mudah.”

 

Al-l’tibar ialah cara -untuk sampai kepada pengetahuan tentang mutaabi’ dan syaahid dengan menyelidiki tentang seorang rawi yang sama dengan yang pertama dalam hadits ini, atau tentang matan yang menjadi syahid bagi matan pertama. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan riwayat rawi dengan riwayat-riwayat para rawi yang lainnya dan itu bukan termasuk macam hadits.

 

Contoh hadits yang yang terdapat -padanya mutaaba’ah, syawahid dan i’tibar talah hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam al-Um ‘ dari Malik dari Abdullah bin. Dinar dari Ibnu Umar r.a, secara marfu’ :

 

 

“Sebulan itu ada 29 hari, janganiah kalian berpuasa sehingga kalian melihat bulan dan Janganiah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya, jika penglihatan kalian . terhalang mendung, maka genapilah jumlahnya 30 hari.“

 

Sebagian ulama mengira hanya asy-Syafi’i saja yang meriwayatkannya dari Ibnu Umar .

 

Para huffadh memeriksa isnad-isnad dan matanmatannya, akhirnya mereka mengetahui bahwa al-Qa’nabi juga meriwayatkannya seperti asy-Syafi’i dari Malik mulai dari awal sanad hingga ibnu Umar dengan lafazdnya dan juga Ashim bin Muhammad dari ayahnya Muhammad bin Zaid yang meriwayatkannya pula seperti syeikhusy syeikh (guru dari guru) asy-Syafi’i sampai pada Ibnu Umar dengan lafadz :

 

Dan juga Muhammad bin Ziyad sama seperti syeihkusy syeihk (guru dari guru) asy-Syafi’i, tetapi dari Abu Hurairali dan dengan lafazd : :

 

Dan ikut pula Muhammad bin Hunain yang meriwayatkan dari ibnu Abbas dengan lafadz riwayat asySyafi’.

 

Jelaslah sudah bahwa asy-Syafi’ tidak meriwayatkan hadits itu sendirian, karena ada pula orang fain yang meriwayatkannya dengan makna dan lafadz yang sama dari ibnu Umar dan lainnya. Maka hadits al-Qa’nabi adalah mutaabij’ bagi hadits asy-Syafi’i karena berasal dari sahabat yang sama dan merupakan mutaaba’ah lengkap karena kesamaannya adalah dari awal sanad.

 

Hadits Ashim dan Muhammad bin Hunain dinamakan asy-syahid dan mutaaba‘ah kurang, karena keduanya sama dengan asy-Syafii dari riwayat selain ibnu Umar.

 

Riwayat Muhammad bin Ziyad adalah syahid dengan makna .

 

Pemeriksaan dalam kitab-kitab al-Jaami’ dan kitabkitab al-Musnad serta kitab-kitab hadits dan isnad itulah yang menunjukkan kita kepada pengetahuan ini. Hal itu disebut dengan itibar (penilaian), karena menilai riwayat asy-Syafi’i dengan riwayat lainnya. .

 

Hadits mutaabi’ dan syahid bisa naik ke derajat yang lebih tinggi dengan syarat tidak ada kelemahan yang sangat pada syahid dan mutaabi’nya, yaitu rawinya tidak tertuduh sebagai pendusta dan bukan hadits munkar maupun syaadz.

 

Ungkapan para muhadditsin dengan perkataan mereka:  menunjukkan tidak adanya mutaabi’ dan syaahid. Hal itu menyebabkan riwayatnya syaadz dan hukumnya adalah hukum hadits syaazd.

 

Menurut istilah para muhadditsin ialah hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang tersembunyi dan samar yang mengandung cela. Pada lahirnya bersih dari sifat itu, karena terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan secara jelas. Perbedaan antara samar dan tersembunyi ialah kesamaran lawan dari kejelasan dan tersembunyi Jawannya tampak.

 

Macam ini adalah ilmu. hadits yang paling samar dan paling rumit. Oleh karenanya hanya sedikit para muhaddits yang berbicara mengenainya. Meskipun jumlah mereka ‘banyak, seperti Bukhari, Ali Ibnul Madani, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zurah, Daruqutni dan lainnya yang diberi ilmu sempurna,, pengalaman penuh, pemahaman tajam dan pengetahuan terhadap jalan-jalan setiap hadits yang banyak jumlahnya.

 

Sebab-sebab itu adalah seperti hadits mursal yang disambung, yaitu asalnya mursal kepada Nabi SAW, lalu disambung oleh rawinya, atau mauguf yang dijadikan marfu’, yaitu hadits itu sebenarnya mauquf tetapi dijadikan marfu’ oleh rawinya.

 

Atau masuknya suatu hadits dalam sebuah hadiis, yaitu adanya dua hadits yang diriwayatkan dengan dua sanad, lalu rawi. salah. satunya memasukkan hadits yang satu ke dalam hadits. yang lain atau kalimat darinya ke datam hadits yang lain dan menjadikannya satu hadits.

 

Atau salah paham seorang rawi sebab kelalaian dan kelupaan. yang timbul darinya sehingga menyebabkan kekurangan dalam sanad atau matan.

 

Terkadang kedustaan rawi dan kelalaian serta hapalannya yang buruk dan semacamnya dinamakan ‘illat (cacat) yang termasuk sebab-sebab kritik yang jelas.

 

Untuk memahami sebab-sebab yang samar itu dapat dimanfaatkan kesendirian rawi yang teliti dan tsiqah serta perbedaannya dengan rawi yang lain yang lebih teliti atau lebih banyak jumlahnya disertai qarinah-qarinah (tandatanda) yang tersembunyi yang mengingatkan muhaddits yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan rumit sehingga besar dugaannya tentang adanya sebab-sebab ini yang menimbulkan cela pada keshahihan hadits.

 

Maka ia memutuskan berdasarkan dugaan mana yang terbesar padanya, karena sebagian besar dugaan sudah cukup dalam pembahasan seperti ini, atau paling sedikit ia ragu mengenai adanya sebab-sebab ini sehingga ia tidak memberi keputusan..

 

Semua itu menghalangi pemberian keputusan atas keshahihan hadits itu. Sebagaimana adanya sebab-sebab yang menimbulikan cela yang jelas, menghalangi pula dari penetapan keshahihanya. . .

 

Cacat padariwayat bisa mengurangi keshahihan hadits dan bisa pula tidak menguranginya.

 

Oleh karena itu para ulama telah mensyaratkan cacat yang bertentangan dengan keshahihan hadist, yaitu cacat yang tercela.

 

Macam-macam ‘illat itu banyak, di antaranya:

 

Rawi meriwayatkan dari seorang yang ia mendapati orang itu dan mendengar darinya, tetapi tidak mendengar hadits-hadits tertentu§ darinya. Maka apabila ia meriwayatkan hadits-hadits itu darinya tanpa perantara, ‘lat (penyakit) nya ialah ia tidak mendengarnya dari orang itu. :

 

Contohnya ialah hadits Yahya bin Muhammad bin Abi Katsir dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW, apabila berbuka di rumah suatu keluarga, beliau mengucapkan ; ;

 

“Sail “Telah berbuka di tempat kalian orang-orang yang berpuasa.”‘

 

Yahya bin Abi Katsir telah melihat Anas f.a, tetapi telah jelas dart jalan-Jain bahwa ia tidak mendengar hadits ini darinya. Demikian dikatakan oleh al-Hakim.

 

Menurut bahasa ialah isim fa’il dari  (goyah). Menurut istilah yaitu. hadits yang riwayat-riwayatnya berbeda-beda, namun syarat-syarat penerimaannya sama kuatnya, sehingga saling bertentangan dari semua jalan. Maka hadits itu tidak bisa digabung, tidak bisa dinasakh dan tidak bisa diunggulkan salah satu riwayatnya.

 

Dari defenisi ini tampaklah bahwa hadits yang syaratsyarat penerimaan di dalamnya tidak sama, yaitu bila satunya shahih dan sebagiannya hasan, atau salah-satunya shahih dengan sendirinya dan yang ini shahih karena yang lainnya, atau yang ini hasan dengan sendirinya dan-yang itu hasan Karena yang lainnya, maka didahulukan yang kuat dan dinamakan mahfudz, sedangkan yang Semah ditinggalkan dan dinamakan syaadz. Macam ini bukan termasuk al-mudhtharib.

 

Begitu pula bukaniah termasuk al-mudhtharib hadits yang salah satu riwayatnya memenuhi syarat-syarat penerimaan, sedangkan yang fain tidak memenuhinya. Misalnya salah satunya shahih atau hasan dan lainnya dlo’if. Maka hadits yang shahih atau hasan didahulukan dan dinamakan ma’ruf, sedangkan yang dlo’if ditinggalkan dan dinamakan munkar.

 

Bukan pula termasuk al-mudhtharib hadits yang berbeda-beda riwayatnya dan sama kelemahannya. Maka tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diselidiki, melainkan sudah cukup kelemahan itu baginya.

 

Hukumnya

 

Keadaan hadits yang mudhtharib menyebabkan kelemahan hadits sehingga tidak boleh mengamalkan hadits mudhtharib, jika salah satu dari dua riwayatnya yang berbeda tidak lebih kuat dari pada yang lain dengan sebab rawinya lebih hafal dari pada rawi riwayat yang berbeda dengannya atau lebih banyak persahabatannya dengan sumber riwayatnya sehingga bisa ditetapkan mana yang lebih kuat dan diamalkan,: sedangkan yang lemah ditinggalkan.

 

Contoh mudhtharib dalam sanad ialah hadits Abu Bakar r.a, ia berkata :

 

“Ya Rasulullah aku lihat anda telah beruban”

 

Nabi SAW menjawab ;

 

“Rambutku telah dibuat beruban oleh surah Hud dan surah-surah semacamnya,”

 

Daruquthni berkata : “Ini hadits mudhtharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari Abi Ishaq. Semua rawinya tsiqat (dapat dipercaya), namun salah seorang rawinya tidak magkin lebih diunggulkan dari pada yang lain, sedangkan penggabungannya terhalang.”

 

Contoh Mudhtharib Dalam Matan Hadits Fatimah binti Qais secara mauquf :

 

“Sesungguhnya al dalam harta tedapat hak selain zakat”

 

Tirmidzi meriwayatkannya dengan lafadz ini dan diriwayatkan oleh ibnu Majah dengan lafadz :

 

“Di dalam harta tidak terdapat hak selain zakat.”

 

ini adalah idhthirab yang berat. Di samping itu pula dlo’if sanadnya, karena di dalamnya terdapat Maimun AlAnwar dan ia-dlo’if menurut mereka.

 

Al-Idraj menurut bahasa artinya memasukkan.

 

Al-Mudraj ada dua macam, yaitu mudraj dalam matan dan mudraj dalam sanad.

 

Mudraj dalam matan ialah memasukkan beberapa kata tambahan dalam matan oleh seorang rawi dengan syarat ia menyambungnya dengan hadits itu tanpa penjelasan bahwa apa yang dimasukkannya bukan termasuk hadits. Seperti hadits ‘Aisyah :

 

“Adalah Nabi SAW, bertahannuts di gua Hira’, yaitu beribadat, selama beberapa malam.”

 

Perkataannya :

 

 

“Yaitu beribadat” adalah mudraj (kata tambahan) dalam hadits.

 

Adapun hadist yang mudraj sanadnya, maka ada beberapa macam :

 

Pertama : Hadits itu pada seorang rawi diriwayatkan dengan sanad, kecuali sebagian darinya. Sebagian itu diriwayatkannya dengan sanad lain, kemudian seorang rawi meriwayatkan darinya secara lengkap dengan sanad yang pertama dan tidak menyebut sanad dari sebagian itu.

 

Contohnya hadits Waail bin Hujr, ia menggambarkan shalat sahabat Rasulullah SAW, dan pada akhirnya disebutkan : ia datang kepada mereka di musim dingin, lalu ia melihat mereka. mengangkat tangan-tangan mereka dari bawah baju. Tambahan ini diriwayatkan dari sanad lain dart Ashim bin Kulaib.

 

Kedua : Suatu hadits dimasukkan dalam hadits lain yang berbeda dengannya dalam sanadnya, atau hadits itu mempunyai dua matan dengan dua isnad, lalu ia riwayatkan keduanya dengan salah satu isnad itu. Seperti hadits Anas ra, :

 

 

“Janganiah kalian saling membenci, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling menjauhi dan janganiah kalian menyaingi.”‘

 

Hadits ini diriwayatkan dari Malik, tetapi perkaatannya :

 

“Janganlah kalian menyaingi.”? adalah dari hadits lain riwayat Malik dari Abi Hurairah. Said bin Abi Maryam memasukkannya dari Malik dan menjadikan kedua hadits itu dengan satu sanad..

 

Ketiga : Rawinya meriwayatkan sebuah hadits dari sejumiah orang dengan sanad yang: berbeda-beda, lalu ia kumpulkan semuanya dalam satu sanad dan tidak menjelaskan perbedaannya.

 

Keempat : Bila ia sebutkan isnadnya, falu terjadi suatu hal padanya yang mengalihkan penyebutan matannya dan menyebut perkataan asing, maka sebagian orang yang mendengarnya mengira perkataan itu termasuk sanad itu, lalu ia meriwatkannya seperti itu darinya.

 

Telah terjadi pada Syarik yang sedang mendiktekan sebuah hadits dan ia diam supaya orang yang, didikte menulisnya, yaitu di saat Tsabit bin Musa az-Zaahid masuk kepadanya, kemudian Syarik berkata: – ;

 

“Barang siapa banyak shalatnya di waktu malam, maka baguslah wajahnya di waktu siang.” ia maksudkan Tsabit, maka Tsabit mengira ucapan itu matan dari sanad dan ia pun menceritakannya sebagai hadits.

 

Idraaj dapat diketahui dengan penyebutannya oleh rawi atau imam hadits yang menyelidikinya atau dengan adanya perkataan yang dimasukkan secara terpisah dalam riwayat lain, misalnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah secara marfu’ : 

 

“Sahaya yang dimiliki, yang sholeh itu mendapatkan dua pahala. Demi Tuhan yang nyawaku berada ditanganNya, kalau bukan Karena jihad fi sabilillah dan haji serta berbakti kepada ibuku niscaya aku ingin mati sebagai sahaya yang dimiliki.”

 

Perkataannya :

 

“Demi Tuhan yang ….. sampai seterusnya.

 

tidak mungkin berasal dari Nabi SAW, sedangkan beliau berharap menjadi seorang sahaya, padahal waktu itu ibunya sudah meninggal sehingga ia tidak bisa berbakti kepadanya,

 

Diharamkan memasukkan perkataan dalam hadits selain untuk. menafsirkan fafadz yang asing dan kesengajaan memasukkannya bisa menghilangkan keadilan.

 

Mengenai idraj terdapat kitab al-Fashlu lil Washiil Mudraj fin Naqqli oleh al-Khatib al-Baghdadi. Kitab ini diringkas-oleh Ibnu Hajar dan ia namakan Taqqriibul Manhaj bi Tartiibil Mudraj.

 

Al-Lahhan ialah kekeliruan dalam hadits dari segi i’rab, sedangkan at-tashhif dan at-tahrif adalah dari segi huruf dan syakal.

 

Penegasan perbedaan antara keduanya ialah, allahhan ialah kekeliruan dalam i’rab, at-tashhif ialah kekeliruan dalam huruf pada titik-titik, sedangkan at-tahrif adalah perubahan dengan syakal.

 

Seorang ahli ilmu telah menyusun nadzhom mengenai hal itu :

 

Bilamana kekeliruan itu terdapat pada i’rab, maka namailah “lahn” tanpa ragu jika kekeliruan itu terdapat pada huruf, maka itulah yang dinamakan “tashhif”

 

Inilah bila kau ucapkan shaad dengan dhaad, dan semacamnya, maka’ pahamilah tentu kau ketahui maksudnya

Doe Jika kekeliruan terjadi pada huruf dengan syakal namailah itu dengan “tahrif”

 

Contoh al-mushahhaf ialah hadits

 

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan menambahinya enam hari dari bulan Syawal seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun”?

 

Abu bakar ash-Shuli melakukan tash-hif dan mengucapkan “ ”, yakni sebagian.

 

Contoh al-muharraf ialah hadits Jabir r.a,: .

 

“‘Ubay terkena panah pada lengannya diperang Ahzab, lalu Rasulullah SAW, mengobatinya dengan besi panas.”?

 

Ghundar mengubahnya dan mengatakan : (ayahku). Yang benar adalah , karena ayah Jabir telah mati syahid di perang Uhud sebelum itu.

 

Para ulama berkata : “Sesungguhnya orang yang salah dalam menyampaikan hadits Nabi SAW, terkena ancaman keras, karena berdusta terhadap Nabi SAW,

 

“Barangsiapa berdusta terhadapku dengan sengaja, biarlah ia menduduki tempatnya di neraka.”?

 

Karena Nabi SAW, tidak mungkin keliru dalam menyampaikan haditsnya. Maka bila mana anda meriwayatkan dasrinya dah berbuat kekeliruan di dalamnya berarti anda berdusta terhadapnya.

 

Itulah sebabnya tbnu Sholah berkata : “Pencari hadits wajib belajar Nahwu dan bahasa sekedar ia bisa terbebas dengannya dari keburukkan lahn dan tahrif serta dosa kedua perbuatan itu.”

 

juga masuk dalam ancaman ini pelaku tashhif dan tahrif, karena keduanya dianggap berdusta. Pembaca bisa selamat dari semua ini dengan belajar Nahwu dan mengarmbil tafadz-lafadz hadits dart orang alim yang teliti supaya ia selamat dari dosa tashhif dan tidak mengandalkan pengambilan yang terdapat di dalam kitab-kitab, karena jarang yang selamat dari penggantian dan perubahan:

 

‘ Sungguh bagus perkataan Abu Hayyan :

 

Apabila kau inginkan ilmu tanpa guru, tentu engkau tersesat dari jalan: yang lurus

Segala urusan menjadi samar bagimu, hingga kau

menjadi lebih tersesat dari Tuma al-Hakim

 

Ceritanya ialah Tuma melihat dalam sebuah kitab : ;

 

“Jintan hitam itu obat segala penyakit.”

 

Namun ia membacanya :   (ular hitam) , kemudian ia mengambil seekor ular hitam, lalu memakannya hingga membutakan matanya dan membunuhnya.

 

Disebutkan di dalam kitab al-Huda menukil dari kitab al-Mughits fi Hukmil Lahni fil Hadits (mengenai hukum salah ucap dalam hadits) : “Pelajar yang tidak ceroboh di waktu belajar, ia pun mendapat pahala bacaannya. Demikian pula Jika ia keliru atau salah mengucapkan asal tidak sengaja berbuat kerusakan.”

 

Ketahuilah siapa saja yang ingin membaca kitab-kitab hadits dari orang yang tidak mempunyal pengetahuan tentang bahasa Arab, sedangkan tujuannya mengambil berkah dengannya untuk dirinya atau mendengarkannya kepada suatu kaum dengan tujuan mengambil berkah, bukan untuk memimpin dan mencari kedudukan, maka hendaklah ia membaca pada naskah yang shahih dan akurat. Adapun salah ucap yang tejadi padanya dalam bacaannya, maka tidak akan dipermasalahkan, insya Allah.

 

Al-‘Aaliy falah hadits yang sedikit orang-orang isnadnya. Al-‘aaliy terbagi menjadi uluwwun muthlaq dan uluwwun nisbi.

 

Pertama : al-uluwwul muthlaq, yaitu kedekatan dari Rasulullah SAW, isnad yang bersih, tidak dlo’if. Ini macam tertinggi dari al-uluwwu.

 

Kedua: al -uluwwun nisbi dan terbagi menjadi empat macam :

 

1) Kedekatan dari, salah seorang imam hadits, meskipun jumlahnya banyak, dari imam itu hingga Rasulullah SAW.

 

2) Al-Uluwwu berkenaan dengan riwayat Shahihain atau salah satu dari keduanya atau kitab-kitab lainnya yang terkenal dan menjadi andalan.

 

3) Al-Uluwwu dengan mendahulukan wafatnya = rawi, meskipun keduanya sama dalam jumlah.

 

4) Al-Uluwwu yang dihasilkan dari pendengarnya yang lebih dulu.

 

An-Naazil ialah hadits yang orang-orang isnadnya banyak.

 

Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ‘mencari aiUluwwu dengan isnad adajiah sunnah. Beliau berkata : “Mencari isnad yang ‘aaliy adalah sunnah dari para salaf.”

 

ibnu Mubarak berkata : “Kebaikan hadits itu bukan karena kedekatan isnad, tetapi kebaikan hadits adalah keshahihan orang-orangnya.”

 

ibnu Hajar berkata : “Kesukaan ulama periode terakhir sangat besar padanya hingga banyak dari mereka terlalu mengurusinya, sehingga mengabaikan urusan yang lebih penting darinya.”

 

Al-Uluwwu disukai karena lebih dekat kepada shahih dan sedikit kesalahannya, karena setiap rawi dari isnadnya mungkin saja berbuat kekeliruan. Maka semakin banyak perantaranya dan semakin panjang sanadnya, semakin banyak pula kemungkinan terjadinya kekeliruan. Dan semakin sedikit, maka serakin sedikit pula kekeliruannya.

 

Apabila pada sifat an-nuzul itu terdapat keistimewaan yang tidak terdapat dalam al-uluvwvu seperti orangorangnya lebih tsiqah darinya atau lebih hapal atau lebih fagih atau kesinambungannya lebih jelas, maka tiada Keraguan ketika itu bahwa an-nuzul lebih baik.

 

Al-Hafidh as-Silafi berkata :

 

Kebaikan hadits bukanlah karena kedekatan orangorangnya, menurut kebanyaken ahli kritik hadits Akan tetapi uluwwii (ketingagian) hadits, menurut ahli hapal yang. teliti, alah keshahinan isnad Apabila kedua sifat itu (kedekatan orang-orangnya dan keshahihan isnadnya) terkumpul dalam Sebuakh hadits maka gunakanlah dia, karena itu puncak keinginan:

 

Hadits Mudabbaj ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat riwayat qariin dari rekannya yang meriwayatkan hadits itu darinya.

 

Yang dimaksud dengan qariin ialah rekan yang sebaya dan sama pengambilannya dari pada syeikh.

 

Tadbitj terjadi dari dua orang sahabat dan dua orang tabi‘iy serta yang lainnya.

 

Contoh sahabat ialah riwayat Abi Hurairah dari Aisyah dan riwayat Aisyah dari Abi Hurairah.

 

Contoh tabi’iy ialah riwayat az-Zuhri dari ‘Atha’ dan riwayat ‘Atha’ dari az-Zuhri.

 

Contoh taabi’ tabi’iy ialah riwayat Malik. dari al”Auza’ty dan al’Auza’iy dari Malik.

 

Contoh taabi’ taabi’ tabi’iy-ialah riwayat Ahmad dari ibnul Madani dan ibnul Madani darinya.

 

Riwayat salah satu dari dua qariin saja dati qariin (rekan) nya dinamakan :  (sesama qariin).

 

Seperti riwayat al-A’masy dari at-Taimi. Riwaayatul agran bisa pula dinamakan al-mudabbaj.

 

Jika rawi meriwayatkan dari orang yang yang umurnya lebih muda seperti az-Zuhri dan Yahya bin Said dari Malik atau yang lebih sedikit iimunya dan derajatnya seperti Malik dari Abdullah bin Dinar dan seperti Ahmad dan ishaqdari Ubaidillah. bin Musa, atau berada di bawahnya dalam kedua perkara itu seperti riwayat Abadillah dari Ka’ab. Dari riwayat banyak ulama dari murid-murid mereka seperti riwayat Bukhari dari muridnya Abil Abbas as-Siraj, macam ini dinamakan :

 

Asalnya ialah riwayat Nabi SAW, dari Tamim ad-Daariy tentang aljassaasah sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Muslim dan fainnya. ‘

 

Termasuk riwaayatul akaabir ‘anil ashaaghir ialah riwayat bapak dari anak dan sahabat dari taabi’ly.

 

Termasuk ilmu hkadits yang terpenting ialah mengetahui al-muttafiq dan al-muftariq, dan al-mukhtalif serta al-mutasyaabih dari nama-nama, julukan-julukan dan nasab-nasab supaya aman dari tergelincir dan untuk membedakan antara para rawi.

 

Al-muttafiq dan al-muftariq ialah bila nama-nama para rawi atau nama bapak-bapaknya dan seterusnya sama fafadz dan tulisannya, namun orang-orangnya berbeda.

 

Misainya : Abdullah bin Zaid bin Ashim dan Abdullah bin Zaid bin Abdu Rabbih dan al-Khalil bin Ahmad adalah nama untuk enam orang.

 

Faedah dari mengetahui macam ini ialah aman dari kesamaran, karena boleh jadi beberapa nama itu dikira satu.

 

Ada. kalanya sebagian mereka dio’if, sehingga yang tsigah dinilai dlo’if dan yang dlo’if dinilai tsiqah.

 

Al-Mu’talif dan al-mukhtalif, yaitu nama-nama atau julukan-julukan atau nasab-nasabnya bertepatan tulisannya dan berbeda ucapannya.

 

Contohnya:  (Miswar) dan  (Musawwin),  . (Salam) dan  (Sallam),   (Asid) dan  (Usaid),  . (Hamid) dan  (Humaid),  (Umaarah) dan  (Imaarah).

 

‘Faedah dari pengetahuan tentang dari macam ini ialah aman dari tashhif dan tahrif.

 

Adapun al-mutasyaabih yaitu yang terdiri dari dua macam yang lalu, maka defenisinya ialah bila nama-nama para rawinya sama lafadz dan tulisannya, sedangkan nama bapak-bapaknya berbeda lafadznya, bukan tulisannya atau sebaliknya.

 

Contohnya :   (Muhammad bin ‘Aqil) dan   (Muhammad bin ‘Uqail),   (Syuraih bin an-Nu’man) dan   (Suraij bin an-Nu’man) di antara syuyukh (guru-guru) Bukhari

 

Al-Matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati kelemahannya.

 

Maka nampak dari defenisi tentang rawi hadits matruk dua perkara :

 

Pertama : Bahwa rawi itu disepakati tentang kelemahannya, karena dituduh berdusta atau karena diketahui berdusta pada selain hadits, maka tidak dianggap aman ia akan .berdusta dalam hadits atau karena dituduh fasiq atau Jalai atau banyak salah paham.

 

Kedua : “Rawi ini meriwayatkan hadits itu sendirian, tidak ada yang meriwayatkannya selain dia.

 

‘Contohnya :

 

Riwayat Amru bin Syamr dari Jabir al-Ju’fi dari alHarits dari Alir.a. Amru ini tidak bisa dipakai haditsnya. Dan seperti hadits Shadaqqah ad-Daqiqi dari Farqad dari Murrah dari Abi Bakar r.a.

 

Ada yang berpendapat defenisinya ialah hadits yang diriwiyatkan oleh rawi secara berlawanan dengan kaidahkaidah yang sudah diketahui dan tidak diriwayatkan kecuali dari pihaknya dan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta, yaitu yang dikenal sebagai pendusta dalam pembicaraannya, meskipun tidak tampak darinya. hai itu dalam hadits Nabawi, atau dikenal melakukan kesalahan besar atau kelalaian besar menurut suatu pendapat. Defenisi ini disebutkan dalam at-Tadrib oleh as-Suyuti.

 

Timbul perselisihan. mengenai kaidah-kaidah yang sudah diketahui. Terkadang ditafsirkan sebagai kaidah-kaidah agama yang diketahui secara pasti dari syari’at. Dan terkadang ditafsirkan bila rawinya berbeda dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.

 

Yang jelas ialah bahwa yang dimaksud dengannya adalah kaidah-kaidah syari‘at yang dihasilkan oleh para ulama mujtahidin dari nash-nash syari‘at, baik dari al-Kitab atau as-Sunnah atau dari keduanya. Kaidah-kaidah itu disepakati oleh semua -qias hingga bersifat umum dan diketahui. .

 

Macam ini dinamakan matruk dan tidak dinamakan maudlu’, karena tuduhan berdusta semata-mata tidak membolehkan penilaian suatu hadits sebagai maudhu’.

 

Hukumnya

 

Rendah nilainya karena sangat dlo’if (lemah) hingga. tidak dapat dijadikan hujjah maupun saksi.

 

Al-Maudhu’ ialah khabar yang dikarang dan dusta yang nisbatkan kepada Rasulullah SAW, sebagai kebohongan terhadapnya atau kepada sahabat atau taabi’iy. Hadits maudhu’ batil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk memperingatkan terhadapnya atau mengajarkan hal itu kepada ahli ilmu supaya mengetahuinya.

 

Macam-macam Pemalsuan :

 

Pertama ; Seseorang mengarang perkataan dirinya, kemudian. meriwayatkannya dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW.

 

Kedua: Seseorang mengambil perkataan ahli hikmah atau fainnya dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW.

 

Ketiga : Seseorang melakukan kekeliruan hingga timbul dugaan bahwa ia memalsu hadits tanpa sengaja berdusta. Sebagaimana terjadi terhadap Tsabit bin Musa az-Zahid pada hadits :

 

“Barangsiapa yang banyak shalatnya di waktu malam, baguslah wajahnya di waktu siang.”

 

Keempat : Seorang melakukan kekeliruan, falu ia menghukumi sebuah hadits palsu secara mutiak dan ternyata shahih dari selain Nabi SAW, mungkin dari seorang sahabat atau taabi’iy dan orang sesudahnya. Paling banyak yang bisa ‘dikatakan mengenainya, yaitu penisbatannnya kepada Nabi SAW, adalah kekeliruan atau salah sangka.

 

Adapun memasukkannya dalam golongan hadits maudhu’ adalah suatu kekeliruan.

 

Terdapat perbedaan antara hadits mauquf dan maudhu’. Sebagian huffadh hadits telah memperhatikan hal itu. Maka Abu Hafsh bin Badr al-Maushili telah menulis sebuah kitab yang dinamainya ma’rifatil wuquf ‘ala mauquf, ia kemukakan di dalamnya semua yang dikemukakan oleh para penulis hadits-hadits maudhu’ dalam karangan-karangan mereka mengenainya dan ternyata shahih dari selain Nabi SAW.

 

TUJUAN-TUJUAN YANG MENDORONG PEMALSUAN HADITS

 

Tujuan-tujuan yang mendorong pemalsuan hadits banyak, antara lain :

 

  1. Untuk memenangkan mazhab. Seperti al-Khattaabiyyah dari golongan Rawafidh, mereka memalsukan segala sesuatu. yang mereka jadikan hadist untuk menjadikannya sebagai dalil atas bid’ah yang mereka lakukan dalam agama.

 

  1. Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja dan umara dengan memalsukan hadist-hadist yang cocok dengan tujuan-tujuan mereka.

 

  1. Mencari penghasilan dan upah dengan melakukan pemaisuan sebagaimana yang dilakukan para tukang dongeng yang mencari penghidupan dari profesi itu. Di antara mereka adalah Abu Said al-Mada-ini.

 

  1. Membela fatwa yang salah. Maka seorang mufti mengarang sebuah hadits yang dijadikannya sebagai dalil untuk memperkuat fatwanya. Mereka berkata : “Di antara yang melakukan itu adaiah Abul Khattab bin Dihyah dan Abdul Aziz ibnul Harits al-Hanbali.”

 

  1. Untuk mendorong orang-orang agar melakukan perbuatan-perbuatan ‘baik, maka dikaranglah hadits untuk itu.

 

Kebanyakan yang melakukan pemalsuan semacam Ini ialah orang yang mengaku zuhud. Mereka ini orangorang yang paling besar bahayanya, karena mereka menganggap hai itu sebagai ibadah, padahal perbuatarn mereka termasuk dosa besar. Terutama karena orangorang terpedaya oleh keshalinan yang mereka tampakkan hingga percaya kepada mereka dan meriwayatkan dari mereka.

 

Yang memudahkan mereka melakukan itu bisa jadi karena ketidaktahuan mereka akan. keharaman perbuatan itu atau karena anggapan mereka yang salah bahwa yang dilarang hanyalah dusta terhadap Rasulullah SAW, yang membahayakan syari’at dan agamanya, bukan dusta untuk menyiarkan agamanya. Mereka tidak tahu bahwa semua itu merupakan dusta ternadap Nabi SAW, di antara yane dilakukan mereka ini adalah mengarang hadits-hadits ‘shalawat tertentu dan puasa-puasa tertentu.

 

  1. Untuk mendidik anak-anak. Maka dikaranglah bagi anakanak hadits-hadits dan mereka ajarkan, lalu mereka yakini keshahihannya dan meriwayatkannya sesudah itu.

 

WAKTU TIMBULNYA PEMALSUAN HADITS

 

Pemalsuan hadits timbul pada tahun 41 Hijriyah ketika kaum Muslimin terpecah belah secara politis dan terpecah menjadi Syi’ah dan Khawarij serta mayoritas Muslimin. Di waktu itu timbul bid‘ah dan aliran-aliran.

 

Para pengikut aliran-aliran itu mengarang haditshadits untuk mendukung _mazhab-mazhab mereka dan menyiarkan bid’ah yang mereka fakukan.

 

ORANG-ORANG YANG TERSOHOR SEBAGAI PEMALSU HADITS

 

Orang-orang yang tersohor.memalsu hadits banyak jumlahnya. Yang dikenal di antara mereka ialah Jabir bin Yazid al-ju’fii dan Abu Daud al-‘Ama serta Abu ‘Iismah Nuh bin Abi Maryam. Ja seorang yang alim dan mulia, oleh karena itu ia digelari ai-jami’ (si pengumpul), karena ia mengumpulkan ilmu-ilmu yang banyak. la. mengambil figh dari Abu Hanifah dan tbnu Abi Laila, hadits dari Hajjaj bin Arthah, tafsir dari al-Kalabi dan lainnya, al-maghazi (sejarah peperangan} dari Muhammad bin Ishaq dan lainnya. Meskipun begitu fia adalah pemalsu hadits hingga dikatakan bahwa ia mengumpulkan segala sesuatu kecuali kebenaran (kejujuran).

 

Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya hingga Ammar, ia berkata : pernah dikatakan kepada Nuh bin Abi. Maryam : “Hai orang ini, .dari mana anda mendapatkan hadits dari Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang keutamaaankeutamaan al-Qu’ran, surah demi surah ?” Nuh menjawab : “Sesungguhnya aku melihat orang-orang berpating dari aiQur’an dan sibuk dengan fiqih Abu Hanifah dan maghazi Muhammad bin Ishaq, maka aku mengarang hadist-hadits ini demi untuk mendapatkan pahala:”

 

Itulah sebabnya para muhaqqiq berkata bahwa para ahli tafsir keliru ketika memasukkan hadits-hadits ini dalam tafsir-tafsir mereka, seperti al-Wahidi, az-Zamakhsyari dan al-Baidhawi pada akhir setiap surah, yakni karena anda telah mengetahui. bahwa semua itu adalah hasil karangan Nuh bin Abi Maryam.

 

Termasuk mereka adalah Abul Khattab bin Dihyah. Ia telah mengarang sebuah hadits mengenai pengqqasharan shalat maghrib. Adalah merupakan kebiasaannya bahwa apabila ia mengeluarkan suatu fatwa dan tidak menemukan dalil baginya, maka ia karang sebuah hadits yang cocok dengan fatwanya. Telah dikatakan seperti itu dalam biografi Abdul Aziz Ibnul Harits at-Tamimi al-Hanbali seorang ulama besar Baghdad.

 

KAIDAH-KAIDAH YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGENALI HADITS MAUDLU’

 

Hadits maudhu” bisa dikenali dengan beberapa perkara :

 

  1. Pengakuan pemalsunya secara tegas bahwa ia memalsukannya.

 

  1. Adanya sesuatu. yang sama kedudukannya dengan pengakuannya, misalnya dia menyampaikan hadits dari seorang syeikh (guru), ketika ditanya tentang kelahiranya, ‘maka ia menyebutkan wafatnya guru tersebut sebelum hari kelahirannya. Sedangkan hadits itu tidak diketahui kecuali hanya terdapat padanya.

 

  1. Kelemahan lafadz hadits sehingga ahli bahasa dapat mengetahui bahwa perkataan itu tidak mungkin keluar dari orang yang fasih lisannya, terlebih dari Nabi. SAW.

 

Ibnu Daqiqul ‘led.-berkata : “Seringkali mereka menghukumi begitu dengan.mempertimbangkan hal-hal yang kembali kepada hadits itu.” Kesimpulannya ialah bahwa lantaran banyaknya penanganan mereka terhadap tafal-lafal hadits, maka timbullah gerakan psikologis dengan mana mereka mengetahui mana yang boleh merupakan perkataan Nabi SAW, dan mana yang tidak boleh.

 

  1. Kelemahan makna, meskipun lafalnya tidak lemah. Misainya : bila maknanya bertentangan dengan akal secara pasti dan secara istidlal (pengambilan dalil) serta tidak mungkin ditakwilkan pada asalnya, seperti khabar. tentang penggabungan dua hal yang berlawanan atau penyangkalan adanya Pencipta atau keqadiman alam semesta.

 

Hal itu. disebabkan tidak mungkin syara’ bertentangan dengan akal. Oleh karena itu Ibnul Zauzi berkata . : “Setiap hadits yang anda melihatnya bertentangan dengan akal dan ushul, maka ketahullah bahwa hadits itu maudlu’.”

 

  1. Bilamana ditolak oleh perasaan dan penyaksian.

 

  1. Bilamana bertentangan dengan al-Kitab atau as-Sunnah yang mutawatir atau ijma’ di samping tidak bisa ditakwilkan.

 

  1. Bilamana mengandung ancaman keras atas suatu perkara yang remeh atau janji pahala yang besar atas suatu perbuatan kecil.

 

Semua ini adalah qarinah-qarinah (tanda-tanda) yang terdapat pada hadits yang menunjukkan pemaisuannya tetapi bukan secara mutlak, bahkan qarinah-qarinah tersebut khusus untuk hadits-hadits yang belum dihukumi oleh para ulama hadits mengenai shahih dan hasannya.

 

Apabila telah tetap keshahihan penisbatan (penyandaran) suatu hadits kepada Rasulullah SAW, maka tidak ada jalan untuk menghukumi hadits tersebut secara akal atau dengan perasaan dan tidak juga dengan. kaidahkaldah tersebut, karena Nabi SAW, tidak mengucapkan suatu perkataan dengan hawa nafsu,

 

“Ucapannya itu tlada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

 

Apabila telah tetap keshahihan penisbatan perkataan tersebut kepada Nabi SAW, maka sesungguhnya akal dan penyaksian harus mendukungnya dengan sekuatnya dan tidak menolaknya. ;

 

Dan apabila tampak dari perkataan itu sesuatu yang bertentangan: dengan akal, maka pertentangan ini terjadi kerena kurangnya akal untuk mengenali hakikatnya dan mengetahui kesesuiannya.

 

KITAB-KITAB YANG MENGUNGKAP HADITS-HADITS MAUDLU’

 

  1. Yang pertama menulis di bidang ini ialah al-Hafidz alHusein bin Ibrahim aj-Juzaqani yang wafat pada tahun 543 H dan kitabnya bernama al-Abaatil. Timbul kritik-kritik terhadapnya mengenai kitab itu.

 

  1. Kemudian al-Hafidh Abul Faraj ibnul Jauzi yang wafat tahun 597 H dan kitabnya bernama al-Maudlu’at. Timbul banyak kritik terhadapnya mengenai kitab itu. ia. telah menghukumi maudiu’ sebuah hadits dalam Shahih Muslim, yaitu hadits Abi Hurairah yang marfu’

 

“Jika engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat orang-orang yang di pagi hari berada dalam murka Allah dan di waktu sore: berada dalam laknat-Nya. Ditangan-tangan. mereka terdapat cambuk-cambuk seperti ekor sapi.”

 

Ibnu Hajar telah menyelidiki kitab Ibnul Jauzi. Maka ja dapati hadits inl terdapat dalam shahih Muslim dan ja menemukan 24 hadits dari al-Musnad yang dikemukakan Ibnul Jauzi dalam kitabnya sebagai hadits maudhu’.

 

Kemudian ‘Ibnu Hajar menyanggahnya’ dan menjelaskan kesalahan Ibnul Jauzi dalam sebuah kitab khusus yang dinamainya al-Qaulul Musaddad fidzdzabbi ‘anil Musnad.

 

Kemudian datang as-Suyuthi mengoreksi Ibnul Jauzi dan mengeluarkan dari kitabnya al-Maudhu‘at banyak hadits lebih dari seratus yang terdapat dalam empat kitab Sunan yang empat yang tidak patut disifati maudhu’.

 

Ia kumpulkan itu dalam sebuah kitab khusus yang dinamainya al-Qaulul hasan fidzdzabbi ‘anis Sunan, yakni kitab kitab sunan yang empat (Tirmizdi, Nasa’iy, Abi Daud dan Ibnu Majah).

 

Kemudian as-Suyuthi mengarang sebuah kitab khusus yang luas mengenai masalah itu yang dinamainya alLa-aali al-mashnu’ah. Ia meringkas kitab ibnul Jauzi di dalamnya dan mengoreksinya dalam setiap hadits yang perlu ditinjau. Kemudian as-Suyuthi mengkhususkan koreksinya atas Ibnul Jauzi dalam an-Nukatul Badij‘aat dan meringkasnya dalam at-Ta‘aqqubaat. Koreksinya itu mencapai 300 hadits lebih sedikit.

 

Kemudian datang Ali bin Muhammad bin ‘Arraq yang wafat tahun 963 H. Lalu ia menggabungkan antara haditshadits maudlu’ Ibnul Jauzi dan Jalaluddin as-Suyuthi yang melebihi keduanya dalam sebuah kitab yang dinamainya Tanzihusy Syarii‘atil Marfu’ah ‘anil Akhbaar asy-Syanii’atil Maudtlu’ah. .

 

Kemudian bermunculan kitab-kitab mengenai masalah ini. Di antaranya ialah :

 

– Tadzkiratul Maudhu’aat oleh Muhammad bin Thahir alFattani al-Hindi yang wafat tahun 986 H.

 

– Tadzkiratul Maudhu’aatil Kubra wash . Shughra, al-Hibaatus Saniyyah dan asraarul Marfu’ah oleh Ali bin Sulthan al-Qaariy yang wafat tahun 1014 H dan ia mempunyai sebuah risalah bernama al-Mashnu’, .

 

– Al-Fawaaidhul Majmu’ah oleh al-Qadhi Muhammad bin Ali asy-Syaukani yang wafat tahun 1250 H.

 

– Al-Lu’lu-ul. Marshu’ oleh Abil Mahasin Muhammad bin Khalil al-Qaawaqji yang wafat tahun 1305 H.

 

Ada kitab-kitab khusus mengenai hadits-hadits yang mayshur pada lisan orang-crang untuk mengungkapnya dan menjelaskan derajatnya. Yang paling masyhur adalah alMagqaashidul Hasanah oleh al-Hafidz as-Sakhawi dan Kasyful Khafa’ wa muziilul libaas ‘ammasytahara minal Ahaadits ‘alaa Alsinatin Naas oleh al-Hafidz al-‘Ajluni, kitab ini adalah yang terbesar dan terlengkap mengenai bab ini.

 

Perbedaan hadits ialah bila terdapat dua hadits yang saling bertentangan dalam makna menurut dhahirnya. Adapun hukumnya, maka dipertimbangkan sebagai berikut :

 

  1. Jika dimungkinkan menggabung antara keduanya dengan cara yang benar, maka kedua hadits itu bisa diamalkan. Seperti hadits :  

 

“Tidak ada penularan.”

 

Dengan sabda Nabi SAW, :

 

“Larilah dari penderita kusta seperti engkau lari dari Singa.”

 

Kedua hadits itu telah digabung dengan pengertian bahwa penyakit-penyakit ini tidak bisa menular dengan tabiatnya, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan pergaulan orang sakit dengan orang sehat sebagai sebab bagi penularan penyakitnya. Terkadang hal itu tidak berlaku sebagaimana yang terjadi pada sebab-sebab yang lain. Sesungguhnya:’ sebab-sebab itu berpengaruh dengan kekuasaan Ailah Ta’ala jika kehendak Allah Ta‘ala mendahului hal itu, kalau tidak maka tidak ada pengaruh baginya sendiri. Ada cara-cara penggabungan lainnya dan contoh ini adalah mengenai hukum alamiah.

 

Contohnya mengenai hukum-hukum syariyah ialah hadits:

 

‘apabila air mencapai dua kullah, maka tidak mengandung najasah.”

 

Dengan hadits :

 

“Allah menciptakan air dalam keadaan suci dan tidak membuatnya najis, kecuali sesuatu. yang mengubah rasanya atau warnanya atau baunya.”

 

Dalam hadits pertama, dhahirnya adalah kesucian air dua kullah, baik airnya berubah atau tidak. Sedangkan hadits kedua dhahirnya adalah kesucian air yang tidak berubah, sama halnya apakah banyaknya dua kullah atau kurang. Maka keumuman dari setiap hadits itu dikhususkan dengan yang lain sebagaimana disebutkan dalam at-Tadrib.

 

  1. Bilamana kedua hadits yang saling bertentangan itu tidak mungkin digabung, maka jika kita ketahui bahwa salah satu dari keduanya adalah naasikh terhadap yang lain dengan suatu cara yang menunjukkan nasakh, maka kita pegangi yang naasikh (membatalkan).

 

  1. Sika tidak terjadi nasakh (pembatalan), maka kita ambil yang lebih kuat di antara keduanya.

 

Cara-cara tarjilh banyak jumlahnya dan dirinci.dalam kitab-kitab ushul dan lainnya. Yang mulia asy-Syeikh Abdullah Sirajuddin berkata dalam syarahnya atas alBaiquniyah : Al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibaar : Bahwa fumlahnya mencapai. 50 cara dan al-‘lraqi menyebutkan hingga 1170 cara. As-Suyuthi telah meringkasnya dan mengembalikannya kepada 7 macam dan setiap macam meliputi banyak cara yang tidak ada tempat untuk menyebutnya di sini.

 

  1. Apabila terhalang untuk mengungguikan salah satu dari kedua hadits itu dengan suatu cara, maka wajib dibiarkan apa adanya.

 

Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang ilmu_

 ini adalah macam terpenting dari ilmu hadits yang harus diketahui oleh orang alim. Yang memperhatikannya hanyalah para imam yang mengumpulkan antara hadits dan fiqh serta ushul yang menyelami pengeluaran makna-makna yang rumit.

 

Al-imam asy-Syafi’i-.r.a, telah mengarang tentang ilmu itu hingga dikatakan bahwa beliau adalah orang pertama yang berbicara tentang hal itu. .

 

Kemudian Ibnu Qutaibah mengarang sebuah kitab yang dinamainya Ta’wil Mukhalafil Hadits. Maka ia kemukakan hal-hal yang baik dan lainnya karena kelemahannya dalam bidang itu. Kemudian ibnu Jarir mengarang tentang hal itu dan ath-Thahawi menulis kitabnya Musyikilul Aatsaar, yaitu sebuah kitab yang besar faedahnya meliputi banyak bagian di mana ta kemukakan penjelasan yang memuaskan.

 

Ibnu Khuzaimah adalah orang yang paling baik pembahasannya tentang bidang ‘ini hingga ia katakan : “Tidak ada dua hadits yang saling bertentangan dart segala jalan. Barangsiapa menemukan sesuatu hai itu, hendaklah ia datang kepadaku supaya kupertemukan antara keduanya.”

 

Yang dapat diterima ialah khabar orang yarg dapat dipercaya dalam agama dan riwayatnya, yaitu rawi yang adil dan telitt. Defenisi keadilan dan ketelitian telah dijelaskan dalam pembicaraan tentang hadits shahih.

 

Hukum Riwayat dari Ahli Bid’ah

 

Riwayat ahli bid’ah ditolak, jika bid’ahnya bisa menyebabkan kufur. Apabila bid’ahnya tidak menyebabkan kufur, sedang ia tidak menghalaikan dusta dan tidak menyeru kepada madzhabnya, maka bisa diterima riwayatnya. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh dan Ta’dil (kritik dan pujian)

 

Al-Hafidh’ IbnuHajar telah menjelaskan dalam kitabnya Tagribut Tahdzib tingkatan-tingkatan al-jarh dan ta’dil (kritik dan pujian). Ia tetapkan 12 tingkatan. Ia berkata

 

Tingkatan pertama adalah para sahabat. .

 

Tingkatan kedua : adalah orang yang ditegaskan pujiannya, baik dengan kata  (orang yang paling), misalnya :  (orang yang paling tsiqah /dapat dipercaya)” atau dengan mengulangi-: sifat sebuah lafal seperti:  atau yang sama maknanya, seperti :

 

Yang ketiga : jialah orang yang ditetapkan padanya suatu sifat seperti:  atau  atau atau .

 

Yang keempat : ialah yang derajatnya kurang sedikit dari yang sebelumnya seperti:  atau  atau

 

Yang. kelima : ialah orang yang derajatnya kurang sedikit dari itu seperti:   atau   atau   atau   atau   (ketelitiannya berkurang pada akhir umurnya). Termasuk golongan itu adalah pengikut aliran-aliran sesat dan ahli bid’ah.

 

Yang keenam: falah orang yang hanya meriwayatkan sedikit hadits dan tidak terbukti padanya sesuatu yang menyebabkan haditsnya ditinggalkan dan diisyaratkan kepadanya dengan lafal :  , jika ada hadits lain yang. mendukungnya, kalau tidak maka:

 

Yang ketujuh : orang yang lebih dari seorang meriwayatkan hadits darinya, tetapi ia tidak dinilai tsiqat dan diisyaratkan kepadanya dengan lafal:  atau

 

Yang kedelapan: orang yang tidak terdapat padanya penifaian tsiqat yang dapat diandalkan dan ada yang melemahkannya meskipun tidak dijelaskan dan diisyaratkan kepadanya dengan lafal : .

 

Yang kesembilan : Orang yang hanya seorang saja yang meriwayatkan darinya dan tidak dinilal tsiqah. Rawi macam itu dinamakan :  .

 

Yang kesepuluh : Orang yang tidak dinilai tsiqah sama sekali. Di samping itu ia dinilai dlo’if dengan sesuatu yang menimbutkan kritik. Rawi ini dinamakan :  atau   atau .

 

Yang kesebelas ; Rawi yang tertuduh berdusta dan dinamakan : (tertuduh) dan  (tertuduh berdusta).

 

Yang kedua belas : Rawi yang dinamakan :  atau ,

 

Saya Katakan : Ibnu Abi Hatim telah. menetapkan empat macam tingkatan-tingkatan al-jarh dan ta’dil (kritik dan pujian) dan menjelaskan hukum setiap tingkatan. Dapat disimpulkan dari perkataannya bahwa mereka ada empat macam :

 

Pertama : Orang yang haditsnya bisa dijadikan hujjah sendirian.

 

Kedua : Orang yang haditsnya ditulis dan diperhatikan serta layak untuk dipakai pada pengamalan dalam fadhaa-il dan manaqib.

 

Ketiga Orang yang hadistnya ditulis serta layak untuk dipakai pada hadits-hadits i’tibar, syawaahid dan mutaaba’‘aat.

 

Kempat : lalah rawi yang tidak ditulis haditsnya dan tidak bisa dijadikan i’tibar serta tidak bisa dijadikan syahid (pendukung).

 

Macam pertama ialah rawi yang dinilai tsiqah, adil, kuat hafalannya, cermat dan teliti. Mereka ini adalah para rawi dalam tiga tingkatan yang pertama menurut pembagian Ibnu Hajar yang lalu.

 

Macam kedua falah rawi yang disifati dengan ash-Shidq ( berkata benar). Mereka ini adalah para rawi dalam tingkatan keempat, kelima, keenam.

 

Macam ketiga ialah rawi yang disifati dengan ajJahalah (tidak diketahui) atau adl-Dlo’if (lemah), kemungkinan lemah. Mereka ini adalah para rawi tingkatan ketujuh, kedelapan dan kesembilan.

 

Macam keempat ialah rawi yang disifati dengan. dusta atau tertuduh berdusta atau memalsu hadits atau tertuduh dengan memalsu hadits atau disifati sebagai matrukul hadits atau mardudul hadits (hadits tidak dipakai atau ditolak). Mereka adalah para rawi tingkatan kesepuluh dan yang sesudah mereka.

 

Asy-Syeikh Ahmad Syakir berkata :

 

“Tingkatan-tingkatan yang setelah sahabat, apabila termasuk tingkatan yang kedua atau ketiga, maka hadistnya adalah shahih tergolong tingkatan pertama. Kebanyakan tingkatan ini terdapat dalam Shahihain.

 

Apabila termasuk tingkatan ‘yang keempat, maka hadistnya shahih termasuk tingkatan kedua dan inilah yang dinilai hasan oleh Tirmidzi dan tidak dikomentari oleh Abu Daud.

 

Tingkatan yang setelahnya, yaitu yang termasuk tingkatan kelima dan keenam, maka termasuk al-mardud (ditolak) kecuali apabila jalan-jalannya banyak maka akan menjadi kuat dan menjadi hasan karena yang tainnya.

 

Tingkatan ketujuh dan seterusnya adalah dlo’lf menurut perbedaan tingkatan-tingkatan dlo’lf, dari munkar sampal maudlu’.”

 

Ilmu hadits adalah ilmu yang mulla dan sesual dengan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang baik serta bertentangan dengan akhlak yang buruk.

 

Ilmu hadits termasuk ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Maka siapa yang -ingin bekerja memperdengarkan (meriwayatkan) hadits atau mengajarkan sesuatu dari ilmunya, hendaklah ia dahului dengan niat bersih dan ikhlas dan membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan kotorannya. Hendaklah ia waspadai bencana cinta kepemimpinan. .

 

Timbul perselisihan mengenail umur berapa seseorang dianjurkan bekerja untuk memperdengarkan (meriwayatkan) hadits dan menjalankan tugas itu.

 

ibnu Shalah berkata : “Menurut pendapat kami, bilamana ia dibutuhkan haditsnya, maka dianjurkan baginya bekerja meriwayatkannya dan menyiarkannya dalam usia berapapun.”

 

Adapun usia di mana muhaddits patut berhenti meriwayatkan hadits adalah usia tua renta yang dikhawatirkan terjadi pikun hingga rawinya salah meriwayatkan dan meriwayatkan yang bukan haditsnya. Dalam mencapai usia ini orang-orang berdeda-beda menurut perbedaan keadaan mereka. .

 

Ada sejumlah orang meriwayatkan dalam usia 80 tahun, namun mereka berhasil dan selamat. Di antara mereka adalah Anas bin Malik, Sahal bin Sa’ad, Abdullah bin Abi Aufa dari golongan sahabat Nabi SAW, Malik al-Laits, Ibnu Uyainah dan ibnu.jJa’ad dalam sejumiah besar orang dari para ulama terdahulu dan yang kemudian.

 

Di antara mereka ada sejumlah orang yang meriwayatkan hadits dalam usia 100 tahun, antara lain al-Hasan bin Arafah, Abul Qasim .al-Baghawi, Abu Ishaq al-Ujaimi dan al-Qadhi Abu Thayyib at-Thabarl -semoga Allah meridhal mereka semua-.

 

Seorang muhaddits tidak patut meriwayatkan hadits di hadapan orang yang lebih pantas darinya untuk melakukan itu. Apabila ada orang menanyakan hadits darinya sedang ia tahu ada orang yang lebih mengetahui daripada dia atau ia mempunyai perhatian lebih banyak daripada dia atas hadits itu, maka patutlah ia tunjukkan penanya itu kepadanya.

 

Hendaklah ia memiliki semangat yang besar untuk menyiarkan Sunnah Nabawiyah demi mengharapkan pahalanya yang banyak. Hendaklah ia meneladani Imam Malik, karena beliau adalah teladan dalam memelihara adabadab majlis penyampaian hadits dan beliau mempunyai khabar-khabar yang menakjubkan dan masyhur tentang hal itu.

 

Yang pertama wajib dilakukannya ialah mewujudkan keikhlasan can berhati-hati untuk tidak menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi. Hammad bin Salamah berkata : “Barangsiapa belajar hadits bukan karena Allah, iapun tertipu.”

 

Pelajar hadits wajib berijtihad dalam berpegang pada budi pekerti luhur dan adab-adab yang diridhai. Abu Ashim an-Nabil berkata : “Barangsiapa belajar hadits, japun telah mempelajari ilmu tertinggi, maka ia harus menjadi manusia terbaik, ”

 

Pelajar hadits wajib mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkan dengan ucapan shalawat dan tasbih dan amalamail shalih lainnya. Al-lmam Bisyr Al-Haafiy berkata : “Hai para tokoh hadits, tunaikanlah zakat hadits ini. Amalkanlah lima hadits dari setiap 200 hadits.” Waki’ berkata : “Apabila engkau ingin hapal hadits, maka amalkanlah hadits itu.”

 

Pelajar hadits harus menghormati Syeikh (guru) nya dan orang dari siapa ia mendengar hadits itu. Sikap itu merupakan penghormatan terhadap hadits dan ilmu. Janganlah ia memberatkan syeikh dan memperpanjang majlisnya supaya ia tidak merasa jemu.

 

Pelajar hadits tidak boleh kikir dengan apa yang didengarnya terhadap saudara-saudaranya sesama pelajar yang tertinggal darinya ketika mendengar hadits itu. Karena sifat kikir itu merupakan kehinaan yang menipu pelajar yang bodoh dan rendah budinya. Al-lmam Malik berkata: “Termasuk keberkahan hadits adalah saling memberi faedah antara yang satu dengan yang lain”.

 

Seorang pelajar hadits tidak sempat menulis sesuatu dari hadits. Kemudian gurunya, yaitu Ishaq bin Rahuwaih, berkata : “Saliniah ketinggalan itu dari kitab pelajar yang lain.” Pelajar itu berkata : “Sesungguhnya mereka tidak memberi izin.“ Sang guru berkata : “Jika begitu, demi Allah mereka tidak akan beruntung. Kami telah melihat orangorang yang menghalangi pendengaran ini. Demi Allah, mereka tidak akan beruntung dan tidak akan berhasil. .

 

Pelajar hadits ‘itu tidak boleh merasa malu atau sombong untuk banyak bertanya dan tidak merasa turun gengsi untuk menulis hadits yang didapatnya dari orang yang derajatnya berada di bawahnya.

 

Kemudian, saling berdiskusi. tentang hadits yang dihafalkannya merupakan sebab terkuat agar tetap langgeng dan tidak lepas maupun hilang.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud r.a, bahwa ia berkata : “Hendaklah kalian saling mendiskusikan hadits, karena kehidupan hadits adalah mengingatnya,”

 

Para ulama memperhatikan sejarah para rawi dari golongan para sahabat, muhadditsin dan ulama untuk mengetahui hari wafat dan kelahiran serta jumlah umur mereka, Hal itu berfaedah banyak dalam menentukan kesamaaan masa hidup, kemungkinan perjumpaan dan kebenaran adanya pendengaran hadits.

 

Keblasaan ulama adalah menyebut dalam bab ini sejumlah keterangan tentang hal itu dan: akan kami sebutkan bagimu apa yang mereka sebutkan.

 

Ibnu Shalah berkata : Baiklah kami sebutkan tokohtokoh dari mereka itu.

 

Pertama: Yang shahih mengenai umur pemimpin umat manusia, Rasulullah SAW, dan kedua sahabatnya Abu Sakar r.a, dan Umar r.a, adalah 63 tahun. Saya katakan : “Demikian pula Ali bin Abi Thalib r.a, menurut riwayat yang lebih kuat.”

 

Rasulullah SAW, wafat pada hari senin waktu dhuha 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.

 

Abu Bakar wafat pada bulan jumaddil Ula tahun 13 Hijriah dan Umar wafat pada bulan Ozulhijjah tahun 23 Hijriah. Utsman wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 35 Hijriah dan Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 Hiljriah.

 

Kedua: Dua orang dari golongan sahabat hidup di zaman jahiliyah 60 tahun dan di zaman tslam 60 tahun. Keduanya wafat di Madinah tahun 54 Hijriah.

 

– Salah satunya falah Hakim bin Hizam, ia dilahirkan di dalam Ka’bah 13 tahun sebelum tahun Gajah.

– Yang kedua ialah Hassan bin Tsabit bin Haram bin Ibnul Mundzir al-Anshari. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa ia dan ayahnya Tsabit bin Haram, masing-masing dari mereka hidup selama 120 tahun. Al-Hafidz Abu Nu’aim menyebutkan bahwa tidak pernah diketahui yang seperti itu di kalangan Arab selain mereka, ada yang mengatakan Hassan wafat tahun 50 Hijriah.

 

‘Ketiga : Para pemimpin mazhab-mazhab yang diikuti.

 

– Abu Hanifah, yaitu an-Nu’man bin Tsabit. Beliau wafat pada tahun 150 Hijriyah di Baghdad dalam usia 70 tahun.

– Malik bin Anas wafat tahun 179 Hijriyah di Madinah. Terdapat perselisihan mengenai waktu kelahirannya. Ada yang mengatakan tahun 93 Hijriyah dan. ada yang mengatakan tahun 94 Hijriyah.

– Asy-Syafil, yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan tahun 150 Hijriyah dan wafat tahun 204 Hijriyah di Mesir.

– Ahmad bin Hanbal dilahirkan tahun 164 Hijriyah dan wafat di Baghdad tahun 241 Hijriyah.

 

Keempat : Para penyusun lima kitab hadits yang merupakan andalan. .

 

– Bukhari dilahirkan tahun 194 Hijriyah dan wafat di Khartanka tahun 256 Hijriyah dalam usia 62 tahun.

– Muslim wafat tahun 261 Hijriyah di Naisabur dalam usia 55 tahun. .

-Abu Daud wafat di Bashrah tahun 275 Hijriyah.

– At-Tirmidzi wafat tahun 279 di Tirmidz. .

– An-Nasa’ty wafat tahun 303 Hijriyah.

 

Kelima : Tujuh orang ahli hadits yang mempunyai karya tulis yang baik dan besar manfaat yang didapat dari karya tulis mereka.

 

– Abu Hasan All bin Umar Ad-Daruquthni al-Baghdadi dilahirkan tahun 306 Hijriyah dan wafat di Baghdad tahun 385 Hijriyah.

– Kemudian al-Hakim Abu Abdillah Muhammad Ibnul Bayyi’ yang dilahirkan tahun 321 Hijriyah dan wafat pada tahun 409 Hijriyah di Asbahan.

– Kemudian Abu Muhammad Abdul Ghant bin Sa‘id al-Azadi al-hafidh dari Mesir yang dilahirkan tahun 332 Hijriyah dan wafat pada tahun 409 Hijriyah di Mesir.

– Kemudian Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asbahani yang dilahirkan tahun 334 Hijriyah dan wafat pada tahun 403 Hijriyah di Asbahan.

– Termasuk tingkatan lainnya adalah Abu ‘Umar Yusuf bin Abdul Barr an-Namiri yang dilahirkan 368 Hijriyah dan wafat di Syatibah pada tahun 463 Hijriyah.

– Kemudian Abu Bakar Ahmad Ibnul Husein al-Baihaqi yang diiakirkan pada tahun 384 Hijriyah dan wafat di Naisabur pada tahun 458 Hijriyah dan dipindahkan-ke Baihaqi lalu dimakamkan disana.

– Kemudian Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi yang dilahirkan pada tahun 392 Hijriyah dan wafat pada tahun 463 Hijriyah di Baghdad. (Selesai pembicaraan Ibnu Shalah).

 

Saya katakan : “Ini adalah sebuah faedah lain yang sesuai, yaltu bahwa as-Suyuthi adalah murid tbnu Hajar dan ibnu Hajar adalah murid al-Iraqi, al-Iraqi muridIbnu Sayyidin Naas dan tbnu Sayyidin Naas murid Ibnu Dagigil ‘led dan ta adalah murid al-‘Izz bin Abdus Salam. Al-‘Izz adatah rekan al-Mundziri. Ambillah faedah ini karena sangat bermanfaat.”

 

Defenisi sahabat Nabi SAW, ialah siapa yang berjumpa Nabi SAW, dan beriman padanya serta wafat dalam keadaan itu.

 

Pengetahuan tentang ash-Shahaabah

 

Para ulama mengarang banyak kitab yang berisi pengetahuan tentang sahabat Nabi. SAW. As-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa yang pertama mengumpulkan nama-nama sahabat dan biografi-mereka adalah al-tmam Bukhari. Ia berkata dalam Alfiyahnya :

 

Yang pertama mengumpulkan tentang sahabat ialah Bukhari dan dalam kitab al-Ishabah

 

Saya katakan : “Nampak bahwa maksudnya ialah orang. yang pertama mengumpulkan nama-nama para sahabat saja secara terbatas pada mereka tanpa tercampur dengan selain mereka.”

 

Kalau tidak, sesungguhnya ibnu Sa’ad yang lebih dulu dari Bukhari telah mengumpulkan dalam kitabnya., athThabagaatul Kubra mengenai blografi para sahabat.

 

Akan tetapl ia tidak membatasi pada mereka, tetapl ja menyebut pula orang setelah mereka hingga masanya.

 

Termasuk yang menulis tentang para sahabat Nabi SAW, adalah Ibnu Hibban, Ibnu Mandah, Abu Musa alMadini, Abu Nu’aim, al-Askari dan Ibnu Fathun.

 

Yang dicetak adalah al-Istii’ab fli maa’rifatil ash-haab oleh Ibnu Abdil Barr, Usudul Ghaabah fii Ma’rifatish Shaabah oleh ibnul Atsiir al-Jazri dan ringkasannya Tajwiid Asma-ish Shaabah oleh adz-Dzahabi dan al-fshabah fii Tamyiz ash-Shaabah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar yang merupakan kitab terlengkap dan terdiri dari delapan jilid..

 

Ia sebutkan pada akhir juz keenam darinya bahwa ia menyusun kitab itu kira-kira 40 tahun. la: menulis kitab itu secara bertahap dan menulisnya dalam konsep-konsep sebanyak tiga kali – semoga Allah merahmatinya-.

 

Keadilan Para Sahabat Nabi SAW

 

Semua sahabat Nabi SAW, adil, baik yang besar maupun yang kecil, yang ikut dalam perang antara Ali dan Mu’awiyah maupun yang tidak ikut. Pengertian ini telah disepakati oleh Ahlus Sunnah karena berbaik sangka kepada mereka dan mempertimbangkan kebaikan-kebaikan mereka, yaitu kepatuhan kepada perintah Nabi SAW, sesudah beliau tiada dan pembukaan negri-negri oleh . mereka, penyampaian al-Kitab dan as-Sunnah dari Nabi. SAW, pemberian petunjuk kepada orang-orang, ketekunan rnereka dalam menunaikan shalat dan mengeluarkan zakat serta macam-macam ibadah disertai keberanian, keunggulan, kemurahan hati, pengutamaan orang lain dan akhlak terpuji lainnya yang tidak terdapat dalam umat-umat terdahulu.

 

Keadilan mereka jelas diketahui dengan pujian Alfah bagi mereka dan pemberitahuan-Nya terhadap mereka.

 

Seandainya tidak terdapat keterangan dari Allah dan RasulNya mengenai mereka seperti yang kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami, yaitu hijrah, jihad, pembelaan Islam, pengorbanan nyawa dan harta, pembunuhan bapak dan anak, sikap ikhlas dalam menjalankan agama, kekuatan iman dan keyakinan, semua itu mewajibkan penetapan keadilan mereka dan keyakinan atas kebersihan mereka, sedangkan mereka lebih utama daripada generasi dan orang-orang yang dinilat adil sesudah mereka. lini adalah mazhab seluruh ulama dan siapapun yang dapat diandalkan pendapatnya.

 

Abu Zur’ah berkata : “Apabila engkau melihat seseorang mencela seorang sahabat Rasululiah SAW, maka ketahuilah bahwa ia adalah zindik.” Hal itu disebabkan Rasulullah SAW, adalah haq, al-Qur’an adalah haq dan agama yang dibawanya adalah haq. Semua itu disampaikan kepada kita oleh para sahabat, sedangkan mereka ini ingin menjelekkan saksi-saksi kita untuk membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Padahal mereka itu lebih. patut dicela, karena mereka adalah zindik. ‘

 

Dalil-dalil keadilan para sahabat dari al-Qur’an Pertama, firman Allah Ta‘ala :

 

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. AlBaqarah : 143)

 

Kedua, firman Allah Ta‘ala :

 

“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirken untuk manusia.” (QS Ali Imran : 1340)

 

Ketiga, firman Allah Ta‘ala :

 

“Muhammad -itu adalah utusan Allah dan” orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang sesama mereka(QS. AlFath : 29)

 

Keempat, firman Allah Ta‘ala :

 

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu’min yang. mengikutimu. (QS. AlAnfal : 64)

 

Kelima, firman Allah Ta’ala :

 

“Sesungguhnya Allah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. (QS. Al-Fath : 18)

 

Keenam, firman Allah Ta’ala:

 

“Orang-orang yang terdahulu, lagi yang pertamatama (masuk Islam). di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, (QS. At-Taubah : 100)

 

Ketujuh : firman Allah Ta‘ala:

 

“Katakanlah ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilin-Nya’.” (QS. An-Naml : 59)

 

Sufyan berkata.: “Mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad SAW.”

 

Dalil-dalil Keadilan Para Sahabat Dari As-Sunnah

 

Hadits-hadits yang meriwayatkan mengenai kelebihan para sahabat banyak sekali, di antaranya :

 

Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Bukkari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda :

 

“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka.”‘

 

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dari Abdullah bin Mughaffal, ia berkata : Bahwa Rasulullah SAW, bersabda :

 

“Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenal para sahabatku. Janganiah ‘kalian menjadikan mereka sasaran sesudah aku tiada. Barangsiapa mencintai mereka, maka karend mencintaiku, ia mencintai mereka dan siapa yang membenci mereka, maka karena membenciku ia benci mereka. Barangslapa mengganggu mereka, berarti ia telah menggangguku dan siapa menggangguku berarti Ia telah mengganggu Allah. Dan Siapa mengaanggu Allah maka Dia akan menghukumnya.”!

 

Ketiga : Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Said al-Khudri dari Nabi SAW, -bahwa beliau bersabda: .

 

“Janganlah kalian memaki para sahabatku, janganiah kalian memaki para sahabatku. Demi Tuhan yang nyawaku berada ditangan-Nya, andaikata’ seseorang dari kalian menafkahkan (menyedekahkan). emas sebesar ‘Uhud, niscaya ia tidak bisa menyamai satu mudd yang dinafkahkan oleh. seorang dari mereka (para sahabatku) maupun separuhnya.”?

 

Keempat : Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya dari Bahz bin Hakiim dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata : Nabi SAW, bersabda :

 

“Kalian menggenapi 70 umat, kalian umat terbaik dan umat yang paling mulia di sisi Allah azza wa jalla.”

 

Kelima : Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW, bersabda :

 

“Sesungguhnya Allah memilih sahabatku di atas jin dan manusia, kecuali para Nabi dan Rasul.“

 

Dalil-Dalil Dari ljma’ Atas Keadilan Para Sahabat ibnu: Sholah berkata : “Kemudian, sesungguhnya umat bersepakat bahwa semua sahabat adalah adil termasuk yang terlibat dalam perang-perang di antara sesama mereka. Begitu pula hal itu merupakan ijma’ para ulama yang ahli tentang ijma’, seakan-akan Allah menaqdirkan ijma’ atas hal itu, karena mereka adalah pembawa syari’at.”

 

Saya katakan : “Juga telah diceritakan adanya ijma’ oleh Ibnu Abdil Barr, an-Nawawi dan Imam Haramain.” Makna Keadilan ini

 

Bukanlah yang dimaksud dengan keadilan mereka bahwa mereka ma’shum dan tidak mungkin berbuat dosa. Akan tetapi yang dimaksud ialah penerimaan riwayat mereka tanpa besusah payah mencari sebab-sebab keadilan maupun mencari pujian. Kecuali bila terbukti adanya perbuatan jelek. Alhamdulillah hat itu tidak terbukti.

 

Kita hanya’ mengikuti keadaan mereka di zaman Rasulullah. SAW, hingga terbukti keadilannya, Kita tidak perlu memperhatikan apa yang disebutkan oleh para penulis sejarah, karena tidak shahth.

 

Adapun riwayat yang shahih, maka ‘riwayat itu mempunyal penakwilan yang shahih.

 

Alangkah bagusnya perkataan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah : “Itu adalah darah yang Allah. telah melindungi pedang-pedang kita darinya. Maka janganiah kita lumuri lidah kita dengatinya.”

 

Atas dasar itu dapat disimpulkan suatu masalah, yaitu apabila dikatakan dalam isnad “Dari seorang felaki sahabat Nabi SAW,” maka hadits itu menjadi hujjah: Meskipun tidak ditentukan namanya, hal itu tidak menganggu isnadnya, karena semua sahabat adil dan celaan orang terhadap mereka tidaklah diridhai dan tidak diterima.

 

Sahabat Pertama Yang Masuk Islam

 

Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama masuk Islam di antara mereka. Ada yang mengatakan Abu Bakar, ada yang mengatakan Ali, ada yang mengatakan Zaid bin Haritsah, ada yang mengatakan Sayyidah Khadijah serta ada yang mengatakan Bilal radhiyallahu’anhum.

 

Ibnu Shalah berkata : “Yang lebih berhati-hati ialah dikatakan : Laki-laki yang merdeka yang pertama masuk Islam ialah Abu Bakar. Anak kecil atau anak muda yang pertama masuk Islam ialah Ali. Wanita pertama yang masuk Islam ialah Khadijah. Bekas sahaya yang pertama masuk islam ialah Zaid bin Haritsah dan sahaya lelaki Bilal radhiyallahu’anhum.”

 

As-Suyuthi telah merangkal faedah ini datam bait-bait di antara Alfiyahnya, ia berkata :

 

Mereka berbeda tentang siapa yang pertama masuk Islam di .antara para sahabat, mereka berusaha mengumpulkannya secara teratur Yang pertama masuk Islam dari kaum lelaki Abu Bakar dan Zaid bekas sahaya Dari kaum wanita Khadijah, anak muda Ali dan sahaya Bilal yang masyhur

 

Jumlah sahabat Nabi SAW, banyak sekali. Ibnu Shalah telah menukil dari Abu Zur’ah bahwa ia ditanya tentang jumlah sahabat yang meriwayatkan dari Nabi SAW.

 

Abu Jurah menjawab : ‘“Siapa yang dapat menentukan ini -? Empat puluh ribu orang ikut bersama Nabi SAW, pada waktu haji wada’ dan tujuh puluh ribu orang ikut bersamanya dalam penyerbuan ke Tabuk.”

 

Ibnu Shalah menukil pula darinya bahwa ada ‘seseorang yang berkata kepadanya : “Bukankah ada yang mengatakan hadits Nabi SAW, ada 4000 buah ?” Abu Zur’ah berkata : “Siapa yang mengatakan ini ? Semoga Allah menggoyahkan gigi-giginya. Ini adalah perkataan kaum Zindiq: Siapakah yang bisa menghitung hadits Rasulullah ‘SAW, dari orang yang meriwayatkan dan mendengar ‘darinya.” Maka dikatakan kepadanya : “Hai Abu Zur’ah di manakah mereka ini dulunya ? Dan di mana _mereka mendengar darinya ?” Abu Zur’ah menjawab : “Penduduk Madinah dan penduduk Makkah dan penduduk yang tinggal di antara kedua kota itu, orang-orang Baduwi dan mereka yang hadir pada haji wada’ bersamanya. Mereka semua melihatnya dan mendengar darinya di Arafah.”.

 

Oleh karena itu membatasi jumlah sahabat dengan jumlah tertentu adalah sulit dilakukan, sebab mereka terpencar-pencar di kota-kota dan desa-desa.

 

Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Ka’ab bin Malik berkata dalam kisah absennya dari perang Tabuk : “Dan para sahabat Rasulullah SAW, banyak tidak bisa dicantumkan dalam sebuah kitab catatan.”

 

Al-Hafidz al-Iraqi berkata dalam Syarah Alfiyahnya : “Ahlus Sunnah sepakat bahwa sahabat yang paling utama sesudah Nabi SAW, secara mutlak adalah Abu -Bakar, kemudian Umar. Di antara ulama yang menceritakan adanya ijma’ mereka atas hal itu ialah Abul Abbas al-Qurthubi. Ia berkata : “lada perbedaan di antara para ulama salaf dan khalaf mengenai hal ftu.” Ia berkata : “Tidak perlu diperdulikan perkataan-perkataan kaum Syiah dan abli bid’ah. AsySyafi’i dan lainnya telah menceritakan adanya ijma’ sahabat dan tabi’in atas hal itu.”

 

Baihaqi berkata dalam kitab al-‘Itiqaad : “Kami riwayatkan dari Abi Tsaur dari asy-Syafi’i ia berkata : “Tiada perbedaan di antara para sahabat dan tabi’in. mengenai pengutamaan Abu Bakar dan Umar di atas semua sahabat. Sebagian dari mereka hanya berbeda pendapat mengenai Ali dan Utsman’.” Ibnu Hajar berkata : “Demikian Abu Bakar lebih berhak atas khalifah menurut semua ulama ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam setiap masa dari kita hingga sahabat *Semoga Allah meridhai mereka semua-.’

 

Abu Bakar adalah sahabat yang paling utama bahkan manusia yang paling utama sesudah para Nabi ‘alaihimus salam, sebagaimana yang dikatakan oleh tbnu Katsir.

 

Beliau dinamakan ash-Shiddiq karena segera membenarkan Rasulullah SAW, sebelum orang-orang lainnya. Rasuluilah SAW, bersabda :

 

“Tidaklah aku mengajak seseorang untuk beriman, melainkan masih berfikir, kecuali Abu Bakar, sesungguhnya ia tidak bertikir panjang.”

 

Kemudian sesudahnya adalah Umar bin Khattab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, kemudian yang tersisa dari sepuluh orang yang diberitakan masuk surga, kemudian peserta perang Badr, kemudian peserta perang Uhud, kemudian peserta Bai’atur Ridhwan para hari Hudaibiyah.

 

Termasuk yang memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas lainnya adalah para sahabat yang terdahulu dan yang pertama masuk Islam dari kaum Muhajirin dan Anshor.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan mereka dalam empat pendapat.

 

– Ada yang mengatakan mereka adalah peserta Bai’atur Ridhwan.

– Ada yang mengatakan mereka adalah para sahabat yang, shalat menghadap dua kib!at.

– Ada yang mengatakan mereka adalah peserta perang Badr.

– Ada yang mengatakan mereka adalah para sahabat yang masuk Islam sebelum penaklukan Makkah.

 

Rincian semua. ini dapat ditemukan dalam Tadribur Raawi oleh as-Suyuthi.

 

Sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga adalah :

 

1) Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu Abdullah bin Abi Quhafah teman Nabi SAW, di gua dan penghibur serta Khalifahnya yang memiliki keistimewaan sebagai ash-Shiddiq dan orang yang paling dicintal Rasulullah SAW.

 

2) Umar bin Khattab, al-Faruq Amirul Mu’minin yang dengannya Allah menguatkan Islam. Ia memiliki keistimewaan berupa kebaikan dan kekerasan dalam ‘membela agama tslam. Ia adalah orang yang mendapat ilham dan Allah menjadikan kebenaran dalam lisan dan hatinya.

 

3) Utsman bin Affan, Dzun Nurain. Ia adalah orang yang pertama yang hijrah ke Habasyah dan maiaikat merasa malu kepadanya. ia adalah sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an.

 

4) Ali bin Abi Thalib, pedang Allah yang unggul dan pintu kota ilmu. Ia adalah orang yang pertama yang berlutut untuk melakukan pengaduan pada hari kiamat di hadapan ar-Rahman (Fuhan Yang Maha Pengasih).

 

5) Abdur Rahman bin Auf, salah satu dari delapan orang yang terdahulu masuk tslam dan salah seorang dari enam orang ahli syuura yang Rasuluilah SAW, shalat di belakangnya dalam perang Tabuk ketika Rasulullah SAW, mendapatinya telah mengimami orang-orang sebanyak satu rakaat. .

 

6) Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang dari delapan orang yang terdahulu masuk Islam dan salah seorang dari enam ‘orang ahli syuura. Rasulullah SAW, wafat dalam keadaan ridha kepada mereka dan Rasulullah SAW, menamakannya Thalhah al-Khair (yang baik) dan Thalhah al-Juud (yang pemurah).

 

7) Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang dari enam orang ahli syuura. Ia adalah orang yang pertama yang melepaskan anak panah di jalan. Allah dan orang yang pertama yang menumpahkan darah di jalan Allah, pahlawan Islam,.penakluk Mada-in.

 

8) Said bin Zaid bin Amru bin Nufail al-Qurasyi. Salah seorang dari sepuluh orang yang disaksikan oleh pemimpin kita Rasulullah SAW, bahwa ia akan masuk surga. Rasulullah SAW, wafat sedang beliau telah ridha kepada mereka.

 

9) Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, yaitu Amir bin Abdullah Ibnul Jarrah. Ia hijrah dua kali dan digelari Amiin Hadzihil Ummah (orang kepercayan umat ini) oleh Rasulullah SAW.

 

10) Az-Zubair bin Awwam Hawaariy Rasulullah SAW, dan pembelanya yang dikatakan oleh Rasulullah. SAW, kepadanya “Bi Abi wa Ummi (ayah dan ibuku menjadi tebusanmu).”

 

Saya katakan : Kabar gembira akan masuk surga telah disampaikan pula bagi sejumlah sahabat Rasulullah SAW, seperti para peserta perang Badr, peserta Bai’at . Hudaibiyah, Bilal, ‘Ukkaasyah dan lainnya.

 

Akan tetapi kabar gembira bagi sepuluh orang ini disampaikan di satu tempat dari sabda Nabi SAW, :

 

“Sepuluh orang masuk surga, Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga… .” dan beliau sebutkan mereka semua.

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunadnya mengenai manaqib Abdur Rahman bin Auf.

 

Ahmad meriwayatkannya dari beberapa jalan. Demikian pula Ibnu Majah, ad-Daruquthni dan adh-Dhiya’ meriwayatkannya, meskipun tidak khusus mengenai mereka.

 

Ai-Manawi berkata : “Penyampaian kabar tentang sepuluh orang itu tidaklah bertentangan dengan penyampaian kabar tentang selain mereka dalam riwayat fainnya, karena sebutan jumlah tidak menafikan adanya tambahan.”

 

Abdullah bin Abbas adalah sahabat yang paling banyak mengeluarkan fatwa, karena Nabi SAW, mendoakannya dengan perkataan :

 

“Ya Allah, ajaritah dia al-Kitab (al-Quran).”

 

Yang masyhur ialah bahwa yang terbanyak memberikan fatwa di antara mereka secara mutlak ada tujuh orang, ‘yaitu Abdullah bin Abbas, Umar bin Khattab dan putranya Abdullah; Ummul Mu’min Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib.

 

Peringkat berikutnya setelah ketujuh sahabat ini dalam hal banyaknya fatwa ada dua puluh orang orang y sahabat, yaitu Abu Bakar, Utsman, Abu musa, Mu’azd, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Anas, Abdullah bin Amru, Salman, Jabir, Abu Sa’id, Thalhah, az-Zubair, Abdur Rahman bin Auf, imran bin Husein, Abu Bakrah, Ubadah bin Shamit, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, dan Ummu Salamah radhiyallahhy ‘anhum ‘ajmain.

 

Setelah dua puluh orang ini ada sekelompok sahabat yang dari seorang di antara mereka diriwayatkan satu atau dua atau tiga masalah. Mereka ini berjumlah 120 orang sahabat, termasuk mereka adalah Ubaly bin Ka’ab, Abu Darda’, Abu Thalhah dan al-Miqdad.

 

Al-Hafidz as-Suyuthi telah mengumpulkan semua ini, ia berkata

 

Abdullah bin Abbas adalah yang terbanyak fatwanya di antara mereka dan Umar serta putranya dan istri Nabi SAW, pemberli petunjuk terbaik Kemudian tbnu Mas’‘ud, Zaid dan Ali dan sesudah mereka dua puluh orang yang tidak sedikit fatwanya. Dan: sesudah mereka ada yang sedikit sekali, yaitu seratus dua puluh orang

 

Empat orang sahabat Nabi SAW, masing-masing bernama Abdullah. Mereka hidup dalam satu masa hingga orang-orang membutuhkan ilmu mereka. Orang-orang menjadikan ijma’ mereka atas suatu. perkara sebagai dasar pertimbangan.

 

Maka ‘ dikatakan “Ini adalah pendapat : Abadilah (keempat sahabat yang. bernama Abdullah).” Mereka adalah Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru [bnul Ash.

 

Seorang ulama terkemuka telah menyusun mereKa dalam satu bait. Maka ia berkata : .

 

Putra-putra Abbas, Amru dan Umar.serta putra az-Zubair mereka itu Abadilah yang cemerlang

 

Ibnu Mas’ud tidak termasuk dari mereka, karena ia wafat lebih dulu daripada mereka.

 

Ibnu Sholah telah menyebutkan bahwa para sahabat Nabi SAW, yang bernama Abdullah ada sekitar 220 orang. Al-‘lraqi berkata “Jumlah seluruhnya sekitar 300 orang.”

 

Yang wafat terakhir dari para sahabat secara mutlak adalah Abu Thufail Amir bin Waatsilah. Ia wafat tahun 100 Hijriyah di Makkah. Demikian dikatakan oleh Muslim ‘ dan dipastikan oleh Ibnu Shalah

 

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak. Seorang abli ilmu hadits berkata :

 

Yang wafat terakhir dari para sahadat adalah Abu Thufail Amir bin Waatsilah. Al-Hafidz al-‘Iraqi berkata? :

 

Yang wafat terkhir tanpa keraguan adalah Abu Thufail, ia wafat tahun seratus Yang shahih ialah Abu Tufail wafat di Makkah alMukarramah sebagal mana dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan ibnu Hibban serta lainnya. Dan ini disetujui oleh al-Hafidz al-‘lraqi dalam Syarabnya atas Alfiyahnya. ‘

 

Adapun sahabat yang wafat terakhir dikaitkan dengan wilayahnya, maka para ulama menyebutkan bahwa sahabat yang wafat terakhir di Bashrah adalah Anas bin Malik. Ada yang mengatakan ia wafat tahun 93 Hijriyah.

 

Sahabat yang wafat terakhir di Kufah adalah Abdullah bin Abi Aufa menurut pendapat yang lebih shahih. Ia wafat tahun 86 Hijriyah dan ia adalah peserta Bai’atur Ridhwan yang masih hidup.

 

Sahabat yang wafat terakhir di Syam adalah Abdullah bin Busr al-Mazini. Ia wafat tahun 88 Hijriyah dan -itulah yang masyhur. Ia adalah sahabat terakhir yang masih hidup dari mereka yang shalat menghadap dua kiblat. Ada yang mengatakan, Sahabat yang wafat terakhir di Syam adalah Abu Umamah Shuday bin Ajlan al-Bahili. Pendapat pertama lebih shahih.

 

Sahabat yang wafat terakhir di Mesir adalah Abdullah Ibnul Harits bin Jaz-in az-Zubaidi. ja wafat tahun 86 Hijriyah, menurut pendapat yang masyhur.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang wafat terakhir di Madinah. Ada yang mengatakan, as-Saaib bin Yazid dan ia wafat tahun 91 Hijriyah menurut pendapat yang masyhur. Ada yang mengatakan, Sahal bin Sa‘ad alAnshari dan ia wafat tahun 88 Hijriyah meskipun ada perbedaan mengenai hal itu. Ada yang mengatakan Jabir bin Abdullah dan ia wafat tahun 72 Hijriyah. Ada yang mengatakan Mahmud Ibnur Rabii’ dan ia wafat tahun 99 Hijriyah.

 

Adapun sahabat yang wafat terakhir di Makkah, maka telah dikemukakan bahwa yang shahih adalah Abu Thufail. Ada yang mengatakan Jabir bin Abdullah. Ada yang mengatakan Abdullah bin Umar.

 

Al-Hafidz al-‘Iraqi berkata :

 

Sahabat yang wafat terakhir tanpa keraguan adalah

Abu Thuifal, ia wafat tahun seratus

Dan sebelumnya as-Saaib di Madinah atau. Sahal ‘atau Jabir atau Di Makkah

Dan Anas bin Malik di Bashrah dan Ibnu Abi Aufa wafat di Kufah

 

Tingkatan-Tingkatan Sahabat

 

Para sahabat berbeda-beda dalam hal keutamaan berdasarkan siapa yang lebih dulu masuk Islam dan sesuai dengan tenaga yang mereka curahkan. Para ulama berbeda pendapat mengenai tingkatan-tingkatan para sahabat. Sebagian dari mereka membaginya menjadi lima tingkatan: Al-Hakim menetapakan 12 tingkatan. Salah seorang dari mereka menetapkan lebih banyak dari itu.

 

Yang masyhur iaiah yang ditetapkan oleh al-Hakim dan tingkatan-tingkatan ini ialah: .

 

Pertama : Orang-orang ‘yang masuk Islam di Makkah, seperti sepuluh orang sahabat yang dikabarkan masuk surga dan SayyidahKhadijah al-Kubra..

 

Kedua : Orang-orang penghuni Daarun Nadwah. Hal itu‘ disebabkan Umar bin Khattab r.a, ketika masuk Islam .dan menampakkan kelslamannya, Umar membawa Rasulullah SAW, ke Daarun Nadwah. Kemudian sejumlah penduduk Makkah yang dinamakan Ashhabun Nadwah membais‘at beliau.

 

Ketiga : Para sahabat yang hijrah ke Habasyah pada tahun kelima dari kenabian Muhamad SAW. Mereka berjumlah 10 orang lelaki dan 4. orang perempuan. Di antara mefeka adalah Utsman bin Affandan istrinya Ruqaiyah yang juga putri Nabi SAW, Utsman bin Madz’un, az-Zubair bin Awwam, Abu Salamah bin Abdil Asad dan istrinya Ummu Salamah serta Mus’ab bin Umair.

 

Dan seperti halnya mereka adalah orang-orang yang hijrah ke Habasyah pada kali yang kedua dan mereka berjumlah 83 orang, di antara mereka adalah Ja’far bin Abi Thalib dan Istrinya Asma’ binti Umals, Ubaidillah bin Jahsy dan Istrinya Ummu Habibah, saudara Ubaidillah bin Jahsy, yaitu Abdullah bin Jahsy, Abu Musa serta ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum ‘ajmain.

 

Keempat : Peserta Bai’atul Aqabah yang pertama.

 

Kelima : Peserta Baj’atul Aqabah yang kedua dan mereka terdiri dari 70 orang Anshar disertai. dua orang perempuan. Di antara mereka adalah Sa’ad bin Ubadah dan Ka’ab bin Malik.

 

Keenam : Kaum Muhajir yang tiba di Madinah sementara Nabi SAW, berada di Quba’ sebelum: memasuki Madinah dan membangun masjid.

 

Ketujuh : Para peserta perang Badr yang dikatakan Rasulullah SAW, mengenai mereka :

 

“Barangkali Allah telah memandang para peserta perang Badr, lalu Allah berkata : ‘Kerjakanlah yang kalian ingini, Aku telah mengampuni dosa kalian’.”

 

Kedelapan : Kaum Muhajir yang hijrah antara peperangan Badr dan pesjanjian Hudaibiyah.

 

Kesembilan : Para peserta Bai’atur Ridhwan yang berbai’at di bawah pohon Hudaibiyah. Baiatur Ridhwan terjadi di Hudaibiyah ketika Rasulullah SAW, dihalangi untuk menunaikan umrah dan beliau berdamal dengan kaum kafir Quraiys untuk menunaikan umrah pada tahun yang akan datang.

 

Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur dan pohon itu terletak di dekat sumur itu.

 

Nabi SAW telah bersabda : ,

 

“Tidak akan masuk neraka siapa yang berbai’at di bawah pohon.”

 

‘Tingkatan kesepuluh :Sahabat yang hijrah antara perdamaian Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Termasuk mereka adalah Khalid ibnul Walid, Amru Ibnul Ash, Abu Hurairah dan flainnya.

 

Tingkatan kesebelas : Mereka adalah para sahabat yang masuk islam. pada hart penaklukan Makkah. Mereka adalah sejumlah orang dari kaum Quraisy. Termasuk mereka adalah Abu Sufyan bin Harb dan Hakiim bin Hizam.

 

Tingkatan kedua belas : Ialah anak-anak. yang melihat Rasulullah SAW, pada hari penak!lukan Makkah dan haji wada’ serta Jainnya dan mereka digolongkan sahabat. Termasuk mereka adalah al-Hasan dan al-Husein, tbnu Jubair, as-Saaib bin Yazid dan Abu Thufail bin Waatsilah.

 

Tujuh orang sahabat tersohor meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. Mereka ini memiliki bagian terbesar dalam meriwayatkan hadits Nabawi.

 

Para. ulama telah mengistilahkan orang yang meriwayatkan lebih 1000 hadits dengan nama Muktsir, oleh karena itulah tujuh orang sahabat ini dinamakan Muktsirun dan mereka adalah : Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Matik, Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Said al-Khudri.

 

Penulis Thal’atul Anwar Sayyid Abdullah bin Ibrahim al-Alawi telah menetapkan nama-nama mereka dalam nadzom: ,

 

Orang-orang yang meriwayatkan banyak hadits adalah lautan mereka dan Anas, Aisyah dan Jabir alMuqaddas Orang Daus dan juga Ibnu Umar.

 

Ya Tuhanku lindungilah aku berkat mereka yang banyak meriwayatkan hadits dari bahaya’ Yang dimaksud orang Daus ialaly Abu Hurairah. Yang dimaksud lautan mereka adalah tbnu Abbas.

 

Saya katakan : “Syaikhuna al-Imam al-Allaamah Muhadditsul Haromain asy-Syarifain asy-Syeikh Hasan bin Muhammad al-Masysyath rahimahullah berkata :

 

Salah, seorang dari mereka menambahkan Aba Said dan ia termasuk dari mereka tanpa ragu?

 

Al-Hafidz as-Suyuthi telah mengumputkan mereka dalam kedua bait ini, maka ta berkata menurut tertibnya :

 

Yang terbanyak meriwayatkan hadits Abu Hurairah disusul oleh Ibnu-Umar : Dan Anas serta lautan seperti al-Khudri dan Jabir serta istri Nabi SAW’

 

Kami akan sebutkan sebagian dari khabar dan keadaan mereka secara ringkas.

 

ABU HURAIRAH

 

Di masa jahiliyah ia bernama Abdu Syam bin Shakhr. Ketika masuk Islam, Rasulullah SAW, menamainya Abdurrahman. Ia berasal dari suku Daus, salah satu suku Yaman yang terkenal.

 

Ia dulu mengembala kambing dan ia mempunyai seekor kucing yang disayanginya. Di waktu malam ia letakkan kucing itu di atas pohon dan menjadikannya sebagai teman di waktu siang hari. Maka orang-orang memberinya kun-yah Abu Hurairah (bapak kucing).

 

Abu Hurairah r.a, masuk Islam tahun 7 Hijriyah (( tahun Khaibar )). Waktu. itu umurnya sekitar 30 tahun. ia datang ke Madinah menemui Nabi SAW sepulangnya dari Khaibar dan tinggal di suffah (ruangan) mesjid Rasulullah SAW. ia menjadi orang yang terpandai di antara penghuni suffah, ahli ilmu dan ibadah. Mereka adalah tamu-tamu istam dan hamba-hamba Allah yang menikmati keridhaanNya, karena mereka adalah pelajar dari sekolah yang luhur, dasarnya adalah Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Mereka adalah orang-orang yang sabar dalam keadaan susah dan senang, karena mereka merasa senang dengan Allah .

 

Abu Hurairah berkata :

 

“Sungguh aku berbaring di atas tanah karena lapar dan aku ikat batu. diperutku karena lapar. Aku duduk di jalan mereka. Kemudian Abu Bakar lewat, lalu aku menanyainya tentang satu ayat dalam Kitabullah. Aku tidak menanyainya, melainkan supaya ia mau mengajakku. Namun ia terus lewat dan tidak melakukannya. Kemudian Umar lewat dan iapun seperti itu pula. Ketika Rasulullah SAW, lewat, beliau mengetahui tanda’ kelaparan pada wajahku. Kemudian beliau bersabda ; “Abu Hurairah ?” Aku menjawab ; “Labaik, ya Rasulullah.” Kemudian aku masuk bersamanya. Beliau mendapatkan segelas susu, maka beliau. berkata : “Dari mana kalian mendapat ini ?” Dikatakan : “Si fulan mengirimkannya kepadamu. Kemudian beliau berkata : “Hai Abu Hurairah, pergilah kepada penghuni suffah (ruangan di mesjid) dan panggillah mereka.” Penghuni suffah (ruangan di mesjid) adalah tamutamu Islam. Mereka tidak punya keluarga maupun harta.

 

Apabila diserahkan shadaqah kepada Rasulullah SAW, beliau mengirimnya kepada mereka dan tidak mengambil sedikitpun darinya. Apabila diserahkan hadiah kepadanya, beliau mengambilnya dan memberi mereka bagian darinya. Mereka datang bersama-sama. Ketika mereka duduk, beliau berkata : “Ambillah, hai Abu Hurairah, lalu berikan kepada mereka.”

 

Maka kuberi setiap orang yang meminumnya sampai kenyang. Setelah kuberi kepada mereka semua, akupun menyerahkannya kepada Rasulullah SAW. Beliau menatapku sambil tersenyum dan berkata : “Minumiah !” Maka akupun meminumnya. Kemudian beliau berkata : “Minumlah -!. Maka akupun meminumnya. Beliau terus mengatakan : “Minumlah !”, Maka akupun meminumnya hingga aku berkata : “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran. aku tidak bisa lagi meminumnya.” Kemudian beliau mengambiinya dan merninum sisanya. ‘

 

Hafalan Dan Antusiasnya Terhadap Hadits

 

Allah telah menjadikan Abu Hurairah menyukai persahabatan dengan Rasulullah SAW, dan hafal hadits-haditsnya.

 

Maka ia adalah rawi yang terbanyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW, dan hafa! Sunnah Nabawiyah yang sangat banyak bagi kaum muslimin. Allah telah memilihnya bagi tugas yang mulia ini dan memberinya ingatan yang kuat sebagai wujud doa dari sebaik-baik makhluk.

 

Diriwayatkan oleh Syaikhain bahwa Abu Hurairah berkata :

 

“Sesungguhnya kalian mengangap bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits dari Nabi SAW Sesungguhnya aku seorang yang miskin. Aku mengabdi kepada Nabi SAW, setelah sekedar terisi perutku, sedangkan kaum Muhajir sibuk berdagang di pasar-pasar dan kaum Anshor sibuk mengurusi harta-harta mereka.”

 

“Pada suatu hari aku menghadiri majlis Nabi SAW, beliau bersabda : “Siapa menggelarkan selendangnya sehingga aku menyelesaikan perkataanku, kemudian mendekapnya, maka ia tidak akan melupakan sesuatu yang ia dengar dariku.” Maka aku gelar selendangku hingga beliaubmenyelesaikan pembicaraannya kemudian aku mendekapnya. Demi Tuhan yang nyawaku berada ditanganNya, aku tidak lupa sesuatu apapun yang aku dengar dari Nabi SAW.”

 

Itulah sebabnya Abu Hurairah menjadi sumber rujukan sahabat Nabi SAW.

 

Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak : Ada seorang lelaki datang kepada Zaid bin Tsabit, lalu menanyainya tentang sesuatu. Maka ia menjawab : “Tanyakanlah kepada Abu Hurairah.”

 

Di saat aku sedang duduk bersama Abu Hurairah dan si fulan di mesjid pada ‘suatu hari berdoa kepada Allah dan menyebut nama-Nya, tiba-tiba Nabi SAW, keluar menuju kami hingga tiba di tempat kami. Maka kami pun diam. Kemudian beliau berkata : “Kembalilah kepada apa yang telah kalian lakukan.” Zaid .berkata : “Maka aku dan temanku berdoa sebelum Abu Hurairah dan Rasulullah SAW selalu. mengamini doa kami.” Kemudian Abu Hurairah berdo’a, ia berkata : “Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu apa yang dimohon kedua temanku dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tak terlupakan. “Maka Rasulullah SAW, menjawab : “Amin.” Kemudian kami berkata : “Ya Rasulullah, kami mohon kepada Allah iimu yang terlupakan.” Nabi SAW, menjawab : “Kamu berdua telah didahului permohonan itu oleh anak suku Daus ini.”?

 

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa ia berkata :

 

“Ya Rasulullah, slapakah orang yang paling bahagia untuk mendapatkan syafa’atmu pada harl*kiamat ?”

 

Rasulullah SAW; menjawab :

 

“Hal Abu Hurairah, aku telah menduga bahwa tak seorangpun yang mendahuluimu untuk menanyaiku tentang hadits ini, karena aku melihat kegemaranmu yang sangat pada hadits. Orang yang paling berbahagia untuk mendapat syafa’atku pada hari kiamat ialah siapa yang mengucapkan ‘La ilaaha illallaah’ secara . tulus dari hatinya.”’

 

Abu Hurairah adalah orang yang alim yang abli ibadah dan pengamal tasawwuf yang berjihad di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah. ia ikut perang Tabuk di zaman Nabi SAW, dan perang melawan kaum murtad setelah Nabi SAW, wafat. Ia bertempur bersama Abu Bakar ash-Shiddiq melawan kaum murtad.

 

Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda : ,

 

“Aku diperintahkan untuk memerangi: orang-orang hingga mereka mengucapkan ‘La ilaaha Iilailaah’. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka; kecuali dengan haknya dan hisab mereka terserah kepada Allah.”‘

 

la berkata : Pada hari perang melawan kaum murtad Umar berkata kepada Abu Bakar : “Engkau perangi mereka, sedangkan aku telah mendengar Rasulullah SAW, mengatakan: begini dan begini.” Abu Bakar menjawab : “Demi Allah, aku tidak memisahkan antara_ shalat dan zakat dan aku perangi siapa yang memisahkan keduanya.” Abu Huraiah -berkata : “Maka akupun bertempur bersamanya.”

 

Adapun mengenai. kemurahan hati Abu Hurairah, telah diriwayatkan dari Abi Hadrah dari seorang lelaki ia berkata : “Aku singgah ke tempat Abu Hurairah dan tidaklah kujumpai seorang sahabat yang lebih giat dan lebih memperhatikan terhadap tamu dari pada dia.”

 

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abi Utsman an-Nahdi, ia berkata : “Aku bertamu di tempat Abu Hurairah. ia dan istrinya membagi waktu malam menjadi tiga bagian, yang ini shalat, kemudian membangunkan yang lain.” ?

 

Abu Hurairah berumur panjang. Ia hidup 47 tahun sesudah Rasulullah SAW, wafat dan menyiarkan hadits Rasulullah SAW, di antara orang-orang. Maka ia menjadi sumber rujukan kaum muslimin dalam meriwayatkan hadits, hingga Abdullah bin Umar mendo’akan rahmat atas jenazahnya dan berkata : “la seorang yang menghafal hadits Rasulullah SAW, untuk kaum mustimin.” .

 

Ada sekitar 800 orang ahli ilmu dari golongan sahabat dan tabi’in serta lainnya yang meriwayatkan hadits dari Abi Hurairah dan yang meriwayatkan darinya adatah penulis kitab hadits yang enam dan Imam Malik dalam Muwaththanya serta Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya. –

 

Abu Ishaq Ibrahim bin Harb al-‘Askari yang wafat tahun 282 Hijriyah telah mengumpulkan Musnad Abu Hurairah. Sebuah naskahnya ditemukan di perpustkaan Kopertis di Turki, sebagaimana disebutkan oleh penulis Tarikhul Adabil ‘Arabi.

 

Semoga Allah membaguskan wajah Abu Hurairah. Ia telah menghafal hadits Rasulullah SAW, untuk kaum muslimin dan mendengarkan perkataannya, lIalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.

 

Marwan menjenguknya pada hari sakitnya yang membawa’ kematian. Ja berkata : “Semoga Allah menyembuhkanmu.” Abu Hurairah menjawab :”Ya Allah, sesungguhnya aku -suka berjumpa dengan-Mu maka sukailah perjumpaan denganku.”

 

Abu Hurairah wafat pada tahun 57 Hijriyah dalam usia 78 tahun yang dilaluinya dalam mengabdi kepada hadits Rasulullah SAW.

 

ABDULLAH BIN UMAR BIN KHATTAB

 

Ia adalah Abdullah bin Umar !bnul Khattab bin Nufail al-Adawi dan ibunya Zainab bin Madz’un bin Kulaib al-Jumahi saudara perempuan Utsman bin Madz’un.

 

Abdullah dilahirkan pada tahun kedua atau ketiga. dari kenabian. Ia masuk Islam bersama-ayahnya dan waktu itu ia masih kecil belum mencapai umur baligh. Ia diajukan kepada Rasulullah SAW, dalam usia 14 tahun untuk ikut perang Uhud, namun beliau tidak mengizinkannya. Namun ketika ia diajukan untuk ikut dalam perang Khandaq, Rasulullah SAW, mengizinkannya. Ia pun ikut dalam perang Mu’tah, Yarmuk, penaklukan Mesir dan Afrika serta ikut berperang ke Persia.

 

Demikianlah kita lihat bahwa kegiatan perangnya banyak di mana ikut dalam perang-perang paling sengit dan paling seru dalam kehidupan Islam dan muslimin.

 

Ilmunya

 

Abdullah seorang yang cerdas dan pandai. Ia menimba dari lautan kenabian dan belajar dari .pemilik risalah. ia banyak menghadiri majis-majlis Nabawi yang mulia.

 

‘Dalam suatu majlis, Nabi SAW, berkata kepada para sahabatnya:

 

“Apa pohon yang tidak. jatuh dari daunnya dan ia seperti orang muslim. Ceritakan padaku pohon apakah. itu ?”

 

Abdullah berkata : Orang-orang mengira pohon dusun sementara aku mengira dalam hati adalah pohon kurma tapi aku merasa malu mengungkapkannya. Kemudian mereka berkata :

 

“Pohon apakah itu, ya Rasulullah ?”

 

Bellau menjawab : ;

 

“Pohon korma.“

 

Abdullah berkata :

 

“Kemudian saya ceritakan kepada ayahku apa yang terlintas di dalam hatiku, maka beliau berkata:

 

“Seandainya engkau mengatakannya, itu lebih baik bagiku dari pada aku memiliki begini dan begini.”‘ Sebagai dorongan kepadanya.

 

Abdullah adalah orang yang -banyak bertanya, memiliki ilmu yang dalam dan kewara’an yang murni serta memelihara Sunnah.

 

Keberaniannya Dalam Mengatakan Kebenaran

 

Ketika. Umar menetapkan tunjangan untuk Usamah bin Zaid 3000 dirham dan menetapkan tunjangan untuk anaknya 2500 .dirham, Abdullah berkata : “Wahai Ayah, mengapa anda menetapkan untuk Usamah 3000 dirham dan untukku 2500 dirham ? Demi Allah Usamah tidak pernah menghadiri peperangan yang tidak kuhadiri dan tidak pernah ayahnya menghadiri peperangan yang tidak dihadiri ayahku.” Umar berkata : ““Engkau berkata benar, wahai anakku, akan tetapi aku bersaksi sungguh ayabnya lebih dicintai Rasululah SAW, dari pada ayahmu dan Usamah lebih dicintai Rasulullah SAW, dari pada engkau.” Ibadah Dan Wara’nya

 

Diriwayatkan dari Nafi’ dart Ibnu Umar bahwa ia menghidupkan waktu malam dengan shalat. Kemudian ta berkata : “Hai Nafi’ apakah kita menjelang subuh ?” Aku menjawab : “Tidak.” Maka ia .melanjutkan shalatnya. Kemudian ia berkata : “Hai Nafi’ apakah kita menjeiang subuh ?” Aku menjawab : “Ya”, Maka iapun duduk dan membaca istighfar serta berdo‘a sampai subuh.

 

Abdullah sangat berhati-hati dan menjaga diri dalam mengamalkan agamanya. Ia tersohor dengan sifat ‘itu di antara para sahabat.

 

.Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata : “Tiada seorangpun di antara kami yang mendapatkan dunia, melainkan membuatnya condong dan iapun membuat dunia itu condong, kecuali Abdullah bin Umar r.a.”

 

Diriwayatkan dari Jabir r.a, pula, ia berkata : “Apabila kalian suka melihat kepada para sahabat Muhammad SAW, yang tidak mengubah dan tidak mengganii sifatnya, lihatlah kepada ibnu Umar.”

 

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata : “Tidaklah kulihat seorang yang lebih menetapi urusan pertama daripada Ibnu Umar.” .

 

Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Sungguh Ibnu Umar membagikan dalam majlisnya 3000 dirham, kemudian lewat sebulan ia tidak makan sepotong daging pun.” Kemudian Nafi’ ditanya : “Bukankah ia dulu makan daging ?” Nafi’ menjawab : “Apabila ia berpuasa atau berpergian, daging adalah makanannya yang paling banyak yang ia makan,”

 

Sesudah Rasulullah SAW, tiada, ia banyak mengerjakan haji dan bersedekah hingga sahayanya memanfaatkan kesukaannya untuk bersedekah:

 

Ada seorang dari mereka tinggal di mesjid, ketika ibnu Umar melihatnya dalam keadaan yang baik itu, iapun membebaskannya. Maka dikatakan kepadanya : “Sesungguhnya mereka menipumu.” ia menjawab : “Barang siapa ‘yang menipu kami dengan nama Allah, kami pun tertipu untuk-Nya.”

 

Adalah Ibnu Umar. apabila membaca ayat ini :

 

“Belumkah datang masanya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mengingat Allah.” (QS. Al-Hadid : 16) . Ia pun menangis tersedu.

 

Apabila Rasulullah SAW, disebut di depannya ia pun menangis. Dan apabila ia melewati rumah mereka, ia pejamkam kedua matanya.

 

Nafi’ pernah ditanya tentang Ibnu Umar : “Apa yang ia lakukan di rumahnya ?”. Nafi’ menjawab : “Berwudhu untuk setiap sholat dan membaca mushaf antara dua sholat.”

 

‘Adalah tbnu Umar berkata : “Apabila engkau memasuki waktu pagi, jangan menunggu sampai sore. Pergunakan masa sehaimu sebelum engkau sakit dan masa hidupmu sebelum engkau mati.”

 

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW,:

 

“Tidaklah seorang muslim mempunyal suatu wasiat yang akan disampaikannya tidur dua malam, melainkan wasiatnya tertulis di sisinya.”

 

Dalam satu riwayat :

 

“Tiga malam”.

 

Kemudian ia berkata : “Tidaklah aku melewati semalam semenjak aku mendengar Rasulullah SAW mengucapkan perkataan itu, melainkan wasiatku tertulis disisiku.”

 

Sungguh bahagia jiwa-jiwa suci yang menjual dunianya untuk mendapatkan akhirat dan lebih gemar beramal lebih banyak dari pada menuntut ilmu. Maka merekapun menjadi pemimpin dan terwujudlah bagi mereka kemuliaan di dunia dan keberutungan di akhirat . ibnu Umar Seorang Rawi Dan Faqih

 

la sangat ketat dalam meriwayatkan hadits. Ia sangat memperhatikan untuk menyampaikan apa yang didengarnya sebagaimana yang ia dengar tanpa ditambah maupun dikurangi.

 

Diriwayatkan dari Abi ja’far, ia berkata : “Tidaklah seorang sahabat Nabi SAW, yang apabila mendengar hadits Rasulullah SAW, lebih berhati-hati untuk tidak menambahi maupun menguranginya dari pada Ibnu Umar.”

 

Diriwayatkan dari Malik, ia berkata : Ibnu Syihab berkata kepadaku : “Janganiah engkau mengenyampingkan pendapat Ibnu Umar. Sesungguhnya ia hidup setelah Rasulullah SAW, wafat selama enam puluh tahun, maka tidaklah terluput darinya sesuatupun dari urusan Rasulullah SAW, maupun urusan para sahabatnya.”

 

Telah diriwayatakan dari Ubaid bin Juraij bahwa ia berkata kepada Abdullah bin Umar r.a, : “Hai Abu Abdurrahman, kulihat engkau melakukan empat perkara yang aku. tidak pernah melihat seorangpun dari teman-temanmu melakukannya.” Abdullah bin Umar berkata : “Apakah itu, hai Juraij ?” Juraij menjawab : “Aku tidak melihatmu menyentuh rukun-rukun, kecuali Yamani.. Aku melihatmu memakai sandal Sabtiyah, aku melihatmu memakai baju warna kuning dan aku melihatmu di Makkah ketika orang-orang melihat. hilal dan mengucapkan talbiyah, namun engkau tidak mengucapkan talbiyah hingga tiba hari Tarwiyah ?” Abdullah menjawab : “Adapun rukun-rukun, maka aku tidak melihat Rasululliah SAW, menyentuh kecuali Yamani. Adapun sandal Sabtiyah, maka aku memakainya, karena aku melihat Rasulullah SAW, memakainya hingga wafat. Adapun warna kuning, maka kulinat Rasulullah SAW, mewarnai dengannya .hingga akupun ingin . mewarnai dengan warna itu. Adapun pengucapan talbiyah, maka aku tidak melihat Rasulullah SAW, mengucapkan talbiyah hingga untanya bangkit membawanya.”

 

Barangsiapa memeriksa kitab-kitab sunnah, ia akan mendapatkannya penuh dengan riwayat, pendapat, fatwa dan sikapnya yang terpuji.

 

Bahkan ia seringkali menjawab : “Aku tidak tahu” bila ja ditanya, karena ia takut mengatakan sesuatu tentang agama dengan pendapatnya atau pertanyaan-pertanyaan itu menyebabkannya berkata tanpa ilmu.

 

Wafatnya

 

Seorang bekas sahayanya bercerita, ia berkata : Abdullah mencela perbuatan-perbuatan Hajjaj bin Yusuf dalam membunuh tbnu Zubair. ia pergi menemuinya dan menegurnya. Hajjaj berkata : “Diamlah, hai orang tua. Engkau telah pikun.” Setelah mereka bubar, Hajjaj menyuruh seorang penduduk Syam menusuk kakinya dengan lembing. Kemudian Hajjaj masuk kepadanya untuk menjenguknya. Hajjaj berkata : “Seandainya aku tahu orang yang menikammu, tentu kupotong lehernya.” Abdullah berkata : “Engkaulah yang menikamku.” Hajjaj berkata : “Bagaimana ?” Abdullah menjawab : “Karena engkaulah yang memasukkan senjata di tempat suci Aah”. Ia berwasiat kepada putranya Salim agar menguburnya di luar tanah haram, namun ia tidak bisa melaksanakannya. Maka Abdullah di makamkan di tanah Haram dalam pekuburan Muhajirin’..Abdullah wafat tahun 74 Hijriayah dalam usia 84 tahun.

 

Atsar-Atsar Dan Riwayat-Riwayatnya

 

la banyak meriwayatkan hadits dari Nabi SAW, dan dari Abu Bakar, Umar, Usman, Abu Dzarr, Mu’adz bin Jabal, Rafi’ bin Khadij, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahhu ‘anhum ‘ajmain. .

 

Yang meriwayatkan darinya. adalah Abdullah bin Abbas, Jabir, al-Aghar al-Muzani dari golongan sahabat. Dari gclongan tabi’in adalah anak-anaknya yaitu Salim dan Abdullah, Hamzah, dan Bilal, bekas sahayanya Naf’, Aslam bekas sahaya Umar, anak saudaranya Hafsh bin Amir, Said Ibnul Musayyib, Masruq dan banyak orang.

 

Ibnu Hazm menggolongkannya sebagai sahabat yang banyak memberi fatwa secara mutlak. Fatwa masing-masing dari mereka dapat dikumpulkan dalam satu jilid besar.

 

Mereka menggolongkannya sebagai orang yang banyak meriwayatkan hadits. Telah diriwayatkan darinya 2630 hadits.

 

Isnad yang paling shahih kepadanya, -bahkan sebagian ulama menggolongkannya sebagai isnad yang paling shahih secara mutlakialah : Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar. .

 

Ada yang mengatakan, : az-Zuhri dari Salim dari ayahnya Abdullah bin Umar.

 

Pujian Ulama Terhadapnya .

 

Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a, ia berkata : “Rasulullah SAW, telah meninggalkan kami ketika beliau wafat dan tiada seorangpun di antara kami, melainkan ia berubah dari keadaannya yang dulu, kecuali Umar r.a, dan Abdullah bin Umar r.a.”

 

Diriwayatkan dari Said ibnul Musayyib, ia berkata : “Seandainya aku boleh bersaksi atas seseorang bahwa ia termasuk penghuni surga, niscaya aku bersaksi atas ibnu Umar”. Diriwayatkan pula darinya : “Adafah ibnu Umar ketika wafat merupakan sebaik-baik orang yang hidup.”

 

Diriwayatkan dari Thawus: : “Tidaklah kulihat seorang lelaki lebih wara’ daripada tbnu Umar.” Bahkan Abdullah bin Mas’ud r.a, berkata : “Sesungguhnya pemuda Quraiys yang paling mampu mengendalikan dirinya dari godaan dunia adalah Abdullah bin Umar.”

 

ANAS BIN MALIK

 

Ia adalah Anas bin Malik bin Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adiy bin Najjar al-Madani pendatang yang tinggal di Bashrah.

 

Ibunya adalah Ummu Sulaim binti Milhan dan kunyahnya adalah Abu Hamzah. Ada yang mengatakan Abu Tsumamah al-Anshari.

 

Ia meriwayatkan hadits dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdullah bin Rawahah, Fatimah az-Zahra’, Tsabit bin Qais bin Syammas, Abdurrahman bin Auf, ibnu Mas‘’ud, Abi Dzarr, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal dan ibunya Ummu Sulaim serta sejumlah orang.

 

Yang meriwayatkan darinya ialah al-Hasan, Sulaiman at-Taimi, Abu Qulabah, Abu Majlaz, Abdul Aziz bin Suhaib, Ishaq bin Abi Thalhah, Abu Bakar bin Abdullah, Qatadah, Tsabit al-Bunani, Humaid ath-Thawi!, Muhammad bin Sirin, Anas bin Sirin, Yahya bin Said al-Anshari, Said bin Jubair dan banyak orang dari berbagai penjuru.

 

Ketika Nabi SAW, tiba di Madinah, Anas masih berumur 10 tahun jebih beberapa bulan.

 

Ia menjadi pelayan Nabi SAW, selama sembifan tahun lebih beberapa bulan setelah ibunya mengajaknya kepada Nabi SAW, untuk melayaninya. Anas adalah sebaik-baik pelayan. Menjadi pelayan Nabi SAW, Anas naik ke tingkat kemulian dan kebanggaan tertinggi.

 

Ia hafal banyak hadits dari Nabi: SAW, dan memanfaatkan pengarahannya sementara perilaku Nabi SAW, yang mulia dan perlakuan Nabi SAW, yang ideal telah berpengaruh padanya.

 

la mengabdi kepada Nabi SAW, hingga beliau wafat. Nabi SAW, tidak pernah mengatakan kepadanya : “uff (cih)” dan tidak pernah mengatakan kepadanya : “Mengapa engkau lakukan begini dan mengapa engkau tidak melakukan begini?”

 

Pada suatu hari Rasulullah SAW, mengirimnya untuk suatu keperluan. ia keluar hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar kemudian ia ikut bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah SAW, telah memegangi punggungnya dari belakangnya. Anas memandang beliau Sementara beliau tertawa. Kemudian berkata :

 

“Hai Anas, apakah engkau pergi ke tempat yang aku menyuruhmu ?”

 

Anas menjawab:

 

“Ya aku pergi, ya Rasulullah.”’

 

Diriwayatkan dari Anas : Pada pagi hari ketika aku mimpi hingga keluar mani, maka aku memberitahu Rasulullah SAW, maka beliau berkata : .

 

“Jangan masuk kepada orang perempuan, kecuali dengan izin.”

 

Anas berkata : “Maka tiada kurasakan suatu hari yang lebih berat daripada harl itu.”

 

Anas bertugas merawat sandal Rasulullah SAW, dan wadah air yang kecil dari kulit miliknya.

 

Rasulullah SAW, mendoakan Anas dan berkata :

 

“Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya dan masukkan dia ke surga.”

 

Anas berkata : “Aku melihat dua perkara dan aku mengharap yang ketiga. Demi Allah, sungguh hartaku banyak dan anak serta anak dari anakku mencapai lebih dari seratus orang hari ini.”

 

Anas berkata kepada Rasulullah SAW:

 

“Inilah pelayanmu Anas, berilah dia syafaat pada hari kiamat.”

 

Nabi SAW, berkata :

 

“Aku akan melakukannya.”

 

Anas berkata:

 

“Di mana aku mencarimu ?”

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Carilah aku pertama kali di sirath.”

 

Saya katakan :

 

aku tidak bertemu engkau di sirath,” Nabi SAW, menjawab :

 

“Maka aku berada di tempat al-Mizan.” Saya katakan : .

 

“Jika aku tidak bertemu engkau di al-Mizan.” Nabi SAW, menjawab :

 

“Maka aku berada di Telaga. Aku tidak luput dari ketiga tempat ini.”‘ Wafatnya Anas wafat setelah melalui kehidupan yang penuh dengan jihad, ilmu dan amal. ia mempunyai selembar surban Rasulullah SAW, yang dikubur bersamanya di antara kedua sisinya dan qamishnya. Menghadapi kematian ia berkata : “Talqinilah aku ‘Lailaaha illallah’. ia terus mengucapkannya hingga wafat. Radhiyallahu ‘anu.

 

Anas adalah sahabat terakhir yang wafat di Bashrah. Ia wafat tahun 93 Hijriyah dalam usia 103 tahun menurut pendapat yang lebih kuat.

 

Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata : Ketika Anas bin Malik wafat, Muwarriq al-Ijli berkata : “Hari ini telah lenyap separuh ilmu.” Maka dikatakan : “Bagaimana hal itu bisa terjadi hai Abul Mughirah ?” Muwarriq menjawab : “Dulu apabila ada orang penganut paham sesat berbeda dengan kami mengenai hadits dariRasulullah SAW, kami katakan kepadanya : Marilah kita pergi menemui orang yang mendengarnya dari Rasulullah SAW.”

 

Karomah Anas

 

Seorang sahabat seperti Anas tidaklah sulit baginya untuk timbul karomah darinya, bahkan banyak karomah, Diceritakan bahwa tanahnya mengalami kekeringan. Kemudian ia bangkit lalu ia berwudhu’ dan pergi ke tanah lapang, lalu shalat dua rakaat. Kemudian ia berdoa. Tibatiba tampak awan tebal dan turun hujan deras. Setelah hujan reda, ia menyuruh salah seorang keluarganya melihat di mana batas turunnya hujan itu. Ia melihat, ternyata hujan jtu tidak melampaui tanahnya, kecuali sedikit saja, Kejadian itu berlangsung di musim panas, .

 

Ibnu Asakir telah menyebut banyak wasiat Rasulullah SAW, baginya yang kami tinggalkan supaya tidak terlalu pajang.

 

isnadnya yang paling shahih ialah yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri dari Anas. Ada yang mengatakan : Hammad bin Zaid dari Tsabit al-Bunani dari Anas. Ada yang mengatakan : Hisyam ad-Dustua’iy dari Qatadah dari Anas

 

Isnad yang terlemah hingga Anas ialah : Daud Ibnul Mahbar bin Qahdzam dari ayahnya dari Abbas dari Abi Ayyasy dari Anas.

 

UMMUL MU’MININ AISYAH

 

la adalah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka‘ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’aiy bin Ghalib.

 

ibunya ialah Ummu Ruman binti Amir bin Umaim alKinaniah dan kun-yah Aisyah adalah Ummu Abdillah.

 

Rasulullah SAW, memberinya kun-yah dengan putra saudara perempuannya, yaitu Abdullah bin Zubair.

 

Aisyah dilahirkan empat atau lima tahun sesudah tahun kenabian Muhammad SAW.

 

Beliau adalah Ummul Mu’minin berdasarkan firman Allah Ta‘ala :

 

mengenai pengharaman menikahi’ mereka dan kewajiban menghormati serta menghargai mereka, bukan mengenai nasab dan warisan.

 

Perkawinan Nabi SAW, dengan Aisyah

 

Disebutkan dalam shahih Bukhari dari Asiyah, ta berkata :

 

“Nabi SAW, mengawini aku ketika aku berumur 6 tahun.”  Nabi SAW, berumah tangga dengannya ketika ia berusia 9 tahun pada bulan Syawal tahun pertama. Ada yang mengatakan tahun kedua.

 

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi SAW, berkata kepadanya : 

 

“Aku melihatmu dalam mimpi dua kali. Aku melihat bahwa engkau berada dalam sepotong kain sutra. Dan dikatakan : “Ini adalah istrimu. Maka singkaplah.” Ternyata engkaulah gambar itu. Maka aku berkata : “Jika ini berasal dari sisi Allah, biarlah dia memberlakukannya.”

 

Diriwayatkan dari Asyiah, ia berkata : Ketika Khadijah wafat, Khaulah binti Hakiim istri Utsman bin Madz’un berkata di Makkah : “Ya Rasuiullah tidakkah anda kawin ?° Nabi SAW, berkata : ” Dengan siapa ?” Khaulah menjawab : “jika anda mau dengan seorang perawan dan jika anda mau dengan seorang janda.” Nabi SAW, berkata : “Sepakah perawan itu ?“ Khaulah menjawab : “Putri makhluk Allah yang paling anda cintai, Aisyah binti Abu Bakar. Nabi SAW, berkata : “Siapakah janda itu ?” Khaulah menjawab : “Saudah binti Zam’ah. Ia beriman padamu dan mengikutimu dalam mengamalkan’ agamamu. Nabi SAW, berkata : “Pergilah dan pinanglah dia untukku.

 

Kemudian Khaulah pergi dan masuk ke rumah Abu Bakar. Ia menemui Ummu Ruman tbu Aisyah. Khaulah berkata : “Hai Ummu Ruman, kebaikan dan barokah apa yang dimasukkan Allah kepadamu? Ummu Ruman berkata : ““Apakah itu ?” Khaulah menjawab : “Rasulullah SAW, mengirimku untuk meminang Aisyah baginya.” Ummu Ruman berkata : “Saya ingin menunggu Abu Bakar dulu, karena ia akan datang.” Kemudian datang Abu Bakar, talu Khaulah berkata : “Hai Abu Bakar, kebaikan dan barokah apa yang dimasukkan Allah kepadamu ? Rasulullah SAW, mengirimku untuk meminang Aisyah baginya. Abu Bakar berkata : “Apakah Aisyah cocok baginya? Sesungguhnya ia adalah putri saudaranya.” Kemudian aku kembali kepada Rasulullah SAW, dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Nabi SAW, berkata : “Kembalilah dan katakan kepadanya Engkau adalah saudaraku dalam tslam dan Aku adalah saudaramu, sedangkan putrimu cocok bagiku.” Kemudian ia mendatangi Abu Bakar. Abu Bakar berkata : ‘Panggillah Rasulullah SAW, untukku.” Kemudian Rasulullah SAW, datang lalu Abu Bakar menikahkannya.’

 

Dalam riwayat Bukhari : “Ibuku -Ummu Rumandatang kepadaku dan aku sedang di atas bandulan bersama teman-temanku. Ibuku memanggilku, maka akupun datang kepadanya. Aku tidak tahu apa yang ia inginkan dariku. Kemudian ia memegang tanganku hingga menghentikan aku di depan pintu rumah. Akupun gelisah hingga aku merasa agak tenang. Kemudian ibuku mengambil sedikit air, lalu ia mengusapkannya pada muka dan kepalaku. Ternyata ada beberapa perempuan Anshor di dalam rumah. Mereka berkata : “Semoga dalam kebaikan dan barokah serta nasib terbaik.” Ibuku menyerahkanku kepada mereka, lalu mereka meriasku. Tidaklah mengejutkanku kecuali Rasulullah SAW, pada waktu dhuha. Kemudian ibuku menyerahkan aku kepadanya, pada waktu itu aku dalam usia 9 tahun.”

 

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata : Pada suatu hari Rasulullah SAW, berkata: 

 

“Hai Aisyah, Ini adalah Jjibril menyampaikan salam untukumu.”

 

Maka aku menjawab :

 

Nabi SAW, wafat. ketika Aisyah berusia 18 tahun setelah menjalani kehidupan yang penuh dan menghasilkan banyak karya. ia telah hafal banyak hadits dari Rasululah SAW, hingga dikatakan : “Sesungguhnya seperempat hukumhukum syari‘ah diriwayatkan darinya.

 

Ilmu Dan Kedudukkannya Dalam Dakwah

 

Seorang wanita. Anshor datang bertanya kepada Rasulullah SAW, :

 

“Bagaimana wanita bersuci dari haid 2?”

 

Nabi SAW, menjawab :

 

“Ambilah sepotong kain yang diolesi misik lalu usapkan pada bekas darah.”?

 

Wanita itu tidak mengerti, sedangkan Rasulullah SAW, merasa malu, maka Aisyah menariknya dan mengajarinya.

 

Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf bertanya kepada Aisyah : “Apakah yang mewajibkan’ mandi itu ?”

 

Alsyah menjawab : “Tahukah engkau seperti apa perumpamaanmu wahai Abu Salamah ? Seperti anak ayam yang mendengar ayam jantan berkokok, lalu ia ikut berkokok bersamanya. Apabila khitan (kemaluan) melampaui khitan, maka telah wajib mandi.”

 

Abu Musa al-Asy’ari datang kepadanya, lalu berkata : “Aku telah merasakan kesulitan atas perbedaan para sahabat Nabi SAW, mengenai suatu’ perkara, yang aku merasa malu untuk menanyakannya kepadamu.” Aisyah berkata : “Apakah itu ? Tidakkah kau tanyakan hal itu. pada ibumu, sehingga engkau menanyaiku tentangnya.” Abu Musa berkata : “Orang lelaki menggauli istrinya, kemudian ia malas dan tidak keluar mani ?” Aisyah menjawab : “Apabila kemaluan telah melampaui kemaluan, maka telah wajib mandi.”?

 

Aisyah pernah ditanya : “Apakah orang yang puasa boleh mencium istrinya ?” Aisyah menjawab : “Adalah Rasulullah SAW, mencium istrinya dalam keadaan puasa, sedangkan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya di antara kalian.” ?

 

Karya-Karya IImiahnya

 

Aisyah meriwayatkan banyak hal yang baik dari Nabi SAW. Aisyah meriwayatkan dari ayahnya, Umar, Fatimah, Saad bin Abi Waqqash. Hadits yang diriwayatkan Aisyah mencapai sekitar 2210 hadits .

 

Para sahabat yang meriwayatkan darinya ialah Umar dan putranya Abdullah, -Abu Hurairah, Abu Musa, Zaid bin Khalid, Ibnu Abbas, as-Saaib bin Yazid dan lainnya.

 

Yang bukan sahabat adalah saudaranya Ummu Kultsum, Auf Ibnul Harits, al-Qasim dan Abdullah dua putra Muhammad bin Abu Bakar, Sa’id Ibnu Musayyib, Amru bin Maimun, Alqamah bin Qais, -Masrug, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Wa-il dan banyak lagi yang lainnya.

 

Wafatnya

 

Aisyah menyuruh agar ia dimakamkan di al-Baqi’ pada waktu malam. Ibnu Abbas minta izin masuk kepadanya di saat menjelang wafatnya. Aisyah mengizinkannya setelah berpikir sebentar. Di dekatnya ada putra saudaranya Abdullah bin Abdurrahman. Abdullah bin Abbas masuk,,. kemudian memberi salam dan berkata: “Germbiratah wahai  Ummul Mu’min. Setiap kesulitan dan kepayahan akan lenyap darimu dan anda akan berjumpa para kekasih, yaitu Muhammad dan pengikutnya, begitu rohmu meninggaikan jasadmu.” Aisyah berkata: “Dan engkau juga.”

 

Abdullah berkata : “Anda istri yang paling dicintai Nabi SAW, di antara para istrinya, sedangkan beliau tidak mencintai kecuali sesuatu yang baik. Allah menurunkan wahyu tentang kebersihan dirimu dari atas tujuh lapis langit. Kalungmu jatuh di al-Abwa, lalu Allah menurunkan ayat:

 

Maka hal ini merupakan rukhsah bagi manusia seluruhnya melalui anda. Demi Allah sesungguhnya anda penuh berkah.” Aisyah berkata : “Hal Ibnu Abbas, biarkan aku terhadap hal ini. Demi Allah, aku berharap kiranya aku dilupakan sama sekali.”

 

Aisyah wafat pada malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 58 Hijriyah. Ada yang mengatakan tahun 57 Hijriyah, Abu Hurairah mengimami shalat atas Jenazahnya. Yang turun dalam kuburnya adalah lima orang putra saudaranya dan saudara perempuannya Asma’.

 

Pujian Ulama Terhadapnya

 

Hasan berkata mengenai dirinya setelah Allah membersihkannya dari tuduhan dan Rasulullah SAW, melaksanakan hukuman.dera atas penuduhnya :

 

Abdullah bin Ubaiy’ telah merasakan hukuman yang setimpal baginya, begitu pula Hamnah dan Mistah ketika mereka mengatakan di tengah hari

Mereka lontarkan tuduhan kepada istri Nabi mereka, dan mendapat murka Tuhan pemilik Arys yang mulia hingga mereka susah

Mereka sakiti hati Rasulullah SAW, mengenai dia dan menylarkan kejelekan dan kecemaran dan mereka dipermalukan

 

Apabila Marwan menceritakan hadits dari Aisyah, ia berkata : “Diceritakan kepadaku oleh ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq, kekasih dari kekasih Allah.” :

 

Atha’ berkata : “Aisyah, adalah orang yang paling faqih, paling alim, paling baik pendapatnya di antara orang banyak.”

 

Abu Musa al-Asy‘ari berkata : “Tidaklah kami mendapatkan kesulitan dalam satu urusan, lalu kami menanyakannya kepada Aisyah, melainkan kami dapatkan padanya tentang pengetahuan masalah itu.”

 

Az-Zuhri bekata : “Seandainya iimu Aisyah digabung dengan ilmu seluruh Ummul Mu’min dan seluruh wanita, niscaya iimunya lebih baik.”

 

ABDULLAH BIN ABBAS

 

la adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib bin Abdu Manaf putra paman Rasulullah SAW. Kun-yahnya lalah Abul Abbas.

 

Perhatian Nabi SAW, Kepadanya

 

Diriwayatkan dari ibnu Abbas, ia berkata : Diceritakan kepadaku oleh Ummul Fadhl binti al-Harits ia berkata : Di saat aku lewat dan Nabi SAW, berada di al-Hijr, beliau berkata : “Hai Ummul Fadhi.” Aku menjawab : “Labbaik, ya Rasulullah.” Beliau berkata.: “Sesungguhnya engkau sedang mengandung anak laki-laki” aku berkata : “Bagaimana, sedangkan kaum Quraisy telah bersepakat untuk tidak menghamilkan wanita7 Nabi SAW berkata : “ltulah yang aku katakan kepadamu. Apabila engkau melahirkannya, maka bawalah ia kepadaku”. Ketika aku metahirkannya, aku membawanya kepada Nabi SAW dan beliau menamainya Abdullah. Kemudian beliau berkata : “Bawalah dia. Engkau akan mendapatinya seorang yang cerdas.”

 

Ummul Fadht berkata : Aku menemui al-Abbas dan mengabarinya. ia tersenyum. Kemudian ia mendatangi Nabi SAW. Al-Abbas seorang yang tampan dan berperawakan tinggi. Ketika Nabi SAW, melihatnya, beliau berdiri menyambutnya dan mencium di antara dua matanya dan mendudukkannya di sebelah kanannya. Kemudian beliau berkata : “Ini adalah pamanku. Siapa yang mau, hendaklah ia banggakan pamannya.” Abbas berkata : “Ucapkan suatu perkataan, ya Rasulullah. Nabi SAW, berkata : “Mengapa aku tidak mengatakan sesuatu sedangkan engkau adalah pamanku dan sisa bapak-bapakku, sedangkan paman itu seperti ayah,”‘

 

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Jubair dari ibnu Abbas, ia berkata : “Nabi SAW, wafat ketika aku berumur 15 tahun.”?

 

Meskipun usianya masih muda ia mendapat banyak faedah dari pergaulannya dengan Rasulullah SAW, sehingga mengangkat derajatnya, meninggikan namanya dan mengekalkan jejaknya, Yang membantu hal itu ialah adabnya yang banyak serta akhlaknya yang luhur, meskipun Rasulullah SAW, memanjakannya dan saudara-saudaranya dari apa yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnul Harits, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW, menggambarkan tentang Abdullah dan Ubaidillah dan banyak dari anak-anak alAbbas. Beliau berkata :

 

“Siapa yang lebih dulu sampai padaku, ia mendapat begini dan begini.”?

 

Maka mereka berdua berlomba menuju kepadanya hingga terjatuh di atas punggungnya dan dadanya, lalu beliau memeluk dan mencium mereka.

 

Kita bisa melihat fenomena dari adab dan akhlak itu dalam kisah yang diriwayatkannya dari beberapa kejadian bersama Rasulullah SAW.

 

Diriwayatkan darinya, ia berkata : “Aku mendatangi Nabi SAW, yang sedang shalat di akhir malam, lalu aku berdiri di belakangnya. Kemudian beliau memegangku dan menyuruhku berdiri di sampingnya. Ketika beliau meneruskan shalatnya, akupun mundur. Setelah selesai beliau berkata :

 

“Mengapa aku menempatkanmu di sampingku, lalu engkau mundur ?”

 

Aku menjawab :

 

“Tidak patut seseorang shalat di sampingmu sementara anda adalah utusan Allah,” Maka beliau merasa kagum dan mendoakan kepada Allah agar menambahiku pemahaman dan iimu.”

 

Abdullah berkata : “Pada suatu hari Rasulullah SAW, berada di rumah Maimunah’, kemudian aku menyiapkan air wudhu untuknya. Maka beliau berkata :

 

“Ya Allah, jadikan ia pandai agama dan ajarilah dia takwil (tafsir al-Qur’an),”?

 

Diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Abdullah bin Abbas, ia berkata : Nabi SAW, mendekapku kedadanya seraya berkata :

 

“Ya Allah, ajarilah dia alhikmah.”

 

Dalam satu riwayat :

 

“ajarilah dia al-Kitab.”

 

Mencari Ilmu

 

Dari Ibnu Abbas.r.a, ia berkata : Ketika Rasulullah SAW, wafat aku berkata kepada seorang lelaki Anshor : “Hai fulan, marilah kita pergi mencari ilmu, karena para sahabat Rasulullah SAW, masih hidup.” Orang itu berkata : “Sungguh mengherankan, .hai Ibnu Abbas. Engkau Jihat orang-orang membutuhkanmu, sedangkan di antara orangorang .ada sahabat Rsaulullah SAW.” Ibnu Abbas berkata : “Maka kutinggalkan orang itu dan akupun pergi mencari ilmu. :

 

jika ada hadits Rasulullah SAW, yang sampai kepadaku dari seorang sahabat. Rasulullah SAW, yang pernah aku mendengarnya dari Rasulullah SAW, maka akupun mendatanginya dan duduk di dekat pintunya, hingga anginmenerpa wajahku. Kemudian ia keluar menemuiku dan berkata : “Wahai putra paman Rasuluilah SAW, apa sebab engkau datang kemari ? Apa keperluanmu 2° Aku menjawab : “Sebuah hadits yang sampai padaku darimu yang engkau riwayatkan dari Rasulullah SAW.” Orang itu berkata : “Mengapa engkau tidak mengirim orang kepadaku ?” Abdullah menjawab : “Aku lebih pantas untuk datang kepadamu.” Orang Anshor itu tetap di situ hingga orang-orang berkumpul di dekatku, kemudian orang itu berkata : “Pemuda ini lebih bijaksana dari pada aku.”

 

Kita lihat dalam hal itu adabnya yang banyak dan kerendahan hatinya, penghormatannya terhadap ilmu dan pandangannya yang jauh, semangatnya yang besar dalam mencari hadits dan ketidakpedullannya untuk menanggung kesulitan dan kepayahan demi mencapal tujuan itu.

 

Kebutaan Matanya Dan Akhir Hidupnya

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Al-Abbas mengutus Abdullah kepada Rasulullah SAW, untuk suatu keperluan. ia dapati seorang laki-laki bersama Rasulullah SAW, maka ia pulang dan tidak berbicara kepadanya. Nabi SAW, berkata kepadanya :

 

“Apakah engkau melihatnya ?”

 

Abdullah menjawab :

 

“Ya.”

 

Nabi SAW, berkata :

 

“Itu adalah Jibril, Abdullah tidak akan mati hingga lenyap penglihatannya dan diberi ilmunya (yang banyak).”‘

 

Abdullah buta matanya dan ia tetap dalam keadaan itu. hingga wafat tahun 68 Hijriyah setelah melalui kehidupan panjang dan penuh berkah.

 

Muhammad bin Hanafiyah menshalati jenazahnya dan bertakbir empat kali. Ia berkata ; “Hari ini telah wafat Rabbani Umat ini.” ?

 

Jenazahnya dimakamkan di Thaif.

 

Anak-anaknya

 

Ia mempunyai anak bernama Ali, yaitu pemimpin anak-anaknya dan yang paling tampan, paling luhur budinya dan banyak shalatnya. Dan Abbas anaknya yang tertua dan dengan al-Abbas, ia diberi kun-yah (sebutannya Abul Abbas), Muhammad, Ubaidillah dan al-Fadhl.

 

Anak-anak Abdullah bin Abbas yang bernama alAbbas Ubaidillah, al-Fadhl dan Muhammad tidak mempunyai keturunan. Mereka semua laki-laki.

 

Adapun anak-anak perampuannnya ialah Lubabah dan Asma’ dan keduanya mempunyai keturunan. Al-Hakim menyebutkannya dalam al-Mustadrak.

 

Pujian Para Ulama Terhadapnya

 

Dari Mujahid, ia berkata : “Adalah Ibnu Abbas dinamakan al-Bahr (lautan) karena banyak ilmunya.” , Dari ibnul Hanafiyah, ia berkata ; “Adalah tbnu Abbas Habr (orang yang paling alim) dari umat ini.”

 

Abu Bakrah berkata : “Abdullah bin Abbas datang kepada kami di Bashrah. Tiada orang di kalangan bangsa Arab yang seperti dia mengenai tubuhnya, ilmu, ketampanan dan kesempurnaannya.”

 

Diriwayatkan dari Abdul Malik. bin Maisarah, ia berkata : “Aku pernah duduk dengan 70 atau 80 orang alim dari para sahabat Rasulullah SAW, tiada seorangpun yang berbeda dengan Ibnu Abbas, lalu keduanya bertemu, melainkan ia berkata : Pendapat yang benar seperti yang engkau katakan, atau ia berkata: Engkau berkata benar.”

 

Hasit Karyanya Dalam Kehidupan Ilmiyah

 

Ibnu Abbas telah meninggalkan kekayaan berharga berupa hadits-hadits yang diriwayatkan melalui pendapatpendapat ijtihadiyah yang langka dan hasil karyanya yang memberi petunjuk dan ilham..Para pengikut dan muridnya berkumpul di sekitarnya untuk menimba dari ilmunya yang berlimpah dan sumbernya yang sedap.

 

Di antara mereka adalah Mujahid bin Jabr bekas sahaya as-Saalb bin Abi as-Saaib, Sa’id bin Jubair bin Hisyam al-Asadi, al-Atha bin Abi Rabah al-Maliki, Amru bin Dinar, Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Zubair dan lainnya.

 

Dari golongan sahabat adalah Abdullah bin Umar, Anas bin. Malik, Abu Thufai? dan lainnya dari golongan tabi’in dan anak-anak sahabat.

 

JABIR BIN ABDULLAH AL-ANSHARI

 

Ia adalah Jabir bin Abdullah bin Amru bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab bin Ghanam bin Ka‘ab bin Salamah alAnshari. Nasabnya berakhir pada Khazraj. Kun-yahnya Abu Abdillah. Ada yang mengatakan Abu Abdurrahman dan ada yang mengatakan Abu Muhammad.

 

la meriwayatkan dari Nabi SAW, Abu bakar, Umar, Ali, Abi Ubaidah, Thalhah, Mu’adz bin Jabal, Ammar bin Yasir, Khalid Ibnul Walid, Abi Hurairah, Abi Sa’id dan Ummu Syarik.

 

Yang meriwayatkan darinya ialah anak-anaknya, yaitu Abdurrahmaan, dan Agil dan Muhammad, Sa’id Ibnul Musayyib, Mahmud bin Lubaid, Abu Zubair, Amru bin Dinar, Abu Ja’far al-Bagir, Muhammad tbnul Munkadir, Wahb bin Kisan, Said bin Maina’, Hasan al-Bashri, Sa‘id bin Abi Hilal, Sulaiman bin Atiq, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan asySya’bi, Urwah bin Zubair dan Atha’ bin Abi Rabah. Peperangan Yang Ia Ikuti Di Dalamnya

 

Ia ingin ikut perang Badar, namun ayahnya menjadikannya sebagai wakilnya terhadap saudara-saudara perempuannya yang berjumlah sembilan orang. Ayahnya menunjuknya pula sebagai wakilnya ketika keluar menuju Uhud. Ketika ayahnya terbunuh, Nabi SAW, berkata kepadanya :

 

“Mengapa engkau menangis ? tidaklah engkau senang bahwa aku menjadi ayahmu dan Aisyah ibumu ?”

 

Setelah itu ia ikut dalam berbagai peperangan dan ikut dalam Bai’at Aqabah yang kedua bersama 70 orang Anshor yang membai’at Rasulullah SAW, di situ dan waktu itu Ia yang termuda usianya di antara mereka.

 

Ayahnya mempunyal hutang kepada Yahudi Khaibar. Maka Rasulullah SAW, hadir ketika ia melunasi hutangnya dan meletakkan tangannya pada kurma, lalu melunasi hutangnya dan tersisa darinya Jumlah yang mencukupi mereka dalam masa yang Jama.

 

Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ dari Jabir r.a, ia berkata : Kami keluar bersama Rasulullah SAW, dalam peperangan Bani Anmar. Di saat aku duduk di bawah sebatang pohon, tiba-tiba muncul Rasulullah SAW. Aku berkata : “Ya Rasulullah marilah ke tempat yang teduh.” Kemudian Rasulullah SAW, turun. Aku pun menghampiri sebuah wadah makanan milik kami, lalu mencari sesuatu di dalamnya. Aku temukan di dalamnya sebuah ketimun,, lalu aku mematahkannya. Kemudian aku mendekatkannya kepada Rasulullah SAW. Beliau berkata.: ” Dari mana kalian mendapatkan ini ? ” Kami menjawab : “Kamil membawanya dari Madinah, ya Rasulullah. ” Jabir berkata : “Kami mempunyai seorang teman yang kami beri perlengkapan. Ia pergi mengembala hewan tunggangan kami. Kemudian ia pulang di waktu dnuhur dan ia memakai dua baju yang sudah usang.” Rasulullah SAW, memandang kepadanya. Beliau berkata : “Apakah ia tidak mempunyai dua baju selain kedua baju ini.?” Aku menjawab .: “Benar ya Rasulullah, ia mempunyai dua lembar baju di dalam tas kulit.” Aku memberikan kedua pakaian itu kepadanya. Nabi SAW, berkata : “Panggillah dia. Suruhlah dia memakai kedua pakaian itu.” Kemudian orang itu berlalu. Maka Nabi SAW, berkata : “Ada apa dengannya ? Semoga Allah memotong lehernya. Bukankah ini lebih baik baginya ?” Orang itu mendengarnya, lalu berkata : “Ya. Rasulullah, di Jalan Allah.” Nabi SAW, berkata ; “Di jalan Allah.” Ternyata orang itu mati terbunuh di jalan Allah. ‘

 

Jabir telah mengutamakan tempat yang teduh untuk Rasulullah SAW, dan memberikan kepadanya ketimun itu dalam keadaan patah sebagal tambahan dalam adab.

 

Rasulullah SAW, menerimanya dan menanyainya tentang keadaan pelayannya untuk mengetahui kebutuhannya dan memastikan keadaannya. Hal itu menunjukkan sejauh mana ikatan yang tulus antara ia dan Rasulullah “SAW, serta keluarga para syuhada dan bantuannya kepada para pemuda untuk memiliki tanggung jawab dalam situasi ini.

 

Meskipun dibebani tanggung jawab yang berat, Jabir tetap berjuang dalam mengorban jiwa jiwa dan hartanya demi kepentingan agama.

 

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya-? dari Jabir, ia berkata : Ketika hadir dalam perang Khandaq, kulihat Nabi SAW, dalam keadaan sangat lapar. Maka aku kembalj kepada istriku, lalu aku berkata : “Apakah engkau mempunyai sesuatu ? Aku melihat Rasulullah SAW, sangat lapar.” Maka ia mengeluarkan sebuah wadah yang berisi satu sha’ dan kami mempuhyai seekor anak kambing. Kemudian aku menyembelihnya dan istriku menggiling gandum itu. Istriku selesai menggiling gandum bersamaan dengan selesainya aku menyembelih kambing dan aku memotong-motong daging dalam panci. Kemudijan aku pergi kepada Rasulutlah SAW. Istriku berkata : “Jangan mempermalukan aku di hadapan Rasulullah SAW, dan para sahabatnya.”

 

Aku mendatanginya dan berbisik kepadanya. Aku berkata : “Ya Rasulullah, kami telah menyembelih seekor kambing dan menggiling gandum yang ada pada kami. Kemarilah engkau bersama beberapa orang yang ada bersamamu.” Maka Rasulullah SAW, berteriak : “Hai para penggall parit, Jabir telah membuat sesuatu, kemarilah kamu sekalian.* Kemudian Nabi SAW, berkata : “Janganlah kalian turunkan pancimu dan jangan membuat roti dari adonanmu hingga aku datang. “

 

Kemudian aku datang dan Rasulullah SAW, datang mendahului orang-orang hingga aku mendatangi istriku. Ia berkata : “Perhatikan dirimu, perhatikan’ dirimu.” Aku menjawab :; “Aku telah lakukan apa yang engkau katakan.”

 

Maka kukeluarkan adonan tepung baginya, lalu beliau meludahi dan memberkatinya. Kemudian beliau berkata ; “Panggillah pembuat roti. supaya ‘ia membuat – roti bersamamu dan nyalakan api dari pancimu dan jangan menurunkannya.”

 

Mereka berjumlah seribu orang. Aku bersumpah mereka telah makan hingga meninggalkannya dan bubar. Sungguh panci kami tetap mendidih seperti semula dan adonan kami tetap bisa dibuat roti.

 

Kita saksikan dalam kejadian-kejadian itu sifat Jabir ra, yang paling menonjol, yaitu kemurahan hati dan kedermawanan dari satu sisi dan kesabaran dalam menanggung beban-beban kehidupan dari sisi fain. Riwayat-Riwayatnya

 

Jabir termasuk orang-orang ‘yang meriwayatkan banyak hadits. Ia meriwayatkan dari Rasuluilah SAW, 1540 hadits. Yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim ada 60 hadits, yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri ada.26 hadits dan Muslim sendri ada 126 hadits. Ia mempunyai majlis ta’lim di dalam masjid dan diriwayatkan hadits dalam majlis itu. Ia termasuk orang-orang yang berpergian untuk mencari ilmu.

 

Jabir berkata : “Telah sampal padaku sebuah hadits dari seseorang lelaki dari sahabat Rasulullah SAW, maka kubeli seekor unta, lalu kusiapkan . perlengkapanku. Kemudian aku pergi kepadanya selama sebulan hingga aku tiba di Syam, ternyata ia adalah Abdullah bin Unais alAnshari. Ia keluar menemuiku. Kami saling berpelukan. Kemudian aku mendengar hadits tentang madzalim (perampasan hak orang lain).

 

Ia pergi ke Mesir di masa Maslamah bin Makhlad. Wafatnya .

 

Aban bin Utsman mengirim surat kepada anak-anak Jabir, ia berkata : “Apabila ayah kalian meningga! dunia, janganlah kalian menguburnya hingga aku menshatatinya.” Ketika Jabir wafat, Aban datang, Jalu menshalatinya.

 

Jabir wafat tahun 77 Hijriyah dalam usia 94 tahun. ia adalah sahabat terakhir yang wafat di Madinah menurut pendapat yang lebih shahih.

 

Isnadnya yang paling shahih ialah yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir, yaitu dari jalan penduduk Makkah.

 

ABU SA’ID ALKHUDRI

 

la adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa‘labah bin Ubaid bin Ibnul Abhar -namanya Khudrahbin Auf Ibnul Harits Ibnul Khazraj al-Anshari dan kun-yahnya : AbuSa’ad.

 

Ia meriwayatkan dari Nabi SAW, dan meriwayatkan dari ayahnya dan saudara lelakinya yang seibu. Juga dari Qatadah bin Nu’man, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit, Abi Qatadah al-Anshari, Abdullah bin Salam, Usaid bin Hudhair, Ibnu Abbas, Abi Musa al-Asy‘ari, Mu’awiyah dan Jabir bin Abdullah. Semoga Allah meridhoi mereka semua,

 

Yang meriwayatkan darinya’ ialah putranya Abdurrahman dan istrinya Zainab binti Ka‘ab bin ‘Ujrah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir, Zaid bin Tsabit, Mahmud bin Lubaid, Said Ibnul Musayyib, Amir bin Sa’ad, Amru bin Sulaim, Nafi’ bekas sahaya Ibnu Umar, Abu Nadrah al-Abdi, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf -Semoga Allah meridhoi merekadan selain mereka. Peperangan-Peperangan Yang Di Hadirinya

 

Ayahnya mengajukannya kepada Nabi SAW, pada perang Uhud di saat itu ia berusia 13 tahun. Ayahnya memegangi tangannya seraya berkata : “Yq Rasulullah, sesungguhnya ia mempunyai tulang-tulang yang besar.” Nabi SAW, terus menatapinya. Kemudian beliau berkata kepadanya : “Kembalikanlah’ dia.” Maka ayahnya mengembalikannya. Ketika terjadi kekalahan di perang Uhud, mereka mendengar musibah yang menimpa Nabi SAW. Maka Abu Sa‘id datang bersama anak-anak muda dari sukunya mengharapkan keselamatannya. Ketika Rasulullah SAW, berjumpa dengannya, Nabi berkata kepadanya : “Abu Said”, aku katakan : “Ya Ayah dan ibumu menjadi tebusanmu.” Kemudian aku mendekat darinya, falu kuclum dua lututnya di saat beliau berada di atas kudanya. Nabi SAW, berkata : “Semoga Allah memberimu pahala mengenai ayahmu.”

 

Kemudian aku memandang wajahnya. Ternyata pada kedua pipinya terdapat luka sebesar uang dirham dan luka pada dahinya. Bibirnya bagian bawah berdarah dan gigi gerahamnya yang sebelah kanan retak dan pada lukanya tampak sesuatu yang hitam. Ia menanyakan tentang hal itu dan merekapun mengabarinya, kemudian ia kembali kepada keluarganya dan mengabari mereka tentang keselamatan Rasulullah SAW, maka mereka bersyukur kepada Allah atas keselamatannya.

 

Abu Sa’id al-Khudri ikut dalam perang Khandak dan perang-perang sesudahnya. Ia termasuk orang-orang yang membai’at Rasulullah SAW, dengan janji untuk tidak memperdulikan celaan orang dalam membela agama Allah.

 

Ia tiba di Mada-in di zaman Hudzaifah dan bertempur bersama Ali r.a, dalam melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

 

Keberaniannya

 

Abu Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW, bersabda :

 

“Janganlah seseorang dari kamu terhalang oleh penentangan dari orang-orang untuk menyatakan kebenaran bila ia melihatnya atau mengetahuinya.”

 

Abu Sa‘id berkata : “Perkataan itu telah mendorongku untuk pergi kepada Mu’awiyah dan’ berkata . “Mengapa kalian mengambil sadaqah dengan cara yang tidak semestinya, Kemudian memberikannya kepada orang yang tidak berhak atasnya ? Mu’awiyah menjawab : “Diamlah, hai Aba Sa’id.” Aku berkata : “Mengapa kalian mempunyai banyak anak, namun mmeleblhkan sebagian anak atas sebagian yang lain ? Padahal Allah berwasiat kepada kalian mengenai anak-anak kalian : 

 

“Anak lelaki mendapat dua kali bagian anak perempuan ?”

 

Abu Said berkata : “Kemudian Mu’awiyah memanggil penulisnya dan menulis surat ke berbagai wilayah untuk menyampaikan hal itu dan melarang.melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain.”

 

Cuplikan Dari Riwayat Hidupnya

 

Diriwayatkan dari Abi Sa’id, ia berkata : Ayahku mati syahid dalam perang Uhud dan meninggalkan kami tanpa harta. Kami mengalami kesulitan besar. Maka ibuku berkata kepadaku : “Hai anakku, pegilah kepada Rasulullah SAW, dan mirntalah sesuatu kepadanya bagi kita.” Kemudian aku datang, lalu memberi salam dan duduk di saat beliau sedang duduk bersama para sahabat.” Beliau menyambutku dengan perkataannya

 

“Sesungguhnya siapa ysng merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya. Dan siapa yang memelihara diri, maka Allah akan memeiiharanya.”‘

 

Maka aku berkata : “Beliau maksudkan diriku. Kemudian aku pergi dan tidak berbicara kepadanya sedikitpun. !buku berkata kepadaku : “Apa yang engkau lakukan ?” Maka aku ceritakan kepadanya_ kejadian itu. Ternyata Allah menjadikan kami sabar dan memberi kami rezeki.

 

Dikemudian hari, kami mengalami kebutuhan yang lebih besar daripada itu. Kemudian aku datang untuk meminta kepada Rasulullah SAW, yang sedang duduk bersama para sahabat. Beliau menyambutku dengan perkatan yang dulu dan menambahkan :

 

“Dan siapa yang meminta, sedang ia mempunyai harta senilai satu ugiyah, maka ia pun mendesak .dalam permintaannya.”

 

Aku berkata :.”Untaku al-Yaqutah lebih baik daripada ugiyah. Maka akupun kembali dan tidak memintainya. Demi Allah, aku tidak kembali kepada Nabiyullah SAW, untuk meminta sesuatu. di saat mengalami kebutuhan hingga dunia (harta benda) datang kepada kami dan memecah belah atau menghanyutkan kami, kecuali orang yang dilindungi Allah.”

 

Pada waktu perang al-Harrah ia memasuki sebuah gua. Kemudian lelaki dari Syam ditunjukkan kepadanya. Ketika orang Syam itu sampai di pintu gua, ia berkata kepada Abu sa‘id : “Keluarlah kepadaku.” Abu Sa’id berkata : “Tidak. Dan jika kamu masuk kepadaku, aku akan membunuhmu.” Kemudian orang Syam itu masuk. Lalu Abu said meletakkan pedangnya dan berkata :

 

“Aku ingin engkau menanggung dosaku hingga engkau menjadi penghuni neraka dan itulah balasan untuk orang-orang yang zhalim.”(Q.S. Al-Maidah : 29).

 

Orang itu berkata : Engkau Abu Sa’id ? Abu Sa‘id tnenjawab : “Ya.” Orang itu berkata : “Mohonkan ampun bagiku, semoga Allah mengapunimu dosamu.”

 

Beberapa orang penduduk Syam masuk kepadanya, lalu mencabut janggutnya dan memukulinya, serta merampas isi rumahnya.

 

Riwayatnya Dan Sistemnya Dalam Meriwayatkan Hadits

 

Meskipun mengalami penderitaan dan kesulitan datam hidupnya serta memikul tanggung jawab yang berat namun banyak hadits yang diriwayatkan darinya hingga melampaui seribu. Para muhaddits telah meriwayatkan 1170 hadits darinya. Bukhari dan Muslim bersamaan meriwayatkan 46 hadits di antaranya. Bukhari sendiri meriwayatkan 16 hadits dan Muslim sendiri meriwayatkan 52 hadits.

 

Ia berkata : “Sampaikanlah hadits, karena hadits itu sebagiannya mengingatkan sebagian yang Iain.”

 

Tiada sahabat muda yang lebih pandai atau lebih alim dari pada dia. Abu Sa’id seorang yang teliti dalam menyampaikan hadits.

 

Pada suatu hari ia menyampaikan sebuah hadits, kemudian seorang lelaki berkata kepadanya : “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah SAW.” Maka Abu Sa’id sangat marah, kemudian ia berkata : “Apakah aku menyampaikan kepadamu hadits yang tidak aku dengar? Barangsiapa berdusta kepada Rasulullah SAW, maka didirikan baginya atau ia menempati tempatnya di neraka.”

 

Abu Sa’id mengajarkan al-Qur’an kepada orang-orang sebanyak lima ayat di waktu pagi dan lima ayat di waktu sore.

 

Dikatakan kepadanya : ‘“sesungguhnya engkau menceritakan kepada kami hadits-hadits yang mengagumkan dan kami takut hadits itu akan bertambah atau berkurang. Bagaimana jika kami menulisnya ?” Abu Said menjawab : “Kalian tidak akan menulisnya dan tidak akan menjadikannya al-Qur’an. Akan tetapi hafalkan dari kami sebagaimana kami menghafalnya.” Kemudian ia berkata sekali lagi : ‘“Ambillah sebagaimana kami mengambilnya dari Rasulullah SAW.”

 

Wafatnya

 

Diriwayatkan dari Abdurrrahman putranya, ia berkata : Ayahku berkata kepadaku : “Aku sudah tua dan para temanku serta jama’ahku telah habis. Peganglah tanganku.” Beliau berpegang padaku hingga tiba di ujung Baqi’ di tempat yang belum ada orang di situ.

 

Ia berkata : “Hai anakku, apabila aku meninggal kuburkanilah aku di sini.. Jangan kau pasang tenda dj atasku, jangan membawa api bersamaku, janganiah beritahukan kepada seorangpun tentang penguburanku. Bawalah aku melalui jalan yang tidak pernah dilewati dan berjalaniah dengan cepat.”

 

Beliau meninggal pada hari Jum‘at, maka aku tidak suka memberitahukannya kepada orang-orang, karena beliau melarangku. Orang-orang berkata : “Kapan kalian mengeluarkannya” Aku menjawab : “Jika aku selesai mengurusinya, aku akan mengeluarkannya.” Maka al-Baqi’ penuh dengan orang-orang.

 

Dirlwayatkan dari Raja’ bin Rabi’ah, Ia berkata : Kami berada di tempat Abi Sa’id di waktu sakitnya yang menyebabkan wafatnya. Keadaannya payah dan ia mengalaml pingsan, ketika sadar, kami berkata : “‘Kerjakanlah shalat ! Hai Aba Sa’id.” Ia berkata : “Telah cukup bagiku shalat yang telah aku kerjakan.” Kemudian ia diletakkan di belakang beberapa orang sahabat dan berkata : “fJanganlah kalian dikalahkan anak Abi Sa’id. Apabila aku meninggal dunia, kafanilah aku dalam bajuku yang aku pakai untuk shalat dan menyebut nama Allah. Di dalam rumah terdapat selembar baju. Qibtiyah, maka kafanilah aku di dalamnya …… hingga akhir wasiatnya.

 

Di antaranya ia berkata : “Janganlah aku diikuti oleh wanita tukang ratap. Apabija kalian memikulku, maka cepatkanlah jalan kalian.”

 

Ketika mereka keluar membawa jenazahnya, al-Baqi’ penuh dengan orang-orang.

 

Abu Sa’id wafat pada tahun 74. Hijriyah setelah menjafani kehidupan yang panjang di mana iilmu bercampur dengan amal, jihad bercampur dengan istirahat, kemiskinan bercampur dengan kekayaan, kesabaran bercampur dengan rasa syukur. Di samping itu semua kehidupannya diliputi iman yang dalam dan kebenaran yang murni.

 

Semoga Allah merahmati Abu Sa’id dan memberi kita taufik untuk mengikuti jejak-jejaknya dan para sahabat lainnya.

 

Semoga Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.

 

At-Taabi’in ialah orang yang berjumpa sahabat, beriman kepada Nabi SAW, dan wafat sebagai muslim. Alt Khatib al-Baghdadi berpendapat bahwa disyaratkan adanya pergaulan taabi’iy itu dengan sahabat Nabi SAW, tidak cukup hanya sekedar bertemu.

 

Al-Hafidh Ibnu. Katsir berkata : “Mereka tidak menganggap cukup sekedar melihat sahabat Nabi SAW, sebagaimana mereka menganggap cukup penamaan orang yang bertemu Nabi SAW, sebagai . sahabatnya ‘ Perbedaannya ialah keagungan dan kemuliaan yang disebabkan melihat Nabi SAW.”

 

Akan tetapi sebagian besar muhaddits berpendapat bahwa at-Tabi’iy ialah orang yang berjumpa sahabat Nabi SAW, dalam keadaan beriman, meskipun tidak bergaul dengannya dan tidak meriwayatkan hadits darinya sebagaimana pendapat itu didukung oleh Ibnu Sholah dan lainnya.

 

Al-Qur’an telah memuji para tab’in dengan penilaian atas keseluruhan mereka dalam firman Allah Ta’ala :

 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikutt mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)

 

As-Sunnah bersaksi untuk mereka dari sabda Nabi SAW, :

 

“Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang muncul setelah mereka.”’

 

Dan sabda Nabi SAW, :

 

“Beruntunglah siapa.yang melihatku dan beriman kepadaku. Dan beruntunglah orang yang melihat orang yang melihatku”.

 

Di antara para tabi’in ada yang mendapati zaman jahiliyah dan zaman Nabi SAW, kemudian masuk Islam di masa hidup Nabi SAW, dan tidak melihatnya. Mereka ini disebut Mukhadram (yang mendapati dua masa). Muslim telah menghitung dari mereka sekitar 20 orang. Di antara mereka adalah Abu Amru asy-Syaibani dan Suwaid bin Ghafalah.

 

. Jumlah tabi’in tak terhitung banyaknya. Mereka adalah tingkatan-tingkatan yang mencapai 15 tingkatan. Para imam Islam telah sepakat bahwa akhir masa tabi’ly . adalah batas tahun 150 Hijriyah dan tahun 220 Hijriyah adalah akhir masa taabi’ tabi’in. Mereka berselisih tentang siapa tabi’ily yang paling utama. Ada beberapa pendapat :

 

Pertama : Ia adalah Sa’‘id Ibnul Musayyib dan ini adalah pendapat penduduk Madinah.

 

Kedua : Ia adalah al-Hasan al-Bashri dan ini adalah pendapat penduduk Bashrah.

 

la adalah al-Hasan bin ‘Abil Hasan Yasar al-Bashri. Imam. yang masyhur dan disepakati umat tentang keagungannya dalam setiap ilmu. Ia adalah seorang yang alim, tinggi kedudukannya, faqih, dapat dipercaya dan jujur serta ahli ibadah.

 

Ketiga: Ada yang mengatakan Uwais al-Qarani. ini adalah pendapat para ulama Kufah. tbnu Sholah menyetujuinya. Al-‘Iraqi berkata : [tulah pendapat yang tepat berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya ‘ dari. Umar. bin Khattab, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah.SAW, bersabda :

 

“Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang lelaki bernama Uwais…”. Hadits ini menyelesaikan perselisihan.?.

 

Uwais bin Amir al-Qarani. adalah pemimpin para tabi’in dan termasuk auliya Allah yang selalu berkata benar, yang zahid dan arif billlah. Nabi SAW, telah menyuruh Umar dan Ali apabila berjJumpa dengan Uwals agar meminta doa darinya. Adz-Dzahabi menyebutkan dalam Mizan ‘: “la ditemukan tewas terbunuh dalam barisan Allkarramallaahu wajhahu dalam perang shiffin pada tahun 36 Hijriyah,” demikian disebutkan dalam Lisanul Mizan oleh Ibnu Hajar.

 

Keempat : Bahwa ia adalah Atha’ bin Abi Rabah alMaliki al-Qurasyf. Ini adalah pendapat ulama Makkah. Atha’ adalah Imam kota Makkah dan muftinya yang masyhur dan disepakati oleh para ulama tentang keagungan dan keimamannya. Ketika Abdullah bin Umar datang ke Makkah dan mereka menanyainya tentang beberapa masalah, ia menjawab : “Kalian mengumpulkan masalah-masalah bagiku, sedang di antara kalian ada ibnu Rabah. ia telah menunaikan haji sebanyak 70 kali. Asy-Syafi’l berkata : “Tidak ada seorangpun di antara para tabi’in yang lebih banyak mengikuti hadits daripada Atha’. Bellau wafat pada tahun 115 Hijriyah.” Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib ? oleh an-Nawawi dan Ibnu Hajar.

 

Pemimpin tabi’in dari kaum wanita adalah Hafshah binti Sirin. Ia seorang tsiqah dan hujjah. tyas bin Mu’awiyah berkata : “Aku tidak mendapati seorang yang lebih aku utamakan daripada Hafshah.” Ibnu Abi Daud berkata : “la telah hafal al-Quran dalam usia 12 tahun dan wafat tahun 101 Hijriyah dalam usia 70 tahun. Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib? oleh ibnu Hajar.

 

Dan Ummu Darda’ as-Sughra. Namanya Hujaimah. Ia adalah istri Abi Darda’, yang meminta kepada suaminya agar bisa menjadi istrinya di akhirat, maka ia berwasiat kepadanya agar tidak kawin sesudahnya. Setelah suaminya wafat, Mu’awiyah meminangnya, namin ia tidak mau. Ummu Darda’ adalah wanita yang banyak beribadah dan wafat sesudah tahun 81 Hijriyah. Demikian disebutkan dalam Tahdzib tbnu Hajar.’

 

Amrah binti Abdurrahman bin Sa‘ad bin Zurarah al-Anshariyah al-Madaniyah. !a seorang wanita yang alim, mulia dan dapat dipercaya. !a diasuh oleh Sayyidah Aisyah. Umar bin Abdul Aziz berkata : “Tiada seorangpun yang lebih mengetahui tentang hadits Aisyah daripada Amrah. Syu’bah berkata : “Abdurrahman Ibnul Qasim menanyainya tentang hadits Aisyah.” Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepada Ibnu Hazm meminta darinya agar menulis baginya hadits Amrah. Amrah wafat pada tahun 106 Hijriyah dan ada yang mengatakan 108 Hijriyah dalam. usia 77 tahun. Demikian disebutkan dalam: Tahdzib Ibnu Hajar?

 

Tujuh Tokoh Tabi’in Ahli Fiqh Di Hijaz Adalah :

 

  1. Sa’id ibnu Musayyib bin Hazn al-Quraisyi al-Makhzumi. Ayahnya al-Musayyib dan kakeknya Hazn adalah dua orang sahabat Nabi SAW, masuk islam’ pada hari penaklukan Mekah. ia dipanggil al-Musayyab atau alMusayyib. Yang masyhur adalah al-Musayyab. Akan tetapi ia lebih suka dipanggil : al-Musayyib, sebagaimana diriwiyatkan darinya.

 

Para Ulama sepakat atas keagungan dan keimamannya serta keunggulannya atas para ulama di masanya dalam bidang ilmu dan keluhuran budi serta macam-macam kebaikan lainnya.

 

la adalah pemimpin penduduk Madinah di zamannya yang diutamakan atas mereka dalam bidang pemberian fatwa. Ia digelari : Faqihul Fuqaha (faqih di atas semua faqih). Hampir setiap memberi fatwa ia mengatakan : “Ya Allah,. selamatkan aku dan selamatkan (orang-orang) dariku.”

 

la adalah orang yang paling dapat dipercaya mengenai Abu Hurairah, Saild Ibnul Musayyib adalah suami putri Abu Hurairah.

 

Ahmad berkata : “Sa’id adalah seorang yang shalih.” Ia tidak mengambil pemberian, tetapi bekerja dengan berdagang minyak. Ia telah menunaikan haji sebanyak 40 ‘kali dan wafat tahun 93 Hijriyah di Madinah. Ada yang mengatakan : tahun 94 Hijriyah.

 

Tahun ini dinamakan (Tahun Fuqaha)) lantaran banyak fuqaha wafat dalam tahun ini. Demikian disebutkan dalam Tahdzib an-Nawawi dan Ibnu Hajar.’

 

  1. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq.

 

Malik berkata : “Ia termasuk Fuqaha umat ini.” Yahya bin Sa’id berkata : “Kami tidak mendapati seorangpun di Madinah yang kami utamakan daripada dia.”

 

Abuz Zinad berkata : “Tidaklah kulihat orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah dan lebih tajam pikirannya daripada dia.” Al-Qasim wafat pada tahun 106 Hijriyah. Ada yang mengatakan 112 Hijriyah. Dalam usia 70 tahun, demikian disebutkan dalam Tahdzib Ibnu Hajar

 

  1. Kharijah bin Zaid bin Tsabit al-Anshari.

 

Ia seorang Imam yang menonjol dalam bidangnya. Para ulama sepakat atas penilaiannya sebagal orang yang dapat dipercaya dan atas keagungannya.

 

Mush’ab Az-Zubairi berkata : “Adalah Kharijah dan Thalhah bin Abdullah bin Auf membagi warisan-warisan dan menulis ar-raqaa-iq (ucapan-ucapan yang dapat melembutkan hati) dan orang-orang berpegang pada pendapat keduanya. ”

 

Ia wafat di Madinah pada tahun 100 Hijriyah. Ada yang mengatakan 99 Hijriyah. Dalam usia 70 tahun. Demikian disebutkan dalam Tahdzib an-Nawawi dan Ibnu Hajar.

 

4, Urwah bin az-Zubair Ibnul’ Awwan al-Asadi. Ibnu Uyainah berkata : “Orang-orang yang paling mengetahui hadits Aisyah ada tiga, yaitu Urwah, al-Qasim dan Amrah.”

 

Urwah berkata tentang dirinya ; “Empat atau lima tahun sebelum Aisyah wafat, aku berkata dalam diriku : “Seandainya ia wafat hari ini, aku tidak menyesal atas suatu hadits padanya, melainkan aku telah mendengarnya.”

 

Urwah seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, faqih, alim, jujur dan teliti. Sifat-sifat baiknya banyak dan masyhur.

 

Para ulama sepakat atas keagungannya, derajatnya yang tinggi dan ilmunya yang banyak. ta wafat tahun 94 Hijriyah. Ada yang mengatakan 99 Hijriyah dan ada yang mengatakan selain itu. Dalam usia 76 tahun. Demikian disebutkan dalam Tahdzib? an-Nawawi dan Ibnu Hajar.

 

  1. Sulaiman bin Yasar al-Hilali bekas sahaya Maimunah.

 

Adalah Ibnul Musayyib berkata kepada orang yang menanyainya : “Pergilah kepadanya, karena ia adalah orang yang paling alim pada hari ini.” .

 

Ibnu Sa‘ad berkata : Ia seorang yang tsiqah, alim, tinggi kedudukannya, faqih dan banyak haditsnya.

 

Mereka sepakat atas keagungannya, ilmunya yang banyak dan ibadahnya. Ia wafat pada tahun 109 Hijriyah. Dalam usia 73 tahun. Demikian disebutkan dalam Tahdzib an-Nawawi dan Ibnu Hajar.

 

  1. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud.

 

Ia seorang yang alim. Para ulama sepakat atas keagungan dan keimamannya. Ia seorang terkemuka dan diunggulkan dalam bidang figih serta penyair yang baik.

 

Ibnu Abdil Barr berkata : “Menurut pengetahuanku tidak ada sesudah zaman sahabat hingga hari ini seorang faqih yang lebih pandai bersyair dan seorang penyair yang lebih faqih daripada dia.”

 

Az-Zuhri berkata : “Aku tidak pernah duduk dengan seorang alim yang cakap, melainkan kulihat diriku telah mendapatkan semua yang ada padanya, kecuali Ubaidillah ini, karena tidaklah aku mendatanginya, melainkan kulihat padanya iimu yang baru.”

 

Ia adalah guru Umar bin Abdul Aziz dan wafat pada tahun 99 Hijriyah. Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib ‘ oleh an-Nawawi.

 

  1. Yang ketujuh masih dipersoalkan. .

 

Ada yang mengatakan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab.

 

Malik berkata : “Tidak ada di zamannya orang yang lebih menyerupai orang-orang shalih yang terdahulu dalam hal zuhud, keutamaan dan kehidupan daripada dia.”

 

Sebagian ulama menyamakannya dengan al-Qasim dan Ali Ibnul Husein sebagai orang-orang yang mengungguli penduduk Madinah dalam hal ilmu ketakwaan, ibadah dan kewara’an. Ia adalah Imam yang disepakati oleh para ulama tentang keagungan, kezuhudan dan kedudukannya yang tinggi. Ia banyak meriwayatkan hadits.

 

Ayahnya Abdullah bin Umar menemuinya, falu menciumnya dan berkata : “Tidakkah kalian merasa heran terhadap seorang syeikh yang mencium seorang syeikh.”

 

Ia wafat pada tahun. 106 Hijriyah di Madinah. Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib’ oleh an-Nawawi.

 

Ada yang mengatakan Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf. Ia seorang yang faqih, meriwayatkan banyak hadits. Para ulama sepakat atas keagungan dan keimamannya, derajatnya yang agung dan kedudukannya yang tinggi.

 

Malik berkata : “Di kalangan kami ada beberapa orang dari ahli ilmu yang nama salah seorang dari mereka adalah kun-yahnya, di antara mereka adalah Abu Salamah.”

 

Ia wafat pada tahun 94 Hijriyah di Madinah. Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar.

 

Ada yang mengatakan Abu Bakar bin Abdurrahman Ibnul Harits bin Hisyam.

 

Ia dijuluki Rahib Quraisy, karena banyak shalatnya. Ia seorang yang buta yang dapat dipercaya, alim, berakal, dermawan dan meriwayatkan banyak hadits.

 

Ibnu Khirasy berkata ; “Abu Bakar ini adalah salah seorang imam muslimin.”

 

Ia berkata : “Abu Bakar dan saudara-saudaranya, yaitu

 

Umar, ikrimah dan Abdullah adalah anak-anak Abdurrahman Ibnul Harits semuanya dapat dipercaya lagi agung dan mereka di jadikan contoh. Ia wafat di Madinah pada tahun 94 Hijriyah, yaitu Tahun Fuqaha.” Demikian disebutkan dalam at-Tahdzib oleh ibnu Hajar.

 

Para ulama int semuanya adalah anak-anak para sahabat, kecuali Sulaiman. Ayahnya Yasar bukan sahabat Nabi SAW. –

 

Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Utbah dan Abdurrahman Ibnul Harits termasuk sahabat-sahabat kecil.

 

Fuqaha yang tujuh ini telah dibuatkan nadhomnya oleh al-‘Allaamah Muhammad bin Yusuf al-Khadiri al-Halabi yang wafat pada tahun 614 Hijriyah sebagaimana yang disebutkan oleh as-Sakhawi dalam Fathul Mughits’ dan al-Laknawi dalam al-Fawaald ‘al-Bahiyyah fii Taraajim al-Hanafiiyah’, ia berkata :

 

Setiap orang yang tidak mengikuti para imam, maka pembagiannya tidak adil dan keluar dari kebenaran Maka ikutilah mereka, yaitu Ubaidillah, Urwah, Qasim, Sa’id, Abu Bakar, Sulaiman, Kharijah

 

Kitab-kitab hadits terdiri dari tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda. Asy-Syeikh al-lmam Ahmad yang terkenal dengan nama Syah Waliyullah ad-Dahlawi membaginya menjadi beberapa tingkatan-tingkatan sebagai berikut :

 

Tingkatan pertama : Kitab-kitab yang mengumpulkan antara hadits-hadits shahih dan masyhur dan terbatas menurut penyelidikan pada tiga kitab, yaitu alMuwaththa’, Shahih Bukhari dan Shahih Musiim.

 

Tingkatan kedua : Kitab-kitab yang tidak mencapai derajat al-Muwaththa’, dan Shahihain tetapi berada di bawahnya. Para pengarangnya dikenal sebagai tsigat, adil dan luas pengetahuannya dalam ilmu hadits dan hafalan. Mereka tidak suka menggampangkan dalam kitab-kitab mereka mengenai hal-hal yang mereka syaratkan atas diri mereka dan para ulama sesudah mereka menerimanya. Para muhaddits dan fuqaha tingkatan demi tingkatan memperhatikannya dan tersohor di antara orang-orang. Para ulama berpegang dengan menjelaskan bagiannya yang rumit dan menyelidiki orang-orangnya serta menyimpulkan pengertiannya.

 

Kebanyakan ilmu adalah berdasarkan hadit-hadits seperti itu, seperti Sunan Abi Daud, Jami’ at-Tarmidzi dan Sunan an-Nasa’iy.

 

Tingkatan ketiga : Kitab-kitab yang mengumpulkan antara hadits shahih, hadits hasan, hadits dilo’if, hadits ma’ruf, hadits gharib, hadits syadz, hadits munkar, yang salah dan benar, yang tsabit dan maqlub. Kitab-kitab itu tidak masyhur seperti kitab-kitab di atas, meskipun sebutan kemungkaran mutlaknya telah hilang darinya.

 

Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh para fuqha tidak banyak beredar dan keshahihannya sesta kelemahannya tidak banyak diselidiki oleh para muhaddits dan di antaranya ada yang tidak digunakan oleh para ahli bahasa untuk menjelaskan sesuatu yang rumit. Kitab-kitab itu tetap tersembunyi, seperti Musnad Abu Ya’la, Mushannaf Abdur Razzq, Mushannaf Abu Bakar. bin Syaibah, Musnad Abdun bin Humaid, Musnad ath-Thayalisi, Kitab-kitab alBathagi, ath-Thahawi ath-Thabrani.. Tajuan mereka adalah mengumpulkan apa yang mereka dapati, bukan meringkas, mengoreksi dan mendekatkannya kepada pengamalan.

 

Tingkatan keempat : Kitab-kitab. yang setetah masa yang lama para pengarangnya bertujuan mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam dua tingkatan pertama dan hadits-hadits ini terdapat dalam kitab-kitab kumpulan hadits. dan musnad-musnad yang tersembunyi, lalu mereka menyiarkannya: Hadits-hadits. itu tersiar melalui orang yang haditsnya tidak ditulis oleh para muhaddits, seperti banyak para penasihat yang memaksa memfasihkan ucapannya dan para pengikut aliran-aliran serta orang-orang yang dlo’if atau berasal dari atsar-atsar para sahabat dan para tabi‘in atau khabar-khabar Bani Israiil atau perkataan para hukama yang dicampur oleh para rawi dengan hadits Nabi SAW, karena lupa atau dengan sengaja atau berasal dari kandungan al-Qur’an dan hadits. Maka semua itu diriwayatkan oleh orang-orang shalih yang tidak mengetahui seluk beluk riwayat hingga mereka jadikan makna-makna itu sebagai hadits-hadits yang marfu’. Atau merupakan maknamakna yang dimengerti berdasarkan petunjuk-petunjuk alKitab dan as-Sunnah yang mereka jadikan sebagai haditshadits tersendiri secara sengaja.

 

Atau merupakan kalimat-kalimat yang bermacammacam dalam berbagai macam hadits yang mereka jadikan sebuah hadits dengan satu susunan.

 

Hadits-hadits. semacam ini banyak terdapat dalam kitab adl-Diua’afaa oleh Ibnu Hibban, al-Kamil oleh Ibnu Adiy dan kitab-kitab al-Khatib, Abi Nu‘aim, al-Juzaqani, Ibnu Asakir, Ibnu Najjar dan ad-Dailami.

 

Yang terbaik dari tingkatan ini adalah bilamana dlo’if dan mengandung kemungkinan dlo’if, sedangkan yang terburuk adalah yang maudlu’ atau maqiub dan mengandung kemungkaran yang sangat. Tingkatan ini adalah materi dari kitab al-Maudhu‘at oleh Ibnu Jauzi.

 

Adapun tingkatan pertama dan kedua, maka keduanya diandalkan oleh para muhaddits.

 

Adapun tingkatan ketiga maka tidaklah mengkajinya untuk diamalkan dan digunakan sebagai hadits, kecuali oleh para pakar dan kritikus yang hafal nama-nama dari orangorang dan cacat-cacat dari hadits. Ya, boleh jadi apa yang diambil darinya sebagai mutaabl’ dan syaahid:

 

Adapun tingkatan keempat, maka tiada yang mengandalkannya dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang hadits Nabawi. hadits-hadits macam ini adalah sumber bagi golongan-golongan ahli bid’ah dari kaum rafidhah dan mu’tazilah.

 

Mereka mengandalkannya dengan menggunakannya sebagai dalil untuk membenarkan mazhab-mazhab mereka.

 

Akan tetapi pembelaan diri dengan hadits-hadits itu tidak benar dalam petarungan di antara Ulama ahli hadits.

 

Sebagaimana tingkatan kitab hadits itu ada beberapa tingkatan, begitu pula kitab hadits banyak macamnya.

 

Di antaranya kitab-kitab shahih, al-Jaami’, al-Musnad, al-Mu’jam, al Mustadrak, al-Mustakhraj, kitab al-Ajzaa’ dan as-Sunan.

 

Adapun kitab-kitab shahih adalah kitab yang khusus memuat hadits-hadits shahih dan meliputi Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab shahih lainnya .

 

Adapun kitab al-Jaami’ adalah kitab yang berisi semua bab ilmu yang telah disepakati oleh para Ulama, yaitu aqaid, hukum-hukum, etika, adad-adab makan dan minum, bab tafsir, tarikh dan siirah, bab bepergian, berdiri dan duduk dan dinamakan juga dengan bab asy-Syamaa-il, bab al-Fitan dan di akhirnya bab al-Manaqib (sifat baik) dan al-Matsaalib (sifat tercela).

 

Adapun kitab-kitab al-Musnad adalah kitab yang memuat hadits-hadits menurut ‘nama-nama para sahabat ‘seperti musnad imam Ahmad bin Hanbal.

 

Adapun kitab-kitab al-Mu’jam adalah kitab yang memuat hadits-hadits menurut nama-nama para syeikh atau negeri-negeri atau suku-suku yang disusun menurut huruf-huruf hija’. Kitab al-Mu’jam yang termasyhur adalah Mu’jam ath-Thabrani, al-Kablir, al-Mutawassith dan ash-Shaghir.

 

Adapun kitab-kitab al-Mustadrak adalah kitab yang di dalamnya dikemukakan hadits yang melengkapi hadits yang tidak tercantum dalam kitab pengarangnya menurut syaratnya. Yang termasyhur adalah kitab Mustadrak alHakim ‘alaa ash-Shahihain. Adz-Dzahabi telah meringkasnya dan mengomentarinya. Tidak semua komentar adz-Dzahadi bisa diterima, tetapi banyak darinya yang periu ditinjau.

 

Adapun kitab-kitab al-Mustakhraj adalah bila muhaddits mengelyarkan hadits-hadits dari sebuah kitab yang masyhur dengan sanad-sanadnya sendiri tanpa melalui jalan penulis kitab itu, lalu bertemu dengannya pada syeikhnya atau orang-orang di atasnya. Diantaranya adalah Mustakhraj Abi Uwanah ‘alaa Shahih Muslim, Mustakhraj Abu Bakar al-isma’ili a‘lal Bukhari dan Mustakhraj Abi Ali al-Thusi ‘alaa at-Tirmidzi.

 

Adapun kitab-kitab aljuz-i ialah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang ‘diriwayatkan dari seorang sahabat atau orang-orang yang sesudah mereka seperti fuzu’ Abu Bakar atau mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan suatu perkara yang dituntut seperti juzu’ mangenai shalat malam oleh al-Marwazi dan Juzu’ mengenai shalat adh-dhuha oleh as-Suyuthi.

 

Ia adalah Abu Abdillah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbahi al-Madani Imam Darul Hijrah.

 

Ibnu Atsir berkata tentangnya! : “Ia adalah Syeikhul limi dan Ustadzul A-immah.

 

Beliau dilahirkan pada tahun 95 hijriyah dan wafat di Madinah pada tahun 179 Hijriyah dalam usia 84 tahun.

 

Al-Wagidi berkata : “Imam Malik wafat dalam usia 90 tahun. Ia adalah Imam penduduk Hijaz, bahkan imam semua orang dalam fiqih dan hadits. Cukuplah sebagai kebanggaan baginya bahwa asy-Syafi’i termasuk muridnya.”

 

Ayahnya Anas adalah rawi haditsnya. Ia seorang yang lumpuh dan perkejaannya pembuat anak panah. Ibunya adalah seorang wanita shalihah. Ibunya yang mengarahkannya untuk mencari iimu dan memakaikannya surban ketika ja mencapai usia belajar. Sang ibu berkata padanya : “Pergilah dan tulislah hadits Rasulullah SAW.”

 

Kakeknya Malik adalah seorang tabi’iy. Ia mengambil ilmu dari Umar, Utsman, Aisyah dan Abu Hurairah. Ia temasuk penulis musshhaf yang mulia di zaman Utsman dan orang pertama yang datang ke Hijaz dari keluarga yang penuh berkah ini.

 

Malik seorang yang tinggi, besar, kepalanya besar, botak, kedua matanya lebar, warna kulitnya sangat putih kemerah-merahan, bentuknya bagus, hidungnya mancung, berjanggut lebat, panjang dan lebar mencapai dadanya.

 

Ia memakai baju Madaniyah yang bagus dan tidak mengubah ubannya dengan pewarna. Ia memotong ujungujung kumisnya dan tidak mencukurnya dan tidak memotongnya terlalu banyak. Ia mencela pencukurannya dan menganggapnya sebagai perusakan anggota tubuh.

 

Mush’ab az-Zubairi menggambarkannya dengan perkataan : “Malik adalah orang yang paling bagus wajahnya dan paling indah matanya, paling bersih putihnya dan paling sempurna tingginya di antara orang-orang dalam kebagusan badannya.”

 

Malik dikenal sejak kecilnya sebagai anak yang suka mencari ilmu dan sangat giat mengumpulkannya serta memusatkan perhatian padanya.

 

Ia mendatangi syeikhnya Abu Bakar Abdullah bin Yazid -yang terkenal dengan sebutan Ibnu Hurmuzdi waktu pagi dan tidak meninggalkan rumahnya hingga malam. Ia telah belajar ilmu darinya sefama tujuh atau deiapan tahun.

 

Malik mempunyai daya hafal yang kuat, ia berkata : “Aku telah mendatangi Said Ibnul Musayyib, Urwah, alQasim, Abu Salamah, Humaid dan Salim, ” dan ia menyebut sejumlah orang. “Dan aku berkeliling kepada mereka, aku mendengar dari masing-masing 50 hingga 100 hadits. Kemudian aku pergi dan aku telah hafal seluruhnya tanpa mencampur hadits yang ini dengan hadits yang ini.”

 

Di samping itu ia memiliki pikiran yang tajam dan pandangan yang jauh. Ia melakukan istinbat dengan teliti dari al-Kitab dan as-Sunnah, memahami fiqh dengan baik, berbuat tepat dalam mempergunakan nash-nash dengan tujuan-tujuan tasyri’ disertal perhatian terhadap maslahatmaslahat dan menutupi sebab-sebab yang menimbulkan fitnah dan kerusakan.

 

Malik pandai dalam merinci hukum-hukum yang terdapat dj bawah ushul dan hukum-hukum yang menyeluruh yang ditunjukkan dengan illat-illat (alasanalasan) yang dinukil atau yang diterima.

 

Malik melakukan penyelidikan yang -benar dalam meriwayatkan hadits dan sangat teliti dalam hal itu. Ia tidak menukil, kecuali dari orang-orang yang andal dan dapat dipercaya. Apabila ia ragu terhadap suatu hadits, maka ia ke sampingkan hadits itu seluruhnya.

 

Adalah Malik berkata tentang dirinya : “Boleh jadi aku menghadapi suatu masalah dan tidak tidur dalam sebagian malamku untuk memecahkannya.”!

 

Kitab al-Muwaththa’

 

Kitab al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk menyelesaikannya.

 

Ada yang mengatakan tentang sebab penamaan kitab itu dengan nama al-Muwaththa, yaitu karena ia menghindari pendapat-pendapat keras Ibnu Umar dan pendapatpendapat mudah ibnu Abbas serta menyodorkannya bagi orang-orang sebagaimana yang disarankan kepadanya oleh al-Manshur, maka ia menamainya al-Muwaththa’.

 

As-Suyuthi menyebutkan tentang sebab penamaannya : Diriwayatkan dari.Malik bahwa ia berkata : “Aku tunjukkan kitabku ini kepada 70 orang faqih Madinah. Ternyata mereka semua setuju denganku atas kitab itu. Maka aku menamainya al-Muwaththa’ (yang disetujui).”

 

Dengan menulis. kitab al-Muwaththa’ al-lmam Malik telah mendirikan sebuah sistem dalam mengumpulkan hadits dan menulisnya. Dengan penulisan kitab itu ia telah melakukan fangkah yang efektif dan sistematis yang berpengaruh dalam bidang penulisan hadits.

 

Pembukuan hadits sebelum Malik tidak disusun menurut bab-bab ilmu yang menyeluruh sebagaimana dilakukan oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri tahun 134 Hijriyah pada awal pembukuan resmi dengan perintah Umar bin Abdu! Aziz. Ia mengumpulkan tanpa menyusunnya menurut bab-bab ilmu. Kemudian penulisan hadits meningkat dalam generasi yang sesudah az-Zuhri.

 

Maka yang pertama menulis hadits dan menyusunnya dalam bab-bab adalah Malik bin Anas dj Madinah dan ibnu Juraij di Makkah serta siapa yang mengikuti cara mereka.

 

Waliyullah ad-Dahlawi telah menjelaskan kedudukan al-Muwaththd dan derajatnya. Maka ia menetapkannya pada derajat pertama dalam hal keshahihannya di antara kitabkitab bersama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. ia berkata : Kitab-kitab’ hadits terbagi. dalam beberapa_ tingkatan. Dengan pertimbangan keshahihan dan kemasyhurannya kitab-kitab itu terbagi dalam empat tingkatan :

 

  1. Tingkatan pertama terbatas pada tiga kitab, yaitu : al-Muwaththa’, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

 

Asy-Syafii berkata : “Tiada kitab hadits di bawah kolong langit sesudah Kitabullah yang shahih dari .pada kitab Malik.”

 

Para ahli hadits sepakat bahwa yang ada di dalamnya adalah shahih menurut pendapat Malik dan yang sependapat dengannya.

 

Adapun menurut lainya, tiada hadits mursal maupun munqathi’ di dalamnya, melainkan sanadnya telah bersambung dari jalan. lain. Maka sudah barang tentu haditsnya shahih dari jalan lain ini,

 

Ia adalah al-Imam yang agung, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani pendiri madzhab, yang sabar dalam menghadapi cobaan, pembela sunnah, Syeikhu| Islam dan salah satu dari para imam yang besar.

 

Ia berasal dari Marwa dan ayahnya dari Sarkhas. ta dilahirkan dj Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah dan belajar di sana hingga tahun 183 Hijriyah.

 

Kemudian ia melakukan perjalanan sesudah itu untuk mencari ilmu di kota-kotanya. Maka ia pergi ke Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam dan Aljazirah.

 

Ahmad bin Hanbal sangat memperhatikan pencarian hadits dalam perjalanan-perjalanan ini. Ia mengambil ilmu dari Husyaim, Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Jabir bin Abdul Hamid, Yahya al-Qattan, Waki’, Abdurrahman bin Mahdi dan para syeikh terkemuka serta para muhaddits ternama.

 

Kemudian ia kembali ke kampung halamannya dan bertemu dengan al-lmam asy-Syafi’i. Ia menghadiri pelajaran-pelajarannya dalam fiqh dan ushul dari tahun 195 Hijriyah hingga tahun 197 Hijriyah.

 

Di saat asy-Syafi’i meninggalkan Baghdad menuju Mesir, ia berkata : “Aku keluar dari Baghdad dan aku tidak meninggalkan di sana orang yang lebih fagih, lebih wara’, lebih zuhud dan lebih alim dari pada Ahmad.”

 

Para Ulama selain asy-Syafi’i telah menggambarkannya sebagai orang alim, wara’ dan al-Hafidh hadist yang sirahnya menghiasi dalam kitab-kitab biografi.

 

Ibrahim al-Harbi berkata : “Aku melihat seakan-akan Allah telah mengumpulkan baginya ilmu dari para ulama terdahulu dan yang belakangan.”

 

Ibnu Abi Hatim berkata : “Aku pernah bertanya kepada ayahku mengenai Ahmad bin Hanbal, beliau menjawab : Apabila engkau melihat seseorang mencintai Ahmad, ketahuilah bahwa orang tersebut adalah orang menyukai sunnah Nabi. ”

 

An-Nasai’iy berkata : “Ahmad bin Hanbal telah menghimpun pengetahuan hadits dan fiqh, kewara’an, kezuhudan dan kesabaran. “

 

Abu Daud berkata : “Majlis-majlis Ahmad adalah majlis-majlis akhirat, tidak pernah sedikitpun disebutkan dalam majlis-majlisnya dari perkara dunia. Saya tidak pernah melihatnya menyebut dunia. sama:sekali. “

 

Ali bin Khalaf berkata : “Aku mendengar al-Humaidi berkata : Selama saya berada di Hijaz, Ahmad di ‘iraq dan ibnu Rahuwaih di Khurasan tidak pernah ada orang yang bisa mengalahkan kami. ”

 

Ahmad bin Sa‘id ar-Razi berkata :-“Tidaklah kulihat seseorang yang berambut hitam yang lebih hafal hadits Rasuluilah SAW, dan lebih mengetahui tentang maksud dan isinya daripada Ahmad bin Hanbal.”

 

Al-Abbas ibnul Walid al-Bairuti dengan sanadnya berkata.: Dikatakan kepada Abi Mus-hir : “Apakah anda mengenal seseorang yang memelihara untuk umat ini urusan. agamanya ?” ia menjawab : “Aku tidak mengetahuinya, kecuali seorang pemuda di wilayah’ Timur, yaitu Ahmad bin Hanbal.”

 

ibnul Imad berkata tentang Ahmad bin Hanbal : “Beliau seorang Imam mengenai hadits dan macammacamnya, Imam mengenai figh dan seluk beluknya, Imam mengenai sunnah dan rincian-rinciannya, Imam mengenai kewara’an dan rahasia-rahasianya, Imam mengenai zuhud dan hakikat-hakikatnya. Beliau wafat pada wektu dhuha hari Jumiat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 Hijriyah.” Musnad Imam Ahmad

 

As-Sayyid Muhammad bin Ja’far al-Kattani’ berkata : “Musnad !mam al-Auhad Muhyissunnah Abi Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani al-Marwazi, kemudian al-Baghdadi yang wafat di Baghdad tahun 241 Hijriyah. Ia hafal satu juta hadits dan Musnadnya ini meliputi 18 Musnad. Yang pertama adalah musnad yang sepuluh dan yang bersamanya. Di dalamnya terdapat tambahantambahan anaknya Abdullah dan sedikit tambahan Abu Bakar al-Qahthi’iy yang meriwayatkan dari Abdullah. Telah masyhur pada banyak orang bahwa isinya 40.000 hadits. Abu al-Madani berkata : “Aku tetap mendengar hal itu dari orang-orang hingga aku membacanya di hadapan Abi Manshur bin Razin.”

 

Demikian pula al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Ali al-Husaint menjelaskan hal itu dalam at-Tadzkirah : “jumlah haditsnya 40.000 termasuk yang diulang.*

 

Ibnul Madani berkata : “Jumlahnya 30.000 hadits. Yang diandalkan adalah perkataannya bukan yang lainnya. Ia telah menyaringnya dari 750.000 hadits atau lebih dan tidak memasukkan di dalamnya, kecuali hadits yang bisa dijadikan hujjah.” Derajat Hadits-Haditsnya

 

Para Ulama memiliki beberapa pendapat mengenai derajat hadits-haditsnya.

 

Pertama : Sesungguhnya. hadits-hadits. yang terdapat di dalamnya adalah hujjah, maka ditetapkanlah padanya nama shahih.

 

Kedua : Sesungguhnya di dalamnya ada hadits yang shahih, ada yang dlo’lf dan ada yang maudiu’.

 

Ketiga : Sesungguhnya di dalamnya ada hadits shahih dan ada hadits dlo’if yang mendekati hasan, tetapi tidak ada yang maudlu’,

 

Yang benar ialah di dalamnya ada hadits yang shahih dan ada hadits yang dlo’if yang mendekati hasan dan yang kurang dari itu.

 

Adapun  hadits-hadits musnad yang dihukumi adalah yang ditambahkan Abu Bakar al-Qath’i Abduilah bin Ahmad bin Hanbal.

 

Ia adalah Muhammad bin Ismail bin tbrahim Ibnul Mughirah bin Bardizbah’ al-Ju’fi, al-Bukhari tempat kelahirannya. Al-Ju’fi adalah nisbat kepada al-Yaman al-Ju’fi yang Allah memuliakan kakeknya al-Mughirah dengan masuk Islam melalui al-Yaman al-Ju’fi. Maka ia pun menisbatkan : dirinya kepada alYaman_ al-ju’fi dengan hubungan Islam dan meluas kepada keturunannya dan dij antara mereka adalah imam kita al-Bukhari.

 

Imam al-Bukhari dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 12 Syawal tahun 194 Hijriyah dalam sebuah rumah yang penuh berkah yang di harumkan oleh ayahnya Ismail dengan ilmu dan ketakwaan. Ia sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi?? adalah termasuk ulama yang beramal dan orang bijak yang wara’.

 

Bukhari telah pergi untuk mencari ilmu kebanyak muhadits yang masyhur di masanya di Hijaz, Syam, Mesir dan Iraq.

 

Beliau wafat malam selasa pada tahun 256 Hijriyah. Dalam usia 72 tahun kurang 13 hari dan tidak mempunyai anak lelaki.

 

Kitab Shahih Bukhari

 

Ia adalah kitab yang dikatakan oleh para ulama kitab yang paling shahih setelah Kitabullah. Nama lengkap yang diberikan Bukhari kepada kitabnya ini adalah al-faami’ ash-Shahih al-Musnad al-mukhtashar min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyaamihi.

 

Isinya

 

isi dari al-Jaami ash-Shahih ialah hadits shahih semata-mata dan isinya telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai syaratnya.

 

Bukhari mensyaratkan keshahihan dalam kitabnya dan tidak memasukkan di dalamnya selain hadits shahih.

 

Ibnu Sholah, an-Nawawidan Ibnu Hajar berkata, dengan nash menurut Ibnu Hajar : “Ini adalah dari asal isinya, yang disimpulkan dari penamaannya atas kitabnya :. al-Jaami’ ash-Shahih al-Musnad al-mukhtashar wa. Hadits Rasulillah min Sunanihi wa Ayyaamihi.”

 

Yang dimaksud dengan al-Musnad ialah yang isnadnya bersambung sebagaimana dijelaskan olehIbnu Hajar bahwa isinya yang asli ialah pengeluaran hadits-hadits yang isnadnya bersambung dengan seorang sahabat dari

 

Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan penetapan.

 

Adapun isi kitab yariq bertentangan dengan itu sesungguhnya hanya merupakan pelengkap dan sisipan, bukan -asal yang dimaksud, seperti hadits-hadits mu’allaq dan mauauf.

 

Ibnu Shalah berkata : Kembali kepada kekhususan ini adalah perkataan Bukhari : “Tidaklah kumasukkan dalam aljaami’, kecuali hadits yang shahih.”

 

Demikian pula dimutlakkan perkataan al-Hafidh Abu Nashar al-Wahili : “Para ahli ilmu dari kaum fuqaha dan lainnya sepakat bahwa andaikata ada seorang lelaki bersumpah menjatuhkan thalaq, bahwa semua yang ada di dalam kitab al-Bukhari yang diriwayatkan dari Nabi SAW, adalah shahih, maka tidaklah diragukan bahwa ia tidak berdosa dan istrinya tetap dalam keadaan sebagai istrinya.”

 

Demikian pula dinukif oleh para huffadh dan para imam dari Bukhari, bahwa ia berkata : “Aku jadikan kitab inj di antara aku dan Allah.”

 

Demikian pula apa yang disebutkan ofeh Abu Abdillah al-Humaidi dalam kitabnya al-Jam’u —baina Shahihain, yaitu perkataannnya : “Kami tidak menemukan di antara para imam yang terdahulu orang yang lebih fasih dalam mengumpulkan hadits shahih, kecuali kedua imam ini (Bukhari dan Muslim).”

 

Yang dimaksud dengan semua itu adalah tujuan kitab itu dan isinya matan-matan dari bab-bab, bukan biografi dan semacamnya. Ini adalah mengenai syarat hubungan dengan keshahihan, maka yang dimaksud dari isi al-Jaami’ adalah hadits yang shahih saja dan itu bukan berarti semuanya begitu.

 

ia telah menyebutkan pula hadits-hadits mu’allag dan mauquf sebagai pelengkap, namun hal itu tidak mengeluarkannya dari asal isinya.

 

Metode Bukhari Dalam Meriwayatkan Hadits Shahih Dan Syaratnya .

 

Perkataan paling menarik dan paling teliti tentang makna ini ialah perkataan al-Hafidh Ibnu Hajar yang wafat pada tahun 852 Hijriyah dalam mukaddimah an-Nukat’ dan Mukhtatashar Fathul Baariy, ia telah menyimpulkan metode Bukhari mengenai syaratnya dari dua jalan :

 

Pertama : Dari penamaan Bukhari sendiri atas kitabnya.

 

Kedua : Dari penyelidikan terhadap tindakannya.

 

Bukhari menamainya al-Jaami’ ash-Shahih al-Musnad al-mukhtashar min Hadits Rasulillah wa Sunanthi wa Ayyaamihi.

 

Maka kita ketahui dengan perkataannya al-Jaami’ , bahwa kitab itu tidak menyangkut satu macam saja. Oleh karena itu ia memasukkan di dalamnya hukum-hukum, keutamaan-keutamaan amal, khabar-khabar murni tentang kejadian-kejadian yang lalu dan yang akan datang serta lainnya berupa adab-adab dan ar-riqaaq.

 

Dengan perkataannya ash-Shahih menunjukkan tidak ada hadits yang dio’if padanya. Hal itu ditegaskan dengan perkataannnya : “Aku tidak memasukkan di dalam al-jami’, kecuali hadits yang shahih.”

 

Dengan perkataannya al-Musnad ta maksudkan bahwa asalnya ialah pengeluaran hadits-hadits yang isnadnya bersambung dengan seorang sahabat Nabi SAW, baik dari perkataannya, perbuatannya atau penetapannya.

 

Adapun isi kitab yang berbeda dengan itu, maka adanya di situ hanyalah sebagai pelengkap dan masukan, bukan asal yang dimaksud. inilah yang diketahui dari perkataannya.

 

Adapun yang diketahui dari penyelidikan terhadap tindakannya, maka pertama sekali membutuhkan defenisi hadits shahih -menurut Bukhari dan lainnya yaitu isnadnya bersambung dan masing-masing rawinya adil dan bersifat teliti. Jfika kurang, maka hadits itu membutuhkan sesuatu yang memperbaiki kekurangan itu dan meskipun begitu haditsnya telah kosong dari sifat tecela -yakni mengandung cela yang mengurangi derajatnyayaitu berbeda dengan riwayat orang-orang yang lebih banyak jumlahnya dari pada dia atau dengan orang yang lebih teliti sehingga menimbulkan saling pertentangan dan sulit melakukan penggabungan yang tidak menyimpang.

 

Kemudian ibnu Hajar seorang yang teliti dan agung dalam tambahan penjelasannya atas makna kesinambungan menurut para muhaddits dan menurut Bukhari mengenai almu’an’an dan yang terdapat dalam hukumnya berupa persyaratan pertemuan disertai hidup semasa, tsiqah dan tidak adanya tadlis, maka ia berkata : “Kesinambungan menurut mereka ialah setiap rawinya menyebutkan dalam riwayatnya dari syeikhnya dengan bentuk yang tegas bahwa ia mendengar darinya, seperti :  (saya mendengar) dan  (ia menceritakan kepadaku) dan   mengabarkan kepadaku) atau dengan bentuk yang jelas mengenai hal itu, seperti :  (dari) dan   (sesungguhnya si fulan berkata). .

 

Kemudian ibnu Hajar menjelaskan bahwa syarat meriwayatkan hadits mu’an’an -macam kedua dari bentukbentuk periwayatan menurut Bukhariialah rawinya telah terbukti pernah bertemu dengan orang dari siapa ia meriwayatkan hadits, walaupun hanya sekali, di sariping syarat ja adalah orang yang tsiqah. Apabila-hal itu terbukti darinya, maka riwayat mu’an‘an itu, menurut Bukhari bisa diartikan mendengar.

 

Maka syarat Bukhari mengenai kesinambungan lebih kuat dan lebih sempurna, karena ia mensyaratkan adanya pertemuan dan hidup dalam satu masa. Berbeda dengan Muslim ia hanya mensyaratkan hidup semasa.

 

Cara pembuktian menurut Bukhari’, berputar pada pernyataan adanya pendengaran dalam isnad. Apabila pendengaran itu berlangsung pada suatu tempat, maka dianggap ada pendengaran di tempat-tempat lainnya.

 

Ibnu Hajar telah mengkajinya dengan teliti dan meletakkan di hadapan pembahas sumber-sumber pembicaraan seraya berkata : “Demikianlah kita ketahui dengan penyelidikan mengenai tindakannya terhadap orangorang dari siapa ia meriwayatkan hadits, bahwa ia memilih orang yang terbanyak persahabatannya dengan syeikh dan paling mengetahui tentang haditsnya.”

 

Dan jika ia meriwayatkan hadits dari orang yang tidak memiliki sifat ini, maka sesungguhnya ia meriwayatkan hadits itu dalam mutaabi’at.

 

Oleh karena itu terdapat qarinah baginya bahwa hadits itu dihafal dengan cermat oleh rawinya, maka dengan keseluruhan sebab itu, para imam di zaman dahulu dan di zaman sekarang menggambarkannya bahwa Shahih Bukhari adalah kitab hadits yang paling shahih.

 

Ia adalah Abul Husein, Muslim Ibnul Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, salah seorang tokoh muhaddits, Imam dan al-Hafidh yang cermat.

 

Beliau di lahirkan di Naisabur pada tahun 206 Hijriyah menurut tahqiq dari al-Hafidh Ibnul Bayyi’ dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amshar.

 

Muslim tumbuh sebagai penggemar ilmu dan pencari hadits. Untuk tujuan ini ia berkeliling ke sebagian besar negri Islam dan mengambil dari Syeikh-Syeikh terkemuka. Di Khurasan ia mendengar hadits dari Yahya bin Ishaq bin Rahuwaih, di Rayyi ja mendengar dari Muhammad bin Mihran, di traq ia mendengar dari Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah, di Hijaj ia mendengar dari Sa’id bin Mansur, di Mesir ia mendengar dari Amru bin Sawad dan Harmatah bin Yahya.

 

Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Isa atTarmidzi, Yahya bin Sha’id, Muhammad bin Makhlad, ibrahim bin Muhammad bin Sufyan -rawi kitabnya-, Muhammad bin tshag bin Khuzaimah, Muhammad bin Abdul Wahhab al-Barra’, Ali Ibnul Husein, Makki bin Abdan dan banyak orang lainnya.

 

Mereka semua sepakat atas keagungan dan keimamannya, ketinggian derajatnya dan kepandaiannya dalam ilmu hadits serta keunggulannya dalam bidang itu.

 

Ia telah menulis kitabnya ash-Shahih yang terkenal dan mempunyal karangan-karangan lainnya.

 

Ia habiskan hidupnya untuk belajar, melakukan perjalanan, mengajar dan mengarang hingga wafat: pada tahun 261 Hijriyah di Naisabur tidak lebih dalam usia 55 tahun.

 

Shahih Muslim

 

Kitabnya ini telah tersohor di berbagai wilayah dan kota-kota besar. Ia menulis kitab itu selama 15 tahun dan mengumpulkan 1.2000 hadits di dalamnya. Ia memilihnya dari 300.000 hadits.

 

Isinya

 

Isi dari al-Jaami’ ash-Shahih tulisan Imam Muslim adalah hadits shahih semata-mata yang diisnadkan kepada Rasulullah SAW.

 

Dalam penulisannya Muslim telah mengikuti sistem Bukhari pada jalan yang benar dalam mengumpulkan hadits yang shahih semata-mata. Dan penulisannya atas bab.ilmu berupa fiqh dan perbedaannya karena terpengaruh oleh cara Bukhari.

 

Akan tetapi Ia membatasi di dalamnya pada penyebutan hadits musnad tanpa menyebut hadits-hadits mauquf, kecuali sedikit dan tanpa menyebut judul dari babbab itu. Yang menulis bab-bab dan judulnya ialah para penulis syarah dari kitabnya. Yang terbaik melakukan itu ialah al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya an-Nawawi.

 

An-Nawawi’ berkata : “Sesungguhnya Muslim rahimahullah menyusun kitabnya dalam bab-bab. Dialah sebenarnya yang melakukan pembagian bab-bab, akan tetapi ia tidak menyebut judul dari bab-bab di dalamnya supaya ukuran kitab tidak bertambah besar atau karena alasan lainnya.”

 

Kemudian an-Nawawi berkata : “Sejumlah ulama telah menetapkan judul-judul yang sebagiannya tidak baik. Hal itu bisa disebabkan kekurangan pada ungkapan judulnya atau kejelekan lafainya atau sebab lainnya. Insya Allah saya akan berupaya keras untuk mengungkapkannya dengan kalimatkalimat yang layak dengannya.”

 

Muslim telah mengumpulkan dalam kitabnya 4.000 hadits shahih selain yang diulang.

 

Keistimewaan Shahih Muslim

 

Tidak ada di dalamnya setelah khutbah, selain hadits yang diriwayatkan dan Muslim tidak melakukan seperti yang dilakukan Bukhari, yaitu. pengeluaran hukum-hukum, pemotongan hadits-hadits dan penetapan judul bab-bab.

 

An-Nawawi telah menulis sebuah pasal mengenai keistimewaannya. Ia berkata : “Termasuk kehati-hatian Muslim rahimahullah ialah perhatiannya dengan meémbedakan antara  dan  dan pengkhususan atas hal itu pada guru-gurunya dan dalam periwayatannya.”

 

Mazhab Muslim rahimahullah ialah membedakan antara Keduanya, bahwa  tidak boleh ditetapkan, kecuali bagi hadits yang di dengarnya dari perkataan syeikh secara khusus dan  lalah hadits yang dibaca di hadapan syeikh. Pemisahan ini adalah mazhab asy-Syafi’i dan para pengikutnya serta mayoritas ahli ilmu di wilayah Timur.

 

Sejumlah ulama berpendapat bahwa kita boleh mengatakan tentang hadits yang dibaca di hadapan syeikh dengan  dan 

 

Termasuk hal itu ialah perhatiannya atas penegasan lafal para rawinya, seperti perkataannya (diceritakan kepada oleh si fulan dan si fulan, dan lafalnya milik si fulan).”

 

Begitu pula jika terdapat perbedaan mengenai suatu huruf dari matan hadits atau sifat rawi atau nisbatnya semacamnya itu, maka ia pun menjelaskannya. Boren jadi sebagiannya tidak sampai mengubah arti dan boleh jadi sebagiannya berbeda dalam arti, tetapi tersembunyi. dan tidak bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai pengetahuan tentang seluk beluk figh dan mazhab-mazhab para fuqaha.

 

Termasuk hal itu ialah kehati-hatiannya, seperti dalam perkataannya : .

 

 maka Muslim tidak mebolehkan untuk mengatakannya :  karena dalam periwayatannya tidak dinisbatkan.

 

Andaikata ia mengatakannya dengan nisbat, berartiia mengabarkan dari syeikhnya bahwa ia mengabarinya dengan nasabnya, padahal syeikhnya tidak mengabarinya begitu.

 

Termasuk hat itu ialah penertiban dan penyusunannya atas hadits-hadits dengan baik berdasarkan susunan’ yang ditimbulkan oleh tahgiqnya dan pengetahuannya yang sempurna atas tempat-tempat penibicaraan, seluk beluk ilmu dan dasar dari kaidahkaidah, seluk beluk ilmu isnad, tingkatan-tingkatan para rawi dan lainnya.

 

Muslim tidak memotong hadits-hadits dalam bab-bab sebagaimana yang dilakukan Bukhari dalam sebagian hadits-haditsnya, tetapi ia meriwayatkan setiap hadits secara lengkap tanpa dipotong dengan isnad-isnadnya yang bermacam-macam. di satu tempat.

 

An-Nawawi dan as-Suyuti berkata dalam at-Tadrib’ : “Muslim telah mengkhususkan pengumpulan jalan-jalan hadits di satu tempat dengan isnad-isnadnya dan lafal-lafalnya yang bermacam-macam, maka mudahlah menjangkaunya. Berbeda dengan Bukhari, ia memotongnya dalam bab-bab disebabkan pengeluaran hukum-hukum darinya dan I riwayatkan banyak darinya di tempat-tempatnya.

 

An-Nawawi berkata dalam Mukaddimah Syarah Muslim? : “Muslim sendiri memiliki faedah yang baik hingga membuatnya lebih mudah dijangkau, karena ia menetapkan bagi setiap hadits sebuah tempat yang sesuai dengannya.

 

Ia kumpulkan di dalamnya jalan-jalan hadits yang disukainya dan ia yang pilih untuk disebutkannya. ia kemukakan darinya isnad-isnadnya yang bermacam-macam dan lafal-lafal hadits yang berbeda-beda hingga memudahkan bagi pelajar untuk memeriksa jalan-jalan hadits dan timbul kepercayaan baginya kepada semua hadits yang diriwayatkan Muslim dari jalan-jalannya.

 

Berbeda dengan Bukhari, ia menyebutkan jalan-jalan yang berbeda-beda dari hadits itu dalam bab-bab yang terpencar-pencar dan saling berjauhan. Banyak darinya ia sebutkan di bab yang menurut pemahaman tidak tepat. Hal itu disebabkan alasan rumit yang hanya dipahami Bukhari hingga menyulitkan bagi pelajar mengumpulkan jalanJalannya dan menyulitkan timbulnya kepercayaan kepada semua yang disebutkan Bukhari dari jalan-jaian hadits ini.”

 

Nampak bahwa perkataan an-Nawawi menunjukkan kecermatan tindakan Bukhari, meskipun hal-itu tidak diketahui oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan yang kuat tentang hadits. Kecermatan int hanya dipahami oleh Bukhari dan para-pakar tertentu yang memahami hadits.

 

Dengan demikian boleh jadi sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak pandai tentang hadits. Yang mewajibkan Bukhari menempuh metode itu dengan memotong-motong hadits ialah istinbat dan judulnya.

 

Syeikhul Islam Ibnu Hajar berkata mengenai hal itu’: “Apabila Muslim memiliki keistimewaan dengan hal ini, maka sebaliknya Bukhari memiliki kelebihan dengan memasukkan dalam bab-babnya judul-judul yang membingungkan pikiran.” Saya katakan : Seorang terkemuka berkata :

 

Orang-orang . berselisih. mengenai Bukhari dan Muslim, orang mana lebih utama di antara keduanya Maka kukatakan : jika Bukhari unggul dalam keshahihan hadits, maka Muslim unggul dalam hal sistematika yang baik Kelebihan Shahih Bukhari Atas Shahih Muslim

 

Sebagaimana diketahui bahwa shahihain adalah kitab yang paling shahih sesudah Kitabullah. Dengan kedua kitab itu bendera as-sunnah dikibarkan dengan gemilang di puncaknya dalam masa yang paling indah. Masa ketiga di kalangan para Ulama memiliki identitas dengan adanya kedua orang itu dan karya peninggalan mereka sebagai masa pengumpulan sunnah yang paling cermelang dan tiada seorangpun imam hadits sesudah kedua orang itu yang mencapai tingkatan keduanya.

 

Dalam perbandingan antara Shahih Bukhari dan Shahih Muslim pembahas mendapati bahwa para ulama telah sepakat atas kelebihan Shahih Bukhari, apabila kita mengecualikan. pendapat Abu All an-Nalsaburi yang mengunggulikan Shahih Muslim dalam hal keshahihannya., Ibnu Hajar telah mengatakannya dengan perkatannya secara ringkas.

 

Al-lmam an-Nawawi, gurunya Ibnu Sholah dan lainnya telah menukil .adanya kesepakatan para ulama atas keunggulan Bukhari.

 

Imam an-Nawawi berkata dalam Mukaddimah! Syarahnya atas Shahih Muslim dalam membandingkan antara Bukhari dan Muslim : “Para ulama rahimahullah sepakat bahwa kitab yang paling shahih sesudah al-Qur’an yang mulia falah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan telah disetujui oleh umat.”

 

Kitab Bukharl adalah yang paling shahih dan paling banyak faedah dan pengetahuannya yang jelas maupun yang tersamar. Riwayat yang shahih mengatakan bahwa Muslim mendapat ilmu dari Bukhari dan ia mengakui bahwa Bukhari tiada bandingannya dalam ilmu hadits.

 

Perkataan an-Nawawi dibuktikan oleh perkataan Imam Muslim kepada Bukhari : “Tidaklah membencimu, kecuali seorang yang dengki dan ketahuilah bahwa tiada orang di dunia seperti anda.” ?

 

Diriwayatkan dari Abu Abdillah bin Ya‘qub al-Hafidh, ia berkata : Aku mendengar ayahku berkata : “Kulihat Muslim Ibnul Hajjaj di hadapan Muhammad bin Ismail al-Bukhari menanyainya seperti pertanyaan anak kecil kepada gurunya.” :

 

Dan perkataan an-Nawawi dalam mengukuhkan kitab Bukhari adalah mazhab yang terpilih -yang disetujui oleh jumhur ulama dan para pakar yang ahli tentang rahasiarahasia hadits.

 

Adz-Dzahabi berkata : “Kitab al-Jami’ ash-Shahih oleh Bukhari adalah kitab Islam yang paling agung sesudah Kitabullah, Andaikata seseorang melakukan perjalanan untuk mendengarnya dari jarak seribu farsakh, niscaya tidak sia-sia perjalanannya.”

 

Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata : “Para ulama sepakat bahwa Bukhari lebih agung -daripada Muslim dan Muslim adalah muridnya. Ia terus mengambil ilmu darsinya dan menelusuri jejaknya hingga Daruqutni berkata : “Kalau bukan karena Bukhari, tidaklah Muslim pergi dan tidaklah ja datang.”

 

Ia berkata sekali lagi : “Manakah yang dilakukan Muslim ? Ia hanya mengambil kitab Bukhari, lalu mengerjakan berdasarkan itu dengan menarik kesimpulan dan menambahkan tambahan-tambahan di. dalamnya. Meskipun ia berlebihan dalam hal itu, namun diambil kesimpulan darinya pengunggulan Bukhari di atas Muslim dan pembuktian bahwa ia telah belajar ilmu darinya, Muslim adalah muridnya yang mendapat pengaruh darinya dalam kehidupan ilmiyahnya. ta seorang yang berkemampuan baik dan mempunyai usaha-usaha ilmiyah. Kitabnya memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri yang mengungguli rekannya dalam ilmu hadits. “

 

A-Hakim Abu Ahmad an-Naisaburi yang hidup semasa dengan Abu-Ali an-Naisaburi dan diunggulkan atasnya dalam pengetahuan tentang tentang para rawi, ia berkata : “Semoga Allah merahmati Muhammad bin Ismail. Ia adalah orang yang menulis tentang al-Ushul -yakni Ushulul Ahkaamdari hadits (dasar hukum-hukum mengenai hadits) dan menjelaskannya kepada orang-orang.

 

Setiap orang yang datang sesudahnya sesungguhnya mengambilnya dari kitabnya seperti Muslim Ibnul Hajjaj.”

 

Banyak nukilan yang menunjukkan makna ini, Cukuplah bagi kita kadar ini yang nyaris disepakati oleh para ulama sebagaimana yang dinukil dari para imam hadits, karena Bukhari lebih pandai tentang ilmu ini daripada Muslim dan ia adalah gurunya. Muslim telah mengakui bahwa tiada yang seperti.dia maupun di masanya orang yang mendekatinya dalam ilmu-ilmu hadits.

 

Begitu pula kita lihat dari perkataan al-Hakim Abu Ahmad dan lainnya bahwa metode Bukhari itulah yang menghasilkan imam-imam hadits sesudahnya, terutama muridnya yang pertama al-Imam Muslim.

 

Kedua Kitab Shahih itu Tidak Memuat Seluruh Hadits Shahih Maupun Riwayatnya

 

Selanjutnya Bukhari tidak memuat seluruh hadits shahih. Bukhari telah menegaskan ha! itu dengan perkataannya : “Tidaklah aku memuat dalam kitab al-Jaami’, kecuali hadits yang shahih dan kutinggalkan hadits-hadits shahih lainnya karena suatu hal atau karena panjangnya.” Dalam suatu riwayat : “Kutinggalkan hadits-hadits lain yang shahih supaya tidak panjang.”

 

Bukhari berkata : “Aku hafal 100.000 hadits shahih dan aku hafal 200.000 hadits yang tidak shahih.”

 

Al-isma‘ili berkata : “Aku mendengar dari seorang yang menceritakan dari Bukhari bahwa ia berkata : “Aku tidak mengeluarkan dari kitab ini, kecuali hadits yang shahih dan hadits yang shahih yang kutinggalkan lebih banyak dari itu.” |

 

Telah diketahui hadits-hadits al-Jaami’ tidak mencapai jumlah hadits shahih yang di hafal oleh Bukhari. Hal itu berarti bahwa Bukhari tidak menetapkan setiap hadits shahih di dalamnya dan setiap haditsyang menurut syaratnya, bahkan kedua kitab shahih itu bersama-sama tidak memuat semua hadits yang shahih.

 

As-Sakhawi berkata dalam Fathul Mughits’ : “Sesungguhnya Bukhari dan Muslim tidak memuat seluruh hadits shahih dalam kedua kitab mereka. Bahkan seandainya dikatakan bahwa keduanya tidak memuat seluruh syarat mereka berdua, niscaya perkataan itu benar adanya. Kedua orang itu telah menegaskan bahwa kedua kitabnya tidak memuat seluruh hadits shahih. Diriwayatkan dari Muslim pula, ia berkata : “Tidaklah setiap hadits yang shahih menurutku, kuletakkan di sini. Sesungguhnya yang aku masukkan adalah hadits-hadits yang mereka sepakati.”

 

Ibnu Shalah berkata : “Ia maksudkan -Wallahu ‘Alam- bahwa ia tidak memasukkan dalam kitabnya, kecuali hadits-hadits yang ia dapatkan di dalamnya syarat-syarat hadits shahih yang disepakati oleh para ulama, meskipun sebagiannya tidak disepakati oleh sebagian dari mereka.

 

Al-Hafidh ibnu Katsir berkata : “Kemudian, sesungguhnya Bukhari dan Muslim tidaklah meriwayatkan semua hadits yang dihukumi shahih, karena keduanya telah mentashihkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kedua kitab mereka, sebagaimana Tirmidzi menukil dari Bukhari bahwa ia mentashihkan -hadits-hadits yang tidak terdapat padanya, melainkan dalam kitab-kitab as-Sunan dan lainnya.”

 

Dengan ini tertolaklah anggapan penulis kitab Fajrul Islam, Or. Ahmad Amin, bahwa hadits yang dikumpulkan oleh Bukhari yaitu 4.000 hadits selain yang diulang, semuanya adalah hadits yang shahih menurutnya di antara hadits-hadits yang beredar di masanya dan mencapai 600.000 hadits.:

 

Mereka meriwayatkan dari Muslim ketika ia ditegur atas perbuatannya mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam sebuah kitab dan dikatakan kepadanya : “Sesungguhnya ini memberi kesempatan bagi ahli bid’ah untuk menyerang kita hingga mereka menemukan jalan untuk mengatakan ketika diajukan sebuah hadits sebagai hujah terhadap mereka : “Hadist ini tidak terdapat dalam kitab shahih”

 

Maka’ Muslim menjawab : “Sesungguhnya aku mengatakan bahwa yang kuriwayatkan dalam kitab ini adalah hadits-hadits yang shahih dan aku tidak mengatakan bahwa hadits yang tidak kuriwayatkan dalam kitab ini adalah dlo’if.”

 

An-Nawawi berkata’ : “Kedua kitab itu tidak memuat seluruh hadits shahih.”

 

Ibnu Shalah berkata : “Al-Mustadrak yang dikumpulkan oleh Hakim adalah kitab.yang besar yang meliputi banyak hadits yang tecantum dalam shahihain. Meskipun sebagian dipersoalkan, namun banyak hadits shahih yang bersih darinya.”

 

An-Nawawi berkata : “Yang benar ialah tidak luput dari lima kitab hadits yang utama, yaitu.shahih Bukhari dan shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Tirmidzi dan Nasa‘iy kecuali sedikit saja. Berdasarkan hal itu,-maka tidaklah dibenarkan bila seseorang menyalahkan Bukhari dan Muslim dan mengharuskan adanya_ hadits-hdits yang tidak diriwayatkan oleh keduanya meskipun shahih menurut syarat keduanya, karena kedua orang itu tidak memuat seluruh hadits shahih dan keduanya telah menegaskan.tidak memuatnya.”

 

An-Nawawi berkata : “Al-lmam al-Hafidh Abul Hasan Ali bin Umar ad-Daruquthni dan lainya mengharuskan Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh keduanya, padahal isnad-isnadnya telah diriwayatkan oleh keduanya untuk kedua rawinya dalam kedua kitab shahih itu.”

 

Ad-Daruquthni dan lainnya menyebutkan bahwa sejumlah sahabat radiyallahu ‘anhum meriwayatkan. dari Rasulullah SAW, dan hadits-hadits mereka diriwayatkan dari jalan-jalan yang shahih tanpa ada cela pada rawinya, namun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan sedikitpun dari hadits-hadits mereka. maka hadits-hadits : itu. harus diriwayatkan menurut madzhab kedua orang itu.

 

Tingkatan-Tingkatan Hadits Shahih

 

Tingkatan hadits shahih berbeda-beda dengan sifatsifat keadilan dan ketelitian dan sifat-sifat lain yang menyebabkan penilaian shahih itu

 

Hadits yang para rawinya memiliki tingkatan keadilan dan ketelitian tertinggi serta sifat-sifat penerimaan tertinggi fainnya adalah lebih shahih dari pada yang di bawahnya.

 

Berdasarkan itu, maka para ulama hadits menyusun tingkatan-tingkatan hadits shahih. Dan telah disebutkan tingkatan-tingkatannya dalam pembahasan yang telah lewat.?

 

ta adalah Sulaiman Ibnul Asy‘ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amru bin Imran al-Azadi al-Sijistani. Ia berkeliling ke negeri-negeri mengumpulkan dan menyusun serta menulis hadits dari para Ulama Iraq, Khurasan, Syam dan Mesir.

 

Abu Dawud dilahirkan tahun 202 Hijriyah dan wafat di Basrah pada tanggal 15 Syawwal tahun 275 Hijriyah.

 

Ia meriwayatkan hadits dati Muslim bin Ibrahim, Sulaiman bin Harb, Utsman bin Abi Syaibah, Abil Walid athThayalisi, Abdullah bin-Maslamah al-Qa’nabi, Musaddad bin Musarhad dan Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Yunus dan para Imam hadits lainnya yang tak terhitung banyaknya.

 

Yang meriwayatkan hadits darinya ialah putranya Abdullah, Abu Abdurrahman al-Kisaiy, Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Abu Ali Muhammad bin Amrw alLu’luiy dan dari jalannya kami meriwayatkan kitabnya.

 

Adalah Abu Dawud tinggal di Basrah dan datang ke Baghdad. Ia riwayatkan kitabnya as-Sunan di situ dan para ulama meriwayatkan: darinya dan ia menyusunnya sejak lama. ta tunjukkan kitab itu kepada Ahmad bin Hanbal dan beliau memujinya.

 

Abu Dawud berkata : “Aku menulis sebanyak 500.000 hadits. Aku memilih darinya yang kumasukkan dalam kitab ini -yakni kitab as-Sunandan kukumpulkan di dalamnya 4800 hadits. Aku sebutkan hadits yang shahih dan yang menyerupai serta mendekatinya. Cukuplah bagi manusia untuk pengamalan agamanya empat hadits, yaitu :

 

Pertama, sabda Nabi SAW, :

 

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”

 

Kedua :

 

“Termasuk pengamalan Islam yang baik oleh manusia ialah bilamana ia tinggalkan segala yang tidak penting baginya.”

 

Ketiga ;

 

“Tidaklah seorang mu’min itu benar-benar beriman hingga ia‘ sukai untuk saudaranya, apa yang yang ia sukai untuk dirinya.”

 

Keempat :

 

“Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu yang haram itu jelas, sedangkan.. di antara keduanya terdapat hal-hal yang tersamar…….” Al-Hadits.

 

Abu Bakar al-Khallal berkata : “Abu Dawud Sulaiman Ibnu Asy-ats Imam yang diunggulkan di zamannya, Tidak seorangpun di zamannya yang mengunggulinya dalam pengeluaran ilmu-ilmu dan kepandaiannya tentang tempat: tempatnya. Ja seorang yang wara’ dan diunggulkan.”

 

Sunan Abi Dawud

 

Al-Hafidh abu Sulaiman Al-Kahattabi berkata dalam muqaddimah kitabnya Ma’alimus Sunan : “Ketahuilah semoga Allah merahmatimubahwa kitab as-Sunan oleh Abi Dawud adalah sebuah kitab yang mulia dan belum pernah disusun kitab mengenai ilmu agama yang seperti itu. Kitab itu telah diterima dengan baik oleh semua orang. Maka kitab itu menjadi penengah di antara golongan-golongan para ulama dan kelompok-kelompok para fuqaha menurut perbedaan madzhab-madzhab mereka.”

 

Semuanya menimba ilmu dan minum dari situ. Kitab itu. menjadi andalan para ulama Iraq dan Mesir, negri-negri Maghrib dan banyak negri lainnya.

 

ibnul ‘Arabi -salah seorang rawi kitab as-Sunanberkata : “Andaikata seseorang tidak mempunyai ilmu, kecuali al-Mushhaf, kemudian kitab Abu Dawud, maka ta tidak memertukan ilmu lainnya.”

 

Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata : “Sesungguhnya kitab itu mencukupi mujtahid dalam ilmu agama dengan hadits-hadits mengenai hukum.”

 

ibnu Qayyim berkata : “Kitab as-Sunan oleh Abu Dawud as-Sijistani Sulaiman Ibnul Asy‘ats rahimahullah memiliki kedudukan dalam Islam yang dikhususkan Allah baginya sehingga menjadi hakim di antara para pemeiuk Islam dan pemutus perkara dalam hal-hal yang menimbulkan pertengkaran dan perselisihan.”

 

Oleh karena itu orang-orang bijak menjadikannya sebagai hakim dan para muhaqqiq rela dengan keputusannya.

 

Abu Dawud mempersatukan hadits-hadits hukum dan menyusunnya dengan sebaik-baik susunan serta mengaturnya dengan aturan terbaik di samping memilihnya dengan sebaik-baik pilihan dan membuang darinya haditshadits dari para rawi tercela dan orang-orang yang dlo’if sehingga menjadikan kitabnya bekal terbaik.

la adalah Abu Musa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahhak as-Sulami. Ia dilahirkan pada tahun 209 Hijriyah dan wafat di Tirmidza malam Senin 13 Rajab pada tahun 279 Hijriyah. ia salah seorang al-Hafidh hadits terkemuka dan juga memiliki pengetahuan tentang fiqh.

 

la meriwayatkan hadits dari sejumlah imam hadits dan berjumpa dengan para masyayikh generasi pertama, seperti Quthaibah bin Sa’id, Ishaq Ibnu Musa, Mahmud bin Ghilan, Sa’id bin Abdurrahman, Muhammad bin Basysyar, Ali bin Hujur, Ahmad bin Mani’, Muhammad Ibnul Mutsanna dan Muhammad bin Ismail al-Bukhari serta lainnya. ta meriwayatkan dari banyak orang yang tak terhitung banyaknya.

 

Banyak orang yang meriwayatkan darinya, di antaranya : Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Mahbubi dan dari jalannya kami riwayatkan al-Jaami”

 

Jaami’ At-Tirmidzi

 

Dengan kitab ini at-Tirmidzi menjadi imam dalam ilmu hadits. Kitab tersebut adalah kitabnya yang paling masyhur dan paling agung dan dinamakan al-Jaami’ atTirmidzi dan Sunan at-Tirimidzi. Al-Hakim Abu Abdillah alKhatib al-Baghdadi menamainya al-Jaami’ ash-Shahih lit Tirmidzl atau Shahih at-Tirmidzi.

 

At-Tirmidzi telah mensifatinya dan menamainya ashShihah.

 

Diriwayatkan oleh ibnu Katsir dalam Tarikhnya dari Tirmidzi, ia berkata : “Aku menyusun al-Musnad yang shahih ini dan aku tunjukkan kepada para ulama Hijaj dan mereka menyetujuinya. Aku tunjukkan kitab itu kepada para ulama Iraq dan mereka menyetujuinya. Kutunjukkan kepada para ulama Khurasan dan mereka menyetujuinya. Barang siapa yang di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di dalam rumahnya ada Nabi yang berbicara.”

 

Al-Majd Ibnul Atsir berkata : “Kitabnya ash-Shahih ini adalah kitab terbaik dan terbanyak faedahnya, terbaik tertibnya dan paling sedikit pengulangannya. Di dalamnya disebutkan apa-apa yang tidak disebutkan dikitab lain, yaitu Mazhab-mazhab dan macam-macam istidlal serta penjelasan macam-macam hadits, yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits gharib. Di dalamnya terdapat jarh dan ta’dil dan pada akhirnya terdapat kitab al-‘ilal. Ia telah mengumpulkan di dalamnya faedah-faedah yang baik dan siapa yang memahaminya akan mengetahui derajatnya.” Pensyarah al-Jaami’ ash-Shahih susunan at-Tarmidzi al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi al-Maliki berkata : “Ketahuilah -semoga Allah menerangi hatimubahwa kitab al-Ju’fi adalah sumber kedua-dalam bab ini, yang pertama dan intisari adalah al-Muwaththa’. Semua ulama seperti alQusyairi dan at-Tarmidzi berpegang pada kedua kitab itu sebagai dasar. Tidak ada di antara kitab-kitab yang seperti Abi Isa dalam hal keindahan dan susunannya, isinya yang berharga dan sumbernya yang sedap. Di dalamnya terdapat 14 ilimu dan hal itu lebih dekat kepada amal dan lebih selamat. Ia mengisnadkan, menshahihkan dan mendlo’ifkan, memperbanyak jalan-jalan, mengkritik dan memuji, memberi nama dan. memberi kun-yah, menyambung dan memutus. Ia jelaskan mana yang diamalkan dan mana yang ditinggalkan dan ia jelaskan mengenai penolakan dan penerimaan atsar-atsarnya, ia sebutkan perbedaan mereka mengenai ta’wilnya. Setiap ilmu dari ilmu-ilmu ini adalah dasar dalam babnya dan tunggal dalam asalnya. Pembacanya selalu berada dalam taman-taman yang rindang dan ilmu-ilmu yang sesuai dan teratur Ini adalah sesuatu yang tidak datang kecuali dengan ilmu, yang deras_dan taufik yang banyak, kosentrasi dan perencanaan yang baik.’

 

Ia adalah Abu Abdurrahman Ahmad: bin Syu’alb bin Ali bin Bahr bin Sinan an-Nasa’ly, Ia dilahirkan pada tahun 225 Hijriyah dan wafat di Makkah pada tahun 303 Hijriyah dan dimakamkan di situ.

 

Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi berkata : “Aku mendengar Aba Ali al-Hafidh -beberapa kalimenyebut empat orang imam Muslim yang ia lihat, maka ia mulai dengan Abu Abdurrahman salah seorang imam, al-Hafidh yang alim dan faqih. Ia berjumpa masyayikh terkemuka.”

 

Ia meriwayatkan hadits dari Qutaibah_bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Humaid bin Mas’adah, Muhammad bin Abdul A’laa, al-Harits bin Misikin, Muhammad bin Basysyar, Muhammad bin Ghilan, Abi Dawud Sulaiman Ibnul Asy’‘ats as-Sijistani dan para masyayikh huffadh lainnya.

 

Banyak pula para ulama yang meriwayatkan darinya, antara lain Abu Bisyr ad-Dulabi -termasuk rekannya, Abul Qasim ath-Thabrani, Abu ja’far ath-Thahawi, Muhammad bin Harun bin Syu’aib, Abu! Maimun bin Rasyid, tbrahim: bin Muhammad bin Shalih bin Sinan, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq as-Sunni al-Hafidh dan dari jalannya diriwayatkan kitabnya as-Sunan. An-Nasa’iy. mempunyai banyak kitab mengenai hadits dan illat-illat (penyakit-penyakit) hadits dan lainnya.

 

Sunan An-Nasa’iy

 

Ketika Imam an-Nasa’ly menulis kitabnya as-Sunanul Kubra ia hadiahkan kitab ‘itu kepada Amir Ramlah. Amir berkata kepadanya : “Apakah semua yang ada di dalamnya shahih ?” An-Nasa’iy menjawab : “Di dalamnya terdapat hadits shahih, hasan dan yang mendekati keduanya.” Maka Amir berkata kepadanya : “Pisahkan bagiku yang shahih dari yang lainnya.” Kemudian an-Nasa’ili menyusun baginya kitab as-Sunan ash-Shughra dan menamainya al-Mujtaba minas Sunan.

 

Kitab as-Sunan tersusun atas bab-bab figh seperti kitab as-Sunan yang fain. An-Nasa’iy telah meneliti secermat mungkin dalam menyusun kitabnya as-Sunan ash-Shughra, Itulah sebabnya para ulama berkata :

 

“Sesungguhnya derajat as-Sunan ash-Shughra adalah berada sesudah kedua kitab shahih, karena kitab ini paling sedikit kelemahannya di antara kitab-kitab sunan. Oleh karena itu kita dapati bahwa hadits-hadits yang dikritik oleh Abul Faraj Ibnu Jauzi dalam as-Sunan ash-Shughra dan dihukuminya sebagai maudlu’ adalah sedikit sekali, yaitu sepuluh .hadits. Menghukumi hadits-hadits itu sebagai maudiu’ bukanlah sesuatu yang bisa diterima. Bahkan asSuyuthi menentangnya mengenai hal itu dan berbeda dengannya mengenai.. banyak hadits yang dinilainya maudiu’.”

 

Dalam Sunan an-Nasa’ly ash-Shughra terdapat hadits shahih, hasan dan dlo’if, tetapi sedikit.

 

Jalaluddin as-Suyuthi telah menjelaskannya dan dikomentari oleh Abul Hasan Nuruddin Ibnu Abdil Hadi as-Sindi.

 

Ia adalah al-lmam al-Muhaddits Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rub’iy al-Qazwaini, nisbat kepada wilayah Qazwin, karena di situlah ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia telah berkeliling untuk menuntut ilmu ke kota-kota Iraq, Hijaz, Syam, Persi, Mesir. Ia berpindah-pindah ke Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Damsyik, Rayyi dan Fusthath.

 

Kitab As-Sunan Oleh ibnu Majah

 

Ia mempunyai kitab as-Sunan tentang ilmu hadits. ia telah menunjukkannya kepada Abu Zur’ah. Abu Zur’ah memeriksanya dan kagum dengannya, ia berkata : “Saya kira jika kitab ini berada ditangan-tangan orang banyak, tidaklah terpakai kitab-kitab al-Jaami’ atau sebagian besarnya.” Kemudian ia berkata : “Barang kali tidak sampai 30 hadits yang ada kelemahan dalam isnadnya.”

 

Al-Marwazi telah mendlo’ifkan hadits-haditsnya yang ia riwayatkan sendiri dari selainnya dari kitab-kitab-yang enam dan itu adalah pendapat yang tertolak.

 

Yang pertama memasukkannya di antara enam kitab hadits dan menjadikannya salah satu darinya adalah Abut Fadi bin Thahir al-Maqdisi, kemudian al-Hafidh Abdul Ghani al-Maqdisi.

 

Abul Hasan Nuruddin Ibnu Abdil Hadi as-Sindi yang wafat pada tahun 1138 Hijriyah telah mensyarahkannya dengan syarah yang lembut dan dikomentari oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy dan al-Hafidh Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiri mengkhususkan hadits-hadits -yang selebihnya di samping membicarakan mengenai sanad-sanadnya dalam kitabnya yang khusus, yaity Mishbahy Zujaajah fi Zawaaid Ibni Majah, dan kitab inj telah diterbitkan dengan penelitian dan komentar asy-Syeikh al‘Allaamah Muhammad al-Muntaqa al-Kasynawi.Semoga Allah memutihkan wajah-wajah para imam hadits dan membalas mereka dengan sebaik-baik pembalasan karena pengabdian mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin dan kerja keras mereka dalam memelihara sunnah sebaik-baik Rasul serta memberi kita manfaat dengan ilmu mereka.

 

Sesungguhnya Allah Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan doa.

 

Berlangsung pertarungan yang terus menerus antara islam dan musuh-musuhnya yang diwakili oleh kaum zindiq Persi dan lainnya di masa-masa peradaban Islam dan pada sebagian penganut pendapat-pendapat rusak dan bathil. Kemudian pesmusuhan itu muncul di masa-masa belakangan dalam baju orientalisme dan melalui para orientalis dengan pembahasan dan penelitian.

 

Para musuh itu telah berupaya sebelumnya untuk menimbulkan keraguan pada kaum muslimin mengenai Sunnah Nabawiyah dan menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang rendah ini. Terkadang dengan menimbutkan keraguan mengenai keshahihannya dan menganggapnya hadits ahad, bukan mutawatir. Terkadang dengan -mengarang riwayat-riwayat yang .menampakkan hadits-hadits dengan bentuk yang menunjukkan kedangkalan dan keluguan dalam berfikir serta bertentangan dengan kenyataan yang kongkrit atau akal yang jelas atau penukilan yang benar atau pengalaman yang bisa diterima dan berbagai cara lainnya. .

 

Kemudian para penginjil dan orientalis muncul di masa-masa modern, lalu mengambil alih tuduhan-tuduhan dan kitikan-kritikan ini dan menambahinya sesuai keinginan mereka dan menggunakannya lebih banyak dart pada yang dilakukan sebelumnya dan menyiarkannya kepada orang banyak.

 

Semua Ini tidaklah mengherankan bila kita ketahui bahwa orientalis atau penginjil ini tidak menganut agama Islam dan setiap orang yang tidak menganut agama Islam adalah kafir dalam pandangan Islam dam iapun sengsara,: jauh dari kebenaran, sesat, rugi, tidak diterima amatnya (sunnah dan fardhu). Ia tetap dalam kesesatan selama belum kembali kejalan yang benar.

 

Oleh karena itu tidak bisa dibayangkan bahwa orang itu akan bersikap adil, jujur, tidak fanatik dalam penilaiannya atau pengkajiannya terhadap Islam.

 

Sesungguhnya bila ia memang benar ingin bersikap adil, jujur dan tidak fanatik, maka artinya ia harus menghukumi dirinya dengan kufur, kesengsaraan, kebodohan, kejauhan dari jalan kebenaran dan jalan yang lurus dan kerugian yang nyata. Apakah orang yang berakai rela dengan sikap ini ?.

 

Maka tidak mungkin pembahasan atau pengkajian mereka kosong dari celaan dan cercaan yang jauh atau tersembunyi dan tidak boleh bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya SAW, dan cemburu kepada agamanya, untuk menerima apa-apa yang. keluar dari mereka dengan penuh kepercayaan, ketenangan dan baik sangka.

 

Kita kaum muslimin mendapat cobaan dari orangorang yang sebangsa dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita. Mereka nisbatkan diri mereka kepada ilmu dan syari’at, padahal mereka paling jauh ilmu dan akhlaknya dari syari’at. Mereka menerima tuduhan dan kritikan guru-guru mereka para orientalis dan mereka menyiarkannya.

 

Seakan-akan itu adalah penemuan ilmiyah baru, bahkan mereka lebih keras hawa nafsu dan fanatismenya dan melancarkan permusuhan yang nyata terhadap asSunnah dan Ulamanya daripada para orientalis itu.

 

Kita bisa memaafkan sebaglan pengkaji di antara saudara-saudara dan anak-anak kita yang kita ketahul kelslaman mereka yang tulus dan niat mereka yang baik, akan tetapi mereka mengikuti jejak musuh kaum Muslimin dan terpengaruh oleh pendapat-pendapat mereka.

 

Sebabnya ialah mereka tertipu oleh penelitian ilmiyah yang dusta yang dikelabul oleh musuh-musuh ini, yaitu para orientalis dan sejarawan Barat untuk menyembunyikan hakikat sasaran dan tujuan mereka. Ternyata mereka yang muslim ini ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh mereka itu, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani atau kaum kolonial dengan menyiarkan keraguan dan kebimbangan mengenai Islam dan para pembawanya, baik mereka ketahui atau tidak mereka ketahui, maka bertemulah musuh-musuh islam dengan para pemeluknya di atas satu tujuan.

 

Alangkah bagusnya analisis almarhum asy-Syeikh Musthafa as-Siba’iy dan penjelasannya tentang sebab-sebab tertipunya mereka itu oleh para orientalis dan jatuhnya mereka dalam perangkap kaum orientalis itu.

 

Ia menjelaskan bahwa sebab-sebab itu kebanyakan kembali kepada empat hal :

 

  1. Ketidaktahuan saudara-saudara kita yang tertipu itu dengan hakikat-hakikat pusaka Islam dan mereka tidak ditunjukkan kepada sumber-sumbernya yang jernih.

 

  1. Tertipunya mereka oleh metode ilmiyah palsu yang diakui oleh lawan-iawan itu.

 

  1. Keinginan mereka untuk mencari popularitas dan upaya pembebasan pikiran dari ikatan tradisi -sebagaimana pengakuan mereka-.

 

  1. Keberadaan mereka di bawah pengaruh hawa nafsu dan penyimpangan pikiran yang mereka tidak menemukan jalan untuk mengungkapkannya, kecuali dengan bersembunyi di belakang para orientalis dan penulis itu.

 

Ini keterangan ringkas yang kami tidak ingin menyampaikannya untuk menolak setiap tuduhan dan membantah setiap kebohongan yang ditontarkan kepada sunah yang suci. Kami hanya menggugah pembaca yang bijak untuk memperhatikan benar-benar dari hakikathakikat ini agar tidak terlupakan olehnya.

 

Allah telah memberi taufiq kepada sebagian Ulama tekemuka. Maka mereka menutfis dalam hal ini dan ‘mengungkapkan panjang lebar pembelaan mereka dalam tulisan yang bermutu dan berbobot.

 

Di antara mereka adalah :

 

1) Almarhum al-Ustadz asy-Syeikh Musthafa as-Siba’iy dalam kitabnya as-sunnah wa makanatuha fit tasyri’il tslami.

 

2) Almarhum asy-Syeih Muhammad Abdur Razzaq Hamzah dalam kitabnya yang berjudul Dhulurmnaat Abs Rayyah dimana ia menyanggah Muhammad Abi Rayyah penuiis kitab Adhawaad’ ‘alaa Sunnatil Masyhuurah bil Abaathiii wal Akaadziib. ;

 

3) Almarhum asy-Syeikh Abdurrahman. bin Yahya Mutallimi daiam kitabnya yang bejudul al-anwaarul kaasyifah di mana ia menyanggah Abi Rayyah.

 

4) Al-Ustadz . asy-Syeikh muhammad as-Samahi’ dalam kitabnya Abu Hurairah fil Miizaan.

 

5) Al-Ustadz asy-Syekh Muhammad Abu Zuhrah daiam kitabnya al-Hadits wal Muhadditsun.

 

6) Al-Ustadz asy-Syeikh Muhammad Abu Syuhbah dalam kitabnya Difaa ‘anis Sunnah.

 

7) Asy-Syeikh Muhammad Ajjaj af-Khatib dalam kedua kitabnya as-Sunnah Qablat tadwiin dan Abu Hurairah Raawiyatul islam. .

 

8) Pengarang kitab ini Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam sebuah risalah ringkas berjudul Mauqiful Muslim min Diraasaatil Mustasyriqin (sikap Muslim terhadap kajiankajian kaum orientalis).

 

Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam. kepada Sayyidina Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya. Kitab ini telah selesai ditulis di Makkah alMukarramah tanggal 29 Rabi’utts Tsaani tahun 1395 Hijriyah.

 

Yang mengharap Maaf Tuhannya

 

Muhammad bin Alawi al-Maliki