Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

Puji syukur kepada Allah yang telah menurunkan (wahyu) Hikmah kepada hati logoi (al-Kalom) dengan cara yang unik dan langsung dari Maqam Keabadian, meskipun pelbagai sekte dan komunitas dapat muncul ke permukaan lantaran keenekaragaman bangsa. Semoga Allah memberkati dan melindungi Muhammad, sosok yang memberikan aspirasi dari khazanah kurnia dan kemuliaan, beserta keluarganya.

 

Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharam 627, di kota Damaskus. Dia memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku: “Ini adalah kitab Fusus al-Hikam; ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka bisa mengambil manfaat darinya.” Aku menjawab, “Segenap ketundukan selayaknya dipersembahkan ke hadirat Allah dan rasulNya; ketundukan ini seharusnya dilaksanakan sebagaimana kita diperintakan.” Oleh karena itu, aku melaksanakan keinginanku, memurnikan niat, dan mencurahkan maksudku untuk menerbitkan kitab ini, seperti diperintahkan sang Rasul, tidak ada tambahan ataupun pengurangan di dalamnya. Aku memohon kepada sah agar dalam persoalan ini dan dalam semua kondisi, akan memasukkanku di antara para hamba-Nya, yang kepada mereka, Setan tidak mempunyai kuasa. Juga bahwa, dalam semua yang aku tulis, semua yang diucapkan lidah, dan semua yang disampaikan hati, Dia akan mengutamakan aku, dengan penurunan tahta dan ilham spiritual-Nya ke dalam pikiranku dan dukungan perlindungan-Nya, agar aku bisa menjadi penyampai, dan bukan seorang penulis. Sehingga, kaum khalayak yang membacanya yakin bahwa ia berasal dart hadirat Kesucian, dan bahwa ia sungguh-sungguh bebas dari semua tujuan jiwa yang rendah, yang rentan terhadap tipu daya. Aku berharap bahwa Realitas, yang mendengar permohonanku, akan memperhaukan panggilanku. Sebab, aku tidak  mengemukakan sesuatu pun di sini, kecuali apa yang telah ditetapkan kepadaku. Aku tidak menulis buku ini melainkan ia disampaikan langsung kepadaku. Aku bukan seorang nabi atau rasul, tetapi semata-mata seorang pewaris yang bersiap-siap menghadapi Akhirat. Inilah dari Allah, maka dengarkanlah! Dan kepada Allah-lah kamu kembali! Ketika kamu mendengar apa Yang aku sampaikan, dengarkanlah! Maka dengan pemahaman, lihatlah rincian secara menyeluruh Dan juga, lihatlah kesemua itu sebagai bagian dari keseluruhan. Lalu, berikanlah ini pada orang-orang Yang mencarinya, dan jangan lupa. Inilah rahmat yang Melimpah pada kamu, maka sebarkanlah!

 

Kepada Tuhan-lah aku berharap sebagai seorang yang diberi dan menerima pertolongan, seorang yang terikat dengan Syariah murni Muhammad, yang menerima untuk diikat dan dengannya mengikat. Semoga Dia mengumpulkan kita dengan-Nya, sebagatmana Dia menjadikan kita sebagai umat-Nya.

                                                                                                                   

Bab ini, sebagaimana disugesti judulnya, sebagian besar berkaitan dengan hubungan antara Adam—yang di sini melambangkan arketip kemanusiaan—dan Allah. Lebih khusus, bab ini berkaitan dengan fungsi Adam dalam proses kreatif, sebagai prinsip keagenan, transmisi, refleksi, dan bahkan sebagai alasan bagi penciptaan Kosmos. Bab ini juga membahas hakikat malaikat, dan hubungan antara pelbagai pasangan konsep-konsep yang penting bagi pemahaman proses kreatif, seperti universal-individual, pastkontingen, pertama-terakhir, luar-dalam, cahaya-kegelapan, dan persetujuan-kemarahan.

Namun, Ibn ‘Arabi membuka bab ini dengan persoalan Nama-nama ilahi dan hubungannya dengan Esensi ilahi. Dengan istilah “Nama-nama” (Asma’), dia menempatkan Nama Allah sebagai Nama tertinggi. Pada hakikatnya, Nama-nama ini berperan untuk menggambarkan modalitas yang tidak terbatas dan kompleks dari polaritas Allah-Kosmos. Nama tertinggi, sebagai wujud Allah itu sendiri, jelas menggambarkan seluruh dan hakikat universal dari hubungan im, sementatra Kosmos pada hakikatnya tidak riil dan sepenulnya bergantung, Dengan istilah “Esensy” (Zat), dia memaknai wujud ilahi dalam Diri-Nya, yang bebas dart polaritas atau hubungan apa pun dengan sebuah kosmos. Istilah il seharusnya tidak dirancukan dengan “Realitas”, yang agaknya Menunjukkan bahwa Wujud primordial dan Persepsi abadi menyatukan polaritas dan nonpolaritas. Jadi, Nama-nama, termasuk Nama tertinggi, mempunyai relevansi atau makna hanya dalam konteks polaritas Keilahian-Kosmos, dan Adam dengan tepat metepresentasikan prinsip ini, yang sekaligus memerantarai dan menetapkan keseluruhan pengalaman polatitas itu. Wujud yang terlepas dari hubungan vital ini, pada seluruh kejadian kesadaranDini ilahi, tidaklah mungkin.

Selanjutnya, Ibn ‘Arabi melukiskan fungsi Adam dengan salah satu citra favoritnya, yaitu cermin, di mana dia berusaha menjelaskan rahasia dari “refleksi terhadap realitas dalam cermin ilusi.” Dalam citra yang halus ini, terdapat dua unsur: cermin itu sendiri dan subjek yang mengamati, yang melihat gambarnya sendiri terefleksikan dalam cermin sebagai objek. Adam, sebagai faktor penghubung dalam proses refleksi dan pengakuan terhadap refleksi, adalah wakil dari cermin dan subjek pengamat. Cermin itu sendiri    adalah sebagai sebuah simbol reseptivitas dan refleksivitas alam kosmik, serta subjek pengamat sebagai Allah itu sendiri. Jadi, Adam digambarkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai “prinsip refleksi” dan “ruh dari bentuk yang direfleksikan.” Namun, Ibn ‘Arabi tidak memikirkan tentang cermin khusus yang dilapisi kaca di masa kita sekarang, melainkan tentang logam yang digosok sangat halus sebagaimana yang dikenal di masanya. Cermin semacam ini lebih berfungsi untuk mengilustrasikan masalah-masalah metafisik yang dia bahas. Pada mulanya, cermin-cermin semacam ini tetap digosok untuk mempertahankan kualitas reflekufnya, dan selanjutnya, membutuhkan keterampilan tinggi dari tukang untuk menyempurnakan permukaannya yang rata. Karena itu, dengan sebuah cermin semacam ini, selalu ada kemungkinan pemburukannya, dan selanjutnya, membutuhkan keterampilan tinggi dari tukang untuk menyempurnakan permukaannya yang rata. Karena itu, dengan sebuah cermin semacam ini, selalu ada kemungkinan pemburukan permukaan dan distorst. Jadi, sepanjang cermin digosok dan digatakan dengan sempurna, subjck pengamat mungkin melihat bentuk citra dirinya sendiri secara sempurna yang tercermin pada permukaannya, di mana kelainan cermin itu sendiri diredukst pada yang terkecil dalam kesadarannya yang diteliti, atau bahkan dihilangkan secara sempurna. Namun, sampai batas tertentu, bahwa cermin mencerminkan sebuah citra yang pudar atau terdistorsi, ia memanifestasikan kelainannya dan mengurangi identitas citra dan subjek. Memang, citra yang terdistorsi dan tidak sempurna menunjukkan sesuatu yang asing pada subjeknya, yang kemudian berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan cermin itu, sehingga dia bisa mencapai sebuah kesadaran-diri yang lebih sempurna. Jadi, di dalam cermin, kita mempunyai sebuah simbol yang sangat tepat dari polaritas ilahi-kosmik. Di satu sisi, hubungan alam kosmik yang ekstrem terancam untuk menyerap dan mengasimilasikan subjeknya ke dalam ketidakterbatasan dan kompleksitas dari dorongan kreatifnya. Sementara, di sisi lain, Subjek ilahi tampak melenyapkan Alam dalam penegasan kembali identitas, masing-masing menjadi sesuatu yang lain dan sekaligus bukan pula yang lain.

 

Oleh karena itu, Adam, sebagai arketip kemanusiaan, berada dalam hakikat esensialnya sekaligus medium penglihatan dengan mana subjek pengamat melihat citra kosmik-Nya, atau refleksi dan medium refleksi dengan mana kosmik “lain” kembali pada dirinya sendin. Karena itu, sebagai medium, Adam-lah yang merupakan prinsip hubungan polar, dan yang, sebagaimana adanya, mengenal Nama-nama Allah, di mana dia diperintahkan dalam Al-qur’an untuk mengajarkannya kepada para malaikat.

Subjek tentang keadaan malaikat selalu menjadi sesuatu yang problematis dalam teologi. Bagi Ibn ‘Arabi, malaikat tampak menjadi partkularisasi dant kekuasaan ilahi, apakah ia kreatif ataukah tekreatif, wujud-wujud yang di satu sisi dekat dengan kehadiran ilahi namun di sisi lain tidak mempunyai kesamaan aktualitas fisik dan formal dari penciptaan kosmik. Jadi, mereka adalah murni wujud spiritual, sangat tidak sama dengan wujud Adam bipolar dan sintetik yang dia sendin, dari semua penciptaan, mempunyai kesamaan dengan kesadaran-diri dar Realitas. Lagi pula, penciptaan binatang, sebagai partikularisasi dari kehidupan kosmik murnt, terletak di luar pengalaman sintetik unik dari keadaan manusia.

 

Citra lain yang digunakan Ibn ‘Arabi dalam bab ini, dan Icbih tepat lagi Khususnya dalam karya ini, adalah cincin-tanda. Dalam citra ini, manusia dipandang sebagai tanda yang menyegel dan melndungi rumah kosmik kepunyaan Allah dan dicap dengan stemmpel Pemiliknya. Jadi, Adam, sebagai manusia, adalah lilin penerima yang menanggung citra dari Nama Allah Yang Maha Meliputi dan Mahatinggi, keputusan di mana capnya berarti akhir dari semua kejadian kosmik.

 

Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, sementara umumnya ditegaskan ketinggian abadi dari kutub kognitif dan volitif, Ibn ‘Arabi selalu merujuk pada ketergantungan mendasar dari pengalaman polar, dengan mempertahankan konsep fundamental tentang Kesatuan Wujud (Wahdah al-Wujud). Jadi, sebagaimana dia jelaskan di sini, isulah “‘asal-usul’’ tidaklah bermakna tanpa mengasumsikan eksistensi dari sesuatu yang “‘diasal’’, dan demikian  juga dengan semua konsep polar, termasuk istilah “‘Allah”? dan “Tuhan’’, yang hanya bermakna jika istilah-istilah yang sesuai “penyernbah” dan “btidak ” ditunjukkan secara tidak langsung.

 

Dengan mempertahankan premis dasar Ibn ‘Arabi ini, tidak mengejutkan jika gagasannya tentang Iblis atau Setan agak berbeda dengan teologi umum. Bahkan, dia melihat prinsip diabolik ini dengan dua cara atau prinsip. Pertama, prinsip yang menentang dorongan pengejawantahan-diri untuk menciptakan objek lain dari dirinya dan menegaskan ruh murni dan transenden, sebagai alasan untuk penolakan Setan dalam mengabaikan perintah Allah untuk bersujud di hadapan Adam, dari kecemburuan karena bersatunya ruh murni. Kedua, juga prinsip yang menegaskan realitas terpisah dari kehidupan dan substansi kosmik serta yang menyangkal semua keutamaan dari Ruh. Dengan kata lain, prinsiplah yang berusaha menegaskan realitas terpisah dart kutub, dengan mengorbankan yang lain, dan kemudian menghalangi keseluruhan orisinal dari pengalaman ilahi sebagai Realitas, dengan mencoba memutuskan mata rantai yang sangat penting antara “sendiri” dan “yang lain’’, dan mengasingkan masing-masing pada isolasi yang saling terpisah dalam absurditas.

 

HIKMAH KEILAHIAN DALAM FIRMAN TENTANG ADAM

 

Ketika Realitas ingin melihat esensi Nama-nama-Nya yang Indah (al-Asma’ al-Husna) atau, dengan kata lain, ingin melihat Esensi-Nya dalam sebuah objek inklusif yang meliputi seluruh Perintah-Nya, yang didasarkan pada eksistensi, Ia akan memperlihatkan rahasia Dini-Nya kepada-Nya. Penglihatan terhadap sesuatu, dirinya oleh dirinya sendiri, tidaklah sama dengan melihat dirinya pada yang lain, sebagatmana dalam sebuah cermin. Sebab, ia muncul untuk dirinya sendiri dalam sebuah bentuk yang ditanamkan oleh lokasi penglihatan yang hanya muncul dengan adanya eksistensi lokasi dan penyingkapan-diri (tajjali) lokasinya terhadapnya.

 

Realitas ini memberikan eksistensi pada seluruh Kosmos, pertama kali sebagai sesuatu yang khas tanpa ruh apa pun di dalamnya, sehingga ia seperti cermin yang digosok. Dalam hakikat penentuan ilahi, Dia tidak menetapkan sebuah lokasi kecuali untuk menerima ruh ilahi, yang juga dikatakan dalam Alqut’an dengan, “Ditiupkan kepadanya.”’ Yang terakhir ini tidak lebih daripada terwujudnya kecenderungan bentuk khas batin untuk menerima pancaran emanasi/penyingkapan rahasia-Diri    (Al-fayd at-tajalli) yang tidak habis-habisnya, yang selalu, dan, akan demikian. Di sana, hanya menerima, dan penerimaan ini hanya berasal dari lumpahanNya Yang Tersuci (Faydih al-Aqdas), dari Realitas, karena semua kekuatan untuk bertindak, atau semua inisiatif, berasal dari-Nya, di awal dan di akhir. Semua perintah berasal dari-Nya,’ bahkan sewaktu ia mulai dengan-Nya.

 

Jadi, dengan wataknya, perintah tlahi membutuhkan ciri reflektif dari cermin Kosmos. Adam adalah prinsip reficksi untuk cermin dan ruh dart bentuk itu, sementara para malaikat hanyalah kemampuan tertentu dati bentuk itu yang merupakan bentuk Kosmos, yang dalam terminologi kaum awam disebut ‘Manusia Agung’ (al-Insan al-Kabir). Dalam kaitan dengannya, malaikat diumpamakan dengan kemampuan psikis dan fisik dalam formasi manusia. Masing-masing dari kemampuan kosmik tertutup dengan dirinya sendiri (wujud yang dibatasi oleh individualitas relatifnya), sehingga ia tidak bisa mengetahui segala sesuatu yang melampauinya. Masing-masing dari kemampuan kosmik ini juga mengklaim bahwa ia mempunyai kualifikasi untuk setiap posisi yang tinggi, dan berada di tempat bersama Allah dengan keutamaan partisipasinya dalam sintesis tlahi (al-jam’iyyah al-ilahiyyah), yang berasal dari Hadirat Ilahi dan Realitas dart segenap Realitas dan, akhirnya, berkenaan dengan formasi yang mengasumsikan karakterisuk-karakeristik ini, dan menyerap semua reseptivitas Kosmos, lebih tingei dan lebih rendah.

 

Pengetahuan ini tidak bisa dicapai dengan intelek, dengan sarana proses pemikiran rasional apa pun. Sebab, jenis persepsi ini diperoleh hanya dengan penyingkapan (kasyf) ilahi yang darinya diperoleh asal bentuk-bentuk Kosmos yang menerima arwah. Formasi yang disebutkan di atas disebut Manusia dan Khalifah Allah. Mengenai yang pertama, ia berasal dari universalitas pembentukannya dan fakta bahwa ia meliputi semua realitas. Bagi Realitas, ia adalah sebagai murid, melalui tindakan penyaksian. Jadi, ia disebut insan, yang berart manusia dan murid, karena dengannya Realitas memperhatikan ciptaan-Nya dan menganugerahkan kasih—dari eksistensi—terhadapnya. Ia adalah manusia, ana’ dalam bentuknya, abadi dalam esensinya; ia adalah abadi, kekal, sekaligus firman yang membedakan dan menyatukan. Adalah dengan eksistensinya, sehingga Kosmos hidup dan ia, dalam hubungan dengan Kosmos, adalah sebagai tanda (Ahatm) bagi cincin, wujud tanda yang di tempat itu dipahat dengan tanda sebagaimana Raia menandai harta-bendanya. Dengan demikian, dia disebut Khalifah, karena dengannya, Allah memelihara ciptaan-Nya, sebagaimana tanda itu memelihara harta benda raja. Sepanjang tanda raia ada di atasnya, tidak satu pun orang berani membukanya, kecuali dengan izinnya, tanda itu menjadi pengawas dalam tanggung jawab kerajaannya. Meskipun demikian, Kosmos dipelihara sepanjang Manusia Sempurna masih ada di dalamnya. Apakah Anda tidak melihat bahwa ketika dia akan berhenti untuk eksis di dalamnya, dan ketika tanda—dalam perbendaharaan itu—dari dunia itu pecah, tidak satu pun dari apa yang dipertahankan Realitas akan dipikulnya, dan semua dari tanda itu akan menghilang. Masingmasing bagian, oleh karena itu, menjadi bersatu kembali dengan setiap bagian lain, setelah keseluruhan ditransfer ke Tempat Terakhir, di mana Manusia Semputna akan menjadi tanda untuk selamanya.

 

Semua Nama yang membentuk Citra Tuhan memanifestasi dalam formasi manusia sehingga informasi ini menempati tingkat di mana ia meliputi dan menggabungkan semua eksistensi. Karena alasan inilah, Allah menegaskan argumen konklusifnya terhadap para malaikat (karena protesnya terhadap perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam). Jadi, perhatikan! Sebab, Allah memperingatkan Anda dengan contoh lain, dan pikirkan secara hatihati, sejak kapan seseorang tertuduh disalahkan. Karena malaikat tidak memahami makna pembentukan Wakil Allah, demikian juga mereka tidak memahami penghambaan esensial yang dituntut oleh Hadirat Realitas. Sebab, tidak satu pun yang mengetahui tentang Realitas di mana dirinya sendiri implisit di dalam Esensi, dari Realitas.

 

Para malaikat tidak memperoleh kelengkapan Adam, dan tidak memahami Asma Ilahi karena asing bagi mereka, dengan mana mereka mengagungkan dan menyucikan Realitas. Mereka juga tidak menyadari bahwa Tuhan mempunyai Asma yang mana mereka tidak mengetahui apa-apa dari Asma itu, dan dengan mana mereka tidak bisa mengagungkan-Nya, juga tidak bisa menyucikan Nyawa dengan penyucian penuh terhadap Adam. Kondisi dan keterbatasan mereka seperti ini, kata mercka, berkaitan dengan pembentukannya, “Akankah engkau akan menciptakan  seseorang yang akan berbuat jahat di dalannya” Artinya, pemberontakannya, yang dengan tepat mercka menunjukkan sesuatu, karcna apa yang mereka Katakan tentang Adam sama-sama menunjukkan secara ttidak  langsung akan sikap mereka sendiri terhadap Realitas. Tetapi, karena fakta bahwa perkembangan mereka sendiri meenentukan keterbatasan pengetahuannya ini, mereka tidak akan mengatakan apa yang mereka katakan mengenai Adam; tetapi mereka tidak menyadari hal ini.

 

Jika mereka memang mengetahui diri-diri esensial mereka sendiri, mereka akan mengetahui keterbatasan mereka, dan jika memang demikian, mereka telah terserap oleh pengungkapan mereka yang salah. Di samping itu, mereka tidak akan tertahan dalam keberatan mereka dengan meminta perhatian pada pengagungan kepada Allah, sebagai iman juga halnya penyucian terbatas mereka.

 

Adam mengabadikan Asma ilahi sedangkan malaikat tidak. Tidak juga mereka mengagungkan Tuhan (Rabb) mereka dengan Asma ini. Atau, dengan Asma ini, mereka tidak memuliakan transendensi-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Adam.

 

Allah menguraikan seluruh persoalan ini pada kita, sehingga kita bisa memukirkannya dan belajar darinya tentang sikap yang tepat terhadap-Nya, dan agar kita tidak  memamerkan sedikit wawasan / atau pemahaman terbatas individu yang mungkin kita sadari. Bahkan, bagaimana kita bisa mengklaim suatu hal berkenaan dengan suatu realitas yang tidak kita alarmi dan tidak kita ketahui, tanpa rela menampakkan diri kita sendiri ditertawakanr Perintah tlahi yang berkenaan dengan malaikat ini adalah salah satu jalan di mana Realitas mendidik hamba-Nya yang beradab, wakil-wakil-Nya.

 

Marilah kita kembali kepada Hikmah ini. Ketahuilah bahwa universal-universal (al-umur al-kulliyyah), meskipun mereka bukan eksistensi individual yang tidak tersentuh dalam dirinya sendiri, namun dirasakan dan diketahui dalam pikiran; ini pasti. Mereka selalu tidak mengejawantah berkenaan dengan cksistensi individu, ketiha menentukan pengaruh pengaruhnya terhadap semua eksistensi semacam int; memang cksistenst individual tidak lebih daripada perwujudan lahiriah kita terhadapnya, yaitu universaluniversal. Di dalam dirinya sendiri, mereka selalu bisa dipahami. Mereka mengcjawantah sebagai wujud-wujud individual, dan mercka tidak mengejawantah sebagai sesuatu yang dipahami secara murni. Setiap eksistensi individu tergantung pada universaluniversal, yang tidak pernah dipisahkan dari intelek (‘aql), demikian juga mereka tidak eksis secara individu dengan cara semacam ini, sehingga mereka tidak lagi bisa dipahami. Apakah wujud individual ditakdirkan secara temporer atau tidak, hubungannya di dalam kedua kasus ini, adalah satu dan sama. Namun, wujud universal dan individual mempunyai prinsip penentuan yang sama sesuai dengan tuntutan realitas-realitas esensial dan wujud individual, misalnya, dalam hubungan antara pengetahuan dan yang mengetahui, serta kehidupan dan yang hidup. Kehidupan adalah sebuah realitas yang dipahami, sebagaimana juga pengetahuan, masing-masing bisa dibedakan dari yang lain.

 

Jadi, berkaitan dengan Realitas, kita bisa mengatakan bahwa Dia mempunyai kehidupan dan pengetahuan, dan juga bahwa Dia hidup dan mengetahui. Ini juga kita katakan terhadap manusia dan para malaikat. Realitas pengetahuan selalu tunggal, sebagaimana juga dengan realitas kehidupan, dan hubungan masing-masing dengan yang mengetahui dan yang hidup tetaplah selalu sama.

 

Berkaitan dengan pengetahuan Realitas, kami mengatakan bahwa ia bersifat abadi, sementara pengetahuan manusia, kami katakan kontingen (muhdis). Kemudian, pertimbangkan bagaimana kelengkapan pada determinan membawa sesuatu dalam realitas yang dapat dimengerti yang bersifat kontingen dan pertumbangkan pula kesalingtergantungan universal-universal dan eksistensi individual. Karena, sekalipun pengetahuan menetapkan seseorang yang mempergunakannya sebagai wujud yang mengetahui, demikian juga wujud yang digambarkan, menentukan pengetahuan sebagai kontingen dalam hal orang yang mengetahui kontingen, dan abadi dalam hal Wujud Yang Abadi, keduanya menentukan dan ditentukan.

 

Selanjutnya, meskipun universal-universal dapat dimengerti, mereka tidak memiliki eksistensi rill, hanya ada sejauh kctika mereka menentukan wujud-wujud yang ada, sebagaimana mereka sendiri ditentukan dalam setiap hubungan dengan eksistensi apa saja. Karena mengejawantah dalam eksistensi individual, mereka mengakui wujud—dalam suatu pengertian—ditentukan, tetapi mereka tidak mengakui partikularisasi atau pembagian, dan ini tidak mungkin. Dengan sendirinya, mereka hadir dalam masing-masing hal yang mereka kualifikasikan, sebagaimana humanitas hadir dalam setiap wujud manusia, selagi tidak dipartikularisasikan atau dibagi sesuai dengan jumlah wujud individual, di mana mereka termanifestasikan, yang tetap secara murni dapat dimengerti.

 

Oleh karena itu, jika ditegaskan bahwa ada sebuah interelasi antara yang mempunyai eksistensi individual dan yang tidak mempunyai, yang terakhir sebagai hubungan-hubungan noneksisten, keterhubungan antara satu wujud individual, dan yang lain adalah lebih bisa dipahami, karena paling tidak, mereka sama-sama mempunyai eksistensi individual, sermentara pada contoh yang pertama tidak ada unsur yang menyatukan.

 

Ditegaskan bahwa yang mula-mula (yang mempunyai awal) tergantung sepenuhnya pada yang menghasilkannya, karena kemungkinannya. Eksistensinya secara keseluruhan berasal dari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, hubungan, dalam kasus ini sebagai salah satu ketergantungan. Oleh karena itu, niseaya bahwa yang merupakan dukungan eksistensi awal seharusnya secara esensial, dan dengan sendirinya, menjadi dirinya, memenuhi dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada yang lain. Inilah yang memberikan eksistensi dari Wujud esensialnya sendiri pada eksistensi independen, dengan cara ini kejadian berkaitan dengannya.

 

Selanjutnya, karena yang pertama, lantaran esensinya, membutuhkan yang terakhir (dependen), maka yang terakhir, dalam pengertian tertentu mempunyai wujud yang past. Juga, karena ketergantungannya dari mana ia mengejawantah implisit di dalam esensinya sendin, maka ia yang mula-mula menyesuaikan dengan semua Asma dan sifat-sifat asal-usul, kecuali Wujud Yang Wajib (Wajib al-Wujud), yang tidak dimiliki oleh cksistensi awal, karena dengan wujud pasti itulah ia sepenuhnya berasal dari yang lain dari dirinya.

 

Ketahuilah, jika benar dikatakan bahwa sesuatu berkaitan dengan manifestasi yang mula-mula dalam bentuk yang memulai, maka jelas bahwa Allah memberikan perhatian pada apa yang diasali sebagai sebuah pertolongan untuk pengetahuan tentang-Nya, dan dikatakan dalam Alqur’an bahwa Dia akan menjelaskan tandatanda-Nya di dalamnya.‘ Jadi, Dia menegaskan bahwa pengetahuan tentang diri-Nya dirujuk pada pengetahuan dir kita sendin. Kapan pun kita mengasalkan setiap kualitas kepada-Nya, kita sendirilah yang menjadi wakil dari kualitas itu, kecuali ia merupakan kualitas dari Wajib al-Wujud. Karena kita mengetahui-Nya melalui diri kita sendiri dan dari kita sendiri, kita menisbatkan kepada-Nya semua yang kita nisbatkan pada diri kita sendiri. Karena alasan inilah, wahyu-wahyu ilahi datang kepada kita melalui mulut-mulut para penafsir (nabi-nabi), karena Dia menggambarkan diri-Nya kepada kita melalui kita. Jika kita mempersaksikan-Nya, maka kita mempersaksikan diri kita sendiri, dan ketika Dia melihat kita, maka Dia sebenarnya melihat Diri-Nya Sendiri.

 

Tidak diragukan bahwa, kita sebagai individu-individu dan jenis-jenis adalah banyak, dan bahwa meskipun wakil-wakil dari sebuah realitas tunggal, kita secara terbatas mengetahui ada sebuah faktor yang membedakan satu individu dari yang lainnya, tetapi karena itulah, keragaman tidak akan implisit ada di dalam Yang Mahaesa. Dengan cara yang sama, meskipun kita menggambarkan diri kita sendiri sebagaimana Dia menggambarkan Diri-Nya Sendiri, namun berbeda antara Dia dan kita. Faktor ini adalah ketergantungan eksistensi kita kepada-Nya, yang, di dalam kasus kita, sepenuhnya berasal dari-Nya, karena kita diturunkan, sementara Dia bebas dari semua ketergantungan apa pun. Jadi, Dia berhak disebut Mahaesa tanpa permulaan, yang berlbcda dari semua yang terdahulu atau prioritas, yang berawal dari noncksistensi. Sebhahb, meskipun Dia adalah Yang Pertama, prioritas temporer tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya. Jadi, IDia juga disebut Yang “Ilerakhir, meskipun Dia adalah Yang wal dalam pengertian wujud cksistensi yang ditetapkan pertama kali. Dia tidak bisa disebut Yang Akhir dalam pengertian ini, karena wujud kontingen tidak mempunyai akhir, tidak terbatas. Dia hanya disebut Yang Akhir dalam pengertian bahwa semua realitas, meskipun realitas itu dinisbatkan kepada kita, adalah milik-Nya. Finalitas-Nya secara esensial implisit berada dalam Prioritas-Nya, sebagaimana Prioritas-Nya se‘ cara esensial berada dalam Finalhtas-Nya.

 

Juga, ketahuilah, bahwa Realitas menggambarkan Diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Battin (Tampak dan Tidak Tampak). Dia menciptakan Kosmos sebagaimana juga membentuk sebuah alam gaib dan alam indriawi, sehingga kita bisa memahami Yang Batin melalui aspek gaib kita, dan Yang Lahir melalui aspek indriawi kita.

 

Dia juga menisbatkan kepada Diri-Nya keridhaan dan kemurkaan, dengan menciptakan Kosmos, sebagaimana menunjukkan kekhawatiran dan harapan, kekhawatiran kepada kemurkaanNya dan harapan pada keridhaan-Nya. Dia juga menggambarkan Diri-Nya sebagai Wujud yang memiliki keindahan dan kemuliaan, seraya menciptakan kita dengan menggabungkan pesona kemuliaan dan kedekatan-Nya, dan seterusnya, dengan semua sifat dan Nama-Nya. Dia mengungkapkan polaritas kualitas ini dalam Alqur’an, sebagaimana menjadikan Tangan-Nya dicurahkan untuk menciptakan Manusia Sempurna, yang mengintegrasikan dalam dirinya semua realitas Kosmik dan manifestasi individual mereka.?

 

Kosmos adalah alam indriawi—yang halus dan kasar—dan Khalifah-Nya adalah gaib. Karena alasan inilah, Penguasa (Allah) terhalangi, karena Realitas menggambarkan Dini-Nya sebagai wujud yang tersembunyi dalam hiab-hyab kegelapan, yang merupakan bentuk bentuk alamiah, dan dengan hijab hijab cahaya, yang merupakan ruh ruh halus. Kosmos terdiri dari yang kasar dan yang halus, serta di dalam kedua aspek ini, hijab menucup realitas sejatinya sendiri. Karena Kosmos tidak merasakan Realitas sebagaimana Dia merasakan Diri-Nya Sendiri, maka tidak juga dapat ia diselubungi, dengan mengetahui dirinya berbeda dengan penciptanya dan tergantung kepada-Nya. Memang, ia tidak mempunyai andil dalam kekayaan Realitas, demikian juga ia tidak mencapai hal itu. Dalam pengertian ini, Realitas tidak pernah dikenal, dengan wujud kosmik, melalui cara apa pun, karena wujud asali tidak memiliki  andil dalam Kekayaan

 

Allah menyatukan polaritas kualitas ini hanya pada Adam, untuk membuat satu distingsi atasnya. Kemudian, Dia mengatakan kepada Iblis: “Apa yang menghalangi kamu bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” Apa yang mencegah Iblis adalah fakta bahwa manusia memadukan dalam dirinya dua mode: Kosmos fyang berawal] dan Realitas [yang mengawali dan orisinil], yang merupakan kedua tangan-Nya.

 

Adapun Iblis, dia hanya bagian dari Kosmos dan tidak mempunyai bagian di dalam Sintesis ini, lantaran keutamaan Adam sebagai Wakil. Dia tidak memanifestasi [dalam Kosmos] dalam bentuk Diri-Nya Yang dia representasikan, dia bukan Wakil, dan dia tidak terdiri dari tanggung jawab independen yang diperlukan atau dia tidak mampu memenuhi semua kebutuhan ini, dia tidak akan menjadi Wakil. Pendek kata, Kewakilan (Kekhalifahan) hanya terpenuhi dalam Manusia Sempurna.

 

Bentuk lahinahnya, Dia susun dari realitas-realitas dan bentukbentuk kosmik, sementara bentuk batiniahnya, Dia susun untuk menyesuaikan dengan bentuk Diri-Nya Sendiri. Jadi, dia mengatakan dalam Hadis Qudsi, “kw adalah pendengaran dan penglihatannya’,’ dan bukanlah, “Aku adalah mata dan telinganya”, untuk menunjukkan perbedaan antara dua bentuk, yang bisa dipahami dan tidak bisa dipahami. Demikian juga, Dia implisit dalam setiap wujud kosmik, sesuai dengan realitas esensial yang termanifestasikan dalam wujud yang membutuhkannya, dengan menjadikannya dipahami sehingga wujud lain tidak memperoleh Sintesis ini. Hanya dengan kebajikan dari Sintetis ini, sehingga dia adalah superior ]dibandingkan dengan semua wujud lain].

 

Jika tidak demikian, maka Realitas menembus semua wujud sebagai bentuk dalam bentuk kualitatifnya, dan jika hal itu bukan untuk realitas-realitas yang dapat diketahui, tidak ada penentuan esensial yang akan dimanifestasikan dalam wujud-wujud individual. Jadi, ketergantungan Kosmos terhadap Realitas dalam eksistensi~nya adalah sebuah faktor yang esensial.

 

Semua tergantung [kepada yang lain}, yang tidak ada tidak tergantung, Ini adalah kebenaran murni, kita membicarakannya dengan jelas, Jika aku menyebutkan Yang Esa, Mahakaya, Independen, Anda akan mengetahui Siapakah yang aku tuju. Semua terikat dengan semua, tidak ada jalan keluar Tkatan ini, jadi pikirkan secara hati-hati apa yang aku katakan.

 

Sekarang Anda berhubungan dengan Hikmah yang terdapat dalam pembentukan badaniah Adam, bentuk lahirnya, sebagatmana Anda berhubungan dekat dengan pembentukan spiritual Adam, bentuk batinnya, yaitu, bahwa dia adalah Realitas (berkenaan dengan yang terakhir) dan dia adalah makhluk (berkenaan dengan yang pertama). Anda juga belajar untuk mengetahui tingkatannya sebagai bentuk sintesisnya di mana dia mendapatkan Kekhalifahan ilahi.

 

Adam adalah jiwa tunggal, sehingga esensi spiritual tunggal yang menjadi asal-usul manusia itu diciptakan sebagaimana firmanNya: “Wahao Manusia, takutlah pada Tuhan yang telah mencptakan kamu dari sebuah jiwa tunggal dan menciptakan darinya pasangannya, sehingea dari mereka berdualah lahir banyak laki-laki dan perempuan.” Kalimat “Takutlah pada Tuhanmu” berarti “Jadikanlah diri lahiriah — kamu perlindungan untuk Tuhanmu yang merupakan realitas esensial batin kamu, dan jadikanlah realitas batin kamu, yang merupakan Tuhan kamu, perlindungan untuk diri lahiriah kamu.”

 

Semua penciptaan (amr) meliputi kecaman (negasi) dan pupan (afirmasi), sehingga perlindungan-Nya berkaitan dengan kecaman sebagai wujud relatif dan menjadikan Dia perlindungan Anda berkenaan dengan pujian, sebagai wujud yang dudenofikasikan dengan realitas Adam, sehingga Anda adalah orang yang bertindak dengan tepat dan memiliki pengetahuan.

 

Jadi, Dia, Yang Mahatinggi dan Mahaagung, menyebabkan Adam melihat semua yang Dia tempatkan di dalam dirinya, dan memegang dia di tangan-Nya (aktif dan pasif, esensial, dan formal), di dalam Tangan pertama, Kosmos, dan di dalam lainnya, Adam dan benihnya, yang menguraikan tingkatan-tingkatannya.

 

Ketika Allah mewahyukan kepadaku, di dalam pusatko yang paling dalam, apa yang Dia tempatkan pada leluhur besar kita, saya mencatat dalam buku ini hanya yang dia diktekan kepada saya, tidak semua diberikan kepadaku, karena tidak ada satu pun buku yang dapat memuat semuanya, tidak juga Kosmos sebagatmana sekarang ada.

 

Apa yang saya saksikan di dalam ruh dan, apa yang saya catat di dalam buku sebagaimana disandarkan kepada Nabi, adalah bab-bab berikut int:

 

  1. Hikmah Keilahian (Ilahiyyah) dalam Firman tentang Adam
  2. Hikmah Penghembusan Napas (Nafsiyyah) dalam Firman tentang Syis
  3. Hikmah Keagungan (Subbuhiyyah) dalam Firman tentang Nuh
  4. Hikmah Kesucian (Quddusiyyah) dalam Firman tentang Idris
  5. Hikmah Cinta yang Mempesona (Muhaymiyyah) dalam Firman tentang Ibrahim
  6. Hikmah Realitas (Haqqiyyah) dalam Firman tentang Ishaq
  7. Hikmah Ketinggian (‘Iliyyah) dalam Firman tentang Isma’il
  8. Hikmah Ruh (Ruhiyyah) dalam Firman tentang Ya’qub
  9. Hikmah Cahaya (Nuriyyah) dalam Firman tentang Yusuf
  10. Hikmah Kesatuan (Ahadiyyah) dalam Firman tentang Hud
  11. Hikmah Pembukaan (Fatihiyyah) dalam Firman tentang Salih
  12. Hikmah Pau (Qalbiyyah) dalam firman tentang Syu’ayb.
  13. Hikmah Nekuasaan (Malkiyyahh) dalam firman tentang Lut
  14. Hikmah ‘Takdir (Qadariyyah) dalam Firman tentang ‘Uzayr
  15. Hikmah Kenabian (Nabawiyyah) dalam Firman tentang ‘Isa
  16. Hikmah Kepengasihan (Rahmaniyyah) dalam Firman tentang Sulayman
  17. Hikmah Wujud (Wajudiyyah) dalam Firman tentang Dawud
  18. Hikmah Napas (Nafasiyyah) dalam Firman tentang Yunus
  19. Hikmah yang Gaib (Gaybiyyah) dalam Firman tentang Ayyub
  20. Hikmah Kemuliaan (Jalaliyyah) dalam Firman tentang Yahya
  21. Hikmah Penguasaan (Malikiyyah) dalam Firman tentang Zakariyya
  22. Hikmah Kedekatan (Inasiyyah) dalam Firman tentang Ilyas
  23. Hikmah Kebajikan (Ihsaniyyah) dalam Firman tentang Luqman
  24. Hikmah Kepemimpinan (Imamiyyah) dalam Firman tentang Harun
  25. Hikmah Keunggulan (‘Uluwiyyah) dalam Firman tentang Musa
  26. Hikmah Tempat Meminta (Samadiyyah) dalam Firman tentang Khalid
  27. Hikmah Singularitas (Fardiyyah) dalam Firman tentang Muhammad

 

Tanda dari masing-masing Hikmah ini adalah Firman yang diberikan kepadanya. Saya membatasi apa yang saya tulis dalam buku ini berkenaan dengan manifestasi Hikmah ilahi pada apa yang ditegaskan dalam Ummm al-Kitab (Heavenly Book). Saya, dengan penuh keyakinan, menyalinnya sesuai dengan yang dibayangkan kepadaku. Bahkan ketika saya ingin menambahkannya, saya tidak mampu melakukan, karena hadirat, dari mana ia berasal, mencegahnya. Allah menjamin keberhasilan, dan Dia-lah Satu-satunya Tuhan.

 

CATATAN PENGANTAR

 

BAB yang berjudul Syis ini membahas dua topik utama, yaitu pemberian ilahi dan subjek tentang fungsi masing-masing Tanda Wali (Khatam al-Awliya’) dan Tanda Rasul (Khatam ar-Rusul). Dalam kaitannya dengan yang pertama dari topik ini, Ibn ‘Arabi juga menyentuh subjek tentang kelatenan (latency) dan kecenderungan serta kemungkinan mengetahui kecenderungan seseorang,

 

Di bagian pertama dari bab ini, dia membahas persoalan pemberian dan karunia ilahi. Dia membagi pemberian ilahi dengan pelbagai cara, dan membahas hubungan seluruh hubungan antara permintaan dan pemberian sebagai respon terhadap permuntaan, apakah ia tersurat ataukah tersirat.

 

Topik pertama dan bab ini barangkali memberikan sebuah petunjuk untuk judul bab ini, “Hikmah Penghembusan Napas dalam Firman tentang Syis.” Kata Arab yang digunakan untuk “penghembusan napas” (expiration) adalah dari akar kata na akha, yang secara harfiah berarti “meniup.” Pemberian ilahi par excellence adalah pemberian eksistensi itu sendiri, penyebabnya sangat erat kaitannya dengan konsep Ibn “Arabi tentang Rahmat penciptaan, di mana kreativitas sering diistilahkan dengan Napas Sang Pengasih (Nafas ar-Rahman). Dengan kata lain, peniupan yang dirujuk dalam judul ini secsungguhnya proyeksi pengeluaran yang dithami oleh hasrat ilahi untuk kesadaran-Diri yang, dari sudut pandang terciptanya eksistensi, adalah tindakan tertinggi dari pembcrian dan kedermawanan ilahi. Semua pemberian khusus lain dari Allah menjadi aspek dari pemberian eksistensi orisinal, karena masing-masing pemberian khusus kepada makhluk tertentu hanya berperan untuk menegaskan perjanjian eksistensial, di mana Allah menegaskan signifikansi ontologis Kosmos. Pemberian universal itulah yang merupakan pemberian Esensi, sementara pemberian Nama-nama adalah manifestasi khusus dari anugerah tertinggi Allah sebagai yang Maha Memberi. Ibn ‘Arabi kembali ke tema ini dalam bab tentang Nabi Dawud.

 

Sebagaimana telah disebutkan, gagasan tentang pemberian ahi ini dihubungkan Ibn ‘Arabi dengan konsep tentang kecenderungan laten z7 dzvznzs. Ini berarti bahwa kualitas dan hakikat eksistensi sesuatu sebagai makhluk, secara umum dan detail, tidak lebih atau kurang daripada yang secara abadi dipengaruhi dalam esensi laten seseorang. Selanjutnya, tidak hanya pemberian atau respon, tetapi juga pembuatan permintaan itu sendiri ditentukan oleh predisposisi laten untuk melakukan yang demikian itu.

 

Kesadaran atau pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap seseorang sebagai in aeternis, bagi Ibn ‘Arabi, merupakan bagian esensial dari apa yang dia sebut ma’rifah atau gnosis, karena ia melipuu pengetahuan seseorang yang, pada waktu yang sama, pengetahuan tentang Realitas utlahi, yang secara laten dan esensial merupakan aspek yang tak terelakkan, sebagai makna dari sabda: ‘“Siapa pun yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya.”? Gonosis, menurut penulis kita ini, adalah pengetahuan yang diperoleh dari pembelajaran profan, tetapi agaknya, sebagaimana ditegaskan oleh akar kata Arabnya, sebuah pengakuan segera dan dipahami bukan sesuatu yang baru atau asing, tetapi agaknya keadaan atau Kedudukan sesuatu sebagaimana ia benar-benar apa adanya, selalu, dan secara abadi demikian, yang merupakan pengetahuan yang dibawa sejak lahir pada manusia tetapi kemudian ditutupi dan dikaburkan oleh ketidaktahuan spiritual yang didorong oleh keasyikan dengan data sekejap dan parsial.

 

Gnosis inilah, yang bersifat potensial dalam semua manusia, yang merupakan warisan kesadaran spiritual dari para wali, nabi, sasul, dan khususnya Tanda itu sendiri. Bahkan, pengakuan normauf tehadap Manusia Semputna merasakan semua perbedaan dan identitas dalam term-term Realitas, yang lain dari yang tidak ada atau yang ada.

 

Ibn ‘Arabi menyimpulkan bab ini dengan sebuah ramalan aneh berkenaan dengan nasib manusia sebagaimana dirumuskan dalam ajaran-ajarannya. Dia mengatakan bahwa manusia yang sesungguhnya dari garis keturunan Syis, akan lahir di Cina, dan bahwa dia akan mempunyai seorang kakak perempuan. Dia menuju pada kenabian, yang setelahnya, manusia akan menjadi har, kehilangan semangat dan hukum, hingga datangnya sang Han Kiamat. Kemudian, dia menunjukkan bahwa sintesis manusia khusus terhadap ruh dan alam, di mana kita semua adalah bagiannya, akan berakhir, dan mata rantainya terputus.

 

HIKMAH PENGHEMBUSAN NAPAS DALAM FIRMAN TENTANG SYIS

 

Ketahuilah, bahwa pemberian dan karunia ilahi dalam bidang yang ditentukan, baik melalui hamba-Nya maupun tidak, dibagi dalam dua jenis: pemberian dari Esensi dan pemberian dari Namanama, sebagaimana juga ada pemberian yang diberikan sebagai tespon atas permintaan khusus dan pemberian yang diberikan sebagai respon atas permintaan umum. Ada juga pemberian yang diberikan tanpa permintaan apa pun, baik yang berasal dari Esensi maupun Nama-nama.

 

Contoh permintaan untuk sesuatu yang khusus adalah seseorang yang mengatakan, “Ya Tuhan, berikan aku ini dan itu”, yang menetapkan sesuatu untuk mengeluarkan yang lain. Contoh dari sebuah permintaan umum adalah seseorang yang mengatakan, “Berilah aku apa yang Engkau ketahui sebagai kebutuhanku, apakah untuk wujud halusku atau fisikku.”

 

Orang-orang yang meminta terdini dari dua jenis: jenis pertama terdorong untuk meminta dengan keinginan alamiah, karena, “Manusia diciptakan dengan tabiat suka tergesa-gesa” sementara jenis kedua tergerak untuk meminta karena dia mengetahui bahwa ada sesuatu di sisi Allah yang tidak bisa—sesuai dengan Maha Mengetahui ilahi—diperoleh kecuali dengan memintanya. Dia mengatakan pada dirinya, “Barangkali apa yang kira-kira kita minta dari Allah adalah jenis ini.” Jadi, permintaannya adalah dengan cara memahami sepenuhnya kemungkinan-kemungkinan yang inheren berada pada Perintah ilahi (sesuatu yang diminta). Dia tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam pengetahuan Allah, juga dia tidak mengetahui kecenderungan dirinya yang ditentukan secara abadi untuk menerima, karena untuk—pada masing-masing contohmenyadari kecenderungan abadi seseorang adalah salah satu jenis pengetahuan yang sangat sulit. Bahkan, bukan karena kecenderungan mengaruniai permintaan, dia tidak membuat permintaan.

 

Bagi orang yang mempraktikkan Kehadiran Allah yang tidak biasanya mengetahui hal ini, kebanyakan yang mereka capai adalah mengetahui kecenderungan mereka pada waktu menerima ataupun meminta. Ini karena mereka mengetahui apa yang dianugerahkan Realitas pada mereka ketika itu, dengan alasan kehadiran mereka dengan Allah, dan mereka mengetahui bahwa mereka menerimanya hanya karena kecenderungan mereka untuk menerimanya. Mereka terdiri dari dua macam: mereka yang mengetahui kecenderungan mereka dengan mengetahui apa yang mereka terima, dan mereka yang mengetahui apa yang akan mereka terima dengan mengetahui kecenderungan mereka. Dari keduanya ini, yang terakhir adalah pengetahuan kecenderungan yang lebih utuh.

 

Ada juga orang-orang yang meminta, bukan karena dorongan alamiah, bukan pula melalui pengetahuan kemungkinan-kemungkinan, tetapi secara sedcrhana untuk menyesuaikan diri dengan perintah Allah, “‘Berdoalah kepada-Ku niseaya Aku akan mengabulkan kamu.” Orang semacam ini sesungguhnya merupakan seorang hamba, karena dalam permohonan semacam ini, tidak ada bekas kepentingan diri, perhatian hanya diarahkan untuk menyesuaikan dengan perintah Tuhannya. Jika keadaannya mengharuskan sebuah permintaan atasnya, dia meminta untuk lebih banyak beribadah, tetapi jika keadaannya mengharuskannya diam dan pasrah, maka dia akan diam.

 

Ayyub dan yang lainnya secara sangat berat diuji, tetapi mereka tidak  memunta agar penderitaan mereka dari Allah itu dihilangkan. Pada akhirnya, keadaan mereka mengharuskan mereka meminta, dan Allah mengabulkannya. Kecepatan atau kelarmbanan dalam memenuhi apa yang diminta, tergantung sepenuhnya pada tindakan yang ditunjukkan karena itu semua ada pada Allah. Jika sebuah permintaan sesuai dengan waktu yang tepat, maka responnya cepat, tetapi waktunya belum seharusnya, baik dalam hidup ini atau hingga di Akhirat kelak, respon (balasan)-nya akan ditunda hingga masanya. Ini berarti pemenuhan sesuatu yang diminta bukan prinsip tentang respon uahi, yang selalu, “Aku di sini.” Dengan demuiukian, pertimbangkanlah secara baik-baik.

 

Berkaitan dengan rujukan kita terhadap karunia yang diberikan tanpa permintaan, saya mengartikan suatu permintaan yang diartikulasikan. Sebab, dalam hal setiap perbuatan ilahi, mesti ada sebuah .permintaan dari seorang penerima, apakah ia diungkapkan dengan kata-kata, atau inheren dalam keadaan atau kecenderungan.

 

Demikian pula, pujian kepada Allah biasanya menunjukkan artkulasinya, sementara dalam pengertian batin, pujian diharuskan dengan keadaan spiritualnya, karena yang mendorong Anda untuk memuyi Allah adalah unsur esensial yang ada pada Anda, yang mengikatkan Anda pada Nama Tuhan, apakah dengan mengekspresikan ‘aktivitas atau transendensi-Nya. Hamba tidak menyadari kecenderungannya, tetapi hanya keadaan spiritualnya, di mana ia mengetahui bahwa itulah yang mendorongnya, karena pengetahuan tentang kecenderungan adalah sesuatu hal yang paling tersem bunyi. Mercka yang menerima karunia Allah dan tidak melakukan suatu permintaan, mengabaikan untuk meminta, semata-mata karena mercka mengctahui bahwa Allah memiliki pengctahuan yang ditentukan sebelumnya berkaitan dengan mercka. Mereka menjadikan dirinya siap untuk menerima apa pun yang berasal dariNya, dan sepenuhnya menarik diri dari diri-diri separatif mereka dan tujuan-tujuan mereka.

 

Dari orang-orang inilah, terdapat orang yang mengetahui bahwa pengetahuan Allah tentang mereka, dalam semua keadaan, sejalan dengan keadaan mereka sendiri dalam kelatenan (akhfal latency. ketersembunyian) praeksisten mereka. Mereka mengetahui bahwa Realitas akan menganugerahkan hanya kepada mereka yang esensi latennya diperoleh dari-Nya (sebagai wujud yang dirinya diketahui oleh-Nya). Jadi, mereka mengetahui asal-usul pengetahuan yang ditentukan Allah sebelumnya mengenai mereka. Dati Orang-orang ini, tidak ada satu pun yang lebih tinggi atau lebih intuitif daripada jenis yang tidak meminta ini, karena mereka memahami rahasia Pratindakan ilahi. Jenis kelompok ini sendiri dibagi ke dalam dua bagian: mereka yang memiliki pengetahuan ini secara umum dan yang mempunyai pengetahuan terperinci, pengetahuan terakhir menjadi lebih tinggi dan lengkap. Dalam hal ini, dia mengetahui apa yang diketahui Allah berkenaan dengan dirinya, baik karena Allah memberitahukannya tentang bagaimana esensinya telah menyumbang pada pengetahuan-Nya tentang dirinya, ataupun karena Allah mewahyukan kepadanya esensinya dengan segala fluktuasi tak terbatas dari keadaan spiritual. Hal ini lebih tinge: daripada pengetahuan umum.

 

Berkenaan dengan pengetahuannya tentang dirinya sendiri, orang seperti ini mengenal dirinya sebagaimana Allah mengenalnya. Sebab, objek pengetahuannya sama dalam kedua hal ini. Namun, berkenaan dengan kemakhlukannya, pengetahuannya tidak lain merupakan sebuah karunia dari Allah, satu dari keragaman keadaan azali yang inheren dalam esensinya. Penerima wahyu semacam ini menyakui fakta ini ketska Allah menunjukkan kepadanya kcadaan keadaan esensinya: karena mustahil bagi makhluk ketika Allah menunjukkan kepadanya keadaan keadaan esensinya, di mana bentuk yang diciptakan akan diberikan, untuk melihatnya sebagaimana Rcalitas melihat esensi esensi laten dalam keadaan nonwujud mercka, karena mercka adalah penghubungan-penghubungan tanpa bentuk dari Esensi.

 

Jika semua ini dipahami, kita bisa mengatakan bahwa kesamaan ini—dalam pengetahuan, seperti antara Allah dan hambaNya—adalah karunia ilahi yang ditetapkan sebelumnya bagi sang hamba. Dalam hal ini, Allah berfirman, “Kai akan mengyfi kami, hingga Kami mengetahui (yang kamu usahakan)’,’ yang, mempunyai makna yang cermat, tetapi sangat berbeda dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengalaman langsung rahasia-rahasia ketuhanan. Berkenaan dengan ayat ini, kebanyakan kaum transendentalis, dengan menggunakan kekuatan-kekuatan mental tertingginya, mengatakan, akan menjadi temporalitas nyata dalam pengetahuan Allah yang ditujukan pada ketergantungan atas makhluk, kecuali dia mempertahankan distingsi pengetahuan dan Esensi, dan dengan demikian, mengasalkan ketergantungan itu kepadanya, dan bukan pada Esensi. Dengan ini, dia dibedakan dari sang pengenal sejati Allah, sang penerima penyingkapan.

 

Kembali pada persoalan pemberian ilahi, kami telah menyebutkan bahwa pemberian ini bisa berasal dari Esensi ataupun dari Nama-nama Ilahi. Adapun karunia atau pemberian dari jenis pettama, hanya berasal dati pembukaan rahasia-diri (tajalli) ilahi, yang hanya terjadi dalam sebuah bentuk yang sesuai dengan kecenderungan esensial penerima terhadap penyingkapan semacam ini. Jadi, penerima tidak melihat apa-apa selain bentuknya sendiri dalam cermin Realitas. Dia tidak melihat Realitas Sendiri, yang tidak mungkin, meskipun dia mengetahui bahwa dia hanya bisa melihat bentuk sejatinya di dalam-Nya. Sebagaimana dalam hal sebuah cermin dan orang yang melihatnya, dia melihat bentuk di dalamnya, tetapi dia tidak melihat cermin itu sendin, meskipun ia mengetahui bahwa ia hanya melihat dirinya dan citra-citra lain melalui cermin. Allah membuat perbandingan ini sehingga penerima tajalli ilahi mengetahui bahwa Yang dia lihat itu bukanlah Dia. Analogi cermin adalah sesuatu yang paling dekat dan dipercaya bagi sebuah penyingkapan tajalli.

 

Cobalah, keuka Anda melihat diri Anda di sebuah cermin, hhadah cermin itu sendin! Anda akan mendapatkan bahwa Anda tidak  bisa melakukannya. Hal ini memang demikian, di mana banyak orang menyimpulkan citra yang dicerap terletak di antara cermin dan mata orang yang melihat. Ini merepresentasikan pengetahuan terbesar di mana mereka sangat ahli dalam masalah ini. Persoalan yang sebenarnya telah kami simpulkan, dan tentu saia telah kami bahas, terdapat dalam al-Futuhat al-Makkiyyah. Jika Anda mengalamm hal ini secara ruhaniah, maka sebagai wujud ciptaan, Anda telah ‘berpengalaman’ sebanyak mungkin, sehingga Anda tidak periu mencan dan juga tidak melelahkan diri dengan banyak usaha unmk melakukan yang lebih unggi dan ini, karena tidak ada yang lebih tinggi, tidak juga ada yang melampaui titik yang telah Anda capai kecuali sesuatu yang murni, tak ditentukan, tak termanifestasikan (Mutlak). Dalam penglihatan Anda terhadap diri sejati Anda, Dia adalah cermin Anda, dan Anda adalah cerminNya, di mana dia melihat Nama-nama-Nya dan ketetapan-ketetapannya, yang tidak ada yang lain selain Diri-Nya Sendiri. Masalah imtno seluruhnya cenderung pada kerumitan dan ambiguitas.

 

Beberapa orang di antara kita, ada yang mengakui ketidaktahuannya sebagai bagian dan pengetahuan mereka, dengan menyatakan—di mana Abu Bakar adalah salah satunya—bahwa “Ketika seseorang menyadari tidak bisa mengenal Allah, adalah mengenal.” Namun, ada yang lain di antara kita yang mengetahui, tetapi tidak mengatakan hal semacam ini. Pengetahuan mereka menanamkan pada mereka kebungkaman danpada keyakinan kendakrahuan. Ini adalah pengetahuan tertinggi tentang Allah, yang hanya dimiliki oleh Tanda Para Rasul (Khatam ar-Rusul) dan Tanda Para Wali (Khatam al-Awliya’).’ Jadi, tidak satu pun dari para nabi dan rasul mencapainya kecuali dari Lentera Tanda Rasul (Misykah ar-Rasul al-Khatim). Wemikian juga para wali, tidak bisa mencapainya kecuali dari Lentera Tanda Wali (Misykah al-Wak al-Khatim), sehingga akibatnya, tidak satu pun di antara rasul bisa mencapainya, ketika mereka melakukan hal demikian, kecuali dari Lentera Tanda Wali.

 

Hal ini karena tugas para rasul dan para nabi—nabi yang aku maksudkan adalah pembawa Syariah—berakhir, sementara Kewalian (al-Walayah) tidak pernah berhenti. Jadi, para rasul, sebagaimana juga para wali, hanya mencapai, apa yang telah kami sebutkan, dari Lentera Tanda Wali. Bahkan, dalam hal ini, lebih banyak persoalannya pada wali-wali yang lebih rendah. Sebab, meskipun Tanda Rasul mengikuti Hukum yang dibawa oleh Tanda Rasul, ini sarna sekali tidak menghilangkan maqamnya, atau berbeda dengan apa yang telah kami katakan, karena dalam satu hal, dia berada di bawah rasul dan, dalam hal lain, lebih tinggi. Apa yang telah kami gagas di sini didukung oleh peristiwa-peristiwa di bawah takdir kita sendiri, sebagaimana ketika penilaian ‘Umar lebih baik dalam hal tawanan perang yang diperoleh di Badr, sebagaimana juga masalah pernyerbukan pohon kurma.

 

Tidak perlu bagi orang yang sempurna untuk menjadi superior dalam setiap hal dan pada setiap tingkatan, karena manusia dari Ruh hanya berhubungan dengan preseden dalam tingkatantngkatan pengetahuan Allah, yang merupakan tujuan mereka satusatunya. Mengenai fenomena melampaui dari wujud-wujud ciptaan, mereka tidak menaruh perhatian dengan hal-hal semacam ini. Oleh karena itu, ingatlah baik-baik apa yang telah kami katakan.

 

Nabi menyamakan tugas nabi dengan sebuah tembok dari banyak bata, lengkap kecuali dengan satu bata. Dia sendiri adalah bata yang hilang itu. Namun, sementara Nabi melihat kurangnya satu bata, Tanda Wali memahami bahwa ada dua bata yang hilang. Bata-bata dari tembok itu adalah perak dan emas. Karena ia melihat dirinya sebagai penutup jurang pemisah, Tanda Wali itulah yang menjadi kedua bata itu dan yang melengkapi tembok itu. Alasan bagi penglihatannya terhadap kedua bata adalah bahwa secara batiniah dia mengikuti Hukum (Syar’) Tanda Rasul, yang direpresentasikan oleh bata perak. Ini adalah aspek lahiriahnya dan aturan-aturan yang dia anut di dalamnya. Namun, secara batiniah, ia menerima secara langsung dari Allah apa yang secara lahiriah dukuti, karena dia merasakan Perintah ilahi sebagaimana adanya, ia dalam esensinya, yang direpresentasikan oleh bata emas. Ia memperoleh pengetahuannya dari sumber yang sama, ketika malaikat menyampaikannya pada Rasul. Jika Anda memahami uraian-uraian saya, Anda memperoleh pengetahuan yang paling bermanfaat.’

 

Setiap nabi, dari Adam hingga nabi terakhir, memperoleh apa yang dia punyai dari Tanda Nabi akan manifestasi fisik, meskipun ia datang terakhir dalam temporalnya. Sebab, dalam realitas esensialnya, ia selalu ada. Nabi mengatakan, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih berada di antara air dan tanah liat”, sementara nabi-nabi lain juga demikian, ketika mereka diutus dalam misimisi mereka. Dengan cara yang sama, Tanda Wali adalah seorang wali, “Ketika Adam masih berada di antara air dan tanah liat”’, sementara wali lain menjadi wali hanya ketika mereka memperoleh semua kualitas ilahi yang pasti, karena Allah menyebut Diri-Nya sebagai Pelindung Yang Terpuji (al-Wali al-Hamid).”

 

Tanda Rasul, sebagaimana juga pada seorang wali, mempunyai hubungan yang sama dengan Tanda Wali, sebagaimana para nabi dan rasul lain juga mempunyai hubungan dengannya, karena dia adalah wali, rasul, dan nabi.

 

Adapun Tanda Wali, ia adalah Wali, Pewaris, orang yang pengetahuannya berasal dari Sumber (al-Asl), yang menyaksikan semua tingkatan wujud. Kewalian ini merupakan di antara kemuliaan Tanda Rasul, Muhammad, yang pertama dari Komunitas para rasul dan Tuan Manusia, sebagaimana dia pulalah yang membuka pintu gerbang terhadap perantaraan. Yang terakhir ini adalah sesuatu yang unik baginya dan tidak sama bagi semua rasul. Dalam keadaan inilah, ia bahkan mendahului Nama-nama Ilahi, karena Sang Pengasih tidak menengahi dengan Sang Pemarah, dalam hal yang semata-mata menguji, hingga perantara dibuat dengan-Nya. Adalah dalam hal perantara sehingga Muhammad mencapai ketinggian. Siapa pun yang memahami tingkatan-ungkatan dan maqammaqam ini, tidak akan menemui kesulitan untuk memahami persoalan ini.

 

Ada dua macam karunia yang berasal dari Nama-nama Allah: karunia murni, seperti kesenangan di dunia yang tidak meninggalkan noda di Hari Kiamat, yang diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih, dan karunia campuran, seperti obat yang terasa pahit yang menyebabkan kelegaan, yang merupakan suatu pemberian Allah dalam Keilahian-Nya, meskipun dalam Keilahian-Nya tersebut Dia selalu menganugerahkan pemberian-Nya melalui medium dari salah satu pemegang Nama.

 

Terkadang Allah memberikan sebuah pemberian terhadap hamba-Nya atas Nama-Nya Yang Maha Pengasih (ar-Rahman), di mana kasus pemberian ini bebas dari semua yang bertentangan dengan hakikat hamba ketika itu, atau segala sesuatu yang bisa menjatuhkannya. Terkadang Allah memberikan atas Nama Yang Maha Meliputi (Al-Wasi), sehingga pengaruhnya bersifat universal. Sementara pada waktu lain, Dia memberikan atas nama Yang Mahabijaksana (al-Hakim), untuk memberikan pelayanan terbaiknya terhadap hamba-Nya. Dia bisa memberikan atas Nama Yang Maha Memberi (al-Wahhab), di mana Dia memberikan sebagai sebuah karunia yang tidak diminta, sehingga penerima tidak wajib untuk menyatakan syukur, atau melakukan pekerjaan agar layak mendapat karunia. Dia memberikan atas Nama Yang Mahaperkasa (al-Jabbar), di mana dengan hal ini, tindakan-Nya sesuai dengan kebutuhan situasi. Dia memberikan atas Nama Yang Maha Pengampun -(al-Gaffar), di mana Dia mempertimbangkan situasi atau keadaan sesuai dengan waktunya. Jika hukuman pantas diberikan, maka di bawah Nama ini, Dia akan melindungi hambaNya dari-Nya, dan jika hukuman tidak layak, Dia melindungi dari keadaan yang mendatangkan hukuman.

 

Dengan cara ini, hamba-hamba (para wali) semacam ini diangeap kebal dan terlindungi dari dosa. Pemberi adalah Allah, sebagai Pemelihara perbendaharaan melalui Kebaikan-Nya, yang hanya Dia bagikan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan melalui Nama yang cocok. “Dia memberikan secara sesuat terhadap semua yang Dia ciptakan”, dengan Nama-Nya Yang Mahaadil (al-Adl) dan sifat-sifat yang sama.

 

Nama-nama Allah tidak terbatas. Sebab, Nama-nama ini dikenal oleh semua yang berasal dari mereka yang terbatas, bahkan, sekalipun nama-nama tersebut berasal dari sejumlah sumber yang telah dikenal, yang merupakan acuan-acuan atau tempat Namanama dipakai. Pastinya, hanya ada satu Realitas, yang meliputt semua sifat dan hubungan ini, yang disebut dengan Nama-nama Ilahi. Realitas ini menjamin bahwa setiap Nama, yang secara tak terbatas memanifestasi, akan mempunyai realitasnya sendiri, yang dibedakan dari setiap Nama yang lain. Realitas yang berbeda ini adalah esensi dari Nama (Nama itu sendiri), bukan bahwa ia mempunyai kesamaan dengan yang lain. Dengan cara yang sama, setiap pemberian ilahi dibedakan dari setiap yang lain dengan kualitas individualnya sendin; karena, meskipun semua berasal dari sebuah sumber tunggal, terbukti bahwa satu pemberian tidak sama dengan yang lain. Yang menyebabkannya adalah saling pembedaan di antara Nama-nama, di sana tidak ada repetisi atas Hadirat Tlahi dan semua perluasannya. Hal int merupakan kebenaran yang tidak bisa diperdebatkan lagi.

 

Hal semacam ini adalah pengetahuan yang dimiliki oleh Syis, dan itulah ruhnya yang menggerakkan setiap ruh lain yang mengungkapkan jenis kebenaran ini, kecuali ruh Tanda, karena dasar spititualnya berasal secara langsung dari Allah, dan bukan dari ruh lain. Lebih jauh, ia berasal dari ruh atau Tandanya, sehingga semua ruh lain memperoleh substansinya, kendatipun Tanda itu tidak menyadari fakta sementara dalam tubuh fisik. Dalam hal tealitas esensial dan tingkatan spiritualnya, dia mengetahuinya secara esensial, sementara tentang tubuh, dia tidak mengetahuinya.

 

Dia mengetahui sekaligus tidak mengetahui, yang dengan menghubungkan pada dirinya sifat-sifat yang bertentangan, sebagaimana dilakukan Sumber Itu Sendin, yang menjadi Mahaagung (al-Jalil) sekaligus Yang Indah (al-Jamil), Yang Lahir (az-Zahir) dan Yang Batin (al-Batin), Yang Pertama (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), wajud (coincidentia oppositorum) inilah yang menjadi esensi dirinya. Dia mengetahui dan tidak mengetahui, dia sadar dan tidak sadar, dia memahami, dan, namun tidak memahami.

 

Karena pengetahuan inilah, Syis diberi nama demikian, namanya berarti ‘Pemberian Allah’ (Hibah Allah). Di tangannya terdapat kunci bagi pemberian-pemberian ilahi dalam semua variasi dan hubungannya. Allah menganugerahkan Syis kepada Adam, sebagai pemberian pertama tak bersyarat, dengan menganugerahkannya sebagai sesuatu yang berasal dari Adam sendiri, karena anaknya adalah realitas batin ayahnya, dengan mengeluarkan darinya dan kembali kepadanya. Jadi, tidak ada yang asing baginya yang datang sebagai pemberian Allah. Barangsiapa yang pemahamannya dulhami oleh Allah, pasti akan mengetahui hal ini.

 

Sesungguhnya, setiap pemberian di alam nyata ini didasarkan atas bentuknya. Ada yang tiada pada setiap orang dani Allah (sebagai yang lain), dan ada yang tiada pada setiap orang kecuali yang berasal dari dirinya sendiri, betapa pun beragam bentuknya. Meskipun hal ini menjadi kebenaran abadi dari materi ini, tidak seorang pun mengetahuinya secara langsung kecuali beberapa elit wali tertentu. Anda seharusnya menemui salah seorang di antara meteka yang memiliki pengetahuan semacam ini. Anda bisa mempunyai keyakinan yang besar kepada dirinya, karena dia adalah mutiara langka di antara elit masyarakat.

 

Kapan pun seorang gnostikus menerima intuisi spiritual di mana dia melihat sebuah bentuk yang membawanya pada sebuah pengetahuan spiritual baru dan kehormatan spiritual baru, dia seharusnya mengetahui bahwa bentuk yang direnungkan tidak lain daripada diri esensialnya. Sebab, ia hanya berasal dari pohon dirinya sendiri sehingga dia akan mengumpulkan buah dari pengetahuannya tersebut. Dengan cara yang sama, citranya dalam se buah permukaan yang digosok adalah sia sia kecuali dia, meski pun tempat atau taraf di mana dia melihat citranya mempengaruhi perubahan perubahan tertentu dalam citra yang sesuai dengan realitas intrinsik dari taraf itu. Dengan cara ini, sesuatu yang besar tampak kecil dalam sebuah cermin yang kecil, panjang dalam sebuah cermin yang panjang, dan bergerak dalam sebuah cermin yang bergerak. Ia menghasilkan pembalikan citra ini dan suatu bidang tertentu, atau ia menghasilkan sebuah citra yang benar-benar persis, kanan mencerminkan kanan—dan kiri mencerminkan kiri. Tetapi, adalah Icbih biasa jika dalam cermin sebelah kanan mencerminkan yang kiri. Namun, berbeda dengan hal ini, yang kanan terkadang mencerminkan yang kanan sehingga pembalikan pun terjadi. Semua ini juga terjadi sama dengan mode-mode dan sifat-sifat bidang di mana tajalli ilahi terjadi, yang kita bandingkan pada sebuah cermin.

 

Siapa pun yang mempunyai pengetahuan dari kecenderungan abadinya, mengetahui pemberian ilahi tentang apa yang akan dia terima, meskipun tidak setiap orang mengetahui apa yang akan dia terima, juga mengetahui kecenderungannya, kecuali setelah dia menerima, meskipun dia mengetahuinya dengan cara umum.

 

Para teoretisi tertentu yang intelektualnya lemah, yang sepakat bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya, selanjutnya menyatakan sesuatu tentang Allah, yang berlawanan dengan Hikmah dan kebenaran. Mereka lebih jauh menyangkal kontingensi (al-imkan), sebagaimana juga wujud yang mencukupi-diri (al-wajub bi az-zati) dan esensial relatif. Orang yang benar-benar mengetahul, menegaskan kontingensi dan mengetahui tarafnya; dia mengetahui apa yang kontingen dan dengan cara apa ia demikian, bahkan dianggap dalam esensinya, ia mencukupi diri dengan keutamaan sesuatu selain dirinya, sebagaimana juga dia mengetahui dengan cara apa sumbernya dianggap sebagai ‘yang lain’, ketika ia menjadikan dirinya cukup dengan sendirinya. Hanya mereka yang mempunyat pengetahuan khusus tentang Allah-lah yang memahami hal ini secara terperinci.

 

Akan menjadi ada dalam garis keturunan Syis bahwasanya manusia sejati terakhir akan lahir, sambil membawa rahasia-rahasianya tentang Hikmah ilahi. Manusia semacam ini tidak akan lahir sesudah dirinya. Dia akan menjadi Tanda Generasi. Di sana, akan lahir dengan dirinya seorang saudara wanita yang lahir sebelumnya, sehingga kepalanya akan menjadi kakinya. Dia akan lahir di daratan Cina dan akan berbicara dengan bahasa daerah tersebut. Kemudian kesucian akan mengatasi para pria dan wanita daerah ini dan, meskipun akan bergaul, tidak  akan terlahir seorang anak sebagai manusia sejati. Dia akan menyeru mereka kepada Allah dengan tanpa keberhasilan, dan ketika Allah mengambilnya beserta orang-orang yang beriman di masanya, yang lain tetap hidup laksana binatang buas tanpa mengenal baik dan buruk, digantikan dengan hukum alam yang lebih rendah, intelek dan Syariah Suci menjadi kosong. Zaman Akhir pun akan menyusul mereka.

 

CATATAN PENGANTAR

 

BARANGKALI, inilah yang paling sulit dan kontroversial dari bab-bab Fusus al-Hikam, dengan alasan penafsiran yang tidak biasa dan luar biasa terhadap Alqur’an yang menjadi ciri khas di dalamnya. Pastinya, dari sudut pandang teologi esoterik, pendekatan Ibn ‘Arabi terhadap materi Alqur’an dalam bab ini, adalah sembrono, terburuk, dan lebih parah lagi, adalah bid’ah. Bab ini juga tidak lazim di antara bab-bab dari karya ini, di mana ia tidak hanya membatasi pokok persoalan pada situasi Nabi Nuh, yang disebut dalam judul, tetapi hampir menggambarkan semua materi kutipan dari surat Nuh di dalam Alqur’an. Jadi, bab ini sebenarnya adalah sebuah komentar tentang isu-isu yang diangkat dalam surat ini.

 

Situasi yang digambarkan dalam surat ini berkenaan dengan usaha-usaha Nuh untuk membujuk masyarakatnya yang bodoh dan buruk karena menyembah berhala, dan kebutuhan yang mendesak untuk bertobat dan mengakui kesatuan transenden Allah yang sebenarnya. Di sepanjang surat, Nuh memohon kepada Allah untuk menyucikannya, dan untuk menghukum orang sesamannya yang lalai dan keras kepala. Ibn ‘Arabi menggunakan situasi ini tidak untuk mencgaskan kebenaran Nuh, tetapi agaknya untuk menggali dan mendalami secara kesecluruhan serangkatan konsep-konsep polar, hubungan yang dia bahas dari sudut pandang Kesatuan Wujud (Wahdah al-Wujud).

 

Dia memulai dengan membahas ketegangan antara gagasan transendensi dan gagasan imanensi atau keberbandingan, dan hal ini menjadi jelas, dengan membaca lebih jauh bab ini, sehingga dia menganggap Nuh sebagai wakil dari yang pertama, dan masyarakat Nuh berpegang pada pandangan yang terakhir. Penjelasan di awal bab ini, bahwa kedua posisi ini saling berkaitan dan sebenarnya tidak bisa dianggap terpisah satu sama lain, juga menjadi jelas. Dia menganggap kedua sisi pertentangan dalam Alqur’an ini tidak salah atau benar, tetapi keduanya dengan sendirinya merepresentasikan dua modalitas fundamental dari pengalaman Diri Ilahi yang, pada satu dan waktu yang sama, terlibat dalam, dan terasimulasikan ke dalam, penciptaan Koosmiuk, dan sepenuhnya dihilangkan dari, dan, melampauinya. Sesungguhnya, semua pasangan konsep lain yang dia bahas dalam bab ini, berasal dari pasangan ini.

 

Selanjutnya, Ibn ‘Arabi mempertimbangkan konsep-konsep lahir-batin, bentuk-ruh, serta mengelaborasi lagi sabda Nabi, “Siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya” dengan inplikasi yang jelas bahwa wujud Adam, sebagai tanah, sebagai ciptaan dari citra Realitas, adalah sintesis mikrokosmik dari bentuk dan ruh, menjadikan ruh dari bentuk, dan bentuk dari ruh. Dengan nada yang sama, Ibn ‘Arabi menuruti kecenderungannya untuk memanipulasi akar-akar kata Arab dalam mengilustrasikan poin ini. Jadi, dia mengambil kata gur’an, yang berasal dari akar qara’a, dan menjelaskannya seakan-akan ia  berasal dari akar garana, yang berarti berhubungan atau berkaitan. Kemudian, dia mempertentangkan penafsiran baru terhadap kata ini dengan furqan, sehingga kita mempunyai pasangan konsep-konsep, korelasi-distingsi—dengan kata lain, sehingga di satu sisi menghubungkan Allah dengan manifestasi kosmik, dan di sisi lain menegaskan keterpisahan mutlakNya darinya.

 

Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi tidak menganggap masyarakat Nuh dengan sendirinya tersesat, tetapi agaknya sebagai penentang —meskipun tidak sadar—terhadap realitas manifestasi-Diri (tajalli) ilahi dalam keragaman bentuk-bentuk kosmik yang berubah, dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa Nuh mengeraskan transendentalisme ekstremnya dengan sedikit konsesi pada imanensi ilahi, masyarakatnya lebih responsif pada desakan kerasnya.

 

Di akhir bab ini, penafsiran-penafsiran Ibn ‘Arabi terhadap ayat-ayat Alqur’an, tampaknya sangat keras, karena dia tampak menegaskan makna-makna secara diametral, bertentangan dengan yang biasanya diterima. Pendek kata, dia menafsirkan “orang yang berbuat salah”, “kafir”, dan “pendosa”, dari ayat-ayat terakhir surat Nuh, sebagai orang suci dan gnostikus yang tenggelam dan terbakar, bukan di dalam siksaan Neraka tetapi bahkan di dalam nyala api dan air gnosis, yang dibingungkan dalam kebingungan ilahi terhadap kesadaran mereka dari paradoks Allah.

 

Meskipun pada pandangan pertama terkesan tidak komprehensif dan luar biasa, penafsiran-penafsiran semacam ini tampak sebagai usaha yang disengaia dari Ibn ‘Arabi untuk mendemonstrasikan sehidup mungkin implikasi penuh dari konsep Kesatuan Wujud, dalam konteks bahwa semua kemungkinan oposisi dan konflik diatasi dalam keseluruhan dan kesatuan Realitas yang tak terbayang.

 

HIKMAH KEAGUNGAN DALAM FIRMAN TENTANG NUH

 

Bagi orang yang benar-benar mengetahui Realitas-realitas ilahi, doktrin tentang transendensi (at-tanzih) menekankan peNgetatan dan pembatasan terhadap Realitas, karena yang menegaskan bahwa Allah secara murni transenden, adalah orang bodoh atau jahat, meskipun ia Mukmin. Sebab, jika ia mempertahankan bahwa Allah secara murni tansenden dan mengabaikan semua pertimbanggan lain, maka ia bertindak jahat dan salah menafsirkan Realitas dan semua rasul, walaupun tanpa disadarinya. Dia membayangkan bahwa dia menemukan kebenaran, padahal dia sepenuhnya kchilangan cap itu, layaknya orang yang mempercayai sebagian dan menyangkal sebagian.

 

Telah dikenal bahwa ketika Kitab-kitab Suci berbicara tentang Realitas, mereka berbicara dengan suatu cara yang menghasilkan keumuman manusia dan makna yang langsung tampak. Kalangan elit, di sisi lain, memahami semua makna yang inheren dalam ungkapan itu, dengan istilah apa pun ia diekspresikan.

 

Yang benar adalah bahwa Realitas itu nyata di dalam setiap wujud ciptaan dan di dalam setiap konsep, sementara Dia, pada waktu yang sama, tersembunyi dari semua pemahaman, kecuali bagi seseorang yang beranggapan bahwa Kosmos adalah bentukNya dan identitas-Nya. Ini adalah Nama, Yang Lahir, sementara Dia juga adalah Ruh Yang Tidak Lahir, Yang Batin. Dalam pengertian inilah, Dia, dalam kaitannya dengan bentuk nyata dari Kosmos, adalah Ruh yang menentukan bentuk-bentuk itu.

 

Dalam pelbagai definisi tentang Manusia, aspek batin dan lahirnya dipertimbangkan, sebagai hal yang berkaitan erat dengan semua objek definisi. Adapun Realitas, Ia bisa didefinisikan dengan setiap definisi, karena bentuk-bentuk Kosmos tidak terbatas, tetapi ia tidak dapat menjadi definisi dari setiap bentuk yang dikenal, kecuali sejauh bentuk-bentuknya implisit dalam definisi tentang Kosmos.

 

Jadi, sebuah definisi sejati tentang Realitas itu tidak mungkin, karena definisi semacam ini tergantung pada kemampuan sepenuhnya untuk mendefinisikan setiap bentuk dalam Kosmos, yang juga tidak mungkin. Oleh karena itu, sebuah definisi utuh tentang Realitas tidaklah mungkin.

 

Adalah sama dalam kasus tentang seseorang yang mengakui komparabilitas (kebisadisamakan) AHah tanpa mempertimbangkan inkomparabilitas (ketakbisadisamakan) Nya, sehingga dia juga mengctati dan membatasi Nya, dan karena itu, tidak mengenalNya. Namun, dia yang menyatukan dalam pengetahuannya tentang Allah, baik transendensi (tanzih) maupun imanensi (tasybih) dengan cara komprchensif, tidak mungkin mengetahui hal semacam ini secara detail, dengan menerima ketakterbatasan bentuk-benuk kosmik, mengenal-Nya secara umum, tetapi bukan dengan cara terperinci, sebagaimana dia mengenal dirinya sendiri secara umum dan tidak detail.

 

Dalam hubungan ini, Nabi bersabda: “Siapa yang (benar-benar) mengenal dirinya sendini, maka ia mengenal Tuhannya” dengan menghubungkan sekaligus pengetahuan tentang Allah dengan pengetahuan tentang diri. Allah berfirman: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami di kaki langf’, yang arunya di luar dunia, dan “di dalam diri kamu sendin.” Diri di sini berarti esensi batin Anda, “hingga menjadi jelas kepada mereka bahwa Dia adalah Realitas” di mana Anda adalah bentuk-Nya, dan Dia adalah Ruh Anda. Anda berhubungan dengan-Nya sebagaimana tubuh fisik Anda berhubungan dengan Anda. Dia berkaitan dengan Anda seperti ruh Anda yang mengatur bentuk fisik Anda.

 

Definisi inilah yang Anda catat tentang aspek lahir dan batin Anda. Sebab, bentuk yang tetap ketika ruh yang mengatur tidak ada lagi, tidak ada lagi yang disebut sesosok manusia, melainkan hanya sebuah bentuk yang menyerupai manusia, di sana tidak ada perbedaan nil antara ia  dan bentuk kayu atau batu. Sebutan “manusia” dapat diberikan pada bentuk semacam ini hanya secara figuratif, bukan sebenarnya.

 

Di sisi lain, Realitas tidak pernah menarik diri dari bentukbentuk Kosmos dengan suatu pengertian fundamental, karena Kosmos, dalam realitasnya, dengan sendirinya implisit dalam definisi tentang Ketuhanan, bukan semata-mata secara figuranf sebagaimana manusia ketika hidup dalam tubuhnya.

 

Sebagaimana bentuk lahir Manusia memberikan pujian pada tuh dengan lidah dan jiwanya yang mengaturnya, demikian juga Allah yang menycbabkan bentuk Kosmik, memuji-Nya, meskipun kita tidak bisa memaham1i pujian-Nya dengan alasan ketidakmampuan kita untuk memahami semua bentuk Kosmos. Segala sesuatu adalah ‘lidah’ Realitas, yang mengungkapkan pujian terhadap Realitas. Allah berfirman: “‘Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian Alam”, karena semua pujian kembali kepada-Nya, yang merupakan Pemuji (Masni) dan Yang Dipuji (Musna).

 

Jika Anda hanya menegaskan transendensi-Nya, Anda membatasiNya,

 

Dan jika Anda hanya menegaskan imanensi-Nya Anda membatasiNya.

 

Jika Anda memelihara kedua aspek itu, Anda benar, Imam dan guru dalam ilmu spiritual.

 

Barangsiapa yang mengatakan Dia adalah dua hal, adalah seorang politeis (musyrik),

 

Sementara orang yang mengucilkan-Nya, coba untuk mengaturNya.

 

Hati-hati dalam memperbandingkan-Nya jika Anda menganut dualitas,

 

Dan, jika kesatuan, hati-hatilah menjadikan-Nya transenden.

 

Anda bukan Dia dan Anda adalah Dia dan

 

Anda melihat-Nya dalam esensi sesuatu yang terikat dan terbatas.

 

Allah berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya”, dengan menegaskan transendensinya, dan: “‘Dza Maha Mendengar, Maha Mekhat’,? yang menyatakan secara tidak langsung perbandingan. Di sisi lain, dalam kutipan pertama, secara implisit terdapat perbandingan—meskipun negatuf—dan dualitas—dengan kata “menyamai’’-dan dalam kutipan kedua, transendensi dan keterpisahan adalah implisit—hanya Dia yang disebut.

 

Ketika Nuh menggabungkan kedua aspek ini dalam menyeru kaumnya, mereka menanggapi seruan ini. Dia menunjukkan pemahaman lahir dan batinnya dengan mengatakan: ‘Mohonlah ammpun kepada Tuhanmu, Rarena Dia Maha Pengampun.’ Kemudian dia bersabda: “Aku menyeru mereka pada malam hari [batin] dan siang hari [lahir], tetapi seruanku hanya membuat mereka lebih menentang [lahir].” Dia menyatakan bahwa kaumnya mermalingkan telinganya yang tuli dari seruannya—dari sudut pandang kesatuan dan transendensi. Orang-orang yang mengenal Allah memahami ungkapan yang dibuat Nuh mengenai apa yang dia ketahui sebagai keadaan riil kaurmnya, di mana dengan menyalahkannya, dia memujinya, karena dia mengetahui alasan tidak tanggapnya mereka secara positif terhadap seruan-seruannya; alasan yang seruannya mesupakan ruh pembedaan (diskriminasi), yang berusaha mempertentangkan transendensi dari imanensi. Yang benar adalah sebuah perbandingan (al-qur’an [qarana] sebagai keseluruhan wahyu) dan bukan sebuah pembedaan (al-furqan [faraqa] sebuah bab Alqur’an, yakni, sebuah bagian).

 

Seorang yang ditegakkan dalam pengetahuannya akan kata penghubung ini tidak bertempat pada pembedaan (al-furqan), karena yang pertama (al-qur’an) meliputi pembedaan (bab—kedua bahwa al-furqan meliputi al-qur’an. Karena alasan inilah, Alqur’an (kesaman kedua aspek) diberikan pada Muhammad dan umat kita yang merupakan jaminan terbaik untuk manusia.

 

Kutipan “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya” menggabungkan kedua aspek ini. Ketika Nuh mengungkapkan jenis perkataan ini dalam menyeru masyarakatnya, mereka menanggapi secara positif terhadapnya, karena dia menggabungkan dalam ayat tunggal ini mode transendental dan imanental; bahkan, dalam separuh ayat.

 

Nuh menyeru kaumnya pada wmwalam hari, di mana dia menunjukkan intelek dan semangat mereka, yang gaib, dan di siang hari, di mana dia menunjukkan pengertian eksternalnya. Tetapi, ia tidak menyatukan kedua hal ini, sebagaimana dalam ayat “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.” Karena alasan inilah, diri baun mereka—dengan adanya aspek imanensi—dikaitkan kembali dart Seruannya, karena sifat permbedaannya, menjadikan mereka bahkan lebih menentang (lahir). Maka, dia menceritakan kepada mercka bahwa dia menyeru kepada mereka agar Allah melindunginyadari dosa imanensi terus-menerus—dan tidak untuk menunjukkan atau mengungkap pada mercka transendensi-Nya sebagai sesuatu yang absolut. Inilah yang mereka pahami darinya, sesuai dengan pengertian lahiriahnya, sehingga mereka meletakkan jari-jarinya di telinga mereka, dan coba menutupinya dengan baju mereka. Hal ini merupakan bentuk eksternal perlindungan, di mana dia menyerukan kepada mereka, meskipun mereka menanggapi secara harfiah dengan tindakan mereka dan tidak dalam penyetahan yang rendah hati atau pada perlindungan Allah.

 

Dalam ayat “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya” kesamaan dinyatakan secara tidak langsung dan sekaligus disangkal. Karena itulah, Muhammad bersabda bahwa dia diberikan pengetahuan tentang Allah dengan mengintegrasikan semua aspeknya. Tidak seperti Nuh, Muhammad tidak menyeru kaumnya pada malam hari dan siang hari, tetapi di malam hari selama siang (sebuah seruan implisit di dalam yang lahir), dan di siang hari selama malam (kebenaran lahir yang implisit di dalam batin).

 

Nuh, dalam hikmahnya, bersabda pada meteka, “Niseaya Dia mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” yang berarti pengetahuan dan refleksi intelektual, dan “memberikan kamu harta yang berlimpah,” dengan mana Dia menyerahkan padamu untuk DiriNya. Ketika Dia melakukan hal ini, kamu akan melihat bentukmu pada Diri-Nya. Siapa pun yang membayangkan bahwa dia melihat Realitas Diri-Nya, tidak memiliki gnosis; yang memiliki gnosis (arif) adalah yang mengetahui bahwa diri esensialnya sajalah yang dia lihat sendiri. Jadi, manusia pada dasarnya dibagi menjadi manusia yang mengetahui (alim) dan manusia yang tidak mengetahui (gayr ‘alim). Dan, “…keturunannya’,” yang berarti bahwa hasil dan pemikiran diskursif biasa mereka, sementara yang dibutuhkan adalah kesetiaan pengetahuan pada kontemplasi, jauh dihilangkan dari buah pemikiran biasa. “(Hanya akan bertambah pada mereka) kerugian” dan “perdagangan mereka akan merugi’’, berarti bahwa yang mereka pahami dan yang mereka bayangkan sebagai warisan mereka berasal dan mereka. Berkenaan dengan para pewaris Nfuhammad (al-Mahammadiyyin), Dia berfirman: “Nafkahkanlah sebgian dari hartamu yangvtelah Allah jadikan kamu kenguasainya” Dalam kasus Nuh—dan kaumnya—Dia berfirman: “Apakah kamu tidak mengambil orang yang terpercaya selain aku?” Dengan ini, Dia memegaskan bahwa, dalam kasus mereka, kekuatannya adalah miik mereka, Allah sebagai terpercaya bagi mereka, sementara dalam kasus pewaris Muhammad, mereka adalah wakil-wakil Allah dalam Kerajaan-Nya. Allah sebagai Pemilik dan Pengawas, sementara mereka adalah hanya pemilik, dalam arti mereka adalah wakil-wakil.

 

Jadi, Realitas adalah Penguasa Kerajaan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh at-Tirmizi.

 

Dan mereka merencanakan suatu konspirasi besar”, yang berati seruan pada Allah, dalam satu cara, adalah suatu tipu-daya yang dimainkan atas orang yang diseru, Karena Allah bukanlah noneksisten dalam cara pertama, yaitu yang diseru, ketimbang yang Kedua. “Saya menyeru kepada Allah’, yang merupakan tipu-daya dirinya, “dengan penyingkapan yang jelas”, yang menunjukkan bahwa kedua cara ini berkaitan dengan-Nya. Jadi, mereka menanggapinya dengan tuupu-daya, sebagaimana dia serukan mereka dengan tipu-daya.

 

Pewaris Muhammad mengetahui bahwa seruan-seruan pada Allah bukanlah seruan pada Esensi-Nya, melainkan pada-Nya dalam hal Nama-nama-Nya. Dia berfarman: “Ingatlah pada suatu hari kita akan berkumpul bersama orang-orang takwa dalam satu kelompok” yang menunjukkan bahwa mereka akan datang di hadapan Allah dalam Nama Yang Maha Pengasih, bukan di hadapan Allah dalam EsensiNya Kita mengetahui bahwa Kosmos berada di bawah aturan Nama ilahi, yang membuat semua yang ada di dalamnya terlindungi.

 

Di dalam tipu-daya mereka, mereka mengatakan: “‘Janganlah Sekali-kali kamu meninggalkan [penyembahan] tuhan-tuhan kamu, baik Wadd, Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasr” Jika mereka meninggalkan sesembahan-sesembahan itu, maka mereka tidak akan mengenal Realitas, atas sekira-kira apa yang mereka tinggalkan dari sesembahan-sesembahan itu, karena di dalam setiap objek sesembahan, ada sebuah refleksi tentang Realitas, apakah ia diakui ataukah tidak.

 

Dalam hal para pewaris Muhammad, Dia berfirman: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu hanya menyembah Dia’ ,” yang beraru Dia telah menentukannya. Orang yang mengctahui, mengetahui Siapa yang disembah, dan dalam bentuk apakah Dia mengada (zahara/ manifest) untuk disembah. Dia juga mengetahui pembedaan dan keragaman bentuk-bentuk, semata-mata bagian dan sebuah bentuk indriawi atau kekuatan dani citra spiritual. Sesungguhnya, dalam setiap objek sesembahan itulah sebenarnya Allah yang disembah.

 

Orang bodoh (adna) membayangkan objek yang dianggap ilahi dan, bukankah gagasan seperti ini, juga batu atau segala sesuatu, sama dengan sebuah objek sesembahan. Atas dasar ini, Dia berfirman: “Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu.” Ketika mereka melakukan demikian, mereka menyebut sesembahan-sesembahan itu sebagai batu, pohon, atau bintang. Ketika mereka ditanya siapakah yang meteka sembah, mereka katakan ‘tuhan’ (ilah) dan bukan ‘Allah’ (Adah) atau ‘Tuhan’ (al-Ilah).

 

Manusia yang dikaruniai dengan pengetahuan (a’la) tidak membayangkan demikian, tetapi mengetahui bahwa objek sesembahan adalah kendaraan manifestasi ilahi, rujukan yang layak, dan tidak membatasi dirinya pada objek khusus itu.

 

Orang bodoh mengatakan: “Kami hanya menyembah mereka agar menyebabkan kami lebih dekat kepada Allah.” Manusia yang mengetahui mengatakan: “Tuhanmu hanya Satu, oleh karenanya tundukkanlah dirimu pada-Nya, bagaimanapun Dia mengejawantah, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang tunduk patuh kepada Tuhan”, yaitu, orang yang tunduk pada api akibat sifat mereka yang rendah. Mereka mengatakan “tuhan” dan bukan “alam”, sesuatu yang pasif.

 

Dia juga berfirman: “Mereka menyebabkan kesesatan banyak orang”, yang berarti bahwa mereka menyebabkan mereka yang banyak menjadi bingung menghadapi keragaman nyata dari Yang Esa, berkenaan dengan aspek-aspek dan sifat-sifat-Nya.

 

“Dan janganlah Engkau tambahkan bagu orang-orang zalim [selain kesesatan], yang berarti orang-orang yang menzalimi diri mereka sendiri—dengan penyangkalan-diri—yang mewarisi Kitab. Ini adalah yang pertama dari tiga kategori yang disebutkan Allah di banyak tempat, karena Dia menempatkan orang yang menzalimi diri-sendiri sebelum orang moderat (al-muqtasid) dan “‘orang yang berbuat kebatkan.” “Di dalam kesesatan” yaitu, di dalam kebingungan (kefanaan-diri spiritual) pada sebagian para pewaris Muhammad, yang mengatakan, “Tuhanku menambah kebingunganku berkenaan dengan Kanu.’”? “Setiap kali kilat [tajalli dari Yang Esa] itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka [karena keragaman bentuk-bentuk], mereka berhenti [karena kebingungan].” Dia yang mengalami kebingungan ini, secara terus-menerus memusatkan Allah, sementara dia yang mengikuti jalan ‘panjang’, menuju Allah yang jauh, selalu mengenyampingkan tujuan tertinggi untuk mencari yang secara abadi berada di dalamnya, sambil berlari mengejar imajinasi sebagai tujuannya. Dia mempunyai titiktolak imajiner dan apa yang dianggapnya sebagai tujuan serta apa yang terletak di antara keduanya, sementara manusia yang memusatkan Allah, tidak ada pembatasan awal atau akhir, yang memiliki eksistensi paling komprehensif, dan sebagai penerima kebenaran-kebenaran dan realitas-realitas ketuhanan.

 

“Karena pelanggaran mereka”, yang melampaui diri mereka sendiri, sehingga mereka tenggelam dalam pengetahuan Allah, yang merupakan sesuatu yang dimaksudkan dengan kebingungan. “Dan mereka terlempar ke dalam api”, yang berarti sama dengan tenggelamnya para pewaris. “Ketika air laut dipanaskan”. di mana akar verbal yang sama digunakan untuk menunjukkan panasnya tungku. “Mereka tidak akan mendapatkan penolong kecuali Allah’ , karena penolong mereka pada esensinya tidak ada selain Allah, dan mereka terlempar ke dalam Diri-Nya untuk selama-lamanya.

 

Manakala Dia mengantarkan mereka dari laut gnosis ke pantai Alam, Dia akan merendahkan mereka dari sebuah tahap yang tinggi dari capaian spiritual, yakni yang relatif tinggi, meskipun pada hakikatnya semuanya adalah milik Allah, melalui Allah, yang memang adalah Allah.

 

“Nuh mengatakan, Wahai Tuhanku!”, Dia tidak mengatakan, “Wahai Allahku”, karena Allah sebagai Tuhan adalah pasti, sementara ketuhanan adalah beragam, sesuai dengan kcragaman dari Nama-nama-Nya, dan setiap hari ia terlibat dalam persoalan itu.” Sebagai Tuhan, Allah menunjukkan sebuah keajegan mode tanpa harus seruan itu menjadi sesuai. “[Wahai Tuhanku], jangan tinggalkan [setiap orang kafir yang bertempat] di atas bumi, yaitu pada tingkat ketaatan terhadap manifestasi formal, dengan memohon bahwa mereka akan dibawa pada aspek batin, dari pengetahuan Kesatuan esensial.

 

Berkaitan dengan para pewaris Muhammad, dikatakan: “Jika kamu melepaskan sebuah tali, ia tergantung pada Allah [Dia berada di bawah dan di atas]”, dan, “Miliknya apa yang ada di Surga dan di Bumi.” Ketika Anda dikuburkan di dalamnya, Anda akan berada di dalamnya, dan ia akan menjadi penutup Anda, “kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan darinya Kani akan membangkitkan kamu untuk kedua kalinya”, karena keragaman aspek “…dari orang-orang kafir”, yang “berusaha menutupkan baju mereka (ke muka mereka) dan memasukkan anak jart mereka ke telinga mereka”, yang berusaha menutup karena dia menyeru mereka agar Dia melindungi (memaafkan) mereka, yang merupakan sejenis penutup. “Bertempat’,” yaitu semua mereka, sehingga kebajikan akan menjadi umum seperti seruan-seruan. “Jka kamu membiarkan mereka’, yaitu meninggalkan mereka, sebagaimana adanya, “mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu”, yang berarti bahwa mereka akan membingungkan mereka dan menyebabkan mereka meninggalkan kehambaan mereka untuk menegaskan rahasia Ketuhanan dalam dirinya, sehingga mereka akan mempertimbangkan diri-diri meteka sebagaimana Tuhan-tuhan setelah menjadi hamba-hamba. Mereka sebagai hamba-hamba menjadi tuhan-tuhan. “Mereka hanya akan melahirkan”, mereka hanya menghasilkan dan mewujudkan “orang yang melanggar secara terbuka [orang yang berbuat salah], yaitu orang yang mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, dan “orang yang mengingkari”, yaitu orang yang menyembunyikan sesuatu yang nyata setelah kemunculannya. Mereka melahirkan apa yang tersembunyi, dan kemudian menyembunyikannya setelah kemunculannya, sehingga pelaku akan bingung, tidak  mengetahui apa yang dimaksudkan penyingkap dengan tindakannya, tidak juga penyembunyinya, meskipun mereka sebenarnya sama.

 

“Tuhanku, lindungilah [ampunilah] daku, yakni, sembunyikanlah daku (dari diri terpisahku) dan lindungilah kepentinganku (yang lain dari Kamu) dan bawalah masa dan maqamku yang tidak diketahui dalam Engkau karena Engkau tidak dapat diukur; Engkau berfirman: “Mereka dak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.” “Dan orang tuaku”, dari mana saya berasal, yaitu Intelek dan Alam. “Dan stapa pun yang memasuki rumahki’, yaitu ke dalam hatiku, “yang beriman’’, yaitu, menegaskan komunikasi-komunikasi ilahi, menjadikan dirinya menerima mereka. “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki”, yang bermakna intelek, “dan perempuan’’, yang berarti jiwa.

 

“Dan tambahkan bagi orang-orang zalim’’, orang-orang dalam kegelapan yang dimuliki oleh Yang Gaib, tersembunyi di balik tirai yang gelap, “kecuak dalam kehancuran”, yaitu dalam kefanaan (pada Allah). Mereka mempunyai kesadaran tentang diri mereka sendiri, karena perenungan mereka tentang wajah Realitas menyerap mereka kepada pengucilan diri mereka sendiri yang terpisah. Di antara para pewarisnya, diingatkan ayat ini: “Semua binasa dan yang tetap wajah-Nya” “kehancuran” dalam ayat di atas bermakna “‘pemusnahan”’ ini.

 

Siapa pun yang ingin memperoleh akses kepada rahasia-rahasia Nuh, harus naik (raqi) ke Planet Matahari—dalam teks Arabnya, fulk Nuh—perahu Nuh). Materi-materi ini juga dibahas dalam buku kami, at-Tanazzulat al-Mawsuliyyah.”

 

CATATAN PENGANTAR

 

UNTUK memahami signifikansi bab ini tentang kata “kesucian” (quddusiyyah) dalam judul di atas, maka perlu diketahui bahwa makna dari akar kata Arab gadasa adalah “suci”, yang dalam konteks ini berari kejauhan spiritual Allah dan kungkungan alam atau Kosmos. Untuk menunjukkan relevansi gagasan ini lebih jauh, harus dijelaskan bahwa dalam kebanyakan tradisi agama yang berorientasi spiritual, gagasan kejauhan spiritual, dalam pengertian transenden, erat kaitannya dengan gagasan tentang ketinggian atau peninggian, yang sesungguhnya merupakan topik utama bab ini.

 

Ibn ‘Arabi membagi konsep peninggian ke dalam dua jenis: peninggian posisi, yang berkaitan dengan aktivitas kosmik melalut jiwa, dan peninggian tingkat, yang berkaitan dengan pengetahuan tentang ruh. Dia juga membahas makna dan signifikansi term “peningeian” (elevation) dalam hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, peninggian posisi sesuai dengan skala kosmik dan peninggian tingkat sesuai dengan skala ilahi, meskipun ia tidak lain adalah Allah, sebagai unsur yang disembah dalam polaritas Pencipta-ciptaan, Yang dikatakan dinaikkan, karena Realitas Itu Sendiri melampaui dan, pada waktu yang sama, meliputi konsep semacam int, apakah ia  berupa posisi atau tingkat. Semuanya tergantuny pada apakah seseorang memandang Allah sebagai Tungyal dalam pengertian Unik, ataukah sebagai Tunggal dalam pengertian Yang Pertama dan yang banyak.

 

Hal ini mengantarkan kita pada persoalan selanjutnya yang berkaitan dengan bab ini, yaitu bab teori misuk tentang angka. Di sint, dia membahas implikasi bagi ajaran-ajarannya dalam mempertimbangkan angka satu, apakah sebagai angka par excellence dati mana semua angka lain berasal dan dari mana angka-angka lain itu hanyalah manifestasi-manifestasi, atau angka satu sebagai sebuah realitas unik dalam dirinya, yang tak berkaitan dengan, dan melampaui setiap, kemungkinan berkelipatan. Bagi Ibn ‘Arabi, persoalan ini sekali lagi berkaitan dengan polaritas ‘Allah dalam Diri-Nya—Allah’ dalam Kosmos. Dengan kata lain, apakah kita melihat Allah sebagai unik, dan oleh karena itu tak berkaitan dan tidak bisa dikaitkan, atau berkaitan dan dikaitkan dengan asalusul dari semua eksistensi yang diciptakan? Tentu saja, jawaban Ibn ‘Arabi adalah bahwa kedua perspektif ini pada dasarnya benat tentang Realitas.

 

Melanjutkan pembahasan hubungan antara Alam kosmik dengan Allah, Ibn ‘Arabi membandingkannya dengan hubungan ayah-anak dan Adam-Hawa, di mana dia berusaha menunjukkan bahwa Kosmos, yang berasal dari Allah, pada hakikatnya tidak lain adalah Dia Sendiri. Dia kembali kepada analogi-analogi in kemudian dalam karyanya ini. Namun, sebagaimana dia tunjukkan sebelumnya di bab ini, berangkat dari sudut pandang Realitas itu sendiri, tidak ada bias yang jelas, yang ditujukan lebih banyak kepada Pencipta ketimbang ciptaan. Sebab, dari sudut pandang ini, kita berbicara tentang “Pencipta yang diciptakan” dan “makhluk ciptaan”, sebagaimana dia sendiri mengungkapkannya.

 

Bab ini diakhiri dengan pandangan lain pada subjek tentang Nama-nama ilahi. Karena, sebagaimana kita lihat, semua Nama yang berperan untuk menggambarkan hakikat hubungan Pencipta-ciptaan adalah Nama-nama Allah, yang term itu sendiri adalah Nama universal, masing-masing nama khusus perlu mengckspresikan, seakan-akan secara esensial, semua nama lain, sementara dalam dirinya sendiri menunjukkan beberapa aspck khusus dari hubungan ilahi dengan Kosmos. Jadi, masing-masing ciptaan khusus dalam hubungan khasnya dengan Tuhannya—sebagaimana ditentukan oleh pernyataan latennya sendiri in divinis—pada hakikatnya ikut serta dalam semua kemungkinan penciptaan, karena bahkan dalam kekhasannya sendiri, ia adalah—dan sekaligus bukan—Dia.

 

HIKMAH KESUCIAN DALAM FIRMAN TENTANG IDRIS

 

Peninggian (‘uluww) bisa dinisbatkan pada dua jalan: pada posisi (makan) atau tingkatan (makanah). Contoh dati yang pertama diberikan dalam firman-Nya, “Kami mengangkatnya ke sebuah tempat yang tinggi.’ Posisi kosmik yang paling tinggi adalah lingkaran titk di mana Planet-planet berputar, yang merupakan Planet Matahari (Falak asy-Syams) tempat bersemayam bentuk spiritual Idris.

 

Di sana, ia dikelilingi oleh tujuh Planet yang lebih tinggi dan tujuh Planet yang lebih rendah, sehingga semuanya menjadi lima belas Planet.

 

Planet-planet yang lebih tinggi itu adalah Mars (al-Ahmar), Yupiter (al-Musytari), Saturnus (Kiwan), “Rumah-rumah Besar’ (al-Manazil), Konstelasi-konstelasi (al-Atlas), Singgasana (al-Buruk), dan Kursi (al-Kursi).

 

Planet-planet yang lebih rendah adalah Venus (az-Zahrah), Merkurius (al-Katib), Bulan (al-Qamar), Eter (al-Asir), Udara (al Hawa), Air (al-Ma’), dan Tanah (at-Turab).

 

Karena menjadi poros dari Planet-planet itu, dia ditinggikan Posisinya. Adapun tingkatan, ia dimiliki oleh pewaris-pewaris Muhammad. Allah berfirman: “Kamu adalah makhluk yang ditinggikan dan Allah bersuma kamu”, dalam peninggian ini, karena, meskipun Dia jauh di atas semua posisi, Dia tdaklah berkaitan dengan tingkatan.

 

Ketika jiwa di dalam kita, berkenaan dengan akuvitas, kekhawatiran-kekhawatran (kehilangan pencapaian), Dia melanjutkan dengan firman-Nya, “Dia tidak akan menghapuskan perbuatan kamu’, karena tindakan atau perbuatan mencari posisi sedangkan pengetahuan mencari tingkatan. Dia menyatukan dua jenis peninggian bagi kita: peninggian posisi melalui tindakan dan peninggian ungkatan melalui pengetahuan.

 

Kemudian, sembari menolak setiap gagasan syirik, Dia berfirman: “Allah bersama kamu, maka agungkan Nama Tuhanmu Yang Mahaagung”, yakni, melampaui setiap ide kemitraan.

 

Manusia, yakni Manusia Sempurna, adalah wujud yang paling tinggi, tetapi peninggian ini tergantung pada suatu peninggian Posisi ataupun tingkatan, dengan tidak mengasalkannya dari dirinya sendiri (sebagai wujud yang diciptakan). Dia ditinggikan, baik karena dia menempat sebuah posisi tinggi (dalam tatanan kosmik) maupun karena dia mempunyai sebuah tingkatan tinggi, peninggian yang terletak pada mereka, sebagai sosok-sosok manusia sempurna secara umuim, dan bukan pada seorang saja.

 

Peninggian posisi adalah sebagaimana Dia firmankan, “‘Yang Maha Pengasih yang bersemayam di atas ‘Arsy’’, yang merupakan posisi tertinggi. Dengan mengungkapkan peninggian tingkatan, Dia berfirman, “Semuanya binasa dan yang kekal wajah-Nya”, dan “Segala perkara dikembalikan kepada-Nya”, dan “Adakah tuhan selain Allah?”

 

Ketika Allah berfirman, “Dan Kami mengangkatnya ke tempat yang tinggi”, Dia menghubungkan kata sifat “aanggi” dengan kata benda “posisi’’, sementara perkataan-Nya, “Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku akan menempatkan seorang khalifah di muka Bumi” merujuk pada peninggian tingkatan. Dia juga, dengan merujuk pada malaikat, berfirman, “Apakah kamu membanggakan diri atau kamu [merasa] termasuk. orang-orang yang lebih tinggi” , dengan mengaitkan peninggian dengan malaikat itu sendiri. Jika pengasalan ini secara implhisit berada dalam wujud malaikat itu sendinri, semua malaikat berbagi di dalamnya. Karena, bagaimanapun juga, jni bukan suatu pengasalan umum, bahkan meskipun mereka semua ditegaskan sebagai malaikat, kita mengetahui bahwa ia merujuk pada peninggian tingkatan dengan Allah.

 

Demikian juga pada masalah khalifah, jika peninggian mereka secara implisit berada dalam wujud manusiawinya, semua manusia ikut serta di dalamnya. Sebab, bagaimanapun, ia  tidak bersifat umum, kita tahu bahwa peninggian ini berkaitan dengan tingkatan.

 

Yang Ditinggikan adalah salah satu dati al-Asma’ al-Husna (Nama-nama Indah) Allah; tetapi di atas siapa dan apa, karena hanya Dia yang eksis? Lebih ditinggikan dari siapa dan apa, karena hanya Dia dan Dia yang ditinggikan dalam Diri-Nya Sendiri? Dalam hubungan dengan eksistensi, Dia adalah esensi dari wujud-wujud yang eksis. Jadi, dalam pengertian tertentu, wujud-wujud relatuf ditinggikan dalam diri mereka sendiri, karena sebenarnya mereka tidak lain daripada Dia, dan peninggian-Nya bersifat mutlak dan tidak relatif. Ini karena esensi-esensi abadi tidak memanifestasi secara kekal (tetap), dengan mengetahui tidak ada eksistensi yang termanifestasi, dan mereka tetap bertahan dalam keadaan itu, meskipun ada keragaman dari bentuk-bentuk yang termanifestasi. Secara menyeluruh, esensi itu unik. Keragaman hanya eksis berkaitan dengan Nama-nama Allah, yang semuanya itu merupakan hubungan murni, dan kemudian tidak memanifestasi dalam dirinya sendiri.

 

Satu-satunya yang ada adalah Esensi, Yang Tertinggi dalam Diri-Nya. Peninggiannya tidak berkaitan dengan apa pun. Jadi, dan sudut pandang ini, tidak ada peninggian relatif, meskipun berhubungan dengan aspek eksistensi, ada suatu diferensiasi tertentu. Peninggian relatif ada dalam esensi unik hanya sejauh ia  memanifestasi dalam banyak aspek.

 

Jadi, dalam pengertian tertentu, bisa dikatakan bahwa Dia adalah bukan Dia dan Anda adalah bukan Anda. Al-Kharraz,” yang merupakan sebuah aspek dari Realitas dan salah sam dari lidah-lidah-Nya di mana Dia mengungkapkan Din-Nya, mengatakan, “Allah tidak bisa dikenal kecuali dengan menyatukan yang berlawanan”, dengan menentukan yang berlawanan melalui mereka sendin. Dia adalah Yang Pertama dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, Esensi dan semua yang tampak dan belum tampak, bahkan Dia menampakkan (memanifestasikan) Diri-Nya Sendiri. Jadi, hanya Dia-lah Yang melihat Diri-Nya, dan hanya Dia-lah yang tersembunyi dan-Nya, karena Dia tampak untuk Din-Nya Sendiri dan tersembunyi dari Diri-Nya Sendiri. Hanya Dia-lah yang memuat nama Abu Sa’id al-Kharraz dan semua nama lain yang diberikan pada wujud relatif. Yang tidak tampak mengatakan “Tidak” ketika Yang Tampak mengatakan “Aku” dan Yang Tampak mengatakan “Tidak” ketika yang tidak tampak mengatakan “Hanya aku.” Inilah hakikat dari pertentangan, tetapi pembicara dan pendengar dalam kedua hal ini adalah Satu, Yang Unik. Nabi bersabda, “…dan apa yang telah mereka katakan kepada diri mereka sendiri”, mereka menjadi pembicara, yang diajak bicara, dan yang berbicara, dengan mengetahui apa yang dibicarakan.

 

Esensi itu Unik, sementara penentuan-penentuannya beragam. Situasi ini telah dikenal dengan baik, karena setiap manusia mengetahui hal ini dani dirinya sendiri, sebagai bentuk dan Realitas. Realitas-realitas ini bercampur-aduk satu sama lain. Yang banyak berasal dari yang satu sesuai dengan pengelompokan yang sudah lazim dikenal (10-an, 100-an, dan lain-lain). Jadi, yang satu membuat kemungkinan angka, dan angka menyebarkan yang satu. Lebih jauh, penghitungan adalah mungkin hanya karena eksistensi yang dihitung. Yang terakhir bisa eksis dan tidak eksis, karena sesuatu yang tidak eksis secara fisik tetapi ada secara intelektual. Oleh karena itu, mesti ada angka dan yang bisa diyadikan angka, sebagaimana mesti ada yang tunggal untuk memulai proses di mana ia sendiri dikembangkan.

 

Setiap unit adalah sebuah realitas dalam dirinya sendiri, seperti sembilan atau sepuluh hingga turun yang lebih rendah (dua) atau ke atas ad infinitum, meskipun tidak satu pun di antara angka-angka ini bersifat komprehensif, masing-masing menjadi kumpulan dari angka-angka khusus. Dua adalah unik dan tiga serta seterusnya, sekalipun semuanya adalah satu (dalam wujud yang terlahir dari yang satu), tidak juga sebuah angka khusus meliput angka-angka lain secara esensial. Karena, fakta bahwa semua angka adalah kumpulan-kumpulan dari angka yang menegaskan sekaligus bahwa, sebagai kumpulan yang berbeda, mereka adalah unik secara relatif dan bahwa, sebagai wujud semua keragaman dari yang satu, mereka sepenuhnya berasal dari yang tunggal. Yang inheren dalam semua ini ada dua puluh kelompok (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100, dan 1000), sesuai dengan konstruksi khusus. Jadi, dalam mengatakan bahwa semua angka adalah satu realitas, seseorang harus mengatakan bahwa yang tunggal adalah bukan angka (yang menjadi asal-usul).

 

Siapa pun yang memahami apa yang telah saya katakan tentang angka-angka—yaitu, bahwa menyangkalnya berarti menegaskannya—akan mengetahui bahwa Realitas transenden, pada waktu yang sama, adalah makhluk relatif, sekalipun makhluk ini berbeda dari Pencipta. Realitas ini adalah Pencipta yang diciptakan dan sekaligus makhluk ciptaan. Semua ini adalah Esensi Tunggal, sekaligus Unik dan Banyak, sehingga pertimbangkan sesuatu yang Anda lihat.

 

Ishaq berkata pada ayahnya, “Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu”, karena anak adalah esensi dati ayahnya. Ibrahim hanya melihat pendapatnya sendiri dalam hal pengorbanan ini. “Maka kami menebus anak itu dengan sebuah pengorbanan yang besa”, sehingga yang muncul dalam bentuk manusia tampak sebagai biri-biri jantan, sementara ia muncul dalam bentuk seorang anak, atau lebih tepatnya, dalam bentuk ayah dan anak yang khusus, karena anak sesungguhnya adalah esensi ayahnya.

 

“Dia menciptakan darinya [jiwa Adam) pasangannya,” sehingga istri Adam tidak lebih daripada diri esensialnya sendiri. Darinya berkembang istri dan anaknya, karena perintah kreatif int adalah satu dalam keragaman.

 

Siapakah Alam Universal (at-Tabiah), dan siapakah yang nyata di dalam—banyak bentuk—nya? Kita mengamati bahwa alam tidak mengalami kehilangan dalam memperlihatkan bentuk-bentuknya, tidak juga pertambahan dalam mengasimilasikan kembali mereka. Apa yang tampak adalah Diri-Nya Sendin, sebagaimana Dia bukan sesuatu yang tampak dati sudut pandang pembedaan formal. Sebuah manifestasi khas adalah dingin dan kering, sementara yang lain adalah panas dan kering. Mereka adalah satu berkenaan dengan kekeringan, tetapi sebaliknya nyata. Alam, atau bahkan Alam Esensial (al-‘Ayn at-Tabi’iyyah), adalah yang menyatukan semua bentuk. Tatanan alamiah kemudian dianggap sebagai banyak bentuk, yang terefleksikan dalam sebuah cermin tunggal atau sebuah bentuk tunggal yang terefleksikan dari banyak cermin. Gagasan ini tidak menyebabkan apa-apa kecuali kebingungan, untuk akal budi yang dibatasi oleh panca indera, karena hakikat penangkapan untuk memahaminya yang terbelah.

 

Dia yang benar-benar memahami apa yang sedang kita diskusikan di sini tidaklah bingung. Bahkan jika pengetahuannya diperluas, perluasan itu hanya akibat dari penentuan lokasi, yang tidak lebih dari esensi abadi (al-‘ayn as-sabitah) berkenaan dengan Realitas yang secara formal didiversifikasi dalam drama (tajallih). Penentu-penentu lokasional ini tampaknya untuk mendiversifikasikan-Nya (membuat-Nya beragam), tetapi Dia-lah yang menyerap setiap penentu, Dia dengan Diri-Nya Sendiri menjadi ditentukan hanya oleh manifestasi-diri (tajalli)-Nya. Hanya Dia-lah yang Ada.

 

Dalam satu pengertian, Realitas adalah makhluk, maka pertimbangkan,

Dalam pengertian lainnya, Dia bukan makhluk, maka refleksikan.

Siapa yang memahami perkataanku, persepsinya tidak akan suram,

Demikian juga, siapa yang memahaminya, dianugerahkan persepsi.

Apakah kamu menegaskan kesatuan atau kebedaan, Diri adalah Unik.

Sebagaimana juga yang Banyak adalah dirinya dan juga bukan.

Dia Yang Ditinggikan dalam Diri-Nya, memperoleh kesempurnaan sempurna di mana semua realitas dan hubungan—ditentukan atau tidak ditentukan—tenggelam. Sebab, tidak satu pun di antara sifat-sifat ini mungkin diterapkan pada yang lain selain Dia. Hal ini beraru, semua realitas dan hubungan, apakah semuanya ada atau tidak, menurut pandangan adat, akal budi, atau hukum, patut dipuji atau sebaliknya. Ini hanya diterapkan pada Realitas sebagai “Allah” (Nama yang menyatukan semua Nama). Berkenaan Realitas selain Allah, sebagaimana dimanifestasikan dalam tempat atau bentuk, maka perbedaan kualitatif terjadi dengan sendirinya, seperti antara satu tempat dan tempat lainnya. Jika bentuk ini sebagai sebuah bentuk sintetik atau Manusia Sempurna, ia secara esensial meliputi kesempurnaan esensial, karena ia idennk dengan lokasi universal di mana ia tampak. Totalitas Gmeliputi semua) yang inheren pada Nama “Allah’’, implisit dalam bentuk itu, yang sekaligus bukan Dia dan Bukan Selain Dia.

 

Abu al-Qasim mengungkapkan hal ini dalam bukunya, Khal’ an-Na’layn, di mana dia mengatakan, “Setiap Nama Tuhan tertanam dalam semua Nama.’’ Hal ini karena setiap Nama menunjukkan Esensi serta aspek khusus yang ia  abadikan. Oleh karena itu, sejauh ia menunjukkan Esemnsi itu sendiri, ia  turut ambil bagian dalam semua Nama, sementara, ketika membuktukan aspek khas dari Esensi, ia adalah khas dan unik secara relatif. Dalam pengertian yang terakhir ini, ia dibedakan dari setiap Nama lain, seperti Tuhan (ar-Rabb), Pencipta (al-Khaliq), Pembentuk (al-Musawwir), dan sebagainya. Dalam pengertian yang pertama, Nama ini secara esensial adalah Nama tunggal, tetapi lain dari Dia yang merepresentasikan suatu aspek khusus.

 

Jika Anda memahami peninggian yang telah saya bahas ini, Anda akan mengetahui bahwa peninggian ini bukanlah posisi dan bukan pula tingkatan. Berkenaan dengan yang terakhir, ia bersifat khas pada orang yang berkuasa, seperti sultan, gubernur, menteri, hakim, dan setiap pemegang jabatan, apakah mereka pantas ataukah tidak. Peninggian yang memenuhi-dirinya sendiri tidak termasuk Jenis ini. Adalah sangat mungkin bagi orang yang berpengetahuan luas berada di bawah kontrol orang paling bodoh yang berkuasa, Peninggian yang terakhir ini sepenuhnya bersifat telaif dengan Jabatan yang dia Pegang, sementara yang pertama naik dengan dirinya sendiri. Ketika pemegang jabatan berhenti, peninggiannya juga berhenti. Ini tidak terjadi dengan orang yang mempunyai pengetahuan sejati

 

CATATAN PENGANTAR

 

GELAR tradisional dari patriarki Ibrahim adalah al-Khalil, yang biasanya diterjemahkan “sahabat.” Namun, Ibn ‘Arabi memahami kata ini dari makna derivasi lainnya dari akar kata khalla, yang berarti penembusan atau penetrasi. Jadi, dalam konteks ini, gelar Ibrahim agaknya berarti “seseorang yang ditembusi”, yaitu, oleh Allah. Oleh karena itu, persahabatan adalah jenis yang paling dekat; sesungguhnya Ibrahim, sebagaimana ditegaskan oleh judul, lebih seperti cinta yang mempesona di mana pencinta sepenuhnya ditembusi oleh yang dicintai. Pengarang kita ini selanjutnya menggunakan contoh Ibrahim untuk mengilustrasikan prinsip penembusan ilahi secara umum. Jadi, Kosmos dan masing-masing konstituennya, sebagai wujud yang secara total menerima Perintah ilahi, sepenuhnya ditembusi oleh agen ilahi sebagai sesuatu yang implisit dan tidak eksplisit, sehingga kompleksitas penampakan dan ketagaman Kosmos menyembunyikan realitas Allah yang ada di manamana. Namun, seperti biasa, dia menegaskan kesalingterkaitan Ptinsip penembusan ini, karena, hanya Allah yang secara implisit hadir dalam penciptaan kosmik, sehingga penciptaan secara im plisit dan csensial hadir di dalam Allah.

 

Hal ini mengarahkan Ibn ‘Arabi untuk menjelaskan bahwa istilah-istilah “Allah” dan Kosmos” saling terpisah, gagasan wujud ketuhanan yang tergantung pada gagasan tentang yang menyembah-Nya. Jadi, bukan Allah atau Kosmos yang dikenal, kecuali dalam hubungan dengan masing-masing yang lain. Oleh karena itu, Dia mengatakan bahwa Kosmos tidak bisa dikenal dengan tepat atau dipahami tanpa merujuk pada Allah. Melanjutkan persoalan tentang sifat laten esensial kita én divinis, dia menyimpulkan bahwa, dalam mengenal Kosmos, Allah mengenal Diri-Nya, dan bahwa, dalam mengenal Allah, kita sebagai makhluk, mengenal dint kita sendiri secara esensial. Jadi, in aefernis, kita adalah kandungan laten dan esensial dari pengetahuan-Nya tentang Diri-Nya, sementara dalam ruang dan waktu, Dia adalah substansi dan realitas yang maha-menembus yang mana kita tidak lebih daripada faset-faset yang tampak. Hal ini mendorongnya untuk menunjukkan bahwa, menurut pandangan ini, kita tidak mempunyai alasan untuk menyalahkan Allah, karena kenyataannya, sebagaimana wujud yang tidak ada selain apa yang dikenal oleh Diri-Nya, kita menentukan apa yang kita alami sendiri di masa lalu, masa sekarang, atau masa mendatang.

 

Ibn ‘Arabi selanjutnya memperkokoh konsep saling menembus antara Allah dan Kosmos dengan membandingkannya dengan ptoses di mana makanan yang dikonsumsi menjadi satu dengan konsumen melalui asimilasi dani pelbagai partikel dan substansinya dengan substansi orang yang memakannya. Jadi, ketuhanan adalah makanan eksistensi Kosmos, sementara Kosmos, pada gilirannya menjadi santapan arketipal kesadaran-Diri ilahi. Sesungguhnya, dua puisi di mana dia menyimpulkan bab ini, mengungkapkan pandangannya yang berani tentang mutualitas yang sangat eksplisit dant konsep-konsep yang mengejutkan dan tidak bisa ditenma oleh pikiran-pikiran yang kurang luwes, sehingga menjadikan Ibn ‘Arabi Sangat asing di antara para cendekiawan religius di masanya.

 

HIKMAH CINTA YANG MEMPESONA DALAM FIRMAN TENTANG IBRAHIM

 

Ibrahim disebut Intim (khalil) dengan Allah karena ia telah mencakup (takhallala) dan menembus semua Sifat Esensi Tahi.

 

Penyair berkata,

 

Aku telah menembus bagian jiwa yang ada di dalamku,

Dan kemudian dikatakan Intim [dengan Allah].

 

Dengan cara yang sama, warna menembus apa yang diwarnai, dengan menunjukkan bahwa aksiden dalam hubungan dengan substansinya bukan sebagai sesuatu dan ruang yang ditempatinya; atau Ibrahim dinamakan dengan nama seperti itu karena Realitas menembus bentuknya. Pendekatannya benar, karena setiap penentuan memiliki penetapan yang tepat di luar yang bisa dilewati.

 

Tidakkah Anda memahami bahwa Realitas tampak melalui sifat-sifat wujud nisbi, ketika Dia memberitahukan kita tentang Diri-Nya, bahkan melalui sifat-sifat kekurangan atau kesalahan? Tidakkah Anda memahami bahwa wujud ciptaan tampak melalui sifat-sifat Realitas, dari awal hingga akhir, semuanya menjadi tepat, bahkan saat sifat-sifat wujud ciptaan sesuai dengan Realitas? Kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” berarti bahwa setiap hal yang berhubungan dengan pujian, mengenai yang memuji dan yang dipuji, kembali kepada-Nya. “Kepada-Nya-lah semua urusan dikembalikan”, ayat di mana Dia mencakup semua sifat tanpa berhubungan dengan kepatutandipuji atau kepatutandisalahkan mereka, semuanya menjadi yang satu atau yang lain.

 

Kita mengetahui bahwa kapan pun sesuatu menembus yang lain, ia diasumsikan menjadi yang lain. Perantara yang menembus disamarkan oleh yang ditembus, objek penembusan. Jadi, objek dalam masalah ini adalah lahir, sedangkan perantara adalah batin, tealitas tersembunyi. Yang terakhir ini adalah makanan bagi pembentuk, bahkan saat sepotong wol mengembang luas karena air yang menembusnya.

 

Di lain pihak, jika Realitas dipertimbangkan sebagai Yang Lahir dan makhluk sebagai yang tersembunyi di dalam-Nya, makhluk akan menerima semua Nama Realitas, pendengaran, penglihatanNya, semua hubungan-Nya dan pengetahuan-Nya. Namun, jika makhluk dianggap sebagai yang lahir dan Realitas sebagai Yang Batin di dalamnya, maka Realitas ada dalam pendengaran makhluk, seperti juga dalam penglihatan, tangan, kaki, dan semua fakultasnya, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis Qudsi’ yang terkenal.

 

Sang esensi, sebagai wujud yang melampaui semua hubungan ini, bukanlah Tuhan. Karena semua hubungan ini selalu berawal dalam esensi-esensi batin kita, kitalah—dalam kelatenan abadi kita —yang menjadikan-Nya Tuhan makhluk melalui jalan yang dikenal oleh Diri-Nya Sendiri    sebagai ahli. Jadi, dengan mengenal-Nya sebagai “Allah”, kita juga dikenal.

 

Muhammad bersabda, “Yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya’, menjadi makhluk yang benar-benar mengenal Tuhannya. Orang-orang bijak (al-hukama) tertentu, di antaranya Abu Hamid al-Gazali, telah menyatakan bahwa Allah dapat diketahui tanpa referensi apa pun pada Kosmos yang diciptakan, tetapi pendapat ini keliru. Benar bahwa suatu esensi abadi primordial dapat dikenali, tetapi tidak dapat dikenali sebagai Tuhan kecuali kalau pengenalan (pengetahuan) tentang esensi itu dapat dihubungkan dengan yang diasumsikan, karena ia  merupakan yang tergantung yang menegaskan kebebasan dari Yang Bebas (Independen).

 

Bagaimanapun, sebuah intuisi spiritual lebih lanjut akan memperlihatkan bahwa yang perlu untuk menegaskan Ketuhanan-Nya tak lain daripada Realitas Itu Sendiri, dan bahwa Kosmos tak lain hanya pembukaan rahasia Diri (kasyf)-Nya untuk Diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang ditentukan melalui esensi-esensi batin abadi (al-a’yan as-sabitah) mereka, yang tidak akan mungkin eksis tanpa Dia. Intuisi spiritual juga akan memperlihatkan bahwa Dia menampakkan Diri-Nya secara bervariasi dan secara formal berdasarkan realitas dan keadaan esensi-esensi yang inheren. Semuanya dapat dimengerti bersamaan dengan pengetahuan bahwa, dalam hubungan dengan kita, Dia adalah Tuhan.

 

Intuisi spiritual akhir akan menunjukkan pada Anda bentukbentuk kita yang tampak pada-Nya, sehingga di antara kita tampak pada yang lainnya dalam Rcalitas, mengetahui satu sama lain, dan membedakan satu sama lain yang terdapat di dalam-Nya. Ada beberapa orang di antara kita yang memiliki pengetahuan spiritual tentang pengakuan mutual ini dalam Realitas, sementara di antara yang lainnya tidak memiliki pengetahuan semacam ini. Saya berlindung kepada Allah agar saya tidak termasuk di antara orang-orang  bodoh.

 

Sebagai akibat dari dua intuisi terakhir, diketahui bahwa kita ditentukan hanya melalui diri kita sendiri sebagai esensi. Sesungguhnya kitalah yang menentukan diri kita sendiri melalui kita sendiri yang merupakan arti dari kalimat, “Allah mempunyai alasan yang jelas lagi kuat” yakni, bertentangan dengan sesuatu yang terselubung ketika mereka bertanya kepada Realitas mengapa Dia menimpakan pada mereka hal-hal yang bertentangan dengan tujuan mereka sendiri. “Dan Ia membuat mereka mengalami kesulitan’’, dan ini merupakan kebenaran yang ditampakkan pada gnostikus. Sebab, mereka melihat bahwa bukanlah Realitas yang telah menimpakan mereka atas apa yang telah diklaim, dan mereka melihat bahwa apa yang menimpa mereka berasal dari diri mereka sendiri, karena pengetahuan-Nya tentang mereka disesuaikan menurut apa yang terdapat pada diri mereka sendiri dalam esensi abadi mereka. Dengan demikian, keluhan mereka dihilangkan, alasan konklusifnya tetap pada Allah.

 

Jika ditanyakan apakah yang dimaksudkan dari firman-Nya, “‘Jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semua’, kami menjawab bahwa “Jika Dia” pada “Jika Dia menghendaki” menyampaikan penolakan kesan yang berkenaan dengan hal yang mustahil, karena hanya Dia Yang menghendaki seperti itu. Namun demikian, menurut ptinsip-prinsip rasional kontingensi yang sama, dapat menerima sesuatu atau kebalikannya, tetapi dalam realitas, yang mana pun dari kedua alternatif yang terjadi merupakan sesuatu yang ditetapkan terhadap kontingensi dalam esenst abadinya. Ara dari “Dia pasti memberi petunjuk kepada kamu semua” adalah bahwa Dia akan menjelaskhanmu mengenat realitas baunmu. Namun, hal int tidak diberikan oleh Allah kepada setiap orang sehingga penglihatan spiritualnya akan dibuka untuk merasakan realitas esensialnya dalam kelatenannya, karena ada yang mengetahui dan yang tidak mengetahui. Karena alasan int, Allah tidak akan dan tidak memberikan petunjuk kepada mercka semua, seperti juga Dia tidak akan melakukan hal yang sama yang berlaku pada kalimat “Jika Dia menghendak” karena bagaimana mungkin Dia menghendaki yang tidak-tidak?

 

Kehendak-Nya adalah ketergantungan-diri    (ahadiyyah atta‘alluq) dan merupakan penisbatan esensial yang tergantung atas Pengetahuan-Nya, di mana pada gilirannya tergantung atas objek Pengetahuan-Nya, yang merupakan Anda dan status esensial Anda. Pengetahuan tidak memiliki akibat pada objek pengetahuan, sedangkan apa yang diketahui memiliki suatu akibat pada pengetahuan.

 

Wahyu skriptural dirumuskan sesuai dengan apa yang ditujukan pada yang ditetapkan dan sesuai dengan akal, di mana formulasinya tidak perlu secara otomatis disesuaikan dengan apa yang dinyatakan intuisi spiritual secara langsung. Jadi, walaupun orang beriman itu banyak, gnostikus yang diberkati dengan intuisi spiritual jumlahnya sedikit. “Tiada seorang pun dari kami [malaikat] yang tidak mempunyai kedudukan yang tertentu”, yang mana apa yang ada dalam kelatenan abadi Anda, dan jika sesuai dengan yang Anda manifestasikan dalam eksistensi, maka sesungguhnya, realitas Anda melibatkan kemungkinan wujud yang dimanifestasikan.

 

Jika disepakati bahwa eksistensi dapat dihubungkan hanya dengan Realitas dan bukan dengan Anda, Anda akan—tetapi sebagai esensi—menentukan eksistensi-Nya. Jika disepakati bahwa Anda memiliki eksistensi, Anda juga merupakan faktor yang menentukan. Sebab, sekalipun Realitas menjadi Penentu, ia semata-mata hanya untuk mengalirkan cksistensi terhadap Anda, sedangkan Anda tetap sebagai penentu dan yang ditentukan. Oleh karenanya, pujian tak lain daripada diri Anda sendiri dan kesalahan tak lain daripada diri Anda sendiri. Pujian ditujukan pada Realitas hanya sebagai yang mengalirkan eksistensi selamanya, yang mana hanya Dia yang dapat melakukannya, dan bukannya Anda.

 

Anda adalah makanan (qiza’)-Nya sebagai pemberi kandungan Pengetahuan-Diri (al-Ahkam)-Nya, sedangkan Dia adalah makanan Anda sebagai pemberi eksistensi, apa yang diberikan pada Anda menjadi apa yang diberikan juga pada-Nya. Perintah berasal dan-Nya untuk Anda (Jadilah!) dan dant Anda untuk apa yang Anda atau Dia hendak lakukan. Bagaimanapun, Anda disebut sebagai seorang yang diperintah, tetapi Dia memerintah Anda hanya berkenaan dengan bagaimana realitas batin esensial Anda memohon kepada-Nya. Dia tidak disebut seperti itu, karena Dia bukanlah objek.

 

Dia memujiku dan aku memuji-Nya,

Dia menyembahku dan aku menyembah-Nya.

Dalam keadaan eksistensiku aku menegaskan Dia,

Sebagai esensi batin aku menyangkal-Nya.

Dia mengenalku, sedangkan aku tidak mengenal-Nya,

Aku juga mengenal-Nya dan menyaksikan-Nya.

Yang mana kemudian adalah Kekayaan-Nya,

Karena aku menolong-Nya dan memberikan-Nya Kebahagiaan?

Karena ini Realitas menciptakanku,

Karena aku memberikan isi pada Pengetahuan-Nya dan menampakkan-Nya.

Kemudian perintah datang,

Maknanya terpenuhi di dalamku.

 

Ini dikarenakan Ibrahim mencapai tingkatan ini di mana ia  disebut Intim dengan Allah, sehingga keramahtamahan menjadi suatu perbuatan sakral. Ibn Masarrah menyejajarkannya dengan Mika’il (Michael, malaikat yang penting) sebagai sumber ketetapan-ketetapan yang menjadi makanan yang disediakan. Makanan menembus esensi seseorang yang diberi makanan, dengan menembus setiap bagian. Begitu juga dengan Allah, walaupun dalam masalah-Nya tidak ada bagian-bagian melainkan hanya Maqammaqam atau Nama-nama Ilahi melalui sesuatu yang ditampakkan Esensi-Nya.

 

Kami adalah milik-Nya sebagaimana telah ditunjukkan,

Seperti juga kami adalah milik kami sendiri.

Dia tidak memiliki suatu kejadian selain milikku,

Kami adalah miliknya dan kami adalah melalui kami sendiri.

Aku memiliki dua aspek, Dia dan aku,

Tetapi Dia bukanlah aku di dalam aku-ku.

Di dalam aku adalah sandiwara manifestasi-Nya,

Dan kami adalah untuk-Nya sebagai wadah.

 

CATATAN PENGANTAR

 

TIGA aspek yang sangat penting dari pemikiran Ibn ‘Arabi dibahas secara relatf dalam bab pendek ini. Yang pertama adalah subjek tentang Imajinasi, yang tidak begitu banyak terdapat dalam pengertian kreatf dan makrokosmiknya sebagai suatu citra tentang polarisasi-Diri ilahi, melainkan lebih pada pengertian pengingatan kembali dan mikrokosmiknya. Kemampuan Imajinatif, apakah makrokosmik ataukah mikrokosmik, terlihat seperti memiliki  dua fungsi, yang satu kreatif dan eksistensial sedangkan yang lain pengingatan kembali atau rekreasional dan spiritual. Dalam masalah yang pertama, proses Imajinatif menyerap dan melibatkan kesadaran, ilahi dan manusia, dalam dorongan kreatif kejadian kosmik dalam semua kompleksitas terbatasnya yang sangat menarik. Dalam masalah kedua, melalui proses interpretasi dan realisasi, kesadaran membangun dan mendirikan kembali ketidakdapatdicabutnya serta integritas dan kesatuan mutlak miliknya. Dalam lingkungan individu manusia, pertama-tama diilustrasikan oleh manusia yang kesadarannya selalu ditarik keluar pada objek-objek material, yang tidak dihilangkan dan diserap oleh keserbaragaman “kepentingan”, sedangkan yang kedua diilustrasikan oleh orang yang meringkas objek-objek pemahaman di sekitarnya untuk menegaskan dan memperkuat identitas kesadaran diri yang dimilikinya.

 

Proses kedua membantu mengilustrasikan pandangan Al-qur’an tentang Kosmos sebagai suatu makhluk tak terbatas, yang memperlihatkan ayat atau tanda-tanda, interpretasi dan perenungan cerdas yang secara pasti mengarahkan seseorang kembali pada kebenaran mutlak tentang Allah. Maksud yang telah dibuat pada bagian pertama dalam paragraf ini adalah bentuk-bentuk kosmik yang memiliki dua aspek: aspek tentang aktualitas yang kreatif dan eksistensial, yang selalu terlihat asing dan menghilangkan kesadaran yang utuh, serta aspek simbolik dan spiritual, yang membantu pemusatan kembali intelek atas hal yang ideal dan arketipal. Dengan kata lain, apa yang dirasakan seseorang yang memiliki persepsi kosmik dan duniawi, merupakan suatu citra bahwa di satu pihak menyembunyikan kebenaran esensialnya tetapi di pihak lain menyatakan bahwa kebenaran itu menuju persepsi spiritual. Persepsi yang lebih lanjut ini memerlukan kemampuan untuk maju ke depan dari arus Imajinasi luar ke arus Imajinasi dalam, di mana arus bertemu dalam sintesis keadaan manusia yang mikrokosmik, sehingga manusia itu sendiri dapat membuat transisi. Ini berarti bahwa, dan tambahan pula untuk makhluk di bumi dan di Langit, manusia juga menempati suatu daerah pertengahan yang penting dan vital, alam al-misal atau alam misal, di mana arketiparketip secara misterius diterjemahkan pada segala sesuatu yang eksis, dan melalui bentuk-bentuk kosmik diubah menjadi esensiesensi spiritual, tak kentara, yaitu alam fluida di mana arus-arus kejadian kosmik dan reintegrasi spiritual bertemu dan bercampur kembali. Oleh karenanya, langkah maju ke depan, di mana manusia harus melakukannya supaya dia dapat menggunakan citra-citra kosmik sebagai alat pencapaian identitas abadinya dengan Allah, merupakan tindakan takwil yang tepat, yang berarti “kembali ke prinsip yang pertama”, yang artinya untuk merasakan bentukbentuk kosmik bahwa aspek secara simbolis menunjukkan Pencipta mereka, Allah. Jadi, pendek kata, bentuk kosmuk itu bukanlah apa yang terlihat pada mereka, tetapi lebih pada yang mereka arukan, juga bukan telah menjadi apa mereka, tetapi apakah mereka i aeternis. Walaupun banyak bentuk kosmik yang secara potensial kejarm, dalam pengertian dalam aspek eksistensial mereka, mereka dapat mendorong pengasingan dan pemindahan yang nyata dari prinsip ketuhanan, sehingga Muhammad sebagai suatu perwujudan formal khusus dari Manusia Sempurna, yang tidak dapat diubah, menyimbolkan keseluruhan Realitas ilahi.

 

Subjek tentang Manusia Sempurna dan perwujudannya dalam bentuk Muhammad, secara alami mengarahkan pada subjek kedua . Ibn ‘Arabi dalam bab ini, yaitu Hati (Heart). Menurut Hadis Qudsi, satu-satunya wadah yang hanya memberikan tempat bagi Allah adalah Han gnosukus. Ini dikarenakan Hati yang esensial, sebagai pertentangan dan hati secara fisik, merupakan organ sintetk yang, dalam konteks mikrokosmik, melambangkan perpaduan yang tidak dapat dibayangkan dari Realitas Itu Sendiri pada keseluruhan-Nya yang tidak dapat didiferensiasikan. Sedangkan, dalam kecerdasan dan semangatnya, manusia adalah suatu aspek dari Allah, dalam tubuh dan kehidupannya merupakan suatu aspek dari ciptaan kosmik, dan dalam jrwanya merupakan suatu aspek dani hubungan antara Allah dan Kosmos. Adalah di dalam Hatinya sehingga mamnusia sepenuhnya mencapai kesatuannya dengan Realitas yang tidak  dapat ditawar-tawar lagi, yakni coincidentia oppositorum.

 

Objek ketiga dan terakhir yang dihubungkan dengan bab ini adalah himmah atau kekuatan kreatif dan gnosukus, di mana kemampuan tersebut memungkinkan pnosukus untuk menghubungkan kemampuan imayjinasi kreatfnya yang khusus dengan Imajinasi kreanf ilahi. Seperu yang telah ditunjukkan di lain tempat, kalau hubungan ini dilanjutkan bersamaan dengan total peniadaan-diri pada Diri-Nya, ini dapat mengarahkan pada khayalan pendewaan diri, dikarenakan kemampuan yang tampaknya ajaib menyertai pengembangan kemampuan tertentu, walaupun 4immah manusia tidak dapat menjadi apa pun kecuali sebagian.

 

HIKMAH REALITAS DALAM FIRMAN TENTANG ISHAQ

 

Tebusan untuk seorang nabi adalah seekor binatang sembelihan sebagai suatu penawaran berkorban,

 

Tetapi bagaimana bisa embikan seekor biri-biri menyamai kemampuan berbicara Manusia?

 

Tuhan Yang Mahakuat yang telah menguatkan biri-biri demi kepentingan kita atau kepentingan biri-biri, aku mengetahuinya tanpa melahu Tidak ada keraguan binatang pengorbanan lain memperoleh harga yang lebih tinggi,

 

Tetapi mereka semua kurang dari seekor binatang sembelihan sebagai suatu penawaran.

 

Akankah aku mengetahui bagaimana seekor biri-biri belaka dapat menggantikan Khalifah-Wali dari Yang Maha Pengasih.

 

Tidakkah kamu merasakan suatu logika tertentu dalam permasalahan itu,

 

Pencapaian untuk penambahan ataukah penyusutan untuk pengurangan?

 

Tidak ada ciptaan yang lebih tinggi daripada batu permata, dan sesudahnya adalah tanam-tanaman

 

Dalam suatu pengertian tertentu dan menurut ukuran-ukuran tertentu.

 

Sesudah tanaman akan datang makhluk yang memiliki persepsi dan perasaan (sentiment), semuanya mengetahui tentang Pencipta mereka

 

Melalui suatu pengalaman langsung dan pada bukti yang nyata.

 

Karena untuk seseorang yang dipanggil Adam, ia dikelilingi dengan kecerdasan, pemikiran, dan kalungan bunga keimanan.

 

Mengenai perkataan Sahl ini, seorang gnostikus adalah seperti mereka sendiri,

 

Karena kami dan mereka ada pada derajat pandangan spiritual, Siapa yang merenungkan apa yang telah aku renungkan

 

Akan berkata sama seperti aku, apakah secara rahasia ataukah secara terang-(erangan.

 

Jangan pertimbangkan kata-kata yang bertentangan dengan mulik kami, seperti juga jangan menyebarkan benih pada tanah yang terpendam.

 

Karena mereka dalam keadaan tuli, bisu dan orang yang tidak berdosa yang dibicarakan dalam teks Alqur’an.

 

Ketahuilah, semoga Allah menguatkan kami dan kamu, bahwa Ibrahim, yang “dekat” dengan Allah, bersabda kepada anaknya, “Hati anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelhmu.” Keadaan tidut merupakan bidang Imajinasi, dan Ibrahim tidak mengartikan apa yang ia lihat. Sebab, yang muncul dalam mimpinya adalah seekor biri-biri dalam bentuk anak laki-lakinya, sementara, ia sendiri hanya mempercayai terhadap apa yang dilihatnya pada nilai permukaannya. Ini menyebabkan Tuhannya menyelamatkan anak laki-lakinya tersebut dari kesalahpengertian Ibrahim melalui Korban Besar (az-Zabh al-Azim) untuk biti-biri, yang merupakan ungkapan mimpinya yang benar dengan Allah, di mana Ibrahim tidak menyadarinya.

 

Pembukaan rahasia-Diri (at-tajallih) formal dari Realitas di bidang Imajinasi, memerlukan tambahan pengetahuan untuk memahami apa yang Allah maksudkan melalui suatu bentuk khusus. Apakah Anda belum mempertimbangkan apa yang telah dikatakan Rasulullah kepada Abu Bakr mengenai interpretasi mimpi-mimpi ketika ia bersabda, “Aku benar dalam beberapa masalah dan keliru pada yang lainnya”? Abu Bakr memintanya untuk memberitahukan dalam masalah apa beliau benar dan dalam masalah apa beliau salah, tetapi beliau tidak memberitahukannya.

 

Allah berfirman kepada Ibrahim, “Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu” dan Dia tidak berkata, “Kamu benar berkenaan dengan apa yang kamu lihat’”, yaitu dalam penglihatan anak laki-lakimu, karena ia tidak menginterpretasikan apa yang ia lihat, tetapi mengambilnya pada nilainya yang di permukaan, walaupun mimpi-mimpi memerlukan interpretasi. Dengan demikian, raia di masa Yusuf berkata, “Jika kamu dapat menerjemahkan mimpi” Penafsiran berarti menyampaihan apa yang dilihat oleh seseorang untuk sesuatu yang melintasinya.

 

Jadi, arti dari mimpi raia tersebut adalah bahwa selama bertahun-tahun hewan ternak, sebagai simbol-simbol, akan berkurang banyak.’ Jika Ibrahim benar untuk mimpi itu, maka ia akan membunuh anak laki-lakinya karena ia  mempercayai bahwa apa yang ia lihat adalah anak laki-lakinya walaupun bagi Allah tak lain hanyalah Korban Besar dalam bentuk anak laki-lakinya. Dikarenakan inilah, Dia menyelamatkan anaknya, karena dugaan keliru yang telah merasuki pikiran Ibrahim. Dalam realitasnya ia bukanlah tebusan dalam pandangan Allah, melainkan korban itu sendin. Pengertian-pengertian yang dirumuskan adalah korban dan Imajinasi yang dihasilkan dalam bentuk anak laki-laki Ibrahim. Jika Ibrahim melihat dalam bentuk seekor biri-biri dalam Imajinasinya, ia akan menerjemahkannya sebagai anaknya atau sesuatu yang lain. Kemudian, Allah berfirman, “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian-ujian yang besar” yang merupakan ujian atas pengetahuannya, apakah ia  mengetahui bahwa penafsiran diperlukan dalam suasana mimpi ataukah tidak. Ibrahim mengetahui bahwa perspekuf Imajinasi memerlukan penafsiran, tetapi, dalam kesempatan ini, tidak berhubungan dengan perspekuf dalam cara yang pantas. Jadi, ia mempercayai mimpi seperti apa yang ia  lihat.

 

Taqi Ibn al-Mukhallad,’ Imam dan pengarang al-Musnad, mendengar bahwa Rasul telah bersabda, “Siapa pun yang melihatku dalam tidur, maka telah melihatku sesudahnya, karena Iblis tidak dapat membawa bentukku pada dirinya” Taqi Ibn al-Mukhallad melihat Rasul dalam udur, yang membenrinya segelas susu. Ia mempercayal mimpi itu secara dangkal, dan membuat dirinya sendiri muntah untuk membuktikan kebenarannya. Jika ia menembus arti dan mimpinya, susu tersebut akan menjadi pengetahuan, sebagaimana yang ia representasikan tetapi Allah menyangkalnya karena ia meminumnya sebagai susu.

 

Apakah Anda tidak mempcerumbangkan bahwa ketika Nabi membawakan dia semangkuk susu dalam mimpinya, ia berkata, “Aku meminumnya hingga aku benar-benar puas, dan sisanya aku berikan pada ‘Umar.”” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apakah tafsiranmu, wahai Rasulullah” Dia menjawab, “Pengetahuan.” Demikianlah, ia tidak mudah mengambilnya seperti susu menurut bentuk yang ia  lihat, lantaran pengetahuannya tentang perspekuf mimpi tersebut dan kebutuhannya untuk menafsirkan apa yang terlihat.

 

Telah dikenal dengan baik bahwa bentuk Nabi yang sifatnya indriawi dikuburkan di Madinah, dan bentuk spiritual serta esensi yang tak kentara tidak pernah dilihat oleh siapa pun. Jiwa Nabi muncul pada seseorang dalam bentuk tubuhnya ketika ia  man, sekalipun tidak dipengaruhi oleh kebusukan; Nabi. Muhammad betul-betul muncul sebagai jiwa dalam suatu tubuh yang terkubur menyerupai bentuk badaniah, di mana Setan tidak dapat beraksi, sebagai suatu bentuk perlindungan Allah bagi penerima mimpi. Jadi, siapa pun yang melihatnya dalam cara ini, menerima dani dia semua yang dia perintahkan, dia larang, atau semua yang dia katakan, sebagaimana dia menerima semua ajarannya di dunia ini sesuai dengan apakah makna dari kata-katanya eksplisit atau implisit, atau dalam pengertian apa pun yang mereka berikan. Di lain pihak, jika dia memberikan sesuatu pada dirinya, bentuknya adalah masalah interpretasi. Bagaimanapun, jika hal int membuktikan sama dengan dunia sensorik seperti dalam imajinasi, mimpi merupakan sesuatu yang tidak memerlukan interpretasi, seperti bagaimana Ibrahim dan Taqi Ibn al-Mukhallad berhubungan dengan apa yang mereka lihat.

 

Kemudian, karena mimpi ini mempunyai dua aspek, dan karena Allah telah mengajari kita melalui apa yang Dia perbuat atas Ibrahim serta apa yang telah Dia katakan padanya, di mana pengajarannya dihubungkan dengan maqam Kenabian, kita mengetahui, berkenaan dengan suatu mimpi yang bisa kita punyai dari Realitas dalam bentuk yang tidak dapat diterima akal, bahwa kita harus menafsirkan bentuk itu sesuai dengan konsep doktrinal dari Realitas, baik dan sudut penerima mimpi maupun konteks kosmik tentang mimpi itu, ataupun keduanya. Namun, jika akal tidak menolaknya, kita menerimanya seperti kita melihatnya, bahkan saae kita dapat melihat Realitas di Hari Kiamat.

 

Dalam setiap tempat (dari wujud, yang menjadi) Yang Unik, Maha Pengasith memiliki bentuk-bentuk, apakah tersembunyi atau tampak. Jika kamu berkata, “Ini adalah Realitas”, kamu telah membicarakan kebenaran, Jika “sesuatu yang lain”, kamu sedang menafsirkan. Penentuan-Nya menggunakan setiap tempat yang bersarmaan. ‘Tuhan (sesungguhnya) betul-betul menyingkap Realitas-Nya pada makhluk. Ketika Dia menampakkan Diri-Nya dalam penglihatan, alasan bergegas membawakan bukti untuk menentangnya (Dia). ‘Tuhan diterima seperti yang tampak pada taraf intelektual seperti juga dalam imajinasi, tetapi pandangan secara langsung melihat kebenaran.

 

Berkenaan dengan maqam ini, Abu Yazid al-Bistami berkata, “Jika Takhta dan semua yang mengelilinginya dilipatgandakan seratus juta kah untuk kemudian dibawa ke dalam salah satu ruang Hati gnostikus, niseaya ia tidak menyadari hal ini.”’’° Ini adalah jangkauan Abu Yazid dalam bidang bentuk-bentuk badaniah. Namun, saya mengatakan bahwa jika batasnya tidak dapat dibayangkan, bersamaan dengan esensi yang membawanya kepada eksistensi, untuk diletakkan ke dalam salah satu ruang Hati gnostikus, dia tidak memiliki kesadaran tentang hal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa Hati ini mencakup Realitas, dan meskipun ia senantiasa diisi, namun seperti yang Abu Yazid katakan, ia tetap dalam keadaan haus. Kami telah menyinggung maqam ini, sebagai berikut:

 

Wahai Dia Yang menciptakan segala sesuatu pada Dini-Nya, Engkau terdiri dari sernua yang Engkau ciptakan.

 

Meskipun Engkau menciptakan wujud-wujud tanpa batas dalam Diri Mu,

Engkau Terbatas dan Maha Meliput.

Apakah semua ciptaan Tuhan ada di hatiku, permulaannya yang cemerlang tidak akan bersinar di sana.

Siapa pun yang merangkul Realitas akan memuat semua ciptaan, Apa yang kemudian merupakan situasi yang benar, wahai Yang Maha Mendengar?

 

Setiap orang berkreasi melalui angan-angannya dalam kemampuan Imajinatif sehingga kemampuannya ini tidak memilikt eksistensi di mana pun juga, ini metupakan kemampuan yang dicapai secara bersama. Namun demikian, sang gnostikus, melalui Konsentrasinya, menciptakan sesuatu yang memiliki eksistensi melalui pangkal Konsentrasi. Konsentrasi ini terus mempertahankan eksistensinya yang sama sekali tidak mengosongkannya. Perhatian gnostikus akan dialihkan dari pemeliharaan apa yang telah ia ciptakan, yang akan berhenti hidup kalau sang gnostikus memerintahkan semua bidang eksistensi di mana masalah pengalihan tertentu tidak muncul. Sebab, untuk selamanya dia hadir pada beberapa bidang atau yang lain. Ketika gnostikus yang mempunyai perintah tertentu menciptakan sesuatu melalui Konsentrasinya, ia terwujudkan pada bentuk gnostik di setiap bidang. Dalam masalah ini, bentuk bentuk—setiap bentuk terdapat pada bidang yang berbeda—satu sama lain saling memelihara, sehingga jika gnostikus tidak hadir pada bidang-bidang atau suatu bidang tertentu, sedangkan ia ada pada yang lain, maka semua bentuk pada semua bidang dipelihara oleh bentuk pada bidang itu di mana perhatian gnostikus diberikan; kekurangan perhatian tidak pernah secara total, baik dengan manusia umumnya maupun kalangan elit.

 

Jadi, di sini, saya telah menguraikan sebuah rahasia secara terperinci, sehingga orang-orang awam selalu terjaga dari penjelasan terperinci, karena akan terlihat kontradiksi dengan penegasan mereka untuk bersatu dengan Realitas. Realitas selalu penuh perhatian, sedangkan hamba selalu tidak penuh perhatian terhadap sesuatu atau lainnya. Berkenaan dengan hal pertahanan sesuatu yang telah ia ciptakan, gnostkus dapat berkata, “Aku adalah Realitas’’, tetapi pemeliharaannya tentang hal ini, tidak dapat diperbandingkan dengan pemeliharaan yang dijalankan oleh Realitas. Perbedaan tentang dua hal tersebut telah kami terangkan, karena untuk tingkatan di mana dia tidak perhatian pada beberapa bentuk bidangnya, dia adalah seorang hamba yang berbeda dari Realitas. Perbedaan ini tetap menyisakan ketika kita mencatat kenyataan bahwa perhatian kepada suatu bentuk tunggal pada suatu bidang yang khusus menjamin pemeliharaan untuk semua bentuk yang lain, karena ini adalah pemeliharaan melalui pengertian. Pemeliharaan oleh Realitas atas ciptaan-Nya merupakan jenis ini, karena Dia Sendiri mempertahankan setiap bentuk untuk selama-lamanya. Keseluruhan persoalan ini, seperu yang telah aku ceritakan sebelumnya, tidak pernah dicatat olehku atau oleh orang lain sampai sekarang. Ini sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang unik dan bukan sesuatu yang bisa ditiru. Jagalah agar Anda tidak melupakannya, demi bidang itu, di mana Anda tetap ada dengan bentuk itu yang mungkin bisa dibandingkan dengan Kitab Suci di mana Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu dt dalam al-Kttab”, karena ia terdiri dari semua yang telah datang untuk menyampaikan pada makhluk dan semua yang tidak datang untuk menyampaikannya. Hanya dialah yang betul-betul mengetahui apa yang telah kami katakan bahwa diri esensialnya adalah sebuah totalitas terpadu (Al-qur’an). Bagi seseorang yang takut kepada Allah, “Dza akan memberikan kepadammu furqan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil),’* dan dia adalah sebagaimana yang sudah kami sebutkan dalam membahas perbedaan antara hamba dan Tuhan. Diskriminasi (furqan) ini merupakan diskriminasi yang sangat tinggi.

 

Pada saat hamba adalah Tuhan, tidak ada keraguan,

Pada saat harnba adalah seorang hamba, dengan sangat pasti.

 

Jika hamba, ia mencakup Realitas,

Jika Tuhan, ia berada dalam keadaan rendah.

Sebagai hamba ia merasakan diri yang esensial

Dan mengharapkan jarak yang lebar darinya.

Sebagai Tuhan ia melihat semua ciptaan, yang lebih rendah dan lebih tinggi,

Membuat permohonan-permohonan padanya,

Dalam dirinya sendiri dia sungguh-sungguh tak mampu menjawab permohonan-permohonan mereka,

Dan untuk alasan ini kamu dapat melihat tangisan kaum gnostikus.

Jadi hamba-lah dari Tuhan dan bukan Tuhan dari hamba,

Kalau tidak kamu akan jatuh di Api Neraka.

 

CATATAN PENGANTAR

 

TOPIK utama bab ini adalah hubungan antara hamba dan Tuhan (Rabb), yang merepresentasikan partikularisasi hubungan universal, yang telah didiskusikan sebelumnya, antara Allah dan Kosmos. Sekali lagi, sebagaimana term “Allah”, term “Tuhan” pada tinjauan Ibn ‘Arabi memiliki arti hanya dalam konteks hubungannya dengan konsep tentang hamba. Yakni, bahwa tidak akan ada penguasaan atau dominasi tanpa adanya penghambaan. Jadi, seperti yang telah diterangkan dalam Pengantar, hubungan ini menunjukkan polaritas hamba, sebagai partikular, individu yang diciptakan, sesuatu yang eksis, dan Tuhan, sebagai aspek partikular dari Allah, yang menciptakan dan menentukan takdir makhluk tersebut menurut latennya, realitas esensial pada Allah. Apa yang mengikuti dari hal ini adalah pernyataan Ibn ‘Arabi yang menanamkan ketakutan ke dalam pikiran dari penegakan agama. Dia berkata bahwa dikarenakan setiap wujud yang tercipta tidak dapat menjadi yang lain dari Tuhannya yang menentukan, sebagaimana yang diinformasikan melalui kecenderungannya yang abadi, maka, seperti yang dikatakan Alqur’an, manusia perlu menjadi “sesuatu yang menyenangkan Tuhannya’”, terlepas dan apakah persetujuan ontologis itu tampak ataukah tidak, terhadap pandangan yang tak terdidik, sebagai pujian atau kesalahan, hukuman atau penghargaan. Tuhan tidak melakukan kecuali menyetujui apa yang Dia kehendaki, sebagaimana hamba juga tidak dapat melakukannya, dalam realitas, tanpa persetujuan Tuhan, yang menentukannya berkenaan dengan apa yang pasti terjadi pada dirinya sendiri secara esensial.

 

Ibn ‘Arabi terus menunjukkan bahwa Tuhan adalah suatu konsep yang berasal dari konsep Nama-nama ilahi yang, seperti yang telah kita lihat, menunjukkan kompleksitas dan keserbatagaman hubungan partikular yang tak terbatas sebagai aspek hubungan universal antara Allah dan Kosmos. Jadi, dalam suatu pengertian tertentu, setiap tuhan adalah suatu Nama ilahi yang partikular, yang mendefinisikan sifat sebuah partikular, hubungan aspektual dalam konteks hubungan universal yang dikualifikasikan oleh Nama yang universal, Allah. Sekali lagi, Hadis Nabi Muhammad dikutip, “Siapa pun yang mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal Tuhannya”, yang, di sini, dunterpretasikan dalam keterangan pandangannya tentang hubungan. Yakni, “Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri sebagaimana ia in divinis, maka ia mengenal Tuhannya yang partikular sebagai perantara untuk pelepasan dirinya sendiri menjadi eksistensi.”

 

Sekali lagi, Ibn ‘Arabi di sini coba menjelaskan perbedaan antara istilah “Allah”, yang menyatakan polaritas dan hubungan, dan juga sebagai dualitas, triplisitas, dan keserbaragaman, dengan term “Esensi”, yang menunjukkan Esa pada Diri-Nya Sendin, Sendirian dan betul-betul unik, melewati kebutuhan akan beberapa pertentangan kelainan (otherness) dengan tidak mempermasalahkan bagaimana ketergantungannya. Jadi, gagasan akan Allah dan Tuhan tidak dihubungkan untuk Esensi ketuhanan.

 

Untuk akhir bab ini, Ibn ‘Arabi menekankan mutualitas antara term hamba dan Tuhan, serta keutuhan yang esensial Nama-nama ilahi. Ibn ‘Arabi juga mencoba memperbaiki bebcrapa salah pengertian pada pembaca tentang perbedaan dan pertentangan sepero antara konsep dan realitas, yang mereka tunjukkan sebagai sesuatu yang tidak penting dan berlebih-lebihan. Selalu mengusahakan pandangan yang seimbang dan menyeluruh, Ibn ‘Arabi di sini, mempertahankan bahwa pandangan yang lengkap dan menyeluruh tentang Realitas, menuntut kebenaran akan kesatuan universalitas dan kebenaran akan kesatuan singularitas serta keunikan yang digenggam bersamaan dalam sintesis, di mana setiap darinya memperbaiki dan mengganti kerugian dari yang lain sepera aspek-aspek penting pengalaman Realitas akan Diri-Nya Sendiri. Jadi, walaupun dari satu sudut pandang hamba merupakan Tuhan, yang merupakan Allah, yang tak lain adalah Realitas, namun dan sudut pandang lain, hamba bukanlah Tuhan, bukan Allah, dan bukan pula Realitas, dalam pengertian bahwa masing-masing, sementara secara batin dan esensial dalam keadaan identitas yang tak bisa ditawar-tawar namun menyediakan untuk dirinya sendiri karakterisnknya sendiri yang spesial dan khas, secara valid dan sah dalam konteks Realitas. Oleh karenanya, sebagai hamba, gnostikus harus menyadari tidak hanya identitasnya yang kekal dengan Allah sebagai esensi laten, tetapi juga bahwa ia bukan dan tidak dapat menjadi Allah dengan begitu saja; baginya adalah menyembah dan bagi Allah adalah disembah, bagaimanapun derajat gnosis atau pencapaiannya.

 

Dalam penyimpulan bab, Ibn ‘Arabi menerangkan bahwa berkenaan dengan pernyataan Alqur’an bahwa rahmat ilahi lebih kuat dibandingkan murka ilahi, dugaan tentang hukuman di Neraka, yang berarti pemisahan dengan Allah yang sangat mengerikan, tidak dapat menjadi lebih daripada suatu konsekuensi sekunder dan ketidaktahuan, karena semua wujud yang ada pada akhirnya berbagi dalam rahmat dari realitas esensial pada-Nya.

 

HIKMAH KEINDAHAN DALAM FIRMAN TENTANG ISMA’IL

 

Ketahuilah bahwa yang dustlahkan dengan “Allah” adalah Esa (ahadi) melalui Esensi dan Semua (kull) melalui Nama-nama. Setiap wujud yang tercipta dihubungkan dengan Allah hanya sebagai wujud Tuhannya yang partikular, karena hubungannya pada Allah sebagai Semua, adalah mustahil. Mengenai Kesatuan ilahi, tidak ada tempat di dalamnya untuk seseorang sebagai salah satu di antara banyak wujud, seperti halnya tidak mengakui beberapa perbedaan atau diferensiasi. Kesatuan-Nya menggabungkan semuanya dalam potensialitas.

 

Menyenangkan adalah seseorang di mana Tuhannya merasa senang. Dan sesungguhnya tidak ada kesenangan lainnya melainkan ia menyenangkan dalam pandangan Tuhannya, karena melalui dia, Tuhan memelihara Ketuhanannya, dan ia pun diberkati. Dalam hubungan ini, Sahl berkata, “Ketuhanan adalah sebuah misten, dan ia menjadi kamu, yang berarti setiap wujud, dan jika ia  berhenti, Ketuhanan juga berhent.” Di sini, dia menggunakan katakata “jika ia”, yang menyiratkan kemustahilan, karena ia tidak akan berhenti seperti halnya Ketuhanan, sebab wujud ada hanya melalui Tuhannya. Wujud ini selalu ada dan Ketuhanan pun tidak pernah berhenti.

 

Orang yang menyenangkan adalah dicintai sehingga semua yang mencintai juga dicintai. Semuanya sungguh-sungguh menyenangkan karena wujud individual itu sendiri tidak dapat bertindak kecuali Tuhannya ada di dalamnya. Jadi, wujud ini merupakan isi, di mana tindakan akan ditetapkan padanya, dan ia senang dengan yang terwujudkan di dalamnya dan darinya melalui Tuhannya. Tindakan-tindakan ini menyenangkan karena setiap pelaku atau pembuat tindakan merasa senang dengan apa yang ia  buat atau lakukan, dan memberikan tindakan atau kerjanya terhadap semua yang diperlukan, sebagaimana, “Tuhan telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” dengan menjelaskan bahwa Dia yang memberikan kepada tiap tiap sesuatu yang telah Dia ciptakan, sehingga tidak kurang ataupun tidak lebih dan yang seharusnya.

 

Isma’il adalah seorang yang betul-betul menyenangkan Tuhannya, karena dia telah datang untuk mengcetahui apa yang telah kami sebutkan, sebagaimana wujud ciptaan juga betul-betul menyenangkan. Namun demikian, ini tidak mengikut, karena wujud ciptaan adalah yang menyenangkan Tuhannya, di mana perlakuannya kepada Tuhan sama dengan para hamba yang lain, karena ia memiliki Ketuhanan dari sebuah sumber yang mencakup banyak, tidak hanya satu. Jadi; dari totalitas aspek-aspek ketuhanan, setiap wujud dibenkan satu rangkaian yang istimewa untuknya, untuk menjadi Tuhannya. Tuhan ditetapkan dari Allah dalam Nama-nama-Nya, bukan dan Allah dalam Kesatuan-Nya.

 

Karena alasan ini, orang-orang dihalangi dari suatu pembukaan. rahasia-Diri (tajalli) ilahi dalam Kesatuan-Nya. Jika kamu melihat-Nya melalui-Nya, kamu seharusnya mengetahui bahwa Dia selalu melihat Din-Nya dengan Din-Nya Sendiri. Jika Anda melihat-Nya melalui Anda, Kesatuan-Nya akan hilang dari diri Anda. Hal yang sama juga akan terjadi jika Anda melihat-Nya melalui Dia dan melalui Anda. Ini dikarenakan penempatan diri Anda sendiri dalam kata gant “Anda melihat,” Anda memposisikan sesuatu yang lain dan apa yang dilihat. Jadi, menyusun suatu hubungan antar dua hal, pengamat dan yang diamati, dengan cara demikian meniadakan Kesatuan—yang mengakui tidak ada yang lain—walaupun dalam kenyataannya, hanya Dia yang melihat DiriNya melalui Diri-Nya. Di sini juga akan muncul untuk menjadi pengamat dan yang diamati—tetapi keduanya adalah Dia.

 

Tidak lazim bagi seseorang untuk menyenangkan sepenuhnya, kecuali kalau semua yang akan ia wujudkan dimotivasi oleh tindakan untuk sesuatu yang disenangi darinya. Isma’il mempunyai kelebihan dibandingkan wujud-wujud lain sehingga Realitas menggambarkannya sebagai wujud yang menyenangkan Tuhannya. Telah dikatakan untuk setiap jiwa yang tenang, “Kembalilah pada Tuhanmu”, yang mengarah pada Tuhannya Sendiri, sesuatu yang memenintahkannya, yang mana ia mengctahui terlepas dati semua yang lain, “Dengan hati yang puas lagt dinidhat Nya.” “Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku” sepanjang mereka memiliki maqam yang sama.

 

Hamba-hamba yang disebutkan di sini adalah yang mengenaf Tuhan mereka, Yang Mahatinggi (Ta‘ala), dengan menrtyediakan diri mereka untuk-Nya dan bukan untuk yang lainnya, meskipun ada Kesatuan esensial dari Semua Wujud. “Dan masuklab ke dalam Surga (jannah)-ku” yang merupakan perlindungan-Ku. Surga-Ku tak lain daripada Anda, karena ia adalah Anda yang menyembunyikan-Ku dengan diri individual Anda, begitu juga aku tidak dikenal kecuali oleh Anda, sebagaimana Anda yang telah menjadi wujud hanya melalui Aku. Yang mengenal Anda, maka mengenal Aku, sama halnya jika Aku tidak dikenal, maka Anda juga tidak dikenal. Ketika Anda memasuki Surga-Nya, maka Anda memasuki diri Anda sendiri. Kemudian Anda akan mengenal diri Anda sendiri dengan suatu gnosis (makrifat), yang lain dibandingkan Anda mengenal Tuhan Anda melalui pengetahuan diri Anda sendiri. Jadi, Anda akan kemasukan dalam dua jenis gnosis: yang pertama, mengenalNya sebagaimana mengenal diri Anda sendiri, yang kedua, mengenal-Nya melalui Anda sebagai Dia, tidak sebagai Anda.

 

Kamu adalah hamba dan kamu adalah Tuhan,

Karena Sesuatu, untuk Siapa dan pada Apa, kamu adalah hamba. Kamu adalah Tuhan dan kamu adalah hamba,

Karena Sesuatu Yang mengingatkan perjanjian dalam amanat-Nya. Setiap hubungan khusus Tuhan-hamba

Dibubarkan oleh setiap hubungan lainnya yang demikian.

 

Allah puas dengan hamba-hamba-Nya dan mereka pun diridhai-Nya, serta mereka puas dengan Allah dan Allah pun meridhai. Jadi, kedua hal (hamba dan Tuhan) diperbedakan seperti kemiripan yang, dalam suatu pengertian, dipertentangkan, karena tidak ada dua hal yang sama dapat bersatu, sebaliknya, keduanya tidak akan menjadi perbedaan. Dalam kenyataannya, hanya Dialah Yang berbeda, seperti halnya tidak  ada beberapa kesamaan dengan-Nya. Dalam eksistensi, tidak ada kesamaan atau ketidaksamaan, karena terdapat Satu Realitas, dan sesuatu itu tidak akan bertentangan dengan dirinya sendiri.

 

Tiada yang kekal kecuali Realitas, bukan wujud,

Tidak ada yang datang dan tidak ada wujud yang dari jauh.

Pandangan spiritual menegaskan ini, bukan aku,

Ketika aku melihat, aku tidak melihat kecuali Dia.

 

“Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”, artinya bahwa ia (orang yang takut) “menjadi” Dia, karena ia mengetahui perbedaan ini, antara hamba dan Tuhan. Ini lebih ditunjukkan pada kita melalui kenyataan bahwa beberapa orang tidak mengetahui apa yang aku—misalnya—ketahui, karena tentu saia terdapat perbedaan di antara hamba-hamba (al-‘abid), seperti juga antara Tuhan-tuhan (al-Arbab). Jika ia tidak untuk perbedaan ini, satu Nama Tuhan akan diinterpretasikan sebagai yang lain. Nama Yang Maha Memuliakan (al-Mu’izz) tidaklah dipahami dengan cara yang sama seperti Nama Yang Merendahkan-Diri (al-Muzill) dan sebagainya. Bagaimanapun, dari sudut Kesatuan, setiap Nama menunjukkan Esensi dan realitasnya, karena penyebutan Satu adalah Esa. Jadi, Yang Maha Memuliakan adalah Yang Merendahkan-Diri berkenaan dengan Satu yang disebut, sedangkan Yang Mahakuat bukanlah Yang Merendahkan-Diri berkenaan dengan realitasnya sendiri, signifikansinya menjadi berbeda pada keduanya.

 

Jangan menatap Realitas, agar kamu tidak memisahkan-Nya dan ciptaan.

Jangan menatap ciptaan, agar kamu tidak menanamnya dengan yang bukan merupakan Realitas.

 

Ketahuilah Dia sebagai Sesuatu Yang Dapat Dibandingkan (Syabbaha) dan Tidak Dapat Dibandingkan (Nazzaha) dan mendudukkan Nya di tempat kebenaran.

 

Beradalah dalam (suatu keadaan) penggabungan jika kamu kehendak, atau beradalah dalam (suatu keadaan dan) diskriminasi, jika kamu kehendaki.

 

Kemudian melalui Semua, kamu akan mencapai Puncak kemenangan jika suatu totalitas sungguh-sungguh menampakkan dirinya sendiri (padamu sebagai kombinasi dua keadaan tersebut).

 

Jangan mati dan jangan hidup, seperti juga jangan menopang atau menghancurkan.

 

Jadi, wahyu tidak akan diberikan padamu dalam hal lainnya, sebagaimana juga kamu (seperti Tuhan) tidak akan memperolehnya (dalam hal lain)

 

Pujian tidak disebabkan oleh wujud-Nya atas ancaman (al-wa’id)-Nya melainkan oleh wujud-Nya atas janji (al-wa’d)-Nya tentang Surga. Hadirat Ilahi betul-betul menuntut pujian melalui Diri-Nya Sendiri (Esensi). Jadi, merupakan doa yang melalui kesetiaan terhadap janji, tentang Surga, dan bukan untuk ancaman, tentang Neraka, yang betul-betul melalui penahanan diri dari ancamanNya. “Janganlab sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada Rasul-Nya.”” Dia tidak berkata, “Ancaman-Nya”, tetapi selanjutnya di lain tempat juga mengatakan, “Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka”, meskipun ada ancaman-Nya dalam pandangan ini, Dia memuji Isma’il karena “menyempurnakan janjinya.” Jadi, kemungkinan atau kontingensi berhenti dalam hal Realitas karena kecenderungannya inheren pada probabilitas.

 

Hanya Dia Yang sesuai dengan janji-Nya yang ada,

Pun ancaman-Nya tidak memuiliki wujud yang sesungguhnya.

Walaupun mereka memasuki tempat yang memiliki kesukaran,

Mereka mempunyai rasa senang dalam suka cita,

Lain daripada suka cita Surga, tetapi mereka adalah Satu (di dalamNya),

Perbedaan antara dua wujud ini tampak dalam manifestasi DiriNya.

Itulah yang dinamakan ‘azab karena rasa manisnya, Seperti sebuah kulit yang melindungi apa yang di dalam.

 

CATATAN PENGANTAR

 

Ibn ‘Arabi mengawali bab ini dengan suatu pembahasan mengenai pandangan beliau tentang hakikat agama. Dalam melakukannya, tidak bisa dipungkiri kalau sekali lagi dia melibatkan konsep latensi (ketersembunyian) dasar dan konsep ketegangan antara Kehendak dan Keinginan ilahi. Meskipun keyakinan beragama itu diperintahkan oleh Allah, sang makhluk, menurut pendapatnya, memiliki peranan penting dalam menetapkan hatinya, dan meskipun agama spiritual yang lebih tinggi terutama diperuntukkan bagi kemenangan Keinginan ilahi seperti yang terungkap dalam perintah-perintah Allah yang tampak, Kehendak ilahi juga menghasilkan bentuk-bentuk keagamaan, bagaimanapun heterodoksnya mereka bila mungkin dilihat dari sudut pandang ortodoks. Pendapat lain yang muncul dari perlakuannya terhadap subjek ini adalah bahwa agama, sebagaimana hampir keseluruhannya terkait dengan Realitas, juga dipertentangkan dalam hubungan Allah-Kosmos.,

 

Ibn ‘Arabi memulai dengan membagi agama menjadi dua macam, satu disebutnya sebagai agama Allah, dan yang lainnya disebutnya sebagai agama makhluk. Yang disebut pertama tentu saia adalah agama Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Alqur’an, yang secara cukup wajar, dipandang Ibn “Arabi sebaga: pengungkapan tertinggi Keinginan ilahi atau Penntah Wapb Sebagas contoh agama yang disebut terakhir, dia menguup referensi Alqur’an bagi kebiasaan kaum Kinsten mengenai biarawan/barswan, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa hal itu (agama makhluk) merupakan sesuatu yang dibuat sendiri oleh kaum Kosten. Tentu saya, Ibn “Arabi akan memasukkan semua agama selain Islam di dalam bagian mi, selama doktrin dan prakuk agama-agama itu menyimpang secara nyata dari norma Alqur’an. Bukan bahwa agama yang berasal dan makhluk itu dapat benar-benar dipertenrangkan dengan Kehendak ilahi, yang merupakan sumber pencipuaan segala sesuatu, baik agama-agama itu dipandang dengan agama ilahi sebagai sesuatu yang layak disalahkan ataupun tidak. Lebih lanyut, karena makhluk, yang dianggap sebagai manifestasi kosmik kenyataan eternal, merupakan bahan pengetahuan Allah, maka makhluk itu pasulah sama-sama merupakan penentu bentukbentuk dan norma-norma agama tersebut. Jadi, apakah sebuah agama ima sesuai dengan Kehendak ilahi, sebagaimana mesunya, atau lebih spesifik lagi, dengan Keinginan ilahi, maka tdahlah terelakkan bahwa agama itu adalah agama Allah, atau agama kita menurut Allah.

 

Lebih lanjut, beliau membagi agama menjadi agama lahir dan agama batin; agama lahir penung terutama untuk menegakkan perbedaan dan pertentangan antara kutub keruhanan dan kurub kosmik dalam penciptaan mereka dan hubungan penyadaran-Diri, sedang agama batin lebih berkaitan dengan kesatuan onsinal dan kesatuan puncak serta idenutas wujud, Identias Allah dalam Kosmos, idenntas Kosmos dalam Allah, dan idenotas keduanye dalam Realitas. Kedua jenis agama ini, bak eksotens maupun esoteris, yang mencerminkan sifat dasar yang berlawanan in divinis, merupakan manifestasi penting pengalaman-Diri terhadap Realitas Meskipun begitu, keduanya berada dalam ketegangan dan konflik yang terjadi antara satu dcngan lainnya pada tingkat-tingkat formal dan verbal. Sebab, salah satunya akan terlihat menentang dan meng ancam yang lainnya, di mana ketegangan seperti itu pernah dialami dari dekat oleh Ibn ‘Arabi sewaktu berada di Kaira

 

Pembahasan tentang subjek di atas akan diukuti dengan pembahasan lain mengenai subjck kesarmaan dan keunikan.

 

Dia menggiring bab ini pada sebuah kesimpulan dengan wawasan yang menakjubkan mengenai hakikat hubungan antara Kehendak dan Keinginan atau Perintah. Dia mengenalkan subjek ini dengan memperlihatkan bahwa dokter dapat mempengaruhi penyembuhan pasiennya hanya dengan bekeria bersama Alam, dan ttidak  dengan melawannya. Sebab, di luar penaksiran pengalaman manusia, sakit dan sehat, keduanya merupakan kondisi-kondisi alamiah. Dia kemudian menggunakan ilustrasi ini terhadap subjek Kehendak dan Keinginan ilahi, dengan membandingkan Kehendak pada Alam, Keinginan pada hasrat untuk sehat, dan rasul pada dokter. Apa yang ingin dikatakannya adalah bahwa Keinginan, seperti juga Alam, tanpa distingsi, mencakup apa yang kita sebut keimanan dan kekufuran, sedang rasul terkait untuk meningkatkan pencetusan keimanan dalam diri seorang manusia. Tetapi untuk melakukannya, rasul tidak dapat berbuat kecuali hanya dengan tindakan, tidak hanya sesuai dengan Keinginan ilahi tetapi juga dengan Kehendak-Nya, yang juga mencakup apa yang diinginkan oleh Allah. Tetapi, ketika memperumbangkan persoalan mengenati pengaruh-pengaruh dan hasil pengobatan kerasulan tersebut, hal ini ditentukan oleh Kehandak ilahi1, sekali lagi, sesuai dengan alam kecenderungan laten, yang jelas-jelas mengindikasikan ketegangan yang berlawanan, yang hanya dapat dipecahkan dalam Kesatuan Wujud (Wahdah al-Wujuad) yang tak terekspresikan.

 

HikKMAH RuH DALAM FIRMAN TENTANG YA’QUB

 

Agama terdiri dari dua macam. Pertama, agama di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang telah diajari Allah tentang agama-Nya dan di sisi orang orang yang telah mereka ajarkan. Kedua, agama di sisi wujud wujud ciptaan, yang diakui Allah. Agama Allah adalah agama yang dipilth oleh Nya dan diletakkan oleh-Nya pada tingkat yang jauh di atas agama makhluk. Allah berfirman, “Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub (Ibrahim berkata): “Hai anuk-anakku! Sesunggnhnya Allah telah memilih agama yang agama ini bagimu, maka jangunlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam’, yang maksudnya mengikut-Nya.’ Agama dalam ayat ini memiliki barang yang jelas, yaitu, sebuah agama yang diketahui dan mapan. Dia berfirman, “Agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”’ yang berarti mengikut dan mematuhi-Nya, agama bcrarti penyerahan dan ketundukan Anda kepada-Nya.

 

Apa yang datang dari Allah adalah Syara’ (asy-Syar’), di mana anda tunduk kepadanya, yaitu agama, yang merupakan Ketentuan Suci yang menjadikan Syara’ Allah ditegakkan. Orang yang dinilai dengan ketundukannya terhadap apa yang telah Allah tetapkan adalah orang yang mengamalkan agama dan memelihara amalannya, yang mendirikan amalannya sebagaimana dia memelihara salatnya.

 

Hambalah yang mendirikan amalan agama, dan Allah Yang menentukan hakikatnya, karena penyerahan Anda adalah perbuatan Anda dan agama itu berasal dari perbuatan Anda. Keberkatan Anda mungkin hanya melalui apa yang berasal dari diri Anda sendiri. Jadi, sebagaimana perbuatan Anda mendinkan keberkatan Anda, perbuatan-Nya juga mendirikan Nama-nama ilahi, yang mana perbuatan-perbuatan Andalah yang memulai, sehingga dalam hubungan dengan pengaruh-pengaruh-Nya, Dia disebut Ilahi, dan dalam hubungan dengan pengaruh-pengaruh Anda, Anda disebut diberkati. Jadi, Allah menyamakan posisi Anda mengenai ini dengan posisi-Nya, pada saat Anda menegakkan amalan agama dan tunduk pada apa yang Dia dirikan.

 

Insya’ Allah, kami akan menguraikan hal ini setelah kami menjelaskan agama sebagai agama ciptaan yang diperhitungkan Allah. Semua agama adalah untuk Allah, dari Anda bukan dan Dia, kecuali sudah menjadi Sumber (bi hukm al-asalah) Anda.

 

Dia, Yang Mahatingpi, berfirman, “Mereka mengada-adakan rahbaniyyah (tidak beristri atau bersuami dan mengurung diri di biara)” yang menggabungkan wahyu-wahyu Hikmah, yang tidak dibawa oleh Rasul sebagaimana umumnya diketahui dalam mernbawa Pesan Allah kepada orang-orang dengan cara biasanya. Karena Hikmah dan kebajikan di dalamnya sesuai dengan ketentuan ilahi mengenai tujuan Kitab Suci yang diwahyukan, ia berada di bawah penglihatan Allah sebagaimana yang telah Dia letakkan dalam Syara’Nya, meskipun “Dia tidak mewajibkannya bagi mereka.” jadi, karena ranpa sepengetahuan mereka, Allah telah membuka pintu RahmatNya untuk hati mereka, Dia menyebabkan mereka memuji apa yang telah mereka dirikan, terpisah dari cara yang lebih biasa dibawa oleh sang Nabi dan diakui oleh wahyu ilahi, yang mencari ridha Allah di dekatnya. Dia berfirman, “Mereka sendiri tidak memeliharanya, yaitu, mereka yang mendirikannya dan bagi mereka yang didirikan, “tetapi mereka sendiri yang mengada-adakan untuke mencari keridhaan Tuhan?” Jadi, mereka beriman. “Kami berikan kepada orang-orang yang beriman” di dalamnya “pahala mereka, tetapi banyak di antara mereka’, yaitu, orang-orang yang banyak di antaranya berada di jalan ini, “adalah orang-orang fasik”, yaitu mereka yang menyimpang dari ketaatan terhadapnya dan dari amalan yang sermestinya. Karena mereka telah menyimpang di jalan ini, Allah tidak akan menjadi condong kepada mereka.

 

Betapa pun, sebuah perintah ilahi memerlukan ketaatan. Yang satu memerintah, dan yang lainnya sudi mematuhi atau bahkan menentang perintah tersebut. Terhadap yang pertama, tidak ada yang perlu dikatakan lagi; sedangkan untuk yang kedua, merupakan oposisi di mana dia diperintahkan oleh perintah-perintah Allah, dan memilih salah satu dari dua jalan, apakah suka dan ampunan, ataukah mencelanya. Salah satunya harus berperan sesuai dengan yang dia perlukan bagi dirinya sendiri yang dirasa pantas. Sebab, Sang Realitas selalu bertindak sesuai dengan hamba-hambanya, seperti menghargai perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapannya.

 

Jadi, hal ini merupakan pernyataan penting yang mempengaruhi suatu keputusan.

 

Dengan cara ini, agama mungkin dihargai sebagai masalah kompensasi (mu’awadah) dan masalah balasan ataupun ganjaran untuk segala sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Mengenai balasan bagi yang disebut pertama, Dia berfirman, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya,” dan mengenai ganjaran bagi orang-orang yang disebut terakhir, “Barangstapa di antara kamu yang berbuat zakm, niseaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.” Firman-Nya, “Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka’ juga merupakan sebuah balasan. Jadi, agama adalah suatu bentuk pembalasan/pengganjaran, karena agama tersebut adalah Islam, yang berarti kepatuhan, sehingga seseorang patuh pada apa yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang menyangkut pembalasan. Hal ini, kemudian, merupakan aspek lahir dari subjek ini. “

 

Mengenai aspek batin dan aspek rahasianya, adalah sebuah pembukaan rahasia-Diri (tajalli) ilahi dalam cermin eksistensi dari Realitas. Karena wujud-wujud kontingen hanya menerima dari Sang Realitas, sebagaimana mereka sendiri dalam pernyataanpernyataan keadaan esensial mereka; mereka memiliki bentuk bagi setiap keadaan, sebagaimana pembukaan rahasia-diri Realitas berbeda menurut keadaan tersebut. Jadi, sang hamba terimbas sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Dengan demikian, apakah dia akan menjadi baik atau menjadi jahat, menjadi dermawan atau kejam, tergantung dirinya sendiri. Oleh karena itu, janganlah memuji atau menyalahkan orang lain kecuali dirinya sendiri.

 

“Allah mempunyai alasan yang jelas lagi kuat”, melalui Pengetahuan-Nya atas mereka, karena pengetahuan tergantung pada apa yang diketahui. Kebenaran yang lebih mendalam dalam masalah ini adalah bahwa dalam analisa terakhir, wujud-wujud kontingen ini tidak ada, karena satu-satunya yang benar-benar ada hanyalah eksistensi Realitas dalam bentuk-bentuk keadaan di mana wujudwujud kontingen itu ada dalam diri mereka sendiri dan dalam esensi mereka sendiri, yang selamanya laten (tersembunyi). Jadi, Anda harus mengetahui bahwa, atidak  ada yang lain kecuali Sang Realitas, Yang mengalami kesenangan dan kepedihan dan bahwa, pembuka an rahasia-Diri (tajalli) ilahi-lah yang merupakan akibat senap ke adaan, yang disebut dengan konsekuensi dan hukuman. Hal yang sama dipunakan sebagai hasil kebaikan atau kebatilan, kecuali bahwa adat/kebiasaan menganggap akibat sebagai penghargaan bagi kebaikan, dan hukuman bagi kejahatan. Dalam hal ini, agama bisa saia disebut atau ditafsirkan sebagai suatu adat (‘adah), karena di sanalah para hamba menerima perintah yang ‘dibuatnya’ sendiri.

 

Seorang pujangga mengatakan: “Adat kebiasaanmu (dinika) seperti halnya dengan Umm al-Huwayris dahulu.’’ Yaitu, ‘‘adat kebiasaanmu.” Maksud dari adat ini adalah bahwa sesuatu mestnya kermmbalh kepada kondisi asalnya, meskipun adat dalam pengertian repetsi tidak sesuai dengan apa yang sedang kita bahas. Tetapi, adat merupakan suatu realitas yang dapat dimengerti dan merupakan suatu kemuripan tertentu yang muncul di antara bentuk-bentuk tersebut. Misalnya, kita mengetahui bahwa Zayd itu sama dengan ‘Amr dalam hal kemanusiaannya, meskipun—dalam contoh inikemanusiaan tidak muncul dua kah, kalau tidak, hal itu akan menjadi sesuatu yang banyak dan merupakan realitas tunggal, bukan merupakan keberagaman. Kita juga mengetahui bahwa Zayd tidak sama dengan ‘Amr dalam hal kepribadiannya. Jadi, Zayd sebagai Zayd bukanlah ‘Amr sebagai ‘Amr Karena sifat-sifat kepnibadian mereka. Pada permukaannya, Zayd akan kelihatan sebagai replika ‘Amr, tetapi penilaian yang sebenarnya menunjukkan bahwa ini tidak benar, dari satu sisi tidak ada repetisi, sementara dari sisi lainnya, terdapat repetisi tertentu. Dengan cara yang sama, kita bisa membahas pembalasan di satu sisi dan menolaknya di sisi lain, karena pembalasan itu pada dasarnya merupakan keadaan-keadaan manusia itu sendiri. Ini adalah persoalan tetap, yang ndak dapat dijelaskan oleh siapa pun yang mengetahuinya dengan tepat, bukan karena mereka dungu atau bodoh mengenainya, tetapi karena ini merupakan aspek misteri Takdir (al-qadr) yang mengatur makhluk.

 

Ketahuilah, bahwa, seperti yang baru saia dikatakan, dokter adalah hamba Alam, sehingga bisa juga dikatakan bahwa rasulrasul dan para pewarisnya pada umumnya adalah hamba-hamba dalam Perintah ilahi dan, pada saat yang sama, melayani keadaan-keadaan umat manusia yang bergantung. Pelayanan mereka adalah salah satu dari keadaan-keadaan mereka sendin, sehingga mereka berada dalam esensi abadi mereka. Bayangkan, betapa menakjubkan ini! Namun harus dipahami bahwa hamba, dalarn hal ini, membatasi pelayanannya terhadap aturan-aturan yang sesuat dengan apa yang dia layani, berkenaan dengan keadaan ataupun ucapan.

 

Sang dokter mungkin bisa disebut hamba Alam hanya jika dia bekerjasama dengannya. Alam dalam diri pasiennya telah menghadirkan masalah umum dalam kondisi yang disebutnya sakit. Sementara dokter membantunya, dalam manifestasi partikular itu, dia hanya akan melayani untuk menghilangkan sakitnya. Jadi, dia mengendahkannya hanya untuk memulihkan kesehatan pasiennya. ‘Tetapi, kesehatan juga dari Alam, yang kondisinya dapat dimiliki dengan pengadaan kondisi lain yang rumit yang berlawanan dengan yang sudah ada. Jadi, si dokter bukan sepenuhnya hamba Alam, menjadi hambanya hanyalah pada saat dia akan benar-benar tidak bisa menyembuhkan si sakit dan mengubah kondisinya kecuali dengan bantuan sang Alam. Dia melayaninya dengan cara yang biasa, tetapi bukan jalan yang umum, yang tidak ada dalam jenis persoalan ini.

 

Di sini, para rasul dan pewarisnya adalah seperti si dokter yang, pada saat yang bersarnaan, adalah hamba dan sekaligus bukan hamba Alam, atas dasar pertimbangan pelayanan mereka pada Sang Realitas. Sang Reahtas ini menunjukkan dua aspek dalam penentuan pernyataan orang-orang yang menerima Perintah ilahi. Dampak dari Perintah ini pada hambanya adalah seperu Kehendak Realitas menetapkan yang ditetapkan sebagai balasan objek PengetahuanNya, yang ditetapkan sendiri oleh Pengetahuan-Nya, yang dilimpahkan sendiri, yang tidak trerlihat kecuali dalam bentuk citranya.

 

Dengan demikian, rasul dan pewarisnya adalah hamba-hamba dalam Perintah ilahi melalui Kehendak tersebut, tetapi bukan hamba dani Kehendak, yang mempertentangkan Kehendak dari Perintah, dengan tujuan untuk menjamin berkat orang yang diperintahkan untuk mematuhinya. Jika dia adalah hamba Kehendak, dia tidak akan mencari nasihat, atau akan menasihat hanya yang sesual dengannya. Sang rasul, seperti juga sang pewanis, adalah seorang dokter jiwa yang benar-benar mematuhi Perintah Allah. Bila mengingat Perintah Allah dan Kehendak-Nya, dapat dilihat bahwa apa yang diperintahkan dapat saia bertentangan dengan Kehendak-Nya, karena hanya yang dikehendaki-Nyalah yang akan terjadi, yang merupakan alasan bagi Perintah tersebut. Jika Dia menghendaki apa yang diperintahkan-Nya, itu akan terjadi, dan jika Dia tidak menghendaki apa yang diperintahkan-Nya, itu tidak akan terjadi. Ini biasanya disebut perlawanan (mukhalafah) dan pembangkangan (dosa/ma’siyyah).

 

Rasul hanyalah penghubung Perintah. Karena alasan ini, Nabi bersabda, “Bab Hud” dan jenisnya menyebabkanku gelisah, karena ucapan mereka yang kerap diucapkan berkali-kali, “Hendaklah kamu senantiasa bersikap jujur sebagaimana diperintahkan.” Ini menyebabkannya gelisah, yaitu kata-kata, “sebagaimana diperintahkan”, karena dia tidak mengetahui apakah Perintah itu sesuai dengan Kehendak dan kemudian ada, atau apakah ia  bertentangan dengan Kehendak dan kemudian ada. Tidak ada yang mengetahui apakah Kehendak itu akan sampai kepada sesuatu yang ia kehendaki mengambil tempat, kecuali seseorang menerima sebuah intuisi spiritual dari Allah, dengan memungkinkannya untuk merasakan esensi-esensi wujud kontingen dalam kelatenan abadi mereka, berkenaan dengan fakta bahwa dia bisa bertindak sesuai dengan apa yang dia lihat. Ini bisa terjadi terhadap beberapa orang dalam masa-masa pengasingan dari yang lainnya..Dia berfirman, “Aku tidak tahu apa yang akan Dia perbuat pada diriku atau pada dirimu” jadi, dengan mengatakan secara terbuka tentang kejahatan (antara Allah dan kita). Ini dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa Nabi mempunyai pengetahuan gaib mengenai hal-hal tertentu.

 

CATATAN PENGANTAR

 

MESKIPUN bab ini diawali dengan pembahasan mengenai subjek tentang Imajinasi, dengan referensi khusus pada mimpi-mimpi dan visi-visi Yusuf, namun seperti yang disebutkan dalam judulnya, tema utama bab ini adalah Cahaya ilahi dan bayang-bayang kosmik.

 

Banyak yang dia katakan di sini mengenai simbol-simbol dan kebutuhan bagi penafsiran simbol-simbol tersebut yang mirip dengan materi pada persoalan yang sama dalam bab tentang Ishaq (Bab 6). Tetapi, Ibn ‘Arabi di sini benar-benar mengenalkan kita: pada aspek lain mengenai persoalan Imayinasi, yaitu ciri ganda dalam keadaan manusia. Dengan kata lain, sebagai citra mikrokosmik dari makrokosmos, manusia mengalami proses imajinatif, baik sebagat bagian dari proses penciptaan yang lebih besar maupun sebagai manusia yang memiliki kemampuan imajinatif dalam dirinya. Jadi, seperti yang dikatakan penulis kita, manusia mengalami “suatu imajinasi dalam Imajinasi”, “mimpi” mikrokosmiknya sendiri menjadi bagian dari “mimpi” makrokosmik yang lebih besar. Di sini, kita diperkenalkan pada pandangan Ibn ‘Arabi mengenai situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, di mana Kosmos yang ter cipta terlihat sebagai mimpi ilahi, pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yanp memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan ilahi di mana ilusi mengenai sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran tlahi sebagai refleksi posibilitas-Nya. Koondisi jaga dalam konteks ini, tanpa bisa ditawar-tawar lagi, adalah kondisi Kesatuan Wujud.

 

Tema utama bab ini adalah Cahaya itlahi dan citra bayangbayang kosmik yang sesuai. Cahaya di sini dilihat sebagai wujud, tetapi agen ciptaan yang lain, sama dengan Napas Sang Pengasih, Imajinasi, atau cermin. Cahaya tersebut adalah kekuatan yang menerangi atau yang membuat yang tidak ada dan pola dasar laten dari pengetahuan Allah menjadi nyata, seperti Kosmos yang diciptakan. Namun, dalam pengertian tertentu, Cahaya tersebut juga merupakan lambang ketuhanan itu sendiri sebagai Sang Pencipta. Citra bayang-bayang kosmik tersebut agak lebih rumit, karena Ibn ‘Arabi memandang signifikansinya dalam dua cara.

 

Pertama, bayang-bayang tersebut dilihat sebagai citra Kosmos itu sendiri, sebagaimana terdapat dalam suatu pengertian tertentu yang terlepas dan yang jelas terpisah dari Allah, walaupun pada akhirnya menjadi absurditas tanpa Cahaya-Nya. Kedua, bayangbayang itu dilihat sebagai sebuah citra dari keadaan yang tidak termanifestasikan dari esensi-esensi laten Kosmos in divinis. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi memandang kualitas bayang-bayang dari kegelapan dan ketidakjelasan sebagai suatu indikasi jarak yang jelas kelihatan antara Kosmos dengan Allah, juga sebagai simbol kegaiban dan ketiadaan esensi-esensi Kosmos yang tidak tercipta dan tidak nyata dalam Allah. Jadi, apakah bayang-bayang sebagai citra yang diciptakan ataukah masih sebagai Kosmos yang tidak tercipta, dengan cara yang berlainan, adalah tidak lain dan Allah Sendiri, baik sebagai citra yang merefleksi maupun sebagai kandungan pengetahuan yang melekat. Cara lain yang coba ia gunakan untuk menjelaskan kaitannya dengan bab ini adalah dengan menggunakan interaksi cahaya dan warna, apakah cukup potensial dan tersembunyi dalam keadaan yang tidak diterangi ataukah cukup diterangi dalam segala macam naungannya, sehingga mengilustrasikan ketergantungan yang saling menguntungkan antara cahaya dan svarna, yang menguntungkan bagi cahaya karena diferensiasinya, dan menguntungkan bagi warna karena manifestasinya.

 

Ibn ‘Arabi menyimpulkan bab ini dengan pembahasan yang lebih lanjut mengenai perbedaan antara Realitas sebagai Allah dalam hubungan-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya melalui Namanama-Nya, dan Realitas sebagai Esensi yang mentransendensikan keseluruhan proses penciptaan.

 

HIKMAH CAHAYA DALAM FIRMAN TENTANG YUSUF

 

Cahaya Hikmah yang berkilauan ini meluas, melebihi hadirat Imajinasi (al-Khayalo), yang merupakan prinsip dasar wahyu menurut umat Tuhan.

 

‘A’isyah Ra. berkata, “Wahyu dimulai dengan Rasulullah sebagai penglihatan yang nyata (as-sadiqah), yang sama jelasnya dengan waktu fajar setiap kali dia melihatnya, tidak ada keraguan di dalamnya.” Pengetahuan ‘A’isyah tidak lebih jauh dari ini. ‘?isyah menambahkan bahwa dia telah menyatakan ini selama enam bulan setelah Malaikat Jibril mendatanginya. Apa yang tidak diketahuinya adalah bahwa Rasulullah telah bersabda, “Manusia itu tidur dan ketika mereka matt barulah mereka terjaga” semua itu dilihat dalam wujud tidur dalam suatu hakikat yang mirip, meskipun kondisinya berbeda. Dia menyatakan masa enam bulan, padahal sesungguhnya seluruh kehidupan duniawinya terbatas, kehidupan keduniawian menjadi sebuah mimpi dalam mimpi.

 

Segala sesuatu di sini datang dalam alam Imajinasi, karena mereka ditafsirkan. Ini berarti bahwa sesuatu itu sendiri memuiliki bentuk tertentu yang muncul dalam bentuk yang lain, sehingga sang penafsir mendapatkan sesuatu dari bentuk yang dilihat oleh si pemimpi kepada bentuk sesuatu itu sendiri, jika dia berhasil, seperti munculnya pengetahuan dalam bentuk susu. Jadi, Rasul meneruskan penafsirannya dani bentuk susu kepada bentuk pengetahuan, sehingga mengubah—makna sesungguhnya dari keduanya—dari satu bidang ke bidang lainnya, yang merupakan perubahan yang tepat dan bentuk susu menjadi bentuk pengetahuan.

 

Ketika Rasul biasanya menerima sebuah wahyu, beliau menank diri dari segala kehirukpikukan, yang menyelubungi dirinya dengan jubah, dan sekujur tubuhnya tertutup. Ketika wahyu berhenti, beliau kembali kepada dunia indriawi. Apa yang beliau rasakan dalam keadaan ini hanyalah dalam bidang Imajinasi, kecuali kalau beliau tidak tidur. Dengan cara yang sama, penampakan Malaikat kepada beliau sebagai seorang manusia, juga dari bidang Imajinasi. Sebab, Malaikat Jibril bukanlah seorang manusia, melainkan malaikat yang menyamai menjadi bentuk manusia. Bentuk manusia int diubah menjadi bentuk yang sebenarnya oleh orang yang melihat dengan enosis. Dia berkata, “Jibril-lah yang telah datang mengajarimu agama”, Dia juga berkata, “Balaslah salam manusia”, pangeil dia manusia karena bentuk yang ditampakkannya kepada mereka. Kemudian dia berkata, “Ini adalah Jibril”,’ kali ini sambil menghitung bentuk asli dari bentuk manusia imayinatif. Dia benar mengenai dua hal ini, benar dilihat dari sudut pandang mata kasat dan juga benar, tidak diragukan lagi, bahwa dia adalah Jibril.

 

Yusuf bersabda, “Aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang kulihat semuanya sujud kepadaku.” Yusuf melihat saudara-saudaranya dalam bentuk bintang-bintang dan melihat ayah dan bibinya sebagai matahari dan bulan. Ini adalah sudut pandang Yusuf. Tetapi, dilihat dari sudut pandang siapa pun juga, perwujudan saudara-saudaranya sebagai bintang, dan ayah serta bibinya sebagai matahari dan bulan, dikaitkan dengan harapan dan doa mereka. Jadi, selama mereka tidak memiliki pengetahuan atas apa yang dilihat Yusuf, pandangan Yusuf, mengenai apa yang ia lihat, berperan melalui kemampuan imajinatifnya sendiri. Ketika Yusuf memberitahu Ya’qub tentang pandangannya ini, Ya’qub memahami situast ini dan bersabda, “Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, kalau tidak, mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu)”, kemudian Ya’qub mulai membebaskan putranya dart makar dan menempatkan makar itu di pintu Setan, yang sangat mahir dalam soal makar, sambil mengatakan, “Sesungguhnya Setan itu adalah musuh yang paling nyata bagi manusia” yang, secara lahiriah memang begitu.

 

Lebih jauh lagi, Yusuf berkata, “Inilah arti mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan”, yaitu, Tuhan telah menjadikannya terwujud pada pikiran sehat, yang sebelumnya terbentuk dari Imajinasi. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad bersabda, “Manusia tidur’, sedangkan Yusuf berkata, “Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”, karena, berkenaan dengan apa yang dikatakan sang Nabi, ia berada dalam posisi seseorang yang bermimpi sehingga beliau telah terbangun dari sebuah mimpi dan kemudian menafsirkannya. Orang seperti ini tidak mengetahui bahwa dia masih tertidur dan bermimpi, tetapi saat terbangun, dia berkata, “Aku telah melihat begini dan begitu, yang, dengan bermimpi bahwa aku telah bangun, aku tafsirkan.’” Sama seperti inilah situasi Yusuf.

 

Kemudian, perhatikanlah perbedaan antara persepsi Muhammad dengan persepsi Yusuf ketika beliau mengatakan, “Inilah arti mimpiku yang dahulu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan’” yang ia maksudkan dapat dirasakan. Tidak ada yang lain kecuali dapat dirasakan, karena Imajinasi hanya berkenaan dengan apa yang dapat dirasakan. Perhatikan juga betapa agungnya pengetahuan para pewaris Muhammad! Kami akan mengelaborasi lebth jauh tentang bidang ini, jika Allah menghendaki, melalui kata-kata Yusuf yang terkandung dalam semangat pengetahuan Muhammad.

 

Ketahuilah, bahwa, dalam kaitan dengan Realitas, apa yang disebut dengan Kosmos, yang “lain dari Realitas’’, adalah sebagai sebuah bayang-bayang, yang menyebabkan bayang-bayang itu. Sebab, bayang-bayang tersebut adalah bayang-bayang Allah, ini yang menjadikan sama dengan kaitan antara Wujud dan Kosmos, harena tanpa diragukan, bayang-bayang itu adalah sesuatu yang dapat dirasakan. Apa yang dibertkan di sana adalah bahwa di mana pun bayang-bayang itu muncul—sebab di mana pun memungkinkannya muncul ia akan berhenti—bayang-bayang itu akan menjadi sesuatu yang dapat dipahami, dan bukan sesuatu yang dapat dirasakan, dan pada dasarnya akan muncul pada hal-hal yang menyebabkan bayang-bayang itu.

 

Sesuatu yang berada di atas bayang-bayang ilahi, yang disebut Kosmos ini, muncul, yang merupakan esensi-esensi laten secara abadi dan wujud-wujud kontingen. Bayang-bayang int menyebar menyelimuti mereka, dan identitas bayang-bayang itu diketahui secara luas sehingga Wujud dari esensi asal ini diperluas atasnya. Bayang-bayang ini meluas, melebihi esensi wujud-wujud kontingen dalam bentuk gaib yang tidak diketahui. Tidakkah kamu mengamat bahwa bayang-bayang itu cenderung hitam, yang menandakan ketidakmampuan untuk ditangkap oleh akal, dalam hubungan yang tpis antara mereka dan sumber mereka? Jika sumber bayangbayang itu putih, maka bayang-bayang itu sendiri masih tetap demikian (yakni hitam).

 

Tidakkah Anda juga mengamati bahwa jarak gunung-gunung dari si pengamat cenderung kelihatan hitam, sedangkan wujud pada gunung-gunung itu lain daripada warna yang terlihat? Penyebabnya hanyalah jarak. Hal yang sama terjadi pada warna biru di langit, yang juga merupakan pengaruh dari jarak yang terkait dengan benda yang tidak bercahaya. Dengan cara yang sama, esensi wujud-wujud kontingen tidaklah bercahaya, tidak ada, bahkan tersembunyi (aten). Esensi wujud-wujud kontingen ini tidak dapat dijelaskan sebagai eksis karena eksistensinya adalah cahaya. Lebih jauh lagi, bahkan benda-benda yang berkilauan diubah oleh jarak, menjadi terkesan kecil, yang merupakan pengaruh lain dari jarak. Beberapa benda terasa kecil, sedangkan dalam ukuran yang sebenarnya adalah besar. Misalnya, sebagai bukti adalah bahwa matahan itu berjarak 160 kali ukuran Bumi, sementara yang terkesan di mata, ukurannya tidak lebih besar dari sebuah tameng perisai. Ini juga akibat pengaruh jarak.

 

Tidak ada yang lebih diketahui dari Kosmos kecuali yang diketahui dari sebuah bayang-bayang, dan tidak ada yang lebih diketahui dari Realitas kecuali yang diketahui orang mengenai asal sebuah bayang-bayang. Sepanjang Dia memiliki  bayang-bayang, Dia dikenal, tetapi, selama bentuk sesuatu yang menyebabkan bayang-bayang itu tidak dirasakan dalam bayang-bayang itu, Sang Realitas tidaklah dikenal. Karena alasan ini, kami katakan bahwa Realitas dikenalkan pada kita di satu sisi, tetapi di sisi lain tidak dikenalkan.

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau Dia menghendaki, niseaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu”, yaitu, pada dasarnya ia ada dalam Dia, yaitu bahwa Realitas tidak menampakkan Diri-Nya pada wujud-wujud kontingen sebelum Dia memanifestasikan bayang-bayang-Nya, wujud bayang-bayang sebagai wujud-wujud yang tidak dimanifestasikan dalam eksistensi. “Kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk bayang-bayang itu”, yang adalah Nama-Nya, yang merupakan Cahaya yang sudah kami bicarakan dan yang di mana indera-indera merasakan; karena bayang-bayang tidak memiliki eksistensi terpisah tanpa cahaya.

 

“Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tartkan yang perlahan-lahan,” hanya karena bayang-bayang itu adalah milik-Nya, karena kepada Dia-lah segala manifestasi (perwujudan) kembali, karena bayang-bayang itu tidak lain adalah Dia. Semua yang kita pahami tidak lain kecuali dari wujud Realitas dalam esensi wujud-wujud kontingen. Mengenai identitas Realitas, identitas itu adalah Wujud-Nya, sedangkan mengenai ragam bentuknya, ia adalah esensi wujud-wujud kontingen. Sebagaimana biasanya ia  disebut sebagai bayang-bayang dengan pertimbangan ragam bentuk, maka ia juga selalu disebut sebagai Kosmos dan “lain dari Realitas.” Mengenai kesatuannya sebagai bayang-bayang dari Allah, ia adalah Realitas, menjadi Yang Esa, Yang Unik, tetapi mengenai keragaman bentuk-bentuknya, ia  adalah Kosmos; karena itu, pahami dan sadarilah apa yang telah saya jelaskan kepada Anda!

 

Jika apa yang kami katakan ini benar, Kosmos itu hanyalah sebuah fantasi tanpa eksistensi nyata, yang merupakan makna lain dari Imajinasi. Anda membayangkan bahwa Kosmos itu adalah sesuatu yang terpisah dan berkecukupan (mahakaya), di luar Realitas, padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Apakah Anda tidak memperhatikan, dalam hal bayang-bayang, bahwa ia terkait dengan sesuatu yang menyebabkannya, dan ketidakterkaitannya dalam hal ini menjadi sesuatu yang absurd, karena tidak ada yang tidak terkait dengan dirinya sendiri? Oleh karenanya, ketahuilah esensi diri Anda sendiri, siapakah Anda, bagaimana identitas Anda, dan bagaimana hubungan Anda dengan Realitas. Perhatikan baik-baik di jalan mana Anda sebenarnya, dan di bagian jalan mana Kosmos, sebagai wujud yang terpisah, sebagai yang lain, dan seterusnya. Dalam konteks inilah, kaum bijak menjadi lebih baik dari orang lain; maka perhatikan dan pelajarilah!

 

Dalam kaitan dengan bayang-bayang tertentu, Realitas itu kecil atau juga besar, murni atau juga lebih murni, sebagaimana cahaya dalam kaitannya dengan kaca yang memisahkannya dari yang melihat kepada siapa cahaya itu memiliki warna kaca, sedangkan cahaya itu sendiri memiliki warna tertentu. Ini adalah hubungan antara realitas Anda dan realitas Tuhan Anda; karena, jika Anda mengatakan cahaya itu hijau lantaran kacanya hiyau, Anda benar seperti memandang situasi itu lewat perasaan Anda, dan jika Anda mengatakan bahwa cahaya itu bukan hijau, memang cahaya itu tidak berwarna, dengan deduksi, Anda juga benar seperti memandang situasi itu melalui penalaran intelektual. Hal yang dilihat bisa saia dikatakan sebagai sebuah cahaya yang diproyeksikan dari sebuah bayang-bayang, yang merupakan kaca itu, atau sebuah bayang-bayang yang berkilauan, berdasarkan kemurniannya. Jadi, bagi orang yang telah menyadari dirinya, Realitas memanifestasikan bentuk Realitas pada tingkat yang lebih besar kepadanya, dibandingkan manusia yang tidak sadar. Ada di antara kita yang menjadikan Realitas sebagai pendengaran, penglihatan, dan segala indera serta bagian tubuh mercka, sesuai dengan tandatanda yang telah diajarkan kepada kita dengan Syariah yang diwahyukan, yang memberitahukan kita tentang Allah.

 

Meskipun begitu, bayang-bayang individual ini pada dasarnya tetap eksis secara esensial, karena kata penggant yang digunakan dalam pernyataan Hadis—“pendengarannya” secara khusus, mengacu padanya, sebagai bayang-bayang, karena hamba-hamba lain tidak termasuk dalam pencapaian ini. Seorang hamba yang seperti ini lebih dilekatkan pada wujud Realitas ketimbang yang lainnya. Jika segala sesuatunya ada seperti yang telah kami tetapkan, ketahuilah bahwa Anda adalah sebuah imajinasi, sebagaimana halnya segala yang Anda lihat yang lain dari diri Anda sendiri sebagai sebuah imajinasi. Segala eksistensi yang telatif adalah sebuah imajinasi dalam imajinasi. Hanya Realitas-lah yang menjadi Allah, sebagai Diri dan Esensi, tidak ada kaitannya dengan Nama-nama-Nya. Int karena Nama-nama tersebut mempunyai dua konotasi: konotasi pertama adalah Allah Sendiri Yang dinamai, dan konotasi kedua adalah sebuah Nama yang dibedakan dari yang lainnya. Jadi, Pengampunan dalam hal ini bukanlah Yang Lahir atau Yang Batin, dan bukan pula Yang Pertama Yang Akhir. Anda sudah menyadani bahwa dalam pengertian apa setiap Nama itu sangat esensial dengan Nama-nama lainnya, dan dalam pengertian apa Namanama itu tidak esensial bagi sebuah Nama yang lain. Karena wujud secara esensial adalah lain, maka Nama itu adalah Realitas, sementara karena wujud bukanlah yang lain, ia adalah Realitas yang diimajinasikan, hal mana persoalan ini sedang kita bahas.

 

Kemuliaan hanya untuk-Nya Sendiri, yang merupakan bukti dari Dia Sendiri, demikian juga Diri-Nya Sendiri, hanya Dia-lah yang menghidupkannya. Tidak ada sesuatu dalam Wujud kecuali yang implisit dalam Kesatuan ilahi, dan tidak ada sesuatu dalam Imajinasi kecuali yang implisit dalam keragaman Kosmik. Siapa pun yang bertangeung jawab terhadap keragaman, past terlibat bersama Kosmos, Nama-nama ilahi—dalam distingsi-distingsi mereka—dan nama-nama kosmik. Siapa pun yang bertanggung jawab terhadap Kesatuan tersebut adalah bersama dengan Sang Realitas dalam Esensi-Nya sebagai Yang Mahakaya (al-Ganiyy) yang melintasi segala alam. Dengan menjadi Yang Mahakaya yang melintasi semua alam, Dia independen dari, dan melampaut, seluruh hubungan nominal, karena Nama-nama itu, selain menunjukkan Dia sebagai Esensi, juga menunjukkan realitas-realitas yang dinamai, yang pengaruh-pengaruhnya mereka manifestasikan.

 

“Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Esa’, dalam Diri-Nya Yang Unik; “Dia adalah Pelindung Abad?’, dalam kaitan ketergantungan kita kepada-Nya; “Dia tidak beranak”, dalam Identitas-Nya atau dalam hubungan dengan kita; “Tidak juga Dia diperanakkan”, berkaitan dengan ayat sebelumnya; “Tidak adayang menyamai-Nya’, berkaitan dengan ayat sebelumnya. Dengan demikian, Dia menggambarkan Diri-Nya Sendiri dan memisahkan Esensi-Nya dalam kata-kata “Allah Yang Esa”, meskipun keragaman yang ditunjukkan melalui Sifat-sifat-Nya sangat kita kenal. Kita, untuk peranan kita, beranak dan diperanakkan, bergantung kepada-Nya, dan antara satu dengan yang lainnya kita saling bersaing. Bagaimanapun, Yang Mahaunik ini melebihi segala sifat-sifat ini, tidak membutuhkan sifat-sifat itu ataupun membutuhkan kita. Sesungguhnya, gambaran yang paling baik mengenai Realitas adalah gambaran yang diberikan Surat al-Ikhlas” ini, dan dalam hal ini juga menjadi tepat diberikan untuk masalah ini.

 

Keesaan Allah, dalam kaitannya dengan Nama-nama ilahi yang menghendaki eksistensi kita, adalah sebuah keesaan dan yang banyak, sedangkan berkaitan dengan independensi sempurna Nama-namaNya dan kita, ia adalah keesaan dari Esensi, di mana dalam keduanya, Nama Esa digunakan. Jadi, perhatikanlah!

 

Allah menciptakan bayang-bayang yang terbentang tak berdaya di kanan dan di kiri, hanya sebagai petunjuk bagi Anda untuk mengenal diri Anda sendiri dan mengenal Dia, sehingga Anda bisa mengenal siapa diri Anda, hubungan Anda dengan Dia, dan hubungan Dia dengan Anda. Anda juga bisa mengerti bagaimana atau berdasarkan apa semua kebenaran ilahi yang selain Allah digambarkan sebagai wujud yang sama sekali bergantung kepadaNya, juga sebagai wujud yang saling bergantung. Anda juga akan mengetahui bagaimana dan dengan apa Allah yang sesungguhnya digambarkan sebagai yang benar-benar tidak bergantung kepada manusia ataupun kepada semua alam, dan bagaimana Kosmos digambarkan sebagai yang saling tidak bergantung berkenaan dengan bagian-bagiannya dan sebagai yang saling bergantung.

 

Tidak ada keraguan bahwa Kosmos pada dasarnya bergantung pada penyebab. Penyebab terbesar memperoleh kausalitas dari Realitas. Kausalitas ilahi merupakan Nama-nama Ilahi, di mana Kosmos bergantung, baik pada sebuah Nama yang dimanifetasikan dalam sebuah Kosmos ataupun pada Esensi ilahi tersebut. Apa pun itu, secara esensial ia  adalah Allah, tidak ada yang lain. Jadi, Dia berfirman, “Haz manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lage Mahaterpuji.” Selain itu, sudah diketahui bahwa kita juga saling bergantung. Oleh karena itu, nama-nama kita sebenarnya adalah Nama-nama Allah, karena semua bergantung kepada-Nya. Pada saat yang sama, diri-diri esensial kita adalah bayang-bayang-Nya. Dia merupakan idenuttas kita tetapi sekaligus juga bukan merupakan identitas kita. Kami telah membuka jalan bagi Anda, jadi pikirkanlah!

 

CATATAN PENGANTAR

 

MESKIPUN subjek utama dari bab mengenai Hud ini adalah konsep tentang Jalan Lurus (as-Sirat al-Mustaqim), yang berasal dari Alqur’an, namun tema yang mendasati, sebagaimana yang disugesti pada judulnya, adalah keaslian dan mutualitas pokok dalam kesatuan, yaitu hakikat esensial realitas.

 

Ibn ‘Arabi menggunakan subjek Jalan Lurus untuk memperkenalkan tema penting ini. Meskipun makna yang paling jelas dari jalan yang lurus dalam Alqur’an adalah sebagai jalan menuju keselamatan, dia secata karakteristik menggunakan gagasan untuk mendukung tesis mistiknya sendiri mengenai Kesatuan Wujud. Bagi Ibn ‘Arabi, Jalan ini tidak lain adalah jalan kembali, yang tidak dapat ditawar-tawar, kepada keadaan kesatuan yang asli dan tidak dibedakan, yaitu Realitas Itu Sendiri. Pada kenyataannya, penjelasan Ibn ‘Arabi mengenai kutipan Alqur’an lainnya, “Dan kepada-Nyalah tempat kembali”, yang artinya bahwa segala kemungkinan kejadian yang tak terbatas, tidak bisa disangkal lagi akan kembali kepada sumbernya yang asli, yaitu Wujud Yang Esa, dan bahwa segala muslihat ciptaan mengenai sifat-sifat yang berlawanan dan mengenai ‘yang lain’ past akan dihilangkan untuk menunjukkan wajah Realitas yang tidak berubah dan tidak dapat diubah. Seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabi di awal bab ini, segala sesuatu tanpa terkecuali berada pada Jalan Lurus ini menuju kesadaran puncak, bukan hanya karena segala sesuatunya tidak bisa dihindarkan dani Realitas, tetapi juga karena faktor Kemurkaan ilahi, yang akan selalu kelihatan sebagai kutukan wujud-wujud ciptaan untuk dihilangkan dan dibuang, yang subordinat dan aksidental terhadap Rahmat yang besar, yang menjamin realitas esensialnya in aeternis. Dengan demikian, panorama bentuk-bentuk kosmik yang mempesonakan dan mengagumkan dalam segala keragaman dan pertentangan mereka, yang sekaligus menunjukkan dan mengaburkan Kebenaran, selalu berada dalam cakupan Rahmat ilahi, sekalipun negatif dan oleh karenanya pengaruh-pengaruh sekunder dan kebetulan dan kemurkaan dapat terlihat.

 

Dibandingkan dalam bab lainnya, barangkali pada bab inilah Ibn ‘Arabi lebih sering menggunakan analogi-analogi yang bervariasi, pemikiran yang keras mengenai tesis mendasarnya, Kesatuan Wuyjud, yang tidak ada pemikiran lain kecuali pemikiran itu belaka. Akibatnya, di lain tempat, dia cekatan menunjukkan bahwa konsep Jalan Lucus itu sendiri memperdayakan sejauh ia  mensugesti kemungkinan jarak dan pemisahan, yang jalan itu sendiri tidak lebih dari sebuah muslihat yang tujuannya adalah untuk menciptakan polaritas di mana ketuhanan sendiri bisa “memperoleh Din-Nya Sendiri.” Sesungguhnya, seperti yang disarankan Rumi, segala gerak adalah “seperti burung-burung yang terbang untuk mendapatkan udara.” Dalam sebuah surat kepada seorang ahli teologi terkenal, ar-Razi [Hyderabad, 1948], Ibn ‘Arabi sejauh ini mengatakan bahwa perbedaan utama antara Allah dan makhluk, yang sangat penting bagi keyakinan eksoteris, sesungguhnya adalah kesetiaan, karena kesetiaan itu mempostulatkan dua entitas, Dia dan kita. Kesatuan yang mendasani ini diungkapkan secara ringkas dalam bab ini ketika beliau’ mengatakan bahwa Allah merupakan bentuk luar (Yang Lahir) kita dan juga ruh dari bentuk (Yang Batin) tersebut, sehingga tidak ada yang tersisa dari kita sebagai sesuatu yang lain kecuali Dia. Meskipun dia memiliki banyak hal untuk diungkapkan tentang subjek ini, baik di sini maupun di tempat lainnya, Ibn ‘Arabi menjadi orang pertama yang menerima bahwa subjek ini secara esensial tidak dapat diekspresikan, sebab bahasa manusia, yang manusiawi dan formal, pada dasarnya tidak cukup untuk menjelaskan apa yang melebihi bentuk, dan juga tidak bisa mengharapkan akal manusia untuk dengan tepat mengatasi pelbagai pengalaman dan realitas yang menyangkut dunia di luar manusia. Oleh karena itu, banyak yang dikatakan Ibn ‘Arabi tentang subjek khusus ini yang karenanya menjadi penting dengan sendirinya, dan ketidakmemadaian realitas dan pengalaman terhadap apa yang coba dia jelaskan.

 

HIKMAH KESATUAN DALAM FIRMAN TENTANG Hup

 

Jalan Lurus Allah tidaklah tersembunyi,

Tetapi terlihat seluruhnya.

Pada dasarnya Dia ada dalam segala sesuatu yang besar dan yang kecil,

Abai dari kebenaran atau sadar.

Jadi Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu,

Jadilah mereka hina atau mulia.

 

“Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” Segala sesuatu berjalan di atas Jalan Lurus dari Tuhan mereka dan, dalam hal ini, mereka tidak menyebabkan Kemurkaan ilahi dan tidak pula mereka tersesat. Ini karena Kemurkaan (al-Gadab) ilahi, seperti halnya kesalahan (al-dalal), adalah suatu aksidental (‘arid), segala sesuatu yang pada akhirnya berasal dari Sang Pengasih, yang mencakup segala hal dan yang mendahului. Semua yang selain Realitas adalah wujud yang berjalan (dabbah) di atas Jalan itu, karena massing-masing mempunyai ruh dan tidak ada yang berjalan dengan sendirinya di atas Jalan itu, meclainkan melalui Allah. Ia berjalan di sepanjany jalan itu, menpikuti Nya Yang berada di jalan tersebut, berdasarkan ketentuan yany pasti. Jalan ini tidak menjadi sebuah jalan melainkan karena proses sepanjang jalan itu.

 

Jika makhluk tunduk kepadamu,

[Sesungguhnya] Sang Kealitas-lah Yang menundukkan,

Dan jika Realitas taunduk kepadamu,

Makhluk ini mungkin tidak mengikuti-Nya.

Oleh karena itu sadarilah apa yang kami katakan,

Karena semua yang aku katakan adalah benar.

Tidak ada satu pun wujud yang tercipta

Kecuali dikaruniai dengan ucapan [ungkapan].

Tidak pula ada satu pun makhluk, yang dilihat dengan mata,

Kecuali pada dasarnya adalah Realitas.

Sesungguhnya, Dia tersembunyi di dalamnya,

Bentuknya hanyalah menjadi wadah.

 

Ketahuilah, bahwa, ilmu ketuhanan dan gnostik (al-‘ulum al-ilahiyyah az-zawqiyyah) yang dimiliki oleh Orang-orang (ahl Allah) itu berrmmacam-macam, sesuai dengan keragaman kapasitas spiritualnya, meskipun mereka semua pada dasarnya berasal dari satu sumber. Allah, Yang Mahatinggi, berfirman, “Aku adalah telinga yang dipakainya untuk mendengar, mata yang digunakannya untuk memandang, tangan yang digunakannya untuk mengambil, dan kaki yang digunakannya untuk berjalan.” Dia menyatakan bahwa Dia, dalam Idenutas (Huwiyyah)-Nya, adalah anggota badan mereka sendiri yang merupakan hamba itu sendiri, meskipun identitas tersebut adalah Satu, sedangkan anggota badan tersebut jumlahnya banyak. Sebab, pada setiap anggota badan atau organ tubuh terdapat satu jenis pengetahuan spiritual tertentu yang berasal dari satu sumber, yang berkaitan dengan banyak anggota dan organ tubuh, bahkan air sekalipun, meski merupakan sebuah realitas tunggal, tetapi beragam dalam rasa sesuai dengan tempatnya, beberapa terasa manis dan menyenangkan, beberapa yang lain terasa asin dan payau. Meskipun begitu, hal int mengingatkan air yang tidak dapat diubah dalam keadaan apa pun juga, dengan segala macam rasanya.

 

Hikmah ini terkait dengan pengetahuan yang berhubungan dengan “kaki” yang mengacu pada apa yang dikatakan Sang Mahatinggi berkenaan dengan makanan spiritual yang diberikan kepada mereka yang benar-benar menegakkan Kitab-kitab Suci: “Daa sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil, dan (Al-qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niseaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka] dan dari bawah mereka.” Sebab, jalan yang merupakan Jalan Lurus ini, harus dilalui dan dyalani, yang tidak akan diselesaikan kecuali dengan kaki-kaki itu. Hanya jenis khusus pengetahuan esoteris inilah yang dalam pengetahuan khusus ini menghasilkan kepemimpinan oleh Dia Yang berada di jalan itu, melalui gombak-gombak dengan Tangan-Nya.

 

Dan Dia akan menghalau orang-orang yang durhaka, yang mengegunakan tempat ini. Dia menghalau mereka, dengan memakai angin barat yang Dia gunakan untuk mengusir mereka dari separatis mereka sendiri. Dia menyeret mereka sepanjang gombak mereka, sementara dari belakang, angin menghalau mereka ke Neraka. Sang penghalau ini tidak lain adalah hawa nafsu dan kehendak hati mereka sendin, dan Neraka menjad jarak yang mereka bayang: kan, antara mereka dan Realitas.

 

Sebab, Dia (Tuhan mereka)-lah Yang menghalau mereka menuju tempat kediaman ini, mereka sesungguhnya mencapai kedekatan kepada-Nya, semua jarak dan perkiraan akan Neraka berhenti pada mereka. Dengan demikian, mereka mencapai berkat kedekatan kapada-Nya berkenaan dengan apa yang telah mereka manfaatkan, dalam esensi mereka yang abadi, menjadi orang-orang  durhaka selamanya. Allah tidaklah memberi mereka tempat yang menyenangkan sebagai sebuah hadiah yang tidak dibayar, karena mereka sendirilah yang mengambilnya sesuai dengan realitas pokok yang telah mereka manfaatkan selamanya dengan perbuatan-perbuatan mereka. Maka, tentukanlah sendiri Namun demikian, dalam menunjukkan perbuatannya, mercka berada di Jalan Tuhan mercka, wujud gombak mercka berada di tangan Yang Esa hingga berubah; dengan demikian, mercka tidak berjalan di Jalan mereka dengan sendirinya, tetapi di bawah tekanan, sampai mereka mencapai kedckatan kepada-Nya.

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya [yang sekarat] daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat [Kami].”? Orang yang sekarat memiliki penglihatan ini karena penutupnya telah disingkapkan, dan penglihatannya pun menjadi tajam. Dalam ayat ini, Dia tidak mengkhususkan jenis Orang tertentu, yaitu orang yang diberkati daripada orang yang dikutuk. Sekali lagi, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’,’ di mana tidak ada orang tertentu yang dikhususkan. Kedekatan tlahi jelas dinyatakan dalam Wahyu-Nya. Tidak ada kedekatan yang lebih dekat daripada kedekatan Identitas-Nya, yang seharusnya menjadi bagian tubuh dan indera seorang hamba, yang adalah hamba itu sendiri. Sebab, hamba tersebut adalah sebuah realitas yang tampak pada sesosok makhluk yang sesat.

 

Bagi orang-orang yang beriman dan yang memiliki penglihatan spiritual, makhluk tersebutlah yang dikira dan Realitas-lah yang terlihat dan dirasakan, sedangkan bagi orang-orang yang tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut, Realitas-lah Yang dikira dan makhluknya yang dilihat dan dirasakan dengan indera. Kelompok terakhir terasa seperti air asin, air pahit, sedangkan kelompok pertama terasa seperti air manis, menyenangkan, enak untuk diminum.

 

Manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menempuh sebuah jalan yang mereka ketahui dan yang tujuannya telah mereka ketahui pula, yaitu Jalan Lurus milik mereka. Kelompok keduq menempuh sebuah jalan yang tidak diketahut mereka dan yang tujuannya tidak mereka sadari, di mana jalan tersebut sejajar dengan Jalan Lurus. Para gnostikus datang kepada Allah dengan persepsi spiritual, sedangkan orang yang bukan gnostikus datang kepada-Nya dalam ketidaktahuan dan terikat oleh suatu tradisi.

 

Pengetahuan yang demikian itu adalah suatu pengetahuan Khusus yang berasal dari “‘tempat yang serendah-renduhnya’,” kareena kaki adalah bagian terendah dari seseorang, bagian yang lebih rendah dibandingkan jalan di bawah mercka. Dialah yang mengctahut bahwa Realitas adalah jalan yang mengctahui kebcnaran, karena di dalamnya tidak ada yang lain kecuali Dia tempatmu melangkah dan maju, karena tidak ada yang hampa hasilnya untuk diketahui kecuali Dia, karena Dia adalah Wujud Itu Sendiri dan oleh karenanya juga merupakan pengembara itu sendiri. Lebih jauh, tidak ada Yang Mengetahui kecuali Dia; jadi siapakah Anda? Oleh karena itu, Kketahuilah realitas dan jalan Anda yang sebenarnya, karena kebenarannya telah dibuat jelas bagi Anda melalui mulut sang Penafsir (Muhammad), jika Anda mau memahaminya. Firman-Nya merupakan perkataan yang benar, di mana tidak seorang pun mampu memahaminya, kecuali dengan pemahaman yang benar; Sang Realitas memiliki banyak relasi dan aspek.

 

Tidakkah Anda memperhatikan kaum ‘Ad, umat Hud, bagaimana mereka mengatakan, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan pada kami”,? sambil benar-benar memikirkan Allah Yang hadir dalam apa yang dipikirkan hamba-Nya mengenai Dia. Tetapi, Allah melepaskan Diri-Nya dari apa yang mereka katakan, dan mengabari mereka tentang suatu kedekatan yang lebih lengkap dan agung. Sebab, ketika Dia menurunkan hujan kepada mereka, hal itu membuktikan suatu anugerah kepada bumi dan suatu persemaian bagi benih, sedangkan mereka menikmati buah-buahan yang disebabkan oleh hujan tersebut hanya dari kejauhan (di balik kubur); Dia berfirman kepada mereka, “Inilah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera, yaitu angin yang mengandung azab yang pedih”, dengan membuat angin (rih) sebagai suatu gejala atas apa yang dikandung oleh jalan peristirahatan (rahah), karena dengannya Dia menyelamatkan mereka dari kegelapan tubuh-tubuh mereka, dari kekasaran jalan-jalan mereka, dan dari kegelapan spiritual mereka. Dalam angin ini, terdapat azab (hukuman atau kesenangan), yaitu sesuatu yang akan mereka senangi ketika mereka mengalaminya, meskipun itu menyebabkan mereka menderita dengan memisahkan mereka dari apa yang sebclumnya dckat dengan mereka. Dia memberi mereka hukuman, yang melekat dalam esensi abadi mereka sendiri, dan hukuman itu lebih dekat kepada mereka atau realitas mereka daripada yang mereka bayangkan. Segalanya menjadi binasa dengan perintah Tuhannya; “Dan jadtlah mereka tidak ada yang kelihatan lagi, kecuali bekas-bekas tempat tinggal mereka”, yaitu, tubuh-tubuh mereka di mana ruh-ruh mereka yang paling utama terunggal. Dengan kata lain, hobungan khusus antara ruh dengan tubuh yang menghentikan dan tubuh yang terus menghidupkankehidupan ruhani dari wujud material—kehidupan disesuaikan kepada mereka oleh Realitas, yaitu kehidupan di mana kulit, tangan, dan kaki memberi kesaksian, seperti halnya juga ujung cambuk dan paha. Semua ini terdapat dalam Teks Ilahi (an-Nass al-Ilahi). Allah, Yang Mahatinggi, telah menggambarkan Diri-Nya sebagai Cemburu (al-Gayrah), yang tidak akan eksis kecuali Diri-Nya Sendiri, dan inilah kenapa Dia, “mengharamkan perbuatan yang keji”, yang maknanya jelas dan lahir. Mengenai yang batin, ia eksesif bagi mereka yang muncul dalam dirinya sendiri. Jadi, Dia melarang perbuatan-perbuatan keji (kehidupan yang relatif), yakni, Dia menjaga rahasia nyata dari wujud yang tidak  diketahui, yaitu bahwa Dia adalah Diri dari hal-hal esensial. Dia menyembunyikannya dengan al-gayrah (kelainan), yang merupakan Anda, sebagai wujud bukan Dia. “Kelainan’’ menegaskan bahwa pendengaran iniyang mengacu kepada Hadis-merupakan pendengaran Zayd, sedangkan gnostikus, yang melihat dari sisi Kesatuan Wujud, menegaskan bahwa ia adalah Realitas Sendiri, dan sama halnya dengan bagian tubuh dan panca indera lainnya. ‘Tidak setiap orang mengenal Realitas, beberapa orang lebih unggul dibanding yang lainnya mengenai tingkat spiritual, sehingga jelaslah siapa yang lebih kuat mengenati hal ini dan siapa yang tidak. KRetahuilah, bahwa ketika Realitas tampak padaku dan menyebabkanku menyaksikan realitas-realitas esensial mengenai rasul-rasul-Nya dan nabi-nabi kemanusiaan dari Adam sampai Muhammad—salam dan rahmat semoga dilimpahkan kepada mereka semua —pada suatu pertemuan di Kordoba pada 586, tidak ada yang menegurku di antara mereka kecuali Hud, yang memberitahu saya mengenai alasan kenapa mereka mengadakan pertemuan bersama. Saya melihat beliau sebagai sosok yang gagah, berkulit kuning langsat, lemah-lembut, seorang gnostikus, seorang penyingkap realitas-realitas. Yang membuktikan hal ini padaku adalah ayat, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas Jalan Lurus.” Berita apakah yang lebih besar bagi makhluk? Sesungguhnya, Allah mengingatkan kita akan Rahmat-Nya kepada kita dengan membawakan ayat int kepada kita melalui Alqut’an. Kemudian, Muhammad, yang menyatukan keseluruhannya, melengkapi berita-berita ini dengan mentransmisikan Hadis kepada kita, di mana di dalamnya dikatakan bahwa Realitas itu pada dasarnya adalah pendengarandani sang hamba, sang gnostikus—penglihatan, tangan, kaki, dan lidah. Sesungguhnya semuanya adalah indera-indera.” Lebih jauh lagi, meskipun indera spiritual lebih dekat dibandingkan indera lahir, Dia mengisi Diri-Nya Sendiri dengan apa yang lebih jauh diketahui, selain apa yang lebih dekat tetapi tidak diketahui.

 

Allah menginterpretasikan sebagai kabar bagi kita kata-kata Nabi-Nya, Hud, kepada kaumnya, dan Rasulullah menginterpretasikan bagi kita kata-kata Allah—dalam Hadis.

 

Dengan demikian, pengetahuan disempurnakan di dalam hati orang-orang yang telah dianugerahi pengetahuan, “Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.” Sebab, ada orang-orang yang akan mengingkari ayat-ayat Allah, meskipun mereka sendiri memuiliki pengetahuan tentang ayat-ayat itu, di luar dani perasaan in, persaingan, dan ketidakadilan. Untuk bagian kita, kapan pun Allah menyatakan atau memberitahu kita—melalui Hadis Qudsi—mengenai Diri-Nya, apakah itu menegaskan transendensi atau komparabilitas-Nya, kita selalu melihatnya sebagai pembatasan.

 

Pembatasan pertama, di mana Dia menundukkan Diri-Nya Sendiri, adalah “Awan Hitam tidak mempunyai udara di atas ataupun di bawahnya.’’ Sang Realitas berada di dalamnya sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya. Kemudian, Dia berfirman, “Dia bersermayam di atas ‘Arsy’’, yang juga mewakili suatu pembatasanDiri. Kemudian, Dia mengatakan bahwa Dia turun ke langit yang paling rendah, juga suatu pembatasan. Dia lebih jauh mengatakan bahwa Dia berada di Langit dan di Bumi, sehingga Dia bersama kita di mana pun kita berada, dan akhirnya bahwa dalam esensi, Dia adalah kita. Kita adalah wujud-wujud yang terbatas, dan oleh karenanya, Dia selalu menggambarkan Diri-Nya Sendiri dengan Cara-cata yang menunjukkan suatu pembatasan pada Diri-Nya. Bahkan, ayat, “Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia”, merupakan pembatasan jika kita ucapkan kaf (yang serupa, —peny.) dengan benar-benar tegas, karena orang yang dibedakan dari apa yang dibatasi, dirinya sendiri terbatas karena dia bukan hal itu; untuk mengingkari segala kemungkinan dari pembatasan adalah sebuah pembatasan, wujud Mutlak, dalam satu pengertian, yang dibatasi oleh Kemutlakan-Nya Sendiri.

 

Jika kita melihat kaf sebagai batas kedua, kita membatasi Dia. Jika kita menganggap ayat “Tidak ada sesuatu pun_yang serupa dengan Dia” sebagai pengingkaran kesamaan, kita telah menyadari pengertian yang benar dan makna yang diharapkan, bahwa Dia pada dasarnya adalah segala sesuatu. Segala yang diciptakan itu terbatas, meskipun pembatasannya beragam. Jadi, Dia dibatasi oleh pembatasan dari setiap hal yang terbatas, masing-masing pembatasan menjadi pembatasan Realitas. Dia menembus melalui semua wujud yang diciptakan dan dimulakan, dan ketika hal ini tidak demikian, maka eksistensi relanf tidak akan memilhki makna apa pun.

 

Dia adalah Wujud Itu Sendiri, Esensi Wujud, “‘Dia-lah Maha Pemelihara segala sesuatu” dengan Esensi-Nya, dan pemeliharaan ini tidak “memberatkan-Nya.’’ Dalam memelihara segala sesuatu, Dia memelihara Bentuk-Nya, kalau tidak, semestinya menganggap sebuah bentuk selain Bentuk-Nya, dan itu tidak mungkin. Dia adalah pengamat dalam pengamat dan yang diamati pada yang diamati; Kosmos adalah Bentuk-Nya dan Dia menguasai Ruh Kosmos, yang merupakan Manusia Agung (Makrokosmos).

 

Dia-lah segala Kejadian dan Dia-lah Satu-satunya Yang

Kejadiannya aku dijadikan, oleh karena itu kukatakan Dia menafkahi

Di atas wujudku, sehingga kita dicontohkan dalam Citra-Nya.

Sebagaimana juga, dari satu sisi tertentu, aku berlindung kepada-Nya dari Dia.

 

Ini karena kesempurnaan penuh, dari realitas-realitas esensial dalam Esensi yang tidak dibedakan, di mana Dia bernapas seterusnya (Kata penciptaan pertama kun). Dia mengaitkan Napas kepada Sang Pengasih, karena dengan Napas itu, Dia memiliki kepengasihan atas permintaan Mode-mode ilahi bagi penciptaan bentuk-bentuk Kosmos, yang adalah Realitas lahir, Dia menjadi Yang Lahir. Dia juga merupakan Esensi batin mereka, yang juga menjadi Yang Batin. Dia adalah Yang Pertama, karena Dia ada ketika mereka tidak ada, dan juga Yang Akhir, karena dalam manifestasi mereka, Dia adalah Esensi mereka; Yang Akhir adalah Yang Lahir, dan Yang Pertama adalah Yang Batin. Jadi, “Dza Maha Mengetahui segala sesuatu” seperti mengetahui Diri-Nya Sendiri.

 

Karena Dia menciptakan bentuk-bentuk tersebut dalam Napas, maka dominasi hubungan tersebut menjadi lahir, yang disebut Nama-nama, yang merupakan pertalian ilahi dengan Kosmos yang ditegakkan, semua wujud berasal dari-Nya. Dia berfirman, “Hari ini telah Kulemahkan hubunganmu dan Kunaikkan hubungan-Ku”, yaitu, Aku telah menjauhkan hubunganmu dari dirimu sendiri dan telah Kukembalikan kamu pada hubunganmu yang tepat denganKu.

 

Siapakah orang-orang yang bertakwa? Mereka adalah orang-orang yang menganggap Allah sebagai perlindungan mereka, Dia menjadi bentuk lahir mereka, seperti menjadi realitas batin dari bentuk-bentuk mereka yang dimanifestasikan. Orang seperti ini adalah orang yang terkuat dan terkeras di mata semua orang. Orang bertakwa juga merupakan orang yang menjadikan dirinya sebagai sebuah perlindungan bagi Allah, seperti halnya menjadi bentukNya, karena Identitas Allah pada pokoknya merupakan kemampuan-kemampuan sang hamba. Dia menjadikan apa yang diistilahkan hamba ini sebagai perlindungan bagi apa yang disebut Sang Realitas, walaupun merasakan kebenarannya, yaitu keduanya adalah satu, sehingga orang yang mengetahui, jelas dibedakan dari orang yang dungu.

 

“Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak, mengetahui, yang menertma peringatan ialah hanya orang-orang yang berakal” yaitu, orang-orang yang melihat realitas, batin dari sesuatu hal, yang merupakan objek pengetahuan nil mengenai sesuatu hal. Sebab, orang lalai tidak akan lebih unggul dari orang rajin, bukan pula seorang bayaran untuk dibandingkan dengan si hamba. Jika kemudian Allah merupakan perlindungan bagi si hamba, di satu sisi, dan di sisi lain, si hamba bagi Allah, Anda bisa mengatakan tentang Wujud apa yang Anda kehendaki; apakah ia makhluk ataukah Realitas, atau bahwa ia adalah makhluk dan sekaligus Realitas. Dapat juga dikatakan bahwa baik makhluk maupun Realitas, keduanya tidak ada, sebagaimana seseorang bisa mengaku kebingungan dalam hal ini, karena dengan mengangkat tingkatan-tingkatan, kesulitan muncul. Tetapi, bagi prinsip pembatasan—dalam menetapkan Realitas—ini, para rasul tidak akan berpikir bahwa Realitas mentransformasikan Diri-Nya dalam bentuk-bentuk kosmik, dan mereka tidak akan menggambarkan Dia, pada saat yang sama, seperti memisahkan Diri-Nya dari semua bentuk.

 

Mata ini tidak melihat apa-apa kecuali Dia . Hanya Dia yang ditetapkan (oleh Diri-Nya Sendiri). Kami adalah milik-Nya, karena Dia kami ada dan oleh-Nya kami diperintah, Dan kami ada dalam Kehadiran-Nya setiap saat, di segala keadaan.

 

Karena pembatasan ini, Dia disangkal sekaligus dikenal, yang disebut tidak terbandingkan dan dibandingkan. Orang yang melihat Realitas dari sudut pandang-Nya, di dalam-Nya dan oleh-Nya, adalah seorang gnostikus. Orang yang melihat Realitas dari sudut pandang-Nya, di dalam-Nya, tetapi dengan dirinya sebagai seorang pengamat, bukanlah seorang gnostikus. Orang yang tidak bisa melihat Realitas dengan cara ini, tetapi berharap untuk melihat sendiri Dia, adalah orang bodoh.

 

Umumnya, kebanyakan manusia terpaksa memiliki suatu konsep keyakinan pribadi mengenai Tuhan mereka, yang mereka anggap berasal dari-Nya dan di tempat mereka mencari-Nya. Selama Realitas dihadirkan kepada mereka sesuai dengannya, mereka akan mengenal dan menaati-Nya, padahal jika dihadirkan dalam bentuk lainnya, mereka menyangkal-Nya, menghilang dari-Nya dan memperlakukan-Nya dengan tidak semestinya, sedangkan pada saat yang sama, membayangkan bahwa mereka bertindak terhadap Dia dengan pas. Orang yang beriman pada jalan biasa, hanya beriman pada tuhan yang telah diciptakannya dalam dirinya sendiri, karena tuhan dalam “keyakinan” adalah sebuah tafsiran mental. Dalam apa yang mereka imani, mereka hanya melihat diri mereka sendiri—sebagai makhluk relauf—dan tafsiran-tafsiran mereka sendiri dalam diri mereka sendiri.

 

Perhatikanlah masalah ini! Sebab, sebagaimana manusia mengenal Allah di dunia ini, mereka akan melihat-Nya pada Hari Kebangkitan. Alasannya telah saya beritahukan kepada Anda. Maka, berhati-hatilah! Karena kalau tidak, Anda akan membatasi diri Anda pada suatu ajaran tertentu mengenai Realitas, dan juga menolak ajaran apa pun yang lain, yang secara sama merefleksikan Dia, karena Anda akan kehilangan banyak kebaikan, tentu saja, Anda akan kehilangan pengetahuan yang sebenarnya mengenat apakah itu Realitas. Oleh karena itu, jadilah orang yang benarbenat mau menerima segala bentuk doktrin, karena Allah, Yang Mahatinggi, adalah Maha Meliputi dan Mahabesar untuk dibatasi dalam satu kredo yang dipandang lebih baik dari yang lain, karena Dia berfirman, “Ke arah mana pun Kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah” tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun. Dia menyatakan bahwa di sanalah wajah Allah, wajah dari sesuatu hal yang menjadi realitasnya.

 

Dengan ini, secara spiritual Dia bermaksud menjaga tandatanda Han para gnostikus. Jika tdak, hal-hal sementara yang tinggal di dunia ini akan membclokkan mercka dari refleksi tetap di atas kebenaran ini; karena tidak ada hamba yang mengetahui tentang napasnya yang akan dicabut dari kchidupan ini, dan mungkin saia dia diambil pada saat dalam keadaan tidak peduli, sehingga di alam baka, dia tidak akan sama dengan orang yang diambil pada saat dalam keadaan peduli. Seorang hamba sempurna, meskipun memiliki pengetahuan tentang kebenaran mengenai omnipresence (keberadaan di mana-mana) Tuhan ini, namun dia memelihara dirinya sendiri, dalam bentuk lahir dan terbatasnya, dalam salat yang terus-menerus, wajahnya menghadap ke Kiblat, sambil meyakini bahwa Allah berada di depannya ketika dia salat; Kiblat ini merupakan wakil dari wajah Sang Realitas, sebagaimana dalam ayat, “Ke arah mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah” dan dalam menghadap tersebut, seseorang saling berhadapan dengan Allah di dalamnya. Namun demikian, jangan katakan pada diri Anda bahwa Dia hanya berada pada arah itu saja, melainkan peliharalah sikap tertentu Anda dari pengabdian dalam menghadap Kiblat itu dan juga sikap pengetahuan Anda tentang kemustahilan pembatasan wajah-Nya terhadap satu arah saja. Pembatasan itu hanya menjadi salah satu di antara banyak titk di mana manusia menengadah (menghadap).

 

Allah telah membuatnya jelas sehingga Dia berada dalam setiap arah untuk menengadah, tiap-tiap arah ini mewakili suatu perspektif doktrinal tertentu mengenai-Nya. Semua arah tersebut, dalam beberapa hal, adalah benar dalam pendekatan mereka; setiap orang benar akan menerima pahalanya, setiap orang yang menerima pahalanya akan dirahmati, dan setiap orang yang dirahmat adalah benar-benar menyenangkan Tuhannya, meskipun dia mungkin dikutuk untuk suatu masa di Neraka. Bahkan, umat Tuhan itu merasa sakit dan mengalami kepedihan di dunia ini, meski kita tahu bahwa mereka dirahmati di antara umat Allah. Jadi, ada hamba hamba Allah yang dirundung penderitaan di Akhirat pada suatu tempat yang disebut Neraka. Kendati demikian, orang-orang yang memiliki pengetahuan dan memiliki wawasan spiritual kepada sesuatu yang nyata, tidak menolak bahwa mereka akan menikmati kesenangan mereka sendiri di tempat itu, baik dengan keringanan dari kepedihan yang mereka derita, yang akan menjadi kesenangan mereka, atau barangkali suatu keringanan terpisah yang sama dengan yang dinikmati oleh orang-orang yang berada di Surga; hanya Allah yang mengetahui!

 

CATATAN PENGANTAR

 

ADA dua subjek yang akan dibahas dalam bab yang agak pendek ini. Pertama adalah konsep mengenai triplisitas, yang dipandang Ibn ‘Arabi sebagai dasar proses kreatif. Kedua adalah mengenai simbol-simbol tertentu yang berkaitan dengan keselamatan dan hukuman abadi pada Hari Akhir.

 

Dalam bab ini, Ibn ‘Arabi kembali kepada persoalan angka, yang di sini tidak hanya mengenai hubungan antara kesatuan dan keragaman, tetapi lebih mengenai proses di mana kesatuan tunggal memproyeksikan dirinya menjadi banyak, sehingga yang banyak ini dapat muncul sebagai diversifikasi tak terbatas dari Yang Satu. Kesatuan itu sendiri tidak kreatif, tetapi cukup untuk dirinya sendiri, tidak membutuhkan sesuatu pun di luar dirinya sendiri untuk mempertaruhkan integritas mutlaknya. Yang Satu ini, secara sederhana, tidak memiliki implikasi kejadian atau perkembangan di dalamnya. Sama juga dengan dualitas, kecuali kalau ada hubungan antara dua entitas, hanya ada dua bentuk tunggal dalam pemisahan yang bertentangan dan steril dari setiap bentuk lainnya. Jika ada suatu hubungan, hubungan tersebut merupakan pengaitan prinsip yang menghubungkan dua entitas, yang sama-sama membawa kualitas terpisah mereka ke bentuk sebuah entitas ketiga, yang lahir dari penyatuan mereka. Mengambil cara lain, ini merupakan triplisitas yang sudah lazim mengenai ‘yang mengetahui-pengetahuan-yang diketahui’, di mana term “pengetahuan” sebagai hubungan bersama membawa objektivitas reseptif dari yang diketahui, dan subjektivitas aktif dari yang mengetahui, untuk menghasilkan prinsip pengetahuan itu sendiri. Meskipun tidak secara khusus dinyatakan di sini, manusia sendirilah yang tepat menjadi entitas ketiga dan berkaitan dalam dualitas Allah-Kosmos, sekaligus menjadi ttktemu antara Langit dan Bumi, dan juga menjadi entitas yang pada dasarnya melambangkan penyatuan mereka.

 

Dalam bab ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan konsep triplisitas dengan agak berbeda. Tentu saja, seperti yang dapat diduga seseorang, dia menjelaskan suatu triplisitas ganda atau triplisitas bipolar (al-janibayn/mempunyai dua kutub) yang, di sisi kutub ketuhanan, mengandung Esensi tunggal Itu Sendiri, Kehendak atau keinginan kepada perubahan diri, dan perintah kreatif verbal “Jadilah?’ Sedangkan di sisi kutub kosmik, triplisitas ini mengandung esensi laten, “pendengaran” atau kesiapan untuk tercipta, dan datangnya menjadi eksistensi dalam kepatuhan terhadap perintah kreatif. Di sini, triplisitas pertama dibayangi oleh triplisitas kedua, yang sama-sama membentuk triplisitas lengkap mengenai Realitas Itu Sendiri, yang mengandung Kesatuan Esensial, keinginan kepada polaritas, dan pengalaman aktual dari bipolaritas, yang mana triplisitas itu sendiri selalu diubah kembali menjadi Esensi. Sekali lagi, mengenai triplisitas ini, dia menggambarkan proses in divinis, yang telah dijelaskannya di sana-sini dalam terma-terma Napas Sang Pengasih, Imajinasi Kreatif, Cermin, dan hubungan Cahaya-bayang-bayang. Mengenai semua ini, kesulitan pengungkapan yang cukup, menyembunyikan apa yang benar-benar merupakan upaya untuk menyelaskan suatu bipolaritas di dalam bipolaritas yang lebih besar. Yaitu, bipolaritas kreatif yang menciptakan “kelainan” (al-gayrah) yang penting bagi realisasi-Diri dari kemungkinan tak terbatas secara abadi, inheren dalam kesatuan mutlak atau bipolaritas itu sendiri, yang boleh dikatakan, satu kutub dari polaritas Kesatuan Esensialbipolaritas, dua clemen yang berkaitan dan menyatu untuk mengangkat Realitas dalam Diri-Nya Sendiri. Ibn ‘Arabi kembali ke tema ini pada bab terakhir dalam karya ini.

 

Ibn ‘Arabi menyimpulkan bab ini dengan sebuah pembahasan mengenai penjelmaan bagian batin di bagian lahir, dengan melukiskannya dari penjelasan Alqur’an mengenai akibat-akibat atas orang-orang bertakwa dan para pendosa akan janji Surga dan ancaman Neraka. Dia berusaha menghubungkan bagian ini dengan bagian pertama, dengan menunjukkan bahwa akibat-akibat ini berada dalam tiga tingkatan. Pada akhir bab, sekali lagi, dia mengingatkan pembaca bahwa penjelmaan bagian lahir dari eksistensi kosmik manusia hanya berasal dari bagian batinnya sendiri dan ketetapan esensial yang dipengaruhi.

 

HIKMAH PEMBUKAAN DALAM FIRMAN TENTANG SALIH

 

Di antara tanda-tanda-Nya adalah hewan-hewan yang berjalan,

Karena jalan yang berbeda-beda.

Sebagian mengikut jalan yang benar,

Sedangkan yang lainnya melintasi jalan yang menanjak.

Yang pertama terpaku oleh pandangan yang benar,

Yang kedua kehilangan arah. Keduanya datang dari Tuhan,

Wahyu realitas-realitas batin dari setiap sisi.

 

Ketahuilah, semoga Allah mensejahterakanmu! Bahwa Perintah Kreatif pada pokoknya didasarkan atas keganjilan di mana triplisitas (at-taslis) implisit, karena ada yang pertama dari angka yang ganjil. Hal ini berasal dari hadirat ilahi di mana Kosmos diciptakan; Dia berfirman, “Apabila Kami menghendaki sesuatu, Kami katakan kepadanya ‘Jadilah!’, lalu jadilah id,”ada yang menjadi Esensi, Kehendak, dan Kata. Jika itu bukan demi L’sensi, Kehendak, yang menunjukkan tendensi tertentu untuk menjadikan sesuatu ada serta Kata jadilah yang menyertai tendensi itu, sesuatu itu tidak akan pernah ada. Lebih lanjut, ketiga keganjilan tersebut adalah nyata dalam sesuatu itu di mana wujudnya menjadikannya ada dan wujudnya yang disebut eksis bisa dikatakan benar. Prinsip keganjilan ini merupakan kesesuatuan (syay’iyyah), “pendengaran”, dan kepatuhannya terhadap perintah Penciptanya untuk menjadi ada (wujud). Ketiga aspek ciptaan ini berkaitan dengan tiga aspek pada Pencipta. Esensi latennya dalam keadaan ketidakberadaannya berkaitan dengan Esensi Penciptanya, daya penerimaan “pendengaran”nya kepada Kehendak Penciptanya, dan kerelaannya dengan Perintah Kreatif pada Kata (firman-Nya) Jadilah. Ia adalah Dia, dan, karena mematuhi Perintah tersebut kejadian dihubungkan dengannya. Tentu saja, jika ia tidak  mampu menjadi wujud, untuk menerima Perintah (Kata) tersebut, ia tidak akan ada. Sesungguhnya, tidak ada yang lain kecuali sesuatu itu sendiri yang menjadikannya ada dari ketidakberadaan ketika Perintah tersebut diberikan.

 

Jadi, Realitas menunjukkan bahwa kejadian menjadi wujud berasal dari sesuatu itu sendiri dan bukan dari Realitas, Yang merupakan asal-mula Perintah tersebut. Jadi, Dia berfirman mengenat Diri-Nya Sendiri, “Apabila Kami menghendaki sesuatu [untuk ada], Perintah Kami hanyalah mengatakan kepadanya ‘Jadilah!’, lalu jadilah ia.” Di sini, Dia menghubungkan kejadian sesuatu itu sendiri pada Perintah Allah, dan Allah past mengatakan yang benar. Ini dipahami dalam Perintah tersebut, seperti ketika seseorang merasa takut dan mematuhi perintah-perintah untuk bertahan, seseorang atau btidak  tersebut bertahan dengan patuhnya. Mengenai bertahannya sang btidak  ini, perintah untuk mematuhinya hanyalah milik sang majikan (tuannya), yang bertahan adalah perbuatan btidak nya, bukan perbuatan sang majikan.

 

Jadi, kejadian wujud itu didasarkan atas sebuah triplisitas, atau lebih didasarkan pada sebuah triplisitas bipolar, yang satu dari Realitas, sedangkan yang lainnya dari manusia. Prinsip triplisitas ini melputi cksistensi ide-ide yang dicapai dengan buku-bukt logis. Dengan demikian , sebuah bukti yang dicapai dengan silogisme terdiri dari tga bagian pada satu Cara tertentu, yang pasti menghasilkan suatu hasil. Pertama-tama, orang tersebut menunjukkan dua premis, yang mana di dalam masing-masing keduanya terdapat dua term, sehingga terdapat empat term. Tetapi, salah satu term tersebut ada dalam kedua premis, untuk menghubungkan keduanya secara bersamaan, sehingga terdapat tiga bagian karena adanya pengulangan salah satu term di dalam kedua premis tersebut. Bukti tersebut menjadi ada ketika susunan khusus ini muncul, yang merupakan ikatan dari dua premis secara bersama-sama dengan pengulangan satu term, yang menghasilkan sebuah triplisitas. Kondis1 khusus yang menyertainya adalah bahwa term mayor harus lebih umum daripada term tengah, atau paling tidak sama jika hasilnya benar, dan jika sebaliknya ia tidak akan benar. Jenis ini muncul pada makhluk, seperu halnya keuka perbuatan semata-mata diberikan kepada hamba tanpa referensi kepada Allah, atau ketika kejadian menjadi wujud, yang sedang kami bicarakan ini, semata-mata dianggap berasal dari Allah, sedangkan Realitas menganggapnya berasal dari Objek di mana Kata Jadilah! ditujukan.

 

Sebagai contoh, jika kita ingin membuktikan bahwa Kosmos disebabkan, kita akan mengatakan, “Setiap sesuatu yang bermula memiliki suatu sebab’’, di mana kita memiliki dua term “bermula” dan “sebab.” Dalam premis kedua, kita akan mengatakan, ‘“‘Kosmos itu bermula’’, kata “bermula” diulang pada kedua premis tersebut. Oleh karena itu, term ketiga adalah “Kosmos’’, sebuah kesimpulan di mana Kosmos mempunyai suatu sebab. Term yang sama, yang disebut “sebab’’, muncul dalam premis pertama dan dalam kesimpulan. Titik khususnya adalah pengulangan kata “bermula.” Kondisi khusus ini merupakan generalitas dari prinsip yang menyebabkan, yang mana, dalam hal eksistensi wujud bermula, sebagai term mayor, adalah sebab umum mengenai bermulanya Kosmos dari Allah. Kami telah menetapkan bahwa setiap wujud bermula memiliki sata sebab, apakah term tengah sama dengan term mayor ataukah term mayor lebih umum datipada term tengah dan muncul dalam asalnya, dan kesimpulannya adalah benar. Jadi, prinsip triplisitas tersebut juga nyata dalam penciptaan konsep konsep yang dicapat dengan bukti-buktu silogistik.

 

Jadi, asal mula dart segala kejadian adalah triplisitas. Karena alasan ini, hikmah dari Salih, yang ditunjukkan Allah dalam penundaan kehancuran kaumnya selama tiga hari, bukanlah sebuah janjt yang sta sta. Sebab, hal itu adalah nyata, yang ditunjukkan dalam isak tangis ketika Allah membinasakan mercka, sehingga “Mereka mati bergelimpangan di dalam rumahnya” Pada hati pertama dari tga hari tersebut, muka orang-orang berubah warna menjadi kuning, pada hari kedua menjadi merah, dan pada hari ketiga menjadi hitam. Pada hari penyclesaian di hari ketiga, hakikat esensial mereka siap mencrima manifestasi kejahatan mereka, di mana manifestasi tersebut dinamakan kebinasaan.

 

Berubahnya muka orang yang dikutuk menjadi kuning berkaitan dengan bersinarnya wajah orang-orang yang diberkati, sebagaimana dalam firman-Nya, “Muka-muka (manusia) pada hari itu akan berseri-seri’,’ yang berasal dari kata yang terbuka, yang berarti tampak (termanifestasi). Di sini, berubahnya muka mereka menjadi kuning pada hari pertama, menandakan manifestasi kutukan pada kaum Salih. Terkait dengan memerahnya muka mereka, adalah apa yang Dia katakan mengenai orang-orang yang diberkati, “tertawa”, karena tawa adalah sebuah sebab dari memerahnya muka, yang dalam hal diberkati, menjadi suatu kemerahan pipi. Berkenaan dengan menghitamnya kulit orang-orang yang dikutuk, adalah apa yang Dia katakan mengenai orang yang diberkati, yaitu bahwa mereka “bergembira”, yang merupakan pengaruh dari kegembiraan pada corak kulit mereka, sebagaimana menghitamnya muka orang-orang yang dikutuk. Jadi, Dia menggunakan istilah Aabar (busyra)’ untuk kedua golongan (yang diberkati dan yang dikutuk); yaitu, Dia mengabari mereka hal-hal yang mengakibatkan perubahan pada corak kulit mereka, yang menyebabkan mereka mengubah warna kulit mereka kepada satu warna lain selain warna kulit yang mereka miliki sebelumnya. Mengenai orang yang diberkati, Dia berfirman, “Tuhan mereka menggembirakan dengan memberikan rahmat dari-Nya, Reridhaan dan Surga’,’ sedangkan mengenai golongan yang dikutuk, “Gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih”, setiap golongan secara lahiriah memperlihatkan akibat-akibat dari amanat ini pada jiwa mereka. Ini karena apa yang tampak secara lahiriah, hanya sesuai dengan akibat bagian batin dari pengertian kata-kata ini.

 

Sesungguhnya, mereka sendiri yang mengakibatkan diri mereka, meskipun diri mereka itu menyebabkan kejadian mereka sendiri—mengenai kepatuhan terhadap Perintah ilahi. “Adah memiliki alasan yang jelas lagi kuat.”

 

Siapa pun, pasti memahami Hikmah ini dan menegakkannya dalam dirinya dan menyadari bahwa Hikmah ini akan membebaskan dirinya dari ketergantungan pada orang lain serta mengetahui bahwa kebaikan dan kejahatan yang datang padanya hanya berasal dari dirinya sendin. Yang saya maksudkan dengan kebaikan adalah apa yang sesuai dengan tujuannya, yang sesuai dengan hakikat dan wataknya, dan yang saya maksudkan dengan kejahatan adalah apa yang bertentangan dengan tujuannya dan yang berlawanan dengan hakikat dan wataknya. Dia, yang memiliki visi pengetahuan seperti ini, memaafkan semua makhluk berkenaan dengan apa yang mereka manifestasikan, meskipun mereka sendiri tidak minta maaf, dengan mengetahui bahwa dia melakukan segala yang dialaminya dari dirinya sendiri, seperti yang telah kami sebutkan yang mempunyai arti bahwa pengetahuan tergantung pada apa yang diketahui. Jadi, dia mengatakan pada dirinya ketika sesuatu yang bertentangan dengan tujuannya menimpa dirinya, “Kedua tanganmu membuat bahan celupan dan mulutmu meniupkan napas (kehidupanmu).” Allah mengatakan yang benar dan membimbing ke arah yang benar.

 

CATATAN PENGANTAR

 

SEPERTI yang dikesankan judulnya, dalam bab ini, Ibn ‘Arabi kembali pada subjek tentang Hati, terutama Hati gnostik. Dalam konteks manusia, konsep Hati ini barangkali, seperti telah disebutkan, merupakan hal yang paling penting dari konsep-konsepnya mengenai manusia, sepanjang sesuai dengan konsep Realitas Itu Sendiri. Jika Manusia Sempurna pada umumnya melambangkan perpaduan semua aspek wujud, maka Hati Manusia Sempurnalah yang terutama sekali melambangkan perpaduan ini. Secara dramatis, Ibn ‘Arabi menjelaskan kebulatan Hati, dengan mengatakan bahwa kebulatan int mampu mencakup Realitas sedangkan Sang Pengasih tidak, kendati di banyak tempat, dia juga tampaknya setuju bahwa prinsip Sang Pengasih memiliki kapasitas sama. Alasan bagi kapasitas yang lebih besar pada Hati adalah bahwa, sementara Sang Pengasih semata-mata berkenaan dengan proses-proses pelengkap dari manifestasi kreatif dan pemecahannya pada kesatuan, Hati melambangkan seluruh pengalaman Kesatuan Wujud, sebagaimana tidak hanya mencakup proses kreatif dan pemecahannya, tetapi juga mencakup aspek-aspek Realitas yang tidak dapat dicabut dan diubah, yang tidak mengetahui apaapa tentang kejadian kosmik. Tetapi, perpaduan kebulatan Hat int hanya disadari sepenuhnya oleh Manusia Sempurna, sisanya potensial dan laten dalam mayoritas wujud manusia. Bagi mereka, Hati biasanya tidak mampu mengandung lebih dari Tuhan partikular sebagai penentu penting dari eksistensi partikular mereka berdasarkan pada kecenderungan esensi-esensi laten mereka sendin. Hanya dengan gnosislah, atau penglihatan bertahap di luar keragaman formallah, Hati tersebut dimungkinkan untuk memenuhi fungsi sebenarnya. Dengan kata lain, bagi mayoritas orang, fungsi Hati ini tetap terbatas pada konteks bipolaritas kreatif.

 

Hal ini menuntun Ibn ‘Arabi untuk membahas salah satu dari ide-idenya yang paling menarik, “allah yang diciptakan dalam keyakinan”, yang tentunya menimbulkan pertanyaan tentang perbedaan jalan pada kebenaran dan keselamatan. Persoalan ini memungkinkannya untuk mengaitkan pembahasannya pada Nabi Syu’ayb, yang namanya digunakan untuk menamai bab ini, karena akar nama ini diambil dari kata Sya‘aba, yang artinya “menyimpang.” Jadi, karena Realitas sebagai Allah, Nama Tertinggi, melebihi semua Nama dan aspeknya, Hati manusia biasa tidak dapat melihat Allah atau mengenal Allah, melainkan hanya Allah dari keyakinan kredonya, yang sesuai dengan manifestasi-Diri “Tuhannya” kepadanya, yang tentu saia pada gilirannya, sesuai dengan apa yang diputuskan oleh esensi latennya sendiri, yang menjadi isi dari keyakinannya. Dalam hal ini, setiap keyakinan manusia yang berkenaan dengan hakikat Allah, tidak hanya berbeda dengan keyakinan manusia lain, tetapi juga pasti hanya permukaan kecil tentang bagaimana Allah Ada dalam Diri-Nya Sendiri. Setiap keyakinan, yang diputuskan oleh kecenderungan esensial sebagatmana adanya, tidak bisa menjadi lain dari bagaimana Allah itu, tetapi secara paradoks, tidak ada yang bisa benar-benar setia kepada Kebenaran ilahi. Hanya melalui pencapaian gnosislah, Hati dapat dibuat mau menerima, tidak hanya terhadap Tuhan yang partikular, tetapi juga terhadap universalitas “Allah’’, dan pada akhirnya terhadap Realitas Itu Sendiri. Namun, karena pengetahuan tentang Tuhan seseorang, sebagaimana tercermin dalam keyakinannya, adalah bagian dari pengetahuan tentang Allah dan puncak dari Realitas, dan karena tidak ada orang yang pernah berhentu menjadi makhluk hidup partikular dari Tuhannya berdasarkan atas kecenderungan esensial, maka dalam mengalami visi ketuhanan universal yang lebih besar, gnostikus tidak bisa mengingkari kKemakhlukannya ataupun menolak kewajiban-kewajiban terhadap kodrat tertentu. Sebab, gnosis sesungguhnya memperlihatkan kepada gnostikus kebutuhan ontologis akan kehambaan parukular sebagai bagian dari sifat segala sesuatu. Bagi gnostikus, meskipun diterangi, satu-satunya alternatif atas kemakhlukan justru merupakan peniadaan dalam Allah, bukan semacam pemompaan pribadi yang palsu.

 

Ibn ‘Arabi menyimpulkan bab ini dengan menunjukkan konsepkonsep lain yang membuat dirinya terkenal, yaitu tentang “pembaruan penciptaan dengan Napas.” Dia memandang penciptaan Kosmos bukan sebagai sebuah tindakan akhir, ataupun sebagai sebuah proses yang sedang berkembang dan terus-menerus, tetapi lebih sebagai pengulangan tetap dari dunia dan resolusi dari waktu ke waktu. Di sini, simbol manusia adalah proses bernapas, yang terdiri dari suatu penghirupan napas yang disertai dengan pengeluaran napas. Pada skala ilahi, dalam hal Napas Sang Pengasih, setiap penghirupan mewakili resolusi Kosmos ke dalam Esensi, sedangkan setiap pengeluaran mewakili penciptaan Kosmos, yang mewakili dua zaman ketuhanan Yang Pengasih, yang satu melepaskan nafsu arketipal bagi eksistensi, sedangkan yang kedua menetapkan kembalh integritas eksklusif dari Yang Mutlak. Tetapi, pada kenyataannya, tidak ada rangkaian temporal di sini, melainkan suatu kebersamaan abadi. Sebab, di setiap waktu, Kosmos adalah dan bukan, lahir dan batin, tercipta dan tidak tercipta, lain dan tidak lain dalam suatu altar abadi ilahi, yang kreatif sekaligus tidak berdaya-cipta. Dengan kata lain, keseluruhan kejadian Kosmos melalui peniupan napas ilahi Sang Pengasih, tidak dipandang Ibn ‘Arabi sebagai pengeluaran daya-cipta panjang pada waktunya, yang disertai dengan pengeluaran ketetapan hati yang cocok, tetapi lebih sebagai sebuah situasi di mana setiap pengcluaran spontan menycbar dan mehputi penghirupan, demikian juga sebaliknya.

 

Seperti yang ditunjukkan Ibn ‘Arabi dalam bab ini, para teolog Asy’ariyyah juga memiliki sebuah teori tentang penciptaan yang instan dan penciptaan kembali, sembari menegakkan—yang berbeda dengan Ibn ‘Arabi—suatu diskontinuitas mutlak antara Allah dengan penciptaan. Maksud utama di balik teori kalangan Asy’ariyyah ini tampaknya telah menjadi pemusnahan paksa tentang apa saia yang berkenaan dengan kemampuan Allah untuk melakukan apa pun yang Dia inginkan, sebagaimana juga untuk meruntuhkan struktur sebab-akibat tanpa berfungsinya penalaran dan logika. Perbedaan penting antara kaum Asy’ariyyah dengan Ibn ‘Arabi adalah bahwa teori Ibn ‘Arabi menuntut agar Kosmos, meskipun jelas bukan Allah, pada kenyataannya, tidak bisa menjadi lain dari Dia, dan bahwa, sebagaimana tersembunyi in divinis, secara misterius tidak ada yang lain selain Penciptanya Sendiri.

 

HIKMAH HATI DALAM FIRMAN TENTANG SYU’AYB

 

Ketahuilah, bahwa Hati, maksudku Hati gnostikus, berasal dari Rahmat Allah, walaupun Hati mencakup lebih dari Rahmat, karena Hati meliputi Realitas, kemuliaan atas-Nya, dan Rahmat tidak. Ini disinggung dan dibenarkan dalam Hadis.

 

Sang Realitas adalah subjek dan bukan merupakan objek Rahmat, sehingga yang terakhir tidak mempunyai kekuatan yang menentukan mengenai Realitas. Dengan cara lebih khusus, seseorang barangkali mengatakan bahwa Allah menggambarkan DiriNya sebagai Napas (Nafas) yang berasal dari kata tanfis, yang artinya menyebabkan berhenti atau ringan. Juga benar bahwa Namanama Allah, dalam hal-hal tertentu, merupakan sesuatu yang dinama, yang tidak lain adalah Dia. Pada saat yang sama, mercka memerlukan realtas-realitas yang mercka limpahkan, yang adalah kosmos. Karena Neilahian (al-Uluhiyyah) secara tidak langsung menyatakan dan memerlukan apa yang tergantung kcpadanya, sama seperti ketuhanan (ar-Rabubiyyah) memerlukan penghambaan, karena bagaimanapun, tidak akan ada yang memiliki eksistensi atau makna apa pun.

 

Dalam Esensi-Nya, Realitas berada di luar segala kebutuhan Kosmos. Di lain pihak, Ketuhanan tidak memperoleh posisi apa pun. Dalam masalah ini, kebenarannya terletak di antara ketergantungan yang saling menguntungkan, yang tersirat dalam Ketuhanan dan Kekayaan Esensi. Tentunya, dalam realitas dan kualifikasinya, tidak ada yang lain kecuali Esensi ini.

 

Namun, ketika pembedaan dan penentangan timbul oleh sifat dari hubungan yang beragam ini, Realitas mulai menggambarkan Diri-Nya sebagai pemberi kasih bagi hamba-hamba-Nya.

 

Sang Realitas mula-mula mengekspresikan Napas, yang disebut dengan Napas Sang Pengasih, dari Ketuhanan dengan menciptakan Kosmos, yang baik Ketuhanan maupun semua Nama membutuhkan hakikat mereka. Dari sudut pandang in, jelas bahwa Rahmat mencakup segala sesuatu termasuk Sang Realitas Itu Sendiri, yang lebih-kurangnya melputi Hati dalam hal ini. Demikian banyak penjelasan untuk hal in.

 

Ketahuilah, bahwa sepertt yang dikuatkan oleh Hadis, Realitas dalam manifestasi-Diri (tajalli)-Nya, mengubah Diri-Nya Sendiri ke dalam bentuk-bentuk; ketahui pula bahwa ketika Hati meliputi Realitas, Hau tersebut tidak meliputi yang lainnya kecuali Dia, karena Realitas ini seakan-akan mengisi Hati. Dengan ini, dimaksudkan bahwa ketika Hati merenungkan Realitas dalam manifestasi-Diri-Nya terhadapnya, Hati tersebut tidak dapat merenungkan sesuatu yang lainnya. Mengenai pedoman Hati gnostikus, seperti dikatakan Abu Yazid al-Bistami, “Jika Singgasana dan semua yang terkandung di dalamnya ditempatkan sebanyak seratus juta kali di sudut Hati sang gnostikus, dia tidak akan menyadarinya.” Tentang persoalan ini, al Junayd mengatakan, “Ketika yang nishi dikaitkan dengan yang abadi, tidak ada yang tersisa darinya.’’ Jadi, Ketika hati meliputi Yang Abadi, bagaimana ia bisa menyadari tentang apakah nisbi dan tercipta itu ?

 

Karena manifestasi-Diri (tajalli) Realitas merupakan faktor ttidak  tetap berdasarkan pada keragaman bentuk, Hatt dengan sendirinya lebar atau dibatasi sesuai dengan bentuk di mana Allah memanifestasikan Diri-Nya. Hat ini tidak lebih terdiri dari bentuk di mana manifestasi-Diri terjadi; karena Hati sang gnostikus atau Manusia Sempurna sama seperti letak batu cincin, yang sesuai dengannya, menjadi bundar, persegi, atau bentuk lainnya sesuai dengan bentuk batu itu sendiri, karena letak menyesuaikan dirinya dengan batu dan bukan sebaliknya. Hal ini ditentang oleh mereka yang berpendapat bahwa Realitas menunjukkan Diri-Nya Sendiri berdasarkan atas kecenderungan hamba. Tetapi, ini tidaklah demikian, karena hamba ini nyata terhadap Realitas berdasarkan bentuk di mana Realitas memanifestasikan Diri-Nya pada hamba.

 

Solusi atas persoalan ini terletak pada fakta bahwa Allah memanifestasikan Diri-Nya dengan dua cara: sebuah manifestasi gaib dan sebuah manifestasi yang dapat dirasakan. Dalam jenis pertama, terdapat kecenderungan Hatu yang dilimpahkan, yang menjadi manifestasi-Diri, hakikat itu juga yang menjadi gaib. Ini adalah Identitas ketuhanan yang sesuai dengan apa yang disebutNya dalam Alqur’an, “Dia.’’ Identitas ini merupakan milik-Nya Sendiri dalam segala hal dan dari segala keabadian.

 

Ketika kecenderungan ini datang kepada Hau, maka terlihat manifestasi-Diri yang dapat dirasakan dalam dunia indriawi, sehingga Hati melihat Dia memanifestasi dalam bentuk di mana Dia memanifestasikan Diri-Nya kepadanya, seperti yang telah kami katakan. Tidak ada yang lain kecuali Allah Yang memberi Hati kecenderungan yang sesuai dengan firman-Nya, “Dia mernmberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk, kejadiannya.’’ Kemudian, Dia menarik selubung (hijab) antara Diri-Nya dengan hamba, dan hamba mehhat-Nya dalam bentuk keyakinannya; sesungguhnya, Dia-lah isi dari keyakinan tersebut. Jadi, baik hati maupun mata Hati, dak melihat sesuatu pun kecuali bentuk keyakinannya mengenat Realitas. Realitas-lah yang terkandung dalam keyakinan yang memiliki bentuk yang meliputi Hati. Sang Realitas inilah Yang menunjukkan Diri-Nya pada Hati sehingga ia menyadarinya. Jadi, mata hanya melihat Realitas credal, sedangkan di sana terdapat keyakinan yang amat banyak.

 

Orang yang membatasi Realitas pada keyakinannya sendiri, mengingkari-Nya ketika terwujud dalam keyakinan-keyakinan lainnya, dengan menegaskan-Nya hanya ketika Dia nyata dalam keyakinannya sendiri. Orang yang tidak membatasi-Nya, tidak mengingkari-Nya, tetapi menegaskan Realitas-Nya dalam setiap transformasi formal, dengan menyembah-Nya dalam segala bentuk-Nya yang tidak terbatas, karena tidak ada batasan pada bentuk-bentuk di mana Dia memanifestasikan Diri-Nya. Masalah yang sama terjadi pada gnosis Allah, di mana tidak ada batasan bagi gnostikus mengenai hal ini. Gnostikus selalu mencari pengetahuan yang lebih banyak mengenai-Nya, dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”? Kemungkinannya tidak ada akhirnya, baik kemungkinan dari Yang Mutlak dan kemungkinan dan wujud relatif.

 

Ketika Anda merenungkan firman-Nya, “Aku adalah kaki yang digunakannya untuk berjalan, tangan yang dipakainya untuk memukul, dan lidah yang dipakainya untuk berbicara’’, dan semua kemampuan serta bagian tubuh lainnya di mana mereka terletak, mengapa Anda membuat perbedaan dengan mengatakan bahwa segalanya adalah Realitas atau segalanya tercipta Dalam pengertian tertentu, ia adalah semua yang tercipta, sedangkan dalam pengertian lainnya, ia juga merupakan Realitas, yang merupakan satu-satunya Esensi. Betapa pun, dalam esensi, bentuk sebuah manifestasi-Diri dan bentuk seseorang yang merasakannya adalah sama, karena Dia adalah subjek yang memanifestaikan-Diri dan sekaligus objek manifestasinya. Maka, bayangkan! Betapa indahnya Allah dalam Identitas-Nya dan dalam hubungan-Nya dengan kosmos dalam realitas-realitas yang melekat dalam Nama-nama Indah (al—Asma’ al-Husna-Nya).

 

Siapa di sini dan apa di sama?

Siapa di sini adalah apa di sana.

Yang universal adalah istimewa,

Dan Dia Yang Istimewa adalah universal.

Tidak ada lainnya kecuali satu Esensi,

Cahaya Esensi yang juga menjadi kegelapan.

Yang memperhatikan kata-kata ini tidak akan

Terpuruk dalam kebimbangan.

Sesungguhnya, yang mengetahui apa yang kari katakan hanya dia

Yang memilih kekuatan spiritual (himmah).

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bag: orang-orang yang mermpunyat hati”, dengan alasan transformasi konstan-Nya melalui semua ragam bentuk dan sifat; Dia tidak mengatakan, “Bagi orang yang memiliki intelek.”’ Ini karena intelek membatasi dan berupaya menegaskan kebenaran dalam suatu kualifikasi tertentu, sedangkan pada kenyataannya, Realitas tidak mengakui akan pembatasan seperti itu. Ia bukanlah sebuah surat peringatan bagi para cendekiawan dan para penyusun formulasi doktrin yang saling bertentangan dan saling mencela antara satu dengan lainnya, “…dan sekali-kali mereka tidak memiliki penolong.’’

 

“Tuhan dari seorang Mukmin tidak memiliki validitas mengenai tuhan dari seseorang yang meyakini sesuatu yang lain. Pendukung suatu kepercayaan tertentu mempertahankan apa yang diyakininya dan memperjuangkannya, sedangkan apa yang diyakininya tidak mendukungnya. Karena inilah, sehingga ia tidak memiliki pengaruh pada keyakinan lawannya. Demikian pula, lawannya tidak mendapat pertolongan dari tuhan yang tersusun dalam keyakinannya sendiri “…mereka tidak memiliki penolong.’’ Ini karena Realitas telah mengingkari tuhan-tuhan dari pelbagai formulasi credal di mana tidak ada kemungkinan bagi pemberian pertolongan, lantaran setiap manusia dibatasi oleh dirinya sendiri.

 

Baik orang yang ditolong maupun sesuatu yang menolong sebenarnya adalah Totalitas (majmu) dari Nama-nama Allah.

 

Bagi gnostikus, Realitas selalu dikenal dan tidak pernah diingkari. Barangsiapa yang mengenal di dunia, akan mengenal di Alam Akhir. Karena alasan ini, Dia berfirman, “Bagi orang yang memiliki hati”, yaitu, orang yang memahami transformasi-transformasi formal dari Realitas dengan menyesuaikan dirinya secara formal, sehingga dani, atau karena, mengenal dirinya dia mengenal Diri-Nya. Sesungguhnya, dirinya tidak lain adalah Identtas ilahi Sendiri, seperti juga tidak ada wujud yang ditentukan, sekarang atau nant, kecuali Identitas-Nya; Dia adalah Identitas Itu Sendiri.

 

Allah adalah yang mengetahui, yang memahami dan menegaskan dalam bentuk partikular, seperti halnya Allah juga bodoh, tidak memahami, tidak mengetahui dalam bentuk partikular. Maka, ini adalah bagian dari orang yang mengenal Realitas melalui manifestasi-Diri (ajalli)-Nya dan menyaksikan (syuhud) Dia dalam totalitas kemungkinan-kemungkinan formal. Inilah yang dimaksudkan dengan firman, “Bagi orang yang mempunyai hati”, yaitu, orang yang menyerah (taqlib) kepada Realitas dalam segala perbedaan bentuk, di mana Dia memanifestasikan Diri-Nya.’

 

Adapun penganut keyakinan yang secara buta mengikuti ucapan-ucapan para nabi dan rasul mengenai Realitas, mereka bukanlah seperti btidak  yang mengikut para pemikir, dan mereka bukan pula yang memperoleh pengetahuan dari proses-proses intelektual. Mereka dihubungkan pada apa yang dikatakan Allah melalui mulut para nabi dalam firman-Nya, “Atau yang menggunakan pendengarannya.” Dengan ini dimaksudkan orang yang memiliki pendengaran mengenai kesaksian, yang menunjukkan bidang Imajinasi dan penggunaannya, tersinggung dalam sabda Nabi, “Bahwa engkau seharusnya menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya” karena “Allah adalah kiblat bagi orang yang salat.” Karena inilah dia menjadi saksi pada Allah. Tidak bisa dikatakan mengenai orang yang mengikuti pemikir dan yang terikat oleh pikiran-pikirannya sendiri bahwa dia adalah orang “yang memiliki pendengaran”, karena orang yang memiliki pendengaran juga merupakan seorang sakss pada apa yany telah kami sebutkan. Dan karena, seperti yang telah kami sebuthan, orang yang demikian ini bukan seorang saksi, ayat yang dikutip tidak mengacu padanya; mercka diacu pada firman Allah yang lain, “Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari [segala sesuatu yang berhubungan dengan] orang-orang yang mengikutinya.” Hal yang sama tidak dapat dikatakan tentang para rasul berkenaan dengan orang-orang yang mengikuti mereka. Oleh karena itu, wahai Kawan! Sadarilah kebenaran dari Hikmah mengenai Hau yang telah saya tetapkan selamanya untuk Anda.

 

“Tentang hubungannya yang istimewa dengan Syu’ayb, ini disebabkan oleh percabangan (at-tasya“ub)-nya yang tidak terhitung, karena masing-masing dan setiap keyakinan adalah sebuah jalan partikular. Jadi, ketika penutup dari kehidupan duniawi ini dibuka, setiap orang akan melihat apa yang tersingkap sesuai dengan keyakinannya, atau dia bisa melihat apa yang bertentangan dengan keyakinannya berkenaan dengan ketetapan ilahi; sebagaimana Dia berfarman, “Dan jelaslah bagi mercka arab dari Allah yang belum pernah siereka perkirakan.” Hal-hal seperti ini biasanya berkenaan dengan ketetapan ilahi. Orang seperti ini adalah seorang Muktazilah, yang meyakini bahwa Allah akan memberikan ancaman-Nya untuk menghukum pendosa yang mati tanpa tobat. Ketika dia mati dan kenyataannya dirahmati Allah, karena Tuhan telah menetapkan bahwa dia tidak akan dihukum, kaurm Muktazilah memahami bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, sehingga ada manifes padanya dari Allah bahwa keyakinannya tidak dipertimbangkan.

 

Mengenai Allah dalam Identitas-Nya, hamba-hamba-Nya tertentu telah menilai dalam keyakinan mereka bahwa Allah itu begini dan begitu, sehingga ketika penutupnya dibuka, mereka melihat bentuk keyakinan mereka, yang adalah benar, dan mereka meyakininya. Tetapi, ketika simpul keyakinan terlepas, keyakinan terhenti untuk mengikat hatinya, dan sekali lagi, dia mengetahui melalui perenungan langsung. Setelah penghhatannya ditajamkan, penglihatannya yang lemah tidak lagi berulang. Lalu, di antara hamba berharap agar Allah tersingkap di hadapan mercka dalam bentuk yang beragam, berbeda dengan yang dilihat sebclumnya, karena suatu manifestasi-Diri partikular tidak pernah berulang, Dia kemudian memegangnya untuk membenarkan mengenai Identitas Nya, sehingga, “Jelaslah bagi mereka azab Allah’, dalam Identitas-Nya, “yang belum pernah mereka perkirakan’,” sebclum selubung tersebut disingkapkan.

 

Kami telah membahas kemajuan dalam ilmu-ilmu ketuhanan dalam buku kami, Kitab at-Tajalliyat, di mana kami berbicara tentang orang orang dari tarekat yang telah kami temui dengan visi (kasyf) dan apa yang telah kami tanamkan pada mereka mengenai pertanyaan yang belum mereka ketahui. Hal yang menakjubkan adalah bahwa orang seperti ini selalu maju, meskipun dia tidak menyadarinya, dengan alasan kehalusan dan keindahan selubung dan ambiguitas bentuk-bentuk tersebut; sebagaimana Dia berfirman, “Disampaikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik.” Selubung ini tidak sama dengan yang lainnya, kecuali sama dengan pandangan gnostikus. Meskipun sama, tetapi juga antara satu dengan lainnya saling berbeda. Ini karena orang yang mencapai suatu kesadaran dapat melihat keragaman pada Yang Satu, seperti halnya dia mengetahui bahwa keesaan yang esensial melekat dalam Nama-nama ilahi, meskipun realitas-realitas individu mereka beragam dan bermacam-macam. Ini merupakan sebuah keragaman yang terang pada Yang Satu dalam Esensi-Nya. Dalam manifestasi, sebuah keragaman tampak jelas dalam sebuah esensi tunggal, seperti Substansi Primal diasumsikan dalam setiap bentuk, yang, meskipun ada multiplisitas dan aneka ragam bentuk, membuka sebuah substansi tunggal, substansi primalnya, dalam realitas.

 

Oleh karena itu, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya, karena Dia menciptakan dia dalam citra-Nya. Sesungguhnya, Dia adalah identitasnya dan juga realitasnya. Ini karena tidak ada ulama yang telah mencapai pengetahuan mengenai diri dan realitasnya kecuali para teosofi di antara para pembawa risalah dan para Sufi.

 

Mengenai para teorctikus dan para pemikir kuno, seperti juga dengan pata teolog zaman skolastik, dalam pembicaraan mereka tentang jiwa dan kuiditasnya, tidak ada satu pun dari mereka yang memahami realitas sebenarnya, dan spckulasi tidak akan pernah memahaminya. Barangsiapa yang berusaha mengetahuinya dengan spekulasi teoretis adalah sama seperti mencambuk seekor kuda mati. Yang seperti ini sesungguhnya adalah orang-orang “yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” Dia yang berusaha mengetahui masalah ini selain dengan jalannya yang tepat, tidak akan memahami kebenarannya.

 

Betapa indahnya kata-kata Allah mengenai Kosmos dan transformasinya menurut Napas “dalam suatu penciptaan baru” dalam sebuah esensi tunggal. Dia berbicara mengenai suatu bagian, yang tentu saia sebagian besat mengenai Kosmos, “Sebenarnya, mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” Mereka tidak memahami pembaruan Perintah Kreatif menurut Napas.

 

Sesungguhnya, kaum Asy’ariyyah menemukannya untuk halhal tertentu, yang disebut dengan aksiden-aksiden (a’rad), seperti juga kaum Sofis (al-Hisbaniyyah) untuk Kosmos secara keseluruhan.” Tetapi, para pemikir spekulatif menolak mereka semua, dan menganggapnya sebagai dungu.

 

Sebenarnya, baik kaum Asy’ariyyah maupun kaum Sofis, keduanya memang salah.

 

Tentang kaum Sofis, meskipun mereka berbicara mengenai transformasi Kosmos, mereka tidak berhasil memahami Kesatuan Esensi dari substansi yang mengambil bentuk ini, sehingga hal itu tidak dapat diciptakan tanpa bentuk itu, sedangkan bentuk tersebut tidak dapat dipahami tanpa substansi tersebut. Jika mereka membuatnya jelas, mereka akan menyadari kebenaran masalah ini.

 

Adapun kaum Asy’ariyyah, mereka tidak menyadari bahwa keseluruhan Kosmos merupakan sejumlah aksiden, sehingga Kosmos ditransformasikan dalam setiap durasi, karena aksiden tidak berakhir selama lebih dari satu durasi. Ini nyata dalam mendefinisikan segala sesuatu, karena ketika mereka mendcfinisikan sesuatu, kejadian aksidentalnya adalah bukt dalam perbuatan mercka atas yang demikian itu. Juga, bahwa aksiden-aksiden yang melekat pada definisinya tidak lain adalah substansi dan realitasnya, yang berdiri sendiri. Sebagai aksiden, ia tidak berdiri sendiri, sedangkan jumlah yang tidak berdiri sendiri adalah yang berdiri sendiri, seperti halnya posisi yang diambil dalam penetapan substansi yang berdiri sendiri, sebagaimana juga aksiden pengambilannya, adalah sebuah definisi esensial. Tidak diragukan bahwa pemahaman aksidenaksiden merupakan aksiden itu sendiri, karena pemahaman tersebut tidak dapat muncul kecuali dalam kasus seorang penetima, karena ia tidak berdiri sendiri. Ini penting bagi substansi. Memiliki sebuah posisi juga merupakan sebuah aksiden yang hanya bisa muncul berdasarkan pada yang mengambil posisi; dia tidak berdiri sendiri.

 

Baik pengambilan suatu kedudukan ataupun pemahaman akan aksiden-aksiden, bukan merupakan tambahan bagi esensi (‘ayn) substansi yang ditetapkan, karena batas-batas esensial tidak lain merupakan sesuatu yang didefinisikan dan identitasnya. Jadi, yang tidak mencukupi untuk dua durasi, menjadi jumlah sesuatu yang cukup untuk dua, sebenarnya banyak durasi, dan bahwa yang tidak menghidupkan dirinya, sekali lagi, menjadi menghidupkan diri.

 

Mereka tidak menyadari apa yang mereka -permasalahkan, padahal mereka berada dalam samaran penciptaan baru. Adapun orang-orang yang dunia lebih tingginya tersingkap, mereka melihat bahwa Allah nyata dalam setiap Napas dan bahwa tidak ada manifestasi-Diri partikular yang diulang. Mereka juga melihat bahwa Setiap manifestasi-Diri memberi suatu penciptaan baru dan sekaligus meniadakan yang lainnya. Peniadaannya ini merupakan kepunahan pada manifestasi-Diri yang baru, penghidupan yang berasal dari manifestasi-Diri lain berikutnya; jadi, pahamilah!

 

CATATAN PENGANTAR

 

SESUAI dengan judulnya, bab ini berkaitan dengan subjek tentang “kekuasaan”, yang dalam istilah Arab aslinya, secara tidak  langsung menyatakan kepemuilikan dan pengawasan. Tetapi, hal ini jelas di awal bab, bahwa apa yang dimaksudkan Ibn ‘Arabi dengan kekuasaan, bukanlah merupakan kekuatan fisik yang – membahayakan, tetapi lebih merupakan kekuatan spiritual. Sebab, seperti yang ditunjukkannya, kekuatan seperti ini biasanya tidak diperoleh pada kekuatan fisik kaum muda, tetapi didapati pada usia lanjut ketika kekuatan fisik justru telah menurun. Pembahasannya mengenai pertanyaan tentang kekuasaan, seperti yang digambarkan pada keadaan Nabi Lut, belum menuntun Ibn ‘Arabi pada penjelasan terperinci mengenai persoalan kekuatan spiritual atas Konsentrasi atau himmah. Dalam bab ini, dia terutama memperhatkan hubungan antara kekuatan ini dengan gnosis (ma’rifah) dan bagaimana pencapaian makrifat ini mencegah dan membatasi gerak kekuatan tersebut.

 

Dalam hal tertentu, heduanya merupakan aspck aspck pencapaian spiritual, yang satu dinamis, sedangkan yang lainnya statis. Namun demikian, gnosis yang berdasar ingatan dan sentripctal (selalu terpusat), lebth kuat daripada konsentrasi spiritual yang kreatif dan yang diorientasikan secara kosmik. Ibn ‘Arabi menggambarkan hal ini dengan menjelaskan bahwa para nabi enggan mengeunakan himmah mereka untuk menghasilkan mukjizat dengan suatu pandangan untuk meyakinkan orang-orang kafir agar beriman, karena gnosis mereka membuat mereka menyadari bahwa hanya Allah-lah yang membimbing manusia kepada Kebenaran. Selanjutnya, Dia bertindak berdasarkan pengetahuan-Nya tentang realitas-realitas, yang secara abadi diberitahukan oleh arketip laten wujud-wujud ciptaan. Ini tentu saia merupakan realisasi dari gnostikus yang bukan hanya kekuatan kreatif itu sendiri, tetapi juga prinsip identitas sadar yang menggunakannya, yang pada kenyataannya merupakan kekuatan dan identitas-Nya, yang beraru bahwa anggapan mengenai otonomi individu atau personal dalam penggunaan kekuatan demikian, pasti menyesatkan, baik dalam konsepsi maupun akibatnya.

 

Dia menyimpulkan bab ini dengan mengingatkan pembacanya sekali lagi bahwa pada kenyataannya, seperti halnya tidak ada yang lain kecuali Allah Sendiri yang mengetahui Diri-Nya menjadi apa, maka kita sendirilah yang memutuskan hakikat pengalaman kita yang tercipta dalam Kosmos dan dalam jalan nasib kita.

 

HIKMAH KEKUASAAN DALAM FIRMAN TENTANG LUT

 

Kekuasaan (al-malk) secara tidak langsung menunjukkan kekuatan, dan penguasa (al-malik) adalah seorang yang kuat dan teguh. Orang mengatakan, “Aku menguasai uang” ketika orang tersebut mendirikan sebuah perusahaan. Qays Ibn al-Khatim mengatakan, sembari menggambarkan sebuah arah/tujuan:

 

Aku sangat menguasainya sechingga aku membuat luka yang terus menganga,

 

Sehingga orang yang di depannya dapat melihat melalui sisi yang lain.

 

Dikatakan bahwa, “‘Kekuasaanku melakukan pekerjaan baik untuknya’’, yakni luka.

 

Ini mengingatkan kita akan firman Allah mengenai Lut, “Seandainya aku menmpunyai kekuatan (untuk, menolakmu), atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Rasulullah bersabda, “Sesmoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada saudaraku Lut, dengan melihat bahwa dia dapat berlindung kepada keluarga yang kuat.” Dengan ini, yang dia maksudkan adalah bahwa dia bersarma Allah, Yang Mahakuat. Yang dimaksudkan Lut dengan kalimat “keluarga yang kuat” adalah sukunya, dan yang dia maksudkan dengan “Seandainya aku mempunyai kekuatan” adalah perlawanan, yang di sini berarti kekuatan konsentrasi yang khas pada manusia. Rasulullah bersabda, “Sejak saat itu’’, yaitu dari saat ketika Lut mengatakan, “…atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat”, “setiap nabi yang diutus seterusnya, menghadapi perlawanan dari kaumnya dan dilindungi oleh sukunya sendiri’’, sebagaimana pada kasus ‘Ali dan Rasulullah.

 

Lut bersabda, “Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu)” karena dia telah mendengar firman Allah, “Dia-lah Tuhan Yang menjaditkanmu lemah’’, sebagai suatu karakteristik fundamental, “Kemudian Dia menjadikan (kamu) kuat sesudah lemah.” Kekuatan ini muncul karena diberikan oleh ilahi, yang menjadi kekuatan tiba-tiba. “Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) serta beruban.’’ Rambut beruban menyangkut pengadaan (akan gnosis), sedangkan kelemahan merupakan kemunduran pada hakikat asli ciptaan-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Yang menciptakan kamu lemah” Jadi, Dia mengembalikan manusia dalam keadaan di mana Dia menciptakannya, sebagaimana firman-Nya, “Kemudian di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya?” Di sini, Dia menunjukkan bahwa manusia dikembalikan pada keadaannya yang asli, yaitu lemah, harena, terkait dengan kelemahan, orang tua itu mirip dengan anak kecil.

 

Tidak ada nabi yang pernah diutus sebclumnya sampai nabi itu berusia empat puluh tahun, di mana pada usia itu, usia telah menua dan mulai lemah. Karena itulah dia mengatakan, “Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu)”, yang memerlukan kekuatan konsentrasi yang efekuf. jika Anda menanyakan apa yang mencegahnya dari penggunaan kekuatan seperti itu secara efektif, dengan mendapati bahwa hai itu jelas bagi mereka para pengikut yang akuf berada di Jalan tersebut, dan bahwa para nabi paling berhak terhadapnya, saya akan menjawab bahwa sementara Anda benar di satu sisi, Anda salah di sisi lainnya. Hal ini karena gnosis tidak memberikan tempat bagi kekuatan yang demikian untuk kelicikan, karena kekuatan konsentrasinya menurun seiring dengan menguatnya gnosisnya. Ada dua alasan mengenai hal ini. Pertama adalah penegasannya mengenai status kehambaan dan kesadaran karakteristik aslinya dalam penciptaan alaminya. Kedua adalah kebenaran mengenai kesatuan esensial dari Yang Maha Berbuat dan yang diperbuat atasnya. Dengan demikian, dia dapat melihat sesuatu yang lain, yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekuatan konsentrasinya, yang mencegahnya untuk menggunakannya. Dalam keadaan persepsi seperti itu, dia menyadari bahwa lawannya tidak memiliki jalan berbeda dengan realitasnya sebagatmana ia dalam keadaan laten (tersembunyi) dan noneksistensi esensialnya. Oleh karena itu, lawan tersebut nyata dalam eksistensi sebagaimana dia berada dalam keadaan laten dan noneksistenstnya. Tidak ada jalan baginya untuk melampaui batas-batas realitas esensialnya, dan tidak pula dia gagal untuk memenuhi tugasnya, yang selalu ditunjukkan. Menyebut perilakunya “oposisi” adalah hanya makna yang muncul tiba-tiba, yang dilihat hanya karena selubung yang mengaburkan mata manusia; sebagaimana firman Allah mengenai mereka, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui.

 

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, tetapi mereka lalai terhadap kehidupan Akhiratnya.” Ini merupakan inversi dan berkaitan dengan perkataan mereka, “‘Hati Kami tertutup’’ yaita dengan penutup yang mencegah mereka dari pemahaman persoalan ini sebagaimana ia dalam realitas. Hal-hal yang sama ini menahan sang gnostikus dari berbuat semaunya di dunia.

 

Syekh Abu ‘Abd Allah Ibn Qa’id bertanya kepada Syekh Abu as-Su’ud Ibn asy-Syibli, “Kenapa kamu tidak menggunakan kekuatanmu?’” Kepadanya dia menjawab, “Aku biarkan Allah berbuat untukku seperti yang dikehendaki-Nya’’, setelah mengingat firman-Nya, “Jadikan Dia sebagai Pelindungamu” dan sang pelindung tersebut adalah yang bertindak; karena dia mengetahui firman Allah, “Nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Kami telah menjadikanmu menguasainya.” Abu Su’ud dan gnostikus lainnya mengetahui bahwa masalah yang ada bukanlah merupakan haknya untuk menentukan sebagaimana yang dia inginkan, tetapi hanya dipercayakan kepadanya. Allah berfirman kepadanya, “Mengenai masalah yang telah kubertkan tanggung jawabnya kepadamu, maka jadikanlah Aku sebagai Pelindungmu di sana.” Dengan demikian, Abu Suw’ud mematuhi perintah Allah dan berikhtiar kepada-Nya. Lalu, bagaimana bisa kekuatan konsentrasi dapat tetap digunakan oleh orang yang benarbenar merenungkan masalah ini, dengan melihat bahwa kekuatan seperti ini hanya bisa efekuf dengan konsentrasi total, di mana kekuatan itu sendiri tidak ada dalam jangkauan orang yang memunculkannya, kecuali yang berkaitan dengan sesuatu yang khusus di mana konsentrasinya berbaur? Sebenarnya, justru gnosis inilah yang menghalanginya untuk mencapai konsentrasi total seperti itu, karena seorang gnostikus sejati, menunjukkan gnosisnya dengan kelemahan dan kehilangan kekuatan.

 

Salah seorang wali (abdal) berkata kepada Syekh ‘Abd arRazzaq, “Ketika kamu menyalami Abu Madyan,” tanyakan kepada beliau bagaimana mungkin kita tidak memiliki sesuatu yang mungkin bagi kita padahal banyak hal yang tidak mungkin baginya, kitalah yang menginginkan maqamnya, sedang dia tidak menginginkan maqam kita?” Demikianlah dengan Abu Madyan, yang telah mencapai maqam itu serta maqam-maqam lainnya. Tetapi, kita telah mencapai maqam itu dalam ketidakmampuan dan kelemahan yang lebih sama sekali. Namun demikian, itulah mengapa Wali dinisbatkan kepadanya. Masalah ini berkaitan dengan subjek yang sama.

 

Dengan membicarakan firman Allah kepadanya, Nabi mengatakan tentang maqam ini, “Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.” Di tempat ini, sang Rasul diperintah dengan apa yang telah diwahyukan kepadanya, tidak ada yang lain kecuali itu. Jika itu diwahyukan kepadanya dengan jelas sehingga dia harus bertindak, maka dia akan bertindak, tetapi jika dia dikekang, dia akan bertahan. Seandainya dia diberikan pilihan, maka dia tidak akan memilih untuk bertindak, kecuali gnosisnya kurang baik. Abu Su’ud berkata kepada seorang mutid kepercayaannya, “Lima belas tahun lalu, Allah menganugerahiku kebebasan untuk bertindak, tetapi aku tidak menggunakannya, karena kuanggap bahwa itu akan kelihatan sok aksi.” Ini adalah perbincangan yang angkuh. Kita sendiri tidak mengesampingkan alasan seperti ini, yang secara tidak langsung menyatakan pilihan dalam masalah tersebut, karena, ketika sang gnostikus bertindak di dunia melalui kekuatan konsentrasinya, dia melakukan itu hanya karena perintah Allah dan karena suatu keharusan, jadi bukan karena pilihannya sendiri. Tetapi, kami tidak ragu, kecuali bahwa tingkat kerasulan memerlukan kebebasan untuk bertindak dengan tujuan untuk mempengaruhi penerimaan misinya. Dengan demikian, ada bukti dalam rasul tersebut yang menegaskan kejujurannya dengan masyarakat dan kaumnya, sehingga dispensasi Allah dapat terwujud. Hal yang sama tidak terjadi pada wali. Namun, rasul tidak membutuhkan itu pada luarnya, tetapi di luar pertimbangan bagi kaumnya dan tidak ingin terlalu banyak membeberkan mereka kepada Dalil Allah yang tak terbantahkan,” yang akan menghancurkan mereka, dengan lebih baik melindungi mereka.

 

Rasul menyadari bahwa ketika suatu mukjizat ditunjukkan kepada sekelompok orang, sebagian dari mereka akan mempercayai apa yang mereka lihat; sedangkan yang lainnya, karena menyadari apa yang sedang terjadi, maka mereka menolaknya; sementara sebagian lainnya lagi akan mengkaitkannya dengan sihir dan sulap, sehingga hal ini tidak akan menghasilkan penegasan atas misinya yang dituntut. Oleh karena itu, ketika para rasul menangkap ini dan menyadari bahwa hanya dialah yang akan mempercayai mereka yang hatinya telah diterangi oleh Allah dengan cahaya agama, dan bahwa orang-orang tertentu tidak akan melihat dengan cahaya yang disebut agama, hal ini menjadi jelas bahwa aktivitas mukjizat itu adalah sia-sia, tidak ada gunanya. Karena alasan ini, kekuatan konsentrasi dijaga dari pencapaian mukjizat, dengan melihat bahwa pengaruh mereka tidak menyeluruh di dalam hati orang-orang yang menyaksikannya. Mengenai para rasul yang paling sempurna, makhluk yang paling arif, dan orang yang paling benar pernyataannya, Allah berfirman, “Kamu ttidak  akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang  yang dikehendaki-Nya.” Ketika kekuatan tersebut efektif, yang biasanya tidak diragukan, maka tidak seorang pun yang telah menggunakannya untuk pengaruh yang lebih ketimbang Rasulullah, katena tidak ada yang memperoleh kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat daripada dia, meski ia  tidak dapat mempengaruhi konversi pamannya, Abu Talib, mengenai kepada siapa ayat-ayat yang telah kami sebutkan itu diwahyukan. Inilah kenapa Dia berfirman mengenai sang Rasul bahwa tugasnya hanya untuk menyebarkan tisalah tersebut. Dia berfirman, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang membert petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.” Dalam Surat al-Qasas, Dia menambahkan, “Dia-lah yang paling mengetabui orang-orang yang mendapat petunjuk?” yaitu, mereka yang telah diberi-Nya pengetahuan dari petunjuk mereka dalam keadaan noneksistensi mereka melalui esensi-esensi laten (al-a’yan as-iabitah) mereka.

 

Hal ini menegaskan fakta bahwa pengetahuan tergantung pada apa yang diketahui, karena dia yang merupakan secorang Mukmin dalam esensialitas latennya dan dalam keadaan noneksistensinya, menjadi nyata dalam bentuk tersebut di dalam keadaan eksistensi. Allah telah mengetahui dari dia fakta bahwa dia akan menjadi seperti itu. Karena itu, Dia berfirman, “Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Dalam mengatakan ini, Dia benar-benar berfirman, “Kepatusan di sisi-Ku tidak dapat diubah’ karena apa yang Aku katakan ditentukan oleh apa yang Aku ketahui mengenai makhluk-Ku, dan, “Aka tidak menganiaya hamba-hambaKu”, yaitu, Aku tidak mewahyukan kepada mereka ketidaksetiaan yang akan membinasakan mereka dan kemudian mengharuskan mereka atas apa yang bukan merupakan kekuatan mereka untuk menerimanya. Sesungguhnya, Kami hanya memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang Kami ketahui tentang mereka, dalam esensialitas mereka yang laten, dan apa yang Kami ketahui tentang mereka adalah apa yang mereka berikan kepada-Ku mengenai diri mereka sebagaimana mereka dalam keabadian. Jika di sini timbul pertanyaan mengenai penganiayaan, maka penganiayaan itu adalah oleh para jahanam itu sendiri. Jadi, “Merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” Bukan Allah yang menganiaya mereka. “Kami hanya mengatakan kepada mereka apa yang diberikan Esensi Kami untuk dikatakan kepada mereka, dan Esensi Kami sangat dikenal pada Kami dalam realitasnya untuk mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada yang lainnya. Kami hanya mengatakan apa yang Kami ketahui, karena ungkapan tersebut adalah untuk Kami Sendiri dari Kami Sendiri, dan bagi merekalah untuk mematuhi atau tidak, mereka telah mendengar Kami.”

 

Segalanya datang dari Kami dan dari mereka,

Diketahui dari Kami dan dari mereka.

Meski seandainya mereka bukan dari Kami,

Tentu Kami adalah dari mereka.

 

Jadi sadarilah, Wahai kawan, tentang Hikmah kekuasaan yang perhubungan dengan Kata Lut ini, karena inilah bagian dari gnosis (makrifat).

 

Rahasia itu kini jelas bagimu,

Dan persoalannya telah dijelaskan.

Karena itu yang disebut aneh,

Diabadikan dalam genap.

 

CATATAN PENGANTAR

 

MELANJUTKAN akhir bab 13, Ibn ‘Arabi di sini lebih lanjut mengembangkan tema tentang takdir kosmik dan manusia. Tentu saja, dibanding dalam bab lainnya, dalam bab ini, dia secara khusus menyuguhkan secara utuh teorinya tentang ketentuan kreatif ilahi. Sebagaimana disugesti dalam Pengantar terjemahan ini, dua konsep tentang Keputusan (Qada’) dan Takdir (Qadar), dengan mana Ibn ‘Arabi mencoba menjelaskan di mana wujud yang diciptakan adalah ditentukan, yang sangat terkait dengan konsep mengenai Kehendak (Masyi’ah) dan Keinginan (Iradah), semua konsep ini tergantung pada konsep yang mendasari kecenderungan abadi esensi-esensi laten.

 

Term “Keputusan” (Qada’) berakar dari akar kata Arab qada’, yang berarti “menjalankan”, “melaksanakan”’, yaitu menjalankan Perintah Kreatif (Amr) ilahi, yang perintah itu sendiri merupakan akibat keputusan ilahi untuk mencipta (hukm), yang didorong oleh motivasi yang melekat dalam esensi-esensi praeksisten dan laten pada aktualisasi kosmik. Jadi, qada’ merupakan cara lain untuk mengungkapkan proses kreatif itu sendiri yang merupakan pemberhentian Napas Sang Pengasih, proyeksi dari perefleksian citra, tetapi dengan dimensi ckstra dari sifat yang tidak bisa dihindari dan dari ketentuan yang harus diterima. Konsep ini tidak terlalu terkait dengan kehendak atau dorongan untuk mencipta yang berasal dari hasrat batin ilahi bagi kesadaran-Diri, tetapi lebih terkait dengan fakta dari eksistensi itu sendiri dan konsekuensi kejadian yang tidak bisa dihindari. Qada’ adalah apa yang dikehendaki, pelaksanaan Kehendak secara bersama-sama dengan semua konsekuensi yang mengalir dant pelaksanaan itu, di mana konsekuensi-konsekuensi tersebut tidak lain adalah elaborasi dan manifestasi tak terbatas dalam eksistensi penciptaan yang berada dalam kelatenannya. Takdir (Qadar) merupakan modifikasi dari Qada’, di mana ia  menentukan mode dan ukuran kejadiannya, lagi-lagi sebagai ketentuan realitas-realitas esensial. Berkenaan dengan ukuran dan proporsi, Takdir menentukan kapan, di mana, dan bagaimana tentang penciptaan, saat tertentu dari manifestasinya, serta konteks dan hakikat eksistensinya. Jadi, Takdir tidak banyak berhubungan dengan pencurahan semesta dari tindakan kreatif, tetapi lebih mengenai jatah bagi wujud-wujud ciptaan secara individu dalam batas-batas eksistensi mereka, yang kemudian melihat dan secara individu menegaskan tindakan kreatif. Oleh karena itu, dalam hal tertentu, Takdir mengembalikan arus gada’ dan mengembalikan Kosmos kepada Allah Yang mengetahui ukuran atas segala sesuatu, dan dengan demikian mengetahui dan memiliki kekuatan melebihi segala sesuatu. Menurut Ibn ‘Arabi, rahasia Takdir ini hanya dapat diketahui secara tepat oleh Allah, meskipun makhluk hidup mungkin saya diberikan semacam penglihatan kepada takdir mereka sendiri, yang mana pengetahuan itu sendiri tergantung pada kecenderungan untuk mengetahuinya. Seperti yang dia katakan, pengetahuan seperti ini menghasilkan kebingungan dalam perasaan-perasaan yang bertentangan, dalam ketenangan, dalam penyerahan total di satu sisi, dan dalam kegelisahan yang menyakitkan di sisi lain; penyerahan ketenangan pada apa yang pada akhirnya merupakan takdir seseorang yang telah ditentukan, dan kebingungan pada “kclainan” eksistensi kosmik yang nyata.

 

Persoalan lain yang lebih besar dan bab ini adalah mengenai Kewalian (al-Walayah). Di sini, Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa sebutan “pelindung” (al-wali) adalah satu-satunya orang di mana Allah berbagi pada manusia, sehingga wali adalah orang yang telah menyadari suatu keadaan keintiman dengan Allah, yang melihat melalui selubung “kelainan” kosmik pada identitas esensial, yang mengenal ditinya, seperti Ibrahim, yang ditembus oleh Realitas ilahi. Seperti yang sudah disebutkan, ini adalah keadaan universal yang mendasari fungsi-fungsi yang lebih terbatas dari sang nabi dan sang rasul. Dengan demikian, setiap nabi dan rasul, di samping menjadi pembawa wahyu resmi, juga mengekspresikan Kehendak Allah, yang juga merupakan tempat penyimpanan hikmah batin yang mengungkapkan wawasan-wawasan yang lebih esoteris dan paradoks.

 

HIKMAH TAKDIR DALAM FIRMAN TENTANG ‘UZAYR

 

Ketahuilah, bahwa Keputusan (Qada’) adalah ketetapan Allah mengenai segala sesuatu, yang terbatas pada apa yang Dia ketahut tentang dan dalam segala sesuatu tersebut, karena pengetahuan-Nya mengenai segala sesuatu tergantung pada apa yang mungkin diketahui-Nya dari apa yang pada dasarnya selalu ada dalam diri segala sesuatu itu.

 

Takdir (Qadar) adalah pewaktuan yang tepat dari manifestasi dan peniadaan segala sesuatu sebagaimana adanya secara esensial. Hal ini kemudian merupakan rahasia mengenai takdir itu sendiri, “Bagi orang yang mempunyat hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan Dia menyaksikannya”, “Allah mempunyai alasan yang kuat” karena Sang Penentu, dalam mengaktualisasikan ketentuan-Nya, terkait dengan esensi objek ketentuan-Nya menurut syarat-syarat watak esensialnya. Hal yang ditentukan, dalam kaitannya dengan keadaan esensialnya, menentukan Sang Penentu untuk menentukan yang berhubungan dengannya, secara esensial, karena setiap pemberi perintah, dirinya sendiri diperintah dengan sesuatu, sesuai dengan yang ia perintahkan atau tentukan, siapa pun atau apa pun yang bisa memerintahnya. Oleh karena itu, pahamilah maksud ini, karena Takdir tidak hanya diketahui oleh karena kesiapan intensitas manifestasinya dan, meskipun kemudian sangat dicari dan dikejarkejar, ia  kadang-kadang disadan sebagai apa adanya.

 

Ketahuilah, bahwa patlra rasul, sebagai rasul dan bukan sebagai wali atau gnostikus, menyesuaikan diri dengan tingkat spiritual masyarakat mereka. Pengetahuan yang telah dikirimkan kepada mereka adalah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat mereka, tidak lebih dan tidak kurang, karena masyarakat itu beragam, beberapa di antaranya lebih membutuhkan pengetahuan itu daripada yang lainnya. Dengan demikian, dengan cara yang sama, pengetahuan yang dikirimkan kepada para rasul itu juga beragam, sesuai dengan keragaman masyarakatnya. Dia berfirman, “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.’ Beragamnya doktrin-doktrin dan peraturan-peraturan yang berasal dari esensi-esensi mereka, sesuai dengan kecenderungan mereka yang abadi. Maka Dia berfirman, “Kami telah memberikan keutamaan kepada sebagian para nabi melebihi dart sebagian yang lain.” Mengenai makhluknya, Allah berfirman, “Allah melebihkan sebagian kamu dari yang lain dalam hal rezeki.” Rezeki-rezeki tersebut dapat berupa spiritual, seperti belajat, maupun berupa sesuatu yang dapat dirasakan, seperti makanan, dan Realitas menurunkannya kepada makhluk hanya berdasarkan ukuran yang diketahui, karena “Allah telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya” dan “Dia menurunkan apa yang dikehendaki-Nya’,’ dan Dia hanya berkehendak sesuai dengan apa yang Dia ketahui dan dengan apa yang Dia tentukan. Seperti yang telah kami katakan, Dia hanya mengetahui apa yang diberikan kepada-Nya untuk mengetahui dengan apa yang diketahui. Dengan demikian, pewaktuan Takdir pada akhirnya diberikan kepada yang diketahui, sedangkan Qada’, pengetahuan, Kehendak, dan Keinginan, tergantung kepada Takdir.

 

Rahasia Takdir merupakan salah satu jenis pengetahuan yang paling agung, dan Allah menganugerahkan penglihatan hanya kepada seseorang yang telah Dia pilih untuk mendapatkan gnosis sempurna. Pengetahuan tentang rahasia ini membawa ketenangan sempuma maupun siksaan menyakitkan, karena pengetahuan int mempettentangkan penggambaran tentang Allah sebagai Yang Murka (al-Gadab) dan Yang Ridha (ar-Rida). Dengan rahasia inilah Nama-nama ilahi dipertentangkan. Kebenarannya memegang kekuasaan atas Kemutlakan maupun kesatuan, dan tidak ada yang lebih sempurna, lebih kuat dan lebih agung dengan alasan totalitas dominionnya, baik langsung maupun tidak langsung.

 

Oleh karena itu, karena para nabi memperoleh pengetahuan mereka hanya dari wahyu ilahi yang partikular, Hatt mereka bila dilihat dari sudut pandang intelektual adalah sederhana, dengan mengetahui bahwa mereka mempunyai wawasan intelek diskursif yang minim, ketika ia mempunyai pemahaman akan segala sesuatu yang memang secara esensial adalah benar adanya. Demikian pula, kemampuan komunikasi verbal mereka kurang, saat menyampaikan apa yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman langsung. Jadi pengetahuan sempurna hanya dimiliki melalui penyingkapan-Diri (tajalli) ilahi semata, atau ketika Allah menarik kembali selubung (kasyf) dari Hati dan Mata sehingga mereka merasakan segala sesuatu, baik yang bersifat abadi maupun yang berlangsung sebentar saja, yang ada maupun yang tidak ada, yang tidak mungkin, perlu, atau dibolehkan, sebagaimana mereka dalam realitas dan esensialitas abadi mereka.

 

Hal ini karena ‘Uzayr mencari jalan tertentu yang dibuatnya untuk penghukuman yang berkaitan dengannya. Ketika dia lebih mencati inspirasi ilahi, yang telah kami sebutkan, dia tidak dihukum. Kesederhanaan hatinya ditunjukkan dengan perkataannya, dalam kaitan masalah lainnya, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri tnt setelah hancur?” Karakternya disimpulkan dalam perkataan ini, bahkan seperti karakter Ibrahim, disimpulkan dalam sabdanya, “Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Permohonan seperti ini menuntut respon aktif, yang karena itu Realitas membuatnya menjadi jelas ketka Dia berfirman, “Allah mematikan orang itu seratus tahun dan kemudian menghidupkannya kembali.” Dia berfirman kepadanya, “Lihatlah tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali dan kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Dengan cara ini, dia langsung merasa bagaimana tubuhnya terus tumbuh, dengan persepsi yang segera. Jadi, Dia memperlihatkan kepadanya bagaimana hal itu terjadi. Tetapi, dia telah menanyakan tentang Takdir, yang hanya bisa diketahui dengan sebuah wahyu mengenai segala sesuatu dalam keadaan laten mereka dan dalam noneksistensi mereka. Hal itu tidak sesuai dengan dia, karena pengetahuan seperti ini merupakan hak prerogatif dari kesadaran ilahi. Ini tentu saia absurd bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia, yang mengetahui hal-hal yang demikian, dengan melihat bahwa ia berkaitan dengan kunci-kunci primordial, yaitu kunci-kunci Yang Gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Namun, Allah memberitahukan hal ini kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.

 

Ketahuilah, bahwa hal tersebut disebut kunci untuk menandai sebuah pembukaan, yang merupakan keadaan di mana proses pembawaan menjadi eksistensi yang mempengaruhi hal tersebut, atau jika Anda lebih memilih sebuah keadaan di mana ada kemampuan untuk memasuki eksistensi yang terletak pada apa yang ditakdirkan untuk ada, sebuah keadaan di mana hanya Allah yang bisa memiliki pengalaman rill. Ini karena kunci-kunci Yang Gaib tidak pernah dimanifestasikan atau terselubungi, lantaran semua kemampuan dan aktivitas pada dasarnya adalah kepunyaan Allah Yang memiliki wujud mutlak, yang tidak dibatasi dalam hal apa pun.

 

Ketika kita mengetahui bahwa Realitas memarahi ‘Uzayr karena permohonan dia yang berkaitan dengan Takdir, kita menyadari bahwa permohonan merupakan permohonan bagi jenis kesadaran ini secara khusus, sembari berusaha menemukan bagaimana dia memiliki kemampuan yang berkenaan dengan apa yang ditakdirkan, yang kemampuan tersebut hanya diberikan oleh-Nya

 

Yang memiliki wujud mutlak. Dia memohon agar tidak ada makhluk yang bisa mengalami, demikian juga tidak ada modalitas yang diketahui, kecuali dengan pengalaman langsung.

 

Ketika Allah berfirman kepadanya, “Kalau kamu tidak berhenti, Aku pasti akan menshapus namamu dari daftar nabi-nabi?’, Dia maksudkan, “Aku akan mencabut darimu sarana komunikasi (tariq alkhabar) ahi dan menghadirkan segala sesuatu kepadamu sebagaimana segala sesuatu itu dimanifestasikan, yang hanya akan muncul sesuai dengan kecenderungan abadimu sendiri yang merupakan sarana di mana persepsi langsung dialami. Ketahuilah wahai ‘Uzayr! Bahwa kamu hanya dapat merasakan apa yang kamu mohonkan untuk dirasakan, sebagaimana kecenderunganmu yang abadi mengizinkan. Jika kamu tidak merasakan, maka kamu akan mengetahui bahwa kecenderunganmu tidak mengizinkan, sehingga kamu akan, dan bahwa itu merupakan sesuatu yang, dibenci Allah. Meskipun Allah telah mengaruniai tiap-tiap sesuatu yang Dia ciptakan, Dia tidak melimpahkan kecenderungan tertentu ini kepadamu. Hal ini tidak melekat dalam penciptaanmu; jika ternyata demikian, Dia Yang berfirman, “Dia yang memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk, kejadiannya” pasti memberikannya kepadamu. Kamu seharusnya menahan diri dari segala permohonanmu sendiri, tanpa memerlukan penolakan ilahi.” Beberapa permohonan tersebut merupakan permohonan Allah berkaitan dengan “Uzayr, yang mengetahui kebenaran masalah tersebut di satu sisi, tetapi di sisi lain menolaknya.

 

Ketahuilah, bahwa Kewalian adalah sesuatu yang sangat inklusif dan sebuah fungsi universal yang tidak pernah berakhir, yang didedikasikan terhadap komunikasi universal kebenaran ilahi. Adapun fungsi legislatif Kenabian dan Kerasulan, ia berakhir pada Muhammad. Setelah beliau, tidak akan ada lagi nabi yang membawa hukum atau umat untuk menerima nabi tersebut, tidak pula ada lagi rasul yang membawa Syariah Allah. Pernyataan ini merupakan tamparan yang menyakitkan bagi para pelindung (awliya’l Allah, karena hal ini secara tidak langsung menyatakan pengertian pengalaman kehambaan yang sempurna dan total. Nama khusus dari ‘pelindung’ Allah ini tidak secara luas digunakan oleh hamba, karena dia tidak  mengharapkan untuk berbagi sebuah nama dengan Tuhannya, yang adalah Allah. Allah Sendiri tidak  dipanggil dengan nama “nabi” atau nama “rasul”, tetapi Dia memanggil Diri-Nya “Pelindung” (al-Wali), dan begitulah dijelaskan. Dia berfirman, “Allah adalah Pelindung bagi orang-orang yang beriman”, dan, “Dia-lah Yang Maha Pelindung lagi Mahaterpuji.” Nama tersebut juga selalu digunakan kepada hamba-hamba Allah, baik hidup maupun mat. Namun, dengan berakhirnya Kenabian dan Kerasulan, hamba tersebut tidak lama kemudian memiliki  nama lain yang juga tidak dapat dipakaikan kepada Sang Realitas.

 

Tetapi, Allah berbaik hati kepada hamba-hamba-Nya dan meninggalkan Kenabian yang universal bagi mereka, yang tidak membawa hukum dengannya. Dia juga meninggalkan kekuatan legislasi bagi mereka melalui penggunaan penilaian individu (ijtihad) mengenai pelbagai kaidah dan peraturan. Sebagai tambahan, dia mewariskan kepada mereka warisan legislasi dalam tradisi, “Para ulama adalah pewaris-pewaris para nabi.” Warisan ini meliput8 penggunaan penilaian individu dalam peraturan-peraturan tertentu, yang merupakan sebuah bentuk legislasi.

 

Ketika sang nabi berbicara mengenai masalah-masalah yang terletak di luar jangkauan hukum, maka dia berbicara sebagai seorang wali dan seorang gnostikus, sehingga posisinya sebagai seorang yang mengetahui kebenaran menjadi lebih lengkap dan sempurna daripada posisinya sebagai seorang rasul atau seorang pembawa hukum. Jika Anda mendengar seseorang yang mengatakan atau meriwayatkan sabda-sabdanya yang bermakna bahwa Kewalian lebih tinggi daripada Kenabian, maka yang dia maksudkan hanyalah apa yang baru saia kami katakan. Demikian juga, jika dia mengatakan bahwa wali tersebut lebih kuat ketimbang sang nabi dan sang rasul, yang dia maksudkan hanyalah bahwa ini terjadi pada satu sosok; ini karena sang rasul, dalam kewaliannya, lebih sempurna daripada dia sebagai seorang nabi atau seorang rasul.

 

Ini tidak berarti bahwa wali mana pun yang datang setelah dia adalah lebih tinggi daripadanya, karena orang yang mengikutinya tidak dapat mencapat orang yang diikuti, sebagaimana menganggap bahwa dia mengikut nabi tersebut. Sesungguhnya, karena dia mempengaruhi posisi yang demikian, dia tidak akan menjadi seorang pengkut; jadi pahamilah! Kerasulan dan Kenabian berasal dan kewalian dan dari belajar. Perhatikanlah! Bagaimana Allah memerintahkan dia untuk mencari peningkatan dalam ilmu pengetahuan melebihi yang lainnya dengan memfirmankan, “Katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

 

Hukum tersebut menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu untuk melakukan beberapa hal dan melarang hal-hal tertentu lainnya, yang semuanya dilaksanakan di dunia ini, yang akan sampat menemuit akhirnya. Di sisi lain, Kewalian bukanlah termasuk dalam jenis tersebut, karena Kewalian tersebut berakhir, sebagaimana berakhirnya Kerasulan. Sebenarnya, karena berakhir dengan cara im, hal itu akan berhent untuk memiliki nama. Sang pelindung (wali) adalah sebuah nama yang secara abadi dimuiliki Allah, seperti halnya sesuatu yang melekat pada, yang merupakan karakteristk dari, dan yang disadari dalam, hamba-hamba-Nya. Berkaitan dengan ini, adalah firman-Nya kepada ‘Uzayr bahwa kalau dia tidak berhenti menanyakan tentang hakikat Takdir, Dia akan menghapus namanya dari daftar Kenabian, di mana perintah tersebut akan datang kepadanya sebagai wahyu yang termanifestasi, sehingga dia tidak lama lagi dapat disebut sebagai seorang nabi atau rasul, tetapi dia akan meneruskan Kewaliannya. Namun, ketika keadaan yang menyertai keadaannya menunjukkan kepadanya bahwa Allah menegur dirinya dalam bentuk sebuah peringatan, dan karena mengalami keadaan serta mengacuhkan peringatan tersebut, dia menyadari bahwa hal itu merupakan suatu perlakuan untuk mencabutnya dari derayatderajat Kewalian tertentu di dunia ini. Sebab, Kenabian dan Ketasulan merupakan derajat-derajat tertentu dari Kewalian. Dengan demikian, dia dapat mengetahui bahwa dia lebih kuat dani wali yang tidak memiliki Kenabian dan Kerasulan resmi. Tentang orang yang berkaitan dengan bebcrapa keadaan lainnya yang juga memerlukan tingkat kenabian, hal itu akan dianggap sebagai janji dan bukan ancaman.

 

Permohonannya ini pada kenyataannya dapat diterima, karena sang nabi adalah sejenis wali istimewa yang mengetahui melalui kondist keadaannya bahwa akan menjadi absurd bagi seorang nabi, dengan memiliki  derajat khusus Kewalian ini, untuk mendekati mengenai apa yang dia ketahui bahwa Allah tidak akan menyetujut atau menunjukkan sesuatu yang tidak mungkin didapatkannya. Pada kasus mengenai pernyataan-pernyataan seperti ini dan pada kasus kepada siapa pernyataan-pernyataan ini cocok untuk ditetapkan, firman-Nya, “Aku pasti akan menghapus namamu dari daftar kenabian.” Hal ini muncul sebagai ancaman, yang secara jelas menunjukkan keagungan derajat Kewalian abadi, yang merupakan derajat yang mengingatkan kepada nabi dan rasul di Hari Akhir di mana tidak ada kesempatan bagi pemberian hukuman pada makhluk Allah, baik ketika mereka pertama kali masuk ke dalam Surga, ataupun ke dalam Neraka. Saya telah membatasi pembahasan mengenai masalah ini untuk masuk ke dalam dua tempat, yaitu Surga dan Neraka. Sebab, apa yang telah ditakdirkan-Nya, pada saat Har Pembalasan, bagi mereka yang hidup di antara masa-masa wahyu, bagi anak-anak dan orang gila yang akan Dia tempatkan pada sebuah tempat khusus, di sana akan ditegakkan keadilan, untuk menghukum perbuatan para jahanam dan untuk memberi pahala perbuatan-perbuatan baik kepada para penghuni Surga. Ketika mereka telah dikumpulkan, terpisah dari manusia lainnya di tempat itu, Dia akan mengutus seseorang yang terbaik di antara mereka sebagai seorang nabi kepada yang lainnya untuk menunjukkan sebuah Neraka (Api) kepada mereka dan berkata, “Aku adalah pembawa risalah dani Sang Realitas untuk kalian.” Beberapa dari mereka akan mempercayainya, sedangkan beberapa lainnya akan menolaknya. Kemudian, dia akan mengatakan kepada mereka, “Lemparkanlah dirimu ke dalam api ini, karena siapa pun di antara kalian yang mematuhiku akan selamat dan akan memasuki Taman (Surga), tetapi barangsiapa yang tidak mematuhiku dan menentang perintahku akan binasa dan menjadi panghuni-penghuni Neraka.” Kemudian, mereka yang mematuhinya dan melemparkan diri mereka sendiri ke dalam api, akan dirahmati dan akan mendapatkan pahalanya, dengan mendapati bahwa api tersebut terasa seyuk dan aman, sedangkan mereka yang tidak mematuhinya akan layak dihukum dan akan memasuki api tersebut, dengan merendahkan diri ke dalamnya dengan perbuatan-perbuatan kontensius mereka, sehingga keadilan dapat dilakukan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya.

 

Dengan demikian, Dia berfirman, “Pada hari betis disingkapkan”, yang memperlihatkan suatu persoalan penting mengenai Hari Kiamat, mereka akan dipanggil untuk bersujud,” yang menunjukkan kewayiban dan legislasi. Beberapa dan mereka akan dapat melakukannya, sedangkan yang lainnya tidak. Mengenai mereka yang tidak dapat melakukannya, Allah berfirman, “(Maka) mereka tidak akan kuasa melakukannya’” sebagaimana halnya hamba-hamba tertentu tidak akan berdaya dan dirinya tidak dapat tunduk kepada perintah Allah, seperti Abu Jahl dan lain-lainnya.” Legislasi seperti int akan membekas di Hari Kiamat pada Hari Pembalasan sebelum memasuki Surga dan Neraka. Oleh karena itu, Kami telah membatasi sikap kami mengenai persoalan ini. Terpujilah Allah!

 

CATATAN PENGANTAR

 

BAGIAN lebih besar dari bab ini adalah berkaitan dengan aneka ragam cara dan manifestasi Ruh, dan bagaimana Ruh tersebut ditanamkan pada materi dan bentuk. Khususnya, mengenai peranan Ruh dalam penciptaan ‘Isa dan juga kemampuannya untuk membangkitkan kembali.

 

Sejauh ini, dalam karyanya, Ibn ‘Arabi berbicara dalam termterm Napas Sang Pengasih ketika membahas tentang tindakan kreauf, yang digambarkan sebagai gerakan pembebasan dari tekanan batin dalam Realitas, sebagai ungkapan yang menghasilkan eksistensi Kosmos yang diciptakan. Tetapi, dalam mendiskusikan hakikat dan aktivitas Ruh di sini, dia lebih memperhatikan aspekaspek tertentu dari tndakan spontan dalam ekspirasi (penghembusan napas terakhir) kreatif. Dua kata paling penting yang dia gunakan dalam konteks ini adalah ruh (Ruh) dan nafakha (meniup). Dalam kaitan dengan Napas primordial, ruh adalah isinya, sedangkan nafakha menggambarkan cara pengoperasiannya. Ruh, yang makna dasarnya berasal dari bahasa Arab, berhubungan dengan makna akar nafasa, yang jelas-jelas menunjukkan realitas hidup Allah, kesadaran hidup Nya, yang seperti halnya elektroda akuf menggembung, menembus, menyinari, dan menginformasikan kepasifan gelap substansi utama, dari Alam orisinal. Jadi, jelaslah sikap Ibn ‘Arabi tentang subjek tersebut, sehingga konsep-konsep tentang peniupan napas, pengisian benih, penyinaran cahaya, dan pengucapan kata, saling terkait dalam pikirannya, sebab konsepkonsep tersebut berada dalam pengetahuan spiritual dari kebanyakan tradisi religius. Mungkin akhir dari konsep-konsep yang berkaitan ini, pemberitahuan-kata, memberikan suatu petunjuk bagi judul bab ini, karena kata Kenabian dalam bahasa Arab nubuwwah berasal dari kata dasar naba’a, yang berarti “memberitahu”, seorang nabi (nabi) menjadi wadah khusus dan istimewa bagi Firman ilahi, seperti halnya, dalam pengertian yang lebih universal, keseluruhan Kosmos (‘alam) “dikabarkan” (diciptakan) oleh Ruh ilahi, bentuk-bentuknya yang beragam merupakan petunjuk (a’lam) dari mana “kaum cendekia” dapat mempelajari (‘iln) kebenaran.

 

Konsep Ruh—seperti pelengkap lainnya, jrwa, yang merupakan elektroda eksperiensial dan pasifnya—dirumitkan dengan fakta – bahwa manifestasinya berbeda berdasarkan tingkat eksistensial yang dipertimbangkan. Dengan demikian, pada sumbernya, Ruh dianggap sebagai cahaya murni, sedangkan pada tingkat fisiknya, Ruh tampak sebagai api dan panas dari kehidupan kosmik, yang merepresentasikan nadi kehidupan-realitas, ekspresi Wujud, pada setiap tingkat penciptaan ilahi-manifestasi-Din. Pada sumbernya, ia merupakan kesadaran-Identitas murni, tetapi begitu hal ini mencapai yang lebih jauh dan lebih jauh lagi, maka ia dipahamt sebagai Kata yang berwibawa dan bibit yang menyuburkan.

 

Di bagian mana pun dalam karya ini, Ibn ‘Arabi berbicara tentang hubungan antara Ruh dengan Alam sebagai wujud, yakni, hubungan orangtua pada suatu skala makrokosmik di mana Ruh adalah Ayah dan Alam adalah Ibu. Ketika yang pertama dilihat sebagai aktif, bercahaya, dan berwibawa, maka yang terakhir diangeap sebagai pasif, gelap, dan reseptif (menerima), yang merupakan acuan awal yang siap untuk menerima penentuan kesan dari Ruh. Kadang-kadang, hubungan ini dickspresikan dalam term-term Intelek Universal dan Jiwa Universal atau, dalam term-term yang lebth Qur‘ani, Pena dan Kertas. Barangkali, cara terbaik untuk menjelaskan perbedaan antara Alam dengan Jiwa di satu sisi, dan antara Ruh dengan Intelek di sisi lain, adalah bahwa term pertama dalam kedua hal ini bersifat ontologis, sedangkan term kedua bersifat eksperiensial. Dengan demikian, ketika Alam dapat dikatakan sebagai realitas reseptivitas pasif, maka Jiwa lebih merupakan pengalaman realitas itu; sama halnya, ketika Ruh merupakan realitas kebenaran aktif, maka Intelek dapat dilihat sebagai kesadaran dari yang menjadi realitas itu. Jadi, dalam konteks penciptaan, dan manifestasi-Diri, kita masih mempunyai ungkapan lain tentang polaritas subjek-objek, dan saling ketergantungan keduanya.

 

Dalam konteks manusia atau mikrokosmik, Ibn ‘Arabi melukiskan suatu contoh khusus dan istimewa mengenat hubungan mi dalam kasus ‘Isa, yang merupakan buah hasil dari Maryam, yang menjelmakan “air” Alam, dan Jibril, yang merepresentasikan peniupan benih-kata dari Ruhnya. Penciptaan ‘Isa adalah kasus khusus di mana, tidak seperti. kebanyakan manusia, Ruh menyuburkan Maryam tidak melalui sulbi seorang manusia hidup tetapi secara langsung melalui instrumen kemalaikatan, sebagaimana dalam kasus wahyu kepada ‘Isa sendiri sebagai seorang nabi Allah. Tetapi, Kenabiannya, atau “yang dikabarkan” oleh Firman ilahi, tidak hanya verbal tetapi juga vital, di mana “peniupan” spiritual darinya menjadikan dia sebagai sebuah saluran yang menginmkan Perintah ilahi dengan segala cara. Jadi, berkat cara-cara langsung dari diperanakkannya, ‘Isa dapat berkomunikasi dengan Ruh ilahi tidak hanya secara verbal, tetapi juga secara vital, karena Ruh memeriahkan setiap tingkat.

 

Jadi, dalam hal tertentu, ‘Isa adalah sebuah ruh yang diabadikan dalam bentuk alami, yang tidak lain merupakan Ruh yang diabadikan dalam Hakikat-Nya. Sepanjang bab ini, Ibn ‘Arabi, seperti biasanya, tertarik untuk menjelaskan paradoks tentang “Dia” dan “selain Dia”, untuk mencoba menjelaskan bagaimana ‘Isa, untuk masalah tersebut, lebih merupakan dirinya sendiri ketimbang Diri-Nya, atau sampai batas tertentu adalah ‘Isa sendiri atau Allah yang berbicara dan menghidupkan kembali. Tentu saja, ini adalah persoalan mengenai tema Kesatuan Wujud, yang mendasari dan terus diulang-ulang, yang merupakan esensi di mana penulis mendapati dirinya tidak dapat menjelaskan masalah ini secara memuaskan karena polarisasi yang melekat dalam bahasa.

 

HIKMAH KENABIAN DALAM FIRMAN TENTANG ‘ISA

 

Dari air Maryam atau dari napas Jibril,

Dalam bentuk seorang makhluk hidup yang tercipta dani tanah,

Ruh menjadi eksistensi dalam sebuah esensi

Dibersihkan dari noda Alam, yang disebut Sijjin.”

Karenanya, persinggahannya dipanjangkan,

Berlangsung lama, dengan wahyu, lebih dari seribu tahun.

Sebuah ruh yang hanya datang dani Allah,

Sehingga dia dapat membangkitkan yang mati dan melahirkan burung dari tanah.

Dan menjadi layak untuk dikaitkan dengan Tuhannya,

Di mana dia menggunakan pengaruh besarnya, tinggi dan rendah,

Allah memurnikan dia pada tubuhnya dan membuatnya transenden

Dalam Ruh, dengan membuatnya seperti Diri-Nya dalam mencipta.

 

Ketahuilah, bahwa, karakteristik khas ruh adalah menjadikan segala sesuatu menjadi hidup, sehingga kehidupan pun meliputinya. As-Samiri, dengan demikian, merebut suatu pengaruh dari sang utusan Jibril, yang tidak lain adalah ruh (ar-ruh). Ketika menyadari bahwa ia adalah Jibril, dan mengetahui bahwa semua yang disentuhnya akan menjadi hidup, as-Samiri merampas sesuatu darinya (kekuatan Jibril), baik dengan tangannya ataupun dengan ujung jari-jari tangannya. Kemudian, dia mengubahnya menjadi anak lembu yang terbuat dari emas, sehingga anak lembu itu melenguh, yang merupakan suara yang dihasilkan Iembu tersebut. Dia telah membuatnya dalam bentuk lain, dan bentuk lain itu menghadirkan suara yang selaras, seeperu Ienguhan unta, embikan kambing dan biri-biri, atau perkataan yang jelas dari sosok manusia.

 

Adapun ukuran kehidupan yang menyelimuti sebuah makhluk disebut ilahi, humanitas yang secara unggul menjadi lokus di mana Ruh melekat. Jadi, humanitas disebut ruh lantaran ruh tersebut melekat di dalamnya.

 

Ketika ruh terpercaya (ar-ruh al-amin), yang adalah Jibril, memperkenalkan dirinya kepada Maryam sebagai seorang manusia yang dibentuk secara sempurna, Maryam membayangkan bahwa dia adalah seorang manusia biasa yang memiliki keinginan untuk tinggal dengannya. Maka, Maryam mencari perlindungan sepenuhnya kepada Allah daripadanya, sehingga Allah membersihkan dia dari perhatannya, dengan menyadarkannya bahwa hal itu terlarang.’ Jadi, Maryam mencapai kehadiran sempurna dengan Allah, di mana pencapaian tersebut merupakan penembusan dari ruh yang tidak  terlihat. Ketika Jibnl telah meniupkan ruhnya ke dalam diri Maryam pada saat itu, ‘Isa menjadi merengut, sebagai seorang yang akan dilahirkan karena kondisi ibunya. Ketika Jibril berkata kepada Maryam, “Aku hanyalah seorang utusan dari Tuhanmu, untuk memberimu anak. laki-laki yang suci”, kegelisahan Maryam menjadi hilang dan dia merasa santai. Pada saat itulah sang malaikat meniupkan ‘Isa kepadanya.

 

Pada kenyataannya, Jibril menyampaikan firman Allah kepada Maryam, sebagaimmana seorang rasul menyampaikan firman-Nya kepada kaumnya. Allah berfirman, “Sesungguhnya al-Masih, Isa, putra Maryam adalah utusan-Nya dan (yang terjadi dengan kalimat-kalimat-Nya) yang disampatkan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan ruh dari-Nya.”

 

Hasrat seperti ini menyelimuti Maryam. Tubuh ‘Isa tercipta dari air yang benar-benar milik Maryam dan benih air imajiner (mutawahhum) dari Jibril yang inheren pada embun yang beruup, karena napas dari tubuh yang vital adalah basah yang membenkan unsur air di dalamnya. Dalam hal ini, tubuh ‘Isa dijadikan wujud dari air imajiner dan air sebenarnya, yang tampak dalam bentuk makhluk hidup karena keadaan ibunya sebagai manusia dan penjelmaan Jibril dalam bentuk manusia, karena semua makhluk dalam spesies manusia ini lahir dengan cara biasa.

 

‘Isa mampu membangkitkan orang mati karena dia adalah Ruh Ilahi Dalam hal ini, percepatannya adalah muilik Allah, sedangkan peniupan itu sendiri datang dari ‘Isa, sebagaimana peniupan yang berasal dan Jibnl, sementara kalimatnya dari Allah. Mengenai apa yang dibuat jelas dengan peniupannya, pembangkitan oleh “Isa terhadap orang mati merupakan pengantaran sesungguhnya kepada kehidupan, seperti halnya dia sendiri menjelma dan bentuk ibunya. Tetapi, pembangkitannya terhadap yang mati, juga imajiner, seperti yang datang darinya, karena sebenarnya, ia  datang dan Allah. Jadi, dia menggabungkan keduanya (aktual/sebenarnya dan imajiner) dengan realitas di mana berdasarkan realitas tersebut dia tercipta, karena seperti yang telah kami sebutkan, dia mehhat bahwa dia tercipta dari air imajiner dan air sebenarnya. Dengan demikian, potensi pembangkitan kembali orang mati menjadi hidup diberikan kepadanya, baik secara aktual maupun secara imajiner. Untuk yang pertama, dikatakan mengenainya, “Dia menghidupkan orang yang mati” sedangkan yang terakhir, “Kamu akan meniup padanya (tanah Lait), lalu bentuk itu akan menjadi burung dengan izin Allah,” Kalimat “Dengan izin Allah” adalah “bentuk itu akan menjadi”, bukan “kamu akan meniup.” Kalimat “kamu akan meniup’, dapat dianggap berkaitan dengan “dengan izin Allah”, jika berarti bahwa tanah itu akan menjadi seekor burung dalam bentuk yang pantas, yang memenuhi kebutuhan badaniah. Hal yang sama terjadi pada kasus dengan firman-Nya, “Kamu akan menyembuhkan orang yang buta soak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit lepra”, dan tiap-tiap sesuatu yang lain diberikan kepadanya dan atas izin Allah, seperti juga halnya dengan kiasan, seperti firman-Nya, “Dengan izin-Ku” dan “dengan izin Allah” Jika kata “izin” dihubungkan dengan “Kamu akan meniupkan pada,” lalu orang yang meniup diperkenankan meniup, sehingga burung tersebut hidup melalui tupan seseorang, terapi dengan izin Allah. Jika orang yang meniup melakukannya tanpa jzin, maka hidupnya burung tersebut adalah dengan izin-Nya, di mana dalam kasus tersebut kata “izzin” dikaitkan dengan kalimat “Itu akan menjadi.” Ketika ia tidak demikian sehingga aktualitas dan hipotesis hadir dalam masalah ini, bentuk yang menghasilkan tidak akan memiliki kedua aspek ini, karena keputusan ‘Isa mempengaruhinya.

 

Demikianlah kerendahan hati ‘Isa sehingga kaumnya tunduk, ‘Bahwa mereka mesti membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” Sehingga, seandainya ada di antara mereka ditampar satu pipinya, dia juga akan memberikan yang satunya, dan dia tidak akan balas memukul atau berbalas dendam. Aspek pengajarannya ini berasal dari ibunya, karena wanita itu rendah dan sederhana, berada di bawah laki-laki, baik secara teoretis maupun fisik. Di sisi lain, kekuatan pembangkitannya berasal dart peniupan Jibril dalam bentuk manusia, karena ‘Isa membangkitkan kembali orang mati dalam bentuk manusia. Jika Jibril tidak datang dalam bentuk manusia, tetapi bentuk lainnya, seperti binatang, tumbuhtumbuhan, atau mineral, ‘Isa tidak akan mampu mempercepat orang mati hanya dengan mengambil bentuk itu untuk dirinya dan tampak di dalamnya. Sama halnya, bila Jibril muncul dalam bentuk bercahaya dan di luar bentuk badaniah, yang berada dalam sifat dasatnya, ‘Isa tidak akan mampu membangkitkan kembali orang mati tanpa terlebih dahulu muncul dalam bentuk alaminya yang bercahaya, dan tidak dalam bentuk manusia yang mendasar dari ibunya.

 

Ketika ‘Isa menghidupkan orang mat, selalu dikatakan tentang dia, “Ia adalah dia dan tetapi bukan dia.” Pandangan pengamat dan pikiran kaum cendekia dibingungkan dalam melihat seorang manusia hidup mampu menghidupkan orang mat, baik secara tasional maupun secata fisik, yang merupakan hak prerogatf ilahi. Pengamat akan benar-benar bingung melihat seorang manusia mempertunjukkan perbuatan-perbuatan ilahi.

 

Masalah ini telah mengarahkan orang orang tertentu untuk berbicara mengenai reinkarnasi dan yakni, dengan menghidupkan orang matt, dia adalah Allah. Oleh karena itu, mereka disebut orang-orang  kafir (yang menycmbunyikan), yang merupakan sebuah bentuk penyembunyian, karena mercka menyembunyikan Allah, yang pada Kenyataannya menghidupkan orang mati, dalam bentuk manusia dari ‘Isa. Dia berfirman, “Mereka adalah Orang-orang yang menyembunyikan [kafir] yang mengatakan bahwa Allah adalah al-Masih, putra Maryam.’ Wesalahan dan kekafiran riil dalam pengertian sepenuhnya dari kata itu bukanlah terletak dalam perkataan mereka, “Dia adalah Allah’’, tidak pula “putra Maryam’’, melainkan pada berpalingnya mereka dari Allah dengan memasukkan Allah menjadi bentuk manusia, dalam masalah penghidupan kembali orang mati, untuk kepentingan bentuk makhluk hidup itu sendiri dalam perkataan mereka (Dia adalah) “putra Maryan’, meskipun dia benar-benar putra Maryam. Mendengar perkataan mereka, orang bisa saia berpikir bahwa mereka menyifatkan ketuhanan dengan bentuk tersebut, dengan membuat bentuk itu sendiri, tetapi masalahnya bukan itu, setelah fakta menunjukkan bahwa Identitas Ilahi merupakan subjek dalam bentuk manusia, yang adalah putra Maryam, sehingga mereka membedakan antara bentuk dan penentuannya, tetapi tidak menyamakan bentuk tersebut sebagai prinsip penentuan. Dengan cara yang sama, Jibril mula-mula menjelma dalam bentuk manusia tanpa meniup kepada Maryam; kemudian dia meniup kepadanya. Jadi, peniupan ini dibedakan dari bentuk tersebut, karena, meskipun ia berasal dari bentuk tersebut, ia bukanlah esensinya. Demikian pula, pelbagai macam sekte mempertentangkan wujud ‘Isa.

 

Jika dilihat dalam bentuk manusia partikularnya, orang bisa saia mengatakan bahwa ‘Isa adalah putra Maryam. Jika dilihat bentuk humanitasnya, orang bisa mengatakan bahwa dia berasal dari Jibril, sedangkan bila mempertimbangkan akan penghidupan kembali orang mati, orang dapat berkata bahwa dia adalah Alah sebagai Ruh. Dengan demikian, orang mungkin menyebut dia Ruh Allah, yang, katakanlah, bahwa kehidupan menjadi nyata kepada siapa pun yang dia tiup. Kadang kadang, dengan menggunakan partisip pasif, terbayang bahwa Allah ada dalam dirinya, kadang-kadang bahwa sesosok malaikat berada dalam dirinya, dan di lain waktu kematian dan humanitas. ‘Tentu saja, Dia berdasar pada aspck realitasnya yang mengemuka, tergantung orang yang memandangnya.

 

Dengan demikian, dia adalah Kalimat Allah, Ruh Allah, dan sekaligus hamba Allah, dan manifestasi trio-bagian seperti ini sepantasnya tidak diberikan kepada siapa pun juga. Setiap orang lain dihubungkan dengan ayah formalnya, bukan dengan orang yang meniupkan Ruh-Nya ke dalam bentuk manusia. Allah, ketika menyempurnakan bentuk manusia, sebagaimana Dia berfirman, “Apabila Aku telah menyempurnakannya” meniupkan Ruh-Nya kepadanya, dengan menghubungkan semua ruh dalam wujud dan esensi manusia pada Diri-Nya. Kasus ‘Isa justru sebaliknya. Karena, penyempurnaan tubuh dan bentuk manusianya dikarakteristikkan dalam peniupan ruh—oleh Jibril kepada Maryam—yang tidak berasal dari orang lain. Semua makhluk sesungguhnya adalah kalimat Allah, yang tak ada habis-habisnya, yang memiliki asal karena mereka berbuat dari perintah “Jaddah’’, yang merupakan Kalimat Allah. Dapatkah Kalimat ini dihubungkan dengan Allah sebagat Dia dalam Diri-Nya, sehingga hakikatnya tidak pernah dapat diketahui, atau dapatkah Allah turun ke bentuk-Nya yang mengatakan “Jadilah”, sehingga kata “Jadilah” dapat dikatakan sebagai realitas bentuk tersebut ke mana pun Dia turun dan di mana pun Dia tampak? Beberapa gnostikus mendukung yang pertama, beberapa yang lainnya mendukung yang kedua, sedangkan yang lainnya merasa bingung dan tidak mengetahui kebenaran masalah ini.

 

Masalah ini adalah satu masalah yang hanya dapat diketahut melalui pengalaman langsung, sebagaimana Abu Yazid al-Bistami ketika dia meniup seekor semut yang telah dia bunuh, dan semut itu kemudian hidup lagi.” Pada saat itu, dia mengetahui Siapa yang meniup, sehingga dia mentupkan padanya. Pada kasus ini, dia seperti ‘Isa.

 

Adapun pembangkitan kembali dengan pengetahuan dari kematian spiritual, ia adalah kehidupan ilahi yang abadi, agung, dan berkilauan, di mana Dia berfirman, “Dan apakah orang yang Sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu, dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” Siapa pun yang menghidupkan jiwa yang mat dengan kehidupan pengetahuan berkenaan dengan kebenaran tentang Allah, dengan cara demikian, membawa dia pada kehidupan, sehingga dia memiliki cahaya untuk berjalan di tengahtengah manusia; yaitu mereka yang berbentuk seperti dia.

 

Kalau tidak karena Dia dan karena kami,

Itu tidak akan terjadi.

Kami adalah hamba-hamba yang paling benar,

Dan Allah-lah junjungan kami.

Tetapi kami berasal dari esensi-Nya, jadi mengertilah,

Keika aku katakan “manusia”

Dan tidak dapat diperdayakan oleh (term) “manusia’

Karena Dia telah memberimu suatu bukti.

Menjadilah ilahi (dalam esensi) dan menjadi makhluk hidup (dalam bentuk),

Dan karena Allah, kamu menjadi merasa sangat kasihan.

Kami telah memberi-Nya apa yang nyata pada kami melalui Dia,

Sebagaimana Dia juga telah memberi kari.

Semua masalah dipikul, dibagi,

Antara Dia dengan kami.

Dia Yang Mengetahui dari luar kepala

Menghidupkannya kembali ketika Dia memben kami kehidupan.

Bagi Dia kami adalah eksistensi, esensi,

Dan instansi waktu.

Bagi kami ia tidaklah tetap,

Tetapi hanya sebentar. (Tetapi ia memberi kami kehidupan).

 

Bukti yang menguatkan atas apa yang telah kami katakan mengenai datangnya peniupan spiritual secara bersamaan dengan bentuk manusia yang dasar adalah bahwa Realitas menggambarkan Diri Nya sebagai Napas Sang Pengasih (an Nafas ar-Rahman al-Haqq), dan bahwa semua yang membenkan kontnbusi mengenai sesuatu yang digambarkan, seharusnya melekat pada sifat itu. Anda tahu bahwa napas dalam satu pernapasan amat dibutuhkan. Karena itu, Napas Ilahi menerima bentuk-bentuk kosmik, dalam kaitan dengan sesuatu yang serupa Substansi Primordial (al-Jawhar al-Hayulani), yang merupakan Alam sendin.

 

Unsur-unsur tersebut adalah sebuah bentuk Alam, seperu halnya yang berada di atas mereka dan apa yang mereka bangkitkan, yang merupakan ruh-ruh agung yang berada di atas ketujuh langit.

 

Adapun ruh-ruh dari ketujuh langit dan esensi mercka, yang berasal dan “kabut” yang mereka (unsur-unsur itu) bangkitkan, maka mereka, seperti halnya dengan para malaikat, yang hidup dari setiap langit, adalah mendasar (elemental). Malaikat-malaikat ini mendasar, sedangkan orang-orang yang berada di atas mereka adalah Alam. Karena alasan ini, Allah menggambarkan mereka, yaitu tuan rumah langit, sebagai berada dalam pertentangan, Alam dipertentangkan. Sesungguhnya, Napas-lah yang membawa sahng pertentangan di antara Nama-nama ilahi, yang saling berkaitan. Tetapi, perhatikanlah, bagaimana Esensi Ilahi yang berada di har rezim pertentangan ini, dikarakterisnukkan dengan Kekayaan (al Gina), di luar semua kebutuhan Kosmos. Karena inilah, Kosmos telah dinyatakan dalam bentuk Penciptanya, yang tidak lain adalah Napas Uahi. Sampai batas tertentu, ia  adalah panas, ia adalah tinggi, sedangkan’ sampai batas tertentu juga ia adalah dingin dan berembun, ia  adalah rendah. Selama ia kering, ia  berbaur dan tidak  bergerak, karena hujan berkaitan dengan dingin dan embun. Perhatikan bagaimana seorang dokter ketika dia akan menentukan obat bagi pasiennya, lebih dulu dia melihat sedentasi urin. Netika dia mendapan bahwa ia mempercepat, dia mengetahul pematangan lengkap, dan menentukan obat untuk mempercepat penyembuhan.

 

Ia hanya mempercepat karena keadaan dingin dan kelembaban alaminya.

 

Allah menciptakan manusia ini dari tanah dengan kcdua tangan Nya, yang, mesktipun kecluanya adalah tangan kanan, tetapi tangan itu berlawanan. “Tidak ada penyembunyian perbcdaan di antara mereka, bahkan sekalipun mereka hanyalah dua tangan yang terpisah, karena tidak ada yang mempengaruhi Alam kecuali apa yang sesuai dengannya, dan dia dipolarisasikan; jadi Dia muncul dengan dua tangan. Ketika Dia menciptakan Adam dengan dua tangan, Dia menyebutnya basyar (makhluk hidup, manusia) karena hubungan langsung (mubasyarah) yang diusulkan dengan kedua tangan yang dianggap berasal dari Dia.’* Dia menyucikan manusia ini, sembari mengatakan kepada sesosok yang sebelumnya menolak untuk bersujud di hadapannya, “Apakah yang menghalangi Ramu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah Ramu [merasa] menyormbongkan diri”—yaitu, di depan manusia yang mendasar seperu dirimu, “Ataukah kamu termasuk orang-orang yang [lebih] tinggi? Dengan julukan mulia, Dia memaksudkan orang yang dandanannya berkilauan, berada di luar unsur-unsur tersebut, meskipun dia alami. Satu-satunya kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah dalam wujudnya sebagai basyar (manusia). Sebab, dalam hal ini, dia lebih kuat dari segala sesuatu yang diciptakan tanpa hubungan langsung (mubasyarah) dengan Kehadiran Tlahi. Dengan demikian , manusia menempati posisi di atas para malaikat bumi dan langit; sedangkan Allah telah menentukan bahwa para malaikat agung itu lebih kuat daripada manusia.

 

Barangsiapa yang ingin mengenal Napas ilahi, terlebih dahulu dia mengenal Kosmos, karena “Siapa yang mengenal dirinya, pasti dia mengenal Tuhannya’’, yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain, Kosmos dimanifestasikan dalam Napas ilahi, di mana Allah membebaskan Nama-nama ilahi 1ni dari tekanan yang mereka alami melalui ketidaktampakan pengaruh-pengaruh mereka. Dengan demikian, Dia memberikan penghargaan kepada Diri-Nya Sendiri dengan apa yang Dia ciptakan dalam Napas-Nya. Tentu saja, pengaruh awal dari Napas ini hanya dialami dalam Kehadiran ilahi, di mana setelahnya, bagaimanapun juga ia meneruskan keturunannya dengan sebuah proses pembebasan universal, turun pada sesuatu yang terakhir diciptakan.

 

Secara esensial semua berada dalam Napas,

Seperti cahaya, dalam esensi, dalam kegelapan sebelum fajar.

Pengetahuan (tentang ini) dengan bukti (intelektual)

Adalah seperti munculnya pagi pada orang yang setengah tidur.

Dia merasakan apa yang kami bicarakan,

Dengan cara yang memberinya sebuah petunjuk pada Napas.

Apa yang aku katakan membebaskan dia dari kebingungan,

Seperti dia menceritakan bab ini,

Dia mengerutkan dahi.

Ia memanifestasikan dirinya kepadanya yang

Datang untuk mencari batu bara (dari apinya).

Dia melihatnya sebagai api, tetapi sesungguhnya ia adalah

Sebuah cahaya bagi para raia dan pejalan malam.

Saat kau memaharmi apa yang aku katakan,

Kau akan mengetahui bahwa kau adalah fakir.

Jika dia (Musa) mencari yang selain itu (api),

Dia akan melihatnya di dalamnya, dan bukan sebaliknya.

 

Ketika Sang Realitas menyebut Diri-Nya pada Firman tentang ‘Isa ini dalam maqam “agar Kami mengetahui” walaupun Dia mengetahui dengan baik, Dia bertanya padanya apakah benar atau tidak bahwa hal-hal tertentu telah dihubungkan kepada-Nya, dengan sepenuhnya mengetahui apa yang telah terjadi, sembari mengatakan, “Benarkah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?’’ Adapun etika menuntut agar penanya diberikan sebuah jawaban, karena ketika Dia menampakkan DiriNya padanya dalam maqam dan bentuk ini, hikmah memenntahkan agar jawaban tersebut diberikan dari sudut pandang perbedaan antara pembicara dengan yang diajak bicara, tetapi dengan realitas sintesis yang jelas kelihatan. ‘Isa. menjawab, dengan menegaskan ‘Transendensi Ilahi, “Mahasuca Engkau” yang memberi tekanan pada kata “Engkau”, yang merupakan kata yang secara tidak langsung menyatakan pertemuan dan dialog. “Tidaklah patut bagiku’’, yaitu bagiku ketimbang Engkau, “Mengatakan apa yang bukan hakku”, yaitu apa yang mungkin dibutuhkan identitasku, bukan esensi latenku. “Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya”, karena Engkau adalah pembicara sebenarnya, dan seseorang yang mengucapkan suatu pernyataan mengetahui apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, Engkau adalah hdah yang aku gunakan untuk bicara; seperti yang telah dikatakan Rasul mengenai Tuhannya, dalam kaitan dengan komunikasi ilahi, “Aku adalah lidah yang digunakannya untuk berbicara” Dengan demikian, Dia membuat Identitas-Nya sama dengan lidah si pembicara, yang memberi wejangan kepada hambanya. Lalu, hamba-Nya yang taat memenuhi jawaban tersebut, dengan mengatakan, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku.” Si pembicara tersebut secara esensial adalah Allah, “Tetapi aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau [sebagai bentuk].” Dia mengingkari pengetahuan pada ‘Isa dalam identitasnya sendiri, bukan sebagai pembicara atau sebagai pemilik pengaruh kreatif. Kemudian, dia mengatakan, “Sesungguhnya Engkau” dengan menggunakan kata ganti yang menguatkan untuk menekankan dan memperjelas keterangan selanjutnya, dengan melihat bahwa tidak ada yang mengetahui Yang Gaib kecuali Allah.

 

Jadi, dalam jawabannya, dia membedakan dan mensintesiskan, menunggalkan dan menjamakkan, serta memperluas dan mempersempit. Kemudian, untuk melengkapi jawaban tersebut, dia berkata, “Aku mengatakan kepada mereka hanya apa yang Engkau perintahkan untuk mengatakannya” dengan demikian menunjukkan pengingkaran di mana yang mengatakannya adalah dia. Pengucapan jawaban tersebut memerlukan sopan-santun tertentu terhadap sang penanya. Jika dia sama sekali tidak menjawab, dia akan diangegap tidak memiliki pengetahuan mengenai realitas-realitas, yang tentu saia tidak benar. Perkataannya, “Hanya apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk mengatakannyaa,” adalah seolah-olah mengatakan, “Engkau adalah pembicara pada lidahku, dan sesungguhnya engkau benar-benar lidahku.” Maka, pikirkanlah! Betapa seksama dan tajamnya inumasi ilahi dan spiritual ini.

 

Kemudian dikatakan, “Sembahlah Allah’’ Dia menggunakan nama Allah karena beragamnya pemuia dalam kegiatan pernyaan dan beragamnya tradisi religius mercka. Dia tidak menggunakan satu dari nama-nama tertentu kecuali Nama Allah tersebut yang pada dasarnya telah mencakup semua Nama. Lalu, beltau meneruskan, “Tuhanku dan Tuhanmu” karena pasti bahwa hubungan-Nya dengan satu makhluk, sebagai Tuhan, tidak sama dengan makhluk lainnya. Karena alasan ini, dia membuat perbedaan antara Tuhanku dan Tuhanmu, yang secara terpisah, mengacu pada si pembicara dan orang yang diajak bicara.

 

Ketika dia mengatakan, “Hanya apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk mengatakannya” dia memberikan tekanan pada dirinya sendiri sebagai yang diperintah, yang merupakan pengabdiannya, karena sebuah perintah hanya diberikan pada orang yang dianggap akan mengeluh, apakah dia mau atau tidak. Karena perintah tersebut turun berdasarkan pada rezim tingkatan-tingkatan, segala sesuatu yang dimanifestasikan dalam suatu tingkatan tertentu, dipengaruhi oleh apa yang diberikan kepadanya dengan realitas tingkatan tersebut. Tingkatan “yang diperintah” memilki sebuah rezim yang tampak pada segala sesuatu yang diperintah, sebagaimana tingkatan pemerintahan memiliki rezim yang tampak dalam setiap sesuatu yang memerintah. Ketika Allah berfirman, “Dirikanlah salat” Dia adalah Yang Maha Memerintah (al-Amin), Yang Mewajibkan (al-Mukalh), dan sekaligus juga Yang Diperintah (al-Ma‘mur). Ketika hambanya berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku!” dia adalah pemberi perintah, sedangkan Realitas adalah yang diperintah, karena apa yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya melalui perintah-Nya adalah sama dengan yang dikehendaki si hamba mengenai Sang Realitas dengan perintahnya. Atas dasar ini, orang dapat saia mengatakan bahwa setiap permohonan pasti ditanggapi, sekalipun permohonan tersebut terlambat. Sebagai contoh, orang-orang tertentu yang memiliki kewajiban, ketika diperintahkan untuk salat, bisa saia tidak menunaikan salat tepat pada waktunya, tetapi pemenuhannya tertunda dengan salat di lain waktu, meskipun mereka benar-benar mampu salat tepat waktu. Jadi, tanggapan tidak dapat dielakkan, sekalipun hanya dengan tujuan. Kemudian dia mengatakan, “Aku menjadi saksi terhadap mereka” bukan menyaksikan diriku bersama-sama dengan mereka, sebagaimana ketika dia mengatakan, “Tuhanku dan Tuhanmu, adalah sakst yang mengawast mereka.” Ini karena para nabi mengawasi masyarakat mereka ketika para nabi tersebut bersama dengan mereka.

 

Dia melanjutkan, “Ketika Engkau wafatkan (mengangkat) aku”, yaitu, ketika Engkau mengangkatku pada Diri-Mu, dengan menyembunyikan mereka dariku dan aku dari mereka, “Engkaulah yang mengawasi mereka”, tidak dalam substansi materialku, tetapi dalam substansi material mereka, karena Engkau berada dalam penglihatan mereka, yang memerlukan pengawasan. Kesadaran manusia mengenai dirinya sesungguhnya merupakan kesadaran Allah mengenat dirinya, tetapi dia (‘Isa) telah dianugerahi kesadaran ini dengan Nama, Sang Pengawas (ar-Raqib), yang mengacu pada kesadaranNya. Dengan demikian, dia berharap untuk membedakan dirinya dan Tuhannya, sehingga dia dapat mengetahui bahwa dia sendiri adalah seorang hamba, dan bahwa Allah adalah Tuhannya, dengan mempertimbangkan dirinya sebagai saksi dan Allah sebagai Sang Pengawas. Jadi, dalam hubungan dengan dirinya, ‘Isa pertama-pertama menempatkan kaumnya, sembari mengatakan, “Aky menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka” dengan lebih menganggap mereka keluar dari kesopanan. Tetapi, dia menempatkan mereka terakhir, ketika berbicara mengenai Allah dengan mengatakan, “Engkaulah yang mengawasi mereka”, katena Tuhan mempunyai hak yang lebih tinggi.

 

Kemudian, dia menunjukkan bahwa Allah, Sang Pengawas, juga memberikan nama yang dia gunakan untuk dirinya sendiri ketika dia mengatakan, “Menjadi saksi terhadap mereka.’ Dia mengatakan, “Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”, kata “segala” menunjukkan generalitas dan kata “sesuatu” menunjukkan kata yang tidak khusus. Ini karena Dia adalah saksi setiap sesuatu yang disaksikan, berdasarkan realitas dari sesuatu yang diperintahkan, sehingga menunjukkan bahwa sesungguhnya Allahlah Yang menjadi saksi bagi kaum ‘Isa, dalam perkataannya, “Aku menjadi suksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.” Ini adalah kesaksian Allah dalam substansi ‘Isa, yang menjelaskan bahwa Dia adalah lidah, pendengaran, dan penglihatannya.

 

Allah membicarakan sebuah firman tentang ‘Isa dan sebuah firman tentang Muhammad. Tentang ‘Isa, hal itu karena firman tersebut merupakan ucapan melalui komunikasi Allah yang berhubungan dengannya dalam Kitab-Nya. Adapun bagi Muhammad, karena firman tersebut tetjadi pada Muhammad di sebuah tempat khusus. Dia menghabiskan waktu sepanjang malam untuk mengulanginya dan tidak ada yang lainnya, hingga fajar menyingsing.

 

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalab hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahamulia lagi Mahabijaksana.” Kata “mereka” seperti juga kata “dia” adalah sebuah kata gant ketiadaan (al-gaib). Dia juga berfirman, “Merekalah orang-orang yang kafir” , yang menggunakan kata gant orang ketiga, ketiadaan menyelubungi mereka dari apa yang dimaksudkan oleh para gnostikus dengan “Sesuatu yang disaksikan Yang Ada.” Dia berfirman, “Jika Engkau menyiksa mereka”, dengan kata ganti ketiadaan, yang tidak ada, kecuali selubung yang menyembunyikan mereka dari Allah. Karena itu, Dia mengingatkan mereka akan Allah sebelum kehadiran mereka pada Hari Akhir, sehingga ketika mereka datang, ‘ragi akan memperoleh pengaturan dalam adonan’ dan membuatnya seperti DiriNya. “Maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau” yang menggunakan kata ganti tunggal karena kesatuan yang mereka gunakan untuk eksis.

 

Tidak ada kehinaan yang lebih besar daripada kehinaan para btidak  (hamba), karena mereka tidak memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh apa yang diinginkan Sang Majikan terhadap meteka, dan Dia tidaklah bergaul dengan mereka, seperti yang Dia katakan, “Hamba-hamba Engkau”, dengan kata ganti tunggal. Denpan hukuman, mereka dihinakan, dan tidak ada yang Iebih terhina daripada mercka karena mercka adalah para btidak . Sehingya, kehinaan mereka ditentukan oleh esensi esensi mercka.

 

Dia memaksudkan, “Engkau tidak menghinakan mercka lagi kecuali keadaan perbtidak an mercka yang memaksanya”, “Jika Engkau mengampuni mereka” yaitu, jika engkau melindungi meteka dan kemalangan tertimpanya hukuman, mereka pantas menerima dengan pendirian mercka, atau membuat suatu penutup bagi mercka untuk melindungi mercka dari kemalangan itu dan menghindarkannya dati mereka, “Engkaulah Yang Mahamula” Yang Maha Penghindar (al-Mani), Yang Maha Pelindung (al-Hami). Ketika Allah memberikan nama ini kepada salah seorang hambaNya, Dia Sendiri dijuluki Yang Mahakuat (al-Mu’izz), sedangkan penerima tersebut dinamakan yang mulia (al-aziz). Jadi, Allah sebagai Sang Pelindung, berhadapan dengan keinginan Allah Sang Penuntut Balas (al-Muntaqim), Sang Penghukum (al-Mu‘azzib). Di sini, Dia juga menggunakan sebuah kata ganti yang menguatkan untuk memperjelas segala sesuatunya, ayat tersebut sama dengan firman-Nya, “Sesangguhnya Engkaulah Yang Mengetahui perkara-perkara yang gaib” dan “Sesunggubnya Engkaulah Yang Mengawasi mereka” Dia juga mengatakan, “Engkaulah Yang Mahamulia lagi Mahabijaksana.”

 

Kalimat “Jika Engkau menyiksa mereka… jika Engkau mengampuni mereka” menjadi sebuah persoalan yang urgen bagi Nabi Muhammad, yang dia ulangi sepanjang malam hingga pagi hari, sembari berusaha menemukan jawabannya. Jika dia menerima jawaban dengan segera, dia tidak akan mengulangi persoalan atau pertanyaan tersebut. Allah, karena bagian-Nya, mengemukakan semua alasan secara terperinci kenapa mereka dihukum, dan pada setiap alasan, dia mengatakan kepada Allah, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesunggubnya Engkaulah Yang Mahamulia lagi Mahabijaksana.” Ketika dia merasakan suatu alasan untuk mengambil sisi Allah dalam apa yang dinyatakan kepadanya, dia memberi jawaban yang melawan mereka, bukan jawaban yang membela mereka. Allah menyatakan kepadanya apa yang pantas mereka terima, untuk menekankan kepatuhan kepada Allah dan pembukaan kepada pintu ampunan-Nya yang dinyatakan dalam ayat ini.

 

Dikatakan bahwa ketika Allah menyukat suara hamba-Nya pada saat dia memohon kepada-Nya, Dia menunda balasan-Nya, sehingga hamba tersebut dapat mengulanginya, bukan karena Dia enggan, tetapi karena kecintaan-Nya kepada hamba-Nya tersebut. Maka, Dia disebut Mahabijaksana, dan Yang Mahabiaksana adalah Yang Membagi segala sesuatunya terhadap mereka secara adil pada tempat-tempat yang tepat dan tidak menyimpang dari apa yang diperintahkan dan dibutuhkan oleh realitas-realitas mereka, melalui sifat-sifat, watak, dan kebutuhan mereka. Jadi, frase, Yang Mahabijaksana dan Yang Maha Mengetahui, berada dalam tatanan yang tepat, yang mana Nabi mengulanginya menurut pengetahuan yang mendalam dari Allah, Yang Mahatinggi. Siapa pun yang menceritakannya, semestinya melakukannya dengan cara yang sama, atau lebih baik diam.

 

Ketika Allah membuat seorang hamba pantas untuk mengungkapkan suatu masalah, Dia melakukannya, sehingga Dia bisa membalasnya dan memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, jangan biarkan orang berpikiran bahwa apa yang telah dirasanya pantas, kedatangannya terlambat. Biarkan dia lebih menyamai semangat Rasulullah, yang berkaitan dengan ayat ini, dalam semua keadaannya, sehingga dia bisa mendengarkan melalui pendengaran lahir dan batinnya, atau dengan cara apa pun Allah menyebabkannya mendengar balasan-Nya. Jika Allah memberkati Anda dengan suatu permohonan yang diungkapkan secara fisik, Dia akan membuat Anda mendengar balasan-Nya dengan telinga secara fisik, tetapi, jika Dia memberkati Anda dengan permohonan batin, maka Dia akan membuat Anda mendengar balasan-Nya secara batiniah.

 

CATATAN PENGANTAR

 

SEKALI lagi, dalam bab ini, Ibn ‘Arabi kembali pada salah satu subjek favoritnya, yaitu Rahmat Ilahi. Pada umumnya, ketika dia berbicara tentang Rahmat Ilahi, yang dia maksudkan adalah Rahmat kreatif yang secata luas dan tidak terbatas memberi eksistensi pada esensi-esensi laten dalam jawaban terhadap hasrat kesadaran-Dini ilahi. Tetapi, di sini, dia menunjukkan bahwa Rahmat itu implisit tidak hanya dalam tindakan makhluk kosmuik, tetapi juga dalam peniadaan nasib sial dari tindakan itu, yang akan mengembalikan seluruh wujud kepada Allah semata. Rahmat pertama mengatahkan perhatian (himmah) Allah terhadap penciptaan dan pemeliharaan atas kesan kosmik Diri-Nya, sedangkan Rahmat kedua, memusatkan kembali segala perhatian tersebut kepada Diri-Nya Saja, dalam Kekayaan dan Keunikan-Nya yang sempurna. Melalui yang pertama, Dia dengan bebas memberikan kekuatan dan ke. sadaran-Nya sebagai balasan atas dorongan akan esensi-esensi laten untuk menyadari dalam eksistensi, apa yang secara abadi cenderung terjadi. Melalui yang kedua, Dia dengan keras mengandaikan Kosmos untuk mengaku bahwa, dalam dirinya, tidak ada yang lain kecuali Dia dan untuk mengembalikan sumbernya kepada Dia. Jadi, jenis kedua dan Rahmat ini pada dasarnya sama dengan Kemurkaan ilahi, sedangkan jenis pertama pada dasarnya sama dengan Kesenangan ilahi. Tentu penuh kemurkaan jika dipikir bahwa perlu mencoba untuk meniadakan eksistensi para makhluk dan membebankan kepedihan kepada mereka, bagaimanapun juga, “tidak ada nilai yang menyebutkan.” Dari sudut pandang lain, Rahmat pertama terkait dengan konsep Kehendak ilahi, sedangkan Rahmat kedua terkait dengan Keinginan ilahi. Yang pertama murni terkait dengan kejadian yang eksistensial, sedangkan yang kedua berusaha mendorong untuk bangun kembali dari mimpi eksistensi kosmik pada kesadaran yang lebih jelas dalam hak-Nya semata untuk ada. Tetapi, sesuai dengan Alqur’an VII: 156 dan Hadis, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa dalam Rahmat kedua terkandung yang pertama dan lebih rendah darinya, sehingga menegaskan kelanjutan polaritas Allah Kosmos, tetapi hanya dalam konteks Kesatuan Realitas, karena Kosmos bukanlah bentuk-Nya.

 

Subjek utama lainnya yang dibahas di sini adalah mengenal dominasi atau penguasaan. Kita telah melihat bahwa setiap nabi dipandang sebagai saluran khusus bagi penyebaran Ruh ilahi, yang memprakatsai, memeriahkan, dan menentukan. Jadi, sebagaimana ‘Isa dianugerahi kekuatan spiritual untuk membangkitkan kembali, maka Sulayman juga dianugetahi kekuatan spiritual untuk membuat perubahan-perubahan dengan cara yang dijalankan secara fisik dan mendasar, sebagai tambahan bagi wahyu verbal biasa. Oleh karena itu, banyak nabi, tidak hanya menyebarkan Kalimat Allah sebagaimana biasanya dipahami, tetapi juga beberapa aspek lainnya atau mode kekuatan Ruh kreatif yang menentukan. Pada kasus Sulayman, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa dia dianugerahi kekuatan untuk menguasai dan mengarahkan bentuk-bentuk fisik yang mendasar, tanpa memerlukan ilmu-ilmu tertentu bagi dirinya.

 

Subjek penting lainnya mengenai bab ini adalah konsep penciptaan dari masa ke masa, yang telah kita bahas dalam catatan pengantar pada bab 12.

 

HIKMAH KEPENGASIHAN DALAM FIRMAN TENTANG SULAYMAN

 

“Ia”, berarti surat, “adalah dari Sulayman, …dan ia”, yaitu, kandungan dari surat itu, adalah “dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasth lagi Maha Penyayang.” Beberapa orang menganggap bahwa nama Sulayman di sini diberi keutamaan di atas Nama Allah, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Mereka membicarakan tentangnya dengan cara yang tidak sesuai dengan gnosis Sulayman dari. Tuhannya. Sebenarnya, bagaimana bisa apa yang mereka katakan tepat dalam pandangan tentang apa yang dikatakan ratu Bilqis tentangnya, “Telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia” yaitu, yang mulia baginya. Barangkali mereka disuruh untuk mengatakan hal-hal seperti ini karena Kisra (Kisra. gelar Raia Persia, —peny.) merobek-robek surat dan Rasulullah tersebut, meskipun dia tidak melakukannya sampai dia membaca dan memahami isi surat itu. Bilqis sesungguhnya akan melakukan hal sama, jika dia tidak pantas dihormati sebagaimana adanya, demikian pula dia tidak akan menempatkan namanya sebelum atau sesudah nama Allah menyelamatkan surat tersebut dari kerusakan.

 

Sulayman menyebutkan dua jenis Rahmat, yaitu Rahmat pemberian yang tidak diwayibkan dan Rahmat dari kewajiban yang mengikat, yang keduanya merupakan Yang Maha Pengasih (ar-Rahman) dan Maha Penyayang (ar-Rahim). Sebagai Yang Maha Pengasih, Dia dengan bebas memberi, sedangkan sebagai Yang Maha Penyayang, Dia mengikat dengan kewajiban, meskipun yang terakhir meneruskan dari yang pertama, Yang Maha Penyayang menjadi imphisit dalam Yang Maha Pengasih. Allah telah menentukan Rahmat dalam Diri-Nya bagi hamba-Nya sebagai balasan bagi perbuatan-perbuatan yang dipersembahkan oleh si hamba, yang disebutkan Allah, karena Allah telah membebankan kepada diriNya Sendiri, sehingga dengan perbuatan perbuatan tersebut si hamba bisa mendapatkan Rahmat-Nya, yaitu rahmat clari kewajiban. Para hamba dari jenis ini mengetahui dengan baik bagian apa dari dirinya yang menjadi pelaku perbuatan tersebut, karcna perbuatan manusia dibagi menjadi delapan bagian. Allah telah mecnunjukkan bahwa Dia, pada kenyataannya, adalah identitas setiap bagian, sehingga Dia merupakan satu-satunya perantara, merupakan bentuk itu sendiri yang diberikan kepada hamba. Identtas ini implisit dalam dirinya, yaitu dalam nama hamba sendiri, karena Allah adalah esensi atas apa yang ada dan apa yang disebut makhluk hidup, di mana mana Yang Lahir dan Yang Akhir dapat muncul pada hamba, dengan melihat bahwa dia tidak ada kemudian ada. Demikian halnya, nama Yang Batin dan Yang Pertama adalah milik-Nya karena wujudnya dan perbuatannya tergantung pada-Nya. Dengan demikian, ketka Anda melihat suatu makhluk, Anda sedang melihat Yang Pertama dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.

 

Sulayman benar-benar menyadari pengetahuan ini, yang sesungguhnya merupakan bagian utuh dari “dominion” (al-mulk), yang tidak cocok dengan siapa pun setelah dia, paling tidak dalam manifestasi indriawinya. Muhammad dianugerahi apa yang dianugerahkan kepada Sulayman, tetapi anugerah itu tidak ditunjukkan secara lahiriah. Allah memberi Muhammad kekuatan melebihi jin Ifrit (al-Ifrit) yang datang padanya kepada malam hari untuk menghancurkannya. Dia lalu menangkap dan mengikatnya di pilar masjid sampai pagi, sehingga anak-anak Madinah bermain-main dengannya. Dia mengingat permohonan Sulayman, dan Allah menolaknya, tetapi sementara Sulayman menggunakan kekuatan itu secara lahiriah, Muhammad tidak.

 

Sulayman berbicara tentang sebuah “dominasi” dan bukan dominasi sebagaimana adanya, dan kita tahu bahwa dia mengharapkan suatu dominasi. Kita juga tahu bahwa orang lain berbagi dengannya dalam setiap aspek dominion yang diberikan Allah kepadanya, seperti yang kita ketahui bahwa dia secara khusus diberikan hak istimewa di mana dia menikmati dominion itu dalam totalitasnya dan, seperu yang ditunjukkan oleh tradisi mengenai I frit, bahwa dia sendiri menggunakannya secara lahiriah.

 

Ketika Muhammad tidak berbicara mengenai Ifrit, “Allah menyuruhku untuk mendapatkan yang lebih baik daripada itu’’, kami akan mengatakan bahwa ketika dia pergi untuk menangkapnya, Allah menyuruhnya untuk mengingat doa Sulayman, sehingga dia dapat mengetahui bahwa Allah tidak memberinya kekuatan untuk menangkapnya, karena Allah-lah yang membuangnya. Ketika dia mengatakan bahwa Allah menyuruhnya untuk mendapatkan yang lebih baik daripada itu, kami menyimpulkan bahwa, dengan menganugerahinya dengan suatu kebebasan tertentu untuk bertindak dengannya, Allah mengingatkannya dan dia mengingat doa Sulayman, dengan membuat dirinya menempuh cara yang sama. Dari sini, kita mendapat pelajaran bahwa apa yang disangkal oleh para makhluk setelah Sulayman adalah perwujudan dari dominion tersebut dengan cara universal. Satu-satunya tujuan kami membahas persoalan ini adalah untuk menerangkan dua macam Rahmat yang disebutkan Sulayman dengan dua kata, yang dalam bahasa Arab berbunyi ar-rahman dan ar-rahim.

 

Allah mengikat (membatasi) Rahmat kewajiban dan melepaskan Rahmat pemberian dalam firman-Nya, “Rahwat-Ku meliputi tiap-tiap sesuatu”, bahkan Nama-nama ilahi, yang merupakan hubungan-hubungan rul. Sesungguhnya, Dia melimpahkan mereka melalui kita, karena kita adalah hasil dari Rahmat Pemberian atas Nama-namaa ilahi dan hubungan-hubungan dominikal. Kemudian, Dia membuatnya terikat pada Diri-Nya Sendiri bagi kita dengan manifestasi kita, dan membuat kita mengetahui bahwa Dia adalah identitas kita, di mana kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya Dia memperlakukan denda pada Diri-Nya hanya untuk Diri-Nya Sendiri, karena Rahmat tidak pernah di luar Dia. Oleh Karena itu, kepada siapakah Dia melimpahkan, dengan melihat bahwa hanya ada Dia? Selain keesaan Esensi, ketika membicarakan tentang pelbagai kemampuan makhluk hidup dalam ilmu pengetahuan, orang harus mengungkapkan segala sesuatunya dalam segala rinciannya, sehingga orang mengatakan bahwa orang seperti ini lebih terpelajar dibanding yang lainnya.

 

Ini berarti bahwa cakupan Keinginan (Iradah) ilahi lebih ringkas daripada cakupan pengetahuan iahi, yang menunjukkan watak per bandingan dengan Sifat-sifat ilahi, sebagaimana dengan superioritas cakupan Keinginan-Nya di atas kekuasaan-Nya; sama halnya dengan pendengaran dan penglihatan-Nya. Dengan demikian, semua Nama ilahi dinilai berdasarkan pada kebaikan-kebaikan relanf mereka, satu dengan lainnya, sama juga dengan kasus yang ditunjukkan dalam penciptaan, sehingga orang bisa saia mengatakan bahwa orang seperti itu lebih terpelajar dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun ada Kesatuan Esensi. Seperti juga, dalam menekankan suatu Nama tertentu, orang menamai dan menggambarkannya dengan semua Nama, demikian juga dengan kasus makhluk hidup tertentu, di mana kasus tersebut dikualifikasikan dengan sermua kualitas yang biasanya dibandingkan dengannya. Ini karena setiap bagian dari sang Kosmos adalah totalitas sang Kosmos di mana hal itu dapat diterima pada realitas-realitas aspek sang Kosmos yang terpisah. Jadi, fakta bahwa Identitas Allah merupakan esensi dari Zayd dan ‘Amr, tidaklah bertentangan dengan perkataan kita bahwa Zayd kurang terpelajar dibandingkan ‘Amr, karena Identitas tersebut lebih sermpurna dan lebih pasti pada Zayd ketumbang pada ‘Amr, Nama-nama Ilahi tersebut menjadi tidak ada kecuali hanya Sang Realitas, sebanyak apa pun mereka dapat beragam secara patut. Jadi, Allah sebagai Yang Maha Mengetahui lebih universal dalam cakupan-Nya daripada Dia sebagai Yang menginginkan atau sebagai Yang Kuasa (Qadr), walaupun Dia adalah Diri-Nya dan tidak ada yang lainnya.

 

Jadi, Wahai Kawan! Janganlah mengenal Dia dalam satu konteks dan mengabaikan-Nya dalam konteks lainnya, dan jangan pula menegaskan Dia dalam satu situasi dan menyangkal-Nya dalam situasi lainnya, kecuali kalau Anda menegaskan Dia pada satu aspek di mana Dia menegaskan Diri-Nya Sendiri dan menyangkal-Nya di mana Dia menyangkal Diri-Nya Sendiri, sebagaimana dalam ayat di mana penyangkalan dan penegasan mengenai Diri-Nya dibawa bersamaan. Dia berfirman, “Tidak ada yang menyamai Nya,” yang merupakan suatu penyangkalan, “Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, yang merupakan penegasan mengenai Diri-Nya Sendiri dengan sifat-sifat yang dapat dihubungkan dengan semua makhluk yang mendengar dan melihat. Selalu ada makhluk hidup di dunia ini yang tersembunyi dari kesadaran akan beberapa orang, yang akan ditunjukkan di Akhirat pada semua manusia, ia menjadi Tempat Kehidupan (ad-Dar al-Hayawan), seperti juga dengan dunia yang rendah ini, meskipun kehidupannya tersembunyi dari hamba-hamba tertentu, sehingga perbedaan dan variasi derajat-derajat di antara hamba-hamba Allah mengenai apa yang mereka pahami tentang realitas-realitas sang Kosmos dapat ditunjukkan.

 

Sang Realitas tersebut lebih jelas pada orang yang memuilki kesadaran universal daripada orang yang kurang memiliki universalitas seperti itu. Jadi, janganlah tertipu oleh perbedaan yang tampak dari hal-hal yang diciptakan ke dalam penyangkalan seseorang yang menyatakan bahwa ciptaan tidak lain dan Identitas Sang Realitas. Saya baru saia memperlhatkan perbedaan di antara Nama-nama Allah, yang mana Anda tidak meragukan Realitas, signifikansi Nama-nama tersebut berada pada Yang Satu yang dinamai oleh mereka, yang tidak lain adalah Allah, Yang Mahatinggi.

 

Lalu, bagaimana Sulayman bisa memberikan keutamaan pada namanya di atas Nama Allah, sebagaimana mereka katakan demikian, dengan melhat bahwa dia hanyalah bagian dari keseluruhan yang diciptakan dalam Rahmat ilahi Sesungguhnya, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang semestinya diuraikan lebih dahulu untuk menegaskan ketergantungan orang yang menerima Rahmat tersebut. Tentu saja, meletakkan lebih dulu orang yang seharusnya terakhir dan meletakkan terakhir orang yang seharusnya pertama pada posisinya yang pantas, menentang semua realitas yang diterima.

 

Dalam hikmah dan pengetahuannya yang mulia, Bilqis tidak menyebutkan orang yang mengiriminya surat, sehingga para penasihatnya dapat menyadari bahwa dia berhubungan dengan halhal tertentu yang tidak mercka rasakan. Inilah jalan Allah dalam masalah dominion, karcna seandainya pun sarana informasi yang sampai pada seorang penguasa tidak dikctahui oleh orang lain,’ rakyat dari kerajaan itu sangat berhati-hati dalam menggunakan kemauan bebas mereka dan tidak melakukannya begitu saia kecuali mengenai hal-hal yang lebih dulu telah dipikirkan untuk mereka oleh penguasanya, sehingga aman dari akibat-akibat buruk yang mungkin ada dan tindakan bebas seperti itu. Jika hal itu cocok dengan mereka melalui seseorang yang memberitahukan sang penguasa, mereka akan melindunginya dan menghargai Orang itu sampai mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan, dan sang penguasa tidak akan mendengar tentang itu.

 

Ratu Bilqis mengatakan, “Telah dikirimkan kepadaku sebuah surat yang mulia”, tanpa menyebutkan si pengirim, karena alasan politik. Dia telah menurunkan rasa kagum terhadap rakyat dan penasihat-penasihat dekatnya, dan juga telah menggunakan hak yang lebih tinggi terhadap mereka. Mengenai keunggulan manusia di atas jin yang mendengar tentang rahasia watak dan hakikat tertentu segala sesuatu, hal itu dapat diketahui dari ukuran waktu, karena “kedipan matamu”, lebih cepat dibandingkan dengan gerakan orang yang beranjak dari duduknya, gerakan mata yang merasakan sasarannya lebih cepat dibandingkan gerakan tubuh ketika berpindah dari tempatnya. Ini disebabkan karena waktu yang digunakan untuk berkedip dan untuk berpindah adalah sama seperti ketika mencapai sasarannya, tidak peduli jaraknya antara yang merasakan dan yang dirasakan, karena tidak ada waktu lagi bagi mata untuk membuka dibandingkan pandangannya untuk mencapai bintang-bintang yang berbaur, seperti juga halnya dengan menutup mata tidak lebih lama dibandingkan menghentikan kedipan. Beranjaknya seseorang tidak sama dan tidak sarna cepat. Dengan demikian, Asaf Ibn Barkhiyyah membuktikan secara lebih baik mengenai ini dibandingkan Jin, karena ucapan dan tindakannya mengambil tempat di waktu yang sama. Pada saat itu, Sulayman melihat dengan mata kepalanya sendiri singgasana Ratu Bilqis benar-benar terletak di hadapannya, dan dia membayangkan bahwa dia sedang melihat singgasana itu tetap di tempatnya sendiri tanpa dipindahkan. Kita tidak mengetahui tentang pemindahan yang sekejap itu. Tentu saja, penyebabnya—mengenai singgasana tersebuttidak terjadi dengan cara yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Dia Yang memberitahu kita mengenainya dalam firman-Nya, “Sebenarnya, mereka dalam keadaan yang ragu-ragu tentang penciptaan yang baru”, meskipun tidak ada selang waktu di mana mereka tidak melihat apa yang sedang mereka perhatikan. Jika ia seperti yang kami katakan; maka waktu hilangnya dari tempatnya adalah sama dengan kehadiran Sulayman, berkat pembaruan penciptaan dengan napas. Tidak ada orang yang memiliki  suatu pengetahuan pun mengenai wahyu ini, tentu saia tidak ada orang yang menyadari akan fakta dalam dirinya bahwa, dengan setiap napas, dia tidak dan masih menjadi wujud lagi.

 

Oleh karena itu, jangan mengatakan “kemudian’’, yang secara tidak langsung menyatakan suatu selang waktu, karena kata Summa i dalam bahasa Arab secara tidak langsung menyatakan sebuah proses sebab dan akibat dalam keadaan-keadaan khusus, seperti yang dikatakan pujangga, Seperti tormbak yang melesat, kemudian ia bergetar.

 

Saat lesatannya adalah sama dengan saat getarannya. Dia mengatakan “kemudian’’, meskipun tidak ada selang waktu. Sama halnya dengan pembaruan penciptaan dengan napas, waktu dari ketidakberadaan sesuatu adalah waktu dari keberadaan semacamnya, seperti halnya dengan pembaruan aksiden-aksiden menurut kaum Asy’ariyyah.

 

Masalah perolehan singgasana Bilqis tidak berbeda dengan sebagian besar persoalan-persoalan teologis lainnya, kecuali bagi mereka yang memiliki pengetahuan batin mengenai apa yang telah kami katakan tentang itu. Asaf-lah satu-satunya yang berjasa dalam hal ini sehingga dia mempengaruhi pembaruan dalam istana Sulayman. Orang yang benar-benar mamahami apa yang telah kami katakan, akan menyadan bahwa singgasana tersebut tidak meliputi jarak, sehingga tidak ada tanah yang ditutup demi singgasana itu, tidak pula ditembus. Ia terjadi dengan cara-cara seorang pengikut Sulayman sehingga menjadi sesuatu yang lebih besar bagi Sulayman pada hati orang-orang di kala itu, dibandingkan bagi Bilqis dan para sekutunya.

 

Hal ini karena Sulayman adalah sebuah karunia dari Allah kepada Dawud, dan Dia berfirman, “Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulayman.“ Karunia adalah pemberian sesuatu sebagai penghargaan dani si pemberi, bukan sebuah tanda persetujuan atau hadiah. Karunia ilahi seperti ini adalah penghargaan yang sempurna, penjelasan yang tidak bisa dibantah, dan tanda yang terang. Mengenai pengetahuan Sulayman, Dia berfirman, “Dan Kami telah memberikan pengertian kepada Sulayman,” meskipun ada penilaian yang bertentangan mengenai Dawud, walaupun Allah menganugerahi keduanya penilaian dan pengetahuan.” Pengetahuan Dawud adalah pengetahuan perolehan yang dianugerahkan kepadanya secara tidak langsung oleh Allah, sedangkan pengetahuan Sulayman adalah pengetahuan Allah Sendiri tentang hal itu, Dia menjadi hakim dalam masalah ini tanpa perantara, karena Sulayman sendiri merupakan eksposisi Allah dalam kejujuran sempurna. Demikian juga, orang yang berusaha keras dan membuat keputusan tepat mengenai masalah yang telah digariskan Allah, apakah itu terjadi karena usahanya sendiri atau berdasarkan pada apa yang telah diilhamkan Allah kepada Rasul-Nya, mendapatkan dua anugerah, sedangkan orang yang membuat keputusan salah hanya memiliki satu anugerah, yang pertama menggunakan pengetahuan dan penilaian. Nah, masyarakat Muhammad telah dianugerahi tingkatan dari Sulayman dan Dawud dalam hal penilaian. Betapa baiknya masyarakat itu!

 

Ketika Bilqis melihat singgasananya, dan mengetahui adanya jarak yang besar dan kemustahilan, dalam pandangannya mengenai berpindahnya singgasana dalam waktu singkat, dia mengatakan, “Seakan-akan singgasana int adalah singgasanaku,” sehingga menegaskan apa yang telah kami katakan mengenai pembaruan penciptaan yang sama. Demikianlah, hal ini yuga menegaskan perintah ilahi, karena pada saat penciptaan kembali, secara esensial kamu sama seperti kamu sebelumnya.

 

Petunjuk Sulayman mengenai istana tersebut adalah karakteristik dari pengetahuannya yang sempurna. Bilgis disuruhnya, ‘Masuklah ke dalam istana”, yang lantainya diratakan dengan kaca yang halus. Ketika dia melihat lantai tersebut, dikiranya lantat itu adalah sebuah danau yang dalam, sehingga, “disingkapkannya kedua betisnya” agar ait di dalamnya tidak akan mambasahi gaunnya. Sulayman kemudian menjelaskan kepadanya bahwa penglihatan atas singgasananya adalah menurut cara yang sama, yang lebih adil atas masalah tersebut. Dengan demikian, Sulayman memperlihatkan kepada Bilqis betapa perkataannya benar, “Seakan-akan singgasana ini adalah singgasanaku.” Kemudian, Bilqis berkata, “Ya Tuhanku, sesunggubnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan kini aku tunduk dengan Sulayman’, yaitu, ketandukan Sulayman, “Kepada Allah, Tuhan semesta alam.” Dia tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan bukan kepada Sulayman sendiri, yang adalah bagian dari semesta alam.

 

Bilqis tidak terbatas dalam ketundukannya, tidak ada yang melebihinya kecuali para rasul dalam hal keyakinan mereka kepada Allah, tidak seperti Fir’awn yang mengatakan, “Tuhan Musa dan Harun.” Meskipun sampai batas tertentu Fir’awn sama dengan Bilgis dalam hal ketundukannya, tetapi kekuatan Fir’awn itu lemah, sementara Bilgis memiliki pemahaman yang lebih besar ketimbang dia dalam ketundukannya kepada Allah. Itu karena Fir’awn adalah subjek bagi tekanan waktu, dengan mengatakan, “Aku beriman kepada apa yang diimani oleh Bani Isra’il”, jadi menetapkan keyakinannya. Dia melakukannya hanya karena dia mendengar para tukang sihir yang mengatakan tentang keyakinan mereka terhadap Allah, “(yaitu) Tuhan (Allah) Musa dan Harun”

 

Ketundukan Bilgis sama dengan ketundukan Sulayman, dengan memperhatikan bahwa dia mengatakan, “Bersama Sulayman,” sambil mengikuti semua ajaran yang diyakini Sulayman. Dengan cara yang sama, kita berada di jalan yang sama dengan Jalan Lurus di mana Tuhan berada di atasnya, gombak kita berada dalam genggaman-Nya, dan tidak mungkin kita terpisah dan-Nya. Kita bersama-Nya dengan tujuan dan kita bersama-Nya dengan keterangan, karena Dia berfirman, “Dia bersama kamu di mana pun kamu berada.” Kita bersamanya dengan fakta bahwa Dia memiliki kita dengan gombak, dan Dia bersama Diri-Nya Sendiri ke mana pun dia akan membawa kita ke jalan-Nya, setiap sesuatu di dalam Kosmos berada di sebuah jalan yang lurus, yang merupakan jalan Tuhan. Dengan demikian, Bilgis belajar dari Sulayman dan mengatakan, “Kepada Allah, Tuhan semesta alam” tanpa menyebut suatu alam tertentu.

 

Adapun Kekuatan penundukan yang dianugerahkan kepada Sulayman dan dibuat lebih kuat dibandingkan yang lainnya, dan dominion yang diberikan Allah kepadanya dan tiada yang diberiNya setelah dia, signifikansinya terletak pada fakta bahwa Kekuatan penundukan tersebut didapatkan darinya, sebagaimana Dia berfirman, “Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut arah mana saia yang dikehendakinya.” Masalah penundukan itu sendiri bukan merupakan inti dari permasalahannya, karena Allah berfirman, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya ” dan Dia telah menyebutkan penundukan.angin, batu-batu, dan hal-hal lainnya. Intnya adalah bahwa hal-hal ini tidak muncul oleh perintah kita, tetapi oleh perintah Allah. Apa yang membuat Sulayman istimewa dibandingkan kita? Jika Anda mau memahami, adalah bahwa dia dapat menyebabkan hal-hal di atas dengan perintahnya sendiri, tanpa memerlukan konsentrasi spiritual atau memerlukan penggunaan kekuatan spiritual. Kami mengatakan seperti ini karena kami mengetahui bahwa tubuh-tubuh kosmik rentan terhadap kekuatankekuatan jiwa yang muncul pada maqam sintesis spiritual tersebut, setelah mengamati hal-hal demikian sepanjang Jalan itu. Namun, Sulayman hanya perlu mengucapkan perintahnya terhadap apa pun yang dia inginkan terhadap subjck, tanpa memerlukan keadaan-keadaan tertentu.

 

Ketahuilah! Semoga Allah menolong Anda dan kami dengan Ruh-Nya, bahwa anugerah yang diberikan kepada seorang hamba tidak menyebabkan dominion apa pun yang bisa dia peroleh di Akhirat, tidak pula dihisab atasnya, meskipun Sulayman memohonkannya dari Tuhannya. Pengalaman terhadap Jalan tersebut menuntut bahwa Sulayman terlebih dahulu diberikan apa yang dipunyai oleh orang lain, yang akan dijadikan teguran jika mereka dianggap menginginkannya di Akhirat. Allah berfirman kepadanya, “Inilah anugerah Kami”, tanpa mengatakan “atas kamu” atau apa pun yang lainnya, dengan meneruskan, “Maka bertkanlah atau tahanlah dengan tiada pertanggungjawaban.” Dari pengalaman spiritual di Jalan tersebut, kami mendengar bahwa permohonannya untuk hal itu dibuat atas perintah Tuhannya. Jadi, ketika sebuah permohonan dibuat dengan perintah ilahi, orang yang memohon sepenuhnya dihargai karena permintaannya.

 

Sang Pencipta memenuhi kebutuhan yang tersirat dalam apa yang dimohon, jika Dia menghendakinya, atau jika Dia tidak mengabulkannya, karena hamba tersebut telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya untuk mematuhi perintah-Nya dengan memandang bahwa yang dia minta adalah berasal dari Tuhannya. Jika dia memohon atas inisiatifnya sendiri ketimbang atas perintah Tuhannya, Dia akan memanggilnya untuk menghitung permohonan itu. Ini adalah kasus mengenai segala yang dimohonkan kepada Allah, seperti firman-Nya kepada Nabi kita Muhammad, “Katakanlah, Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku pengetahuan.” Dengan demikian, dia mematuhi perintah Tuhannya dan dia pernah mencari pengetahuan yang lebih banyak, sehingga ketika dia dibawakan susu, dia menghargainya sebagai sebuah simbol pengetahuan. Dia pernah sekali bermimpi bahwa dia telah diberi semangkuk susu, yang dia minum, dengan memberikan apa yang tersisa pada ‘Umar Ibn al-Khattab. Ketika dia ditanya bagaimana dia menginterpretasikannya, dia mengatakan bahwa dia memandanegnya sebagai pengetahuan. Sama juga, ketika dia dibawa pada Perjalanan Malam (Isra), malaikat memberinya sebuah bejana yang berisikan susu dan minuman lainnya. Dia meminum susu tersebut dan sang malaikat berkata padanya, “Kamu telah mencapai keadaan primordial [atas spiritualitas yang dibawa sejak lahir]; semoga Allah memberkatimu dan umatmu.” Dengan demikian, kapan pun susu terlihat dalam pandangan, susu itu merupakan citra dari pengetahuan, sebagaimana Jibril memperlihatkan dirinya kepada Maryam dengan menyamar sebagai seorang yang tampan.

 

Ketika Muhammad bersabda, “Semua manusia itu tidur dan ketika mereka mati, barulah mereka terbangun” yang dia maksudkan adalah bahwa segala yang dilihat manusia di dalam hidupnya adalah sama dengan apa yang dilihat orang yang sedang tidur; dengan kata lain, sebuah fantasi yang membutuhkan penafsiran.

 

Semua kejadian adalah sebuah imajinasi,

Dan sebenarnya juga sebuah realitas.

 

Yang benar-benar memahamt ini,

Telah mencapai rahasia-rahasia sang Jalan.

 

Jadi, ketika susu diberikan kepadanya, dia mengatakan, “Allah memberkati kami dengan susu ini dan menambahkannya kepada kami!” karena dia memandangnya sebagai sebuah citra pengetahuan, yang merupakan tambahan di mana dia diperintahkan untuk mencarinya. Ketika sesuatu selain susu ditawarkan, dia mengatakan, “Ya Allah, berkatilah kami dengan susu ini dan berilah kami makanan dengan apa yang lebih baik daripadanya.” Oleh karena itu, Allah tidak memangeil stapa pun untuk dihitung (dihisab) di Han Akhir karena apa yang telah Dia berikan merupakan jawaban dani permohonan yang diperintahkan. Tetapi, ketka Allah memberi sesuatu sebagai jawaban untuk suatu permohonan yang tidak diperintahkan-Nya, maka Allah akan memanggil hamba itu untuk dihisab atau tidak, sebagaimana yang dikendaki-Nya. Saya benar-benar berharap, dan terutama mengenai pengetahuan, bahwa Dia tidak akan memanggil untuk dihisab, karena perintah-Nya kepada Nabi-Nya untuk mencari suatu peningkatan dalam ilmu pengetahuan berlaku sama bagi umatnya. Allah berfirman, “Telah ada pada diri Rasullullah itu suri teladan yang baik bagimu” dan teladan apakah yang paling baik bagi orang yang mengenal Allah daripada pengikutan kepada Muhammad mengenai perintah Allah ini? Ketika kami menguraikan maqam Sulayman secara lengkap, Anda akan menemukan sesuatu yang mengagumkan. Sebab, sebagian besar orang terpelajar dalam hal Perintah ini tidak mengetahui apa-apa mengenai maqam Sulayman, tidak pula mereka mengetahui masalah yang mereka bilang mengetahuinya.

 

CATATAN PENGANTAR

 

NABI DAWUD, seperti halnya semua nabi yang menonjol dalam karya ini, adalah konteks manusia khusus dan istimewa bagi aspek istimewa Hikmah ilahi. Dalam hal ini, merupakan pengangkatan personalnya terhadap jabatan khalifah, yang fungsinya dalam pengertian umum kemungkinan besar dipakai secara bersama-sama oleh seluruh umat manusia. Manusia, bagi Islam secara umum dan Sufisme secara khusus, sebagaimana telah disebutkan dalam Pengantat, adalah hamba dan sekaligus wakil Allah (khalifah) yang telah ditunjuk, sehingga penciptaan mikrokosmik unik yang merefleksi dalam rupanya baik dalam keterciptaan Kosmos maupun kreativitas Allah, berasal dan keduanya, atau malah sama sekali bukan dan keduanya.

 

Sebagai khalifah, manusia tidak boleh lalai memperdulikan Tuhannya dengan selalu mengingat (zikr) bahwa atas Nama-Nya dia bertindak dan memerintah, selalu berada dalam bahaya dosa akibat pendewasaan diri atau penyekutuannya (syirk) dengan Allah, sebagai identitas yang terpisah. Seperti dijelaskan dalam bab ini, jabatan khalifah terdiri dari dua jenis, yang pertama berkaitan dengan hal-hal spiritual dan ketuhanan, sedangkan yang kedua mengatur tata tertib Kosmos, yang satu di bagian dalam (batin) dan bersifat menycluruh, sedangkan yang lainnya di luar (lahir) dan terbatas pada warisan religius tertentu. Jenis pertama berkaitan dengan Hikmah batiniah, yang disebutkan dalam Alqur’an, yang mendorong manusia untuk menguatkan kembali komitmennya terhadap keunikan Identitas ilahi dan untuk tidak menonjolkan dirinya dalam Kesatuan Wujud ilahi. Jenis kedua berkaitan dengan wahyu Kitab Suci yang mendorong manusia untuk memerintah dan menentukan sekian banyak persoalan rumit di dunia ini, yang merupakan jenis di mana Dawud secara personal ditempatkan, sesuai dengan Alqur’an XXXVIII: 26, bukan ditempatkan secara tidak langsung oleh kekuasaan manusia, sebagaimana umumnya dalam satu hal, melainkan ditempatkan secara langsung oleh Allah Sendiri.

 

Kekhalifahan lahiriah hanya diberikan kepada nabi-nabi dan tasul-rasul tertentu atau kepada para penggantinya, baik dengan cara ditunjuk, dengan pemilihan, atau dengan bersifat kodrat, terpisah dari umumnya kekhalifahan yang harus dipatuhi dalam semua kekuasaan dan aktvitas manusia. Jabatan batiniah biasanya secara lebih langsung diberikan kepada seorang wali yang ditunjuk untuk menjadi pemancar khusus bagi kekuasaan dan kekuatan spiritual. Tidak ada keraguan lagi bahwa bagi Ibn ‘Arabi, kekhalifahan batiniah adalah jabatan yang lebih besar, dan dalam pandangan misi spiritualnya yang istimewa, dia mungkin menganggap bahwa dia sendiri memperoleh keistmewaan ini. Tetapi, dia lekas menunjukkan bahwa orang seperti itu pada dimensi lahirnya akan selalu menyesuaikan diri dan memberikan kesetiaan kepada Hadis Nabi atau rasul di mana dia ditakdirkan hidup.

 

Namun, Dawud adalah satu-satunya individu yang ditunjuk dengan sebutan pada jabatan ini, dan karenanya, dia mengabadikan dirt dan kehidupannya sehingga Hikmah pemerintahan yang istimewa itu sendiri adalah sebuah mode penyingkapan Ruh pada manusia.

 

Bab ini diakhiri dengan pembahasan lain mengenai ketegangan antara Keinginan ilahi, seperti diungkapkan dalam Syariah, dan Kehendak eksistensial, sebagaimana yang dimanifestasikan oleh apa yang benar-benar terjadi dalam Kosmos ini.

 

HIKMAH WUJUD DALAM FIRMAN TENTANG DAWUD

 

Ketahuulah, bahwa, karena Kenabian dan Kerasulan adalah anugerah ilahi yang istimewa, maka tidak ada persoalan tentang akuisisi jasa (al-iktisab). Maksudku, terutama, Kenabian Legislauf (an-Nubuwwah at-Tasyri’). Anugerah-Nya kepada mereka mengenai hal ini adalah murni pemberian dan bukan merupakan penghargaan dalam hal apa pun yang menuntut segala bentuk imbalan kepada mereka, pelimpahan-Nya kepada mereka adalah masalah anugerah dan penyaringan. Dia berfirman, “Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub’, yang maksudnya adalah Ibrahim, sang Pelindung,. ‘Terhadap Ayyub, Dia berfirman, “Dan Kami anuggerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tarmbahkan) kepada mereka sebanyak. mereka pula.’? Terhadap Musa, Dia berfirman, “Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun, menjadi seorang nabi” dan contoh-contoh sama lainnya.

 

Mereka ditanarmkan sejak awal dan dalam semua atau sebagian besar keadaan mereka, atas nama-Nya Yang Maha Memberi. Dia berfirman kepada Dawud, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud karunia”, tidak ada kaitannya dengan maksud apa pun mengenai balasan atas diberikannya dia perintah, tidak pula ada suatu kesan bahwa hal tersebut diakui sebagai sebuah balasan atau imbalan. Ketika Allah menuntut syukur, dia menuntutnya dari kaumnya, demikian juga Dia tidak lalai menyebut Dawud, sehingga kaumnya dapat bersyukur kepadanya atas apa yang telah Dia limpahkan kepada Dawud. Pada kasus Dawud, hal ini merupakan pemberian anugerah dan karunia, sedang dalam kasus kaumnya, sebuah balasan itu diperlukan, sebagaimana firman-Nya, “Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah), karena sedikit sekak dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” Jika para nabi bersyukur kepada Allah atas anugerah dan pemberian-Nya kepada mereka, itu bukanlah sesuatu yang dituntut Allah dan mereka, tetapi merupakan sesuatu yang muncul secara sukarela dan dalam diri mereka sendin, seperti halnya ketka sang Rasul berdiri sampai kedua betisnya menjadi bengkak, sambil bersyukur kepada Allah karena telah mengampuni dosa-dosanya di masa lalu dan di masa datang. Ketika seseorang bertanya kepadanya mengenai masalah int, dia menjawab, “Bukankah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” Allah berfirman mengenai Nuh, “Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur’,’ walaupun hanya sedikit hamba Allah yang juga bersyukur.

 

Anugerah pertama yang diberikan Allah kepada Dawud adalah bahwa Dia memberi kepadanya sebuah nama, bukan salah satu dari huruf-huruf di dalam surat yang terkait, di mana dia mengasingkan diri dari dunia dan memberitahu kita mengenai dia dengan nama dia sendiri, huruf-hurufnya adalah dal, alif, dan waw. Di sisi lain, Dia menamai Muhammad dengan sebuah nama yang mengandung huruf-huruf yang bertalian dan tidak bertalian, dengan mana Dia mengikatkan Muhammad pada Diri-Nya dan memisahkannya dari dunia, jadi menggabungkan dua pernyataan dalam namanya. Inilah terutama yang membedakan antara Muhammad dengan Dawud; maksudku, keterangan mengenal Muhammad dari namanya. Dalam kasusnya, keterangan ini lengkap mengenai setiap kemuliaan, seperti halnya dalam nama Ahmad, yang merupakan hikmah Allah?

 

Berkenaan dengan anugerah-Nya kepada Dawud, Dia juga menyebutkan kembalinya gunung-gunung dan keagungan gununggunung tersebut. Gunung-gunung itu mengagungkan Allah karena keagungan Dawud, sehingga gerak gunung-gunung itu menyesuaikan dengan geraknya. Hal yang sama terjadi pada kasus burungburung, Allah memberi Dawud kekuatan dan mempertalikan kekuatan itu kepadanya. Dia juga memberinya hikmah dan risalah terakhir untuk segala urusan. Akhirnya, anugerah dan penghargaan terbesar yang Allah pilihkan kepadanya adalah bahwa Dia melengkapi kekhalifahan khusus untuknya, yang tidak dilakukan-Nya kepada manusia lain, meskipun ada wali di antara mereka. Dia berfirman, “Hai Dawud, sesunggubnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”, yang maksudnya, segala sesuatu selain wahyu-Ku yang muncul dalam pikiranmu dalam menggunakan penilaianmu. “Kalau tidak, ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah” yaitu, jalan yang diberikan kepada para rasul. Kemudian, Dia memperingatkan Dawud dengan firmanNya, “Barangsiapa yang sesat dart jalan Allah, akan ada hukuman yang berat, karena mereka telah melalaikan Hari Perhitungan.” Dia tidak mengatakan, “Jika kamu menyimpang dari jalan-Ku, kamu akan dihukum seberat-beratnya.”

 

Kalau ditunjukkan bahwa kenabian Adam juga diistimewakan, kami menjawab bahwa keistimewaannya tidak seistimewa kenabian Dawud, karena Dia berfirman, “Aka hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” bukan, “Aku hendak menjadikan Adam seorang khalifah di muka bumi.” Bahkan seandainya Dia telah mengatakannya, maka itu tidaklah sama seperti mengatakan, “Kami menjadikanmu seorang khalifah”, sebagaimana dalam kasus Dawud. Kalau pernyataan selanjutnya sudah jelas, tidak ada keraguan, maka pernyataan yang terdahulu tidak jelas, karena tidak ada penyebutan lebih lanjut mengenai Adam yang mengikut, yang berarti bahwa dialah sang khalifah yang diistimewakan Allah. Oleh karena itu, perhatikanlah baik-baik apa yang diberitahukan Allah kepada kita mengenai hamba-hamba-Nya!

 

Demikian juga dalam kasus Ibrahim, sang Kekasih, Dia berfirman, “Aku akan menjadikanmu pemimpin (imam) bagi seluruh manusia” bukan seorang khalifah. Bisa saia ini demikian kalau kita mengetahui bahwa kepemimpinan di sini maksudnya juga kekhalifahan. Tetapi, hal ini tidak akan sama karena Dia tidak secara khusus menyebutnya kekhalifahan. Perincian yang lebih jauh mengenai kekhalifahan Dawud adalah bahwa kckhalifahannya adalah kekhalifahan tentang penilaian, yang hanya datang dari Allah, ketika Dia berfirman, “Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil”, sedangkan kekhalifahan Adam mungkin bukan dalam tingkatan ini. Kewalian Adam didasarkan pada fakta bahwa dia menggantikan siapa pun yang telah ada sebelumnya, dan bukan karena dia adalah utusan Allah terhadap makhluk-Nya dengan kekuatan penilaian Allah di atas mereka. Jika benar dia demikian, maka menjadilah demikian, tetapi kami di sini hanya mermbahas mengenai apa yang telah ditetapkan dengan jelas.

 

Di muka bumi ini, Allah memiliki wakil-wakil yang ditunjuk olehNya, dan wakil-wakil tersebut adalah para rasul. Kalau kekhalifahan di waktu sekarang berasal dari para rasul dan bukan langsung dari Allah, karena mereka hanya menilai dari apa yang telah ditetapkan oleh sang Rasul kepada mereka dan tidak lebih dari itu. Tetapi, di sini, ada satu titik halus, yang hanya dimengerti oleh Orang-orang seperu kita, mengenai penentuan kriteria penilaian secara langsung dari apa yang telah ditetapkan bagi sang Rasul. Orang yang menentukan kekhalifahannya dari sang Rasul sampai pada penilaian dari Tradisi (syari’ah) Rasul atau dengan usahanya sendin, juga teriharm oleh Tradisi tersebut. Namun, di antara kita, ada orang-orang yang menentukannya secara langsung dari Allah, yang merupakan khalifah-khalifah yang ditunjuk Allah dengan cara yang sama dan yang kritenanya terlihat pada mereka dengan cara seperti pada sang Rasul sendiri. Orang-orang seperti ini datang untuk mengikuti sang Rasul hanya karena penilaian mereka tidak ada yang menyangkalnya, seperu kasus yang terjadi pada ‘Isa ketika dia akan datang dan menilai, atau sebagaimana dalam kasus sang Nabi dalam firman-Nya, “Mereka itulah yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk, mereka.” Orang seperti ini istimewa dan mulia di mana dia menyadari tentang bentuk derivasinya, yang menempati posisi yang sama dengan sang Rasul yang menegaskan Syariah para rasul yang mendahuluinya. Oleh karena itu, kita mengikutinya dalam penegasannya terhadap mereka, bukan dalam aturan yang diberikan kepada orang orang sebclum dia. Dengan demikian, asal-mula penilaian, sebagai khalifah, dari Allah adalah sama dengan kasus sang Rasul. Secara esoteris, kami akan mengatakan bahwa dia adalah seorang khalifah dart Rasul Allah.

 

Sang Rasul wafat tanpa menunjuk seorang penggant, karena dia mengetahui bahwa seseorang nantinya akan menerima kekhalifahan dari Tuhannya dan menjadi seorang khalifah yang ditunjuk secara langsung oleh AHah, walaupun dengan menyesuaikan diri dengan Syariah yang diberikan. Oleh karena itu, ketika dia mengetahui hal ini, dia tidak menetapkan hukuman sebelum memeriksa masalahnya.

 

Allah memiliki khalifah-khalifah di antara para makhluk-Nya yang diambil dari ‘sumber’ (ma’din) Rasul dan para rasul yang telah mereka ambil sendiri, dan mereka mengetahui pentingnya rasul terdahulu, karena seorang rasul selalu terbuka pada wahyu yang baru. ‘Tetapi, khalifah itu sendiri dalam hal ini tidak terbuka, sebagaimana demikian halnya seandainya seseorang adalah rasul. Ketika dia mengatur, dia hanya mengemukakan pengetahuan dan penilaian yang demikian seperti disesuaikan dengan apa yang telah diberikan sang Rasul. Jadi, dani luarnya, dia adalah seorang pengikut, tidak sama dengan rasul-rasul lainnya. Perhatikan bagaimana orang-orang Yahudi meyakini dan membaptiskan ‘Isa sepanjang sebagaimana mereka menganggap bahwa dia telah membawa Musa, sama halnya dengan kasus perwalian ini berkaitan dengan sang Rasul. Tetapi, ketika dia memperluas atau mencabut keputusan yang diberikan Musa, ‘Isa menjadi seorang rasul, dan mereka tidak dapat menerima hal itu, karena dia berlawanan dengan konsep-konsep mengenai dia sebelumnya. Orang-orang Yahudi menolak adanya kebenaran masalah ini dan oleh karenanya memutuskan eksekusinya, cerita tersebut telah diceritakan kepada kita oleh Allah dalam Kitab-Nya. Dengan menjadi seorang rasul, dia terbuka pada wahyu baru, baik dengan membatasi keputusan yang telah dibuat atau dengan menambahkannya, pembatasan menjadi sesuatu yang ditambahkan, — tidak ada keraguan. Kekhalifahan saat ini tidaklah termasuk dalam jenis ini, harena hanya putusan putusan yany diambil oleh penilaian pribadi yang mungkin bisa ditambahkan atau dibatasi, bukan Syariah yang diajarkan dan disebarluaskan melalui bibir Muhammad.

 

Kadang-kadang, seorang wali bisa mengatakan sesuatu untuk menentang beberapa tradisi dalam sebuah penilaian, dan barangkali bisa dibayangkan bahwa hal ini berasal dari penilaian pribadi, padahal ini tidak. Pada kasus setmmacam ini, pemimpin yang dipersoalkan secara batin tidak yakin mengenai tradisi kerasulan, sebaliknya dia akan menilai berdasarkan itu. Jika itu sebenarnya merupakan semacam tradisi yang diriwayatkan oleh seorang manusia yang jujur dari manusia lainnya, orang seperti ini tdaklah kebal dari khayalan atau penyebaran prasangka. Hal-hal seperti ini terjadi pada seorang khalifah, seperti juga terjadi pada ‘Isa. Karena dia datang lagi, dia akan menghapuskan aturan-aturan yang tidak bisa dipungkin berdasarkan atas penilaian-penilaian pribadi. Dengan demikian, akan mengklarifikasi kebenaran yang dibawa Muhammad, dan sama sekali tidak ada masalah mengenai pemimpin-pemimpin umat yang saling bertentangan yang ada dalam satu wahyu. ‘Tentu saja, kita mengetahui bahwa ketika sebuah wahyu diturunkan berdasarkan suatu masalah, itu akan sesuai dengan salah satu pendapat yang bertentangan, dan itu akan menjadi keputusan tlahi mengenai masalah tersebut, segala yang lainnya akan menjadi jelas, jika didukung oleh Realitas, sehingga Umat ini dapat dibebaskan dari tekanan dan bahwa keputusan Allah dapat disebarkan keseluruhannya.

 

Adapun perkataan, “Jika kesetiaan dibayarkan kepada dua khalifah, maka bunuhlah yang kedua”, hanya digunakan pada kekhalifahan luar, yang menggunakan pedang.’’ Sesungguhnya, sekalipun kedua khalifah ini saling setuju, salah seorang dari mereka harus dibunuh. Tidaklah demikian dengan kekhalifahan spiritual, yang di dalamnya tidak termasuk pembunuhan, tindakan demikian hanya dapat dipakai pada bentuk bagian luar. Masalah pembunuhan ini dalam kekhalifahan, yang meskipun tidak menikmat status bagian dalam, namun merupakan wakil dari Rasulullah, jika memang demikian, past ditlhami oleh kemungkinan dua tuhan yang dibayangkan, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa,” sekalipun mercka saling setuju. Tetapi, demi kepentingan argumen, mereka tidak saling setuju, keputusan salah satu dari mereka akan dibawa, sehingga salah satu dani mereka akan menjadi tuhan atas yang lainnya.

 

Dari sini, orang mungkin menank kesimpulan bahwa setiap keputusan yang dibawa yang mempengaruhi dunia pada saat int merupakan keputusan Allah, karena pada kenyataannya hanya keputusan Allah-lah yang memiliki pengaruh, sekalipun keputusan itu terlihat menentang keputusan yang telah ditetapkan bagian luar yang disebut Syariah (Hukum). Ini karena setiap hal yang terjadi dalam Kosmos didasarkan pada keputusan Kehendak ilahi dan tidak dengan sendirinya sesuai dengan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Syariah, meskipun pembentukannya berasal dan Kehendak ilahi. Pembentukannya dibawa dengan cara yang khusus, yaitu cara Kehendak ilahi mengenai penegasan dengan aktualisasi, tetapi tidak dengan menjamin pemberlakuannya. Otoritas Kehendak ilahi itu besar sekali, sehingga Abu Talib al-Makki menyebutnya Mahkota Esensi (Arsy Az-Zat), karena Mahkota itu menentukan efektivitas keputusan ilahi. Sesungguhnya, tidak ada yang terjadi atau gagal terjadi dalam eksistensi tanpa Kehendak ilahi. Ketika Perintah ilahi terlihat ditentang oleh apa yang dinamakan “ketidakpatuhan” (ma’siyyah), karena perintah ini merupakan perintah yang tidak langsung—melalui perantara nabi atau rasuldan bukan merupakan Perintah yang Eksistensial. Dalam konteks perintah dari Kehendak ilahi, tidak ada manusia yang bisa meJawan Allah dalam segala hal yang dilakukan-Nya. Itu mungkin hanya terjadi dalam kasus perintah yang tidak langsung, jadi pahamilah! Sebenarnya, Kehendak tersebut hanya ditekankan untuk menciptakan gerak itu sendiri dan bukan mengenai alatnya. Jadi, hal ini akan menjadi absurd karena ini tidak muncul menjadi wujud. Tetapi, pada contoh-contoh tertentu, mungkin dapat dilihat sebagai penyesuaian terhadap perintah-Nya, yang mendatangkan pujian atau makian, seperti halnya kasus yang mungkin. Jika masalahnya kemudian seperti apa yang telah kami katakan, maka semua ciptaan pada akhirnya menuju kebahagiaan yang besar, apa pun bentuknya. Hal ini dijelaskan dengan fakta bahwa Rahmat mencakup segala hal dan mengambil keutamaan di atas Kemurkaan-Nya, sehingga Rahmat dikedepankan. Ketika sesuatu dipersiapkan oleh yang kemudian mengalaminya, maka yang terdahulu mengambil alih dan Rahmat menyentuhnya, karena tidak ada yang lain yang memiliki keutamaan. Ini kemudian merupakan makna perkataan bahwa RahmatNya mendahului Kemurkaan-Nya, dengan mensyaratkan segala yang berhubungan dengannya, karena hal itu berada pada tujuan akhir ke arah mana segala sesuatunya berjalan. Kejadian ini tidak terelakkan, sehingga pencapaian Rahmat dan pemisahannya dari Kemurkaan juga tidak terelakkan. Rahmat ini menguasai segala sesuatu yang menghadapinya, berdasarkan setiap kondisi hal yang memerintahnya. Barangsiapa yang mengerti, dia adalah saksi dari apa yang Kami katakan,

 

Tetapi bagi orang yang tidak mengerti, dia akan dilanda kegelisahan.

Tidak ada keraguan atas apa yang telah Kami sebutkan, jadi yakinilah,

Dan jadilah orang yang bertanggung jawab atas keadaan diri sendiri.

Apa yang telah kami alami, telah Kami ajarkan kembali kepadamu,

Dan kamu telah memiliki apa yang telah Kami berikan kepadamu.

 

Adapun “pelunakan besi” (talyin al-hadid), maksudnya bahwa hati yang keras/beku dilunakkan oleh teguran dan peringatan, seperti halnya besi yang dilunakkan dengan api. “Kesulitan” mengacu pada hati yang lebth keras dari batu, batu yang terbelah dan mengeras, yang tidak mampu dilunakkan oleh api. Hanya dia yang mampu melunakkan besi itu sehingga dia dapat bekeria membuat baju pelindung yang terbuat dari besi, sebagai sebuah ayah dari Allah. Dengan kata lain, sesuatu dapat terlindungi hanya dengan perlawanan dari dirinya sendiri, sehingga, orang terlindungi dari tombak, pedang, dan pisau dengan baju besi. Jadi, dalam takdir Muhammad, dikatakan, “Aku memohon perlindungan dari Engkau agar selalu dalam lindungan-Mu”, jadi mengertilah. Ini kemudian menjadi rahasia pelunakan besi, dan Dia adalah Sang Penuntut balas (al-Muntaqim), Sang Penyayang (ar-Rahim), Sang Pemberi kabul (al-Muwafiq).

 

CATATAN PENGANTAR

 

NAMA Nabi Yunus yang ada dalam judul bab, tentang kisah penyelamatan Yunus dari perut ikan hiu dan penghindaran oleh . Tuhan dari penduduk Nineveh ini, membantu kita untuk menggambarkan tema utama bab ini, yang merupakan sifat dasar kondisi manusia dan bagaimanapun juga merupakan hal yang pentng untuk menjaga hidup manusia dari segala marabahaya.

 

Sebagaimana disebutkan dalam Pengantar, Islam, sesuai dengan semangat semua tradisi keagamaan utama, memandang keadaan manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang menjadi mikrokosmik, yaitu bahwa keadaan itu mencerminkan realitas kosmik dan realitas ilahi, sebagian malaikat, sebagiannya lagi binatang. Para Sufi menggambarkan manusia sebagai “Isthmus” (barzakh) antara Allah dan Kosmos, yang pada dasarnya menghubungkan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, yang semuanya merupakan media yang penting di mana Allah merasakan Din-Nya terwujud dalam Kosmos, dan di mana Kosmos mengakui sumbernya dalam Allah, tetapi yang, seara terpisah, tiada referensi spiritual atau kosmiknya, tidaklah ada kecuali hanya suatu absurditas.

 

Dengan demikian, keadaan manusia, yang merupakan lambang Manusta Sempurna, adalah sangat mulia dan dihargai di atas segala keadaan eksistensi lainnya, dan yuga menyedihkan serta yang bukan bukan (nonsensical), di luat konteks polaritas Allah-Kosmos, ia bukan merupakan sesuatu tetapi tidak pula yang lainnya; sesungguhnya ia tidak ada sama sekali.

 

Tujuan keseluruhan hidup manusia adalah realisasi kesempurnaan dan kelengkapan yang implisit dan potensial dalam keadaan manusia, sehingga setiap manusia yang lahir, di satu sisi, mempersembahkan kesempatan mulia lainnya bagi pemenuhan potensi manusia untuk menjadi, di satu sisi, wakil ketmanan dari kehambaan kosmik dan, di sisi lain, penyalur sempurna bagi dominion spiritual. Jadi, dalam bab ini, Ibn ‘Arabi merasa perlu menunjukkan betapa pentingnya hal ini, baik bagi Allah maupun manusia, untuk melindungi setiap kehidupan manusia, selama itu memungkinkan, dan untuk menghancurkannya hanya ketika perbuatan-perbuatan manusia secara efekuf membatalkan hak-hak istimewa yang menyertai keadaannya.

 

Sebagaimana dikatakan pengarang kita, salah satu tujuan dari kesempatan manusia, sepanjang itu memungkinkan, adalah menjadi alat sempurna bagi kesadaran-Diri Allah dalam citra yang terefleksikan yaitu Kosmos. Cara paling baik untuk melakukan ini, yang sesungguhnya merupakan cara paling baik dari segala perbuatan manusia, adalah dengan mengingat (zikr) Allah, bukan hanya dengan menyebut Nama-Nya dengan lidah manusia itu sendiri, tetapi dengan mengilhami setiap anggota dan setiap keadaan dengan pengingatan tersebut, karena Allah selalu bersama dan mengingat segala sesuatu yang mengingat-Nya. Sebaliknya, manusia yang benarbenar melalaikan dirinya, melalaikan kemanusiaannya, seperti halnya dia melalaikan Tuhannya, maka dia menebus keadaan itu dan menjadi “yang paling rendah dari yang rendah (yang serendah-rendahnya)” (Q.S. XCV: 5), merasa risau dan tercerai dalam keragaman Kosmos yang tidak terbatas, karena hanya ilahiah-lah yang menghangatkannya, sehingga dia melindungi kesatuan dan keutuhannya sebagai seorang manusia.

 

Kesimpulannya, Ibn ‘Arabi membahas subjek kematian dan keadaan di Akhirat. Dia berpendapat bahwa kematian, jauh dari menjadi sebuah akhir—karena sebenarnya tidak ada yang bisa berakhir kecuali Dia mengakhirinya—lebih merupakan pembubaran unsur-unsur dan aspek-aspek beragam yang membentuk sintesis manusia ini dan penerimaan-kembali mereka, masing-masing mengacu pada jenisnya sendiri-sendiri. Jadi, identitas dan kesadaran pribadi benar-benar, sekali lagi, apa yang selalu ada dalam realitas, menjadi Identitas-Nya, sedangkan bagian-bagian unsur pokok tubuh fisik yang beragam, kembali pada keadaan kosmiuk aslinya, dengan menjadi diri mereka sendiri tidak lebih dari aspek-aspek dari BentukNya. Dengan demikian , tidak ada yang bisa hilang atau lupa dalam pengertian yang sesungguhnya, dengan melihat bahwa tidak ada yang lain selain Dia Yang tidak pernah mau.

 

Menyusul subjek tentang kematian ini, Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa, karena Kemurkaan ilahi itu lebih rendah dan Rahmat ilahi, maka hukuman Neraka di Alam Akhirat tidak mungkin abadi atau sepenuhnya, dengan melihat bahwa semua itu pada akhirnya dan tak bisa ditawar-tawar lagi berada di Jalan Lurus, taat kepada Kehendak ilahi dan mutlak kembali kepada sumber mereka kepada-Nya. Oleh karena itu, keselamatan kita, pada akhirnya, terletak pada realitas Kesatuan Wujud yang tidak dapat dicabut. Menurut beberapa tokoh Sufi, bahkan Setan sendiri hanya memiliki motif terbaiknya untuk tidak menaati perintah Allah untuk sujud di hadapan Adam, di mana, dengan merasa sebentar saia dalam diri manusia, dia tidak dapat membawa dirinya untuk berhubungan dengan apa yang dia lihat sebagai bergantung dengan Allah. Jadi, benar bahwa persepsi khayal dan pengalaman ‘kelainan’ kita merupakan kesedihan, kematian, dan kegagalan kita.

 

HIKMAH NAPAS DALAM FIRMAN TENTANG YUNUS

 

Ketahuilah bahwa penciptaan manusia ini, dalam segala kesempurnaan spiritual, fisik, psikisnya, diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya Sendiri, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia Yang memiliki  hak keputusan, Yang telah Menciptakan, baik melalui tangan-Nya yang selalu ada dalam banyak hal, maupun dengan perintah-Nya. Barangsiapa yang menerimanya tanpa perintah Allah, menyalahkan jiwanya sendiri, melampaui batas-batas Allah, dan mencari kehancuran dirinya yang tugas tepatnya telah diperintahkan Allah. Memang, perhatian untuk memelihara hamba-hamba Allah lebih baik dari membunuh mereka dari suatu kesetiaan yang berlebthan kepada Allah.

 

Dawud berhasrat membangun Rumah Suci dan dia telah mencoba melakukannya beberapa kali. Namun, setiap kali dia menyelesaikannya, rumah itu runtuh. Ketika dia mengeluh kepada Allah mengenai hal ini, Allah berfirman kepadanya, “Rumah-Ku tidak dibangun dengan tangan orang yang telah menumpahkan darah.” Dawud kemudian berkata, “Wahai Tuhanku, apakah itu tidak terjadi karena kehendak-Mu?” Allah berfirman kepadanya, “Tentu saja, tetapi bukankah mereka adalah hamba-hamba-Ku?” Kemudian Dawud berkata, “Wahai Tuhanku, kalau begitu biarlah rumah itu dibuat oleh seseorang dani golonganku”, Allah kemudian memberitahukannya bahwa putranya, Sulayman, akan membangunnya.’

 

Moral di sini berkaitan dengan pemeliharaan yang tepat mengenai penciptaan manusia ini, dan bahwa membangunnya lebih baik daripada menghancurkannya. Apakah Anda tidak mempethatikan bagaimana Allah telah menakdirkan pajak untuk memperoleh hak memilih dan menakdirkan gencatan senjata untuk menghadapi musuh-musuh Agama, sehingga Dia dapat menyelamatkan mereka? Dia berkata, “Jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah padanya dan bertawakallah kepada Tuhan” Apakah kamu juga tidak memperhatikan bagaimana, dalam kasus pembalasan, kelompok yang dirugikan terdorong untuk meminta tebusan atau untuk memaafkan, dan bahwa jika dia menolaknya, orang tersebut mungkin terbunuh? Tentu saja, ketika ada banyak kelompok yang dirugikan, di mana satu kelompok siap untuk menerima pembayatan, pada saat yang lainnya menuntut eksekusi, maka yang terdahululah yang keputusannya diterima, sehingga dapat menghindarkan orang yang bersalah dari kematian. Sang Rasul juga bersabda tentang pemulik tali kulit (nis’ah), “Jika dia membunuhnya, maka dia tidak lebih baik daripadanya.” Allah berfirman, “Balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa’,’ dengan mengacu pada pembalasan sebagai suatu tindak kejahatan, meskipun itu legal, “Tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Tuhan” karena dia berada dalam citra-Nya. Jadi, siapa pun yang memaafkan dan tidak membunuh akan dihargai oleh-Nya Yang memiliki citra, karena Dia paling benar atasnya, yang telah menciptakannya untuk berada dalam citra-Nya. Ini karena Allah terwujud dalam nama, Yang Lahir, hanya melalui eksistensinya, sehingga siapa pun yang menjaganya, maka dia menjaga Allah.

 

Manusia tidak pantas mengutuk dirinya sendiri, kecuali hanya karena perbuatan yang berubah darinya. Perbuatan ini tidak sama seperti kemanusiaannya sendiri, dan inilah yang sedang kita bicarakan. Meskipun sesungguhnya tidak ada perbuatan kecuali milikNya, di antara perbuatan manusia dianggap patut disalahkan, sedangkan yang lainnya dipuji. Mengungkapkan kesalahan untuk tujuan pribadi seseorang menjadi perbuatan yang pantas dikutuk di mata Allah, karena hanya sesuatu yang disalahkan Syariah-lah yang benar-benar pantas dikutuk. Celaan terhadap Syariah adalah suatu hikmah yang hanya diketahui oleh Allah dan oleh orang yang dipandang Allah mengetahuinya, sebagaimana Dia telah menakdirkan pembalasan bagi orang yang melampaui batas-batas Allah. “Dalam pembalasan itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal” Orang-orang seperti ini adalah mereka yang merasakan esensi segala sesuatu dan mereka yang telah menemukan rahasia hukum-hukum Allah. Ketika Anda telah menyadari bahwa Allah memelihara penciptaan manusia ini dan kemunculannya, Anda sendiri seharusnya menjaga segalanya secara lebih, yang akan membawa Anda pada kebahagiaan. Ini Karena, selama seseorang masih hidup, dia memiliki kesempatan untuk mencapai kesempurnaan yang dia ciptakan, sehingga siapa pun yang mencoba menghancurkannya berarti mencegah pencapaian yang telah dibuatnya.

 

Betapa baiknya apa yang dikatakan sang Rasul tentang Allah, “Haruskah kukatakan kepadamu tentang sesuatu yang lebih baik daripada melawan musuh, menyerang mereka, dan diserang oleh mereka; ini adalah pengingatan akan Allah.’ Ini karena hanya manusia yang mengingat Allah-lah yang benar-benar menghargai nilai sesungguhnya penciptaan manusia ini, karena Allah merupakan kawan bagi orang yang mengingat-Nya, dan kawan tersebut dirasakan oleh orang yang ingat. Jika si pengingat tidak merasakan Allah, Yang merupakan kawannya, maka orang itu bukanlah seorang pengingat sejati, karena ingatan akan Allah mengalir ke seluruh organ bagian hamba yang sesungguhnya. Ini tidak berarti seseorang yang memohon kepada-Nya hanya dengan lidahnya saja, sehingga hanya lidah tersebut yang merasakan Dia, yang tidak sama dengan anggapan kebanyakan manusia. Anda mestinya berusaha memaharmi rahasia yang tersirat dalam ingatan Orang-orang yang benar-benar lalai. Tentu saja, pihak orang lalai yang memohon kepada Allah itu tidak diragukan lagi saat ini bersama Allah, dan orang yang ingat adalah kawannya. Tetapi orang lalai itu tidak mengingat, dan Allah tidak sudi menemani orang yang tidak mempedulikan.

 

Manusia itu beragam dan bukan esensi tunggal, sedangkan Allah adalah Esensi tunggal, tetapi beragam dalam hal Nama-nama ilahi. Demikian juga manusia dalam banyak hal, dan pengingatan oleh satu organ bagian tidak menunjukkan pengingatan oleh bagian lain dari dia. Allah bersama dengan bagian yang mengingat-Nya, selebihnya digolongkan sebagai manusia lalai. Diniseayakan bahwa ada organ bagian dari seseorang yang mengingat Allah di mana di bagian itu Allah hadir, sehingga bagian yang lainnya dapat bertahan dcngan penjagaan-Nya karena satu bagian itu. Sang Realitas, layaknya mati, tidak memerintahkan untuk menghancurkan penciptaan ini, karena masalah pematian tidak menjadi keputusan-Nya. Allah mengambilnya untuk Diri-Nya Sendin, “Dan hanya Dia-lah yang mendatangkan segala masalah.”

 

Ketika Allah mengambilnya untuk Diri-Nya, Dia menciptakan tubuh gabungan, bukan tubuh secara fisik, dari suatu jenis yang sesuai dengan alam di mana dia dikirimkan, yang merupakan bagian dari kehidupan abadi karena keseimbangan di sana. Di sana, dia tidak akan pernah mati, tidak pula bagian-bagiannya terpisah lagi.

 

Mengenai para penghuni Neraka, mereka pada akhirnya akan sungguh-sungguh mencapai kebahagiaan, tetapi tetap di dalam Neraka itu juga, karena setelah masa hukuman, Neraka tersebut pasti menjadi dingin dan aman, yang merupakan kebahagiaan mereka. Kebahagiaan orang-orang yang berada di Neraka, setelah memenuhi hak-hak tertentu dari hokuman, sama dengan kebahagiaan Ibrahim ketika dia diturunkan ke api (Neraka) tersebut. Dia dipaksa dengan pemandangan tersebut dan dengan apa yang terbiasa dia pikirkan, menjadi cukup yakin bahwa ini adalah sesuatu yang akan mengganggu apa saia yang mendekatinya, tanpa mengetahui tujuan Allah di balik itu untuk dirinya. Tetapi, setelah semua siksaan mental ini, dia merasa sejuk dan aman, meskipun dia melihat sendiri warna dan bentuk dari api itu. Bagi orang-orang di sana, hal itu dilihatnya sebagai api, yang menunjukkan bahwa seseorang dan sesuatu yang sama dapat kelihatan berbeda dari pelbagai pengamat. Yang demikian ini merupakan manifestasi-Diri (tajalli) Allah.

 

Setiap orang bisa mengatakan bahwa Allah memanifestasikan Diri-Nya seperti itu atau bahwa Kosmos, yang dilihat, adalah sepera Allah dalam manifestasi Diri-Nya. Manifestasi ini terlihat beragam di mata orang yang menyaksikan menurut kacamata mereka sendiri, atau kacamata mereka yang beragam karena keragaman manifestasi tersebut. Semua ini bisa saia terjadi sesuai dengan realitas-realitas ketuhanan. Jika ini demikian, maka siapa pun yang mati atau terbunuh tidaklah kembali kepada Allah ketika dia mau, Allah tidak akan menyebabkan kematian seseorang atau perintah eksekusinya. Segalanya berada dalam jangkauan-Nya, sehingga tidak akan ada kerugian apa pun yang nyata. Dia memerintahkan eksekusi dan menitahkan kematian, yang terjamin dalam pengetahuan bahwa hamba-Nya tidak akan pernah melarikan diri dari Dia, melainkan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya, “Kepada-Nyalah segala urusan dikembalikan’,’ yang artinya adalah bahwa segala penyelesaian terletak di tangan-Nya, Sang Pengatur (al-Mutasarrif), tidak pula ada sesuatu dari Esensi-Nya yang berada di luar Dia. Sesungguhnya, Identitas-Nya merupakan esensi setiap sesuatu, sebagaimana yang diungkapkan dengan kalimat, “Kepada-Nya segala urusan kembali.”

 

CATATAN PENGANTAR

 

BAB ini dibuka dengan penjelasan tentang semua yang mencakup hakikat Realitas. Ditunjukkan bahwa Allah ditemukan tidak hanya dalam sesuatu yang “tinggi’’, “di atas”, dan “agung”, tetapi juga dalam sesuatu yang secara tradisional dipikirkan sebagai sesuatu yang duniawi, “rendah”, “ke bawah”, dan “di bawah”, sehingga “Ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah’ (QS. II: 115). Jadi, walaupun ada “hembusan” napas dan pancaran cahaya dari Ruh yang menghidupkan, ia tidak mungkin dapat menjadi demikian tanpa matrik yang menerima “air” dari Alam, yang mendasani dan menyokong struktur kehidupan Kosmos (Kursi). Walaupun Ruh merupakan tanda kehidupan Realitas, Alam secara rendah dan pasif merupakan bahan awal kehidupan tersebut yang tidak mungkin memiliki kehidupan formal. Menurut ajaran logika Ibn ‘Arabi, tidak ada dalam eksistensi yang tidak hidup dalam banyak cara, karena tidak ada sesuatu melainkan Dia Yang tidak mungkin mati. Seperti yang kemudian ia katakan dalam bab ini, kita, sebagai Kosmos dan makhluk, sebagai wujud sementara, wujud rendah, pada kenyataannya berada dalam bentuk Nya, sedangkan Dia, melalui Ruh Nya yang meliputi segala sesuatu, adalah identitas kita, sehingga tidak ada satu pun sama sekali yang dapat dikatakan yang bukan Dia.

 

Sebclum beranjak untuk mencermati keadaan Ayyub dan pelajarannya bagi kita, Ibn ‘Arabi secara ringkas menyinggung per soalan kesesmbangan dan harmoni sebagaimana antara dua arus besar dari penciptaan kosmik dan reintegrasi ilahi, antara Kebahagiaan dan Keharuan-Nya. Dia menyarankan bahwa persoalan ini hanya dapat dipecahkan dalam Kesatuan Wujud Itu Sendiri yang tak terlukiskan, tetapi tidak dalam keadaan kita sebagai manusia, yang terombang-ambing sebagaimana perbuatan di antara Keinginan Allah yang amat penting dengan dorongan hat dani Kehendak kreatif, dan di mana penekanan yang berlebihan atas apa yang dianggap “batik” secara tak terelakkan menyebabkan ketakseimbangan dengan hal atas apa yang dianggap “buruk”’, walaupun eksis melalui Kehendak Allah.

 

Dalam membahas keadaan Ayyub, pengarang kita memberikan kesan bahwa kesabaran penuh secara sederhana bukanlah penolakan yang keras kepala untuk menyuarakan sebuah keluhan, tetapi lebih merupakan penolakan cerdas yang tergiur melalui ilusi bahwa beberapa yang lain selain Allah dapat membawa pertolongan atas penderitaan. Permohonan kepada Allah, baginya sungguhsungguh bukanlah suatu tanda ketidaksabaran, tetapi lebih merupakan indikasi dan pembalasan esensial antara dirinya sendiri dengan Allah, Allah di dalamnya dan dia di dalam Allah. Selanjutnya, penderitaan adalah sebuah ujian dan rangsangan dari Allah untuk membangunkan hamba-Nya terhadap realitas hubungan ini, sehingga kegagalan untuk menanggapi permohonan adalah serupa dengan ketakpedulian atas Realitas-Nya.

 

HIKMAH YANG GAIB DALAM FIRMAN TENTANG AYYUB

 

Ketahuilah bahwa rahasia kehidupan itu menembus air, yang ia sendiri merupakan asal dari segala unsur dan empat penyokong, Jadi, Allah membuat “dari air segala sesuatuyang hidup.” Sungguh, tidak ada yang dapat hidup sebagaimana tidak ada yang dapat melagukan pujian kepada Allah, sekalipun kita tidak dapat memahami pujian-pujiannya, melainkan melalui penyingkapan (Kasyf) ilahi. Hanya segala sesuatu yang hiduplah yang dapat memanjatkan doa. Oleh karenanya, segala sesuatu hidup dan segala sesuatu memiliki asal mula dari air.

 

Apakah Anda tidak memikirkan Kursi (al-Arsy), bagaimana ia menghentikan air dan mengambil dari air, Ia mengapung di air, yang menyokongnya dari bawah. Dalam cara yang sama, sesudah Allah menciptakan manusia sebagai hamba, manusia menjadi arogan dan menginginkan di atas-Nya. Meskipun begitu, Allah menyokong “kemuliaan” hamba-Nya ini dari bawah, dengan mengabaikannya sebagaimana dia dari dirinya sendiri, yang disinggung dalam sabda Nabi, “Sekalipun kamu melepaskan sebuah tali, tali itu akan jatuh kepada Allah,” Ini menunjukkan bahwa Allah dapat dipikirkan sebagai “di bawah’’, seperti juga, “di atas”’ dalam firman-Nya, “Mereka takut kepada Tuhan Yang berkuasa dé atas mereka’, dan firman-Nya, “Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya.’’ Semua yang di atas dan yang di bawah adalah kepunyaan-Nya. Jadi, enam arah hanya ada melalui manusia, yang berada dalam citra Sang Pengasih.

 

Tidak ada sumber makanan kecuali Allah. Dia berfirman, mengenai sekelompok orang, “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat dan Injil dan Alqur’an, yang berlanjut dengan kurang pasti dan lebih umum, “Yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka”, yang mencakup semua ketetapan yang diungkapkan melalui para nabi dan seseorang yang terilhami. Allah selanjutnya berfirman, “…niseaya mereka akan rmendapat makanan dari atas mereka”, yang menyacu pada makanan dari atas yang dihubungkan kepada Nya, “Dan dari bawah kaki mereka” yang merupakan makanan dari bawah yang Dia hubungkan dengan DiriNya Sendiri pada perkataan Rasul-Nya, yang menginimkan firmanNya melalui wewenang-Nya.

 

Manakala Kursi tidak berada di atas air, eksistensinya tidak dapat dipertahankan, karena kehidupan dapat dipelihara dalam wujud hanya dengan melalui hidup. Pertimbangkan bagaimana, ketika seseorang yang hidup menjadi mati dalam suatu kematian normal, beberapa bagian dari susunan tubuhnya akan rusak dan kemampuan-kemampuannya akan mati.

 

Allah berfirman pada Ayyub, “Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk, untuk mandi dan untuk minum” dengan kata lain ait “dingin”, dikarenakan kepanasan yang amat sangat dari kesakitannya, yang disejukkan Allah dengan air. Jadi, ini merupakan obat untuk mengurangi yang telah meningkat dan untuk meningkatkan yang telah berkurang, agar mencapai sebuah keseimbangan (i’tidal) yang bagaimanapun hanya dapat dicapai melalui perkiraan (yuqaribuh). Kami mengatakan perkiraan karena bukti dari realitas mengindikasikan bahwa tindakan penciptaan, yang terjadi dengan napas secara abadi, merupakan sebuah keseimbangan dalam Alam yang dapat disebut sebagai sebuah deviasi (inhiraf) atau alterasi (ta’finan). Sama halnya, pada Allah terdapat sebuah hasrat yang merupakan kecenderungan menghadapi objek khusus dari hasrat untuk pengeluaran yang lain. Keselarasan dan keseimbangan dicari di mana pun, tetapi tidak pernah benar-benar diperoleh. Kita jadi menyangkal aturan keseimbangan.

 

Dalam pengetahuan ilahi yang dibawa oleh para nabi, Allah digambarkan sebagai yang senang, marah, dan sifat-sifat lainnya. Kesenangan menyebabkan kemarahan berhent, sedangkan kemarahan membawa kesenangan berakhir. Keseimbangan dapat dikatakan menjadi saling seimbang antara kesenangan dan kemarahan. Bagaimanapun, seorang yang senang dengan orang lain berarti tidak marah dengan orang tersebut, yang dipikirkan seseorang atau orang lain tersebut, yang menunjukkan pilihan. Ini sama dengan rentetan cara yang lain. Kita menunjukkan ini bagi kepentingan seseorang yang mungkin berpikir bahwa orang orang dalam Neraka selalu merasakan penderitaan dart Kemarahan Allah dan ndak pernah menikmati Nesenangan Nya, yang menunjukkan kebenaran atas apa yang telah kami katakan. Jika, di lain pihak, seperu yang telah kami katakan, penghuni Neraka, yang tetap tinggal di Neraka, pada akhirnya akan terkuranpi pendcritaan mercka, maka itulah kesenangan. Maka, kemarahan berakhir dengan pengurangan penderitaan mercka, karena realitas yang mendasari penderitaan itu sama seperti realitas kemarahan. Seorang yang marah menjadi penderita yang hanya mencoba membalas dendam dirinya sendiri pada objek kemarahannya dengan menyakitinya, sehingga dia mendapat keringanan dengan melewati penderitaan yang dilakukannya pada objek kemarahannya.

 

Ketika seseorang memikirkan Realitas dalarn transendensiNya dari Kosmos, maka Dia terpisah dari dugaan-dugaan tertentu hingga dibatasi oleh pengalaman manusia. Tetapi, jika Realitas merupakan Identitas (huwiyyah) Kosmos, maka semua penentuan terwujud dari-Nya dan pada-Nya, sebagaimana dalam firmanNya, “Seluruh urusan kembali pada-Nya’,’ dalam realitas dan melalui penyingkapan spiritual, serta “Sembahlah Dia dan bertakwalah kepada-Nya” dari sudut kesadaran yang terselubungi. Sungguh, terdapat kesia-siaan dalam wilayah kemungkinan yang lebih menakjubkan daripada Kosmos ini, yang merupakan citra Sang Pengasih, dan Allah menciptakan agar wujud-Nya menjadi nyata melalui terciptanya wujud bentuk Alam.

 

Kita adalah bentuk lahir-Nya, sedangkan Identitas merupakan tuh yang menunjukkan bentuk itu. Petunjuk itu hanya ada padaNya dan dari-Nya, karena Dia adalah Yang Awal (Al-Awwal), secara esensial, dan Yang Akhir (al-Akhir), secara formal. Dia adalah Yang Lahir (az-Zahir) berkenaan dengan ketentuan-ketentuan (al-ahkam) dan keadaan-keadaan (al-ahwal), Yang Batin (al-batin) berkenaan dengan pengaturan (at-tadbir), dan “Dia mengetahui segala sesuatu.” Dia menyadan dan mengcetahui segala sesuatu melalui persepsi langsung, tidak melalui proses pemikiran dedukuf, dan bukan pengetahuan dalam pengertiannya yang sesungguhnya.

 

Ayyub, oleh karenanya, diberikan air minum untuk mengurangi penderitaannya yang berat akibat kchausannya, yang bcrasal dari kelelahan dan kesukaran yang telah ditimpakan Setan kepadanya. Dengan kata lain, dia terlalu bergerak jauh dari realitasrealitas untuk melihat mereka sebagaimana mereka adanya, petsepsi yang meletakkannya pada sebuah situasi terdekat. Segala sesuatu dirasakan dekat dengan mata, sekalipun ia  secara fisik jauh, karena penglihatan mengadakan hubungan dengannya melalui persepsi, atau yang lain tidak merasakannya sama sekali. Segala sesuatu itu atau objek segala sesuatu itu sendiri berhubungan dengan penglihatan. Oleh karenanya, terdapat kedekatan tertentu antara persepsi dan yang dirasakan. Bagaimanapun, ‘Ayyub menghubungkan penderitaannya dengan Setan, walaupun dekat dengannya, melalui perkataan, “Yang jauh dariku adalah dekat denganku dengan alasan kekuatannya padaku.” Tentu saia Anda mengetahui bahwa kejauhan dan kedekatan adalah dugaan-dugaan relatif, yang tidak memiliki eksistensi dalam diri mereka sendiri, walaupun ada akibatakibat mereka yang sungguh-sungguh tertentu pada segala sesuatu yang jauh dan dekat.

 

Ketahuilah bahwa terdapat suatu rahasia (sirr) Allah pada Ayyub, yang telah dibuat-Nya sebagai pelajaran bagi kita dan dicatat sebagai sebuah cerita yang dibaca oleh umat Muhammad ini, yang mempelajari apa yang ada di dalamnya dan memuliakan melalui hubungan dengan subjeknya, Ayyub. Allah memuji Ayyub karena kesabarannya, walaupun permohonannya pada Allah menghilangkan luka (sakit) darinya. Permohonannya sebagai seorang hamba sama sekali tidak mengurangi kesabarannya atau kualitasnya sebagai seorang hamba yang baik, seperti firman Allah, ‘“Sesungguh. nya dia amat taat (kepada Tuhannya)”, berarti bahwa dia kembali kepada Allah dan bukan kepada sebab-sebab. Walaupun pekerjaanpekerjaan Realitas melalui suatu alasan, dan walaupun alasan-alasan ini menambah luka yang mungkin menjadi banyak, Sang Penyebab adalah tunggal. Usaha hamba kepada Sesuatu Yang mengurangi luka melalui alasan-alasan lebih baik daripada memiliki usaha untuk beberapa alasan khusus yang tidak sesuai dengan kekuasaan Allah mengenai luka. Dia mungkin berkata, “Allah tidak pernah menjawabku”, sedangkan dia tidak pernah memanggil Allah, setelah dipaksa terhadap suatu keadaan tertentu yang tidak ditakdirkan untuk periode atau saat itu.

 

Menjadi seorang nabi, Ayyub bertindak menurut hikmah Allah, dengan mengetahui sebagaimana ia melakukan kesabaran itu, di mana kebanyakan manusia menganggap bahwa pengendalian jiwa dari keluhan ini, seperti yang kita ketahui tak terbatas, agaknya merupakan pengendalian jiwa dari keluhan untuk sesuatu selain Allah, bukan untuk Diri-Nya Sendiri. Kebanyakan orang tersesat dengan pandangan mereka bahwa seseorang yang mengeluh, menurunkan dari penerimaan takdir. Ini tidaklah demikian, karena itu bukan bukan merupakan penerimaan seseorang atas takdir yang terkurangi melalui pengaduan kepada Allah atau hal-hal lain sebanyak penerimaan seseorang atas hal yang ditakdirkan. Namun demikian, apa yang telah kami katakan, tidak berkenaan dengan penerimaan atas apa yang ditakdirkan, karena luka itu sendiri adalah sesuatu yang belum ditakdirkan dan bukanlah takdir itu sendiri. Nah, Ayyub mengetahui bahwa apa yang implisit dalam pengendalian jiwa dari pengaduan kepada Allah, sehingga penderitaan dikurangi oleh Allah, adalah sebuah perlawanan atas tekanan Allah. Perlawanan seperti ini menampakkan suatu ketidaktahuan pada manusia, ketika Allah mengujinya, mengenai sifat nyata atas apa yang menimpa jiwa, sehingga dia menahan diri sehingga dia tidak menyebut Allah di akhir penderitaannya. Dalam pandangan orang yang benar-benar menyadari, seseorang seharusnya merendahkan dirinya dan memohon Allah agar mengangkat sesuatu darinya, karena, untuk seseorang yang terilhami, pengurangan itu adalah juga suatu pengurangan dari Allah.

 

Sesungguhnya Allah telah menggambarkan Diri Nya dalam istilah luka (sakit) ketika Dia berfirman, “Sesungguhnya orang orang yang menyakiti Tuhan dan Rasul-Nya.?” Sakit yang lebih besar ada pada-Nya dibandingkan yang Dia ujikan pada Anda dengan suatu kesusahan atau maqam yang tidak Anda kctahu, sehingga Anda dapat memohon-Nya untuk menguranginya, kapan Anda tidak mengindahkan-Nya? Lebih baik bahwa Anda mendekati-Nya dengan pengertian ketidakpunyaan, yang merupakan kondisi Anda sesungguhnya, karena, melalui permohonan Anda kepada-Nya untuk mengurangi penderitaan Anda, Realitas Sendiri dikurangi (diringankan), Anda menjadi bentuk Lahir-Nya.

 

Seorang gnostikus tertentu lapar dan menangis dikarenakan hal tersebut, yang mana orang yang tidak memiliki wawasan pada masalah-masalah seperti itu mencelanya, di mana dia menjawab, “Dia membuatku lapar hanyalah supaya aku menangis.” Dia mengartikan bahwa Allah mengujinya dengan suatu kesusahan hanya supaya dia memohon Allah untuk menguranginya, yang sama sekali tidak mengurangi kesabarannya, yang merupakan pengendalian jiwa dari keluhan atas sesuatu yang lain kecuali Allah. Melalui yang lain selain Allah diartikan beberapa aspek khusus dari Allah, karena Allah telah menspesifikasikan sebuah aspek khusus, aspek Identitas, yang melaluinya Anda akan memanggil Allah untuk mengangkat kesusahan Anda, dan bukan melalui aspek-aspek lainnya yang disebut “sebab-sebab.” Yang terakhir tidak ada selain Dia Yang menetapkan prinsip partikularisasi kreatif dalam Diri-Nya. Dalam meminta Identitas Allah (Allah Sendiri) agar mengangkat kesusahan darinya, sang gnostikus benar-benar menyadati bahwa semua penyebab ada pada-Nya dalam cara-cara khusus.

 

Masalah pengetahuan ini dapat menjadi hak istimewa bagi kaum bijak di antara hamba-hamba Allah, yang berguna untuk dipercayakan rahasia-rahasia Allah, karena Dia memiliki hambahamba setia yang hanya Dia Yang Mengetahui dan Yang Saling Memahamkan satu sama lain. Dengan demikian kami telah menasihat Anda; jadi bertindaklah dan mintalah kepada-Nya, semoga Dia diagungkan.

 

CATATAN PENGANTAR

 

NAMA untuk Yaya dalam bahasa Arab, memberikan kesempatan kepada Ibn ‘Arabi untuk menemukan signifikansi mistik dari konstruksi katanya. Dalam bahasa Arab, sebagai suatu bentuk kata-keria Indikatif Imperfek (fi’il Mudari’) biasa, nama Yahya betarti “dia hidup.” Apa yang dia maksudkan adalah bahwa sang ayah, dalam hal ini Zakariyya, mempertahankan hidup (lives on), pada dasarnya untuk sang anak, Yahya, atau, dengan perluasan, bahwa setiap nabi mempertahankan hidup untuk nabi yang menggantkannya. Dalam hal Zakariyya dan Yahya, garis keturunan fisik dan spiritual tergabung. Hal ini dikarenakan, seperti yang Ibn ‘Arabi lihat, sang anak merepresentasikan esensi atau benih yang terwujud dari sang ayah, di mana perwujudan benih dan namanya ini berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan kemudian diingat. Seperti yang telah kita Lihat; dalam membahas pelbagai modalitas Ruh (Bab 15), esensi-benih, identitas-gagasan, dan namakata merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan erat, walaupun merepresentasikan realitas spiritual pada tingkat-tingkat eksistensi yang berbeda. Jadi pernyataan fisik tentang benih dalam “air” untuk ibu yang melahirkan anak adalah juga sebuah simbol yang konkret dalam konteks Sufi, dalam penanaman spiritual dari Nama ilahi menjadi pemikiran duniawi tentang calon melalui cara mengajukannya menjadi sebuah kehidupan baru dari ruh, agar mengabadikan ingatan doa dari Esensi Nama-Nya, atau dan ilham Wahyu menjadi pikiran asli dari nabi, untuk menghasilkan sebuah komunitas baru yang agamis dan senantiasa berzikir.

 

Dengan mengambil argumen lebih jauh, kita menganggap bahwa sang anak, apakah secara fisik ataukah spiritual, pada dasarnya identik dengan sang ayah. Ini adalah dugaan yang mendasani perbedaan yang Ibn ‘Arabi buat antara Yahya dan ‘Isa, karena hubungan Yahya dengan Ruh adalah tidak langsung, melalui ayahnya, sedangkan ‘Isa adalah langsung, benih spiritual yang telah diendapkan tanpa perantara manusia laki-laki. Baginya, perbedaan ini, yang didasarkannya pada kalimat Alqur’an XIX: 15 dan XIX: 33, mengilustrasikan perbedaan antara ilmu (‘ilm) yang didasarkan atas keyakinan orang yang beriman dengan pengalaman yang didasarkan atas gnosis dari Identitas wali-gnostikus. Dalam kutipan ayat Alqur’an, Yahya diberkati oleh Allah, dalam orang ketiga, sedangkan ‘Isa, sebagai tanda Identitas, menyebut berkah pada dirinya, sesudah memberikan kesaksian terhadap ketakberdosaan ibunya, Maryam, sebagai simbol reseptivitas dari Alam terhadap tindakan Ruh.

 

HIKMAH KEMULIAAN DALAM FIRMAN TENTANG YAHYA

 

Ini adalah hikmah yang lebih utama dalam hal nama-nama, karena Allah menamainya Yahya, yang, katakanlah, merupakan memori Zakariyya yang hidup (Yahya) melalui dia: “Yang sebelumnya Kami belum pernah menamai seseorang dengan nama itu.” Dia menggabungkan di dalam dirinya sifat Kenabian yang melekat pada semua yang telah berlalu, tetapi yang memorinya hidup pada seorang anak, dengan perbedaan dari wujud yang dinamai dalam hal itu.

 

Dia memberinya nama Yahya dan nama ayahnya hidup seperti pengetahuan yang sesungguhnya (al-‘ilm az-zawqi), karena ingatan Adam yang hidup melalui Syis (Seth), Nuh melalui Syam (Shem), dan hal yang serupa dengan nabi-nabi lainnya. Bagaimanapun, sebelum Yahya, Allah tidak pernah menggabungkan sebuah nama yang menjelaskan dirinya sendiri dengan sifatnya, kecuali dari hal Zakariyya ketika dia berkata, “Anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra?” Di sini, dia menempatkan Allah sebelum anaknya, sebagaimana Asiyah menyebutkan “di sisi” (Allah) sebelum “rumah”, dengan perkataan, “[Ya Tahanku bangunkanlah untukku] di sist-Mu sebuah rumah dalam Surga.”

 

Jadi, Allah menghormati Yahya dengan memenuhi kebutuhannya dan menamainya melalui sifat-Nya sehingga namanya menjadi sebuah pengingat atas nabi-Nya, Zakariyya, yang telah memohon kepada-Nya, karena dia telah menekankan kelanjutan ingatan akan Allah pada anak keturunannya, seorang anak laki-laki yang akan menjadi esensi rahasia dari ayahnya “…. yang akan mewarist aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya‘qub” dalam keadaan mengingat Allah dan memohon kepada-Nya. Kemudian, Dia menceritakan padanya kesejahteraan pada hari dia dilahirkan, hari dia mati, dan pada hari dibangkitkan kembali. Di sini, Dia menggunakan kata “hidup”, yang merupakan arti dari namanya dan memberitahukan Zakariyya pemberian kesejahteraan-Nya pada anaknya. Firman Allah adalah benar dan meyakinkan.

 

Jika Ruh, yang membuka pikiran, telah berkata, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan kembali’ ia lebih mengekspresikan keadaan identitas. Tetapi, ia  lebih menggabungkan anggapan tentang identitas dan keyakinan, yang mudah terkena salah penafsiran. Apa yang tidak biasa dan luar biasa dalam kasus ‘Isa adalah kemampuannya berbicara—dalam buaian—karena, dalam menjadikannya pandai berbicara, Allah membuat kecerdasan ‘Isa sempurna dan efekuf. Ini ndak menunjukkan bahwa seseorang boleh jadi berbicara sejujurnya sesuai dengan apa yang dia katakan, kecuali seseorang yang terbuku kebenarannya, seperti Yahya.

 

Kesejahteraan ilahi yang diberikan kepada Yahya tidak rentan terhadap ambiguitas dalam hal perhatian tlahi kepadanya ketimbang ‘Isa, di mana ia menyatakan pada dirinya sendiri, sekalipun situasi menunjukkan kedekatannya dengan Allah dan ketulusan hatinya dalam masalah tersebut, karena, dalam pembicaraan dalam buaian, ‘Isa hanya mencoba membuktikan ketakbersalahan ibunya. Bukti lain dari ini adalah kekeringan batang pohon kurma yang menjatuhkan buah segarnya tanpa pemupukan oleh manusia, sebagaimana Maryam melahirkan ‘Isa tanpa hubungan seksual murni dengan seorang laki-laki.

 

Ketika beberapa nabi mengatakan bahwa tanda dan keajaibannya merupakan sebuah dinding tertentu yang dapat berbicara dan dinding itu mengatakan bahwa dia adalah seorang pembohong dan bukan rasul Allah, tanda dari dirinya sendiri akan menjadi nyata dan menegaskan kenabiannya, bukan perhatian yang terjawab atas apa yang betul-betul dikatakan dinding.

 

Kemudian, karena kemungkinan kesalahpahaman seperti ini implisit dalam pembicaraan ‘Isa dalam buaian, ketika mengacu pada ibunya, kesejahteraan ilahi atas Yahya menjadi tidak ambigu dalam hal ini Buku yang demikian, bahwa dia adalah hamba Allah, adalah penting karena hal itu menegaskan bahwa dia adalah anak laki-laki Allah, perkataan dalam buaian menjadi cukup di dalamnya. Mereka yang menegaskan bahwa dia adalah seorang nabi, juga menghargainya sebagai seorang hamba Allah. Akan ada tersisa kemungkinan kesalahpahaman tertentu hingga, di masa yang akan datang, kejujurannya berkenaan dengan semua yang dia ucapkan dalam buaian akan menjadi jelas; maka sadarilah atas apa yang telah kami singgung di sini!

 

CATATAN PENGANTAR

 

TEMA utama bab ini adalah hubungan antara Rahmat kreatif dengan objek-objek kreativitasnya secara umum, dan dengan Namanama ilahi secara khusus. Esensi-esensi abadi dari semua wujud yang mungkin tercipta, yang berlaku secara esensial, sebagaimana adanya, semua keserbaragaman dan kompleksitas yang mungkin dari keadaan dan pengalaman kosmik, rindu kepada Allah agar dapat diketahui sebagai objek-objek yang ada dari kesadaran-Diri dari Subjek ilahi. Seperti yang telah ditunjukkan, respon terhadap kerinduan ini, tugas metakosmik ini, adalah pengurangan penghembusan napas dari Napas Sang Pengasih, yang melepaskan kemungkinan yang melekat pada esensi-esensi laten menjadi penampakan eksistensi kosmik yang tak terbatas.

 

Hal pertama yang harus terjadi adalah Napas itu sendiri menjadi wujud, sesudah keobjektifan yang sangat prinsipil harus didirikan, di mana Ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai “kesesuatuan” (syay ‘iyyah), jadi dengan menyebabkan polaritas Subjek-objek, baik secara universal sebagai Allah-Kosmos maupun secara khusus sebagai Tuhan-hamba. Ini adalah objektivisasi terakhir “‘sesuatu’”’ sebagai hamba, sebagat wujud yang sepenuhnya penting bagi hubungan antara esensi laten dengan kcjadian eksistensial, yang mungkin mendorong Ibn ‘Arabi untuk mengatakan, yang kemudian disinggung sedikit dalam bab ini, bahwa “allah diciptakan dalam keyakinan” adalah penerima pertama Rahmat, di mana konsepnya sangat berhubungan erat dengan Tuhan-hamba (bdk. Bab 12).

 

Pertama sekali mungkin aneh, jika Ibn ‘Arabi membicarakan al-Asma’ al-Flusna sebagai segala sesuatu, hingga disadari bahwa setiap sesuatu mempunyai sesuatu untuk berbuat dengan tindakan kreatif, yang muncul untuk meletakkan sebuah objek di luar Esensi ilahi sebagai sesuatu “yang lain’’, oleh karenanya terlibat dalam kelainan dan juga dalam kesesuatuan. Nama-nama ilahi, seperti yang telah disebutkan, adalah pelbagai permukaan yang tepat dari prinsipprinsip yang menentukan sifat dan kualitas hubungan, baik secara individual seperti Tuhan-hamba ataupun secara universal seperu Allah Kosmos. Oleh karenanya, mereka berbagi dalam kesesuatuan untuk semua faktor eksistensial. Namun demikian, meskipun bervariasi dan banyak dalam eksistensi, mereka semua adalah nama Yang Esa Yang Dinamai, sebagaimana semua esensi pada dasarnya adalah Esensi-Nya, tak terhindarkan kembali pada tugas dari yang lain yang mewajibkan “dengan menghirup” Rahmat yang mencoba memutuskan kesesuatuan dalam Identitas dan Keunikan (ihat Bab 16).

 

Akhirnya, Napas dari pertolongan ilahi tanpa adanya bakal yang mengalami selain menjadi Kosmos adalah Kekasih langsung segala kejadian, dengan mengandung Rahmat reintegrasi dalam diri Kosmos sendiri.

 

HIKMAH PENGUASAAN DALAM FIRMAN TENTANG ZAKARIYYA

 

Ketahuilah bahwa, Rahmat Allah meliputi segala sesuatu secara eksistensial dan secara prinsipil, dan bahwa Kemurkaan Allah eksis hanya berkat Rahmat Allah atasnya. Rahmat-Nya lebih utama dari pada Kemurkaan-Nya, yang, dapat dikatakan, bahwa Rahmat dihubungkan dengan-Nya sebclum Kemurkaan-Nya. Karena setiap esensi laten memiliki sebuah eksistensi yang ia minta dari Allah, Rahmat-Nya pasti mencakup setiap esensi, karena Rahmat di mana Dia adalah Maha Pengasih menerima hasrat dari esensi bagi eksistensi dan kemudian menciptakannya. Oleh karena itu, kami katakan bahwa Rahmat-Nya mencakup segala sesuatu secara eksistensial dan secara prinsipil. Nama-nama ilahi adalah “segala sesuatu’’ (asyya) dan akar dari esensi.

 

Objek pertama dari Rahmat Allah yang meliputi segalanya adalah kesesuatuan esensi tersebut yang menciptakan Rahmat melalui Rahmat. Oleh karenanya, objek pertama dari kecakupan Rahmat adalah dirinya sendiri, lalu kesesuatuan yang menunjukkan, dan kemudian kesesuatuan dari setiap wujud yang diciptakan, terhadap yang tidak terbatas, apakah di dunia ini ataukah masa datang, aksidental ataukah substansial, kompleks ataukah sederhana, tanpa suatu pertimbangan tujuan atau keserasian, karena Rahmat Ilahi secara eksistensital mencakup kesamaan yang serasi dam ttidak serasi.

 

Seperti yang telah kami sebutkan dalam al-Futuhat al-Makkiyah, hanya yang noneksistenlah yang memiliki pengaruh, dan bukannya yang eksisten. Jika yang terakhir terlihat menggunakan sebuah pengaruh, ia hanyalah melalua sumber dan yang noneksisten. Pengetahuan ini terlihat aneh dan merupakan persoalan—yang di sini diperumbangkan—yang jarang dibahas. Hanya orang-orang yang memiliki imajinasi yang dapat memahaminya melalui sensitivitas spiritual yang mereka miliki, sedangkan ketiadaan imajinasi ini jauh dari sebuah pemahaman seperti itu.

 

Rahmat Allah membanjiri [semua] wujud ciptaan,

dan mengalir melalui diri-diri dan esensi-esensi.

Kedudukan Rahmat adalah simbol bagi yang memahami ini [secara langsung]

Yang mulia bagi pikiran-pikiran diskursif.

 

Segala sesuatu yang ditunjuki Rahmat adalah bcruntung dan bagaimanapun, tak satu pun yang tidak ditunjuki. Dalam menunjuki segala sesuatu (asyya), Rahmat menciptakan mercka, setiap hal yang tercipta menjadi objek Rahmat. Wahai kawan, janganlah dialihkan pada ketamakan atas apa yang kami katakan melalui apa yang Anda amati terhadap orang-orang yang menderita atau apa yang Anda percayai berkenaan dengan siksaan di Hari Akhir yang secara abadi menimpa si terhukum.

 

Ketahuilah bahwa Rahmat melekat pada semua ciptaan, sehingga, dengan rahmat yang dilimpahkan atas penderitaan, penderitaan itu tercipta, yang kemudian menjadi hidup (dibawa menjadi eksistensi). Rahmat efektif dalam dua cara: pertama, dampaknya melalui esensi (zat), yang merupakan pembawaan menjadi eksistensi dari setiap esensi yang tercipta tanpa memperhatikan tujuan atau menghilangkan darinya, keserasian atau sebaliknya, yang hanya berkenaan dengan esensi setiap sesuatu yang tercipta sebagaimana ia sebelumnya adalah wujud yang dibawa menjadi eksistensi. Sungguh, ia melihatnya dalam keadaan latennya, sehingga ia melihat “allah diciptakan dalam keyakinan” sebagai salah satu dari banyak potensialitas laten (al ‘uyun as-sabitah) di mana ia melimpahkan rahmat dengan membawanya menjadi eksistensi. Oleh karenanya, kami katakan bahwa, menurut Rahmat Sendiri, “allah diciptakan dalam keyakinan’’ merupakan penerima pertama Rahmat, yang harus berbuat dengan penciptaan semua wujud ciptaan. Yang kedua, dampaknya melalui doa (su’al), karena merupakan sesuatu yang terselubungi, dalam kepercayaan mereka, memohon Tuhan untuk memberikan rahmat pada mereka, sedangkan orang yang benarbenar terilhami (ahl -kasyf) memohon Rahmat Allah yang masih tersisa pada mereka. Mereka memohonnya dengan nama Allah, melalui perkataan, “YaAllah berilah kami rahmat” walaupun hanya sisa Rahmat pada mereka yang merupakan rahmat atas mereka.

 

Rahmat mempunyai kekuasaan menentukan, yang benar-benar milik realitas yang dipahami sebagai wujud yang melekat dalam sebuah situasi, sechingga ia, dalam kenyataannya, adalah Yang Maha Pengasih (perantara), karena Allah memberikan rahmat pada hambahamba yang diharapkan, hanya melalui Rahmat. Ketika rahmat mendatangi mereka, mereka langsung diawasi dengan segera. Dia yang disampaikan Rahmat memiliki rahmat. Partisip Aktif (Ism al-Fa’il)-nya adalah rahim dan rahim.

 

Kekuasaan yang menentukan itu sendiri tidak dapat dipikirkan sebagai suatu penciptaan, karena ia merupakan sesuatu di mana konsep-konsep spiritual dari Nama dan sifat secara esensial diperlukan. Keadaan Nama-nama dan sifat-sifat ini sungguh tidak dapat dikatakan menjadi eksisten (mawjudah) atau noneksisten (ma’dumah). Dengan kata lain, mereka adalah hubungan-hubungan sederhana, yang tidak memiliki eksistensi sejati. Begitu juga mereka tidak dapat dipandang sebagai noneksisten berkenaan dengan kekuasaan yang menentukan, dengan melihat bahwa di mana pengetahuan terletak, disebut yang mengetahui, yang merupakan suatu keadaan. Jadi, seorang yang mengetahui adalah sebuah realitas esensial yang dihubungkan dengan pengetahuan. Ia bukanlah esensi itu sendiri, begitu juga bukan pengetahuan itu sendin. Yang benar hanyalah pengetahuan dan esensi di mana pengetahuan terletak. Dengan menjadi seorang yang mengetahui adalah sebuah keadaan dari esensi yang dihasilkan melalui wujudnya yang dihubungkan dengan konsep pengetahuan ini. Perhubungan pengetahuan ini terjadi padanya, sehingga ia disebut sebagai yang mengetahui. Jadi kenyataannya, Rahmat adalah sebuah perhubungan Sang Pengasih yang mengandaikan pengawasan, yang sesungguhnya menjadi pengasih. Dia Yang menyebabkannya eksis dalam penerima Rahmat tidak membawanya pada eksistensi untuk memiliki rahmat atas penerima melaluinya, tetapi hanya untuk memiliki  rahmat melaluinya atas yang terletak di dalamnya. Allah bukanlah suatu lokus bagi fenomena (mahall li al-hawadis), demikian juga bukan merupakan lokus bagi pembawaan rahmat menjadi eksistensi (mahall li ijad ar-rahmah fih). Dia adalah Sang Pengasih, dan Sang Pengasih hanyalah yang menempati Rahmat di dalamnya. Jadi, ditegaskan bahwa Dia adalah Rahmat Itu Sendiri.

 

Dalam hal ini, ada orang yang tidak memiultki wawasan atau pencapaian yang tidak berani mengatakan bahwa Dia adalah Rahmat Itu Sendiri atau bahwa Dia adalah sifat itu sendin, tetapi katakanlah bahwa Dia bukan esensi realitas dari sifat atau sesuatu yang lain, sebab dalam pandangan mereka sifat-sifat Allah bukanlah Dia, demikian juga bukan selain daripada Dia. Hal ini karena mereka tidak dapat mengingkari mereka atau tidak dapat menyamai Dia. Oleh karenanya, mereka menunjukkan kembali ekspresi ini, yang merupakan sesuatu yang baik, walaupun beberapa yang lain telah lebih dekat dengan sasarannya dan kurang ambigu, yang mempunyai arti bahwa sifat-sifat tidak memiliki realitas esensial yang lain danpada Dia, kepada Siapa mereka dihubungkan (disifatkan). Mereka hanyalah hubungan-hubungan dan. pengasalan-pengasalan yang menghubungkan Yang Esa, kepada Siapa mereka dianggap berasal, dengan esensi-esensi mereka yang dapat dimengertu.

 

Walaupun Rahmat universal (jami’ah), namun dalam hubungannya dengan setiap Nama Mahi, berbeda, sehingga Allah dimuinta . atas Rahmat oleh setiap orang dari Nama-nama-Nya. Jadi, itulah Rahmat Allah sebagaimana dalam perkataan, “Rahmat-Ku”, yang mencakup semua, dan percabangan-percabangannya sebanyak Nama ilahi itu sendiri. Ia tidak universal, tetapi khusus, dalam hubungan dengan sebuah Nama ilahi tertentu, sebagaimana seseorang dapat berkata, “Wahai Tuhanku, limpahkanlah rahmat atasku.” Demikian juga halnya dengan Nama-nama ilahi lainnya, sehingga dalam hal Nama Penuntut-balas (al-Muntaqim) pun, orang yang mencoba membalas dendam dapat berkata, “Wahai Sesuatu Yang Menuntut-balas, berilah rahmat atasku.” Ini karena Nama-nama ini menunjuk kepada Esensi yang dinamai (az-zat al-musammah), yang menunjukkan pelbagai gagasan yang mereka lahirkan dalam realitas-realitas parukular mereka. Jadi, mereka semua dapat diseru untuk Rahmat dalam hal di mana mereka semua berhubungan dengan Esensi yang dinamai melalui setiap Nama dan bukan yang lain, tetapi tidak dalam pengertian melalui yang terbedakan dar Nama-nama lain. Sesungguhnya, dalam satu pengertian, ia tidak berbeda dari yang lainnya karena, bagi pemohon, ia  adalah referensi bagi Esensi, yang berbeda dari yang lainnya hanya melalui esensinya sendin, konotasi yang diberikan melalui pemakaian penunjukan sebuah realitas yang berbeda dalam dirinya sendiri dari yang lain, sekalipun semua dari mereka digunakan untuk menunjukkan satu Esensi yang dinamai. Tidak ada keraguan bahwa setiap Nama memiliki wewenang bagi dirinya sendiri untuk dipertimbangkan, sebagaimana perumbangan diberikan pada kenyataan yang juga menunjukkan Esensi yang dinamai.

 

Dalam kaitan ini, Abu al-Qasim Ibn Qissi mengatakan bahwa setiap Nama, walaupun ada keunikannya, ternamai melalui semua Nama yang lain, sehingga ketika seseorang memberikan suatu pilihan Nama, dia memenuhi syaratnya melalui semua Nama, bagaimanapun banyaknya nama itu, atau bagaimanapun bermacam-macamnya realitas Nama itu.

 

Rahmat dapat diperoleh dalam dua cara, melalui kewajiban (al-wujub), sebagaimana dalam firman-Nya, “Aku tetapkan RahmatKu untuk orang-orang yang bertakwa, dan yang menunaikan zakat”, bersama-sama dengan kualitas intelektual dan praktik yang Dia hubungkan dengan mereka, atau melalui Anugerah ilahi (al-imtinan al-ilahi), yang tidak menyerupai satu pun perbuatan manusia, sebagaimana dalam firman-Nya, “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”,’ sehingga “Dia memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang” dan, “Lakukan apa yang kamu inginkan, Aku telah memaafkanmu.” Jadi, mengertilah!

 

CATATAN PENGANTAR

 

PADA BAB INI, Ibn ‘Arabi mengenalkan kita pada sebuah aspek mikrokosmik yang sangat menarik tentang polaritas fundamental yang sangat diutamakan dalam pemikirannya, yang pada saat yang sama mengisyaratkan hakikat gnosis sejati. Berkenaan dengan polantas suprahuman (di luar batas-batas kemanusiaan) tentang Allah Kosmos, transendensi-imanensi, adalah polaritas manusia yang sesuai tentang hasrat alami-intelek, keduanya merupakan elemenelemen yang mampu mencapati kebenaran tentang Realitas, tetapi bukan kebenaran sintetik dari Kesatuan Wujud. Di bab ini juga, dia menggunakan kata wahm (khayalan, angan-angan) dalam menempatkan syahwah (hasrat, gairah), sedangkan untuk intelek, dia menggunakan kata tunggal aql Namun demikian, karena mereka bersinggungan dengan keadaan manusia, tidak ada satu pun aspek pengalaman manusia yang merupakan ilahi sendiri, tetapi hanyalah menggambarkan dan menyajikan realitas-realitas suprahuman yang ada, sesuai dengan sifat dasar keadaan itu. Jadi, walaupun cara mikrokosmik dan refleksi Ruh ilahi berada dalam Keinginannya untuk reintegrasi dalam Esensi, intelek tidak dapat memahami secara tepat hakikat pujian vitalnya tidak juga Kesatuan di mana ia merupakan sebuah fungsi, tetapi hanyalah kebenaran yang transendental dan tidak dapat diraba. Demikian juga, hasrat vital, atau desakan terhadap pengalaman naluriah, walaupun ia merefleksikan dan memanifestasikan Kehendak ilahi untuk kejadian yang tak terbatas, tidak dapat memahami prinsip pujian ruhaniahnya, ataupun Kesatuan di mana keduanya ditetapkan, tetapi hanyalah aktualitas-aktualitas kehidupan alami. Tetapi, karena Rahmat kreatif dati Kehendak ilahi meliputi Rahmat yang mewajibkan dari Keinginan ilahi, intelek manusia, sebagaimana Ibn ‘Arabi katakan, bebas dari pengaruh khayalan alami yang merupakan ekspresi manusia dari ilusi primordial dalam kelainan dan keserbaragaman tanpa adanya sesuatu yang akan menjadi eksistensi vital.

 

Seperti dalam hal transendensi dan imanensi, Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa penekanan berlebihan atas klaim-klaim tentang hasrat alami ataupun intelek berakhir dalam kemungkinan hanya sebagian gnosis dalam kesempurnannya, tidak lain kecuali pengetahuan dan pengalaman Kesatuan Wujud yang mensintesiskan-segalanya. Oleh karenanya, untuk menjadi seorang gnostikus sejati, tidak cukup, seperti dalam kasus Ilyas, memusatkan secara eksklusif pada intelek, yang bersih dari dorongan-dorongan dan kelemahan-kelemahan vital, tetapi juga mengalami, selengkap mungkin, dorongan yang tidak jelas dari kehidupan hewani, tanpa pemikiran dan aturan, sesudah semuanya tidak ada kecuali kehidupan ilahiah dalam Bentuk-Nya. Sesungguhnya, untuk realisasi sejati apa pun tentang potensi penuh dari keadaan mikrokosmik, dua aspek dari pengalaman manusia harus saling bekerjasama, kehidupan alami menjadi dulhami dan diperintah oleh intelek, intelek menjadi disifatkan dan dikondisikan oleh kehidupan, dengan melihat kehadiran Realitas sebagaimana ketika merefleksikan Kehidupan-Nya dalam Ruh dan Ruh dalam Kehidupan. Untuk itu, dengan siapa satu aspek mendominasi yang lain, aspek yang mendominasi ini bertindak sebagai selubung (hijab) yang menyembunyikan realitas-realitas dari yang lain, jadi dengan mencegah suatu visi sesungguhnya dari Realitas.

 

Menuju akhir bab ini, dia kembali pada paradoks mistik besar yang implisit dalam doktrin Kesatuan Wujud. Dia menunjukkannya dengan perkataan bahwa hal itu adalah mungkin karena sebuah penyebab untuk menjadi dampak dari dampaknya sendiri, sebuah anggapan bahwa logika dari jenis biasa menemukan kesulitan, setidaknya untuk dikatakan. Paradoks ini diilustrasikan melalui anggapannya tentang esensi-esensi laten, karena penciptaan yang disebabkan untuk ada melalui Pencipta, sebagai isi esensial laten dari pengetahuan Allah, adalah yang menyebabkan Dia menjadi “Allah.”’

 

HIKMAH KEDEKATAN DALAM FIRMAN TENTANG ILYAS

 

Ilyas adalah sama seperti Idris, seorang nabi sebelum Nuh yang telah diberikan oleh Allah derajat yang tinggi. Dia terletak di hati—tujuh—benda samawi (aflak), yang merupakan matahari (aflak asy-syam). Lia dikirim ke perkampungan Baalbek (Ba ‘albik). Baal adalah nama sebuah berhala dan Bek adalah penguasa di tempat itu, berhala Baal ini menjadi istimewa bagi penguasanya. Ilyas, yang merupakan Idris, memiliki pandangan di mana ia melihat Gunung -Libanon, yang berasal dari lubanah, yang berarti keperluan (hajah), yang terkuak memperlihatkan sebuah rumah yang berapi terperangkap kebakaran. Ketika melihatnya, dia menaikinya dan merasakan bahwa semua gairahnya berkurang, meninggalkan dirinya. Jadi, menjadikan intelek tanpa adanya gairah, dengan menahan tanpa adanya hubungan dengan perjuangan dari jiwa yang lebih rendah. Bagi Ilyas, Allah adalah transenden (munazzih), sehingga dia memiliki separuh dari gnosis (ma’arif) Allah. Hal itu dikarenakan intelek (aql), melalui dirinya sendiri, yang menembus pengetahuan dalam cara mereka sendiri, hanya mengetahui menurut transendental dan tidak ada dari imanental (tasybih). Itu hanya terjadi ketika Allah memberitahukannya dengan manifestasi-Diri (tajalli)

 

Allah di mana pengetahuannya tentang Allah menjadi lengkap, dengan melihat-Nya sebagai transenden di saat yang tepat, dan sebagai imanen di saat yang tepat, dan dengan merasakan penyebaran Allah dalam bentuk-bentuk alamiah dan dasar. Sesungguhnya, dia melihat Esensi Realitas yang menjadi esensi mereka. Inilah gnosis yang lengkap, yang mana Hukum (asy-Syara’i), yang dikirimkan dari Allah, membawa semua khayalan ditentukan oleh gnosis ini. Karena alasan ini, khayalan-khayalan mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam susunan kemanusiaan ini ketimbang intelek, karena orang yang berintelek, bagaimanapun matangnya inteleknya, tidak pernah bebas dari khayalan dan imajinasi dalam apa yang ia putuskan. Sesungguhnya, khayalan adalah wewenang tertinggi dalam keseluruhan bentuk manusia. Melalui khayalan, keputusankeputusan ternyatakan, sekaligus memperbandingkan dan menjadikan-Nya transenden. Melalui khayalan mereka menyamakanNya dalam membuat-Nya transenden, dan melalui intelek mereka membuat-Nya transenden dalam menyamakan-Nya. Masing-masing secara mutlak dibatasi oleh yang lain, sehingga transendensi tidak dapat tidak dipengaruhi oleh penyamaan (imanensi, —peny.), demikian juga sebaliknya.

 

Dia berfarman, “Tidak ada sesuatu pun_yang serupa dengan-Nya”, di mana Dia membuat transenden dan mempersamakan. Dia juga berfirman, “Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, jadi mempersamakan Diri-Nya. Walaupun ayat yang pertama adalah ekspresi transendensi terbesar, kata “serupa” menunjukkan bahwa ia tidak dipengaruhi secara prinsipil oleh penyamaan. Bagaimanapun, Dia mengetahui Diri-Nya Sendiri sebagai terbaik, dan inilah cara di mana Dia mengekspresikan Diri-Nya Sendiri. Lebih lanjut, Dia berfirman, “Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Kemuliaan dan Keperkasaan, dari apa yang mereka sifatkan”. Yakni, mereka menggambarkannya hanya menurut perintah intelek mereka. Oleh karenanya, Dia meletakkan Diri-Nya melalui desakan mereka atas Transendensi-Nya, karena desakan seperti itu dalam faktanya membatasiNya dengan alasan ketidakcakapan intelek untuk menangkap hal-hal seperti itu. Maka, keputusan yang dinyatakan, membawa apa yang ditentukan oleh khayalan. Allah sesungguhnya tidak pernah lepas dari sifat di mana Dia ada, sebagaimana dibukukan dan dinyatakan dalam semua Kitab Suci. Ini sesuai dengan apa yang diperbuat orang-orang, Allah telah melimpahkan atas mereka manifestasi-Diri-Nya, dan mereka terikat dengan rasul-rasul sebagai sebuah warisan. Mereka berbicara sebagaimana rasul-rasul Allah berbicara.

 

“Tuhan lebih mengetahui di mana Ia menempatkan risalah-Nya.” Kalimat “Tuhan lebih mengetahui’’ dapat dilihat dalam dua cata. Yang pertama sebagai predikat (khabar) dari “para rasul Allah”, dan yang kedua sebagai subjek (mubtada’) untuk “di mana Ia menempatkan pesan-Nya”, setiap cara menyatakan sebuah kebenaran partikular. Karena alasan ini, kita membicarakan kesamaan (tasybih: imanensi) dalam transendensi (tanzih) dan transendensi dalam kesamaan. Sekali ini tersusun kita menurunkan tutup dan menggambarkan selubung-selubung di atas mata skeptis dan dogmatis, walaupun keduanya adalah bentuk-bentuk di mana Allah memanifestasikan Diri-Nya Sendiri. Kita diperintahkan untuk menyingkap selubung supaya perbedaan di antara bentuk-bentuk yang berkenaan dengan kesiapan mereka, untuk merasakan manifestasi-Diri, menjadi jelas, dan untuk menunjukkan bahwa Dia Yang memanifestasikan DiriNya dalam sebuah bentuk melakukan hal demikian hanya berkenaan dengan derajat penerimaan bentuk itu, sehingga apa yang dihubungkan dengan-Nya, melalui bentuk itu, hanyalah seperti realitasnya dan suara kualitas-kualitas yang melekat. Demikian pula halnya dengan seseorang yang memiliki pandangan tentang Allah dalam tidurnya dan menerimanya seperti menjadi Allah Sendiri tanpa syarat. Dalam masalah ini, realitas dan kualitas yang melekat dari bentuk di mana Dia terwujudkan dalam tidur bersinggungan dengan orang yang tidur. Sesudah tidut, apa yang terlihat selagi tidur dapat diekspresikan dalam term-term untuk sesuatu yang lain, yang akan mendorong intelek untuk mengakui transendensi Allah, melalui bentuk itu. Jika yang menginterpretasikannya adalah seorang manusia berwawasan dan beriman, maka mimpi itu tidak petlu secara otomatis ditolak demi kepentingan transendensi, karena manusia seperti itu dapat menyetujui apa yang terlihat bagian seharusnya dan transendensi dan dari mana Dia terwujudkan, karena nama Allah ini kenyataannya, tidak lain hanyalah suatu ekspresi verbal, bagi orang yang memahami apa yang sedang saya bicarakan.

 

Ruh dan esensi hikmah ini adalah bahwa segala sesuatu dapat dibagi menjadi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi, keduanya ditunjukkan melalui ekspresi-ekspresi tertentu. Yang mempengaruhi dalam setiap cara, dalam setiap hal, dan dalam setiap situasi adalah Allah, sedangkan yang dipengaruhi dalam setiap cara, hal, dan situasi adalah Kosmos. Ketika apa yang telah kami bicarakan sampai kepada Anda, maka berikanlah segala sesuatu pada asal mulanya secara tepat, karena yang sampai pada Anda tidak dapat dihindari dan selalu berasal dari suatu asal, sebagaimana cinta ilahiah (al-mahabbah al-ilahiyah) bersumber dati perbuatan-perbuatan sunah (nawafil) yang ditampilkan oleh hamba-Nya. Ini adalah akibat yang terjadi di antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi, sebagaimana Allah adalah pendengaran, penglihatan, dan kekuatan-kekuatan hamba berkat Cinta ini. Ini adalah akibat yang ditegaskan dalam Hukum Ilahi dan tidak dapat ditolak, jika seseorang itu beriman. Seseorang yang memiliki inteligensi yang baik akan menyadari manifestasi-Dini ilahi dalam tatanan alamiah sehingga dia meyakini apa yang sedang kami katakan atau, sebagai seorang Muslim dan Mukmin, akan mudah mempercayainya karena hal ini ditemukan dalam Kitab Sahih. Tidak diragukan bahwa kekuatan khayalan bagi penyelidik intelektual dikalahkan oleh apa yang telah dibawa oleh Allah dalam perkataan ini, karena dia adalah seorang Mukmin. Adapun bagi non-Mukmin, dia mencoba mengatasi khayalan dengan khayalan, dengan membayangkan, dalam cara rasionalnya, bahwa dia telah menanamkan Allah dengan apa disampaikan manifestasi-Diri kepadanya dalam cara yang ia lihat. Dalam masalah ini, ketidaktahuan selalu ada padanya, khayalan tidak akan pernah meninggalkannya, yang menyebabkan dirinya menjadi tidak mengetahui. Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niseaya akan Kuperkenankan bagimu” dan “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku’’,’ sebab Dia tidak mengabulkan jika tidak ada seseorang yang berdoa kepada-Nya walaupun esensi dari pendoa dan Dia Yang Menjawab adalah sama.

 

Tidak ada konflik nyata yang terimplikasikan dalam keanekaragaman bentuk. Mereka berada dalam fakta ganda (suratan). Semua bentuk ini ibarat anggota-anggota badan Zayd. Cukup jelas bahwa Zayd adalah sebuah realitas personal tunggal, dan bahwa tangannya tidak menyerupai kakinya, kepala, mata, atau alis mata. Dengan kata lain, dia ganda dan tunggal, ganda dalam bentuk dan tunggal dalam esensi, sebagaimana tanpa keraguan manusia satu dalam esensinya. Kita tidak meragukan bahwa Amir bukanlah Zayd atau Khalid ataupun Ja’far, demikian juga bahwa pelbagai bagian individu dari esensi tunggal ini tidak terbatas dalam eksistensi. Jadi Allah, walaupun Satu dalam Esensi-Nya, adalah ganda dalam bentuk-bentuk dan bagian-bagian individu.

 

Jika Anda seorang Mukmin, Anda akan mengetahui bahwa Allah akan memanifestasikan Diri-Nya pada Hari Kiamat, pada awalnya dalam suatu bentuk yang dapat dikenal, kemudian dalam bentuk yang tidak dapat diterima bagi orang biasa, dan akhirnya kembali pada suatu bentuk yang dengan mudah dikenal oleh orang Mukmin. Dia sendiri menjadi sesuatu Yang Memanifestasikan-Diri dalam setiap bentuk, walaupun nyata bahwa satu bentuk tidak sama seperti béntuk yang lain.

 

Begitulah jika Esensi tunggal itu adalah sebuah cermin, sehingga ketika pengamat melihat di dalamnya bentuk keyakinannya tentang Allah, dia mengakui dan menegaskannya, tetapi jika ia  dapat melihat formulasi doktrin seseorang dari keyakinan lainnya di dalam cermin, dia akan menolaknya, seolah-olah dia sedang melihat di dalam cermin itu bentuk-Nya dan kemudian keyakinan dari yang lain. Cermin ini tunggal, sedangkan bentuk-bentuk itu ada ber macam-macam dalam mata sang pengamat.

 

“Tidak satu pun dari bentuk-bentuk itu benar-benat ada dalam cermin, walaupun cermin itu memiliki dampak (pengaruh) pada bentuk-bentuk itu dalam satu hal, dan tidak pada yang lain. Sebagai contoh, ia  dapat membuat bentuk yang terlihat lebih kecil, lebih besar, lebih tinggi, atau lebih luas. Jadi, ia memiliki pengaruh dari ukuran-ukurannya, yang dapat dihubungkan dengannya, walaupun perubahan-perubahan semacam ini terjadi hanya disebabkan ukuran berbeda dan cermin-cermin itu sendiri. Kemudian lihatlah kepada hanya satu cermin tanpa mempertimbangkan cermin-cermin secata umum, karena ia sama seperti penglihatanmu pada-Nya sebagai menjadi Esensi tunggal, sekalipun Dia melampaut semua kebutuhan alam. Karena menjadi Nama-nama ilahi, di lain pihak, Dia menyerupai cermin-cermin (dalam bentuk jamak). Nama dari manakah yang telah membuat Anda melihat diri Anda sendiri, atau siapakah seseorang yang melihat? Ini hanyalah realitas tentang Nama yang terwujudkan pada yang melihat. Jadi begitulah, jika Anda ingin memahami.

 

Jangan menyusahkan diri Anda sendiri seperti juga jangan menakuti diri Anda sendin, karena Allah mencintai keberanian, sekalipun jika berada dalam pembunuhan seekor ular, di mana ular tersebut tidak ada melainkan diri Anda sendiri. Nah, bagi seekor ular, seekor ular adalah seekor ular dalam bentuk dan kenyataan, seperti halnya dia bukanlah sesuatu yang dibunuh oleh dirinya sendiri.

 

Bahkan jika bentuk manusia dapat diubah secara fisik, karakter esensialnya akan mempertahankannya, seperti halnya imajinasi tidak akan meninggalkannya. Jika ini adalah tentang bagaimana segala sesuatu, maka ia merupakan kekuatan jaminan, dan pertahanan dari esensi segala sesuatu, dan apakah yang menguatkan yang bisa menjadi lebih kuat daripada ini? Anda membayangkan, melalui khayalan, bahwa Anda telah membunuh diri Anda sendiri, walaupun bentuk esensial ini hidup dalam intelek dan khayalan, menurut definisi asalnya. Bukti dari ini adalah firman-Nya, “Bukan kamu yang melempar, akan tetapi Tuhanlah yang melempar mereka.’” Mata sang pengamat hanya merasakan bentuk Muhammad, untuk penglihatan secara fisik yang dengan jelas muncul untuk melempatr. Ini adalah bentuk di mana pertama-tama Allah menyangkal tindakan pelemparan, kemudian Allah selanjutnya menegaskan dalam tindakan, terakhir penegasan kembali bahwa Allah-lah Yang meJermpar dalam bentuk Muhammad. Dalam hal ini, keirmanan menjadi sangat penting, jadi pertumbangkan keefektifan-Nya di mana Allah dikirim dalam sebuah bentuk Muhammad. Adalah Allah Sendiri Yang telah menghubungkan ini dengan harmba-harnba-Nya, bukan kita, tetapi Dia Sendiri. Firman-Nya adalah benar dan untuk mempercayainya adalah wajib, apakah seseorang memahami signifikansi atas apa yang telah Dia katakan ataukah tidak, apakah seseorang menjadi manusia terpelajar ataukah hanya sebagai Muslim yang mengimani.

 

Indikasi dari kelemahan atas spekulasi cendekiawan adalah anggapan bahwa sebuah sebab tidak dapat menjadi akibat untuk sesuatu di mana ia adalah sebab. Yang demikian ini adalah penilaian dari intelek, sedangkan dalam ilmu penyingkapan-Diri ilahi diketahui bahwa sebuah sebab dapat menjadi akibat dari sesuatu yang menyebabkan. Penilaian dari intelek tersebut didengarkan asalkan spekulasinya jelas dan telin. Yang terbanyak bahwa kaum intelektual akan menerima hal ini, ketika dia melthat bahwa hal ini bertentangan dengan buku spekulatuf, yakni bahwa esensi, sesudah tersusun sehingga ia adalah satu di antara yang banyak, sebagai suatu sebab, dalam beberapa bentuk atau yang lain, dari sebuah akibat, tidak dapat menjadi sebuah akibat bagi akibatnya, sehingga akibat itu akan menjadi sebabnya, sedangkan ia  masih merupakan sebuah sebab, tetapi penentuannya itu diubah oleh transformasinya dalam bentuk-bentuk, sehingga ia dapat menjadi sebuah akibat bagi akibatnya sendiri, yang kemudian dapat menjadi sebabnya. Kemudian ini berjalan sejauh dia beranjak, ketika dia merasakan bahwa persoalan ini tidak akan sesuai dengan spekulasi rasionalnya. Jika memang demikian halnya dalam masalah kausalitas, jangkauan apakah yang dapat dimiliki oleh spekulasi intelecktual dalam persoalan-persoalan yang lebih sulit lainnya

 

Tidak ada yang Iecbih cerdas dibandingkan para rasul. Ke berkatan Allah ada pada mercka, dan apa yang mercka bawa untuk kita berasal dari Keagungan llahi. Mereka sesungguhnya mencgaskan apa yang intelek tegaskan, tetapi ditarmbah lebih banyak sehingga intelek tidak mampu memahaminya, hal-hal yang dinyatakan intelek menjadi absurd, kecuali dalam hal seseorang yang telah memiliki  suatu pengalaman yang paling dekat dengan manifestasi ilahi; sesudah itu, menyerahkan dirinya sendiri, dia dibingungkan mengenai apa yang ia lihat. Jika dia adalah seorang harnba Tuhannya, dia mengarahkan kecerdasannya pada-Nya, tetapi jika ia  adalah seorang hamba akal, dia mereduksikan Allah terhadap ukurannya. Ini hanya terjadi sepanjang dia ada dalam keadaan duniawi ini, dengan terselubungi dari keadaan duniawi-lainnya di dunia ini.

 

Sang gnostikus muncul di dunia ini seolah-olah mereka ada dalam bentuk-bentuk duniawi, dengan alasan dan akibat kemunculannya pada mereka, tetapi Allah telah mengubah bentuk mereka secara batin menjadi keadaan duniawi-lain mereka, tanpa suatu keraguan. Terselubungi dalam bentuk-bentuk mereka, mereka tetap segala sesuatu yang tak dikenal kecuali bagi seseorang yang wawasan batinnya telah dibuka oleh Allah untuk merasakan realitas spiritual. Sama halnya mereka tidak dapat mengenali Allah dalam manifestasi-Diri-Nya, kecuali dia menjadi dalam bentuk duniawinya yang lain. Dia telah dikumpulkan, demi sang Waktu, di dunia ini, dan dilahirkan dalam kesuraman, karena dia dapat melihat dan menyaksikan apa yang tidak dapat Anda lakukan, sebagai buku dari perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya.

 

Siapa pun yang berkeinginan untuk menemukan Hikmah Ilyas dan Idris ini, yang telah Allah tegakkan dua kali, maka biarkanlah dia mengetahui bahwa Idris adalah seorang nabi sebelum Nuh, dan kemudian mengangkat dan mengutus lagi sebagai Ilyas. Jadi, Allah memberinya dua misi. Allah membiarkan dirinya dari alam inteleknya sampai alam gairahnya hingga dia menjadi seekor hewan sesungguhnya, dengan mengalami pengalaman-pengalaman binatang buas, terlepas dari “dua yang berat” (manusia dan jin). Kemudian dia akan mengetahui bahwa dia telah menyadari kebinatangannya. Orang semacam ini dapat diakui rnelalui dua tanda. Yang pertama adalah penyingkapan ini, sehingga dia melihat yang disiksa dan yang dihormat di alam kubur, dan melihat orang mati seperti sedang hidup, yang kelu berbicara, yang berjalan dan yang duduk. Tanda kedua adalah kebisuannya, sehingga sekalipun ia ingin berbicara atas apa yang ia lihat, ia  idak dapat melakukannya juga. Inilah yang membuatnya menyadari sepenuhnya kebinatangannya. Kami pernah mempunyai seorang murid yang memiliki pengalaman seperti itu, tetapi dia tetap tidak bisu dan demikian juga, dia tidak sepenuhnya menyadari kebinatangannya. Ketika Allah menetapkan saya dalam maqam ini, saya menyadari kebinatangan saya sepenuhnya. Saya melihat segala sesuatu dan saya ingin menyatakan apa yang saya lihat, tetapi tidak dapat melakukannya juga, menjadi tidak berbeda dari orang bisu sungguhan. Ketika dia telah menyadari semua ini, dia akan ditransformasikan ke dalam intelek murni, kehilangan masalah alamiah. Kemudian, dia akan melhhat segala sesuatu yang ada pada sumber yang terwujud dalam bentukbentuk alamiah dan akan mengetahui dengan cara segera asal mula rezim (al-hukm) ilahi ini dalam bentuk-bentuk alam. Jika dia menemukan bahwa Alam sama seperti Napas Sang Pengasih (Nafas ar-Rahman), maka dia telah merasakan suatu anugerah yang besar. Tetapi, jika dia menyadari tidak lebih daripada yang telah kami sebutkan, sangat banyak gnosis yang diperlukan untuk cukup mengondisikan inteleknya. Kemudian, dia akan menjadi salah satu dari para gnostikus (‘arifun) dan akan mengetahui dengan mencapai kebenaran dari firman-Nya, “Kamu tidak akan membunuh mereka tetapi Tuhanlah yang membunuh mereka”, karena hanya besi dan penyerang yang membunuh mereka dan Dia Yang berada di balik bentuk-bentuk ini. Setelah dipertimbangkan semuanya, penembakan dan pembunuhan pun terjadi. Jadi, gnostikus melihat segala sesuatu secara prinsipil dan dalam bentuk-bentuk, sehingga menjadi sempurna pengcetahuannya. Sebagai tambahan, jika dia melihat Napas Sang Pengasih, dia sempurna dan juga lengkap dalam pengetahuannya. Dia hanya melihat Allah sebagai wujud yang ia lihat, dengan merasakan yang melihat sama seperti yang terlihat. Ini sudah cukup dan Allah Maha Memberi petunjuk.

 

CATATAN PENGANTAR

 

Cara lain yang telah dicoba Ibn ‘Arabi untuk menjelaskan mutualitas dan saling ketergantungan konsep “Allah” dan “Kosmos” adalah dengan menerangkan hubungan dalam term-term yang berhubungan dengan makanan. Makanan adalah yang diambil di dalam tubuh seseorang untuk disebarkan dan dicerna bagi penyokongan kehidupan. Di awal bab ini, Ibn ‘Arabi berkata bahwa kita, sebagai makhluk, adalah makanan bagi Dia dan bahwa Dia adalah makanan bagi kita. Dalam keilahian-Nya, sebagai Allah, Dia memerlukan makanan dari ibadah, pengabdian, dan kontingensi kita, sedangkan kita, dalam pengabdian dan penciptaan kita, membutuhkan makanan dari kekayaan, realitas, dan kekuasaan-Nya. Dalam esensi-Nya, sebagai Identitas (huwiyyah) Tertinggi, Dia memerlukan makanan bagi esensialitas laten kita, sedangkan kita, dalam kelatenan kita, memerlukan makanan dari Kesadaran-Nya.

 

Lebih lanjut dalam bab ini, dia menjelaskan perbedaan esensial antara pandangannya sendiri tentang sifat-sifat dasar segala sesuatu dan tentang pandangan teologi Asy’ariyyah. Sementara dia menyetujui kesimpulan mereka bahwa Kosmos adalah satu substansi, dia tidak menyetujui anggapan, yang penting bagi teologi eksoterik, bahwa pada dasarnya dan pada pokoknya substansi itu lain atau terpisah dari realitas Allah.

 

Tetapi, dia menyimpulkan bab ini dengan pembahasan yang lain tentang hubungan bagian-bagian berganda dengan Esensi Tunggal, bahwa setiap bagian tidak ada melainkan Esensi yang merupakan identitas [realitas] sesungguhnya dari setiap bagian.

 

HIKMAH KEBAJIKAN DALAM FIRMAN TENTANG LUQMAN

 

Jika ilahi menginginkan makanan untuk Diri-Nya,

Maka keseluruhan eksistensi adalah makanan bagi-Nya.

Jika ilahi menghendaki makanan bagi kita,

Maka Dia dapat menjadi makanan bagi kita, seperti yang Dia inginkan

Kehendak-Nya adalah keinginan-Nya, jadi katakanlah,

Tentang yang Dia kehendaki, itulah yang dikehendaki.

Dia menginginkan peningkatan dan Dia menginginkan pengurangan,

Tetapi yang Dia kehendaki adalah sia-sia kecuali yang dikehendak.

Terdapat perbedaan ini di antaranya, jadi sadarilah,

Walaupun dari pandangan lainnya secara esensial sama.

 

Allah telah berfirman, “Kami berikan Hikmah kepada Lugman’’, dan siapa pun yang diberikan Hikmah, sesungguhnya dianugerahkan karunia yang besat. Oleh karenanya, Luqman adalah pemilik suatu karunia yang besar, menurut Alqur’an dan kesaksian Allah. Dalam kata-kata, Hikmah dapat diungkapkan ataupun tidak dapat diungkapkan, seperti saat Luqman berkata pada putranya, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sani dan berada dalam batu atau di langit di dalam bumi, niseaya Allah akan mendatangkannya.” Ini adalah suatu hikmah yang diungkapkan, yaitu bahwa mendatangkan adalah tindakan Allah, yang ditegaskan Allah dalam Kitab-Nya, perkataan tidak dihubungkan pada seseorang yang mengucapkannya. Mengenai hikmah yang tidak terungkapkan, ia dikenali melalui petunjuk tidak langsung, sesuatu di mana biji sawi didatangkan tidak disebutkan, karena Luqman tidak mengatakan hal ini kepada putranya, “Allah akan mendatangkannya padamu atau pada seseorang yang lain.” Dia membuat kedatangan umum dan meletakkan apa yang didatangkan di langit atau di bumi, untuk melukiskan perhatian pendengar pada firmanNya, “Dia adalah Tuban di langt atau di bumi.”’ Melalui apa yang diungkapkan dan apa yang tidak diungkapkan, Luqman menyadari bahwa Allah adalah esensi segala sesuatu yang dikenal, “yang dikenal” (al-ma’lum) menjadi suatu istilah yang lebih umum daripada “sesuatu” (asy-syay’), yang tidak pasti. Kemudian ia melengkapi hikmah dan menyelesaikannya, sehingga maknanya dapat disempurnakan, melalui perkataan, “Sesungguhnya Allah Mahahalus” Ini juga adalah dari kehalusan dan kebaikan-Nya bahwa Dia adalah Esensi dati sesuatu, yang dinamai atau didefinisikan, sehingga ia  ditunjukkan melalui namanya hanya dengan pengombinasian dan pemakaian. Jadi seseorang membicarakan tentang langit, bumi, batu, pohon, binatang, malaikat, rezeki atau makanan, Esensti dari segala sesuatu dan dalam segala sesuatu yang menjadi Satu.

 

Kaum Asy’ariyyah mempertahankan bahwa Kosmos secara substansial adalah homogen, menjadi satu substansi, yang sama seperti perkataan kami bahwa Esensi adalah satu. Mereka selanjutnya mengatakan bahwa aksiden-aksidennya berbeda, yang sama dengan perkataan kami bahwa aksiden-aksidennya bervariasi dan beragam dalam bentuk dan sifatnya, sehingga bagian-bagiannya dapat dibedakan satu sama lain. Orang dapat mengatakan tentang ini bahwa Kosmos bukanlah Esensi, baik dalam bentuk, hakikat aksidental, ataupun susunan. Orang dapat juga mengatakan bahwa Kosmos seperti esensi, berkenaan dengan substansi, sehingga substansi yang sama implisit dalam mendefinisikan setiap bentuk dan susunan. Kami katakan bahwa ia tidak lain daripada Allah, sedangkan kaum Asy’ariyyah mempertimbangkan bahwa apa yang disebut sebagai satu substansi, sekalipun merupakan suatu realitas, bukanlah Realitas, yang diartikan oleh orang-orang yang memahami penyingkapan (kasyf) dan manifestasi Ilahi (tajalli), Inilah kemudian hikmah dari Kehalusannya.

 

Kemudian Luqman menerangkan-Nya sebagai makhluk yang “Maha Mengerti” (Khabiran), yang berarti mengctahui melalui pengertian, seperti dalam firman-Nya, “Kami benar-benar akan menguji kamu hingga Kami mengetahui” yang mengindikasikan pengetahuan melalui pengertian yang paling dekat. Walaupun pengetahuan-Nya akan segala sesuatu sebagaimana adanya, di sini Allah berbicara tentang Diri-Nya Sendiri sebagai mencapai pengetahuan, dan kita tidak dapat menyangkal apa yang telah Allah tetapkan untuk DiriNya Sendiri. Di sini Allah memperbedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indriawi langsung dan pengetahuan mutlak, pengalaman langsung yang dibatasi pada fakultas-fakultas (quwwah). Dia telah berfirman tentang Diri-Nya Sendiri bahwa Dia sangat berkuasa atas hamba-Nya dalam firman-Nya, “Aku adalah pendengarannya”, yang merupakan salah satu dari fakultas-fakultas sang hamba, seperti juga, “penglihatannya”, dan lidah, kaki, dan tangannya, yang merupakan anggota-anggotanya.’ Dalam hal ini, bukan hanya fakultas-fakultas yang terlibat, tetapi juga anggota-anggota badan yang bersama-sama membentuk sang hamba. Jadi, esensi dari yang disebut hamba adalah Allah, di mana bukan untuk mengatakan bahwa sang hamba sendiri sama dengan sang tuan. Hal ini disebabkan sifat-sifat esensi itu didiferensiasikan, yang bukan dari yang apa mereka acukan. Kenyataannya tidak terdapat apa-apa melainkan Esensi-Nya dalam semua sifat, karena Dia adalah Esensi Yang Esa Yang mempunyai hubungan-hubungan dan sifat-sifat.

 

Inilah Hikmah Luqman dalam memerintahkan putranya bahwa dia menggunakan dua nama, “Mahahalus, Maha Mengertu” untuk menjelaskan Allah. Hikmah ini menjadi lebih sempurna saat dia telah menggunakan kata “adalah” untuk menunjukkan wujudnya dalam eksistensi. Allah menceritakan perkataan Luqman secata hipotetis, dalam pengertian bahwa ia mengartikan bahwa tidak ada yang dapat menambah peningkatan kepada-Nya. Firman-Nya, “Allah, Yang Mahahalus, Maha Mengetahui” adalah perkataan Allah sendiri, karena Allah mengetahui Luqman [dalam keabadian] bahwa dia akan melengkapi Hikmah, ketika dia mengucapkannya dalam cara yang lebih lengkap.

 

Mengenai firman-Nya, “Sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi” ini menekankan seseorang yang memiliki makanan, menjadi sama seperti “zarrah” yang disebutkan dalam firmanNya, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niseaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niseaya dia akan melihat balasannya pula.” Yang mempunyai makanan di dalamnya adalah pengisi yang paling kecil, dan biji sawi adalah barang terkecil dari makanan. Jika terdapat sesuatu yang lebih kecil, Dia akan menyebabkan, sebagaimana dalam firmanNya, “Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.’” Karena Dia mengetahui bahwa tidak ada yang lebih kecil daripada seekor nyamuk, Dia berkata, “atau yang lebih rendah dari itu” artinya sesuatu yang lebih kecil. Seperti juga ayat dalam Surat az-Zalzalah [mengenai zarrah], ini adalah firman Allah, jadi pahamilah! Kami mengetahui bahwa Allah tidak akan membatasi Diri-Nya bagi berat sebutir zarrah, jika ada sesuatu yang lebih kecil, tetapi akan menggunakan bagi ucapan yang bersifat berlebih-lebihan; hanya Allah-lah mengetahui dengan benar.

 

Mengenai penggunaannya pada kata pengecil (tasgir) “anak laki-laki’’, ia merupakan kata pengecil dari rahmat, dengan melihat bahwa dia menganjurkan dirinya berkenaan dengan segala sesuatu yang akan membawa kebahagiaannya yang besar, asalkan saia dia berundak pada mereka. Adapun hikmah dari nasithatnya yang menghalanginya untuk “‘mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar”, meraupakan objek ilahi dari kesalahan ini, yang politeis (musyrik) menggambarkan sebagai terbagi, yang tidak lain kecuali Esensi Yang Tunggal. Kenyataannya, dia sedang berhubungan dengan-Nya yang tidak lain daripada EsensiNya, yang merupakan puncak ketidaktahuan. Alasan untuk ini adalah bahwa orang yang tidak memiliki wawasan spiritual tentang segala sesuatu sebagaimana adanya, atau tentang realitas sesungguhnya tentang sesuatu ketika bentuknya muncul pelbagai macam dalam satu Esensi, dan tidak menyadari bahwa keserbaragamannya terjadi dalam satu Esensi, pasti menghubungkan satu bentuk dengan yang lain dalam keadaan kesatuan dan membagi secara adil bagi setiap bentuk sebagian darinya. Mengenai suatu hubungan, diketahui bahwa yang membedakannya dari yang dihubungkan tidaklah sama seperti dengan yang terhubungkan, karena yang terakhir, dengan cara yang sama, dibedakan (dalam beberapa hal]. Kemudian, pada kenyataannya, tidaklah ada hubungan, karena setiap dari mereka memiliki sesuatu untuk miliknya sendiri, dari yang dikatakan bahwa suatu hubungan eksis di antara mereka. Alasan penegasan seperti ini adalah hubungan yang umum. Akan tetapi, jika benar-benar umum, maka aktvitas independen suatu bagian khusus membatalkan keadaan yang umum itu. Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman.” Inilah inti bagi persoalan ini.

 

CATATAN PENGANTAR

 

SEKALI LAGI, Rahmat kreatif adalah subjek bagi diskusi di sini. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa Kenabian Harun berasal dari Rahmat ilahi, yang kemudian dia kaitkan dengan Ibu Musa dan Harun, karena keibuan lebih mewakili Rahmat kreatif ketimbang kebapakan, yang lebih mewakili kemarahan, Rahmat yang mewajibkan. Di awal karya ini, ia menghubungkan konsep keibuan dengan Alam dan kebapakan dengan Ruh. Jadi, Rahmat kejadian kosmik yang tidak terbatas dalam semua multiplisitas yang menikmatkan dirinya dan kompleksitas bentuk-bentuk, dipikirkan dalam term keibuan dan kewanitaan. Kata rabmah itu juga sangat berhubungan dengan kata rahim (kandungan), sedangkan Rahmat reintegrasi spiritual yang mutlak dalam semua simplisitas prinsipnya yang seksama dipikirkan dalam term kebapakan dan maskulin. ‘ Namun, sebagaimana adanya yang sudah alami dalam konteks tradisi patriarki, pria mendominasi wanita, Ruh menguasai Alam, dan “Realitas” sebagai “Allah” lebih utama ketimbang Realitas sebagai Kosmos.

 

Topik utama selanjutnya dalam bab ini adalah tentang ketundukan, Kosmos pada manusia, manusia pada Allah, dan ke binatangan manusia pada ruhani manusia. Sesudah menunjukkan bahwa keserupaan tidak dapat tunduk pada setiap lainnya, maka seseorang, sebagai wujud manusia, tidak bisa tunduk pada seseorang lainnya, yang juga adalah manusia. Ibn ‘Arabi kemudian melanjutkan untuk membedakan antara ketundukan melalui kekuatan kehendak dan ketundukan melalui keadaan. Jadi, manusia sebagai hamba tunduk pada kehendak Tuhannya, sedangkan manusia sebagai bagian dari Kosmos secara tidak langsung tunduk kepada Allah. Secara sama, sebagaimana dalam hal makanan dan kausalitas, dalam suatu pengertian tertentu, yang tunduk bisa juga dikatakan menundukkan penunduknya. Dengan demikian, Allah, dalam peran kreatif dan kepenguasaannya, bertanggungjawab dan karenanya tunduk pada kebutuhan dan ketergantungan makhluknya, seperti dalam pengetahuan Dia akan Diri-Nya Sendin, apakah sebagai Esensi ataukah sebagai Kosmos, Dia tunduk pada apa yang diberikan esensi-esensi laten kepada-Nya untuk mengenal tentang Diri-Nya.

 

Sekarang, kita sampai pada sesuatu yang mungkin merupakan salah satu dari konsep-konsep terdalam dan terberani Ibn ‘Arabi, yaitu tentang nafsu (Aawa) ilahi. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjukkan nafsu, gerak hati, tingkah, kegila-gilaan, dan hasrat buta dari suatu jenis yang paling duniawi. Namun demikian, dengan melihat lebih dekat, pada pelbagai arti dari akar kata bahasa Arabnya, orang akan menyadan bagaimana tajamnya konsep yang dimiliki oleh kata yang sedang kita sajikan di sini. Di antara arti dari kata dasar hawa adalah jatuh dengan segera, mati, menjadi luas dan dalam, angin, udara, menyerang, ruang, dan lembah yang sangat dalam. Karenanya, makna keseluruhan kata ini, sebagaimana yang dimaksudkan di sini, secara spontan jatuh cinta lewat nafsu, dengan melemparkan diri, seperti hembusan angin yang mengalir menuju kehampaan lembah yang sangat dalam. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa pengalaman ini universal dan perlu diejawantahkan dalam totalitas pengabdian, karena tanpa dorongan nekat ini seceara menyeluruh untuk menggabungkan bagian dan melalui bagiannya untuk bergabung dengan keseluruhan, tidak akan ada menjadi cinta, pengabdian, atau penegasan, penyempurnaan yang terdapat dalam Kesatuan Wujud.

 

Bagi Ibn ‘Arabi, konsep ini niseaya dihubungkan dengan konsepnya tentang Cinta (mahabbah) ilahi, yang merupakan cara lain bagi penggambaran Napas Sang Pengasih, yang bertindak sebagai respon atas kerinduan batin ilahi bagi kesadaran-Diri dan kemudian menghasilkan radiasi Ruh yang langsung, yang ramah, dan yang “menyerang’’ dalam hasratnya yang urgen (hawa) untuk memberitahukan dan memeriahkan lembah yang maha-menerima dalam matriks segala kejadian. Dengan kata lain, pengabdian yang digairahkan dengan cinta yang memaksa manusia untuk menegaskan yang ruil dan abadi dalam objeknya tentang pengabdian tidaklah ada melainkan sebuah refléksi hasrat ilahi dari Realitas yang ada di mana-mana untuk mengenal Diri-Nya sebagai Objek dan—setelah mengenal Diri-Nya—untuk mencintai Diri-Nya pada tink penyempurnaan kembali. Karena, pengabdi, yang secara esensial tidak ada kecuali Dia, hanyalah merupakan pengabdian yang juga hampa kecuali Dia. Ibn ‘Arabi tidak memilih suatu kata yang pantas, yang menggabungkan sebagaimana kata tersebut menggabungkan anggapan kandungan aktif dan tempat yang mau menerima, karena dalam suatu pengertian, setiap objek cinta atau pengabdian adalah sebuah lembah yang menggabungkan, dan setiap pengabdi atau pencinta adalah “yang jatuh tiba-tiba’’, apakah menjadi Napas dari Rahmat ilahi yang membebaskan sesuatu yang berharga dari esensinya menjadi lermmbah eksistensi kosmik ataukah pengabdi manusia yang mencurahkan hatinya pada Tuhannya.

 

Ibn ‘Arabi mengakhiri bab ini dengan menyatakan sesuatu yang sangat penting, baik bagi posisinya sendiri dalam Islam maupun bagi gabungan beberapa tradisi mistik. Itulah bahwa setiap gnostikus sejati, semmentara secara batin menyadari universalitas kebenaran yang tidak terbatas, sebagaimana sering diekspresikan dalam karya ini, dan menyadari kchadiran Realitas di mana-mana dalam segala hal, namun pada akhirnya sesuai dengan formulasi-formulasi doktrin dan prakuk-prakuk ritual dari takdir keagamaan itu di mana takdirnya telah membuatnya tunduk oleh waktu dan tempat lahir dan hidupnya. Dengan Kata lain, jika ini benar, pnosisnya mengungkapkan padanya tidak hanya keseluruhan yang tak terbedakan dani fundamental Kesatuan Wujud bagi semua wujud dan pengalaman wujud tetapi juga mengungkapkan bahwa perbedaan, diferensiasi, ketegangan, dan kelainan itu adalah sebuah aspek mutlak dari keseluruhannya di mana pada tingkat-tingkat tertentu memerlukan hak pengakuan dan konformitas mereka.

 

HIKMAH KEPEMIMPINAN DALAM FIRMAN TENTANG HARUN

 

Ketahuilah bahwa, eksistensi Harun berasal dari bidang Rahmat tlahi, berdasarkan firman-Nya, “Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya” yang berarti Musa, “sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi.” Kenabiannya berasal dari bidang Rahmat ilahi, karena walaupun usia Harun lebih tinggi daripada Musa, Kenabian Musa lebih tinggi daripada Kenabian Harun. Ini dikarenakan Kenabian Harun berasal dari Rahmat ilahi sehingga Musa berkata kepada saudaranya, “Wahai putra tbukw’,? yang menunjukkannya melalui penyebutan itbunya dan bukan ayahnya, karena rahmat lebih menyinggung ibu dibandingkan ayah, dan lebih mendalam pada akibatnya. Tetapi untuk rahmat ini, ibu tidaklah memiliki kesabaran untuk gigih dalam membesarkan anaknya.

 

Kemudian, Harun berkata, “Janganlah kamu pegang janggut dan kepalaku dan janganlah kamu menjadikan musuh sembtra melihatku.’’ Semua ini adalah suatu napas Rahmat, alasan bahwa Musa tidak cukup melihat secara hati-hati lembaran-lembaran yang telah ia luncurkan dari kedua tangannya. Musa telah melakukannya sehingga dia menemukan petunjuk dan rahmat dalam lembaran-lembaran itu, dan lembaran-lembaran tersebut menjelaskan padanya bagaimana keadaan yang telah membuatnya marah telah terjadi, dan Harun tidak bersalah dalam hal tersebut. Rahmat ada pada saudara lakilakinya, karena Musa tidak merampas janggut Harun dalam pandangan umatnya, dikarenakan Harun lebih tua daripada Musa. Pembelaan Harun adalah sebuah tindakan baik bagi saudara laki-lakinya, karena kenabiannya berasal dari Rahmat ilahi, dan hanya penilaku penuh perhatian seperti itulah yang diharapkan darinya.

 

Lalu Harun berkata pada Musa, “Aku khawatir kamu akan berkata [(padaku]: Karau telah mermecah belah Bani Israil”, yakni bahwa Harun menyebabkan pemecahbelahan itu, di mana dalam kenyataannya adalah pemujaan terhadap anak lembu. Beberapa orang dari para pemuia anak lembu itu melakukannya sebagai upaya untuk menyarmai as-Samiri, sedangkan yang lainnya menahan diri dari tindakan itu, sehingga saat Musa kembali mereka dapat berkonsultasi dengannya tentang masalah tersebut. Harun khawatir bahwa Musa akan menghubungkan pemecahbelahan Bani Israil itu dengan dirinya. Namun, Musa lebih mengetahui masalah tersebut dibandingkan Harun, dengan mengetahui tentang apa yang benar-benar sedang disembah oleh para penganut anak lembu tersebut, dengan menyadan bahwa Allah telah menetapkan bahwa tidak  ada sesuatu pun yang dapat disembah kecualii Dia Sendin, dan bahwa apa yang telah ditetapkan oleh Allah benar-benar begitu. Kemarahan Musa pada saudaranya, Harun, dikarenakan penolakan impulsifnya atas kejadian itu, sepernu juga kekurangcukupannya pada kesempatan itu. Gnostikus adalah seorang yang melihat Allah dalam segala hal, sungguh-sungguh melhat-Nya sebagai esensi segala hal. Jadi, Musa-lah yang telah mengajari Harun, walaupun Musa lebih muda daripada saudaranya tersebut. Oleh karena itu, ketika Harun menjawab perkataan Musa, Musa berpaling ke arah as-Samiri, dan mengatakan, “Apakah yang mendorongmu [berbuat demikian] wahai Samir?’’?? dengan memandang tindakan nya yang membuat bentuk seekor anak lembu dari sesosok musuh (Iblis), yang diciptakan dari harta benda orang-orang Mesir, jadi dengan mencuri hati mereka demi kepentingan kekayaan mercka. ‘Isa bersabda pada Bani Israil, “Wahai Bani Israil, setiap hati manusia adalah tempat di mana kekayaannya berada. Oleh karenanya, biarkan kekayaan (harta benda)-mu ada di Langit supaya hatimu juga ada di sana.’’ Dia hanya menyebut kekayaan sebagai mall karena kekayaan adalah sesuatu yang melalui hakikatnya yang sangat menyondongkan (tumilu) hati pada pemujaannya betul-betul menjadi objek yang sangat diinginkan dengan alasan kebutuhan hat terhadapnya. Namun demikian, bentuk-bentuk itu tidak berlangsung lama dan bentuk anak lembu pasti akan hilang karena Musa begitu cepat-cepat membakarnya. Dengan semangatnya yang membara, Musa membakar anak lembu itu dan melemparkan abunya ke laut. Kemudian Musa berkata pada as-Samiri, “Iihat lah Tuhanmu,’ dengan menyebutkan anak lembu sebagai tuhan untuk memperkuat perintah Musa, dengan mengetahui bahwa ia adalah sebuah aspek dari manifestasi ilahi. Musa bersabda, “Aku akan sungguh-sungsuh membakarnya.’

 

Kebinatangan manusia menggunakan pengaruh tertentu pada kebinatangan binatang lantaran fakta bahwa Allah telah menundukkannya untuk manusia dan, tidak kalah penting, karena asal-usulnya yang sesungguhnya bukanlah binatang. Tetapi, anak lembu itu bahkan lebih tunduk, karena yang tidak bernyawa tidak memiliki kehendak atas dirinya sendiri dan ada pada penyelesaian manusia, tanpa resistensi apa pun atas peranannya. Jika seekor binatang memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan, maka binatang tersebut akan terus-menerus melawan apa yang manusia inginkan darinya. Jika binatang tersebut tidak memiliki  kemampuan seperti itu, atau jika harapan manusia terlaksana sesuai dengan harapan manusia dari binatang, maka binatang tersebut pada dasarnya dapat diarahkan untuk tunduk memenuhi harapan manusia. Demikian pula halnya, manusia, seperti binatang tersebut, dapat diyakinkan untuk mematuhi beberapa perintah berkenaan dengan apa yang ditinggikan Allah di atas binatang demi kepentingan perolehan yang dia harapkan dari keridhaannya. Beberapa perolehan terkadang disebut sebagai upah, seperti pada firman-Nya, “Kami telah meninggkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat” sehingga, “Sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.” Seorang manusia tunduk pada yang lain hanya pada kebinatangannya, bukan pada kemanusiaannya, karena kedua yang serupa ini adalah saling eksklusif. Manusia superior dapat menundukkan yang Jain dengan status melalui kekayaan atau reputasi, yakni dengan kemanusiaannya, tetapi yang lain tunduk kepadanya, batk melalut ketakutan atau ketamakan, hanya dengan kebinatangannya dan tidak dengan kemanusiaannya. Sesuatu tidaklah tunduk pada sesuatu lainnya yang setata, yang mana sesuatu tersebut mempertimbangkan saling konflik di antara binatang-binatang dengan alasan kesamaan level mereka. Sehingga, yang sama menjadi saling eksklusif. Itulah mengapa Dia berfirman, “Dan Dia telah meninggikan derajat beberapa di antara kamu di atas yang lain,” seseorang di atas yang lain dak menjadi seseorang di bawah yang lain dalam derajat. Ini menunjukkan bahwa penundukan (taskhir) adalah sebuah masalah derajat (martabah).

 

Penundukan terbagi menjadi dua jenis, yang pertama penundukan kehendak padanya yang menundukkan dengan penyergapan kehendak dan yang ditundukkan. Ini seperti penundukan btidak  oleh tuannya, sekalipun mereka serupa dalam kemanusiaan mereka, atau seperti penundukan oleh penguasa atas semua yang ditundukkannya. Jadi, sekalipun mereka sama dalam kemanusiaan mereka, dia menundukkan mereka melalui derajat. Jenis kedua adalah penundukan melalui keadaan, seperti pada penundukan orang pada raia yang menguasai urusan-urusan mereka, yang mempercayai mereka, melindungi mereka, melawan musuh-musuh mereka, dan memelihara harta benda dan diri mereka. Dalam masalah penundukan dengan keadaan ini, subjek-subjek dalam suatu hal tunduk pada penguasa mereka. Berbicara sebagaimana mestinya, int disebut penundukan melalui tingkatan, di mana tingkatan menguasat manusia. Beberapa raia berusaha keras atas tujuan-tujuan mereka, sedangkan yang lain menyadari kebenaran masalah dan mengetahui bahwa melalui tingkatan maka mereka berada, tanpa terelakkan, dalam ketundukan pada subjek-subjek milik mereka, karena mereka mengenali kemampuan dan kebenaran mereka. Allah menghargai orang seperti ini seumpama Dia menghargai orang-orang yang mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Balasan untuk orang seperti ini adalah keniseayaan bagi Allah untuk terlibat dalam hubungan dengan hamba-hamba-Nya. Keseluruhan subjek Kosmos sungguh-sungguh melalui keadaan, Sesuatu Yang sebagaimana mestinya tidak dapat disebut sebagai yang tunduk, seperti yang telah difirmankan-Nya, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”

 

Kekurang efektifan Harun untuk mengendalikan pengikutpengikut anak lembu melalui perolehan penguasaan terhadap anak lembu itu, seperti yang dilakukan Musa, merupakan suatu hikmah dari Allah yang terwujud dalam dunia yang tercipta, sehingga Dia dapat disembah dalam setiap bentuk. Sekalipun bentuk itu sesudahnya menghilang, bentuk tersebut sungguh-sungguh terjadi hanya sesudah kemunculannya, karena pemuia bentuk tersebut tertutup! dalam ilahi, sehingga setiap jenis sesuatu yang disembah, pada saat yang sama, menjadi ilahi atau yang berkuasa, dan setiap orang cerdas dapat menyadan bahwa ini pastilah benar. Namun demikian, tidak sesuatu pun dalam Kosmos yang disembah kecuali sang penyembah memangku suatu keagungan tertentu dan memperoleh suatu derajat tertentu di hatinya. Jadi Allah disebut “Yang Mahatinggi dalam derajat-derajat”, dan bukan tinggi dalam derajat, karena Dia telah membuat banyak derayat dalam Satu Esensi. Demikian juga, Dia telah menakdirkan bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali Dia yang disembah dalam banyak bentuk yang berbeda, dan bahwa setiap derajat seharusnya menjadi suatu konteks bagi manifestasi-Diri ilahi di mana Dia disembah. Yang sangat agung dan tertinggi dari ini adalah hawa nafsu, seperti firman-Nya, “Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?’’ Ini sungguhsungguh merupakan objek tertinggi dari pemujaan, karena tidak sesuatu pun yang dapat disembah tanpa hawa nafsu, seperti juga tidak dapat disembah tanpa Esensi-Nya. Mengenai ini saya katakan:

 

Dengan kebenaran hawa nafsu, sesungguhnyathawa nafsulah yang menurunkan hawa nafsu,

 

Dan kalau tidak  karena hawa nafsu dalam hati, hawa nafsu tidak akan disembah.

 

Tidakkah Anda mempertimbangkan bagaimana sempurna dan lengkapnya ilmu Allah tentang segala sesuatu, dan bagaimana Dia menyelesaikan kehendak-Nya dalam masalah seseorang yang memuia nafsunya dan menjadikannya sebagai tuhan? Dia berfirman, “Allah membiarkan seseorang sesat, berdasarkan ilmu-Nya” kesesatan menjadi kebingungan. Jadi, Allah melihat bahwa sang penyembah hanya menyembah hawa nafsunya dikarenakan penyembah tersebut terdorong untuk mematuhi dorongannya untuk menyembah apa pun yang ia sembah. Sesungguhnya, penyembahannya kepada Allah tetap terdorong oleh hawa nafsu, karena dia tidak memiliki hawa nafsu bagi Kesucian ilahi, yang merupakan kehendak untuk mencintai, dia tidak akan menyembah Allah atau melebihkan-Nya daripada yang lain. Sama halnya permasalahan setiap orang yang menyembah beberapa bentuk kosmik dan mengangkat sebagai tuhan, karena hanya melalui hawa nafsulah sehingga orang tersebut dapat memandangnya dalam hal ini. Setiap penyembah berada di bawah kekuasaan hawa nafsu.

 

Kemudian sang penyembah mulai melihat bahwa, di antara orang-orang yang menyembah, objek penyembahan ada bermacam-macam dan bahwa penyembah objek penyembahan tertentu menyalahkan orang yang menyembah sesuatu yang lain darinya sebagai kekufuran. Jadi orang-orang yang memiliki kesadaran menjadi bingung dikarenakan universalitas hawa nafsu ini, kesatuan hawa nafsu pada dasarnya sama pada setiap penyembah.

 

“Allah membiarkan seseorang sesat’, yaitu, Dia membingungkan (hayyara) manusia berdasarkan “ilmu-Nya,” di mana setiap penyembah hanya menjalankan hawa nafsunya melalui dia sendiri yang bergerak untuk menyembah, apakah ia sesuai dengan Syariah ataukah tidak. Gnostikus sempurna adalah seorang yang memandang setiap objek sembahan sebagai suatu manifestasi Allah di mana Dia disembah. Gnostikus tersebut menyebut objek sembahan tersebut sebagai tuhan, walaupun namanya yang tepat kemungkinan adalah batu, kayu, hewan, manusia, bintang atau malaikat. Walaupun mungkin merupakan nama khususnya, Keilahian mempresentasikan sebuah tingkat realitas yang menyebabkan penyembah membayangkannya sebagai objek sesembahannya. Kenyataannya, tingkat ini adalah manifestasi-Diri Allah bagi kesadaran penyembah objek dalam cata manifestasi tertentu ini. Dikarenakan oleh ini, orang-orang tertentu yang bodoh berkata, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Tuhan dengan sedekat-dekatnya” tetapi dengan menyebut mereka sebagai tuhan-tuhan ketika mereka berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Esa saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang mengherankan.” Mereka tidak menolaknya, tetapi menunjukkan keheranan mereka, yang terbatas pada suatu dugaan tentang keberagaman bentuk dan sifat ketuhanan yang terdapat pada mereka. Kemudian sang rasul datang dan menyeru mereka pada Allah Yang Esa Yang, walaupun diakui tetapi tidak ditegaskan oleh mereka, setelah terlihat bahwa mereka mengkonfirmasikan-Nya dan mempercayai-Nya melalui kata-kata mereka, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” dengan mengetahui bahwa bentuk-bentuk itu adalah batu. Jadi, argumen yang dipergunakan untuk menyangeah mereka dengan firman-Nya, “Katakanlah: Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu.” Namun demikian, mereka menamai mereka hanya dalam cara seperti ini sebagaimana untuk mensugesti bahwa namanama mereka memiliki suatu realitas.

 

Adapun para gnostikus, yang mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, memperlihatkan suatu sikap penolakan terhadap penyembahan bentuk-bentuk, karena derajat pengetahuan mereka membuat mereka sadar bahwa mereka, melalui wewenang rasul yang mereka percayai dan melalui mereka yang disebut orang-orang Mukmin, tunduk pada aturan waktu. Jadi, walaupun ada kesadaran mereka bahwa kaum musyrik tidak menyembah bentuk-bentuk mereka sendiri, melainkan hanya Allah bagi mereka, melalui dominansi manifestasi—Diri ilahi yang mereka lihat pada mereka, namun mereka adalah hamba-hamba waktu mereka. Sang penolak, yang tidak memiliki pengetahuan tentang bagaimana Dia memanifestasikan Diri-Nya Sendiri, tidak sepenuhnya menyadari hal ini, karena gnostikus sejati menyembunyikan semua ini dari nabi, rasul dan pengikut-pengikut mereka. Malahan penolak ini memerintahkan kaum musyrik untuk menjauhi bentukbentuk tertentu kapan pun sang rasul di masanya melakukan hal tersebut. Hal ini mereka lakukan, dengan mengikuti sang Rasul dan mencari cinta Allah, seperti dalam firman-Nya, “Katakanlah‘Jika kamu (benar-benar) mencantai Allah, tkutilah aku, niseaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Dia sedang menyeru kepada suatu tuhan yang secara abadi diupayakan, secara universal diketahui, tetapi tidak terlihat. “Dia tidak dapat dijangkau oleh pengkhatan mata” tetapi, “Dia menjangkau segala penglihatan’’ berkat kehalusan dan penembusan-Nya dalam esensi segala sesuatu. Mata tidak dapat melihat Dia, sebagaimana mereka tidak dapat melihat ruh-ruh yang menguasai rupa-rupa dan bentuk-bentuk lahir mereka. “Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui” pengalaman menjadi perasaan yang dekat, di mana manifestasi-Diri-Nya berada dalam bentuk-bentuk. Mereka dan Dia adalah penting, sebagaimana seseorang yang melihat-Nya melalui hawa nafsunya, harus menyembah-Nya jika Anda memahami; dan hanya Allah yang menunjuki jalannya!

 

CATATAN PENGANTAR

 

Ini adalah sebuah bab yang sangat kompleks yang berhubungan dengan banyak subjek. Namun, tema-tema penting tertentu patut mendapatkan catatan istimewa. Yang pertama adalah hubungan, yang berkaitan dengan seluruh bab ini, antara Musa dan Fir’awn. Yang kedua adalah hubungan, yang juga menarik, antara Musa dan al-Khidr. Yang terakhir, Ibn ‘Arabi menghubungkan lagi dengan berbagai aspek keinginan ilahi untuk menciptakan Kosmos dalam suatu gerakan cinta, kebutuhan kesementaraan kosmik bagi keseluruhan Realitas, dan kebingungan spiritual yang dialami oleh gnostikus yang mencoba memahami paradoks dalam polaritas ilahi dalam Kesatuan.

 

Dalam Alqur’an, Fir’awn digambarkan sebagai arketip kekufuran, arogan, tidak adil, dan manusia yang memuia diri sendiri, contoh tertinggi dari manusia yang, dengan mengetahui kebenaran Keesaan ilahi dalam hatinya, sengaia menekan kebenaran itu agar dirinya merebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan yang pada dasarnya milik Allah. Dia juga merepresentasikan penyalah gunaan pokok fungsi wali agung pada manusia dengan berusaha berkuasa atas mamanya sendiri dan mengabaikan Syariah Langit. Kesombongan ini disimpulkan dalam dua kata dalam Alqur’an, kafir dan zulm. Yang pertama bermakna pengabaian dengan sengaia atau penyembunyian kebenaran bagi tujuan-tujuan seseorang, yang kedua berarti penindasan yang sewenang-wenang dan ketidakadilan yang merupakan tanda dari setiap tiran. Pendek kata, Fir’awn adalah penjelmaan atau personifikasi kekuasaan telanjang tanpa prinsip. Demikian juga, Musa, dalam situasi yang diterangkan dalam Alqur’an, merepresentasikan komitmen manusia dan kesesuaiannya dengan Syariah ilahi, tetapi tanpa kekuasaan personal untuk menyelenggarakannya. Jadi, sementara Musa memiliki tingkatan spiritual dan otonitas, Fir’awn memiliki tngkatan aktual dan otonitas di dunia ini, dengan mengilustrasikan, sekali lagi, ketegangan paradoks antara Keinginan ilahi, yang disimbolkan oleh Musa, dan Kehendak ilahi, yang dilambangkan oleh Fir’awn. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi memberikan kesan bahwa, walaupun ada kebukantuhanan yang tampak dan Fir’awn, aktualitas kekuasaannya sama dengan suatu realisasi partikular, dalam konteks manusia, tentang kekuasaan sebagai suatu fungsi Kehendak ilahi untuk berkreasi. Hal ini merupakan implikasi yang muncul bahwa, secara batiniah, Fir’awn mengetahui kebenaran ilahi, tetapi terpaksa memenuhi fungsi kosmiknya yang sesuai dengan kecenderungannya in divinis, walaupun fungsi itu tampaknya sepenuhnya patut dicela dari sudut pandang Keinginan ilahi sebagaimana dijelaskan oleh Musa. Jadi, dialog antara Musa dan Fir’awn, yang di permukaan tampak menjadi sebuah konfrontasi sederhana antara yang benar dan yang salah, kebaikan dan kenyahatan, pada kenyataannya adalah suatu tindakan dalam drama yang dimainkan secara terus-menerus antara prinsip-prinsip polar Kehendak kreatif dan Keinginan spiritual Allah. Realitas batin dari keyakinan Fir’awn ditegaskan lagi pada kematiannya.

 

Dalam masalah hubungan antara Musa dan al-Khidr, yang merupakan nama yang secara tradisional diberikan untuk orang yang tak bernama, yang dijumpai Musa dalam Alqur’an, kami agaknya mempunyai sebuah ilustrasi tentang ketegangan perenial antara Syariah, yang dipresentasikan oleh Musa dan yang mengekspresikan Keinginan ilahi, dengan mistik atau pengetahuan esoterik gnosis yang merasakan tidak hanya keperluan bagi, dan validitas, Syariah tersebut, tetapi juga validitas dan kebutuhan yang tak dapat dielakkan aspek-aspek kejadian kosmik yang menghindarkan Syariah, serta juga sintesis keduanya dalam Kesatuan Wujud. Musa, sebagai eksponen Kata yang diungkapkan sebagai Syariah, kelihatannya gagal memahami setiap jangkauan dan relevansi Kehendak ilahi atau Kesatuan fundamental di mana konflik Ruhdunia dipecahkan. Al-Khidr, di sisi lain, sementara merasakan kegagalan ini pada diri Musa, juga respek terhadap. tingkatan spiritualnya sebagai seorang nabi, dengan mengakui juga sifat tak terelakkan dari bias yang tampak sebagai yang penting bagi ketegangan antara kutub-kutub Realitas ilahi. Dengan kata lain, terdapat hal-hal tertentu yang diwahyukan oleh gnosis secara batiniah, di mana nabi dan rasul, seperti dalam masalah Nuh (Bab 3), pada lahirnya tidak dapat diperhitungkan sebagai representasi kutub spiritual, yang dijalankan oleh fungsinya atas penolakan segala sesuatu, sekalipun diaktualisasikan oleh Kehendak ilahi, yang tidak sesuai dengan Keinginan ilahi.

 

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Ibn ‘Arabi melihat gerakan kemunduran diri penciptaan yang didorong oleh Cinta (mahabbah), yang merupakan Cinta, hasrat, atau keinginan ilahi untuk mengenal Diri-Nya, untuk mencintai Diri-Nya, dan pada akhirnya untuk bersatu dengan Diri-Nya dalam perwujudan Realitas. Seperti juga telah disebutkan, gerakan cinta terhadap pengetahuan-Diri ini dengan menciptakan refleksi kosmik-Nya secara tak langsung menyatakan kebutuhan mutlak atas apa yang disebut “berlangsung sebentar saja” (ephemeral) sebagai elemen esensial dalam pencapaian pengakuan-Dini, sebagai formulasi kosmik yang penting, sebagai objek, atas apa yang Dia berada dalam Diri-Nya, secara laten dan esensial. Di satu sisi, polaritas Kosmos ini secara esensial implisit pada Ketuhanan dan, di sisi lain, Allah secara spiritual implisit dalam bentuk-bentuk kosmik, dengan semua keteganyan dan konflik yang tampaknya tak dapat didamaikan kembali yang melekat pada polaritas seperti itu, mempresentasikan intelek manusia dengan dilema mengerikan yang hanya dapat diselesaikan melalui realisasi terbesar dari semua, yang bertujuan untuk mendapatkan wawasan dan pengalaman tentang Kesatuan Wujud. Kesadaran atas mutualitas polar antara Allah-Kosmos, KeinginanKehendak, Ruh-Alam, melemparkan aspiran ke dalam suatu keadaan kebingungan yang besat (Aayrah) di mana dia hanya dapat tenggelam pada dirinya sendiri, dengan melepaskan semua kepastian parsial dan tenggelam dalam lautan realitas ilahi, sehingga meniadakan dirinya sendiri, hanya untuk hidup di dalam-Nya. Bagi orang seperti ini, tidak terdapat “kita” dan “Dia”, tidak ada dualitas atau ketegangan, tetapi hanyalah kita di dalam-Nya di dalam kita di dalam Ia di dalam suatu pengalaman Kesatuan yang tak terlukiskan.

 

HIKMAH KEUNGGULAN DALAM FIRMAN TENTANG MUSA

 

Hikmah tentang pembunuhan anak laki-laki, lantaran Musa adalah kehidupan setiap anak yang terbunuh karena dengan begitu dapat memberikan kekuatan padanya, disebabkan karena setiap anak yang terbunuh kemungkinan besar seperti Musa. Tidak terdapat ketidaktahuan dalam masalah ini. Karena, kehidupan setiap anak yang terbunuh diandaikan harus kembali pada Musa. Setiap hidup adalah suci dan tak berdosa, tidak ternodai oleh tujuan prbadi dan sungguh-sungguh dalam keadaan “Betul, sungguh-sungguh.” Dengan demikian, Musa adalah suatu peleburan setiap kehidupan yang diambilkan manfaatnya, dan segala sesuatu disiapkan untuk setiap anak menurut penerimaan spiritualnya, lalu, diletakkan pada Musa. Bagi Musa, ini adalah suatu anugerah ilahi khusus yang tidak diberikan pada seorang pun sebelum beliau.

 

Hikmah Musa ada bermacam-macam dan, jika Allah menghendaki, kami akan memasukkan dalam bab ini sebanyak Hikmah ini sebagai perintah ilahi yang diperintahkan pada pikiran saya. Ini betul-betul yang pertama kalinya saya membicarakan masalah-masalah seperti ini.

 

Sejak kelahirannya, Musa merupakan campuran dari banyak ruh dan kekuasaan yang aktif, tindakan orang yang lebih muda pada yang lebih tua. Tidakkah Anda melihat bagaimana sang anak bertindak pada yang lebih tua dalam suatu cara khusus, sehingga orang yang lebih tua mengurangi posisinya sebagai superioritas, bermain dan mengobrol dengan yang lebih muda, dan membuka pikiran padanya. Jadi, orang yang lebih tua berada di bawah pengaruh orang yang lebih muda tanpa dia menyadari hal tersebut. Lagipula, sang anak mengikat perhatian yang lebih tua dengan membesarkan dan melindunginya, mengawasi lewat perhatiannya dan kepastian bahwa tidak ada sesuatu pun yang akan menimbulkan kegundahan. Semua ini menunjukkan tindakan yang lebih muda pada yang lebih tua berkat kemampuan pemancar [spiritual] muiliknya, karena hubungan sang anak dengan Tuhannya adalah baru, dengan menjadi seorang makhluk yang baru. Di lain sisi, orang yang lebih tua lebih jauh dari hubungan itu. Orang yang dekat dengan Allah menggunakan kekuasaan di atas Orang yang jauh dari-Nya, sebagaimana Orang-orang kepercayaan raia menggunakan kekuasaan atas Orang-orang yang jauh keluar dari kehadirannya. Rasulullah menyingkapkan dirinya pada hujan, dengan tidak menutupi kepalanya pada hujan, sembari mengatakan bahwa hujan telah menyegarkannya dari Tuhannya. Maka, pertimbangkanlah betapa luhur, agung, dan bersihnya pengetahuan Nabi kita tentang Allah. Meskipun demikian, hujan memiliki kekuasaan di atas manusia yang terbaik berkat kedekatannya pada Tuhannya, seperti seorang utusan ilahi yang menyeru manusia tersebut dalam esensinya, dalam suatu Cara tanpa suara. Manusia itu menyingkapkan dirinya pada hujan sehingga dia dapat merasakan apa yang telah dibawa hujan dari Tuhannya pada manusia tersebut. Sesungguhnya, dia tidaklah menyingkapkan dirinya pada hujan melainkan untuk kepentingan ilahi yang implisit pada hubungan hujan dengannya.” Maka, ini adalah pesan air dari Allah untuk segala sesuatu yang tercipta hidup; jadi pahamulah!

 

Adapun hikmah yang dihubungkan dengan kemakhlukan Musa yang ditempatkan dalam peti dan dibuang ke air, di mana keranjang merepresentasikan kemanusiaannya, sedangkan air merepresentasikan pengetahuan yang dia peroleh melalui media tubuhnya, seperti diperoleh melalui kemampuan pemiukiran spekulatifnya tentang perasaan dan imajinasi, semua bertambah pada jiwa manusia hanya melalui kehidupan tubuh yang dasar. Ketika jiwa melekat pada tubuh ini dan diperintahkan untuk bertindak pada tubuh dan memerintah tubuh, Allah memberikan kemampuan-kemampuan ini pada tubuh sebagai suatu cara untuk mencapai arah keinginan-keinginan Allah bagi tempat ini (peti) yang terletak pada kesentosaan Tuhan. Jadi, Musa dibuang ke air sehingga dia dapat memperoleh semua jenis pengetahuan melalui fakultas-fakultas. Allah berfirman kepadanya bahwa walaupun ruh yang memimpin adalah pengatur tubuh, ruh memimpin tubuh hanya melalui Musa. Allah menganugerahkan kemampuan-kemampuan yang melekat dalam kemanusiaan ini dan mengungkapkan dalam istilah-istilah “‘petu” dalam kiasan-kiasan Qur’ani dan kiasan-kiasan yang cerdas.

 

Demikian halnya tentang petunjuk Realitas pada Kosmos, karena Dia memerintah Kosmos melalui diri Kosmos sendiri atau melalui bentuknya. Jadi, Dia melakukan dalam cara yang sama seperti anak yang kelahirannya tergantung kepada ayahnya, atas akibatakibat pada sebab-sebab mereka, atas persetujuan-persetujuan pada kondisi-kondisi mereka, atas hal-hal yang terbukti kebenarannya pada bukt-buktinya, dan atas hal-hal yang dapat dicapai pada realitas-realitasnya. Segala sesuatu yang seperti ini adalah Kosmos, ttidak lain hanyalah pekerjaan Realitas dalam Kosmos, di mana Dia melakukannya hanya melalui Kosmos itu sendiri. Mengenai perkataan “atau melalui bentuknya’” adalah berarn bentuk Kosmos, di mana bentuk Nosmos diartikan Nama-nama Yang Indah dan sifat-sifat yang agung di mana realitas disecbutkan dan diterangkan. Kapan pun kita mendengar satu dari Nama-nama-Nya, kita dapat menemukan arti dan ruhnya dalam Kosmos, karena Dia memerintah Kosmos hanya melalui bentuk-bentuknya.

 

Oleh karenanya, Dia telah berfirman tentang penciptaan Adam, yang merupakan hubungan sintetis sifat-sifat Kehadiran ilahi, yang merupakan Esensi, pada kualitas-kualitas dan tindakantindakan , “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam citra-INya Sendin’’* Citra-Nya bukan sesuatu yang lain dari Kehadiran ilahi. Dalam lambang mulia ini, yang merupakan Manusia Sempurna, Dia menciptakan semua Nama dan realitas ilahi, yang persoalan selanjutnya  dari dia menjadi makrokomos di luar dia. Allah membuatnya sebuah ruh untuk Kosmos dan menundukkan padanya apa yang tinggi dan apa yang rendah, lantaran kesempurnaan bentuknya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dalam Kosmos melainkan memberikan pujian pada-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang tidak tunduk pada Manusia Sempurna ini dengan alasan dari apa yang ditanamkan padanya oleh realitas bentuknya. Allah berfirman, “Dia menundukkan padarmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya” sehingga segala sesuatu di alam Kosmos tunduk pada Manusia. Sesungguhnya, siapa pun yang mengetahui hal ini adalah Manusia Sempurna, dan dia bukanlah manusia binatang.

 

Secara lahiriah, penempatan Musa di dalam keranjang dan membuang keranjang di air adalah suatu garmmbaran pengrusakan, sedangkan secara batiniah diartikan sebagai pelariannya dari kematiannya. Dengan demikian , hidupnya terserap, sebagai kehidupan jiwa yang terserap dari kemmatian atas ketidaktahuan dengan pengetahuan, seperti dalam firman-Nya, “Dan apakah orang yang sudah mati” dari ketidaktahuan, dan “‘dia Kari hidupkan’? melalui pengetahuan, “‘dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia’, yang merupakan petunjuk. “[Adalah serupa dengan] orang yang Readaannya berada dalam gelap gukid’ yang merupakan kesalahan “yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya,“ yang berarti bahwa sudah sepantasnya dia tidak akan pernah dibimbing, dan bahwa Dia telah menetapkan bahwa jrwa orang itu tidak akan dapat mencapai tujuannya? Petunjuk yang benar berarti ditunjukkan dan kebingungan, sehingga orang itu tahu bahwa keseluruhan hubungan kepada Allah adalah kebingungan, yang berarti kekacauan dan perubahan terus-menerus, dan perubahan terus-menetus itu adalah kehidupan. Tidak ada pengurangan dan penghentian, tetapi semuanya adalah wujud yang bukan nonwujud. Sama halnya dengan masalah air di mana bumi hidup dan bergerak, seperti dalam firman-Nya, “dan a bergetar” dalam kehamilannya, “dan berkembang” dalam kelahirannya, dan “mengeluarkan setiap bagian yang indah.” Yakni bahwa bumi membenikan kelahiran hanya pada apa yang menyerupainya dalam Alam. Pembagian ini adalah polaritas yang melekat dalam semua yang lahir atau terwujud darinya. Sama halnya pula, Wujud Allah memiliki  muluplisitas dan keanekaragaman Nama-nama tertentu, karena yang terwujud dari Dia dalam Kosmos secara lahiriah memerlukan realitas Nama-nama ilahi, sehingga melalui Kosmos dan Penciptanya kesatuan dari multiplisitas ditegaskan. Dalam hal esensinya, Kosmos adalah tunggal, sebagaimana esensi dari substansi primordial adalah tunggal, tetapi Kosmos adalah multipel dalam hal bentuk-bentuk bagian luar yang ia lahirkan dalam esensinya. Jadi Kosmos bersama Allah dalam hal bentuk-bentuk manifestasi-Din-Nya.

 

Dia adalah panggung bentuk-bentuk Kosmos, dengan memperhitungkan Keesaan-Nya. Betapa bagusnya ajaran ilahi, wawasan yang merupakan karunia khusus yang dianugerahkan Allah kepada siapa saia yang Dia inginkan.

 

Ketika Fir’awn dan orang-orangnya menemukan Musa dalam ait di dekat pohon, Fir’awn menyebutnya Musa. Mu berarti air dan Sa berarti pohon, dalam bahasa Koptik. Jadi Fir’awn menyebut Musa berdasarkan dia menemukannya, karena peti dihentikan sebatang pohon di tepi sungai [air]. Fir’awn bermaksud membunuh Musa tetapi istrinya terilhami oleh firman ilahi, dengan melihat bahwa Allah telah menciptakannya atas kesempurnaan, seperti sabda Nabi kita ketika beliau menghubungkan wanita tersebut dengan Maryam akan kesempurnaan yang biasanya didambakan oleh para lelaki. Dia berkata kepada suaminya, “Biarkanlah menjadi suatu penghibur untukemu dan untukku.” jadi, wanita tersebut terhibur dengan kesempurnaan yang diberikan kepadanya, seperti yang telah kami katakan.

 

Hiburan Fir’awn terletak dalam keimanan di mana Allah berikan ketika ia kemudian tenggelam. Allah membawa Fir’awn pada kesucian Diri-Nya, suci dan tidak ternodai oleh dosa, karena Dia membawa Fir’awn pada tindakan pertanggungjawaban sebelum dia dapat bertanggung jawab atas dosa apa pun, karena kepatuhan kepada Allah menghapus semua yang telah lalu sebelumnya. Jadi, Dia menjadikan Fir’awn sebagai sebuah simbol perhatian penuh kasih sayang yang Dia berikan pada siapa pun yang Dia inginkan, agar seseorang tidak berputus asa dari rahmat Allah, “Karena, hanya orang-orang kafirlah yang berputus asa pada rahmat Allah.” Jika Fir’awn berputus asa, menunjukkan bahwa dia tidaklah cepat-cepat beriman pada Allah.

 

Seperti yang dikatakan istri Fir’awn tentangnya, Musa adalah “suatu penghibur untukmu dan untukku, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita”, karena Allah telah memberi keuntungan pada mereka dengan kehadiran Musa, walaupun mereka tidak menyadari bahwa Musa adalah seorang nabi di mana melalui kedua tangannya Kerajaan dan rakyat Fir’awn akan binasa. Ketika Allah telah menyelamatkan Musa dari Fir’awn, “menjadi kosonglah hati Ibu Musa’ ,” yaitu kekosongan atas kegelisahan yang telah menimpanya. Kemudian Allah menjaga Musa dengan penyusuan, di mana dia dibawa pada penyusuan ibunya, sehingga Dia membuatnya senang . dalam kesempurnaannya.

 

Yang demikian ini adalah masalah pengetahuan tentang Syariah. Dia berfirman, “Kami berikan peraturan [minhaja] dan jalan yang terang”yang merupakan suatu jalan (syir’ah) sedangkan minhajan (min-ha ja’a) berarti bahwa ia datang dari jalan itu. Ini menjadi pengibaratan bagi sumber yang berasal dari yang datang, yang merupakan rezeki bagi hukum abadi hamba, sebagaimana batang pohon mendapatkan makanan dari akarnya. Jadi, apa yang dilarang dalam satu Hukum (Syara’) diperbolehkan pada yang lain, dari sudut yang formal. Ini tidak berat: bahwa yang dilarang selalu diperbolehkan, karena Perintah ilahi selalu berupa ciptaan baru yang tidak pernah diulangi; jadi berjaga-jagalah! Dalam kasus Musa, ini ditunjukkan oleh penolakannya pada seorang ibu susu. Ini dikarenakan ibu yang sesungguhnya adalah seorang yang menyusuinya dan bukanlah orang yang melahirkannya. Ibu yang melahirkannya menerimanya sebagai suatu kepercayaan [dari sang ayah] dan ia hidup dikarenakan ibunya dan menerima makanan pada darah menstrual ibunya, semua ini terjadi tanpa kesengajaan, sehingga ibunya tidak memiliki  tuntutan atas Musa. Musa sesungguhnya hidup dari yang akan membunuh ibunya dan membuat ibunya sakit, jika ibunya tidak melepaskannya. Oleh karenanya, orang mungkin berkata bahwa janin memiliki suatu tuntutan atas ibunya, dengan melihat bahwa janin hidup dan darah itu dan kemudian melindungi sang ibu dari bahaya yang mungkin ia  derita yang ada padanya dan tidak melepaskan diri dan ibunya atau dibinasakan oleh sang janin. Ibu susu tidaklah seperti itu, karena melalui penyusuannya ia mengembangkan hidupnya dan dengan sengaia untuk kelangsungan hidup. Keibuan sukarela ini disediakan oleh Allah bagi Musa dari sang ibu yang juga melahirkannya. Jadi, tak seorang pun selain ibunya yang melahirkannya yang diberikan hak atas Musa, sehingga sang ibu juga menemukan hiburan ketika ia  membesarkan Musa dan melihat Musa tumbuh dalam kasih sayangnya, “supaya tbunya tidak berduka cita.”

 

Jadi Allah menolong Musa dari kesusahan di dalam peti, dan dia menerobos kegelapan alam secara terus-menerus melalui pengetahuan ilahi yang Allah berikan kepadanya, sekalipun Musa tidak muncul sama sekali dari kegelapan itu. Allah memberikan berkalikali godaan pada Musa, dengan mengujinya dengan banyak situasi, sehingga kesabaran menghadapi cobaan Allah didapatkannya. Ujian pertama adalah pembunuhannya atas seorang Mesir, yang diinspirasikan kepadanya oleh Allah dan disimpan dalam hatinya yang paling dalam, walaupun dia sendiri tidak mengetahui hal tersebut. Musa benar-benar tidak bermaksud untuk membunuh orang Mesir itu, walaupun dia tidak ragu-ragu ketika perintah Allah sampai kepadanya. Ini dikarenakan Nabi secara lahiriah dilindungi, yang tidak menyadari tentang sesuatu hingga Allah memberitahukan tentang hal tersebut. Jadi, ketika al-Khidr membunuh anak muda di depannya, Musa mencela perbuatan itu, dengan melupakan perbuatannya sendiri atas orang Mesir. Kemudian al-Khidr berkata, ‘Bukanlah aku melakukannya itu berdasarkan kemauanku sendiri’ dengan mencoba memberitahukan pangkat yang dimuilkinya, sebelum dia sendiri diberitahukan bahwa dia, walaupun tidak menyadari, dilindungi dari beberapa kecenderungan yang bertentangan dengan Kehendak Allah. Al-Khidr juga menunjukkan kepada Musa tenggelamnya perahu (safinah), yang secara lahiriah menyimbolkan kerusakan, sedangkan secara batiniah berarti pelepasan dari tindakan seorang perampas. Dalam hal ini, al-Khidr memberikan Musa sebuah perbandingan dengan peti di mana Musa telah diliputi dalam air, aspek bagian luar darinya adalah kerusakan, pelepasan menjadi arti bagian dalamnya. Ibunya telah melakukannya, tanpa perasaan takut kalau-kalau kekuasaan Fir’awn yang menghancurkan dapat mengorbankan Musa dalam ketidakberdayaannya di depan mata ibunya, walaupun apa yang Tuhan tampakkan pada sang Ibu, sarmpai pada akibat yang dia tidak sadari [lihat]. Walaupun sang ibu merasakan sebuah dorongan yang kuat untuk menyusukan Musa, sang ibu membuang Musa di air ketika merasakan ketakutan akan keamanan Musa; seperti yang pepatah katakan, “Apa yang tidak dilihat mata, hati tidaklah berduka cita.” Ini bukan karena sesuatu yang dapat dilihat sang ibu yang membuatnya takut dan berduka cita atas Musa, karena sang ibu memiliki isyarat yang kuat bahwa Allah akan mengembalikan Musa padanya, karena kepercayaannya kepada Allah. Jadi sang ibu hidup dengan perasaan ini, harapan dan keputusasaan berdesak desakan dalam hatinya, sehingga ketika sang ibu diilhami oleh Allah, maka dia berkata pada dirinya sendiri, “Mungkin inilah sang rasul di mana kekuasaan Fir’awn dan orang-orang Mesir akan dihancurkan.” Jadi sang ibu hidup dengan perasaan ini dan merupakan kandungan pada perasaan itu, pengetahuan ini juga menjadi sebuah bentuk dari pengetahuan.

 

Kemudian, ketika Musa tertuntut atas kejahatan yang telah ia lakukan, dia meninggalkan tempat itu dalam pelarian, yang secara lahiriah takut, sedangkan secara batiniah adalah pencarian pembebasan, karena semua dorongan bersumber dari cinta, pengamat akan teralihkan dari ini melalui sebab lain yang kurang pentng. Itu dikarenakan asal mula semua dorongan adalah gerakan Kosmos dari keadaannya yang tidak hidup di mana Kosmos tersembunyi sampai ia  menjadi eksistensi, sehingga dengan demikian, Kosmos menjadi sesuatu yang menggemparkan dari keadaan tidak bergerak [istrahat]. Gerakan yang merupakan kedatangan menjadi eksistensi Kosmos adalah suatu gerakan cinta. Ini ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Aku adalah khazanah yang tidak dikenal, dan berhasrat untuk dikenal”, sehingga, kalau tidak karena kerinduan ini, Kosmos tidak menjadi terwujud dalam dirinya. Jadi, gerakan Kosmos dari ketidakadaan menjadi ada adalah cinta Sang Pencipta baginya untuk terwujud. Sama halnya pula, Kosmos rindu untuk melihat dirinya sendiri dalam eksistensi seperti yang ia lakukan dalam kelatenannya, sehingga dalam segala hal, gerakan Kosmos dari kelatenan noneksistensinya menjadi eksistensi adalah suatu gerakan cinta oleh Realitas dan Kosmos.

 

Kesempurnaan dicintai oleh Kosmos itu sendiri, sehingga ilmu Allah atas Diri-Nya, sebagaimana bebas dari semua kebutuhan dunia, adalah untuk Din-Nya Sendiri. Hanya terdapat sisa-sisa penyelesaian tingkat pengetahuan-Diri melalui pengetahuan atas apa yang sebentar saja, yang berasal dari esensi-esensi Kosmos ketika mereka menjadi eksistensi. Citra kesempurnaan ini hanya lengkap dengan pengetahuan yang abadi dan sementara, tingkatan pengetahuan yang semputna dihasilkan oleh hanya kedua aspek tersebut. Demikian pula, pelbagai ungkatan eksistensi lainnya disempurnakan, karena wujud dibagi menjadi abadi dan tidak abadi atau sementara. Wujud abadi adalah wujud Allah bagi Diri-Nya Sendiri, sedangkan wujud nonabadi adalah wujud Allah dalam bentuk-bentuk Kosmos laten. Disebut sementara karena bagian-bagian dari wujud ini tampak pada yang lain, yang mana wujud tampak pada dirinya sendiri dalam bentuk-bentuk Kosmos. Jadi Wujud adalah sempurna, keseluruhan gerakan Kosmos menjadi gerakan cinta bagi kesempurnaan, jadi pahamilah!

 

Kemudian, pertimbangkan bagaimana Dia membebaskan kesukaran Nama-nama ilahi dalam kekurangan manifestasi pengaruh-pengaruh mereka dalam Kosmos. Ini dikarenakan Allah mencintai pembebasan, yang dapat dicapai hanya melalui wujud formal, apakah tinggi atau rendah. Jadi ditegaskan bahwa gerakan adalah untuk cinta, tidak ada gerakan dalam eksistensi terkecuali untuk cinta. Walaupun beberapa dari kalangan terpelajar menyadari ini, yang lainnya tidaklah menyadari hal ini karena pengaruh yang kuat dari faktor-faktor yang tidak langsung lebih dekat dan pengaruh mereka pada jiwa.

 

Ketakutan Musa tentang konsekuensi pada pembunuhannya atas orang Mesir secara lahiriah adalah nyata, walaupun ketakutan dalam dirinya sendiri memiliki hasrat [cinta] untuk lari dari pelaksanaan hukuman. Walaupun Musa melarikan diri ketika menjadi takut, kenyataannya ia melarikan diri ketika mulai berhasrat untuk melepaskan diri dari Fir’awn dan komplotannya. Dia pada dasarnya menyebutkan alasan pelarian dirinya yang jelas dan lebih dekat, yang [untuk sebab nyata] bentuk jasmaniah ada pada manusia, keinginan untuk melepaskan diri menjadi implisit, sebagaimana ruh manusia implisit pada raga. Demi keuntungan banyak orang, para nabi mengungkapkan diri    mereka sendiri dalam masalah ini dalam suatu kebiasaan lahir, yang dibatasi sebagaimana adanya melalui pemahaman sang pendengar. Ini dikarenakan para rasul hanya mempertimbangkan keadaan umum manusia, yang menyadarii tingkat pemahaman mereka. Nabi kita sendiri bersabda, berkenaan dengan pertanyaan tentang tingkat dalam masalah karunia duniawi, “Aku akan membertkan karunia pada seseorang tertentu, walaupun aku mungkin lebih suka yang lain, kalau tidak Allah melemparkannya ke dalam api Neraka”, karena nabi mempertimbangkannya bahwa dia lemah atas kecerdasan dan wawasan dan dikuasai oleh ketamakan dan naluri belaka. Dengan demikian, pengetahuan yang dibawa para nabi ditulis dalam istilah-istilah yang pantas bagi pemahaman paling rendah, supaya seseorang yang tidak memiliki kedalaman pengetahuan tidak dapat merangkak lebih jauh dari bentuk-bentuk pesan lahiriah, berpikir pada manifestasi lahirnya, dan berpikir agar berada pada batas pengetahuan yang paling jauh. Di lain pihak, seseorang dengan pemahaman yang tersaring, yang akan menyelidiki kedalaman-kedalaman mutiara hikmah yang pantas dia temukan, berkata, “Ini adalah pakaian luar seorang raja.” Jadi, dia menguji kualitas pakaian dan kebaikan kainnya dan dengan demikian mempelajari   nilai seseorang yang ditutupi pakaian, sehingga mendapatkan pengetahuan yang disangkal oleh yang lain, yang sama sekali tidak memahami ini. Oleh karena itu, lantaran para nabi, para rasul dan pengikut-pengikut mereka mengetahui bahwa orang seperti ini ada di dunia ini, dan ada di antara pengikut-pengikut mereka sendiri, mereka berusaha keras untuk mengungkapkan yang mereka katakan dengan terus terang, sehingga dengan demikian menggabungkan apa yang lahir dan umum dengan apa yang khusus dan batin. Sehingga, orang yang khusus akan memahami tentang pemahaman yang umum dan lebih banyak, sebagaimana mestinya untuk kapasitas khusus yang membedakan orang khusus tersebut dengan orang biasa, sedangkan seseorang [yang diperintahkan] yang menyampaikan pengetahuan ini adalah kandungannya. Dengan demikian, inilah hikmah yang implisit dalam perkataan Musa, “Aku lari meninggalkanmu ketika aku takut kepadamu,‘’ dia tidak berkata, “Aku lari darimu dari sebuah keinginan untuk keselamatan dan kesejahteraan.”

 

Selanjutnya, ketika Musa sampai di negeri Madyan dan menjumpai dua orang suku Madyan serta “mengambilkan air untuk mereka”, tanpa pembayaran apa pun; lalu dia kembali ke tempat teduh Allah dan berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan”, dengan demikian, tindakannya sama dalam mendapatkan air dengan kebaikan yang telah diturunkan Allah padanya, dengan membicarakan tentang dirinya sendiri sebagat wujud yang sangat memerlukan Allah atas kebaikan yang Dia miliki. Al-Khidr menunjukkan pada Musa tembok yang dibangun kembali di mana kemudian Musa mencacinya. Al-Khidr selanjutnya mengingatkan Musa tentang air yang dia dapatkan tanpa adanya pembayaran, dan hal-hal lainnya yang tidak dia sebutkan, hingga Muhammad berharap agar Musa tetap diam dan tidak turut campur sampai Allah mengkisahkan kisah mereka dengannya, sehingga Muhammad dapat mengetahui apa yang telah dicapai Musa tanpa menyadarinya. Jika Musa menyadarinya dalam dirinya, dia tidak akan gagal untuk mengakuinya pada al-Khidr, yang telah diberitahukan Allah kepadanya sebagai yang suci dan adil. Namun demikian, Musa tidak menyadari penyucian Allah atas al-Khidr dan melupakan kondisi yang telah ditetapkannya jika dia harus mengikuti al-Khidr, di mana merupakan rahmat bagi kita yang sering kali melupakan perintah Allah. Jika Musa menyadarinya, al-Khidr tidak akan berkata kepadanya, “yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup”, yakni, bahwa al-Khidr mengetahui segala sesuatu di mana Musa belum berpengalaman akan hal-hal tersebut, sebagaimana Musa juga mengetahui hal-hal yang tidak al-Khidr ketahui. Dengan demikian al-Khidr benat-benar ditujukan untuk Musa.

 

Tentang hikmah yang implisit dalam perpisahannya dari al-Khidr, tersirat dalam firman Allah, “Lakukan apa yang Rasul katakan padamu dan tinggalkan apa yang dilarang padamu.” Orang-orang yang memahami Allah yang mengetahui nilai sebenarnya dari Kerasulan, dan sang rasul, tidak perlu beranjak jauh dari firman int. Mengetahui bahwa Musa adalah seorang rasulullah, al-Khidr memperhatikan dengan teliti apa yang dia lakukan dan katakan, sehingga kesopanan-kesopanan dapat dipertahankan dalam kaitan posisinya vis-a-vis seorang rasul. Musa berkata kepadanya, “Jika aku masih bertanya juga kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, janganlah aku engkau jadikan sahabat lagi.” Karenanya, ketika terjadi pada kali ketiga, alKhidr berkata, “di sinilah titik perpisahan antara aku dan kamu,” Di sini, Musa tidak berkata dan berbuat apa-apa, tidak menuntut lagi sahabatanya, karena dia mengakui signifikansi tingkatan yang telah dibisikkan kepadanya untuk menyahgkal dirinya akan persahabatan lebih jauh apa pun. Musa, karenanya, tetap membisu dan mereka pun berpisah jalan (bercerai).

 

Maka, pertimbangkanlah kesempurnaan pengetahuan kedua orang ini dalam pemeliharaan mereka akan kesopanan-kesopanan ilahi, sebagaimana juga kejujuran (imparsialitas) al-Khidr untuk mengakui tingkatan Musa ketika dia mengatakan, “Aku mempunyai ilmu pengetahuan dari Allah sedangkan kamu tidak mempunyai, sebagaimana kamu juga mempunyai ilmu pengetahuan dari Allah sementara aku tidak memilikinya.” Konsesi terhadap pengetahuan Musa adalah dengan cara meredakan kejengkelan yang telah dia sebabkan kepadanya dengan mengatakan, “Bagaimana dapat engkau menahan hati terhadap persoalan yang sama sekal belum sampai pengetahuanmu menguasainya?” sembari menyadari agungnya tingkatan kerasulannya, yang mana dia sendiri tidak memperolehnya. Ini relevan dengan umat Muhammad dalam kisah penyerbukan pohonpohon kurma. Muhammad bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Kamu lebih memahami [daripada aku] tentang apa yang sebaiknya dilakukan di dunia ini, meskipun tidak ada keraguan bahwa pengetahuan tentang sesuatu lebih baik daripada ketidaktahuan tentangnya. Karenanya, Allah memuji Diri-Nya Sendiri sebagai Yang Maha Mengetahui tentang segala sesuatu dari alam ini, di mana dia tidak memiliki pemahaman, karena hal-hal seperti itu adalah masalah pengalaman dan hubungan langsung, dan Muhammad tidak mempunyai waktu untuk pengetahuan seperti itu, yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih penting. Saya telah menggiring perhatian Anda pada suatu jalan sikap yang akan sangat bermanfaat bagi Anda jika Anda melatih diri Anda sendiri atas itu.

 

Dia juga berkata, “Tuhanku memberikanku wewenang”, yang artinya kekhalifahan, “dan menjadikanku sebagai salah seorang rasul”, yang bermakna Kerasulan, meskipun tidak setiap rasul adalah seorang khalifah. Ini karena kekhalifahan berurusan dengan pedang dan merupakan orang yang menolak dan mengangkat para penguasa, sementara sang rasul tidaklah demikian, urusannya hanya mengkomunikasikan risalah yang diutuskan kepadanya. Jika dia menentang dan melindunginya dengan pedang, maka dia adalah khalifah sekaligus juga adalah rasul. Dengan begitu, karena tidak setiap nabi adalah rasul, demikian juga tidak setiap rasul adalah wali. Jadi, pemerintahan dan kepenguasaan tidak diberikan pada setiap orang,

 

Adapun hikmah yang implisit dalam pertanyaan Fir’awn mengenai hakikat Allah,” berada pada kenyataan bahwa pertanyaan itu tidak ditanyakan dari ketidaktahuan apa pun pada peranannya, melainkan dari pengalaman, untuk melihat betapa jawabannya sesuai dengan klaimnya untuk menjadi rasul Tuhan. Fir’awn mengetahui dengan baik derajat Rasul melalui pengetahuannya tentang Allah, dan dia seyogianya mengambil kesimpulan dari kejujuran jawaban Musa atas klaimnya. Dia mengajukan pertanyaan dengan cara yang menyesatkan, demi memahami yang ditanyakan, tanpa pengetahuan mereka atasnya, atas apa yang secara sadar diajukannya. Oleh karenanya, ketika Musa menjawab dalam cara seseorang yang mengetahui, Fir’awn, demi mempertahankan posisinya, berpurapura bahwa Musa tidak menjawab pertanyaan sebagaimana mestinya, sehingga tampak pada persoalan yang diketengahkan, bahwa Musa lemah dalam pemahaman, sehingga Fir’awn lebih mengetahui dibanding Musa. Karenanya, ketika Musa menjawab pertanyaan dalam suatu cara yang tampaknya tidak untuk menjawab apa yang ditanyakan, Fir’awn, dengan mengetahui bahwa Musa akan menjawab dalam cara itu, berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila” yaitu bahwa Musa tidak mengetahui tentang apa yang aku (Fir’awn) tanyakan, karena dia pada dasarnya tidak mengetahui. Pertanyaannya adalah sesuatu yang valid, karena pertanyaan “Siapa” adalah berkenaan dengan realitas atas apa yang terlihat, yang harus nyata dalam dirinya sendiri. Mengenai pembebanan definisi-definisi, yang menyangkut genus dan spesies, dapat dipakai untuk segala sesuatu yang menerima pemaduan. Mengenai Dia Yang tidak memiliki genus, realitas Dia dalam Diri-Nya haruslah benar-benar lain dengan apa yang terdapat pada yang lainnya. Jadi, pertanyaannya adalah sesuatu yang valid, menurut umat Allah, pengetahuan yang sesungguhnya, kecerdasan yang logis, dan jawaban terhadapnya hanya mampu diberikan oleh Musa.

 

Di sini terdapat suatu rahasia besar, karena dia secara efekuf menjawab seseorang yang telah bertanya tentang semua definisi yang sangat esensial melalui penulisan jawabannya untuk menyesuaikan dengan sifat milik-Nya tentang Diri-Nya pada bentuk-bentuk kosmik di mana Dia memanifestasikan Diri-Nya, atau di mana Dia memanifestasi. Hal ini seolah-olah telah dikatakannya dalam jawaban yang dia berikan pada pertanyaannya, “Dan siapakah Tuhan semesta alam itu”, “Dia ada pada Yang memanifestasikan bentuk-bentuk sekalian alam, baik yang tinggi, yang merupakan langit, maupun yang rendah, yang merupakan bumi, “jika kamu sekalian mempercayainya” atau dengan mana Dia memanifestasi.” Oleh karena itu, ketika Fir’awn berkata pada orang-orangnya, “dia benar-benar gila”, seperti yang telah kita sebutkan, Musa memberikan keterangan lebih lanjut, sehingga Fir’awn dapat mengakui derajat ilmu ilahi Musa, walaupun Musa sendiri tahu bahwa Fir’awn telah mengetahuinya. Musa berkata, “Penguasa Timur dan Barat”, sehingga menggabungkan apa yang nyata dan apa yang tersembunyi, yang lahir dan yang batin serta apa yang berada di antara mereka, seperti dalam firmannya, “Dia mengetahui segala sesuatu.” Juga Dia berfirman, “Jika kamu mempergunakan akal” yaitu, jika kamu adalah orang yang membatasi ini, intelek menjadi terbatas. Bagian pertama dari jawabannya adalah untuk “orang-orang tertentu” yang merupakan orang-orang yang terinspirasi dan merupakan wujud sejati, karena Allah berfirman pada mereka, “Jika kamu percaya” dengan kata lain orang-orang yang terilhami dan wujud sejati. Seakan-akan Dia berfirman kepada mereka, “Aku hanya memberitahukan kepadamu tentang apa yang disaksikan oleh batinmu dan wujud esensial telah menjadikanmu meyakininya. Jika kamu bukan termasuk jenis ini, melainkan orang yang mempunyai akal, pelarangan, dan pembatasan, maka aku menjawabmu dengan bagian kedua, karena Allah juga hadir dalam buku-buku intelektualmu.” Musa menunjukkan dirinya dalam kedua aspek ini, sehingga Fir’awn dapat mengetahui kebajikan dan kejujurannya. Musa mengetahui bahwa Fir’awn tahu dan akan tahu bahwa, karena Fir’awn telah menanyakan siapakah Allah, sebagaimana Musa mengetahui bahwa Fir’awn tidak menempatkan pertanyaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang dulu ketika mereka mengajukan pertanyaan “Siapakah?” Oleh karena itu, Musa menjawab Fir’awn. Kalau dia memikirkan sebaliknya, dia akan menganggap pertanyaan sebagai kekeliruan. Dengan demikian, ketika Musa menghubungkan seseorang yang menanyakan tentang Kosmos, Fir’awn melawannya dalam cara imi, yang tidak diketahui oleh orang-orang yang ada. Fir’awn berkata, “Jika kamu menyembah Tuhan selain aku, aku akan benar-benar menjadikanmu salah seorang yang dipenjarakan.” Huruf sin dalam kata sijn [penjara] adalah sebuah huruf tambahan (zawaid), dengan kata lain dia katakan, “Aku akan sungguh-sungguh menutupi [Jazza] [membingungkan] kamu, karena kamu menjawab dalam cara demikian seperti untuk memancingku ke dalam perkataan apa yang kukatakan kepadamu. Kamu mungkin berkata kepadaku, ‘Wahai Fir’awn, kamu sedang menunjukkan kebodohanmu saat mengancamku, tetapi bagaimana dapat kamu memisahkan kami secara esensial, dengan melihat bahwa Esensi adalah Satu.” Fir’awn berkata kepada Musa, “Ia hanyalah tingkatan yang membagi Esensi, sekalipun bahwa Esensi tidak dapat dibagi atau dipisahkan. Tingkatanku sekarang adalah kekuasaan ce Jacto chi atas kamu. Walaupun pada dasarnya aku adalah kamu, namun berbeda darimu dalam tingkatan.” Ketika Musa memahami ini, dia mengakui kebenaran Fir’awn, seraya berkata pada Fir’awn bahwa dia tak dapat melakukannya [apa yang telah Fir’awn ancamkan]. Tingkatan Fir’awn yang diperlihatkan pada Musa bahwa Fir’awn memiliki kekuasaan dan pengaruh atas Musa, karena Allah dalam bentuk lahir dani tingkatan Fir’awn memiliki kekuasaan di atas tingkatan itu di mana Musa memanifestasi dalam situasi itu.

 

Musa kemudian berkata kepada Fir’awn, dengan cara melawan ancamannya, “Kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata”, di mana Fir’awn hanya dapat menjawab, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar’” jika tidak, Musa akan terlihat lemah dan terkesan tidak adil dalam pandangan pengikutnya, yang mungkin melahirkan keraguan terhadap seseorang yang dipatuhi tetapi sebetulnya remeh. “Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik” yakni, orang-orang yang menolak untuk mengakui bahwa ucapan inteligensi memerlukan penolakan atas apa yang Fir’awn klaim dengan kata-katanya. Hal itu dikarenakan intelek mencapai batas tertentu, tidak dapat beranjak jauh, sedangkan orang yang memiliki inspirasi dan kepastian dapat terus melewati batas itu. Jadi, Musa menghasilkan sebuah jawaban yang dapat diterima, khususnya oleh orang tertentu dan cerdas. “Jadi dia melemparkan tongkatnya’,” yang ada dalam bentuk penolakan Fit’awn pada Musa dalam perlawanan sebuah respon terhadap seruan Musa, “yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata”, yaitu seekor ular yang tidak mungkin diragukan. Dengan demikian, pembangkangan Fir’awn, yang merupakan kejahatan, diubah menjadi ketaatan, yang merupakan suatu hal yang baik, sebagaimana dalam firman-Nya, “Tuhan mengganti kejahatan mereka dengan kebajikan” yaitu, berdasarkan penilaian ilahi. Dengan demikian, keputusan di sini memanifestasi dalam suatu hal khusus dalam sebuah substansi tunggal, karena secara lahiriah merupakan tongkat dan ular. Sebagai ular, ia memakan habis ular-ular lainnya yang menyerupainya, dan sebagai sebuah tongkat ia menelan tongkat yang lain. Jadi, argumen Musa muncul lebih kuat dari argumen Fir’awn, seperti dilambangkan dalam bentuk tongkat-tongkat, ular-ular, dan helaian-helaian. Ahli-ahli sihir memiliki helaian-helaian yang mirip tali-tali kecil sedangkan Musa tidak memiliki sama sekali, yang menunjukkan bahwa kemampuan mereka, dalam hubungannya dengan kemampuan Musa, adalah sebagai kemampuan helaian-helaian di hadapan gunung yang sangat besar. Ketika para abhi sihir melihatnya, mereka menjadi menyadan derajat pengetahuan Musa, dengan mempercayai bahwa apa yang mereka saksikan bukanlah perbuatan makhluk, atau jika merupakan perbuatan makhluk, maka ia hanya berasal dari seseorang yang pengetahuannya bebas dari segala khayalan dan ambiguitas.

 

Oleh karena itu, mereka beriman kepada Tuhan sekalian alam, Tuhan Musa dan Harun, Tuhan yang dipanggil oleh Musa dan Harun, karena para ahli sihir itu menyadari bahwa orang-orang menyadari bahwa bukanlah Fir’awn yang telah dipanggil oleh Musa. Ini dikarenakan Fir’awn berada dalam posisi kekuasaan, manusia di masanya dan wakil melalui pedang, walaupun dia telah menyalahgunakan norma-norma hukum, sehingga dia mengatakan, “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi” Yakni, “Sekalipun semua menjadi Tuhan dalam suatu pengertian tertentu, aku lebih tinggi lantaran secara lahiriah penguasaan telah aku dapatkan di atas kamu.” Para ahli sihir, dengan mempercayai kebenaran yang dia katakan, yang jauh dani menyangkalnya, menegaskannya sembani mengatakan, “Kamu hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja, maka putushkanlah apa yang hendak kamu putuskan.” Dengan demikian, petkataannya, “aku adalah Tuhanmu yang tertinggi“ adalah tepat, karena sekalipun dia secara esensial adalah Allah sendiri, bentuknya adalah bentuk Fir’awn. Melalui Esensi ilahi di dalamnya, tetapi berada dalam bentuk kepalsuan, Fir’awn memotong tangan dan kaki serta menyalib orang-orang, sehingga tingkatan dapat diperoleh, yang hanya dapat diperoleh melalui tindakan seperti itu. Sebab-sebab tidak pernah dapat dibatalkan, karena esensi-esensi laten menjadikan mereka penting. Mereka memanifestasi dalam eksistensi hanya dalam beberapa bentuk atau yang lain menurut apa yang diperintahkan oleh keadaan laten mereka, tidak ada cara mengubah firman-firman [logoi] Allah, yang tidak lain kecuali daripada esensiesensi segala sesuatu yang diciptakan. Dalam hal kelatenan mereka in aeternts, mereka disebut permanen, sedangkan dalam hal eksistensi dan manifestasi mereka, mereka disebut sementara. Orang dapat berkata bahwa beberapa tamu benar-benar hanya mendatangi kita pada hari ini, yang tidak berarti bahwa dia tidak memiliki eksistensi sebelum penampakannya sebagai pengunjung. Dengan demikian, Allah dalam Kalam-Nya yang kuat, berfirman, “Kapan pun datang kepada mereka beberapa pengingat baru dari Tuhan mereka, mereRa mendengarnya sambil lalu,” dan, “Kapan pun datang kepada mereka beberapa peringatan baru dari Yang Maha Penyayang, mereka selalu berpaling darinya.” Sang Penyayang hanya muncul melalui Rahmat, dan barangsiapa yang berpaling darinya akan mengharapkan hukuman, yang merupakan kehilangan Rahmat. Juga firman-Nya, “Kemanan yang mereka dapatkan setelah menghadapi Hukuman Kami itu tidaklah berguna, itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hambanya” kecuali pada kaum Yunus, di mana pengecualian tidak berarti bahwa, keimanan tidak akan menguntungkan mereka di Akhirat, tetapi berarti bahwa keimanan akan menyelamatkan mereka dari kesalahan di dunia ini.“

 

Dengan demikian, Fir’awn diambil [terbunuh] walaupun ada ketaatannya [yang mendadak], yang menunjukkan kalau dia mengalami kematian khusus pada saat itu. Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa Fir’awn tidaklah dapat dipercaya, karena dia melihat kaum Mukmin yang berjalan melewati jalan kering yang muncul ketika Musa membelah lautan dengan tongkatnya. Jadi, ketika dia yakin, Fir’awn bukanlah pembinasaan yang pasti, tidak sama dengan orang mati, [yang hanya percaya], sehingga kematian tidak akan menyentuhnya. Dia percaya seperti Bani Israil percayai, walaupun dia percaya bahwa dia akan diselamatkan dari kebinasaan. Apa yang dia percayai, terjadi, tetapi dalam suatu bentuk yang lain daripada yang ia harapkan. Allah menyelamatkan jiwanya dati . hukuman Akhirat dan juga menyelamatkan jasadnya, sebagaimana firman-Nya, “Pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu” agar pengikutnya tidak berkata bahwa Fir’awn hanyalah pergi bersembunyi jika bentuknya menghilang. Walaupun mau, Fir’awn terlahat dalam bentuknya yang biasa, sehingga dapat dikenali bahwa bentuk itu benar-benar adalah Fir’awn. Dengan demikian, ia terselamatkan secara lahiriah dan secara batiniah. Orang yang dikutuk untuk diazab di Akhirat taidak percaya, apa pun tanda yang diberikan padanya, “hingga mereka menyaksikan azab_yang pedi’, yaitu, hingga mereka mengalami azab Akhirat. Jadi, tampak jelas dan Alqur’an bahwa Fir’awn bukanlah dari jenis itu. Kami katakan lebih lanjut, tetapi Allah mempunyai firman akhir, yang, meskipun orang-orang berpikir bahwa dia terkutuk, dak ada teks yang menyokong pandangan seperti ini. Hal-hal yang berkenaan dengan orang-orang nya, yaitu cerita yang lain, tidak memiliki tempat di sini

 

Ketahuilah bahwa Allah tidak mengangkat seorang manusia yang mati, kecuali kalau dia menjadi seorang Mukmin, sejauh peringatan ilahi telah sampai kepadanya. Karena alasan ini, kematian mendtidak dan pembunuhan seorang manusia yang tidak sadar adalah dibenci. Sedangkan dalam hal kematian mendadak, napas internal terlepas, tetapi napas eksternal tidak masuk, hal ini tidak terjadi pada seseorang yang mati [secara lebih lambat]. Sama halnya dengan orang yang terbunuh tanpa sadar, misalnya, dengan dibentur dari belakang. Orang seperti ini diangkat dalam bagaimanapun keadaannya baik beriman ataupun kufur pada saat dia mati. Nabi bersabda, “Dia akan dikumpulkan dalam suatu keadaan ketika dia mati” Di sisi lain, orang mati menyadari kematian dan yakin tentang apa yang terjadi, sehingga dia diangkat dalam keadaan itu. Ini dikarenakan ana [ada, menjadi] adalah sebuah kata wujud yang berhubungan dengan perluasan waktu hanya melalui perpaduan dengan keadaan-keadaan. Oleh karena itu, sebuah distinggi harus dibuat, antara yang kafir mati dalam keadaan sadar dengan orang yang terbunuh tanpa sadar atau mati secara mendadak, sebagaimana yang telah kami sebutkan berkenaan dengan kematian mendadak.

 

Mengenai penyingkapan-Diri ilahi dan pembicaraannya dalam bentuk api, ia terjadi dikarenakan keinginan Musa. Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada Musa dalam bentuk yang diinginkannya, sehingga dia dapat mendekati dan tidak berpaling, Jika Dia menampakkan Diri-Nya kepada Musa dalam cara yang lain, dia tidak akan berpaling karena konsentrasi atas ketertarikan Musa pada suatu tujuan khusus. Jika Musa berpaling, perbuatan tersebut akan kembali kepadanya dan Allah juga pasti berpaling darinya. Namun demikian, Musa adalah seorang terpilih dan terkasih, sebagaimana yang diindikasikan oleh fakta bahwa Allah memperlihatkan DiriNya kepada Musa dalam objek keinginannya, yang tidak diketahuinya.

 

Seperti dengan api Musa, dia melihatnya sebagai kebutuhannya,

Yang tidak diketahuinya sesungguhnya juga adalah Allah.”

 

CATATAN PENGANTAR

 

bron dua subjek yang dibicarakan dalam paragraf yang sangat singkat ini. Yang pertama adalah subjek tentang alam barzakh (Isthmus), yaitu dunia penengah yang ditetapkan antara kehidupan dan kematian, seperti juga antara kematian atau noneksistensi dengan kehidupan. Ia adalah tempat separuh jalan antara Ruh dan Alam, antara kejadian dengan reintegrasi, di mana ruh yang tidak dapat diraba, diubah menjadi bentuk fisik dan atau melalui sesuatu di mana bentuk-bentuk ditransfigurasikan menjadi ruh-tuh. Ini adalah sebuah dunia halus, bukan fisik bukan pula spiritual, yang merupakan tempat pertemuan antara Langit dan Bumi, antara satu “napas” kreatif dengan yang lainnya, dan antara satu durasi dengan yang lainnya.

 

Subjek yang lain adalah tentang keinginan dan pemenuhannya, pertanyaannya adalah apakah perhatian atau keinginan yang terpenuhi membalas jasa yang sama sebagai sesuatu yang benar-benar terpenuhi. Menurut Nabi Muhammad, manusia akan diadili berdasarkan tujuan-tujuan mereka, yang mengesankan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam hal-hal tertentu, tujuan dan keinginan pasti berjalan beriringan dengan cinta dan hasrat, sedangkan pemenuhan berjalan beriringan dengan nasib, keduanya pasti berjalan seiring dengan kecenderungan yang esensial. Dalam konteks Kesatuan Wujud, setiap keinginan adalah keinginan-Nya, yang tidak dapat dipenuhi kecuali dalam beberapa hal.

 

HIKMAH TEMPAT MEMINTA DALAM FIRMAN TENTANG KHALID

 

Hikmah dari Khalid Ibn Sinan terletak pada fakta bahwa dalam misinya, dia memanifestasikan Kenabian Batzakh (Isthmus). Dia mengklaim bahwa dia menyatakan kalau alam barzakh hanya terdapat, atau hanya dijumpai, sesudah kematiannya. Oleh karenanya, diperintahkan agar dia kelak digali dari kuburannya. Ketika ditanya mengenai permasalahannya, Khalid menyatakan bahwa caranya ada dalam bentuk dunia ini, di mana dapat diketahui bahwa apa yang para rasul katakan dalam kehidupan-kehidupan duniawi mereka adalah benar. Merupakan maksud yang ingin dikatakan Khalid bahwa seluruh dunia percaya pada apa yang dikatakan oleh para rasul kepada mereka, sehingga Rahmat ilahi dapat diperoleh secara menyeluruh. Khalid dimuliakan atas kedekatan misinya dengan misi Muhammad, dengan mengetahui bahwa Allah telah mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam. Walaupun Khalid sendiri bukanlah seorang rasul, dia berusaha mendapatkan sebanyak mungkin rahmat—yang mahameliputi—dan kerasulan Muhammad. Dia sendiri tidak diperintahkan untuk menyampaikan seruan (tablig) Allah, namun demikian, diharapkan untuk memperoleh keuntungan dari seruan tersebut di alam barzakh, sehingga, dengan demikian, ilmunya lebih besar. Akan tetapi, kaumnya melalaikannya. Seorang nabi tidaklah berbicara tentang kelalaian kaumnya, karena sesungguhnya dia sedang melakukan dakwah, tetapi yang terjadi memang bahwa metaka melalaikan sang nabi, di mana mereka tidaklah mungkin memenuhi maksud yang diemban sang nabi.

 

Kemudian, apakah Allah mengizinkannya untuk mencapai pemenuhan keinginannya Sementara tidak ada keraguan yang Dia lakukan, terdapat keraguan mengenai apakah dia mencapai objek keinginannya, yang menimbulkan pertanyaan mengenai apakah keinginan atas sesuatu agar terjadi adalah sama seperti terjadinya atau gagalnya untuk terjadi. Dalam Syariah, terdapat banyak contoh yang menyokong persamaan seperti itu. Dengan demikian, orang yang berusaha keras untuk mengikuti jamaah salat, tetapi dirinya tidak hadir, dianggap seolah-olah telah mengikutinya. Sama halnya masalah orang yang sangat ingin menjalankan perbuatan-perbuatan baik layaknya perbuatan yang mampu dilakukan oleh orang-orang kaya dan hartawan, ganjaran bagi orang ini adalah sama seperti apa yang nyata-nyata dilakukan oleh orang-orang kaya tersebut. Namun demikian, apakah kesamaan tersebut terjadi dalam maksud ataukah dalam tindakan, karena mereka menggabungkan keduanyar Nabi tidak menyatakan salah satu dari dua hal tersebut. Secara lahiriah, tujuan dan tindakan tidak terlihat untuk menjadi sama. Jadi, Khalid Ibn Sinan berusaha mencapai keinginan dan pemenuhannya dan dengan demikian mendapat dua ganjaran; hanya Allah-lah yang mengetahui dengan benar!

 

CATATAN PENGANTAR

 

BAB terakhir ini, yang judulnya didasarkan atas nama Nabi Muhammad, utamanya, adalah sebuah uraian yang diperluas dari sabda Muhammad yang diriwayatkan, “Tiga hal yang dicintakan kepadaku di dunia ini dari duniamu; wanita-wanita, wewangian, dan salat;’ di mana Ibn ‘Arabi mencoba mengilustrasikan tema pokok dati trisiplitas dalam kesatuan, sebuah subjek yang telah disinggung dalam Bab 11. Seperti yang telah ditunjukkan, triplisitas dalam kesatuan dalam term-term sederhana ini adalah dua kutub mendasar tentang polaritas Allah-Kosmos, faktor ketiga dari hubungan antara dua hal, ketiga elemen ini bersatu dalam Kesatuan Wujud. Dalam bagian uraiannya tentang sabda sang Nabi, yang memuat tiga elemen simbolik, Ibn ‘Arabi membuat beberapa pernyataan yang sangat berani dan luar biasa, pelbagai implikasi yang tidak secara penuh dikembangkannya, mungkin dari ketakutan atas perjalanan yang terlalu jauh, menyadari batas-batas yang dibebankan kepadanya melalui sifat dasar Takdir di mana waktu dan tempat telah menjalankannya.

 

Bagi pengarang kita, tiga elemen yang digunakan dalam sabda sang Nabi tersebut secara sempurna disesuaikan dengan jenis interpretasi dan uraian yang ia maksudkan, karena setiap elemen dihubungkan dengan seluruh konstelasi makna-makna simbolik, setiap elemen membantu mengilustrasikan beberapa aspek atau mode triplisitas dan polaritas.

 

Perkataan “wanita-wanita” dengan baik merepresentasikan pelbagai aspek dan sifat dasar kutub kosmik, dengan mensugestkannya sebagaimana kutub kosmik memiliki multiplisitas, sifat dasar, bentuk, tubuh, reseptivitas (daya penerimaan), produktwvitas, kejadian, keindahan, pesona. Pendeknya, secara mikrokosmik dan karenanya dalam suatu cara yang sangat ringkas, feminin melambangkan prinsip yang diproyeksikan dan cermin citra kosmik multisegi yang merefleksikan keindahan panoramik dari kemungkinan tak terbatas Milik-Nya pada Subjek ilahi, untuk ada, yang tidak lain dan Diri esensial-Nya Sendiri, di mana keberadaan-Nya diandaikan terjadi dengan cinta dan hasrat dan menjadi Napas Rahmat dan RubNya yang Dia tuangkan dan “tiupkan”, tetapi, dalam penyerapan energi-energi Kehendak ilahi, selalu mengalami reintegrasi yang berkesan dan Keinginan ilahi. Demikian pula, dalam konteks manusia, pria sebagai wakil Ruh yang mengawalhi, secara konstan ditarik oleh feminin mikrokosmik untuk menuangkan kehidupan dan energi pria tersebut menjadi dunia kejadian kosmik dan pengalaman hidup alamiah sang wanita. Ancaman selalu mengalihkan pria dari pengingatan akan Ruh kepada Siapa pria tersebut bertindak dan pengingatan akan kekhalifahan yang merupakan fungsi khususnya. Seperti yang Ibn ‘Arabi tunjukkan, keterlibatan total dalam tuntutan-tuntutan berganda dan kompleks tentang kehidupan kosmik ini, yang dilambangkan dengan penyerapan dalam penyatuan seksual, dapat diperbaiki dan dibersihkan hanya melalui pemurnian pengingatan dan reintegrasi menjadi alam Ruh, yang dilambangkan dengan mandi junub menurut integrasi seperti itu.

 

Bagaimanapun, sebagaimana Kosmos yang tidak lain kecuali Dia berawal dari-Nya, begitu juga wanita tidak lain kecuali pria dan berasal dari pria, yang melambangkan pria. Karenanya, penghambaan dan daya penerimaan pria berhadapan dengan (vis-a-vis) Allah. Itulah alasan yang dia katakan bahwa seorang pria dapat dengan sangat sempurna merenungkan Allah pada wanita, karena pada wanita sang pria merenungkan penghambaannya sekaligus penguasaannya dan dalam penyatuannya dengan wanita, pada cara mikrokosmik, pria dapat mengalami peleburan pengalaman polar yang merupakan Realitas. Menurut pandangan hal-hal ini, keindahan wanita yang menarik, yang jauh dari menjadi perangkap untuk memperdayakan pria, agaknya akan menjadi refleksi sempurna bagi pria, sebagai keindahan formal. Sedangkan menurut kebenaran spiritualnya, keindahan wanita akan menjadi tanda atau petunjuk (ayah) ini dari yang dia pelajari yang terbaik untuk mengenal diri sejatinya, yang pada gilirannya, untuk mengenal Tuhannya.

 

Elemen kedua dalam sabda di atas adalah “wewangian’’, yang, dengan merepresentasikan bahwa “wewangian” akan memecahkan faktor yang mengaitkan dalam triplisitas, merupakan simbol yang sangat halus dan fleksibel yang meminjamkan dirinya pada pemaduan dengan salah satu dari dua elemen polar tersebut. Dengan demikian, wewangian, aroma, atau keharuman adalah yang menyejukkan sekaligus mendorong, membius sekaligus menggairahkan, dapat mengingatkan orang akan kesenangan pada wanita atau ketenteraman akan tempat perlindungan, dan dapat menajamkan atau memupuk kesadaran spiritual. Pendek kata, wewangian bukanlah elemen fisik sepenuhnya atau bukan pula elemen spiritual sepenuhnya yang melambangkan arus Rahmat kreatif dan juga nostalgia spiritual yang menggambarkan ruh manusia kembali ke sumbernya kepada Allah. Kata yang digunakan dalam bahasa Arab adalah tib, yang memuat gagasan tentang kebaikan, dalam pengertian bahwa dalam Allah semuanya menjadi baik, apakah ia menjadi kebaikan atas apa yang diakibatkan Kehendak, yang dapat berasal dari sudut Keinginan yang patut dicela, atau apakah menjadi kebaikan spiritual atas apa yang dituntut Keinginan, yang berasal dari sudut pengalaman eksistensial yang keras dan menyiksa.

 

Elemen terakhir, yang melambangkan Ruh dan refleksinya pada manusia, adalah “salat”, yang mencoba mengalihkan manusia dan dunia urusan-urusan kosmik dan membuatnya sepenuhnya menyadan Dia dan mana dia ada dan kepada Siapa dia kembali tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Seperti dengan wanita-wanita, ia memiliki keharumannya sendiri untuk mengingatkan dan menghibur duniajiwa yang letih.

 

Sebagian dari uraiannya tentang sabda sang Nabi ini, Ibn ‘Arabi, yang dianggap benar menurut bentuk yang lazim, mencoba menginterpretasikan ciri-ciri linguistik dari sabda ini dalam catanya yang khusus dan membuat sugesti-sugesti dalam bentuk yang sangat berani. Dia mengamati bahwa kata untuk “tiga”, secara tidak biasa, adalah bentuk feminin, dan juga bahwa kata benda maskulin, “wewangian”, ditempatkan antara dua kata benda feminin, “wanitawanita” dan “salat.” Dengan demikian, hal ini mengesankan dugaan tentang suatu keungeulan feminin dan sifat yang maha mencakup. Dia lebih lanjut mengamati bahwa banyak dari kata-kata dalam bahasa Arab yang menunjukkan sebab-sebab, asal mula, dan esensi, merupakan kata-kata benda feminin. Tampaknya hal ini mengesankan tentang sesuatu yang aneh dalam pandangan komitmen tegas sebaliknya terhadap suatu bias maskulin, seperti dianjurkan oleh sifat patriarla dalam tradisi Islam. Namun demikian, orang menduga bahwa kesan yang tidak khas ini masih merupakan cara lain pengungkapan gagasan bahwa Rahmat yang memiliki daya cipta mengesampingkan dan mencakup rahmat reintegrasi yang wajib dan bahwa fungsi esensial dan positif dari pengalaman Kosmik mengesampingkan sifatnya yang sementara dan negatif. Dengan demikian, Rahmat—kata di mana dalam bahasa Arab adalah feminin dan memiliki hubungan erat dengan kata “rahim”—kreatif dalam pethatian yang lengkap pada kejadian kosmik dan aktualisasi kemungkinan tak terbatas, yang dapat dipikirkan sebagai feminin dalam cara yang sama bahwa anggapan umat Hindu mengenai maya, kekuatan alam-penciptaan, adalah pemikiran tentang feminin. Dengan kata lain, objek pengetahuan, apakah kosmik ataukah esensial, dapat diptkirkan sebagai feminin, sebagaimana subjek atau yang mengetahui, apakah kreatif ataukah pencgasan-Diri, dapat dipikickan sebagai maskulin. Dengan demikian, kita dikenali sebagai aspek “feminin” dari Realitas, apakah bagian batin ataukah bagian lahir, dan kita mengetahui aspek “maskulin” dari Realitas, apakah secara lahiriah atau batiniah.

 

HIKMAH SINGULARITAS DALAM FIRMAN TENTANG MUHAMMAD

 

Dinisbatkannya hikmah singularitas kepada Muhammad katena dia adalah ciptaan yang sangat sempurna dari jenis manusia, di mana alasan keseluruhan urusan penciptaan berawal dan berakhir dengannya. Dia adalah seorang Nabi ketika Nabi Adam masih berada di antara air dan tanah liat’ dan melalui perbuatannya yang elemental, dia adalah Penutup Para Nabi (khatam annabiyyin), yang pertama dari tiga yang tunggal karena semua singular yang lain berasal darinya.?

 

Dia adalah bukti paling jelas bagi Tuhannya, yang telah diberikan totalitas firman-firman ilahi, di mana hal-hal itu dinamai oleh Nabi Adam, sehingga dia menjadi petunjuk terdekat dari triplisitas miliknya, dia menjadikan dirinya bukti dari dirinya sendiri.> Kemudian karena realitas Muhammad ditandai oleh singularitas primal (al-fardiyyah al-ula) dan penciptaannya melalui triplisitas (musallas), dia berkata mengenai cinta yang merupakan asal mula semua wujud yang ada. “Tiga hal yang dicintakan kepadaku di dunia ini dari duniamu”, dikarenakan triplisitas (taslis) melekat di dalam Muhammad. Kemudian dia menyebutkan wanita-wanita dan wewangian, dan menambahkan bahwa dia menemukan kenikmatan dalam salat.‘

 

Dia memulai dengan menyebutkan wanita-wanita dan mengakhirkan penyebutan salat, karena, dalam perwujudan esensi dari wanita, wanita adalah bagian dari pria. Pengetahuan manusia tentang ditinya sendiri muncul sebelum pengetahuannya tentang Tuhannya, yang terakhir ini merupakan hasil dari yang pertama, sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.” Dari sini orang dapat memahami bahwa orang tidak mampu mengenal dan mencapai, yang merupakan satu makna, atau sebaliknya, bahwa pengenalan (gnosis/makrifat) itu adalah mungkin. Menurut interpretasi yang pertama, orang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan, oleh karena itu, tidak dapat mengenal Tuhannya. Walaupun Muhammad adalah bukti yang sangat jelas dari Tuhannya, setiap bagian Kosmos adalah petunjuk untuk asal mulanya, yang merupakan Tuhannya. Jadi, pahamilah!

 

Wanita-wanita dicintakan kepada Muhammad dan dia memiliki kasih sayang yang besar pada mereka karena wanita-wanita selalu digambarkan menurut bagiannya tersebut. Ini dia jelaskan sebagai yang datang dari Realitas, dalam firmannya berkenaan dengan penciptaan manusia yang elemental, “Maka Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku! Tuhan menerangkan Diri-Nya seperti memiliki kerinduan mendalam untuk berhubungan dengan manusia ketika Dia berfirman kepada mereka yang merindukanNya, “Wahai Dawud, Aku sangat merindukan mereka.” Itu adalah suatu pertemuan yang khusus. Dia berkata lebih lanjut, dalam suatu perkataan tentang Dajjal, “Tidak ada satu pun darimu yang akan melihat Tuhannya hingga dia mati.’ Sesungguhnya, hampir tidak mengejutkan bahwa betapa Tuhan melukiskan kerinduan. Dengan demikian, Dia rindu pada orang-orang yang disayangi, melihat mereka dan menginginkan bahwa mereka dapat melihat Dia, walaupun keadaan mereka tidak memungkinkan itu. Hal ini seperti dalam firmanNya, “Kami akan menguji mereka] hingga Kami mengetahui” walaupun Dia pada dasarnya mengetahui mereka. Dengan demikian, Dia rindu pada mereka karena sifat khusus ini, yang tidak dapat diwujudkan kecuali setelah kematiannya, sementara kerinduan mereka padaNya dipelihara oleh sifat tersebut, sebagaimana Dia berfirman, dalam Firman (Hadis) tentang Keragu-raguan (at-taraddud), “Aku tidak ragu-ragu pada apa yang Aku lakukan sebanyak dalam pengambilan jiwa hamba-Ku yang setia. Dia membenci kematian sebanyak Aku benci untuk menyakitinya; tetapi  dta harus menemttt-Ku.?? Dia memberikan kabar gembira pada hambanya yang seta sebagai ganu dari cerita bahwa dia harus manu, Kalau tidak  dia akan disusahkan pada penyebutan kematian, walaupun dia tidak  dapat bertemu Allah hingga sesudah kematan, seperti yang dia katakan, “Tidak seorang pun darimu akan melihat Tuhannya hingga dia mati.” Dia berkata, “Dia harus menemuiku”, kerinduan kepada Allah dikarenakan wujud hubungan ini.

 

‘Yang Dicintai rindu untuk melihatku,

Dan aku lebih rindu untuk melihat-Nya,

Jantung-jantung berdegup kencang, tetapi nasib menghalangi jalan,

Aku merintih dalam keluhan dan begitu juga Dia.

 

Karena Dia telah menjelaskan bahwa Dia bernapas ke dalam manusia dari ruh-Nya, Dia pada dasarnya adalah kerinduan untuk Din-Nya Sendiri. Kemudian, pertimbangkanlah bagaimana, karena ruh-Nya, ciptaan-Nya ada pada citra-Nya sendiri.

 

Karena pembuatan manusia terdiri dari empat elemen atau penghibur-penghibur pada tubuh, pernapasan-Nya menghasilkan panas, karena uap lembab pada tubuh. Dengan demikian , melalui pembuatannya, ruh manusia adalah sebuah api, oleh karenanya Allah membicarakannya kepada Musa bentuk api, di mana Allah berbuat apa yang Dia inginkan. Ketika pembuatannya bersifat alamiah, jiwanya akan menjadi cahaya. Disebut “peniupan” (nafkh) karena berasal dari Napas Sang Pengasih, dan melalui Napas ini, ada peniupan, sehingga esensinya terwujudkan. Ini menurut kecenderungan abadi dari sesuatu yang meniup sehingga yang menjulang adalah api dan bukannya cahaya, Napas Sang Pengasih menjadi sangat implhsit di mana manusia adalah manusia.

 

Kemudian Allah mengeluarkan dari pria sebuah wujud pada citranya, yang disebut wanita, dan karena wanita tersebut muncul pada citra pria, sang pria merasakan kerinduan yang mendalam padanya, sebagai sesuatu yang merindukan dirinya sendir1, sedangkan sang wanita merasakan kerinduan pada sang pria, sebagai seseorang yang rindu pada yang merindukannya. Jadi wanita diciptakan untuk dicintai pria, karena Allah mencintai apa yang telah diciptakan-Nya pada citra milik-Nya dan padanya yang telah diciptakan-Nya di mana para malaikat tidak mampu, meskipun mereka memiliki kekuatan besar atau tingkat dan sifat mulia. Dani situ, berakarlah afinitas (munasabah) antara Allah dan manusia, dan citra ilahi adalah afinitas yang paling besar, paling mulia, dan paling sempurna. Hal itu karena ia merupakan suatu pasangan (zawj) yang mempolarisasi wujud Realitas, sebagaimana wanita, dengan kejadiannya menjadi wujud, mempolarisasi kemanusiaan, dengan membuat darinya suatu pasangan. Jadi, kita memiliki tiga bagian yang tersusun; Allah, pria, dan wanita; pria rindu pada Tuhannya Yang merupakan asal mulanya, sebagaimana wanita rindu pada pria. Tuhannya menjadikan wanita berharga bagi pria, sebagaimana Allah mencintai sesuatu yang ada pada citra-Nya. Cinta timbul hanya dan seseorang yang memiliki wujud lainnya, sehingga pria mencintat wujud yang dimilikinya, yang merupakan Realitas, yang mana Muhammad sabdakan, “dicintakan kepadaku”, dan bukan “Aku cinta”, secara langsung dari dirinya sendiri. Cinta pria tersebut adalah untuk Tuhannya di mana dia berada dalam citra-Nya. Cinta ini pada gilirannya membuat dirinya mencintai istrinya, karena dia mencintai istrinya melalui cinta Allah atasnya, menurut pola cara ilahi. Ketika seorang pria mencintai seorang wanita, pria itu berusaha menyatu dengan sang wanita, sehingga memungkinkan akan bersatu dalam cinta, dan pada lingkungan elemental tidak terdapat penyatuan yang lebih besar daripada penyatuan antarseks (nikah). Ini secara tepat dikarenakan hasrat yang begitu meliputi semua bagiannya sehingga sang pria diperintahkan untuk menjalankan mandi (igtisal). Jadi kesucian (taharah) adalah mutlak, sebagaimana peniadaan (fana’) pria pada wanita adalah total pada saat penyempurnaan. Allah cemburu pada hambanya bahwa sang hamba dapat menemukan kesenangan pada yang lain selain Dia. Jadi, Dia membersihkan sang hamba melalui pencucian (taharah), sehingga sang pria difanakan, karena tidak ada sesuatu pun selain Dia Yang dengan-Nya sang pria dapat melihat wanita.

 

Ketika pria menatap (syahada) Realitas pada wanita, dia melinat-Nya pada suatu aspek pasif (munfa‘al)  sedangkan ketika dia menatap-Nya pada dirinya sendiri, sebagai makhluk di mana wanita terwujudkan darinya, dia melihat-Nya sebagai suatu aspek aktif (fa’il). Namun, ketika dia melihat-Nya pada dirinya sendiri, tanpa beberapa hal atas apa yang berasal darinya, dia melihat-Nya sebagai pasif pada Diri-Nya secara langsung. Bagaimanapun, penatapannya akan Realitas pada wanita lebih lengkap dan sempurna karena dalam cara ini dia menatap Allah dalam cara akuf dan pasif, sedangkan menatap Realitas hanya pada dirinya sendiri, dia melihat-Nya pada suatu cara yang terutama sekali pasif.

 

Dikarenakan ini, Rasulullah mencintai wanita-wanita melalui alasan kemungkinan dari penatapan sempurna tentang Realitas pada mereka. Penatapan Realitas tanpa penyokong formal tidaklah mungkin, karena Allah pada Esensi-Nya jauh melewati semua kebutuhan Kosmos. Oleh karenanya, lantaran beberapa bentuk penyokong itu penting, jenis terbaik dan sangat besar adalah penatapan Allah pada wanita. Penyatuan terbesarnya adalah bahwa di antara pria dan wanita, sesuai dengan yang berlaku dalam aturan Allah terhadap seseorang, Dia telah menciptakan pada citra-Nya, untuk menjadikannya khalifah-Nya, sehingga Dia dapat melihat Dini-Nya Sendiri pada sang manusia. Karenanya, Dia menentukannya, mengembangkannya, dan memberikan napas jiwa-Nya kepada manusia, yang merupakan Napas-Nya, sehingga aspek lahirnya bersifat kemakhlukan, sedangkan aspek batinnya bersifat ilahiah. Karena ini, Dia menggambarkan jiwa sebagai wujud pengatur struktur manusia di mana Allah “mengatur urusan dari langit’, yang, merupakan peninggian, dan “ke bumi,” yang merupakan terendah di antara yang rendah, yang menjadi terendah dari segala unsut.

 

Dia menyebut mereka wanita-wanita (nisa), sebuah kata yang tidak memiliki bentuk tunggal. Oleh karena itu, sang Rasul bersabda, “Tiga hal telah dicintakan bagiku di dunia ini, wanita-wanita (nisa )…”, dan bukan “wanita” (mar’ah), yang memiliki anggapan pada kenyataan bahwa mercka menjadi makhluk yang menyusul sang pria. Kata nus’ah sesungguhnya berarti “pengakhiran (menyusul)” (ta’khir). Dia berfirman, “Mengundur-undurkan bulan hararm [nasi] itu menambah kekafiran’,’’ seperti juga perniagaan melalui nast ah adalah “melalui pengunduran” (ta’khir). Dengan demikian, dia berkata “wanita-wanita.” Dia mencintai wanita-wanita hanya dikarenakan tingkatan mereka [yang sebenarnya lebih rendah] dan kemenjadian posisi pasif mereka. Dalam hubungan dengan pria, mereka adalah sebagai Alam Semesta, Allah mewahyukan bentukbentuk Kosmos melalui penunjukan Perintah dan Kehendak ilahi pada wanita, yang pada tingkat-tingkat bentuk elemental dilambangkan melalui penyatuan suami istri, konsentrasi spiritual pada -bidang ruh-ruh yang berkilauan (al-arwah an-nuriyyah) dan pengurutan dasar pikiran terhadap suatu konklusi [pada alam pemikiran], sernua yang berhubungan pada penyempurnaan Singularitas Primordial (al-fardiyyah al-ula) dalam semua aspek ini.

 

Barangsiapa mencintai wanita-wanita dalam cara ini, maka ia mencintai dengan suatu cinta itlahi, sedangkan pria yang cintanya pada wanita dibatasi pada gairah alamiah, menghilangkan semua pengetahuan yang sebenarnya tentang hasrat ilahi itu. Bagi orang seperti ini, wanita dipandangnya sebagai bentuk belaka, tanpa ruh, sekalipun bentuk itu pada dasarnya dikaruniai ruh. Ini adalah kehampaan karena orang seperti ini mendekati istrinya atau wanitawanita lainnya semata-mata untuk sekadar memenuhi kesenangannya akan wanita tersebut, tanpa menyadari Sesuatu Yang kesenangan-Nya benar-benar ada. Dengan demikian, pria tersebut benarbenar tidak mengenal dirinya, sebagaimana seseorang yang asing tidak mengenal pria tersebut hingga dia menyatakan identitasnya pada orang asing itu. Seperti yang dikatakan orang,

 

Mereka benar dalam pengandaian bahwa aku jatuh cinta,

Hanya mereka tidak mengetahui dengan siapa aku jatuh cinta.

 

Pria seperti int benar-benar jatuh cinta dengan kesenangan (ilitizaz) dan, konsekuensinya, mencintai tempat penyimpanan kesenangan itu, yang merupakan wanita, kebenaran dan makna nyata dari tindakan menjadi hilang pada sang pria. Jika sang pria mengetahui kebenaran, dia akan mengetahui Siapa Yang menyebabkannya menikmati dan Yang merupakan Sang Penikmat; kemudian dia akan menjadi sempurna.

 

Karena secara ontologis wanita lebih rendah ketimbang pria, berdasarkan firman-Nya, “Para pria memperoleh sebuah tingkatan dt atas para wanita,” begitu juga makhluk, adalah interior tingkatannya dari Sesuatu Yang menciptakan pria pada citranya, meskipun penciptaan pria dibuat pada citra-Nya. Berkat superioritas di mana Dia dibedakan darinya, Dia berada di atas semua kebutuhan Kosmos dan merupakan perantara primer, bentuk atau citra menjadi suatu perantara hanya pada suatu pengertian sekunder, karena citra pria tidak memiliki keunggulan, yang sesungguhnya dimiliki Allah. Esensi-esensi abadi secara sama dibedakan menurut tingkatantingkatan mereka dan gnostikus (‘arif) memberikan segala sesuatu hak yang tepat. Jadi dikatakan bahwa cinta Muhammad bagi wanita-wanita berasal dari cinta ilahi dan karena Allah “memberikan kepada tiap-tap sesuatu bentuk kejadiannya” yang pada pokoknya merupakan haknya. Dia memberikan pada mereka menurut suatu manfaat tertentu dalam esensi yang senantiasa dipengaruhi dari yang bermanfaat.

 

Dia mendahulukan wanita-wanita karena mereka adalah tempat penyimpanan kepasifan, sebagaimana Alam Semesta, melalui bentuknya, datang sebelum segala sesuatu yang mengasalkan wujud mereka dani sang wanita. Kenyataannya, Alam adalah Napas Sang Pengasih di mana terbentang bentuk-bentuk Kosmos yang lebih tinggi dan lebih rendah, karena penembusan Napas yang diperlihatkan pada Substansi primordial (al-jawhar al-hayulani), khususnya pada alam benda-benda angkasa, pengalirannya menjadi berbeda dalam hal eksistensi ruh-ruh yang berkilauan dan aksidenaksiden (a’rad).

 

Sang Rasul selanjutnya memberikan hak yang Icbih tinggi pada feminin (ta’nis) melebihi maskulin (tazkir). Dengan cara seperti ini, sang Rasul bermaksud menyampaikan suatu perhatian dan pengalaman khusus wanita-wanita. Maka, dia berkata Salas (tiga) dan bukanlah Salasah, yang digunakan untuk jumlah kata benda maskulin. Ini luar biasa, pada yang dia juga sebutkan wewangian, yang merupakan kata benda maskulin, dan orang-orang Arab biasanya membuat jenis kelamin pria lebih unggul. Dengan demikian orang akan berkata, “Pengikut Fatimah dan Zayd pergi [penggunaan kata ganti orang ketiga maskulin jamak]’’, dan bukan kata ganti orang ketiga feminin jamak. Dalam cara ini, mereka memberikan pilihan pada kata benda maskulin, sekalipun hanya terdapat satu kata benda seperti itu yang bersama dengan beberapa kata benda feminin. Jadi, walaupun sang Rasul seorang Arab, di sini dia memberikan perhauan khusus pada signifikansi cinta yang dimilikinya, dengan melhhat bahwa dia sendiri tidak dapat memilih cinta itu. Allah-lah Yang mengajarinya apa yang tidak diketahuinya, dan rahmat Allah pun padanya melimpah. Oleh karena itu, Dia memberikan keutamaan kepada wanita di atas pria melalui perkataan salas. Betapa dapat dipahami apa yang diperhatikan sang Rasul mengenai realitas-realitas spiritual, dan betapa besar perhatiannya pada yang pantas mendapat keutamaan.

 

Selanjutnya, dia membuat istilah terakhir (salat) yang berhubungan dengan yang pertama (wanita-wanita) dalam feminitasnya, dengan menempatkan term maskulin (wewangian) di antara keduanya. Dia memulai dengan “wanita-wanita” dan mengakhiri dengan “salat’’, yang merupakan kata benda feminin. Keduanya adalah kata benda feminin. Kata benda maskulin wewangian muncul di antara salat dan wanita-wanita, sebagaimana begitu juga halnya dengan wujud eksistensialnya, karena pria ditemmpatkan antara Esensi (sebuah kata benda feminin) dari yang dia wujudkan, dan wanita yang diwujudkan dari pria. Jadi, pria berada di antara dua entitas feminin, yang satu feminin substanuf dan yang lain feminin dalam realitas, wanita-wanita menjadi feminin dalam realitas, sedangkan salat tidak. Wewangian diletakkan di antara mercka sebagaimana Adam diletakkan di antara Esensi, yang merupakan sumber semua eksistensi, dan Hawa, yang eksistensinya berasal dari Adam. Termterm lain seperti sifah (sifat) dan gudrah (kemampuan) adalah feminin. Sesungguhnya, apa pun aliran pemikiran yang Anda anut, Anda akan menemukan term-term feminin secara menonjol. Bahkan penganut Kausalitas mengatakan bahwa Allah adalah “Sebab” (illah) adanya Kosmos, dan ‘illah adalah feminin. Adapun hikmah wewangian dan penempatannya sesudah “wanita-wanita”, dikarenakan bau harum yang dibangkitkan wanita-wanita, yang sangat menggembirakan dari wewangian yang dialami dalam merangkul sang kekasih, sebagaimana yang dikatakan mereka dalam perkataan yang lazim.

 

Ketika Muhammad diciptakan sebagai seorang hamba yang muri, dia tidak memiliki ambisi kepemimpinan, tetapi kedudukan dan ketakberdayaan yang berlanjut (di hadapan Tuhannya), sebuah ciptaan yang pasif, hingga Allah mempengaruhinya, ketika Dia menganugerahkan padanya suatu peranan akuf dalam alam Napas-napas (alam al-anfas), yang merupakan wewangian eksistensi yang isumewa. Jadi, Dia menciptakan wewangian yang dicintai oleh dia, dengan menempatkannya sesudah wanita-wanita. Dia memperhatikan tingkatan-tingkatan Allah dalam firman-Nya, “[Dia-lah] Yang Mahatinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy” dengan melihat bahwa Dia ditegakkan atasnya melalui Nama-Nya Yang Maha Pengasih (ar-Rahman), sehingga segala sesuatu yang diliputi oleh Kursi (Arsy) diakibatkan oleh Rahmat ilahi, seperti firman-Nya, “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” Itu adalah Kursi yang meliputi segala sesuatu, sedangkan Sang Pengasih adalah penghuninya, melalui realitas Rahmat yang dimuliki, Sang Pengasih menyerap Kosmos, seperti telah kami jelaskan berkali-kali, dalam karya ini dan juga dalam al-Futuhat al-Makkiyyah. Allah Sendiri telah meletakkan wewangian (tib, juga kebaikan) pada konteks penyatuan pasangan (an-nikahi) berkenaan dengan keadaan tidak bersalah ‘A’isyah ketika Dia berfirman, “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik [pula], dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang batk dan laki-laki yang baik adalah untuk wanitawanita yang batk [pula]. Mereka [yang dituduh] itu bersth dart apa yang dituduhkan oleh mereka.” Dengan demikian, Dia membicarakan mereka sebagai bau yang enak karena pembicaraan menyatakan napas secara tidak langsung, yang merupakan esenst bau harum, yang keluar (dari mulut], dengan bau enak atau tidak enak, menurut pengungkapannya. Namun demikian, wujud pada sumber ilahi, semuanya bau yang enak dan baik, tetapi sesuat sebagaimana wewangian diakui—oleh pendirian yang bertentangan—atau tidak diakui. Wewangian dapat dipertimbangkan baik atau buruk. Tentang Bawang putih, Muhammad bersabda, “Itu adalah satu siung yang bau busuknya aku benci” dia tidak berkata “Aku membencinya.” Jadi, itu bukanlah sesuatu yang dibenci, tetapi hanyalah bahwa persoalan berasal darinya. Sesuatu yang tidak disukai seperti ini dapat menjadi persoalan kebiasaan, anupat alamiah, hukum, defisiensi, atau sesuatu yang lain. Jika kemudian perbedaan antara yang baik dan buruk dibuat, maka Muhammad dibuat untuk mencintai yang baik dan bukan yang buruk. Sekarang dikatakan bahwa malaikat-malaikat diganggu oleh bau busuk yang timbul dari pembusukan yang dihubungkan dengan penciptaan (manusia) yang elemental ini, karena dia dibuat dari “tanah liat kering [yang berasal] dari lumpur hitam” yakni tentang bau busuk yang bermacam-macam, sehingga pata malaikat menemukan dia yang menjijikkan melalui sifat dasarnya. Dalam cara yang sama, melalui sifatnya, kumbang yang kotor digangeu oleh bau mawar, yang walaupun [bagi kita] memiliki bau harum, adalah berbau jelek bagi kumbang yang jelek. Jadi seseorang dengan sifat seperti ini, pada dasarnya dan dengan sah, ditolak oleh kebenaran ketika orang tersebut mendengarnya dan bergembira dalam dusta, sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang  yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Tuhan’, dengan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang kalah, “Mereka itulah orang-orang yang merugi.” Orang yang tidak dapat menceritakan kebaikan dari yang buruk, tidaklah memiliki persepsi (Idrak).

 

Rasulullah diciptakan hanya untuk mencintai kebajikan dalam segala sesuatu, yang, dalam kenyataannya, adalah segala sesuatu yang ada. Kita dapat bertanya apakah ada yang menjadi apa saya dalam Kosmos yang hanya melihat kebajikan dalam segala sesuatu dan tidak mengetahui keburukan. Kita dapat mengatakan bahwa tidak ada, karena pada sumber dari mana Kosmos dimanifestasikan, yang merupakan Realitas, kita menemukan cinta dan sesuatu yang tidak disukai, yang buruk menjadi yang dibenci, sedangkan yang baik adalah yang dicintai. Kosmos tercipta dalam citra Allah (makrokosmos) dan manusia telah diciptakan pada kedua citra (mikrokosmos), sehingga tidak dapat menjadi apa pun yang hanya melihat satu aspek dari segala sesuatu. Ada orang yang dapat membedakan yang baik dari yang buruk, bahwa sesuatu adalah buruk melalui pengalaman indriawi dan yang baik melalui pengalaman nonindriawi, tetapi hal ini berlaku bagi orang yang persepsi baiknya lebih mendominasi ketimbang persepsi buruknya. Mengenai gagasan bahwa seseorang dapat menggerakkan yang buruk dari Kosmos yang tercipta, hal yang demikian tidaklah mungkin, karena Rahmat Tuhan melekat pada yang baik dan yang buruk. Dari sudutnya, yang buruk adalah baik dan yang baik adalah buruk. Sesungguhnya, tidak ada kebajikan, kecualii, dalam satu hal, tampak buruk untuk sesuatu yang buruk, dan demikian juga sebaliknya.

 

Mengenai elemen ketiga di mana singularitas menjadi lengkap, elemen tersebut adalah salat. Dia bersabda, “Dan penyenang mataku ada pada salat’,” karena salat adalah [suatu keadaan tentang] penyaksian, yang menciptakan wacana keintiman antara Allah dan hamba-Nya. Dia berfirman, “Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingatmu”, karena tindakan pengabdian memilahkan secara adil antata Allah dan hamba-Nya, sebagian untuk Allah dan sebagian untuk hamba-Nya, seperti dalam Hadis Sahih, “(Aku telah membagi salat antara Aku dan hamba-Ku, sebagian untuk-Ku dan sebagian untuk hamba-Ku yang juga dapat memiliki apa pun yang dia minta.” Jadi, ketika sang hamba berkata [dalam membaca al-Fatihah], “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’,” Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang mengingat-Ku.” Ketika sang hamba berkata, “Segala Puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam,’ Allah berfirman, “Hamba-Ky sedang memuji-Ku.” Ketika sang hamba berkata, “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang menyanjung-Ku.” Ketika sang hamba berkata, “Yang Menguasat Hari Pembalasan”, Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang memuhakan-Ku.” Jadi, seluruh separuh yang pertama dari al-Fatihah ini adalah kepunyaan Allah. Kemudian sang hamba berkata, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan’, dan Allah berfirman, “Ini dibagi antara Aku dan hamba-Ku; dan baginya adalah apa pun yang dia minta,’ jadi mengenalkan suatu elemen pengikutsertaan pada ayat ini. Ketika sang hamba berkata, “Tunjukilah hart jalan yang lurus. [Yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan [jalan] mereka yang dimurkai dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat’, Allah pun berfirman, “[Ayat-ayat] int disediakan untuk, hamba-Ku yang dapat memiliki apa pun yang dia minta.” Dengan demikian, ayat-ayat terakhir ini hanyalah untuk sang hamba, sebagaimana ayat-ayat yang pertama hanyalah kepunyaan Allah. Dari sini, orang bisa menyadari keperluan pembacaan ayat “Segala puji bagt Allah, Tuhan Semesta Alam’, karena barangsiapa mengabaikannya maka belum dapat melakukan salat secara tepat, yang dibagi antara Allah dan hamba-Nya.

 

Menjadi suatu pembahasan, yang juga suatu pengingatan, karena siapa pun yang mengingat Allah maka dia duduk dengan Allah dan Allah duduk dengannya, seperti disebutkan dalam Hadis, “Aku adalah teman seseorang yang mengingat-Ku.” Siapa pun yang hadir di hadapan seseorang yang sedang diingatnya, dia melihat temannya. Dalam permasalahan seperti ini, terdapat penyaksian (masyahadah) dan penglihatan (ru’yah), kalau tidak, dia tidak melihat-Nya. Dari sini, orang yang yang sedang salat akan dapat memastikan tingkatannya pada makrifat, yakni apakah dia dapat melihat, dalam salat, dalam cara ini ataukah tidak. Jika dia tidak dapat melihat-Nya, biarkanlah dia menyembah-Nya seolah-olah dia melihat-Nya, dengan membayangkan-Nya pada qiblah sepanjang munajat-Nya, dan membiarkannya mendengarkan dengan sangat berhat-hati atas apa yang Allah dapat katakan padanya dan menjawab salatnya. Jika ia adalah seorang pemimpin (imam) bagi dunia (keluarga atau komunitas)-nya dan para malaikat salat dengannya, dalam salat dia memiliki tingkatan yang sama dengan Sang Rasul yang mewakili Allah. Sesungguhnya, setiap orang yang salat adalah imam karena para malaikat salat di belakang seseorang yang sedang salat sendirian, sebagaimana dinyatakan oleh Hadis. Ketika dia berkata, “Allah mendengar manusia yang memuji-Nya,’” dia membiarkan orang-orang di belakangnya tahu bahwa Allah telah mendengarnya, atas mana para malaikat dan lainnya memberikan jawaban, “Wahai Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian,” karena dalam pada itu, Allah Sendiri-lah yang berfirman pada lidah hamba-Nya, “Tuhan mendengar seseorang yang memuji-Nya.”

 

Kemudian, pertimbangkanlah keagungan tingkatan salat ini, serta pertimbangkan pula sampai di manakah tingkatan orang yang melakukannya. Namun, seseorang yang tidak mencapai perenungan tafakur dalam salatnya maka tidak dapat mencapai puncak dan tidak dapat menemukan penyenang mata (qurrah ‘ayn) yang sebenarnya di dalamnya. Karena, orang tersebut tidak dapat melihat Dia Yang telah bermunajat dengannya. Jika dia juga tidak dapat mendengar jawaban Realitas, dia tidak cukup dapat mendengarkan. Sesungguhnya, orang yang tidak bersama Tuhannya dalam salat, yang tidak dapat melihat ataupun mendengar-Nya, pada dasarnya tidaklah salat, karena dia tidak mendengar dan menyaksikan Allah. Sampai salat berakhir, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai ritus salat yang mampu mencegah keasyikan dari hal-hal lainnya.

 

Dalam salat, unsur yang sangat penting adalah ingatan kepada Allah, lantaran terdini dari kata-kata dan tindakan. Kita telah menerangkan keadaan Manusia Sempurna (ar-rajul al-kamil) dalam salat, dalam al-Futuhat al-Makkiyyah.’ Allah berfirman, “Sesungguhnya salat itu mencegah dari [perbuatam-perbuatan] keji dan mungkar dengan melihat bahwa orang yang sedang salat dilarang memalingkan dirinya terhadap sesuatu yang lain. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) Icbih besar keutamaannya daripada ibadahibadah yang lain, yakni bahwa dalam konteks salat, pengingatan Allah pada hamba-Nya ketika Dia menjawab permintaannya adalah lebih besar. Lagipula, dalam salat pujian sang hamba kepada Allah lebih besar daripada pengingatannya kepada-Nya, karena semua kekuasaan tertinggi hanya menjadi milik Allah. Dengan demikian, Dia berfirman, “Sesangguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyat akal dan atau yang mempergunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.’ Pendengaran berasal dari pengingatan akan Allah pada hamba-Nya dalam salat. 

 

Dengan demikian, tentang pergerakan yang dapat dimengerti di mana Kosmos ditransformasikan dari noneksistensi menjadi eksistensi, salat memiliki tiga fase gerakan, gerakan vertikal di mana seorang yang salat berdiri tegak, gerakan horisontal di mana orang yang salat melakukan rukuk, dan gerakan ke bawah yang merupakan sujud. Gerakan manusia adalah vertikal, gerakan hewan adalah horisontal, dan gerakan tumbuh-tumbuhan adalah ke bawah, sedangkan benda-benda mat tidak memiliki gerakan nyata, karena sebuah batu bergerak hanya jika benda yang lain menggerakkannya.

 

Dalam sabdanya, “Dan penyenang mataku diciptakan dalam salat,” dia tidak menghubungkan ini pada dirinya sendiri karena pembukaan rahasia-Diri (tajallih) Allah pada seseorang yang salat berasal dari Allah dan tidak dari orang yang sedang salat. Sesungguhnya, jika dia tidak menyebutkan ini melalui dirinya sendin, Allah pasti memerintahkannya salat tanpa penyingkapan-Diri-Nya padanya. Karena datang padanya sebagai sebuah karunia, perenungan tafakur juga adalah sebuah karunia. Dia bersabda, “Daa penyenang mataku diciptakan dalam salat,” yang berarti melihat Yang Dicintai, yang membawa penyenang pada mata yang mencintai. Ini dikarenakan kata qurrah (yang menyenangkan) berasal dari kata istiqrar (penentuan), sehingga mata sang pencinta dapat ditentukan [pada Yang Dicintai] terhadap peniadaan semua yang lain. Itulah sebabnya mengapa melihat-lihat tidak diperbolehkan dalam salat, karena dengan cara ini Setan mencoba mencuri sesuatu dari salat sang hamba untuk menghalanginya memandang Yang Dicintainya. Jika Allah sungguh-sungguh menjadi Kekasih seseorang, orang ini hanya akan melihat qiblah dalam salatnya. Setiap manusia dalam dirinya sendiri    mengetahui apakah ibadahnya merupakan jenis ini ataukah tidak, “manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri.” Sesungguhnya setiap manusia mampu membedakan antara yang salah dani yang benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada satu pun yang sama sekali tidak diketahui keadaannya. Hal ini menjadi persoalan pengalaman-diri (zawqi).

 

Salat yuga memiliki  aspek yang lain di mana Allah telah memerintahkan kita untuk menunaikan salat atas-Nya dan telah memberitahukan kita bahwa Dia mensalati kita, salat dari kita dan dariNya. Ketika Allah salat, Dia melakukan salat tersebut atas NamaNya, Yang Akhir (al-Akhir) yang datang sesudah penciptaan sang hamba. Hamba menghadirkan Allah dalam dirinya (dalam Hatinya), baik berdasarkan penalaran diskursif maupun melalui pengetahuan tradisional (talid). Inilah “Allah dalam Keyakinan” yang bermacam-macam menurut kecenderungan yang melekat pada orang tertentu; sebagaimana perkataan al-Junayd ketika ditanyai tentang gnosis mengenai Allah dan sang gnostikus, “Warna air sama seperti watna wadahnya”, yang merupakan jawaban yang sangat tepat, yang menunjukkan masalahnya sebagaimana adanya. Maka, inilah Allah Yang salat bagi kita. Ketika kita salat, kita juga menghasilkan nama yang akhir, yang menempati posisi yang sama seperti Dia Yang memiliki Nama itu. Hal itu karena bagi-Nya, kita hanyalah seperti keadaan kita yang diperintah, dan Dia melihat kita hanya dalam bentuk yang kita ‘sediakan’ pada-Nya, karena orang yang salat selalu tertinggal di belakang imam jamaah salat yang diimami.

 

Allah berfirman, “Masing-masingnya telah mengetahui (cara) salat dan menyanjung-Nya”, yakni kadar kelambatannya dalam penyembahan Tuhannya, sebagaimana juga cara pentasbihan yang menegaskan transendensi Allah menurut kecenderungan abadinya. Sesungguhnya, tiada sesuatu pun yang tidak memuji akan kebaikannya dan senantiasa memohon ampunan Tuhannya. Itulah mengapa penyembahan sang Kosmos secara terperinci, dalam setiap bagian-bagiannya, tidak dipahami oleh manusia. Dalam cara yang lain, kata ganti [pada frase, pajian-Nya] juga dapat menunjukkan hamba yang sedang bertasbih, pada firman-Nya (melalui perubahan caranya dibaca), “Tidak ada kecuali Allah Yang memuhakan salat’, berarti pujian dalam hal demikian. Jadi, kata ganti pada pajian-Nya menunjukkan hal itu lantaran pujian yang dipanjatkan kepada-Nya pada apa yang diyakini, karena dia memuji Allah hanya dari keyakinannya yang telah ia ikatkan pada dirinya sendiri. Dengan demikian, apa pun perbuatan yang ia tampilkan, akan kembali pada dirinya sendiri. Sesungguhnya, pada kenyataannya, dia hanya memuji dirinya sendiri karena, tanpa keraguan pada pujian yang dihasilkan, seseorang sedang memuji yang menghasilkan pujian tersebut, kepuasannya atau yang lain mengikatkan kembali pada seseorang yang telah membuatnya. Demikian pula, Allah dalam keyakinan diciptakan bagi seseorang yang telah memandangnya, hasilnya sendiri, sehingga pujiannya atas yang ia yakini ada pada pujian-diri. Itulah mengapa dia menolak keyakinan-keyakinan yang berbeda dari orang lain, walaupun dia tidak melakukan seperti itu jika ia netral. Namun demikian, pemilik objek penyembahan pribadi ini biasanya tidak diketahui keinginannya dalam objek yang diyakini orang lain mengenai Allah. Jika ia benar-benar memahami apa yang al-Junayd katakan berkenaan dengan warna air menjadi warna wadahnya, dia akan membolehkan setiap penganut keyakinannya dan akan mengakui Allah dalam setiap bentuk dan dalam setiap keyakinan. Bagaimanapun, sikapnya hanyalah sebagai masalah pendapat dan bukanlah pengetahuan. Jadi, Dia berfirman, “Aku ada pada sangkaan hamba-Ku tentang Aku,” yakni bahwa Dia terwujud pada manusia hanya dalam bentuk keyakinan manusia tersebut, apakah sifatnya umum ataukah khusus. Allah dalam keyakinan-keyakinan adalah subjek bagi pembatasan-pembatasan tertentu, dan Allah-lah Yang dikandung dalam Hatt hamba-Nya, karena Allah Yang Mutlak tidak dapat dikandung melalui apa saja, Esensi setiap sesuatu dan Diri-Nya Sendiri. Sesungguhnya, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa Allah dalam keyakinan-keyakinan meliputi Dirinya Sendiri atau bahwa Ia tidak seperti itu; jadi pahamilah! Allah membicarakan kebenaran dan Dia-lah Satu-satunya Yang Menunjuki Jalan.