Mukadimah Penulis

 

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan, petunjuk, dan ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kita dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa Allah beri petunjuk, tidak ada yang sanggup menyesatkannya dan barangsiapa Dia sesatkan, tak ada yang dapat memberi petunjuk padanya. Semoga shalawat dan salam terlimpah pada makhlukNya yang paling mulia dan rasul-Nya yang paling baik, Muhammad, yang diutus pada seluruh manusia dengan membawa petunjuk, kasih sayang, dan kebahagiaan dunia serta akhirat bagi orang yang beriman pada-Nya, mencintainya, serta mengikuti jalan-Nya, dan kepada keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan ihsan hingga hari pembalasan.

 

Syaikh Imam Al-Alim Alamah Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub Az-Zar’i bin Qayyim Al-Hanbali, Imam Jauziyah at, berkata, “Ini adalah sebuah kitab yang saya beri nama Jala’ul Afham fi Fadhlish Shaliti was Salami ala Khairil Anam. Terdiri dari lima bab. Kitab ini merupakan kitab yang isinya tak ada duanya, dan belum pernah ada kitab seperti ini dalam hal banyak dan melimpahnya faedah yang terkandung di dalamnya. Pada kitab ini, kami menjelaskan hadits-hadits yang diriwayatkan tentang shalawat dan salam pada Nabi, baik yang shahih, hasan, maupun ma’lul. Kami juga menjelaskan cacat-cacat yang terdapat dalam hadits yang malul dengan penjelasan paripurna. Kemudian rahasia-rahasia dan kemuliaan doa ini, pelajaran serta berbagai faedah yang dikandungnya, serta tempat-tempat mengucapkan shalawat untuk Nabi. Berikutnya pembahasan seputar ukuran yang wajib dilakukan, perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, serta mana pendapat yang rajih dan mana pendapat yang palsu. Namun isi kitab ini lebih dari gambaran di atas.” Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.”

 

Riwayat Seputar Shalawat pada Rasulullah

 

Dari Abu Masud Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri, ia mengatakan, “Rasulullah datang pada kami saat kami berada di majelis Sa’ad bin Ubadah. Basyir bin Sa’ad bertanya pada beliau, “Allah telah memerintahkan kami bershalawat untuk Anda, lalu bagaimana cara kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

1.“Ucapkanlah, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, seperti Engkau menampak limpahkan shalawat-Mu untuk keluarga Ibrahim (di seluruh alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung). Dan limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim. Sedangkan ucapan salam seperti yang telah kalian ketahui” (HR. Imam Ahmad, (IV/118, V/273-274), Muslim (hadits no. 405), Nasa’i,” (III/45), dan Tirmidzi,” (hadits no. 3220), ia menyahihkannya).

 

Pada riwayat Ahmad (IV/119), dalam redaksi lain yang kurang lebih sama, disebutkan, “Lalu bagaimana kami bershalawat untuk Anda apabila kami bershalawat dalam shalat kami?”

 

Pembahasan tentang bab ini terbagi menjadi beberapa pasal:

 

Para Periwayat Hadits Shalawat untuk Nabi:

 

Hadits Shalawat diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al-Anshari Al-Badri, Ka’ab bin Ujrah, Abu Humaid As-Sa’idi, Abu Sa’id Al-Khudri, Thalhah bin Ubaidillah, Zaid bin Haritsah yang dikatakan pula “bin Kharijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Buraidah bin Hashib, Sahl bin Saad As-Sa’idi, Ibnu Mas’ud, Fadhalah bin Ubaid, Abu Thalhah Al-Anshari, Anas bin Malik, Umar bin Khathab, Amir bin Rabi’ah, Abdurahman bin Auf, Ubay bin Ka’ab, Aus bin Aus, Hasan, dan Husain yang keduanya merupakan putra Ali bin Abi Thalib, Fathimah binti Rasulullah, Bara bin Azib, Ruwaifi bin Tsabit Al-Anshari, Jabir bin Abdullah, Abu Rafi -eks budak Rasulullah-, Abdullah bin Abi Aufa, Abu Umamah Al-Bahili, Abdurahman bin Bisyr bin Masud, Abu Burdah bin Nayar, Amar bin Yasir, Jabir bin Samurah, Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, Malik bin Huwairits, Abdullah bin Harits bin Jaz’in Az-Zubaidi, Abdullah bin Abbas, Abu Dzar, Watsilah bin Asga, Abu Bakar Ash-Shidig, Abdullah bin Umar, Sa’id bin Umair Al-Anshari dari ayahnya Umair yang termasuk pahlawan Perang Badar dan Haban bin Munqid:.

 

Hadits Abu Mas’ud

 

Hadits Abu Masud adalah hadits shahih, diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya (hadits no. 405) dari Yahya bin Yahya, Abu Daud (hadits no. 980) dari Qa’nabi, keduanya dari Malik”, Tirmidzi (hadits no. 3220) dari Ishaq bin Musa dari Ma’an?? dari Malik, Nasa’i,” (III/45) dari Abu Salamah dan Harits bin Miskin, keduanya dari Ibnu Qasim dari Malik dari Nuaim bin Abdullah Al-Mujmir dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid.

 

Tambahan Ahmad dalam riwayat hadits ini, (IV/119), yang berbunyi, “Apabila kami bershalawat dalam shalat kami”, ia me-riwayatkannya dengan tambahan ini dari Ya’gub: Bercerita pada kami ayahku dari Ibnu Ishaq, bercerita pada kami Muhammad bin Ibrahim bin Harits At-Taimi dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid bin Abdirabih Al-Anshari dari Abu Mas’ud, ia berkata, “Seorang laki-laki? datang hingga duduk di depan Nabi, sedang kami ada di hadapan beliau. Lalu ia berkata, Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui cara pengucapan salam untuk Anda, namun bagaimana kami bershalawat untuk Anda apabila kami duduk dalam shalat kami, semoga Allah melimpahkan shalawat pada Anda?” Abu Masud berkata, “Rasulullah terdiam hingga kami berharap seandainya orang itu tidak bertanya pada beliau? Lalu beliau bersabda, Apabila kalian bershalawat padaku, ucapkanlah, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, nabi yang ummi, dan keluarga Muhammad, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau menampak limpahkan berkah-Mu untuk keluarga Ibrahim di seluruh alam semesta. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha agung” Sedang ucapan salam seperti yang telah kalian ketahui.” Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, (hadits no. 711) dan Hakim (I/268), dalam kitab Shahih masing-masing dengan menyebutkan tambahan ini. Hakim berkata tentang hadits ini, “Sesuai syarat Muslim.” Pernyataan ini cenderung mempermudah masalah, sebab Muslim tidak berhujah dengan Ibnu Ishaq dalam hadits-hadits ushul (pokok). Ia hanya meriwayatkanya dalam hadits. hadits mutaba’ah (riwayat pendukung dari jalur yang sama) dan syawahid (riwayat pendukung dari jalur berbeda).

 

Tambahan ini dianggap cacat lantaran kesendirian Ibnu Ishaq dalam meriwayatkannya dan karena menyelisihi para rawi lain yang tidak menyebutkannya Namun anggapan ini dapat ditanggapi dengan dua jawaban:

 

Pertama, Ibnu Ishaq seorang rawi tsiqah (tepercaya) yang tidak dikritisi dengan satu jarh (celaan) yang berimplikasi tidak boleh menggunakannya sebagai hujah. Ia ditsiqahkan ulama-ulama terkemuka dan mereka memujinya menyandang hafalan yang baik dan adalah (kelurusan agama dan perilaku), yang keduanya merupakan dua sendi periwayatan.

 

Kedua, Ibnu Ishaq hanya dikhawatirkan melakukan tadlis (penyamaran riwayat) Sementara dalam hadits ini ia dengan tegas menyatakan mendengar dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi. Sehingga secara otomatis tuduhan pentadlisannya pun hilang

 

Daruquthni berkata tentang hadits ini setelah meriwayatkannya dari jalur periwayatan tersebut, “Ini sanad yang hasan lagi muttashil (bersambung)” Ini pernyataannya dalam kitab As-Sunan I/355.

 

Sedang dalam Al-‘Ilal (I/hadits no. 1059), ia ditanya tentang hadits ini, ia menjawab, “Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid dari Abu Mas’ud. Muhammad bin Ishaq menceritakan hadits ini darinya (Muhammad bin Ibrahim At-Taimi). Hadits ini juga diriwayatkan Nuaim Al-Mujmir dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid. Terdapat perbedaan riwayat dari Nu’aim. Malik bin Anas? meriwayatkan hadits ini dari Nu’aim dari Muhammad dari Abu Masud. Dan dari Malik dengan sanad yang sama, hadits ini juga diriwayatkan Qa’nabi, Ma’an, dan para rawi Al-Muwatha’. Sedang Hamad bin Masadah meriwayatkannya dari Malik bin Nu’aim, lalu ia mengatakan, dari Muhammad bin Zaid dari ayahnya. Hamad keliru dalam sanad ini. Sementara Daud bin Qais Al-Fara meriwayatkannya dari Nu’aim dari Abu Hurairah. Ia menyelisihi Malik, dan hadits Malik lebih mendekati kebenaran. Aku berkata, “Terkait tambahan ini telah diperdebatkan pada diri Ibnu Ishaq. Ibrahim bin Saad menyebutkan tambahan ini darinya, seperti telah dibawakan. Sementara Zuhair bin Mu’awiyah meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Ishaq tanpa menyebutkan tambahan ini. Demikian pula dikatakan Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (hadits no. 234-Al-Muntakhab) dari Ahmad bin Yunus, dan Thabrani dalam Al-Mujam (XVIII/698) dari Abbas bin Fadhl dari Ahmad bin Yunus dari Zuhair. Wallahu alam.

 

Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Magdisi dalam Nisabul Anshar mengatakan, “Abu Masud -Uqbah bin Amru bin Tsalabah Al-Badrisinggah di sekitar sumber air di Badar dan menetap di tempat itu. Ia disebut Al-Badri karena ini (bukan karena termasuk pejuang dalam Perang Badar). Menurut mayoritas ulama sirah, ia tidak ikut terlibat dalam Perang Badar. Namun ada pula pendapat yang mengatakan, Abu Masud Al-Badri turut terjun dalam perang ini. Mereka sepakat ja ikut terlibat dalam baiat Aqabah. Ali mengangkatnya sebagai pemimpin Kufah ketika ia berangkat ke Shiffin. Ia menunjuknya untuk membawahi orang-orang yang . lemah. Ia mengimami mereka shalat Id di masjid. Konon, Abu Masud meninggal tahun 40 Hijriah.” Ada pula yang mengatakan, ia wafat setelah tahun 60 Hijriah.”

 

Aku berkata, “Empat tokoh ulama besar menyebutkan bahwa Abu Masud turut serta dalam Perang Badar: yakni Bukhari Ibnu Ishaq, dan Zuhri.”

 

Hadits Ka’ab bin Ujrah

 

Hadits Ka’ab bin Ujrah diriwayatkan penulis kitab Ash-Shahih, para penulis kitab As-Sunan, dan Musnad” dari hadits Abdurahman bin Abi Laila darinya (Kaab bin Ujrah). Hadits ini tidak mengandung cacat, segala puji bagi Allah?? Yang Mahaluhur.

 

Redaksi riwayat Ash-Shahihain berbunyi, dari Ibnu Abi Laila mengatakan, Ka’ab bin Ujrah bertemu denganku, ia berkata, “Maukah engkau aku beri satu hadiah? Rasulullah keluar pada kami lalu kami bertanya, “Kami mengetahui bagaimana kami mengucapkan salam pada Anda, lalu bagaimanakah kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. Ucapkanlah “Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Kaab bin Ujrah memiliki hadits lain yang diriwayatkan Hakim dalam Al Mustadrak, (IV/153), dari hadits Muhammad bin Ishaq —yakni, Shaghani-, bercerita pada kami Ibnu Abi Maryam, bercerita pada kami Muhammad bin Hilal, bercerita padaku Saad bin Ishaq bin Kaab bin Ujrah dari ayahnya dari Kaab bin Ujrah menuturkan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Datanglah kalian” Lantas kami hadir. Ketika beliau naik anak tangga mimbar (pertama) beliau mengucapkan, “Amin” Kemudian naik anak tangga kedua lalu mengucapkan, “Amin.” Kemudian naik anak tangga ketiga lalu mengucapkan, “Amin,” Manakala selesai (menyampaikan khotbah) beliau turun dari mimbar, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh di hari ini kami telah mendengar dari Anda sesuatu yang belum pernah kami dengar” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Jibril datang padaku lalu berkata, “Tersingkirlah (dari rahmat Allah) orang yang mendapati Ramadhan namun ia tidak diampuni. Aku pun mengatakan, Amin. Ketika aku menaiki anak tangga kedua, ia mengucapkan, “Tersingkirlah (dari rahmat Allah) orang yang namamu disebut di hadapannya namun ia tidak bershalawat untukmu: Lantas aku mengatakan, Amin. Ketika aku menaiki anak tangga ketiga, ia mengatakan, Tersingkirlah (dari rahmat Allah) orang yang mendapati kedua orang tuanya dalam usia lanjut atau salah satu dari keduanya namun ia tidak masuk surga (dengan berbakti pada keduanya). Aku pun mengucapkan, Amin? Hakim berkata, “Sanadnya shahih.”

 

Kaab bin Ujrah adalah seorang dari kaum Anshar dari Bani Salimah. Kuniahnya, menurut yang diberitakan, adalah Abu Ishaq. Ia terhitung dalam keluarga Bani Salim, saudara Amru bin Auf. Auf adalah Qauqal dan anak keturunannya terkenal dengan sebutan Qawaqilah, sebab Auf ini dulu sosok yang dihormati dan ditakuti. Konon, apabila orang yang tengah ketakutan datang padanya untuk meminta perlindungan, ia berkata pada orang itu, “Qauqal haitsu syi’ta” Yakni, bertempatlah (di mana saja engkau mau), engkau aman.”

 

Ibnu Abdilbar berkata”, “Ka’ab bin Ujrah bin Umayah bin Abid bin Harits Al Balwi, kemudian Sawadi dari Bani Sawad, sekutu Anshar. Dikatakan, ia sekutu Bani Haritsah bin Harits bin Khazraj. Dikatakan pula, sekutu Bani Salim dari kaum Anshar. Wagidi mengatakan, “Ia bukan sekutu Anshar, tetapi ia bagian dari mereka” Ibnu Sa’ad berkata, “Aku mencari namanya dalam beberapa nasab kaum Anshar namun aku tak menemukannya. Ia diberi kuniah Abu Muhammad. Terkait dengan dirinya turun ayat, “..maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban…” (Al-Bagarah (2): 196).” Ia pernah tinggal di Kufah dan meninggal di Madinah pada tahun 51, 52, atau 53 Hijriah dalam usia 75 tahun. Penduduk Madinah dan penduduk Kufah meriwayatkan hadits darinya.

 

Hadits Abu Humaid As-Sa’idi

 

Hadits Abu Humaid As-Sa’idi diriwayatkan Bukhari,” (hadits no. 6360), dari Qanabi dari Malik” dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm dari ayahnya dari Amru bin Sulaim Az-Zuraqi, mengabarkan padaku Abu Humaid As-Sa’idi bahwa para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untuk Anda?” Rasulullah bersabda:

 

  1. “Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, istri-istri, beliau, dan keturunan beliau seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, dan limpahkanlah berkah untuk Muhammad, istri-istri beliau, dan keturunan beliau seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Muslim meriwayatkan hadits ini, (hadits no. 407), dari Ibnu Namir dari Rauh bin Ubadah dan Abdullah bin Nafi’ Ash-Shaigh.

 

Sedang Abu Daud meriwayatkannya, (hadits no. 979), dari Ibnu Sarah Ahmad bin Amru bin Abdullah bin Amru dari Ibnu Wahb, Nasa’i? (III/49) dari Harits bin Miskin dan Muhammad bin Salamah, keduanya dari Ibnu Qasim, dan Ibnu Majah (905), dari Amar bin Thalut dari Abdulmalik bin Majisyun, kelimanya (yakni Rauh bin Ubadah, Abdullah bin Nafi’, Ibnu Sarah, Ibnu Qasim, dan Abdulmalik bin Majisyun) dari Malik, seperti disebutkan di atas.

 

Abu Humaid As-Sa’idi, tentangnya Ibnu Abdilbar berkata?’, “Namanya masih diperselisihkan. Dikatakan, (ia bernama) Mundzir bin Sa’ad bin Mundzir, Abdurahman bin Saad bin Mundzir, Abdurahman bin Amru bin Sa’ad bin Mundzir, Abdurahman bin Sa’ad bin Malik, dan dikatakan pula ia bernama Abdurahman bin Amru bin Saad bin Malik bin Khalid bin Tsalabah bin Amru bin Khazraj bin Sa’idah. Ia terhitung di antara penduduk Madinah. Wafat di akhir periode kekhilafahan Mu’awiyah. Dari kalangan sahabat yang meriwayatkan darinya adalah Jabir, sementara dari kalangan tabi’in adalah Urwah bin Zubair, Abbas bin Sahl bin Saad, Muhammad bin Amru bin Atha, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dan sejumlah tabi’in penduduk Madinah. Hadits Abu Usaid dan Abu Humaid

 

Hadits Abu Usaid dan Abu Humaid diriwayatkan Muslim (hadits no. 713), dari Yahya bin Yahya, dari Sulaiman bin Bilal, dari Rabi’ah bin Abi Abdurahman, dari Abdulmalik bin Sa’id bin Suwaid Al-Anshari, ia berkata, aku mendengar Abu Humaid dan Abu Usaid mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian masuk masjid hendaknya ia mengucapkan, Ya Allah, bukakan untukku pintu-pintu rahmat-Mu. Apabila ia keluar hendaknya mengucapkan, Ya Allah, aku memohon pada-Mu akan sebagian karunia-Mu.” Hadits Abu Sa’id Al-Khudri:

 

Hadits Abu Sa’id Al-Khudri, ia menuturkan, kami berkata, “Wahai Rasulullah, ucapan salam untuk Anda, kami telah mengetahuinya, namun bagaimana kami bershalawat untuk Anda?” Beliau bersabda:

 

  1. “Ucapkan, “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad, hamba dan ” rasul-Mu, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim, dan limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim.”

 

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya, (hadits no. 4798, 6358) dari Abdullah bin Yusuf dari Laits bin Saad,? dan dari Ibrahim bin Hamzah dari Abdulaziz bin Abi Hazim dan Abdulaziz Ad-Darawardi ketiganya (yakni Laits bin Saad, Abdulaziz bin Abi Hazim, dan Abdulaziz Ad-Darawardi) dari Ibnu Hadj dari Abdullah bin Khabab dari Abu Sa’id. Sedang Nasa’i, (dalam As-Sunan III/49) meriwayatkannya dari Qutaibah dari Bakar bin Mudhar dari Ibnu Hadi. Ibnu Majah (dalam Sunan-nya hadits no. 903), meriwayatkannya dari Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Khalid bin Makhlad dari Abdullah bin Jafar?” dari Ibnu Hadi.

 

Abu Sa’id Al-Khudri bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan —ia lebih dikenal dengan kuniahnya. Ibnu Abdilbar berkata, “Peperangan pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia bertempur bersama Rasulullah sebanyak 12 kali. Ia tergolong sosok sahabat yang hafal banyak sunnah dari Rasulullah dan meriwayatkan ilmu melimpah dari beliau. Abu Sa’id termasuk bangsawan kaum Anshar, ulama, dan pemuka mereka. Wafat tahun 74 H. Meriwayatkan darinya sejumlah sahabat dan tabi’in.”

 

Hadits Thalhah bin Ubaidillah

 

Imam Ahmad mengatakan dalam Musnad, (I/162), bercerita pada kami Muhammad bin Bisyr?, bercerita pada kami Mujami’ bin Yahya Al-Anshari bercerita padaku Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah dari ayahnya yang menuturkan, aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Nasai meriwayatkan hadits ini”, (III/48), dari Ubaidullah bin Saad dari pamannya Ya’qub bin Ibrahim” bin Saad dari Syarik dari Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah dari ayahnya, seseorang mendatangi Nabi lalu berkata, “Bagaimana kami bershalawat untuk Anda wahai Nabi Allah?” Beliau bersabda:

 

  1. “Ucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Mengabarkan padaku?” Ishaq bin Ibrahim, bercerita pada kami Muhammad bir Bisyr, bercerita pada kami Mujama’ bin Yahya dari Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah dari ayahnya menuturkan, kami berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Syaikhani (Bukhari dan Muslim) berhujah dengan riwayat Utsman bin Abdullah bin Mauhab dari Musa bin Thalhah.

 

Hadits Zaid bin Kharijah

 

Hadits Zaid bin Kharijah diriwayatkan Imam Ahmad (I/199), dari Ali bin Bahr, bercerita kepada kami Isa bin Yunus, bercerita pada kami Utsman bin Hakim bercerita pada kami Khalid bin Salamah, ketika Abdulhamid bin Abdurahman menyelenggarakan pesta perkawinan anaknya ia mengundang Musa bin Thalhah. Ia berkata, “Wahai Abu Isa, bagaimana berita yang sampai padamu tentang shalawat untuk Nabi” Musa berkata, “Aku bertanya pada Zaid bin Kharijah, lalu ia berkata, Aku bertanya pada Rasulullah, bagaimana cara shalawat pada Anda?” Beliau bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah dan bersungguh-sungguhlah, kemudian ucapkan, Ya Allah, limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Imam Nasa’i meriwayatkan hadits ini, (III/48), dari Sa’id bin Yahya?” Al-Umawi dari ayahnya dari Utsman… seterusnya seperti sanad di atas.

 

  1. Ismail bin Ishaq meriwayatkannya dalam Fadhlush Shaliti alan Nabi, (hadits no. 69), dari Ali bin Ubaidillah, bercerita pada kami Marwan bin Muawiyah, bercerita pada kami Utsman bin Hakim dari Khalid bin Salamah, dari Musa bin Thalhah, mengabariku Zaid bin Haritsah” -saudara dari kalangan Bani Harits bin Khazraj-, aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami mengetahui bagaimana kami mengucapkan salam pada Anda…” Ia menyebutkan serupa hadits di atas. Di sini ia (Ismail bin Ishaq) mengatakan, Zaid bin Haritsah, (sedang dalam sanad riwayat Ahmad dan Nasa’i di atas tertulis, Zaid bin Kharijah).

 

Al-Hafizh Abu Abdullah bin Mandah dalam kitab Ash-Shahdbah mengatakan, Abdulwahid bin Ziyad? meriwayatkan dari Utsman bin Hakim dari Khalid bin Salamah, ia mengatakan, Aku mendengar Musa bin Thalhah saat ditanya Abdulhamid, “Bagaimanakah cara bershalawat untuk Nabi?” Ia menjawab, “Aku pernah bertanya pada Zaid bin Kharijah Al-Anshari…”

 

Zaid bin Haritsah ini? adalah Zaid bin Tsabit bin Dhahak bin Haritsah bin Zaid bin Tsalabah bin Bani Salamah. Dikatakan pula, Ibnu Kharijah Al-Khazraji Al. Anshari, seperti disebutkan Ibnu Mandah dalam Ash-Shahdbah. Yang benar namanya adalah Zaid bin Kharijah. Ia putra Ibnu Abi Zuhair Al-Anshari Al-Khazraji. Zaig ikut terjun dalam Perang Badar, ia wafat di masa kekhilafahan Utsman. Zaid adalah orang yang berbicara setelah meninggal dunia, seperti diungkapkan Abu Nuaim dan Ibnu Abdilbar. Dikatakan pula, yang berbicara setelah mati adalah Kharijah bin Zaid. Namun pendapat pertama lebih shahih. Namun Allah jua yang lebih mengetahui.

 

Hadits Ali bin Abi Thalib

 

Hadits Ali bin Abi Thalib diriwayatkan Tirmidzi (hadits no. 3546), dari Yahya bin Musa dan Ziyad bin Ayub, bercerita pada kami Abu Amir Al-Aqadi dari Sulaiman

 

bin Bilal dari Umarah bin Ghaziyah dari Abdullah bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dari ayahnya dari Husain bin Ali dari Ali yang berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Orang bakhil adalah orang yang aku disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukku.”

 

Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan shahih gharib” Dalam sebagian naskah, “Hadits hasan gharib.” Hadits ini juga diriwayatkan Nasa’i, Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (hadits no. 909), dan Hakim’? dalam Al-Mustadrak (I/549).

 

Hasan bin Arafah meriwayatkan! dari Walid bin Bukair dari Salam Al Khazaz dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari Harits, dari Ali, dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Tidak satu doa pun kecuali ada pembatas antaranya dan antara langit sampai dibacakan shalawat untuk Muhammad. Apabila telah dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad, pembatas tersebut sobek dan doa diijabahi. Namun bila tidak dibacakan shalawat untuk Nabi doa tidak diijabahi.”

 

Tapi hadits ini memiliki tiga cacat:

 

* Hadits ini dari riwayat Harits Al-A’war dari Ali bin Abi Thalib

 

* Syu’bah mengatakan, “Abu Ishaq As-Sabi’i tidak mendengar dari Harits selain 4 hadits” Lalu ia menyebutkannya dan tidak menyebutkan hadits ini di antaranya. Hal ini juga diungkapkan Ajali.!”

 

* Riwayat yang terbukti benar dari Abu Ishaq adalah ia memauquf-kan hadits ini pada Ali. (Tidak marfu’ sampai Nabi).

 

Nasa’i meriwayatkan dalam Musnad Ali’” dari Abu Azhar”, bercerita pada kami Amru bin Ashim, bercerita pada kami Hiban bin Yasar Al-Kilabi, dari Abdurahman bin Thalhah Al-Khuza’i dari Muhammad bin Ali dari Muhammad bin Hanafiyah dari Ali berkata, Rasulullah bersabda: :

 

  1. “Siapa suka ditakar dengan takaran yang paling sempurna apabila ia bershalawat untuk kami, Ahlubait, hendaknya ia mengucapkan, “Ya Allah, curahkan shalawat-shalawat-Mu dan berkah-berkah-Mu untuk Muhammad Sang Nabi, para istri beliau Ummahatul Mukminin, keturunan beliau, dan Ahlubait beliau, sebagaimana Engkau limpahkan shalawat untuk Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Hiban bin Yasar ditsiqahkan Ibnu Hiban. Sedang Bukhari berkata, “Ia mengalami kerusakan hafalan di akhir usianya” Abu Hatim Ar-Razi berkata,” “Bukan rawi tsiqah, serta bukan rawi yang (haditsnya) ditinggalkan” Ibnu Adiy berkata,!” “Haditsnya mengandung keraguan akibat perubahan hafalan (di akhir usia) yang konon menimpa dirinya.”

 

Aku berkata, “Hadits ini memiliki cacat tersembunyi, yakni Musa bin Ismail At-Tabudzaki menyelisihi Amru bin Ashim dalam meriwayatkan hadits ini. Jelasnya, Musa meriwayatkannya dari Hiban bin Yasar,’ bercerita padaku Abu Mutharif AlKhuza’i, bercerita padaku Muhammad bin Ali Al-Hasyimi dari Nuaim Al-Mujmir dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa senang ditakar dengan takaran yang paling sempurna…”

 

Abu Daud meriwayatkannya, (hadits no. 928), dari Musa bin Ismail.

 

Hadits di atas memiliki cacat lain, yakni:

 

  1. Amru bin Ashim mengatakan, “Mengabari kami Hiban bin Yasar dari Abdurahman bin Thalhah Al-Khuza’i” Sementara Musa bin Ismail mengatakan, “Ubaidullah bin Thalhah bin Ubaidillah bin Kuraiz”

 

Seperti ini pula yang tercantum dalam Tarikhul Bukhiri, (III/87, V/385), Kitah Ibni Abi Hatim, (V/319), Ats-Tsigat (VII/146), karya Ibnu Hiban Tahdzibul Kamiy (XIX/58), karya guru kami Abu Hajaj Al-Mazi. Bisa jadi Ashim keliru mengenali nama (kakek guru)nya dan bisa jadi pula kedua nama ini merupakan dua orang yang berbeda. Namun Abdurahman (yang disebutkan Ashim) ini majhul, tidak diketahui selain dalam hadits ini dan tak disebutkan oleh seorang pun dari ulama generasi yang telah lewat.

 

Amru bin Ashim, meskipun Bukhari dan Muslim meriwayatkan darinya dan berhujah dengannya, namun Musa bin Ismail lebih kuat hafalannya dibanding dirinya. Hadits ini memiliki asal dari riwayat Abu Hurairah tanpa sanad dan matan di atas. Kami sebutkan: Muhammad bin Ishaq As-Saraj mengatakan, mengabariku Abu Yahya dan Ahmad bin Muhammad Al-Birti, keduanya berkata, memberitakan pada kami Abdullah bin maslamah bin Qa’nab, memberitakan pada kami Daud bin Qais dari Nuaim bin Abdullah dari Abu Hurairah, para sahabat bertanya pada Rasulullah, “Bagaimana kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Ucapkan, “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad serta keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad serta keluarga Muhammad, seperti Engkau menampak limpahkan shalawat dan berkah-Mu untuk Ibrahim serta keluarga Ibrahim, di seluruh alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung: Sedang salam seperti yang telah kalian ketahui.”

 

Sanad ini shahih sesuai syarat Syaikhaini,”? diriwayatkan Abdul-wahab bin Mandah dari Khafaf darinya (Muhammad bin Ishaq As-Saraj).

 

Syafi’i berkata,” memberitakan pada kami Ibrahim bin Muhammad, memberitakan pada kami Shafwan bin Sulaim dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untuk Anda (maksudnya dalam shalat)?”

 

Beliau menjawab:

 

  1. “Kalian mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim dan limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk Ibrahim. Kemudian kalian mengucapkan salam padaku.”

 

Ibrahim ini adalah Ibnu Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami. Syafi’i ber. pendapat menggunakannya sebagai hujah meskipun banyak memiliki cacat. Ia berkata,’? “Sungguh sekiranya Ibrahim jatuh dari langit, itu lebih ia sukai dibanding berdusta. Namun ia dibicarakan oleh Malik dan orang-orang (ulama rijal), dan mereka menilainya lemah dan haditsnya ditinggalkan. Bahkan, secara tegas ia dinyatakan suka berdusta oleh Malik, Ahmad, Yahya bin Sa’id Al-Qathan, Yahya bin Ma’in, dan Nasa’i.”

 

Ibnu Uqdah Al-Hafizh berkata,” “Aku memeriksa hadits Ibrahim bin Abi Yahya berkali-kali, ternyata ia bukan rawi yang haditsnya munkar.” Abu Ahmad bin Adiy mengatakan,!? “Ia seperti diucapkan Ibnu Uqdah. Aku juga telah memeriksa haditsnya yang banyak, namun aku tak menemukan satu hadits yang munkar kecuali dari guru-guru yang dimungkinkan (berhadits munkar)” Artinya, kedha’ifan hadits bersumber dan berasal dari guru-guru ini. Kemudian Ibnu Adiy berkata, “Aku melihat hadits-haditsnya, mendalaminya, dan memeriksa setiap darinya. Hasilnya, tak ada satu pun hadits yang munkar. Ia ditsigahkan Muhammad bin Sa’id Al-Ashbihani bersama Syafi’i.”

 

Abu Hurairah juga memiliki beberapa hadits tentang shalawat untuk Nabi. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Usyari dari hadits Muhammad bin Musa dari Ashma’i, bercerita padaku Muhammad bin Marwan As-Sudi dari Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku di samping kuburku maka Allah menugaskan satu malaikat untuk menyampaikannya padaku, ia diberi kecukupan dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan aku menjadi saksi atau pemberi syafaatnya di Hari Kiamat.”

 

Tapi Muhammad bin Musa adalah Muhammad bin Yunus bin Musa Al-Kudaimi, seorang rawi yang haditsnya ditinggalkan.

 

Di antaranya lagi adalah hadits Shalih, bekas budak At-Taumah, dari Abu Hurairah, ia mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tidaklah sekelompok orang duduk di satu majelis lalu mereka tidak menyebut Allah dan tidak bershalawat untuk Nabi-Nya , kecuali majelis mereka ini menjadi kekurangan’? atas diri mereka. Jika berkehendak Dia memaafkan mereka dan jika berkehendak Dia menghukum mereka.”

 

Tirmidzi meriwayatkannya, (hadits no. 3380), dari hadits Abdurrahman bin Mahdi’? dari Sufyan Ats-Tsauri dari Shalih bin Abi Shalih. Ia berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan.”

 

Tirmidzi juga meriwayatkannya, (V/461) dari Yusuf bin Ya’qub, bercerita pada kami Hafsh bin Umar, bercerita pada kami Syu’bah dari Abu Ishaq, ia berkata, aku mendengar Aghar -maksudnya, Abu Muslim Berkata, aku bersaksi atas Abu Sa’id dan Abu Hurairah bahwa keduanya bersaksi atas Rasulullah…. Ia menyebutkan hadits persis seperti di atas.

 

Ismail bin Ishaq meriwayatkannya dalam kitab Fadhlush Shaliti alan Nabi, (hadits no. 54), dari hadits Muhammad bin Katsir, dari Sufyan, dari Shalih.

 

Abu Daud (hadits no. 4855), Nasa’i (dalam Amalul Yaumi wal Lailah hadits no. 408), dan Ibnu Hiban dalam Shahih-nya, (II/hadits no. 591) meriwayatkannya dari riwayat Suhail’? dari ayahnya dari Abu Hurairah. Sanad ini sesuai syarat Muslim.

 

Ibnu Hiban (II/hadits no. 591), juga meriwayatkannya dari hadits Syu’bah dari Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, redaksinya, “Tidaklah sekelompok orang duduk di satu tempat duduk yang mereka tidak menyebut Allah di tempat tersebut dan tidak bershalawat untuk Nabi kecuali hal itu menjadi penyesalan mereka di Hari Kiamat, meskipun mereka masuk surga karena pahala.”

 

Sanad ini sesuai syarat Syaikhaini.

 

  1. Hakim meriwayatkan hadits ini dalam Mustadrak-nya, (I/550), dari riwayat Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id Al-Maqburi dari Ishaq bekas budak Abdullah bin Harits dari Abu Hurairah dari Nabi.

 

Hakim berkata, “Shahih sesuai syarat Bukhari” Tentang apa yang ia ucapkan ini perlu ditilik ulang. Sebab Ibrahim bin Husain bin Daizil yang meriwayatkan hadits ini dari Adam bin Abi Iyas adalah seorang rawi dha’if yang masih dibicarakan. Cacat hadits ini adalah Abu Ishaq Al-Fuzari meriwayatkannya dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara mauquf.

 

Sedang Shalih, bekas budak Tauamah, Syu’bah tidak meriwayat-kan darinya dan bahkan ia melarang (meriwayatkan darinya). Malik berkata,” “Bukan rawi yang tsiqah (tepercaya) maka mereka tak mengambil sesuatu pun darinya.” Yahya berkata, “Bukan orang yang tsiqah dalam masalah hadits” Di kesempatan lain ia berkata, “Bukan orang yang tsiqah” Di kesempatan lain lagi ia berkata, “Tsiqah?”’ Sadi berkata,’“ “(Hafalannya) berubah” Sedang Nasa’i berkata,’ “(Rawi) dha’if”

 

Aku berkata, “Terkait Shalih, para ulama hadits memiliki tiga pendapat, dan pendapat ketiga paling baik. Yakni, ia tepercaya akan tetapi (hafalannya) mengalami perubahan di akhir usianya. Sehingga siapa yang mendengar hadits darinya di masa sebelum hafalannya berubah, apa yang ia dengar itu shahih, sedang siapa mendengar darinya di masa setelah hafalannya berubah, apa yang ia dengar itu mengandung suatu (karaguan). Di antara yang mendengar dari Shalih sebelum hafalannya berubah adalah Ibnu Abi Dzi’b, Ibnu Juraij, dan Ziyad bin Sa’ad.’? Sementara Malik dan Tsauri mendapatinya setelah mengalami perubahan hafalan. Ini pernyataan Imam Ahmad, di mana ia berkata, ‘Aku tak mengetahui ada bahaya bagi orang yang mendengarnya di masa sebelum hafalannya berubah.”

 

Kemudian, hadits ini pun diriwayatkan Sulaiman bin Bilal dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah, akan tetapi tanpa menyebutkan shalawat untuk Nabi. Namun Sulaiman dimutaba’ah Ibnu Abi Uwais dari Abdulaziz bin Abi Hazm’? dari Suhail.

 

Ismail berkata (dalam kitab Ash-Shalitu alan Nabi hadits no. 46), bercerita pada kami Sulaiman bin Harb, bercerita pada kami Sa’id bin Zaid dari Laits, dari Ka’ab, dari Abu Hurairah yang mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah padaku, sebab shalawat kalian padaku adalah zakat untuk diri kalian.” Beliau bersabda lagi, “Dan mintakan pada Allah al-wasilah untukku.” Abu Hurairah berkata, “Entah beliau bercerita pada kami atau kami yang bertanya (pada beliau). Beliau bersabda, “Al-Wasilah adalah tingkatan paling tinggi di surga yang tidak diraih kecuali oleh satu orang dan aku berharap akulah orang tersebut.”

 

  1. Bercerita pada kami Muhammad bin Bakar, bercerita pada kami Mu’tami, dari Laits… ia menyebutkan hadits ini dengan sanad dan redaksi matan di atas.

 

Ibnu Abu Syaibah juga meriwayatkan hadits tersebut dalam Musnad-nya.

 

  1. Ismail juga mengatakan (hadits no. 45), bercerita pada kami Muhammad bin Abu Bakar Al-Muqadami, bercerita pada kami Umar bin Harun dari Musa bin Ubaidah dari Muhammad bin Tsabit dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Bershalawatlah kepada para nabi Allah dan rasulNya, karena Allah telah mengutus mereka seperti Dia mengutusku. Semoga shalawat Allah dan salam-Nya terlimpah pada mereka.”

 

Aku berkata, “Sa’id bin Zaid adalah saudara Hamad bin Zaid. Yahya bin Sa’id, ja menilainya sangat lemah?” Sa’di berkata, “Mereka melemahkan haditsnya (Sa’id bin Zaid) dan ia bukan rawi yang bisa dipakai sebagai hujah.” Nasa’i berkata, “Bukan rawi yang kuat” Namun Muslim meriwayatkan haditsnya.

 

Imam Ahmad memiliki komentar yang baik terkait Sa’id bin Zaid. Ia berkata,’? “Tak ada bahaya pada dirinya” Yahya bin Ma’in berkata,’? “Tsiqah” Bukhari berkata,” “Tsiqah.”

 

Umar bin Harun, Musa bin Ubaidah, dan Muhammad bin Tsabit meskipun bukan rawi hujah, namun hadits ini memiliki beberapa syahid (hadits pendukung dari jalan lain). Hadits seperti ini layak untuk dijadikan sebagai istisyhad (dalil pendukung).

 

Di antara hadits Abu Hurairah tentang shalawat untuk Nabi yang diriwayatkan Tirmidzi’? (hadits no. 3545), dari Dauragi, bercerita pada kami Rib’ii bin Ibrahim dari Abdurahman bin Ishaq dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Celakalah seseorang yang aku disebut di hadapannya namun ia tidak ber. shalawat untukku. Celakalah seseorang yang bulan Ramadhan mendapatinya kemudian pergi sebelum ia diberi ampun. Celakalah seseorang yang kedua orang tuanya menemui usia lanjut di sisinya namun keduanya tidak bisa menyebabkannya) masuk surga (dengan berbakti pada keduanya)”

 

Tirmidzi mengatakan, “Dalam masalah ini terdapat riwayat dari Jabir dan Anas. Ini hadits yang hasan lagi gharib dari arah periwayatan ini

 

Rib’i bin Ibrahim adalah saudara Ismail bin Ibrahim, seorang rawi tsiqah. Ia, (yakni Ismail bin Ibrahim) adalah Ibnu Ulayah. Diriwayatkan dari sebagian ahluilmi yang mengatakan, “Apabila seseorang bershalawat untuk Nabi satu kali di majelis maka itu sudah mencukupinya selama ia berada di majelis tersebut”

 

Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Mustadrak, (I/549). Abdurahman bin Ishaq dipakai hujah oleh Muslim (dalam Shahih-nya). Mengenainya, Ahmad bin Hanbal berkata,” “Haditsnya shahih, namun sebagian mereka membicarakan dirinya.” Sedang Abu Daud berkata,’? “Tsiqah, hanya saja ia seorang pengikut sekte Qadariah.”

 

Ismail bin Ishaq Al-Qadhi, (hadits no. 18), juga meriwayatkan hadits ini, bercerita pada kami Abu Tsabit, bercerita pada kami Abdulaziz bin Abi Hazm dari Katsir bin Zaid” dari Walid bin Ribah dari Abu Hurairah:

 

  1. Rasulullah naik mimbar, lalu beliau mengucapkan, “Amin, amin, amin.” Lantas dikatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, Anda belum pernah melakukan hal ini (sebelumnya)” Beliau bersabda, Jibril berkata padaku, Celakalah orang yang menemui bulan Ramadhan namun ia tidak diampuni! Aku pun berkata, Amin. Kemudian ia berkata, “Celakalah seorang hamba yang kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya mengalami hidup bersama pada usia lanjut, namun hal itu tak dapat menyebabkannya masuk surga (dengan berbakti pada keduanya). Aku berkata, Amin. Kemudian ia berkata, “Celakalah seorang hamba yang Anda disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu. Aku berkata, Amin.”

 

Katsir bin Zaid ditsigahkan Ibnu Hiban. Abu Zur’ah berkata tentangnya, “Seorang rawi shadug (sangat jujur), namun ia dibicarakan.”

 

Sementara itu, Ibnu Hiban meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (hadits no. 895), dari hadits Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah… dan seterusnya. Dalam hadits ini disebutkan Jibril berkata:

 

  1. “Siapa yang engkau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu, kemudian ia mati lalu masuk neraka, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Ucapkanlah, Amin. Aku pun mengucapkan, Amin.”

 

Muhammad bin Amru, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan haditsnya dalam mutabaah (dalil pendukung). Ibnu Ma’in mentsigahkannya dan Tirmidzi menyahihkan haditsnya.’?

 

Kata (dalam redaksi asli), raghima’, dengan huruf ghain bertitik yang dikasrah, artinya menempel pada debu, yakni ar-ragham (debu, pasir, tanah). Ibnu Arabi berkata,’” “Kata ini dengan huruf ghain yang difathah (raghama) yang artinya adalah rendah (hina)?

 

Di antara hadits Abu Hurairah tentang shalawat juga yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya (hadits no. 408), dari hadits Ala’ bin Abdurahman dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu kali maka Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.”

 

Hadits ini juga diriwayatkan Abu Daud (hadits no. 1530), Tirmidzi (hadits no. 485), Nass’i, (II1/50), dan Ibnu Hiban dalam Shahih-nya,'” (hadits no. 893, 894). Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih”

 

Di sebagian redaksinya berbunyi, “Siapa bershalawat untukku satu kali ditulis untuknya sepuluh kebaikan lantaraan satu shalawat ini Disebutkan oleh Ibnu Hiban.

 

Termasuk di antara hadits Abu Hurairah adalah yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (hadits no. 452): bercerita pada kami Abu Bakar Muhammad bin Basyar, bercerita pada kami Abu Bakar Al-Hanafi, bercerita pada kami Dhahak bin Utsman, bercerita pada kami Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian masuk masjid hendaknya ia mengucapkan salam pada Nabi dan mengucapkan, Ya Allah, bukakan untukku pintu-pintu rahmat-Mu. Apabila ia akan keluar hendaknya ia mengucapkan salam pada Nabi dan mengatakan, Ya Allah, lindungi aku dari (gangguan) setan.”

 

Ibnu Hiban meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (hadits no. 321), dari Abdullah bin Muhammad dari Ishaq bin Ibrahim dari Abu Bakar Al-Hanafi… dan seterusnya.

 

Masih di antara hadits Abu Hurairah adalah yang diriwayatkan Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Fil -penulis kitab Al-Juzu yang terkenal dari Muslim bin Amru, bercerita pada kami Abdullah bin Nafi dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Jangan jadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan dan jangan jadikan makamku sebagai tempat perayaan. Bershalawatlah padaku karena shalawat kalian sampai padaku di mana pun kalian berada.”

 

Di antara hadits Abu Hurairah juga, hadits yang diriwayatkan Muslim bin Ibrahim, bercerita pada kami Abdusalam bin Ajlan, bercerita pada kami Abu Utsman An-Nahdi dari Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang selalu berjalan. Apabila mereka melewati majelis dzikir, sebagian mereka berkata pada sebagian yang lain, Duduklah dulu’ Apabila orang-orang (dalam majelis dzikir itu) berdoa, para malaikat tersebut mengamini doa mereka. Apabila mereka bershalawat untuk Nabi, mereka turut bershalawat bersama mereka. Sampai mereka selesai. Kemudian sebagian mereka berkata pada sebagian yang lain, Beruntunglah mereka, mereka pulang dalam keadaan diampuni.”

 

Abu Sa’id Al-Qash meriwayatkan hadits ini dalam Fawa’id-nya.’?

 

Di antara hadits Abu Hurairah ass terkait shalawat juga, hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad (II/527) dan Abu Daud (hadits no. 2041).

 

Ahmad berkata (II/257), bercerita pada kami Abdullah bin Yazid, bercerita pada kami Haiwah, bercerita pada kami Abu Shakhr bahwa Yazid bin Abdullah bin Qusaith mengabarkan padanya dari Abu Hurairah dari Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tak seorang muslim pun yang mengucapkan salam padaku kecuali Allah mengembalikan ruhku (ke jasadku) hingga aku bisa menjawab salamnya.”

 

Abu Shakhr bernama Humaid bin Ziyad.

 

Abu Daud meriwayatkannya (hadits no. 2041), dari Muhammad bin Auf dari Abdullah bin Yazid Al-Maqburi. Sanad hadits ini shahih.

 

Aku bertanya kepada guru kami tentang apakah Yazid bin Abdullah mendengar dari Abu Hurairah, ia menjawab, “Ia tidak bertemu dengannya. Ia rawi lemah,” mengenai hal mendengarnya dari Abu Hurairah perlu ditilik ulang

 

Abu Syaikh dalam kitab Ash-Shalatu alan Nabi, mengatakan, bercerita pada kami Abdurahman bin Ahmad Al-Araj, bercerita pada kami Hasan bin Shabah, bercerita pada kami Abu Mu’awiyah, bercerita pada kami A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku di samping kuburku aku bisa mendengarnya dan siapa bershalawat untukku dari jauh aku diberi tahu akan hal itu.”

 

Hadits ini sangat gharib.

 

Termasuk hadits Abu Hurairah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim (VI/349), dari Thabrani bercerita padaku Ubaidullah bin Muhammad Al. Umari, bercerita padaku Abu Mushab, bercerita padaku Malik dari Abu Zinad dari Al-Araj dari Abu Hurairah ass mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tidak seorang muslim pun yang mengucapkan salam padaku, baik di timur maupun di barat, kecuali aku dan para malaikat Rabbku menjawab salamnya.” Lantas seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan penduduk Madinah?” Beliau menjawab, “Apakah yang dikatakan pada orang mulia terkait pertetanggaan dan tetangga-tetangganya? Sesungguhnya di antara yang diperintahkan adalah memelihara pertetanggaan dan menjaga para tetangga.”

 

Muhammad bin Utsman Al-Hafizh mengatakan, “Hadits ini dipalsukan Umari. Memang seperti yang ia katakan, sebab sanad ini tidak membawa hadits ini.

 

Hadits Buraidah bin Hushaib

 

Hadits Buraidah bin Hushaib diriwayatkan Hasan bin Syadzan dari Abdullah bin Abdullah bin Ishaq Al-Khurasani, bercerita pada kami Hasan bin Mukrim, bercerita pada kami Yazid bin Harun, bercerita pada kami Ismail bin Abi Khalid’” dari Abu Daud dari Buraidah menuturkan, kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami mengetahui ucapan salam pada Anda, lalu bagaimanakah ucapan shalawat pada Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Ucapkanlah, “Ya Allah, limpahkan shalawat-shalawat-Mu dan rahmatMu untuk Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkannya untuk Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Abu Daud di sini adalah Nafi’ bin Harits Al-A’ma. Meskipun ia seorang rawi matruk dan haditsnya dibuang,’ namun yang menjadi pedoman utama adalah hadits-hadits shahih yang telah disebutkan. Tidak mengapa meriwayatkan haditsnya dalam asy-syawahid (sebagai dalil pendukung), bukan sebagai ushul (dalil pokok).

 

 

Hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi

 

Hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi diriwayatkan Thabrani dalam Al-Mu jam!” (VI/ hadits no. 5699), dari Abdurahman bin Mu’awiyah Al-Utbi, bercerita pada kami Ubaidullah bin Muhammad bin Munkadir, bercerita pada kami Ibnu Abi Fudaik dari Ubay bin Abbas bin Sahl dari ayahnya dari kakeknya Sahl bin Saad, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tidak sah shalat seseorang yang tak berwudhu, tidak sah wudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah, tidak sah shalat orang yang tidak bershalawat untuk Nabi dan tidak sah shalat seseorang yang tidak mencintai kaum Anshar”

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (hadits no. 400), dari hadits Abdulmuhaimin’? bin Abbas saudara Ubay bin Abbas.

 

Tentang Ubay bin Abbas, Bukhari berhujah dengannya dalam kitab Shahihnya. Sedang Ahmad Yahya bin Ma’in, dan selain keduanya telah mendha’ifkannya.

 

Adapun saudaranya, Abdulmuhaimin,’? disepakati ditinggalkan dan haditsnya dibuang. Bilamana Abdulmuhaimin mencuri hadits ini dari saudaranya maka tak membahayakan hadits ini dan hadits ini tidak turun dari derajat hasan. Namun jika Ibnu Abi Fudaik atau rawi di bawahnya keliru menyebut Abdulmuhamimin menjadi Ubay – kemungkinan ini yang lebih kuat, wallahu a’lam, mengingat hadits ini dikenal diriwayatkan dari Abdulmuhaimin -berarti ini satu cacat yang fatal dalam hadits ini.

 

Sahl bin Saad memiliki hadits lain dalam masalah shalawat yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi. Bercerita pada kami Muhammad bin Hubaib, bercerita pada kami Ibnu Abi Hazim dari ayahnya dari Sahl bin Saad, ia menuturkan, “Rasulullah keluar. (Ketika itu) aku bersama Abu Thalhah. Ia bangkit menghampiri beliau lalu berkata, Ayah dan ibuku menjadi tebusan Anda wahai Rasulullah, sungguh aku melihat kegembiraan terpancar di wajah Anda.” Beliau bersabda:

 

  1. “Benar, Jibril baru saja mendatangiku, ia berkata, “Wahai Muhammad, siapa bershalawat untukmu sekali -atau ia mengatakan, satu kali Allah menulis untuknya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh keburukan darinya, dan mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi) karena satu shalawat itu.”

 

Ibnu Hubaib berkata, “Aku tidak mengetahuinya kecuali mengatakan, dan para malaikat mendoakannya sepuluh kali.”

 

Hadits ini diriwayatkan dengan disandarkan pada Sahl lebih baik dibanding disandarkan pada Abu Thalhah.

 

Hadits Ibnu Masud

 

Hadits Ibnu Mas’ud diriwayatkan Hakim dalam Al-Mustadrak, (1/269), dari hadits Laits bin Sa’ad dari Khalid bin Yazid dari Sa’id bin Abi Hilal dari Yahya bin Sabaq dari seorang anggota keluarga Harits dari Ibnu Masud dari Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian selesai tasyahud hendaknya ia mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat, berkah, dan rahmat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Baihagi meriwayatkannya dalam As-Sunan II/379, seperti ini.’”

 

Penilaian Hakim hadits ini shahih jelas perlu dilihat ulang. Pasalnya Yahya bin Sabag dan gurunya sama-sama tidak dikenal mendapat pujian (tadil) maupun celaan (jarh). Meskipun Abu Hatim bin Hiban telah menyebutkan Yahya bin Sabaq dalam kitab Ats-Tsigat (VII/603).

 

Daruquthni meriwayatkannya, (I/354), dari hadits Abdulwahab bin Mujahid, bercerita padaku Mujahid, bercerita padaku Ibnu Abi Laila atau Abu Ma’mar berkata, Ibnu Mas’ud mengajariku doa tasyahud dan ia berkata:

 

39, Rasulullah mengajarkannya padaku seperti beliau mengajarkan pada kami surah dari Al-Guran, “Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan terlimpah untukmu wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah untuk kami dan para hamba-Nya yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan untuk Ahlubait Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, curahkanlah shalawat untuk kami bersama mereka. Ya Allah, limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan Ahlubait beliau seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkanlah berkah untuk kami bersama mereka. Shalawat Allah dan shalawat kaum mukminin mudah-mudahan terlimpah untuk Muhammad, nabi yang ummi. Semoga keselamatan terlimpah untuk kalian, dan rahmat Allah serta berkahNya.” Mujahid mengatakan, “Apabila orang yang shalat mengucapkan salam (dalam duduk tasyahud) hingga sampai, ‘.. dan hamba-hamba Allah yang shalih, berarti ia telah mendoakan keselamatan untuk semua penduduk langit dan bumi yang shalih.

 

Cacat hadits ini dikarenakan hadits ini berasal dari riwayat Abdulwahab bin Mujahid yang didha’ifkan Yahya bin Ma’in’?, Daruquthni dan selain keduanya.” Tentangnya, Hakim berkata,?? “Ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ayahnya.”

 

Hadits ini memiliki cacat lain, yakni riwayat yang mahfuzh?” dari Ibnu Mas’ud tentang doa tasyahud hanya sampai kalimat, “..aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus rasul. Nya.” Kemudian secara mauquf dan marfu’ diriwayatkan darinya, “Bila engkau mengucapkan hal ini shalatmu telah sempurna. Jika engkau ingin bangkit, bangkitlah dan jika engkau ingin duduk, duduklah“ Riwayat mauquf lebih tepat dan lebih shahih.

 

Di antara hadits Ibnu Mas’ud juga, yang diriwayatkan Muhammad bin Hamdan Al-Marwarzi, bercerita pada kami Abdullah bin Khubaig, bercerita pada kami Yusuf bin Asbath, dari Sufyan Tsauri dari seseorang dari Zir dari Abdullah bin Masud mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa yang tidak bershalawat untukku ia tak memiliki agama.”

 

Tirmidzi dalam kitab Jami’-nya, (hadits no. 484), meriwayatkan hadits Musa bin Ya’qub Az-Zam’i dari Abdullah bin Kaisan dari Abdullah bin Syadad dari Ibnu Masud mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya manusia yang paling dekat denganku di Hari Kiamat adalah yang paling banyak bershalawat untukku.”

 

Tirmidzi berkata, “Hadits hasan gharib.”

 

Abu Hatim bin Hiban meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (III/hadits no. 911), dari hadits Khalid bin Makhlad?” dari Musa bin Ya’qub. Ia berkata dalam sanad sanad hadits ini, “Dari Abdullah bin Syadad dari ayahnya dari Ibnu Masud.

 

Hadits ini juga terdapat dalam Musnadul Bazzir, (V/1789).

 

Pada riwayat tirmidzi (hadits no. 484), tertulis, “Dari Ibnu Syadad dari Ibnu Masud. Pada riwayat Abu Hatim, (III/hadits no. 911), tertulis, “Dari Ibnu Syadad dari ayahnya dari Abdullah bin Masud ”

 

Hadits ini juga diriwayatkan Baghawi dari Abu Bakar bin Abu Syaibah bercerita pada kami Khalid bin Makhlad, bercerita pada kami Musa… dan seterusnya, (Dalam sanad ini) Musa mengatakan, “..dari Ibnu Syadad dari ayahnya dari Ibnu Masud.”

 

Ibnu Majah dalam Sunan-nya, (hadits no. 906), meriwayatkan hadits Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Aswad bin Yazid dari Abdullah bin Masud ass berkata:

 

42 “Apabila kalian bershalawat untuk Rasulullah perbaguslah shalawat untuk beliau, sebab kalian tidak tahu barangkali hal itu dihadapkan pada beliau.” Mereka berkata padanya, “Ajarilah kami?” Ia berkata, “Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkan shalawat-Mu, rahmat, dan berkah-Mu untuk penghulu para rasul, pemimpin orang-orang bertakwa dan penutup para nabi, Muhammad, hamba, dan rasul-Mu, pemimpin kebaikan, komandan kebajikan, dan rasul (pembawa) rahmat. Ya Allah, bangkitkan beliau di tempat terpuji yang diinginkan orang-orang generasi pertama dan akhir. Ya Allah, curahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Masih termasuk hadits Ibnu Masud terkait shalawat adalah hadits yang diriwayatkan Nasa’i,?” (III/43), dari hadits Sufyan dari Abdullah bin Saib dari Zadzan dari Abdullah bin Masud dari Nabi bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat pengembara, mereka menyampaikan padaku ucapan salam dari umatku.”

 

Hadits ini sanadnya shahih. Abu Hatim bin Hiban meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (III/hadits no. 914), dari Abu Yala?’ dari Abu Khaitsamah dari Waki’ dari Sufyan… dan seterusnya.

 

Hadits Fadhalah bin Ubaid

 

Imam Ahmad berkata (VI/18), bercerita pada kami Abu Abdurahman Al-Muqri, bercerita pada kami Haiwah bin Syuraih, mengabarkan padaku Abu Hani Humaid bin Hani bahwa Abu Ali -Amru bin Malik Al-Janbi bercerita padanya, ia mendengar Fadhalah bin Ubaid -sahabat Rasulullah mengatakan:

 

  1. Rasulullah mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya, ia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat untuk Nabi. Rasulullah pun bersabda, “Orang ini tergesa-gesa” Kemudian beliau memanggilnya. Lalu beliau bersabda kepadanya atau kepada orang selainnya, “Apabila salah seorang kalian shalat hendaknya ia memulai dengan memuji Rabbnya dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat untuk Nabi. Setelah itu memohon apa yang ia inginkan.”

 

Diriwayatkan Imam Ahmad Abu Daud (hadits no. 1481), hadits ini redaksi riwayatnya. Nasai,2? (III/44) serta Tirmidzi (hadits no. 3477), ia berkata, “Hadits Shahih.”

 

Tirmidzi meriwayatkannya (hadits no. 3477), dari Mahmud bin Ghailan dari Al-Muqri. Nasa’i, (III/44), dari Muhammad bin Salamah dari Ibnu Wahb dari Haiwah. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (hadits no. 709), dari Ahmad bin

 

Abdurahman bin Wahb dari pamannya dari Abu Hani. Abu Abdullah Al-Magdisi berkata, “Aku kira nama Haiwah hilang dari riwayatnya” (Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya) (hadits no. 710) dari Bakar bin Idris bin Hajaj bin Harun Al-Mishri dari Abu Abdurahman.?”

 

Ibnu Hiban meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (V/hadits no. 1960), dari Muhammad bin Ishaq As-Saraj.

 

Hadits Abu Thalhah Al-Anshari

 

Imam Ahmad berkata dalam Al-Musnad (IV/29), bercerita pada kami Suraijj, bercerita pada kami Abu Ma’yar dari Ishaq bin Ka’ab bin Ujrah dari Abu Thalhah Al-Anshari berkata, “Suatu hari Rasulullah berpagi-pagi dengan jiwa yang senang, terpancar kegembiraan di wajah beliau. Para sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, Anda berpagi-pagi dengan jiwa yang senang, terpancar kegembiraan di wajah Anda.” Beliau bersabda:

 

  1. “Benar. Telah datang padaku tamu dari Rabbku, lalu ia berkata, Siapa dari kalangan umatmu bershalawat untukmu satu shalawat maka Allah menulis untuknya sepuluh kebaikan, menghapus darinya sepuluh keburukan mengangkatnya sepuluh derajat, dan menjawab untuknya seperti shalawa, tersebut.” Bercerita pada kami?” Abu Kamil, bercerita pada kami Hamad bin Salamah dari Tsabit dari Sulaiman maula Hasan bin Ali dari Abdullah bin Abi Thalhah dari ayahnya, suatu hari Rasulullah datang sementara kebahagiaan terlihat 4 wajah beliau. Para sahabat pun berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami melihat kebahagiaan terpancar di wajah Anda.” Beliau menjawab:

 

  1. “Sesungguhnya malaikat datang padaku, lalu berkata, “Wahai Muhammad, tidakkah Engkau ridha bahwa Rabbmu berfirman, tidaklah seorang dari umatmu bershalawat untukmu kecuali Aku bershalawat untuknya sepuluh kali dan tidaklah seseorang dari umatmu mengucapkan salam padamu kecuali Aku menjawab salamnya sepuluh kali?” Beliau bersabda, “Ya, (aku ridha)”

 

Nasa’i meriwayatkannya dari hadits Ibnu Mubarak dan Affan dari Hamad, Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (III/hadits no. 915), juga meriwayatkannya dari hadits Hamad.

 

Hadits Anas bin Malik Nasai berkata? mengabari kami Muhammad bin Mutsana, dari Abu Daud bercerita pada kami Abu Salamah —yakni Mughirah bin Muslim Al-Khurasani dari Abu Ishaq dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa saja yang aku disebut di sisinya hendaknya ia bershalawat untukku, dan siapa bershalawat untukku satu kali maka Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.”

 

Bercerita pada kami Ishaq bin Ibrahim, bercerita pada kami Yahya bin Adam, bercerita pada kami Yunus bin Abi Ishaq, bercerita padaku Buraid bin Abi Maryam dari Anas, ia mendengarnya mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu shalawat maka Allah bershalawat untuknya sepuluh shalawat, menggugurkan darinya sepuluh keburukan, dan mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi) berkat satu shalawat tersebut.”

 

Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Al-Musnad (III/261), dari Abu Nuaim dari Yunus… dan seterusnya. Sedang Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (III/hadits no. 904), meriwayatkannya dari Muhammad bin Hasan bin Khalil dari Abu Kuraib dari Muhammad bin Bisyr Al-Abdi dari Yunus… dan seterusnya.

 

Cacat hadits ini seperti yang diisyaratkan Nasa’i dalam kitabnya Al-Kabirs bahwa Makhlad bin Yazid meriwayatkannya dari Yunus bin Abi Ishaq dari Buraid bi, Abi Maryam dari Hasan dari Anas.

 

Namun cacat ini sama sekali tak menodainya, sebab tidak diragukan bahw, Hasan telah mendengar dari Anas.

 

Buraid bin Abi Maryam juga terbukti benar mendengar hadits ini dari Ana, Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (hadits no. 2390), dan Hakim dalam Al-Mustadrak, (I/551), meriwayatkannya dari hadits Yunus bin Abi Ishaq?s dari Buraid bin Abi Maryam berkata: Aku mendengar Anas bin Malik… dan seterusnya. Boleh jadi Buraid mendengar hadits ini dari Hasan (dari Anas). Kemudian ia mendengarnya secara langsung dari Anas. Lalu ia menceritakannya dengan dua jalan tersebut. Sebab ia pernah berkata, “Aku berkawan dengan Hasan di Mihmal, ia berkata, bercerita padaku Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah bersabda…” Kemudian Anas secara langsung menceritakan hadits ini padanya, ia meriwayatkannya seperti yang telah disebutkan.

 

Tapi masih dapat dikatakan, mungkin hadits ini adalah hadits Abu Thalhah yang dimursalkan Anas langsung dari Nabi, (padahal ia mendengarnya dari Abu Thalhah). Dugaan ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ismail bin Ishaq Al-Qadhi, (hadits no. 1): bercerita pada kami Ismail bin Abi Uwais,?” bercerita padaku saudaraku, dari Sulaiman bin Bilal dari Ubaidullah bin Umar dari Tsabit Al-Bunani mengatakan, Anas bin Malik berkata, Abu Thalhah berkata:

 

  1. Sungguh, suatu hari Rasulullah keluar menemui para sahabat yang bisa membaca raut kegembiraan di wajah beliau, mereka berkata, “Sungguh, sekarang ini kami mengetahui kegembiraan di wajah Anda… selanjutnya ia menyebutkan hadits Abu Thalhah yang telah dibawakan (no. 45). Wallahu a’lam. Ibnu Ghazi meriwayatkan hadits Hakam bin Athiyah dari Tsabit dari Anas berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku dalam satu hari seribu kali, ia tidak mati sebelum melihat tempatnya di surga.’ Al-Hafizh Abu Abdullah Al-Maqdisi dalam kitab Ash-Shalatu alan Nabi berkata, “Aku tidak mengetahuinya selain dari hadits Hakam bin Athiyah.”

 

Daruquthni berkata, “Ia (Hakam bin Athiyah) menceritakan dari Tsabit hadits-hadits yang tidak dimutaba’ah.”

 

Imam Ahmad berkata,?? “Tidak apa-apa dengan Hakam bin Athiyah, hanya saja Abu Daud Ath-Thayalisi meriwayatkan hadits-hadits munkar darinya.” Ia juga mengatakan,?? “Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in,?” ia mengatakan, “Ia (Hakam) seorang rawi tsiqah.”

 

Jafar Al-Firyabi berkata, bercerita pada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah bercerita pada kami Fadhl bin Dukain, bercerita pada kami Salamah bin Wardan, ia berkata, aku mendengar Anas menuturkan, “Nabi naik ke mimbar. Beliau menaiki satu anak tangga lalu mengucapkan, Amin” Kemudian menaiki anak tangga berikutnya, lalu mengucapkan, Amin” Kemudian menaiki anak tangga ketiga, lalu mengucapkan, Amin. Selanjutnya beliau berdiri tegak, lalu duduk. Para sahabat berkata, Wahai Nabi Allah, Anda mengamini apa?” Beliau menjawab:

 

  1. Jibril datang padaku lalu berkata, “Hinalah seseorang yang kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya mengalami usia lanjut namun tidak bisa membuatnya masuk surga. Aku pun berkata, Amin. Dan hinalah seseorang yang menemui bulan Ramadhan namun ia tidak diberi ampunan. Lantas aku mengucapkan, Amin. Ia berkata lagi, “Hinalah seseorang yang aku disebut di hadapannya, namun ia tidak bershalawat untukku. Aku pun mengucapkan, Amin.”

 

  1. Abu Bakar Asy-Syafi’i meriwayatkan hadits ini dari Muadz bin Muadz, bercerita pada kami Qa’nabi, bercerita pada kami Salamah bin Wardan… dan seterusnya. Ia menyebutkan seperti sanad dan hadits di atas.

 

Salamah haditsnya rapuh, ia dibicarakan?” Namun ia tidak termasuk di antara orang yang haditsnya dibuang. Apalagi haditsnya yang memiliki beberapa syahid, dan hadits tersebut dikenal berasal dari rawi selain dirinya.

 

Di antara hadits Anas (dalam masalah shalawat) juga, hadits yang diriwayatkan Abu Yala Al-Maushuli, (V/hadits no. 2960), bercerita padaku Syabab Khalifah bin Khayath, bercerita pada kami Duruts bin Hamzah dari Mathar Al-Waraq dari Qatadah dari Anas, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tidaklah dua hamba yang saling mencintai, di mana salah satu bertemu dengan yang lain dan keduanya bershalawat untuk Nabi kecuali keduanya tidak berpisah melainkan dosa-dosa keduanya yang telah dilakukan maupun yang belum telah diampuni.” Termasuk hadits Anas, hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Ashim, (hadits no. 40).

 

Bercerita pada kami Hasan bin Bazaz, bercerita pada kami Syababah, bercerita pada kami Mughirah bin Muslim dari Abu Ishaq dari Anas bin Malik mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah untukku, sebab shalawat untukku (menjadi) penghapus (dosa) bagi kalian. Barang siapa bershalawat untukku Allah bershalawat untuknya.

 

Masih termasuk hadits Anas, hadits yang diriwayatkan Ibnu Syahin. Bercerita pada kami Muhammad bin Ahmad bin Bara, bercerita pada kami Muhammad bin Abdulaziz Ad-Dinuri, bercerita pada kami Ourah bin Hubaib Al-Ousyairi, bercerita pada kami Hakam bin Athiyah dari Tsabit dari Anas bin Malik ass berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah kalian untukku, sesungguhnya shalawat untukku itu penghapus (dosa) bagi kalian. Barangsiapa bershalawat untukku Allah bershalawat untuknya.”

 

Di antara hadits Anas juga, yang diriwayatkan Ibnu Syahin dari Anas yang mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku seribu kali dalam satu hari, ia tidak mati sebelum melihat tempatnya di surga.”?

 

Hadits ini akan disebutkan lagi dengan jalan yang lain.

 

Hadits Umar bin Khathab

 

Ismail bin Ishaq berkata, bercerita pada kami Abdullah bin Maslamah, bercerita pada kami Salamah bin Wardan yang berkata, aku mendengar Anas bin Malik menuturkan, “Nabi keluar untuk buang air besar, tak seorang pun mengawal beliau, Umar terperanjat, lalu ia mengikuti beliau dengan membawa wadah (berisi air). Ia mendapati beliau tengah sujud di syarabbah.? Umar pun menyingkir, ia duduk dj belakang beliau sampai beliau mengangkat kepala. Lantas beliau bersabda:

 

  1. “Engkau telah bertindak tepat wahai Umar, ketika engkau mendapatiku tengah sujud engkau menyingkir. Sesungguhnya Jibril mendatangiku, ia berkata, Siapa bershalawat untukmu satu kali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali dan Dia mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi).”

 

Hadits ini bisa dikelompokkan dalam musnad Anas dan bisa pula dikelompokkan dalam musnad Umar. Namun menjadikannya di antara musnad Umar lebih tepat, berdasarkan dua alasan:

 

Pertama, alur ceritanya menunjukkan bahwa Anas tidak menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut dan yang menghadirinya adalah Umar.

 

Kedua, Al-Qadhi Ismail mengatakan, “Bercerita pada kami Ya’gub bin Humaid, bercerita padaku Anas bin Iyadh dari Salamah bin Wardan, bercerita padaku Malik bin Aus bin Hadatsan, dari Umar bin Khathab mengatakan, “Nabi keluar untuk buang hajat. Lantas aku mengikuti beliau dengan membawa wadah berisi air. Lalu aku mendapati beliau dalam kondisi bersujud di tanah yang berumput. Aku pun menjauh dari beliau. Manakala beliau selesai dan mengangat kepala, beliau bersabda:

 

  1. “Engkau telah bertindak tepat wahai Umar, ketika engkau menyingkir dariku. Sebab sesungguhnya Jibril datang padaku lalu berkata, Siapa bershalawat padamu satu shalawat, Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali dan mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi)”

 

Jika dikatakan, hadits kedua ini laksana cacat bagi hadits pertama, sebab dalam sanad hadits ini Salamah bin Wardan mengabarkan bahwa ia mendengar dari Malik bin Aus bin Hadatsan, (sedang di hadits pertama ia mengatakan mendengar dari Anas bin Malik).

 

Dijawab, “Itu bukan cacat hadits pertama, sebab Salamah bin Wardan mendengar dari keduanya.

 

Abu Bakar Al-Ismaili dalam kitab, Musnad Umar as berkata, “Bercerita padaku Abdurahman bin Mukmin, memberitakan pada kami Abu Musa Al-Farwi, bercerita padaku Abu Dhamrah dari Salamah bin Wardan yang mengatakan, aku mendengar Anas bin Malik bertutur:

 

  1. “Rasulullah keluar. Umar bin Khathab menyusul beliau sambil membawa wadah berisi air dan batu. Ia mendapati beliau telah selesai dan ia mendapati beliau sedang bersujud di tanah berumput. Umar pun menyingkir…

 

  1. Bercerita pada kami Imran bin Musa, bercerita pada kami Ibnu Kasib, bercerita pada kami Anas bin Iyadh, dari Salamah bin Wardan, bercerita padaku Malik bin Aus bin Hadatsan dari Umar -dan bercerita padaku Anas bin Malik.

 

Kemudian Abu Bakar Al-Ismaili membawakan riwayat ini dari hadits Fadhl bin Dukain, “Bercerita pada kami Salamah bin Wardan, aku mendengar Anas bin Malik dan Malik bin Aus bin Hadtsan…” Ia menyebutkan hadits ini.

 

Ibnu Syahin berkata, “Bercerita padaku Abbas bin Abbas bin Mughirah, bercerita pada kami Ubaidullah bin Rabi’ah, ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Syarik dari Ashim bin Ubaidillah bin Ashim dari Amir bin Rabi’ah dari Umar bin Khathab dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali. Setelah ini, silakan seorang hamba mau menyedikitkan shalawat untukku atau memperbanyaknya.

 

Termasuk hadits Umar dalam masalah ini, hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dalam kitab Jami’-nya, (hadits no. 486), dari hadits Nadhr bin Syumail dari Abu Gurah Al-Asadi, dari Sa’id bin Musayib, dari Umar berkata:

 

  1. “Sesungguhnya doa itu terhenti di antara langit dan bumi, tak sesuatu pun darinya naik (pada Allah) sebelum engkau bershalawat untuk Nabimu”

 

Demikian diriwayatkan secara mauquf.

 

Begitu pula, Ismaili meriwayatkannya dalam Musnad Umar dari hadits Nadhr Lebih sempurna dari riwayat ini. Ia berkata, “Mengabariku Hasan, bercerita pada kami Muhammad bin Qudamah dan Ishaq bin Ibrahim, keduanya berkata: Mengabari kami Nadhr dari Abu Qurah, aku mendengar Sa’id bin Musayib mengatakan, Umar bin Khathab berkata:

 

  1. “Tiadalah seorang muslim mendatangi suatu tanah terbuka lalu shalat Dhuha dua rakaat di tempat tersebut, kemudian mengucapkan, Ya Allah, aku berpagi-pagi sebagai hamba-Mu, dalam perjanjian dengan-Mu dan janji-Mu, Engkau telah menciptakanku dan sebelumnya aku bukan apa-apa, aku memohon ampunan pada-Mu untuk dosaku, karena sesungguhnya dosa-dosaku telah membebaniku dan meliputiku, kecuali jika Engkau mengampuninya. Berilah aku ampunan wahai Maha Penyayang? Kecuali Allah pasti mengampuni dosanya di tempar tersebut, meskipun dosa itu sebanyak buih lautan”

 

Umar bin Khathab ag juga mengatakan:

 

  1. “Disebutkan padaku bahwa doa terhenti di antara langit dan bumi, tak sesuatu pun darinya naik (sampai kepada Allah) hingga engkau bershalawat untuk nabimu”

 

Ismaili berkata, Umar bin Khathab juga berkata:

 

  1. “Disebutkan padaku bahwa amal-amal itu saling membanggakan diri. Lantas sedekah berkata, Aku paling baik di antara kalian.” Ia juga mengatakan, “Tiadalah seorang muslim menyedekahkan satu pasang hartanya kecuali para penjaga surga cepat-cepat menyongsongnya.?

 

Ismaili berkata, “Hadits pertama yang terkait shalat Dhuha mauquf, demikian pula hadits bersedekah dengan sepasang harta juga mauquf. Sedang hadits lainnya sama.”

 

Aku berkata, “Maksudnya, hadits Shalawat dan hadits amal-amal saling membanggakan diri kemungkinan mauquf dan marfu’nya sama kuat

 

Hadits Shalawat untuk Nabi ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Harits dari Abu Qurah secara marfu, tetapi tidak terbukti shahih.” Bahkan riwayat mauqufnya lebih baik. Wallahu a’lam.

 

Hadits Anas bin Malik di depan telah diriwayatkan dari jalan lain. Thabrani berkata, “Bercerita pada kami Muhammad bin Abdirahim bin Buhair -di Mesir-, bercerita pada kami Amru bin Rabi’ bin Thariq, bercerita pada kami Yahya bin Ayub, bercerita padaku Ubaidullah bin Umar dari Hakam bin Utaibah dari Ibrahim AnNakha’i dari Aswad bin Yazid dari Umar bin Khathab menuturkan, “Rasulullah keluar untuk menunaikan hajat. Beliau tak mendapati seseorang yang mengikuti beliau. Umar pun segera bangkit, ia segera menyusul beliau dengan membawa wadah berisi air. Tetapi ia mendapati Nabi dalam keadaan sujud di tanah yang berumput. Ia pun menyingkir dari belakang beliau sampai Nabi mengangkat kepala. Lantas beliau bersabda:

 

  1. “Engkau telah bertindak tepat wahai Umar, ketika engkau mendapatiku tengah sujud lalu engkau menjauh dariku. Sebab Jibril datang padaku lalu berkata, Siapa dari umatmu yang bershalawat untukmu satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali dan mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi) karena satu shalawat tersebut.”

 

Thabrani berkata, “Tidak meriwayatkan hadits ini dari Ubaidullah bin Um4, selain Yahya bin Ayub. Amru bin Tharig meriwayatkannya seorang diri (tanpa ada yang memutaba’ah).”

 

Hadits Amir bin Rabi’ah

 

Ahmad berkata dalam Musnad-nya (III/445), bercerita pada kami Muhammad bin Jafar, bercerita pada kami Syu’bah?? dari Ashim bin Ubaidillah berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amir bin Rabi’ah bercerita dari ayahnya yang menuturkan, Aku mendengar Rasulullah berkhotbah, lantas beliau bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu shalawat, tak henti-hentinya malaikat ber. shalawat untuknya selama ia bershalawat untukku. Silakan seorang hamba menyedikitkan atau memperbanyaknya.”

 

Ibnu Majah meriwayatkannya, (hadits no. 907), dari Bakar bin Khalaf dari Khalid bin Harits dari Syu’bah.

 

Sedang Abdurazaq, (II/hadits no. 3115), meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Umar Al-Umari dari Abdurahman bin Qasim dari Abdullah bin Amir dari ayahnya. Redaksinya berbunyi:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu shalawat, Allah bershalawat untuknya. Maka perbanyaklah atau sedikitkanlah”

 

Ashim bin Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Khathab dan Abdullah bin Umar Al-Umari, kendati hadits keduanya mengandung kelemahan, namun periwayatan hadits ini melalui dua jalan yang berbeda, menunjukkan bahwa hadits ini memiliki pangkal. Hadits seperti ini tidak turun dari derajat hasan yang pertengahan, wallahu a’lam.

 

Hadits Abdurahman bin Auf

 

Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/191), berkata, “Bercerita pada kami Abu Salamah Manshur bin Salamah Al-Khuza’i dan Yunus, keduanya berkata: Bercerita pada kami Laits?” dari Yazid bin Had dari Amru bin Abi Amru dari Abu Huwairits dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari Abdurahman bin Auf, ia menuturkan:

 

  1. Rasulullah keluar, aku pun mengikuti beliau sampai beliau masuk ke kebun, kurma. Beliau sujud dan lama bersujud, hingga aku merasa khawatir atau takut Allah mewafatkan beliau atau mematikan beliau. Aku pun mendekat untuk mengamati, ternyata beliau mengangkat kepala. Beliau bertanya: “Kenapa engkau wahai Abdurahman?” Lalu aku menyampaikan kekhawatiranku tersebut pada beliau. Lantas beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril berkata padaku, Maukah engkau aku beri kabar gembira?” Sesungguhnya Allah berfirman, Siapa bershalawat untukmu, Aku bershalawat untuknya dan siapa mengucapkan salam padamu, Aku mengucapkan salam padanya.”

 

Bercerita pada kami Abu Said maula Bani Hasyim, bercerita pada kami Sulaiman bin Bilal, bercerita pada kami Amru bin Abi Amru dari Abdulwahid bin Muhammad bin Abdurahman bin Auf dari Abdurahman bin Auf…, ia menyebutkan hadits di atas. Di dalamnya Rasulullah bersabda:

 

  1. “Lantas aku sujud pada Allah sebagai bentuk syukur”

 

Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrak, (I/550), dari riwayat Sulaiman bin Bila?” dari Amru, ia berkata, “Sanadnya shahih”

 

Sedang Ibnu Abi Dunya meriwayatkannya dari Yahya bin Jafar, bercerita pada kami Zaid bin Hubab, mengabariku Musa bin Ubaidah, mengabariku Qais bin Abdurahman bin Abi Sha’sha’ah dari Sa’ad bin Ibrahim dari ayahnya dari kakeknya dari Abdurahman bin Auf menuturkan, “Rasulullah sujud satu kali, beliau melakukannya dengan lama. Lalu aku mengatakan pada beliau terkait hal tersebut, beliau pun bersabda:

 

  1. “Aku melakukan sujud ini untuk bersyukur pada Allah lantaran nikmat yang Dia berikan padaku terkait umatku. Sesungguhnya siapa bershalawat untukku satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karenanya”

 

Musa bin Ubaidah, meskipun haditsnya mengandung sedikit kelemahan namun hadits ini menjadi syahid riwayat yang telah disebutkan.?”

 

Mukhalish berkata, “Bercerita pada kami Baghawi, bercerita pada kami Utsman bin Abu Syaibah bercerita pada kami Khalid bin Makhlad?? dari Sulaiman bin Bilal, bercerita pada kami Amru bin Abi Amru dari Ashim bin Umar dari Qatadah dari Abdulwahid bin Muhammad bin Abdurahman, dari Abdurahman bahwa, Nabi bersabda:

 

  1. “Jibril menemuiku, lalu ia menyampaikan berita gembira padaku bahwa Allah berfirman padamu, Siapa bershalawat untukmu satu kali, Aku bershalawat untuknya dan siapa mengucapkan salam padamu, Aku mengucapkan salam padanya: Lantas aku sujud lantaran (mensyukuri) anugerah itu.”

 

Hadits Ubay bin Ka’ab

 

Abd bin Humaid berkata dalam Musnad-nya (hadits no. 170-Al-Muntakhab), “Bercerita pada kami Qabishah bin Uqbah, bercerita pada kami Sufyan?? dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Thufail bin Ubay dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata:

 

  1. Rasulullah apabila telah lewat seperempat malam beliau bangkit, lalu bersabda, “Wahai manusia, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Tiupan pertama (pasti) datang, diikuti tiupan kedua. Kematian datang membawa apa yang dikandungnya, kematian datang membawa apa yang dikandungnya.” Ubay bin Kaab berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memperbanyak shalawat pada Anda, berapakah sepantasnya aku berikan untuk Anda dari doaku?” Beliau menjawab, “Terserah engkau.” Aku berkata, “Apakah seperempat?” Beliau menjawab, “Terserah engkau, jika engkau menambah itu lebih baik.” Aku berkata, “Apakah separoh?” Beliau menjawab, “Terserah engkau, namun jika engkau menambah itu lebih baik.” Aku berkata, “Apakah dua pertiga?” Beliau menjawab, “Terserah engkau, jika engkau menambah itu lebih baik.” Aku berkata, “Aku jadikan seluruh shalawatku untuk Anda.” Beliau menjawab, “Bila demikian kesedihanmu dihilangkan dan dosamu diampuni.”

 

Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi (hadits no. 2457), dari Hanad dari Qabishah… dan seterusnya. Sedang Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Al-Musnad (V/136), dari Waki’ dari Sufyan… dan seterusnya. Hakim juga meriwayatkannya dalam Al Mustadrak, (II/513). Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih” –

 

Abdullah bin Muhammad bin Uqail?! digunakan sebagai hujah oleh para ulama senior, seperti Humaidi, Ahmad Ibnu Ishaq, Ali bin Madini, serta selain mereka. Tirmidzi dalam satu kesempatan menyahihkan hadits ini dan kesempatan lain menghasankannya.

 

Guru kami, Abu Abbas Ibnu Taimiyah ditanya tentang penjelasan hadits in ia menjawab, “Ubay bin Ka’ab memiliki doa yang ia panjatkan untuk dirinya. Lantas, ia bertanya kepada Nabi, apakah ia perlu memberikan seperempatnya untuk beliau dalam bentuk shalawat pada beliau Lantas beliau menjawab, Jika engkau menambahkan, hal itu lebih baik bagimu? Ia bertanya lagi pada beliau, Apakah separoh? beliau menjawab, Jika engkau menambahkan, itu lebih baik bagimu Sampai Ubay berkata, Aku berikan semua doaku untuk Anda? Artinya, Aku jadikan doaku semuanya dalam bentuk shalawat untuk Anda? Beliau bersabda, “Kalau begity kesedihanmu akan dihilangkan dan dosamu diampuni! Sebab, siapa bershalawat untuk Nabi satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali lantaran saty shalawat itu dan siapa yang Allah bershalawat untuknya berarti Dia menghilangkan kesedihannya dan mengampuni dosanya” Ini maksud perkataanya.

 

Hadits Aus bin Aus

 

Ia mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Diantara hari terbaik kalian adalah hari Jumat: di hari itu Adam diciptakan, di hari itu ia diwafatkan, di hari itu terjadi peniupan sangkakala, dan di hari itu pula terjadi kematian semua makhluk. Perbanyaklah shalawat untukku di hari tersebut, sebab shalawat kalian dihadapkan padaku.”

 

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami dihadapkan pada Anda sementara jasad Anda telah lapuk?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengharamkan tanah memakan jasad para nabi.”

 

Imam Ahmad dalam Al-Musnad (IV/8), berkata, “Bercerita pada kami Husain Ali Al-Ju’fi dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir dari Aus bin Abi Asy’ats Ashshan’ani dari Aus bin Aus… ia menyebutkan hadits ini.

 

Abu Daud meriwayatkannya (hadits no. 1047,1531), dari Harun bin Abdullah. Nasa’i,”? (II/91, 92), dari Ishaq bin Manshur. Ibnu Majah,?’ (hadits no. 1085, 1636), dari Abu Bakar bin Abu Syaibah,?’ ketiganya dari Husain Al-Jufi.

 

Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (hadits no. 550) dan Hakim dalam Al-Mustadrak, (I/278), juga meriwayatkannya dari hadits Husain Al-Ju’fi.

 

Sebagian huffazh (ulama besar hadits) mencacatkan hadits ini karena Husain Al-Jufi menceritakannya dari Abdurahman bin Yazid dari Jabir dari Abu Asy’ats Ash-Shanani dari Aus bin Aus. Ulama hadits ini mengatakan, “Siapa memerhatikan sanad ini, ia tidak meragukan keshahihannya karena para rawinya tsiqah, masyhur, dan hadits mereka diterima para ulama hadits. Namun cacatnya adalah, Husain bin Ali Al-Ju’fi tidak mendengar hadits dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir. Ia hanya mendengar dari Abdurahman bin Yazid bin Tamim. Sementara Abdurahman bin Yazid bin Tamim tidak bisa dipakai sebagai hujah. Ketika Husain Al-Ju’fi menceritakan hadits ini, ia keliru dalam menyebut nama kakek sehingga ia mengatakan “bin Jabir: Hal ini telah dijelaskan dan diingatkan para hufazh.”

 

Bukhari berkata dalam At-Tarikhul Kabir (V/hadits no. 1156), “Abdurahman bin Yazid bin Tamim As-Sulami Asy-Syami dari Makhul, mendengar darinya Walid bin Muslim. Ia memiliki hadits-hadits munkar. Dikatakan, Abdurahman inilah yang penduduk Kufah meriwayatkan darinya, seperti Abu Usamah dan Husain Al-Ju’fi. Namun keduanya mengatakan, Ia Ibnu Yazid bin Jabir Keduanya salah dalam menasabkannya. Yang lebih benar, nasabnya adalah Yazid bin Tamim. Ia seorang rawi yang haditsnya dha’if”

 

Khathib berkata,?” “Orang-orang Kufah meriwayatkan hadits-hadits Abau rahman bin Yazid bin Tamim, dengan mengatakan dari Abdurahman bin Yazid bi, Jabir. Mereka keliru dalam hal ini. Sehingga mereka dikritik (baca: dilemahkan) terkait hadits-hadits tersebut.”

 

Musa bin Harun Al-Hafizh mengatakan, “Abu Usamah meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir. Ini sebuah kekeliruan darinya, sebab ia tidak pernah bertemu Abdurahman bin Yazid bin Jabir. Tetapi ia bertemu Abdurahman bin Yazid bin Tamim, lalu ia menganggapnya sebagai Ibnu Jabir. Padahal Ibnu Jabir seorang rawi tsigah, sedang Ibnu Tamim seorang rawi dha’if”

 

Banyak di antara ulama besar hadits yang mengisyaratkan pada apa yang telah diungkapkan para ulama ini.

 

Jawaban pencacatan ini dari beberapa sisi:

 

» Husain bin Ali Al-Jufi dengan tegas menyatakan, mendengar hadits tersebut dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir.?”

 

Ibnu Hiban berkata dalam Shahih-nya (hadits no. 550), “Bercerita pada kami Abu Kuraib, bercerita pada kami Husain bin Ali, bercerita pada kami Abdurahman bin Yazid bin Jabir” Di sini Husain Al-Jufi menegaskan telah mendengar dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir.

 

Anggapan mereka, Husain mengira Abdurahman ini adalah Ibnu Jabir, padahal sebenarnya Ibnu Tamim, di mana ia salah dalam menyebut nama kakeknya, adalah anggapan yang jauh dari kebenaran. Sebab kedua orang ini tak mungkin tersamar pada Husain mengingat kritikan dan pengetahuannya terhadap kedua orang ini, serta ja telah mendengar dari keduanya.

 

Jika dikatakan, Abdurahman bin Abi Hatim -dalam kitab Al-‘Ilal (Hadits no. 565)mengatakan, aku mendengar ayahku berkata: “Abdurahman bin Yazid bin Jabir, aku tak mengetahui seorang pun dari penduduk Irag menceritakan hadits darinya. Yang aku ketahui, sosok yang mana Abu Usamah dan Husain Al-Ju’fi meriwayatkan darinya adalah orang yang sama, yakni Abdurahman bin Yazid bin Tamim. Sebab Abu Usamah meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid dari Gasim dari Abu Umamah Jima atau enam hadits munkar yang tak mungkin Abdurahman bin Yazid bin Jabir menceritakan hadits seperti itu. Aku tak mengetahui seseorang dari penduduk Syam meriwayatkan satupun di antara hadits-hadits ini dari Ibnu Jabir.”

 

Husain Al-Jufi, ia meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir dari Abu Asy’ats dari Aus bin Aus dari Nabi tentang hari Jumat, beliau bersabda: Hari paling baik adalah hari Jumat: di hari itu terjadi kematian masal (di Hari Kiamat), di hari itu terjadi tiupan sangkakala, di hari itu…’ Ini hadits munkar, aku tidak mengetahui seorang pun meriwayatkannya selain Husain Al-Jufi. Abdurahman bin Yazid bin Tamim seorang rawi berhadits dha’if, sedang Abdurahman bin Yazid bin Jabir seorang rawi tsiqah.” Selesai perkataanya.

 

Dijawab, tentang mendengarnya Husain Al-Jufi dan Abu Usamah dari Ibnu Jabir telah diperbincangkan. Mayoritas Ahluhadits mengingkari bahwa Abu Usamah mendengar hadits dari Ibnu Jabir.

 

Guru kami?? berkata dalam At-Tahdzib?’ (XVII/484-485), Ibnu Numair berkata, -ja membicarakan Abu Usamah-… “Orang yang meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir, kami lihat ia bukan Ibnu Jabir yang terkenal itu. Disampaikan padaku bahwa ia adalah seseorang yang diberi nama dengan Ibnu Jabir” Ya’gub?? berkata, “Ibnu Numair benar. Orang itu adalah Abdurahman bin Fulan bin Tamim. Abu Usamah menemuinya, menulis hadits-hadits ini darinya, lalu meriwayatkan darinya. Ia hanya seseorang yang diberi nama Ibnu Jabir” Ya’gub mengatakan, “Sepertinya aku melihat Ibnu Numair menuduh Abu Usamah mengetahui dan mengerti hal tersebut, tetapi pura-pura tak mengetahuinya” Ya’gub berkata lagi, “Ibnu Numair berkata padaku, “Tidakkah engkau melihat riwayatnya itu tidak menyerupai semua hadits-hadits Ibnu Jabir yang shahih yang diriwayatkan penduduk Syam dan kawankawannya?” Abdurahman bin Abi Hatim berkata,?? “Aku bertanya pada Muhammad bin Abdurahman bin putra saudara Husain Al-Ju’fi tentang Abdurahman bin Yazid bin Jabir, ia pun berkata, Abdurahman bin Yazid bin Tamim dan Abdurahman bin Yazid bin Jabir berkunjung ke Kufah. Kemudian Abdurahman bin Yazid bin Jabir datang lagi setelah waktu yang lama. Sosok yang Abu Usamah menceritakan hadits darinya bukanlah Ibnu Jabir, melainkan Ibnu Tamim.” Ibnu Abi Daud berkata, “Abu Usamah mendengar dari Ibnu Mubarak dari Ibnu Jabir, keduanya (yakni, Ibnu Mubarak dan Ibnu Jabir) juga sama-sama menceritakan dari Makhul. Ibnu Jabir juga seorang Dimasygi (orang yang menisbatkan diri ke Damaskus). Maka ketika Abdurahma, bin Yazid bin Tamim tiba, ia mengatakan, Aku Abdurahman bin Yazid Ad-Dimasqi’ Ia menceritakan dari Makhul. Lantas Abu Usamah mengira ia adalah Ibnu Jabi, yang Ibnu Mubarak meriwayatkan darinya. Padahal Ibnu Jabir seorang rawi tsiqah, tepercaya, dan haditsnya dikumpulkan, sementara Ibnu Tamim seorang rawi dha’if Abu Daud berkata,” “Ibnu Tamim seorang rawi yang haditsnya ditinggalkan. Abu Usamah meriwayatkan darinya dan keliru dalam menyebut namanya, ia mengatakan, Bercerita pada kami Abdurahman bin Yazid bin Jabir Asy-Syami. Semua riwayat yang datang dari Abu Usamah dari Abdurahman bin Yazid maka Abdurahman di sini adalah Ibnu Tamim.”

 

Perihal riwayat Husain Al-Jufi dari Ibnu Jabir telah disebutkan guru kami dalam At-Tahdzib (XVIII/7), ia berkata, “Husain bin Ali Al-Jufi meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid bin Jabir. Begitu pula Abu Usamah Hamad bin Usamah jika riwayatnya mahfuzh (terjaga).

 

Sehingga ia menyatakan dengan tegas periwayatan Husain dari Ibnu Jabir dan ragu-ragu tentang periwayatan Hamad dari Ibnu Jabir.

 

Ini yang dapat diungkapkan untuk menjawab pencacatan di atas.

 

Setelah menulis penjelasan ini, aku melihat Daruquthni menyebutkannya secara tegas. Ia berkata dalam komentarnya terhadap kitab Abu Hatim, Adh-Dhu afa, hlm. 157-158: “Ucapan Abu Hatim bahwa Husain Al-Jufi meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid bin Tamim adalah salah. Orang yang Husain meriwayatkan darinya adalah Abdurahman bin Yazid bin Jabir. Sedang Abu Usamah meriwayatkan dari Abdurahman bin Yazid. Abdurahman di sini adalah Ibnu Tamim, namun Abu Usamah mengatakan, Tbnu Jabir’. Ia salah dalam menyebut nama kakeknya.” Selesai ucapannya. ‘

 

Namun hadits ini memiliki cacat lain, yakni Abdurahman bin Yazid tidak mengatakan mendengar dari Abu Asy’ts.

 

Ali bin Madini mengatakan, “Bercerita pada kami Husain bin Ali bin Jufi, bercerita pada kami Abdurahman bin Yazid bin Jabir, aku mendengarnya menyebutkan dari Abu Asy’ats Ash-Shanani dari Aus bin Aus…”

 

Ismail bin Ishaq dalam kitabnya, (hadits no. 42), mengatakan:

 

  1. “Bercerita pada kami Ali bin Abdullah…” Namun ini bukan cacat yang berpengaruh, sebab hadits ini memiliki para syahid dari hadits Abu Hurairah, Abu Darda’, Abu Umamah, Abu Mas’ud Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Hasan?” dari Nabi.

 

Hadits Abu Hurairah

 

Hadits Abu Hurairah diriwayatkan Malik dari Ibnu Hadi dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sebaik-baik hari yang matahari terbit di dalamnya adalah hari Jumat. Di hari itu Adam diciptakan, di hari itu ia diturunkan (dari surga), di hari itu ia diberi taubat, di hari itu ia mati, dan di hari itu pula kiamat akan terjadi. Tak satu pun binatang kecuali memasang telinga baik-baik?” di hari Jumat dar, sejak matahari terbit, karena takut kiamat datang, selain jin dan manusis, Di hari itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslir, menepatinya dalam keadaan shalat memohon sesuatu pada Allah kecuali Di, memberinya akan sesuatu tersebut.”

 

Hadits Shahih ini menguatkan hadits Aus bin Aus dan menunjukkan pengertian yang sama.

 

Hadits Abu Darda

 

Dalam Ats-Tsaqafiyyat, disebutkan, “Mengabarkan pada kami Abu Bakar bin Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin Muqri, mengabarkan pada kami Abu Abbas Muhammad bin Hasan bin Qutaibah Asqalani, bercerita pada kami Harmalah, bercerita pada kami Ibnu Wahb mengabariku Amru dari Sa’id bin Abi Hilal dari Zaid bin Aiman dari Ubadah bin Nusay dari Abu Darda, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat, sebab hari Jumat adalah hari yang disaksikan, yakni disaksikan para malaikat. Sesungguhnya tidaklah seseorang bershalawat untukku kecuali shalawatnya dihadapkan padaku sampai ia selesai” Abu Darda’ berkata, “Dan setelah (Anda) wafat?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan tanah memakan jasad para nabi. Nabi Allah hidup lagi diberi rezeki”

 

Hadits ini akan disebutkan lagi dalam hadits Abu Darda’ dengan sanad lain yang diriwayatkan Thabrani. Ibnu Majah juga meriwayatkannya, (dalam Sunan-nya hadits no. 1637).

 

Hadits Abu Umamah

 

Baihagi berkata, (III/249) “Bercerita pada kami Ali bin Ahmad bin Abdan, memberitakan pada kami Ahmad bin Ubaid, bercerita pada kami Hasan bin Sa’id, bercerita pada kami Ibrahim bin Hajaj, bercerita pada kami Hamad bin Salamah, dari Burd bin Sinan dari Makhul Asy-Syami dari Abu Umamah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di setiap hari Jumat, karena shalawat umatku dihadapkan padaku di setiap hari Jumat. Siapa di antara mereka yang paling banyak bershalawat maka tempatnya paling dekat denganku.”

 

Hadits ini memiliki dua cacat:

 

  1. Burd bin Sinan diperbincangkan olah ulama hadits. Meskipun ia ditsiqahkan Yahya bin Ma’in?? dan lainnya.

 

  1. Terkait Makhul, dikatakanbahwaia tidak mendengar hadits dari Abu Umamah » Wallahu a’lam.

 

Hadits Anas

 

Thabrani berkata, “Bercerita pada kami Muhammad bin Ali Al-Ahmar bercerita pada kami Nashr bin Ali, bercerita pada kami Numan bin Abdusalam, bercerita pada kami Abu Zhilal dari Anas berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat. Sebab baru saja Jibril datang padaku dari Rabbnya, lalu berkata, “Tak seorang muslim pun di muka bumi yang bershalawat untukmu satu kali kecuali Aku (Allah) dan para malaikat-Ku bershalawat untuknya sepuluh kali” Muhammad bin Ismail Al-Warag berkata, “Menceritakan pada kami Jubarah bin Mughalas,?” menceritakan pada kami Abu Ishaq Khazim dari Yazid Ar-Raqasyi dari Anas berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat, sebab sesungguhnya shalawat kalian dihadapkan padaku”

 

Dua hadits ini (no. 79 dan 80) meskipun dha’if namun layak dipergunakan sebagai istisyhad (dalil pendukung).

 

Ibnu Abi Siri juga meriwayatkan hadits di atas,” “Menceritakan pada kami Rawad bin Jarah, menceritakan pada kami Sa’id bin Basyir, dari Qatadah dari Anas dari Nabi

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat”

 

Para sahabat menganjurkan memperbanyak shalawat untuk Nabi di hari Jumat.

 

Muhammad bin Yusuf Al-Abid?” berkata dari A’masy dari Zaid bin Wahb, Menuturkan, Ibnu Masud  berkata padaku:

 

  1. Wahai Zaid bin Wahb, apabila di hari Jumat engkau jangan lupa bershalawg untuk Nabi seribu kali. Yakni berkata, “Ya Allah, limpahkan shalawat Untuk Muhammad Nabi AlUmmi?”

 

Hadits Hasan 

 

Ismail berkata,” “Menceritakan pada kami Sulaiman bin Harb, menceritakan pada kami Jarir bin Hazim berkata: Aku mendengar Hasan berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “(Binatang) tanah tidak memakan jasad orang yang diajak bicara Ruhul Quds.”

 

Hadits Hasan bin Ali

 

Abu Yala dalam Musnad-nya (XIl/hadits no. 6761), berkata, “Menceritakan pada kami Musa bin Muhammad bin Hayan, menceritakan pada kami Abu Bakar Al-Hanafi, menceritakan pada kami Abdullah bin Nafi, mengabarkan pada kami Ala bin Abdurahman berkata, aku mendengar Hasan bin Ali bin Abi Thalib berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Shalatlah di rumah kalian dan jangan menjadikannya sebagai kuburan, jangan kalian menjadikan rumahku sebagai tempat perayaan. Bershalawatlah dan ucapkanlah salam untukku, karena shalawat dan salam kalian sampai padaku di mana saja kalian berada.”

 

Cacat dari hadits ini adalah Muslim bin Amru meriwayatkannya dari Abdullah bin Nafi dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:

 

  1. “Jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan dan jangan kalian jadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai pada-ku di mana saja kalian berada.”

 

Hadits ini lebih baik (dibanding yang sebelumnya).

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu jamul Kabir (Ill/hadits no. 2729), “Menceritakan, pada kami Ahmad bin Risydin Al-Mishri, menceritakan pada kami Said bin Abi Maryam, menceritakan pada kami Muhammad bin Ja’far, mengabarkan pada kany Humaid bin Abi Zainab dari Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dari ayahnya ag bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Di mana saja kalian berada bershalawatlah untukku, sebab shalawat kalian sampai padaku.”

 

Hadits Husain bin Ali 

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu’am (III/hadits no. 2887), “Menceritakan pada kami Yusuf bin Hakam Adh-Dhabi, menceritakan pada kami Muhammad bin Basyir’s Al-Kindi, menceritakan pada kami Ubaid bin Humaid, menceritakan padaku Fithr bin Khalifah dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain dari ayahnya dari kakeknya Husain bin Ali berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa yang aku disebut di hadapannya lalu ia luput bershalawat untukku maka ia luput dari jalan surga.”

 

  1. Cacat dari hadits ini adalah Ibnu Abi Ashim meriwayatkannya dari Abu Bakar —yakni Ibnu Abu Syaibah-, menceritakan pada kami Hafsh bin Ghiyats dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Nabi secara mursal.

 

  1. Sedang Umar bin Hafsh bin Ghiyats meriwayatkan hadits di atas dari ayahnya dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi.”

 

  1. Ismail bin Ishaq meriwayatkannya dari Ibrahim bin Hajaj, menceritakan pada kami Wuhaib dari Jafar bin Muhammad dari ayahnya dari Nabi secara mursal.

 

  1. Sementara Ali bin Madini meriwayatkannya, (ia berkata), “Menceritakan pada kami Sufyan yang menuturkan, Amru berkata dari Muhammad bin Ay, bin Husain dari Nabi secara mursal.”

 

Kemudian Ali bin Madini mengatakan,

 

  1. Sufyan berkata, seseorang setelah Amru berkata, aku mendengar Muhammag bin Ali mengatakan, Rasulullah bersabda. Selanjutnya Sufyan menyebutkan nama seseorang itu, ia berkata, “Ia Basam, ia adalah Ash-Shairafi.”

 

Demikian disebutkan Ismail dari Ali bin Madini. Ia mengatakan:

 

  1. “Menceritakan pada kami Sulaiman bin Harb dan Arim, keduanya berkata, menceritakan pada kami Hamad bin Zaid dari Amru dari Muhammad bin Ali, Rasulullah bersabda… dan seterusnya.” Hadits ini diriwayatkan secara mursal

 

Hadits ini memilik syahid dari hadits Abdullah bin Abbas yang akan disebutkan?? —insya Allah.

 

Nasai berkata,” “Mengabarkan pada kami Sulaiman bin Ubaidillah, menceritakan pada kami Abu Amir” menceritakan pada kami Sulaiman dari Umarah bin Ghaziyah dari Abdullah bin Ali bin Husain dari Ali bin Husain dari ayahnya, Nabi bersabda:

 

  1. “Orang bakhil adalah orang yang aku disebut di hadapannya dan ia tidak bershalawat untukku.”

 

  1. Memberitakan pada kami Ahmad bin Khalil, menceritakan pada kami Khalid -yakni Bin Makhlad Al-Oathwani-, menceritakan pada kami Sulaiman bin Bilal, menceritakan padaku Umarah bin Ghaziyah… dan seterusnya.

 

Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Hiban, (hadits no. 2388) dan Hakim (1/549), dalam kitab shahih masing-masing dari hadits Khalid bin Makhlad, Tirmidzi dalam Jami’nya, (hadits no. 3546), ia berkata, “Hadits hasan shahih? gharib,” ia menambahkan dalam sanadnya “dari Ali bin Abi Thalib

 

Aku berkata, “Hadits ini memiliki cacat yang disebutkan Nasa’i dalam As-sunah Al-Kubrd. Ia mengatakan, “Diriwayatkan Abdulaziz bin Muhammad dari Umarah bir, Ghaziyah dari Abdullah bin Ali bin Husain dari Ali bin Abi Thalib secara mursal?”

 

Mengabarkan padaku Zakaria bin Yahya, menceritakan padaku Qutaibah bin Sa’id, bercerita pada kami Abdulaziz dari Umarah bin Ghaziyah dari Abdullah bir Ali bin Husain berkata, Ali bin Abi Thalib berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya orang bakhil adalah orang yang jika aku disebut di hadapannya ia tidak bershalawat untukku.”

 

Ismail bin Ishaq dalam kitabnya, (setelah hadits no. 32), mengatakan:

 

  1. Yahya Al-Himani dan Abu Bakar bin Abi Uwais berbeda terkait sanad hadits ini. Abu Bakar meriwayatkannya dari Sulaiman dari Amru bin Abi Amru. Sementara Al-Himani meriwayatkannya dari Sulaiman bin Bilal dari Umarah bin Ghaziyah.

 

Hadits ini populer diriwayatkan dari Umarah bin Ghaziyah. Darinya, hadits ini diriwayatkan lima orang secara bersama-sama, yakni Sulaiman bin Bilal, Amru bin Harits, Abdulaziz Ad-Darawardi, Ismail bin Ja’far, dan Abdullah bin Ja’far, ayah Ali. -Selanjutnya ia menyebutkan semua riwayat ini-. Ia juga meriwayatkan hadits ini dari Ismail bin Abi Uwais, “Menceritakan padaku saudaraku, dari Sulaiman bin Bilal dari Amru bin Abi Amru dari Ali bin Husain dari ayahnya…,” lalu ia menyebutkan hadits ini.

 

Hadits Fathimah

 

Abu Abbas Ats-Tsagafi mengatakan, “Menceritakan pada kami Abu Raja Qutaibah bin Sa’id, menceritakan pada kami Abdulaziz -bin Muhammad dari Abdullah bin Hasan dari Ibunya, Nabi bersabda pada Fathimah putri beliau:

 

  1. “Apabila engkau masuk masjid, ucapkan, “Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah. Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam pada Muhammad. Ya Allah, ampuni aku dan mudahkan bagiku pintu-pintu rahmat-Mu. Laly apabila engkau keluar dari masjid ucapkanlah seperti itu” Namun dalam dog keluar ini beliau bersabda, “.. dan mudahkan bagiku pintu-pintu rezeki-Mu”

 

  1. Tirmidzi meriwayatkannya, (dalam As-Sunan hadits no. 314), dari Ali bin Hujr’ dari Ismail bin Ibrahim dari Laits dari Abdullah bin Hasan dari ibunya Fathimah binti Husain dari neneknya, Fathimah Al-Kubra tes.

 

Ismail mengatakan, “Lalu aku bertemu Abdullah bin Hasan di Mekah, aku bertanya padanya tentang hadits ini, ia pun menceritakannya padaku” Ia juga mengatakan, “Sanad hadits ini tidak bersambung, sebab Fathimah binti Husain tidak bertemu Fathimah Al-Kubra 

 

Ibnu Majah (hadits no. 771), meriwayatkan hadits ini dari Abu Bakar?” dari Abu Ulayah dan Abu Mu’awiyah?” dari Laits… kurang lebih seperti matan di atas.

 

Hadits Bara bin Azib Ahmad bin Amru bin Abi Ashim mengatakan, “Bercerita pada kami Yagub bin Humaid, bercerita pada kami Hatim bin Ismail dari Muhammad bin Ubaidillah dari maula Bara bin Azib dari Bara bahwa Nabi bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku, ditulis untuknya sepuluh kebaik-an, dihapuskan darinya sepuluh keburukan, dan (Allah) mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi) lantaran shalawat tersebut. Ganjaran-ganjaran ini bagi dirinya setara dengan memerdekakan sepuluh budak.”

 

Hadits Jabir bin Abdullah

 

Nasa’i berkata dalam kitabnya As-Sunanul Kubra, “Menceritakan pada kami Ahmad bin Abdullah bin Suwaid bin Manjuf, menceritakan pada kami Abu Daud Ath-Thayalisi, menceritakan pada kami Yazid bin Ibrahim At-Tusturi dari Abu Zubair dari Jabir berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tiadalah suatu kaum berkumpul kemudian mereka berpisah tanpa menyebut nama Allah dan (tanpa) bershalawat untuk Nabi kecuali mereka bangkit dari sesuatu yang lebih busuk dari bangkai”

 

Abu Abdullah Al-Magdisi mengatakan, “Hadits ini, menurutku, sesuai syarat Muslim.”

 

Ahmad bin Amru bin Ashim berkata,” “Menceritakan pada kami Ahmad bin Isham,” menceritakan pada kami Abu Ashim dari Musa bin Ubaidah dari Ibrahim bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. Janganlah kalian menjadikanku seperti mangkuk penunggang unta. Sesungguhnya penunggang unta memenuhi mangkuknya, apabila ia selesai dan telah menggantungkan barang-barang bawaannya, jika dalam mangkuk tersebut ada air ia minum sesuai kebutuhannya atau perlu wudhu ia wudhu, bila tidak ia menumpahkan (isi) mangkuk itu. Maka tempatkan aku di awal doa dan di tengahnya, namun jangan tempatkan aku dibelakangnya.” Redaksi dalam riwayat Abu Ashim.

 

Thabrani berkata, “Menceritakan pada kami Ishaq Ad-Dabari, memberitakan pada kami Abdurazaq dari Tsauri dari Musa bin Ubaidah dari Muhammad bin Ibrahim dari ayahnya dari Jabir, ia menyebutkan matan seperti di atas. Hanya saja dalam riwayat ini, Nabi bersabda:

 

  1. “Tempatkan aku di pertengahan doa, awal, dan di akhirnya.”

 

Hadits Abu Rafi, mantan budak Nabi

 

Thabrani berkata, “Menceritakan pada kami Nashr bin Abdulmalik As-Sinjari —di kota Sinjar tahun 278-, menceritakan pada kami Ma’mar bin Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi sahabat Nabi, ia berkata, menceritakan padaku ayahku Muhammad dari ayahnya Abdullah bin Abi Rafi’ dari Abu Rafi’ berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila telinga salah seorang kalian berdengung hendaknya ia menyebutku dan bershalawat untukku.”

 

Thabrani berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Abu Rafi’ kecuali dengan sanad ini. Ma’mar bin Muhammad meriwayatkannya seorang diri.”

 

Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,” “Menceritakan pada kami Abu Khathab Ziyad bin Yahya Al-Hasani, menceritakan pada kami Ma’mar bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ maula Rasulullah berkata, mengabariku ayahku Muhammad dari ayahnya Ubaidullah dari Abu Rafi berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila telinga salah seorang kalian berdengung, hendaknya ia menyebutku dan bershalawat untukku. Dan hendaknya ia mengucapkan, Semoga Allah menyebut orang yang membicarakanku dengan kebaikan.”

 

Hadits Abdullah bin Abi Aufa

 

Tirmidzi berkata dalam kitab Jami’-nya, (hadits no. 479), “Menceritakan padaku Ali bin Isa bin Yazid Al-Baghdadi, menceritakan padaku Abdullah bin Bakar As. Sahmi, dan menceritakan padaku (Tirmidzi) Abdullah bin Munir dari Abdullah bin Bakar dari Faid bin Abdurahman?” dari Abdullah bin Abi Aufa yang mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa memiliki keperluan pada Allah atau pada seorang manusia hendaknya ia wudhu dan hendaknya ia memperbagus wudhu. Kemudian shalat dua rakaat, kemudian menyanjung Allah dan bershalawat untuk Nabi. Selanjutnya, hendaknya ia mengucapkan, “Tiada Ilah selain Allah yang Maha Penyantun lagi Mahamulia. Mahasuci Allah Rabb Arsy yang besar. Segala puji, milik Allah Rabb alam semesta. Aku meminta pada-Mu akan pengundang: pengundang rahmat-Mu, mantera-mantera ampunan-Mu, keuntungan yang besar dari setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap keburukan. Jangan Engkau sisakan satu pun dosaku kecuali Engkau ampuni, tidak pula satu kesedihan kecuali Engkau longgarkan, dan tidak pula satu kebutuhan yang Engkau ridhai kecuali Engkau penuhi, wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.”

 

Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib, dalam sanadnya ada pembicaraan. Faid bin Abdurahman didha’ifkan dalam masalah hadits, Faid di sini adalah Abu Warqa?”

 

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Faid haditsnya ditinggal-kan” Yahya bin Ma’in berkata,”? “Faid rawi yang dha’if” Abu Hatim bin Hiban berkata,” “Ja termasuk di antara orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dari para rawi masyhur dan membawa riwayat-riwayat mu’dhal dari Ibnu Abi Aufa. Tidak boleh menjadikan haditsnya sebagai hujah.”

 

Hakim juga meriwayatkan hadits di atas dalam Al-Mustadrak, (I/320), ia berkata, “Aku meriwayatkannya sebagai syahid, Faid adalah rawi yang haditsnya lurus.” Demikian ia berkata!

 

Hadits Ruwaifi bin Tsabit aga

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu jamul Kabir (V/hadits no. 4480), “Menceritakan pada kami Abdulmalik bin Yahya bin Bukair Al-Mishri, menceritakan pada kami ayahku, menceritakan pada kami Ibnu Luhai’ah?? dari Bakar bin Sawadah dari Ziyad bin Nu’aim dari Wafa’ bin Syuraih Al-Hadhrami dari Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari, mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammag dan tempatkan beliau di tempat yang dekat di sisi-Mu pada Hari Kiamat, Ia wajib mendapat syafaatku.”

 

Ismail bin Ishaq meriwayatkannya dalam kitabnya, (hadits no. 53):

 

  1. Dari Yahya, “Menceritakanpada kami Zaid bin Hubab, mengabarkan padaku Ibnu Luhai’ah, menceritakan padaku Bakar bin Sawadah Al-Mu’afiri dari Ziyad bin Nu’aim Al-Hadhrami dari Ibnu Syuraih, menceritakan padaku Ruwaifi’ Al-Anshari….” Ia menyebutkan hadits seperti di atas.”

 

Hadits Abu Umamah

 

Thabrani berkata, (VIII/hadits no. 7751), “Bercerita pada kami Ibrahim bin Muhammad bin Irqin,?? menceritakan pada kami Sa’id bin Amru Al-Hadhrami, menceritakan pada kami Ismail bin Ayasy dari Yahya bin Harits dari Qasim dari Abu Umamah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tiadalah sekelompok orang duduk di satu majelis kemudian mereka bangkit darinya tanpa menyebut nama Allah dan tanpa bershalawat untuk Nabi, kecuali majelis tersebut menjadi penyesalan bagi mereka.”

 

Thabrani berkata dalam Al-Mujamul Kabtr, (VIll/hadits no. 7611), “Menceritakan pada kami Husain bin Muhammad bin Mus’ab Al-Asynani, menceritakan pada kami Muhammad bin Ubaid Al-Muharibi, menceritakan pada kami Musa bin Umair dari Makhul dari Abu Umamah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku (satu kali), Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karenanya, ada malaikat yang ditugaskan membawanya agar menyampaikannya padaku.”

 

Hadits Abdurahman bin Bisyr bin Mas’ud

 

Ismail bin Ishaq dalam kitabnya, (hadits no. 71), mengatakan, “Menceritakan ada kami Sulaiman bin Harb, menceritakan pada kami Hamad bin Zaid dari Ayub ri Muhammad dari Abdurahman bin Bisyr bin Mas’ud menuturkan, dikatakan pada Nabi, Wahai Rasulullah, Anda memerintahkan kami mengucapkan salam kepada Anda dan bershalawat untuk Anda. Kami telah mengetahui bagaimana kami mengucapkan salam pada Anda, lantas bagaimanakah kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Kalian ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim. Ya Allah, berkahilah keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi keluarga Ibrahim.”

 

  1. “Menceritakan pada kami Musadad, menceritakan pada kami Yazid bin Zurai, menceritakan pada kami Ibnu Aun dari Muhammad bin Sirin dari Abdurahman bin Bisyr bin Mas’ud…” Ia menyebutkan hadits seperti di atas,

 

Menceritakan pada kami? Nashr bin Ali, menceritakan pada kami Abdulala, menceritakan pada kami Hisyam dari Muhammad (bin Sirin) dari Abdurahman bin Bisyr bin Masud menuturkan, kami berkata -atau dikatakan- pada Nabi, “Kami diperintahkan bershalawat untuk Anda dan mengucapkan salam pada Anda. Terkait salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimanakah kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab:

 

  1. “Kalian mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim… Al-Gadhi Ismail menyebutkan permohonan berkah persis seperti ini. (Yakni, “Ya Allah limpahkan berkah pada Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada keluarga Ibrahim”).

 

Abdurahman bin Bisyr terhitung sahabat, sebagaimana disebutkan Ibnu Mandah. Namun ia menyebutnya, “(Abdurahman) bin Basyir” Sedang Ibnu Abdilbar mengatakan, “Abdurahman bin Basyir, dikatakan pula, Abdurahman bin Bisyr,” meriwayatkan dari Nabi tentang keutamaan Ali. Meriwayatkan darinya, Sya’bi. Meriwayatkan darinya pula Muhammad bin Sirin dari Nabi, mereka berkata, “Wahai Rasulullah kami telah mengetahui ucapan salam pada Anda…”

 

Hadits Abu Burdah bin Niyar.

 

Nasa’i berkata,” “Mengabarkan padaku Zakaria bin Yahya, menceritakan padaku Abu Kuraib,’ menceritakan pada kami Abu Usamah dari Sa’id bin Sa’id dari Sa’id bin Umair bin Uqbah  bin Niyar dari pamannya Abu Burdah bin Niyar berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa di antara umatku bershalawat untukku satu shalawat dengan ikhlas dari hatinya, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali, mengangkatnya sepuluh derajat lebih tinggi, dan menuliskan sepuluh kebaikan untuknya, serta menghapuskan sepuluh keburukan darinya lantaran satu shalawat tersebut”

 

Akan tetapi cacat dari hadits ini adalah Waki’ meriwayatkannya dari Sa’id bin Sa’id dari Sa’id bin Umari Al-Anshari dari ayahnya —ia seorang pejuang Badarberkata, Rasulullah bersabda, “Siapa di antara umatku bershalawat untukku…”

 

  1. Nasa’i berkata,” “Memberitakan pada kami Husain bin Huraits,” menceritakan pada kami Waki’.. dan seterusnya.”

 

Abu Usamah dan Waki’ berbeda dalam meriwayatkan hadits ini.

 

Al-Hafizh Abu Ouraisy Muhammad bin Jum’ah mengungkapkan,” “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah -yakni Ar-Raziterkait perbedaan kedua hadits ini. Ia menjawab, “Hadits Abu Usamah lebih benar.”

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu jamul Kabir (XXII/hadits no. 513):

 

  1. “Menceritakan pada kami Ubaid bin Ghanam, menceritakan pada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan pada kami Abu Usamah dari Sa’id bin Sa’id Abi Shabah, menceritakan pada kami Sa’id bin Umair bin Uqbah bin Niyar Al-Anshari dari pamannya Abu Burdah bin Niyar…” Ia menyebutkan hadits di atas.

 

Ibnu Abi Ashim meriwayatkannya dalam kitab Ash-Shalitu alan Nabi (hadits no. 42), “Dari Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Abu Usamah dari Sa’id bin Abi Sa’id… dan seterusnya.”

 

Hadits Amar bin Yasir.

 

Abu Syaikh Al-Ashbihani berkata,” “Memberitakan pada kami Ishaq bin Ahmad Al-Farisi, menceritakan pada kami Abu Kuraib,” menceritakan pada kami Oabishah dari Nuaim bin Dhamdham?” mengatakan, Imran bin Himyari berkata padaku: “Maukah aku ceritakan padamu (satu hadits) dari kekasihku Amar bin Yasir Aku menjawab, Ya. Imran berkata, Ta mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang Dia beri pendengaran semua makhluk. Ia berdiri di atas kuburku bila aku telah wafat. Tidaklah seseorang bershalawat untukku satu shalawat kecuali ia berkata, “Wahai Muhammad, fulan bin fulan bershalawat untukmu.” Beliau bersabda, “Lantas Rabb bershalawat untuk orang itu sepuluh kali untuk setiap satu shalawat.”

 

Thabrani berkata dalam Al-Mujamul Kabir,” “Menceritakan pada kami Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah menceritakan pada kami Abu Kuraib, menceritakan pada kami Oabishah bin Uqbah  dari Nu’aim bin Dhamdham dari Ibnu Himyari menuturkan, Amar bin Yasir berkata padaku, Wahai Ibnu Himyari, maukah aku ceritakan padamu dari kekasihku, nabi Allah Aku menjawab, Ya: Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Wahai Amar, sesungguhnya Allah memiliki satu malaikat yang Dia beri pendengaran semua makhluk. Ia berdiri di atas kuburku bila aku telah wafat hingga Hari Kiamat. Tak seorang pun dari umatku yang bershalawat untukku satu shalawat, kecuali ia menyebutkannya dengan namanya dan nama ayahnya. Ia berkata, “Wahai Muhammad, fulan bin fulan bershalawat untukmu demikian dan demikian! Lantas Rabb bershalawat untuk orang itu sepuluh kali untuk setiap satu shalawat.”

 

Menceritakan pada kami?” Ahmad bin Daud Al-Maki, menceritakan pada kami Abdurahman bin Shalih Al-Kufi, menceritakan pada kami Nu’aim bin Dhamdham dari seorang pamannya bernama Imran Al-Himyari mengatakan: Aku mendengar Amar bin Yasir mengatakan: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memiliki satu malaikat yang Dia beri pendengaran parg hamba. Tak seorang pun bershalawat untukku kecuali ia menyampaikannya padaku. Lantas aku meminta pada Rabbku, tidaklah seorang hamba bershalawat untukku kecuali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali lipatnya” Ruyani dalam Musnad-nya meriwayatkan hadits ini dari Abu Kuraib dari Qabishah dari Nuaim bin Dhamdham.

 

Hadits Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif

 

Syafi’i berkata dalam Musnad-nya,?”? “Mengabarkan padaku Mutharif bin Mazin dari Ma’mar dari Zuhri berkata, mengabarkan padaku Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif bahwa seseorang dari sahabat Rasulullah mengabarinya:

 

  1. “Menurut sunnah dalam shalat Jenazah adalah imam bertakbir, kemudian membaca Al-Fatihah dengan suara pelan setelah takbir pertama. Bershalawat untuk Nabi dan mengkhususkan doa untuk jenazah di takbir-takbir yang lain serta tidak membaca (Al-Quran) dalam takbir-takbir ini. Berikutnya salam dengan suara pelan.”

 

Ismail bin Ishaq berkata,?”? “Menceritakan pada kami Muhammad bin Mutsana, bercerita pada kami Abdula’la, bercerita pada kami Ma’mar dari Zuhri berkata: Aku mendengar Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif bercerita pada Sa’id bin Musayib, ia berkata:

 

  1. “Sesungguhnya sunnah dalam shalat Jenazah adalah membaca Al-Fatihah, bershalawat untuk Nabi, kemudian mengkhususkan doa untuk mayat hingga selesai, dan tidak membaca selain satu kali. Kemudian salam dengan suara pelan.”

 

Nasai meriwayatkan atsar ini dalam Sunan-nya, (IV/75). Ia berkata, “Ini sanad yang shahih. Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif bin Wahib Al-Anshari berasal dari Bani Amru bin Auf bin Malik. Namanya As’ad. Oleh Rasulullah ia diberi nama sama dengan nama kakeknya, ayah ibunya, yakni As’ad bin Zararah, dan memberinya kuniah sama dengan kuniahnya, mendoakan kebaikan untuknya, serta memohonkan berkah untuknya.”

 

Abu Umar” dan lainnya menggolongkannya di antara sahabat.?? Ibnu Abdilbar mengatakan, “Abu Umamah wafat tahun 100 dalam usia 90 sekian tahun-‘ Ia berkata “Laits bin Saad meriwayatkan dari Yunus dari Ibnu Syihab berkata, mengabarka, padaku Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif -ia termasuk orang yang bertemu dengan Nabi-.”

 

Namun hadits ini diperselisihkan. Mutharif bin Mazin mengatakan dari Ma’ma, dari Zuhri” dari Abu Umamah dari seorang sahabat Nabi, “Termasuk sunnah.. Sementara Abdulala mengatakan dari Ma’mar dari Zuhri dari Abu Umamah “Termasuk sunah…” Syafi’i meriwayatkan keduanya.

 

Namun ini bukan cacat yang fatal, sebab kemajhulan seorang sahabat tidak membahayakan (karena semua sahabat tsigah).

 

Tentang ucapan seorang sahabat, termasuk sunnah, masih diperdebatkan status hukumnya. Ada yang berpendapat, ucapan ini dihukumi marfu’ pada Nabi. Ada pula yang berpendapat, ucapan ini tidak divonis marfu. Yang benar adalah perly diperinci, sebagaimana telah diuraikan di selain tempat ini.

 

Hadits Jabir bin Samurah

 

Dagigi berkata, “Menceritakan pada kami Ismail bin Aban Al-Warag Al-Kuf, menceritakan padaku Oais bin Rabi’ dari Simak bin Harb dari Jabir bin Samurah, ia menuturkan:

 

  1. Nabi menaiki mimbar lalu mengucapkan, “Amin. Amin.” Lantas ditanyakan, “Wahai Rasulullah, Anda belum pernah melakukan hal ini. Beliau menjawab, Jibril berkata padaku…” Ia menyebutkan kelanjutan hadits ini. Di dalamnya disebutkan, “..wahai Muhammad, siapa yang engkau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu, lalu ia mati dan masuk neraka, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Ucapkan, Amin. Aku pun mengucapkan, Amin.”

 

Oais bin Rabi hafalannya buruk. Syu’bah menyanjungnya.’ Abu Hatim berkata,” “Tempatnya adalah kejujuran, namun ia bukan rawi yang hafalannya kuat.” Ibnu Adiy berkata, “Mayoritas riwayatnya lurus.”

 

Substansi hadits ini telah diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah, hadits Ka’ab bin Ujrah, hadits Ibnu Abbas, hadits Anas, hadits Malik bin Huwairits, hadits Abdullah bin Harits bin Jazin Az-Zubaidi, dan hadits Jabir bin Samurah,

 

Hadits Abu Hurairah, Jabir bin Samurah, Ka’ab bin Ujrah, dan Anas bin Malik sudah dibawakan.

 

Hadits Malik bin Huwairits

 

Abu Hatim Al-Bisti berkata dalam Shahih-nya (II/hadits no. 409), “Menceritakan pada kami Abdullah bin Shalih Al-Bukhari di Baghdad, menceritakan pada kami Hasar bin Ali Al-Hulwani, menceritakan pada kami Imran bin Aban, menceritakan pada kami Malik bin Hasan bin Malik bin Huwairits dari kakeknya, ia menuturkan:

 

  1. Nabi tg naik mimbar. Ketika naik di anak tangga pertama, beliau mengucapkan, “Amin.” Kemudian naik ke anak tangga kedua, lalu mengucapkan, “Amin. Selanjutnya menaiki anak tangga ke tiga, lalu mengucapkan, “Amin” Kemudian beliau bersabda, “Jibril mendatangiku dan ia berkata, “Wahai Muhammad, siapa mendapati Ramadhan lalu ia tidak diberi ampunan, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya)” Aku pun mengucapkan, “Amin.” “Siapa mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya lalu ia masuk neraka, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya)” Aku mengu-capkan, “Amin” Ia berkata lagi, “Dan siapa yang engkau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Ucapkan, amin.” Aku pun mengucapkan, “Amin”

 

Hadits Abdullah bin Jaz’in Az-Zubaidi

 

Jafar Al-Firyabi mengatakan, “Menceritakan pada kami Abdullah bin Yusuf, bercerita pada kami Ibnu Luhai’ah” dari Abdullah bin Yazid Al-Hadhrami dari Maslamah bin Yazid Ash-Shadafi dari Abdullah bin Harits bin Jazin Az-Zubaidi

 

  1. Rasulullah masuk masjid, lalu naik mimbar. Ketika beliau naik di anak tangga pertama beliau mengucapkan, “Amin.” Kemudian beliau naik anak tangga kedua, lalu mengucapkan, “Amin.” Berikutnya naik anak tangga ke tiga, lalu mengucapkan, “Amin.” Manakala beliau telah turun, ditanyakan ‘pada beliau, “Kami melihat Anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Jibril menampakkan diri padaku di tangga pertama lalu berkata, “Wahai Muhammad, siapa mendapati salah satu dari kedua orang tuanya lalu keduanya tidak bisa menyebabkannya masuk surga, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya), kemudian, menjauhkannya lagi’ Lantas aku mengatakan, Amin” Kemudian di tangga kedua ia mengucapkan, Siapa mendapati bulan Ramadhan, lalu ia tidak diberi ampun, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya), kemudia, Allah menjauhkannya lagi. Aku mengatakan, Amin! Lalu ia berkata di tangga ketiga, Dan siapa yang engkau disebut di hadapannya, lalu ia tidak bershalawat untukmu, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya) kemudian menjauhkannya lagi’ Aku mengatakan, Amin.”

 

Hadits Ibnu Abbas

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu’jam (XI/hadits no. 11115), “Menceritakan Pada kami Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami, menceritakan pada kami Laits bin Harun Al-Ukli, menceritakan pada kami Muhammad bin Fudhail dari Yazid bin Abi Zinad dari Mujahid dari Ibnu Abbas menuturkan:

 

  1. Manakala Nabi berada di atas mimbar, tiba-tiba beliau mengucapkan, “Amin. Tiga kali. Hal itu pun ditanyakan pada beliau. Beliau menjawab, Jibril datang padaku lalu berkata, Siapa yang engkau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmatNya). Ucapkan, amin’ Aku pun mengucapkan, Amin. Ia berkata lagi, Dan siapa mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya lalu ia mati dan tidak diberi ampunan, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmatNya). Ucapkan, amin. Aku mengucapkan, Amin. Dan siapa menemui bulan Ramadhan lalu ia tidak diberi ampunan, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Ucapkan, amin. Lantas aku pun mengucapkan, Amin.”

 

Di antara hadits Ibnu Abbas dalam masalah shalawat adalah hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Hasan Al-Hasyimi,”? “Menceritakan padaku Sulaiman bin Rabi, menceritakan pada kami Kadih bin Rahmah, menceritakan pada kami Nahsyal bin Said dari Dhahak dari Ibnu Abbas ws mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku dalam satu kitab maka shalawat itu terus mengalirkan (pahala) untuknya, selagi namaku masih tertera dalam kitab itu.”

 

Kadih dan Nahsyal di sini bukan rawi tsigah, keduanya dituding suka berdusta.“ Tetapi terkait substansi matan ini tidak diriwayatkan selain oleh hadits ini.

 

Ada hadits lain (yang semakna) dari riwayat Ibnu Jarud:

 

  1. “Menceritakan pada kami Muhammad bin Ashim, menceritakan pada kami Bisyr bin Ubaid, menceritakan pada kami Muhammad bin Abdurahman dari Abdurahman bin Abdullah dari Araj dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah bersabda….” Ia menyebutkan seperti matan di atas.”

 

Hadits ini telah diriwayatkan secara mauquf bersumber dari ucapan Ja’far bin Muhammad, ini lebih tepat. Diriwayatkan Muhammad bin Himyar dari Jafar bir Muhammad berkata:

 

  1. “Siapa bershalawat untuk Rasulullah dalam satu kitab, para malaikat bershalawat untuknya di pagi dan sore hari, selagi nama Rasulullah masih ada dalam kitab tersebut.”

 

  1. Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzbari berkata,” aku mendengar Shalih bin Abdullah bin Shalih mengucapkan, “Sebagian ulama hadits dilihat dalam mimpi, lantas ditanyakan padanya, Apa yang Allah lakukan padamu? Ia menjawab, Dia mengampuniku. Ditanyakan lagi, Dengan sebab apa?’ Ia menjawab, Lantaran shalawatku untuk Nabi di dalam kitab-kitabku.”

 

Di antara hadits Ibnu Mas’ud dalam masalah shalawat juga apa yang diriwayatkan Thabrani dalam Mu’jam-nya, (XII/hadits no. 12819), “Dari Abdan bin Ahmad telah bercerita pada kami Jubarah bin Mughalas, bercerita pada kami Hamad bin Zaid dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa lupa bershalawat untukku, ia keliru meniti jalan surga.”

 

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah meriwayatkan hadits dalam Sunan-nya, (hadits no. 908), “Dari Jubarah bin Mughalas.” Jubarah ini termasuk orang yang bila suatu hadits yang dipalsukan disodorkan padanya, ia menceritakannya tanpa menyadari kepalsuan hadits tersebut.

 

Namun makna hadits ini telah diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah, Husain bin Ali, Muhammad bin Hanafiah, dan Ibnu Abbas. Tentang hadits Husain bin Ali dan Ibnu Abbas”! telah dibawakan.

 

Hadits Muhammad bin Hanafiah

 

Mengenai hadits Muhammad bin Hanafiah, dalam kitab Ash-Shalatu alan Nabi (hadits no. 83), Ibnu Abi Ashim berkata, “Menceritakan pada kami Abu Bakar bercerita pada kami Hafsh bin Ghiyats dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Barang siapa aku disebut di hadapannya lalu ia lupa tidak bershalawat untukku, berarti ia telah keliru meniti jalan surga.”

 

Sedang hadits Abu Hurairah,

 

Abdulkhaliq bin Hasan As-Saqathi berkata, “Menceritakan pada kami Muhammad bin Sulaiman bin Harits, menceritakan pada kami Umar bin Hafsh bin Ghiyats, bercerita padaku ayahku dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa lupa bershalawat untukku, ia keliru meniti jalan surga.” Hadits Abu Dzar 2

 

Ismail bin Ishaq dalam kitab Ash-Shalitu alan Nabi (hadits no. 37), mengatakan, “Bercerita pada kami Hajaj bin Minhal, bercerita pada kami Hamad bin salamah” dari Mabad bin Hilal Al-Anazi berkata, bercerita padaku seseorang dari penduduk Damaskus dari Auf bin Malik dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya manusia paling bakhil adalah orang yang aku disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukku.

 

Ibnu Abi Ashim berkata dalam kitab Ash-Sholatu alan Nabi (hadits no. 29), “Bercerita pada kami Amru bin Utsman, menceritakan pada kami Muhammad bin Syu’aib bin Syabur dari Utsman bin Abi Atikah dari Ali bin Yazid dari Qasim dari Abu Umamah dari Abu Dzar ag menuturkan, “Suatu hari aku keluar, lantas aku mendatangi Rasulullah. Beliau bersabda:

 

  1. “Maukah aku beritahukan pada kalian tentang manusia paling bakhil?” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yakni, orang yang aku disebut di hadapannya, lalu ia tidak bershalawat untukku. Itulah manusia paling bakhil”

 

Hadits ini tergolong riwayat seorang sahabat Nabi dari sesama sahabat Nabi

 

Substansi pengertian hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi melalui hadit, Ali bin Abi Thalib dan putranya keduanya telah disebutkan di muka.

 

Hadits Watsilah bin Asqa’

 

Ibnu Mani berkata dalam Musnad-nya, “Menceritakan pada kami Yusuf bin Athiyah Ash-Shafar dari Ala bin Katsir dari Makhul dari Watsilah bin Asqa’ berkata Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sekelompok orang mana pun yang duduk di satu majelis kemudian mereka berpisah sebelum menyebut nama Allah dan bershalawat untuk Nabi majelis tersebut menjadi penyesalan mereka di Hari Kiamat.”

 

Substansi makna hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi oleh Abu Sa’id AlKhudri dan Abu Hurairah.

 

Hadits Abu Bakar Ash-Shidiq

 

Ibnu Syahin berkata,“ “Bercerita pada kami Abdullah bin Sulaiman bin Asyats, percerita pada kami Ali bin Hasan Al-Mukatib, menceritakan pada kami Ismail bin Yahya bin Ubaidillah At-Taimi, menceritakan pada kami Fithr bin Khalifah dari Abu ghufail dari Abu Bakar Ash-Shidiq mengatakan, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku, aku menjadi pemberi syafaatnya di Hari Kiamat”

 

Ibnu Abi Daud juga berkata, “Bercerita pada kami Ali bin Hasan, bercerita pada kami Ismail bin Yahya, bercerita pada kami Fithr bin Khalifah dari Abu Thufail dari Abu Bakar Ash-Shidiq berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda pada saat haji Wada’:

 

 

  1. “Sesungguhnya Allah telah memberikan (baca: mengampuni) dosa-dosa kalian ketika kalian memohon ampun. Siapa memohon ampun dengan niat tulus ia pasti diberi ampun, siapa mengucapkan la Ilaha illallah timbangan amal baiknya lebih berat, dan siapa bershalawat untukku aku menjadi pemberi syafaatnya di Hari Kiamat.”

 

Hadits Aisyah

 

Ibrahim bin Rasyid bin Muslim mengatakan, “Bercerita pada kami Umar bir Hubaib Al-Oadhi, menceritakan pada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tak seorang hamba pun bershalawat untukku satu kali shalawat kecuali satu malaikat membawanya naik hingga menghadapkannya di hadapan wajah Ar-Rahman. Lalu Rabb kita -yang Mahasuci lagi Mahatinggi berfirman, Bawalah shalawat itu ke kubur hamba-Ku, ia (shalawat) akan memintakan ampun untuk pemiliknya dan membuatnya bahagia.”

 

Abu Nu’aim berkata,? “Mengabarkan pada kami Abdullah bin Ja’far, menga| barkan pada kami Ismail bin Abdullah, bercerita pada kami Abdurahman bin Hani, menceritakan pada kami Abu Malik -yakni Abdulmalik bin Husain dari Ashim bin Ubaidillah dari Qasim bin Muhammad dari Aisyah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu shalawat, para malaikat bershalawat untuknya selagi ia bershalawat untukku. Maka silakan seorang hamba mau memperbanyak atau menyedikitkannya.”

 

Hadits Abdullah bin Amru

 

Abu Daud dalam Sunan-nya, (hadits no. 523), mengatakan, “Bercerita pada kami Muhammad -yakni Ibnu Salamah-, menceritakan pada kami Ibnu Wahb dari Ibnu Luhai’ah, Haiwah, dan Sa’id bin Abi Ayub, dari Kaab bin Alqamah, dari Abdurahman bin Jubair dari Abdullah bin Amru bin Ash, ia mendengar Nabi bersabda:

 

  1. “Apabila kalian mendengar muadzin, ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya kemudian bershalawatlah untukku, sebab siapa bershalawat untukku satu kali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karena satu shalawatnya itu. Kemudian mintakanlah wasilah untukku, sebab wasilah adalah satu kedudukan di surga yang tidak layak dimiliki selain seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap akulah hamba tersebut. Siapa memohonkan wasilah pada Allah (untukku) syafaat halal untuknya.”

 

Muslim meriwayatkannya, (hadits no. 384), dari Muhammad bin Salamah.

 

Abdullah bin Amru mempunyai hadits lain dalam masalah shalawat yang mauquf, disebutkan Abdullah bin Ahmad. “Menceritakan pada kami ayahku, bercerita pada kami Yahya bin Ishaq,” bercerita pada kami Ibnu Luhaiah dari Abdullah bin Hubairah dari Abdullah -dalam satu naskah tertulis, Abdurahman bin Muraih Al-Khaulani berkata: Aku mendengar Abu Oais maula Amru bin Ash mengatakan, aku mendengar Abdullah bin Amru berkata:

 

  1. “Siapa bershalawat untuk Rasulullah satu shalawat, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuknya 70 kali. Maka terserah ia menyedikitkan atau memperbanyaknya.”

 

Demikian diriwayatkan Ahmad secara mauquf sebagaimana disebutkan Abu Nuaim dari Ahmad bin Ja’far dari Abdullah dari ayahnya.

 

Abdullah bin Amru masih memiliki hadits lain tentang shalawat yang juga mauquf, diriwayatkan Al-Hafizh Abu Musa Al-Madini dari hadits Muhammad bin Abi Awam dari ayahnya, menceritakan pada kami Ibrahim bin Sulaiman -yakni Abu Ismail Al-Muadibdari Sa’id bin Ma’ruf dari Amru bin Oais atau Ibnu Abi Oasi dari Abu Jauza dari Abdullah bin Amru mengatakan:

 

  1. “Siapa memiliki kebutuhan pada Allah hendaknya ia puasa di hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Bila hari Jumat tiba, ia bersuci dan pergi ke masjid. Lalu bersedekah -sedikit atau banyak-. Bila selesai shalat Jumat ia mengatakan, Ya Allah, aku memohon pada-Mu dengan nama-Mu, dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang tiada Ilah selain Dia, Mahahidup lagi selalu mengurusi makhluk, tidak mengantuk dan tidak tidur, yang keagungan-Nya memenuhi langit dan bumi, yang semua wajah tunduk pada-Nya, suara-suara”? merendah pada-Nya, hati-hati gemeta, karena takut pada-Nya, bahwasanya engkau melimpahkan shalawat untuk Muhammad dan memberiku akan kebutuhanku, yakni demikian… dan demikian…” -Insya Allah- permohonannya dikabulkan.” Ia berkata bahwa, Abdullah bin Amru mengatakan, “Jangan kalian ajarkan doa ini pada orang, orang bodoh kalian agar mereka tidak menggunakannya untuk berdoa dalam, masalah dosa dan memutus hubungan kekeluargaan.”

 

Hadits Abu Darda’

 

Thabrani berkata dalam Al-Mujamul Kabir” “Menceritakan pada kami Muhammadbin Ali bin Hubaib Ath-Tharaifi Ar-Ragi, bercerita pada kami Muhammad bin Ali bin Maimun, bercerita pada kami Sulaiman bin Abdullah Ar-Ragi, bercerita pada kami Bagiyah bin Walid dari Ibrahim bin Muhammad bin Ziyad mengatakan: Aku mendengar Khalid bin Madan menceritakan dari Abu Darda mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku sepuluh kali ketika di pagi hari atau sepuluh kali ketika di sore hari, ia mendapatkan syafaatku.”

 

Thabrani berkata, “Bercerita pada kami Yahya bin Ayub Al-Alaf, bercerita pada kami Sa’id bin Abi Maryam, bercerita pada kami Yahya bin Ayub dari Khalid bin yazid, dari Sa’id bin Abi Hilal dari Abu Darda’ mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat, sebab itu adalah hari yang disaksikan. Para malaikat menyaksikannya. Tidak seorang hamba pun bershalawat untukku kecuali suaranya sampai padaku di mana pun ia berada.” Kami bertanya, “Dan setelah Anda wafat?” Beliau menjawab, “Dan setelah wafatku. Sesungguhnya Allah mengharamkan tanah memakan jasad para nabi.

 

Hadits Sa’id bin Umair Al-Anshari dari ayahnya Umair Al-Badri

 

Abdulbaqi bin Qani’ mengatakan,” “Menceritakan pada kami Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Shalih bin Syaikh bin Umairah berkata, bercerita padaku Muhammad bin Hisyam, bercerita pada kami Muhammad bin Rabiah Al-Kilabi dari Abu Shabah At-Taghlibi, bercerita pada kami Sa’id bin Umair dari ayahnya mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku dengan tulus dari dalam jiwanya, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali, mengangkatnya sepuluh derajat (lebih tinggi), dan menuliskan untuknya sepuluh kebaikan serta menghapuskan darinya sepuluh keburukan.”

 

Hadits Mursal dan Mauquf Seputar Shalawat Untuk Nabi

 

Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ismail dalam kitabnya, (hadits no. 27), “Bercerita pada kami Abdurahman bin Waqid Al-Athar, bercerita pada kami Husyaim, bercerita pada kami Hishin bin Abdurahman dari Yazid Ar-Raqasyi mengatakan:

 

  1. “Sesungguhnya ada satu malaikat yang ditugaskan di hari Jumat. Barang siapa bershalawat untuk Nabi malaikat itu menyampaikannya pada Nabi, ia berkata, Sesungguhnya si fulan dari umatmu mengucapkan shalawat untukmu.” Hadits ini mauquf.

 

Ismail berkata, (hadits no. 28), “Menceritakan pada kami Muslim menceritakan pada kami Mubarak dari Hasan dari Nabi bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat”?

 

Ibrahim bin Hajaj berkata, “Menceritakan pada kami Wuhaib dari Ayub berkata:

 

  1. “Sampai padaku -wallahu a’lam bahwa ada satu malaikat yang ditugaskan di setiap orang yang bershalawat untuk Nabi sampai ia menyampaikan shalawat tersebut pada Nabi”

 

Bercerita pada kami Ibrahim bin Hamzah, bercerita pada kami Abdulaziz bin Muhammad bin Suhail mengatakan, aku datang mengucapkan salam pada Nabi sementara Hasan bin Hasan makan malam di salah satu rumah Nabi. Lalu ja memanggilku. Aku pun datang. Ia berkata, “Mendekatlah dan makan malamlah.” Aku menjawab, “Aku tidak menginginkannya” Ia bertanya padaku, “Mengapa aku melihatmu berdiri?” Ia (Abdulaziz) menjawab, “Aku berdiri untuk mengucapkan salam pada Nabi” Ia berkata, “Apabila engkau masuk masjid ucapkanlah salam pada beliau” Kemudian ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda:

 

  1. “Shalatlah di rumah-rumah kalian dan jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Allah melaknat orang-orang Yahudi (karena) mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Dan bershalawatlah padaku, karena shalawat kalian sampai padaku di mana pun kalian berada.”

 

Menceritakan pada kami Sulaiman bin Harb, menceritakan pada kami Jarir bin Hazim mengatakan: Aku mendengar Hasan mengatakan, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Cukuplah seseorang dianggap bakhil, ketika aku disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukku,

 

Bercerita pada kami Salm bin Sulaiman Adh-Dhabi, bercerita pada kami Abu Hurah dari Hasan mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Cukuplah dianggap kikir, apabila sekelompok orang menyebutku lalu mereka tidak bershalawat untukku”

 

Bercerita pada kami Arim, bercerita pada kami Jarir bin Hazim dari Hasan, ia memarfukkan hadits ini:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat”

 

Bercerita pada kami Ismail bin Abi Uwais, bercerita pada kami Sulaiman bin Bilal dari Ja’far dari ayahnya, ia memarfukkan hadits ini pada Nabi

 

  1. “Barang siapa lupa bershalawat untukku, ia keliru meniti jalan surga.“

 

  1. “Menceritakan pada kami Ali bin Abdullah, menceritakan pada kami Sufyan yang mengatakan, Amru berkata dari Muhammad bin Ali bin Husain, Rasulullah bersabda, Siapa lupa bershalawat untukku, ia keliru meniti jalan surga.”

 

Sufyan berkata, seseorang selain Amru mengatakan, aku mendengar Muhammad bin Ali berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa yang aku disebut di hadapannya, lalu ia tidak bershalawat untukku ia keliru meniti jalan surga.

 

Kemudian Sufyan mengungkapkan nama seseorang itu, ia berkata, “Ia adalah Basam, yakni Shairafi

 

Telah bercerita pada kami Sulaiman bin Harb dan Arim, keduanya berkata, menceritakan pada kami Hamad bin Zaid dari Amru dari Muhammad bin Ali, ia memarfukkan hadits ini:

 

  1. “Siapa lupa bershalawat untukku, ia salah meniti jalan surga”

 

Bercerita pada kami Ibrahim bin Hajaj, bercerita pada kami Wuhaib dari Ja’far dari ayahnya bahwa Nabi bersabda:

 

  1. “Siapa yang aku disebut di hadapannya, lalu ia tidak bershalawat untukku sungguh ia telah keliru meniti jalan surga.”

 

Bercerita pada kami Muhammad bin Abu Bakar, bercerita pada kami Umar bin Ali dari Abu Bakar Al-Jusyami dari Shafwan bin Sulaim dari Ubaidullah bin Umar menuturkan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku atau memintakan wasilah pada Allah untukku, syafaatku di Hari Kiamat halal baginya.”

 

Menceritakan pada kami Sulaiman bin Harb, bercerita pada kami Hamad bin Salamah, bercerita pada kami Sa’id Al-Juzairi dari Yazid bin Abdullah bahwa mereka suka mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad nabi yang ummi, semoga keselamatan tercurah pada beliau.”

 

Bercerita pada kami Ashim bin Ali, bercerita pada kami Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Aswad dari Abdullah, ia mengatakan:

 

  1. “Apabila kalian bershalawat untuk Nabi perbaguslah shalawat untuk beliau, sebab kalian tidak tahu barangkali hal itu dihadapkan pada beliau.” Mereka berkata, “Ajarilah kami” Ia berkata, “Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkan shalawat-shalawat, rahmat, dan bekah-berkah-Mu pada penghulu para rasul, pemimpin orang-orang bertakwa dan penutup para nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu, pemimpin kebaikan, komandan kebaikan, dan rasuj (pembawa) rahmat. Ya Allah, bangkitkan beliau di tempat terpuji yang diinginkan orang-orang generasi pertama dan akhir. Ya Allah, curahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Bercerita pada kami Yahya Al-Himani, bercerita pada kami Husyaim, bercerita pada kami Abu Balaj, bercerita pada kami Yunus maula Bani Hasyim menuturkan: Aku berkata pada Abdullah bin Amru atau Ibnu Umar, “Bagaimanakah cara bershalawat untuk Nabi” Ia menjawab:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat, berkah, dan rahmat-Mu pada penghulu para rasul, pemimpin orang-orang bertakwa, penutup para nabi, Muhammad, hamba sekaligus rasul-Mu, pemuka dan komandan kebaikan. Ya Allah, bangkitkan beliau di Hari Kiamat di tempat terpuji yang diidamkan generasi awal dan akhir, serta curahkanlah shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim.

 

Mengabarkan pada kami Mahmud bin Khidasy, mengabarkan pada kami Jarir dari Mughirah dari Abu Ma’yar dari Ibrahim mengatakan:

 

  1. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami mengetahui ucapan salam pada Anda, lantas bagaimanakah shalawat untuk Anda?” Beliau menjawab, “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, hamba sekaligus rasul-Mu, dan untuk keluarga beliau sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Bercerita pada kami Sulaiman bin Harb, bercerita pada kami Sari bin Yahya, aku mendengar Hasan berkata:

 

  1. Ketika turun ayat, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ucapan salam ini kami telah mengetahuinya, namun bagaimanakah ucapan shalawat yang Anda perintahkan pada kami?” Beliau menjawab, “Kalian mengucapkan, Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu dan berkah-Mu untuk keluarga Muhammad seperti Engkau telah melimpahkannya untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Menceritakan pada kami Sulaiman bin Harb, menceritakan pada kami Amru bin Musafir, bercerita padaku seorang syaikh dari keluargaku, aku mendengar Sa’id bin Musayib berkata:

 

  1. “Tiadalah satu doa yang tidak didahului shalawat untuk Nabi sebelumnya, kecuali doa itu terkatung-katung di antara langit dan bumi?”

 

Dalam (Sunan) Tirmidzi (hadits no. 486) “Dari Nadhr bin Syumail dari Abu Ourah Al-Asadi dari Sa’id bin Musayib, dari Umar mengatakan:

 

  1. “Sesungguhnya doa itu terhenti di antara langit dan bumi, tidak sesuatu pun darinya naik (pada Allah), sebelum engkau bershalawat untuk Nabimu”

 

Hadits ini juga telah diriwayatkan secara marfu’ Namun riwayat mauqufnya lebih shahih.

 

Abdulkarim bin Abdurahman Al-Khazaz meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari Harits bin Ali bahwa ia mengatakan:

 

  1. “Tidak satu pun doa kecuali ada tirai penghalang antaranya dengan langit sebelum dibacakan shalawat untuk Nabi. Bila telah dibacakan shalawat untuk Nabi maka tirai penghalang itu robek dan doa itu pasti diijabahi.

 

Namun bila tidak dibacakan shalawat untuk Nabi doa itu tidak diijabahi” Inilah yang benar, yakni riwayat yang mauquf. Riwayat ini telah dimarfu kan Salam Al-Khazaz dan Abdulkarim bin Malik Al-Khazaz dari Abu Ishaq dari Harits.

 

Al-Oadhi Ismail berkata, “Telah bercerita pada kami Muhammad bin Mutsana, bercerita pada kami Mu’adz bin Hisyam, bercerita padaku ayahku dari Oatadah dari Abdullah bin Harits:

 

  1. “Abu Halimah, yakni Muadz, bershalawat untuk Nabi dalam doa gunut,”

 

Telah menceritakan pada kami Mu’adz bin Asad, bercerita pada kami Abdullah ‘ bin Mubarak, memberitakan pada kami Ibnu Luhaiah, bercerita pada kami Khalid bin Yazid dari Sa’id bin Abi Hilal dari Nubayah bin Wahb bahwa Ka’ab menemui Aisyah. Lantas orang-orang menyebut Rasulullah, Ka’ab pun berkata:

 

  1. “Tidak satu fajar pun terbit kecuali 70.000 malaikat turun hingga mereka mengelilingi kuburan (Rasulullah). Mereka meliputi kuburan tersebut dengan sayap-sayap mereka dan bershalawat untuk Nabi. Hingga apabila sore tiba mereka naik. Dan turunlah 70.000 malaikat lain hingga mereka mengelilingi kubur dan meliputinya dengan sayap-sayap mereka, lalu mereka bershalawat untuk Nabi &£ -semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam pada beliau-. Tujuh puluh ribu malaikat di malam hari dan tujuh puluh ribu malaikat di siang hari. Hingga apabila bumi nanti terbuka untuk beliau (di Hari Kiamat), beliau keluar diiringi 70.000 malaikat.”

 

Menceritakan pada kami Muslim bin Ibrahim, menceritakan pada kami Hisyam Ad-Dastawai, menceritakan pada kami Hamad bin Abu Sulaiman dari Ibrahim dari Alqamah bahwa suatu hari sebelum hari raya Ibnu Mas’ud, Abu Musa, dan Hudzaifah ditemui Walid bin Uqbah. Ia berkata pada mereka:

 

  1. “Hari Raya telah dekat, bagaimanakah cara bertakbir di saat itu?” Abdullah menjawab, “Engkau mulai dengan bertakbir satu kali untuk mengawali shalat, lalu engkau memuji Rabbmu dan bershalawat untuk Nabi Muhammad.

 

Kemudian engkau berdoa dan bertakbir (kedua) lalu melakukan hal itu selanjutnya membaca. Kemudian bertakbir (ketiga) dan melakukan yang seperti itu. Kemudian bertakbir (keempat) dan melakukan yang seperti itu, selanjutnya engkau membaca. Kemudian engkau bertakbir dan rukuk, Kemudian engkau berdiri lalu membaca, lalu rukuk dan memuji Rabbmu serta bershalawat untuk Nabi Muhammad. Kemudian engkau berdoa, bertakbir dan melakukan yang seperti itu. Kemudian bertakbir dan melakukan yang seperti itu. Kemudian bertakbir dan melakukan yang seperti itu, selanjutnya rukuk.” Lantas Hudzaifah dan Abu Musa berkata, “Abu Abdurahman benar”

 

Bercerita pada kami Sulaiman bin Harb, bercerita pada kami Hamad bin Salamah dari Abdullah bin Abu Bakar mengatakan:

 

  1. “Kami berada di Khaif,” bersama kami Abdullah bin Abi Utbah. Ia memuji Allah dan menyanjung-Nya, bershalawat untuk Nabi serta mengucapkan beberapa doa. Kemudian ia berdiri lalu memimpin kami shalat.”

 

Bercerita pada kami Ya’gub bin Humaid bin Kasib, bercerita pada kami Abdullah bin Abdullah Al-Umawi dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah berkata: Aku mendengar Qasim bin Muhammad mengatakan:

 

  1. “Dahulu, apabila seseorang telah selesai dari talbiyah ia dianjurkan mengucapkan shalawat untuk Nabi”

 

Menceritakan pada kami Yahya bin Abdilhamid, menceritakan pada kami Saif bin Umar At-Tamimi dari Sulaiman Al-Absi dari Ali bin Husain mengatakan: Ali bin Abi Thalib berkata:

 

  1. “Apabila kalian melewati masjid bershalawatlah untuk Nabi”

 

Bercerita pada kami Sulaiman bin Harb, bercerita pada kami Syu’bah dari Abu Ishaq mengatakan, aku mendengar Sa’id bin Dzi Hudan menuturkan:

 

  1. Aku berkata pada Algamah, “Apa yang aku ucapkan bila masuk masjid?” Ia menjawab, “Engkau mengucapkan, Semoga Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Muhammad. Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpah padamu wahai Nabi.”

 

Bercerita pada kami Arim bin Fadhl, bercerita pada kami Abdullah bin Mubarak, bercerita pada kami Zakaria dari Sya’bi dari Wahb bin Ajda berkata: Aku mendengar Umar bin Khathab berkata:

 

  1. “Apabila kalian tiba di Kakbah, berthawaflah di Baitullah tujuh putaran, lalu shalatlah di Maqam (Ibrahim) dua rakaat, kemudian pergilah menuju Shafa, Berdirilah di atas bukit Shafa pada posisi kalian bisa melihat Baitullah, laly bertakbirlah tujuh kali, yang di antara dua takbir diisi dengan pujian dan sanjungan pada Allah, shalawat untuk Nabi, serta permohonan untuk dirimu. Di atas bukit Marwah (lakukan) seperti itu juga”!

 

Bercerita pada kami Abdurahman bin Wagid Al-Athar, bercerita pada kami Husyaim, mengabari kami Awam bin Hausyab, bercerita pada kami seseorang dari Bani Asad dari Abdurahman bin Amru yang berkata:

 

  1. “Barangsiapa bershalawat untuk Nabi, Allah menulis untuknya sepuluh kebaikan, menghapus darinya sepuluh keburukan, dan mengangkatnya sepuluh derajat lebih tinggi.”

 

Bercerita pada kami Ali bin Abdullah, bercerita pada kami Sufyan dari Ya’gub bin Zaid bin Thalhah At-Taimi berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Seorang utusan dari Rabbku mendatangiku, lalu ia berkata, “Tidak satu pun hamba bershalawat untukmu kecuali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karena shalawat itu.” Lantas seseorang berdiri menghadap beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, perlukah aku sisihkan separoh doaku untuk Anda?” Beliau bersabda, Jika engkau mau lebih perbanyaklah?” Ia berkata, “Perlukah aku sisihan dua pertiga doaku untuk Anda?” Beliau bersabda, Jika engkau mau. Ia berkata, “Aku jadikan doaku semuanya untuk Anda.” Beliau bersabda, “Bila begitu, Allah akan menghilangkan kesedihan dunia dan akhiratmu.” Lantas seorang Syaikh yang ada di Mekah, namanya Mani, bertanya pada Sufyan, “Pada siapa ia (Yagub bin Zaid) menyandarkan hadits ini?” Sufyan menjawab, “Aku tidak tahu?”

 

Menceritakan pada kami Abdurahman bin Wagid Al-Athar, bercerita pada kami Husyaim, bercerita pada kami Hushain bin Abdurahman dari Yazid Ar-Ragasyi mengatakan:

 

  1. “Sesungguhnya ada malaikat yang ditugaskan di setiap hari Jumat pada orang yang bershalawat untuk Nabi untuk menyampaikan (shalawat itu) pada Nabi, ia mengatakan, Si fulan dari umatmu bershalawat untukmu.”

 

Ali bin Madini mengatakan, “Menceritakan pada kami Sufyan, menceritakan padaku Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya berkata, aku mendengar Ibnu Abbas mengatakan:

 

  1. “Ya Allah, terimalah syafaat Muhammad yang paling besar, angkatlah derajat beliau yang paling tinggi, dan berilah permintaan beliau baik di akhirat maupun di dunia, sebagaimana Engkau memberi Ibrahim dan Musa”

 

Ismail berkata, “Bercerita pada kami Ashim bin Ali, Hafsh bin Umar, dan Sulaiman bin Harb, mereka berkata: Bercerita pada kami Syu’bah dari Sulaiman dari Dzakwan dari Abu Sa’id berkata:

 

  1. “Tidaklah sekelompok orang duduk kemudian mereka pergi tanpa bershalawat untuk Nabi kecuali majelis itu menjadi penyesalan bagi mereka di Hari Kiamat kelak meskipun mereka masuk surga, lantaran besarnya pahala (shalawat) yang mereka saksikan (ketika itu)”

 

Redaksi menurut riwayat Hafsh.

 

Diawalinya Shalawat dengan Kata Allahumma dan Maknanya

 

Disepakati “Allahumma’ artinya Ya Allah. Karenanya, kata ini tidak dipergunakan selain untuk memohon. Oleh karena itu, tidak diucapkan, “Allahumma, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tetapi diucapkan, “Allahumma, ampuni aku dan kasihi aku?

 

Para pakar ilmu Nahwu berbeda pendapat tentang huruf Mim bertasydid yang terdapat di penghujung nama “Allah ini. Sibawaih”? mengatakan, “Huruf ini ditambahkan sebagai pengganti kata seru “ya” Lantaran itu, menurut pendapatnya, tidak boleh menggabungkan antara keduanya dalam ucapan biasa. Contohnya, tidak boleh mengatakan ‘Ya Allahumma”. Kecuali dalam ungkapan yang jarang, seperti perkataan penyair:

 

Aku, apabila ada musibah mendera Aku mengucapkan, ya Allahumma, ya Allahumma.”

 

Penggantian dalam kasus seperti ini disebut ‘iwadh (bukan badal), karena tidak terjadi di tempat huruf yang dibuang. Jika terjadi di tempat huruf yang dibuang maka disebut badal (ganti), misalnya huruf alif dalam kata gama (berdiri) dan ba, (menjual). Huruf alif di sini adalah badal dari huruf waww’ dan ya. (Sehingga asalnya adalah, gawama dan bayaa).

 

Masih menurut pendapat Sibawaih, nama Allah ini (yang diakhiri dengar mim bertasydid) juga tidak boleh diberi kata keterangan sifat. Misalnya, tidak boleh mengatakan, “Ya Allahummar Rahim, irhamni” (Ya Allah yang Maha Pengasih kasihilah aku). Serta tidak boleh diganti dengan nama Allah yang lain. (Misalnya tidak boleh mengucapkan, “Ar-Rahmanumma” -wahai Sang Maha Penyayang).

 

Harakat dhamah pada huruf “Ha adalah dhamah nama Allah yang menjadi munada mufrad. Sedang huruf Mim yang bertasydid diberi harakat fathah lantaran sebenarnya huruf ini bersukun dan huruf mim yang sebelumnya juga sukun (lalu keduanya di-idgham-kan dan diberi harakat fathah agar bisa dibaca). Penggantian kata “Ya dengan “Mim bertasydid ini di antara keistimewaan lafzhul jalalah (Allah), sebagaimana nama ini juga diistimewakan dengan huruf “Ta dalam sumpah (Tallkhi: demi Allah), masuknya huruf nida’ (Ya) padanya disertai Lam Tarif (ya Allah), hamzah washal-nya tetap dibaca dalam pola kata nida’ (Ya Allah, meskipun boleh dibaca, yallah), huruf lam-nya wajib dibaca tafkhim (tebal) padahal tidak didahului huruf ithbag (shad, dhad, tha dan zha).

 

Demikian ringkasan pendapat Khalil dan Sibawaih.

 

Dikatakan pula, huruf Mim ini adalah ganti dari kalimat yang dibuang. Kalimat | perkiraannya adalah, “Ya Allah, ummand bi khair”. Artinya, (Ya Allah, tujulah kami pada kebaikan). Lalu jar dan majrur (yakni kata, bi khair) dibuang. Kemudian maf ulnya (yakni, kata ganti nd) juga dibuang. Sehingga kalimatnya hanya tersisa, “Ya Allah Umma.” Selanjutnya mereka membuang huruf Hamzah (yakni yang dibaca, u) karena seringnya kalimat ini diucapkan lidah mereka dalam doa. Akhirnya yang tersisa hanyalah, “Ya Allahumma.” Ini pendapat Fara.

 

Pembela pendapat ini membolehkan masuknya kata “ya” pada kalimat Allahumma” yang mana beralasan dengan ucapan penyair,”

 

Engkau tak berdosa untuk mengatakan setiap kali…

Engkau berdoa dan bertasbih ‘ya Allahumma’

Kembalikanlah syaikh kami” dengan selamat

 

Dan dengan bait yang telah disebutkan di depan serta lainnya.

 

Para ahli Nahwu aliran Bashrah menjawab pendapat ini dengan beberapa argumen:

 

1) Perkiraan-perkiraan kalimat ini tidak dilandasi dalil dan tidak menjadi tuntutan qiyas (maksudnya, prinsip umum dalam ilmu Nahwu), sehingga tidak perlu dilakukan tanpa berdasarkan dalil.

 

2) Prinsip dasar kalimat adalah tidak adanya kata yang dibuang, sehingga mengasumsikan kalimat-kalimat yang dibuang. Dengan jumlah banyak seperti ini kontradiktif dengan prinsip dasar berbahasa tersebut.

 

3) Orang yang berdoa dengan mengucapkan “Allahumma’ terkadang memohonkan keburukan untuk dirinya atau orang lain, sehingga perkiraan kalimat yang mereka sebutkan tidak benar, (karena menuntut hanya berarti kebaikan).

 

4) Penggunaan yang populer dan fasih menunjukkan bahwa bangsa Arab tidak menggabungkan antara kata “Ya” dan “Allahumma’ Seandainya asal kata “Allahumma’ seperti yang diungkapkan Fara, tentunya tidak mengapa menggabungkan antara keduanya. Justru penggunaannya merupakan bahasa yang fasih (baku) dan populer. Namun ternyata faktanya justru sebaliknya.

 

5) Orang yang berdoa tak dilarang mengucapkan, “Allahumma, ummana bi khair”. Seandainya perkiraan kalimatnya seperti yang diucapkan Al-Kufiyyun (para ahli Nahwu beraliran Kufah), tidak boleh menggabungkan antara dua kalimat ini lantaran merupakan penggabungan antara pengganti dan yang diganti.

 

6) Orang yang berdoa dengan mengucapkan kata “Allahumma’ sama sekali tak memikirkan kalimat perkiraan itu (yang sudah mengandung permohonan kebaikan menurut pendapat Fara). Tujuannya hanyalah terfokus pada permintaan yang disebutkan setelah kata ini.

 

7) Seandainya perkiraan kalimat ini benar, berarti “Allahumma” merupakan kalimat sempurna yang tidak salah bila setelah mengucapkannya lalu diam. Mengingat kalimat ini mengandung isim munada (kata yang diseru) dan kata kerja thalab (di sini dalam bentuk fi’il amr (kata kerja perintah). Ternyata diam setelah mengucapkannya tidak bisa dibenarkan.

 

8) Apabila perkiraan kalimatnya seperti yang disebutkan Fara, seharusnya fi’il amr ditulis sendiri dan terpisah dari isim munada (di sini nama Allah, sehingga semestinya ditulis, Allahu mma). Seperti dalam kalimat, Ya Allah qihi (Ya Allah jagalah ia), Ya Zaid ‘ihi (wahai Zaid, perhatikanlah dengan baik), Ya Amru fihi, (Wahai Amru, tepatilah padanya). Sebab fi’il itu tidak boleh bersambung denga, isim sebelumnya agar dalam tulisan keduanya tidak menjadi satu kata. Tak ada yang sama dengan kata ini dalam penulisan. Jadi disepakatinya penyambungar penulisan huruf “Mim dengan kata Allah adalah bukti bahwa huruf Min bertasydid ini bukan kata kerja yang berdiri sendiri.

 

9) Tidak boleh dan tidak baik bila seseorang mengucapkan dalam doa, “Ya Allah, tujulah aku dengan demikian…” Sebaliknya, secara lafazh dan makna hal ini dianggap buruk. Pasalnya, ucapan ‘tujulah aku dengan ini…” tidak layak diucapkan selain pada orang yang mengalami kekeliruan dan lupa, sehingga pada orang ini pantas diucapkan, ‘tujulah aku… Sedangkan Dzat yang tidak melakukan dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali dengan kehendak-Nya, tidak keliru dan tidak lupa, tentu tidak salayaknya diucapkan pada-Nya, ‘tujulah dengan ini…

 

10) Dibolehkan menggunakan kata ini bukan dalam konteks doa, seperti ucapan Nabi dalam doa:

 

  1. “Allahumma (ya Allah), bagi-Mu segala pujian, kepadamu tempat mengadu, Engkau yang dimohon pertolongan, pada-Mu tempat minta bantuan serta kepada-Mu bertawakal, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”

 

  1. Sabda beliau, “Allahumma, sesungguhnya aku berpagi-pagi mempersaksikan pada-Mu dan mempersaksikan pada para (malaikat) pembawa Arsy-Mu, para malaikat-Mu, dan seluruh makhluk-Mu bahwa Engkau adalah Allah, tiada Ilah selain Engkau, tiada sekutu bagi-Mu, serta sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu?”

 

Firman-Nya, “Katakanlah: Allahumma, Yang mempunyai kerajaan, Engkay berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran (3): 26)

 

Serta firman-Nya, “Katakanlah: Allahumma, Pencipta langit dan bumi, Yang me. ngetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba. hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya.” (Az-Zumar (391: 46)

 

  1. Ucapan Nabi dalam rukuk dan sujud, “Mahasuci Engkau ya Allah wahai Rabb kami dan dengan memujimu, ya Allah, ampuni aku.”

 

Kata Allahumma dalam semua dalil ini tak dapat diasumsikan dengan kalimat yang mereka sebutkan. Wallahu a’lam.

 

Dikatakan pula, huruf Mim bertasydid ini ditambahkan untuk menunjukkan kebesaran dan sebagai ungkapan hiperbola, seperti penambahan huruf Mim dalam kata Zurgum untuk warna biru (zurgah) yang pekat dan kata ibnum untuk anak lakilaki (ibnu). Pendapat ini benar, namun perlu penjelasan lebih lanjut. Orang yang mengatakannya mendengar pengertian yang tepat harus diterangkan. Yakni, huruf Mim berkarakteristik menunjukkan dan menuntut makna jamak, makhrajnya juga menuntut hal tersebut. Makna ini berlaku konstan berdasarkan prinsip mereka yang menetapkan adanya korelasi antara bentuk kata dan maknanya, seperti madzhab para ulama besar bahasa Arab. Bahkan Abu Fath bin Jini membuat satu bab terkait masalah ini dalam kitab Al-Khasha’ish.? Ia menyebutkannya dari Sibawaih dan berdalil dengan berbagai bentuk keselarasan antara kata dan arti. Kemudian ia mengatakan, “Pernah suatu kata muncul padaku dan aku tidak mengetahui artinya, falu aku mencoba memahami maknanya dari kekokohan bentuk katanya dan kesesuaian huruf-huruf perangkainya dengan makna tersebut. Di kemudian hari, aku mengetahui maknanya. Ternyata seperti yang aku pahami atau mendekatinya” Lalu aku menceritakan pengalaman Ibnu Jini ini pada Syaikhul Islam, ia pun berkata, “Aku sering mengalami hal tersebut” Kemudian ia memaparkan satu penjelasan yang begitu bermanfaat terkait keselarasan antara kata dan makna, serta kesesuaian harakat terhadap makna kata. Bangsa Arab biasa memberikan harakat dhamah yang merupakan harakat paling kuat untuk pengertian yang kuat pula, fathah yang merupakan harakat ringan untuk makna yang ringan, dan kasrah sebagai harakat pertengahan untuk makna yang pertengahan. Contohnya mereka mengatakan, azza yaazzu, dengan arti keras. Ardhun ‘zaz berarti tanah yang keras. Kemudian mereka mengucapkan, azza ya’izzu, dengan arti kuat. Sesuatu yang kuat itu lebih tinggi di banding sesuatu yang keras. Sebab terkadang sesuatu itu keras namun masih dapat dipecah. Selanjutnya mereka mengatakan, azza ya’uzzu, dengan arti mengalahkan (menang). Allah berfirman -dalam kisah Daud -, “..dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan” (Shad (38): 23). Kemampuan mengalahkan itu lebih dahsyat dibanding sekadar kuat. Pasalnya, terkadang sesuatu itu kuat dan terlindungi dari musuh, namun ia tidak bisa mengalahkan orang lain. Jadi yang bisa mengalahkan lebih digdaya dibanding yang sekadar kuat. Oleh karena itu, mereka memberi kata ini harakat yang paling kuat. Keras lebih lemah dibanding yang kuat, mereka memberinya harakat paling lemah. Sedang yang kuat berada di pertengahan antara dua tingkatan tersebut maka mereka memberinya harakat yang tengah-tengah pula.

 

Yang serupa dengan ini adalah ucapan mereka, dzibhun berarti obyek yang disembelih dan kata dzabhun yang berarti perbuatan menyembelih. Tak diragukan sesuatu yang berfisik itu lebih kuat (konkrit) dibanding yang tak berujud (abstrak). Lantas mereka memberikan harakat yang kuat untuk kata yang kuat dan harakat lemah untuk kata yang lemah. Hal ini juga seperti ucapan mereka, nihbun dan nahbun. Kata pertama berarti barang yang dirampas sedang kata kedua berarti perbutan merampas. Sebagaimana pula ucapan mereka, milun dan malun, dengan kasrah berarti sesuatu yang memenuhi (isi) dan dengan fathah adalah kata mashdar yang berarti perbuatan memenuhi. Juga seperti perkataan mereka, himlun dan hamlun, dengan kasrah berarti sesuatu yang konkrit, terlihat, dan membebani pembawanya baik di atas punggung, kepala, atau organ lainnya. Sedang hamlun -dengan fathahberarti sesuatu bawaan yang ringan dan tidak membebani pembawanya Contohnya bawaan hewan dan bawaan pohon yang lebih tepat untuk kata yang berfathah. Oleh karena itu mereka memfathahnya. Perhatikan hal ini dalam kata aj. hibbu dan al-hubbu. Mereka menjadikan huruf kata pertama berkasrah (al-hibbu) berarti orang yang dicintai sedang kata mashdar (al-hubbu) berarti perasaan cinta untuk memberitahukan ringannya keberadaan orang yang dicintai di hati mereka kelembutan tempatnya dalam diri mereka, dan manisnya cinta tersebut bagi merek, Serta beratnya beban cinta dan beratnya senantiasa mempertahankan cinta terseby untuk orang yang: dicinta seperti orang yang mengutangi selalu menguntit orang yang berutang. Karena ini, cinta disebut gharam (diambil dari kata gharim, berarti orang yang mengutangi sekaligus berarti orang yang berutang). Oleh karena itu, karena begitu berat dan sulit mempertahankan cinta, mereka sering menggambarkan dan mengandaikan bahwa makhluk yang paling besar dan lebih keras dari batu, besi, dan lainnya apabila memikul cinta, pasti akan meleleh karena beratnya dan tak kuat mengembannya, seperti diungkapkan dalam syair-syair dan ucapan generasi lampau maupun sekarang. Maka sudah sangat tepat bila mereka memberikan harakat paling kuat pada mashdar (hubbun) dan harakat yang lebih ringan pada yang dicintai (hibbun). Sejalan dengan ini adalah ucapan mereka, gabdhun, dengan huruf kedua bersukun untuk arti perbuatan menggenggam (penggenggaman) dan gabadhun, dengan huruf tengah yang berharakat untuk sesuatu yang digenggam. Harakat itu lebih kuat dibanding sukun, dan sesuatu yang digenggam lebih kuat (konkrit) dibanding kata penggenggaman. Kata yang serupa adalah sabgun -dengan huruf tengah yang bersukununtuk arti perbuatan mendahului, dan kata sabagun -dengan huruf tengah yang berharakatuntuk arti harta yang diambil sebagai hadiah dalam perbuatan (pelombaan) ini. Perhatikan ucapan bangsa Arab dira dauranan (berputar), faratil qidru fauranan (periuk mendidih), dan ghalat ghalayanan (mendidih), bagaimana mereka membuat harakat secara berturut-turut dalam mashdar-mashdar ini lantaran berturut-turutnya gerakan makna sesuatu yang disebut. Sehingga kata selaras dengan artinya. Perhatikan pula ucapan mereka hajarun (batu) dan hawa’un (udara), bagaimana mereka merangkai huruf-huruf yang berat pengucapannnya ini untuk makna yang berat lagi keras dan merangkai huruf-huruf yang pengucapannya lebih didominasi tekanan udara (hawaiyyah), yang notabenenya merupakan huruf-huruf paling ringan pengucapannya, untuk makna yang ringan pula.

 

Masalah ini tak dapat dikupas secara tuntas meskipun Allah memberi usia panjang. Aku akan menulis buku sendiri untuk permasalahan ini, insya Allah.

 

Untuk mengetahui makna-makna seperti ini membutuhkan kejelian berpikir dan kelembutan watak. Mustahil diperoleh dengan kekerasan hati dan rasa puas hanya mengetahui materi-materi awal ilmu Nahwu dan Sharaf tanpa merenungkan dan mentadaburinya, tanpa melihat hikmah orang yang membuatnya dan menelaah yahasia-rahasia dalam bahasa ini yang tersembunyi dari kebanyakan akal. Masalah ini mengingatkan orang terhormat pada rahasia yang ada dibaliknya, namun “..barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun” (An-Nur (24): 40). Lihatlah, mereka menamakan orang yang kasar dan kejam dengan sebutan al-‘uthul, al-ja’zhari, jawwazh. Bagaimana kata-kata ini cukup bisa mewakili makna yang terkandung di dalamnya. Lihat pula penamaan mereka pada orang yang tinggi dengan sebutan al-asyannag. Amati tuntutan dan kesesuaian huruf-huruf ini dengan arti orang yang tinggi. Juga penamaan mereka pada orang yang pendek dengan sebutan al-buhtur. Perhatikan pula berturut-turutnya tiga harakat yang mereka bentuk dalam nama orang yang panjang, yakni al-asyannag, dan dua dhamah yang disela sukun dalam kata al-buhtur, bagaimana kata pertama menuntut mulut terbuka, organ-organ bicara melebar dan merenggang serta tidak tumpang tindih. Sementara dalam kata al-buhtur terjadi sebaliknya.

 

Perhatikan ucapan mereka, thalasy syaiu (sesuatu itu panjang) maka ia disebut thawil dan kaburasy syai’u (sesuatu itu besar) maka disebut kabir. Lalu jika panjangnya bertambah mereka mengatakan thiwal dan kibar. Artinya mereka mendatangkan huruf alif yang suara madnya lebih banyak dan lebih panjang dibanding huruf “ya untuk arti lebih panjang. Dan jika bentuk besar sesuatu bertambah dan berat diterima jiwa mereka memberatkan namanya, yakni mereka mengatakan kubbar, dengan “ba yang bertasydid.

 

Apabila kami terus membicarakan masalah ini pasti tak akan selesai dan semakin melebar. Karenanya, mari kita kembali ke sebab utama pembahasan ini. Kami katakan, “Mim adalah huruf syafahi (bibir) dimana orang yang mengucapkannya harus mengatupkan kedua bibirnya. Maka bangsa Arab menjadikannya sebagai tanda jamak. Untuk orang kedua tunggal mereka mengatakan “anta” (kamu), lalu bila jumlahnya mencapai jamak (tiga ke atas) mereka mengatakan “antum? (kalian). Untuk orang ketiga tunggal mereka mengatakan “huwa’” (dia), bila mencapai jumlah jamak mereka mengatakan ‘hum’ (mereka). Demikian terkait dhamir mutashil, mereka mengatakan, dharabta (kamu memukul) dan dharabtum (kalian memukul), iyyaka (padamu) dan iyyakum (pada kalian), iyyahu (padanya) dan iyyahum (pada mereka) serta dhamir-dhamir yang serupa seperti bihi (dengannya) dan bihim (dengan mereka). Untuk sesuatu yang berwarna biru mereka menyebutnya azrag. Bila warn, birunya tua dan pekat mereka menyebutnya, zurgum. Dan mereka menyebut orang yang memiliki pantat (istun) besar dengan suthum.

 

Perhatikan kata-kata yang mengandung huruf Mim, bagaimana arti pengum. pulan atau penggabungan terwujud dengan kebera-daan huruf ini. Seperti kalimat lammasy syaia, yalummuhu berarti mengumpulkan sesuatu. Semakna ini kalimat yang berbunyi “lammallahu syatsahu” yakni (semoga) Allah mengumpulkan perkara-perkaranya yang tercerai-berai. Dari arti ini adalah ucapan mereka, darun lamumah’ yakni rumah yang menghimpun dan meliputi banyak orang. Juga kata al-aklul lammu,”‘ disebutkan dalam tafsirnya, seseorang memakan bagiannya dan bagian kawannya. Asalnya dari kata al-lammu yang berarti mengumpulkan atau menghimpun, seperti makna kata laffahu yaluffuhu. Dari makna ini muncul kata alamma bisy syai’ yang berarti hampir berkumpul dan sampai pada sesuatu. Juga kata al-lamamu yakni, (dosa-dosa kecil) yang hampir menyatu dengan dosa-dosa besar (karena menumpuk). Demikian pula kata al-lammah yakni rambut yang berkumpul dan menjurai hingga melewati daun telinga. Kemudian talummusy syaia (engkau meliputi sesuatu) dan kata-kata derivasinya. Juga kalimat badrun iltamma, dikatakan pada bulan saat purnama yang cahayanya menyatu. Kata af-tauam untuk dua anak yang berkumpul di satu perut (anak kembar). Lalu kata al-ummu, Ummusy Syar adalah pokok sesuatu yang merupakan sumbernya. Jadi ia yang menghimpun sesuatu tersebut. Karena makna inilah, Mekah disebut Ummul Oura, surah Al-Fatihah disebut Ummul Quran dan Al-Lauhul Mahfuzh disebut Ummul Kitab.

 

Jauhari berkata, “Ummusy syai” adalah pokok sesuatu, Mekah adalah Ummul Oura… dan ummu matswaka adalah ibu rumah tanggamu -maksudnya, wanita yang engkau pulang kepadanya dan berkumpul dengannya-… ummud dimdgh adalah kulit yang membungkus otak, organ ini juga disebut ummur rasi. Firman Allah tentang ayat-ayat muhkamat, “..itulah ummul kitab (pokok-pokok Al-Quran)…” Kata ummah berarti satu kelompok yang sama dalam ciptaan dan zaman. Allah berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan keduh sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu…” (Al-An’am [6]: 38). Nabi bersabda:

 

  1. “Sekiranya anjing-anjing bukan salah satu dari umat pasti aku memerintahkan untuk membasminya”

 

Berikutnya adalah kata imam yang para pengikut sepakat untuk mengikutinya. Dan kalimat ammasy syaia, dikatakan untuk seseorang yang memfokuskan tujuan dan keinginannya pada sesuatu.

 

Selanjutnya kata rammasy syaia, yarummuhu, yakni memperbaiki sesuatu dan menghimpun bagian-bagiannya yang tercerai-berai. Konon, dari kata inilah muncul nama ar-rumman (buah delima) karena biji-bijinya berkumpul dan menjadi satu.

 

Lalu kata dhammasy syaia, yadhummuhu, berarti mengumpulkan sesuatu. Kemudian kata hammul insan, bentuk jamaknya humum. Yakni keinginan dan azam seseorang yang terhimpun di hatinya.

 

Juga ucapan mereka untuk warna hitam “ahammu’, arang hitam mega dan kalimat hammama rasuhu yakni kepala menghitam karena rambut mul tumbuh setelah dicukur habis. Semua ini karena hitam adalah warna yang menyedot semua pandangan mata, tidak membiarkannya terpecah. Oleh sebab itu, sesuatu berwarna hitam baik rambut atau kain sering kali diletakkan di kedua mata orang yang pandangannya lemah karena suatu penyakit atau lainnya, untuk memfokuskan pandangannya sehingga kemampuan melihatnya kembali menjadi kuat. Ini bahasan yang panjang, kita cukupkan saja sampai di sini.

 

Bila telah diketahui seperti inilah karakteristik huruf “mim, bisa dipahamai mengapa huruf ini diletakkan di akhir lafzhul jalalah yang dengannya Allah dimohon di setiap keperluan dan keadaan, yakni guna menunjukkan seluruh nama dan sifatNya. Bila orang yang memohon mengucapkan, Allahumma inni asaluka, seolah-olah ia mengatakan, “Aku memohon pada Allah yang memiliki nama-nama nan indah dan sifat-sifat nan luhur dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu” Maka didatangkanlah huruf Mim, yang mengindikasikan arti pengumpulan, di akhir nama Allah ini gung menunjukkan permintaan pada Allah dengan semua nama-Nya. Seperti disabdakan, Nabi dalam hadits shahih:

 

  1. “Tiadalah suatu kegundahan menimpa seorang hamba dan tidak pula suatu kesedihan lalu ia mengucapkan, “Ya Allah, aku hamba-Mu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku pada diriku, keputusan-Mu adil untukku. Aku memohon pada-Mu dengan segenap nama-Mu yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, atau Engkau ‘ menurunkannya dalam kitab-Mu, atau Engkau mengajarkannya pada seorang makhluk-Mu, atau Engkau memonopoli pengetahuannya dalam ilmu ghaib-Mu, Engkau menjadikan Al-Quranul Azhim sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, peredam kesedihanku, dan penghilangkegundahanku, kecuali Allah menghilangkan kesedihan dan kegundahannya serta menggantinya dengan kegembiraan.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Ya, sepantasnya orang yang mendengar doa ini mempelajarinya.”?

 

Orang yang berdoa dianjurkan memohon pada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, seperti dalam Al-Ismul A’zham (nama Allah paling agung):

 

  1. “Ya Allah, aku memohon pada-Mu, bahwasanya bagi-Mu segala pujian, tiada Ilah selain Engkau, Yang Maha Pengasih, Maha Pemberi anugerah, Pencipta langit-langit dan burni, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang senantiasa mengurusi makhluk-Nya.”

 

Rangkaian kata-kata ini mengandung al-asmaul Husna (nama-nama Allah yang teramat indah), seperti disebutkan di tempat lain.

 

Doa terbagi tiga macam:

 

* Memohon pada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ini salah satu dari dua takwil firman Allah, “Hanya milik Allah asma’ul husna maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu…” (Al-A’raf (7): 180).

 

* Memohon pada Allah dengan mengungkapkan keperluan dan kebutuhan Misalnya Anda mengucapkan, “Aku hamba yang fakir, miskin, kekurangan hina, dan memohon perlindungan, serta semacamnya”

 

* Memohon kebutuhan tanpa menyebutkan salah satu dari keduanya.

 

Doa yang pertama lebih sempurna dibanding yang kedua, dan yang kedua lebi, sempurna dibanding yang ketiga. Namun bila doa menggabungkan ketiga perkara in, maka menjadi lebih sempurna.

 

Seperti inilah mayoritas doa Nabi. Dalam doa yang beliau ajarkan pad, Shiddigul Ummah, Abu Bakar, pun disebutkan doa semacam ini. Pada bagian awa| ia mengatakan, “Aku banyak berbuat zhalim pada diriku”, ini menjelaskan kondisi orang yang meminta. Kemudian, “sesungguhnya tidak mengampuni dosa-dosa selain Engkau”, ini menjelaskan keadaan pihak yang diminta. Selanjutnya ia mengucapkan, “maka ampunilah aku” yakni ia menyebutkan kebutuhannya. Kemudian menutup doa dengan dua nama dari asmaul husna yang sesuai dengan permohonan.

 

Pendapat (bahwa huruf ‘mim’ dalam Allahumma menunjukkan arti jamak) yang kami pilih ini telah diriwayatkan dari banyak generasi salaf. Hasan Bashri pernah mengucapkan, “Allahumma adalah penghimpun doa.” Abu Raja Al-Atharidj mengatakan, “Huruf ‘mim’ dalam Allahumma meliputi 99 nama Allah” Nadhr bin Syumail mengatakan, “Siapa mengucapkan, “Allahumma? berarti ia telah berdoa pada Allah dengan seluruh nama-Nya.”

 

Sekelompok ulama memberikan alasan pendapat ini, huruf “mim’ di sini seperti huruf ‘waww’ yang menunjukkan arti jamak, karena keduanya berasal dari satu makhraj (sama-sama huruf syafahiyah). Seolah-olah orang yang berdoa dengan mengucapkan Allahumma mengatakan, “Ya Allah Dzat yang nama-nama nan indah dan sifat-sifat nan luhur terkumpul pada diri-Nya” Oleh karena ini, huruf ‘mim ini ditasydid sebagai ganti dua tanda kata jamak, yakni huruf “Wawu’ dan “Nun’ dalam kata muslimuna dan semisalnya (jamak mudzakar salim).

 

Namun mengacu pada pemahaman yang telah kami sebutkan, huruf mim sendiri menunjukkan makna jamak sehingga tidak membutuhkan alasan ini.

 

Masih ada yang perlu ditanyakan, mengapa bangsa Arab tidak menggabungkan antara kata “Ya dan huruf “Mim sesuai pendapat yang benar?

 

Jawabannya, kaidah umum menuntut huruf nida’ tidak boleh masuk pada nama “Allah’ ini karena keberadaan alif dan lam (al-ta’rif). Namun mereka mentoleransi hal ini lantaran mereka sering menggunakannya dalam berdoa, sangat membutuhkannya, dan kerap memohon pertolongan dengan menyebut kalimat ini. Sehingga ada dua pilihan, mereka membuang alif dan lam -ini jelas tidak boleh karena kedua huruf ini tidak bisa dipisahkan dengan lafzhul jalalah-. Atau pilihan kedua mereka menggunakan kata sambung ayyu (sehingga menjadi ya ayyuhallah). Namun ini juga tidak boleh sebab kata ini tidak dijadikan kata sambung kecuali pada isim jenis yang disertai alif dan lam, seperti ar-rajul (ya ayuharrajul), ar-rasul (ya ayyuhar rasul) dan an-nabi (ya ayyuhan nabi). Sedang untuk nama maka tidak boleh. Akhirnya mereka “melanggar” kaidah umum ini lantaran adanya kebutuhan. Kemudian, ketika mereka meletakkan huruf “mim’ yang bertasydid di akhir lafzhul jalalah sebagai ganti dari penyebutan seluruh asma’ul husna, mereka juga menjadikan huruf mim ini sebagai ganti (iwadh) dari huruf nida. Sehingga mereka tidak menggabungkannya, (yakni tidak mengatakan, ya Allahumma). Wallahu alam.

 

Penjelasan Tentang Pengertian Shalawat untuk Nabi

 

Pangkal kata shalawat berpulang pada dua arti: pertama, berdoa dan memohonkan berkah: kedua, beribadah.

 

Termasuk arti pertama adalah firman Allah,

 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihka,, dan mensucikan mereka, dan bershalawatlah (berdoalah) untuk mereka Sesungguhnya shalawat kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. , (At-Taubah (91: 103) Firman-Nya —terkait orang-orang munafik-,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mendoakan seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya…” (At-Taubah (9): 84)

 

Kemudian sabda Nabi

 

  1. “Apabila salah seorang kalian diundang pada jamuan makan hendaknya ia datang. Lalu jika ia puasa hendaknya ia shalat.”

 

Kata shalat dalam hadits ini ditafsirkan dengan kedua arti di atas. Yakni, hendaknya ia mendoakan keberkahan untuk mereka (pengundang). Dikatakan pula, ia mengerjakan shalat di rumah mereka sebagai ganti makan.

 

Dikatakan pula, kata “shalat secara etimologi berarti doa. Sedang doa ada dua macam, doa ibadah dan doa permohonan. Orang yang beribadah itu berdoa, sebagaimana orang yang memohon itu juga berdoa. Firman Allah berikut ditafsirkan dengan kedua pengertian ini, “Dan Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu..” (Ghafir (40): 60). Dikatakan maknanya adalah ‘taatilah aku niscaya aku memberi kalian pahala. Dikatakan pula, ‘memintalah padaku niscaya aku memenuhi permintaan kalian: Kedua pengertian ini juga menjadi tafsir firman Allah, “Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang meminta apabila ia berdoa kepada-Ku..” (Al-Baqarah (2): 186). Yang benar, kata doa mencakup dua pengertian di atas. Ini adalah kata yang memiliki lebih dari satu arti secara bersama-sama. Di antara penggunaannya dengan arti doa ibadah adalah firman Allah,

 

“Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarah pun di langit dan di bumi…” (Saba’ (34): 22)

 

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat oleh orang” (An-Nahl (16): 20)

 

“Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): Rabbku tidak meng-indahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu…” (Al-Furqan (25):77). Yang benar dari dua pendapat terkait tafsir ayat ini adalah: Rabbku tidak mengindahkan kalian seandainya kalian tidak berdoa dan beribadah kepada-Nya. Artinya, apa yang menjadi alasan Rabb memerhatikan kalian seandainya bukan ibadah kalian kepada-Nya. Di sini mashdar di-idhafah-kan pada fa’ilnya.

 

Allah juga berfirman,

 

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan rendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf (7): 55-56)

 

Allah berfirman mengabarkan keadaan para nabi dan rasul-Nya, “..sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas..” (al-Anbiya’ (21): 90).

 

Ini lebih baik dari pendapat pertama dan anggapan adanya perbedaan Substang nama doa. Dengan demikian sirnalah segala kerancuan yang muncul pada kat shalat sebagai istilah syar’i, apakah kata ini dikutip dari makna asalnya secara bahas, sehingga menjadi hakikat syar’iyah atau kata ini merupakan majas syar’i.

 

Atas dasar ini, kata shalat tetap pada makna asalnya secara bahasa, yakni doa. Sementara doa terbagi menjadi doa ibadah dan doa permohonan. Orang yang mengerjakan shalat, dari takbiratul ihram hingga salam berada di antara doa ibadah dan doa permohonan. Ia berada dalam pengertian shalat secara hakiki, bukan majasi, dan tidak pula makna pindahan. Akan tetapi kata shalat dikhususkan sebagai nama ibadah yang istimewa ini, layaknya kata lain yang secara khusus diberlakukan oleh para pakar bahasa dan kebiasaan pada sebagian maknanya. Contohnya kata addabbah, ar-rasu, dan semisalnya. Ini tujuan dari pengkhususan dan pembatasan kata pada sebagian maknanya. Hal ini tidak mengharuskan pemindahan dan pengeluaran kata dari makna aslinya. Wallahu alam.

 

Apa yang Dijelaskan di Atas Berhubungan dengan Shalawat Manusia

 

Shalawat Allah terbagi menjadi dua macam: umum dan khusus.”

 

Shalawat umum adalah shalawat Allah pada para hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman, “Dialah yang melimpahkan shalawat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan shalawat untukmu)…” (Al-Ahzab (33): 43). Dan termasuk dalam hal ini adalah doa Nabi guna memohonkan shalawat untuk pribadi-pribadi tertentu dari kalangan mukminin. Sebagai contoh doa beliau:

 

  1. “Ya Allah limpahkan shalawat untuk keluarga Abu Aufa.”

 

Dalam hadits lain:

 

  1. Seorang wanita berkata pada beliau, “Mohonkan shalawat untukku dan untuk suamiku.” Beliau mengucapkan, “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu dan untuk suamimu?”

 

Hadits ini dan yang serupa akan disebutkan, insya Allah.

 

Yang kedua adalah shalawat Allah yang khusus untuk para nabi dan rasul-Nya, terutama untuk penutup dan yang terbaik di antara mereka, Muhammad.

 

Ulama berbeda penafsiran tentang makna shalawat Allah ini menjadi beberapa pendapat:

 

  1. Shalawat Allah berarti rahmat-Nya.

 

Ismail berkata,” “Menceritakan pada kami Nashr bin Ali, menceritakan pada kami Muhammad bin Sawa’ dari Juwaibir dari Dhahak mengatakan:

 

  1. “Shalawat Allah berarti rahmat-Nya dan shalawat malaikat berarti doa.”

 

Mubarid berkata, “Asal makna shalawat adalah kasih sayang. Jika berasal dari Allah berarti rahmat-Nya dan jika bersumber dari malaikat berarti kasih sayang dan permohonan rahmat pada Allah.”

 

Pendapat ini yang dikenal di kalangan mayoritas ulama generasi akhir.

 

  1. Shalawat Allah berarti ampunan-Nya. Ismail berkata:

 

  1. Telah bercerita pada kami Muhammad bin Abu Bakar, bercerita pada kami Muhammad bin Sawa’ dari Juwaibir dari Dhahak (tentang firman Allah), “Dialah yang bershalawat kepadamu…” (Al-Ahzab (33): 43), ia berkata, “Shalawat Allah adalah ampunan-Nya dan shalawat malaikat berarti doa.”

 

Pendapat ini sejenis dengan yang sebelumnya, keduanya lemah karena beberapa alasan:

 

1) Allah membedakan antara shalawat-Nya dan rahmat-Nya pada hamba. Dia berfirman, “..dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillahi wa innd ilaihi rajidn. Mereka itulah yang mendapatkan shalawat dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Bagarah (2): 155-157). Di sini Allah menyebutkan rahmat setelah shalawat dengan huruf athaf (kata sambung ‘dan’) sehingga menuntut adanya perbedaan di antara keduanya. Ini makna asal huruf “athaf, (yakni adanya perbedaan arti antara dua kata yang dihubungkan dengan huruf “athaf). Adapun ucapan mereka, “Aku menemui ucapannya ternyata bohong dan dusta,”?” merupakan ucapan yang keluar dari kaidah umum dan langka, sehingga tidak bisa disebut bahasa yang fasih. Apalagi kata al-main (dusta) memiliki pengertian yang lebih khusus daripada bohong.

 

2) Shalawat Allah khusus diperuntukkan bagi para nabi, rasul, dan hamba-Nya yang beriman. Sedangkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Maka shalawat bukan sinonim dari rahmat, tetapi rahmat termasuk konsekuensi shalawat, faktor pemunculnya, dan buahnya. Siapa menafsirkan shalawat dengan rahmat berarti ia telah menafsirkannya dengan salah satu dari buah dan hasilnya. Hal ini sering terjadi dalam menafsirkan kata-kata dalam Al-Our’an. Rasulullah sendiri juga menafsirkan kata dengan konsekuensinya dan sebagian maknanya. Seperti menafsirkan kata ar-raib (keraguan) dengan kata asy-syakk, padahal asy-syakk merupakan bagian dari pengertian ar-raib, penafsiran kata al-maghfirah (ampunan) dengan as-sitru (penutupan) padahal as-sitru merupakan bagian dari pengertian al-maghfirah, dan penafsiran rahmat dengan keinginan berbuat baik, padahal ini hanya konsekuensi dari rahmat. Masih banyak sekali hal yang seperti ini, yang telah kami sebutkan dalam kitab Ushulut Tafsir.

 

3) Tak ada perselisihan tentang bolehnya memohonkan rahmat untuk kaum mukminin. Namun ulama salaf dan khalaf berbeda pandangan tentang boleh atau tidaknya bershalawat untuk selain para nabi. Terbagi dalam tiga pendapat yang nanti akan kami sebutkan, insya Allah. Maka diketahui bahwa kedua kata ini tidak bersinonim.

 

4) Seandainya shalawat berarti rahmat, tentunya kata rahmat bisa menggantikannya dalam rangka pelaksanaan perintah dan meng-gugurkan kewajiban bagi orang yang berpendapat wajibnya mengucapkan shalawat apabila ia mengucapkan, “Allahummarham Muhammadan wa Ala Muhammad” Tetapi faktanya tidak seperti itu.

 

5) Orang yang mengasihi dan simpati pada orang lain, lalu ia memberinya makan, minum, atau pakaian, ia tidak disebut “telah bershalawat untuknya’. Tetapi ia disebut “telah merahmati’ (baca: mengasihi) orang itu.

 

6) Seseorang bisa jadi mengasihi orang yang ia benci dan musuhi, di dalam hati ia merasa kasihan pada orang itu. Namun ia tidak akan bershalawat untuknya.

 

7) Shalawat harus diucapkan, sebab shalawat merupakan sanjungan pihak yang bershalawat untuk orang yang ia shalawati, perhatiannya padanya, dan sebagai isyarat kebaikan orang itu berikut sifat yang ia sandang.

 

Dalam kitab Shahih-nya (VIII/532-533), Bukhari menyebutkan:

 

  1. Dari Abu Aliyah berkata, “Shalawat Allah untuk Rasul-Nya adalah sanjunganNya pada beliau di hadapan para malaikat.”

 

Ismail berkata dalam kitabnya (hadits no. 95), “Menceritakan pada kami Nashr bin Ali, menceritakan pada kami Khalid bin Yazid dari Abu Ja’far dari Rabi’ dar, Anas dari Abu Aliyah (tentang firman Allah), Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi..’ (Al-Ahzab (33):

 

  1. Shalawat Allah adalah sanjungan-Nya pada beliau dan shalawat para malaikat adalah doa.”

 

8) Allah membedakan antara shalawat-Nya dan shalawat malaikat, namun meng. gabungkannya dalam satu kata kerja. Dia berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi…” (Al-Ahzab (331: 56). Shalawat ini tidak mungkin berarti rahmat, tetapi merupakan sanjungan Allah dan pujian para malaikat pada Nabi. Tidak bisa pula dikatakan bahwa kata shalawat adalah kata yang multiarti (rmusytarak) dan sah digunakan untuk dua artinya secara bersama-sama, sebab ucapan seperti ini menyalahi banyak pantangan (dalam kaidah bahasa).

 

Pertama: keberadaan beberapa arti dalam satu kata itu kontradiktif dengan prinsip dasar bahasa. Bahkan tak diketahui hal itu terjadi dalam bahasa bersumber dari satu pembuat kata, sebagaimana dinyatakan para pakar bahasa seperti Mubarid dan lainnya. Tetapi hal itu terjadi secara insidental dan kebetulan akibat banyaknya pembuat kata, kemudian bahasa pun bercampur sehingga muncullah isytirak (persekutuan beberapa makna dalam satu kata).

 

Kedua: mayoritas pakar bahasa tidak membolehkan penggunaan kata musytarak untuk dua arti dalam waktu yang sama, baik secara hakiki maupun majasi. Sedang apa yang diceritakan dari Syafi’i bahwa ia membolehkannya, tidak terbukti benar diriwayatkan darinya. Anggapan ini hanya disimpulkan dari ucapannya, “Apabila ia berwasiat untuk para maulanya, sementara ia memiliki maula dari atas (bekas tuan) dan maula dari bawah (bekas budak) maka wasiat itu mencakup mereka semua.” Lantas ada orang yang menganggap kata almaula adalah kata yang menghimpun dua makna ini dan ketika tidak ada bukti yang mengarah pada salah satu maka kata ini dimanifestasikan pada keduanya. Kesimpulan ini tidak benar, sebab kata al-maula termasuk kata yang mutawathi.

 

Syafi’i dan Ahmad -sesuai zhahir madzhabnyaberpendapat masuknya dua jenis maula di atas pada kata ini. Menurutnya, kata ini merupakan kata general yang mutawathi, bukan kata musytarak.

 

Sedang pendapat yang diceritakan dari Syafi’i bahwa ia berkata dalam perdebatan yang ia lakoni tentang firman Allah, “..atau menyentuh perempuan…” (Al-Ma’idah (5): 6), ketika dikatakan padanya, “Terkadang kata al-mulamasah (menyentuh) maksudnya adalah al-mujamaah (jimak)” Ia berkata, “Kata ini dimaknai sentuhan tangan secara hakiki dan jimak secara majasi (kiasan)” Ucapan ini tidak benar diriwayatkan dari Syafi’i, tidak pula termasuk jenis ucapannya yang dikenal. Ini hanyalah ucapan sebagian fukaha generasi akhir. Kami telah menyebutkan belasan dalil terkait tidak sahnya penggunaan kata musytarak untuk kedua artinya secara bersama-sama -dalam masalah al-gur’udalam kitab At-Ta’ilgu alal Ahkim.

 

Bilamana arti shalawat adalah sanjungan pada Rasulullah, bentuk perhatian pada beliau, menunjukkan kemuliaan, keutamaan, dan kehormatan beliau, seperti yang diketahui dari kata ini maka kata shalawat dalam ayat ini bukan kata musytarak yang bisa dimaknai dengan dua artinya. Melainkan kata ini hanya dipakai untuk satu makna saja. Inilah prinsip dasar terkait kata.

 

Kita akan kembali membicarakan masalah ini, insya Allah, saat membahas tafsir firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi…” (Al-Ahzab (33): 56).

 

9) Allah memerintahkan bershalawat untuk Nabi selepas memberitakan bahwa Dia dan para malaikat-Nya bershalawat untuk beliau. Artinya, “Bilamana Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Rasulullah maka kalian bershalawatlah juga untuk beliau. Kalian lebih berhak bershalawat dan mengucapkan salam pada beliau, mengingat kalian telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat lantaran berkah risalah dan kebaikan pendelegasian beliau sebagai utusan Allah.” Sama-sama diketahui bahwa seandainya pengertian ini diungkapkan dengan rahmat tentu tempatnya kurang tepat dan susunannya kurang bagus. Sehingga kata dan maknanya pun rusak. Sebab kalimatnya berubah menjadi, “Allah dan para malaikat-Nya mengasihi dan memohonkan ampun untuk Nabi-Nya, berdoalah kalian dan ucapkan salam untuk beliau.” Jelas ini bukan maksud ayat. Sebab shalawat yang diperintahkan dalam ayat ini adalah memohon pada Allah akan shalawat-Nya dan shalawat para malaikat-Nya yang telah Dia beritakan. Yakni berupa sanjungan pada beliau, memperlihatkan keutamaan, dan kehormatan beliau, memuliakan, serta mendekatkan beliau pada-Nya. Jadi shalawat ini mengandung berita dan permintaan. Permohonan dan doa yang kita ucapkan disebut shalawat untuk Nabi karena dua alasan:

 

* Doa ini mengandung pujian orang yang mengucapkannya pada beliau, isyarat akan kemuliaan, keutamaan beliau, serta keinginan, dan rasa suka hal itu dikaruniakan Allah pada beliau. Jadi shalawat ini mengandung berita sekaligus permohonan.

 

* Doa itu disebut shalawat dari kita karena kita meminta pada Allah untuk melimpahkan shalawat pada beliau. Sementara shalawat Allah pada Nabi berarti sanjungan, kehendak-Nya mengangkat nama beliau, dan mendekatkan beliau pada-Nya. Sedang shalawat kita pada beliau berarti permohonan kita pada Allah agar Dia melakukan hal tersebut. Lawan dari ini adalah laknat Allah pada para musuh Nabi yang membenci ajaran beliau. Laknat ini disandarkan pada Allah dan juga disandarkan pada hamba, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keteranganketerangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat” (Al-Bagarah (2): 159). Laknat Allah pada mereka mengandung celaan, penjauhan, dan kemurkaan-Nya pada mereka. Sedang laknat hamba berarti memohon pada Allah agar melakukan hal itu pada orang yang layak dilaknat.

 

Bila masalahnya telah terbukti seperti ini maka sama-sama diketahui, seandainya shalawat berarti rahmat, tidak tepat jika orang yang memohonkannya pada Allah disebut “mushallin (orang yang bershalawat)’ Ia lebih tepat disebut “mustarhim (orang yang memohonkan rahmat)’ Sebagaimana orang yang meminta ampunan disebut mustaghfir dan orang yang meminta belas kasih disebut musta’thif, serta yang semisalnya. Oleh sebab ini, orang yang memintakan ampunan pada Allah untuk orang lain tidak disebut ‘ia telah mengampuninya yang berarti pemberi ampunan (ghafir). Tidak pula orang yang memintakan maaf pada Allah untuk orang lain disebut ‘telah memaafkannya. Sementara dalam masalah ini, hamba disebut yang bershalawat’ Sekiranya shalawat berarti rahmat pastinya hamba disebut “yang memberi rahmat atau belas kasih pada orang yang ia bershalawat untuknya, dan tepat bila dikatakan “ia telah merahmatinya dengan satu rahmat. Kemudian siapa yang merahmati Nabi dengan satu rahmat, Allah merahmatinya sepuluh kali. Ini telah sama-sama diketahui kebatilannya.

 

Jika dikatakan, ‘shalawat hamba pada Nabi tidak berarti rahmat, tetapi maknanya memohonkan rahmat pada Allah:

 

Jawabannya, ini tetap keliru dilihat dari beberapa aspek:

 

*Memohonkan rahmat disyariatkan untuk setiap muslim, sedang memintakan shalawat pada Allah khusus untuk para rasul-Nya menurut mayoritas ulama, seperti yang akan kami ungkapkan, insya Allah.

 

* Seandainya orang yang memohonkan rahmat disebut “mushallin (orang yang bershalawat)’ berarti orang yang memintakan ampunan disebut ‘ghdfir (pemberi ampun), orang yang memintakan maaf disebut ‘afin (pemaaf) dan orang yang meminta toleransi disebut ‘shafih (pemberi toleransi), serta semacamnya.

 

Jika dikatakan, “kalian sendiri telah menamakan orang yang memohonkan shalawat pada Allah sebagai orang yang bershalawat.

 

Jawabannya, ia disebut orang yang bershalawat karena adanya hakikat makna shalawat dari dirinya. Sebab hakikat shalawat adalah pujian dan menginginkan pemuliaan, pendekatan, serta peninggian kedudukan. Dan hal ini ada dalam shalawat hamba. Hanya saja hamba menginginkan hal itu dari Allah, dan Allah menginginkannya dari diri-Nya untuk melakukannya pada Rasulullah. Sedang berdasarkan alasan kedua, ia dinamakan orang yang bershalawat kerena memohonkan hal-hal di atas pada Allah, sebab kata shalawat adalah satu bentuk ungkapan permohonan, berita, serta keinginan. Hal itu ada dalam diri orang yang bershalawat. Lain halnya dengan rahmat dan ampunan, di mana merupakan perbuatan yang tidak bisa diwujudkan orang yang memohon. Tetapi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang dimohon. Wallahu a’lam.

 

10) Telah terbukti benar dari Nabi dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim (hadits no. 384), beliau bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karenanya.“ Allah berfirman pada beliau, “Siapa dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, aku bershalawat untuknya sepuluh kali karenanya.

 

Hal ini selaras dengan kaidah yang konstan dalam syariat bahwa balasan ity sejenis dengan perbuatan. Shalawat Allah untuk orang yang bershalawat pada Rasulullah adalah balasan atas shalawatnya pada beliau. Dan telah maklum, shalawat hamba untuk Rasulullah bukan rahmat hamba (pada beliau) sehingga shalawat Allah padanya juga sejenis itu. Tetapi shalawatnya ini adalah sanjungan pada Rasulullah dan harapan pada Allah agar Dia meninggikan nama beliau serta menambah keagungan dan kemuliaan beliau, Balasan itu sejenis dengan perbuatan. Maka siapa memuji Rasulullah, Allah memberinya balasan yang sejenis dengan amalnya, yakni Dia memujinya, semakin memuliakan, dan menghormatinya. Dengan demikian, tepatlah korelasi antara balasan dan perbuatan, keserupaan, dan keselarasan di antara keduanya. Seperti sabda Nabi

 

  1. “Siapa memberi kemudahan pada orang yang kesulitan, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Siapa menghilangkan suatu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah menghilangkan darinya satu di antara kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba menolong saudaranya. Dan siapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga.”

 

  1. Dan siapa ditanya tentang satu ilmu yang ia ketahui namun ia menyembunyikannya maka pada Hari Kiamat kelak Allah memasangkan tali kendali dari api pada dirinya”

 

  1. “Barang siapa bershalawat untuk Nabi satu kali, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali karenanya.”

 

Dan masih banyak hadits-hadits serupa. Alasan no. 10 ini dijelaskan alasan berikutnya.

 

11) Seandainya seseorang berkata tentang Rasulullah, “Semoga Allah merahmati beliau” atau dikatakan “Rasulullah rahimahullah” menggantikan doa shallallahu Alaihi wa sallam, pasti umat serta merta mengingkarinya dan menganggapnya sebagai pembuat bid’ah, tidak menghormati Nabi, tidak bershalawat untuk beliau, dan tidak memuji beliau dengan apa yang layak beliau dapatkan. Ia tidak berhak mendapatkan sepuluh shalawat dari Allah dengan ucapannya ini. Seandainya shalawat dari Allah berarti rahmat seharusnya ia mendapatkan semua ini.

 

12) Allah berfirman, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)…” (An-Nur (24): 63). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk tidak memanggil Rasulullah dengan panggilan yang biasa dipergunakan di antara sesama manusia. Yakni dengan mengatakan, “wahai Rasulullah, bukan mengucapkan, “wahai Muhammad’. Hanya orang-orang kafir yang menyebut nama beliau ketika berbicara dengan beliau, sedangkan kaum muslimin berbicara pada beliau dengan mengatakan ‘wahai Rasulullah Bila ini yang berlaku saat berbicara langsung pada beliau, demikian pula seharusnya ketika membicarakan beliau Yakni tidak sepantasnya doa yang dipanjatkan untuk beliau sejenis doa antara sesama kita. Nabi mesti didoakan dengan doa yang paling Mulia, ” yakni berupa shalawat untuk beliau. Sama-sama diketahui bahwa rahmat dimohonkan untuk setiap muslim. Bahkan juga untuk selain manusia, seperti hewan, sebagaimana dalam doa memohon hujan.

 

  1. “Ya Allah, kasihilah para hamba-Mu, negeri-negeri-Mu, dan binatang. binatang-Mu.”

 

13) Kata ini (ash-shalah/ash-shalawat) dalam bahasa aslinya sama sekali tidak dikenal memiliki arti rahmat (kasih sayang). Yang dikenal di kalangan bangsa Arab maknanya adalah doa, memohonkan berkah, dan sanjungan. Seseorang mengatakan:

 

“Jika aku disebut, ia mendoakannya dan bersuara.”

 

Artinya, ia memohonkan berkah untuknya dan memujinya. Bangsa Arab sama sekali tak mengetahui kalimat “shalla alaihi” bermakna “merahmatinya. Maka yang harus dilakukan adalah mengartikan kata sesuai maknanya yang dikenal dalam bahasa.

 

14) Setiap orang boleh, bahkan dianjurkan, memohon pada Allah agar Dia merahmatinya. Misalnya dengan mengatakan, “Ya Allah, rahmatilah aku” Sebagaimana Nabi mengajari orang yang berdoa supaya mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, ampuni aku, rahmati aku, jagalah aku, dan beri rezeki aku.” Ketika orang itu telah menghafalnya beliau bersabda, “Orang ini, ia telah memenuhi tangannya dengan kebaikan.”

 

Diketahui bahwa tak seorang pun boleh mengucapkan, “Ya Allah, bershalawatlah padaku”. Justru orang yang memohon dengan doa ini terhitung orang yang melampaui batas dalam berdoa. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Lain halnya dengan permohonan rahmat, Allah suka bila hamba-Nya memohon ampunan dan rahmat-Nya. Jadi, diketahui bahwa arti shalawat dan rahmat tidak sama.

 

15) Sebagian besar tempat yang menggunakan kata rahmat tidak tepat bila digantikan dengan kata shalawat. Contohnya seperti firman Allah, “..dan rahmatKu meliputi segala sesuatu…” (Al-A’raf (7): 156). Firman Allah (dalam hadits gudsi):

 

199, “Dan rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” Kemudian firman Allah, “..sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf (7): 56).

 

“dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (Al-Ahzar (331: 43).

 

“sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” (At-Taubah (9): 117).

 

Juga sabda Nabi

 

  1. “Sungguh Allah lebih menyayangi para hamba-Nya dibanding ibu terhadap anaknya.”

 

  1. “Sayangilah yang ada di bumi niscaya kalian disayangi yang berada di langit.”

 

  1. “Siapa tidak menyayangi ia tidak disayangi.”

 

  1. “Tidaklah kasih sayang dicabut selain dari orang yang celaka.”

 

  1. “Kambing pun jika engkau mengasihinya niscaya Allah mengasihimu.’

 

Jadi tempat-tempat penggunaan kata rahmat baik berkaitan dengan Allah maupun hamba, banyak di antaranya, bahkan sebagian besarnya, tidak tepat untuk digantikan dengan kata shalawat. Sehingga shalawat tidak benar ditafsirkan dengan rahmat. Wallahu a’lam.

 

  1. Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi…” (Al-Ahzab (331: 56). “Mereka (para malaikat) mendoakan berkah bagi beliau.”

 

Hal ini tidak menegasikan tafsir shalawat dengan sanjungan dan menginginkan pemuliaan serta pengagungan. Sebab pemberkahan Allah mengandung hal-haj tersebut. Oleh sebab ini shalawat dan permohonan berkah untuk Nabi sering disandingkan. Para malaikat pun berkata pada Ibrahim, “..(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlubait!..” (Had (11:73). Al-Masih berkata, “Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada..” (Maryam (19): 31). Lebih dari seorang ulama salaf mengatakan, “(Maksudnya adalah) mengajarkan kebaikan di mana saja aku berada” Ini hanyalah bagian dari arti nama ini. Sebab orang yang diberkahi, terdapat banyak kebaikan dalam dirinya yang ia tularkan pada orang lain dengan jalan mengajarkan, membimbing, memberi nasihat, berkeinginan, dan berijtihad. Dengan cara ini seorang hamba menjadi berkah. Sebab Allah memberkahi dirinya dan menjadikannya seperti itu. Sedang Allah adalah Mahaberkah, karena semua berkah berasal dari-Nya. Jadi hamba-Nya bersifat diberkahi, sedang Dia Mahaberkah. “Maha berkah Allah yang telah menurunkan AlFurgan (yaitu Al-Guran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (Al-Furqon (25): 1).

 

“Maha berkah Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu” (Al-Mulk (67): 1). Nanti kita akan kembali membicarakan pengertian ini, insya Allah.

 

Sekelompok orang menolak penafsiran shalawat dengan rahmat (kasih sayang) dengan mengatakan, “Rahmat adalah kelembutan watak, ini mustahil disandang Allah. Sebagaimana memohon rahmat dari Allah juga mustahil” Ungkapan yang dikeluarkan orang ini murni urat nadi paham Jahmiyah yang mengalir dari jantung ke lidahnya. Hakikatnya adalah mengingkari rahmat Allah secara total. Jahm pernah mendatangi Judzami dan berkata, “Pantaskah Dzat paling penyayang di antara orangorang yang penyayang melakukan ini?” Ia ingin mengingkari sifat kasih sayang Allah.

 

Arti yang diyakini orang yang berkata di atas (bahwa kasih sayang berarti kelembutan watak sehingga mustahil disandang Allah) merupakan syubhat (baca, dalil abu-abu) kelompok yang menolak sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan, “Keinginan adalah aktifitas jiwa untuk menghasilkan apa yang bermanfaat untuk dirinya dan menolak apa yang dapat membahayakannya. Sementara Allah tak layak menyandang sifat itu, jadi Dia tak memiliki keinginan. Kemudian marah adalah (mendidihnya) darah di jantung guna menuntut balas. Allah terhindar dari sifat seperti ini, sehingga Dia tak memiliki sifat marah” Mereka menempuh prinsip batil ini terkait kehidupan Allah, kalam, dan sifat-sifat-Nya yang lain. Paham ini merupakan kebatilan yang paling batil. Sebab paham ini menerapkan sifat-sifat khusus makhluk pada sifat Allah, kemudian menafikannya secara total dari Sang Khalig. Ini jelas sebuah pengkaburan dan penyesatan. Sebab karakter khusus makhluk yang diterapkan pada sifat Allah tidak dengan sendirinya eksis. Karakter ini eksis lantaran disandarkan pada makhluk yang dapat menyandangnnya. Sementara diketahui bahwa penegasian sifat-sifat khusus makhluk dari Dzat Maha Pencipta tidak menuntut peniadaan asal sifat tersebut dari-Nya, tidak pula penetapan asal sifat pada Dzat-Nya menuntut penetapan sifatsifat khusus makhluk pada-Nya. Sebagaimana peniadaan cacat dan keserupaan dari sifat-sifat Allah tidak menuntut peniadaan sifat tersebut secara total dari makhluk. Dan tidak pula keberadaan sifat wajibul wujud, gidam (kekal dan dari dulu), dan sempurna pada sifat-sifat Allah menuntut keberadaan hal-hal ini pada sifat makhluk, serta tidak pula pemberlakuan sifat tersebut pada Allah dan makhluk secara mutlak. Ini seperti masalah kehidupan dan ilmu. Kehidupan hamba ditimpa perkara-perkara yang berlawanan dengan kehidupan itu sendiri seperti tidur, sakit, dan kematian. Demikian halnya ilmu hamba ditimpa lupa dan ketidaktahuan yang berlawanan dengan ilmu itu sendiri. Sementara hal ini mustahil terjadi pada kehidupan Rabb dan ilmu-Nya. Siapa meniadakan ilmu dan kehidupan Rabb, karena berbagai perkara yang menimpa ilmu dan kehidupan makhluk sungguh ia telah berbuat batil. Ia seperti orang yang menegasikan kasih sayang dan ilmu Rabb. Siapa meniadakan kasih sayang Rabb karena karakter yang muncul pada sifat kasih sayang makhluk berupa kelembutan watak, sungguh ia telah berbuat batil. Dan anggapan keliru orang bahwa ia tak dapat melogika kasih sayang kecuali seperti ini, itu seperti anggapan keliry orang yang tak dapat melogika ilmu, kehidupan, dan keinginan kecuali disertai sifat. sifat khusus makhluk.

 

Faktor utama kesalahan fatal ini tak lain adalah: pertama, membayangkan sifat makhluk yang memiliki ciri-ciri khusus: dan kedua, membayangkan penerapannya pada Allah lengkap dengan ciri-cirinya. Ini dua khayalan yang batil. Sebab sifat yang terbukti disandang Allah dan disandarkan pada-Nya, tak sedikit pun bisa dibayangkan mengandung ciri-ciri khusus sifat makhluk, baik pada lafazhnya maupun ketetapan maknanya. Setiap orang yang meniadakan dari Allah salah satu dari sifat-sifat-Nya karena khayalan batil ini ia pasti meniadakan seluruh sifat-sifat kesempurnaan. Nya. Pasalnya ia hanya bisa mencerna sifat makhluk. Bahkan, ia seharusnya juga meniadakan Dzat-Nya, sebab ia tidak dapat melogika dzat selain dzat makhluk.

 

Telah dimaklumi, tak sesuatu pun menyerupai Rabb. Paham batil ini dianut oleh kelompok ekstrim mu athilah (sekte yang meniadakan sifat-sifat Allah). Semakin jauh peniadaan orang yang menegasikan sifat Allah ini, ucapannya semakin bertolak belakang dan semakin nyata kekeliruannya. Tidak ada pemahaman yang benar menurut akal sehat yang tak berdusta kecuali apa yang telah dibawa para rasul Allah – semoga shalawat Allah dan salam-Nya, rahmat Allah serta berkah-Nya tercurah pada mereka-. Sebagaimana firman Allah, “Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali para hamba Allah yang dibersihkan dari (dosa)” (Ash-Shaffat (37): 159-160). Allah mensucikan diri-Nya dari segala sifat yang dialamatkan setiap orang pada-Nya selain orang-orang yang dibersihkan dari dosa di antara para hamba-Nya. Mereka ini para rasul dan orang yang mengikuti mereka. Seperti firman-Nya dalam ayat yang lain, “Mahasuci Rabbmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam” (Ash-Shaffat (37): 180-182). Allah mensucikan Dzat-Nya dari sifat yang dialamatkan orang-orang pada-Nya, kemudian Dia mengucapkan salam pada para rasul karena kebersihan sifat yang mereka sandarkan pada Allah dari kekurangan dan aib, Dia memuji diri-Nya ketika Dia menyifati diri dengan sifat-sifat sempurna yang karenanya Dia berhak menyandang pujian serta mensucikan diri dari setiap kekurangan yang bertolak belakang dengan kesempurnaan pujian pada-Nya.

 

Arti Nama Nabi Muhammad dan Derifasinya

 

Nama Muhammad, adalah yang paling terkenal di antara nama-nama beliau. Is diambil dari kata al-hamdu, pada asalnya adalah isim maf ul (bentuk kata obyek) dari al-hamdu (pujian). Kata ini mengandung sanjungan pada orang yang dipuji, kecintaan padanya, penghormatan, dan pengagungan padanya. Ini hakikat makna al-hamdu. Pan nama, Muhammad, ini dipola mengikuti wazan mufaal, seperti mu azhzham (yang diagungkan), muhabbab (yang dicintai), musawwad (yang dipertuankan), mubajjal (yang dimuliakan), dan semisalnya. Sebab pola kata ini dibuat untuk menunjukkan arti memperbanyak. Jika diambil isim fa’il (bentuk kata subyek) dari pola kata ini maka artinya adalah orang yang banyak melakukan perbuatan berkali-kali, seperti muallim (pengajar/guru), mufahhim (orang yang memahamkan), mubayyin (yang menjelaskan), mukhallish (yang melepaskan), dan mufarrij (yang melonggarkan kesusahan), serta semacamnya. Jika diambil isim maf’ul maka artinya adalah orang yang banyak terkena perbuatan berkali-kali baik karena berhak atau karena tertimpa. Jadi Muhammad berarti orang yang banyak dipuji para pemuji secara berulang kali, atau orang yang berhak dipuji berulang kali.

 

Dikatakan, hummida (dipuji) maka ia adalah Muhammad (yang dipuji), seperti ullima (diajari) maka ia adalah muallam (yang dilatih). Kata ini, Muhammad, adalah nama sekaligus sifat. Terkait Nabi, dua hal tersebut berpadu dalam kata ini. Meskipun kata ini hanya semata-mata nama bagi kebanyakan orang yang menyandangnya, selain beliau.

 

Keterpaduan antara nama dan sifat adalah ciri khas nama-nama Allah, namanama kitab-Nya, dan nama-nama Nabi-Nya. Yakni merupakan nama yang menunjuk pada makna yang menjadi sifat-Nya. Sehingga tak ada kontradiktif antara nama dan sifat. Berbeda dengan nama-nama makhluk. Dia adalah Allah (artinya, ma’luh/yang disembah), Al-Khalig (Sang pencipta), Al-Bari” (Sang pencipta), Al-Mushawwir (Yang membentuk), Al-Oahhar (Maha mengalahkan). Ini adalah nama-nama Allah yang menunjuk pada makna-makna yang sekaligus menjadi sifat-sifat-Nya. Demikian pula Al-Qur’an (pengumpulan, kitab Allah dinamakan ‘Al-Quran’ karena menghimpun kisah-kisah, perintah dan larangan, janji dan ancaman, serta ayat-ayat dan surahsurah peer), Al-Furqan (pembeda, yakni membedakan antara kebenaran dan kebatilan per), Al-Kitabul Mubin (kitab yang jelas), serta nama-nama Al-Quran yang lain.

 

Demikian halnya nama-nama Nabi &£, “Muhammad, Ahmad Al-Mah: (penghapus)” Disebutkan dalam hadits Jubair bin Muth’im dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad Ahmad, dan aku adalah Al-Mahi yang dengankulah Allah menghapus kekufuran.”

 

Rasulullah menyebutkan nama-nama ini dalam rangka menjelaskan karunia yang secara khusus Allah anugerahkan pada beliau dan sekaligus menunjukkan makna-maknanya. Sebab, seandainya sebutan-sebutan itu sekadar nama saja, tak mengandung makna maka tak menunjukkan pujian. Oleh sebab ini Hasan mengatakan:

 

Dia mengambilkan untuk beliau dari nama-Nya guna memuliakan beliau Pemilik “Arsy adalah mahmud (yang terpuji) sedang ini adalah Muhammad.

 

Begitu juga nama-nama Allah, semuanya adalah nama-nama pujian. Seandainya nama-nama itu sekadar kata-kata yang nihil makna, tentunya tidak menunjukkan makna pujian. Bahkan Allah telah menyebutkan bahwa semua nama itu husna (amat indah). Dia berfirman,

 

“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Kelak mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Al-A’raf (7): 180).

 

Nama-nama itu tidak bersifat amat indah hanya karena pola katanya, tetapi juga karena menunjuk pada sifat kesempurnaan. Karenanya, ketika seorang arab mendengar seseorang membaca “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah… (Al-Ma’idah (51: 38) Allah Maha pengampun lagi Maha pengasih.” Ia berkata, “Ini bukan kalam Allah” Lantas si pembaca berkata, “Apakah engkau mendustakan firman Allah?” Ia berkata, “Tidak, tetapi (bagian akhir) ini bukan firman Allah” Lantas pembaca itu mengulangi bacaannya dan membaca, “dan Allah Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (Al-Ma’idah (5): 38). Lalu orang arab itu berkata, “Sekarang engkau benar. Dia Mahaperkasa lalu menghukumi dan memutuskan pemotongan tangan. Sekiranya Dia mengampuni dan mengasihi Dia tak akan memotong tangan”

 

Karenanya, apabila ayat rahmat diakhri dengan nama Allah yang mengandung makna siksa, atau sebaliknya, nampak jelas ketidak selarasan dan ketidaksinkronan kalimat.

 

  1. Dalam As-Sunan disebutkan hadits Ubay bin Kaab yang berbunyi, “Bacaan Al-Quran itu dibaca tujuh variasi bahasa Arab.”

 

Kemudian ia berkata, “Tiadalah setiap variasinya kecuali dapat diterima dan mencukupi. Yakni jika engkau mengucapkan, “Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Maha Perkasa lagi Mahabijaksana: Selagi ayat siksa tidak diakhiri dengan (nama Allah yang mengandung) rahmat, atau ayat rahmat tidak ditutup dengan (nama Allah yang mengandung) siksa.”

 

Sekiranya nama-nama Allah ini sekadar nama belaka tanpa makna, tak ada perbedaan antara mengakhiri ayat dengan satu nama atau nama lain.

 

Pula, Allah memberi alasan hukum dan perbuatannya dengan nama-nama-Nya Seandainya nama-nama tersebut tak bermakna, berarti pemberian alasan ini tidak tepat. Misalnya firman Allah, “..mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampur” (Nuh (71): 10).

 

“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Bagarah (21: 226-227).

 

Dia mengakhiri keputusan fai’l -yakni kembali pada ridha istri dan berbuat baik padanyadengan nama-Nya Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya, Dia memberikan ampunan dan rahmat-Nya pada hamba, apabila ia kembali pada-Nya.

 

Dan balasan itu sejenis perbuatan. Oleh karena hamba kembali pada keputusan yang lebih baik maka Allah kembali kepadanya dengan memberi ampunan dan rahmut. Namun, “Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Bagarah (21: 227). Karena talak berupa kalimat yang dapat didengar dan makna yang dimaksud, Dia mengiringinya dengan nama Maha mendengar ucapan talak dan Maha mengetahui maksud dari ucapan tersebut.

 

Seperti firman Allah, “Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Bagarah (2): 235).

 

Manakala Allah menyebut ungkapan sindiran dalam meminang wanita yang menunjukkan bahwa orang yang melakukannya memendam hasrat dan cinta pada wanita tersebut, serta hal itu dapat menyebabkannya mengeluarkan ucapan untuk menyampaikan keinginan menikah, Dia menghilangkan dosa dari ucapan sindiran dan perasaan senang serta cinta yang disembunyikan dalam hati, dan Dia tidak membolehkan memberi janji pada si wanita secara rahasia. Dikatakan, maksudnya janji untuk menikahi. Sehingga artinya adalah, “Jangan mengungkapkan dengan terang-terangan keinginan menikahi mereka, namun kalian boleh mengungkapkan kalimat sindiran berupa ucapan yang baik.”

 

Dikatakan pula, maksudnya janji menikahi wanita secara rahasia di masa idahnya, lalu bila idah selesai ia mengumumkan akad pernikahan tersebut. Makna ini ditunjukkan firman-Nya, “..dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya..” (Al-Bagarah (2): 235). Yakni berakhirnya masa idah. Siapa menguatkan pendapat pertama (janji secara rahasia untuk menikahi bila idah selesai) ia mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bolehnya mengungkapkan (ketertarikan menikahi) malalui kata sindiran dengan ditiadakannya dosa dari hal tesebut, dan menunjukkan haramnya mengungkapkan (keinginan menikahi) secara terang-terangan dengan dilarangnya memberi janji secara rahasia, serta haramnya mengadakan akad nikah sebelum masa idah berakhir. Seandainya maksud berjanji secara rahasia adalah melakukan akad secara rahasia tentunya ini kalimat pengulangan (tanpa ada makna baru). Kemudian Allah mengiringi hal ini dengan firman-Nya, “..dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu: maka takutlah kepada-Nya…” (Al-Bagarah (2): 235). Yakni, jangan melewati batas yang telah Dia gariskan, sebab Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan yang kalian perlihatkan.

 

Kemudian Dia berfirman, S..dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Al-Bagarah (2): 235). Andai bukan karena ampunan dan kepenyantunan-Nya sungguh kalian akan merasa sangat kesulitan. Allah senantiasa mengawasi kalian, mengetahui apa yang ada di hati kalian, mengetahui apa yang kalian kerjakan. Jika kalian terjerumus dalam suatu pelanggaran larangan-Nya segeralah bertaubat dan memohon ampun pada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

 

Ini metode Al-Quran, yakni menggabungkan antara nama Allah yang mengundang harapan dan nama-Nya yang mengharuskan takut. Seperti firman-Nya,

 

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-MP’idah (5): 98).

 

Penduduk surga berkata sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, “Dan mereka berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (Fathir (35):34). Karena mereka berada dalam pemuliaan-Nya lantaran Dia me. ngampuni dosa-dosa mereka dan berterima kasih pada perbuatan baik mereka, mereka mengatakan, “..sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (Fathir (35): 34). Hal ini mengandung pemberian alasan. Jelasnya, berkat ampunan dan terima kasih-Nya kami sampai ke kampung kemuliaan-Nya ini, sebab Dia telah mengampuni keburukan-keburukan kami dan berterima kasih atas perbuatan-perbuatan baik kami. Allah berfirman, “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (An-Nisa’ (4): 147). Ini balasan syukur mereka. Artinya, jika kalian berterima kasih pada Rabb niscaya Dia balik berterima kasih pada kalian. Dia mengetahui syukur kalian. Dia tahu siapa yang bersyukur pada-Nya dan siapa yang kufur. Al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang seirama dengan beberapa contoh ayat di atas. Apa yang dipaparkan di sini tujuannya sekadar mengingatkan saja.

 

Allah juga menggunakan nama-nama-Nya untuk menunjukkan keesaan-Nya dan meniadakan persekutuan dengan-Nya. Seandainya nama-nama tersebut tak bemakna tentunya tak mengindikasikan keesaan Allah dan ketiadaan persekutuanNya. Contohnya seperti ucapan Harun pada para penyembah patung anak sapi, “.. hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu ialah (Rabb) Yang Maha Pemurah..” (Thaha (20): 90).

 

“Sesungguhnya Ilahmu hanyalah Allah, yang tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (Thaha (20): 98)

 

“Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa: Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Bagarah (2): 163)

 

Firman-Nya di akhir surah Al-Hasyr, “Dialah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (Al-Hasyr (59): 2223). Dia mensucikan diri-Nya dari persekutuan orang-orang musyrik selepas memuji diri-Nya dengan menyebutkan nama-nama-Nya nan indah yang menuntut keesaanNya dan kemustahilan adanya sekutu bagi-Nya.

 

Siapa merenungkan pengertian ini dalam Al-Quran ia mendarat di atas kebunkebun ilmu yang dilindungi Allah dari setiap pendusta yang berpaling dari kitab-Nya dan enggan mengambil petunjuk darinya. Seandainya dalam kitab suci kita tidak ada selain masalah ini saja, sungguh itu sudah cukup bagi orang yang memiliki kepekaan pemahaman dan pengetahuan. Allah jua yang membimbing pada kebenaran.

 

Allah juga mengaitkan kata-kata yang berstatus ma’mulat (penderita) seperti zharaf (kata keterangan tempat atau waktu), jar dan majrur, serta lainnya dengan nama-nama-Nya. Seandainya nama-nama Allah sebatas nama saja pengaitan ini tidaklah tepat. Contohnya seperti firman Allah, “..dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al-Bagarah (2): 282).

 

“Allah Maha Mengetahui orang-orang yang aniaya” (Al-Bagarah (2): 95)

 

“…maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan?” (Ali Imran (3): 163)

 

“…Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab (33): 43)

 

“…sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka? (At-Taubah (9): 117)

 

“…Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Al-Bagarah (2): 284)

 

“…Allah meliputi orang-orang yang kafir” (Al-Bagarah (2): 19)

 

“…Allah Maha Mengetahui keadaan mereka” (An-Nisa’ (41:39)

 

“…Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Kahfi (18): 45)

 

“…sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Hud (11): 111)

 

“..Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hujurat (49): 18)

 

“…sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) para hamba-Nya lagi Maha Melihat” (Asy-Syira (42): 27).

 

Ayat-ayat seperti ini masih banyak.

 

Selanjutnya, Allah menjadikan nama-nama-Nya sebagai dalil atas sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang diingkari orang-orang yang menolak. Contohnya seperti firman-Nya, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan): Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui” (Al-Mulk (67): 14).

 

Para peneliti berbeda pendapat tentang nama-nama ini, apakah namanama tersebut berlainan mengingat perbedaan makna-maknanya dan setiap nama menunjukkan makna yang tidak ditunjukkan nama yang lain, ataukah nama-nama ini saling bersinonim mengingat semua nama itu menunjuk pada Dzat yang satu, maksudnya tidak berbilang, dan ini merupakan sifat kata-kata yang saling bersinonim? perselisihan dalam masalah ini sekadar dalam masalah kata saja.

 

Hasil identifikasi mengatakan, nama-nama Allah ini bersinonim bila melihat pada Dzat yang ditunjukkannya dan berlainan bila melihat pada sifat-sifat yang diindikasikannya. Kemudian secara keselarasan setiap nama menunjuk pada Dzat yang digambarkan dengan sifat itu, dan secara kandungan menunjuk pada salah satu dari keduanya saja, sedang secara keharusan menunjuk pada sifat yang lain.

 

Bila demikian pengertiannya maka penamaan Nabi dengan “Muhammad dikarenakan makna yang terkandung di dalamnya. Yakni, pujian. Sebab Nabi itu terpuji di hadapan Allah, terpuji di hadapan para malaikat, terpuji di hadapan para sejawat beliau dari kalangan rasul -semoga shalawat dan salam terlimpah pada beliau dan mereka-, serta terpuji di hadapan semua penduduk bumi. Meskipun sebagian dari mereka mengingkari beliau. Namun karakter-karakter kesempurnaan yang beliau sandang, terpuji dalam pandangan setiap orang yang berakal, kendati ia melawan jalan akalnya ini hanya karena keras kepala atau karena tidak tahu bahwa beliau menyandang sifat-sifat tersebut, di mana seandainya ia mengetahuinya pasti ja memuji beliau. Sebab pada dasarnya ia memuji orang yang menyandang karakterkarakter kesempurnaan, hanya saja ia tidak mengetahui keberadaannya pada diri Rasulullah. Jadi pada hakikatnya orang ini memuji beliau.

 

Nabi diistimewakan memiliki nama al-hamdu (pujian) yang tidak terhimpun pada selain beliau. Nama beliau adalah Muhammad dan Ahmad umat beliau adalah al-hammidan (orang-orang yang memuji) yakni mereka memuji Allah dalam suka maupun duka, shalat beliau dan shalat umat beliau diawali dengan bacaan al-hamdu (Al-Fatihah), khotbah beliau dibuka dengan al-hamdu (pujian), dan kitab beliau diawali dengan al-hamdu (surah Al-Fatihah). Demikianlah di sisi Allah di Lauhul Mahfuzh bahwa para khalifah dan sahabat beliau menulis Mushaf dengan diawali alhamdu (surah Al-Fatihah). Kemudian di tangan beliau tergenggam bendera al-hamdu pada Hari Kiamat, dan ketika beliau sujud di hadapan Rabb untuk memohon syafaat dan beliau diizinkan, beliau memuji Allah dengan pujian-pujian yang Dia ilhamkan pada beliau.

 

Nabi adalah pemilik al-magamul mahmud (tempat terpuji) yang dicitaCitakan semua generasi awal dan akhir. Allah berfirman,

 

“Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (Al-Isr2 (17): 79).

 

Siapa ingin mengetahui arti al-maqamul mahmud silahkan menelaah penjelasan generasi salaf umat ini dari generasi sahabat serta tabi’in tentang tafsir ayat ini. Seperti kitab tafsir karya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir dan Abd bin Humaid, serta kitab-kitab tafsir lainnya.

 

Bila Nabi telah berdiri di tempat terpuji itu, semua makhluk di padang Mahsyar memuji beliau, baik yang muslim maupun yang kafir, yang awal maupun yang akhir. Nabi sosok terpuji lantaran beliau telah memenuhi bumi dengan petunjuk, keimanan, ilmu bermanfaat, dan amal shalih. Melalui beliau, hati-hati terbuka, kegelapan sirna dari penduduk bumi, dan beliau menyelamatkan mereka darj tawanan setan, dari menyekutukan Allah, menqufuri-Nya, dan tidak mengetahui-Nya. Sehingga para pengikut beliau merengkuh kehormatan duniawi dan ukhrawi. Sebab risalah beliau datang pada penduduk bumi tepat di saat mereka dalam kondisi paling membutuhkan. Kala itu mereka berada di antara penyembah berhala, salib, api, atau bintang dan kelompok yang dimurkai Allah (Yahudi) yang telah kembali membawa kemurkaan Allah, serta orang bingung yang tidak mengetahui tuhan yang harus ia sembah dan tidak pula dengan cara apa ia menyembah. Saat itu manusia saling menzhalimi. Siapa memandang baik sesuatu ia mengajak orang lain meyakininya dan memerangi siapa saja yang menyelisihinya. Tak setapak kaki pun bumi tersinari cahaya risalah. Allah telah melihat penduduk bumi lalu memurkai mereka, baik bangsa Arab maupun ajamnya. Kecuali masih ada sedikit sisa-sisa dari jejak ajaran agama yang benar. Lantas lewat Nabi, Allah menolong negeri dan hamba, menyingkap kezhaliman tersebut, menghidupkan makhluk setelah kematian. Melalui beliau, Allah menunjuki dari kesesatan, mengajari dari kebodohan, memperbanyak jumlah setelah sedikit, memuliakan setelah terhina, memperkaya setelah papa, dan dengan beliau Dia membuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, serta hati-hati yang tertutup. Beliau mengenalkan manusia pada Rabb dan sesembahan mereka sejauh pengetahuan yang dapat dicapai daya nalar mereka. Beliau memulai dan mengulangi, meringkas, dan memanjanglebarkan dalam menguraikan nama-nama-Nya, sifatsifat-Nya, perbuatan-perbuatan, serta hukum-hukum-Nya. Sampai cahaya marifah pada Allah terbit di hati para hamba-Nya yang beriman dan awan keraguan serta kebimbangan pergi meninggalkannya seperti sirnanya mendung dari bulan di malam purnama. Beliau tidak menyisakan satu permasalahan pun yang dibutuhkan umat dalam pengenalan ini, baik pada orang sebelum beliau maupun setelah beliau. Beliau telah mencukupi mereka, memuaskan mereka, dan membuat mereka tidak perlu pada siapa pun yang berbicara dalam masalah ini.

 

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Guran) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al-Guran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Al-“Ankabit (29): 51).

 

Abu Daud meriwayatkan dalam kitab Marisil-nya, (hadits no. 454), dari Nabi bahwa beliau melihat potongan kitab Taurat di tangan seorang sahabat. Beliau pun bersabda:

 

  1. “Cukuplah suatu kaum tersesat bila mereka mencari kitab, selain kitab mereka, yang diturunkan pada selain nabi mereka” Maka untuk membenarkan sabda beliau ini, Allah menurunkan ayat, “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (aj, Ouran) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Ar. Ouran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang berimar” (Al-“Ankabit (29): 51).

 

Ini keadaan orang yang mengambil agamanya dari kitab yang diturunkan pada selain Nabi Muhammad. Lantas bagaimana dengan orang yang mengambil ajaran agamanya dari pemikiran orang biasa dan lebih mendahulukannya dari firman Allah serta sabda Rasulullah

 

Nabi mengenalkan pada mereka jalan yang dapat mengantarkan kepada Rabb, ridha-Nya, serta kampung kemuliaan-Nya. Beliau tidak meninggalkan satu kebaikan kecuali telah beliau perintahkan pada mereka dan tidak pula satu keburukan kecuali telah beliau Jarang. Sebagaimana bunyi sabda beliau

 

  1. “Aku tak meninggalkan sesuatu pun yang dapat mendekatkan kalian ke surga kecuali telah aku perintahkan kalian untuk mengerjakannya dan tidak pula sesuatu pun yang dapat menggiring kalian ke neraka kecuali aku telah melarang kalian melakukan.”? Abu Dzar berkata:

 

  1. Sungguh Rasulullah wafat dan tidaklah seekor burung mengepakngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan satu ilmu darinya.”

 

Nabi juga memberitahukan secara paripurna tentang keadaan mereka setelah menghadap pada Rabb. Beliau mengungkap perkara dan menjelaskannya. Beliau tidak menyisakan satu pun pintu ilmu yang bermanfaat bagi hamba dan dapat mendekatkan mereka pada Rabb kecuali beliau telah membukakannya, dan tidak pula satu persoalan kecuali beliau telah menjelaskan dan menerangkannya. Sehingga melalui beliau, Allah menunjuki hati-hati dari kesesatannya, menyembuhkannya dari penyakit-penyakit, dan menolongnya dari kebodohan. Adakah manusia yang lebih berhak dipuji dibanding beliau Semoga Allah memberi beliau balasan terbaik atas jasa beliau terhadap umat.

 

Yang paling benar di antara dua pendapat tetang firman Allah, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiya’ (21): 107). Ini berlaku secara umum. Dan menurut asumsi ini, ada dua pengertian:

 

  1. Seluruh alam semesta memperoleh manfaat kerasulan Nabi Adapun para pengikut beliau mereka mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Sedangkan musuh-musuh yang memerangi beliau maka yang kematiannya disegerakan itu lebih baik dari pada terus hidup, mengingat kehidupannya hanya menambah berat siksa di akhirat yang kelak akan ia terima. Mereka itu telah ditetapkan celaka, sehingga kematian dini lebih baik dibanding berusia panjang dalam kekufuran. Sedang orang-orang yang menjalin perjanjian damai dengan beliau (kafir mwahad) mereka hidup di dunia di bawah suaka beliau, perjanjian, dan perlindungan beliau. Mereka lebih ringan kejahatannya lantaran perjanjian tersebut dibanding orang-orang yang memerangi beliau (kafir muharib).

 

Adapun orang-orang munafik, dengan menampakkan keimanan pada beliau, mereka memperoleh perlindungan dan kehormatan untuk darah, harta, dan keluarga, berlakunya hukum-hukum muslimin pada mereka dalam hal waris maupun lainnya. Sedangkan umat-umat yang jauh dari beliau, Allah telah menghilangkan siksaan masal pada seluruh penduduk bumi berkat kerasulan beliau, .. Jadi seluruh alam semesta merasakan manfaat kerasulan Nabi

 

  1. Beliau adalah rahmat untuk setiap orang. Akan tetapi hanya orang-orang beriman yang menerima rahmat ini sehingga mereka meraup manfaatnya di dunia dan akhirat. Sementara orang-orang kafir menolaknya. Namun penolakan mereka ini tak membuat beliau keluar dari status rahmat bagi mereka. Hanya saja mereka enggan menerimanya. Ini seperti ucapan, “Ini adalah obat untuk sakit ini” Lalu apabila orang yang sakit tidak menggunakannya, ia tidak merobah kondisi obat tersebut sebagai penawar sakit itu.

 

Di antara hal yang menyebabkan Nabi dipuji adalah perilaku dan karakter mulia yang Allah jadikan sebagai watak beliau. Sebab, orang yang melihat akhlak dan tabiat beliau, ia tahu itu adalah sebaik-baik akhlak makhluk dan karakter paling mulia yang disandang makhluk. Nabi adalah makhluk paling berilmu, paling amanah, paling jujur dalam bertutur kata, paling penyantun, paling dermawan, dan murah hati, paling tabah dalam memikul ujian, dan paling murah dalam memberi maaf dan ampunan. Semakin besar tindakan jahat pada beliau justru membuat beliau bertambah murah hati. Sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya (VIII/ hadits no. 4838), dari Abdullah bin Amru ia berkata tentang sifat Rasulullah yang disebutkan dalam Taurat:

 

  1. “Muhammad adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Aku menamainya Mutawakkil (orang yang bertawakal). Ia bukan sosok yang keras, kasar, dan tidak pula suka berteriak-teriak di pasar. Ia tidak membalas keburukan dengan keburukan pula, tetapi ia memaafkan dan mengampuni. Aku tidak akan mewafatkannya sebelum aku menegakkan millah yang bengkok melalui dirinya, yakni mereka mengucapkan tiada Ilah selain Allah. Dengannya, Aku membuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, dan hati-hati yang tertutup.”

 

Nabi adalah makhluk paling penyayang, paling berbelas kasih pada mereka, paling bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia. Beliau makhluk Allah yang paling fasih (dalam bertutur kata), paling indah dalam mengungkapkan pengertian yang banyak dengan kalimat singkat namun padat makna, paling sabar dalam situasi-situasi yang membutuhkan kesabaran, paling berani dalam situasisituasi peperangan, paling menepati perjanjian dan perlindungan, serta paling besar dalam membalas perbuatan baik dengan berlipat ganda. Paling rendah hati, paling mengalah untuk mendahulukan kepentingan orang lain, dan beliau adalah makhluk yang paling gigih dalam membela, melindungi, dan menjaga para sahabatnya. Nabi gg makhluk paling konsisten dalam menjalankan perintah yang beliau berikan dan meninggalkan larangan yang beliau tetapkan, serta paling bersemangat menyambung tali kekeluargaan. Beliau paling pas dengan ungkapan seseorang:

 

Sejuk dan penuh kasih sayang pada orang dekat

Namun keras dan tegas pada musuh-musuh

 

  1. Ali menuturkan, “Rasulullah adalah manusia paling baik hati, paling jujur dalam ucapan, paling santun dalam perilaku serta paling mulia dalam pergaulannya. Siapa melihat beliau dengan tiba-tiba, ia merasa takut pada beliau dan siapa bergaul dengan beliau (pasti) mengetahui karakter beliau.

 

Orang yang menggambarkan beliau mengatakan, Aku tidak melihat sebelum, dan sesudah ini orang seperti beliau

 

Ucapannya, “Beliau adalah manusia paling berdada baik” Maksudnya keikhlasan dan banyaknya kebaikan dalam dada. Sebab kebaikan benar-benar, memancar dari dada (baca, hati). Dan dada beliau berisi semua perilaku cantik dan kebaikan. Sebagaimana diungkapkan sebagian ahluilmi, “Di seantero dunia ini tak ada satu tempat pun yang lebih banyak mengandung kebaikan dibanding dada Rasulullah. Beliau telah menghimpun kebaikan secara keseluruhan dan meletakkannya dj dada beliau”

 

Ucapannya, “paling jujur dalam ucapan” Ini di antara karakter yang diakui musuh-musuh yang memerangi beliau. Tak satu pun dari musuh-musuh beliau yang pernah mengetahui beliau berdusta walau sekali saja. Belum lagi kesaksian semua orang yang mencintai beliau terkait sifat ini. Penduduk bumi telah memerangi beliau dengan berbagai bentuk peperangan, baik yang musyrik maupun ahlul kitab. Namun tak sehari pun salah satu dari mereka mencela beliau dengan suatu kebohongan, besar maupun kecil.

 

  1. Miswar bin Makhramah menuturkan: Aku berkata pada Abu Jahal -ia pamanku dari jalur ibu-, “Wahai paman, pernahkah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum ia mengucapkan perkataannya ini?” Ia menjawab, “Demi Allah wahai kemenakan, sungguh Muhammad -sejak masih mudamendapat julukan di tengah-tengah kami sebagai ‘Al-Amin. Maka ketika ia mulai beruban tak mungkin ia berdusta.” Aku bertanya, “Wahai paman, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Ia menjawab, “Wahai kemenakan, kami dan Bani Hasyim berebut pengaruh. Mereka memberi makan, kami pun memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi suaka, kami juga memberi suaka. Tatkala kami tengah beradu cepat dan kami seperti dua kuda yang berlari sejajar tibatiba mereka mengatakan, “Dari kami muncul seorang nabi Lalu kapan kami bisa mendatangkan pengakuan seperti ini” Atau seperti ucapannya.

 

Allah berfirman menghibur Nabi dan meredakan kesedihan beliau akibat ucapan para musuh, “Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu” (Al-An’am (6): 33-34).

 

Ucapannya, “paling santun dalam perilaku” Artinya, beliau ramah, supel, dan dekat dengan orang-orang. Menjawab undangan orang yang mengundang, menyelesaikan hajat orang yang meminta bantuan, menentramkan hati orang yang meminta, tidak menolaknya pun tidak membiarkannya pulang dengan tangan hampa. Bila para sahabat menginginkan satu perkara pada beliau, beliau menyetujuinya dan menuruti keinginan mereka. Jika beliau bertekad melakukan sesuatu, beliau tidak bersikap diktator pada mereka. Sebaliknya, beliau meminta pendapat dan masukan mereka. Beliau menerima perbuatan baik mereka dan memaafkan tindakan buruk mereka.

 

Ucapannya, “paling mulia pergaulannya” Artinya, beliau tidak mempergauli teman duduk kecuali dengan pergaulan yang paling sempurna, paling baik, dan mulia. Beliau tidak bermuka masam di hadapannya, tidak bicara kasar padanya, tidak cemberut, tidak terus mengingat kesalahan-kesalahan ucapannya dan tidak membalas kekurangramahan atau semisalnya yang dilakukan orang tersebut. Sebaliknya, beliau berbuat baik pada teman semaksimal mungkin dan bersabar dengan sangat sabar Pergaulan beliau pada mereka adalah menghadapi dengan tabah gangguan dan sifat kurang simpatik mereka secara keseluruhan. Beliau tidak menghukum seorang pun dari mereka, tidak mencaci makinya dan tidak memulai bersikap buruk terhadapnya, Siapa bergaul dengan beliau ia pasti mengatakan, beliau adalah orang yang paling dicintainya. Sebab ia menyaksikan kelembutan, kedekatan, dan perhatian beliau terhadap diri serta urusannya, nasihat, dan perbuatan baik beliau padanya, serta kesabaran beliau dalam menghadapi kekurangramahannya. Adakah atau akan adakah pergaulan yang lebih mulia dari pergaulan ini?

 

Husain mengungkapkan: Aku bertanya pada ayahku tentang riwayat kehidupan Nabi di tengah-tengah kawan beliau. Ia menjawab:

 

  1. Nabi selalu bermuka cerah, lemah lembut, dan ramah. Beliau bukan orang yang kasar, keras, suka berteriak-teriak, berbicara tak pantas, gemar mencela, pun bukan orang yang senang memuji. Beliau mengabaikan sesuatu yang tidak beliau inginkan, tidak membuat putus asa orang yang berharap pada beliau, dan tidak membuatnya kecewa. Beliau telah meninggalkan tiga hal: perdebatan, banyak bicara, dan sesuatu yang tidak penting. Beliau tidak mencaci seorang pun, tidak mencelanya, dan tidak mencari-cari kesalahannya, serta tidak berbicara terkait hal yang beliau harapkan balasannya. Bila beliau bicara orang-orang menundukkan kepala seolah-olah ada burung di atas kepala mereka. Lalu bila beliau diam (selesai bicara) barulah mereka angkat suara. Mereka tidak meributkan perkataan di hadapan beliau. Dan siapa bicara di hadapan beliau maka orang-orang diam mendengarkannya sampai ja selesai. Status mereka dalam berbicara adalah sama. Beliau tertawa karena sesuatu yang membuat mereka tertawa. Takjub pada sesuatu yang membuat mereka takjub. Beliau bersabar menghadapi kekurangsopanan tutur kata dan pertanyaan orang asing. Sampai-sampai para sahabat beliau mengundang orang-orang asing tersebut.” Beliau mengatakan, Apabila kalian melihat orang yang tengah membutuhkan maka tolonglah ia. Beliau tidak menerima pujian kecuali dari orang yang membalas (kebaikan), dan tidak memotong pembicaraan seseorang sampai orang itu melampaui batas, di mana beliau memotongnya dengan melarang atau berdiri”

 

Ucapannya, “siapa melihat beliau dengan tiba-tiba ia merasa takut pada beliau dan siapa bergaul dengan beliau karena mengetahui ia mencintai beliau” Ali mendeskripsikan Nabi dengan dua sifat yang khusus Allah anugerahkan pada orang-orang yang jujur dan ikhlas. Yakni, kewibawaan dan cinta. Allah telah menyandangkan kewibawaan dan cinta pada beliau. Sehingga setiap orang yang melihat Nabi pasti takut dan menaruh hormat pada beliau, hatinya sarat dengan pengagungan, dan pemuliaan. Meskipun ia orang yang memusuhi beliau. Apabila orang itu berteman dan bergaul dengan Nabi 2s maka beliau menjadi orang yang paling ia cintai dibanding semua makhluk. Beliau adalah sosok yang dimuliakan, diagungkan, dicintai, dan dihormati. Inilah puncak kesempurnaan cinta, yakni memadukan antara pengagungan dan kewibawaan. Cinta tanpa pengagungan dan kewibawaan adalah cinta yang tak sempurna. Kewibawaan dan pengagungan tanpa disertai cinta, sebagaimana disandang penguasa tirani, juga kurang lengkap. Yang sempurna adalah terpadunya antara cinta, sayang, pengagungan, dan pemuliaan, Ini tidak terwujud kecuali bila pada diri sosok yang dicintai terkandung sifat-sifat kesempurnaan yang ia berhak diagungkan sekaligus dicintai lantaran keberadaan sifat-sifat tersebut.

 

Oleh karena Allah paling berhak menyandang semua sifat ini maka Dia berhak diagungkan, dibesarkan, ditakuti, dicintai, disayangi dengan setiap bagian hati, dan tidak disekutukan dalam perkara ini. Inilah dosa syirik (persekutuan) yang tidak Allah ampuni, yakni menyamakan antara Dia dengan selain-Nya dalam hal cinta dan pengagungan. Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah: mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..” (Al-Bagarah (2): 165). Dia mengabarkan bahwa siapa mencintai sesuatu selain Allah seperti cintanya pada Allah berarti ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah. Dan di dalam neraka kelak, penghuni neraka berkata pada sesembahan mereka, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam” (Asy-Syu’ara (26):97-98). Penyamaan sesembahan-sesembahan dengan Allah yang mereka lakukan ini bukan dengan menganggap sesembahan tersebut menciptakan langit-langit dan bumi, atau menciptakan diri mereka, atau juga menciptakan bapak-bapak mereka. Tetapi mereka menyamakan sesembahan dengan Pemelihara alam semesta dalam hal mencintainya seperti kecintaan pada Allah. Sebab hakikat ibadah adalah cinta dan kerendahan. Inilah pengagungan dan pemuliaan yang Allah sandangkan pada diri-Nya dalam firman-Nya, “Mahaagung nama Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Pemuliaan” (Ar-Rahmain (55): 78). Yang paling shahih di antara dua pendapat tentang tafsir ayat ini adalah, kebesaran maksudnya pengagungan dan pemuliaan maksudnya cinta. Ini merupakan rahasia ucapan hamba, “Tiada Ilah selain Allah, Allah Mahabesar” Masalah ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits Anas dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Senantiasalah (mengucapkan), wahai pemilik kebesaran dan pemuliaan”

 

Maknanya, selalulah mengucapkan kalimat ini. Dalam Musnad Abi Yala Al-Maushili dari seorang sahabat :

 

  1. Ia memohon bisa mengetahui nama Allah yang paling agung. Lantas dalam tidur ia bermimpi melihat tulisan dengan bintang di langit (yang berbunyi), “Wahai pencipta langit-langit dan bumi, wahai pemilik keagungan dan pemuliaan.”

 

Setiap cinta dan pengagungan pada manusia hanya dibolehkan bila mengikuti cinta dan pengagungan pada Allah, seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah. Sebab cinta pada beliau termasuk kesempurnaan cinta dan pengagungan pada Pengutus beliau. Umat mencintai beliau lantaran kecintaan Allah pada beliau. Mereka mengagungkan dan memuliakan beliau karena Allah memuliakan beliau. Ini adalah cinta karena Allah yang melahirkan cinta Allah. Demikian halnya mencintai orang. orang berilmu dan beriman, mencintai dan memuliakan para sahabat mengikut: cinta Allah dan Rasul-Nya pada mereka.

 

Intinya, Allah menyandangkan kewibawaan dan cinta pada diri Nabi, dar setiap orang beriman yang mukhlis memiliki bagian dari anugerah ini.

 

Hasan Al-Bashri ats mengatakan:

 

  1. “Sesungguhnya seorang mukmin dianugerahi kemanisan dan kewibawaan”

 

Maksudnya, ia dicintai, ditakuti, dan dimuliakan. Allah memakaikan pakaian keimanan padanya yang menuntut hal tersebut. Oleh sebab ini, tak seorang manusia pun lebih dicintai orang lain, lebih ditakuti, dan lebih diagungkan dalam dadanya dibanding Rasulullah dalam dada para sahabat ”

 

Amru bin Ash berkata -sebelum memeluk Islam-:

 

  1. “Sesungguhnya tak ada orang yang lebih aku benci dari pada beliau.” Lalu ketika ia masuk Islam, tak seorang pun yang lebih ia cintai dari pada beliau dan tidak pula lebih terhormat di matanya dibanding beliau. Ia mengatakan, “Seandainya aku diminta menggambarkan beliau pada kalian sungguh aku tak mampu, sebab aku tak pernah menatap tajam pada beliau karena mengagungkan beliau.

 

Urwah bin Masud berkata pada orang-orang Ouraisy:

 

  1. “Wahai kaum, demi Allah, aku telah mengunjungi Kisra, Oaishar, dan rajaraja. Namun aku tak melihat seorang raja pun yang diagungkan pengikutnya seperti para sahabat Muhammad mengagungkan Muhammad. Demi Allah, mereka tak mau menatap tajam kepadanya lantaran mengagungkannya. Dan tidaklah ia membuang ludah kecuali terjatuh di telapak tangan seorang dari mereka lalu ia mengusap-usapkannya pada wajah dan dadanya. Apabila ia wudhu mereka nyaris saling bunuh karena memperebutkan bekas air wudhunya.”

 

Karena Rasulullah menyandang sifat-sifat yang menuntut dipuji berkalikali beliau pun dinamakan “Muhammad! Ini adalah nama yang sinkron dengan penyandangnya dan kata yang sesuai dengan maknanya. Sedang perbedaan antara nama Muhammad dan Ahmad bisa dilihat dari dua sisi:

 

  1. “Muhammad” adalah orang yang dipuji dengan pujian yang berulang-ulang. Nama ini mengindikasikan melimpahnya pujian orang-orang yang memujinya, dan hal itu mengharuskan banyaknya faktor-faktor yang melahirkan pujian dalam diri beliau. Sedang Ahmad adalah bentuk isim tafdhil dari kata alhamdu, menunjukkan bahwa pujian yang berhak beliau dapatkan lebih baik dari yang berhak diperoleh orang lain. Jadi, “Muhammad berarti keunggulan pujian dalam kuantitas, dan ‘Ahmad’ keunggulan pujian dalam kualitas. Maka beliau dipuji dengan pujian terbanyak sekaligus pujian terbaik yang diucapkan manusia.

 

  1. “Muhammad berarti orang yang dipuji dengan pujian yang berulang-ulang, seperti di atas. Sedang “Ahmad” adalah orang yang pujiannya pada Rabb lebih baik dari pujian para pemuji selain beliau. Maka salah satu dari dua nama ini —yakni, Muhammadmenunjukkan bahwa beliau orang yang terpuji dan nama kedua -yakni, Ahmadmenunjukkan keberadaan bahwa beliau adalah orang yang paling memuji Rabb. Ini sesuai dengan kaidah umum dalam bahasa. Sebab isim tafdhil dan fi’il taajub yang mengikuti pola kata af ala/af alu, menurut sekelompok ulama Nahwu Bashrah tidak boleh dibuat kecuali dari kata kerja aktif (fi’il mabni lil ma’lum). Artinya, tidak boleh dibentuk dari kata kerja pasig (fi’il mabni lil majhul). Mereka beralasan, fi’il taajub dan isim tafdhil yang ikut wazan af alu, hanya bisa dibentuk dari fi’il lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan obyek), tidak dari fi’il mutaadi (kata kerja yang membutuhkan obyek secara langsung). Oleh sebab ini, mereka mengasumsikan kata kerja ini dipindahkan dari wazan fa’ila dan fa’ala ke wazan fa’ula. Mereka berkata, “Kata ini (isim tafdhil dan fi’il taajub yang berpola af alu) menjadi membutuhkan maf ul dengan keberadaan huruf “hamzah’ (di awalnya). Huruf hamzah ini berguna untuk mengubahnya menjadi muta’adi. Contohnya, ma azhrafa zaidan (alangkah cerdiknya Zaid) dan md akrama Amran (betapa mulia/dermawannya Amru). Kedua kata ini asalnya adalah zharufa (cerdik) dan karuma (mulia), (dimana keduanya tidak membutuhkan obyek untuk memenuhi syarat kesempurnaan kalimat). Mereka berdalih, “Obyek ungkapan takjub di sini asalnya adalah fa’il (subyek). Jadi pasti fi’ilnya bukan muta’adi.”

 

Mereka juga mengatakan, “Adapun penjelasan mereka (kelompok yang mengatakan bolehnya fi’il ta’ajub dan isim tafdhil dibuat dari fi’il muta’adi) tentang kalimat “md adhraba zaidan li amrin” (betapa Zaid sangat memukul Amru) bahwa pada asalnya fiil ini adalah muta’adi, sebenarnya fi’il tersebut merupakan hasil konversi dari dharaba (memukul, yang muta’adi atau membutuhkan obyek) menjadi berwazan faula (dharuba) yang lazim (tidak. membutuhkan obyek). Kemudian baru setelah itu dimuta’adikan dengan huruf hamzah yang berfungsi merobah fi’il lazim menjadi muta’adi:”

 

Mereka mengatakan, “Dalilnya adalah didatangkannya huruf lam (baca, li), sehingga mereka mengatakan, ma adhraba zaidan li amrin. Seandainya kata kerja ini tetap dalam statusnya sebagai fi’il muta’adi (tanpa dirubah dulu ke fiil lazim) tentunya ungkapannya adalah, “md adhraba zaidan amran. Sebab kata ini mengenai obyek pertama dengan sendirinya, dan mengenai obyek kedua dengan keberadaan huruf hamzah tadiyah. Maka ketika kata kerja ini dimuta’adikan ke maf ul pertama dengan hamzah ta’diyah, ia dimuta’adikan ke maf’ul kedua dengan huruf lam. Jadi diketahui bahwa fi’il ta’ajub ini (adhraba) asalnya adalah fi’il lazim. Alasan inilah yang mengharuskan mereka mengatakan, “(Isim tafdhil dan fi’il taajub yang mengikuti pola kata afala/af’alu) tidak dibentuk kecuali dari kata kerja aktif (fi’il mabni lil ma’lum), bukan dari kata kerja pasif (fi’il mabni lil majhul)”

 

Tentang masalah ini mereka didebat kelompok yang lain. Kelompok ini mengatakan, “Fi’il taajub dan isim tafdhil (yang mengikuti pola kata af ala/af alu) boleh dikonstruksikan dari fi’il mabni lil ma’lum dan fi’il mabni lil majhul. Bangsa Arab biasa mengatakan, “Ma asyqhalahu bisy syai” (Alangkah sibuknya ia dengan sesuatu). Kata ini (asyghala) diambil dari kata syughila bihi (ia disibukkan). Maka ungkapan keheranan ditujukan pada orang yang disibukkan dengan sesuatu, bukan pada sesuatu yang menyibukkan. Demikian pula ungkapan, “ma aulaahu bi kaaza” betapa ia suka pada…” dari kata ilia bihi (ia dibuat suka) yang merupakan kata kerja pasif (mabni lil majhul). Alasannya, karena orang-orang arab senantiasa mempolakan kata ini dalam bentuk kata kerja pasif, dan tidak mengontruksinya dalam bentuk kata kerja aktif. Begitu juga perkataan, “md ajabahu bi kadza” (betapa ia sangat takjub/ suka pada…) dari kata u’jiba bisy syai’i (ia dibuat suka pada sesuatu). Juga perkataan, “ma ahabbahu ilayya” (betapa aku sangat menyukainya) yang merupakan ungkapan kekaguman dari kata kerja pasif. Kemudian ucapan, “md abghadhahu ilayya” (betapa aku sangat membencinya) dan “ma amqatahu ilayya” (betapa aku sangat memurkainya).

 

Dalam hal ini ada masalah populer yang telah diungkapkan Sibawaih, yakni Anda mengatakan, “Ma abghadhani lahu, ma ahabbani lahu, dan ma amgatani lahu” jika Anda sebagai orang yang benci, suka, atau murka. Sehingga merupakan ungkapan keheranan pada perbuatan seseorang. Dan Anda mengatakan, “Ma abghadhani ilaihi, md amgatani ilaihi, dan md ahabbani ilaihi” jika Anda menjadi pihak yang dibenci, dimurkai, atau dicintai. Sehingga merupakan ungkapan keheranan pada perbuatan yang terjadi pada obyek. Jadi bila menggunakan huruf lam maka obyek ketakjubannya adalah fa’il (subyek), sedang bila menggunakan kata ila berarti ungkapan ketakjuban pada maf “ul (obyek). Demikian pula Anda mengatakan, “na ahabbahu ilayya” (betapa ia sangat aku cintai) bila ia sebagai yang dicintai, dan “ma abghadhahu ilayya” (betapa ia sangat aku benci), bila ia sebagai orang yang dibenci. Mayoritas ulama Nahwu tidak menjelaskan alasan masalah ini.

 

Barangkali alasannya adalah -wallahu a’lambahwa huruf lam biasa digunakan untuk fa’il dalam konteks makna. Contohnya ucapan, liman hadzal filu (milik siapa perbuatan ini/baca: siapa yang melakukan ini). Lalu Anda menjawab, “Li Zaid” (Milik Zaid, baca: Zaid yang melakukannya). Di sini Anda menggunakan huruf lam (li).

 

Sedangkan ila dipergunakan untuk maf ul secara makna, sebab orang mengatakan, Ila man yashilu hadzal fi’lu? (pada siapa perbuatan ini sampai? Baca: menimpa siapakah perbuatan ini?), lalu Anda menjawab, “Ila Zaid” (pada Zaid/ baca: menimpa Zaid).

 

Rahasianya, huruf lam pada asalnya dibuat untuk menunjukkan kepemilikan, atau pengkhususan, dan keberhakan. Keberhakan ini disandang fa’il yang memiliki dan mempunyai hak. Sedang kata il untuk menunjukkan makna akhir tujuan. Maksud tujuan di sini adalah sesuatu yang dituntut kata kerja. Maka ilad lebih pantas disandangkan pada maf ul, karena merupakan kesempurnaan tuntutan kata kerja.

 

Di antara ungkapan ta’ajub yang berasal dari kata kerja pasif adalah ucapan Ka’ab bin Zuhair -tentang Nabi :

 

Sungguh beliau paling aku takuti ketika aku berbicara padanya Seolah dikatakan, Engkau tertawan dan akan dibunuh

 

Oleh singa berahang lebar yang sangat buas, yang sarangnya Di lembah “Atstsar yang pepohonannya sangat lebat

 

Kata akhwaf di sini dari kata khifa (ditakuti), bukan dari kata khafa (takut). Ini seperti kata ahmad dari kata humida (dipuji), bukan dari hamida (memuji).

 

Anda bisa mengatakan, “Ma ajannahu” (alangkah gilanya ia), dari kata junna yang bentuk obyeknya adalah majnan (gila).

 

Ulama Nahwu Bashrah mengatakan, “Semua (bentuk ta’ajub) ini syadz (keluar dari kaidah umum, sehingga tidak bisa dijadikan patokan).”

 

Sedang ulama nahwu yang lain mengatakan, “Pola kata ta’ajub seperti ini (yang diambil dari kata kerja pasif) sangat banyak dalam ucapan bangsa Arab, sehingga tidak bisa dihukumi syadz. Sebab kata yang syadz itu adalah yang menyelisihi penggunaan bahasa mereka dan ucapan mereka yang bersifat umum. Sedang ini tidak menyelisihi hal tersebut.”

 

Mereka (kelompok kedua/ulama Nahwu Kufiyin) mengatakan, “Sedang pengasumsian kalian bahwa kata kerja asal dari fi’il ta’ajub dan isim tafdhil yang mengikuti pola af ala/af alu adalah kata kerja lazim (intransitif) dan hasil dari konversi ke pola kata kerja fa’ula, maka asumsi ini tak didukung suatu dalil pun.

 

Sedangkan argumen kalian terkait keberadaan hamzah tadiyah, sebenarnya tidak seperti yang kalian ungkapkan. Huruf hamzah di sini tidak berfungsi memuta’adikan (mentransitifkan) kata kerja, tetapi berguna untuk menunjukkan arti ketakjuban dan komparatif (tafdhil). Status huruf hamzah ini seperti huruf alif dalam kata fa’il, mim dalam kata maf Ol, wawu dan ta’ dalam kata al-iftial dan al-muthawaah serta semacamnya dari huruf-huruf yang masuk dalam fi’il tsulatsi guna menjelaskan tambahan makna di luar makna aslinya. Inilah faktor yang memunculkan huruf alif ini, bukan merobah ffi’il lazim menjadi muta’adi.”

 

Mereka (kelompok kedua) berargumen, “Hal ini ditunjukkan:

 

Pertama, fi’il yang dimuta’adikan dengan hamzah dapat menjadi muta’adi dengan huruf jar dan tadh’if (menggandakan ain fi’il dengan ditambah tasydid). Contohnya, Anda mengatakan, ajlastu zaidan, jallastuhu, dan jalastu bihi (aku mendudukkan Zaid), agamtu zaidan, gawwamtuhu, dan gumtu bihi (aku memberdirikan Zaid), anamtuhu dan nawwamtuhu (aku menidurkannya) serta lain sebagainya. Sementara dalam kata ini (fi’il taajub dan isim tafdhil yang berpola kata af ala/af alu), huruf hamzah tidak dapat diwakili huruf lain. Sehingga kelirulah anggapan bahwa hamzah ini berfungsi memuta’adikan fiil.

 

Kedua, huruf hamzah ini dapat berkumpul dalam satu kalimat dengan huruf ba’ yang berfungsi untuk memuta’adikan fi’il. Misalnya Anda mengatakan, “Ahsin bihi!” dan “akrim bihi!” Artinya adalah, “ma akramahu! (alangkah mulianya ia) dan ma ahsanahu (alangkah baiknya ia).” Padahal fi’il itu tidak boleh menggabungkan antara dua frase yang berfungsi memuta’adikan fi’il secara bersama-sama.

 

Ketiga, orang-orang arab mengatakan, “Ma a’thd zaidan lid darahim! (betapa Zaid gemar memberi uang), dan md aksdhu lits tsiyab! (betapa Zaid gemar memberi pakaian).” Kedua kata ini (md a’thd dan md aks4) berasal dari kata atha (memberi) dan kasd (memberi pakaian) yang masing-masing merupakan fi’il muta’adi. Jelas keliru bila kata ini diasumsikan hasil konversi dari kata athawa yang berarti mengambil, baru kemudian ditambahkan huruf hamzah ta’diyah, seperti ditakwilkan sebagian mereka, karena artinya jadi rusak. Sebab ungkapan ta’ajub ini ditujukan pada pemberian, bukan pada pengambilan. Hamzah dalam kata ini (a’tha) adalah hamzah ta’ajub dan tafdhil. Sedangkan hamzah yang ada dalam fi’il pertama dibuang. Tidaklah benar bila hamzah ini disebut hamzah ta’diyah.”

 

Mereka (kelompok kedua/ulama Nahwu Kufiyyin) mengatakan, “Mengenai ucapan kalian bahwa (fi’il ta’ajub dan isim tafdhil yang mengikuti pola af ala/af alu) dimuta’adikan dengan huruf lam dalam kalimat, “Ma adhrabahu li Zaidin” (Betapa keras ia memukul Zaid), seandainya kata ini bukan kata kerja lazim (intransitir) tentunya tidak perlu dimuta’adikan dengan huruf lam. Jawabannya, masalah ini tak seperti yang kalian nyatakan tentang kelaziman fi’il tersebut. Sebenarnya, huruf lam ini berguna untuk menguatkan fi’il ketika mengalami pelemahan akibat menjadi fi’il yang tidak bisa ditashrif dan selalu menetapi satu bentuk sehingga keluar dari kebiasaan-kebiasaan fi’il pada umumnya dan terlalu lemah untuk mencapy tuntutannya. Karenanya fi’il ini dikuatkan dengan huruf lam. Kasus ini seperti jika fi’il dikuatkan dengan huruf lam manakala penderitanya disebutkan terlebih dahulu dan fi’il mengalami semacam kerapuhan akibat disebutkan di belakang. Lantas mereka menambal kelemahan ini dengan mendatangkan huruf lam. Contohnya seperti firman Allah,  – in kuntum lirruya taburan” (..jika kamu dapar menakbirkan mimpi) (Yusuf (12): 43). Seperti dikuatkannya dengan huruf lam ketika kata kerja berupa isim fa’il (yang berfungsi seperti fi’ilnya), contohnya ucapan, “Ang muhibbun laka (aku mencintaimu), ana mukrimun li Zaid, (saya memuliakan Zaid)? dan semacamnya. Jadi ketika fi’il (ta’ajub) ini melemah karena tak dapat ditashrif, ia dikuatkan dengan huruf lam. Inilah pendapat yang kuat, seperti bisa Anda saksikan sendiri. Wallahu a’lam.

 

Kita kembali ke pembahasan awal, yakni Nabi dinamai Muhammad dan Ahmad karena beliau dipuji lebih banyak dibanding orang lain dan lebih afdhal dari pujian pada orang lain. Kedua kata ini berstatus maf’ul. Inilah pendapat yang dipilih dan lebih jelas menunjukkan pujian pada beliau dan lebih sempurna maknanya, Seandainya maksudnya adalah isim fail (pelaku), tentunya beliau dinamakan Hammid yang berarti orang yang banyak memuji. Sebagaimana beliau dinamakan Muhammad, yakni yang dipuji dengan banyak pujian, beliau juga makhluk yang paling banyak memuji Rabb. Jadi seandainya nama beliau berdasarkan pertimbangan fa’il (pelaku) tentu lebih tepat bila beliau dinamakan Hammad. Sebagaimana nama umat beliau adalah Hammadun. Pula, kedua nama ini “diambil” dari akhlak dan karakterkaraker beliau yang karenanya beliau berhak dinamakan Muhammad dan Ahmad, Beliau adalah orang yang dipuji penduduk dunia dan akhirat, dipuji penghuni langit dan bumi. Sebab, lantaran banyaknya karakter terpuji beliau yang tak dapat dihitung, beliau dinamakan dengan dua nama yang diambil dari kata al-hamdu (pujian), di mana kedua nama ini menuntut pengutamaan dan bertambahnya kedudukan serta sifat terpuji beliau. Wallahu alam.

 

Sekelompok orang, di antaranya Abu Qasim As-Suhaili dan lainnya, menganggap pahwa penamaan Nabi dengan “Ahmad” lebih dahulu dari penamaan “Muhammad”. Mereka berkata, “Oleh sebab ini, berita kemunculan beliau disampaikan pada AlMasih dengan nama Ahmad”

 

Dalam hadits panjang tentang Musa, ketika ia berkata pada Rabb:

 

  1. “Wahai Rabbku, aku mendapati satu umat yang ciri-cirinya demikian dan demikian. Jadikan mereka sebagai umatku.” Dia berfirman: “Itu adalah umat Ahmad, wahai Musa.” Ia berkata, “Ya Allah, jadikan aku di antara umat Ahmad.

 

Mereka berkata, “Penamaan beliau dengan Muhammad hanya terdapat dalam Al-Quran, sesuai firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal shalih dan beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad…” (Muhammad (47): 2).

 

Firman-Nya, “Muhammad itu adalah utusan Allah..” (Al-Fath (481: 29).

 

Atas dasar ini mereka berpendapat bahwa nama beliau ‘Ahmad’ adalah isim tafdhil dari kata kerja aktif. Artinya, orang yang paling memuji Rabb di antara orang-orang yang memuji dan “Muhammad” adalah orang terpuji yang dipuji semua makhluk. Nama kedua ini ada setelah keberadaan dan kemunculan beliau. Sebab di saat itu, beliau dipuji penduduk langit dan bumi, dan di Hari Kiamat beliau dipuji semua makhluk yang ada di maugif. Tatkala beliau muncul di alam nyata dan kemunculan beliau ini melahirkan kebaikan-kebaikan yang banyak, ketika itulah makhluk-makhluk memuji beliau dengan pujian melimpah. Jadi penamaan beliau dengan Muhammad sesudah beliau dinamakan Ahmad.”

 

Pendapat ini perlu dikritisi dari beberapa sisi: pertama, Nabi telah dinamakan Muhammad sebelum diturunkannya kitab Injil. Demikian pula nama beliau, Muhammad, tersurah dalam kitab Taurat. Fakta ini diakui semua orang berilmu dari kalangan kaum mukminin Ahlukitab. Di sini, kami akan bawakan teks yang mereka miliki dalam kitab Taurat dan pendapat yang benar terkait tafsirnya.

 

Rabb berkata dalam Taurat -tentang Ismail, berikut bunyinya-, “Tentang Ismail, Aku beritahukan padamu bahwa Aku telah memberkahinya dan Aku memberinya kabar gembira berupa Mumadbad” Ucapan ini disebutkan setelah penuturan kisah Ismail, bahwa ia akan melahirkan 12 orang besar yang di antaranya adalah seorang pemimpin besar bernama Mumadbad. Kata ini, dalam pengetahuan ulama beriman dari ahlukitab, jelas merupakan nama Nabi, “Muhammad”

 

Aku melihat di sebagian kitab penjelasan Taurat perkataan yang bunyinya – setelah matan ini-, “Pensyarah berkata, “Dua huruf ini di dua tempatnya mengandung nama Sayid Ar-Rasul Muhammad. Jelasnya, bila Anda memerhatikan huruf-huruf nama “. ” Anda mendapatinya teraplikasi dalam dua huruf di atas. Sebab dua huruf Mim dan Dal dari kata “. ” sebanding dua huruf mim dan satu huruf dal dari dua huruf “. ” Dan huruf nama “. ” lainnya, yakni huruf “ha, sebanding dengan huruf-huruf lain dari dua kata di atas, yakni “ba, dua huruf “alif” dan “dal kedua.

 

Aku berkata, “Maksud dua huruf (yakni, kata huruf yang bercetak miring) adalah dua kata.”

 

Pensyarah melanjutkan, “Sebab huruf “Ha memiliki angka 8 dalam hitungan. Sementara “Ba’=2, Alif’=1, dan “Dal=4, sehingga jumlahnya 8. Ini sama besar dengan nilai huruf “Ha dalam bilangan. Jadi kata dua huruf artinya adalah dua kata, yakni “Mumad dan Bad”. Kedua kata ini secara jelas telah mengandung 3/4 nama Muhammad dan 1/4 sisanya. Dan (yang 1/4 ini) telah ditunjukkan oleh selain dua huruf (yakni, 2 mim dan dal) dengan metode yang telah saya ungkapkan”

 

Pensyarah mengatakan, “Jika ditanyakan, apa dasar kalian dalam takwil ini?”

 

Kami jawab, “Dasar kami dalam masalah ini sama dengan dasar para ulama Yahudi dalam menakwilkan (menafsirkan) huruf-huruf tidak jelas seperti yang terdapat dalam kitab Taurat. Contohnya seperti firman Allah, “Wahai Musa, katakan pada Bani Israil, hendaknya setiap orang dari mereka meletakkan benang biru yang memiliki 8 ujung di ujung bajunya, dan membuat 5 ikatan padanya serta menamainya Shaishit (.  )” Ulama Yahudi berkata, “Penafsiran dan hikmah perintah ini adalah setiap orang yang melihat benang biru tersebut, ujungnya yang berjumlah 8 dan 5 ikatannya serta ingat namanya, ia pasti ingat kewajiban-kewajiban Allah yang wajib ia kerjakan. Sebab Allah telah mewajibkan pada Bani Israil sebanyak 613 syariat. Jelasnya, 2 huruf ‘Shad’ dan 2 huruf Ya’ sama dengan 200, sedang huruf ‘Ta 400, sehingga jumlah nama ini sama dengan 600. Kemudian 8 ujung benang dan 5 ikatan bila dijumlahkan sama dengan 13. Seolah-olah Dia berfirman dengan bentuk tulisan ‘ dan namanya ini, Ingatlah kewajiban-kewajiban Allah.”

 

Pensyarah mengatakan, “Adapun pendapat banyak ahli tafsir, maksud kedua kata ini adalah ‘sekali, sekali karena kata “Mumad’ telah disebutkan secara sendiri dalam kitab Taurat dengan arti sekali maka penafsiran ini tidak benar lantaran keberadaan huruf “Ba yang bersambung dengan kata ini. Sebab bukan ucapan yang benar perkataan seseorang, “Ana ukrimuka bi jiddan” (Saya sangat memuliakanmu). Manakala kata ini dipindahkan dari kitab Taurat yang ditulis sejak zaman azali di Lauhul Jauhar (Lauhul Mahfuzh) pada Al-Kalim, (Musa), dengan tulisan Kainuni dan kata ini di dalamnya tertulis besambung dengan huruf “Ba maka diketahui maksudnya bukan seperti pendapat orang yang mengatakan, “Maksudnya “sekali? Tak ada yang pantas untuk kedua kata ini selain penafsiran ini (bahwa maksudnya adalah Muhammad). Dalilnya adalah firman Allah di tempat lain pada Ibrahim tentang anaknya, Ismail, “Sesungguhnya ia menurunkan 12 orang mulia, dan satu orang mulia dari mereka akan muncul seorang bernama Mumaad.” Kitab Taurat dengan tegas menyatakan, kedua kata ini adalah nama orang mulia tertentu dari keturunan Ismail. Sehingga kelirulah pendapat orang yang mengatakan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti mashdar sebagai kata penguat. Pernyataan tegas keberadaan kedua kata tersebut sebagai nama orang bertentangan dengan orang yang menganggapnya sebagai isim makna. Wallahu a’lam.” Selesai perkataannya.

 

Yang lain berkata, “Tak perlu memaksakan seperti ini dalam menjelaskan nama beliau dalam Taurat. Sebab nama beliau di dalam kitab tersebut lebih jelas dari semua ini. Demikian karena Taurat berbahasa Ibrani yang notabenenya mirip dengan bahasa Arab. Bahkan bahasa Ibrani merupakan bahasa bangsa-bangsa yang paling dekat dengan bahasa Arab. Seringkali perbedaan antara keduanya hanya dalam cara penyampaian dan pengucapan huruf saja seperti tafkhim dan targig, dhamah dan fathah serta lainnya. Dari fakta ini disimpulkan adanya kedekatan antara kosakata kedua bahasa. Contohnya, bangsa Arab mengucapkan “Ia (tidak), sedang bangsa Ibrani mengucapkan, “Iu”, mereka mendhamah huruf lam. Mereka mendatangkan alif yang bervokal antara bunyi alif dan wawu. Bangsa Arab mengatakan “Qudsun (suci)” sedang bangsa Ibrani mengatakan “Qudsyi.” Bangsa Arab mengucapkan “Anta (kamu)” sedang Bangsa Ibrani mengucapkan “Ana” Bangsa Arab mengatakan “Ya: kadza (datang)” sedang bangsa Ibrani mengucapkan “Yu’ta,” mereka mendhammah huruf Ya dan mendatangkan huruf alif setelahnya dengan suara antara wawu dan alif, Bangsa Arab mengatakan “Oaddasaka (mensucikanmu)” dan bangsa Ibrani mengucapkan “Oaddasyaha.” Bangsa Arab mengatakan “Minhu (darinya)” dan bangsa Ibrani mengucapkan “Mimni.” Bangsa Arab mengatakan “Min Yahudza” sementara bangsa Ibrani mengucapkan “Mihudzd.” Bangsa Arab mengucapkan, “Sami ‘tuka (aku mendengarmu),” sementara bangsa Ibrani mengatakan, “Syami’nikha.” Bangsa Arab mengatakan “Min (dari)” sedang Bangsa Ibrani mengucapkan “Mi.” Bangsa Arab mengatakan “Yaminuhu (kanannya),” sedang Bangsa Ibrani mengucapkan “Mini?” Bangsa Arab mengatakan “Lahu (baginya)” dan Bangsa Ibrani mengucapkan “Lau,” antara suara wawu dan alif. Demikian pula bangsa Arab mengatakan “Ummatun (umat)” sedang bangsa Ibrani mengatakan “Ummu.” Bangsa Arab mengatakan “Ardhun (bumi/tanah)” sedang bangsa Ibrani mengucapkan “Airadhun.” Bangsa Arab mengatakan “Wahid (satu) sedang bangsa Ibrani mengucapkan “Uhadz” Bangsa Arab mengatakan “Alim (orang yang mengetahui)” sedang bangsa Ibrani mengatakan “Ulam.” Bangsa Arab mengatakan “Kayyis (orang cerdik)” sedang Ibrani mengatakan “Kabis” Arab mengatakan “Ya’kulu (makan),” sedang Ibrani mengatakan “Yaukhal”. Arab mengatakan “Tin (buah tin)” sedang Ibrani mengatakan “Taiyin”. Arab mengatakan “Ilah (sesembahan)” dan Ibrani mengatakan “Uluh” Arab mengatakan “Ilahund (sesembahan kami)” dan Ibrani mengatakan, “Ultihini.” Arab mengatakan “Abang (ayah kami)” dan Ibrani mengatakan “Abtiting”. Mereka mengucapkan “bi ishbai uluhim” maksudnya adalah bi ushbu’il ilah (dengan jari Allah). Mereka mengatakan “Mabnum”, maksudnya al-ibnu (anak laki-laki). Mereka mengatakan “Halub” dengan arti halib (susu). Bila mereka ingin mengucapkan la ta’kul al-jadya fi halibi ummihi (jangan memakan anak kambing yang masih menyusu pada induknya) mereka mengatakan, “Lu tukul haliba ummu”.

 

Mereka mengatakan “Lu tikhulu” artinya, Ia ta’kuli (jangan kalian makan). Mereka menyebut kitab-kitab dengan al-musyanna, yang dalam bahasa Arab berarti al-mutsannah, yakni yang diulang-ulang. Artinya, yang dibaca berkali-kali. Kiranya kami tak perlu mengungkapkan lebih banyak bukti terkait kedekatan dua bahasa ini. Fenomena ini mengandung rahasia yang dipahami orang yang paham bahwa adanya kedekatan antara dua umat ini dan dua syariat ini.

 

Penyebutan Taurat dan Al-Quran pun secara beriringan terdapat di lebih dari satu tempat dalam Al-Quran. Misalnya firman Allah, “..dan bukankah mereka telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu: mereka dahulu telah berkata: “Musa dan Harun adalah dua ahli sihir yang bantu-membantu. Mereka (juga) berkata: Sesungguhnya kami tidak memercayai masing-masing dari mereka. Katakanlah: “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk dari pada keduanya (Taurat dan Al-Quran) niscaya aku mengikutinya…” (Al-Qashash (281: 48-49).

 

Firman Allah dalam surah Al-Anim menjawab orang yang mengatakan, “.. Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia…” (Al-An’am (6): 91). Kemudian Dia berfirman, “Dan ini (Al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan dan diberkahi: membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya…” (Al-An’am (6): 92).

 

Di penghujung surah ini Allah berfirman, “Kemudian Kami telah memberikan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman (bahwa) mereka akan menemui Rabb mereka. Dan Al-Quran adalah kitab yang Kami turunkan dan diberkati, ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (Al-An’am (6): 154-155).

 

Di awal surah Ali “Imran, Dia berfirman, “Alif lam mim. Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al-Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, Dia menurunkan Al-Furgan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat. Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa)” (Ali Imran (3): 1-4).

 

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang takut akan (adzab) Rabb mereka, sedang mereka tidak melihatnya dan mereka merasa takut akan (tibanya) Hari Kiamat. Al-Ourlan adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (Al-Anbiya’ (21): 49-50).

 

Oleh sebab ini, Allah menyebutkan kisah Musa, mengulang-ulangnya, mem. perjelas, dan menghibur Rasulullah dengannya. Ketika Rasulullah menghadapi gangguan orang-orang beliau mengucapkan:

 

  1. “Sungguh Musa telah disakiti lebih dari ini lalu ia bersabar.” Karena itu pula, Nabi bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya akan ada pada umatku apa yang telah ada di tengahtengah Bani Israil. Hingga seandainya di antara mereka ada orang yang menzinai ibunya secara terang-terangan, pasti di umat ini ada orang yang melakukannya.”

 

Perhatikan kesesuaian antara dua rasul, dua kitab suci, dua syariat -maksud saya syariat asli yang belum diubah-, dua umat, dan dua bahasa ini. Bila Anda memerhatikan huruf-huruf nama “. ” dan huruf-huruf “. .” Anda mendapati dua kata ini sama. Sebab dua huruf mim dalam kedua kata ini, “hamzah dan ‘ha berasal dari satu makhraj. Dan huruf dal sering kali Anda dapati dalam bahasa mereka diganti dengan huruf dzal. Misalnya mereka mengucapkan “ihddz” untuk wahid (satu), “qudzusy” untuk guds (suci). Huruf ‘dal dan “dzal memiliki makhraj yang dekat. Jadi siapa memerhatikan dua bahasa ini dan merenungkan kedua nama ini ia tidak ragu bahwa keduanya adalah satu. Banyak kata-kata yang seperti ini dalam kedua bahasa tersebut. Misalnya, Musa. Dalam bahasa Ibrani adalah Musya, dengan huruf syin. Asalnya adalah air dan pohon. Mereka menyebut air dengan “. ”, sedang “Sya” adalah pohon. Dan nabi Musa ditemukan tentara Firaun berada di antara air dan pohon. Perbedaan antara “Musya” dan “Musya” seperti perbedaan antara Muhammad” dan “Madmad”.

 

Demikian pula nama “Ismail”, dalam bahasa mereka adalah “Yasyma’il” dengan huruf alif yang berbunyi antara ‘ya’ dan aalif” (e), dan dengan huruf syin menggantikan “sin. Perbedaan antara keduanya seperti perbedaan antara “Muhammad” dan “Madmad”. Begitu juga nama “Al-Ish’, saudara Ya’gub. Mereka menyebutnya, “Isa” ia ini adalah “Ish. Yang seperti ini di selain nama orang adalah ucapan mereka “Yasymaun” dengan maksud “Yasmaun (mereka mendengar)” Mereka mengucapkan, “uqim” dengan hamzah yang dibaca panjang dan didhamah, maksudnya “uqim (aku tingggal)” Mereka mengucapkan, “Lahim” maksudnya, “Jahum (bagi mereka)”. Mereka mengucapkan, “Mi qarib”, maksudnya, “min qarib (dari orang dekat)”, “wastha ukhuyyim” maksudnya, “ukhuwwatuhum (persaudaraan mereka)” Ini di antara hal yang diakui setiap orang beriman di antara para ulama Ahlukitab.

 

Kesimpulannya, nama Nabi di Taurat tercantum dengan nama “Muhammad” sebagaimana dalam Al-Quran. Sedang Al-Masih menyebut beliau dengan nama “Ahmad” seperti diceritakan Allah dalam Al-Quran. Jadi penamaan beliau dengan “Ahmad” terjadi setelah beliau dinamakan “Muhammad” dalam Taurat dan terjadi lebih dahulu dari nama “Muhammad” di dalam Al-Quran. Maka antara dua penamaan ini sama-sama diawali dan diakhiri dengan keduanya. Telah diungkapkan bahwa kedua nama ini hakikatnya adalah kata sifat, dan makna sifat di dalam keduanya tidak bertentangan dengan statusnya sebagai nama, serta makna keduanya menjadi prioritas. Artinya, beliau dikenalkan pada setiap umat dengan salah satu dari dua sifat ini yang lebih dikenal mereka. Muhammad adalah bentuk mufaal dari kata al-hamdu, yang artinya penyandang banyak kriteria yang karenanya ia dipuji dengan pujian yang berulang-ulang. Ini diketahui hanya setelah mengetahui karakter-karakter baik, macam-macam ilmu, dan pengetahuan, akhlak, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan yang karenanya ia berhak mendapatkan pujian berulangulang. Tak diragukan, Bani Israil adalah orang-orang pertama yang memiliki ilmu dan kitab yang tentangnya Allah berfirman, “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…” (Al-A’raf (7): 145). Oleh sebab itu, umat nabi Musa memiliki ilmu dan pengetahuan lebih luas dibanding umat Al-Masih, Isa. Karenanya syariat Al-Masih tidak sempurna kecuali dengan mengikuti Taurat dan hukum-hukumnya. Maka Al-Masih dan umatnya dialihkan pada kitab Taurat dalam permasalahan hukum, Sedang Injil seolah-olah sebagai pelengkap dan penyempurna ajaran-ajaran Taurat, Sementara Al-Quran menghimpun kebaikan-kebaikan kedua kitab sebelumnya, Taurat dan Injil.

 

Nabi pun dikenalkan pada umat ini dengan nama Muhammad, yakni orang yang telah memadukan kriteria-kriteria baik yang karenanya ia berhak dipuji berulang kali. Dan dikenalkan pada umat Al-Masih dengan nama Ahmad yakni orang yang berhak dipuji dengan pujian yang lebih baik dari pujian pada selainnya dan orang yang pujiannya (pada Allah) lebih baik dari pujian orang lain. Umat Al-Masih adalah satu umat yang memiliki semangat spiritual, akhlak, dan ibadah yang tidak dipunyai umat Musa. Oleh sebab ini, mayoritas isi kitab mereka berupa nasihat, zuhud, budi pekerti, dan anjuran berbuat baik, sabar, serta memaafkan. Hingga ada ungkapan, syariat itu ada tiga macam:

 

  1. Syariat keadilan, yakni syariat Taurat yang di dalamnya terkandung hukum dan gishas.

 

  1. Syariat keutamaan, yakni syariat Injil yang berisi maaf, akhlak mulia, pemberian ampun, dan perbuatan baik. Misalnya ucapan, “Siapa mencuri selendangmu maka berikan bajumu padanya,” “siapa menampar pipi kananmu maka berikan pipi kirimu padanya,” dan “siapa mengejekmu sepanjang satu mil berjalanlah dengannya sepanjang dua mil,” serta ungkapan semisalnya.

 

  1. Syariat nabi kita, Muhammad &s, yang memadukan antara keadilan Taurat dan keutamaan budi pekerti Injil. Yakni syariat Al-Guran. Sebab Al-Quran menyebut keadilan dan mewajibakannya, serta menyebut sifat keutamaan dan menganjurkannya. Contohnya seperti firman Allah, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim” (Asy-Syara (42): 40).

 

Lantas untuk umat ini, (yakni umat Nabi Isa), nama beliau disebutkan dengan pola kata isim tafdhil yang menunjukkan keutamaan dan kesempurnaan, sebagaimana syariat mereka mengajarkan sifat keutamaan yang melengkapi syariat Taurat. Sedang dalam kitab yang memadukan antara kebaikan kitab-kitab sebelumnya beliau disebutkan dengan dua nama ini. Renungkanlah keutamaan ini, korelasi makna, nama, serta kesesuaian antara keduanya yang begitu jelas. Segala puji bagi Allah yang memberi dengan karunia dan taufig-Nya.

 

Mengenai ucapan Abu Qasim, “Nama Muhammad muncul sebagai konsekuensi wajib setelah kemunculan beliau di alam nyata, mengingat ketika itu beliau dipuji dengan pujian yang berulang-ulang,” demikian pula dikatakan tentang nama beliau Ahmad” (karena nama ini disebutkan belakangan dibanding penyebutan Muhammad dalam kitab Taurat). Sedang ucapannya tentang nama beliau, Ahmad “Nama ini disebutkan terlebih dahulu karena beliau menjadi orang yang paling memuji Rabb” maka nama ini (Muhammad) diberikan terlebih dahulu (dalam kitab Taurat) karena pujian para makhluk pada beliau. Pendapat yang diungkapkan Ibnu Qasim tentang nama Ahmad ini berdasarkan pemahamannya bahwa nama ini merupakan isim tafdhil dari fi’il mabni lil ma’lum (kata kerja aktif). Sedangkan menurut pendapat lain yang benar maka tidak perlu pada pemahaman ini. Penjelasannya telah disebutkan di depan. Allah jua yang lebih mengetahui.

 

Arti Kata Al-Alu, Derivasinya dan Hukumnya

 

Terkait kata ini ada dua pendapat: Pertama, asalnya adalah jsi (baca, ahlun, keluarga), kemudian huruf “ha-nya diubah menjadi hamzah sehingga menjadi  (“lun). Selanjutnya dipermudah strukturnya dengan mengacu pada katakata semisalnya, sehingga menjadi  (Alun). Mereka yang berpendapat seperti ini berargumen, “Karenanya, bila kata ini ditashghir (dirubah dalam bentukkata diminutif) ja kembali ke bentuk asal, yakni (uhailun: keluarga kecil)” Mereka berkata, “karena kata ini adalah cabang dari cabang, bangsa Arab mengkhususkannya pada sebagian kata yang diidhafahkan padanya. Yakni mereka tidak mengidhafahkannya pada kata-kata waktu, tempat, dan tidak pula selain nama. Sehingga tidak diucapkan “Alu rajul (keluarga seorang laki-laki)” dan “Alu imraah (keluarga seorang wanita)”. Mereka juga tidak mengidhafahkannya pada isim dhamir (kata ganti). Tidak boleh mengatakan “Aluhu (keluarganya)” dan “Ali (keluargaku)” Bahkan kata ini hanya diidhafahkan pada sosok yang terhormat atau mulia. Persis seperti huruf ‘ta’ yang dalam sumpah menggantikan wawu dan menjadi cabangnya, sementara wawu adalah cabang dari fi’il sumpah maka ‘ta khusus digunakan untuk nama yang paling mulia dan paling besar, yakni nama Allah. (Contohnya, tallahi, demi Allah).

 

Pendapat pertama ini lemah karena beberapa alasan:

 

1.Tak didukung satu dalil pun.

 

  1. Mengharuskan perubahan huruf yang menyimpang tanpa ada sebab yang mewajibkan dan menyelisihi prinsip dalam perubahan kata.

 

  1. Kata “al-ahlu’ dapat diidhafahkan pada makhluk berakal dan tidak berakal, sementara kata “al-dlu’ tidak diidhafahkan selain pada yang berakal.

 

  1. Kata ‘al-ahlu’ diidhafahkan pada alam (nama) dan isim nakirah (kata benda indefinit), sementara “al-dlu’ tidak diidhafahkan kecuali pada sosok terhormat di mana orang lain bergantung atau kembali padanya.

 

  1. Kata “al-ahlu’ diidhafahkan pada isim zhahir dan isim dhamir, sedang kata ‘al. alu’ di antara ulama Nahwu ada yang melarang kata ini diidhafahkan pada isim dhamir dan ada yang membolehkannya. Jadi pengidhafahannya pada isim dhamir adalah syadz lagi langka.

 

  1. Seseorang apabila kata “al-dlu’ (yang berarti keluarga) diidhafahkan padanya, ia masuk dalam cakupannya. Seperti firman Allah, “..masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras” (Ghafir (401: 46).

 

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (Ali Imran (3): 33)

 

“…kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing” (Al-Oamar (54): 34)

 

Sabda Nabi

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk keluarga Abi Aufa.”

 

Ini apabila kata yang menjadi mudhaf ilaih tidak disebutkan secara bersamaan. Sedangkan apabila nama yang menjadi mudhaf ilaih disebutkan bersamanya, (contohnya, allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad) maka ada yang berpendapat ia disebutkan sendiri dan tetap masuk dalam pengertian “al-Alu. Adapula yang berpendapat, “Disebutkannya kata tersebut sendirian membuatnya tidak perlu disebutkan secara mudhaf (artinya, ia tidak masuk dalam pengertian kata ‘al-dlu’ yang diidhafahkan padanya).

 

Sementara kata “al-ahlu’ berbeda dengan ini. Bila anda mengatakan, Jaa ahluZaid (keluarga Zaid datang) maka Zaid tak masuk di antara mereka.

 

Kedua, asal kata ‘“al-alu” adalah aulun. Pengarang Ash-Shihah, IV/1627, menyebutkan kata ini dalam bab hamzah, wawu, dan lam. Ia berkata, “Alu seseorang adalah keluarganya. Kata dlu juga bisa berarti para pengikut?”

 

Menurut mereka, kata al-dlu adalah derivasi dari kata kerja ala, yaitu yang berarti kembali atau pulang. Alu seseorang adalah mereka yang kembali dan disandarkan padanya, serta ia yang mengurusi mereka, sehingga ia menjadi tempat kembali mereka. Dari kata ini, diambil kata al-iyalah yang berarti kepengurusan. Jadi dlu seseorang adalah orang-orang yang ia urus dan pimpin, dan ia lebih berhak melakukan hal itu dibanding orang lain. Maka ia lebih berhak masuk dalam makna alu-(keluarga)nya. Namun tidak dikatakan bahwa ia dikhususkan dengan alu-nya ini. Ia hanya masuk di antara mereka saja. Kata ini dibuat dengan arti asal dan hakikat sesuatu. Karenanya, hakikat sesuatu disebut tawil-nya karena merupakan hakikat di mana sesuatu tersebut kembali padanya.

 

Di antara pengertian ini adalah firman Allah, “Tiadalah mereka menunggununggu kecuali tawilnya (yakni, terlaksananya kebenaran Al-Quran). Pada hari datangnya tawil (kebenaran pemberitaan Al-Guran) berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami membawa (berita) yang hak…” (Al-A’raf (71: 53). Tawil berita yang disampaikan para rasul -semoga shalawat dan salam Allah terlimpah pada merekaadalah datangnya hakikat berita itu dan terlihat secara jelas. Termasuk pengertian ini adalah kata takwil mimpi, yakni hakikat di alam nyata yang diperlihatkan pada orang yang bermimpi di alam penggambaran (dunia mimpi). Kemudian kata takwil dengan arti akibat, seperti dikatakan tentang firman Allah, “..kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya” (An-Nisa’ (4): 59). Dikatakan, maksudnya adalah lebih baik akibatnya. Sebab akibat perkara adalah hakikat yang perkara tersebut kembali padanya. Kemudian takwil dengan makna tafsir, sebab tafsir ucapan sama dengan penjelasan maknanya dan hakikat yang menjadi maksudnya. Mereka berkata, “Dari kata ini diambil kata al-awwal (pertama) karena merupakan pangkal bilangan dan dasarnya yang bercabang. Kemudian kata al-dlu dengan arti seseorang itu sendiri” Para pembela pendapat ini mengatakan: Bangsa Arab selalu mengidhafahkannya, sehingga kata ini (al-alu) tidak dipakai sendiri dalam ucapan, kecuali dalam perkataan yang langka. Misalnya ucapan seorang penyair:

 

Kami keluarga Allah di negeri kami

Kami senantiasa menjadi keluarga sejak masa kabilah Iram

 

Mereka juga selalu mengidhafahkannya pada isim zhahir, sehingga kata dly tidak diidhafahkan pada isim dhamir, kecuali dalam kasus yang sangat jarang. Bahkan sebagian ulama Nahwu menganggap pengidhafahan kata dlu pada isim dhamir sebagai bahasa yang lahn (salah), sebagaimana dikatakan Abu Abdullah bin Malik. Yang benar, bukan lahn, tetapi merupakan perkataan bangsa Arab. Hanya saja keberadaannya sedikit. Contohnya ucapan seorang penyair:

 

Aku benar-benar kesatria kuda penjaga bendera ayahku…

dan keluargaku, lalu siapa yang melindungi bendera keluargamu? Abdulmuthalib berkata?” tentang pasukan gajah dan para penunggangnya:

 

Tolonglah keluarga-Mu dalam mengalahkan

Para pengikut salib dan penyembahnya di hari ini

 

Dalam dua bait syair ini, kata al-alu diidhafahkan pada dhamir “ya mutakallim dan “dhamir kaf (mukhathab).

 

Sebagian ulama Nahwu berpendapat, kata al-alu tidak diidhafahkan selain pada nama makhluk berakal. Sebenarnya apa yang diucapkannya ini hanya kebanyakannya saja. Sedang kata al-dlu juga telah diidhafahkan pada nama makhluk yang berakal. Seorang penyair berkata:

 

Aku selamat padahal ia sama sekali tak memberiku kebebasan

Kecuali seperti lari tak kencangnya alu A’waj.

 

A’waj adalah nama kuda. Mereka berkata, “Di antara hukum kata al-alu juga, kata ini tidak diidhafahkan selain pada sosok yang diikuti dan dihormati. Maka tidak dikatakan “Alul hdik (keluarga penenun), dlu hajjam (keluarga tukang bekam), dan tidak pula dlu rajulin (keluarga seorang laki-laki)!”

 

Mengenai makna kata dlu, sekelompok orang berkata, “Dikatakan, dlu seseorang adalah ia sendiri, atau juga bisa berarti orang yang mengikuti dirinya, atau juga dapat berarti keluarga dan kerabat-kerabatnya. Contoh maksud pertama adalah sabda Nabi saat Abu Aufa datang membawa sedekahnya,

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat pada keluarga Abu Aufa.”

 

Firman Allah, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas” (Ash-Shaffat (37): 130).

 

Sabda Nabi:

 

  1. “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim.”?

 

Maksud keluarga Ibrahim adalah Ibrahim sendiri, sebab shalawat yang dimohonkan untuk Nabi adalah shalawat yang dilimpahkan untuk Ibrahim, sementara keluarganya mengikuti dirinya dalam hal ini.

 

Sekelompok lain berbeda pendapat. Kelompok ini mengatakan, “Kata al-Alu tak jain hanya bermakna pengikut dan kerabat. Sedang dalil-dalil yang kalian beberkan tentang maksud dlu di situ adalah kerabat. Dan ucapan Nabi, sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim,” maksud keluaga Ibrahim di sini adalah para nabi. Yang dimohonkan pada Allah adalah Dia melimpahkan shalawat untuk Rasul-Nya seperti Dia telah melimpahkan shalawat untuk seluruh nabi dari keturunan Ibrahim, bukan hanya Ibrahim seorang, sebagaimana diungkapkan dengan tegas dalam sebagian redaksi shalawat. Yakni ucapan beliau, “.. untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sementara firman Allah, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas” (Ash-Shaffat (37): 130),” tentang kata ini ada dua bacaan:”

 

Pertama, ilyasin seirama dengan isma’il. Tentang bacaan ini ada dua penafsiran,

 

1) Ini adalah nama kedua untuk nabi yang bersangkutan, yakni Ilyas dan Ilyasin, Seperti Mikal dan Mikail.

 

2) Kata ini adalah jamak. Di sini juga terdapat dua penafsiran. Pertama, adalah bentuk jamak dari kata Ilyas. Asalnya ilyasiyyin, dengan dua huruf ‘ya, seperti ibraniyyin. Kemudian salah satu dari dua huruf ya tersebut dibuang untuk memperingan ucapan sehingga menjadi ilydsin. Maksudnya, para pengikut nabi Ilyas. Ini seperti diungkapkan Sibawaih terkait kata sepertinya, misalnya al-asyarun (asalnya, al-asyariyyun) dan al-ajamin (asalnya, al-a’jamiyyan). Kedua, jamak kata ilyds yang tanpa huruf ya (yakni, bukan jamak ilyisiy). Kedua, bacaan kedua berbunyi, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ali (keluarga)

 

Yasin” Tentang bacaan ini ada beberapa penafsiran.

 

1) Yasin adalah nama ayah nabi Ilyas maka kata al-dlu diidhafahkan padanya, Seperti ungkapan, alu Ibrahim (keluarga Ibrahim).

 

2) Alu Yasin adalah Ilyas sendiri. Sehingga kata dlu diidhafahkan pada Yasin, dan maksud al-alu di sini adalah Yasin sendiri, seperti disebutkan kelompok pertama.

 

3) Huruf ya nasab (atau ya nisbah) telah dibuang dari kata ini, sehingga berubah menjadi Yasin, sedang asalnya Yasiyyin, seperti diuraikan di depan. Maksud dlu yasiyyin adalah orang-orang yang mengikuti agama mereka.

 

4) Yasin adalah Al-Quran, dan dlu-nya adalah ahliguran (orang-orang yang membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Quran).

 

5) Yasin adalah Nabi, dan dlu beliau adalah para kerabat dan pengikut beliau, seperti akan dijelaskan.

 

Pendapat-pendapat ini, semuanya lemah. Sebab yang melatarbelakangi mereka yang mengatakannya adalah permasalahan pengidhafaan kata dlu pada Yasin, padahal namanya Ilyas dan Ilyasin. Mereka melihat tulisan kata ini dalam mushaf terpisah, (tidak menjadi satu kata). Apalagi sebagian gura membaca “  Ali Yasin-”. Lantas sekelompok dari mereka berkata, “Ia memiliki beberapa nama, yakni Yasin, Ilyasin, dan Ilyas” Kelompok lain berkata, “Yasin adalah nama orang lain” Kemudian mereka berbeda pendapat. Kalbi berkata, “Yasin adalah Muhammad” Sementara sebagian lain mengatakan, “Yasin adalah Al-Quran?

 

Semua pendapat ini jelas sebuah pemaksaan makna yang tidak perlu dilakukan. Yang benar -wallahu a’lamdalam masalah ini, asal katanya adalah dlu Ilyasin seperti dlu Ibrahim. Lalu huruf alif dan lam di awalnya dibuang karena berkumpulnya huruf-huruf yang sama, dan huruf yang dibuang tersebut telah bisa ditunjukkan oleh isim yang bersangkutan. Pembuangan huruf semacam ini sering terjadi dalam bahasa bangsa Arab. Sebabnya, apabila huruf-huruf yang sama bertemu mereka tak nyaman mengucapkan semuanya, mereka pun membuang sebagiannya yang tidak mengakibatkan kerancuan. Meskipun mereka tidak membuang huruf tersebut di tempat yang tak ada pertemuan huruf-huruf yang sama. Oleh sebab ini, mereka membuang huruf nun dari kata “inni (asalnya, innani), anni (asalnya, annani), kaanni (asalnya, kaannani) dan lakinni (asalnya, lakinnani). Sementara mereka tidak membuang huruf nun ini dari kata laitani. Karena huruf lam dalam kata “Jaalla” mirip dengan nun, mereka membuang huruf nun bila bertemu dengannya, (sehingga menjadi, laalli, asalnya laallani). Apalagi kebiasaan orang arab dalam menggunakan nama “ajam (non arab) dan mengubah-ubahnya. Terkadang mereka mengucapkan “Ilyasin,” terkadang “Ilyas” dan kadang pula “Yasin” Bahkan mereka juga mengatakan, “Yas” Berdasarkan bacaan pertama, ucapan salam tertuju pada Nabi Ilyas. Sedang menurut bacaan yang kedua ucapan salam tertuju pada keluarga Nabi Ilyas. Berangkat dari sini, pendapat penengah antara dua kubu tentang maksud kata al-Alu adalah, jika kata ini disebut sendiri (dengan diidhafahkan pada nama) maka mudhaf ilaihnya masuk dalam cakupan makna al-alu. Seperti firman Allah, .. masukkanlah Alu Firaun ke dalam adzab yang sangat keras” (Ghafir (401: 46). Tak diragukan dalam ayat ini Firaun masuk dalam kata dlu yang diidhafahkan padanya. Kemudian firman-Nya, “Dan sesungguhnya kami telah menghukum alu Firaun dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang…” (Al-A’raf (7): 130), serta ayat-ayat yang serupa. Selanjutnya, sabda Nabi:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat pada dlu (keluarga) Abi Aufa.”

 

Tak disangsikan, Abu Aufa masuk dalam maksud keluarga di sini. Serta sabda beliau:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan dlu Muhammad seperti Engkau telah melimpahkan shalawat untuk alu Ibrahim.

 

Demikian bunyi redaksi riwayat Bukhari yang paling banyak. Ibrahim di sini masuk dalam pengertian keluarganya. Barangkali ini maksud orang yang mengatakan, “Alu seseorang adalah orang itu sendiri”

 

Jika disebutkan nama seseorang, kemudian disebut pula keluarganya maka ia tidak termasuk di antara mereka. Jadi bedakan antara kata dlu yang sendiri dan yang digabungkan. Jika Anda mengatakan, “Berikan ini pada Zaid dan alu (keluarga) Zaid” di sini Zaid tidak masuk dalam pengertian keluarganya. Namun jika Anda mengatakan, “Berikanlah pada alu Zaid” kalimat ini mencakup Zaid dan keluarganya. Hal seperti ini memiliki banyak kasus serupa yang telah kami sebutkan di tempat lain. Yakni, suatu kata itu memiliki pengertian berbeda ketika disebutkan sendiri dan ketika disebutkan berdampingan dengan kata lain. Seperti kata fagir dan miskin. Keduanya adalah dua macam yang berbeda ketika disebutkan bersama-sama, dan satu macam saja bila masing-masing disebutkan sendiri. Oleh sebab itu, dalam masalah zakat, fakir dan miskin adalah dua jenis yang berbeda, sedang dalam masalah kafarat keduanya menjadi satu jenis. Seperti Islam dan iman, kebajikan dan ketakwaan, perbuatan keji dan munkar, fasik dan maksiat, serta masih banyak lagi kata yang serupa. Terlebih dalam Al-Quran.

 

Tentang siapa keluarga Nabi (dlu nabi) diperselisihkan menjadi empat pendapat:

 

  1. Mereka adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah. Tentang siapa saja mereka ini, ada tiga pendapat di kalangan ulama.

 

Pertama, mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ini mazhab Syafi’i dan Ahmad dalam sebuah riwayat darinya.

 

Kedua, mereka Bani Hasyim saja. Ini pendapat Abu Hanifah dan riwayat dari Ahmad ats, serta merupakan pendapat pilihan Ibnu Qasim, pengikut Imam Malik.

 

Ketiga, mereka Bani Hasyim dan generasi di atas mereka sampai Ghalib. Maka masuk di dalamnya Bani Muthalib, Bani Umayah, Bani Naufal, dan generasi di atas mereka sampai Ghalib. Ini pendapat pilihan Asyhab, seorang pengikut imam Malik, seperti diceritakan penulis Al-Jauhar darinya. Sedang Lakhmi dalam At-Tabshirah menceritakannya dari Ashbugh, tidak menceritakannya dari Asyhab.

 

Pendapat tentang keluarga nabi, bahwa mereka orang-orang yang diharamkan menerima sedekah, merupakan pernyataan Syafii ats, Ahmad,” dan kelompok mayoritas. Serta merupakan pendapat pilihan mayoritas pengikut Ahmad dan Syafi’i

 

  1. Keluarga Nabi adalah keturunan dan istri-istri beliau. Demikian diungkapkan Ibnu Abdilbar dalam At-Tamhid XVII/302-303. Pada bab Abdullah bin Abu Bakar, dalam At-Tamhid ketika menjelaskan hadits Abu Humaid As-Sa’idi, ia berkata, “Sekelompok orang berdalil dengan hadits ini bahwa keluarga Muhammad adalah para istri dan keturunan beliau saja. Berdasarkan ucapan beliau dalam hadits Malik dari Nu’aim Al-Mujmir dan dalam hadits lain:

 

  1. “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad” Sedang dalam hadits ini, yakni hadits Abu Humaid, beliau mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, para istri beliau, dan keturunan beliau.”

 

Mereka berkata, “Hadits Abu Humaid ini menjelaskan hadits Malik dari Nuaim Al-Mujmir di atas dan menerangkan bahwa yang dimaksud keluarga Muhammad adalah para istri dan keturunan beliau” Selanjutnya mereka mengatakan, “Maka seseorang boleh mengucapkan untuk setiap dari istri dan keturunan Nabi, semoga shalawat Allah terlimpah untukmu, apabila ia bertatap muka dengannya, dan boleh mengucapkan semoga shalawat Allah terlimpah untuknya bila tidak berhadapan muka dengannya. Sementara ucapan ini tidak boleh diucapkan untuk selain mereka.” Mereka mengatakan, “Kata al-dlu dan al-ahluberarti sama. Alu seseorang dan ahlu-nya adalah sama. Yakni mereka adalah para istri dan keturunannya berdasarkan hadits Abu Sa’id ini.”

 

  1. Keluarga Nabi adalah para pengikut beliau hingga Hari Kiamat, seperti diceritakan Ibnu Abdilbar dari sebagian ahluilmi. Sosok paling senior yang darinya pendapat ini diriwayatkan adalah Jabir bin Abdullah css, sebagaimana disebutkan Baihagi II/152, darinya. Ia juga meriwayatkan pendapat ini dari Sufyan Tsauri dan lainnya. Pendapat ini dipilih sebagian pengikut Syafi’i sebagaimana diceritakan Abu Thayib Ath-Thabari dalam Talignya, dan dirajihkan Syaikh Muhyidin An-Nawawi dalam Syarhu Muslim III/368, dan juga dipilih Azhari.

 

4, Keluarga Nabi adalah orang-orang yang bertakwa dari umat beliau, seperti diceritakan Qadhi Husain, Raghib, dan sekelompok orang.

 

Alasan pendapat-pendapat ini dan penjelasan pendapat mana yang shahih dan mana yang dha’if

 

Pendapat pertama, keluarga Nabi adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah, dengan perbedaan tentang siapakah mereka, dalilnya adalah:

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya III/hadits no. 1485, dari Abu Hurairah, ia menuturkan:

 

  1. “Dahulu buah kurma disetorkan pada Nabi di masa panen. Orang ini membawa kurma dan orang ini membawa kurma, sehingga terkumpul setumpuk kurma di hadapan beliau. Lalu Hasan dan Husain bermain-main dengan kurma tersebut. Salah satu dari keduanya mengambil sebutir kurma, lantas memasukkannya ke mulut. Rasulullah melihat dan mengeluarkan kurma itu dari mulutnya, lalu bersabda, “Tak tahukah Engkau bahwa keluarga Muhammad tidak boleh makan sedekah.” Muslim juga meriwayatkan hadits ini, namun ia mengatakan, “..bahwa sedekah tak halal untuk kita.”

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Muslim?” dalam Shahih-nya (hadits no. 2408), dari Zaid bin Argam menuturkan:

 

  1. “Suatu hari Rasulullah menyampaikan khotbah pada kami di sebuah telaga bernama Khumm, terletak antara Mekah dan Madinah. Beliau (mengawali dengan) memuji Allah, menyanjung-Nya, lalu mengingatkan, dan memberi nasihat. Kemudian beliau bersabda, “Amma badu, ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku seorang manusia biasa. Utusan Rabbku hampir datang padaku dan aku meninggalkan dua perkara besar di tengah kalian. Pertama, kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Ambillah kitabullah dan berpegang teguhlah dengannya. Lantas beliau mendorong dan menganjurkan untuk mengamalkan kitab Allah. Dan bersabda, “Dan ahlubaitku. Aku ingatkan kalian pada Allah terkait ahlubaitku. Aku ingatkan kalian pada Allah terkait ahlubaitku.”

 

Hishin bin Subrah bertanya, “Siapakah ahlubait beliau wahai Zaid? Bukankah para istri beliau termasuk ahlubait beliau?” Ia menjawab, “Istri-istri beliau termasuk ahlubait beliau. Tetapi (tidak hanya mereka), ahlubait beliau adalah orang yang haram menerima sedekah setelah beliau” “Siapakah mereka?” tanyanya lagi. Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Ugail, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas? Hishin bertanya lagi, “Apakah setiap dari mereka haram menerima sedekah?” Zaid menjawab, “Ya.”

 

Telah terbukti bahwa Nabi bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya sedekah tidak halal bagi keluarga Muhammad.”

 

Riwayat dalam Ash-Shahihain dari hadits Zuhri dari Urwah dari Aisyah :

 

  1. Fathimah wes mengirim utusan pada Abu Bakar untuk meminta bagian warisannya dari Nabi dari bagian harta rampasan fai’ yang Allah berikan ‘ pada Rasulullah. Abu Bakar pun berkata, “Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, “Kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. Sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini.”

 

Yakni, harta Allah. Mereka tidak berhak mengambil lebih dari kebutuhan makan.

 

Jadi keluarga Nabi memiliki keistimewaan, di antaranya haram menerima sedekah, tidak mewarisi harta Nabi, berhak mendapat seperlima dari khumus (seperlima) ghanimah atau fai, dan menyandang hak istimewa didoakan dengan shalawat.

 

Telah terbukti diriwayatkan bahwa keharaman sedekah, hak memperoleh khumus dan tidak mewarisi harta Nabi berlaku khusus untuk sebagian kerabat beliau. Demikian pula hak didoakan dengan shalawat untuk keluarga beliau.

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Muslim?? dari Ibnu Syihab, dari Abdullah bin Harits bin Naufal Al-Hasyimi:

 

  1. Abdulmuthalib bin Rabiah mengabarinya bahwa ayahnya Rabi’ah bin Harits berkata pada Abdulmuthalib bin Rabiah dan Fadhl bin Abbas , “Datanglah kalian berdua pada Rasulullah lalu katakan pada beliau, “Tugaskan kami mengurusi sedekah wahai Rasulullah… dan seterusnya.” Di dalam hadits ini disebutkan, “Lantas beliau berkata pada kami, Sesungguhnya sedekah ini tak lain adalah kotoran (harta) manusia dan sesungguhnya ia tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya (hadits no. 1967) dari Urwah bin Zubair dari Aisyah:

 

  1. “Nabi memerintahkan dihadirkan domba jantan yang hitam warna bulu kakinya, terdapat warna hitam di perutnya… dan hitam sekitar matanya? Dalam hadits ini ia menuturkan, “Lantas Nabi meraih domba itu, lalu membaringkannya kemudian menyembelihnya. Beliau mengucapkan, (Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad serta umat Muhammad.)

 

Selanjutnya beliau mengorbankan domba itu” Demikian diriwayatkan Muslim dengan lengkap. Hakikat huruf athaf (kata sambung) menuntut perbedaan antara dua kata yang dihubungkan, dan umat beliau lebih umum dibanding keluarga beliau,

 

Mereka yang berpendapat seperti ini mengatakan, “Penafsiran kata “keluarga dengan sabda Nabi lebih utama dibanding ditafsirkan dengan ucapan selain beliau?”

 

Sedang pendapat kedua: keluarga Nabi adalah keturunan dan para istri beliau saja, hujah pendapat ini yang dibawakan Ibnu Abdilbar telah diungkapkan. Ringkasnya, dalam hadits Abu Humaid disebutkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, para istri beliau, dan keturunan beliau.”

 

Dalam hadits lain disebutkan:

 

  1. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

Paling tidak, hal ini mengindikasikan bahwa hadits pertama dari keduanya telah ditafsirkan oleh hadits yang lain. Mereka juga berdalil dengan riwayat dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan pokok.”

 

Sementara telah sama-sama diketahui bahwa doa yang diijabahi ini tidak berlaku pada seluruh anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Sebab di antara mereka ada orang-orang kaya dan hartawan, bahkan sampai sekarang. Sedang para istri dan keturunan beliau rezeki mereka hanya makanan pokok. Dan harta yang diperoleh para istri Nabi sepeninggal beliau mereka sedekahkan dan membuat rezeki mereka sekadar cukup membeli makanan pokok.

 

  1. Suatu kali Aisyah wes diberi harta yang banyak, lantas ia membagi-bagikan semuanya dalam satu kesempatan. Lantas pelayannya berkata padanya, “Sekiranya Anda menyimpan satu dirham saja untuk kita sehingga kita bisa membeli daging?” Ia menjawab, “Kalau engkau mengingatkanku dari tadi pasti aku lakukan.”

 

Mereka juga berhujah dengan riwayat dalam Ash-Shahihain dari Aisyah mengatakan:

 

  1. “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang dengan roti tepung berlauk selama tiga hari (berturut-turut) sampai beliau bertemu Allah.” Mereka berkata, “Sama-sama diketahui bahwa Abbas dan anak-anaknya serta Banj Muthalib tidak termasuk dalam kalimat Aisyah tes dan tidak pula dalam maksudnya.”

 

Mereka mengatakan, “Para istri masuk dalam pengertian kata al-dlu, khususnya para istri Nabi, karena diserupakan dengan nasab. Sebab ikatan mereka dengan Nabi tidak hilang (lantaran wafat beliau), di mana mereka tetap haram dinikahi orang lain baik beliau masih hidup maupun setelah beliau meninggal. Mereka adalah istri-istri beliau di dunia dan akhirat. Sebab yang merajut hubungan mereka dengan Nabi berkedudukan seperti nasab. Dan Nabi dengan tegas menyatakan disyariatkannya bershalawat untuk mereka. Oleh sebab ini, pendapat yang benar merupakan pernyataan Imam Ahmad ats bahwa sedekah diharamkan atas mereka karena sedekah adalah kotoran harta manusia. Dan Allah melindungi Rasulullah serta keluarga beliau dari kotoran-kotoran harta manusia. Sungguh aneh, bagaimana istri-istri Nabi masuk dalam sabda beliau:

 

  1. “Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan pokok”

 

Dan ucapan beliau saat menyembelih binatang kurban:

 

  1. Ya Allah, ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

Juga dalam ucapan Aisyah

 

  1. “Keluarga Rasulullah tidak kenyang dengan roti berbahan tepung…” Kemudian ucapan orang yang shalat:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad”

 

Namun mereka tidak masuk dalam sabda beliau (sebagaimana pendapat sebagian ulama):

 

  1. “Sesungguhnya sedekah tidak halal untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

Sedekah itu kotoran harta manusia. Jadi istri Rasulullah lebih layak dijaga dan dijauhkan dari kotoran harta tersebut.

 

Jika dikatakan, seandainya sedekah haram atas istri-istri Nabi tentunya juga haram atas budak mereka, sebagaimana ketika sedekah diharamkan atas Bani Hasyim harta itu pun juga haram atas budak-budak mereka. Sementara telah disebutkan dalam Ash-Shahih:

 

  1. “Barirah diberi sedekah berupa daging lalu ia memakannya, dan Nabi tidak mengharamkannya, padahal ia maula (budak yang sudah dimerdekakan) Aisyah.”

 

Dijawab, ini argumen orang yang membolehkan sedekah bagi istri-istri Nabi. Dan jawaban untuk alasan ini adalah, pengharaman sedekah atas istri-istri Nabi bukan secara pokok, tetapi hanya mengikuti pengharamannya pada Nabi. Pasalnya, sedekah halal untuk mereka sebelum menikah dengan beliau. Jadi mereka adalah sub dalam pengharaman ini. Dan pengharaman atas maula adalah sub pengharaman atas tuannya. Oleh sebab pengharaman sedekah atas Bani Hasyim adalah pokok maka para maula mereka mengikuti dalam hal ini. Karena pengharaman sedekah atas istriistri Nabi hanya mengikuti maka hal itu tidak cukup kuat membuat para maula mereka mengikuti dalam hukum ini. Sebab maula di sini adalah cabang dari cabang.

 

Mereka melanjutkan, “Allah telah berfirman,

 

Hai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kamu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan demikian itu mudah bagi Allah. Barang siapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shalih, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia. Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlubait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui” (Al-Ahzab (33): 30-34). .

 

Istri-istri Rasulullah masuk dalam ahlubait beliau, sebab semua tema pembicaraan ini dalam konteks diri mereka sehingga tidak boleh mengeluarkan mereka dari suatu permasalahannya. Wallahu alam.

 

Pendapat ketiga: maksud dlu Nabi adalah umat dan para pengikut beliau hingga Hari Kiamat. Pendapat ini telah diperkuat dengan alasan bahwa alu seseorang yang diikuti maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti agamanya dan perintahnya, baik yang dekat maupun jauh.

 

Para pembela pendapat ini mengatakan, “Derivasi kata ini menunjukkan pengertian di atas. Sebab, kata ini berasal dari kata kerja dla, yailu, yang berarti kembali. Sedang tempat kembali para pengikut adalah orang yang diikuti, sebab ia pemimpin dan rujukan mereka.”

 

Mereka berargumen, “Oleh sebab itu, firman Allah, “..kecuali dlu Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing” (Al-Qamar (54): 34), maksudnya adalah para pengikut dan kelompoknya yang beriman padanya, baik dari kerabatnya maupun orang lain. Firman Allah, “..masukkanlah dlu Firaun kedalam adzab yang sangat keras” (Ghafir (401: 46), maksud alu Firaun dalam ayat ini adalah para pengikut dan kelompoknya.

 

Mereka juga berhujah bahwa Watsilah bin Asga meriwayatkan:

 

  1. Nabi memanggil Hasan dan Husain. Beliau mendudukkan setiap orang dari keduanya di atas paha beliau. Dan beliau mendekatkan Fathimah tes serta suaminya ke pangkuan beliau. Kemudian menyelubungi mereka dengan baju beliau, selanjutnya bersabda, “Ya Allah, mereka adalah keluargaku” Lantas aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk keluarga Anda?” Beliau menjawab, “Engkau bagian dari keluargaku” (HR. Baihagi (III/152) dengan sanad jayid.)

 

Mereka mengatakan, “Sama-sama diketahui, Watsilah bin Asga’ berasal dari Bani Laits bin Bakar bin Abdimanaf. Sesungguhnya ia di antara pengikut Nabi”

 

Adapun orang-orang yang membela pendapat keempat: keluarga beliau adalah kaum bertakwa dari umat beliau, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan Thabrani dalam Mujam-nya, (I/115), dari Jafar bin Ilyas bin Shadagah, bercerita pada kami Nuaim bin Hamad, bercerita pada kami Nuh bin Abi Maryam dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari dari Anas bin Malik menuturkan:

 

  1. Rasulullah ditanya, “Siapakah keluarga Muhammad itu?” Beliau menjawab, “Setiap orang yang bertakwa.” Lantas Nabi membaca firman Allah, “orang-orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa..” (Al-Anfal (8): 34).

 

Thabrani berkata, “Tidak meriwayatkannya dari Yahya selain Nuh. Nu’aim meriwayatkan hadits ini seorang diri?

 

  1. Baihagi (II/152), telah meriwayatkannya dari hadits Ahmad bin Abdullah bin Yunus, menceritakan pada kami Nafi” Abu Hurmuz dari Anas… (ia menyebutkan hadits di atas).

 

Nuh dan Nafi’ Abu Hurmuz tidak dipakai sebagai hujah oleh seorang pun dari ahluilmi, keduanya telah dicurigai bedusta.

 

Pendapat ini juga ditopang dengan firman Allah pada Nabi Nuh terkait putranya, “sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik…” (Hud (111: 46). Lantaran kemusyrikannya, Allah mengeluarkan putra Nabi Nuh ini dari lingkup keluarganya. Sehingga diketahui bahwa keluarga Rasulullah adalah para pengikut beliau.

 

Alasan ini telah dijawab Syafi’i ats dengan baik, yakni maksud ayat di atas adalah putra Nabi Nuh bukan termasuk keluarganya yang kami memerintahkanmu untuk membawa mereka dan kami janjikan padamu untuk menyelamatkan mereka. Sebab Allah berkata kepadanya sebelum ayat ini, “..muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya…” (Hud (11): 40). Maka putranya jni bukan termasuk keluarga yang dijamin keselamatannya.

 

Aku berkata, “Kebenaran penjelasan Syafi’i ini didukung oleh konteks ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman padanya adalah kelompok Jain diluar keluarganya. Sebab Allah berfirman, “..muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman..” (Hud (11): 40) Kata “dan orang-orang yang beriman’ di’athafkan pada obyek dari kata kerja ‘muatkanlah, yakni keluarga dan satu pasang dari setiap pasangan.

 

Mereka juga berhujah dengan hadits Watsilah bin Asga’ yang disebutkan di depan.’? Mereka berkata, “Diberlakukannya hal itu secara khusus pada Watsilah lebih mendekati kebenaran dari memberlakukannya secara umum pada umat. Seolah-olah Nabi menganggap Watsilah sebagai keluarga dengan diserupakan pada orang yang berhak menyandang status keluarga ini.”

 

Demikianlah hujah-hujah yang dikemukakan para pembela setiap pendapat di atas.

 

Dan yang benar adalah pendapat pertama, diikuti pendapat kedua. Sedang pendapat ketiga dan keempat lemah, sebab Nabi telah menghilangkan kesamaran dengan sabda beliau:

 

  1. “Sesungguhnya sedekah tidak halal bagi keluarga Muhammad.”

 

  1. “Sesungguhnya keluarga Muhammad memakan dari harta (Allah) ini?

 

  1. “Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan pokok.

 

Kata al-Alu (keluarga) dalam hadits-hadits ini sama sekali tidak tepat bila dimaksudkan umat secara umum. Maka kata keluarga dalam bacaan shalawat lebih utama dipahami seperti kata keluarga yang disebutkan dalam kalimat-kalimat yang lain, dan tidak dibenarkan beralih dari pengertian ini. Sedangkan pengungkapan al-alu sebagai istri dan keturunan tidak menunjukkan pengkhususan kata ini untuk mereka. Justru ini menjadi hujah bahwa kata tersebut tidak berlaku khusus bagi mereka, mengacu pada hadits Nuaim Al-Mujmir yang diriwayatkan Abu Daud (hadits no. 982), dari Abu Hurairah tentang shalawat untuk Nabi:

 

  1. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, Nabi, istri-istri beliau Ummahatul Mukminin, keturunan beliau, dan ahlubait beliau, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim.”

 

Di sini, beliau menggabungkan antara penyebutan istri, keturunan, dan keluarga. Beliau menyebutkan mereka secara spesifik untuk menjelaskan bahwa mereka berhak masuk dalam kata keluarga dan mereka tidak keluar dari cakupannya. Bahkan mereka orang yang paling berhak masuk di dalamnya. Ini seperti kasuskasus lain peng’athafan kata khusus pada kata yang umum, dan sebaliknya. Yakni untuk mengingatkan kemuliaan kata yang khusus dan mengistimewakannya dengan penyebutan karena lebih berhak masuk dalam pengertian kata yang umum dibanding perkara-perkara sejenis. Dalam hal ini, manusia memiliki dua metode pemahaman:

 

  1. Penyebutan kata khusus sebelum kata umum atau setelahnya merupakan indikator yang menunjukkan bahwa maksud kata umum tersebut adalah selain kata khusus itu.

 

  1. Kata khusus itu disebut dua kalis pertama disebut sendiri dan kedua terintegrasi dalam cakupan kata yang umum guna mengingatkan kelebihannya. Seperti firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam… (Al-Ahzab (33): 7).

 

“Barang siapa menjadi musuh Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang yang kafir” (Al-Bagarah (2): 98)

 

Shalawat untuk Nabi adalah hak beliau dan keluarga beliau yang tidak dimiliki bagian umat lain. Karenanya, shalawat ini wajib dimohonkan untuk beliau dan keluarga beliau menurut pendapat Syafi’i ats dan lainnya, seperti akan disebutkan. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang siapakah keluarga Nabi. Sedang ulama yang tidak mewajibkannya, tidak diragukan ia memustahabkan shalawat untuk Nabi dan keluarga beliau, serta memakruhkan atau tidak menganjurkannya untuk selain keduanya dari umat ini, atau tidak membolehkan diucapkan untuk selain Nabi dan keluarga beliau. Siapa mengatakan bahwa maksud keluarga beliau dalam masalah shalawat adalah seluruh umat, ia telah berpendapat terlalu jauh.

 

Nabi juga menyariatkan salam dan shalawat dalam tasyahud. Terkait salam, pertama-tama beliau menyariatkan orang yang shalat mengucapkan salam pada Rasulullah terlebih dulu, kedua pada dirinya, dan ketiga pada seluruh hamba Allah yang shalih. Telah terbukti diriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Apabila kalian mengucapkan hal yang demikian, berarti kalian telah mengucapkan salam pada seluruh hamba Allah yang shalih di bumi dan di langit.”

 

Terkait shalawat, beliau tidak menyariatkannya kecuali untuk beliau dan keluarga beliau saja. Ini menunjukkan bahwa alu Nabi adalah keluarga dan kerabat-kerabat beliau.

 

Alasan selanjutnya, Allah telah memerintahkan kita bershalawat untuk Nabi. setelah menyebutkan hak-hak beliau dan keistimewaan yang diberikan pada beliau, tidak pada umat beliau. Yakni, Nabi halal menikahi wanita yang menyerahkan diri pada beliau, istri-istri beliau haram dinikahi siapapun dari umat ini sepeninggal beliau, serta hal-hal lain yang disebutkan, baik berupa hak, pengagungan, penghormatan, maupun pemuliaan pada Nabi. Kemudian Allah berfirman, “..dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” (Al-Ahzab (33): 53). Berikutnya Allah mengizinkan istri-istri beliau berbicara dengan bapak dan anak-anak mereka, ditemui mereka, dan menyepi dengan mereka, Kemudian Allah mengiringinya dengan menyebutkan salah satu hak Nabi yang sangat besar atas umat, yakni Dia memerintahkan mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau, di mana perintah ini diawali dengan pemberitahuan bahwa Dia dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Lantas para sahabat bertanya, bagaimana cara mereka menunaikan hak ini? Beliau menjawab:

 

  1. “Ucapkanlah, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

Shalawat untuk keluarga Nabi termasuk kesempurnaan dan pelengkap shalawat untuk beliau. Pasalnya, hal itu di antara faktor yang membahagiakan beliau dan dengannya Allah menambahkan kemuliaan dan keluhuran beliau -semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam sempurna pada Nabi dan keluarga beliau.

 

Adapun orang yang mengatakan bahwa alu Nabi adalah orang-orang bertakwa dari umat beliau maka sebenarnya mereka ini disebut wali-wali beliau. Siapa di antara mereka yang masih kerabat beliau berarti ia termasuk wali dan keluarga beliau. Dan siapa di antara mereka yang bukan kerabat beliau berarti ia termasuk wali beliau, bukan keluarga beliau. Terkadang seseorang termasuk keluarga Nabi dan wali beliau, seperti ahlubait dan orang-orang beriman dari sanak kerabat beliau. Terkadang tidak termasuk keluarga maupun wali beliau. Dan terkadang seseorang termasuk wali beliau meskipun ia tidak tergolong keluarga beliau, seperti para penerus beliau di umat ini yang mengajak pada sunnah-sunnah beliau, membela beliau, dan memperjuangkan agama beliau. Meskipun ia tidak tergolong kerabat beliau. Terbukti diriwayatkan dari Nabi dalam Ash-Shahih bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan wali-waliku. Sesungguhnya waliwaliku adalah orang-orang bertakwa di mana pun mereka berada dan siapa pun mereka.”

 

Sebagian rawi keliru dalam meriwayatkan hadits ini di mana ia mengucapkan, “Sesungguhnya keluarga Abu Bayadh…” Rawitersebutteperdayabunyi tulisan hadits ini dalam Ash-Shahih, “Sesungguhnya keluarga Bani … bukan wali-waliku?” Penulis menyisakan ruang kosong antara kata “Bani” dan “bukan.” Lantas sebagian penyalin menuliskan di tempat kosong tersebut kata “bayadh (putih: ruang kosong)”. Artinya, seperti itulah teks aslinya. Kemudian datanglah penyalin lain dan menganggap kata “bayadh’ sebagai mudhaf ilaih, sehingga jamengatakan, Bani Bayadh’. Bangsa Arab tidak mengetahui siapakah Bani Bayadh itu. Nabi pun tak menyebutkannya. Beliau hanya mengungkapkan nama satu kabilah besar dalam suku Ouraisy. Bagi yang membaca tulisan ini di naskah-naskah tersebut, yang benar ia membacanya dengan bunyi, “Inna Ala Bani, bayadhun,..”, dengan dhamah pada kata bayadhun, bukan dengan jar (kasrah, bayadhin). Maknanya, di sana ada ruang kosong atau di sini terdapat ruang kosong (baca: titik-titik).

 

Senada dengan kasus ini, kekeliruan yang terdapat dalam kitab Muslim (hadits no. 191), dalam hadits panjang Al-Bajali

 

  1. “Dan kita pada Hari Kiamat -yakni di atas demikian, lihatlah.“

 

Kata-kata ini sama sekali tak memiliki arti di sini. Ia muncul akibat sikap asal. asalan para penyalin. Hadits dengan sanad dan alur cerita ini terdapat dalam Musnag Imam Ahmad (III/345), berbunyi, “Dan kita pada Hari Kiamat berada di atas bukit atau anak bukit di atas manusia” Penyalin kurang mengerti kata at-tallu (anak bukit) atau al-kaum (bukit) dan ia tak memahami maksudnya. Maka di catatan kaki ia menuliskan, “unzhur (lihatlah: periksa kembali arti kata ini)” Dan ia atau orang lain menuliskan, “kadza (demikian)”. Lantas datang orang lain menggabungkan antara semua tulisan itu dan memasukkannya dalam matan hadits, (sehingga menjadi, fauqa kadza unzhur). Aku mendengar penjelasan ini dari guru kami Abu Abbas Ahmad bin Taimiyah.??

 

Intinya, orang-orang bertakwa adalah para wali Rasulullah dan wali-wali beliau lebih beliau cintai dari keluarga beliau. Allah berfirman, “..dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu para malaikat adalah penolongnya pula” (At-Tahrim (66): 4).

 

  1. Nabi pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah ws” Ditanyakan lagi, “Dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya” (Muttafaq “alaih)?”

 

Demikian karena orang-orang bertakwa adalah wali-wali Allah, sebagaimana firman Allah, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (Yunus (10): 62-63). Sedang wali-wali Allah sama dengan wali-wali Rasul-Nya.

 

Adapun yang berpendapat bahwa maksud al-dlu adalah para pengikut dapat dijawab, “Tak diragukan para pengikut bisa disebut al-dlu dan terdapat di beberapa tempat karena adanya indikator (garinah). Namun itu tidak berarti setiap kali ada kata al-Alu pasti maksudnya para pengikut berdasarkan nash-nash yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.

 

Kata al-azwdj adalah bentuk jamak dari zauj (pasangan). Ada pula yang mengatakan jamak dari kata zaujah. Namun pendapat pertama lebih fasih. Al-Quran pun telah menyebutkannya. Allah berfirman pada Adam, “..tinggallah kamu dan istrimu di dalam surga…” (Al-Bagarah (2): 35). Dia juga berfirman tentang Zakaria, “..dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (Al-Anbiya (21): 90). (Kata istri dalam dua ayat ini terjemahan dari kata zauj). Sedang di antara contoh pendapat kedua adalah ucapan Ibnu Abbas terkait Aisyah

 

  1. “Sesungguhnya ia istri Nabi kalian di dunia dan akhirat” (Dengan kata zaujah).

 

Farazdaq berkata:

 

Sesungguhnya orang yang berusaha untuk memengaruhi istriku (ia menyebutnya dengan kata zaujah)

Seperti orang yang mendatangi singa hutan rimba untuk mengambil air kencingnya

 

 

Terkadang kata ini dijamakkan dalam bentuk zaujdt. Sebenarnya ini bentuk jamak kata zaujah, sebab bentuk jamak zauj adalah azwdaj. Allah berfirman, “Mereka Tan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan” (Yasin (36): 56).

 

“…kamu dan istri-istrimu digembirakan.” (Az-Zukhraf (43): 70)

 

Dalam Al-Quran terdapat pemberitaan tentang orang-orang beriman dengan kata zauj, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak seperti telah disebutkan. Allah juga berfirman, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Al-Ahzab (33): 6). “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu..” (Al-Ahzab (33): 28).

 

Sedang pemberitaan tentang orang-orang musyrik dengan kata al-marah (wanita, maksudnya istri). Allah berfirman, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” Sampai firman-Nya, “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut” (Al-Lahab (111): 1-5). (“dan istrinya’ dengan redaksi asli wa imraatuhu)

 

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (At-Tahrim (66): 10). Dikarenakan kedua wanita ini musyrik, Allah menyematkan kata “imraah (wanita) pada keduanya, (bukan kata “zauj atau zaujah (istri)). Dan Allah berfirman tentang Firaun, “Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang yang beriman..” (At-Tahrim (66): 11). Karena Firaun seorang musyrik dan istrinya seorang mukminah, Allah tidak rela menyebutnya sebagai “zaujah’ Firaun. Allah berfirman tentang Adam, “..tinggallah kamu dan istrimu di dalam surga…” (Al-Bagarah (2): 35). Dia berfirman pada Nabi, “..sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu… (Al-Ahzab (33): 50). Dan berfirman tentang orang-orang beriman, “..dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci…” (Al-Bagarah (2): 25).

 

Sekelompokulama, diantaranya Suhaili dan lainnya, mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menyebut wanita-wanita kafir tersebut dengan status ‘istri karena mereka bukan istri suami-suami mereka di akhirat. Karena pernikahan merupakan ‘pakaian syar’i dan termasuk perkara agama. Maka wanita kafir dilepaskan dari pakaian syar’i ini, sebagaimana dilakukan pada istri Nuh dan istri Luth.”

 

Kemudian Suhaili mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri terkait ucapan Zakaria, “..sedang istriku adalah seorang yang mandul…” (Maryam (19): 5) dan firman-Nya tentang Ibrahim, “Kemudian istrinya datang memekik (tercengang)… (Adz-Dzairiyat (51): 29). (Di kedua ayat ini istri diungkapkan dengan kata imraah).

 

Lalu ia menjawab, “Penyebutan istri dengan kata al-marah (atau imraah yang secara bahasa berarti wanita) lebih pas dalam konteks ini. Sebab berkenaan dengan pembahasan kehamilan dan kelahiran. Maka pengungkapan dengan kata “wanita lebih tepat. Sebab sifat sebagai wanitalah yang berkorelasi dengan kehamilan dan melahirkan, bukan dalam posisi si wanita sebagai istri.”

 

Aku berkata, “Seandainya dikatakan bahwa rahasia dibalik penyebutan kaum mukminin dan istri mereka dengan kata “al-azwdj’ adalah kata ini menyiratkan kesamaan, keserasian, dan kebersamaan seperti dapat dipahami dari lafazhnya. pasalnya az-zaujaini (sepasang) itu dua hal yang saling menyerupai dan menyamai. pi antara contoh pengertian ini adalah firman Allah, “..cumpulkanlah orang-orang yang zhalim bersama pasangan-pasangan mereka…” (Ash-Shaffat (37): 22). Umar bin Khathab mengatakan:

 

  1. “Azwajuhum (pasangan-pasangan mereka), maksudnya adalah orang-orang yang serupa dan seperti mereka.”

 

Tafsir ini juga diungkapkan Imam Ahmad.”

 

Contoh lainnya firman Allah, “dan apabila jiwa-jiwa dijodohkan” (At-Takwir (81): 7). Yakni, setiap bentuk dan bentuk yang menyerupainya digabungkan baik dalam nikmat maupun adzab. Umar bin Khathab berkata tentang ayat ini,

 

  1. “Orang shalih bersama orang shalih di surga, dan orang pendosa bersama pendosa di neraka.”

 

Pendapat ini juga diungkapkan Hasan,” Oatadah,” dan mayoritas ulama?”. Dikatakan pula maksudnya adalah, jiwa orang-orang beriman dijodohkan dengan bidadari surga dan jiwa orang-orang kafir dipasangkan dengan setan (di neraka). Pendapat ini berakar pada pendapat pertama.

 

Allah berfirman, “Delapan binatang yang berpasangan…” Kemudian Dia menjelaskannya, “sepasang dari domba dan sepasang dari kambing..” (Al-An’am (6): 143). “Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu… (Al-An’am (6): 144). Dia menjadikan kata az-zaujaini berarti dua ekor dari setiap satu jenis. Ini seperti ucapan mereka, “Zauja khuff (sepasang sepatu bot), zauja hamam (sepasang merpati)” Serta semacamnya. Tak diragukan, Allah telah memutus keserupaan dan kesamaan antara orang kafir dan orang beriman, Dia berfirman, “Tiada sama penghuni-penghung neraka dengan penghuni-penghuni surga…” (Al-Hasyr (591: 20). Dia berfirman tentang kaum mukminin ahlukitab dan kaum kafir mereka, “Mereka itu tidak sama, di antarg ahlukitab..? (Ali Imran (3): 113). Allah telah memutus kesamaan antara keduanya dalam hukum dunia, yakni keduanya tidak saling mewarisi, tidak saling menikahi, dan sama-sama tidak boleh menjadi wali bagi yang lain. Sebagaimana ikatan antara keduanya telah terputus secara makna, hubungan ini pun putus secara istilah. Maka Allah menyebutkan kata al-marah yang hanya mengandung makna wanita, bukan kata yang mengandung makna keserasian dan keserupaan.

 

Perhatikan pengertian ini, pasti Anda mendapatinya sangat sesuai dengan kata-kata Al-Guran dan makna-maknanya. Oleh sebab ini seorang muslimah yang menjadi istri orang kafir dan seorang wanita kafir yang menjadi istri lelaki beriman disebut dengan kata al-marah, bukan az-zaujah, sebagai bentuk aplikasi pengertian ini. Wallahu alam.

 

Penafsiran ini lebih utama dibanding pendapat orang yang mengatakan, “Istri Abu Lahab dibahasakan dengan imraatuhu (wanitanya), dan tidak disebut zaujatuhu (istrinya), karena pernikahan kaum kafir tidak mendapat hukum sah. Lain dengan pernikahan orang-orang Islam.” Sebab dengan sendirinya pendapat ini gugur oleh penyebutan kata imraah untuk istri Nuh dan istri Luth, padahal pernikahan tersebut sah.

 

Perhatikan pula pengertian ini dalam ayat-ayat waris dan bagaimana Allah mengkaitkan terjadinya saling mewarisi (antara suami dan istri) dengan kata azzaujah, bukan kata al-marah, seperti dalam firman Allah, “Dan bagimu (suamisuami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu..” (An-Nis2′ (4): 12). Demikian untuk memberitahukan bahwa saling waris-mewarisi terjadi lantaran ikatan az-zaujiyyah yang menuntut keserupaan dan kesesuaian. Sementara tak ada keserupaan dan kesesuaian antara orang beriman dan orang kafir, sehingga tidak ada hak saling waris-mewarisi antara keduanya.

 

Tetapi rahasia-rahasia kosa kata Al-Quran dan susunan-susunan kalimatnya jauh di atas daya cerna akal makhluk seluruh alam.

 

Kiranya sekarang waktu paling tepat untuk membicarakan istri-istri Nabi

 

Yang pertama adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdiluzza bin Oushai bin Kilab, . Nabi menikahinya di Mekah ketika berusia 25 tahun. Ia setia mendampingi beliau hingga Allah memuliakan beliau dengan kerasulan. Ia beriman dan membela beliau. Khadijah memerankan diri sebagai pendamping setia Nabi. Ia wafat 3 tahun sebelum peristiwa hijrah, menurut pendapat yang paling shahih. pikatakan pula, 4 tahun dan 5 tahun sebelum hijrah. Khadijah menyandang panyak keistimewaan, yang di antaranya adalah Nabi tidak menikahi wanita lain sepanjang kehidupannya, semua putra dan putri Nabi berasal dari Khadijah selain Ibrahim yang lahir dari rahim Mariyah tes, dan ia merupakan sebaik-baik wanita umat ini.

 

Dan apakah ia lebih baik dari Aisyah Ada perbedaan pendapat menjadi tiga pandangan dalam masalah ini, dan yang ketiga tawaguf. Aku pernah menanyakan masalah ini pada guru kami Ibnu Taimiyah, ia menjawab, “Masing-masing dari keduanya memiliki keistimewaan sendiri. Khadijah memainkan peranan besar di awal kelahiran Islam. Ia menghibur Rasulullah, meneguhkan dan menenangkan beliau, serta menyumbangkan hartanya untuk mendukung beliau. Ia menemui masa awal Islam dan tabah menghadapi gangguan demi Allah dan Rasul-Nya. Pertolongan yang ia berikan pada Rasulullah tepat di saat sangat didibutuhkan. Maka ia memberikan bantuan dan pengorbanan yang tidak diberikan orang lain. Sedang Aisyah memainkan peran vital di masa akhir Islam. Ia memiliki pengetahuan juas tentang agama, menyampaikannya pada umat, dan menularkan manfaat NabiNya pada umat melalui ilmu yang ia ajarkan pada mereka, di mana jasanya dalam hal ini tak tertandingi orang lain”! Demikian inti jawaban Syaikh.

 

Aku berkata, di antara keistimewaan Khadijah yang lain adalah Allah mengirim salam untuknya melalui Jibril, lantas Nabi menyampaikan padanya. Bukhari berkata dalam Shahih-nya (VII/3820), “Bercerita pada kami Outaibah bin Sa’id, bercerita pada kami Muhammad bin Fudhail dari Umarah dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah menuturkan:

 

  1. Jibril mendatangi Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa wadah berisi lauk, atau makanan, atau minuman. Bila ia datang pada Anda, sampaikan salam padanya dari Rabbnya dan dariku, serta berilah ia kabar gembira berupa rumah di surga dari (yang terbuat dari) permata berongga, tak ada kegaduhan dan kepenatan di dalamnya.”? Demi Allah, ini satu keistimewaan yang tidak dimiliki selainnya. Sedangkan Aisyah, Jibril mengucapkan salam untuknya yang disampaikan Nabi. Bukhari berkata:

 

  1. Bercerita pada kami Yahya bin Bukair, bercerita pada kami Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab, Abu Salamah mengatakan bahwa Aisyah berkata: Suatu hari Rasulullah bersabda, “Wahai Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam padamu. Lantas ia menjawab, “Wa alahis salam wa rahmatullah wa barakatuh. Anda bisa melihat apa yang tidak dapat saya lihat.” Maksudnya adalah Rasulullah.

 

Di antara keistimewan Khadijah yang lain adalah tak sekalipun ia pernah bersikap buruk pada Rasulullah, tak pernah marah pada beliau, tidak pernah disumpah ila’ oleh Rasulullah, tak pernah ditegur (karena berbuat keliru), dan tak pernah dijauhi beliau. Cukuplah hal-hal ini sebagai keutamaan dan kelebihan.

 

Keutamaan Khadijah berikutnya adalah ia wanita pertama yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dari umat ini -semoga ridha Allah terlimpah padanya. …

 

Manakala Khadijah telah berpulang, sepeninggalnya Rasulullah memperistri Saudah binti Zam’ah. Ia adalah Saudah binti Zam’ah bin Oais bin Abdisyams bin Abdiwudd bin Nashr bin Malik bin Hisal bin Amir bin Luai. Ia menapaki usia tua sebagai istri Nabi dan beliau bermaksud menceraikannya. Lantas ia memberikan hari gilirannya pada Aisyah sehingga beliau tetap mempertahankannya sebagai istri. Ini di antara keistimewaan Saudah, yakni ia rela memberikan hari gilirannya pada istri yang lebih dicintai Nabi demi mendapat simpati beliau, lantaran mencintai beliau dan memilih tetap menjadi istri beliau. Maka Rasulullah membagi hari-hari bermalam di antara istri-istri beliau dan tidak memberi bagian Saudah. Namun Saudah rela dan lebih mementingkan ridha Rasulullah -semoga Allah meridhainya.”:

 

Rasulullah juga memperistri wanita yang sangat membenarkan, putri lelaki yang sangat membenarkan, Aisyah binti Abu Bakar, -semoga Allah meridhai dirinya dan ayahnyayang baru berusia 6 tahun pada 2 tahun sebelum hijrah. Ada pula yang mengatakan, 3 tahun sebelum hijrah. Namun beliau baru membina rumah tangga dengannya di awal kedatangan beliau di Madinah pada tahun pertama Hijriah, saat Aisyah telah genap berusia 9 tahun.” Rasulullah wafat meninggalkannya kala ia berusia 18 tahun.” Aisyah wafat di Madinah pada tahun 58 H, dimakamkan di Baqi’ dan ia berwasiat agar dishalatkan Abu Hurairah

 

Di antara keistimewaan Aisyah adalah ia merupakan istri yang paling dicintai Rasulullah sebagaimana terbukti diriwayatkan darinya dalam Shahih Al-Bukhari (VII/3662), dan lainnya. Beliau ditanya:

 

  1. “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah?” Ditanyakan lagi, “Kalau dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.”

 

Juga di antara keistimewaan Aisyah, Rasulullah tidak menikahi seorang wanita yang masih gadis selain dirinya,” wahyu turun pada Nabi saat beliau berada di dalam selimutnya, tidak dalam selimut istri beliau yang lain, dan ketika Allah menurunkan ayat takhyir Rasulullah memulai melaksanakannya pada Aisyah. Beliau menawarkan dua pilihan tersebut dan berkata:

 

  1. Engkau tak perlu tergesa-gesa sebelum meminta saran pada kedua orang tuamu. Ia menjawab, “Apakah dalam masalah seperti ini aku perlu meminta saran kedua orang tuaku? Sungguh aku memilih Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.”

 

Maka istri-istri beliau yang lain mengikuti langkahnya dan mengatakan seperti apa yang ia ucapkan. Keistimewaan Aisyah berikutnya adalah Allah membebaskan dirinya dari tuduhan zina yang dilontarkan para pembuat kedustaan, tentang keterbebasannya ini Allah menurunkan wahyu yang dibaca di mihrab-mihrab dan shalat-shalat kaum muslimin hingga Hari Kiamat. Allah juga bersaksi bahwa ia termasuk wanita yang baik, berjanji memberinya ampunan, dan rezeki yang mulia, serta memberitahukan bahwa tuduhan dusta yang dilancarkan padanya mengandung kebaikan bagi dirinya, bukan sesuatu yang buruk baginya, menodainya, dan tidak pula merendahkan kedudukannya. Sebaliknya, justru Allah mengangkat kedudukannya lantaran peristiwa itu, menaikkan derajatnya, dan lebih memuliakannya. Bahkan peristiwa tersebut menjadi buah tutur kebaikan dan keterbebasan Aisyah dari tuduhan zina di antara seluruh penduduk bumi dan langit. Betapa indah dan agung kemuliaan ini.

 

Coba perhatikan pemuliaan dan penghormatan ini yang lahir dari sifat tawadhu dan kerendahan hati yang amat besar. Ia berkata:

 

  1. “Sungguh aku memandang diriku sangat tak pantas bila Allah membicarakanku melalui wahyu yang terus dibaca. Namun aku hanya berharap Rasulullah melihat mimpi yang dengannya Allah menyatakan ketidaksalahanku.

 

Inilah wanita yang sangat membenarkan dari kalangan umat ini, seorang Ummul Mukminin dan kekasih Rasulullah. Ia tahu -semoga ridha Allah terlimpah padanyadirinya bebas dari tuduhan keji itu dan dirinya dizhalimi, serta orang-orang yang menudingnya telah berbuat zhalim dan membuat kedustaan atas dirinya. Mereka telah turut menyakiti kedua orang tuanya dan Rasulullah. Seperti inilah ia memandang rendah dirinya dan menilai remeh keadaannya. Lalu pantaskan orang yang baru puasa satu atau dua hari, satu atau dua bulan, shalat qiyamul lail satu atau dua malam dan nampak satu kehebatan dirinya, lalu mereka menganggap diri mereka berhak mendapat karamah, mukasyafah (kemampuan melihat Allah), mukhathabah (diajak bicara Allah), munazalat (ilham), dan pengijabahan doa. Menganggap diri mereka orang yang diharapkan berkah pertemuannya, sebuah keuntungan besar jika mendapat doa mereka, dan manusia wajib menghormati, mengagungkan, juga memuliakan sehingga pakaian mereka diusap-usap untuk dicari berkahnya dan debu tangga pintu mereka diciumi. Mereka (menganggap diri mereka) memiliki kedudukan spesial di sisi Allah di mana lantaran kedudukan tersebut Allah akan langsung membalaskan dendam pada orang yang mencaci dan orang yang tidak sopan pada mereka akan disiksa tanpa diberi tunda, dan perbuatan buruk pada mereka adalah dosa yang tak dapat dihapus oleh apapun selain keridhaan mereka. Sekiranya pengakuan ini didukung kecukupan ibadah tentunya agak “wajar (meskipun tidak benar), namun ternyata sisi ibadah pun masih ketinggalan. Berbagai bentuk kedunguan dan kebodohan ini adalah akibat dari ketololan murni dan akal yang sudah tidak lurus. Klaim-klaim ini hanya muncul dari orang bodoh yang kagum pada dirinya, lupa akan kesalahan dan dosa-dosanya, teperdaya oleh penundaan siksa Allah pada dirinya akibat kesombongan dan kecongkakannya pada orang yang bisa jadi lebih baik dari dirinya di sisi Allah. Semoga Allah menjaga kita di dunia dan akhirat. Seyogianya seorang hamba berlindung pada Allah dari merasa dirinya besar dan terhormat, padahal di sisi Allah hina.

 

Keistimewaan Aisyah berikutnya adalah, para sahabat senior apabila menghadapi kesulitan dalam urusan agama mereka meminta fatwa padanya. Lalu mereka mendapati ilmu mengenai perkara tersebut dari dirinya.

 

Juga di antara keistimewaan Aisyah adalah Rasulullah wafat dirumahnya, di hari gilirannya dan di antara paru-paru dan lehernya, serta beliau dimakamkan di rumahnya.” Keistimewaan selanjutnya, malaikat memperlihatkan gambarnya pada Nabi dalam sutra putih sebelum beliau menikahinya. Maka beliau mengucapkan:

 

  1. Jika mimpi ini berasal dari Allah, pasti Dia akan mewujudkannya.”

 

Keistimewaan Aisyah berikutnya, manusia memilih menyerahkan hadiah mereka pada Rasulullah di hari gilirannya demi mendapatkan kerelaan beliau.” Maka mereka memberikan barang yang mereka cintai di rumah istri yang paling beliau cintai -semoga Allah meridhai mereka semua. Aisyah diberi nama panggilan (kuniah) Ummu Abdullah. Diriwayatkan ia pernah mengalami keguguran janin, namun riwayat ini tak terbukti shahih.

 

Rasulullah juga memperistri Hafshah binti Umar bin Khathab -semoga Allah meridhainya dan ayahnya. Sebelumnya, ia adalah istri Khunais bin Hudzafah, salah seorang sahabat Rasulullah dan termasuk pahlawan Perang Badar.” Hafshah wafat tahun 27 H. Dikatakan pula, tahun 28 H. Di antara keistimewaan Hafshah adalah seperti yang disebutkan Al-Hafizh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam Mukhtashar fis Sirah, Nabi menceraikannya, lantas Jibril mendatangi beliau dan berkata:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu merujuk Hafshah, sebab ia seorang wanita yang banyak puasa dan rajin shalat malam. Dan ia istrimu di surga.”

 

Thabrani berkata dalam Al-Mu jamul Kabir (XVII/hadits no. 804), menceritakan pada kami Ahmad bin Thahir bin Harmalah bin Yahya, menceritakan pada kami kakekku Harmalah, menceritakan pada kami Ibnu Wahb, menceritakan padaku Amru bin Shalih Al-Hadhrami dari Musa bin Ali bin Ribah, dari ayahnya dari Uqbah bin Amir,

 

  1. Nabi menalak Hafshah. Berita peristiwa ini sampai pada Umar bin Khathab yang lalu menaburkan debu di atas kepalanya sembari berkata, “Allah tak akan peduli pada Ibnu Khathab setelah ini” Lantas Jibril turun pada Nabi dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu merujuk Hafshah karena kasihan pada Umar “

 

Rasulullah juga memperistri Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Namanya Ramlah binti Shakhr bin Harb bin Umayah bin Abdisyams bin Abdimanaf. Ia berangkat hijrah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, ke negeri Habasyah. Lalu suaminya beralih ke agama Nasrani di Habasyah. Sementara Allah menyempurnakan keislamannya dan ia dinikahi Rasulullah saat masih berada di negeri Habasyah, Najasyi memberinya mahar mewakili Nabi sebesar 400 dinar.” Rasulullah mengutus Amru bin Umayah Adh-Dhamari 25 ke bumi Habasyah untuk meminangnya, dan yang menikahkannya adalah Utsman bin Affan. Tetapi ada juga berita yang mengatakan, pernikahannya dilangsungkan oleh Khalid bin Sa’id bin Ash.

 

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits no. 2501, hadits Ikrimah bin Amar dari Abu Zumail dari Abdullah bin Abbas berkata:

 

  1. Kaum muslimin tidak memandang hormat Abu Sufyan dan enggan bergaul dengannya. Maka ia berkata pada Nabi, “Sudikah Anda memberiku tiga perkara ini?” Beliau menjawab, “Ya” Ia berkata, “Aku memiliki putri yang paling baik di antara bangsa Arab dan paling cantik, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, maukah Anda aku nikahkan dengannya?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Maukah Anda mengangkat Muawiyah sebagai penulis Anda?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Maukah Anda menjadikanku panglima agar aku dapat memerangi orang-orang kafir seperti dulu aku memerangi kaum muslimin?” Beliau menjawab, “Ya” Abu Zumail berkata, “Seandainya ia tidak meminta perkara-perkara tersebut pada Nabi, beliau juga tak akan memberikan padanya. Sebab tiadalah Nabi dimintai sesuatu kecuali beliau menjawab ‘ya’”

 

Hadits ini membingungkan banyak orang.” Sebab Ummu Habibah dinikahi Rasulullah sebelum Abu Sufyan memeluk Islam, seperti telah diungkapkan. Najasyi yang menikahkannya dengan beliau. Kemudian ia datang pada Rasulullah sebelum ayahnya masuk Islam. Lalu bagaimana mungkin setelah peristiwa Fathu Makkah Abu Sufyan mengatakan “maukah Anda aku nikahkan dengan Ummu Habibah? Hadits ini palsu, tak memiliki asal. Ibnu Hazm berkata, “Ikrimah bin Amar telah membuat-buatnya.” Ia menuduh Ikrimah. Namun ulama lain menilai tuduhan ini berlebihan, mereka berkata, “Mana mungkin ada hadits maudhu’ dalam Shahih Muslim! Sesungguhnya pengertian hadits ini adalah Abu Sufyan meminta Nabi ik memperbaharui akad nikah beliau dengan putrinya agar ia dihargai di tengah kaum muslimin” Namun alasan ini lemah, sebab hadits ini menyebutkan Nabi berjanji padanya -dan beliau senantiasa menepati janji. Dan tak seorang pun menceritakan bahwa beliau memperbaharui akad pernikahan dengan Ummu Habibah. Perkara seperti ini, seandainya benar terjadi, pasti diceritakan. Meskipun hanya oleh seorang dari seorang yang lain. Maka lantaran tak seorang pun menceritakannya, diketahuj bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi.” Namun Oadhi Iyadh tak lebih dari sekadar menilai ganjil hadits ini, ia berkata, “Berita yang ada dalam Shahih Muslim terkait masalah ini ganjil sekali menurut kalangan ahluhadits. Tetapi berita sikap Ummu Habibah pada Abu Sufyan ketika ia datang ke Madinah untuk memperbaharui perdamaian dan singgah di rumahnya telah populer.”

 

Sekelompok orang berkata, “Hadits tersebut tidak batil. Sebenarnya Abu Sufyan hanya meminta Nabi sudi menikahi putrinya yang lain, Azah, saudari Ummu Habibah: Mereka berargumen, “Tak mustahil (larangan menikahi dua wanita bersaudari di satu waktu) seperti ini belum diketahui Abu Sufyan mengingat ia masuk baru memeluk Islam. Hukum ini pun tidak diketahui putrinya, Ummu Habibah, sehingga ia meminta Rasulullah memperistrinya maka beliau bersabda, “Ia tidak halal aku nikahi”! Abu Sufyan ingin Nabi menikahi putrinya yang lain. Lalu hal ini tersamar oleh rawi dan ia mengira wanita yang dimaksud adalah Ummu Habibah. Penyebutan nama ini merupakan kekeliruan sebagian rawi, bukan berasal dari ucapan Abu Sufyan.” Tetapi asumsi ini tertolak oleh jawaban Nabi, “Ya”. Yakni beliau bersedia memenuhi permintaannya. Seandainya permintaan tersebut adalah agar beliau menikahi saudari Ummu Habibah pasti beliau menjawab, “Sesungguhnya ja tidak halal aku nikahi” seperti beliau pernah menyampaikannya pada Ummu Habibah. Andai bukan karena kontradiksi ini, tentu penafsiran ini yang terbaik.

 

Sekelompok lain berkata, “Para ulama hadits tak satu kata bahwa Nabi menikahi Ummu Habibah saat ia berada di negeri Habasyah. Bahkan sebagian mereka menyebutkan Nabi memperistrinya di Madinah pasca kedatangannya dari Habasyah. Demikian diceritakan Abu Muhammad Al-Mundziri. Ini jawaban paling lemah untuk hadits di atas, karena beberapa alasan:

 

  1. Pendapat ini sama sekali tak diketahui didukung atsar yang shahih maupun hasan, juga tidak diungkapkan seorang pun di antara tokoh-tokoh yang riwayatnya dapat dipercaya.

 

  1. Kisah pernikahan Ummu Habibah tes ketika ia di negeri Habasyah telah diriwayatkan secara mutawatir, seperti kisah pernikahan Nabi dengan Khadijah di Mekah, dengan Aisyah di Mekah memulai membina rumah tangga bersama Aisyah di Madinah, pernikahan beliau dengan Hafshah di Madinah, Shafiyah di tahun Khaibar, dan dengan Maimunah dalam umrah Gadha – semoga Allah meridhai mereka. Peristiwa-peristiwa seperti ini kepopulerannya di kalangan ahluilmi mengharuskan mereka menghukuminya secara qat’i (pasti)? Sehingga seandainya muncul riwayat dengan sanad yang terlihat shahih namun menyelisihi peristiwa tersebut, mereka menganggapnya sebagai kesalahan dan tidak menggubrisnya. Mereka tak sanggup menolak keyakinan terkait masalah tersebut.

 

  1. Telah maklum dikalangan para pakar sejarah Nabi bahwa pernikahan beliau dengan Ummu Habibah tidak berlangsung setelah Fathu Makkah, dan tak seorang pun dari mereka yang berpendapat keliru seperti itu.

 

  1. Manakala Abu Sufyan datang ke Madinah ia menemui putrinya, Ummu Habibah, di rumahnya. Ketika ia bermaksud duduk di atas kasur Rasulullah, Ummu Habibah melipatnya agar tak tersentuh oleh Abu Sufyan. Ia berkata:

 

  1. “Wahai putriku, aku tak tahu engkau tak tega aku duduk di atas kasur ini atau engkau tak rela aku mendudukinya.” Ia menjawab, “Demi Allah, (sejatinya aku tak rela Anda mendudukinya) sebab itu adalah kasur Rasulullah” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, sungguh engkau telah terkena pengaruh buruk setelah berpisah denganku wahai putriku.”

 

Berita ini populer di antara para ahli sejarah perang dan sirah. Ibnu Ishaqsu dan lainnya membawakan hadits ini dalam kisah kedatangan Abu Sufyan di Madinah untuk memperbaharui perjanjian damai.

 

  1. Ummu Habibah tercatat di antara pelaku hijrah ke Habasyah bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy., Namun suaminya beralih memeluk agama Nashrani dan mati di negeri Habasyah. Kemudian Ummu Habibah datang pada Rasulullah dari Habasyah. Ia mendampingi Nabi, dan tidak tinggal bersama ayahnya. Kenyataan ini tak diragukan seorang pun dari ahluhadits. Dan sama-sama diketahui, ayahnya baru masuk Islam di tahun Fathu Makkah.

 

Lantas masuk akalkah bila ia mengatakan, “Aku memiliki gadis paling cantik di seantero Arab, sudikah Anda aku nikahkan dengannya? Dan pernahkah Ummu Habibah tinggal bersamanya setelah hijrah dan masuk Islam?” Jika Abu Sufyan mengeluarkan ucapan tersebut sebelum masuk Islam, itu mustahil. Sebab Ummu Habibah tidak tinggal bersamanya. Abu Sufyan pun tak lagi memiliki hak wali atasnya. Dan seandainya ja mengungkapkannya setelah masuk Islam, juga mustahil, sebab pernikahan Ummu Habibah dengan Nabi tak berlangsung pasca Fathu Makkah.

 

Jika dikatakan, “Bahkan dapat dipastikan pernikahan Ummu Habibah (dengan Rasulullah) terjadi setelah Fathu Makkah. Pasalnya, hadits yang diriwayatkan Muslim ini shahih dan sanadnya diisi rawi-rawi yang tsiqah lagi memiliki hafalan baik. Sementara hadits pernikahannya ketika ia di negeri Habasyah bersumber dari riwayat Ibnu Ishaq secara mursal. Apalagi ulama berselisih pendapat terkait boleh tidaknya berhujah dengan riwayat-riwayat Ibnu Ishaq yang bersanad, terlebih lagi dengan riwayat-riwayat mursalnya? Lalu bagaimana bila riwayat mursal tersebut menyelisihi riwayat bersanad yang terbukti shahih?” Ini metode sebagian ulama generasi akhir untuk menyahihkan riwayat Ibnu Abbas di atas. Dan jawabannnya dari beberapa sisi:

 

  1. Apa yang dikatakan orang ini dapat dibenarkan ketika kedua riwayat samasama kuat, sehingga perlu ditarjih dengan cara yang ia ungkapkan. Adapun bila salah satu dari keduanya telah terbukti dan diyakini batil maka tak perlu dipedulikan. Pasalnya, tak diketahui ada perselisihan antara dua orang dari para pakar sirah, peperangan, dan keadaan Rasulullah bahwa pernikahan Ummu Habibah tidak berlangsung setelah Fathu Makkah. Tak seorang pun dari mereka mengatakan hal ini. Andai ada yang mengucapkannya pasti mereka mengetahui kebatilannya dan tidak meragukan kekeliruannya.

 

  1. Pernyataannya bahwa riwayat-riwayat mursal Ibnu Ishaq tak cukup kuat menandingi dan melawan riwayat shahih yang bersanad, jawabnya adalah dasar yang dijadikan acuan dalam masalah ini bukan riwayat Ibnu Ishaq semata, baik yang sanadnya bersambung atau yang mursal. Tetapi yang menjadi pegangan adalah riwayat mutawatir di kalangan ulama perang dan sirah bahwa Ummu Habibah ws hijrah bersama suaminya, lalu suaminya ini meninggal dalam agama Nasrani di negeri Habasyah, dan Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Nabi serta memberinya mahar dengan hartanya mewakili Nabi. Kisah ini tercantum dalam kitab-kitab peperangan dan sirah (kitab sejarah), disebutkan oleh para ulama terkemuka.Dan mereka berhujah dengan peristiwa ini atas bolehnya menunjuk wakil dalam akad nikah.

 

Syafi’i berkata dalam riwayat Rabi’:

 

  1. Tentang hadits Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila dua wali menikahkan (seorang wanita dengan dua lelaki) maka yang pertama yang lebih berhak” Ia berkata, “Hadits ini mengandung dalil bahwa menunjuk wakil dalam akad pernikahan itu boleh…”

 

Ditambah lagi:

 

  1. “Penunjukan Nabi &£ pada Amru bin Umayah Adh-Dhamari sebagai wakit yang menikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan.”

 

Syafi’i bekata dalam kitabnya, Al-Kabir -dari riwayat Rabi, “Orang kafir tidak bisa menjadi wali wanita muslimah meskipun ia anaknya. Ibnu Sa’id bin Ash telah menikahkan Nabi dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, padahal Abu Sufyan masih hidup. Sebab Ummu Habibah seorang muslimah dan Ibnu Sa’id seorang muslim. Aku tak mengetahui seorang muslim yang hubungan kerabatnya lebih dekat dengan Ummu Habibah dari Ibnu Sa’id. Sedang Abu Sufyan tak memiliki hak wali atas Ummu Habibah, karena Allah telah memutus perwalian antara kaum muslimin dan musyrikin, juga masalah warisan, diyat, dan lainnya.”

 

Ibnu Sa’id yang disebut Syafi’i ini adalah Khalid bin Sa’id bin Ash. Demikian diungkapkan Ibnu Ishaq dan lainnya.Sementara Urwah dan Zuhri mengungkapkan bahwa Utsman bin Affan-lah yang menjadi wali pernikahannya. Kedua orang ini masih terhitung keponakan ayahnya, (saudara sepupu Ummu Habibah). Jelasnya, Utsman adalah Ibnu Affan bin Abu Ash bin Umayah, Khalid adalah Ibnu Sa’id bin Ash bin Umayah, dan Abu Sufyan adalah Ibnu Harb bin Umayah.

 

Intinya, para ulama fikih dan sirah menyebutkan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah terjadi di negeri Habasyah. Ini menggugurkan anggapan bahwa pernikahan tersebut berlangsung setelah Fathu Makah karena terpengaruh hadits Ikrimah bin Amar.

 

  1. Ikrimah bin Amar, rawi hadits Ibnu Abbas ini, telah didha’ifkan oleh banyak ulama hadits. Di antaranya Yahya bin Sa’id Al-Anshari“ yang berkata, “Haditshaditsnya tidak shahih” Imam Ahmad berkata, “Hadits-haditsnya dha’if” Abu Hatim berkata “Ikrimah seorang rawi shadug, namun terkadang ia keliru dan terkadang juga ia menyamarkan (riwayat).

 

Apabila kondisi Ikrimah seperti ini, bisa jadi ia menyamarkan hadits ini dari orang yang tidak hafal dengan baik atau tidak tsigah. Muslim meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (hadits no. 2501), dari Abbas bin Abdilazhim dari Nadhr bin Muhammad dari Ikrimah bin Amar dari Abu Zumail dari Ibnu Abbas. Demikianlah hadits ini diriwayatkan dengan sanad mu’anan (kata ‘an, dari).” Akan tetapi Thabrani telah meriwayatkan hadits ini dalam Mujam-nya, (XIl/hadits no. 12885), ia berkata, “Menceritakan pada kami Muhammad bin Muhammad Al-Jadzu’i, menceritakan pada kami Abbas bin Abdilazhim, menceritakan pada kami Nadhr bin Muhammad, menceritakan pada kami Ikrimah bin Amar, menceritakan pada kami Abu Zumail, bercerita padaku Ibnu Abbas…” 

 

Abu Faraj bin Al-Jauzi berkomentar tentang hadits ini, “Tak diragukan dan tak disangsikan, ini merupakan kekeliruan sebagian rawi. Mereka telah menuduh kekeliruan tersebut pada Ikrimah bin Amar, rawi hadits ini” Ja melanjutkan, “Kami mengatakan riwayat ini satu kekeliruan, karena para pakar sejarah menyepakati Ummu Habibah sebelumnya adalah istri Ubaidullah bin Jahsy. Ia melahirkan putranya dan hijrah bersama suaminya dalam keadaan muslim ke negeri Habasyah, Kemudian Ubaidullah pindah ke agama Nashrani sedang Ummu Habibah tetap teguh di atas keyakinan Islamnya. Lantas Rasulullah mengirim utusan ke Najasyi untuk meminangkannya. Lalu Najasyi menikahkannya dengan beliau dan memberinya mahar mewakili Rasulullah sebesar 400 dirham. Peristiwa ini terjadi di tahun 7 Hijriah. Abu Sufyan datang di masa perdamaian,” ja menemui Ummu Habibah, Lantas Ummu Habibah melipat alas duduk Rasulullah agar tidak diduduki Abu Sufyan. Tak diragukan, Abu Sufyan dan Mu’awiyah baru memeluk Islam dalam peristiwa Fathu Makkah tahun 8 Hijriah. Dan tidak diketahui bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Sufyan..” dan seterusnya.

 

Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, “(Hadits Ibnu Abbas) ini maudhu’ yang kepalsuannya tidak diragukan. Cacatnya bersumber dari Ikrimah bin Amar. Tak ada perselisihan bahwa Rasulullah menikahi Ummu Habibah jauh sebelum Fathu Makkah, ketika ayahnya masih kafir”

 

Jika dikatakan, Ikrimah bin Amar tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri. Namun ia telah dimutabaah. Thabrani berkata dalam Mu’jam-nya, (XII/hadits no. 12886), “Bercerita pada kami Ali bin Sa’id Ar-Razi, bercerita pada kami Umar bin Halif bin Ishaq bin Mirsal Al-Khatsami mengatakan, bercerita pamanku Ismail bin Mirsal padaku dari Abu Zumail Al-Hanafi berkata, bercerita padaku Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Dulu kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak akrab padanya. Lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku tiga perkara berikut…”

 

| Di sini Ismail bin Mirsal telah meriwayatkan dari Abu Zumail, sebagaimana jkrimah bin Amar juga meriwayatkan darinya. Jadi Ikrimah terbebas dari kesendirian.

 

Dijawab, mutaba’ah ini tak dapat menguatkannya. Sebab mereka para rawi majhul yang tidak dikenal meriwayatkan ilmu. Mereka juga bukan di antara orang yang dijadikan hujah. Terlebih riwayat mereka dimenangkan dari riwayat yang telah tersebar dan sama-sama diketahui oleh kalangan ahluilmi khusus maupun umum. Maka mutaba’ah ini, justru menambah lemah tak membuatnya lebih kuat. Wabillahit taufig.

 

Sekelompok lain, di antaranya Baihagi dan Mundziri mengatakan, “Mungkin permintaan Abu Sufyan pada Nabi untuk memperistri Ummu Habibah terjadi dalam salah satu kunjungannya ke Madinah saat ia masih kafir dan ketika ia telah mendengar berita kematian suami Ummu Habibah di negeri Habasyah. Sedang permintaan kedua dan ketiga diajukan setelah keislamannya. Lalu rawi menggabungkan permintaan-permintaan ini” Interpretasi ini juga sangat lemah. Pasalnya, Abu Sufyan datang ke Madinah dalam keadaan aman setelah peristiwa hijrah hanya di masa gencatan senjata, menjelang Fathu Makkah. Ketika itu Ummu Habibah telah menjadi istri Nabi. Sebelum itu, Abu Sufyan tidak pernah datang ke Madinah kecuali bersama pasukan sekutu dalam Perang Ahzab. Andai bukan karena perjanjian damai dan gencatan senjata antara mereka dan Nabi, ia tidak berani mengunjungi Madinah. Jadi mana mungkin ia datang dan menikahkan Nabi dengan Ummu Habibah? Jelas ini satu kesalahan yang nyata.

 

Pun tak sah ia menikahkan Nabi dengan Ummu Habibah saat masih kafir, sebab ia tak memiliki hak perwalian atas Ummu Habibah. Dan pernikahan ini juga tidak tertunda sampai setelah keislamannya karena dalil-dalil yang telah diungkapkan. Berpijak pada dua kesimpulan ini, ucapannya aku menikahkanmu dengan Ummu Habibah tidak terbukti benar.

 

Secara eksplisit, hadits tersebut menunjukkan ketiga permintaan di atas diajukan dalam satu kesempatan, sebab Abu Sufyan mengatakan, “Tiga perkara berikut berikanlah padaku…” Diketahui, permintaannya agar diangkat sebagai panglima dan Mu’awiyah sebagai penulis hanya dapat dibayangkan setelah ia memeluk Islam, Lantas bagaimana bisa dikatakan ia mengajukan sebagian permintaan tersebut saat masih kafir dan sebagiannya ketika ia telah muslim? Alur hadits ini mementahkan asumsi tersebut.

 

Sekelompok yang lain lagi mengatakan, “Hadits ini bisa ditafsirkan secara benar dan terhindar dari penilaian maudhu’. Sebab pernyataan bahwa dalam Shahih Muslim terdapat hadits maudhu’ bukan perkara yang sederhana. Ia mengatakan, Penjelasannya, maksud kalimat “aku menikahkanmu dengannya,” adalah aku meridhai pernikahanmu dengannya. Sebab pernikahan itu terjadi di luar restuku dan tanpa persetujuanku, meskipun pernikahanmu sah. Tetapi (pernyataan keridhaanku) ini lebih indah, lebih bagus, dan lebih sempurna karena mengandung pelunakan hati.” Ia melanjutkan, “Sedang jawaban Nabi dengan kata “ya, sebagai bentuk keramahan beliau padanya. Kemudian beliau memberitahukan keabsahan akad pernikahan tersebut, sesungguhnya pernikahan itu tak butuh keridhaanmu dan perwalianmu atasnya karena agama kalian berdua berbeda saat berlangsungnya akad” Ia mengatakan, “Penafsiran ini tak dapat disangkal kemungkinannya.” Namun pendapat ini juga tidak kuat.

 

Tak dipungkiri penafsiran ini sangat jauh dari bunyi kalimat tersebut, kalimat itu pun tak dapat dipahami seperti ini.?! Sebab ucapan Abu Sufyan, “Aku memiliki putri paling cantik di seantero Arab, sudikah Anda aku nikahkan dengannya?” Tak seorang pun memahami maksudnya adalah “istrimu yang telah berada dalam ikatan pernikahan denganmu aku meridhai pernikahanmu dengannya”. Pengertian ini pun tak tepat bila dijawab Nabi dengan ucapan, “ya. Sebab Abu Sufyan meminta pada Nabi satu perkara yang pelulusannya ada di tangan Nabi. Sementara keridhaan Abu Sufyan terhadap pernikahan beliau dengan Ummu Habibah, merupakan perkara yang ada dalam hatinya, lalu bagaimana ia meminta keridhaan tersebut pada Nabi

 

Seandainya dikatakan, Abu Sufyan meminta pada Nabi untuk (dibolehkan) menyatakan pengakuannya atas pernikahan beliau dengan Ummu Habibah dan ia menyebut pemberian pernyataan ini sebagai ‘pernikahan, tentu pemaknaan ini, kendati tidak benar, lebih dekat pada bunyi tekstual kalimat. Tetapi semua penafsiran ini tak dapat diterima dan sangat bertolak belakang dengan kalimat dan maksud perkataan.

 

Sekelompok lain lagi mengatakan, “Abu Sufyan kerap pergi ke Madinah. Boleh jadi ja datang ke Madinah saat masih kafir atau setelah masuk Islam tepat ketika Nabi bersumpah menjauhi istri-istri beliau selama satu bulan. Lalu ia memahami sumpah Ila tersebut sebagai talak, seperti juga dipahami oleh Umar bin Khathab. Sehingga ia mengira telah terjadi perpisahan akibat ila tersebut. Ia pun mengeluarkan ucapan ini pada Nabi untuk meminta belas kasih sekaligus memprotes beliau. Barangkali beliau berkenan merujuk Ummu Habibah. Lantas Nabi menjawabnya dengan mengucapkan “ya. Maknanya, (Ya, aku bersedia engkau menikahkanku dengannya) bila sumpah Il2 ini sampai pada batasnya atau terjadi perceraian. Namun ternyata semua itu tak terjadi.

 

Penafsiran ini juga lemah seperti sebelumnya. Tak dipungkiri, ucapan Abu Sufyan Aku memiliki putri paling cantik dan paling baik di seantero Arab, sudikah | Anda aku nikahkan dengannya? tak dapat dipahami seperti yang disebutkan di atas terkait masalah ila dan terjadinya perpisahan karenanya, serta tidak benar bila dijawab dengan kata “ya’ Abu Sufyan pun sama sekali tak ada di Madinah saat peristiwa sumpah Ila Nabi. Ceritanya, Nabi menyendiri di sebuah kamar milik beliau dan bersumpah tidak menemui istri-istri beliau selama satu bulan. Umar bin Khathab datang dan berulang kali meminta izin menghadap beliau. Akhirnya ja diizinkan pada kali ketiga, ia bertanya, “Apakah Anda menalak istri-istri Anda?” Beliau menjawab, “Tidak” Umar berkata, “Allah Mahabesar.” Lantas tersiar berita di kalangan orang banyak bahwa beliau tidak menalak istri-istri beliau. Di manakah Abu Sufyan ketika itu?

 

Aku melihat sebuah komentar Syaikh Muhibudin Ath-Thabari terhadap hadits ini. Ia mengatakan, secara global, “Kemungkinan Abu Sufyan mengucapkan semua perkataan tersebut sebelum masuk Islam di satu waktu sebelum tanggal pernikahan, sebagai pengajuan syarat untuk keislaman dirinya. Sehingga asumsi ucapannya menjadi demikian “Tiga perkara yang Anda berikan padaku jika aku masuk Islam Ummu Habibah aku nikahkan dengan Anda, Mu’awiyah masuk Islam lalu menjadi penulis Anda, dan Anda mengangkatku sebagai panglima setelah masuk Islam agar aku dapat memerangi orang-orang kafir seperti dulu aku memerangi kaum muslimin”

 

Penafsiran ini juga batil menilik pada beberapa alasan:

 

Ucapan Ibnu Abbas, “Dulu kaum muslimin tidak memandang dan enggan bergaul dengan Abu Sufyan, ia pun mengatakan, “Wahai Nabi Allah, tiga perkara yang Anda berikan padaku…” Mahasuci Allah, mungkinkah ia berani menyampaikan keinginannya ini ketika di Mekah sebelum peristiwa hijrah atau setelah peristiwa hijrah sembari menggalang kekuatan pasukan sekutu untuk memerangi Rasulullah, ataukah ketika ia datang ke Madinah saat Ummu Habibah telah tinggal bersama Rasulullah, tidak tinggal bersamanya? Sungguh sebuah penafsiran yang terlalu dipaksakan. Bagaimana mungkin Abu Sufyan berkata, sementara ia sendiri masih kafir, “..agar aku dapat memerangi orang-orang kafir seperti dulu aku memerangi kaum muslimin?” Bagaimana ia tidak terima dengan perlakuan kasar kaum muslimin pada dirinya sementara ia sendiri berusaha keras memerangi mereka, memadamkan cahaya Allah Kisah keislaman Abu Sufyan sama-sama diketahui dan tak ada embel-embel syarat terkait keislamannya, serta sama sekali tak menyinggung satu pun dari tiga perkara ini.

 

Secara umum, penafsiran-penafsiran ini dan yang sepertinya jelas diketahui kebatilannya, ketidaklayakan, dan kerusakannya. Tak memberi tambahan ilmu pada orang yang memerhatikannya. Sebaliknya, mengoreksinya dan menyatakan kebatilannya termasuk pertanda tingginya ilmu. Allah jua yang lebih mengetahui kebenarannya.

 

Yang benar, hadits ini tidak mahfuzh. Bahkan disinyalir terjadi campur aduk berita di dalamnya.? Wallahu alam.

 

Ummu Habibah adalah wanita yang memuliakan kasur Rasulullah agar jangan sampai diduduki ayahnya ketika datang ke Madinah sembari mengatakan, “Anda orang musyrik” dan ia mencegahnya duduk di atasnya.

 

Rasulullah juga memperistri Ummu Salamah. Namanya Hindun binti Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Amru bin Makhzum bin Yagzhah bin Murah bin Ka’ab bin Lway bin Ghalib. Sebelumnya, ia menjadi istri Abu Salamah bin Abdilasad.” Wafat tahun 62 H dan dimakamkan di Bagi. Ummu Salamah adalah istri Nabi yang paling terakhir meninggal dunia. Ada juga yang mengatakan, istri beliau yang paling terakhir meninggal adalah Maimunah.”

 

Di antara keistimewaan Ummu Salamah adalah Jibril menemui Nabi saat ia di hadapan beliau. Ia melihatnya dalam rupa Dihyah Al-Kalbi. Dalam Shahih Muslim (hadits no. 2451), dari Abu Utsman berkata:

 

  1. “Aku diberitahu bahwa Jibril mendatangi Nabi saat di hadapan beliau ada Ummu Salamah. Lantas Jibril berbicara kemudian bangkit dan pergi. Nabi Allah bertanya pada Ummu Salamah tes, Siapa tadi? -atau seperti sabda beliauIa menjawab, “Orang tadi adalah Dihyah Al-Kalbi’ Ummu

 

Salamah mengungkapkan, “Demi Allah, aku hanya menyangka orang itu adalah Dihyah Al-Kalbi, sampai aku mendengar khotbah Rasulullah menyampaikan berita Jibril” Atau seperti penuturan Abu Utsman. Sulaiman At-Taimi mengatakan: Aku bertanya pada Abu Utsman, “Dari siapa engkau mendengar hadits ini?” Ia menjawab, “Dari Usamah bin Zaid,”

 

Putra Ummu Salamah, Umar, yang menikahkannya dengan Rasulullah. Sekelompok orang menolak kebenaran riwayat ini dengan alasan putra Ummu Salamah ketika itu belum menginjak usia di mana ia mengerti permasalahan nikah.

 

Namun Imam Malik membantah anggapan tersebut dan mengingkari orang yang mengatakannya. Kebenaran pendapat Imam Malik ini didukung riwayat Muslim dalam Shahth-nya (hadits no. 1108):

 

  1. Umar bin Salamah -putra Ummu Salamahbertanya pada Nabi tentang ciuman orang yang puasa. Lantas beliau bersabda, “Tanyalah wanita ini? Maksud beliau Ummu Salamah. Lantas ia mengabarinya bahwa Rasulullah melakukan hal itu. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah terjadi dan yang belum terjadi.” Maka Rasulullah bersabda padanya, “Ketahuilah, demi Allah, aku orang yang paling bertakwa dan paling takut pada Allah di antara kalian.“

 

Atau sebagaimana disabdakan Rasulullah. Perkara seperti ini tidak layak ‘ disampaikan pada orang yang masih sangat kecil. Umar ag lahir di negeri Habasyah sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.”

 

Baihagi berkata, “Pendapat orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abu salamah masih kecil hanya klaim belaka, dan anggapan usia kecilnya ini tak terbukti diriwayatkan dengan sanad shahih. Sedang pendapat orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abu Salamah menikahkan Ummu Salamah dengan Nabi selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa ia menikahkan Ummu Salamah dalam kapasitasnya sebagai keponakan dan Ummu Salamah tak memiliki wali yang lebih dekat padanya dibanding Umar. Sebab ia adalah Umar bin Abu Salamah bin Abdilasad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Sedang Ummu Salamah adalah Hindun binti Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum.

 

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa yang menikahkan Ummu Salamah adalah Umar bin Khathab, bukan Umar putranya. Sebab dalam kebanyakan riwayat tertulis, “Bangkitlah wahai Umar, lalu nikahkan Rasulullah (denganku)” Dan Umar bin Khathab adalah orang yang menyampaikan pinangan (Nabi).

 

Namun ini dibantah riwayat dalam Sunan Nasa’i VI/82, “Lantas ia berkata pada putranya Umar, “Bangkitlah, lalu nikahkanlah Rasulullah,

 

Guru kami Al-Hafizh Abu Hajaj Al-Mazi menjawab, yang shahih terkait riwayat ini adalah “Bangkitlah wahai Umar, lalu nikahkanlah Rasulullah” Sedang kata putranya muncul dari sebagian rawi. Karena putranya bernama Umar, dalam hadits ia berkata, “Bangkitlah wahai Umar, lalu nikahkan Rasulullah,” rawi ini menyangka Umar yang dimaksud adalah putranya. Sementara kebanyakan riwayat dalam AlMusnad VII/295,313-314, dan lainnya berbunyi, “Bangkitlah wahai Umar, tanpa menyebutkan kata “putranya. Ia melanjutkan, “Hal itu dibuktikan putranya, Umar, masih kecil. Sebab telah shahih diriwayatkan darinya bahwa ia mengatakan:

 

  1. Dulu aku seorang anak kecil dalam asuhan Nabi, tanganku berkeliaran di dalam nampan, lantas Nabi bersabda, “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah apa yang ada didekatmu?”

 

Ini menunjukkan usianya masih kecil ketika menjadi anak tiri Rasulullah Wallahu alam.

 

Sedang Ibnu Ishaq mengungkapkan bahwa yang menikahkan Ummu Salamah adalah putranya Salamah bin Abu Salamah. Wallahu a’lam.

 

Rasulullah juga memperistri Zainab binti Jahsy dari Bani Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar. Ia putri bibi beliau dari arah ayah, Umaimah binti Abdulmuthalib. Sebelumnya, Zainab adalah istri mantan budak beliau, Zaid bin Haritsah, dan telah diceraikan. Lantas Allah menikahkannya dengan beliau dari atas tujuh lapis langit dan menurunkan ayat berikut pada beliau, “..Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia..” (Al-Ahzib (33): 37). Beliau segera bangkit dan masuk menemuinya tanpa meminta izin Dan Zainab biasa membanggakan akad ini di antara para istri Rasulullah lainnya sembari mengucapkan, “Kalian dinikahkan keluarga kalian, sementara Allah menikahkanku dari atas tujuh lapis langit” Ini di antara keistimewaannya. Zainab wafat di Madinah tahun 20 Hijriah dan dimakamkan di Bagi -semoga Allah meridhainya.“

 

Rasulullah juga memperistri Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaliyah. Sebelumnya ia istri Abdullah bin Jahsy. Rasulullah menikahinya di tahun 3 Hijriah. Zainab dijuluki ibu kaum miskin lantaran kegemarannya memberi makan orang-orang miskin. Namun ia tak lama mendampingi Rasulullah, hanya dua atau tiga bulan. Ia wafat -semoga Allah meridhainya.

 

Berikutnya Rasulullah juga memperistri Juwairiyah binti Harits dari Bani Mushthalig. Sebelumnya ia jatuh dalam tawanan pasukan muslimin dalam perang melawan Bani Musthalig dan menjadi bagian Tsabit bin Oais. Lantas Tsabit memukatabahnya. Maka Rasulullah melunasi tanggungan uang yang harus dibayarkan dan memperistrinya pada tahun 6 Hijriah. Juwairiyah wafat tahun 56 H. Karenanya kaum muslimin memerdekakan 100 keluarga budak dan mereka mengatakan, “Mereka para ipar Rasulullah” Itu di antara berkah Juwairiyah untuk kaumnya.

 

Rasulullah juga menikahi Shafiyah binti Huyay yang masih keturunan Harun bin Imran saudara Musa di tahun 7 Hijriah. Ia ditawan dalam Perang Khaibar. sebelumnya ia istri Kinanah bin Abi Hugaig yang dibunuh Rasulullah. Shafiyah ws wafat tahun 36 Hijriah. Dikatakan pula, tahun 50 Hijriah.“’

 

Di antara keistimewaannya adalah:

 

  1. Rasulullah memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya.”

 

  1. Anas berkata, “Beliau memberinya mahar berupa (kemerdekaan) dirinya? Peristiwa ini menjadi sunnah bagi umat hingga Hari Kiamat. Artinya, seseorang boleh menjadikan kemerdekaan budak wanitanya sebagai maharnya dan budak itu menjadi istrinya, sesuai pernyataan Imam Ahmad “.

 

Tirmidzi berkata, (hadits no. 3894), “Bercerita pada kami Ishaq bin Manshur dan Abd bin Humaid, bercerita pada kami Abdurazaq, mengabari kami Ma’mar dari Tsabit dari Anas menuturkan,

 

  1. Sampai berita pada Shafiyah bahwa Hafshah mengatakan, “Shafiyah itu putri Yahudi” Ia menangis. Lantas Rasulullah menemuinya kala ia masih menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Hafshah berkata padaku bahwa aku putri seorang Yahudi.” Nabi bersabda, “Sungguh engkau putri seorang nabi, pamanmu seorang nabi, dan engkau bersuamikan seorang nabi. Lantas dengan alasan apa ia membanggakan diri atasmu?” Kemudian beliau bersabda, “Bertakwalah pada Allah wahai Hafshah!”

 

Tirmidzi mengatakan, “Ini hadits shahih dan gharib dari arah periwayatan ini” Ini di antara keistimewaan Shafiyah.

 

Rasulullah juga memperistri Maimunah binti Harits Al-Hilaliyah. Beliau menikahinya di Saraf dan memulai membina rumah tangga dengannya di Saraf, Maimunah meninggal di Saraf.” Tempat ini berjarak 7 mil dari Mekah. Maimunah merupakan Ummul Mukminin terakhir yang diperistri Rasulullah -semoga keridhaan Allah terlimpah pada mereka. Wafat tahun 63 H.“’ Maimunah adalah bibi Abdullah bin Abbas dari arah ibu. Sebab ibunya adalah Ummu Fadhl binti Harits. Ia juga bibi Khalid bin Walid dari arah ibu. Pernikahan Maimunah dengan Nabi diperselisihkan, apakah beliau menikahinya saat dalam keadaan halal atau dalam kondisi ihram? Yang benar beliau menikahinya dalam keadaan halal, sebagaimana dikatakan Abu Rafi“? yang bertugas sebagai mediator dalam pernikahannya. Aku telah menjelaskan sisi kesalahan orang yang berpendapat bahwa beliau menikahinya saat ihram dan sepuluh alasan lebih mendahulukan hadits: “Beliau menikahinya dalam keadaan halal,” yang telah disebutkan di lain tempat.

 

Mereka inilah wanita-wanita yang dinikahi Rasulullah dan beliau membing rumah tangga dengan mereka. Semuanya berjumlah 11.

 

Al-Hafizh Abu Muhammad Al-Magdisi dan lainnya berkata, “Nabi juga menikahi 7 wanita lainnya, namun beliau tidak sampai membina rumah tangga dengan mereka.”!

 

Jadi shalawat untuk istri-istri Nabi adalah konsekuensi dari kawajiban menghormati mereka, diharamkannya mereka dinikahi seorang pun dari umat inj dan mereka adalah istri-istri Nabi di dunia dan akhirat. Istri yang beliau ceraikan saat masih hidup dan beliau belum membina rumah tangga dengannya, ia tidak memiliki hukum-hukum istri yang beliau membina rumah tangga dengannya dan wafat meninggalkan mereka. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam pada beliau, istri-istri beliau, dan keturunan beliau.

 

Mengenai dzurriyyah (keturunan) ada dua poin terkait pembahasannya.

 

1.Tentang lafazhnya. Dalam hal ini ada tiga pendapat:

 

  1. Kata ini berasal dari kalimat dzaraallahul khalga, yakni Allah menyebarkan dan mengembangbiakkan mereka. Hanya saja mereka menanggalkan huruf hamzah karena mempersulit pengucapan. Aslinya dzurriah, dengan huruf hamzah mengikuti wazan fu’ilah dari pangkal kata adz-dzar’u. Ini pendapat pilihan penulis Ash-Shihdh, (I/51), dan lainnya.

 

  1. Asalnya dari kata adz-dzarru, yakni semut-semut kecil. Seharusnya analogi pola nisbah kata ini adalah dzarriyyah, dengan huruf dzal yang difathah dan huruf “ya. Akan tetapi mereka mendhammah huruf pertamanya dan mengganti huruf akhirnya dengan hamzah (yakni dzurriah). Ini termasuk merobah pola kata nisbah. Pendapat ini lemah ditilik dari beberapa sisi: menyelisihi ketentuan baku pola kata nisbah, mengganti huruf ‘ra dengan ya dan ini tidak bisa dianalogikan, tak ada kesamaan antara kata adzdzurriyyah dan adzarru selain pada huruf dza’ dan ‘ra sedang secara makna keduanya sangat berbeda. Kata adz-dzarr termasuk kata al-mudhaaf sedang adz-dzurriyyah termasuk kata mu’tal atau mahmuz (berakhiran hamzah) sehingga keduanya sangat berbeda.

 

  1. Kata ini berasal dari kata kerja dzara-yadzru, berarti ‘dihamburkan’. Sekata dengan firman Allah, “..diterbangkan oleh angin..” (Al-Kahfi (18): 45). —Atas dasar ini, asal kata dzurriyyah adalah dzaryawah. Mengikuti wazan fa’layah. Kemudian huruf wawunya diubah menjadi ‘ya’ karena salah satu dari keduanya didahului sukun. Pendapat pertama lebih shahih. Sebab derivasi dan makna kata ini mendukungnya. Asal kata ini dari adz-dzaru, Allah berfirman, “..Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu..” (Asy-Syiira (42): 11). Disebutkan dalam hadits:

 

  1. “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak mampu dilangkahi orang baik maupun pendosa dari keburukan yang Dia Ciptakan, kembang biakkan, dan adakan.”?

 

Allah berfirman,

 

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia…” (Al-A’raf (7): 179).

 

“Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlainan macamnya…” (An-Nahl (16): 13)

 

Jadi dzurriyyah adalah bentuk kata fuliyah dari kata ini (yakni, adz-dzar ‘u) dengan arti penderita, yakni madzruah (yang dikembangbiakkan/yang diciptakan). Kemudian mereka mengganti huruf hamzahnya (dengan huruf ya) sehingga menjadi, dzuriyah.

 

Arti kata dzuriyah Tak ada silang pendapat di antara pakar bahasa bahwa kata dzuriyah (keturunan) mencakup anak-anak kecil dan yang sudah besar. Allah berfirman,

 

“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku…” (Al-Bagarah (2): 124).

 

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Ali Imran (3): 33-34)

 

“(Kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan, dan saudara-saudara mereka. Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabinabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-An’am (6): 87)

 

“Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Isra (171: 2-3)

 

Apakah kata dzuriyah juga diucapkan pada bapak-bapak? Ada dua pendapat:

 

  1. Mereka juga disebut dzuriyah. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalil dengan firman Allah,

 

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.” (Yasin (36): 41)

 

Namun sekelompok pakar bahasa menolak pendapat ini, mereka mengatakan, “Ini tidak boleh secara bahasa. Kata dzuriyah seperti an-naslu dan al-aqib yang tidak berlaku selain pada “unsur nasab bagian bawah’. Karena ini Allah berfirman, (dan Kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka, dan saudara-saudara mereka… (Al-An’im (61: 87). Dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga unsur nasab, yakni atas (orang tua), bawah (anak-anak/keturunan), dan samping (saudara)

 

Mereka berkata membantah argumen kelompok pertama, “Ayat yang kalian jadikan alasan sebenarnya tak mengandung dalil pendapat kalian. Sebab kata dzuriyah dalam ayat ini tidak disandarkan pada mereka dalam konteks sebagai keturunan, tetapi disandarkan pada mereka karena suatu aspek yang lain. Penyandaran itu boleh dilakukan lantaran satu keterkaitan dan kekhususan yang sangat minim sekalipun. Contohnya seperti ucapan seorang pujanggass yang telah menyandarkan bintang pada seorang wanita dalam syairnya:

 

Bila bintang wanita dungu terbit di dini hari

Yakni bintang suhail, ia membagi-bagikan tenunannya pada kerabat

 

Penyair menyandarkan bintang pada wanita karena ia baru mulai menenun ketika bintang suhail telah terbit dan muncul. Isim itu bisa diidhafahkan karena dua alasan yang berbeda pada dua obyek, dan alasan pengidhafahan pada salah satu dari keduanya berlainan dengan alasan pengidhafahannya pada yang lain. Abu Thalib berkata tentang Nabi

 

Mereka tahu putra kami tak pernah diketahui berdusta

Pun tak pernah dituduh mengucapkan perkataan batil

 

Ia mengidhafahkan Nabi pada dirinya dengan menyebut beliau sebagai anak dengan alasan berbeda dari pengidhafahan status beliau sebagai putra ayah beliau, Abdullah. Demikian pula kata utusan (rasul). Terkadang Allah menyandarkan-Nya pada Dzat-Nya seperti firman-Nya, “..sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami…” (Al-Ma’idah (5): 15). Adakalanya Dia menyandarkannya pada pihak yang rasul itu diutus pada mereka, seperti firman-Nya, “Ataukah mereka tidak mengenal rasul mereka…” (Al-Mu’minun (23):69). Penyandaran rasul pada Allah adalah penyandaran utusan pada pengutusnya, sedang disandarkannya beliau pada mereka adalah penyandaran utusan pada umat yang beliau diutus untuk mereka. Demikian pula kata “kitabNya yang terkadang disandarkan pada Allah, yakni kitabullah, dan terkadang juga disandarkan pada hamba-hamba, seperti kitabuna Al-Qurin (kitab suci kita adalah Al-Quran), dan kitabund khairul kutub (kitab suci kita sebaik-baik kitab suci). Masalah ini sering terjadi. Demikian pula kata adz-dzurriyyah, disandarkan pada mereka (orang-orang yang diangkut dalam bahtera penuh muatan —(Yasin:(36): 41)karena satu keterkaitan yang lain dengan keterkaitan kata ini ketika diidhafahkan pada bapak-bapak mereka.

 

Sekelompok lain berkata, “Sebetulnya maksud kata dzuriyah dalam ayat itu adalah bangsa Bani Adam, dan idhafah tersebut tidak dimaksudkan pada orang yang ada di zaman Nabi. Tetapi maksudnya keturunan bangsa (manusia ini). Kelompok yang lain lagi mengatakan, “Yang benar maksudnya adalah keturunan mereka itu sendiri. Ini lebih menunjukkan kekuasaan Allah dan banyaknya jumlah nikmat yang telah Dia karuniakan pada mereka. Yakni Dia mengangkut keturunan mereka yang masih berada dalam sulbi bapak-bapak mereka dalam kapal. Jadi makna ayat ini, kami mengangkut orang-orang yang menjadi keturunan mereka saat orang-orang ini masih berujud nutfah dalam sulbi bapak-bapak mereka” Kami telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam kitab Ar-Ruhu wan Nafsu.

 

Bila telah terbukti seperti ini, berarti adz-dzurriyyah adalah anak-anak dan anakanak mereka. Apakah masuk di dalamnya anak-anak dari anak perempuan? Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini yang keduanya sama-sama diriwayatkan dari Imam Ahmad.

 

» Mereka termasuk, ini pendapat Syafi’i.

 

» Mereka tidak termasuk, ini pendapat Abu Hanifah.

 

Mereka yang berpendapat anak-anak dari anak perempuan masuk dalam kata dzuriyah beralasan bahwa kaum muslimin sepakat anak-anak Fathimah masuk dalam keturunan Nabi yang dimohonkan shalawat pada Allah untuk mereka. Sebab tak seorang pun dari putri-putri Nabi yang menurunkan keturunan selain Fathimah. Siapa saja yang menasabkan diri pada Nabi dari keturunan beliau pasti melalui Fathimah. Oleh sebab ini, Nabi bersabda terkait Hasan, putra dari putri beliau:

 

  1. “Sesungguhnya putraku ini seorang pemimpin.”

 

Dalam hadits ini beliau menyebut Hasan sebagai putra beliau.

 

  1. Ketika Allah menurunkan ayat mubahalah, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), katakanlah (kepadanya): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…” (Ali Imran (3): 61). Nabi memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, lalu beliau keluar untuk mubahalah.

 

Mereka berkata, “Allah telah berfirman pula terkait Ibrahim, :..dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orangorang yang shalih (Al-An’am (6): 84-85). Telah sama-sama diketahui, Isa tidak memiliki garis nasab kepada Ibrahim kecuali dari arah ibunya, Maryam. Sedangkan orang yang berpendapat anak-anak dari anak perempuan tidak termasuk dalam kata dzuriyah alasannya, karena anak dari anak perempuan bernasab pada ayah mereka. Oleh sebab ini, bila seorang laki-laki bermarga Hudzali, Taimi, atau Adawi memiliki anak dengan seorang wanita bermarga Hasyim, anaknya tidak disebut bermarga Hasyim. Sebab dalam nasab seorang anak mengikuti ayahnya, sedang dalam status merdeka atau budak mengikuti ibunya, dan dalam agama mengikuti siapa yang agamanya paling baik di antara keduanya. Oleh sebab ini seorang penyair? mengatakan:

 

Anak-anak kami adalah anak-anak dari anak-anak lelaki kami, sedang anak-anak perempuan kami…

 

Anak-anak mereka ini adalah anak-anak para lelaki yang jauh. Seandainya seorang lelaki memberi wasiat atau mewakafkan sesuatu untuk satu kabilah, otomatis tidak termasuk dalam kabilah tersebut anak-anak dari anakanak perempuan mereka. (Sehingga mereka tidak turut mendapatkan bagian wasiat atau wakaf Pener). Mereka berkata, “Mengenai masuknya (anak-anak) Fathimah dalam keturunan Nabi, karena kemuliaan pangkal nasab yang agung dan bapak yang mulia, yang tidak disamai oleh seorang pun di alam semesta, mampu menembus hingga anak-anak dari anak perempuan lantaran begitu kuat, mulia, dan agung. Kita pun menyaksikan orang yang kemuliaannya jauh di bawah Rasulullah nan agung ini dari kalangan para pembesar, raja, dan lainnya ternyata kehormatan mereka menular hingga anak-anak dari anak perempuan mereka. Sehingga anak-anak ini dihargai layaknya anak-anak lelaki mereka. Mereka nyaris tak membutuhkan ketenaran bapak-bapak mereka. Apalagi keturunan nan agung dan mulia ini?” Mereka juga mengatakan, “Mengenai dalil kalian bahwa Al-Masih Isa bin Maryam masuk dalam dzuriyah Ibrahim, ini tak mengandung hujah yang mendukung pendapat kalian. Sebab Al-Masih, Isa, tak memiliki ayah, sehingga nasabnya dari arah ayah adalah mustahil. Lantas ibunya menggantikan posisi ayahnya. Karena itu, Allah menasabkan Isa pada ibunya sebagaimana Dia menasabkan selain dirinya yang memiliki ayah pada ayahnya. Demikian pula setiap orang yang nasabnya pada ayah terputus baik karena lian atau lainnya, ibunya menggantikan posisi ayahnya dalam nasab. Karenanya, dalam kasus seperti ini, ibunya menjadi ashabah-nya (yakni, pihak yang mengambil sisa warisan ketika telah dibagikan pada ahluwaris yang berhak sesuai bagian masing-masing), menurut pendapat yang paling shahih. Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan merupakan tuntutan nash-nash. Juga pendapat Ibnu Mas’ud dan lainnya. Kaidah umum pun mendukung kebenarannya. Sebab secara prinsip, nasab itu milik ayah. Sehingga ketika penasaban kepada ayah terputus, otomatis kembali pada ibu (sebagai pihak yang melahirkan). Lalu bila diasumsikan dapat kembali pada ayah maka harus dikembalikan padanya (tidak boleh dipertahankan pada ibu). Demikianlah. Ini seperti kesepakatan manusia terkait wala’ (hak waris dari budak yang telah dimerdekakan dengan syarat budak tak memiliki ahluwaris yang dapat mewarisi hartanya) bahwa hak wala ini milik maula-maula (bekas tuan atau yang memerdekakannya) dari pihak ayah. Jika karena suatu alasan hak tersebut tak dapat diberikan pada mereka maka hak itu menjadi milik maula-maula dari pihak ibu. Lalu, jika di kemudian hari dapat diberikan pada maula-maula dari pihak ayah maka hak tersebut dicabut dari kepemilikan maula-maula di pihak ibu dan dikembalikan pada asal serta tempatnya semula (yakni, maula-maula di pihak ayah). Telah sama-sama diketahui, wala adalah cabang dari nasab yang meniru alurnya secara persis. Bilamana ashabah dari arah ibu dalam wala dapat menjadi ashabah orang yang memerdekakan budak ketika ashabahnya ke arah ayah terputus maka ashabah ibu dalam nasab lebih utama menjadi ashabah untuk anak yang hubungan nasabnya pada ayahnya terputus. Bila tidak demikian, bagaimana hukum perpindahan hak ashabah ini dapat berlaku dalam urusan wala’ dan tidak berlaku pada nasab, padahal sebenarnya wala diserupakan dengan nasab dan menjadi cabangnya? Ini di antara bukti yang menunjukkan bahwa kaidah yang benar sama sekali tidak berbeda dengan nash. Hal ini pun menunjukkan pada Anda akan kedalaman ilmu para sahabat dan capaian ilmu mereka pada satu titik yang tak mampu diperoleh siapa pun. Sungguh sebuah karunia yang Allah berikan pada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Pemilik karunia yang besar.

 

Seputar Ibrahim Khalilur Rahman

Nama ini merupakan nama yang telah ada sejak zaman dahulu. Ibrahim dalam bahasa Suryani bermakna seorang ayah yang penyayang. Allah menjadikan Ibrahim sebagai moyang ketiga di alam semesta ini. Moyang pertama kita Adam, dan moyang kedua Nuh. Seluruh penduduk bumi sekarang berasal dari keturunan Nuh, sebagaimana firman Allah, “Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan” (Ash-Shaffat (37): 77). Dengan demikian, teranglah kebohongan para pendusta dari bangsa Ajam yang mengaku tak mengenal Nuh dan tidak pula anaknya, serta tidak menasabkan diri padanya. Mereka manasabkan rajaraja mereka pada Adam tanpa menyebut Nuh di antara moyang mereka. Namun Allah telah mengungkap kedustaan mereka dalam masalah ini.

 

Lalu moyang ketiga adalah bapaknya para bapak, tonggak dunia dan pemimpin kaum hunafa’ yang telah Allah jadikan sebagai kekasih-Nya dan Dia menganugerahkan kenabian serta kitab pada keturunannya. Ialah Khalilur Rahman dan Syaikh para nabi, seperti ungkapan Nabi. Ceritanya, ketika Nabi memasuki Kakbah ternyata beliau mendapati orang-orang musyrik telah membuat gambarnya dan gambar Ismail, putranya, yang tengah berundi dengan anak panah. Beliau pun bersabda:

 

  1. “Celakalah mereka. Sungguh mereka tahu bahwa Syaikh kami ini tak pernah berundi dengan anak panah.” Allah tidak memerintahkan Rasul-Nya mengikuti milah (ajaran) seorang nabi selain Ibrahim, Dia berfirman,

 

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah millah Ibrahim seorang yang hanif” Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb” (An-Nahl (16): 123).

 

Dia memerintahkan hal tersebut pada umat beliau, Dia berfirman,

 

“..Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) millah orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini…” (Al-Haj (221: 78).

 

Kata ‘millah dalam ayat ini manshub oleh fi’il yang disembunyikan (yakni menjadi obyek kata kerja yang tidak disebutkan). Yakni, ikuti dan tetapilah milah Ibrahim. Kata yang tidak disebutkan ini ditunjukkan oleh pengertian kalimat di pembuka ayat ini, “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya…” Gaya bahasa seperti inilah yang diistilahkan dengan al-ighra’ (anjuran). Ada pula yang berpendapat, (kata millah) manshub sebagai mashdar (naib maf’ul muthlaq), sedang yang menjadikannya manshub adalah makna yang terkandung di dalam kalimat sebelumnya.

 

Rasulullah berpesan pada para sahabat agar apabila berada di pagi dan sore hari mereka mengucapkan:

 

  1. “Kami berpagi-pagi di atas fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama nabi kami Muhammad dan milah moyang kami Ibrahim yang hanif lagi menyerahkan diri, serta ia bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan (Allah)?

 

Perhatikan kata-kata ini, bagaimana fitrah disematkan pada Islam, dan memang Islam adalah fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atasnya, kalimat ikhlas adalah syahadat tiada Ilah selain Allah. Serta bagaimana milah disandarkan pada Ibrahim, sebab ia memang Bapak milah ini yang tak lain adalah tauhid dan penyembahan pada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, serta mencintai-Nya di atas semua bentuk cinta, dan agama disandarkan pada Nabi. Yakni agama beliau yang sempurna dan syariat beliau yang paripurna dan lengkap. Oleh sebab itu, Allah menyebut Ibrahim sebagai imam, ummah, ganit (orang yang tunduk pada Allah), dan hanif (orang yang menghadap Allah). Allah berfirman,

 

“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhalim” (Al-Bagarah (2): 124).

 

Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengangkat Ibrahim sebagai imam manusia dan orang zhalim dari keturunannya tidak meraih derajat kepemimpinan ini. Orang zhalim di sini adalah orang yang menyekutukan Allah. Allah juga memberitahukan bahwa janji anugerah kepemimpinan ini tidak mengenai orang yang menyekutukanNya. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Ibrahim adalah ummah, ganit, dan hanif. Sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb). (Lagi ia seorang) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih” (An-Nahl (16): 120-122).

 

Ummah adalah seorang panutan yang mengajarkan kebaikan. Qanit adalah orang yang patuh pada Allah dan senantiasa menetapi ketaatan pada-Nya. Hanif adalah orang yang menghadap pada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Siapa menafsirkan kata hanif dengan “orang yang condong, ia tidak menafsirkan kata ini dengan makna dasarnya. Tetapi ia menafsirkannya dengan makna yang menjadi konsekuensinya, Sebab kata al-hanaf berarti al-iqbal (menghadap), siapa menghadap pada sesuatu ia condong menjauh dari sesuatu yang lain. Sedang kata al-hanaf terkait kedua kaki artinya masing-masing kaki menghadap pada yang lain dan berkonsekuensi kaki tersebut bengkok dari bentuk normalnya. Allah berfirman,

 

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah dalam keadaan hanif, (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum (301: 30).

 

Kata hanif (dalam ayat di atas) menjadi kata keterangan keadaan bagi makna yang terkandung dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah” Karenanya, kata ini ditafsirkan dengan “mukhlishan” (dalam keadaan memurnikan). Sehingga ayat ini telah mengandung makna kejujuran dan keikhlasan, Sebab menghadapkan wajah pada agama Allah berarti semata-mata memohon pada Allah, di mana tak tersisa keinginan yang terpendam dalam hati kepada selain-Nya. Al-Hanif berarti orang yang mengesakan sesembahannya, ia tidak menginginkan selainnya. Jadi kejujuran di sini maksudnya adalah permohonanmu tidak terbagi (pada lebih dari satu pihak), dan keikhlasan adalah pihak yang engkau mohon tidak lebih dari satu. Yang pertama adalah tauhiduth thalab dan kedua adalah tauhidul mathlub.

 

Kesimpulannya, Ibrahim adalah moyang ketiga kita. Ia imam orang-orang yang hanif. Ahlukitab menamainya dengan amudul Alam (pilar dunia). Seluruh pemeluk agama samawi sepakat mengagungkannya, menghormati, dan mencintainya. Sebaik-baik keturunannya, pemimpin anak Adam, Muhammad, begitu memuliakannya, mengagungkan, dan menghormatinya. Dalam Ash-Shahihain bersumber dari hadits Mukhtar bin Fulful dari Anas bin Malik menuturkan:

 

  1. Seseorang datang pada Nabi lalu berkata, “Wahai sebaik-baik makhluk” Maka Rasulullah bersabda, “(Sebutan) itu milik Ibrahim.”

 

Beliau juga menyebutnya dengan ‘syaikh, seperti telah disampaikan di muka.

 

Terbukti shahih dalam Shahihul Bukhari (VI/hadits no. 3447), (VIII/hadits no. 4740), hadits Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang kaki, telanjang badan, dan tak berkhitan” Kemudian beliau membaca, “.. sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepatis sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya” (Al-Anbiya (21): 104). “Dan orang pertama yang diberi pakaian adalah Ibrahim?”

 

Rasulullah adalah makhluk yang paling mirip dengannya, sebagaimana diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari beliau yang bersabda:

 

  1. “Aku melihat Ibrahim. Ternyata manusia yang paling mirip dengannya adalah kawan kalian ini.

 

Maksudnya, beliau sendiri. Dalam redaksi lain, “Lihatlah kawan kalian ini.”

 

Rasulullah biasa membacakan doa perlindungan untuk anak-anak Fathimah, Hasan, dan Husain , seperti doa perlindungan Ibrahim untuk Ismail dan Ishaq. Dalam Shahihul Bukhari, (VI/hadits no. 3371), dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas ass berkata:

 

  1. Nabi biasa memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husain, beliau bersabda, “Sesungguhnya moyang kalian berdua biasa memohonkan perlindungan dengan doa ini untuk Ismail dan Ishaq, yakni aku berlindung pada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari mata yang menimpakan keburukan (pada yang dipandangnya)”

 

Ibrahim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang pertama yang melakukan khitan, dan orang pertama yang beruban. Maka ketika melihat ubannya, ia berkata, “Apa ini wahai Rabb?” Allah menjawab, “Ketenangan” Ia berkata, “Wahai Rabbku, tambahlah aku akan ketenangan?”

 

Perhatikanlah sanjungan Allah pada Ibrahim terkait jamuan yang ia sajikan pada tamunya dari para malaikat, di mana Dia berfirman, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: Salaman. Ibrahim menjawab: Salamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata: Silahkan kamu makan” (Adz-Dzariyat (51): 24-27). Ini mengandung pujian pada Ibrahim dari beberapa sisi:

 

» Para tamunya disebut tamu-tamu yang mulia. Menurut salah satu dari dua pendapat, hal ini lantaran pemuliaan Ibrahim pada mereka. Sedang pendapat kedua, karena mereka makhluk-makhluk mulia di sisi Allah. Dua pendapat ini tidak berlawanan, sebab ayat di atas mengindikasikan kedua pengertian tersebut.

 

« Firman-Nya, “Ketika mereka masuk ke tempatnya.” Allah tidak menyebutkan permintaan izin mereka untuk masuk. Ini menunjukkan bahwa Ibrahim telah dikenal gemar memuliakan tamu dan terbiasa menjamu tamu, sehingga rumahnya selalu siap dikunjungi dan diketuk oleh siapa saja yang memasukinya tanpa perlu meminta izin. Bahkan permintaan izinnya adalah dengan memasuki rumah itu. Sungguh ini puncak kedermawanan.

 

« Firman-Nya, “Salamun”, dengan irab marfu, sementara mereka mengucapkan salam padanya dengan irab manshub (salaman). Ucapan salam dengan irab marfu lebih sempurna kerena mengindikasikan sebagai jumlah ismiyyah yang menunjukkan makna konstan dan tidak berubah-ubah. Artinya, Ibrahim memberi ucapan penghormatan pada mereka dengan yang lebih baik dari ucapan penghormatan mereka. Jelasnya, ucapan mereka “salaman” menunjukkan kalimat “sallamna salaman (kami mengucapkan sebuah salam),” sedang ucapannya “salamun” berarti salamun alaikum (semoga kesejahteraan selalu terlimpah pada kalian).

 

» Ia membuang mubtada dari kalimat “orang-orang yang tidak dikenal.” Pasalnya ketika ia merasa asing dan tak mengenal mereka ia malu berbicara pada mereka dengan ucapan yang dapat membuat tamu tidak berkenan seandainya ja mengucapkan, “kalian orang-orang yang tidak dikenal. Jadi pembuangan mubtada dalam konteks ini merupakan ungkapan yang sangat indah dan beretika.

 

« Ia menggunakan kata kerja pasif dengan membuang subyeknya, ia mengatakan “tak dikenal” dan tidak mengucapkan “aku tidak mengenal kalian.” Ucapan ini sangat tepat dalam kondisi ini dan jauh dari hal-hal yang dapat menyinggung perasaan serta sikap yang cenderung kurang simpatik.

 

« Ibrahim ‘ragha’ menemui keluarganya untuk menghormati kedatangan para tamu tersebut. Ar-Raughan berarti pergi diam-diam di mana para tamu nyaris tidak menyadarinya. Ini termasuk bentuk kedermawanan tuan rumah yang menjamu tamu, ia diam-diam pergi untuk menyiapkan jamuan tanpa disadari tamu agar tidak merasa sungkan dan malu. Jadi tanpa disadari tamu ia telah datang menyuguhkan makanan. Berbeda dengan orang yang sengaja bicara pada tamunya atau orang yang hadir, “Jangan beranjak dulu sampai aku membawakan makanan untuk kalian,” atau ucapan semacamnya yang pasti memunculkan rasa malu dan sungkan dalam diri tamu.

 

« Ibrahim menemui keluarganya lalu datang membawa jamuan. Ini menunjukkan jamuan tersebut telah mereka sediakan dan disiapkan untuk para tamu. Sehingga ia tidak perlu pergi ke tetangga atau lainnya untuk membeli atau bahkan utang.

 

« Firman-Nya, “Kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar)” menunjukkan Ibrahim melayani sendiri para tamu. Allah tidak berfirman, “Lantas ia memerintahkan para pelayan… Tetapi ia sendiri yang pergi dan kemudian datang membawa jamuan. Ia tidak memerintahkan pelayan untuk menghidangkannya. Jelas ini lebih konkrit dalam memuliakan tamu.

 

« Ia membawa daging satu ekor anak sapi yang utuh, tidak hanya sebagiannya. Ini di antara bentuk kesempurnaan kedermawanan Ibrahim.

 

« Anak sapi tersebut gemuk, tidak kurus. Diketahui, anak sapi yang gemuk adalah harta yang sangat berharga di kalangan mereka saat itu. Umumnya anak sapi seperti ini dirawat dan dipelihara. Namun Ibrahim lebih memilih untuk menghidangkannya pada tamu-tamu tersebut.

 

» Ia sendiri yang mendekatkan jamuan tersebut pada mereka dan tidak memerintahkan pelayan untuk melakukannya.

 

» Ia mendekatkan hidangan pada mereka dan tidak menginstruksikan mereka agar mendekat pada hidangan. Ini sikap yang sangat santun dalam menjamu, yakni Anda mempersilakan tamu duduk kemudian Anda mendekatkan makanan pada mereka dan membawanya di hadapan mereka. Tidak meletakkan makanan di satu tempat kemudian memerintahkan tamu bergeser mendekat padanya.

 

« Ibrahim berkata, “Silahkan kalian makan” (redaksi Arabnya, ald takulaun). Ini ungkapan mempersilahkan dengan ucapan yang ramah. Ungkapan ini lebih baik dari perkataan “kulu (makanlah kalian)” atau “mudda aidiyakum (ulurkan tangan kalian)” dan semacamnya. Keindahan dan keramahan ungkapan seperti ini diakui semua orang. Karenanya mereka mengucapkan, “Bismillah (yakni, makanlah dengan menyebut nama Allah)” atau “ala tatasaddag (silahkan bersedekah)” atau “ala tajbur (silahkan membantu),” dan semacamnya.

 

« Ibrahim mempersilakan mereka makan karena ia melihat mereka tidak makan. Sebenarnya, tamu-tamunya tak perlu mendapat izinnya untuk makan. Bahkan apabila ia menghidangkan makanan, mereka langsung menikmatinya (tanpa perlu dipersilahkan). Namun ketika tamu-tamu tersebut tak menjamah hidangan, Ibrahim berkata pada mereka, “Silakan makan.” Oleh sebab ini, Ibrahim merasa takut dengan kehadiran mereka. Artinya, ia merasa takut dan menyembunyikan perasaan ini dalam dirinya, tanpa memperlihatkannya pada mereka. Ini satu penafsiran.

 

 (Penafsiran kedua), ketika mereka tak menyentuh makanan yang telah dihidangkan, Ibrahim takut pada mereka dan tidak menampakkan diri pada mereka. Manakala para malaikat mengetahui perasaan takutnya tersebut mereka berkata, “Jangan takut” Lantas mereka memberinya berita gembira berupa anak.”

 

Jadi ayat ini telah menghimpun adab-adab menjamu tamu yang merupakan kumpulan etika paling santun. Sedang gaya-gaya jamuan selainnya yang kurang maupun berlebihan itu hanya bersumber dari situasi dan kebiasaan masyarakat. Cukuplah adab-adab ini sebagai kemuliaan dan kebanggaan. Semoga Allah melimpahkan shalawat pada nabi kita, nabi Ibrahim, dan keluarga keduanya, serta nabi lainnya.

 

Allah telah memberi kesaksian bahwa Ibrahim telah menunaikan dengan paripurna apa yang diperintahkan padanya. Dia berfirman, “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa dan lembaranlembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji” (An-Najm (53): 36-37). Ibnu Abbas mengatakan:

 

  1. “Ia telah melaksanakan dengan sempurna seluruh syariat-syariat Islam dan menunaikan dengan paripurna penyampaian risalah yang diperintahkan padanya.

 

Allah berfirman, “Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya secara sempurna. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia…” (Al-Bagarah (2): 124).

 

Kala Ibrahim telah menunaikan kalimat-kalimat yang diperintahkan padanya Allah menahbiskannya sebagai pemimpin semua makhluk, yakni mereka mengikutinya. Ibrahim, sebagaimana dikatakan, hatinya untuk Ar-Rahman, anaknya untuk kurban, tubuhnya untuk api, dan hartanya untuk tamu.

 

Saat Rabb telah mengangkatnya sebagai khalil, khullah adalah cinta yang sempurna dan merupakan tingkatan cinta yang tak menerima persekutuan dan persaingan, sebelumnya ia pernah meminta pada Rabb agar menganugerahinya seorang anak shalih yang kemudian Dia memberinya Ismail, lalu anak ini mengambil sedikit ruang dalam hatinya sehingga Allah cemburu pada hati kekasihnya ini karena ada tempat untuk selain-Nya di dalamnyamaka Dia mengujinya supaya menyembelih anak tersebut. Agar rahasia kesempurnaan cinta terlihat nyata dengan lebih mendahulukan cinta pada Allah daripada cinta pada anak. Ketika Ibrahim telah berserah diri pada perintah Rabb, bertekad melaksanakannya, dan pengaruh khullah nampak jelas dalam wujud tekad menyembelih anak demi mengutamakan cinta pada Rabb daripada cinta pada anak, Allah menghapus perintah tersebut dan menebusnya dengan sembelihan yang besar. Sebab maslahat perintah penyembelihan ini telah terealisasi dalam wujud tekad melaksanakan dan meyakinkan jiwa dalam menerima perintah yang diberikan. Maka ketika maslahat ini telah tercapai penyembelihan tersebut berbalik menjadi mafsadah, sehingga perintah itu pun dihapus. Lalu sembelihan dan kurban baik berupa binatang hadyu atau udhhiyah menjadi sunnah bagi para pengikutnya hingga Hari Kiamat.

 

Ibrahim pula yang membuka pintu debat melawan orang-orang musyrik serta pembela kebatilan, dan ia berhasil mematahkan alasan-alasan mereka. Dalam AlOuran, Allah telah mengisahkan perdebatannya melawan pemimpin orang-orang yang tak memercayai adanya pencipta dan perdebatannya melawan kaumnya yang paganis (tak beragama). Dan Ibrahim berhasil mementahkan berbagai argumen kedua kelompok ini melalui perdebatan yang sangat baik dan begitu mudah dipahami serta dimengerti.

 

Allah berfirman, “Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat…” (Al-An’am (61: 83).

 

  1. Zaid bin Aslam dan lainnya berkata, “(Yakni kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat) dengan hujah dan ilmu Saat ia berhasil mengalahkan musuh-musuh Allah dengan hujah dan hujahnya mempecundangi mereka, serta ia menghancurkan berhala-berhala mereka lalu mematahkan dalih-dalih dan sesembahan mereka, mereka ingin menyiksanya dan melemparkanya ke dalam api. Memang seperti inilah kebiasaan para pembela kebatilan bila kalah dan tak mampu melawan hujah, mereka menimpakan siksaan. Seperti ucapan Firaun pada Musa IE yang telah memenangkan hujahnya, “..Sungguh jika kamu menyembah ilah selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan” (Asy-Syu’ara (26): 29). Mereka menyalakan api untuk membakar Ibrahim dan mereka melemparkannya dengan alat pelontar batu. Peristiwa ini menjadi perjalanan “memperjuangkan kebenaran” paling mengesankan yang pernah ditapaki Ibrahim dan paling berkah. Sebab ia tidak melangsungkan perjalanan yang lebih berkah, lebih dahsyat, lebih tinggi mengangkat derajatnya, dan lebih menyenangkan daripada perjalanan ini. Dalam perjalanan ini Jibril menampakan diri padanya di antara langit dan bumi, ia berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau punya keperluan?” Ia menjawab, “Kalau kepadamu tidak.”

 

  1. Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah, (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Ali Imran (3): 173). “(Ucapan ini) dikatakan Nabi kalian dan dikatakan pula oleh Ibrahim tatkala dilempar ke dalam api.”Lalu Allah menjadikan api tersebut dingin dan menyelamatkannya.

 

Telah terbukti diriwayatkan secara shahih dalam Shahihul Bukhari, (VI/hadits no. 3359), hadits Ummu Syarik:

 

  1. Nabi memerintahkan untuk membunuh cicak, beliau bersabda, “Dulu ia ikut meniup api (yang membakar) Ibrahim.”

 

Ibrahim pula yang membangun Baitullah dan mengumumkan pada manusia untuk mengunjunginya. Maka setiap orang yang haji dan umrah ke Baitullah, Ibrahim mendapatkan tambahan pahala dan kemuliaan dari Allah sejumlah pahala orangorang yang berhaji dan umrah. Allah berfirman:

 

  1. “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…” Ibnu Abbas berkata, “Yakni mereka bekumpul di Baitullah dan tak pernah merasa puas padanya.” “Dan jadikanlah sebagian magam Ibrahim tempat shalat…” (Al-Bagarah (2): 125). Dia memerintahkan Nabi-Nya dan umat beliau agar menjadikan magam Ibrahim sebagai tempat shalat demi mewujudkan peneladanan padanya dan menghidupkan pusaka-pusakanya -semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Nabi kita dan untuknya-.

 

Keutamaan-keutamaan panutan nan agung dan nan mulia Nabi, ini terlalu banyak untuk diungkap secara tuntas dalam sebuah buku. Jika Allah masih memberi usia panjang, kami akan menyusun buku sendiri terkait masalah ini8 agar menjadi satu titik air di lautan keutamaannya, atau bahkan kurang dari itu. Semoga dengan karunia dan kemurahan-Nya, Allah menjadikan kita di antara orang yang mengikutinya dan tidak menjadikan kita di antara orang-orang yang menyimpang dari milahnya.

 

Tentangnya, Nabi telah menceritakan pada kita sebuah hadits yang riwayatnya bersambung pada beliau. Kami meriwayatkannya dalam kitab Tirmidzi (hadits no. 3457) dan lainnya dari hadits Wasim bin Abdurahman dari ayahnya dari Ibnu Mas’ud menuturkan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Aku bertemu Ibrahim pada malam aku diisra’kan. Ia berkata, “Wahai Muhammad, sampaikan salamku untuk umatmu dan beritahukan pada mereka bahwa surga itu bertanah indah, berair tawar menyegarkan, dan surga itu bertanah datar lagi luas. Tanamannya adalah (ucapan) subhanallah, Ia ilaha illallah, dan Allahu akbar” Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

 

Satu Masalah yang Masyhur dan Penjelasannya.

 

Masalah ini adalah Nabi lebih utama dari Ibrahim. Lantas mengapa beliau dimintakan shalawat seperti yang diberikan pada Ibrahim, padahal menurut kaidahnya pihak yang diserupai itu harus setingkat lebih tinggi dari yang diserupakan? Bagaimana cara mengkompromikan antara dua perkara yang bertolak belakang ini?

 

Di sini, kami akan sebutkan pendapat manusia terkait masalah ini, serta pendapat mana yang benar dan mana yang keliru.

 

  1. Sekelompok orang mengatakan, “Shalawat ini diajarkan Nabi pada umat sebelum beliau mengetahui bahwa beliau adalah pemimpin keturunan Adam? Andai orang ini diam tentu akan lebih utama dan baik bagi dirinya. Pasalnya, shalawat inilah yang beliau ajarkan pada mereka tatkala mereka bertanya tentang tafsir firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al-Ahzib (33): 56). Lalu beliau mengajari mereka shalawat ini dan menyariatkannya dibaca dalam setiap shalat umat hingga Hari Kiamat. Nabi adalah keturunan Adam paling utama, baik sebelum atau sesudah beliau mengetahuinya. Setelah mengetahuinya, beliau pun tidak mengubah bunyi shalawat yang telah diajarkan pada umat. Pula tidak menggantinya dengan shalawat yang lain. Tak seorang pun meriwayatkan selain Shalawat itu. Jadi jawaban pertama ini paling konyol di antara jawaban yang ada.

 

  1. Sekelompok lain mengatakan, “Permintaan dan permohonan shalawat ini disyariatkan agar Allah mengangkat beliau sebagai khalil (kekasih), sebagaimana Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” Dan Allah meluluskannya, sebagaimana telah diriwayatkan dari beliau dalam Ash-Shahih:

 

  1. “Ketahuilah, sahabat kalian ini adalah khalil Ar-Rahman.” Maksudnya, diri beliau sendiri. Jawaban ini sejenis yang sebelumnya. Sebab pengertiannya, menurut penafsiran ini, setelah Allah menjadikan Nabi sebagai khalil, shalawat untuk beliau tidak disyariatkan lagi. Ini kebatilan yang paling batil.

 

  1. Sekelompok lain mengatakan, “Penyerupaan ini kembali pada orang yang mengucapkan shalawat menyangkut pahala shalawat yang ia peroleh karena mengatakannya. Artinya, ia memohon pahala pada Rabb dengan jalan (meminta-Nya) melimpahkan shalawat untuk Nabi sebagaimana Dia telah melimpahkan shalawat untuk Ibrahim. Jadi penyerupaan tersebut tidak berkaitan dengan Nabi. Sebab shalawat yang dimohonkan untuk Rasulullah lebih agung dan besar dari yang diperoleh selain beliau di alarm semesta ini” Ini seperti sebelumnya bahkan lebih tak bermutu. Sebab penyerupaan ini tidak terkait dengan pahala yang diperoleh orang yang bershalawat, tetapi terkait apa yang diperoleh pihak yang dimohonkan shalawat. Yakni Nabi dan keluarga beliau. Siapa mengatakan bahwa maksud shalawat ini adalah “Ya Allah, beri aku pahala shalawatku untuk beliau sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim,” ia telah mendistorsi kalimat dan berkata keliru.

 

Seandainya penafsiran-penafsiran ini dan yang semisalnya tidak disebutkan sebagian orang yang menjelaskan buku-buku, mencatatnya di atas kertas, dan membuat orang-orang menyangka telah diteliti, tentu lebih baik tidak menggubrisnya. Sebetulnya seorang yang berilmu merasa malu membicarakan penafsiran tak bermutuseperti ini atau meluangkan waktu untuk membantahnya.

 

  1. Sekelompok lain mengatakan, “Penyerupaan ini kembali pada keluarga saja, dan kalimat shalawat untuk Nabi telah selesai pada ucapan “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad. Kemudian orang yang bershalawat mengatakan, dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat pada keluarga Ibrahim’. Jadi shalawat untuk keluarga Muhammadlah yang diserupakan dengan shalawat yang diperoleh keluarga Ibrahim.” Pendapat ini diceritakan Umrani dari Syafi’i. Ini satu kebohongan yang dialamatkan padanya. Sebab Syafi’i terlalu terhormat mengeluarkan pendapat seperti ini, hal ini tak pantas bagi kedalaman ilmu dan kefasihan bahasanya. Pasalnya, pendapat ini sangat rapuh dan lemah.

 

Telah disebutkan dalam banyak hadits tentang masalah ini, “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat pada keluarga Ibrahim.” Hadits-hadits ini telah dibawakan. Pula, dilihat dari sisi gramatika bahasa Arab, penafsiran tersebut tidak benar. Penjelasannya, amil itu apabila ma’mul-nya disebutkan dan kata lain di’athafkan padanya, kemudian dispesifikkan dengan zharaf, atau jar dan majrur, atau mashdar, atau shifat mashdar maka pembatasan tersebut kembali pada ma’mnul dan yang di’athafkan padanya. Hanya pengertian seperti ini yang dikandung dalam bahasa Arab. Contohnya, bila Anda mengucapkan, “Jaani Zaidun wa Amrun yaumal Jumu ah (Zaid dan Amru mendatangiku di hari Jumat)” maka zharaf (yakni kata, di hari Jumat) ini menjelaskan secara spesifik waktu kedatangan keduanya. Bukan hanya kedatangan Amru saja. Demikian pula bila Anda mengatakan, “Dharabtu Zaidan wa Amran dharban mu’liman (aku memukul Zaid dan Amru dengan pukulan yang menyakitkan), atau amamal amir (di depan pemimpin), atau kalimat Sallim ala Zaidin wa Amrin yaumal Jumuah (ucapkan salam pada Zaid dan Amru di hari Jumat),” serta kalimat yang serupa.

 

Jika Anda mengatakan, “Bantahan ini benar apabila amilnya tidak disebut ulang. Tetapi apabila amilnya disebut ulang, penafsiran di atas ada benarnya. Misalnya, Anda mengucapkan ‘sallim ala Zaidin wa ala Amrin idza lagitahu (sampaikan salam pada Zaid dan pada Amru apabila engkau bertemu dengannya —Amru): Boleh-boleh saja keterangan “apabila engkau bertemu dengannya ini hanya berlaku pada Amru. Sementara di dalam shalawat ini, amilnya juga telah diulangi dalam kalimat dan untuk keluarga Muhammad.”

 

Jawabannya, contoh yang dibawakan ini tidak sesuai dengan masalah shalawat. Yang sesuai adalah Anda mengatakan, “Ucapkan salam pada Zaid dan Amru seperti engkau mengucapkan salam pada kaum mukminin,” dan kalimat serupa.

 

Dengan demikian, anggapan bahwa penyerupaan salamnya hanya berlaku pada Amru saja, tidak pada Zaid, adalah klaim batil.

 

  1. Sekelompok lain lagi mengatakan, “Pihak yang diserupai (musyabah bihi) tidak harus lebih tinggi dari yang diserupakan (musyabah). Tetapi keduanya boleh berada di tingkatan yang sama dan bahkan boleh pula yang diserupakan lebih tinggi dari yang diserupai.”

 

Mereka mengatakan, “Nabi lebih utama dari Ibrahim dari berbagai aspek selain shalawat, meskipun keduanya setara dalam shalawat” Mereka berkata, “Dalil bahwa yang diserupakan terkadang lebih utama dari yang diserupai adalah ucapan penyair Anak-anak kami (seperti) anak-anak dari anak-anak lelaki kami, dan anak-anak perempuan kami… Anak-anak mereka adalah anak-anak para lelaki yang jauh.” Pendapat ini juga lemah dari beberapa sisi:

 

» Ini bertentangan dengan kaidah tasybih yang sama-sama diketahui. Bangsa Arab tidak menyerupakan sesuatu kecuali dengan yang tingkatnya berada di atasnya.

 

» Shalawat dari Allah adalah shalawat yang levelnya paling agung dan paling tinggi. Sedang Muhammad adalah makhluk paling utama. Sehingga shalawat yang didapat beliau harus lebih afdhal dari setiap shalawat yang diperoleh setiap makhluk yang lain. Beliau tidak boleh setara dengan orang lain dalam hal ini.

 

» Allah memerintahkan shalawat ini setelah Dia mengabarkan bahwa Dia dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, lalu Dia memerintahkan umat bershalawat dan mengucapkan salam untuk beliau. Dia menegaskan lagi dengan perintah pengucapan salam. Berita dan perintah ini tidak Dia cantumkan dalam Al-Quran untuk makhluk selain beliau, (sehingga tidak mungkin Nabi dan Ibrahim sama dalam masalah shalawat).

 

Nabi bersabda:

 

  1. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia”?

 

Demikianlah, karena dengan mengajarkan kebaikan pada manusia para pengajar ini telah menyelamatkan mereka dari keburukan dunia dan akhirat, sekaligus menjadi sebab keberuntungan dan kebahagiaan mereka. Inilah sebab mereka masuk dalam kalangan kaum mukminin yang memperoleh shalawat Allah dan para malaikat-Nya. Manakala para pengajar kebaikan menjadi sebab shalawat Allah dan para malaikat-Nya untuk orang yang belajar dari mereka, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk mereka. Padahal telah maklum, tak seorang pun dari para pengajar kebaikan yang lebih baik dan lebih banyak memberi palajaran dibanding Nabi. Tidak pula yang lebih menginginkan kebaikan untuk umat dan lebih bersabar mengajar mereka dibanding beliau. Karenanya, dari ajaran yang beliau berikan, umat mendapatkan apa yang tidak diperoleh umat lain, dan dari pengajaran beliau umat ini mendapatkan ilmuilmu bermanfaat dan amal-amal shalih yang menjadikannya sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk bangsa manusia. Lantas bagaimana shalawat pada Rasul muallim ini sama dengan shalawat pada orang yang tidak menyamainya dalam masalah mengajar?

 

Sedang pembuktian mereka melalui ucapan penyair di atas terkait bolehnya yang diserupakan (musyabah) lebih utama dari yang diserupai (musyabah bihi), jawabnya adalah bait syair di atas sebenarnya tidak mendukung pendapat mereka tersebut. Sebab ucapan penyair, “Banunq bani abni’ina” bisa jadi mubtadanya disebutkan di belakang sedang khabarnya di depan (yakni, asalnya, banu abn’ina banina), sehingga dalam kalimat ini penyair telah menyerupakan keturunan anak-anak dengan anak-anaknya. Dan diletakkannya khabar di awal kalimat karena pengertiannya sudah jelas dan tidak menimbulkan kerancuan. Berdasarkan kemungkinan ini, berarti kalimat tersebut berjalan sesuai prinsip tasybih. Atau, kemungkinan kedua, kalimat itu mengikuti gaya bahasa aksut tasybih (penyerupaan terbalik). Seperti halnya bulan diserupakan dengan wajah yang sangat tampan dalam hal keindahan, singa diserupakan dengan orang yang sangat berani, dan laut dengan orang yang luar biasa dermawan, dengan memposisikan orang tersebut di tempat yang diserupai (musyabah bihi) dan memposisikan bulan, singa, dan laut di tempat yang diserupakan (musyabah). Ini boleh apabila penyerupaan terbalik ini mengandung makna seperti ini. Berdasarkan asumsi kedua ini, dalam bait syair di atas, penyair telah memosisikan cucunya di tempat anak-anak kandungnya dan baginya cucu-cucu tersebut setingkat lebih tinggi dari anak-anaknya sendiri. Kemudian ja menyerupakan anak-anaknya pada cucu-cucunya tersebut. Ini pendapat sebagian pakar ilmu Ma’ani.

 

Namun menurutku (Ibnu Qayyim), penyair tidak memaksudkan penyerupaan seperti itu. Ia hanya ingin membedakan antara status keturunan putra-putranya dengan status keturunan putri-putrinya. Maka ia mengabarkan bahwa keturunan putri-putrinya mengikuti ayah mereka sehingga tidak termasuk anak-anak kami. Anak-anak kami hanyalah keturunan putra-putra kami, bukan keturunan putri-putri kami. Jadi ia tidak bermaksud menyerupakan antara cucu-cucu dari putra-putranya dengan putra-putranya sendiri, dan tidak sebaliknya. Ia hanya menginginkan pengertian yang telah kami ungkapkan tersebut. Hal ini gamblang.

 

  1. Sekelompok lain lagi mengatakan, “Bagi Nabi shalawat khusus yang tidak disamai oleh shalawat apa pun selagi tak ada orang yang bersekutu dengan beliau dalam shalawat itu. Sedang yang dimintakan untuk beliau adalah shalawat ekstra selain yang telah diberikan pada beliau. Dan shalawat ekstra ini diserupakan dengan shalawat yang dianugerahkan pada Ibrahim. Bukan sesuatu yang dianggap buruk bila dimohonkan untuk orang yang utama suatu keutamaan yang telah diberikan pada orang di bawahnya dengan digabungkan pada keistimewaan yang hanya dimilikinya dan tidak dipunyai orang lain.” Mereka berkata, “Contohnya, seorang raja memberi seseorang harta yang banyak dan memberi orang lain di bawah jumlah harta itu. Lantas raja dimohon memberi orang yang telah memiliki harta banyak itu sejumlah yang ia berikan pada yang di bawahnya untuk digabungkan dengan harta yang telah ia berikan di awal. Sehingga dari total dua kali pemberian ini ia memiliki harta yang lebih banyak dari harta yang ia peroleh sekali.”

 

Pendapat ini juga lemah. Allah mengabarkan bahwa Dia dan para malaikatNya bershalawat untuk beliau, kemudian Dia memerintahkan umat bershalawat untuk beliau. Tak diragukan, yang dimohonkan pada Allah seperti shalawat yang telah dikabarkan tersebut, bukan setingkat di bawahnya. Jadi yang dimintakan adalah shalawat untuk beliau yang paling sempurna dan super, bukan shalawat yang kurang super dan kurang utama. Sedang menurut pendapat mereka, permohonan itu untuk shalawat yang kurang super, bukan yang super. Dan menjadi super karena digabung dengan shalawat yang tidak dimohonkan. Tak diragukan, pendapat ini kacau. Sebab shalawat yang dimohonkan umat pada Rabb untuk Nabi adalah shalawat yang paling agung dan paling utama.

 

  1. Sekelompok lain berkata, “Penyerupaan tersebut hanya berlaku pada pokok shalawat, bukan ukuran maupun kwalitasnya. Maka yang dimintakan tersebut kembali pada keadaan, bukan pada ukuran yang diberikan. Ini seperti kalau Anda bicara pada seseorang, “Berbuat baiklah pada anakmu seperti engkau berbuat baik pada si fulan? Di sini Anda tidak bermaksud menyerupakan tingkatan perbuatan baik, tetapi Anda hanya menginginkan pokok perbuatan baik. Pendapat ini dapat dikuatkan firman Allah, :..dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Al-Qashash (281: 77).

 

Tidak disangsikan, tak seorang pun mampu berbuat baik setingkat dengan perbuatan baik Allah pada dirinya. Sesungguhnya yang dimaksudkan hanyalah pokok berbuat baik, bukan ukurannya. Semakna dengan firman Allah, Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya… (an-Nisa’ (4): 163).

 

Penyerupaan ini terkait pokok wahyu, bukan ukurannya dan keutamaan orang yang diberi wahyu. Juga firman Allah, :..maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus’ (al-Anbiya’ (211: 5).

 

Maksud mereka (orang-orang kafir) adalah jenis mukjizat, bukan persis seperti mukjizat yang telah diberikan pada para rasul. Juga firman Allah, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amalamal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka…” (an-Nur (241: 55).

 

Sama-sama diketahui, cara pemberian kuasa berbeda-beda (antara satu umat dan umat lain). Hanya saja kaum beriman dari umat ini diberi kuasa lebih sempurna dibanding umat lain. Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Bagarah (2): 183).

 

Penyerupaan ini hanya terkait pokok syariat puasa, bukan pada bentuk, ukuran, dan caranya. Dia juga berfirman, “..sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya” (Al-A’raf (71:29).

 

Telah diketahui adanya perbedaan antara pertumbuhan pertama yang tak lain adalah permulaan, dan pertumbuhan kedua, yakni kembali kepada Allah. Dia juga berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang .. kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Firaun” (Al-Muzammil (731: 15).

 

Diketahui bahwa penyerupaan ini terkait pokok pengutusan yang tak menuntut kesamaan antara dua rasul. Nabi telah bersabda:

 

  1. “Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan sebenar-benar tawakal niscaya Dia memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki pada burung, ia pergi pagi dengan perut kempis dan kembali di sore hari dengan perut kenyang”! Penyerupaan di sini terkait pokok pemberian rezeki, bukan dalam ukuran maupun caranya. Serta ayat-ayat lain yang serupa.

 

Jawaban ini juga lemah, karena beberapa alasan:

 

« Apa yang mereka ungkapkan ini sah diterapkan pada yang lebih tinggi, lebih rendah, atau yang setingkat. Andai Anda mengatakan pada seseorang, “Berbuat baiklah pada fulan dan keluargamu seperti engkau berbuat baik pada kendaraanmu dan pembantumu” serta kalimat serupa, hal itu dibolehkan. Telah diketahui, seandainya penyerupaan ini terkait pokok shalawat tentu tepat bila Anda mengucapkan “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Abi Aufa,” atau “sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk orang-orang dari kalangan mukminin,” dan kalimat semacamnya. Atau “sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat pada Adam, Nuh, Hud, dan Luth” Sebab menurut mereka, penyerupaan ini hanya terjadi pada pokok shalawat, tidak pada ukuran dan sifatnya. Sehingga tak ada perbedaan antara setiap orang yang telah diberi shalawat. Lalu keistimewaan dan keutamaan apa yang disandang Ibrahim dan keluarganya terkait masalah itu? Adakah faedah dalam menyebutnya dan menyebut keluarganya? Seharusnya sudah cukup sekadar mengucapkan ‘ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad saja.

 

« Contoh-contoh yang mereka bawakan bukan padanan kalimat shalawat untuk Nabi. Jelasnya, contoh-contoh ini terbagi dua macam, berupa berita dan permintaan (thalab). Contoh yang berupa berita maka maksud penyerupaan di dalamnya adalah untuk berdalil, memudahkan dalam memahami, dan menyatakan kebenaran berita tersebut, bahwa berita itu di antara perkara yang tidak selayaknya diingkari orang berakal layaknya perkara yang diserupai (musyabah bihi). (Misalnya ayat 29 dari surah Al-A’raf, seolah-olah Allah mengatakan), bagaimana kalian mengingkari pengulangan penciptaan sementara kalian telah mengakui permulaannya? Padahal pengulangan itu seperti permulaan? Dan hukum satu perkara itu seperti hukum perkara yang serupa dengannya. Oleh sebab ini, Allah sering berhujah dengan permulaan penciptaan atas kebenaran berita kembali kepada-Nya. Allah berfirman, “.. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya” (Al-A’raf (71: 29). “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya…” (Al-Anbiya’ (211: 104). “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami: dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulangbelulang, yang hancur telah luluh?’ Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” (Yasin (36): 79). Ayat seperti ini ada banyak dalam Al-Quran. Demikian juga firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Firaun” (Al-Muzammil (73): 15).

 

Artinya, bagaimana kalian bisa mengingkari padahal sebelum kalian telah ada rasul-rasul dari-Ku yang memberi kabar gembira dan menyampaikan ancaman. Kalian pun telah mengetahui keadaan orang yang mendurhakai para rasul-Ku, bagaimana aku menyiksa mereka dengan siksaan yang berat.

 

Begitu pula firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabinabi yang kemudiannya..” (An-nisa (4): 163).

 

Artinya, engkau (Muhammad) bukan rasul pertama yang mendatangi dunia. Bahkan sebelummu telah ada banyak rasul yang Aku beri wahyu seperti Aku memberimu wahyu. Sebagaimana firmanNya, “Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara para rasul…” (Al-Ahgaf (46): 9). Ini jawaban dan pengingkaran pada orang yang menolak risalah Nabi kendati beliau membawakan ayat-ayat seperti yang dibawa para rasul sebelum beliau, bahkan lebih besar. Lalu pantaskah risalah beliau diingkari? Padahal risalah beliau bukan termasuk perkara yang belum pernah ‘menyapa dunia. Bahkan, bumi tak pernah sepi dari para rasul dan jejak-jejak mereka. Jadi rasul kalian ini datang di atas jalan para rasul yang mendahuluinya dalam masalah risalah. Ia bukan yang pertama.

 

Demikian juga firman-Nya, “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (An-Nur (24): 55). Ayat ini memberitahukan kebiasaan Allah pada makhluk-Nya dan hikmah-Nya yang tak tergantikan, orang yang beriman dan beramal shalih akan Dia teguhkan dan Dia beri kekuasan di muka bumi. Dia tak akan membinasakannya dan tak akan memusnahkannya tanpa sisa sebagaimana Dia membinasakan orang yang mendustakan para rasul-Nya, menyelisihi mereka, dan dimusnahkan tanpa jejak. Allah memberitahu mereka akan kebijaksanaan-Nya dan sikap-Nya pada orang yang mengimani para rasul-Nya serta membenarkan mereka, bahwa Dia akan memperlakukan mereka seperti Dia memperlakukan pengikut para rasul sebelum mereka.

 

Demikian juga sabda Nabi, “Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Dia memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki pada burung…” Merupakan pemberitaan bahwa Allah memberi rezeki orang-orang yang bertawakal kepada-Nya dari arah yang tak mereka sangka dan Dia sama sekali tak membiarkan mereka tanpa rezeki, seperti kalian melihat hal tersebut terjadi pada burung. Pagi-pagi burung meninggalkan sarangnya dengan perut kosong, lalu Allah memberinya rezeki hingga ia pulang dengan perut penuh rezeki Allah. Sedang kalian lebih terhormat di sisi Allah dari seluruh binatang. Seandainya kalian bertawakal pada-Nya pasti Dia memberi kalian rezeki dari arah yang tak kalian duga dan Dia tak akan menahan rezeki seorang pun dari kalian. Ini contoh-contoh yang terhitung berita.

 

Sedang contoh yang masuk kategori permohonan dan perintah, maksudnya memberitahukan sebab dan balasannya sejenis dengan perbuatan. Bila engkau mengatakan, “Ajarilah sebagaimana Allah mengajarimu, berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu, maafkanlah sebagaimana Allah memaafkanmu, dan semacamnya, perintah tersebut merupakan pemberitahuan pada orang yang diperintah untuk mensyukuri nikmat yang Allah anugerahkan padanya dan sudah sepantasnya ia membalas nikmat tersebut dengan yang serupa, mempertahankannya dengan mensyukurinya, dan membalas nikmat itu dengan yang sejenis. Diketahui, tidak mungkin Allah mengatakan sesuatu pun dari penafsiran tersebut (bahwa maksud penyerupaan dalam firman-Nya ‘dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu’ adalah pokok perbuatan baik), hal itu tak pantas bagi Dia. Karena mengakibatkan penyebutan tasybih tersebut tak ada gunanya. Ini tidak boleh.

 

– Perkataan, “Sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim” adalah keterangan sifat bagi mashdar yang tidak disebutkan. Perkiraan kalimatnya berbunyi, “..satu shalawat seperti shalawat-Mu pada keluarga Ibrahim” Pengertian hakiki ucapan seperti ini adalah shalawat (yang dimohonkan tersebut) seperti shalawat yang diserupai (musyabah bihi). Maka tidak boleh menyimpang dari pengertian hakiki ucapan ini.

 

  1. Sekelompok lain lagi berkata, “Penyerupaan ini terwujud sehubungan dengan setiap dari shalawat orang-orang yang mengucapkannya. Sebab setiap orang yang bershalawat untuk Nabi dengan shalawat ini berarti ia telah meminta pada Allah agar melimpahkan shalawat untuk rasul-Nya dengan satu shalawat seperti shalawat-shalawat yang telah didapat keluarga Ibrahim. Tak diragukan apabila setiap orang yang bershalawat memintakan sebuah shalawat untuk Nabi seperti shalawat-Nya untuk keluarga Ibrahim, beliau #£ mendapatkan shalawat yang berlipat ganda hingga tak dapat dihitung dan tak dapat dibilang, serta tak seorang pun mendekati beliau dalam hal itu. Apalagi menyamai atau melebihi beliau.

 

Ilustrasi yang serupa dengan ini adalah seorang raja memberi seseorang seribu dirham. Lantas setiap orang dari rakyat meminta si raja memberi seseorang lain yang lebih baik dari orang pertama sebanyak seribu dirham tersebut. Maka setiap orang memintanya memberi orang kedua itu sejumlah seribu dirham, sehingga ja mendapatkan beribu-ribu dirham sejumlah orang yang memintakan. Pengikut pendapat ini mengajukan satu pertanyaan pada diri mereka, yakni penyerupaan ini terjadi sehubungan dengan pokok shalawat yang dimintakan dan setiap satu dari shalawat-shalawat tersebut. Jadi problemnya masih seperti semula.

 

Penjelasannya, pemberian yang diberikan pada orang yang utama harus lebih baik dari pemberian yang diberikan pada orang yang kalah utama. Apabila dimintakan untuknya satu pemberian di bawah yang berhak ia dapat maka itu tidak sesuai dengan kedudukannya.

 

Mereka menjawab, problem ini ada bila perintah tersebut tidak untuk dilakukan berulang-ulang. Adapun bila perintah itu berlaku secara berulang, yang harus diperbuat umat adalah meminta pada Allah shalawat demi shalawat untuk Nabi di mana setiap dari shalawat itu sebanding dengan shalawat dan salam yang diperoleh Ibrahim. Sehingga beliau mendapatkan shalawat yang jumlahnya tak terbilang dibanding dengan shalawat yang diperoleh Ibrahim.

 

Jawaban ini juga lemah, sebab penyerupaan dalam shalawat ini terkait shalawat Allah untuk Nabi, tidak berhubungan dengan makna shalawat hamba, Arti doa ini adalah “Ya Allah, berilah beliau seperti apa yang Engkau berikan pada Ibrahim: Jadi, yang dimintakan untuk beliau adalah shalawat yang sama dengan shalawat untuk Ibrahim. Semakin permintaan diulang-ulang berarti setiap orang yang bershalawat telah meminta pada Allah melimpahkan untuk beliau shalawat di bawah yang berhak beliau dapat. Memang permintaan dan perintahnya ini berulang-ulang. Jadi ini hanya semakin memperumit problem yang telah ada.

 

Kemudian penyerupaan ini berlaku pada pokok shalawat serta bagian-bagiannya, Jawaban kalian terkait masalah pengulangan shalawat sama sekali tak memberi solusi. Sebab pengulangan tidak menjadikan yang diserupai (musyabah bihi) lebih kuat dari yang diserupakan (musyabah), sebagaimana tuntutan prinsip tasybih. Seandainya pengulangan menjadikannya lebih kuat tentulah alasan seperti ini dapat diterima. Justru sebaliknya, pengulangan berkonsekuensi semakin meningkatkan dan menguatkan keutamaan yang diserupakan. Dengan demikian, bagaimana ia diserupakan dengan yang dibawahnya. Jadi jelas sudah kelemahan jawaban ini.

 

  1. Sekelompok yang lain lagi mengatakan, “Keluarga Ibrahim di dalamnya ada para nabi yang dalam keluarga Muhammad tak ada seperti mereka ini. Bila dimintakan untuk Nabi dan keluarga beliau shalawat yang seperti dimiliki Ibrahim dan keluarganya -sementara di antara mereka adalah para nabimaka keluarga Muhammad mendapatkan bagian shalawat yang sesuai untuk mereka mengingat mereka tak mencapai tingkatan nabi. Sedang selebihnya, yang disetarakan dengan shalawat untuk para nabi termasuk di dalamnya Ibrahim, diberikan pada Muhammad. Dengan demikian beliau mendapatkan keistimewaan yang tak diperoleh selain beliau.”

 

Penjelasannya, shalawat yang diperoleh Ibrahim dan keluarganya yang di antara mereka adalah para nabi ditotal lalu dibagikan pada Muhammad dan keluarga beliau. Tentunya, keluarga Muhammad tidak memperoleh shalawat sebesar yang didapat keluarga Ibrahim yang di dalamnya ada para nabi. Tetapi mereka mendapatkan bagian yang pantas mereka miliki. Lalu tinggal bagian Nabi dan sisa yang masih banyak yang tidak berhak didapat keluarga beliau, khusus diberikan pada beliau. Sehingga total yang beliau dapatkan lebih besar dan lebih afdhal dari yang diperoleh Ibrahim. Pendapat ini lebih baik dari semua jawaban yang di depan. Lebih baik dari ini adalah Muhammad masuk dalam keluarga Ibrahim. Bahkan ia sebaik-baik anggota keluarga Ibrahim. Sebagaimana diriwayatkan Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (Ali Imran (3): 33). Ibnu Abbas berkata:

 

  1. “Muhammad termasuk keluarga Ibrahim -semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk keduanya.”

 

Ini satu pernyataan tegas. Apabila nabi-nabi selain beliau yang berasal dari ‘ keturunan Ibrahim masuk dalam keluarganya maka Rasulullah lebih utama masuk di dalamnya. Sehingga ucapan kita, “..sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim” mencakup shalawat untuk beliau dan nabi lain dari keturunan Ibrahim.

 

Kemudian Allah memerintahkan kita memohonkan shalawat untuk Nabi dan keluarga beliau secara khusus sebesar shalawat kita untuk beliau bersama keluarga Ibrahim yang lain secara umum dan beliau termasuk di antara mereka. Lalu keluarga beliau memperoleh bagian shalawat yang pantas untuk mereka, sedang sisanya semua untuk Nabi.

 

Penjelasannya, Nabi telah diberi shalawat secara khusus atau dimohonkan untuk beliau shalawat seperti yang diperoleh keluarga Ibrahim yang beliau termasuk di antara mereka. Tentu saja shalawat yang didapat keluarga Ibrahim yang Rasulullah bersama mereka lebih sempurna dibanding shalawat yang beliau dapat tanpa mereka. Maka dimohonkan untuk beliau shalawat nan agung ini jelas lebih afdhal dari yang diperoleh Ibrahim. Dengan demikian, nampaklah faedah penyerupaan ini dan penyerupaan ini berjalan di atas prinsipnya. Serta shalawat yang dimohonkan untuk beliau dengan redaksi shalawat Ibrahimiyah lebih besar dari yang dimohonkan dengan redaksi lain. Pasalnya, bilamana shalawat yang dimohonkan dengan doa ini seperti yang dimiliki musyabah bihi sementara beliau memiliki bagian terbanyak darinya maka dari shalawat yang diserupakan dan dimohonkan, beliau memiliki bagian lebih besar dari yang didapat Ibrahim dan lainnya. Itu masih ditambah bagian beliau dari musyabah bihi yang tak didapat selain beliau.

 

Dengan demikian, nampaklah kelebihan dan kemuliaan beliau atas Ibrahim dan setiap anggota keluarganya -termasuk di dalamnya para nabiyang pantas beliau sandang. Shalawat ini menunjukkan kelebihan dan mengikutinya. Sebab shalawat ini di antara faktor sekaligus konsekuensi kelebihan tersebut. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak pada beliau dan keluarga beliau. Semoga Allah memberi beliau balasan atas jasa-jasa beliau pada kita yang lebih baik dari balasan yang Dia berikan pada seorang nabi atas jasajasanya pada umatnya. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkan berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.

 

Poin Indah dalam Hadits Shalawat Ibrahimiyah

 

Poin ini adalah sebagian besar hadits-hadits yang shahih dan hasan, bahkan semuanya, secara tegas menyebut Nabi dan keluarga beliau. Sedang terkait musyabah bihi, yakni Ibrahim dan keluarganya, hadits-hadits itu hanya menyebut keluarga Ibrahim saja tanpa menyebutkan Ibrahim, atau menyebut Ibrahim saja tanpa keluarganya. Dan tak ada satu pun hadits shahih yang di dalamnya menyebutkan kata Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” Sebagaimana hadits-hadits sepakat menyebutkan kata “Muhammad dan keluarga Muhammad?

 

Di sini, kami akan membawakan hadits-hadits terkait masalah ini. Kemudian kami akan mengungkapkan rahasianya sesuai yang Allah mudahkan. Kami berkata, “Hadits Shalawat Ibrahimiyah ini dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari empat arah. Yang paling terkenal adalah hadits Abdurahman bin Abu Laila?“ yang menuturkan, Kaab bin Ujrah menemuiku lalu berkata:

 

  1. Bersediakah engkau aku beri sebuah hadiah? Rasulullah keluar pada kami lalu kami bertanya, “Kami telah mengetahui cara kami mengucapkan salam pada Anda, namun bagaimanakah kami bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkan berkah -dalam redaksi lain, dan limpahkan berkahuntuk Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Hadits ini diriwayatkan Bukhari (hadits no. 4797), Muslim (hadits no. 406), Abu Daud (hadits no. 976, 977, 978), Tirmidzi (hadits no. 483), Nasa’i (III/48), Ibnu Majah (hadits no. 904), dan Ahmad bin Hanbal dalam Al-Musnad (IV/241, 243). Seperti ini bunyi redaksi riwayat mereka, kecuali Tirmidzi. Ia mengatakan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim” saja. Demikian pula dalam penyebutan berkah. Ia tidak menyebutkan keluarga Ibrahim. Ini juga satu riwayat Abu Daud.

 

Dalam riwayat lain, “..seperti engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim” dengan menyebut kata keluarga saja. Dan “..seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim” dengan menyebut nama Ibrahim saja.

 

Dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Humaid As-Sa’idi, mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untuk Anda?” Maka Rasulullah bersabda: “Ucapkanlah,

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, istri-istri beliau, dan keturunan beliau seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, dan limpahkan berkah pada Muhammad, istri-istri beliau, dan keturunan beliau seperti Engkau melimpahkan berkah pada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Ini bunyi redaksi yang masyhur.

 

Telah diriwayatkan pula dengan redaksi, “seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim” dan “seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim” tanpa menyebut kata keluarga di dua tempat ini.

 

Dalam Shahih Bukhari (hadits no. 4798, 6358), dari Abu Said Al-Khudri menuturkan:

 

  1. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, ini ucapan salam pada Anda, lalu bagaimana ucapan shalawat untuk Anda?” Beliau menjawab, “Ucapkan, Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad, hamba dan utusanMu, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk keluarga Ibrahim, dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada keluarga Ibrahim.”

 

Dalam Shahih Muslim (hadits no. 405), dari Abu Masud Al-Anshari mengatakan, Rasulullah mendatangi kami saat kami berada di majelis Sa’ad bin Ubadah as. Lantas Basyir bin Saad berkata pada beliau, “Allah memerintahkan kami bershalawat untuk Anda, lalu bagaimana cara kami bershalawat untuk Anda?”

 

Rasulullah diam hingga kami berharap seandainya saja Basyir tidak bertanya pada beliau. Kemudian Rasulullah bersabda:

 

  1. “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga ‘ Muhammad seperti Engkau nampak limpahkan shalawat untuk keluarga. Ibrahim, dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah-Mu pada keluarga Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung: Sedang ucapan salam seperti yang telah kalian ketahui”

 

Hadits ini telah diriwayatkan dengan redaksi lain, “seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim” dan “seperti Engkau telah melimpahkan berkah pada Ibrahim”? Tanpa menyebut kata keluarga di keduanya.

 

Dalam riwayat lain, “seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim” dan “seperti Engkau melimpahkan berkah pada keluarga Ibrahim.” Dengan menyebut Ibrahim saja di tempat pertama dan menyebut keluarga saja di tempat kedua.

 

Inilah redaksi-redaksi yang mashyur dalam hadits-hadits yang terkenal ini. Paling banyak mencantumkan kata “keluarga Ibrahim di dua tempat, sebagiannya mencantumkan kata Ibrahim di dua tempat, sebagiannya lagi mencantumkan kata ‘Ibrahim’ di tempat pertama dan kata “keluarga di tempat kedua, dan sebagiannya kebalikan dari itu.

 

Redaksi yang menggabungkan antara “Ibrahim dan keluarga Ibrahim diriwayatkan Baihagi dalam Sunan-nya II/379, dari hadits Yahya bin Sabag dari seorang Bani Harits dari Ibnu Masud dari Nabi:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian selesai tasyahud hendaknya ia mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad (limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad), serta limpahkan rahmat pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat, berkah, dan rahmat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung”

 

Sanad hadits ini dha’if,

 

Daruquthni meriwayatkannya (I/355), dari hadits Ibnu Ishaq, bercerita pada kami Muhammad bin Ibrahim bin Harits At-Taimi, dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid bin Abdirabih, dari Abu Masud Al-Anshari …. Di dalamnya disebutkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, nabi yang ummi, dan keluarga Muhammad, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah berkah pada Muhammad, nabi yang ummi, dan keluarga Muhammad, seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Kemudian ia mengatakan, “Ini sanad yang hasan dan bersambung”

 

Dalam Sunanun Nasa’i (III/48), dari hadits Musa bin Thalhah dari ayahnya menuturkan:

 

  1. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bershalawat untuk Anda?” Beliau menjawab: “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”?

 

Tetapi ia meriwayatkan seperti ini dan juga meriwayatkannya dengan hanya menyebut Ibrahim di dua tempat.

 

Ibnu Majah (hadits no. 906), telah meriwayatkan hadits lain yang mauquf pada Ibnu Masud. Disebutkan di dalamnya, “Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” Ibnu Majah berkata dalam As-Sunan (hadits no. 609), “Telah bercerita pada kami Husain bin Bayan, bercerita pada kami Ziyad bin Abdullah, bercerita pada kami Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Aswad bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud berkata:

 

  1. “Apabila kalian bershalawat untuk Rasulullah maka perbaguslah, sebab kalian tidak tahu barangkali shalawat itu dihadapankan pada beliau.” Mereka berkata padanya, “Ajarilah kami” Ia berkata, “Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkan shalawat-shalawat, rahmat, dan bekah-berkah-Mu untuk penghulu para rasul, pemimpin orang-orang bertakwa, dan penutup para nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu, pemimpin kebaikan, komandan kebaikan, dan rasul (pembawa) rahmat. Ya Allah, bangkitkan beliau di tempat terpuji yang diimpikan orang-orang generasi pertama dan akhir. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung” Riwayat ini mauquf.

 

Sebagian besar hadits-hadits di kitab Shahih dan Sunan, seperti telah kami ungkapkan, hanya menyebutkan “keluarga atau ‘Ibrahim’ di dua tempat, atau “keluarga’ di salah satu tempat dan Ibrahim di tempat lain. Demikian pula hadits Abu Hurairah yang telah dibawakan di awal kitab ini dan hadits-hadits lainnya. Apabila disebutkan Ibrahim di dua tempat, karena ia menjadi pangkal dalam shalawat yang diberitakan tersebut, sedang keluarganya hanya mengikuti dirinya. Maka penyebutan yang diikuti cukup mewakili yang mengikuti. Pihak yang mengikuti ini terintegrasi di dalamnya dan tak perlu disebutkan sendiri. Apabila hanya disebutkan keluarga Ibrahim saja, lantaran Ibrahim masuk dalam keluarganya sebagaimana telah dijelaskan di depan. Sehingga penyebutan keluarga Ibrahim menjadikan tidak perlu menyebutkan Ibrahim dan keluarganya dengan kata sendiri-sendiri. Kemudian apabila di salah satu tempat hanya di sebutkan Ibrahim dan di tempat lain disebutkan keluarganya saja, berarti menggabungkan antara dua perkara. Sehingga pihak yang diikuti yang notabenenya adalah pangkal telah disebutkan, dan disebutkan pula pengikut-pengikutnya dengan kata di mana yang diikuti masuk dalam pengertian kata tersebut.

 

Masih ada satu pertanyaan, mengapa di sebagian besar hadits “Muhammad dan keluarga Muhammad” disebutkan bersama-sama dan tidak cukup hanya menyebutkan salah satu dari keduanya saja, padahal di sebagian besar hadits tersebut hanya disebutkan Ibrahim atau keluarganya saja

 

Jawabannya, shalawat untuk Nabi dan keluarga beliau disebutkan dalam konteks permohonan dan doa, sementara shalawat untuk Ibrahim dibawakan dalam konteks berita dan penyebutan fakta. Sebab sabda beliau, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad” adalah jumlah thalabiyah (kalimat permintaan). Sedang sabda beliau, “seperti Engkau melimpahkan shalawat pada keluarga Ibrahim” adalah jumlah khabariyah (kalimat berita). Jumlah thalabiyah apabila berada di tempat doa dan permintaan maka lebih tepat diungkapkan secara panjang lebar dan detail daripada diringkas dan dibuang sebagiannya. Oleh sebab itu, kalimat tersebut disyariatkan diulang-ulang, dimulai dari awal dan diulangi. Pasalnya, kalimat ini adalah doa dan Allah menyukai mereka yang merengek-rengek dalam berdoa. Maka dari itu, sebagai bukti kebenaran pengertian ini, Anda menemukan banyak di antara doa Nabi yang berisi uraian kata-kata dan penyebutan setiap makna dengan katanya yang jelas serta tidak cukup hanya ditunjukkan secara implisit oleh kata yang lain. Contohnya seperti dalam hadits Ali yang diriwayatkan

 

Muslim dalam Shahih-nya (IV/2719):

 

  1. “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah aku lakukan dan yang belum aku perbuat, yang aku rahasiakan dan yang aku nampakkan, yang Engkau lebih mengetahuinya dariku. Engkau yang mendahulukan dan Engkau yang mengakhirkan, tiada Ilah selain Engkau.”

 

Diketahui, seandainya diucapkan, “Ampunilah segala dosa yang aku perbuat” tentu lebih ringkas. Namun kata-kata dalam hadits ini berada dalam konteks doa, merendahkan diri, dan menampakkan penghambaan serta kebutuhan. Sementara mengungkapkan dengan rinci berbagai hal yang ditaubati hamba lebih baik dan lebih memuaskan dari pada disingkat dan diringkas.

 

Demikian pula ucapan Nabi dalam hadits lain:

 

  1. “Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang rahasia maupun yang nampak, yang awal maupun yang akhir”

 

Dalam sebuah hadits:

 

  1. “Ya Allah, ampuni kesalahanku, kebodohanku, tindakan melampaui batasku dalam perkaraku dan apa yang Engkau lebih mengetahuinya dariku. Ya Allah, ampunilah kesungguhanku dan main-mainku, ketidaksengajaanku dan kesengajaanku, di mana semua itu ada pada diriku.”

 

Perincian seperti ini banyak terjadi dalam doa-doa yang matsur. Doa adalah wujud penghambaan pada Allah, kebutuhan pada-Nya, dan menghinakan diri di hadapan-Nya. Semakin hamba memperbanyaknya, memanjangkannya, mengulangulangnya, menampakkannya, dan memvariasi kalimatnya hal itu semain konkrit menunjukkan penghambaannya, penampakan kebutuhannya, kerendahan dirinya, dan keperluannya pada Allah. Itu lebih mendekatkan dirinya pada Rabb dan memperbesar pahalanya. Lain dengan makhluk, semakin sering Anda meminta dan mengulang-ulang kebutuhanmu padanya Anda membuatnya bosan, membenci Anda, dan Anda terhina di matanya. Namun semakin Anda tak meminta padanya itu lebih ia hargai dan lebih ia sukai. Sedang Allah, setiap kali Anda meminta pada-Nya Anda lebih dekat pada-Nya dan Dia lebih mencintai Anda. Semakin Anda merengekrengek dalam berdoa Dia bertambah mencintai Anda. Dan siapa tidak meminta pada-Nya Dia murka padanya.

 

Allah murka jika Engkau tak meminta pada-Nya

Sedang anak Adam murka kala ia diminta

 

Sesuatu yang diminta itu bertambah seiring dengan bertambahnya permohonan dan berkurang seiring dengan berkurangnya permohonan.

 

Sedang jumlah khabariyah adalah pemberitahuan tentang satu perkara yang telah terjadi dan sudah selesai, tak mengandung kemungkinan bertambah dan berkurang. Sehingga membanyakkan kata dalam kalimat ini tak terlalu memberi efek positif. Apalagi konteksnya bukan memberi penjelasan atau memahamkan lawan bicara hingga baik diuraikan secara panjang lebar. Maka memendekkan dan meringkas ungkapan dalam hal ini lebih sempurna dan lebih bagus. Karenanya, sabda Rasulullah ini adakalanya hanya menyebutkan kata “Ibrahim” dan terkadang hanya kata “keluarga Ibrahim”. Sebab kedua kata tersebut saling mewakili sesuai: pengertian yang telah kami ungkapkan. Jadi maksud kedua kata tersebut sama walaupun diringkas. Sedang untuk kalimat permintaan, seandainya diucapkan, ‘ “limpahkan shalawat untuk Muhammad, kalimat ini tak mengandung indikasi permohonan shalawat untuk keluarga beliau. Sebab kalimat ini adalah doa yang dimanifestasikan dengan kalimat ini, bukan berita tentang satu perkara yang telah terjadi dan memiliki hukum tetap. Seandainya diucapkan, “Limpahkan shalawat untuk keluarga Muhammad” tentunya Nabi dimohonkan shalawat secara umum saja. Oleh sebab ini, diucapkanlah, “Limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.” Dengan demikian beliau memperoleh shalawat secara khusus dan shalawat lain lantaran beliau masuk dalam pengertian keluarga beliau.

 

Tentang masalah seperti ini, orang-orang memiliki dua pemahaman. Pertama, beliau masuk dalam kata keluarga kendati telah disebutkan sendiri, sehingga beliau disebutkan dua kali. Pertama secara khusus dan kedua tercakup dalam kata yang umum. Atas dasar ini beliau didoakan memperoleh shalawat dua kali, secara khusus dan umum. Pendapat ini mengacu pada kaidah yang berbunyi, “apabila kata umum disebutkan setelah kata khusus maka kata umum tersebut juga mencakup kata yang khusus” Sehingga yang khusus tersebut telah disebutkan dua kali, pertama, sendiri dan kedua, tercakup dalam kata yang umum. Demikian halnya apabila kata khusus disebutkan setelah kata yang umum. Seperti firman Allah,

 

“Barang siapa menjadi musuh Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang yang kafir” (AlBagarah (2): 98).

 

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam..” (Al-Ahzab (331: 7).

 

Kedua, disebutkannya ia dengan kata khusus menunjukkan bahwa ia tidak masuk dalam kata yang umum. Maka penyebutannya secara khusus menandakan ia tak perlu dimasukkan dalam kata umum. Berdasar pemahaman ini, ada beberapa faedah yang terkandung dalam penyebutan kata umum setelah kata yang khusus:

 

» Karena yang khusus merupakan paling mulia di antara macam yang umum, ia disendirikan dengan kata yang menunjukkan dirinya secara kusus. Seolah-olah ia jenis lain dan berbeda dari mereka yang mengharuskannya diistimewakan dengan kata yang khusus untuknya. Hal ini mengandung pemberitahuan akan keistimewaannya dari semua jenis yang masuk dalam kata umum.

 

« Memberitahukan bahwa shalawat untuk Nabi adalah pokok, sedang shalawat untuk keluarga beliau mengikuti beliau. Mereka mendapatkan shalawat tersebut lantaran mereka mengikuti beliau.

 

» Penyebutannya secara sendiri menghilangkan dugaan pengecualian dan dugaan bahwa ia tak boleh dikhususkan dari kata umum. Sebaliknya, kata yang khusus ini memang dimaksudkan.

 

Ucapan Ya Allah, Limpahkan Berkah pada Muhammad dan Keluarga Muhammad serta Pembahasan “Berkah.

 

Arti hakiki berkah adalah kokoh, tetap, dan tinggal. Dari pengertian ini muncul kalimat barakal ba’iru (unta itu menderum), apabila ia diam tak bergerak di atas tanah, Kemudian kata al-mabrak, tempat menderum. Penulis kamus Ash-Shihah (IV/1574), mengatakan, “Setiap sesuatu yang tetap dan tinggal maka ia baraka. Al-barku adalah kawanan unta yang banyak.” Dan al-birkah itu seperti telaga, bentuk jamaknya albirak. Demikian disebutkan Jauhari. Ia berkata, “Dinamakan al-birkah karena air menetap di dalamnya. Sedang al-baraka’ adalah keteguhan dan kesungguhan dalam perang. Penyair mengatakan:

 

Tiada dapat menyelamatkan dari kesulitan-kesulitan selain Keteguhan dalam peperangan atau lari

 

Al-barakah berarti tumbuh dan bertambah. At-tabrik adalah memohonkan hal tersebut. Dikatakan barakahullah, baraka fihi, baraka alaihi, dan barakallahu (semoga Allah memberkahinya).”

 

Sedang dalam Al-Quran disebutkan,

 

“..telah diberkahi orang-orang yang berada di dekat api, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mahasuci Allah, Rabb semesta Alam” (An-Naml (27): 8).

 

“Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq….” (Ash-Shaffat (37): 113)

 

“..yang Kami telah memberkahinya…” (Al-Anbiya’ (21): 71)

 

Disebutkan dalam hadits, “Dan berkahilah untukku apa yang Engkau berikan padaku.”” Dalam hadits Saad, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu untukmu.” Al-mubirak adalah sesuatu atau orang yang telah diberkahi Allah, sebagaimana perkataan Al-Masih, Isa bin Maryam, “Dia menjadikan aku seorang yang berkah di mana saja aku berada…” (Maryam (19): 31). Kitab-Nya, Al-Guran, adalah kitab yang mubarak. Dia berfirman, “Dan Al-Guran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah..” (Al-Anbiya’ (21): 50) dan “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah…” (Shad (38): 29). Al-Guran memang lebih pantas disebut penuh berkah dibanding hal lain mengingat begitu melimpah kebaikan dan manfaatnya, serta sisi-sisi keberkahannya. Sedang Allah disebut “tabaraka’ (Mahaberkah) dan tidak disebut “mubarak.

 

Kemudian sekelompok ahluilmi, di antaranya Jauhari, mengatakan, “Tabdraka searti dengan biraka (memberkahi), seperti gdtala dan tagitala (memerangi)” Ia berkata, “Hanya saja pola kata kerja faala mutaadi ke maf’ul sedang tafgala tidak muta’adi” Menurut para peneliti, pendapat ini jelas satu kesalahan. Sebab kata tabaraka adalah bentuk tafdala dari kata al-barakah. Pujian ini, milik Allah, karena sifat yang kembali kepada-Nya, seperti tadla (Mahatinggi) yang merupakan bentuk tafa’ala dari kata al’uluw (hal tinggi). Karena itu, kedua kata ini sering digandengkan, sehingga dikatakan “tabiraka wa tala” (Mahaberkah dan Mahatinggi). Disebutkan dalam doa gunut,

 

  1. “Mahaberkah Engkau lagi Mahatinggi.”’

 

Allah paling berhak dan paling layak menyandang sifat ini dari siapa pun. Sebab semua kebaikan ada di tangan-Nya, dan semua kebaikan berasal dari-Nya. Seluruh sifat-Nya adalah kesempurnaan dan seluruh perbuatan-Nya adalah hikmah, rahmat, maslahat, dan kebaikan yang tak mengandung keburukan. Sebagaimana diungkapkan Nabi.

 

311, “Dan keburukan tak dialamatkan pada-Mu.”

 

Keburukan hanya terjadi pada obyek-obyek perbuatan-Nya dan makhlukmakhluk-Nya, bukan pada perbuatan-Nya. Bilamana hamba dan lainnya disebut mubdrak lantaran kebaikan dan manfaatnya yang banyak, keterkaitan sebab-sebab kebaikan dalam dirinya dan keberadaan sesuatu yang dapat dimanfaatkan manusia dari dirinya maka Allah -yang Mahaberkah lagi Mahaluhurlebih berhak di sebut mutabirik (Mahaberkah). Ini satu pujian yang mengindikasikan keagungan, kehormatan, dan kemampuan. Sebagaimana ungkapan tadzhama (Mahaagung), tadla (Mahatinggi), dan kata semacamnya. Jadi pujian ini adalah bukti akan keagungan Allah, kebaikan-Nya yang melimpah, keabadian-Nya, berpadunya sifatsifat kesempurnaan dalam Dzat-Nya, dan segala manfaat di alam semesta baik yang telah maupun yang akan ada bersumber dari manfaat-Nya dan kebaikan-Nya.

 

Bagi Allah, kata kerja ini (yakni, tabdraka) juga menunjukkan kebesaran, keagungan, dan keluhuran. Karena itu, umumnya Allah menyebut kata ini untuk mengawali pengungkapan sifat keagungan-Nya dan kebesaran-Nya. Allah berfirman,

 

Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahaberkah Allah, Rabb semesta alam” (Al-A’af (7): 54).

 

“Mahaberkah Allah yang telah menurunkan Al-Furgan (yaitu Al-Guran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (AlFurgan (25): 1)

 

“Mahaberkah Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (Al-Furgan (25): 61)

 

“Dan Mahaberkah (Rabb) Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi: dan apa yang ada di antara keduanya, di sisi-Nyalah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” (Az-Zukhruf (43): 85)

 

“Mahaberkah Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Mulk (67): 1)

 

Allah berfirman, setelah menyebutkan penciptaan manusia dalam 7 tahapannya:

 

“..Mahaberkah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (Al-Mw’minin (23): 14). Allah telah menyebutkan kemahaberkahan dan kemahasucian-Nya di tempattempat yang Dia memuji diri-Nya dengan sifat keagungan dan kebesaran, perbuatanperbuatan yang menunjukkan rububiyah, uluhiyah, dan kebijaksanaan-Nya, serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang lain seperti menurunkan Al-Furgan (Al-Quran), penciptaan alam semesta, pembuatan bintang-bintang di langit, matahari, dan bulan, keesaan-Nya dalam memegang kekuasaan serta kemampuan yang sempurna.”? Karena itu, Abu Shalih berkata:

 

  1. Dari Ibnu Abbas, “Tabaraka berarti taala (Mahatinggi/luhur)”

 

Abu Abbas mengatakan, “Tabaraka berarti irtafaa (tinggi), dan al-mutabirik adalah al-murtafi’ (yang tinggi).

 

Ibnu Anbari berkata, “Tabiraka berarti taqaddasa (Mahasuci)?”

 

Hasan berkata, “Tabiraka berarti keberkahan datang dari arahnya.” Dhahak berkata, “Tabdraka berarti taazhzhama (Mahamulia/agung)” Khalil bin Ahmad berkata, “(Tabaraka berarti) tamajjada (Mahaagung/mulia)” Sedang Husain bin Fadhil berkata, “Artinya Mahaberkah dalam Dzat-Nya dan melimpahkan berkah pada siapa yang dikehendaki-Nya di antara para makhluk-Nya” Ini pendapat paling baik. Kemahaberkahan Allah adalah sifat Dzat (yang selalu tersandang dalam Dzatnya dan tidak pernah hilang) sekaligus sifat perbuatan-Nya (yakni, jika berkehendak Dia memberikan berkah dan jika berkehendak Dia tidak melimpahkan berkah), seperti dikatakan Husain bin Fadhi

 

Bukti lain yang menunjukkan pengertian di atas, Allah menyandarkan sifat kemahaberkahan pada nama-Nya. Seperti firman-Nya, “Mahaberkah nama Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia” (Ar-Rahman (55):78) dan dalam hadits doa istiftah, “Mahaberkah nama-Mu dan Mahatinggi keagungan-Mu.” Ini menunjukkan kata tabdraka tidak semakna dengan biraka (memberi berkah), seperti dinyatakan Jauhari. Penganugerahan berkah Allah adalah sebagian dari makna kata tersebut, bukan keseluruhan maknanya.

 

Ibnu Athiyah mengatakan, “Maknanya adalah agung dan banyak berkahnya. Tidak boleh menyifati dengan kata ini selain Allah. Kata ini pun tak dapat ditashrif (tidak berubah pola) dalam bahasa Arab. Fi’il mudhari’ dan fi’il amarnya tak dapat dipergunakan.” Ia melanjutkan, “Alasannya, karena tidak boleh menyifati dengan kata tabaraka selain Allah maka kata ini tidak menuntut makna yang akan terjadi di masa datang (yang terkandung dalam fi’il mudhari dan fi’il amar). Sebab Allah telah menjadi tabaraka (Mahaberkah) sejak zaman Azali” Ia juga berkata, “Abu Ali Al Qali telah keliru, di mana ketika ditanyakan padanya, bagaimana bentuk kata kerja tabiraka untuk waktu yang akan datang? Ia menjawab, Yatabaraku: Lalu ia tahu bahwa bangsa Arab tidak mengucapkan kata tersebut.”

 

Ibnu Outaibah berkata,” “Kalimat tabiaraka ismuka (Mahaberkah namaMu) adalah bentuk tafa’ala dari kata al-barakah. Seperti ucapan, taala ismuka (Mahatinggi nama-Mu) dari kata al-uluw (tinggi). Maksudnya, berkah ada dalam nama-Mu dan dalam sesuatu yang nama-Mu disebut padanya” Ia juga mengatakan, “Sebagian pakar bahasa menyampaikan satu bait syair padaku yang aku hanya hafal bagian akhirnya saja:

 

Pada pelepah, yakni pelepah pohon kurma yang mutabarak (mendapat berkah)

 

Ucapan Ibnu Outaibah, “Maksudnya, berkah ada dalam nama-Mu dan dalam sesuatu yang nama-Mu disebut padanya” menunjukkan sifat Dzat yang menyandang kemahaberkahan. Sebab keberkahan nama menginduk pada keberkahan pemilik nama. Karena ini, firman-Nya, “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Mahabesar” (Al-Haqqah (69): 52), menjadi dalil bahwa mensucikan Rabb lebih ditekankan lagi. Sebab pensucian nama Allah itu di antara yang menginduk pada pensucian penyandang nama.

 

Zamakhsyari berkata,”’ “Tentang kata tabiraka ada dua pengertian: pertama, kebaikannya semakin bertambah dan semakin banyak. Kedua, Dia semakin bertambah dan semakin tinggi dari segala sesuatu terkait sifat-sifat dan perbuatanperbuatan-Nya.”

 

Aku berkata, “Kedua pengertian ini tidak saling berlawanan, sebagaimana dikatakan Husain bin Fadhl dan lainnya” Nadhr bin Syumail mengatakan, “Aku bertanya pada Khalil bin Ahmad tentang kata tabiraka, ia menjawab, “Artinya itamajjada (Mahaagung)” Pendapat ini menggabungkan kedua pengertian di atas, yakni keagungan-Nya dalam Dzat dan penambahan berkah pada makhluk-Nya. Inilah hakikat makna al-majdu yang berarti keluasan. Dari makna ini, diungkapkan majadasy Syaiu, apabila sesuatu luas. Demikian pula, istamjada (berarti: luas).

 

Disebut “Arsy yang majid (agung) karena luasnya. Sebagian ahlutafsir mengatakan, “Bisa juga dikatakan, kata tabaraka berasal dari kata al-buruk (tetap, tinggal). Sehingga tabiraka berarti tetap dan abadi sejak zaman Azali dan selamanya. Maka Dia harus wajibul wujud (wajib ada), sebab yang keberadaannya berasal dari yang lain, tidak disebut abadi. Penafsiran-penafsiran ini dapat disebut sebagai bagian makna dari kata tabaraka. Pasalnya, kemahaberkahan Allah mencakup semua ini, yakni keabadian wujud-Nya, kebaikan-Nya yang melimpah, keagungan-Nya, ketinggianNya, kebesaran-Nya, kesucian-Nya, bersumbernya semua kebaikan dari sisi-Nya, dan limpahan berkah-Nya pada orang yang Dia kehendaki dari makhluk-Nya. Inilah yang dimengerti dari kata-kata Al-Quran, kata-kata tersebut menunjukkan sekelompok makna. Lalu si A mengungkapkan sebagiannya dan si B mengungkapkan sebagian yang lain. Sementara kata itu meliputi semua makna tersebut. Kami telah menguraikan masalah ini di tempat lain.”

 

Tujuan uraian ini adalah membicarakan maksud sabda Nabi, “Dan limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad, seperti Engkau melimpahkan berkah pada keluarga Ibrahim.” Doa ini berisi permohonan agar Rasulullah diberi kebaikan seperti yang diberikan pada Ibrahim, dan kebaikan tersebut dikekalkan, ditetapkan, dilipatgandakan dan ditambahkan untuk beliau. Ini hakikat pengertian barakah. Allah berfirman, “Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan Ishaq..” (Ash-Shaffat (37): 112-113). Allah juga berfirman tentang Ibrahim serta keluarganya, “..(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlubait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah” (Had (11): 73).

 

Coba Anda perhatikan, mengapa dalam Al-Quran diungkapkan, “..kami limpahkan keberkahan atasnya dan Ishaq..” tanpa menyebut Ismail. Sementara di Taurat ada penyebutan berkah atas Ismail tanpa menyebutkan Ishaq, seperti telah disampaikan. “Tentang Ismail, Aku sampaikan pada-Mu, ini Aku memberkahinya” Jawabannya, disebutkannyakeberkahanatas Ismail dalam Tauratuntuk memberitahukan kebaikan dan keberkahan yang akan diperoleh keturunannya. Terutama penutup berkah mereka yang paling agung dan mulia, Rasulullah. Melalui firman tersebut Allah mengingatkan mereka akan berkah agung yang akan terlimpah pada keturunan fsmail melalui lisan orang yang diberkahi, Muhammad. Dalam Al-Quran Allah menyebutkan pada kita pemberkahan-Nya atas Ishaq untuk mengingatkan kita pada apa yang terjadi di dalam keturunannya seperti kenabian Musa dan lainnya, serta kitab dan ilmu yang diberikan pada mereka, untuk menyeru para hamba-Nya agar mengimaninya, membenarkan, dan mereka tidak melalaikan hak-hak keluarga nan berkah ini serta penyandang kenabian di antara mereka. Agar tak ada yang mengatakan, “Mereka itu para nabi Bani Israil. Kita tak memiliki kaitan dengan mereka.” Sebaliknya, kita wajib menghormati dan memuliakan mereka, mengimani mereka, mencintai, loyal, dan memuji mereka -semoga shalawat Allah dan salam-Nya terlimpah pada mereka semua.

 

Karena keluarga penuh berkah dan suci ini, yakni keluarga Ibrahim, adalah keluarga paling mulia di dunia secara keseluruhan Allah menganugerahi mereka beberapa keistimewaan. Di antaranya:

 

1) Allah menganugerahkan kenabian dan kitab pada mereka. Sehingga tak seorang nabi pun muncul setelah Ibrahim kecuali berasal dari keluarganya.

 

2) Allah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk sesuai perintah-Nya sampai Hari Kiamat. Sehingga setiap orang yang masuk surga di antara wali-wali Allah setelah mereka, ia memasukinya melalui jalan dan berkat dakwah mereka.

 

3) Allah mengambil dua khalil di antara mereka, yakni Ibrahim dan Muhammad. Allah berfirman, “..Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” (An-Nis2 (4): 125).

 

Nabi bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai khalil (kekasih) sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai khalil”

 

4) Allah mengangkat kepala keluarga ini sebagai imam seluruh alam semesta, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia…” (AlBagarah (2): 124).

 

5) Allah melaksanakan pembangunan bait-Nya yang Dia jadikan sebagai pusat peribadatan dan urusan dunia manusia, kiblat dan haji mereka, melalui kedua tangan Ibrahim. Sehingga kemunculan Baitullah berkat jasa keluarga yang mulia ini.

 

6) Allah memerintahkan para hamba-Nya bershalawat untuk keluarga ini sebagaimana Dia bershalawat untuk keluarga ini dan generasi salaf mereka, yakni Ibrahim dan keluarganya. Ini satu keistimewaan mereka.

 

7) Dari keturunan mereka, Allah mengeluarkan dua umat mulia yang belum pernah keluar dari keluarga selain mereka. Mereka adalah umat Musa dan umat Muhammad. Umat Muhammad merupakan yang terakhir dari 70 umat dan mereka yang paling baik serta paling mulia di sisi Allah.

 

8) Allah mengekalkan buah tutur yang baik dan sanjungan terpuji untuk mereka di dunia. Mereka tidak disebut kecuali diiringi sanjungan dan shalawat serta salam untuk mereka. Allah berfirman,

 

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (Ash-Shaffat (37): 108-110).

 

9) Allah menjadikan keluarga ini sebagai pemisah di antara manusia. Yakni, orang-orang yang beruntung adalah para pengikut mereka, pecinta mereka, dan yang menyayangi mereka. Sedang orang-orang celaka adalah yang membenci mereka, berpaling dari mereka, dan memusuhi mereka. Surga diperuntukkan bagi mereka dan pengikut mereka. Sementara neraka dipersiapkan untuk musuh-musuh dan orang-orang yang menyelisihi mereka.

 

10) Allah membuat penyebutan mereka bergandengan dengan penyebutan-Nya. Dikatakanlah, Ibrahim khalilullah, rasul-Nya, dan nabi-Nya. Muhammad utusan Allah, khalilullah, dan nabi-Nya. Musa kalimullah (orang yang diajak bicara Allah) dan rasul-Nya. Allah berfirman pada Rasulullah untuk mengingatkan beliau atas nikmat-Nya pada dirinya, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (Al-Insyirah (94): 4). Ibnu Abbas berkata:

 

  1. “(Artinya), Apabila Aku disebut engkau disebut bersamaku.” Maka diucapkanlah, “La ilaha illaallah muhammadur rasiilullah”, dalam kalimat syahadat untuk masuk Islam, adzan, khotbah, syahadat-syahadat, serta lainnya.”

 

11) Allah menjadikan keselamatan makhluk-Nya dari kesengsaraan dunia dan akhirat terletak pada tangan keluarga ini. Mereka memiliki keberkahan besar bagi bangsa manusia yang tak terhitung jumlahnya dan tak mungkin dapat dibalas. Mereka juga memiliki budi yang besar untuk penyandang kebahagiaan dari generasi awal dan akhir. Mereka memiliki jasa-jasa luar biasa dan hanya Allah yang akan membalasnya.

 

12) Setiap kebaikan, manfaat, amal shalih, dan ketatan kepada Allah yang terjadi di dunia ini mereka mendapatkan pahalanya sebesar pahala orang yang mengerjakannya. Mahasuci Dzat yang mengkhususkan karunia-Nya pada hamba yang Dia kehendaki.

 

13) Allah membuntukan semua jalan antara Dia dan seluruh makhluk serta menutup pintu mereka. Ia tidak membukakan pintu untuk seorang pun selain melalui jalan dan pintu mereka. Junaid ats berkata:

 

  1. Allah berfirman pada rasul-Nya, “Demi kemuliaan dan keagunganKu, seandainya mereka datang padaku dari segala jalan atau mereka meminta dibukakan setiap pintu, niscaya Aku tidak membukakan untuk mereka sampai mereka masuk di belakangmu.”

 

14) Allah secara khusus menganugerahi mereka ilmu yang tidak Dia berikan pada keluarga lain di alam semesta ini. Sehingga tak ada satu keluarga pun yang datang di dunia ini yang lebih mengetahui Allah, nama dan sifat-sifat-Nya, hukumhukum, perbuatan-perbuatan, pahala dan siksaNya, syariat-Nya, tempat-tempat ridha dan marah-Nya, para malaikat serta makhluk-Nya dibanding mereka. Mahasuci Dzat yang menyatukan untuk mereka ilmu generasi awal dan akhir.

 

15) Allah secara khusus menganugerahi mereka akan tauhid-Nya, kecintaan padaNya, kedekatan dengan-Nya, dan keistimewaaan di sisi-Nya yang tidak Dia berikan pada keluarga selain mereka.

 

16) Allah meneguhkan, menolong, dan memenangkan mereka atas musuh-musuh dengan peneguhan yang tidak diberikan pada selain mereka.

 

17) Melalui keluarga ini, Allah menghapus jejak-jejak peninggalan orang-orang sesat dan menyekutukan Allah, serta jejak yang Allah murkai dan benci, di mana Allah tidak menghapusnya dengan selain mereka.

 

18) Allah menanamkan cinta, pengagungan, dan penghormatan pada mereka di hati para makhluk yang tidak Dia tanamkan untuk selain mereka.

 

19) Allah menjadikan jejak ajaran mereka sebagai sebab kelestarian dan keterjagaan dunia dari kepunahan. Dunia ini masih eksis selagi jejak ajaran mereka masih lestari. Bila pusaka-pusaka ajaran mereka hilang dari bumi, saat itulah tiba waktu kehancuran dunia. Allah berfirman, “Allah telah menjadikan Kakbah, rumah suci sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadyu, qala’id..” (Al-Ma’idah (5): 97). Ibnu Abbas berkata tentang tafsir ayat ini:

 

  1. “Seandainya semua manusia meninggalkan ibadah haji niscaya langit runtuh menimpa bumi.” Ia juga mengatakan, “Seandainya semua manusia meninggalkan haji pasti mereka tidak dilihat lagi.”?

 

Nabi mengabarkan:

 

  1. “Di akhir zaman nanti Allah mengangkat bait-Nya dari bumi, firman-Nya dari mushaf-mushaf dan dada manusia.”? Sehingga tak ada lagi di bumi ini rumah Allah yang dikunjungi untuk beribadah haji, tidak pula kalam Allah yang dibaca. Saat itulah kehancuran dunia telah dekat.”

 

Demikian pula manusia di zaman ini, kelestarian mereka disebabkan kelestarian jejak ajaran nabi mereka dan syariat-syariatnya di tengah-tengah mereka. Tegaknya perkara mereka, terwujudnya maslahat mereka, dan tertolaknya berbagai bala serta keburukan dari mereka segaris dengan keterjagaan dan tegaknya jejak dan syariat tersebut. Sedang kebinasaan, kesusahan, dan turunnya bala’ serta keburukan pada mereka akibat memandulkan jejak dan syariat itu, berpaling darinya, berhukum pada selainnya, dan mengambil selainnya. Siapa memerhatikan penguasaan yang Allah berikan pada musuh atas negeri dan rakyat (muslimin), ia tahu bahwa semua itu lantaran mereka mengabaikan agama Nabi, sunnah, dan syariat beliau. Akibatnya, Allah menguasakan pada mereka orang yang membinasakan dan menyiksa mereka. Sedangkan negeri-negeri yang masih melestarikan jejak Nabi, sunnah, dan syariatsyariat beliau Dia lindungi sesuai tingkat kelestariannya di antara penduduk negeri tersebut.

 

Keistimewaan-keistimewaan ini dan lainnya merupakan efek rahmat Allah dan berkah-Nya atas keluarga ini. Karenanya, Rasulullah memerintahkan kita memohon pada Allah agar Dia melimpahkan berkah pada beliau dan keluarga beliau, sebagaimana Dia melimpahkan berkah pada keluarga yang dimuliakan ini. Semoga shalawat dan salam Allah terlimpah untuk mereka semua.

 

Di antara berkah keluarga ini adalah Allah menampakkan berkah dunia dan akhirat melalui tangan mereka yang tidak Dia tampakkan melalui tangan keluarga selain mereka.

 

Di antara berkah serta keistimewaan mereka adalah Allah memberi mereka beberapa keistimewaan yang tidak Dia berikan pada orang lain. Di antara mereka ada yang Allah ambil sebagai khalil, ada pula yang disembelih, ada yang Allah ajak bicara secara langsung dan Dia mendekatkan pada diri-Nya saat bermunajat, ada yang Allah anugerahi separoh keindahan dan dijadikan manusia paling mulia di sisi-Nya, ada yang Dia beri kerajaan yang tidak diberikan pada selain dirinya, dan ada pula yang Allah angkat ke tempat yang tinggi.

 

Ketika Allah menyebutkan keluarga ini dan keturunan mereka, Dia memberitahukan bahwa semuanya telah Dia lebihkan di atas seluruh makhluk di alam semesta ini.

 

Di antara keistimewaan dan keberkahan mereka untuk penduduk bumi, Allah menghilangkan siksaan massal dari penduduk bumi lantaran mereka dan pengangkatan mereka sabagai nabi. Padahal kebiasaan Allah pada umat nabi sebelumnya, apabila mereka mendustakan nabi dan rasul, Allah membinasakan mereka dengan siksaan dan tak menyisakan seorang pun. Seperti yang Allah lakukan pada kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shalih, dan kaum Luth. Namun, manakala Allah telah menurunkan Taurat, Injil, dan Al-Quran, Dia menghilangkan siksaan massal dari penduduk bumi dan memerintahkan berjihad melawan orang yang mendustakan serta menyelisihi mereka. Hal itu menjadi pertolongan bagi mereka melalui tangan mereka sendiri, kelegaan hati, dan jalan gugurnya para syuhada serta kehancuran para musuh melalui perjuangan mereka demi meraih cinta-Nya dengan jerih payah. Sudah selayaknya bagi keluarga tersebut mendapatkan sebagian keutamaan dan keistimewaan seperti ini bila lidah-lidah terus basah menyenandungkan shalawat, salam, sanjungan, dan penghormatan pada mereka, hati yang sarat pemuliaan, cinta, dan pengagungan untuk mereka, serta orang yang bershalawat menyadari bahwa seandainya ia ‘mendonasikan seluruh nafasnya untuk bershalawat untuk mereka ia belum bisa memenuhi sedikit pun hak mereka. Semoga Allah memberi balasan atas jasa mereka pada makhluk-Nya dengan sebaik-baik balasan, menambah pengagungan, penghormatan, dan pemulian mereka di al-mala’ul a’la. Dan mudahmudahan Allah melimpahkan shalawat yang kekal tanpa terputus pada mereka, serta kesejahteraan yang banyak hingga hari pembalasan.

 

Alasan Shalawat Diakhiri dengan Dua Nama Allah “Al-Hamid” dan “Al-Majid”

 

Al-Hamid (yang Maha Terpuji) adalah pola kata fa’l dari kata al-hamdu. Artinya, mahmud (yang terpuji). Sebagian besar nama-nama Allah yang berpola fa’il memiliki arti fa’il (pelaku), seperti sami” (Maha Mendengar), bashir (Maha Melihat), alim (Maha Mengetahui), qadir (Mahakuasa), aliy (Mahatinggi), hakim (Mahabijaksana), dan halim (Maha Penyantun), serta masih banyak lagi. Demikian pula yang berpola fa’ul, seperti ghafur (Maha Pengampun), syakur (Maha Berterima kasih), dan shabiir (Mahasabar). ‘

 

Tentang nama al-wadud ada dua pendapat. Pertama, kata ini berarti fa’il (subyek), yakni yang mencintai para nabi, rasul, wali, dan hamba-Nya yang beriman. Kedua, berarti maudud (obyek), yakni Dzat yang dicintai yang berhak dicintai dengan sepenuh kecintaan dan lebih dicintai seorang hamba dibanding pendengarannya, penglihatannya, dirinya, dan seluruh yang dicintainya.

 

Mengenai nama Allah al-hamid tidak memiliki arti selain al-mahmud (yang dipuji). Kata al-hamid lebih dahsyat (dalam menunjukkan makna) dibanding kata al-mahmud. Sebab pola kata fa’il bila berupa hasil perubahan dari pola kata maf’ul menunjukkan bahwa sifat tersebut telah menjadi semacam karakter naluriah dan akhlak tak berubah-ubah. Seperti bila Anda mengucapkan si fulan itu zharif (lucu/ cerdik), syarif (mulia/terhormat), atau karim (dermawan atau murah hati). Struktur kata ini biasanya berasal dari kata kerja dengan wazan syarufa (baca: fa-u-la), termasuk struktur kata yang mengandung arti bersifat tabiat dan karakter yang tak berubah-ubah. Contohnya kabura (besar), shaghura (kecil), hasuna (bagus), lathufa (lembut), dan semacamnya.

 

Karenanya, kata habib lebih dahsyat dibanding kata mahbub (keduanya berarti yang dicintai atau kekasih). Sebab al-habib adalah yang menyandang sifat dan perbuatan yang karenanya ia dicintai. Pribadinya dicintai, meskipun diasumsikan ada orang yang tidak mencintainya karena tidak menyadari sifat-sifat tersebut, atau lantaran ada faktor yang menghalanginya mencintai habib tersebut. Sedang al-mahbub adalah yang cinta orang lain terjalin padanya. Ia menjadi yang dicintai lantaran cinta orang lain padanya. Adapun al-habib adalah orang yang dicintai karena dirinya dan sifat-sifatnya, baik cinta orang lain jatuh cinta padanya atau tidak. Seperti ini pula perbedaan antara al-hamid dan al-mahmud.

 

Al-Hamid adalah yang menyandang sifat dan sebab pujian yang mengharuskannya menjadi terpuji, meskipun orang lain tidak memujinya. Ia menjadi terpuji dengan sendirinya. Sedang al-mahmud adalah orang yang pujian orang lain terhubung padanya. Seperti ini pula perbedaan antara al-majid dan al-mumajjad (yang agung atau diagungkan), al-kabir dan al-mukabbar (yang besar), al-azhim dan al-muazhzham (yang agung atau diagungkan).

 

Pujian dan keagungan merupakan muara seluruh kesempurnaan. Jelasnya, pujian melahirkan sanjungan dan cinta pada orang yang dipuji. Orang yang Anda cintai namun Anda tidak menyanjungnya berarti Anda tidak memujinya. Begitu pula orang yang Anda sanjung karena suatu tujuan tertentu dan Anda tidak mencintainya, Anda belum disebut memujinya sampai Anda menyanjungnya disertai cinta. Di mana sanjungan dan cinta ini muncul karena faktor yang menuntutnya berupa sifat kesempurnaan, keagungan, dan perbuatan baik pada orang lain yang disandang pihak yang dipuji tersebut. Inilah sebab-sebab cinta. Semakin lengkap dan sempurnasifat ini maka pujian dan cinta semakin sempurna dan besar. Allah memiliki kesempurnaan mutlak yang tak mengandung cacat dari sisi mana pun. Semua perbuatan baik dan karunia milik-Nya semata. Dia paling berhak menyandang segala pujian dan semua cinta dari semua sisi. Dia berhak dicintai karena Dzat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, nama-Nya, perbuatan baik-Nya, serta segala hal yang muncul dari-Nya.

 

Keagungan menuntut kehormatan, kemampuan, dan kebesaran, sebagaimana ditunjukkan makna asli kata ini secara bahasa. Kata ini menunjukkan sifat kebesaran dan kehormatan. Sedang pujian menunjukkan sifat kemuliaan. Allahlah pemilik kebesaran dan kemuliaan. Inilah maksud ucapan hamba, “Tiada Ilah selain Allah, Allah Mahabesar” Kalimat Yiada Ilah selain Allah’ menunjukkan uluhiyah-Nya yakni Dia berhak disembahdan keesaanNya dalam menyandang sifat ini. Lalu uluhiyah Allah ini menuntut kecintaan pada-Nya secara sempurna. Sedang kalimat “Allah Mahabesar menunjukkan keagungan serta kebesarannya. Itu menuntut pengagungan, penghormatan, dan pengakuan akan kemahabesaran Allah. Oleh karena itu, seringkali Allah menggandengkan dua nama ini -Al-Hamid dan Al-Majid dalam Al-Quran. Seperti firman-Nya, “..(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahanNya dicurahkan atas kamu, hai ahlubait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahaagung” (Had (11): 73).

 

“Katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan. Agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.” (Al-Isra’ (17): 111).

 

Dia memerintahkan untuk memuji dan mengagungkan-Nya.

 

“Mahaberkah nama Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.” (ArRahman (55): 78)

 

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman (55): 27)

 

Disebutkan dalam Al-Musnad dan Shahih Abi Hitim serta lainnya, hadits Anas dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Senantiasalah mengucapkan, “Wahai Penyandangkebesaran dan kemuliaan.” Yakni tetapilah dan cintailah ucapan ini. Kebesaran dan kemuliaan adalah pujian dan keagungan. Yang serupa dengan ini adalah firman-Nya, “…sesungguhnya Rabbku Mahakaya lagi Mahamulia” (An-Naml (27): 40).

 

“..dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun?” (An-Nis2 (41: 99)

 

“.dan Allah Mahakuasa. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (AlMumtahanah (60): 7) Firman-Nya,

 

“Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang mempunyai singgasana, lagi Mahamulia.” (Al-Buraj (85): 14-15)

 

Masih banyak lagi ayat semacam ini dalam Al-Quran. Dalam hadits shahih -yakni hadits tentang doa kesusahandisebutkan, “Tiada Ilah selain Allah yang Maha Penyantun, tiada Ilah selain Allah Rabb Arsy yang besar, tiada Ilah selain Allah Rabb langit-langit dan bumi serta Rabb Arsy yang mulia.”

 

Disebutkannya dua nama Allah ini, al-hamid dan al-majid, di akhir shalawat untuk Nabi dan keluarga beliau sesuai dengan firman-Nya, “..(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlubait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahaagung” (Hud (111: 73).

 

Mengingat shalawat untuk Nabi &£ berarti sanjungan Allah pada beliau, pemulian, dan perhatian pada beliau, peninggian nama beliau, bertambahnya cinta dan kedekatan beliau pada Allah, seperti yang telah dijelaskan di muka maka shalawat ini mengandung pujian dan pemuliaan. Seolah-olah orang yang mengucapkan shalawat memohon pada Allah agar menambah pujian dan kemuliaan Nabi. Sebab shalawat untuk beliau adalah satu bentuk pujian dan pengagungan pada beliau. Inilah hakikatnya. Maka dalam permohonan ini ia menyebutkan dua nama yang selaras dengan permohonan pujian dan pemuliaan tersebut, yakni nama Allah al-hamid dan al-majid. Sebagaimana telah disampaikan, karena orang yang berdoa disyariatkan mengakhiri doanya dengan menyebut asmaul husna yang sesuai dengan permintaannya, atau ia mengawali doa dengan nama-nama Allah yang indah. Telah disebutkan pula bahwa ini selaras dengan firman Allah, “Hanya milik Allah asma’ul husna, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu..” (Al-A’raf (7): 180).

 

Sulaiman dalam doanya pada Rabb mengucapkan, “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi” (Shad (38): 35). Al-Khalil, Ibrahim, dan putranya, Ismail, berkata dalam doa keduanya, “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Al-Bagarah (2): 128). Nabi biasa mengucapkan:

 

  1. “Wahai Rabbku, ampuni aku dan berilah taubat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi taubat dan Maha Pengampun? Seratus kali dalam majelis beliau.”

 

Beliau bersabda pada Aisyah ts saat ia bertanya:

 

  1. Jika aku menemui lailatul gadar, doa apa yang sebaiknya aku ucapkan?” Beliau bersabda, “Ucapkan, Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai maaf maka maafkanlah aku.”

 

Nabi bersabda pada Ash-Shidiq ketika ia meminta beliau mengajarinya satu doa yang dapat diucapkan dalam shalat, “Ucapkan, Ya Allah, sesungguhnya aku menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak mengampuni dosa selain Engkau, ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan sayangi aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”? Masih banyak yang semacam ini dan telah kami sebutkan dalam kitab Ar-Ruh wan Nafs.

 

Mengenai apa yang dikatakan sebagian orang tentang ucapan Isa Al-Masih yang disebutkan dalam Al-Quran, Jika engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al-Ma’idah (5): 118) di mana ia

 

| tidak mengatakan ‘maha pengampun lagi maha penyayang, serta ucapan Ibrahim AlKhalil, “..barang siapa yang mengikutiku sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ibrahim (14): 36). (Ia tidak mengatakan “Maha Perkasa lagi Mahabijaksana”.

 

Karena yang dimohonkan untuk Rasulullah adalah pujian dan kemuliaan melalui shalawat Allah untuk beliau, permohonan ini diakhiri dengan dua nama al-hamid dan al-majid. Karena yang dimintakan untuk Rasulullah adalah pujian dan kemuliaan sementara hal itu telah beliau peroleh maka doa ini diakhiri dengan pemberitaan tentang disandangnya dua sifat ini oleh Allah. Sebab setiap kesempurnaan pada diri hamba yang tidak mengandung cacat maka Allah lebih berhak menyandangnya.

 

Manakala pujian dan kemuliaan dimohonkan untuk Rasulullah dengan bershalawat untuk beliau itu menuntut sanjungan pada pengutus beliau dengan pujian dan kemuliaan. Agar doa ini mengandung permohonan pujian dan kemuliaan untuk Rasulullah sekaligus pemberitahuan disandangnya dua sifat tersebut oleh Rabb.

 

Kaidah Seputar Doa dan Dzikir yang Diriwayatkan dengan Beberapa Redaksi yang Berlainan’?

 

Termasuk dalam hal ini adalah lafazh-lafazh periwayatan terkait shalawat untuk Nabi.

 

Sebagian ulama generasi akhir”? telah menempuh suatu metode, yakni orang yang berdoa dianjurkan menggabungkan antara lafazh-lafazh yang berlainan tersebut. Ia menilai pendapat ini paling baik di antara pendapat lain yang muncul terkait masalah ini. Ia berpendapat, orang yang berdoa dengan doa Abu Bakar AshShidig dianjurkan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak lagi besar?” Kemudian orang yang bershalawat untuk Nabi mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, keluarga Muhammad, istri-istri dan keturunannya, serta sayangilah Muhammad, keluarga Muhammad, istri-istri serta keturunannya, seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim?” Demikian pula dalam permohonan berkah dan rahmat.

 

Kemudian dalam doa istikharah mengucapkan, “Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini baik untukku dalam agama, kehidupan, akhir urusan, perkara yang segera dan perkaraku yang ditunda (dunia dan akhirat)” Dan semacamnya.

 

Ia berargumen, (metode penggabungan lafazh-lafazh ini) agar orang yang berdoa mengenai lafazh Nabi secara meyakinkan terkait redaksi yang diragukan oleh rawi. Serta ia menguasai redaksi doa lain yang lafazhnya berbeda.

 

Namun sekelompok lain menentang pendapatnya ini. Mereka mengatakan, “Pendapat ini lemah dari beberapa sisi:

 

* Ini metode baru yang belum pernah dilakukan seorang pun dari ulama terkemuka.

 

* Pemilik pendapat ini jika menggeneralisasi, ia harus menganjurkan orang yang shalat membaca semua varian doa istiftah, bertasyahud dengan semua macam doa tasyahud, serta mengucapkan semua dzikir yang diriwayatkan dalam rukuk dan sujudnya. Jelas ini batil. Karena berseberangan dengan praktik kaum muslimin dan tidak dipandang mustahab oleh ulama mana pun. Tindakan ini bid’ah. Namun jika ia tidak menggeneralisasi, sama saja ia tidak konsisten dan membedakan antara dua perkara yang sama.

 

* Pemilik pendapat ini seharusnya menganjurkan orang yang shalat dan membaca Al-Quran menggabungkan antara macam-macam jenis bacaan Al-Quran baik ketika membaca dalam shalat maupun di luar shalat. Telah diketahui, kaum muslimin sepakat bahwa hal itu tidak dianjurkan bagi orang yang membaca Al-Quran dalam shalat dan di luar shalat apabila ia membaca dalam rangka beribadah dan tadabur. Praktik seperti itu hanya dilakukan para gura’ secara berkala guna menguji hafalannya dan pengetahuannya terhadap beragam bacaan, kekuatan ingatan, dan kemampuan mengingatnya ketika diminta. Ini latihan, bukan dalam konteks beribadah yang dianjurkan untuk setiap pembaca. Namun demikian, ada pembahasan panjang terkait masalah itu yang tak dapat disebutkan di tempat ini? Bahkan yang disyariatkan untuk orang yang membaca Al-Quran adalah ia membaca dengan macam bacaan mana pun yang ia kehendaki. Jika ia mau membaca dengan satu model di satu kesempatan dan di kesempatan lain dengan model yang lain pula, hal itu dibolehkan.

 

Demikian halnya orang yang berdoa, apabila di satu kesempatan ia mengucapkan “aku menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak” dan di kesempatan lain mengucapkan “yang besar” itu dibolehkan. Demikian pula orang yang berdoa apabila dalam satu kesempatan bershalawat untuk Nabi dengan redaksi hadits ini dan di kali yang lain dengan redaksi hadits yang lain. Begitu juga ketika bertasyahud,” jika mau ia boleh bertasyahud dengan riwayat Ibnu Mas’ud, riwayat Ibnu Abbas, atau riwayat Umar, atau riwayat Aisyah .

 

Sama halnya dalam doa istiftah, jika mau ia boleh membaca doa istiftah sesuai hadits Ali, Abu Hurairah, atau Umar . Juga boleh mempraktikkan hadits ini dalam satu kesempatan dan hadits lain di kesempatan lain.

 

Demikian pula apabila ia bangkit dari rukuk, ia boleh mengucapkan “Allahumma rabband lakal hamdu’”, atau “Rabbana lakal hamdu”, atau “Rabbana wa lakal hamdu”. Namun ia tidak dianjurkan menggabungkan bacaan-bacaan ini.”

 

Sebagian ulama, di antaranya Syafi’i, sehubungan dengan bolehnya mengerjakan berbagai varian yang diriwayatkan dari Rasulullah dalam doa tasyahud dan semacamnya, berhujah dengan hadits yang diriwayatkan para penulis kitab Shahih dan Sunan serta selain mereka dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Al-Quran diturunkan dengan tujuh variasi bahasa Arab.”

 

Nabi melegalkan membaca Al-Quran dengan variasi-variasi bahasa tersebut. Beliau juga mengabarkan bahwa setiap variasi:

 

  1. “Memuaskan dan mencukupi.”

 

Sama-sama diketahui, yang disyariatkan dalam hal ini adalah membaca modelmodel bacaan tersebut di mana antara satu dengan yang lain saling mewakili, bukan dengan cara menggabungkan. Seperti inilah yang dulu dipraktikkan para sahabat .

 

» Nabi tidak pernah menggabungkan di antara lafazh yang bermacam-macam tersebut dalam satu waktu.”? Tetapi adakalanya beliau mengucapkan yang ini dan adakalanya mengucapkan yang itu, seperti doa-doa istiftah dan tasyahud, doa-doa rukuk dan sujud serta lainnya. Meneladani Rasulullah menuntut tidak mengkompilasikan antara redaksi-redaksi doa tersebut. Tetapi sesekali mengucapkan doa ini dan di kali yang lain mengucapkan doa yang lain. Boleh jadi rawi ragu redaksi mana yang Rasulullah sabdakan maka jika orang yang berdoa melihat sebagian redaksi tersebut lebih rajih ia memilih redaksi tersebut. Namun jika dalam pandangannya tidak ada yang lebih rajih, ia bebas memilih di antara redaksi tersebut. Tetapi tidak disyariatkan menggabungkannya. Sebab penggabungan ini sama dengan cara ketiga yang tidak diriwayatkan dari Nabi. Sehingga penggabungan di antara lafazh tersebut justru tidak sesuai dengan tujuan si pendoa. Pasalnya ia bermaksud mencontoh Nabi namun malah melakukan sesuatu yang secara pasti tidak beliau perbuat.

 

Contoh kasus di mana salah satu lafazh lebih rajih adalah hadits doa istikharah.

 

Dalam hadits ini rawi bimbang, apakah Nabi mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah jika Engkau mengetahui perkara ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku dan akhir urusanku,” atau beliau mengucapkan, “..perkaraku yang segera dan yang tertunda”? Menggantikan kata akhir urusanku’ Yang benar lafazh pertama, yakni sabda beliau “akhir urusanku’. Sebab makna “perkaraku yang segera dan yang tertunda tercakup dalam kalimat ‘…agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku. Sehingga penggabungan antara kata ” “kehidupan dan ‘perkaraku yang segera dan yang tertunda adalah pengulangan.

 

Lain halnya dengan penyebutan “kehidupan dan ‘akhir urusan yang tak mengandung pengulangan. Sebab kehidupan adalah perkara yang disegerakan (dunia), sedang akhir urusan adalah perkara yang tertunda (akhirat).”

 

Di antara contoh yang lain adalah riwayat yang terbukti shahih dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Siapa membaca 10 ayat pertama surah Al-Kahfi ia dijaga dari bahaya Dajal.” (HR. Muslim hadits no. 809).

 

Lafazh hadits ini diperselisihkan. Sebagian rawi mengatakan ‘sepuluh ayat pertama surah Al-Kahft, sedang sebagian lain mengatakan sepuluh ayat terakhirnya. Kedua riwayat ini ada dalam kitab Ash-Shahih. Akan tetapi yang dianggap lebih kuat adalah riwayat yang mengatakan, “sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi. Sebab dalam Shahih Muslim (hadits no. 2937), ada hadits Nawas bin Sam’an tentang kisah Dajal:

 

  1. “Apabila kalian menyaksikannya, bacakan padanya ayat-ayat pembuka surah Al-Kahfi.”

 

Redaksi riwayat ini tidak diperselisihkan. Ini mengindikasikan orang yang meriwayatkan ‘awal surah Al-Kahfi’ telah hafal hadits dengan baik. Sedang yang meriwayatkan ‘akhir surah Al-Kahfi tidak hafal dengan baik.

 

* Maksud dari pengucapan doa adalah maknanya dan mengungkapkannya dengan kalimat yang mewakili. Apabila doa telah diungkapkan dengan salah satu dari dua kalimat (yang diriwayatkan), tujuan tersebut sudah tercapai. Sehingga tidak perlu menggabungkan beberapa kalimat yang beragam.

 

* Setiap dari dua lafazh itu menggantikan yang lain, tidak dianjurkan mengolaborasikan antara pengganti dan yang diganti. Sebagaimana hal ini tidak dianjurkan dalam perkara-perkara yang diganti dan memiliki pengganti. Allah jua yang lebih mengetahui.

 

Waktu Pertama dan Utama: Akhir Tasyahud.

 

Kaum muslimin sepakat atas disyariatkannya bershalawat di akhir tasyahud, namun mereka bersilang pendapat tentang kewajibannya di waktu ini.

 

Sekelompok mengatakan, tidak wajib bershalawat di akhir tasyahud. Bahkan mereka berani menuding orang yang mewajibkannya telah menyimpang dan menyelisihi ijmak. Di antara mereka adalah Thahawi, Oadhi Iyadh, dan Khathabi yang berkata, “(Shalawat) tidak wajib dalam shalat. Ini pendapat sekelompok ulama ahlufikih, selain Syafi’i. Aku tak mengetahui ada yang lebih dulu berpendapat seperti itu” Demikian juga Ibnu Mundzir, ia mengungkapkan bahwa Syafi’i seorang diri berpendapat seperti itu. Sementara ia sendiri memilih pendapat tidak wajibnya shalawat dalam tasyahud shalat.

 

Penganut pendapat ini berdalih dengan mengatakan -ini ucapan Iyadh-,” “Dalil bahwa shalawat untuk Nabi tidak termasuk kewajiban shalat adalah perbuatan generasi salafush shalih sebelum Syafi’i dan kesepakatan mereka atas hal tersebut. Dan orang-orang sangat mencela Syafi’i akibat masalah itu. Tasyahud Ibnu Masud yang notabenenya dipilih Syafii dan yang diajarkan Nabi padanya tidak mengandung shalawat untuk Nabi. Demikian pula setiap shahabat yang meriwayatkan doa tasyahud dari Nabi, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Jabir, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Musa Al-Asyari, serta Abdullah bin Zubair . Mereka tidak menyebutkan shalawat untuk Nabi di dalamnya. Ibnu Abbas dan Jabir pernah mengucapkan:

 

  1. “Nabi mengajari kami doa tasyahud seperti beliau mengajari kami satu “surah Al-Guran” Ungkapan serupa juga diriwayatkan dari Abu Sa’id:

 

  1. Ibnu Umar berkata, “Abu Bakar mengajari kami doa tasyahud di atas mimbar, seperti kalian mengajari anak-anak di madrasah.”

 

  1. “Umar bin Khathab juga mengajarkan doa ini di atas mimbar”

 

Maksudnya, tak satu pun dari tasyahud tersebut yang mengandung perintah agar mereka bershalawat untuk Nabi. Ibnu Abdilbar berkata dalam At-Tamhid XVI/191-192, “Hujah orang yang berpendapat bahwa shalawat untuk Nabi tidak wajib dalam shalat adalah:

 

  1. Hadits Hasan bin Hur dari Qasim bin Mukhaimarah yang menuturkan, Al-qamah meraih tanganku lalu berkata, sesungguhnya Abdullah (bin Masud) meraih tanganku dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah meraih tanganku seperti aku meraih tanganmu, lalu beliau mengajariku doa tasyahud..” ia menyebutkan hadits ini sampai kalimat, “..Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,” Ia berkata, “Apabila engkau telah mengucapkan ini engkau sudah menyelesaikan shalat. Jika engkau ingin berdiri, berdirilah dan jika engkau ingin duduk, duduklah.”?

 

Mereka berkata, “Hadits ini mengandung bukti akan benarnya pendapat orang yang memandang shalawat untuk Nabi dalam tasyahud tidak wajib dan tidak pula sunah yang dicontohkan. Serta orang yang selesai mengucapkan doa tasyahud shalatnya telah usai. Jika mau ia boleh berdiri atau boleh tetap duduk.”

 

Mereka berargumen, “Seandainya shalawat itu wajib atau sunah dalam tasyahud tentunya Rasulullah menjelaskan dan menyebutkannya.

 

Mereka berkata, “Abu Daud (hadits no. 617), Tirmidzi (hadits no. 408), dan Thahawi’? telah meriwayatkan hadits Abdullah bin Amru, ia menuturkan,

 

Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila (orang yang shalat) telah mengangkat kepalanya dari sujud terakhir maka shalatnya telah usai apabila ia berhadats.”

 

Redaksi ini sesuai riwayat Thahawi. Sementara menurut kalian (orang yang mewajibkan shalawat), shalatnya belum usai sampai ia bershalawat untuk Nabi. Mereka juga berkata, “Ashim bin Dhamrah telah meriwayatkan dari Ali, Apabila (orang yang shalat) duduk selama membaca tasyahud kemudian berhadats maka shalatnya telah selesai.” Termasuk dalil mereka adalah hadits A’masy dari Abu Wail dari Ibnu Masud tentang tasyahud, ia berkata:

 

  1. “Lantas, hendaknya ia memilih ucapan yang ia inginkan.”

 

Maksudnya, ia tidak menyebutkan shalawat untuk Nabi (setelah tasyahud). N Di antara hujah mereka yang lain adalah hadits Fadhalah bin Ubaid :

 

 

  1. Rasulullah mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya tanpa memuji Allah dan bershalawat untuk Nabi. Nabi pun bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.” Beliau memanggilnya lalu bersabda kepadanya atau selainnya,

 

“Apabila salah seorang kalian shalat (lalu mau berdoa) hendaknya ia memulai dengan memuji Rabb dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat untuk Nabi Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian baru berdoa sesuai yang ia inginkan.”

 

“Mereka mengatakan, “Dalam hadits Fadhalah ini Nabi tidak memerintahkan orang shalat yang telah melewatkan bacaan shalawat untuk Nabi mengulangi shalatnya. Sebab seandainya shalawat itu wajib dalam shalat, pasti beliau memerintahnya mengulang shalat, sebagaimana beliau memerintahkan orang yang tidak rukuk dan sujud secara sempurna supaya mengulangi shalatnya.

 

Mereka juga berdalih, Nabi tidak mengajarkan shalawat ini pada orang yang shalat dengan buruk (dalam hadits yang terkenal). Seandainya shalawat termasuk kewajiban shalat yang shalat tidak sah kecuali dengan keberadaannya, tentunya beliau mengajarkan pada orang itu sebagaimana beliau mengajarinya membaca, rukuk, sujud, dan tumakninah dalam shalat.

 

Mereka juga beralasan bahwa kewajiban-kewajiban itu ditetapkan berdasarkan dalil shahih tanpa ada penentangnya yang berkekuatan setara, atau berdasarkan ijmak (kesepakatan) orang-orang yang ijmaknya dapat dijadikan hujah.

 

Demikian sebagian besar hujah dan alasan kelompok yang menafikan kewajiban shalawat dalam shalat.

 

Sementara sekelompok lain membantah hujah-hujah tersebut, baik secara periwayatan maupun penggunaan sebagai dalil (istidlal). Kelompok ini berkata, “Tudingan kalian pada Syafi’i dan yang sependapat dengannya dalam permasalahan bahwa mereka telah menyimpang dan menyalahi ijmak itu tidak benar. Sebab pendapatnya ini telah dinyatakan sekelompok sahabat Nabi dan generasi setelah mereka. Di antaranya, Abdullah bin Mas’ud. Ia memandang shalawat dalam shalat wajib. Ia mengatakan:

 

  1. “Tidak (sah) shalat orang yang tidak bershalawat untuk Nabi.”

 

Demikian disebutkan Ibnu Abdilbar dari Abdullah bin Mas’ud dalam AtTamhid, ulama selainnya juga meriwayatkan atsar ini.

 

Kemudian Abu Masud Al-Badri. Utsman bin Abu Syaibah dan lainnya meriwayatkan dari Syarik dari Jabir Al-Jufi dari Abu Jafar Muhammad bin Ali dari Abu Mas’ud mengatakan:

 

  1. “Aku tak menganggap shalatku telah sempurna sebelum aku bershalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.”

 

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam pada beliau dan keluarga beliau.

 

Kemudian Abdullah bin Umar sebagaimana disebutkan Hasan bin Syabib AlMa’mari. “Telah bercerita pada kami Ali bin Maimun, bercerita pada kami Khalid bin Hiban dari Jafar bin Burgan dari Uqbah  bin Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata:

 

  1. “Tidak ada shalat kecuali dengan bacaan, tasyahud, dan shalawat untuk Nabi. Jika engkau lupa sesuatu darinya lakukan sujud (sahwi) dua kali setelah salam.”

 

Ia berkata, “Menceritakan pada kami Utsman bin Abu Syaibah menceritakan pada kami Syarik, dari Abu Jafar berkata, Abu Mas’ud Al-Badri mengatakan:

 

  1. “Aku tidak menganggap satu shalatku telah sempurna sementara aku tidak bershalawat untuk Muhammad di dalamnya.”

 

Dari generasi tabi’in adalah Abu Jafar bin Ali, Sya’bi, dan Muqatil bin Hayan.

 

Dari tokoh-tokoh madzhab yang diikuti adalah Ishaq bin Rahawaih. Ia berkata, “Jika orang yang shalat meninggalkan shalawat secara sengaja, shalatnya tidak sah dan jika ia meninggalkannya karena lalai, aku berharap shalatnya mencukupi (sah)”

 

Aku berkata, “Tentang masalah ini ada dua riwayat dari Ishaq. Keduanya disebutkan Harb dalam Masa’il-nya. Ia mengatakan, “Bab bershalawat untuk Nabi setelah tasyahud” Ia melanjutkan, “Aku bertanya pada Ishaq, Bagaimana bila seseorang selesai tasyahud lalu tidak bershalawat untuk Nabi” Ia menjawab,, “Aku mengatakan shalatnya sah. Sedang Syafi’i mengatakan shalatnya tidak sah.”

 

Kemudian ia berkata, “Aku berpendapat sesuai hadits Hasan bin Hur dari Qasim bin Mukhaimarah” Lalu ia menyebutkan hadits Ibnu Masud Harb berkata, “Aku pernah mendengar Abu Yagub -maksudnya Ishaq mengatakan, “Apabila seseorang selesai dari membaca tasyahud sebagai imam atau makmum, hendaklah ia bershalawat untuk Nabi. Tidak mencukupinya selain hal itu. Berdasarkan ucapan para sahabat Nabi :

 

  1. “Kami telah mengetahui ucapan salam kepada Anda – maksudnya dalam tasyahud dan salam di dalamnya -, lalu bagaimana cara bershalawat?” Lantas Allah menurunkan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi…” (Al-Ahzab (33):56). Nabi pun menjelaskan cara bersholawat tersebut. Riwayat paling pendek dari Nabi tentang sholawat mencakupinya, silahkan ia mengucapkannya setelah tasyahud. Tasyahud dan sholawat untuk Nabi saat duduk terakhir adalah dua amal yang setara, tak seorangpun boleh meninggalkan salah satunya secara sengaja. Namun jika ia lupa kami berharap shalatnya sah. Meskipun Sebagian ulama Hijaz mengatakan, “Tanpa sholawat untuk Nabi shalatnya tidak sah. Jika ia meninggalkannya ia harus mengulang shalat”.

 

Selesai perkataannya.

 

Imam Ahmad ada berbeda-beda periwayatan darinya.” Dalam Masulul Marwazi disebutkan, “Ditanyakan pada Abu Abdillah, Sesungguhnya Ibnu Rahawaih mengatakan seandainya seseorang meninggalkan shalawat untuk Nabi dalam tasyahud, apakah shalatnya batal?” Imam Ahmad berkata, “Aku tak berani mengatakan seperti ini,” Di kesempatan lain ia mengatakan, “Ini pendapat menyimpang”

 

Dalam Masa’ilu Abi Zurah Ad-Dimasygi disebutkan, Ahmad berkata, “Dulu aku takut mengatakan seperti itu. Kemudian aku meneliti, ternyata shalawat untuk Nabi (dalam shalat) itu wajib” Secara eksplisit, Inam Ahmad mencabut pendapatnya yang pertama bahwa shalawat tidak wajib.”

 

Mengenai ucapan kalian bahwa dalil ketidakwajiban shalawat adalah praktik amaliah para salafush shalih sebelum Syafi’i dan kesepakatan mereka atas hal itu, jawabnya, mungkin kalian berdalil dengan perbuatan orang-orang dalam shalat mereka atau dengan pendapat ahlu ijmak bahwa shalawat tidak wajib (dalam shalat). Jika berdalilnya dengan perbuatan justru itu hujah kami yang paling kuat atas kalian. Pasalnya, amal kaum muslimin dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, selalu mempraktikkan shalawat untuk Nabi di akhir tasyahud. Baik imam, makmum, orang yang shalat sendiri, yang shalat wajib, maupun yang shalat sunah. Hingga seandainya setiap orang yang shalat ditanya “apakah engkau bershalawat untuk Nabi, dipastikan ia menjawab, “ya. Hingga seandainya imam salam tanpa bershalawat untuk Nabi dan para makmum mengetahuinya pasti mereka mengingkari perbuatannya itu. Ini satu perkara yang tak dapat dipungkiri. Jadi praktik amaliah shalawat dalam shalat menjadi hujah paling kuat yang melawan pendapat kalian. Lalu bagaimana kalian bisa mengatakan, “Perbuatan salafush shalih sebelum Syafi’i menolak kewajiban shalawat? Apakah Anda melihat seluruh generasi salafush shalih, tak seorang pun dari mereka bershalawat untuk Nabi dalam shalat? Jelas ini kebatilan yang paling batil.

 

Jika kalian juga berdalil dengan pendapat ahlu ijmak bahwa shalawat tidak wajib, selain tidak dapat diistilahkan perbuatan yang tidak dikerjakan ahlu ijmak, hal ini juga tak lebih dari sekadar madzhab Malik dan Abu Hanifah serta para pengikut keduanya. Dan maksimal merupakan pendapat banyak tokoh dari kalangan ahluilmi. Namun dalam masalah ini mereka ditentang pihak lain dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para pionir madzhab, seperti telah diungkapkan. Ibnu Masud, Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Badri, Sya’bi, Muqatil bin Hayan, Jafar bin Muhammad, Ishaq bin Rahawaih, dan Imam ahmad  dalam pendapat terakhir dari dua pendapatnya mewajibkan bershalawat untuk Nabi dalam tasyahud. Dapatkah dikatakan sebagai kesepakatan kaum muslimin sementara para ulama ini berpendapat lain? Bisakah disebut amal salafush shalih sedang sosok-sosok ini adalah tokoh-tokoh utama mereka? Tapi, demikianlah keadaan orang yang tidak menyelidiki dengan saksama dan tidak mengetahui kasus-kasus kesepakatan dan perbedaan pendapat.”

 

Tentang ucapannya, “Dan orang-orang sangat mencela Syafii akibat masalah itu.” Duh, Maha suci Allah! Celaan apa yang patut dilemparkan pada Syafi’i terkait masalah ini? Padahal pendapatnya tak lebih dari keindahan-keindahan madzhabnya. Apakah orang yang mencela Syafi’i hanya karena perkara seperti ini tidak malu terhadap masalah-masalah yang celanya sangat ketara, diketahui oleh orang yang mengetahuinya, seperti masalah-masalah yang bertentangan dengan nash, menyelisihi ijmak yang telah terbentuk, qiyas, atau maslahat yang kuat? Apabila permasalah-permasalahan ini didata pasti mencapai jumlah ratusan. Namun mencari-cari masalah yang dinilai tercela bukan kebiasaan orang berilmu sehingga mereka perlu diteladani dalam membilang dan menghitungnya. Orang yang berpikir obyektif akan melawan hawa nafsunya sendiri. Kitab, sunnah, atau ijmak manakah yang menyelisihi Syafi’i terkait masalah shalawat ini? Hanya karena ia mengatakan satu pendapat yang dituntut dalil-dalil dan dibuktikan kebenarannya. Yakni shalawat termasuk kesempurnaan shalat tanpa perlu diperdebatkan.

 

Tentang apakah shalawat termasuk penyempurna kewajiban-kewajiban shalat atau kesempurnaan hal-hal yang dimustahabkan dalam shalat, Syafi’i berpendapat bahwa shalawat termasuk kesempurnaan kewajiban-kewajiban shalat berdasarkan dalil-dalil yang akan kami sebutkan nanti. Jadi tak ada ijmak yang ia rusak dan tidak ada nash yang ia tentang. Lantas, dari sisi mana ia dicela? Tiadalah celaan ini kecuali lebih layak dan lebih pantas dialamatkan pada orang yang mencelanya.

 

Sedang perkataannya, “Tasyahud Ibnu Masud yang notabenenya dipilih Syaf’i dan yang diajarkan Nabi padanya… dan seterusnya.”

 

Memang demikian yang saya lihat dalam naskah,” “(Tasyahud) yang dipilih Syafii…” Namun sesungguhnya Syafi’i memilih tasyahud Ibnu Abbas. Sedangkan tasyahud Ibnu Masud dipilih Abu Hanifah dan Ahmad. Keduanya memilih tasyahud ini. Sementara Malik memilih tasyahud Umar.

 

Secara global, jawaban argumen ini dari beberapa sisi:

 

* Kami berkata sesuai tuntutan dalil ini. Konsekuensi dalil ini adalah wajibnya tasyahud (dalam shalat) tanpa menafikan kewajiban lainnya. Sebab tak seorang pun mengatakan bahwa tasyahud ini adalah seluruh dzikir yang wajib diucapkan dalam duduk akhir” Maka mewajibkan shalawat untuk Nabi berlandaskan dalil Jain tidak berlawanan, dengan tidak diajarkannya shalawat tersebut oleh beliau dalam hadits-hadits tasyahud.

 

* Kalian mewajibkan salam untuk keluar dari shalat, sementara Nabi tidak mengajarkannya dalam hadits-hadits tasyahud. Jika kalian beralibi, kami mewajibkan salam berdasarkan sabda beliau,

 

  1. “Pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” Lantas dikatakan pada kalian, “Kami juga mewajibkan shalawat untuk Nabi berdasarkan dalil-dalil yang menuntutnya. Jika pengajaran doa tasyahud semata menghalangi wajibnya shalawat untuk Nabi berarti juga menghalangi wajibnya salam. Jika tidak menghalanginya maka juga tidak menghalangi wajibnya shalawat.

 

* Sebagaimana Nabi mengajari para sahabat doa tasyahud, beliau juga mengajari mereka shalawat untuk beliau. Lalu bagaimana pengajaran tasyahud menunjukkan kewajibannya sementara pengajaran shalawat tidak menunjukkan kewajibannya?

 

Jika kalian mengatakan, “Tasyahud yang Nabi ajarkan pada mereka adalah tasyahud shalat. Karenanya beliau mengucapkan di dalamnya:

 

  1. “Apabila salah seorang dari kalian telah duduk hendaknya ia mengucapkan, attahiyyatu lillah…. Sedangkan shalawat yang beliau ajarkan bersifat umum.

 

Kami jawab, “Shalawat yang beliau ajarkan pada mereka juga berlaku dalam shalat berdasarkan dua alasan. Pertama, hadits Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dan bunyi pertanyaannya, “Bagaimana kami bershalawat untuk Anda apabila kami telah duduk dalam shalat kami?” Hadits ini telah disebutkan”? di bab pertama. Kedua, shalawat yang mereka minta pada Nabi untuk mengajarkannya, seperti ucapan salam yang telah diajarkan. Sebab mereka mengatakan:

 

  1. “Ucapan salam pada Anda kami telah mengetahuinya, lalu bagaimanakah cara bershalawat untuk Anda?”

 

Telah sama-sama diketahui, salam yang sudah diajarkan ini adalah ucapan mereka dalam shalat, “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah tercurah padamu wahai Nabi.” Sehingga shalawat yang disandingkan dengannya juga harus berada dalam shalat. Akan ada penjelasan lebih lengkap tentang masalah ini, insya Allah.

 

* Bila diasumsikan bahwa hadits-hadits tasyahud meniadakan kewajiban bershalawat untuk Nabi tentunya hadits-hadits kewajibannya harus lebih diprioritaskan. Sebab peniadaan ini berdasarkan kaidah istishhabul baraatil ashliyyah (pemberlakuan hukum asal akan ketiadaan kewajiban dalam masalah ibadah), sementara kewajibannya mengubah hukum asal ini. Dan dalil yang mengubah hukum itu lebih diutamakan dari dalil peniadaan (sebagai hukum asal). Apalagi tak ada kontradiksi antara keduanya. Sebab, apa yang kalian sebutkan tentang pengajaran tasyahud maksimal merupakan dalil-dalil yang tidak membicarakan kewajiban lainnya. Dan dalil yang tidak membahas kewajiban sesuatu itu tidak bertentangan dengan dalil yang mengungkapkan kewajibannya. Apalagi lebih diutamakan darinya.

 

* Pengajaran tasyahud pada para sahabat terjadi lebih dulu, bahkan boleh jadi sejak shalat diwajibkan. Sedangkan pengajaran shalawat untuk Nabi baru terjadi setelah turunnya firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat untuk Nabi…” (Al-Ahzab (33): 56).

 

Diketahui, ayat ini turun dalam peristiwa Perang Ahzab setelah Nabi menikahi Zainab binti Jahsy dan setelah beliau memberi opsi pada istri-istri beliau (antara tetap memilih Allah dan Rasul-Nya atau kemewahan duniawi).

 

Jadi ayat ini turun pasca pengajaran tasyahud. Andai diasumsikan pewajiban tasyahud adalah meniadakan kewajiban shalawat untuk Nabi (dalam shalat) maka hukum ini mansukh (dihapus) oleh dalil-dalil pewajiban shalawat, mengingat dalil-dalil ini datang belakangan.

 

Perbedaan alasan kelima dan keempat adalah alasan kelima menuntut didahulukannnya dalil-dalil pewajiban shalawat karena muncul belakangan, sedang alasan keempat menuntut didahulukannya dalil-dalil tersebut karena menghapus hukum al-bardatul ashliyyah, tanpa melihat mana yang lebih dulu dan mana yang muncul terakhir. Di antara bukti yang mengindikasikan bahwa perintah shalawat datang belakangan dibanding perintah tasyahud adalah ucapan mereka:

 

  1. “Tentang ucapan salam pada Anda kami telah mengetahuinya, namun bagaimana cara bershalawat untuk Anda?”

 

Telah maklum, ucapan salam pada Nabi bergandengan dengan penyebutan tasyahud, tidak disyariatkan diucapkan sendiri dalam shalat tanpa menyebut tasyahud. Wallahu a’lam.

 

Ucapannya (Ibnu Abdilbar), “Di antara hujah orang yang berpendapat bahwa shalawat untuk Nabi tidak wajib dalam shalat adalah hadits Hasan bin Hur dari Qasim bin Mukhaimarah.” Lalu ia membawakan hadits Ibnu Masud yang di dalamnya disebutkan:

 

  1. “Apabila engkau telah mengucapkan hal itu engkau sudah menyelesaikan shalat. Jika engkau ingin berdiri, berdirilah dan jika engkau ingin duduk, duduklah.” Ibnu Masud tidak menyebutkan shalawat untuk Nabi Jawabannya sebagai berikut:

 

* Tambahan ini -yakni kalimat, apabila engkau telah mengucapkan hal itu…dimudrajkan (dimasukkan, disisipkan) dalam hadits, bukan termasuk sabda Nabi. Hal ini telah dijelaskan para ulama terkemuka. Daruquthni berkata dalam Al-Tlal (V/hadits no. 766), “..dan hadits ini diriwayatkan Hasan bin Hur dari Qasim bin Mukhaimarah dari Alqamah dari Abdullah. Dari Hasan bin Hur, hadits ini diceritakan oleh Muhammad bin Ajlan,” Husain Al-Jufi, Zuhair bin Muawiyah dan Abdurahman bin Tsabit bin Tsauban.

 

Ibnu Ajlan dan Husain Al-Jufi meriwayatkan redaksi yang sama. Sedang Zuhair menambahkan di akhir hadits ini satu ucapan yang dimudrajkan dalam hadits Nabi oleh sebagian orang yang meriwayatkan dari Zuhair. Yakni ucapan, “Apabila engkau sudah menyelesaikan ini atau telah melakukan ini, sungguh engkau telah menyelesaikan shalatmu. Jika engkau ingin bangkit, bangkitlah” Tambahan ini juga diriwayatkan Syababah bin Siwar dari Zuhair, namun ia memisahkannya dari sabda Nabi. Ia mengatakan, “Dari Zuhair, Ibnu Mas’ud berkata…” Demikian pula diriwayatkan Ibnu Tsauban dari Hasan bin Hur, ia menjelaskannya dan memisahkan sabda Nabi dari ucapan Ibnu Mas’ud. Inilah yang benar. Daruquthni dalam Kitab As-Sunan (I/353), setelah menyebutkan hadits Zuhair dari Hasan bin Hur serta menyebutkan tambahan di atas, ia berkata, “Sebagian rawi yang meriwayatkan dari Zuhair memasukkan tambahan ini dalam hadits dan menyambungnya dengan sabda Nabi. Namun dalam riwayatnya dari Zuhair, Syababah telah memisahkan tambahan tersebut dan menjadikannya sebagai ucapan Ibnu Masud. Perkataan Syababah ini lebih tepat dibanding perkataan rawi yang memasukkan tambahan itu dalam hadits Nabi. Sebab Ibnu Tsauban meriwayatkannya dari Hasan bin Hur seperti itu juga dan ia menjadikan bagian akhir hadits itu berasal dari ucapan Ibnu Mas’ud. Karena Husain Al-Jufi, Ibnu Ajlan, dan Muhammad bin Aban, dalam riwayat mereka dari Hasan bin Hur, juga sepakat meninggalkan penyebutan tambahan itu di akhir hadits, ditambah kesepakatan setiap orang yang meriwayatkan hadits tasyahud dari Alqamah dan lainnya dari Ibnu Mas’ud atas tidak adanya tambahan tersebut.”

 

Kemudian Daruquthni membawakan riwayat Syababah dan pemisahannya antara ucapan Abdullah bin Masud dan hadits Nabi. Ia berkata, “Syababah rawi tsiqah (tepercaya), dan riwayatnya lebih shahih dibanding riwayat orang yang memasukkan bagian akhir hadits ini di antara sabda Nabi. Ia telah dimutabaah Ghasan bin Rabi dan lainnya. Mereka meriwayatkannya dari Ibnu Tsauban dari Hasan bin Hur seperti itu dan menjadikan bagian akhir hadits sebagai ucapan Ibnu Masud, ia tidak memarfukkannya pada Nabi”

 

Abu Bakar Al-Khathib menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Fashlu lil Washl” ia berkata, “(Yang benar) adalah ucapan rawi yang memisahkan sabda Nabi dari ucapan Ibnu Mas’ud dan menjelaskan bahwa yang benar tambahan ini mudraj.”

 

Jika dikatakan, “Kalian meriwayatkan dari Ibnu Masud ag bahwa shalawat untuk Nabi wajib dalam shalat. Sementara bukti yang mendukung kalian bahwa tambahan dalam hadits di atas adalah ucapan Ibnu Masud membantah apa yang kalian riwayatkan tersebut. Jika tambahan tersebut bagian dari sabda Nabi itu merupakan nash (ungkapan tegas) ketidakwajiban shalawat dalam shalat. Dan jika berasal dari ucapan Ibnu Masud, berarti menggugurkan apa yang kalian riwayatkan darinya.”

 

Ini argumen yang kuat. Namun dapat dijawab dengan beberapa poin berikut:

 

* Qadhi Abu Thayib berkata, “Perkataan ‘apabila engkau telah mengucapkan doa ini sungguh engkau telah menyelesaikan shalatmu, maksudnya shalat hampir selesai. Dalilnya, kesepakatan kita bahwa shalat tersebut belum usai. Jawaban ini lemah, sebab selanjutnya Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika engkau mau bangkit, bangkitlah dan jika engkau mau tetap duduk, duduklah” Sedang menurut mereka yang mewajibkan shalawat untuk Nabi, orang yang shalat tidak diberi pilihan antara bangkit dan duduk sampai ia mengucapkan shalawat. (Artinya, ia wajib duduk hingga menyelesaikan shalawat untuk Nabi).

 

* Hadits ini muncul guna menjelaskan tasyahud. Demikian, karena sebelumnya para sahabat mengucapkan dalam shalat, “Semoga keselamatan terlimpah pada Allah..” Lantas dikatakan pada mereka, “Sesungguhnya Allah adalah As-Salam (Maha Memberi keselamatan), tetapi ucapkanlah…” Nabi mengajari mereka doa tasyahud. Sedang ucapan Ibnu Mas’ud, “Apabila engkau telah mengucapkan doa tersebut sungguh shalatmu sudah selesai” maksudnya, bila digabung dengan hal-hal yang wajib dikerjakan dalam shalat seperti rukuk, sujud, membaca, salam, dan hukum-hukum lainnya. Bukankah Anda melihat, ia tidak menyebutkan salam dari shalat padahal termasuk di antara kewajibannya? Sebab ia telah memberitahukan hal tersebut pada mereka maka tak perlu diulangi lagi. Mereka mengatakan, “Persis seperti hadits Ibnu Masud ini adalah sabda Nabi tentang sedekah:

 

  1. “Sesungguhnya sedekah (baca: zakat mal) diambil dari kaum kaya mereka lalu diberikan pada kaum fakir di antara mereka.” Maksudnya, kaum fakir dan orang-orang yang dikelompokkan dengan mereka dan disebutkan bersama mereka dalam Al-Quran yang berjumlah 8 golongan. Mereka berkata lagi, “Dan yang seperti hadits tersebut adalah sabda Nabi dalam hadits al-musi’u shalatahu (orang yang mengerjakan shalat dengan buruk):

 

  1. “Kembalilah, lalu shalatlah lagi. Sesungguhnya engkau belum shalat?” Kemudian beliau memerintahnya mengerjakan apa yang beliau lihat belum mengerjakannya atau belum menegakkannya dalam shalat. Lantas beliau bersabda, “Apabila engkau berdiri hendak shalat….”? (Dalam hadits ini beliau tak menyinggung tasyahud dan salam).

 

Namun ada dalil yang valid dari selain hadits ini, tentang kewajiban tasyahud dan kewajiban mengucapkan salam pada Nabi sesuai yang beliau ajarkan pada mereka seperti beliau mengajari mereka surah Al-Quran, dan beliau memberitahu mereka bahwa tasyahud dan salam tersebut diucapkan dalam shalat. Terdapat dalil yang valid juga dari selain hadits ini seputar salam bahwa hanya dengan salam inilah cara selesai dari shalat. Demikian pula kewajiban shalawat dalam shalat diambil dari selain hadits Ibnu Masud di atas.

 

Mereka berkata, “Sebagaimana dibolehkan bagi orang yang menganggap tasyahud itu wajib berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud ini serta membantah yang berpendapat lain seraya berkata, “Apabila orang yang shalat duduk selama membaca tasyahud shalatnya telah selesai meskipun ia belum mengucapkan doa tasyahud, juga membantah orang yang mengatakan, “Apabila orang yang shalat mengangkat kepalanya dari sujud terakhir, shalatnya telah sempurna: Ibnu Masud mengaitkan kesempurnaan shalat dalam haditsnya dengan tasyahud. Maka boleh pula bagi orang yang mewajibkan shalawat untuk Nabi berhujah dengan hadits-hadits yang mewajibkan shalawat. Kekuatan hujah tersebut atas orang yang meniadakan kewajibannya seperti kuatnya hujah hadits Ibnu Masud atas orang yang meniadakan kewajiban tasyahud dan kewajiban duduk untuk tasyahud”

 

Mereka berkata lagi, “Cara berdalil kami lebih kuat dibanding cara berdalil kalian. Alasannya, kami berdalil dengan kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, dan praktik amaliah umat ini dari generasi ke generasi. Bila cara berdalil ini tidak lebih kuat dibanding cara berdalil atas wajibnya tasyahud, minimal tidak lebih lemah. Meskipun ada sebagian fukaha yang membantah kami dalam masalah ini. Mereka seperti fukaha yang membantah kalian dalam masalah wajibnya tasyahud. Hujah itu ada pada dalil, di mana pun dan bersama siapa pun.”

 

* Tak seorang pun dari kelompok lain yang menentang kami dapat beralasan dengan atsar di atas, baik yang diriwayatkan secara marfu maupun mauquf. Sebab dapat dikatakan pada orang yang berhujah dengannya, “Perkataan apabila engkau telah mengucapkan doa ini berarti shalatmu telah selesai,” tak lepas dari dua kemungkinan, yakni hanya mengucapkan doa tersebut atau ditambah dengan kewajiban lainnya. Kemungkinan pertama tak masuk akal dan batil. Sedang kemungkinan kedua benar. Namun itu tidak menafikan kewajiban lain yang diperdebatkan para fukaha dari kewajiban-kewajiban shalat. Apalagi meniadakan kewajiban shalawat untuk Nabi. Karenanya, ucapan salam pada Nabi termasuk kesempurnaan dan kewajiban shalat menurut Imam Malik. Demikian pula duduk untuk membaca tasyahud, meskipun Nabi tidak menyebutkannya.”! Demikian pula jika orang yang shalat lalai melakukan satu kewajiban shalat maka shalatnya tidak sempurna kecuali dengan melakukan sujud Sahwi, padahal Nabi tidak menyebutkannya. Hal ini diperjelas dengan jawaban berikutnya.

 

* Menurut Abu Hanifah, tasyahud tidak wajib. Bahkan apabila orang yang shalat duduk selama bacaan tasyahud shalatnya sudah sempurna, baik ja telah membaca tasyahud atau tidak. Sementara hadits di atas menjadi dalil ketidaksempurnaan shalat kecuali dengan tasyahud. Jika cara berdalil kalian -bahwa Nabi mengaitkan kesempurnaan shalat dengan tasyahud sehingga tidak wajib membaca shalawat setelahnyabenar, justru menjadi hujah yang melawan kalian perihal pendapat tidak wajibnya tasyahud. Pasalnya, Nabi mengaitkan kesempurnaan shalat dengan tasyahud. Maka gugurlah pendapat kalian akan ketidakwajiban tasyahud. Apabila cara berdalil kalian itu tidak benar berarti juga tidak bertentangan dengan dalil-dalil kewajiban shalawat dan batallah pendapat kalian yang menafikan kewajiban shalawat untuk Nabi. Jadi pendapat kalian gugur berdasarkan dua asumsi ini.

 

Jika kalian mengatakan, “Kami menjawab asumsi ini dengan perkataan “apabila engkau mengucapkan doa ini sungguh shalatmu telah sempurna maksudnya kesempurnaan istihbab (sekadar dianjurkan), sedang kesempurnaan wajib telah selesai dengan duduk akhir,”

 

Dijawab, “Jawaban ini tidak sinkron dengan pendapat kelompok yang menafikan kewajiban shalawat maupun pendapat kelompok yang mewajibkannya. Sebab mereka yang menafikan kewajiban shalawat sepakat bahwa kesempurnaan istihbab bergantung pada shalawat dan shalat tidak sempurna secara mustahab kecuali dengan shalawat. Sedang mereka yang mewajibkannya mengatakan, “Shalat tidak sempurna secara wajib kecuali dengan shalawat.” Jadi dengan dua asumsi ini kalian sama sekali tidak bisa berdalil dengan hadits di atas.

 

Ucapannya, “Abu Daud (hadits no. 617) dan Tirmidzi (hadits no. 408) telah meriwayatkan hadits Abdullah bin Amru, di mana disebutkan di dalamnya:

 

  1. “Apabila (orang yang shalat) telah mengangkat kepalanya dari sujud terakhir maka shalatnya telah usai.”

 

Jawabannya dari beberapa sisi:

 

1) Hadits ini ma’lul (cacat). Penjelasan cacatnya dari beberapa sisi

 

2) Tirmidzi mengatakan, “Sanadnya tidak kuat dan ulama hadits bimbang terkait sanadnya.”

 

3) Hadits ini berasal dari riwayat Abdurahman bin Ziyad bin An’um Al-lfriqi. Ia telah dilemahkan oleh lebih dari satu ulama hadits.

 

4) Hadits ini berasal dari riwayat Bakar bin Sawadah’ dari Abdullah bin Amru. Padahal Bakar tidak bertemu Abdullah. Jadi hadits ini mungathi’.

 

5) Sanadnya goncang, sebagaimana diungkapkan Tirmidzi.

 

6) Matannya juga goncang.

 

Dalam satu riwayat disebutkan:

 

  1. “Apabila orang yang shalat mengangkat kepalanya dari sujud maka shalatnya telah selesai.”

 

Sedang redaksi riwayat Abu Daud (hadits no. 617) dan Tirmidzi (hadits no. 408), tidak seperti ini. Tetapi berbunyi:

 

  1. “Apabila seseorang berhadats sementara ia telah duduk di akhir shalat sebelum salam maka shalatnya telah sah.”

 

Ini bukan redaksi riwayat Thahawi. Thahawi juga meriwayatkan hadits ini? dengan redaksi lain. Yakni:

 

  1. “Apabila imam (hampir) selesai shalat, ia duduk, lalu ia atau salah seorang yang mengikuti shalatnya berhadats sebelum imam salam, shalatnya telah sempurna. Ia tak perlu mengulanginya.”

 

Maksud redaksi ini berbeda dengan redaksi pertama. Thahawi mengatakan,’? “Hadits ini telah diriwayatkan dengan redaksi lain:

 

  1. “Apabila orang yang shalat mengangkat kepalanya di akhir shalat dan ia telah menyelesaikan tasyahud, lantas berhadats, shalatnya telah sempurna.

 

Semua riwayat ini permasalahannya pada Ifriqi. Besar kemungkinan kegoncangan matan ini akibat keburukan hafalannya. Wallahu a’lam.”

 

Ucapannya, “Ali berkata:

 

  1. “Apabila (orang yang shalat) duduk selama kira-kira cukup untuk membaca tasyahud maka shalatnya telah selesai.”

 

Jawabannya, Ali bin Sa’id berkata dalam Masa’il-nya, “Aku bertanya pada Ahmad bin Hanbal tentang orang yang tidak membaca tasyahud. Ia menjawab, Ta harus mengulang shalatnya. Aku berkata, “Lalu bagaimana dengan hadits Ali yang berbunyi:

 

  1. “Siapa duduk selama kira-kira cukup untuk membaca tasyahud ….”

 

Ia menjawab, “Hadits itu tidak shahih. Telah diriwayatkan dari Nabi hadits yang menyelisihi hadits Ali dan Abdullah bin Amru.”

 

Ucapannya, A’masy telah meriwayatkan dari Abu Wail dari Abdullah bin Mas’ud tentang kisah tasyahud, dalam hadits ini Nabi bersabda:

 

  1. “Hendaknya ia memilih ucapan yang ia inginkan.”

 

Beliau tidak menyebutkan shalawat (setelah tasyahud).

 

Jawabannya, maksimal hadits ini tidak menyinggung kewajiban shalawat sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang mewajibkannya. Sebagaimana telah dijelaskan.

 

Perkataannya, “Hadits Fadhalah bin Ubaid menunjukkan ketidakwajiban shalawat dalam shalat.”

 

Jawabannya, Justru hadits Fadhalah tersebut hujah kami dalam masalah ini, sebab Nabi memerintahnya bershalawat untuk beliau dalam tasyahud. Perintah beliau ini berarti wajib, karena serupa dengan perintah beliau untuk membaca tasyahud. Bilamana keduanya sama-sama diperintahkan maka membedakan hukum di antara keduanya adalah tindakan sewenang-wenang.

 

Jika kalian berkata, “Menurut kami tasyahud juga tidak wajib.” Kami menjawab, “Berarti hadits tersebut menjadi hujjah kami atas kalian dalam dua masalah itu. Dan yang wajib dilakukan adalah mengikuti dalil

 

Perkataannya, “Nabi tidak memerintahkan orang yang shalat ini (yang ketika berdoa tidak mengucapkan shalawat) mengulangi shalat. Seandainya shalawat untuk Nabi wajib, pasti beliau memerintahnya mengulangi shalat, sebagaimana beliau pernah memerintahkan pada orang yang shalat dengan buruk.”

 

Jawabannya dari beberapa sisi:

 

» Orang yang tidak bershalawat tersebut tidak mengetahui kewajibannya, sehingga ia meninggalkan shalawat karena meyakininya tidak wajib. Oleh karena itu, Rasulullah tidak memerintahnya mengulang shalat dan memerintahnya agar mengucapkanshalawat dalam shalat-shalat berikutnya. Perintah beliau agar orang itu mengucapkan shalawat di shalat-shalat berikutnya adalah dalil kewajiban shalawat. Sedang beliau tidak memerintahnya mengulang shalat menjadi dalil bahwa orang yang tidak tahu kewajiban itu dimaafkan. Sebagaimana Nabi tidak memerintahkan orang yang shalat dengan buruk supaya mengulang shalat-shalatnya yang lalu, padahal ia telah memberitahu beliau bahwa ia tidak bisa melaksanakan shalat lebih baik dari yang dikerjakannya. Ini sebagai bentuk maaf atas ketidaktahuannya.

 

Jika dikatakan, “Lalu mengapa Nabi memerintahkan orang yang shalat dengan buruk tersebut mengulang shalatnya (yang disaksikan beliau) dan beliau tidak memaafkan ketidaktahuannya terkait hal itu?”

 

Kami jawab, “Sebab waktu penunaiannya masih ada dan ia telah mengetahui rukun-rukun shalat. Maka ia wajib melaksanakan rukun-rukun tersebut.”

 

Jika dikatakan, “Mengapa beliau tidak memerintahkan orang yang tidak bershalawat untuk beliau supaya mengulangi shalatnya (setelah diberi tahu), sebagaimana beliau memerintahkan orang yang shalat dengan buruk?”

 

Kami jawab, “Perintah Nabi agar bershalawat untuk beliau adalah sesuatu yang muhkam (dapat dipaham dan tidak menimbulkan multitafsir) serta jelas berarti wajib. Maka mungkin saja setelah mendengar perintah Nabi orang itu bersegera mengulangi shalat tanpa diperintah Nabi. Mungkin pula shalat tersebut sunah sehingga tidak wajib diulangi. Dan masih ada kemungkinan lain. Jadi tidak boleh meninggalkan maksud nyata dari suatu perintah (yang berarti wajib) -ditambah, ia merupakan dalil yang muhkamlantaran sesuatu yang samar dan bersifat kemungkinan ini. Allah jua yang lebih mengetahui”

 

Jadi hadits Fadhalah bisa jadi sama-sama menunjukkan wajib dan tidaknya shalawat dengan tingkatan yang sama sehingga kalian tidak bisa berhujah dengannya. Atau bisa jadi lebih kuat mendukung alasan kami sebagaimana kami ungkapkan, sehingga kalian juga tidak bisa berhujah dengannya. Dengan dua asumsi ini gugurlah alasan kalian dengan hadits tersebut atas ketidakwajiban shalawat dalam shalat.

 

Perkataannya, “Nabi tidak mengajarkan shalawat pada orang yang shalat dengan buruk. Seandainya shalawat itu wajib pasti beliau sudah mengajarkannya. Jawabannya dari beberapa sisi:

 

  1. Hadits orang yang shalat dengan buruk itu oleh orang-orang generasi akhir dijadikan sebagai landasan dalam menafikan segala hal yang mereka tidak anggap wajib. Mereka membebani hadits itu di atas kemampuannya dan mereka terlalu memaksakan menafikan kewajiban perkara-perkara yang masih diperselisihkan dengan dasar hadits ini. Sehingga orang yang tidak mewajibkan membaca Al-Fatihah beralasan dengan hadits ini, orang yang tidak mewajibkan tasyahud beralasan dengan hadits ini, orang yang tidak mewajibkan salam beralasan dengan hadits ini, orang yang tidak mewajibkan shalawat untuk Nabi beralasan dengan hadits ini, orang yang tidak mewajibkan dzikirdzikir rukuk dan sujud serta dua iktidal (yakni iktidal setelah rukuk dan sujud pertama) beralasan dengan hadits ini, serta orang yang tidak mewajibkan takbirtakbir perpindahan beralasan dengan hadits ini. Semua ini merupakan sikap terlalu menyederhanakan masalah dan bebas dalam berdalil. Pasalnya, hasil penelitian menunjukkan hadits tersebut tidak meniadakan kewajiban satu pun dari perkara-perkara itu. Tetapi maksimal, hadits itu hanya tidak membicarakan wajib atau tidaknya perkara-perkara di atas. Jadi pewajibannya berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkannya dan tak dapat dipertentangkan dengan hadits al-musiu shaliatahu.

 

Jika dikatakan, “Diam Nabi dari memerintahkan sesuatu yang tidak beliau perintahkan menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak wajib. Sebab hadits ini dalam konteks menjelaskan dan menunda penjelasan dari waktu diperlukan, disepakati tidak boleh”

 

Jawabannya, “Seorang pun tidak mungkin menjadikan dalil dengan maksud ini. Sebab ia juga harus mengatakan, tasyahud tidak wajib, duduk tasyahud, salam, niat, membaca Al-Fatihah dan segala sesutu yang tidak disebutkan dalam hadits ini juga tidak wajib. Dan kesimpulannya, menghadap kiblat tidak wajib, shalat tepat pada waktunya juga tidak wajib, sebab Nabi tidak memerintahkan kedua hal ini pada orang itu. Jelas tak seorang pun mengatakan seperti ini.” Jika kalian mengatakan, “Beliau hanya mengajarinya sesuatu yang ia kerjakan dengan buruk, sementara ia tidak mengerjakan dengan buruk hal-hal tersebut di atas”

 

Dijawab, “Kalau begitu terimalah jawaban ini dari orang-orang yang menentang kalian terkait segala hal yang kalian katakan tidak wajib berdasarkan hadits almustu shalatahu ini.

 

  1. Bagian-bagian shalat yang diperintahkan Nabi adalah dalil yang secara eksplisit menunjukkan kewajiban, sedangkan tidak diperintahkannya halhal tersebut pada orang yang shalat dengan buruk mengandung beberapa kemungkinan. Di antaranya orang itu tidak mengerjakan dengan buruk bagianbagian shalat itu, perkara itu wajib setelah peristiwa nasihat beliau kepadanya dan beliau mengajarinya sebagian besar rukun-rukun shalat dan sekaligus yang paling penting, serta mengalihkan pengajaran hal-hal lainnya dengan secara langsung menyaksikan shalat beliau atau pengajaran para sahabat. Sebab Nabi biasa memerintahkan mereka saling mengajari. Mereka sudah sarma-sama mengerti bahwa Rasulullah mengizinkan mereka mengajari orang yang tidak tahu dan membimbing orang yang tersesat. Apakah dilarang bila Nabi mengajarinya sebagian kewajiban shalat dan para sahabat mengajarkan sebagian yang lain? Bila ini dimungkinkan terjadi maka ketidakpastian yang global ini tak cukup kuat menentang dalil-dalil kewajiban shalawat untuk Nabi dan kewajiban-kewajiban shalawat lainnya. Apalagi digunakan untuk mengalahkan dalil-dalil itu. Maka yang wajib adalah mendahulukan dalil yang tegas lagi muhkam dibanding dalil yang musytabih (tidak pasti) lagi global. Wallahu a’lam. Perkataannya, “Perkara-perkara yang wajib itu ditetapkan berdasarkan dalil shahih tanpa ada penentangnya yang berkekuatan setara, atau berdasarkan ijmak: Kami jawab, “Sekarang dengarkan dalil-dalil kami atas kewajiban shalawat. Kami memiliki beberapa dalil.

 

>> Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab (33): 56)

 

Penjelasannya, Allah memerintahkan kaum mukminin bershalawat dan mengucapkan salam pada Rasulullah. Sedang perintah Allah yang bersifat mutlak (tanpa pembatasan) berarti wajib, selagi tak ada dalil lain yang menunjukkan sebaliknya.

 

Telah terbukti diriwayatkan para sahabat bertanya pada Nabi tentang cara shalawat yang diperintahkan ini. Lantas beliau bersabda:

 

  1. “Ucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad…”

 

Telah terbukti pula bahwa salam yang telah diajarkan pada para sahabat adalah ucapan salam terhadap Nabi dalam shalat. Yakni ucapan salam dalam doa tasyahud. Jadi sumber dua perintah, dua pengajaran, dan dua tempat ini satu. Jelasnya, Rasulullah mengajari para sahabat doa tasyahud seraya memerintahkan mereka mengucapkannya, dalam doa tasyahud ini terkandung ucapan salam untuk Nabi. Lantas mereka bertanya tentang cara bershalawat untuk beliau, dan beliau mengajarkannya pada mereka. Kemudian beliau menyerupakan shalawat ini dengan ucapan salam yang telah diajarkan pada mereka. Ini menunjukkan, shalawat dan ucapan salam yang disebutkan dalam hadits ini adalah shalawat dan salam dalam shalat. Lebih jelasnya lagi, seandainya maksud shalawat dan salam pada Nabi ini yang diucapkan di luar shalat, bukan di dalamnya, tentunya setiap muslim dari mereka apabila mengucapkan salam pada Nabi ia berkata, “Semoga keselamatan terlimpah padamu wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkahNya,” Telah diketahui, para sahabat tidak membatasi ucapan salam terhadap Nabi dengan redaksi salam ini. Bahkan, siapa dari mereka yang menemui Nabi ia mengucapkan, “Assalamu alaikum”, atau “Assalamu ala Rasulillah”, atau “Assalamu alaika ya Rasulallah” dan ucapan semacamnya. Mereka senantiasa mengucapkan salam pada beliau sejak kelahiran Islam dengan kata penghormatan Islam. Dan yang diajarkan pada mereka ini lebih dari itu, yakni ucapan salam terhadap Nabi di dalam shalat. Uraian ini semakin diperjelas lagi oleh hadits Ibnu Ishaq, para sahabat bertanya:

 

354, “Bagaimana kami bershalawat untuk Anda ketika kami duduk dalam shalat kami?”

 

Redaksi riwayat ini telah dishahihkan sekelompok ulama hadits terkemuka, seperti Ibnu Khuzaimah Ibnu Hiban Hakim Daruquthni serta Baihagi. Dan telah disebutkan di awal kitab ini lengkap dengan cacat-cacat yang dialamatkan padanya serta jawabannya. Bila sudah terbukti bahwa shalawat yang caranya ditanyakan ini adalah shalawat untuk Nabi dalam shalat dan hal itu muncul sebagai penjelasan shalawat yang diperintahkan dalam Al-Quran, terbuktilah bahwa shalawat ini hukumnya wajib. Apalagi Nabi memerintahkannya. Barangkali inilah maksud yang secara implisit diungkapkan Imam Ahmad melalui ucapannya, “Dulu aku takut mengatakannya wajib. Kemudian aku meneliti dan ternyata shalawat itu wajib” Kutipan ucapannya ini telah disebutkan.” Kesimpulan ini dapat disanggah dengan beberapa pertanyaan: Sabda Nabi, “..dan salam seperti yang telah diajarkan pada kalian,” mengandung dua kemungkinan. Pertama, maksudnya ucapan salam pada Nabi dalam shalat. Kedua, ucapan salam keluar dari shalat. Demikian disampaikan Ibnu Abdilbar.?

 

» Penjelasan yang kalian uraikan ini maksimal hanya menunjukkan disebutkannya shalawat dan salam secara bersama-sama. Lalu ditariklah kesimpulan, karena salam wajib dalam tasyahud maka demikian pula shalawat. Namun penyamaan hukum berdasarkan penyebutan secara bersama-sama seperti ini (dalalatul igtiran) lemah.

 

« Kami tidak menerima kewajiban salam dan tidak pula shalawat. Cara berdalil kalian ini hanya bisa dilakukan setelah pendapat wajibnya mengucapkan salam terhadap Nabi diterima.

 

Jawabannya sebagai berikut: Sanggahan pertama sangat tidak tepat. Sebab hadits tersebut mengandung sesuatu yang menggugurkannya. Yakni para sahabat mengatakan,

 

  1. “Salam kepada Anda wahai Rasulullah, kami telah mengetahuinya. Lalu bagaimanakah shalawat untuk Anda?”

 

Redaksi Bukhari dalam hadits Abu Sa’id 

 

Sesungguhnya mereka juga bertanya pada Nabi tentang bunyi shalawat dan salam yang diperintahkan dalam ayat, bukan tentang cara salam selesai shalat. Adapun sanggahan kedua, ini sanggahan orang yang tidak paham arah penjelasan dalil. Kami tidak beralasan dengan dalalatul igtiran (penyebutan shalawat dan salam secara bersama-sama). Tetapi kami berdalil dengan diperintahkannya kedua hal tersebut dalam Al-Quran, dan kami menjelaskan bahwa shalawat yang mereka minta Nabi mengajarkannya adalah shalawat yang diucapkan dalam shalat.

 

Sedang sanggahan ketiga benar-benar sangat kacau. Pasalnya, dalil-dalil dari Al-Quran dan sunnah tidak dapat disanggah dengan pendapat lain pihak yang berbeda. Masuk akalkah bila pendapat kalian yang berbeda terkait satu masalah yang dalilnya berpihak pada lawan, kalian mampu membatalkan dalil shahih yang tak ada penentangnya dalam masalah lain?

 

Ini jelas bertolak belakang dengan metode ahluilmi. Sesungguhnya dalillah yang menggugurkan pendapat-pendapat yang menyelisihinya dan digunakan menyanggah orang yang menolak konsekuensinya. Sehingga dalil-dalil dimenangkan atas setiap pendapat yang melawannya. Bukan malah pendapat mujtahid yang dikonfrontasikan dengan dalil, mampu menggugurkan konsekuensi hukumnya dan lebih diutamakan daripada dalil.

 

Dalil di atas menjadi hujah yang melawan kalian dalam kedua permasalahan ini. Sebab hadits riwayat Ibnu Ishaq tersebut adalah dalil wajibnya ucapan salam dan shalawat untuk Nabi. Sehingga harus kembali padanya.

 

  1. Nabi mengucapkan shalawat tersebut dalam tasyahud dan beliau memerintahkan kita menunaikan shalat persis seperti shalat beliau. Ini mengindikasikan wajibnya melakukan apa yang beliau kerjakan dalam shalat kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Alasan ini terbagi dua langkah.

 

Langkah pertama, penjelasannya adalah riwayat Syafi’i dalam Musnad-nya dari Ibrahim bin Muhammad, bercerita padaku Sa’ad bin Ishaq dari Abdurahman bin Abi Laila dari Kaab bin Ujrah dari Nabi, beliau biasa mengucapkan dalam shalat:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim, serta limpahkan berkah pada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”

 

Hadits ini, meskipun dalam sanadnya ada Ibrahim bin Yahya, tetapi ia telah ditsigahkan sekelompok ulama, di antaranya Syafi’i ats, Ibnu Ashbihan, Ibnu Adiy dan Ibnu Uqdah. Sedang yang lain mendhaifkannya. Langkah kedua, penjelasannya adalah riwayat Bukhari dalam Shahih-nya (II/ hadits no. 631, X/hadits no. 6008) dari Malik bin Huwairits yang menuturkan:

 

  1. Kami datang pada Nabi sedang kami adalah pemuda-pemuda yang sebaya. Lalu kami tinggal di sisi beliau selama 20 malam. Beliau menduga kami telah rindu pada keluarga dan beliau bertanya pada kami tentang orang yang kami percaya untuk mengurusi keluarga kami. Maka kami pun memberitahu beliau.

 

Nabi adalah sosok yang lemah lembut lagi penyayang. Beliau bersabda,

 

“Pulanglah kepada keluarga kalian. Ajari mereka, perintah mereka, dan shalatlah seperti kalian melihatku shalat. Apabila waktu shalat tiba hendaknya salah seorang kalian adzan dan hendaknya yang paling tua di antara kalian menjadi imam.

 

Cara berdalil ini bisa dikritisi dengan beberapa pertanyaan dan sanggahan yang telah disebutkan di tempat lain.

 

  1. Hadits Fadhalah bin Ubaid. Nabi berkata kepadanya atau kepada orang lain:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian shalat, hendaknya ia memulai dengan memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian bershalawat untuk Nabi. Selanjutnya silakan ia berdoa sesuai keinginannya.”

 

Hadits ini telah dibawakan. Diriwayatkan Imam Ahmad, (VI/18) dan para penulis kitab Sunan, serta dishahihkan Ibnu Khuzaimah (hadits no. 709), Ibnu Hiban (V/hadits no. 1960), dan Hakim (I/230).

 

Dalil ini dikritisi dengan beberapa sanggahan.

 

» Nabi tidak memerintahkan orang ini (yakni orang yang berdoa dalam shalat tanpa memuji Allah dan bershalawat untuk Nabi &-) mengulangi shalat. Dan jawabannya telah diungkapkan.

 

» Doaini dilakukan setelah shalat selesai, bukan di dalamnya, dengan dalil riwayat Tirmidzi dalam Jami-nya, (hadits no. 2476), dari hadits Rusydin tentang hadits ini:

 

  1. Manakala Rasulullah tengah duduk, tiba-tiba seseorang masuk (masjid) lalu shalat. Lalu ia mengucapkan, “Ya Allah ampuni aku dan rahmati aku” Rasulullah pun bersabda, “Wahai orang yang shalat, apabila engkau shalat lalu engkau duduk, pujilah Allah dengan sesuai yang pantas Dia sandang dan bershalawatlah untukku, kemudian berdoalah.” Jawaban sanggahan kedua ini dari beberapa sisi:

 

» Rusydin telah didhaifkan Abu Zurah?! dan lainnya. Sehingga tidak bisa menjadi hujah bila meriwayatkan seorang diri. Apalagi jika menyelisihi riwayat rawi-rawi tepercaya dan kokoh. Sebab setiap yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, “Nabi mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya.”

 

» Rusydin tidak berkata dalam haditsnya bahwa orang ini berdoa setelah selesai shalat. Redaksi kalirnatnya pun tidak menunjukkan hal tersebut. Ia hanya mengungkapkan, “..lalu shalat. Lalu ia mengucapkan, Ya Allah, ampuni aku.”

 

Kalimat ini tidak menunjukkan orang dalam hadits tersebut mengucapkan doa setelah usai dari shalat. Hadits itu sendiri menjadi buktinya. Sebab Nabi bersabda, “Apabila salah seorang kalian shalat hendaknya ia memulai dengan memuji Allah.” Sama-sama diketahui maksud beliau bukan setelah selesai shalat, tetapi masuk dalam shalat. Apalagi mayoritas doa Nabi dilakukan dalam shalat, bukan setelahnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah, Ali, Abu Musa, Aisyah, Ibnu Abbas, Hudzaifah, Amar, dan lainnya?? . Tak satu pun dari mereka menceritakan Nabi berdoa setelah shalat dalam satu hadits shahih. Dan ketika Abu Bakar Ash-Shidig meminta pada beliau suatu doa yang dapat ia ucapkan dalam shalat, beliau tidak bersabda padanya “berdoalah dengannya di luar shalat. Beliau pun tidak bersabda pada orang yang berdoa ini, “Berdoalah dengannya setelah salammu dari shalat” Apalagi orang yang shalat itu tengah bermunajat pada Rabb, menghadap pada-Nya, sehingga doanya pada Rabb dalam keadaan ini lebih tepat dibanding doanya setelah selesai dari munajat kepada-Nya.

 

 Sabda Nabi “Lalu pujilah Allah dengan apa yang patut Dia sandang” maksudnya tasyahud saat duduk. Karenanya beliau bersabda, “Apabila engkau shalat, lalu engkau duduk” yakni dalam tasyahudmu. Jadi beliau memerintahkan orang itu memuji Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat untuk rasul-Nya.

 

  1. Waktu yang Nabi memerintahkan orang itu bershalawat dan berdoa setelah memuji Allah tidak ditentukan. Tetapi mengapa kalian mengatakan waktu tersebut adalah setelah doa tasyahud? Jawabannya, dalam shalat tak ada satu tempat yang disyariatkan menyanjung Allah, kemudian bershalawat untuk Rasulullah, selanjutnya berdoa selain dalam tasyahud di penghujung shalat. Sebab telah disepakati, hal-hal ini tidak disyariatkan ketika berdiri, rukuk maupun sujud. Jadi diketahui bahwa beliau hanya memaksudkannya di akhir shalat, tepatnya saat duduk tasyahud.

 

  1. Nabi memerintahkan orang itu berdoa setelah bershalawat untuk beliau. Hukum doa tidak wajib, demikian pula shalawat untuk Nabi.

 

Jawabnya: pertama, tidak mustahil beliau memerintahkan dua perkara, lalu dalil menunjukkan ketidakwajiban salah satu dari keduanya. Sementara yang lain tetap pada prinsip kewajiban (sebagai pengertian dasar perintah).

 

Kedua, pujian dan sanjungan yang disebutkan ini wajib diucapkan sebelum berdoa kerena merupakan doa tasyahud dan Nabi telah memerintahkannya serta memberitahukan pada para sahabat bahwa doa itu wajib. Perintah doa yang disebutkan beriringan dengannya ini tidak menggugurkan status kewajiban doa tasyahud, demikian juga tidak menggugurkan kewajiban shalawat untuk Nabi.

 

Ketiga, ucapan kalian ‘doa itu tidak wajib’ adalah batil. Pasalnya ada doa yang wajib, yakni doa taubat dan memohon ampun dari dosa, doa memohon hidayah, maaf, serta lainnya. Telah diriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Siapa tidak meminta pada Allah, Dia memurkainya.”

 

Kemurkaan tidak ditimpakan kecuali karena meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman.

 

  1. Seandainya shalawat untuk Nabi wajib dalam shalat beliau tidak menunda penjelasannya hingga waktu ini, yakni sampai beliau melihat seseorang tidak mengerjakannya, baru beliau memerintahnya. Dan tentunya pengetahuan kewajibannya telah didapat sebelum munculnya peristiwa dalam hadits ini. Jawabannya, kamitidak mengatakan bahwashalawat tidak wajib atas umat kecuali berdasarkan hadits ini. Tetapi orang yang shalat ini telah meninggalkannya lalu Nabi memerintahnya melakukan sesuatu yang telah tetap dan diketahui termasuk syariat beliau. Hadits ini seperti hadits orang yang shalat dengan buruk. Kewajiban rukuk, sujud, dan tumakninah atas umat tidak disimpulkan dari hadits tersebut dan tidak pula dari penangguhan penjelasan Nabi terkait hal itu hingga waktu shalat orang Arab desa ini. Beliau hanya memerintahnya mengerjakan shalat sesuai yang telah beliau syariatkan pada umat sebelum peristiwa tersebut.

 

  1. Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dalam hadits ini, yakni hadits Fadhalah, “Lantas beliau bersabda kepadanya atau kepada selainnya.” Menggunakan kata au (atau). Seandainya shalawat ini wajib atas setiap mukallaf, tentunya sabda beliau tidak hanya ditujukan pada orang yang berdoa itu atau selainnya. Sanggahan ini tidak benar dari beberapa sisi:

 

« Riwayat shahih yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hiban berbunyi, “Maka beliau berkata kepadanya dan kepada selainnya” Menggunakan huruf wawu (baca, wa, dan). Seperti ini pula diriwayatkan Ahmad Daruquthni Baihagi dan lainnya.

 

« Kata au di sini tidak berfungsi takhyir (memberi pilihan), tetapi tagsim (membagi). Maksudnya, siapa pun yang shalat hendaknya ia mengucapkan hal tersebut, baik orang ini maupun lainnya. Penggunaan av ini seperti firman Allah, “..dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa atau orang yang kafir di antara mereka” (Al-Insan (76):24) maksudnya bukan memberi pilihan. Tapi, artinya siapa pun dari keduanya jangan engkau ikuti, baik orang pendosa ini maupun orang kafir itu.

 

« Hadits (orang yang berdoa ini) jelas berlaku umum berdasarkan sabda beliau, “Apabila salah seorang kalian shalat hendaknya ia mulai dengan memuji Allah…”

 

« Dalam riwayat Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah disebutkan, “Kemudian Rasulullah mengajari mereka…” Ini bersifat umum.

 

Tiga hadits yang masing-masing tak cukup kuat dijadikan hujah ketika sendiri, namun saling menguatkan ketika disatukan. Hadits pertama diriwayatkan Daruquthni (1/355), dari hadits Amru bin Syamir dari Jabir, yakni Al-Jufi, dari Ibnu Buraidah dari ayahnya mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Wahai Buraidah, bila engkau shalat dalam shalatmu jangan sampai engkau meninggalkan tasyahud dan shalawat untukku. Sebab itu zakat shalat. Dan ucapkan salam pada seluruh nabi dan rasul-Nya. Ucapkan salam pula pada hamba-hamba Allah yang shalih.”

 

Hadits kedua juga diriwayatkan Daruquthni (I/355), dari jalan Amru bin Syamir dari Jabir berkata, Sya’bi berkata, Aku mendengar Masruq bin Ajda’ menuturkan, Aisyah berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Allah tidak menerima suatu shalat kecuali dengan bersuci dan shalawat untukku.”

 

Akan tetapi Amru bin Syamir dan Jabir, hadits keduanya tidak bisa dijadikan hujah. Jabir lebih baik dari Amru.

 

Hadits ketiga diriwayatkan Daruquthni (I/355), dari hadits Abdulmuhaimin bin Abbas bin Sahl bin Saad, dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Tidak (sah) shalat orang yang tidak bershalawat untuk Nabinya.”

 

Diriwayatkan Daruquthni (VI/hadits no. 5699), dari hadits Ubay bin Abbas dari ayahnya dari kakeknya.

 

Abdulmuhaimin bukan rawi yang bisa dipakai hujah. Sedang Ubay, saudaranya -kendati ia seorang rawi tsiqah yang dipakai hujah Bukharinamun hadits ini dikenal dari riwayat Abdulmuhaimin. Thabrani juga meriwayatkannya, (VI/ hadits no. 5698, 5699), dengan dua jalan periwayatan ini. Namun tidak terbukti shahih.

 

  1. Kewajiban shalawat telah terbukti diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Abu Mas’ud Al-Anshari . Telah diungkapkan dan tidak diceritakan dari salah seorang sahabat bahwa ia mengucapkan shalawat tidak wajib. Pendapat seorang sahabat apabila tidak bertentangan dengan pendapat sahabat lain adalah hujah. Apalagi menurut prinsip penduduk Madinah dan Irak.

 

  1. Hal ini (shalawat dalam shalat) senantiasa dilakukan manusia sejak zaman Nabi hingga sekarang. Seandainya shalawat untuk Nabi tidak wajib, umat di seluruh penjuru dan masa tidak akan sepakat mengucapkannya dalam tasyahud dan menghindari melalaikannya. Muqatil bin Hayan dalam Tafsir-nya tentang firman Allah, “..yang mendirikan shalat…” (Al-Ma’idah (5): 55) berkata, “Mendirikan shalat berarti senantiasa menjaganya, waktu-waktunya, berdirinya, rukuk, sujud, dan tasyahudnya serta shalawat untuk Nabi dalam tasyahud akhir.”

 

Imam Ahmad mengatakan, “Manusia dalam masalah tafsir mengikuti Muqatil.”

 

Mereka berkata, “Bershalawat untuk Nabi dalam shalat di antara manifestasi penegakannya yang diperintahkan, sehingga menjadi wajib” Orang-orang yang berpendapat seperti ini berdalih dengan analogi-analogi yang tidak perlu disebutkan.

 

Mereka berkata, “Kemudian kami katakan pada para penentang kami bahwa di antara kalian ada yang mewajibkan beberapa hal dalam shalat dengan dalil yang tingkat kekuatannya di bawah dalil-dalil kewajiban bershalawat ini. Contohnya Abu Hanifah yang berpendapat shalat Witir wajib.?” Padahal dalil-dalil kewajibannya jauh di bawah dalil-dalil kewajiban shalawat untuk Nabi. Ia juga mewajibkan wudhu pada orang yang tertawa terbahak-bahak dalam shalatnya berdasarkan sebuah hadits mursa yang kekuatannya tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil kami dalam masalah ini. Ia juga mewajibkan wudhu karena muntah, mimisan, bekam, dan semacamnya berdasarkan dalil-dalil yang tak dapat disetarakan dengan dalildalil kami dalam permasalahan ini.

 

Kemudian, Malik mengatakan, “Sesungguhnya ada perkara-perkara dalam shalat yang statusnya antara wajib dan mustahab.” Perkara-perkara itu tidak wajib namun setingkat lebih tinggi dari mustahab yang oleh kawan-kawannya diistilahkan dengan sunah. Seperti membaca satu surah selain Al-Fatihah, takbir-takbir perpindahan, duduk pertama (di antara dua sujud), mengeraskan atau melirihkan bacaan, Mereka mewajibkan sujud Sahwi karena meninggalkan perkara-perkara ini sesuai penjelasan rinci mereka.

 

Sementara Ahmad menyebut perkara-perkara ini dengan istilah wajib dan ia mewajibkan sujud sahwi karena meninggalkannya.”

 

Pewajiban shalawat untuk Nabi dalam shalat jika tidak lebih kuat dibanding pewajiban perkara-perkara seperti ini, juga tidak lebih lemah.

 

Demikian hujah-hujah kedua kelompok dalam permasalahan ini.

 

Intinya, celaan orang pada Syafi’i terkait masalah ini sangat keliru. Sebuah masalah yang didukung dalil-dalil dan atsar-atsar seperti ini, logiskah bila orang yang berpendapat seperti itu dicela Wallahu alam.

 

Tempat Kedua: Saat Tasyahud Awal.

 

Perkara ini diperselisihkan. Syafi’i ats dalam Al-Umm mengatakan, “(Orang yang shalat) bershalawat untuk Nabi dalam tasyahud awal.” Ini yang masyhur dari madzhabnya dan merupakan madzhab barunya. Akan tetapi hal ini hanya mustahab (anjuran), dan tidak wajib. Sedang dalam madzhab lama ia mengatakan, “Tidak lebih dari tasyahud.” Ini riwayat Muzani darinya. Pendapat kedua inilah yang dikatakan Ahmad, Abu Hanifah, dan Malik serta selain mereka.

 

Pendapat Syafi’i ini didukung riwayat Daruquthni (I/351), dari hadits Musa bin Ubaidah dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar berkata:

 

  1. Rasulullah mengajari kami tasyahud, “Kehormatan-kehormatan, kebaikankebaikan, (amal-amal) baik milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah pada kami dan pada para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad hamba dan Rasul-Nya.” Kemudian bershalawat untuk Nabi

 

Daruquthni (I/355), juga meriwayatkan hadits Amru bin Syamir dari Jabir dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya ms berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Wahai Buraidah, apabila engkau duduk dalam shalatmu jangan sekali-kali engkau meninggalkan shalawat untukku. Karena itu zakat shalat.”

 

Hadits ini telah disebutkan.”

 

Mereka berkata, “Ini meliputi duduk tasyahud awal dan akhir”

 

Pendapat ini juga didukungalasan bahwa Allah memerintahkan kaum mukminin mengucapkan shalawat dan salam terhadap Rasulullah. Itu menunjukkan di mana ucapan salam pada Rasulullah disyariatkan di situ juga disyariatkan shalawat untuk beliau. Karenanya, para sahabat bertanya tentang cara shalawat untuk beliau. Mereka berkata, “Kami sudah tahu bagaimana mengucapkan salam pada Anda, lalu bagaimana kami bershalawat untuk Anda?” Ini menunjukkan shalawat untuk Nabi digandengkan dengan ucapan salam pada beliau. Telah sama-sama diketahui orang yang shalat mengucapkan salam pada Nabi maka ia juga disyariatkan bershalawat untuk beliau.

 

Mereka berkata, “Pula karena tasyahud awal adalah tempat di mana doa tasyahud dan salam terhadap Nabi disyariatkan sehingga shalawat untuk beliau juga disyariatkan di dalamnya, seperti tasyahud akhir”

 

Mereka juga mengatakan, “Karena tasyahud awal adalah satu tempat yang dianjurkan menyebut Rasulullah di dalamnya sehingga dianjurkan pula bershalawat untuk beliau, mengingat shalawat merupakan media paling sempurna untuk menyebut beliau.”

 

Mereka berkata lagi, “Karena dalam hadits Muhammad bin Ishaq disebutkan:

 

  1. “Bagaimana kami bershalawat untuk Anda apabila kami duduk dalam shalat kami?”

 

Sedang kelompok lain mengatakan, “Tasyahud awal bukan tempat untuk mengucapkan shalawat” Ini pendapat lama di antara dua pendapat Syafi’i ats, dan pendapat inilah yang dibenarkan kebanyakan sahabatnya. Alasannya, karena tasyahud awal disyariatkan diperingan atau dipercepat.

 

  1. “Nabi apabila duduk tasyahud awal seolah-olah beliau duduk di atas batu-batu yang dipanaskan”?

 

Dan tidak terbukti shahih diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau membaca shalawat dalam tasyahud awal ini, beliau tidak mengajarkannya pada umat, serta tidak diketahui ada seorang sahabat pun yang menganjurkannya. Dan seandainya ada pensyariatan hal tersebut, seperti yang kalian katakan, tentunya shalawat itu wajib di tempat ini sebagaimana dalam tasyahud akhir, mengingat keduanya samasama diperintahkan. Seandainya shalawat dianjurkan di tempat ini tentunya juga dianjurkan bershalawat untuk keluarga beliau, sebab Nabi tidak memberikan perintah bershalawat untuk diri beliau saja tanpa keluarga beliau. Tetapi beliau memerintahkan memohonkan shalawat untuk beliau dan keluarga beliau baik dalam shalat maupun lainnya. Juga, seandainya shalawat di tasyahud awal ini disyariatkan berarti disyariatkan pula menyebut Ibrahim dan keluarga Ibrahim, karena itu bentuk shalawat yang diperintahkan. Seandainya shalawat disyariatkan di tempat ini berarti disyariatkan pula berdoa setelahnya mengacu pada hadits Fadhalah yang tidak membedakan antara tasyahud awal dan akhir.

 

Mereka berkata mengkritisi dalil pendapat pertama, “Hadits-hadits yang kalian jadikan dalil, selain dha’if akibat keberadaan Musa bin Ubaidillah, Amru bin Syamir, dan Jabir Al-Ju’fi, hadits-hadits itu pun tidak menunjuk pada pendapat kalian. Sebab maksud tasyahud dalam hadits-hadits itu adalah tasyahud akhir, bukan awal, berdasarkan dalil-dalil yang telah kami paparkan” Mereka menambahkan, “Ini jawaban untuk setiap dalil yang kalian sebutkan” Wallahu a’lam.

 

Tempat Ketiga: Akhir Doa Qunut

 

Shalawat diakhir gunut dimustahabkan Syafi’i dan yang sependapat dengannya. Untuk mendukung pandangannya ini ia berhujah dengan hadits yang diriwayatkan Nasai (III/248), dari Muhammad bin Salamah, bercerita pada kami Ibnu Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Musa bin Uqbah  dari Abdullah bin Ali dari Hasay bin Ali menuturkan:

 

  1. Rasulullah mengajariku kata-kata berikut (untuk aku ucapkan) dalam shalat Witir. Beliau bersabda, “Ucapkan, Ya Allah tunjuki aku di antara orang yang engkau beri petunjuk, berkahilah untukku dalam apa yang Engkau berikan, urusi aku di antara orang yang Engkau urus, jaga diriku dari keburukan yang Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ditetapkan atas-Mu. Sesungguhnya tidaklah hina orang yang Engkau tolong. Mahaberkah Engkau wahai Rabb kami dan Maha luhur. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat untuk Nabi.”

 

Sejatinya doa ini diucapkan dalam gunut shalat Witir. Dikutip dalam gunut shalat Subuh karena digiaskan saja, sebagaimana inti doa ini juga dikutip dalam gunut shalat Subuh.

 

  1. Hadits ini juga diriwayatkan Abu Ishaq dari Buraid dari Abu Haura’ mengatakan, Hasan bin Ali berkata, “Rasulullah mengajariku untaian kata-kata yang aku ucapkan dalam shalat Witir….”

 

Namun ia tidak menyebutkan shalawat di dalamnya.

 

Doa ini dianjurkan diucapkan dalam gunut witir Ramadhan. Ibnu Wahb berkata, “Mengabariku Yunus dari Ibnu Syihab berkata, mengabariku Urwah bin Zubair bahwa Abdurahman bin Abdulgari -di masa kekhalifahan Umar ia bersama Abdullah bin Argam ditugaskan sebagai penjaga Baitulmal-, berkata:

 

  1. “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Umar keluar rumah. Turut pergi bersamanya Abdurahman bin Abdilgari. Lalu Umar melihat-lihat masjid sedang orang-orang terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri dan ada pula yang shalat lalu diikuti.sekelompok orang di belakangnya. Umar berucap, “Demi Allah, aku berpikir sekiranya aku mengumpulkan mereka pada satu gari (imam) tentu lebih baik” Kemudian Umar bertekad melaksanakan ide tersebut. Dan ia memerintahkan Ubay memimpin mereka shalat di bulan Ramadhan. Lalu (di malam yang lain) Umar keluar rumah sedang orang-orang shalat mengikuti imam mereka. Ia berkata, “Sebaik-baik bidah adalah ini, namun orang-orang yang tidur lebih baik dari orang yang shalat.” -maksudnya, mereka bangun di akhir malam untuk shalat. Sebab orangorang ini shalat di awal malam-. Abdurahman berkata, “Mereka mendoakan keburukan bagi orang-orang kafir di paroh (kedua bulan Ramadhan), dengan mengucapkan, Ya Allah, laknatlah orang-orang kafir yang menghalangi jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu, dan tidak beriman pada janji-Mu. Cerai-beraikanlah kesatuan mereka, timpakan ketakutan di hati mereka, dan timpakan hukuman serta adzab-Mu pada mereka, wahai Ilah kebenaran. Kemudian mengucapkan shalawat untuk Nabi, selanjutnya mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin semampunya, dan memohonkan ampun untuk kaum mukminin. Ketika selesai melaknat orang-orang kafir, bershalawat untuk Nabi, memohonkan ampun untuk kaum mukminin dan mukminat, serta meminta pada Allah, imam biasa mengucapkan, “Ya Allah, hanya pada-Mu kami menyembah, hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud, hanya pada-Mu kami berusaha dan beramal, kami mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu. Sesungguhnya adzab-Mu yang terjadi tiba-tiba pasti menimpa orang yang memusuhi-Mu.” Kemudian ia bertakbir dan bersujud.

 

  1. Ismail bin Ishaq mengatakan, “ Bercerita pada kami Muhammad bin Mutsana, bercerita pada kami Muadz bin Hisyam, bercerita padaku ayahku dari Gatadah dari Abdullah bin Harits bahwa Abu Halimah, yakni Mu’adz, mengucapkan shalawat untuk Nabi dalam gunut.

 

Tempat Keempat: Saat Shalat Jenazah Setelah Takbir Kedua

 

Tak ada perbedaan pendapat terkait disyariatkannya shalawat dalam shalat Jenazah. Namun masih diperselisihkan tentang ketergantungan keabsahan shalat ini pada keberadaannya. Syafi’i dan Ahmad dalam pendapat yang masyhur dari madzhab keduanya mengatakan bahwa shalawat wajib diucapkan dalam shalat Jenazah, shalat tidak sah kecuali dengan keberadaannya. Pendapat ini diriwayatkan Baihagi IV/40, dari Ubadah bin Shamit dan sahabat lainnya. Sedang Malik dan Abu Hanifah?? mengatakan, shalawat dalam shalat jenazah berstatus hukum mustahab, tidak wajib. Ini merupakan satu pendapat di kalangan para pengikut Syafi’i.

 

Dalil pensyariatan shalawat dalam shalat Jenazah adalah hadits yang diriwayatkan Syafi’i dalam Musnad-nya VI/265, “Mengabarkan pada kami Mutharif bin Mazin dari Ma’mar dari Zuhri berkata, mengabarkan padaku Abu Umamah bin Sahl bahwa seseorang dari sahabat Nabi mengabarinya:

 

  1. “Sunnah dalam shalat Jenazah adalah imam bertakbir kemudian membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama dengan suara lirih, kemudian bershalawat untuk Nabi dan mengkhususkan doa untuk jenazah dalam takbir-takbir berikutnya. Ia tidak membaca suatu (ayat Al-Quran) dalam takbir-takbir itu. Kemudian salam dengan suara lirih.”

 

Ismail bin Ishaq dalam kitab Ash-Shalitu alan Nabi (hadits no. 94), mengatakan, bercerita pada kami Muhammad bin Mutsana, bercerita pada kami Abu Ala, bercerita pada kami Ma’mar dari Zuhri berkata, aku mendengar Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bercerita pada Sa’id bin Musayib, ia berkata:

 

  1. “Sesungguhnya sunnah dalam shalat jenazah adalah (orang yang shalat) membaca Al-Fatihah dan bershalawat untuk Nabi, kemudian mengkhususkan doa untuk jenazah sampai ia selesai. Ia tidak membaca kecuali satu kali (yakni surah Al-Fatihah setelah takbir pertama). Kemudian salam dengan suara lirih.”

 

Abu Umamah, seorang sahabat yang lebih muda, ia telah meriwayatkan hadits ini dari sahabat lain seperti diungkapkan Syafi’i.

 

Penulis kitab Al-Mughni (II/370), berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menyalatkan satu jenazah di Mekah. Ia bertakbir, kemudian membaca dan mengeraskan suara, ia bershalawat untuk Nabi, kemudian mendoakan jenazah tersebut dengan kebaikan. Selanjutnya ia selesai, dan berkata:

 

  1. “Demikianlah seharusnya shalat Jenazah”

 

Dalam Muwatha’ Yahya bin Bukair, disebutkan, telah bercerita pada kami Malik bin Anas?” dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Magburi dari ayahnya bahwa ia bertanya Abu Hurairah, bagaimana cara kita menyalatkan jenazah? Abu Hurairah menjawab:

 

  1. Demi Allah, aku akan mengabarimu. Aku mengiringinya dari (rumah) keluarganya. Apabila ia telah diletakkan (di masjid), aku bertakbir, memuji Allah, dan bershalawat untuk Nabi-Nya. Kemudian aku mengucapkan, Ya Allah, sesungguhnya ia hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba perempuan-Mu. Ia telah bersaksi bahwa tiada Ilah selain Engkau dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Mu. Namun Engkau lebih tahu tentangnya. Ya Allah, jika ia telah berbuat baik, lebih berbuat baiklah padanya dan jika ia berlaku buruk, maafkanlah keburukan-keburukannya. Ya Allah, jangan halangi kami mendapat pahala karenanya dan jangan Engkau uji kami sepeninggalnya.”

 

Abu Dzar Al-Harawi mengatakan: Mengabari kami Abu Hasan bin Abi Sahl As-Sarakhsi, mengabari kami Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Razin, bercerita pada kami Ali bin Khasyram, bercerita pada kami Anas bin Iyadh dari Ismail bin Rafi, dari seseorang berkata, aku mendengar Ibrahim An-Nakha’i mengatakan: Ibnu Masud apabila jenazah didatangkan padanya, ia menghadap ke arah orang banyak dan berkata, “Wahai manusia, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Setiap seratus orang adalah umat. Tidaklah seratus orang berkumpul untuk (menyalatkan) orang yang mati, lalu mereka bersungguh-sungguh dalam mendoakannya, kecuali Allah memaafkan dosa-dosanya karena mereka. Sesungguhnya kalian datang guna memberi syafaat untuk saudara kalian ini maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.” Kemudian ia menghadap kiblat, jika jenazah tersebut laki-laki ia berdiri tepat di tengah-tengahnya dan jika perempuan ia berdiri sejajar dengan pundaknya.

 

Kemudian Ibnu Masud mengucapkan, “Ya Allah, ia hamba-Mu, anak hamba-Mu, Engkau telah menciptakannya, Engkau telah menunjukinya pada Islam, Engkau telah mencabut ruhnya dan Engkau lebih mengetahui (perkaranya) yang rahasia dan yang nyata. Kami datang memberi syafaat untuk-Nya. Ya Allah, kami memohonkan tali perlindungan-Mu untuknya. Sesungguhnya Engkau selalu memenuhi janji dan mengasihi. Lindungi ia dari siksa kubur dan adzab Jahanam. Ya Allah, jika ia telah berbuat baik, lebih berbuat baiklah padanya dan jika ia telah berbuat buruk, maafkan keburukan-keburukannya. Ya Allah, sinari ia di dalam kuburnya dan pertemukan ja dengan nabinya” Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Ia mengucapkan doa ini tiap kali (selepas) takbir. Bila telah bertakbir yang terakhir ia mengucapkan seperti itu, kemudian mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan berkahilah Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat dan berkah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk pendahulu-pendahulu kami. Ya Allah, ampuni kaum muslimin dan muslimah, mukminin dan mukminah, yang masih hidup dari mereka maupun yang telah wafat. Selesai.”

 

Ibrahim berkata, “Ibnu Mas’ud mengajarkan doa ini dalam shalat-shalat jenazah dan di majelis” Ia juga berkata, “Pernah ditanyakan pada Ibnu Mas’ud, apakah Rasulullah berdiri di atas kubur ketika (jenazah) selesai dimakamkan?” Ja menjawab, “Ya, apabila pemakaman selesai beliau berdiri di atas kubur kemudian mengucapkan, Ya Allah, singgah padamu pemilik jenazah ini, ia meninggalkan dunia di belakang punggungnya dan (Engkau) sebaik-baik yang disinggahi. Ya Allah, teguhkan ucapannya kala ditanya dan jangan Engkau uji ia di dalam kubur di atas kemampuannya. Ya Allah, sinari ia di dalam kuburnya dan pertemukan ia dengan nabinya setiap kali beliau disebut,”

 

Bila hal ini telah pasti maka yang dianjurkan adalah mengucapkan shalawat untuk Nabi seperti shalawat dalam tasyahud. Sebab Nabi mengajarkannya pada para sahabat ketika mereka bertanya tentang cara bershalawat untuk beliau. Dalam Masa’ilu Abdillah bin Ahmad, (pertanyaan no. 513), dari ayahnya mengatakan, “(Orang yang melaksanakan shalat Jenazah) memohonkan shalawat untuk Nabi dan shalawat untuk para malaikat yang didekatkan.”

 

Oadhi?” berkata, “Yakni ia mengucapkan, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk para malaikat-Mu yang didekatkan, para nabi dan rasul-Mu, serta orang-orang yang menaatimu dari penduduk langit dan bumi, sesungguhnya Engkau Mahamampu atas segala sesuatu.”

 

Tempat Kelima: Dalam Khutbah?

 

Masih diperselisihkan tentang disyaratkannya shalawat sebagai penentu sah tidaknya khotbah. Syafi’i dan Ahmad berkata dalam pendapat yang masyhur dari madzhab keduanya, “Khutbah tidak sah kecuali disertai shalawat untuk Nabi Sementara Abu Hanifah dan Malik mengatakan, “Khotbah sah walau tanpa shalawat” Ini satu pendapat dalam madzhab Ahmad.

 

Kewajiban shalawat dalam khotbah dilandasi alasan firman Allah, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu? (Al-Insyirah (94): 1-4).

 

Ibnu Abbas berkata menjelaskan ayat ini:

 

  1. “Allah mengangkat penyebutan Nabi. Maka tidaklah Allah disebut kecuali Nabi disebut bersama-Nya.”

 

Namun dalil ini perlu dilihat ulang. Sebab penyebutan Nabi bersama Rabb maksudnya adalah mempersaksikan kerasulan beliau ketika diucapkan kesaksian pada keesaan pengutus beliau, Allah. Secara pasti inilah yang wajib dalam khotbah, bahkan merupakan rukun khotbah yang paling besar. Abu Daud (hadits no. 4841), Ahmad (II/302,343), serta lainnya? meriwayatkan hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Setiap khotbah yang tidak mengandung tasyahud maka seperti al-yadul jadzma”

 

Al-Yadul jadzma’ adalah tangan yang buntung. Jadi siapa mewajibkan shalawat untuk Nabi dalam khotbah dan tidak mewajibkan tasyahud, pendapatnya ini sangat lemah.

 

Yunus meriwayatkan dari Syaiban dari Qatadah tentang firman Allah, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (Al-Insyirah (94): 4), ia berkata:

 

  1. “Allah mengangkat penyebutan beliau di dunia dan akhirat. Tak satu khatib pun, tidak pula orang yang mengucapkan syahadat, dan orang yang shalat kecuali ia memulainya dengan mengucapkan aku bersaksi tiada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah”

 

Abd bin Humaid berkata, mengabariku Amru bin Aun dari Husyaim dari Juwaibir dari Dhahak tentang firman Allah, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (Al-Insyirah (94): 4) ia berkata:

 

  1. “Yakni, apabila Aku disebut engkau disebut bersama-Ku. Tidak sah khotbah dan akad nikah kecuali dengan menyebutmu bersama-Ku.” Abdurazag berkata,?” dari Ibnu Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang firman Allah, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (Al-Insyirah (94): 1) ia berkata:

 

  1. “Aku tidak disebut kecuali engkau disebut bersama-Ku. (Contohnya) dalam adzan diucapkan, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.

 

Inilah maksud ayat tersebut. Bagaimana mungkin ucapan syahadat yang merupakan simpul utama Islam tidak wajib dalam khotbah, padahal tergolong kalimat dalam khotbah yang paling utama, sementara shalawat untuk Nabi wajib diucapkan di dalamnya?

 

Dalil disyariatkannya shalawat untuk Nabi dalam khotbah adalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad: Bercerita pada kami Manshur bin Abu Muzahim, bercerita pada kami Khalid, bercerita padaku Aun bin Abu Juhaifah, ayahku termasuk pengawal Ali ag dan ia berjaga di bawah mimbar. Ia bercerita padaku bahwa suatu kali ia -maksudnya Alinaik mimbar. Lalu ia memuji Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat untuk Nabi. Serta berkata:

 

  1. “Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar. Yang kedua adalah Umar.” Ia juga berkata, “Allah meletakkan kebaikan di mana pun Dia berkehendak.”

 

Muhammad bin Hasan bin Jafar Al-Asadi berkata: Bercerita pada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad Al-Humairi, bercerita pada kami Abdullah bin Sa’id Al-Kindi, bercerita pada kami Humaid bin Abdurahman Ar-Ruasi mengatakan: Aku mendengar ayahku menyebutkan dari Abu Ishaq dari Abu Ahwash dari Abdullah bahwa setelah selesai dari khotbah shalat dan bershalawat untuk Nabi ia mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, cintakan keimanan pada kami, jadikan ia indah dalam hati kami dan buatlah kami benci pada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Merekalah orang-orang yang mengikuti jalan lurus. Ya Allah, berkahilah kami dalam pendengaran kami, penglihatan kami, istri-istri kami, hati kami, dan keturunan kami.“

 

Daruquthni meriwayatkan dari jalan Ibnu Luhai’ah dari Aswad bin Malik AlHadhrami dari Yahya bin Dzakhir dari Yahya bin Han? Al-Mu’firi menuturkan, “Aku dan ayahku naik kendaraan untuk mendatangi shalat Jumat…” Lalu ia menyebutkan sebuah hadits yang di antara isinya adalah:

 

  1. “Lantas Amru bin Ash berdiri di atas mimbar. Ia memuji Allah dan : menyanjungnya dengan kata-kata yang singkat, bershalawat untuk Nabi serta menasihati orang-orang. Ia memerintahkan dan melarang mereka.”

 

Masih tentang masalah ini, ada hadits Dhabah bin Muhshin bahwa Abu Musa apabila berkhotbah ia memuji Allah, menyanjung-Nya, bershalawat untuk Nabi, dan mendoakan Umar. Dhabah mengingkari doa untuk Umar sebelum berdoa untuk Abu Bakar. Ia pun melaporkannya pada Umar. Umar pun berkata pada Dhabah:

 

  1. “Engkau lebih tepat dan lebih benar darinya.”

 

Ini menunjukkan, shalawat untuk Nabi dalam khotbah-khotbah merupakan perkara yang masyhur dan dikenal di kalangan sahabat, .

 

Tentang kewajibannya maka harus mengacu pada satu dalil yang sepertinya mesti dijadikan sebagai rujukan. (Artinya, dalil yang tegas dan tidak mengandung kemungkinan hukum lain di luar wajib). Wallahu a’lam.

 

Tempat Keempat: Setelah Menjawab Seruan Muadzin dan Ketika Iqamah

 

Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amru yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya (hadits no. 384), ia mendengar Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila kalian mendengar muadzin (mengumandangkan adzan) ucapkan seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa bershalawat untukku satu kali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mohonkan wasilah untukku, sesungguhnya wasilah itu satu kedudukan di surga yang tidak layak dimiliki kecuali oleh seorang dari hambahamba Allah. Dan aku berharap akulah hamba itu. Siapa memohonkan wasilah untukku syafaatku halal baginya.”

 

Hasan bin Arafah mengatakan: Bercerita padaku Muhammad bin Yazid Alwasithi dari Awam bin Hausyab, bercerita pada kami Manshur bin Zadzan dari Hasan yang mengatakan:

 

  1. “Siapa mengucapkan seperti apa yang diucapkan muadzin, apabila muadzin telah mengatakan (dalam iqamah) qad qamatish shalah’ ia mengatakan, Ya Allah, Rabb seruan yang benar ini dan shalat yang tegak ini, limpahkan shalawat untuk Muhammad, hamba sekaligus rasul-Mu, dan sampaikan ia ke derajat wasilah di surga Niscaya ia masuk dalam syafaat Muhammad .”

 

  1. Yusuf bin Asbath mengatakan, sampai padaku bahwa seseorang apabila shalat telah dibacakan igamah, lalu ia tidak mengucapkan “Ya Allah, Rabb seruan yang didengarkan dan dipenuhi ini, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, serta sandingkan kami dengan bidadari surga,” bidadari surga mengatakan, “Betapa engkau tidak butuh pada kami.

 

Dalam menjawab adzan muadzin ada lima sunnah dari Rasulullah, yang tiga di antaranya telah tercakup dalam hadits Abdullah bin Amru.

 

Kemudian yang keempat adalah mengucapkan seperti yang diriwayatkan Muslim (hadits no. 386), dari Sa’ad bin Abi Wagash dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Siapa yang ketika mendengar muadzin ia mengucapkan, (Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad hamba sekaligus rasul-Nya, aku ridha Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai rasul, dan Islam sebagai agama), kecuali dosanya diampuni.”

 

Dan sunnah yang kelima adalah berdoa pada Allah setelah menjawab muadzin, bershalawat untuk Rasulullah dan memohonkan wasilah untuk beliau. Ini sesuai riwayat dalam Sunan Abi Daud,? (hadits no. 524) dan Nasa’i dari hadits Abdullah bin Amru bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, para muadzin memiliki kelebihan atas kami.” Rasulullah pun bersabda:

 

  1. “Ucapkan seperti yang mereka ucapkan. Lalu apabila engkau telah selesai mintalah (pada Allah) pasti engkau diberi.”

 

Dalam Al-Musnad III/337, dari hadits Jabir bin Abdullah, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa ketika muadzin menyeru ia mengucapkan, Ya Allah, Rabb seruan yang tegak ini dan shalat yang bermanfaat ini, limpahkan shalawat untuk Muhammad, ridhailah ia dengan satu keridhaan yang tak ada kemurkaan setelahnya, niscaya Allah mengijabahi doanya.”

 

Dalam Al-Mustadrak (I/546-547), karya Hakim dari hadits Abu Umamah bahwa Rasulullah apabila usai mendengar adzan beliau mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, Rabb seruan yang dipenuhi dan diijabahi ini, seruan kebenaran dan kalimat takwa, wafatkan aku di atasnya, hidupkan aku di atasnya, dan jadikan aku di antara pemiliknya yang beramal baik di Hari Kiamat?

 

Inilah 25 sunnah dalam sehari-semalam yang hanya para juara yang mampu menjaganya secara konsisten.

 

Tempat Ketujuh: Saat Berdoa

 

Ada tiga tingkatan terkait hal ini:

 

– Bershalawat sebelum berdoa dan setelah memuji Allah.

– Bershalawat di awal, pertengahan, dan akhir doa.

– Bershalawat di awal dan akhir doa dengan menempatkan permohonan di tengah-tengah keduanya.

 

Untuk tingkatan pertama dalilnya adalah hadits Fadhalah bin Ubaid, tepatnya sabda Nabi dalam hadits tersebut:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian berdoa hendaknya ia memulai dengan memiji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat untuk Nabi, selanjutnya berdoa dengan apa yang dikehendakinya.”

 

Hadits ini telah disebutkan.

 

Tirmidzi (hadits no. 593) berkata: Bercerita pada kami Mahmud bin Ghailan, bercerita pada kami Yahya bin Adam, bercerita pada kami Abu Bakar bin Ayasy dari Ashim dari Zir dari Abdullah menuturkan, “Aku tengah shalat, sementara Nabi ditemani Abu Bakar dan Umar. Ketika aku duduk (tasyahud akhir), aku mulai memuji Allah kemudian bershalawat untuk Nabi. Selanjutnya aku berdoa untuk diriku. Nabi pun bersabda,

 

  1. “Mintalah engkau pasti diberi, mintalah engkau pasti diberi.”

 

Abdurazaq (dalam Al-Mushannaf hadits no. 19643) berkata: Mengabari kami Ma’mar dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah dari Abdullah bin Masud ass berkata:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian ingin meminta pada Allah hendaknya ia memulai dengan memuji-Nya dan menyanjung-Nya sesuai apa yang Dia sandang. Berikutnya bershalawat untuk Nabi. Kemudian setelah itu baru meminta. Sebab (dengan demikian) ia lebih pantas berhasil atau mengenai sasaran.”

 

Syarik meriwayatkannya dengan redaksi kurang lebih sama dari Abu Ishaq dari Abu Ahwash dari Abdullah.

 

Sedang untuk tingkatan kedua, Abdurazaq (I/hadits no. 3117), berkata dari Tsauri dari Musa bin Ubaidah dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah bersabda: |

 

  1. Jangan kalian menjadikanku seperti mangkuk penunggang unta…” Beliau bersabda dalam hadits ini, “Tempatkan aku di tengah doa, di awal, dan di akhirnya.”

 

Telah disebutkan pula hadits Ali yang berbunyi

 

  1. “Tidak satu doa pun kecuali ada pembatas dengan Allah sampai dibacakan shalawat untuk Muhammad. Apabila telah dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad, pembatas ini sobek dan doa diijabahi. Namun bila tidak dibacakan shalawat untuk Nabi doa tidak diijabahi” Telah dibawakan pula ucapan Umar

 

  1. “Doa itu terhenti di antara langit dan bumi, tak sesuatu pun darinya naik (pada Allah) sampai engkau bershalawat untuk Nabimu.”

 

Ahmad bin Syu’aib bin Ali berkata: Menceritakan pada kami Muhammad bin Hafsh, menceritakan pada kami Jarah bin Yahya, bercerita padaku Amru bin Amru yang berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr menuturkan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Doa itu semuanya tertutup sampai bagian awalnya berupa sanjungan pada Allah dan shalawat untuk Nabi, kemudian (orang yang berdoa) baru memohon. Maka doanya akan diijabahi”

 

Amru bin Amru adalah Al-Ahmusi, ia meriwayatkan dua hadits dari Abdullah bin Busr. Ini salah satunya. Sedang hadits kedua diriwayatkan Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir darinya dari Nabi, “Siapa membuka awal siang harinya dengan kebaikan dan menutupnya dengan kebaikan maka Allah berkata pada para malaikatNya, Jangan kalian tulis dosa-dosa yang ia perbuat di antara dua waktu itu.”

 

Bagi doa, shalawat untuk Nabi layaknya Al-Fatihah bagi shalat. Tempat-tempat yang telah disebutkan di depan, shalawat disyariatkan di semua tempat tersebut untuk mengawali doa. Jadi kunci doa adalah shalawat untuk Nabi sebagaimana kunci shalat adalah bersuci. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Nabi serta keluarga beliau.

 

Ahmad bin Abu Haura mengatakan, aku mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani berkata:

 

  1. “Siapa ingin memohon kebutuhannya pada Allah, hendaknya ia memulai dengan shalawat untuk Nabi, lalu memohon kebutuhannya dan menutup dengan shalawat untuk Nabi. Sebab shalawat untuk Nabi itu diterima dan Allah tak akan menolak doa yang diucapkan di antara keduanya.”

 

Allah jua yang lebih mengetahui.

 

Tempat Kedelapan: Ketika Masuk dan Keluar Masjid.

 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (hadits no. 452), dan Abu Hatim bin Hiban (hadits no. 32), dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian masuk masjid hendaknya ia mengucapkan salam pada Nabi lalu mengatakan, Ya Allah, bukakan untukku pintupintu rahmat-Mu. Apabila keluar hendaknya ia mengucapkan salam pada Nabi lalu berkata, “Ya Allah, lindungi aku dari setan yang terkutuk.”

 

Dalam Al-Musnad II/282, 283, Tirmidzi (hadits no. 314), dan Sunan Ibni Majah (hadits no. 771), dari hadits Fathimah binti Husain dari neneknya Fathimah Al-Kubra mengatakan, Rasulullah apabila masuk masjid beliau biasa mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam pada Muhammad. Ya Allah ampuni dosa-dosaku dan bukakan untukku pintu-pintu rahmat-Mu. Apabila keluar beliau mengucapkan seperti itu, tetapi beliau mengatakan, “..pintupintu karunia-Mu.”

 

Sedang redaksi riwayat Tirmidzi “Rasulullah apabila masuk masjid beliau mengucapkan shalawat dan salam pada Muhammad?”

 

Hadits ini telah dibahas.”

 

Tempat Kesembilan: di Atas Bukit Shafa dan Marwah??

 

Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ismail bin Ishaq dalam kitabnya, (hadits no. 87), menceritakan pada kami Hudbah, menceritakan pada kami Hamam bin Yahya, menceritakan pada kami Nafi bahwa Ibnu Umar biasa bertakbir di atas bukit Shafa dan Marwah tiga kali. Ia mengucapkan:

 

  1. “Tidak ada Ilah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya seluruh kerajaan dan kepunyaan-Nya segenap pujian, Dia Mahamampu atas segala sesuatu” Kemudian ia bershalawat untuk Nabi, lalu berdoa dan berdiri lama sambil berdoa. Selanjutnya ia melakukan hal yang sama di atas bukit Marwah.”

 

Shalawat di sini juga termasuk tuntutan doa.

 

Jafar bin Aun meriwayatkan dari Zakaria?” dari Sya’bi dari Wahb bin Ajda’ berkata: Aku mendengar Umar bin Khathab berkhotbah pada Manusia di Mekah. Ja mengatakan:

 

  1. “Apabila salah seorang kalian datang dalam rangka haji, hendaknya ia thawaf di Baitullah tujuh kali dan shalat dua rakaat di Magam. Kemudian menyentuh Hajar Aswad, selanjutnya memulai (sa’i) di bukit Shafa, berdiri di atasnya menghadap kiblat lalu bertakbir tujuh kali: antara dua takbir diisi pujian dan sanjungan pada Allah, shalawat untuk Nabi dan permohonan untuk dirinya. Demikian pula di atas bukit Marwah ia melakukan persis seperti itu.”

 

Abu Dzar (Al-Harawi) meriwayatkannya dari Zahir dari Muhammad bin Musayib dari Abdullah bin Khubaig dari Jafar.

 

Sedang Bazar meriwayatkannya, dari Abdullah bin Sulaiman dari Abdullah bin Muhammad bin Miswar dari Sufyan bin Sa’id dari Faras dari Sya’bi dari Wahb bin Ajda… dan seterusnya.

 

Tempat Kesepuluh: Ketika Orang-Orang Berkumpul Sebelum Berpisah.

 

Hadits-hadits terkait masalah ini yang diriwayatkan dari Nabi telah disebutkan lebih dari satu jalan, beliau bersabda:

 

  1. “Tiadalah satu kaum duduk di satu majelis kemudian mereka berpisah tanpa menyebut Allah dan tanpa bershalawat untuk Nabi, kecuali majelis itu menjadi penyesalan mereka pada Allah. Jika berkehendak Dia menyiksa mereka dan jika berkehendak Dia mengampuni mereka.”

 

  1. Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (II/352), Hakim (I/550), serta selain keduanya.” Abdullah bin Idris Al-Audi meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata:

 

  1. “Hiasilah majelis kalian dengan shalawat untuk Nabi dan menyebut Umar bin Khathab.”

 

Tempat Kesebelas: Ketika Menyebut Rasulullah

 

Ada perbedaan pendapat tentang kewajiban bershalawat setiap kali nama Nabi disebut. Abu Jafar Ath-Thahawi?? dan Abu Abdillah Al-Halimi,? berkata, “Wajib bershalawat untuk Nabi setiap kali nama beliau disebut” Sedang selain keduanya mengatakan bahwa hal itu mustahab (bersifat anjuran), bukan kewajiban yang berakibat dosa bagi orang yang meninggalkannya. Kemudian mereka berselisih, sekelompok mengatakan, “Shalawat untuk Nabi wajib dilakukan satu kali dalam hidup, sebab perintah yang umum tidak berkonsekuensi pengulangan dan substansinya telah terpenuhi dengan dilakukan satu kali” Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah, Malik, Tsauri, Auza’i.

 

Iyadh dan Ibnu Abdilbar mengatakan, “Ini pendapat mayoritas umat.”

 

Sekelompok lain mengatakan, “Perintah bershalawat untuk Nabi merupakan perintah anjuran, bukan pewajiban” Ini pendapat Ibnu Jarir dan sekelompok ulama. Bahkan Ibnu Jarir?” mengklaim pendapat ini sebagai ijmak ulama. Klaim ini mengacu pada prinsip pribadinya. Ibnu Jarir apabila melihat mayoritas ulama menyetujui satu pendapat ia menganggapnya sebagai ijmak yang wajib diikuti. Namun dua langkah penilaian ijmak ini keliru.

 

Kelompok yang mewajibkan (shalawat setiap kali Nabi disebut) beralasan dengan beberapa hujah, di antaranya:

 

» Hadits Abu Hurairah dari Nabi:

 

  1. “Celakalah seseorang yang aku disebut dihadapannya lalu ia tidak bershalawat untukku.

 

Dishahihkan Hakim dan dihasankan Tirmidzi. Kata Raghima anfuhu berarti doa keburukan dan celaan. Sementara orang yang meninggalkan perbuatan mustahab tidak dicela dan tidak didoakan keburukan.

 

« Hadits Abu Hurairah dari Nabi:

 

  1. Beliau naik mimbar lalu mengucapkan, “Amin, amin.”

 

Hadits ini sudah dibawakan di awal kitab ini. Di dalamnya disebutkan, “Siapa yang engkau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukmu kemudian ia . mati dan masuk neraka, semoga Allah menjauhkannya (dari rahmat-Nya). Katakan, “Amin” Maka aku mengatakan, “Amin?”

 

Diriwayatkan Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (hadits no. 895). Hadits-hadits yang semakna ini juga dibawakan di antaranya dari riwayat Abu Hurairah, Jabir bin Samurah, Ka’ab bin Ujrah, Malik bin Huwairits, dan Anas bin Malik.” Masingmasing dari hadits-hadits ini adalah hujah yang berdiri sendiri. Tak diragukan bahwa hadits dengan jalan-jalan periwayatan yang banyak tersebut menandakan keshahihannya.

 

« Hadits yang diriwayatkan Nasa’i dari Muhammad bin Mutsana dari Abu Daud dari Mughirah bin Muslim dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari Anas bin Malik mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa yang aku disebut di hadapannya hendaknya ia bershalawat untukku, sesungguhnya siapa bershalawat untukku satu kali Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.”

 

Sanad hadits ini shahih. Secara eksplisit, perintah itu berarti wajib.

 

« Hadits yang diriwayatkan Ibnu Hiban dalam Shahih-nya (hadits no. 909), dari hadits Abdullah bin Ali bin Husain dari Ali bin Husain dari ayahnya dari Nabi 2 bersabda:

 

 

  1. “Sesungguhnya orang bakhil itu adalah orang yang aku disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untukku.”

 

Diriwayatkan Hakim dalam Shahih-nya (I/549), Nasa’i? dan Tirmidzi (hadits no. 3546)

 

Ibnu Hiban berkata, “Ini hadits terbaik yang diriwayatkan dari Husain bin Ali (dalam masalah ini). Husain saat Nabi wafat telah berusia 7 tahun kurang 1 bulan. Karena ia lahir beberapa malam terakhir bulan Sya’ban tahun 4 Hjjriah. Artinya, ia ia telah berusia 6 tahun lebih beberapa bulan sehingga kemampuan bahasa Arabnya sudah memungkinkannya menghafal sedikit demi sedikit.”

 

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sekaligus pembahasannya telah dibawakan di depan.”

 

Abu Nu’aim berkata: Bercerita pada kami Ahmad bin Abdullah, bercerita pada kami Harits bin Muhammad,” bercerita pada kami Ubaidullah bin Aisyah, bercerita pada kami Hamad dari Abu Hilal Al-Anzi, bercerita padaku seseorang di masjid Damaskus dari Auf bin Malik Al-Asyjai aw bahwa Rasulullah duduk atau Abu Dzar duduk – lalu ia menyebutkan hadits yang panjang-, di dalamnya Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya manusia paling bakhil adalah orang yang aku disebut di hadapannya namun ia tidak bershalawat untukku.”

 

Qasim bin Ashbugh berkata: Bercerita pada kami Muhammad bin Ismail AtTirmidzi bercerita pada kami Nuaim bin Hamad, bercerita pada kami Abdullah bin Mubarak, bercerita pada kami Jarir bin Hazim berkata, aku mendengar Hasan mengatakan, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Cukuplah seorang mukmin itu dikatakan bakhil, apabila aku disebut di hadapannya namun ia tidak bershalawat untukku

 

Sa’id bin Manshur berkata: Menceritakan pada kami Husyaim dari Abu Hurah dari Hasan yang berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Cukuplah dikatakan kikir, apabila aku disebut di hadapan seseorang lalu ia tidak bershalawat untukku”

 

Mereka berkata, “Apabila telah terbukti orang tersebut dicap bakhil maka petunjuknya dari dua sisi.

 

Pertama, kebakhilan adalah istilah celaan. Sementara orang yang meninggalkan amal mustahab tidak berhak dicela. Allah berfirman, “..dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir…” (Al-Hadid (57): 22-23). Penyandingan antara sifat bakhil, congkak, sombong, serta memerintahkan kebakhilan berarti celaan pada semua sifat ini. Sehingga menunjukkan bahwa kebakhilan adalah sifat tercela. Nabi bersabda:

 

  1. “Penyakit apa yang lebih parah dari kebakhilan?”

 

Kedua, orang bakhil adalah orang yang menolak melaksanakan kewajibannya. Siapa menunaikan kewajibannya ia tidak disebut bakhil, karena kebakhilan adalah menahan apa yang wajib diberikan.

 

» Allah memerintahkan mengucapkan shalawat dan salam pada Nabi, sementara perintah umum berarti harus dilaksanakan secara berulang. Namun tidak bisa dikatakan, “Pengulangan ini harus dilakukan di setiap waktu” Sebab perintah-perintah yang pelaksanaannya berulang hanya terjadi di waktu-waktu khusus atau ketika ada syarat-syarat dan sebab-sebab yang menuntut pengulangannya. Satu waktu tidak lebih utama dibanding waktu lain. Maka berulangnya perintah tersebut seiring dengan berulangnya penyebutan Nabi lebih utama berdasarkan nash-nash dalil yang telah disebutkan.

 

Dalil ini mengandung tiga langkah:

  1. Shalawat diperintahkan secara umum (mutlak). Ini satu langkah.

 

  1. Perintah umum menuntut pengulangan. Perkara ini masih diperselisihkan.

 

Sekelompok ulama fikih dan ushul fikih meniadakan tuntutan ini, sementara sekelompok lain menyatakan keberadaannya. Kelompok ketiga memisahkan antara perintah umum dan perintah yang dikaitkan dengan syarat atau waktu, di mana mereka menetapkan adanya pengulangan untuk perintah yang dikaitkan dengan syarat atau waktu, tidak untuk perintah yang mutlak. Tiga pendapat ini ada dalam madzhab Ahmad Syafi’i, dan lainnya“ Kelompok ini (yang mewajibkan shalawat setiap kali nama Nabi disebut) menguatkan adanya pengulangan karena mayoritas perintah syariat berdasarkan pengulangan. Seperti firman-Nya, “..tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…” (an-Nisa’ (4): 136), “..masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya..” (AlBagarah (2): 208), “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya)..” (Al-Ma’idah (5): 92), “..bertakwalah kepada Allah..” (Al-Bagarah (2): 194-281), “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” (Al-Bagarah (2): 110), “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” (Ali Imran (3): 200), “tetapi takutlah kepadaKu.? (Ali Imran (3): 175), “..dan takutlah kepada-Ku..” (Al-Bagarah (2): 150), “..dan berpeganglah kamu pada tali Allah…” (Al-Hajj (22): 78), “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah.” (Ali ‘Imran (3): 103), “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah…” (An-Nahl (16): 91), S.. penuhilah akad-akad itu… (Al-Ma’idah (5): 1), “..dan penuhilah janji…” (Al-Isra’ (17): 34). Kemudian firman-Nya tentang anak yatim, “..berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)…” (An-Nisa’ (4): 5), “..apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli…” (Al-Jumu’ah (62): 9), “..apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu..” sampai firman-Nya, “..dan jika kamu junub maka mandilah..” hingga firman-Nya, “..lalu kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…” (Al-Ma’idah (5): 6), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu..” (Al-Bagarah (2): 45), “..dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Apabila kamu berkata, hendaklah kamu berlaku adil kendati dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah…” (Al-An’am (6): 152), dan firman-Nya “dan (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, ikutilah dia…” (Al-An’am (6): 151). Ayat-ayat perintah seperti ini dalam Al-Quran jumlahnya sangat banyak. Bilamana perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya berlaku secara berulang kali disebutkan kecuali dalam kasus-kasus yang jarang, diketahui inilah kebiasaan ungkapan Allah dan Rasul-Nya pada umat. Perintah itu, kendati redaksinya tidak mengandung indikator pelaksanaan secara berulang dan segera, namun tak diragukan dalam kebiasaan ungkapan syariat perintah itu mengandung maksud pengulangan. Sehingga ucapan syariat tidak boleh ditafsirkan kecuali sesuai kebiasaannya dan yang telah diketahui dari ungkapannya. Meskipun hal itu tak dapat dipahami dari asal peletakkan kata dalam bahasa. Ini seperti ungkapan kami bahwa perintah itu menuntut kewajiban dan larangan itu berkonsekuensi ketidakbaikan. Prinsip ini sama-sama diketahui dalam ungkapan syariat kendati asal peletakannya dalam bahasa tidak menyinggung keabsahan atau tidaknya sesuatu yang dilarang tersebut. Demikian pula ucapan syariat pada seseorang dari umat ini menuntut pengetahuan khusus bahwa lafazh tersebut mencakup orang itu dan orang-orang yang (memiliki kasus) seperti dirinya. Meskipun asal peletakan kata ini dalam bahasa tidak menuntut pengertian itu. Sebab inilah bahasa Pembuat Syariat dan kebiasaannya terkait sumber-sumber ucapannya. Perkara ini diketahui secara absolut dari agamanya sebelum diketahui keabsahan qiyas dan diakuinya qiyas sebagai salah satu dalil dalam syariat serta syaratsyaratnya. Demikianlah, jadi perbedaannya adalah antara ada atau tidaknya pengertian kata secara bahasa dan adanya tuntutan pengertian tersebut dalam kebiasaan syariat dan kebiasaan ungkapannya.

 

  1. Apabila sesuatu yang diperintahkan (dalam hal ini adalah shalawat untuk Nabi itu berulang maka sesuatu tersebut tidak berulang kecuali karena adanya sebab atau waktu. Sementara sebab paling tepat yang menuntut pengulangan pelaksanaan perintah shalawat adalah penyebutan nama beliau, berdasarkan berita dari beliau akan kecelakaan orang yang beliau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untuk beliau dan penyematan serta pelabelan sifat bakhil pada orang itu.

 

Mereka mengatakan, “Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bershalawat untuk Nabi &: setelah Dia memberitahu mereka bahwa Dia dan para malaikat-Nya bershalawat untuk beliau. Diketahui, shalawat Allah dan para malaikat-Nya tidak hanya sekali lalu selesai. Tetapi berulang-ulang. Karenanya, Allah menyebut shalawat ini seraya menjelaskan keutamaan, kemuliaan, dan tingginya derajat Nabi di sisi Allah melalui shalawat itu. Kemudian Dia memerintahkan kaum mukminin mengucapkannya. Bagi umat, pengulangan shalawat lebih tepat dan lebih ditekankan karena adanya perintah.”

 

Mereka berkata, “Allah juga menekankan ucapan salam dengan kata mashdar (maf ul muthlag), yakni kata taslimd. Ini menuntut sesuatu yang lebih dalam hal kuantitas, hal itu dapat diwujudkan dengan pengulangan (shalawat setiap kali Nabi disebut).

 

Mereka berargumen lagi, “Karena pola kata kerja yang digunakan untuk memerintahkan menunjukkan ‘pembanyakan’. Yakni kata kerja shalla dan sallama. Jelasnya, kata kerja yang berpola faala menunjukkan pengulangan perbuatan. Seperti ungkapan, kassiril khubza (remukkan roti itu), gaththi’il lahma (potong-potonglah daging itu), allimil khaira (ajarkanlah kebaikan), bayyinil amra (jelaskanlah perkara itu), syaddid fi kadza (tegaslah dalam perkara ini), serta semacamnya.”

 

Mereka juga berkata, “Karena perintah bershalawat untuk Nabi sebagai balasan atas perbuatan baik beliau, pengajaran, bimbingan, dan petunjuk beliau untuk umat, serta kebahagiaan dunia dan akhirat yang mereka peroleh lantaran berkah beliau. Diketahui, membalas jasa yang sedemikian besar ini tidak bisa hanya dengan mengucapkan satu kali shalawat sepanjang usia. Bahkan andai seorang hamba bershalawat untuk Nabi sebanyak nafasnya ia belum menunaikan secara total hak beliau dan belum membalas jasa-jasa beliau. Maka ketentuan mensyukuri nikmat ini diwujudkan dalam bentuk shalawat untuk Nabi ketika beliau disebut.”

 

Mereka berkata lagi, “Oleh sebab itu, Nabi secara implisit menunjukkan ketentuan itu dengan menamakan orang yang tidak bershalawat ketika beliau disebut sebagai orang bakhil. Sebab orang yang telah sangat berbuat baik pada hamba dan karenanya hamba mendapat kebaikan yang besar, kemudian orang itu disebut di hadapannya namun ia tidak memujinya dan tidak bersungguh-sungguh menyanjung, mengapresiasi, dan mengagungkannya, memulai dan terus mengulanginya, dan tidak meminta maaf akan ketidaksanggupannya berterima kasih serta menunaikan haknya, tentu orang-orang mencap hamba ini sebagai orang bakhil, tercela, dan tak tahu terima kasih. Lantas bagaimana dengan orang yang perbuatan baik terkecilnya pada hamba lebih besar dibanding perbuatan baik terbesar yang terjadi di antara makhluk? Sosok yang lantaran perbuatan baiknya hamba mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, selamat dari keburukan dunia dan akhirat? Sosok yang hati-hati tak dapat menggambarkan hakikat jasa dan kebaikannya, apalagi melakukan ungkapan terima kasih padanya? Bukankah sosok yang berjasa dan baik ini lebih berhak diagungkan dan dipuji, semua kemampuan dikerahkan untuk menyanjung dan mengapresiasinya apabila ia disebut di tengah-tengah orang banyak? Minimal harus bershalawat untuk beliau satu kali apabila nama beliau disebut.”

 

Mereka berkata, “Sebab itu, Nabi mendoakan orang yang tak mau bershalawat dengan ungkapan raghima anfuhu. Artinya, hidungnya menempel dengan rugham, yakni debu. Pasalnya, ketika nama Nabi disebut dihadapannya lalu ia tidak bershalawat ia pantas dihinakan Allah dan hidungnya ditempelkan ke debu.”

 

Mereka juga mengatakan, “Dan karena Allah melarang umat menyamakan panggilan pada Rasulullah seperti panggilan antara sesama mereka. Yakni mereka tidak boleh menyebut langsung nama Nabi ketika mereka bicara dengan beliau seperti yang terjadi di antara sesama mereka. Tetapi mereka memanggil beliau dengan sebutan Rasulullah atau Nabiyullah. Ini termasuk kesempurnaan pemuliaan, penghormatan, dan pengagungan terhadap beliau. Demikian pula seyogianya penyebutan nama beliau diiringi dengan shalawat untuk beliau, agar menjadi pembeda antara penyebutan nama beliau dan penyebutan nama orang lain. Sebagaimana perintah memanggil beliau dengan sebutan Rasulullah dan Nabi menjadi pembeda pembicaraan antara beliau dan orang lain. Seandainya saat Nabi disebut tidak wajib bershalawat berarti penyebutan beliau dan orang lain sama. Ini menurut salah satu dari dua tafsir tentang ayat (panggilan) ini.” Sedang menurut tafsir yang lain, maksud ayat tersebut adalah jangan kalian menyikapi panggilan Rasulullah pada kalian seperti panggilan sebagian kalian pada sebagian yang lain. Di mana kalian menunda memenuhinya dengan alasan-alasan yang biasanya diungkapkan sebagian kalian untuk tidak segera memenuhi panggilan orang lain. Akan tetapi bersegeralah mendatangi Nabi ketika beliau memanggil kalian dengan cepat-cepat memenuhi panggilan dan melaksanakan ketaatan. Bahkan, Allah tidak menganggap penunaian shalat sebagai alasan yang dapat ditoleransi untuk terlambat memenuhi panggilan Nabi dan bersegera menaati beliau. Apabila shalat saja yang mengandung kesibukan (bermunajat pada Allah) bukan suatu alasan yang membolehkan menunda menjawab panggilan Rasulullah, apalagi sebab-sebab dan alasan-alasan lain yang di bawahnya? Jadi menurut tafsir ini, kata mashdar (dalam ayat panggilan, surah An-Nur (24): 63) dimudhafkan pada fa’il (artinya, panggilan Rasulullah), sedang menurut tafsir pertama kata mashdar dimudhafkan pada maf ul (artinya, panggilan kalian pada Rasulullah).

 

Dapat pula dikatakan -ini lebih baik dari dua pendapat di atas“Mashdar ini tidak diidhafahkan pada fa’il atau maf’ulnya. Tetapi idhafahnya ini sematamata pada isim (tanpa melihat jabatan isim tersebut sebagai fa’il atau maf’ul secara makna). Sehingga artinya menjadi, “Jangan kalian menjadikan seruan yang berkaitan dan disandarkan pada Rasulullah seperti seruan sebagian kalian pada sebagian yang lain.” Pendapat ini mencakup dua penafsiran di atas dan larangan dalam ayat tersebut terkait memanggil Nabi dengan nama seperti panggilan di antara mereka dan terkait menunda menjawab panggilan Nabi. Tetapi bagaimana pun, karena Allah memerintahkan agar Rasulullah diistimewakan dalam hal pembicaraan dan panggilan sebagai manifestasi pengagungan dan penghormatan umat pada beliau maka mengistimewakan beliau dengan shalawat kala beliau disebut termasuk kesempurnaan dari tujuan ini.

 

Mereka berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa orang yang beliau disebut di hadapannya lalu ia tidak bershalawat untuk beliau berarti orang itu salah menempuh jalan surga.” Demikian diriwayatkan Baihagi. Hadits ini termasuk riwayat mursal Muhammad bin Hanafiah” dan memiliki beberapa syahid (hadits pendukung dari jalan lain) yang telah kami sebutkan di awal kitab ini. Sekiranya shalawat untuk Nabi ketika beliau disebut tidak wajib tentu orang yang meninggalkannya tidak dicap salah menempuh jalan surga.

 

Mereka berkata lagi, “Siapa menyebut Nabi atau beliau disebut di hadapannya lalu ia tidak mengucapkan shalawat ia telah bersikap kasar pada beliau. Padahal tak seorang muslim pun boleh berlaku kasar pada Rasulullah.”

 

Dalil poin pertama (bahwa orang yang tidak bershalawat untuk Nabi ketika beliau disebut di hadapannya telah berbuat kasar pada beliau) adalah hadits yang diriwayatkan Sa’id bin A’rabi, bercerita pada kami Ishaq bin Ibrahim, bercerita pada kami Abdurazag dari Ma’mar dari Oatadah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Termasuk perbuatan kasar bahwa aku disebut di hadapan seseorang lalu ia tidak bershalawat untukku.”

 

Seandainya hanya ada hadits mursal ini saja tentu kita tak akan menggunakannya sebagai hujah. Tetapi hadits ini memiliki asal dan para syahid yang telah dibawakan berisi penamaan orang yang tidak bershalawat untuk Nabi ketika beliau disebut sebagai orang bakhil dan kikir, serta doa keburukan untuknya. Tentunya ini di antara sangsi-sangsi sikap kasar pada beliau.

 

Sedang dalil poin kedua (bahwa tak seorang muslim pun boleh berbuat kasar pada Nabi) adalah sikap kasar pada beliau bertentangan dengan kesempurnaan cinta terhadap beliau dan bertolak belakang dengan sikap lebih mencintai beliau dibanding jiwa, keluarga, dan harta, serta beliau lebih utama bagi seorang mukmin dibanding dirinya sendiri. Seorang hamba tidak dianggap beriman sebelum Rasulullah lebih ia cintai dibanding dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia. Sebagaimana terbukti shahih diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata:

 

  1. “Wahai Rasulullah, demi Allah, Anda lebih aku cintai dari segala sesuatu selain diriku.” Beliau menjawab, “Belum (sempurna imanmu) wahai Umar, sampai aku lebih engkau cintai dibanding dirimu.” Ia berkata, “Demi Allah, sungguh Anda sekarang lebih aku cintai dari diriku.” Beliau bersabda, “Sekaranglah wahai Umar”

 

Terbukti shahih diriwayatkan dari Nabi dalam Ash-Shahih bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya, dan manusia semuanya.”

 

Dalam hadits ini beliau menyebutkan tiga macam cinta. Cinta itu adakalanya berupa cinta pengagungan dan penghormatan seperti cinta pada orang tua, adakalanya berupa cinta kasih sayang dan kelembutan seperti mencintai anak, dan adakalanya berupa cinta yang dilahirkan perbuatan baik dan sifat-sifat santun seperti cinta di antara sesama manusia. Seorang hamba tidak beriman (dengan keimanan sempurna) sampai cinta pada Rasulullah dalam dirinya lebih besar dibanding kesemua cinta ini. Sementara sama-sama diketahui, sikap kasar pada Nabi menafikan cinta ini.

 

Mereka juga berkata, “Karena mencintai Rasulullah itu wajib, berikut konsekuensi-konsekuensinya yang berupa mengagungkan, menghormati, menaati, dan mendahulukan beliau dari diri sendiri serta lebih mementingkan beliau dari diri sendiri dengan rela mati demi keselamatan beliau itu juga wajib maka shalawat untuk Nabi ketika beliau disebut adalah wajib sebagai tuntutan dan kesempurnaan cinta.”

 

Mereka mengatakan, “Bila dengan alasan-alasan ini dan lainnya terbukti kewajiban bershalawat untuk Nabi atas orang yang beliau disebut di hadapannya maka kewajiban bershalawat atas orang yang menyebut beliau lebih utama. Persis dengan hal ini, apabila orang yang mendengar Ayat Sajdah diperintah sujud baik wajib atau sekadar anjuran -yang kedua ini yang benar- maka kewajiban sujud pada pembaca lebih utama lagi. Wallahu a’lam.

 

Beberapa Pendapat Kelompok yang Menafikan Shalawat Saat Rasulullah Disebut

 

Kelompok yang menafikan kewajiban shalawat saat Rasulullah disebut berkata, “Dalil pendapat kami ini dari beberapa sisi:

 

  1. Sama-sama diketahui tanpa ada keraguan di dalamnya bahwa generasi salafush shalih yang notabenenya menjadi teladan umat, tak seorang pun dari mereka menggandengkan shalawat dengan nama Nabi ketika beliau disebut. Ini tercermin dalam dialog mereka dengan Nabi yang terlalu banyak untuk dibilang. Mereka biasa mengucapkan, “Wahai Rasulullah.” Hanya ini, (tanpa shalawat). Terkadang salah seorang mereka mengucapkan, “Semoga Allah melimpahkan shalawat untuk Anda.” Hal seperti ini banyak sekali dalam haditshadits. Sekiranya shalawat untuk Nabi itu wajib ketika beliau disebut, tentu beliau akan menegur orang yang tidak melakukannya.

 

  1. Seandainya shalawat untuk Nabi wajib setiap kali beliau disebut tentu ini tergolong kewajiban yang paling menonjol dan pasti beliau menjelaskannya pada umat dengan satu penjelasan yang tak menyisakan ruang alasan serta cukup menjadi hujah.

 

  1. Pendapat wajib ini tak diketahui diriwayatkan dari seorang sahabat, tabi’in, tabiu tabi’in, bahkan tak diketahui seorang pun dari mereka mengatakannya. Sementara mayoritas fukaha, bahkan telah diceritakan adanya ijmak, berpendapat bahwa shalawat untuk Nabi bukan di antara kewajiban shalat. Pendapat yang mengatakan wajib dianggap menyimpang dan menyelisihi kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya, seperti telah dijelaskan. Lalu bagaimana mungkin shalawat wajib di luar shalat?

 

  1. Seandainya wajib selalu bershalawat untuk Nabi setiap kali beliau disebut tentunya muadzin wajib mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah shallallah alaihi wa sallam.” Jelas ini tidak disyariatkan baginya dalam adzan, apalagi wajib.

 

  1. Orang yang mendengar adzan dan menirukannya wajib bershalawat untuk Nabi, sementara beliau telah memerintahkan orang yang mendengar adzan agar mengucapkan seperti ucapan muadzin. Ini mengindikasikan bolehnya hanya mengucapkan “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” Alasannya, kalimat inilah yang persis diucapkan muadzin.

 

  1. Disepakati, tasyahud awal selesai ketika telah mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Dan masih diperselisihkan apakah disyariatkan mengucapkan shalawat untuk Nabi dan keluarga beliau dalam tasyahud ini. Terbagi menjadi tiga pendapat: pertama, tidak disyariatkan shalawat kecuali di tasyahud akhir. Kedua, disyariatkan. Ketiga, disyariatkan bershalawat khusus untuk Nabi, tidak untuk keluarga beliau.

 

Jadi, tak seorang pun berpendapat wajib bershalawat di tasyahud awal ketika menyebut Nabi.

 

  1. Seorang muslim ketika masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat ja tidak perlu mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah shallallah alaihi wa sallam.”

 

  1. Khatib dalam shalat Jumat, Id, dan lainnya tidak perlu bershalawat untuk Nabi dalam ucapan syahadat. Sekiranya shalawat wajib ia ucapkan ketika menyebut beliau tentunya ia wajib menggandengkannya dengan syahadat. Tidak bisa pula dikatakan, shalawat untuk Nabi sudah terwakili dalam khotbah. Sebab shalawat ini tidak berkaitan dengan penyebutan beliau dalam syahadat, apalagi dengan adanya jeda yang panjang. Sementara mereka yang mewajibkan mengatakan, “Wajib bershalawat untuk Nabi setiap kali beliau disebut.” Sama-sama diketahui penyebutan beliau di kali kedua bukan penyebutan yang pertama.

 

  1. Seandainya wajib bershalawat untuk Nabi setiap kali beliau disebut berarti Shalawat ini wajib diucapkan pembaca setiap kali ia melewati penyebutan nama beliau dan ia mesti menghentikan bacaannya guna menunaikan kewajiban ini. Baik ia di dalam atau di luar shalat. Sebab mengucapkan shalawat untuk Nabi tidak membatalkan shalat. Apalagi shalawat ini wajib “ain sehingga mesti dilaksanakan. Sama-sama diketahui seandainya hal ini wajib tentu para sahabat dan tabi’in paling menegakkannya dan paling antusias mengerjakannya serta tak sekali pun mengesampingkannya.

 

  1. Seandainya wajib bershalawat untuk Nabi setiap kali beliau disebut berarti wajib menyanjung Allah setiap kali nama-Nya disebut. Sehingga orang yang menyebut nama Allah wajib menggandengnya dengan ucapan ‘subhanahu wa tadia, “azza wa jalla, “tabaraka wa taala, jallat azhamatuhu, “taala jadduhu, dan semacamnya. Bahkan ini lebih utama dan lebih pantas. Sebab pengagungan, penghormatan, cinta, dan ketaatan pada Rasulullah mengikuti pengagungan, penghormatan, cinta, dan ketaatan pada pengutus beliau. Jadi tidak mungkin ada cinta, ketaatan, pengagungan, dan pemuliaan pada Rasulullah, tetapi tidak pada Pengutusnya. Bahkan sebaliknya, perkara-perkara ini ada untuk Rasulullah karena mengikuti cinta pada Allah, pengagungan, dan penghormatan padaNya. Karenanya, ketaatan pada Rasulullah sama dengan ketaatan pada Allah, “Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah… (an-Nisa’ (4): 80). Janji setia pada Rasulullah sama dengan janji setia pada Allah, “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka…” (Al-Fath (48): 10). Cinta pada Rasulullah sama dengan cinta pada Allah, Dia berfirman, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu…” (Ali ‘Imran (3): 31). Menghormati beliau berarti menghormati Allah, membela beliau berarti membela Allah. Sebab beliau adalah utusan-Nya dan hamba-Nya yang menyeru umat kembali kepada-Nya, menaati-Nya, mencintai-Nya, mengagungkan, memuliakan, dan beribadah kepada-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Lalu bisakah dikatakan, shalawat untuk Rasulullah yang berarti sanjungan dan pengagungan, sebagaimana telah dijelaskan, wajib diucapkan setiap kali nama beliau disebut, namun tidak wajib menyanjung dan mengagungkan Sang Pencipta setiap kali nama-Nya disebut? Ini pendapat yang tidak masuk akal.

 

  1. Andai seseorang duduk dan ia tidak berkata-kata selain mengucapkan “Muhammad utusan Allah” atau “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad,” sementara banyak orang mendengarnya. Jika kalian mengatakan, masing-masing dari orang yang mendengar wajib pula hanya mengucapkan shalawat untuk Nabi walaupun majelisnya berlangsung lama, tentunya hal itu sangat memberatkan, mengharuskan pembaca Al-Quran mereka berhenti membaca, orang yang belajar berhenti belajar, orang yang memiliki keperluan berhenti bicara, serta mengharuskan berhenti mempelajari ilmu, mengajarkan Al-Our’an, dan lainnya. Jika kalian mengatakan, “Mereka tidak wajib bershalawat dalam kondisi seperti ini,” berarti kalian membatalkan pendapat kalian sendiri. Dan jika kalian mengatakan, “Ia wajib mengucapkan sekali atau lebih,” ini pemaksaan pendapat tanpa dilandasi dalil. Dan tentunya menggugurkan pendapat kalian.

 

  1. Tak diragukan, syahadat atas kerasulan Nabi lebih wajib dibanding ber shalawat untuk beliau. Telah maklum, tak seorang pun bisa masuk Islam kecuali dengan mengucapkan syahadat ini. Lalu bila syahadat ini tidak wajib diucapkan setiap kali nama Nabi disebut, mengapa shalawat untuk beliau wajib dikatakan tiap kali nama beliau disebut? Padahal tak ada kewajiban yang lebih wajib setelah kalimat ikhlas (Id ildha illallah) dibanding kesaksian akan kerasulan beliau. Bilakah ditetapkan kewajiban mengucapkan kesaksian ini saat nama beliau disebut, pasti seorang hamba ingat pada keimanan dan faktorfaktor kesaksian ini. Sehingga setiap orang yang menyebut nama beliau wajib mengucapkan, “Muhammad rasulullah” Kewajiban mengucapkan kesaksian ini jauh lebih kuat dibanding kewajiban bershalawat untuk Nabi setiap kali nama beliau disebut.

 

Masing-masing dari dua kelompok ini memiliki jawaban untuk argumen kelompok yang berseberangan. Ada yang sangat lemah, ada yang mungkin benar, dan ada yang kuat. Ini dapat diketahui siapa saja yang mengamati argumen-argumen kedua kelompok tersebut. Allah juga yang lebih mengetahui kebenaran.

 

Tempat Kedua Belas: Ketika Selesai Talbiyah

 

  1. Daruquthni berkata (II/238), bercerita pada kami Muhammad bin Makhlad, bercerita pada kami Ali bin Zakaria At-Tamar, bercerita pada kami Yagub bin Humaid, bercerita pada kami Abdullah bin Abdullah Al-Umawi?” yang berkata, aku mendengar Shalih bin Muhammad bin Zaidah menceritakan dari Umarah bin Khuzaimah dari Tsabit dari ayahnya bahwa Nabi

apabila selesai talbiyah beliau memohon pada Allah akan ampunan dan keridhaanNya, serta berlindung dengan rahmatnya dari neraka. Shalih menuturkan: Aku mendengar Qasim bin Muhammad berkata, “Dulu apabila seseorang selesai dari talbiyahnya ia dianjurkan mengucapkan shalawat untuk Nabi”

 

Aku berkata, “Shalawat ini juga termasuk tuntutan doa. Wallahu a’lam?”

 

Tempat Ketiga Belas: Saat Menyentuh Hajar Aswad

 

Abu Dzar Al-Harawi berkata, Bercerita pada kami Muhammad bin Bakaran, mengabarkan pada kami Abu Abdillah bin Makhlad, bercerita pada kami Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah bercerita pada kami Aun bin Salam, memberitakan pada kami Muhammad bin Salam, bercerita pada kami Muhammad bin Muhajir, bercerita pada kami Nafi berkata:

 

  1. Ibnu Umar ws apabila ingin menyentuh Hajar Aswad mengucapkan, Ya Allah, (aku menyentuhnya) karena iman pada-Mu, membenarkan kitab-Mu, dan sunnah Nabi-Mu.” Dan ia bershalawat untuk Nabi, Telah disebutkan, di antara tempat shalawat untuk Nabi adalah di atas bukit Shafa dan Marwah.”

 

Tempat Keempat Belas: Ketika Berdiri di Atas Makam Beliau

 

Suhnun berkata, bercerita pada kami Abdurahman bin Qasim dari Malik dari Abdullah bin Dinar menuturkan:

 

  1. “Aku melihat Abdullah bin Umar berdiri di atas makam Nabi. Ia bershalawat untuk Nabi dan mendoakan Abu Bakar serta Umar.” Malik menyebutkan atsar ini dalam Al-Muwatha

 

  1. Malik juga berkata dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar. Apabila ia hendak bepergian atau tiba dari safar, ia mendatangi makam Nabi, lalu bershalawat untuk beliau dan berdoa. Kemudian pergi.

 

  1. Ibnu Numair berkata, bercerita pada kami Muhammad bin Bisyr, bercerita pada kami Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibnu Umar “Apabila tiba dari bepergian ia terlebih dulu mendatangi makam Nabi, lalu mengucapkan shalawat untuk beliau, tanpa menyentuh makam. Kemudian mengucapkan salam pada Abu Bakar, kemudian berkata, “Semoga keselamatan terlimpah padamu wahai ayahku (Umar bin Khathab).

 

Tempat Kelima Belas: Apabila Pergi ke Pasar, Mendatangi Undangan, atau Semacamnya

 

Ibnu Abi Hatim berkata, bercerita pada kami Abu Sa’id Yahya bin Yahya bin Sa’id Al-Gathan, bercerita pada kami Muhammad bin Bisyr, bercerita pada kami Masar, bercerita pada kami Amir bin Syaqiq dari Abu Wail yang menuturkan:

 

  1. “Aku tidak melihat Abdullah duduk dalam satu jamuan, menghadiri jenazah, dan tidak pula yang lainnya lalu ia bangkit sampai ia memuji dan menyanjung Allah, bershalawat untuk Nabi, dan memohonkan beberapa doa. Jika ia pergi ke pasar, ia mencari tempat yang paling sunyi. Kemudian ia duduk, memuji Allah dan bershalawat untuk Nabi serta memohonkan beberapa doa.”

 

Tempat Keenam Belas: Apabila Bangun dari Tidur Malam Nasai berkata dalam As-Sunanul

 

Kabir mengabarkan padaku Ali bin Muhammad bin Ali, menceritakan pada kami Khalaf —yakni Ibnu Tamim menceritakan pada kami Abu Ahwash, menceritakan pada kami Syarik dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah dari Abdullah bin Masud mengatakan:

 

  1. “Allah tertawa pada dua orang. Yakni seseorang yang bertemu musuh dengan mengendarai kuda terbaik di antara kuda-kuda kawannya. Mereka tercerai-berai sedang ia tetap teguh. Jika terbunuh ia mati syahid dan jika tetap hidup maka itulah yang membuat Allah tertawa padanya. Dan seseorang yang berdiri shalat di pertengahan malam, tak seorang pun mengetahuinya. Ia wudhu dan menyempurnakan wudhu. Kemudian memuji Allah, mengagungkan-Nya, bershalawat untuk Nabi, dan mulai membaca Al-Quran. Itulah yang membuat Allah tertawa padanya. Dia berkata, Lihat hambaku ini dalam keadaan berdiri shalat sementara tak seorang pun melihatnya selain Aku.” Abdurazaq berkata,?? (Xl/hadits no. 8798), bercerita pada kami Ma’mar dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:

 

  1. “Dua orang yang Allah tertawa pada keduanya… dan seterusnya.” Redaksi kurang lebih sama dengan yang sebelumnya.

 

Tempat Ketujuh Belas: Selepas Khatam Al-Quran

 

Hal ini dikarenakan kondisi saat itu tepat untuk berdoa. Imam Ahmad menyatakan disukainya doa sehabis khatam. Ia berkata dalam riwayat Abu Harits:

 

  1. Anas, apabila mengkhatamkan Al-Quran ia mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya.”

 

Dalam riwayat Yusuf bin Musa ketika Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengkhatamkan Al-Quran lalu sekelompok orang berkumpul dengannya untuk berdoa, ia menjawab, “Ya. Aku melihat Ma’mar?? melakukannya apabila mengkhatamkan Al-Quran.”

 

Sedang dalam riwayat Harb, ia berkata, “Aku suka apabila seseorang khatam Al-Guran ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa.

 

Ibnu Abi Daud meriwayatkan dalam Fadha’ilul Quran dari Hakam?“ berkata:

 

  1. Mujahid dan Abduh bin Abi Lubabah dikirim padaku. (Keduanya berkata), “Kami diutus padamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Quran, dan dulu dikatakan bahwa doa saat khatam Al-Guran itu diijabahi”

 

Kemudian ia berdoa dengan beberapa doa. Ibnu Abi Daud juga meriwayatkan dalam kitabnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata:

 

  1. “Siapa mengkhatamkan Al-Guran ia memiliki doa yang mustajab” Dari Mujahid, ia berkata:

 

  1. “Rahmat turun saat pengkhataman Al-Quran.”

 

Abu Ubaid dalam kitab Fadha’ilul Guran (hlm.48), meriwayatkan dari Oatadah”menuturkan:

 

  1. “Di Madinah ada seorang lelaki yang membacakan Al-Guran dari awal hingga akhir pada para sahabatnya. Ibnu Abbas menempatkan beberapa pengawas untuk orang itu. Apabila hampir khatam, Ibnu Abbas datang lalu turut menyaksikannya.”

 

Ahmad  menyatakan disukainya berdoa setelah khatam Al-Quran dalam shalat Tarawih. Hanbal menuturkan, Aku mendengar Ahmad berkata tentang pengkhataman Al-Quran, “Apabila engkau selesai membaca qul audzu birabbinnds (An-Nas) angkatlah tanganmu untuk berdoa sebelum rukuk” Aku berkata, “Atas dasar apa engkau berpendapat seperti ini?” Ia menjawab, “Aku melihat penduduk Mekah melakukannya dan Sufyan melakukannya bersama mereka di Mekah”

 

Abbas bin Abdilazhim mengatakan, “Seperti itu pula aku mendapati penduduk Bashrah dan Mekah. Penduduk Madinah meriwayatkan beberapa hal tentang ini. Hal itu pun disebutkan dari Utsman bin Affan.

 

Fadhl bin Ziyad menuturkan, aku bertanya pada Abu Abdillah seraya mengatakan, “Aku akan mengkhatamkan Al-Quran, (mana yang lebih baik) aku lakukan dalam shalat Tarawih atau Witir?” Ia menjawab, “Lakukan dalam shalat Tarawih agar kita bisa berdoa di antara dua rakaat” Aku bertanya, “Bagaimana aku melakukannya?” Ia menjawab, “Apabila engkau selesai membaca (ayat) terakhir AlOuran, angkat kedua tanganmu sebelum rukuk dan berdoalah bersama kami saat kita masih dalam shalat dan perlamalah berdirinya.” Aku bertanya, “Doa apa yang aku ucapkan?” Ia menjawab, “Terserah dirimu” Lalu aku melakukan seperti arahannya padaku sedang ia dibelakangku berdoa sambil berdiri dan menengadahkan kedua tangannya.”

 

Bila selepas khatam Al-Our’an merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk berdoa dan paling berhak diijabahi maka momen tersebut juga merupakan saat yang paling ditekankan mengucapkan shalawat untuk Nabi

 

Tempat Kedelapan Belas: Pada Hari Jumat

 

Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Aus bin Aus.

 

Dari Abu Umamah, Nabi bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah mengucapkan shalawat untukku di setiap hari Jumat, sebab shalawat umatku dihadapkan padaku di setiap hari Jumat. Siapa di antara mereka yang paling banyak bershalawat untukku kedudukannya paling dekat denganku.” HR. Baihagi. Telah disebutkan di depan.

 

Masalah ini juga diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Anshari dari Nabi bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat, karena tak seorang pun bershalawat untukku di hari Jumat kecuali shalawatnya dihadapkan padaku.”

 

Dalam sanadnya ada Ismail bin Rafi’ Ya’gub bin Sufyan berkata, “Haditsnya baik sebagai syahid dan mutaba’ah.

 

Ibnu Adiy (III/944) berkata, bercerita pada kami Ismail bin Musa Al-Hasib, bercerita pada kami Jubarah bin Mughalas, bercerita pada kami Abu Ishaq Al-Humaisi dari Yazid Ar-Raqasyi dari Anas mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat karena shalawat kalian dihadapkan padaku.”

 

Hadits ini meskipun sanadnya dha’if, namun secara umum hadits ini mahfuzh (sesuai riwayat rawi tsigah), tidak mengapa disebutkan sebagai syahid. Telah di sebutka pula di antara riwayat-riwayat mursal Hasan dari Nabi

 

  1. “Perbanyaklah shalawat untukku di hari Jumat.” Ibnu Wadhah berkata, Menceritakan pada kami Abu Marwan Al-Bazar menceritakan padaku Ibnu Mubarak dari Ibnu Syu’aib berkata:

 

  1. Umar bin Abdulaziz menulis surat berisi, “Sebarkan ilmu di hari Jumat karena bencana ilmu adalah lupa, dan perbanyaklah shalawat untuk Nabi di hari Jumat.”

 

Tempat Kesembilan Belas: Saat Bangkit dari Duduk

 

Abdurahman bin Abi Hatim berkata, bercerita pada kami Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Oathan, bercerita pada kami Utsman bin Umar mengatakan: Aku sering kali mendengar Sufyan bin Sa’id apabila hendak bangkit ia mengucapkan:

 

  1. “Semoga Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Muhammad, para nabi Allah, dan para malaikat-Nya.”

 

Inilah atsar yang aku ketahui untuk masalah ini.

 

Tempat Kedua Puluh: Saat Melewati Masjid atau Melihatnya

 

Qadhi Ismail dalam kitabnya, (hadits no. 80) mengatakan, “Bercerita pada kami yahya bin Abdilhamid, bercerita pada kami Saif bin Umar At-Taimi dari Sulaiman AlAbsi dari Ali bin Husain mengatakan, Ali bin Abi Thalib ass berkata:

 

  1. “Apabila kalian melewati masjid bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam pada beliau.”

 

Tempat Kedua Puluh Satu: Saat Didera Kesedihan, Kesusahan, serta Saat Memohon Ampunan

 

Hal ini berdasarkan hadits Thufail bin Ubay bin Ka’ab dari ayahnya berkata:

 

  1. Rasulullah apabila 2/3 malam telah berlalu beliau bangkit lalu mengucapkan, “Wahai manusia, ingatlah Allah. Ar-Rdjifah pasti datang dan akan diikuti ar-radifah.” Kematian pasti datang membawa kesulitan yang dikandungnya, kematian pasti datang membawa kesulitan yang dikandungnya.” Ubay menuturkan, aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memperbanyak shalawat untuk Anda, berapakah bagian yang aku sisihkan untuk Anda dari shalatku?” Beliau menjawab, “Terserah kamu.” Aku berkata, “Seperempat?” Beliau menjawab, “Terserah kamu, namun jika engkau menambahkannya itu lebih baik bagi dirimu” Aku berkata, “Separoh?” Beliau bersabda, “Terserah kamu, namun jika engkau menambahkannya itu lebih baik bagi dirimu” Aku berkata, “Dua pertiga?” Beliau bersabda, “Terserah kamu, namun jika engkau menambahkannya itu lebih baik bagi dirimu? Ubay berkata, “Aku jadikan semua shalatku untuk Anda?” Beliau bersabda, “Kalau begitu kesedihanmu dihilangkan dan dosamu diampuni.

 

Tirmidzi meriwayatkannya (hadits no. 2457), dari hadits Abdullah bin Muhammad bin Agil dari Thufail dari ayahnya, ia berkata, “Hadits hasan?

 

Ia juga meriwayatkan hadits lain dari Muhammad bin Agil dari Thufail dari ayahnya dan menyahihkannya, yakni hadits:

 

439, “Perumpamaan antara aku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun rumah…”

 

Ibnu Syaibah meriwayatkan hadits di atas (no. 438) dengan ringkas dalam Musnad-nya ia mengatakan, dari Ubay, seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda jika aku jadikan shalatku semuanya sebagai shalawat pada Anda?” Beliau bersabda:

 

  1. “Kalau begitu Allah menghilangkan apa yang membuatmu sedih dari urusan dunia dan akhiratmu.”

 

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak pada beliau hingga Hari Kiamat.

 

Tempat Kedua Puluh Dua: Saat Menulis Nama Beliau

 

Abu Syaikh berkata, bercerita pada kami Usaid bin Ashim, bercerita pada kami Bisyr bin Ubaid, bercerita pada kami Muhammad bin Abdurahman dari Abdurahman bin Abdullah dari Aaj dari Abu Hurairah berkata, Rasululullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku dalam satu buku senantiasa para malaikat memohonkan ampun untuknya selagi namaku masih tertera dalam buku itu.

 

Abu Musa berkata, “Diriwayatkan seperti ini oleh lebih dari seorang dari Usaid. Ia melanjutkan, “Hadits ini juga diriwayatkan Ishaq bin Wahb Al-Alaf dari Bisyr bin Ubaid, ia berkata dari Hazim bin Bakar dari Yazid bin Iyadh dari Araj. Hadits ini juga diriwayatkan melalui selain dua jalan ini dari Aaj.“

 

Tentang masalah ini terdapat riwayat dari Abu Bakar Ash-Shidig,”s Ibnu Abbas, dan Aisyah

 

Sulaiman bin Rabi’ meriwayatkan, bercerita pada kami Kadih bin Rahmah, bercerita pada kami Nahsyal bin Sa’id dari Dhahak dari Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku dalam satu buku, shalawat itu terus mengalirkan (pahala) untuknya selagi namaku masih tertera dalam buku itu.”

 

Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Ja’far bin Ali Az-Za’farani yang berkata: Aku mendengar pamanku Hasan bin Muhammad menuturkan, aku bermimpi melihat Ahmad bin Hanbal ass, ia berkata padaku, “Wahai Abu Ali, sekiranya engkau melihat shalawat kami untuk Nabi dalam kitab-kitab, bagaimana shalawat-shalawat itu berkilauan di hadapan kami?”

 

Abu Hasan bin Ali Al-Maimuni berkata,” “Aku bermimpi melihat Syaikh Abu Hasan bin Uyainah setelah ia wafat, seolah-olah di jari-jari kedua tangannya ada sesuatu yang ditulis dengan warna emas atau warna za’faran. Aku pun menanyakan hal itu padanya seraya berkata, “Wahai ustadz, aku melihat sesuatu yang indah tertulis di jari-jari Anda, apakah itu?” Ia menjawab, “Wahai anakku, ini karena aku menulis hadits Rasulullah Atau ia menjawab, “Karena aku menulis “shallallahu alaihi wa sallam’ dalam hadits Rasulullah”

 

Khathib menyebutkan,” Bercerita pada kami Makki bin Ali, bercerita pada kami Abu Sulaiman Al-Hurani menuturkan: Seorang tetanggaku yang bernama Abu Fadhl -ia banyak menunaikan puasa dan shalatberkata padaku, “Dulu aku menulis hadits dan aku tidak bershalawat untuk Nabi. Lantas aku bermimpi melihat beliau yang beliau berkata padaku, “Ketika engkau menulis atau menyebutkan(ku) mengapa engkau tidak bershalawat untukku?” Lalu lama setelah itu aku bermimpi lagi melihat beliau, beliau berkata, “Shalawat-shalawatmu untukku telah sampai padaku. Apabila engkau bershalawat untukku atau engkau menyebutku, ucapkanlah “shallallahu alaihi wa sallam.”

 

Sufyan Tsauri berkata, “Seandainya tidak ada keuntungan bagi penulis hadits selain shalawat untuk Rasulullah, sesungguhnya ia terus bershalawat untuk beliau selagi dalam kitab itu masih tertulis “shallallahu alaihi wa sallam?”

 

Muhammad bin Abu Sulaiman menuturkan: Aku bermimpi melihat ayahku maka aku berkata, “Wahai ayahku, apa yang dilakukan Allah pada Anda?” Ia menjawab, “Dia mengampuniku” Aku bertanya, “Lantaran apakah hal itu?” Ia menjawab, “Lantaran aku menulis Shalawat untuk Nabi di setiap hadits.”

 

Seorang ahluhadits menuturkan, “Saya memiliki seorang tetangga. Ia meninggal dunia lalu dilihat dalam mimpi. Ditanyakan padanya, Apa yang Allah lakukan padamu? Ia menjawab, “Dia mengampuniku: Ditanyakan lagi, “Karena apakah hal itu?” Ia menjawab, “Dulu apabila aku menulis “Rasulullah” dalam hadits aku menuliskan “shallallahu alaihi wa sallam?”

 

Sufyan bin Uyainah berkata,” Menceritakan pada kami Khalaf si Shohibul khaliqan (yang berpakaian lusuh), ia berkata, “Aku memiliki seorang kawan – semoga Allah meridhainyayang menuntut ilmu bersamaku. Ia meninggal dunia. Lalu aku bermimpi melihatnya mengenakan pakaian hijau tengah berjalan-jalan. Aku bertanya, “Bukankah engkau dulu bersamaku menuntut hadits?” Ia menjawab, “Ya” Aku berkata, “Lalu apa yang membuatmu seperti ini?” -atau sebagaimana ucapannya-. Ia menjawab, “Dulu tidaklah lewat satu hadits yang di dalamnya disebut Muhammad kecuali aku menulis di bawahnya ‘shallahu alaihi wa sallam’. Maka Rabbku memberiku balasan seperti yang dapat engkau saksikan ini.”

 

Abdullah bin Hakam menuturkan, “Aku bermimpi melihat Syafi’i. Aku bertanya, Apa yang Allah lakukan padamu?” Ja menjawab, “Dia merahmatiku, mengampuniku, dan mengiringiku ke surga layaknya pengantin, serta menaburiku seperti pengantin.” Aku bertanya, “Dengan apa engkau merengkuh kehormatan ini?” “, Lantas seseorang berkata padaku, “Ia berkata padamu, lantaran shalawat untuk Nabi yang terdapat dalam kitab Ar-Risalah” Aku berkata, “Bagaimanakah hal itu?” Ia menjawab, “Allah bershalawat untuk Muhammad sejumlah penyebutan orang yang menyebut dan sejumlah apa yang dilalaikan orang yang lalai.” Ia berkata, “Di pagi harinya aku melihat kitab Ar-Risalah, lalu aku mendapati seperti dalam mimpiku itu, yakni kalimat “Nabi  “

 

Al-Khathib berkata,” Memberitakan pada kami Bisyra bin Abdullah Ar-Rumi berkata, aku mendengar Husain bin Muhammad bin Ubaid Al-Askari mengatakan, aku mendengar Abu Ishaq Ad-Darimi yang lebih dikenal dengan nama Nahsyal menuturkan, “Aku menulis hadits ketika mentakhrij hadits, “Nabi shallallahu alaihi wa sallama taslima bersabda…” Lalu aku bermimpi melihat Nabi, seolah-olah beliau mengambil sesuatu yang aku tulis lalu melihatnya. Beliau mengatakan, “Ini bagus”

 

Ubaidullah bin Umar berkata,” Bercerita padaku sebagian saudaraku yang aku percaya, ia berkata, “Aku bermimpi melihat seorang ahluhadits. Lalu aku bertanya, Apa yang Allah lakukan padamu?” Ia menjawab, “Dia mengasihiku dan mengampuniku” Aku bertanya lagi, “Karena apa?” Ia menjawab, “Dulu, apabila aku menemui penyebutan nama Nabi aku menuliskan “shallallahu alaihi wa sallam

 

Disebutkan Muhammad bin Shalih dari Tsawabah dari Sa’id bin Marwan dari Ubaidullah bin Umar.

 

Al-Hafizh Abu Musa dalam kitabnya telah menceritakan tentang sekelompok ahluhadits bahwa mereka terlihat dalam mimpi setelah mereka wafat. Mereka memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni mereka karena tulisan mereka, “semoga shalawat terlimpah pada Nabi di setiap hadits.”

 

Ibnu Sinan berkata Aku mendengar Abbas Al-Anbari dan Ali bin Madini mengatakan, “Kami tidak meninggalkan shalawat untuk Nabi di setiap hadits yang kami dengar. Terkadang kami tergesa-gesa, kami pun menyisakan ruang kosong dalam setiap hadits agar kami dapat kembali kepadanya (untuk menuliskan shalawat) di waktu yang lain?

 

Tempat Kedua Puluh Tiga: Pembukaan serta Penutup Mengajar dan Semacamnya

 

Ismail bin Ishaq berkata dalam kitabnya, (hadits no. 76), bercerita pada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, bercerita pada kami Husain bin Ali -yakni Al-Jufidari Jafar bin Burgan mengatakan, Umar bin Abdulaziz menulis surat:

 

  1. “Amma badu, sesungguhnya sekelompok manusia mencari dunia dengan amal akhirat dan sesungguhnya sebagian pendongeng menciptakan shalawat untuk khalifah dan pemimpin mereka sebanding shalawat mereka untuk Nabi 6. Bila suratku ini sampai padamu, perintahkan mereka agar shalawat mereka hanya untuk para nabi dan doa mereka untuk kaum muslimin secara umum, serta hendaknya mereka meninggalkan yang lainnya.”

 

Shalawat untuk Nabi dianjurkan di tempat ini karena merupakan momen menyampaikan ilmu yang beliau bawa, menyebarkannya di tengah umat, mengajarkannya pada mereka, dan mengajak mereka pada sunnah serta jalan beliau. Jelas ini termasuk jajaran amal yang paling baik dan paling berguna bagi hamba di dunia maupun akhirat. Allah berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih serta berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (Fushshilat (41): 33).

 

“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, aku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf (12): 108) sebaiknya ayat ini dimaknai, aku dan orang yang mengikuti mengajak pada Allah di atas bashirah. Atau wagaf (berhenti)nya diletakkan di akhir kalimat, “Aku mengajak (kamu) kepada Allah” Kemudian memulai kalimat baru, “Aku dan orang-orang yang mengikutiku di atas hujah yang nyata.” Dua penafsiran ini saling mengikat.” Jelasnya, Allah memerintahkan Rasulullah memberitahukan bahwa jalan (perjuangan) beliau adalah mengajak kepada Allah. Siapa mengajak pada Allah berarti ia menempuh jalan Rasulullah. Ia di atas bashirah (hujah atau jalan yang nyata) dan ia di antara pengikut beliau. Sedang siapa mengajak pada selain itu ia tidak meniti jalan beliau, tidak berada di atas bashirah, dan bukan di antara pengikut beliau.

 

Mengajak kepada Allah merupakan tugas para rasul dan pengikut mereka. Para pengikut ini adalah penerus rasul-rasul di tengah umat, dan manusia mengikuti mereka. Allah menitahkan Rasul-Nya menyampaikan apa yang Dia turunkan pada beliau dan menjamin senantiasa menjaga serta melindungi beliau dari gangguan manusia. Demikian halnya orang-orang yang menyampaikan ajaran beliau, mereka mendapat jaminan penjagaan dan perlindungan Allah sesuai konsistensi mereka dalam menegakkan agama dan menyampaikannya pada umat. Nabi telah memerintahkan agar menyampaikan ajaran beliau pada umat meskipun hanya satu ayat dan beliau mendoakan kebaikan untuk orang yang menyampaikan sabda beliau meskipun hanya satu hadits.“ Menyampaikan sunnah Nabi pada umat lebih afdhal dibanding membidikkan anak panah ke leher musuh. Sebab menembakkan anak panah dapat dilakukan banyak orang, sementara menyampaikan sunnahsunnah Nabi hanya bisa dilaksanakan pewaris para nabi dan pengganti mereka dalam membimbing umat. -Semoga Allah menjadikan kita di antara mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya. Mereka ini seperti diungkapkan Umar bin Khathab ap dalam khotbahnya yang dibawakan Ibnu Wadhah dalam kitab Al-Hawiditsu wal Bida”-nya, (no. 3). Ia berkata:

 

  1. “Segala puji bagi Allah yang memberi anugerah pada para hamba dengan menjadikan orang-orang pilihan di antara ahluilmi di setiap masa kekosongan para rasul. Mereka mengajak orang yang tersesat agar kembali pada petunjuk, mereka bersabar menghadapi gangguan dan menghidupkan orang yang buta dengan Kitabullah. Berapa banyak korban Iblis yang telah mereka hidupkan dan berapa banyak orang yang sesat lagi linglung telah mereka tunjuki. Mereka korbankan darah dan harta demi menghindarkan manusia dari kebinasaan. Betapa baik pengaruh mereka pada manusia, namun alangkah buruk sikap manusia pada mereka. Mereka dibantai dari zaman dulu hingga masa kita sekarang ini. Tetapi Rabb tak akan melupakan mereka. “..dan tidaklah Rabbmu lupa” (Maryam (19): 64).

 

Dia menjadikan kisah mereka sebagai petunjuk dan mengabarkan ucapan baik mereka, janganlah engkau melalaikannya. Sebab mereka menempati kedudukan yang tinggi meskipun mereka mendapat perlakuan yang hina.”

 

Abdullah bin Masud berkata:

 

  1. “Sesungguhnya di setiap bid’ah yang dilancarkan untuk merusak Islam, Allah memiliki seorang dari para wali-Nya yang menolaknya dan mengungkapkan tanda-tanda keburukannya. Antusiaslah menghadiri momen-momen tersebut dan bertawakallah pada Allah.”

 

Cukuplah dalam permasalahan dakwah sabda Nabi pada Ali dan juga pada Muadz

 

  1. “Sungguh, sekiranya Allah menunjuki satu orang saja melalui dirimu itu lebih baik bagimu dibanding unta merah.”

 

Sabda beliau

 

  1. “Siapa menghidupkan suatu sunnahku, aku dan ia di surga seperti ini?

 

Beliau merapatkan antara dua jari beliau. Juga sabda beliau:

 

  1. “Siapa mengajak pada petunjuk lalu ia diikuti, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya hingga Hari Kiamat.”

 

Kapankah orang yang beramal sanggup merengkuh keutamaan yang agung ini dan bagian yang besar ini dengan suatu amalannya, (bila bukan dengan mendakwahkan agama)? Sesungguhnya “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah mempunyai karunia yang besar” (Al-Hadid (57): 21, AlJumu’ah (62): 4). Seyogianya orang yang menyampaikan ajaran Rasulullah yang telah Allah berdirikan di tempat ini mengawali ceramahnya dengan pujian, sanjungan, dan pengagungan pada Allah, pengakuan akan keesaan-Nya, dan memberitahukan hak-hak-Nya yang mesti ditunaikan hamba. Kemudian bershalawat untuk Rasulullah, mengagungkan, dan memuji beliau. Serta seyogianya ia menutup ucapannya dengan mengucapkan shalawat dan salam pada Nabi.

 

Tempat Kedua Puluh Empat: Permulaan dan Penghujung Siang

 

Thabrani berkata, Menceritakan pada kami Hafsh bin Umar Ash-Shabah, bercerita pada kami Yazid bin Abdirabih Al-Jurjusi, bercerita pada kami Bagiyah bin Walid, bercerita padaku Ibrahim bin Muhammad bin Ziyad Al-Alhani berkata: Aku mendengar Khalid bin Madan bercerita dari Abu Darda yang mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku sepuluh kali saat di pagi hari dan sepuluh kali saat di sore hari syafaatku di Hari Kiamat mengenai dirinya.

 

Abu Musa Al-Madini berkata, “Diriwayatkan dari Bagiyah oleh lebih dari seorang. Yazid bin Abdirabih dulunya berdomisili di Homs, dekat gereja Jurjus, ia pun dinisbatkan pada nama gereja ini?”

 

Tempat Kedua Puluh Lima: Setelah Berbuat Dosa dan Ingin Bertaubat Ibnu Abi Ashim berkata dalam kitab Ash-Shalitu alan Nabi (hadits no. 40), bercerita pada kami Hasan bin Bazar bercerita pada kami Syababah, bercerita pada kami Mughirah bin Muslim dari Abu Ishaq dari Anas berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah untukku, karena shalawat untukku menjadi penghapus (dosa) kalian. Siapa bershalawat untukku (satu kali) Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.”

 

Ibnu Abi Ashim berkata dalam kitabnya, (hadits no. 62), bercerita pada kami Muhammad bin Isykab, bercerita pada kami Yunus bin Muhammad,” bercerita pada kami Fadhl bin Atha’ dari Fadhl bin Syuaib dari Abu Manshur dari Abu Mu’adz dari Abu Kahil mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Wahai Abu Kahil, siapa bershalawat untukku setiap hari sebanyak tiga kali dan setiap malam sebanyak tiga kali karena cinta dan rindu padaku, Allah wajib mengampuni dosa-dosanya (yang terjadi) di malam dan hari itu.”

 

Abu Syaikh dalam kitab Ash-Shalatu alan Nabi berkata, Menceritakan pada kami Abdullah bin Muhammad bin Nashr, bercerita pada kami Ismail bin Yazid, bercerita pada kami Husain bin Hafsh, bercerita pada kami Ibrahim bin Thuhman dari Laits bin Abi Sulaim dari Nafi bin Kaab Al-Madani dari Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah untukku karena shalawat untukku itu adalah zakat kalian.”

 

Ibnu Abu Syaibah (II/217), meriwayatkannya dari Ibnu Fudhail dari Laits dari Ka’ab dari Abu Hurairah aw.

 

Hadits ini menginformasikan shalawat merupakan zakat pelakunya untuk Rasulullah. Kata zakat mengandung arti berkembang, berkah, dan suci. Sedang hadits sebelumnya memberitahukan shalawat itu sebagai kafarat yang mengandung arti penghapusan dosa. Kedua hadits ini berisi pengertian bahwa shalawat untuk Nabi menghasilkan kesucian jiwa dari sifat-sifat buruk sekaligus mengembangkan dan menambah kesempurnaannya serta sifat-sifat baiknya. Dua perkara inilah yang menjadi muara kesempurnaan jiwa. Jadi dapat disimpulkan, tak ada kesempurnaan jiwa selain dengan bershalawat untuk Nabi yang termasuk konsekuensi dari mencintai, meneladani, dan mendahulukan beliau dari semua makhluk selain beliau.

 

Tempat Kedua Puluh Enam: Ketika Ditimpa atau Takut Tertimpa Kefakiran dan Kepapaan

 

Abu Nu’aim berkata, bercerita pada kami Abdullah bin Muhammad bin Ja’far, bercerita pada kami Muhammad bin Hasan bin Sama’ah, bercerita pada kami Abu Nuaim bercerita pada kami Fithr bin Khalifah dari Jabir bin Samurah As-Sawai dari ayahnya yang menuturkan:

 

  1. Kami sedang berada di sisi Nabi ketika seseorang mendatangi beliau. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling dapat mendekatkan pada Allah?” Beliau menjawab, “Bicara jujur dan menunaikan amanah.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tambahilah kami.” Beliau bersabda, “Shalat malam dan shalat di siang hari.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tambahilah kami.” Beliau bersabda, “Banyak dzikir dan shalawat untukku itu menghilangkan kefakiran” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tambahilah kami.” Beliau menjawab, “Siapa mengimami shalat satu kaum hendaknya ia memperingan karena di antara mereka ada orang tua, orang sakit, orang yang lemah, dan orang yang memiliki kebutuhan.”

 

Tempat Kedua Puluh Tujuh: Ketika Laki-Laki Meminang Wanita

 

  1. Ismail bin Abu Ziyad berkata dari Juwaibir dari Dhahak dari Ibnu Abbas ses tentang firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.” (Al-Ahzib (33): 56). Ia berkata, “Maksudnya Allah menyanjung dan mengampuni Nabi kalian serta memerintahkan para malaikat memohonkan ampunan untuk beliau” “..hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al-Ahzab (33): 56). Yakni, sanjunglah beliau dalam shalat kalian, masjid-masjid kalian dan di setiap tempat. Serta jangan lupa menyanjung beliau (dengan bershalawat) saat meminang wanita.” Tempat Kedua Puluh Delapan: Ketika Bersin Ourthubi berkata,” Bercerita pada kami Muhammad bin Abdullah AlHadhrami, bercerita pada kami Sahl bin Shalih Al-Anthaki, bercerita pada kami Walid bin Muslim bercerita pada kami Sa’id bin Abdulaziz dari Sulaiman bin Musa dari Nafi menuturkan:

 

  1. Aku melihat Ibnu Umar ws saat seseorang yang berada di sampingnya bersin lalu orang itu mengucapkan, “Segala puji bagi Allah dan semoga keselamatan terlimpah pada Rasulullah” Lantas Ibnu Umar berkata, “Aku juga mengucapkan semoga keselamatan pada Rasulullah. Tetapi tidak seperti ini caranya (berdoa setelah bersin). Rasulullah memerintahkan kami agar ketika bersin kami mengucapkan, segala puji bagi Allah di segala keadaan”

 

Thabrani berkata, “Tidak meriwayatkan hadits ini dari Sa’id selain Walid, Sahi pun meriwayatkannya seorang diri.”

 

Sedang Tirmidzi (hadits no. 2738), meriwayatkannya dari Humaid bin Mas’adah, bercerita pada kami Ziyad bin Rabi’, bercerita pada kami Hadhrami maula keluarga Jarud, dari Nafi bahwa seseorang bersin di samping Ibnu Umar, lantas orang itu mengucapkan, “Segala puji bagi Allah, dan semoga keselamatan terlimpah pada Rasulullah.” Ibnu Umar berkata:

 

  1. “Aku juga mengucapkan, segala puji bagi Allah dan semoga keselamatan terlimpah pada Rasulullah. Namun bukan seperti ini yang diajarkan Rasulullah pada kami (ketika bersin). Beliau mengajari kami mengucapkan, segala puji bagi Allah di setiap keadaan.”

 

Tirmidzi berkata, “Ini hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ziyad bin Rabi.”

 

Abu Musa Al-Madini berkata, “Juga diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar ss yang berkebalikan dari ini” Kemudian ia membawakan riwayat tersebut melalui jalan Abdullah bin Ahmad,” bercerita pada kami Abad bin Ziyad, bercerita pada kami Zuhair dari Abu Ishaq dari Nafi menuturkan, “Seseorang bersin di dekat Ibnu Umar, Ibnu Umar berkata kepadanya:

 

  1. “Engkau bakhil, mengapakah saat memuji Allah engkau tidak bershalawat untuk Nabi?”

 

Sekelompok ulama berpendapat seperti ini di antaranya Abu Musa Al-Madini dan lainnya.

 

Sedang kelompok lain berpendapat berbeda, mereka berkata, “Tidak dianjurkan bershalawat untuk Nabi kala bersin. Itu hanya waktu untuk memuji Allah saja. Dan Nabi tidak menyariatkan selain pujian pada Allah ketika bersin. Sedang shalawat untuk Rasulullah, meskipun termasuk amal yang paling afdhal dan paling dicintai Allah, namun setiap dzikir memiliki tempatnya yang tidak dapat digantikan dzikir lain.”

 

Mereka menambahkan, “Oleh karena itu, tidak disyariatkan bershalawat untuk Nabi dalam rukuk, sujud, serta berdiri dari rukuk. Dan disyariatkan dalam tasyahud akhir baik sebagai kewajiban atau anjuran (mustahab) saja” Mereka meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi:

 

  1. Jangan kalian menyebutku dalam tiga kondisi: saat membaca basmalah ketika hendak makan, ketika menyembelih, dan saat bersin.”

 

Hadits ini tidak shahih karena berasal dari riwayat Sulaiman bin Isa As-Sajazi dari Abdurahim bin Zaid Al-Ammi, dari ayahnya dari Nabi… dan seterusnya. Hadits ini memiliki tiga cacat:

 

* Kesendirian Sulaiman bin Isa dalam meriwayatkannya. Baihagi berkata, (IX/286), “Ta terhitung orang yang suka memalsukan hadits.”

* Kelemahan Abdurahim Al-Ammi.

*Sanadnya munqathi.

 

Baihagi berkata, “Kami telah meriwayatkan hadits tentang shalawat saat bersin:

 

  1. Mengabarkan pada kami Abu Thahir Al-Fagih, mengabarkan pada kami Abu Abdullah Ash-Shafar, menceritakan pada kami Abdullah Ash-Shafar, bercerita pada kami Abdullah bin Ahmad, bercerita pada kami Abad bin Ziyad…

 

Dan seterusnya. Ia menyebutkan atsar di atas.

 

Tempat Kedua Puluh Sembilan: Setelah Wudhu

 

Abu Syaikh dalam kitabnya berkata,” Bercerita pada kami Muhammad bin Abdurahim bin Syabib, bercerita pada kami Ishaq bin Abi Israil, bercerita pada kami Muhammad bin Jabir, dari Amasy dari Abu Wail dari Abdullah menuturkan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila salah seorang dari kalian selesai dari wudhunya hendaknya ia mengucapkan, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad hamba sekaligus utusan-Nya. Kemudian bershalawat untukku. Apabila ia mengucapkan hal itu pintu-pintu rahmat dibukakan untuknya?”

 

Hadits ini masyhur, memiliki beberapa jalan periwayatan dari Umar bin Khathab Uqbah  bin Amir Tsauban, dan Anas. Namun tak ada penyebutan shalawat di dalamnya selain dalam riwayat ini.

 

Ibnu Abi Ashim berkata dalam kitabnya, (hlm. 80), bercerita pada kami Duhaim, bercerita pada kami Ibnu Abi Fudaik, bercerita pada kami Abdulmuhaimin bin Abbas bin Sahl bin Saad, dari ayahnya dari kakeknya ia memarfukkannya,

 

  1. “Tidak (sempurna) wudhu orang yang tidak bershalawat untuk Nabi Abdulmuhaimin tidak dapat dipakai hujah. Hadits ini telah dibawakan.”

 

Tempat Ketiga Puluh: Saat Masuk Rumah

 

Hal ini disebutkan Al-Hafizh Abu Musa Al-Madini. Terkait masalah ini telah diriwayatkan hadits Abu Shalih bin Mihlab dari Abu Bakar bin Imran: Bercerita padaku Muhammad bin Abbas bin Walid, bercerita padaku Amru bin Sa’id, bercerita pada kami Ibnu Abi Dzi’b, bercerita padaku Muhammad bin Ajlan dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad menuturkan, seseorang mendatangi Nabi lalu mengadukan kefakiran dan kesempitan hidup pada beliau. Nabi pun bersabda padanya:

 

  1. “Apabila engkau masuk rumahmu ucapkan salam, baik di dalamnya ada seseorang atau tidak. Kemudian ucapkan salam padaku dan bacalah gul huwallahu ahad (Al-Ikhlish) satu kali.”

 

Orang itu pun mengerjakan. Allah pun melimpahkan rezeki untuknya hingga meluap pada para tetangga dan kerabat-kerabatnya.

 

Tempat Ketiga Puluh Satu: Setiap Tempat Berkumpul untuk Mengingat Allah Hal ini sesuai hadits Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang terus berjalan. Apabila mereka melewati majelis dzikir, sebagian mereka berkata pada sebagian yang lain, Duduklah kalian, lalu apabila orang-orang itu berdoa aminilah doa mereka. Apabila mereka bershalawat untuk Nabi bershalawatlah bersama mereka sampai selesai” Kemudian sebagian mereka berkata pada yang lain, Beruntunglah orang-orang itu, mereka pulang dalam keadaan telah diberi ampunan.”

 

Asal hadits ini diriwayatkan Muslim

 

Redaksi di atas adalah penuturan Muslim bin Ibrahim AJ-Kisy, bercerita pada kami Abdusalam bin Ajlan, bercerita pada kami Abu Utsman An-Nahdi, dari Abu Hurairah.

 

Tempat Ketiga Puluh Dua: Apabila Lupa Sesuatu dan Ingin Mengingatnya

 

Hal ini disebutkan Abu Musa Al-Madini. Tentangnya, diriwayatkan suatu hadits dari jalan Muhammad bin Atab Al-Marwazi, bercerita pada kami Sadan bin Abdah Abu Sa’id Al-Marwazi, bercerita pada kami Ubaidullah bin Abdullah Al-Atki, memberitakan pada kami Anas bin Malik yang mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila kalian lupa sesuatu bershalawatlah untukku pasti kalian akan ingat, insya Allah.”

 

Al-Hafizh berkata, “Kami telah menyebutkannya dari jalan selain ini dalam kitab Al-Hifzhu wan Nisyan.”

 

Tempat Ketiga Puluh Tiga: Saat Kebutuhan Menghampiri Seorang Hamba

 

Ahmad bin Musa Al-Hafizh berkata,” Bercerita pada kami Abdurahim bin Muhammad bin Muslim Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Usaid berkata, menceritakan pada kami Ismail bin Yazid, bercerita pada kami Ibrahim bin Asy’ats AlKhurasani, bercerita pada kami Abdullah bin Sinan bin Uqbah bin Abi Aisyah Al-Madani, dari Abu Sahl bin Malik dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku seratus kali saat (usai) shalat Subuh sebelum ia berbicara, Allah menyelesaikan seratus kebutuhannya, tiga puluh di antaranya diberikan dengan segera dan tujuh puluh (sisanya) ditangguhkan. Begitu pula sesuai shalat Maghrib seperti itu.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana cara bershalawat untuk Anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al-Ahzab (331: 56). Yakni, Ya Allah, limpahkan shalawat untuk beliau. Hingga seratus kali.”

 

 

Ibrahim bin Junaid berkata, bercerita pada kami Ismail bin Khudaij bin Mu’awiyah,”? dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah dari Ibnu Mas’ud berkata:

 

  1. “Apabila engkau ingin meminta satu kebutuhan pada Allah, awalilah dengan pujian dan sanjungan pada Allah dengan sanjungan yang pantas Dia sandang. Selanjutnya bershalawatlah untuk Nabi, kemudian berdoalah setelahnya, karena dengan demikian engkau lebih pantas mendapatkan kebutuhanmu.”

 

Thabrani berkata, bercerita pada kami Sahl bin Musa, bercerita pada kami Zuraig bin Saht, bercerita pada kami Abdulwahab bin Atha, bercerita pada kami Faid Abu Warqa,” bercerita pada kami Abdullah bin Abi Aufa yang menuturkan, Rasulullah keluar menuju kami lalu bersabda:

 

  1. “Siapa memiliki kebutuhan pada Allah hendaknya ia wudhu dengan baik, shalat dua rakaat, memuji Allah, dan bershalawat untuk Rasulullah, serta mengucapkan, “Tiada Ilah selain Allah yang Mahalembut lagi Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang mulia, segala puji milik Allah Rabb alam semesta, aku memohon pada-Mu akan sebab-sebab rahmat-Mu, faktor-faktor ampunan-Mu, ghanimah setiap kebaikan, dan keselamatan dari setiap dosa. Jangan Engkau biarkan suatu kesedihanku kecuali Engkau longgarkan, jangan Engkau biarkan suatu dosaku kecuali Engkau ampuni, dan tidak pula satu kebutuhan yang Engkau ridhai kecuali Engkau memenuhinya wahai Dzat yang paling pengasih.”

 

Ibnu Mandah Al-Hafizh berkata, bercerita pada kami Abdushamad Al-Ashimi, mengabari kami Ibrahim bin Ahmad Al-Mustamli, bercerita pada kami Muhammad bin Durustuwaihi, bercerita pada kami Sahl bin Matawaihi, bercerita pada kami Muhammad bin Ubaid, bercerita pada kami Abbas bin Bakar, bercerita pada kami Abu Bakar Al-Hudzali, bercerita pada kami Muhammad bin Munkadir dari Jabir mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa bershalawat untukku seratus kali setiap hari, Allah menyelesaikan seratus keperluannya: tujuh puluh di akhirat dan tiga puluhnya di dunia.“

 

Al-Hafizh Abu Musa berkata, “Hadits hasan.”

 

Aku berkata, “Telah disebutkan hadits Fadhalah bin Ubaid dan Ubay bin Kaab tentang masalah ini. Wallahu a’lam.”

 

Tempat Ketiga Puluh Empat: Ketika Telinga Berdengung

 

Hal ini disebutkan Abu Musa dan lainnya.

 

Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya, hadits no. 81, berkata, bercerita pada kami Abu Rabi, bercerita pada kami Hiban bin Ali, bercerita pada kami Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari saudaranya Abdullah dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan, Rasulullah bersabda: .

 

  1. “Apabila telinga salah seorang kalian berdengung hendaknya ia bershalawat untukku, dan hendaknya ia mengucapkan, Semoga Allah menyebut dengan baik orang yang membicarakanku.”

 

Ma’mar meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi dari ayahnya dari kakeknya. Ia tidak menyebutkan Abdullah dalam sanad ini.

 

Dalam riwayat lain dengan redaksi, “Semoga Allah menyebut orang yang membicarakanku dengan kebaikan.”

 

Tempat Ketiga Puluh Lima: Pada Akhir Shalat

 

Hal ini diungkapkan Al-Hafizh Abu Musa dan lainnya. Tetapi terkait masalah ini mereka tidak menyebutkan selain satu cerita yang dituturkan Abu Musa Al-Madini dari jalan Abdulghani bin Sa’id yang berkata: Aku mendengar Ismail bin Ahmad bin Ismail Al-Hasib berkata, mengabarkan padaku Abu Bakar Muhammad bin Umar yang menuturkan, aku berada di sisi Abu Bakar bin Mujahid, lalu Asy-Syabli datang. Maka Abu Bakar bin Mujahid bangkit, memeluknya dan mencium di antara kedua matanya. Aku bertanya padanya, “Wahai tuanku, mengapa Anda melakukan hal ini pada Syabli, padahal Anda dan seluruh orang di Baghdad menganggapnya gila?”

 

Ia berkata padaku, “Aku melakukan hal itu padanya seperti aku melihat Rasulullah # melakukannya padanya. Demikian karena aku bermimpi melihat Rasulullah &: saat Syabli datang. Beliau bangkit menghampirinya dan mencium di antara kedua matanya. Aku bertanya, Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan hal ini pada Syabli?” Beliau menjawab, “Orang ini dalam shalatnya membaca, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri..” (At-Taubah (9): 128) sampai akhir surah, dan mengiringinya dengan shalawat untukku.” Dalam riwayat lain, “Ia tidak menunaikan satu shalat wajib kecuali setelahnya ia membaca Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri..’ sampai akhir surah, dan ja mengucapkan Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu wahai Muhammad? tiga kali” Manakala Syabli masuk, aku menanyakan apa yang ia baca selepas shalat. Ternyata ia menyebutkan persis seperti itu.!?!

 

Tempat Ketiga Puluh Enam: Ketika Menyembelih

 

Permasalahan ini diperselisihkan. Syafi’i ats menganjurkannya, ia berkata: “Tasmiyah terhadap binatang yang disembelih adalah dengan mengucapkan bismillah. Jika setelah itu ditambahi sesuatu dari dzikir pada Allah maka itu bagus. Dan aku tidak membenci bila selain membaca bismillah pada binatang yang disembelih ia mengucapkan, Semoga Allah melimpahkan shalawat untuk Rasulullah: Bahkan aku menganjurkan hal itu padanya dan aku mengajurkannya memperbanyak shalawat untuk beliau. Semoga Allah melimpahkan shalawat untuk Nabi di semua keadaan. Sebab menyebut Allah dan bershalawat untuk Nabi merupakan bentuk keimanan dan ibadah pada-Nya yang siapa mengucapkannya akan diberi pahala, insya Allah”

 

Abdurahman bin Auf pernah menuturkan:

 

  1. Ia bersama Nabi &£. Lalu Nabi &£ mendahuluinya jauh di depan, ia pun menyusul beliau. Abdurahman mendapati beliau sedang sujud, ia pun berhenti menunggu beliau. Ternyata beliau sujud lama. Kemudian beliau mengangkat kepala. Lantas Abdurahman berkata, “Sungguh aku khawatir Allah mencabut nyawa Anda dalam sujud” Berliau bersabda, “Wahai Abdurahman, sesungguhnya alasan perbuatan yang aku lakukan saat engkau melihatku adalah Jibril menemuiku lalu menyampaikan berita dari Allah padaku bahwa Dia berfirman, Siapa bershalawat untukmu Aku bershalawat untuknya. Aku pun sujud pada Allah untuk bersyukur.”

 

Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa lupa bershalawat untukku ia salah menempuh jalan surga… “Syafi’i menjelaskan panjang lebar masalah ini.”

 

Sementara yang lain berpendapat lain, di antaranya adalah Imam Abu Hanifah. Mereka memakruhkan shalawat di situasi ini, sebagaimana disebutkan penulis kitab Al-Muhith. Ia beralasan dengan ucapan, “Karena itu mengandung kesamaran penyembelihan untuk selain Allah.”

 

Sedang para pengikut Imam Ahmad berselisih pandangan. Al-Oadhi dan kawan-kawannya memakruhkan shalawat saat hendak menyembelih. Kemakruhan ini juga disebutkan Abu Khathab dalam Ru’isul Masd’il. Sementara Ibnu Syaqilan mengatakan, “(Hal itu) disukai” Seperti pendapat Syafi’i.

 

Mereka yang memakruhkannya beralasan dengan mengucapkan, “Abu Muhammad Al-Khalal meriwayatkan dengan sanadnya dari Muadz dari Nabi bahwa beliau bersabda:

 

  1. “Dua tempat yang aku tak memiliki bagian di dalamnya: yakni saat bersin dan menyembelih.”

 

Mereka juga berhujah dengan hadits Sulaiman bin Isa As-Sajazi dari Abdurahim bin Zaid Al-Ammi dari ayahnya. Hadits ini telah dibahas dan kesimpulannya hadits ini tidak terbukti benar.

 

Tempat Ketiga Puluh Tujuh: Saat Shalat di Selain Tasyahud

 

Tapi di saat membaca (ayat Al-Quran) apabila melewati penyebutan beliau atau melewati firman Allah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi…” Demikian disebutkan para sahabat kami (ulama madzhab Hanabilah) dan selain mereka. Mereka berkata, “Kapan orang yang shalat melewati penyebutan Nabi dalam membaca (ayat Al-Quran) ia berhenti dan bershalawat untuk beliau.”

 

Ismail bin Ishaq mengatakan, bercerita pada kami Muhammad bin Abu Bakar, bercerita pada kami Bisyr bin Manshur dari Hisyam dan Hasan mengatakan:

 

  1. “Apabila (orang yang shalat) melewati shalawat untuk Nabi hendaknya ia berhenti dan bershalawat untuk beliau dalam shalat Sunah”

 

Imam Ahmad telah menyatakan hal ini, ia berkata, “Apabila orang yang shalat melewati ayat yang menyebutkan Nabi, jika ia mengerjakan shalat Sunnah, ja perlu bershalawat untuk Nabi.”

 

Tempat Ketiga Puluh Delapan: Sebagai Pengganti Sedekah Bagi Orang yang Tidak Memiliki Harta Atau Orang yang Sedang dalam Kesulitan

 

Ibnu Wahb berkata dari Amru bin Harits dari Daraj Abu Samh dari Abu Haitsam dari Abu Sa’id mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Siapa saja yang tidak memiliki sedekah hendaknya ia mengucapkan dalam doanya, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, dan limpahkan shalawat untuk kaum mukminin dan mukminah, mislimin dan muslimah, karena sesungguhnya itu menjadi zakatnya “

 

Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Wahb oleh putra saudaranya dan Harun bin Maruf.

 

Tempat Ketiga Puluh Sembilan: Saat Menjelang Tidur

 

Abu Syaikh dalam kitabnya berkata, mengabarkan pada kami Ishaq bin Ismail Ar-Ramli, bercerita pada kami Adam bin Abi Iyas, bercerita pada kami Muhammad bin Natsr, bercerita pada kami Muhammad bin Amir menuturkan, Abu Oirshafah berkata: Aku mendengar Rasulullah  bersabda:

 

  1. “Siapa mendatangi tempat tidurnya kemudian membaca, “Tabdrakal ladzi bi yadihil mulk (Al-Mulk), kemudian mengucapkan, Ya Allah, Rabb tanah halal dan tanah haram, Rabb negeri haram, Rabb rukun (sudut Kakbah tempat Hajar Aswad) dan magam Ibrahim, Rabb Masyaril Haram (Muzdalifah), dengan hak setiap ayat yang Engkau turunkan di bulan Ramadhan, sampaikan pada ruh Muhammad ucapan penghormatan dan salam dariku, sebanyak empat kali maka Allah menugaskan dua malaikat membawa kalimat tersebut hingga keduanya mendatangi Muhammad. Lalu keduanya berkata padanya, Wahai Muhammad, sesungguhnya fulan bin fulan membacakan salam dan rahmat Allah padamu: Ia menjawab, “Dan semoga salam, rahmat Allah, serta berkah-Nya terlimpah pada si fulan”

 

Al-Hafizh Abu Musa berkata, “Nasyr, ayah Muhammad, dengan nun yang difathah.”

 

Aku berkata, “Abu Oirshafah disebutkan Ibnu Abdilbar” dalam kitab AshShahdbah (4/163), ia mengatakan, namanya Jandarah, berasal dari Bani Kinanah. Ia memiliki persahabatan dengan Rasulullah dan tinggal di Palestina. Dikatakan pula, ia tinggal di Tihamah.

 

Tapi Muhammad bin Nasyr ini Al-Madani, tentangnya Al-Azdi berkata, “Haditsnya ditinggalkan dan ia tak dikenal.”

 

Aku berkata, “Cacat hadits ini adalah matannya dikenal sebagai ucapan Abu Jafar, ini lebih mendekati kebenaran. Wallahu a’lam?

 

Tempat Keempat Puluh: Saat Memulai Ucapan Baik yang Penting

 

Ucapan seperti ini dimulai dengan pujian dan sanjungan pada Allah, kemudian disusul shalawat untuk Rasulullah, baru menyebutkan perkataan yang ingin disampaikan.

 

Dimulainya perkataan seperti ini dengan pujian berdasarkan hadits yang diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad, (II/359), dan Sunan Abi Dawud (hadits no. 484), dari Abu Hurairah?” dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Setiap ucapan yang tidak dimulai dengan pujian pada Allah maka itu kurang berkah.”

 

Sedang disyariatkannya shalawat untuk Nabi dalam kondisi ini berdasarkan apa yang diriwayatkan Abu Musa Al-Madini dari hadits Ismail bin Ziyad dari Yunus bin Yazid dari Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Setiap ucapan yang Allah tidak disebut di dalamnya, yakni (tidak) diawali dengan menyebut-Nya dan bershalawat untukku maka ucapan tersebut terputus, terhapus dari setiap berkah.”

 

Tempat Keempat Puluh Satu: Saat Shalat Id

 

Ismail bin Ishaq (hadits no. 88, 89), berkata, bercerita pada kami Muslim bin Ibrahim, bercerita pada karni Hisyam Ad-Dustuwai, bercerita pada kami Hamad bin Abu Salamah, dari Ibrahim dari Alqamah bahwa Ibnu Mas’ud, Abu Musa, dan Hudzaifah ditemui Walid bin Uqbah  satu hari sebelum hari raya. Ia berkata pada mereka:

 

  1. “Sesungguhnya hari raya telah dekat, bagaimana cara bertakbir di dalam (shalat)nya?” Abdullah menjawab, “Engkau mulai dengan bertakbir satu kali untuk membuka shalat, engkau memuji Rabb dan bershalawat untuk Nabi Muhammad, kemudian berdoa dan bertakbir (kedua), lalu melakukan persis seperti itu. Kemudian engkau bertakbir (ketiga) dan melakukan persis seperti itu. Kemudian engkau membaca, kemudian bertakbir dan rukuk, Selanjutnya engkau berdiri (setelah sujud), membaca, memuji Rabbmu, dan bershalawat untuk Nabi Muhammad, kemudian engkau berdoa. Lalu engkau bertakbir (pertama di rakaat kedua) dan melakukan persis seperti itu, kemudian bertakbir (kedua) dan melakukan persis seperti itu, kemudian bertakbir (ketiga) dan melakukan persis seperti itu. Berikutnya engkau rukuk Hudzaifah dan Abu Musa berkata, “Abu Abdurahman benar,”

 

Hadits ini mengandung pengertian berturut-turutnya antara dua bacaan (yakni, bacaan rakaat pertama dan kedua tidak diselingi takbir zawaid). Ini madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad. Kemudian, takbir zawaid dalam shalat Id berjumlah tiga, tiga. Ini juga madzhab Abu Hanifah. Berikutnya, adanya pujian pada Allah dan shalawat untuk Rasulullah di antara takbir-takbir zawaid, ini madzhab Syafi’i dan Ahmad.

 

Dari hadits ini, Abu Hanifah mengambil jumlah takbir zawaid dan berturutturutnya antara dua bacaan, sementara Ahmad dan Syafi’i mengambil dianjurkannya berdzikir di antara takbir-takbir zawaid. Sedang Abu Hanifah dan Malik menyukai takbir-takbir dilakukan tanpa adanya dzikir di antaranya. Malik tidak mengambil hadits ini sebagai alasan dalam masalah-masalah ini. Allah jua yang lebih mengetahui.

 

Berbagai Keuntungan yang Diperoleh dari Bershalawat untuk Nabi

 

  1. Melaksanakan perintah Allah.

 

  1. Menyertai Allah dalam bershalawat untuk Nabi, kendati maksud dua shalawat ini berbeda. Shalawat kita untuk Nabi berarti doa dan permohonan (agar Allah menambah sanjungan dan kemuliaan bagi beliau), sementara Shalawat Allah untuk Nabi bermakna sanjungan dan pemuliaan, seperti telah dijelaskan.

 

  1. Menyertai malaikat dalam bershalawat untuk Nabi.

 

  1. Memperoleh sepuluh shalawat dari Allah bagi orang yang bershalawat untuk Nabi satu kali.

 

  1. Allah mengangkatnya sepuluh derajat lebih tinggi (untuk setiap shalawat).

 

  1. Dia menuliskan sepuluh kebaikan untuknya (untuk setiap shalawat).

 

  1. Dia menghapuskan sepuluh keburukannya (untuk setiap shalawat).

 

  1. Besar harapan doa dikabulkan apabila diawali dengan shalawat. Sebab shalawat membawa naik doa sampai di hadapan Rabb semesta alam, sementara sebelum itu doa terkatung-katung di antara langit dan bumi.

 

  1. Shalawat adalah sebab memperoleh syafaat Nabi baik disandingkan dengan permintaan wasilah untuk beliau atau tidak disandingkan, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ruwaifi’.

 

  1. Shalawat adalah sebab pengampunan dosa-dosa, seperti telah disebutkan.

 

  1. Shalawat adalah sebab Allah menghilangkan kesedihan yang menghinggapi hamba.

 

  1. Shalawat adalah sebab kedekatan hamba dengan Nabi di Hari Kiamat. Kiranya telah disebutkan hadits Ibnu Mas’ud terkait masalah ini.

 

  1. Shalawat dapat menggantikan sedekah pada orang yang kesusahan (ketika tidak memiliki barang yang bisa diberikan).

 

  1. Shalawat adalah sebab terselesaikannya segala kebutuhan.

 

  1. Shalawat untuk Nabi adalah sebab shalawat Allah untuk orang yang bershalawat, dan shalawat malaikat untuknya.

 

  1. Shalawat adalah zakat dan pembersih orang yang mengucapkannya.

 

  1. Shalawat adalah sebab seorang hamba diberi berita gembira berupa surga sebelum ia meninggal. Hal ini disebutkan Al-Hafizh Abu Musa dalam kitabnya, dan ia membawakan sebuah hadits tentangnya.

 

  1. Shalawat adalah sebab keselamatan dari berbagai kengerian di Hari Kiamat. Hal ini disebutkan Abu Musa dan ia membawakan satu hadits tentangnya.

 

  1. Shalawat adalah sebab jawaban Nabi pada orang yang mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau.

 

  1. Shalawat adalah sebab ingatnya seorang hamba terhadap apa yang ia lupa, seperti telah disebutkan.

 

  1. Shalawat adalah sebab kebaikan suatu majelis dan tidak menjadi penyesalan orang-orang yang menghadirinya di Hari Kiamat.

 

  1. Shalawat adalah sebab sirnanya kefakiran, seperti telah disebutkan.

 

  1. Shalawat menghilangkan cap kebakhilan dari hamba, apabila ia bershalawat untuk Nabi saat beliau disebut.

 

  1. Shalawat menjadi sebab keselamatan hamba dari doa keburukan berupa “kehinaan, apabila ia tidak bershalawat saat Nabi disebut.

 

  1. Shalawat mengarahkan pelakunya ke jalan surga dan menyesatkan orang yang meninggalkannya dari jalan surga.

 

26, Shalawat menghindarkan kebusukan majelis yang di dalamnya Allah dan RasulNya tidak disebut, pujian dan sanjungan tidak dihaturkan pada-Nya, serta | shalawat tidak diucapkan untuk Rasulullah.

 

  1. Shalawat adalah sebab kesempurnaan ucapan, yang dimulai dengan pujian pada Allah dan shalawat untuk Rasulullah

 

  1. Shalawat adalah sebab sangat terangnya cahaya hamba di atas Shirath. Terkait hal ini terdapat satu hadits yang disebutkan Abu Musa dan lainnya.

 

  1. Dengan shalawat, hamba terhindar dari watak keras (terhadap Nabi).

 

  1. Shalawat adalah sebab dikekalkannya sanjungan baik oleh Allah untuk pelakunya di antara penduduk langit dan bumi. Sebab orang yang bershalawat itu memohon pada Allah supaya menyanjung Rasul-Nya, memuliakan, dan mengagungkan beliau. Sementara balasan sejenis dengan perbuatan. Pasti orang yang bershalawat mendapatkan sanjungan semacam ini.

 

  1. Shalawat adalah sebab keberkahan diri pelakunya, amalnya, umurnya, serta sebab-sebab kebaikannya. Pasalnya orang yang bershalawat itu memohon pada Allah supaya melimpahkan berkah pada Nabi dan keluarga beliau. Doa ini telah diijabahi. Sedang balasannya sejenis dengan doa tersebut.

 

  1. Shalawat adalah sebab teraihnya rahmat Allah untuk pelakunya. Sebab rahmat itu bisa jadi merupakan makna shalawat -seperti pendapat sekelompok ulama- dan bisa jadi merupakan konsekuensinya menurut pendapat yang benar. Jadi orang yang bershalawat untuk Nabi pasti mendapatkan rahmat Allah.

 

  1. Shalawat adalah sebab kekekalan cinta pelakunya pada Rasulullah, peningkatan, dan berlipatgandanya. Cinta ini merupakan salah satu simpul keimanan yang menentukan kesempurnaannya. Jelasnya, semakin banyak hamba mengingat sang kekasih, menghadirkannya dalam hati, dan selalu mengenang sisi-sisi baik serta nilai-nilainya yang melahirkan kecintaan padanya, pasti perasaan cinta padanya berlipat ganda, kerinduan padanya terus meningkat, serta menguasai seluruh hatinya. Sebaliknya, apabila ia enggan mengingatnya, membayangkannya, dan mengenang sisi-sisi baiknya di hati, niscaya cintanya dalam hati menyusut. Tidak ada sesuatu yang menyejukkan mata hamba yang tengah jatuh cinta selain melihat kekasihnya, dan tak ada yang lebih menentramkan hatinya dibanding terus mengingat dan membayangkan sisi-sisi kebaikannya. Bila perasaan ini terpatri kuat dalam hati, otomatis lidah bergerak memujinya, menyanjungnya, dan menyebutkan kebaikankebaikannya. Bertambah atau berkurangnya pujian verbal dipengaruhi oleh bertambah dan berkurangnya cinta dalam hati. Fakta berbicara seperti itu.

 

Hingga tentang masalah ini seorang pujangga mengatakan,

 

Aku heran pada orang yang mengatakan “aku ingat kekasihku’

Pernahkan aku lupa hingga aku perlu mengingat orang yang aku lupa?

 

Orang yang tengah kasmaran ini heran terhadap orang yang berkata, “Aku ingat kekasihku.” Sebab kata “ingat terjadi setelah “lupa. Seandainya cinta orang ini sempurna, ia tak akan lupa pada kekasihnya.

 

Pujangga lain mengatakan,

 

Aku ingin tak mengingatnya, namun justru seolah-olah

Laila terbayang di hadapanku di setiap jalan

 

Orang ini memberitahukan tentang dirinya bahwa cintanya pada sang kekasih menghalangi dirinya melupakannya.

 

Pujangga lain lagi berkata,

 

Hati dipaksa melupakan kalian

Namun tabiat enggan berpindah

 

Ia mengungkapkan bahwa cinta dan ingatnya pada mereka telah menjadi tabiatnya. Sehingga siapa menginginkan hal selain itu dari dirinya, tabiatnya enggan berganti. Ada ungkapan terkenal, “Siapa mencintai sesuatu ia pasti banyak mengingatnya.” Dan yang paling layak didendangkan dalam bahasan paling mulia ini adalah,

 

Seandainya hatiku dibelah pasti di separohnya

Tertulis namamu dan tauhid di separohnya yang lain

 

Inilah hati seorang mukmin, pengesaan pada Allah dan nama Rasulullah tertulis di dalamnya, keduanya tak mungkin bisa dihapus maupun dihilangkan. Oleh karena seringnya mengingat sesuatu itu melahirkan keabadian cinta padanya maka melupakannya menjadi sebab hilang atau melemahnya cinta. Allah adalah Dzat yang berhak dicintai semua hamba-Nya dengan cinta yang paripurna dan diagungkan dengan pengagungan yang sempurna. Bahkan dosa syirik yang tidak Dia ampuni adalah menyekutukan-Nya dalam hal cinta dan pengagungan. Yakni mencintai selain Allah dan mengagungkan selain-Nya dari para makhluk seperti cinta dan pengagungan pada Allah. Dia berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah: mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..” (Al-Bagarah (2): 165). Allah mengabarkan bahwa orang musyrik mencintai tandingan seperti ia mencintai Allah, sedang orang beriman lebih besar cintanya pada Allah dibanding kepada segala sesuatu.

 

Penghuni neraka berkata di dalam neraka, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam” (Asy-Syuara’ (26): 97-98). Sama-sama diketahui, mereka hanya menyamakan sesembahan dengan Allah dalam hal cinta, ketundukan, dan peribadahan. Bila tidak, tak seorang pun mengatakan, “Berhala atau sesembahan lainnya menyamai Rabb alam semesta dalam sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatanNya, menciptakan langit-langit dan bumi, dan juga menciptakan penyembah-Nya. Penyamaan tersebut tak lain hanya dalam cinta dan peribadahan.

 

Yang lebih sesat dan lebih buruk keadaannya dibanding mereka adalah orang yang menyamakan segala sesuatu di alam ini dengan Allah dan menganggap Allah sebagai wujud (manifestasi) segala yang ada baik sempurna maupun cacat. Apabila Allah telah menetapkan sesat dan celaka orang yang menyamakan antara Dia dengan berhala dalam hal cinta -disertai keyakinan mereka adanya perbedaan antara Allah dan makhluk-Nya dalam hal dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanlantas bagaimana dengan orang yang menyamakan Allah dengan semua yang ada di alam semesta dalam semua perkara tersebut, dan ia beranggapan tidak menyembah selain Allah pada setiap sesembahan

 

Intinya, karena selalu mengingat menjadi sebab keabadian cinta, dan Allah paling berhak memperoleh kesempurnaan cinta, penghambaan, pengagungan, dan pemuliaan maka banyak mengingat-Nya merupakan perkara yang paling bermanfaat bagi hamba. Dan musuh bebuyutannyalah yang selalu berusaha menghalanginya mengingat dan beribadah pada Rabb. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan banyak mengingat-Nya dalam Al-Quran dan menjadikannya sebagai sebab keberuntungan. Dia berfirman, “..dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Al-Jumu’ah (62): 10).

 

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Al-Ahzab (331: 41)

 

“laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah…” (Al-Ahzib (331:35)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun (631: 9)

 

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…” (Al-Bagarah (2): 152) Nabi bersabda:

 

  1. “Menanglah al-mufarridun (orang-orang yang menyendiri)” Mereka bertanya, “Siapakah al-mufarridun itu wahai Rasu-lullah?” Beliau menjawab, “Yakni orang-orang yang banyak mengingat Allah.”

 

Dalam riwayat Tirmidzi dari Abu Darda dari Nabi, beliau bersabda:

 

  1. “Maukah aku tunjukkan pada kalian amal kalian yang paling baik dan paling bersih di sisi Raja kalian, paling mampu menaikkan derajat kalian, dan lebih baik bagi kalian dibanding menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian dibanding kalian bertemu musuh lalu kalian memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengingat Allah.”

 

Hadits ini dalam Al-Muwaththa mauquf (terhenti) pada Abu Darda.

 

Muadz bin Jabal berkata:

 

  1. “Tidaklah seorang manusia mengerjakan suatu amal yang lebih bisa menyelamatkannya dari siksa Alah dibanding mengingat Allah.”

 

Dan mengingat Rasulullah mengikuti mengingat Allah.

 

Intinya, selalu mengingat adalah sebab kelestarian cinta. Bagi hati, dzikir laksana air bagi tanaman. Bahkan seperti air bagi ikan yang tak dapat hidup kecuali dengan keberadaannya.

 

Dzikir ada beberapa macam. Pertama, berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan sanjungan pada-Nya.

 

Kedua, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan pengagungan pada Allah. Pengertian inilah yang biasa dimaksudkan dalam penggunaan kata dzikir di kalangan generasi akhir.

 

Ketiga, berdzikir dengan melaksanakan hukum-hukum-Nya, perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini dzikir orang berilmu. Bahkan ketiga jenis dzikir ini menjadi dzikir mereka pada Rabb.

 

Termasuk dzikir yang paling afdhal adalah berdzikir pada Allah dengan membaca firman-Nya. Allah berfirman, “Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta” (Thaha (20): 124). Peringatan-Ku di sini maksudnya adalah firman-Nya yang Dia turunkan pada Rasulullah.

 

Dia juga berfirman, (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (Ar-Rad (13): 28). Di antara manifestasi mengingat Allah adalah berdoa, memohon ampun, dan merendah kepada-Nya. Jadi ini lima jenis bentuk dzikir.

 

  1. Shalawat untuk Nabi adalah sebab kecintaan beliau pada hamba. Pasalnya, apabila shalawat menjadi sebab bertambahnya kecintaan pelaku pada orang yang dimohonkan shalawat, demikian pula shalawat adalah sebab cinta pihak yang dimohonkan terhadap orang yang memohonkan shalawat.

 

  1. Shalawat adalah sebab petunjuk hamba dan kehidupan hatinya. Jelasnya, semakin sering ia bershalawat untuk Nabi dan mengingat beliau, cinta kepada beliau semakin menguasai hatinya. Hingga tak tersisa sedikit pun dalam hatinya kemauan menentang suatu perintah beliau, tidak pula keraguan pada sesuatu pun yang beliau bawa. Sebaliknya, apa yang dibawa Nabi tertulis dan tercatat dalam hatinya, ia senantiasa membacanya dalam kondisi apa pun dan ja mengambil petunjuk, keberuntungan, dan berbagai ilmu darinya. Semakin ia paham, kuat, dan mengetahui permasalahan ini, shalawatnya pada Nabi kian bertambah.

 

Oleh sebab itu, shalawat ahluilmi yang mengetahui sunnah dan petunjuk Nabi serta mengikuti beliau berbeda dengan shalawat kaum awam yang hanya bermodal menggerak-gerakkan tubuh dan suara keras. Para pengikut Nabi yang mengetahui sunnah beliau lagi memahami ajaran yang beliau bawa, shalawat mereka berbeda.

 

Semakin mereka mengerti ajaran yang beliau bawa, mereka semakin bertambah cinta dan memahami hakikat shalawat yang dimohonkan untuk beliau pada Allah.

 

Demikian pula dzikir pada Allah. Semakin seorang hamba mengenal, patuh, dan mencintai Allah, dzikirnya berbeda dengan dzikir orang-orang yang lalai. Perkara seperti ini hanya bisa dimengerti dengan pengalaman, bukan melalui berita. Beda antara orang yang menyebut sifat-sifat kekasihnya di mana perasaan cinta padanya telah menguasai seluruh hatinya, ia terus menyanjung dan mengagungkannya, dengan orang yang menyebut sifat-sifat tersebut karena bergairah atau sekadar ucapan belaka, tanpa mengetahui maknanya dan hatinya tak sejalan dengan lidahnya. Sebagaimana beda antara tangisan wanita peratap dan tangisan ibu yang kehilangan anaknya. Jadi mengingat Rasulullah dan ajaran yang beliau bawa, serta memuji Allah atas nikmat dan karunia-Nya pada kita dengan mengutus beliau merupakan kehidupan dan ruh alam semesta. Sebagaimana dikatakan:

 

Ruh majelis-majelis adalah mengingat dan membicarakan Nabi Itu adalah petunjuk bagi setiap yang terfitnah lagi bingung Bila beliau tak disebut dalam suatu majelis Mereka itu orang-orang mati di dalam raga yang hidup

 

  1. Shalawat adalah sebab dihadapkan dan disebutkannya nama orang yang bershalawat untuk Nabi. Seperti telah disebutkan sabda Nabi

 

  1. “Sesungguhnya shalawat kalian dihadapkan padaku”!

 

  1. Sabda beliau, “Sesungguhnya Allah menugaskan di kuburku para malaikat yang menyampaikan salam umatku padaku.”

 

Cukuplah seorang hamba tersanjung bila namanya disebut dengan kabaikan di hadapan Rasulullah. Terdapat ungkapan terkait pengertian sepert ini:

 

Siapa yang terbesit sebentar saja di hatimu

Sudah sepantasnya ia merasa mulia dan berjaya

 

Pujangga lain mengatakan:

Selamat datang pada sesuatu yang tak pantas aku miliki

Merupakan ucapan orang yang diberi kabar gembira setelah putus asa memperoleh jalan keluar.

Berbahagialah, lepaskan kesedihanmu, sungguh…

Engkau telah disebut-sebut di sana kendati engkau memiliki kekurangan

 

  1. Shalawat adalah sebab diteguhkannya kaki di atas titian shirath sekaligus melewatinya, berdasarkan hadits Abdurahman bin Samurah yang diriwayatkan darinya oleh Sa’id bin Musayib terkait mimpi Nabi. Di sebutkan di dalamnya:

 

  1. “Dan aku melihat seorang dari umatku merangkak di atas Shirath, sesekali ia mengesot dan sesekali ia bergelantungan. Lantash Shalawatnya padaku mendatanginya, lalu memberdirikannya dan menyelamatkannya.”

 

Diriwayatkan Abu Musa Al-Madini dan ia menjadikannya sebagai inspirasi penulisan karyanya, At-Targhib wat Tarhib ia mengatakan, “Ini hadits yang bagus sekali.”

 

  1. Shalawat untuk Nabi merupakan penunaian yang paling minimal dari hak beliau sekaligus sebagai bentuk terima kasih pada beliau atas jasa beliau yang telah Allah anugerahkan pada kita. Walaupun balasan yang berhak beliau terima karena jasa tersebut tak dapat diukur oleh ilmu, kemampuan, dan kamauan. Akan tetapi Allah -berkat kemurahan-Nyameridhai sedikit rasa terima kasih dan penunaian hak pada Nabi yang bisa dilakukan para hamba-Nya.

 

  1. Shalawat mengandung dzikir dan rasa syukur pada Allah, serta pengakuan atas karunia-Nya pada para hamba dengan mengutus Nabi. Jelasnya, shalawat yang diucapkan seseorang untuk Nabi mengandung dzikir pada Allah, ingat pada Rasulullah dan memohon pada Allah agar Dia memberi Nabi balasan sebesar yang pantas beliau dapatkan. Mengingat beliau telah memperkenalkan kita pada Rabb, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan membimbing kita ke jalan keridhaan-Nya. Juga memberitahukan pada kita apa yang akan kita dapatkan setelah sampai dan datang pada-Nya di akhirat kelak. Jadi shalawat ini mengandung seluruh nilai-nilai keimanan. Bahkan mengandung pengakuan keberadaan Rabb yang dimohon, ilmu-Nya, pendengaran-Nya, kemampuanNya, kehendak-Nya, sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, dan pengutusan rasul-Nya, membenarkan semua berita yang disampaikan Nabi serta kesempurnaan cinta pada beliau. Tak diragukan ini adalah pokok-pokok keimanan. Shalawat untuk Nabi mengandung pengetahuan hamba akan semua ini, pembenaran, dan cintanya pada beliau. Maka shalawat tergolong amal yang paling baik.

 

  1. Shalawat untuk Nabi dari hamba berarti doa. Sementara doa dan permohonan hamba pada Rabb ada dua macam. Pertama, meminta kebutuhan, keperluan penting, dan berbagai hal yang menghampirinya di malam dan siang hari. Ini berarti permohonan, permintaan, dan memprioritaskan apa yang disenangi dan diminta hamba.

 

Kedua, permintaan hamba pada Allah agar Dia menyanjung khalil dan kekasihNya, semakin mengagungkan dan memuliakan beliau, serta lebih mengutamakan penyebutan dan pengangkatan derajat beliau. Tak disangsikan, Allah menyukai hal ini, begitu juga Rasul-Nya. Orang yang bershalawat untuk Nabi berarti telah mengajukan permintaan, keinginan, dan permohonannya untuk apa yang disukai Allah dan Rasul-Nya, serta lebih mengutamakan hal itu dibanding memohon kebutuhankebutuhan dan kesukaannya sendiri. Bahkan apa yang dimintanya ini merupakan perkara yang paling ia cintai dan prioritaskan. Ia lebih mementingkan apa yang disukai Allah dan Rasul-Nya dibanding apa yang ia sukai. Ia mengutamakan Allah dan kecintaan-Nya dibanding yang lainnya. Sementara balasan itu sejenis dengan perbuatan. Siapa mementingkan Allah dari selain-Nya niscaya Allah mementingkan dirinya dari yang lain. Coba renungkan pengertian ini dengan memerhatikan kenyataan yang Anda saksikan dilakukan manusia di hadapan raja dan pemimpin ketika mereka ingin mendekatkan diri atau meraih simpati para raja dan pemimpin tersebut. Mereka meminta pemimpin memberi hadiah melimpah pada orang yang mereka ketahui sangat disenangi pemimpin tersebut. Tiap kali mereka memintanya semakin memerhatikan, memuliakan, dan menghormati orang itu, kedudukan mereka di sisinya meningkat dan kedekatan serta kehormatan mereka di hadapannya bertambah. Sebab mereka mengetahuinya ingin memberi dan memuliakan kekasihnya. Maka orang yang paling dicintainya adalah yang begitu meminta dan menginginkan dirinya menyempurnakan pemberian dan kebaikan terhadap sang kekasih tersebut. Ini perkara yang dapat disaksikan dengan indra. Kedudukan mereka dan kedudukan orang yang hanya memohon kebutuhannya sendiri pada pemimpin dan tidak memintanya memuliakan serta melimpahkan pemberian pada kekasihnya, tidaklah sama. Lantas bagaimana dengan pecinta paling agung dan paling mulia terhadap kekasih yang paling mulia dan paling berhak mendapat cinta Rabb? Seandainya shalawat untuk Nabi tidak memiliki faedah selain permohonan ini saja, itu sudah cukup membuat seorang mukmin mulia.

 

Di sini ada satu pengertian indah terkait sosok agung yang telah mengajarkan agama dan ajaran yang dibawanya pada umat, menyeru, dan mendorong mereka memeluk ajaran tersebut, serta bersabar dalam menyampaikan tugas ini. Yakni, Nabi memperoleh pahala di luar pahala amal beliau sebesar pahala orang-orang yang mengikuti beliau. Orang yang menyeru pada sunnah serta agama beliau dan orang yang mengajarkan kebaikan pada umat apabila ia berniat menyempurnakan bagian ini dan mempersembahkannya untuk Rasulullah, dan tujuannya menyeru makhluk pada Allah adalah untuk mendekatkan diri pada-Nya dengan menunjuki para hambaNya, memperuntukkan pahala orang-orang yang menaatinya pada Rasulullah sementara mereka tetap memperoleh pahala secara sempurna, ia memperoleh pahala dakwah dan pengajarannya ini sesuai dengan niatnya tersebut. Itu karunia yang Allah berikan pada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah pemilik karunia yang agung.

 

Ucapan Shalawat dan Salam untuk Selain Nabi dan Keluarga Beliau

 

Untuk para nabi dan rasul selain Nabi, boleh mengucapkan shalawat dan salam untuk mereka. Allah berfirman tentang Nuh

 

“Dan Kami abadikan untuk Nuh (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam: Sesungguhnya demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (Ash-Shaffat (37): 78-80).

 

Allah berfirman tentang Ibrahim,

 

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim” (AshShaffat (371: 108-109).

 

Dia berfirman tentang Musa dan Harun, “Dan Kami abadikan untuk keduanya (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu): Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun” (Ash-Shaffat (37): 119-120).

 

Allah juga berfirman, “yaitu): “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas” (AshShaffat (37): 130).

 

Allah abadikan para rasul-Nya di kalangan orang-orang yang datang belakangan dengan ucapan salam (kesejahteraan) atas mereka yang telah disebutkan dalam ayatayat di atas.

 

Sekelompok ulama tafsir, di antaranya Mujahid dan lainnya, berkata, “Dan kami abadikan untuk mereka di kalangan orang-orang yang datang kemudian, maksudnya adalah sanjungan baik dan pujian untuk semua para nabi -semoga shalawat dan salam Allah terlimpah untuk mereka” Ini juga pendapat Oatadah. Tidak seyogianya pengertian pertama dan kedua ini disebut dua pendapat di antara ulama tafsir, sebagaimana dilakukan orang yang sebenarnya memiliki perhatian pada periwayatan pendapat-pendapat. Yang benar, kedua tafsir ini satu makna. Orang yang mengatakan bahwa yang diabadikan adalah ucapan salam untuk mereka di kalangan generasi akhir, tak diragukan firman Allah “semoga kesejahteraan atas Nuh” adalah kalimat yang beri rab manshub karena menjadi penderita (maf ul bih) kalimat “kami abadikan” Artinya, makhluk alam semesta mengucapkan salam atas Nuh dan para nabi setelahnya. Sedang orang yang menafsirkan sesuatu yang diabadikan tersebut berupa sanjungan dan pujian baik, ia cenderung menitikberatkan pada konsekuensi dan faktor salam. Yakni sanjungan dan pujian baik yang diberikan pada mereka yang karenanya apabila mereka disebut, diucapkanlah salam untuk mereka.

 

Sekelompok orang, di antaranya Ibnu Athiyah’? dan lainnya, menganggap bahwa mereka yang menafsirkan “kami abadikan untuknya sanjungan dan pujian yang baik berarti menjadikan firman-Nya, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam,” sebagai jumlah ibtidaiyah (kalimat baru) yang tidak memiliki kedudukan i’rab. Kalimat tersebut adalah salam Allah yang Dia ucapkan untuk Nuh.

 

Mereka berkata, “Ucapan salam Allah ini merupakan garansi untuk Nuh di alam semesta bahwa tak seorang pun akan membicarakannya dengan buruk. Demikian diungkapkan Thabari. Pendapat ini diperkuat bahwa Allah mengabarkan sesuatu yang diabadikan untuk Nuh terletak di generasi yang akan datang kemudian dan ucapan salam untuknya terdapat di seluruh alam semesta. Abdulah bin Abbas juga mengatakan:

 

  1. “Allah mengekalkan sanjungan baik untuknya”

 

Interpretasi Ibnu Athiyah dan lainnya ini lemah karena beberapa hal:

 

* Asumsi tersebut mengharuskan membuang maf ul bih kalimat ‘kami kekalkan, dan menurut dugaan ini ucapan tersebut tak lagi memberikan faedah (informasi baru). Sebab maknanya menjadi, kami abadikan untuknya di kalangan orangorang yang datang kemudian sesuatu yang tidak disebutkan dalam kalimat ini. Sebab, menurut orang yang menganut pendapat ini, kalimat “semoga kesejahteraan..: terpisah dari kalimat sebelumnya dan tidak terkait dengan kata kerja “kami abadikan.

 

* Seandainya maf’ul bih-nya benar dibuang, seperti asumsi mereka, pasti Allah menyebutkannya di salah satu tempat sehingga dapat menjadi bukti maknanya ketika tidak diungkapkan, dan tidak terus membuangnya di seluruh pemberitaan tentang nabi yang Dia mengabadikan sanjungan baik untuknya di kalangan generasi akhir. Inilah metode Al-Quran. Bahkan setiap ucapan yang fasih itu menyebutkan sesuatu di satu tempat kemudian membuangnya di tempat lain karena yang disebutkan telah mewakili yang tidak disebutkan. Namun Anda dapat mendapatinya lebih sering disebutkan, dan pembuangannya jarang. Kalau selalu dibuang dan tidak disebutkan di salah satu tempat dan tidak ditujukkan oleh kalimat terkait, hal ini tidak pernah terjadi di dalam Al-Quran.

 

* Dalam bacaan Ibnu Masud berbunyi, “wa tarakna alaihi fil akhirin, salaman” dalam keadaan manshub, (sedang yang lainnya, salamun, dalam kedaan marfu’). Ini mengindikasikan bahwa yang diabadikan adalah ucapan salam itu sendiri.

 

* Seandainya ucapan salam terputus dari kelimat sebelumnya itu akan menguyangi keindahan dan kefasihan ucapan, serta dianggap kurang tepat berhenti pada kelimat sebelumnya tersebut. Bandingkan halini dengan kondisi orang yang mendengarkan bacaan apabila ia mendengar firman-Nya, “Dan Kami abadikan untuknya (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (Ash-Shaffit (37): 78). Bagaimana ia mendapati hatinya merasa penasaran dan sangat ingin mengetahui kelanjutan ucapan serta menuai faedah darinya. Ia merasa faedah ucapan belum sempurna di mana bisa membuatnya tenang, tetapi ia masih terus mencari kelengkapannya yang merupakan sesuatu yang diabadikan. Jadi waqaf pada kalimat al-akhirin’ bukan wagaf yang sempurna (di mana kalimat setelahnya tak lagi memiliki kaitan dengannya).

 

Jika dikatakan, boleh membuang maf ul dalam masalah seperti ini, sebab kata taraka di sini berarti a’tha (memberi). Jelasnya, Allah memberi Nuh sanjungan baik yang Dia kekalkan di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Tentang kata kerja seperti a’th boleh menyebutkan kedua maf ul-nya, tidak menyebutkan keduanya atau pun hanya menyebutkan salah satunya. Hal ini telah terjadi dalam AlOuran. Contohnya firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak” (Al-Kautsar (108): 1). Di sini Allah menyebut kedua maf’ul. Lalu firman-Nya, “Adapun orang yang memberikan…” (Al-Lail (92): 5), dalam ayat ini kedua maf ul dibuang. “Dan kelak pasti Rabbmu memberikanmu, lalu (hati) kamu menjadi puas” (Adh-Dhuha (93): 5), maf’ul kedua dibuang dan hanya maf’ul pertama yang disebutkan. Serta firman-Nya, “..dan menunaikan zakat… (Al-Ma’idah (5): 55), maf“ul pertama dibuang dan hanya disebutkan maf’ul kedua.

 

Jawabannya, kata kerja “memberi’ adalah kata kerja bersifat pujian. Struktur katanya sudah menunjukkan bahwa obyek yang diberi mendapatkan pemberian orang yang memberi. Dan memberi itu berarti berbuat baik, memberi manfaat dan melakukan kebajikan. Sehingga boleh menyebutkan kedua maf’ulnya, atau membuang keduanya, atau mengungkapkan salah satunya sesuai tujuan yang ingin ditonjolkan kata kerja tersebut. Jika maksudnya menonjolkan substansi pemberian yang dapat mengeluarkan hamba dari sifat bakhil, kikir, dan pelit yang kontradiktif dengan perbuatan baik maka cukup menyebutkan kata kerja saja, seperti firman Allah, “Adapun orang yang memberi dan bertakwa” (Al-Lail (92): 5). Di sini Allah tidak mengungkapkan apa yang diberikan dan siapa yang diberi. Anda bisa mengatakan, “Si fulan memberi, bersedekah, dan berbuat baik” Nabi mengucapkan, “Ya Allah, tiada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tiada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah.” Karena maksud doa ini menyatakan ketunggalan Allah dalam hal memberi dan tidak memberi maka tak penting menyebutkan siapa yang diberi dan apa yang diberikan. Sebab inti doa ini adalah hakikat ada dan tidaknya pemberian itu berada dalam kuasa-Mu (Allah), bukan selain diri-Mu. Engkau semata yang menyandangnya dan tak seorang pun bersekutu dengan-Mu dalam hal itu. Sehingga penyebutan kedua maf’ul dalam konteks ini justru mengurangi kesempurnaan dan keindahan makna. Kemudian, apabila tujuannya adalah menyebutkan kedua maf’ul maka keduanya disebutkan bersama-sama. Seperti firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar” (Al-Kautsar (108): 1). Maksudnya, Allah memberitahu Rasul-Nya terkait Al-Kautsar yang secara khusus Dia berikan pada beliau. Sementara tujuan ini tak tercapai kecuali dengan menyebutkan kedua maf ul tersebut. Selanjutnya, apabila tujuannya adalah menonjolkan salah satu dari kedua maf ul maka cukup hanya menyebutkan maf’ul yang ingin ditonjolkan tersebut. Misalnya firman Allah, “..dan menunaikan zakat…” (Al-Ma’idah (5): 55). Tujuan dari ungkapan memberitakan bahwa mereka melaksanakan kewajiban ini (zakat) dan tidak mengesampingkannya. Jadi Allah menyebutkan zakat karena memang zakat yang menjadi obyek pembicaraan dalam kalimat ini, (bukan mustahig zakat). Firman Allah tentang penghuni neraka, “Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin” (Al-Muddatstsir (74): 44). Karena maksud ayat ini mengabarkan orang yang berhak diberi makan dan mereka (penghuni neraka) bakhil memberinya, menahan haknya dan hati mereka keras kepadanya maka penyebutan mustahig ini menjadi tujuan, bukan penyebutan barang yang diberikan.

 

Perhatikan gaya bahasa ini dalam Al-Our’an, bagaimana Al-Quran menyebutkan tujuan yang paling utama serta membuang yang lainnya, niscaya Anda akan diberitahu salah satu poin kemukjizatan Al-Our’an dan keindahan gaya bahasanya.

 

Adapun kata kerja ‘meninggalkan’ sama sekali tidak mengindikasikan pengertian seperti ini dan tidak digunakan untuk memuji. Seandainya Anda mengatakan, “Si fulan meninggalkan,” kalimat ini sama sekali tidak memberi faedah informasi. Lain dengan ucapan Anda, “Si fulan memberi, mendonasikan,” dan semacamnya. Jadi Anda harus menyebutkan apa yang ia tinggalkan. Karena itu, tidak ada ungkapan fulanun tarikun’ (si fulan orang yang meninggalkan), sementara ada ucapan, fulanun mu thin, muth’imun, (si fulan orang yang memberi, memberi makan). Di antara nama Allah adalah Al-Mu’thi. Maka menyamakan kata karja meninggalkan dan ‘memberi merupakan bentuk qiyas yang sangat kacau. Firman Allah, “Kesejahteraan atas Nuh di seluruh alam” (Ash-Shaffat (37): 79), adalah jumlah mahkiyyah (kalimat yang disebutkan seperti asalnya tanpa mengubah harakat, walaupun i’rabnya menuntut harakat yang berbeda. Dalam tata bahasa Arab, irabnya diistilahkan dengan irab hikayah). Zamakhsyari berkata, “Dan Kami abadikan untuk Nuh (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (Ash-Shaffat (37): 78). Yakni di kalangan para umat. Kalimat (pujian yang baik) ini adalah “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh…” Artinya, mereka mengucapkan salam untuknya dan mendoakannya. Jadi kalimat ini termasuk ucapan yang diceritakan. Persis seperti perkataan Anda, “Qara’tu suratun anzalnaha (An-Nur (24): 1). (Saya membaca surah An-Nur). Anda tidak mengatakan, “Qara’tu suratan anzalnaha.”)

 

* Allah berfirman, “Kesejahteraan atas Nuh di seluruh alam” (Ash-Shaffit (37): 79). Allah mengabarkan bahwa ucapan salam untuk Nuh terdapat di seluruh alam. Sama-sama diketahui bahwa ucapan salam untuk Nuh di seluruh alam semesta maksudnya makhluk di alam semesta mengucapkan salam padanya, menyanjungnya, dan mendoakan kebaikan untuknya. Di sini Allah mengungkapkannya dengan ucapan kesejahteraan atasnya di antara makhluk alam semesta. Adapun ucapan salam Allah untuk Nuh tidak dibatasi dengan kalimat alam semesta. Oleh karena itu, tidak disyariatkan memohon keselamatan pada Allah dengan pembatasan alam semesta seperti itu. Contohnya, tidak boleh mengucapkan, “Semoga keselamatan (kesejahteraan) dilimpahkan pada Rasulullah di alam semesta,” dan tidak pula, “Ya Allah, limpahkan keselamatan (kesejahteraan) atas Rasul-Mu di alam semesta.” Seandainya salam untuk Nuh ini adalah salam Allah, tentunya disyariatkan memohon pada Allah sesuai salam yang Dia ucapkan.

 

Sedang ucapan mereka, “Sesungguhnya Allah mengucapkan salam atas Nuh di alam semesta dan mengabadikan (sanjungan baik) untuknya di generasi yang akan datang” Jawabannya, Allah mengabadikan ucapan salam dan sanjungan baik untuk nabi-nabi dan para rasul-Nya di kalangan orang-orang yang datang kemudian sebagai balasan atas kesabaran mereka, pelaksanaan tugas menyampaikan risalah Rabb dan ketabahan mereka dalam menghadapi gangguan umat demi perjuangan di jalan Allah. Dia mengabarkan bahwa yang diabadikan untuk Nuh ini meliputi seluruh alam semesta dan ucapan penghormatan ini ada di antara mereka semua, tidak pernah mereka meninggalkannya sama sekali. Jadi Allah mengabadikan ucapan salam untuk Nuh di kalangan malaikat dan tsagalain (bangsa manusia dan jin), dari satu generasi ke generasi lain, dari satu dunia ke dunia lain, sebagai balasan atas kesabarannya, penunaian hak Rabb, dan ia merupakan rasul pertama yang Allah utus untuk penduduk bumi, sedang semua rasul setelahnya diutus dengan membawa agamanya, sebagaimana firman Allah, “Dia telah menyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh…” (Asy-Syuara’ (42): 13).

 

Ucapan mereka, “Ini (bahwa yang diabadikan untuk Nuh adalah sanjungan yang baik dan tidak disebutkan dalam ayat) adalah pendapat Ibnu Abbas.” Jawabannya, telah diungkapkan di muka bahwa maksud ucapan Ibnu Abbas dan lainnya tersebut adalah ucapan salam untuk Nuh termasuk sanjungan baik dan pujian. Artinya, mereka menyebutkan makna salam dan faedahnya. Wallahu a’lam.

 

Tentang ucapan shalawat untuk para nabi, Ismail bin Ishaq berkata dalam kitabnya (hadits no. 45), “Bercerita pada kami Muhammad bin Abu Bakar AlMugadami, bercerita pada kami Umar bin Harun dari Musa bin Ubaidah dari Muhammad bin Tsabit dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

 

  1. “Bershalawatlah untuk para nabi dan rasul Allah, sebab sesungguhnya Allah telah mengutus mereka sebagaimana Dia mengutusku” semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam sempurna untuk mereka

 

Thabrani meriwayatkan hadits ini dari Dabariy dari Abdurazaq dari Tsauri dari Musa.

 

Thabrani berkata, bercerita pada kami Ibnu Abi Maryam, bercerita pada kami Firyabi, bercerita pada kami Sufyan dari Musa bin Ubaidah dari Muhammad bin Amru bin Atha’ dari Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Apabila kalian bershalawat untukku bershalawatlah untuk para nabi Allah, karena sesungguhnya Allah mengutus mereka sebagaimana Dia mengutusku”

 

Dalam masalah ini terdapat riwayat dari Anas. Di katakan pula, dari Anas dari Abu Thalhah.

 

Al-Hafizh Abu Musa Al-Madini mengatakan,” “Sampai padaku atsar bersanad dari sebagian salaf:

 

  1. “Ia bermimpi melihat Adam Y&: yang seolah-olah mengeluhkan sedikitnya ucapan shalawat keturunannya untuk dirinya dan untuk seluruh para nabi dan rasul”

 

Musa, meskipun ia seorang rawi dha’if, namun haditsnya bisa dijadikan dalil pendukung.

 

Lebih dari seorang telah menceritakan adanya ijmak disyariatkannya shalawat untuk seluruh nabi, di antaranya adalah Syaikh Muhyidin An-Nawawi dan lainnya. Telah diceritakan satu riwayat dari Malik bahwa ia berpendapat tidak perlu bershalawat untuk selain nabi kita, Muhammad. Tetapi para pengikutnya mengatakan, “Ucapan Malik ini ditafsirkan dengan maksud bahwa kita tidak beribadah dengan bershalawat untuk selain beliau dari para nabi seperti kita beribadah pada Allah dengan mengucapkan shalawat untuk beliau?”

 

Memohon Shalawat untuk Keluarga Nabi

 

Selain para nabi maka tak ada perbedaan pendapat di antara umat tentang disyariatkannya memohonkan shalawat untuk keluarga Nabi Muhammad.

 

Namun mereka yang mewajibkan shalawat untuk Nabi berbeda pandangan terkait kewajibannya untuk keluarga beliau menjadi dua pendapat yang mashyur, di mana juga menjadi dua jalan di kalangan pengikut madzhab Syafi’i.

 

  1. Shalawat wajib untuk Nabi, tentang kewajibannya untuk keluarga beliau ada dua pendapat dari Imam Syaff’i. Ini jalan yang ditempuh Imam Haramain dan Ghazali.

 

  1. Kewajiban shalawat untuk keluarga Nabi ada dua persepsi. Jalan inilah yang “ masyhur di kalangan mereka, dan yang mereka shahihkan adalah shalawat untuk keluarga Nabi tidak wajib.

 

Para pengikut Imam Ahmad juga berbeda pendapat tentang kewajiban bershalawat untuk keluarga Nabi. Ada dua persepsi di kalangan mereka. Dan menurut pendapat yang mewajibkan, seandainya kata al-dlu diganti dengan kata al-ahlu(keduanya berarti, keluarga), sehingga diucapkan, “Allahumma shalli ala Muhammad wa Ahli Muhammad,” tentang keabsahannya ada dua pandangan.

 

Diceritakan dari sebagian pengikut Imam Syafi’i adanya ijmak bahwa shalawat untuk keluarga Nabi hukumnya mustahab (dianjurkan), tidak wajib. Namun tak terbukti ada ijmak dalam masalah ini.

 

Memohon Shalawat untuk Selain Keluarga Nabi

 

Bolehkah bershalawat untuk keluarga Nabi tanpa menyebutkan shalawat untuk Nabi

 

Permasalahan ini terbagi dua bentuk:

 

  1. Dengan mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk keluarga Muhammad?” Ini boleh dan Nabi masuk dalam pengertian kata keluarga ini. Penyebutan kata keluarga secara sendiri hanya terdapat dalam kalimat saja, bukan dalam makna.

 

  1. Dengan menyebutkan salah satu dari mereka saja. Contohnya, “Ya Allah limpahkan shalawat pada Ali, Hasan, Husain, atau Fathimah, dan semacamnya. Kebolehan shalawat seperti ini diperselisihkan, juga tentang shalawat untuk selain keluarga Nabi dari kalangan sahabat dan generasi setelah mereka. Malik memakruhkannya, ia berkata, “Itu bukan termasuk perbuatan yang dikerjakan generasi terdahulu.” Pendapat ini juga menjadi madzhab Abu Hanifah, Sufyan bin Uyainah, dan Sufyan Tsauri. Pendapat ini pula yang dikatakan Thawus.

 

  1. Ibnu Abbas berkata, “Tidak seyogianya bershalawat kecuali untuk Nabi.”

 

Ismail bin Ishaq berkata, Bercerita pada kami Abdullah bin Wahab, bercerita pada kami Abdurahman bin Ziyad, bercerita padaku Utsman bin Hakim bin Abbad bin Hunaif, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata:

 

  1. Shalawat tidak selayaknya diucapkan untuk seseorang selain Nabi. Akan tetapi (disyariatkan) berdoa memohon ampun untuk kaum muslimin dan muslimat. Ini juga madzhab Umar bin Abdulaziz. Abu Bakar bin Abu Syaibah, (VII/hadits no. 35093), bercerita pada kami Husain bin Ali, dari Jafar bin Burgan mengatakan, Umar bin Abdulaziz menulis surat:

 

  1. “Amma badu, sesungguhnya sekelompok orang telah mencari dunia dengan amal akhirat, dan sebagian pendongeng telah membuat-buat doa shalawat untuk para khalifah dan pemimpin mereka seperti shalawat mereka untuk Nabi. Apabila suratku ini telah sampai padamu, perintahkan agar shalawat mereka untuk para Nabi dan doa mereka untuk kaum muslimin secara umum. Dan hendaknya mereka meninggalkan yang selain itu.”

 

Ini madzhab para pengikut Syafi’i dan mereka memiliki tiga persepsi:

 

* Shalawat untuk selain nabi dilarang sebagai perbuatan yang diharamkan.

 

* Ini pandangan mayoritas mereka, hal itu dimakruhkan saja.

 

* Larangan tersebut karena meninggalkan perbuatan yang lebih utama dan tidak dimakruhkan.

 

Demikian diungkapkan Nawawi dalam Al-Adzkar (I/327), ia berkata, “Dan pendapat yang benar yang diikuti mayoritas adalah larangan tersebut berarti makruh karahah tanzih (dibenci untuk menghindari sesuatu yang dinilai kurang baik dan tidak sampai pada tingkatan haram).

 

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang ucapan salam, apakah semakna dengan shalawat sehingga dimakruhkan mengucapkan, “Semoga keselamatan untuk si fulan,” atau “Si fulan semoga keselamatan untuknya?” Sekelompok ulama memakruhkannya, di antaranya Abu Muhammad Al-Juwaini.” Ia melarang mengucapkan, “Dari Ali alaihis salam.” Sedang sekelompok yang lain membedakan antara salam dan shalawat, mereka berkata, “Salam disyariatkan diucapkan untuk setiap mukmin baik hidup maupun telah mati, ada atau tidak ada. Anda boleh mengatakan, “Sampaikan salam dariku pada si fulan.” Ucapan salam ini adalah kata penghormatan kaum muslimin. Berbeda dengan shalawat yang merupakan salah satu hak Rasulullah. Oleh sebab itu, orang yang shalat mengucapkan, “Semoga keselamatan terlimpah pada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih.” Ia tidak mengucapkan, “Semoga shalawat terlimpah untuk kami dan hamba-hamba Allah yang shalih” Jadi diketahui ada perbedaan di antara keduanya”

 

Mereka berhujah dengan beberapa alasan:

 

* Ucapan Ibnu Abbas yang telah disebutkan.

 

* Shalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau telah menjadi slogan pengikut bid’ah, kita dilarang mengikuti slogan mereka. Demikian disebutkan Nawawi.

 

Aku berkata, “Maksudnya, sekte Rafidhah (Syiah) apabila menyebut imam-imam mereka, mereka bershalawat untuk para imam ini dengan mengucapkan nama mereka. Mereka tidak bershalawat untuk orang selain para imam tersebut, padahal lebih baik dibanding imam-imam itu dan lebih dicintai Rasulullah. Sudah seyogianya kita bersikap beda dengan sekte Rafidhah terkait jargon ini.

 

» Alasan yang diungkapkan Malik bahwa shalawat dengan menyebutkan nama selain Nabi seperti ini bukan perbuatan generasi terdahulu dari umat ini (yakni generasi sahabat). Seandainya hal itu baik pasti mereka lebih dulu mengerjakannya.

 

» Dalam ucapan umat, shalawat telah menjadi sesuatu yang khusus untuk Nabi, diucapkan seiring dengan penyebutan beliau. Sebagaimana ungkapan azza wa jalla dan subhanahu wa ta’ala dikhususkan untuk Allah, diucapkan seiring dengan penyebutan nama-Nya, dan tidak boleh dipergunakan untuk selain-Nya. Tidak boleh mengucapkan, “Muhammad azza wa jalla” tidak pula, “Muhammad subhanahu wa ta’ala.” Artinya, makhluk tidak diberi jabatan Sang Khalig. Demikian pula tidak seyogianya selain Nabi diberi jabatan beliau, yakni dengan mengucapkan, “Si fulan shallallahu alaihi wa sallam.”

 

» Allah berfirman, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)…” (An-Nur (24): 63). Artinya, Allah memerintahkan supaya Nabi tidak dipanggil dengan menyebut nama beliau sebagaimana selain beliau dipanggil dengan namanya.

 

Lantas bagaimana shalawat untuk beliau boleh disandangkan untuk selain beliau dalam panggilan dan pengabaran tentangnya? Jelas hal ini sama sekali tidak boleh terjadi.

 

» Nabi menyariatkan untuk umat dalam tasyahud agar mereka mengucapkan salam untuk para hamba Allah yang shalih, kemudian bershalawat untuk Nabi. Maka diketahui bahwa shalawat adalah hak beliau yang tidak disekutui seorang pun.

 

» Allah menyebutkan perintah bershalawat untuk Nabi sehubungan dengan hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan Nabi yang khusus Dia anugerahkan pada beliau, seperti larangan menikahi istri-istri beliau, bolehnya Nabi menikahi wanita yang menyerahkan diri pada beliau, laknat menimpa orang yang menyakiti beliau, serta hak-hak beliau yang lain. Allah menegaskan hakhak tersebut dengan perintah bershalawat dan mengucapkan salam untuk Nabi. Ini mengindikasikan bahwa shalawat tersebut khusus untuk Nabi, sedang keluarga beliau mengikuti beliau dalam hal ini.

 

» Allah menyariatkan pada kaum muslim agar saling mendoakan kebaikan, saling memohonkan ampun, dan memohonkan rahmat baik saat masih hidup dan setelah mati. Dia menyariatkan kita agar bershalawat untuk Nabi dalam hidup dan setelah meninggal beliau. Jadi doa adalah hak kaum muslimin, sedang shalawat hak Rasulullah. Keduanya tidak bisa saling menggantikan. Karenanya, dalam shalat Jenazah diucapkan doa untuk orang yang mati, dimintakan rahmat, serta dimohonkan ampunan untuknya. Dan tidak dimintakan shalawat untuknya sebagai ganti doa tersebut. Misalnya dengan mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam untuknya (orang yang mati). Dalam shalatshalat dimohonkan shalawat untuk Nabi dan tidak dapat diganti dengan ucapan, “Ya Allah, ampuni beliau, rahmati beliau.” Artinya, setiap hak diberikan pada pemiliknya.

 

» Seorang mukmin adalah orang yang paling butuh didoakan mendapat ampunan, rahmat, dan keselamatan dari siksa. Nabi tidak butuh didoakan dengan hal tersebut, tetapi dimohonkan shalawat untuk beliau agar Allah semakin memuliakan dan menaikkan derajat beliau. Ini telah terjadi pada Rasulullah, meskipun orang-orang lalai menyebut beliau. Perintah bershalawat untuk Nabi adalah bentuk kebaikan dan rahmat Allah bagi umat agar mereka bisa meraih karamah-Nya dengan bershalawat untuk Rasul-Nya. Berbeda dengan selain beliau dari kalangan umat yang butuh pada orang yang mau mendoakannya, memohonkan ampun, dan memintakan rahmat untuknya. Karenanya, syariat meletakkan shalawat di tempatnya dan doa untuk muslimin di tempatnya, (di mana keduanya tidak dapat saling berganti posisi).

 

* Seandainya shalawat untuk selain Nabi boleh maka ada dua kemungkinan, pertama, itu berlaku khusus untuk sebagian umat, dan kedua, dibolehkan untuk setiap muslim.

 

Jika diasumsikan berlaku khusus maka ini tak dapat dibenarkan, sebab merupakan pengkhususan hukum tanpa ada faktor (dasar) pengkhususnya. Jika dikatakan tidak berlaku khusus dan boleh diucapkan untuk setiap orang yang boleh didoakan, berarti boleh bershalawat untuk semua orang muslim meskipun ia pelaku doa besar. Sehingga, sebagaimana boleh mengucapkan “Ya Allah, berilah taubat untuknya, ya Allah, ampunilah ia,” boleh juga mengucapkan “Ya Allah, limpahkan shalawat untuknya.” Jelas ini batil (keliru besar).

 

Jika dikatakan, “boleh bershalawat untuk orang-orang shalih dan tidak untuk selain mereka, jawabnya, di samping tak didasari dalil, asumsi ini juga tak memiliki kriteria pasti. Sebab shalih atau tidak shalihnya seseorang itu adalah satu sifat yang dapat bertambah dan berkurang. Demikian pula keberadaannya sebagai wali Allah, orang bertakwa dan beriman, semua sifat ini fluktuatif (labil-ed). Lantas apa kriteria pasti antara orang yang boleh dan tidak boleh dimohonkan shalawat untuknya?

 

Mereka berkata, “Berdasar sepuluh argumen ini diketahui bahwa shalawat khusus untuk Nabi dan keluarga beliau,”

 

Namun sekelompok ulama lain berpendapat berbeda, mereka mengatakan, “Boleh bershalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau.”

 

Al-Qadhi Abu Hasan bin Fara dalam Ru’usu Masa’il-nya mengatakan, “Itulah yang dikatakan Hasan Bashri, Khashif, Mujahid, Muqatil bin Sulaiman, dan Muqatil bin Hayan serta masih banyak lagi dari ulama tafsir” Ia menambahkan, “Ini juga pendapat Imam Ahmad, ia menyatakannya dalam riwayat Abu Daud ketika ditanya, “Apakah patut bershalawat untuk seseorang selain Nabi?” Imam Ahmad menjawab,

 

  1. Bukankah Ali pernah berucap pada Umar, “Semoga Allah melimpahkan shalawat padamu.”

 

Al-Oadhi Abu Hasan bin Fara mengatakan, “Pendapat inilah yang dinyatakan Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan lainnya.” Dan Abu Bakar bin Abi Daud menceritakan pendapat ini dari ayahnya. Abu Husain berkata, “Pendapat inilah yang diamalkan. Mereka berhujah dengan beberapa alasan:

 

  1. Firman Allah, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka…” (At-Taubah (9): 103). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasululullah menarik sedekah (baca: zakat) dari umat dan bershalawat (baca: berdoa) untuk mereka. Diketahui para pemimpin setelah beliau menarik zakat seperti yang beliau lakukan. Mereka disyariatkan bershalawat untuk orang yang berzakat sebagaimana Nabi juga bershalawat untuknya.

 

  1. Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain hadits Syu’bah dari Amru dari Abdullah bin Abu Aufa menuturkan:

 

  1. Nabi dulu apabila satu kaum datang menyetorkan sedekah mereka beliau mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat pada keluarga fulan.” Ayahku pun datang pada beliau membawa sedekahnya, beliau mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk keluarga Abi Aufa?

 

Prinsip dasar syariat tidak ada pengkhususan (hukum kecuali ada dalilnya). Ini sangat jelas bahwa keumuman inilah yang dimaksudkan ayat (zakat) di atas.

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Hajaj dari Abu Awanah dari Aswad bin Oais dari Nubaih Al-Anazi dari Jabir bin Abdullah bahwa seorang wanita mengatakan:

 

  1. “Wahai Rasulullah, bershalawatlah untukku dan suamiku, semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Anda.” Beliau pun mengucapkan, “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu dan suamimu.” Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad (III/397-398), dan Abu Daud1067 dalam AsSunan (hadits no. 1533).

 

  1. Atsar yang diriwayatkan Ibnu Saad dalam kitab Ath-Thabagit (III/369-370), dari hadits Ibnu Uyainah dair Jafar bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah:

 

  1. Ali masuk menemui Umar yang ditutupi kain. Ketika telah sampai di sampingnya ia berkata, “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu. Tak seorang pun yang (seandainya) aku menemui Allah membawa catatannya yang lebih aku sukai dari pada orang yang ditutupi kain di tangah-tengah kalian ini.”

 

  1. Atsar yang diriwayatkan Ismail bin Ishaq, Bercerita pada kami Abdullah bin Maslamah, bercerita pada kami Nafi’ bin Abdurahman bin Abu Nu’aim Al-Oari’ dari Nafi dari Ibnu Umar bahwa ia bertakbir dalam shalat Jenazah dan membaca shalawat untuk Nabi. Kemudian mengucapkan:

 

  1. Ya Allah, curahkan berkah padanya, limpahkan shalawat untuknya, ampuni ia, dan masukkan ia ke telaga Nabi-Mu.”

 

  1. Shalawat adalah doa, sementara kita telah diperintahkan saling mendoakan antara sesama kita. Argumen ini dijadikan hujah Abu Hasan.

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya (hadits no. 2872), dari hadits Hamad bin Zaid dari Budail dari Abdullah bin Syaqiq dari Abu Hurairah yang mengatakan:

 

  1. “Apabila ruh seorang mukmin keluar (dari raga) dua malaikat menyambutnya untuk dibawa naik – Hamad berkata, Lalu ia menyebutkan wangi bau ruh tersebut dan juga menyebut minyak kasturi.”Ia berkata, “Dan penduduk langit mengatakan, “Ruh yang baik, datang dari bumi, semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu dan untuk jasad yang dulu engkau huni…” Demikian Muslim mengatakan, “dari Abu Hurairah secara mauquf” Namun alurnya menunjukkan hadits ini marfu. Sebab setelahnya Abu Hurairah mengatakan, “Dan orang kafir itu apabila ruhnya keluar (dari raga) -Hamad berkata, Ta menyebutkan bau busuknya dan menyebutkan laknat Penduduk bumi berkata, “Ruh yang buruk datang dari bumi. Maka dikatakanlah, “Bawalah ia ke batas terakhir.”

 

Abu Hurairah menuturkan, “Rasulullah meletakkan kain tipis yang beliau pakai pada hidung beliau seperti ini” (Yakni, beliau menggambarkan busuknya bau ruh orang kafir). Ini menunjukkan bahwa Rasulullah menceritakan hadits ini pada mereka.

 

Sejumlah rawi telah meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah secara marfu, di antaranya Abu Salamah, Umar bin Hakam, Ismail As-Sudi dari ayahnya dari Abu Hurairah, dan Sa’id bin Yasar, serta lainnya.

 

Aku telah membicarakan panjang lebar seputar hadits ini dan yang semisalnya di kitab Ar-Ruh.

 

Mereka berkata, “Apabila para malaikat boleh mengucapkan untuk seorang mukmin, “Semoga Allah melimpahkan shalawat untuknya maka itu juga boleh dilakukan kaum mukminin di antara sesama mereka.”

 

  1. Sabda Nabi

 

  1. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia.” Allah telah berfirman, “Dialah yang bershalawat kepadamu, dan para malaikatNya (juga bershalawat padamu)…” (Al-Ahzab (33): 43).

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud,” (hadits no. 676), dari Aisyah mengatakan, Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk bagian kanan shaf-shaf”

 

Dalam hadits lain dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

 

  1. “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang menyambung shaf-shaf.” Di awal kitab ini telah disebutkan shalawat para malaikat untuk orang yang bershalawat untuk Nabi.

 

  1. Hadits yang dipakai hujah Al-Oadhi Abu Ya’la dan ia meriwayatkannya dengan sanad hasan dari hadits Malik bin Yukhamir dari Nabi secara mursal bahwa beliau mengucapkan:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Abu Bakar karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Abu Ubaidah karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Umar karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah limpahkan shalawat untuk Utsman karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Ali karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Amru bin Ash karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Yahya bin Yahya dalam Muwaththa’-nya, (I/166/hadits no. 68) dari Malik dari Abdullah bin Dinar mengatakan:

 

  1. “Aku melihat Abdullah bin Umar berdiri di atas makam Nabi, lalu mengucapkan shalawat untuk Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Ini redaksi riwayat Yahya bin Yahya.’”

 

  1. Telah shahih diriwayatkan bahwa Nabi menyebutkan istri-istri beliau dalam shalawat, dan sudah dibawakan. Mereka berkata, “Menurut prinsip pemahaman kalian bolehnya bershalawat untuk selain Nabi dan keluarganya berdasar hadits ini lebih tegas. Sebab kalian tidak memasukkan istri-istri Nabi dalam bilangan keluarga beliau yang haram menerima sedekah. Bila boleh bershalawat untuk mereka berarti boleh pula bershalawat untuk para sahabat yang lain.”

 

  1. Kalian mengatakan bolehnya bershalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau karena mengikuti beliau. Artinya kalian mengatakan bolehnya mengucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad, keluarga Muhammad, sahabat-sahabat beliau, istri-istri beliau, keturunan beliau, dan para pengikut beliau” Abu Zakaria An-Nawawi mengatakan”? “Mereka sepakat bolehnya menempatkan selain para nabi dalam shalawat di belakang mereka.” Kemudian ia menyebutkan cara ini, dan berkata, “Ini mengacu pada hadits-hadits shahih dalam masalah ini. Kita telah diperintahkan mengucapkan Shalawat ini dalam tasyahud dan generasi salaf selalu melakukannya di luar shalat.”

 

Aku berkata, “Di antara bunyinya adalah atsar yang terkenal dari sebagian salaf:

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk para malaikat-Mu yang didekatkan, para nabi-Mu, para rasul, dan orang-orang yang menaati-Mu semuanya dari penduduk langit-langit dan bumi”

 

  1. Hadits yang diriwayatkan Abu Yala Al-Maushuli dari Ibnu Zanjawaih, bercerita pada kami Abu Mughirah, bercerita pada kami Abu Bakar bin Abi Maryam, bercerita pada kami Dhamrah bin Habib bin Shuhaib, dari Abu Darda dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah mengajarinya satu doa dan memerintahnya menjaga keluarganya dengan doa ini setiap hari. Beliau mengucapkan:

 

  1. “Ucapkanlah ketika engkau di pagi hari, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilanmu dalam keadaan sangat bahagia. Seluruh kebaikan ada di tangan-Mu, berasal dari-Mu, dan kembali pada-Mu. Ya Allah, tiadalah aku mengucapkan suatu perkataan, atau menadzarkan satu nadzar, atau bersumpah dengan satu sumpah maka kehendak-Mu berada di hadapannya. Apa yang Engkau kehendaki darinya pasti terjadi, dan apa yang tidak Engkau kehendaki pasti tidak terjadi. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu. Engkau Mahamampu atas segala sesuatu. Ya Allah, tiadalah aku memohonkan satu shalawat kecuali untuk orang yang Engkau bershalawat padanya dan tiadalah aku mengucapkan satu laknat kecuali terhadap orang yang Engkau laknat. Engkau pengurusku di dunia dan akhirat, wafatkan aku dalam keadaan berserah diri dan pertemukan aku dengan orang-orang shalih.”

 

Sisi pembuktiannya adalah seandainya tidak disyariatkan bershalawat untuk selain Nabi tidak tepat menyebutkan pengecualian dalam hal ini. Jelasnya, karena hamba itu bisa jadi bershalawat untuk orang yang tidak layak dimohonkan shalawat dan ia tidak tahu, ia mengecualikan hal ini sebagaimana juga mengecualikan dalam sumpah dan nadzarnya.

 

Kelompok pertama (yang tidak membolehkan shalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau) berkata, “Jawaban dalil-dalil yang kalian sebutkan ini bahwa dalildalil tersebut terbagi dua macam, pertama, dalil yang shahih namun tidak berkaitan dengan substansi perdebatan sehingga tidak dapat dijadikan hujah (dalam masalah ini). Dan kedua, dalil yang diketahui shahih namun juga tidak dapat dijadikan hujah. Jenis kedua ini akan nampak jelas dengan membahas setiap dalil satu per satu.

 

Dalil pertama, yakni firman Allah,“..dan bershalawatlah (berdoalah) untuk mereka…” (At-Taubah (9): 103). Dalil ini tidak berada pada substansi perdebatan. Sebab pembicaraan kita seputar apakah salah seorang kita boleh bershalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau atau tidak?

 

Sedangkan shalawat Nabi untuk orang yang berliau bershalawat untuknya maka itu masalah lain. Samakah shalawat ini dengan shalawat kita untuk beliau yang diperintahkan pada kita sebagai pemenuhan hak beliau? Bolehkah memberikan hak shalawat ini untuk selain Nabi, ataukah tidak?

 

Hal ini semakin dipertegas argumen kedua, shalawat untuk Nabi adalah hak beliau yang wajib ditunaikan dan dikerjakan umat. Adapun Nabi maka boleh membagikan hak tersebut pada siapa yang beliau kehendaki. Ini seperti pendapat Anda tentang orang yang menghina dan menyakiti Rasulullah &bahwa hukuman mati terhadap orang itu merupakan hak Rasulullah yang wajib dikerjakan dan dilaksanakan umat. Meskipun semasa hidup Nabi suka memaafkan (orang yang menghina diri beliau). Hingga ketika hinaan sampai pada Nabi beliau mengucapkan:

 

  1. “Semoga Allah merahmati Musa, sungguh ia telah diganggu dengan yang lebih berat dari ini, namun ia tetap bersabar Tanggapan ini sekaligus sebagai jawaban dalil kedua, yakni sabda Nabi

 

  1. “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk keluarga Abu Aufa.” Juga dalil ketiga tentang shalawat Nabi untuk seorang wanita dan Suaminya.’

 

Sedang dalil keempat, yakni ucapan Ali pada Umar

 

  1. “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu.” Jawabnya dari beberapa sisi:

 

– Periwayatan hadits ini diperselisihkan pada diri Jafar bin Muhammad. Anas bin Iyadh mengatakan,” “Dari Jafar bin Muhammad dari ayahnya bahwa Ali ketika jasad Umar selesai dimandikan, dikafani, dan telah diletakkan di atas ranjang, ia berdiri di sampingnya lalu memujinya dan berkata:

 

  1. “Demi Allah, tak seorang pun di muka bumi ini yang aku lebih suka bertemu dengan Allah membawa catatan amalnya dibanding orang yang terbungkus kain ini”

 

Seperti ini pula atsar tersebut diriwayatkan Muhammad dan Yala keduanya adalah putra Ubaid, dari Hajaj Al-Wasithi dari Abu Ja’far, tanpa menyebutkan kata shalawat. Atsar ini juga diriwayatkan Waraga’ bin Umar dari Amru bin Dinar dari Abu Jafar, tanpa menyebutkan kata shalawat. Demikian pula diriwayatkan Sulaiman bin Bilal dari Jafar dari ayahnya. Juga seperti ini diriwayatkan Yazid bin Harun dari Fudhail bin Marzuq dari Jafar dari ayahnya. Pula seperti itu diriwayatkan Aun bin Abu Juhaifah dari ayahnya yang menuturkan, “Aku berada di sisi Umar sementara ia telah ditutupi kain…” Ia membawakan atsar di atas tanpa menyebutkan shalawat.

 

Tetapi Ali berkata (pada Umar), “Semoga Allah merahmatimu” Atsar ini juga diriwayatkan Arim bin Fadhl dari Hamad bin Zaid dari Ayub, Amru bin Dinar dan Abu Jahdham, mereka menuturkan, “Ketika Umar meninggal dunia’?3…” Mereka menyebutkan atsar ini tanpa kata shalawat. Begitu pula atsar ini diriwayatkan Oais bin Rabi’ dari Oais bin Muslim dari Ibnu Hanafiyah.’”

 

Atsar yang menyebutkan shalawat sanadnya tidak disebutkan secara spesifik oleh Ibnu Sa’ad. Ia berkata dalam Ath-Thabagit III/369, “Mengabarkan pada kami sebagian kawan kami dari Sufyan bin Uyainah bahwa hadits ini didengar darinya dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah as …”

 

Ia mengatakan, “Ketika Ali tiba di sisinya ia mengatakan:

 

  1. “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu.”

 

Rawi yang namanya tidak disebutkan ini, (tapi hanya diungkapkan dengan sebagian kawan kami’), mungkin saja tidak hafal dengan baik, sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujah.

 

» Riwayat yang menyebutkan shalawat itu berseberangan dengan ucapan Ibnu al Abbas:

 

  1. “Tidak selayaknya shalawat dimohonkan untuk seorang pun selain Nabi” Atsar ini telah dibawakan.

 

Mereka berkata, “Sedangkan dalil kelima kalian, yakni ucapan Ibnu Umar dalam shalawat atas jenazah:

 

  1. “Ya Allah limpahkan shalawat untuknya (mayat), jawabnya dari beberapa sisi:

 

  1. Nafi bin Abu Nu’aim, menurut ulama hadits, adalah rawi yang lemah dalam hadits, meskipun ia seorang imam dalam bacaan Al-Quran. Imam Ahmad berkata, “Bacaan Al-Quran dipelajari darinya, namun ia bukan apa-apa dalam hal hadits.” Bukti yang mengindikasikan atsar ini tidak mahfuzh (artinya, syadz atau menyelisihi riwayat yang lebih kuat) diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Malik dalam Muwaththa’-nya tidak meriwayatkan atsar ini dari Ibnu Umar. Tetapi ia meriwayatkan satu atsar dari Abu Hurairah. Seandainya atsar ini ada pada Nafi, maula Ibnu Umar, tentunya Malik lebih mengetahuinya dibanding Nafi bin Abu Nu’aim.

 

  1. Ucapan Ibnu Abbas berseberangan dengan atsar yang diceritakan dari Ibnu Umar ini.

 

Adapun dalil keenam kalian bahwa shalawat adalah doa, dan doa disyariatkan untuk setiap muslim, jawabannya dari beberapa sisi sebagai berikut:

 

  1. Shalawat adalah doa yang dikhususkan dan diperintahkan untuk Rasulullah. Ini tidak menunjukkan bolehnya shalawat dimohonkan untuk selain beliau, mengacu pada perbedaan-perbedaan antara doa dan shalawat yang telah kami sampaikan. Ditambah lagi adanya perbedaan yang besar antara Rasulullah dan selain beliau. Tidak tepat menyamakan orang lain dengan Rasulullah, baik dalam doa maupun dalam sesuatu yang dimohonkan untuk Rasulullah.

 

  1. Sebagaimana tidak dibenarkan menyamakan doa selain Rasulullah dengan doa beliau, tidak dibenarkan pula menyamakan selain Rasulullah dengan beliau dalam doa.

 

  1. Shalawat ini tidak disyariatkan untuk Rasulullah sekadar sebagai doa, namun karena makna lebih khusus dari keumuman doa. Yakni satu shalawat yang mengandung pengagungan, pemuliaan, dan sanjungan untuk beliau, seperti telah dijelaskan. Dan ini bermakna lebih khusus dari pengertian doa secara umum.

 

Sedangkan dalil ketujuh kalian, yakni ucapan para malaikat pada ruh orang beriman:

 

  1. “Semoga Allah melimpahkan shalawat untukmu dan untuk raga yang engkau huni”

 

Tidak berkorelasi dengan obyek perdebatan. Sebab yang dipermasalahkan adalah, bolehkah seorang dari kita bershalawat untuk selain Rasulullah dan keluarga beliau? Adapun para malaikat tidak tercakup dalam hukum-hukum taklif manusia hingga manusia dapat disamakan dengan mereka terkait apa yang mereka ucapkan dan lakukan. Mungkinkah menyamakan hukum-hukum malaikat dengan hukum-hukum manusia? Para malaikat adalah para utusan Allah untuk makhlukNya dan membawa perintah-Nya. Mereka bertindak sesuai dengan instruksi Allah, bukan bedasarkan perintah manusia. Dengan demikian jawaban telah diberikan untuk setiap dalil yang berisi shalawat malaikat.

 

Kemudian tentang argumen kalian:

 

  1. “Allah bershalawat untuk kaum mukminin dan orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia!”

 

Jawabannya, alasan ini tidak sesuai dengan obyek perdebatan. Tepatkah menyamakan perbuatan hamba dengan perbuatan Rabb? Shalawat hamba berarti doa dan permohonan, sedang shalawat Allah untuk hamba-Nya bukan bermakna doa. Shalawat Allah untuk hamba adalah pemuliaan, pengagungan, cinta, dan sanjungan. Samakah hal ini dengan shalawat hamba?

 

Sedang dalil kesepuluh kalian, yakni hadits Malik bin Yukhamir yang menyebutkan shalawat Nabi untuk Abu Bakar, Umar dan orang yang bersama keduanya, jawabnya dari beberapa sisi:

 

  1. Kami tidak mengetahui keshahihan hadits ini, sementara kalian juga tidak menyebutkan sanadnya agar dapat kami periksa.

 

  1. Hadits ini mursal.

 

  1. Hadits ini tidak sesuai dengan obyek perdebatan.

 

Selanjutnya, dalil kesebelas kalian:

 

  1. Bahwa Ibnu Umar pernah berdiri di samping makam Nabi lalu mengucapkan shalawat untuk beliau, untuk Abu Bakar, dan Umar. Jawabnya juga dari beberapa sisi:

 

  1. Ibnu Abdilbar berkata, “Ulama mengingkari (tidak bisa menerima) Yahya bin Yahya dan orang yang memutaba’ahnya dalam meriwayatkan dari Malik dari Abdullah bin Dinar yang berkata:

 

  1. “Aku melihat Ibnu Umar berdiri di samping makam Nabi lalu bershalawat untuk Nabi, Abu Bakar, dan Umar.”

 

Mereka mengatakan, “Sesungguhnya riwayat Malik dan lainnya dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar adalah:

 

  1. Ia berdiri di samping makam Nabi lalu bershalawat untuk beliau dan berdoa untuk Abu Bakar dan Umar. Seperti pula diriwayatkan Ibnu Qasim, Qanabi, Ibnu Bukair, dan lainnya dari Malik. Mereka membedakan seperti yang telah aku sampaikan padamu, yakni mendoakan untuk Abu Bakar dan Umar dan bershalawat untuk Nabi.

 

Seandainya shalawat bermakna doa secara umum tentunya Ibnu Umar tidak mengkhususkan Nabi dengan kata shalawat.

 

Aku berkata, “Demikian pula atsar ini dalam Muwaththa’ Ibni Wahb, kata shalawat dikhususkan untuk Nabi dan doa untuk kedua sahabat beliau (Abu Bakar dan Umar).

 

  1. Ini termasuk gaya pengungkapan hanya menyebutkan kata kerja yang pertama dan tidak menyebutkan kata kerja kedua, kendati kata kerja pertama tidak terjadi pada kata kerja kedua. Misalnya seperti ucapan penyair

 

Aku memberinya makan jerami dan (memberinya minum) air dingin

Hingga kedua matanya bercucuran air mata

 

Pujangga lain berkata:

 

Aku melihat suamimu telah berangkat Dengan berselempang pedang dan (menenteng) tombak

 

Juga ucapan pujangga lain:

Dan mereka (para wanita) menipiskan alis dan (mencelak) mata

 

Karena secara umum kata kerja pertama selaras dengan kata kerja kedua, dicukupkan menyebutkan yang pertama dan membuang yang kedua. Jelasnya, memberi makan senada dengan memberi minum dalam hal mensuplai makanan, berselempang pedang senada dengan menenteng tombak dalam hal membawa, serta menipiskan alis senada dengan mencelak mata dalam hal berhias.

 

Demikian pula shalawat untuk Nabi seirama dengan doa untuk Abu Bakar dan Umar dalam hal memohon dan meminta.

 

  1. Ibnu Abbas berpandangan beda dengan Ibnu Umar, seperti telah disebutkan.

 

Dalil kedua belas kalian bahwa kalian berdalil dengan bolehnya bershalawat untuk istri-istri Nabi, alasan ini tidak tepat. Sebab bolehnya bershalawat untuk istri-istri beliau karena mereka disandarkan pada beliau dan karena mereka masuk dalam bilangan keluarga beliau. Shalawat khusus untuk Nabi, sedang keluarga dan istri-istri beliau mengikuti beliau dalam hal shalawat ini.

 

Sedang ucapan kalian bahwa menurut prinsip pemahaman kami (kelompok pertama) bolehnya bershalawat untuk selain Nabi dan keluarga beliau berdasar kebolehan bershalawat untuk istri-istri Nabi itu lebih tegas, dengan alasan kami tidak berpendapat haramnya sedekah untuk mereka. Jawabnya adalah, ucapan kalian ini —jika bisa diterimamenunjukkan bahwa istri-istri Nabi tidak tergolong keluarga beliau yang haram menerima sedekah karena tiadanya hubungan kekerabatan yang menjadi dasar pengharaman. Namun mereka termasuk keluarga Nabi yang berhak dimohonkan shalawat. Dan kedua hal ini tidak bertentangan.

 

Dalil ketiga belas kalian, yakni bolehnya bershalawat untuk selain Nabi karena mengikuti beliau dan kalian menceritakan hal ini sebagai sebuah kesepakatan, jawabnya dari dua sisi:

 

  1. Kesepakatan ini tidak diketahui kebenarannya. Mereka yang melarang shalawat untuk selain para Nabi juga melarangnya baik diucapkan sendiri maupun setelah para nabi. Perincian yang kalian sebutkan itu, kendati diketahui dikatakan sebagian mereka, namun tidak semua dari mereka berpendapat seperti itu.

 

  1. Bolehnya bershalawat untuk para pengikut Nabi karena mengikuti shalawat pada beliau tidak mesti berarti bolehnya bershalawat untuk orang tertentu atau lainnya secara sendiri.

 

Dan perkataan Nawawi (yang kalian bawakan), “Ini mengacu pada hadits-hadits shahih dalam masalah ini,” jawabnya, dalam hadits-hadits shahih tidak disebutkan shalawat untuk selain Nabi, keluarga beliau, istri-istri, dan keturunan beliau. Dalam hadits-hadits itu tak tercantum penyebutan sahabat-sahabat dan para pengikut beliau dalam masalah shalawat.

 

Ucapannya, “Kita telah diperintahkan mengucapkan shalawat ini dalam tasyahud” Jawabannya, yang diperintahkan dalam tasyahud adalah shalawat untuk keluarga dan istri-istri beliau, bukan selain keduanya.

 

Kemudian tentang dalil keempat belas kalian, yakni hadits Zaid bin Tsabit yang di dalamnya disebutkan,

 

  1. “Ya Allah, tiadalah aku memohonkan satu shalawat kecuali untuk orang yang Engkau bershalawat padanya.”

 

Dalam sanadnya ada Abu Bakar bin Abi Maryam. Ia didha’ifkan Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim,! Nasa’i dan As-Sadi. Ibnu Hiban berkata,” “Ia tergolong tokoh terbaik di antara penduduk Syam, namun hafalannya buruk. Ia menceritakan sesuatu dan salah, tetapi kekeliruannya tersebut tidak fatal yang mengakibatkannya harus ditinggalkan. Ia pun tidak meniti jalan para rawi tsiqah hingga dapat dijadikan hujah. Menurutku ia tak layak dijadikan hujah bila bersendiri

 

Keputusan dalam masalah ini adalah shalawat untuk selain Nabi adakalanya ditujukan untuk keluarga Nabi, istri-istri, dan keturunan beliau, dan adakalanya ditujukan untuk selain mereka. Jika maksudnya yang pertama maka shalawat untuk mereka disyariatkan bersama shalawat untuk Nabi dan boleh secara sendiri.

 

Yang kedua, jika ditujukan untuk para malaikat dan orang-orang yang taat pada Allah secara umum, termasuk di dalamnya semua para nabi dan selain mereka, shalawat tersebut juga boleh. Misalnya diucapkan, “Ya Allah, limpahkan shalawat untuk para malaikat-Mu yang didekatkan dan orang-orang yang menaati-Mu semuanya” Namun jika ditujukan untuk orang tertentu atau kelompok tertentu maka makruh menjadikan shalawat untuknya sebagai simbol yang tidak pernah ditinggalkan. Seandainya hal ini dikatakan haram pun ada alasan kuat. Apalagi bila shalawat ini dijadikan simbol orang itu dan tidak disemat-kan pada orang yang setingkat dengannya atau lebih baik darinya. Ini sebagaimana dilakukan sekte Rafidhah (Syi’ah) terhadap Ali. Saat mereka menyebutnya, mereka mengatakan, “Semoga shalawat dan salam terlimpah untuknya” Sementara mereka tidak mengucapkannya untuk orang yang lebih baik dari Ali (seperti Abu Bakar Ash-Shidig dan Umar bin Khathab). Perbuatan ini dilarang. Lebih-lebih lagi bila dijadikan simbol (jargon) yang tidak pernah ditinggalkan. Maka meninggalkan shalawat pada orang tertentu dalam kondisi seperti ini harus dilakukan. Adapun jika mengucapkan shalawat untuk orang tertentu secara berkala dengan tidak menjadikannya sebagai slogan, seperti shalawat untuk pembayar zakat dan seperti ucapan Ibnu Umar untuk mayat:

 

  1. “Semoga Allah melimpahkan shalawat untuknya”

 

Seperti shalawat Nabi untuk seorang wanita dan istrinya, juga sebagaimana diriwayatkan dari Ali terkait shalawatnya untuk Umar, ini tidak apa-apa dilakukan.

 

Dengan perincian ini dalil-dalil dapat dikompromikan dan terungkaplah mana yang benar.

 

Selesai. Segala puji bagi Allah Sang Maharaja lagi Maha pemberi. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak untuk pemimpin kita Muhammad, keluarga dan sahabat beliau, hingga hari pembalasan.