Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan petunjuk dari-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya dan Barang siapa yang Allah sesatkan maka tak seorang pun dapat memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi, bahwa tidak ada tuhan yang benar selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

 

Sesungguhnya semua kebaikan, taufik, kesuksesan, keselamatan dan petunjuk hanyalah diperoleh dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Seorang muslim dan seorang yang berakal tidak akan meragukan hal tersebut, demikian pula orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolaknya. Allah Yang Maha Mulia dan Maha Suci berfirman:

 

“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab’ (Al-An’am: 38)

 

Dalam suatu ayat Dia mengabarkan tentang Kitab-Nya:

 

“Ini (Al Qur’an) adalah petunjuk” (AI Jaatsiyah: 11).

 

Dan Dia ‘azza wa Jalla berfirman:

 

“Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (Al Jaatsiyah: 20)

 

Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas Kitab Allah, dan ucapan Beliau shallallahu alaihi wasallam adalah wahyu, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala:

 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (An Najm: 3-5)

 

Oleh karena itu, maka setiap orang yang bersemangat meraih kebaikan-kebaikan hendaknya mempunyai ketetapan hati untuk senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mau mempelajari dan mendalami agama, menyandarkan pemahamannya kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, serta menempatkan semua nash sesuai dengan kedudukannya. Pada saat itulah akan tampak jelas olehnya sejauh mana urgensi firman Allah ‘azza wa Jalla:

 

“Allah menganugerahkan al-hikmah (paham yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendaki. Dan Barang siapa dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al Baqarah: 269)

 

Dan sabda Nabi:

 

“Barang siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”!

 

Bila Allah telah memberi karunia kepada seorang hamba berupa pengetahuan (ilmu) tentang Al Kitab dan As Sunah, mengetahui Sunah yang sahih dari yang saqim (lemah/cacat) yang tidak ditetapkan darinya (tidak ditetapkan bahwa hal tersebut berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -ed). Allah memberi rezeki berupa pemahaman terhadap Al Kitab dan As Sunah, bersamaan dengan itu Allah memberi rezeki berupa keikhlasan, maka sungguh! ia telah mengumpulkan semua kebaikan, mendapatkan taufik di dunia dan di akhirat dan sukses dalam muamalah (berhubungan) bersama manusia. Karena pemahaman terhadap Al Kitab dan As Sunah adalah dasar dalam mencapai kesuksesan pada semua sisi kehidupan, yang mana sisi ini dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa Jalla.

 

Di hadapan kita sebuah pembahasan yang amat penting, sangat dibutuhkan untuk dipahami oleh semua orang, ayah dan putranya, ibu dan putrinya, seorang suami dan istrinya, seorang anak kecil laki-laki dan wanita, mereka semuanya mendapatkan perhatian dalam pembahasan ini. Ketahuilah! Pembahasan ini ialah mengenai masalah Fiqh pergaulan keluarga. Dalam buku ini saya berikan cara pembahasan yang khas hingga semua pihak mengetahui hak kewajiban dan bagaimana cara bergaul dengan orang lain berdasarkan Al Qur’an dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta kehidupan pendahulu kita yang shalih. Sehingga seorang hamba akan menjalani hidupnya dengan jalan yang terbimbing, jalan utama yang lurus yang dapat menyampaikannya ke surga nan penuh kenikmatan. Sebagai permulaan saya menyemangati diri saya sendiri dan pembaca sekalian untuk memperbanyak istigfar dari dosa-dosa, sebab dosa-dosa menghalangi seseorang memahami (kebenaran).

 

Kemaksiatan dan dosa membuat tabir kabut dan noda hitam dalam hati, sebagaimana yang Nabi sabdakan?: “Sesungguhnya seorang mukmin bila berbuat dosa maka terdapat satu titik hitam dalam hatinya. Bila ia tobat dan membuang dosanya serta meminta ampunan, maka hatinya mengkilap. Bila bertambah dosanya bertambah titik hitam hingga menutup hatinya. Itulah ‘kotoran’ yang disebut Allah ‘azza wa Jalla dalam firman-Nya:

 

“Sekali-kali tidak, bahkan di dalam hati mereka ada kotoran disebabkan apa-apa yang mereka usahakan.” (Al Muthaffifin: 14).

 

Dosa-dosa dan kemaksiatan inilah yang mendatangkan berbagai musibah dan menghilangkan kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan musibah-musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan ulah tangan-tangan kalian…” (Asy Syura: 30)

 

Dan Dia berfirman: “

 

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka.” (An-Nisaa’: 160)

 

Tidak adanya kepahaman terhadap Al Qur’an dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk salah satu musibah dari musibah-musibah yang ada, dan takwa kepada Allah adalah salah satu prasyarat untuk sampainya ilmu dan pemahaman kepada seseorang, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 

“…Dan bertakwalah kepada Allah, dan Allah mengajarkan kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqarah: 282) .

 

Sudah seharusnya bagi setiap orang yang membaca dan mendengar kitab ini memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya setiap kali disebut nama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan setiap kali membaca sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab para malaikat menyampaikan salam kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Barang siapa yang membaca shalawat kepadaku sekali, maka Allah memberinya shalawat sepuluh kali.”

 

Buku ini merupakan hasil rekaman ceramah yang saya sampaikan di Mesir, kemudian datang permintaan beberapa pendengar melalui surat. Kemudian saya teliti hadits-haditsnya dan takhrijnya secara ringkas ……

 

Saya meminta pada Allah agar memberi manfaat pada kita dan kaum muslimin melalui buku ini, meluruskan keluarga mereka dan membalut luka-luka mereka. Dan Allah Maha Menguasai niat di balik itu. Hanya dengan bimbingan-Nya kita berjalan dan kepada-Nya kita bertawakal dan bertobat.

 

Semoga shalawat dan salam tercurah pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan sahabat-sahabatnya. .

 

Disusun oleh: Abu Abdillah/Musthafa bin Al ‘Adawi Syalbayah Mesir – ad Dighaliah – Maniah – Samnud

 

ALLAH Ta’ala berfirman:

 

“Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita-wanita.” (An Nisaa’: 34)

 

Setiap rumah pasti membutuhkan seorang pemimpin yang tinggal di dalamnya, mengatur urusannya, mengurusinya, memeliharanya, dan menjaganya. Pemimpin ini harus didengar ucapannya dan ditaati (perintahnya) selama dia tidak memerintah berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala,

 

Pemimpin rumah tersebut ialah seorang laki-laki. Jabatan yang ia sandang ini merupakan mandat dari Allah Ta’ala, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An Nisaa’: 34)

 

Firman Allah Ta’ala di atas memberikan keterangan bahwa jabatan yang Allah anugerahkan kepada para suami (bahwa) mereka sebagai pemimpin bagi para istri karena dua sebab.

 

Pertama:

 

Keutamaan yang Allah anugerahkan kepada suami. Yakni laki-laki diciptakan lebih kuat badannya, akalnya, kesabarannya dan satu kelebihan (keistimewaan) yang khusus dimiliki oleh mereka yaitu kenabian, demikian pula tentang kekhilafahan. Allah menjadikan saksi seorang laki-laki sebanding dengan saksi dua orang wanita, memberikan padanya warisan lebih banyak dari wanita, memberikan hak kepadanya untuk beristri empat orang, sementara wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami, menjadikan hak talak, nikah dan rujuk di tangan laki-laki. Demikian juga masalah nasab anak. Allah Ta’ala menjadikan nasab anak disandarkan pada bapak-bapak mereka bukan. pada ibu dari anak-anak, memerintahkan jihad pada laki-laki tidak pada para wanita, dan demikian pula kebanyakan masalah amar makruf nahi munkar berkaitan dengan laki-laki bukan pada wanita, dan lain-lain.

 

Kedua:

 

Laki-laki menjadi pemimpin istrinya disebabkan infak yang dikeluarkan oleh laki-laki seperti yang disebutkan dalam firman Allah:

 

“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An Nisaa’: 34).

 

Seorang laki-laki memberi nafkah kepada istrinya semenjak terjadinya akad nikah. la wajib membayar mahar, memberi pangan, pakaian dan papan (tempat tinggal) serta semua nafkah yang wajib diberikan kepada istri oleh suami. Walaupun ia telah menceraikan istrinya, ia tetap diwajibkan memenuhi hak bekas istrinya dengan hartanya, memberikan tempat tinggal dan sebagainya.

 

Maka seorang suami menjadi pemimpin bagi istrinya dengan dua sebab yang telah Allah sebutkan dalam firman-Nya:

 

“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (An Nisaa’: 34)

 

Hal ini ditegaskan lagi dalam firman-Nya: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.“(Al Baqarah: 228)

 

Makna tersebut lebih dikuatkan lagi oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud pada seseorang (yang lainnya) tentu akan aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.”

 

Terdapat riwayat yang hasan sanadnya dari hadits Abi Said Al Khudry radhiyallahu ‘anhu’ bahwa seorang laki-laki membawa seorang anak wanitanya menghadap Nabi Shallallahu “alaihi wasallam, ia berkata, “Anakku ini menolak untuk menikah.” Nabi berkata pada anaknya, “Taatilah bapakmu.”

 

Anak wanita itu berkata, “Tidak, sebelum engkau memberitahukan kepadaku apakah hak seorang suami atas istrinya ?” Ucapan anaknya membuatnya gusar. Lalu Nabi berkata, “Hak seorang suami atas istrinya ialah seandainya suami luka lalu sang istri menjilatinya, atau seandainya kedua hidung suaminya keluar nanah. lalu istrinya menjilat nanah itu maka istri tersebut belum menunaikan haknya (suami).”

 

Anak wanita itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan hak, aku tidak akan menikah selamanya.” Nabi bersabda, “Janganlah kalian menikahkan anak-anak wanitamu sebelum mereka menyetujuinya.”

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya siapakah wanita terbaik? Beliau menjawab:

 

“Wanita yang menyenangkan suaminya bila dilihat, menaati suami bila diperintah dan tidak menyelisihi suaminya pada perkara yang dibenci pada dirinya dan harta suaminya.”

 

Seorang istri tidak diperbolehkan puasa kecuali dengan sepengetahuan suaminya (yakni apabila seorang istri akan melakukan puasa sunah maka harus dengan izin suaminya-ed).

 

Seorang istri tidak diperbolehkan memberi izin seorang pun berada di rumahnya kecuali dengan izin suaminya.!

 

la Tidak diperkenankan pergi ke masjid kecuali dengan izin suami.!

 

Bila suami mengajak istrinya ke tempat tidur, wajib bagi istri menaatinya. Bila ia menolak maka para malaikat melaknatnya hingga subuh dan Dzat yang di langit murka padanya.

 

Masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan kepemimpinan lelaki atas wanita. Dan tidak pantas bagi wanita untuk memprotes pembagian Allah Yang Maha Tinggi, Maha Bijaksana, Maha Lembut dan Maha Mengetahui ini. Dia telah berfirman:

 

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An Nisaa’: 32)

 

Sudah seyogyanya bagi seorang suami untuk mengajari istrinya tentang ilmu pengetahuan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim: 6)

 

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Malik bin Huwairits dan orang-orang yang bersamanya:

 

“Kembalilah kepada keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka ilmu dan perintahkanlah kepada mereka (kebaikan).”

 

Kekuasaan seorang suami sebagai pemimpin tidak terbatas hanya mengurus istri saja, akan tetapi ia juga bertanggung jawab atas anak laki-laki dan anak wanitanya. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim: 6).

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Maka seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anak suaminya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan dia akan ditanya atas kepemimpinannya. Ketahuilah, kalian adalah pemimpin dan akan ditanya atas kepemimpinannya.”

 

Kepemimpinan tidaklah diidentikkan dengan kekerasan dan kekakuan seorang suami dalam rumahnya. Tetapi yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami ialah menghiasi diri dengan akhlak yang baik dan lemah lembut. Adalah nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam -sebaik-baik manusia merupakan pemilik akhlak mulia dan lurus; sementara kita diperintah menaati, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, sungguh Allah telah menganugerahkan sifat lemah lembut padanya dan memerintahkan bersikap ramah kepada kaum mukminin. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)

 

Dan Allah berfirman:

 

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’araa’: 215)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan kita berbuat lemah lembut (dalam sabdanya):

 

“Wajib bagimu berbuat lemah lembut.”

 

Dan beliau menganjurkan berakhlak lemah lembut dengan sabdanya:

 

“Sesungguhnya tidaklah kelemah lembutan berada pada sesuatu melainkan akan memperindah sesuatu tersebut dan tidaklah perangai ini dicabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya tercela.”

 

Dan berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Sesungguhnya Allah menyukai kelemahlembutan dalam segala perkara.”

 

“Dan Allah memberikan kepada perangai lembut ini apa yang tidak diberikan pada perangai keras (kasar) dan apa yang tidak diberikan pada selainnya.”

 

Apabila Allah ‘azza wa Jalla memerintahkan seorang istri menaati suaminya, maka seharusnya seorang suami -sebagaimana yang telah kami sebutkan memudahkan semua urusan, lembut, murah hati dan bersabar.

 

Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan seorang istri sebagai tempat yang bisa menenteramkan hati suami. Maka seharusnya ia bersikap penyayang dan mencintai istrinya.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar Ruum: 21)

 

Dan Dia berfirman:

 

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia ciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (Al A’raaf: 189)

 

Seorang istri yang shalihah adalah sebaik-baik perhiasan simpanan seorang suami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah…”

 

Maka bagi seorang suami haruslah mempunyai watak yang baik dan murah hati dalam pergaulannya bersama istrinya.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik pergaulannya terhadap istrinya.”

 

Seorang istri adalah tawanan di sisi suaminya, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Istri-istri hanyalah tawanan-tawanan di sisi Kalian.” Oleh karenanya terdapat banyak wasiat dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam buat mereka. Dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (bahwasanya) beliau bersabda:

 

“Barang siapa beriman dengan Allah dan hari akhir maka janganlah mengganggu tetangganya…dan berilah wanita-wanita wasiat yang baik. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka bila engkau luruskan akan patah, dan bila engkau biarkan maka akan tetap bengkok. Maka berilah wanita-wanita wasiat yang baik.”

 

Dalam Sahih Ibnu Hibban disebutkan hadits Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Wanita ibarat tulang rusuk. Bila engkau luruskan, maka engkau akan mematahkannya. Rumahnya adalah tempat engkau hidup.”

 

Allah Ta’ala memerintahkan para suami bergaul dengan baik terhadap istri-istri mereka dalam banyak ayat, antara lain:

 

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (An Nisaa’: 19)

 

“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah: 229)

 

“Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisaa’: 34)

 

Wahai para suami! Janganlah nafsumu menguasaimu untuk menzalimi istrimu padahal ia menaatimu. Karena engkau lebih tinggi dan lebih kuat dari istrimu.

 

Ingatlah sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar, mampu murka kepadamu dan menolongnya serta menolak kezaliman yang datang kepadanya.

 

lbnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat di atas berkata:

 

“Yakni apabila seorang istri telah menaati semua keinginan suami yang dibolehkan syariat, tidak ada alasan bagi suami menghukum istrinya setelah itu. la tidak diperbolehkan memukul dan mengasingkannya. Firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, adalah sebagai ancaman bagi para suami yang kejam terhadap istri-istri mereka tanpa ada sebab, Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar, penolong mereka dan murka pada orang yang menganiaya dan berlaku kejam pada mereka.”

 

Senada dengan ucapan Ibnu Katsir adalah ucapan lbnu Jarir At Thabari. Akan tetapi ada sedikit tambahan redaksi yang kesimpulannya adalah bahwa seorang istri apabila telah menaati suaminya sementara ia tidak mencintai suaminya, maka janganlah seorang suami memaksanya untuk mencintainya dan menyakitinya. Karena sesungguhnya rasa cinta bukan ciptaannya. Wallahu a’lam.

 

Salah satu faktor keberhasilan kehidupan berumah tangga adalah adanya sikap saling mengerti perangai masing-masing, tahu apa yang dibencinya dan yang diridhai serta berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melakukan perkara yang menyenangkan perasaannya selama dalam batasan yang diperbolehkan syariat. Maka sudah seharusnya bagi seorang suami mengetahui sifat-sifat istrinya dan perkara-perkara yang sudah lazim bagi sifat-sifat itu, hingga ia dapat mengendalikan istri dengan baik dan dapat meraih apa yang diridhai Allah dengannya. Dengan demikian sifat-sifat itu menjadi sebab kebahagiaan suami istri dan anak-anak mereka di dunia dan akhirat.

 

Termasuk sifat-sifat wanita adalah kurang akal dan agama. Dalam kitab As Sahih dari hadits Abi Sa’id al Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Wahai para wanita, bersedekahlah karena sesungguhnya diperlihatkan padaku kebanyakan penduduk neraka adalah kalian.” Mereka bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kalian banyak melaknat dan kalian mengingkari kebaikan suami. Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan kurang agamanya lagi sangat potensial melemahkan laki-laki yang kuat selain salah seorang di antara kalian.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kekurangan akal dan agama kami?” Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bukankah saksi seorang wanita sama dengan setengah saksi seorang laki-laki?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Demikian itu adalah kekurangan akal wanita. Bukankah bila seorang wanita haid ia tidak Shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah berkata, “Demikian itu adalah termasuk kekurangan agamanya.”

 

Dan yang menguatkan hal ini -yakni keadaan wanita kurang akalnya adalah kebanyakan dari para ahli tafsir ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:

 

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An Nisaa’: 5)

 

mereka berkata bahwa yang dimaksud  (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah para wanita dan anak-anak.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Wanita itu seperti tulang rusuk yang bengkok. Bila engkau luruskan maka patah dan bila engkau bernikmat-nikmat dengannya pun dapat engkau lakukan. Tetapi padanya terdapat kebengkokan.”

 

Di depan telah disebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“…Berwasiatlah kebaikan buat wanita, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila engkau meluruskannya akan patah dan bila engkau – tinggalkan terus bengkok. Berwasiatlah kebaikan buat wanita.”

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (Az Zukhruf: 18)

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al Baqarah: 228)

 

Dalil-dalil di atas menunjukkan atas kelemahan dan kekurangan akal wanita. Apabila demikian perkaranya dan seorang suami mengetahui keadaan istrinya demikian maka ia memperlakukan istrinya sesuai dengan kadar kemampuan akalnya. Dan sudah dimaklumi seseorang memperlakukan orang lain sesuai dengan kadar kemampuan akalnya. Seorang yang kuat daya nalarnya, apabila bergaul dengan orang yang lemah akalnya, anak-anak dan orang gila tentu sesuai dengan kemampuan berpikir mereka. Apabila seorang berakal menghukum anak kecil karena semua perbuatan yang dilakukannya, maka orang tadi dianggap kurang berakal.

 

Bisa jadi di antara mereka ada yang berkata: “Lihatlah orang itu, akalnya sama dengan akal anak-anak.”

 

Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan tentang keadaan ahli iman:

 

“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al Furqan: 72)

 

Demikianlah, pergaulan seorang suami bersama istrinya. Janganlah seorang suami menghukum semua kesalahan yang diperbuat oleh istrinya. Akan tetapi bila istrinya berbuat 10 kesalahan maka seharusnya ia hanya menghukum tiga atau empat atau lima dan memaafkan ‘kesalahan lainnya. Adapun bila ia menghukum semua/ sepuluh kesalahan istrinya maka ia telah menjadikan akal dirinya sama dengan akal istrinya dan ia menghukumi diri sendiri bahwa ia seorang lelaki yang kurang akal dan bodoh.

 

Berangkat dari situlah diriwayatkan sebuah atsar dari lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata: “Aku tidak suka mengambil semua hakku atas istriku, karena Allah berfirman: “Akan tetapi para suami, mempunyai kelebihan daripada istrinya.”

 

Dan makna perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah: “Aku tidak suka untuk mengambil hakku seluruhnya dari istriku akan tetapi aku tinggalkan sebagian hak itu untuknya karena Allah Ta’ala berfirman: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al Baqarah: 228).”

 

Dan yang semisal dengan itu ialah firman Allah Ta’ala:

 

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah).’” (At Tahriim: 3) –

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan pembicaraan dengan sebagian istrinya yang mereka merupakan sebaik-baik dan seutama-utama wanita dan menyampaikan pesan padanya agar tidak mengabarkan pembicaraan itu pada seorang pun. Tetapi ia keluar dan mengabarkannya. Kemudian Allah memberitahukan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tindakan sebagian istrinya itu. Tatkala datang ayat yang mencela mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghukum semua kesalahan yang dilakukan sebagian istrinya itu, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

 

“….lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)

 

Sudah dimaklumi bahwa Allah Ta’ala menganjurkan kepada orang beriman untuk memaafkan kesalahan-kesalahan orang yang bodoh. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu ?…” (An Nuur: 22)

 

Hendaknya seorang suami pandai-pandai mengerti sifat wanita pada umumnya, bahwa mereka suka berkilah. Terkadang seorang istri menampakkan suatu perkara dan menyembunyikan perkara yang lain. Walaupun sifat negatif ini (juga) dijumpai pada diri  laki-laki akan tetapi pada wanita lebih dominan. Terkadang seorang istri melakukan kesalahan tetapi : ia lemparkan kesalahan itu kepada orang lain. Hal ini tampak sekali pada perbuatan istri Al ‘Aziz pada zaman Nabi Yusuf ‘alaihis salam.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai kata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu, dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: – “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih ?” (Yusuf: 23-25)

 

Imam Bukhari mengeluarkan dalam Sahihnya dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat sakitnya: “Perintahkan Abu Bakar shalat mengimami manusia.” Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar bila menggantikanmu (menjadi imam) niscaya manusia tidak dapat mendengarkan bacaannya karena tangisannya. Maka perintahkanlah Umar shalat mengimami manusia.” Aisyah berkata, “Aku berkata kepada Hafsah; ‘Katakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya Abu Bakar bila berdiri di tempatmu, manusia (makmum) tidak dapat mendengar suaranya karena tangisannya, maka perintahkan Umar mengimami manusia.’ Lalu Hafsah melakukan pesan Aisyah. Rasulullah berkata, “Ah…Sesungguhnya kalian ini seperti wanita-wanita yang berusaha memperdaya Nabi Yusuf. Perintahkanlah Abu Bakar mengimami manusia.” Berkatalah Hafsah kepada Aisyah, “Aku tidak mendapatkan kebaikan darimu.”

 

Saya katakan: Sisi kemiripan para wanita (istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) dengan wanita-wanita yang berusaha memperdaya Nabi Yusuf ialah apa yang dikatakan Aisyah setelah kejadian itu (sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari dalam Al Maghazi 8/140),

 

“Sungguh aku sering usul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal ini. Aku lakukan demikian karena aku tidak suka ada seorang pun menggantikan beliau di tempatnya selama-lamanya. Dan saya berpendapat bila ada seorang mengganti kedudukannya maka manusia akan sial. Maka aku ingin Rasulullah tidak menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti beliau.”

 

Dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim?? dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak bepergian mengundi istri-istrinya. Akhirnya undian itu dimenangkan oleh Aisyah dan Hafsah. Dan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila malam tiba, beliau berjalan bersama Aisyah sambil berbincang-bincang, maka berkatalah Hafsah, “Silakan engkau mengendarai untaku dan aku mengendarai untamu, engkau dan aku menunggu (kedatangan Rasulullah).” Aisyah menjawab, “Baiklah, aku menunggang untamu.” Kemudian Rasulullah mendatangi unta Aisyah sedangkan di atasnya Hafsah maka beliau memberi salam kepadanya kemudian berjalan. Ketika mereka singgah di satu tempat, Aisyah meletakkan kedua kakinya di rerumputan yang kering dan berkata, “Wahai Tuhanku, datangkanlah seekor kalajengking atau ular yang akan menyengatku dan aku tidak dapat mengatakan sepatah kata pun untuknya.”

 

Namun terkadang kilah mereka pada perkara yang baik. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Sahihnya dari hadits Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha katanya, “Aku mengurus rumah Zubair…Pada suatu hari seorang laki-laki mendatangiku dan berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku adalah seorang fakir aku ingin berjualan di halaman rumahmu.”

 

Berkata Asma, “Bila engkau kuperbolehkan berjualan di situ maka Zubair akan menolakmu, mintalah padaku ketika Zubair ada di sisiku.”

 

Lalu lelaki itu datang dan berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang miskin hendak berjualan di halaman rumahmu.” Pinta lelaki itu kepada Asma yang di samping Zubair.

 

Asma berkata, “Apakah tidak ada rumah di Madinah selain rumahku ?”

 

Zubair menyahut, “Apa alasanmu menolak seorang lelaki miskin berjualan”. Maka orang itu berjualan sampai ia mendapat laba. Dan aku pernah menjual seorang budak wanita kepadanya. Lalu, masuklah Zubair ke tempatku, sedangkan uang hasil penjualan itu ada di kamarku.

 

Zubair berkata, “Berikan uang itu untukku !”

 

Asma berkata, “Telah saya sedekahkan”.

 

Apabila muncul sesuatu yang tidak disukai dari suami, janganlah seorang istri mengingkari dan melupakan semua kebaikan suaminya. Nabi Shallallahu ‘alaihi , wasallam telah memperingatkan dengan keras dan telah menerangkan bahwa kufur terhadap suami dan mengingkari kebaikannya adalah salah satu sebab masuknya seorang istri ke neraka. Pada waktu terjadi gerhana matahari di jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau shalat gerhana, beliau bersabda setelahnya: “Aku melihat surga -atau aku diperlihatkan surga lalu aku bagimu hanyalah seorang tamu yang bisa saja segera berpisah dengan kamu menuju kami.”

 

Dari Hushain bin Muhshan?’, bahwa budak wanitanya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan, setelah menyelesaikan hajatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau mempunyai suami?” la menjawab, “Ya.” Beliau bertanya (lagi), “Bagaimana engkau melayaninya?” la menjawab, “Aku tidak mengabaikan urusannya selain perkara yang aku tidak mampu.” Beliau bersabda:

 

“Maka lihatlah di mana kedudukanmu di Sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.”

 

Tidak sepantasnya seorang suami benci pada istrinya. Karena kalau pun ia membenci sebagian akhlak istrinya, di sisi lain ia akan menyukai akhlak-akhlaknya yang lain. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

 

“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisaa’: 19)

 

Jarang sekali terkumpul semua kebaikan pada diri seorang wanita.

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya manusia itu seperti seratus unta yang hampir tidak ada satu pun di antara mereka yang layak dinaiki. “ Maka dari itulah hampir tidak ditemukan seorang laki-laki pemberani, pemimpin, dermawan, murah hati, alim, suka berbuat baik, suka bersedekah, pandai menahan amarah, pemaaf, sabar, shalat tahajud, puasa di siang hari, senang menyambung tali silaturahmi, berbakti kepada kedua orang tua….

 

Sedikit sekali semua sifat kebaikan ditemukan terkumpul pada diri seseorang. Seperti satu di antara seratus unta, terkumpul pada satu unta sifat tahan lapar dan haus, cepat jalannya, tenang perangainya, banyak air susunya….jarang sekali ditemukan unta yang seperti ini.

 

Demikian juga keadaan manusia, seperti seratus unta, hampir tidak ditemukan seekor unta yang layak dinaiki. Wanita yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok tentu lebih sedikit lagi terkumpul padanya sifat-sifat kebaikan. Kita dapat melihat, terkadang satu wanita memiliki paras cantik tetapi lisannya kotor. Terkadang berparas cantik, baik ucapannya, manis kata-katanya, tetapi ia boros dan tidak ekonomis. Terkadang cantik, baik akhlaknya, baik terhadap suami, pandai mengatur rumah, tetapi tidak pandai memasak dan membuat kue. Dan terkadang ada yang cantik, taat pada suami, ekonomis dan baik pekerjaannya tetapi sedikit ibadahnya, dan seterusnya.

 

Pada kenyataannya memang demikian. Pada wanita terdapat kebengkokan, sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka seperti tulang rusuk dan ranting yang ujungnya bengkok. Bila kita luruskan maka patah dan bila kita biarkan maka tetap dalam keadaan semula. Demikian pula seorang istri bila kita terlalu keras dalam meluruskan perangainya yang bengkok (negatif) maka patah yakni akan terjadi perceraian. Dan bila kita hendak bersenang-senang dengannya dapat kita lakukan tetapi ia tetap membawa sifat kebengkokan itu.

 

Sifat-sifat negatif pasti ditemui pada diri wanita, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“jika kamu membiarkannya, niscaya akan tetap bengkok.’”

 

Kita tidak menganjurkan supaya mereka dibiarkan dengan sifat-sifat negatifnya. Akan tetapi yang seharusnya dilakukan adalah berupaya meluruskannya dengan lemah lembut sesuai dengan kemampuan yang ada walaupun tidak bisa mencapai kesempurnaan sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Bila kamu hendak bersenang-senang dengannya, maka kamu dapat melakukannya tetapi padanya terdapat kebengkokan.”

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat . kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al A’raaf: 201)

 

Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari terjadinya kemarahan di antara suami istri, apakah rumah tangga orang-orang shalih ataupun rumah tangga orang-orang ahli maksiat. Namun terdapat perbedaan yang jelas pada rumah tangga orang-orang shalih di satu sisi. Yaitu mereka tidak membiarkan permasalahan yang ada berjalan di atas kemauan setan. Bahkan mereka bila marah berlindung kepada Allah dari setan, memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, menyatukan pendapat, meluruskan permasalahan mereka dan menyingkirkan makar setan.

 

Adalah Abu Bakar As Shidiq Radhiyallahu ‘anhu ketika mengirim tamu-tamu ke rumahnya dengan didampingi putranya Abdurrahman, tamu-tamu tersebut tidak mau menyantap hidangan sebelum datang Abu Bakar. Tatkala Abu Bakar datang dan melihat mereka belum makan, apakah yang dilakukannya? Beliau marah kepada keluarga dan tamu-tamunya, mencaci maki dan bersumpah tidak akan makan. Hingga ia sempat berkata kepada tamu-tamunya: “Makanlah dengan cepat!” Dan para tamu bersumpah juga tidak akan makan sampai beliau makan. Tak mau kalah, istrinya ikut-ikutan bersumpah tidak makan hingga beliau makan. Di tengah-tengah kemarahan yang memuncak As Shidiq ingat bahwa semua ini dari setan lalu beliau membuang marahnya dan menyebut nama Allah. Beliau akhirnya menyantap makanan demikian pula tamu-tamunya dan Allah memberkati makanan itu.

 

Lihatlah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu bagaimana beliau membuang rasa amarah dan emosional setelah ia sadar bahwa hal ini terjadi akibat gangguan setan. Kisah lengkapnya adalah sebagai berikut:

 

Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abdurrahman bin Abi Bakar Radhiyallahu ‘anhuma, katanya, “Ahli suffah adalah orang-orang miskin. Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Barang siapa punya makanan cukup untuk dua orang, makanlah bersama tiga orang. Barang siapa yang punya makanan cukup untuk empat orang, makanlah bersama lima, enam orang.’

 

Atau seperti yang dia (Abdurrahman) katakan. Abu Bakar datang bersama dua orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat bersama sembilan orang dan Abu Bakar datang bertiga yaitu aku, ayahku dan ibuku (Perawi berkata: Aku tidak tahu apakah Abdurrahman berkata:

 

istriku dan seorang pembantu antara rumah kami dan rumah Abu Bakar). Abu Bakar makan malam di rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian pergi beberapa saat sampai waktu shalat Isya. Sekembali dari masjid Abu Bakar tetap tinggal di sisi Nabi hingga beliau mengantuk. Abu Bakar pulang ke rumahnya setelah agak malam. Lalu ia ditanyai oleh istrinya, “Mengapa engkau tidak menemui tamu-tamumu?” Abu Bakar bertanya, “Hidangan apa yang kau berikan pada mereka?” Istrinya berkata, “Mereka menolak makan sebelum anda datang!”

 

Aku (Abdurrahman) ,pergi dan mengendap-endap melihat ayah dan ibu yang sedang berbicara, lalu ayah berkata, “Hai bodoh!” Beliau mencaci maki dan berkata kepada tamunya, “Makanlah dengan cepat. Demi Allah tidaklah aku akan menyantapnya selama-lamanya. Demi Allah aku tidak mengambil satu suapan kecuali makanan itu bertambah dari bawahnya. Hingga kami kenyang dan makanan itu lebih banyak daripada sebelumnya.” Kemudian Abu Bakar melihat suapan itu dan tampak banyak. Beliau berkata kepada ibuku, “Hai saudara wanita Bani Firas, makanlah !’ buku menjawab, “Tidak”. “Demi Dzat yang menyejukkan pandangan mataku ia sekarang lebih banyak 3 kali lipat”, kata ayah. Lalu beliau (Abu Bakar) makan sebagian darinya dan berkata, “Sumpahku hanyalah dari setan.” Kemudian ia makan sebagian dari suapan itu dan pagi harinya ia membawa makanan itu. ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Dan dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Muslim‘ dari Abdurrahman bin Abi Bakar katanya, “Tamu-tamu . singgah ke rumah kami. Adalah ayahku berbincang. bincang dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam itu. Lalu beliau bangkit dan berkata, “Hai Abdurrahman, beri mereka makan malam dan penuhilah hak mereka !” Ketika sore hari. kami menyuguhkan hidangan buat mereka. Tetapi mereka menolak untuk menyantapnya. Mereka berkata, “Bila tuan rumah datang hingga dia makan bersama kami !” Saya katakan pada mereka bahwa ayahku seorang yang keras terhadap perkara yang diharamkan dan sangat menghormati tamu. “Bila kalian tidak mau menyantap hidangan, saya khawatir beliau akan marah padaku.” Mereka tetap menolak. Ketika ayahku datang tidak ada seorang pun yang memulai makan. Ayahku berkata, “Apakah kalian telah selesai dari jamuan kalian?” Mereka berkata, ‘Tidak ! Demi Allah kami belum makan !” Ayahku berkata, “Bukankah aku telah memerintahkan Abdurrahman ?” Aku menjauh dari tempat beliau duduk. Beliau berkata, “Hai Abdurrahman !” Ayahku memanggil. Aku mendekatinya. Ayahku berkata, “Hai bodoh ! Aku bersumpah padamu bila engkau mendengar suaraku engkau harus datang !” Aku pun mendekatinya dan kukatakan, “Demi Allah apa dosaku, mereka itu tamu-tamu ayah, berilah salam buat mereka dan aku telah menghidangkan makanan dan minuman buat mereka tetapi mereka menolak memakannya menunggu ayah datang:”

 

Beliau berkata, “Mengapa kalian demikian, mengapa kalian tidak menerima hidangan kami? Demi Allah, aku tidak akan memakannya malam ini !”

 

Mereka berkata, “Demi Allah kami tidak mau makan hingga anda memakannya.”

 

Aku katakan, “Aku tidak melihat kejelekan seperti kejelekan malam ini. Celaka kalian ! Mengapa kalian tidak menerima hidangan kami ?”

 

Kemudian ayahku berkata, “Adapun sumpah pertama dari setan, bawalah hidangan itu ke sini !” Dihidangkanlah makanan itu. Beliau menyebut nama Allah dan kemudian makan. Tamu-tamu pun ikut makan bersamanya. Pagi hari beliau sarapan di rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, “Hai Rasulullah, mereka benar dan aku telah bertindak salah.” Beliau (ayahku) menceritakan kejadian tadi malam pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Bahkan engkau orang yang paling benar dap paling baik.” ;

 

Kekisruhan dan kemarahan tidak hanya terjadi dalam rumah tangga Abu Bakar saja, bahkan dialami (juga) dalam rumah tangga Nabi kita Shallallahu ‘alaih; wasallam. Beliau pernah meninggalkan istri-istrinya selama satu bulan dan mengasingkan mereka….

 

Dikeluarkan Bukhari dalam Sahihnya* dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku selalu bersikeras untuk bertanya pada Umar siapakah dua wanita istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tersebut dalam ayat:

 

“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)’” (At Tahriim: 4)

 

Sampai kemudian ketika ia haji dan aku pun haji, aku mengikuti beliau dengan membawa kantong kulit berisi air. Kemudian beliau menunaikan hajatnya, tak lama kemudian beliau datang dan aku tuangkan ke tangan beliau air yang kuambil dari kantong kulit itu lalu beliau berwudlu. Aku bertanya: ‘Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang wanita dari istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebut dalam ayat:

 

“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)” (At Tahriim: 4),

 

Umar menjawab: ”Alangkah mengherankannya dirimu hai Ibnu Abbas, mereka adalah Aisyah dan Hafsah”. Kemudian Umar menceritakan peristiwa itu. Umar berkata: “Aku dan tetanggaku dari suku Anshar tinggal di daerah Bani Umayah bin Zaid, mereka termasuk penduduk yang tinggal di daerah atas kota Madinah. Kami bergiliran turun ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sehari gilirannya dan sehari giliranku. Setiap kali turun ke Madinah aku membawa kabar hari itu berupa wahyu atau selainnya, demikian pula yang ia lakukan. Kami adalah suku Quraisy yang terbiasa menguasai para istri. Ketika kami mendatangi orang-orang Anshar, kami heran mendapati para istri menguasai laki-laki (para suami). Istri-istri kami terpengaruh oleh kebiasaan wanita Anshar. Tiba-tiba istriku berteriak memanggilku dan membantahku. Tetapi aku tidak menyukai sikapnya itu. Istriku berkata, “Mengapa anda tidak suka kalau aku membantahmu? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah membantah beliau. Bahkan salah seorang dari mereka meninggalkannya sampai malam hari.”

 

Apa yang disampaikannya itu menggelisahkanku. Aku katakan, “Sungguh celaka istri beliau yang berbuat seperti itu.” Kemudian aku bersiap-siap pergi dan menuju ke tempat Hafsah. Kukatakan padanya, “Apakah salah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam marah padanya ?” la menjawab, “Ya.” Maka aku berkata, “Sungguh kamu celaka dan rugi. Apakah kamu merasa aman dari kemurkaan Allah disebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam marah sehingga dengan itu kamu binasa? Janganlah kamu meminta macam-macam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, janganlah kamu merengek-rengek pada beliau, mintalah padaku apa yang kamu inginkan. Jangan sampai tetanggamu membuat kamu risau karena ia lebih dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam -yang dimaksud adalah Aisyah-.

 

Berkata Umar, “Kami sebelumnya telah memperbincangkan bahwa Ghassan telah memberikan ladam pada kudanya untuk memerangi kami. Kemudian sahabatku turun di hari gilirannya dan kembali ke tempat kami pada malam hari. la memukul pintu rumahku dengan keras maka aku bertanya, “Apakah Ghassan ada di sini, sudah datangkah ia?” la berkata, “Tidak, tetapi ada yang lebih besar daripada itu, Nabi telah mencerai istri-istrinya !”

 

Ubaid bin Hunain berkata: “Ibnu Abbas mendengar dari Umar katanya, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memisahkan diri dari istri-istrinya.”

 

Saya katakan (Umar), “Hafsah rugi dan celaka.’” Sungguh aku telah menyangka ini terjadi yang demikian. Aku membenahi pakaianku lalu aku shalat Subuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke ruang tempat minum milik beliau dan mengasingkan diri di dalamnya. Aku masuk ke rumah Hafsah yang ternyata sedang menangis. Aku bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menangis, bukankah aku telah memperingatkanmu? Apakah beliau telah menceraikan kalian?”

 

la menjawab, “Aku tidak tahu. Beliau sekarang sedang menyendiri di dalam ruang minum.”

 

Lalu aku keluar dan mendatangi mimbar, ternyata di sekelilingnya ada sekelompok orang sedang menangis. Aku sempat duduk sebentar bersama mereka. Aku tidak tahan melihat keadaan tersebut. Maka aku mendatangi ruang minum yang di dalamnya ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku katakan pada seorang budak berkulit hitam milik beliau, “Mintakanlah ijin untuk Umar pada beliau !”

 

Budak itu masuk dan berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian kembali. la berkata, “Aku telah bicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku telah sampaikan pesan anda padanya tetapi beliau diam saja.”

 

Aku pergi keluar hingga aku duduk bersama sekelompok orang tadi, aku pun tidak tahan melihat keadaan tersebut. Lalu aku kembali mendatangi tempat itu dan aku katakan pada budak tersebut, “Mintakanlah ijin buat Umar.”

 

la masuk kemudian kembali. la berkata, “Aku telah sampaikan pesan anda tetapi beliau diam saja.”

 

Aku kembali dan setelah itu duduk bersama sekelompok orang yang di sisi mimbar. Aku pun tidak tahan melihat keadaan tersebut. Aku datangi budak itu (lagi) dan kukatakan .“Mintakanlah ijin buat Umar.” la masuk dan kemudian mendatangiku. la berkata, “Telah kusampaikan pesan anda. Tetapi beliau hanya diam.”

 

Ketika aku berbalik untuk pergi, budak itu memanggilku dan berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkanmu.” Lalu aku masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berbaring di atas tikar tidak memakai tempat tidur. Tampak ada bekas pasir di sisi tubuhnya (rusuk). Beliau bertelekan bantal terbuat dari kulit yang berisi sabut. Aku mengucapkan salam kepada beliau. Sambil berdiri aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ‘anda mencerai istri-istri anda?”

 

Beliau mengangkat pandangannya ke arahku dan berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Allahu Akbar !’ Kemudian aku berkata dalam keadaan tetap berdiri, “Wahai Rasulullah, anda kan tahu, kita orang-orang Quraisy biasa menguasai para istri, tetapi ketika kami datang di Madinah kami melihat wanita-wanita menguasai laki-laki.”

 

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum mendengar perkataanku. Kemudian aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, andai kata anda melihat aku masuk ke tempat Hafsah dan aku katakan kepadanya, “Janganlah tetangga wanitamu -yakni Aisyah- membuatmu risau karena ia lebih dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

 

Mendengar ceritaku ini beliau tersenyum lagi dan aku duduk ketika melihat beliau tersenyum. Aku memandang sekeliling rumah beliau. Demi Allah tidaklah aku melihat apa pun dalam rumahnya selain tiga lembar kulit yang disamak. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah pada Allah agar la memberikan kelapangan kepada umatmu. Sesungguhnya bangsa Persi dan Romawi telah diberi kekuasaan dan dunia sedangkan mereka tidak menyembah Allah.”

 

Lalu duduklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari posisi bersandar. Beliau berkata, “Apakah engkau menginginkan ini wahai anaknya Al Khaththab? Sesungguhnya mereka adalah kaum yang disegerakan mendapatkan kehidupan yang enak.”

 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, mintakanlah aku ampunan atas ucapanku tadi !”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengasingkan diri dari para istrinya selama 29 malam disebabkan peristiwa dimana Hafsah memberitahukan rahasia beliau kepada Aisyah.

 

Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk ke tempat mereka (para istri beliau) selama satu bulan.” Hal itu karena kemarahan beliau kepada mereka ketika Allah Ta’ala mencela beliau (karena urusan dengan mereka). Ketika berlalu 29 malam, beliau masuk ke tempat Aisyah dan memulai bercampur dengannya. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda pernah bersumpah tidak masuk ke tempat kami selama satu bulan. Sekarang aku berada di pagi dari 29 malam.” Nabi menjawab: “Satu bulan itu ada 29 malam.”

 

Ketika itu satu bulan bertepatan dengan 29 malam.

 

Aisyah berkata, “Lalu Allah menurunkan ayat pilihan. Beliau pertama kali masuk ke tempatku, maka aku memilih beliau.” Kemudian beliau mengajukan pilihan kepada istri-istrinya yang lain, mereka semua berkata seperti yang dikatakan Aisyah (yakni memilih Allah dan Rasul-Nya).

 

Inilah Ali Radhiyallahu ‘anhu Amiril Mukminin, seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Beliau pernah marah kepada salah seorang wanita mulia penghuni surga, dialah istrinya, sayyidah Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Radhiyallahu ‘anha. A\j keluar dari rumah setelah marahnya menuju masjid untuk tidur di sana.

 

Dikeluarkan Bukhari‘? dari hadits Sahl bin Sa’d as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, katanya, “Nama yang paling disukai Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah Abu Turab. Beliau bangga dipanggil dengan nama itu. Hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memberinya nama demikian. Pada suatu hari ia pernah marah kepada Fathimah lalu ia keluar dan berbaring menghadap dinding masjid. Tak lama kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya dan ketika itu ia sedang berbaring menghadap dinding, sementara punggungnya penuh dengan debu, mulailah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengusap debu tersebut dari punggung Ali dan beliau berkata, “Duduklah hai Abu Turab.”

 

Apabila timbul problem di antara suami istri, mereka harus segera menyelesaikannya dan berlindung dari setan yang terkutuk, melakukan upaya perdamaian, menutup pintu-pintu dan menjulurkan hijab (tidak membiarkan terlibatnya pihak ketiga). Misalnya apabila sang suami marah atau sang istri sedang emosi maka hendaknya berlindung dari setan, mengambil air wudlu dan shalat dua rakaat. Jika salah seorang di antara suami istri sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk agar hilang marahnya. Bila sedang duduk, berbaringlah atau saling berpelukan dan merangkul dan saling memaafkan dengan ikhlas.

 

Hadir di hadapanku pada tempat ini kisah hadits Fathimah bintu ‘Utbah bin Rabi’ah bersama suaminya Aqil bin Abi Thalib. Ibnu Sa’d telah mengeluarkan kisahnya di dalam At Thabaqat dengan sanad yang sahih dari lbnu Abi Mulaikah katanya, “Aqil bin Abi Thalib mengawini Fathimah binti ‘Utbah bin Rabi’ah, seorang wanita kaya. la berkata, “Aku mau menikah denganmu namun engkau jangan menikah lagi dengan wanita lain (memaduku-ed) dan aku yang menanggung biaya hidupmu !” Aqil kemudian mengawininya. Setiap kali ke kamar istrinya, istrinya berkata, “Di manakah ‘Utbah bin Rabi’ah? Di manakah Syaibah bin Rabi’ah” Suatu hari Aqi! masuk ke rumahnya dalam keadaan jenuh, lalu Fathimah berkata: “Di mana ‘Utbah bin Rabi’ah? Di mana Syaibah bin Rabi’ah? la (‘Aqil) menjawab, “Di samping kirimu bila kamu masuk neraka.” Lalu Fathimah mengencangkan pakaiannya dan berkata, “Tidak akan berkumpul sedikit pun kepalaku dan kepalamu.” Lalu Fathimah mendatangi ‘Utsman mengadukan percekcokannya dengan suaminya, maka ‘Utsman mengutus Mu’awiyah dan Ibnu ‘Abbas untuk mendamaikan mereka, Maka ibnu Abbas berkata, “Demi Allah aku akan menceraikan mereka.” Dan Mu’awiyah berkata, “Aku tidak akan menceraikan dua orang tua dari Bani Abdj Manaf.” Maka keduanya mendatangi mereka dan mereka dalam keadaan mengikat pakaian-pakaian mereka dan telah berdamai.

 

Aku katakan: Lihatlah bagaimana keduanya berdamai tatkala ada masalah di antara mereka yang membutuhkan dua orang hakim itu dan mereka telah menutup pintu rumah mereka. Istri Aqil adalah seorang wanita sebagaimana wanita pada umumnya, membanggakan ketampanan ayah dan pamannya (dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fathimah berkata: Dimanakah orang-orang yang tengkuk-tengkuk mereka yang seperti cawan perak…?) Dan suaminya sabar menahan omongan istrinya hari demi hari, hingga datang suatu hari di mana sang suami sedang menanggung beban, merasa capek dan jemu, lalu istrinya malah bertanya, “Di manakah ayahku?” Maka spontan ia menjawab sambil marah: “Di samping kirimu bila kamu masuk neraka!” Kemudian istrinya memakai baju dan menghadap Amirul Mukminin ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Diutuslah dua orang hakim, namun belum sampai kedua orang hakim itu di rumah Fathimah dan Aqil, mereka berdua (Fathimah dan Aqil) telah berdamai dan menutup pintu rumah mereka. Alhamdulillah. Demikianlah, sudah seharusnya orang beriman bila marah atau salah segera bertobat, kembali kepada Allah dan sesungguhnya Allah Maha Mengampuni orang-orang yang selalu bertobat.

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang baik pergaulannya dan lembut dalam bercengkerama dengan istrinya. Bersamaan dengan itu beliau menganjurkan mereka untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan memperbanyak ibadah. Di antara kisah yang menunjukkan lemah lembut beliau dalam bergaul dengan keluarganya . adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Sahih keduanya dari hadits Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, katanya: “Pada suatu hari orang. orang dari Habasyi (Ethiopia sekarang-ed) bermain-main, aku terus memandang permainan mereka dari balik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang menutupi aku) sampai aku berpaling”.

 

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Humaira’, apakah engkau suka melihat mereka?’ Aisyah menjawab: “Ya.”

 

Demikian pula hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad yang sahih dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, katanya, “Aku pernah pergi bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, waktu itu aku masih muda dan belum gemuk. Beliau berkata kepada para sahabat, “Silakan kalian berjalan di depan.” Mereka pun mendahului kami. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Kemarilah, kita berlomba lari!” Aku berlomba Jari dengan beliau dan aku dapat mengalahkannya. Beberapa waktu lamanya beliau tidak memperbincangkan kejadian itu padaku. Hingga ketika aku mulai gemuk dan telah lupa kejadian itu, aku pergi bersama beliau dalam suatu perjalanan. Nabi berkata kepada para sahabat, “Silakan kalian berjalan di depan.” Merekapun mendahului kami. Kemudian beliau berkata, “Marilah hai Aisyah, kita berlomba lari!” Akupun berlomba dengan beliau dan beliau mendahuluiku. Beliau tertawa dan berkata: “Inilah pembalasan kekalahan waktu itu.” Demikian pula hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sebagian istrinya dan bersama mereka ada Ummu Sulaim lalu beliau mengatakan:

 

“Wahai Anjasyah, pelan-pelanlah dalam menuntun gelas-gelas kaca!”

 

Seorang istri beliau pernah mendatangi beliau ketika sedang I‘tikaf. Maka beliau duduk dan berbincang-bincang bersamanya selama beberapa saat. Kemudian beliau berdiri bersamanya dan mengantarkannya ke dekat rumahnya.

 

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

 

“Aku pernah bermain-main dengan boneka di samping Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku punya kawan-kawan yang biasa bermain bersamaku. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk mereka menyingkir dari beliau, akan tetapi beliau menyuruh mereka kembali kepadaku lalu aku pun bermain-main bersama mereka lagi.”

 

Dialah Aisyah Ummul Mukminin yang dinikahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada usia enam tahun dan mulai mencampurinya pada usia sembilan tahun, dan ia tetap bermain bersama teman dekatnya dan boneka-bonekanya (boneka tersebut terbuat dari kapas atau dari kain yang menyerupai anak wanita). Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke tempatnya, maka teman-teman Aisyah segera bersembunyi. (Akan tetapi) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam justru menyuruh mereka bermain bersama Aisyah. Kasih sayang apalagi yang lebih indah dari ini terhadap istri!

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memperlambat jalan pasukan untuk mencari gelang Asma yang dipinjam Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam perjalanan.

 

Dan dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwasanya Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah ditanya: Apa yang diperbuat Nabi r di rumahnya? la berkata: “Beliau membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau keluar untuk shalat.”

 

Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad yang hasan lighairihi dari hadits ‘Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, katanya: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“…Tidak ada senda gurau kecuali pada tiga perkara: seseorang melatih kudanya, bercengkerama bersama istrinya dan melempar panah dan batu.”

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para suami untuk bermain-main dan bercumbu dengan istrinya.

 

Dikeluarkan Al Bukhari dalam Sahihnya dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah menikah ?” Aku menjawab, “Sudah.” Nabi bertanya lagi, “Dengan gadis atau janda ?” Aku menjawab, “Dengan janda.” Beliau berkata, “Mengapa tidak kawin dengan gadis saja, agar engkau dapat bermain-main dengannya dan ia dapat bermain-main denganmu”

 

Jabir berkata, “Ketika kami datang dari safar, kami ingin segera menemui istri.” Maka Beliau bersabda:

 

“Pelan-pelan (jangan terburu-buru) sampai kalian masuk rumah di malam hari -yaitu saat Isya agar istri kalian sempat menyisir rambutnya yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya.”

 

Pernah seorang lelaki mengundang beliau ke walimah, maka beliau memberikan syara pada lelaki itu agar ia memperbolehkan istri beliau menemaninya (Nabi) ke walimah tersebut.

 

Dikeluarkan Muslim dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang tetangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkebangsaan Persia memiliki keahlian dalam memasak. la membuatkan kuah daging untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia datang mengundang beliau. Beliau berkata, “Dan ini (mengisyaratkan kepada Aisyah) ?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku tidak mau.” Kemudian ia kembali mengundang Rasulullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Dan ini (mengisyaratkan Aisyah)?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku tidak mau.” Kemudian dia mengundang Rasulullah untuk ke tiga kalinya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Dan ini ?” Orang itu menjawab, “Ya.” Maka mereka berdua (Rasulullah dan Aisyah) berdiri saling mendorong hingga sampai ke rumah orang itu.

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah duduk mendengarkan Ummul Mukminin Aisyah yang berkisah tentang beberapa wanita yang duduk dan saling berjanji untuk tidak menyembunyikan kabar suami-suami mereka sedikitpun, yaitu hadits Ummu zara’. Kisah ini amat panjang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jemu mendengar Aisyah berkisah. Haditsnya dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah akan kami bawakan di sini karena banyak faidah di dalamnya. Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

 

“Sebelas wanita duduk saling berjanji untuk tidak menyembunyikan keadaan suami-suami mereka sedikitpun.

 

Wanita pertama berkata: “Suamiku (bagaikan) daging unta yang kurus, (yang berada) di atas puncak gunung yang tidak ada kemudahan hingga dapat mendaki, dan tidak gemuk hingga dapat berpindah.”

 

Wanita kedua berkata: “Suamiku aku tidak berani menyebarkan rahasianya. Aku takut tidak meninggalkan sisanya, bila aku mengingatnya, aku ingat akan urat-urat di tubuh dan perutnya yang menyembul keluar ketika dia marah.”

 

Wanita ketiga berkata: “Suamiku seorang yang tinggi kurus dan tidak berbudi, bila aku banyak bicara dia (akan) menceraikanku dan bila aku diam digantung (tidak, dihiraukan).”

 

Wanita keempat berkata: “Suamiku bagaikan udara, malam (kota) Tihamah, tidak (terlalu) panas dan tidak pula dingin, tidak menakutkan dan tidak menjemukan,”

 

Wanita kelima berkata: “Suamiku bila masuk rumah bagaikan singa (fahd), bila keluar bagaikan harimau, dan tidak pernah menanyakan apa yang telah diberikan.”!

 

Wanita keenam berkata: “Suamiku jika makan rakus.” Dan bila minum menghabiskan. Bila tidur berselimut tebal di tempat tidur sendirian jauh dariku, dan tidak pernah merabakan tangannya dan tidak melihat keadaan dan kesedihanku.”

 

Wanita ketujuh berkata: “Suamiku sangat bodoh dan impoten. Tiap penyakit ada padanya, bila tidak memukul kepalamu, ia memukul badanmu atau kedua-duanya”

 

Wanita yang kedelapan berkata: “Suamiku halus bagaikan bulu kelinci baunya harum sekali.”

 

Wanita kesembilan berkata: “Suamiku tinggi rumahnya (seperti rumah bangsawan hingga banyak dikunjungi tamu-tamu), pemberani, suka menjamu tamu-tamu nya yang datang berkunjung dan sangat pemurah dengan keluarganya, orang-orang berdatangan mengadukan segala keluhan dan kebutuhan kepadanya.”

 

Wanita kesepuluh berkata: “Suamiku bernama Malik. la suami paling baik dari suami-suami yang telah disebutkan. la punya banyak sekali onta yang siap disembelih untuk menghormati tamu yang datang. Bila onta-onta itu mendengar suara pukulan tongkat untuk menyambut tamu-tamu yang datang, mereka, mereka yakin akan disembelih.”

 

Wanita yang kesebelas berkata: “Suamiku bernama Abu zara’, maka siapakah Abu zara’? la menggerakkan telingaku dengan perhiasan (atau memperbanyak perhiasan di telingaku sampai bergelantungan dan berbenturan satu sama lain dan terdengar suara gemerincingnya). la memenuhi pergelangnaku dengan daging (yakni gemuk). la memuliakan aku dan menjadikan aku bergembira hingga aku merasa bangga akan diriku. Dulu ia mendapatiku dari keluarga faqir yang mempunyai sedikit domba yang biasa kami gembalakan di lereng gunung. Kemudian setelah aku menikah dengannya, dia menjadikan diriku berharta dengan kuda yang banyak, onta, kebun, burung dan lain-lain. Di sisinya aku berbicara maka ucapanku tidak pernah dijelekkan dan tidak pernah ditolak (bahkan aku dimanjanya). Aku tidur nyenyak sampai subuh (Tidak ada seorang pun yang membangunkanku. Karena aku punya banyak pembantu rumah tangga. Tidak pernah ada perintah dari suamiku “Bangunlah, siapkan makanan”, “Beri makanan pada hewan tunggangan dan siapkanlah kendaraan!” Bahkan banyak pembantu rumah tangga yang mencukupi kebutuhan sehari-hariku). Aku minum sampai puas (atau aku minum dengan tenang, tidak khawatir akan kehabisan susu karena selalu tersedia).

 

Adapun mertuaku (ibunya Abu Zara’), siapakah dia. Dia mempunyai banyak perkakas rumah tangga dan perhiasan serta kain. Rumahnya luas dan besar.

 

Putranya Abu zara’ siapakah dia? …. Dia mempunyai tempat tidur seperti masall syutbah dan cukup kenyang dengan sehasta daging kambing kecil.

 

Putrinya Abu zara’ siapakah dia? … Dia taat kepada ayah dan ibunya. Tubuhnya subur membuat cemburu madunya (atau tetangganya).

 

Budak wanitanya Abu zara’ siapakah dia? … la seorang yang tidak suka menyebar luaskan berita (rumah tangga kami), ia tidak menghianati kami dan tidak mencuri makanan kami, rajin dan rapih. Makna yang lain: la tidak membawa sesuatu yang haram ke dalam rumah kami dan tidak meninggalkan makanan itu rusak).

 

Ummu Zara’ berkata: “(Suatu hari) Abu zara’ keluar rumah sedangkan periuk tempat susu lagi dikocok. Lalu ia bertemu seorang wanita bersama dua anak laki-lakinya yang seperti dua singa kecil keduanya bermain dari bawah pinggang ibunya dengan dua delima. Lalu Abu Zara’ menceraikan aku dan menikahi wanita itu. Kemudian setelah cerai dengan Abu Zara’ aku menikah dengan seorang laki-laki yang bagus penampilannya dan berwibawa, ia seorang penunggang kuda yang bagus dan pilihan, yang tidak pernah merasa lelah. la membawa tombak yang didatangkan dari negeri Al lehath. menemuiku dengan harta yang banyak. Dia membei segala sesuatu secara berpasangan. Suami itu berkata, “Ummu zara’ makanlah, sambunglah tali silaturrahmi dan senangkanlah keluargamu dengan memberi makanan.”

 

Istrinya berkata, “Seandainya engkau kumpulkan pemberianmu kepadaku, tidak sampai memenuhi mangkok Abu zara’ yang paling kecil.”

 

Aisyah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku dan kamu seperti Abu zara’ dan Ummu zara’.”

 

Allah Ta’ala mewasiatkan kepada suami agar bergaul baik dengan istrinya, Dia berfirman:

 

‘bergaullah dengan mereka (istri-istri) dengan baik’. (An Nisaa’: 19) .

 

Ibnu Katsir —Rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini:

 

“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) dengan baik.” (An Nisaa’: 19)

 

Yakni berkatalah kalian dengan baik pada mereka, perbaguslah perbuatan dan penampilan kalian semampu kalian, sebagaimana kalian menyukai hal ini dari istri-istri kalian. Berbuatlah dengan mereka seperti itu sebagaimana firman Allah:

 

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik” (Al Baqarah: 228),

 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap keluarganya dan aku adalah sebaik-baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (Sahih. Takhrijnya akan disebutkan kemudian)

 

Termasuk akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sangat bagus pergaulannya dengan keluarga, selalu ceria, mencumbu dan lemah lembut dengan istri-istrinya, memberi nafkah dengan baik pada keluarga, membuat tertawa istri-istrinya sampai beliau pernah mengajak lomba lari dengan Aisyah radhiyallahu anha. Aisyah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengejarku maka aku (dapat) mendahuluinya. Dan peristiwa itu terjadi sebelum aku gemuk. Kemudian setelah aku gemuk beliau yang mendahuluiku, beliau berkata: “Inilah balasanku dulu.” … dan seterusnya sampai akhir ucapan lbnu Katsir Rahimahullah. (At Tafsir 1/467)

 

Dalam Sahih Muslim dari hadits Handhalah Al ‘Asadi Radhiyallahu ‘anhu, ia adalah salah satu sekretaris Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Abu Bakar menemuiku dan bertanya, “Bagaimana (kabar) engkau hai Handhalah” Aku menjawab, “Handhalah telah munafik.” Abu Bakar berkata, “Subhanallah apa yang kau katakan” Aku berkata, “Kami bila di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau memperingatkan kami akan neraka dan surga hingga seolah-olah kami melihatnya. Bila kami keluar dari sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam istri-istri, anak. anak dan sawah ladang menyibukkan kami, maka kami lupa akan akhirat.”

 

Abu Bakar berkata, “Demi Allah, kami (pun) menemukan hal yang sama.” Kemudian aku dan Abu Bakar berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, aku berkata, “Ya Rasulullah Handhalah telah munafik!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Kenapa kamu?” Aku katakan, “Wahai Rasulullah kami bila di sisi anda selalu ingat surga dan neraka hingga kami seolah-olah melihatnya sendiri, akan tetapi bila kami keluar dari sisi anda, istri-istri, anak-anak dan sawah ladang menyibukkan kami, maka kami lupa akan akhirat.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, andai kata kalian terus dalam keadaan seperti itu maka para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas pembaringan kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Handhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

 

Dan dalam Sahih Bukhari?! dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma la berkata, “Dulu kami tidak berani banyak bicara dan bersenda gurau dengan istri-istri kami pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena takut akan turun sesuatu pada kami. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat kami pun berani banyak bicara dan bersenda gurau dengan istri.”

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat baik pergaulannya dengan istri dan sangat baik akhlaknya, meskipun demikian beliau tidak pernah bosan menasehati istri-istrinya dan keluarga beliau untuk gemar beribadah dan berbuat kebaikan. Itulah yang diperintahkan Allah Ta’ala, Dia berfirman:

 

“Dan perintahkan kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat yang baik itu bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)

 

Allah memuji Nabi-Nya Ismail dalam firman-Nya:

 

“Dan ceritakanlah (Hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhan-Nya.” (Maryam: 54, 55)

 

Dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha la berkata: “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat (malam) dan sedang aku dalam keadaan tidur membujur di atas kasurnya, maka apabila beliau ingin berwitir, beliau membangunkan aku” Dan dalam Sahih Bukhari juga dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha katanya, “Pada suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dan berkata:

 

“Subhanallah fitnah apa yang diturunkan pada malam ini dan perbendaharaan apa yang dibuka, bangunlah wahai para penghuni kamar, bisa jadi seorang wanita berpakaian di dunia, (tapi) di akhirat ia telanjang.”

 

Dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dengan sanad yang hasan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di malam hari lalu shalat dan ia membangunkan istrinya kemudian istrinya ikut shalat. Bila menolak maka ia perciki muka istrinya dengan air. Allah merahmati seorang istri yang bangun di malam hari lalu shalat dan ia membangunkan suaminya kemudian shalat. Bila si suami menolak maka ia perciki wajahnya dengan air.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi rumah Ali dan Fathimah di malam hari dan bertanya, “Apakah kalian tidak shalat malam?”

 

Dan dalam Sahih Bukhari?’ dari hadits lbnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma katanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi rumah Fathimah dan tidak masuk ke dalamnya. Ali datang, lalu Fathimah menceritakan kejadian itu kepada Ali kemudian Ali menanyakannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata, “Sungguh aku melihat di atas pintu rumahnya ada tirai bergaris-garis yang berwarna-warni. Apakah artinya dunia bagiku?” Lalu Ali mendatangi Fathimah dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Fathimah berkata, “Biarlah beliau memerintahkanku apa yang harus kuperbuat terhadap tirai itu sekehendak beliau.” Nabi berkata, “Bawalah tirai itu kepada Fulan.” (Karena) keluarga mereka lebih membutuhkan.

 

Oleh karena itu hendaklah muslim berlaku baik kepada istrinya dan pada waktu yang bersamaan ia harus menyemangati istrinya untuk membaikkan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taat kepada-Nya.

 

Seorang muslim hendaklah memenuhi kebutuhan jima’ istrinya sesuai dengan kemampuannya. Demikian pula bagi istri haruslah berbuat baik pada suami dan suka berhias untuk suaminya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya wanita mana yang paling baik? Beliau berkata,

 

“Wanita yang menyenangkan bila dilihat dan taat bila diperintah dan tidak menyelisihi suami dengan apa yang dibenci pada dirinya dan harta suami.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan.”

 

Istri yang cantik, berbau harum, bercelak dan berhias semampunya dengan berpakaian yang baik dan indah?? ketika menyambut suami merupakan salah satu faktor timbulnya kebahagiaan pada diri seorang suami. Dengan cara seperti ini sang suami terpalingkan dari melihat wanita-wanita yang bukan mahramnya. Demikian pula bagi seorang suami haruslah berhias dan memperindah diri untuk istrinya. Karena sang istri juga senang dia berbuat demikian. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf” (Al Baqarah: 228)

 

Dan diriwayatkan dari ucapan sebagian salaf bahwa ia suka berhias untuk sang istri sebagaimana ia suka sang istri berhias untuknya.

 

Inilah faktor-faktor yang membuat mata seorang suami puas menatap hanya pada istrinya dan mata seorang istri menatap hanya pada suaminya. Sehingga mata tersebut tidak diumbar kepada perkara yang diharamkan. Berangkat dari sini telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau menganjurkan dan memberi semangat untuk jima’ bahkan menetapkan pahala padanya. Dengan jima’ suami istri dapat menjaga diri, timbul rasa cinta dan keakraban di antara mereka. Berapa banyak problem rumah tangga, apakah ditimbulkan oleh suami atau istri, setelah diteliti ternyata sebabnya salah satu dari pasangan tersebut menolak jima’. Bila jima’ sempurna maka jiwa, raga dan pikiran menjadi tenang dengan kehendak Allah.

 

Dikeluarkan Imam Muslim Rahimahullah dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa sebagian para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadu kepada beliau. Mereka berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala-pahala mereka, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi berkata, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang kalian dapat sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, amar makruf nahi munkar sedekah dan di dalam kemaluan’ kalian sedekah.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah bila kami melampiaskan syahwat kepada istri berpahala ?” Beliau berkata: “Bagaimana pendapat kalian andai kata melampiaskan syahwat pada perkara haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila melampiaskannya pada perkara yang halal maka ia mendapat pahala.”

 

Dan dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peperangan. Waktu itu ontaku berjalan pelan dan aku di belakang. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku dan bertanya,’ “(Engkau) Jabir?” Aku menjawab, “Benar.” Beliau berkata, “Kenapa dengan dirimu?” Aku menjawab, “Ontaku berjalan pelan dan ia telah lelah hingga aku terlambat.” Kemudian beliau turun sambil membengkokkan untaku dengan tongkatnya lalu beliau berkata, “Naiklah!” Maka aku pun naik ke onta tersebut. “Sudahkah engkau menikah?” beliau bertanya. Aku menjawab, “Sudah.” “Dengan perawan atau janda?” beliau bertanya lagi. “Dengan seorang janda.” jawabku. “Mengapa tidak dengan perawan hingga kamu dapat bermain-main dengannya dan dia dapat bermain-main dengan mud?” tanya beliau. “Aku mempunyai beberapa saudara wanita. Aku ingin menikahi seorang wanita yang dapat mengumpulkan, menyisir dan mengawasi mereka,” aku menjelaskan. “Adapun kamu seorang yang baru tiba dari safar. Maka bila kamu tiba di ramahmu hendaklah berjima’!”, kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau bertanya, “Apakah engkau akan menjual ontamu?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian beliau membelinya dengan beberapa dirham (beberapa uqiyah). Rasulullah datang lebih dahulu dan aku datang di pagi harinya, dan kami langsung menuju masjid. Aku lihat beliau di depan pintu masjid dan berkata, “Engkau datang sekarang?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Tinggalkan ontamu dan masuklah, kemudian shalat dua rakaat!” Lalu aku masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. Beliau menyuruh Bilal menimbangkan beberapa uqiyah dan Bilal menimbangkan untukku. Kemudian Aku pergi. “Panggilkan jabir!”,. beliau memerintah seseorang memanggilku. Aku berkata, “Sekarang beliau akan mengembalikan onta itu kepadaku (tidak jadi membelinya).” Dan tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada onta itu. Beliau berkata, “Ambillah ontamu dan ambillah uangnya.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggilir istri-istrinya yang berjumlah sembilan orang dalam satu malam saja.

 

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggilir istri-istrinya dalam satu waktu di malam hari atau siang hari, padahal beliau mempunyai sebelas orang istri.” Qatadah berkata, “Apakah beliau mampu?” “Beliau diberi 30 kali kekuatan jima’ dari orang biasa.”

 

Dan dalam riwayat Bukhari yang lain dari hadits Anas juga, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggilir istri-istrinya dalam satu malam. Waktu itu berjumlah sembilan orang.” Dalam satu riwayat jima’ itu beliau lakukan dengan sekali mandi.

 

Dan dalam riwayat Aisyah yang dikeluarkan Bukhari dan Muslim: Aku pernah memberi minyak wangi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau menggilir istri-istrinya, kemudian pagi harinya beliau berihram dan memercikkan minyak wangi di badannya.

 

Bukan hanya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memperbanyak jima’ dengan istrinya, akan tetapi para nabi yang lain juga demikian. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang mereka bahwasanya mereka mempunyai kekuatan yang lebih dan ilmu yang luas.

 

Dan Al Bukhari telah meriwayatkan dari hadits Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Sulaiman bin Daud berkata: “Aku akan menggilir 70 orang istriku dalam satu malam, setiap istri akan mengandung seorang anak yang akan menjadi penunggang kuda yang berperang di jalan Allah.” Sahabatnya berkata: “Katakanlah Insya Allah !” la tidak mengucapkannya. Dan ternyata tidak ada dari istrinya yang mengandung kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang terputus salah satu anggota badannya’.” Maka berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seandainya ia (Sulaiman) mengucapkan Insya Allah niscaya akan lahir anak-anaknya yang akan berjihad di jalan Allah. Mereka akan berperang di jalan Allah.”

 

Disunahkan bagi seseorang yang jima’, apabila dia ingin mengulanginya lagi untuk berwudlu. Dan ini merupakan perkara yang disunahkan dan tidak diwajibkan. Telah diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abi Sa’id Al Khudry Radhiyallahu ‘anhu berkata,

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Apabila kalian mencampuri istri kemudian ingin mengulangnya, hendaklah ia berwudlu.” .

 

Dan juga disunahkan bagi suami agar membaca doa ketika hendak berjima’, seperti apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim’ dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma la berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Adapun kalau salah seorang dari mereka dia berkata ketika mendatangi istrinya kemudian keduanya ditakdirkan bercampur atau ditakdirkan mendapatkan anak maka setan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan suami yang melihat wanita lain dan ia tertarik kepada wanita tersebut (agar mendatangi istrinya) untuk berjima’ dengannya.

 

Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhuma sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang wanita maka beliau mendatangi Zainab yang sedang menggosok kulit untuk menunaikan hajatnya (jima’).

 

Tak lama kemudian beliau keluar menuju para sahabat dan berkata:

 

“Sesungguhnya wanita dari depan bergambar setan dan dari belakang bergambar setan. Maka apabila kalian melihat seorang wanita, datangilah istrinya. Karena yang demikian itu menolak apa yang di dalam dirinya.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kepada para istri agar tidak menolak ajakan suami pergi ke tempat tidur. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

 

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, dan ia (istri) enggan untuk memenuhi panggilannya maka malaikat melaknatnya hingga pagi (shubuh).

 

Dan dalam riwayat Muslim dari hadits Abi Hurairah:

 

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah seorang Suami mengajak istrinya ke tempat tidur tetapi ia menolaknya kecuali yang di langit murka kepadanya Sampai suaminya ridha.”

 

Kecintaan suami terhadap istri dan kecintaan istri terhadap suami janganlah sampai membawa (keduanya) kepada perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, atau menyebabkan melakukan dosa-dosa demi mendapatkan keridhaan masing-masing suami istri. Inilah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapat teguran keras dari Allah Ta’ala disebabkan melakukan hal tersebut di atas. Allah Ta’ala berfirman kepadanya, yang artinya:

 

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At Tahriim: 1,2)

 

Di dalam As Sahihain dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha katanya, Pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam minum madu di sisi Zainab bintu Jahsy dan tinggal beberapa lama di tempatnya. Aku dan Hafshah saling berjanji bila beliau masuk ke tempat salah seorang di antara kami supaya berkata: “Apakah engkau telah makan maghafir? Sungguh aku mencium bau maghafir dari mulut engkau.” Beliau berkata: “Tidak, tetapi aku telah minum madu di sisi Zainab bintu Jahsy dan tidak akan kuulangi selamanya. Sungguh aku bersumpah janganlah engkau mengkhabarkan hal itu kepada seorang pun!”

 

Nasaa’i dan Al Hakim meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai seorang budak wanita, Aisyah dan Hafshah terus cemburu hingga beliau mengharamkan diri bercampur dengan budak itu, kemudian turunlah ayat di atas:

 

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istrimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Demikianlah Allah memperingatkan akan fitnahnya istri dan juga memperingatkan istri akan bahaya fitnahnya suami.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” (At Taghaabun: 14)

 

Dan Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Ali Imran: 14)

 

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang paling berbahaya bagi laki-laki selain wanita.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

 

“Takutlah kalian pada dunia dan takutlah pada wanita. Karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil disebabkan Karena wanita.”

 

Maka seorang muslim haruslah sangat hati-hati dan takut dari fitnah ini. Ada sebagian orang yang memiliki kecintaan yang berlebihan terhadap istrinya (sehingga) mendorongnya berbuat durhaka kepada dua orang tua, memutus tali silaturahmi, membuat kerusakan di bumi. Karena perbuatannya itu ia mendapat laknat sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:

 

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22, 23)

 

Dan firman-Nya:

 

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (Ar Ra’d: 25)

 

Ada sementara orang kecintaan kepada istrinya yang berlebihan membawa dia untuk mencari nafkah yang haram hanya sekedar memuaskan keinginan dan mengenyangkan nafsunya.

 

Ada sementara orang yang bertengkar dengan tetangga dan penduduk disebabkan oleh ulah, kerusakan dan perintah istrinya.

 

Maka hati-hatilah wahai saudaraku muslim! Bila ditemukan akhlak istri yang jelek, luruskanlah. Janganlah rasa Cintamu menghalangi kamu mengingkari kemungkarannya.

 

Bila muncul kesalahan dari sang istri maka sang suami wajib memberitahu kesalahannya dan meluruskannya, karena hal ini merupakan kewajiban dari seorang suami sebagaimana yang dilakukan para pendahulu kita. Dan inilah dia Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha tatkala dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pendeknya tubuh Ummul Mukminin Shafiyah bintu Huyai Radhiyallahu ‘anha…: “Cukuplah bagimu Shafiyah begini (yakni bahwa dia itu pendek).” Maka apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah istri yang paling dicintainya?

 

Beliau berkata:

 

“Sungguh engkau telah mengatakan satu perkataan yang seandainya perkataan itu dicampurkan dengan air laut maka ia akan menajisinya.”

 

Bersamaan dengan kecintaan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah tidak membuat beliau membiarkannya mencela saudaranya muslimah dan mengghibahinya seperti halnya ia memakan daging Saudaranya yang mati. Dan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat alas duduk yang bergambar makhluk hidup di rumah Aisyah beliau bersikap keras terhadap Aisyah dan beliau hanya berdiri di depan pintu tidak mau masuk sampai Aisyah melepaskannya.

 

Dan kecintaan Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Aisyah tidak menghalangi beliau untuk bersikap adil bersama ‘istri-istri dan menghukum sebagian istrinya apabila dibutuhkan.

 

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu katanya: Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah singgah di tempat salah seorang istrinya. Salah seorang dari Ummahatul Mukminin (yang lainnya) mengirim mangkuk yang berisi makanan kepada beliau. Lalu istri yang disinggahi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan (yang membawa mangkuk tersebut). Jatuhlah mangkuk itu dan pecah.

 

Kemudian beliau mengumpulkan pecahannya dan mengambil makanannya sambil berkata: “Ibumu sedang cemburu.” Beliau menahan pelayan itu sampai dibawakan padanya mangkuk dari rumah istri yang beliau singgahi.

 

Maka beliau menyerahkan mangkok yang utuh kepada istri yang dipecahkan mangkoknya dan menyimpan mangkok yang pecah di rumah istri yang memecahkan mangkok itu.

 

Dan peristiwa yang serupa ini yang diriwayatkan An Nasaa’i dengan sanad yang sahih dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha yang membawa makanan di mangkuk miliknya ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Datanglah Aisyah memakai sarung sambil membawa batu. Piring itu ia pukul dengan. batu yang dibawanya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring itu dan berkata: “Makanlah kalian. Ibumu sedang cemburu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil piring Aisyah dan diserahkan kepada Ummu Salamah dan memberikan piring Ummu Salamah yang pecah kepada Aisyah.

 

Dan Abu Ya’la meriwayatkan secara maushul dengan sanad yang hasan dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha katanya: Aku menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa makanan yang aku masak buat beliau. Aku berkata kepada Saudah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di antaraku dan dia: “Makanlah ini!” la menolaknya. Maka aku katakan: “Engkau makan ini atau aku samak wajahmu.” Dia tetap menolak. Lalu aku letakkan tanganku pada makanan yang aku bawa dan aku lumuri wajahnya dengan makanan itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa dan mengambil makanan itu untuk Saudah sambil berkata kepadanya: “Lumurilah wajahnya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa . Kemudian datanglah Umar lalu berkata: “Ya Abdullah… Ya Abdullah.” Nabi menyangka Umar akan masuk maka beliau berkata: “Berdirilah kalian dan cucilah wajah kalian.” Aisyah berkata: Umar terus segan karena kewibawaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Janganlah seorang istri melakukan perkara yang haram karena hanya ingin mencari keridhaan suami. Maka Barang siapa mencari keridhaan manusia dengan mendapatkan kemurkaan Allah, Allah akan murka padanya dan : semua manusia membencinya. Dan Barang siapa mencari keridhaan Allah dengan mendapatkan kemarahan manusia maka Allah dan semua manusia ridha kepadanya. Haruslah sang istri menghiasi diri dengan hal yang mubah sebagaimana yang telah dijelaskan. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” ’ Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka Saja) di hari kiamat.” (Al A’raaf: 32)

 

Akan tetapi seorang istri tidak diperbolehkan berhias dengan sesuatu yang diharamkan. la tidak boleh membuat tatto, menyambung rambut dengan rambut orang lain, membuat alis palsu dan mengikir gigi-gigi (mereka). Bila ia melakukannya maka ia terlaknat.

 

Dalam As Sahihain dari jalan ‘Alqamah katanya: Abdullah (yakni Abdullah bin Mas’ud) melaknat wanita yang membuat tato di badannya, mengukir alis, dan wanita yang mengikir gigi! untuk mempercantik diri. Maka berkata Ummu Ya’qub, “Apakah ini?” Berkata Abdullah, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan. dalam Al Qur’an (ada pelaknatannya)?” Ummu Ya’qub berkata, “Demi Allah, sungguh aku telah membaca pada dua lembaran Al Qur’an dan belum aku temukan!” Maka berkata Abdullah, “Demi Allah, bila kamu membacanya pasti kamu menemukannya (yakni dalam ayat):

 

“Apa-apa yang datang dari Rasul ambillah dan apa apa yang ia larang tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)

 

Demikian pula janganlah ia menyambung rambut orang lain dengan rambutnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya. Dan telah sahih dari Aisyah disebutkan bahwa seorang wanita Anshar menikahkan anak wanitanya lalu menyambung rambutnya. Wanita itu datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut pada beliau sambil berkata: “Sesungguhnya suaminya memerintahkanku untuk menyambung rambutnya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Tidak boleh. Karena bahwasanya orang yang menyambung rambut itu dilaknat.”

 

Bila sang suami mengajak jima’ istrinya yang sedang haidh maka janganlah ditaati ajakannya. Karena Allah berfirman:

 

menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al Baqarah: 222)

 

Demikian pula bila sang suami meminta istri jima’ melalui dubur, tidak boleh ditaati. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang mengerjakannya.

 

Sang istri dilarang menggambarkan wanita lain di depan suaminya tanpa ada sebab yang disyariatkan, yang demikian itu dapat mengakibatkan terjadinya hal yang dilarang. Bukhari meriwayatkan’?’ dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu katanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:

 

“Janganlah seorang istri menceritakan wanita kepada suaminya kemudian menyifatinya sehingga seolah-olah (suaminya) melihat sendiri.”

 

Secara umum sang suami tidak diperkenankan menaati istri dalam bermaksiat hingga dapat dicapai mawaddah (cinta) yang kekal. Rasa mawaddah di antara suami istri adalah karunia Allah yang dapat hilang dengan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Dan tidaklah musibah-musibah menimpa kalian,selain dari ulah tangan-tangan kalian.” (Asy Syuura: 30)

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Hanyasanya ketaatan itu dalam perkara yang makruf.”

 

Sikap kesederhanaan yang harus ditimbulkan di antara suami istri mempunyai dasar dalam sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikeluarkan Bukhari dan selainnya dari hadits dari Abi Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Pada suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh, tidak berhias’*°, maka dia bertanya kepada Ummu Darda’, “Mengapa kamu begitu?” Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tidak membutuhkan dunia.” Kemudian datanglah Abu Darda’ dan menyuguhkan makanan buat Salman . Salman berkata kepada Abu Darda’, “Makanlah.” Abu Darda’ menjawab, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Aku tidak mau makan sehingga kamu juga makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abu Darda’ pergi untuk mendirikan shalat. Salman berkata, “Tidurlah.” Maka ia pun tidur. Kemudian Abu Darda’ bangun untuk shalat lagi. Salman berkata, “Tidurlah.” Kemudian saat akhir malam tiba Salman berkata, “Sekarang bangunlah.” Kemudian mereka shalat. Salman berkata kepada Abu Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, badanmu: punya hak atasmu dan keluargamu (istrimu) juga punya hak atasmu. Maka berikanlah masing-masing haknya.” Tak lama setelah itu Abu Darda’ menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Salman benar.”

 

Dan dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, “Ya Abdullah, aku telah diberitahu bahwasanya engkau senantiasa puasa di siang hari dan shalat malam terus.” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “Jangan engkau kerjakan, tetapi puasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah. Karena sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, istrimu mempunyai hak atasmu dan tamumu (juga) mempunyai hak atasmu….” (Hingga akhir hadits ini)

 

Kekakuan dan kekerasan seorang suami terhadap istri terkadang mendorong sang istri berbohong dan kebakhilannya terkadang juga mendorong istri mencuri. Pengaruh lain dari sikap suami semacam ini adalah bila sang istri berbuat kesalahan segera menyembunyikan kesalahannya dan berdusta di depan suami. Saya pernah menerima surat dari salah seorang wanita ibu rumah tangga. la meminta fatwa kepadaku. Dalam suratnya ia mengisahkan seorang istri telah memendam dosa selama 17 tahun. Tiap kali teringat akan dosanya ia merasa gelisah dan gundah gulana. la seorang istri yang tinggal bersama suami dan ibu mertua dalam satu rumah. Mertuanya bersikap keras padanya dan menghukum semua kesalahan yang ia perbuat, bahkan tidak bersalah pun ia sering mendapatkan amarahnya. Memerinci pengeluarannya yang di dalam dan di luar rumah dan menanyakan berapa banyak makan dan minumnya… Pada suatu hari sang ibu mertua menyuruh ia pergi ke pasar untuk membelikan seekor ayam. Dibelilah seekor ayam olehnya dan ia letakkan ayam itu di bawah kerudungnya dan menutupinya Karena takut lepas. Akan tetapi di tengah perjalanan ayam itu mati. la sangat takut apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia masuk ke rumah secepatnya dan langsung menuju ke dapur. la sembelih ayam yang telah mati itu dan memasaknya. la memanggil mertuanya, “Ya Ummu ‘Isham mari ke dapur —ia tidak menceritakan perihal ayam tersebut-.” Maka masuklah mertuanya ke dapur dan serta merta ia melihat ayam sudah siap untuk dimakan dan ditaburi merica hitam dan bumbu-bumbu lainnya hingga sedap baunya. Berkata wanita itu kepada mertuanya, “Ya Ummu ‘Isham, demi Allah belum ada seorang pun yang mencicipi dagingnya dan minum kuahnya. Silakan dimakan sebelum datang anak-anak.” Dimakanlah masakan bangkai ayam itu oleh mertuanya sampai habis bersih. Ibu rumah tangga itu bertanya apakah aku bisa bertobat?

 

Jawabnya, tentu bisa bertobat. Allah Ta’ala membuka pintu-pintu tobat, tidak la tutup sampai matahari terbit dari barat. la membentangkan Tangan-Nya di malam hari agar orang yang berdosa di siang hari bertobat dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berdosa di malam hari bertobat. Dan Allah telah berfirman:

 

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az Zumar: 53)

 

Dan pelajaran yang bisa diambil (dilihat) dari kisah ini adalah apakah akibat dari sikap keras dan kaku (dalam keluarga khususnya, pent)?

 

Adapun tentang kebakhilan suami terhadap istri yang dapat membawa istri untuk mencuri adalah seperti dalam kisah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah Radhiyallahu’anha, bahwasanya Hindun binti Utbah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, tidak memberikan nafkah padaku dan anak-anakku dengan cukup kecuali bila aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuan darinya.” Maka Nabi bersabda, “Ambillah hartanya yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” Bukhari telah membawakan hadits ini di dalam bab: Bahwa apabila seorang suami tidak memberikan uang dapur dan kebutuhan yang lainnya maka istri boleh mengambil hartanya secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan anaknya dengan cara ma’tuf.

 

Seorang suami haruslah berbaik sangka terhadap istrinya, dalam waktu yang bersamaan dia harus berhati-hati pula dan menjauhi sebab-sebab kerusakan dan penye. lisihan terhadap syariat.

 

Adapun berbaik sangka dengan istri telah dibawakan yang demikian itu dalam firman Allah Ta’ala:

 

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An Nuur: 12)

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (Al Hujurat: 12)

 

Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Apabila salah seorang dari kalian datang dari bepergian, maka janganlah mendatangi istrinya pada malam hari Adapun tentang sikap hati-hati disebutkan dalam Ash Sahihain dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hati-hatilah kalian masuk ke tempat-tempat wanita.” Maka berkatalah seorang laki-laki dari Anshar, “Ya Rasulullah bagaimana dengan ipar?” Nabi bersabda, “Ipar itu maut.”

 

Dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

 

“Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.”

 

Adapun kisah yang jelas tentang pentingnya khusnudzan (baik sangka) dan kehati-hatian adalah kisahnya seorang mukminat yang utama, Asma bintu Umais yang dikeluarkan Muslim dalam Sahihnya dari hadits Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiyallahu ‘anhuma: Bahwasanya serombongan bani Hasyim masuk ke tempat tinggal Asma bintu ‘Umais. Ketika itu Asma sebagai istri Abu Bakar Ash Shidiq. Kemudian masuklah Abu Bakar dan beliau merasa tidak senang atas kedatangan mereka itu. Beliau laporkan peristiwa itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, “Aku tidak pernah melihatnya kecuali kebaikan.” Maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah membebaskan Asma dari berbuat jahat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar dan bersabda:

 

“Jangan sekali-kali seseorang masuk ke tempat wanita kecuali membawa seorang teman atau dua orang teman laki-lakinya setelah hari ini.”

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa Asma tidak berbuat kejelekan dalam kejadian itu.

 

Meskipun demikian beliau memerintahkan umatnya untuk berhati-hati, tidak meninggalkan tempat bagi setan untuk meniupkan rasa was-was. Sebab perasaan was-was dan keraguan membinasakan rumah tangga, meruntuhkan bangunan rumah dan….

 

Maka janganlah seorang suami terus berprasangka yang bukan-bukan terhadap istrinya dan dalam waktu yang bersamaan tidak membiarkan orang asing yang bukan mahram keluar masuk rumahnya dan bersepi-sepi dengan istrinya.

 

Syariat memerintahkan para suami bersikap lembut kepada istrinya dan berbicara dengan kata-kata yang baik, yang dapat melegakan, menenangkan dan menentramkan pikirannya. Hal ini merupakan faktor penumbuh rasa cinta dalam hatinya (istri). Demikian pula bagi sang istri dituntut berbuat yang sama terhadap suaminya agar dapat tumbuh rasa kasih sayang di antara keduanya. Bila diperlukan keduanya berdusta demi menjaga keutuhan rumah tangga. Adapun mengenai keringanan berdusta untuk kebaikan (mendamaikan orang yang bersengketa) dan antara suami istri adalah seperti yang terdapat di dalam Sahih Muslim dari hadits Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah ibnu Abi Mu’ith bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Bukanlah dusta orang yang mendamaikan manusia dan berkata baik serta menambah kebaikan.”

 

Dalam riwayat Tirmidzi dan Ahmad dengan sanad yang sahih (dikarenakan syawahidnya) dari hadits Asma bintu Yazid katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi. wasallam bersabda:

 

“Tidak halal dusta selain dalam tiga perkara; seorang suami berbicara pada istrinya demi keridhaannya, dusta dalam perang dan dusta untuk mendamaikan manusia.”

 

Dalam menjelaskan hadits ini Imam Nawawi Rahimahullah berkata Adapun maksud dusta di sini adalah dusta untuk menampakkan kecintaan dan janji serta yang semacam itu dari apa yang tidak biasa dilakukan. Adapun menipu untuk menghindari kewajiban masing-masing atau untuk mengambil hak milik pihak lain adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin. Wallahu a’lam.

 

Ibnu Hazm berkata di dalam Al Muhalla: Suami istri boleh berdusta dalam perkara yang dapat menghasilkan rasa cinta…(kemudian beliau menyebutkan hadits di atas)

 

Dan sebagian ulama yang membawakan kedustaan-kedustaan pada hadits atas Taurat

 

Berkata Al Khathaby: Dustanya seorang suami (yang dibolehkan) terhadap istrinya ialah menjanjikan sesuatu kepadanya, memberikan harapan dan menampakkan rasa cinta yang lebih dari sebenarnya kepadanya dengan tujuan untuk melanggengkan jalinan cinta dan meluruskan akhlaknya. Wallahu a’lam.

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisaa’: 34)

 

Firman Allah Ta’ala:

 

 

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.” (An Nisaa’: 34)

 

Makna (asal) kata “nusyuz” adalah al irtifa’ (tinggi). Wanita (istri) yang berbuat nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi dan sombong terhadap suami dan suka durhaka serta menyelisihi suami.

 

Firman Allah  (maknanya) adalah: ingatkan mereka dengan Al Qur’an dan Sunah yang menerangkan hak suami atas istri dan dosa yang menimpa istri bila menyelisihi suami. Wallahu a’lam. .

 

Firman Allah:

 

Berkata sebagian ahlul ilmi: bahwasanya yang dimaksud dengan “hajr” di sini adalah hajr dari jima’ maknanya adalah suami istri bersama dalam satu tempat tidur namun suami tidak menggauli istri.

 

Berkata sebagian ulama yang lain: bahwa yang dimaksud adalah tidak berbicara dengannya.

 

Sebagian yang lain mengartikan dengan pisah tempat tidur.

 

Sedangkan Jumhur ulama mengartikan potongan ayat ini dengan tidak menemui dan tidak tinggal bersama mereka, penafsiran ini cocok dengan dzahir ayat.

 

Sedangkan hadits-hadits yang berhubungan dengan hukuman tersebut di antaranya adalah:

 

Dikeluarkan Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu katanya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak masuk ke tempat istri-istrinya selama sebulan dan duduk di tempat minumnya. Kemudian beliau turun pada hari ke 29. Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah! sesungguhnya engkau telah bersumpah untuk tidak masuk ke tempat mereka selama satu bulan.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebulan itu adalah 29 hari.”

 

Dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah tidak akan masuk ke tempat sebagian istrinya selama satu bulan. Tatkala berlalu selama 29 hari beliau makan pagi bersama mereka atau istirahat bersama mereka. Maka beliau ditanya: “Wahai Nabi Allah, engkau telah bersumpah tidak akan masuk ke tempat sebagian istri engkau selama sebulan.” Beliau menjawab: “Sesungguhnya sebulan itu 29 hari.”

 

Dan dikeluarkan Abu Daud dengan sanad yang sahih dari hadits Mu’awiyah Al Qusyairi Radhiyallahu ‘anhu katanya; Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah hak istri-istri kami?” Beliau bersabda:

 

“Kamu beri makan bila kamu makan dan kamu beri pakaian bila kamu berpakaian atau bila kamu memperolehnya dan janganlah kamu memukul wajah, jangan kamu jelekkan dan asingkanlah kecuali di rumah.”

 

Bila seorang istri tidak jera dengan hukuman diasingkan setelah dinasihati, maka boleh bagi suami untuk memukulnya. Demikian pendapat sebagian ahli ilmi. Dan teks Al Qur’an memberikan faedah bagi kita, bahwa seorang suami boleh mengumpulkan tiga hukuman sekaligus dalam satu kondisi yaitu peringatan, pengasingan dan pemukulan.

 

Adapun bagaimana bentuk pemukulannya adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menunaikan haji Wada’ dalam khutbahnya di hadapan manusia. Dalam Sahih Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah yang mengisahkan haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di hadapan manusia, di antara isi khutbahnya adalah:

 

“Takutlah pada Allah dalam bergaul dengan istri-istri. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan jaminan Allah, dan menikahi mereka ‘dengan kalimat

Allah, Kalian berhak melarang mereka untuk memasukkan ke tempat tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Bila mereka tetap melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan berikanlah nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang makruf.”

 

Telah tetap penyebutan masalah memukul wanita itu pada sebagian hadits, di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Zam‘ah bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah dan menyebutkan seekor unta yang telah disembelih kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Ketika dibangkitkan orang yang paling celaka di antara mereka; dibangkitkan bagi mereka seorang laki-laki yang mulia, dan murah hati di kaumnya seperti Abu Zam‘ah.”

 

Dan beliau menyebutkan tentang wanita, kemudian bersabda:

 

“Salah seorang di antara kalian sengaja mencambuk istrinya sebagaimana mencambuk seorang budak. (Tetapi) barangkali ia menidurinya di akhir harinya (malamnya)….” (Sampai akhir hadits)

 

Dan di antaranya adalah yang dikeluarkan At Tirmidzi dari hadits ‘Amr bin Al Ahwash Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menyaksikan haji Wada’ bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memuji dan menyanjung Allah, serta memberikan peringatan dan nasihat. Beliau bersabda:

 

“Sesungguhnya yang kalian tidak dapat menguasai mereka sedikit pun, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang jelas, maka pisahkanlah dari tempat tidur dan pukullah dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (Dan jika) setelah dihukum mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk berbuat dzalim kepada mereka. Ketahuilah, bahwa kamu punya hak atas mereka dan meréka (pun) mempunyai hak atas kalian. Adapun hak kamu atas mereka adalah janganlah mereka memberi kesempatan orang yang kamu benci menginjak tempat tidurmu dan janganlah mereka memberi ijin bagi seseorang yang kamu benci ada di rumahmu. Ketahuilah, hak mereka atas kalian adalah kalian penuhi kebutuhan pakaian dan makanan mereka.”

 

Dikeluarkan Abu Daud dengan sanad yang hasan lighairihi dari hadits lyas bin Abdillah bin Abi Dzubab katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Janganlah kalian memukul hamba Allah.”

 

Kemudian datang Umar kepada Rasulullah sambil berkata, “Para wanita telah (menjadi) berani terhadap suami mereka.” Maka Rasulullah pun membolehkan memukul mereka. Setelah adanya sabda Rasulullah tersebut maka banyak wanita mengelilingi keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengeluhkan (perbuatan) suami-suami mereka. Maka Rasulullah bersabda:

 

“Sungguh banyak wanita mengelilingi keluarga Muhammad mengeluhkan suami-suami mereka. Mereka itu bukanlah orang terbaik di antara kalian.”

 

Memukul istri bukanlah jalan satu-satunya untuk mendidiknya. Memukul dilakukan bila keadaan betul-betul sangat memerlukan. Yang demikian ini adalah seperti apa yang dikeluarkan Muslim dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya seorang istrinya maupun pembantunya, kecuali beliau pergunakan tangannya untuk jihad di jalan Allah. Tidaklah tangannya mendapatkan sesuatu lalu menyiksa dengannya kecuali bila ada hukum Allah yang dilanggar, maka beliau menyiksa karena Allah ‘Azza wa Jalla.

 

Sebagaimana yang telah disebutkan, suami istri dianjurkan untuk hidup harmonis dan masing-masing harus dapat menunaikan kewajibannya. Bila terjadi kesulitan-kesulitan hendaknya diselesaikan bersama. Bila salah satu darinya melanggar hak yang lainnya, maka damai itu lebih baik daripada perpisahan dan perceraian. Perdamaian lebih baik bagi anak-anak daripada bercerai berai. Perdamaian lebih baik bagi rumah tangga mereka daripada permusuhan dan perpecahan. Dan perdamaian lebih baik bagi kaum muslimin secara umum karena mengandung kecintaan yang sangat tulus dan persatuan.

 

Perdamaian lebih baik daripada talak. Talak itu kesenangan iblis dan itu adalah dari perbuatan Harut dan Marut. Allah Ta’ala berfirman:

 

 

“Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan, mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.” (Al Baqarah: 102)

 

Dan dalam Sahih Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Sesungguhnya Iblis membangun singgasananya di atas air. Kemudian mengutus bala tentaranya. Orang yang paling hina di antara mereka paling besar cobaannya. Salah seorang di antara mereka datang dan berkata, “Aku telah berbuat demikian dan demikian.” Iblis berkata, “Kamu belum berbuat sesuatu.” Kemudian yang lainnya datang dan berkata, “Aku tidak meninggalkan seorang suami sebelum aku ceraikan dengan istrinya.” Iblis mendekatinya dan mengatakan, “Sebaik-baik orang adalah kamu.”

 

Maka semua ini menunjukkan bahwa talak adalah perbuatan yang dicintai setan.

 

Dan telah sahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia menceraikan istrinya. Kemudian istrinya berkata kepadanya, “Apakah anda melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dariku?” lbnu Umar berkata, “Tidak.” Istrinya berkata, “Apakah anda menceraikan wanita yang menjaga kehormatan dirinya?” Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma rujuk kembali kepada istrinya.

 

Dengan demikian perdamaian itu lebih baik sebagaimana yang telah aku sebutkan atau salah seorang dari mereka melepaskan haknya atas yang lainnya.

 

Dan apabila dikhawatirkan terjadi perceraian antara Suami istri, hendaknya umara’ setempat mengutus dua Orang hakim yakni seorang hakim dari pihak suami dan seorang hakim dari pihak istri untuk mendamaikan keduanya. Jika keduanya mau berdamai maka Segala puji hanya bagi Allah. Dan apabila telah sampai pada problem dan kesulitan di antara keduanya ke jalan yang buntu dan mereka tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, istri tidak mampu menunaikan hak suami dan sebaliknya suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, hukum-hukum Allah mereka abaikan dan tidak menjalankan ketaatan, maka pada saat itu diperbolehkan cerai, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 

“Jika keduanya bercerai maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas lagi Maha Bijaksana.” (An Nisaa’: 130)

 

Yang perlu diperhatikan juga adalah bila keduanya atau salah satu dari keduanya tidak menjalankan syariat Allah, acuh tak acuh dan tidak memikirkan serta tidak mensyukuri nikmat Allah, sedangkan pihak yang lainnya menjalankan syariat-Nya, maka perceraian itu lebih baik. Contohnya adalah Khalilullah Ibrahim ‘Alaihis sallam menasehati putranya Ismail mengganti palang pintu rumahnya ketika datang ke rumah dan mendapati istrinya tidak mensyukuri nikmat Allah. Dan ini adalah (perkara) yang jelas, dikeluarkan Bukhari dari hadits lbnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang mengisahkan keadaan Hajar “Alaihas sallam dan kisah Ibrahim ‘Alaihis sallam dan kedatangan beliau ke tempat putranya Ismail setelah Ismail menikah. Beliau mengunjungi putranya akan tetapi tidak menjumpai Ismail, maka beliau menanyakan Ismail pada istrinya. Istrinya berkata, “Ia keluar mencari kebutuhan untuk kami.” Kemudian beliau menanyakan tentang keadaan dan kehidupan sehari-hari mereka. Istrinya berkata, “Kami dalam kejelekan, kesempitan dan kesukaran.” Istrinya mengeluh pada beliau. Beliau berkata, “Bila suamimu datang sampaikanlah sallam dan katakanlah padanya agar mengganti palang pintu rumahnya.” Ketika Ismail kembali ke rumah dia seolah-olah memikirkan sesuatu dan bertanya kepada istrinya, “Apakah ada orang yang datang ke mari?” Istrinya menjawab, “Ya, seorang lelaki tua telah mengunjungi kita dan menanyakanmu, lalu aku (pun) mengabarkan keadaanmu padanya. Dia bertanya kepadaku tentang bagaimana kehidupan kita, maka aku mengabarkan padanya bahwa kita dalam kesusahan dan kesempitan.” Ismail bertanya lagi, “Apakah ia mewasiatkan sesuatu kepadamu?” lsterinya menjawab, “Ya. Ia memerintahkanku untuk menyampaikan salam padamu dan ia berkata gantilah palang pintu rumahmu.” Ismail berkata, “Orang itu adalah ayahku, ia memerintahkanku untuk menceraikanmu, maka hiduplah kamu bersama keluargamu…” Kemudian Ismail pun menceraikannya.

 

Disunahkan bagi Istri melayani suami dan mengurus anak-anak di rumah menurut batas kemampuannya. Karena ia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

 

Ini adalah kondisi wanita mulia dari kalangan sahabat dan selain mereka. Adalah Asma’ bintu Abi Bakar Radhiyallahu ‘anhuma memberi makan kuda Zubair (suaminya-pent), memanggul biji-bijian di atas kepalanya dan mencari air.

 

Ketika Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan tangannya yang kasar. Telah sampai kabar kepadanya bahwa beliau datang membawa pembantu, tetapi Fathimah tidak bertemu beliau…. (sampai akhir hadits). Dan dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Bila kalian menuju tempat tidur atau hendak ke tempat tidur, bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertakbirlah 34 kali. Ini lebih baik daripada seorang pembantu (yang kalian minta).”

 

Dan ketika Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma menikahi seorang janda maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Mengapa tidak (dengan) perawan saja yang engkau nikahi sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu? Jabir menjawab, “Sesungguhnya ayahku meninggal dan meninggalkan banyak anak wanita. Aku tidak suka menikah dengan wanita semisal mereka, maka aku menikahi seorang janda yang dapat menjaga dan membimbing mereka.”

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji wanita-wanita Quraisy dengan sabdanya:

 

“Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita Quraisy, mereka penyayang terhadap anak-anak dan memperhatikan (hak) suaminya.”

 

Sudah seharusnya suami membantu istri menyelesaikan pekerjaan di rumah, seperti yang telah disebutkan di muka. Dikeluarkan Bukhari dari jalan Al Aswad bin Thariq bahwa dia bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Apa yang dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah?” Aisyah berkata, “Adalah beliau (suka) membantu keluarganya dan apabila mendengar adzan beliau keluar.”

 

Seorang pendamping yang utama adalah seorang wanita yang terbimbing dan cerdik yang terkumpul padanya kebaikan. Seorang wanita dari ahlul jannah adalah da’iyah ilallah, mujahidah di jalan Allah dan sabar atas musibah-musibah (yang menimpanya), suka bertanya tentang agamanya, mulia di rumahnya, dan menunaikan perjanjian Allah dan Rasul-Nya.

 

Dialah Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha, Al Ghamisha’ bintu Milhan ibunya Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu , dan beliau istri Abi Thalhah Radhiyallahu ‘anhu. Berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Diperlihatkan surga kepadaku, lalu aku melihat istri Abi Thalhah.”

 

Dan dalam suatu riwayat:

 

“Aku masuk surga lalu aku mendengar suara, maka aku bertanya, “Siapakah ini?” Mereka berkata, “Ini adalah Al Ghamisha’ bintu Milhan, ibunya Anas bin Malik.”

 

Adapun aktifitasnya sebagai da’iyah ilallah tampak dengan tinggi dalam kisah (pernikahannya). Dikeluarkan An Nasaa’i dengan sanad yang sahih dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu katanya: “Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, maka berkata Ummu Sulaim, “Demi Allah, tidak ada orang yang sebanding denganmu wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau adalah seorang laki-laki kafir sedangkan aku seorang muslimah maka tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Bila engkau (mau) masuk Islam maka itulah maharku dan aku tidak meminta kepadamu selain itu.” Kemudian Abu Thalhah masuk Islam, dan keislamannya itu adalah mahar pernikahannya.

 

Berkata Tsabit, “Aku tidak pernah mendengar seorang yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim, yakni Islam.”

 

Dan dikeluarkan Ibnu Sa’d’7? dalam At Thabaqat (8/ 312) dengan sanad yang sahih dari Anas juga katanya: “Abu Thalhah datang untuk melamar Ummu Sulaim. Maka Ummu Sulaim berkata, “ Sesungguhnya aku tidak boleh menikah dengan seorang musyrik. Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Thalhah, bahwa tuhan-tuhanmu yang kamu sembah dipahat oleh seorang keluarga Fulan, bila engkau nyalakan api padanya tentu akan terbakar?!”

 

Anas berkata: “Maka Abu Thalhah berpaling dari Ummu Sulaim dan telah terjadi sesuatu di dalam hatinya karena perkataan tersebut. Tiap kali ia datang kepada Ummu Sulaim, ucapan itu pula yang ia dengar. Pada suatu hari ia mendatangi Ummu Sulaim (lagi) dan berkata, “Dan usulan yang engkau tawarkan kepadaku telah aku terima.” Maka Ummu Sulaim tidak meminta mahar darinya kecuali keislaman Abu Thalhah.”

 

Adapun keikutsertaannya berjihad fi sabilillah, maka sesungguhnya ia banyak mengikuti peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Dikeluarkan Muslim dalam Sahihnya dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu katanya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah perang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshar. Merekalah yang mengambilkan air dan mengobati luka-luka.”

 

Dan dalam Sahih Muslim’ juga dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Ummu Sulaim membawa sebuah pisau kecil pada perang Hunain. Perbuatannya itu dilihat Abu Thalhah maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim membawa pisau kecil.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Untuk apa pisau ini?” Ummu Sulaim Sulaim menjawab, “Aku bawa untuk menusuk perut orang-orang musyrik yang mendekatiku.” Maka hal itu membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. Ummu Sulaim berkata, “Wahai Rasulullah bunuhlah orang-orang at Thulaqa’, hancurkanlah mereka denganmu,”

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah mencukupi dan memberi kebaikan.”

 

Kesabaran Ummu Sulaim dapat dilihat dari sikapnya dalam menghadapi kematian anaknya dari hasil pernikahannya dengan Abu Thalhah.

 

Dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu katanya: “Adalah anak Abu Thalhah sakit. Abu Thalhah pergi dan anaknya meninggal. Ketika kembali ia bertanya (kepada istrinya), “Sedang apa anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “la sekarang lebih tenang (keadaannya).” Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam, maka mereka pun makan setelah itu tidur malam dan Abu Thalhah mencampurinya. Ketika Abu Thalhah telah menyelesaikan (hajatnya) Ummu Sulaim berkata, “Dia tinggal sebagaimana dulu” Keesokan paginya Abu Thalhah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan pada beliau kejadian tersebut. Beliau bertanya, “Apakah engkau mencampuri istrimu tadi malam?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Beliau lalu berdoa, “Ya Allah berilah keberkahan untuk keduanya di malam hari itu.” Kemudian Ummu Sulaim melahirkan seorang anak. Abu Thalhah berkata kepadaku, “Jagalah anak ini sampai kamu menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersamanya.” Maka dibawalah anak itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersamanya beberapa biji kurma. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil anak tersebut dan berkata, “Apakah ada sesuatu bersamanya?” Mereka berkata, “Ya. Ada beberapa biji kurma.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil kurma itu dan mengunyahnya kemudian beliau keluarkan dari mulutnya dan beliau suapkan ke bayi itu dan anak itu beliau beri nama Abdullah.

 

Adapun keantusiasannya dalam bertanya tentang agamanya adalah seperti yang dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu Salamah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘anha katanya: Ummu Sulaim istri Abu Thalhah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu menyampaikan kebenaran, apakah wanita wajib mandi bila ia bermimpi?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Ya. Bila ia melihat air (mani).”

 

Dan dalam riwayat Muslim dari hadits Ummu Sulaim bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wanita yang melihat dalam tidurnya seperti apa-apa yang dilihat laki-laki, maka Rasulullah bersabda: “Apabila wanita itu. melihatnya (yakni air mani) maka hendaklah ia mandi.” Ummu Sulaim kemudian merasa malu dari yang demikian itu. la berkata, “Bagaimana itu bisa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya. Dari mana asal kemiripan. Air mani laki-laki itu putih kental dan air mani wanita itu encer dan kuning. Maka bila salah satunya lebih tinggi atau lebih dulu keluar timbullah kemiripan.”

 

Kedermawanan Ummu Sulaim di rumahnya dan ma’rifatnya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan ganti kepada orang yang berinfaq (di jalan-Nya) maka dapat menyimak kisah kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke rumahnya. Dalam Sahih Bukhari dan Muslim dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu katanya: Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, “Sungguh aku mendengar suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melemah. Aku tahu beliau lapar. Apakah kamu mempunyai sesuatu?” Ummu Sulaim menjawab, “Ya, ada.” Maka ia mengeluarkan beberapa timbang biji gandum dan ragi kemudian dibuat roti dengan sebagiannya. la meletakkan roti itu di bawah tanganku dan menutupi sebagian roti itu. Kemudian ia menyuruhku pergi ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Berkata Anas: “Maka aku pun pergi ke sana dengan (membawa) roti itu dan aku menemukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di masjid bersama orang-orang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “Apakah kamu diutus Abu Thalhah?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Dengan (membawa) makanan?” Aku jawab, “Ya.” Maka berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang bersamanya, “Berdirilah kalian.” Beliau bangkit dan aku berdiri bersama mereka hingga aku mendatangi Abu Thalhah dan aku kabarkan kepadanya (apa yang telah aku lakukan). Abu Thalhah berkata, “Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah datang bersama orang-orang dan kita tidak mempunyai sesuatu pun yang dapat mereka makan.” Ummu Sulaim berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Maka Abu Thalhah pergi sampai bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah datang dan Abu Thalhah bersama beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai Ummu Sulaim, bawa ke sini apa yang kamu punyai.” Ummu Sulaim datang dengan membawa roti. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk meremukkan roti itu. Ummu Sulaim menuangkan air panas dan membumbuinya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa di dalamnya dengan apa yang dikehendaki Allah lalu berkata, “Izinkan sepuluh Orang untuk makan roti itu”, maka mereka diizinkan kemudian makan sampai kenyang setelah itu keluar. Beliau berkata, “Izinkan sepuluh orang untuk makan roti itu”, maka mereka diizinkan kemudian makan sampai kenyang setelah itu keluar. Beliau berkata, “Izinkan sepuluh orang untuk makan roti itu” , maka mereka diizinkan kemudian makan sampai kenyang setelah itu keluar. Beliau berkata, “Izinkan sepuluh orang untuk makan roti itu”, maka mereka diizinkan kemudian makan sampai kenyang setelah itu keluar. Orang-orang pun semuanya makan sampai kenyang, dan pada waktu itu mereka berjumlah 70 atau 80 orang laki-laki.

 

Maka lihatlah pada keteguhan dan keyakinannya kepada Allah yang dengan itu semua, Allah memberikan keberkahan pada makanannya, tidak membuka aib dan menghinakan perjamuannya. Ketika ia tidak mempunyai sesuatu untuk disuguhkan, ia berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Ambillah kisah ini sebagai pelajaran wahai wanita.!!

 

Adapun tentang wafa’nya terhadap apa yang dijanjikan Allah, adalah (seperti) yang dikeluarkan Bukhari dan Muslim’?! dari hadits Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu ‘anha katanya: “Kami berbai’at kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau membacakan atas kami “bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah” (Al Mumtahanah: 12) dan melarang kami dari niyahah.” Maka para wanita di antara kami menarik tangannya kemudian berkata, Fulanah telah menggembirakanku, dan aku bermaksud membalasnya, maka tidak mengucapkan apa-apa. Aku kemudian pergi dan datang lagi, maka tidak ada wanita yang, menunaikan bai’atnya kecuali Ummu Sulaim, Ummu Ala’ dan anak perempuan Abi Saburah iserinya Muadz atau anak perempuan Abi Saburah dan istri Muadz.

 

Bagi suami istri haruslah senantiasa berlindung kepada Allah dalam segala sesuatu dan membiasakan diri untuk terus bersabar dan bersyukur pada setiap keadaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

 

“Amat menakjubkan perkaranya orang mukmin, semuanya baik (baginya) dan yang demikian tidak akan dijumpai, kecuali (hanya) pada seorang mukmin. Bila ia tertimpa musibah bersabar, dan itu baik baginya. Dan bila ia mendapatkan kesenangan ia bersyukur maka itu baik baginya.”

 

Suami istri harus menyadari bahwa banyak keturunan atau kemandulan (tidak mempunyai keturunan) itu semata-mata merupakan takdir Allah. Allah Ta’ala menguji sebagian manusia dengan kemandulan dan yang lainnya Dia uji dengan banyaknya anak wanita serta yang lainnya diuji dengan banyak anak laki-laki. Allah juga menguji yang lainnya dengan punya banyak anak laki-laki dan wanita. Tidak ada upaya bagi seorang muslim, kecuali ridha terhadap ketentuan takdir-Nya dalam segala hal. Allah telah menceritakan tentang diri-Nya (dimana Dia berfirman):

 

“Dia memberikan anak-anak wanita kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan wanita (kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy Syuura: 49,50)

 

Banyaknya anak bukanlah hasil usaha manusia, kejantanan, kekuatan, kecerdasan dan lainnya. Berapa banyak orang kuat tidak Allah beri keturunan dan berapa banyak orang yang cerdas tidak Allah beri keturunan (juga).

 

Kita bisa melihat para istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam Radhiyallahu ‘anhunna, mereka tidak dikarunia anak dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali Khadijah dan budak wanita beliau yakni Mariyah.

 

Dan Sulaiman ‘Alaihis salam -sebagaimana yang telah kami ceritakan di mukabeliau berkata, “Aku akan menggilir 70 orang wanita (istri) dalam semalam yang nanti melahirkan anak-anak yang berperang di jalan Allah.” Pada kenyataannya tidak ada seorangpun (dari istrinya) yang melahirkan anak selain satu orang melahirkan setengah manusia.’”

 

Allah Rabbul ‘Izzah memberi karunia kepada Zakaria seorang anak (ketika) ia telah tua, lemah dan memutih rambut kepalanya sedangkan istrinya seorang wanita yang mandul.

 

Dan Ibrahim Al Khalil pun demikian juga, Allah memberinya karunia seorang anak setelah beliau berusia lanjut dan istrinya seorang wanita yang mandul juga. Dan ketika istrinya diberi kabar gembira dengan kelahiran seorang anak ia berkata (sebagaimana dalam firman Allah):

 

“Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang wanita tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” (Huud: 72)

 

Dan Maryam dikaruniai seorang anak padahal ia tidak mempunyai suami, sebagai tanda kekuasaan Allah Ta’ala bagi semua manusia dan alam. Maka masalah banyak anak atau kemandulan adalah kehendak Allah semata.

 

Bila suami istri diuji oleh Allah kemandulan hendaknya mereka ridha dengan takdir-Nya. Pasti semua itu ada hikmahnya. Berapa banyak seorang anak justru mendorong kedua orang tuanya untuk berbuat dzalim dan kufur. Anak yang dibunuh nabi Khidzr adalah seorang anak yang telah ditakdirkan kafir kalau besar sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan berkata Khidzr tentang anak itu, ,

 

“Dan anak muda itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi: 80)

 

Dan berapa banyak anak telah ditulis sebagai anak celaka ketika masih dalam di perut ibunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At Taghaabun: 14)

 

Dan Allah (juga) berfirman:

 

“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.” (An Nisaa’: 11)

 

Adalah Yahya bin Zakaria seorang yang menjadi ikutan dan menahan diri (dari hawa nafsu).

 

Maka banyaknya keturunan bukan jaminan kebaikan dan anak-anak pun tidak dapat menolong ayah dan ibu mereka pada setiap waktu. Berkata nabi Nuh kepada anaknya (sebagaimana dalam firman Allah):

 

“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”

 

Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 42,43)

 

Sampai pada perkataan Nuh:

 

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya Kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Huud: 45,46)

 

Maka apabila (sepasang) suami istri ditakdirkan tidak mempunyai keturunan maka keduanya harus bersabar dengan terus berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan memantapkan hati di atas keridhaan terhadap takdir-Nya.

 

Dan apabila suami istri diberi karunia anak-anak wanita, itu juga merupakan kehendak Allah yang menciptakan apa yang la kehendaki dan Dia-lah yang memilih.

 

“Dan Dia memberikan anak wanita kepada siapa yang la kehendaki dan Dia memberikan anak laki-laki kepada siapa yang la kehendaki…” (Asy Syuura: 49).

 

Maka mereka berdua harus ridha dan bersyukur dan janganlah seperti orang-orang jahiliyah dulu yang telah diceritakan Allah dalam Al Qur’an:

 

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. la menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan mengubur hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58,59).

 

Padahal telah ada kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keterangan besarnya pahala orang yang mengasuh anak-anak wanitanya dengan baik. Disebutkan dalam Sahih Muslim dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Barang siapa yang mengasuh dua anak wanita (nya) sampai dewasa maka ia datang pada hari Kiamat bersamaku.”

 

Beliau merapatkan jari jemari tangannya. Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha katanya, “Seorang ibu bersama dua anak wanitanya mendatangiku meminta-minta. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma dan aku berikan kepadanya. Ja bagi kurma itu kepada – kedua anaknya kemudian berdiri dan keluar. Tak lama kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk dan aku kabarkan kejadian itu. Beliau berkata:

 

“Barang siapa mengasuh anak-anak wanita dan berbuat baik dengan mereka maka mereka sebagai penghalang api neraka baginya.”

 

Dan dalam riwayat Muslim dari hadits Aisyah katanya: “Seorang ibu yang miskin sambil menggendong dua orang anak wanita mendatangiku. Lalu aku beri tiga biji kurma. Maka masing-masing anak ia beri satu kurma dan ia angkat sisa kurma itu ke mulutnya untuk dimakan, akan tetapi anak wanitanya memintanya lalu ia belah kurma yang hampir dimakan itu untuk anaknya. Sungguh kejadian itu sangat mengharukan lalu aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau berkata:

 

“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan memasukkannya ke surga atas perbuatannya atau membebaskan dari neraka karena perbuatannya.”

 

Nasthat Emas dari Keutamaan Amal dan Akhlak Mulia

 

Bagi suami dianjurkan menyebut asma Allah bila masuk rumah, agar setan tidak ikut masuk ke dalamnya. Yang demikian itu seperti. dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Bila seseorang masuk rumahnya dan menyebut nama Allah waktu masuk dan makan setan berkata, “Tidak ada tempat bagimu dan tidak ada makan malam.” Dan bila ia masuk tanpa menyebut nama Allah setan berkata (kepada temannya), “Kalian mendapatkan tempat bermalam.” Dan bila tidak menyebut nama Allah ketika makan setan berkata, “Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.”

 

Baginya (suami) disyariatkan dan disunahkan untuk mengucap salam kepada keluarganya dan menemui mereka dengan wajah berseri-seri. Hal ini tidaklah berat bahkan mendatangkan manfaat baginya. Sesungguhnya bila ia melemparkan senyuman pada keluarganya (istri) maka ini merupakan sedekah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

 

“Janganlah meremehkan perkara yang makruf sekalipun hanya berwajah berseri bila kamu bertemu saudaramu.”

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (An Nuur: 61)

 

Dan telah sahih dari Jabir bin Abdillah bahwasanya dia berkata, “Bila kamu masuk rumah keluargamu maka berilah salam kepada mereka sebagai salam penghormatan dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik.”

 

Tidaklah pantas seorang suami masuk rumah dalam keadaan mengerutkan kening, tegang urat lehernya, merah kedua matanya. Sedang bila bersama manusia bersikap ramah dan berwajah cerah. Cobalah anda bercermin di kaca tatkala anda sedang marah. Tentu anda akan melihat wajah anda sendiri menyeramkan dan membuat orang yang melihat anda lari dan berlindung kepada Allah. Maka jangan heran bila anda tidak mendapat kebaikan, sebab anda menghalangi kebaikan yang turun dari langit dengan perbuatan anda sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perilakunya dengan keluarganya.”

 

Apa yang memberatkanmu wahai hamba Allah! untuk bermuka cerah di depan istrimu ketika masuk rumah agar engkau mendapat pahala dari Allah?!!

 

Apakah berat bagimu jika engkau melemparkan senyuman kepada istri dan anak-anakmu?!!

 

Apakah mengurangi kewibawaanmu wahai hamba Allah! bila engkau mengecup kening istrimu dan bermain-main dengannya?!!

 

Apakah yang memberatkanmu menyuapkan satu suapan makanan ke mulut istrimu hingga engkau mendapat pahala karenanya ?!!

 

Apakah sulitnya bila masuk rumah engkau mengucapkan salam dengan sempurna Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh hingga engkau mendapatkan 30 kebaikan ?!!

 

Mengapa engkau tidak berbicara dengan perkataan yang baik kepada istrimu meskipun sedikit berbohong agar ia senang ?!!

 

Tanyakanlah tentang istrimu tanyakanlah keadaannya ketika engkau baru masuk rumah . Aku pikir tidak mengapa dan tidaklah berat bila engkau berkata kepada istrimu “Wahai kekasihku, sejak aku keluar dari sisimu sedari pagi hingga sekarang seolah terasa setahun telah berlalu” !!

 

Sesungguhnya bila engkau mengharapkan pahala walaupun engkau merasa jemu mendatangi dan mencampurinya maka engkau mendapat pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Dan dalam kemaluanmu ada sedekah.” Apakah termasuk suatu kebodohan wahai hamba Allah! bila engkau berdoa pada Allah seraya berkata “Ya Allah perbaikilah aku dan istriku serta berikanlah keberkahan kepada kami.” Sebuah ucapan yang baik adalah sedekah. Wajah berseri dan senyuman adalah sedekah. Menyebarkan salam banyak kebaikannya. Bersalaman sambil mengucapkan salam menghilangkan kesalahan-kesalahan. ’ Dalam jima’ pun ada pahalanya.

 

Apakah engkau rugi bila menemui suamimu dengan wajah berseri dan senyuman?!!

 

Apakah berat bila engkau mengusap debu di wajah, kepala dan pakaiannya dan engkau menciumnya?!!

 

Aku pikir tidaklah berat bila engkau tidak duduk sampai suamimu masuk dan duduk!!

 

Tidaklah sukar bila engkau ucapkan padanya “Alhamdulillah atas keselamatanmu kami telah rindu menanti kedatanganmu, selamat datang”.

 

Berdandanlah untuk suamimu dan lakukanlah hal ini karena mengharap pahala dari Allah sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan

 

Pakailah parfum, celak, dan baju yang terbaik untuk menyambut kedatangan suamimu

 

Hindarilah olehmu kesedihan

 

Janganlah engkau condong dan mendengar omongan orang yang mau merusak keutuhan rumah tanggamu

 

Janganlah selalu gundah gulana tetapi berlindunglah pada Allah dari perasaan gundah gulana, lemah kepribadian dan malas

 

Janganlah engkau merendahkan suaramu di hadapan laki-laki asing nanti ia akan berniat yang bukan-bukan terhadapmu.

 

Jadilah orang yang selalu lapang dada berpikiran jernih dan tenang serta senantiasa mengingat Allah pada setiap masa

 

Hiburlah suamimu sehingga meringankan kepenatan, sakit, musibah dan kesedihan Anjurkan suamimu berbuat baik kepada kedua orang tuanya

 

Didiklah anak-anak dengan baik dan penuhilah rumahmu dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil serta perbanyaklah bacaan Al Qur’an terutama surat Al Baqarah karena ia dapat mengusir setan

 

Lepaslah dari rumahmu gambar-gambar bernyawa alat-alat musik dan permainan yang merusak.

 

Bangunkanlah suamimu untuk shalat malam berilah semangat untuk puasa sunah ingatkanlah akan keutamaan infak dan jangan cegah suamimu dari silaturahmi

 

Perbanyaklah istighfar untuk dirimu suamimu, orang tuamu dan kaum muslimin

 

Mohonlah kepada Allah tuk mendapatkan anak yang shalih niat yang ikhlas baik dan kebaikan dunia serta akhirah

 

Ketahuilah Rabbmu mendengar doamu dan mencintai orang yang suka berdoa

 

“Dan berkata Tuhanmu, berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan.” (Ghaafir:60)

 

Sesungguhnya orang yang , tidak mendapatkan apa-apa adalah orang yang tidak mendapatkan pahala Alangkah baiknya andai kata kalian naik bersama ke tempat yang tinggi, yang dekat dengan Allah Ta‘ala Alangkah baiknya andai kata kalian duduk bersama membaca Kitabullah dan mempelajari Sunah Nabi-Nya Betapa indahnya andai kata kalian duduk bersimpuh mempelajari agama

 

Semoga keselamatan dan ampunan menyertai kalian andai kata kalian memberikan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

 

Bergembiralah kalian dengan maghfirah dan pahala yang besar andai kata kalian termasuk orang-orang yang banyak dzikrullah

 

Tenang-tenanglah, bila kalian termasuk orang-orang yang sabar, jujur, taat, suka berinfak dan suka meminta ampunan kepada Allah Berikanlah hadiah untuk kedua orang tua kalian bersemangatlah untuk berbuat baik kepada mereka keluarga dan teman dekat mereka.

 

Sungguh menakjubkan, andai kata kalian memuliakan tamu memberikan hadiah kepada tetangga menyambung tali silaturahmi dan shalat malam berdua sementara manusia terlelap Laluilah jalannya orang-orang yang baik dengan cara menahan marah dan mema’afkan manusia

 

Pahala akan kalian raih bila kalian tolong menolong dalam ketakwaan dan kebaikan meninggalkan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan

 

Semoga Allah menjauhkan kalian dari kerugian bila kalian saling menasihati dengan kebenaran dan menasihati dengan kesabaran

 

Semoga Allah mewariskan surga pada kalian bila kalian menjalankan rukun-rukun Islam dan mendekat kepada Ar Rahman.

 

Bukankah kalian punya teladan sebagaimana yang Allah kabarkan:

 

“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al Hasyr: 9 )

 

Ikutilah jalannya orang-orang yang kembali kepada Allah dan jalannya mengikuti petunjuk Allah Ikutilah petunjuk Allah yang dibawa para Rasul Allah Mohonlah pada Allah wahai suami ….

 

Mohonlah kalian wahai istri… agar Allah menolong Islam dan muslimin agar Allah memelihara kalian, keturunan kalian dan kaum muslimin dan muslimat agar Allah menempatkan kalian di surga Firdaus dan mengumpulkan kalian bersama orang-orang yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, siddiqqin, syuhada dan sholihin Merekalah sebaik-baik teman dekat

 

Wajib bagi kedua orang tua mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya pendidikan dan menjaga mereka dengan penuh pengawasan yang ketat. Mengajari tauhid, ushuluddin, rukun-rukun Islam, Iman, Ihsan dan mengabarkan tentang surga dan sifatnya. Menghasung mereka untuk mendapatkannya dengan memberi semangat beramal yang dapat memasukkan ke dalamnya. Demikian juga menakut-nakuti mereka dari neraka dan memperingatkan. nya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan ke dalamnya.

 

Kedua orang tua harus memperingatkan anak-anak dengan nasihat yang lengkap dan pelajaran yang bermanfaat. (Yaitu) nasehat dan pelajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya seperti yang Allah ceritakan di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya:

 

“Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu dosa/kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13)

 

Maka kedua orang tua wajib memperingatkan anak-anaknya dari syirik dan menerangkan apakah syirik itu serta menjabarkan macam-macam syirik. Yang termasuk syirik adalah berdoa kepada selain Allah

 

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (Al Ahqaaf: 5-6)

 

Dan Barang siapa yang berdoa kepada mayit dan mengharap kepadanya maka ia telah menyekutukan Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Doa adalah ibadah.”

 

Orang tua (harus) menerangkan kepada anaknya bahwa permintaan tolong dan bantuan harus kepada Allah semata, bukan kepada mayat-mayat dalam keadaan apapun.

 

Mereka berdua harus memahamkan kepada anak-anak bahwa patung-patung, pohon-pohon, batu-batu tidak dapat memberi manfaat maupun bahaya. Orang mati tidak dapat menguasai diri sendiri, terlebih terhadap orang lain. Mereka terangkan kepada anak-anak bahwa tidak diperkenankan nadzar kecuali untuk Allah, demikian juga menyembelih dan yang semisalnya. Thawaf hanya boleh dilakukan di ka’bah. Sujud dan ruku’ hanya untuk Allah. Bersumpah hanya dengan nama-Nya. Setiap melakukan amalan hanyalah untuk mendapatkan pahala-Nya. Meminta dihilangkan bahaya dan mendapatkan kemanfaatan hanyalah kepada Allah.

 

Mengajarkan bahwa hukum itu milik Allah, perintah (syariat) hanya milik-Nya. Kepemilikan itu hak-Nya. Hanya Dialah yang membuat syariat. Semua apa yang di atas bumi akan binasa dan hanya wajah Allah yang tetap kekal.

 

Memperingatkan anak-anak dari riya’ (syirik tersembunyi).

 

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kukembalimu.” (Luqman: 14)

 

Hendaknya manusia mengetahui bahwa Rabbnya memerintahkan berbuat baik pada dua orang tua. Allah Ta’ala mengutamakan menyebut ibu (dalam ayat di atas) karena ibulah yang telah mengandungnya dengan kelemahan yang amat sangat dan para ibulah yang menyusuinya. Maka berbuat baik kepada dua orang tua sudah menjadi kewajiban, bersyukur kepada-Nya kemudian kepada mereka dan melarang mengatakan kepada mereka kata uh! atau cis! Akan tetapi diperintahkan mengucapkan perkataan yang baik dan mulia serta bersikap sopan dan merendah di hadapan mereka.

 

Dianjurkan berdoa bagi mereka: “Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka menyayangi di waktu kecil.”

 

Maka seorang anak haruslah mengabdi kepada kedua orang tua khususnya ketika mereka menginjak usia lanjut.

 

Terkadang keduanya atau salah satunya memasuki masa pikun. Pada usia ini mereka sering berulah seperti anak kecil, misalnya kencing dan berak di celana. Hendaknya seorang anak bersabar melayani mereka dan tidak boleh menggerutu. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang yang baik, maka sesungguhnya la Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (Al Isra’: 25)

 

Yakni apabila seorang anak dengan tidak sengaja menggerutu, hendaklah segera bertobat. Berbuat baik pada orang tua tidak diartikan menaati kedua orang tua di dalam kemaksiatan, tetapi wajib menyelisihi mereka dalam kemaksiatan. Ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf. Allah Ta’ala telah memperingatkan:

 

“Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi:28)

 

Orang yang pantas ditaati adalah orang yang bertobat kepada Allah dan berjalan di atas jalan Allah Ta’ala.

 

Seandainya kedua orang tua musyrik, mereka tetap diperlakukan dengan baik di dunia. Sebagaimana dalam firman Allah:

 

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)

 

Bagi seorang hamba hendaknya berkeinginan dirinya, istri, anak-anak, ayah dan ibunya mati di atas tauhid.

 

Bukankan anda mendengar Ya’qub ‘Alaihis salam ketika akan meninggal mengumpulkan anak-anaknya. Apa yang ia wasiatkan kepada mereka?!

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

“Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apakah yang kamu sembah sepeninggalku ?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al Baqarah: 133)

 

Dan sebelumnya, (adalah) kakeknya (yakni) Ibrahim Al Khalil orang yang hanif, lembut hati, suka kembali kepada Allah dan Khalilur Rahman yang Allah angkat dia di dunia dan akhirat dari orang-orang yang shalih, berkata kepadanya Rabbnya: “Berserah dirilah engkau kepada-Ku”. la pun menjawab, “Aku berserah diri kepada Rabb semesta alam.”

 

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (lbrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Al Baqarah: 132)

 

Kemudian Luqman “‘Alaihis salam memberitahukan kepada anaknya bahwa bagi Allah tidak ada yang tersembunyi sedikitpun dan la tidak menyia-nyiakan amal seseorang. Dia (Luqman) berkata (sebagaimana yang tersebut dalam Al Qur’an):

 

(Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16)

 

 

la (juga) anjurkan anaknya shalat, amar makruf nahi munkar (menyuruh yang baik dan melarang dari yang mungkar), dengan perkataannya:

 

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)

 

Wahai… Inilah wasiat-wasiat lengkap yang perlu diperhatikan: Hasunglah anakmu agar semangat (menegakkan) shalat karena dia merupakan tiang agama, dengan menegakkannya akan tegaklah agama dan dengan menghilangkannya akan hilang (pula) agama!! Hasunglah semangatnya untuk (menegakkan) shalat yang merupakan rukun kedua dari rukun Islam tidak ada yang mendahuluinya kecuali dua (kalimat) syahadat!! Hasung semangat shalatnya dengannya dicapai surga-surga. Hasung semangat shalatnya yang mana ia adalah cahaya.

 

Hasunglah ia semangat shalat karena ia merupakan perintah Allah. Allah berfirman:

 

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. ‘Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaahaa: 132)

 

Hasunglah ia semangat shalat karena para Rasul (pun) memerintahkannya:

 

“Dan ia menyuruh ahlinya untuk (mendirikan) shalat dan ) menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 55)

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Ajarkanlah anak-anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah agar mereka shalat pada usia sepuluh tahun.”

 

Berilah ia semangat (untuk) shalat agar selamat dari neraka. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman:

 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al Maa’uun: 4,5)

 

Dan Allah (juga) berfirman:

 

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal shalih.” (Maryam: 59,60)

 

Berilah ia semangat shalat karena dapat menolong dari musibah-musibah dan mencegah perbuatan keji dan mungkar Berilah ia semangat shalat karena shalat mengandung keutamaan yang luas, kebaikan dan pahala yang besar. juga… mengajarkan dan memberi semangat anak-anak untuk amar makruf nahi munkar serta sabar atas gangguan yang menimpa sebagaimana firman Allah Taala:

 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3) =

 

Kemudian nasehat Luqman selanjutnya: Menghasung anak berakhlak mulia dalam pergaulannya bersama manusia dengan perkataannya:

 

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18)

 

Wahai anakku hadapkanlah wajahmu saat kamu berbicara dengan manusia

Jangan berpaling, jangan memalingkan tengkukmu dan jangan menjauhkan wajahmu dari mereka.

Tetapi cerahkanlah wajahmu dan jangan congkak cara berjalanmu karena Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.

 

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19)

 

Maka ajarkanlah kepada anak-anakmu wasiat-wasiat yang agung ini untuk meraih kebaikan di dunia dan akhirat. Disyariatkan bagi orang tua menasehati anakanaknya dengan kalimat-kalimat ini, yang bermanfaat lagi baik, yang kalimat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada anak pamannya yaitu Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau bersabda kepadanya:

 

“Hai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat yaitu: jagalah (syariat) Allah niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syariat) Allah niscaya engkau akan menemui-Nya di depanmu (menolongmu). Bila kamu meminta, mintalah kepada Allah. Bila kamu meminta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya andai kata semua manusia berkumpul untuk memberi kemanfaatan padamu mereka tidak dapat memberikan padamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu. Dan andai kata mereka berkumpul untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan menimpamu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran.”

 

Bagi orang tua haruslah memerintahkan ketaatan kepada anak-anak sejak usia dini dan mengajarkan mana yang haram dan mana yang halal sedikit demi sedikit, sebagaimana yang dikatakan oleh penyair:

 

Dan anak-anak tumbuh di keluarga kita Di atas kebiasaan orang tuanya

 

Seorang ayah menemani anaknya pergi ke masjid untuk diajari Al Qur’an, sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan shalat sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Ajarkanlah shalat kepada anak-anakmu yang berusia tujuh tahun dan pukullah bila sudah berumur sepuluh tahun tidak mengerjakannya…”

 

Membiasakan puasa sebagaimana dulu para salaf membiasakan amalan ini kepada anak-anak mereka. Ar Rubai’ bintu Mu’awwidz berkata: “Kami dulu biasa puasa Assyura dan anak-anak kami ikut mengerjakannya serta kami buatkan mainan untuk mereka dari bulu (agar mau berpuasa). Bila mereka menangis minta makan, kami berikan mainan itu sampai tiba saat berbuka.”

 

Menjauhkan mereka dari perkara haram. Dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu katanya: Al Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebuah biji kurma dari kurma sedekah dan segera memakannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “lh, ih!’ Beliau menyuruh Al Hasan untuk melemparkan kurma itu, kemudian berkata:

 

“Adapun keluarga Muhammad tidak makan harta sedekah.”

 

Mengajarkan kepada anak-anak etika makan dan minum. Dikeluarkan Bukhari dan Muslim dari hadits Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘anhuma katanya: Aku dahulu adalah seorang anak dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tanganku pernah menjamah makanan dalam piring, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku:

 

“Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat darimu.”

 

Dan dikeluarkan Muslim dari hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami bila makan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyentuhnya sebelum beliau menyentuhnya. Pada suatu kesempatan kami bersama beliau menghadiri santapan makan, tiba-tiba datang seorang budak wanita seolah-olah ia terdorong dan menyentuhkan tangannya di makanan. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil tangannya. Dan datang (juga) seorang arab badui seolah-olah terdorong untuk mengambil makanan tetapi dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil tangannya dan bersabda:

 

“Sesungguhnya setan makan makanan yang tidak disebut nama Allah. la datang bersama budak wanita ini agar ia bisa memakannya lalu aku memegang tangannya. Lalu setan itu datang bersama seorang arab badui agar dapat memakannya dan aku pegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangannya bersama tangan jariyah ada di tanganku.”

 

Dan telah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dua orang, maka orang yang lebih muda (dari keduanya) berbicara. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Orang) yang tua dulu.”

 

Orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya menghormati orang yang lebih tua dan yang tua menyayangi yang lebih muda.

 

Mendoakan anak-anak mendapatkan hidayah dan kebaikan sebagaimana yang sering dilakukan oleh orang-orang shalih.

 

“Dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.” (Al Ahqaaf: 15)

 

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” (Al Furqaan: 74)

 

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Ya Allah, keluargaku… hilangkan dari mereka syirik dan bersihkan (sucikan)lah mereka dengan sebersih-bersihnya.”

 

Melindungi anak-anak dengan doa perlindungan kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Sahih Bukhari dari hadits lbnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma katanya: “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan (doa) perlindungan kepada Al Hasan dan Husain dan berkata:

 

“Sesungguhnya ayah kalian (yakni) Ibrahim memberi perlindungan kepada Ismail dan Ishaq dengan doa:

 

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua setan, gangguan yang menakutkan dan pandangan mata yang jahat.”

 

Kami ingatkan akan satu sunah yang sudah ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu seperti yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu katanya, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Bila malam tiba atau engkau berada di sore hari, masukkanlah ke rumah anak-anakmu karena setan ketika itu berkeliaran. Bila berada di malam hari tahanlah anak-anakmu di rumah dan tutuplah pintu-pintu rumah karena setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup, ikatlah sarung senjatamu dan sebutlah nama Allah, dan tutuplah bejana-bejana dan sebutlah nama Allah meskipun dengan meletakkan sesuatu di atasnya serta matikanlah lampu-lampu.”

 

Seorang anak terlihat kurus dan lemah, dan sudah dikonsultasikan ke dokter tetapi tidak ada tanda-tanda sakit, maka hal ini dimungkinkan terkena penyakit ‘ain (pandangan mata orang yang hasad). Sebagaimana Nabi pernah melihat badan keluarga Ja’far kurus-kurus dan lemah, kemudian beliau menanyakan hal itu kepada ibu mereka Asma’ bintu Umais, “Aku melihat badan anak. anak saudaraku kurus dan lemah kenapa? Apakah kurang makan?” Asma bintu Umais menjawab, “Aku tidak tahu, tetapi pandangan mata yang membuat mereka demikian!” Nabi berkata, “Pergilah!” Asma bintu Umais berkata, “Lalu aku mendatangi beliau.” Beliau berkata, “Ruqyahlah mereka!.”

 

Orang tua harus adil kepada anak-anak dalam pemberian, sehingga tidak menimbulkan rasa iri di antara mereka dan kedengkian di antara orang tua. Dari Nu’man bin Bashir -semoga Allah meridhai keduanya- berkata: “Ayahku memberiku sesuatu lalu Amrah bintu Rawahah berkata, “Aku tidak ridha sebelum dipersaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ayahku kemudian mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya aku memberikan kepada anakku Amrah bintu Rawahah sesuatu, ia meminta agar engkau mempersaksikannya, ya Rasulullah!” Rasulullah bertanya, “Apakah engkau memberikan semua anakmu semisal itu?” Ayahku berkata, “Tidak.” Rasulullah berkata, “Takutlah kepada Allah, bersikap adillah kepada anak-anak!.” Ayahku pulang dan mencabut pemberiannya.”

 

Memang benar, kecintaan adalah milik Allah semata, ‘terkadang orang tua lebih mencintai salah seorang anaknya daripada yang lainnya. Sungguh telah berkata saudaranya Yusuf:

 

“Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh orang tua kita dari pada kita sendiri, pada hal kia (ini) adalah satu golongan (yang kuat)…” (Yusuf: 8)

 

Tetapi hendaknya hati-hati tetap dekat semua anak dan jangan menampakkan perkara yang menyempitkan anak dan menyebabkan timbulnya dendam dari mereka.

 

Dalam Al Qur’an terdapat etika mulia yang baik sekali bila diterapkan dalam kehidupan berumah tangga:

 

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan’ wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu sembahyang subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Alah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nuur: 58)

 

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nuur: 59)

 

Di ayat ini Allah menunjuki orang tua mengajarkan sopan santun kepada anak-anak yang mumayiz tetapi belum ke umur dewasa untuk meminta izin kepada orang tua di waktu di mana pada saat-saat itu ‘aurat terbuka dan pakaian dilepas. Waktu-waktu tersebut adalah sebelum shalat subuh, ketika menanggalkan pakaian di tengah hari dan setelah shalat Isya’.

 

Pada umumnya suami istri membuka baju di waktu-waktu ini yang juga waktu bersetubuh, maka orang tua diperintah syariat mengajari anak-anak kecil yang sudah mumayiz yang belum dewasa meminta izin kepada mereka pada waktu-waktu tersebut. Terkadang seorang anak masuk kamar pada waktu-waktu ini dan mendapati keduanya dalam keadaan yang mereka tidak suka untuk dilihat semisal membuka ‘aurat dan jima’ atau semisalnya. Maka seorang anak keluar dari ruangan dan pikirannya tergambar pemandangan yang ia lihat sehingga menjadi kotor pikirannya. Di luar ia terdorong untuk mempraktekkan apa yang dilakukan kedua orang tuanya. Bisa jadi ia lakukan bersama tetangga wanita, teman dekatnya yang wanita atau bahkan bersama saudara wanitanya di rumah-rumah yang tidak terjaga dan tidak dipisahkan antara laki-laki dan wanita tempat tidurnya. Seorang anak laki-laki tidur bersanding dengan saudara wanitanya dan melihat pemandangan yang menggairahkan syahwat dari ibu bapaknya, maka bagaimana yang akan ia perbuat bersama saudara wanitanya, sesungguhnya setan sangat senang akan kerusakan dan kehinaan bersama dengan saudara wanitanya.

 

Agama kita adalah agama yang bersih yang dapat menjaga pandangan atau pikiran anak-anak dan menjaga hati mereka dengan bersih juga. Muslim dan muslimah haruslah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang ibu haruslah menjaga fitnah di hadapan anak-anak ketika di rumah, janganlah berhias secara berlebihan di hadapan anak laki-lakinya, karena dapat menjerumuskan ke dalam perkara yang dicintai setan. Demikian juga bagi seorang ayah haruslah memelihara pakaian yang sederhana dan sopan jangan memakai pakaian yang dapat merangsang di hadapan anak wanitanya, seperti memakai celana pendek dan ketat. Penampilan ayah yang seperti ini dapat menyeret mereka ke dalam perilaku yang tidak terpuji.

 

Permintaan ijin disyariatkan karena sebagai penjaga pandangan mata, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

“Sesungguhnya dijadikan perijinan hanyalah karena untuk menjaga pandangan.”

 

Maka kalau begitu permasalahannya, lebih ditekankan pada orang tua untuk menjaga anak-anak mereka dan yang menjaga sebenarnya adalah Allah Ta’ala dari film-film yang merusak akhlak, yang dapat membangkitkan kefasikan dan kehinaan bahkan menyebarkan kekejian dan kemungkaran serta menyulut kemesuman. Maka bagaimana bila seorang anak laki-laki yang berangkat dewasa melihat seorang laki-laki yang sedang meniduri seorang wanita, memeluk dan mencium?!! Bukankah ini akan membangkitkannya berbuat seperti itu dan mendorongnya kepada kerusakan serta menggiringnya ke arah jurang kejahatan?!!

 

Bagaimana dengan seorang anak gadis yang buruk akhlaknya melihat seorang pemuda jantan yang memeluk, mencium dan meniduri seorang pemudi? Maka dirinya ingin seperti pemudi yang ia lihat dan syahwatnya menggelora terdorong untuk berbuat yang dimakruhkan dan diharamkan. Wal’iyadzu billah!

 

Ada sebagian ulama menyebutkan bahwa bila wanita melihat kuda jantan menaiki kuda betina, atau kucing jantan menaiki kucing betina dan yang semisal itu, ia akan terdorong dan ingin jima’.

 

Sudah sepantasnya semua ayah dan ibu menjaga dan mengawasi anak-anak mereka dari perbuatan yang merusak moral dan jelek itu.

 

Kami menghimbau kepada para bapak dan ibu untuk memikul amanah yang diberikan Allah yaitu menjaga anak-anak mereka, sebab anak yang shalih akan memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

“Sesungguhnya ada seseorang diangkat derajatnya di hari kiamat. Lalu ia berkata, “Yaa Rabbku dari mana aku punya kedudukan ini?,” Maka dikatakan, “Dari istighar anakmu untukmu.”

 

Kami menghimbau kepada semua ayah/suami yang mempunyai rasa cemburu agar menjadi pemimpin yang baik di rumahnya dan jangan menjadi laki-laki dayyuts (yang tidak mempunyai rasa cemburu) yang ridha terhadap perbuatan keji dan mendiamkan perbuatan kotor di rumahnya.

 

Antarkanlah anak-anak anda ke tempat-tempat yang baik wahai hamba Allah, jauhkanlah mereka dari tempat-tempat yang jelek.

 

Apakah anda rela anak anda sukses studinya tetapi ia menjadi bahan bakar api neraka, karena meninggalkan shalat, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya dan merusak bersama orang-orang yang rusak. Ingatkanlah anak akan firman Allah:

 

“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari pada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Tuhan).” (Al An’am: 94)

 

 

Semoga Allah menjagamu . sekalian dengan penjagaan-Nya: Mendekatlah kepada Allah ; dengan berbakti ke[pada kedua orang tua Sungguh Allah telah memerintahkan kalian untuk itu. Allah berfirman:

 

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al Isra’: 23-24)

 

Allah berfirman:

 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua ibu bapak.” (An Nisaa’: 36 )

 

Allah berfirman:

 

Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak.” (Al An’am: 151)

 

Allah berfirman:

 

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku kembalimu.” (Luqman: 14)

 

Allah berfirman:

 

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (Al Ahqaaf: 15)

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa?,” Beliau bersabda, “Kemudian berbuat baik kepada dua ibu bapak.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “Siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Beliau bersabda, “Ibumu,” “Kemudian siapa?,” Beliau menjawab, “Ibumu,” “Kemudian siapa lagi?,” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian bapakmu.”?” .

 

Dan ketaatan wahai anak-anak, hanyalah dalam perkara yang makruf, tidak pada perbuatan maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak pula dalam perbuatan mempersekutukan Allah, Allah berfirman:

 

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)

 

Mintalah ampunan kepada Allah untuk dua orang ibu bapakmu, bergaullah dengan dekat bersama mereka dan sambunglah persaudaraan yang kedua ibu bapakmu dahulu menyambungnya.

 

Pegang teguhlah tali agama Allah dan jangan bercerai-berai.

 

Saling mencintailah karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah juga karena-Nya. Tolong menolonglah wahai seluruh keluarga! di atas kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Perbaguslah makanan kalian, minuman kalian dan pakaian kalian sehingga doa kalian dikabulkan Allah.

 

Penuhtlah rumah dengan bacaan Al Qur’an, dzikir, bacaan Tahlil , Tahmid , Tasbih  dan Takbir 

 

Tolonglah saudaramu yang terdzalimi maupun yang berbuat dzalim, yang berbuat dzalim ditolong dengan mencegah perbuatan dzalimnya, dan yang terdzalimi ditolong dengan upaya mengembalikan hak kepadanya.

 

Barang siapa yang mati di antara kalian dari saudaramu, maka mintakan ampunan untuknya dan ziarahlah ke kuburnya karena ziarah kubur dapat mengingatkan akhirat, ketahuilah bahwa semua yang ada di atas bumi akan binasa kecuali Wajah Rabbmu yang mempunyai Keagungan dan Kemuliaan.

 

Mintalah kepada Allah sebagaimana dikumpulkan di dunia dalam satu rumah di atas ketaatan kepada-Nya agar dikumpulkan di surga Firdaus pada tempat duduk kejujuran di sisi Raja diraja.

 

Istighfarlah kepada Rabbmu, karena sesunguhnya Dia adalah Maha Pemberi ampunan:

 

Dan shalawatlah serta ucapkanlah salam atas Nabi kalian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya Rabb kalian ‘Azza wa Jalla akan bershalawat atas kalian.

 

Dengan memuji Allah selesailah risalah kecil ini, dan aku memohon kepada Allah agar risalah ini dapat memberikan manfaat kepadaku dan kepada segenap kaum muslimin dan dapat mendekatkanku kepada Allah dengan apa-apa yang ada di dalam risalah ini dari ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dengannya dapat mengumpulkan di antara keluarga-keluarga muslimin, dapat memperbaiki akhlak mereka, memperbagus muamalah di antara mereka dan menjadikan penulis dan pembacanya serta segenap keluarganya menempati surga yang penuh dengan kenikmatan.

 

Dan semoga shalawat dan salam serta barakah tercurah kepada sayyid kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya dan para sahabatnya. Maha Suci Engkau Yaa Allah dan kami memuji kepada-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq kecuali Engkau, aku memohon ampunan-Mu dan aku tobat kepada-Mu.

 

Ditulis oleh Abu Abdillah/Musthafa Al ‘Adawy