Aku wasiatkan kepadamu dan diriku sendiri serta siapa saja yang mendengar ucapanku agar senantiasa bertakwa kepada Allah yang telah menciptakan manusia, yang kepada-Nya mereka kembali serta dengan-Nya mereka mendapat bimbingan dan arahan. Bertakwalah kepada-Nya, wahai saudaraku, setakwa orang yang telah merasakan kedekatan dengan Allah dan kekuasaan-Nya.
Percayalah kepada-Nya seperti percayanya orang yang telah mengakui keesaan, kedirian, dan keazalian-Nya dengan menyaksikan alam malakut-Nya, bukti-bukti kekuasaan-Nya, dalil-dalil yang banyak atas-Nya, ayat-ayat yang menunjukkan rububiah-Nya, keterlaksanaan kehendak-Nya, kehebatan ciptaan-Nya, kejelasan kekuasaan-Nya atas seluruh ciptaan, dan keindahan pengaturan-Nya. Ingat, Dialah yang memiliki ciptaan dan titah. Semoga Allah Tuhan sekalian alam senantiasa memberi berkah.
Percayalah kepada-Nya seperti percayanya orang yang berbaik sangka kepada-Nya dan tidak pernah menuduh-Nya dengan yang bukan-bukan. Yakini janji-Nya dan percayai jaminan dan ketenangan hati terhadap janji-Nya serta keagungan ancaman-Nya dalam hati.
Bersyukurlah kepada-Nya seperti syukurnya orang yang telah mengenal keutamaan-Nya, banyak memberi pertolongan kepada-Nya dan berbuat kebaikan kepada-Nya.
Kenalilah nikmat-Nya yang lahir maupun yang batin, yang khusus maupun yang umum. Ikhlaslah kepada-Nya seikhlas orang yang telah tahu bahwa Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali jika ia bersihkan amal itu dari penyakit dan ia ikhlas kepada Allah—yang tidak memiliki sekutu dan tiada seorang pun membantu-Nya bekerja.
Ketahuilah, seorang hamba telah syirik dalam beramal jika ia “menghias-hias diri” (berlagak saleh—pen.) dalam amal-amal yang sebetulnya menuntut keikhlasannya (mawdathin al-imtihdn),’ sehingga ia berbohong dalam amalnya, atau berbuat ria agar dihormati serta diagungkan karena keindahan ucapan dan kebaikan yang tampak dari perbuatan-perbuatannya, baik ia dalam keadaan tahu tentang dirinya ataupun tidak tahu.
Seseorang tak akan selamat dari keburukannya kecuali ia lari dari tempatnya lalu ia beramal dan tidak suka amalnya dilihat orang. Jika suatu perbuatannya telah tampak di mata makhluk meskipun ja tidak menyenangi hal itu, lantas siapa bisa mempercayainya? Bukankah orang lain mesti memujinya atas apa yang tampak darinya itu? Kalau toh ia dipuji seseorang sedangkan ia tidak suka dipuji, maka pujian itu tak akan membuatnya senang. Tetapi, bila memang membuatnya senang, maka ia tak akan senang kepada perolehan dunia dengan sebab tertentu.
Jujurlah dalam ucapan dan perbuatan sejujur orang yang telah mengetahui bahwa Allah mengetahui seluruh urusannya, yang rahasia maupun yang nyata, dan apa pun yang disembunyikan hati kecilnya.
Bertawakallah kepada-Nya seperti tawakalnya orang yang telah percaya pada janji-Nya dan merasa tenang dengan jaminan-Nya, yaitu percaya akan pemenuhan janji Allah, rela akan ketentuan-Nya, mempasrahkan diri pada perintah-Nya, iman terhadap takdir-Nya, serta yakin dan percaya terhadap surga dan neraka-Nya.
Takutlah kepada-Nya setakut orang yang telah mengenal siksaan-Nya, murka-Nya yang pedih, azabNya yang perih, kehancuran karena azab-Nya (almutslah), bekas-bekas dan peninggalan bangsa-bangsa yang dihancurkan karena mereka melanggar dan mendurhakai perintah-Nya.
Ketahuilah bahwa tidak ada pegangan bagi siapa pun yang dihinakan oleh-Nya’ dan tidak ada kehancuran bagi siapa pun yang diberkati, didukung, dijaga dan dilindungi oleh-Nya. Tidak ada kesabaran bagi seseorang atas hukuman dan siksa-Nya.
Berharaplah kepada-Nya seperti berharapnya orang yang membenarkan janji-Nya dan menganggap nyata balasan pahala-Nya. Bersyukurlah kepada-Nya seperti syukurnya orang telah menerima kebaikankebaikan-Nya, telah memperbaiki amal kepada-Nya, menghampiri-Nya, dan memberi-Nya penghormatan.
Malulah kepada Allah seperti malunya orang-orang yang mengenal keutamaan dan anugerah-Nya yang banyak serta mengetahui kekurangan dirinya dalam mensyukuri nikmat-Nya dan kesetiaannya yang sedikit terhadap janji-janjinya sekaligus kelemahannya dalam menjalankan kewajiban. Kemudian ia tidak mengenali sesuatu dari Penciptanya kecuali hanya perJindungan yang indah, kesehatan yang prima, pemberian nikmat yang terus-menerus, kebaikan yang abadi, serta kedermawanan dan pengampunan yang besar.
Ketahuilah bahwa Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban lahiriah dan batiniah.? Dia telah mensyariatkan sejumlah syariat atasmu, menunjukkanmu pada syariat-syariat itu, memerintahkanmu untuk melaksanakannya dan menjanjikanmu pahala yang besar atas kebaikan pelaksanaanmu (terhadap syariat) serta mengancammu dengan siksaan yang pedih atas kelalaianmu (dalam melaksanakannya) sebagai simbol kasih kepadamu dan mengingatkanmu sebagai simbol cinta-Nya kepadamu.
Karena itu, tegakkanlah perintah-perintah-Nya dan disiplinlah terhadap syariat-syariat-Nya. Ikuti sunnah Nabi-Nya dan atsar para sahabat. Ikuti sirah mereka dan berperilakulah sesuai etika mereka. Tempuh jalan mereka dan cari petunjuk-Nya. Bertawasullah kepada Allah dengan mencintai mereka dan orang-orang yang mereka cintai. Sebab, merekalah orang-orang yang kembali kepada Allah dan menuju maksud-Nya serta karena Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya sehingga menjadi kekasih dan pengikut setianya.
Menuruti Jejak Kaum Saleh
Ketahuilah saudaraku, tanda-tanda cintamu kepada mereka adalah konsistensimu terhadap cara dan sunnah mereka dengan diiringi sikap istikamah hatimu, kesahihan amalmu, kejujuran lidahmu, dan kebaikan tindakanmu dalam melaksanakan urusan dunia dan akhirat—sebagaimana kaum yang ada dalam keadaan demikian. Hal itu akan mewujudkan kesungguhan pengakuan cintamu terhadap mereka dan keteguhanmu dalam memegang sunnah mereka.
Jika perkara-perkara itu benar ada pada, dan muncul dari, dirimu seperti benarnya perkara-perkara itu ada pada, dan muncul dari, diri mereka, maka engkau benar-benar mencintai kaum itu dan mengikuti mereka dengan baik.
Jika engkau mengaku mencintai mereka sedangkan perbuatanmu bertentangan dengan apa yang mereka perbuat, tidak istikamah terhadap jalan yang mereka tempuh, berarti engkau cenderung bersepakat dengan hawa nafsumu, menyimpang dari sikap mereka dan engkau tidak jujur dalam pengakuanmu.
Janganlah sekali-kali pada satu sisi menentang jalan mereka, sementara pada sisi lain mengaku bahwa engkau berada di jalan mereka. Bila engkau melakukannya, sungguh engkau adalah orang bodoh sekaligus pembohong. Engkau akan mendapatkan kemurkaan dari Zat Yang Maha Mengetahui lagi Mahalembut. Akan tetapi, pengakuan dan permohonan ampun adalah lebih utama bagi siapa saja yang memiliki sifat seperti itu.
Saudaraku, hendaklah engkau memiliki peran daJam kebenaran. Sesungguhnya telah dikatakan, “Pasti datang suatu zaman kepada manusia ketika orang yang mengakui kebenaran akan selamat”
IBLIS:
BAGI IBLIS, TIDAK ADA YANG LEBIH MENGAGUMKAN DARIPADA KEGELAPAN, KEPEKATAN, DAN PADAMNYA CAHAYA KALBU. BAGINYA, TIDAK ADA YANG LEBIH BERAT DARIPADA CAHAYA, KEBENINGAN, KEBERSIHAN, DAN KECEMERLANGAN. SESUNGGUHNYA TEMPAT IBLIS HANYALAH KEGELAPAN. JIKA KEGELAPAN TIDAK ADA, MAKA TIADA TEMPAT BAGINYA, DAN IA TAK MAMPU BERTAHAN DALAM CAHAYA DAN GEMERLAP.
Jika engkau mengenal kebenaran, berarti engkau mengakuinya. Kebenaran akan menunjukimu bahwa Allah mewajibkanmu suatu kewajiban batiniah bersama kewajiban lahiriah. Yaitu, pembenaran rahasia-rahasia, keinginan yang istikamah, niat yang jujur, tekad yang bulat, hati yang bersih dari segala yang dibenci Allah, dan penyesalan seluruh pelanggaran terhadap larangan Allah pada masa lalu dengan hati dan anggota tubuh.
Itulah perintah yang dijadikan Allah sebagai pelindung atas perbuatan-perbuatan anggota tubuh. Karenanya, apa pun pekerjaan lahiriah manusia, disaring dulu lewat batin. Apa pun yang sesuai dengan batinnya, maka jadilah dan diterimalah lahirnya. Apa pun yang bertentangan dan merusak batinnya, maka perbuatan-perbuatan lahiriahnya akan dikembalikan kepadanya meskipun banyak jumlahnya. Aspek lahiriah akan tiada berarti karena rusaknya aspek batiniah.
Semua itu sesuai dengan firman Allah, “Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi.
Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat) disebabkan apa yang mereka telah kerjakan” (QS. alAnam: 120).
Sesuai pula dengan sabda Nabi, “Sesungguhnya semua pekerjaan tergantung niat dan sesungguhnya (balasan) bagi tiap orang adalah (sama dengan) apa yang ia niatkan.’”
Nabi juga bersabda, “Dalam diri Bani Adam (manusia) terdapat segumpal daging yang bila kondisinya baik, baiklah seluruh jasadnya, bila rusak, rusaklah seluruh jasadnya (atau amalnya), ingat itu adalah hati”?
Juga sabda Nabi, “Sesungguhnya malaikat pasti akan membanyak-banyakkan pekerjaan manusiasetelah wafatnya—di sisi Allah. Kemudian malaikat berkata, “Hamba-Mu masih bersamaku sampai engkau mewafatkannya.” Lalu ia menyebutkan kebaikankebaikan amalnya, melebih-lebihkannya, membagusbaguskannya, dan memberikan pujian kepadanya.
Kemudian Allah berfirman, “Engkau benar-benar menjaga amal hamba-Ku dan Aku benar-benar mengawasi hatinya. Sesungguhnya amal hamba-Ku yang engkau banyak-banyakkan dan bagus-baguskan belumlah tulus bagi-Ku. Aku tidak akan menerima amal hamba-Ku kecuali yang tulus kepada-Ku.”
Oleh karena itu, kenalilah jiwamu. Periksalah kondisi-kondisi jiwamu dan carilah simpul hati kecilnya dengan perhatian dan kasihmu kepadanya. Sebab, engkau tidak memiliki jiwa selainnya. Jika jiwamu rusak, maka itulah bencana dan kehancuran terbesar.
Saudaraku, perketatlah pengawasan kepada jiwa dengan mata yang awas dan tajam sehingga engkau mengenal bencana-bencana amal jiwa dan kerusakan nuraninya sekaligus mengetahui apa yang menggerakkan lidahnya. Kemudian ambil hawa nafsunya yang nyata lalu kendalikan dengan hikmah ketakutan dan perlawanan yang tepat kepada jiwamu. Kembalikanlah jiwamu—dengan penuh kelembutan—kepada keikhlasan, keinginan yang lurus dalam nuraninya, logika yang jujur dalam kata-katanya, niat istikamah dalam kalbunya, penjauhan pandangan dari apa yang dibenci Pemiliknya (Allah) sekaligus meninggalkan penglihatan yang sia-sia menuju penglihatan yang dibolehkan, yakni perkara-perkara yang bisa menggiring hati pada cinta dunia.
Ajarilah jiwa untuk tidak mendengar apa pun yang dibenci Pemiliknya, yakni hawa nafsu dan maksiat, baik saat gembira, sedih, leluasa maupun sempit. Ajarilah jiwa untuk memperbaiki makanan yang masuk ke dalam perutmu dan penutup auratmu. Ajarilah jiwa seluruh harapannya. Dan cegahlah kemaluannya dari seluruh yang dibenci Tuannya.
Bersamaan dengan itu, awasi dan hilangkan kelengahan-kelengahan dari hatimu pada setiap gerak dan tenangmu. Juga ketika diam dan bicara, ketika masuk dan keluar, ketika beraktivitas, ketika cinta dan benci, serta ketika tertawa dan menangis.
Perhatikanlah itu semua karena setiap jenis yang kami sebutkan memiliki satu sebab bagi nafsu, satu sebab bagi ketaatan, dan satu sebab bagi kemaksiatan.
Jika engkau lalai, menuruti hawa nafsu, serta lupa memeriksa niatnya, maka seluruh yang aku sebutkan untukmu bisa menjadi sumber kemaksiatan. Jika engkau terjerembab dalam kelalaian kemudian kembali awas menentang hawa nafsu (diri, jiwa), maka penyesalan atas kelalaian dan kejatuhan diri akan membayangimu. Semua itu akan kembali menjadi suatu kebaikan dan ketaatan bagimu.
Karena itu, periksalah ia dengan perhatian yang dinamis. Sebab, sesungguhnya saat itu engkau tengah memotong jalan maksiat dari iblis dan membuka pintu kebajikan. Tidak ada kesuksesan yang terwujud kecuali dengan perkenan Allah Yang Mahaagung.
ZUHUD
Siapa menginginkan sikap zuhud, hendaklah ia menganggap sedikit sesuatu yang dianggap banyak oleh orang lain, menganggap banyak dunianya yang sedikit, menganggap kecil bencana besar yang menimpa dirinya, dan menganggap besar sesuatu yang dianggap kecil oleh orang lain.
Bahaya Lisan
Saudaraku, sangsikanlah jiwamu. Dendangkanlah tuduhanmu kepada musuh bebuyutanmu.
Saudaraku, takutlah kepada lidahmu melebihi takutmu kepada hewan buas yang berbahaya dan bisa memangsamu. Karena, sesungguhnya korban yang dimangsa hewan buas termasuk ahli iman yang dibalas dengan surga, sedangkan korban lidah akan dibalas dengan neraka kecuali jika Allah mengampuni.
Oleh karena itu, janganlah lengah soal lidah sebab ia bagaikan seekor hewan buas berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu omonganmu sekuat-kuatnya. Kemudian jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika engkau membukanya, maka hati-hatilah. Ambillah kebutuhanmu untuk berbicara sekadarnya saja dan tutuplah (lagi) pintu (lisan) itu.
Janganlah lengah dalam hal ini. Jangan pula berlebihan dalam berbicara. Jika engkau berlebihan dalam berbicara, itu sama saja dengan merusak dirimu. Pasalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Mu‘ddz, “Tidak mungkin manusia akan terus dengan hidung mereka di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.”””
Seseorang bertanya kepada Nabi, “Apa yang mesti aku jaga? Lantas Nabi menjawab, “Ini.” Yaitu, lidahmu.’
Seorang sahabat yang lain bertanya kepada beliau, “Apa yang paling engkau takutkan atas diriku?” Nabi menjawab, “Ini,” sambil memegang lidahnya sendiri.”
Sahabat yang lain bertanya, “Apakah keselamatan itu?” Lalu beliau menjawab, “Jagalah lidahmu, anggaplah rumahmu luas, dan tangisilah kesalahanmu.”
Nabi saw. bersabda, “Siapa diam, ia akan selamat.”?! Beliau juga bersabda, “Siapa senang jika mendapatkan keselamatan, hendaklah ia senantiasa diam?”
‘Umar ibn Khaththab datang menemui Abu Bakar sambil menggerakkan ujung lidahnya, maka Abu Bakar bertanya, “Apa yang engkau lakukan? ‘Umar menjawab, “Inilah yang menjadi sumber kehancuran.’”
‘Abu Allah ibn Mas‘ta berkata, “Tidak ada hukuman penjara yang lebih panjang dari hukuman karena lidah.’ Dan masih banyak lagi berita-berita tentang lidah.
Karena itu, janganlah melalaikan lidah mengingat ja adalah bagian tubuh yang banyak melakukan kejahatan. Kejahatan yang paling sering engkau dapatkan dalam lembaran amalmu pada hari kiamat adalah kejahatan yang diucapkan lidahmu. Kebajikan yang paling banyak engkau dapatkan dalam lembaran amalmu adalah kebajikan yang dilakukan hatimu.’”
Keutamaan Amal Hati
Amal hati orang bijak dan memiliki wawasan kebajikan merupakan amal-amal yang tersembunyi dari iblis dan malaikat. Sebab, kerja hati adalah amal yang suci dan bersih dari kerusakan. Bersama ketersembunyiannya terdapat bekal bagi pelakunya, sekaligus pahala yang besar, keselamatan dari serangan musuh dan hawa nafsu.
Hal itu karena gerak hati adalah amal yang tertutup dari pandangan mata manusia, yang bisa dilakukan dengan cara berdiri, duduk, maupun berbaring. Mereka itulah ali al-albab sebagaimana firman Allah, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring? (Q.S. Ali ‘Imran: 191). Zikir terbanyak mereka adalah tafakur, sebagaimana firman Allah, “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: (QS. Ali ‘Imran: 191). Merekalah kaum beriman yang merupakan ahl al-ikhmal, yaitu yang menyembah Allah dengan suatu ibadah yang tidak pernah tampak dari manusia.
Ikatlah kalbumu, saudaraku, dengan dorongan dorongan akhirat dan tautkanlah dengannya. Jagalah hatimu dari dorongan-dorongan dunia dan ingatan yang mendorong kepada ketamakan dan ambisi tertentu.
Jangan izinkan hatimu ditemani oleh sesuatu (dunia) yang merepotkan bila dicari dan bisa memadamkan cahaya hati.” Jadilah orang yang antusias memadukan antara hati dan tindakan-tindakan terpuiji. Takutilah dirimu dengan hukuman dunia—yang terbayang di benak—dan sedikitnya kemampuanmu untuk bersyukur. Perbanyaklah pengetahuanmu tentang kelemahan syukurmu sehingga jiwamu dihindarkan dari pikiran-pikiran tentang masalah dunia dan hasrat untuk mendapat kelebihan duniawi.
Jika engkau dapat menenangkannya dari ingatan
akan kelebihan duniawi dan membawanya ke tingkat ketakutan terhadap apa yang di depannya, maka engkau akan merasa puas dan rela sekaligus terbebas dari tuntutan dunia dengan ketamakan dan ambisinya. Sehingga, engkau akan kembali ke akhirat dengan antusiasme dan hasrat terhadapnya, karena sesungguhnya nafsu itu dibangun atas dasar ketamakan.
Bahaya Ketamakan pada Dunia
Tempat munculnya antusiasme dan hasrat terletak pada ketamakan, sedang pembinaan jiwa juga didasarkan pada kaidah-kaidah ketamakan. Ketamakan terhadap dunia menjadikan ketamakan sebagai sarana mencari kelebihan dunia. Sebaliknya, Ketamakan terhadap akhirat menggunakan ketamakan sebagai alat mencari tambahan amal akhirat dengan bersikap antusias dan berhasrat padanya.
Seorang bijak ditanya, “Apa wahana ketamakan?”
Sang bijak menjawab, “Kerakusan, ambisi, dan mengedepankan keinginan. Di mana saja nafsu menempati ketamakannya, maka nafsu telah menghadirkan perangkatnya, mengumpulkan alatnya, dan bersungguh-sungguh dalam menuntutnya”’
Jika nafsu berhasil memaksa orang untuk menuruti hawanya, maka ia telah memperbudaknya, melemahkannya, menghinakannya, mengejutkannya, meletihkannya, merampas akalnya, menginjak kehormatannya, mengabaikan harga dirinya, dan memisahkannya dari agamanya. Meskipun ia seorang yang alim, berakal, cerdik, cerdas, fasih, bijak, dan mengerti, tetap saja ia dikotori dan dijatuhkan. Semua jtu mungkin untuknya walaupun orang itu alim dan pintar. Hawa nafsu akan menjadikannya orang yang bodoh, dungu, tolol, dan lembek setelah sebelumnya ja menguasai berbagai ilmu.
Dengan diturutinya hawa nafsu berarti nafsu telah menuangkan sebuah cangkir beracun sehingga membuatnya tergiur. Lalu ia dengan ilmu, akal, pemahaman, serta ketajaman hikmah dan pandangannya menjadi tergiring dan terseret oleh hawa nafsunya.” Ia pun mendapatkan celaan di dunia dari para pemuka dan tokohnya. Ja ditelantarkan dari nikmat Allah dan pandangan manusia yang kritis. Riwayatnya pun berakhir dengan penyesalan yang panjang, baik ketika meninggal dunia ataupun pada hari kiamat.
Agar Jiwa Peduli Akhirat
Jika seorang hamba yang tamak mengalihkan jiwa dari dorongan-dorongan duniawi dan akal yang dikalahkan hawa nafsu, maka dengan sendirinya jiwa akan membawa ketamakannya kepada dorongan-dorongan ukhrawi karena ia memang dibangun atas dasar ketamakan.”
Jika nafsu terbebas dari dorongan-dorongan dunia dan berputus asa dari makhluk, maka ia akan membawa hasrat dan ketamakannya kepada dorongandorongan akhirat. Sehingga, ia bersungguh-sungguh mencarinya, menghindari dunia, menentang hawa nafsu dan setan, serta mengikuti ilmu. Ia menjadi mitra akal dan bersabar atas apa yang menunjukkannya kepada kebenaran sehingga ia selamat dan menyelamatkan.
Saudaraku, perhatikan kalbumu ketika ia memiliki harapan dan lekatkanlah hatimu dengan pikiran-pikiran akhirat. Jangan meninggalkan kalbu dan ajaklah ia membayangkan kengerian masa depan ketika telah berpisah dengan dunia dan meninggalkan apa yang diusahakan penghuninya dalam jiwa mereka, dalam mengotori kehormatan, berlaku sombong, dan mengurangi nilai-nilai agama. Kemudian mereka meninggalkan itu semua dan mendatangi Allah seorang demi seorang. Pada saat itu, muncullah ketakutan alam kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, kengerian-kengerian hari kiamat, keterdiaman di hadapan Allah, serta pertanyaan mengenai ucapan dan perbuatan mereka—sampai yang seberat biji sawi atau zarah.
Dan, pertanyaan kepadanya tentang masa muda (bagaimana ia menghabiskannya); usia (bagaimana ia mengisinya); harta (dari mana ia memperolehnya, dari siapa ia menghindarkannya, dan untuk apa ia membelanjakannya); ilmu (apa yang ia perbuat dengannya); serta seluruh perbuatan (baik yang dilakukannya dengan jujur ataupun dengan bohong).
Saudaraku, bila kalbumu sibuk dengan hal seperti itu dan nyaman dengannya, padahal engkau memiliki susunan akal yang sehat, maka hatimu akan menimbang lidahmu*! dan engkau tidak terbebas dari ketakutan yang lazim serta kesedihan yang berkelanjutan dan kesibukan yang membelenggu kalbumu.
Aksi Iblis “Menyerbu” Hati
Sesungguhnya iblis memagarimu dalam area dosa melalui bisikan nafsu dan kehancuran/kerusakan hatimu.
Hati rusak jika kosong dari ketakutan dan kesedihan yang seharusnya memenuhinya. Pada saat itu iblis membisiki hati dengan rayuan tentang harapan-harapan duniawi, bagaimana (harus) mengumpulkannya karena perasaan takut miskin yang disertai mendekamnya panjang angan-angan dalam hati, keberpalingan hati dari Allah, terputusnya tanda-tanda keagungan Allah darinya, dan kekosongannya dari rasa hormat dan rasa malu terhadap-Nya.
Jika iblis menemukan hati dalam keadaan terisi, maka ia merasa terganggu dan menjauhinya tanpa menemukan jalan masuk dari kiri-kanannya. Sebab, hati yang penuh dengan rasa takut (al-khawf), kesedihan, dan pikiran adalah hati yang terang dan bercahaya.
Seorang hamba melihat jalan masuk iblis dengan cahaya hatinya, maka ia menolak ajakannya dan berpegang teguh kepada cahaya hatinya yang dikokohkan Allah sehingga ia sanggup mengalahkannya, lalu iblis lari terbirit-birit menuju hati yang telah kehilangan ketakutan (al-khawf). Maka, iblis menghancurkan dan menganiayanya sehingga tidak ada sedikit pun cahaya di dalamnya.
Bagi iblis, tiada yang lebih berat ketimbang cahaya. Jika menemukan cahaya, ia merasa terganggu dan menjauh. Ia tidak mampu melawan cahaya kecuali jika manusia lalai.
Hati yang bercahaya adalah hatinya orang yang selalu awas dan siaga. Jika hatinya lengah, maka ia mati, menjadi gelap, dan cahayanya padam sehingga segala sesuatu yang dirancukan atau dikeruhkan sang musuh menjadi susah dibedakan. Dengan begitu, iblis telah melakukan penipuan terhadap manusia dan memenuhi hatinya dengan kelalaian, kemudian ia memagarinya dengan dosa-dosa. Jika ia memaksakan diri untuk bangkit, sedangkan ia rida dengannya, maka ia akan dikuasai oleh kegelapan yang lebih pekat sehingga menggelapkannya. Lalu, iblis menghuni hatinya sehingga ia melakukan dosa-dosa kecil sampai terjerumus ke dalam dosa-dosa besar.
Bagi iblis, tidak ada yang lebih mengagumkan daripada kegelapan, kepekatan, dan padamnya nur kalbu. Baginya, tidak ada yang lebih berat daripada cahaya, kebeningan, kebersihan, dan kecemerlangan. Sesungguhnya tempat iblis hanyalah kegelapan. Jika kegelapan tidak ada, maka tiada tempat baginya, dan ia tak mampu bertahan dalam cahaya.dan gemerlap.
Aku telah mendapatkan berita bahwa Nabi Muhammad saw. sangat benci manakala memasuki rumah yang gelap sampai ia diterangi oleh lampulampu.
Sesungguhnya maqam paling mulia dan terhormat adalah takut dan mawas diri kepada Allah (muraqabat Allah).Di antara sikap mawas yang terbaik adalah mawas yang dilakukan manusia dengan rasa syukur atas nikmat, pengakuan terhadap keburukan, dan permintaan ampun atas kesalahan, sehingga hatinya terbiasa dengan situasi ini dalam seluruh perbuatan. Tatkala lengah, ia mengembalikannya kepada maqam ini—dengan izin Allah.
Di antara pengertian mawas kepada Allah (muraqabat Allah) adalah meninggalkan perbuatan dosa, melepaskan diri dari kesibukan duniawi, dan senantiasa memiliki perhatian untuk mengevaluasi diri.
Di antara amal hati yang bisa membersihkannya dan amat diperlukan adalah keikhlasan, kepercayaan diri, syukur, tawaduk, penyerahan diri, nasihat, serta mencintai dan membenci karena (berharap rida) Allah.
Sekecilnya nasihat adalah tentang sesuatu yang sulit engkau tinggalkan tapi engkau harus melakukannya. Bila engkau tak mampu dalam hal itu berarti engkau telah bermaksiat atas Allah dengan meninggalkan nasihat untuk hamba-hamba-Nya. Yang lebih sedikit dari itu: jangan mencintai sesuatu yang dibenci Allah untuk seorang manusia dan jangan membenci apa yang dicintai Allah untuk mereka.
Hal yang kami gambarkan ini merupakan kewajiban atas makhluk yang tidak bisa ditinggalkan walau sekejap pun, dengan hati maupun perbuatan anggota tubuh.
Keadaan lain di atas ini, yang merupakan keutamaan (fadilat) bagi hamba, yaitu membenci apa yang dibenci Allah untuk manusia dan mencintai untuk mereka apa yang dicintai Allah.
Seseorang datang kepada ‘Abd Allah ibn al-Mubarak seraya berkata, “Berilah wasiat kepadaku.” Jawabnya, “Mawaslah kepada Allah.” Maka, orang itu bertanya, “Bagaimana cara mawas kepada Allah?” Ia menjawab, “Hendaklah ia malu kepada Allah.”
Mawas diri dan munajat tergantung pada di mana engkau meletakkan hatimu. Hendaknya engkau meletakkan hatimu di bawah arasy, lalu bermunajatlah dari sana.
Ada dua cara mengembalikan hati kepada mawas diri kepada Allah. Pertama, mengarahkan pandangan sekaligus mengingat ilmu, sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya Dia Mengetahui apa yang ada di dalam dada.” (Q.S. Hud: 5). Allah juga berfirman, “Dia mengetahui apa yang ada di dalam diri kalian, maka berhati-hatilah terhadap-Nya” (QS. al-Baqarah: 235). Kedua, mengingat keagungan karena adanya kenikmatan.
Diriwayatkan bahwa Allah berwasiat kepada Ibrahim a.s., “Hai Ibrahim, tahukah engkau mengapa Aku jadikan dirimu sebagai seorang kekasih?” Jawab Ibrahim, “Tidak, wahai Tuhanku.” Jawab Allah, “Karena lamanya engkau berdiri di hadapanku.” Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan berdirinya Nabi Ibrahim itu adalah dengan hati, bukan dengan shalat.
Ini sesuai dengan Alquran, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat? (Q.S. Shad: 46)
Juga dengan hadis Nabi, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan hadis dari Haritsah, “Seakan-akan aku melihat singgasana Tuhanku secara nyata.”?”
Etika Mawas kepada Allah
Amal yang paling tinggi derajatnya adalah jika engkau menyembah Allah dengan gembira terhadap Tuanmu, kemudian dengan penghormatan atas-Nya, kemudian dengan rasa syukur, kemudian dengan ketakutan, dan yang terakhir adalah dengan kesabaran.
Bentuk-bentuk kesabaran adalah beragam, yakni tashabbur, shabr jamil, beralih menuju ketakutan dan syukur, kemudian menuju pengagungan, dan menuju kebahagiaan.”
Siapa menginginkan sikap zuhud, hendaklah ia menganggap sedikit sesuatu yang dianggap banyak oleh orang lain, menganggap banyak dunianya yang sedikit, menganggap kecil bencana besar yang menimpa dirinya, dan menganggap besar sesuatu yang dianggap kecil oleh orang lain.
Jika nafsumu mengajakmu kepada sesuatu yang memutus kebahagiaanmu, maka buatlah suatu hukum antara dirimu dan jiwamu berupa rasa malu kepada Allah.
Sesungguhnya kaum yang cerdik pandai jika diajak nafsu—dengan tipu dayanya—untuk memutus diri mereka dari jalan keselamatan mereka, maka mereka menyidangkan nafsu mereka kepada rasa malu terhadap Allah sehingga nafsu itu dihinakan oleh hukum rasa malu.
Jalan keluar dari ketertipuan adalah baiknya prasangka hati dan jalan untuk baiknya prasangka hati adalah melakukan apa yang dibenci demi Allah dan membohongi nafsu.
Yang termasuk ketulusan adalah jika engkau senang ketika semua orang lebih baik dari dirimu sendiri.
Diceritakan kepada Ibn al-Mubarak tentang seorang ahli ibadah beribadah tanpa fiqih, ia langsung berkata, “Seandainya saja antara diriku dan dirinya terdapat sebuah lautan.”
Siapa menjauh dari Allah, maka ia tidak akan pernah bersabar atas manusia. Sedangkan siapa menjauh dari selain Allah, maka ia tidak akan pernah bersabar dari manusia.
Siapa membaca Alquran, maka ucapannya dan ucapan semua orang tak ada artinya.
Hari-hari itu sangatlah singkat, maka apa yang terjadi atas manusia jika ia menghibahkan dirinya kepada Allah?
Ketundukan (tawaduk) untuk Allah adalah rasa hina hati.
Nikmat yang utama adalah mengetahui ilmu tentang bagaimana menjalankan kewajiban yang ditetapkan Allah, kemudian kesehatan dan kekayaan, kemudian akal.
Hamba sedikit pun tak patut menolak hukum-hukum Tuannya. Hendaklah ia rela dengan hukum yang berasal dari Tuannya dan harus bersabar. Karena itu, manusia itu memiliki dua pilihan, yaitu. menerima dengan penuh kerelaan atas apa yang Dia cintai dan menerima dengan penuh kesabaran atas apa yang Dia benci.
Jalan menuju akhirat itu satu, sedangkan manusia di dalamnya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu penganut keadilan (ahl al-adl) dan penganut keutamaan (ahl al-fadhll).
Keadilan itu ada dua macam, yaitu keadilan lahiriah antara dirimu dan manusia, serta keadilan batiniah antara dirimu dan Allah.
Jalan keadilan adalah jalan istikamah, sedangkan jalan keutamaan adalah jalan meminta tambahan/ kelebihan.
Yang lazim dilakukan manusia adalah jalan istikamah dan tidak ada keharusan bagi mereka untuk konsisten terhadap jalan keutamaan.
Kesabaran dan sikap warak’ ada bersama keadilan. Keduanya adalah kewajiban. Sikap zuhud dan rida bersama keutamaan. Keduanya bukanlah kewajiban. Kejujuran itu bersama keadilan, sementara kebaikan bersama keutamaan.
Siapa lebih disibukkan oleh keadilan daripada oleh keutamaan, maka ia dimaafkan. Siapa lebih disibukkan oleh keutamaan daripada oleh keadilan, maka ia tertipu dan mengikuti hawa nafsunya. Manusia itu diharuskan mengenal keadilan dan tidak diharuskan mengenal keutamaan, kecuali sebagai kesukarelaan (tabarru’).
Demikianlah, setiap pekerjaan yang tidak wajib dikerjakan oleh manusia tidak wajib pula untuk mengetahuinya.
Sifat Kaum yang Adil
Seorang hamba tidak akan termasuk kaum adil kecuali dengan tiga kriteria, yaitu: ilmu—sehingga ia mengetahui apa yang seharusnya untuk dirinya—, tindakan, dan kesabaran.
Kunci keadilan yang paling utama dan paling wajib bagi seorang hamba adalah mengetahui kekuatan nafsunya sehingga nafsunya tak akan memiliki kemampuan yang melebihi porsinya, dan kerahasiaan hamba itu serupa dengan keterang-terangannya.
Manusia yang paling teguh dan dekat dengan sikap seperti itu adalah yang selalu mengevaluasi dirinya pada setiap detak yang disenangi ataupun dibenci nafsunya. Ia merenungkan hal itu, bahwa seandainya orang-orang mengetahui keadaannya ini lalu ia merasa malu atau membenci keadaannya, maka ia perlu beralih dari keadaan tersebut kepada suatu keadaan di mana ia tidak dibuat malu. Sesungguhnya sesuatu yang tidak membuat malu bertolak belakang dengan yang membuat malu.
Jika ia telah beralih dan terus bertahan, ia lantas berpikir andai dirinya tertarik untuk diketahui banyak orang, maka ia perlu beralih dari keadaan itu kepada sesuatu yang tidak diinginkan nafsunya. Sesungguhnya yang digemari nafsunya bertolak belakang dengannya. Akibatnya, ia senantiasa berada pada situasi melawan apa yang digemari nafsunya. “
Siapa Paling Jauh dari Keadilan
Orang yang paling jauh dari keadilan adalah yang paling melalaikannya dan paling sedikit melakukan introspeksi diri. Orang yang paling jauh dari keadilan dan paling lama lengah darinya adalah orang yang paling meremehkannya.
Seandainya engkau menjadi sadar siapa yang mengawasi (dirimu) kemudian anggota tubuhmu terputus satu demi satu, hatimu terbelah, atau engkau menjerit di bumi, berarti engkau sungguh orang yang bodoh dengan hal itu.
Ketika engkau belum pernah menyadari, maka engkau tidak akan pernah mendapatkan sentuhan rasa malu dan takut terhadap pengawasan Allah, pengamatan-Nya atas hati kecilmu, pengetahuan-Nya tentang apa yang diambil indramu atas hatimu, dan kekuasaan-Nya yang meliputi dirimu. Kemudian engkau berpaling setelah itu—seperti orang yang meremehkannya—kepada pengawasan manusia yang tidak pernah mengetahui rahasiamu dan tidak pula tahu tentang sesuatu dalam hati kecilmu. Lalu engkau katakan, “Seandainya manusia mengetahui apa yang ada _ dalam hatiku niscaya mereka akan mencela dan memarahiku,’ sehingga engkau dikuasai rasa malu dan takut terhadap mereka—sebagai bentuk kehati-hatian atas kurang berharganya dirimu dan kejatuhan martabatmu di hadapan mereka. Oleh sebab itu, engkau menjadi mawas kepada mereka, menjadi orang yang takut terhadap mereka, dan menjadi khawatir dengan kemurkaan mereka. Padahal, engkau tidak pernah menemukan kemurkaan Allah kepadamu dan kejatuhan martabat dan harga dirimu di hadapan-Nya. Sungguh, kemurkaan Allah itu lebih besar.
Ketika engkau melakukan ketaatan-ketaatan yang dapat mengantarmu hingga dekat kepada Allah, lantas mereka mengetahuinya, engkau telah mengikrarkan cinta pujian atas hal itu dalam hatimu dan engkau ingin memperoleh kedudukan di sisi mereka. Walau ketaatan yang mendekatkan dirimu kepada Allah itu adalah ikrar hati ataupun kerja anggota tubuh, atau suatu yang rahasia sekalipun, engkau ingin mereka mengetahuinya agar mereka dapat memuji dan mengangkat kehormatanmu.
Dengan begitu, engkau belum dipuaskan dengan pengetahuan Allah dan tidak pula dengan balasan-Nya, entah dalam amal rahasia maupun yang terang-terangan, tetapi engkau puas dengan hal itu, menerima, lengah, dan bangga. Bagimu, itu adalah keadaanmu yang paling baik sekaligus urusanmu yang paling mantap.
Seandainya engkau membutuhkan Allah dan pengawasan-Nya atasmu, balasan-Nya yang besar, cinta-Nya, dukungan-Nya untuk kaum yang taat sedangkan engkau menyaksikannya, niscaya engkau tidak membutuhkan hal itu dari manusia-manusia yang tidak pernah dapat memberi bahaya dan manfaat, baik untukmu maupun untuk dirinya sendiri. Allah rela kepadamu dengan hal itu. Mudah-mudahan engkau menepatinya.“’
Kelebihan yang paling utama dan bermanfaat bagimu adalah jika dirimu, menurut pandanganmu, di bawah nilainya yang sesungguhnya; jika aspek batinmu lebih utama dibanding aspek lahiriah; jika engkau memberikan hak orang lain, tetapi engkau tidak mengambil hakmu dari mereka; jika engkau melampaui apa yang bersumber dari mereka; jika engkau bersikap adil terhadap mereka, tetapi engkau tidak meminta keadilan dari mereka.
Itulah penyucian diri, setelah itu baru perlu beramal. Bagi kami, penyucian diri lebih utama dari beramal.
Penyucian adalah perpindahan dari kejahatan kepada “fondasi” kebaikan.” Sering kali bangunan hancur, sementara fondasinya tetap utuh, tetapi tidak mungkin bangunan akan utuh jika fondasinya hancur.
Siapa belum menyucikan diri sebelum beramal, maka sesungguhnya kejahatan akan mencegahnya dari manfaat kebaikan. Karena itu, meninggalkan kejahatan lebih diutamakan, baru kemudian mencari kebaikan.
Nafsu sangat takut terhadap penyucian diri dan lari menuju “amal-amal yang mengandung ketaatan” karena beratnya beban kesucian atasnya dan (lebih) ringannya beban ketaatan tanpa kesucian.
Jika bersuci telah didulukan dari amal ketaatan, setelah diri ringan bergerak ke tempat bersuci, maka kebutuhan kepada pengetahuan tentang dorongandorongan yang bisa menjadi sumber pencarian kebaikan, dan pengantar menuju kepada Allah, adalah sangat besar.
Siapa memiliki perhatian terhadap jiwanya dan khawatir akan kerusakannya, maka ia akan mencari dorongan-dorongan halus dengan kedalaman kecerdasan dan kerincian pemahaman, hingga ia sampai kepada jiwanya. Jika ia telah sampai kepada jiwanya, maka ia akan berpegang erat kepadanya dan akan mengambil tindakan atasnya. Sebab, pengetahuan tentang kendala-kendala amal adalah sebelum melakukannya, dan pengetahuan jalan adalah sebelum menempuhnya. Kebutuhan manusia untuk mengetahui diri dan hawa nafsunya, musuhnya, dan kejahatan lebih besar jika ia seorang yang pintar. Dan, ia akan sangat merasa membutuhkannya jika ia seorang yang cerdas dan memperhatikan dirinya.
Sesungguhnya tidak mengerjakan tiap kebaikan itu lazim bagi seorang hamba, sedangkan seluruh kejahatan itu lazim ditinggalkannya. Siapa meninggalkan kejahatan, ia berada dalam kebaikan dan setiap pelaku kebaikan tidaklah pasti juga termasuk ahli/kaum kebaikan.
Dalam pengetahuan seorang hamba tentang kejahatan terkandung ilmu kebaikan sekaligus ilmu kejahatan. Sedangkan dalam pengetahuannya tentang kebaikan tidak terkandung dua ilmu itu sekaligus. Pasalnya, setiap orang yang dapat memilah kebaikan dari kejahatan, ia akan tanggalkan dan tinggalkan kejahatan sehingga yang tersisa saat itu adalah kebaikan seluruhnya. Sangat mungkin kebaikan itu diketahui, tetapi ia tidak dapat dipisahkan dengan baik dari petaka kejahatan yang merusak dan mencarinya karena kebaikan itu bercampur baur dengan kejahatan, sedangkan kejahatan tetaplah kejahatan secara keseluruhan.
Cara Setan Menyesatkan Manusia
Setan sering kali menyesatkan manusia dari Allah dengan kebaikan, juga dengan kejahatan. Setan menyesatkan manusia dengan kebaikan karena mereka tidak mengetahui sesuatu yang merancukan kebaikan dengan kejahatan. Karena itu, mereka tidak tahu soal itu dan nafsu-nafsu mereka berbisik bahwa mereka berada dalam kebaikan dan petunjuk, jalan kasih sayang, dan sikap istikamah, padahal mereka tengah sesat dari jalan Allah serta menyimpang dari jalan kasih sayang-Nya dan sikap istikamah kepada-Nya.
Itu terjadi karena banyaknya penyakit yang menimpa amal-amal dan sedikitnya ilmu orang yang beramal tentang penyakit tersebut. Inna li Allah wa inna ilayhi rajiun (Sesungguhnya kita milik Allah dan niscaya kita kembali kepada-Nya).
Antara limu, Amal, dan Manfaat
Betapa manusia sangat lalai dengan dirinya, hawa nafsunya, dan musuh-musuhnya. Karena itu, kita berlindung kepada Allah dari kelengahan, kealpaan, dan kelupaan yang menimpa dan melantakkan amal-amal.
Dalam kasus orang yang meninggalkan kejahatan, tingkat peninggalannya terhadap kejahatan akan
’ sebanding dengan pengetahuannya tentang bahaya kejahatan itu, sementara ia tegak menjalankan suatu kewajiban yang bisa mengantarkannya pada kedekatan dengan Allah. Sedangkan orang yang melaksanakan kebaikan, tingkat pelaksanaannya terhadap kebaikan akan sebanding dengan apa yang ia harapkan dan ketahui dari manfaat kebaikan itu serta dari suatu anggapan bahwa ilmu, amal, dan manfaat itu masingmasing berdiri sendiri. Boleh jadi ada ilmu, tetapi tidak dikerjakan oleh pemiliknya, dan boleh jadi ada ilmu dan praktiknya, tetapi tak ada manfaat di dalamnya, atau bahkan ada ilmu, praktik, dan manfaat, tetapi setelah itu, yang ada hanya penyia-nyiaan dan kekecewaan. Akan tetapi, boleh jadi hamba itu berilmu, lalu menerapkannya, mengambil manfaatnya, memperoleh keselamatan karenanya, lantas dirinya menjadi sempurna.
KEBAIKAN DAN KEJAHATAN
Sesungguhnya tidak mengerjakan tiap kebaikan itu lazim bagi seorang hamba, sedangkan seluruh kejahatan itu lazim ditinggalkannya. Siapa meninggalkan kejahatan, ia berada dalam kebaikan dan setiap pelaku kebaikan tidaklah pasti juga termasuk ahli/kaum kebaikan. Dalam pengetahuan seorang hamba tentang kejahatan terkandung ilmu kebaikan sekaligus ilmu kejahatan. Sedangkan dalam pengetahuvannya tentang kebaikan tidak terkandung dua ilmu itu sekaligus.
Pencari kebaikan membutuhkan lima kebiasaan, di Poros kebutuhan terhadap pengetahuan mengenai batas-batas amal dan hukum-hukumnya, pelaksanaannya yang tulus ikhlas dan jujur sebagaimana diperintahkan, diwajibkan, dan disunnahkan. Pelaku kebaikan tak dapat tidak untuk membiasakan lima tabiat, yaitu jujur, benar, syukur, berharap, dan takut.
Kebenaran (al-Shawab)
Berlaku benar atau bertindak secara tepat adalah sunnah.‘ Sunnah tidaklah digapai dengan sering shalat, kerap berpuasa, dan bersedekah. Tidak pula dengan akal dan pemahaman, juga keanehan-keanehan hikmah, bahkan tidak pula dengan dakwah dan nasihat. Sunnah diraih dengan mengikuti (ittiba’) dan berserah (istislam) kepada Kitab Allah, ajaran Rasul-Nya saw. dan para imam yang terpercaya setelahnya.
Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya atas sunnah daripada akal. Tatkala manusia ingin menempuh jalan sunnah dengan akal dan pemahaman, pastilah ia akan melanggarnya dan mengambil jalan yang berbeda darinya.”
Kejujuran (al-Shidq)
Kejujuran itu ada pada empat hal, yaitu engkau beramal kemudian engkau tidak mengharapkan balasan dan terima kasih atas hal itu kecuali dari Allah, engkau tidak membatalkan (pahala) amal dengan katakata kotor dan cercaan, serta kejujuran lidah dalam berbicara. Bisa jadi orang jujur akan keadaannya dengan lisannya, tetapi ia mengkhianati Allah dalam kejujurannya. Dialah orang yang selalu bergibah dan mengadu domba.
Syukur (al-Syukr)
Syukur berarti mengetahui cobaan. Jika seseorang mengetahui bahwa setiap nikmat berasal dari Allah (bukan dari yang lain), maka nikmat itu adalah ujian Allah bagi manusia, apakah ia bersyukur atau malah kufur. Demikian halnya, setiap keburukan yang jauh dari manusia, maka Allah-lah yang menjauhkannya untuk menguji apakah ia bersyukur atau kufur kepadanya. Itulah syukur.
Jika manusia mengetahui bahwa ujian itu dari Allah, lantas menganggapnya sebagai nikmat atas dirinya dan tidak pernah memasukkan unsur selain Tuhan dalam hal itu, baik dirinya maupun orang lain, maka ia telah mensyukurinya. Bersyukur itu memang mempunyai beberapa tingkatan dan, dalam hal itu, manusia berbeda-beda dan berlapis-lapis. Apa yang kita bicarakan ini adalah yang paling rendah sedangkan yang paling tinggi tak akan dapat dicapai siapa pun dan tak ada batasnya.
Di antara wujud syukur yang mirip seperti apa yang telah kami gambarkan—hanya barangkali yang ini merupakan asal syukur—yaitu mengetahui dengan hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah dengan pengetahuan sarat keyakinan (‘ilm al-yaqin) yang tidak dicampuri keragu-raguan. Jika seorang hamba telah mengetahuinya dengan hatinya, hendaklah lidahnya menyebut-Nya, memuji-Nya, kemudian tidak menggunakan nikmat dari Sang Pemberi nikmat untuk sesuatu yang dibenci-Nya.
Rasa syukur yang lebih tinggi dari itu adalah bila engkau menganggap setiap malapetaka yang menimpa sebagai suatu nikmat, karena malapetaka yang menimpa manusia yang lain lebih dahsyat dan besar dibandingkan dengan malapetaka yang menimpamu. Pada saat itu, manusia merasa butuh bersabar, sementara ia malah bisa bersyukur.
Berharap (al-Raja’)
Berharap adalah mengharapkan diterimanya amal dan pahala berlimpah atasnya, sekaligus merasa khawatir kalau-kalau amal akan ditolak atau mungkin telah terasuki penyakit yang merusak.
Orang yang berharap itu ada tiga macam. Pertama, seseorang yang mengerjakan kebaikan dengan penuh kejujuran, ikhlas, hanya menginginkan Allah, dan mencari ganjaran-Nya. Ia mengharapkan diterimanya kebaikan itu sekaligus pahalanya dan ia amat berhati-hati untuk melakukannya.
Kedua, seseorang yang mengerjakan kejahatan kemudian ia bertobat kepada Allah. Ia berharap tobatnya akan diterima dan diberikan pahalanya. Ia sangat mengharapkan ampunan serta magfirah dan takut kalau ia sampai diberi hukuman.
Ketiga, orang yang bergelimang dosa dan hal-hal yang tak disukai untuk ia lakukan, sedangkan ia tidak suka menemui Allah dengan noda dan dosa itu. Ja mengharapkan ampunan tanpa bertobat. Ia tidak bertobat dari kejahatannya dan tidak pula menjauhinya, tetapi pada saat itu, ia sedang mengharap. Orang seperti ini dikatakan sebagai pendusta dan orang yang tergantung dengan harapan, keinginan, dan sikap antusias yang semu.
Perbuatan seperti ini akan memutus serpihan keagungan Allah dari hati manusia sehingga pengingkarannya terhadap Allah terus berlangsung, bersikap tenang di sisi kemurkaan Allah, dan merasa aman dari disegerakannya hukuman. Dialah pendusta yang terpedaya dan melampaui batas.”
Orang-orang yang patut diteladani adalah orang-orang yang memiliki rasa takut lebih besar daripada rasa berharap. Pasalnya, harapan yang sejati sama kadarnya dengan pelaksanaan ketaatan.
Takut (al-Khawf)
Ketakutan itu sebanding dengan dosa yang dilakukan. Seandainya harapan bisa dijalankan tanpa amal niscaya orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat itu sama saja nilainya. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah serta berjuang di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah.” (Q.S. al-Baqarah: 218). Allah juga berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan kaum yang berbuat kebaikan? (Q.S. al-Araf: 56).
Makna hadis berikut ini, “Seandainya harapan dan ketakutan kaum beriman ditimbang niscaya keduanya akan seimbang,” semestinya khusus untuk pelakunya. Hadis ini menjelaskan hadis yang lain, “Orang beriman itu seperti orang yang memiliki dua hati, satu hati untuk mengharap dan satu hati untuk takut” Jika orang tersebut berbuat baik, maka ia mengharap, dan jika berbuat jahat, maka ia takut, bertobat, menyesal, dan menghindar.
Orang yang mengetahui bahwa dirinya banyak berbuat jahat, hendaknya ketakutannya sebanding dengan pengetahuannya itu. Sedangkan harapannya sebanding dengan pengetahuan dirinya tentang kebaikannya. Harapan sesuai kadar upaya menuntut kebaikan, sedangkan ketakutan sesuai kadar upaya melarikan diri dari kejahatan.
Dunia sebagai Cobaan
Ketahui dan yakini bahwa dunia secara keseluruhan, yang sedikit dan yang banyak, yang manis dan yang pahit, yang awal dan yang akhir, dan segala sesuatu yang berasal darinya, adalah cobaan dan ujian dari Allah Swt. terhadap manusia.
Meskipun cobaan itu banyak, beragam, dan bertingkat, tetapi seluruhnya terangkum dalam dua hal: syukur dan sabar. Apakah manusia itu akan dapat bersyukur atas suatu nikmat atau bersabar atas suatu musibah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya:?(Q.S. al-Kahf: 7).
Allah berfirman, “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain’ (Q.S. Muhammad: 4).
Allah berfirman, “Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian.” (QS, al-An‘am: 165).
Allah berfirman, “Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Furqan: 20).
Allah berfirman, “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan adalah ArasyNya di atas air, agar Dia mengujimu siapakah di antara kalian yang terbaik pekerjaannya’” (Q.S. Hud: 7).
Allah berfirman, “Dan Kami pasti menguji kalian semua sehingga Kami mengetahui orang-orang yang berjuang dan bersabar di antara kalian dan Kami menguji berita-berita kalian? (QS. Muhammad: 31).
Dalam Alquran masih terdapat lebih banyak lagi ayat serupa. Akan tetapi, ujian untuk Adam as. lebih sedikit dari satu ayat, “Dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini.’ (QS. al-Baqarah: 35). Sementara bagimu, semuanya adalah ujian.
Ujian yang Paling Sering
Sesungguhnya penghuni dunia yang paling banyak diuji adalah manusia. Manusia yang paling banyak menjadi ujian bagimu dan paling menyibukkanmu adalah kenalan-kenalanmu. Kenalanmu yang paling menyibukkanmu dan paling banyak menjadi ujian atas dirimu adalah: siapakah engkau di hadapan manusia. Mereka memandangmu dan engkau memandang mereka, mereka berbincang-bincang denganmu dan engkau berbincang-bincang dengan mereka.
Sesungguhnya engkau adalah orang yang tak dikenal oleh orang sezamanmu dan engkaupun tak mengenalnya serta tidak pula pernah mendengar tentang dirinya. Seakan-akan engkau tidak pernah dicoba karena mereka dan seakan-akan pula mereka tidak pernah dicoba karena dirimu. Seakan-akan mereka bukan penghuni dunia di mana engkau berada di dalamnya.
Pulanglah kepada Allah dalam kesabaranmu, mintalah pertolongan-Nya, berkonsentrasilah kepada-Nya, biasakanlah menyebut nama-Nya, kurangilah teman-temanmu sebisa mungkin, bahkan tinggalkan pula yang sedikit agar engkau selamat, sesuai dengan firman Allah, “Dan Kami jadikan sebagian kalian fitnah (ujian) bagi sebagian yang lain. Apakah kalian akan bersabar dan Tuhanmu Maha Melihat? (Q.S. al-Furqan: 20). Karena itu, jauhilah sesuatu yang bisa menjadi fitnah (cobaan).
Kesabaranmu berpulang kepada kenalan-kenalanmu dan siapa dirimu di hadapan mereka. Karena itu, pandanganmu terhadap mereka dan pandangan mereka terhadapmu adalah sama-sama ujian. Pembicaraanmu bersama. mereka dan pembicaraan mereka bersamamu adalah juga sama-sama ujian.
Penjauhanmu terhadap mereka dan penjauhan mereka terhadapmu adalah juga sama-sama ujian. Penghargaan mereka terhadapmu dan penghormatanmu terhadap mereka adalah juga sama-sama ujian bagimu.
Ambillah pelajaran dari suatu tempat yang engkau lewati dan di situ ada kenalanmu, serta suatu tempat yang engkau lewati dan di situ tak ada seorang pun yang mengenalmu.
Begitu pula halnya dengan syahwat makan dan berpakaian, serta syahwat mata, baik (terhadap) yang boleh dilihat maupun yang tidak. Di negeri yang tidak engkau mukimi, engkau bisa selamat dari hal-hal itu. Fitnahnya akan menjauh darimu, insyaa Allah, karena pendorongnya tidak ada lagi. Demikianlah keadaanmu di seluruh permasalahan.
Ujian dalam Amal
Pekerjaan yang sedang engkau lakukan adalah ujian. Bisa saja engkau ingin menarik perhatian manusia—dengan amal itu—sehingga kebanyakan mereka mengetahui kebaikanmu. Karena itu, amal-amalmu adalah ujian.
Jika engkau berhaji lalu engkau seorang diri tanpa orang yang engkau kenal dan mengetahui kebaikanmu, maka itu lebih selamat bagimu. Jika tidak, maka itu adalah ujian, lalu pikirkanlah bagaimana engkau bisa selamat darinya.
Jika engkau keluar dari suatu negeri di mana kebaikanmu dikenal, lalu engkau keluar darinya sedangkan mereka tidak tahu ke mana keinginanmu, maka itu lebih selamat bagimu. Akan tetapi, jika mereka tahu, maka itu adalah ujian, lalu renungkanlah bagaimana engkau selamat darinya.
Demikian halnya dengan peperangan dan ujian orang yang berperang. Ujian dan cobaan mereka dalam peperangan lebih besar daripada ujian yang dialami orang lain yang mengerjakan kebajikan. Sebelum memasuki kancah peperangan, mereka dalam keadaan sehat dan prima, tetapi kemudian ujian datang ketika mereka telah memasukinya, baik berupa saling iri di antara sesama mereka, ketamakan mereka terhadap anak panah yang mereka harapkan, ketamakan mereka terhadap perlengkapan perang, ataupun terhadap apa saja yang dibuat untuk orang-orang yang berperang.
Aku telah mendengar tentang seseorang yang sedang berperang yang sering bersenandung ketika bertemu musuh dan memiliki nama besar di kalangan tentara sukarela (al-mathu’ah). Orang itu berkata, “Kuda-kuda sudah keluar, tetapi aku tidak diizinkan ikut keluar menunggang kuda perang. Mengenai keselamatan, aku senang mereka selamat, tetapi aku tidak suka jika mereka mendapatkan barang rampasan sedangkan aku tidak berada di tengah-tengah mereka.”
Aku pernah melihat orang yang iri karena orang lain diberi perlengkapan perang yang lengkap; ia tidak diberi sedangkan orang lain diberi, seperti seseorang yang iri kepada sebagian temannya. Aku pernah melihat orang yang berperang, tetapi tidak pernah mendapatkan barang rampasan, dan ia ingin seandainya tidak pernah berperang.
Saudaraku, tidaklah aman setiap orang yang masuk ke dalam pekerjaan duniawi maupun ukhrawi jika dalam pekerjaan itu mereka ditimpa penyakit-penyakit yang merusak. Setan menyerang mereka melalui aibaib dan ujian-ujian seperti ini dan bahkan lebih dari ini.
Karena itu, hendaklah semua orang berhati-hati atas setiap pekerjaan duniawi dan ukhrawi yang sedang ia lakukan. Hendaklah ia selalu merasa diawasi Allah dan hendaklah ia berinteraksi denganNya dengan penuh keikhlasan. Hendaklah ia ingat atas pengamatan Allah terhadap kerusakan hati kecilnya dan pengamatan makhluk atas perbuatannya. Sesungguhnya tukang sapu lebih mulia dari orang yang berpuasa itu, orang yang menjalankan shalat itu, orang yang berperang yang benci jika kaum muslim memperoleh barang rampasan perang bangsa Romawi itu, dan orang yang hanya duduk-duduk dalam rumahnya di Bagdad tapi ingin memperoleh barang rampasan dari mereka itu.
Hati-hatilah terhadap orang yang mendekatimu atau yang engkau dekati sebab orang-orang yang menjauhimu atau yang engkau jauhi pasti akan selamat dari dirimu dan engkaupun akan selamat dari diri mereka.
Nanti, orang-orang itu tidak akan pernah mendengar lagi banyak amal mereka yang secara kasat mata diharapkan bisa mendatangkan banyak pahala dan derajat yang tinggi bagi pelakunya, kemudian mereka iri dan ingin (berandai-andai) seperti orang yang tidak pernah melakukan kebaikan-kebaikan semisal yang mereka lakukan, lalu mereka diperlihatkan Allah sesuatu yang tidak pernah perkirakan.
Celaka Hamba Akibat Kebajikan
Ada pendapat bahwa amal-amal yang menghancurkan manusia adalah kebajikan-kebajikan yang mereka anggap sebagai penyelamat, padahal kebajikan-kebajikan itu adalah penghancur karena telah bercampur dengan sikap ria, suka pujian dari makhluk, mencari kedudukan dengan ketaatan-ketaatan, menegakkan harga diri, cinta kekayaan, dan kecenderungan kepada balasan makhluk.
Ketika mereka berada di hadapan Allah, ternyata Allah menganggap perbuatan mereka sebagai tidak ada, sedangkan mereka tidak pernah merasakannya sama sekali. Itu karena mereka tergesa-gesa menginginkan balasan pekerjaan dari makhluk di dunia sehingga mereka menjadi tercela dan yang tersisa me mang hanyalah cela. Mereka tidak pernah mendapatkan balasan dari perbuatan mereka kecuali seperti orang yang mengejar fatamorgana atau abu (beterbangan).
Bukanlah formalitas amal yang diinginkan, bukan pula hiasan lahiriahnya, tetapi ketakwaan kepada Allah dan apa yang membuat orang menjadi dekat kepada Allah. Andai saja antara manusia dan tiap perbuatan yang menjauhkan dari ketakwaan kepada Allah, juga dari Allah sendiri, sama dengan jarak antara timur dan barat!
Allah bercerita tentang iblis, musuh manusia yang paling keji, “Kemudian Aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka? (QS. al-A’raf: 17). Meskipun sifat iblis yang ada dalam Alquran hanya itu, tetapi manusia hendaklah berhati-hati terhadapnya.
Seandainya engkau melihat sebagian besar manusia niscaya engkau dapati bahwa mereka disiksa karena kebajikan dan sedikitnya perhatian terhadap pembersihan amal, serta penuhnya ruang jiwa dengan cinta pujian dari makhluk.
Kadang-kadang manusia disiksa karena perbuatan dosa, tetapi tanda ujian pada seluruh manusia itu beragam. Sebagian besar manusia hanya mengetahui orang-orang yang diuji dengan dosa-dosa dan mereka tidak mengetahui orang-orang yang diuji dengan kebajikan, kecuali sedikit di antara mereka yang memiliki nur, kecerdasan, firasat, kecermatan, dan kecerdikan.
Hal itu karena orang yang berbuat kebajikan sekaligus menyenangi ujiannya lebih banyak ketimbang orang yang menakuti ujiannya, dan orang-orang yang tidak mengetahui ujiannya lebih banyak daripada yang mengetahui ujiannya.
Ada manusia yang mengetahui ujian dan pembatal amal kemudian ia dikuasai hawa nafsunya. Ada pula manusia yang mengetahui, tetapi perhatian terhadapnya sangat sedikit sehingga ia menjadi lengah.
Ketahuilah bahwa (kalau toh ada) orang yang beramal dan mengetahui penyakit-penyakit yang bisa merusak amal-amalnya, juga memperhatikan diri dan amalnya, sekaligus awas, tidak lengah, serta takut terhadap penyakit, (mereka itu saja) hampir-hampir tidak akan selamat kecuali yang berpegang teguh kepada Allah; lalu bagaimana halnya dengan orang yang tidak tahu, lengah, dikuasai hawa nafsu, dan senang dirasuki penyakit?
Bahaya Ujian
Pada masa kita sekarang, dunia dicari secara khusus dengan segala cara, dengan kebajikan maupun dengan dosa. Karenanya, hati-hatilah terhadap seluruh ujian kebajikan dan dosa agar engkau tidak gagal seperti apa yang menimpa orang lain dalam meninggalkan larangan dan menunaikan perintah.
Hendaklah tekadmu untuk melihat cermin pikiran seperti tekadmu untuk beramal, bahkan lebih dari itu. Sejatinya syahwat dosa, kejahatan, makanan, minuman, pakaian, gedung, kendaraan, emas, dan perak tidak lebih berkuasa atas para pemiliknya dibanding dengan syahwat kehormatan, cinta tahta, membangun kekuasaan, mencari kedudukan, diterimanya perintah dan larangan, terpenuhinya kebutuhan, dan cinta keadilan bagi tetangga, sahabat, saudara, serta pemujian terhadap orang-orang bajik atas kebaikan-kebaikan mereka.
Kadang engkau mendapati orang yang bisa menguasai syahwat dosa sehingga ia bisa meninggalkan dosa dan beralih ke amal-amal kebajikan. Kemudian ia melemah ketika harus menjernihkannya dan ia dikuasai syahwat dalam amal-amalnya. Ia melakukan banyak kebaikan dengan segala kekuatan, kemampuan, rasa dahaga, dan keterjagaan, tetapi ia tidak mampu menguasai syahwatnya ketika harus membersihkan amal-amalnya.” Inna li Allah wa inna ilayhi raji‘un akan apa yang terjadi pada diri kita. Betapa besar bahaya yang menimpa kita dan betapa kita lengah dari bahaya besar.
Waspadai Nafsu dan Tipuan Setan
Ketahuilah bahwa aku tidak pernah memintamu untuk menjauhkan diri dari amal-amal kebajikan karena setiap amal yang tidak engkau kerjakan hari ini tidak akan engkau dapatkan balasannya di kemudian hari. Akan tetapi, aku mengingatkanmu akan tipu daya setan dan hawa nafsumu yang menyeru kepada keburukan (al-ammarah bi al-si’).
Keutamaan Alquran atas kalam yang lain laksana keutamaan Allah atas makhluknya. Allah berfirman, “Maka, jika engkau membaca Alquran, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. al-Nahl: 98).
Allah berfirman, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Q.S. Fathir: 6).
Allah berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Yusuf: 53).
Allah berfirman, “Demikianlah nafsu membujukku (Samiri)? (Q.S. Thaha: 96).
Allah berfirman, “Yaqub berkata, ‘Hanya dirimu sendiri yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik (itulah kesabaranku).” (Q.S. Yusuf: 83).
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya” (QS. Qaf: 16).
Allah berfirman, “Dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Q.S. Shad: 26).
Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.” (QS. al-Qashash: 50).
Allah berfirman, “Dan orang itu menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaan itu melewati batas.” (Q.S. al-Kahf: 28).
Allah berfirman, “Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya.’ (QS. al-Qamar: 3).
Masih banyak lagi ayat lain yang menyebutkan tentang sikap permusuhan iblis dan pencelaan nafsu dan hawa.
IBADAH:
LANDASAN IBADAH ITU KERENDAHAN HATI, SEMENTARA KERENDAHAN HATI ITU TAKWA. LANDASAN TAKWA ITU INTROSPEKSI, SEDANGKAN LANDASAN INTROSPEKSI ITU RASA TAKUT DAN BERHARAP. RASA TAKUT DAN BERHARAP MUNCUL DARI PEMAHAMAN TERHADAP JANJI DAN ANCAMAN ALLAH. PEMAHAMAN TERHADAP JANJI DAN ANCAMAN ALLAH MUNCUL KARENA INGAT BALASAN ALLAH. DAN, INGAT BALASAN ALLAH ITU MUNCUL DARI PENALARAN DAN PERENUNGAN. (AL-MUHASIBI).
Sesungguhnya aku melihat pada diri manusia sesuatu yang dicela dan saya senang jika dapat selamat dari cela, pelecehan, dan aib. Aku tidak tahu apakah diriku selamat atau tidak darinya.
Sesungguhnya manusia sangat bodoh ketika mengetahui aib dirinya dan sangat pintar ketika mengetahui aib orang lain. Sehingga, ia menghina aib setiap pelaku perbuatan dan setiap pelaku amal dunia dan akhirat, serta menghina aib siapa saja yang derajatnya sama dengan dirinya sekaligus berlagak lebih besar dari setiap orang yang melihatnya. Jika ia melihat aib dirinya, maka ia mengabaikannya dan mengalihkan penglihatannya pada aib-aib mereka, seakan-akan ia buta dan tak pernah melihat aibnya.
la mengharapkan pemakluman untuk dirinya, tetapi tidak untuk orang lain. Ia sangat cerdik untuk meminta pemakluman bagi dirinya dan sangat dungu untuk meminta pemakluman bagi orang lain. Pada saat itu, ia menyembunyikan, untuk sahabatnya, sesuatu yang ia benci jika orang lain menyembunyikannya untuk dirinya sendiri, ketika ia melihat aib seperti itu dari sahabatnya.
Jika engkau melihat suatu aib, kesalahan, atau kekeliruan dari orang lain, maka anggaplah dirimu dalam posisinya, kemudian renungkan apa yang pernah engkau sukai saat ia menyambutmu (dengannya) seandainya ia melihat darimu sesuatu yang engkau lihat darinya. Sembunyikan hal itu untuknya dalam hatimu karena sesungguhnya ia menyukai darimu seperti apa yang pernah engkau sukai darinya.
Demikian pula jika engkau melihat sesuatu yang baik, maka engkau ingin mengetahui ilmu keselamatan dari sifat hasad terhadapnya.
Wajar, jika orang yang paling dungu atasmu ketika engkau tergelincir dalam kesalahan adalah orang yang mencari pembenaran dan jalan keluar bagi kesalahanmu. Jika ia tidak mendapatkan suatu pembenaran, maka hal itu menjengkelkannya dan ia menyembunyikan posisinya. Ketika engkau baik ia akan senang, tetapi jika ia tidak senang, maka tidak berarti engkau berbuat buruk kepadanya.
Karena itu, tetaplah bersamanya, baik ketika gagal ataupun sukses. Jika engkau sudah seperti itu, maka engkau tidak akan suka menghilangkan nikmat yang dianugerahkan Allah atas siapa pun, baik nikmat dalam agama maupun nikmat dalam perkara dunia. Engkau pun tidak akan suka jika seseorang melakukan kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula suka jika rahasia kegagalannya terbongkar. Sesungguhnya jika engkau melakukan itu dengan hatimu, maka seluruh sifat hasad akan hilang dari hati, agama, dan duniamu.
Saat bisikan hati yang buruk menguasai hati nuranimu, maka evaluasi yang baik dalam seluruh urusanmu akan sanggup mengatasi kehadirannya.
Evaluasi untuk Keselamatan
Ketahuilah bahwa engkau didahului menuju hati nuranimu oleh rasa iri, prasangka buruk, dan dengki. Maka, jadikanlah evaluasi sebagai suatu kesibukan yang lazim engkau lakukan. Jadilah seorang yang selalu membangun sebagaimana kata orang dahulu, “Orang beriman itu selalu membangun dan tidak seperti pengumpul kayu api di malam hari.”
Oleh karena itu, berhenti dan lihatlah sudut-sudut hati kecilmu dengan pandangan mata yang tajam dan pengamatan yang cermat. Jika engkau mendapati sesuatu yang terpuji, maka pujilah Allah dan teruslah berlalu. Akan tetapi, jika engkau melihat sesuatu yang menjengkelkan, maka ikutilah dengan evaluasi dan pemeriksaan yang baik terhadapnya. Sesungguhnya orang yang masuk ke dalam rumahmu tanpa izin pastilah ia masih bersembunyi di dalamnya.” Jika suasananya gelap, maka engkau tak akan merasakannya, kecuali engkau mempunyai lampu ilmu yang terang dan jelas, serta perhatian untuk menangkapnya dan menentang caranya masuk rumah yang tidak didasarkan kesabaran dan kewenangan. Seandainya engkau mencobanya niscaya engkau tahu bahwa apa yang aku katakan adalah seperti kataku.
Ia masuk ke dalam rumahmu tanpa seizinmu. Ia masuk tanpa ada jaminan bahwa ia tidak akan merusak yang dimasukinya. Jika orang yang masuk tanpa izin itu melihatmu dalam keadaan lemah dan mengabaikan, maka ia akan menjadi pemukim dan pengatur rumah itu sehingga ia berkuasa atas kebebasan rumahmu dan atas kehormatanmu. Jika ia melihatmu tengah menentangnya dan tersembunyi kelemahanmu niscaya ia mencari titik lalai dan kelengahanmu. Lalu, jika ia mendapatkan kesempatan, maka ia akan mengacaukan apa yang pernah engkau perbaiki dan menghancurkan apa yang pernah engkau bangun. Oleh karena itu, mengertilah jika engkau memang benar mengerti dan terimalah nasihat jika engkau memang mau menerima nasihat.
Seandainya sejumlah biaya habis untuk kepergianmu menuntut ilmu, lalu engkau harus mengeluarkan biaya yang besar dan engkau menyewakan rumahmu untuk kepentingan itu, maka keuntungan yang akan engkau peroleh lebih banyak dari apa yang engkau sewakan dan jerih payahmu. Karena, sesungguhnya engkau mendapatkan banyak kebaikan dalam timbanganmu pada hari kiamat dengan melakukan evaluasi diri yang jujur dan segera melakukannya sebelum sirna kenikmatannya.” Sesungguhnya evaluasi diri itu merupakan salah satu anugerah Allah yang paling besar, di mana Allah memuliakan orang-orang keistimewaan-Nya dengan evaluasi diri dan mengagungkan kenikmatan mereka di dalamnya (maksudnya: kenikmatan dalam melakukan evaluasi diri atau murajaah—pen.). Sesungguhnya besar kecilnya nikmat tergantung kepada kebutuhan. .
Renungkan apakah engkau pernah melakukan evaluasi terhadap dirimu dan persoalanmu. Jika engkau melakukannya, maka engkau akan mendapatkan kemaslahatan dan perbaikanmu di dalamnya atau, pada waktu bersamaan, engkau akan mendapatkan sesuatu yang rusak di dalamnya. Jika engkau tidak pernah melakukan evaluasi terhadap persoalanmu, maka ia akan lenyap sampai hari kiamat.
Evaluasi sebagai Asas Suluk
Aku selalu menganjurkanmu dan diriku agar memperbanyak evaluasi diri karena besarnya kebutuhan dan tuntutan untuk itu. Bila engkau bergantung kepada kebaikan, maka kebaikan itu ada dalam evaluasi dan nisbatnya.” Bila tidak, maka tidak akan ada pula. Meninggalkan evaluasi diri berarti seperti orang yang kalah dan tunduk kepada musuhnya sehingga hancur sedangkan engkau tidak merasakan.
Jika engkau meremehkan apa yang aku katakan, maka sesungguhnya sebagian besar kebutuhanmu kepada evaluasi diri ada pada saat shalat wajib, kemudian setelahnya, demikian pula pada seluruh urusanmu.
Seandainya engkau termasuk orang yang kehilangan urusannya, niscaya engkau mengetahui penyesalan dan peratapan diri yang menjangkitimu akibat engkau tinggalkan evaluasi diri pada saat shalat wajib. Engkau tidak sadar apa yang imam baca, dan tidak pula sadar apakah engkau tengah menjalankan shalat wajib atau shalat sunnah, apakah engkau sedang shaJat atau sedang tidak shalat, padahal engkau termasuk orang yang sedang bermunajat kepada Tuhan.
Engkau telah mendengar bacaan imam dengan kedua telingamu, khusyuk dengan berdirimu, konsentrasi terhadap ayat Alquran yang sedang dibaca imam pada saat shalat wajib—yang tidak ada kewajiban yang lebih wajib darinya. Engkau selesai, tetapi apa yang kami gambarkan terlihat dari dirimu. Engkau seperti orang yang tidak pernah melakukan shalat itu karena sedikitnya evaluasi yang engkau lakukan terhadap dirimu.”
Bisa saja sesuatu yang terlintas dalam benakmu atau engkau pikirkan dan belum engkau lupakan adalah pertanyaan, apakah engkau senang jika hal itu terjadi padamu sebagaimana engkau lupa bahwa engkau memiliki seratus dinar. Jawabanmu pasti: tidak.
Oleh karena itu, berilah perhatian kepada evaluasi diri sesuai dengan kebutuhanmu kepadanya sebab umur yang engkau miliki sebetulnya adalah (hanya) yang terisi sikap awasmu. Awasmu adalah evaluasi terhadap kemanfaatan dan kedekatanmu (kepada Tuhan). Jalan menuju-Nya adalah melalui akal, dan yang di luar itu adalah kelengahan dan kealpaan yang memunculkan syahwat yang mendidihkan hati. Dalam hal itu terkandung persetujuanmu terhadap nafsumu yang menyeru kepada keburukan (al-ammarah bi al-st’) dan hawa yang menyesatkan dari jalan Allah serta menyimpang dari jalan cinta-Nya. Di dalamnya terdapat terkaman setan sebagai musuh keji yang menyantapmu mentah-mentah dan berlari seperti mengalirnya darah serta dapat melihatmu dalam keadaan engkau tidak dapat melihatnya.
Malik ibn Dinar” berkata, “Hati orang yang berbakti mendidih dengan amal-amal kebajikan dan hati orang yang berdosa mendidih karena perbuatan dosa.” Karena itu, jagalah dirimu dengan melakukan evaluasi. Jika engkau telah mengusir hal-hal yang dibenci, maka berarti engkau telah memperbaikinya dan engkau telah berpaling darinya. Jika engkau telah melihat selain itu, berarti engkau telah memuji Allah dan perhatianmu terhadap hal itu merupakan suatu tambahan atau kedekatan bagimu.”
Jika engkau memiliki perhatian terhadap masalah evaluasi diri, ketahuilah bahwa hal itu adalah puncak nikmat dari Allah dan puncak kedekatan kepada-Nya. Yang paling berhak engkau dekati dengan baik adalah nikmat-nikmat Allah yang kunci-kunci khazanahnya adalah rahmat-Nya. Maka, carilah tambahan dari-Nya dengan bersyukur atas-Nya. Yang paling patut engkau jauhi adalah nafsu yang menyeru pada kejahatan (alammarah bi al-si’). Bersikap tidak baik kepadanya berarti menentangnya, karena sesungguhnya dalam penentangan terhadapnya ada persetujuan terhadap rida Allah.
Jangan Remehkan Dosa Kecil
Siapakah ahli iradat (kaum yang menginginkan Allah —pen.)?
Siapa saja yang tidak pernah melangkah ke nafilah dengan aib dan aurat.’
Bagaimana menjaga lisan? Diam.
Bagaimana cara berhati-hati dalam berbicara?
Tidak menyebut aib orang lain yang sebenarnya engkau harapkan akan mendapatkan balasan jika engkau menyebutnya.” Agar engkau tidak menyebut aib orang lain, maka takutlah untuk mengingat hukuman. Peganglah teguh sikap itu dan ajaklah orang lain agar mau melakukan seperti yang engkau lakukan.
Sesungguhnya manusia itu akan disiksa karena meremehkan yang kecil dan itulah yang menjerumuskannya ke dalam dosa besar. Meremehkan dosa kecil adalah pangkal bagi dosa besar. Awalnya adalah kehati-hatian, kemudian menjadi ketidaksengajaan, kemudian menjadi dosa kecil, dan akhirnya menjadi dosa besar. Akibatnya, engkau tidak merasakan sehingga engkau benci melihat dirimu layaknya engkau sedang melihat orang lain. Meninggalkan dosa kecil bermakna meninggalkan dosa kecil sekaligus dosa besar.
Orang yang paling kuat dan jujur tekadnya terus bertekad dan tidak pernah ragu-ragu ketika sudah bertekad. Orang yang paling lemah kehendaknya bertekad kemudian menghancurkan tekadnya dan hampir tidak lagi bertekad.
Orang seperti inilah yang dipermainkan oleh setan dan hawa nafsu. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi setan dan hawa nafsu karena setan banyak tahu tentang kekurangan tekadnya, dan sedikit pengamalan tekadnya. Orang yang teguh adalah orang yang berakhlak mulia dalam setiap tingkatan.
LIDAH:
Janganlah lengah soal lidah sebab ia bagaikan seekor hewan buas berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu omonganmu sekuat-kuatnya. Jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika engkau membukanya, maka hati-hatilah, Penuhi kebutuhanmu untuk berbicara sekadarnya saja.
Siapakah manusia yang paling dekat dengan tobat? Orang yang paling takut; yang paling jujur penyesalannya atas apa yang pernah dilakukannya serta atas kesalahan pandangan dan perbuatannya, kelengahannya yang bertahan lama, dan penyimpangannya yang berlanjut yang disaksikan dan diketahui Allah; dan yang paling hati-hati terhadap apa yang sedang ia hadapi. Jika mereka sama dalam hal itu, maka (yang paling dekat dengan tobat adalah) yang paling bersungguh-sungeguh dalam beramal.
Karena, tanda-tanda penyesalan sejati atas dosadosa yang telah lalu adalah sikap yang sangat berhatihati terhadap sisa usia; melakukan ketaatan dengan rajin dan sungguh-sungguh; memerdekakan banyak ketaatan, menganggap banyak nikmat yang sedikit; disertai kelembutan, kebersihan dan kejernihan hati; selalu sedih karena dosa; banyak menangis; menyerahkan segala permasalahan kepada Allah, mengembalikan semua daya dan kekuatan kepada-Nya; kemudian setelah itu bersikap sabar atas hukum-hukum Allah; rida terhadap Allah dalam segala hal; dan menyerahkan segala persoalan.”
Kekeliruan dalam Bertobat
Aku sudah tahu di mana kesalahanmu, yaitu engkau berbaik sangka terhadap dirimu sendiri lalu engkau merasa telah mencapai derajat orang-orang yang berbuat kebaikan (al-muhsiniin) dengan melakukan perbuatan yang berbeda dengan mereka, tanpa pengingkaranmu terhadap adanya perbuatan-perbuatan dirimu yang buruk dan tanpa penolakan terhadap amal-amal benar yang dirimu klaim.
Engkau berburuk sangka kepada orang lain sehingga menempatkan mereka pada tingkat orang-orang yang berbuat buruk (al-musi’in) dengan mengabaikan keadaanmu sendiri dan memusatkan pandanganmu kepada aib orang lain.
Bila engkau seperti itu, engkau akan mendapat siksaan karena sirnanya sinar kelembutan dan kasih sayang dari hatimu, sementara kekerasan dan kekejaman mengalir kepadanya. Engkau sangat suka melihat orang lain dengan penuh celaan, hinaan, dan sedikit kasih sayang. Sebaliknya, engkau ingin mereka melihatmu dengan penuh hormat, kasih sayang, dan pemuliaan. Siapa saja yang mau memenuhi keinginanmu itu, mereka mendapatkan kedekatan dan cinta darimu, sedangkan engkau sendiri menjadi jauh dan dimurkai Allah. Siapa saja yang tidak memenuhi keinginanmu itu, maka engkau semakin membuat jarak dan benci dengan mereka, sementara engkau pun semakin dijauhi dan dimurkai Allah.
Engkau memperpanjang angan-angan pada semua itu sehingga jalan hidupmu penuh proses penundaan dan kebingungan. Kemudian keinginanmu semakin menguat dan ambisi mulai menguasai hatimu. Keinginanmu akan hal itu di dunia semakin besar, rakus, menuruti syahwat dunia tanpa terkendali dan hatimu menimbun kelezatannya. Hal itu kemudian membatasimu dari kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan suluk jalan akhirat.
Hatimu lantas menjadi linglung di atas jalan kebingungan. Jalan keselamatan semakin kabur bagimu dan hijab dosa semakin terkuak. Lalu engkau semakin intim mendekatinya dan racunnya semakin harum bagimu sehingga engkau bisa mencapai maksiat murni. Kemudian engkau mengakui apa yang bukan milikmu dan mengambil sesuatu yang menjauhkan dari orang sepertimu.
Lantas hal itu menyebabkanmu berbicara kepada zat selain Allah, melihat apa yang bukan milikmu, dan mengerjakan sesuatu untuk selain Allah sehingga engkau menjadi terpedaya dan rentan bahaya ketika engkau senantiasa berbaik sangka terhadap diri sendiri sedangkan engkau tidak pernah merasakannya. Itu terjadi secara berangsur-angsur karena engkau tidak mengetahui. Jadinya, warisan amalmu adalah kekejian, dosa, pemalsuan, penipuan, pengkhianatan, kebencian, dan pengabaian nasihat. Padahal, dalam hal itu, engkau mengetahui cara membedakannya.
Siapa saja yang jalan hidupnya seperti itu, maka tidak dipungkiri bahwa Allah akan memperlihatkan kepadanya sesuatu yang tidak pernah ia perkirakan.
Seandainya engkau memiliki rasa takut yang paling rendah pun, wahai orang yang perlu dikasihani, niscaya engkau akan menangisi dirimu seperti tangisan cinta orang yang sedang merindukan kekasihnya dan meratapinya seperti ratapan kematian ketika engkau ditutupi oleh dosa-dosa yang memberuntungkan.
Seandainya penghuni langit dan bumi menangisimu niscaya engkau berhak akan itu karena besarnya kemaksiatanmu.
Kalaupun semua makhluk berbela sungkawa kepadamu atas kemaksiatan yang engkau lakukan seperti bela sungkawa terhadap orang yang disalib dan dibunuh niscaya engkau patut untuk itu karena engkau telah mengharamkan agama, pengetahuanmu tentang keburukan dosa-dosa telah tersita sehingga engkau ditunggangi kehinaan maksiat, terdaftar namamu di
deretan kaum maksiat, dan telah jauh ahli takwa darimu, kecuali orang-orang yang sepertimu.
Orang-orang yang mendamba Allah menempuh jalan cinta kepada-Nya dan jalan keselamatan yang menuju-Nya. Sebaliknya, engkau mengambil jalan yang berbeda, lalu engkau condong ke yang lain ketika engkau bertentangan jalan dengan mereka, lantas engkau tetap saja bingung dan pusing.
Hal-hal yang mengandung caramu seperti ini mengisyaratkan kerugian pada hari kiamat. Kami berlindung kepada Allah dan kepada-Nyalah kami memohon ampunan dan kedekatan dengan orang-orang yang selalu berbuat baik. Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.
EVALUASI:
Lihatlah sudut-sudut hati kecilmu dengan pandangan mata yang tajam dan pengamatan yang cermat. Jika engkau mendapati sesuatu yang terpuji, maka pujilah Allah dan teruslah berlalu. Akan tetapi, jika engkau melihat sesuatu yang menjengkelkan, maka ikutilah dengan evaluasi dan pemeriksaan yang baik terhadapnya.
Tidakkah engkau takut bahwa pengetahuan ini akan hujah atasmu? Menyibukkan diri dengan menggambarkan pengetahuan adalah tipu daya dari setan, suatu pemalingan akan manfaatnya?
Ambillah sebuah persamaan dari orang yang melukiskan pengetahuan (makrifat) dari kebaikan-kebaikannya dan seorang pelempar yang tidak salah sasaran, sesuai seperti yang ia inginkan. Merasa aman (dengan hal ini) diharamkan, sedangkan ketakutan diwajibkan atas orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat, serta janji dan ancaman.
Aku sudah tahu bahwa tujuan ke esensi cinta dan perhatian kepadanya lebih tepat bagi pelakunya dan lebih bermanfaat baginya dengan melukiskan cinta, karena mencari esensi manfaat tidak sama dengan mencari lukisan manfaat. Sedangkan aku hanya sibuk melukiskannya secara terpaksa di mana aku melihat diriku justru keluar dari keduanya. Karena itu, aku memperhatikan pengetahuan tentang lukisan manfaat dan petunjuk kepadanya, dengan harapan aku dapat menuju esensi manfaat dan petunjuk kepadanya.® Allah adalah tempat memohon pertolongan atas apa yang kita katakan dan yang kita rahasiakan.
Ringkasan Makrifat
Sesungguhnya manusia itu berada di antara sembilan ketakutan. Pertama, ia takut, berdoa, dan tunduk kepada Allah agar Allah tidak mengenyahkannya—secara zalim dan memusuhi—kepada kebaikan-kebaikan yang ia banggakan di hadapan orang lain.
Kedua, ia takut untuk mengkufuri nikmat-nikmat dan dikalahkan oleh arogansi sehingga tak sempat mensyukurinya.
Ketiga, takut akan—secara berangsur-angsur—menyalahgunakan (istidraj) nikmat-nikmat (yang diterimanya).
Keempat, takut kepada Allah jika esok ia diperlihatkan Allah sesuatu yang tidak pernah ia perkirakan, dalam ketaatan-ketaatan yang pahalanya ia harapkan dan tak pernah ia anggap sebagai dosa.
Kelima, (takut akan) dosa-dosa yang pernah ia kerjakan dan ia ketahui secara pasti terjadi dalam urusan-urusan antara dirinya dan Allah.
Keenam, konsekuensi dan tanggung jawab manusia pada dirinya.
Ketujuh, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada sisa usianya.
Kedelapan, takut terhadap siksaan dunia dan keterlambatan mengantisipasinya.
Kesembilan, takut terhadap ilmu Allah tentang dirinya dan tentang salah satu dari dua alam di mana namanya ditetapkan dalam Umm al-Kitab.
Karena itu, takutlah kepada dosa-dosa sebab kesialannya sudah dekat dan kegelapannya sangat pekat. Hati-hatilah terhadap kebaikan-kebaikan yang menjauhkan dirimu dari jalan yang ditempuh kaum saleh. Betapa mudahnya pembaca Alquran yang ahli ibadah tanpa makrifat untuk sombong kepada hamba-hamba Allah dan menganugerahi Allah kebaikan-kebaikan yang seandainya ia dibalikkan kepada kebaikan-kebaikan itu niscaya hancurlah ia. Pun betapa mudahnya ia menuntut kepatuhan, pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan dari orang-orang lain; hal-hal yang sebenarnya adalah hak Allah.
Pembaca Alquran yang bukan fakih tidak dapat dijamin bahwa ia tidak akan berbuat buruk kepada orang lain dan meminta untuk diakui sebagai orang yang berbuat baik dan memberi orang lain sesuatu yang sebetulnya diinginkan Allah darinya.
Sesungguhnya Allah menginginkan dirinya berhias diri untuk-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mengikhlaskan segala amal untuk-Nya, tetapi ia memberikan tugas itu kepada makhluk.
Seorang tidak menginginkan balasan dan ucapan terima kasih atas perbuatannya, sedangkan ia dikenal sebagai orang yang selalu berbuat kebaktian dengan menjalankan shalat, bersedekah, berpuasa, dan lain sebagainya. Ia pernah dipuji suatu kaum sehingga ia sangat bahagia. Selain itu, ia pernah pula dicela kaum yang lain sehingga ia sangat kesal dan benci, sampai kemudian ia tahu sendiri perubahan sikap kedua kelompok tersebut. Bagaimana orang ini tahu niatnya padahal kecintaan terhadap pujian dan kebencian terhadap celaan masih tetap bersemayam dalam hatinya? Orang yang ria sangat senang kepada pujian dan sangat benci kepada celaan.
Sesungguhnya ia benci jika orang-orang tidak senang kepada pujian yang baik dan ia juga benci jika mereka senang kepada celaan, baik ketika mereka sedang beramal maupun tidak—jika ini bukan penafsiran yang keliru. Orang yang ria senang kepada pujian dan benci kepada celaan. Sebaliknya, orang yang jujur tidak suka itu; membenci pujian dan mencintai celaan. Sesungguhnya sebagian besar kaum yang jujur pernah dipuji dan diagungkan, tetapi semua itu tidak membahayakan dirinya.
Perbedaan antara keduanya yaitu bahwa keinginan orang yang ria dalam beramal adalah memperoleh gengsi duniawi dan kedudukan di kalangan manusia
sehingga amalnya dirusak oleh niat dan keinginannya, entah ia mendapatkan yang ia inginkan itu atau tidak, entah mereka memujinya atau tidak, entah mereka mencelanya atau tidak.
Orang yang tidak ria membenci celaan bila (karena) dalam celaan terkandung sesuatu yang tak disukai—seperti kejatuhan martabat di mata manusia, kebencian dari kaum beriman, dan sebagainya. Sedangkan pujian yang baik dan ucapan indah ia sukai bila sebagai sarana perlindungan Allah dan sebatas sebagai harapan terhadap pujian yang baik, ucapan yang indah, cinta dari manusia, dan kasih sayang mereka terhadapnya. Kebulatan niat dan tekadnya ada sejak awal hingga akhir urusannya. la tidak menginginkan dengan hal itu kecuali rida Allah dan kampung akhirat, apakah ia dipuji, dicela, disukai, atau dibenci mereka.”
Ketakutan Terhadap Pergeseran Niat
Barangkali seseorang mulanya yakin bahwa keinginannya dalam beramal adalah keinginan akhirat, kemudian sedikit demi sedikit beralih menjadi keinginan dunia. Ini merupakan sesuatu yang samar. Pengetahuan dan perhatian orang pada umumnya akan hal ini sangat sedikit. Sebaliknya, kelengahan dan kealpaan mereka terhadapnya sangat besar. Sudah sepatutnya perhatian orang beriman terhadap hal itu lebih besar dibanding perhatiannya terhadap amal-amal lahiriahnya karena amal-amal anggota tubuh tak dapat diubah dan dialihkan dari keadaannya. Tak ada jaminan bahwa niat tidak akan rusak meskipun pada awalnya benar dan sehat: bisa saja niat berubah dari yang sebelumnya baik menjadi lebih buruk dan lebih merusak pada masa mendatang.
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Amal-amal itu tergantung kepada niat dan bagi seseorang balasan sesuai niatnya.”
Amal bisa saja terwujud dengan niat ataupun tanpa niat. Makanya, manusia sangat membutuhkan pengetahuan tentang niat sekaligus tentang bagaimana niat itu bisa rusak. Segala amal akan dianggap baik jika niatnya baik dan dianggap rusak jika niatnya rusak. Sesungguhnya semua yang tengah kami sebutkan adalah gambaran (sifat) amal. Hakikat dan sahihnya niat memiliki tanda-tanda selain ini.
Seluruh amal mengandung dua sisi. Satu sisi mengandung niat dan satu sisi lagi tidak mengandungnya. Amal yang tidak berlandaskan ketaatan kepada Allah atau sunnah Rasulullah tidak mengandung niat. Amal yang mengandung niat adalah ketaatan kepada Allah yang berdasarkan jalan-Nya dan sunnah. Akan hal itu, manusia terbagi menjadi dua kelompok: yang mengenal niat dan yang tidak mengenalnya.
Kelompok yang mengenal niat terbagi lagi menjadi dua, yaitu kelompok yang puas melihat niat dengan angan-angan dan kecerobohan, serta kelompok yang tidak percaya diri atas niat dan tidak memperhatikan kecuali yang benar (menguntungkan) bagi mereka pada saat penimbangan (amal), yaitu ujian (mihnah) dirimu.
Teliti Mengawasi Hati
Sebagian orang beranggapan bahwa dirinya benci kepada pujian dan sanjungan karena berhati-hati dengan amalnya dan takut akan fitnah. Ia tidak menghiraukan kesan dan prasangka orang tentang dirinya. Sebab, sebagian besar prasangka orang lain tidaklah sama dengan apa yang mereka sangka sampai mereka melihat
kejujurannya ketika ia menjelaskan.”! Hendaklah seorang hamba mengevaluasi dirinya | ketika sedang dipuji, disanjung, dicela, atau dinisbatkan kepada sesuatu yang ia benci. Hendaknya kekagumannya kepada pujian dan sanjungan adalah kekaguman terhadap tertutupinya (sitr) amal yang telah kami katakan, harapan terhadap pujian yang baik dan ucapan yang indah seperti firman Allah, “Aku berikan atasmu suatu cinta yang berasal dari diri-Ku? (QS. Thaha: 39). Juga firman-Nya, “Kami datangkan untuknya balasan di akhirat? (QS. al-‘Ankabut: 27), yaitu, pujian. Allah juga berfirman, “Dan Kami berikan untuknya kebaikan di dunia? (QS. al-Nahl: 122), yaitu pujian yang baik. Serta firman Allah, “Dan jadikanlah untuk-Ku lidah kejujuran tentang orang lain, (QS. al-Syu‘ara: 84), yaitu pujian yang baik.
Nabi Muhammad saw. bersabda tentang seseorang yang berbuat amal dengan mengharapkan rida Allah, lalu ia dipuji dan disanjung manusia, “Itulah berita gembira bagi kaum beriman yang disegerakan.’” Juga, sabda beliau tentang hamba yang dicintai Allah, “Ia tidak akan pernah dapat mengeluarkan dirinya dari dunia sehingga ia memenuhi telinganya dengan apa yang disukai.’ Sabda beliau yang lain, “Kalianlah syuhada Allah di muka bumi, dan lain sebagainya seperti yang disebutkan dalam Alquran dan sunnah.
Jika kegembiraannya terhadap kebaikannya yang disebut-sebut merupakan simbol terima kasih terhadap perahasiaan (sitr) Allah atas dirinya dan pujian untuk Allah karena dia telah dijadikan-Nya termasuk orang yang dikenang kebaikannya, maka itu bukanlah kegembiraan yang keliru, tetapi merupakan wujud syukur dan permintaan tambahan rahmat.
Tanda keselamatan niatnya ketika itu adalah bertambahnya ketawadukan kepada Allah dan syukur atas nikmat-nikmat-Nya serta kesungguhan ketaatan kepada-Nya. Bersamaan dengan itu, ia patut kembali ke jalan ketakutan terhadap ditariknya nikmat-nikmat secara perlahan (al-istidraj) dan ia—sepatutnya—lebih mencintai amalnya yang tersembunyi dibanding amalnya yang lahiriah karena takut akan fitnah seperti yang menimpa kaum saleh akibat pujian dan sanjungan yang mereka dengarkan—sekiranya penjauhan larangan dan kemakruhan, pensucian diri, dan pemujian didengar pelakunya. Itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Siapa memuji saudaranya di hadapannya, maka seakan-akan Musa menusuk tenggorokannya dalam keadaan sangat marah.” Juga sabda Nabi yang lain, “Seandainya ia mendengar (pujian)mu, maka ia tidak beruntung. Serta sabda Nabi yang lain, “Jika engkau melukai orang, maka Allah akan melukaimu.”
Jika niat dan maksudnya adalah mensyukuri Allah atas perahasiaan (sitr)-Nya dan memuji Allah atas nikmat-nikmat-Nya serta atas kegembiraan hatinya ketika mendengar sanjungan seraya berharap (dirinya) bisa menjadi teladan, maka jika ia termasuk orang yang layak untuk diikuti seperti yang difirmankan Allah, “Dan jadikanlah kami pemimpin bagi kaum yang bertakwa’? (QS. al-Furqan: 74), maka aku berharap hal itu tidak akan membahayakannya dan tidak merusak amalnya.
Disebutkan dari Muthrif ibn ‘Abd Allah bahwa ia pernah berkata, “Pujian dan sanjungan yang pernah kudengarkan hanya kuanggap sebagai sesuatu yang kecil.” Ziyad ibn Abi Muslim berkata, “Tak ada seorang pun yang mendengar pujian atau sanjungan kecuali dibujuk untuk ria oleh setan, tetapi orang yang beriman akan senantiasa melakukan evaluasi.” Ibn al-Mubarak berkata, “Benar apa yang keduanya katakan.” Yang disebutkan Ziyad adalah hati kaum awam, sedangkan yang disebutkan Muthrif adalah hati kaum khawas.
Akan tetapi, jika niat dan maksudnya ketika mendengar hal itu dan merasa senang adalah mencari kedudukan dan kehormatan di kalangan manusia, maka itulah keadaannya yang paling buruk yang membuat amalnya sia-sia.
Puji dan Cela bagi yang Saleh dan yang Ria
Kaum ria adalah mereka yang maksud dan _ niatnya—di awal dan akhir amalnya—mencari sanjungan, pujian, posisi, penghormatan di kalangan manusia, dan ingin memperoleh manfaat dengan amal itu. Merekalah orang yang akan mendapat siksa dan celaka di dunia dan akhirat.
Jika ia mengetahui hal yang benar, yakni ia seharusnya tidak takjub dengan arti itu semua dan tidak pula takjub dengan kehormatan yang ia peroleh dari mereka, maka ia tiada berdosa.
Tanda-tandanya yaitu ia bertambah tawaduk dan menjadi ketakutan terhadap penyalahgunaan nikmatnikmat (al-istidraj). Amalnya yang tersembunyi lebih ia cintai dibanding yang tampak karena ia bersemangat untuk menempuh jalan kaum saleh. Berdasarkan itu, ia patut mencintai amal-amal mereka dan gelar kesalehan yang mereka sandang—sehingga mereka menjadi bagian kaum saleh—sekaligus takut terhadap ujian (fitnah) yang lazim baginya, terhadap apa yang lazim bagi ahli pujian dan sanjungan—ketika disanjung atau dipuji—, sebagaimana beberapa sabda Nabi, “Engkau telah melukai orang itu,’ “Seandainya ia mendengarmu, maka ia tak akan beruntung,’ “Engkau telah memotong leher saudaramu,” “Jauhilah pujian karena sesungguhnya memuji itu sama saja dengan menyembelih,” “Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji, maka lemparlah debu ke wajahwajah mereka,” “Seandainya seseorang berjalan ke orang lain dengan pisau yang tajam, maka itu lebih baik baginya dibanding jika ia dipuji di hadapannya.” Hadis-hadis lain semacam itu jumlahnya sangat banyak.
Ketakutan orang yang suka dipuji lebih besar daripada harapannya karena ketakutan tidak membahayakannya sedangkan harapan tidak dapat dijamin fitnahnya.
Tanda orang-orang yang ria dan gila kehormatan di dunia ialah bahwa mereka senang mendengar pujian sehingga menambah kesombongan, keangkuhan, dan kelalaian mereka dalam menyalahgunakan nikmat. Mereka terus berangan-angan dan berhasrat untuk lebih mencintai amal lahiriah dibanding amal batiniah. Mereka tidak pernah takut terhadap ujian dan bencana.
Begitu juga ketika ia membenci celaan, sebenarnya ia membencinya karena ingin posisinya selalu dipuji dan disanjung agar ia mendapatkan kehormatan, keagungan, kedudukan, dan jabatan di kalangan manusia. Itulah kebencian yang tidak sehat dan sangat tercela. Sedangkan orang yang benci itu sebetulnya tertipu dan terpedaya.
Akan tetapi, jika hal itu hanya merupakan wujud cintanya terhadap perahasiaan (sitr) Allah atas dirinya dan ketidaksukaan terhadap terbukanya perahasiaan itu karena ia tidak pernah dibenci manusia sampai kemurkaan Allah mendatanginya sebelum kemurkaan manusia; jika kebencian (terhadap celaan) karena faktor ini, maka sesungguhnya hal ini dibenci baik oleh orang jujur maupun yang tidak jujur, sehingga tidaklah perlu ia dicela.
Tanda (orang itu) adalah ketundukan, kepasrahan, evaluasi, perenungan secara jernih akan jalan cinta Allah, jalan istikamah, arah iman, dan kesungguhan di dalamnya.
Penjelasan
Yang lebih jelas dari itu, sesungguhnya setiap orang yang beranggapan bahwa dirinya menginginkan rida Allah dengan amalnya serta tidak mengharapkan pu‘ jian dan balasan seseorang atas amal salehnya, kemu’ dian orang-orang mengetahui kesalehannya sehingga ia menjadi terkenal dan mereka hormati. Jika ia tahu bahwa bila ia berpaling dari itu dengan mengubah namanya dan mengalihkan pujian serta sanjungan yang ia dapatkan dari manusia untuk selain dirinya, sehingga di mata manusia ia seperti orang yang tidak dikenal kebajikannya, tidak pula popularitasnya, dan sebagainya, lalu seakan-akan hal itu lebih ia sukai, maka itulah yang diharapkan darinya.
Jika ia benci ketika popularitas yang ia miliki beralih ke yang lain sehingga ia sama seperti orang yang amalnya tidak dikenal khalayak, maka pengakuannya Saat itu menjadi sia-sia.
Sesungguhnya orang tadi menginginkan Allah dengan perbuatannya dan bukan yang lain. Jika popularitasnya ia alihkan ke orang lain, maka tidak akan beralih balasan amalnya kepada yang lain dan tidak pula pahalanya dikurangi. Bahkan, bisa jadi lebih banyak lagi pahala baginya dan lebih dekat posisinya (dari Allah).
Sedangkan orang yang beranggapan bahwa dirinya tidak menginginkan manusia dengan amalnya, maka ia akan benci jika nama terpandangnya di kalangan mereka menghilang dan ia akan benci jika orang-orang yang semula menganggap dirinya tidak menginginkan (pujian) manusia dan popularitas amalnya menjadi tahu akan dirinya sebenarnya.
Seperti inilah ia berpikiran. Jika ia melakukan sebuah tindakan kebajikan di mata manusia dan orang-orang menisbatkan kebajikan itu kepadanya dan mengira bahwa ialah pelakunya karena ketidaktahuan mereka, maka ia benci bila mereka mengetahui itu, atau bila mereka menyaksikannya, dan (ia benci karena) sesungguhnya ia bukanlah yang berbuat tindakan itu. Atau, ia berbuat suatu amal kebajikan, tetapi bagi orang-orang, apa yang dikerjakannya lebih banyak (dari itu), maka ia tidak suka jika orang-orang tahu tentang hal yang sebenarnya. Orang seperti ini adalah orang yang senang dipuji karena amalnya.
Tidak mungkin seseorang yang senang dipuji karena sesuatu yang belum pernah ia kerjakan, tidak suka dipuji karena amal yang pernah ia kerjakan, kecuali ia menyukai keduanya.
Demikian pula (tidak mungkin) jika ia bergaul dengan seseorang yang dikenal saleh dan ahli ibadah di mata khalayak atau ia memiliki sebab yang membuatnya sering disebut-sebut oleh orang lain, lalu ia benci jika hal itu jatuh di mata manusia, sedangkan ketika berbuat kebajikan ia tidak pernah menghiraukan kecintaan orang pada dirinya (maka ia sebetulnya termasuk orang yang suka dipuji karena afiliasinya kepada orang lain). Tidak mungkin pula ia suka dengan popularitas amal orang lain, sementara ia tidak suka. dengan popularitas amalnya sendiri, kecuali ia menyukai kedua-duanya.’
Jika ia mendapatkan dirinya jujur dalam perkaraperkara yang seharusnya disikapi dengan jujur ini, maka aku berharap ia termasuk golongan yang mengedepankan kejujuran, insyaa Allah Taala.’
MENDEKAT DAN MENJAUH:
HATI-HATILAH TERHADAP ORANG YANG MENDEKATIMU ATAU YANG ENGKAU DEKATI SEBAB ORANG-ORANG YANG MENJAUHIMU ATAU YANG ENGKAU JAUHI PASTI AKAN SELAMAT DARI DIRIMU DAN ENGKAU PUN AKAN SELAMAT DARI DIRI MEREKA.
Keyakinan Sejati
Keyakinan ada tatkala beramal. Keyakinan yang benar adalah mempersaksikan balasan pahala dan hukuman bukan dengan banyaknya nafkah dan banyak bicara. Dalam hal itu, tidak dibutuhkan gerakan kedua bibir, tetapi yang dibutuhkan adalah iman, akal, pengetahuan, dan manajemen lahiriah dan batiniah yang baik.
Engkau mengetahui kejujuran dan mengetahui pula kebohongan sebagai lawannya. Engkau mengetahui kebajikan dan mengetahui pula kejahatan sebagai lawannya. Kemudian engkau berusaha memperteguh kejujuran dan menafikan lawannya. Engkau mengetahui yang pokok (ashl) dari yang cabang (far‘) sehingga kesibukan memperteguh kejujuran menjadi yang pokok dan menafikan lawannya menjadi cabangnya. Sesungguhnya yang pokok akan menghasilkan cabang.
Selama manusia Iebih disibukkan oleh yang cabang ketimbang yang pokok, maka tak akan tersudahi kesibukannya. Selama pokok masih tetap utuh, setiap kali cabang yang satu hilang, maka muncullah cabang lain yang menggantikannya.
Kebanggaan sebagai Biang Penyakit Hati
Senang kepada kebanggaan diri adalah pokok atau sumber. Darinya muncul cinta kekuasaan dan kehormatan di tengah manusia. Darinya juga muncul kesombongan, kecongkakan, kemarahan, kedengkian, dendam, eksklusivitas, dan fanatisme kelompok. Jiwa kita terlalu asyik dengannya dan dialah pusat perhatian jiwa. Kebanggaan diri lebih dicintai jiwa dibanding satu-satunya ibu yang dimilikinya sendiri.
Aku mendapatkan cerita bahwa (kebanggaan) itu adalah sisa (penyakit) terakhir dalam hati orang-orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat. Hal itu karena amat sulitnya jiwa untuk mengatasinya.
Senjata penyakit hati ini untuk menguasai (menghancurkan) amal saleh para pembaca Alquran yang tidak mantap lagi arif adalah kesombongan diri, kebanggaan terhadap amal, dan penghinaan terhadap manusia.
Kami pernah melihat orang yang beramal saleh seperti shalat, puasa, sedekah, haji, dan jihad, namun kesombongan diri mereka berlebihan. Ya, kami pun pernah melihat orang yang tawaduk karena hasrat berlebih akan kebanggaan. Aku tidak tahu apakah aku pernah melihat ahli ibadah yang bebas dari kebanggaan.
Jika ia merasakan sisa kelezatan makanan, maka ia tidak beruntung dengan kelezatan itu, entah ia seorang ahli ibadah atau zahid. Bagaimana ia akan menjadi zahid sedangkan kezuhudan tidak bersamanya di satu tempat
Siapa berusaha menghilangkan kesombongan dirinya dan diberkati Allah, ia akan dapat menghilangkannya sehingga mudah ia menempuh jalan menuju cinta Allah, arah iman, jalan istikamah, dan rute kaum saleh. Ia juga akan mudah untuk jujur dalam amalnya sehingga jiwanya tenang dalam ketundukan dan kerendahan hati. Selain itu, ia akan mudah menempuh jalan keadilan.
Seseorang tidak mampu mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak mampu menahan kemarahan bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak sanggup menerima kebenaran bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak sanggup bersikap tawaduk yang merupakan hiasan ketakwaan bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak bisa konsisten dalam kejujuran bila dalam dirinya ada kesombongan. Ja tidak bisa menanggalkan kedengkian bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak dapat meninggalkan iri hati bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak dapat meninggalkan sikap fanatik bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak kuasa menyelamatkan hatinya bila dalam dirinya ada kesombongan. Ia tidak kuasa menerima nasihat bila dalam dirinya ada kesombongan. Dan, ia tidak mampu selamat dari penghinaan bila dalam dirinya ada kesombongan.
Betapa banyak bahaya rasa bangga. Betapa besar kerusakannya. Betapa nyata masalahnya. Betapa sedikit manfaatnya. Betapa sering kaum khawas dan kaum awam tergiur dengannya. Betapa sering manusia melalaikannya. Betapa sedikit pengetahuan mereka tentangnya. Dan, betapa kuatnya mereka menuruti rasa bangga.
Hawa nafsu laksana hukum yang dianutnya, keangkuhan laksana saudara dan pendukungnya, sementara kezaliman adalah ajarannya, kemarahan adalah penguasanya, ria adalah pembantunya, ujub adalah pembantunya yang terlemah, kedengkian adalah panglima tentaranya, dan dendam adalah temannya bermusyawarah.
Rasulullah saw. bersabda, “Kesombongan dan kedengkian memakan (pahala) kebaikan-kebaikan seperti api melahap kayu bakar:-’’ Sebagian perawi mengatakan, “dendam dan kedengkian”’.
Pada Siapa Terletak Kebanggaan
Kebanggaan diri di kalangan makhluk adalah sesuatu yang umum, baik kaum budak, kaum miskin, kaum kaya, kaum lemah, kaum kuat, kaum melek agama, maupun kaum ulama. Setiap orang memunculkan kebanggaan diri sesuai dengan tingkat kemungkinan pemunculannya. Orang yang tidak dapat memunculkannya, maka ia akan (bisa saja) berbangga—ketika berinteraksi dengan manusia—secara rahasia dalam dirinya, karena insan sejatinya tidak dapat meninggalkan perasaan bangga diri, baik yang dilakukan secara rahasia maupun secara terang-terangan.
Bagaimana pandanganmu jika orang itu marah kepada orang lain dalam hatinya? Bagaimana ia iri? Bagaimana berkeliling di sekitarnya untuk mencari aibnya? Dan, bagaimana ia menghukuminya dengan hukum hawa nafsu
Kalaulah ia memiliki secara lahiriah apa yang dimilikinya secara batiniah, pastilah ia akan memperlihatkan yang tersembunyi dalam batinnya.
Yang paling buruk, bahaya, dan tercela adalah bila rasa berbangga terjadi pada orang-orang yang melek agama. Pasalnya, ia akan nyaris selalu berbangga kepada orang lain karena faktor-faktor agama. Jika tidak, maka engkau bisa melihat bekas-bekasnya.
Subhana Allah! Apa yang sebetulnya bisa dibanggakan oleh orang-orang yang melek agama dan pembantu-pembantunya?
Hal itu menunjukkan kepadamu betapa cepat mereka merasa dengki. Betapa sering mereka marah kepada diri sendiri dengan berbangga diri serta kepada apa saja yang mereka dapati dari manusia berupa hal-hal yang tidak penting baginya.’ Itu semua bersumber dari penyakit dan gerak bangga diri, hal yang tak boleh dilakukan oleh calon penghuni surga, tidak pula para malaikat dan tidak pula para nabi. Kaum melek agama ingin membolehkan hal itu untuk dirinya sendiri dan hendak menjunjungnya di atas kepala.
Yang patut dilakukan orang yang jujur dalam beragama adalah pertama-tama berusaha memadamkan kebanggaan dari hatinya, kemudian meletakkannya di bawah telapak kedua kakinya. Seandainya seorang laki-laki shalat zuhur kemudian merawat dirinya dan memperbaiki salah satu aspek kesombongan, bukan seluruh kesombongan, kemudian seorang lainnya memberi sedekah emas seberat timbangan dirinyadengan cara yang bagus—kepada orang-orang lapar pastilah orang yang pertama itu lebih patut diirikan.
Nikmat atasnya lebih besar dan terima kasih atasnya Jebih banyak menurut ahli ilmu dan makrifat.
Lantas bagaimana halnya jika ia bangun pagi tanpa memiliki kemauan kecuali perhatian kepada kebanggaan terhadap diri sendiri, pengalamannya, dan pengetahuannya!
Sedangkan yang lain, bangun pagi dengan kemauan dan cintanya untuk memperhatikan masalah penghapusan kesombongan dari hatinya, keteguhan dalam bertawaduk, dan kerendahan diri atas pengalamannya dalam cahaya tawaduk dan pengetahuannya akan faidah-faidahnya.
Berbahagialah bagi orang yang disibukkan dengan kesibukan semacam itu. Betapa bermanfaatnya kesibukan yang ia lakukan. Betapa ia diridai di sisi . Penguasa kehidupannya. Betapa tenang hatinya!!
Ambillah pelajaran mengenai masalah ubudiyah dari kedua orang tersebut. Salah satunya lebih senang menjadikan dirinya laksana seorang hamba sahaya seperti ia diperintahkan, sedangkan yang lain lebih suka menjadikan dirinya selaku raja. Yang manakah di antara kedua orang ini yang berhak memperoleh hadiah dari raja dan siapakah di antara keduanya yang layak mendapat hukuman yang menyakitkan?
Terapi Kesombongan
Anda telah melukiskan tentang sisi negatif, keburukan, dan bahaya kesombongan. Sekarang jelaskan kepadaku cara menghindarinya. Karena, sesungguhnya jika orang sakit sudah mengetahui penyakitnya, maka ia ingin selanjutnya mengetahui obatnya. Demikianlah, siapa ingin mengetahui aib dirinya, maka ia ingin pula untuk mengetahui cara memperbaiki aibnya itu.
Sesungguhnya Bani Adam diberi tugas menurunkan burung dari udara, lalu ia bisa menurunkannya. Ia ditugaskan untuk mengeluarkan ikan besar dari lautan, ia dapat mengeluarkannya. Ia ditugaskan untuk mengeluarkan emas dan perak dari perut bumi, ia sanggup mengeluarkannya. Ia ditugaskan untuk mengambil hewan melata, hewan ternak, hewan liar, dan hewan buas dari daratan-daratan dan hutan-hutan, ia pun mampu menundukkan dan menguasainya. Ia ditugaskan untuk mengambil ular berbisa dan ular kecil, maka ia kuasa mengambilnya. Ia ditugaskan untuk mengungguli setan, maka ia bisa mengunggulinya. Ia ditugaskan untuk mengetahui bintang-bintang di langit beserta nama-namanya, titik edarnya, titik munculnya, dan titik terbenamnya. Ia juga ditugaskan untuk memahami rumah matahari dan bulan beserta titik edar, titik terbit, dan titik terbenamnya. Ia juga ditugaskan untuk mengetahui tentang anak yang tidak memiliki orang tua, ia dapat mengetahuinya. Ia diberi tugas untuk mengetahui penyakit orang sakit dan sebab-sebab penyakitnya dengan melihat air kencing (urine) tanpa melihat kepada orangnya, ia pun sanggup mengetahui penyakitnya sekaligus obatnya.
Ia diberi tugas untuk mempelajari perjalanan sejarah raja-raja pada abad-abad pertama, ia mampu mempelajari dan menulisnya.’
Segala hal yang ditugaskan kepadanya sebenarnya membawa dirinya menuju tanggung jawab untuk mencari tambahan duniawi dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah agama.
Ia ditugaskan untuk meluruskan dirinya yang satu, tetapi ia tidak pernah melakukan pelurusan, sementara tidak ada kewajiban atasnya untuk memperhatikan kerusakan orang lain. Ia tidak pernah ditugaskan kecuali untuk memperbaiki kerusakan dirinya sendiri, tetapi ia sendiri tidak pernah melakukan perbaikan itu. Karena itu, ia hanya tahu sebagian bentuk kesalehan. Apa yang tidak diketahuinya, maka tetap saja ia tidak mengetahuinya tanpa usaha untuk mengetahuinya. Kerusakan diri yang ia ketahui, ia lupakan untuk diperbaiki.
Seseorang tidak pernah dibebankan untuk berpuasa, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji, berwuduk, dan bersuci karena orang lain. Bahwa dirinya dibebani tak ada kaitannya sedikit pun dengan kesalehan orang lain. Kesalehan dan ketakwaan seseorang adalah untuknya sendiri dan tercatat dalam timbangannya, tidak sedikit pun berada dalam timbangan orang lain.
Demikian pula halnya dengan niat dalam peker. jaan. Niatku tidak bermanfaat untuk pekerjaanmy dan tidak pula niatmu akan bermanfaat untuk pe. kerjaanku kalaupun niatnya benar, serta tidak akan membahayakan kalaupun rusak. Manfaat dan bahaya niat kembali kepada si pemilik niat dan pemilik amal. Jiwa itu tunggal, jika ia menjadi persoalan psikologis baginya, berarti ia tidak mampu membedakan kebaikannya dari keburukannya dan tidak pula bagian depannya dari bagian belakangnya.
Ia berbuat tanpa mengetahui apakah ia berada di depan atau di belakang kecuali dengan penampakan amal dan klaim. Ia tidak tahu untuk apa ia bekerja, untuk kepentingan dunia atau kepentingan akhirat. Ia tidak dapat membedakan antara kedua hal itu. Ia tidak dapat memeriksa keinginannya dalam bekerja, cintanya terhadap pekerjaan, dan ketakutannya dalam bekerja. Ia tidak dapat memahami pekerjaan, dan tidak dapat menelaah hatinya, karena itu, ia telah merusak kebaikan dengan kejahatan, tetapi ia tidak merasakannya.
Secara lahiriah ia maju, tetapi secara batiniah mundur. Secara lahiriah ia mendekat kepada Allah, tetapi secara batiniah menjauh dari-Nya.
Subhana Allah!! Adakah pengetahuan yang dibebankan pada manusia yang tidak membuatnya sibuk memperhatikan dan memahaminya? Hanya orang bodohlah yang menyia-nyiakan pengetahuan yang telah dibebankan kepadanya dan diambil janji darinya.
Kejahatan dan kerusakan masuk ke dalam dirinya, tetapi ia tidak tahu dari mana masuknya, dari mana ia mendatanginya, bagaimana keadaannya, apa jalan keluar darinya, sehingga akhirnya ia tetap saja linglung dan bingung. Padahal, ia telah melampaui udara dan lautan. Maka, ia mengenali keburukan itu karena sesuatu yang menyibukkannya, berupa hal-hal keduniawian yang dibebankan Allah kepadanya sesuai kemampuannya, dan Dia jamin kecukupannya—entah ia peduli dengannya atau tidak.
Kemudian orang itu dikuasai oleh keinginan untuk berkreativitas dan nafsunya. Seandainya ia memberi perhatian terhadap pengetahuan mengenai kerusakan, kesalehan, kebaikan, dan keburukan dirinya, serta diikuti oleh ketakutan terhadap kerusakannya, sebagaimana ia memperhatikan urusan dunia yang kami sebutkan dan menjadi tanggung jawabnya, niscaya ia akan tahu tentang kerusakan dan kesalehannya seperti ia tahu tentang makna duniawi. Ia mampu untuk hal itu. Tetapi, ia rela menempuh jalan agama dengan penuh kebodohan. Sebaliknya, ia tidak rela menempuh jalan dunia kecuali dengan ilmu dan kritisisme. Kapan pun engkau mau, maka engkau akan melihatnya berada di jalan dunia sementara ia menyangka dirinya berada di jalan akhirat.
Bersamaan dengan itu, sejumlah orang yang menjauh dan menyimpang dari Allah telah menganggap diri mereka sebagai ulama dan penunjuk atas Jalan Allah. Padahal, mereka adalah orang-orang yang bingung, mengada-ada, dan dikuasai keragu-raguan sehingga kaum yang bodoh mengira mereka orang, orang yang dapat memberi petunjuk sedangkan mereka sendiri buta dan bingung. Kita hanya bisa mengucap: inna li Allahi wa inna ilayhi raji‘an.’”
Kesombongan dan kebanggaan diri suatu ha) asing yang datang kepadamu sehingga engkau menghindarkan diri dan menjauh darinya. Akan tetapi, kesombongan itu merupakan suatu hal yang telah menguasai dirimu. Kesombongan itu mampir dan menguasai rumah, duduk di tengah-tengah majelis, mengambil segala kebaikanmu, menguasai tempat terbaik dalam dirimu, bersandar di atas sandaran kursinya, dan menggunakan pembantu-pembantunya untuk hal-hal yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya baik ketika pulang maupun ketika pergi.
Aku tidak ingin berpanjang lebar tentang sifatsifat derivatif (furii’) sehingga engkau menjadi jenuh dan menjauh. Akan tetapi, aku menunjukkanmu sumber (ashl) yang jika dapat engkau atasi, maka akan berpengaruh terhadap seluruh ranting-ranting (furit’)nya. Yaitu, keputusasaan karena makhluk, entah mereka membahayakan atau memanfaatimu, memberi izin atau mencegahmu, menghidupkan ataupun mematikanmu. Hendaklah hatimu konsisten sebab hati adalah sumber segala sumber dan pokok segala permasalahan.
Jika engkau seorang murid sejati yang senang melihat akibat berbagai persoalan, maka tutuplah pintu ketamakan dirimu lalu bukalah pintu keputusasaan dirimu dan menyendirilah untuk hal itu dengan segaja keinginanmu serta menyendirilah pula dalam mencarinya, seperti orang yang tidak memiliki apa pun kebutuhan duniawi kecuali satu kebutuhan.
Bertekadlah dengan benar bahwa engkau akan menyerahkan dirimu kepada Allah pada sisa usiamu—jika engkau memang memandang-Nya layak untuk hal itu. Subhdna Allah, betapa Tuhan Maha tidak membutuhkan penghuni langit dan bumi, serta betapa kebutuhan mereka terhadap Tuhan begitu mendesak.
Saudaraku, jadikan dirimu laksana seorang tawanan di tangan ahli zamanmu pada masa hidupmu dalam mengikuti kerelaan Allah dan terlepas dari cobaan kebanggaan. Sesungguhnya tawanan itu adalah orang yang dimiliki, bukan orang yang memiliki, tidak berambisi untuk mezalimi siapa pun, dan tidak pula dapat memenangkan diri dari seorang yang zalim. Setelah itu engkau akan merasakan manisnya zikir dan lezatnya munajat dalam ibadah kepada Allah.
Aku hanya mengatakan kesimpulan kepadamu seperti ini: keluarkan dan iris kesombongan dari hatimu dengan keputusasaan terhadap manusia karena kepu. tusasaan seperti itu akan mengembalikanmu kepada Allah. Kembalimu kepada Allah adalah ketenangan hatimu kepada-Nya. Ketenangan hatimu kepada-Nya menumbuhkan ketaatan kepada-Nya dan menyampai. kanmu pada derajat hamba-hamba-Nya yang khawas, Pencapaianmu menuju kaum khawas akan menurun. kan derajatmu di mata hamba-hamba. Pencapaian derajat kaum khawas juga akan mengantarmu pada pencapaian kehormatan ubudiyah. Pencapaian kehor. matan ubudiyah akan menundukkan hatimu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga, Dia akan memuliakanmu berkat ketaatanmu dan engkau akan tunduk kepada-Nya. Dia juga akan memuliakanmu berkat ibadahmu. Allah berfirman, “Keagungan itu milik Allah, milik rasul-Nya, dan milik kaum beriman’? (Q.S. al-Munafiqun: 8). Allah juga berfirman tentang orang yang tercela karena kesombongan, “Demikianlah Allah mencetak atas setiap hati orang yang sombong dan pemaksa” (Q.S. Ghafir: 35).
Bagaimana rmembedakan antara dua kebanggaan itu?
Kebanggaan yang tercela akan menjauhkan dirimu dari taat kepada Allah dan kebanggaan yang terpuji akan menambah kepatuhanmu terhadap-Nya.
Ketahuilah bahwa masalah akan meluas jika berakhir di kesempitan dan itu tidak lain dari memutus ketamakan dan menggunakan keputusasaan (terhadap makhluk). Jika engkau telah berada di lembah roh, ketenangan, dan kebahagiaan, lalu engkau dapat menikmatinya bersama orang-orang yang termasuk dalam tingkatan zikir (mengingat Allah), dapat merasakan manisnya munajat, dan dapat menangis karena takut kepada-Nya, maka engkau akan dapat pula merasakan manisnya keyakinan, kebahagiaan rida, ketenangan penyerahan diri, dan ringannya beban diri sehingga akhirnya engkau bisa melihat kepada orang yang tersiksa dan terkungkung dalam jeratan kebanggaan diri.
Ketika itu aku mengucapkan salam sejahtera. Engkau berada di pagi dan sore hari dalam keadaan tidak bersedih dan berduka kecuali yang berkaitan dengan masalah akhirat. Allah melihat tekad dan kemauanmu dalam satu lembah, sedangkan manusia yang tidak melihat tekad dan kemauanmu berada di lembah yang lain.[]
DOSA:
Meremehkan dosa kecil adalah pangkal bagi dosa besar. Awalnya adalah kehati-hatian, kemudian menjadi ketidaksengajaan, kemudian menjadi dosa kecil, dan akhirnya menjadi dosa besar.
Memahami Latihan dan Mencermati Diri
Barang siapa termasuk kaum yang menaruh perhatian terhadap dirinya sendiri dan diberi pemahaman tentang latihan (tajribah),! maka dialah yang telah mencapai pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, mengetahui dari mana dan bagaimana kedua hal itu, mengungkapkan, menggambarkan, memahami, mengkritisi, dan berbicara dengan penuh kearifan. Baginya, nasihat yang didengar adalah tambahan untuk lebih bisa memahami, mengetahui, dan menerangkan nasihat, serta menjadi nilai plus bagi kecerdasannya sekaligus rahasia kebutuhannya.
Sedangkan siapa termasuk kaum yang selalu memperhatikan diri sendiri, tetapi belum diberi pemahaman tentang latihan, maka ia akan dapat mengetahui kebaikan dan keburukan sesuai dengan tingkat perhatiannya, dapat melukiskan sifat dan isj pengetahuan tersebut serta dari mana dan bagaima. na pengetahuan itu diperoleh, kendati—dalam hal itu—ia kurang bisa mengungkapkan dengan kearifan, Baginya, nasihat merupakan tambahan untuk lebih memahami kebaikan dan keburukan.
Sedangkan siapa tidak diberi pemahaman dan tidak pula memiliki perhatian (terhadap dirinya), maka ia tidak akan dapat berbicara dengan lidahnya saat harus berbicara dan tidak dapat melakukan penalaran dengan hatinya saat sedang mendengarkan.
Diriwayatkan bahwa sebuah hikmah berkata, “Siapa mencariku, tetapi ia tak dapat mencapaiku, hendaklah ia beramal dengan sebaik-baik pengetahuan yang ia miliki dan meninggalkan seburuk-buruk pengetahuan yang ia miliki”
Hikmah dan Pemeriksaan
Manfaat setiap perkara itu bertingkat-tingkat. Demikian pula bahayanya. Ada yang manfaatnya lebih besar dari bahayanya. Ada pula yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Dapat kita lihat bahwa sebagian besar perhatian orang tertuju kepada perbaikan hal-hal dengan sedikit bahaya. Mereka lebih sering memperbaiki sesuatu yang sedikit bahayanya ketimbang yang memiliki banyak bahaya. Pencarian mereka terhadap hal-hal yang memiliki sedikit manfaat lebih sering ketimbang terhadap hal-hal yang memiliki banyak manfaat.
Sebagian perkara lebih sulit ditinggalkan oleh manusia dibanding yang lain. Orang yang memiliki keinginan tidak patut untuk salah dalam hal ini, tetapi selayaknya ia memeriksa seluruh persoalan dengan penuh ketelitian, perhatian, pemahaman, dan daya kritis. Sehingga, ia mengetahui apa saja yang sulit ditinggalkannya sekaligus apa yang paling selamat dan bermanfaat baginya. Dengan demikian, ia akan menjadikan kesungguhan, semangat baru, pengetahuan, ilmu, pemahaman, kecerdasan, perhatian, berikut daya kritisnya untuk hal-hal yang—baginya—sulit ditinggalkan dan paling banyak bahayanya.
Dalam konteks itu, sikap manusia memang bermacam-macam. Betapa banyak orang yang agak mudah meninggalkan sesuatu yang sulit bagi orang lain, tetapi agak sulit meninggalkan sesuatu yang mudah ditinggalkan orang lain. Sebaliknya, orang tersebut sulit mencari sesuatu yang mudah bagi orang lain, tetapi mudah mencari sesuatu yang sulit dicari orang lain. Sebabnya, ia mencintai sesuatu yang tidak dicintai orang lain dan ia membenci sesuatu yang tidak dibenci orang lain.
Bisa jadi kedua masalah itu sama-sama berbahaya dan salah satu dari keduanya lebih berbahaya dibanding yang lain. Beban untuk meninggalkan yang satu tidak kalah sulit—bagi pelakunya—dibanding dengan meninggalkan yang lain. Akan tetapi, pengetahuan manusia tentang metode yang tepat sangat terbatas, Kelambanan dalam hal itu (umumnya) dikarenakan sesuatu yang lebih sulit—di mata dia—untuk ditinggalkan. Sedangkan yang lebih perlu ditinggalkan, baginya, adalah yang lebih sedikit bahayanya dan lebih mudah untuknya, ketimbang yang lebih banyak bahayanya. Ia lemah dan tidak berdaya meninggalkan yang banyak bahayanya.
Hal seperti ini tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang sering membolak-balik dan meneliti berbagai permasalahan secara serius sehingga ia melihat apa yang menjadi faktor-faktor penyebabnya. Kemudian ia tidak melihat pada dirinya modal besar untuk meninggalkan penyebab tersebut sehingga ia berkata, “Saya tidak meninggalkan hal ini, tetapi saya meninggalkan sesuatu yang memang sulit ditinggalkan oleh diriku.” Tidaklah rusaknya urusan yang hendak ia tinggalkan itu—yang memang lebih berat baginya sama seperti rusaknya urusan yang tidak hendak ia tinggalkan.|[]
Apa yang membuat kaum khawas dan kaum awam lamban terhadap sesuatu yang mengandung bahaya lebih banyak dan lebih susah mereka tinggalkan?
Aku telah memberi tahumu bahwa manusia itu bermacam-macam. Ada sesuatu yang lebih selamat daripada yang lain bagi mereka, tetapi ada juga sesuatu yang lebih berbahaya bagi mereka ketimbang yang lain. Namun, aku tidak mengetahui apa yang lebih banyak pada manusia, yang lebih dominan pada mereka, yang paling berbahaya, dan tidak pula yang paling sulit ditinggalkan oleh mereka, baik kalangan khawas maupun kalangan awam, yang alim terpelajar maupun yang bodoh.
Kelengahan yang paling susah adalah yang engkau lalaikan dan engkau tidak ketahui. Dan, yang paling dahsyat dan paling banyak pada diri manusia, Menurutku, adalah kekaguman pada diri sendiri (ujub)?
Renungkan apakah engkau melihat seseorang yang menurut dirinya sendiri adalah seorang yang tidak tahu mengenai urusan akhirat dan urusan dunia?
Pikirkan apakah engkau melihat seseorang yang mendapati sesuatu yang tidak ia ketahui dan bukan pula sebagai profesinya, tetapi ia berkata, “Aku mengetahui tentang hal itu?” Orang bodoh—yang sebetulnya terpedaya—dan berlagak tahu ini perlu diajari ilmy akhirat karena minimnya kadar akhirat dalam hatinya dan minimnya penghormatan terhadap kesucian-kesucian Allah.
Renungkan pula apakah engkau melihat ada orang yang lebih tinggi derajat dan ilmunya, menurut orang yang lengah, terpedaya, dan bodoh itu, ketimbang dirinya, lalu ia mengaku-aku dengan seperti itu, kecuali dalam hal-hal yang tak dapat ia sanggah dan ia tolak.
Apa yang engkau harapkan akan menjadi sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat bagi mereka?
Kewaspadaan adalah sumber segala kebaikan sebagaimana halnya kelengahan adalah sumber segala kejahatan. Betapa banyak orang yang merasa dirinya sangat waspada padahal sebenarnya ia lengah. Betapa—tanpa sadar—mereka lebih menyukai kelengahan dibanding kewaspadaan.
Tanda-tanda kewaspadaan yang paling nyata adalah rasa sedih dan duka, serta persiapan yang baik untuk kesedihan dan kedukaan itu. Sedangkan tandatanda kelengahan yang paling nyata adalah sikap riang dan angkuh karena keduanya melupakan dan melalaikan kewaspadaan. Meninggalkan kewaspadaan berarti pula meninggalkan persiapan untuk sesuatu setelah kematian.
Apakah yang dimaksud dengan kelengahan dan kewaspadaan?
Kewaspadaan berarti menganggap ajal sudah dekat, mawas terhadap maut, dan berpikir tentang kejadian yang akan menimpa manusia setelah kematian. Dari sini, pintu amal lalu terbuka sehingga engkau bisa bergegas kepadanya sebelum kematian bergegag kepadamu. Engkau pun dapat memanfaatkan setiap kesempatan dalam hidupmu sebelum datangnya ajal, Jika manusia diberi sikap konsistensi atas hal itu, maka sumber-sumber kebaikan dipastikan muncul da. rinya. Insyda Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan kelengahan berarti lama berangan-angan dan melupakan hari yang dijanjikan kecuali sepintas saja. Seorang hamba tidak akan terus-menerus dalam kelengahan. Seorang hamba tak akan selamanya berada dalam kelengahan kecuali jika ia “melempar kebajikan ke balik punggungnya” Dari kelengahan, lahirlah sikap menunda-nunda dan keterperosokan dalam lautan dosa.
Agar Tidak Lengah
Apakah ada sesuatu yang menguatkan diriku untuk selalu waspada dan meninggalkan kelengahan?
Ya. Yaitu, keikhlasan berdoa, bersahabat dengan orang yang menginginkan apa yang engkau inginkan, dan menjauhkan orang yang tidak menginginkan apa yang engkau inginkan (itu). Pasalnya, bersahabat dengan orang yang tidak menginginkan apa yang engkau inginkan akan dapat membahayakan dirimu, sedangkan engkau sendiri tidak merasakannya. Sebaliknya, bersabahat dengan orang yang menginginkan apa yang engkau inginkan akan memberimu manfaat dan tidak membahayakan dirimu meskipun engkau tidak merasakannya.
Sesungguhnya manusia itu hancur karena tiga hal: kelengahan, kemenangan (penguasaan), dan kebodohan. Betapa banyak orang yang memiliki ketiganya. Jikalau engkau katakan bahwa sesungguhnya aku tidak tahu siapa yang akan menyelamatkannya, niscaya engkau benar.
Jadilah orang yang mencintai berdasarkan kebaikan. Jangan menjadi orang yang ingin dicintai berdasarkan kebaikan.’
Segala sesuatu yang tidak mengandung manfaat dan pelayanan, maka tidak mungkin pula di dalamnya ada niat. Sedangkan segala sesuatu yang mengandung manfaat dan pelayanan, maka ia tidak boleh dilakukan kecuali dengan niat.
Aku heran dengan orang yang memiliki niat lemah dalam kebaikan-kebaikannya dan niat kuat dalam syahwat-syahwatnya. Itu tidak akan terjadi kecuali pada mereka yang terpedaya dan terkamuflasekan, atau pada orang yang memperdaya dan mengkamuflasekan.
Barang siapa memiliki dua sifat, maka ia telah menguasai segala permasalahannya, yaitu yang mengetahui “kenapa” dan “belum”. Ia akan mengatakan, “Kenapa aku belum beramal? Kenapa aku beramal? Kenapa aku tidak beramal?” Siapa tidak tahu, maka apa yang ia dapatkan adalah sesuai dengan ketidaktahuannya.
Jauhkan delapan sifat dari akhlakmu, yaitu merasa terbebani dalam berbicara dan berucap, berselisih, mencari muka, terlalu banyak bercanda, menipu, berbuat jahat, memberatkan orang lain, dan bersikap emosional.
Melalaikan apa yang dibenci Allah adalah wujud kerasnya hati. Kekerasan hati berarti juga sirnanya kenikmatan amal. Hilangnya kenikmatan amal berarti juga sedikitnya ketaatan. Sedikitnya ketaatan berarti pula sedikitnya syukur. Meninggalkan syukur berarti kehancuran apa yang engkau kerjakan, ketidakmakbulan apa yang engkau minta, dan terputusnya tambahan (rahmat).
Sesungguhnya engkau berada di suatu zaman di mana orang yang paling selamat di antara manusia adalah seorang yang lapar dan buas, sekaligus sangat bersedih dan berduka.
Kelaparan akan memecah jiwa. Kekenyangan akan membangkitkan ketamakan. Kelaparan berarti pula kekuatan sedih dan duka. Sedih dan duka juga berarti kekuatan untuk menahan kelaparan. Sedih dan duka memutus syahwat dan hasrat.
Insan itu cenderung melampaui batas, gemar durhaka, suka menunda-nunda, dan berwatak pelupa. Itu jika ia tak memiliki tekad, suka melamun, dan sering putus asa ketika bertemu dengan hal yang susah, kurang bersyukur ketika mendapat nikmat, dan berdusta untuk memperdayai dan menipu.
Pengetahuanmu tentang aibmu dan aib orang lain sama saja. Siapa belum pernah mengetahui aib orang lain, ia akan tahu aibnya sendiri. Jika aib orang lain tampak bagimu di saat aibmu sendiri tidak tampak bagimu, maka engkau akan mendapatkan aibmu melalui aib orang lain. Jika aibmu tampak bagi dirimu di saat aib orang lain yang sama tidak kelihatan bagimu, maka jangan engkau limpahkan hal itu kepada orang lain sehingga akan tampak bagimu sesuatu yang sama dengan yang tampak dari dirimu. Amatilah, periksalah, perhitungkanlah, ambillah dengan melaksanakan apa yang paling sulit diambil, dan jangan meminta permakluman untuknya. Jika engkau meminta permakluman, maka jangan terima darinya.
Seluruh amal kebajikan itu terbagi atas dua bentuk yang rahasia dan yang nyata. Siapa tidak mampu memperbaiki amalnya yang rahasia, maka ia akan lebih tidak mampu memperbaiki amal yang nyata. Siapa kuat memperbaiki amalnya yang nyata, berarti ia telah lebih lihai dalam memperbaiki amal yang rahasia. Demikian pula halnya dengan amal yang banyak dan sedikit. Siapa tidak mampu memperbaiki niat dalam amal yang sedikit, maka ia tidak akan lebih mampu dalam memperbaiki amal yang banyak.
Ada dua tahapan ria, yaitu seseorang yang pernah berbuat kebajikan, lalu ia mendapat pujian, kehormatan, dan penghargaan karenanya, sedangkan ia hanya menginginkan keikhlasan ketika melakukannya. Siapa tidak mampu meninggalkan ria pada apa yang ia hadapi, maka ia tidak akan mampu bersikap ikhlas terhadap amal yang karenanya ia mendapat pujian, kehormatan, dan penghargaan.
Demikian pula halnya dengan segala sesuatu, Meninggalkan apa yang belum pernah engkau miliki lebih mudah daripada meninggalkan apa yang telah engkau miliki.’
Niat: antara Kejujuran dan Kelalaian
Siapa yang paling sejati niatnya? Orang yang paling cinta niat.
Siapa yang paling jauh dari niat sejati?
Orang yang paling jauh dari niat adalah orang yang paling melupakan niat. Orang yang paling melupakan niat adalah orang yang paling tidak tahu tentang niat.
Tanda ria yang pertama adalah kerelaan terhadap ketidaktahuan tentang kejujuran niat dalam amalamalnya. Tanda kejujuran yang pertama adalah perhatian terhadap pengetahuan mengenai kejujuran niat dan keikhlasan beramal.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Amal-amal itu tergantung niat.” Beliau juga bersabda, “Hal yang paling aku takuti atas kalian adalah syahwat yang tersembunyi.”
Bagaimana dengan seorang hamba yang mempelajari bagaimana beramal dan mau menanggung beban (tanggung jawab) beramal sehingga ia beramal dengan apa yang telah diketahuinya, tetapi ia tidak belajar bagaimana semestinya berniat. Kemudian ia mempelajari ilmu yang diamalkan dan ilmu yang tidak diamalkan, sementara ia tidak mempelajari.kejujuran niat, baik dalam amal yang dilandasi niat maupun tidak.
Ia hidup karena-memang ia hidup dan mati jika memang harus mati, dan ia pun tidak pernah mempedulikan hal semacam itu. Rasulullah saw., para imam, ahli ilmu, dan ahli makrifat setelah beliau selalu mengingatkan tentang ria sehingga sebagian di antara mereka pernah berkata, “Aku memasuki rumah yang gelap dan shalat dua rakaat di dalamnya dengan harapan mudah-mudahan shalat itu akan menyelamatkan diriku” Sufyan al-Tsawri? pernah berkata, “Aku tidak pernah melakukan suatu pekerjaan yang dilihat banyak orang.” Seandainya kami menulis tentang ha} seperti itu dalam buku ini, niscaya kami membutuh, kan berlembar-lembar kertas.
Orang yang telah mengetahui ria, dirinya tidak akan pernah diketahui orang lain (maksudnya: le. bih memilih sembunyi—pen). Ia akan memperhatikan dan mengawasinya siang dan malam. Bisa saja halhal yang membuatnya terkecoh dan terkalahkan lebih banyak dibanding apa yang menjadi keinginannya, Lalu, bagaimana halnya dengan orang yang bodoh dan mengabaikannya?
Betapa sering seseorang berbuat amal, lalu ia menganggap dirinya sebagai orang yang jujur di dalamnya dan kejujuran yang diakuinya tidak pernah jelas kecuali setelah berlalu waktu sepuluh tahun. Jika aku mau, aku katakan lima puluh tahun. Karena itu, apalah arti sepuluh, satu, lima puluh dan seratus kecuali hanya satu.
Seperti apa? Engkau telah membawa ucapan yang agung.
Seperti orang yang ingin bersedekah atau berbuat kebajikan kepada orang lain. Kemudian ia beranggapan bahwa ia mengharap rida Allah dengan hal itu, dan ia tidak pernah menginginkan balasan dan ucapan terima kasih. Kemudian tampaklah suatu kebutuhan baginya atau orang lain—sebelum mendapat kebajikan (dari yang lain)—lalu ia memenuhi kebutuhan orang yang pernah berbuat kebajikan atau bersedekah kepadanya sedangkan ia sendiri belum dapat memenuhi kebutuhannya. Sehingga, ia mengingatingat sedekahnya kepada orang itu dalam hatinya. Lantas ia mendapati orang itu tidak pernah memenuhi kebutuhannya. Karena itu, ia merasa telah memenuhi kebutuhan orang yang tidak pernah bersedekah atau berbuat kebajikan kepada dirinya. Pada saat itu, kejujurannya semakin jelas (bedanya) dari kebohongannya, dan bisa saja itu terjadi setelah berselang lama (dari melakukan kebajikan itu).
Atau, seseorang yang menjadi ahli ibadah selama lima puluh tahun. Ia melihat dirinya sebagai orang yang jujur dalam beribadah, tidak pernah menginginkan balasan dan tidak pula ucapan terima Kasih, baik dalam perkara-perkara yang tak tampak maupun perkara-perkara yang terbuka. Kemudian suatu penyakit tumbuh dalam dirinya: Orang-orang mencatat namanama kaum saleh, tetapi mereka tidak menulis namanya atau mereka menulisnya di deretan akhir. Mereka mendahulukan orang-orang yang tidak seperti dirinya dalam beribadah, maka—dalam hatinya—ia mengingkari hal itu. Akhirnya, antara kejujuran dan kebohongan dalam ibadah semakin nyata perbedaannya.
Dalam hal ini, dan hal-hal lain seperti ini, terbukti dengan jelas bahwa orang tersebut menginginkan ba. lasan dan tanda terima kasih.
Setiap amal yang pelakunya tidak awas terhadap. nya, tidak pernah mengujinya, tidak pernah melakukan tes terhadapnya, dan tidak pernah memeriksanya, adalah amal yang (masih) samar. Sesuatu yang samar tidak akan pernah jelas hakikatnya kecuali ketika diuji. Manusia itu akan diperhitungkan sesuai dengan kadar ilmu dan kebodohan mereka, kebaikan dan keburukan, serta kadar perintah dan larangan yang mereka kerjakan dan tinggalkan.
Ada tiga pintu ilmu yang harus diketahui manusia, yang rahasia maupun yang nyata. Dua pintu menghubungkan mereka dengan Allah dan satu pintu menghubungkan mereka dengan manusia yang lain. Yang berhubungan dengan manusia adalah nasihat, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw., “Agama adalah nasihat”! Nasihat tersebut mencakup hal-hal yang rahasia maupun yang nyata, yang banyak maupun yang sedikit, untuk yang jauh maupun untuk yang dekat, kepada kawan maupun lawan. Sedangkan yang menghubungkan mereka dengan Allah adalah pintu niat dan perbaikannya, serta kehendak (iradat) dalam amal-amal, yang tersembunyi maupun yang terbuka, yang sedikit maupun yang banyak, sesuai dengan sabda Nabi, “Amal-amal itu tergantung niat.” Dan, pintu kedua adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya.
Hakikat Nasihat
Pintu nasihat ada jika niat, jalan, dan pandangan seseorang dalam keadaan rahasia maupun terbuka adalah bahwa seandainya seluruh masalah umat dilaksanakan sesuai hati kecil dan batinnya, niscaya ia senang bah. wa umat mendapat petunjuk dalam urusan-urusannya, menaati Tuhan mereka, dan setiap orang beruntung bisa memperoleh hak dan keadilannya.
Jika sikapnya seperti itu terhadap kelompok khawas dan berdasarkan itu pula niatnya terhadap kelompok awam, maka aku berharap ia senantiasa berada pada setiap keadaan yang terhormat dan kenikmatan nan agung yang tidak diketahui kadarnya kecuali oleh Allah.
Jika sikap terhadap kelompok khawas dan kaum awam bertentangan dengan sifat ini, maka ia tidak berhak memberi nasihat kepada kaum khawas maupun kaum awam. Pengakuannya bahwa ia menyembunyikan dan meniatkan—dalam hatinya—nasihat kelompok khawas dan kaum awam perlu ditolak dan tidak dapat diterima.
Kami tidak pernah mengetahui dari pintu-pintu ilmu suatu hadis yang lebih komprehensif dibandingkan hadis ini: “Agama itu nasihat.’ Tidak ada perkataan yang paling dekat, terarah, dan baik di antara amal-amal kebaikan dan amal kaum saleh dibandingkan perkataan berikut ini. Tidak ada pula yang lebih mencakup tentang hak dan keadilan dan yang lebih diridai bagi kelompok khawas dan kelompok awam, yaitu: hendaklah engkau mencintai manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri dan membenci manusia seperti engkau membenci dirimu sendiri. Nasihat bersumber dari amal-amal hati dan cabang-cabangnya berasal dari amal-amal anggota tu, buh. Nasihat bisa saja dilakukan dengan hati dan bisa saja dilakukan dengan lidah, serta bisa saja dilakukan dengan hati, lidah, dan anggota tubuh.”
Etika yang Harus Dipegang
Sesungguhnya ada sesuatu yang membuat sesuatu yang lain terkalahkan. Ada sesuatu yang membuat sesuatu yang lain terlupakan. Ada sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain terlalaikan. Ada pula sesuatu yang membangkitkan sesuatu yang lain. Ada sesuatu yang menambah sesuatu yang lain. Orang yang memperhatikan dirinya telah mengetahui ha) ini. Yang paling minimalnya adalah kewaspadaan dan yang paling maksimal adalah kelupaan.”
Ketahuilah bahwa kejahatan adalah syahwat dan kebaikan adalah sesuatu yang tak begitu disukai (karena dirasa memberatkan). Syahwat mendahului dan mengungguli hal-hal yang memberatkan sampai da. tang ilmu dan kejujuran yang menghilangkan syah. wat dan memposisikan hal-hal itu pada tempatnya, Barang siapa belum mengerti dan memahami hal ini ketika mendengarnya, ia tidak akan melakukan evaluasi terhadap batinnya dan tidak melakukan perbaikan sehingga mempelajarinya dari orang-orang yang dapat melakukan dan menggambarkannya dengan baik. Kalau bukan karena banyaknya pendapat tentang hal itu niscaya kami akan menulisnya.
Dua sahabat yang paling baik adalah rasa duka dan sedih terhadap urusan akhirat. Kesibukan yang paling nikmat adalah introspeksi diri (al-muhdasabah). Orang yang sering berduka, bersedih, dan melakukan jntrospeksi menganggap saat tanpa kesedihan, kedukaan, dan introspeksi sebagai—sama saja dengan—saat menganggur. Sedangkan kelengahan yang paling kecil baginya laksana dosa yang paling besar bagi orang lain.
Di antara tanda keyakinan pada manusia adalah lestarinya kesedihan dalam dirinya. Saudaraku, kalau seorang hamba tak pernah bersedih kecuali karena kasarnya tabiat, kealpaan, kelalaian, dan sedikitnya kejujuran dalam amal-amal fardu ataupun nafilah yang telah ia kerjakan, serta karena sedikitnya rasa malu dan pengawasan, maka memang patutlah ia bersedih dan berduka.
Kalau seorang hamba tak pernah bersedih kecuali karena tidak memiliki ilmu apakah ia diterima (maqbal) atau ditolak (mardtid) meski melakukan amalamal seperti yang diamalkan malaikat, jin, manusia, dan seluruh alam semesta, serta tidak pula ia tahu apakah amal-amalnya ditolak seberat biji zarah atau justru diterima seberat biji zarah, maka pastilah layak ia bersedih.
Kalau seorang hamba tak pernah bersedih kecuali ketika dikatakan kepadanya, “Pilihlah suatu waktu dari usiamu ketika engkau tidak pernah melakukan perbuatan maksiat kepada Allah karena suatu sebab tertentu, (niscaya) ia tidak menemukannya, maka patutlah ia bersedih.
Kalau seorang hamba tak pernah bersedih kecualj ketika dikatakan kepadanya, “Apakah engkau mengta. hui satu saat dalam hidupmu ketika engkau senantiasa mengerjakan seluruh perintah Allah yang diwajibkan kepadamu,” sedangkan ia (pasti) menjawab, “Aku tidak tahu maka memang seyogyanyalah ia bersedih.
Katakan kepadaku bagaimana seharusnya aku melakukan introspeksi diri agar aku mengenali diriku?
Segala sesuatu bisa diketahui melalui indikasiindikasi, tanda-tanda, dan contoh-contoh. Aku memberikan perumpamaan sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaanmu.
Sesungguhnya manusia, dalam hal kesamaan dan perbedaan setelah memperoleh pengetahuan dan pengalaman, ibarat keranjang yang diletakkan di pinggir jalan dan di dalamnya terdapat botol-botol tertutup yang berisi penuh cairan, kemudian dilewati banyak orang tanpa mereka ketahui apa yang ada di dalamnya. Selanjutnya, salah seorang dari mereka menemukannya seraya berkata, “Aku akan membuka keranjang ini dan akan aku ketahui apa isinya.” Kemudian ia membukanya sehingga ia melihat botolbotol yang berisi penuh, tetapi ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Ia membuka penutup botolnya sehingga ia mencium bau minyak wangi misik, bau minyak ikan ambar, bau minyak pohon ben, bau sesuatu yang busuk, bau bunga yasmin, bau bunga melati, dan seluruh bau-bauan dari berbagai jenis parfum dan minyak-minyakan. Di antaranya ada pula bau korek api, bau minyak tanah, bau aspal, dan bebauan yang tidak dapat dicium karena baunya yang menyengat.
Manusia ibarat botol-botol dalam keranjang. Akan tetapi, mereka berbeda dalam hal pengetahuan dan akhlaknya sama seperti isi botol-botol itu.
Engkau sendiri juga laksana keranjang, sementara akhlak dan adabmu laksana botol-botol. Bau yang harum adalah sebaik-baik moral dan etikamu. Bau yang amis adalah seburuk-buruk keduanya.
Jati diri tidak akan diketahui kecuali setelah dicoba dan diuji. Ujilah dirimu sehingga engkau tahu apa yang terkandung di dalamnya. Jika engkau ingin mengetahuinya, berinteraksilah bersamanya, memeriksa tekadnya, dan pertajamlah tatapanmu terhadapnya sehingga engkau mengetahui kesabaranmu pada saat engkau dibodoh-bodohkan oleh orang yang bodoh, bukan pada saat yang disenangi hawa nafsumu.
Kenalilah ketawadukanmu ketika tidak dikasari oleh orang yang kasar dan ketika engkau dihormati seseorang karena dalam keduanya terkandung godaan. Sesungguhnya manusia bisa saja memperlihatkan kerendahan hatinya ketika dihormati (dengan harapan) agar penghormatan kepadanya semakin bertambah, dan bisa saja ia bersikap rendah hati ketika dikasari (dengan harapan) agar ia tetap dianggap sebagai orang yang rendah hati di kalangan manusia. Ambillah sikap dalam keadaan seperti itu dan periksa kembali niatmu.
Kenalilah sikap diammu ketika takut akan jatuhnya kehormatanmu di hadapan orang-orang yang menganggapmu selaku orang terhormat dan mulia. Kenalilah pula kejujuranmu pada situasi saat banyak orang membaik-baikkan diri dan berpura-pura.
Kenalilah ketulusanmu ketika engkau mencintai dirimu sendiri, kawanmu dan lawanmu sehingga engkau mengetahui apakah engkau mencintai orang Jain seperti engkau mencintai dirimu. Kenalilah pula kesabaranmu ketika engkau meninggalkan syahwat yang telah dikuasai kesabaranmu. Dapatkah engkau meninggalkannya?
Kenalilah kewarakanmu saat engkau mampu untuknya. Dapatkah engkau bertahan dalam kewarakan jika situasi itu menjadi kacau bagimu? Kenalilah pula akalmu ketika meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu di dunia dan tidak pula bermanfaat di akhirat sckaligus tidak ada pula balasannya dari Allah. Dapatkah engkau meninggalkan hal itu?
Kenalilah keamanahanmu saat hawa nafsu mulai menggodamu. Dapatkah engkau melaksanakan amanatmu dengan baik pada saat itu? Kenalilah pula ambisimu saat menggebu hasratmu. Dapatkah engkau berputus asa pada saat itu?!’
Jika engkau adalah orang yang terpuji pada waktu dan situasi seperti itu, betapa bagus kebaikanmu. Pujilah Allah, mintalah tambahan karunia-Nya, dan teruskanlah sikapmu itu karena sesungguhnya engkau berada di jalur istikamah, jalan cinta, dan arah iman.
Jika engkau adalah orang yang tercela pada situasi-situasi itu, perbaikilah akhlak dan tingkah lakumu karena sesungguhnya ada kerusakan yang parah dalam dirimu. Engkau sedang tidak berada di jalur istikamah, tidak pula di jalan cinta, dan tidak pula di arah iman. Takutlah kepada Allah serta periksa dan perbaiki kembali kerusakan dirimu.
Pada sebagian keadaanku, muncul dari diriku sesuatu yang aku murkai dan aku sangat menyesal terhadapnya.
Kemurkaanmu terhadapnya berasal dari pengetahuanmu tentang keadaan-keadaan itu. Penyesalanmu terha dapnya adalah obatnya. Jika engkau melihat aib orang Jain, ingatlah aibmu dan kemarahanmu terhadap dirimu sendiri. Seandainya maslahat dan manfaat diri manusia ada dalam apa yang engkau inginkan dan senangi, pastilah seluruh manusia adalah orang-orang yang saleh, tetapi mereka menganggap kesalchan diri ada pada apa yang kau benci dan kehancurannya ada pada apa yang engkau cintai dan senangi.
Di antara introspeksi diri yang dapat engkau lakukan adalah menjauhkan dan menolak hawa nafsu sehingga engkau katakan, “Wahai diri, sesungguhnya engkau tidak akan mampu menipu dan mengalahkan Allah. Karena itu, jangan menerima tipu daya setan dan tidak pula kemenangannya. Janganlah engkau menuruti hawa nafsumu sehingga ia menjerumuskan dan menghancurkanmu.”
Sesungguhnya aku tidaklah membawamu kepada sesuatu yang tidak engkau miliki kekuatan dan ilmunya. Sesungguhnya aku melihatmu mencintai, bagi dirimu, sesuatu yang engkau benci bagi orang lain dan engkau membenci, bagi dirimu, sesuatu yang engkau sukai bagi orang lain.!
Jangan Menipu Diri
Aku melihatmu mencintai kaum yang bersikap tawaduk, jujur, dan amanah schingga jika engkau melihat kubur dan jejak peninggalan mereka, maka engkau akan mencintainya seperti asumsimu dan engkau membenci sifat-sifat mereka yang dengannya mereka memperoleh cinta darimu. Bahkan, jikapun mereka mampu memusuhi musuhmu setelah menghilang darimu, niscaya itu adalah harapanmu. Baik engkau ingin menipu Allah karena engkau tahu bahwa Dia mengawasimu atas hal itu ataupun jika engkau tidak dapat berbuat kebajikan dengan baik.
Saudaraku, sesungguhnya orang lapar itu sangat menginginkan roti dan orang haus sangat mendambakan air. Andai roti dan air diletakkan di atas meja yang berada di hadapannya atau digantungkan di kedua lehernya, maka tetap saja ilmu orang yang lapar dan haus tentang keberadaan roti dan air bersamanya tidak akan bermanfaat bagi mereka berdua—tidak pula kedekatan jarak keduanya—kecuali bila mereka makan dan minum.
Demikian pula dirimu. ilmumu tentang kebaikan, keakraban dengannya, dan kecintaanmu terhadapnya tidak akan berguna sehingga kebaikan itu ada pada dirimu dan engkau benar-benar menjadi ahli kebajikan. Namun, aku tidak menganggapmu menyukainya, tetapi engkau tertipu atau menipu diri sendiri dalam klaimmu bahwa engkau menyukainya.
Saudaraku, apakah engkau pernah melihat orang haus yang mampu mendapatkan air dingin tapi tidak meminumnya kecuali orang yang mengaku-aku haus yang tidak benar-benar haus.
Atau, apakah engkau pernah melihat seorang lapar yang mendapatkan makanan tapi tidak memakannya kecuali ia seorang yang mengaku-aku lapar yang sebenarnya tidak lapar.
Betapa jelas batalnya klaimmu bahwa engkau mencintai kebaikan dan termasuk salah satu ahlinya jika engkau mengkiyaskan kecintaanmu terhadap dunia dengan kecintaanmu terhadap akhirat. Karena, aku melihat jika engkau menginginkan dunia, maka engkaupun tidak menghendaki selainmu menjadi pemiliknya. Lantas, jika engkau menginginkan amal kaum yang saleh seperti yang engkau anggap, maka_ tidak ada yang paling berat bagimu selain bahwa engkau harus menjadi pelakunya. Seandainya engkau mencintainya niscaya engkau sangat menginginkan tidak seorangpun yang mendahuluimu dan memiliki yang lebih banyak daripada yang engkau miliki.
Saudaraku, Kapankah engkau kenyang lagi jenuh mendustai dan menipu Allah? Kapankah, dari masa hidupmu, engkau menginginkan namamu tertulis bersama mama-nama kaum yang saleh dan rendah hati, kaum yang ikhlas dan senantiasa memberi nasihat, kaum yang selalu bersyukur dan rela, kaum yang senantiasa bersabar dan pasrah, kaum yang percaya dan tawakal, kaum yang berserah diri dan takut, kaum yang senantiasa rindu dan bijak, serta kaum yang alim dan penuh keyakinan.
Aku katakan dengan sungguh-sungguh kepadamu. Jika seseorang diam karena mementingkan diri sendiri, maka engkau patut diam dalam posisimu sebab aku melihatmu begitu mementingkan dan mendekati dunia, yang disertai dengan keyakinanmu bahwa dunia tidak ada artinya dan keinginanmu untuk meninggalkan jalan kaum saleh dan ahli kebajikan, serta kerelaanmu untuk tidak bergaul dan berdekatan dengan Nabi Muhammad saw. di surga.
Seandainya engkau bersahabat dengan Nabi di dunia, kemudian engkau meninggalkan seluruh urusan dunia dan mengedepankan persahabatan dengan beliau, niscaya yang engkau tinggalkan adalah sesuatu yang lebih hina dibanding dengan yang engkau peroleh. Lalu, bagaimana dengan persahabatan di surga yang disertai kepemilikan yang abadi di sisi Allah dan para kekasih-Nya? Juga, bersama para nabi, kaum yang jujur, para syuhada, dan kaum saleh dalam suasana yang penuh dengan kenikmatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang abadi?
Evaluasilah dirimu, saudaraku. Lihat apa yang terkandung di dalam penipuan ini. Lihat apa yang telah mengalahkanmu dan keyakinanmu. Atau, tipu daya macam apa yang telah masuk ke dalam dirimu?
Pikirkanlah tentang timbangan amalmu kelak dan pertanyaan Allah kepadamu tentang amal-amal seberat zarah dan biji sawi, juga yang lebih besar ataupun lebih kecil dari itu.
Pikirkanlah tentang cepatnya ajal berakhir, dan pendeklah dalam angan-angan, sehingga engkau tidak dapat meninggalkan angan-anganmu dan tidak pula ia dapat meninggalkanmu barang sekejap mata, tidak pada malam hari dan tidak pula pada siang hari.
Subhana Allah. Bagaimana engkau tidak bingung dan kehilangan akal karena kaget terhadap urusanmu?
Evaluasilah urusanmu. Pikirkan apa yang diinginkan dari dirimu. Yang diinginkan darimu adalah jika engkau beramal atau tidak beramal, maka inginkanlah kerelaan Allah dengannya. Apakah yang engkau bisa lebih sedikit dari ini? Ini dalam hal nafilahmu. Sedangkan dalam fardumu, engkau tidak diizinkan untuk meninggalkan barang sedikit pun sehingga engkau mengerjakan sesuatu sesuai dengan perintah dan meninggalkan sesuatu sesuai dengan larangan. Engkau tidak pernah ditugasi sesuatu yang tidak bisa engkau taati dan tidak pula dibebani dengan sesuatu yang tidak pernah dibebankan kepada orang lain.
Dengan hal itu, engkau diharapkan agar menginginkan kebajikan untuk manusia. Jika engkau tidak menginginkan suatu kebajikan untuk mereka, maka jangan menginginkan kejahatan untuk mereka. Apakah yang engkau bisa lebih sedikit dari ini? Atau, engkau rida bahwa manusia menginginkan kebajikan untuk dirimu sedangkan engkau menginginkan kejahatan untuk mereka?
Yang diinginkan darimu, janganlah menjadikanmu sebagai di atas manusia dalam jiwamu, tidak dalam hatimu, dan tidak pula di lidahmu. Apakah yang engkau bisa lebih sedikit dari ini? Padahal, engkau dan semua orang telah diseru untuk melakukan hal ini, bukan engkau saja.
Menuju Akhirat Butuh
Perangkat yang Tepat Katakan kepadaku. Jika engkau melanggar hal ini dan engkau menginginkan selain Allah dengan amalmu serta engkau ingin pula mengangkat dirimu di atas manusia atau engkau tidak mencintai sesuatu untuk mereka, apakah engkau mendapatkan atau menerima apa yang engkau harapkan dari hal itu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa engkau akan berada di jarak yang paling jauh dengan Allah jika seperti itu?
Kendati demikian, aku tidak pernah melihatmu mencari dinar atau dirham sehingga memberimu manfaat dan dapat menemanimu pada hari-hari yang engkau jalani. Akan tetapi, engkau mencari pujian, penghormatan, dan kedudukan dengan hal itu. Engkau telah memilih suatu jalan/cara yang dengannya engkau patut mendapat sikap benci orang-orang yang berbeda denganmu, dan orang-orang yang sepaham denganmu ketika mengemuka urusan rahasiamu—yang memang pasti akan mengemuka suatu ketika.
Kesabaran tidak pernah mewariskan alasan dan dalih bagi manusia. Siapa tidak pernah bertemu Allah dengan kenikmatan rida sesuai dengan perintah-Nya, hendaklah ia menemui Allah dengan kesabaran dan (penjauhan dari) sesuatu yang dibenci-Nya. Dan, siapa belum pernah bertemu Allah dengan membenci larangan-Nya, janganlah ia menemui Allah dengan cinta untuk-Nya, tetapi dengan kesabaran. Sebab, kesabaran tidak lagi menyisakan dalih bagi manusia.
Dari yang sedikit ada pelajaran bagi orang ba, nyak. Sesungguhnya jika ahli dunia menginginkan sesuatu, maka mereka mulai dengan permintaan, Mereka meminta suatu perangkat yang dengannya mereka mengerjakan hal itu. Jika tidak, maka tidak ada sama sekali jalan bagi mereka untuk menuju kepada pekerjaan itu.
Jika seluruh ahli dunia berkumpul dengan mem. bawa perangkat tiap industri, maka apakah mereka mampu melihat lubang suatu jarum kecuali dengan alat yang memang alatnya: Demikian pula dengan segala hal.
Pernahkah engkau melihat seorang tukang pemasang ladam mampu melakukan pekerjaannya dengan alat yang digunakan tukang jahit? Atau, mampukah tukang jahit melakukan pekerjaannya dengan menggunakan alat tukang pemasang ladam?
Demikian pula dengan setiap pekerjaan. Tukang besi tidak akan mampu melakukan pekerjaannya dengan menggunakan alat tukang kayu, tidak pula tukang kayu akan dapat melakukan pekerjaannya dengan menggunakan alat tukang sepatu.
Demikian pula dengan amal akhirat. Amal akhirat tidak akan mampu dikerjakan kecuali dengan perangkatnya. Perangkat pokoknya adalah ilmu, makrifat, dan kemampuan mengambil kesimpulan dari pengamatan. Semua itu adalah petunjuk perangkat.
Cinta Dunia Pangkal Tiap Bencana
Nabi Muhammiad saw. bersabda, “Kecintaanmu terhadap sesuatu akan membutakan dan menulikan dirimu.”?’ Nabi ‘Isa as. bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal setiap dosa.”
Obat paling mujarab yang dapat dimanfaatkan kaum beriman dalam masalah agamanya adalah memutuskan cinta dunia dari hatinya. Jika ia telah melakukannya, maka meninggalkan dunia” baginya adalah sesuatu yang remeh dan pencarian akhirat adalah sesuatu yang mudah. Dan, ia tidak akan dapat memutusnya kecuali dengan alatnya. Aku tidak pernah mengatakan bahwa perangkat yang dapat digunakan untuk memutus dunia adalah kemiskinan, kekurangan sesuatu, banyak melakukan puasa, shalat, haji dan jihad. Akan tetapi, perangkat utamanya adalah pikiran, angan-angan yang singkat, melakukan evaluasi tobat dan pensucian, mengeluarkan keangkuhan dari hati, melazimkan sikap rendah hati, mengisi hati dengan ketakwaan, melestarikan kesedihan, dan memperbanyak kedukaan terhadap apa yang dihadapi.
Betapa banyak orang yang mengerjakan amalamal? yang kami lukiskan ini sementara cinta dunia semakin bertambah dalam hatinya. Banyak manusia yang tidak memperbanyak amal-amal itu, dan cintanya kepada dunia sangatlah kurang karena ia mengambil dari satu sisi, yaitu dengan mendisiplinkan dirinya untuk berpikir dan memendekkan angan-angan. Akan tetapi, segala yang dibolehkan Allah itu kemudian diletakkan sesuai dengan perintah Allah. Hatinya terbiasa dengan menyebut dekatnya masa kematian beserta segala penderitaannya, seperti kubur, pertemuan dengan Allah, dan penghisaban yang panjang. Ia tidak tahu di kelompok mana dirinya akan diletakkan dan di bagian mana namanya akan ditulis. Apakah di kelompok orang-orang yang akan dikumpulkan di surga atau kelompok orang-orang yang akan digiring ke neraka. Ia berpikir mengenai dosa-dosa yang sekiranya ahli dunia disiksa karenanya, maka mereka hancur sepanjang keabadian ahli neraka di dalamnya. Yang lebih pedih dari itu adalah kemurkaan Allah atas penghuni neraka.
Ia takut kalau-kalau rida Allah luput dari penghuni surga. Ia mengurangi pemikiran tentang dunia dan segala kenikmatannya karena sesungguhnya hati bersama pemikiran akan selalu hidup, jika pikirannya berkaitan dengan akhirat, dan sebaliknya, ia akan mati jika pikirannya berkaitan dengan dunia.
Tidak patut bagi seorang hamba untuk menghendaki kehormatan, pujian, penghargaan, sanjungan dari manusia, dan kelebihan nikmat duniawi sebagai pengisi sisa-sisa umurnya di dunia. Ia sepantasnya menghendaki hal-hal itu diberikan kepada musuh bebuyutannya, atau orang yang paling mendengkinya, dan tidak diberikan kepada kerabat-kerabatnya, sahabat-sahabatnya. Seusainya ia berharap bahwa hal itu bisa menjadi tebusan neraka baginya, sehingga kalaupun ia dipanggil menujunya dan untuk dipenjarakan dalam penjara (neraka) yang sempit, ia akan menolaknya, memilih tempatnya sendiri, dan ia akan hati-hati dengan, dan menjauh dari, neraka itu, sebagaimana tuntutannya sebelum itu.
Sekiranya dalam diri seorang hamba hanya terkandung harapan untuk dapat memperbaiki apa yang rusak dari umurnya di masa lalu, maka hendaklah ia memperbaikinya dan melepaskan diri dari (bayang-bayang) masa lalu. Hendaklah ia menjadikan kesedihan, kedukaan, pertemuan yang sedikit dengan orang lain sebagai beban dirinya disertai dengan doa dan ketundukan. Hendaknya ia juga menjadikan kematian sebagai pusat perhatiannya dan mencari solusi cepat untuk keluar dari (jebakan) dunia.
Kesalehan Jiwa
Sesungguhnya ibadah seorang abid dapat dikatakan sebagai ibadahnya para raja jika ia belum pernah mau menerima hikmah, nasihat, dan saran dari kawan dan lawan.
Aku mengingat sesuatu yang membuatku lupa tentang sesuatu. Maka, seperti apakah sesuatu ini?
Seperti kekenyangan. Sesungguhnya kekenyangan dapat membangkitkan syahwat, menyebabkan kasarnya perangai, penyakit, berat, dan tidur; sebagaimana banyak berbicara dapat membuat hati menjadi keras, mengurangi keanggunan dan kewibawaan, memandulkan hikmah, dan memperbanyak kekeliruan.
Contoh yang lain adalah angan-angan yang panjang. Ia dapat membuat lupa dari akhirat, mengingatkan akan—dan memuliakan—dunia, membuatmu cinta kepadanya, memunculkan kedengkian dan sikap menunda-nunda, memperkokoh hawa nafsu, serta memperbanyak syahwat.
Dalam hal ini tersirat sikap-sikap atau perilakuperilaku yang menjadi lawan atau kebalikannya. Jika engkau memikirkannya, maka engkau akan mengetahui sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan dan yang mendatangkan kejahatan. Setiap kesibukan akan membuat orang lupa terhadap kesibukan yang lain sebab hati cuma satu dan tak dapat disibukkan kecuali oleh satu hal.
WASPADA:
Tanda-tanda kewaspadaan yang paling nyata adalah rasa sedih dan duka, serta persiapan yang baik untuk kesedihan dan kedukaan itu. Sedangkan tanda-tanda kelengahan yang paling nyata adalah sikap riang dan angkuh karena keduanya melupakan dan melalaikan kewaspadaan. Meninggalkan kewaspadaan berarti pula meninggalkan persiapan untuk sesuatu setelah kematian.
Allah sungguh mampu menundukkan hawa nafsu bagi kejujuran, meskipun hal ini tak sering terjadi (pada seseorang). Orang yang mengetahui hal yang sedikit ini jumlahnya sedikit. Sebaliknya, orang yang tidak tahu jumlahnya sangat banyak. Pasalnya, kehendak untuk beramal terjadi sebelum amal itu,” syahwat dan hawa nafsu muncul menyertai amal, sedangkan niat dan kejujuran berada di belakang keduanya. Setiap kali seorang hamba berkehendak atau bertekad untuk beramal, baik dalam waktu dekat maupun jauh, maka hawa nafsu, syahwat, niat yang jujur akan bersegera menuju hatinya dengan mengingatingat apa yang bisa diharapkan dan dicitakan dari amal seperti itu, berupa kebutuhan-kebutuhan duniawi, kesenangan-kesenangannya, manfaat-manfaatnya, dampak-dampaknya, kelezatan-kelezatannya, dan segala sesuatu yang menyenangkan, serta sesuatu yang memperbaiki posisinya di tengah manusia dan yang membuatnya dikenang dengan pujian, sanjungan, kehormatan, kedudukan, ketinggian, dan kekuasaan.
Keinginan yang jujur nanti akan menghilang. Selama ia hilang, hati akan menerima semua itu, tak pernah menolaknya sedikit pun, karena hati harus memiliki harapan terhadap amal yang diinginkannya. Manusia adalah makhluk yang paling banyak lupa pada saat itu akibat pujian, sanjungan, kelembutan, penghormatan, kehormatan, kepemimpinan, dan kedudukan yang dibawa jiwa dan hawa ke dalam hati secara keseluruhan termasuk yang sering kali menghiasi, memikat, sekaligus membuatnya senang. Oleh karena itu, kelengahan dan kelupaan terhadap keinginan yang jujur semakin bertambah banyak.
Seandainya tempat sesuatu yang dikagumi dan dipikat hati adalah kepahitan dan ketidaksenangan, maka hati tak akan pernah menerima kelupaan dan kelengahan,” tetapi karena kesepakatan itu telah datang, maka kemudian hati menjadi tenang dengan kerusakan tersebut.
Siapa dikaruniai Allah nikmat sehingga keinginan yang jujur berada di depan hawa dan syahwat dirinya dan sehingga ia mendambakan rida Allah dan kampung akhirat dengan amalnya, maka dalam hal ini, kesibukan hati dan segenap harapannya pada saat itu tertuju kepada rida Allah dan balasan-Nya. Apa yang dibawa jiwa dan hawa, sebagaimana telah kami sebutkan, tak akan pernah diterima hati dan pasti ditolaknya atas mereka. Di situ terkandung nikmat yang paling agung dan pelakunya perlu bersyukur sebanyak-banyaknya.
Bila Nafsu Mendahului Keinginan yang Benar
Jika nafsu, hawa, dan syahwat mendahului keinginan (iradat) yang benar, maka orang yang mengalaminya perlu diam, melakukan perenungan, dan berpikir sehingga hatinya bersih dari nafsu, syahwat, dan hawa yang menimpanya, serta meletakkan keinginan (terhadap) Allah di posisi itu, bahkan di depannya. Ia akan diterima hati, baik dalam keadaan yang membuatnya tidak senang atau malah menyenangkannya, kemudian ia berhati-hati dan waspada sampai ia mengakhiri amal yang dibuka dengan keinginan yang benar itu dan setelah menyelesaikannya, selama hayat masih dikandung badan.
Ketahuilah bahwa mcelaksanakan hal ini lebih berat daripada memindahkan batu karang dan menaiki sesuatu yang tajam (h. 104) kecuali oleh orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk itu dan perhatian kepadanya sebagai ekspresi ketakutan akan kerusakan dirinya dan kesia-siaan amalnya. Sebab, sang musuh memaksa, bersungguh-sungguh, dan bermaksud menipu dalam upayanya membiuskan penyakitpenyakit yang merusak amal, maka ia perlu senantiasa mengamatinya sebelum merasuk ke dalam amal, setelah masuk, ataupun setelah keluar darinya.
Bila Keinginan Sudah Benar
Jika ia mengedepankan keinginan dan niat yang jujur, benar, dan tidak mengandung penyakit, lalu ia tindak lanjuti dengan amal, menafikan hawa, mencegah nafsu, menentang syahwat, dan memerangi musuh, maka bila sang musuh melawannya setelah masuk ke amal, maka sang musuh memperlihatkan penyakit-penyakit yang merusak amal—sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika ia menerimanya sampai ketika mengakhiri amalnya, maka rusaklah sumber/asalnya yang benar dan kokoh. (h. 104).
Jika ia tidak pernah menerima apa pun yang mendatanginya ketika beramal, kemudian ia menafikan dan mencegahnya, maka hal itu tak akan membahayakan dirinya sama sekali.
Jika ia menerimanya kemudian sadar sebelum menyelesaikan perbuatan, lalu ia menyesal, kembali, bangkit, menghilangkan kelengahan, kemudian menutup pekerjaan itu dengan penyesalan, maka hal itu tak akan membahayakan dirinya.
Jika ia mengakhiri pekerjaan dengan kejujuran dan keadaan sehat, maka ia akan menuntutnya dalam perbuatan itu untuk merusaknya walaupun setelah waktu berlalu.
Sepatutnya manusia bertakwa kepada Allah, bersikap ikhlas kepada-Nya ketika beramal, mempersembahkan niat untuk-Nya sebelum dan sesudah setiap amal sampai menjelang kematian sehingga seluruh amalnya hanya untuk Allah semata. Ia tidak meminta balasan kecuali dari Allah, memerangi musuh yang sedang berkuasa, menentang hawanya, mengekang nafsunya, menjaga syahwat yang bergejolak dalam kalbunya, dan mengetahui siapa yang berinteraksi dengannya serta untuk siapa ia berbuat dan balasan siapa yang ia cari.
Hendaklah ia berbuat amal dengan harapan yang membara terhadap balasan Allah dan ketakutan yang sangat akan hukuman-Nya. Sesungguhnya jika ia berusaha keras untuk itu, berarti ia telah berbuat amal dengan syahwat, kebodohan, dan kecintaan (h. 105) akibat dipacu oleh harapan dan ketakutan (raghbah dan rahbah) sehingga ia dapat menghilangkan penyakit-penyakit yang merusak amal-amallnya sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Jika ia berusaha keras untuk itu, maka seakan-akan ia telah memadukan seluruh hawa dan kejujuran. Ia tidak pernah peduli apakah hal itu sesuai dengan hawa ataupun tidak sesuai. (h. 105) Sedangkan ia tidaklah perlu menentang hawa jika ia memang selamat dari kejahatannya, dan itu tidak membahayakan dirinya, seakan-akan ia menyepakatinya.
Seorang hamba perlu berhenti dan bertanya tentang apa yang telah ia kerjakan, untuk siapa ia berbuat, dan apa yang ia inginkan dengan perbuatannya?
Ria dan Ikhlas
Keinginan itu ada dua macam: terhadap dunia dan terhadap akhirat. Kejujuran dan keikhlasan akan terjadi jika manusia hanya menginginkan Allah dengan . amalnya dan di dalamnya tiada sedikit pun maksudmaksud duniawi.
Sedangkan ria adalah jika seluruh keinginan itu ditujukan untuk dunia. Ada manusia yang menginginkan pujian dan sanjungan dengan amalnya pada mulanya. Ada juga manusia yang menginginkan rida Allah dan kampung akhirat pada awalnya, namun kemudian ia menginginkan pula pujian dan sanjungan dengan amalnya.
Ada pula manusia yang menginginkan rida Allah dan kampung akhirat dengan amalnya, lalu ketika ia telah masuk ke dalam amal itu berdasarkan keikhlasan, ia ditimpa penyakit-penyakit kalbu seperti yang telah kami sebutkan. Ia menerimanya, ia ingin dipuji dengan amalnya, dan ia ingin pula mendapatkan kedudukan di mata makhluk Tuhan.
Ada juga manusia yang hanya menginginkan rida Allah dan kampung akhirat dengan amalnya sehingga ja dapat mengakhiri amalnya dengan hal itu. Namun kemudian, ia didesak oleh penyakit-penyakit kalbu setelah menyelesaikan amal walaupun setelah berselang beberapa saat, sehingga ia ingin dipuji dan diberi kedudukan serta jabatan di kalangan manusia dengan amal tersebut. Ini yang paling mudah (terjadi) di antara yang telah kami sebutkan.
Dalam hal ini, orang-orang berbeda pandangan. Satu kelompok berpendapat, ini bagian dari dosa dan tidak merusak amal karena amalnya telah berlalu dan ditutup dengan baik sehingga tidak merusak setelah ada akhir. Tidak ada hak bagi seorang hamba dalam urusan ini, kecuali meminta (kemurahan) kepada Allah. Penyakit-penyakit yang dialami manusia setelah itu merupakan urusan Allah. Sedangkan amal tersebut tidaklah batal.
Kelompok yang lain berpendapat, hal itu. membatalkan amal walaupun setelah waktu berlalu jika ia telah menerima penyakit itu, mencintai pujian, memasukkan unsur makhluk ke dalam amalnya, dan menginginkan pujian, kedudukan, dan gengsi dari manusia.
Amal Benar-benar Tergantung Niat
Katakan kepadaku bagaimana jika manusia ingin berbuat amal kebajikan, lalu ia mengerjakan dan dapat menyelesaikannya, tetapi ia tidak pernah mengingat keinginan kepada Allah dan kampung akhirat sebelum amal dimulai ketika ia dalam keadaan lupa dan lalai. Bukankah ini suatu amal tanpa niat dan kejujuran?
Benar.
Bagaimana jadinya amal yang telah dilaksanakan manusia tanpa diawali niat dan kejujuran?
Jika belum didahului niat dan kejujuran, maka amal itu akan tidak berarti apa-apa. Pasalnya, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung kepada niat.” Jika engkau katakan, “Aku lupa berniat,’ maka itu adalah pengakuan dan tiada hujah bagimu. Hanya dunia dan keinginanmu yang berlebih terhadanya yang melupakanmu dari berniat.
Bukankah bencana yang menimpa Adam disebabkan kelupaan dan minimnya tekad? Tidakkah engkau pernah mendengar firman Allah, “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu) dan tidak kami dapati padanya kemampuan yang kuat? (Q.S. Thaha: 115).
Sesungguhnya sebuah amal tidak akan dapat dikatakan amal yang sesuai dengan perintah Allah kecuali jika didasari niat yang jujur, keinginan yang baik, dan mengedepankan keduanya sebelum amal itu dimulai. Itulah amal yang sesungguhnya menurutku, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “Semua pekerjaan tergantung kepada niat.
Perhatikan Pula Amal Lahiriah
Ketahuilah bahwa diammu ketika membuka amal, mengingat kejujuran, memperbaiki niat dan keinginan, menghindarkan diri dari ria, dan mengingat surga dan neraka, tidak akan menambah kejujuranmu dan tidak akan mengurangi sifat riamu sehingga engkau menggunakan ketakwaan, mengedepankan niat, dan jujur dalam berkeinginan.
Jangan berbohong pada saat itu karena insan menyukai simbol kebaikan tetapi membenci substansinya. Sebaliknya, ia membenci simbol kejahatan, tetapi menyukai substansinya.
Betapa cintanya insan terhadap simbol kejujuran dan betapa berat baginya substansi kejujuran. Betapa bencinya insan terhadap simbol ria, tetapi betapa cinta dan sangat mudahnya ia menggunakan sifat ria.
Jangan menyepelekan masalah mengingat niat pada saat itu. Sesungguhnya niat dan kejujuran adalah dua nama, dan jantung keduanya adalah iradat yang jujur. Sesungguhnya nafsu dan hawa akan mencabut buah amal dengan segenap kenikmatannya.
Ketahuilah bahwa kenikmatan rasa permen dan lain sebagainya hanya akan engkau dapatkan ketika engkau telah memakannya. Manisnya hawa dan syahwat dalam pikiran adalah jika engkau ikuti sesuai kemauanmu. Ia tidak memiliki makanan dan minuman, kenikmatannya hanyalah merupakan sesuatu yang mengikuti dalam pikiran dan sumbernya.
Ketahuilah bahwa manis dan lezatnya ria adalah kelezatan yang bercampur dengan kalbu dan mengalir dalam keringat. Hati-hatilah terhadap hal itu ketika memulai perbuatan, periksalah tekad, perbaikilah niat, dan jadilah orang yang benar-benar merasa diawasi Allah pada semua keadaan.
Mengubah Ria
Jika aku ingin mengerjakan amal, aku berhenti sesaat sebelum memulainya. Lalu aku mengevaluasi niat dan keinginanku, tetapi aku melihat ria telah mendahului kejujuran dan aku melihat kejujuran hilang dari diriku. Maka, aku ingin memindahkan keinginan beserta hakikatnya menjadi kejujuran, kesehatan, dan niat yang bagus. Aku ingin pula menjaga hawa beserta segala hiasan, sifat ria, dan syahwatnya. Kemudian pertanyaanku, kapan aku mengetahui bahwa aku telah melakukan hal itu dan aku telah jalankan sesuai dengan keinginanku, sementara aku sungguh ingat bahwa mengingat niat dan kejujuran tidak akan pernah bermanfaat untuk diriku sampai diikuti dengan realisasi keinginan?
Sebab, keduanya tidak berkumpul dalam satu hati.” Mungkin saja simbol keduanya bersatu, tetapi substansi keduanya tidak bersatu. Jika engkau tidak menginginkan substansi dan lebih suka dengan kemauanmu serta lebih suka kepada iradat Allah dan kampung akhirat dengan amal itu, maka engkau telah mengetahui bahwa yang ini telah hadir dan yang itu tidak ada, sama persis bila engkau mengetahui bahwa ria telah hadir dan niat telah menghilang.
Jika apa yang telah aku lukiskan kepadamu berubah menjadi samar, maka lewati saja hal itu seolaholah engkau tidak pernah ingin melakukannya sama sekali, dan jujurlah dalam hal itu. Jika engkau telah mengetahui bahwa dirimu telah jujur dengan tindakanmu melewatinya begitu saja, maka mulailah kembalj dari pangkalnya. Jika engkau mendapati dirimu rela dan tenang dengan tindakanmu meninggalkan amal itu, maka ketahuilah bahwa hal itu merupakan tanda hadirnya kejujuran dan absennya hawa dan ria. Akan tetapi, jika engkau mendapati dirimu benci untuk meninggalkannya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya hawa telah merasukimu.
Berikanlah aku suatu contoh yang lebih konkret dari ini. Seperti seseorang yang ingin membuat makanan untuk mengundang kawan-kawannya. Ia mengevaluasi diri dan tekadnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia ingin mengundang seseorang untuk suatu kepentingan dengannya. Ia ingin mengundang yang lain agar masa pembayaran hutangnya bisa diperpanjang, dan untuk memanfaatkan serta menguasainya. Ia juga ingin mengundang yang lain untuk meminta dukungan melakukan kezaliman. Ia mengundang yang lain untuk memperoleh kepentingan duniawi. Ia ingin mengundang seseorang agar dirinya dipuji, disanjung, dan disebut-sebut. Ia ingin mengundang seseorang untuk bincang-bincang dan berdiskusi dengan mengabaikan orang lain. Ja ingin mengundang seseorang karena suatu pertemuan yang harus dimanfaatkan dengan baik, dan lain sebagainya yang tak ada kaitannya dengan Allah, tetapi seluruhnya untuk kepentingan duniawi.
Ketika hal ini semakin jelas dalam dirinya dan keinginannya tidak pernah tertuju kepada Allah serta balasan-Nya untuk makanan yang dibuatnya, maka ia berujar dalam hatinya karena hal itu menjadi jelas baginya, “Tidak… Tetapi aku meninggalkan keinginan pertama dan menghadirkan keinginan kedua yang tertuju kepada Allah dan kampung akhirat.”
Kemudian ia berkata, “Bisa jadi saya menipu daJam hal ini, tetapi saya tidak merasakan. Saya mengundang kaum yang lain untuk mengganti posisi mereka itu dengan mengajukan niat dan keinginan yang benar dalam menghidangkan makanan. Atau, saya bisa saja tidak mengundang siapa pun.’
Jika ia melihat dirinya ketika itu menolak untuk mengundang mereka, maka sikap tidak senang untuk tidak jadi mengundang mereka dan kecintaan untuk mengundang mereka (setelah itu) merupakan pertanda bahwa ia tidak jujur dan ia sudah tertipu.
Jika ia cenderung untuk tidak mengundang dan rela dengan hal itu, maka itu pertanda kebaikan.
Sangat patut baginya untuk mengerjakan hal tersebut pada saat itu dan terus melakukannya. Jika ia menghendaki, maka mereka bisa saja dipanggil dan jika ia menghendaki, bisa saja ia memanggil yang lain dengan suatu niat yang baru.
Kesalahan yang Banyak Dilakukan
Sesungguhnya penipuan, kesalahan, kekeliruan, kesengajaan, kelupaan, fitnah, dan cobaan-cobaan pada bab ini merupakan bagian dari (penjelasan tentang) keikhlasan dalam beramal dan kejujuran dalam berkeinginan. Masalah mengedepankan niat adalah sesuatu yang susah. Sedangkan ujian dalam keikhlasan sangatlah banyak. Karena kehebatannya, manusia diberi pahala yang besar atas sedikit perbuatan yang dilandasi keikhlasan.
Kendala-kendala keikhlasan terlalu banyak untuk dapat dimuat dalam buku ini. Kesahihannya juga terlalu berat untuk bisa disampaikan oleh orang yang terpercaya, tetapi tertipu dan terpedaya—dengan sisi lahiriah buku ini dan sisi lahiriah ilmu—ini. Akan tetapi, semua itu akan diketahui oleh orang yang memperhatikan diri mereka sendiri, yaitu orang-orang yang takut akan batalnya amal-amal mereka dan takut pula akan kehancuran diri mereka.”
Tidak sepatutnya seorang yang berakal terpedaya sehingga ia tidak melakukan koreksi terhadap tekadnya, berintrospeksi diri, melakukan pembersihan hati, dan merasa diawasi Allah pada setiap pekerjaan yang hendak dikerjakannya. Jika tidak, pastilah ia terpedaya. Kita memohon taufik, pemahaman, tekad dan keinginan yang benar kepada Allah.
Ketahuilah bahwa kelupaan dan kelengahan terhadap ilmu yang dapat menjernihkan amal ini adalah bentuk kebodohan yang berat, ketertipuan, keminiman perhatian terhadap diri sendiri, dan ketidakpedulian terhadap kemahatahuan Allah atas kehancuran amal. Dari sifat-sifat tercela yang telah kami sebutkan ini, Jahirlah petaka.
Kita memohon kepada Allah petunjuk, bimbingan, dan pertolongan untuk dapat melaksanakan apa yang telah kita ketahui dan bersyukur atas apa yang telah kita mengerti. Kita juga memohon kepada-Nya semoga kita diberi limpahan fadilat-Nya. Kepada-Nya kita berserah diri. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.
PUJI
TIDAK MUNGKIN SESEORANG YANG SENANG DIPUJI KARENA SESUATU YANG BELUM PERNAH IA KERJAKAN, TIDAK SUKA DIPUJI KARENA AMAL YANG PERNAH IA KERJAKAN, KECUALI IA MENYUKAI KEDUANYA.
Jika manusia menyangka bahwa dirimu mengerjakan suatu amal kebaikan padahal engkau tidak pernah mengerjakannya, atau engkau pernah mengerjakan suatu amal kebajikan dan mereka menyangka bahwa engkau mengerjakan lebih dari itu, kemudian engkau menolak jika mereka menilik hakikat amalmu, berarti engkau termasuk orang yang senang dipuji karena sesuatu yang tidak pernah dikerjakan.
Jika engkau ingin mereka melihat amalmu, maka engkau termasuk orang yang senang dipuji karena sesuatu yang telah engkau kerjakan.
Tanda cinta kepada Allah adalah mencintai seluruh yang dicintai Allah. Tanda takut kepada Allah adalah meninggalkan seluruh yang dibenci Allah.
Tanda malu kepada Allah adalah tidak melupakan bahwa dirimu akan kembali kepada Allah dan bahwa engkau diawasi-Nya pada seluruh permasalahanmu sesuai dengan kadar kedekatanmu dengan-Nya.
Di antara tanda prasangka baik kepada Allah ada. lah kesungguhan ijtihad dalam menaati Allah. Tanda pemberi nasihat kepada jalan Allah adalah penerimaan yang sungguh-sungguh atas-Nya, pemahaman kitab-Nya, melaksanakan ajarannya, mengikuti sunnah Nabi-Nya, serta senang jika Allah ditaati dan tak didurhakai dan senang jika Allah selalu diingat dan tak dilupakan.
Tanda pemberi nasihat untuk manusia adalah jika engkau mencintai dari mereka suatu ketaatan yang engkau juga cintai bagi dirimu sendiri dan membenci dari mereka suatu kemaksiatan yang engkau juga benci bagi dirimu sendiri.
Tanda kesabaran adalah jika engkau tidak mengeluh sedikit pun karena seluruh musibah yang menimpa kepada salah satu makhluk Tuhan. Kesabaran itu terdiri dari kesabaran dalam menunaikan ketaatan, kesabaran dalam menjauhi maksiat, kesabaran dalam menyembunyikan musibah—yang merupakan simpanan kebajikan—dan kesabaran dalam menyembunyikan ketaatan. Sedangkan pengertian kesabaran itu sendiri adalah menahan diri dari semua itu.
Di antara tanda rida terhadap Allah adalah rida terhadap keputusan-Nya, yaitu ketenangan hati akan hukum-hukum Allah, penyerahan diri kepada-Nya sebelum rida, dan rida setelah penyerahan diri.’
Di antara tanda harapan yang sejati adalah permohonan yang sungguh-sungguh, kesungguhan, dan keseriusan untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
Di antara tanda pengetahuan tentang diri adalah selalu berprasangka buruk terhadapnya.? Dan, di antara tanda syukur adalah mengetahui nikmat dengan hati bahwa nikmat itu berasal dari Allah, bukan dari yang lain, selalu memuji atas nikmat-Nya dengan lisan, dan tidak memanfaatkan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci Sang Pemberi nikmat.
Apa legitimasi pengetahuanku ini?
Mengasah kecakapan dalam hal itu. Di antara tanda pengetahuan tentang dunia adalah meninggalkannya, bersikap zuhud di dalamnya, bersikap keras terhadapnya dan terhadap orang-orang yang bersandar kepadanya, mencintainya, mementingkannya, serta mengagungkan nilainya.
Di antara tanda makrifat akhirat adalah sangat cinta kepadanya, selalu merindukannya, bersikap mesra dengan banyak mengingatnya, dan menyayangj orang-orang yang secara jujur bekerja untuk akhirat.
Di antara tanda keberakalan adalah pengaturan yang baik, penempatan sesuatu sesuai tempatnya, dalam ucapan maupun perbuatan. Bentuk pembenaran untuk hal itu adalah mengedepankan yang lebih banyak atas yang lebih sedikit.
Di antara tanda keadilan adalah jika engkau tidak memiliki standar ganda, lalu engkau mengadili dirimu dengan hukum yang satu dan mengadili orang lain dengan hukum yang lain. Sehingga, hukum yang berlaku untuk dirimu sama dengan yang berlaku untuk orang lain dan engkau mengukur orang-orang dengan dirimu sendiri.
Di antara kerendahan hati adalah jika engkau menyeru seseorang menuju kebenaran, menerimanya, dan tidak menolaknya. Engkau tidak melihat kaum muslim kecuali engkau melihat dirimu berada di bawahnya.
Dalam hal pengetahuan mengenai pengutamaan (pemrioritasan, al-itsdr), rida, syukur, cinta, keterpercayaan, ketakutan, keyakinan, dan kesabaran, manusia itu bertingkat-tingkat. Derajat terendah yang dapat dicapai manusia adalah kesabaran dan derajat tertinggi yang mereka capai adalah keyakinan.
Di antara tanda akhlak yang bagus adalah menahan cobaan di jalan Allah, menyembunyikan kemarahan, banyak sepakat dengan ahli kebenaran di atas kebenaran, selalu memaafkan, dan menjauhi kenistaan. Di antara tanda akhlak yang tidak baik adalah banyak berselisih pendapat dan tidak mampu menahan diri.
Di antara tanda kelembutan adalah ketidaksukaan terhadap perbedaan pendapat dan melaksanakan hal yang makruf. Dan, tanda kejujuran adalah iradat terhadap Allah dengan perbuatan dan perkataan, meninggalkan sifat berhias diri dan senang dengan balasan makhluk, dan kejujuran dalam berlogika.
Kehidupan yang paling baik adalah kepuasan (qanaah). Sedangkan ilmu (yang paling baik) adalah ketakutan kepada Allah, yakni mementingkan akhirat ketimbang dunia dan mengetahui jalan menuju Allah.
Kesalehan hati adalah kasih sayang dan kelembutan. Kerusakan hati adalah kasar dan kerasnya sikap.
Kehidupan yang paling nikmat adalah intim dengan Allah. Dan, keintiman adalah bersatunya tekad. Keburukan paling buruk yang tidak mengandung kebaikan sama sekali dan tak ada sedikit pun sendi kebaikan bersamanya adalah kesombongan. Kebaikan paling baik yang tidak mengandung keburukan adalah kerendahan hati, yaitu senantiasa meletakkan diri sendiri di bawah manusia. Kesombongan adalah meninggikan diri sendiri di atas manusia. Dan, tidak ada kebaikan pada manusia yang lebih utama dari kerendahan hati.
Keteguhan hati adalah menjauhkan diri dari setiap tempat yang mengandung ujian.“
Kesabaran berbeda dengan cinta. Tidak sulit melakukan ibadah dengan kekuatan kesabaran sehingga meningkat dari tingkat kesabaran menuju ke tingkat ketakutan, kemudian dari tingkat ketakutan menuju ke tingkat cinta.
Sebagaimana perkara dunia yang diberikan kepada seorang hamba tidak akan baik kecuali ia siKapi dengan qanaah, begitu pula perkara akhirat tidak akan baik bagi dirinya kecuali ia sikapi dengan ketakutan dan cinta. Jika manusia sudah mencapai derajat tersebut, maka beban kesabaran akan hilang dari dirinya dan ia akan menikmati ketakutan dan kerinduan.
MAWAS:
Tanda muraqabah (mawas diri) adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah, menganggap besar apa yang dipandang besar oleh-Nya, dan menganggap remeh apa yang dipandang-Nya remeh. (Dza al-Ndan al-Mishri).
Lalu, dengan apa ia bisa pindah dari derajat kesabaran ke derajat kenikmatan? Dengan pengetahuan yang bagus. Dari apa pengetahuan yang bagus itu?
Kebutuhan hati kepada Allah, kedekatan hati kepada-Nya dan kepada akhirat seakan-akan keduanya dalam jangkauan mata, menjadikan dosa-dosanya yang lalu seperti berada di pelupuk matanya, meletakkan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya serta nikmat-nikmat yang tak dapat dihitungnya dan tak dapat disyukurinya dengan pernyataan lubuk hatinya, mengagungkan Allah dan kekuasaan-Nya beserta ancaman dan kengerian-kengerian hari kiamat, sebelumnya maupun sesudahnya, seperti alam barzah dan kematian.
Jika hal itu sudah bersemayam dalam kalbunya sementara kalbunya juga sudah tenang dengan hal itu, maka menjadi cerahlah kalbu, makmur kembali setelah mengalami kehancuran, dan bercahaya setelah mengalami kegelapan. Pada saat itu melembeklah sekat-sekat dan beralihlah anggota-anggota tubuh kepada ketaatan. Beban kesabaran pada saat itu telah gugur dan ia menapak derajat ketakutan dan kecintaan terhadap ibadah. Pada titik itu, ia akan mendapatkan kenikmatan yang terkandung di dalamnya. Itulah ibadah yang dilandasi pengetahuan yang bagus.
Ja akan masih seperti itu sampai ketika ditimpa motif-motif keduniawian dan bujukan nafsu yang jika ia condong kepadanya, ia akan terputus dari kenikmatan tersebut dan kembali ke derajat kesabaran.
Ketakutan dan cinta selama sejam lebih baik daripada kesabaran selama berhari-hari. Karena, di dalamnya terkandung ketakutan, cinta, syukur, dan penyesalan (tobat), pengagungan Allah, anggapan kecil terhadap dunia, dan keakraban dengan Allah.
Orang yang berada di derajat (yang tinggi) ini tidak (akan bisa) disusul/diikuti oleh orang yang sering melakukan puasa, banyak shalat, berhaji, dan berjihad. Demikianlah posisi amal jika diiringi dengan pengetahuan yang kuat.
Betapa Derajat Takut dan Cinta Dilalaikan
Ke mana orang-orang yang menginginkan derajat ini? Mengapa perhatian mereka terhadapnya tidak lebih besar dari perhatian mereka terhadap derajat yang lain?
Keberadaan derajat takut dan cinta di tengah derajat-derajat yang lain bagaikan permata di tengah benda-benda lain dan bagaikan mutiara ekstravagansa di tengah ribuan mutiara lainnya. Dalam tingkat ini, hanya ada sedikit orang yang termasuk, tetapi mereka besar. Beberapa hal sulit ditempuh, namun ketika engkau sudah dapat mencapainya, engkau merasakan kemudahan, kesejahteraan, dan kesenangan. Akan tetapi, beberapa hal lain sangat mudah ditempuh, namun kesulitan dan kendala muncul setelah engkau sudah dapat mencapainya.
Kaum awam memperhatikan sesuatu yang mudah-mudah saja, tetapi jika mereka sudah mendapatkan hal-hal yang pahit dan susah, mereka menjadi risau, bingung, dan menyesal. Padahal, sebelum itu mereka begitu terburu-buru untuk mencapai sesuatu yang mudah itu. _ Tidakkah engkau melihat mereka mencari ilmu, tetapi ketika mereka sudah dapat mencapai tahap penggunaan ilmu dan warak, maka engkau tidak melihat ada yang menggunakannya, bahkan tidak ada pula yang menginginkannya kecuali satu dua orang.
Tidakkah engkau melihat mereka mempelajari keutamaan-keutamaan jihad, lalu jika mereka telah memenuhi syarat untuk wajib berjihad, engkau tidak melihat mereka menegakkannya.
Tingkatan ini sangat sulit dicapai. Engkau tak akan melihat orang yang dapat menempuhnya kecuali satu dua orang dari sekian banyak orang. Karena itulah anggota tingkatan ini jumlahnya sangat sedikit dan pencari tingkatan yang lain jumlahnya sangat banyak. Pasalnya, itulah tingkatan yang memperbudak manusia dan itulah derajat kejujuran sehingga ilmunya dianggap sia-sia. Manusia hanya mau memperbuat sesuatu yang ringan, sedikit tekad di dalamnya, hati kecil yang bersih, sikap diam sesaat, introspeksi diri, menentang hawa, dan memerangi musuh.”
Ketahuilah bahwa rida manusia terhadap keadaannya cukup lemah, sementara ujian selalu menerpanya. .
Pecinta Mendekat Segera
Pecinta akan berjuang menuju kedekatan selama masih hidup. Penakut akan selalu mengalami keselamatan. Ketika ia begitu yakin dengan siasatnya, ia akhirnya menipu diri sendiri dan meninggalkan jejakjejak masa lalunya.
Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih sedikit pada diri manusia daripada kemarahan karena Allah (li Allah), kerelaan karena Allah, kecintaan karena Allah, dan kebencian karena Allah. Yang lebih sedikit dari itu adalah kerelaan dari Allah (‘an Allah), ketundukan terhadap perintah-Nya, penyerahan segala urusan kepada-Nya.
Keselamatan manusia dari kejahatan paling banyak dicapai dengan kesabaran. Pencarian mereka terhadap kebajikan dicapai dengan menyepakati hawa. Manusia tak bersyukur pada sebagian besar nikmat. Kriteria kebaikan yang paling dekat dengan Allah adalah yang paling berat bagi manusia. Jika manusia menerimanya dengan rasa syukur, maka itu menjadi yang paling dekat dan paling dicintai Allah.
Hamba ini mengharap rahmat Allah dengan kebajikan yang mudah-mudah sama seperti ia mengharapnya dengan kebajikan yang banyak. Dan, ia takut kepada murka Allah dengan dosa-dosa yang mudah sebagaimana ia takut kepada murka-Nya dengan dosadosa yang banyak. Kesukaan yang baik kepada banyak kebaikan tak akan terjadi kecuali pada yang sedikit juga.
Jika engkau ingin memperbaiki urusanmu lalu hal itu terasa sulit bagimu, maka nihilkan seluruh amal tathawwu‘ (yakni ketaatan atau amal keutamaan yang bukan fardu) dan tujukan seluruh konsentrasimu untuk hal itu. Engkau akan dibantu dalam hal itu, insya’ Allah.
Manusia beramal dalam empat bentuk. Kelompok pertama, yang paling mulia dan utama, beramal karena Allah dilandasi penghormatan terhadap-Nya sehingga amal dan tindakan mereka menjadi bagus serta mulia yang dilandasi bentuk keagungan Allah dalam dada mereka, dan nilai-Nya menjadi agung di hati mereka. Tidak ada sesuatu yang lebih mereka cintai dan nikmati daripada sesuatu yang mendekatkan mereka kepada-Nya.
Kelompok kedua beramal berdasarkan keinginan dan ambisi untuk berada di dekat Allah. Mereka tidak memiliki tekad kecuali meninggalkan apa yang dilarang bagi mereka demi mengagungkan pahala Allah. Mereka takut kehilangan kebaikan yang ada pada mereka berupa besarnya balasan yang disiapkan bagi para pelakunya.
Kelompok ketiga beramal karena takut kepada Allah dan siksaan-Nya. Perhatian untuk selalu takut siksaan telah memisahkan mereka dari keinginan terhadap pahala. Amal yang mereka Jakukan merupakan langkah pelarian dari siksaan, bukan karena bayangan pahala dalam hati mereka. Itu karena besarnya pengaruh bayangan hukuman dalam dada mereka, Kata mereka, “Jika amal-amal kami dapat menyelamatkan kami dari siksaan, berarti kami telah beruntung dengan kemenangan yang besar.’
Hati mereka diliputi keterasingan karena begitu meluapnya rasa takut. Surga tak pernah terbetik di hati mereka karena besarnya ketakutan terhadap siksa dalam dada mereka.
Kelompok keempat beramal karena rasa malu kepada Allah. Mereka selalu merasa malu, siang maupun malam hari. Jika pintu ditutup dan tirai dilebarkan atas mereka, mereka tidak yakin kalau Allah-lah yang akan menjaga kehormatan dan permasalahan mereka.
Mereka merasa malu dengan setiap kejelekan dalam batin mereka, seakan-akan mereka melihat -Nya. Manakala mereka yakin dengan pandangan-Nya kepada mereka, mereka berkata, “Sama saja bagi kita, apakah Allah melihat kita atau kita melihat-Nya Mereka meyakini bahwa Allah lebih dekat dari urat tenggorokannya.
Ketika mereka meyakini hal itu, keyakinan mereka menjadi penghalang antara diri mereka dengan sesuatu seberat zarah yang sangat mereka benci untuk dilihat. Penghalang antara mereka dengan itikad kalbu terhadap sesuatu yang dibenci Tuan mereka adalah karena mereka tahu bahwa Allah mengetahui hati kecil mereka dan menyaksikan setiap gerak, diam, suara hati, kedipan mata, tekad, keinginan, niat, cinta, dan syahwat mereka.
Sedangkan kami tak pernah merasa didesak oleh pengagungan terhadap-Nya untuk beramal. Kami tidak pula didesak oleh kecintaan terhadap pahala yang besar untuk mendekati-Nya dengan perbuatan-perbuatan baik. Kami tidak pernah didorong oleh ketakutan terhadap siksaan untuk meninggalkan amal-amal buruk dan tidak pula rasa malu menghalangi kami untuk melakukan amal buruk.
Kami memohon kepada Allah anugerah yang Dia persembahkan kepada mereka. Semoga Dia menganugerahkan kita seperti apa yang dianugerahkan kepada mereka dan semoga Dia memberi kita perilaku seperti perilaku mereka. Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
Kejujuran manusia sesuai dengan kadar iradatnya dan syukur manusia sesuai dengan kadar nikmat yang diperolehnya.
YAKIN:
Ada tiga tanda keyakinan: mengurangi bergaul dengan manusia, mengurangi pujian kepada mereka saat memperoleh penghargaan, dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi penghargaan. (Dzd al-Nun al-Mishri).
Diriwayatkan dari sejumlah kaum bijak bahwa al Muhasibi pernah menulis surat kepada seorang saudaranya:
Mengingat Akhirat
Semoga keselamatan terlimpah atasmu. Selanjutnya, ingatlah sesuatu yang engkau lengah darinya. Kepadanya engkau akan datang. Kepadanya engkau akan menjadi. Petiklah pelajaran seperti zikir orang yang bernalar. Ambillah sikap kehati-hatiannya, lalu celalah dirimu. Berlindunglah kepada Allah dari kematian hati yang tidak serius memperhatikan bimbingan dan petunjuk serta persiapan yang baik untuk hari yang dijanjikan.
Seandainya manusia berpikir dan mengetahui bahwa mereka tak akan mampu membalas Allah kecuali dengan sesuatu yang mengandung rida—entah mereka tahu ataupun tidak—dan bahwa Allah menembus hati kecil mereka sehingga Dia mampu melihat sesuatu yang tidak Dia sukai di dalamnya dan menyesali apa yang berasal dari mereka, selama tak ada rida di dalamnya—baik mereka tahu maupun tidak. Jadi, barang siapa takut kepada Allah dengan kegaiban pasti akan berusaha sehingga apa yang tidak mereka ketahui menjadi mereka ketahui dan yang sudah mereka ketahui menjadi mereka amalkan, serta menyesali apa yang telah terjadi pada diri mereka.
Ketahuilah saudaraku, Allah telah menjadikan keselamatan manusia dengan rahmat-Nya dalam pengetahuan (makrifat), dalam keinginan (iradat), dalam meninggalkan apa yang terlarang, dalam mengerjakan apa yang diperintahkan, kemudian dalam mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan, pada masa lalu maupun pada masa sekarang, yang lahiriah maupun yang batiniah.
Mengenal Allah
Hal pertama yang diinginkan Allah dari manusia adalah mengenal-Nya dari berbagai aspek yang dengannya Allah mengenalkan diri kepada mereka. Sesungguhnya Allah telah mengenalkan diri kepada mereka melalui proses penciptaan makhluk, pengaturan-Nya terhadap makhluk, kemampuan-Nya untuk mencipta, jaminan-Nya untuk memberi rezeki kepada makhluk, kekuasaan-Nya mematikan makhluk, dan kekuasaan-Nya menghidupkan makhluk. Ingatlah bahwa Allah memiliki kekuatan mencipta dan kekuatan memerintah. Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.
Mendamba Allah dengan Amal
Setelah mengenal, Allah ingin mereka agar mendambakan-Nya dengan setiap amal baik mereka agar mereka tidak melihat yang lain dan tidak meminta balasan kecuali dari-Nya. Seandainya ada sesuatu yang bisa terjadi sebelum makrifat (mengenal Allah), pastilah jradat ada sebelum makrifat. Seandainya ada sesuatu yang tidak membutuhkan makrifat, pastilah pula keinginan tidak membutuhkan makrifat.
Makrifat itu ada sebelum segala sesuatu ada karena ia pangkal segala sesuatu. Barulah kemudian ada iradat karena ia menjadi bagian dari makrifat, yaitu manifestasi penjauhan, manifestasi pelaksanaan, pengambilan dan penerimaan, serta cinta dan benci dalam seluruh perbuatan. Makrifatlah yang menjamin manfaat bagi orang-orang yang beramal.
Mensyukuri Nikmat
Rasa syukur itu sebanding dengan kadar makrifat sebab ia merupakan kunci nikmat sekaligus nikmat paling utama dan pertama, yaitu nikmat makrifat. Tak ada nikmat paling bernilai yang aku ketahui melebihi nikmat akal. Nikmat iradat adalah nikmat yang derajat syukurnya sangat tinggi.
Puncak segala nikmat adalah nikmat hikmah (kebijaksanaan). Kita memohon penutup kebajikan kepada Allah. Kita memohon kepada-Nya agar mengenalkan seluruh nikmat-Nya dan membagi rasa syukur kepada kita. Sering kali manusia memperoleh kebajikan dan kedekatan dari Allah melalui makrifat dan iradat, sesuatu yang tak pernah didapatkan oleh orang yang banyak beramal.
Mengetahui Apa yang Dicintai dan Dibenci Allah
Tidak ada yang lebih utama bagi manusia setelah mengenal Allah dibanding mengetahui apa yang Dia benci, yaitu sesuatu yang dilarang-Nya dan didahului dengan ancaman, celaan, dan peringatan; kemudian mengetahui apa yang Dia cintai, yaitu sesuatu yang diperintahkan dan disukai-Nya. Amal utama untuk meraih rida Allah adalah meninggalkan apa yang Allah benci dan melakukan apa yang Allah sukai.
Renungkanlah saudaraku! Jika engkau berada di pagi hari, hendaknya jangan ada sesuatu yang lebih engkau pentingkan dibanding mematikan suatu yang diinginkan dirimu berupa hal-hal yang dibenci Allah. Sesungguhnya ia akan menghidupkan di tempatnya suatu perkara berupa hal-hal yang dicintai Allah. Setelah itu, cahaya di kalbumu melemah dan begitu pula pemahamanmu.
Ketahuilah saudaraku, dunia itu ada yang halal/ mubah, ada yang syubhat, dan ada pula yang haram. Jika hati manusia didominasi ikatan cinta kepada yang halal/mubah, tidak berarti kecenderungan terhadap yang syubhat dan makruh terputus dari dirinya.
Jika hati didominasi kecintaan kepada yang syubhat dan makruh, tidak berarti kecenderungan terhadap yang haram terputus dari dirinya. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa terjerumus dalam yang syubhat, hampir-hampir ia akan terjerumus dalam yang haram, ibarat penggembala yang menggembala piaraannya di sekitar tempat berbahaya yang hampir terjebak di dalamnya.”
Setiap orang yang hatinya dikuasai syubhat dan merasa tenang untuk mengambilnya, berarti ia telah terjebak kepada yang haram, karena syubhat lebih dekat kepada yang haram dibanding kepada yang halal.
Bagaimana manusia bertindak terhadap kebutuhan dan keinginannya?
Sesungguhnya aku tidak pernah melarangmu untuk bekerja dan memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, aku mengingatkanmu untuk tidak mengambil sesuatu yang tidak engkau butuhkan. Aku melarangmu untuk cinta terhadap apa yang engkau butuhkan sehingga engkau mengambilnya dari yang mubah. Itu dibolehkan dan engkau sangat mengetahuinya., Hanya, nilainya kecil di hadapan Sang Pencipta yang berfirman kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, kenikmatan dunia itu sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa’(QS. al-Nisa’: 76). Nabi saw. pun pernah bersabda, “Jikalau engkau padankan dunia di sisi Allah adalah laksana sayap nyamuk yang sanggup mengairi (ladang) petani.”
Ketahuilah, bila orang menaati cinta dunia sedangkan ia mengetahuinya, maka tak ada jaminan bahwa dunia tidak akan menguasai hatinya dan memilikinya sehingga ia mengambil yang syubhat setelah yang halal dan mengambil yang haram setelah yang syubhat.
Ketahuilah, orang yang tertaut dengan cinta dunia dan orang yang tidak tertaut dengannya sama-sama terpenuhi kebutuhannya. Keterikatan terhadap cinta dunia (meski berupa yang halal) adalah suatu kelemahan bagi hati kaum arif. Hal itu tidak menambah rezeki orang yang tertaut hatinya dan tidak pula mengurangi rezeki orang yang tidak tertaut dengan cinta dunia.
Ketahuilah, manusia hanya diperintahkan untuk sibuk berbuat menjauhi kebodohan dan bekerja secara ikhlas. Derajat ini tidak akan engkau peroleh sehingga engkau berada dalam suatu keadaan yang seandainya engkau mampu meninggalkan kebutuhanmu darinya niscaya engkau meninggalkannya.
Tidak Gila Kehormatan
Syubhat lain yang dibenci Allah adalah ketamakanmu terhadap kedudukan, kehormatan, dan pujian dari makhluk, serta ketakutanmu terhadap kejatuhan kedudukanmu di mata makhluk. Itulah di antara hal-hal yang dapat menjatuhkan kedudukanmu di sisi Allah.
Ahli makrifat dan ahli iradat tidak senang dilihat Allah dalam keadaan tertaut dengan hal seperti itu. Makrifat telah mendorong mereka untuk mengagungkan Allah dan mengedepankan cinta-Nya agar Tuan mereka tidak melihat mereka sementara pada diri mereka terkandung sesuatu yang dibenci-Nya. Mereka benci terhadap apa yang tidak disukai Allah pada orang lain, maka bagaimana mungkin mereka rela dengan hal yang sama pada diri mereka?
Makrifat menolak jika ditempati sesuatu yang dibenci Allah. Iradat juga menolak disibukkan dengan sesuatu yang tidak disukai Allah. Mereka sering kali disibukkan oleh makrifat untuk memikirkan banyaknya nikmat Allah atas mereka, kelemahan mereka dalam bersyukur, ketidakmampuan mereka menghitung jumlah nikmat Allah, semakin banyaknya dosa mereka, dan banyaknya mereka mengingat rasa malu kepada Allah jika mereka meminta surga. Tak pernah terbetik kata surga untuk mereka dalam hati sementara antara mereka dan Allah terbentang rasa malu dan ketakutan kepada-Nya. Musibah yang terjadi pada diri mereka yang karenanya mereka takut kehilangan rida Allah sedangkan murka-Nya atas mereka lebih besar bagi diri mereka dan lebih menyakitkan bagi hati mereka dibanding dengan kehilangan surga dan ketakutan kepada neraka, serta dibanding dengan orang-orang yang mendapatkan bahaya dari para setan, godaan dunia, kesukaan terhadap perhiasan bagi pecinta dunia ketika melakukan ibadah dan ketaatan, banyaknya niat yang rusak, dan penyakit-penyakit yang menimpa niat. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang berduka cita dan berlinangan air mata karena takut dilihat Allah.
Oleh karena itu, saudaraku, janganlah ada hal lain yang lebih engkau perhatikan dibanding dengan makrifat dan iradat. Sesungguhnya kebaikan selalu mengikuti keduanya, sedangkan keduanya adalah tanda penglihatan Allah terhadap hamba-hamba-Nya.
Mendengar dan Berpikir karena Allah
Wahai saudaraku, setelah menyadari adanya pengamatan Allah ketika engkau bertekad dan ketika engkau bergerak atau diam, agar engkau senantiasa mendengar demi Allah dan berpikir karena-Nya. Sesungguhnya dalam Alquran yang diturunkan kepada kita terdapat penjelasan mengenai segala sesuatu dan ilmu tentang segala sesuatu.
Hendaklah engkau mengatur dan merenungkan Alguran pada siang maupun malam hari. Usahakanlah dirimu memahami dan melaksanakannya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak mernbaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata Qawh mahfazh)” (Q:S. Yaunus: 61).
Jangan melupakan pengawasan Zat yang segala sesuatu—sampai yang paling kecil semisal zarah sekalipun—tidak pernah menjadi asing bagi-Nya, yang tidak pernah kenyang dan tidak pernah jenuh kKarenanya. Sesungguhnya Allah tidak pernah melalaikannya. Dia selalu melihatmu, menyoroti sesuatu di hati kecilmu, dan menghitung dosa-dosa seberat biji sawi dan zarah sehingga engkau akan mendapatkan balasan karenanya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Sesungeguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’? (QS. al-Nisa: 39).
Kesempurnaan Muraqabah
Ketahuilah saudaraku, hampir tak ada sesuatu yang baik kecuali karena sesuatu sebelumnya atau sesuatu sesudahnya. Sesuatu yang membuat baik sikap mawas (muraqabah) sebelumnya adalah mendedikasikan diri kepada Allah dan konsisten menaati-Nya dengan senantiasa merasa diawasi, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.
Sedangkan sesuatu yang membuat baik dedikasi kepada Allah sebelumnya ada empat, yaitu tobat, lebih mengutamakan apa yang dicintai Allah daripada apa yang dibenci-Nya, ramah terhadap ciptaan-Nya, tidak terlalu berbahagia dengan beban dunia, dan tidak bersedih atas segala kekurangan. Itulah derajat kaum yang warak dan kanaah.
Yang membuatmu kuat atas hal itu ialah membenarkan janji Allah, memercayai segala jaminan-Nya, mengharapkan sesuatu yang membuatmu berkecukupan, dan konsisten untuk cepat beralih dari dunia.
Maksud dari lebih mengedepankan apa yang Allah cintai ketimbang apa yang Allah benci adalah bahwa tak ada yang lebih layak dengan hal seperti itu selain Allah. Itu berarti engkau perlu mengedepankan cinta kepada-Nya daripada hawa nafsumu. Ini sekaligus merupakan suatu kewajiban atas kaum yang menjauhi dan melarikan diri dari-Nya agar mereka kembali kepada-Nya dan berhubungan dengan-Nya. Bagaimana Dia tidak akan dikedepankan orang yang terbiasa berdekatan dan berdedikasi kepada-Nya?
Sedangkan maksud kelemahlembutan (uns) adalah bahwa engkau menjadi orang yang paling lemah lembut kepada makhluk-Nya. Siapa mengenal-Nya, mengenal kelembutan-Nya, mengetahui pemberianNya yang banyak, kebijakan-Nya, kebajikan-Nya, kasih-Nya, dan keutamaan-Nya, maka ia akan bersikap intim kepada makhluk-Nya.
Bagaimana manusia akan merasa diawasi oleh Zat yang tidak mengenalnya? Bagaimana manusia akan berdedikasi kepada Zat yang tidak dipercayai dan tidak disikapi dengan lembut?
Sedangkan yang membuat baik muraqabah setelahnya adalah syukur. Aku bersaksi bahwa jika engkau memikirkan apa yang engkau baca dan engkau menginginkan kedudukan ini, niscaya engkau akan melihatNya dengan pandangan sedih dan takut kalau-kalau Dia tidak menerimamu, menganggap kotor keinginan dan langkahmu, menolakmu dari pintu-Nya, sementara engkau maju kepada-Nya seperti itu.
Iktibar
Gunakanlah kekuatan iktibar (kontemplasi) untuk seluruh persoalanmu. Suatu persoalan itu sesungguhnya masih tertutup bagimu atau hilang dari dirimu. Jika engkau melihat urusanmu sebagaimana orang-orang yang beriktibar, maka hampir-hampir engkau mencapai maqamnya orang-orang yang mendeteksi dan menyelidiki hal-hal yang tak ada pada dirimu, juga magamnya orang-orang yang menyingkap hal-hal yang tertutupi, sehingga engkau dapat melihat keindahan dan kesuraman perkara-perkaramu itu, serta kebagusannya dan kejelekannya. Engkau juga akan mengetahui dari mana yang baik itu menjadi baik dan dari mana yang buruk itu menjadi buruk. Dari situ, engkau akan dapat mengikuti sesuatu yang membawa keselamatanmu dan menjauhi sesuatu yang menyimpan kehancuranmu. Dengan iktibar engkau akan mengetahui manusia berdasarkan kedudukan mereka dalam berkata dan bertindak. Engkau akan dapat mengetahui mereka sekaligus posisi dan mazhab mereka dengan nur al-itibar (cahaya iktibar) dan potensi ilham, insyd’ Allah.
Sikap Hemat
Saudaraku, engkau harus bersikap hemat dan ketat di seluruh persoalanmu. Sesungguhnya sikap hemat lebih potensial untuk kemapanan dan lebih selamat dari bencana-bencana. Sikap ketat akan memberi manfaat kepada pelakunya di saat sulit dan tidak membahayakan mereka di saat luang.
Perluaslah makrifat semampumu. Makrifat itu tidak sama dengan amal. Amal memiliki batas akhir sedangkan makrifat tidak terhingga. Sebab, dengan makrifat engkau bisa menyempurnakan titah Allah dan menegakkan hak-Nya. Tak ada seorang pun yang dapat mencapai itu karena Allah lebih agung dan mulia dibanding jika manusia mencapai hakikat hak-Nya.
Pada sisi lain, mereka berbeda-beda dalam tingkat (lebih atau kurangnya) pengetahuan (makrifat), meskipun penambahan pengetahuan, kenyamanan, semangat, kegembiraan, dan ketenangan merupakan nikmat dari Allah, sedangkan pengurangannya adalah siksaan-Nya akibat dosa atau tiadanya syukur manusia.
Hati-hati Terhadap Dosa Kecil
Waspadailah dosa kecil—yang tidak Allah sukai—pada amal dan niatmu, pada keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, sebagaimana engkau bersikap _hatihati terhadap dosa besar. Sesungguhnya setiap sesuatu yang merusakmu sekecil apa pun di mata Allah sama dengan sesuatu seharga seratus ribu dinar yang merusakmu. Sedangkan dunia seluruhnya (yang merusakmu) tak ada bedanya dengan sesuatu sekecil apa pun yang merusakmu. Daya rusak keduanya sama saja, tak ada bedanya.
Demikianlah halnya seluruh amal. Kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang banyak sama dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang sedikit.
Cintailah kebaikan yang kecil sama sebagaimana engkau mencintai kebaikan yang besar. Sesungguhnya Allah menerima kebaikan yang sedikit dari manusia sebagaimana Dia juga menerima yang banyak. Demikianlah halnya seluruh amal.
Cukuplah dengan penerimaan Allah terhadap kebaikan kecil dari hamba-Nya, maka si hamba akan merasa memperoleh suatu. kemenangan. Amal-amal manusia secara keseluruhan adalah kecil kecuali yang diterima oleh Allah. Jika Allah menerima satu di antara amal-amal itu, ia akan menjadi besar meskipun sebelumnya ia kecil.
Ketahuilah bahwa kebaikan yang kecil lebih selamat dibanding amal besar tapi disertai ria, kekaguman pada diri, dan rasa berjasa Karena itu, hati-hatilah dan jangan lengah kepada hal itu.
Ketahuilah, di dalam amalmu terkandung keinginan (iradat) dan angan-angan. Lihatlah keinginanmu pada seluruh amalmu seperti keinginan kaum yang selalu bersyukur dan rida, serta angan-anganmu di dalamnya seperti angan-angan kaum yang berlebihan terhadap dirinya. Tidak ada sesuatu yang lebih disukai kaum yang selalu rida dibanding sesuatu yang diridai Allah. Tidak ada sesuatu yang lebih disukai kaum yang senantiasa bersyukur dibanding sesuatu yang menyebabkan mereka bersyukur kepada Allah. Tidak ada sesuatu yang lebih utama bagi kaum yang berlebihan atas diri mereka dibanding sesuatu yang dengannya mereka harapkan ampunan Allah.
Ketahuilah bahwa aku tidak khawatir atasmu dan orang sepertimu karena amal yang sedikit, tetapi aku khawatir akan makrifatmu yang sedikit dan iradatmu yang lemah.
Aku tidak khawatir atasmu dan orang sepertimu karena amal tathawww’ yang sedikit. Aku tidak pula khawatir karena sikap warak untuk tidak melihat kepadanya sebagaimana orang lain melihat, atau karena engkau tidak meninggalkan berbagai kesenangan yang dihalalkan Allah atas dirimu.
Aku hanya khawatir jika engkau menentang suatu perkara yang dibenci Allah dan tidak memberimu manfaat, yang tersembunyi dari manusia tapi nyata di sisi Allah sehingga merusak seluruh apa yang kau inginkan atas dirimu. Atau, engkau melihat dirimu lebih utama daripada orang lain sehingga menghancurkan segala hal yang engkau berada di dalamnya.
Aku mengkhawatirkan dirimu jika engkau tidak memeliharanya sebagaimana engkau mengamalkannya sehingga hal itu akan menghancurkan segala hal yang telah engkau bangun dan di dalamnya engkau berada. Atau, engkau tidak melaksanakan kewajiban bersyukur terhadap-Nya sehingga engkau pantas banyak dicela karena mengkufuri nikmat melebihi pujian yang engkau harapkan.
Atau, engkau menganggap banyak dan baik amalmu (idlal)*! di hadapan Allah sehingga itu menjatuhkan dirimu di sisi-Nya. Atau, engkau memberi sesuatu kepada seseorang atau engkau menyiksa seseorang karena hal itu. Padahal engkau telah mengetahui firman Allah yang berbunyi, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu. menjadilah dia bersih (tidak bertanah)? (Q.S. al-Baqarah: 264). Mungkin ia bertekad untuk melaksanakan amal yang diinginkannya, tetapi ia tidak mendapatkannya sebagaimana ia mendapatkannya tanpa tekad.
Menyempurnakan Tekad
Bagaimana dengan seseorang yang mengerjakan sesuatu yang wajib tanpa permintaan dan tekad atasnya, sehingga mungkin aku khawatir tekadnya menjadi lebih banyak dibanding apa yang dimilikinya?
Inilah di antara hal telah kami katakan, bahwa sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali ada sesuatu sebelumnya dan sesuatu sesudahnya. Jika tidak ada tekad terhadap suatu makrifat, maka akibatnya seperti yang engkau sebutkan.
Makrifatnya ialah jika permulaan dirinya berupa kebutuhan (iftiqar) kepada Allah dan tidak seperti orang yang sombong (taalli) kepada Allah.
Tawakal dicapai seseorang jika ia bersendiri dengan catatan hatinya dalam menyerahkan apa yang ditakdirkan kepada Tuhan, serta lepas dari daya dan upaya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi.” (QS. al-Kahf: 23). Perintah Allah ini merupakan tambahan atas sikap tawakal.
Allah juga berfirman, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah? (QS. Ali ‘Imran: 159). Musyawarah adalah kebutuhan, bukan kekayaan. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta pertolongan kepada orang yang tidak seperti dirinya sekaligus agar mempertahankan sunnahnya sebagai sunnah bagi orang-orang sesudahnya.
Bagaimana dengan orang yang seperti diriku dan seperti dirimu jika melalaikan Allah pada hal-hal yang meniscayakan ketundukan kepada-Nya?
Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Hukum itu hanya milik Allah, kepada-Nya aku bertawakal” (Q.S. Yusuf: 67). Maka, akibat yang dialami Yaqub persis seperti apa yang ia inginkan.
Juga ucapan Nabi Yisuf dalam Alquran, “Yusuf berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku cenderung untuk (memenuhi kejnginan) mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh. Maka, Tuhannya memperkenankan doa Yitsuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Yusuf: 3335). Allah menyempurnakan urusan Nabi Ydsuf ketika menganggap dirinya tidak mampu serta mengaku membutuhkan Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Ada juga firman Allah, “Seandainya Engkau menyelamatkan diri kami dari (musibah) ini niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur’? (QS. Yunus: 22). Mereka memohon kepada-Nya, tetapi mereka tidak pernah menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Tidak sebelum masalahnya ada maupun setelahnya. Allah berfirman, “Maka, tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar” (QS. Yunus: 23). Allah tidak pernah menuntaskan urusan mereka.
Ada juga firman Allah, “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya.” (QS. al-Araf: 189-190).
Kemudian perhatikanlah ucapan Adam Ketika maju untuk menerima amanat tanpa merasa butuh. Ia tidak dapat menyempurnakan tugasnya sehingga ia dianggap bodoh dan zalim.
Tekad apa yang diperlukan seorang yang ditangannya tidak ada urusan?
Pengalaman Jiwa
Diriwayatkan dari seorang bijak bahwa ia pernah bertanya perihal ujian jiwa dalam kejujuran sehingga seorang hamba bisa tahu apakah jiwanya jujur atau tidak jujur, lantas al-Muhasibi berkata:
Jika seorang hamba mengetahui bahwa seseorang mendengkinya atau memusuhinya, maka ia–dengan ilimunya—memperoleh pujian dan kehormatan di kalangan manusia serta amalnya akan menjadi tertutup dari (pandangan) orang-orang. Sehingga dia—dengan amalnya yang tulus mulanya—menjadi bersikap ria dan jatuh derajatnya di sisi manusia. Jika jiwanya menolak hal itu dan lebih suka beramal, itulah tanda kejujuran sehingga ia akan membalas orang-orang yang mencelanya serta menegakkan kehormatan orang yang membenci dan memusuhinya karena ia tahu kekeliruannya.
Jika pada saat itu, detik-detik penyesalan belum muncul dan ia terus berlalu dengan kesukaannya terhadap amal, maka Allah memberi berkah kepada jiwanya. Demi Allah, dia dan kejujuran adalah sama. Dia memahami Allah dengan benar dan amalnya untuk sesuatu setelah kematian sangat tulus.
Bagaimana Mensyukuri Nikmat?
Jelaskan kepadaku tentang ucapan orang-orang bahwa mensyukuri nikmat berarti mengenalnya?
Mensyukuri nikmat berarti mengenalnya sesuai dengan kadar keberadaannya dalam hati melalui cara mengagungkannya dan mengagungkan kebaikan pemberi nikmat atasnya. Ia tidak akan dapat menjadi pengagung nikmat sampai ia suka terhadapnya. Ia tidak akan menjadi orang yang suka terhadap nikmat sampai ia mengenal kebutuhannya terhadap nikmat itu. Ia tidak akan memikirkan kebutuhannya kepada nikmat kecuali dengan merenungi akibat berbagai persoalan, kecepatan dalam mencapainya, dan ketinggian kebutuhannya kepada apa yang disuguhkan kepadanya.
Pada saat itu, nikmat dari Pemberi nikmat (Allah) menjadi besar baginya serta ia semakin mengenal anugerah dan kebaikan-Nya kepada dirinya. Lalu pada saat itu, ia ingin mendapat tambahan nikmat.
Poin pentingnya adalah bahwa siapa saja yang diberi suatu rezeki yang dengannya ia mengharapkan kerelaan Tuhan dan keselamatan dari neraka, maka semakin besar rindu kalbunya kepada Sang Pemberi.
Ia tidak akan menjadi orang yang mensyukuri seluruh nikmat dunia sampai ia mensyukuri nikmat akhirat. Ia tidak akan mensyukuri apa yang dicintajnya sampai ia mensyukuri apa yang Allah cintai. [a bukanlah orang yang pandai bersyukur kepada Allah jika tidak pandai bersyukur kepada manusia.
Siapa mengetahui bahwa ia tidak memiliki dirinya sendiri kecuali sebagaimana ia memiliki sebelum lahir dan setelah mati, maka ia telah memosisikan diri pada derajat kelemahan dan fakir dalam segi tawaduk dan ketenangan. Siapa tidak menempatkan diri dalam posisi itu dan tidak mengetahui bahwa hal itu juga merupakan ilmu keyakinan, berarti ia telah menempuh jalan kaum yang bodoh dan dia layak mendapatkan hukuman.
Malu kepada Allah
Jika engkau memikul sekantong kejahatan, maka engkau akan gemetar ketakutan ketika suatu kejahatan nampak bagi manusia. Lantas kapan akan hubunganmu dengan Allah menjadi baik? Tidak mungkin.
Ingatlah kematian seperti budak buruk yang tidak malu terhadap tuannya dan tidak meninggalkan keburukan-keburukannya serta tidak pula mengetahui kebaikan sang tuan kepadanya kecuali pada saat penghitungan dan hukuman. Ingatlah kematian dan apa yang ada setelah kematian.
Apa dugaanmu terhadap orang yang tidak suka dilihat orang lain Karena melakukan apa yang dibenci dan tidak malu jika Allah melihatnya sedang melakukan apa yang dibenci oleh-Nya.
Betapa buruk dan ajaib orang yang melakukan hal seperti itu, meninggalkan, menyia-nyiakan kesempatan, dan melakukan pekerjaan yang dibenci Allah. Kemudian ia bertakarub kepada Allah dengan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan dengan mengabaikan pekerjaan-pekerjaan nawafil seperti haji dan umrah, menyuruh dan melarang, menyeru manusia dengan asumsinya kepada Allah; menyuruh tetapi tidak pernah melakukan, melarang tetapi tidak pernah meninggalkan.
Apakah engkau memandang orang seperti ini mengenal Allah? Atau percaya bahwa di sisi Allah ada balasan bagi kaum yang taat dan hukuman bagi kaum yang durhaka?
Hakikat Tawaduk
Terangkanlah kepadaku tentang perkataan seseorang bahwa kerendahan hati ialah jika engkau keluar dari rumahmu, maka setiap orang yang menyambutmu engkau anggap memiliki kelebihan atas dirimu. Jika ada orang yang mengaku memiliki suatu kelebihan dengan lisannya, padahal ia belum memenuhi syaratsyarat untuk menjadi orang yang rendah hati kecuali karena keterpaksaan. Apakah orang yang rendah hati seperti itu?
Jika syarat-syarat itu merupakan hak-hak yang wajib, tetapi ia belum dapat menerimanya kecuali karena terpaksa, maka ia belum bisa dikatakan telah mencapai derajat kaum yang tawaduk.
Jika hal-hal itu merupakan syarat-syarat yang bukan wajib yang tidak menyulitkan seorang hamba untuk tidak menerimanya dari siapa pun dan ia cukup baik dalam menerima syarat yang wajib, maka ia telah menempuh jalan kaum yang rendah hati.
Memperbaiki Hubungan Diri dengan Allah
Diriwayatkan dari sejumlah kaum bijak bahwa alMuhasibi pernah menulis surat kepada salah seorang saudaranya:
Aku wasiatkan kepadamu, saudaraku, untuk memperbaiki apa yang ada di antara dirimu dengan Allah, mengedepankan cinta-Nya atas hawa nafsumu, mengejar pekerjaan orang yang bermuamalah denganmu.
Ketahuilah bahwa hari-harimu sedikit, sedangkan dirimu cuma satu. Jika hari-harimu berakhir, maka tiada jalan kembali bagimu dan tiada hari pengganti untukmu. Jika dirimu binasa, maka tiada lagi dirimu yang lain.
Saudaraku, apakah engkau tahu apa yang dimaksud islah antara dirimu dan Allah?
Yaitu, agar Dia tidak didatangi sesuatu yang berasal darimu kecuali jika di dalamnya terkandung ridaNya, dan janganlah engkau didatangi sesuatu dariNya kecuali engkau rela dengannya. Jika engkau tidak memiliki kemampuan untuk rida terhadap segala hukum dan perintah Allah yang engkau terima, maka jangan kehilangan kesabaran karena sesungguhnya Allah memiliki kerelaan terhadap keadaan hamba-Nya selama hamba-Nya rela dengan hukum-Nya.
Allah memiliki kerelaan terhadap kesabaran hamba-Nya atas perintah dan hukum-Nya selama si hamba memang bersabar atas hal itu, sehingga Dia memiliki kerelaan dalam keduanya. Sedangkan amalmu hendaknya berupa penepatan terhadap janji-Nya dan syukur terhadap segala nikmat-Nya.
Sementara kebutuhanmu berupa makrifat dan ampunan-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan keturunannya, serta menciptakan surga sebagai balasan bagi kaum yang taat dan memperoleh rahmat dari-Nya, sekaligus menciptakan neraka untuk kaum yang selalu melakukan maksiat dan mendapat murka-Nya. Makanya, kita berlindung kepada Allah dari segenap kemurkaan dan hukuman-Nya. Peliharalah hari-harimu, saudaraku, baik malam maupun siang, dan seluruh keadaan di mana kau berada di dalamnya ataupun di atasnya.
Pelihara, bersihkan, murnikan, dan selamatkan nuranimu sampai menjadi bersih dari ketakutan terhadap hukuman dan kosong dari harapan terhadap balasan. Sesungguhnya engkau tidak akan pernah luput dari pandangan Allah walau sekejap. Ia senantiasa melihatmu dan menghitung amalmu walau seberat biji sawi dan zarah sekalipun agar engkau dibalas dengan hal itu pada hari kiamat. Jika baik, ia pasti akan baik dan jika buruk, ia pasti akan buruk.
Janganlah sekali-kali lalai mengingat-Nya karena sesungguhnya engkau membutuhkan-Nya, sebaliknya, Dia tidak pernah membutuhkanmu.
Ketahuilah saudaraku, bahwa sumber segala ucapan adalah ilmu. Sumber segala pekerjaan adalah ilmu. Sumber semua itu adalah taufik bersama dengan kemampuan menggunakan akal sehat dan banyak berpikir. Jika engkau mampu untuk tidak dengan sesuatu yang lebih tahu darimu tentang Allah, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya ucapan, ilmu, amal dan lain sebagainya adalah yang diinginkan Tuhan. Sesungguhnya manusia yang paling utama adalah yang paling dekat dengan Allah, sedangkan orang yang paling dekat dengan-Nya adalah orang yang paling mengetahui di antara mereka.
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Manusia itu. berbeda karena pengetahuan.” Sementara Ibn Mas‘id pernah berkata, “Umur habis dengan sembilan persepuluh (9/10) ilmu” Maksudnya adalah ilmu tentang Allah.
Ketahuilah saudaraku, manusia hanya dapat bersikap ikhlas dalam bekerja sesuai dengan kadar pengetahuan mereka (terhadapnya). Mereka dapat bersikap tawaduk sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Mereka dapat mensyukuri nikmat Allah sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Mereka berharap dan takut kepada Allah sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Mereka dapat berbaik sangka berdasarkan kadar pengetahuan mereka. Mereka dapat bersabar untuk bertahan melakukan ketaatan, menghindari kemaksiatan, menyembunyikan ketaatan, dan menahan berbagai musibah yang diturunkan hukumhukum-Nya sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Dan mereka mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah sesuai dengan kadar pengetahuan mereka.
Siapa ketinggalan pengetahuan mengenai Allah, maka ia akan dimasuki kekurangan pada seluruh yang kami sebutkan sesuai dengan kadar pengetahuan yang luput darinya dan sesuai dengan kadar pengetahuan yang diberikan kepadanya. Demikian pula kebaikan dan kejahatan yang menjadi bagiannya.
Karena itu saudaraku, carilah pengetahuan dari pemiliknya dengan sungguh-sungguh, karena sesungguhnya para ulama telah mencapai ilmu apa yang seharusnya mereka capai berdasarkan tingkat kualitas pencarian mereka dan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Jika engkau berada di pagi hari dan menginginkan sedikit kebaikan, maka lihatlah bagaimana engkau mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhanmu pada malam hari dan bagaimana tobatmu terhadap apa yang engkau sesali. Allah berfirman, “Jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambahkan (nikmat) kepada kalian”?” (Q.S. Ibrahim: 7) Allah juga berfirman, “Bertobatlah kalian sernua kepada Allah wahai kaum yang berirnan, sernoga kalian beruntung? (Q.S. al-Nur: 31).
Jika engkau mendapati suatu kebajikan, lihatlah dari siapa permulaannya dan pada siapa penyempurnaannya. Seandainya dikatakan kepadamu, “Kepada siapakah engkau paling suka berbuat?” niscaya engkau akan menjawab, “Allah” Karena itu, hendaklah hati kecilmu sesuai dengan apa yang dikatakan dan diakui lidahmu.
Ketahuilah saudaraku, ahli dunia dan akhirat berada di antara suka dan duka. Ahli suka akhirat adalah penghuni surga dan sesungguhnya kebahagiaan mereka yang paling utama adalah melihat Allah. Kebahagiaan paling utama kaum beriman di dunia adalah kebahagiaan mereka terhadap Tuhan dan bahwa mereka adalah hamba Tuhan serta membenarkan hal itu dengan murakabah dan munajat kepada Tuhan dan dengan segala amal (yang diniatkan) untuk-Nya. Tanda keintimannya dengan amal adalah adanya kenikmatan beramal kepada-Nya dan keseriusan cinta untuk melayani-Nya.
Mustahil orang yang beramal dapat bersikap mesra dengan amalnya sementara ia sendiri tidak mesra terhadap Zat yang untuk-Nya ia beramal atau sementara ia tidak takut kepada-Nya.
Ketahuilah saudaraku, seandainya ketaatan dan sikap istikamah kepada Allah yang engkau cari dan atasi dari dirimu—ataupun juga dari seluruh jiwa manusia—maka tetap saja adalah kecil di hadapan Allah. Bagaimana tidak, sedangkan hal itu merupakan satu kekayaan berharga pada hari-hari yang singkat.
Engkau perlu konsisten dan menjaga tekad untuk selalu berteman dengan Tuhan. Seandainya seluruh dunia milikmu, lalu engkau mencurahkannya sekaligus dirimu bersamanya sebagai tanda syukur terhadap suatu pengetahuan yang diberikan kepadamu, bahwa Dia adalah Tuhanmu, bahwa engkau adalah hambaNya, bahwa Dia memerintahkanmu untuk berubudiyah kepada-Nya, dan melarangmu untuk berubudiyah kepada selain-Nya, niscaya semua itu merupakan sesuatu yang kecil dan hina di sisi nikmat-Nya atasmu dalam hal itu.
Karena itu, jangan menyia-nyiakannya dengan kesibukan yang tidak engkau butuhkan karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan pengetahuanmu tentang kebaikan-Nya kepadamu sebagaimana engkau tidak membutuhkan penyikapan buruk terhadap dirimu. Sesungguhnya manusia itu antara dosa dan nikmat, antara syukur dan istigfar.
Segala puji bagi Allah atas ilmu dan nikmat-Nya kepada kita. Keutamaan Allah atas kita sungguhlah besar.
BERHARAP DAN TAKUT:
BERHARAP (RAJA’) MENDORONGMU UNTUK TAAT, TAKUT (KHAWF) MENGHINDARKANMU DARI MAKSIAT, DAN MURAQABAH MEMBAWAMU KEPADA JALAN KEBENARAN HAKIKI. (IBRAHIM AL-NASHR ABADZI).
Aku memuji Allah kepada kalian semua dengan pujian. orang yang tidak pernah mengenal suatu kebaikan kecuali yang berasal dari-Nya dan tidak mengenal sesembahan selain-Nya. Aku memohon kepada-Nya tawakal kaum yang mengabdi dengan jujur kepada-Nya.”
Sesungguhnya Allah mengkhususkan ahli wilayah-Nya dalam persaingan sehat dalam berdedikasi (ghibthat al-ingitha)) kepada-Nya, untuk mengenalkan nikmat-Nya yang banyak dan kebaikan-Nya yang berkesinambungan kepada mereka, sehingga duka lara dunia sirna dari hati mereka dan kesibukan akhirat semakin membesar di dada mereka karena diisi dengan wibawa Tuhan mereka. Kemudian mereka membiasakan hati mereka dengan ketundukan ubudiyah dan melemparkan diri mereka di jalan tawakal kepada Allah.
Ketahuilah saudaraku, engkau tak dapat dianggap bertawakal kepada Allah kecuali dengan memutus segala harapan kepada selain Allah. Bagaimana dirimu tidak dermawan jika memutus setiap hubungan dari hatimu dan hatimu berkonsentrasi penuh untuk menerima Allah, dan kesejatian tawakal kepada-Nya. Allah mencukupi orang yang bertawakal kepada-Nya.
Orang yang bertawakal dengan sejati adalah orang yang menganggap sebagian kecil dari pemberian Allah sebagai suatu pemberian yang besar menurut nilai dirinya yang kecil, karena pengetahuannya tentang keagungan nilai Allah. Ia merasa tenang dengan spirit keyakinan, yaitu kedudukan yang diirikan kaum yang rakus akan dunia.
Siapa yang hatinya beranggapan bahwa tidak ada nikmat di langit dan bumi melainkan milik Allah, maka hatinya akan merasa tenang dari siksaan ambisi. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3). Dia juga berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam,” (QS. al-Araf: 54).
Jika engkau membiasakan hatimu dengan kepercayaan diri, maka sesungguhnya engkau sedang melihat kepada Allah, karena kekuasaan itu milik Allah tanpa keikutsertaan makhluk-Nya. Dan ambisimu atas dunia akan semakin membesar sebanding dengan tindakanmu meninggalkan kepercayaan diri.
Karena itu, tentanglah ambisimu atas dunia dengan kepuasan terhadap bagian (rezeki)-mu karena sesungguhnya engkau akan segera memusuhi ambisimu atas dunia sebab ambisi itu tidak pernah memberi dan tidak pernah melarang.
Orang yang bertawakal atas Allah tidak membutuhkan pemberi dan pelarang selain Allah. Sebab, ia membutuhkan Allah dan tidak membutuhkan orang Jain. Hatinya merasa tenang dari keresahan-keresahan sehingga tidak ada bahaya makhluk yang dapat mengancam hatinya.
Siapa percaya kepada selain Allah, ia tidak diperlukan. Orang yang bertawakal selayaknya bertakwa sehingga Allah memberinya jalan keluar dan rezeki yang tidak pernah disangka-sangka dan tidak pernah mengurangi seperti yang disangka. Allah berfirman, “Dan siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (QS. al-Thalaq: 3).
Orang yang bertawakal selalu bertawakal kepada Allah pada seluruh kebutuhannya, entah itu persoalan yang duniawi ataupun ukhrawi, dan ia memutuskan harapan kepada selain Allah. Ia tidak pernah melihat dirinya sebagai tempat ikhtiar bagi dirinya sendiri, karena Allah cukup baginya. Siapa seperti itu berarti ia telah mencapai spirit keyakinan.
Inilah derajat yang tidak ada derajat lain yang lebih tinggi darinya dalam hal ketenangan hati kepada Allah dan janji-Nya, karena ia telah menjadikan Allah sebagai pelindung yang mencukupinya dari seluruh makhluk-Nya. Siapa menjadikan Allah sebagai pelindung yang mencukupinya, ia tidak akan mengalami kehilangan segala sesuatu, karena Allah telah menjamin dirinya dan Allah Pemilik kesuksesan.
Ketahuilah bahwa engkau dan seluruh makhluk terpaksa menuju Allah di tiap keadaan, gerak, dan diam. Sebab, Dia Mahakaya. Siapa percaya kepada selain Allah, berarti ia telah merasa melihat sebuah kekuasaan yang lebih besar dari kekuasaan Allah. Siapa percaya kepada Allah, maka ia tidak membutuhkan kekuasaan lain, karena Allah cukup baginya. Pada Allah terkandung peninggalan dari seluruh makhluk dan tidak ada pada diri makhluk mana pun suatu peninggalan dari Allah, karena Allah adalah Yang Mahakaya.
Jika engkau mengetahui bahwa Allah cukup bagi siapa yang bertawakal kepada-Nya, bagaimana engkau tidak meminta kecukupan dengan bertawakal kepada Allah?
Bukankah engkau mengetahui bahwa Zat Pemberi rezeki telah membagi-bagi penghidupan di antara makhluknya? Dia juga telah mengutamakan sebagian makhluk atas yang lain dalam hal rezeki. Dia telah memberikan dan memperhitungkan apa yang Dia putuskan.
Lalu, bagaimana engkau ingin meminta kemampuan yang telah diberikannya kepadamu?
Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkan kecuali Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu” (Q.S. Al-An’am: 12)
Lantas bagaimana mungkin engkau memohon kepada selain Allah agar dhindarkan dari bahaya atau diberi manfaat?
Bagaimana engkau takut kehilangan kebaikan yang diinginkan Allah denganmu. Jika Dia tidak menginginkan kebaikan denganmu, lalu siapa yang akan memberikan kebakan kepadamu?
Orang yang bertawakal kepada Allah tidak pernah menengok dunia, karena dia tidak melihatnya sebagai suatu yang bahaya bagi dirinya, dan tidak pula ia melihatnya dan dirinya serta seluruh didalamnya kecuali untuk Allah. Sama saja baginya, apakah mengarungi laut, berjalan di darat bersikap intima tau bersikap galak, bekerja atau duduk. Karena Allah cukup bagi orang bertawakal kepada-Nya. Tidak engkau mendengar firman Allah, “bukankah Allah cukup untuk melindungi hambah-hambahnya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah.” (Q.S. Al- Zumar: 36)
Orang bertawakal kepada Allah cukup dengan ilmu tentang Allah, makai a dapat menhindari kesibukan dengan yang lain, karena ia tahu bahwa yang memberinya manfaat adalah Allah satu-satu-Nya.
Dan juga, jika hatimu mantap kepada Allah, maka engkau tidak akan pernah takut kepada yang lain, karena Allah cukup bagi orang yang bertawakal kepada-Nya.
Di antara tanda orang yang bertawakal adalah bahwa ia mengedepankan kejujuran yang membahayakannya atas kebohongan yang memberinya manfaat, karena orang yang bertawakal kepada Allah tidak tepat jika takut kepada yang lain.
Begitu pula jika ia diperintah untuk melakukan kebajikan dan mencegah kemungkaran, maka ia tidak pernah takut kecuali kepada Allah, sebab harapannya terhadap Allah lebih besar dibanding ketakutannya terhadap ancaman makhluk. Itu karena orang yang bertawakal kepada Allah selalu mengeluarkan segala ketakutan, kekhawatiran dan kesedihan selain terhadap Allah sehingga ketakutan dan harapannya berhubungan dengan Allah.
Ketahuilah bahwa pertolongan akan hadir ketika engkau mengeluarkan alam dari hati sehingga, pada saat itu, secara perlahan akan berubah menjadi jalan keagungan dan kebutuhan Allah, karena engkau mengetahui bahwa tidak ada pencegah, tidak ada pemberi, tidak ada penimbul bahaya dan pemberi manfaat kecuali Allah satu-satu-Nya.
Janganlah engkau membenci Allah dengan kebodohanmu sehingga engkau tunduk kepada ketakutan yang dimunculkan setan, kemudian ia menguasai dirimu pada saat itu. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Setan menjanjikan (menakuti-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir). Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui? (Q.S. al-Baqarah: 268).
Lantas, apa yang membahayakanmu dari ancaman setan bersama dengan adanya jaminan dari Allah Yang Maha Pengasih?
Ketahuilah bahwa engkau tidak akan pernah termasuk orang yang bertawakal kepada Allah sehingga engkau dapat menempuh jalan lurus berdasarkan ketenangan kepada Allah dan sehingga engkau menyembah Allah dalam keadaan rela, karena engkau tidak mengetahui yang lain.
Jika engkau mencapai derajat ini maka keagungan Allah atas pekerjaan hatimu karena semua makhluk dibatasi oleh hak-Nya atas mereka.
Ketahuilah bahwa Allah mengkhususkan kaum yang bertawakal dengan derajat keselamatan dan menutup segala bentuk penyesalan dari diri mereka. Karena itu, mereka melihat kepada Allah sesuai dengan harapan mereka.
Dia telah menutup hati mereka dari selain-Nya karena mengharapkan kebaikan-Nya dan mereka tidak perlu mengingat yang lain.
Ketahuilah bahwa engkau tak akan menjadi orang yang bertawakal sebelum engkau bersih dari setiap kekuasaan dirimu dan kekuasaan dunia, serta sebelum engkau tidak percaya kecuali kepada Allah dan engkau melihat perbekalan hidupmu cuma di tangan Allah.
Tidakkah engkau sadar bahwa ambisimu berada dalam kekuasaan Allah? Apakah di langit terdapat suatu penghalang yang menghalangimu dari Allah?
Ketahuilah bahwa engkau tidak mampu memaksakan rezekimu sebagaimana engkau tidak dapat memaksa kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Allah yang menciptakan kamu sekalian kemudian memberi kalian rezeki kemudian mematikan kalian kemudian menghidupkan kalian? (Q.S. al-Rum: 40).
Saudaraku, tenanglah dengan janji Allah menyangkut rezeki-Nya sebagaimana engkau tenang bahwa engkau pasti akan mati. Serta jauhkanlah hatimu dari mengingat-ingat sebab-sebab (datangnya rezeki).
Ketahuilah bahwa Allah memberimu rezeki bisa karena suatu sebab dan bisa pula tanpa sebab, dan tiap sebab itu adalah tetap. Engkau tidak mengetahui kapan rezekimu datang sebagaimana engkau tidak tahu kapan kematian akan menjemputmu.
Tidakkah engkau tahu. bahwa Allah telah menjanjikanmu rezeki, dan rezekimu yang tidak kelihatan dengan gadha’, serta waktu yang di dalamnya rezeki itu pasti turun. Kalaupun toh engkau berdalih dengan segala dalih agar rezeki itu datang sebelum waktunya, maka engkau tak akan pernah mampu melakukannya, hatta ia turun pada waktunya.
Tidakkah engkau pernah mendengar firman Allah, “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezeki kalian dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar akan (akan terjadi) seperti perkataan yang kalian ucapkan. (QS. al-Dzariyat: 22-23).
Ketahuilah bahwa orang yang percaya kepada Allah hatinya akan bersih dari tuduhan demi Allah. Meskipun engkau di bawah bayang-bayang suatu sebab, hatimu tetap tak akan pernah condong kepada sebab tersebut, dan hendaklah hatimu senantiasa bersama Allah.
Ketahuilah bahwa hamba sahaya tidak berinfak kecuali dengan izin tuannya. Makanya, ikatlah hatimu kepada Tuanmu. Soalnya, jika Ia memberimu, maka penghuni bumi tidak akan mampu mencegahmu dan jika Ia mencegahmu, maka penghuni bumi tidak akan mampu memberimu, karena kekuasaan-Nya demikian besar. Dengan tawakalmu kepada-Nya, itu akan cukup bagimu.
Oleh karena itu, hati orang yang bertawakal akan tenang kepada “sesuatu yang terjamin’. Siapa memutuskan diri dengan sebab-akibat, ia hanya melihat Allah, sebab takdir Allah sangat dekat dengan orang yang bertawakal dan sebagainya. Tidakkah engkau mendengar firman Allah, “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-‘Ankabut: 60).
Orang yang bertawakal sangat mengetahui—dengan penuh keyakinan dan hatinya tenang kepada hal itu—bahwa apa yang diberikan dan ditentukan untuknya meskipun berada di tengah hembusan angin niscaya ia akan mengejarnya. Dan bahwa apa yang belum diberikan dan ditentukan untuknya meskipun berada di hadapannya dan ia dibantu penghuni langit dan bumi untuk mencapainya niscaya ia tidak akan mampu atas hal itu. Allah berfirman, “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kelaparan. Kamilah yang mermberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian? (Q.S. al-Isra’: 31). Allah juga berfirman, “Dan hanya kepada Allah, hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman? (Q.S. al-Maidah: 23). Maka, tidaklah betul iman mereka sebelum bertawakal kepada Allah. Allah juga berfirman, “Kepada Allahlah kami bertawakal? (Q.S. Yunus: 85). Allah juga berfirman, “Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah rnenunjukkan jalan kepada kami”? (Q.S. Ibrahim: 12).
Tawakal adalah sumber iman karena ia merupakan suatu kewajiban atas hamba-hambanya. Iman tak akan mewujud kecuali dengan tawakal. Tawakal itu bertambah dan berkurang sebagaimana halnya iman. Manusia sendiri bertingkat-tingkat dalam masalah tawakal dan iman itu sesuai dengan tingkat keyakinan.
SABAR:
Sabar itu tiga macam: sabarnya orang yang berjuang untuk bersabar (mutashabbin), sabarnya orang yang sabar (shabin), dan sabarnya orang yang sangat sabar (shabbar). (Abu ‘Abd Allah ibn Khafif).
Siapa tidak mengetahui sesuatu pada dirinya yang datang dari Allah, hampir dapat dikatakan bahwa ia tidak mengetahui apa yang muncul dari dirinya pada (untuk) Allah. | Ketahuilah saudaraku, siapa menaati Allah tetapi tidak pernah takut kepada-Nya, berarti ia telah menaati-Nya dalam amal tetapi telah durhaka kepada-Nya dalam meninggalkan ketakutan. Lalu bagaimana dengan orang yang durhaka kepada-Nya sekaligus tidak takut kepada-Nya?
Andai engkau tidak pernah mengambil sesuatu dari dunia kecuali (sebagai) bekalmu, padahal engkau tidak pernah meniatkannya untuk mendambakan Allah, maka Allah akan memutus hubungan denganmu. Pun, andai engkau meninggalkan bekal duniamu, sedangkan engkau tidak pernah meniatkannya untuk mendambakan Allah, maka Allah memutus hubungan denganmu.”
Andai engkau memikirkan dua hal tentang Allah, niscaya engkau melihat-Nya dengan rasa syukur yang besar kepada-Nya. Dalam hal ini, Dia tidak pernah menjual tiket ke surga dengan syarat engkau tinggalkan kebutuhanmu di dunia. Pun, Dia tidak pernah menjual tiket ke neraka dengan syarat engkau penuhi kebutuhan duniawimu.
Kenalilah nikmat, tentu engkau termasuk ahlinya (orang yang sanggup “merasakan’-nya—peny.). (Karena) sesungguhnya binatang tidak dapat mencium bau wewangian misik meskipun dekat lubang hidungnya.
Jadilah pembela kebenaran, tentu kebenaran akan mencintaimu.
Jadikan dirimu pengikut di jalan petunjuk. Jangan jadikan dirimu komandan menuju jalan kesesatan.
Waspadailah syahwat yang tidak abadi dan penyesalan yang tidak fana.
Temanmu hari ini adalah temanmu kelak di kuburmu. Amalmu saat ini adalah amalmu kelak. Karena itu, lihatlah siapa temanmu dan apa amalmu?
Ingatlah Allah selalu saat bergejolak nafsumu, niscaya Allah memedulikanmu tatkala engkau berjumpa dengan-Nya.
Berlindunglah kepada Allah dari suatu perbuatan yang secara lahiriah adalah ketaatan, tapi secara batiniah adalah kemaksiatan.”!
Kebenaran tidak akan pernah meninggalkan kesenangan bagi pelakunya, sedangkan kebatilan tidak akan pernah menyisakan pahala akhirat bagi pelakunya.
Siapa mengetahui apa yang di hadapannya, maka apa yang ada di tangannya menjadi hina baginya.”
Jika disempurnakan pengetahuan orang tentang dunia, maka ia akan heran terhadap para pemiliknya. Pun jika ia buta tentang pengetahuan akhirat, maka ia akan takjub terhadap para pemiliknya.
Siapa (betul-betul) mengenal dunia, ia akan memutuskannya, dan siapa belum mengenal dunia, ia akan mengabdi untuknya. Siapa mengenal akhirat, ia akan mengabdi untuknya, dan siapa belum mengenal akhirat, ia akan memutuskannya.
Sedikit-dikitnya manfaat syahwat (keinginan) bagimu di dunia adalah sesuatu yang paling berbahaya bagimu di akhirat. Sedikit-dikitnya syahwat akhirat yang menjadi bebanmu di dunia adalah sesuatu yang paling engkau inginkan di akhirat.
(Bila sudah) sebegitu mudahnya seseorang berupaya menyaingi kemuliaan para pemilik kemuliaan, maka ia telah ditunjukkan pada titian tangga yang menaikkan para pecinta pada kedekatan dengan Allah.
Ikhtiar manusia untuk berubudiyah adalah obat, pendingin hati, dan penerang mata.
Pencarian manusia terhadap kebebasan adalah bencana yang menutupi pandangan mata.
Amal orang yang bernalar didasarkan cinta, sedangkan amal orang yang mendengar (tanpa bernalar) didasarkan keterpaksaan. Karena itu, beramallah seperti amal orang yang mendengar lalu memahami, dan berpikir lalu mencermati (mengerti). Janganlah beramal seperti amal orang yang mendengar tapi tak pernah melihat (menalar).
Betapa banyak nikmat yang berubah menjadi siksaan dan hukuman. Sebaliknya, betapa banyak hukuman yang berubah menjadi nikmat.
Jika engkau ingin mencintai sesuatu, maka seringseringlah menyebutnya karena sesungguhnya ingat dan lupa itu tak pernah menyatu.
Pelaku kebaikan yang sejati dan disyukuri akan diberi pahala di akhirat dan ditambah kebaikannya di dunia. Ditambah karena syukurnya dan diberi pahala karena kesejatiannya.
Di antara ibadah yang paling bermanfaat adalah jika seorang hamba menanam pada dirinya sikap menganggap kecil dunia.
Di antara ibadah yang paling baik adalah jika hati seorang hamba dipenuhi dengan cinta ketaatan. Jika cinta telah sedemikian melimpah di hatinya, anggotaanggota tubuhnya pun akan bergerak sesuai dengan hati yang dilihatnya. Sehingga, boleh jadi anggotaanggota tubuh beribadah sementara hatinya tengah menganggur.
Lantas bagaimana cara hati beribadah, sedang anggota tubuh tidak mengikutinya? Bagaimana pula hati dapat menjalarkan ibadah kepada anggota tubuh?
Yakni dengan menjadi wadah bagi rasa sedih, duka, rasa membutuhkan, takut, menyesal, tawaduk, dan tak berdaya kepada Allah, serta menjadi tempat ketulusan, cinta terhadap apa yang Allah cintai, dan benci terhadap apa yang Allah benci.
Jika ia, melalui hatinya, berhubungan dengan Allah berdasar hal-hal tadi, maka anggota tubuhnya akan segera bertindak seperti yang dilihatnya (atau dicernanya—peny.) dari hati sehingga terpancarlah (cahaya) ketaatan. Hati akan demikian bila sesuatu yang bakal dibawanya pada hari kiamat telah merasuki “titik-titik noda’-nya.
Pada kesempatan lain, (dia berkata):
Jika hatinya dipenuhi dengan pengetahuan mengenai nikmat Allah, kebahagiaannya dengan Allah, keintimannya dalam ibadah kepada Allah, kerinduannya terhadap cinta Allah, cintanya untuk bersyukur kepada Allah, dan harapannya terhadap ampunan Allah.
Jika ia dari hatinya berhubungan dengan Allah berdasar hal-hal itu, maka ia akan terbawa pada ibadah anggota tubuh beserta hati sehingga ia menjadi seorang yang beramal yang terkandung dalam amalnya kehangatan, kebahagiaan, dan kenikmatan.”
Di antara ibadah yang paling mulia adalah bersikap takut kepada Allah dengan (menjalankan) apa yang Allah cintai. Jika engkau tak kuasa lagi dengan hal itu, maka bersikap takutlah kepada Allah dengan apa yang Allah benci sembari berusaha kembali kepada keadaanmu semula karena begitu antusias terhadapnya. Pada kondisi itu, tumpahkan saja kerinduan yang mendalam kepadanya. Pasalnya, jika Allah melihatmu dalam keadaan seperti itu, sedang rindu dan bersemangat, Dia akan memalingkan sesuatu yang telah merampasmu.
Dalam masalah ini dan masalah sebelumnya, serta dalam seluruh amal, hendaklah orang yang beramal memikirkan apa yang ada di hati dan anggota tubuh. Lantas, hendaklah ia memulai dengan apa yang ada dalam hati baru kemudian yang ada di anggota tubuh. Sebab, hati ibarat batang dan anggota tubuh adalah rantingnya. Ranting tidak akan pernah tegak tanpa batangnya.”
Di antara akhlak yang paling baik adalah jika kerendahan hati menjadi perangai seorang hamba. Dan di antara tindakan yang paling baik adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadamu.
Bersungguh-sungguhlah dan jangan berputus asa. Jangan pula berkata ketika mengingat kaum yang saleh, “Andai bukan karena dosa-dosaku, niscaya aku mengharapkan tarekat kaum saleh,’ sehingga perhatianmu terhadap dosa-dosamu melalaikanmu dari beramal. Sesungguhnya pembawa beban berat yang bersungguh-sungguh menjatuhkan apa yang dibawanya lebih utama daripada orang yang di pundaknya tiada beban apa-apa.
Jika engkau ingin dilihat Allah dengan rahmat, maka lihatlah kaum yang saleh dengan iri terhadap ketaatan mereka (ghibthah) dan kepada kaum yang durhaka dengan iba.
Jika dalam hati seorang hamba terdapat perhatian terhadap jiwa, maka semakin besarlah kekhawatirannya terhadap jiwa dan harapannya kepada manusia.” Jika hatinya kosong dari kedukaan dirinya, maka ia akan berprasangka baik kepada jiwanya dan harapannya kepada jiwanya semakin besar serta ia akan takut kepada manusia.
Siapa memiliki pikiran panjang dalam empat hal, maka ia akan diwarisi kesedihan dan kedukaan. Satu dari keempatnya sudah cukup, yaitu: jika engkau memikirkan ilmu Allah dalam hatimu, di mana namamu dalam Umm al-Kitab, apa nilai akhir dalam buku induk untukmu, dan jika engkau mengingat dosadosamu.
Siapa mempunyai pikiran panjang dalam empat hal, maka ia akan diwarisi ketakutan dan kekhawatiran. Satu dari keempatnya sudah cukup, yaitu: siapa memikirkan kematian, cepatnya akhir ajal, perjalanan menuju kubur, dan merenung sejenak tentang penghitungan dan neraka yang tidak bisa ditahan oleh siapa pun.
Jangan menentang Allah dalam cinta-Nya sebab berarti engkau telah menganggap-Nya kalah.
Jangan mendahulukan seseorang daripada Allah sebab Dia akan menyerahkanmu kepada orang yang engkau dahulukan itu.
Sampai kapan engkau akan menganggap kesibukan sebagai penolong?
Jika engkau tidak meninggalkan orang yang menghancurkanmu, maka engkau akan dikejar orang yang menipumu.
Jika engkau ingin membagi sedekah atau kebajikan pada manusia ataupun orang lain yang dekat denganmu, hendaknya engkau mulai dari orang yang rumahnya paling dekat dengan rumahmu dan orang yang paling membutuhkan sedekahmu. Kemudian orang yang berikutnya, dan engkau tidak perlu mengingat orang yang jaub darimu atau yang tidak membutuhkan sedekahmu.
Karena itu saudaraku, dekatkanlah “rumah” (posisi)-mu terhadap Allah. Ungkapkanlah kepada-Nya tentang kebutuhanmu kepada-Nya, maka engkau akan tampil dalam deretan terdepan dari orang-orang yang menerima kebajikan-Nya. Untuk itu, mengertilah saudaraku, jika engkau memang mengerti.
Seandainya engkau memiliki budak-budak yang sebagian mereka ingin engkau bebaskan, tidakkah engkau memulai dengan yang paling lurus jalan hidupnya dan yang paling tulus kepadamu serta yang paling banyak melayanimu?
Sesungguhnya jika engkau belum meninggalkan apa yang dibenci Allah, maka engkau tak akan diingat oleh-Nya sebagai orang yang mencintai-Nya.
Berilah Allah apa yang telah mencukupimu, niscaya Allah memberimu apa yang pasti terjadi.
Siapa suka berdekat-dekat dengan Allah, hendaklah meninggalkan apa yang membuatnya jauh dari-Nya.
Jadikanlah penglihatanmu di hadapanmu, karena sesungguhnya Zat yang ada di belakangmu telah membalasmu.
Seandainya engkau melihat orang yang menjual bagian akhiratnya dengan bagian dunia orang lain, niscaya engkau heran kepadanya. Karena itu, juallah bagian dunia orang lain dengan bagian surgamu, sebab sesungguhnya yang tersisa darimu tak lain adalah rezeki orang lain.
Jangan meminta pujian dari orang yang meninggal dunia karena engkau akan mendapat celaan dari orang yang belum meninggal.
Tinggalkan ketakutan dunia, engkau akan mendapatkan keamanan akhirat, dan carilah keamanan akhirat dengan ketakutan dunia.
Jika syahwat menunjukkan diri padamu, maka ingatlah akibatnya. Betapa banyak syahwat yang kenikmatannya hilang darimu dan yang tersisa hanyalah kerugiannya.
Sesungguhnya orang yang merusak akhirat atas dirimu adalah orang yang tidak engkau butuhkan di dunia. Lalu, apa ketenangan yang engkau peroleh darinya?
Seandainya engkau melihat seorang pria di antara jamaah dan setiap orang memberdayainya dengan berbagai cara, kemudian engkau belum pernah melihatnya tunduk dan menyerah, serta mengabdi kepada orang yang ia harapkan dapat memberi keselamatan, niscaya engkau membodohi pendapat dan pikirannya. Janganlah sekali-kali engkau seperti dirinya.
Tidak pernah seseorang mendapatkan aroma yang lebih harum dari aroma akhlak yang baik.
Sesungguhnya bagimu terdapat tiga perkara yang satu sama lain menyibukkanmu, yakni sikapmu terhadap Tuhanmu, introspeksi diri yang engkau lakukan, dan ingatanmu terhadap dosa-dosamu.
Tolaklah tantangan-tantangan syahwat dengan kesedihan dan penyesalan atas dosa-dosa masa lalu yang kenikmatannya telah berakhir dan yang tersisa hanyalah penderitaannya padamu. Curahkan kesedihan ke dalam hatimu, sebagai suatu legitimasi atas janji Allah. Kondisikanlah hatimu dengan ketakutan sebagai wujud kehati-hatian terhadap janji Allah. Bersikaplah rendah hati kepada-Nya sebagai wujud rasa membutuhkanmu kepada kasih sayang-Nya dan wujud kekerdilanmu ketika mengingat keagunganNya. Hilangkan sikap mencari muka dari manusia sebagai wujud pengutamaan cinta-Nya. Pelihara rasa syukur untuk-Nya atas segala kebaikan-Nya kepadamu dengan cinta ibadah kepada-Nya. Pelihara rasa takut terhadap-Nya dengan membenci segala bentuk kemaksiatan. Pelihara nikmat makrifat-Nya dengan cintamu terhadap pengawasan-Nya, dan pelihara rasa cinta terhadap pengawasan-Nya dengan menjalin keintiman dengan-Nya—tidak dengan makhluk-Nya.
Manusia itu memiliki derajat dan kedudukan. Siapa melihat dengan mata hatinya, maka ia akan melihat derajat dan kedudukannya pada jalan akhirat, sebagaimana ia melihat derajat dan kedudukan ahli dunia dengan mata kepala.
Siapa pun tidak berhak dengan kedudukan dunia dan akhirat karena makrifat hatinya dan tidak pula dengan zikir lidahnya, tetapi karena perbuatan ahlinya dan melaksanakan segala syaratnya, sebagaimana halnya, kaum miskin tidak mendapatkan manfaat dari pengetahuannya tentang enaknya orang kaya, apa yang dimiliki orang yang mendapat nikmat, berbagai jenis makanan, permadani dan pakaian. Demikian pula, pengetahuanmu tentang pekerjaan kaum saleh tidak akan bermanfaat bagimu jika engkau tidak mengerjakan perbuatan yang mereka lakukan, bahkan hal itu akan menjadi alasan yang memberatkan atasmu. Allah adalah tempat memohon taufik dengan rahmatNya.[]
DUNIA DAN AKHIRAT:
Manusia yang baik adalah mereka yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya, dan tidak pula meninggalkan dunianya sama sekali karena akhiratnya. (al-Muhasibi).