Anda perlu tahu, bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh lidah itu ukup besar. Dan tidak akan bisa terlepas dari bahaya lidah tersebut, selain dengan bersikap diam. Oleh sebab itu, Islam memuji dan menyerukan untuk bersikap diam.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Barang siapa diam, tentu ia selamat dari bahaya lisan.” (HR. Thabrani).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Diam itu mengandung hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Dailami).
Artinya: Hikam dimaksud ialah hikmah dan memikirkan akibat. Abdullah bin Sufyan meriwayatkan dari ayahnya, bahwa sang ayah pernah berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu tentang islam, di mana aku tiada akan menanyakannya lagi kepada seorang pun sesudah engkau!”
Rasulullah menjawab:
Artinya: “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian engkau berpendirian teguh (istigamah).” Ayah Abdullah berkata lagi, lalu aku bertanya: “Apakah yang harus pelihara?” Nabi Muhammad saw. menjawab dengan mengisyaratkan tangannya pada lidah.
Artinya:
“Ugbah bin Amir, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasululah: Wahai Rasulullah, apakah jalan keselamatan itu?” Rasulullah menjawab: “Tahankan lidahmu! Hendaklah rumahmu dapat memberi kelapangan bagimu dan menangislah atas segala kesalahanmu.
Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Barang siapa menjamin bagiku, apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan), niscaya aku akan memberikan jaminan surga baginya.” (HR. Tirmidzi).
Juga sabda Nabi: “Barang siapa menjaga dari kejahatan “qabqab”nya, “dzabdzab” nya dan “laqlaq” nya, maka sungguh ia telah menjaga dari kejahatan seluruhnya.”
Qabqab, artinya perut, dzabdzab, artinya kemaluan, dan laglag, artinya lidah. Tiga nafsu inilah yang dapat membinasakan banyak manusia. Oleh sebab itu kami menjelaskan afat (bahaya) lidah, setelah selesai membahas bahaya dua syahwat, perut dan farji (dalam kitab Ihya’ Ulumuddin).
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang sebesar-besar perkara yang mengantarkan manusia masuk surga. Beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang bagus.”
Dan beliau juga ditanya tentang sebesar-besar perkara yang membuat manusia masuk neraka. Jawab Rasulullah: “Dua lubang badan, yaitu mulut dan farji (kemaluan).”
Al-fam dimaksud bisa jadi berarti fidah, karena mulut itu tempat lidah, mungkin juga yang dimaksud dengan al-fam itu adalah perut, karena mulut itu, jalan tembus (masuknya segala makanan dan minuman) ke perut.
Mu ‘adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
Artinya:
“Wahai Nabi Allah, adakah kita disiksa dengan apa yang pernah kita katakan?” Rasulullah saw. menjawab: “Kamu dipupus oleh ibumu (sebuah ungkapan peringatan yang memberatkan persoalan dalam kerangka menanamkan pendidikan akhlak). Hai Mu’adz, adakah manusia meringkuk dalam neraka atas wajahnya, kecuali oleh yang diperbuat oleh lidahnya?” (HR. Ibnu Majah).
Abdullah Ats-Tsaqafi berkata:
Artinya:
“Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang nanti akan kupegang teguh!” Rasulullah menjawab: “Katakanlah, Tuhanku Allah, kemudian hendaklah kamu berpendirian teguh (istiqamah)!” Aku bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan padaku?” Rasulullah memegang lidahnya, seraya bersabda: Ini.” (HR. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula bahwa Mu’ adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulllah saw.: “Ya Rasulullah, amal apakah yang paling utama?” Lalu Rasulullah saw. mengeluarkan lidahnya, dan meletakkan jari telunjuk pada lidah beliau.”
Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah lurus iman seorang hamba kepada Allah, sebelum hatinya lurus. Dan hatinya itu tidak juga lurus, hingga lurus pula lidahnya. Dan seseorang tidak akan masuk surga, bila tetangganya tidak merasa aman dari ulah kejahatannya.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Nabi saw. bersabda: –
Artinya:
“Barang siapa suka selamat, maka hendaklah ia membiasakan diam.” (HR. Baihagi). Dari Sa’id bin Jubair (hadits marfu”), bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Di pagi hari, semua anggota badan anak Adam memperingatkan lidahnya.” Yakni, seluruh anggota badannya berkata: “Takutlah kepada Allah, karena jikalau engkau lurus, niscaya kami juga dapat berjalan lurus. Jikalau engkau bengkok (menyeleweng), tentu kamipun menjadi bengkok.” (HR. Tirmidzi).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah melihat Abu Bakar Ash Shiddiq ra. menarik lidahnya dengan tangannya. Lalu Umar bertanya kepada Abu Bakar: “Wahai Khalifah Rasulullah, apakah yang Anda perbuat?” Abu Bakar Ash Shiddig ra. menjawab: “Inilah yang mendatangkan kerusakan kepadaku. Karena Rasulullah saw. pernah bersabda:
Artinya:
“Tiada suatu pun dari tubuh, melainkan semuanya mengadu kepada Allah mengenai lidah, atas ketajamannya.” (HR. Baihaqi).
Dari Ibnu Mas’ud, bahwa pernah suatu ketika ia berada di atas bukit Shafa, membaca talbiah, dan berkata: “Hai lidah, katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung. Diamlah dari yang buruk, tentu kamu akan selamat, sebelum menyesal.” Kemudian ada orang bertanya kepada Ibnu Mas ud: “Hai ayah Abdurrahman, apakah yang demikian ini, suatu ucapanmu sendiri ataukah kamu menirukan ucapan orang lain?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidak, tetapi aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sungguh kebanyakan kesalahan anak Adam itu, pada lidahnya.” (HR. Thabrani dan Baihagi).
Ibnu Umar berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa menahan lidahnya (dari membicarakan aib orang), niscaya rahasia dan aibnya akan ditutup oleh Allah. Dan barang siapa menguasai (menahan) kemarahannya, niscaya ia dijaga oleh Allah dari azab-Nya. Barang siapa meminta uzur (maaf) kepada Allah, niscaya Allah menerima permintaan maafnya.”
Diriwayatkan, bahwa Ma’az bin Jabal berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” Rasulullah menjawab: “Sembahlah (beribadahlah) kepada Allah, seakan-akan kamu melihat-Nya! Hitunglah (anggap) dirimu dalam golongan orang yang sudah mati. Jika kamu mau, akan kuberitahukan kepadamu akan sesuatu yang lebih kamu miliki dari ini semua.” Seraya Nabi saw. menunjuk pada lidah dengan tangannya. .
Dari Shafwan bin Salim, ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perhatian, akan aku kabarkan kepadamu mengenai suatu ibadah yang paling mudah dan paling ringan. Yaitu, diam dan budi pekerti yang baik.”
Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Muttafaq “alaih).
Hasan Bashari berkata, pernah diterangkan kepada kami, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah merahmati seorang hamba, bila berkata-kata (berfaedah), maka beruntunglah ia. Atau diam, sehingga selamatlah ia.”
Ditanyakan kepada Isa as.: “Tunjukkanlah kepada kami suatu amalan yang dapat menyebabkan kami masuk surga.” Nabi Isa as. menjawab: “Janganlah kamu berkata-kata selamanya.” Mereka menjawab. “Kami tidak akan mampu, untuk tidak berkata selama-lamanya.” Selanjutnya Nabi Isa as. berkata: “Janganlah kamu berkata, kecuali yang baik.”
Nabi Sulaiman bin Daud as. bersabda: “Kalau berkata itu perak, maka diam itu emas.”
Dari Barra’ bin Azib, ia berkata, seorang baduwi datang kepada Nabi saw., seraya berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat menyebabkan aku masuk surga.”
Nabi saw. menjawab:
Artinya:
“Berilah makan orang yang lapar, dan berilah minum orang yang haus. Perintahkan pada yang baik (amar ma’ruf) dan laranglah yang mungkar (nahi mungkar)! Jika kamu tidak sanggup, tahanlah lidahmu, kecuali pada kebajikan.” (HR. Ibnu Abi Dunya). Nabi saw. bersabda: “Simpanlah lidahmu, selain untuk kebajikan. Karena dengan demikian itu, berarti kamu dapat mengalahkan setan.” Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ada pada (mengawasi) lidah setiap orang yang berkata. Maka, hendaklah setiap orang bertakwa kepada Allah berkenaan akan apa yang dikatakannya.”
Nabi saw. juga bersabda: “Apabila kamu melihat orang mukmin yang pendiam dan mempunyai kehormatan diri, maka dekatilah dia. Karena ia akan mengajarkan ilmu hikmah.” :
Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Apabila kamu melihat seseorang yang dianugerahi kezuhudan di dunia dan sedikit bicaranya, maka dekatilah ia, karena ia akan menyampaikan hikmah.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Mas’ud berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Manusia itu ada tiga macam, yaitu yang beruntung: yang selamat, dan yang binasa. Yang beruntung, ialah orang yang selalu mengingat Allah (berzikir kepada Allah): yang selamat ialah orang yang diam, dan yang binasa, ialah orang yang tenggelam dalam kebatilan.” (HR. Thabrani).
Nabi saw. juga bersabda: “Sesungguhnya lidah orang mukmin itu di belakang hatinya. Apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu, tentu ja merenungkan (memahami)nya dengan hatinya. Kemudian diekspresikan dengan lidahnya. Sedangkan lidah orang munafik itu, di hadapan hatinya. Apabila ia menghendaki akan sesuatu, langsung dituangkan melalui lidahnya tanpa direnungkan (dipahami) dengan hatinya (terlebih dahulu).”
Nabi Isa as. berkata: “Ibadah itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian daripadanya ada pada diam. Sebagian lagi ada pada hati manusia.”
Nabi kita saw. juga bersabda: “Barang siapa banyak perkataannya, tentu banyak salahnya. Barang siapa banyak salahnya, tentu banyak dosanya. Dan barang siapa banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR. Ibnu Hibban dan Baihagi).
Sedangkan dalil yang berupa Arsar (perkataan para sahabat), di antaranya, ialah: Abu Bakar As-Siddig ra. pernah meletakkan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah lidahnya dari berkata-kata. Ia menunjukkan lidahnya dan berkata: “Inilah yang mendatangkan kerusakan kepadaku.”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Tiada sesuatu yang perlu ditahan lama, kecuali daripada lidah.”
Ibnu Thaus berkata: “Lidahku, ibarat binatang buas. Jika aku lepaskannya, tentu ia akan makan aku.”
Wahab bin Munabbih berkata tentang hikmah keluarga Daud as., bahwa orang yang berakal dituntut untuk mengetahui keadaan jaman. nya, menjaga lidahnya dan menghadapi persoalannya dengan baik.”
Hasan Bashari berkata: “Orang yang tiada menjaga lidahnya, berarti ia tiada memahami agamanya.”
Al Auza’i berkata: “Khalifah Umar bin Abdul Azizi ra. pernah menulis surat kepada kami, sebagai berikut: “Amma ba’du, sesungguhnya orang yang banyak mengingat akan kematian, niscaya ia akan rela dengan yan: sedikit dari dunia. Siapa yang menghitung perkataannya daripada per buatannya, niscaya sedikitlah perkataannya, dan ia berkata hanya seperlunya saja.”
Sebagian mereka ada yang berkata. “Diam itu mengumpulkan dua kelebihan bagi seseorang. Yaitu, selamat pada agamanya dan dapat memahami temannya.” | Muhammad bin Wasi’ berkata kepada Malik bin Dinar: “Hai Abu Yahya, menjaga lidah itu lebih berat bagi manusia, daripada menjaga dinar dan dirham (harta benda).” . Yunus bin Ubaid berkata: “Tiada seorang manusia pun yang lidahnya berada pada yang baik, melainkan aku melihat kebaikan itu juga ada pada semua amalannya.” Hasan Bashari berkata: “Suatu kaum pernah berbincang-bincang di samping Mu’ awiah bin Abu Sufyan, sementara Ahnaf bin Qais diam tidak bicara. Melihat itu, Mu’awiah bertanya kepada Ahnaf: “Hai Aba Bhar, mengapa kamu tiada ikut berkata-kata?” Ahnaf menjawab: “Aku taku kepada Allah, jikalau aku bohong dan aku takut kepada Anda, jikalau benar.” . Abu Bakar bin Ayyasy berkata: “Empat orang raja berkumpul, yaitu: Raja India, Raja Cina: Raja (Kisra) Parsia, dan Raja (Kaisar) Rumawi Salah seorang dari mereka berkata: “Aku menyesal terhadap apa yang sudah aku katakan dan tidak menyesal terhadap apa yang belum aku katakan.” Raja yang lain berkata: “Apabila aku berkata-kata dengan suatu perkataan, maka perkataan itu menguasai aku, sementara aku tiada menguasainya. Dan ketika aku tiada berkata-kata dengan perkataan itu, aku menguasainya dan ia tiada menguasaiku.”
Raja yang ketiga berkata: “Aku heran terhadap orang yang berbicara, jikalau perkataannya itu kembali kepadanya, tentu akan mendatangkan kemadharatan baginya, dan jika tidak kembali, tiada bermanfaat baginya.”
Raja yang keempat berkata: “Aku sanggup menolak apa yang tidak aku katakan, daripada menolak apa yang pernah aku katakan.”
Dikatakan, bahwa Mansur bin Mu’taz tidak berkata-kata sepatah pun sesudah waktu Isya’ yang terakhir, selama empat puluh tahun. Ada pula yang mengatakan, bahwa Rabi’ bin Khaisam tidak berkata-kata dengan pembicaraan dunia, selama dua puluh tahun. Setiap pagi dia siapkan tinta, kertas dan pena. Setiap apa yang dia ucapkan ditulisnya, demikian ini selama dua puluh tahun. Kemudian ia menghitung (mengevaluasi) dirinya di sore hari. :
Jika Anda bertanya, keutamaan besar diraih dengan diam, mengapa dan apa sebab-sebabnya? Ketahuilah bahwa keutamaan bersikap diam di antaranya ialah terhindar dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh lidah, misalnya: Bohong, mengumpat, adu domba, riya”, nifag, perkataan keji, perbantahan, merasa dirinya suci, tenggelam dalam perbuatan batil, permusuhan, kesia-siaan, penyelewengan, penambahan dan pengurangan, menyakiti dan merusak kehormatan orang lain. | Demikianlah banyaknya bahaya yang ditimbulkan oleh lidah. Hal-hal tersebut begitu mudah meluncur melalui lidah, ia tidak terasa berat dan bahkan terasa enak saja di hati. Karena terdorong oleh sebuah karakter dan bisikan syaitan serta kemauan untuk melakukannya. Sangat sedikit orang yang sanggup menahan lidahnya. Ia melepas saja lidahnya menurut yang disukainya dan ditahannya yang tidak disukainya. .
Sebagai kunci penyelamat dari bahaya-bahaya tersebut di atas ialah diam. Dengan diam akan selamat dari bahaya tersebut. Karenanya pada diam banyak terkandung keutamaan di dalamnya. Di antaranya, yaitu: terkumpulnya cita-cita, terpeliharanya kehormatan diri, memanfaatkan peluang waktu untuk berpikir, berzikir dan untuk beribadah, dan selamat dari mengikutkan kata-kata dalam urusan duniawi, serta selamat dari hisab yang memberatkan di akhirat.
Allah Ta’alah berfirman:
Artinya:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada 4 dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (OS. Oaaf: 18) Oleh sebab itu, diam merupakan sikap utama.
Sementara pembicaraan (kalam) itu, ada empat macam, yaitu:
- Pembicaraan yang semata-mata bahaya
- Pembicaraan yang semata-mata berguna
- Pembicaraan yang mengandung bahaya dan manfaat
- Pembicaraan yang tidak berbahaya dan tidak pula bermanfaat.
Adapun terhadap pembicaraan yang semata-mata bahaya, mak diam dari padanya menjadi sebuah keharusan. Begitu pula terhadap perkataan yang mengandung bahaya dan manfaat, karena kemanfaatan tidak akan dapat sempurna dengan adanya kemadharatan.
Sedangkan terhadap perkataan yang tidak ada padanya manfaat dan tidak pula bahaya, adalah sebuah kesia-siaan belaka. Berbuat dengan hal yang sia-sia itu berarti membuang-buang waktu dan energi. Maka dengan begitu pada hakekatnya juga merupakan kerugian yang nyata.
Dengan demikian, maka peluangnya tinggal yang seperempat. Tiga perempat dari padanya telah gugur, sehingga hanya tinggal yang seperempat. Bahkan pada yang seperempat ini pun masih dikhawatirkan akan timbulnya bahaya. Seperti, adanya faktor riya’ yang sangat halus, perkas :’ yang dibuat-buat, mengumpat, merasa dirinya suci, berlebih-lebihan dalam perkataan. Hal-hal semacam ini, sering kali menyelinap secara sama. dalam suatu perkataan, bercampur baur yang tidak mudah diketahui Oleh sebab itu, pada yang seperempat itupun masih terdapat bahaya yang perlu diwaspadai.
Barang siapa yang mengetahui bahaya lidah yang sangat halus d. samar seperti tersebut di atas, tentu ia mengetahui aparahasiadan hik. : dari sabda Nabi saw.
Artinya:
“Barang siapa diam, tentu ia selamat dari bahaya.” (HR. Tirmidzi Sungguh, demi Allah, Nabi Muhammad saw. adalah seorang yang dianugerahi mutiara hikmah. Kata-kata dan sabda beliau penuh dengan mutiara hikmah, makna yang amat luas dan dalam. Tidak ada yang dapat menggalih dan menyelami lautan makna, kedalaman dan keluasannya, kecuali ulama khosh.
Kami akan menjelaskan bahaya-bahaya lidah dan sulitnya mengatasi bahaya tersebut dalam pembahasan berikutnya insya Allah. Kami mengualifikasikan bahaya-bahaya tersebut menjadi dua puluh kategori. dengan memohon pertolongan kepada Allah, semoga dengan begitu kita mendapatkan petunjuk dan dapat terhindar dari bahaya lidah.
Berikut inilah bahaya-bahaya lidah, yang pembahasannya kami mulai sari yang terhitung paling ringan, yaitu membicarakan hal-hal yang tidak berguna dan kami akhiri dengan pembahasan menggunjing, mengumpat, adu domba dan dusta.
Kiranya perlu Anda ketahui bahwa sikap yang paling baik bagi orang ialah menjauhkan diri dari mengumpat, adu domba, bohong, riya’, berbantah-bantahan yang hanya menimbulkan dendam, permusuhan dan bertengkar.
Sebaiknya Anda berbicara pada hal-hal yang mubah dan tidak mengandung bahaya. Itupun seperlunya saja. Jangan membicarakan sesuatu : yang tidak perlu dan tidak berguna. Karena hanya akan menyia-nyiakan waktu dan membuat kepenatan lidah. Alihkan peluang pembicaraan yang tidak perlu pada yang perlu, yang tidak penting pada yang penting dan baik.
Karena jika Anda mengalihkan peluang pembicaaran yang tidak perlu untuk dimanfaatkan berpikir, bisa jadi Allah membukakan rahmat-Nya ketika Anda sedang melakukan perenungan. Daripada membicarakan sesuatu yang tidak perlu, maka akan lebih baik kiranya bila dialihkan untuk tahlil, berzikir. Betapa banyak kalimat thayyibah, yang sesungguhnya ketika
kalimat itu diamalkan adalah berarti membangun istana di surga. Ketika peluang membangun istana di surga itu terbuka selebar-lebarnya, lalu tidak dimanfaatkan, tentu ini merupakan sebuah kerugian yang nyata. Ini sebuah ibarat bagi orang yang memiliki kesempatan untuk berzikir mengingat Allah, tetapi dia gunakan untuk membicarakan hal-hal mubah yang tidak ada gunanya. Sekalipun pada dasarnya hal itu tidak berdosa, tetapi sesungguhnya dia kehilangan kesempatan yang memberikan peluang keuntungkan yang besar seandainya digunakan untuk berzikir kepada Allah swt.
Diamnya orang mukmin, haruslah digunakan untuk berpikir dan melakukan perenungan, penglihatannya untuk mengambil ibrah (pelajaran) dan ucapannya adalah berupa zikir. Demikian menurut hadis Nabi saw. Bahkan, modal pokok seorang hamba Allah ialah waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Apabila seseorang menggunakan kesempatan dan waktunya untuk yang tidak berguna, dan tidak mendaya fungsikan untuk mengumpulkan pahala buat akhiratnya, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan modalnya.
Karenanya Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Di antara sebaik-baik Islam seseorang ialah kesediaannya untuk meninggalkan apa yang tidak perlu.” (HR. Tirmidzi).
Bahkan tersebut dalam hadis yang lebih berat lagi yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata:
Artinya:
“Seorang anak dari kami (golongan Anshor) telah mati syahid pada hari perang Uhud. Lalu kami dapatkan di atas perutnya batu yang ‘ terikat, lantaran lapar. Maka ibunya menyapu debu dari mukanya seraya berlata: “Selamat bagimu wahai anakku, di surga. ” Lalu Nabi saw. menjawab: “Dimana kamu tahu? Mungkin ia berkata yang tidak berguna dan mencegah dari apa yang tidak mendatangkan bahaya baginya.” (HR. Tirmidzi).
Disebutkan dalam hadis lain, bahwa Nabi saw. kehilangan Ka’ab, Lalu beliau tanyakan di mana Ka’ab sekarang. Mereka menjawab: “Ia sakit.” Lalu Nabi keluar berjalan, sehingga sampai pada Ka’ ab. Sewaktu Nabi sampai ke tempat Ka’ ab, beliau bersabda: “Gembiralah, hai Ka’ ab.” Ibunya berkata: “Selamat, bagimu surga, wahai Ka’ ab.” Lalu Nabi saw.
bertanya: “Siapakah wanita yang bersumpah atas nama Allah ini ? Ka’ab menjawab: “Dia ibuku, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi menyahut “
Artinya:
“Apakah yang memberitahukan kepada engkau wahai Ibu Ka’ab? Mungkin Ka’ab berkata sesuatu yang tidak berguna atau mencegah mengatakan apa yang tidak diperlukan.” (HR. Ibnu Abiddunya)
Artinya, surga itu disediakan secara langsung untuk orang yang tidak terkena hisab. Sedangkan orang yang berkata, dalam hal yang tidak diperlukan, tentu ia dihisab, sekalipun perkataannya itu mengenai persoalan yang diperbolehkan (mubah). Maka dia tidak bisa secara langsung masuk surga. Adanya hisab (perhitungan amal) yang membuatnya kelelahan dan merasa tersiksa, sesungguhnya itu merupakan bentuk siksaan, sekalipun pada akhirnya ia lolos dan bisa masuk surga.
Dari Muhammad bin Ka’ab, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang pertama kali masuk pintu ini adalah seorang laki-laki penduduk surga.” Kemudian ternyata yang memasuki pintu yang dimaksud oleh Rasulullah saw. itu adalah Abdullah bin Salam. Mengetahui akan hal itu, para sahabat Rasulullah saw. bergegas menemui Abdullah . bin Salam, dan menginformasikan kepadanya mengenai sabda beliau j tersebut. Selanjutnya mereka bertanya kepada Abdullah: “Beritahukan kepada kami, akan keistimewaan amal yang kamu harapkan, sehingga kamu mendapatkan keistimewaan sebagaimana yang diberitakan Nabi saw.” Abdullah menjawab: “Sesungguhnya aku adalah orang yang lemah, namun sesuatu yang sangat aku tekankan dan harapkan kepada Allah ialah keselamatan dada (hati) dan meninggalkan apa yang tidak berarti bagiku.” (HR. Ibnu Abiddunya).
Mujahid berkata, aku mendengar Ibnu Abbas berkata: “Ada lima hal yang lebih aku sukai, melebihi dari kuda yang bagus (kendaraan mewah) yang di persiapkan untuk dikendarai, yaitu:
Pertama: Janganlah kamu berkata akan sesuatu yang tidak berarti bagimu. Karena hal itu merupakan bentuk pembicaraan yang berlebihlebihan dan menjadikan kamu tidak aman dari dosa. Dan Jangan pula kamu membicarakan akan sesuatu yang kamu anggap penting, sebelum kamu mendapat tempat pas untuk membicarakan hal terscbut. Karena banyak orang yang berkata tentang sesuatu yang penting baginya, namun ja menyampaikannya dalam kondisi yang tidak tepat, sehingga ia mendapatkan kesulitan.
Kedua: Janganlah kamu bertengkar (bermusuhan) dengan orang yang lemah-lembut dan jangan pula terhadap orang yang bodoh. Karena orang yang lemah lembut itu, akan marah kepadamu dalam hatinya, sementara orang yang bodoh akan menyakitimu dengan lidahnya.
Ketiga: Sebutlah saudara (temanmu), ketika ia jauh darimu dengan perkataan yang sekiranya ia suka kamu menyebutnya dengan perkataan itu. Dan maafkanlah dia mengenai sesuatu yang sekiranya kamu suka ja memberikan pengampunan kepadamu, sebagaimana (pengampunan) yang kamu berikan padanya itu.
Keempat: Bergaullah dengan temanmu dengan cara sebagaimana yang kamu sukai ia bergaul denganmu.
Kelima: Berbuatlah sebagaimana perbuatan seseorang yang tahu bahwa dengan perbuatan itu ia bakal dibalas dengan kebaikan, atau dengan perbuatan yang dilakukannya itu ia akan mendapatkan siksa.
Lukman Hakim pernah ditanya: “Apa yang membuat kamu memperoleh hikmah?” Lukman Hakim menjawab: “Aku tidak bertanya
. mengenai sesuatu yang sudah cukup memadai bagiku. Dan aku tidak memberatkan diriku akan sesuatu yang tidak berarti bagiku.”
Murig Al “Ajli berkata: “Semenjak dua puluh tahun yang lalu aku mencari sesuatu, tetapi aku tidak memperolehnya. Dan aku tidak meninggalkan dalam usaha mencarinya.” Lalu mereka bertanya: “Apakah sesuatu itu?” Murig menjawab. “Diam, dari membicarakan sesuatu yang tidak penting bagiku.”
Umar ra. berkata: “Janganlah kamu mendatangi sesuatu yang tidak penting bagimu! Asingkan dirimu dari musuhmu! Waspadalah untuk membicarakan sesuatu dengan temanmu, kecuali terhadap orang-orang yang terpercaya. Dan tiada orang yang terpercaya kecuali orang yang takut pada Allah Ta’ala. Janganlah kamu berteman dengan orang yang zalim, sehingga membuat kamu tahu akan kezaliman dan kedurhakaannya. Jangan kamu perlihatkan rahasiamu kepadanya. Dan musyawarahkan urusanmu dengan orang-orang yang takut akan Allah Ta’ala.”
Batas mengenai perkataan yang tidak berarti bagimu ialah suatu pembicaraan yang seandainya kamu diam dari perkataan itu, tiada berdosa, dan tidak pula mendatangkan kemadharatan terhadap keadaan dan harta. Misalnya, ketika kamu duduk bersama orang banyak, lalu kamu bercerita kepada mereka tentang perjalananmu dan apa yang kamu lihat dalam : perjalanan itu, mengenai gunung-gunung, sungai-sungai, peristiwa. ‘ peristiwa yang terjadi atas dirimu, juga mengenai makanan dan pakaian yang kamu pandang baik, dan apa yang kamu kagumi tentang para tokoh dari sebuh negara serta berbagai hal yang bergubungan dengan | mereka.
Hal-hal tersebut, seandainya kamu diam dan tidak menceritakannya, kamu tidak berdosa dan tidak pula membahayakan kamu. Apabila kamu berusaha sungguh-sungguh, sehingga kamu cerita apa adnya tidak menambah dan tidak pula mengurangi, tidak pula mencampuri cerita dengan sikap pembersihan diri dan merasa bangga dengan menyaksikan . hal-hal besar dan tidak pula mencaci seseorang dan mencela sesuatu ‘ yang dijadikan oleh Allah swt., maka meskipun demikian, sesungguhnya kamu adalah menyia-nyiakan waktu. Semoga kamu selamat dari bahaya yang telah kami sebutkan di atas.
Di antara bahaya-bahaya itu, ialah jika kamu bertanya kepada orang lain menegnai sesuatu yang tidak berguna bagimu. Maka dengan pertanyaan itu, berarti kamu telah menyia-nyiakan waktu. Dan kamu juga
telah membuat temanmu agar menjawab pertanyaan kamu, yang berarti kamu telah menyeret teman kamu untuk menyia-nyiakan waktu bersamamu.
Kebanyakan pertanyaan akan sesuatu, dapat menimbulkan bahaya. Misalnya, ketika kamu bertanya kepada orang lain tentang ibadahnya: “Adakah kamu berpuasa?” Jika ia menjawab. “Ya.” Maka pertanyaan | kamu itu mengundang ia melahirkan ibadahnya. Sehingga sangat potensial menimbulkan unsur riya”. Kalaupun tidak kemasukan unsur : riya”, maka gugurlah ibadahnya dari tataran tingkat ibadah sirri yang nilainya lebih tinggi beberapa derajat daripada ibadah secara terang-terangan (ahr). Jikaia menjawab: “Tidak.” Maka orang itu dikategorikan sebagai – pendusta. Dan jika ia diam, berarti ia meremehkan kamu, sehingga kamu : pun merasa tersakiti kerananya.
Dengan demikian, pertanyaan Anda tersebut menyebabkan timbulnya riya’, kebohongan, sikap meremehkan orang atau membuatnya merasa kesulitan untuk memberikan jawaban kepada Anda. Begituu pula, akan halnya pertanyaan terhadap ibadah-ibadah yang lain, juga pertanyaan mengenai kemaksiatan dan sesuatu yang dirahasiakan yang membuatnya ‘ merasa malu bila diungkapkan. Sedangkan pertanyaan Anda mengenai sesuatu yang terjadi pada orang lain, misalnya: “Apa yang kamu katakan?, Apa yang terjadi padamu? Atau begitu pula ketika Anda berpapasan dengan seseorang di jalan, lalu Anda bertanya: “Dari mana?” Maka bisa jadi, ada sesuatu yang menghalanginya untuk menjawab pertanyaan Anda secara terus terang. Karena bila ia mengungkapkan yang sebenarnya, ia merasa sakit atau malu karenanya. Namun bila ia tidak menjawab dengan jujur, maka berarti dia berdusta. Sehingga Anda lah yang menjadi penyebabnya.
Begitu pula ketika Anda bertanya akan sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu Anda tanyakan. Karena bisa jadi orang yang Anda tanya tidak berkenan memberikan jawaban atas pertanyaan Anda, sehingga ia menjawab sekenanya tanpa dipikirkan lebih dahulu. Dan jawaban itu tidak berarti bagi Anda, sementara Anda tidak mau berbicara akan susuatu yang tidak ada urgensinya.
Sebagai sebuah contoh mengenai perkataan yang tidak penting ialah sebagaimana apa yang telah terjadi dalam riwayat, bahwa Lukman Hakim suatu ketika pernah masuk ke tempat Nabi Daud as. dan Nabi Daud saat itu sedang menjahit baju besinya. Lukman Hakim belum pernah melihat baju besi, sebelum hari itu. Maka ia amat heran terhadap apa yang dilihatnya. Sehingga ia bermaksud menanyakannya, akan tetapi hikmah (kebijakan) yang dimilikinya membuatnya tidak jadi bertanya, ia tetap menahan pertanyaannya.
Ketika Nabi Daud as. selesai membuat baju besinya, ia berdiri dan memakai baju besi itu, seraya berkata: “Bagus benar baju besi ini untuk perang.” Maka Lukman menjawab: “Diam itu adalah sikap bijak (hikmah), tetapi sedikit orang yang melaksanakannya.”
Artinya, pengetahuan akan hal tersebut dia dapat, tanpa mengajukan pertanyaan. Lalu tidak memerlukan pada pertanyaan. Sebagian ada yang mengatakan bahwa Lukman pulang pergi kepada Daud as. selama setahun, dengan maksud untuk mengetahui akan hal itu, tanpa bertanya kepada Daud as.
Meninggalkan bertanya mengenai sesuatu yang tidak perlu merupakan sikap seorang muslim yang baik. Adapun sebab yang mendorong terjadinya pertanyaan itu adalah keingintahuan akan sesuatu yang tidak perlu atau hanya sekadar perbincangan dengan maksud menimbulkan kecintaan atau untuk mengisi waktu dengan cerita-serita yang tidak ada gunanya.
Sebagai bentuk terapi dan pengobatannya ialah dengan menimbulkan kesadaran bahwa kematian sesungguhnya telah berada di hadapannya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari setiap kata yang diucapkan. Sementara nafsanya adalah modal yang sangat berharga, dan menyia-nyiakan dengan hal-hal yang tidak berguna merupakan kerugian yang nyata.
Hal itu, merupakan pengobatan dari aspek keilmuan. Sedangkan dari segi tindakan adalah dengan jalan uzlah (mengasingkan diri), atau dengan jalan meletakkan, semacam batu kerikil misalnya di mulut, supaya terbiasa diam, tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Pengendalian lidah tanpa melakukan uzlah semacam ini, bukan pekerjaan yang mudah.
Ucapan yang berlebih-lebihan juga termasuk tercela. Karena hal ini berarti telah ambil bagian memasuki wilayah pada pembicaraan sesuatu yang tidak penting. Penambahan kata terhadap sesuatu yang dipandang penting hendaklah dilakukan seperlunya saja. Sesuatu yang penting, semestinya dikemukakan dengan kalimat yang singkat dan padat. Lalu diulangi lagi bila dianggap perlu. Sesuatu yang maksudnya sudah bisa ditangkap dengan satu kata, namun disampaikan dengan dua kata, maka kata yang kedua, sudah termasuk berlebihan. Melebihkan kata dari yang diperlukan itu, termasuk tercela, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sekalipun hal itu tidak mengandung dosa dan tidak pula bahaya. Atha’ bin Abi Rabah berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu, tidak suka akan ucapan yang berlebih-lebihan. Perkataan selain Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah saw., atau amar ma’ruf dan nahi mungkar, bagi mereka adalah sebagai perkataan yang berlebihan. Berkatalah sesuai dengan keperluan kamu dalam hidup yang menjadi keniscayaan dan yang tidak bisa tidak saja. Karena di samping kanan dan kiri kau terdapat pencatat setiap perkataan dan amal perbuatan kamu.
Firman Allah SWT.:
Artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (OS. Oaaf: 18).
Apakah seseorang di antara kamu tidak merasa malu ketika lembaranlembaran buku catatan itu dibeberkan, sementara isinya penuh dengan hal-hal yang tidak berarti, yang tidak berhubungan dengan urusan agama dan kemaslahatan hidupnya. Sebagian sahabat Nabi saw. ada yang berkata, bahwa ada seseorang yang berkata kepadaku, agar aku.merespons dan menjawabnya. Sekalipun aku sangat ingin menjawabnya, namun aku tidak menjawabnya karena takut jangan-jangan termasuk perkataan yang berlebihan.
Mathraf bin Abdullah berkata: “Hendaklah kebesaran Allah itu agung dalam hatimu! Maka janganlah kamu menyebutkan-Nya, pada seumpama perkataan seseorang terhadap anjing dan keledai: “Ya Allah, hinakanlah dia.” Dan kata-kata lain yang serupa dengan itu.”
Ketahuilah, bahwa ucapan yang berlebihan itu tidak terhitung banyaknya. Tetapi yang penting itu, teringkas dalam kitab Allah Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma ‘ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (OS. An Nisa’: 114).
Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya:
“Berbahagialah orang-orang yang menahan kelebihan dari lidahnya dan membelanjakan kelebihan dari hartanya.” (HR. Baihagi). Perhatikanlah, bagaimana manusia memutar balikkan keadaan, berkenaan dengan hadis tersebut. Mereka menahan kelebihan harta dan melepas kelebihan lidah.
Dari Mathraf bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, aku pernah datang pada Rasulullah saw., ketika itu beliau sedang berada di tengah keluarga Bani Amir. Mereka berkata: “Engkau bapak kami, engkau penghulu kami, engkau yang paling mulia, paling tinggi dan engkau…dan engkau…”
Mendengar perkataan mereka itu Rasulullah saw. lalu menjawab: “Katakan perkataanmu (seperlunya secara tepat), janganlah kamu diombang-ambingkan oleh syaitan.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Hadis ini menunjukkan bahwa lidah bila dilepaskan dengan banyak memuji, meskipun itu benar, maka dikhawatirkan akan diombang-ambingkan oleh syaitan, kepada kata-kata tambahan yang tidak diperlukan.
Ibnu Mas’ud berkata: “Aku peringatkan kamu akan kelebihan perkataanmu. Cukuplah bagi seseorang untuk berkata sesuai dengan yang diperlukan saja.”
Mujahid berkata: “Setiap perkataan itu, tentu akan dicatat, hingga seseorang yang diam lalu berkata kepada anaknya, akan aku belikan kamu begini dan begini. Namun akhirnya ia dicatat sebagai pembohong karena ucapannya itu tidak direalisasikan.
Hasan Bashri berkata: “Hai Anak Adam! Dibentangkan lembaran (buku cacatan amal) untukmu. Lalu ditugaskan dua orang malaikat yang mulia, yang akan menuliskan semua amal perbuatanmu pada lembaran itu. Berbuatlah apa yang kamu kehendaki, banyak atau sedikit (semuanya akan dicatat).”
Diriwayatkan bahwa pernah suatu ketika Nabi Sulaiman mengutus jin ifrit, lalu ia juga mengutus sekelompok utusan yang lain agar mengawasinya lalu melaporkan kepadanya. Kemudian mereka melaporkan kepada Nabi Sulaiman bahwa jin itu pergi ke pasar, ia mengangkat kepalanya memandang ke langit lalu memandang manusia, seraya menggelenggelengkan kepalanya. Ketika Nabi Sulaiman bertanya kepadanya mengenai hal tersebut, ia menjawab: “Aku heran betapa cepatnya, malaikat melakukan pencatatan setiap yang yang dikatakan dan diperbuat oleh manusia.
Ibrahim At Taimi berkata: “Ketika orang mukmin hendak berkata, tentu direnungkan terlebih dahulu, jika bermanfaat, jadilah ia berkata, jika tidak, maka ia tidak jadi berkata. Sedangkan orang yang durhaka, ia melepas lidahnya begitu saja, secara bebas.
Hasan Bashri berkata: “Barangsiapa yang banyak perkataannya, niscaya banyak bohongnya. Barangsiapa yang banyak hartanya, tentu banyak dosanya. Dan barangsiapa yang buruk akhlaknya, berarti ia Menyiksa dirinya.”
Amr bin Dinar berkata, bahwa pernah ada seseorang berkata panjang lebar di depan Nabi saw. lalu berliau bersabda: “Bukankah telah ada hijap bagi lidahmu?” Ia menjawab: “Kedua bibir dan gigiku.” Beliau menjawab. “Mengapa kamu tidak memfungsikannya, untuk mengendalikan pem. : bicaraanmu.”
Menurut riwayat yang lain, Nabi saw. melontarkan ucapan tersebut kepada seseorang yang banyak memuji beliau. Perkataan pujian itu ‘ begitu panjang dan berlebih-lebihan. Selanjutnya beliau saw. Bersabda, :
Artinya:
“Tidak diberikan kepada seseorang akan kejahatan dari kelebihan pada lidahnya.”
Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: “Sesungguhnya aku menahan dari banyak berkata, karena takut ada rasa membanggakan diri, dengan perkaan itu.”
Sebagian hukama ada yang berkata: “Apabila seseorang berada dalam | suatu majlis. Lalu pembicaraannya menakjubkan, maka hendaklah ia diam. ‘ Dan bila ia diam, lalu merasa bangga dengan diamnya, maka hendaklah | ia bicara.”
Yazid bin Abi Habib berkata: “Di antara fitnah yang terjadi pada orang alim (ulama) ialah karena ia lebih suka bicara daripada mendengarkan. Sekiranya ia memandang cukup dengan,apa yang disampaikan, maka ketahuilah bahwa diam itu lebih selamat, karena dalam perkataan itu terjadi penghiasan kata-kata, kelebihan dan kekurangan.”
Ibnu Umar berkata: “Sesungguhnya yang paling patut dibersihan oleh seseorang adalah lidahnya.” Abu Darda’ pernah melihat seorang wanita yang memiliki kedudukan, lalu ia berkata: “Seandainya wanita itu bisu, tentu lebih baik baginya.” Sedangkan Ibrahim bin Adham berkata: “Manusia akan celaka disebabkan dua hal, yaitu: Kelebihan harta, dan kelebihan bicara.”
Demikianlah, pembahasan tentang tercelanya kelebihan dan banyak bicara, sebab-sebab yang membangkitkannya. Sedangan cara mengatasinya sebagaimana yang telah disebutkan di dalam pasal 2, tentang membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Pen
Berbicara dalam hal kemaksiatan, seperti, menceritakan tentang keadaan wanita, minuman khamar, tempat-tempat orang-orang fasik, kesenangan orang-orang kaya, keperkasaan para raja, serta tempat-tempat mereka yang tercela dan hal ihwal mereka yang tidak disukai secara syar’i. Maka hanyut dalam pembicaan hal-hal tersebut, adalah tidak halal alias haram.
Adapun berbicara tentang sesuatu yang tidak penting atau lebih banyak daripada yang penting. Maka berbicara dalam itu berarti meninggalkan yang utama, tidak sampai pada tingkat keharaman.
Orang yang banyak bicara akan hal-hal yang tidak perlu, maka dia tidak akan selamat dari yang batil. Orang yang duduk-duduk sambil ngobrol, tanpa kendali dan tidak membatasi pembicaraannya, maka nyaris tidak akan mungkin tidak membicarakan kehormatan orang lain atau masuk dalam kebatilan.
Aneka macam kebatilan itu tak terbatas, karena sangat banyaknya, juga fitnah yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, tidak akan selamat daripadanya, melainkan dengan jalan membatasi diri, cukup dengan yang perlu saja daripada kepentingan-kepentingan agama dan dunia.
Dalam konteks ini, terdapat kata-kata yang akan membinasakan pelakunya, sementara ia menganggapnya kata-kata itu sebagai hal yang remeh. Bilal bin Harits berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata yang termasuk dalam keridhaan Allah, sementara ia sendiri tidak menyangka bahwa kata yang diucapkannya itu sampai pada sejauh yang tidak terbayangkan. Karena ternyata Allah mencatat ucapannya itu dalam keridhaan-Nya hingga hari kiamat. Ada pula orang yang berbicara dengan kata yang dimurkahi Allah, sementara ia tidak menduga bahwa kata yang diucapkannya, sampai pada sejauh yang tidak dibayangkannya. Karena ternyata Allah mencatat kata itu termasuk dalam kemurkaan-Nya, hingga hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Al-Qamah berkata: “Betapa banyak ucapan yang tertahan olehku, karena adanya hadis yang diriwayatkan dari Bilal bin Harits tersebut.”
Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang berbicara dengar perkataan yang menertawakan teman-teman duduknya, padahal perkataan itu, justru menjatuhkannya lebih jauh dari kejatuhannya dari binatang surayya.”
Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya orang yang berbicara dengan suatu pembicaraan, yang tiada dijumpai dalam perkataan itu hal yang penting, maka ia akan jatuh dalam neraka Jahanam. Dan sesungguhnya orang yang berkata dengan perkataan yang penting dan baik, maka ia diangkat oleh Allah ke dalam surga yang tertinggi.”
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Manusia yang terbesar dosanya pada hari kiamat, ialah orang yang paling banyak turut campur dalam hal yang batil.” Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.” (OS. Al-Muddatsir: 45). Dan firman-Nya:
Artinya:
“..maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kami berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (OS. An Nisa’: 140)
Salman Al Farisi berkata: “Manusia yang paling banyak dosanya pada hari kiamat, ialah yang paling banyak perkataanya pada hal maksiat kepada Allah.”
Ibnu Sirin berkata: “Pernah terjadi seorang laki-laki dari golongan Anshar melewati suatu majlis orang-orang Anshar. lalu orang itu berkata kepada mereka. “Berwudhulah! Karena sebagian yang kamu katakan itu, febih jahat dari hadas.”
| Demikian inilah pembicaan pada yang batil, sebagaimana halnya yang akan diterangkan dalam pembahasan berikutnya mengenai umpatan, menggunjing, adu domba, perkataan keji dan lain sebagainya. Bahkan pembicaraan menganai yang dilarang sebagaimana halnya yang telah disebutkan atau berfikir dan membicarakan kebatilan tanpa adanya keperluan yang bersifat . keagamaan, dalam kerangka untuk mencarikan solusi dan memperbaiki.
Termasuk bicara batil, adalah ceritera-ceritera bid” ah dan aliran-aliran yang merusak, juga cerita yang terjadi pada peperangan antara para sahabat Nabi saw. dengan cara mecaci maki terhadap sebagian dari atas sebagian yang lainnya.
Semua yang diatas itu adalah batil. Berbicara mengenai hal tersebut berarti bicara dalam hal yang batil. Kami memohon kepada Allah, agar kiranya Ia memberikan sebaik-baik pertolongan dengan segala kasih sayang serta kemurahan-Nya, kepada kita. Amin.
Bertengkar dan berbantahan (yang bertujuan untuk saling menjatuhkan dan mempermalukan), dilarang oleh agama. Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Jangan kamu berbantah-bantahan (untuk menjatuhkan dan mempermalukan) dengan saudaramu, jangan kamu bersendagurau dan jangan berjanji padanya dengan suatu janji, lalu kamu menyalahi Janji itu.” (HR. Tirmidzi)
Beliau juga bersabda:
Artinya:
“Tinggalkanlah berbantahan. Karena dengan berbantahan, tiada akan difahami hikmah dan tidak akan aman dari fitnah.” (HR. Tabrani)
Nabi saw. juga bersabda: “Barangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu benar, maka baginya dibangunkan rumah dalam surga tertinggi. Dan barangsiapa meninggalkan perbantahan, sedangkan dia berada di pihak yang salah, maka ia dibangunkan rumah di tengah-tengah surga.”
Dari Ummi Salma ra. ia mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang pertama-tama diberitahukan oleh Tuhan kepadaku dan dilarang aku daripadanya sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah mencaci orang.” (HR. Thabrani dan Baihagi)).
Nabi juga bersabda:
Artinya:
“Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah diberi petunjuk oleh Allah swL., kecuali mereka mendatangi perdebatan.” (HR. Tirmidzi).
Beliau juga bersabda:
Artinya:
“Seorang hamba tidak akan sempurna hakekat imannya, sehingga ia meninggalkan berbantah-bantahan sekalipun ia berada di pihak yang benar.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya: | “Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat enam hal berikur, | berarti ia telah sampai pada hakekat keimanan, yaitu: Puasa di musim panas, memukul musuh-musuh Allah dengan pedang (jihad fii : sabilillah): menyegerakan shalat (di awal waktu) pada hari ketika hujan | turun terus-menerus, sabar dalam menghadapi musibah, menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak disukai (sangat dingin) dan meninggalkan berbantah-bantahan, padahal ia berada di pihak yang benar.” (HR. Dailami).
Az Zubari berkata kepada puteranya: “Janganlah kamu bertengkar (melakukan perdebatan) dengan menggunakan Al Qur an, karena kamu tidak akan sanggup menghadapi mereka. Akan tetapi hendaklah kamu menggunakan Sunnah Nabi saw.”
Umar bin Abdul “Aziz ra. berkata: “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai alat untuk mengahadapi permusuhan, niscaya ia lebih banyak tergelincir.”
Muslim bin Yasar berkata: “Jauhilah perdebatan, karena perbantahan itu menunjukkan saat kebodohan orang berilmu. Dan pada saat itulah syaitan berusaha akan menggelincirkannya.”
Ada yang mengatakan, bahwa suatu kaum tiada akan sesat, ketika mereka sudah mendapat petunjuk Allah, kecuali disebabkan perdebatan.
Malik bin Anas ra. berkata: “Pertengkaran itu tidak ada urgensinya dalam pandangan agama.” Ia juga berkata: “Berbantahan itu menyebabkan | hati membatu dan menimbulkan kedengkian.” :
Lugman berkata kepada puteranya: “Janganlah kamu berbantah-bantahan dengan ulama, karen hal itu akan membuat mereka marah kepadamu.”
Bilal bin Sa’ ad berkata: “Apabila kamu mengetahui orang yang keras kepala, suka berbantah, membangga-bangakan pendapatnya, maka : sempurnalah kerugiannya.”
Sufyan berkata: “Seandainya aku berbeda pendapat dengan temanku, mengenai buah delima. Dia berkata bahwa buah delima itu manis, sementara aku berkata, bahwa buah delima itu masam, tentu ia akan mengajak aku kepada sultan.”
Sufyan juga berkata: “Tuluskan persahabatan terhadap orang yang kamu sukai, lalu buatlah ia marah dengan perdebatan, tentu ia akan melemparkan kamu dengan kecerdikannya pada sebuah kondisi yang menyulitkan kamu.” Ibnu Abi Laila berkata: “Aku tidak akan berbantah dengan temanku. .
“Karena akibatnya, adakalanya aku akan mendustainya, dan adakalanya aku akan memarahinya.”
Abu Darda’ berkata: “Cukuplah akan kedosaanmu, jika kamu selalu j elakukan perdebatan.”
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Tebusan bagi setiap cacian adalah shalat dua rakaat.” (HR. Thabrani).
Umar ra. berkata: “Janganlah kamu mempelajari ilmu lantaran tiga perkara, dan jangan pula kamu meninggalkannya lantaran tiga perkara, yaitu: Janganlah kamu belajar dengan tujuan untuk berbantah-bantahan, untuk kebanggaan diri, dan jangan pula kamu menuntut ilmu hanya untuk mencari popularitas (ria”). Dan janganlah kamu meninggalkan belajar, karena malu menuntut ilmu: jangan pula karena zuhud terhadap ilmu, an jangan pula karena rela menjadi orang bodoh.”
Nabi Isa as berkata: “Barangsiapa banyak berdusta, maka akan hilanglah eindahannya. Barangsiapa suka bertengkar dengan orang, maka akan hilang ehormatannya. Barangsiapa banyak berduka, akan sakit tubuhnya. Dan arangsiapa jahat akhlaknya, tentu ia menyiksa dirinya sendiri.”
Ada orang bertanya kepada Maimun bin Mahran: “Mengapa kamu ada meninggalkan temanmu karena kemarahan?” Maimun bin Mahran senjawab: “Karena aku tiada bermusuhan dan tiada berbantahan xengannya.”
Keterangan mengenai buruknya berbantahan dan perdebatan masih bih banyak daripada yang telah dikemukakan. Adapun batas daripada berbantah-bantahan itu ialah, setiap perlawanan terhadap perkataan seorang dengan melahirkan kekurangan dan cacatnya, baik berkenaan engan kata-kata atau pada arti atau pada maksud dari yang mengatakannya. eninggalkan berbantahan itu ialah dengan jalan meninggalkan perlawanan an pertentangan. Maka setiap kata yang kamu dengar, kalau memang benar, maka benarkanlah. Dan jika salah atau bohong dan tidak menyangkut urusan agama, maka sebaliknya diamkan.
Mengecam perkataan orang lain, adakalanya berkenaan dengan kata. katanya, dengan melahirkan cacat padanya, bisa jadi dari segi tata bahasa, segi bahasa, atau segi bahasa Arabnya atau dari segi susunan dan tertib kata, kronologisnya, yang bisa jadi disebabkan karena kedangkalan pengetahuannya atau karena tergelincirnya lidah. Oleh sebab itu, bagaimanapun juga tidak ada alasan kalau hanya sekadar untuk mengungkap cacat dan aib.
Adapun mengenai perdebatan yang terkait dengan arti kata, ialah seperti perkataan: “Bukan seperti apa yang kamu katakan. Kamu salah pada arti kata itu, dari segi ini… dan itu…”
Sedangkan contoh yang berhubungan dengan maksud perkataan, seperti perkataan seseorang: “Perkataan itu memang benar, akan tetapi bukan kebenaran yang kamu maksudkan dengan perkataan itu. Namun dibalik itu sesungguhnya kamu mempunyai maksud lain.” Dan lain sebagainya yang senada dengan perkataan itu.
Jenis perdebatan semacam ini, dalam forum-forum ilmiah lebih dikenal dengan istilah diskusi, seminar dan sejenisnya yang juga dipandang tercela. Maka kamu harus diam, kecuali bertanya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat. Bukan sekadar untuk mendebat dan menyangga sebagai sebuah bentuk perlawanan untuk menikam dan menjaga gengsi.
Adapun batasan mujadalah (perdebatan) adalah sebuah ungkapan (barat) dengan maksud mendiamkan orang lain dengan alasan (hujjah), yang bertujuan untuk mengungkap kelemahan dan kekurangan sehingga – terlihat akan cacat dan kebodohannya.
Tanda-tanda dari hal tersebut ialah, seperti ketika seseorang memperingatkan kepada kebenaran dengan cara-cara yang tidak disukai oleh lawan bicaranya. Karena dengan cara itu dimaksudkan untuk memperlihatkan kesalahan dan kelemahan lawan bicaranya dan untuk memperlihatkan kelebihan dan keunggulan dirinya. Maka tiada jalan lain untuk lepas dari hal itu, selain dengan diam, dari tiap-tiap yang tidak akan berdosa, kalau didiamkan.
Adapun yang menggerakkan pada perdebatan semcam itu, adalah karena ambisi untuk mendemonstrasikan kemahiran ilmu pengetahuan dan kelebihan, dengan melakukan serangan kepada orang lain dan menunjukkan kekurangannya.
Dua hal tersebut, yaitu, ambisi untuk menunjukkan keunggulannya satu sisi dan membeberkan kelemahan orang lain di sisi lain, merupakan keinginan kuat nafsu yang ada dalam diri manusia. Adapun mengenai ambisi akan keunggulan diri, maka itu termasuk .ebagian daripada sifat merasa sok suci. Dan merupakan sebagian dari ddorongan kehendak yang terkandung pada seseorang, dari durhakanya yang mendakwakan dirinya tinggi dan agung. Padahal yang demikian “jitu, adalah termasuk sifat ketuhanan. : Sedangkan ambisi untuk menjatuhkan orang lain, maka itu termasuk ehendak dan sifat binatang buas (sabu’iyah). Karakter kebinatangan .emacam ini, selalu menuntut untuk mencabik-cabik pihak lain mematahkan, membinasakan dan menyakitinya. Kedua sifat tersebut merupakan sifat yang tercela dan membinasakan. Dua sifat itu akan menjadi berkembang dan kuat dengan berbantahan dan serdebatan. Orang yang biasa berbantahan dan bertengkar menguatkan sifat ini yang membiasakan ini. Prilaku semacam ini dipandang tercela dan tidak disukai dalam agama. Dan merupakan bentuk kemaksiatan, etika sampai menyakitkan orang lain.
Berbantah-bantahan, tidak terlepas dari sikap yang menyakitkan, memangkitkan kemarahan dan membawa orang yang sudah berhenti dari perdebatan untuk mengulangi dan melanjutkan lagi. Ia lafu memperdahankan perkataanya, dengan segala cara. Sehingga pertengkaran dan perdebatan sengit antara keduanya pun menjadi tak terhindarkan. Keduanya galin g menikam, menjatuhkan, mencabik-cabik dan mematikan lawannya. Seperti halnya dua anjing yang saling terkam dengan segala kebuasan dan kecerdikannya.
Adapun pengobatannya ialah dengan menghancurkan kesombongan ang menggerakkan dan melahirkan kelebihan. Juga menghancurkan sifat inatang buas yang menggerakkannya untuk memperlihatkan kekurangan orang lain. Sesungguhnya pengobatan setiap penyakit, ialah dengan jalan menghilangkan sebab-sebabnya, sebagaimana yang telah kami sebutkan gebelumnya. Apabila perdebatan itu telah menjadi kebiasaan, maka akan menjadi karakter yang sulit dihindarkan.
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah ra. bertanya kepada Dawug Ath Tha-i: “Mengapa kamu memilih tempat di sudut?” Dawud Ath Tha-j menjawab: “Karena aku berusaha memerangi nafsuku agar tidak melakukan perdebatan.” Abu Hanifah berkata: “Hadirilah majlis-majlis (forum) laly dengarkan apa yang dikatakan orang, sementara kamu jangan berkata-kata.”
Dawud At Tha-i berkata: “Aku pun berbuat demikian. Tiada aku lihat perjuangan yang lebih berat atas diriku dari itu.” Dan benar, sebagaimana telah dikatakan oleh Abu Hanifah. Karena orang yang mendengar kesalahan orang lain, sedangkan terbuka kesempatan baginya untuk membuka kesalahan itu, tentu sangat sulit baginya bersabar untuk tidak bicara. Karena itulah Nabi bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa meninggalkan berbantah-banrahan, sedang ia di pihak yang benar, maka Allah membangunkan baginya suatu rumah dalam surga yang tertinggi.”
Karena yang demikian itu merupakan perjuangan yang sangat berat. Kejadian semacam itu, kebanyakan terjadi pada berbagai mazhab dan aliran kepercayaan. Karena perdebatan itu merupakan tabiat manusia. Apabila ia menyangka akan memperoleh pahala, maka amat besar keinginannya, sehingga terjadi saling dukung mendukung antara tabiat dan syari’at, untuk menunjukkan keunggulan dan kecerdasannya. Hal ini merupakan sebuah kesalahan.
Seharusnya seseorang menahan lidahnya untuk melakukan perdebatan dengan ahli kiblat (orang yang ahli shalat), ketika ia melihat di antara mereka ada yang berbuat bid’ah, maka hendaklah ia menyampaikan nasehatnya dengan lemah lembut dan di tempat yang sepi, tidak dengan jalan melakukan serangan perdebatan, apalagi secara terbuka. Karena perdebatan yang tentunya dilakukan dengan penguatan argumentasi atas dirinya dengan segala upaya dan rekayasanya, hanyalah akan melahirkan pertentangan dan permusuhan. Sebagaimana yang terjadi di antara ahli mazhab, dalam upayanya untuk mempertahankan mazhabnya masing-masing. Perdebatan semacam ini, justru bertambah menguatkan bid’ah lawannya. Ketika telah diketahui bahwa nasehat yang dilakukan di jalan berdebatan itu tidak membuahkan manfaat, maka menahan diri dan diam merupakan sikap yang lebih baik dan bijak.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Allah mengasihi orang-orang yang menahan lidahnya dari (mendebat) ahli giblah, kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya.”
Hisyam bin Urwah berkata: “Nabi saw. mengulang-ulang sabdanya tersebut sampai tujuh kali.”
Setiap orang yang membiasakan perdebatan dan memenangkannya, ia akan mendapatkan pujian dan diterima oleh banyak kalangan. Dan dengan sebab itu pula peluang kebinasaan menjadi semakin terbuka lebar. Dan hal ini, nyaris tak terelakkan manakala terjadi jalinan hubungan dengan kekuasan, untuk kepentingan kedudukan, riya’, sombong, cinta pangkat dan kemuliaan dengan sarana kelebihan dalam perdebatan yang dimilikinya itu. Ketika berbagai kepentingan itu telah terhimpun, maka perjuangan untuk menghilangkannya sungguh teramat berat. Karena membasmi satu fat saja daripadanya, membutuhkan perjuangan yang tidak mudah.
Permusuhan juga termasuk sifat yang tercela. Permusuhan terjadi di balik pertengkaran dan perdebatan. Berbantah-bantahan adalah menikam hati terhadap perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan lawan bicaranya, tanpa terikat akan suatu maksud, selain untuk memojokkan dan menghina orang lain, dengan tujuan untuk menampakkan kelebihan kecerdasan dirinya.
Perdebatan adalah sebuah ibarat akan suatu hal, yang berhubungan dengan maksud melahirkan aliran-aliran dan eksistensinya. Sedangkan permusuhan (al-khushumah), adalah gelombang perkataan, untuk memperoleh kesempurnaan harta atau suatu hak yang dimaksud.
Hal yang demikian adakalanya terjadi dengan nada datar pada awal mulanya, yang pada saat yang lain berupa peelawanan dan pertentangan. Perdebatan tidak akan terjadi, selain dengan didahului atas teguran terhadap perkataan yang sudah terlanjur.
Aisyah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling dimarahi oleh Allah, ialah orang yang sangat bermusuhan.” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah berkata, sesungguhnya Rasullah saw. bersabda:
Artinya: : “Barangsiapa berdebat dalam suatu permusuhan, tanpa dasar ilmu, maka ia senantiasa dalam murka Allah, hingga ia mencabut diri daripadanya.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Sebagian ulama ada yang berkata: “Jagalah dirimu dari permusuhan karena permusuhan itu akan menghapus agamanya.” Dan dikatakan pula bahwa orang yang wara” sama sekali tidak bermusuhan dalam agama.
Ibnu Outaibah berkata, suatu ketika Bisyr bin Abdullah bin Abi Bakrah datang kepadaku, Lalu ia bertanya: “Apakah gerangan yang menyebabkan kamu duduk di sini?” Aku menjawab: “Lantaran permusuhan antara aku dan anak pamanku.” Lalu Bisyr berkata: “Ayahmu sangat baik kepadaku. Aku bermaksud membalas budi kepadamu. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatupun yang menghilangkan agama, mengurangi kepribadian, menyianyiakan kesenangan dan mengganggu hati, selain daripada permusuhan.”
Ibnu Outaibah berkata: “Lalu aku bangkit berdiri, hendak pergi.” Ia bertanya: “Apa apa denganmu, mengapa kamu pergi?” Aku menjawab. “Tidak akan ada permusuhan lagi antara aku denganmu.” Sepupu Ibnu Outaibah (Bisyr) berkata: “Sesungguhnya kamu menjadi tahu bahwa kebenaran ada pada pihakku.” Ibnu Outaibah menjawab: “Tidak, tetapi aku lebih mengutamakan menjaga diri daripada hanya sekadar menunut kebenaran dengan melakukan perdebatan.” Sepupunya menyahut lagi: “Aku tidak meminta sesuatu darimu, mengenai apa yang memang menjadi milikmu, tetapi kebenaran itu memang ada di pihakku.”
Jika Anda bertanya, apabila seseorang mempunyai hak, sementara untuk menuntut haknya itu, permusuhan tidak bisa dihindarkan, karena ja dizalimi oleh lawan bicaranya, maka bagaimana hukumnya, apakah permusuhannya terhadap orang yang zalim itu juga tercela?
Ketahuilah, bahwa celaan itu termasuk yang bermusuhan dengan perkara yang batil dan bermusuhan tanpa ilmu (tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya). Seperti wakil gadhi (orang yang mengambil posisi sebahai penengah). Sebelum ia mengetahui bahwa hak itu pada fihak yang mana, namun ia melibatkan diri sebagai pihak penengah, tanpa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Lalu ia terlibat dalam bermusuhan tanpa ilmu. Atau ia berada di pihak orang menuntut haknya, tetapi ia tidak membatasi sekadar yang perlu saja. Bahkan ia melahirkan permusuhan, dengan maksud menguasai atau menyakiti: Termasuk pula, orang yang bergurau dengan kata-kata yang menyakitkan, yang tidak diperlukan untuk memenangkan dan memperlihatkan kebenaran, begitu pula orang yang melancarkan permusuhan dengan sengaja untuk memancing emosi lawan dan menghancurkannya.
Di antara manusia, ada yang berkata: “Sesungguhnya maksudku dalam permusuhan ini, tiada lain hanya sebagai bentuk kedengkian kepadanya dan menghancurkan kehormatannya. Sesungguhnya, bila aku mengambil harta ini daripadanya, mungkin aku lemparkan ke dalam sumur, dan aku tidak peduli.” Permusuhan semacam ini, sungguh keterlaluan dan sangat tercela.
Adapun orang yang teraniaya, yang membela haknya dengan argumentasi dan cara yang dibenarkan secara syar’i, itu pun disampaikan dengan seperlunya saja tanpa keterlaluan atau berlebih-lebihan, tanpa maksud kedengkian dan menyakitkan, maka perbuatan yang demikian tidak haram. Tetapi bila dapat ditempuh dengan jalan yang lain tanpa memperlihatkan kesan permusuhanm tentu lebih utama. Karena mengekang lidah pada permusuhan dalam batas sederhana adalah sukar. Permusuhan itu menyesakkan dada dan mengobarkan kemarahan. Apabila kemarahan itu telah berkobar, maka lupalah apa yang dipertentangkan. Akibatnya, bagi yang memenangkan pertengkaran itu, akan merasa puas melihat lawannya terpojok, dan senang melihat lawannya bersedih dan dipermalukan. Sementara itu, ia terus melepas lidahnya untuk menelanjangi kehormatan lawannya.
Barangsiapa yang memulai permusuhan, maka ia harus siap menanggung segala resiko yang sangat dikhawatirkan terjadi padanya. Setidak-tidaknya permusuhan itu akan mengganggu pikirannya. Sehingga dalam shalat pun seakan-akan ia menghadapi musuhnya dan sibuk mempersiapkan hujjah untuk menaklukkannya. .
Permusuhan merupakan awal dari setiap kejahatan. Demikian pula perdebatan dan pertengkaran. Oleh sebab itu, sebaiknya Anda tidak membuka pintu permusuhan, kecuali dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat itu, sebaiknya lidah dan hati dijaga dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari permusuhan. Dan yang demikian itu, sulit sekali.
Barangsiapa membatasi permusuhannya dalam hal-hal yang perlu saja, maka ia akan selamat dari dosa, dan permusuhan semacam ini dipandang tidak tercela. Apalagi kalau ia menghindari pertengkaran, mengenai sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dihindari, namun ia mencari jalan keluar yang dirasa cukup bisa mengatasinya, maka yang demikian itu yang lebih utama, dan ia akan terhindar dari kemungkinan berdosa.
Memang, sekurang-kurangnya dalam permusuhan, perdebatan dan pertengkaran itu, hilangnya perkataan yang baik serta pahala yang diperoleh daripadanya, karena setiap perkataan yang baik sekurang-kurangnya, melahirkan persetujuan. Dan tidak ada perkataan kasar, yang lebih besar daripada menusuk hati dan teguran, yang hasilnya adalah membodohkan dan adakalanya mendustakan. Sesungguhnya orang-orang yang bertengkar dengan orang lain atau perdebatan maupun permusuhan, maka ia membodohkan atau mendustakan orang tersebut. Sehingga mengakibatkan hilangnya segala ucapan yang baik.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Ucapan yang baik dan memberi makanan (kepada orang yang memerlukan), akan menempatkan kamu di surga.” (HR. Thabrani).
Allah swt. berfirman:
Artinya:
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (OS. Al Bagarah: 83).
Ibnu Abbas ra. berkata: “Siapa saja dari makhluk Allah yang memberi salam kepadamu, maka jawablah salam itu, sekalipun ia orang Majusi (penyembah api).
Karena Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (OS. An Nisa’: 86).
Ibnu Abbas juga berkata: “Kalau sekiranya Fir’aun berkata dengan baik kepadaku, tentu aku akan balasnya dengan baik pula.”
Anas berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya di dalam surga ada beberapa kamar, yang dapat dilihat lahirnya (luarnya) dari batinnya (dalamnya) dan batinnya Jari lahirnya, Kamar-kamar itu disediakan oleh Allah Ta’ala bagi orang yaiig memberi makanan dan berkata lemah lembut.” (HR. Tirmidzi).
Diriwayatkan bahwa ada seekor babi lewat di hadapan Nabi Isa as. Lalu Nabi Isa berkata: “Lewatlah dengan selamat!” Orang bertanya kepadanya: “Wahai Ruhullah (Nabi Isa), apa yang Anda katakan pada babi itu?” Maka Nabi Isa as. menjawab: “Aku tidak suka membiasakan lidahku dengan yang tidak baik.”
Nabi saw. besabda:
Artinya:
“Kata-kata yang baik itu sadagah.” (HR. Muslim).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun dengan sekeping tamar (kurma). Dan bila kamu tidak memperoleh maka dengan ucapan yang baik.” (Muttafag alaih/Bukhari dan Muslim).
Umar ra. berkata: “Berbuat kebajikan itu, sangatlah mudah, yaitu bisa dengan muka yang berseri-seri dan perkataan yang lemah lembut.”
Sebagian hukama ada yang berkata: “Perkataan yang lemah lembut itu membasuh kedengkian yang tersembunyi pada anggota badan.”
Sebagian hukama ada pula yang berkata: “Tiap-tiap perkataan yang tidak membuat marah Tuhanmu, dan kamu bermaksud untuk menyenangkan orang yang duduk bersamamu. Maka janganlah kamu kikir dengan perkataan itu! Karena bisa jadi dengan perkataanmu itu, kamu akan mendapatkan kebaikan dari orang lain.”
Semua ini, berkenan dengan kelebihan ucapan yang baik. Sebaliknya, permusuhan, perdebatan, pertengkaran dan kegaduhan, semuanya adalah ucapan yang tidak disukai, liar dan menyakitkan hati, mengeruhkan kehidupan, menggerakkan kemarahan dan yang menyesakkan dada. Kita mohon kepada Allah, agar kiranya Ia berkenan memberikan sebaik-baik taufik, nikmat dan karunia-Nya.
Bermain-main dengan kata-kata dengan lagaknya yang fasih, memperindah kata-kata bersajak yang dipaksakan dan dibuat-buat untuk merayu dan menyanjung, juga sebagai pendahuluan pidato dengan lagaknya yang sok fasih adalah merupakan perbuatan yang tercela, rendah dan merupakan pemaksaan diri yang terkutuk.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Aku dan umatku yang bertakwa, terbebas dari pembebanan.” (HR. Ahmaa).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Rasulullah saw. bersabda: sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di akhirat ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di akhirat ialah orang yang paling jahat akhlaknya, yang banyak bicaranya, yang terbuka mulutnya melepas lidahnya | berbicara panjang lebar, pembicaraannya penuh dengan hinaan yang tercela.” (HR. Ahmad).
Fatimah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Seburuk-buruk umatku ialah orang-orang yang makan berbagai ‘ macam kenikmatan makanan dan memakai berbagai macam pakaian, serta berlagak pasih dalam bicara.” (HR. Baihagi).
Beliau juga bersabda:
Artinya:
“Perhatikanlah, bahwa celakalah orang-orang yang mendalam-dalamkan dan menfasih-fasihkan perkataan. Beliau mengulanginya sampai tiga kali.” (HR. Muslim).
Umar ra. berkata, bahwa pemaksaan keindahan akan kata-kata dengan lagaknya yang fasih merupakan gaya syaitan.
Umar bin Sa’ad bin Abi Waggash pernah datang kepada ayahnya, yaitu Sa’ad, untuk menanyakan suatu keperluan kepadanya. Lalu Umar (ayahnya) berkata: “Aku tidak berada lebih jauh dari keperluanmu pada hari ini. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Akan datang suatu zaman terhadap manusia, di mana mereka men, Jasih-fasihkan bicaranya dengan lidah mereka, sebagaimana lembu menjulur-julurkan lidahnya menjilati rerumputan.” (HR. Ahmad), Seakan-akan Sa’ ad tidak menyukai kepada anaknya tentang perkataan. perkataan pujian yang disampaikan dengan dibuat-buat dan dipaksakan, Demikian itu, termasuk bahaya lisan. Termasuk di dalamnya, apa saja yang dipaksakan dan difasih-fasihkan melebihi gaya bicara yang sewajarnya. Begitu pula membuat-buat sajak secara dipaksakan hanya untuk menghias pembicaraan, juga tercela.
Ketika Rasulullah saw. menjatuhkan hukuman kepada budak dalam kasus janin (di dalam kandungan), maka sebagian kaum berkata, “Bagaimana kita membayar denda orang yang belum minum, belum makan, belum menangis dan belum lahir. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Apa kamu bersajak seperti sajak orang Baduwi.” (HR. Muslim). Rasulullah mengingkari hal tersebut karena beliau menangkap kesan bahwa mereka memaksakan berkata-kata dengan bersajak yang dibuatbuat secara berlebihan, di hadapan beliau.
Ketika kamu berbicara seharusnya membatasi pada apa yang kamu maksudkan. Sedangkan maksud dari suatu perkataan, dapat difahaminya apa yang dimaksudkan. Selebihnya adalah termasuk kata-kata yang dibuat-buat yang terhitung tercela.
Sedangkan perkataan yang indah dan menarik dalam berpidato atau dalam memberikan peringatan, maka tidaklah tercela asalkan tidak berlebihtebihan dan tidak terkesan dibuat-buat. Karena kata-kata yang manis lebih memberikan kesan yang mendalam bagi pendengar.
Adapun kata-kata untuk memenuhi kebutuhan dan memudahkan. urusan duniawi, tidak sepatutnya disampaikan dalam bentuk sajak atau syair secara berlebihan dengan berlagak fasih. Sebab jika kamu melakukan hal demikian, maka dipastikan tujuanmu bukan agar pendengar paham, tetapi tak lebih dari nya”, agar terlihat fasih, ahli sastra. Maka yang demikian ini, dipandang tercela oleh syari at, dan harus dijauhi.
Berkata keji, mencaci maki dan mengumbar lidah berkata kotor adalah perbuatan tercela dan di larang agama. Sumber utamanya ialah, sifat keji dan jahat. Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya:
“Jagalah dirimu dari kekejian! Karena Allah Ta’ala tidak menyukai kekejian. dan tidak pula membuat kekejian.” (HR. Nasai dan Hakim).
Rasulullah saw. melarang mengolok-olok (memaki-maki) orang-orang musyrik yang terbunuh di medan perang Badar. Beliau bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu memaki mereka, karena apa yang kamu katakan dan lontaran perkataanmu yang menyakiti orang-orang yang hidup, tidak akan sampai membebaskan mereka. Ketahuilah bahwa lidah yang kotor itu tercela.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Orang mukmin itu bukanlah orang yang berjiwa pencela, pengutuk, berkata keji dan bukan pula berlidah kotor.” (HR. Tirmidzi), Dan sabda beliau:
Artinya:
“Surga itu haram bagi setiap orang yang berbuat kekejian, untuk memasukinya.” (HR. Ibnu Abid Dunya),
Nabi saw. bersabda: “Empat orang, menyakiti ahli neraka di dalam neraka, atas penderitaan yang menimpa mereka. Mereka itu berjalan di antara neraka Hamin dan neraka Jahim. Mereka menyerukan siksa dan kebiasaan, yaitu orang yang dari mulutnya mengalir nanah dan darah. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana keadaan orang yang terjauh, yang telah menyakiti kami atas rasa sakit yang mendera kami?” Lalu dijawab: “Bahwa orang yang terjauh itu memandang kepada tiap-tiap kata keji ‘ dan kotor. Lalu ia merasa enak dengan perkataan itu, sebagaimana ia merasakan enak dengan perkataan yang keji.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Nabi saw. bersabda, kepada Aisyah:
Artinya:
“Hai Aisyah! Sekiranya yang keji itu seorang laki-laki, maka itu adalah laki-laki jahat.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Beliau juga bersabda:
Artinya:
“Kekejian dan penjelasan (yang tidak patut dijelaskan ) itu dua cabang dari cabang-cabang nifaq (Sifat orang munafik)” (HR. Tirmidzi).
Al bayaan (penjelasan) dimaksud dapat berarti menyingkapkan apa yang tidak boleh disingkapkan. Kemudian juga, memberi penjelasan yang dilebih-lebihkan, sehingga sampai pada batas-batas yang memberatkan,
Dan mungkin juga penjelasan yang berkenaan dengan urfisan agama dan sifat-sifat Allah. Sesungguhnya mengemukakan hal ituSecara global sesuai dengan daya tangkap orang awam itu lebih utama, daripada menjelaskan yang berlebih-lebihan. Kadang-kadang dari penjelasan yang keterlaluan justru menimbulkan keraguan dan was-was. Dan hal itu tidak akan terjadi manakala disampaikan secara global. Sehingga hati dapat menerima dengan baik dan tidak menimbulkan kekacauan dan kebingungan.
Dan penjelasan dengan disertai ucapan yang kotor itu, maksudnya seakan berterus terang menjelaskan apa yang memalukan orang dengan penjelasan tersebut. :
Sikap yang lebih utama dalam menghadapi masalah ini ialah, menutup mata dan melupakan, tidak mengungkap dan membeberkannya.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyukai orang yang keji, yang membuat-buat kekejian, dan yang berreriak-teriak di pasar.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan Thabrani).
Jabir bin Samurah berkata: “Aku duduk di samping Nabi saw. sementara ayah di depanku. Lalu Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya kekejian dan membuat-buat kekejian, sedikit pun bukan dari Islam. Sesungguhnya manusia yang paling baik Islamnya ialah mereka yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad).
Ibrahim bin Marsarah berkata: “Ada yang mengatakan, bahwa orang berkata keji, dan berbuat kekejian, akan didatangkan pada hari kiama dalam bentuk rupa anjing.”
Ahnaf bin Oais berkata: “Apakah belum aku beritakan padamu penyakit yang paling berbahaya? Yaitu, lidah kotor dan akhlak yang rendah (tercela).”
Demikian mengenai tercelanya perbuatan keji. Adapun batasan dan hakekatnya, ialah menerangkan atau menceritakan hal-hal yang keji Secara jelas dengan kata-kata terkesan porno. Hal tersebut kebanyakan menyangkut perzinaan atau hal-hal yang berhubungan dengannya, Karena orang yang berbuat kerusakan itu mempunyai kata-kata yang berani, yang keji dan dipakainya untuk maksud tersebut.
Sedangkan orang-orang yang baik, berusaha menjauhkan diri dari. padanya. Bahkan mereka menyampaikan hal yang dengan masalah tersebut dengan kata sindiran (kinayah) dan menunjukkan dengan isyarat-isyarat, tidak disampaikannya dengan terus terang yang terkesan porno dan keji. Mereka menyebutkannya dengan kata-kata yang mendekati atau yang berhubungan dengan hal-hal semacam itu.
Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah itu Hidup, Dia Maha Pemurah, yang Memaafkan dan menyampaikan persoalan yang berhubungan dengan kekejian dengan bahasa sindiran (kinayah).
Allah swt. menyebutkan secara kinayah istilah al-lamsu (menyentuh) buat istilah bersetubuh (jima’). Seperti juga kata-kata, menyentuh, memegang, masuk (al-masis, ai-lamsu, ad-dukhul) dan berteman (shuhbah), sebagai kata-kata sindiran dengan maksud “bersetubuh”. Dan kata-kata tersebut, bukan tergolong kata-kata yang keji.
Di samping itu, ada kata-kata yang dipandang keji untuk menyebut
— kannya. Kebanyakan kata-kata itu dipakai memaki dan mempermalukan orang. Kadang-kadang ucapan itu keterlaluan, sebagian amat kejinya bila dibandingkan dengan yang lain. Kadang-kadang terjadi perbedaan, lantaran berbedanya adat kebiasaan dari negeri atau daerah yang bersangkutan. Pada mulanya hanyalah makruh, namun kelanjutannya bisa menjadi haram. Di antara keduanya, terdapat tingkatan yang berbeda satu sama lainnya.
Memakai bahasa kinayah (sindiran) tidak hanya khusus pada ungkapan mengenai bersetubuh saja. Akan tetapi misalnya dengan memakai kata gadhil hajat (menunaikan hajat) untuk ungkapan mengenai kencing dan berak lebih utama dari kata-kata membuang berak, kencing (taghawuth, al-khara’) dan lain-lainnya. Karena hal ini, juga termasuk hal yang mesti disembunyikan. Tiap-tiap yang disembunyikan akan menimbulkan rasa malu bila disebutkan secara terang-terangan. Karena itu tidaklah layak disebut dengan kata-kata yang terus terang, sebab itu terkesan keji dan kotor.
Begitu pula, dipandang baik menurut adat kebiasaan, menyebutkan secara kinayah, tentang wanita. Misalnya, tidak dikatakan: “Isterimu berkata demikian.” Tetapi dikatakan: “Dikatakan dalam kamar atau di balik tabir.” Atau menyebut istri dengan: “Ibu anak-anak.” Menggunakan kata-kata tersebut secara halus adalah dipandang lebih terpuji. Sedangkan menyatakan terus terang dalam masalah itu, akan menimbulkan kesan keji dan kurang sopan.
Demikian juga mengenai orang yang mempunyai kekurangan yang apabila disebutkan, menjadikannya merasa malu. Maka tidak sepantasnya dikatakan dengan ucapan yang terang-terangan, seperti penderita kusta, orang yang botak, bawazir dan lain sebagainya, karena hal itu berarti menyebutkan hal yang menimpa (cacat) orang itu. Maka menyebut terus terang akan hal itu termasuk kekejian, dan semuanya merupakan bahaya-bahaya lidah.
“Ala bin Harun berkata, bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang selalu menjaga pembicaraannya. Suatu ketika keluar bisul di bawah ketiaknya. Kami lalu datang kepadanya menanyakannya untuk mengetahui bagaimana dia menjawabnya. Kami bertanya: “Dari mana bisul itu keluar?” Dia menjawab: “Dari dalam tangan.” Dia tidak menggunakan kata ketiak, karena dipandangnya keji dan kurang sopan.
Penggerak kepada kekejian, adakalanya dengan rnaksud menyakitkan orang. Adakalanya karena kebiasaan yang diperoleh dari pergaulan dengan orang-orang fasik, biasa melakukan kekejian dan mencela, serta mencaci maki orang lain.
Orang Arab Baduwi berkata kepada Rasulullah saw.: “Berilah aku wasiat!” Lalu Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:
“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah. Jika seseorang mencela kamu dengan sesuatu yang diketahui ada padamu, maka Janganlah kamu membalas dengan menyebut sesuatu (aib), yang kamu ketahui ada padanya. Dengan begitu, maka bahaya (celaan tersebut) akan menimpanya, sedengkan pahalanya bagimu. Janganlah kamu mencaci maki sedikitpun.” (HR. Ahmad) Setelah mendengar sabda Nabi saw. tersebut, orang Baduwi itu lalu berkata: “Maka sesudah itu, aku tidak memaki sesuatu.”
Iyadh bin Himar berkata, aku bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ada seorang laki-laki dari kaumku memakj aku. Padahal derajatnya lebih rendah dari aku. Bolehkan aku membalasnya dengan mencaci maki pula?
Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:
“Dua orang yang saling bermaki-makian itu, keduanya adalah syaitan yang saling menggonggong dan kacau-mengacau. ” (HR. At Thayalisi). Nabi saw. juga bersabda:
“Mencaci maki orang mukmin itu adalah perbuatan fasig dan pembunuhannya adalah kufur.” (Muttafag “alaih). Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Dua orang yang bermaki-makian itu, belasannya menurut apa yang .. dikatakan oleh keduanya. Berdosalah bagi yang memulai di antara keduanya, sehingga yang teraniaya itu membalas dengan caci makian.” (HR. Muslim).
Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Terkutuklah orang yang memaki ibu bapaknya.” — (HR. Ahmad).
Menurut riwayat yang lain:
Artinya:
“Termasuk sebesar-besar di antara dosa-dosa besar ialah orang yang memaki ibu bapaknya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang memaki ibu bapaknya?” Nabi saw. menjawab: Ia memaki bapak orang lain, lalu orang itu membalas dengan memaki bapaknya.”
Kutukan itu adakalanya dialamatkan kepada hewan, suatu benda, atau kepada manusia. Semua itu adalah tercela. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Orang mukmin itu bukanlah orang pengutuk.” — (HR. Tirmidzi),
Beliau juga bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu kutuk-mengkutuk dengan kutukan Allah, dengan kemarahan-Nya dan dengan neraka Jahanam.” (HR. Tirmidzi). Hudaifah berkata: “Tidaklah sekali-kali suatu kaum itu kutuk-mengkutuk, melainkan mereka berhak menanggung akibat dari kutukan itu.” Imran bin Husain berkata: “Ketika Rasulullah saw. dalam sebagian perjalanannya, terlihat seorang wanita Anshar berada di atas untanya. Lalu ja bosan terhadap unta itu, dan dikutuknya. Mendengar demikian,
Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya:
Artinya:
“Ambillah apa yang ada di atas unta itu dan lepaslah, karena : sesungguhnya ia telah dikutuk.” (HR. Muslim).
Imran berkata: “Seakan-akan aku melihat unta itu berjalan di antara ‘ orang banyak, dan tiada seorangpun yang mengganggunya.”
Abu Darda’ berkata: “Apabila seorang mengutuk bumi, maka bumi itu berkata: “Mudah-mudahan Allah mengutuk orang yang paling durhaka kepada-Nya di antara kita.”
Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. mendengar Abu Bakar mengutuk sebagian dari budaknya. Lalu Rasulullah saw. menoleh kepada Abu Bakar, seraya bersabda:
Artinya: .
“Hai Abu Bakar! Adakah orang siddig dan pengutuk (menjadi satu)? Tidak! demi Tuhan Ka’bah! Sekali-kali tidaklah dernikian.” nabi saw. mengatakan itu dua kali atau tiga kali.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Maka pada hari itu pula, Abu Bakar memerdekakan budaknya. Dania datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata: “Aku tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang demikian.”
Rasululiah juga bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya para pengutuk itu, tidak akan memperoleh syafaat dan tidak pula sebagai syuhada pada hari kiamat.”
Anas berkata: “Seorang laki-laki berjalan bersama Rasulullah saw. sambil mengendarai keledai. Lalu laki-laki itu mengutuk keledainya.. Maka Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Hai hamba Allah! Jangan engkau berjalan bersama kami, di atas keledai yang terkutuk.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Nabi saw. bersabda demikian, karena menentang atas perbuatan tersebut.
Kutukan (al-la’nu) adalah sebuah ibarat untuk menghalau dan menjauhkan dari Allah Ta’ala. Maka yang demikian ini tidak diperbolehkan dalam pandangan agama. Kecuali terhadap orang yang berkarakter menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla, yaitu kufur dan zalim. Misalnya, perkataan: “Kutukan Allah atas orang-orang zalim dan orang-orang kafir.”
Seyogyanya suatu kutukan kalaupun terjadi hendaklah sesuai dengan ketentuan syari’at agama. Karena kutukan itu mengandung bahaya. Karena menghukumi apa yang dikutuknya itu, jauh dari Allah swt. dan mendapatkan laknat-Nya. Padahal yang demikian itu adalah persoalan gaib, yang tidak terlihat, selain oleh Allah Ta’ala. Rasulullah melihatnya, apabila diperlihatkan oleh Allah Ta’ala.
Sifat-sifat yang dipandang pantas mendapatkan kutukan itu ada tiga, yaitu: kufur, bid’ah dan fasik. Dan kutukan pada masing-masing dari ketiga hal itu, juga ada tiga tingkatan, yaitu:
Pertama: Kutukan dengan sifat dan skalanya yang lebih umum. Seperti perkataan Anda: “Kutukan Allah atas orang-orang kafir, orang. orang pembuat bid’ah dan orang-orang fasik.”
Kedua: Kutukan dengan sifat dan skalanya yang lebih khusus, seperti perkataan Anda: “Kutukan Allah atas orang Yahudi. Nasrani dan Majusi, golongan Oadariyah, Khawarij dan Rawafidh, atau pada orang-orang pezina, orang-orang zalim dan pemakan riba. Cara yang demikian itu diperbolehkan (Qaiz).
Akan tetapi bila kutukan itu diarahkan pada orang yang dipandang membuat bid’ah maka kutukan ini berbahaya. Karena mengenal bid’ah itu tidak mudah diketahui. Tidak terdapat kata-kata yang diperboleh dari Nabi saw. dan para sahabat berkenaan dengan persoalan yang terakhir ini. Seyogyanya bagi orang awam dilarang melakukannya, karena hal ini akibatnya malah mengobarkan api pertentangan dan kerusakan di antara sesama manusia.
Keriga: Kutukan terhadap orang tertentu. Ini sangat berbahaya, seperti perkataan Anda: “Mudah-mudahan laknat Allah atas Zaid. Karena ia kafir atau fasig atau berbuat bid’ah.”
Uraian mengenai hal tersebut, ialah bahwa tiap-tiap orang yang secara tegas terkutuk dalam pandangan agama, maka boleh mengutuknya. Seperti perkataan Anda: “Fir’aun yang dikutuk Allah. Abu Jahal dikutuk oleh Allah. Karena telah tegas, bahwa mereka itu mati di atas kekufuran. Maka yang demikian itu, telah dimaklumi dalam agama. .
Sedangkan mengutuk orang tertentu yang hidup sezaman, seperti perkataan Anda. “Si Zaid dikutuk oleh Allah.” Karena dia itu orang Yahudi, misalnya, maka kutukan semacam ini sangat berbahaya. Sebab bisajadi masuk Islam sebelum meninggal dan menjadi orang yang mendekatkan diri pada Allah. Maka bagaimana dia itu dihukum sebagai orang yang terkutuk?
Kalau Anda katakan, dia terkutuk karena sekarang memang dia kafir, sebagaimana dikatakan pada orang muslim, mudah-mudahan ia dirahmati oleh Allah. Karena sekarang dia memang muslim, sekalipun bisa jadi ia akan murtad.
Ketahuilah, bahwa makna ucapan kita. “Mudah-mudahan ia dirahmati oleh Allah.” Artinya, mudah-mudahan Allah mengokohkan Islamnya yang menjadi sebab memperoleh rahmat, dan selalu taat kepada Allah. Tidak mungkin dikatakan: “Mudah-mudahan Allah menetapkan dan mengokohkan kekafirannya, yang menjadi sebab ia mendapatkan kutukan.” Karena ini adalah persoalan kufur, dan permintaan agar seseorang tetap kokoh dalam kekufuran itu sangat membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi boleh diucapkan: “Kiranya ia dikutuk oleh Allah, jika ia mati di atas kekufuran. Dan kiranya tidak dikutuk oleh Allah, jika ia mati dalam keadaan Islam.”
Hal tersebut merupakan masalah yang gaib, yang tidak diketahui. Keadaannya secara mutlak masih dimungkinkan terjadinya antara dua hal tersebut. Dengan demikian, maka menjatuhkan laknat dalam kondisi semacam itu, ada bahayanya. Sedangkan bila meninggalkan kutukan, maka tidak ada bahayanya.
Ketika Anda telah mengerti akan persoalan ini, yang terkait dengan kekufuran seseorang, maka menghindari melaknat adalah lebih baik. Cukuplah kiranya dengan mengatakan: Si Zaid fasik atau si Zaid pembuat bid’ah. Tanpa harus mengutuk, karena mengutuk pribadi-pribadi yang demikian itu sangat berbahaya Karena keadaan orang itu selalu berubah. Dan hal ini tidak ada yang tahu, kecuali orang telah disebut oleh Rasulullah saw., maka kondisinya bisa diketahui, siapa yang akan mati di atas kekufuran.
Oleh karena itu, maka hanya Rasulullah saw. suatu kaum yang berhak menerima kutukan. Sebagaimana yang terungkap dalam do’a beliau tentang dua orang Quraisy:
Artinya:
“Ya Allah, Engkaulah yang berhak menyiksa Abu Jahal bin Hisyam dan Utbah bin Rabi’ah.” (Muttafag alaih).
Rasulullah saw. juga pernah menyebut suatu golongan yang terbunuh dalam perang Badar di atas kekufuran. Sehingga dengan begitu orang yang tidak diketahui kesudahannya, juga terkena dikutukinya. Maka atas perintah Allah beliau Rasulullah saw. menghentikannya. Karena diriwayatkan: “Bahwa Nabi saw. pernah mengutuk orang-orang yang membunuh penduduk Bi’ru Ma’unah dalam gunutnya, selama sebulan, Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (OS.Ali Imran: 128).
Maksudnya, mereka itu bisa jadi muslim. Maka dari manakah kamu tahu bahwa mereka itu terkutuk?
Orang yang menurut kita, nyata-nyata kematiannya dalam keadaan kufur, maka boleh mengutuk dan boleh pula mencelanya, jikalau dalam ini tidak sampai menyakiti orang Islam. Kalau ada hal itu menyakiti orang Islam, maka tidak boleh. .
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa: Rasulullah saw. bertanya kepada Abu Bakar ra. tentang kuburan yang dilaluinya, sementara ia bermaksud ke Thaif. Lalu Abu Bakar ra. menjawab: “Ini kuburan orang laki-laki yang mendurhakai A’lan dan Rasul-Nya, yaitu Said bin Al Ash. Mendengar hal itu, maka marahlah anak Said, yaitu Amer bin Sa’id. Amer berkata: “Wahai Rasulullah! Ini makam orang laki-laki yang memberi makan dan menghilangkan beban berat dari Abi Quhafah (sebutan Abu Bakar ra.). Lalu Abu Bakar ra. menjawab: “Dikatakan kepadaku oleh si ini, wahai Rasulullah, dengan perkataan seperti ini.”
Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepada Amr bin Sa’id: “Tahanlah dirimu dari Abu Bakar!” Amr bin Sa’idlalu pergi. Setelah itu, Rasulullah saw. menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar, seraya bersabda: “Hai Abu Bakar, apabila kamu menyebut orang-orang kafir maka sebutlah secara umum! Sesungguhnya manakala kamu menunjuk secara khusus, maka maralah anak-anak mereka karena bapak-bapaknya.” Lalu Abu Bakar melarang manusia berkata sebagaimana yang dikatakannya tersebut.
Nu’aiman An Najjari pernah meminum khamar. Lalu ia dihukum dengan hukuman had (pukulan) berkali-kali di majlis Rasulullah saw. Menyaksikan itu, sebagian sahabat ada yang berkata: “Kiranya dia itu dikutuk oleh Allah Ta’ala! Alangkah besar dosa yang dilakukannya.”
Lalu Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:
“Janganlah kamu sebagai penolong syaitan terhadap saudaramu.”
Menurut riwayat lain dinyatakan: “Janganlah kamu mengatakan demikian, karena dia mencintai Allah dan RasulNya.” Lalu Nabi melarang sahabat itu dari yang demikian. Ini berarti menunjukkan, bahwa mengutuk diri orang fasik itu tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya adalah bahwa mengutuk dengan menunjuk orangorang tertentu itu berbahaya. Karena itu, hendaklah dijauhi! Bahkan seandainya diam, tidak mengutuk maka yang demikian itu lebih aman, daripada mengutuk dengan kata “iblis” misalnya, atau dengan kata-kata kutukan yang lain.
Jika ditanyakan, bolehkah mengutuk Yazid (Yazid bin Mu’awiyah)? Karena ia pembunuh Husain (cucu Rasulullah saw.) atau dialah yang menyuruh membunuhnya.
Kami Imam Ghazali) jawab, bahwa tuduhan itu tidak terbukti sama sekali. Maka tidak boleh dikatakan, bahwa Yazid sebagai pembunuh Husain atau orang yang menyuruh membunuhnya. Tuduhan tanpa bukti itu tidak diperbolehkan, apalagi mengutuknya. Karena tidak diperkenankan mengaitkan orang Islam dengan dosa besar, tanpa bukti dan dalil yang menguatkan.
Sementara mengatakan bahwa Ibnu Muljam membunuh Ali dan Abu Lu’luah membunuh Umar ra. itu boleh, karena yang demikian itu telah terbukti dengan berita yang mutawatir. Jadi, tidak boleh menuduh scorang muslim dengan tuduhan fasik atau kufur, tanpa bukti yang meyakinkan.
Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya:
“Tidaklah seorang menuduh orang lain kufur dan tidak pula menuduhnya dengan tuduhan fasik, melainkan tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, jikalau temanya itu tidak seperti dituduhkan : itu.” (HR. Bukhari).
Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya:
“Tidaklah seseorang menjadi saksi (penuduh) orang lain dengan kekufuran, melainkan salah satu dari keduanya akan kembali dengan membawa kekufuran. Jika ia (Si tertuduh) itu kafir, maka keadaannya ya seperti yang dituduhkan, Dan jikalau ia (Si tertuduh) tidak kafir (seperti yang dituduhkan), maka ia (Si penuduh) menjadi kafir, sebab mengkafirkan orang itu.” (HR. Dailami).
Ini mengandung arti, bahwa ia mengkafirkan orang lain, padahal iatahu, bahwa orang yang dikafirkan adalah muslim. Bila ia menyangka, bahwa orang itu kafir, disebabkan karena perbuatan bid’ah atau lainnya, maka ia bersalah, dan tidak menjadi kafir. Mu’adz bin Jabal ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadaku:
Artinya:
“Aku larang engkau memakai orang muslim atau mendurhakai iman (penguasa) yang adil. Sedangkan mencaci maki orang-orang yang telah mati adalah lebih berat.”
Masrug berkata: “Aku pernah datang ke tempat Aisyah ra., lalu ia bertanya: “Apakah yang diperbuat si Anu? Kiranya ia dikutuk oleh Allah.” Aku menjawab: “Ta sudah mati.” Maka Aiysah ra. menyambung: “Kiranya ja dirahmati oleh Allah.” Lalu aku bertanya: “Bagaimana bisa begitu?” Aisyah ra. menjawab: “Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu memaki orang yang sudah mati, karena mereka telah sampai pada apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari).
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu menyakiti orang-orang yang sudah mati! Karena dengan begitu, berarti kamu menyakiti orang-orang yang masih hidup.” (HR. Tirmidzi).
Nabi saw. bersabda:
Artinya: : “Hai manusia! hendaklah kalian menjaga aku, berkenaan dengan sahabar-sahabatku, saudara-sudaraku dan kerabat-kerabaiku, Janganlah kamu memaki mereka. Wahai manusia! apabila seseorang sudah mati, maka sebutkan yang baik daripadanya!”
Jika ada orang bertanya, bolehkah dikatakan: “Mudah-mudahan pembunuh Husain itu dikutuk oleh Allah? Atau yang menyuruh membuhunya, semoga dikutuk oleh Allah?
Kami jawab, bahwa yang benar hendaklah dikatakan: “Pembunuh Husain itu jika mati sebelum bertobat, mudah-mudahan dikutuk oleh Allah. Mengapa demikian? Karena kemungkinan si pembunuh itu mati sesudah bertaubat. Bahwa Wasyi bin Harb pembunuh Hamzah paman Rasulullah saw. (pada perang Uhud), pada waktu membunuh ia masih kafir, Namun kemudian ia bertobat dari kekafiran dan pembunuhan. Maka ia tidak boleh dikutuk.
Membunuh itu memang dosa besar, tetapi tidak sampai pada tingkat kufur. Apabila tidak ada kejelasan mengenai pertaubatannya, sementara kamu mengutuknya, maka padanya mengandung bahaya. Sedangkan jika kamu diam dan tidak mengutuknya, maka sikap diam itu adalah lebih utama.
Kami kemukakan persoalan ini, karena pada umumnya manusia memandang ringan masalah mengutuk ini. Lidah dilepaskan begitu saja untuk mengutuk. Orang mukmin bukanlah pengutuk. Maka tidak layak bila lidah dilepaskan begitu saja untuk mengutuk. Terkecuali terhadap orang yang mati di atas kekufuran atau pada golongan yang terkenal dengan sifat-sifat kekufuran dan kezalimannya, itu pun penyebutannya supaya dilakukan secara umum, tidak dengan menunjuk orang-orang tertentu secara individual. Oleh sebab itu, menyibukkan diri dengan berzikir kepada Allah Ta’ala adalah lebih utama. Kalau tidak, maka berdiamlah, diam itu lebih aman.
Makki bin Ibrahim berkata: “Pada suatu hari kami berada pada Ibnu Aun. Lalu orang-orang menyebut-nyebut Bilal bin Abi Burdah mengutuk dan memakinya. Sementara Ibnu Aun diam saja. Melihat Ibnu Aun diam mereka berkata: “Hai Ibnu Aun! Sesungguhnya kami menyebutkan Bilal bin Abi Burdah itu, karena ia berbuat dosa terhadapmu.” Lalu Ibnu Aun menjawab: “Sesungguhnya itu dua perkataan yang akan keluar dari suratan amalmu pada hari kiamat. Yaitu: Laa ilaaha illallah dan La’anallaahu fulaanan (semoga Allah melaknat si fulan). Aku lebih suka supaya keluar dari suratan amalku “Laa ilaaha illallah,” daripada akan keluar : La’anallaahu fulaanan. ” Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw.: “Berilah aku wasiat!”
Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Aku wasiatkan kepadamu, hendaklah kamu jangan menjadi seorang pengutuk.” (HR. Ahmad). Ibnu Umar berkata: “Manusia yang paling dimurkahi Allah adalah pelaknat.” Ada pula yang berkata: “Mengutuk orang mukmin itu dosanya sebanding dengan membunuhnya.” Hammad bin Zaid berkata sesudah meriwayatkan ucapan ini. “Jikalau kamu katakan, bahwa ucapan ini hadis marfu’, tentu aku tidak akan mempedulikannya.”
Dari Abi Oatadah, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa yang mengutuk orang mukmin maka dia seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari). Perbuatan yang mendekati dengan mengutuk, ialah berdo’a terhadap manusia dengan yang tidak baik, sampai terhadap orang yang zalim sekalipun. Seperti mengatakan: “Semoga Allah tidak menyehatkan badannya dan tidak menyelamatkannya.” Dan kata-kata lain yang senada dengannya. Tersebut dalam hadits: “Sesungguhnya orang yang teraniaya berdo’a (yang tidak baik) buat orang yang menganiaya, sehingga ia pun menyamai pada penganiayaannya. Kemudian akhirnya orang yang menganiaya, justru memiliki kelebihan atasnya, pada hari kiamat.”
Bernyanyi ialah menyenandungkan lagu. Sementara bersyair ialah bermain kata-kata yang dirangkai indah, yaitu berpuisi.
Mengenai nyanyian telah aku (Imam Ghazali) jelaskan di dalam kitab tentang as-Sima’ (Mendengar), baik mengenai nyanyian yang diperbolehkan maupun yang dilarang. Karena itu saya tidak perlu menjelaskan ulang di sini.
Sedangkan syair adalah kata-kata yang tersusun dengan baik. Jika isinya kebaikan maka hal itu baik. Namun jika isinya mengandung keburukan, maka hal itu dianggap buruk dan tercela. Namun menekuni syair semata-mata keindahannya saja, maka hal itu dipandang tercela.
Rasulullah saw. bersabda: |
Artinya:
“Sesungguhnya penuhnya perut seseorang di antara kamu dengan nanah hingga membusuk, itu lebih baik baginya daripada penuhnya perut dengan syair. (HR. Bukhari dan Muslim).
Diceritakan dari Masrug, bahwa ia pernah ditanya tentang satu bait syair (puisi), namun ia tidak menyukainya. Lalu ditanyakan, mengapa tidak menyukai syair. Masrug menjawab: “Karena aku tidak suka dalam catatan amalku kelak dijumpai terdapat syair tertulis di sana.” Sedangkan sebagian ulama ketika ditanya tentang syair, mereka menjawab: “Jadikanlah tempat syair ini untuk zikir, karena zikir kepada Allah, lebih baik daripada syair.”
Kesimpulannya adalah bahwa menyenandungkan syair dan menyusurtnya dengan indah itu tidaklah haram asalkan di dalamnya tidak mengandung kata-kata yang menimbulkan kesan tabu dan porno.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya sebagian syair itu ada yang mengandung hikmah.”
Bersyair kadang-kadang bertujuan untuk memuji, mencela, mensifati kecantikan wanita dan mungkin juga dimasuki kebohongan. Rasulullah saw. pernah menyuruh Hasan bin Tsabit Al Anshari untuk menyerang balik orang-orang kafir yang bersyair. Memperluas pujian dengan syair, meskipun dusta, tidak dapat dihubungkan dengan keharaman dusta.
Seperti perkataan penyair:
Artinya :
“Jika tak ada di tapak tangannya selain nyawanya, sesungguhnya ia bermurah hati menyerahkannya kepada yang memintanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah.”
Syair tersebut menggambarkan mengenai ketinggian akan kedermawanan. Jika penulis syair itu tidak dermawan, maka berarti ia bohong dalam mengemukakan kata-kata pujian. Jika ia memang dermawan, maka ia dianggap berlebih-lebihan dalam mengekspresikannya melalui puisi.
Maka tujuan mengekspresian puisi itu tidak dimaksudkan untuk diyakini.
Pernah disenandungkan bait-bait puisi di hadapan Rasulullah saw. yang Jika diteliti secara cermat, tentu banyak ditemukan ungkapan yang berlebihlebihan, tetapi Rasulullah saw. tidak melarangnya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah menambal sandalnya. Sementara itu Aisyah ra. duduk sambil memintal benang. Aisyah memandangi Rasulullah yang ketika itu dahinya berkeringat tampak bercahaya. Dengan tatapan yang penuh makna (tercengang). Rasulullah saw. sendiri memandang Aisyah seraya berkata: “Mengapa kamu tercengang memandangiku begitu, wahai Aisyah?” Aisyah menjawab: “Wahai Rasulullah, aku melihat dahimu berkeringat dan keringatmu nampak bercahaya. Seandainya Abu Kabir Al Hudzail melihatmu, tentu dia mengerti bahwa engkaulah yang lebih berhak dengan syairnya.” Rasulullah saw bertanya: “Apa yang dikatakan oleh Abu Kabir Al Hudzali dalam syairnya?” Aisyah ra. menjawab: “Dia pernah menyenandungkan dua bait syair. sebagai berikut:
Artinya :
“Terbebas dari setiap sisa darah haid | dan kerusakan wanita yang menyusukan anak serta penyakit wanita yang hamil. Jika kamu melihat kepada garis-garis wajahnya kilauan cahaya menghiasinya”
Mendengar bait-bait syair itu, Rasulullah kemudian meletakkan sandal yang ada ditangannya. Ia beranjak dan mencium hidung Aisyah sambil bersabda:
Artinya:
“Mudah-mudahan Allah membalasmu dengan kebajikan, wahai Aisyah, tidaklah kamu melihat kebahagiaan diriku sebagaimana kegembiraanku darimu. (HR. Al Baihagi).
Ketika Rasulullah selesai membagi harta rampasan Perang Hunain, beliau menyuruh untuk memberikan empat ekor unta kepada Abbas bin Mirdas. Tetapi Abbas menolak dengan cara bersyair, penghujung dari syair itu ialah:
Artinya :
“Tidaklah Badar dan Hubis , menipu daya Mirdas dalam perkumpulan. Tidaklah aku di bawah seseorang dari keduanya siapa yang engkau rendahkan hari ini, tentu ia tak terangkat.” Lalu Rasulullah bersabda: “Putuskanlah lidahnya dariku!” Kemudian, Abu Bakar membawanya pergi, hingga ia memilih seratus ekor unta, setelah jtu, ia kembali. Ja adalah termasuk manusia yang paling menerima (ridha). Rasulullah saw. kemudian bersabda padanya: “Apakah kamu hendak mengatakan syair kepadaku?” Abbas memohon maaf kepada beliau dan berkata: “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu, sesungguhnya aku merasakan bahwa syair selalu menggigit lidahku, sebagaimana gigitan binatang, sehingga rasanya aku tidak menemukan cara untuk tidak mengekspresikannya melalui gubahan syair.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah tersenyum dan bersabda: ,
Artinya: –
“Orang Arab itu tidak bisa meninggalkan syair, hingga unta meninggalkan ringkihannya.”
Pada dasarnya senda gurau itu tercela dan terlarang, kecuali sebagian kecil daripadanya. Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Jangan kamu berbantahan dan bersenda gurau dengan saudaramu.” (HR. Tirmidzi),
Jika kamu berpendapat, bahwa bantahan-bantahan itu bisa menyakitkan, karena adanya pembohongan kepada saudara dan teman atau pembodohan kepadanya. Sementara senda gurau adalah sesuatu baik-baik saja. Dengan senda gurau hati menjadi lapang dan senang. Mengapa mesti dilarang?
Ketahuilah, bahwa yang dilarang itu adalah bergurau secara berlebihlebihan dan dilakukan secara terus menerus. Hal ini, akan menghabiskan waktu untuk bermain-main dan bersenda gurau. Bermain itu memang diperbolehkan. Membiasakan bermain-main terus menerus itu tercela.
Berlebih-lebihan dalam bergurau, akan menyebabkan banyak tertawa. Sedangkan banyak tertawa itu dapat mematikan hati dan mewariskan kedengkian pada sebagian keadaan, menjatuhkan kewibawaan dan kehormatan diri. Apabila terbebas dari hal-hal tersebut, maka tidak tercela, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya aku memang bersenda gurau, dan aku tidak mengatakan selain yang benar.”
Kiranya hanya Nabi saw. yang sanggup bergurau dan tidak berkata selain yang benar. Adapun yang lainnya, apabila ia membuka pintu bergurau, maka yang menjadi tujuannya adalah membuat orang tertawa, bagaimana pun keadaannya.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang berbicara dengan suatu perkataan yang dimaksudkan untuk mentertawakan teman duduknya, maka hal itu bisa membuatnya jatuh dalam api neraka, lebih jauh dari binatang surayya.”
Umar ra. berkata: “Barangsiapa yang banyak tertawa, tentu kurang menjadi kurang disegani. Barangsiapa yang suka bergurau, tentu ia dipandang ringan. Barangsiapa memperbanyak sesuatu, tentu ia menjadi terkenal dengan sesuatu itu. Barangsiapa banyak perkataanya, maka akan banyak salahnya. Barangsiapa sedikit rasa malunya, tentu sedikit wara’nya. Dan barangsiapa yang sedikit wara’nya, tentu mati hatinya.” Karena tertawa itu menunjukkan kelalaian kepada akhirat.”
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sekiranya kamu tahu apa yang aku ketahui, tentu kamu banyak banyak dan jarang bisa tertawa.” (Muttafaq alaih).
Seorang laki-laki bertanya kepada saudaranya: “Wahai saudaraku! Bukankah telah datang berita kepadamu, bahwa kamu akan datang ke
“neraka?” Saudaranya itu menjawab: “Ya.” Laki-laki itu menyambung pertanyaannya: “Adakah datang berita kepadamu, bahwa kamu akan keluar dari neraka?” Ia itu menjawab: “Tidak!” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “Lalu apa yang bisa membuatmu tertawa semacam itu?” Dikatakan bahwa setelah terjadi dialog tersebut, orang itu tidak pernah terlihat tertawa, sampai ia mati.
Yusuf bin Asbath berkata: “Hasan Basri menetapkan atas dirinya untuk tidak tertawa selama tiga puluh tahun.” Dan dikatakan, bahwa Atha’ As Salmi menetapkan atas dirinya tidak tertawa selama empat puluh tahun.
Wahib bin Al Ward pernah melihat suatu kaum tertawa pada hari Raya Idul Fitri. Lalu beliau berkata: “Jika mereka telah diampuni dosanya, maka sikap ini bukanlah mencerminkan perbuatan orang-orang yang bersyukur. Jika mereka tidak diampuni, maka hal itu bukan merupakan sikap orangorang yang takut kepada Allah.”
Abdullah bin Abi Ya’ la berkata: “Apakah yang bisa membuatmu tertawa? Karena bisa jadi kain kafanmu keluar dan tidak cukup menutupi jasadmu.” Ibnu Abbas berkata: “Barangsiapa yang berbuat dosa, sementara dia tertawa, maka dia akan masuk neraka dengan rintihan tangis kepedihan.” Muhammad bin Wasi’ berkata: “Apabila kamu melihat orang di dalam surga menangis, apakah hal itu membuatmu heran?” Dikatakan: “Ya, tentu mengeherankan.” Selanjutnya ia berkata: “Orang yang tertawa di dunia, sementara dia tidak tahu ke mana dia akan kembali, maka orang semacam inilah yang lebih mengherankan.”
Inilah bahaya dan tercelanya tertawa berlebih-lebihan. Adapun yang terpuji adalah tersenyum, yaitu bibirnya memang terbuka dan terlihat giginya tapi tak terdengar suaranya. Demikianlah ekspresi tersenyum Rasulullah saw.
Oasim, seorang budak Mu’awiyah, menceritakan bahwa pernah ada seorang baduwi datang menghadap kepada Nabi saw. dengan mengendarai unta yang sulit dikendalikan. Setiap kali mendekati Nabi saw. ia mengucapkan salam, namun untanya bergerak menjauh. Hal ini terjadi berkali-kali. Melihat pemandangan yang demikian itu, para sahabat mentertawakannya. Tetapi kemudian sayang orang baduwi itu terlempar dari atas untanya dan terinjak hingga mati. Dikatakan, ya Rasulullah, orang baduwi itu terlempar dari atas untanya hingga tewas. Lalu Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:
“Ya, sementara mulut-mulut kalian penuh dengan darahnya.” :
Berkenaan dengan pernyataan bahwa senda gurau itu dapat menurunkan kewibawaan, Umar bin Khathab berkata: “Barangsiapa yang suka bergurau, maka ia dipandang remeh.”
Muhammad bin Al Munkadir berkata, bahwa ibuku pernah berkata kepadaku: “Wahai anakku, janganlah kamu bergurau dengan anak-anak, karena hal itu akan membuat kamu diremehkan di hadapan mereka.”
Sa’id bin Al Ash berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu mengajak bergurau orang yang mulia, karena hal itu akan membuatnya benci kepadamu. Dan janganlah kamu bergurau dengan orang yang rendah, karena ia akan berani kepadamu.”
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah bersenda gurau. Karena senda gurau itu dapat menyebabkan sakit hati dan mendorong pada kekejian. Berbicaralah mengenai Al-Qur an dan dudukduduklah untuk mengkaji dan mempelajarinya. Jika yang demikian itu, berat bagimu, maka berbicalah mengenai kebaikan-kebaikan orang-orang terkemuka.”
Umar ra. berkata: “Tahukah kamu, mengapa bergurau itu dinamakan senda gurau?” Mereka menjawab: “Tidak.” Lalu Umar ra. berkata: “Karena senda gurau itu, menjauhkan pelakunya dari kebenaran.”
Ada yang mengatakan, bahwa tiap sesuatu itu mempunyai bibit, sedangkan bibit permusuhan itu adalah senda gurau. Dikatakan pula bahwa bergurau itu menghilangkan kewibawaan dan memutuskan hubungan dengan teman-teman.
Apabila Anda bertanya, bahwa terdapat riwayat yang menyatakan sesungguhnya Rasulullah saw. dan sahabatnya, juga pernah bercanda. Maka bagaimana bisa bercanda itu dilarang?
Aku (Al Ghazali) menjawab: “Jikalau kamu sanggup bercanda sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabatnya, yaitu, kamu bercanda dan tidak mengatakan, selain yang benar, tidak menyakiti hati orang lain, dan tidak berlebih-lebihan dalam bergurau, serta kamu bergurau hanya sekali tempo dan itupun sedikit sekali. Jika kamu dapat melakukan demikian, maka tentu tidak berdosa.
Tetapi termasuk kesalahan besar, apabila seseorang menjadikan bergurau itu sebagai sebuah profesi atau kebiasaan yang dilakukan secara rutin dan berlebih-lebihan dalam melakukannya. Kemudian ia berdalih bahwa apa yang dilakukan itu berpegang pada sunnah Rasulullah saw. Maka orang itu sama seperti orang yang berkeliling pada siang hari bersama para penari kulit hitam, ia melihat kepada mereka dan pada tari-tarian mereka. Lalu ia menyatakan bahwa ia berdalih bahwa Rasulullah saw. memberi ijin kepada Aisyah ra. untuk melihat tarian orang Zanji pada hari raya.
Pendapat yang demikian adalah salah. Karena dari dosa kecil itu, ada yang akan menjadi dosa besar, bila dilakukan secara rutin dan terus menerus. Dan dari perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (mubah) itu, ada yang akan menjadi dosa kecil bila dilakukan secara ceroboh dan melebihi kepatutan. Hal yang demikian ini, juga perlu diingat dan tidak patut dilupakan!
Artinya: “Engkau pada hari itu, bukan wanita tua lagi (karena di surga tidak ada wanita tua.” Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (OS. Al Wagi’ah: 36).
Zaid bin Aslam berkata, berkata bahwa pernah ada seorang wanita, yang dikenal dengan nama Ummu Aiman, datang kepada Nabi saw., ia berkata: “Suamiku mengundang baginda.” Lalu Nabi saw. bertanya: “Siapakah dia (suamimu) itu? Apakah dia orang yang pada matanya terdapat putih?” wanita itu menjawab: “Demi Allah tiada putih pada matanya.” Nabi saw. menjawab: “Ada, sungguh ada putih pada matanya.” Wanita itu berkata: “Tidak demi Allah.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Tiada seorang pun pada matanya tiada warna putih matanya.” Nabi saw. menyatakan tersebut dengan nada canda dan setiap orang tentu pada matanya ada putih matanya yang mengelilingi warna hitam di matanya.
Seorang wanita lain pernah datang kepada Nabi saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku di atas unta!” lalu Nabi saw. menjawab: “Tetapi kami akan membawa kamu di atas anak unta.” Lalu wanita itu menyahut: “Apa yang akan aku perbuat dengan anak unta itu? Ia tentu tidak akan sanggup membawaku.” Lalu dengan nada canda Nabi saw. bersabda: .
Artinya:
“Tiadalah unta itu melainkan dia adalah anak unta.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Anas berkata bahwa Ali bin Thalhah mempunyai seorang anak laki. laki, namanya Abu Umair. Rasulullah saw. pernah datang kepada mereka, seraya bersabda:
Artinya:
“Hai Abu Umair! Apa kabar nughair?”
Nughair adalah burung yang dibuat mainan oleh Abu Umair, Nughair ialah anak burung pipit.
Aisyah ra. berkata: “Aku pernah pergi bersama Rasulullah saw. pada perang Badar. Beliau bersabda: “Kemarilah, sehingga aku berlomba denganmu (dari cepat saling kejar mengejar).” Lalu aku ikatkan baju besiku pada perutku, kata Aisyah. Kemudian, kami membuat garis, lalu kami berdiri di atas garis itu. selanjutnya kami berlari saling dahulu mendahului. Beliau dapat mendahului aku, dan bersabda: “Ini tempat Dzil Majaz namanya.”
Demikian pula bahwa suatu hari Rasulullah saw. datang, sementara kami berada di Dzil Majaz, kata Aisyah. Aku waktu itu masih gadis kecil. Aku diutus oleh ayahku membawakan sesuatu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Berikan itu kepadaku!” aku tidak mau memberikan padanya, aku terus berjalan. Dan Rasulullah saw. berjalan di belakangku, dengan gaya candanya yang tidak dapat mendahului aku.”
Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. pernah berlomba saling dahulu mendahului dengan aku dan aku dapat mendahuluinya. Pada saat yang lain ketika aku membawa daging, beliau mendahului aku. Lalu beliau bersabda: “Yang ini dengan yang itu (satu, satu).”
Aisyah ra. juga berkata: “Suatu ketika aku Rasulullah saw. dan Saudah binti Zam’ ah. Lalu aku membuat jenis makanan harisah. Aku bawa makanan tersebut, seraya aku berkata kepada Saudah: Makanlah!” Saudah menjawab: “Aku tidak suka.” Aku katakan lagi: “Sungguh, ayo makanlah atau aku lumuri wajahmu dengan makanan ini.” Saudah menjawab: “Aku tidak akan mencicipinya.” Lalu aku ambil dengan tanganku sedikit dari makanan itu dari piring, lalu aku lumurkan di mukanya. Sementara Rasulullah saw. duduk di antara aku dan dia. Lalu Rasulullah saw. merendahkan kedua lututnya, supaya Saudah mencegah aku. Namun Saudah juga ambil sedikit harisah dari piring itu dan menorchkan pada mukaku. Sehingga muka kami saling berlepotan dengan harizah. Melihat apa yang kami perbuat, Rasulullah saw. menjadi tertawa.”
Diriwayatkan, bahwa Adh Dhahak bin Sufyan Al Kalabi adalah scorang yang pendek dan buruk rupa. Ketika ia di bai’ah oleh Nabi saw. menjadi kepala dari kaumnya yang sudah memeluk agama Islam, lalu ia berkata: “Sesungguhnya padaku ada dua orang wanita yang lebih cantik dari Al Mumaira’ (panggilan Aisyah ra.) ini.”
Kasus ini terjadi sebelum turunnya ayat hijab. “Apakah aku pinangkan salah seorang dari keduanya untukmu, lalu kamu kawini dia?”, sahut Nabi. Aisyah duduk saja dengan tenang dan mendengarkannya, Lalu bertanya: “Adakah wanita itu yang lebih cantik ataukah kamu? Dengan nada canda -: Adh Dhahak menjawab: “Aku lebih bagus daripada dia.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw. tertawa. Karena laki-laki tersebut adalah orang yang pendek dan buruk rupanya.”
Diriwayatkan dari Al Oamah dari Abi Salamah, bahwa Nabi saw. mengeluarkan lidahnya dari mulutnya pada Hasan bin Ali ra. (cucu Nabi saw.), melihat lidah beliau itu sang cucu menjadi bergembira tertawa ria. Uyainah bin Badar Al Fazzari berkata kepada Nabi saw.: “Demi Allah, aku mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah kawin, namun aku sama sekali tidak pernah memeluknya.” Lalu Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya, barangsiapa yang tidak sayang, tentu ia tidak akan disayang.” (HR. Muslim).
Kebanyakan canda semacam itu dilakuakan beliau bersama istri-istri beliau dan anak-anak. Dan yang demikian itu merupakan cara Nabi saw. untuk mengobati dan menghibur hati mereka yang lemah.
Pada suatu hari Nabi saw. bersabda kepada Shuhaib yang sedang sakit mata, sementara ia memakan tamar (kurma): “Apakah kamu makan tamar, sedang engkau sakit mata?” Shuhaib menjawab: “Aku Cuma akan memakan yang separuhnya lagi, Ya Rasulullah!” Mendengar jawaban Itu, Nabi saw. tersenyum.” Menurut riwayat lain: Beliau tersenyum, sehingga aku (Suhaib) melihat gigi gerahamnya.”
Diriwayatkan bahwa Khawwat bin Jubair Al Anshari duduk bersama wanita suku Bani Ka’ab di jalan Makkah. Melihat hal itu, Rasulullah saw. menegur: “Hai Aba Abdillah! Ada apa kamu bersama wanita? Khawwat (Aba Abdillah) lalu menjawab: “Mereka memintal tali untaku, yang suka lari.”
Khawwat berkata: “Lalu Rasulullah saw. terus pergi untuk keperluan. Tidak lama kemudian datang lagi dan bertanya: “Apakah unta yang suka lari itu, sudah tidak meninggalkanmu lagi?”
Khawwat berkata: “Mendapat pertanyaan itu, aku diam tak menjawah karena merasa malu. Sesudah itu, aku selalu menghindar dari Nabi saw, manakala melihatnya, lantaran malu kepada beliau. Sehingga aku sampai di Medinah. Sesudah sampai di Madinah aku bertemu lagi dengan beliau, Ketika itu aku sedang mengerjakan shalat di masjid. Melihat aku mengerjakan shalat di masjid, beliau malah duduk di dekatku. Padahal aku sebenarnya berusaha menghindar dari beliau, maka aku panjangkan shalatku. Tetapi justru beliau bersabda: “Jangan kamu panjang-panjangkan, aku menunggumu!”
Sesudah aku salam, beliau bersabda: “Hai Aba Abdillah! Apakah untamu sudah tidak lagi meninggalkan kamu setelah itu? Khawwat lebih ‘ lanjut menceritakan, mendapat pertanyaan beliau itu, aku diam, tidak menjawab karena merasa malu. Rasulullah pun bangun berdiri. Sesudah itu, aku berusaha menghindar dari beliau, sehingga pada suatu hari beliau mengikuti aku, ketika itu beliau mengendarai himar. Sambil duduk menyamping di atas himar, beliau bertanya lagi kepadaku: “Hai Aba Abdillah! Apakah unta yang suka lari itu, tidak meninggalkanmu lagi sesudah iti?” Aku menjawab: “Demi Tuhan yang mengutus engkau dengan benar! Unta itu tidak lari lagi semenjak aku memeluk agama
Islam.” Lalu Nabi saw. berdo’a untuknya:
Artinya:
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Ya Allah, berilah petunjuk Aba Abdillah!” Perawi berkara: Lalu Aba Abdillah menjadi seorang muslim yang baik dan mendapat petunjuk Allah.” (HR. Thabrani).
Nu’aiman Al Anshari adalah seorang laki-laki yang suka bergurau. Suatu ketika ia minum khamar di Madinah. Lalu dibawa menghadap kepada Nabi saw. Ia dipukul oleh Nabi saw. dengan sandalnya, dan beliau menyuruh para sahabat untuk memukulnya dengan sandal. Kemudian di antara para sahabat ada yang berkata kepada Nu’aiman “Kiranya engkau dikutuk oleh Allah.” Mendengar ucapan itu, Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu berbuat demikian, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Pernah suatu ketika Nu’aiman datang ke Madinah dengan membeli buah tangan sebagai oleh-oleh buat Nabi saw. Ketika sampai di hadapan Nabi saw. ia berkata: “Ya Rasulullah, ini aku belikan oleh-oleh dan aku hadiahkan kepadamu.” Tiba-tiba, yang punya barang itu datang kepada Nu’aiman menagih harga barang itu. Maka Nu’aiman berkata kepada Nabi saw.: “Wahai Rasulullah, berilah kepada orang itu harga barangnya!” Nabi saw. menjawab: “Bukankah kamu telah menghadiahkan barang itu kepada kami?” Nu’aiman menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai uang untuk membayar harganya, tetapi aku ingin baginda merasakan makanan itu.” Mendengar jawaban itu Nabi saw. tertawa, dan menyuruh sahabatnya agar membayar harga barang tersebut.
Demikianlah, joke-joke yang diperbolehkan dan yang semisalnya, asalkan dilakukan jarang-jarang dan tidak terus menerus. Bila dilakukan terus menerus maka gurauan itu menjadi tercela, karena menyebabkan timbulnya tertawa ngakak yang bisa menyebabkan kematian hati.
Mengejek dan menertawakan, ketika menyakitkan, maka keduanya dilarang (diharamkan). Firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok | kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok).” (OS. Al Hujurat: 11).
Makna as-sukhriyah ialah menghina, mengejek, melecehkan dan memberitahukan sifat-sifat yang memalukan dan kekurangan-kekurangan dengan maksud untuk menertawakan. Yang demikian itu kadang-kadang dengan menirukan baik dalam bentuk perbuatan, perkataan ataupun dengan isyarat yang bisa menertawakan dan menghinakan. Apabila yang demikian itu terjadi di hadapan orang yang diejek, maka tidak dikatakan umpatan, akan tetapi mengandung makna umpatan. Aisyah berkata:
Artinya: “Aku menceritakar. tentang seseorang, lalu Nabi saw. bersabda kepadaku: Demi Allah! Aku tidak suka menceritakan tentang seseorang, sedang aku mempunyai ini dan itu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidz1.
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (OS. Al Kahfi: 49).
Berkenaan dengan ayat tersebut Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud “yang kecil” adalah tersenyum dengan memperolok-olokkan orang-orang mukmin, sedangkan “yang besar” jalah tertawa terbahak-bahak dengan maksud mengejek. Ini berarti menunjukkan, bahwa menertawakan kepada orang, termasuk dalam kategori dosa kecil dan dosa besar. Dari Abdullah bin Zam’ ah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. berkhutbah, lalu beliau menasehati orang-orang yang tertawa karena kentut. Beliau bertanya: “Mengapa seseorang dari kalian tertawa terhadap apa yang diperbuat?”
Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang memperolokolokkan manusia itu, dibukakan pintu surga bagi salah seorang mereka. Lalu dikatakan kepadanya: “Kemarilah, kemarilah!” Lalu orang yang memperolok-olokkan itu datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu surga itu, lalu pintu tersebut terkunci baginya. Kemudian dibukakan lagi pintu lain untuknya. Lalu dikatakan kepadanya: “Kemarilah, kemanilah! Lalu ja datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu itu, tiba-tiba pintu tersebut terkunci buat dia. Keadaan yang demikian itu, terus menerus terjadi atasnya, sehingga pintu itu di bukakan lagi bagi orang tersebut, dan dikatakan kepadanya: “Kemarilah, kemarilah!” Namun ia tidak datang lagi ke pintu itu.”
Mu’adz bin Jabal berkata, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Barangsiapa yang mempermalukan (mengejek) saudaranya dengan dosa yang relah ditaubarinya, maka ia tidak akan mati sebelum mengerjakan dosa itu.” (HR. Tirmidzi).
Hal tersebut terjadi karena menghina, mengejek dan menertawakan serta meremehkan orang lain. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala memperingatkan, melalui firman-Nya:
Artinya:
“…(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (OS. Al Hujurat: 11).
Maksudnya, janganlah kamu menghina seseorang, lantaran memandang dirinya kecil atau remeh. Karena boleh jadi, ia lebih baik daripada kamu. Sesungguhnya perbuatan tersebut diharamkan, jika orang yang diejek dan diolok-olok itu merasa tersingung dan sakit hati. Adapun jika orang yang diperolok-olok itu tidak merasa tersingung dan tidak pula terhina, atau bahkan merasa bergembira, sementara yang memperolok-olok juga tidak bermaksud menghina, tetapi hanya sekedar canda dan untuk lebih mempererat persaudaraan, maka yang demikian itu, termasuk dalam kategori bersenda gurau. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Tetapi yang diharamkan itu, ialah memandang kecil dan remeh orang lain, hingga ia merasa dihinakan dan dilecehkan. Hal ini bisa terjadi, adakalanya dengan menertawakan ucapanya, ketika ia salah ucap atau susunan kata-katanya tak karuan, atau bisa jadi menertawakan perbuatannya, yang salah tingkah, atau menertawakan mengenai rupa dan bentuknya, apakah karena pendek atau cacat atau buruk rupa dan lain sebagainya yang bisa membuatnya malu dan merasa terhina.
Membuka dan menyebarluaskan rahasia itu dilarang, karena padanya mengandung akibat menyakitkan dan penghinaan terhadap orang lain, baik teman, sahabat atau orang yang kamu kenal lainnya.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Apabila seseorang berbicara suatu pembicaraan, kemudian ia pergi, maka itu adalah amanah.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Pembicaraan tersebut bersifat mutlak. Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Pembicaraan di antara sesama kamu itu adalah termasuk amanah.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Hasan Bisri ra. berkata: “Adalah termasuk pengkhianatan apabila kamu membicarakan rahasia saudaramu.”
Diriwayatkan bahwa Mu’ awiyah ra. merahasiakan suatu pembicaraan kepada Walid bin Utbah. Lalu Walid berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya Amirul mukminin merahasiakan suatu pembicaraan kepadaku. Aku tidak melihat, bahwa ia merahasikan kepadamu mengenai apa yang dibicarakan kepada orang lain.” Ayah Walid berkata: “Janganlah kamu ceritakan kepadaku rahasia itu. Sesungguhnya orang yang menyembunyikan rahasianya, maka baginya kebaikan. Dan barangsiapa yang membuka rahasianya, maka berarti ia memilih yang membahayakan atas dirinya.”
Al Walid meneruskan ceriteranya: “Lalu aku berkata: “Wahai ayahku! Sesungguhnya ini termasuk urusan di antara orang dengan anaknya,”
Ayah Walid menjawab: “Demi Allah tidak, wahai anakku! Akan tetap aku menyukai, sekiranya kamu tidak menghinakan lidahmu dengan pem. bicaraan-pembicaraan rahasia.”
Al Walid meneruskan ceriteranya: “Lalu aku datang kepada Mu’awiyah, menceritakan apa yang aku bicarakan dengan ayahku. Mu’awiyah men. jawab: “Hai Walid! Bapakmu telah memerdekakan kamu dari perbudakan kesalahan.”
Jadi, membuka rahasia itu adalah suatu pengkhianatan. Dan itu adalah haram, apabila hal itu mendatangkan kemudharatan. Dan tercela, jika tidak menumbulkan kemudharatan. Kami telah membahas permasalahan yang menyangkut dengan menyembunyikan rahasia pada kitab “Adaabus Shuhbah.” Oleh sebab itu, kiranya tidak perlu lagi dibahas ulang di sini.
Adalah lidah yang begitu mudah mengobral janji. Namun kadangkala tidak bisa diajak kompromi, ia selalu menuntut agar supaya janji itu tepati. Sementara ucapan janji itu begitu mudah meluncur di ujung lidah, sehingga dipandang ringan untuk tidak ditepati . Yang demikian itu, merupakan sebagian dari tanda-tanda kemunafikan (nifag).
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah agad-agad itu.” (OS. Al Maidah: 1).
Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Janji itu adalah suatu pemberian.” (HR. Thabrani).
,
Nabi saw. bersabda:
Artinya: S “Al wa’yu (janji) itu seperti hutang atau lebih utama daripada hutang.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Al wa’yu artinya janji. Allah Ta’ ala memuji Nabi Ismail as. dalam kitab-Nya yang mulia. Ia berfirman:
Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismait (yang tersebur) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya.” (OS. Maryam: 54).
Dikatakan, bahwa Nabi Ismail as. pernah berjanji dengan seseorang pada suatu tempat. Ismail memenuhi janji yang telah disepakati tepat waktu, namun orang yang telah menjalin kesepakatan janji dengannya tidak kunjung datang, karena lupa. Maka tinggallah Nabi Ismail as. di tempat itu selama dua puluh hari menunggu kedatangannya.
Ketika Abdullah bin Umar hampir wafat, ia berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki dari suku Quraisy telah meminang anak perempuanku. Dan sesungguhnya sudah mengadakan pembicaraan yang menyerupai janji kepadanya. Oleh sebab itu, demi Allah agar kiranya aku tidak menemui Allah dengan sepertiga nifak. Maka saksikanlah, bahwa aku telah mengawinkan anak perempuan dengan laki-laki itu.”
Dari Abdullah bin Abil-Khansa”, ia berkata: “Aku telah berjual beli dengan Nabi saw. sebelum beliau di utus menjadi Rasulullah. Masih ada sisa kepunyaannya padaku. Aku berjanji dengan dia, bahwa aku akan datang membawa sisa itu kepadanya. Aku lupa pada hari tersebut dan besoknya, aku baru datang kepadanya pada hari ketiga dan beliau masih berada pada tempat itu. Lalu beliau bersabda: “Hai anak muda! Engkau sudah menyusahkan aku. Aku di sini menunggumu semenjak tiga hari yang lalu.”
Pernah ditanyakan kepada Ibrahim An Nakha’i tentang seseorang yang berjanji dengan orang lain. Lalu orang itu tidak datang. Ibrahim An Nakha’i menjawab: “Hendaklah ia menunggunya, sampai masuk waktu shalat berikutnya.”
Rasulullah saw. apabila berjanji dengan suatu janji, beliau selalu mendahuluinya dengan ucapan, ‘assaa (Mudah-mudahan).
Ibnu Mas’ud kalau berjanji dengan suatu janji, ia selalu mengatakan: “Insya Allah”. Itu adalah lebih utama. Kemudian, apabila difahami dari perkataan itu, akan keteguhan pada janji itu, maka harus ditepati, tidak boleh tidak, kecuali berhalangan. Jika waktu berjanji, sudah ada keteguhan untuk tidak ditepati, maka ini namanya kemunafikan (nifaq).
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Tiga perkara, barangsiapa yang ada pada tiga perkara itu, maka ja tergolong munafik, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendakwakan bahwa dirinya muslim, yakni: Apabila berbicara, berdusta, apabila berjanji, ia menyalahi janji: dan apabila dipercayai, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin Amr ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Empat perkara, barangsiapa ada padanya, niscaya ia itu orang munafik. Dan barangsiapa ada padanya suatu sifat dari yang empat itu, niscaya ada padanya suatu sifat kemunafikan, sehingga ditinggalkannya sifat tersebut. Yaitu, apabila berbicara, ia berdusta, apabila berjanji, mengingkari janji, apabila membuat suatu perjanjian ia membelot, dan apabila bermusuh-musuhan, ia menganiaya (bertindak keji).” (Muttafag alaih).
Hadis ini ditujukan kepada orang yang berjanji dan ia bercita-cita menyalahi janji tersebut, atau tidak menepatinya tanpa ada halangan. . Sedangkan orang yang bercita-cita akan menepati janjinya, lalu datang suatu halangan yang mencegahnya daripada menepatinya, maka ia bukan termasuk orang munafik. Sekalipun berlaku padanya bentuk nifak. Namun sebaiknya kamu menjaga diri dari bentuk kemunafikan semacam itu sebagaimana kamu menjaga dari hakekat kemunafikan. Dan tidak selayak. nya menjadikan dirinya berhalangan, kecuali bila benar-benar dalam keadaan terpaksa (dharurat).
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. menjanjikan seorang pembanty (khadam) kepada Abul Haitsam bin At Taihan. Lalu beliau mendatangkah tiga tawanan perang. Dua orang daripadanya beliau berikan kepada sahabat. Hingga tinggallah satu orang. Kemudian datanglah Fathimah ra. meminta seorang pembantu dari Rasulullah saw., seraya berkata: “Tidakkah ayahanda melihat bekas menggiling bumbu makanan pada tanganku?” Rasulullah saw. lalu menyebut janjinya kepada Abul Haitsam, seraya bersabda: “Bagaimana janjiku dengan Abul Haitsam?”
Rasulullah saw. mendahulukan Abul Haitsam daripada Fathimah ra. mengenai pembantu itu. Karena beliau telah lebih dahulu berjanji kepada Abul Haitsam, sedang Fathimah ra. tetap menggiling bumbu makanan dengan tangannya yang lemah.
Pada suatu hari Nabi saw. duduk membagi harta rampasan perang Hawazin di Hunain. Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dari sekian banyak orang di hadapan Nabi saw. Orang itu berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ada janjimu untukku!”
Nabi saw. menjawab: “Ya, putuskanlah menurut sekehendakmu.” Orang itu menjawab: “Aku memutuskan delapan puluh domba betina dan penggembalanya.”
Nabi saw. menjawab: “Apa yang kamu minta itu, untukmu.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Putusan permintaanmu itu, Cuma sedikit.” Sesunguhnya nenek tua yang telah menunjukkan tulang Nabi Yusuf kepada Nabi Musa as. lebih banyak dan lebih berlipat ketetapan tuntutannya daripada ketetapan tuntutanmu. Ketika itu Nabi Musa menyatakan, kalau kamu mau menunjukkan tulang belulang Nabi Yusuf, maka akan aku kabulkan semua yang kamu kehendaki. Dan nenek tua itu berkata: “Tuntutanku adalah, kembalikan aku menjadi mudah lagi dan termasuk orang yang berada di surga bersamamu.”
Dikatakan, bahwa orang-orang yang menyaksikan hal tersebut menjadi tercengan dan memandang remeh apa yang diputuskan oleh orang lakilaki itu, seraya bergumam keterlaluan orang itu, sehingga Nabi saw. membuat permisalan seperti itu. Dia itu laki-laki lebih kikir daripada orang yang mempunyai delapan puluh domba betina dan penggembalanya.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Tidaklah meny alahi janji, jika seorang berjanji dengan sesenrang dan pada niatnya akan menepatinya.” (HR. Abu Dawud)
Dalam redaksi lain disebutkan:
Artinya:
“Apabila seseorang berjanji dengan saudaranya dan pada niatnya akan menepatinya, lalu tidak menemukan jalan (untuk menepatinya), maka dirinya tidak bersoda.”
Berkata dan bersumpah dusta termasuk seburuk-buruk dosa dan dan kejahatan yang sangat keji. Ismail bin Wasith berkata, bahwa aku mendenga, Abu Bakar Ash Shiddig ra. berkhutbah sesudah Rasulullah saw. wafat Dalam khutbahnya ia menyatakan: “Rasulullah saw. pernah berdiri di tempat ini, pada awal @erasulannya, di mana saya sekarang berdiri. Kemudian beliau menangis, seraya bersabda:
Artinya:
“Waspadalah terhadap sikap berdusta! Sesungguhnya orang yang berdusta itu bersama orang yang zalim dan keduanya berada dalam neraka.” (HR. Ibnu Majah).
Abu Umamah berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya dusta itu adalah suatu’pintu dari pintu-pintu kemunafikan.” – (HR. Ibnu majah).
Hasan Basari berkata, ada yang mengatakan bahwa termasuk kemunafikan ialah tidak samanya antara yang tersembunyi dengan yang terangterangan, berbedanya antara ucapan dan perbuatan, antara jalan masuk dan jalan keluar. Segala sesuatu yang dibangun atas dasar demikian termasuk kemunafikan dan kedustaan. Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Amat besar sebuah pengkhianatan, jika kamu membicarakan Suatu pembicaraan dengan saudaramu, di mana dia membenarkan ( percaya) pembicaraanmu, sementara kamu dusta padanya dengan pembicaraan tersebut.” (HR. Bukhari).
Ibnu Mas’ud berkata, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Jauhilah olehmu perbuatan dusta, karena dusta itu menyeret pada kedurhakaan dan kedurhakaan itu menyeret ke neraka. Dan seseorang ‘ senantiasa berdusta dan terus berbohong, sehingga ia ditulis di sisi Allah, sebagai seorang pendusta.” (Muttafag alaih).
Pernah dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. bertemu dua orang laki-laki yang berjual beli seekor kambing dan keduanya sumpah-menyumpah. Salah seorang dari keduanya berkata: “Demi Allah! Tidak akan aku kurangkan bagimu sekian dan sekian.” Lalu yang lain berkata: “Demi Allah! Tidak akan aku tambahkan bagimu di atas sekian dan sekian.” Lalu Rasulullah saw. mendekati kambing yang sudah dibeli oleh salah seorang dari keduanya. Lalu bersabda: “Salah seorang dari kalian berdua, diwajibkan membayar kafarah sumpah.”
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Berdusta itu, mengurangi rezeki.”
Rasulullah saw juga bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya saudagar-saudagar itu orang-orang yang zalim, Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah! Bukankah Allah telah meng, halalkan jual beli? Nabi saw. menjawab: “Ya, benar! Tetapi mereka itu bersumpah, maka mereka berdosa. Mereka berbicara, lalu mereka berdusta.” (HR. Ahmad),
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Ada tiga golongan manusia, Allah Ta’ala tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat dan tidak memandang kepada mereka, (dengan pandangan kasih sayang). Yaitu, orang yang menyebut-nyebut pemberiannya, tidaklah dia memberikan sesuatu, melainkan dia menyebutnyebutnya, orang yang menawarkan barang dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang merendahkan (memanjangkan ke bawah) kain sarungnya, (menyeretnya dengan sombong).” (HR. Muslim).
Nabi saw. bersabda:
Arunya. “Tidaklah seseorang bersumpah dengan menyebut nama Allah, lalu ia memasukkan semisal sayap nyamuk dalam sumpahnya, melainkan sebab dengannya terdapat noda hitam di hatinya sampai hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Abu Dzar berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Tiga orang yang dicintai oleh Allah, yaitu: seseorang yang ada dalam satuan pasukan. Lalu menegakkan lehernya menghadapi musuh, sehingga ia terbunuh atau ia dan teman-temannya dimenangkan oleh Allah: dan seseorang yang mempunyai tetangga jahat yang menyakitinya. Namun ia bersabar atas kesakitan itu, sehingga dipisahkan di antara keduanya oleh kematian atau pindah tempat, dan seseorang, dimana bersama dia ada suatu kaum dalam perjalanan jauh atau perjalanan malam. Lalu mereka meneruskan perjalanan malam itu, Sehingga mereka heran dengan kondisinya yang menyentuh tanah (sangar kecapean dan ngantuk), maka mereka turun dari kendaraan (istirahat dan tertidur). Namun ada orang tersebut pindah tempat (mencari tempat) untuk mengerjakan shalat, sampai ia membangunkan teman. temannya itu untuk meneruskan perjalanan. Dan tiga manusia yang dimurkai Allah, yaitu: Pedagang atau penjual yang suka bersumpah: orang kikir yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, dan orang miskin yang sombong.” (HR. Ahmad),
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Neraka bagi orang yang bercerita, lalu berdusta, dengan pembicaraannya itu untuk menertawakan suatu kaum. Neraka baginya, . neraka baginya.” (HR. Abu Dawud)
Nabi saw. bersabda: “Aku bermimpi seakan-akan seorang laki-laki datang kepadaku. Lalu ia berkata kepadaku: “Bangunlah!” Lalu aku bangun bersama dia. Tiba-tiba aku bersama dua orang laki-laki. Yang seorang berdiri dan yang lain duduk. Di tangan yang berdiri itu besi yang bengkok ujungnya (semacam besi pengait), yang dimasukkan ke dalam mulut orang yang duduk. Lalu ditariknya sehingga sampai ke atas bahunya. Kemudian ditariknya lagi, lalu dimasukkannya dari arah yang lain, hingga memanjang. Ketika telah memanjang, dikembalikan lagi, seperti semula. Melihat itu, aku bertanya kepada orang yang meminta aku berdiri tadi: “Apakah ini?” orang itu menjawab: “Inilah laki-laki pendusta, yang disiksa di dalam kuburnya sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Dari Abdullah bin Jarrad, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah! Adakah orang mukmin itu berzina?” Rasulullah saw. menjawab: “Kadang-kadang ada yang demikian.” Abdullah bin Jarrad bertanya lagi: “Wahai Nabi Allah! Adakah orang mukmin itu berdusta?” Beliau menjawab: “Tidak.” Namun kemudian, Rasulullah saw: melanjutkan sabdanya dengan membaca firman Allah Ta’ala:
Artinya:
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orangorang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (OS. An Nahl: 105).
Abu Sa’id Al Khudulri berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. berdo’a:
Artinya: “Ya Allah! Sucikanlah hariku dari kemunafikan, kemaluanku dari zina dan lidahku dari dusta.” (HR. Al Khathib).
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Tiga golongan manusia, Allah Ta’ala tidak akan berkata-kata dengan mereka, tiada memandang kepada mereka dengan pandangan kasih sayang pada hari kiamat dan tidak pula Allah mensucikan mereka, dan bagi mereka siksaan yang pedih. Yaitu orang tua yang berzina, raja yang berdusta dan orang miskin yang sombong.” (HR. Muslim).
Abdullah bin Amr berkata. sesungguhnya Rasulullah saw. pernah datang ke rumah kami dan aku waktu itu masih kanak-kanak. Ketika aky pergi untuk bermain-main, ibuku memangilku, seraya berkata: “Hai Abdullah: Kemarilah, aku akan berikan padamu sesuatu!” Lalu Rasulullah saw. bertanya pada ibuku: “Apakah yang akan kamu berikan padanya?” Sang ibu men. jawab: ““Tamar (kurma).” Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya jika kamu tidak memenuhi apa yang kamu ucapkan (janjikan) pada anakmu itu, tentu kamu dicatat bagimu satu kedustaan.”
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sekiranya Allah menganugerahkan kepadaku nikmat sejumlah bilangan batu krikil ini, tentu aku bagi-bagikan di antara kamu. Kemudian, kamu tidak akan mendapatiku sebagai orang yang kikir yang berdusia dan yang penakut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. bersabda, dan ketika itu sedang bersandar:
Artinya:
“Maukah kamu aku beritahukan kepadamu, tentang dosa yang terbesar?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Yaitu, menyekutukan Allah dan menduharkai ibu bapak.” Kemudian beliau duduk bersandar, seraya melanjutkan sabdanya: “Ketahuilah, dan berkata dusta.” (HR. Bukhari),
Ibnu Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba Allah yang berbuat dusta dengan suatu kedustaan, maka malaikat menjauh daripadanya, sejauh perjalanan satu mil, karena busuknya bau kebohongan yang diucapkannya.” (HR. Tirmidzi).
Dari Anas ra., bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Berilah aku jaminan dari dirimu, maka aku akan memberikan jaminan surga bagimu. Apabila kamu berkata, berkatalah yang benar, jika berjanji, tepatilahjanjimu, jika dipercaya, tunaikan kepercayaan itu: jagalah farjimu, tundukkan pandanganmu, dan peliharalah tanganmu.” (HR. Ahmad).
Nabi saw. juga bersabda: “Sesungguhnya syaitan itu mempunyai celak, yang disendok dan yang dihirup. Adapun yang disendok adalah kedustaan, dan yang dihirup adalah amarah. Sedangkan celaknya adalah tidur.” (HR. Thabrani).
Umar ra. suatu hari berkhutbah, pernah suatu ketika Rasulullah saw. berdiri di tengah-tengah kami, seperti aku berdiri di tengah-tengah kalian ini, lalu beliau bersabda:
Artinya:
“Aku berpesan kepadamu, berbuat baiklah kepada para sahabatku, kemudian kepada para pengikut sahabatku (tabi’in), lalu para pengikut orang yang mengikuti sahabatku (tabi ‘it tabi’in). Selanjutnya kebohongan menyebar kemana-mana hingga seseorang begitu mudah bersumpah, padahal ia tidak diminta bersumpah, dan seseorang memberikan kesaksian, padahal ia tidak diminta kesaksiannya.” (HR. Tirmidzi),
Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Barangsiapa yang berbicara mengenai hadis dariku, padahal ia tahu bahwa hadis itu dusta (palsu), maka dia termasuk satu di antara para pendusta.” (HR. Muslim).
Nabi saw. bersabda:
Artinya: : “Barangsiapa bersumpah di atas suatu sumpah untuk mengambil (mendapatkan) harta seorang muslim dengan cara keji (tidak benar), niscaya ia bertemu Allah, dalam keadaan sangat marah kepadanya.” (HR. Bukhari).
Diriwayatkan dari Nabi saw.: Sesunguhnya Nabi saw. menolak kesaksian seorang laki-laki dalam suatu kebohongan yang didustakan.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Aisyah ra. berkata: “Tiada ada suatu tabiat yang sangat berat atas para sahabat Rasulullah saw. selain daripada: berdusta. Dan Rasulullah saw. melihat salah seorang sahabatnya yang berdusta. Maka orang itu tiada hilang daripada Rasulullah saw. sebelum beliau tahu, bahwa sahabatnya itu telah bertobat kepada Allah Azza wa Jalla dari kedustaannya itu.”
Nabi Musa as. berdo’a dalam munajatnya: “Wahai Tuhan, siapakah di antara hamba-Mu yang paling baik amalnya dalam pandangan-Mu? Allah Ta’ala menjawab: “Yaitu, orang yang lidahnya tidak berdusta, hatinya tidak durhaka dan farjinya tidak berzina.”
Lukman berkata kepada anaknya: “Hai anakku! Takutlah berdusta! Karena dusta itu sesuatu yang menyenangkan orang yang melakukannya, seperti kesenangannya makan daging burung pipit. Amat sedikit yang tidak menyukainya. Namun orang lain justru membencinya:”
Rasulullah saw. memuji kejujuran, sebagaimana dalam sabda beliau:
Artinya: Empat perkara jika telah ada pada dirimu, maka apa yang terlepas darimu berkenaan dengan harta dunia, tidak akan membahayakanmu. Yaitu: jujur dalam bicara, memelihara amanat, budi pekerti yang baik dan menjaga dari makanan (yang haram atau yang subhat).” (HR. Al Hakim).
Suatu ketika Abu Bakar berkhutbah, setelah Rasulullah wafat. “Rasulullah saw. pernah berdiri di tengah-tengah kami sebagaimana aku sekarang ini, ada tahun pertama kerasulan, kemudian beliau saw. menangis sambil bersabda:
yang dapat dicapai dengan perkataan yang benar, maka haram mencapainya dengan cara berbohong. Tetapi jika maksud terpuji itu, tidak mungkin dapat dicapat kecuali dengan berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan (mubah), asalkan tujuannya berkenaan dengan perkara mubah. Dan ber, bohong itu bisa menjadi wajib apabila bertujuan untuk melindungi ke, selamatan jiwa orang Islam, yang memang wajib dilindungi. Seandainya kamu berkata jujur, tetapi kejujuran itu justru menimbulkan pertumbuhan darah (pembunuhan) terhadap seorang muslim, maka berbohong menjadi sebuah kewajiban bagimu. Misalnya, ketika apa yang menjadi tujuan dari sebuah peperangan tidak dapat tercapai secara sempurna, atau tujuan mendamaikan orang yang bertikai atau tujuan meluluhkan hati orang yang zalim itu tidak dapat tercapai jika berkata jujur apa adanya, maka dalam hal ini kamu boleh berdusta. Tetapi, tentu saja sebaiknya diusahakan sedapat mungkin menjaga diri dari kebohongan. Karena jika kamu membuka kesempatan hatimu untuk berbohong, dikhawatirkan akan menjadi terbiasa melakukannya, sekalipun tidak dalam keadaan terpaksa, Dalil yang menjadi dasar terhadap pengecualian ini (dusta yang diperbolehkan), di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan dari Ummi Kultsum. Ia berkata:
Artinya:
“Aku tidak mendengar Rasulullah saw. memperbolehkan bohong kecuali dalam tiga keadaan. Yaitu, berbohong dalam konteks sebagai Strategi berperang, seseorang yang berbohong dengan maksud untuk mendamaikan antara manusia, dan seseorang yang berbohong kepada istrinya atau istrinya berbohong kepada suaminya (untuk menjaga keharmonisan dan mempererat jalinan cintanya.” (HR. Muslim).
Khalid bin Syabih pernah ditanya: “Apakah orang yang dusta sekali itu disebut pendusta?” Ia menjawab. “Ya, benar.”
Malik bin Dinar berkata: “Aku pernah membaca sebagian dari isi kitab, aku menjumpai kalimat berikut: “Tidaklah seseorang yang berpidato melainkan pidatonya akan dicocokkan dengan amal perbuatannya, jika memang sesuai dengan perbuatannya, maka ia dibenarkan. Jika ia berbohong, maka kedua bibirnya akan digunting dengan gunting dari neraka. Setiap kali selesai digunting, kedua bibirnya kembali lagi seperti semula.
Malik bin Dinar juga berkata: “Benar dan bohong itu berkelahi dalam hati, hingga salah satu dari keduanya mengeluarkan (mengalahkan) yang lainnya.”
Umar bin Abdul Aziz ra. pernah berbicara dengan Walid bin Abdul Malik ra. tentang sesuatu. Lalu Walid bertanya: “Kamu pernah berdusta?” Umar bin Abdul Aziz menjawab: “Demi Allah, aku tidak pernah berdusta sejak aku tahu bahwa dusta itu akan mempermalukan pelakunya.”
DUSTA YANG DITOLERIR (DIPERBOLEHKAN)
Dilarangnya berdusta bukan karena kedustaan itu sendiri melainkan karena dusta itu membahayakan orang yang diajak berbicara. Setidaktidaknya kebohongan itu membuat orang yang diberi tahu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya, karena informasi yang disampaikan kepadanya sebuah kedustaan. Akibatnya berita yang diterima itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Tetapi berdusta, yang membuat orang yang didustai tidak mengetahui yang sebenarnya itu justru mengandung manfaat dan maslahat, maka kebohongan semacam ini diperbolehkan, bahkan bisa jadi sampai pada tingkat wajib.
Maimun bin Mahram berkata: “Pada suatu keadaan bohong itu lebih baik daripada berkata apa adanya (jujur). Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang bermaksud membunuh orang lain, lalu bertanya kepadamu: “Tahukah kamu di mana si Fulan?” Apa yang kamu katakan? Bukankah kamu lebih baik menjawab: “Aku tidak tahu.” Dalam hal ini, kamu memang berdusta, tetapi dusta dalam keadaan seperti ini diperbolehkan, atau bahkan diwajibkan (untuk melindungi keselamatan jiwa orang lain.”
Kami (Imam Ghazali) jelaskan bahwa perkataan adalah alat untuk menyampaikan pada apa yang menjadi tujuan. Setiap tujuan yang terpuji, yang dapat dicapai dengan perkataan yang benar, maka haram mencapainya dengan cara berbohong. Tetapi jika maksud terpuji itu, tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan (mubah), asalkan tujuannya berkenaan dengan perkara mubah. Dan berbohong itu bisa menjadi wajib apabila bertujuan untuk melindungi keselamatan jiwa orang Islam, yang memang wajib dilindungi. Seandainya kamu berkata jujur, tetapi kejujuran itu justru menimbulkan pertumbuhan darah (pembunuhan) terhadap seorang muslim, maka berbohong menjadi sebuah kewajiban bagimu. Misalnya, ketika apa yang menjadi tujuan dari sebuah peperangan tidak dapat tercapai secara sempurna, atau tujuan mendamaikan orang yang bertikai atau tujuan meluluhkan hati orang yang zalim itu tidak dapat tercapai jika berkata jujur apa adanya, maka dalam hal ini kamu boleh berdusta. Tetapi, tentu saja sebaiknya diusahakan sedapat mungkin menjaga diri dari kebohongan. Karena jika kamu membuka kesempatan hatimu untuk berbohong, dikhawatirkan akan menjadi terbiasa melakukannya, sekalipun tidak dalam keadaan terpaksa, Dalil yang menjadi dasar terhadap pengecualian ini (dusta yang diperbolehkan), di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan dari Ummi Kultsum. Ia berkata:
Artinya:
“Aku tidak mendengar Rasulullah saw. memperbolehkan bohong kecuali dalam tiga keadaan. Yaitu, berbohong dalam konteks sebagai strategi berperang, seseorang yang berbohong dengan maksud untuk mendamaikan antara manusia, dan seseorang yang berbohong kepada istrinya atau istrinya berbohong kepada suaminya (untuk menjaga keharmonisan dan mempererat jalinan cintanya.” (HR. Muslim).
Umi Kultsum juga berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Tidaklah dikatakan pendusta orang yang mendamaikan dua orang yang bersengketa, lalu ia mengatakan yang baik atau menambahkan yang baik. (HR. Muslim).
Asma bin Yazid menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
Setiap kebohongan yang dilakukan anak Adam itu dicatat (sebagai kebohongan ) kecuali seseorang yang berbohong di antara dua orang muslim (yang sengketa) dengan maksud untuk mendamaikan keduanya.” (HR. Ahmad dan At Turmdizi).
Abi Kahil berkata: “Pernah terjadi perselisihan di antara dua orang sahabat Nabi saw. sehingga menimbulkan baku hantam antara keduanya. Aku bertindak sebagai mediator untuk mendamaikan antara keduanya. Aku menemui salah seorang dari keduanya, dan berkata: “Sesungguhnya apa yang terjadi antara dirimu dengan dia. Padahal dia pernah menceritakan kebaikanmu, bahkan memujimu.’ Kemudian aku menjumpai seorang yang lainnya dan kukatakfm sebagaimana yang kuucapkan kepada lawannya. Sehingga antara keduanya terjadi perdamaian. Namun di sisi lain aku merasa tidak enak, karena aku telah merusak diriku sendiri dengan berkata dusta. Oleh sebab itu, maka aku ceritakan kasus itu kepada Nabi saw.: “Wahai Rasul, aku telah membinasakan diriku — dengan berbohong — demi mendamaikan dan memperbaiki hubungan antara dua orang sahabat yang bertikai.” Lalu Rasulullah saw. berkomentar:
Artinya : “Wahai Abi Kahil, damaikanlah di antara manusia.” (HR. Ath Thabarani),
Yakni, sekalipun dengan berdusta.
Diriwayatkan dari Atha’ bin Yasar, bahwa seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku berbohong kepada istriku?” Rasulullah saw. menjawab: “Tidak ada kebaikan yang tersimpan dalam kebohongan.” Orang itu berkata lagi: “Aku kembali bertanya kepada Beliau, bahwa aku berbohong kepada istriku, demi keharmonisan dan memperdalam cinta kami. Lalu Rasulullah bersabda:
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu.” (HR. Ibnu Abdil Barr).
Diriwayatkan, bahwa pada masa Khalifah Umar ra. pernah terjadi kasus khuluk antara Ibnu Abi Udzarah Ad Duali dengan istri-istri yang telah dinikahinya. Berita tersebut menyebar hingga Khalifah Umar sendiri mendengar khabar yang tidak disukai ini. Ketika Ad Duali, mengetahui kasusnya diketahui oleh khalifah, dia mengajak Abdillah bin Argam ke rumahnya. Selanjutnya, di hadapan Abdillah, Ad Duali bertanya kepada istrinya: “Aku menyumpahmu dengan nama Allah, apakah kamu membenciku?” Istrinya menjawab: “Jangan menyumpahiku.” Ad Duali bertanya lagi: “Aku menyumpahmu dengan nama Allah!” Istrinya berkata: “Ya, aku membencimu.” Lalu Ibnu Abi Udzarah bertanya kepada Ibnu Abdillah: “Kamu sudah mendengar apa yang diucapkannya bukan?”
Selanjutnya, Ibnu Abi Udzarah dan Ibnu Abdillah datang menemui Khalifah Umar ra. karena sebelumnya Khalifah Umar mendengar berita yang tidak menyenangkan berkenaan dengan kasus tersebut. Ibnu Abi Udzarah berkata kepada Khalifah Umar: “Wahai Khalifah, sesungguhnya engkau beranggapan bahwa diriku menganiaya istri-istriku dan mengkhuluk mereka. Sekarang bertanyalah kepada Ibnu Abdillah bin Argam, karena ja mendengar sendiri kata-kata istriku.” Maka Khalifah Umar pun bertanya kepada Ibnu Abdillah bin Argam. Lalu Ibnu Abdillah bin Argam menjelaskannya, apa yang ia dengar langsung dari istri Ibnu Abi Udzarah.
Kemudian Khalifah Umar memanggil istri Ibnu Abi Udzarah. Umar bertanya: “Apakah kamu yang mengatakan kepada suamimu bahwa kamu membencinya?” Perempuan itu menjawab: “Sesungguhnya aku adalah orang yang bertaubat dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Suamiku menyumpahiku dengan menyebut nama Allah. Sedangkan aku takut berdosa jika aku berdusta. Maka aku jawab dengan jujur, bahwa aku memang membencinya?” Apakah dalam hal ini, aku boleh berdusta, wahai Amiril Mukminin?” Umar ra. menjawab: “Ya, kamu boleh berdusta kepadanya. Kalau seorang istri tidak menyukai suaminya, maka janganlah menceritakan yang demikian itu kepadanya. Sesungguhnya sedikit sekali rumah tangga yang dibangun atas dasar kecintaan, bahkan kebanyakan manusia bergaul atas dasar Islam dan untuk menjaga keturunan.”
Dari Nawas bin Sam’an Al Kilabi, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Mengapa kamu banyak berkata bohong seperti kupu-kupu menjatuhkan dirinya ke dalam api. Padahal setiap kebohongan yang dilakukan anak Adam tentu dicatat, kecuali jika seseorang berdusta dalam peperangan, karena peperangan itu memang tipu daya, atau berada di antara dua orang yang bertikai dan ia mendamaikannya, atau ia berbicara dengan istrinya untuk menyenangkannya.” (HR. Ath Thabrani).
Tsauban ra. berkata: “Semua kedustaan itu merupakan perbuatan dosa, kecuali dusta yang membawa kemaslahatan bagi kaum muslim, atau untuk menolak bahaya yang hendak menimpa mereka.”
Ali ra. berkata: “Apabila aku menceritakan tentang Rasulullah kepadamu, makajatuh dari langit lebih aku sukai daripada aku berdusta mengatasnamakan beliau. Dan jika aku menceritakan kepadamu tentang apa yang terjadi antara aku denganmu, maka peperangan adalah tipu daya.”
Dusta dalam tiga perkara tersebut secara tegas memang merupakan pengecualian. Begitu juga perkara lain yang semakna dengan tiga hal tersebut asalkan masih dalam konteks tujuan yang benar dan untuk diri sendiri atau demi kebaikan bagi sesama muslim, baik dalam urusan harta benda atau kehormatannya. Yang terkait dengan harta misalnya, ada orang zalim bertanya: “Di mana kamu simpan hartamu?” Lalu orang yang dizalimi itu menjawab dengan berdusta: “Aku tidak mempunyai harta benda.” Atau misalnya ada seseorang yang ditangkap oleh penguasa, lalu penguasa itu bertanya tentang perbuatan keji yang berhubungan antara dirinya terhadap Allah. Lalu ia mengingkarinya dengan memberikan jawaban, misalnya: “Aku tidak berzina atau aku tidak mencuri.” Apa yang dipandang durhaka dalam pandangan penguasa tidak secara Otomatis juga merupakan kedurhakaan dalam pandangan Allah.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: .
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari kekejian-kekejian ini, hendaklah ia menutupinya dengan tabir Allah.” (HR.Al Hakim).
Mengapa demikian? Karena menceritakan perbuatan keji kepada orang lain itu, termasuk kekejian pula. Oleh karena itu hendaknya seseorang menjaga dan mempertahankan darah serta hartanya yang diambil secara zalim dan menjaga kehormatannya dengan lisannya, sekalipun secara terpaksa harus dilakukan dengan cara berbohong.
Demikian pula halnya menjaga kehormatan orang lain, misalnya kamu ditanya tentang rahasia temanmu, maka kamu boleh menjawab dengan berbohong (untuk menjaga rahasianya dan melindungi kehormatannya). Atau kamu mendamaikan dua orang yang bersengketa, maka bolehlah berdusta dengan tujuan agar tersambung silatur rahmi antara keduanya. Atau kamu mendamaikan suami istri yang bertikai dengan mengatakan kebohongan. Kepada pihak suami kamu berbohong bahwa istrinya sangat mencintai. Kepada pihak istri, kamu juga berbuat demikian. Atau kamu sendiri berbohong dengan tujuan untuk menyenangkan istri-istrimu. Maka berbohong dalam konteks ini, diperbolehkan.
Seandainya kamu dihadapkan pada persoalan yang deramatis, dalam hatimu timbul keraguan bahwa jika berbohong, kamu melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi jika berkata yang sebenarnya juga timbul sesuatu yang dilarang, maka dalam keadaan seperti ini, kamu dituntut untuk bisa mempertimbangkan dengan yang seadil-adilnya. Mana yang harus kamu pilih, apakah berkata sebenarnya, atau berbohong.
Apabila kamu mengetahui bahwa sesuatu yang dilarang yang timbul karena berkata sebenarnya justru lebih fatal akibatnya secara syara”, maka kamu boleh berdusta. Kalau keduanya seimbang tetapi kamu masih ragu-ragu, maka yang lebih utama adalah berkata sebenarnya. Karena kebohongan itu diperbolehkan dalam keadaan darurat atau karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak.
Ketika kamu meragukan akan keberadaan hajat yang mendesak dengan cara berdusta, maka kebohongan itu kembali kepada hukum asalnya. Atas dasar sulitnya mempertimbangkan untuk mengetahui sejauh mana yang dianggap darurat dan keberadaan hajat, maka sedapat mungkin hendaklah kamu menjaga diri dari berbohong.
Oleh sebab itu, jika kamu bermaksud bohong demi kepentingan dirimu sendiri, maka disunatkan untuk meninggalkan dan menjauhi kebohongan itu. Namun jika kebohongan itu berkenaan dengan tujuan kepentingan orang lain, maka tidak boleh dilakukan.
Kebanyakan manusia berdusta dengan tujuan untuk mencari keuntungan, mendambakan harta benda, mencari jabatan atau karena tujuan lain bagi dirinya. Sehingga kadang-kadang ia menceritakan tentang suaminya dengan kebohongan agar istri-istri madunya marah. Kebohongan yang demikian ini hukumnya haram.
Asma binti Abu Bakar berkata, bahwa pernah ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw.: “Sesungguhnya aku adalah seorang istri yang dimadu oleh suamiku, kemudian aku banyak menceritakan sesuatu yang tidak diperbuat suamiku terhadapku, kepada istri suamiku yang lain agar ia merasa sakit hati. Apakah aku berdosa kepadanya?” Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan adalah seperti orang yang memakai dua pakaian dusta. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Barangsiapa pura-pura makan sesuatu yang tidak ia makan, atau mengatakan: “Aku punya.’ Padahal ia tidak mempunyai sesuatu. Atau berkata: “Aku diberi’, padahal ia tidak diberi, maka pada hari kiamat kelak, ia seperti orang yang memakai dua pakaian dusta.” Termasuk katagori ini adalah fatwa ulama tentang sesuatu yang tidak diketahui hakekat kebenarannya atau orang yang meriwayatkan hadis, padahal ia sendiri masih ragu akan kebenarannya, namun ia melakukan itu dengan tujuan untuk memperlihatkan kelebihan dirinya, sehingga ia enggan mengatakan, bahwa dirinya tidak tahu. Demikian ini, adalah haram. Sedangkan mengenai urusan anak-anak dapat disamakan dengan urusan istri (diperbolehkannya berdusta antara suami istri dengan maksud untuk mempererat kecintaan dan membangun keutuhan rumah tangga). Ketika anak tidak mau berangkat sekolah kecuali dengan janji atau ancaman dusta, maka ini boleh dilakukan (mubah).
Aku (Imam Ghazali) memang telah riwayatkan hadis-hadis yang menerangkan bahwa semua kebohongan itu dicatat sebagai perbuatan bohong dalam buku catatan amal. Kebohongan yang diperbolehkan juga ditulis, dihisab dan dituntut. Tetapi setelah diketahui bahwa tujuan bohong itu demi kebaikan, maka kemudian diampuni. Karena bohong itu hanya diperbolehkan jika untuk kemaslahatan.
Ketika seseorang melakukan kebohongan maka ia telah jatuh ke dalam bahaya ijtihad. Sebab ia harus mengetahui apakah manfaat dusta itu lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan jika ia berkata jujur. Sementara mengenai hal itu amat sulit diketahui, kecuali jika ia harus berbohong, demi mencegah pertumpahan darah atau untuk mencegah terjadinya dosa besar, misalnya.
Banyak orang mengira bahwa membuat-buat hadis tentang amal yang utama atau tentang bahaya maksiat itu diperbolehkan karena berdalih untuk kemaslahatan. Padahal perlu kamu ketahui, bahwa yang demikian itu adalah benar-benar kesalahan yang nyata.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa berbohong atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebohongan itu tidak boleh dilakukan kecuali karena terpaksa atau darurat. Sementara untuk mendorong berbuat kebenaran tidak ada darurat. Karena untuk menyampaikan kebenaran tidak perlu harus berbohong. Ayatayat Al Qur an dan hadis Nabi saw. Keterangan tentang keutamaan ibadah dan bahaya maksiat, telah cukup dan tidak membutuhkan yang lainnya, maka kamu tidak perlu berbohong.
Jika Anda mengatakan: “Keterangan dari Al Qur an dan hadis telah sering didengar sehingga terasa kurang menarik. Sedangkan sesuatu yang baru lebih dapat menimbulkan kesan yang mendalam.”
Ketahuilah, bahwa cara kamu berpikir itu sungguh kacau. Karena tujuan yang akan dicapai dengan berbohong mengatasnamakan Rasulullah dalam masalah fadhailul a’mal, sekalipun, tidak dapat membandingi bahaya larangan bohong yang mengatasnamakan Rasulullah saw. dan Allah swt. Terbukanya hal yang demikian, akan menimbulkan akibat yang dapat mengacaukan syari’at. Dengan demikian, maka kebaikan dalam hal ini, sama sekali tidak sebanding dengan keburukannya. Dan berdusta atas nama Rasulullah saw. adalah termasuk dosa besar yang tidak ada sesuatupun yang dapat menandinginya.
Kita mohon ampunan kepada Allah swt. dari dosa-dosa kita dan dosadosa kaum muslim.
MEWASPADAI SINDIRAN DUSTA
Mengutip pendapat para ulama salaf bahwa sindiran yang mengandung kedustaan, merupakan wujud perluasan dari makna sebuah kebohongan. Seakan kebohongannya itu, terlihat begitu jauh, sehingga seseorang bisa terbebaskan dari kebohongan.
Umar ra. berkata: “Di dalam kata-kata sindiran terdapat sesuatu yang bisa menghindaran seseorang dari dusta. Pendapat demikian ini, juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Hal tersebut dimaksudkan, bahwa jika seseorang berada dalam kondisi terpaksa harus berbohong, tetapi ia telah berusaha untuk menghindarinya. Jika tidak ada kepentingan dan tidak dalam keadaan terpaksa, maka tidak boleh berbohong baik dengan jalan menyindir maupun terus terang. Tetapi bentuk sindiran masih lebih ringan dibandingkan dengan berbohong secara terus terang.
Di antara contoh kata-kata sindiran, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat bahwa suatu ketika Muthrif menemui Ziyad. Karena keterlambatannya, maka ia beralasan sakit di depan Gubernur Bashrah itu, seraya berkata: “Aku tidak mengangkat lambungku semenjak aku berpisah dengan Amirul Mukminin, kecuali aku diangkat oleh Allah.”
Ibrahim berkata: “Apabila kamu mendengar sesuatu dari seseorang, sementara kamu tidak suka berdusta, maka katakanlah demikian: “Sesungguhnya Allah mengerti bahwa aku tidak mengatakan sesuatu.” Maka perkataannya, bahwa tidak ada satu huruf pun yang tidak terdengar oleh pendengar menjadi samar baginya.”
Muadz bin Jabal ra. adalah pegawai Umar. Ketika Muadz pulang, dari kantor, istrinya bertanya: “Apakah kamu pulang dengan membawa sesuatu seperti layaknya pegawai lain untuk keluarganya?” Karena Muadz tidak membawa sesuatupun untuk istrinya, maka ia menjawab: “Di sampingku ada pengintai.” Istrinya berkata lagi: “Engkau adalah orang yang dipercaya oleh Rasulullah dan Abu Bakar ra. lalu kenapa Umar mengutus pengintai bersamamu.”
Kemudian perempuan itu bangkit dan mengadukan suaminya kepada Umar. Setelah mendengar pengaduan dari istri Muadz, maka Umar pun memanggil Muadz, dan berkata: “Muadz, apakah aku mengutus seorang pengintai bersamamu?” Muadz menjawab: “Aku tidak mempunyai alasan selain itu kepada istriku.” Mendengar jawaban itu, Umar tertawa dan memberi sesuatu kepadanya, seraya berkata: “Muadz, senangkanlah istrimu dengan barang pemberianku ini.” Kata-kata sindiran (dhagith) yang dimaksud Muadz adalah Allah Yang Maha Melihat.
Diterangkan bahwa Ibrahim An Nakhai tidak berkata kepada putrinya: “Aku akan membelikan permen untukmu.” Melainkan ia berkata: “Bagaimana pendapatmu jika aku membelikan permen buatmu?” Mengapa demikian? karena ada kemungkinan 1a tidak jadi membelikan.
Karena Ibrahim An Nakhai tidak suka ditemui oleh tamu, maka ia berpesan kepada pembantu wanitanya, jika ada tamu mencarinya, maka katakan: “Silakan dicari di masjid.” Dan jangan sekali-kali kamu katakan: “Ia tidak ada di rumah.” Agar kamu tidak berdusta.
Adalah Asy Sya’ bi jika dicari seseorang yang tidak disukainya, padahal ja berada di rumah, maka ia membuat garis melingkar dan berkata kepada: “Letakkan jarimu di sini dan katgkan: “Tuanku tidak ada di sini.”
Contoh-contoh sindiran semacam itu, semuanya diperbolehkan ketika ada keperluan. Adapun pada saat tidak diperlukan, maka tidak boleh berbuat demikian. Karena hal itu, memberikan pengertian bahwa kamu berbohong. Jika kata-kata sindiran itu tidak termasuk dusta, maka makruh melakukannya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Utbah, bahwa ia berkata: “Ketika aku keluar bersama ayahku menuju ke Umar bin Abdul Aziz, dengan memakai suatu pakaian, lalu ada orang yang bertanya: “Apakah Amirul Mukminin menganugerahkan pakaian itu kepadamu?” Aku menjawab: “Mudah-mudahan Allah membalas Amirul Mukminin dengan kebaikan.” Lalu ayahku menegur: “Takutlah kamu terhadap kebohongan dan segala bentuk yang menyerupaiya!” Ayahnya melarang melakukan sindiran semacam itu, karena di dalamnya mengandung kebohongan yang bertujuan membanggakan diri. Jika begitu, maka ini merupakan niat yang batil, yang tidak ada gunanya.
Apabila untuk tujuan-tujuan ringan, maka kata-kata sindiran semacam itu, diperbolehkan. Misalnya, untuk menyenangkan hati orang lain dengan nada canda, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Wanita tua tidak akan masuk surga.”
Rasulullah juga pernah menggunakan kata-kata sindiran, seperti:
Artinya:
“Yang di mata suamimu ada warna putih.”
Artinya:
“Kami bawah kamu di atas anak unta.”
Adapun mengenai bohong yang terang-terangan, misalnya yang diperbuat oleh Nuaim Al Anshari bersama Utsman bin Affan ra. dalam kisah orang buta (adh dharir), ketika ia berkata kepadanya mengenai orang buta itu: “Ia adalah Nuaim.”
Sebagaimana kebiasaan sebagian orang yang mempermainkan orang dungu dengan mengatakan kepadanya: “Ada seorang perempuan yang ingin menikah denganmu.” Apabila demikian ini membahayakan orang dungu itu atau menyakitkan hatinya, maka kata-kata yang demikian itu diharamkan. Kalau tidak menyakitkan dan tujuannya hanya bercanda, maka pelakukanya tidak termasuk orang yang fasik. Tetapi meskipun demikian canda tersebut dapat mengurangi derajat keimanan.
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
Tidak sempurna iman seseorang, hingga ia menyintai saudaranya sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri, dan hingga ia menjauhi kebohongan dalam bercanda.” (HR. Ibnu Abdil Barr).
Adapun mengenai sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang mengatakan suatu perkataan untuk membuat orang lain tertawa, maka sebab dengannya bisa membuatnya jatuh ke dalam neraka, lebih jauh dari bintang Tsurayya. (HR. Ibnu Abid Dunya).
Kata-kata yang menertawakan dimaksud ialah yang mengandung pengungkapan aib orang Islam yang menyakitkan hati, bukan murni canda.
Di antara dusta yang menyebabkan fasik adalah kebiasaan menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti perkataan: “Aku telah meminta kepadamu begini, dan sekali lagi begini, dan berkata kepadarru begini seratus kali.” Sebenarnya tujuan kata-kata itu agar seseorang tersebut memahami apa yang dikatakan, namun menggunakan kalimat secara berlebih-lebihan. Jika ia tidak menghendakinya kecuali hanya sekali, maka ia telah berdusta. Jika jamemang menghendaki berkali-kali, maka ia tidak perlu mengulanginya berkali-kali.
Di antara kebiasaan yang mengandung dusta, misalnya, ketika kamu disuruh orang: “Makanlah makanan itu!” lalu kamu menjawab: “Aku tidak selera makan.” Jawaban seperti itu dilarang dan haram hukumnya, meskipun kamu hanyalah berbasa-basi.
Mujahid berkata, bahwa Asma’ binti Umais pernah berkata: “Suatu malam aku bersama beberapa wanita menemani Aisyah menghadap Rasulullah saw. Lalu beliau menyuguhkan semangkok susu kepada Aisyah. Susu itu terlebih dahulu diminumnya kemudian diberikannya kepada Aisyah. Namun rupanya Aisyah malu. Aku berbisik kepada Aisyah: “Jangan kamu menolak pemberian Rasulullah. Terimalah!” Dengan agak malu-malu Aisyah ra. mengambil dan meminumnya. Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda: “Berikan juga kepada teman-temanmu, Aisyah!” Lalu wanitawanita itu menjawab: “Kami tidak menyukainya.” Mendengar jawaban mereka itu, Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu mengumpulkan lapar dan dusta.” Aku bertanya: “Ya Rasul, kalau salah seorang di antara kami menyukai sesuatu, tetapi berkata: “Aku tidak menyukainya.” Apakah yang demikian itu termasuk dusta?” Beliau saw. bersabda:
Artinya :
“Sesungguhnya kebohongan itu dicatat sebagai dusta sehingga dusta kecil dicatat sebagai dusta kecil pula.” (HR. Ibnu Abid Dunya),
Ahli wara” tidak mentolerir bentuk kebohongan semacam ini.
Al Laits bin Sa’ad berkata: “Kedua mata Said Al Musayyad sakit, hingga kotorannya keluar dari matanya.” Lalu seorang berkata: “Bagaimana kalau kedua matamu kuusap?” Sa’ ad menjawab: “Bagaimana aku harus berkata kepada dokter padahal ia berkata kepadaku, jangan kamu usap kedua matamu!” Demikian ini merupakan kewaspadaan ahli wara’, Barangsiapa meninggalkan kewaspadaan terhadap dusta, maka lidahnya tidak akan terkontrol sehingga ia begitu mudah berdusta, sementara ia tidak merasakannya.
Dari Khawwat At Taimi, ia berkata: “Saudara perempuan Ar Rabi bin Khaitsam datang untuk menjenguk anak Ar Rabi’, lalu wanita tersebut mendekap anak itu seraya berkata: “Bagaimana keadaanmu wahai anakku?” Lalu Ar Rabi’ duduk di sampingnya dan bertanya: “Apakah kamu menyusuinya?” Wanita itu menjawab: “Tidak.” Ar Rabi’ berkata: “Apa salahnya jika kamu mengatakan yang sebenarnya wahai saudara perempuanku.” .
Di antara kebiasaan adalah perkataan seseorang: “Allah mengetahui sesuatu, di mana ia tidak mengetahuinya.” Padahal Nabi Isa as. berkata: “Sesungguhnya di antara dosa yang paling besar di sisi Allah ialah apabila seorang hamba mengatakan: “Sesungguhnya Allah mengetahui terhadap sesuatu yang tidak diketahui.”
Termasuk juga dosa besar, apabila seseorang mengakui bermimpi, padahal ia tidak bermimpi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
“Sesungguhnya di antara sebesar-besarnya kebohongan apabila seseorang mengaku (menasabkan diri) kepada orang yang bukan ayahnya, atau ia mengaku melihat dengan kedua matanya di waktu tidur (bermimpi) apa yang tidak diketahuinya (padahal ia tidak bermimpi), atau ia mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah, padahal beliau tidak mengatakannya.” (HR. Ahmad). Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa berdusta mengenai suatu mimpi, maka kelak pada hari Kiamat dipaksa mengikat dua buah gandum, sedangkan ia tidak akan dapat mengikat keduanya selama-lamanya. ” (HR. Bukhari).
Pembahasan masalah ini (menggunjing) cukup panjang. Mengawali pembahasan ini, kami kemukakan tentang tercelanya menggunjing, berikut dalil-dalil syara’ yang berkaitan dengan masalah tersebut. Allah Ta’ala menegaskan tentang tercelanya menggunjing, hingga pelakunya diserupakan sebagai seorang yang memakan daging bangkai saudaranya. Allah swt. berfirman:
Artinya:
“dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” , (OS. Al Hujurat).
Rasulullah saw. besabda:
Artinya: “Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim).
Menggunjing itu menyangkut perscalan kehormatan, dan Allah menyertakan antara menggunjing dengan harta dan darah. Abu Barzah berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu saling mendengki, saling menjerumuskan, saling membenci, saling belakang-membelakangi dan janganlah sebagian kamu mengumpat terhadap sebagian yang lain, serta jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim terhadap muslim yang lain itu bersaudara, maka janganlah menzaliminya, merendahkan dan menghinakannya.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Jabir dan Abi Sa’id, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Hindarilah mengumpat! Sesungguhnya mengumpat itu lebih berat daripada zina. Sesungguhnya kadangkala seseorang berzina lalu bertaubat, kemudian Allah swt. menerima taubatnya. Sementara orang yang menggunjing, dia tidak mendapatkan pengampunan, hingga ia diampuni oleh orang yang dipergunjingkan.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan suatu kaum yang berkuku dari besi, lalu mereka mencakar-cakar muka dan dada mereka dengan kukunya itu. Kemudian aku bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka? Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang mengumpat manusia dan mencaci maki kehormatan mereka.” (HR. Abu Dawud),
Salim bin Jabir berkata, bahwa aku pernah datang menghadap kepada Nabi saw. memohon agar beliau berkenan mengajarkan suatu kebaikan yang bermanfaat bagiku. Lalu beliau bersabda: Janganlah sedikit pun kamu menghina terhadap perbuatan baik meskipun kamu hanya menuangkan timbamu ke dalam bejana orang yang meminta minuman, dan jumpailah temanmu dengan muka berseri-seri. Apabila temannu membelakangi, maka sungguh kamu jangan menggunjingnya.” (HR. Ahmad).
Al Barra’ berkata, bahwa pernah suatu ketika Rasulullah saw. menyampaikan khutbahnya sehingga di dengar para gadis yang berada di rumah mereka masing-masing. Dalam khutbahnya itu, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisanya dan tidak beriman dengan hatinya, janganlah kamu menggunjing kaum muslimin dan janganlah menyelidiki keburukan mereka. Barangsiapa menyelidiki keburukan saudaranya, tentu Allah akan menyelidiki keburukannya. Barangsiapa yang keburukannya diselidiki oleh Allah, tentu Allah membuka keburukannya di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Abid Dunya). Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as.: “Barangsiapa mati dalam keadaan bertaubat dari perbuatan menggunjing, maka ia adalah orang yang paling akhir masuk surga. Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan terus-menerus menggunjing, maka ja adalah orang yang pertama masuk neraka.” Anas bin Malik ra. berkata, bahwa Rasulullah pernah menyuruh manusia puasa sehari, lalu beliau bersabda:
Artinya:
“Janganlah seseorang di antara kamu berbuka, sehingga aku mengizinkannya.”
Maka mereka berpuasa. Menjelang saat Maghrib, seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku berpuasa, maka izinkanlah aku berbuka.” Lalu Rasulullah saw. mengizinkannya. Selanjutnya orang demi orang berdatangan memohon izin untuk berbuka dan beliau mengizinkannya, hingga datanglah seseorang seraya berkata: “Wahai Rasulullah, dua gadis dari kaummu berpuasa dan keduanya malu untuk datang. Karena itu izinkanlah keduanya untuk berbuka!” Tidak seperti pada orang-orang yang datang sebelumnya, kali ini Rasulullah saw. berpaling dari orang itu. Dan orang yang berkata itu mengulangi permohonannya, dan mengulanginya lagi untuk ketiga kalinya. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya kedua gadis itu tidak berpuasa. Bagaimana berpuasa orang yang sepanjang hari makan daging manusia. Pergilah, suruhlah keduanya memuntahkan kalau keduanya memang benar-benar berpuasa.”
Orang tersebut pergi kembali menemui dua gadis dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Rasulullah. Lalu kedua orang itu sengaja muntah, namun yang keluar dari mulutnya adalah segumpal darah (muntah). Orang tersebut kembali lagi menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang dilihatnya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaanNya, seandainya segumpal darah itu tetap dalam perut kedua gadis itu, tentu keduanya akan dimakan api neraka.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa ketika Rasulullah saw. memalingkan wajah dari lelaki tersebut, maka lelaki itu pergi. Namun tidak lama kemudian kembali lagi dan berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kedua gadis itu sedang dalam keadaan sekarat.” Rasulullah saw. berkata: “Bawalah keduanya kemari!” Laki-laki itu menjemput kedua gadis itu dan membawanya kepada Rasulullah saw. setelah sampai di hadapan Rasulullah saw. beliau memberikan mangkok dan menyuruh salah satu dari gadis itu untuk memuntahkan makanan dari dalam perutnya. Ternyata gadis itu memuntahkan darah bercampur nanah semangkok penuh. Rasulullah berkata kepada gadis yang satunya lagi: “Muntahkanlah.” Lalu gadis yang kedua pun muntah sebagaimana gadis pertama.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya kedua gadis itu berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah bagi mereka, namun berbuka dengan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla atas keduanya. Karena salah seorang dari mereka duduk di samping yang lain, lalu memulai memakan daging manusia (menggunjing).” (HR. Ahmad). Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. pernah berkhutbah di hadapan para sahabat. Dalam khutbahnya itu, Rasulullah saw. menerangkan tetang besarnya bahaya riba. Beliau bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya satu dirham yang didapat seseorang dari hasil riba itu kesalahannya lebih besar di sisi Allah daripada tiga puluh enam kali perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang. Sedangkan sebesarbesar riba adalah menghancurkan harga diri orang Islam. (HR. Ibnu Abid Dunya).
Jabir bin Abdillah berkata, sesungguhnya aku pernah bepergian bersama Rasulullah saw. di tengah-tengah perjalanan Rasulullah menghampiri dua makam yang penghuninya disiksa, Rasulullah saw. kemudian bersabda:
Artinya:
“Sesaongguhnya penghumi kedua makam ini disiksa. Keduanya tidak disiksa karena dosa-dosa besar. Melainkan seorang dari mereka disiksa karena menggunjing orang lain, sementara yang lainnya disiksa karena tidak membersihkan sisa kencingnya.”
Kemudian, Rasulullah saw. meminta satu pelepah daun kurma yang tnasih segar dan membelahnya jadi dua. Lalu memerintahkan kepada Jabir agar menancapkannya pada masing-masing makam tersebut. Lalu beliau bersabda:
Artinya:
“Ingatlah, sesungguhnya siksa kedua orang itu akan diringankan selama kedua pelepah tersebut masih basah atau selama keduanya belum mengering.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Diriwayatkan pula bahwa, ketika Rasulullah saw. sedang melaksanakan hukum rajam karena berzina. Terdengar seseorang berbisik kepada temannya: “Orang itu mendapat hukuman, seperti anjing saja.” Rasulullah mendengar ucapan itu, maka beliau mengajak dua orang tersebut untuk melewati suatu bangkai. Lalu Rasulullah bersabda kepada keduanya: “Gigitlah bangkai ini!” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah kami harus menggigit bangkai?”
Rasulullah lalu bersabda:
Artinya:
“Apa yang kamu dapatkan (bau) dari saudaramu itu lebih busuk daripada bangkai ini.” (HIR. Abu Dawud dan Nasai).
Adalah menjadi kebiasaan bagi para sahabat pada saat itu, jika mereka bertemu maka masing-masing menampakkan keakraban dan wajah ceria. Dan mereka tidak saling menggunjing, ketika saling pergi meninggalkan satu sama lain. Karena mereka yakin bahwa yang demikian itu merupakan perbuatan mulia. Scdangkan menggunjing adalah kebiasaan orang-orang munafik.
Abu Hurairah ra. berkata: “Barangsiapa yang memakan daging saudaranya di dunia, maka Allah juga menghidangkan daging saudaranya itu di akhirat. Lalu dikatakan pada orang itu: “Makanlah daging saudaramu yang telah mati ini, sebagaimana kamu memakannya di waktu masih hidup, maka orang ilupun memakannya dengan penuh keburukan dan kemuraman.”
Dikisahkan, bahwa tersebutlah dua orang laki-laki sedang dudukduduk di salah satu pintu masjid. Lalu ada seseorang Yarg menyerupai perempuan (waria). Orang itu berusaha menghilangkan kondisinya yang menyerupai wanita. Melihat itu, kedua orang yang sedang duduk tersebut berkata: “Sungguh masih tersisa kemiripan orang itu dengan wanita.” Selanjutnya, keduanya shalat berjamaah bersama para jama’ah lainnya. Sementara di dalam hatinya masih terkesan dengan apa yang baru saja dikatakan. Kemudian keduanya menemui Atha bin Rabbah dan menceritakannya. Atha’ menyuruhnya untuk mengulangi wudlu dan shalat serta menggadha puasanya jika keduanya sedang berpuasa.
Dari Mujahid, bahwa ia berkata berkenaan dengan firman Allah swt.:
Artinya :
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (OS. Al Humazah : 1).
Lafal al humazah ditafsirkan sebagai orang mencela kehormatan manusia. Sedangkan al lumazah berarti orang yang memakan daging manusia (penggunjing).
Oatadah berkata: “Diterangkan kepada kami, bahwa siksa kubur itu disebabkan tiga macam perkara, yaitu: Sepertiga dari mengumpat: sepertiga dari mengadu domba, dan yang sepertiga lagi dari siksa kencing yang tidak dibersihkan.”
Hasan Basri berkata: “Demi Allah, pengaruh menggunjing itu lebih cepat terhadap agama seorang mukmin, daripada pengaruh makanan bagi jasad.”
Sebagaimana Hukama ada yang berkata: “Kami bertemu orang-orang salaf, mereka tidak menganggap puasa dan shalat sebagai ibadah. Namun terhadap menahan diri dari melecehkan kehormatan manusia justru dianggap sebagai ibadah.”
Ibnu Abbas ra. berpesan: “Apabila kamu hendak menyebut keburukan temanmu, maka hendaklah terlebih dahulu kamu menyebut keburukanmu sendiri.”
Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya manusia itu dapat melihat kotoran yang berada di mata temannya, namun ia tidak mengetahui oatang kurma yang berada di depan matanya sendiri.”
Hasan Basari berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kamu tidak akan mencapai hakikat iman, hingga kamu tidak mencela aib manusia dengan aib yang ada pada dirimu, dan hingga kamu memperbaiki aib tersebut. Sampai menjadi baik dan lenyap dari dirimu. Jika kamu melakukan demikian, maka kesibukanmu menjadi terfokus pada dirimu sendiri. Manusia yang paling dicintai Allah adalah hamba yang melakukan demikian itu (yang mengoreksi aib dirinya sendiri lalu memperbaikinya).”
Malik bin Dinar ra. berkata, bahwa Nabi Isa as. bepergian bersama kaum Hawariyyun, di tengah perjalanan mereka menjumpai bangkai anjing.” Orang-orang Hawariyyun (sahabat Nabi Isa) bertanya: “Aduh, alangkah menyengatnya bau busuk bangkai anjing ini.” Nabi Isa as. menjawab: “Alangkah putih gigi gerahamnya.” Dengan perkataan itu, sekan-akan Nabi Isa memberi isyarat agar mereka tidak menggunjing makhluk Allah, kecuali dengan kata-kata yang baik.”
Ali bin Husain mendengar seseorang menggunjing orang lain. Ali lalu memperingatkannya: “Jauhilah perbuatan menggunjing, karena menggunjing itu, merupakan lauk pauk bagi anjing berkepala manusia.”
Umar ra. berkata: “Berzikirlah kepada Allah Ta’ala, karena zikir itu, Sungguh merupakan obat. Dan jauhilah menggunjing orang lain, karena menggunjing itu, sungguh merupakan penyakit.”
Kepada Allah kita mohon petunjuk dan hidayah-Nya, untuk menjalankan kebaktian kepada Allah swt.
PENGERTIAN MENGGUNJING DAN BATASAN-BATASANNYA
Ketahuilah, bahwa difinisi menggunjing ialah membicarakan orang lain tentang sesuatu yang tidak disukai jika yang diumpat itu mendengarnya. Baik berkenaan dengan kekurangan kekurangan (cacat) tubuhnya, nasab dan akhlaknya, tentang perbuatan, perkataan, harta, pakaian, rumahnya, kendaraannya, dan lain sebagainya yang tidak disukainya, bila yang dipergunjingkan itu mendengarnya.
Adapun yang berkenaan dengan badan, seperti membicarakan (menggunjing) tentang bentuk tubuhnya yang pendek, atau tinggi, buta, tuli, hitam, kuning dan segala bentuk pembicaraan yang berkaitan dengan aib dan cacat bandanya.
Sedangkan yang berkaitan dengan keturunan atau nasab, misalnya kamu membicarakan seseorang mengenai nenek moyangnya dari rakyat jelata, ayahnya adalah orang hina, ibunya adalah perempuan nakal, nenek dan kakeknya orang fasik dan lain sebagainya yang berkenaan dengan nasab yang tidak suka bila dibicarakan.
Sementara yang menggunjing yang berkenaan dengan akhlak. Misalnya, kamu mengatakan, dia jahat dan buruk akhlaknya, tidak sopan, tidak tahu adat, sombong, angkuh, keras kepala, kikir, penakut, pengecut, dan lain sebagainya.
Adapun menggunjing perbuatan seseorang yang berhubungan dengan agama, misalnya, kamu mengatakan, dia pencuri, pendusta, peminum khamar, penghianat, zalim, meremehkan shalat dan zakat, tidak baik ruku’ dan sujudnya, tidak bisa menjaga najis, tidak baik terhadap kedua orang tuanya, tidak membayar zakat sebagaimana semestinya, cara menghitung zakatnya tidak tepat, tidak bisa menjaga puasanya dari perkataan kotor, mengumpat dan tidak pula dari mencederai kehormatan orang lain.
Sedangkan menggunjing perbuatan seseorang yang berkaitan dengan kehidupan keduniaan, misalnya, dia kurang ajar, tidak sopan, meremehkan orang lain, tidak bisa menerima kebenaran dari orang lain, sok benar sendiri, banyak bicara, banyak makan, tidurnya tidak teratur, dan tidak bisa menempatkan diri.
Dan yang berkenaan dengan pakaian, misalnya perkataan kamu mengenai seseorang, bahwa leher bajunya kebesaran, lengan bajunya kepanjangan, bajunya kotor dan lain sebagainya. Ada sementara kaum yang berpendapat bahwa tidak ada ghibah dalam agama, kerena apa yang dipandang tercela oleh Allah adalah tercela, dan dalam hal ini dinamakan sebagai kemaksiatan. Sementara mencelanya, diperbolehkan atas dasar sebuah riwayat, bahwa pernah diceritakan kepada Nabi saw. tentang seorang wanita yang banyak berbuat baik dan rajin berpuasa, tetapi lidahnya suka menyakiti tetangganya. Lalu Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Dia di neraka.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim).
Dan pernah pula diceritakan mengenai kebakhilan seorang wanita dihadapan Rasulullah saw. lalu beliau bersabda: “Kalau memang begitu, maka tidak ada kebaikannya.”
Pendapat kaum tersebut tidak benar. Karena mereka menceritakan wanita sebagaimana dalam contoh kasus tersebut dimaksudkan untuk mengetahui hukumnya, bukan bertujuan untuk mengungkapkan kekurangannya, dan pengungkapan akan hal tersebut tidak dibutuhkan di luar majlis Nabi saw. sebagai dalil dari hal ini adalah ijma’ul ummah, bahwa barangsiapa menceritakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, maka berarti dia telah menggunjing. Karena dia telah masuk ke dalam wilayah menggunjing, sebagaimana batasan menggunjing yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Meskipun yang diceritakan itu memang benar, namun tetap dianggap menggunjing. Orang tersebut telah durhaka kepada Allah dan dianggap memakan daging bangkai saudaranya. Berdasarkan dalil hadis Nabi saw.:
Artinya:
“Apakah kalian mengetahui, apakah menggunjing itu?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah lalu bersabda: “Kamu menyebut saudaramu tentang sesuatu yang tidak disukainya. ” Para sahabat bertanya: “Bagaimana jika yang saya sebutkan itu memang ada padanya?” Rasulullah saw. bersabda: “Jika apa yang kamu sebutkan itu benar ada padanya, maka kamu telah menggunjingnya. Jika tidak ada padanya, berarti kamu telah .mendustakann a.” (HR. Muslim).
Muadz bin Jabal ra. berkata, beberapa sahabat menceritakan saudaranya kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Kalian telah mempergunjingkan saudaramu.” Mereka berkata: “Kami mengatakan apa adanya, ya Rasulullah.” Beliau saw. berkata: “Kalau kalian mengatakan sesuatu yang tidak benar, maka kalian berarti berdusta.”
Hudzaifah ra. menceritakan dari Aisyah, bahwa Aisyah menyebut-nyebut seorang perempuan di dekat Rasulullah saw. Aisyah berkata: “Wanita itu pendek.” Maka Rasulullah saw. menegurnya: “Kamu telah menggunjingrrya. ”
Hasan berkata, bahwa membicarakan orang lain itu dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: al ghibah, al buhrtan, dan al ifku. Masing-masing disebutkan di dalam Al Quran. Al Ghibah artinya menceritakan sesuatu yang benar-benar ada pada orang kamu ceritakan.
Al Buthan adalah membicarakan sesuatu yang tidak ada pada orang yang dibicarakan. Sedangkan al ifku adalah membicarakan sesuatu yang telah disampaikan kepadamu.
Ibnu Sirin pernah membicarakan seseorang, seraya berkata: “Orang itu hitam.” Kemudian ia berkata: “Astaghfirullah, sesungguhnya aku telah menggunjingnya.” Ibnu Sirin juga membicarakan Ibrahim An Nakhai yang buta sebelah matanya. Lalu Ibnu Sirin meletakkan tangannya sendiri pada matanya, tanpa mengatakan: “Orang yang buta matanya.”
Aisyah ra. berkata: “Janganlah seseorang di antara kamu mengumpat orang lain. Sesungguhnya aku pernah berkata sekali mengenai seorang wanita, di dekat Rasulullah saw.: “Pakaian perempuan itu terlalu panjang. Lalu beliau bersabda: “Jagalah lidahmu, jagalah lidahmu, kata-katamu gumpalan daging.”
MENGGUNJING TIDAK TERBATAS HANYA DENGAN LIDAH
Ketahuilah bahwa menyebut-nyebut atau membicarakan orang dengan lidah itu diharamkan, karena dalam pembicaraan itu memberikan pengertian kepada orang lain mengenai kekurangan saudaranya dan memberitahukan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaranya itu kepada orang lain. Menggunjing secara terus terang sama halnya dengan menggunjing dengan cara menyindir. Menggunjing dengan perbuatan sama halnya dengan perbuatan, isyarah, tulisan, gerak dan segala bentuk yang memberikan pengertian dari apa yang dimaksudkan, semuanya termasuk dalam kategori menggunjing dan haram pula hukumnya.
Bagaimana jika mengumpat dengan kata-kata sindiran? Sama. Mengumpat dengan sindiran juga berdosa.
Sebagai sebuah contoh menggunjing dengan isyarat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Aisyah. Ia berkata: “Pernah suatu ketika seorang wanita datang ke rumahku. Ketika ia pergi, aku memberi isyarat dengan tanganku yang memberikan pengertian bahwa wanita itu pendek.” Lalu Rasulullah menegurku: “Kamu telah menggunjingnya.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Menirukan gerakan atau lagak seseorang, juga termasuk menggunjing. Misalnya, kamu berpura-pura pincang dengan maksud menirukan orang yang sebenarnya pincang. Bahkan semacam ini lebih berat daripada menggunjing.
Ketika Rasulullah saw. melihat Aisyah mmenirukan lagak dan gaya seorang perempuan. Beliau saw. menegurnya:
Artinya:
“Tidak menyenangkanku, jika aku menirukan manusia, sementara aku juga mempunyai begini-begini.”
Demikian juga termasuk menggunjing ialah menjelek-jelekkan aib orang lain atau menggunjing dengan tulisan. Karena tulisan merupakan salah satu dari dua lisan. Ketika seorang penulis menyebut orang tertentu, dan rnenghina pembicaraannya melalui tulisan, misalnya, maka hal itu juga termasuk menggunjing. Namun jika menyebut-nyebut kelemahan pendapat orang lain, tetapi ia menulis dengan mengemukakan pendapat yang lebih kuat maka hal itu dibenarkan. Kecuali jika si penulis mengemukakan alasan yang diperlukan sehingga ia sampai menyebutnya. Sebagaimana yang akan dibicarakan dalam pembahasan berikutnya.
Adapun perkataan seseorang: “Suatu kaum berkata begini.” Maka hal ini bukan termasuk menggunjing. Karena menggunjing itu, hanya dengan menyebutkan orang tertentu, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Termasuk mengumpat adalah jika kamu mengatakan: “Sebagian orang telah lewat di sini hari ini.” Sementara mitra bicara kamu mengetahui orang tertentu yang kamu maksudkan dalam pembicaraanmu itu, maka hal itu termasuk pula menggunjing. Namun jika orang yang kamu ajak bicara itu tidak memahami siap orang yang kamu maksudkan, maka bukanlah termasuk menggunjing. Ketika Rasulullah saw. tidak menyukai seseorang, maka beliau tidak menyebut nama individu tertentu di depan orang lain, tetapi cukup berkata:
Artinya:
“Bagaimana keadaan kaum-kaum (tanpa menyebut nama orang tertentu) yang berbuat begini dan begini.” (HR. Abu Dawud).
Rasulullah saw. menyebut kaum, bukan menyebut nama orang secara individu. Maka, bukan termasuk mengumpat, karena menyebut secara umum. Sementara perkataanmu dengan menyebut sebagian orang yang datang dari bepergian atau orang yang mengaku berilmu. Maka jika perkataan itu kamu sertai petunjuk yang dapat dipahami arahnya terhadap orang tertentu, maka yang demikian termasuk perbuatan menggunjing. Gunjingan (ghibah) yang paling buruk dan keji adalah yang dilakukan oleh ahli baca Al Quran yang riya’. Sebab, mereka ini berlagak sebagai ahli kebaikan agar terlihat seakan-akan dirinya terjaga dari perbuatan menggunjing. Sedangkan mereka tidak menyadari karena kebodohannya itu, mereka telah mengumpulkan dua perbuatan keji, yaitu menggunjing dan riya. Yang demikin itu, seperti ketika disebut-sebut seseorang dihadapannya, lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah Yang tidak menguji kami sebagai orang yang masuk ke tempat penguasa dan tidak termasuk orang yang mencurahkan usaha mencari harta benda dan kedudukan pada penguasa.” Atau ia berkata demikian: “Kami berlindung kepada Allah dari sifat tidak tahu malu.” Padahal ia bermaksud membuka aib orang lain, namun iamenyebutnya dalam bentuk do’a. Demikian ini juga termasuk menggunjing, namun dengan cara yang halus dan bahkan yang lebih berbahaya adalah ketikaia justru bermaksud menonjolkan akan kebaikan dirinya agar dianggap sebagai orang yang alim dan saleh, di samping maksud halusnya membuka aib orang lain.
Demikian pula, ketika seseorang memuji orang yang hendak dipergunjingkan, misalnya dengan perkataan: “Bagus benar perbuatan si Fulan. Ia rajin beribadah, tetapi sekarang ia tampak malas dan kurang “sabar terhadap larangan Allah.” Kemudian ia bercerita tentang dirinya.
Padahal sebenarnya tujuannya adalah mencela orang lain dan memuji dirj sendiri dengan membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Sehingga memunculkan kesan dirinya orang yang baik sementara orang lain itu yang jahat.
Perbuatan yang demikian itu pada hakikatnya, justru ia telah mengum, pulkan tiga perbuatan tercela, yaitu menggunjing, riya’ dan menganggap dirinya sendiri bersih (sok suci). Dan dengan kebodohannya ia mengira bahwa dirinya termasuk orang yang saleh yang terlindung dari perbuatan menggunjing. Betapa canggihnya setan mempermainkan orang-orang yang terlihat rajin beribadah, tetapi tidak disertai ilmu yang mendalam, Setan mengelilingi amal mereka dengan berbagai tipu daya serta menertawa. kannya dengan mengolok-olok, alangkah naifnya mereka.
Di antaranya lagi yang termasuk mengumpat, ialah bila kamu menyebur aib orang lain di depan banyak orang, namun karena mereka tidak memperhatikanmu, lalu kamu berkata: “Subhanallah, (Maha Suci Allah), alangkah mengherankannya ini.” Sehingga dengan demikian, orang-orang tersebut, jadi mendengarkan dan mengerti apa yang kamu katakan. Ini berarti kamy menyebut asma Allah sebagai alat untuk melakukan kekejian dan meng. gunjing. Alanglah bodoh dan tertipunya orang semacam ini.
Begitu juga orang yang berkata: “Sesungguhnya penghinaan terhadap teman kita juga menyakitkan hatiku. Kita mohon kepada Allah agar dapat menyenangkan hatinya.” Perkataan ini mengandung kebohongan, baik dalam pengakuannya dengan menyatakan turut bersedih hati maupun dalam memperlihatkan do’a baginya. Karena seandainya ia bermaksud mendo’ akannya, tentu ia akan melakukannya secara rahasia dengan mendo’akannya di tempat yang sepi, sehabis shalat misalnya. Dan seandainya ia ikut bersedih dengannya, tentu seharusnya ia bersedih dengan cara menampakkan apa yang tidak disukai oleh temannya itu.
Begitu juga, termasuk menggunjing, misalnya seseorang berkata: “Orang miskin itu telah diuji dengan bahaya yang besar, mudah-mudahan Allah menerima taubat kami dan taubatnya.” Ucapan itu sepintas terlihat sebuah do’a, tetapi ketika di dalam hatinya terkandung perasaan penghinaan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui kekejian dan maksud yang tersembunyi di hati. Sehingga tidak disadari sesungguhnya ia tengah menghadapi murka yang lebih besar daripada bahaya kemurkaan yang dihadapi orang-orang bodoh yang melahirkan pergunjingannya.
Demikian juga, termasuk menggunjing, adalah ketika kamu merasa kagum mendengarkan pergunjingan. Karena kamu menampakkan kekagumanmu, maka orang yang menggunjing semakin bersemangat dalam melakukan kekejiannya. Ia merasa terdorong untuk meningkatkan pergunjingannya. Apalagi jika kamu menanggapinya semisal: “Aku juga heran, mengapa si Fulan itu bisa begitu. Padahal selama ini aku mengenal dia sebagai orang yang baik. Aku sama sekali tidak menduga, dia sampai melakukan begitu. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari bencanan yang diakibatkannya.”
Semua itu, merupakan contoh ungkapan pembenaran dan berarti dukungan terhadap orang yang menggunjing. Sikap kamu yang demikian itu berarti kamu juga ikut menggunjing. Bahkan jika kamu diam sekalipun di hadapan pengumpat, maka kamu bisa dimaknai bersyarikat dengannya.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
“Orang yang mendengarkan pergunjingan adalah termasuk salah seorang dari dua orang yang menggunjing.” (HR. Thabrani).
Diriwayatkan oleh Abu Bakar ra. dan Umar ra. bahwa keduanya pernah berbincang-bincang, dan salah seorang daripadanya berkata pada yang temannya: “Sesungguhnya si Fulan banyak tidurnya.” Kemudian ketika keduanya suatu saat meminta lauk-pauk kepada Rasulullah saw. untuk pelengkap memakan roti. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian sudah memakan lauk pauk, bukan?” Keduanya menjawab: “Tidak, kami tidak mengerti, apa yang baginda katakan itu.” Maka Rasulullah saw. menegaskan:
Artinya: “Benar, kamu berdua telah memakan daging saudaramu.” Rasulullah saw. menyatakan terhadap dua orang itu sebagai orang yang telah makan daging saudaranya. Padahal yang mengumpat adalah seorang saja, sedangkan yang lain hanya mendengarkan. Namun Rasulullah saw. menganggap keduanya telah memakan daging saudaranya. Artinya, mereka berdua sama-sama berdosa karena menggunjing, sekalipun yang Satu hanya sebatas sebagai pendengar.
Terhadap kedua orang yang salah seorang daripadanya mengatakan pada yang lainnya: “Orang itu mati di tempat sebagaimana anjing mati di tempatnya.” Rasulullah bersabda (kepada keduanya):
Artinya :
“Gigitlah bangkai ini.”
Dalam tersebut Rasulullah saw. menyamakan orang yang mendengarkan pergunjingan dengan orang yang menggunjing. Si pendengar tidak terbebas dari dosa pergunjingan yang didengarnya, kecuali bila ia mengingkari menegur) dengan lisannya, atau menolak dengan hatinya, jika takut.
Seandainya orang yang mendengarkan pergunjingan itu menegur kepada pengumpat dengan kata-kata: “Diamlah!” misalnya, sementara hatinya tetap menerima umpatan itu, bahkan merasa senang, maka berarti ia mengindap penyakit munafik. Ia tetap terkena imbas dosa pergunjingan itu selama hatinya tidak mengingkari. Oleh sebab itu, pengingkaran itu tidak cukup hanya dilakukan dengan isyarat tangan atau gerak kedua bahunya disertai kernyitan dahi, misalnya. Karena hal ini, terkesan sebagai sebuah penghinaan, bukan sebagai pengingkaran dan peringatan terhadap pelaku. Maka dalam hal ini, dia tetap berdosa.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Siapa yang mengetahui ada orang mukmin dihina di hadapannya, sementara ia tidak menolongnya padahal dirinya mampu, maka pada Hari Kiamat kelak, Allah akan menghinakannya di hadapan banyak orang.” (HR. Ahmad).
Abu Darda’ berkata, bahwa Rasulullat saw. bersabda: “Barangsiapa yang merendahkan kehormatan saudaranya, dalam keadaan gaib (tanpa sepengetahuan saudaranya), maka adalah menjadi hak Allah untuk merendahkan kehormatannya, kelak pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Abid Punya).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Artinya : “ “Barangsiapa membela kehormatan saudaranya, tanpa sepengetahuannya, wajib menjadi hak atas Allah memerdekakannya dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Thabrabi).
Banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan berkenaan dengan pembelaan dan pertolongan seseorang terhadap saudaranya, tanpa sepengetahuan saudaranya itu, sebagaimana yang telah kami kemukakan di dalam kitab Adaabus Shuhbah wa Huquuqul Muslimin (Etika Pergaulan dan Hak-hak orang Islam).
FAKTOR-FAKTOR PEMBANGKIT TERJADINYA PERGUNJINGAN Ketahuilah, bahwa faktor-faktor yang membangkitkan terjadinya pergunjingan itu banyak sekali, namun kiranya dapat digolongkan menjadi sebelas macam. Delapan faktor penyebab dilakukan oleh orang awam dan tiga lainnya biasanya dilakukan oleh ahli agama dan orang-orang tertentu (khos). Delapan faktor penyebab yang biasa terjadi di kalangan orang awam itu, ialah:
- PELAMPIASAN KEMARAHAN DAN KEDENGKIAN
Menggunjing karena terdorong untuk melampiaskan kemarahan yang terpendam di hatinya. Hal ini terjadi ketika sesuatu itu dapat menyebabkan kemarahan kepada orang lain. Kemarahannya akan redajikaia telah melampiaskan dengan menyebut keburukan-keburukan orang yang dibenci dengan cara mempergunjingkannya. Pergunjingan itu seakan begitu mudah meluncur dari lidahnya yang tak terkontrol. Hal tersebut akan terjadi ketika akhlak dan agamanya tidak lagi dapat berfungsi untuk mencegahnya. Ketika agama yang diyakini dan dipeluknya itu difungsikan, maka kemarahan itu akan terhenti dan tertahan di hati, tidak dilampiaskan dalam bentuk pergunjingan. Tetapi ketika ia tidak mampu menetralkan kemarahan yang tertahan di dalam hatinya itu, maka hal itu akan berubah menjadi kedengkian di dalam jiwanya. Dan pada akhirnya menjadi penyebab untuk menyebut-nyebut keburukan. Dengan demikian, maka kedengkian dan kemarahan merupakan faktor pembangkit yang sangat potensial terhadap seseorang untuk melakukan pergunjingan.
- FAKTOR SETIA KAWAN DAN SOLIDARITAS DALAM PERGAULAN
Pergunjingan itu bisa terjadi karena terdorong oleh rasa solidaritas antar teman atau setia kawan dan ikut andil dalam pembicaraan bersama mereka. Sesunggunya jika mereka asyik membicarakan kehormatan dan aib seseorang, sementara ada seseorang dari mereka ada yang tidak suka atau memotong pembicaraannya, tentu orang yang ia akan mereka musuhi, dan bahkan bisajadi ia akan dicap sebagai orang yang sok alim. Karena takut dikucilkan teman-temannya, maka apalah daya, ia pun ikut andil dalam pembicaraan. Ia berkeyakinan bahwa dengan cara ikut andil dalam pembicaraan, maka ia menjadi orang yang gaul dengan sesama teman, dianggap setia kawan dan memiliki solidaritas.
Misalnya, ketika teman-temannya marah dan menggunjing orang tertentu, maka ia pun ikut marah terlibat mempergunjingkannya agar terkesan setia kawan, terkesan sama-sama merasakan susah dan sama-sama merasakan senang. Akhirnya, ia pun melibatkan dirinya bersama mereka menyebutnyebut aib orang lain dan mempergunjingkannya bersama-sama.
- KEKHAWATIRAN AKAN DIUNGKAP KEBURUKANNYA
Rasa khawatir akan dijelek-jelekkan aibnya oleh orang lain, dan menjadi bahan pembicaraan orang lain, juga menjadi faktor terjadinya pergunjingan. Misalnya, ketika seseorang merasa bahwa ada orang yang hendak menjelek-jelekkan harga dirinya di muka umum. Atau ia merasa akan dimintai kesaksian. Maka sebelum dirinya diungkap dan dibicarakan terlebih dahulu ia mengungkap kejelekan dan aib orang lain. Sebelum dirinya dijelek-jelekkan, maka terlebih dahulu ia mencela aib orang lain. Sehingga topik pergunjingan tidak mengenai dirinya tetapi beralih pada orang lain. Apa yang dilakukannya itu untuk melindungi dirinya dan memojokkan orang lain, seakan-akan orang tersebut salah. Padahal karena kepandaian mengolah kata, sehingga seakan-akan dirinya yang benar. Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dada para hamba-Nya. Misalnya ketika ia memberikan kesaksian ia berkata: “Berdusta itu bukan kebiasaanku, aku hanya rnenyampikan keadaan yang sebenarnya, bahwa dia memang begini dan begini.”
- MEMBEBASKAN DIRI DARI TUDUHAN
Terdorong untuk membebaskan diri dari sebuah tuduhan, lalu ia mengalihkan persoalan pada orang lain, dengan membicarakan kesalahan orang lain. Padahal sesungguhnya orang lain itu tidak seperti yang dipergunjingkannya. Apa yang dilakukannya itu bertujuan untuk membela diri, membebaskan diri dari tuduhan dengan mengkambing hitamkan orang lain. Sebuah pembelaan terhadap diri sendiri atau membebaskan diri dari tuduhan, seharusnya jangan sampai mengorbankan orang lain dengan menyebut-nyebut kesalahannya. Jika seseorang melakukan hal demikian, maka sesungguhnya dia telah berbuat menggunjing.
- MEMBANGGAKAN DIRI
Keinginan untuk membanggakan diri sendiri, dengan cara merendahkan orang lain. Misalnya ia berkata: “Si Fulan itu bodoh, kurang bisa memahami persoalan, lamban, perkataannya sulit dipahami.” Dengan berkata begitu, dia bermaksud untuk menunjukkan kelebihan dirinya dengan membandingkan terhadap kemampuan orang lain, secara tidak fair. Sehingga terkesan dia lebih pandai dan lebih unggul dari orang lain. Apa yang dilakukan itu, sadar atau tidak dia telah menggunjing orang lain.
- DENGKI
Dengki, juga merupakan faktor pembangkit terjadinya pergunjingan. Maksudnya, adalah iri hati terhadap orang lain yang mendapat pujian, yang dicintai dan dimuliakan orang lain. Kemudian ia bermaksud menghilangkan kenikmatan dari orang tersebut. Karena tidak menemukan jalan untuk bisa menghilangkan kenikmatan itu, kecuali dengan jalan menggunjing, maka diapun menggunjingnya.
Kedengkian itu menjadi pendorong dirinya berusaha untuk menjatuhkan harga diri orang lain di hadapan banyak orang. Tujuannya agar orang yang semula memuji-muji tersebut menghinakannya. Sehingga orang yang semula dipuji itu tidak lagi dimuliakan. Inilah hakikat dengki. Dan dengki itu bisa saja dilakukan terhadap sahabat dekat yang baik hati dan teman karib.
- FAKTOR CANDA DAN MAIN-MAIN
Bermain-main, bercanda, bersenda gurau dan mengisi waktu luang dengan canda tawa, akhirnya bisa jadi menyebut-nyebut aib orang lain. Pergunjingan yang dikemukakan dengan maksud untuk membuat orang lain tertawa. Pergunjingan semacam ini, bisa saja dilakukan dalam bentuk menirukan gaya penampilannya atau nada bicaranya. Hal ini bisa terjadi karena sikap sombong dan membanggakan diri.
- MENGEJEK DAN MENGHINA
Mengejek dan mengolok-olok dimaksudkan untuk menghina orang lain, baik di hadapannya atau ketika orang yang diperolok-olok itu tidak ada di hadapannya. Hal ini terjadi karena menyombongkan diri dan memandang remeh terhadap orang lain yang diolok-olok atau yang dipergunjingkan.
Sedangkan tiga faktor penyebab yang membangkitkan pergunjingan yang biasa dilakukan oleh orang ahli agama atau orang-orang khusus merupakan perbuatan yang paling sulit dan nyaris tidak terasa. Karena tiga faktor itu merupakan kejahatan-kejahatan yang disembunyikan oleh setan di balik kebaikan-kebaikan secara rapi. Tiga faktor yang rmenyebabkan pergunjingan yang terjadi pada orang-orang khusus itu ialah:
- Heran dan ingkar terhadap Kemungkaran dan Kesalahan dalam Urusan Agama Karena merasa heran dan ingkar terhadap kemungkaran dan kesalahan dalam urusan agama, lalu ia berkata: “Alangkah mengherankanku, apa yang kulihat pada si Fulan. Padahal kadang-kadang perkataannya benar.”
Ungkapan perasaan heran yang demikian itu termasuk perbuatan mungkar. Sebenarnya ia memang berhak untuk heran tanpa menyebut nama orang yang dimaksudkan. Tetapi syaitan mempengaruhinya untuk menyebut nama orang yang dimaksudkan, agar mudah dalam menjelaskan keheranannya itu kepada orang yang mendengarnya. Dengan begitu, maka tanpa terasa dan tanpa sadar ia telah menggunjing dan berdosa.
Demikian pula misalnya perkataan seseorang: “Aku heran terhadap si Fulan, bagaimana ia mencintai budak wanitanya. Padahal budak itu jelek. Dan bagaimana ia duduk di hadapan si Fulan, padahal ia orang yang bodoh.” 2. Kasih Sayang
Kasih sayang, dimaksud ialah misalnya bersedih karena sesuatu yang menimpa seseorang. Dengan berdalih ikut bersedih karena sesuatu yang menimpa seseorang, lalu ia berkata: “Kasihan si Fulan itu. kami bersedih hati atas keadaan dan cobaan yang menimpanya.” Kesedihan dan kasih sayang terhadap seseorang memang baik, begitu juga rasa heran kepadanya. Namun dengan tanpa disadari syaitan telah membawanya menuju kepada keburukan. Karena berbelas kasih dan bersedih hati tetap tercapai tanpa harus menyebut nama orang yang bersangkutan. Karena dengan menyebut namanya, bisa jadi membuatnya meyasa malu dan terhina, maka pahala duka cita dan kasih sayangnya itu menjadi batal.
- Marah Karena Allah
Marah karena Allah swt. memang sudah seharusnya, ketika melihat kemungkaran yang diperbuat oleh orang lain. Tetapi kemarahan itu bisa juga membuat suatu dosa jika seseorang tidak berhati-hati. Misalnya, kemarahan itu dengan menyebut-nyebut nama orang yang berbuat kemungkaran, apalagi bila disertai penghinaan terhadap seseorang dengan gayanya yang meledak-iedak.
Kemarahan dalam konteks amar ma’ruf nahi mungkar itu semestinya dilakukan secara langsung pada pelaku dengan melakukan teguran dan mengingatkannya secara arif dan bijaksana yang dapat menyentuh hatinya. Bukannya dengan jalan memberitahukan keburukan dan kejahatannya kepada orang lain dengan menyebut nama pelakunya. Inilah tiga faktor penyebab terjadinya pergunjingan yang sangat halus dan nyaris tidak disadari oleh ulama, lebih-lebih orang awam. Sesungguhnya dugaan mereka, bahwa heran, kasih sayang dan marah itu diperbolehkan dengan menyebutkan namanya apabila karena Allah. Padahal sesungguhnya ini merupakan dugaan yang salah. Karena yang diperbolehkan dalam menggunjing adalah karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang memang tidak adajalan lain kecuali dengan menyebut namanya, sebagaimana yang akan diterangkan dalam pembahasan berikutnya.
Diriwayatkan dari Amir bin Wailah bahwa pada masa Rasulullah saw. masih hidup ada seseorang lewat di depan suatu kaum yang mengucapkan salam kepada mercka. Mereka menjawab salamnya. Setelah orang itu melewati mereka, tiba-tiba ada seseorang di antara mereka yang berkata: “Sesungguhnya aku membenci orang itu karena Allah Ta’ala.” Lalu orang yang berada di sampingnya berkata: “Sungguh buruk apa yang kamu katakan. Demi Allah aku akan melaporkan perkataanmu.” Kemudian mereka berkata kepada salah seorang dari kaum itu: “Wahai Fulan, berdirilah. Carilah orang yang baru saja melintas dan beritahu dia tentang sesuaty yang dikatakan orang ini.” Maka utusan mereka menjumpai orang itu dan memberitahukan kepadanya. Selanjutnya utusan itu datang kepada Rasulullah saw. dan menceritakan apa yang dikatakan oleh temannya, la meminta agar beliau memanggil keduanya. Lalu beliau memanggil orang tersebut dan bertanya kepadanya: “Apa benar kamu berkata begitu?” Jawab orang tersebut: “Benar, aku mengatakan demikian.” Rasulullah bertanya lagi: “Mengapa kamu membencinya.” Orang itu menjawab: “Aku adalah tetangganya dan aku mengetahui keadaannya. Demi Allah, aku tidak pernah melihat ia shalat sama sekali, kecuali shalat wajib.”
Orang yang dipergunjingkan tersebut berkata: “Wahai Rasul, tanyakanlah kepadanya: Apakah aku pernah mengakhirkan shalat dari waktunya atau tentang wudhu, ruku’ dan sujudku. Menurutnya, apakah yang kulakukan itu salah?” Lalu Rasulullah saw. menanyakannya. Dan orang itu menjawab: “Tidak”.
Orang itu berkata lagi: “Demi Allah, aku tidak pernah melihat dia bersedekah kepada orang yang meminta-minta dan orang miskin, sama sekali, dan aku tidak pernah melihatnya menginfakkan sedikitpun dari hartanya di jalan Allah, kecuali zakat yang dikeluarkan, baik oleh orang yang baik maupun orang zalim.”
Orang yang diumpat berkata: “Wahai Rasul, tanyakan kepadanya, apakah dia pernah melihat aku mengurangi sedikit saja dari zakat atau aku tawar menawar tentang zakat kepada yang berhak menerimanya?” Rasulullah pun menanyakan. Dan orang itu menjawab: “Tidak.”
Orang yang menggunjing tersebut berkata lagi: “Demi Allah aku tidak pernah melihat dia berpuasa pada suatu bulan, kecuali bulan Ramadhan.”
Orang yang digunjing tersebut berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, tanyakan kepadanya apakah ia pernah melihatku berbuka pada bulan Ramadhan atau aku mengurangi haknya?” Beliau menanyakan tentang hal itu kepada orang tersebut dan ia menjawab: “Tidak.”
Akhirnya Rasulullah saw. bersabda kepada orang yang menggunjing orang yang lewat tersebut: 2Akhirnya Rasulullah saw. bersabda kepada orang yang menggunjing orang yang lewat tersebut: 20 Moo PLT 0 MA 11) 2 Pe alala 2 Artinya: “Berdirilah, bisa jadi ia (orang yang kamu pergunjingkan itu) lebih baik daripada dirimu.” (HR. Ahmad).
CARA MENCEGAH LIDAH AGAR TIDAK MENGGUNJING
Ketahuilah bahwa semua keburukan akhlak itu hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal. Dan cara mengobati setiap penyakit adalah dengan cara memberantas penyebabnya. Oleh sebab itu hendaklah kamu mengamati dan memeriksa penyebab yang menimbulkan perbuatan menggunjing.
Tetapi yang dapat dilakukan untuk dapat mencegah lidah dari menggunjing ada dua cara, yaitu: Secara garis besar dan secara terperinci.
Adapun secara garis besar, hendaklah seseorang mengetahui dan yakin serta menyadari bahwa dengan menggunjing ia akan menghadapi murka Allah. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat Al Quran dan hadis Nabi saw., sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Hendaknya pula disadari bahwa pergunjingan dapat menghapus setiap kebaikan, kelak di hari Kiamat. Karena pergunjingan itu dapat memindahkan kebaikan orang yang menggunjing kepada orang yang dipergunjingkan, besok di hari Kiamat. Dipindahkannya amal kebaikan si penggunjing kepada yang digunjing adalah sebagai ganti runtuhnya harga diri orang yang digunjing. Jika si penggunjing tidak mempunyai kebaikan, maka kejelekan (dosa-dosa) yang digunjing akan dipindahkan orang yang dipergunjingkan.
Di samping itu, orang yang menggunjing, diserupakan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya. Bahkan ia akan masuk neraka karena timbangan keburukannya lebih berat daripada timbangan kebaikannya. Beratnya timbangan keburukan itu, adakalanya karena dipenuhi oleh keburukan orang yang dipergunjingkan.
Runtuhnya kemuliaan si pengunjing karena berkurangnya pahala amal-amalnya setelah terjadi tuntut-menuntut, pertanyaan, dan pemeriksaan (hisab), yang membuatnya menjadi bangkrut.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Berdirilah, bisa jadi ia (orang yang kamu pergunjingkan itu) lebih baik daripada dirimu.” (HR. Ahmad).
CARA MENCEGAH LIDAH AGAR TIDAK MENGGUNJING
Ketahuilah bahwa semua keburukan akhlak itu hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal. Dan cara mengobati setiap penyakit adalah dengan cara memberantas penyebabnya. Oleh sebab itu hendaklah kamu mengamati dan memeriksa penyebab yang menimbulkan perbuatan menggunjing.
Tetapi yang dapat dilakukan untuk dapat mencegah lidah dari menggunjing ada dua cara, yaitu: Secara garis besar dan secara terperinci.
Adapun secara garis besar, hendaklah seseorang mengetahui dan yakin serta menyadari bahwa dengan menggunjing ia akan menghadapi murka Allah. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat Al Quran dan hadis Nabi saw., sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Hendaknya pula disadari bahwa pergunjingan dapat menghapus setiap kebaikan, kelak di hari Kiamat. Karena pergunjingan itu dapat memindahkan kebaikan orang yang menggunjing kepada orang yang dipergunjingkan, besok di hari Kiamat. Dipindahkannya amal kebaikan si penggunjing kepada yang digunjing adalah sebagai ganti runtuhnya harga diri orang yang digunjing. Jika si penggunjing tidak mempunyai kebaikan, maka kejelekan (dosa-dosa) yang digunjing akan dipindahkan orang yang dipergunjingkan.
Di samping itu, orang yang menggunjing, diserupakan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya. Bahkan ia akan masuk neraka karena timbangan keburukannya lebih berat daripada timbangan kebaikannya. Beratnya timbangan keburukan itu, adakalanya karena dipenuhi oleh keburukan orang yang dipergunjingkan.
Runtuhnya kemuliaan si pengunjing karena berkurangnya pahala amal-amalnya setelah terjadi tuntut-menuntut, pertanyaan, dan pemeriksaan (hisab), yang membuatnya menjadi bangkrut.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Tidaklah api itu lebih cepat dalam hal memakan kayu kering, daripada cepatnya gunjingan memakan kebaikan-kebaikan seseorang.”
Diriwayatkan bahwa seorang lelaki berkata kepada Hasan Basri: “Aku mendengar bahwa kamu telah menggunjing aku.” Maka Hasan Basri menjawab: “Aku tidak sampai hati kepadamu kalau aku meminta keputusan kepadamu tentang kebaikan-kebaikanku.”
Jika seseorang meyakini kebenaran hadis-hadis yang menerangkan tentang bahaya menggunjing, pasti ia tidak akan sampai melepaskan lidahnya untuk melakukannya. Karena takut terhadap bencana yang di. timbulkan dari perbuatan menggunjing. Sebaliknya, akan lebih bermanfaat baginya jika ia mau mengoreksi diri. Lalu sibuk dengan aibnya sendiri.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
“Berbahagialah orang-orang yang disibukkan dengan aibnya sendiri daripada sibuk dengan mengurusi aib-aib orang lain.” (HR. Al Bazzar).
Ketika seseorang mengetahui suatu aib seseorang, maka hendaklah ia merasa malu jika melupakan aibnya sendiri, kalau sampai mengurusi atau mencela aib orang lain. Sebaiknya ia menyadari akan ketidakberdayaan orang lain untuk membersihkan aib tersebut, seperti halnya ketidakberdayaan dirinya sendiri. Demikian ini jika aib itu berkaitan dengan perbuatan dan kemauannya. Jika aib itu berkaitan dengan penciptaan. Maka mencacinya berarti mencaci yang menciptakannya. Karena barangsiapa mencela suatu hasil karya, berarti ia mencela pembuatnya.
Seorang lelaki berkata kepada ahli hikmah: “Wahai orang yang buruk rupa.” Ahli hikmah menjawab: “Seandainya penciptaan wajahku diserahkan kepadaku, tentu aku akan membuatnya dalam bentuk yang sebagus-bagusnya”
Artinya:
“Barangsiapa bertakwa kepada Tuhannya, tentu lidahnya tumpul dan kemarahannya akan sembuh,” (HR. Ad Dailami),
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya, sementara ia mampu melampiaskannya, maka Allah swt. memanggilnya pada Hari Kiamat di hadapan para makhluk, hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari mana yang dikehendakinya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam sebagian kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu disebutkan: “Wahai manusia, ingatlah kamu kepada-Ku ketika kamu sedang marah, tentu Aku akan ingat kepadamu ketika Aku marah. Sehingga Aku tidak membinasakanmu bersama orang-orang yang Kubinasakan.” Sedangkan cara mengobati perbuatan menggunjing yang disebabkan oleh faktor solidaritas terhadap teman-teman, maka hendaklah kamu menyakini bahwa Allah akan marah kepadamu jika kamu mencari kemurkaan-Nya dalam keridhaan makhluk. Bagaimana mungkin kamu merelakan dirimu menghormati orang lain dengan cara menghina Tuhanmu. Kamu tinggalkan keridhaan Tuhanmu hanya untuk mendapatkan keridhaan teman-temanmu. Kecuali jika kamu marah karena Allah Ta’ala. Sekalipun demikian, tidak seyogyanya kamu menyebut orang yang membuat kamu marah karena Allah itu. Seharusnya kamu juga marah kepada teman-temanmu yang menyebut-nyebut keburukan orang lain, karena dengan menyebut keburukan orang lain itu, berarti mereka berbuat maksiat kepada Allah swt. dengan melakukan dosa yang sangat keji, yaitu menggunjing.
Adapun menggunjing karena dorongan untuk membersihkan dan membebaskan diri sendiri dengan cara menuduh orang berbuat khianat, padahal kamu tidak boleh menyebut nama orang yang dimaksud, maka cara mengobatinya adalah dengan mengetahui dan menyakini bahwa menghadapi kemurkahan Allah itu jauh lebih berat daripada kemurkaan manusia. Padahal dengan menggunjing, secara yakin kamu akan menghadapi murka Allah. Sementara kamu tidak mengetahui secara pasti apakah kamu bisa bebas dari murka manusia atau tidak.
Dengan demikian berarti kamu berusaha membebaskan dirimu di dunia berdasarkan dugaan. Tetapi pada hakekatnya kamu mencelakakan dirimu dan merugikan kebaikan-kebaikanmu di akhirat: mendapatkan hinaan Allah secara kontan, dan menunggu tertolaknya hinaan manusia yang belum pasti. Sungguh ini, merupakan puncak kebodohan dan kehinaan..
Seandainya kamu beralasan dengan perkataanmu: “Kalau aku makan barang haram, si Fulan itu, juga memakannya. Jika aku menerima harta dari penguasa, si Fulan itu juga menerimanya.”
Hal itu, merupakan suatu kebodohan. Sebab alasanmu hanya mengikuti orang yang tidak sepantasnya ditiru. Sesungguhnya orang yang menyalahi perintah Allah itu tidak boleh diikuti, bagaimana pun keadaannya. Seandainya orang lain masuk neraka, sedangkan kamu mempunyai kemampuan untuk tidak masuk neraka, maka janganlah kamu mengikutinya. Jika kamu menyusul mengikutinya, maka itu merupakan sebuah ketololan akal pikiranmu.
Ketika kamu menyebut-nyebut orang tertentu, berarti kamu telah menggunjing dia. Kemaksiatanmu semakin bertambah, dengan mengikuti orang yang sebenarnya tidak boleh diikuti. Dengan kebodohan dan kedunguanmnu itu, kamu telah mengumpulkan dua kemaksiatan. Sehingga dengan begitu, kamu tak ubahnya bagaikan kambing betina yang melihat kambing jantan akan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung. Lalu kambing betina itu mengikutinya. Seandainya kambing betina itu mempunyai lidah untuk mengemukakan alasan, tentu ia akan menjelaskan alasannya dan berkata: “Kambing jantan itu lebih pandai dariku dan ia telah membiasakan dirinya. Maka aku harus berbuat seperti yang diperbuatnya.” Jikakamu mendengar alasan kambing betina itu, tentu kamu akan tertawa karena kebodohannya. Itulah sebuah gambaran tentang keadaan dirimu. Selanjutnya, janganlah kamu heran dan menertawakan dirimu sendiri.
Sedangkan mengenai pergunjingan yang terdorong tujuan untuk membanggakan diri dan memperlihatkan kelebihan dirinya disertai mencela orang lain, dapat diatasi dengan menasehati diri sendiri bahwa apa yang penyebutan aib orang lain dengan maksud menjelek-jelekkan orang lain itu justru membatalkan keutamaanmu, di sisi Allah. Hendaknya kamu juga menyadari bahwa pandanganmu terhadap keutamaan dirimu sendiri itu, dalam pandangan orang lain adalah sesuatu yang membahayakan dan membuat kepercayaan orang lain terhadap dirimu semakin menurun.
Dengan demikian, berarti kamu telah menjual apa yang ada di sisi Sang Pencipta secara yakin dengan apa yang ada dalam pandangan makhluk yang hanya berdasarkan dugaan semata. Seandainya kamu berhasil meyakinkan kepada orang lain akan kelebihanmu, sedikitpun mereka tidak berarti bagimu, selain daripada Allah swt.
Adapun pergunjingan yang terjadi sebab dengki, maka hendaklah kamu sadar bahwa apa yang kamu perbuat itu sama halnya dengan mengumpulkan dua siksa. Karena kedengkianmu berkenaan dengan kenikmatan dunia membuat hatimu tersiksa dan diakhirat pun kamu mendapatkan siksa. Dengan demikian, kamu rugi di dunia dan akhirat.
Ketika kamu bermaksud dengki kepada seseorang, maka kamu akan menderita sakit di jiwamu dan memberikan kebaikanmu kepadanya. Dengan begitu berarti kamu memusuhi dirimu sendiri dan menjadi teman baiknya. Karena gunjingan kamu kepadanya itu, sama sekali tidak membahayakannya, tetapi justru membahayakan dirimu sendiri, dan bermanfaat baginya. Karena kebaikan-kebaikanmu akan berpindah kepadanya atau keburukankeburukannya ditimpakan kepadamu. Maka kamu akan sengsara karenanya.
Kadang-kadang kedengkian dan gunjinganmu itu menjadi faktor penyebab tersebarnya keutamaan orang yang kamu benci dan kamu pergunjingkan itu. Seperti kata penyair:
Artinya :
“Apabila Allah bermaksud menyebarkan keutamaan yang tersembunyi maka Dia membuka kesempatan lisan pendengki untuk menggunjingnya Adapun untuk mengatasi pergunjingan yang terdorong oleh maksud untuk mengolok-olok seseorang di hadapan orang lain, maka hendaklah kamu menyadari bahwa apa yang kamu perbuat itu, pada hakekatnya adalah berarti menghinakan dirimu sendiri di sisi Allah, di hadapan para malaikat dan para nabi-Nya.
Seandainya kamu merenungkan tentang kerugian dan pelangaranmu, rasa malu dan kehinaanmu di Hari Kiamat, yaitu suatu hari dimana kamu memikul keburukan orang yang kamu olok-olok menuju neraka, tentu kamu akan enggan melakukan penghinaan atau mengolok-oiok temanmu. Kalau saja kamu mengerti tentang keadaanmu sendiri, maka kamu lebih berhak untuk mentertawakan dirimu sendiri. Karena kamu menganiaya di hadapan beberapa orang, sementara kamu mempertontonkan kehinaanmu di hadapan banyak orang di Hari Kiamat. Lalu orang yang kamu olok-olok itu merampas kebaikanmu dan menumpakan keburukan-keburukannya kepadamu dan kamu pun menjadi digiring ke neraka. Hal itu persis seperti keledai yang digiring ke neraka sambil diejek dan diolok-olok, sementara orang yang kamu gunjing dan kamu olok-olok di dunia bersenang-senang atas kehinaanmu, gembira dengan anugerah kemenangan dari Allah, sedangkan kamu pada saat itu menjadi hina dan tersiksa.
Sementara mengenai faktor rasa kasihan yang membuat seseorang terseret dalam sebuah pergunjingan. Maka rasa kasihan terhadap orang yang sedang mendapat cobaan karena kemaksiatannya, pada dasarnya memang merupakan kebaikan. Namun janganlah kamu terlena, iblis dengki kepadamu, lalu menyesatkan dirimu dan mendorong agar kamu berbicara dengan suatu yang dapat memindahkan amal kebaikanmu kepada orang yang kamu kasihi. Maka kebaikanmu menjadi tambahan dosa orang yang kamu kasihi. Pahalamu batal dan amal kebaikanmu dikurangi oleh Allah.
Demikian pula faktor marah karena Aliah, seharusnya tidak disertai dengan menggunjing orang lain. Sesungguhnya syaitan membuatmu senang terhadap pergunjingan, agar pahala kemarahanmu batal dan kamu menghadapi murka Allah disebabkan perbuatan mengumpat.
Adapun rasa heran yang membuat kamu menggunjing, bisa dicegah dengan sikapmu bahwa seharusnya kamu heran terhadap dirimu sendiri. Mengapa kamu membinasakan diri dan agamamu dengan agama orang lain di dunia, padahal dengan rasa heran kepada orang lain dan menggunjingnya, membuat kamu tidak aman dari siksa dunia, yaitu Allah merobek yang menutupi aibmu, sebagaimana kamu merobek tutup aib saudaramu dengan keherananmu tersebut.
Dengan dernikian, maka jelaslah bahwa pergunjingan, apapun faktor penyebabnya dapat diatasi dan diobati dengan ilmu dan amal. Memper. dalam berbagai persoalan tersebut termasuk bab-bab iman. Barangsiapa yang imannya kuat dalam semua ini, tentu lidahnya akan terbebas dari perbuatan menggunjing.
KEHARAMAN MENGGUNJING DENGAN HATI
Ketahuilah bahwa su-u zhan (berburuk sangka) itu hukumnya haram, sebagaimana halnya hukumnya berkata buruk. Sebagaimana diharamkan atas kamu membicarakan keburukan dan aib orang lain, begitu juga membicarakan keburukan dan aib kamu sendiri.
Su-u zhan, merupakan sikap hati yang menghukumi orang lain dengan keburukan. Adapun goresan-goresan hati dan bisikan-bisikannya yang berlintasan di hati yang bukan merupakan usaha dan kemauannya itu dimaafkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyangka, dan menetapkan dugaan dalam hati karena dugaan itu ibarat sesuatu yang membuat jiwa dan hati condong padanya.
Allah swt. berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (OS. Al Hujurat 12).
Sebab keharaman berburuk sangka itu adalah karena tidak ada yang dapat mengetahui rahasia hati, kecuali Allah swt. Yang Maha Tahu. Oleh sebab itu kamu tidak boleh beri’tikad akan keburukan orang lain. Kecuali jika kamu mengetahuinya secara jelas dan nyata. Tanpa memerlukan takwil. Itupun terbatas pada apa yang kamu saksikan dan kamu ketahui saja. Sedangkan apa yang tidak kamu lihat dengan mata kepalamu dari tidak kamu dengar sendiri dengan telingamu, lalu hatimu berburuk sangka mengenai sesuatu tentangnya, maka apa yang kamu rasakan dalam hatimu itu adalah dari syaitan. Maka kamu harus menepis dan tidak mempercayainya, karena kefasikan syaitan melebihi kefasikan orang-orang yang fasik. Allah swt. berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu ridak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (OS. Al Hujurat: 6).
Demikianlah perintah Allah kepada orang yang beriman. Karenanya jika kamu tidak mengetahui faktanya secara jelas, maka janganlah kamu berburuk sangka. Perasaan buruk sangka yang ada di hatimu tanpa dasar fakta yang jelas harus dilawan dan diusir. Janganlah kamu percaya dengan bisikan iblis.
Apabila di sana ada dugaan yang menunjukkan adanya unsur fasad (kerusakan) dan ada kemungkinan pelanggaran syara’. Maka kamu tidak boleh serta merta membenarkannya. Karena orang fasik itu seakan-akan berita yang dibawanya itu dapat dipercaya. Namun janganlah sekali-kali kamu mempercayainya.
Misalnya, ketika kamu mencium bau khamar dari mulut seseorang, maka janganlah hatimu menyimpulkan bahwa orang itu telah meminum khamar, dan harus dihukum. Karena hal itu mengandung kemungkinan apakah ia benar-benar minum kharmar atau hanya untuk sekedar berkumur lalu membuangnya keluar dari mulutnya. Atau bisa jadi ia dipaksa orang lain agar meminum khamar. Jika kamu menjatuhkan hukuman berdasarkan dari bau mulutnya, maka hatimu telah kerasukan penyakit su-u zhan.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan darah dan harta orang muslim Serta mengharamkan berburuk sangka kepadanya.” (HR. Baihagi), Oleh sebab itu, kamu tidak boleh berburuk sangka, kecuali bila kamu menyaksikan sendiri, mendengar dengan telinga dan melihat dengan mata, Atau berdasarkan saksi yang adil, yang dapat dipercaya. Apabila kamu tidak menyaksikan sendiri dan tidak ada saksi yang adil, namun di hatimu tergores buruk sangka, sebaiknya goresan itu dilenyapkan. Kamu harus menyakini bahwa orang yang semula kamu sangka buruk itu, ternyata dugaanmu itu sama sekali tidak berdasar dan tidak pernah kamu ketahui faktanya.
Jika kamu bertanya: “Bagaimana caranya untuk apa dapat mengetahui tanda prasangka, sementara keraguan mengganggu di dalam dada dan suara hati terus berbisik?” .
Kami katakan bahwa tanda-tanda buruk sangka itu adalah sebuah kondisi hati yang karenanya ia berubah dari keadaan semula, berat bergaul dengan orang yang kamu sangka buruk, kamu tidak mau menjaga harga dirinya, merasa terbebani dan terganggu dengannya. Demikianlah di antara tanda-tanda dugaan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
“Tiga perkara terdapat pada orang mukmin dan ia mempunyai cara keluar dari ketiga sifat itu. (salah satu dari tiga perkara itu ialah su-u zhan), adapun jalan keluar dari buruk sangka adalah tidak menyatakannya.” (HR. Thabarani).
Artinya, tidak jadi menetapkan buruk sangka di hatinya, maka lenyapkanlah dari dalam hatimu, tidak perlu dibuktikan baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan.
Adapun yang terkait dengan yang ada di dalam hati ialah perubahan cikap hatimu sehingga menimbulkan perasaan untuk menjauhi dan mempencinya. Sedangkan niat membuktikan dengan tindakan adalah bentuk perbuatan sebagai tindak lanjut sesuai dengan prasangkamu itu. Kadangkadang syaitan menetapkan di dalam hatimu sedikit tanda keburukan manusia. Lalu ia membisikimu bahwa semua itu timbul karena kecerdasanmu, kepekaanmu, dan kepandaianmu.
Sesungguhnya orang beriman itu melihat berdasarkan cahaya dari Allah (cahaya kebenaran). Padahal kenyataannya, kamu melihat berdasarkan tipu daya syaitan dan kejahatannya.
Ketika seseorang atau saksi adil memberitahukan kepadamu tentang sesuatu, dan prasangkamu condong mempercayainya. Lalu kamu beralasan jika tidak percaya, berarti kamu berlaku zalim terhadap saksi yang dapat dipercaya itu, dan jika mengira saksi itu dusta, maka kamu merasa akan terjerumus ke dalam buruk sangka. Jika demikian keadaannya, maka engkau berbaik sangka kepada seseorang, sementara di sisi lain kamu berburuk sangka kepada yang lainnya.
Jika demikian, kamu harus hati-hati dan memeriksa, apabila di antara keduanya — antara saksi yang dianggap adil dan orang yang kamu kau sangka buruk — apakah antara keduanya ada permusuhan. Apakah antara rnereka saling membenci atau saling mencari kesalahan masing-masing, sehingga timbul kecurigaan. Maka dalam hal ini, sebaiknya kamu bersikap diam sekalipun orang itu kamu anggap adil. Kamu tidak perlu mempercainya dan tidak pula mengingkarinya. Hendaklah kamu berkata pada dirimu sendiri bahwa orang adalah orang yang dilindungi Allah dari aibnya. Sementara urusan perlindungan dan hijab yang melindungi penglihatanmu, sedikitpun kamu tidak perlu tahu menahu, karena persoalan hijab adalah urusan Allah, bukan menjadi urusanmu.
Memang secara lahiriah, kadang-kadang seseorang tampak sebagai orang adil dan tidak saling mendengki terhadap orang lain. Namun pada hakikatnya seringkali membuka aib orang dan menyebut-nyebut kejelekannya. Ketahuilah bahwa penggunjing itu adalah orang fasik atau kalau pada kenyataannya ia sering mengumpat, maka kesaksiannya ditolak. Hanya saja karena seringnya menggunjing, seseorang menjadi meremehkan masalah menggunjing. Ia tidak memperhatikan tentang menyinggung kehormatan orang lain adalah dosa besar.
Jika terlintas dalam hatimu suatu goresan buruk atas seorang muslim, maka sebaiknya kamu lebih waspada dalam menjaganya. Hendaknya kamu mendo’akan kebaikan terhadap orang muslim tersebut. Sebab dengan bersikap waspada dan berdo’a untuk saudara sesama muslim itu syaitan menjadi marah dan kecewa.
Ketika kamu mengetahui kesalahan seorang muslim dengan matamu sendiri dan persaksianmu, maka nasihatilah ia sebagai bentuk arnar makruf secara diam-diam, empat mata, secara arif dan bijaksana. Jangan sampai syaitan berhasil menipumu, mempengaruhimu untuk menggunjingnya. Dan ketika kamu menasehatinya, janganlah kamu merasa lebih mengerti dan lebih mulia, lalu memandang orang itu lebih hina dan bodoh. Karena jika demikian itu terjadi ketika kamu menasehatinya, maka timbullah bentuk kesombongan dalam hatimu.
Padahal tujuan yang benar dari apa yang kamu lakukan itu adalah untuk melepaskan orang tersebut dari dosa. Yang lebih baik lagi, hendaknya kamu suka bila orang itu meninggalkan keburukannya tanpa nasihat darimu, daripada ja meninggalkan keburukannya karena nasehatmu. Jika kamu melakukan hal ini, maka kamu telah mengumpulkan pahala nasihat, pahala ikut bersedih hati karena bencana yang menimpanya dan pahala memberi pertolongan berkenaan dengan keagamaanya.
Akibat buruk sangka itu di antaranya ialah mengintai dan mengoreksi keburukan orang lain. Sebab hati tidak akan puas dengan prasangka, maka ia tentu berusaha mencari pembuktian terhadap keburukan orang lain yang ada dalam dugaannya itu. Lalu sibuk mengintai dan mengoreksi kesalahan orang lain. Padahal yang demikian itu sungguh dilarang.
Allah swt. berfirman:
Artinya:
“….dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (OS. Al Hujurat: 12).
Ayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa menggunjing, berburuk sangka dan mengintai (menyelidiki) kesalahan orang lain sangat adalah dilarang. Adapun arti tajassus (menyelidiki kesalahan orang lain) yaitu tidak membiarkan hamba-hamba Allah itu bernaung di bawah hijab Allah. Lalu berusaha untuk mengetahui aib yang tertutup itu dengan merobekrobek hijabnya hingga terbuka aibnya. Padahal seandainya tertutup dari penglihatannya, justru lebih membuat selamat hati dan agamanya.
GHIBAH YANG TERMASUK DIPERBOLEHKAN (RUKASHAH)
Ketahuilah bahwa penyebutan keburukan orang lain yang termasuk diperbolehkan (rukhshah) itu selama ada tujuan yang dibenarkan agama dan tidak ditemukan jalan lain selain dengan menyebutkannya. Adapun macam-macam jenis mengumpat yang diperbolehkan dalam agama di antaranya ialah:
Pertama: Pengaduan kezaliman, orang yang menyebut-nyebut seorang hakim dan menuduh berbuat zalim, khianat, dan menerima uang suap, maka jatermasuk penggunjing dan orang yang berbuat maksiat. Jika seorang hakim itu sama sekali tidak seperti yang dia katakan. Atau pada kenyataanya, ia bukan orang yang dizalimi atau dikhianati.
Sedangkan orang yang dizalimi oleh seorang hakim, maka ia boleh mengadukan nasibnya kepada penguasa dan mengatakan bahwa hakim itu telah berbuat zalim kepadanya. Sebab jika ia tidak menjelaskan dan mengadukan perbuatan hakim yang menzaliminnya, maka ia tidak akan mendapatkan haknya secara adil.
Rasulullah saw. bersabda: –
Artinya:
“Sesungguhnya pemilik hak itu mempunyai perkataan (sebagai pembelaan).” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw. juga bersabda:
Artinya:
“Pengangguhan (membayar hutangnya) oleh orang kaya adalah suatu perbuatan aniaya (kezaliman).” (HR. Muttafag alaih).
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Penangguhan pembuyaran hutang orang kaya kepada seseorang adalah dapat menghalalkan siksanya dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Kedua: Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan menolak kemaksiatan. Jika penyebutan keburukan orang lain (menggunjing) bertujuan meminta bantuan dalam kerangka untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kepada kebaikan, maka yang demikian ini diperbolehkan.
Diriwayatkan bahwa pernah suatu ketika Umar ra. lewat di depan Utsman ra. — menurut riwayat lain — Umar lewat di depan Thalhah. Lalu mengucapkan salam, namun tidak mendapat jawaban. Kemudian Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan kejadian itu. Abu Bakar pun mendatangi Utsman — atau Thalhah — untuk mendamaikan persoalan tersebut.
Sikap Umar yang menceritakan perbuatan Utsman yang tidak mau menjawab salam sebagaimana dalam kasus tersebut bukanlah termasuk perbuatan menggunjing. Karena hal itu dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan.
Demikian pula ketika Umar mendapat laporan bahwa Abu Jandal terus menerus minum khamer di negeri Syam, maka Umar menulis surat kepadanya, yang berisi ayat-ayat berikut:
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya, Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (OS. Al Mukmin 1-3).
Setelah mendapat teguran keras melalui surat dari Umar seperti itu, maka Abu Jandal menjadi bertaubat. Umar tidak berpendapat bahwa orang yang menyampaikan berita pengaduan tersebut termasuk menggunjing. Karena laporan perihal perbuatan Abu Jandal tersebut bertujuan untuk mencegah perbuatan mungkar dan berusaha mengembalikannya ke jalan yang benar. Karena hanya teguran dan nasihat Umarlah yang dipandang berguna dan dapat memperbaiki Abu Jandal.
Ketiga: Meminta Fatwa. Sebagaimana perkataan seseorang kepada Mufti: “Ayahku, atau istriku, atau saudaraku laki-laki menganiayaku. Bagaimana jalan keluarnya apa yang harus aku tempuh agar aku tidak terbebas dari penganiayaan?” Cara yang lebih selamat adalah memakai sindiran, misalnya: “Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang dianiaya oleh ayahnya, atau oleh istri, atau oleh saudaranya laki-laki?”
Tetapi menyampaikannya secara jelas dalam konieks ini, adalah diperbolehkan, berdasarkan riwayat dari Hindun binti Utbah bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
Artinya:
“Sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) adalah seorang lelaki kikir. Ia tidak memberikan belanja yang cukup bagiku dan bagi anak-anakku. Kecuali apa yang ambil tanpa sepengetahuannya?” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah secukupnya untuk kebutuhan kamu dan anakmu dengan baik.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis tersebut Hindun menyebutkan akan kekikiran dan kezaliman sang suami kepada dirinya, namun Rasulullah saw. tidak melarangnya, karena Hindun menceritakan hal tersebut adalah untuk meminta fatwa kepada beliau.
Keempat: Memperingatkan orang Islam dari berbuat jahat. Apabila kamu menjumpai seorang ahli fikih berulang kali datang kepada ahli bid’ah atau orang fasik, sementara kamu merasa khawatir jangan-jangan perbuatan bid’ah dan kefasikan orang tersebut menular kepada ahli figih itu, maka kamu boleh memperingatkan. Artinya, kamu boleh memberitahu ahli fikih tersebut bahwa orang yang didatanginya itu adalah ahli bid’ah orang fasik. Hal ini boleh kamu lakukan, jika hatimu merasa khawatir, jangan-jangan ahli fikih itu bakal terseret pada perbuatan baid’ ah atau kefasikannya. Tetapi kamu harus waspada dan menjaga hatimu agar jangan sampai tertipu oleh syaitan. Karena kadangkala kedengkian dimaksukkan oleh iblis yang terbungkus alasan lahiriah karena kasihan dan mengkhawatirkan orang.
Demikian juga, seandainya ada seseorang membeli budak atau pembantu, sementara kamu mengetahui bahwa budak yang hendak dibeli itu mempunyai kebiasaan buruk, misalnya mencuri, pembohong, fasik atau keburukan lainnya. Maka kamu boleh menjelaskannya kepada orang yang hendak membelinya. Sebab jika kamu diam, akan membahayakan orang yang akan membelinya. Tetapi di pihak lain jika kamu menjelaskannya maka membahayakan bagi si budak. Dalam hal ini, penyelamatan si pembeli hendaklah lebih diprioritaskan.
Begitu pula orang yang mengetahui keadaan orang yang sebenarnya ketika ditanya mengenai akhlak seorang saksi, maka ia boleh menyampaikan aibnya kalau ia mengerti bahwa saksi itu memang orang zalim.
Demikian juga orang yang dimintai pertimbangan dalam soal perkawinan atau amanat lain, misalnya, maka ia boleh menjelaskan apa yang diketahui dengan maksud memberi nasihat kepada orang yang meminta pertimbangannya, tetapi harus hati-hati dan seperlunya saja, jangan sampai terselip maksud mencaci maki. Apabila sekiranya jawaban yang diberikan cukup: “Wanita itu tidak pantas bagimu,” misalnya. Lalu orang yang meminta pertimbangan itu menggagalkan perkawinannya, maka jawaban itu sudah cukup. Tetapi jika orang tersebut tidak memahami jawaban tersebut dan tetap ingin mengawini wanita yang berakhlak tercela itu, maka ia boleh menjelaskan secara terus terang. Karena Rasulullah saw. pernah bersabda: “Apakah kamu menjaga diri dari menyebutkan seorang pelacur (orang yang durhaka)? Sampaikanlah keadaan yang sebenarnya, agar diketahui oleh manusia, sehingga mereka bisa bersikap hati-hati dan waspada kepadanya.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Ada yang mengatakan bahwa terhadap tiga golongan manusia berikut tidak berdosa jika mengungkap kejahatannya, yaitu imam (pemimpin) yang zalim, pelaku bid’ah, dan orang yang biasa berbuat kefasikan, secara terang-terangan.
Kelima: Menyebut seseorang dengan julukan yang telah populer. Misalnya menyebut seseorang dengan Al A’raj, artinya si pincang, atau ALA’masy, artinya si buta atau kabur penglihatannya. Karena julukan itu sudah populer dan tidak membuat tersinggung yang bersangkutan. Tidaklah berdosa, orang yang mengatakan, misalnya, Abu Zanat meriwayatkan dari Al A’raj, dan Salman dari Al A’masy atau julukan lain yang masyhur.
Para ulama telah melakukan hal yang seperti itu karena terpaksa dilakukan untuk memudahkan mengenalkannya (lidharurarit ta’ rif). Dan demikian itu, sekiranya orang yang dijuluki tidak membencinya. Karena julukan itu sudah terkenal. Tetapi jika didapatkan yang lebih baik dan terkenal tentu hal ini, lebih utama.
Keenam: Menyebut seseorang berbuat fasik secara terang-terangan di depan umum tanpa rasa malu. Misalnya, seorang lelaki yang berlagak dan bertingkah seperti wanita, orang yang secara terang-terangan menjual khamar, orang yang biasa merampas harta orang lain secara terang-terangan dan lain sebagainya dari segala bentuk kefasikan yang diakukan secara terangterangan. Karena kefasikannya itu sehingga menjadi bahan pergunjingan banyak orang. Dan ia tidak benci digunjingkan seperti itu. oleh sebab itu, Jika kamu menyebut kefasikan yang terlihat nyata, kamu tidaklah berdosa.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
“Barangsiapa melemparkan penutup malu dari mukanya, maka tidak ada (dosa) jika menggunjingnya.” (HR. Ibnu Adi dan Abu Syaikh),
Umar ra. berkata: “Tidak ada kehormatan bagi orang yang berbuat durhaka.” Maksud dari hal ini, ialah orang yang secara terang-terangan memperlihatkan kefasikannya, bukan orang yang menutupi kefasikannya. Tetapi jika seseorang itu menutupi kefasikannya, maka kita harus menjaga kehormatannya.
Hasan Basri berkata: membicarakan tiga golongan manusia berikut tidaklah termasuk menggunjing, yaitu orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, orang fasik yang memperlihatkan kefasikannya secara terang-terangan, dan pemimpin yang zalim. Karena ketiga golongan manusia itu telah melakukan, kedurhakaan, kefasikan dan kezaliman secara terangterangan, bahkan bisa jadi mereka bangga dengan apa yang dilakukannya itu. Lalu bagaimana mungkin mereka membenci penyebutan oleh orang lain akan hal yang diperbuat itu. sementara mereka melakukannya secara terus terang. Tetapi menyebutkan perbuatan yang tidak terpuji yang ditutupi dan tidak dilahirkan, maka itu adalah dosa.
Auf berkata: “Aku pernah menemui Ibnu Sirin dan aku mencaci Al Hajjaj di depannya.” Ibnu Sirin berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang adil, yang akan membalas dendam Al Hajjaj kepada orang yang menggunjingnya, sebagaimana Allah membalaskan dendam Al Hajjaj terhadap orang yang menganiayanya. Dan sesungguhnya jika kelak kamu menjumpai Allah swt., maka sekecil-kecil dosa yang kamu perbuat itu lebih berat bagimu daripada sebesar-besar dosa yang diperbuat oleh Al Hajjaj.”
TEBUSAN (KAFARAT) MENGGUNJING
Ketahuilah bahwa seorang penggunjing berkewajiban untuk menyesal, bertaubat dan bersedih hati atas perbuatannya supaya terbebas dari ancaman Allah. Tetapi tidak cukup hanya bertaubat kepada Allah. Tetapi ia juga harus meminta maaf kepada orang yang telah digunjingnya. Dan memohon agar orang yang telah digunjing itu menghalalkan atau memaafkan perbuatannya, Selanjutnya 1a harus benar-benar bersedih hati dan menyesal, bahwa perbuatan itu memang salah. Karena kadang-kadang ada orang yang riya’ yang hanya bertujuan menunjukkan wara’ nya, sementara di dalam hatinya tidak ada penyesalan sama sekali. Sehingga tujuan minta maaf tidak dilakukan secara ikhlas untuk menghapus dosa, akibatnya hal itu justru semakin menambah dosa karena sikap riya’nya. ‘
Hasan Basri ra. berkata: “Si penggunjing tidak cukup hanya beristighfar, tanpa meminta kehalalan orang yang dipergunjingkan.” Pendapat Hasan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Artinya :
“Kafarat (tebusan) orang yang kamu gunjing adalah hendaklah kamu memohonkan ampun baginya.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Mujahid berkata: “Kafarat terhadap daging saudaramu yang kamu makan (pergunjinganmu) adalah hendaknya kamu memuji dan mendo’akannya.”
Atha bin Abi Rabah ketika ditanya tentang taubatnya orang mengumpat, ja menjawab: “Hendaklah kamu menjumpai saudaramu itu dan berkata, aku telah berdusta terhadap apa yang kuucapkan, aku telah menganiayamu dan berbuat buruk kepadamu. Jika kamu menginginkan hakmu (membalasku), silahkan lakukanlah. Tetapi jika tidak, maka maafkanlah aku.” Demikian inilah yang lebih benar.
Adapun mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa kehormatan itu, tidak dapat digantikan dengan apa pun. Maka tidak wajib minta maaf dan minta dihalalkannya. Pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Karena masalah kehormatan dapat mewajibkan had gadzaf dan dapat menyebabkan ditetapkannya sebuah tuntutan.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa yang berbuat zalim terhadap saudaranya, baik berkenaan dengan kehormatan atau harta bendanya, maka hendaknya ia meminta kehalalannya atas kezaliman yang dilakukan padanya, sebelum datang Hari Kiamat. Yaitu, suatu hari di mana tidak ada dinar dan dirham (untuk menebusnya). Hanya saja dia diambil kebaikankebaikannya. Jika tidak mempunyai kebaikan, maka diambil keburukan-keburukan saudaranya yang dizalimi itu lalu ditimpakan menambah keburukan-keburukannya.” (HR. Muttafag alaih). Diriwayatkan bahwa pernah ada seorang wanita menyambut wanita lain di hadapan Aisyah: “Sesungguhnya pakaian bawah wanita itu terlalu panjang.” Maka Aisyah ra. menegur, seraya berkata: “Kamu telah menggunjingnya, maka mintalah maaf kepadanya.”
Dengan demikian, maka si penggunjing harus meminta maaf dan minta kehalalan orang yang digunjing. Apabila orang yang digunjing itu telah meninggal dunia atau ia kesulitan menemukannya, maka hendaklah ia memperbanyak istighfar dan mendo’ akannya, serta banyak-banyaklah berbuat kebajikan.
Jika kamu bertanya: “Apakah minta kehalalan itu hukumnya wajib?” Aku katakan: “Tidak, karena hal itu merupakan bentuk tabarru’ sedangkan tabarru’ itu adalah suatu kebaikan, bukan wajib, tetapi hal itu dipandang bagus. Si penggunjing yang terhalang untuk dapat meminta maaf, maka hendaklah ia banyak memuji dan menyayanginya, serta terus menerus berbuat demikian hingga hati orang yang digunjing menjadi luluh dan simpati padanya. Jika hatinya tidak suka, maka permintaan maaf dan kasih sayangnya itu, merupakan kebaikan yang dapat mengimbangi keburukan gunjingannya, kelak di hari Kiamat.
Sebagian ulama salaf ada yang berkata: “Tidak memaafkan orang yang menggunjing dirinya.” Said bin Musayyab berkata:” Aku tidak akan memaafkan orang yang telah berbuat zalim padaku.”
Ibnu Sirin berkata: “Sesungguhnya aku tidak melarang orang untuk – menggunjingku, lalu aku menghalalkannya. Karena Allah mengharamkan seseorang untuk mengumpatku, maka aku tidak menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, selama-lamanya.”
Apabila kamu bertanya: “Bagaimana pengertian sabda Rasulullah saw. “Seharusnya seseorang meminta kehalalan (pergunjingan) pada yang dipergunjingkan?” Namun menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah itu tidak memungkinkan?”
Aku katakan, bahwa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah meminta maaf dari penganiayaan, bukan mengubah yang haram menjadi halal. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Sirin adalah baik, dalam menghalalkan sebelum menggunjing. Namun ia tidak boleh menghalalkan kepada orang yang menggunjing.
Jika kamu bertanya, apa arti sabda Rasulullah saw. berikut ini: “Apakah seorang dari kamu tidak mampu, berbuat seperti Abu Dhamdham, yaitu ketika keluar, ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku sedekahkan kehormatanku kepada manusia.” (HR. Bazzar).
Bagaimana ia menyedekahkan kehormatannya? Apakah orang yang menyedekahkan kehormatannya itu berarti boleh dicaci maki, sekalipun ja tidak jadi, lalu apa artinya anjuran kepadanya?
Aku katakan, bahwa maksudnya ialah, sesunguhnya aku tidak menuntut kezaliman kelak di Hari Kiamat dan aku tidak memusuhinya. Jika tidak, maka gunjingannya tidak halal dan penganiayaannya tidak gugur. Karena hal itu merupakan isyarat sebagai sebuah bentuk pengampunan sebelum menjadi sebuah keharusan. Kecuali jika dia berjanji bahwa ia tidak akan memusuhi. Tetapi kenyataannya ia memusuhi, maka menurut giyas, ia mempunyai hak sebagaimana semestinya hak-hak yang lain. Bahkan para ahli fikih menegaskan bahwa barangsiapa memperbolehkan dirinya dituduh zina, maka hal itu tidak menggugurkan haknya melakukan tuntutan hak terhadap orang yang menuduhnya. Ketahuilah, bahwa penganiayaan akhirat itu seperti penganiayaan dunia.
Jadi, kesimpulannya, memaafkan jauh lebih utama.
Hasan Basri pernah berkata, bahwa ketika semua umat manusia dikumpulkan di hadapan Allah Ta’ala kelak di hari Kiamat, maka mereka di panggil: “Berdirilah orang-orang yang mempunyai pahala di sisi Allah!” maka tidak ada yang berdiri, selain orang-orang yang suka memaafkan sesama manusia semasa di dunia.
Allah swt. berfirman:
Artinya :
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma ‘ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (Os. Al A’raf 199)
Nabi saw. pernah bertanya kepada Malaikat Jibril:
Artinya:
“Wahai Jibril, apakah maaf ini?” Jibril menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh kamu agar memaafkan orang-orang yang menganiayamu, dan menyambung hubungan orang yang memutuskan hubungan denganmu, serta memberi kepada orang-orang yang tidak memberimu.”
Diriwayatkan dari Hasan Basri, bahwa suatu ketika ada seseorang berkata kepada Hasan Basri: “Sesungguhnya si Fulan telah menggunjing dirinya.” Hasan berkata kepada si penggunjing: “Aku telah mendengar khabar bahwa kamu telah menghadiahkan kebaikanmu kepadaku. Sekarang aku bermaksud membalas kebaikanmu itu dengan pemberian kurma sekeranjang ini, dan aku minta maaf, karena aku tidak dapat membalas yang lebih banyak dan lebih sempurna dari pemberianmu.”
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
“Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.” (OS. Al Oalam: 11).
Kemudian Allah berfirman: .
Artinya:
“Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (OS. Al Oalam: 13).
Abdullah bin Mubarak berpendapat bahwa lafal az zaniim dalam ayat tersebut ialah anak zina (waladuz zinaa), yang tidak dapat menyimpan pembicaraan. Ia mengambil petunjuk daripadanya bahwa setiap orang yang tidak dapat pembicaraan dan berjalan dengan mengadu domba, maka hal itu menunjukkan bahwa ia adalah anak zina.
Sebagai sebuah konklusi yang diambil dari firman Allah swt.:
Artinya: “Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” | (OS. Al Oalam: 13).
Allah swt. juga berfirman:
Artinya:
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (OS. Al Humazah: 1),
Dikatakan, bahwa lafal, humazah dimaksud ialah pengadu domba (an nammaam).
Firman Allah swt.:
Artinya:
“Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar.” (OS. Al Masad: 4).
Dikatakan bahwa hammaalatal hathab dimaksud dalam ayat tersebut ialah perempuan pengadu domba dan penyebar gosib. Dan firman Allah swt.
Artinya:
“..lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah.” (OS. At Tahrim: 10).
Dikatakan, bahwa istri Nabi Luth as. sebagai penyebar berita yang berkaitan dengan tamu Nabi Luth. Sedangkan istri Nabi Nuh as. penyebar berita bahwa Nabi Nuh gila. Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Tidak akan masuk surga, pengadu domba.” (HR. Ath Tahbrani).
Dalam hadis yang lain:
Artinya: “Tidak akan masuk surga, orang yang tukang fimah (pengadu domba).”
Al qattaat bermakna an nammaam. Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Maukah kamu, aku beritahukan kepadamu tentang orang yang paling buruk di antara kamu? Mereka menjawab: “Ya, tentu mau.” Beliau bersabda: “Orang-orang yang berjalan ke sana kemari dengan mengadu domba, orang-orang yang merusak jalinan cinta dan kasih sayang (antara sesama muslim): dan mereka yang mendurhakai (mencari-cari aib) orang-orang baik.” (HR. Ath Thabrani).
Abu Dzar Al Ghaffari ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa menyiarkan suatu perkataan (berita) orang muslim, untuk mempermalukannya dengan tidak sebenarnya, maka ia akan dipermalukan oleh Allah di dalam neraka, pada hari kiamat.” (HR. Ath Thabrani).
Abu Darda’ berkata, bahwa Nabi saw. bersabda: Artinya: “Siapapun orangnya yang menyebarkan aib seseorang dengan satu kata, yang sesungguhnya tidak benar ada pada orang itu. Namun dia melakukan hal itu untuk mempermalukannya di dunia, maka adalah. sungguh menjadi hak Allah untuk membinasakannya pada hari kiamat . didalam neraka.” (HR. Ath Thabrani).
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: .
Artinya: “Barangsiapa yang memberikan kesaksian atas seorang muslim dengan sebuah kesaksian (yang tidak benar), padahal ia bukan ahlinya, maka hendaklah ia menempati tempatnya di dalam neraka.” (HR. Ahmad). Dikatakan bahwa sepertiga dari siksa kubur itu disebabkan karena adu domba.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw., sesungguhnya ketika Allah menciptakan surga, Allah berfirman kepadanya (surga): “Berbicaralah, hai surga!” Maka surga berkata: “Berbahagialah orang yang memasuki aku.” Lalu Allah Azza wa Jalla berfirman: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, delapan golongan manusia tidak akan menempati kamu. Yaitu, peminum khamar, orang yang ceroboh dengan membiasakan berzina, pengadu domba, mucikari, laki-laki yang bertingkah seperti wanita (begitu juga sebaliknya): orang yang memutuskan hubungan silatur rahim, dan orang yang mengikat janji kepada Allah begini dan begini, lalu dia tidak menepatinya.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan
Artinya:
“Rasulullah saw. bersabda: Tiga golongan manusia tidak akan masuk surga dan Allah tidak melihat mereka (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat, yaitu: Orang yang durhaka kepada kedua ibu bapaknya: wanita yang bergaya menyerupai laki-laki: orang yang tidak memiliki kekhawatiran (tidak cemburu) terhadap ahlinya (istri dan wanita yang menjadi tanggung jawabnya). Sedangkan tiga golongan yang tidak dilihat oleh Allah (tidak mendapatkan rahmat-Nya), pada hari kiamat, yaitu: Orang yang durhaka kepada ibu bapaknya: peminum khamar, dan orang yang menyebut-nyebut (undat-undat) pemberiannya.” (HR. Ahmad).
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Tidak akan masuk surga, orang yang mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Ka’ ab bin Akhbar, bahwa kaum Bani Israil pernah dilanda kemarau panjang, hingga terjadi krisis ekonomi, lalu Nabi Musa melakukan ritual (shalat istisga) untuk meminta hujan, namun sekalipun beliau telah memohon hujan berkali-kali, belum juga turun hujan. Hingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa: “Aku tidak mengabulkan permintaanmu dan orang-orang yang bersamamu, karena di antara kalian masih ada orang yang suka mengadu domba.” Nabi Musa menjawab dalam munajatnya: “Wahai Tuhanku, siapakah dia? Tunjukkan kepadaku siapa orangnya, aku akan mengeluarkan dari kami.” Allah berfirman: “Wahai Musa, aku melarang kamu semua melakukan adu domba.” Ketika semuanya bertaubat, maka barulah Allah menurunkan hujan.
Dikisahkan, bahwa konon ada seorang lelaki, mengikuti orang ahli hikmah dalam sebuah perjalanan sejauh tujuh puluh farshah. Laki-laki itu melakukan hal tersebut karena terdorong untuk mendapatkan tujuh kalimat hikmah. Ketika sampai di hadapan ahli hikmah itu, ia berkata: “Aku datang dan menemui tuan, karena ilmu yang diberikan Allah kepada tuan. Beritahulah aku tentang langit dan yang lebih berat daripadanya, tentang bumi dan yang lebih luas daripdanya, tentang batu yang apa yang lebih keras daripadanya, tentang api dan yang lebih panas daripadanya, tentang zamharir dan yang lebih dingin daripadanya, tentang kekayaan laut dan yang lebih kaya daripadanya, dan tentang yatim dan yang lebih hina daripadanya.”
Lalu ahli hikmah itu menjawab: “Mempermainkan orang yang tidak bersalah dengan kebohongan itu lebih berat daripada langit, kebenaran itu lebih luas daripada bumi, hati yang gana’ah (neriman), lebih kaya daripada laut, rakus dan dengki, lebih panas (membakar) daripada api, hajat terhadap kerabat, jika tidak berhasil lebih dingin daripada zamharir, hati orang kafir, lebih keras daripada batu: dan pengadu domba ketika jelas perkaranya, lebih hina daripada yatim.
BATAS-BATAS ADU DOMBA
Istilah namimah pada umumnya ditujukan pada orang yang menyampaikan (memindah) kata seseorang kepada orang lain yang menjadi mitra bicaranya. Seperti Anda berkata: “Si Fulan, membicarakan kamu begini dan begini.” Tetapi namimah tidak hanya terbatas secara khusus sebagaimana hal itu. Definisi namimah ialah membuka sesuatu yang dibenci bila dibuka, baik yang membenci atau yang tidak menyukai itu orang yang diambil berita daripadanya atau oleh orang yang disampaikan berita kepadanya. Baik pemberitaan itu melalui ucapan, tulisan, kode-kode, petunjuk. Dan yang diberitakan itu baik berkenaan dengan perbuatan atau perkataan orang yang diberitakan, mengenai cacat, kekurangan yang ada padanya ataupun yang tidak.
Bahkan pada hakekatnya namimah itu, ialah menyiarkan rahasia dan merobek tirai penutup sesuatu yang tidak disukai dalam menyingkapkannya. Bahkan segala apapun yang terkait dengan manusia yang dalam pandangan manusia tidak baik untuk diungkap, maka seharusnya didiamkan, tidak perlu diungkap. Kecuali bila diperlukan karena berguna bagi orang Islam, atau untuk menolak kemaksiatan. Seperti ketika seseorang melihat pencuri mengambil harta orang lain, maka hendaklah ia memberikan kesaksian untuk menjaga dan melindungi hak orang yang diberi kesaksian, yaitu orang yang hartanya dicuri. Tetapi apabila seseorang melihat orang menyembunyikan hartanya sendiri, maka membuka rahasia itu dan menyebarkannya kepada orang lain termasuk adu domba dan menyebarkan rahasia orang lain.
Adapun yang mendorong timbulnya adu domba itu, adakalanya dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan orang yang beritakan, atau untuk menunjukkan simpati pada orang yang diberi berita, kebiasaan omong kosong, bicara berlebih-lebihan dan kebatilan.
Setiap orang yang menerima berita atau diajak adu domba, maka hendaklah ia memperhatikan enam perkara berikut, yaitu:
Pertama: Tidak serta merta mempercayainya, karena adu domba (namimah) itu sebuah kefasikan dan orang semacam itu ditolak kesaksiannya.
Allah swt. berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (OS. Al Hujurat: 6).
Kedua: Hendaklah ia mencegah orang yang mengajak adu domba itu dengan menasehatinya, karena hal itu merupakan perbuatan yang tercela.
Firman Allah swt.:
Artinya:
“dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (OS. Lugman: 17).
Ketiga: Hendaklah ia membencinya karena Allah, sebab orang yang mengadu domba itu berarti ia membenci Allah, karena tidak mengindahkan apa yang dilarang-Nya. Membenci orang yang benci kepada Allah adalah wajib.
Keempat: Hendaklah ia tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang gaib (yang dibicarakan atau yang diadu domba). Allah swt. berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (OS. Al Hujurat: 12).
Kelima: Berita yang disampaikan kepada kamu tentang seseorang itu dengan mutivasi adu domba itu, jangan sampai membuat kamu justru mencari-cari kesalahan orang lain.
Keenam: Dengan berita yang kamu terima dari orang yang mengadu domba itu, jangan sampai membuat kamu juga menyebarkannya kepada orang lain dan mempergunjingkannya.
Firman Allah swt.:
Artinya:
“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan Janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (OS. Al Hujurat: 12).
Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, pernah suatu ketika seorang laki-laki datang menghadap kepadanya, seraya menyebut sesuatu yang berkenaan dengan seseorang di hadapannya. Lalu Umar berkata kepadanya: “Jika kamu menghendaki, akan kami pikirkan perkara kamu itu, jika perkara yang kamu ucapkan itu tidak benar, atau kamu dusta, maka kamu masuk dalam kategori ayat:
Artinya: | “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (OS. Al Hujurat: 6).
Jika apa yang kamu ucapkan itu benar, maka ayat berikut cocok denganmu:
Artinya: “Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.” (OS. Al Oalam: 11).
Dan jika kamu mau, kami akan memberikan pengampunan kepadamu. Laki-laki itu, menjawab: “Pengampunan, wahai Amirul Mukminin, kami tidak akan mengulanginya lagi untuk selamanya.”
Pengadu domba, harus dibenci, tidak dipercaya dan tidak dibenarkan apa yang diucapkan dan berita yang disampaikan dengan maksud mengadu domba itu. Bagaimana tidak dibenci? Sementara dia tidak mau meninggalkan kedustaan, pergunjingan, pengkhianatan, penipuan, keculasan, kedengkian, kemunafikan dan selalu menebarkan kerusakan di tengahtengah kehidupan masyarakat. Dia adalah orang yang berusaha , memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung dan membuat kerusakan di muka bumi. Firman Allah swt.:
Artinya:
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (OS. Asy Syuraa: 42).
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditakuti oleh orang lain karena kejahatannya.” (Muttafag alaih). Pengadu domba, termasuk di dalamnya.
Nabi saw. juga bersabda:
Artinya:
“Tidak akan masuk surga gaathi’ (pemutus). Ditanyakan: Siapakah qaathi’ itu? Beliau menjawab: orang yang memutuskan hubungan
di antara manusia.” (Muttafag alaih).
Dialah pengadu domba. Namun dalam riwayat lain dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan pemutus tersebut ialah orang yang memutuskan hubungan silaturrahim.
Luqman Hakim berkata kepada anaknya, wahai anakku aku wasiatkan kepadamu, hendaklah kamu memperbaiki hubungan terhadap sesama manusia baik yang dekat maupun yang jauh (yang masih kerabat maupun yang bukan), tahanlah kebodohanmu dari orang yang mulia maupun orang yang tercela, jagalah persaudaraanmu, sambunglah kerabatmu, selamatkan orang lain dari penebar berita pengadu domba yang juga akan menyeret kamu dalam kebinasaan.
|Sebagian ulama berkata, bahwa namimah (adu domba) itu dibangun qtas kedustaan, kedengkian, kemunafikan, semua itu merupakan dasar pagi kehinaan.
Jadi, secara garis besar bahaya adu domba itu sangat besar dan harus dihindari. Hammad bin Salim menceritakan, bahwa konon ada seorang laki-laki menjual budak. Kepada si pembeli, ia berkata: “Budak ini tidak mempunyai cacat kecuali adu domba.” Si pembeli bisa menerimanya (rela) dan membelinya. Selang beberapa hari budak itu berkata kepada istri tuannya: “Sesungguhnya tuanku (suami tuan putri), tidak mencintaimu, dia hendak menjadikan kamu tidak lebih dari seorang gundik. Oleh sebab itu, siapkan gunting dan ambillah beberapa rambut kepala belakang bagian bawah (rambut jitoknya) ketika ia sedang tidur.” Kemudian kepada suaminya ja berkata: “Istri tuan, menjadikan tuan tidak lebih dari seorang teman, sesungguhnya dia hendak membunuh tuan. Untuk mengetahui itu, hendaklah tuan berpura-pura tidur di hadapan istri tuan, maka tuan akan tahu rencana yang hendak diperbuat oleh istri tuan.” Ia pun lalu berpura-pura tidur. Melihat suaminya tidur, sang istri mengambil gunting yang telah dipersiapkan untuk menggunting rambutnya. Tetapi sang suami ketika mengetahui istrinya mendekatinya dengan membawa gunting, dia beranggapan bahwa ternyata memang benar dia hendak membunuhku, maka dia bangkit, meraih gunting yang dipegang sang istri lalu membunuhnya. Tidak lama kemudian datanglah keluarga istri yang telah dibunuh itu, untuk membalas pembunuhan atas wanita itu. Akhirnya perseteruan semakin meluas menjadi perseteruan antara dua kabilah, yaitu antara kabilah istri dan suami tersebut.
Semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita.
Perkataan orang yang berlidah dua dimaksud, yaitu perkatan orang yang memposisikan dirinya di antara dua orang yang sedang bermusuhan. Dia mondar mandir di antara dua orang, kepada masing-masing dari dua orang yang berselisih itu dia mengatakan yang berbeda, di depan si A dia berkata putih, namun di depan si B dia berkata hitam, misalnya. Perbuatan yang demikian itu, pada hakekatnya merupakan kemunafikan. – Ammar bin Yasir berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Barangsiapa yang berwajah dua di dunia, maka pada hari kiamat ia berlidah dua dari neraka.” (HR. Abu Dawud).
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “Akan kamu dapari di antara hamba-hamba Allah yang jahat pada hari kiamat, orang yang bermuka dua, yang mendatangi mereka (satu dari dua kelompok yang bertikai) dengan suatu pembicaraan, lalu kepada kelompok yang lain dengan pembicaraan yang berbeda. Menurut redaksi yang lain: Yang mendatangi satu kelompok dengan satu muka, sementara kepada kelompok lainnya dengan muka yang satunya lagi.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Abu Hurairah ra. berkata: “Orang yang bermuka dua, tidak pantas menjadi orang yang dipercaya di sisi Allah.”
Malik bin Dinar berkata, aku pernah membaca kitab Taurat, aku menjumpai pernyataan: “Amanat itu menjadi rusak (batal), ketika seseorang berbibir dua yang berbeda terhadap temannya. Pada hari kiamat kelak Allah akan membinasakan setiap orang yang berbibir dua yang berbedabeda bicaranya.”
Rasulullah saw. bersabda: “Makhluk (manusia) yang paling dibenci Allah pada hari kiamat ialah para pendusta, orang-orang yang sombong: yang banyak menanamkan kebencian di dada teman-temannya, apabila bertemu muka dengan teman-temannya memperlihatkan kesan lemah lembut, dan mereka yang apabila diserukan kepada jalan Allah dan Rasul-Nya mereka bermalas-malasan, namun ketika diseru menuju jalan syaitan, bersegera dengan penuh semangat.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Jangan ada seseorang di antara kamu yang menjadi imma’ah.” Mereka bertanya: “Apakah imma’ah itu?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Orang yang bersikap menurut arah angin (tidak memiliki pendirian).”
Para ulama sepakat bahwa orang yang menghadapi dua orang dengan muka dua adalah munafik. Adapun tanda-tanda orang munafik itu cukup banyak, di antaranya ialah sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut.
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw. meninggal. Lalu Hudzaifah tidak bershalat jenazah kepadanya. Ketika Umar ra. bertanya kepadanya: “Seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah meninggal, mengapa kamu tidak ikut menyalatkannya?” Hudzaifah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! Karena dia termasuk orang munafik.”
Lalu Umar berkata: “Demi Allah, aku tanyakan kepadamu, kalau begitu apakah aku ini termasuk di antara mereka atau tidak?”
Hudzaifah menjawab: “Semoga, tidak! Tetapi sesudah kamu, tidak ada seorang pun bisa merasa aman daripadanya.”
Jika Anda bertanya: “Dengan sebab apa seseorang berlidah dua dan apa batasan orang yang berlidah dua itu?”
Aku jawab, bahwa apabila seseorang masuk atau melibatkan diri terhadap dua orang yang bermusuhan, sementara dia bertindak sebagai mediator yang memperbaiki antara keduanya, kepada keduanya ia bersikap baik dan benar, maka dia bukanlah orang munafik dan bukan pula orang yang lidah dua.
Tetapi apabila ia memindahkan perkataan setiap orang dari keduanya kepada yang lainnya, perkataan si A dibawa ke B dan berkataan si B di bawa pindah ke A, maka dia termasuk orang yang lidah dua. Orang semacam ini lebih buruk daripada adu domba, karena dia berarti sebagai pengadu domba. Begitu pula bila bersikap sepihak, hanya memindahkan salah satunya pada yang lainnya. Demikian pula bila ia berjanji menolong, atau memuji salah satunya.
Ada yang berkata kepada Ibnu Umar ra.: “Kami pernah menghadap kepada penguasa, lalu kami mengatakan mengenai sesuatu. Dan ketika keluar kami mengatakan yang lainnya.” Ibnu Umar berkata: “Kami memasukkan hal demikian sebagai bentuk kemunafikan, pada zaman Rasulullah saw.”
Hal tersebut merupakan bentuk kemunafikan. Ketika ia memiliki hajat, ia menghadap penguasa dan memuji-mujinya. Dan ketika ia tidak butuh, ia tidak menghadap pada penguasa. Atau ia memuji-muji karena ketakutannya kepada penguasa, atau karena menginginkan kedudukan, maka dia adalah munafik.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Cinta harta dan kedudukan akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air yang menyebabkan tumbuhnya tumbuhtumbuhan.” (HR. Ad Dailami). Tetapi ketika dalam kondisi darurat, yang mengharuskan memuji penguasa, sebab jika tidak keselamatnnya terancam, misalnya, maka dalam kondisi terpaksa semacam itu tidaklah mengapa (diperbolehkan). Abu Darda” berkata: “Secara lahiriah aku pernah menampakkan kesukaanku pada suatu kaum, sementara hatiku mengutuk mereka. “
Aisyah ra. berkata: “Pernah ada seseorang meminta izin menghadap kepada Rasulullah saw. dan beliau meminta aku agar mengizinkannya masuk. Padahal dia adalah seburuk-buruk manusia. ketika ia masuk, Rasulullah menyambutnya dengan lemah lembut. Ketika orang itu keluar aku bertanya: “Bukankah engkau berkata sebagaimana yang aku katakan tentang orang tersebut (orang yang paling jahat). Tetapi kenapa engkau menghadapinya dengan lemah lembut?”
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Wahai Aisyah, sejahat-jahat manusia adalah orang yang ditakuti karena keburukannya.” (Muttafag aliah).
Tetapi hal itu, hendaklah hanya dilakukan sebatas pada penampakan lahiriah saja, yang terlihat tersenyum ketika menghadapinya. Namun bila sampai keluar dalam bentuk ucapan dengan memujinya, maka itu sudah merupakan sebuah bentuk kebohongan. Sedangkan berdusta itu tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan terpaksa, atau karena ada unsur pemaksaan, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pasal bahaya berdusta.
Sedangkan melakukan pujian, pembenaran dan gerakan kepala (manggut-mangut) yang terkesan memberikan pembenaran kepada kebatilan, maka yang demikian itu tidak boleh. Orang yang melakukannya adalah orang munafik. Karena setiap kebatilan harus diingkari, jika tidak mampu maka hendaklah bersikap diam, sementara hatinya mengingkarinya.
Dalam hal-hal tertentu memuji itu dilarang. Sementara mencela juga termasuk perbuatan tercela, karena termasuk menggunjing (ghibah), sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Sanjungan atau pujian mengandung enam bahaya, empat bagi orang yang memuji dan dua bagi orang yang dipuji. Adapun bahaya bagi orang yang memuji itu, ialah:
- Pujian yang berlebihan akan sampai pada perbuatan dusta. Khalid bin Ma’ dan berkata: “Barangsiapa yang memuji pimpinan atau seseorang dengan pujian yang sesungguhnya ada padanya, di hadapan orang-orang yang menyaksikan pujiannya, maka ia akan dibangkitkan oleh Allah, pada hari kiamat dengan lidah tergelincir.”
- Pujian yang tidak terkontrol akan kemasukan unsur riya’ , karena dengan pujian itu ja maksudkan untuk melahirkan kecintaan terhadap orang yang dipuji. Padahal sesungguhnya ia tidak menyimpan kecintaan bahkan ia tidak yakin dengan pujian yang diucapkannya itu. Dengan demikian ia menjadi orang yang riya’ dan munafik.
- Bisa jadi orang yang memuji itu, mengatakan dalam pujiannya sesuatu yang tidak nyata dan tidak bisa dibuktikan. Pernah ada seseorang memuji orang lain di hadapan Nabi saw. lalu beliau menegur dengan sabdanya:
Artinya: “Celaka, kamu telah memotong leher saudaramu.” Beliau mengatakannya berkali-kali. Jika seseorang di antara kamu tidak bisa tidak memuji, maka hendaklah ia mengatakan: “Menurut padangan saya ia memang begini dan begini.’ Jika ia memang mengetahui orang yang dipuji itu memang seperti yang diucapkan dalam pujiannya itu. Tetapi penilaian yang sebenarnya hanya Allah yang tahu. Aku tidak memastikan akan kesuciannya, karena hanya Allah yang Mengetahuinya.” (HR. Bukhari).
Bahaya-bahaya itu bisa terjadi mengenai orang yang dipuji, karena pujian itu berupa sifat-sifat yang mutlak yang hanya bisa diketahui dengan – dalil. Seperti perkataan Anda: “Dia orang yang bertakwa, orang yang wara’, zuhud, orang yang baik dan lain sebagainya yang semakna. – : Lain halnya dengan ketika Anda berkata: “Aku mengetahui ia shalat malam, bersedekah dan menunaikan haji.” maka bentuk pujian yang terakhir ini dapat dilihat secara nyata dan meyakinkan. Sedangkan perkataan Anda, misalnya: “Ia orang yang adil dan ridha (nerimman).” Maka tidak seyogyanya memuji demikian, karena hal ini merupakan perkara yang samar dan tersembunyi. Kecuali setelah melakukan pengamatan secara mendalam. Umar ra. pernah mendengar seseorang memuji orang lain. Lalu ia bertanya kepadanya: “Apakah kamu pernah bepergian bersama dia?” Orang yang memuji itu menjawab: “Tidak.” Umar bertanya lagi: “Apakah kamu pernah bergaul dengannya, dalam bentuk usaha bersama, jual beli, misalnya?” Dia menjawab: “Tidak.” Umar bertanya lagi: “Apakah kamu berdekatan dengannya, yang bertemu pagi dan sore?” Dia menjawab: “Tidak.” Selanjutnya Umar berkata: “Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, jika demikian, menurut hemat saya, bererti kamu tidak mengenal dia.”
- Pujian itu bisa jadi menyenangkan hati orang yang dipuji, padahal ia adalah orang yang zalim dan fasik. Maka yang demikian itu tidak diperbolehkan. Nabi saw. bersabda:
5 Artinya: “Sungguh Allah, murka jika orang yang fasik itu dipuji.” (HR. Baihagi).
Hasan Basri berkata: “Barangsiapa mendo’akan orang zalim agar dipanjangkan umurnya, maka ia benar-benar menyukai orang zalim itu durhaka kepada Allah di muka bumi-Nya.”
Orang zalim yang fasik, hendaknya di cela agar ia bersedih hati, dan janganlah dipuji, karena ia akan merasa senang dengan kezalimannya, bila ia dipuji.
Sedangkan bahaya pujian bagi orang yang dipuji itu ada dua macam, yaitu:
Pertama: Bahaya pujian bagi orang yang dipuji ialah akan bisa menimbulkan rasa sombong dan berbangga karena mendapatkan pujian. Kedua sifat ini, sangat potensial untuk membinasakannya.
Hasan Basri berkata, bahwa pernah suatu ketika Umar ra. duduk-duduk bersama sekelompok orang tiba-tiba Jarud bin Mundzair datang. Lalu seseorang berkata: “Dia ini adalah kepala suku Rabi ah. Perkataan tersebut di dengar oleh Umar dan orang-orang yang ada di situ. Bahkan Al Jarud pun mendengarnya. Jarud saat itu berada di dekat Umar. Maka Umar mencambuk tubuh Jarud. Karena merasa heran dengan apa yang dilakukan Umar padanya, Jarud bertanya: “Sebenarnya apa yang terjadi antara aku dan dirimu, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “Aku khawatir pujian itu membuat dirimu berbesar hati, dan merasa bangga, dan aku tidak ingin hal itu terjadi padamu.”
Kedua: Apabila seseorang dipuji kebaikannya, bisajadi ia merasa senang. Lalu ia menjadi lemah dalam mengabdi kepada Allah. Karena barangsiapa yang membanggakan dirinya karena ketaatannya, maka ia akan teledor dalam beribadah. Ia rajin beramal hanya disebabkan oleh riya” atau keinginan untuk dipuji orang. Apabila orang-orang telah mengucapkan pujian kepada seseorang, maka ia mengira bahwa orang dirinya telah mencapai pada kedudukan yang tinggi. Sehingga pujian itu menjadi membahayakan bagi orang yang dipuji. Karena itu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Kamu telah memotong leher temanmu, seandainya ia mendengarnya, tentu ia menjadi tak beruntung.”
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
“Apabila kamu memuji temanmu di hadapannya, maka seakan kamu menggorokkan pisau pencukur yang tajam pada urat lehernya. (HR. Ibnu Mubarak).
Diterangkan pula bahwa ada seseorang memuji orang lain, lalu Rasulullah saw. menegurnya: “Kamu telah menyembelih seseorang (yang kamu puji), kiranya Allah juga menyembelih kamu.”
Muthrif berkata: “Setiap pujian dan sanjungan yang aku dengar, membuat aku justru semakin kecil.”
Ziyad bin Abi Muslim berkata: “Tidak ada seorang pun yang mendengar pujian ditujukan kepadanya, melainkan syaitan mempengaruhinya supaya bangga dan sombong. Tetapi bagi orang mukmin pujian itu dijadikan sebagai koreksi diri.”
Ibnu Mubarak berkata: “Kedua pernyataan tersebut benar, apa yang dinyatakan Ziyad itu berkaitan dengan hati orang awam, sedangkan apa yang dikatakan oleh Muthrif tersebut, berkaitan dengan hati orang khosh. Nabi saw. bersabda: “Seandainya seseorang berjalan menghadang di depan orang lain dengan mengacungkan pisau tajam padanya, maka itu | lebih baik baginya daripada ia mendapatkan pujian di depan hidungnya.”
Umar ra. berkata: “Pujian itu ibarat penyembelihan, karena penyembelihan itu membuat orang yang disembelih menjadi lemah tak berdaya. Sedangkan pujian itu, membuat orang yang dipuji menjadi merasa bangga dan sombong. Kedua hal tersebut sangat potensial membinasakan, karenanya, pujian diserupakan dengan penyembelihan. Ketika pujian itu dipandang tidak membahayakan terhadap yang memuji dan yang dipuji, maka tidak dilarang, bahkan bisa jadi sunnah. Karena Rasulullah saw. pernah memuji sahabat, seperti sabda beliau:
Artinya:
“Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dengan iman manusia di alam ini, tentu iman Abu Bakar lebih unggul (lebih berbobot).”
Nabi saw. juga bersabda, memuji Umar:
Artinya: “Seandainya aku tidak diutus, tentu kamu diutus, wahai Umar.” (HR. Ad Dailami).
Mana ada pujian yang melebihi pujian ini. Tetapi Rasulullah melakukan pujian dengan benar dan penglihatan mata hatinya. Kedudukan para sahabat lebih tinggi daripada sekadar sombong berbangga karena pujian. Sedangkan pujian terhadap diri sendiri merupakan perbuatan yang buruk. Karena pujian itu, tidak bisa terlepas dari kebanggaan dan kesombongan diri sendiri.
Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Aku adalah pemimpin anak Adam, dan aku tidak sombong.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Artinya, aku (Nabi saw.) berkata demikian bukan untuk menyobongkan diri, sebagaimana yang menjadi maksud manusia yang memuji dirinya sendiri. Karena kebanggaan Rasulullah saw. adalah karena Allah dan karena kedekatannya kepada-Nya. Bukan karena manusia dan tidak pula karena merasa lebih unggul dari mereka. Sebagaimana halnya orang yang diterima di sisi raja dengan penerimaan yang agung. Ia merasa bangga dengan penerimaan raja kepadanya dan karenanya ia merasa senang, bukan karena merasa lebih mulia dan lebih unggul daripada sebagian rakyat yang lain. Dengan uraian mengenai bahaya-bahaya memuji secara terperinci, kiranya dapat diketahui antara pujian yang tercela dan pujian yang memang dianjurkan. Ketika Rasulullah saw. mendengar orang-orang memuji kebaikan mayit, beliau bersabda: “Wajib masuk surga.
Sebagaimana hadis riwayat Muslim berikut: .
Artinya:
“Dari Anas bin Malik, ia berkata, pernah ketika ada jenazah diusung, lalu ia dipuji dengan pujian yang baik, Nabi Allah saw. bersabda: “Wajib, wajib, wajib.” Sementara pada saat yang lain diusung pula jenazah, dan mendapat pujian yang buruk. Lalu Nabi saw. bersabda: “Wajib, wajib, wajib.” Umar bertanya: “Demi ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu ya Rasul, ketika ada jenazah diusung, lalu ia dipuji dengan pujian yang baik, engkau bersabda: “Wajib, wajib, wajib.” Sementara pada saat yang lain diusung pula jenazah, dan mendapat pujian yang buruk. Lalu engkau juga bersabda: “Wajib, wajib, wajib.’ (Apa maksudnya?) Nabi saw. bersabda: “Jenazah yang kalian puji dengan pujian yang baik, maka wajib baginya surga. Sedangkan jenazah yang kalian puji dengan pujian yang buruk, maka wajib baginya neraka. Kalian adalah menjadi saksi Allah di muka bumi: Kalian adalah menjadi saksi Allah di muka bumi: Kalian adalah menjadi saksi Allah di muka bumi. ‘” (HR. Muslim).
Mujahid berkata: “Sesungguhnya manusia itu mempunyai teman duduk berupa malaikat. Ketika seorang muslim menyebut saudaranya sesama muslim dengan baik, maka malaikat itu berkata: “Bagaimu seperti dia.” Dan katika ia menyebut kejelekan saudara sesama muslinya itu, maka malaikat juga berkata: “Hai anak Adam yang ditutupi kejelekannya, tahanlah dirimu (jangan membuka aibnya), pujilah Allah yang telah menutupi aibmu.” Demikianlah bahaya-bahaya memuji.
SEHARUSNYA ORANG YANG DIPUJI BERSIKAP
Ketahuilah, sesungguhnya orang yang dipuji harus dapat menjaga hati dari bahaya sombong, membanggakan diri dan bahayanya hilang semangat dalam mengabdi kepada Allah. Seseorang yang menerima pujian tidak akan selamat dari bahaya-bahaya pujian, seperti sombong, ujub, dan lain sebagainya, kecuali bila ia menyadari akan keadaan dirinya, merenungkan apa yang bekal terjadi pada akhir hidupnya, memahami hakekat riya’ serta berbagai penyakit dan bahaya-bahaya yang mengancam pahala amal. Karena dialah yang mengatahui keadaan dirinya yang sebenarnya, yang tidak diketahui oleh orang yang memujinya.
Seandainya saja keburukan dan aibnya terbuka, tentu pemuji itu akan menahan pujian terhadap dirinya. Oleh sebab itu, hendaklah orang yang dipuji memperlihatkan kesan kalau dirinya sebenarnya tidak suka dipuji.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Apabila kalian melihat orang-orang yang memuji, maka taburkanlah debu pada wajah mereka.” (HR. Ahmad). Sufyan bin Uyainah berkata: “Pujian tidak akan membahayakan bagi orang yang dipuji, jika ia menyadari siapa dirinya yang sebenarnya. Dan aku pernah memuji orang yang saleh. Ketika ia mendengar pujianku, ia berkata:
Artinya:
“Ya Allah sesungguhrya mereka tidak mengetahui aku yang sebenarnya, Engkau-lah yang mengetahui keadaanku yang sebenarnya.” Ng Sementara yang lain, ketika mendapatkan pujian ada yang berkata:
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini (orang yang memuiji) mendekatiku dengan murka-Mu, dan aku bersaksi pada-Mu atas kemurkaannya.” Sedangkan Ali ra. ketika mendapatkan pujian ia berkata:
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang tidak mereka ketahui, janganlah Engkau menyiksa aku, sebab apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga.” Pernah suatu ketika sorang laki-laki memuji Umar ra., lalu Umar berkata: “Apakah kamu ingin membinasakan aku dan membinasakan dirimu sendiri.”
Pernah juga seseorang memuji Ali ra. secara berlebihan, lalu Ali berkata: “Pujianmu berlebih-lebihan, aku tidak demikian, aku masih di bawah apa yang kamu katakan, namun lebih di atas dari apa yang ada pada dirimu.”
Lalai dari kesalahan halus yang tersembunyi dalam perkataan. Apalagi perkataan yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya serta yang berkaitan dengan perkara-perkara agama. Dan pada umumnya manusia melalaikan kesalahan semacam ini, sehingga menjadi sangat berbahaya baginya.
Tiada yang mampu meluruskan kesalahan kata yang berkaitan dengan urusan agama kecuali para ulama yang fasih (ahli bahasa). Barangsiapa yang dangkal ilmu dan fashahahnya, niscaya perkatannya tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan, tetapi Allah Azza wa Jalla mengampuninya karena ketidak tahuannya.
Sebagai contoh, seperti apa yang dikatakan oleh Khudzaifah, dari Nabi saw. bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu sekalian berkata: “Apa yang Allah kehendak dan yang Fulan kehendaki. Tetepi hendaklah ia berkata: “Apa yang Allah kehendaki, kemudian si Fulan menghendaki.” (HR. Abu Dawud).
Dan sabda Nabi saw.
Artinya:
“Janganlah seseorang dari kalian berkata: “Apa yang Allah kehendaki dan yang kamu kehendaki. ‘ Tetapi katakan: “Apa yang Allah kehendaki, kemudian kamu menghendaki.” (HR. Bukhari).
Hal ini, karena di dalam athaf muthlag (huruf wawau) terkandung makna penyekutuan dan penyamaan atau kesetaraan.
Ibnu Abbas ra. berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. untuk membicarakan permasalahannya, lalu laki-laki itu berkata: “Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Apakah kamu jadikan aku sebanding dengan Allah? Padahal Allah menghendaki sesuatu sendirian (dengan keesaan-Nya).” (HR. Ahmad).
Seorang laki-laki pernah berkhutbah di sisi Nabi saw. dalam khutbahnya itu ia berkata:
Artinya:
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia orang yang mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang durhaka kepada keduanya, sungguh dia orang yang tersesat.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Seburuk-buruk khatib adalah kamu. Katakan: Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia orang yang tersesat.” (HR. Muslim).
Rasulullah saw. tidak suka dengan penggunaan bahasa khatib tersebut, yaitu “waman ya’shihimaa.” Karena hal itu menimbulkan pengertian yang mengesankan adanya kesetaraan antara keduanya (Allah dan Rasul-Nya). Ibrahim tidak menyukai susunan bahasa seseorang yang berkata:
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dan padamu…” Tetapi, bolehlah ia berkata:
Artinya:
“Aku berlindung kepada Allah, kemudian padamu…”
Dan bolehlah seseorang berkata: “Seandainya Allah, kemudian si Fulan.” Jangan berkata: “Seandainya Allah dan si Fulan.” Sebagian ulama tidak suka dengan susunan bahasa do’a:
Artinya:
“Ya Allah, merdekakanlah (bebaskanlah) kami dari neraka.” Karena istilah memerdekakan atau membebaskan, berarti telah benarbenar terjadi, baru kemudian dimerdekakan atau dibebaskan.
Ibnu Abbas berkata: “Seandainya seseorang berkata kepada anjingnya: “Kalau saja tidak ada anjing ini, tentu semalam aku kecurian,” maka dia menjadi musyrik.”
Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut bapak-bapak kamu. Barangsiapa yang bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah, atau sebaiknya diam.” (Muttafag alaih).
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu mengucapkan: ‘abdii (hambaku), dan amatii (hamba perempuanku). Karena kamu sekalian adalah hamba-hamba Allah dan wanita-wanita kamu itu adalah amat-amat Allah. Tetapi hendaklah ia berkata: Ghulamii (budakku), Jaariyatii (budak perempuanku), Fataayaa (anak mudaku) atau faraarii (pemudiku). Dan janganlah seorang budak berkata: Rabbii (tuan yang menguasaiku) dan Rabbatii (tuan wanita yang menguasaiku), tetapi hendaklah ia berkata: Sayyidii (tuanku laki-laki): Sayyidarii (tuanku perempuan). Karena kamu adalah hamba-hamba Allah, sedangkan kata ar-Rabbu adalah Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.”
Dan Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu berkata (memanggil) orang yang fasik dengan sebutan “tuan” kami, sesungguhnya jika ia tuan kamu, maka sungguh kamu telah membuat murka Tuhanmu.” (HR. Abu Dawud).
Demikianlah beberapa contoh kesalahan yang sering kali terselip dalam perkataan, dan masih banyak sekali kesalahan senada yang sering terjadi dan kebanyakan tak disadari oleh pengucapnya. Barang siapa yang mau merenungkan penjelasan yang telah kami kemukakan, mengenai bahaya-bahaya lisan, maka ia menjadi tahu, bahwa ketika ia melepaskan lidahnya, nyaris tidak akan selamat dari bahaya-bahaya tersebut. Sehingga dengan “ demikian, ia tahu akan rahasia yang terkandung dalam sabda Nabi saw.
Artinya:
“Siapa yang diam, tentu dia selamat.” (HR. Tirmidzi).
Oleh sebab itu, jika kamu tidak mampu menjadi orang yang berkata, lalu beruntung, maka jadilah kamu orang yang diam, lalu selamat.
Bahaya lisan yang kedua puluh ialah banyaknya pertanyaan orang awam berkenaan Zat dan Sifat-sifat Allah, juga mengenai kalam Allah (Al Qur an), apakah ia kalam gadim atau kalam hadis? Karena hak orang awam adalah mengkonsentrasikan pada amal, mengamaikan apa yang terkandung dalam Al Quran.
Orang awam memang suka terlibat pembicaraan kosong dalam persoalan keilmuan. Karena syetan telah meracuninya, dengan bisikannya: “Kamu adalah ulama, orang yang mul:a, maka sudah seharusnya kamu juga membicarakannya. Sehingga ia pun membicarakan sesuatu dalam bidang ilmu, yang justru membuatnya kufur, sementara dia tidak menyadarinya.
Setiap dosa besar yang dilakukan oleh orang awam, lebih selamat baginya daripada berbicara tentang ilmu, terutama yang terkait dengan Zat dan Sifat-sifat Allah Ta’ala.
Sebenarnya keberadaan orang awam itu, seharusnya hanyalah menyibukkan diri dengan urusan ibadah dan percaya terhadap apa yang dikandung Al Qur an. Menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah, tanpa pembahasan. Pertanyaan mereka berkenaan dengan persoalan yang selain berhubungan dengan ibadah adalah sebuah sikap yang tidak baik (su-ul adab). Bahkan di antara mereka sampai ada yang berhak mendapatkan murkan Allah swt. karena pertanyaannya sampai pada tataran persoalan yang sangat berbahaya, yaitu kekufuran.
Setiap orang yang bertanya tentang rahasia suatu ilmu yang dalam, yang di luar jangkauan kapasitas pemahamannya, maka ia tercela, terlebih oleh orang awam.
Oleh sebab itu Rasulullah saw. bersabda:
Arrtinya:
“Tinggalkan (biarkan) apa yang aku tinggalkan (wariskan) kepadamu. Sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kamu adalah karena kebanyakan pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para nabi. Apa yang aku cegah padamu, maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah semampumu.” (HR. Ahmad).
Diriwayatkan dari Anas bahwa pernah suatu hari manusia banyak bertanya kepada Rasulullah saw. hingga membuat beliau marah, lalu naik mimbar dan bersabda:
Artinya:
“Mereka telah banyak bertanya kepadaku, janganlah kamu sekalian bertanya kepadaku tentang sesuatu, tentu aku akan memberitakan (menjawab)nya.” Seorang laki-laki berdiri, lalu bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah bapakku?” Beliau menjawab: “Bapakmu adalah Khudzafah.” Lalu dua orang pemuda bersaudara berdiri dan bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah bapak kami berdua?” Beliau menjawab: bapak kamu berdua adalah orang yang kamu berdua memanggilnya.” Selanjutnya, seorang laki-laki berdiri dan bertanya: “Ya Rasulullah, apakah aku nanti di surga ataukah di neraka?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi kamu di neraka.” Ketika orang-orang mengetahui bahwa Rasulullah saw. marah, mereka semua diam, menahan diri. Lalu Umar berdiri seraya berkata: “Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad saw. sebagai seorang Nabi.” Beliau lalu bersabda: “Duduklah, wahai Umar, semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.” (Muttafag alaih). Dalam hadis lain diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Arinya:
“Rasulullah saw. melarang giil gaal (bicara ngalor ngidul tak karuan): menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” (Muttafag alih). Menurut riwayat Bukhari:
Artinya: “Hampir semua manusia pada bertanya, hingga mereka berkata, bahwa Allah telah menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah? Apabila mereka bertanya begitu, maka jawablah: Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Kemudian, hendaklah seseorang dari kamu memercikkan ludah ke arah kiri tiga kali dan hendaklah ia mohon perlindungan kepada Allah dari godan syetan yang terkutuk.” (Muttafag alaih).
Artinya:
Sebagai penekanan agar tidak banyak bertanya, sebelum tiba saatnya yang tepat untuk bertanya, dapat pula disimak kisah antara Musa dan Khidhir, sebagaimana yang dikisahkan dalam ayat berikut:
Artinya: | “Sesungguhnya Allah membenci kamu terhadap tiga hal yaitu qiil qaal, . menyia-nyiakan harta: dan banyak bertanya.” (HR. Bukhari).
Dan Nabi saw. bersabda:
Artinya: “Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu ‘ menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”. (OS. Al Kahfi: 70).
Maka ketika Musa bertanya tentang perahu (kapal), Khidhir tidak menyukai pertanyaan yang diajukan Musa, hingga Musa minta maaf. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:
Artinya: “Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku ”. (OS. Al Kahfi: 73).
Ketika Musa tidak dapat menahan untuk tidak bertanya kepada Khidhir sampai yang ke tiga kalinya. Maka Khidhir secara tegas menyatakan perpisahannya dengan Musa. Firman Allah swt.:
Artinya: “Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (OS. Al Kahfi: 78).
Pertanyaan-pertanyaan orang-orang awam mengenai hal-hal yang rumit, dalam dan samar, dalam persoalan keagamaan merupakan bahaya besar dan akan menimbuikan terjadinya fitnah. Oleh sebab itu mereka harus menghindarinya. Misalnya, pertanyaan mengenai difinisi Al Qur an dan huruf-hurufnya, apakah kalam gadim atau kalam hadis, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengan Zat Allah swt.