Al-Fatihah yang Mencakup Berbagai Tuntutan

 

Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi, kecuali siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta menyempurnakan kekuatan selainnya dengan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah iman dan amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan nasehat.

 

Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar dia mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan dirinya dari kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur’an dan mengeluarkan kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke jalan lurus.

 

Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna Al-Fatihah, menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini, berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang sesat dan ahli bid’ah, tetapi orang-orang yang berjalan kepada Allah, kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana dan tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mewakili kedudukan surat Al-Fatihah ini. Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam Taurat, Iniil maupun Zabur, yang menyerupai Al-Fatihah.

 

Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang tinggi. la mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki tiga nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan rujukan Asmaul Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi porosnya. Surat Al-Fatihah menjelaskan Ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. Iyyaka na’budu merupakan bangunan di atas Ilahiyah, Iyyaka nasta’in di atas Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat-Nya. Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pembalasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin.

 

Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa dilihat dari beberapa segi:

 

  1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-‘alamin. Dengan kata lain, tidak layak bagi Allah untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia dan terlantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan mudharat di dunia dan di akhirat.

 

  1. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan dipertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal sesembahannya kecuali lewat para rasul.

 

  1. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mencegahNya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan kesempurnaan yang harus mereka cari. Dzat yang diberi asma Ar-Rahman tentu memiliki tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih besar daripada tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.

 

  1. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.

 

  1. Bisa disimpulkan dari iyyaka na’budu. Beribadah kepada Allah tidak boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya. Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada-Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan penjelasan mereka.

 

  1. Bisa disimpulkan dari ihdinasli-shirathal-mustaqim. Hidayah adalah keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti dan keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di dalamnya. Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan kebenaran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global. Dari sini dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan permohonan ini jika dia dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan kebatilan orang yang berkata, “Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu untuk apa kita memohon hidayah?” Kebenaran yang belum kita ketahui jauh lebih banyak dari yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita kerjakan karena menganggapnya remeh atau malas, sebenarnya serupa dengan apa yang kita inginkan atau bahkan lebih banyak. Sementara kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Siapa yang menganggap hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidayah ini merupakan permohonan yang bersifat peneguhan dan berkesinambungan. Memohon hidayah mencakup permohonan untuk mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.

 

  1. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang lurus. Tapi jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal: Lurus, menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satu-satunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu cirinya yang lurus, karena garis lurus merupakan jarak yang paling dekat di antara dua titik, sehingga ada jaminan untuk menghantarkan ke tujuan.

 

  1. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat. Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang mengetahui kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang mengetahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada yang menentangnya. Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat rahmat, dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang mengetahui kebenaran namun mengikuti hawa nafsunya, maka dia adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang tersesat mendapat murka karena kesesatannya dari ilmu yang harus diketahuinya dan amal yang harus dikerjakannya. Masing-masing diantara keduanya sesat dan mendapat murka. Tapi orang yang tidak beramal berdasarkan kebenaran setelah dia mengetahui kebenaran itu, jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih layak mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui kebenaran lebih pas disebut orang yang sesat, dan inilah sifat yang layak diberikan kepada orang-orang Nashara, sebagaimana firman-Nya,.

 

“Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dan jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 77).

 

Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat At-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Adi bin Hatim, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang mendapat murka dan orangorang Nashara adalah orang-orang yang sesat.”

 

Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah. Sedangkan pelaku kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertimbangan:

 

  1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara rahmat mengalahkan kemurkaan. Tentang pengkhususan nikmat yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu adalah nikmat yang mutlak dan yang mendatangkan keberuntungan yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak terbatas diberikan kepada orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk ada dalam nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang pertanyaan, “Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah tidak?” Nikmat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan ketidakterbatasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir. Inilah makna firman-Nya,

 

“Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” Ibrahim: 34).

 

  1. Allahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firmanNya, “Dan, apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya).” (An-Nahl: 53).

 

Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga murka kepada musuh-musuh Allah.

 

  1. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang yang mendapat nikmat.

 

Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat kepada mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping kesempurnaan nikmat pahala. Lafazh an’amta ‘alaihim mencakup dua perkara ini.

 

Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga mencakup dua perkara:

– Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa dan pelecehan.

– Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.

 

Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada kejahatan dan kesesatan yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orang-orang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai konsekuensi dari kesesatannya.

 

Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan murka dan kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman Allah,

 

“Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. (Thaha: 124).

 

Yang kedua seperti firman Allah,

 

“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah orang. orang yang beruntung.” (Al-baqarah: 5).

 

Ash-Shirathul-Mustaqim

 

Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan diketahui secara jelas, karena ada lam ta’rifdan karena ada keterangan tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya,

 

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153).

 

Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah menorehkan satu garis di hadapan kami, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’. Kemudian beliau menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya’. Kemudian beliau membaca ayat, Dan bahwa…’.”

 

Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu, yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada Allah kecuali lewat jalan ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka berbagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu itu terkunci.

 

Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang pernah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini disebutkan di dua tempat dalam Al-Qur’an:

 

“Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56).

 

“Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl: 76).

 

Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha kaya, yang ada di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya? Perkataan Allah benar, lurus, berisi nasehat dan petunjuk, perbuatan-Nya penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil. Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka lebih memprioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawi. Sementara Al-Kalbi berpendapat, “ Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus.”

 

Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathal mustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

 

Jika ada yang mengatakan, “Rasulullah menyuruh kepada keadilan”, berarti beliau berada di atas ash-shirathul-mustaqim. Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. Allah berada di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula RasulNya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah. Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk menggambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah, menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

 

Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendirian dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah juga mengingatkan tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddigin, syuhada dan shalihin. Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu rasa takut dari gangguan orangorang di sekitarnya karena dia sendirian saat meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbeda dengan orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah golongan minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan sebagian salaf, “Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang-orang yang mengikuti jalan ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya.” Jika engkau meniti jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan menoleh ke arah mereka sekalipun mereka memanggil-manggilmu, karena jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat perjalananmu.

 

Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permohonan yang paling tinggi nilainya, maka Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya, kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada dua macam tawassul dalam doa:

 

  1. Tawassul dengan asma dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
  2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.

 

Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua tawassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling penting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya layak dikabulkan.

 

Cakupan Surat Al-Fatihah terhadap Macam-macam Tauhid

 

Tauhid itu ada dua macam:

  1. Tauhid dalam ilmu dan keyakinan.
  2. Tauhid dalam kehendak dan tujuan.

 

Yang pertama disebut tauhid ilmu karena keterkaitannya dengan pengabaran dan pengetahuan. Tauhid kedua yang disebut tauhid kehendak dan tujuan, dibagi menjadi dua macam: Tauhid dalam Rububiyah dan tauhid dalam Uluhiyah.

 

Tauhid ilmu berkisar pada penetapan sifat-sifat kesempurnaan, penafian penyerupaan, peniadaan aib dan kekurangan. Hal ini bisa diketahui secara global maupun secara terinci. Secara global dapat dikatakan, “Penetapan pujian hanya bagi Allah”. Adapun secara terinci dapat dikatakan, “Penyebutan sifat Uluhiyah, Rububiyah, rahmah dan kekuasaan. Empat sifat ini merupakan pusaran asma’ dan sifat.”

 

Pujian di sini berarti pujian terhadap Dzat yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, disertai kecintaan, ridha dan ketundukan kepada-Nya. Seseorang tidak bisa disebut orang yang memuji jika dia mengingkari sifat-sifat yang dipuji, tidak mencintai, tidak tunduk dan ridha kepadanya. Jika sifat-sifat kesempurnaan yang dipuji lebih banyak, maka pujian pun semakin sempurna. Begitu pula sebaliknya. Karena itu segala pujian hanya tertuju kepada Allah karena kesempurnaan dan banyaknya sifat-sifat yang dimiliki-Nya, yang selain Allah tidak mampu menghitungnya. Karena itu pula Allah mencela sesembahan orang-orang kafir dengan meniadakan sifat-sifat kesempurnaan darinya. Allah mencelanya sebagai sesuatu yang tidak bisa mendengar, melihat, berbicara, memberi petunjuk, mendatangkan manfaat dan mudharat. Maka Allah menjelaskan hal ini seperti dalam perkataan Ibrahim Al-Khalil,

 

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?” (Maryam: 42).

 

Andaikata sesembahan Ibrahim seperti sesembahan bapaknya, Azar, tentu bapaknya akan menjawab, “Toh sesembahanmu seperti itu pula. Maka buat apa kamu mengingkari aku?” Sekalipun begitu sebenarnya Azar juga tahu siapa Allah, sama seperti orang-orang kafir Ouraisy yang tahu siapa Allah, tapi mereka menyekutukan-Nya. Begitu pula kaum Musa. Firman Allah,

 

“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sesembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-A’raf: 148).

 

Jika ada yang berkata, “Bukankah Allah tidak bisa berbicara dengan hambaNya?” Maka dapat dijawab sebagai berikut: Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang diajak berbicara dengan Allah dari balik hijab, yang lain ada yang tanpa perantara, seperti Musa, ada yang berbicara dengan Allah lewat perantara malaikat yang diutus, yaitu para nabi dan rasul, dan Allah berbicara dengan seluruh manusia lewat para rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya kepada mereka yang disampaikan para rasul, “Ini adalah firman Allah dan Dia memerintahkan agar kami menyampaikannya kepada kalian.” Berangkat dari sinilah orang-orang salaf berkata, “Siapa mengingkari keadaan Allah yang dapat berbicara, berarti dia mengingkari risalah para rasul.” Begitu pula kaitannya dengan sifat-sifat Allah selainnya.

 

Dari sini dapat diketahui bahwa hakekat pujian mengikuti ketetapan sifat-sifat kesempurnaan, dan penafian hakekat pujian ini juga mengikuti penafian sifat-sifat kesempurnaan.

 

Hakikat Asma Allah

 

Pembuktian asma’ Allah yang lima (Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:

 

Dasar Pertama:

 

Asma’ Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma’ ini merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma’ itu hanya sekadar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bisa disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan, sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau pendendam”. Penafian makna Asma’ul-husna termasuk kufur yang terbesar. Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-awiyyu, berarti memang Dia benar-benar mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia merendahkan timbangan dan meninggikannya. Amal pada malam hari disampaikan kepadaNya sebelum siang hari, dan amal siang hari disampaikan kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya, yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan wajah-Nya benar-benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya.” ,

 

Menafikan makna asma’-Nya juga termasuk kufur yang paling besar. Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma’ Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, “Mereka mengambil asma’ Allah lalu menamakan berhala-berhala mereka dengan asma’-Nya, dengan sedikit mengurangi atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari Allah, Uzza dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan.”

 

Dasar Kedua:

 

Satu dari berbagai asma’ Allah, di samping menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami’ menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula sifat-sifat lainnya.

 

Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma’ Allah menunjukkan kepada keseluruhan Asma’ul-husna dan sifat-sifat yang tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian kebalikannya.

 

Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena Allah menambahkan semua Asma’ul-husna ke asma’-Nya yang agung ini (Allah).

 

Asma’ “Allah” layak untuk semua makna Asma’ul-husna dan menunjukkan kepadanya secara global. Sedangkan Asma’ul-husna itu sendiri merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma’ “Allah”. Asma “Allah” menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah. Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji-Nya.

 

Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama “Allah”. Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempurnaan kekuatan dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama “Ar-Rabb” Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan untuk nama “Ar-Rahman”.

 

Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat. Ar-Rahman artinya yang memiliki sifat rahmat. Sedangkan Ar-Rahim adalah yang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dikatakan dalam firman-Nya, “Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya”, dan tidak dikatakan, “Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap hamba-hamba-Nya”.

 

Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma’ ini, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma’ ini ada penciptaan, urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan dipisah-pisahkan.

 

Asma’ Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi merupakan hambaNya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahiyah. Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal, berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan kecuali bagi-Nya semata.

 

Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Golongan orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orang-orang muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpisah adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama, syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan, pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah. Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al-Malik. Artinya, Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerintahkan mereka berdasarkan Ilahiyah-Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan RububiyahNya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisahkan dari yang lain.

 

Disebutkannya asma’-asma’ ini setelah al-hamdu (pujian) dan pengaitan al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa memang Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rububiyah-Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya Dia adalah sesembahan yang terpuji, Ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh kesempurnaan, kesempurnaan dalam asma’ Allah secara sendirian dan kesempurnaan dalam asma’-asma’ lainnya secara sendirian serta kesempurnaan dalam penyertaan satu asma’ dengan asma’ lain. Karena itu sering disebutkan dua asma’ secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun hamid, wallahu alimun hakim, wallahu ghafurun rahim. Al-Ghaniyyu merupakan sifat kesempurnaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempurnaan pula. Penyertaan dua asma’ ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu pula penyertaan sifat-sifat yang lain.

 

Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum

 

Tingkatan Pertama:

 

Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah berfirman,

 

“Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa’:164).

 

Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini lebih khusus dari sekadar memberikan wahyu seperti yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat Jahmiyah, Mu’tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya bukan bicara secara langsung. Al-Fara’ berkata, “Orang-orang Arab menyebut kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi’il yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakekatnya memang bicara. Maka apabila dikatakan, “Fulan araada iraadatan”, artinya Fulan benar-benar menghendaki.

 

Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,

 

“Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung) kepadanya, Musa berkata, “Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’.” (Al-A’raf: 143).

 

Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya kepada Firaun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya. Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan janji.

 

Tingkatan Kedua:

 

Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mernberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (An-Nisa’: 163).

 

“Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir.“(Asy-Syura: 51).

 

Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. Lawan bicara secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam cara.

 

Tingkatan Ketiga:

 

Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia, lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang diperintahkan-Nya.

 

Tiga Jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi, tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad.

 

Tingkatan Keempat:

 

Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti yang dialami Umar bin Al-Khaththab. Hal ini pernah ditegaskan Nabi gg, “Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin Al-Khaththab.”

 

Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat firasat secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, “Hatiku mendapat bisikan dari Allah?” Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari setan ataukah dari Allah? Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu dari dzat yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti, bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar membisikkan. Ini sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari umat ini yang telah dilegitimasi oleh Rasulullah sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat sekretarisnya menulis, “Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-Mukminin, Umar bin Al-Khaththab”, dia berkata, “Tidak, hapus itu. Tapi tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin AlKhaththab. Jika benar, maka ini datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.” Dia juga pernah berkata ketika memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya, “Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari setan.”

 

Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pembual dan permisivis yang mengatakan, “Hatiku mendapat bisikan (wangsit) dari Allah.” Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual dengan orang yang tulus.

 

Tingkatan Kelima:

 

Dengan cara pemahaman. Allah berfirman,

 

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu.” (Al-Anbiya’: 78-79).

 

Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman dalam peristiwa ini. Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, “Apakah Rasulullah pernah mengkhususkan kalian para shahabat dengan sesuatu tanpa yang lain?” Ali menjawab, “Tidak pernah, kecuali hanya pemahaman tentang KitabNya seperti yang diberikan Allah kepada seorang hamba.”

 

Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para shahabat yang pernah ikut perang Badar dan juga lain-lainnya tentang makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka berdua yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?

 

Tingkatan Keenam:

 

Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil, bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas didepan mata kepala. Tingkatan ini mempakan hujjah Allah atas makhluk-Nya. Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah orang tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,

 

“Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus dijauhi.” (At-Taubah: 115).

 

Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini. Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan syubhat tentang masalah ini.

 

Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru hamba-hambaNya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata.

 

Karena penjelasan inilah para rasul diutus, dan pengemban sesudah para nabi adalah para ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.

 

Tingkatan Ketujuh:

 

Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatangkan petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak kehilangan hidayah. Allah berfirman

 

“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya.” (An-Nahl: 36).

“Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya.” (Al-Qashash: 56),

 

Tingkatan Kedelapan:

 

Lewat pendengaran. Allah berfirman,

 

“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal: 23)

 

Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan hati.

 

Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga, sedangkan mendengarkan hakekat makna dan tujuannya merupakan bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.

 

Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyaratnya. Inti tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan penerimaan atau pemenuhan.

 

Tingkatan Kesembilan:

 

Ilham. Allah berfirman,

 

“Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams: 7-8).

 

Nabi bersabda kepada Hushain bin Al-Mundzir saat dia masuk Islam, “Katakanlah, Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan lindungilah aku dari kejahatan diriku.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi daripada firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.

 

Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka. Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, seperti Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman Allah,

 

“Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia’.” (Al-Qashash: 7). Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,

 

“Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’.” (An-Nahl: 68).

 

Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara keduanya, firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan, sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan tindakan atau usaha tertentu.

 

Tingkatan Kesepuluh:

 

Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti yang dikabarkan Nabi, beliau bersabda, “Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian dari nubuwah.”

 

Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya paling benar dan jujur. Jika Kiamat sudah dekat, maka hampir tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah. Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.

 

Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya Hari Kiamat. Hal Ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan Al-Imam Ahmad. Ubadah bin Ash-Shamit berkata, “Mimpi orang Mukmin merupakan perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur.”

 

Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal dari setan, sebagaimana sabda Rasulullah,

 

“Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari setan dan mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat terjaga (tidak tidur), lalu dia memimpikannya saat tidur.”

 

Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khusus datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu, karena mimpi mereka terlindung dari setan. Begitulah kesepakatan umat. Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas, jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa komentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga kejujurannya, memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur dalam keadaan suci, menghadap kearah kiblat, menyebut asma Allah hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpinya bukan mimpi yang dusta.

 

Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena itulah waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat setan menyingkir jauh. Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi yang banyak ditebari setan dan ruh-ruh setan.

 

Kemujaraban Al-Fatihah yang Mengandung Kesembuhan bagi Hati dan Kesembuhan bagi Badan

 

Kandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati merupakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan. Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan inti dari semua jenis penyakit hati. Hidayah kejalan yang lurus menjamin kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwajibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat terdesak keperluan.

 

Sedangkan penegasan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in secara ilmu dan ma’rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penyakit hati dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang terputus dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat meraihnya, maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah. Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal selain Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya ingin memuaskan nafsunya, para tiran yang menopang kekuasaannya dengan segala cara, tak peduli benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan karena itu merupakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan sejalan dengan tujuan dan nafsunya.

 

Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dikatakan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap Allah serta berada di alam Barzakh.

 

Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk meraih tujuan itu, dia hanya menduga-duga sarana yang digunakannya itu akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaka na budu wa iyyaka nasta’in.

 

Obat ini mempunyai empat komposisi:Tentang ibadah kepada Allah, perintah dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepadaNya, tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsur-unsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Jika unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu akan menjadi obat yang sangat mujarab.

 

Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya’ dan takabur. Obat riya adalah iyyaka na’budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka nasta’in. Seringkali kami mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Iyyaka na’budu menolak penyakit riya’, dan iyyaka nasta’in menolak penyakit takabur.”

 

Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya dengan iyyaka na’budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka nasta’in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan ihdinash-shirathal mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang mendapat kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat), yaitu mereka yang memiliki ilmu yang rusak dan tidak mengetahui kebenaran.

 

Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi gg yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam perjalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin penduduk kampung mereka disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan bertanya, “Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian yang bisa menyembuhkan dengan mantera?”

 

“Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada kami.”

 

Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu membacakan AlFatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit dan sembuh dari penyakitnya, seakan-akan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, “Janganlah kalian terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi gg.”

 

Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau bersabda, “Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku.”

 

Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyembuhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang disembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara tersebut, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan tidak seperti mereka?

 

Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalurkan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak menerimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat menyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bahkan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu kepada seseorang.

 

Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan menjaga dengan sesuatu yang serupa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuali dengan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika Jiwa orang yang disengat tidak layak menerima rugyah itu dan jiwa yang membacakan rugyah tidak mampu memberikan pengaruh apa-apa, maka kesembuhan tidak akan berhasil.

 

Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, kesungguhan orang yang mengobati, dan orang yang diobati bisa menerimanya. Jika tidak ada kelainan pada salah satu unsur ini, maka kesembuhan tidak akan terjadi.

 

Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia rugyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang memang bisa dipotong dengan pedang itu.

 

Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam penggunaan Al-Fatihah sebagai rugyah ini dengan hasil yang benar-benar menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya tidak bisa menggerakkan badan karenanya. Padahal saat itu saya harus mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al-Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit. Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali.Pernah juga saya mengambil air Zam-zam lalu membacakan Al-Fatihah pada air itu dan saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang tidak pernah merasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari kekuatan iman dan keyakinan yang benar.

 

Al-Fatihah Mencakup Bantahan terhadap Semua Golongan yang Batil, Bid’ah dan Sesat

 

Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Global dan terinci. Secara global dapat diketahui bahwa ash-shirathul-mustaqim mencakup pengetahuan tentang kebenaran, memprioritaskan kebenaran daripada yang lain, mencintai, menyeru dan memerangi musuh-musuh kebenaran menurut kesanggupan. Kebenaran di sini adalah apa yang dibawa Rasulullah dan para shahabat, seperti ilmu dan amal tentang sifat Allah, asma’, perintah, larangan, janji, ancaman dan hakekat-hakikat iman, yang semuanya merupakan etape orang-orang yang berjalan kepada Allah. Semua masalah ini diserahkan kepada beliau dan bukan kepada pendapat dan pemikiran manusia. Jadi tidak dapat diragukan bahwa ilmu dan amal yang ada pada diri Rasulullah dan para shahabat adalah pengetahuan tentang kebenaran, yang harus diprioritaskan daripada yang lain, Inilah yang disebut ashshirathul-mustaqim. Dengan cara yang global ini dapat diketahui bahwa siapa pun yang bertentangan dengan jalan ini adalah batil, atau merupakan satu jalan dari dua jenis golongan: Golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.

 

Adapun dengan cara yang rinci, maka kita perlu mengetahui satu persatu setiap madzhab yang batil. Namun yang pasti, setiap kalimat Al-Fatihah mencakup penjelasan tentang kebatilannya.

 

Manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: Golongan yang mengakui kebenaran dan golongan yang mengingkari kebenaran. SementaraAlFatihah mencakup penetapan adanya Khalig dan penolakan orang yang mengingkari keberadaan-Nya, yaitu dengan penetapan Rububiyah-Nya atas semesta alam. Perhatikanlah semua benda alam, baik alam atas maupun alam bawah, tentu engkau akan melihat bukti keberadaan Sang Pencipta. Keberadaan Allah ini lebih nyata bagi akal dan fitrah daripada keberadaan sungai yang mengalir. Siapa yang tidak mempunyai pandangan seperti ini dalam akal dan fitrahnya, berarti harus dipertanyakan, adakah sesuatu yang tidak beres pada akalnya?

 

Seiring dengan kebatilan orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah, batil pula pendapat orang-orang yang mengatakan tentang wahdatul-wujud (kesatuan wujud), bahwa wujud alam ini juga merupakan wujud Allah dan Allah merupakan hakekat wujud alam ini. Jadi menurut mereka tidak ada lagi istilah Rabb dan hamba, penguasa dan yang dikuasai, pengasih dan yang dikasihi, pemberi pertolongan dan yang meminta pertolongan, pemberi petunjuk dan yang diberi petunjuk, pemberi nikmat dan yang diberi nikmat, sebab Allah adalah hamba itu sendiri, yang disembah adalah yang menyembah itu sendiri. Perbedaan wujud hanya sekadar masalah relatifitas yang bergantung kepada fenomena dzat dan penampakannya, sehingga terkadang bisa berwujud seorang hamba biasa, terkadang berwujud Firaun, pemberi petunjuk, nabi, rasul, ulama dan lain sebagainya. Sekalipun berbeda-beda, semua berasal dari satu inti, bahkan Allah adalah inti itu sendiri.

 

Surat Al-Fatihah, semenjak pertama hingga akhirnya, menjelaskan kebatilan dan kesesatan golongan ini.

 

Orang-orang yang menetapkan adanya Khaliq ada dua macam:

  1. Golongan yang mengesakan Khalig atau ahli tauhid.
  2. Golongan yang menyekutukan Khalig atau ahli syirik.

 

Ahli syirik ada dua macam:

 

  1. Orang-orang yang menyekutukan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya, seperti orang-orang Majusi dan yang serupa dengan mereka dari golongan Qadariyah. Mereka menetapkan adanya pencipta Allah yang menyertai Allah, sekalipun mereka tidak mengatakan adanya kesetaraan di antara keduanya. Golongan Qadariyah Majusi menetapkan adanya para pencipta perbuatan di samping Allah. Perbuatan ini di luar kehendak Allah dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, tapi para pencipta selainNya itulah yang menjadikan diri mereka bisa berbuat dan berkehendak. Di dalam Iyyaka na’budu terkandung sanggahan terhadap pendapat mereka. Sebab pertolongan yang mereka mohonkan kepada-Nya berarti mengharap-kan sesuatu yang ada di Tangan Allah dan ada dalam kekuasaan serta kehendak-Nya. Lalu bagaimana mungkin orang yang katanya mampu berbuat, tapi dia masih meminta pertolongan?

 

  1. Orang-orang yang menyekutukan Uluhiyah-Nya. Mereka mengatakan bahwa hanya Allah penguasa dan pencipta segala sesuatu, bahwa Allah adalah Rabb mereka dan bapak-bapak mereka semenjak dahulu. Tetapi sekalipun begitu mereka masih menyembah selain-Nya, mencintai dan mengagungkannya. Mereka menciptakan tandingan bagi Allah. Mereka tidak menetapi hak iyyaka na’budu. Sekalipun memang mereka na’buduka (kami menyembah-Mu), tapi mereka tidak murni dalam iyyaka na’budu, yang mengandung pengertian: Kami tidak menyembah kecuali Engkau semata, dengan penuh kecintaan, harapan, ketakutan, ketaatan dan pengagungan. Iyyaka na’budu merupakan pengejawantahan dari tauhid dan peniadaan syirik dalam Uluhiyah, sebagaimana iyyaka nasta’in merupakan pengejawantahan dalam tauhid Rububiyah dan peniadaan syirik dalam Rububiyah.

 

Surat Al-Fatihah juga mengandung sanggahan terhadap pendapat berbagai golongan yang menyimpang dan sesat, seperti:

 

  1. Al-Jahmiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.

 

  1. Al-Jabariyah yang meniadakan pilihan dan kehendak bagi manusia, yang segala sesuatu pada diri manusia berdasarkan kehendak Allah.

 

  1. Golongan yang menetapkan perbuatan Allah pada hal-hal yang pasti dan Dia tidak mempunyai pilihan serta kehendak.

 

  1. Golongan orang-orang yang mengingkari keterkaitan ilmu-Nya dengan hal-hal parsial.

 

  1. Golongan orang-orang yang mengingkari nubuwah.

 

  1. Golongan yang mengatakan tentang keberadaan alam semenjak dahulu kala.

 

  1. Ar-Rafidhah yang menganggap hanya keturunan Rasulullah yang benar, sedangkan selain mereka tidak benar dan tidak akan masuk surga, sekalipun itu semacam shahabat Abu Bakar.

 

Cakupan Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in terhadap Makna-makna Al-Qur’an, Ibadah dan Isti’anah

 

Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun dalam Taurat, Iniil dan Al-Our an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di dalam Al-Our an. Makna-makna Al-Qur’an terhimpun dalam surat-surat yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun dalam surat Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Dua kalimat ini dibagi antara milik Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na’budu, dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta’in.

 

Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orang-orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang yang mengingkari hakekat ubudiyah dan sekaligus mengingkari keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan penciptanya. Inilah tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti pengakuan bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimana firman Allah,

 

“Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka menjawab, “Allah’.” (Az-Zumar: 38).

 

Isti’anah ( memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: Kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya seorang hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyandarkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya. Tawakal merupakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini, kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merupakan hakekat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Dua dasar ini, tawakal dan ibadah disebutkan di beberapa tempat dalam Al-Quran, yang keduanya disebutkan secara berurutan, di antaranya,

 

“Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepadaNyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud: 123).

 

“Ibadah” didahulukan daripada “Isti’anah” di dalam Al-Fatihah merupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bisa dilihat dari beberapa sebab:

 

  1. “Ibadah” merupakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan sarana untuk dapat melaksanakan “Ibadah’ itu.

 

  1. Iyyaka na’budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma “Allah”. Sedangkan iyyaka nasta’in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma “Ar-Rabb”. Karena itu iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’in, sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar-Rabb di awal Al-Fatihah.

 

  1. Iyyaka na’budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirathal-mustaqim hingga akhir surat.

 

  1. “Ibadah” secara total mencakup “Isti’anah“ dan tidak bisa dibalik. Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bisa dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dan syahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna. Berarti “Isti’anah” merupakan bagian dari “Ibadah” dan tidak bisa dibalik, sebab isti’anah merupakan permohonan dari-Nya, sedang “Ibadah” merupakan permohonan bagi-Nya.

 

  1. “Ibadah” hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan “Isti’anah” bisa dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.

 

  1. “Ibadah” merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan “Ibadah”.

 

  1. “Ibadah” merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilimpahkan kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian pertolongan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna, maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.

 

  1. lyyaka na’budu merupakan hak Allah dan iyyaka nasta’in merupakan kewajiban Allah. Hak-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya, Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantung kepada kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun setan, orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang taat maupun orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada kehendakNya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatan dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya,

 

Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah didahulukannya iyyaka na’budu daripada iyyaka nasta’in.

 

Pembagian Manusia Berdasarkan Kandungan Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in

 

Jika engkau sudah mengetahui secara jelas masalah ini, maka berdasarkan dua dasar (Ibadah dan isti’anah) manusia bisa dibagi menjadi empat golongan:

 

  1. Ahli ibadah dan isti’anah kepada Allah. Mereka merupakan golongan yang paling mulia dan paling tinggi. Ibadah kepada Allah merupakan tujuan mereka, dan mereka pun memohon agar Allah menolong dan memberikan taufik, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah itu. Karena itu permohonan paling utama yang disampaikan kepada Allah ialah pertolongan menurut keridhaan-Nya, seperti yang diajarkan Nabi kepada orang yang beliau cintai, Mu’adz bin Jabal. Beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lalai untuk mengucapkan seusai setiap shalat, ‘YaAllah, tolonglah aku untuk menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik kepada-Mu’.”

 

  1. Orang-orang yang tidak mau beribadah dan tidak mau memohon pertolongan kepada-Nya. Mereka tidak mengenal ibadah dan isti’anah. Ini kebalikan dari golongan yang pertama. Bahkan jika salah seorang di antara mereka memohon kepada-Nya, maka hal itu dimaksudkan untuk memuaskan nafsunya, bukan berdasarkan keridhaan dan hak-Nya. Semua yang ada di langit dan di bumi memohon kepada-Nya. Bahkan makhluk yang paling dibenci Allah dan musuh-Nya, Iblis, masih sempat memohon kepada Allah dan Allah pun memenuhinya. Tapi karena apa yang dimohon itu bukan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia semakin menambah penderitaan, kesengsaraan dan dia semakin jauh dari Allah. Begitulah keadaan setiap orang yang memohon pertolongan kepada Allah, namun tidak dimaksudkan untuk menambah ketaatan kepada-Nya, sehingga dia menjadi budak dari apa yang dimintanya. Hendaklah diketahui, bahwa kalaupun Allah memenuhi permintaan orang yang meminta kepada-Nya, bukan karena ada kemuliaan pada diri orang yang meminta itu. Hamba meminta kepada-Nya dan Allah memenuhinya, padahal permintaannya itu boleh jadi menjadi sumber kehancuran dan penderitaannya, sehingga pemenuhan Allah ini justru menjadi kehinaan baginya. Sebaliknya, tidak adanya pemenuhan Allah atas permintaan hamba justru merupakan kemuliaan dan gambaran cinta Allah kepadanya, perlindungan dan penjagaan Allah baginya, dan bukan merupakan gambaran kekikiran Allah. Tapi orang yang bodoh akan mengira bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula memuliakannya, sehingga dia berburuk sangka terhadap Allah. Pemberian dan pencegahan Allah merupakan ujian. Firman-Nya,

 

“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Rabbku menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian).” (Al-Fajr: 15-16).

 

Allah menyanggah dugaan orang, bahwa keluasan rezeki yang dilimpahkan-Nya merupakan kemuliaan dari-Nya, sedangkan kemiskinan merupakan kehinaan dari-Nya, dengan berfirman, “Aku tidak menguji hamba-Ku dengan kekayaan karena dia mulia di Mata-Ku. Aku tidak mengujinya dengan kemiskinan karena dia hina di Mata-Ku.” Dia mem beritahukan bahwa kemuliaan dan kehinaan tidak berkisar pada keluasan harta dan pembatasannya. Toh Allah menghamparkan harta seluasluasnya kepada orang kafir, bukan karena dia mulia, dan membatasi harta pada orang Mukmin, bukan karena dia hina. Segala puji bagi Allah atas semua ini, dan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jadi kebahagiaan dunia dan akhirat tetap kembali kepada iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.

 

  1. Golongan orang yang memiliki sebagian ibadah tanpa menghendaki isti’anah. Mereka ada dua kelompok: Pertama, golongan Qadariyah yang berpendapat bahwa Allah telah melakukan apa yang ditetapkan-Nya pada hamba dan Dia tidak perlu lagi memberikan pertolongan kepada hamba, karena Allah telah menolongnya dengan menciptakan alat baginya, memperkenalkan jalan dan mengutus para rasul. Sehingga setelah adanya pertolongan ini, hamba tidak perlu lagi memohon kepada-Nya. Kedua, golongan yang beribadah namun tidak total dalam tawakal dan memohon pertolongan kepada-Nya. Pandangan mereka tidak mengaitkan orang yang bergerak kepada siapa yang menggerakkan, tidak mengaitkan sebab kepada pembuat sebab, tidak mengaitkan alat kepada pelaku.

 

  1. Golongan yang mempersaksikan bahwa hanya Allahlah satu-satunya yang memberikan manfaat dan mudharat. Apa pun yang dikehendaki. Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, namun mereka tidak berbuat apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

 

Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na’budu kecuali dengan dua dasar: Mengikuti Rasulullah dan ikhlas terhadap Allah yang disembah. Ditilik dari dua dasar ini, maka manusia bisa dibagi menjadi empat golongan:

 

  1. Orang-orang yang ikhlas karena Allah dan mengikuti Nabi. Merekalah yang benar-benar menghayati iyyaka na’budu. Semua perkataan dan perbuatan mereka karena Allah, memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah. Mu’ amalah mereka ) secara lahir dan batin karena mengharap Wajah Allah semata, tidak dimaksudkan untuk mencari imbalan, pujian, pengaruh, kedudukan dan simpati di hati manusia atau pun menghindari celaan manusia. Bahkan mereka menganggap semua manusia tak ubahnya mayat yang sudah mati, tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Perbuatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan kedudukan, mengatur manfaat dan mudharat, sama sekali tidak mereka kenal. Maka Al-Fadhl bin Iyadh pernah berkata, “Amal yang baik ialah yang paling ikhlas dan paling benar.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab, “Jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak diterima pula, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas artinya karena Allah. Benar artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah,

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110).

 

  1. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah. Amalnya tidak sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah yang disembah, seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling dibenci Allah. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman Allah,

 

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali Imran: 188).

 

  1. Ikhlas dalam amalnya namun tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah. Seperti yang dilakukan para ahli ibadah yang bodoh, mereka yang cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah-Nya.

 

  1. Amalnya sesuai dengan perintah dan As-Sunnah, tetapi untuk tujuan selain Allah. Seperti orang yang berjihad karena riya’ dan memamerkan patriotismenya, menunaikan haji agar dia dipuji, atau membaca Al-Qur’an agar disanjung. Amal mereka secara zhahir sesuai dengan perintah, tetapi tidak shalih.

 

Orang-orang yang mengamalkan iyyaka na’budu secara konsisten memiliki sisi pandang yang berbeda tentang ibadah yang paling utama, paling bermanfaat, paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini mereka ada empat pendapat:

 

  1. Orang-orang yang menganggap ibadah yang paling baik dan utama adalah yang paling sulit dan berat, karena ibadah semacam ini adalah yang paling jauh dari hawa nafsu. Sementara menurut mereka, pahala juga diukur dari kadar kesulitan ibadah. Mereka berpendapat berdasarkan hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya, “Amal yang paling utama adalah yang paling sulit atau berat.”

 

Mereka adalah orang-orang yang memang rajin beribadah, namun bertindak semena-mena terhadap diri sendiri.

 

  1. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah zuhud di dunia, meminimkan andil dalam keduniaan dan tidak peduli terhadap kehidupan dunia.

 

  1. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah yang manfaatnya merambah secara luas. Menurut mereka, menyantuni orang-orang miskin, memenuhi kebutuhan orang banyak, membantu mereka dengan tenaga dan harta, adalah ibadah yang paling utama. Mereka beralasan bahwa amal ahli ibadah hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan amal orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain bisa dirasakan orang banyak, karena itu kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah seperti kelebihan rembulan atas seluruh bintang-gemintang. Mereka juga berhujjah dengan hadits-hadits tentang pahala yang diberikan kepada pelaku kebaikan dan dia juga mendapatkan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikan yang dilakukannya itu.

 

  1. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah amal yang dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, sesuai dengan timingnya dan tugas yang memang harus dilaksanakannya. Ibadah yang paling utama pada waktu jihad adalah berjihad, sekalipun harus meninggalkan shalat malam dan puasa, bahkan sekalipun dia harus meninggalkan shalat fardhu karena kondisi perang. Ibadah yang paling utama sewaktu ada tamu yang datang ialah memenuhi hak-hak tamu. Ibadah yang paling utama pada waktu fajar adalah mengerjakan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa dan berdzikir. Begitu pula setiap ibadah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, maka itulah ibadah yang paling utama.

 

Golongan yang keempat ini adalah ahli ibadah yang tak mengenal batasan, sedangkan tiga golongan lain sebelumnya adalah ahli ibadah yang terbatas. Jika salah seorang di antara tiga golongan ini keluar dari jenis ibadah yang menjadi andalannya, maka dia menganggap ada yang kurang dalam ibadahnya itu atau dia telah meninggalkan ibadahnya sama sekali, karena dia beribadah kepada Allah dengan satu pola. Sementara orang yang ibadahnya tidak mengenal batasan, tidak mementingkan satu ibadah daripada yang lain. Tujuan yang diraihnya adalah keridhaan Allah, di mana dan kapan pun dia berada. Dia selalu berpindah-pindah di berbagai tempat ibadah. Jika engkau melihat para ulama, maka dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat para mujahidin, dia tampak terlihat bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan shadagah, dia tampak bersama mereka. Inilah hamba yang tidak terikat dan tidak memiliki gambar tertentu. Dialah orang yang mewujudkan makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in secara konsekuen.

 

Bangunan Iyyaka Na’budu dan Keharusan Ibadah Hingga Akhir Hayat

 

Iyyaka na’budu didasarkan kepada empat kaidah, yaitu mewujudkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, berupa perkataan hati dan lisan, amal hati dan anggota badan. Ubudiyah merupakan nama yang meliputi empat tingkatan ini.

 

Perkataan hati merupakan keyakinan terhadap apa yang dikabarkan Allah, tentang Diri-Nya, sifat, asma’ dan perbuatan-Nya, para malaikat, perjumpaan dengan-Nya, yang disampaikan para rasul-Nya. Perkataan lisan adalah pengabaran tentang keyakinan ini. Amal hati ialah seperti cinta kepada Allah, tawakal, tunduk, takut dan berharap kepada-Nya serta hal-hal lain yang merupakan gerak hati. Sedangkan amal anggota tubuh seperti shalat, jihad, melangkah ke masjid untuk shalat Jum’at dan jama’ah, membantu orang miskin, berbuat baik kepada sesama manusia dan lain sebagainya.

 

Sementara itu, keharusan melaksanakan iyyaka na’budu berlaku hingga akhir hayat. Allah berfirman,

 

“Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al-Hijr: 99).

 

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan tentang kisah kematian Utsman bin Mazh’un, Nabi bersabda, “Telah datang kepada Utsman ajal dari Rabb-nya.”

 

Hamba tidak terbebas dari ibadah selagi dia berada di dunia. Bahkan di alam Barzakh pun dia tetap memiliki bentuk ibadah tersendiri tatkala dua malaikat bertanya kepadanya, “Siapakah yang disembah dan apakah yang dia katakan tentang Rasulullah?” Maka kedua malaikat menunggu jawaban yang akan keluar dari hamba itu. Bahkan pada Hari Kiamat pun masih ada ibadah yang dilakukan, yaitu saat Allah menyeru semua makhluk untuk sujud. Maka orang-orang Mukmin sujud, sedangkan orang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika sudah masuk surga atau neraka, maka tidak ada lagi kewajiban, selain dari tasbih yang dilakukan para penghuni surga.

 

Siapa yang berpendapat, bahwa dia sudah mencapai suatu tingkatan yang membuatnya terbebas dari ibadah adalah orang zindig yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” Padahal orang yang mencapai sekian banyak tingkatan ibadah, justru ibadahnya semakin besar dan kewajibannya lebih banyak daripada yang lain, seperti kewajiban para rasul yang lebih banyak dan lebih berat.

 

Tingkatan-tingkatan Iyyaka Na’budu dan Penopang Ubudiyah

 

Ditilik dari ilmu dan amal, ubudiyah itu mempunyai beberapa tingkatan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada dua tingkatan: Ilmu tentang Allah dan ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada lima macam: Ilmu tentang Dzat, sifat, perbuatan, asma’ Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada dua macam: Ilmu yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang sekaligus merupakan jalan lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan ilmu yang berkaitan dengan pahala serta siksa.

 

Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat menyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempurnakan tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari tiga bagian ini mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum ubudiyah ada lima macam: Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Lima hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.

 

Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya’, ujub, dengki, lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam dua perkara: Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam, besar dan kecil. Kedurhakaan yang besar seperti riya’, takabur, ujub, membanggakan diri, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharaman zina dan minum khamer serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak memperhatikannya. Tugas iyyaka na’budu dibebankan kepada hati terlebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.

 

Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid’ah adalah kefasikan. Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang meninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia mendapat pahala.

 

Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam: Yang wajib adala mengucapkan syahadatain, membaca apa yang harus dibaca dari isi Al-Qur’an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikir-dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, membalas ucapan Salam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunnah bagi lisan adalah membaca Al-Qur’an, terus-menerus menyebut asma Allah, menggali ilmu yang bermanfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram bagi lisan ialah mengucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyampaikan bid’ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan RasulNya, menyeru kepada bid’ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta, memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa didasari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik. Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.

 

Ubudiyah yang harus dilakukan anggota tubuh ada dua puluh lima: karena indera ada lima dan masing-masing indera mempunyai lima kewajiban, yang meliputi wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

 

Persinggahan Iyyaka Na’budu di dalam Hati Saat Mengadakan Perjalanan kepada Allah

 

Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing-masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya. Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di antara persinggahan ini. Yang pertama adalah al-yagzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian.

 

Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan,

 

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.

 

Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrahnya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.

 

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakekat pengabaran para rasul, seakan-akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

 

Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat menyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirahnya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma’ dan sifat. Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman.

 

Bashirah tentang asma’ dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah. Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbeda-beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran Nabawi dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan dengan hakekat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirahnya adalah para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya, Iebih mempercayai wahyu dan lebih tunduk kepada kebenaran.

 

Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan ta’wil, taglid atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, tidak pula mengikuti taglid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum dari nash.

 

Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksikan penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya. Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan Rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.

 

Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif jalan Jain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan. Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga tingkatan: Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri dari keragu-raguan. Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi. Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau mendengarkan nasehat dari orang yang lebih bijaksana.

 

Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bulat, lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada Allah. Firman-Nya,

 

“Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159).

 

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupakan permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakekatnya tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi. Tekad ini ada dua macam: Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan. Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih khusus lagi. Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum taubat. Tetapi pengarang Manazilus Sa’irin menempatkan taubat sebelum muhasabah.

 

Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan dengan persinggahan ini. Mnurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yagzhah (kesadaran) harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun tempatnya, begitu pula al-bashirah, aliradah, al-azm maupun at-taubah. Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di permulaannya dan bahkan ia harus ada di manamana. Memang Allah menjadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya yang khusus, seperti Rasulullah dan para shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah berfirman berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka lakukan, dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,

 

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu.” (AtTaubah: 117).

 

Muhasabah dan Pilar-pilarnya

 

Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari empat persinggahan, yaitu al-yagzhah, al-bashirah, al-fikrah dan al-azm. Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan. Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halamannya, tidak berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan kembali lagi.

 

Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakekat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.

 

Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjagajika berada di antara dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18).

 

Maksud “Memperhatikan” dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”

 

Menurut Abu Isma’il, pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga pilar yang menopang muhasabah, yaitu:

 

  1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu

 

Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.

 

Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakekat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempurnaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakekat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmatNya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.

 

Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.

 

Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator:

  1. Cahaya hikmah
  2. Buruk sangka terhadap diri sendiri
  3. Membedakan antara nikmat dan ujian.

 

Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang hag dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk. Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipentingkan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan bisa menimbulkan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempurnaan. Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmat yang hanya sekadar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

 

Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.

 

  1. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban

 

Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.

 

Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan haknya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerjakan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.

 

Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi sg terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bid’ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang.

 

  1. Tidak Ridha terhadap Ketaatan yang Dilakukan

 

Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa. dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamer, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.

 

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hakAllah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,

 

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3).

 

Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu. Makajadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.

 

Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir

 

Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.

 

Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia beralih ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu menyertainya. Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mendesak, tak berbeda dengan permulaannya. Allah berfirman,

 

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31). 

 

Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga menggunakan kata “supaya”, yang mengindikasikan pengharapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung. Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan mereka. Di samping itu, Allah juga berfirman tentang kebalikan dari golongan ini,

 

“Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11).

 

Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak bertaubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberikan kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim dari dirinya, karena dia tidak tahu Allah dan hak-Nya, tidak tahu aib dirinya dan kekurangan amalnya.

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah, beliau Bersabda,

 

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”

 

Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat pernah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan berikut,

 

“Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.”

 

Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti ash-shirathul-mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan mengesakan-Nya. Urutanurutan semacam ini sudah terangkum secara baik dan lengkap di dalam AlFatihah. Siapa yang memberikan hak kepada Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan makrifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk mengikuti ash-shirathul-mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terusmenerus dilakukan. Karena itu taubat dianggap tidak sah kecuali setelah mengetahui dosa dan mengakuinya, lalu berusaha mencari jalan keselamatan dari akibat yang akan diterima di kemudian hari.

 

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam taubat, yaitu penyesalari, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan kelemahan serta ketidakberdayaan.

 

Hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakekat taubat.

 

Menurut Abu Ismail, rahasia hakekat taubat ada tiga macam:

  1. Memisahkan ketakutan dari kemuliaan.
  2. Melupakan dosa dan kesalahan.
  3. Taubat dari taubat.

 

Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa taubat itu harus dimaksudkan sebagai wujud ketakutan kepada Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Dia juga harus meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya dari-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kemuliaan. Karena bagaimana pun juga ketaatan itu mempunyai kemuliaan dalam lahir maupun batin. Siapa yang bertaubat dengan maksud untuk mencari kemuliaan, maka taubatnya itu menjadi sia-sia.

 

Melupakan dosa dan kesalahan harus dirinci lebih lanjut lagi. Bahkan ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan orang-orang yang meniti jalan kepada Allah. Di antara mereka ada yang berpendapat, sibuk mengingat dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Mempergunakan waktu bersama Allah jauh lebih bermanfaat bagi orang yang bertaubat. Maka ada pepatah, “Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah kemarau.” Ada pula yang berpendapat, memang yang lebih tepat ialah tidak melupakan dosa itu dan dosa itu seakan-akan harus selalu hadir di depan matanya, sehingga membuat hatinya senantiasa sedih. Yang benar dalam masalah ini, jika seorang hamba merasakan adanya ujub pada dirinya, melupakan karunia dan tidak merasa membutuhkan Allah atau tidak melihat kekurangan dirinya, maka mengingat dosa lebih bermanfaat baginya. Namun pada saat dia melihat karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya, hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah, kerinduan untuk bersua dengan-Nya, merasakan kebersamaan dengan-Nya, melihat keluasan rahmat dan ampunan-Nya, maka melupakan dosa dan kesalahan lebih bermanfaat baginya. Sebab jika seorang hamba terusmenerus mengingat dosa dan kesalahannya, sementara dia dalam keadaan yang kedua ini, maka dia akan turun dari tingkatan yang tinggi ke tingkatan yang rendah, dan ini termasuk tipu daya setan. Sebab dua keadaan ini harus dibedakan.

 

Sedangkan taubat dari taubat, merupakan istilah yang masih rancu, bisa berarti benar dan bisa berarti salah. Taubat termasuk kebaikan yang paling agung. Taubat dari kebaikan merupakan keburukan yang paling besar dan kesalahan yang paling buruk, bahkan bisa disebut kufur. Sebab dengan begitu tidak ada bedanya antara taubat dari taubat dan taubat dari Islam serta iman. Layakkah dikatakan taubat dari iman? Jika seorang hamba senantiasa beserta Allah, senantiasa mengingat karunia, menyebut asma’ dan sifat-sifat-Nya serta senantiasa menghadap kepada-Nya, namun dia juga masih mengingat-ingat dosanya yang telah lampau sebagai perwujudan taubat, maka dia perlu bertaubat dari taubatnya itu.

 

Kendala-kendala Taubat Orang-orang yang Bertaubat

 

Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:

 

  1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikan-kebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan. Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur’an. Jika engkau tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan, engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu, maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca satu ayat atau satu Surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu untuk khusyu’ saat mengerjakan dua rakaat shalat sunnah, maka shalat berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya, adalah taubatnya orang awam.

 

  1. Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang pun yang bisa selamat dari neraka dengan amalnya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.

 

  1. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan terhadap Allah.

 

Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekadar berbuat dengan amal-amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri kepada Allah, maka bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan juga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecuali yang dia hayati secara sungguhsungguh. Begitu pula setiap ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu’an.

 

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan. Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga dosa. Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia menjadi besar disisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.

 

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini, berarti mereka bukan termasuk orangorang yang khusus, tapi orang-orang awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersama Allah dan tidak dikotori debu.

 

Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang-orang khusus, yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekadar meridhai amalnya. Mereka adalah orang. orang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya, maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa besar. Jadi taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka merupakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.

 

Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuai dengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yang sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.

 

Pernik-pernik Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat

 

Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan taubat, yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di antaranya:

 

Pertama:

 

Bertaubat dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu pula dan tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu, maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti ini jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari dosa-dosa yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak mengetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak beramal, sehingga kedurhakaannya semakin berlipat.

 

Di dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi bersabda, “Syirik di dalam umatku ini lebih tersembunyi daripada rangkakan semut.”

 

Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk menyelamatkan diri darinya?”

 

Beliau menjawab, “Hendaklah engkau mengucapkan,

 

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui.”

 

Dalam sebuah hadits dari Nabi, disebutkan bahwa beliau berdoa dalam shalatnya,

 

“YaAllah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-lebihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain Engkau.”

 

Kedua:

 

Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap dilakukan?

 

Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma’ tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawi dan lain-lainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih melakukan dosa lain.

 

Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak lebih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang mengikuti agama tuannya.

 

Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya.Lalu apakah makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepadaNya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap sah.

 

Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?

 

Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya – yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa itu.

 

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum dianggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan sebagian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.

 

Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.

 

Menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan. Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamer atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi’ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum knamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah. Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakekatnya belum bertaubat dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa kejenis lainnya yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurhakaan ke kedurhakaan lain yang tidak serupa.

 

Ketiga:

 

Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada syarat seperti itu?

 

Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.

 

Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi, sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu? Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya? Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?

 

Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambahdengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari Nabi, beliau bersabda, “Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir.”

 

Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupakan keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya.

 

Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan dianggap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini ditunjukkan sebuah hadits shahih, yaitu sabda beliau, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghuni surga, sehinggajarak antara dirinya dan surga itu hanya sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka.” Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya, sehingga dia masuk neraka.” Kesudahan yang buruk lebih umum dari sekadar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu diukur dari kesudahannya.

 

Apabila ada yang berkata, “Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan”, maka ini adalah pendapat golongan Mu’tazilah. Sementara Al-Qur’an dan As Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang menghapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman Allah,

 

 

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatanperbuatan yang buruk…” (Hud: 114).

 

Nabi bersabda kepada Mu’adz bin Jabal, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya, dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

 

Hal ini bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberitahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang lain, dan Al-Qur’an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan Mu’tazilah. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan tentang amal yang bisa gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-baqarah: 264).

 

Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa yang diulangi lagi.

 

Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ sudah menjelaskan adanya timbangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya, sehingga pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan mengabaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas’ud berkata, “Pada Hari Kiamat manusia akan dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Barangsiapa kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun selisih satu saja, maka dia masuk surga.” Kemudian dia membaca ayat,

 

“Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri…” (Al-A’raf: 8-9).

 

Kemudian Ibnu Mas’ud berkata lagi, “Timbangan itu bisa menjadi ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al-A’raf (antara surga dan neraka).”

 

Ini artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, sehingga seakan-akan yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali, atau kedua belah pihak cukup hanya dengan ditimbang dan kesudahannya diberikan kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih berat, apakah dia mendapat pahala dan tidak disiksa atas keburukan yang dia lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu keburukan saja, apakah dia dilemparkan ke dalam neraka?

 

Tentu saja semua ini harus dikembalikan kepada golongan yang melihat berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik umpamanya, yang merupakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka tidak ada amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi. Timbangan atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh pensucian jiwa, karena masingmasing akan mendapatkan derajat sesuai dengan amalnya. Sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantapan pensucian jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali Allah semata. Dengan jawaban ini, maka beberapa ayat yang menjelaskan masalah pahala, amal dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya amal mempunyai tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab dirinya. Sedangkan golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan, sebab dan hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini. Karena semua perbuatan dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah, sementara mereka tidak tahu apa yang dikehendaki Allah. Sehingga orang yang lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang lebih banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala.

 

Sedangkan golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak kembali kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rusak. Sebab dosa itu sudah diampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu yang belum pernah dikerjakan dan tidak pernah terjadi. Yang kembali kepadanya adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang sebelumnya. Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya kema’shuman dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat. Tapi jika dia menyesal, melepaskan diri dari dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dosanya itu dihapuskan. Jika kemudian dia mengulanginya lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur merupakan kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara mengulang kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau.

 

Taubat adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini terhapus oleh dosa yang dilakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang lampau juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena mirip dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip dengan pendapat Mu tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar berada di neraka selamalamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak kebaikan. Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena pendapat-pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan nash. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat dzarrah, dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 40).

 

Tentang keberlangsungan taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya, bukan merupakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah lampau. Tidak demikian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa selama sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini merupakan satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali dengan mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi taubat merupakan ibadah yang bilangannya banyak, tergantung dari banyaknya dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus. Perbandingannya, seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan tanpa ada alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini menggugurkan pahala harihari lain yang diisi dengan puasa? Apakah orang yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang dikerjakannya? Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan sedangkan mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan. Pengulangan dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang dicintai Allah dan juga dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada iman dan juga nifaq, iman dan juga kufur.

 

Keempat:

 

Jika orang yang durhaka dihalangi dari sebab-sebab kedurhakaan dan dia dibuat tidak berdaya untuk melakukannya, maka apakah taubatnya dianggap sah? Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka menuduh dan Orang yang memberi kesaksian palsu, yang lidahnya dipotong, atau pezina yang kemaluannya dikebiri, atau pencuri yang tangan dan kakinya dilumpuhkan.

 

Ada dua pendapat tentang hal ini. Golongan pertama berpendapat, bahwa taubatnya dianggap tidak sah. Sebab taubat itu hanya berlaku bagi orang yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan kemudian meninggalkannya. Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk berbuat dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan menggambarkan taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah gunung dari tempatnya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya. Karena mereka yang digambarkan ini layaknya orang yang dipaksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah. Beberapa nash juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang ajal tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam keadaan terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah,

 

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang’. Dan, tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka dalam kekufuran.” (An-Nisa’: 17-18).

 

Kejahilan di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui keharamannya. Oatadah berkata, “Para shahabat sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun tidak disengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang jahil.”

 

Sedangkan taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur mufassirin adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan mencabut nyawanya. Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum menghampirinya.”

 

Selagi ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka taubatnya itu tidak diterima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa. Di samping itu, hakekat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang berkaitan dengan larangan. Menahan di sini harus berasal dari urusan yang memang bisa dikerjakan. Tapi untuk sesuatu yang mustahil bisa dikerjakan, maka bagaimana mungkin menahan hati darinya?

 

Pendapat kedua, dan ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan dianggap mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah terpenuhi di dalamnya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah penyesalan. Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu’, “Penyesalan itu sama dengan taubat.” Bagaimana mungkin taubat dicabut darinya, padahal dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini disertai dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan disertai niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan mengerjakannya lagi.

 

Rasulullah telah menempatkan orang yang tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang melakukannya, yaitu jika niatnya benar dan bulat. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati suatu jalan dan tidaklah kalian melintasi suatu lembah, melainkan mereka beserta kalian.”

 

Para shahabat bertanya, “Sementara mereka ada di Madinah?” Beliau menjawab, “Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan halangan.”

 

Orang yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan meninggalkannya dalam keadaan terpaksa, dengan disertai niat untuk meninggalkannya atas inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan orang yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya.

 

Perbedaan keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan matanya atau ketika Kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharusan mengerjakan kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata. Taubat berlaku hanya pada masa taklif. Orang yang lemah itu belum terputus dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi dirinya.

 

Kelima:

 

Jika dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang berkaitan dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka dia harus memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari kesalahan setelah memberitahukannya, seperti yang diriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari dimana) dinar dan dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan.”

 

Jika kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apakah dalam taubatnya itu disyaratkan agar dia memberitahukan bentuk ghibahnya itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu? Ataukah dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehormatannya dan tidak perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah tidak ada syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta ampunan bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan bahwa dia telah menuduh atau mengghibahnya?

 

Pendapat yang dikenal di dalam madzhab Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah serta Malik, disyaratkan memberitahukannya dan meminta pembebasan dirinya. Begitu pula yang disebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya. Mereka berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manusia, sehingga belum dianggap gugur kecuali setelah ada pembebasan darinya. Mereka berhujjah dengan hadits di atas. Masih menurut mereka, bahwa kejahatan ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Meminta kebebasan kejahatannya dari orang yang dijahati untuk memenuhi haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk memenuhi hak Allah. Maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum dianggap sempurna kecuali adanya ketetapan dari wali korban terhadap nasib dirinya. Jika menghendaki, wali korban bisa menuntut balas darah dengan pelaksanaan gishash, dan jika menghendaki bisa memaafkannya. Begitu pula taubatnya orang yang memotong tangan orang lain.

 

Pendapat lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tuduhan dan ghibahnya kepada orang yang dighibah. Tapi taubatnya cukup dengan memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus membela orang yang dighibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya di tempat-tempat dimana dia telah mengghibah. Sebagai contoh, dia mengganti ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan-kebaikannya, lalu memintakan ampunan bagi orang yang dighibahnya itu. Pendapat ini juga merupakan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

 

Golongan ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya justru hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin adanya kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi keruh. Padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya. Bahkan setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu menguasai diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau bahkan pembunuhan. Hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa syariat yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling menyayangi, mencintai dan mengasihi.

 

Memang hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak kejahatan fisik, yang bisa dilihat dari dua pertimbangan:

 

  1. Korbanbisa memanfaatkan harta, jika harta itu dikembalikan kepadanya, dan hal ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mutlak menjadi miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus mengembalikannya. Berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama sekali tidak ada manfaat secara langsung yang bisa dinikmati korban. Akibatnya hanya akan menambah sakit hati.

 

  1. Jika orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan perbuatannya, tidak akan menyakiti hati korban, tidak memancing amarahnya atau menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan membuatnya senang dan gembira. Hal ini berbeda dengan pemberitahuan pelaku, bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Kalaupun dua hal ini dibandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara dan rusak.

 

Keenam:

 

Jika seorang hamba sudah bertaubat dari suatu dosa, maka apakah keadaannya kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa itu ataukah tidak bisa kembali seperti semula? Ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.

 

Ada yang berpendapat, dia kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu memangkas dosanya secara keseluruhan dan menjadikan dirinya seakanakan dosa itu tidak pernah ada. Maka iman dan amal shalihnya kembali ke derajat semula karena taubat. Alasannya menurut mereka, karena taubat itu kebaikan yang besar dan amal yang shalih. Jika dosa pernah menyingkirkan dirinya dari derajatnya semula, maka kebaikannya dengan bertaubat itu telah mengembalikan derajatnya. Hal ini seperti orang yang jatuh ke dalam sumur, lalu saudara kandungnya menjulurkan tali ke dalam sumur dan menariknya ke atas, ke tempatnya semula. Begitu pula taubat dan amal shalih yang bisa diibaratkan saudara sekandung dan pasangan yang serasi.

 

Ada pula yang berpendapat, dia tidak bisa kembali ke derajat dan keadaannya semula sebelum melakukan dosa, karena dia masih dalam posisi berhenti, yang semestinya dia naik ke atas. Dengan adanya dosa, berarti dia dalam posisi turun ke bawah. Jika bertaubat, maka dia dalam posisi siap naik ke atas lagi. Perumpamaan keadaan ini seperti dua orang yang sama-sama melewati satu jalan dengan cara yang sama dan berjejer. Salah seorang ada penghalang atau ada sesuatu yang membuatnya menghentikan perjalanan, sementara satunya lagi meneruskan perjalanan. Jika orang pertama berjalan lagi mengikuti jejak temannya, tentu dia tidak akan mampu menyusulnya. Orang pertama berjalan dengan kekuatan amal dan imannya. Kekuatannya semakin bertambah selagi perjalanannya terus bertambah. Sementara orang kedua yang menghentikan perjalanan, kekuatannya bisa melemah karena dia berhenti.

 

Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah mengisahkan perbedaan ini, dan dia berkata, “Yang benar, di antara orang-orang yang bertaubat ada yang tidak bisa kembali ke derajatnya semula, ada pula yang bisa kembali ke derajatnya semula, dan ada pula yang justru kembali ke derajat yang lebih tinggi lagi, sehingga dia menjadi lebih baik daripada keadaannya sebelum melakukan dosa, seperti halnya Nabi Daud yang menjadi lebih baik dari keadaan beliau sebelum melakukan kesalahan, setelah bertaubat. Tentu saja hal ini kembali ke keadaan orang yang bertaubat setelah dia menyatakan taubat, kesungguhan, tekad dan kewaspadaanya. Jika taubatnya lebih sungguh-sungguh dan keadaannya lebih baik, maka dia menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya dan derajatnya lebih tinggi. Jika keadaannya sama dengan sebelumnya, berarti derajatnya juga sama.”

 

Antara Orang Taat yang Tidak Pernah Durhaka dan Orang Durhaka yang Melakukan Taubat Nashuha

 

Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting, apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Ataukah orang yang bertaubat itu yang lebih baik?

 

Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat dengan sebenar-benarnya).

 

Mereka mengemukakan beberapa hujjah:

 

  1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada Allah. Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat, sehingga dia menjadi orang yang paling utama.

 

  1. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga derajatnya lebih tinggi. Taruhlah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?

 

  1. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?

 

  1. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah-Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang di ridhai Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.

 

  1. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan. Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan sehat yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk, lalu sembuh dan sehat kembali.

 

  1. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.

 

  1. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya, sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan buahnya lebat.

 

  1. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.

 

  1. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya bisa berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertaubat harus membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya, sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya. Maka shalat malam yang dilakukan Nabi bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.

 

  1. Orang taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ketaatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya. Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya. Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah, “Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepada Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya.”

 

Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan beberapa alasan:

 

  1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.

 

  1. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah dengan kegembiraan seorang musafir yang mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu. Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh yang amat kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehingga orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi kekasih Allah.

 

  1. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan, ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.

 

  1. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempurna daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memiliki keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan diri.

 

  1. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna perkataan sebagian orang salaf, “Adakalanya seorang hamba berbuat dosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu masuk neraka.”

 

Orang-orang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?”

 

Dia menjawab, “Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan, sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu, sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia, sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya.”

 

Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih bermanfaat daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpamakan obat yang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh.

 

  1. Ada kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih, sebagaimana firman-Nya,

 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-furqan: 70).

 

Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan beliau saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun.”

 

Orang-orang berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hay itu berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekan. rekannya, keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormatannya, dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat. Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit yang diganti dengan kesehatan,

 

Sedangkan menurut Sa’id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari kalangan tabi’in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi setiap keburukan dengan kebaikan.

 

  1. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini, porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya yang halus.

 

  1. Dosaorang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai setan berkata, “Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa itu.” setan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah menyukai hambaNya karena telah memancing amarah musuh-Nya, sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah, yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan bahkan banyak kebaikan.

 

Perhatikanlah firman Allah, “Maka kejahatan-kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan-kebaikan”. Allah tidak mengatakan satu bilangan keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.

 

Taubat Menurut Al-Qur’an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar

 

Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan diri dari dosa itu.

 

Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya. Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah hakekat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh “Taqwa”, yang jika disendirikan mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang dilarang.

 

Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan apaapa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya, atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.

 

Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,

 

“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31).

 

Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung. Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,

 

“Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11).

 

Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,

 

“Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.” (At-Taubah: 112).

 

Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat. Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya.

 

Jadi taubat merupakan hakekat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat danjuga orang-orang yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan dan laranganNya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan. Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat dan hakekatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang yang bertaubat, berarti mereka adalah orangorang yang khusus di sisi-Nya.

 

Istighfar ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istighfar yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti perkatan Nuh atau perkataan Shalih kepada kaumnya, atau seperti firman Allah,

 

“Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-baqarah: 199).

 

Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah,

 

“Dan, hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat kepadaNya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hud: 3).

 

Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi aib orang yang diberiNya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.

 

Penutupan aib hanya sekadar kelaziman dari maknanya atau sebagian di antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana firmanNya,

 

“Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33).

 

Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan. Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga memintaampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang murni. Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar mencakup taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

 

Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.

 

Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan hakekatnya, seperti firman Allah,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8).

 

An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin Ka’ab berkata, “At-Taubatun-nashuh artinya taubat dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya.”

 

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Artinya, seorang hamba menyesali apa yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.”

 

Al-Kaibi berkata, “Artinya, seorang hamba harus memohon ampun dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan anggota tubuhnya.”

 

Sa’id binAl-Musayyab berkata, “Artinya, kalian harus jujur terhadap diri sendiri.”

 

Muhammad bin Kab Al-Qarzhy berkata, “Artinya, seorang hamba harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya.”

 

Menurut pendapat saya, at-taubatun-nashuh harus mencakup tiga perkara:

 

  1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.

 

  1. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya harus dibulatkan seketika itu pula.

 

  1. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada Allah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga dirinya, melindungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang dan tidak dicela.

 

Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.

 

Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa. Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,

 

“Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Ali Imran: 193).

 

Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,

 

“Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Rabb mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” (Muhammad: 2).

 

Firman Allah tentang maghfirah (ampunan),

 

“Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka.” (Muhammad: 15).

 

Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan penghapusan.

 

Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya,

 

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa’: 31).

 

Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Shalat-shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi.”

 

Lafazh “maghfirah” (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh “takfir” (penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takfir bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya,

 

“Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan.” (Az-Zumar: 35).

 

Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di Hari Kiamat. Tiga sungai itu ialah:

 

  1. Sungai at-taubatun-nashuh.

 

  1. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan menghanyutkan berbagai macam kesalahan di sekitarnya.

 

  1. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.

 

Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Dia memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia datang pada Hari Kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan cara pensucian yang keempat.

 

Dosa Besar dan Dosa Kecil Menurut nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’ orang-orang salaf dan istilah, dosa-dosa itu dibagi menjadi dua macam: Dosa-dosa besar dan dosadosa kecil. Firman Allah,

 

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian.” (An-Nisa’: 31).

 

“Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (An-Najm: 32).

 

Sedangkan apa yang dikisahkan dari Abu Ishaq Al-Isfira’aini, bahwa emua dosa adalah dosa besar dan sama sekali tidak ada dosa yang kecil, maka ukan itu maksudnya. Sebab kalau tidak, dosa memandang sesuatu yang haramkan sama dengan dosa berzina. Tapi yang dimaksudkan adalah pengaitannya dengan keagungan yang didurhakai, dengan pengertian, sebagian bisa lebih besar dosanya daripada yang lain. Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar.

 

Namun perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidak terlalu tajam, dan pendapat-pendapat mereka hampir sama.

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Asy-Sya’bi, dari Abdullah bin Amr, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Dosa-dosa besar adalah: Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa dan sumpah palsu.”

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Wa’il, dari Amr bin Syurahbil, dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dosa yang paling besar itu?”

 

Beliau menjawab, “Jika engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kami.”

 

“Kemudian apa lagi?” Tanyaku.

 

Beliau menjawab, “Jika engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.”

 

“Kemudian apa lagi?” Tanyaku. Beliau menjawab, “Jika engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian Allah menurunkan ayat yang membenarkan sabda beliau ini,

 

“Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (al-Furqan: 68).

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Jauhilah oleh kalian tujuh kedurhakaan”. Mereka bertanya, “Apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat pertempuran, menuduh wanita-wamta suci yang lalai dan beriman.”

 

Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa yang termasuk dosa besar adalah mencaci bapak dan ibu seseorang serta mencemarkan nama baik orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.

 

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: Syirik kepada Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, putus asa dari rahmat Allah dan karunia-Nya.”

 

Sa’id bin Jubair berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang dosa-dosa besar, apakah jumlahnya ada tujuh? Maka Ibnu Abbas menjawab, “Jumlahnya lebih dekat dengan tujuh ratus macam. Hanya saja tidak ada istilah dosa besar selagi disertai istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selagi dilakukan terus-menerus. Segala sesuatu yang dilakukan untuk mendurhakai Allah, disebut dosa besar. Maka barangsiapa yang melakukan sebagian dari dosa itu, hendaklah memohon ampunan kepada Allah, karena Allah tidak mengekalkan seseorang dari umat ini di dalam neraka kecuali orang yang keluar dari Islam, atau mengingkari satu kewajiban atau mendustakan takdir.”

 

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apa yang dilarang Allah dari awal surat An-Nisa hingga ayat 31, semuanya adalah dosa besar.”

 

Adh-Dhahhak berkata, “Dosa besar adalah dosa yang telah diperingatkan Allah, berupa hukuman yang pasti di dunia dan siksa di akhirat.”

 

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dosa-dosa besar ialah segala dosa yang di dalamnya terdapat kezhaliman antara dirimu dan orang lain. Sedangkan dosa kecil ialah yang di dalamnya ada kezhaliman antara dirimu dan Allah, sebab Allah Maha Murah hati dan pasti mengampuni.”

 

Menurut pendapat saya, yang dimaksudkan Sufyan, bahwa dosa antara hamba dan Allah lebih mudah urusannya daripada kezhaliman terhadap manusia, karena dosa ini dapat hilang dengan istighfar, ampunan, syafaat dan lain-lainnya. Sedangkan kezhaliman terhadap manusia, maka harus ada pembebasan darinya.

 

Menurut Malik bin Mighwal, dosa besar adalah dosanya para ahli bid’ah, sedangkan kesalahan adalah dosanya Ahlus-sunnah. Menurut pendapat saya, yang dimaksudkan Malik, bahwa bid’ah itu termasuk dosa besar dan ia merupakan dosa besar Ahlus-sunnah yang paling besar. Sedangkan dosa-dosa besar yang dilakukan Ahlus-sunnah merupakan dosa kecil jika dibandingkan dengan bid’ah. Inilah maksud perkataan sebagian salaf, “Bid’ah adalah kedurhakaan yang paling disukai Iblis, karena dosa bid’ah itu tidak diampuni sedangkan dosa kedurhakaan diampuni.”

 

Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang disengaja, sedangkan kesalahan adalah kelalaian dan sesuatu yang terpaksa dilakukan. Menurut pendapat saya, ini merupakan definisi yang paling lemah.

 

Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang dianggap kecil oleh hamba, sedangkan dosa kecil adalah dosa yang dianggap besar, sehingga dia takut untuk melakukannya.

 

Masih banyak pendapat-pendapat lain yang mendefinisikan dosa besar dan dosa kecil, dan masing-masing mempunyai hujjah dan alasan yang mendukung pendapatnya. Tapi pada intinya, dosa-dosa besar tidak melenceng jauh dari perkara-perkara yang telah mereka sebutkan di atas, sekalipun apa yang mereka definisikan itu perlu uraian lebih lanjut dan tidak mutlak benar.

 

Jenis-jenis Dosa yang Harus Dimintakan Ampunan (Taubat)

 

Seorang hamba tidak berhak mendapat sebutan “Orang yang bertaubat” kecuali setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan, dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin.

 

Dua belas jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri dari perkara-perkara ini, melindungi diri dan wawas diri agar tidak terseret kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabang-cabangnya, agar ada kejelasan batasan dan hakekatnya.Uraian ini termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat membutuhkannya.

 

  1. Kufur

 

Kufur ada dua macam: Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak mendapatkan ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, seperti yang disebutkan Rasulullah, yaitu mencela nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetubuhi istri pada duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut dengan istilah kufur, atau seperti firman Allah,

 

“Dan, barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur.” (Al-Maidah: 44).

 

Menurut Ibnu Abbas dan Thawus, ini merupakan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat.Atha’ menyebutnya kufur tidak seperti kufur yang semestinya, zhalim tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.

 

Ada yang mena’wili ayat ini sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya. Ada pula yang mena wilinya sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut semua ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang mena wilinya sebagai berikut: Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak tahu dan bukan kesalahan ta wil, menurut ketetapan yang bertentangan dengan nash. Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

 

Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang darinya karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak mendapat hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu merupakan hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib dan boleh memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.

 

Kufur besar ada lima macam: Takdzib, istikbar, i’radh, syakk, nifaq. Kufur takdzib ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yang termasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Kufur istikbar atau iba ialah seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah Allah, namun dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang termasuk jenis ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para rasul, namun dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah kufurnya musuhmusuh para rasul, seperti kufurnya Firaun dan para pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib. Kufur i’radh artinya berpaling dari Rasul dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, tidak menolong dan tidak pula memusuhinya serta tidak peduli terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani Abdi Yalail kepada Nabi, “Demi Allah, aku akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau lebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina daripada aku harus berbicara denganmu.” Kufur syakk artinya tidak pernah memiliki kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul, tapi selalu ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus membayang jika dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah, tidak mau mendengar dan tidak mau memperhatikannya. Padahal kejelasan bukti ini seperti kejelasan matahari pada siang hari. Kufur nifaq artinya memperlihatkan iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di dalam hatinya. Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian mendatang akan diuraikan macam-macamnya.

 

  1. Syirik

 

Syirik ada dua macam: Besar dan kecil. Syirik besar tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, yaitu membuat tandingan bagi Allah, pelakunya mencintai tandingan ini seperti cintanya kepada Allah. Ini merupakan syirik seperti syiriknya orang-orang musyrik yang menyamakan sesembahannya dengan Allah Rabbul-‘alamin. Sementara mereka tetap mengakui bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu, penguasa dan rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini hanya dalam kecintaan, pengagungan dan penyembahan, seperti keadaan mayoritas orang-orang musyrik di mana punjua, atau bahkan setiap orang musyrik. Mereka mencintai, mengagungkan, memuja dan membela sesembahannya selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya daripada cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika sesembahannya dicaci daripada kemarahan merekajika Allah dicaci. Begitulah keadaan para penyembah berhala, yang menjadikan bebatuan, pepohonan atau benda mati apa pun sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Allah berfirman tentang para pendahulu orang-orang musyrik,

 

“Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az-Zumar: 3).

 

Mereka merasa yakin di dalam hati bahwa sesembahan-sesembahan itu akan memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisi Allah. Maka Allah menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua syafaat ada di Tangan Allah. Tak seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat, yang perkataan dan perbuatannya diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Di antara kebodohan Orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang dijadikannya sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat dan manfaat kepadanya di Sisi Allah, seperti lazimnya pertolongan yang diberikan para pemimpin dan penguasa terhadap rakyatnya. Mereka tidak sadar bahwa siapa pun tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali yang mendapat izin-Nya. Sementara tak seorangpun yang diberi izin oleh Allah kecuali yang perbuatan dan perkataannya diridhai Allah.

 

Sedangkan syirik kecil seperti sedikit riya’, mencari muka di hadapan manusia, bersumpah dengan selain Allah, perkataan seseorang kepada orang lain, “Menurut kehendak Allah dan kehendakmu”, atau perkataannya, “Ini berasal dari Allah dan darimu”, atau perkataannya, “Aku bergantung kepada Allah dan juga kepadamu”, atau perkataannya, “Kalau bukan dirimu, tentu hal ini tidak akan terjadi”. Tapi perkataan sepert ini bisa berubah menjadi syirik besar, tergantung kepada siapa yang mengatakannya dan apa tujuannya.

 

Macam-macam syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung banyaknya, yang tidak cukup bila disebutkan satu-persatu di sini.

 

  1. Nifaq

 

Nifaq merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam batin, yang bisa memenuhi seluruh batin dan hatinya, sementara dia tidak menyadarinya, sebab hal ini tidak bisa diketahui orang lain. Nifaq ini tersembunyi karena keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq itu bagus, tapi ternyata merusak.

 

Nifaq ada dua macam: Besar dan kecil. Nifaq yang besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka dan berada di lapisan paling bawah. Gambarannya, orang munafik menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab, para rasul dan hari akhirat di hadapan orang-orang Muslim, padahal di dalam batinnya dia tidak memiliki iman itu. Dia tidak beriman bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia yang dijadikan-Nya sebagai rasul, yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.

 

Allah telah menyibak tabir orang-orang munafik dan mengungkap rahasia mereka di dalam Al-Qur’an. Perkara mereka dijelaskan di hadapan orang lain, agar menjadi peringatan. Di awal surat Al-Baqarah disebutkan tiga macam golongan manusia yang ada di dunia ini, yaitu: Orang-orang Mukmin, orangorang kafir dan orang-orang munafik. Empat ayat tentang orang-orang Mukmin, dua ayat tentang orang-orang kafir dan tiga belas ayat tentang orang-orang munafik. Ayat tentang mereka lebih banyak jumlahnya, karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang mereka akibatkan lebih menyeluruh serta lebih membahayakan Islam dan para pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena mereka menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada Islam, padahal hakekatnya mereka adalah musuh Islam.

 

Demi Allah, berapa banyak orang yang seakan membela Islam, padahal sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa banyak orang yang membangun fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya. Islam dan para pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan mereka.

 

Inilah gambaran keadaan mereka yang disebutkan secara berurutan dalam surat Al-Baqarah, dari ayat 8 hingga ayat 20:

 

Ayat 8: Mereka mengenakan pakaian iman, sedang di dalam hatinya ada perasaan sesal dan merugi, dusta dan pengingkaran. Lidah mereka lidah orang yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan orang-orang kafir.

 

Ayat 9: Modal mereka adalah tipuan dan makar. Barang dagangan mereka kedustaan dan pengkhianatan. Mereka mempunyai logika agar tetap eksis, yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah pihak, sehingga mereka tetap merasa aman.

 

Ayat 10: Penyakit syubhat dan syahwat menyusup ke dalam hati mereka lalu merusaknya. Maksud yang buruk menguasai kehendak mereka dan niat mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan yang tidak bisa diobati oleh dokter.

 

Ayat11 & 12: Siapa yang bejana imannya disusupi keragu-raguan mereka, maka imannya akan tercabik-cabik, siapa yang pendengarannya dipengaruhi syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di dalam hatinya akan hilang, karena kerusakan mereka di muka bumi amat banyak, namun mereka tidak mau mengakuinya.

 

Ayat 13: Seseorang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam pandangan mereka adalah orang yang berpegang kepada benda mati, dianggap kurang beres akalnya. Orang yang melaksanakan nash menurut pandangan mereka seperti keledai yang membawa kitab suci. Dagangan pedagang wahyu menurut pandangan mereka tidak laku dan mereka tidak mau menerimanya. Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan mereka termasuk orang-orang bodoh, dan mereka akan mengejeknya.

 

Ayat 14: Masing-masing di antara mereka mempunyai dua wajah. Wajah saat berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu wajah lagi saat merekaberkumpul dengan rekan-rekan segolongannya. Mereka juga mempunyai dua lidah, satu lidah dipergunakan jika bersama orang-orang Muslim, dan satu lidah lagi dipergunakan untuk menerjemahkan rahasia yang terpendam di dalam hati mereka.

 

Ayat 15: Mereka berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena hendak mengolok-olok dan mengejek orang-orang yang berpegang kepada keduanya.

 

Ayat 16: Mereka keluar mencari perniagaan yang sia-sia di tengah lautan kegelapan, sambil naik perahu keragu-raguan dan berlayar di tengah gelombang hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun terombang-ambing dihembus badai hingga mereka pun terhempas dalam kebinasaan.

 

Ayat 17: Api iman menyala di dekat mereka sehingga dengan cahayanya mereka bisa melihat tempat-tempat yang berdasarkan petunjuk dan tempat yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya padam dan tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang tidak, sehingga mereka tersiksa dengan keadaan itu, kemudian mereka sama sekali tidak bisa melihat.

 

Ayat 18: Pendengaran, penglihatan dan lidah mereka sudah tertutup kerak, sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan iman, tidak bisa melihat hakekat Al-Qur’an dan tidak bisa mengatakan kebenaran.

 

Ayat 19: Hujan wahyu turun kepada mereka, yang di dalamnya terhadap kehidupan bagi hati dan ruh. Tapi yang mereka dengar dari hujan itu hanya suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka mereka menyumbatkan jari ke lubang telinga mereka dan mereka pun lari.

 

Ayat 20: Dalam hujan lebat itu mereka tidak bisa melihat hanya dengan mengandalkan kilat yang menyambar, dan pendengaran mereka tidak mampu mendengar petir janji, perintah dan larangan. Mereka pun berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah yang kering kerontang.

 

Masih banyak sifat orang-orang munafik lainnya dan penggambaran tentang diri mereka yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 

  1. Fusuk dan Kedurhakaan

 

Fusuk disebutkan dua macam dalam Al-Qur’an: Fusuk yang disebutkan sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan. Yang disebutkan sendirian ada dua macam: Fusuk kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Fusuk kufur seperti firman Allah,

 

“Dan, adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (As-Sajdah: 20).

 

Sedangkan fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti firman Allah,

 

“Hai orang-oran g yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6).

 

Ayat ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Ugbah bin Abu Mu’aith yang memanipulasi berita.

 

Fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan ialah melakukan apa yang dilarang Allah. Kedurhakaan di sini artinya mendurhakai perintah. Penggunaan lafazh fusuk lebih tertuju kepada pelaksanaan apa yang dilarang, sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada menyalahi dan melanggar perintah. Namun melakukan apa yang dilarang juga bisa berarti kedurhakaan jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan kata yang lain, maka pengertiannya seperti di atas. Fusuk keyakinan ialah seperti fusuknya ahli bid’ah. Mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya hari akhirat, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tetapi mereka meniadakan sekian banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah karena kebodohan, ta’ wil atau taglid kepada guru, lalu mereka menetapkan sesuatu yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

 

Taubat dari fusuk ialah dengan menetapkan bagi dirinya seperti yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa merubah atau pun mengganti.

 

  1. Dosa dan Pelanggaran

 

Dosa dan pelanggaran merupakan pasangan, seperti firman-Nya,

 

“Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)

 

Jika masing-masing dipisahkan, maka yang satu mencakup yang lainnya, sebab setiap dosa merupakan pelanggaran dan setiap pelanggaran adalah dosa, sebab keduanya berarti melaksanakan apa yang dilarang Allah dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan kata lain merupakan pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya, dan setiap pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka masing-masing bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.

 

Dosa ialah sesuatu yang diharamkan dari segi jenisnya, seperti dusta, zina, minum khamer dan lain-lainnya. Sedangkan pelanggaran ialah sesuatu yang diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran artinya tindakan yang melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang diharamkan dan ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam mengambil hak dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu kepada orang tersebut, entah berupa perampasan hartanya, badan atau kehormatannya. Jika orang yang dilanggar marah, maka orang yang melanggar justru lebih marah kepadanya. Jika orang yang dilanggar mengeluarkan perkataan yang pedas, maka perkataan orang yang melanggarjustru lebih pedas lagi. Ini semua disebut pelanggaran dan perbuatan yang menyimpang dari keadilan.

 

Pelanggaran ada dua macam: Pelanggaran terhadap hak Allah, dan pelanggaran terhadap hak hamba. Pelanggaran terhadap hak Allah seperti melanggar sesuatu yang diperbolehkan untuk dilakukan, semacam bersetubuh dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan selain istri. Bisa juga berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat berhubungan dengan istri, lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti menyetubuhi istri saat haid, nifas, puasa, di dubur dan lain-lainnya.

 

Pelanggaran juga bisa terjadi terhadap porsi yang diperbolehkan, lalu melakukannya dengan porsi yang lebih banyak, seperti memandang wanita yang hendak dilamar, kesaksian, mu’amalah, berobat dan lain lainnya.

 

  1. Kekejian dan Kemungkaran

 

Kekejian merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, yang artinya perbuatan atau sesuatu yang keji, yang keburukannyajelas tampak di hadapan siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang pikirannya masih waras. Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan zina dan homoseks. Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya yang tidak mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut kekejian, yaitu perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti umpatan, tuduhan atau yang sejenisnya. Sedangkan kemungkaran juga merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, atau perbuatan yang mungkar. Artinya perbuatan yang diingkari akal dan fitrah. Penisbatan kemungkaran ke akal seperti penisbatan bau busuk yang sampai ke indera penciuman, pemandangan buruk yang sampai ke indera penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke indera rasa, suara sumbang yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan fitrah akan menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan setiap indera ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak dikenalinya dan tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci dan dihindari adalah kekejian. Karena itu Ibnu Abbas berkata, “Kekejian adalah zina dan kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam syariat dan As-Sunnah.”

 

  1. Mengada-adakan terhadap Allah Tanpa Dilandasi Ilmu

 

Mengatakan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu merupakan perbuatan haram yang paling haram dan paling besar dosanya. Maka hal ini disebutkan pada tingkatan keempat dari perkara-perkara yang diharamkan, yang pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan agama, dalam keadaan bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apa pun bentuknya tetap haram, tidak seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi tertentu masih diperbolehkan.

 

Hal-hal yang diharamkan itu ada dua macam: Yang diharamkan berdasarkan barangnya, tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana pun juga, dan yang diharamkan menurut pertimbangan waktunya. Allah telah menjelaskan di dalam surat Al-A’raf: 33, empat tingkatan hal-hal yang diharamkan dilihat dari jenis barangnya, dari yang lebih ringan ke tingkatan berikut yang lebih berat dan lebih besar. Perhatikanlah baikbaik masalah ini,

 

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi.”

 

Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi, “Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar. Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,

 

“Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu.”

 

Kemudian menanjak ke tingkatan yang paling besar, “Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.”

 

Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah merupakan keharaman yang paling besar dan paling berat dosanya, karena di dalamnya terkan dung kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada-Nya, merubah agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya dan menolong siapa yang dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai-Nya, dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya terhadap Dzat, sifat, perkataan dan perbuatan-Nya.

 

Tidak ada jenis hal-hal yang diharamkan yang lebih berat dosanya daripada mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui, sebab ini merupakan cikal bakal syirik dan kufur, dasar bid’ah dan kesesatan. Setiap bid’ah yang dianggap sesat dalam agama, karena bermula dari mengada-adakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu. Karena itu orang-orang salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid’ah ini dan memperingatkan semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran mereka terhadap bid’ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap kemungkaran, kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negatif dari bid’ah terhadap agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari orang yang menisbatkan kepada agama-Nya, dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, yang katanya itu datang dari Allah. Firman-Nya,

 

“Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, “Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116).

 

Di antara orang salaf ada yang berkata, “Hendaklah seseorang di antara kalian waspada untuk mengatakan, “Allah menghalalkan ini dan mengharamkan yang itu’, lalu Allah berkata kepadanya, “Engkau dusta, karena Aku tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan itu.”

 

Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah lebih umum daripada syirik, dan syirik merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap Rasulullah menyeret pelakunya ke neraka. Semua dosa ahli bid’ah masuk dalam dosajenis ini, dan taubat darinya hanya bisa dilakukan dengan taubat dari segala bid’ah. Tapi bagaimana mungkin pelakunya mau taubat dari bid’ah, sementara dia tidak mau mengakui bahwa perbuatannya adalah bid ah?

 

Taubat Orang yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksanakan Kewajiban yang Dilanggar

 

Ini termasuk pernik-pernik hukum taubat dan permasalahannya, yaitu berkaitan dengan orang yang melanggar hak, namun ternyata dia juga tidak mampu memenuhi hak itu. Karenanya dia bertaubat. Lalu bagaimana hukum taubatnya?

 

Hal ini dikaitkan dengan hak Allah dan hak hamba. Kaitannya dengan hak Allah seperti orang yang meninggalkan shalat fardhu secara sengaja dan tanpa ada alasan yang diperbolehkan, padahal dia juga tahu kewajibannya. Lalu dia bertaubat dan menyesal. Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang masalah ini.

 

Ada golongan yang mengatakan, taubatnya adalah dengan cara menyesali tindakannya, melaksanakan kewajiban-kewajiban pada masa berikutnya dan menggadha’ kewajiban yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat empat imam dan juga lain-lainnya.

 

Ada pula yang berpendapat, taubatnya adalah dengan melaksanakan kewajiban pada masa mendatang dan gadha’nya terhadap kewajiban yang pernah ditinggalkan tidak memberikan manfaat apa-apa, tidak diterima dan tidak wajib. Ini merupakan pendapat Ahli Zhahir dan sebagian orang-orang salaf.

 

Hujjah golongan yang mewajibkan gadha’ adalah sabda Rasulullah

 

“Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya.”

 

Inilah beberapa hujjah yang dikemukakan golongan kedua:

 

– Jika gadha’ diwajibkan terhadap orang yang tertidur dan lalai, yang berarti dia tidak sengaja meninggalkannya, maka kewajiban gadha’ jauh lebih ditekankan terhadap orang yang sengaja meninggalkannya.

 

– Ada dua macam kewajiban yang harus dia tanggung: Shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika salah satu ditinggalkan, maka kewajiban yang ditinggalkan masih menyisa satu lagi.

 

– Jika seorang hamba tidak mendapatkan kemaslahatan perbuatan, maka dia bisa mendapatkannya menurut cara yang dimungkinkan. Karena dia tidak memperoleh kemaslahatan perbuatan pada waktu yang telah ditetapkan, maka dia bisa mendapatkannya dengan cara yang di mungkinkan, yaitu di luar waktunya.

 

– Rasulullah bersabda, “Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian.” Pelaksanaan apa yang diperintahkan ini bisa dilakukan di luar waktu, karena pelakunya tidak bisa melaksanakannya pada waktu yang telah ditetapkan. Maka dia tetap harus melaksanakannya menurut kesanggupannya.

 

– Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang yang meninggalkan fardhu itu dengan alasan tertidur atau lalai?

 

– Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya, seperti tayammum sebagai pengganti wudhu’, memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari keharusan puasa, dan masih banyak contoh lain.

 

– Karena shalat itu merupakan hak yang ada batasan waktunya, maka penundaan pelaksanaannya tidak dianggap gugur kecuali dengan segera melaksanakannya di luar waktu, seperti hutang yang ditangguhkan pembayarannya.

 

– Memang dia tetap berdosa karena penundaannya, dan dosa ini tidak gugur karena gadha’, seperti orang yang menunda pembayaran zakat dari waktu yang diwajibkan atau menunda pelaksanaan haji.

 

– Orang yang meninggalkan shalat Jum’at secara sengaja, maka dia adalah orang yang durhaka karena penundaannya. Maka dia harus mendirikan shalat zhuhur. Pengaitan zhuhur ini dengan Jum’at, sama dengan pengaitan pelaksanaan shalat subuh setelah matahari terbit dengan pelaksanaannya sebelum matahari terbit.

 

– Nabi pernah menunda shalat ashar hingga setelah matahari terbenam pada waktu perang Ahzab. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaannya dimungkinkan di luar waktu secara sengaja, entah karena ada alasan seperti ini dan juga yang dilakukan para shahabat sewaktu perang Bani Duraizhah, atau pun tanpa ada alasan seperti orang yang menundanya secara sengaja.

 

– Andaikan shalat di luar waktu itu tidak sah dan tidak wajib, tentunya Nabi tidak memerintahkan para shahabat untuk shalat kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Ouraizhah. Maka di antara mereka ada yang mengerjakan shalat ashar pada malam harinya, sementara beliau tidak menghardik mereka.

 

– Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya? Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kaidah syariat, hikmah dan rahmatnya, yang sangat memperhatikan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.

 

Dan, inilah hujjah-hujjah yang dikemukakan golongan lainnya, yang mengatakan bahwa gadha’ itu tidak ada artinya, beserta sanggahan terhadap hujjah golongan yang pertama:

 

– Jika ada perintah ibadah dengan sifat dan waktunya yang tertentu, maka orang yang mendapat perintah tidak boleh melaksanakannya kecuali menurut ketentuan yang diperintahkan, yang mencakup sifat, waktu dan syaratnya.

 

– Mengeluarkan shalat dari waktu yang telah ditentukan sama seperti mengeluarkan shalat itu dari keharusan menghadap kiblat, sujud pada pipi sebagai ganti kening dan lain-lainnya.

 

– Ibadah yang sudah ada ketentuan waktunya, sama dengan ibadah yang sudah ada ketentuan tempatnya. Satu tempat tidak bisa menggantikan tempat lainnya, seperti tempat-tempat manasik haji. Thawaf di sekeliling Ka’bah tidak bisa dialihkan ke Arafah atau tempat lainnya. Begitu pula yang lainnya, dan begitu pula dengan ketentuan waktu setiap ibadah. Memindahkan waktu shalat yang sudah ditetapkan ke waktu lain, seperti memindahkan waktu wuguf di Arafah ke Muzdalifah pada waktu yang lain, dan memindahkan bulan haji ke bulan lainnya.

 

– Orang-orang yang mengesahkan pelaksanaan shalat fardhu di luar waktunya (secara sengaja) tidak didukung nash, ijma’ maupun giyas yang benar. Kami juga akan menggugurkan semua giyas yang mereka pergunakan dan kami juga akan menjelaskan ketidakakuratannya.

 

– Di dalam Musnad Al-lmam Ahmad danjuga lainnya disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Barangsiapa tidak puasa sehari pada bulan Ramadhan tanpa ada alasan, maka dia tidak perlu menggadha’nya dengan puasa setahun penuh.” Lalu bagaimana mungkin mereka yang mengatakan bahwa dia harus menggadha’ sehari seperti yang ditinggalkannya?

 

– Karena ibadah yang sah seperti yang dijelaskan pembawa syariat, maka tidak ada yang bisa diketahui tentang sah tidaknya kecuali berdasarkan pengabaran beliau dan yang sesuai dengan perintah beliau. Maka bagaimana mungkin mereka bisa mengklaim sahnya shalat itu?

 

– Sah atau tidak sah itu merupakan dua hukum syariat, yang dikembalikan kepada pembawa syariat. Yang sah adalah yang dipersaksikan bahwa memang ibadah itu sah atau diketahui sejalan dengan perintahnya. Sementara shalat fardhu yang sengaja ditinggalkan ini tidak sejalan dengan kaidah ini. Letak kesalahannya, karena mereka membandingkannya dengan penundaan shalat karena memang ada alasan yang diperbolehkan. Dengan kata lain, mereka membandingkan sesuatu justru dengan sesuatu yang berlawanan. Berarti ini merupakan giyas yang tidak sah.

 

– Dalil yang mereka pergunakan, yaitu sabda Nabi, “Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya”, bahwa gadha’ diwajibkan terhadap Orang yang meninggalkan shalat karena alasan tertentu, sehingga siapa yang meninggalkannya justru lebih wajib, ini merupakan hujjah yang justru menjadi bumerang. Beliau mensyaratkan dua alasan meninggalkan pelaksanaan shalat itu hingga setelah lewat dari waktunya, yaitu tertidur dan lalai. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat, akan dianggap tidak ada jika syaratnya juga tidak ada. Berarti giyas yang seharusnya mereka pergunakan ialah membandingkannya dengan orang durhaka yang layak mendapat hukuman.

 

– Waktu shalat bisa dibagi menjadi tiga macam: Pertama, waktu bagi orang yang mampu, terjaga, ingat dan tidak ada rintangan, yang jumlahnya ada lima. Kedua, waktu bagi orang yang ingat, terjaga dan ada rintangan, yang jumlahnya ada tiga: Waktu zhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ dan subuh. Ketiga, waktu bagi orang yang tidak dianggap mukallaf, yaitu karena tertidur dan lalai. Yang ketiga ini tidak ada batasannya sama sekali. Waktunya ialah setelah dia terjaga dan ingat. Tidak ada waktu shalat selain yang tiga macam ini.

 

– Menurut hujjah golongan yang pertama, bahwa ada dua kewajiban yang ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika satu ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti ini berlaku jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan syarat, seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan zakat. Jika satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi jika salah satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin dia diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya?

 

– Tentang sabda Nabi, “Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian”, terlalu jauh untuk dijadikan hujjah. Sabda beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu untuk mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan apa yang disanggupinya, Seperti orang yang tidak mampu berdiri sewaktu shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu’, atau menginfakkan harta yang wajib dunfakkan, atau lain-lainnya, sehingga dia bisa mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan tentang apa yang ada di luar kesanggupannya. Tapi orang yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya secara sengaja atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu dibicarakan lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.

 

– Perkataan golongan pertama, “Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan “durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan”, Sulit diterima. Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu melaksanakannya sesuai dengan perintah seperti pada saatnya.

 

– Perkataan golongan pertama, “Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya”, hanya sekadar isapan jempol dan pernyataan yang dibuat sepintas lalu saja. Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat orang yang mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap sebagai pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat, seperti pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air dan makan saat tidak kuat berpuasa.

 

– Mengerjakan shalat di luar waktunya dianggap sah, yang digiyaskan kepada pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika dilaksanakan di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan giyas yang tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki batasan seperti halnya shalat.

 

– Tentang Nabi yang menunda shalat ashar hingga setelah tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka ada dua pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus) atau tidak? Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi’i dan Malik berpendapat, ini terjadi sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah ini pun dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan itu mirip dengan penundaan karena ada dua shalat yang dijama’ Jadi tidak shalat ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu yang diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian ini tidak dihapus. Orang yang sedang berperang mempunyai hak untuk menunda shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu mengerjakannya pada saat yang memungkinkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan dua pendapat ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak dianggap sah. Begitu pula yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar sewaktu perang Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah. Ini menurut pendapat Ahli Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan itu memerlukan ta’ wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah satu pihak di antara para shahabat.

 

– Tentang perkataan golongan pertama, “Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya?” Tentu saja tidak mungkin bagi Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya bagi semua hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia, semenjak matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi yang perlu dipertimbangkan adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas ada kepastian hukum bahwa shalat itu memang perlu digadha’ dan apa yang telah dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupakan pahala baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya? Apakah hukumnya seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya dianggap tidak ada dan taubatnya langsung diterima?

 

Sedangkan taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang berkaitan dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah berikut ini.

 

Pertama: Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada kesempatan lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa yang telah diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya, karena dia tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

 

Ada golongan yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali kecuali dengan mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Jika dia tidak sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima. Maka pada Hari Kiamat nanti akan diberlakukan gishash berdasarkan kebaikan dan keburukannya.

 

Menurut pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manusia yang lepas darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara hak-hak hamba, sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian yang lain, tidak ada kezhaliman orang yang zhalim. Orang yang dizhalimi harus mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, sekalipun itu hanya berupa satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil. Cara lain yang bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan memperbanyak kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya pada hari yang harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbisnis agar dapat memenuhi hak. Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu bersabar jika kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan dituduh macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan tidak perlu membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi dia menuntut pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama.

 

Ada perbedaan pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan orang mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh dipergunakan untuk keperluan apa pun. Golongan lain berpendapat, harta itu diserahkan kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk, menunggu sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti harta yang hilang.

 

Kedua: Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia bertaubat dan ingin mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada orang lain yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari harta yang haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamer dan lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya. Maka bagaimana hukumnya?

 

Segolongan orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut ketentuan yang diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu harus dishadagahkan.

 

Ketiga: Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal dunia, sehingga dia tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti yang sudah ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan kepada ahli waris berikutnya. Begitu seterusnya. Jika dia tidak bisa mengembalikan kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli warisnya, siapakah yang berhak menuntut di akhirat? Apakah pemilik aslinya ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu?

 

Ada dua pendapat di kalangan fugaha’ dan dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i. Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut: Penuntutan itu menjadi hak pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak masing-masing ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk itu. Orang yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikannya. Jika tidak mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia akan dituntut atas hak tersebut.

 

Lalu bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan mereka?

 

Ada yang berpendapat, caranya dengan menshadagahkan harta itu atas nama pemilik aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus berkembang manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai dengan manfaat yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut.

 

 Taubat yang Tertolak

 

Para ulama saling berbeda pendapat, apakah di antara berbagai macam dosa, ada dosa yang taubatnya tidak diterima ataukah taubat dari dosa apa pun diterima?

 

Menurut Jumhur, taubat harus dilakukan untuk setiap dosa. Setiap dosa memungkinkan untukdimintakan ampunan dengan bertaubat. Ada pula golongan yang mengatakan, bahwa taubat pembunuh tidak diterima. Ini termasuk pendapat Ibnu Abbas dan salah satu riwayat dari Ahmad. Bahkan Ibnu Abbas harus berdebat dengan rekan-rekannya, yang mengatakan, “Bukankah Allah telah berfirman dalam surat al-Furqan: 68-70, “Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain beserta Allah dan tidak pula membunuh jiwa yang diharamkan Allah… sampai, “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan?”

 

Ibnu Abbas menyanggah, “Ayat ini berkaitan dengan perbuatan di masa Jahiliyah. Pasalnya, ada beberapa orang musyrik yang dulu pernah melakukan tindak pembunuhan danjuga pernah berzina. Lalu mereka menemui Rasulullah, seraya berkata, ‘Apa yang engkau serukan itu benar-benar bagus. Andaikan saja engkau memberitahukan kepada kami tentang suatu tebusan dari apa yang pernah kami lakukan’. Maka turunlah ayat ini. Jadi, ayat ini berkenaan dengan diri mereka. Sementara dalam surat An-Nisa’ telah disebutkan firman Allah, “Dan, barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya’. Jika seseorang mengetahui Islam dan syariatnya, lalu dia membunuh dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam.”

 

Menurut golongan ini, karena membunuh orang Mukmin secara sengaja tidak bisa diterima dan tidak ada cara untuk meminta pembebasan darinya, apalagi mengembalikan nyawanya. Taubat dari hak manusia tidak dianggap sah kecuali dengan salah satu dari dua cara ini. Sementara keduanya tidak bisa lagi dilakukan oleh pembunuh. Berbeda dengan harta, yang sekalipun pemiliknya sudah meninggal dunia, maka orang yang merampasnya masih bisa menyampaikan manfaat harta itu kepada pemiliknya yang sudah meninggal, dengan cara menshadagahkannya. Merekajuga berkata, “Kami tidak menolak pendapat bahwa syirik itu lebih besar dosanya daripada tindak pembunuhan, dan taubat dari syirik itu masih bisa dilakukan. Tapi taubat dari syirik ini berkait dengan hak Allah, dan memohon ampunan dari-Nya masih memungkinkan. Tapi kaitannya dengan hak manusia, maka taubatnya tergantung pada pengembalian hak itu atau meminta pembebasan darinya.

 

Jumhur yang berpendapat bahwa taubat dari dosa apa pun bisa diterima, berhujjah dengan firman Allah,

 

“Dan, sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82).

 

Jika pembunuh itu bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka Allah akan mengampuni dosanya. Juga telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang orang yang pernah membunuh seratus orang kemudian bertaubat, dan ternyata taubatnya itu diterima. Ada beberapa hadits lain yang menyatakan hal yang sama.

 

Tentang surat An-Nisa ‘: 93, bahwa orang yang membunuh orang Mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, banyak nash lain yang senada dan yang di dalamnya disebutkan ancaman seperti itu, seperti firman-Nya,

 

“Dan, barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-Nya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14).

 

Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan sepotong besi, maka besi itu akan menghunjam dirinya, dia kekal dan dikekalkan di neraka jahanam.” Manusia saling berbeda tentang nash semacam ini. Di antara mereka ada yang mengartikannya menurut zhahirnya, bahwa pelakunya akan kekal di dalam neraka. Ini merupakan pendapat golongan Khawarij dan Mu’tazilah. Dalam hal ini pun merekajuga saling berbeda pendapat. Khawarij mengatakan, mereka itu sama dengan orang kafir, karena yang kekal di dalam neraka hanya orang kafir. Mu tazilah berpendapat, mereka bukan orang-orang kafir, tetapi orang-orang fasik yang juga kekal di dalam neraka, jika mereka tidak bertaubat. Golongan lain berpendapat, siapa yang melakukannya yakin tentang pengharamannya, maka dia tidak mendapat ancaman ini (kekal di dalam neraka), sekalipun dia tetap mendapat ancaman masuk neraka.

 

Kemudian ada perbedaan pendapat tentang pembunuh yang bertaubat dan dia menyerahkan diri untuk dijatuhi hukuman setimpal (gishash). Apakah pada Hari Kiamat korbannya masih mempunyai hak untuk menuntut atas dirinya?

 

Satu golongan berpendapat, pembunuh itu tidak lagi mempunyai dosa yang harus ditanggungnya di hadapan korban pada hari kiamat, sebab memang hukum gishash-lah yang harus diterapkan kepadanya. Hukuman merupakan tebusan bagi pelakunya. Dengan cara itu seakan-akan dia telah memenuhi hak warisan korban terhadap ahli warisnya dengan cara mengorbankan dirinya. Sebab tidak ada bedanya apakah seseorang memenuhi hak orang lain lewat dirinya atau wakilnya.

 

Golongan lain berpendapat, korban telah dizhalimi dan kehilangan hakhaknya. Sementara dia juga tidak tahu apa yang terjadi setelah dia dizhalimi, sekalipun kemarahan ahli warisnya dapat dipadamkan. Tapi manfaat apa yang diperoleh korban? Hak dalam pidana pembunuhan itu ada tiga macam: Hak Allah, hak korban dan hak waris. Hak Allah tidak terpenuhi kecuali dengan taubat. Hak ahli waris bisa terpenuhi dengan meminta pelaksanaan hukuman sehubungan pembunuhan itu. Ada tiga pilihan untuk ini: Pelaksanaan gishash, ampunan tanpa disertai tebusan harta, dan tebusan harta. Sekalipun ahli waris sudah menerima tebusan dari pembunuh, hak korban belum terpenuhi secara total. Sebab bagaimana mungkin haknya sudah terpenuhi, jika ini merupakan salah satu dari tiga cara pemenuhan hak? Andaikata korban dapat berkata, “Janganlah kalian membunuhnya, karena aku akan menuntutnya sesuai dengan hakku pada Hari Kiamat, namun nyatanya mereka membunuhnya, apakah dengan begitu hak korban dianggap gugur?

 

Yang benar dalam masalah ini menurut hemat saya, dan Allah lebih mengetahui mana yang benar, jika pembunuh bertaubat sebagai pemenuhan terhadap hak Allah, dan dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada ahli waris, agar dengan begitu dia dapat memenuhi hak korban, maka dua hak telah dia penuhi. Kini tinggal hak korban yang belum terpenuhi, yang tentunya Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Namun ampunan Allah yang diberikan kepada pembunuh sudah dianggap sebagai pengganti dari hak korban, sebab apa yang dialaminya juga tidak bisa dihalangi dengan membunuh pembunuhnya. Taubat yang sebenar-benarnya sudah cukup untuk menghapus dosa di masa lampau dan hal ini menjadi pengganti dari kezhalimannya, sehingga dia tidak dijatuhi hukuman karena kesempurnaan taubatnya. Hal ini seperti orang kafir yang pernah memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membunuh orang Muslim. Namun jika kemudian dia masuk Islam dan Islamnya bagus, maka Allah akan memberikan pengganti kepada korban yang dibunuhnya dan mengampuni orang kafir yang masuk Islam itu, karena keislamannya. Dia tidak dihukum karena pernah membunuh orang Muslim secara zhalim. Taubat yang menghapus dosa sebelumnya, sama seperti Islam yang menghapus dosa seseorang sebelum masuk Islam.

 

Kesaksian atas Tindakan Hamba Ada tiga belas kesaksian terhadap tindakan hamba:

  1. Unsur hewani dan mengumbar nafsu
  2. Memenuhi ilustrasi naluri dan tuntutan instink
  3. Berbuat di luar kehendak
  4. Takdir tidak mempunyai campur tangan
  5. Hikmah
  6. Taufik dan penelantaran
  7. Tauhid
  8. Asma’ dan sifat
  9. Iman dan pendukung-pendukungnya
  10. Rahmat
  11. Kelemahan dan ketidakberdayaan
  12. Kehinaan, kepasrahan dan kebutuhan
  13. Kecintaan dan ubudiyah.

 

Empat yang pertama merupakan kesaksian dari orang-orang yang menyimpang, delapan yang lainnya dari orang-orang yang istiqamah, dan yang tertinggi adalah kesaksian kesepuluh. Uraian tentang masalah ini merupakan inti kandungan buku ini dan paling bermanfaat bagi setiap pembaca, yang tak pernah saya bahas dalam buku-buku lain kecuali di dalam Safarul Hijratain Fi Tharigil Hijratain. Inilah uraian masing-masing.

 

  1. Kesaksian Hewani dan Pemenuhan Nafsu

 

Kesaksian unsur hewani dan pemuasan nafsu merupakan kesaksian orang-orang bodoh, yang membuat mereka tidak berbeda dengan semuajenis hewan kecuali dalam postur dan cara bicara. Hasrat mereka hanya untuk mendapatkan nafsu, entah dengan cara apa pun. Jiwa mereka adalah jiwa hewan dan tidak pernah naik ke derajat manusia, apalagi derajat malaikat. Tapi keadaan masing-masing orang di antara mereka berbeda-beda tergantung dari perbedaan unsur hewani yang menjadi sifat dan tabiat mereka.

 

Di antara mereka ada yang memiliki unsur anjing. Andaikan dia menemukan bangkai yang bisa mengenyangkan seribu anjing, niscaya dia akan menguasainya dan tidak memberikan kesempatan kepada anjing-anjing lain untuk mencicipinya. Dia akan menyalak untuk mengusir anjing-anjing yang lain. Sehingga anjing-anjing lain tidak bisa mendekati bangkai itu kecuali dengan cara paksa atau mengalahkannya. Hasratnya yang terpenting adalah mengenyangkan perutnya sendiri, entah dengan makanan apa pun, bangkai atau disembelih, baik atau buruk, dan dia tidak perlu malu karena mengkonsumsi makanan yang buruk. Jika engkau membawanya serta, maka dia akan mengulurkan lidah, dan jika engkau meninggalkannya, dia juga tetap akan mengulurkan lidah. Jika engkau memberinya makanan, maka dia akan mengibas-ngibaskan ekornya dan berputar-putar di sekelilingmu, namun jika engkau tidak memberinya makan, maka dia akan menyalak di hadapanmu.

 

Di antara mereka ada yang jiwanya seperti keledai, yang tidak diciptakan kecuali untuk diberi makan dan dipekerjakan. Jika porsi makanannya bertambah, maka porsi kerjanya juga harus bertambah. Keledai merupakan hewan yang paling sedikit bicaranya dan paling bodoh. Karena itu Allah mengumpamakan orang bodoh ini dengan keledai yang membawa Al-Kitab. Sekalipun dia membawanya, tapi dia tidak mengetahui, memahami dan tidak bisa mengamalkannya. Sementara Allah mengumpamakan ulama yang buruk seperti anjing. Dia diberi pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, namun dia menyingkirinya dan lebih suka mengikuti hawa nafsunya.

 

Di antara mereka ada yang jiwanya seperti hewan buas yang selalu mengumbar amarahnya. Hasratnya adalah bermusuhan dengan orang-orang lain, memaksa mereka dengan kekuatannya.

 

Di antara mereka ada yang jiwanya seperti tikus, yang memiliki tabiat yang kotor dan mendatangkan kerusakan bagi apa pun yang ada di sekitarnya.

 

Di antara mereka ada yang jiwanya seperti hewan yang beracun dan menyengat, seperti ular, kalajengking dan lain-lainnya. Bahkan dengan matanya pun dia bisa menimbulkan bencana bagi orang lain. Jiwanya bergolak karena amarah dan dorongan rasa dengki dan kesombongan. Sementara korbannya dicari kelengahannya. Matanya menyengat seperti ular yang menyengat bagian tubuh manusia yang tidak tertutup. Setiap orang bisa menjadi korbannya, karena itu mereka harus melindungi dirinya dengan baju besi dan tameng, berupa dzikir-dzikir seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tapi jika seseorang merasa bahwa dia akan menimpakan bahaya kepada orang lain yang terpancar lewat matanya, maka dia harus bisa menahan dan menguasainya. Karena di antarajiwa manusia itu ada yang seperti jiwa hewan, maka begitulah penafsiran Sufyan bin Uyainah terhadap surat Al-An am: 38,

 

“Dan, tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian.”

 

Pengumpamaan ini menjadi rujukan bagi para pena wil mimpi, karena orang yang bermimpi melihat hewan tertentu dalam mimpinya. Bahkan tidak jarang mimpi-mimpi ini juga kita alami sendiri dan memang ada kesesuaian dengan kejadian sesungguhnya, dan ternyata ta’wil itu juga sesuai dengan karakter hewan yang dilihat dalam mimpi. Sewaktu perang Uhud Nabi bermimpi melihat sapi yang disembelih. Kejadian yang sesungguhnya, banyak orang Mukmin yang dibunuh orang-orang kafir. Sementara titik kesesuaiannya, sapi adalah binatang yang paling banyak manfaatnya bagi kehidupan di dunia, di samping postur badannya yang tinggi, besar, namun mudah dikendalikan dan tunduk. Sedangkan Umar bin Al-Khaththab bermimpi dirinya dipatuki ayam sebanyak tiga kali, hingga kemudian dia dibunuh Abu Lu’lu’ah. Ayam merupakan hewan peliharaan selain bangsa Arab, seperti Abu Lu’lu’ah yang bukan dari bangsa Arab.

 

Di antara manusia ada yang jiwanya seperti babi. Dia melewati barangbarang yang bagus, tapi menoleh pun tidak. Namun jika ada orang yang membuang sampah, maka dia akan menyantapnya hingga habis. Banyak orang yang mendengar dan melihat hal-hal yang baik pada dirimu, jauh lebih banyak dari keburukan-keburukanmu. Namun dia tidak menjaganya dan tidak menceritakannya seperti kenyataannya. Tapi jika dia melihat sesuatu yang buruk atau aib, maka dia akan menjadikannya sebagai santapan yang empuk.

 

Di antara mereka ada yang memiliki tabiat burung merak, yang membungkus dirinya dengan bulu-bulunya yang cantik dan menarik serta bersolek, namun di dalamnya tidak ada apa-apa.

 

Di antara mereka ada yang memiliki tabiat seperti onta, hewan yang paling pendengki dan paling kasat hatinya.

 

Di antara mereka ada yang memiliki tabiat seperti beruang, tidak banyak bicara namun sangat jahat. Dan, masih banyak hewan-hewan lain yang mengindikasikan sifat manusia.

 

Namun di antara tabiat hewan yang paling terpuji adalah tabiat kuda, yang jiwanya paling baik dan tabiatnya paling mulia. Begitu pula kambing. Maka siapa yang dirinya mempunyai kemiripan dengan hewan-hewan ini, maka seakan-akan dia telah mengambil tabiat dan sifat darinya. Jika dia mengkonsumsi dagingnya, maka kemiripan itu tampak lebih nyata. Karena itu Allah mengharamkan daging hewan buas, karena dengan memakan dagingnya, bisa menimbulkan kemiripan dengannya.

 

Dengan kata lain, siapa yang memiliki kesaksian-kesaksian ini, maka mereka tidak memiliki kesaksian selain kecenderungan terhadap jiwa dan nafsunya, sehingga mereka tidak mengenal yang selain itu.

 

  1. Kesaksian Ilustrasi Naluri dan Tuntutan Instink

 

Seperti kesaksian orang-orang zindig dan filosof. Mereka menganggap ilustrasi naluri ini merupakan tuntutan diri manusia. Komposisi diri manusia itu terdiri dari empat tabiat yang kemudian bercampur sesuai dengan campuran masing-masing, sebagian bisa mengalahkan sebagian yang lain dan ada yang menyimpang dari kewajarannya, tergantung dari proses pencampuran itu. Komposisi dirinya yang terdiri dari badan, jiwa, naluri dan campuran-campuran unsur hewan, dikuasai oleh pengaruh naluri dan ilustrasi instink ini, yang tidak bisa diatur kecuali dengan pengatur tertentu, entah berasal dari dirinya atau dari luar dirinya. Sementara mayoritas manusia tidak mempunyai pengatur dari dirinya sendiri. Kebutuhannya terhadap pengatur di atas dirinya membuat dirinya berada di bawah kekuasaannya, seperti kebutuhan manusia terhadap makan, minum dan pakaian. Maka selagi orang yang berakal mempunyai pengatur dari dirinya, maka dia tidak memerlukan perintah, larangan dan kontrol dari orang selain dirinya. kesaksian pada diri mereka berasal dari aktivitas jiwa yang bisa memilih apa pun yang hendak dipilihnya sendiri, yang tentunya tidak lepas dari kejahatan, seperti aktivitas naluri yang memaksanya, yang tentunya harus menerima perubahan.

 

  1. Kesaksian Jabariyah

 

Mereka mempersaksikan bahwa tindakan mereka sudah ditetapkan, sehingga semua tindakan terjadi begitu saja di luar kekuasaan mereka. Bahkan mereka tidak mau mempersaksikan bahwa semua itu merupakan tindakan mereka sendiri. Mereka berkata, “Pada hakekatnya seseorang bukanlah sang pelaku dan juga tidak berkuasa. Pelakunya adalah orang selain dirinya dan siapa yang menggerakkannya. Dia hanya sekadar sebagai alat, dan tindakannya seperti angin yang berhembus atau seperti gerakan pohon yang dihembus angin. Jika tindakan mereka diingkari, maka mereka berhujjah dengan takdir. Bahkan mereka sangat berlebihan dalam masalah ini, sehingga menganggap semua tindakan mereka merupakan ketaatan, yang baik maupun yang buruk.

 

  1. Kesaksian Qadariyah

 

Mereka mempersaksikan bahwa semua tindak kejahatan dan dosa berasal dari diri manusia dan mutlak berdasarkan kehendaknya, sementara Allah tidak mempunyai kehendak apa pun dan tidak mempunyai ketetapan takdir terhadap tindakan manusia, tidak pula kuasa memberi petunjuk maupun menyesatkan, tidak kuasa memberikan ilham petunjuk dan kesesatan. Manusia menciptakan perbuatannya tanpa ada sangkut pautnya dengan kehendak Allah. Kesaksiankesaksian berikut ini merupakan kesaksian orang-orang yang istiqamah.

 

  1. Kesaksian Hikmah

 

Maksudnya adalah kesaksian hikmah Allah dalam takdir-Nya terhadap hamba, berkaitan dengan hal-hal yang dibenci, dicela dan yang mendatangkan siksa-Nya. Andaikan Allah menghendaki, tentu Dia akan menghalangi dirinya untuk melakukan hal yang dibenci itu. Tidak ada sesuatu pun di alam ini melainkan berdasarkan kehendak-Nya.

 

Mereka mempersaksikan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia dan tanpa makna, Dia mempunyai hikmah dalam segala kekuasaan dan ketetapan-Nya, baik maupun buruk, ketaatan maupun kedurhakaan. Di sana banyak hikmah yang tidak bisa ditangkap akal dan tidak bisa digambarkan dengan perkataan. Sumber ketetapan dan kekuasaan-Nya, apa yang dibenci dan dimurkai-Nya adalah asma’ Al-Hakim, yang hikmah-Nya bisa ditangkap orang-orang yang berakal. Ketika para malaikat mempertanyakan penciptaan manusia, maka Allah menjawab, “Aku mengetahui apa yang kalian tidak mengetahuinya.” Yang pertama kali bisa dipersaksikan orang-orang yang memiliki bashirah dengan mata hatinya ialah,

 

“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau.“ (Ali Imran: 191).

 

Berapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah di muka bumi yang menunjukkan keberadaan Allah dan kebenaran rasul-rasul-Nya, bahwa penyebabnya adalah kedurhakaan anak keturunan Adam dan dosa-dosanya, seperti kaum Nuh yang ditenggelamkan dan keselamatan para penolong dan pengikutnya. Begitu pula kebinasaan kaum Ad dan Tsamud atau lain-lainnya yang muncul di setiap zaman. Allah mempunyai tanda kekuasaan pada diri Fir aun dan kaumnya, tatkala Musa diutus kepadanya. Andaikan mereka tidak durhaka dan tidak kufur, maka tanda-tanda kekuasaan dan hal-hal yang menakjubkan tidak akan terjadi. Di dalam Taurat disebutkan, “Allah berfirman kepada Musa, ‘Pergilah kepada Fir’aun karena aku akan mengeraskan hatinya dan menghalanginya untuk beriman, agar Aku dapat tanda-tanda kekuasaan dan kejaiban-Ku di Mesir.”

 

Begitu pula apa yang diperlihatkan Allah, yang merubah api menjadi dingin dan merupakan keselamatan bagi Ibrahim, karena dosa dan kedurhakaan kaumnya, hingga akhirnya beliau mendapatkan status kekasih.

 

Ada satu contoh yang sangatjelas tentang hal ini, yaitu kalau bukan karena kedurhakaan yang dilakukan bapak sekalian manusia, yang memakan buah pohon larangan, tentu tidak akan muncul hal-hal yang dicintai di mata Allah, yaitu berupa ujian terhadap hamba, kewajiban yang dibebankan kepadanya, para rasul yang diutus, berbagai kitab yang diturunkan, para wali yang dimuliakan, musuh-musuh yang dihinakan, keadilan dan karunia yang diperlihatkan. Taruhlah bahwa Adam tidak melakukan kedurhakaan dan tidak dikeluarkan dari surga bersama anak-anaknya, tentu semua ini tidak akan terjadi, kekuatan yang tersembunyi di dalam hati Iblis tidak diketahui lewat perbuatannya, hingga diketahui Allah dan para malaikat, manusia yang baik tidak bisa dibedakan dengan manusia yang buruk dan tidak tampak kesempurnaan malaikat, yang di dunia mereka tidak ada istilah kemuliaan, pahala, siksa, kebahagiaan, kesengsaraan dan lain-lainnya.

 

Ini merupakan satu titik dari lautan hikmah Allah pada makhluk-Nya. Orang yang berilmu bisa melihat apa yang ada di balik semua itu dengan ilmunya, sehingga dia bisa mengetahui keajaiban hikmah Allah yang tidak bisa diungkap lewat kata-kata.

 

  1. Tauhid

 

Seseorang mempersaksikan kesendirian Allah dalam penciptaan dan hikmah. Apa pun yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada satu atom pun yang bergerak kecuali dengan izin-Nya. Semua makhluk ada dalam genggaman-Nya dan tidak ada hati melainkan ada di antara duajari Allah. Dia bisa membalik dan mengubahnya menurut kehendak-Nya. Dialah yang mendatangkan ketakwaan kejiwa orangorang Mukmin, Dialah yang menunjuki dan mensucikannya, Dialah yang mengilhamkan kesesatan orang-orang yang sesat dan fasik. Firman-Nya,

 

“Dan, siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tidak ada orang yang akan memberi petunjuk.” (Al-A’raf: 186).

 

Ibnu Abbas mengatakan, “Iman kepada gadar merupakan tatanan tauhid. Siapa yang mendustakan gadar, maka pendustaannya ini telah membatalkan tauhidnya. Siapa yang beriman kepada gadar, maka imannya itu telah membenarkan tauhid.”

 

Dengan kesaksian ini seorang hamba memiliki kemantapan derajat iyyaka na ‘budu wa iyyaka nasta’in, dari segiilmu dan keadaan, sehingga pijakan kakinya pada tauhid Rububiyah menjadi mantap, lalu meningkat ke tauhid Uluhiyah. Siapa yang percaya bahwa mudharat dan manfaat, pemberian dan penahanan, petunjuk dan kesesatan, kebahagiaan dan penderitaan ada di Tangan Allah dan bukan di tangan selain-Nya, bahwa Dialah yang berbuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya, berarti dia adalah orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, paling dicintai, paling ditakuti dan paling diharapkan. Ini merupakan tanda tauhid Uluhiyah, yang masuk ke dalam hati lewat pintu tauhid Rububiyah.

 

  1. Taufik dan Penelantaran

 

Orang-orang yang mengetahui tentang Allah sepakat bahwa yang dimaksudkan taufik di sini adalah: Allah tidak memasrahkanmu kepada dirimu sendiri. Sedangkan penelantaran ialah: Allah menyerahkanmu kepada dirimu sendiri. Seorang hamba berganti-ganti keadaan, terkadang dalam taufik-Nya dan terkadang dalam penelantaran-Nya. Bahkan pada satu saat seseorang bisa berada dalam taufik dan juga penelantaran-Nya. Dia taat, ridha dan mensyukuri taufik-Nya, kemudian dia durhaka, marah dan melalaikan-Nya. Yang pasti dia berputar di antara taufik dan penelantaran-Nya. Allah memberinya taufik dengan karunia dan rahmat-Nya, menelantarkannya dengan keadilan dan hikmah-Nya. Allah tetap terpuji dalam dua keadaan ini dan Dia lebih tahu di mana meletakkan masing-masing pada tempatnya.

 

Dengan kesaksian ini seorang hamba mempersaksikan taufik dan penelantaran Allah, sebagaimana dia mempersaksikan Rububiyah dan dan penciptaan-Nya, lalu memohon taufik-Nya dan berlindung dari penelantaranNya dengan penuh kepasrahan dan ketundukan, merasa dirinya tidak mampu mengatur mudharat dan manfaat, hidup dan mati.

 

Dengan kata lain, taufik adalah kehendak Allah terhadap hamba untuk melakukan sesuatu yang bermaslahat baginya, seperti menjadikannya mampu melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, yang dicintai-Nya dan lebih mementingkan-Nya daripada yang lain serta membenci apa yang dibenci Allah. Ini hanya sekadar perbuatannya, belum yang lain-lain. Firman-Nya,

 

“Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah.” (Al-Hujurat: 7-8).

 

Allah berfirman, “Kecintaan kalian kepada iman dan keindahan iman itu di dalam hati kalian, bukan berasal dari diri kalian, tetapi Allahlah yang menjadikan iman itu ada di dalam hati kalian, sehingga kalian lebih mementingkannya dan ridha kepadanya. Karena itu janganlah kalian berbuat lancang di hadapan rasul-Ku, janganlah mengatakan sebelum dia mengatakan dan janganlah kalian berbuat sebelum dia memerintahkan.”

 

Perumpamaan tentang taufik dan penelantaran ini seperti seorang raja yang mengirim utusan kepada segolongan orang dari rakyatnya. Dia menulis surat kepada mereka, yang berisi pemberitahuan tentang musuh yang tak lama lagi akan datang menyerbu dan siap menghancurkan tempat mereka. Bersamaan dengan itu raja juga menyiapkan kendaraan, bekal dan segala persiapan untuk pengungsian serta penunjuk jalan. Utusan itu berkata,

 

“Pergilah kalian dari tempat ini dan ikutilah penunjuk jalan.” Raja itu juga mengutus para pengawalnya untuk membawa orang-orang tertentu dan meninggalkan yang lain, karena kelompok yang terakhir ini memang tidak layak menjadi rakyatnya. Ketika musuh menyerang, maka orang-orang yang masih tertinggal ada yang dibunuh dan ada pula yang ditawan. Apakah raja ini dianggap berbuat zhalim kepada mereka ataukah berbuat adil? Dia memberikan kemurahan hatinya kepada orang-orang tertentu dan membiarkan yang lain. Tentu saja Allah terlalu agung untuk dimisalkan seperti ini.

 

  1. Asma’ dan Sifat

 

Kesaksian ini lebih tinggi dan lebih luas dari sebelumnya. Yang terlihat dalam kesaksian ini adalah pengetahuan tentang ketergantungan makhluk terhadap Asma’ul-husna dan sifat-sifat Allah yang tinggi serta kesempurnaanNya. Ini merupakan ma’rifat dan pengetahuan yang paling agung dan mulia. Setiap asma’ Allah memiliki sifat khusus yang menggambarkan pujian dan kesempurnaan. Setiap sifat mempunyai konsekuensi dan tindakannya. Tindakan ini berkaitan dengan apa yang ditindakkan, sesuai dengan kelayakannya. Inilah yang berlaku pada penciptaan dan perintah-Nya, pahala dan siksaan-Nya. Semua itu merupakan pengaruh dari Asma’ul-husna dan keharusan-keharusannya.

 

Asma’ Allah Al-Hamid, Al-Majid, Al-Hakim menghalangi Allah untuk membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia dan terabaikan, tidak mendapat perintah dan larangan, tidak diberi pahala dan siksa. Asma’ Al-Maliku, AlHayyu menghalangi Allah untuk menganggur tanpa berbuat apa-apa, karena hakekat hidup adalah berbuat dan setiap yang hidup tentu berbuat. Asma’ AsSami’, Al-Bashir mengharuskan Allah untuk mendengar dan melihat segala apa pun, yang kecil maupun yang besar. Asma’ Al-Ghaffar, At-Tawwab, Al-Afuwwu mengharuskan adanya kaitan-kaitan dengan asma’ ini, seperti keharusan adanya kesalahan yang harus diampuni, taubat yang diterima dan kejahatan yang dimaafkan. Allah juga mencintai siapa pun yang berbuat sesuai dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya. Allah yang Al-Alim mencintai orang yang berilmu. Allah yang Al-Witru mencintai shalat witir. Allah yang Al-Jamil mencintai keindahan. Allah yang Asy-Syakur mencintai orang yang bersyukur. Begitu pula dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya yang lain.

 

  1. Tambahan Iman Pendukung-pendukungnya

 

Ini merupakan kesaksian yang paling halus dan paling khusus bagi orangorang yang memiliki ma’rifat. Boleh jadi orang yang mendengarnya akan menolak kesaksian ini dengan berkata, “Bagaimana mungkin iman bisa bertambah karena ada dosa dan kedurhakaan? Bukanlah itu justru mengurangi iman? Sementara orang-orang salaf juga sudah sepakat, bahwa iman bisa bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan.”

 

Kesaksian ini berasal dari orang yang memiliki ma’rifat, yang jeli melihat dosa dan kedurhakaan pada dirinya maupun pada orang lain, serta pengaruh yang diakibatkannya. Hasilnya lebih lanjut, dia mendapatkan salah satu panji nubuwah dan keterangan yang jelas tentang kebenaran para rasul serta apa yang dibawa para rasul itu. Sementara para rasul memerintahkan manusia kepada perkara-perkara yang membawa kebaikan zhahir dan batinnya, mencegah mereka dari hal-hal yang mendatangkan kerusakan dalam kehidupannya. Mereka memberitahukan bahwa Allah mencintai ini dan itu, membenci ini dan itu, memberi pahala ini dan itu, menghukum ini dan itu. Jika Allah ditaati karena apa yang diperintahkan-Nya, maka Dia mensyukurinya dengan memberikan tambahan ketaatan, kenikmatan di badan dan hati, sehingga hamba merasakan betul tambahan ini. Jika Allah didurhakai, maka akan mengakibatkan munculnya kelemahan, kerusakan dan kehinaan. Allah berfirman tentang dua fenomena ini,

 

“Dan, hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hud: 3).

 

“Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124).

 

Ada yang menafsiri kehidupan yang sempit di dalam ayat ini adalah siksa kubur. Yang benar, hal ini berlaku di dunia dan juga di alam Barzakh (kubur). Dengan kata lain, siapa yang berpaling dari peringatan yang diturunkan Allah, niscaya dadanya akan terasa sesak, kehidupannya sulit, selalu dihantui perasaan takut, terlalu berat memikul beban kehidupan dunia, merasa merugi sebelum mendapatkan keduniaan dan setelah mendapatkannya. Hampir tak ada waktu dalam hidupnya yang tidak diwarnai kegelisahan dan penderitaan.

 

  1. Rahmat

 

Jika seseorang berbuat salah atau durhaka terhadap orang lain, maka dari hati orang yang didurhakai ini muncul sifat kekerasan, kekasaran dan amarah. Bahkan andaikan mampu, dia akan melibasnya dan berdoa kepada Allah untuk mencelakakan serta menghukumnya, karena dorongan amarah di dalam hatinya dan ambisinya agar tidak didurhakai. Di dalam hatinya tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan terhadap orang yang bersalah kepadanya, dia memandangnya dengan pandangan mencemooh, mencaci dan mencelanya. Tapi jika karena satu sebab tertentu orang yang bersalah ini menghadap kepadanya layaknya seorang tawanan, merengek-rengek sambil meminta belas kasihannya, memohon layaknya orang yang terpaksa, maka kekerasan hati itu akan berubah menjadi kelembutan dan kasih sayang. Yang tadinya dia mendoakan kecelakaan baginya, berubah mendoakan keselamatan baginya dan memohonkan ampunan kepada Allah. Ini merupakan kesaksian yang nyata bagi manusia dan mengandung pengertian yang besar.

 

  1. Kelemahan dan Ketidakberdayaan

 

Kesaksian yang kesepuluh melahirkan kesaksian ini, bahwa hamba terlalu lemah dan terlalu tidak berdaya untuk menjaga dirinya sendiri, bahwa dia tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali yang datang dari Allah. Hal ini memberikan kesaksian kepada hatinya, bahwa dia seperti sehelai bulu yang jatuh di padang luas yang kosong, dihempas angin ke kanan dan ke kiri. Hal ini memberikan kesaksian kepadanya bahwa dia tak ubahnya penumpang perahu yang terombang-ambing di tengah lautan yang ganas, yang dipermainkan gulungan ombak, kadang tenggelam dan kadang muncul ke permukaan, sehingga yang menyisa pada dirinya tinggal tangan takdir. Atau dia ibarat alat yang ada di tangan operatornya, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya, tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, tidak memiliki hidup dan mati. Yang dia miliki hanyalah kebodohan, kepasrahan dan ketidakberdayaan. Kematian lebih dekat kepadanya daripada tali selopnya, seperti seekor domba di tengah binatang-binatang buas, yang hanya bisa diselamatkan penggembala.

 

Beginilah keadaan hamba di hadapan Allah dan bahkan di hadapan musuh-musuhnya dari setan-setan yang berupa jin dan manusia. Jika Allah melindungi dan menjaganya, maka mereka tidak akan mampu berbuat apa pun terhadap dirinya. Jika Allah membiarkan dan menelantarkannya, walau sekejap mata pun, maka dia akan menjadi bagian bagi siapa pun di antara mereka yang beruntung mendapatkan dirinya.

 

Dengan kesaksian ini seorang hamba bisa mengetahui dirinya secara hakiki dan sekaligus mengetahui Rabb-nya. Ini merupakan salah satu ta’ wil dari pepatah yang sudah terkenal, “Siapa yang mengetahui dirinya, tentu mengetahui Rabbnya.” Tapi perlu dicatat, ini hanya sekadar perkataan seseorang dan bukan hadits dari Rasulullah. Di sana ada pula atsar Isra’iliyat dengan kalimat yang tak jauh berbeda, “Wahai manusia, kenalilah Rabb-mu, niscaya engkau akan mengenali dirimu sendiri.” Ada tiga ta’ wil tentang pepatah ini:

 

  1. Siapa yang mengetahui kelemahan dirinya, tentu mengetahui kekuatan Rabb-nya. Siapa yang mengetahui ketidakberdayaan dirinya, tentu mengetahui kekuasaan-Nya. Siapa yang mengetahui kehinaan dirinya, tentu mengetahui kemuliaan-Nya. Siapa yang mengetahui kebodohan dirinya, tentu mengetahui ilmu-Nya. Allah memiliki kesempurnaan, pujian dan kekayaan secara total, sedangkan hamba adalah yang miskin dan serba kurang serta selalu membutuhkan. Seberapa jauh seseorang mengetahui kadar kehinaan, kelemahan, kemiskinan dan kebodohan dirinya, maka sejauh itu pula dia bisa mengetahui sifat-sifat kesempurnaan Rabb-nya.

 

  1. Siapa yang memandang sifat-sifat pujian, kehidupan, kekuatan dan kehendak pada dirinya, maka dia mengetahui bahwa yang memberinya semua itu lebih layak memiliki semua pemberian itu. Yang memberi kesempurnaan lebih layak mempunyai kesempurnaan itu. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa hidup, berbicara, mendengar, melihat, berkehendak dan berilmu, sementara yang menciptakannya tidak mampu melakukan semua itu? Tentu saja ini mustahil. Yang membuat hamba bisa berbicara, lebih mampu berbicara. Siapa yang membuat hamba bisa hidup, berilmu, mendengar, melihat dan berbuat, lebih layak dan lebih mampu melakukan semua itu, ini merupakan ta’wil dari sisi kelayakan, sedangkan ta’wil yang pertama dari sisi kebalikannya.

 

  1. Ini merupakan ta’wil dari sisi penafian. Artinya, andaikan engkau tidak mengetahui dirimu sendiri, padahal engkaulah yang paling dekat dengan dirimu, maka engkau pun tidak akan tahu hakekat dan seluk beluk dirimu. Jika seperti ini keadaannya, maka bagaimana mungkin engkau tahu Rabbmu, seluk beluk dan sifat-sifat-Nya?

 

Kesaksian ini membuat hamba tahu bahwa dirinya adalah lemah dan tidak berdaya, sehingga membuat dirinya tidak akan membual dan tidak mengandalkan kepada kemampuan diri sendiri, membuatnya tahu bahwa dia tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya. Dari kesaksian inilah lahir kesaksian berikutnya.

 

  1. Kehinaan, Kepasrahan dan Kebutuhan

 

Dengan setiap atom lahir dan batinnya dia memberikan kesaksian tentang kebutuhannya kepada Penolong dan Rabb-nya, yang di Tangan-Nyalah terletak kemaslahatan, petunjuk, keberuntungan dan kebahagiaannya. Keadaan yang terasa di dalam hati ini tidak bisa diungkap dengan kata-kata, tapi bisa diketahui secara persis oleh orang yang benar-benar merasakannya. Kepasrahan hatinya kepada Rabb tidak bisa diserupakan dengan apa pun. Dia melihat dirinya seperti secuil pecahan kaca di tanah, tidak dianggap, tidak dipedulikan dan tidak diminati siapa pun. Dia melihat kebaikan Rabb terhadap dirinya terlalu banyak dan melimpah, sementara ketaatan-ketaannya kepada Rabb terlihat terlalu sedikit. Siapa yang melihat pemenuhannya terhadap hak-hak Rabb terlalu sedikit dan melihat kedurhakaan dan dosanya terlalu banyak, maka akan membuat hatinya tunduk dan pasrah kepada-Nya.

 

Hati yang paling dicintai adalah hati yang diisi kepasrahan, kehinaan dan ketundukan ini. Kepalanya merunduk di hadapan Rabb-nya, tidak berani mendongak kepada-Nya karena malu dan sungkan. Di antara orang arif pernah ditanya, “Apakah hati itu bisa bersujud?” Maka dia menjawab, “Bisa. Hati itu sujud dengan cara tidak mendongakkan kepalanya hingga saat berdua denganNya. Inilah sujudnya hati.”

 

Orang yang mempunyai kesaksian ini melihat dirinya seakan seorang anak yang ada dalam pemeliharaan ayahnya. Sang ayah memberi nya makanan dan minuman yang lezat, pakaian yang bagus, mendidiknya dengan penuh kasih sayang, memperhatikan pertumbuhannya dan menangani semua keperluannya. Suatu hari sang ayah menyuruhnya untuk suatu keperluan. Di tengahjalan ada musuh yang menculiknya lalu membawanya ke daerah musuh. Di sana dia diperlakukan layaknya seorang tawanan, didera dengan berbagai macam siksaan yang tak teperkirakan. Betapa jauh perbedaan perlakuan ayahnya dan musuh yang menawannya. Dia pun ingat bagaimana kasih sayang dan cinta sang ayah kepada dirinya. Hatinya mendesah penuh penyesalan memikirkan nasib dirinya, yang tak lama lagi dia akan dijatuhi hukuman mati. Selagi keadaannya seperti itu, dia melihat kehadiran ayahnya dari jauh. Dengan menjulurkan tangan ke arahnya dia berseru, “Ayah, ayah, ayah! Lihatlah keadaan anakmu saat ini!” Air matanya membasahi pipi. Setelah diselamatkan, dia memeluk ayahnya dan tak mau melepaskan diri darinya. Dalam keadaan seperti ini apakah engkau berkata, “Sang ayah akan menyerahkan lagi anaknya kepada musuh dan membiarkan mereka berbuat sesuka hati terhadap anaknya?” Lalu apa perkiraanmu tentang Dzat yang lebih Pengasih terhadap hamba-Nya daripada kasih sayang ayah kepada anaknya atau kasih sayang ibu kepada anaknya?

 

Begitulah keadaan Allah, jika ada seorang hamba yang lari menghampiriNya, setelah hamba itu dapat membebaskan diri dari cengkeraman musuh, lalu memasrahkan diri sambil tersungkur di ambang pintu-Nya, sambil menitikkan air mata dia berkata, “Ya Rabbi, wahai Rabb-ku, kasihilah aku yang tiada pengasih selain Engkau dan yang tiada penolong, penjaga dan pelindung selain Engkau. Akulah orang yang miskin dan fakir, yang memohon dan mengharapkan-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat kembali kecuali kepada Engkau.”

 

Dikatakan dalam sebuah syair,

 

“Wahai yang paling layak diharapkan perlindungan yang dijadikan tempat berlindung dari kesalahan

Dialah yang berkuasa menghinakan manusia

Dia pula yang memuliakan jika menghendakinya.”

 

Jika kesaksian ini sudah diketahui dan bersemayam di dalam hati seorang hamba, bisa menyatu dengannya dan dia merasakan manisnya, maka kesaksian ini menanjak ke kesaksian yang lebih tinggi lagi.

 

  1. Ubudiyah dan Cinta

 

Kesaksian ubudiyah, cinta dan kerinduan untuk bersua dengan Allah ini merupakan sasaran yang dituju orang-orang yang meniti jalan kepada Allah. Dengan kesaksian ini hatinya menjadi senang dan anggota tubuhnya merasa tentram. Dzikir senantiasa membasahi lidah dan hatinya. Cinta dan taqarrub menggantikan tempat kedurhakaan dan pembangkangan kepada-Nya. Hati diisi dengan cinta dan lidah dibasahi dzikir kepada-Nya. Memang ketundukan yang khusus ini mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan terhadap cinta, yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.

 

Seorang arif berkata, “Aku mencoba masuk ke tempat Allah dari berbagai macam pintu ketaatan. Namun aku tidak bisa masuk karena semua pintu penuh dengan kerumunan orang yang juga ingin masuk. Maka aku mencoba masuk dari pintu kehinaan. Ternyata pintu ini justru lebih dekat dan lebih luas untuk sampai ke tempat Allah, tidak ada kerumunan dan tidak berdesak-desakan. Ketika aku menapakkan kaki, Allah menghela tanganku dan menuntunku masuk.”

 

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa yang menghendaki kebahagiaan yang abadi, maka hendaklah dia masuk dari pintu ubudiyah.”

 

Seorang arif berkata, “Tidak ada jalan yang lebih dekat untuk sampai kepada Allah selain dari ubudiyah, tidak ada penghalang yang lebih kokoh selain dari bualan, tidak ada gunanya amal dan usaha yang disertai ujub dan takabur, tidak ada mudharat merendahkan diri sekalipun tanpa amal, yakni setelah semua kewajiban dilaksanakan.”

 

Inilah yang bisa dirasakan sebagian dari pengaruh cinta Allah kepada hamba dan kegembiraan-Nya terhadap taubat hamba. Sebab Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan sangat gembira karena taubat mereka.

 

Selagi seorang hamba mengetahui kemurahan hati Allah sebelum dia berbuat dosa, ketika berbuat dosa dan sesudahnya, melihat kebaikan dan kasih sayang-Nya, tentu di dalam hatinya bergolak rasa cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Sebab hati itu diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya. Lalu kebaikan macam apakah yang lebih besar daripada Dzat yang mengetahui kedurhakaan hamba, lalu justru memberinya nikmat, memperlakukannya dengan lemah lembut, menutupi aibnya, menjaganya dari serangan musuh yang selalu mengintainya dan menjadi penghalang di antara keduanya? Semua ada dalam pengamatan dan penglihatan-Nya. Padahal langit sudah meminta izin untuk menindihnya, bumi sudah meminta izin untuk menelannya dan laut sudah meminta izin untuk menenggelamkannya.

 

Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad telah disebutkan dari Rasulullah, beliau bersabda,

 

“Tidak ada satu hari pun yang berlalu melainkan laut meminta izin kepada Rabbnya untuk menenggelamkan Bani Adam. Para malaikat juga meminta izin kepadaNya untuk segera menangani dan mematikan mereka. Sementara Allah berfirman, “Biarkanlah hamba-Ku. Aku lebih tahu tentang dirinya ketika Aku menciptakannya dari tanah. Andaikan ia hamba kalian, maka urusannya terserah kalian. Karena ia hamba-Ku, maka ia berasal dari-Ku dan urusannya terserah kepada-Ku. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, jika hamba-Ku datang kepada-Ku pada malam hari, maka Aku menerimanya. Jika ia datang kepada-Ku pada siang hari, maka Aku menerimanya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia berjalan kepada-Ku, aka Aku berlari-lari kecil kepadanya. Jika ia meminta ampun kepada-Ku, maka Aku mengampuninya. Jika ia meminta maaf kepada-Ku, maka Aku memaafkannya. Jika ia bertaubat kepada-Ku, maka Aku menerima taubatnya. Siapakah yang lebih murah hati dan mulia dari-Ku, padahal Akulah yang paling murah hati dan mulia? Pada malam hari hamba-hamba-Ku menampakkan dosa-dosa besar kepada-Ku, padahal Akulah yang melindungi mereka di tempat tidurnya dan Akulah yang menjaga mereka di kasurnya. Siapa yang menghadap kepada-Ku, maka Aku menyambutnya dari jauh. Siapa yang tidak beramal karena Aku, maka Aku memberinya lebih dari tambahan. Siapa yang berbuat dengan daya dan kekuatan-Ku, maka Aku melunakkan besi baginya. Siapa yang menginginkan seperti yang Ku-inginkan, maka Aku pun menginginkan seperti apa yang ia inginkan. Orang-orang yang berdzikir kepadaKu adalah mereka yang ada dalam majlis-Ku. Orang-orang yang bersyukur kepada-Ku adalah mereka yang menginginkan tambahan dari-Ku. Orang-orang yang taat kepada-Ku adalah mereka yang mendapat kemuliaan-Ku. Orang-orang yang durhaka kepada-Ku tidak Kubuat putus asa terhadap rahmat-Ku. Jika mereka bertaubat kepada-Ku, maka Aku adalah kekasih mereka, dan jika mereka tidak mau bertaubat kepada-Ku, maka Aku adalah tabib mereka. Aku akan menguji mereka dengan musibah-musibah, agar Aku mensucikan mereka dari noda-noda'”.”

 

Inabah kepada Allah

 

Seperti yang sudah engkau ketahui, bahwa siapa yang berada di tempat persinggahan taubat, berarti dia berada di seluruh tempat persinggahan Islam, sebab taubat sudah meliputi segalanya. Tapi bagaimana pun juga tempat-tempat persinggahan yang lain ini perlu rincian dan perlu disebutkan, agar ada kejelasan hakekat, kekhususan dan syarat-syaratnya.

 

Jika kaki seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan taubat, maka setelah itu dia beralih ke tempat persinggahan “Inabah” (kembali kepada Allah). Allah telah memerintahkan inabah ini di dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya,

 

“Dan, kembalilah kalian kepada Allah.” (Az-Zumar: 54).

 

Allah juga mengabarkan bahwa yang mau mengambil pelajaran dari ayatayat Allah dan menjadikannya sebagai peringatan adalah orangorang yang kembali kepada-Nya,

 

“Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retakretak sedikit pun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiaptiap hamba yang kembali (kepada Allah).” (Qaf: 6-8).

 

Allah juga mengabarkan bahwa pahala dan surga-Nya diberikan kepada orang-orang yang takut dan kembali kepada-Nya,

 

“Dan, didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), yaitu orang yang takut kepada Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang kembali (kepada Allah). Masukilah surga itu dengan aman.” (Qaf: 31-34).

 

Allah juga mengabarkan bahwa kabar gembira hanya diberikan kepada orang-orang kembali kepada-Nya,

 

“Dan, orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira.” (Az-Zumar: 17).

 

Inabah ada dua macam:

 

  1. Inabah kepada Rububiyah Allah. Ini merupakan inabah-nya semua makhluk, entah orang Muslim atau kafir, orang baik maupun orang jahat “Dan, apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Rabbnya dengan kembali kepada-Nya.” (Ar-Rum: 33).

Ini merupakan hak siapa pun yang berdoa kepada Allah saat dia mendapat bahaya. Inabah ini tidak mengharuskan adanya Islam, karena ini juga meliputi orang-orang musyrik dan kafir. Allah berfirman tentang mereka, “Kemudian apabila Dia merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripadaNya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Rabbnya, sehingga mereka mengingkari rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka.” (Ar-rum: 33-34). Itulah keadaan mereka setelah mereka kembali kepada Allah.

 

  1. Inabah kepada Uluhiyah Allah, dan ini merupakan inabah-nya. Wali-wali Allah, yaitu inabah ubudiyah dan cinta, yang meliputi empat macam: Cinta, tunduk, menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Tidak ada sebutan munib (orang yang ber-inabah) kecuali bagi orang yang menghimpun empat perkara ini.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin (Abu Ismail) menjelaskan, bahwa inabah menurut bahasa adalah kembali kepada kebenaran, yang bisa dibagi menjadi tiga macam:

 

  1. Kembali kepada kebenaran karena ingin perbaikan, sebagaimana kembali kepada kebenaran karena ingin menyatakan kesalahan dan meminta maaf. Karena orang yang bertaubat telah kembali kepada Allah dengan menyatakan kesalahannya dan membebaskan diri dari kedurhakaan kepada-Nya, maka untuk menyempurnakan hal ini dia harus kembali kepada Allah dengan usaha dan nasehat agar dia senantiasa taat kepadaNya. Tidak ada artinya taubat sambil duduk ongkang-ongkang tanpa usaha. Jadi harus ada taubat dan amal shalih, dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah dan mengerjakan apa yang dicintai-Nya, sebagaimana firman-Nya, “…kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Furgan: 70).

 

Kembali kepada Allah menjadi benar dengan tiga cara:

 

– Keluar dari dosa dan kesalahan. Caranya dengan taubat dari dosa antara hamba dengan Allah dan memenuhi hak manusia.

 

– Menderita atas kesalahan yang dilakukannya dan hatinya merasa sesak. Sebab ini merupakan tanda orang yang kembali kepada Allah. Berbeda dengan orang yang hatinya tidak pernah merasa sesat dan tidak pula menderita karena kesalahannya, yang sekaligus menunjukkan kerusakan hatinya. Bahkan dia juga menderita jika ada orang lain yang melakukan kesalahan, seakan-akan dialah yang melakukannya.

 

– Mencari-cari ketaatan dan tagarrub yang tidak dilakukannya, terlebih lagi jika dia merasa sisa umurnya tinggal sedikit, sehingga dia akan menghidupkan apa yang dia matikan dan mencari apa yang tertinggal.

 

  1. Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi hak, sebagaimana ia kembali karena ingin menepati perjanjian dengan-Nya. Engkau kembali kepada Allah, pertama-tama dengan masuk ke dalam ikatan perjanjian, dan kedua kalinya engkau memenuhi perjanjian itu. Semua sisi agama merupakan perjanjian dan pemenuhan. Allah telah membuat perjanjian dengan semua mukallaf agar mereka taat kepada-Nya. Dia membuat perjanjian dengan para nabi dan rasul lewat perkataan para malaikat atau secara langsung, membuat perjanjian dengan umat manusia lewat para rasul, membuat perjanjian dengan orang-orang yang bodoh lewat para ulama, membuat perjanjian dengan para ulama lewat belajar dan mengajar. Untuk itu Allah memuji orang-orang yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar,

 

“Dan, barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath: 10).

 

“Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji.” (An-Nahl: 91).

 

Perjanjian dengan Allah ini mengharuskan adanya pemenuhannya secara ikhlas, disertai iman dan ketaatan kepada-Nya serta pemenuhan janji dengan manusia. Nabi telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda kemunafikan adalah mengkhianati janji. Tidak ada artinya seseorang kembali kepada Allah jika dia mengkhianati janji, begitu pula jika dia tidak masuk ke dalam perjanjian dengan-Nya. Sebab inabah tidak akan terwujud kecuali dengan membuat perjanjian dengan Allah dan sekaligus memenuhinya.Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi janji dapat menjadi benar dengan tiga cara:

 

– Membebaskan diri dari kenikmatan dosa. Jika inabah kepada Allah benar-benar tulus, maka kenikmatan dosa juga akan hilang dari pikiran dan hati, yang kemudian diisi dengan kegelisahan dan kegundahan karena ingat dosa itu. Selagi di dalam hatinya masih ada kenikmatan dosa itu, berarti inabah-nya belum murni. Ada yang mengatakan, jiwa itu mempunyai tiga kondisi: Perintah melakukan dosa, mencela dan menyesali dosa, rasa tentram saat berhadapan dengan Allah. Kondisi yang ketiga ini merupakan sasaran dan target yang dikehendaki orang-orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah, keadaannya seperti orang yang mengadakan perjalanan jauh dan ingin kembali ke tempatnya. Selagi dia sudah melihat bayang-bayang rumahnya, maka hatinya menjadi tenang.

 

– Tidak mengabaikan orang-orang yang lalai karena waspada dan takut terhadap mereka, dan berharap untuk diri sendiri. Engkau berharap kebaikan untuk diri sendiri. Engkau mengharapkan rahmat bagi dirimu dan takut terhadap orang-orang yang lalai lagi menderita. Tapi tetaplah mengharap rahmat bagi mereka dan takutlah penderitaan bagi dirimu. Kalau perlu celalah mereka jika memang engkau menge tahui keadaan mereka.

 

– Mencermati kekurangan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan memeriksa hal-hal yang mengotori amalnya, yang boleh jadi amalnya lebih banyak dilandasi nafsu, sementara engkau tidak menyadarinya. Berapa banyak penyakit dan tujuan-tujuan yang mendekam di dalam jiwa, yang menghambat amal. Sebab ada seseorang melakukan suatu amal yang tidak diketahui orang lain, namun dia melakukannya tidak secara ikhlas karena Allah, sementara ada orang lain yang melakukan suatu amal namun dia melakukannya secara ikhlas karena Allah. Tidak ada yang bisa membedakan dua keadaan ini kecuali orang yang memiliki bashirah. Antara amal dan hati terdapat jarak perjalanan, yang di sana ada para perampok yang akan menghalangi amal agar tidak sampai ke hati. Adakalanya seseorang banyak amalnya, namun tidak sampai ke hati, sehingga tidak menghasilkan cinta, rasa takut, berharap, zuhud di dunia dan hanya mengharapkan akhirat, tidak ada cahaya yang bisa membedakan dirinya antara wali Allah ataukah wali musuh-Nya. Andaikan pengaruh amal ini sampai ke hati, maka di dalamnya akan muncul cahaya, sehingga membuat dirinya tahu mana yang hag dan mana yang batil. Kemudian antara hati dan Allah juga ada jarak perjalanan, yang di sana ada para perampok yang akan menghalangi amal agar tidak sampai kepada-Nya, berupa ujub, takabur, membanggakan amal dan mencemooh amal orang lain. Di sana ada banyak penyakit, yang andaikan dia memeriksanya, tentu akan terheran-heran sendiri. Namun di antara rahmat Allah, Dia menutupi penyakit-penyakit hati ini.

 

  1. Kembali kepada Allah secara seketika, sebagaimana dorongan untuk memenuhi seruan, yang bisa menjadi benar dengan tiga cara:

 

– Merasa putus asa terhadap amal yang dilakukan. Hal ini bisa ditafsiri dengan dua macam penafsiran: Pertama, dengan melihat pelaku yang sebenarnya dan penggerak pertama. Kalau bukan karena kehendak-Nya, maka tidak ada perbuatan yang muncul dari dirimu. Karena kehendakNyalah ada perbuatanmu, dan itu bukan karena semata kehendakmu sendiri. Kedua, merasa putus asa akan mendapatkan keselamatan karena amal diri sendiri. Engkau melihat keselamatan ini hanya berasal dari rahmatAllah dan karunia-Nya. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah gs, beliau bersabda,

 

“Sekali-kali seseorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya”. Mereka bertanya, “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”

 

– Merasakan adanya kebutuhan secara terus-menerus. Apabila pada awal mula seorang hamba merasa putus terhadap amalnya, lalu akhirnya dia merasa putus asa terhadap keselamatannya, maka dia akan merasa membutuhkan Allah, dalam segala hal. Sifat kekayaan hanya milik Allah dan sifat kemiskinan menjadi milik hamba.

 

– Merasakan kasih sayang Allah terhadap dirimu. Jika engkau sudah melihat kekuatan yang hanya dimiliki Allah dan engkau merasa putus asa terhadap amalmu sendiri, maka engkau akan melihat bagaimana kasih sayang Allah yang diberikan kepadamu. Allahlah yang berbuat baik dengan menciptakan sebab akibat, dan yang semua urusan ada di Tangan-Nya.

 

Tadzakkur dan Tafakkur

 

Tadzakkur artinya mengambil pelajaran dan tafakkur berarti memikirkan atau mengamati. Tadzakkur yang menjadi tempat persinggahan hati merupakan pasangan inabah. Allah berfirman,

 

“Dan, tiadalah yang mau mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).” (Al-Mukmin: 13).

 

Tadzakkur ini merupakan sifat yang khusus bagi orang-orang yang mau berpikir dan berakal, sebagaimana firman-Nya,

 

“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19).

 

Tadzakkur dan tafakkur merupakan dua tempat persinggahan yang membuahkan berbagai macam ma’rifat, hakekat iman dan kebajikan. Orang yang memiliki ma’rifat senantiasa mengembalikan tadzakkur kepada tafakkur, dan mengembalikan tafakkur kepada tadzakkur, hingga dapat membuka gembok hatinya.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin menjelaskan bahwa tadzakkur setingkat di atas tafakkur. Sebab tafakkur merupakan pencarian, sedangkan tadzakkur merupakan wujud. Maksudnya, tafakkur adalah mencari tujuan semenjak dari permulaannya, seperti yang dikatakan dalam pepatah, “Tafakkur adalah mencari bisikan hati, untuk mengetahui keinginannya.” Tadzakkur merupakan wujud, karena ia ada setelah ada tafakkur, yang bisa hilang karena lupa. Jika ingat, maka tadzakkur ini pun ada.

 

Tadzakkur merupakan kata aktiva dari dzikr (ingat), kebalikan dari lupa. Artinya hadirnya gambaran sesuatu yang diingat dan diketahui di dalam hati. Kedudukan tadzakkur di samping tafakkur sama dengan kedudukan perolehan sesuatu yang dituntut setelah memeriksa dan menyelidikinya. Karena itu ayatayat Allah yang dibaca dan dapat disaksikan merupakan peringatan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-Nya yang dibaca, “Dan, sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan Kami wariskan Taurat kepada Bani Israel, agar menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir.” (Al-Mukmin: 53-54).

 

Allah berfirman dalam ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan,

 

“Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).“ (Qaf: 6-8).

 

Manusia ada tiga macam:

 

  1. Orang yang hatinya mati dan seakan-akan dia tidak mempunyai hati. Ayat Allah tidak akan menjadi peringatan bagi hati ini.

 

  1. Orang yang mempunyai hati yang hidup dan siap, namun ia tidak memperhatikan ayat-ayat Allah yang dibaca, yang mengabarkan ayat-ayatNya yang dapat disaksikan, entah karena ayat-ayat itu memang tidak sampai kepadanya, karena dia sibuk dengan hal-hal yang lain, entah karena sebab lain. Orang seperti ini hatinya pergi entah ke mana dan tidak ada di tempat. Hati ini juga tidak mempan oleh peringatan, sekalipun sebenarnya ia siap.

 

  1. Orang yang hatinya benar-benar hidup dan siap. Bila ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, maka ia pun menyimak dengan pendengarannya, menghadirkan hatinya, sibuk memahami apa yang didengarnya. Hati seperti inilah yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat yang dibaca maupun ayat-ayat yang disaksikan.

 

Orang pertama seperti orang buta yang sama sekali tidak bisa melihat. Orang kedua seperti orang yang dapat melihat, namun arahnya tidak tepat pada sasaran yang mestinya dilihat. Dua orang ini sama-sama tidak bisa melihat Allah. Orang ketiga seperti orang yang dapat melihat dan memusatkan pandangan ke sasarannya, baik dari jarak yang dekat maupun jauh. Inilah orang yang dapat melihat Allah. Mahasuci Allah yang menjadikan kalam-Nya obat penyembuh dari penyakit yang menghimpit dada.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin menjelaskan bahwa bangunan tadzakkur itu ada tiga macam:

 

  1. Mengambil manfaat dari izhah. Maksud izhah di sini adalah perintah dan larangan, yang lebih dikenal dengan istilah at-targhib wat-tarhib. Izhah ada dua macam: Izhah dengan pendengaran dan dengan penglihatan. Izhah dengan pendengaran ialah mengambil manfaat dari petunjuk dan nasehat yang didengar, yang disampaikan para rasul atau apa yang diwahyukan kepada mereka, atau dari siapa pun yang menyampaikan nasehat, demi kemaslahatan agama dan dunia. Sedangkan izhah dengan penglihatan jalah mengambil manfaat dari apa pun di dunia ini yang bisa dilihat dari tanda-tanda kekuasaan Allah dan yang menunjukkan kebenaran para rasul.

 

Mengambil manfaat dari izhah tidak bisa dilakukan kecuali setelah ada tiga perkara: Sangat membutuhkan izhah itu, tidak melihat aib pemberi izhah dan mengingat janji serta ancaman.

 

  1. Mencari kejelasan lewat pelajaran. Karena tadzakkur itu berarti mencermati makna-makna yang diperoleh dengan memikirkan ayat-ayat dan pelajaran, maka ftadzakkur’ ini bisa didapatkan dengan tafakkur. Sementara tekad untuk melanjutkan perjalanan tergantung pada kekuatan pengetahuan tentang perjalanannya, sebab pengetahuan inilah yang memberi batasan gerak dan tujuan. Jika perasaan terhadap kekasih semakin kuat, maka perjalanan hati pun juga menjadi tegar. Jika pikiran terpusat ke perjalanan ini, maka perasaan juga semakin terarah kepadanya.

 

Mencari kejelasan dengan pelajaran ini dapat dilakukan dengan tiga perkara: Dengan akal yang hidup, mengetahui lamanya perjalanan, dan selamat hingga sampai ke tujuan.

 

  1. Mencari buah pikiran. Ini merupakan masalah yang sangat lembut dan sensitif. Pikiran itu mempunyai dua buah: Mendapatkan apa yang dicari secara utuh sebisa mungkin, dan berbuat sebagaimana lazimnya untuk memenuhi hak. Saat hati sedang memikirkan, maka boleh jadi bebannya terlalu berat sehingga menghambatnya untuk memperoleh apa yang diinginkan. Jika hati sudah kembali normal dan akal menjadi tenang, maka ia kembali seperti keadaan semula dan ingat lagi apa yang dicarinya. Memang masalah ini agak rumit untuk dipahami. Tapi sekadar sebagai gambaran, orang yang mencari harta tentu terus bersemangat dan bersungguh-sungguh mencarinya, sekalipun dia dalam keadaan letih dan penat. Jika dia sudah mendapatkannya, maka dia pun merasa tenang dan pulang sambil membawa keuntungan perdagangannya. Jika dia orang yang benar, maka dia akan membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya.

 

Buah pikiran bisa dipetik dengan tiga cara: Tidak mengumbar harapan, menyimak Al-Our an, dan meninggalkan lima perkara yang merusak hati: Tidak banyak bergaul, tidak mengumbar angan-angan, tidak bergantung kepada selain Allah dan mengurangi makan serta sedikit tidur.

 

Karena ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dari ladzakkur, maka kami akan mengupasnya dengan porsi yang lebih banyak.

 

Tidak mengumbar harapan artinya menyadari tentang dekatnya perjalanan dan begitu singkatnya tempo kehidupan. Ini merupakan perkara yang paling bermanfaat bagi hati, karena yang demikian ini bisa mendorong seorang hamba untuk mengefektifkan waktu yang terus berlalu seperti awan dan untuk segera membalik lembaran-lembaran hidupnya, menggugah hasratnya kepada akhirat, mendorongnya untuk segera menyentuh garis finish dan berzuhud di dunia, pandangannya hanya tertuju ke akhirat. Dengan begitu di dalam hatinya ada kesaksian yang memberi keyakinan tentang dunia yang fana dan begitu cepat ia berlalu serta tertinggal di belakang. Di hadapannya terpampang akhirat yang kekal dan semua akan menuju ke sana. Sebagai bukti agar harapan ini tidak diumbar adalah firman Allah.

 

“Dan (ingatlah) akan hari (yang pada waktu itu)Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa pada hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari (pada waktu itu) mereka saling berkenalan.” (Yunus: 45).

 

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Nazi at: 46).

 

Pada suatu sore ketika matahari berada di pucuk bukit, Rasulullah berpidato di hadapan para shahabat,

 

“Sesungguhnya tidak ada yang menyisa dari dunia yang sudah berlalu melainkan seperti apa yang menyisa dari hari kalian yangsudah berlalu ini.”

 

Ketika beliau sedang melewati sebagian shahabat yang sedang memperbaiki gubuk mereka yang sudah reyot, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Kami sedang memperbaiki gubuk milik kami.” Beliau bersabda, “Aku tidak melihat urusan hidup ini melainkan lebih cepat rusaknya daripada gubuk kalian ini.”

 

Tidak mengumbar harapan ini didasarkan pada dua hal: Pertama, meyakini kefanaan dunia dan perpisahan dengannya. Kedua, kekekalan akhirat dan kepastian bersua dengannya. Kemudian dua perkara ini dibandingkan, dan tentukan mana yang lebih dipentingkan.

 

Menyimak Al-Qur’an artinya memusatkan perhatian hati ke maknamaknanya, memusatkan pikiran untuk mengamati dan memikirkannya. Inilah maksud diturunkannya Al-Qur’an, dan bukan sekadar membacanya tanpa pemahaman, pendalaman dan perhatian. Firman-Nya,

 

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan barakah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunya pikiran. “(Shad: 29).

 

Al-Hasan berkata, “Al-Qur’an diturunkan agar diperhatikan dan diamalkan. Maka amalkanlah apa yang kalian baca.”

 

Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba di dunia dan di akhirat serta yang lebih dekat dengan keselamatannya selain dari mendalami dan memperhatikan Al-Qur’an serta memikirkan makna ayat-ayatnya, karena makna-makna ini akan menunjukkan tanda-tanda kebaikan dan keburukan dengan segala hiasannya, menunjukkan jalan, sebab dan buah kebaikan dan keburukan, menyodorkan kunci-kunci simpanan kebahagiaan dan ilmu yang bermanfaat, meneguhkan sendi-sendi iman di dalam hati, mengokohkan bangunannya, memperlihatkan gambaran dunia dan akhirat, surga dan neraka, memperlihatkan keadaan berbagai umat, keadilan Allah dan karunia-Nya, Dzat, sifat, asma dan perbuatan-Nya, apa-apa yang dicintai dan dibenci-Nya, menunjukkan jalan yang menghantarkan kepada-Nya, penghambatpenghambat jalan dan ujiannya, memperlihatkan tingkatan-tingkatan orang yang berbahagia dan menderita, macam-macam manusia dan golongannya. Secara umum makna-makna Al-Qur’an ini memperkenalkanAllah yang diseru danjalan yang menghantarkan kepada-Nya.

 

Kebalikan dari hal-hal di atas, makna-maknaAl-Our an juga menunjukkan apa yang diserukan setan, jalan yang menghantarkan kepadanya, dan akibat yang bakal diterima orang yang memenuhi seruan ini, berupa kehinaan dan siksaan setelah dia sampai kepadanya.

 

Inilah perkara-perkara yang perlu diperhatikan hamba, agar dia bisa mengetahui akhirat seakan-akan dia berada di sana dan tidak lagi berada di dunia ini, bisa membedakan mana yang hag dan mana yang batil dalam perkaraperkara yang diperselisihkan, sehingga yang hag benar-benar hag dan yang batil benar-benar batil, memberinya cahaya untuk membedakan petunjuk dan kesesatan, jalan lurus dan jalan menyimpang, memberikan kekuatan di dalam hati, kehidupan, kelapangan dan kegembiraan.

 

Makna-makna Al-Qur’an berkisar pada masalah tauhid dan penjelasanpenjelasannya, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat kesempurnaanNya, sifat-sifat kekurangan yang dijauhkan dari-Nya, pengenalan hak-hak hamba dan hakhak yang mengutus mereka, iman kepada malaikat yang merupakan utusan Allah dalam menangani urusan alam atas dan alam bawah, khususnya segala urusan manusia, apa yang telah disiapkan Allah bagi musuh-musuh-Nya, berupa kampung siksaan, yang di dalamnya sama sekali tidak ada kegembiraan dan kesenangan, rincian perintah dan larangan, syariat dan gadar, halal dan haram, nasehat dan peringatan, kisah-kisah dan permisalan, sebab-sebab, hukum, prinsip, tujuan dan lain-lainnya.

 

Adapun lima perkara yang merusak hati adalah: Banyak bergaul/ bercanda dengan manusia, mengumbar harapan, bergantung kepada selain Allah, kenyang dan banyak tidur.

 

Ketahuilah bahwa hati itu dalam perjalanan kepada Allah dan kampung akhirat. Jalan yang benar sudah ditunjukkan, begitu pula ujian jiwa dan amal, penghambat-penghambat jalan yang dapat disingkirkan dengan cahaya, kehidupan dan kekuatannya, dengan kesehatan pendengaran dan penglihatannya. Lima perkara inilah yang akan memadamkan cahaya hati, menutupi penglihatan dan menyumbat pendengarannya, membuatnya bisu dan tuli, melemahkan kekuatannya, menggerogoti kesehatannya dan menghentikan tekadnya. Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya kesakitan.

 

Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah dan mencintai-Nya, merasa tentram saat menyebutNya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga. Dengan begitu dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki sebelum dia memasuki surga yang pertama.

 

Kami pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memasuki surga di akhirat.” Sebagian orang arif berkata, “Harihari telah berlalu dan dapat dirasakan hati. Maka saya katakan, Jika para penghuni surga seperti ini keadaannya, tentunya mereka benar-benar dalam kehidupan yang sangat menyenangkan.”

 

Sebagian yang lain berkata, “Para penghuni dunia yang celaka keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatan sedikit pun yang ada di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Lalu apakah yang paling nikmat di dunia?” Dia menjawab, “Mencintai Allah, bersama-Nya, kerinduan berdua dengan-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari hal-hal selain-Nya.”

 

Lima perkara ini menjadi penghalang antara hati dan Allah, menghambat perjalanannya dan menimbulkan penyakit di dalamnya. Inilah uraiannya.

 

  1. Terlalu banyak bergaul dan bercanda dengan manusia. Hal ini bisa memenuhi hati dengan polusi napas Bani Adam, sehingga hati mereka menjadi hitam, lalu menimbulkan perselisihan, kepekatan, perpecahan dan beban yang berat untuk dipikul. Akibat yang ditanggungnya adalah gesekan dengan teman-teman yang jahat, banyak kemaslahatannya yang terbuang sia-sia, sibuk dengan urusan mereka, pikiran terpecah untuk memenuhi berbagai macam keinginan dan tuntutan mereka. Jika seperti ini keadaannya, lalu apa yang menyisa bagi Allah dan kampung akhirat? Pergaulan yang didasari cinta dunia dan ambisi ini bisa berubah menjadi permusuhan jika semua hakekat terkuak, sehingga menimbulkan penyesalan bagi sebagian di antara mereka. Yang lebih celaka lagi, jika penyesalan ini terasa setelah di akhirat. Firman Allah, “Teman-teman akrab pada hari itu, sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67).

 

“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan Fulan itu teman akrabl(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan, adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furgan: 27-29).

 

Inilah keadaan orang-orang yang bersekutu untuk mendapatkan suatu tujuan. Mereka senantiasa tampak saling bahu-membahu dan menyayangi untuk mendapatkan tujuan itu. Jika ternyata tujuan itu meleset, maka yang ada tinggal penyesalan, kesedihan dan penderitaan. Kasih sayang itu pun berubah menjadi kebencian, kutukan dan celaan sebagian terhadap sebagian yang lain. Cukup banyak bukti tentang hal ini. Untuk mencari keseimbangan dalam masalah pergaulan ini atau pergaulan yang bermanfaat ialah bergaul dengan manusia dalam kebaikan, seperti menghadiri shalat Jum’at, jama’ah, haji, mempelajari ilmu, berjihad, nasehat-menasihati, menjauhi mereka dalam keburukan dan hal-hal mubah yang kelewatan. Jika seseorang terpaksa harus bergaul dengan mereka dalam keburukan dan tidak mungkin untuk menghindar, maka dia harus waspada agar jangan sampai menyerupai mereka dan dia harus bersabar menghadapi gangguan mereka. Sebab sudah selayaknya jika mereka mengganggunya, terlebih jika dia tidak mempunyai kekuatan dan pendukung. Sebab jika dia berbuat seperti yang mereka perbuat, hanya akan mendatangkan kehinaan dan celaan orang-orang Mukmin dan Allah.

 

  1. Mengarungi hamparan lautan harapan dan angan-angan yang tidak bertepi. Ini merupakan lautan yang diarungi orang yang bangkrut, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah, “Angan-angan merupakan modal orang yang bangkrut.” Barang dagangan para penumpangnya adalah janji-janji setan dan hayalan yang menipu. Gelombang anganangan dusta dan hayalan batil terus bergulung-gulung, mempermainkan penumpang, seperti anjing yang mempermainkan bangkai. Angan-angan ini disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ada yang berangan-angan memegang kekuasaan, ada yang berangan-angan memiliki harta yang menumpuk, memiliki istri-istri yang cantik dan lain sebagainya. Setiap orang menciptakan di dalam jiwanya gambaran yang diinginkannya. Seakan-akan dia beruntung mendapatkannya. Tapi ketika dia tersadar, ternyata tangannya hampa dan hanya memegang bantal.

 

Tapi orang yang memiliki hasrat yang tinggi, maka angan-angannya berkisar pada ilmu dan iman serta amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dikatakan dalam syair,

 

“ Angan-anganku adalah iman, hikmah dan cahaya, sedang angan-angan mereka adalah tipuan belaka.“

 

Nabi telah memuji orang yang mengangan-angankan kebaikan, sehingga dalam kondisi tertentu, dia mendapatkan pahala seperti pahala yang didapatkan orang yang mengerjakan kebaikan itu, seperti perkataannya, “Andaikan aku mempunyai harta yang melimpah, tentu aku akan membelanjakannya seperti yang dilakukan Fulan karena Allah semata, digunakan untuk menyambung tali persaudaraan dan menshadagahkannya menurut haknya.”

 

  1. Bergantung kepada selain Allah. Ini merupakan perusak hati yang paling besar dan tidak ada yang lebih berbahaya selain dari hal ini, tidak ada yang lebih menghambat kemaslahatan dan kebahagiaannya selain dari hal ini. Jika hati bergantung kepada selain Allah, maka Allah menyerahkannya kepada sesuatu yang dijadikan sebagai gantungannya. Padahal apa yang dijadikan sebagai gantungan itu dihinakan Allah dan dia tidak mendapatkan maksudnya karena dia beralih kepada selain Allah, sehingga dia tidak mendapatkan apa yang ada di sisi Allah dan tidak mendapatkan dari apa yang dijadikannya sebagai gantungan seperti yang diharapkannya. Firman Allah,

 

“Dan, mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sernbahansembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (para pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka.” (Maryam: 81-82).

 

Orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah. Orang yang bergantung kepada selain Allah seperti orang yang berlindung dari panas dan dingin dengan rumah laba-laba, karena rumah laba-laba merupakan rumah yang paling rapuh. Secara umum, landasan dan fondasi syirik adalah bergantung kepada selain Allah, sehingga pelakunya mendapat kehinaan dan celaan.

 

“Janganlah kamu adakan sesembahan yang lain disamping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).“ (Al-Isra :22).

 

  1. Perusak hati yang keempat adalah makanan yang berlebihan. Ada dua macam kaitannya dengan makanan ini: Pertama, jenis makanannya itu sendiri seperti makanan yang diharamkan. Makanan yang diharamkan ini juga ada dua macam: Yang haram menurut hak Allah, seperti bangkai, darah, babi, binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam. Yang haram menurut hak manusia, seperti barang curian dan yang diambil tidak berdasarkan ridha pemiliknya. Kedua, makanan yang merusak karena pertimbangan porsi dan jumlahnya serta yang melebihi batasnya, seperti berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan yang halal dan makan terlalu kenyang, karena bisa memberatkannya untuk mengerjakan ketaatan dan membuatnya sibuk dengan urusan makanan semata, sehingga bisa membuat badannya menjadi gemuk dan menguatkan dorongan syahwat, yang berarti membukajalan yang lapang bagi setan. Sebab setan bisa menyusup ke dalam tubuh manusia lewat aliran darahnya. Maka tidak heran jika puasa mempersempit dan menghalangi jalannya, sementara perut kenyang melapangkan jalan bagi setan. Siapa yang makan banyak dan minum banyak, membuatnya banyak tidur, lalu banyak menyesal. Di dalam hadits yang masyhur telah disebutkan sabda Nabi

 

“Tidaklah seorang anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang bisa menegakkan tulang sulbinya. Jikalau memang harus berbuat, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk napasnya.”

 

Dikisahkan bahwa Iblis muncul di hadapan Yahya bin Zakaria ya. Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa berbuat sesuatu terhadap aku?”

 

Iblis menjawab, “Tidak. Hanya saja suatu malam ada makanan yang dihidangkan kepadamu. Lalu aku membuat makanan itu tampak lezat, sehingga engkau memakannya hingga kenyang, lalu engkau tertidur dan tidak melakukan wirid.”

 

Maka Yahya berkata, “Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan makan hingga kenyang.”

 

Iblis berkata, “Dan aku, demi Allah, sekali-kali tidak akan memberi nasehat kepada anak Adam.”

 

  1. Banyak tidur. Karena banyak tidur membuat badan terasa berat, membuang-buang waktu secara percuma, mengakibatkan lalai dan malas serta hal-hal makruh lainnya. Yang pasti, banyak tidur tidak bermanfaat bagi badan. Sedangkan tidur yang paling bermanfaat ialah jika memang diperlukan untuk tidur. Tidur pada awal malam lebih baik dan lebih bermanfaat daripada tidur pada akhir malam, dan tidur tengah malam lebih bermanfaat daripada dua tepinya. Yang paling banyak bahayanya adalah tidur sehabis ashar dan pada pagi hari, kecuali jika pada malam harinya berjaga.

 

Yang dimakruhkan adalah tidur setelah shalat subuh hingga matahari terbit, karena waktu ini seperti barang rampasan perang. Bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah, waktu ini mempunyai banyak keutamaan. Sehingga sekalipun sepanjang malam mereka berjaga, maka mereka tidak akan menggunakan waktu ini untuk duduk-duduk saja, hingga terbitnya matahari, karena ini merupakan awal siang dan kuncinya, waktu turunnya rezeki dan datangnya barakah.

 

Secara umum, tidur yang paling bermanfaat ialah pada tengah malam yang pertama dan seperenam yang terakhir, yang kira-kira selama delapan jam. Inilah waktu tidur yang paling efektif menurut ilmu kedokteran. Jika kurang atau lebih, tentu akan berpengaruh terhadap tabiat manusia. Sedangkan tidur yang tidak bermanfaat adalah pada awal malam setelah matahari tenggelam.

 

I’tisham I’tisham artinya berpegang teguh. I’tisham ini ada dua macam: I’tisham kepada Allah dan i’tisham kepada tali Allah. Firman-Nya,

 

“Dan, berpeganglah kalian kepada Allah. Dia adalah pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (AlHajj: 78).

 

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103).

 

I’tisham merupakan kata aktiva dari ishmah (perlindungan), yang berarti berpegang kepada sesuatu yang melindungimu dan menjagamu dari sesuatu yang ditakuti atau dihindari. Maka terkadang benteng juga bisa disebut awashim, karena ia berfungsi menjaga dan melindungi.

 

Poros kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat adalah berpegang atau berlindung kepada Allah dan kepada tali Allah. Tidak ada keselamatan kecuali dengan dua perlindungan ini. Berpegang kepada tali Allah artinya berlindung dari kesesatan. Sedangkan berpegang kepada Allah artinya berlindung dari kebinasaan. Orang yang berjalan kepada Allah seperti orang yang sedang meniti suatu jalan menuju ke tempat tujuannya. Berarti dia membutuhkan penunjuk jalan dan keselamatan dalam perjalanannya. Dia tidak akan sampai ke tujuan kecuali dengan dua cara ini. Adanya petunjuk sudah cukup untuk menjaganya agar tidak tersesat dan sekaligus memberinya petunjuk jalan yang harus dilalui, begitu pula persiapan, kekuatan dan peralatan yang dapat melindunginya dari penghalang di tengah perjalanan.

 

Berpegang kepada tali Allah mengharuskan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk dan keharusan mengikuti dalil. Sedangkan berpegang kepada Allah mengharuskannya memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan serta perangkat yang mendukung keselamatannya dijalan.

 

Karena itu ungkapan orang-orang salaf tentang berpegang kepada tali Allah ini bermacam-macam. Tapi yang pasti setelah mereka mengisyaratkan kepada makna ini.

 

Menurut Ibnu Abbas, artinya berpegang kepada agama Allah.

 

Menurut Ibnu Mas’ud, artinya jama’ah. Dia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti jama’ah, karenajama’ah adalah tali Allah yang diperintahkan-Nya. Apa yang kalian benci dalam jama’ah dan ketaatan, masih lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan.”

 

Menurut Mujahid dan Atha’, artinya membuat perjanjian dengan Allah. Sedangkan menurut Oatadah dan mayoritas mufassir, artinya adalah Al-Qur’an.

 

Ibnu Mas’ud mengatakan dari Rasulullah, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah tali Allah, cahaya yang terang benderang, obat penyembuh yang bermanfaat, perlindungan bagi siapa yang berpegang kepadanya dan keselamatan bagi siapa yang mengikutinya.”

 

Ali bin Abu Thalib mengatakan dari Rasulullah tentang Al-Qur’an, “la adalah tali Allah yang kokoh, dzikir kepada Dzat Yang Maha Bijaksana, jalan yang lurus, yang tidak luntur karena hawa nafsu, yang tidak berbedabacaannya, tidak berubah karena banyak yang menolak dan tidak membuat para ulama merasa kenyang.”

 

Mugatil berkata, “Artinya, berpeganglah kepada perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya, janganlah kalian berpecah belah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.”

 

Di dalam Al-Muwaththa’ disebutkan dari hadits Malik, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara bagi kalian dan memurkai tiga perkara bagi kalian. Dia meridhai bagi kalian: Jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, berpegang kepada tali Allah semuanya dan menyampaikan nasehat kepada orang yang diangkat Allah menjadi wali urusan kalian. Dia murka bagi kalian: Kata-mengatai, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya.” (Diriwayatkan Muslim). Pengarang Manazilus Sa’irin menjelaskan, bahwa i’tisham kepada tali Allah artinya menjaga ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya. Dengan kata lain, taat kepada-Nya secara tulus, karena Allah memerintahkannya dan mencintainya, bukan karena mengikuti tradisi atau karena alasan tertentu. Inilah makna iman dan mencari pahala di sisi Allah seperti yang diibaratkan Nabi dalam sabdanya, “Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mencari pahala di sisi Allah, dan siapa yang mendirikan shalat pada lailatul-gadar karena iman dan mencari pahala di sisi Allah, maka dosa-dosanya diampuni.”

 

Sedangkan i’tisham kepada Allah artinya tawakal, berlindung, pasrah, memohon agar Dia menjaga dan memelihara. Di antara buah i’tisham adalah pertolongan Allah terhadap hamba. Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, i’tisham kepada Allah artinya melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah:

 

I’tisham kepada Allah ini mempunyai tiga derajat:

 

  1. I’tisham-nya orang-orang awam, yaitu mereka yang berpegang kepada pengabaran, dengan meyakini janji dan ancaman, mengagungkan perintah dan larangan, yang melandaskan mu’amalah kepada keyakinan dan keadilan. Dengan kata lain, orang-orang awam itu berpegang kepada pengabaran yang disebutkan dari Allah, menerimanya secara utuh tanpa ada penentangan, dengan penuh iman, yang membuat mereka mengagungkan perintah dan larangan, membenarkan janji dan peringatan. Mereka melandaskan mu amalah kepada keyakinan dan sama sekali tidak ada keraguan.

 

Ada yang berkata, “Ahli nujum dan tabib menganggap bahwa jasad manusia tidak akan dibangkitkan lagi. Saya katakan, “Itu terserah apa pendapatmu. Kalau memang pendapatmu benar, aku pun tidak merasa rugi, karena kerugian itu akan menjadi milikmu.” Keadilan yang menjadi dasar mu amalah mereka, maksudnya adil dalam bermu’amalah dengan Allah dan dengan manusia. Adil dalam bermu amalah dengan Allah ialah melakukan ubudiyah sesuai dengan haknya, tidak memberikan sifat-sifat Uluhiyah yang tidak semestinya, tidak bersyukur kepada selain-Nya atas nikmat-nikmat yang diterimanya dan tidak menyembah selain-Nya. Dalam atsar Ilahi disebutkan, “Aku, jin dan manusia berada dalam pengabaran yang besar. Akulah yang menciptakan, namun selain-Ku yang disembah. Akulah yang memberi rezeki, namun selain-Ku yang disyukuri.” Dalam atsar lain disebutkan, “Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepadaKu. Kebaikan-Ku turun kepadamu namun keburukanmu naik kepada-Ku. Apakah kamu menyukai nikmat, padahal Aku tidak membutuhkan kamu, dan kamu membuatku murka karena kedurhakaan, padahal kamu membutuhkan Aku. Malaikat yang mulia senantiasa naik kepada-Ku melaporkan amalmu yang buruk.” Sedangkan adil dalam bermu amalah dengan hamba, ialah memperlakukan mereka dengan cara yang dia pun suka jika diperlakukan seperti itu. Yang dikatakan tentang i’tisham-nya orang-orang awam ini pada hakekatnya juga merupakan i’tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tapi masalah ini tidak perlu dipermasalahkan.

 

  1. Adapun i’tisham-nya orang-orang khusus ialah dengan memutuskan.

 

Artinya menjaga kehendak dan menahannya, menolak hal-hal yang berkaitan dengan selain Allah dan membaguskan akhlak. Hal ini juga disebut dengan istilah “Berpegang kepada tali yang kokoh”.

 

Menolak segala kaitan (dengan selain Allah) harus dilakukan secara lahir dan batin. Tapi prinsipnya adalah memutus kaitan batin. Jika kaitan batin diputuskan, maka kaitan zhahirnya tidak akan berbahaya. Jika ada harta di tanganmu, namun harta itu tidak ada di hatimu, maka ia tidak akan berbahaya, sekalipun jumlahnya banyak.

 

Al-Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah seseorang bisa disebut orang zuhud jika dia memiliki seribu dinar?” Dia menjawab, “Bisa, tapi dengan syarat, dia tidak merasa senang karena jumlah itu semakin bertambah, dan tidak sedih jika ia semakin sedikit. Karena itu para shahabat adalah orang-orang yang paling zuhud, meskipun di tangan mereka ada harta benda yang melimpah.”

 

  1. Adapun i tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan menyambung. Artinya menyambung hubungan dan mendekatkan diri kepada Allah secara sendirian tanpa perantaraan apa pun.

 

Pada tingkatan ini ada kehendak, cinta, pengagungan, ketakutan, pengharapan dan tawakal. Dalam hubungan antara hamba dan Rabb-nya hampir tidak ada perantara dan pembatas sedikit pun. Di sini hamba memenuhi seruan dengan senang hati dan penuh cinta, bukan karena terpaksa, seakan ada keterpaduan antara hati yang mencintai dan ruhnya, lalu menyatu dengan kekasihnya.

 

Firar dan Riyadhah

 

Hakikat firar adalah melarikan diri dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Firar ini ada dua macam:

 

– Firar-nya. orang-orang yang bahagia, yaitu firar kepada Allah.

 

– Firar-nya orang-orang yang menderita, yaitu firar dari Allah kepada selain Allah.

 

Sedangkan firar dari Allah kepada Allah adalah firar-nya wali-wali Allah. Dalam menafsiri firman Allah, “Maka larilah kepada Allah”, Ibnu Abbas berkata, “Artinya, larilah dari Allah kepada Allah dan taatlah kepada-Nya.” Sedangkan Sahl bin Abdullah berkata, “Artinya, larilah dari selain Allah kepada Allah.” Yang lain lagi berkata, “Larilah dari adzab Allah ke pahala-Nya, dengan iman dan ketaatan.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Artinya lari dari sesuatu yang tidak ada ke sesuatu yang senantiasa ada. Ada tiga derajat untuk firar ini:

 

  1. Firar-nya orang-orang awam, dari kebodohan ke ilmu, dengan disertai keyakinan dan usaha, dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan.

 

Tentang firar dari kebodohan ke ilmu, kebodohan itu sendiri ada dua macam: Pertama, tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat. Kedua, tidak beramal menurut keharusan dan kelazimannya. Kedua-duanya sudah mendefinisikan makna kebodohan menurut bahasa, istilah, syariat dan hakekat. Maka Musa berkata,

 

“Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orangorang yang bodoh.” (Al-baqarah: 67).

 

Beliau berkata seperti itu setelah kaumnya berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Berarti, Musa berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang suka mengejek. Yusuf juga berkata,

 

“Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33).

 

Artinya, agar beliau tidak termasuk orang-orang yang melakukan apaapa yang diharamkan kepada mereka. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan.” (An-Nisa’: 17).

 

Datadah berkata, “Para shahabat sudah sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah disebut kebodohan.” Ada pula yang berkata, “Para shahabat sudah sepakat bahwa siapa pun yang durhaka kepada Allah adalah orang yang bodoh.”

 

Seorang penyair berkata,

 

“Tak ada gunanya seseorang membodohi kami hingga kita lebih bodoh dari jahily.“

 

Orang yang tidak mendalami ilmu disebut bodoh, entah karena dia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu itu, hingga dia disebut orang bodoh, entah karena ketidaktahuannya terhadap akibat dari perbuatannya.

 

Firar ini merupakan firar dari dua macam kebodohan: Kebodohan terhadap ilmu yang harus didapatkan dan diyakini, dan kebodohan terhadap pengamalannya.

 

Firar dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, artinya meninggalkan belenggu kemalasan lalu berbuat dan berusaha, dengan kesungguhan dan tekad, tidak asal-asalan, tidak meremehkan dan tidak berandai-andai. Kesungguhan artinya kebenaran dalam beramal dan berusaha, sedangkan tekad merupakan kesungguhan dalam kehendak. Maka Allah berfirman kepada Yahya,

 

“Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” (Maryam: 12).

 

Quwwah dalam ayat ini berarti kesungguhan yang disertai tekad dan usaha, tidak seperti orang yang mengambil perintah-Nya dengan ragu-ragu dan setengah hati.

 

Firar dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan artinya lari dari dada yang terasa sesak dan penat karena kekhawatiran, kegelisahan, kesedihan dan ketakutan yang dirasakan hamba dari dalam dirinya, dan juga yang datang dari luar dirinya, seperti hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab kemaslahatan hidupnya di dunia ini, baik dalam masalah harta, badan, keluarga, masyarakat atau musuhnya. Dia harus lari dari semua jenis kesempitan yang menghimpit dada, lalu beralih ke kelapangan keyakinan kepada Allah, tawakal dan harapan kepada-Nya.

 

“Dan, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3).

 

Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata, “Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari hal-hal yang biasanya membuat manusia merasa sesak dadanya.”

 

Abul-Aliyah berkata, “Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari segala kekerasan, baik kekerasan di dunia maupun di akhirat. Allah pasti memberikan kelapangan bagi orang Mukmin dari segala hal yang biasanya membuat manusia merasa sempit dan sesak dadanya.”

 

Selagi seorang hamba mempunyai persangkaan yang baik terhadap Allah, berpengharapan yang baik kepada-Nya dan tawakal secara sungguh-sungguh, maka Allah tidak akan menelantarkannya dan tidak akan mengabaikan harapannya. Keyakinan dan baik sangka terhadap Allah ini merupakan istilah lain dari kelapangan hati. Sebab tidak ada yang lebih membuat dada terasa lapang setelah iman, selain dari keyakinan, mengharapkan yang baik dan berbaik sangka kepada Allah.

 

  1. Firar-nya orang-orang yang khusus, yaitu dari pengabaran ke kesaksian, dari rupa ke inti, dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan.

 

Artinya, mereka tidak ridha jika iman mereka hanya sekadar dari pengabaran. Mereka ingin naik lebih tinggi agar bisa menyaksikan siapa pemberi kabar itu. Mereka ingin naik dari ilmul-yaqin lewat pengabaran ke ainul-yaqin lewat kesaksian, seperti yang diinginkan Ibrahim dari Allah.

 

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati’ Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (Al-Baqarah: 260).

 

Ibrahim menuntut agar keyakinannya nyata di depan mata dan apa yang ingin diketahui dapat disaksikan. Inilah makna yang diungkapkan Nabi tentang kesangsian, dalam sabda beliau, “Kita lebih layak untuk sangsi daripada Ibrahim yang berkata, ‘Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati!”

 

Rasulullah tidak pernah sangsi, begitu pula Ibrahim. Tapi memang begitulah beliau mengungkapkan makna ini. Apa yang dituntut Ibrahim itu bukan karena sangsi atau ragu-ragu, tapi karena beliau menuntut kemantapan.

 

Ada tiga tingkatan tentang hal ini: Ilmul-yaqin yang diperoleh dari pengabaran, kemudian hati mendapatkan kejelasan hakekat pemberi kabar. Ilmu tentang pemberi kabar ini berubah menjadi ainul-yag ini, setelah itu menyatu menjadi haggul-yaqin. Ilmu kita tentang surga dan neraka pada saat ini disebut ilmul-yaqin. Jika surga ditampakkan kepada orang-orang yang bertakwa dan neraka diperlihatkan kepada orang-orang yang durhaka, artinya mereka melihat dengan mata kepala sendiri, maka hal itu disebut ainul-yaqin. Jika penghuni surga sudah masuk surga dan penghuni neraka masuk ke neraka, maka itu disebut haggul-yaqin.

 

Firar dari rupa ke inti, artinya keluar dari ilmu dan amal-amal yang tampak, lalu beralih ke hakekat iman dan mu’amalah hati. Orang-orang yang mempunyai tekad yang besar tidak puas hanya dengan rupa-rupa amal yang tampak mata. Mereka tidak mempedulikannya kecuali dengan ruh dan hakekatnya. Pengetahuan tentang Allah tidak mengharuskan seseorang untuk meninggalkan perintah seperti anggapan orang-orang zindiq dan sufi. Bahkan seharusnya mereka bisa menyimpulkan hakekat perintah, rahasia ubudiyah dan ruh amaliyah. Mereka memposisikan diri di hadapan perintah seperti posisi orang yang mengetahui maksud perkataan orang lain yang berbicara dengannya, entah yang tersamar, yang jelas atau yang berupa isyarat. Sedangkan posisi selain orang-orang sufi seperti orang yang mengikut di belakang orang yang berilmu itu dan hanya menghapal semata, tanpa memahami dan mengerti maksudnya. Mereka ini lebih membutuhkan kepada perintah, sebab mereka tidak sampai kepada pengertian dan hakekat itu kecuali dengan adanya perintah, di samping harus ada hapalan, pengetahuan dan pengamalan.

 

Orang-orang sufi ini mengartikan hakekat perintah yang dituntut adalah ruhnya, bukan rupa dan zhahirnya. Karena itu mereka berkata, “Kami menghimpun hasrat pada tujuan dan hakekat, dan kami tidak membutuhkan rupa dan zhahirnya. Siapa yang menyibukkan diri dengan rupa berarti melalaikan tujuan dengan suatu sarana.”

 

Mereka tertipu, seperti halnya orang-orang yang hanya memperhatikan rupa amal dan zhahirnya tanpa memperhatikan hakekat, ruh dan tujuannya. Golongan yang kedua mengabaikan rahasia amal, tujuan dan hakekatnya, sedangkan golongan pertama mengabaikan rupa dan zhahirnya. Mereka menganggap telah sampai kepada hakekat amal sekalipun tanpa zhahir amal itu. Padahal mereka hanya sampai kepada zindig dan kekufuran, mengingkari apa yang seharusnya diketahui tentang diutusnya para rasul. Mereka adalah orang-orang kafir, zindig dan munafik, sedangkan golongan selain mereka juga tidak sempurna. Hati itu mempunyai ubudiyah sebagaimana anggota badan. Mengabaikan ubudiyah hati sama dengan mengabaikan ubudiyah anggota tubuh. Kesempurnaan ibadah ialah dengan menerapkan ubudiyah untuk masing-masing pasukan, pasukan hati dan pasukan anggota tubuh.

 

Firar dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan bagian itu ada beberapa tingkatan, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang benar-benar memiliki ma’rifat tentang hak-hak Allah dan apa yang diinginkan-Nya serta hak-hak hamba-Nya, mengetahui diri sendiri, amal dan penghalangnya.

 

Secara umum, bagian ini artinya apa pun selain yang dikehendaki Allah darimu, entah yang hukumnya haram, makruh, mubah atau sunnah. Semua ini tidak akan diketahui kecuali dengan memiliki ilmu yang mendalam tentang Allah dan perintah-Nya, tentang nafsu dan sifat-sifatnya. Sebenarnya di sana ada bagian yang bisa didapatkan seorang hamba sebagai haknya. Namun dia lari dari bagian ini untuk melepaskannya. Namun jarang manusia yang mampu melakukan hal ini, karena mereka beribadah kepada Allah justru untuk mendapatkan bagian dari apa yang dikehendakinya. Kalau pun ada, maka itu adalah kedudukan para nabi dan shiddiqin.

 

  1. Adapun firar-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah lari dari selain kebenaran kepada kebenaran, dari kesaksian firar kepada kebenaran, kemudian firar dari kesaksian firar. Uraian tentang masalah ini tidak jauh berbeda dengan uraian yang terdahulu.

 

Salah satu di antara persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ialah riyadhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Riyadhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran.” Hal ini bisa mengandung dua pengertian: Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan maupun kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia langsung menerimanya. Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya. Firman Allah,

 

“Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).

 

Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur, dengki atau sebab lainnya,

 

Riyadhah ini ada tiga tingkatan:

 

  1. Riyadhah-nya orang awam, yaitu mendidik akhlak dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam mu amalah.

 

Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bergerak, zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat.

 

Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selainAllah yang mengotorinya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak. Memperbanyak hak dalam mu amalah artinya memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan.

 

Jika tiga perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.

 

  1. Riyadhah-nya orang-orang khusus, yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu mengalir terus.

 

Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada selainNya.

 

Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan, merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada harus dijaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai tingkatan dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat. Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang yang benar-benar melakukan perjalanan tidak akan menoleh ke belakang dan tidak ingin mendengar panggilan kecuali yang datang dari arah depan dan bukan dari arah belakang.

 

Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. hakekatnya adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan. Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana punia pergi. Tapi yang wajib dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan membuatnya mengatur keadaan serta tidak berbenturan.

 

Tentu saja semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benar-benar memiliki tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demikian ini disebut riyadhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.

 

  1. Riyadhah-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan, menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran.

 

Membebaskan kesaksian mengandung dua pengertian: Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya meninggalkan maknamakna perpisahan lalu beralih ke penyatuan dzat. Menolak penentangan artinya apa yang bertentangan dengan salah satu kehendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu amalah dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah-Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat-Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau meminta imbalan dari-Nya.

 

Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintai secara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selain-Nya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semua merupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang khusus mengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin besar.

 

Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lainyang serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang hanya itulah tuntutannya.

 

Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap kurang. Rasulullah bersabda,

 

“Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepadaNya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya ada “Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari sana sungai-sungai surga memancar.”

 

Sebagaimana yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar termasuk golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam ubudiyah.

 

Sima’

 

Di antara macam-macam tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah sima’ yang berarti mendengarkan. Sima’ merupakan mashdar seperti kata niyat. Allah telah memerintahkan sima’ ini di dalam Kitab-Nya, memuji para pelakunya dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat kabar gembira. Firman-Nya,

 

“Sekiranya mereka mengatakan, ‘Kami mendengar dan patuh, dengarlah dan perhati-kanlah kami’, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat.” (An-Nisa’: 46).

 

“Maka sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar: 17-18).

 

Pendengaran yang diberikan Allah dan mereka yang bisa mendengar merupakan bukti bahwa mereka mengetahui pengabaran tentang diri mereka. Jika tidak, berarti mereka tidak mempunyai bukti itu. Firman-Nya,

 

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada diri mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar, dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling juga.” (Al-Anfal: 23).

 

Allah mengabarkan tentang musuh-musuh-Nya, bahwa mereka tidak mau mendengar dan menghalangi orang lain untuk mendengar,

 

“Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya.” (Fushshilat: 26).

 

Sima’ merupakan utusan iman ke hati, penyeru dan pengajarnya. Berapa banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Tidakkah kalian mendengar?” Sima’ merupakan dasar akal dan asas iman untuk sesuatu yang dibangun di atasnya, juga merupakan penuntun, tangan kanan dan pendampingnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah apa jenis yang didengarkan. Inilah yang menjadi pangkal perbedaan pendapat dan juga kesalahan di kalangan manusia.

 

Hakikat sima’ merupakan peringatan bagi hati tentang makna yang didengarkan. Penggeraknya adalah pencarian, penghindaran, cinta dan kebencian, yang merupakan pendorong bagi setiap orang hingga dia berada di tempat berpijaknya. Di antara mereka ada yang mendengar dengan naluri, hasrat jiwa dan nafsunya. Tentu saja yang demikian ini sejalan dengan pembawaannya. Di antara mereka ada yang mendengar beserta Allah dan tidak mau mendengar dengan selain Allah. Yang pasti, pembicaraan tentang sima’ harus dikaitkan dengan pujian dan celaan, yang berarti harus ada kejelasan tentang gambaran yang didengarkan, hakekat, sebab, pendorong, hasil dan tujuannya. Dengan uraian di bawah ini bisa dirinci masalah sima’ ini, dapat dibedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, mana yang hag dan mana yang batil, mana yang terpuji dan mana yang tercela.

 

Apa (obyek) yang didengarkan bisa dibagi menjadi tiga macam:

 

  1. Sima’ Yang Dicintai dan Diridhai Allah

 

Ini merupakan sima’ yang diperintahkan Allah di Kitab-Nya, yang pelakunya dipuji dan disanjung, yang berpaling darinya dicela dan dilaknat, bahkan mereka dianggap lebih sesat daripada binatang dan mereka menjadi penghuni neraka. Firman-Nya,

 

“Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10).

 

Sima’ merupakan dasar bangunan yang didirikan di atasnya. Ada tiga macam sima’: Sima’ pengetahuan dengan indera pendengaran, Sima’ pemahaman dan akal, Sima’ pemahaman, pemenuhan dan penerimaan. Tiga macam ini disebutkan di dalam Al-Qur’an. Sima’ pengetahuan disebutkan dalam firman Allah yang mengisahkan para jin yang beriman, yang berkata,

 

“Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.” (AlJimn: 1-2).

 

Ini merupakan sima’ pengetahuan yang membawa kepada iman dan pemenuhan. Sedangkan sima’ pemahaman adalah sima’yang dinafikan dari orang-orang yang berpaling dan lalai, sebagaimana firman Allah,

 

“Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati dapat mendengar dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar.” (Ar-Rum: 52).

 

Sedangkan sima’ penerimaan dan pemenuhan terdapat di dalam firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang berkata, “Kami mendengar dan kami taat”. Ini merupakan sima’ penerimaan dan pemenuhan yang menghasilkan ketaatan. Yang pasti, sima’ ini mencakup tiga macam sima’, mereka tahu apa yang didengarkan, memahami dan memenuhinya.

 

Di antara gambaran sima’ penerimaan seperti firman Allah,

 

“Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka (orang-orang munafik).“ (At-Taubah: 47).

 

Artinya mereka menerima apa pun yang dikatakan orang-orang munafik dan menelannya begitu saja. Ini merupakan satu pendapat yang paling benar dari dua pendapat tentang makna ayat ini. Tentang pendapat orang yang mengatakan, bahwa artinya mereka mempunyai mata-mata, maka ini adalah pendapat yang lemah. Allah hendak mengabarkan hikmah keterlibatan orangorang munafik dalam pasukan perang, bahwa mereka hanya ingin menciptakan kekacauan dan kerusakan serta menyebarkan isu di tengah pasukan. Sementara dalam pasukan Muslimin ada orang-orang yang suka menerima perkataan orang-orang munafik itu. Istilah mata-mata seperti yang lazim digunakan tidak disebut dengan kata samma’ (orang yang amat suka mendengarkan), tapi disebut dengan kata jasus.

 

Maksud lebih jauh, bahwa sima’-nya orang-orang yang khusus dan suka mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan mendengarkan Al-Our an dan menggunakan tiga istilah ini: Mengetahui, memahami dan memenuhi. Allah memuji orang yang mendengarkan Al-Our an dan memerintahkan para waliNya untuk melakukannya, yaitu mendengarkan ayat-ayat Al-Our an dan bukan bait-bait syair, mendengarkan Al-Our an dan bukan lagu-lagu, mendengarkan kalam Allah yang menguasai langit dan bumi, bukan kasidah-kasidah para penyair, mendengarkan para nabi dan rasul, bukan para penyanyi.

 

Inilah sima’pendorong hati agar menuju sisi Allah, penggerak yang membangkitkan tekad agar mendapatkan derajat yang paling tinggi, penyeru kepada iman, penunjuk jalan yang menuntun ke surga, yang menyeru hati setiap pagi dan petang dengan alunan Hayya alal-falah.

 

  1. Sima’ yang Dibenci dan Dimurkai Allah

 

Yaitu mendengarkan segala sesuatu yang mendatangkan mudharat terhadap hamba, hati dan agamanya, seperti mendengarkan semua jenis kebatilan, kecuali jika ada maksud untuk menghambat, membatilkan dan melarangnya atau untuk tujuan kebalikan dari kebatilan itu. Sebab sesuatu akan tampak kebaikannya dengan kebalikannya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

 

“Cinta ini semakin mekar karena mendengar kata-katamu justru pada saat aku mendengar perkataan selain dirimu.”

 

Contohnya adalah orang yang mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, lalu dia menyuruh orang-orang untuk mendengarkannya dan berpaling darinya, sebagaimana dia juga berpaling darinya. Firman Allah,

 

“Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya.” (Al-Qashash: 55).

 

Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, “Maksud perkataan yang tidak bermanfaat di dalam ayat ini adalah nyanyian.”

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air yang dapat menumbuhkan bawang.”

 

Ini merupakan pernyataan tentang dampak negatif nyanyian yang bisa dirasakan secara langsung. Selagi seseorang terbiasa mendengarkan nyanyian, maka di dalam hatinya tumbuh kemunafikan, sementara dia tidak menyadarinya. Andaikan dia tahu hakekat kemunafikan, tentu dia akan mengetahuinya di dalam hatinya. Di dalam hati seseorang tidak akan tumbuh cinta kepada Al-Qur’an dan cinta kepada nyanyian. Yang satu tentu akan menyisihkan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana beratnya Al-Qur’an ini bagi orang-orang yang suka terhadap nyanyian, terlebih lagi bagi penyanyinya, bagaimana mereka merasa tersiksa jika ada bacaan Al-Qur’an yang terlalu lama atau hati mereka yang sama sekali tidak bisa memetik manfaat dari bacaan AlQur’an. Minimal hatinya tidak tersentuh dan tidak tergerak. Maka bagaimana mungkin hati mereka menjadi tentram, menangis dan menggigil jika mereka lebih suka tidak tidur di waktu malam untuk mendengarkan nyanyian dan mengumbar angan-angan? Kalaupun hal ini bukan merupakan kemunafikan, maka ini merupakan cikal bakal kemunafikan.

 

Bagaimana mungkin sesuatu yang didengarkan seorang hamba, sesuai dengan tabiat dan hawa nafsunya, dikatakan lebih bermanfaat dari apa yang didengarnya karena Allah dan berasal dari Allah? Tentu saja ini merupakan upaya pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu kami katakan bahwa pembahasan tentang masalah ini tidak bisa netral dan obyektif kecuali dengan mengetahui gambaran apa yang didengarkan, hakekat, sebab dan tingkatannya. Allah telah menjadikan balasan untuk setiap sesuatu. Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagian untuk orang yang mendengarkan ayat-ayat-Nya, sama dengan bagian orang yang biasa mendengarkan nyanyian dan lagu.

 

Yang paling menggelikan, alasan yang dipergunakan orang-orang yang menghalalkan nyanyian ini, karena mendengarkan nyanyian sudah menjadi kebiasaan manusia, mereka bisa menikmatinya, jiwa merasa tenang, anak-anak juga merasa nyaman karena mendengarkan suara yang mengalun lembut, sehingga bisa menghilangkan rasa penat di badan saat mengadakan perjalanan jauh umpamanya. Suara merdu dan yang mengalun lembut ini pun merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada pemiliknya dan menambah keagungan dalam ciptaan-Nya. Sementara Allah mencela suara yang bising seperti suara keledai. Suara yang merdu ini pun merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para penghuni surga. Maka bagaimana mungkin nyanyian yang merdu ini diharamkan, sementara ini juga merupakan nikmat di dalam surga? Rasulullah pun terpesona mendengar suara Abu Musa Al-Asy’ari yang sedang membaca Al-Qur’an dan memujinya, seraya bersabda, “Orang ini telah dianugerahi kemerduan di antara kemerduan keluarga Daud.”

 

Lalu Abu Musa menimpali, “Andaikata aku tahu engkau sedang menyimak, tentu aku akan lebih membaguskannya lagi.”

 

Beliau juga bersabda, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” “Bukan termasuk golongan kami yang tidak pernah melagukan Al-Qur’an.”

 

Makna yang benar tentang hadits ini, bahwa melagukan di sini adalah membaguskan suara. Maka Al-Imam Ahmad menafsirinya dengan berkata, “Membaguskan suara menurut kesanggupannya.”

 

Nabi juga memperkenankan bagi Aisyah untuk memanggil dua penyanyi dari budak perempuan pada hari led. Beliau berkata kepada Abu Bakar, “Biarkan saja mereka berdua. Karena setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan sekarang inilah hari raya para pemeluk Islam.”

 

Beliau juga pernah mengizinkan nyanyian dalam jamuan pengantin dan menyebutnya al-lahwu. Beliau pernah mendengar nyanyian dan mengizinkannya. Beliau pernah mendengar Anas dan shahabat lainnya yang melantunkan syair saat menggali parit sebelum perang Ahzab,

 

“Kepada Muhammad kami menyatakan sumpah setia untuk berjihad selagi kami masih ada di dunia.”

 

Sewaktu pulang dari perang Khaibar, ada seseorang yang melantunkan syair di dekat beliau,

 

“Demi Allah, kalau bukan karena-Nya kami tak mendapat petunjuk kami tidak shalat dan tidak pula berinfak turunkanlah ketenangan kepada kami di medan perang kokohkan pijakan kaki orang-orang yang akan melakukan penindasan tak kan berhasil jika menimpakan cobaan kami berteriak lantang saat datang karena itu mereka lari tunggang langgang hanya karunia-Mu yang kami harapkan.”

 

Beliau pernah berdoa bagi Hassan, agar Allah menguatkannya dengan Ruhul-Oudus dan meniupkan kepadanya, karena beliau sangat kagum terhadap syair-syairnya.

 

Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far dan penduduk Madinah menetapkan keringanan hukum untuk nyanyian ini, dan masih banyak orang-orang lain yang pernah menghadiri dan mendengarkan nyanyian. Maka barangsiapa mengharamkan nyanyian, berarti dia telah melecehkan orang-orang yang tehormat ini.

 

Pendengaran bisa mendorong jiwa dan hati pendengarnya kepada sesuatu yang dicintainya. Jika yang dicintainya itu haram, maka pendengarannya merupakan penolong kepada sesuatu yang haram. Namun jika yang dicintainya mubah, maka pendengaran itu hukumnya juga mubah. Jika kecintaannya itu untuk menggugah rasa kasih sayang, maka itu merupakan tagarrub dan ketaatan, karena hal itu menggerakkan rasa kasih sayang dan cinta.

 

Kenikmatan telinga mendengarkan suara yang merdu sama dengan kenikmatan mata melihat pemandangan yang indah, kenikmatan mulut merasakan makanan yang lezat, kenikmatan hidung mencium aroma yang harum dan sedap. Jika nyanyian ini haram, maka semua bentuk kenikmatan ini pun juga haram.

 

Jawaban dari alasan yang mereka pergunakan, dapat dikatakan sebagai berikut: Bahwa alasan ini merupakan upaya menyimpangkan tujuan, mengalihkan masalah dari inti perselisihan dan bergantung kepada sesuatu yang tidak ada kaitannya.

 

Keberadaan sesuatu yang bisa dinikmati indera dan sesuai dengannya, tidak menunjukkan pembolehan dan pengharaman, kemakruhan dan anjurannya. Kenikmatan mendengarkan nyanyian ini harus dikaitkan secara tepat kepada lima dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunnah dan mubah. Maka bagaimanakah orang yang mengetahui syarat-syarat dalil dan penempatannya, melandaskan kenikmatan kepada dasar hukum ini? Bukankah alasan ini sama dengan orang yang membolehkan perzinaan karena alasan kenikmatan? Karena siapa pun yang mempunyai naluri yang normal tidak akan mengingkari kenikmatan hubungan seksual. Apakah sekian banyak halhal yang haram dihalalkan karena yang haram itu nikmat dan menyenangkan? Bukankah suara-suara alat musik yang pengharamannya telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi dan para ulama pun sudah menyepakati pengharamannya, termasuk kenikmatan yang dirasakan pendengaran? Apakah anak-anak yang menikmati suara merdu dapat dijadikan dalil atas suatu ketetapan hukum, halal atau haram?

 

Yang lebih aneh lagi tentang alasan pembolehan nyanyian ini, bahwa Allahlah yang menciptakan suara yang merdu, yang berarti merupakan tambahan nikmat bagi pemiliknya. Rupa yang cantik menawan juga merupakan tambahan nikmat, dan Allahlah yang menciptakannya dan memberikannya. Apakah dengan begini boleh menikmati rupa yang cantik tanpa ada batasannya? Bukankah yang demikian ini merupakan pendapat para penganut paham permisivisme yang biasa mengikuti tuntutan naluri dan birahi? Apakah karena Allah mencela suara keledai bisa dijadikan dalil pembolehan musik, nyanyian dan lagu?

 

Yang lebih aneh lagi ialah penggunaan dalil pembolehan mendengarkan nyanyian, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga. Mungkin yang lebih tepat lagi ialah membolehkan minum khamer, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga, membolehkan kain sutera karena para penghuni surga juga mengenakannya di surga.

 

Jika mereka mengatakan, “Sudah ada dalil yang mengharamkan khamer dan kain sutera bagi kaum laki-laki. Sementara itu, tidak ada dalil tentang Maka dapat dijawab sebagai berikut: 

 

pengharaman mendengarkan. Penggunaan dalil ini lain dengan dalil yang digunakan tentang pembolehannya bagi penghuni surga. Dengan begitu jelas sudah bahwa dalil yang kalian gunakan tentang pembolehan nyanyian bagi penghuni surga merupakan tindakan yang salah dan batil, tidak bisa diterima. Tentang tidak adanya dalil pengharaman mendengarkan seperti anggapan kalian, maka perlu ditanyakan, pendengaran macam apa ini? Apa yang didengarkan? Harus ada pengaitan terhadap salah satu dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunnah dan mubah. Tunjuk salah satu di antaranya agar ada kejelasan ketetapan dan penafiannya. Jika mendengarkan syair, perlu ditanyakan, syair macam apa?Jika isinya berupa pujian kepada Allah, Rasul, agama dan kitab-Nya, maka orang-orang Muslim biasa mendengarkan dan bahkan mempelajarinya. Itu pula yang didengarkan Rasulullah, diakui dan dianjurkannya. Dari sinilah banyak orang yang terkecoh, terutama mereka yang biasa mendengarkan suara-suara yang dikemas setan. Mereka berkata, “Itu adalah bait-bait syair, dan yang kami dengarkan juga bait-bait syair. Jadi sudah klop.” Sunnah adalah perkataan, bid’ah juga perkataan. Tasbih adalah perkataan, ghibah juga perkataan. Doa adalah perkataan, tuduhan juga perkataan. Apakah di antara dua perkara yang berlawanan ini juga dikatakan sama? Apakah yang didengarkan Rasulullah dan para shahabat juga sama dengan apa yang kalian dengarkan, yang berupa suara-suara berbau setan?

 

Hal ini tidak jauh berbeda dengan sikap mereka yang menganggap baik suara bacaan Al-Qur’an, anjuran Rasulullah dan kecintaan Allah kepadanya, sebagaimana mereka menganggap baik suara wanita dan penyanyi, yang diiringi alunan alat-alat musik, yang isi nyanyian itu menggambarkan cinta kasih, orang yang mabuk kepayang dilanda cinta, menggambarkan bibir wanita yang merekah, pipi yang ranum, tubuh yang indah semampai, perpisahan dengan kekasih tercinta, keresahan, kegundahan hati dan lain sebagainya, yang jauh lebih merusak hati daripada meminum khamer. Apalah artinya kerusakan selama satu hari karena minum khamer jika dibandingkan dengan keseronokan dalam nyanyian itu yang berpengaruh sepanjang waktu dan pendengarnya bisa menjadi tawanannya?

 

Sungguh aneh sekali jika kalian melandaskan dalil tentang pembolehan mendengarkan nyanyian yang sudah menjadi kebiasaan semua orang, dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum baligh pada hari raya semasa Rasulullah, yang melantunkan bait-bait syair bangsa Arab yang menggambarkan patriotisme di medan peperangan dan akhlak yang mulia. Lalu di mana letak kesesuaiannya? Yang lebih aneh lagi, inilah alasan yang paling kalian andalkan untuk membolehkan nyanyian. Abu Bakar Ash-Shiddig menyebut nyanyian sebagai seruling setan, dan Nabi ikut menegaskan sebutan ini. Lalu beliau membuat keringanan hukum untuk dua gadis kecil yang belum baligh yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat jika keduanya melantunkannya atau orang lain mendengarkannya. Apakah hal ini menunjukkan pembolehan apa yang kalian lakukan, yang mendengarkan nyanyian-nyanyian yang isinya tidak perlu dijelaskan lagi?

 

Tanggapan tentang alasan-alasan lain yang mereka pergunakan tidak jauh berbeda dengan tanggapan ini.

 

Untuk menuntaskan perselisihan pendapat tentang hukum masalah ini, harus ada rincian tiga kaidah, dan ini merupakan kaidah iman dan perilaku yang paling penting. Siapa yang tidak berdiri pada tiga kaidah ini, maka bangunannya seperti bangunan di pinggir jurang. Tiga kaidah ini adalah:

 

  1. Apakah perasaan, kata hati dan keadaan merupakan penentu hukum atau yang diberi ketentuan hukum, yang berarti harus ada penentu hukum yang lain baginya?

 

Di sinilah sumber kesesatan orang-orang yang rusak ketika mereka hendak mengikuti jalan orang-orang yang benar. Pasalnya, mereka menjadikan perasaan ini sebagai penentu hukum untuk sesuatu yang dianjurkan atau yang dilarang, yang benar atau yang rusak. Mereka menjadikan perasaan sebagai pemilah kebenaran dan kebatilan. Sehingga tidak heran jika permasalahannya menjadi berlarut-larut, kerusakan dan kejahatan ada di mana-mana, sendi-sendi iman dan perilaku tercabut, jalan menjadi sesat, manusia menyembah Allah hanya dengan dibungkus perasaan dan akhirnya mereka menyembah diri mereka sendiri.

 

Kerusakan ada di mana-mana karena manusia menjadikan perasaan sebagai penentu hukum. Karena perasaan itu berbeda-beda dan amat banyak warnanya. Setiap orang dan setiap golongan mempunyai perasaan dan keadaan sendiri-sendiri, selaras dengan keyakinan dan perilakunya.

 

  1. Jika ada perselisihan dalam hukum suatu perbuatan, keadaan atau perasaan, apakah hal itu benar atau salah, hag atau batil, maka permasalahannya harus dikembalikan kepada hujjah yang bisa diterima di sisi Allah dan hambahamba-Nya yang Mukmin. Hujjah ini merupakan wahyu yang menjadi sumber pengambilan hukum untuk setiap keadaan dan menjadi timbangannya. Siapa yang tidak melandaskan ilmu, perilaku dan perbuatannya ke dasar ini, maka dia tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan agama, yang berarti dia tertipu dan terkecoh. Firman Allah,

 

“Dan, orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila air itu didatangi, dia tidak mendatapi sesuatu apa pun dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39).

 

  1. Jika hukum sesuatu dianggap rumit atau samar-samar, apakah boleh atau haram, maka hendaklah dia melihat sisi kerusakan, hasil dan akibatnya. Jika akibatnya jelas mendatangkan kerusakan, maka mustahil pembawa syariat memerintahkannya dan membolehkannya. Terlebih lagi jika hal itu merupakan jalan yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan dari-Nya. Tidak diragukan bahwa yang semacam ini diharamkan. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu mengharamkan barang yang memabukkan, sedikit apa pun, karena yang sedikit ini bisa menyeret kepada yang banyak, lalu Dia menghalalkan yang lebih besar akibatnya bagi jiwa, yang bisa menyeret kepada perbuatanperbuatan dosa lainnya?

 

Jika kalian tidak mempunyai kesempatan untuk menyerahkan ketetapan hukum kepada perasaan, maka kami akan menghukumi kalian dengan perasaan yang tidak bisa kita ingkari. Marilah kita simak berikut ini.

 

Hati mempunyai dua keadaan: Keadaan sedih dan berduka saat kehilangan, keadaan gembira dan suka saat mendapatkan apa yang disukai. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai ubudiyah. Dalam keadaan yang pertama (sedih), maka ubudiyahnya adalah ridha dan sabar. Dalam keadaan yang kedua (gembira), maka ubudiyahnya adalah syukur. Dua ubudiyah ini dirintangi nafsu dan setan, dengan dua jenis suara yang menunjukkan kebodohan dan keburukan, yang keduanya diperuntukkan bagi setan dan bukan bagi Allah, yaitu: Suara ratapan saat sedih dan kehilangan sesuatu atau orang yang dicintai, suara yang tidak bermanfaat, musik dan nyanyian saat gembira dan mendapatkan sesuatu yang dicintai. Setan mengganti dua macam ubudiyah dengan dua suara ini. Nabi telah mengisyaratkan secara langsung dua makna ini dalam hadits dari Anas, beliau bersabda,

 

“Aku melarang dua jenis suara yang bodoh dan buruk: Suara kutukan saat mendapat musibah dan suara musik saat mendapat nikmat.”

 

Siapa yang lebih sedikit mendapatkan cahaya Nabawi tentu akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dari nyanyian itu, atau bahkan dia menjadikan nyanyian itu sebagai sesembahannya. Akibatnya, hatinya menjadi keras saat mendengar nasehat orang yang mengingkarinya, tabiatnya menjadi kaku, jiwanya terasa berat. 7

 

Untuk mengobati hati orang yang keadaannya semacam ini, maka secara bertahap dia dapat beralih dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang dibaca dengan alunan lagu dan suara yang merdu, disertai pemahaman maknamaknanya dan mendalami seruan-seruannya. Hal ini bisa dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap, sampai akhirnya dia bisa meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka mendengarkan lagu-lagu.

 

Mengganti ratapan dengan sabar dan nyanyian dengan syukur merupakan masalah yang sangat penting dalam agama. Siapa yang menolak hal ini adalah orang yangjauh dari iman dan ilmu. Sebab syukur merupakan kesibukan dalam ketaatan kepada Allah, bukan dengan suara-suara yang menggambarkan kebodohan dan keburukan, yang hanya diperuntukkan bagi setan. Begitu pula ratapan yang kebalikan dari sabar. Maka dari itu Umar bin Al-Khaththab pernah memarahi seorang wanita yang meratap tangis hingga kelihatan rambutnya, seraya berkata, “Wanita ini tidak mempunyai kehormatan diri, karena dia menyuruh kepada kegelisahan, padahal Allah melarangnya. Dia melarang sabar, padahal Allah memerintahkannya. Dia mendatangkan cobaan bagi orang yang hidup dan menyakiti orang yang meninggal. Dia menjual peringatannya dan menggugah kesedihan selainnya.”

 

Semua orang sudah tahu bahwa mudharat nyanyian dan lagu lebih besar daripada mudharat ratapan. Pengalaman menunjukkan bahwa di tempat yang banyak diisi dengan lagu dan nyanyian, tentu banyak terdapat musuh-musuh Allah dan setan, kejahatan dan keburukan. Orang yang berakal tentunya bisa melihat gambaran hal ini atau keadaan di sekitarnya.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin menjelaskan, bahwa sima’ itu ada tiga derajat:

 

  1. Sima’-nya orang-orang awam, yang meliputi tiga hal: Mengikuti pemenuhan celaan terhadap peringatan, mengusahakan pemenuhan seruan janji, dan memperhatikan pencapaian kesaksian karunia.

 

Peringatan di sini bisa berarti meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang. Mengikuti ini merupakan ketaatan kepada Allah, karena Allahlah yang memerintah, melarang dan menjanjikan. Mengerjakan apa yang diperintahkan didasarkan pada cahaya iman dan mengharap pahala. Meninggalkan apa yang dilarang pun juga didasarkan kepada cahaya iman, karena takut siksaan.

 

Mengusahakan pemenuhan janji maksudnya melakukan perintah karena mengharapkan apa yang dijanjikan, dengan berusaha semampu mungkin.

 

Sedangkan maksud memperhatikan pencapaian kesaksian karunia ialah memperhatikan bahwa semua kebaikan yang diperoleh merupakan karunia dari Allah, padahal belum tentu dia berhak mendapatkan karunia itu. Firman

 

Allah,

 

“Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, sebenarnya Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian

 

dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Al-Hujarat: 17).

 

Begitu pula keduniaan yang tidak didapatkannya atau musibah yang enimpanya, maka semua itu dari Allah, yang harus diterima dengan nalar ng sehat. Di antara orang salaf berkata, “Wahai anak Adam, kamu tidak tahu na di antara dua nikmat yang paling baik bagimu: Nikmat Allah yang erikan kepadamu ataukah nikmat-Nya yang disingkirkan darimu.”

 

“Umar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak peduli apa yang terjadi pada diriku di waktu pagi atau petang hari. Jika ada kekayaan, maka itu perlu disyukuri, dan jika ada kemiskinan, maka harus sabar.”

 

  1. Sima’-nya orang-orang khusus, yang meliputi tiga hal: Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol, memperhatikan tujuan di setiap waktu, dan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan.

 

Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol artinya mempersaksikan keberadaan Allah dalam segala sesuatu, karena semua yang bisa didengar memperkenalkan Allah, sifat, asma’, janji, ancaman, perbuatan, hukum, perintah, larangan, keadilan dan karunia-Nya.

 

Memperhatikan tujuan di setiap waktu artinya mencari dan mengadakan perjalanan agar dengan apa yang didengarkan dapat menghantarkan ke tujuan, yaitu Allah. Sedangkan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan artinya memisahkan diri dari makna-makna yang didengar, karena dengan mengalihkan hati darinya bisa mendatangkan kenikmatan.

 

  1. Sima’-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus jalah sima’ yang menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan, menghantarkan keabadian ke keazalian dan mengembalikan kesudahan ke permulaan.

 

Maksud menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan ialah penyingkapan hakekat apa yang didengarkan, sehingga tidak ada lagi syubhat dan tidak ada penghalang antara orang yang mendengar dan apa yang didengar.

 

Sedangkan yang kedua dan ketiga, jika dipahami menurut zhahirnya termasuk sesuatu yang mustahil.

 

Hazan

 

Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah hazan (kesedihan hati atau duka cita). Tapi ini bukan merupakan tempat persinggahan yang dituntut atau diperintahkan untuk disinggahi, sekalipun mungkin orang yang sedang mengadakan perjalanan harus menyinggahinya. Sebab di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata hazan, melainkan sesuatu yang dilarang atau pun dinafikan. Yang dilarang seperti firman Allah,

 

“Dan, janganlah kalian bersikap lemah dan jangan (pula) kalian bersedih hati.” (Ali Imran: 139).

 

Sedangkan yang dinafikan seperti firman Allah,

 

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, nicaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-baqarah: 38).

 

Pasalnya, kesedihan hati merupakan tempat pemberhentian dan bukan pendorong untuk mengadakan perjalanan serta tidak ada kemaslahatannya bagi hati. Di samping itu, yang paling disukai setan ialah membuat hati hamba bersedih, lalu dia tidak mau melanjutkan perjalanannya dan mendorongnya untuk berhenti, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.” (Al-Mujadilah: 10).

 

Rasulullah sg juga melarang tiga orang yang sedang berkumpul, sementara dua orang saling berbisik-bisik, karena yang demikian itu membuat orang yang ketiga bersedih hati.

 

Kesedihan hati bukan sesuatu yang dituntut, tidak ada tujuan dan manfaatnya. Nabi berlindung dari kesedihan hati, sebagaimana dalam doa beliau, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran dan kesedihan.”

 

Tapi dari segi kenyataan hidup, memang tempat persinggahan ini tidak bisa dihindari. Karena itu para penghuni surga berucap saat mereka memasukinya,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan hati dari kami.” (Fathir: 34).

 

Hal ini menunjukkan bahwa dahulunya mereka pernah mengalami kesedihan hati, selagi masih di dunia, sebagaimana mereka ditimpa musibah-musibah lain tanpa menghendakinya. Sementara Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits shahih,

 

“Tidaklah seorang Mukmin ditimpa kekhawatiran, keletihan dan kesedihan hati, melainkan Allah mengampuni sebagian dari kesalahan-kesalahannya.”

 

Ini menunjukkan bahwa itu semua merupakan musibah yang ditimpakan Allah kepada hamba, agar dengan begitu Allah mengampuni kesalahankesalahannya, bukan karena menunjukkan kedudukan kesedihan hati ini yang merupakan tuntutan.

 

Sedangkan hadits Hindun bin Abu Halah yang berkata mensifati Nabi “Bahwa beliau selalu tampak bersedih hati”, ini hadits yang sama sekali tidak kuat dan di dalam isnadnya ada seseorang yang tidak diketahui. Di samping itu, bagaimana mungkin beliau senantiasa bersedih hati, padahal beliau telah dijaga Allah agar tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan dunia dan sebab-sebabnya, dilarang bersedih hati dalam menghadapi orang-orang kafir, dan dosa-dosa beliau yang lampau maupun yang akan datang sudah diampuni? Lalu apa yang membuat beliau harus senantiasa bersedih hati? Beliay adalah orang yang senantiasa banyak senyum dan manis muka. Begitu pula riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang banyak bersedih.” Isnad riwayat ini tidak diketahui, begitu pula siapa yang meriwayat-kannya. Taruhlah bahwa ada hadits yang shahih dan ada ayat yang menggambar-kan kesedihan, maka maksudnya adalah musibah yang ditimpakan kepada hamba.

 

Yang pasti para ulama telah sepakat bahwa kesedihan hati di dunia bukan sesuatu yang terpuji, kecuali Abu Utsman Al-Hiri. Dia berkata, “Menampakkan kesedihan di hadapan setiap orang adalah kemuliaan dan tambahan pahala bagi orang Mukmin, selagi kesedihan itu bukan karena musibah yang menimpanya.”

 

Khauf Khauf (takut) merupakan tempat persinggahan yang amat penting dan paling bermanfaat bagi hati. Ini merupakan keharusan bagi setiap orang. Firman Allah, “Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, Jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175).

 

Allah memuji orang-orang yang takut di dalam Kitab-Nya dan menyanjung mereka,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al-Mukminun: 57-61).

 

Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah, dia pernah berkata,

 

“Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, apakah dia itu orang yang berzina, minum khamer dan mencuri?” .

 

Beliau menjawab, “Bukan wahai putri Ash-Shiddig, tetapi dia orang yang puasa, shalat dan mengeluarkan shadagah, sedang dia takut amalnya tidak diterima.”

 

Al-Hasan berkata, “ Demi Allah, mereka itu adalah orang-orang yang melakukan berbagai macam ketaatan dan berusaha untuk itu, sedang mereka takut amalnya tertolak. Sesungguhnya orang Mukmin itu menghimpun kebajikan dan ketakutan, sedangkan orang munafik menghimpun kejahatan dan rasa aman.”

 

Kata khauf tidak jauh maknanya dengan kata wajal, khasyyah, rahbah, haibah, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan pada perincian atau penyertaannya. Ada yang berpendapat, khauf merupakan kegundahan hati dan gerakannya karena ingat sesuatu yang ditakuti. Ada pula yang berpendapat, khauf adalah upaya hati untuk menghindar dari datangnya sesuatu yang tidak disukainya, saat ia merasakannya. Sedangkan khasyyah lebih khusus daripada khauf. Khasyyah adalah milik orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang Allah. Firman-Nya,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28).

 

Khasyyah merupakan khauf yang disertai ma’rifat. Maka dari itu Nabi sg bersabda,

 

“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya di antara kalian.”

 

Sedangkan rahbah mencari peluang untuk lari dari sesuatu yang tidak disukai. Kebalikannya raghbah, yaitu gerakan hati untuk mencari sesuatu yang diinginkan. Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar karena mengingat orang yartg ditakuti kekuasaan dan hukumannya atau saat melihatnya. Haibah artinya ketakutan yang disertai pengagungan dan penghormatan, yang biasanya juga disertai rasa cinta, karena penghormatan merupakan pengagungan yang disertai rasa cinta.

 

Khauf merupakan sifat orang-orang Mukmin secara umum, khasyyah merupakan sifat orang-orang yang berilmu dan memiliki ma’rifat, haibah merupakan sifat orang-orang yang mencintai, sedangkan ijlal merupakan sifat orang-orang mendekatkan diri. Seberapa banyak ilmu dan ma’rifat yang dimiliki, maka sebanyak itu pula khauf dan khosyyahnya, sebagaimana yang disabdakan Nabi,

 

“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya di antara kalian.”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Sekiranya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian sedikit tertawa, banyak menangis, tidak bercumbu dengan istri di atas tempat tidur dan kalian akan keluar ke atas bukit untuk memohon pertolongan kepada Allah.”

 

Orang yang mempunyai sifat khauf lebih suka melarikan diri atau menahan diri, sedangkan orang yang memiliki sifat khasyyah lebih suka berlindung kepada ilmu. Perumpamaan di antara keduanya seperti orang yang sama sekali tidak mengerti ilmu kedokteran dan seorang dokter yang andal. Orang yang pertama mengandalkan pertahanan dan upaya melarikan diri, sedangkan orang yang kedua mengandalkan ilmu dan pengetahuannya tentang penyakit dan obat.

 

Abu Hafsh berkata, “Khauf merupakan cemeti Allah untuk menggiring orang-orang yang meninggalkan pintu-Nya. Khauf juga merupakan pelita di dalam hati, yang dengannya dia bisa melihat kebaikan dan keburukan. Setiap orang yang engkau takuti, tentu engkau hindari, kecuali Allah. Orang yang takut, lari dari Rabb-nya namun juga menuju Rabb-nya.”

 

Khauf bukan merupakan sasaran inti, tetapi merupakan sasaran bagi selainnya, karena ia hanya merupakan sasaran perantara. Maka khauf akan hilang jika apa yang ditakuti juga tidak ada. Karena itu para penghuni surga tidak lagi takut dan bersedih hati. Khauf berhubungan dengan perbuatan, dan cinta berhubungan dengan dzat serta sifat. Karena itu cinta orang-orang Mukmin kepada Rabb semakin berlipat ganda jika mereka sudah masuk surga dan mereka tidak lagi merasa takut. Sehingga kedudukan cinta lebih tinggi daripada kedudukan khauf. Khauf yang terpuji dan benar ialah yang menjadi penghalang antara pelakunya dan hal-hal yang diharamkan Allah. Jika hal ini dilanggar, maka rasa putus asa membuatnya merasa takut. Abu Utsman berkata, “Khauf yang benar ialah menghindari dosa secara lahir dan batin.”

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Khauf yang terpuji ialah yang menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah.”

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin menjelaskan, bahwa khauf artinya tidak merasa tenang dan aman karena mendengar suatu pengabaran. Dengan kata lain tidak merasa aman karena mengetahui apa yang dikabarkan Allah, baik yang berupa janji maupun ancaman. Menurutnya, ada tiga derajat khauf:

 

  1. Khauf terhadap hukuman, yaitu khauf yang ditunjang iman hingga menjadi benar. Ini Khauf-nya orang-orang awam. Khauf ini muncul karena mempercayai ancaman, ingat kesalahan diri sendiri dan memperkirakan akibat.

 

Khauf didahului dengan perasaan dan ilmu. Mustahil seseorang takut jika dia tidak merasakannya. Ada dua kaitan dengan hal ini: Dengan sesuatu yang tidak disukainya, yang dikhawatirkan akan terjadi, dan dengan sebab yang mengarah ke sesuatu yang ditakuti itu. Sejauh mana seseorang merasakan suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang ditakuti, maka sejauh itu pula ketakutannya. Siapa yang tidak percaya bahwa suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang tidak disukainya, maka dia tidak akan takut, dan siapa yang percaya bahwa sebab itu menjurus kepada sesuatu yang tidak disukainya, namun dia tidak mengetahui gambarannya secara pasti, maka dia tidak takut seperti ketakutan yang pertama. Jika dia tahu gambarannya, maka muncullah ketakutan itu. Inilah makna munculnya pembenaran ancaman, mengingat kesalahan dan memperkirakan akibat.

 

  1. Khauf terhadap tipu daya selagi dia dalam keadaan sadar dan yang bisa mengganggu kesenangan hatinya.

 

Dengan kata lain, siapa yang dalam keadaan sadar dan tidak lalai serta hidup secara normal, tentu akan merasakan kesenangan. Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan selain dalam keadaan sadar. Jika dia dalam keadaan sadar, berarti dia harus merasa takut terhadap tipu daya atau jika kesadaran dan kesenangan itu terampas.

 

  1. Ini merupakan khauf-nya. orang-orang khusus, yang praktis tidak lagi mempunyai khauf selain dari haibah karena pengagungan. Ini merupakan derajat paling tinggi dalam khauf.

 

Bayang-bayang khauf muncul jika ada pemutusan dan hambatan hubungan. Sementara orang-orang yang khusus ini adalah mereka yang sudah sampai dan dekat dengan Allah. Jadi khauf mereka bukan khauf yang senantiasa membayang-bayangi, seperti rasa takutnya orang-orang yang berbuat salah. Sebab Allah senantiasa bersama mereka, menerima mereka dan mencintai mereka.

 

Dalam perjalanannya kepada Allah, hati itu diibaratkan seekor burung. Cinta merupakan kepalanya, rasa takut dan berharap merupakan dua buah sayapnya. Selagi kepala dan dua sayap normal, maka burung itu bisa terbang dengan baik. Jika kepala terputus, maka ia akan mati. Jika dua sayap tidak ada, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi orang-orang salaf lebih suka memperhatikan kesehatan sayap rasa takut daripada sayap harapan. Tapi saat keluar dari dunia mereka lebih memprioritaskan sayap harapan daripada sayap rasa takut.

 

Ini juga merupakan pendapat Abu Ismail (pengarang kitab Manazilus. Sa’irin). Dia berkata, “Rasa takut harus lebih menguasai hati. Jika harapan yang lebih menguasainya, maka ia akan rusak.”

 

Yang lain berkata, “Yang paling sempurna adalah menyelaraskan harapan dan rasa takut serta memperbanyak cinta. Sebab cinta itu ibarat kendaraan, harapan ibarat dorongan, rasa takut ibarat sopir dan Allahlah yang menghantarkan ke tujuan dengan karunia-Nya.”

 

Isyfaq Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah

 

isyfaq. Allah berfirman,

 

“(Yaitu) orang-orang yang takut akan adzab Rabb mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takutakan (tibanya) Hari Kiamat.” (Al-Anbiya’: 49).

 

“Dan, sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanyamenanya. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, merasa takut (akan adzab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka’.” (Ath-Thur: 25-27).

 

Isyfaq artinya rasa takut yang amat lembut terhadap orang yang ditakutinya. Perbandingannya dengan rasa takut seperti rasa belas kasihan dengan kasih sayang. Jadi ini merupakan kasih sayang yang amat lembut. Karenanya pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Isyfaq adalah kewaspadaan secara terus-menerus yang disertai rasa sayang. Ada tiga derajat isyfaq:

 

  1. Isyfaq terhadap jiwa kalau-kalau beralih ke pengingkaran, atau mengikuti jalan nafsu dan kedurhakaan serta pengingkaran ubudiyah. Sedangkan isyfaq terhadap amal ialah kalau-kalau amal itu sia-sia. Artinya takut kalaukalau amalnya itu seperti yang difirmankan Allah,

 

“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).

 

Amal yang diibaratkan debu yang beterbangan itu ialah amal-amal yang dimaksudkan untuk selain Allah, tidak menurut perintah-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Rasa takut ini juga berlaku untuk amal-amal yang akan datang, kalau-kalau dia meninggalkannya atau karena kedurhakaan yang dilakukannya, sehingga amal-amal itu menjadi hilang, hingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah,

 

“Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dalam kebun itu dia mempunyai segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah ia.” (Al-Baqarah: 266).

 

Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada para shahabat, “Kepada siapakah ayat ini diturunkan?”

 

Mereka menjawab, “Allahlah yang lebih mengetahuinya.” Mendengarjawaban mereka ini, Umar marah, lalu dia berkata, “Katakan saja, kami tahu atau kami tidak tahu.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Wahai Amirul-Mukminin, aku mempunyai selintas pengertian tentang ayat ini.”

 

Umar menyahut, “Wahai anak saudaraku, katakanlah, dan janganlah engkau terlalu merendah diri.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini merupakan perumpamaan tentang suatu amal.”

 

“Amal macam apa?” tanya Umar.

 

Ibnu Abbas menjawab, “Tentang seseorang yang kaya raya dan juga rajin melakukan ketaatan kepada Allah, lalu Allah mengutus setan kepadanya, dan dia pun melakukan kedurhakaan, sehingga menenggelamkan semua amalnya.”

 

  1. Isyfaq terhadap waktu kalau-kalau ia ternodai perpisahan. Dengan kata lain, seseorang mewaspadai waktunya agar tidak tercampuri sesuatu yang bisa memisahkan kebersamaannya dengan Allah. Sedangkan isyfaq terhadap hati, kalau-kalau ia terisi penghalang, entah berupa syubhat, syahwat atau sebab apa pun yang menghambat perjalanan.

 

  1. Isyfaq yang menjaga usaha seorang hamba dari ujub, menahannya agar tidak memusuhi akhlak dan membawanya agar menjaga kesungguhannya. Yang pertama berkaitan dengan amal, yang kedua berkaitan dengan akhlak dan yang ketiga berkaitan dengan kehendak. Pada masing-masing bagian ini ada sesuatu yang bisa merusaknya. Ujub merusak amal. Merasa takut terhadap usahanya yang bisa dirusak ujub ini dapat menjaga usaha tersebut. Memusuhi akhlak merupakan perusak akhlak. Merasa takut terhadap akhlak yang bisa dirusaknya ini dapat menjaga akhlak tersebut. Keinginan bisa dirusak oleh tidak adanya kesungguhan, yaitu canda dan senda gurau. Merasa takut terhadap keinginan yang bisa dirusak senda gurau ini dapat menjaga keinginan tersebut.

 

Khusyu’

 

Allah berfirman tentang khusyu’ ini,

 

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (Al-Hadid: 16).

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama empat tahun.”

 

Ibnu Abbas berkata,” Sesungguhnya Allah menganggap lamban hati orang. orang Mukmin. Maka Allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunnya Al-Qur’an. Lalu Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mukminun: 1-2),

 

Khusyu’ menurut pengertian bahasa berarti tunduk, rendah dan tenang, seperti firman Allah, “Dan merendahlah semua suara kepada RabbYang Maha Pemurah”. Bumi juga disifati khusyu’, yang artinya kering, tandus dan berupa dataran rendah, yang tidak bisa diairi dan ditanami. Firman-Nya,

 

“Dan, sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, bahwa kalian melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.” (Fushshilat: 39).

 

Khusyu’ artinya keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk dan merendah, yang dilakukan secara bersamaan. Ada yang berpendapat, khusyu’ artinya tunduk kepada kebenaran. Tapi ini bukan definisi khusyu’, tapi merupakan keharusannya.

 

Di antara tanda-tanda khusyu’ ialah jika seorang hamba dihadapkan kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Ada yang berpendapat, khusyu’ artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap dada

 

serta bercahayanya sinar di hati. Al-Junaid berkata, “Khusyu’ artinya ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib.”

 

Para ulama sepakat bahwa khusyu’ itu berada di dalam hati dan hasilnya ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu’ itu. Nabi melihat seseorang yang mengacak-acak jenggotnya ketika shalat, kemudian beliau bersabda, “Sekiranya hati orang ini khusyu’, tentu anggota tubuhnya juga khusyu’.”

 

Beliau juga pernah bersabda, “Takwa itu ada di sini”, sambil menunjuk ke dada. Beliau melakukannya tiga kali.

 

Seorang shahabat (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, “Jauhilah oleh kalian khusyu’ kemunafikan.”

 

Ada yang bertanya, “Apa artinya khusyu’ kemunafikan itu?”

 

Dia menjawab, “Jika engkau melihat tubuh khusyu”, tapi hati tidak khusyu’.”

 

Umar bin Al-Khaththab pernah melihat seseorang yang melengkungkan lehernya tatkala shalat. Maka Umar berkata kepada orang itu, “Hai pemilik leher, tegakkanlah lehermu, karena khusyu’ itu tidak terletak di leher, tapi di dalam hati.”

 

Aisyah pernah melihat sekumpulan pemuda yang berjalan perlahan-lahan. Dia bertanya kepada orang yang tahu tentang mereka, “Siapa mereka itu?”

 

Orang itu menjawab, “Mereka para ahli ibadah.”

 

Aisyah berkata, “Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang paling cepat jalannya, jika dia berbicara aku dapat mendengarnya dari kejauhan, jika memukul benar-benar menimbulkan rasa sakit dan jika memberi makanan, hingga yang diberinya kenyang, dan dia adalah ahli ibadah yang sebenarnya.”

 

Al-Fudhail bin Iyadh paling benci melihat seseorang yang menampakkan khusyu ‘ lebih banyak daripada apa yang ada di dalam hatinya.

 

Hudzaifah berkata, “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’ dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Berapa banyak orang yang mendirikan shalat namun tidak ada kebaikan di dalamnya. Begitu cepat mereka masuk masjid untuk berjama’ah, namun engkau tidak melihat seorang pun di antara mereka yang khusyu’.”

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Khusyu’ adalah ketundukan jiwa dan kepatuhan tabiat kepada seseorang yang diagungkan atau yang disegani.” Yang jelas, khusyu merupakan pengertian yang sejalan dengan pengagungan, cinta, kepatuhan dan ketundukan. Menurutnya, ada tiga derajat khusyu ‘:

 

  1. Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah karena melihat kebenaran.

 

Tunduk kepada perintah berarti menerima, melaksanakan dan mengikuti perintah, menyelaraskan zhahir dan batin, menampakkan kelemahan, memperlihatkan kebutuhan terhadap petunjuk pelaksanaan perintah itu sebelum melaksanakannya, pertolongan saat melaksanakannya dan penerimaan setelah pelaksanaannya. Pasrah kepada hukum, artinya hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, tidak menentangnya karena berdasarkan kepada pendapat atau nafsu.

 

Atau bisa juga diartikan pasrah kepada hukum takdir, dalam pengertian ridha terhadap takdir dan tidak marah karenanya. Makna yang paling tepatialah hukum yang mengandung dua pengertian ini. Merendah karena melihat kebenaran, artinya hati dan anggota tubuh yang merendahkan diri karena melihat Allah, bahwa Allah melihat sekecil apa pun yang ada di dalam hati dan anggota tubuhnya. Ini merupakan salah satu dari dua penakwilan terhadap firman Allah,

 

“Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya, ada dua surga.” (Ar-Rahman: 46).

 

“Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi at: 40-41).

 

Ta’wil yang pertama ini merupakan pengetahuan tentang hamba-Nya, yang berkuasa atas dirinya. Ketakutan hamba terhadap pengetahuan Rabbnya ini menimbulkan khusyu ‘-nya hati. Selagi perasaan ini semakin kuat, maka khusyu’-nya juga semakin kuat. Ta’wil yang kedua ialah saat hamba menghadap Rabb-nya, yaitu saat berdua dengan-Nya.

 

  1. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang lain atas dirimu, menghembuskan angin kefanaan. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal artinya melihat kekurangan dan aib jiwa serta amal, karena yang demikian ini bisa membuat hati menjadi khusyu’, karena ia melihat kekurangan dan aibnya, seperti takabur, ujub, riya’, tidak jujur, tidak yakin, niat yang bercabang dan aib-aib jiwa dan perusak amal lainnya.

 

Melihat kelebihan orang lain atas dirimu artinya memperhatikan hak-hak orang lain atas dirimu lalu engkau harus memenuhinya dan engkau tidak melihat bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hakmu atas mereka dan engkau juga tidak menuntut kepada mereka untuk memenuhi hakmu, engkau mengakui kelebihan mereka dan tidak melupakan kelebihan dirimu sendiri.

 

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang arif ialah yang tidak melihat satu hak pun atas seseorang dan tidak memperlihatkan kelebihannya atas orang lain. Karena itu dia tidak boleh mencela, tidak menuntut dan tidak membanding-bandingkan.”

 

Menghembuskan angin kefanaan artinya menjadikan derajat ini seperti angin sepoi-sepoi menuju kefanaan, yang merupakan kesudahan hidup manusia. Disebut angin sepoi-sepoi karena kelembutan ruh yang mengalir. Tidak dapat diragukan bahwa khusyu ‘merupakan sebab yang menghantarkan kepada kefanaan.

 

  1. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari riya’ di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan diri sendiri. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan artinya tetap menjaga jiwa agar tunduk dan merendahkan diri saat mencapai tujuan. Membersihkan waktu dari riya di hadapan orang lain artinya tidak hanya disibukkan oleh usahanya membersihkan waktu dari riya’. Sebab orang yang memiliki derajat ini lebih tinggi kedudukannya. Dengan kata lain, dia menyembunyikan keadaan dirinya di hadapan orang lain, seperti khusyu’-nya dan ketundukannya, agar orang lain tidak melihatnya lalu membuatnya merasa bangga. Tidak melihat kelebihan diri sendiri artinya tidak melihat kemuliaan dan kebaikan dirinya kecuali kebaikan itu datang dari Allah. Hanya Allahlah yang memberikan karunia tanpa ada sebab dari dirimu. Tidak ada pemberi syafaat yang memberinya syafaat dan tidak ada yang menghantarkannya kepada kebaikan kecuali Allah semata.

 

Jika ada yang bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang shalat yang dilakukan seseorang tanpa khusyu’, apakah shalat itu dianggap ada ataukah tidak?”

 

Dapat dijawab sebagai berikut: Penilaian tentang shalat itu diukur dari pahala. Jelasnya tidak ada pahala yang diberikan kepada pelakunya kecuali menurut penghayatan, penelaahan dan khusyu ‘-nya. kepada Allah.

 

Ibnu Abbas berkata, “Engkau tidak mendapat pahala dari shalatmu kecuali menurut apa yang engkau pahami dari bacaannya.”

 

Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu’, “Sesungguhnya hamba itu benar-benar mendirikan shalat, dan tidak ditetapkan pahala baginya kecuali separohnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga mencapai sepersepuluhnya.”

 

Allah mengaitkan keberuntungan orang-orang yang shalat dengan khusyu ‘nya shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu’ tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Jika dengan shalat itu ditetapkan pahala baginya, berarti dia termasuk orang-orang yang beruntung.

 

Kaitannya dengan hukum di dunia, jika khusyu’-nya itu lebih banyak, maka shalatnya dianggap sah. Shalat-shalat sunnah sebelum dan sesudahnya serta dzikir sesudahnya menyempurnakan kekurangannya. Jika yang lebih banyak adalah tidak khusyu -nya dan juga tidak memahaminya, maka ada perbedaan pendapat tentang pengulangannya di kalangan fuqaha’. Ada yang mewajibkannya, seperti Abdullah bin Hamid dan rekan-rekan Ahmad serta Al-Ghazaj: di dalam Ihya’-nya.

 

Mereka berhujjah, karena shalat itu tidak mendapat pahala dan tidak mendatangkan keberuntungan. Karena khusyu’ dan memahami itu merupakan ruh, inti dan tujuan shalat, maka bagaimana mungkin shalat dianggap sah jika kehilangan ruh dan intinya, hanya tinggal rupa dan zhahirnya?

 

Sekiranya hamba meninggalkan salah satu kewajiban shalat secara sengaja, berarti dia membatalkan shalatnya. Sebagian kewajiban yang ditinggalkan ini seperti salah satu anggota tubuh seorang budak yang dimerdekakan dalam kafarat. Bagaimana dengan shalat yang kehilangan ruh, inti dan tujuannya? Hal ini tidak jauh berbeda dengan memerdekakan budak yang putus tangannya, sebagai kafarat yang wajib dilakukan. Yang demikian ini belum dianggap sah, terlebih lagi jika budak yang dimerdekakan itu sudah mati.

 

Di antara orang salaf ada yang berkata, “Shalat itu bagaikan budak perempuan yang dihadiahkan kepada seorang raja. Apa pendapatmu tentang orang yang menghadiahkan kepada raja itu seorang budak perempuan yang cacat, buta, tidak mempunyai tangan dan kaki, sakit atau buruk rupanya? Bagaimana dengan shalat yang dihadiahkan hamba dan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya? Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Tentu saja shalat yang tidak mempunyai ruh bukan termasuk amal yang baik, sebagaimana bukan termasuk pembebasan budak yang baik dalam kafarat, jika budak yang dipilih adalah cacat atau bahkan mati tanpa ruh.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzi dan juga lainnya, ada hadits yang dimarfu’kan kepada Rasul, “Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” Hal ini berlaku untuk doa yang bersifat khusus, yaitu doa ibadah, atau yang bersifat umum, yaitu doa yang berupa permohonan. Jika maksudnya adalah doa berupa permohonan, maka doa ibadah jauh lebih layak untuk tidak dikabulkan, yang merupakan hak Allah untuk menolak doa dari hati yang lalai. Allah telah berfirman,

 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5).

 

Lalai di sini bukan berarti meninggalkan. Jika tidak, tentunya mereka tidak disebut orang-orang yang shalat. Berarti maksudnya melalaikan kewajibannya, entah yang berkaitan dengan waktu seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud dan lain-lainnya, entah yang berkaitan dengan kehadiran hati dan khusyu’. Namun yang benar adalah dua-duanya. Allah mengakui shalat mereka dan mensifati mereka sebagai orang-orang yang lalai dari shalat itu, yaitu lalai dari waktu yang diwajibkan atau lalai dari keikhlasan dan kehadiran hati. Karena itu Allah mensifati mereka dengan riya setelah itu. Andaikata lalai itu memang berarti lalai, tentunya mereka dibiarkan dengan riya nya.

 

Secara umum dapat dikatakan bahwa kegunaan ikhlas dan kehadiran hati bersama Allah dalam shalat lebih kuat dalam pandangan Pembuat syariat daripada kegunaan semua kewajiban-kewajibannya. Bagaimana mungkin ada orang yang menganggap shalat tidak sah karena dia meninggalkan salah satu takbirnya, meninggalkan satu huruf dalam bacaannya, tidak bertasbih, tidak mengucapkan sami allahu liman hamidah, tidak mengucapkan shalawat kepada

 

Nabi, kemudian dia menganggap shalat itu sah padahal kehilangan inti, ruh, rahasia dan maksudnya yang paling besar?

 

Inilah beberapa hujjah yang diajukan golongan ini. Memang ini merupakan hujjah yang cukup realistis dan kuat. Tapi kita perlu menyimak pendapat golongan kedua dan hujjah-hujjahnya.

 

Golongan kedua ini berpendapat, shalat itu tetap dianggap sah dan tidak perlu mengulanginya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda,

 

“Jika mu’adzin menyerukan adzan, maka setan menyingkir sambil terkentut-kentut hingga tidak mendengar suara adzan. Jika suara adzan sudah selesai, maka setan datang lagi. jika iqamat diserukan, maka dia menyingkir lagi, dan jika igamat sudah selesai, maka dia datang lagi, hingga ia berada di antara seseorang dan Jiwanya, lalu ia mengingatkannya sesuatu yang tadinya tidak dia ingat. Setan berkata, “Ingatlah ini, ingatlah itu’. Padahal sebelumnya dia tidak mengingatnya, sampai akhirnya seseorang tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat. Jika salah Seorang di antara kalian mengalami yang demikian ini, maka hendaklah dia sujud dua kali sujud saat dia duduk (tasyahhud akhir).”

 

Nabi memerintahkan orang yang melakukan shalat semacam ini, yang telah dilalaikan setan hingga tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat, untuk melakukan sujud sahwi dua kali sujud. Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.Andaikan shalat itu batal seperti pendapat golongan yang pertama, tentunya beliau memerintahkan untuk mengulanginya.

 

Inilah rahasia disyariatkannya sujud sahwi, sebagai penghinaan bagi setan, karena ia telah membisiki hamba dan menjadi penghalang antara dirinya dan khusyu’ dalam shalat. Karena itu Rasulullah menyebut dua sujud sahwi ini muraghamatain (dua kali penghinaan), dan beliau memerintahkan melakukan dua sujud sahwi ini bagi yang lalai. Beliau tidak merinci kelalaian yang terjadi, entah sedikit entah banyak, yang mengharuskannya sujud sahwi. Beliau hanya bersabda, “Setiap kelalaian dilakukan dua sujud sahwi.”

 

Karena syariat-syariat Islam didasarkan kepada perbuatan-perbuatan yang nyata, sedangkan hakekat-hakikat iman didasarkan kepada hal-hal yang batin, yang karenanya ada pahala dan siksa, maka Allah mempunyai dua hukum: Hukum di dunia yang didasarkan kepada syariat-syariat zhahir dan amal-amal anggota tubuh, dan hukum di akhirat yang didasarkan kepada syariat-syariat yang zhahir dan amal-amal batin. Maka dari itu Nabi menerima apa yang ditampakkan orang-orang munafik, sedangkan apa yang mereka sembunyikan di dalam batin diserahkan kepada Allah. Karena itu mereka juga menikah, waris-mewarisi menurut syariat Islam dan shalat mereka tetap dianggap sah menurut hukum di dunia. Mereka tidak dihukumi sebagai orangorang yang meninggalkan shalat, karena memang mereka melakukannya menurut zhahirnya. Hukum pahala dan siksa bukan di tangan manusia, tapi ada di Tangan Allah. Allahlah yang akan menanganinya di akhirat.

 

Masih menurut golongan ini, dalam hukum syariat Islam kami menetapkan keabsahan shalatnya orang munafik dan riya’, sekalipun siksaan atas dirinya tidak gugur dan dia pun tidak mendapatkan pahala di akhirat. Maka shalatnya orang Muslim yang lalai dan dibisiki setan, sehingga mengurangi kesempurnaannya karena tidak ada khusyu’, lebih layak untuk dianggap sah.

 

Memang shalat orang yang lalai ini tidak menghasilkan tujuan dari shalat, yaitu pahala Allah di dunia dan di akhirat. Shalat mempunyai tambahan pahala di dunia, berupa kekuatan iman di dalam hati, cahaya, kelapangan di dada, manisnya ibadah, kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan, yang bisa dirasakan orang yang menghimpun hasrat dan hatinya bersama Allah, menghadirkan hatinya di hadapan-Nya, seperti perasaan manusia saat didekati raja dan mendapat perhatiannya secara khusus. Yang demikian ini ditambah lagi dengan derajat yang tinggi di akhirat, hidup berdekatan dengan orangorang yang tagarrub kepada Allah. Tapi semua ini tidak didapatkan jika tidak ada kehadiran hati dan khusyu’. Dua orang yang berdiri berdampingan di satu shaf, tapi perbedaan shalat di antara keduanya bisa seperti langit dan bumi. Pendapat golongan yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar, namun Allahlah yang lebih tahu.

 

Ikhbat

 

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas, dan Oatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur’an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’. Menurut Ibrahim An-Nakha’i, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut AlKalbi, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Allah berfirman,

 

“Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah).” (Al-Hajj: 34).

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Hud: 23).

 

Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbit ini berkisar pada dua makna: Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman”, seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bernapas, maka ikhbatmi bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma’ninah maka hilanglah keragu-raguan darinya.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ikhbat ini didasarkan kepada tiga derajat:

 

  1. Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.

 

  1. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguh-sungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, “Kesendirianmu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari.” Yang lain berkata, “Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa.”

 

Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk ke dalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencariannya sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.

 

  1. Sama bagi dia saat mendapat pujian ataupun celaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya.

 

Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.

 

Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satu-satunyajalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita. Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara setan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudah sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan setan, dan lemahnya hasrat dan niat orang yang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang.

 

Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah.

 

Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan setan yang menakut-nakuti dan memperingatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, tinggal turun ke lerengnya.

 

“Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya”, artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang. Zuhud?

 

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Di dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakekat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

 

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masingmasing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara’ ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat.”

 

Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara’.

 

Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsauri, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar Sari mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka.”

 

Dia juga berkata, “Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.”

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala’, zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untukberpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, “Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang.”

 

Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syagig dan Yusuf bin Asbath.

 

Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara: Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma’rifat.

 

Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud, seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki’, Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.

 

Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Sallam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka. Sudah barang tentu Nabi kita Muhammad adalah orang yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begitu pula Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa d, yang semuanya merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.

 

Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, “Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali.”

 

Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak?

 

Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.

 

Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruhlah bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:

 

  1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik.

 

Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu’man bin Basyir, dari Rasulullah, beliau bersabda,

 

“Yang halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah itu rusak, maka ruasak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A’raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah.

 

Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang tercela. Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu di mata Allah.

 

  1. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddigin.

 

Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan.

 

Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu. Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotongnya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya, Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenikmatan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang bermanfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkannya. Zuhud adalah zuhud hati.

 

  1. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma’rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.

 

Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekadar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya.

 

Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.

 

Wara’

 

Dalam kaitannya dengan tempat persinggahan wara’ ini Allah telah berfirman,

 

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Mukminun: 51).

 

“Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 4).

 

Menurut Oatadah dan Mujahid, artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri ini dikiaskan dengan pakaian. Ini merupakan pendapat Ibrahim, An-Nakhahi’i, Adh-Dhahhak, Asy-Sya bi, Az-Zuhri dan para mufassir. Menurut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu kedurhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutan thahiruts-tsiyab (bersih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan suka berkhianat disebut danisuts-tsiyab (kotor pakaiannya).

 

Menurut Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu. Menurut As-Suddi, biasa dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, “Bersih pakaiannya”. Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, “Kotor pakaiannya”. Menurut Sa’id bin Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya. Menurut Al-Hasan dan Al-Ourazhi, yang dibersihkan adalah akhlaknya.

 

Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, “Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa membersihkan pakaian.”

 

Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu, karena dengan memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya. Tapi yang benar adalah pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat.

 

Tidak dapat diragukan bahwa membersihkan pakaian dan memendekkannya termasuk cara membersihkan yang diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal dan akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang berdiri di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran itu.

 

Maksudnya, wara’ dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian zhahir dan batinnya. Karena itu pakaian seseorang saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu berpengaruh terhadap yang lain. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang demikian itu berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.

 

Nabi telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam satu kalimat,

 

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”

 

Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua gerakan zhahir dan batin. Pernyataan beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalam wara’.

 

Ibrahim bin Adham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan secara marfu’ kepada Nabi sg, “Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah.”

 

Menurut Asy-Syibli, wara” artinya menjauhi segala sesuatu selain Allah. Menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, wara’ merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan merupakan permulaan ridha. Menurut Yahya bin Mu adz, wara’ artinya berada pada batasan ilmu tanpa melakukan ta wil. Wara’ itu ada dua sisi: Wara’ zhahir dan wara’ batin.

 

Menurut zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata, sedangkan wara’ batin ialah tidak memasukkan hal-hal selain ke dalam hati. Siapa yang tidak melihat detil wara’ tidak akan bisa melihat besarnya anugerah.”

 

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’, yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.”

 

Menurut Yunus bin Ubaid, wara’ artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab diri sendiri setiap saat. Menurut Al-Hasan, wara’ seberat dzarrah lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali. Menurut sebagian salaf, seorang hamba tidak mencapai hakekat takwa hingga dia meninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin mengatakan, “Wara’ adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan.” Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga. Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehormatan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal yang hina dan keburukan, sekalipun dia tidak percaya kepada surga dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan terhadap orang yang menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bisa karena menghindari ancaman atau karena pengagungan terhadap Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena dorongan takut atau pun pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta. Artinya, orang yang mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, “Wara’ merupakan kesudahan zuhud orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan kepada Allah.” Wara’ ini ada tiga derajat:

 

  1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman.

 

Menjaga diri artinya memelihara dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mengotori dan menodainya di sisi Allah, para malaikat, hamba-hambaNya yang beriman dan semua makhluk. Karena siapa yang dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia akan menjaga, melindungi, mensucikan, meninggikan dan meletakkannya di tempat yang paling tinggi, berkumpul bersama orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sedangkan siapa yang dirinya hina di sisi Allah, maka Dia melemparkannya ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari keburukan dan melepaskan dirinya. Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri.

 

Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbanyak kebaikan yang dilakukan agar tidak berkurang sebagaimana telah dikupas dalam masalah taubat, bahwa keburukan bisa menggugurkan kebaikan, entah secara keseluruhan ataukah sekadar terkurangi. Minimal akan melemahkan posisi kebaikan itu.

 

Kaitannya dengan menjaga iman, karena menurut seluruh ulama AhlusSunnah, iman itu bisa bertambah karena ketaatan dan bisa berkurang karena kedurhakaan. Pendapat ini juga dikisahkan dari Asy-Syafi’i dan lain-lainnya dari kalangan shahabat dan tabi’in. Peranan kedurhakaan yang melemahkan iman ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi rasa dan dibuktikan kenyataan. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits, bahwa jika hamba melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan satu titik hitam,

 

Jika dia memohon ampunan, maka hatinya menjadi mengkilap kembali. Jika dia kembali melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan titik hitam lainnya. Keburukan membuat hati menjadi hitam dan memadamkan cahayanya, Iman adalah cahaya di dalam hati, sedangkan keburukan bisa melenyapkan cahaya itu atau minimal menguranginya.

 

Kebaikan menambah cahaya hati dan keburukan memadamkan cahaya hati. Allah mengabarkan bahwa melanggar perjanjian yang telah diteguhkan Allah terhadap hamba-hamba-Nya merupakan sebab kerasnya hati. FirmanNya,

 

“Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (Al-Maidah: 13).

 

Dosa melanggar perjanjian menimbulkan beberapa dampak, berupa kekerasan hati, datangnya kutukan, kebiasaan merubah kalam Allah dan melupakan ilmu. Kedurhakaan bagi iman seperti penyakit bagi kekuatan. Keduanya hampir serupa. Karena itu orang-orang salaf berkata, “Kedurhakaan merupakan kurir kekufuran, seperti penyakit yang menjadi kurir kematian.” Iman orang yang melakukan keburukan seperti kekuatan orang yang sakit, tergantung dari parah tidaknya penyakit yang diderita.

 

Tiga sifat yang ada dalam derajat pertama ini juga merupakan wara’nya orang-orang yang berjalan kepada Allah. Dengan kata lain, mereka masih mempunyai jenis wara’ lain yang disebutkan dalam dua derajat berikut.

 

  1. Menjaga hukum dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui batasan hukum.

 

Orang yang naik dari derajat pertama dari wara’ lalu beralih ke derajat kedua ini, meninggalkan sekian banyak hal-hal yang mubah, karena takut hatinya akan terkotori dan cahayanya padam. Sebab memang banyak hal-hal yang mubah dapat mengotori kebersihan hati, mengurangi gemerlapnya dan memadamkan cahayanya. Suatu kali Syaikhul Islam berkata kepadaku sehubungan dengan hal yang mubah, “Ini dapat menghilangkan derajat yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukan merupakan syarat untuk mendapatkan keselamatan.”

 

Orang yang memiliki ma’rifat lebih banyak meninggalkan hal-hal yang mubah, karena untuk mengekalkan penjagaan hati, apalagi jika yang mubah itu merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Jika orang yang ada pada derajat pertama berusaha untuk mendapatkan penjagaan, maka orang pada derajat yang kedua ini berusaha untuk menjaga kebersihan hati agar tidak terkotori dan agar cahayanya tidak padam. Inilah makna mengekalkan penjagaan. Melepaskan diri dari kehinaan artinya menjauhi jalan-jalan kehinaan dan perbuatannya. Sedangkan menjaga diri agar tidak melampaui batasan hukum, maka batasan hukum di sini artinya kesudahan dan pemutusan yang halal dan yang haram. Selagi suatu hukum disudahi dan diputuskan, maka itulah batasannya. Siapa yang melanggarnya, berarti dia berada dalam kedurhakaan.

 

  1. Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perceraian, bergantung kepada perpisahan dan yang menghalangi kebersamaan secara total. Perbedaan antara perceraian dan bergantung kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian dan penetapan. Siapa yang bercerai, maka tidak ada kesempatan baginya untuk bergantung kepada selain tuntutannya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai kehendaknya, berarti dia menghendaki selain-Nya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, maka dia akan “menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya bukan karena Allah, berarti amalnya karena selain Allah.

 

Perasaan takut membuahkan wara’, permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan Allah membuahkan zuhud. Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan. Dzikir membuahkan kehidupan hati. Iman kepada takdir membuahkan tawakal. Terus-menerus memperhatikan asma’ dan sifat Allah membuahkan ma’rifat. Wara’ membuahkan zuhud. Taubat dan terus-menerus mengingat Allah membuahkan cinta kepada-Nya. Ridha membuahkan syukur. Tekad yang kuat dan sabar membuahkan semua keadaan dan kedudukan yang tinggi. Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma’rifat membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Mengetahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar.

 

Penopang semua ini ada dua macam: Pertama, memindahkan hati dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua, mendalami, menyimak dan memahami makna-makna Al-Qur’an serta sebab-sebab diturunkannya, lalu engkau mengambil dari ayat-ayatnya untuk mengobati penyakit di dalam hati.

 

Tabattul Kaitannya dengan tempat persinggahan tabattul ini Allah telah berfirman,

 

“Dan sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Al-Muzzammil: 8).

 

Tabattul artinya pemutusan atau pemisahan, merupakan kata aktiva dari batl yang artinya putus atau pisah. Maryam disebut al-batul karena dia terpisah dari hubungan dengan suami mana pun, yang artinya perawan atau bujang, dan tidak ada seorang pun wanita yang dapat menandinginya, sehingga dia lebih unggul dan lebih dari semua wanita yang ada pada zamannya.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Tabattul artinya memisahkan diri dari segala sesuatu agar bisa beribadah kepada Allah secara total. Firman Allah, “Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) doa yang benar”, artinya perlucutan secara total. Perlucutan ini artinya tidak memperhatikan imbalan. Orang yang tabattul tidak bisa seperti buruh yang tidak mau bekerja kecuali untuk mendapatkan upah. Jika dia sudah mendapat upah itu, maka dia akan meninggalkan pintu orang yang mengupahnya. Berbeda dengan hamba yang berbakti karena penghambaannya, bukan karena untuk mencari upah. Dia tidak meninggalkan pintu tuannya kecuali karena memang dia bermaksud untuk melarikan diri darinya. Sementara hamba pelarian tidak memiliki kehormatan sama sekali sebagai hamba dan juga tidak mempunyai kemerdekaan.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat tabattul:

 

  1. Memurnikan pemutusan hubungan dengan keinginan-keinginan terhadap dunia, karena takut, mengharap atau pun karena selalu memikirkan-Nya.

 

Menurut hemat saya, tabattul memadukan dua perkara, menyambung dan memisahkan. Tabattul tidak dianggap sah kecuali dengan dua perkara ini. Memisahkan artinya memutuskan hati dari segala sesuatu yang mencampuri kehendak Allah dan dari apa-apa yang mengarahkan hati kepada selain Allah, entah karena takut kepada-Nya, mengharapkan-Nya, atau karena selalu memikirkan-Nya. Sedangkan menyambung tidak akan terjadi kecuali setelah memutuskan. Maksudnya adalah menyambung hati dengan Allah, menghadap kepada-Nya dan menghadapkan wajah kepada-Nya, karena mencintai, takut, berharap dan tawakal kepada-Nya.

 

  1. Memurnikan pemutusan hubungan dari mengikuti nafsu, dengan menjauhi hawa nafsu, menghembuskan rahmat Allah dan memasukkan kilat cahaya ilmu. Perbedaannya dengan derajat pertama, bahwa derajat pertama pemutusan hubungan dengan makhluk, sedangkan derajat ini merupakan pemutusan hubungan dengan nafsu. Caranya ada tiga macam:

 

– Menjauhi nafsu dan melarang dirinya mengikuti nafsu. Sebab para pengikut nafsu menghalangi tabattul.

 

– Menghembuskan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya. Kedudukan rahmat bagi mh seperti kedudukan ruh bagi badan. Jadi rahmat merupakan sesuatu yang disenangi ruh. Rahmat ini bisa diperoleh dengan menjauhi nafsu. Pada saat itulah bisa dirasakan hembusan rahmat Allah. Sebab jiwa itu membutuhkan gantungan. Ketika terputus ketergantungan jiwa dengan hawa nafsu, maka jiwa tersebut akan mendapatkan ketentraman dengan bergantung kepada Allah.

 

– Memasukkan kilat cahaya ilmu. Ilmu di sini bukan upaya mengungkap apa-apa yang di dalam batin manusia, tapi ini adalah ilmu mengungkap tempat-tempat persinggahan, mengungkap aib diri dan amal serta mengungkap makna-makna sifat, asma’ Allah dan tauhid.

 

  1. Memurnikan hubungan agar dapat terus maju ke depan, dengan cara membenahi istiqamah, tekun untuk mencapai tujuan dan melihat apa yang terjadi saat berdiri di hadapan Allah.

 

Raja’

 

Kaitannya dengan tempat persinggahan raja’ (mengharap) ini, Allah telah berfirman,

 

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya.” (Al-lsra’: 57).

 

Mencari jalan dalam ayat ini artinya mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ubudiyah dan juga mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman: Cinta, rasa takut dan berharap. Tentang harapan ini Allah telah menjelaskan,

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorong pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110).

 

“Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-baqarah: 218).

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, tiga hari sebelum wafat,

 

 

“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia berbaik sangka terhadap Rabbnya.”

 

Juga dari Jabir disebutkan di dalam Ash-Shahih, Rasulullah gg bersabda,

 

“Allah berfirman, “Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Maka hendaklah dia membuat persangkaan kepada-Ku menurut kehendaknya.”

 

Raja’ merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat Sang Kekasih, yaitu Allah dan kampung akhirat. Ada yang berpendapat, artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah.

 

Perbedaan raja’ (mengharap) dengan tamanni (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan-angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik.

 

Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja’ tidak dianggap sah kecuali disertai usaha. Raja’ itu ada tiga macam, Dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu:

 

  1. Harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya.

 

  1. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya.

 

  1. Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.

 

Orang yang berjalan kepada Allah mempunyai dua pandang :

 

Pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat kelapangan karunia Allah, dan pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu ada yang mengatakan bahwa batasan raja’ adalah keluasan rahmat Allah.

 

Ahmad bin Ashim pernah ditanya, “Apakah tanda raja’ pada diri hamba?” Dia menjawab, “Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia mendapat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat.”

 

Maka ada perbedaan pendapat, mana di antara dua macam raja’ yang paling sempurna, raja’-nya orang yang berbuat baik untuk mendapatkan pahala kebaikannya, ataukah rajanya orang yang berbuat keburukan lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan-Nya?

 

Pengarang Manazilus Sa’irin mengatakan, bahwa raja“ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah, karena di satu sisi raja’ menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes. .

 

Memang kami mencintai Abu Isma’il yang mengarang Manazilus Sa’irin. Tapi kebenaran jauh lebih kami cintai daripada cinta kami kepadanya. Siapa pun orangnya —selain Rasulullah yang ma’shum perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan. Kami berprasangka baik terhadap perkataan Abu Isma’il ini, tetapi kami akan menjabarkannya agar menjadi lebih jelas.

 

Perkataannya, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah”, hal itu jika dibandingkan dengan tempat persinggahan lain seperti ma’ rifat, cinta ikhlas, jujur, tawakal dan lain-lainnya, bukan berarti keadaannya yang lemah dan kurang.

 

Sedangkan perkataannya, “Karena di satu sisi raja” menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes”, karena raja” merupakan kebergantungan kepada kehendak hamba agar mendapatkan pahala dan karunia dari Allah. Padahal yang dikehendaki Allah dari hamba ialah agar hamba itu memenuhi hak Allah dan bermuamalah dengan-Nya dengan hukum keadilan-Nya. Jika dalam mu’amalahnya dengan Allah, hamba mendasarkan kepada hukum karunia, maka hal ini termasuk bentuk perlawanan. Seakanakan orang yang berharap menggantung hatinya kepada sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Penguasa. Berarti hal ini menafikan hukum kepasrahan dan ketundukan kepada Nya. Berarti raja’ hamba itu berlawanan dengan hukum dan kehendak-Nya. Orang yang mencintai ialah yang mengabaikan kehendak dirinya sendiri karena mementingkan kehendak kekasihnya. Sedangkan dari sisi yang menggambarkan protes, karena jika hati bergantung kepada raja’, lalu tidak mendapatkan apa yang diharapkan, maka ia akan protes. Kalau pun hati mendapatkan apa yang diharapkan, ia tetap protes, karena apa yang didapatkan tidak tepat dengan apa yang diharapkan. Toh setiap orang tentu mengharap karunia Allah dan di dalam hatinya pasti melintas harapan ini. Ada sisi lain dari protes ini, yaitu dia protes kepada Allah karena apa yang diharapkannya itu. Sebab orang yang berharap tentu mengangan-angankan apa yang diharapkannya dan dia terpengaruh olehnya. Yang demikian ini berarti merupakan protes terhadap takdir dan menafikan kesempurnaan kepasrahan dan ridha kepada takdir.

 

Inilah yang dikatakan Abu Isma’il di dalam Manazilus Sa’irin beserta interpretasinya yang paling baik. Hal ini dapat ditanggapi sebagai berikut, bahwa apa yang dikatakan itu dan sejenisnya merupakan ketergelinciran yang diharapkan diampuni karena kebaikan beliau yang banyak, ia memiliki kejujuran yang sempurna, mu’amalahnya dengan Allah benar, keikhlasannya kuat, tauhidnya murni tetapi tidak ada orang selain Rasulullah yang terjaga dari kesalahan dan kekurangan.

 

Ketergelinciran ini mendatangkan fitnah terhadap golongan orang-orang yang kebaikan, kehalusan jiwa dan mu’amalahnya tidak seperti mereka. Lalu mereka pun mengingkari dan berburuk sangka terhadap golongan ini. Bualan ini juga mendatangkan cobaan terhadap orang-orang yang adil dan obyektif, yang memberikan hak kepada orang yang memang berhak dan menempatkan segala sesuatu pada proporsinya, yang tidak menghukumi sesuatu yang benar dengan yang cacat atau kebalikannya. Mereka menerima apa yang memang diterima dan menolak apa yang memang harus ditolak. Bualan-bualan inilah yang ditolak dan diingkari para pemuka ulama dan mereka membebaskan diri dari hal-hal seperti ini serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti yang diceritakan Abul-Qasim Al-Qusyairi, “Aku mendengar Abu Sa’id Asy-Syahham berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Abu Sahl Ash-Sha’luki yang sudah meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya (dalam mimpi), “Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?” Abu Sahl menjawab, “Allah telah mengampuni dosaku karena masalah-masalah yang ditanyakan orang-orang yang lemah.”

 

Tentang perkataan Abu Isma’il, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling rendah”, maka ini tidak benar, bahkan ini merupakan tempat persinggahan yang agung, tinggi dan mulia. Harapan, cinta dan rasa takut merupakan inti perjalanan kepada Allah.

 

Allah telah memuji orang-orang yang berharap dalam firman-Nya.

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

 

Disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi

 

“Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selagi kamu berdoa dani berharap kepada-Ku, maka Aku mengampuni dosamu, apa pun yang kamu lakukan dan Aku tidak peduli.” Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Allah berfirman, “Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku besertanya. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam keramaian orang, maka Aku mengingatnya di dalam keramaian orang yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia mendatangi Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berlari-lari kecil.” (Muttafaq Alaihi).

 

Allah telah mengabarkan orang-orang khusus dari hamba-hamba-Nya, yang kemudian orang-orang musyrik beranggapan bahwa hamba-hamba yang khusus ini bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal hamba-hamba yang khusus itu pun masih berharap kepada Allah dan takut kepada-Nya,

 

“Katakanlah, “Panggillah mereka yang kalian anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidakpula memindahkannya’. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguh-nya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra’: 56-57).

 

Allah berfirman, “Orang-orang yang kalian sembah selain-Ku adalah hamba-hamba-Ku, yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, mengharap rahmat-Ku dan takut adzab-Ku. Lalu mengapa kalian menyembah mereka?” Di sini Allah memuji keadaan hamba-hamba-Nya itu, yang memiliki cinta, rasa takut dan harapan.

 

Tentang perkataan Abu Isma’il, “Di satu sisi raja’ menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes”, juga tidak bisa dianggap benar. Sebab raja’ merupakan budiyah dan bergantung kepada Allah, karena di antara asma’-Nya adalah Al-Muhsin Al-Barr (Yang berbuat kebaikan dan kebajikan). Beribadah dengan asma’ ini dan mengetahui Allah merupakan pendorong bagi hamba untuk mengharap, entah dia menyadari atau tidak menyadarinya. Kekuatan harapan tergantung dari kekuatan ma’rifat tentang Allah, sifat dan asma’-Nya, rahmat dan murka-Nya. Andaikata tidak ada ruh harapan, tentu banyak ubudiyah hati dan anggota tubuh yang ditelantarkan, biara dan masjid dirobohkan, yang di dalamnya nama Allah banyak disebut. Bahkan andaikata tidak ada ruh harapan, tentu anggota tubuh tidak mau bergerak untuk melakukan ketaatan. Andaikata tidak ada angin harapan yang berhembus, tentu perahu amal tidak akan melaju di lautan kehendak.

 

Kekuatan cinta menjadi gantungan kekuatan harapan. Setiap orang yang mencintai tentu berharap dan takut. Dialah orang yang paling mengharapkan apa yang ada pada diri kekasihnya. Begitu pula rasa takutnya, dia adalah orang yang paling merasa takut andaikan dirinya dipandang sebelah mata oleh kekasihnya, andaikan dia jauh darinya. Ketakutannya merupakan ketakutan yang teramat sangat dan harapannya merupakan cermin cintanya. Tidak ada kehidupan bagi orang yang jatuh cinta, tidak ada kenikmatan dan keberuntungan kecuali berhubungan dengan kekasihnya. Setiap cinta tentu disertai rasa takut dan harapan. Seberapa jauh cinta ini bersemayam di dalam hati orang yang mencintai, maka sejauh itu pula rasa takut dan harapannya.

 

Tapi ketakutan orang yang mencintai tidak disertai kekhawatiran seperti halnya orang yang berbuat keburukan. Harapan orang yang mencintai tidak disertai alasan, berbeda dengan harapan buruh atau upahan. Bagaimana mungkin harapan orang yang mencintai disamakan dengan harapan buruh, sementara perbedaan keadaan di antara keduanya amat jauh berbeda?

 

Secara umum, harapan merupakan sesuatu yang amat penting bagi orang yang berjalan kepada Allah dan orang yang memiliki ma’rifat. Sebab tentunya dia tidak lepas dari dosa yang dia harapkan pengampunannya, tak lepas dari aib yang dia harapkan pembenahannya, tidak lepas dari amal shalih yang dia harapkan penerimaannya, tidak lepas dari istiqamah yang dia harapkan kekekalannya, tidak lepas dari kedekatan dengan Allah yang dia harapkan pencapaiannya. Maka bagaimana mungkin harapan dikatakan sebagai tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah?

 

Harapan merupakan sebab yang dengannya hamba bisa memperoleh apa yang diharapkan dari Rabb-nya, bahkan ini merupakan sebab yang paling kuat. Sekiranya harapan itu mengandung perlawanan dan protes, tentunya doa dan permohonan lebih layak dikatakan sebagai bentuk perlawanan dan protes. Doa dan permohonan hamba kepada Rabb nya agar Dia memberikan petunjuk, taufik, jalan lurus, menolongnya agar tetap taat, menjauhkannya dari kedurhakaan, mengampuni dosa-dosanya, memasukkannya ke surga, menjauhkannya dari neraka, berarti merupakan bentuk perlawanan dan protes. Sebab hamba yang berdoa ini mengharap dan menuntut apa yang diharapkannya, berarti dia lebih layak dikatakan melawan dan memprotes.

 

Harapan dan doa tidak mengandung perlawanan terhadap tindakan Penguasa di dalam kekuasaan-Nya. Hamba hanya mengharap tindakan-Nya, sesuai dengan sesuatu yang paling disukainya dari dua hal, karena sesungguhnya Allah lebih menyukai karunia daripada keadilan, Allah lebih menyukai ampunan daripada dendam, Allah lebih menyukai tenggang rasa daripada penelitian secara detail, dan yang rahmat-Nya mengalahkan murkaNya. Orang yang berharap mengaitkan harapannya dengan tindakan yang paling disukai dan diridhai-Nya.

 

Tentang protes hamba jika tidak mendapatkan apa yang diharapkannya, maka ini merupakan kekurangan dalam ubudiyah dan kebodohan terhadap Rububiyah. Hamba yang berharap dan berdoa mengharap suatu lebihan yang sebenarnya bukan merupakan haknya dan tidak seharusnya dia meminta imbalan. Kalau memang dia diberi, maka itu semata karena karunia Allah. Jika dia tidak diberi, bukan berarti haknya tidak akan diberikan kepadanya. Maka protesnya ini merupakan cermin kebodohan. Jadi memang tidak mendapatkan apa yang diharapkan dalam hak hamba yang lurus tidak semestinya menimbulkan perlawanan dan protes. Rasulullah, pernah menyampaikan tiga permintaan bagi umatnya kepada Allah. Dua dipenuhi dan satu ditolak, Beliau ridha terhadap apa yang diberikan Allah ini dan tidak memprotes apa yang tidak diberikan.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, harapan itu ada tiga derajat:

 

  1. Harapan yang bisa membangkitkan hamba yang beramal untuk berusaha, yang melahirkan kenikmatan dalam pengabdian, dan yang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan.

 

Dengan kata lain, harapan ini membuatnya semakin bersemangat untuk berusaha dan mengharapkan pahala dari Rabb-nya. Siapa yang mengetahui kadar tuntutannya, maka dia akan menganggap remeh usaha yang telah dilakukannya. Melahirkan kenikmatan dalam pengabdian artinya setiap kali hatinya merasakan buah pengabdian itu dan hasilnya yang baik, maka dia menikmatinya. Yang demikian ini seperti keadaan orang yang mengharapkan keuntungan yang melimpah dalam perjalanannya, dengan membandingkan beratnya perjalanan yang harus dilaluinya. Setiap kali hatinya menggambarkan hal ini, maka segala kesulitan dianggap enteng dan bahkan dia menikmati kesulitan itu. Begitu pula keadaan orang yang mencintai secara tulus, yang berusaha mendapatkan keridhaan dan cinta kekasihnya, yang menikmati segala usaha yang dilakukannya karena menggambarkan hasil keridhaannya. Sedangkan tentang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan, karena tabiat itu mempunyai gambaran-gambaran yang menguasai hamba, yang tidak berkenan meninggalkan gambaran-gambaran itu kecuali jika dia mendapatkan imbalan yang lebih disukainya. Jika ketergantungan hamba kepada imbalan yang lebih baik ini, maka tabiatnya menjadi lega. Jiwa tidak mau meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali dia berikan kepada kekasih yang lebih dicintainya, atau jiwa itu akan mewaspadai sesuatu yang paling banyak mendatangkan kerusakan.

 

  1. Harapan orang-orang yang biasa melatih jiwa, agar mereka mencapai suatu kondisi yang dapat membersihkan hasrat, dengan menolak berbagai macam kesenangan, memperhatikan syarat-syarat ilmu dan berusaha agar terlindung dari hal-hal yang dikhawatirkan akan mendatangkan mudharat di dunia dan di akhirat.

 

  1. Harapan orang-orang yang dapat menguasai hati, yaitu harapan untuk bersua Khalig yang membangkitkan kerinduannya, yang tidak menyukai kehidupan lebih lama dan yang zuhud di tengah makhluk. Ini merupakan jenis-jenis harapan yang paling baik dan paling tinggi. Ini merupakan harapan yang menjadi inti iman.

 

Ri’ayah

 

Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah ri’ayah, yang artinya memperhatikan ilmu dan menjaganya dengan amal, memperhatikan amal dengan kebaikan dan ikhlas serta menjaganya dari hal-hal yang merusak, memperhatikan keadaan dengan penyesuaian dan menjaganya dari pemutusan. Jadi ri’ayah adalah penjagaan dan pemeliharaan.

 

Tingkatan-tingkatan ilmu dan amal itu ada tiga macam:

 

– Riwayah, yaitu hanya sekadar penukilan dan membawa apa yang diriwayatkan.

 

– Dirayah, yaitu memahami, mendalami dan menelaah maknanya.

 

– Ri’ayah, yaitu beramal berdasarkan ilmu yang dimiliki dan keadaannya.

 

Hasrat para penukil tertuju ke riwayah, hasrat orang-orang yang berilmu tertuju ke dirayah, dan hasrat orang-orang yang memiliki ma’rifat ke ri’ayah. Allah telah mencela orang-orang yang tidak memelihara gaya hidup ala kerahiban yang diciptakannya dan yang telah dipilihnya,

 

“Dan, Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Isa) rasa santun dan kasih sayang. Dan, mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendiri yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Al-Hadid: 27).

 

Dengan kata lain, Allah mencela orang yang tidak memelihara tagarrub yang diciptakan Allah dengan pemeliharaan yang semestinya. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memelihara tagarrub yang tidak disyariatkan Allah, tidak diperkenankan dan tidak dianjurkan-Nya, seperti orang-orang Nasrani yang menciptakan model kehidupan kerahiban?”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Ri’ayah artinya menjaga yang disertai perhatian. Ada tiga derajat ri’ayah:

 

  1. Memelihara amal. Artinya, memperbanyak amal itu dengan menghinakannya, melaksanakan amal itu tanpa melihat kepadanya dan menjalankan amal itu berdasarkan saluran ilmu.

 

Ada yang berpendapat, tanda keridhaan Allah kepadamu ialah jika engkau mengabaikan keadaan dirimu, dan tanda diterimanya amalmu ialah jika engkau menghinakan dan menganggap amalmu sedikit serta kecil. Sehingga orang yang memiliki ma’rifat memohon ampun kepada Allah dengan sebenar-benarnya setelah melakukan ketaatan. Setiap kali Rasulullah 4g usai mengucapkan salam dalam shalatnya, maka beliau memohon ampun kepada Allah sebanyak tiga kali. Allah juga memerintahkan hamba-hamba-Nya memohon ampun setelah menunaikan haji.

 

  1. Memelihara keadaan. Artinya, mencurigai usahanya sebagai riya’, mencurigai keyakinannya sebagai kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan.

 

Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu dimaksudkan untuk riya’ di hadapan manusia. Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah, “Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian yang palsu.” Sedangkan mencurigai keadaan sebagai bualan artinya bualan yang dusta. Hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari setan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya setan.

 

  1. Memelihara waktu. Artinya, berhenti pada setiap langkah, melepaskan diri dari kesaksian kebersihan jiwanya, kemudian pergi tanpa membawa kotoran jiwanya.

 

Muraqabah

 

Kaitannya dengan tempat persinggahan muraqabah ini, Allah telah berfirman,

 

“Dan, Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 52).

 

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19).

 

Masih banyak ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, melihat, mendengar, mengawasi yang lahir maupun yang batin dan bahwa Allah senantiasa beserta manusia, di manapun mereka berada. Di dalam hadits Jibril disebutkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah tentang ihsan. Maka beliau menjawab, “Jika engkau menyembah Allah seakan-akan melihatNya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

 

Muraqabah artinya pengetahuan hamba secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya.

 

Muraqabah merupakan ubudiyah dengan asma-Nya Ar-Raqib, Al-Hafizh, Al-Alim, As-Sami’ dan Al-Bashir (Maha Mengawasi, Menjaga, Mengetahui, Mendengar dan Melihat). Siapa yang memahami asma’ ini dan beribadah menurut ketentuannya, berarti dia telah sampai ke tingkat muraqabah.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin, mengatakan, “Muraqabah artinya terusmenerus menghadirkan hati bersama Allah. Ada tiga derajat muraqabah:

 

  1. Muraqabah Allah terhadap perjalanan kepada-Nya secara terus-menerus, memenuhi hati dengan keagungan Allah, mendekat kepada Allah sambil membawa beban dan pembangkit kesenangan.

 

Jika hati sudah diisi keagunganAllah, maka ia akan mengesampingkan pengagungan terhadap selain-Nya dan tidak mau berpaling kepadanya. Pengagungan ini tidak akan terlupakan jika hati bersama Allah, di samping juga mendatangkan cinta. Setiap cinta yang tidak disertai pengagungan terhadap kekasih, menjadi sebab yang menjauhkannya dari kekasih. Dalam derajat ini mengandung lima perkara: Perjalanan kepadaAllah, kelanjutan perjalanan ini, hati yang bersama Allah,pengagungan-Nya dan berpaling dari selain-Nya.

 

Jika sudah ada kedekatan hati dengan Allah, maka akan menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, yang tidak bisa diserupakan dengan kesenangan di dunia dan tidak dapat dibandingkan, karena ini merupakan salah satu keadaan dari para penghuni surga. Di antara orang yang memiliki ma’rifat berkata, “Pada saat tertentu dapat kukatakan, Sekiranya para penghuni surga seperti keadaan saat ini, tentu mereka dalam kehidupan yang sangat menyenangkan.”

 

Tidak dapat diragukan bahwa kesenangan dan kenikmatan inilah yang membangkitkannya untuk terus mengadakan perjalanan kepada Allah, berusaha dan mencari keridhaan-Nya. Siapa yang tidak merasakan kesenangan dan kenikmatan ini, atau sebagian di antaranya, maka hendaklah dia mencurigai iman dan amalnya. Karena iman itu mempunyai kemanisan. Siapa yang tidak dapat merasakan manisnya manis, hendaklah kembali untuk mencarinya, dengan mencari cahaya yang bisa mendatangkan manisnya iman. Nabi telah menyebutkan rasa iman dan cara mendapatkan manisnya iman. Rasa ini dikaitkan dengan iman. Sabda beliau,

 

“Yang dapat menikmati rasa iman adalah yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul.

 

Beliau juga bersabda,

 

“Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, yang dia mencintainya hanya karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka.”

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika engkau tidak mendapatkan kemanisan dan kesenangan dari suatu amal dalam hatimu, maka curigailah ia. Karena Allah adalah Maha Penerima syukur. Artinya, Allah pasti akan memberi pahala kepada seseorang di dunia karena amalnya, berupa kemanisan yang dirasakan di dalam hati, kesenangan dan kegembiraan. Jika dia tidak merasakannya, berarti amal itu disusupi setan.”

 

  1. Muraqabah Allah terhadap penolakan penentangan, yaitu dengan berpaling dari bantahan.

 

Ini merupakan muraqabah Allah terhadap dirimu untuk sifat yang khusus, yaitu yang mengharuskan adanya pemeliharaan zhahir dan batin. Memelihara zhahir ialah menjaga semua gerakan zhahir, dan memelihara batin artinya menjaga lintasan sanubari, kehendak dan gerakan-gerakan batin, yang dari gerakan batin inilah muncul penentangan terhadap perintah Allah. Batin harus dibersihkan dari segala syahwat dan kehendak yang bertentangan dengan perintah-Nya, dibersihkan dari segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak-Nya, dibersihkan dari segala syahwat yang bertentangan dengan pengabaran-Nya, dibersihkan dari segala cinta yang mencampuri cinta kepadaNya. Inilah hakekat hati yang sehat dan inilah hakekat pembebasan diri orang-orang yang memiliki ma’rifat dan orang-orang yang tagarrub kepada Allah. Adapun sebab penentangan yang harus dihindari hamba adalah bantahan atau sanggahan. Sebagaimana yang banyak terjadi di kalangan manusia, bantahan ini ada tiga macam:

 

– Membantah asma’ dan sifat-sifat Allah dengan berbagai dalih yang disebut ketetapan akal oleh para pelakunya, yang pada hakekatnya adalah hayalan-hayalan batil. Mereka membantah sifat-sifat Allah yang ditetapkan terhadap Diri-Nya dan juga merubah kalimat Allah dari tempatnya.

 

– Membantah syariat dan perintah-Nya dengan mengandalkan pikiran dan analogi-analogi yang mereka buat, sehingga mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Mereka juga membantah hakikat hakikat iman dengan perasaan dan hayalan-hayalan mereka. Mereka juga membantah syariat Allah dengan menerapkan hukum-hukum ciptaan manusia sebagai ganti hukum Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga membantah perbuatan, gadha’ dan gadar Allah. Tentu saja semua ini merupakan bantahan orang-orang yang bodoh.

 

  1. Muraqabah azal untuk menerima panji tauhid dan muragabbah isyarat azal yang muncul di setiap saat dan berlaku untuk selama-lamanya.

 

Artinya, mempersaksikan makna azal, yaitu sifat terdahulu yang menjadi sifat Allah dan yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya atau yang mendahuluiNya. Jika seorang hamba memahami makna azal dan mengetahui hakekatnya, maka pada saat itu tampak panji tauhid, lalu dia siap menerimanya, sebagaimana prajurit yang siap menerima panji pasukan perang.

 

Sedangkan makna muraqabah isyarat azal yang muncul di setiap saat dan berlaku untuk selama-lamanya, bahwa Allah yang azali juga memiliki sifat yang abadi, mempunyai bentangan hidup antara keduanya.

 

Mengagungkan Apa-apa yang Dihormati di Sisi Allah Allah berfirman tentang tempat persinggahan ini,

 

“Demikianlah (perintah Allah). Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya.” (Al Hajj: 30).

 

Di antara para mufassir ada yang mengatakan bahwa hurumatullah di sini adalah hal-hal yang dimurkai dan dilarang Allah. Sedangkan pengagungannya ialah dengan meninggalkannya. Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan. Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Ada pula segolongan ulama yang berpendapat, hurumat artinya manasik dan tempat-tempat syi’ar haji, baik waktu maupun tempat. Pengagungannya ialah dengan memenuhi haknya dan menjaga kelestariannya.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, mengagungkan hurumatullah ini ada tiga derajat:

 

  1. Mengagungkan perintah dan larangan, bukan karena takut kepada siksaan sehingga menjadi perlawanan bagi nafsu, bukan karena untuk mencari pahala sehingga pandangan hanya tertuju kepada imbalan, dan bukan karena menampakkan amal untuk riya”, karena semua ini merupakan sifat penyembahan nafsu.

 

Masalah ini merupakan topik yang paling banyak dibicarakan manusia. Mereka mengagungkannya dan juga para pelakunya, dengan disertai keyakinan bahwa ini merupakan derajat ubudiyah yang paling tinggi, yaitu tidak menyembah Allah, melaksanakan perintah dan larangan-Nya karena takut siksaan-Nya dan mengharapkan pahala-Nya. Cinta yang sejati tidak menghendaki yang demikian ini, karena orang yang mencintai tidak menginginkan bagian dari orang yang dicintainya. Jika perhatiannya hanya tertuju kepada bagian yang diterimanya, maka itu merupakan cacat dalam cintanya. Jika dia hanya ingin merasakan nikmatnya pahala, berarti dia merasa berhak mendapatkan pahala dari Allah atas amal yang dikerjakannya. Dalam hal ini akan mendatangkan dua ujian: Perhatiannya hanya tertuju kepada pahala, dan muncul persangkaan yang baik terhadap amalnya sendiri.

 

Tidak ada yang bisa melepaskan diri dari perhatian semacam ini kecuali memurnikan pelaksanaan perintah dan larangan dan segala aib. Bahkan pelaksanaannya harus dilandasi pengagungan terhadap yang memerintah dan yang melarang, bahwa Dia memang layak untuk disembah dan apa-apa yang dihormati di sisiNya harus diagungkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam pepatah Isra’iliyat, “Sekiranya Aku tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Aku tidak layak disembah?”

 

Jiwa yang tinggi dan suci ialah yang menyembah Allah, karena memang Dia layak untuk disembah, dimuliakan, dicintai dan diagungkan. Seorang hamba tidak boleh seperti buruh yang jahat, jika upah sudah diberikan dia baru mau bekerja, dan jika tidak diberikan, maka dia tidak mau bekerja. Amal orang yang memiliki ma’rifat dimaksudkan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat, sedangkan amal para buruh ialah untuk mendapatkan upah dan bayaran. Tentu saja perbedaan di antara keduanya sangat jauh.

 

Tapi ada golongan lain yang menganggap perkataan ini hanya sekadar bualan dan isapan jempol semata. Mereka berhujjah dengan keadaan para nabi, rasul dan shiddigin. Mereka berdoa dan juga memohon. Mereka dipuji karena takut kepada neraka dan mengharapkan surga, sebagaimana firman Allah tentang hamba-hamba-Nya yang khusus,

 

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya’: 90).

 

Artinya, mereka mengharap apa yang ada di sisi Kami, dan mereka juga cemas karena adzab Kami. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah para nabi yang disebutkan dalam surat Al-Anbiya’ ini.

 

Allah telah menyebutkan hamba-hamba-Nya yang khusus, orang-orang yang memiliki ma’rifat dan orang-orang yang berpikir, bahwa mereka semua memohon surga dan berlindung dari neraka. Begitu pula Ibrahim Al-Khalil. Firman Allah tentang sabda beliau,

 

“Dan, yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat. Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orangorang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’ : 82-89).

 

Ibrahim memohon surga dan berlindung dari neraka atau penghinaan pada hari berbangkit. Nabi juga memerintahkan umatnya agar memohon kedudukan yang tinggi di surga kepada Allah pada waktu yang tepat untuk pengabulan doa, yaitu setelah adzan, dan mengabarkan bahwa siapa yang meminta hal itu, maka dia akan mendapatkan syafaat beliau.

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits para malaikat yang mencatat amal manusia, bahwa Allah bertanya kepada para malaikat itu tentang hamba-hamba-Nya, dan Dia lebih tahu tentang keadaan mereka. Para malaikat menjawab, “Kami datang kepada-Mu dari sisi hamba-hamba-Mu yang bertahlil, bertakbir, bertahmid dan memuliakan-Mu. Allah bertanya, “Apakah mereka melihat-Ku?”

 

Malaikat menjawab, “Tidak wahai Rabbi. Mereka tidak melihat-Mu.”

 

Allah bertanya, “Bagaimana jika mereka melihat-Ku?”

 

Malaikat menjawab, “Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka lebih memuliakan-Mu.” Para malaikat berkata lagi, “Wahai Rabbi, mereka memohon surga-Mu.”

 

Allah bertanya, “Apakah mereka melihat surga itu?”

 

Malaikat menjawab, “Tidak. Demi kemuliaan-Mu, mereka tidak melihatnya.”

 

Allah bertanya, “Bagaimana jika mereka melihatnya?’

 

Malaikat menjawab, “Jika mereka melihatnya, niscaya mereka lebih mengharapkannya.” Para malaikat berkata, “Mereka berlindung kepada-Mu dari neraka.”

 

Allah bertanya, “Apakah mereka melihatnya?”

 

“Tidak. Demi kemuliaan-Mu, mereka tidak melihatnya.”

 

Allah bertanya, “Bagaimana jika mereka melihatnya?”

 

Malaikat menjawab, “Jika mereka melihatnya, niscaya mereka lebih keras melarikan diri darinya.”

 

Allah berfirman, “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka, Kuberikan kepada mereka apa yang mereka minta dan Kulindungi mereka dari apa yang mereka mintakan perlindungannya.”

 

Al-Qur’an dan As-Sunnah dipenuhi pujian terhadap hamba-hamba dan wali-wali-Nya yang memohon dan mengharap surga, berlindung dan takut dari neraka. Rasulullah pernah bersabda kepada para shahabat,

 

“Berlindunglah kepada Allah dari neraka.”

 

Beliau bersabda kepada seseorang yang memohon agar dapat menyertai beliau di surga,

 

“Bantulah aku untuk kepentingan dirimu dengan memperbanyak sujud.”

 

Jika kita meneliti apa yang disebutkan dalam As-Sunnah, tentu kita banyak mendapatkan sabda beliau, “Siapa yang mengerjakan begini dan begitu, maka Allah akan memasukkannya ke surga.” Hal ini dimaksudkan sebagai sugesti agar mengamalkannya.

 

Maka bagaimana mungkin amal untuk mendapatkan pahala dan takut dari siksa dikatakan cela dan kurang? Padahal Nabi menjamin surga bagi orang yang melakukan ini dan itu dari berbagai amal shalih. Di samping itu, Allah juga mencintai hamba-hamba-Nya yang memohon surga dan berlindung dari neraka kepada-Nya. Allah suka untuk dimintai dan murka kepada orang yang tidak mau memohon kepada-Nya. Permohonan yang paling agung adalah surga dan perlindungan yang besar adalah neraka. Para nabi, rasul, shiddigin, syuhada’ dan shalihin juga memohon surga dan lari dari neraka.

 

Yang mereka maksudkan, bahwa hamba beribadah kepada Rabb-nya sesuai dengan hak ubudiyah. Tak berbeda dengan hamba (budak). Jika seorang hamba meminta imbalan dari tuannya atas pengabdiannya, maka dia adalah hamba yang paling bodoh dan tidak beharga di mata tuannya, sekiranya dia tidak mendapat hukumannya. Penghambaannya itu mengharuskannya untuk mengabdi. Jika pengabdiannya kepada seseorang untuk mendapatkan imbalan, maka itu bukan pengabdian kepada orang yang tidak tepat. Boleh jadi karena dia bukan hamba atau karena dia menjadi hamba bagi orang lain. Kalau memang dia benar-benar sebagai hamba bagi tuannya, berarti dia tidak mempunyai kemerdekaan dan tidak bisa menjadi hamba bagi selainnya, sehingga jika dia menuntut imbalan, berarti dia keluar dari kemurnian penghambaan.

 

Manusia dalam hal ini ada empat macam:

 

– Orang-orang yang tidak menghendaki Allah dan tidak menghendaki pahala-Nya. Mereka adalah musuh-musuh yang sebenarnya dan yang mendapatkan adzab yang kekal. Mereka tidak menghendaki pahala-Nya, boleh jadi karena memang mereka tidak mempercayai Allah, atau karena mementingkan kemaslahatan dunia.

 

– Orang-orang yang menghendaki Allah dan menghendaki pahala-Nya.

 

Mereka adalah orang-orang yang khusus di antara makhluk-Nya. Allah berfirman,

 

“Dan, jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 29).

 

Ini merupakan firman Allah yang ditujukan kepada para wanita pilihan di antara wanita-wanita di dunia, yaitu para istri Nabi.

 

– Orang-orang yang menghendaki pahala dari Allah dan tidak menghendaki: Allah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui Allah, yang hanya mendengar bahwa di sana ada surga dan neraka. Sementara di dalam hatinya hanya ada kehendak mendapatkan kenikmatan surga. Ini juga merupakan keadaan mayoritas teolog yang tidak mempercayai kenikmatan memandang Allah di surga. Di antara mereka juga ada yang berpendapat bahwa menghendaki Allah adalah sesuatu yang mustahil.

 

– Orang-orang yang menghendaki Allah dan tidak menghendaki pahala dari-Nya. Tentu saja ini sesuatu yang mustahil. Ini merupakan anggapan orang-orang yang disebutkan di atas dari kalangan orang-orang sufi, bahwa Allahlah yang menjadi kehendak mereka dan tidak menghendaki sedikit pun pahala dari-Nya, seperti yang dikisahkan dari Abu Yazid, dia berkata, “Aku pernah ditanya seseorang, “Apa yang engkau kehendaki?” Maka aku menjawab, “Aku menghendaki untuk tidak menghendaki.”

 

Tentu saja ini sesuatu yang mustahil dari pertimbangan rasa dan rasio, fitrah dan syariah. Sebab kehendak merupakan keharusan makhluk hidup. Kehendak ini tidak ada selagi seseorang mabuk, pingsan atau tidur. Memang kami tidak mengingkari pembebasan diri dari kehendak terhadap selain Allah yang dicampur dengan kehendak terhadap Allah. Tapi bukankah seseorang juga menghendaki kedekatan dengan Allah dan ridha-Nya? Lalu adakah kehendak yang lebih tinggi dari kehendak ini?

 

Perkataan pengarang Manazilus Sa’irin, “Bukan karena menampakkan amal untuk riya”, ini merupakan rincian tersendiri. Menampakkan amal ini ada dua macam: Menampakkan amal untuk membangkitkan amal itu dan menguatkan pendorongnya, dan menampakkan amal yang tidak membangkitkan amal dan tidak pula menguatkan pendorongnya, sehingga tidak ada bedanya antara adanya amal itu atau tidak adanya. Boleh jadi engkau menampakkan amal di hadapan orang yang hendak belajar darimu. Engkau melakukannya secara ikhlas dan dia dapat belajar darimu. Atau engkau menampakkan suatu amal agar ditiru orang lain atau diketahui orang yang belum mengetahui amal itu. Ini termasuk riya’ yang terpuji. Bahkan menampakkan amal itu tidak bisa disebut riya’. Sebab Allah ada di dalam niat hati dan tujuannya. Sedangkan riya’ yang tercela ialah yang dimaksudkan untuk mendapatkan sanjungan dan pengagungan di hadapan orang lain, sehingga orang lain itu memujinya dan enggan kepadanya. Contoh lain dari riya yang terpuji, ada orang buta yang meminta keperluan hidupnya kepada segolongan orang. Salah seorang di antara mereka menyadari, bahwa jika dia memberi peminta-minta itu secara sembunyi-sembunyi tanpa dilihat seorang pun, maka mereka tidak akan menirunya dan tidak akan memberikan apa-apa kepada peminta-minta itu. Tapi jika dia memberinya secara terang-terangan, maka mereka akan meniru tindakannya. Karena itu dia putuskan untuk memberinya secara terang-terangan. Pendorong baginya untuk memberi secara terang-terangan ialah kehendak agar peminta-minta itu untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi dari orang-orang yang ada di tempat itu. Ini termasuk penampakan amal yang terpuji. Tapi pendorongnya tidak boleh karena ingin mendapat pujian dan sanjungan.

 

  1. Menyampaikan pengabaran menurut zhahirnya, tidak membuat kajian yang menyimpang dari zhahirnya, tidak memaksakan ta’wil, tidak membuat perumpamaan dan perkiraan.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin mengisyaratkan hal ini kepada pemeliharaan kehormatan nash asma’ dan sifat-sifat Allah, dengan menyampaikan pengabaran ini menurut Zhahirnya dan menciptakan persepsi pemahaman yang sama di tengah umat.

 

Malik pernah ditanya tentang firman Allah, “Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas “Arsy”. (Thaha: 5), “Bagaimana Dia bersemayam disana?”

 

Cukup lama Malik hanya menundukkan kepala. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Akhirnya dia menjawab, “Bersemayamnya Allah sudah jelas. Tentang bagaimana semayam-Nya, maka tidak bisa dicapai akal manusia.

 

Iman kepada semayamnya Allah ini wajib, dan menanyakan bagaimana semayamnya adalah bid’ah.”

 

Siapa yang menanyakan firman Allah (kepada Musa dan Harun), “Sesungguhnya Aku berserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat”, (Thaha: 46), “Bagaimana cara Allah mendengar dan melihat?” Maka dapat dijawab seperti jawaban Malik di atas. Begitu pula siapa yang menanyakan sifat-sifat Allah yang lain. Makna-maknanya sudah bisa dipahami. Tentang bagaimananya, maka tidak bisa dicapai akal manusia. Yang paling baik dalam masalah ini ialah mensifati Allah dengan sifat yang disifati Allah kepada Diri-Nya dan seperti yang disifati Rasulullah, tanpa merubah dan menyimpangkannya, tanpa menggambarkan caranya dan tidak pula membuat perumpamaan.

 

Sedangkan ta’wil yang dimaksudkan di sini adalah ta’wil terminologis yaitu mengalihkan lafazh dari zhahirnya, mengalihkan dari makna yang lazim ke makna yang tidak lazim. Para ulama sudah menyepakati hal ini.

 

Tidak membuat perumpamaan artinya menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk.

 

  1. Menjaga semangat agar tidak dikotori kelancangan, menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, dan menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab.

 

Derajat ini dikhususkan bagi orang-orang yang memiliki kesaksian, yang biasanya mereka itu penuh semangat dan merasakan kegembiraan. Semangat yang dikotori kelancangan ini bisa mengeluarkan seorang hamba dari adab ubudiyah dan membawanya kepada bualan, seperti orang yang berkata, “Subhani”.

 

Menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, artinya orang yang bersemangat dan memiliki kesaksian biasanya merasakan kegembiraan yang tidak terkira. Namun keadaannya ini tidak boleh membuatnya merasa aman dari tipu daya. Kegembiraan dan kesenangannya harus tetap dijaga dan dipelihara.

 

Menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab artinya, boleh jadi orang yang memiliki kesaksian merasa lemah dalam mempersaksikan hakekat tauhid, lalu dia menduga telah mendapatkan apa yang diinginkannya karena suatu ijtihad dan ibadah yang mukhlis. Ini menunjukkan adanya kekurangan dalam tauhid dan ma’rifatnya. Sebab kesaksian ini merupakan anugerah dan tidak muncul karena suatu usaha.

 

Ikhlas

 

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an,

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

 

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).“ (Az-Zumar: 2-3).

 

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2).

 

Al-Fudhail berkata, “Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.”

 

Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”

 

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut AsSunnah.” Kemudian dia membaca ayat,

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110).

 

Allah juga telah berfirman,

 

“Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’: 125).

 

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah, dan Sunnah beliau.

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).

 

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi pernah bersabda kepada Sa’d bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasehat kepada para waliyul. amri dan mengikuti jama’ah orang-orang Muslim, karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka.”

 

Rasulullah pernah ditanya tentang berperang karena riya’, berperang karena keberanian dan berperang karena kesatriaan, manakah di antaranya yang ada dijalan Allah? Maka beliau menjawab, “Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling tinggi, maka dia berada dijalan Allah.”

 

Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu gari’ Al-Qur’an, mujahid dan orang yang menshodaqohkan hartanya, mereka melakukannya agar dikatakan, “Fulan adalah gari’, Fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah”, yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.

 

Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan,

 

“Allah berfirman, “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya’.” Di dalam hadits lain disebutkan,

 

“Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami’.” Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian.”

 

Banyak definisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya’ dan orang yang shadig tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

 

Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi. Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung dari pandangan terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas artinya menyelaraskan amal-amal hamba secara zhahir dan batin. Riya’ ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.

 

Al-Fudhail berkata, “Meninggalkan amal karena menusia adalah riya’. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya.”

 

Al-Junaid berkata, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya, tidak diketahui setan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya.”

 

Yusuf bin Al-Husain berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya’ dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran.” Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ikhlas ini ada tiga derajat:

 

  1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal.

 

Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadanya. Yang bisa membersih. kan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 29).

 

Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannya yang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat. Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya.” (An-Nur: 21).

 

Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap amalnya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui dirinya sendiri.

 

Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amalnya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata. Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak diminta orang yang merdeka atau budak orang lain.

 

Sedangkan yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amalnya ada dua macam:

 

– Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian setan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan setan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi pernah ditanya tentang seseorang yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab, “Itu adalah rampasan yang diambil setan dari shalat hamba.”

 

Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian setan lebih banyak lagi. Ibnu Mas’ud berkata, “Seseorang di antara kalian tidak memberikan bagian kepada setan dari shalatnya, sehingga setan itu melihat ada hak atas shalat tersebut, melainkan karena dia menengok ke arah kanannya.”

 

– Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adab-adab zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu. Orang yang memiliki ma’rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun terhadap amalnya dan merasa malu jika Allah menerima amalnya.

 

  1. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah.

 

Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amalnya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu tetap diupayakan. Allah berfirman,

 

“Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al-Mukminin: 60).

 

Nabi bersabda menjelaskan maksud ayat ini, “Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadagah, dan dia takut amalamalnya ini tidak diterima.”

 

Sebagian ulama berkata, “Aku benar-benar mendirikan shalat dua rakaat, namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri atau pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa malu kepada Allah.”

 

Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertaj ketakutan dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya dan juga berbuat jahat.

 

Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karunia Allah dan bukan karena dirimu sendiri.

 

Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

 

  1. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.

 

Perkataan, “Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal”, ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah. Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menurut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasan-batasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari. Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah. Sehingga seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara: Pertama, perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus dikerjakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, gadha’ dan gadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakekat. Dengan begitu dia bisa melihat hakekat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,

 

“Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 28-29).

 

Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari firman Allah, “Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus”, sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, “Kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah”.

 

Tentang perkataan, “Membebaskan amal dari sentuhan rupa”, artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak diluarnya saja.

 

Tahdzib dan Tashfiyah

 

Tahdzib dan tashfiyah ini artinya melebur ubudiyah dalam tungku ujian, untuk menghilangkan segala kotoran dan kerak yang ada di dalamnya.

 

Pengarang Manazilus sairin berkata, “Tahdzib merupakan ujian bagi para pemula, yang merupakan salah satu aturan dalam riyadhah.” Artinya, tahdzib ini cukup sulit bagi pemula, yang bisa diibaratkan ujian baginya. Tapi tahdzib ini merupakan jalan bagi orang-orang yang sudah melatih dirinya, sehingga mereka sudah terbiasa dengannya.

 

Menurutnya, tahdzib ini ada tiga derajat:

 

  1. Mendidik pengabdian, tidak memenuhinya dengan kebodohan, tidak mencampurinya dengan kebiasaan dan tidak menghentikan hasrat. Artinya, pengabdian harus dibersihkan dan dibebaskan dari tiga perkara ini: Memenuhinya dengan kebodohan, mencampurinya dengan kebiasaan dan menghentikan hasrat. Selagi kebodohan memenuhi ubudiyah, maka seorang hamba akan mendatangkan sesuatu yang tidak layak untuk didatangkan kepada ubudiyah, meletakkannya tidak pada tempatnya, mengerjakannya tidak seperti lazimnya, melakukan perbuatan-perbuatan yang diyakininya baik, padahal itu justru merusak pengabdian dan ubudiyahnya. Jika pengabdian tidak disertai ilmu, maka ia akan menyimpang dari adab dan hak-haknya, yang justru bisa menjauhkan pelakunya, sekalipun sebenarnya dia bermaksud mendekatkan dirinya. Kalaupun dia tetap mendapatkan pahala dan balasannya, tapi minimal akan menjauhkan dirinya dari kedudukan tagarrub.

 

Ubudiyah juga bisa dicampuri kebiasaan yang senantiasa dilakukan, yang kemudian kebiasaan ini dianggap sebagai tagarrub atau ketaatan, seperti seseorang yang terbiasa berpuasa dan dia terus-menerus berpuasa. Kemudian dia mengira bahwa kebiasaannya ini dianggap sebagai ubudiyah. Tandanya yang paling nyata, jika dia ditawari untuk melakukan ketaatan yang lebih ringan dan lebih mudah serta lebih nyata kemaslahatannya, maka dia menolaknya dan meremehkannya, karena dia sudah terbiasa berpuasa terus-menerus. Padahal ini hanya sekadar kebiasaan semata.

 

Tanda menghentikan hasrat dalam pengabdian ialah melemahnya hasrat itu. Seorang hamba yang murni dan tulus tidak akan berhenti mengabdi. Bahkan hasratnya lebih tinggi dari sekadar pengabdian, yaitu mendapatkan keridhaan tuannya. Jika hasrat hamba berhenti, maka akan merendahkan kedudukannya,

 

  1. Mendidik keadaan, yaitu tidak mencondongkan keadaan kepada ilmu, tidak tunduk kepada rupa dan tidak menengok ke bagian.

 

Mencondongkan keadaan kepada ilmu ada dua macam: Terpuji dan tercela, Yang terpuji ialah memperhatikan apa yang diperintahkan ilmu dan mengangkat ilmu sebagai hakim atas keadaan. Jika tidak ada kecenderungan seperti ini, maka itu merupakan kecondongan yang tercela dan menjauhkan pelakunya dari Allah. Setiap keadaan yang tidak disertai ilmu, bisa dikhawatirkan merupakan tipuan setan dan justru menjauhkannya dari Allah, karena dia tidak menghakimi keadaan dengan ilmu, hingga akhirnya dia menyimpang dari hakekat iman dan syariat Islam. Mereka inilah seperti yang dikatakan Al-Junaid bin Muhammad, yaitu ketika ada seseorang yang mengatakan kepadanya, bahwa di antara ahli ma’rifat ada yang tidak mau beramal karena menganggapnya sebagai pengabdian dan tagarrub kepada Allah. Maka Al-Junaid berkata, “Ini adalah anggapan orang-orang yang membebaskan amal anggota tubuh. Bagi saya ini merupakan masalah yang sangat besar. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada orang-orang ini. Sebab orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah seharusnya mengambil amalan dari Allah dan mengembalikan amal kepadaNya. Andaikan saya hidup seribu tahun, maka saya tidak akan mengurangi pengabdian sedikit pun, kecuali jika memang saya tidak sanggup lagi mengerjakannya.” Dia juga pernah berkata, “Semua jalan terhalang dari manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah.“ Adapun kekeliruan yang mereka lakukan, karena hukum-hukum ilmu dikaitkan dengan ilmu, dan hukum-hukum keadaan dikaitkan dengan pengungkapan batin. Orang yang mengandalkan keadaan tidak berada dalam lingkup ilmu dalam menghadapi berbagai hal. Jika digunakan timbangan ilmu, muncul pertentangan antara ilmu dan keadaan. Sementara tidak ada hukum untuk menggugurkan salah satu di antara keduanya. Maka barangsiapa telah mencapai tingkatan pengungkapan batin, namun kemudian dia cenderung kepada hukum-hukum ilmu, berarti dia dipaksa untuk mundur ke belakang. –

 

Perhatikanlah ungkapan dan syubhat yang mengandung racun yang ganas ini, yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ma’rifat dan agama tanpa terasa, seperti sehelai rambut yang ditarik dari tepung.

 

Ketahuilah bahwa ma’rifat yang benar adalah ruh ilmu, dan keadaan yang benar merupakan ruh amal yang lurus. Setiap keadaan yang bukan merupakan hasil amal yang lurus, sesuai dengan ilmu, maka kedudukannya seperti ruh yang jahat. Memang tidak dipungkiri bahwa keadaan ruh ini bisa bermacam-macam. Tapi yang harus dipertimbangkan adalah derajat dari keadaan itu.

 

Selagi suatu keadaan bertentangan dengan salah satu hukum ilmu, maka keadaan itu rusak atau kurang dan sama sekali tidak lurus. Ilmu yang benar dan amal yang lurus merupakan timbangan ma’rifat yang benar dan keadaan yang benar. Keduanya seperti dua badan yang menjadi tempat ruh masing-masing. Tidak tunduk kepada rupa artinya tidak ada sedikit pun keduniaan yang menguasai hati dan hati itu tidak tunduk kepadanya. Orang yang mempunyai suatu keadaan hanya memohon kepada Dzat Yang Mahahidup dan tidak selayaknya mengandalkan rupa-rupa yang gemerlap dari keduniaan.

 

Tidak menengok ke bagian artinya jika keadaan sudah menjadi sempurna, maka pelakunya tidak boleh larut dalam kegembiraan karena keadaannya itu dan kenikmatannya, karena yang demikian ini merupakan bagian nafsu.

 

  1. Mendidik tujuan, yaitu dengan membersihkannya dari kehinaan keterpaksaan, menjaganya dari penyakit loyo dan membantunya agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu.

 

Membersihkan tujuan dari kehinaan keterpaksaan artinya janganlah dirinya digiring kepada Allah secara paksa, tak ubahnya buruh yang harus tunduk kepada juragan. Tapi seluruh relung hatinya dibawa kepada Allah dengan patuh, cinta dan suka, layaknya aliran air ke permukaan yang rendah. Inilah keadaan orang-orang yang mencinta secara tulus, bahwa ubudiyah mereka itu dilandasi cinta, ketaatan dan keridhaan, yang sekaligus merupakan kegembiraan, kesenangan hati dan kedamaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi

 

“Dan, kegembiraanku dijadikan dalam shalat.”

 

Begitu pula sabda beliau kepada Bilal, “Hai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan shalat.”

 

Tentang kehinaan paksaan di sini terkandung sentuhan makna yang amat lembut, bahwa orang yang taat karena terpaksa, melihat bahwa kalau tidak karena kehinaan paksaan dan hukuman tuannya, tentu dia tidak mau taat kepadanya. Dia membawa ketaatannya seperti orang yang hina di hadapan Orang yang memaksanya. Berbeda dengan orang yang mencintai, yang menganggap ketaatan kepada kekasihnya sebagai kekuatan dan kenikmatan serta tidak merasa hina sama sekali. Menjaga tujuan dari penyakit loyo artinya menjaga agar tujuan itu tidak melemah dan api pencariannya tidak padam. Hasrat merupakan ruh tujuan dan semangatnya seperti kesehatan. Sementara keloyoannya merupakan penyakit. Maka mendidik tujuan ialah menjaganya dari sebab-sebab penyakit.

 

Sedangkan membantu tujuan agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu artinya membantu tujuan itu dengan penguasaan ilmu secara mendetail dan menghadapkan seluruh hati kepada Allah. Dengan kata lain, ilmu ini menuntut hamba untuk beramal, yang dilandasi ketaatan, suka rela, mengharapkan pahala dan takut akan siksa.

 

Istiqamah

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah”, kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanji kan Allah kepada kalian.” (Fushshilat: 30).

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Ahqaf: 13-14).

 

“Maka tetaplah istiqamah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat tanpa yang kalian kerjakan.“ (Hud: 112).

 

Allah telah menjelaskan bahwa istiqamah merupakan kebalikan dari sikap yang melampaui batas. Abu Bakar Ash-Shiddig, orang yang paling lurus dan jujur serta yang paling istiqamah dalam umat ini pernah ditanya tentang makna istiqamah. Maka dia menjawab, “Artinya, janganlah engkau menyekutukan sesuatu pun denganAllah.” Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid yang murni.

 

Umar bin Al-Khaththab juga berkata, “Istiqamah artinya engkau teguh hati pada perintah dan larangan dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah.”

 

Utsman bin Affan berkata, “Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Allah.”

 

Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas berkata, “Istiqamah artinya melaksanakan kewajiban-kewajiban.”

 

Al-Hasan berkata, “Istiqamah pada perintah Allah artinya taat kepada Allah dan menjauhi kedurhakaan kepada-Nya.”

 

Mujahid berkata, “Istiqamah artinya teguh hati pada syahadat bahwa tiada Ilah selain Allah hingga bersua Allah.”

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Istiqamah artinya teguh hati untuk mencintai dan beribadah kepadaNya, tidak menoleh dari-Nya ke kiri atau ke kanan.”

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Sufyan bin Abdullah, dia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga aku tidak lagi bertanya lagi kepada seseorang selain engkau.”

 

Beliau menjawab, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah”, kemudian istiqamahlah.”

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Tsauban, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Istiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak bisa membilangnya. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang memelihara wudhu’ kecuali orang Mukmin.”

 

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, 

 

“Ikutilah jalan lurus dan berbuatlah apa yang mendekatinya. Ketahuilah bahwa sekali-kali salah seorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya”.

 

Mereka bertanya, “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia, Nya.”

 

Di dalam hadits ini Rasulullah menghimpun semua sendi agama. Beliau memerintahkan istiqamah, jalan lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan di dalam hadits Tsauban beliau mengabarkan bahwa mereka tidak mampu melakukannya. Maka beliau mengalihkannya kepada mugarabah, atau mendekati istiqamah menurut kesanggupan mereka, seperti: orang yang ingin mencapai suatu tujuan. Kalau pun dia tidak mampu mencapainya, maka minimal dia mendekatinya. Sekalipun begitu beliau mengabarkan bahwa istiqamah dan apa yang mendekati istiqamah ini tidak menjamin keselamatan pada Hari Kiamat. Maka seseorang tidak boleh mengandalkan amalnya, tidak membanggakannya dan tidak melihat bahwa keselamatannya tergantung pada amalnya, tapi keselamatannya tergantung dari rahmat dan karunia Allah.

 

Istiqamah merupakan kalimat yang mengandung banyak makna, meliputi berbagai sisi agama, yaitu berdiri di hadapan Allah secara hakiki dan memenuhi janji. Istiqamah berkaitan dengan perkataan, perbuatan, keadaan dan niat. Istiqamah dalam perkara-perkara ini berarti pelaksanaannya karena Allah, beserta Allah dan berdasarkan perintah Allah. Sebagian orang arif berkata, “Jadilah orang yang memiliki istiqamah dan janganlah menjadi orang yang mencari kemuliaan, karena jiwamu bergerak untuk mencari kemuliaan, sementara Rabb-mu memintamu untuk istiqamah.”

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kemuliaan yang paling besar adalah mengikuti istiqamah.”

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, istiqamah merupakan ruh, yang karenanya keadaan menjadi hidup dan juga menyuburkan amal manusia secara umum. Istiqamah merupakan penyekat antara dua hal yang ada di bawah dan yang di atas.

 

Dia menyerupakan istiqamah dari suatu keadaan seperti ruh bagi badan. Sebagaimana badan yang tidak memiliki ruh sama dengan mayat, maka keadaan yang tidak memiliki istiqamah tentu akan rusak. Karena kehidupan keadaan hanya dengan istiqamah, maka tambahan dan pertumbuhan amal orang-orang yang zuhud hanya dengan istiqamah.

 

Istiqamah diserupakan dengan penyekat antara dua hal yang berbeda, antara yang di atas dan yang di bawah. Orang yang berada di permukaan yang tinggi tentu bisa melihat yang dekat maupun yang jauh, berbeda dengan orang yang berada di tempat yang permukaannya lebih rendah. Dengan kata lain, bahwa orang yang berjalan kepada Allah, pada mulanya dia berada di permukaan yang lebih rendah, lalu dia berjalan menuju tempat yang lebih tinggi, istiqamah dalam perjalanannya, agar dia benar-benar sampai ke puncaknya. Istiqamahnya merupakan penyekat dan batas antara tempat permulaan perjalanannya dan tempat tujuannya.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat istiqamah, yaitu:

 

  1. Istiqamah dalam usaha untuk melalui jalan tengah, tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan tidak menyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara:

 

– Amal dan usaha yang dimungkinkan.

 

Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.

 

Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.

 

Kehendak untuk mengesakan sesembahan, yaitu ikhlas.

 

Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-Sunnah.

 

Lima perkara inilah yang menyempurnakan istiqamahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi keluar dari salah satu di antaranya, berarti mereka keluar dari istiqamah, entah keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya orang-orang salaf menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah dalam amal dan berpegang kepada As-Sunnah. Sesungguhnya setan itu bisa mencium hati hamba dan juga mengintainya. Jika dia melihat suatu indikasi ke bid’ah di dalamnya dan berpaling dari kesempurnaan ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar tidak berpegang kepada As-Sunnah. Jika setan melihat hasrat yang kuat terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan mampu mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari As-Sunnah. Maka ia memerintahkannya untuk terus berusaha, lalu bersikap sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, “Ini merupakan kebaikan dan ketaatan. Semakin semangat dalam berusaha, semakin menyempurnakan ketaatan itu.” Begitulah yang terus dibisikkan setan hingga dia keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah keadaan golongan Khawarij yang melecehkan orang-orang yang istiqamah, dengan membandingkan shalat, puasa dan bacaan Al-Qur’an di antara mereka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dari As-Sunnah ke bid’ah. Yang pertama keluar ke bid ah pengabaian dan yang kedua keluar ke bid’ah kelewat batas.

 

  1. Istiqamah keadaan, yaitu mempersaksikan hakekat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya.

 

Dengan kata lain, istiqamah keadaan dilakukan dengan tiga cara ini Kaitannya dengan kesaksian hakekat, maka hakekat itu ada dua macam: hakekat alam dan hakekat agama, yang dipadukan hakekat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya. Mayoritas pemerhati masalah perilaku dari muta’akhirin mengartikan hakekat ini adalah hakekat alam, Kesaksiannya merupakan kesaksian kesendirian Allah dalam perbuatan, Sedangkan selain Allah merupakan tempat obyek hukum dan perbuatan-Nya, seperti halnya tempat landai yang menjadi sasaran aliran air. Menurut mereka, kesaksian hakekat ini merupakan tujuan orang-orang yang berjalan kepada Allah.

 

Kesaksian hakekat ini tidak bisa dilakukan dengan keberuntungan, karena keberuntungan merupakan kehendak nafsu. Sementara hakekat tidak akan muncul selagi ada nafsu.

 

Perkataan, “Menolak bualan dan bukan ilmu”, bualan ini berarti mengaitkan keadaan kepada dirimu dan egoismemu. Istiqamah tidak akan menjadi benar kecuali dengan meninggalkan bualan ini, entah benar entah salah. Sebab bualan yang benar bisa memadamkan cahaya marrifat. Lalu bagaimana jika bualan itu jelas dusta? Lalu pendorong untuk meninggalkan bualan ini bukan sekadar pengetahuan tentang keburukan bualan dan dampaknya yang bisa menghilangkan istiqamah, sehingga seseorang meninggalkannya hanya sekadar di luarnya saja dan bukan secara hakiki. Dia harus meninggalkannya secara lahir dan hakiki, sebagaimana seseorang yang meninggalkan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya secara lahir dan hakiki.

 

Perkataan, “Berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya”, artinya terus-menerus sadar dan cahayanya tidak boleh padam karena kegelapan kelalaian, dan melihat bahwa dirinya seperti orang yang hendak dirampas, namun mendapat penjagaan dari Allah, dan tidak melihat bahwa hal itu merupakan kewaspadaannya sendiri.

 

  1. Istiqamah dengan tidak melihat istiqamah, tidak lengah untuk mencari istiqamah dan keberadaannya pada kebenaran.

 

Melihat istiqamah diri sendiri bisa menutupi hakekat kesaksian dan melalaikan apa yang dipersaksikannya. Sedangkan tidak lengah mencari istiqamah artinya tidak lengah mencari kesaksian penegakan kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allahlah yang menegakkan segala urusan dan istiqamahnya berasal dari Allah, bukan berasal dari dirinya dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah yang mendatangkan istiqamah itu. Ini merupakan konsekuensi dari kesaksian terhadap asma Allah Al-Oayyum. Artinya keyakinan bahwa hanya Allah sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selainNya, tapi semua selain-Nya tentu membutuhkan-Nya.

 

Tawakal

 

Allah berfirman berkaitan dengan tempat persinggahan tawakal ini,

 

“Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23).

 

Allah berfirman kepada Rasul-Nya,

 

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159).

 

Masih banyak firman Allah yang menjelaskan tawakalnya para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman.

 

Di dalam Asli-Shahihain disebutkan hadits tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai mantra, tidak meramal yang buruk-buruk, tidak mengobati dengan sundutan api, dan hanya bertawakal kepada Allah.

 

Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Ibnu Abbas w, dia berkata, “Hasbunallah wa ni’mal-wakil”, diucapkan Ibrahim, ketika beliau dilemparkan ke kobaran api, dan juga dikatakan Rasulullah, saat orang-orang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia (Ouraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”.

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah biasa berdoa,

 

“Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku bermusuhan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada kemuliaan-Mu, yang tiada Ilah selain Engkau, agar Engkau (tidak) menyesatkanku. Engkau Yang Maha hidup yang tiada mati, sedangkan jin dan manusia mati.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan dari Umar bin Al-Khaththar secara marfu’, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar. benarnya tawakal, niscaya Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”

 

Di dalam As-Sunnah disebutkan dari Anas bin Malik, dia berkata, “Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa mengucapkan (saat keluar dari rumahnya), “Dengan asma Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah’, maka dikatakan kepadanya, “Kamu mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupkan. Lalu setan berkata kepada setan lainnya, “Bagaimana mungkin kamu bisa memperdayai orang yang telah mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupi?

 

Tawakkal merupakan separoh agama dan separohnya lagi adalah inabah. Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah. tawakal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah.

 

Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakal, yang bisa disinggahi orang-orang Mukmin dan juga orangorang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakal, sekalipun kaitan tawakal mereka berbeda-beda. Para wali Allah dan hamba hamb-Nya yang khusus bertawakal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezeki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakal mereka ini lebih kuat daripada tawakalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka.

 

Tawakal yang paling baik ialah tawakal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama. Ini merupakan tawakalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini Juga tawakalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti. Siapa yang benar dalam tawakalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya.

 

Berikut ini akan kami jelaskan makna tawakal dan derajat-derajatnya serta berbagai pendapat tentang tawakal ini.

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Tawakkal adalah amal hati. Karena ia merupakan amal hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota tubuh. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu atau pun teori.”

 

Namun di antara manusia ada pula yang menganggapnya masalah ilmu dan ma’rifat, dengan mengatakan, “Tawakkal merupakan ilmu hati atas jaminan Allah yang diberikan kepada hamba.” Sahl berkata, “Tawakkal merupakan kepasrahan kepada Allah menurut apa pun yang dikehendaki-Nya.” Bisyr Al-Hafi berkata, “Adakalanya seseorang yang berkata, ‘Aku tawakal kepada Allah”, tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia benar-benar tawakal kepada Allah, tentu dia meridhai apa pun yang dilakukan Allah terhadap dirinya.”

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seseorang bisa disebut orang yang tawakal?” Maka dia menjawab, “Jika dia ridha kepada Allah sebagai wakilnya.”

 

Di antara mereka ada yang menafsiri tawakal dengan keyakinan terhadap Allah, tenang dan damai terhadap-Nya.

 

Ibnu Atha’ berkata, “Tawakkal ialah jika engkau tidak mempunyai kecenderungan kepada sebab-sebab tertentu, sekalipun engkau sangat membutuhkannya. hakekat kedamaian tidak akan beralih ke kebenaran selagi engkau mengandalkan sebab-sebab itu.”

 

Dzun-Nun berkata, “Tawakkal artinya tidak bersandar kepada pengaturan diri sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri. tawakal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allah mengawasi dan melihat dirinya.”

 

Ada yang berkata, “Tawakkal ialah bergantung kepada Allah di setiap keadaan.”

 

Ada pula yang berpendapat, “Tawakkal ialah jika engkau menolak sumber-sumber kebutuhan dan engkau tidak kembali kecuali kepada Dzat yang benar-benar memberi kecukupan.”

 

Ada pula yang berkata, “Tawakkal ialah menghilangkan segala keragu-raguan dan berserah diri kepada Raja Segala Raja.” Abu Sa’id Al-Kharraz berkata, “Tawakkal ialah kegelisahan tanpa ketenangan dan ketenangan tanpa kegelisahan.” Abu Turab An-Nakhsyabi berkata, “Tawakkal ialah menghempaskan badan untuk beribadah, menggantungkan hati dalam Rububiyah, merasa tenang karena ada kecukupan, jika diberi bersyukur dan jika ditolak sabar.”

 

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “Tawakkal itu ada tiga derajat: tawakal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. tawakal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. tawakal merupakan sifat orangorang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. tawakal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad.”

 

Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakal.

 

Pada hakekatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakekatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:

 

  1. Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakal. Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) berkata, “Karena itu tawakal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah. tawakal macam apakah yang keluar dari orang yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakalnya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah yang lebih mengetahui hal ini.”

 

  1. Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempurnaan tawakal.

 

Ketahuilah bahwa tawakalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali. Sebab tawakal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa yang ditawakkali. tawakal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba percaya bahwa tawakalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap diperolehnya, baik dia tawakal atau tidak tawakal, berdoa atau tidak berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya Jika tidak ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akan diperolehnya, tawakal atau tidak tawakal.

 

Orang-orang yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakal dan doa adalah ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya hanya ubudiyah itu semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang berdoa berada di antara ketakutan dan harapan. Kesangsian terhadap pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah.

 

Perhatikanlah bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menyeret mereka ke dalam dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa. Padahal Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah dugaan mereka yang batil, dapat dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan dari duabagian di atas, yaitu kenyataan. Dengan kata lain, bahwa Allah menetapkan tawakal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak mengerjakan sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima’ dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima’ dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya. Allah menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk surga jika dia masuk Islam dan mengerjakan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka selamanya dia tidak akan masuk surga.

 

Sekarang bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja. Tapi jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat.”

 

Apakah orang yang berkata seperti ini dianggap sebagai orang yang waras? Bukankah binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara umum.

 

Tawakal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Siapa yang mengingkari sebab, berarti tawakalnya tidak benar. Tapi tawakal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengannya.

 

  1. Memantapkan hati pada pijakan tauhid. tawakal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakekat tawakal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakalnya kepada Allah karena adanya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian orang bahwa tawakal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati dan bukan dari anggota tubuh. tawakal tidak benar kecuali dengan menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada hubungan dengan sebab.

 

  1. Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah dan ketenangannya bergantung kepada-Nya, telah melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang berhadapan dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya, lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka pintunya, lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya. Dia melihat musuh ada diluar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja. Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata kepadanya, “Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah. Jika engkau mau datang ke tempatku, akan kuberikan seberapa pun yang engkau minta.” Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.

 

  1. Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakalmu kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakal dengan baik sangka terhadap Allah. Yang benar, baik sangka ini mengajak kepada tawakal. Sebab tawakal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.

 

  1. Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menaifsiri tawakal ini dengar berkata, “Hendaknya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur.

 

Inilah makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakal adalah membebaskan diri dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah, Tapi ini tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang diperbuat Allah terhadap dirimu dan bukan dalam perkara-perkara yang diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.

 

  1. Pasrah. Ini merupakan ruh tawakal, inti dan hakekatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya. Jika seorang hamba sudah sampai ke derajat ini, maka dia akan beralih ke derajat lain, yaitu ridha, yang merupakan buah tawakal, sehingga ada yang menafsiri tawakal dengan ridha. Berarti penafsiran ini hanya melihat sisi buah tawakal dan manfaatnya yang paling besar. Sebab siapa yang tawakal dengan sebenar-benarnya tawakal, tentu dia ridha, terhadap apa pun yang dilakukan wakilnya.

 

Syaikh kami, Ibnu Taimiyah berkata, “Yang menjadi ukuran adalah dua perkara: tawakal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang tawakal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha kepada-Nya setelah berbuat, berarti dia telah menegakkan ubudiyah.”

 

Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi sehubungan dengan doa istikharah, “Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuasaan kepada-Mu dengan kekuasaanMu, dan aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung.” Ucapan ini mencerminkan tawakal dan kepasrahan. Kelanjutan doa ini, “Sesungguhnya Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui yang gaib”. Ini mencerminkan kepasrahan kepada Allah dalam masalah ilmu, daya dan kekuatan serta tawassul kepadaNya dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan tawassul paling disukai orangorang yang tawassul kepada-Nya. Kelanjutan doa istikharah ini adalah permohonan agar Allah memenuhinya jika di dalamnya ada kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Maka yang menyiksa baginya hanya ridha terhadap ketetapan Allah, dengan berkata, “Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun bentuknya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya.”

 

Doa istikharah ini mencakup ma’rifat tentang Allah, hakekat-hakikat iman, seperti tawakal, kepasrahan sebelum ada ketetapan dan ridha setelah ada ketetapan, yang merupakan buah tawakal, sedangkan kepasrahan merupakan tanda kebenaran tawakal.Jika dia tidak ridha, maka kepasrahannya tidak murni.

 

Dengan menyempurnakan delapan derajat ini, berarti seorang hamba telah menyempurnakan tawakal dan pijakan kakinya sudah mantap di tempat persinggahan ini.

 

Namun banyak terjadi kerancuan dalam masalah yang terpuji dan sempurna ini dengan hal-hal yang tercela dan kurang. Ada kerancuan dalam masalah kepasrahan dengan penyia-nyiaan. Seorang hamba menyia-nyiakan bagiannya dengan anggapan bahwa itu merupakan kepasrahan dan tawakal, padahal itu merupakan penyia-nyiaan dan penelantaran, bukan kepasrahan.

 

Ada pula kerancuan tawakal dengan kesantaian dan tidak mau memikul beban, lalu pelakunya mengira bahwa dia adalah orang yang tawakal. Ada pula kerancuan melepaskan sebab dan meniadakannya. Melepaskan sebab merupakan gambaran tauhid sedangkan meniadakan sebab merupakan zindiq dan ateis. Melepaskan sebab artinya tidak menyandarkan hati kepada sebab, sedangkan meniadakan sebab berarti menyingkiri sebab itu secara total. Dan masih banyak contoh lain tentang kerancuan-kerancuan ini.

 

Tawakal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan umum kebergantungannya kepada Asma’ul-Husna. Tawakal mempunyai kebergantungan secara khusus dengan keumuman perbuatan dan sifat-sifat Allah. Semua sifat Allah bisa dijadikan gantungan tawakal. Maka siapa yang lebih banyak ma’rifatnya tentang Allah, maka tawakalnya juga lebih kuat.

 

Banyak orang yang tawakal justru tertipu oleh tawakalnya. Boleh jadi seseorang bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal, namun dia tertipu. Seperti orang yang mengalihkan tawakalnya kepada kebutuhan parsial dengan mencurahkan seluruh kekuatan tawakalnya. Padahal dia bisa mendapatkan kebutuhan itu dengan cara yang paling sederhana. Padahal seandainya dia mencurahkan hatinya untuk tawakal dengan menambah iman dan ilmu serta menolong agama, maka ini jauh lebih baik baginya.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Tawakkal adalah penyerahan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dan menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya. Ini merupakan tempat persinggahan orang awam yang paling sulit dan jalan yang paling lemah bagi orang-orang yang khusus. Sebab Allah, telah menyerahkan semua urusan kepada Diri-Nya dan alam tidak berkuasa terhadapnya sedikit pun.”

 

Menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya, artinya lebih mementingkan tindakannya daripada tindakanmu dan kehendaknya daripada kehendakmu, Menyerahkan kepercayaan ini ada dua macam: Pertama, mengangkat wakil atau kepasrahan kepadanya. Kedua, menyerahkan urusan kepada orang yang ditunjuk sebagai wakil. Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Allah mewakilkan kepada hamba dan menunjuknya untuk menjaga apa yang diserahkan kepadanya. Sedangkan hamba menyerahkan kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Tentang penyerahan kepercayaan Allah kepada hambaNya, maka Dia berfirman,

 

“Tika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (Al

An’am: 89).

 

Maksudnya, siapa yang melaksanakan apa yang diwahyukan Allah karena iman, mau melaksanakan dakwah, jihad dan memberikan pertolongan, maka mereka itulah yang akan diserahi Allah untuk mengemban kepercayaan ini.

 

Jika engkau bertanya, “Lalu bolehkah jika dikatakan, “Seseorang menjadi wakil Allah?”

 

Dapat dijawab, “Tidak. Sebab yang disebut wakil adalah orang yang bertindak atas nama yang menunjuknya sebagai wakil lewat cara perwakilan. Padahal Allah tidak mempunyai wakil dan tak ada seorang pun yang menggantikan kedudukan-Nya, tapi justru Allahlah yang menjadi pengganti hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam doa ketika hendak mengadakan perjalanan, “Ya Allah, Engkau teman dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga.”

 

Sedangkan penyerahan kepercayaan hamba kepada Allah artinya kepasrahan hamba kepada-Nya dan membebaskan dirinya dari sikap tertentu dan menegakkan Rububiyah dengan ubudiyah. Inilah makna Allah sebagai wakil hamba. Artinya, Allahlah yang mencukupinya, menangani segala urusan dan kemaslahatannya. Sedangkan perwakilan yang diserahkan Allah kepada hamba merupakan perintah dan ubudiyah.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat tawakal, yang masing-masing berjalan menurut perjalanan manusia secara umum yaitu:

 

  1. Tawakkal yang disertai permintaan dan memperhatikan sebab, menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut.

 

Orang yang memiliki derajat ini bertawakal kepada Allah dan tidak meninggalkan sebab. Bahkan dia mencari sebab itu dengan niat untuk menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut andaikan hati disibukkan oleh nafsu. Sebab jika hati tidak sibuk dengan sesuatu yang bermanfaat, maka ja sibuk dengan sesuatu yang berbahaya. Apalagi jika ada waktu senggang dan disertai semangat keremajaan dan kecenderungan jiwa kepada nafsu serta lalai.

 

Mengerjakan sebab yang diperintahkan merupakan cermin ubudiyah dan merupakan hak Allah atas hamba-Nya, yang karenanya ada pahala dan siksa.

 

  1. Tawakkal dengan meniadakan permintaan, menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakal, menundukkan nafsu dan menjaga hal-hal yang wajib.

 

Meniadakan permintaan artinya permintaan kepada hamba dan bukan permintaan menurut hak. Dia tidak meminta sesuatu pun dari seseorang. Pada dasarnya permintaan kepada hamba itu dimakruhkan, tapi bisa mubah jika sangat diperlukan, seperti diperbolehkannya makan bangkai bagi orang yang terpaksa. Ahmad menetapkan bahwa permintaan kepada hamba ini tidak wajib. Syaikh kami memberi isyarat, bahwa permintaan itu tidak layak. Saya mendengarnya pernah berkata tentang permintaan ini, “Itu merupakan kezhaliman dalam hak Rububiyah dan kezhaliman terhadap hak hamba serta kezhaliman terhadap hak diri sendiri.” Disebut kezhaliman dalam hak Rububiyah, karena permintaan itu mengandung ketundukan kepada selain Allah dan mengalirkan air muka kepada selain penciptanya. Mengalihkan permintaan terhadap Allah kepada permintaan terhadap hamba, bisa mendatangkan murka Allah, jika kebutuhan hidupnya masih tercukupi pada hari itu. Disebut kezhaliman terhadap hak hamba, karena permintaan itu merupakan tuntutan agar dia mengeluarkan apa yang diminta. Padahal apa yang diminta itu merupakan sesuatu yang disukai pemiliknya. Disebut kezhaliman terhadap hak diri sendiri, karena permintaan itu sama dengan melecehkan harga dirinya. Permintaan makhluk kepada makhluk merupakan permintaan orang fakir kepada orang fakir lainnya. Tapi jika engkau meminta kepada Allah, maka engkau justru menjadi mulia di hadapan-Nya, Dia ridha kepadamu dan mencintaimu. Tapi jika engkau meminta kepada makhluk, maka engkau menjadi kerdil di hadapannya dan dia kurang suka kepadamu, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

“Allah murka jika engkau tak meminta kepada-Nya anak Adam justru murka jika engkau meminta kepadanya.”

 

Hamba yang buruk ialah yang biasa meminta kepada hamba yang lain padahal dia tahu Tuhannya mempunyai apa pun yang dikehendakinya. Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Auf bin Malik Al-Asyja’i, dia berkata “Kami sedang berada di sisi Rasulullah bersama sembilan, delapan atau tujuh orang. Beliau bertanya, “Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?”

 

Memang pada masa pelaksanaan baiat, kami masih terlalu kecil. Kami berkata, “Kami sudah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah.”

 

Beliau bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?”

 

Kami membentangkan tangan seraya berkata, “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah. Lalu untuk apa kami berbaiat kepada engkau?”

 

Beliau bersabda, “Agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, menjaga shalat lima waktu dan janganlah kalian meminta sesuatu pun kepada manusia.”

 

Auf bin Malik berkata, “Aku pernah melihat sebagian di antara mereka, ketika cambuknya jatuh, maka dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkannya.”

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Meminta-minta senantiasa dilakukan salah seorang di antara kalian hingga dia bersua Allah, sementara di mukanya tidak ada sekerat daging pun.”

 

Didalam Ash-Shahihain Juga disebutkan,bahwa Nabi dari atas mimbar tatkala menyebutkan masalah shadagah dan menjaga diri untuk tidak meminta-minta,

 

“Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia karena menginginkan harta yang banyak, maka dia hanyalah meminta bara api. Maka hendaklah dia menganggapnya sedikit atau menganggapnya banyak.”

 

Dan masih banyak hadits-hadits lain yang senada, yang menjelaskan kehinaan meminta-minta kepada manusia. tawakal dengan meninggalkan permintaan ini merupakan ubudiyah yang murni.

 

Perkataannya, “Menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakal”, artinya tidak menyibukkan diri dengan seluruh sebab, karena hendak membenahi tawakal dan menguji jiwa. Sebab ada orang yang memperhatikan sebab, dan dia mengira telah tawakal, padahal dia belum tawakal karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya. Jika dia berpaling dari sebab, maka tawakalnya dianggap benar.

 

Inilah yang diisyaratkan sebagian ahli ibadah, yang mengarungi gurun tanpa membawa bekal apa pun, karena mereka menganggap bekal itu bisa menodai tawakal. Kisah tentang hal ini banyak dinukil dari mereka. Inilah Ibrahim Al-Khawwash, orang yang sangat detail dalam tawakalnya. Memang dia mengarungi gurun tanpa membawa bekal. Tapi dia tidak pernah ketinggalan membawa benang, jarum, kantong kulit dan gunting. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau membawa barang-barang itu, sementara engkau tidak membawa bekal yang lain?” Dia menjawab, “Yang seperti ini tidak mengurangi tawakal. Sebab Allah telah menetapkan beberapa kewajiban kepada kita. Orang fakir hanya mempunyai satu lembar pakaian. Boleh jadi pakaiannya itu robek. Jika dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya akan kelihatan sehingga shalatnya tidak sah. Jika dia tidak membawa kantong kulit, maka dia tidak bisa bersuci. Jika engkau melihat orang fakir yang tidak mempunyai jarum, benang dan kantong kulit, maka curigailah shalatnya.”

 

Perhatikanlah bagaimana dia merasa bahwa agamanya belum benar kecuali dengan sebab? Membebaskan diri dari sebab secara total merupakan tindakan yang ditentang akal, syariat dan indera. Memang adakalanya seseorang memiliki keyakinan yang amat kuat terhadap Allah, yang mendorongnya untuk meninggalkan sebab yang selayaknya seperti orang yang menantang bahaya. Saat itu dia memasrahkan diri kepada Allah dan tidak mengandalkan dirinya sama sekali. Lalu datang pertolongan dari Allah. Tapi keadaan ini tidak terjadi secara terus-menerus.

 

Kisah-kisah yang biasanya dinukil orang-orang sufi berkaitan dengan masalah ini, bersifat parsial dan insidental, bukan merupakan jalan yang diperintahkan untuk diikuti dan tidak bisa ditetapkan. Sehingga hal ini menimbulkan cobaan bagi dua golongan manusia: Pertama, golongan yang menganggap kisah-kisah itu merupakan jalan kehidupan yang pasti, sehingga mereka berbuat hal yang sama. Kedua, golongan yang menyalahi syariat dan akal, yang menganggap keadaannya lebih sempurna daripada keadaan Rasulullah dan para shahabat.

 

  1. Tawakkal dengan mengetahui tawakal, membebaskan diri dari noda tawakal, menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang agung, tidak ada sekutu yang menyertai-Nya, bahkan sekutu-Nya bersandar kepada-Nya. Urgensi ubudiyah ialah jika hamba mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya yang merajai segala sesuatu.

 

Artinya, selagi orang yang berada pada derajat ini memutuskan sebab dan permintaan dan sudah melewati dua derajat sebelumnya, maka tawakalnya lebih baik daripada tawakal dua derajat sebelumnya. Setelah dia mengetahui hakekat tawakal dan mengetahui pendorong untuk membebaskan diri dari noda tawakal, atau yang tadinya tidak mengetahui noda tawakal lalu mengetahui hakekatnya, berarti pada saat itu tawakalnya sudah memiliki ma’rifat yang menyerunya untuk membebaskan diri dari noda tawakal. Kemudian ma’rifat untuk mengetahui noda tawakal ialah menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang memiliki kekuatan, pencegahan dan penundukan, yang menolak disertai sekutu selain-Nya, dan Dia Mahaagung dalam kekuasaan-Nya.

 

Tafwidh Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tafwidh (pasrah). Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Tafwidh ini mengandungkan isyarat yang amat lembut dan maknanya lebih luas dari tawakal. Sebab tawakal setelah ada sebab, sedangkan tafwidh belum ada sebab dan sesudahnya, yang juga disebut istislam (kepasrahan diri atau tunduk). tawakal merupakan cabang dari kepasrahan diri ini.” Artinya, orang yang pasrah membebaskan diri dari daya dan kekuatan, menyerahkan urusan kepada yang dipasrahi, tidak menempatkan dirinya pada posisi wakil yang menangani kemaslahatannya. Hal ini berbeda dengan tawakal, karena orang yang mewakili menggantikan posisi orang yang diwakili.

 

Tafwidh artinya keluar dari daya dan kekuatan, menyerahkan semua urusan kepada yang berkuasa atas urusan itu. Maka bisa dikatakan, “Begitu pula tawakal. Kesan negatif yang diberikan kepada tawakal juga berlaku untuk pemasrahan. Bagaimana mungkin engkau memasrahkan sesuatu yang sebenarnya engkau tidak memilikinya sama sekali kepada orang yang berhak memilikinya? Bisakah seorang rakyat biasa memasrahkan kekuasaan kepada raja atau penguasa pada masanya?

 

Jadi kekurangan dalam tafwidh justru lebih besar daripada kekurangan dalam tawakal. Bahkan sekiranya ada yang berkata, “Tawakkal lebih tinggi kedudukannya daripada tafwidh dan lebih agung”,justru perkataan yang tepat. Karena itu Al-Qur’an banyak berisi perintah untuk tawakal dan pengabaran tentang para wali Allah yang keadaannya selalu tawakal. Sementara tafwidh ini hanya disebutkan sekali di dalam Al-Qur’an, yaitu kisah orang Mukmin dari pengikut Fir aun. Maka kami menyimpulkan bahwa tawakal lebih tinggi dan lebih luas maknanya daripada tafwidh.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, tafwidh ini ada tiga derajat:

 

  1. Hamba harus mengetahui bahwa dia tidak memiliki kesanggupan sebelum berbuat, tidak merasa aman dari tipu daya, tidak boleh putus asa dari pertolongan dan tidak mengandalkan niatnya.

 

Dia harus yakin bahwa kesanggupannya untuk berbuat ada di Tangan Allah dan bukan di tangannya sendiri. Jika Allah tidak memberinya kesanggupan, maka dia adalah orang yang lemah. Dia tidak bergerak kecuali karena Allah dan bukan karena dirinya. Maka bagaimana mungkin dia merasa aman dari tipu daya, sementara dia orang yang digerakkan dan bukan yang menggerakkan?Jika Allah menghendaki, maka dia bisa membuatnya lemah dan tak berkeinginan, seperti firman Allah tentang orang-orang yang tidak mendapatkan taufig-Nya,

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kalian bersama orangorang yang tinggal itu’.” (At-Taubah: 46).

 

Tipu daya Allah terhadap hamba ialah memotong materi taufig darinya, membiarkannya, tidak peduli terhadap apa pun yang dilakukannya, tidak menggerakkannya kepada hal-hal yang diridhai-Nya. Ini bukan merupakan hak yang bisa dituntut dari Allah, sehingga Allah bisa disebut zhalim karena tidak memberikan taufig ini. Mahasuci Allah dari hal itu. Tapi taufig itu hanya sekadar karunia Allah, yang karenanya Dia layak dipuji saat memberikannya kepada seseorang atau pun saat tidak memberikannya kepada seseorang. Jika Allah merupakan penggerak bagi hamba, paling berkuasa, hanya Dialah yang menciptakan dan memberi rezeki serta Dia paling penyayang di antara para penyayang, maka bagaimana mungkin hamba itu berputus asa dari pertolongan-Nya?

 

Perkataan, “Tidak mengandalkan niatnya”, artinya tidak terlalu yakin terhadap niatnya sendiri dan tidak bersandar kepadanya. Sebab niat dan hasratnya ada di Tangan Allah, bukan di tangannya sendiri. Niat itu kembali kepada Allah dan bukan kepada dirinya sendiri.

 

  1. Merasakan kegundahan, sehingga seorang hamba tidak melihat satu amal pun yang menyelamatkan, dosa yang merusak dan sebab yang diemban. Artinya, seorang hamba harus melihat kefakiran dan kebutuhannya kepada Allah. Dia melihat bahwa dalam setiap atom zhahir dan batinnya tidak lepas dari kebutuhan terhadap Allah. Keselamatannya tergantung kepada Allah dan bukan karena amalnya.

 

Tidak melihat dosa yang merusak artinya kebutuhannya terhadap Allah menghalanginya untuk mengerjakan dosa yang merusak. Tidak melihat sebab yang diemban artinya memberikan kesaksian bahwa yang mengemban sebab itu adalah Allah dan bukan dirinya.

 

  1. Mempersaksikan kesendirian Allah yang menguasai gerak dan diam, yang menahan dan membentangkan, mengetahui perbuatan Allah terhadap hamba dan perbuatan Allah yang dinisbatkan kepada Diri-Nya sendiri. Derajat ini berkaitan dengan kesaksian terhadap sifat-sifat Allah dan keadaan-Nya. Derajat pertama dan kedua berkaitan dengan kesaksian terhadap keadaan hamba dan sifat-sifatnya. Artinya mempersaksikan gerak dan diamnya alam, yang semuanya berasal dari Allah. Keyakinan terhadap Allah

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Keyakinan ini adalah warna hitam mata tawakal, titik tengah lingkaran kepasrahan dan relung hati penyerahan diri.”

 

Perbuatan ibu Musa yang melarung putranya di sungai seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, merupakan keyakinan terhadap Allah. Sebab kalau tidak ada keyakinan terhadap Allah, mana mungkin dia mau menghanyutkan buah hatinya di atas permukaan air sungai yang bergelombang dan berombak, yang membawanya entah ke mana?

 

Artinya, keyakinan ini merupakan inti tawakal seperti halnya warna hitam yang merupakan bagian terpenting pada mata, atau seperti titik tengah dalam suatu lingkaran, yang semua sisi-sisinya berpusat kepadanya, atau seperti relung hati, yang menjadi bagian terpenting dari hati. Jadi kalau sekiranya kepasrahan merupakan hati, maka keyakinan ini merupakan relungnya. Sekiranya kepasrahan merupakan mata, maka keyakinan merupakan warna hitamnya. Sekiranya kepasrahan merupakan lingkaran, maka keyakinan merupakan titik tengahnya.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, keyakinan terhadap Allah ini ada tiga derajat: 1. Derajat keputusasaan. Maksudnya keputusasaan hamba dalam melawan hukum, agar dia tidak merasa mendapat bagian. Artinya, orang yang yakin kepada Allah merasa tidak bisa lari dari gadha’ dan hukum-Nya, karena Allah telah menetapkan hukum dan urusan bagi dirinya. Apabila Allah telah menetapkan hukum, rezeki, keadaan, ilmu, bagian dan lain-lainnya bagi seseorang, maka semua itu akan terjadi pada dirinya. Jika tidak menetapkannya, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada dirinya.

 

  1. Derajat aman. Maksudnya keamanan yang dirasakan hamba dari kehilangan apa yang telah ditetapkan dan dituliskan baginya, sehingga dia beruntung mendapatkan ruh ridha, atau setidak-tidaknya ada keyakinan atau sentuhan lembut kesabaran.

 

Seorang hamba yang merasakan keputusasaan di atas juga akan merasa aman. Dengan kata lain, orang yang benar-benar mengetahui Allah dan apa yang ditetapkan Allah bagi dirinya, maka dia akan merasa aman dan tidak khawatir akan kehilangan bagian yang telah ditetapkan Allah baginya dan yang telah tertulis di dalam kitab. Dengan perasaan ini dia beruntung mendapatkan ruh ridha dan kenikmatannya. Sebab orang yang ridha akan merasakan kenikmatan karena ridhanya. Kalaupun hamba tidak sanggup mendapatkan ruh ridha, setidak-tidaknya dia mendapatkan keyakinan atau kekuatan iman dan melihat Allah dengan hatinya. Kalaupun hasil ini masih meleset, maka setidak-tidaknya dia mendapatkan sentuhan lembut kesabaran dan kesudahan yang baik.

 

  1. Melihat keazalian Allah, untuk membebaskan diri dari ujian yang menghalangi tujuan.

 

Maksudnya, selagi hati mempersaksikan kesendirian Allah yang memiliki Sifat azali, maka ia tidak terlalu sibuk dengan permintaan, karena semuanya sudah ditetapkan dalam hukum Allah yang azali. Sehingga ia tidak merasa ada penghambat yang menghalangi tujuannya.

 

Sabar

 

Menurut Al-Imam Ahmad, kata sabar disebutkan di dalam Al-Qur’an di tujuh puluh tempat. Menurut ijima’ ulama umat, sabar ini wajib, dan merupakan separoh iman. Karena iman itu ada dua paroh, separoh adalah sabar dan separoh lagi adalah syukur.

 

Sabar ini disebutkan Al-Qur’an dalam enam belas versi:

 

  1. Perintah sabar, seperti firman-Nya,

 

“Dan, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (al-Baqarah: 45).

 

  1. Larangan melakukan sebaliknya, seperti firman-Nya, “Dan, janganlah kalian bersikap lemah dan janganlah (pula) kalian bersedih hati.” (Ali Imran: 139).

 

Sikap lemah dan selalu bersedih hati artinya tidak sabar. Karena itu dilarang

 

  1. Pujian terhadap pelakunya, seperti firman-Nya,

 

“Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-baqarah: 177).

 

  1. Keharusan sabar karena Allah mencintainya, seperti firman-Nya, “Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 146).

 

  1. Allah bersama orang-orang yang sabar, dan ini merupakan kebersamaan secara khusus, yang berarti menjaga, melindungi dan menolong mereka, bukan sekadar kebersamaan secara umum, seperti firman-Nya,

 

“Dan, bersabarlah kalian, karena Allah beserta orang-orang yang sabar.” (AlAnfal: 46).

 

  1. Pengabaran Allah bahwa sabar ini lebih baik bagi para pelakunya, seperti firman-Nya,

 

“Tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orangorang yang sabar.” (An-Nahl: 126).

 

  1. Allah memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik, . seperti firman-Nya, “Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96).

 

  1. Orang-orang yang sabar diberi balasan tanpa batas, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-zumar: 10).

 

  1. Orang-orang yang sabar mendapatkan kabar gembira, seperti firman-Nya, “Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155).

 

  1. Jaminan pertolongan bagi orang-orang yang sabar, seperti firman-Nya, “Ya (cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125). Rasulullah gs bersabda,

 

“Dan ketahuilah bahwa pertolongan itu beserta kesabaran.”

 

  1. Pengabaran dari Allah bahwa orang-orang yang sabar adalah orang-orang yang mulia, seperti firman-Nya, “Tetapi orang yang sabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu temasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syura:43).

 

  1. Pengabaran dari Allah bahwa pahala amal shalih hanya layak diperoleh orang-orang yang sabar, seperti firman-Nya, “Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang| orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (Al-Qashash: 80).

 

  1. Pengabaran bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari ayat-ayat Allah, seperti firman-Nya, “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang, dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang penyabar dan banyak bersyukur.” (Ibrahim: 5).

 

  1. Pengabaran bahwa keberuntungan yang diharapkan, keselamatan dari sesuatu yang ditakuti dan masuk surga, diperoleh orang-orang yang memperolehnya karena kesabaran mereka, seperti firman-Nya,

 

“Dan, para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan bagi kalian berkat kesabaran kalian”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 24).

 

  1. Sabar mempusakakan derajat kepeloporan dan kepemimpinan. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam berkata, “Dengan kesabaran dan keyakinan dapat diperoleh kepemimpinan dalam agama.” Lalu dia membawa ayat,

 

“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayatayat Kami.” (As-Sajdah: 24).

 

  1. Allah mengaitkan kesabaran dengan berbagai posisi dalam Islam, iman, keyakinan, takwa, tawakal, syukur, amal shalih, rahmat dan lain sebagainya. Karena itu sabar termasuk bagian dari iman, seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada artinya iman bagi seseorang yang tidak memiliki kesabaran, sebagaimana tidak ada artinya tubuh tanpa kepala. Umar bin Al-Khaththab berkata, “Hidup yang paling baik ialah yang kami lalui dengan kesabaran.”

 

Di dalam sebuah hadits disebutkan sabda Rasulullah ,

 

“Sungguh menakjubkan urusan orang Mukmin. Sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan baginya, dan yang demikian itu tidak dimiliki kecuali orang Mukmin saja. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika ditimpa penderitaan, dia sabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.”

 

Ada seorang wanita yang menderita sakit ayan. Lalu dia meminta kepada Rasulullah agar berdoa bagi kesembuhannya. Maka beliau bersabda, “Jika engkau ingin, maka engkau bisa bersabar dan engkau mendapatkan surga, dan jika engkau ingin, maka aku bisa berdoa kepada Allah agar memberikan afiat kepadamu.” Maka wanita itu berkata, “Aku sudah membuka kekuranganku.

 

Maka berdoalah wahai Rasulullah kepada Allah agar Dia tidak membuka kekuranganku di akhirat.” Maka beliau berdoa baginya.

 

Beliau memerintahkan orang-orang Anshar untuk bersabar menghadapi hal-hal yang kurang menyenangkan sepeninggal beliau, hingga mereka bersua beliau di liang kubur. Beliau juga memerintahkan untuk sabar saat berhadapan dengan musuh dan sabar saat ditimpa musibah.

 

Beliau memerintahkan orang yang ditimpa musibah agar melakukan hal yang paling bermanfaat baginya, yaitu sabar dan mencari ridha Allah, karena yang demikian itu akan meringankan musibahnya dan melipatgandakan pahalanya. Mengeluh dan gundah hati justru membuat musibah itu terasa semakin berat dan menghilangkan pahala.

 

Sabar menurut pengertian bahasa adalah menahan atau bertahan. Jika dikatakan, “Outila Fulan Shabran”, artinya Fulan terbunuh karena hanya bertahan. Jadi sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh kesah, menahan anggota tubuh dari kekacauan.

 

Sabar ini ada tiga macam: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri Tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar menerima musibah. Tapi kesabaran yang memang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri Tuannya, kesabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka. Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tanpa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandainya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah.”

 

Ibnu Taimiyah juga pernah berkata, “Sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan adanya kedurhakaan.”

 

Ada tiga jenis lain dari sabar, yaitu:

 

  1. Sabar karena pertolongan Allah. Artinya mengetahui bahwa kesabaran itu berkat pertolongan Allah dan Allahlah yang memberikan kesabaran, sebagaimana firman-Nya,

 

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (An-Nahl: 127).

 

Jika Allah tidak membuat beliau sabar, maka beliau tidak akan sabar.

 

  1. Sabar karena Allah. Artinya pendorong sabar adalah cinta kepada Allah, mengharapkan Wajah-Nya dan tagarrub kepada-Nya, bukan untuk menampakkan kekuatan jiwa dan ketabahan kepada manusia atau tujuan-tujuan lain.

 

  1. Sabar beserta Allah. Artinya perjalanan hamba bersama kehendak Allah, yang berkaitan dengan hukum-hukum agama, sabar dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan menegakkannya.

 

Banyak definisi dan pengertian yang dibuat para ulama dan orang-orang salaf tentang sabar. Yang pasti Allah telah memerintahkan kesabaran yang baik, pengampunan yang baik dan penghindaran yang baik di dalam KitabNya. Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah berkata, “Kesabaran yang baik ialah yang tidak disertai pengaduan, pengampunan yang baik ialah yang tidak disertai celaan, dan penghindaran yang baik ialah yang tidak disertai ucapan yang menyakitkan.”

 

Pengaduan kepada Allah tidak menafikan kesabaran, karena Ya’gub Alaihis-Salam telah berjanji untuk bersabar dengan baik, dan seorang nabi tidak akan mengingkari janjinya. Namun beliau tetap mengadu kepada Allah,

 

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah dari apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Yusuf:86)

 

Yang benar, mengadukan Allah dapat menafikan kesabaran, dan bukan pengaduan kepada Allah.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Sabar artinya menahan diri dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi dan membelenggu lisan agar tidak mengadu. Ini merupakan tempat persinggahan yang paling sulit bagi orang awam dan jalan cinta yang paling terjal serta jalan tauhid yang paling diingkari.

 

Dikatakan sulit bagi orang awam, karena orang awam baru memulai perjalanan dan belum terlatih untuk menempuh satu etape pun. Jika dia mendapat ujian, maka dia mudah gundah dan sulit menghadapi musibah, sehingga berat untuk sabar. Dia belum terlatih sehingga sulit untuk sabar, dan dia bukan termasuk orang yang mencintai sehingga sulit menerima musibah dengan penuh keridhaan terhadap kekasih yang dicintainya.

 

Dikatakan jalan cinta yang paling terjal, karena cinta ini mengharuskan adanya kesukaan orang yang mencintai dalam menghadapi cobaan dari kekasihnya. Sementara sabar mengharuskan adanya kebencian terhadap hal itu dan keterpaksaan menahan diri saat menghadapinya. Maka sabar merupakanjalan cinta yang paling terjal.

 

Dikatakan jalan tauhid yang paling diingkari, karena di dalam sabar terdapat kekuatan pengakuan. Orang sabar mengaku memiliki keteguhan hati yang kuat. Berarti hal ini harus berbenturan dengan kemurnian tauhid. Sebab pada hakekatnya tidak seorang pun memiliki kekuatan. Semua kekuatan hanya milik Allah. Itulah sebabnya maka sabar merupakan sesuatu yang diingkari di jalan tauhid, dan bahkan sabar merupakan kemungkaran yang paling diingkari. Tauhid mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan sabar mengembalikan segala sesuatu kepada diri sendiri. Keteguhan hati dalam tauhid adalah sesuatu yang harus diingkari.

 

Perkataannya yang terakhir ini tidak bisa diterima. Yang benar, sabar merupakan tempat persinggahan yang paling kuat di jalan cinta dan merupakan keharusan bagi orang-orang yang mencintai serta merupakan hasrat yang paling dibutuhkan dalam setiap etape perjalanan. Kebutuhan orang yang mencintai terhadap kesabaran ini sangat urgen. Maka hanya para wali Allah dan para kekasih-Nya yang disifati Allah sebagai orang-orang yang sabar.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ada tiga derajat sabar, yaitu:

 

  1. Sabar dalam menghindari kedurhakaan, dengan memperhatikan peringatan, tetap teguh dalam iman dan mewaspadai hal yang haram.

 

Yang lebih baik lagi adalah sabar menghindari kedurhakaan karena malu.

 

Ada dua sebab dan dua faidah sabar dalam menghindari kedurhakaan Dua sebabnya adalah: – Takut terjadinya peringatan, sebagai akibat dari kedurhakaan itu.

 

– Malu terhadap Allah, karena nikmat-Nya dibalas dengan kedurhakaan,.

 

Adapun dua faidahnya adalah:

 

– Tetap teguh dalam iman.

– Mewaspadai hal-hal yang haram.

 

Memperhatikan peringatan dan takut kepadanya membangkitkan kekuatan iman terhadap pengabaran dan pembenaran kandungannya. Sedangkan malu terhadap Allah membangkitkan kekuatan ma’rifat dan mempersaksikan makna-makna asma dan sifat-Nya. Yang lebih baik lagi jika pendorongnya adalah cinta, sehingga seorang hamba tidak mendurhakai-Nya karena cinta kepadaNya. Sedangkan keteguhan dalam iman mendorong untuk meninggalkan kedurhakaan. Sebab kedurhakaan pasti akan mengurangi iman atau bahkan menghilangkannya sama sekali, memadamkan cahayanya, melemahkan kekuatannya dan mengurangi buahnya. Sedangkan mewaspadai hal-hal yang haram merupakan kesabaran meninggalkan hal-hal yang mubah, sebagai kehatihatian agar tidak menjurus kepada yang haram.

 

  1. Sabar dalam ketaatan, dengan menjaga ketaatan itu secara terus-menerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan membaguskannya dengan ilmu. Pernyataan pengarang Manazilus-Sa’irin ini menunjukkan bahwa ketaatan yang dilakukan dapat menjadi pendorong untuk meninggalkan kedurhakaan, sehingga kesabaran dalam melaksanakan ketaatan ini setingkat lebih tinggi daripada kesabaran meninggalkan kedurhakaan. Yang benar, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, meninggalkan kedurhakaan hanya sekadar menyempurnakan ketaatan.

 

Syaikh menyebutkan bahwa sabar dalam derajat ini dilakukan dengan tiga cara: Terus-menerus taat, ikhlas dalam ketaatan dan melaksanakannya menurut ilmu atau membaguskannya dengan ilmu. Ketaatan menjadi mundur jika kehilangan salah satu dari tiga perkara ini. Jika seorang hamba tidak menjaga ketaatan secara terus-menerus, maka ia akan menggugurkan ketaatan itu. Jika dia menjaganya terus-menerus, maka di hadapannya ada dua perintang: Tidak ikhlas, seperti dimaksudkan karena selain Allah, dan pelaksanaannya yang tidak berdasarkan ilmu, seperti tidak mengikuti As-sunnah.

 

  1. Sabar dalam musibah, dengan memperhatikan pahala yang baik, menunggu rahmat jalan keluar, meremehkan musibah sambil menghitung uluran karunia dan mengingat nikmat-nikmat yang telah lampau.

 

Inilah tiga pakaian kesabaran yang dapat dikenakan seorang hamba ketika mendapat musibah.

 

Pertama, memperhatikan pahala yang baik. Seberapa jauh perhatian, pengetahuan dan keyakinannya terhadap pahala ini, maka sejauh itu pula dia akan merasa ringan dalam memikul beban musibah, karena dia merasa akan mendapatkan pengganti. Hal ini seperti orang yang sedang membawa beban yang amat berat, dan dia melihat hasil dan keuntungan yang baik pada akhirnya. Jika tidak demikian, maka banyak kemaslahatan dunia dan akhirat yang akan terbuang sia-sia. Seorang hamba lebih suka mengemban beban dunia karena ingin mendapatkan hasil di akhirat. Sementara jiwa lebih menyukai kesenangan yang ada di dunia. Tapi akal yang sehat lebih condong ke hasil di kemudian hari.

 

Kedua, menunggu rahmat jalan keluar atau kenikmatannya. Menunggu-nunggu kenikmatan jalan keluar dari musibah dapat meringankan beban musibah dan kesulitan yang sedang dihadapi, apalagi jika disertai kekuatan harapan dan usaha mencari jalan keluar.

 

Ketiga, meremehkan musibah, yang dapat dilakukan dengan dua cara: menghitung karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, dan mengingat-ingat nikmat Allah yang pernah diterimanya. Yang pertama berkaitan dengan keadaan dan yang kedua berkaitan dengan masa lampau.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin, mengatakan, “Sabar yang paling lemah ialah sabar karena Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang awam. Di atasnya adalah sabar berkat pertolongan Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang yang menghendaki Allah. Di atasnya adalah sabar menurut hukum Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang yang berjalan kepada Allah.

 

Kesabaran karena Allah yang merupakan kesabaran orang-orang awam ialah kesabaran mengharapkan pahala-Nya dan takut siksa-Nya. Kesabaran orang-orang yang mengharapkan Allah adalah kesabaran berkat kekuatan dari pertolongan Allah. Dua golongan ini tidak melihat ada kesabaran pada dirinya dan tidak pula mempunyai kekuatan untuk sabar. Di atasnya adalah kesabaran menurut hukum Allah. Artinya dia sabar mendapatkan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya, yang disukai maupun yang dibencinya.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa ‘irin, kesabaran karena Allah merupakan kesabaran yang paling lemah. Yang benar, sabar karena Allah lebih tinggi daripada sabar berkat pertolongan Allah. Karena sabar karena Allah berkaitan dengan Uluhiyah-Nya, sedangkan sabar berkat pertolongan Allah berkaitan dengan Rububiyah-Nya. Apa-apa yang berkait dengan Uluhiyah-Nya lebih sempurna daripada apa-apa yang berkait dengan Rububiyah-Nya. Di samping itu, sabar karena Allah merupakan cermin ibadah, dan sabar berkat pertolongan Allah merupakan permohonan uluran pertolongan dari-Nya. Ibadah merupakan tujuan dan permohonan pertolongan merupakan sarana. Sabar berkat pertolongan Allah menjadi hak persekutuan bagi orang Mukmin dan kafir, orang baik dan orang buruk. Setiap orang yang mempersaksikan hakekat alam tentu mendapatkan kesabaran dari Allah. Sedangkan sabar karena Allah merupakan tempat persinggahan para nabi, rasul, shiddiqin dan orang-orang yang mengamalkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Sabar menurut hukum-hukum Allah artinya sabar menerima takdirNya, Sabar ini ditempatkan pada tingkatan ketiga dan yang paling tinggi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sabar dalam ketaatan dan sabar menjauhi kedurhakaan, lebih sempurna daripada kesabaran menerima takdir. Nya, seperti kesabaran Yusuf ya. Kesabaran beliau dengan tetap menjaga ketaatan dan menjauhi kedurhakaan merupakan kesabaran atas pilihan sendiri, karena cinta kepada Allah. Sedangkan kesabaran menerima hukum-hukum Allah merupakan kesabaran yang pasti dan tidak bisa dihindari. Tentu saja ada perbedaan di antara keduanya.

 

Ridha

 

Para ulama telah sepakat bahwa ridha merupakan sunnah atau sunnah mu’akkad. Ada dua pendapat yang berbeda tentang wajibnya. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengisahkan dua pendapat ini dari rekan-rekan Al-Imam Ahmad. Tetapi Al-Imam Ahmad sendiri menyatakannya sunnah. Tidak pernah disebutkan adanya perintah ridha seperti halnya perintah sabar. Penyebutannya hanya sebatas pujian terhadap orang-orang yang ridha. Ibnu Taimiyah juga berkata, “Tentang riwayat dari Allah yang menyatakan, “Siapa yang tidak sabar menerima cobaan-Ku dan tidak ridha terhadap gadha’Ku, maka hendaklah ia mengambil sesembahan selain Aku’, maka ini adalah kisah Isra’iliyat, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan dari Rasulullah.” Apalagi dengan pendapat yang mengatakan bahwa ridha itu bukan termasuk amal yang diusahakan, tapi merupakan pemberian dan anugerah, lalu dikatakan, “Bagaimana mungkin ridha ini diperintahkan, sedangkan hamba tidak ditakdirkan untuk ridha?”

 

Ada tiga pendapat tentang ridha ini:

 

– Ridha termasuk satu kedudukan yang mulia, yaitu puncak dari tawakal. Berarti hamba bisa mencapai ridha ini dengan usahanya. Ini merupakan pendapat para ulama Khurasan.

 

Ridha termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba, tapi ridha ini turun ke hati hamba seperti keadaan-keadaan lainnya. Ini merupakan pendapat para ulama Irak.

 

Perbedaan antara kedudukan dan keadaan, kedudukan diperoleh karena usaha, sedangkan keadaan semata karena pemberian dan anugerah.

 

– Golongan ketiga ada di antara golongan pertama dan kedua. Menurut mereka, dua pendapat ini dapat disatukan, bahwa permulaan ridha bisa diusahakan hamba, yang berarti termasuk kedudukan, sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba. Permulaannya merupakan kedudukan dan kesudahannya merupakan keadaan.

 

Mereka yang menganggap ridha termasuk kedudukan atau amal yang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya dan menganjurkannya. Ini berarti mereka mampu mengupayakannya. Nabi gs bersabda,

 

“Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul.” Beliau Juga bersabda,

 

“Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, “Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul, maka diampuni dosanya.”

 

Dua hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada agamaNya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini, maka dia adalah orang yang shiddig. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi termasuk sulit dan berat jika datang cobaan, apalagi jika ada sesuatu yang bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha itu hanya sekadar di lisan atau memang merupakan keadaan dirinya.

 

Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha terhadap pengaturanNya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan.

 

Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak mencari petunjuk kecuali dari kalimat. kalimatnya, tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin. Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat guru dan golongannya.

 

Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari hakikatnya, Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkannya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah menganjurkannya kepada mereka, memuji pelakunya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan kepada ridha.

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?” Maka dia menjawab, “Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya.”

 

Ridha tidak disyaratkan untuk tidak merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang yang tidak bisa ridha karena hal-hal yang tidak disukai, seraya berkata, “Ini tidak mungkin menurut tabiat.” Itu hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya saling bertentangan?

 

Yang benar, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian. Adanya penderitaan dan kebencian tidak menafikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya orang puasa pada hari yang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan dahaga atau ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka dan lain-lainnya. Jalan ridha merupakan jalan yang paling singkat dan paling dekat ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya tidak seberat kesulitan jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan kesudahan, selain dari hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menerima apa pun yang datang dari Allah. Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba, apalagi dia mengetahui kelemahan dirinya.

 

Allah berfirman,

 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr: 27-30)

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Di dalam ayat ini Allah tidak memberikan jalan bagi orang yang marah. Ridha merupakan syarat bagi hamba agar dapat masuk surga Allah. Ridha adalah berada dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-ragu dan tanpa pengingkaran, dimanapun hamba berada.”

 

Menurutnya, ada tiga derajat ridha, yaitu:

 

  1. Ridha secara umum, yaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Ini merupakan poros Islam dan membersihkannya dari syirik yang besar.

 

Ridha kepada Allah sebagai Rabb artinya tidak mengambil penolong selain Allah, yang diserahi kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi tumpuan kebutuhannya. Allah berfirman,

 

“Katakanlah,” Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?” (Al-An’am: 164).

 

Menurut Ibnu Abbas, maksud Rabb dalam ayat ini adalah tuan dan sesembahan. Di awal surat juga disebutkan,

 

“Katakanlah, “Apakah akan aku jadikan Rabb selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi?” (Al-An’am: 14).

 

Arti Rabb di dalam ayat ini adalah sesembahan, penolong, pelindung dan tempat kembali. Hal ini mencerminkan loyalitas yang mengharuskan adanya ketaatan dan cinta. Di bagian tengah surat Allah juga berfirman,

 

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114).

 

Artinya, layakkah selain Allah aku jadikan hakim yang mengadili perkara antara diriku dan diri kalian dan yang kita perselisihkan? Padahal Kitab ini adalah pemimpin semua kitab. Maka bagaimana mungkin kita menyerahkan perkara kepada kitab yang bukan Kitab-Nya? Sementara Kitab-Nya itu diturunkan secara rinci, jelas dan menyeluruh?

 

Jika engkau memperhatikan tiga ayat ini lebih cermat, tentu engkau akan tahu bahwa di sana terkandung ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Banyak orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mencari Rabb selain-Nya. Tapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong dan pelindung, tetapi mereka mengangkat penolong selain-Nya, karena menganggap penolong ini dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Bahkan loyalitasnya kepada penolong ini seperti loyalitas mereka kepada raja. Tentu saja ini merupakan syirik. Yang disebut tauhid ialah tidak mengambil selain Allah sebagai penolong. Al-Qur’an banyak ditebari penjelasan sifat orang-orang musyrik, yang pada intinya mereka mengambil para penolong selain Allah. Banyak juga orang yang mengangkat selain Allah sebagai hakim yang berhak membuat keputusan hukum bagi dirinya. Jadi ada tiga sendi tauhid, yaitu: Tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, sebagai sesembahan dan sebagai hakim. Penafsiran ridha kepada Allah sebagai Rabb ialah membenci penyembahan kepada selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan dari ridha ini. Siapa yang memberikan hak-hak ridha kepada Allah sebagai Rabb, tentu akan membenci penyembahan kepada selainNya. Sebab ridha terhadap kemurnian Rububiyah mengharuskan adanya kemurnian ibadah kepada-Nya, sebagaimana ilmu tentang tauhid Rububiyah mengharuskan adanya ilmu tentang tauhid Uluhiyah.

 

Ridha ini membersihkan dari syirik yang besar, yang pada hakikatnya syirik itu ada dua macam, besar dan kecil. Ridha ini membersihkan pelakunya dari syirik besar. Sedangkan syirik kecil dapat dibersihkan jika seorang hamba berada di tempat persinggahan iyyaka na ‘budu wa iyyaka nasta’in.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ridha ini menjadi benar dengan tiga syarat: Allah paling dicintai hamba daripada cintanya kepada segala sesuatu, yang paling layak untuk diagungkan, dan paling layak untuk ditaati.

 

  1. Ridha terhadap Allah. Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah ini merupakan ridha terhadap gadha’ dan gadar-Nya, dan ini merupakan permulaan perjalanan orang-orang yang khusus.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin menjadikan derajat ini lebih tinggi dari derajat sebelumnya. Menurutnya, seseorang belum dianggap masuk Islam kecuali dengan derajat yang pertama. Jika dia sudah berada di sana, berarti dia sudah berada dalam Islam. Sedangkan derajat ini termasuk mu’amalah hati, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus, yaitu ridha terhadap hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya.

 

Dikatakan sebagai permulaan perjalanan bagi orang-orang yang khusus, karena ridha ini merupakan pendahuluan untuk keluar dari jiwa atau keluarnya hamba dari bagian untuk dirinya dan menempatkan diri pada kehendak Allah, bukan pada kehendaknya.

 

Inilah yang dikatakan Syaikh. Tapi dengan menempatkan derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, perlu dipertimbangkan lagi. Mestinya, derajat pertama lebih tinggi daripada derajat ini. Sebab derajat pertama bersifat khusus, sedangkan derajat ini bersifat umum. Ridha kepada gadha’ bisa dilakukan orang Mukmin dan juga orang kafir. Sasarannya adalah tunduk kepada gadha’ dan gadar Allah. Lalu apalah artinya jika hal ini dibandingkan dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, Ilah dan sesembahan? Di samping itu, ridha kepada Allah sebagai Rabb merupakan keharusan, bahkan termasuk keharusan yang kuat. Siapa yang tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb, maka Islamnya tidak dianggap sah, begitu pula amal dan keadaannya. Sedangkan ridha kepada gadha’-Nya merupakan sunnah dan bukan wajib, sekalipun ada pula yang menganggapnya wajib.

 

Ridha kepadaAllah sebagai Rabb meliputi ridha terhadap-Nya. Ridha kepada RububiyahAllah berarti keridhaan hamba kepada perintah, larangan, pemberian, penahanan, pembagian dan gadar-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap semua ini, berarti dia tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari segala sisi, sekalipun mungkin dia ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari sebagian sisinya. Ridha kepada-Nya sebagai Rabb juga berkait dengan Dzat-Nya, sifat, asma’, Rububiyah-Nya yang bersifat khusus maupun umum, yaitu ridha kepada-Nya sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, raja, pemberi, penahan, hakim, pelindung, penolong, pemberi afiat, pemberi cobaan, dan lain-lainnya dari sifat-sifat Rububiyah. Sedangkan ridha terhadap Allah ialah keridhaan hamba terhadap apa yang dilakukan Allah dan apa yang diberikan kepadanya. Karenanya penyebutan ridha ini hanya berkait dengan pahala dan balasan, seperti firman-Nya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

 

Ridha kepada Allah merupakan dasar ridha terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah ridha kepada Allah. Artinya, ridha kepada Allah berkaitan dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya, sedangkan ridha terhadap Allah berkaitan dengan pahala dan balasan-Nya. Nabi juga mengaitkan rasa manisnya iman dengan orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mengaitkannya dengan orang yang ridha terhadap Allah, sebagaimana sabda beliau, “Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul,” Beliau menjadikan ridha kepada Allah sebagai pasangan ridha kepada agama dan nabi-Nya. Tiga perkara ini merupakan dasar agama.

 

Ridha kepada Allah sebagai Rabb mengandung tauhid dan ubudiyah kepada-Nya, penyandaran, tawakkal, takut, berharap, mencintai dan sabar karena-Nya. Ridha kepada-Nya mencakup syahadat la ilaha illallah. Ridha kepada Muhammad sebagai rasul mencakup syahadat bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Ridha kepada Islam sebagai agama mencakup ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Tiga perkara ini menghimpun semua unsur dalam agama.

 

Perolehan ridha dalam derajat ini tergantung dari keberadaan yang diridhai hamba, apakah yang diridhai itu lebih dicintai dari segala sesuatu, lebih layak diagungkan dan lebih berhak ditaati, yang semua ini merupakan kaidah-kaidah ubudiyah, dan yang dari sini muncul cabang-cabangnya. Karena cinta yang sempurna itu merupakan kecenderungan hati secara total kepada yang dicintai, maka kecenderungan ini membawanya untuk taat dan mengagungkan-nya. Selagi kecenderungannya kuat, maka ketaatannya lebih sempurna dan pengagungannya lebih banyak. Kecenderungan ini mengharuskan adanya iman, dan bahkan merupakan ruh dan intinya iman. Lalu apakah yang lebih tinggi kedudukannya daripada sesuatu yang menjadikanAllah paling dicintai hamba, lebih layak diagungkan dan paling berhak ditaati?

 

Dengan cara inilah seorang hamba bisa merasakan manisnya iman, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya, maka akan merasakan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka.”

 

Beliau mengaitkan manisnya iman dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu keberadaan Allah sebagai sesuatu yang paling dicintai hamba, begitu pula Rasul-Nya. Karena cinta yang sempurna dan ikhlas ini merupakan buah ridha, maka ridha ini lebih tinggi daripada ridha kepada Rububiyah Allah, dan buahnya juga lebih tinggi, yaitu manisnya iman.

 

Perkataan Syaikh, “Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan”, dia mengisyaratkan kepada firman Allah,

 

“Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Maidah: 119).

 

Allah juga berfirman di dalam surat Al-Mujadilah,

 

“Dan, dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah:

22).

 

Firman Allah lainnya,

 

“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Yang demikian

 

itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8).

 

Ayat-ayat ini mengandung balasan yang mereka terima, karena kebenaran, iman, amal-amal shalih dan jihad mereka memerangi musuh-musuh Allah. Allah ridha terhadap mereka dan Dia membuat mereka ridha terhadap-Nya. Yang demikian ini diperoleh setelah mereka ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ridha ini dapat menjadi benar dengan tiga syarat: Menyelaraskan berbagai keadaan pada diri hamba, tidak membuat permusuhan dengan manusia dan tidak meminta-minta dengan merengekrengek kepada makhluk.

 

Ridha terhadap Allah tidak akan terwujud kecuali dengan tiga syarat ini Orang yang ridha harus menyelaraskan dan menyeimbangkan berbagai keadaar dirinya. Nikmat atau cobaan harus diterima dengan ridha, bahwa itu merupakan pilihan terbaik dari Allah bagi dirinya. Yang dimaksudkan menyelaraskan berbagai keadaan di sini bukan tunduk dan pasrah begitu saja. Karena yang demikian ini bertentangan dengan tabiat manusia dan bahkan bertentangan dengan tabiat hewan. Juga bukan berarti menyeimbangkan ketaatan dan kedurhakaan, karena yang demikian ini menafikan ubudiyah dari segala sisi. Tapi maksudnya adalah menyeimbangkan antara nikmat dan cobaan dalam keridhaan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

 

  1. Hamba adalah pihak yang memasrahkan. Pihak yang memasrahkan harus ridha terhadap pilihan pihak yang dipasrahi, apalagi jika dia tahu kesempurnaan hikmah, rahmat, kasih sayang, kelembutan dan kebagusan pilihannya.

 

  1. Hamba bisa memastikan bahwa tidak ada perubahan terhadap kalimat Allah dan tidak ada bantahan terhadap hikmah-Nya, dan apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki

 

Nya tidak akan terjadi. Dia juga tahu bahwa masing-masing di antara nikmat atau cobaan sudah ditetapkan dalam gadha’ Allah dan gadar-Nya semenjak semula.

 

  1. Dia adalah hamba semata. Yang disebut hamba itu tidak boleh marah terhadap keputusan Tuannya. Semua harus diterima dengan ridha.

 

  1. Hamba adalah pihak yang mencintai. Orang yang mencintai secara tulus dan benar adalah yang ridha terhadap apa pun yang dilakukan kekasihnya.

 

  1. Hamba tidak tahu apa kesudahan dari segala urusan. Yang lebih tahu tentang kemaslahatan dan yang bermanfaat baginya adalah Tuannya.

 

  1. Hamba adalah bodoh dan zhalim, sedangkan Allah menghendaki kemaslahatan baginya dan menyediakan sebab-sebabnya. Di antara sebab-sebab yang paling nyata ialah apa yang tidak disukai hamba. Kemaslahatannya karena hal-hal yang tidak disukainya justru lebih nyata daripada kemaslahatannya karena hal-hal disukai. Firman Allah, “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216).

 

  1. Dia adalah orang Muslim, dan orang Muslim adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak menentang ketetapan hukumNya dan tidak marah karenanya.

 

  1. Dia adalah orang yang mengetahui Rabb-nya, berbaik sangka kepada-Nya dan tidak bersikap curiga terhadap gadha’ dan gadar-Nya. Persangkaannya yang baik terhadap Allah mengharuskannya untuk menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya dan ridha terhadap pilihan-Nya.

 

  1. Bagian yang diterimanya tergantung dari ridha dan amarahnya. Jika dia ridha terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan mendapatkan ridhaNya, dan jika dia marah terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan menerima murka-Nya.

 

  1. Dia tahu bahwa sekiranya dia ridha, maka ridhanya itu bisa berubah menjadi nikmat dan karunia, beban yang diembannya juga semakin ringan dan ada kegembiraan yang dirasakannya. Namun jika dia marah, maka beban yang diembannya akan terasa semakin berat dan tidak menambah kecuali kesulitan. Inti masalah ini, bahwa imannya kepada gadha’ Allah merupakan kebaikan baginya, seperti yang disabdakan Nabi, “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, tidaklah Allah menetapkan gadha’ bagi orang Mukmin melainkan itu merupakan kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kesenangan, lalu dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan, lalu dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan yang demikian itu hanya bagi orang Mukmin saja.”

 

  1. Dia tahu bahwa kesempurnaan ubudiyahnya justru tampak ketika ada ketetapan hukum yang dibencinya. Sekiranya yang terjadi pada dirinya hal-hal yang disukainya, tentu dia akan jauh dari ubudiyah kepada Allah. Ubudiyahnya tidak akan menjadi sempurna, sekalipun disertai kesabaran, tawakkal, ridha, tunduk, pasrah dan lain-lainnya, kecuali jika ada gadar yang dibencinya. Yang menjadi pertimbangan bukan terletak pada keridhaan terhadap gadha’ yang sesuai dengan tabiat, tetapi terletak pada gadha’ yang menyakitkan dan dihindari tabiat.

 

  1. Dia tahu bahwa ridhanya terhadap Allah dalam berbagai keadaan akan membuahkan keridhaan Allah terhadapnya. Jika dia ridha terhadap rezeki yang sedikit, maka Allah ridha terhadap amalnya yang sedikit. Jika dia ridha terhadap Allah dalam semua keadaan dan menyeimpangkannya, maka dia akan mendapatkan Allah lebih cepat ridha kepadanya.

 

  1. Dia tahu bahwa kegembiraan dan kenikmatannya yang paling besarialah ridha terhadap Allah, karena ridha merupakan pintu Allah yang paling besar dan tempat peristirahatan orang-orang yang memiliki ma’rifat serta surga dunia.

 

  1. Amarah merupakan pintu keresahan, kekhawatiran, kesedihan, kehancuran hati, persangkaan yang buruk terhadap Allah. Ridha membebaskannya dari semua itu dan membukakan pintu surga dunia sebelum surga akhirat.

 

  1. Ridha mendatangkan thuma’ninah, hati yang dingin, kedamaian dan keteguhannya. Sedangkan amarah mendatangkan kegundahan, kegelisahan dan keguncangan hati.

 

  1. Ridha menurunkan ketenangan, dan tidak ada yang lebih bermanfaat selain dari ketenangan ini. Selagi ketenangan turun ke dalam hati, maka ja menjadi teguh dan keadaannya menjadi baik. Sedangkan amarah menjauhkan hati itu dari ketenangan.

 

  1. Ridha membukakan pintu keselamatan, sehingga hatinya menjadi selamat dan bersih dari dusta, dengki dan khianat. Tidak ada yang selamat dari adzab Allah kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Tidak mungkin hati dikatakan selamat jika di dalamnya juga ada amarah dan tidak ridha. Selagi hamba lebih ridha, maka hatinya lebih selamat. Dengki, dusta dan khianat merupakan pasangan amarah. Keselamatan hati, kelapangan dan kebajikannya merupakan pasangan ridha.

 

  1. Amarah akan mendatangkan ketidakteguhan hamba di hadapan Allah. Dia tidak ridha kecuali terhadap sesuatu yang sesuai dengan tuntutan tabiat dan nafsunya. Padahal di sana ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya dan ada pula yang tidak sesuai. Jika ada ketetapan yang tidak sesuai, maka dia menjadi marah, sehingga dia tidak teguh dalam ubudiyah, dan jika ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya, maka dia menjadi teguh dalam ubudiyah. Tidak ada yang menghilangkan ketimpangan ini dari hamba selain dari ridha.

 

  1. Amarah membuka pintu keragu-raguan terhadap Allah, gadha’ dan gadarNya, hikmah dan ilmu-Nya. Jarang sekali orang yang marah terlepas dari keragu-raguan yang menyusup ke dalam hatinya, sekalipun mungkin dia tidak menyadarinya. Amarah dan keragu-raguan merupakan pasangan. Inilah makna yang terkandung dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan lainlainnya, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sekiranya engkau sanggup berbuat dengan ridha disertai keyakinan, maka lakukanlah. Jika engkau tidak sanggup, maka sabar dalam menghadapi sesuatu yang dibenci jiwa, terdapat kebaikan yang banyak.”

 

  1. Ridha kepada apa yang ditakdirkan termasuk kebahagiaan anak Adam, dan marah kepada takdir merupakan penderitaannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Musnad dan riwayat At-Tirmidzi, dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash , dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

Di antara kebahagiaan anak Adam ialah memohon pilihan yang terbaik kepada Allah, dan di antara kebahagiaan anak Adam ialah ridhanya kepada apa yang ditetapkan Allah. Di antara penderitaan anak Adam ialah amarahnya kepada apa yang ditetapkan Allah, dan di antara penderitaan anak Adam ialah tidak mau memohon pilihan yang terbaik kepada Allah.”

 

  1. Ridha membuatnya tidak putus asa karena sesuatu yang tidak bisa didapatkannya dan tidak gembira karena apa yang didapatkannya. Ini termasuk tanda kebaikan iman.

 

  1. Siapa yang hatinya dipenuhi keridhaan kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kekayaan, rasa aman dan kepuasan, mengosongkan hatinya agar hanya mencintai-Nya dan tawakkal kepadaNya.

 

  1. Ridha membuahkan rasa syukur, yang termasuk kedudukan iman yang paling tinggi, bahkan itu merupakan hakikat iman, sedangkan amarah akan membuahkan kebalikannya, yaitu mengkufuri nikmat, dan bisa-bisa mengkufuri Pemberi nikmat. Jika hamba ridha kepada Rabbnya dalam setiap keadaan, niscaya akan membuatnya syukur kepada-Nya, sehingga dia termasuk orang-orang yang ridha lagi syukur. Jika tidak ridha, maka dia termasuk orang-orang yang marah dan ini merupakan jalan orangorang kafir.

 

  1. Ridha menjauhkan hasrat dan kerakusan terhadap dunia, yang merupakan pangkal segala kesalahan dan dasar semua bencana. Ridha kepada Allah dalam setiap keadaan bisa menghapus materi bencana ini.

 

  1. Biasanya setan lebih berhasil memperdayai manusia saat dia marah dan saat menuruti syahwat, karena di sana terdapat umpannya. Terlebih lagi jika amarahnya sudah memuncak, maka dia akan mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah, melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah dan meniatkan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Karena itu Nabi bersabda saat kematian putranya, Ibrahim, “Hati boleh bersedih dan mat, boleh berlinang air mata, tapi kami tidak mengatakan kecuali yang diridhaj Rabb.” Sebab kematian anak biasanya merupakan peletup bagi hamba untuk marah kepada takdir. Dalam keadaan seperti itu beliau tidak mengucapkan kata-kata yang membuat kebanyakan orang merasa marah, lalu mereka pun mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Maka dari itu Al-Fudhail bin Iyadh justru terlihat tersenyum saat anaknya meninggal. Sehingga ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau justru tertawa saat anakmu meninggal?” Dia menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir-Nya. Maka aku ridha terhadap takdir-Nya itu.”

 

Sebagian orang ada yang menentang sikap Al-Fudhail ini, seraya berkata, “Rasulullah menangis saat putra beliau meninggal dan mengabarkan bahwa hati boleh bersedih dan mata boleh menitikkan air mata.” Padaha) beliau berada di puncak keridhaan. Maka bagaimana mungkin tindakan Al-Fudhail itu dianggap sebagai keutamaannya?”

 

Yang pasti, hati Nabi adalah hati yang lapang, menyempurnakan semua tingkatan, seperti ridha terhadap Allah dan menangis karena kasih sayang kepada anak kecil. Beliau mempunyai kedudukan ridha dan kasih sayang serta kelembutan hati. Sedangkan hati Al-Fudhail tidak lapang untuk diisi ridha dan kasih sayang. Di dalam hatinya tidak terhimpun dua perkara ini.

 

  1. Ridha adalah pilihan Allah bagi hamba-Nya, dan amarah merupakan kebencian yang tidak dipilih Allah bagi hamba-Nya, dan ini termasuk jenis penentangan, yang tidak bisa dibebaskan kecuali dengan ridha terhadap Allah dalam segala keadaan.

 

  1. Ridha mengeluarkan hawa nafsu dari hati. Hawa nafsu orang yang ridha mengikuti kehendak Rabb-nya, yaitu kehendak yang dicintai dan diridhaiNya. Ridha dan keinginan mengikuti hawa nafsu tidak akan menyatu di dalam hati untuk selama-lamanya.

 

  1. Ridha terhadap Allah dalam segala keadaan membuahkan ridha Allah bagi hamba. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pahala itu termasuk jenis amal.Dalam atsar Isra’iliyat disebutkan, bahwa Musa bertanya kepada Rabb-nya, “Apakah yang bisa mendekatkan diriku dengan ridhaMu?” Maka Allah menjawab, “Sesungguhnya Ridha-Ku ada dalam ridhamu kepada gadha’-Ku.”

 

  1. Ridha terhadap gadha’ adalah sesuatu yang paling berat bagi jiwa, karena ridha ini bertentangan dengan nafsu, tabiat dan keinginannya. Jiwa tidak akan tenang hingga ia ridha terhadap gadha’. Pada saat itulah ia berhak mendapat seruan dari Allah, “Hai jiwa yang tenang….”

 

  1. Orang yang ridha menerima perintah-perintah Rabb-nya., baik yang berupa perintah agama maupun takdir, dengan lapang, tunduk dan patuh. Sedangkan yang marah menerima perintah-Nya dengan kebalikannya, kecuali jika perintah itu sesuai dengan tabiat dan kehendaknya. Tapi ridha ini tidak mendatangkan pahala baginya, karena dia tidak ridha kepada Allah yang telah menetapkan gadha’ baginya dan memerintahnya.

 

  1. Semua penentangan pada dasarnya adalah tidak ridha, dan semua ketaatan pada dasarnya adalah ridha. Hal ini dapat diketahui seseorang yang benarbenar mengetahui sifat-sifat dirinya, dan mengetahui ketaatan atau kedurhakaan yang muncul dari sifat-sifat tersebut.

 

  1. Tidak ridha membukakan pintu bid’ah dan ridha menutup pintu bid’ah. Jika engkau memperhatikan bid’ah golongan Rafidhah, Khawarij dan lainlainnya, tentu engkau akan mengetahui bahwa semua itu bermula dari tidak adanya ridha terhadap hukum alam atau hukum agama, atau keduaduanya.

 

  1. Ridha merupakan pembatas aturan agama, zhahir maupun batin. Semua urusan tidak lepas dari lima hal, yaitu: hal-hal yang diperintahkan, yang dilarang, yang mubah, nikmat yang menyenangkan, dan cobaan yang menyengsarakan. Jika hamba mempergunakan ridha dalam semua perkara ini, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari Islam dan mendapat keberuntungan.

 

  1. Ridha membebaskan hamba dari penentangan terhadap Rabb, berkaitan dengan hukum dan ketetapan-ketetapan-Nya. Sedangkan amarah merupakan penentangan terhadap Rabb, karena hamba tidak ridha kepadaNya. Dasar penentangan Iblis terhadap Rabb-nya ialah tidak ridha terhadap hukum-hukum-Nya, agama maupun alam.

 

  1. Semua yang ada di alam ini tunduk kepada kehendak Allah, hikmah dan kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap apa yang diridhai Allah, berarti dia tidak ridha terhadap asma’ dan sifat-sifat-Nya, yang berarti tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb.

 

  1. Setiap takdir yang dibenci hamba dan tidak sesuai dengan kehendaknya, tidak lepas dari dua perkara:

 

– Itu merupakan hukuman atas dosanya, namun hal ini diibaratkan obat dari suatu penyakit, yang andaikan Allah tidak memberinya obat, tentu dia akan terjerumus ke dalam kebinasaan.

 

– Itu bisa menjadi sebab untuk mendapatkan suatu nikmat, yang tidak bisa didapatkan kecuali lewat sesuatu yang dibenci itu. Sebab sesuatu yang dibenci pasti akan berakhir dan tidak berlalu selama-lamanya. Sementara nikmat yang muncul setelah itu tidak terputus.

 

  1. Hukum Allah pasti berlaku pada diri hamba-Nya dan gadha -Nya adil padanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Hukum-Mu berlaku pada diriku, gadha’-Mu adil pada diriku.” Siapa yang tidak ridha terhadap keadilan Allah, maka dia termasuk orang yang zhalim dan jahat.

 

  1. Hamba tidak ridha, entah karena tidak mendapatkan apa yang disukainya, entah karena mendapatkan apa yang dibencinya. Jika dia yakin bahwa apa yang tidak dia dapatkan bukan untuk menimpakan musibah kepadanya, dan musibah yang menimpanya bukan untuk membuatnya tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, maka tidak ada gunanya dia marah setelah itu jika dia tidak mendapatkan apa yang dianggapnya bermanfaat dan mendapatkan apa yang dianggapnya bermudharat.

 

  1. Ridha termasuk amal-amal hati seperti halnya jihad yang termasuk amalamal anggota tubuh. Masing-masing di antara keduanya merupakan puncak gundukan iman.

 

  1. Kedurhakaan yang pertama kali terhadap Allah di alam ini adalah sematamata muncul dari tidak ridha. Iblis tidak ridha terhadap keputusan Allah, berupa hukum alam yang memuliakan Adam, tidak pula ridha terhadap hukum agama, yang memerintahkannya sujud kepada Adam, dan Iblis tidak ridha karena Adam berada di surga. Maka dia membujuknya untuk memakan dari pohon yang dilarang. Setelah itu kedurhakaan terus menjalar, berupa tidak sabar dan tidak ridha.

 

  1. Hamba yang ridha beserta pilihan Allah dan menerima pilihan Allah bagi dirinya. Hal ini muncul dari kekuatan ma’rifatnya tentang Allah dan pengetahuan tentang dirinya.

 

  1. Harus disadari bahwa penahanan Allah bagi hamba-Nya yang mencintai pada hakikatnya adalah pemberian, dan musibah yang ditimpakan kepadanya pada hakikatnya adalah afiat. Sebab Allah tidak menahan karena bakhil atau tidak ada yang diberikan, tapi karena mempertimbangkan kebaikan bagi hamba-Nya yang Mukmin. Jadi penahananNya merupakan pilihan yang terbaik baginya. Orang yang berakal dan ridha ialah yang menganggap cobaan sebagai afiat, menganggap penahanan sebagai nikmat, dan menganggap kefakiran sebagai kekayaan. Allah telah mewahyukan kepada sebagian nabi-Nya, “Jika engkau melihat kedatangan orang fakir, maka katakanlah, “Selamat datang wahai syiar orang-orang Shalih’. Dan jika engkau melihat kedatangan orang kaya, maka katakanlah, “Ini adalah dosa yang dipercepat hukumannya’.” Orang yang ridha ialah yang menganggap nikmat Allah yang diberikan kepadanya, berupa hal-hal yang dibencinya, lebih banyak daripada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, berupa hal-hal yang disukainya, seperti yang dikatakan sebagian orang arif, “Wahai anak Adam, nikmat Allah yang diberikan kepadamu berupa hal-hal yang engkau benci, lebih banyak dan lebih besar daripada nikmat Allah yang diberikan kepadamu, berupa halhal yang engkau sukai.”

 

  1. Hamba harus tahu bahwa Allah adalah Yang Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Akhir sesudah segala sesuatu, Yang Menundukkan segala sesuatu, Yang Berkuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan menurut kehendak dan pilihan-Nya. Hamba tidak bisa menentukan pilihan bagi Allah dan siapa pun yang tidak bisa memilih beserta Allah atau pun bersekutu dalam hukum-Nya. Hamba bukan sesuatu yang layak untuk diingat. Allahlah yang memilih keberadaannya dan memilih baginya menurut gadha’ dan gadar-Nya, berupa afiat atau cobaan, kaya atau miskin, mulia atau hina, pandai atau bodoh. Sebagaimana Allah yang sendirian dalam mencipta, maka Dia juga sendirian dalam memilih dan mengatur bagi hamba. Semua urusan milik Allah. Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya,

 

“Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128).

 

Jika hamba sudah yakin bahwa semua urusan ada di Tangan Allah dan dia tidak berhak atas satu urusan pun, sedikit atau banyak, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali ridha terhadap apa pun yang terjadi.

 

  1. Ridha Allah terhadap hamba-Nya lebih besar daripada surga dan seisinya. Sebab ridha merupakan sifat Allah, sedangkan surga merupakan ciptaanNya. Allah berfirman,

 

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang Mukmin, lelaki dan perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan, keridhaan Allah adalah lebih besar.” (At-Taubah: 72).

 

Ridha Allah ini merupakan balasan atas ridha mereka di dunia terhadap Allah. Karena ini merupakan pahala yang paling mulia, maka sebabnya pun merupakan amal yang paling mulia.

 

  1. Jika hamba ridha kepada Allah dan terhadap pemberian Allah atas semua keadaan, maka dia tidak akan memilih ini dan itu. Ridhanya terhadap apa pun yang diberikan kepadanya sudah cukup baginya. Dia mengingat Allah sebagai pengganti dari permohonan kepada-Nya. Bahkan permohonannya kepada Allah dijadikan sebagai pertolongan untuk dapat mengingat-Nya dan mencapai ridha-Nya. Hamba yang meminta semacam ini akan mendapat pemberian yang paling baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits gudsi,

 

“Siapa yang sibuk mengingat-Ku hingga lalai memohon kepada-Ku, maka Aku memberinya yang paling baik dari apa yang Kuberikan kepada orang-orang yang meminta.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ad-Darimi).

 

Orang-orang yang meminta tentu saja memohon kepada-Nya. Allah memberikan yang baik seperti yang mereka pinta. Sedangkan orang-orang yang ridha senantiasa ridha terhadap Allah, lalu Allah memberikan ridhaNya terhadap mereka.

 

  1. Nabi menganjurkan agar hamba mencapai kedudukan yang paling tinggi. Jika tidak sanggup, maka cukup pertengahan kedudukan, sebagaimana sabda beliau, “Beribadahlah kepada Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya.” Ini mencakup seluruh kedudukan, Islam, iman dan ihsan. Kemudian beliau melanjutkan, “Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.“ Jika tidak bisa mencapai kedudukan yang pertama, maka dianjurkan untuk mencapai kedudukan kedua, yaitu tahu bahwa Allah mengetahui dan melihatnya, di mana pun dia berada.

 

  1. Nabi memuji orang-orang yang ridha terhadap hukum, pengetahuan dan pemahaman gadha’, dan menganggap mereka mendekati derajat nubuwah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tentang sekumpulan utusan yang datang kepada beliau, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Siapakah kalian?”

 

Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang beriman.”

 

Beliau bertanya lagi, “Apa tanda iman kalian?”

 

Mereka menjawab, “Sabar saat ditimpa musibah, syukur saat mendapat kesenangan, ridha terhadap gadha’, lurus dan benar di tempat pertempuran dan tidak mencaci maki musuh.”

 

Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang bijak dan berilmu. Karena pemahaman ini hampir-hampir mereka menjadi nabi.”

 

  1. Ridha memegang kendali semua kedudukan agama, ruh dan kehidupannya. Ridha adalah ruh tawakkal dan hakikatnya, ruh keyakinan, ruh cinta, bukti ketulusan cinta, ruh syukur dan buktinya. Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Tanda cinta kepada Allah mengingat-Nya, sebagaimana jika engkau mencintai sesuatu, tentu engkau akan banyak mengingatnya. Tanda agama adalah ikhlas karena Allah di saat sendirian atau saat ramai. Tanda syukur adalah ridha terhadap gadar Allah dan pasrah kepada gadha’-Nya.”

 

  1. Ridha menggantikan kedudukan berbagai ibadah yang sulit dilakukan badan. Ridhanya akan memberikan kemudahan dan meninggikan derajatnya. Telah disebutkan dalam atsar Isra’ilyat, bahwa ada seorang ahli ibadah yang senantiasa beribadah kepada Allah. Suatu hari dia bermimpi bahwa Fulanah, seorang wanita tetangganya yang menjadi penggembala, kelak akan masuk surga. Ahli ibadah itu bertanya tentang tetangga yang dimaksudkan itu, lalu dia meminta agar diperkenankan menginap di rumahnya selama tiga hari saja, agar dia bisa melihat apa saja yang dilakukan wanita itu. Selama tiga hari itu ahli ibadah senantiasa shalat malam, sementara wanita tersebut tidur. Pada siang harinya dia berpuasa, sedangkan wanita itu tidak puasa. Ahli ibadah penasaran, lalu dia bertanya,“ Apakah engkau tidak mempunyai amal selain yang kulihat saat ini?”

 

Wanita itu menjawab, “Demi Allah, memang hanya inilah yang kulakukan.”

 

Ahli ibadah terus bertanya, sampai akhirnya dia berkata, “Cobalah ingatingat, mungkin masih ada yang lain.”

 

Akhirnya wanita itu berkata, “Benar, ada satu perkara yang sangat remeh bagiku, bahwa jika aku ditimpa kesempitan, maka aku tidak mengharap kelapangan. Jika aku sakit, maka aku tidak mengharap kesehatan. Jika aku dibakar terik matahari, maka aku tidak mengharap keteduhan.”

 

Ahli ibadah itu meletakkan tangannya di atas kepala, lalu berkata, “Ini perkara yang remeh? Demi Allah, ini adalah perkara yang besar dan para ahli ibadah pun banyak yang tidak sanggup mengerjakannya.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Siapa yang ridha terhadap apa yang diturunkan dari langit ke bumi, maka dosa-dosanya telah diampuni.”

 

Dalam sebuah hadits marfu’ disebutkan, “Hal terbaik yang diberikan kepada hamba ialah ridha terhadap pembagian yang diberikan Allah kepadanya.”

 

Dalam atsar lain disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya. Jika hamba itu sabar, maka Dia memilihnya, dan jika hamba itu ridha, maka Dia mensucikannya.”

 

Dalam wasiat Lugman kepada anaknya disebutkan, “Kuwasiatkan kepadamu beberapa perkara yang dapat mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkanmu dari kemurkaan-Nya, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, hendaklah engkau ridha terhadap gadar Allah, dalam perkara yang engkau sukai maupun yang engkau benci.”

 

Di antara orang arif ada yang berkata, “Siapa yang tawakkal kepada Allah dan ridha terhadap gadar-Nya, maka dia telah menegakkan iman, tangan dan kakinya hanya untuk mencari kebaikan serta menegakkan akhlak yang baik, yang mendatangkan kemaslahatan bagi urusannya.”

 

  1. Ridha membuka akhlak yang baik dalam bermu’amalah dengan Allah dan bermu’amalah dengan manusia, karena akhlak yang baik itu termasuk ridha, dan akhlak yang buruk itu termasuk amarah. Akhlak yang baik mengangkat pelakunya ke derajat orang yang berpuasa pada siang harinya dan mendirikan shalat pada malam harinya. Sedangkan akhlak yang buruk menghapus kebaikan, sebagaimana api yang menghanguskan kayu bakar.

 

  1. Ridha membuahkan kesenangan hati terhadap apa pun yang ditakdirkan, ketenangan dan kedamaian jiwa dalam menghadapi keadaan macam apa pun dari urusan dunia, kepuasan dan kepasrahan terhadap Rabb-nya dan tidak membuat dirinya mengeluh dan mengadu kepada selain-Nya. Maka sebagian orang arif ada yang menyebut ridha dengan akhlak yang baik beserta Allah, sehingga dalam dirinya tidak ada penentangan terhadap kekuasaan Allah dan komentar yang macam-macam, sehingga dapat menodai akhlaknya. Dia tidak akan berkata, “Manusia sangat membutuhkan hujan. Ini adalah hari yang sangat panas. Kemiskinan adalah musibah.” Dia tidak menyebut sesuatu pun yang ditetapkan Allah dengan sebutan yang tercela, kalau memang Allah tidak mencelanya, karena semua itu bisa menafikan ridha.

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Kemiskinan dan kekayaan merupakan dua tunggangan, dan aku tidak peduli mana yang kujadikan tunggangan. Jika miskin, maka di dalamnya ada kesabaran, danjika kaya, di dalamnya ada pengeluaran.”

 

Ibnu Abil-Hawari berkata, “Ada seseorang berkata, ‘Aku ingin malam ini lebih panjang dari semestinya’. Maka kukatakan, “Ada baiknya dan ada pula buruknya. Baiknya, dia berharap dapat lebih banyak beribadah dan bermunajat. Buruknya, dia berharap yang tidak dikehendaki Allah dan menyukai apa yang tidak disukai Allah.”

 

Umar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak peduli apa yang terjadi pada diriku pada pagi dan sore hari, apakah aku susah atau senang.”

 

Suatu hari Umar bin Al-Khaththab dibuat marah oleh istrinya, Atikah. Maka Umar berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku benar-benar akan membuatmu celaka.”

 

Atikah menyahut, “Apakah engkau bisa mengeluarkan aku dari Islam setelah Allah memberikan petunjuk kepadaku?”

 

“Tidak,” Jawab Umar.

 

Atikah berkata, “Lalu kecelakaan macam apa lagi yang hendak engkau timpakan kepadaku setelah itu?”

 

Dengan kata lain, Atikah ridha terhadap keadaan apa pun dan tidak ada yang membuatnya celaka selain dari membuatnya keluar dari Islam. Sementara tak seorang pun bisa melakukannya.

 

  1. Keadaan yang paling baik ialah menginginkan Allah, yang hanya bisa dilakukan dengan keyakinan dan ridha terhadap Allah. Karena itu Sahl berkata, “Bagian makhluk dalam keyakinan tergantung pada bagian mereka dalam ridha, dan bagian mereka dalam ridha tergantung dari kehendak mereka terhadap Allah.”

 

  1. Ridha membebaskan hamba dari cela selagi Allah tidak mencelanya, membebaskan dari kecaman selagi Allah tidak mengecamnya. Jika hamba tidak ridha terhadap sesuatu, maka Allah mencelanya dengan berbagai macam celaan dan kecaman, karena yang demikian itu mencerminkan rasa malunya yang sedikit terhadap Allah.

 

Andaikan seseorang membuat makanan bagimu lalu dia menghidangkannya kepadamu, namun engkau mencela makanan itu, berarti engkau telah memancing kemarahannya dan membuat dia tidak sudi lagi menyuguhimu.

 

  1. Nabi memohon ridha terhadap gadha’, seperti yang disebutkan di dalam Al-Musnad,

 

“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas makhluk, hidupkanlah aku sekiranya hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku sekiranya mati itu lebih baik bagiku. Aku memohon ketakutanku kepada-Mu saat sembunyi-sembuuyi dan saat terang-terangan. Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar saat marah dan saat ridha. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat fakir dan saat kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis.

 

Aku memohon kepada-Mu kesenangan yang tidak terputus. Aku memohon kepadaMu ridha setelah gadha’. Aku memohon kepada-Mu hidup yang dingin setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang Wajah-Mu Yang Mulia. Aku memohon kepada-Mu kerinduan berdua dengan-Mu, tanpa ada kesulitan dan yang mudharat serta tidak ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang mendapat petunjuk.”

 

Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Beliau memohon ridha kepada-Nya setelah gadha’. Sebab pada saat itulah akan terlihat hakikat ridha. Sedangkan ridha sebelum ada gadha’, hanya sebatas hasrat untuk ridha menerimanya. Ridha ini akan tampak setelah ada gadha’.”

 

  1. Ridha terhadap gadar Allah tidak membuat hamba untuk meridhai manusia dengan kemurkaan Allah dan mencela mereka dengan sesuatu yang tidak diperkenankan Allah, serta memuji mereka dengan karunia Allah. Pada mulanya dia zhalim, karena meridhai dan mencela mereka, berikutnya dia musyrik karena memuji mereka. Namun jika hamba ridha terhadap gadha’, maka dia tidak akan mencela atau memuji mereka.

 

  1. Ridha bisa mengosongkan hati hamba, mengurangi kegelisahan dan kegundahannya, lalu dia tekun beribadah kepada Rabb-nya dengan hati yang ringan, tanpa diberati beban dunia dan segala keresahannya, seperti yang disebutkan Ibnu Abid-Dunya dari Bisyr bin Al-Mujasyi’i, dia berkata, “Aku pernah berkata kepada seorang ahli ibadah, “Berilah aku nasihat.” Maka ahli ibadah itu berkata, “Tempatkanlah dirimu bersama gadar seperti yang dikehendakinya, karena yang demikian ini bisa mengosongkan hatimu dan mengurangi kegelisahanmu. Dan, janganlah engkau marah kepadanya, sehingga di dalam dirimu tertanam kemarahan, sementara engkau tidak menyadarinya, sehingga ia melemparkan dirimu bersama orang-orang yang dimurkai Allah.”

 

  1. Jika hamba tidak ridha terhadap satu gadar, maka dia akan mencela berbagai macam gadar, entah dengan tubuhnya, hatinya atau keadaannya. Jika sudah begitu, maka dia akan mencela pembuat gadar dan juga manusia. Akhirnya Allah dan semua manusia mencelanya. Karena mereka saling cela-mencela, maka kemudian menafikan ubudiyah. Anas bin Malik berkata, “Aku menjadi pelayan Rasulullah selama dua puluh tahun. Selama itu pula beliau tidak pernah bertanya kepadaku, “Mengapa kamu berbuat begitu?” Beliau juga tidak berkata kepadaku jika aku tidak melakukan sesuatu, “Mengapa kamu tidak berbuat begitu?” Dan beliau tidak pernah berkata kepadaku karena sesuatu yang sudah terjadi, “Sekiranya tidak terjadi.” Dan, beliaujuga tidak berkata kepadaku karena sesuatu yang tidak terjadi, “Sekiranya terjadi.” Jika sebagian keluarga beliau ada yang mencelaku, maka beliau bersabda, “Biarkan dia. Kalau memang ada sesuatu yang ditakdirkan, tentu ia akan terjadi.”

 

58 Jika ada keseimbangan antara dua perkara kaitannya dengan ridha Allah, yang ini diridhai-Nya bagi hamba lalu menakdirkannya, dan yang ini tidak diridhai-Nya bagi hamba lalu tidak menakdirkannya, maka antara keduanya harus ada keseimbangan yang dikaitkan dengan hamba, sehingga dia bisa meridhai apa yang diridhai Allah dalam dua keadaan ini.

 

  1. Allah melarang hamba mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hukum agama dan syariat. Berarti di sana ada ubudiyah sesuai dengan perintah syariat agama. Sedangkan ubudiyah perintah-Nya yang berkaitan dengan gadar ialah tidak mendahului Allah kecuali jika ada kemaslahatan yang pasti. Berarti masalah mendahului harus sesuai dengan perintah gadar dan agama. Jika yang diwajibkan adalah sabar atau ridha, lalu dia mengabaikannya, berarti dia mendahului syariat dan gadar-Nya.

 

  1. Cinta, ikhlas dan pasrah kepada Allah tidak akan terwujud kecuali lewat ridha. Orang yang mencintai tentu ridha terhadap kekasihnya dalam keadaan bagaimana pun. Imran bin Hushain terserang sakit perut dan terus-menerus buang air besar. Dia diam telentang cukup lama, tidak bisa duduk apalagi berdiri. Tempat tidurnya dilubangi untuk buang air besar. Suatu hari Mutharrif bin Abdullah Asy-Syikhir masuk ke dalam rumah Hushain, dan langsung menangis saat melihat keadaannya.

 

“Mengapa engkau menangis? Ttanya Hushain.

 

“Karena aku melihat keadaanmu yang mengenaskan ini,” jawab Mutharrif

 

“Tak perlu engkau menangis, karena apa yang paling kusukai tentu juga paling disukai Allah.” Setelah diam beberapa saat, dia berkata lagi, “Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu, semoga Allah memberikan manfaat kepadamu, dan rahasiakanlah hal ini hingga aku meninggal dunia, bahwa para malaikat mengunjungiku. Maka aku menyambut kedatangan mereka, dan mereka mengucapkan salam kepadaku, hingga aku dapat mendengar salam mereka.”

 

Ketika Sa’d bin Abi Waggash datang di Makkah, sementara dia buta, maka banyak orang yang datang kepadanya dan meminta agar dia berdoa bagi mereka.

 

Maka dia memenuhi permintaan mereka dan berdoa bagi mereka. Abdullah bin

 

As-Sa’ib berkata, “Ketika itu aku masih kecil. Aku menemuinya dan memperkenalkan diri kepadanya. Rupanya dia sudah mengenalku. Aku berkata,

 

“Wahai paman, engkau berdoa bagi mereka, hingga mereka pun sembuh dari penyakitnya. Lalu mengapa engkau tidak berdoa bagi dirimu sendiri agar Allah mengembalikan penglihatanmu?” Sa’d tersenyum lalu berkata, “Wahai anakku, gadha’ Allah ini lebih kucintai daripada penglihatanku.”

 

  1. Amal-amal anggota tubuh dilipatgandakan hingga bilangan tertentu. Sedangkan amal hati tidak ada batasan penggandaannya. Sebab amal anggota tubuh memang ada batasan penghabisan dan pemberhentiannya, sehingga pahalanya tergantung dari batasannya. Sedangkan amal hati terus-menerus berkait, sekalipun kesaksian hamba terhadap amal ini surut.

 

Contohnya, cinta dan ridha merupakan keadaan orang yang mencintai dan ridha. Perasaan ini tidak akan berpisah sama sekali darinya, senantiasa berhubungan selagi keadaannya tetap seperti itu. Bahkan perasaan itu terus bertambah sekalipun anggota tubuhnya melemah. Bahkan dalam keadaan lemah dan diam ini perasaan tersebut semakin bertambah dan lebih banyak dari orang yang banyak mendirikan shalat-shalat nafilah. Tambahan perasaan itu bertambah banyak pada saat dia tidur, lebih banyak daripada orang yang mendirikan shalat. Jika engkau masih belum bisa menerima hal ini, perhatikanlah keadaan orang yang tidur dan hatinya bersama Allah dengan orang yang mendirikan shalat, sementara hatinya melalaikan Allah. Allah melihat hati, hasrat dan niat, tidak melihat rupa amal. Nilai seorang hamba tergantung pada hasrat dan kehendaknya. Siapa yang tidak bisa dibuat ridha karena sesuatu selain Allah, sekalipun dia diberi dunia dan seisinya, maka dialah orang yang berkedudukan. Siapa yang dibuat ridha karena sesuatu yang sedikit, maka dia juga termasuk orang yang berkedudukan, sekalipun amalnya sama.

 

  1. Keadaan orang yang ridha dan pasrah, menjadi teratur, saat senang maupun saat susah, karena dia sudah menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah. Setiap orang yang mencintai tentu merindukan perjumpaan dengan kekasihnya dan mementingkan keridhaan-Nya.

 

Kembali ke pembahasan semula tentang syarat-syarat ridha, bahwa syarat kedua ialah tidak membuat permusuhan dengan manusia. Dengan kata lain, ridha dianggap sah dan benar jika seorang hamba menggugurkan permusuhan dengan makhluk, karena permusuhan ini bisa menafikan keadaan ridha dan menafikan pengaitan segala sesuatu ke tangan yang menetapkan gadha’ dan gadar. Permusuhan ini menimbulkan beberapa dampak:

 

– Kecenderungan kepada kebalikan ridha.

 

– Mengurangi tauhid, jika dikaitkan dengan permusuhan yang dilancarkan hamba kepada selain Pencipta segala sesuatu.

 

– Melalaikan sebab yang menimbulkan permusuhan itu. Sekiranya hamba kembali kepada sebab, maka kesibukannya untuk melenyapkan permusuhan ini lebih tepat dan lebih bermanfaat baginya.

 

Jika dalam pandangan seorang hamba sudah terhimpun kesaksian terhadap gadar, tauhid, hikmah dan keadilan, tentu dia lebih suka menutup pintu permusuhan dengan makhluk, kecuali dalam perkara yang sesuai dengan hak Allah dan Rasul-Nya. Orang yang ridha tentu tidak akan memusuhi dan tidak mencela kecuali terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hak Allah.

 

Begitulah keadaan Nabi. Beliau tidak pernah memusuhi dan tidak mencela seseorang kecuali dalam perkara yang berkaitan dengan hak Allah. Beliau juga tidak marah kepada diri sendiri. Tapi jika ada kehormatan Allah yang dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi kemarahan beliau sampai akhirnya beliau membalasnya karena Allah. Permusuhan dapat memadamkan cahaya ridha, mengganti kemanisan dengan kepahitannya, kejernihan dengan kekeruhannya.

 

Syarat ridha yang ketiga ialah tidak meminta-minta dan merengekrengek kepada makhluk, karena meminta-minta ini mencerminkan penentangan, permusuhan dan menghindar dari Dzat yang menguasai manfaat dan mudharat, lalu beralih kepada orang yang terhadap dirinya pun dia tidak bisa mengendalikan manfaat dan mudharat. Sedangkan meminta dengan merengekrengek dan mendesak, menafikan keadaan ridha dan sifatnya. Allah memuji orang-orang yang tidak meminta kepada manusia secara merengek-rengek,

 

“Dan, orang yaug tidak menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (Al-baqarah: 273)

 

Segolongan ulama berpendapat, maksudnya mereka meminta kepada orang lain sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tetapi mereka tidak meminta secara mendesak dan merengek-rengek. Jadi Allah menafikan dari mereka meminta secara mendesak, dan tidak menafikan meminta-minta secara mutlak. Menurut Ibnu Abbas, jika mereka mempunyai makan pagi, maka mereka tidak meminta untuk makan malam, dan jika mereka mempunyai makan malam, mereka tidak meminta untuk makan pagi.

 

Golongan lain berpendapat, bahwa mereka sama sekali tidak memintaminta, sebab mereka disifati sebagai orang-orang yang menjaga kehormatan dirinya dan sifat-sifat mereka pun sudah diketahui. Sebab seandainya mereka menghinakan diri dengan meminta-minta, tentunya orang yang tidak mengetahui siapa diri mereka yang sebenarnya, akan menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya.

 

Meminta-minta ini pada dasarnya adalah haram, lalu diperbolehkan karena ada kebutuhan yang mendesak dan keadaan yang memaksa, karena memintaminta ini merupakan jenis kezhaliman terhadap hak Rububiyah, kezhaliman terhadap hak orang yang diminta dan sekaligus hak orang yang meminta.

 

Dikatakan kezhaliman terhadap hak Rububiyah Allah, karena hal ini menyatakan permintaan, kebutuhan dan kehinaan kepada selain Allah, yang demikian ini termasuk ubudiyah. Hal ini juga sama dengan meletakkan permintaan bukan pada tempatnya, meminta kepada yang tidak layak untuk dimintai, kezhaliman terhadap pengesaan Allah dan keikhlasan kepada-Nya, menodai kebutuhan, tawakkal dan keridhaan terhadap pembagian-Nya, lebih suka meminta kepada manusia daripada kepada Allah. Semua ini bisa mengurangi hak tauhid, memadamkan cahayanya dan melemahkan kekuatannya.

 

Dikatakan kezhaliman terhadap hak orang yang dimintai, karena dia meminta kepadanya apa yang sebenarnya bukan merupakan miliknya, sehingga dia meminta hak yang bukan haknya, membebani orang yang dimintai dengan keberatan pengeluaran atau celaan jika dia tidak memberinya. Kalau pun memberi, maka dia akan memberinya dengan berat hati, dan kalau pun tidak memberi, maka dia harus menanggung rasa malu dan tekanan batin. Tapi jika yang diminta merupakan hak orang yang meminta, maka tidak termasuk dalam hal ini.

 

Dikatakan kezhaliman terhadap orang yang meminta, karena memintaminta itu sama dengan meneteskan air mukanya dan menghinakan dirinya kepada selain Khalignya, menempatkan dirinya pada kedudukan yang sangat rendah, ridha terhadap ruhtuhnya kemuliaan dan kehormatannya, menjual kesabaran, ridha, tawakkal, kepuasan pada pembagiannya dan merasa lebih membutuhkan manusia. Jadi jelas hal ini merupakan kezhaliman terhadap diri sendiri. Telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Demi diriku yang ada di Tangan-Nya, salah seorang di antara kalian mengambil seutas talinya lalu dia memanggul kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya kepada manusia, lebih baik baginya daripada dia menemui seseorang lalu meminta-minta kepadanya, diberi atau tidak diberi.”

 

Di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah , dia berkata,

 

“Rasulullah bersabda, “Salah seorang di antara kalian pergi pada pagi hari lalu memanggul kayu bakar di atas punggungnya, lalu dia menjualnya dan tidak meminta-minta kepada manusia, lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, diberi atau tidak diberi. Yang demikian itu karena tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan mulailah dengan memberi orang yang ada dalam tanggunganmu. Al-Imam Ahmad menambahi “Dia mengambil tanah lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, lebih baik baginya daripada memasukkan apa yang diharamkan Allah ke dalam mulutnya”

 

Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Az-Zubair bin Al-Awwam, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Salah seorang di antara kalian mengambil seutas talinya, lalu memanggul seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu menjualnya, sehingga Allah menjaga mukanya, lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak memberinya.”

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa ada beberapa orang dari kalangan Anshar yang meminta kepada Rasulullah, lalu beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan beliau memberi mereka, hingga semua harta yang ada di tangan beliau habis. Lalu beliau bersabda kepada mereka, “Apa pun kebaikan yang ada di tanganku, maka sekali-kalj aku tidak akan menyimpannya dan aku akan memberikannya kepada kalian, Namun siapa yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta, maka Allah akan menjaga kehormatannya. Siapa yang meminta kecukupan, maka Allah akan mencukupkan baginya, dan siapa yang berusaha bersabar, maka Allah membuatnya bersabar. Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.”

 

Dari Hakim bin Hizam, dia berkata, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah. Maka beliau memberiku. Kemudian aku meminta lagi kepada beliau dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda kepadaku, “Wahai Hakim, memang harta ini menarik dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kemurahan jiwa, maka dia akan diberkahi, dan siapa yang mengambilnya karena dorongan nafsu, maka dia tidak akan diberkahi, dan dia seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.”

 

Hakim berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mau menerima sesuatu pun dari seseorang sepeninggal engkau, hingga aku meninggal dunia.”

 

Abu Bakar pernah mengundang Hakim dan akan memberikan bantuan kepadanya. Namun dia tidak mau menerimanya sedikit pun. Begitu pula yang dilakukan Umar, namun dia juga tidak mau menerimanya. Lalu Umar berkata, “Wahai semua orang Muslim, aku bersaksi kepada kalian tentang diri Hakim,

 

bahwa aku menawarkan kepadanya bagiannya dari harta tebusan ini, namun dia tidak mau mengambilnya, sebab dia tidak mau menerima pemberian dari seorang pun sepeninggal Rasulullah, hingga dia meninggal dunia.”

 

Dari A’idz bin Amr, bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah, serta meminta kepada beliau. Maka beliau memberinya. Ketika orang itu sudah menginiakkan kakinya di luar ambang pintu, maka beliau bersabda, “Sekiranya mereka mengetahui akibat dari meminta-minta, maka tak seorang pun mau berjalan menemui seseorang lalu meminta sesuatu kepadanya.” (Diriwayatkan An-Nasa’i).

 

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Khalid bin Adi Al-Juhanni, dari Rasulullah, beliau bersabda,

 

“Barangsiapa menerima hal yang ma’ruf dari saudaranya, tanpa mengharap dan memintanya, maka hendaklah dia menerimanya dan janganlah menolaknya, karena itu semata rezeki yang digiring Allah kepadanya.”

 

Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan larangan untuk meminta-minta kepada manusia dan kehinaannya. Ini merupakan salah satu dari dua makna syarat ridha, yaitu tidak meminta-minta dengan cara merengekrengek dan mendesak. Makna kedua ialah tidak meminta dengan mendesak dan merengek-rengek dalam doa, karena yang demikian ini menodai ridhanya. Hal ini dianggap sah-sah saja di satu sisi dan dianggap tidak sah di sisi lain. Dianggap sah jika orang yang berdoa merengek-rengek dalam doanya untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia. Jika dia merengek-rengek kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya dan untuk tagarrub kepadanya, maka hal ini tidak menodai ridhanya. Di dalam sebuah atsar disebutkan, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang merengek-rengek dalam doa.”

 

Di dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan dari hadits Abu Salih, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa tidak mau memohon kepada Allah, maka Allah murka kepadanya.”

 

Karena permintaan dan permohonan kepada Allah membuat-Nya ridha, berarti merengek-rengek kepada-Nya saat meminta atau pun berdoa tidak mengurangi ridha. Hakikat ridha adalah menyesuaikan diri dengan ridha Allah. Yang menafikan ridha ialah memaksa, menetapkan atau menentukan suatu pilihan kepada Allah, tanpa mengetahui apakah pilihan itu diridhai Allah atau tidak, seperti orang yang mendesak kepada Allah untuk merebut kekuasaan orang lain, atau meminta kekayaan bagi dirinya. Yang seperti ini bisa menafikan ridha, karena dia tidak yakin Allah meridhainya.

 

Kembali ke pembahasan semula tentang derajat ridha, bahwa derajat ketiga adalah ridha dengan ridha Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk ridha atau marah, lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia mau melakukannya sekalipun akan diceburkan ke kobaran api.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada dua derajat sebelumnya, karena ini merupakan derajat orang yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah, mempersaksikan ridha karena Allah dan berasal dari Allah, melihat dirinya seakan tidak ada artinya apa-apa, fana dan akan binasa. Dia mencurigai dirinya, sifatnya, ridha dan amarahnya. Dia menganggap dirinya terlalu kecil dan hina, tak ubahnya cahaya pelita yang kecil di bawah terik matahari. Sehingga dia tidak berhak melihat bagi dirinya ada ridha dan amarah.

 

Syukur

 

Syukur termasuk tempat persinggahan yang paling tinggi dan lebih tinggi daripada ridha. Ridha merupakan satu tahapan dalam syukur. Sebab mustahil ada syukur tanpa ada ridha. Seperti yang sudah disinggung di bagian terdahulu, syukur merupakan separoh iman, separoh lainnya adalah sabar. Allah memerintahkan syukur dan melarang kebalikannya, memuji pelakunya, mensifatinya sebagai makhluk-Nya yang khusus, menjanjikan kepadanya dengan pahala yang baik, menjadikan syukur sebagai sebab untuk mendapatkan tambahan karunia-Nya, memelihara dan menjaga nikmat-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat-Nya, mengambil salah satu dari asma’-Nya, karena Allah adalah Asy-Syakur, yang berarti menghantarkan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukurinya, sementara orang-orang yang bersyukur di antara hamba-hamba-Nya amat sedikit. Allah berfirman,

 

“Dan, bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172).

 

“Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur.” (An-Nahl: 78).

 

“Dan (ingatlah) tatkala Rabb kalian memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikniat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7).

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. “(Luqman: 31).

 

Allah menamakan Diri-Nya Asy-Syakir dan Asy-Syakur, dan juga menamakan orang-orang yang bersyukur dengan dua nama ini. Dengan begitu Allah mensifati mereka dengan sifat-Nya dan memberikan nama kepada mereka dengan nama-Nya. Yang demikian ini sudah cukup untuk menggambarkan kecintaan dan karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersyukur. Pengabaran tentang sedikitnya orang-orang yang bersyukur di dunia ini, berarti menunjukkan kekhususan mereka, seperti firman-Nya,

 

“Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur.“ (Saba’: 13).

 

Didalam Ash-Shahihain disebutkan dari Rasulullah, bahwa ketika kedua telapak kaki beliau bengkak karena terlalu lama berdiri mendirikan shalat malam, lalu ada orang yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan yang demikian itu, padahal Allah,telah mengampuni dosa engkau yang telah lampau dan yang akan datang?” Maka beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”

 

Beliau juga pernah berkata kepada Mu’adz, “Demi Allah wahai Mu’adz, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lupa mengucapkan setiap usai shalat,

 

“Ya Allah tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.“

 

Syukur dilandaskan kepada lima sendi: Orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, memuji-Nya karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci-Nya.

 

Inilah lima sendi dan dasar syukur. Jika ada salah satu di antaranya yang hilang, maka sendi syukur itu pun menjadi lowong, yang membuat syukur tidak sempurna. Siapa pun yang berbicara tentang syukur dan batasanbatasannya, tentu akan kembali ke lima sendi ini dan pembicaraannya berkisar padanya.

 

Banyak orang yang membicarakan perbedaan antara pujian dan syukur, mana yang lebih tinggi dan lebih utama di antara keduanya? Di dalam hadits disebutkan, “Pujian adalah pangkal syukur. Siapa yang tidak memuji Allah, maka dia tidak bersyukur kepada Allah.”

 

Perbedaan di antara keduanya, bahwa syukur lebih umum jika ditilik dari jenis-jenis dan sebab-sebabnya, namun lebih khusus jika ditilik dari kaitankaitannya. Sedangkan pujian lebih umum jika ditilik dari kaitan-kaitannya, namun lebih khusus jika ditilik dari sebab-sebabnya. Artinya, syukur itu bisa dengan hati yang menunjukkan ketundukan, dengan lisan yang menunjukkan pengakuan, dengan anggota tubuh yang menunjukkan ketaatan. Sedangkan kaitannya adalah nikmat, tanpa sifat-sifat Dzat Allah. Maka tidak bisa dikatakan, “Kami bersyukur kepada Allah atas hidup, pendengaran, penglihatan dan ilmuNya.” Allah adalah yang dipuji dengan sifat-sifat ini, sebagaimana Dia dipuji karena kebaikan dan keadilan-Nya. Syukur dilakukan karena kebaikan dan nikmat.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Syukur merupakan istilah untuk mengetahui nikmat, karena mengetahui nikmat ini merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat. Karena itu Allah menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur’an dengan syukur.”

 

Mengetahui nikmat merupakan salah satu dari beberapa rukun syukur, bukan karena ia bagian dari syukur seperti yang disebutkan di atas, bahwa syukur itu merupakan pengakuan terhadap nikmat, pujian kepada Allah karena nikmat itu dan mengamalkan nikmat seperti yang diridhai-Nya, tapi karena mengetahui nikmat ini merupakan rukun syukur yang paling besar, sehingga syukur mustahil ada tanpa mengetahui nikmat.

 

Nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat, artinya dengan mengetahui nikmat itu akan membuat seorang hamba bisa mengetahui Pemberi nikmat. Jika dia mengetahui Pemberi nikmat, tentu akan mencintainya dan bersungguh-sungguh dalam mengharapkan-Nya. Sebab siapa yang mengetahui Allah, tentu akan mencintai-Nya, dan siapa yang mengetahui dunia, maka Allah akan membuatnya membenci dunia.

 

Menurut Syaikh, makna-makna syukur ada tiga macam: Mengetahui nikmat, menerima nikmat dan memuji karena nikmat itu. Mengetahui nikmat artinya menghadirkan nikmat itu di dalam pikiran, mempersaksikan dan membedakannya. Menerima nikmat artinya menerimanya dari Pemberi nikmat, dengan memperlihatkan kebutuhan kepada nikmat, yang sebenarnya dia tidak berhak menerimanya, apalagi dia mengeluarkan harga untuk mendapatkannya. Dia melihat dirinya seperti anak kecil yang hanya bisa menerima pemberian. Memuji karena nikmat itu artinya memuji Pemberi nikmat. Ada dua macam tentang pujian ini, yaitu: Umum dan khusus. Umum artinya mensifati Allah dengan sifat murah hati dan mulia, baik, baik, luas pemberian-Nya dan lain sebagainya. Sedangkan yang khusus ialah menyebut-nyebut nikmat-Nya dan mengabarkan bahwa nikmat itu telah sampai kepadanya, sebagaimana firmanNya,

 

“Dan, terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut-Nya.” (Adh-Dhuha: 11).

 

Ada dua pendapat tentang menyebut-nyebut nikmat Allah ini:

 

Pertama, Menyebut nikmat itu dan mengabarkannya, seperti perkataan hamba, “Allah telah melimpahkan nikmat kepadaku berupa ini dan itu.” Menurut Mugatil, artinya bersyukurlah saat menyebut nikmat yang dilimpahkan kepadamu. Adapun nikmat seperti yang disebutkan dalam surat Adh-Dhuha ini ialah seperti anak yatim yang mendapat perlindungan setelah terlantar, mendapat petunjuk setelah tersesat, mendapat kecukupan setelah kekurangan. Menyebut-nyebut nikmat ini merupakan gambaran syukur. Disebutkan dalam atsar yang dimarfu’kan, “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak mensyukuri yang banyak. Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, tidak bersyukur kepada Allah. Menyebut-nyebut nikmat Allah adalah syukur, dan tidak menyebut-nyebutnya adalah kufur. Bersatu itu rahmat dan perpecahan itu adzab.”

 

Kedua, Menyebut-nyebut nikmat yang diperintahkan dalam ayat ini ialah menyeru kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya serta mengajari umat. Menurut Mujahid, artinya nubuwah. Menurut Az-Zajjaj, artinya: Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan beritahukanlah nubuwah yang diberikan Allah kepadamu. Menurut Al-Kalbi, artinya Al-Qur’an dan perintah untuk membacanya.

 

Yang benar adalah mencakup kedua macam pengertian ini, sebab keduaduanya merupakan bentuk nikmat yang diperintahkan untuk disyukuri dan disebut-sebut. Dengan menampakkan nikmat ini berarti mensyukurinya.

 

Perintah Allah untuk mensyukuri nikmat merupakan bentuk lain dari nikmat Allah dan kemurahan-Nya kepada hamba. Sebab manfaat syukur kembali kepada hamba, di dunia dan di akhirat, bukan kembali kepada Allah. Hambalah yang mengambil manfaat dari syukurnya, sebagaimana firman-Nya.

 

“Dan, barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.” (Luqman: 12).

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, syukur ada tiga derajat, yaitu:

 

  1. Mensyukuri hal-hal disukai. Ini merupakan syukur yang bisa dilakukan orang-orang Muslim, Yahudi, Nasrani dan Majusi. Di antara keluasan rahmat Allah, bahwa yang demikian ini dianggap syukur, menjanjikan tambahan dan memberikan pahala. Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan bagian hakikatnya adalah menggunakan nikmat Allah sebagai penolong untuk taat dan mendapatkan ridha-Nya, berarti engkau telah mengetahui kekhususan pemeluk Islam sesuai dengan derajat ini, dan bahwa hakikat mensyukuri apa-apa yang disukai ini sebenarnya bukan milik selain orang-orang Muslim. Memang di antara rukun dan bagian-bagiannya ada yang menjadi bagian selain orang-orang Muslim, seperti pengakuan terhadap nikmat itu dan pujian terhadap Pemberi nikmat. Karena semua makhluk berada dalam nikmat Allah. Siapa pun yang menyatakan Allah sebagai Rabb, satu-satunya pencipta dan yang memberi karunia, maka dia akan mendapat tambahan nikmat-Nya. Tetapi permasalahannya terletak pada kesempurnaan hakikat syukur, yaitu meminta nikmat itu untuk mendapatkan ridha-Nya. Aisyah 4 pernah menulis surat kepada Mu’awiyah, yang di antara isinya, “Minimal kewajiban yang diberikan orang yang diberi nikmat terhadap yang memberi nikmat ialah janganlah menjadikan nikmat yang diberikan itu sebagai sarana untuk mendurhakai-Nya.”

 

  1. Syukur karena mendapatkan sesuatu yang dibenci. Ini bisa dilakukan orang yang tidak terpengaruh oleh berbagai keadaan, dengan tetap memperlihatkan keridhaan, atau dilakukan orang yang bisa membedakan berbagai macam keadaan, dengan menahan amarah, tidak mengeluh, memperhatikan adab dan mengikuti jalan ilmu. Orang yang bersyukur macam inilah yang pertama kali dipanggil masuk surga. Syukur justru pada saat mendapatkan sesuatu yang dibenci lebih berat dan lebih sulit daripada syukur pada saat mendapat sesuatu yang disukai. Maka dari itu derajat ini lebih tinggi tingkatannya, yang tidak bisa dilakukan kecuali salah satu dari dua orang: Pertama, seseorang yang tidak membedakan berbagai macam keadaan. Dia tidak peduli apakah sesuatu yang dihadapinya itu disukai atau dibenci, dia tetap bersyukur atas keadaannya, dengan menampakkan keridhaan atas apa yang dihadapinya. Kedua, orang yang bisa membedakan berbagai macam keadaan. Pada dasarnya dia tidak menyukai sesuatu yang dibenci dan tidak ridha jika hal itu menimpanya. Tapi kalau pun benar-benar menimpanya, toh dia tetap bersyukur kepada Allah. Cara syukurnya ialah dengan menahan amarah, tidak berkeluh kesah, memperhatikan adab dan ilmu. Sebab ilmu dan adab menyuruh syukur kepada Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan senang maupun susah.

 

Orang yang bersyukur dengan cara ini merupakan orang yang pertama kali dipanggil masuk surga, karena dia menghadapi sesuatu yang dibenci dengan syukur. Sementara kebanyakan orang menghadapinya dengan kegelisahan dan amarah, ada yang menghadapinya dengan sabar, dan ada yang menghadapinya dengan ridha. Sedangkan syukur merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari ridha dalam menghadapi sesuatu yang dibenci.

 

  1. Hamba tidak mempersaksikan kecuali Pemberi nikmat. Jika dia mempersaksikan-Nya karena ubudiyah, maka dia menganggap nikmat dariNya itu amat agung. Jika dia mempersaksikan-Nya karena cinta, maka kesusahan terasa manis. Jika dia mempersaksikan-Nya karena pengesaan, maka dia tidak mempersaksikan apa yang datang dari-Nya sebagai nikmat atau kesusahan.

 

Orang-orang yang ada dalam derajat ini dibagi menjadi tiga macam: Orang yang memiliki kesaksian ubudiyah, orang yang memiliki kesaksian cinta, dan orang yang memiliki kesaksian pengesaan. Kesaksian ubudiyah artinya kesaksian hamba terhadap tuannya yang memiliki kekuasaan terhadap dirinya. Pada hamba atau budak jika berada di hadapan tuannya, maka mereka lupa kemulian diri sendiri, memperhatikan dengan seksama ke arah tuannya, lupa memperhatikan keadaan diri sendiri. Keadaan seperti ini banyak dilihat dalam pertemuan di hadapan raja umpamanya. Orang yang memiliki kesaksian semacam ini, apabila mendapat nikmat dari tuannya, maka dia menganggap dirinya terlalu kerdil untuk menerimanya, namun hatinya tetap dipenuhi dengan rasa cinta kepada tuannya. Kesaksian cinta juga tak berbeda jauh keadaannya dengan kesaksian ubudiyah. Hanya saja orang yang memiliki kesaksian ini merasakan yang berat menjadi ringan, yang pahit terasa manis. Sedangkan kesaksian pengesaan tidak terpengaruh oleh rupa, tidak mempersaksikan nikmat dan tidak pula cobaan.

 

Malu Allah berfirman sehubungan dengan salah satu tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ini,

 

“Tidakkah dia mengetahni bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (Al-Alaq: 14).

 

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19).

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Ibnu Umar wa, bahwa Nabi, pernah melewati seseorang yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu. Maka beliau bersabda kepada orang itu, “Biarkan saja dia, karena rasa malu itu sebagian dari iman.”

 

Di dalam Ash-Shihain disebutkan dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.”

 

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, beliau bersabda,

 

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah perkataan la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu itu cabang dari iman.”

 

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa dia berkata, “Rasulullah adalah orang yang lebih mudah merasa malu daripada gadis di tempat pingitannya. Jika melihat sesuatu yang tidak disukai beliau, maka kami bisa melihatnya pada raut muka beliau.”

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya di antara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.”

 

Ada dua makna berkaitan dengan hadits ini: Pertama, ini merupakan peringatan dan pengabaran, yang artinya: Siapa yang tidak malu tentu akan berbuat sesukanya. Kedua, ini merupakan pembolehan, yang artinya: Lihatlah perbuatan yang hendak engkau lakukan. Jika termasuk sesuatu yang tidak mengundang rasa malu, maka lakukanlah. Namun yang benar adalah yang pertama.

 

Banyak definisi malu yang diberikan para ulama, seperti Al-Junaid yang berkata, “Karena melihat berbagai macam karunia dan melihat keterbatasan diri sendiri, maka di antara keduanya muncul suatu keadaan yang disebut malu. Hakikatnya adalah akhlak yang mendorong untuk meninggalkan keburukan dan mencegah pengabaian dalam memenuhi hak Allah.”

 

Sebagian orang arif berkata, “Hidupkanlah rasa malu dengan berkumpul bersama orang-orang yang mempunyai rasa malu. Hidupkanlah hati dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya hilang dari hati, maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang menyisa.”

 

Dalam atsar Ilahi Allah berfirman, “Wahai anak Adam, kamu tidak merasa malu kepada-Ku. Aku sudah membuat manusia lupa aibmu, Aku membuat bumi lupa dosa-dosamu dan Aku menghapus dari induk Kitab kesalahankesalahanmu. Jika tidak, tentu Aku akan menghisabmu pada Hari Kiamat.”

 

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Lima tanda penderitaan: Kekerasan hati, kejumudan mata, sedikit malu, keinginan terhadap dunia dan angan-angan yang muluk-muluk.”

 

Dalam atsar Ilahi disebutkan, “Hamba-Ku benar-benar tidak adil terhadapKu. Dia berdoa kepada-Ku dan Aku malu untuk tidak memperkenankannya, namun dia durhaka kepada-Ku dan dia tidak malu kepada-Ku.”

 

Malunya Allah terhadap hamba tidak bisa diketahui melalui suatu pemahaman dan tidak bisa digambarkan akal, karena itu merupakan rasa malu yang timbul dari kemurahan hati, kebajikan dan keagungan. Yang pasti Allah merasa malu terhadap hamba-Nya, jika hamba itu menengadahkan tangan lalu kembali dengan hampa.

 

Rasa malu bisa dibagi menjadi sepuluh macam:

 

  1. Malu karena berbuat salah, seperti malunya Adam yang melarikan diri saat di surga. Allah bertanya, “Mengapa kamu lari dari-Ku wahai Adam?” Adam menjawab, “Tidak wahai Rabbi, tapi karena aku merasa malu terhadap Engkau.”

 

  1. Malu karena keterbatasan diri, seperti rasa malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih pada siang dan malam hari dan tak ada waktu senggang pun tanpa tasbih. Namun begitu pada hari kiamat mereka berkata, “Maha-suci Engkau, kami tidak menyembah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya penyembahan.”

 

  1. Rasa malu karena pengagungan, atau rasa malu karena memiliki ma’rifat. Sejauh mana ma’rifat seseorang terhadap Rabb-nya, maka sejauh itu pula rasa malunya terhadap-Nya.

 

  1. Malu karena kehalusan budi, seperti rasa malunya Rasulullah 4 saay mengundang orang-orang pada acara walimah Zainab. Karena mereka tidak segera pulang, maka beliau bangkit dari duduknya dan merasa maly untuk mengatakan kepada mereka, “Pulanglah kalian.”

 

  1. Malu karena menjaga kesopanan, seperti malunya Ali bin Abu Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah, karena dia menjadi suami putri beliau.

 

  1. Malu karena merasa diri terlalu hina, seperti malunya hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah, dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk itu.

 

  1. Malu karena cinta, yaitu rasa malunya orang yang mencintai di hadapan kekasihnya. Bahkan tatkala terlintas sesuatu di dalam hatinya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa malu, tanpa diketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba-tiba di hadapannya.

 

  1. Malu karena ubudiyah ialah rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang hamba merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan yang disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya ini membuatnya merasa malu.

 

  1. Malu karena kemuliaan ialah malunya hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat bajik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah bekorban dengan mengeluarkan sesuatu, toh dia masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.

 

  1. Malu terhadap diri sendiri, yaitu rasa malunya seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, andaikan dirinya merasa ridha terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat kekurangan orang lain. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seorang hamba merasa malu terhadap diri sendiri, maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.

 

Malu ini ada tiga derajat, yaitu:

 

  1. Malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorongnya untuk bermujahadah, mencela keburukannya dan membuatnya tidak mengeluh.

 

Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu kepada-Nya.

 

Yang demikian ini juga mendorongnya untuk mengecam keburukannya, karena rasa malu. Namun dorongan yang lebih tinggi lagi ialah karena cinta. Rasa malu ini membuat hamba urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.

 

  1. Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk .

 

Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya,

 

“Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4).

 

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan, tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya. Dan, tiada pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.” (Al-Mujadilah: 7).

 

Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, seperti firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 138).

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).

 

Dua makna ini merupakan kesertaan Allah dengan hamba. Kata ma’a dalam Bahasa Arab berarti kesertaan atau penggabungan yang selaras, tidak mengharuskan adanya pencampuran, kedekatan dan berdampingan. Sedangkan kata dekat, tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an kecuali dengan pengertian yang bersifat khusus, yaitu ada dua macam:

 

Kedekatan Allah dengan orang yang berdoa kepada-Nya, dengan cara mengabulkannya, dan kedekatkan Allah dengan orang yang beribadah kepadaNya, dengan cara memberinya pahala.

 

Yang pertama seperti firman Allah,

 

“Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.“ (Al-baqarah: 186).

 

Ayat ini turun karena para shahabat bertanya kepada Rasulullah 144 “Apakah Allah itu dekat sehingga kami bermunajat dengan-Nya, ataukah Allah itu jauh sehingga kami berseru kepada-Nya?” Maka turun ayat ini sebagai jawabannya.

 

Yang kedua seperti sabda Rasulullah,

 

“Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabbnya ialah tatkala dia sujud, dan saat yang paling dekat antara Rabb dan hamba-Nya ialah pada tengah malam.”

 

Kedekatan ini mendorong hamba untuk mencintai. Selagi cinta semakin bertambah, maka dia semakin merasakan kedekatan. Cinta itu mempunyai dua macam kedekatan: Kedekatan sebelumnya dan kedekatan sesudahnya. Kedekatan ini membuat hati bergantung dan senantiasa berhubungan dengan Allah.

 

  1. Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan.

 

Jika ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.

 

Shidq Shidq (benar, jujur, lurus, tulus) merupakan tempat persinggahan yang paling agung dan juga menjadi asal-usul tempat-tempat persinggahan lainnya.

 

Shidq merupakan jalan paling lurus. Siapa yang tidak berjalan di atasnya, berarti dia adalah orang yang gagal dalam perjalanannya. Dengan shidq ini pula dapat dibedakan antara orang munafik dan orang yang beriman, antara penghuni surga dan penghuni neraka. Shidq merupakan pedang Allah di bumi, yang setiap kali diletakkan di atas sesuatu, maka ia akan memotongnya, dan setiap kebatilan yang dihadapinya tentu ditebasnya hingga habis. Shidq merupakan ruh amal, poroses segala keadaan, pintu masuk orang-orang yang hendak menuju tempat Allah, dasar bangunan agama dan sendi keyakinan. Derajatnya mengikuti derajat nubuwah, yang merupakan derajat paling tinggi. Mata air dan sungai di surga mengalir ke tempat para shiddiqin atau shadigin (orangorang yang benar).

 

Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar bersama orangorang yang benar, karena mereka termasuk orang-orang yang secara khusus mendapatkan nikmat Allah, bersama para nabi, syuhada dan shalihin, dan mereka inilah teman-teman yang paling baik,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119).

 

“Dan, barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddigin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan, : mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69).

 

Allah telah mengabarkan tentang orang-orang yang berbuat keba jikan dan memuji mereka karena amal mereka, berupa iman, kepasrahan diri, sabar dan benar, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki shidq. Allah juga membagi manusia menjadi shadiq dan munafik, sebagaimana firman-Nya,

 

“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.” (Al-Ahzab: 24).

 

Asas iman adalah shidq, sedangkan asas kemunafikan adalah dusta. Dusta dan iman tidak akan bersatu, tapi yang satu tentu akan memerangi yang lainnya. Allah juga mengabarkan bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba , dari siksa pada Hari Kiamat selain dari shidq-nya.

 

Shidq dalam perkataan artinya menegakkan lisan dalam perkataan seperti tegaknya bulir pada tangkainya. Shidq dalam perbuatan artinya menegakkan amal pada perintah dan mengikuti As-Sunnah, seperti tegaknya kepala di atas jasad. Shidq dalam keadaan artinya menegakkan amal hati dan anggota tubuh pada keikhlasan. Seberapa jauh kesempurnaan perkara-perkara ini dan tegaknya, maka sejauh itu pula shidq-nya.

 

Karena itu Abu Bakar yang memiliki puncak tanda shidq disebut AshShiddig. Sementara itu, Ash-Shiddig lebih tinggi daripada ash-shadug, dan ash-shadug lebih tinggi daripada ash-shadig, yang semua merupakan pelaku dari sifat shidq. Di antara tanda shidq ialah ketenangan hati, dan di antara tanda dusta ialah keragu-raguan, sebagaimana yang disebutkan dari hadits Al-Hasan bin Ali, dari Nabi, beliau bersabda, “Kebenaran itu adalah ketenangan dan kedustaan itu adalah keragu-raguan.” Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya kebenaran itu memberi petunjuk kepada kebajikan, dan kebajikan itu memberi petunjuk ke surga. Sesungguhnya seseorang itu senantiasa benar hingga dia ditetapkan di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, sesungguhnya dusta itu memberi petunjuk kepada kekejian, dan kekejian itu memberi petunjuk ke neraka. Sesungguhnya seseorang senantiasa dusta hingga dia ditetapkan di sisi Allah sebagai pendusta.”

 

Beliau menjadikan shidq sebagai kunci dan permulaan derajat shiddig dan sekaligus tujuannya, yang sama sekali tidak bisa dicapai pendusta, tidak dalam perkataan, perbuatan atau keadaannya, terutama orang yang berdusta terhadap Allah, dalam sifat dan asma’-Nya, seperti menafikan apa yang ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang dinafikan-Nya, atau dusta dalam agama dan syariat-Nya, seperti menghalalkan apa yang diharamkan-Nya dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.

 

Banyak definisi dan ungkapan tentang hakikat shidq. Ada yang berpendapat, shidq adalah perkataan yang benar dihadapan orang yang engkau takuti dan juga yang engkau harapkan. Ada pula yang berpendapat, artinya lurus saat sembunyi dan terang-terangan. Sementara orang yang dusta, penampakannya lebih baik daripada yang tidak ditampak kannya, seperti orang munafik yang zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Ada pula yang berpendapat, orang yang shadig ialah yang bersiap sedia untuk mati dan tidak merasa malu jika rahasia dirinya terungkap.

 

Dalam atsar Ilahi disebutkan, “Siapa yang benar kepada-Ku saat sembunyi-sembunyi, maka Aku membenarkannya saat terang-terangan di tengah makhlukKu.”

 

Sahl bin Abdullah berkata, “Pengkhiatan shiddigin yang pertama kali jalah bisikan terhadap diri sendiri.”

 

Yusuf bin Asbath berkata, “Semalam saja aku bermu’amalah dengan Allah secara benar, lebih kusukai daripada aku menghunus pedang di jalan Allah.”

 

Al-Harits Al-Muhasibi berkata, “Orang yang shadig adalah orang yang tidak peduli sekiranya semua bagian di hati manusia yang menjadi miliknya tidak diberikan kepadanya, selagi dia dapat memperbaiki hatinya, dia tidak suka jika mereka mengetahui kebaikan amalnya dan dia tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika dia benci karena mengetahui keburukannya, berarti dia menghendaki kehormatan di mata mereka, dan ini bukan tanda para shiddiqin.” Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Shidq merupakan kata untuk sebuah hakikat sesuatu, pencapaian dan keberadaan.” Shidq merupakan pencapaian sesuatu, kelengkapan dan kesempurnaan kekuatannya serta kebersamaan bagian-bagiannya, seperti jika dikatakan, “Azimah shadigah”, yang berarti hasrat yang benar, yaitu jika hasrat itu kuat dan sempurna. Ada tiga derajat shidq, yaitu:

 

  1. Shidq dalam tujuan. Dengan shidq seorang hamba berhak bergabung dalam perjalanan ini, segala rintangan akan sirna, yang tertinggal akan ketahuan dan yang rusak bisa diperbaiki. Tanda orang yang shadig ialah tidak membawa penyeru yang mengajaknya untuk membatalkan perjanjian, yang membuatnya tidak sabar dalam menghadapi musuhnya dan tidak membuatnya mengendorkan semangat.

 

Shidq dalam tujuan artinya kesempurnaan hasrat dan kekuatan kehendak. Di dalam hati ada pendorong yang benar dan kecenderungan yang keras untuk mengadakan perjalanan. Bergabung dalam perjalanan ini belum dianggap sah kecuali dengan shidq ini.

 

Tanda orang yang shadig ialah tidak membawa penyeru yang mengajaknya untuk membatalkan perjanjian, artinya bahwa orang yang shadig secara hakiki, maka semua kekuatan ruhnya diserahkan kepada kehendak Allah dan dipersiapkan untuk bersua dengan-Nya. Siapa yang keadaannya seperti ini, maka dia akan membawa suatu sebab yang membuatnya tidak membatalkan perjanjian dengan Allah.

 

Musuh yang membuat hamba tidak sabar jalah orang-orang yang lalai dan orang-orang yang memotong perjalanan hati kepada Allah. Yang paling berbahaya bagi orang yang shadig ialah berteman dengan mereka. Kalau pun harus bergaul dengan mereka, maka bolehlah bergaul dengan badannya saja, tidak dengan hati dan ruhnya.

 

  1. Tidak mengangan-angankan kehidupan kecuali untuk kebenaran, tidak mempersaksikan dirinya kecuali pengaruh kekurangan dan tidak merasa senang karena ada keringanan.

 

Artinya, seorang hamba tidak suka hidup kecuali untuk menyebarkan apa yang disukai Kekasihnya, melaksanakan ubudiyah kepada-Nya dan memperbanyak sebab yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena alasan keduniaan dan bukan karena dorongan hawa nafsu, sebagaimana yang dikatakan Umar bin Al-Khaththab, “Kalau tidak ada tiga perkara, tentu aku tidak suka tetap hidup, yaitu memegang kendali kuda fi sabilillah, menghidupkan waktu malam, dan berkumpul bersama orang-orang yang memilih perkataanperkataan yang bagus, sebagaimana memilih korma-korma yang bagus.”

 

Tidak mempersaksikan dirinya kecuali penuh kekurangan, maksudnya melihat diri sendiri serba kekurangan, banyak aibnya dan hina.Siapa yang mengetahui Allah, tentu mengetahui dirinya sendiri, yang berarti dia melihat diri sendiri dari kaca mata kekurangan.

 

Tidak merasa senang karena ada keringanan, ini terjadi karena kesempurnaan shidqnya, kekuatan kehendaknya dan hasrat untuk maju kedepan, yang membuat dirinya tidak melihat kepada kesenangannya karena ada keringanan. Jika keringanan lebih dia sukai daripada hasrat yang kuat, lalu dia berkeinginan menenangkan dirinya, maka hal ini disebut shidq. Jika seorang hamba tidak berpuasa dalam perjalanan, menggashar dan menjama’ shalat saat diperlukan, mempercepat shalat saat ada kesibukan, atau keringanankeringanan lain yang disukai Allah untuk diamalkan, maka hal ini tidak mengurangi shidq. Tapi keringanan yang bersifat ta’wil dan dilandaskan kepada perbedaan pendapat di kalangan madzhab dan pendapat-pendapat yang bisa benar dan bisa salah, maka hal ini bisa menafikan shidq.

 

  1. Shidq dalam mengetahui shidq. Shidq tidak dianggap betui menurut ilmu orang-orang yang khusus kecuali dengan satu kalimat, bahwa ridha Allah harus sesuai dengan amal, keyakinan, tujuan dan keadaan hamba. Hamba itu ridha dan diridhai,amal-amalnya diridhai, keadaannya benar dan tujuannya lurus. Jika seorang hamba mengenakan pakaian piniaman, maka amalnya yang paling bagus adalah dosa, keadaannya yang paling benar adalah dusta dan tujuannya yang paling bersih adalah diam tak berusaha. .

 

Artinya, shidq yang sebenarnya hanya dapat diperoleh orang yang benar dalam pengetahuannya tentang shidq. Dengan kata lain, keadaan shidq tidak bisa diperoleh kecuali setelah mendalami ilmu shidq. Kemudian definisi lebih lanjut tentang shidq ini, bahwa shidq tidak akan lurus kecuali jika ridha Allah sesuai dengan amal, keadaan, keyakinan dan tujuan hamba. Ini merupakan keharusan shidq, faidah dan hasilnya.

 

Jika seorang hamba membenarkan Allah, maka Allah akan meridhai amal, keadaan, keyakinan dan tujuannya, bukan berarti ridha Allah itu merupakan shidq. Artinya, shidq itu dapat diketahui dengan menyesuaikan ridha Allah. Tapi dari mana hamba bisa mengetahui ridha-Nya?

 

Di sana ada orang shadig yang benar-benar merasa harus mengikuti perintah, berserah diri kepada Rasulullah secara zhahir dan batinnya, mengikuti beliau, beribadah dengan melakukan ketaatan kepada Allah tatkala bergerak dan saat diam, dengan memurnikan tujuan karena Allah semata. Allah tidak meridhai hamba kecuali dengan keadaan seperti ini.

 

Seorang hamba ridha dan diridhai, karena dia ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Karena itu Allah pun ridha kepada hamba dan amal-amalnya diridhai-Nya.

 

Maksud perkataan Syaikh, “Jika seorang hamba mengenakan pakaian piniaman….” dan seterusnya, bahwa dia mengenakan pakaian orang-orang yang shadigin, namun ruh dan hatinya tidak seperti mereka, maka dia seperti orang yang merasa kenyang padahal belum diberi apa-apa, sehingga dia seperti orang yang mengenakan dua pakaian palsu. Inilah amalnya yang paling bagus, dan karenanya dia akan disiksa, seperti siksa yang diberikan kepada orang yang berjihad atau membaca Al-Qur’an karena riya’.

 

Itsar

 

Itsar (mengutamakan kepentingan orang lain) termasuk salah satu tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Allah telah berfirman tentang hal ini,

 

“Dan, mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9).

 

Jadi itsar kebalikan dari kikir. Orang yang mengutamakan orang lain berarti meninggalkan apa yang sebenarnya dia perlukan. Sedangkan orang kikir adalah orang yang menginginkan apa yang tidak ada di tangannya. Jika sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia tidak mau mengeluarkannya atau bakhil. Jadi bakhil merupakan hasil dari kikir.

 

Kikir menyuruh kepada bakhil, sebagaimana sabda Nabi

 

“Jauhilah oleh kalian kikir, karena kikir itu membinasakan orang-orang sebelum kalian. la menyuruh mereka kepada kebakhilan hingga mereka pun bakhil, dan menyuruh mereka kepada pemutusan hubungan persaudaraan, hingga mereka pun memutuskan hubungan persaudaraan.”

 

Orang yang bakhil ialah yang memenuhi ajakan kikir, sedangkan mu tsir (orang yang mengutamakan kepentingan orang lain) memenuhi ajakan kemurahan hati dan kedermawanan. Kebalikan itsar adalah atsarah, artinya tidak peduli keperluan saudaranya karena dia juga memerlukannya atau lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Inilah yang disabdakan Nabi kepada orang-orang Anshar, “Sepeninggalku kalian akan menemui orang-orang yang suka mengutamakan kepentingan diri sendiri. Maka bersabarlah kalian hingga kalian bersua aku di alam kubur.”

 

Orang-orang Anshar adalah mereka yang disifati Allah sebagai itsar, seperti firman-Nya di dalam ayat di atas. Mereka disifati dengan tingkatan kedemawanan yang paling tinggi. Sebab dermawan itu ada tiga macam:

 

– Miliknya tidak merasa terkurangi dan tidak keberatan untuk menge’ luarkannya, atau disebut sakha’.

 

– Memberikan lebih banyak dari miliknya dan menyisakan sedikit atau menyisakan jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan, yang disebut jud.

 

– Memberikan semua miliknya kepada orang lain sekalipun dia memerlukannya, yang disebut itsar.

 

Oais bin Sa’d bin Ubadah adalah orang yang paling dermawan di antara orang-orang yang dikenal dermawan. Suatu hari dia jatuh sakit, sementara saudara-saudaranya tidak segera menjenguknya. Maka dia menanyakan kemana mereka itu? Ada yang menjawab, bahwa mereka sedang mengurus hutang yang dia salurkan kepada orang-orang. Maka dia berkata, “Semoga Allah menghinakan harta yang telah menghalangi para saudara untuk menjenguk orang yang sakit.” Kemudian dia menyuruh seseorang untuk menyerukan pernyataan, “Siapa yang mempunyai hutang kepada Oais, maka hutangnya dianggap lunas.” Pada sore harinya daun pintu rumah Oais jebol, karena banyaknya orang yang hendak menjenguknya.

 

Suatu hari orang-orang bertanya kepada Oais, “Apakah engkau tahu orang yang lebih dermawan daripada engkau?”

 

Oais menjawab, “Ya, ada. Suatu kali kami berada di sebuah perkampungan dan kami singgah di rumah seorang wanita. Ketika suaminya tiba, wanita itu berkata, “Ada beberapa orang tamu yang singgah di rumahmu.”

 

Maka orang itu langsung menghela seekor onta dan menyembelihnya. Dia berkata, “Kalian diam saja di tempat.”

 

Besoknya dia menghela onta lain dan menyembelihnya. Kami pun berkata, “Onta yang engkau sembelih semalam pun hanya sedikit yang kami makan.”

 

Orang itu berkata, “Aku tidak memberi makan tamu-tamuku yang hanya bermalam saja.”

 

Kami berada di rumahnya dua atau tiga hari, dan selama itu hujan turun terus-menerus. Ketika kami hendak melanjutkan perjalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya, dan kami katakan kepada wanita itu, “Sampaikan pamit kami kepada suamimu.” Lalu kami langsung meninggalkan yumahnya, karena orang itu sedang keluar rumah. Pada tengah hari kami mendengar teriakan dari arah belakang, “Berhentilah kalian hai para pengembara yang terlaknat. Apakah kalian membayar jamuanku?” Setelah kami saling berhadapan, dia berkata, “Ambil lagi uang kalian ini, atau lebih baik aku menghunjamkan tombakku ini kepada kalian.” Maka kami pun mengambil Jagi uang kami, dan setelah itu orang tersebut balik lagi.

 

Kedermawanan itu ada sepuluh macam, yaitu:

 

  1. Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa. Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, seperti yang dikatakan dalam syair, “Kedermawanan dengan jiwa yang dihindari orang bakhil pengorbanan jiwa adalah puncak tertinggi kedermawanan.”

 

  1. Kedermawanan dengan kekuasaan. Kedermawanan orang yang memiliki kekuasaan membuatnya tidak mempedulikan kekuasaannya dan dia lebih mengutamakan keperluan orang lain yang perlu dibantu.

 

  1. Kedermawanan dengan kesenangan, ketenangan dan istirahatnya. Dia mengabaikan waktu istirahatnya untuk berpayah-payah demi kemaslahatan orang lain, sampai-sampai dia tidak sempat tidur.

 

  1. Kedermawanan dengan ilmu. Ini juga termasuk tingkatan yang paling tinggi, karena mendermakan ilmu lebih baik daripada mendermakan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.

 

  1. Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, seperti meminta tolong kepada seseorang untuk menemui seorang pemimpin.

 

  1. Kedermawanan dengan memanfaatkan badan dengan berbagai jenisnya, sebagaimana sabda Nabi

 

“Pada setiap persendian salah seorang di antara kalian ada shadagahnya. Setiap hari yang padanya matahari terbit, lalu dia bertindak secara adil di antara dua orang adalah shadagah. Membantu orang berkaitan dengan hewan tunggangannya, lalu dia menaikkannya ke atas punggungnya atau dia mengangkatkan barang dagangannya ke atasnya adalah shadagah. Kata-kata yang baik adalah shadagah. Setiap langkah kaki waktu seseorang berjalan menuju shalat adalah shadagah. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadagah.” (Muttafaq Alaihi).

 

  1. Kedermawanan dengan kehormatan diri, seperti yang dilakukan Abu Dhamdham, seorang shahabat. Setiap pagi dia berkata, “Ya Allah, aku tidak mempunyai harta yang bisa kushadagahkan kepada manusia. Maka aku bershadagah kepada mereka dengan kehormatan diriku. Siapa yang mencaciku atau menuduhku, maka sudah terbebas dari pembayaran tebusan kepadaku.” Nabi yang mendengarnya bersabda, “Siapakah di antara kalian yang bisa berbuat seperti Abu Dhamdham?” Kedermawanan seperti ini bisa membersihkan dada, menenangkan hati dan membuat seseorang tidak ingin bermusuhan dengan orang lain.

 

  1. Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri. Ini merupakan tingkatan yang mulia dan lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada mendermakan harta. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki jiwa besar. Siapa yang tidak bisa menjadi dermawan dengan hartanya, maka dia bisa bederma dengan kesabarannya. Allah menetapkan hukum gishash. Namun siapa yang melepaskan hak tebusan, maka itu merupakan tebusan bagi dosanya. Dengan kedermawanan ini seseorang bisa merasakan pahalanya di dunia dan di akhirat.

 

  1. Kedermawanan dengan akhlak, perilaku dan budi pekerti yang baik. Ini di atas tingkatan kedermawanan dengan sabar, menguasai diri dan maaf. Tingkatan ini dapat mengangkat pelakunya ke derajat orang yang puasa pada siang harinya dan shalat tahajjud pada malam harinya, serta dapat memberatkan timbangan. Nabi bersabda,

 

“Janganlah sekali-kali engkau menghina sedikit pun dari hal yang ma’ruf, sekalipun engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri.”

 

  1. Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manusia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun. Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat itsar, yaitu:

 

  1. Engkau lebih mengutamakan manusia daripada dirimu sendiri, dalam perkara yang tidak mengusik agamamu, tidak memotong jalanmu dan tidak merusak waktumu.

 

Dengan kata lain, engkau mendahulukan kemaslahatan mereka daripada kemaslahatanmu, seperti membuat mereka kenyang sekalipun engkau harus lapar, memberikan pakaian kepada mereka sekalipun pakaianmu compangcamping, memberikan minuman kepada mereka sekalipun engkau dahaga, selagi hal itu tidak berpengaruh terhadap munculnya penyimpangan yang tidak diperkenankan agama, seperti engkau memberikan seluruh hartamu kepada mereka, lalu engkau duduk-duduk saja dan menjadi beban bagi orang lain atau meminta-minta kepada orang lain. Mengutamakan kemaslahatan orang lain namun justru merusak agama orang yang diutamakan, juga dicela di sisi Allah dan di tengah manusia.

 

Mengutamakan kemaslahatan manusia ini juga tidak boleh memutuskan perjalananmu kepada Allah, seperti mementingkan pergaulan dengan teman lalu engkau melupakan dzikir kepada Allah atau engkau sibuk mengurusi kelompokmu dan lalai ibadah kepada Allah. Perumpamaan dirimu seperti seorang musafir yang bertemu seseorang di tengah perjalanan, lalu orang itu menghentikannya dan mengajaknya mengobrol ke sana ke mari, hingga musafir itu ketinggalan dari rombongannya. Itsar ini dapat dilakukan dengan tiga cara:

 

– Mengagungkan hak. Siapa yang melihat besarnya hak yang harus dipenuhi, tentu dia akan melaksanakannya, memperhatikan hak tersebut dan tidak akan menyia-nyiakannya. Dia juga akan tahu bahwa jika dia tidak memenuhi hak itu sebagaimana mestinya, berarti dia belum mencapai derajat itsar.

 

– Membenci sifat kikir. Sebab jika dia membenci kikir tentu bisa mengutamakan kemaslahatan orang lain.

 

– Mencintai akhlak yang mulia. Sejauh mana dia mencintai akhlak yang mulia, maka sejauh itu pula dia mengutamakan kemaslahatan orang lain

 

  1. Mengutamakan ridha Allah daripada ridha selain-Nya, sekalipun berat cobaannya, berat kesulitannya, dan lemah usaha dan badannya.

 

Artinya, seorang hamba harus berkehendak dan melakukan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan ridha-Nya sekalipun membuat manusia marah. Ini merupakan derajat para nabi. Di atasnya lagi para rasul dan di atasnya lagi Ulul-Azmi dan di atasnya lagi adalah Nabi kita Muhammad 44, karena beliau menegakkan kehidupan untuk seluruh alam, harus memurnikan dakwah kepada Allah, menghadapi permusuhan orang-orang yang dekat dan jauh karena agama Allah. Beliau lebih mengutamakan ridha Allah daripada ridha manusia dalam segala segi, dan dalam hal ini beliau tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Semua hasrat, kehendak dan niat semata tertuju pada ridha Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimatNya dan memerangi musuh-musuh-Nya, sampai akhirnya agama Allah dapat mengalahkan semua agama, hujjah-Nya tegak di seluruh alam dan nikmatNya menjadi sempurna atas orang-orang Mukmin.

 

Cobaan memang besar pada awal mulanya. Tapi jika tetap sabar, teguh dan maju terus, tentu cobaan itu akan berubah menjadi karunia dan rintangan berubah menjadi pertolongan. Yang demikian ini seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selagi seseorang lebih mengutamakan ridha Allah daripada ridha manusia, mampu menahan diri dalam menghadapi cobaan dan sabar, niscaya Allah akan merubah cobaan dan rintangan itu menjadi kenikmatan, kegembiraan dan pertolongan, tergantung dari kadar ridhanya, merubah ketakutan menjadi rasa aman, keletihan menjadi ketenangan, ujian menjadi nikmat, kebencian menjadi cinta.

 

Ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dirubah-ruhah, bahwa siapa yang lebih mengutamakan ridha manusia daripada ridha Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan menghinakannya serta menyerahkan cobaan ke tangannya sendiri, sehingga hanya penyesalan yang akan dia dapatkan. Sedangkan orang yang mengutamakan ridha Allah dengan terpaksa dan hati yang mengganjal, maka dia tidak akan meraih tujuan yang dikehendakinya dari manusia dan tidak mendapatkan ridha Allah.

 

Pasalnya, ridha manusia tidak terukur, tidak diperintahkan dan tidak bisa diprioritaskan. Berarti ini adalah sesuatu yang mustahil. Kalau perlu engkau harus lebih banyak marah kepada mereka. Jika mereka membencimu dan marah kepadamu, tapi engkau mendapatkan ridha Allah, maka itu lebih baik bagimu daripada mereka suka kepadamu tapi Allah tidak ridha kepadamu. Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan kemarahan, maka pilihlah kemarahan mereka asalkan engkau mendapatkan ridha Allah, karena bolehjadi mereka akan ridha kepadamu setelah itu.

 

Asy-Syafi’i pernah berkata, “Ridha manusia itu merupakan sasaran yang tidak bisa diukur. Maka ikutilah ridha yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirimu.“ Sementara itu, tak ada kemaslahatan yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali dengan mementingkan ridha Allah daripada ridha selain-Nya.

 

  1. Menisbatkan itsar kepada Allah dan bukan kepada dirimu. Sebab orang yang terjun dalam itsar mengaku memiliki kekuasaan. Kemudian dia harus meninggalkan kesaksian itsar itu, kemudian tidak merasa memiliki hak untuk meninggalkan atau mengerjakan.

 

Artinya, Allahlah yang membuatmu bisa mengutamakan ridha Allah. Jadi, seakan-akan engkau telah menyerahkan masalah ini kepada-Nya. Jika selainmu yang engkau utamakan, berarti dialah yang lebih berhak, dan bukan dirimu. Apabila seorang hamba mengaku bisa mengutamakan selainnya, bearti dia mengaku memiliki kekuasaan. Padahal kekuasaan yang hakiki adalah milik Allah dan Allahlah yang berkuasa atas segala sesuatu. Jika hamba keluar dari pengakuan ini, berarti dia benar dalam itsarnya.

 

Akhlak

 

Allah berfirman kepada Nabi-Nya,

 

“Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung.” (Al-Oalam: 4).

 

Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, “Artinya berada pada agama yang agung. Tidak ada agama yang lebih kucintai dan kuridhai selain dari Islam.”

 

Menurut Al-Hasan, artinya adalah adab-adab Al-Qur’an. Menurut ODatadah, artinya apa yang diperintahkan Allah dan yang dilarang-Nya. Dengan kata lain, kamu berada pada akhlak yang diciptakan Allah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan, bahwa Hisyam bin Hakim pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah gg. Maka Aisyah menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Lalu Hisyam berkata, “Tadinya aku ingin bangkit dan tidak bertanya apa pun.”

 

Allah telah menghimpun akhlak-akhlak yang mulia pada diri beliau seperti yang difirmankan-Nya,

 

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta, berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199).

 

Ja’far bin Muhammad berkata, “Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia. Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan satu ayat pun yang menghimpun beberapa akhlak yang mulia seperti yang disebutkan di dalam ayat ini. Ketika ayat ini turun, Nabi bertanya kepada Jibril, “Apa maksudnya ini?”

 

Jibril menjawab, “Aku tidak tahu. Biar kutanyakan terlebih dahulu.” Maka Jibril menanyakannya kepada Allah, lalu dia turun lagi dan berkata, “Sesungguh-nya Allah memerintahkan agar kamu menyambung hubungan dengan orang yang memutuskannya, memberi orang yang tidak mau memberimu dan memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu.” Seseorang yang ditaati orang banyak mempunyai tiga keadaan yang tidak bisa dihindarinya: – Menyuruh dan melarang mereka dengan sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bagi mereka.

 

– Menerima ketaatan yang mereka berikan kepadanya.

 

– Harus siap menghadapi dua jenis manusia: Orang yang sejalan dengannya dan mendukungnya, orang yang bertentangan dengannya dan memusuhinya.

 

Ada kewajiban yang harus dilakukan pada masing-masing keadaan ini. Kewajibannya menyuruh dan melarang ialah menyuruh kepada yang ma’ruf. Hal yang ma’ruf disini adalah sesuatu yang bermaslahat bagi mereka. Sedangkan kewajiban melarang ialah melarang dari kebalikannya. Kewajibannya menerima ketaatan mereka ialah dengan mengambil hal-hal yang paling mudah menurut mereka dan tidak membebani mereka dengan hal-hal yang berat dan sulit yang bisa merusak mereka. Kewajibannya menghadapi orang-orang yang bodoh ialah berpaling dari mereka, tidak menghadapi mereka dengan sikap yang sama atau membalasnya, seperti yang difirmankan Allah, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” Menurut Mujahid, artinya maafkanlah akhlak dan perbuatan manusia tanpa menghinakan, seperti menerima alasan mereka, mudah memberi maaf, memberi kemudahan, tidak perlu merinci kesalahan hingga mendetil dan tidak mengorek hakikat hingga bagian-bagian yang paling dalam. Begitulah akhlak Rasulullah. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya.” Dia juga berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain beludru dan sutra yang lebih halus dari kulit Rasulullah. Aku tidak pernah mencium aroma yang lebih harum dari aroma Rasulullah. Aku menjadi pelayan Rasulullah selama sepuluh tahun, namun sekali pun beliau tidak pernah berkata kepadaku, “Uh”, dan tidak pula bertanya, “Mengapa kamu berbuat begitu?” untuk sesuatu yang kulakukan, dan tidak pula bertanya, “Mengapa kamu tidak berbuat begitu?” untuk sesuatu yang tidak kulakukan.”

 

Rasulullah pernah mengabarkan bahwa kebajikan itu ialah akhlak yang baik.

 

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari An-Nuwas bin Sam’an, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang kebajikan dan dosa. Maka beliau menjawab,

 

“Kebajikan ialah akhlak yang baik, sedangkan dosa ialah sesuatu yang bersemayam di dalam dadamu dan engkau tidak suka jika manusia mengetahuinya.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzi, yang menurutnya hadits hasan shahih, disebutkan dari Abu Ad-Darda’, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan orang Mukmin pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah benar-benar membenci orang keji lagi berkata kotor.”

 

Disebutkan pula dalam riwayat At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Lalu beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.”

 

Disebutkan pula dalam riwayat At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya, dari Aisyah, dari Rasulullah, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap istrinya di antara mereka.”

 

Di dalam As-Sunan disebutkan dari Aisyah, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya dengan akhlaknya yang baik orang Mukmin benar-benar bisa mendapatkan derajat orang yang berpuasa dan mendirikan shalat malam.”

 

Di dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan dari Jabir, dari Nabi, beliau bersabda,

 

 

“Sesungguhnya orang yang paling kucintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat ialah yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan, sesungguhnya orang yang paling kubenci dan yang paling jauh dariku pada Hari Kiamat ialah orang yang banyak bicara tanpa ada manfaatnya, orang yang memfasih-fasihkan bicaranya karena riya’ dan mutafahigun.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui orang yang banyak bicara tanpa ada manfaatnya dan orang yang memfasih-fasihkan bicaranya karena riya’. Lalu apakah mutafahigun itu?” Beliau menjawab, “Orangorang yang sombong.”

 

Semua kandungan agama adalah akhlak. Selagi ada tambahan akhlak pada dirimu, berarti ada tambahan agama. Menurut Al-Kattani, tasawwuf juga merupakan akhlak. Selagi ada tambahan akhlak pada dirimu, berarti ada tambahan tasawwuf. Ada yang berpendapat, akhlak yang baik ialah memberikan derma, tidak mengganggu dan menguasai diri saat menghadapi gangguan. Yang pasti, akhlak yang baik didasarkan kepada empat sendi, yaitu:

 

– Sabar, yang mendorongnya menguasai diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa.

 

– Kehormatan diri, yang membuatnya menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu, yang merupakan pangkal segala kebaikan, mencegahnya dari kekejian, bakhil, dusta, ghibah dan mengadu domba.

 

– Keberanian, yang mendorongnya pada kebesaran jiwa, sifat-sifat yang tinggi, rela bekorban dan memberikan sesuatu yang paling dicintai.

 

– Adil, yang membuatnya berada dijalan tengah, tidak meremehkan dan tidak berlebih-lebihan. Empat sendi ini sekaligus merupakan sumber akhlak yang baik dan utama.

 

Sedangkan empat sumber akhlak yang rendah ialah:

 

– Kebodohan, yang menampakan kebaikan dalam rupa keburukan, menampakkan keburukan dalam rupa kebaikan, menampakkan kekurangan dalam rupa kesempurnaan dan menampakkan kesempurnaan dalam rupa kekurangan.

 

– Kezhaliman, yang membuatnya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, memarahi perkara yang mestinya diridhai, meridhai sesuatu yang mestinya dimarahi dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan yang tidak proporsional.

 

– Syahwat, yang mendorongnya menghendaki sesuatu, kikir, bakhil, tidak menjaga kehormatan, rakus dan hina.

 

– Marah, yang mendorongnya bersikap takabur, dengki dan iri, mengadakan permusuhan dan menganggap orang lain bodoh.

 

Dari himpunan semua ini, maka tersusunlah akhlak yang tercela.

 

Sedangkan sumber dari empat perkara ini ada dua macam, yaitu:

 

Pertama, jiwa yang berlebih-lebihan saat lemah, yang melahirkan kebodohan, kehinaan, bakhil, kikir, celaan, kerakusan dan kekerdilan. Kedua, jiwa yang berlebih-lebihan saat kuat, yang melahirkan kezhaliman, amarah, kekerasan, kekejian dan kesewenang-wenangan.

 

Sebagian akhlak yang tercela melahirkan sebagian yang lain, sebagaimana sebagian akhlak yang terpuji juga melahirkan sebagian sifatnya yang lain. Akhlak yang baik ada di antara dua akhlak yang tercela, seperti kedermawanan yang ada di antara bakhil dan boros, tawadhu’ yang ada di antara kehinaan dan takabur. Selagi jiwa menyimpang dari pertengahan ini, tentu ia akan cenderung kepada salah satu di antara dua sisinya yang tercela. Siapa yang menyimpang dari akhlak tawadhu’, maka ia akan menyimpang ke sifat takabur dan riya atau ke kehinaan dan kekerdilan. Siapa yang menyimpang dari kesabaran yang terpuji, maka ia menyimpang ke kegundahan dan keguncangan atau ke kekerasan hati dan kekasaran tabiat.

 

Akhlak sangat bermanfaat bagi orang yang mengadakan perjalanan dan dapat menghantarkan ke tujuan dengan segera. Dengan akhlaknya dia akan membentuk dirinya yang sulit untuk dirubah, karena yang paling sulit untuk dirubah pada tabiat manusia adalah akhlak yang telah membentuk jiwanya.

 

Menurut pengarang Manazilus Sairin, ada tiga derajat akhlak, yaitu:

 

  1. Engkau harus mengetahui kedudukan makhluk, bahwa dengan takdir mereka saling berhubungan, kekuatannya terbelenggu dan hukumnya terbatas. Dengan pengetahuan ini engkau bisa mengambil tiga manfaat: Semua makhluk merasa aman dari gangguanmu, termasuk pula anjing, engkau mendapat cinta makhluk dan keselamatan dari gangguan makhluk. Dengan derajat ini terbentuk tiga hal:

 

– Akhlak yang baik dalam bermu’amalah dengan manusia dan bagaimana cara mempergauli mereka.

 

– Akhlak yang baik dalam bermu’amalah dengan Allah.

 

– Derajat kefanaan yang dilandaskan kepada asalnya.

 

Jika engkau mengetahui kedudukan dan derajat manusia, hukum-hukum gadar pada diri mereka, bahwa mereka terikat dengan gadar dan sama sekali tidak bisa keluar darinya, yang kekuatan dan kemampuan mereka terbatas dan mereka tidak bisa beralih kepada yang lain, maka dengan begitu engkau bisa mengambil tiga manfaat, salah satu di antaranya, makhluk merasa aman dari gangguanmu.

 

Jika seseorang melihat keberadaan mereka secara hakiki, tentu dia tidak akan menuntut dari mereka sesuatu yang tidak mereka sanggupi. Ikutlah perintah Allah kepada Nabi-Nya dalam menghadapi mereka, yaitu dengan menerima maaf mereka. Dengan cara itu mereka akan selamat dari tekanannya atau kewajiban yang dia berikan di luar kesanggupan mereka. Dalam keadaan seperti ini mereka tentu akan merasa aman dari tindakan pemimpinnya, sekalipun mungkin mereka menyimpang dari hukum syariat. Sebab jika mereka orang-orang yang terbatas dan terkurung, maka tuntutan dari mereka juga harus disesuaikan dengan keadaan mereka yang terkurung itu. Jika mereka tidak bisa memenuhi hak-hakmu atau berbuat buruk kepadamu, maka janganlah engkau menghadapi mereka dengan cara yang sama dan janganlah memusuhi mereka, tapi ampunilah mereka dan terimalah permintaan maaf mereka. Karena mereka hanya sekadar sebagai alat dan sudah ada ketetapan hukum yang berlaku pada diri mereka. Dengan cara ini engkau akan bisa mempersaksikan hakikat atas kejahatan mereka terhadap dirimu, seperti yang dikatakan seorang arif, “Jika engkau berbuat zhalim, maka yang berkuasa atas dirimu tidak zhalim.”

 

Disini ada sebclas kesaksian yang harus diperhatikan hamba ketika mendapat gangguan dari orang-orang lain dan dalam menghadapi kejahatan mereka:

 

  1. Kesaksian gadar. Artinya, apa yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak Allah, gadha’ dan gadar-Nya. Sehingga dia melihat dirinya seperti orang yang tersiksa karena udara panas dan dingin, sakit, derita, hembusan angin, tidak mendapat hujan dan lain-lainnya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Jika dia mempersaksikan hal ini, maka dia akan merasa tenang, bahwa memang itulah kejadian yang dikehendaki Allah. Kalau pun ada kegundahan, itu hanya sewajarnya saja, seperti kegundahar karena kena udara panas atau dingin.

 

  1. Kesaksian sabar. Dengan sabar ini dia melihat kesudahannya, pahala yang diterima pelakunya, kelapangan dan kegembiraan yang dialaminya serta tidak menanggung penyesalan dan dendam. Siapa pun yang menyusupkan rasa dendam ke dalam hatinya, maka dia akan mendapat penyesalan.

 

  1. Kesaksian ampunan, kelapangan dada dan kelembutan. Selagi seorang hamba mempersaksian keutamaan dan kemuliaan ampunan ini, maka sekejap pun matanya tidak akan beralih dari sifat ini. Siapa yang mendapat tambahan ampunan dari Allah, berarti dia mendapat kemuliaan. Maaf, kelapangan dada dan kelembutan ini terkandung ketenangan, kedamaian dan dapat menghapus dendam.

 

  1. Kesaksian ridha. Ini lebih tinggi daripada kesaksian maaf dan kelapangan dada, yang tidak dimiliki kecuali jiwa yang tenang, apalagi jika sebab yang menimpanya adalah melaksanakan agama Allah. Ini merupakan keadaan orang yang mencintai dengan sebenarnya dan ridha menerima apa pun dari kekasihnya. Jika dia mengeluh, maka itu merupakan bukti kepalsuan cintanya.

 

  1. Kesaksian ihsan. Maksudnya menghadapi orang yang berbuat jahat dengan cara yang baik dan tetap memperlakukannya secara baik setiap kali dia berbuat jahat kepadanya.

 

  1. Kesaksian keselamatan dan hati yang dingin. Ini merupakan kesaksian yang amat mulia bagi orang yang menyadarinya. Hatinya tidak masyghul karena gangguan yang diterimanya dan tidak terpengaruh. Memang keselamatan merupakan sesuatu yang paling bermanfaat dan nikmat. Tapi jika hati sibuk hanya dengan urusan ini, berarti dia meninggalkan sesuatu yang lebih penting lagi, dengan begitu dia menjadi orang yang terkecoh.

 

  1. Kesaksian keamanan. Jika dia tidak membalas dan mendendam orang yang menyakitinya, tentu dia akan merasa aman. Tapi jika dia mendendam, maka dia akan terus dirasuki rasa takut dan menanamkan permusuhan baru. Jika dia memaafkan dan tidak ingin membalas, maka tidak akan muncul pemusuhan baru atau permusuhan yang ada semakin menghangat. Maaf dan kelapangan dadanya harus bisa mencabik belenggu permusuhan.

 

  1. Kesaksianjihad. Artinya mempersaksikan munculnya gangguan manusia dengan jihad fi sabilillah, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan kalimat serta agama Allah. Allah telah membeli jiwa dan harta orang semacam ini dengan harga yang mahal. Jika dia menyetujui harga ini, maka hendaklah dia menyerahkan barang dagangan kepadaNya, agar dia mendapatkan harga tersebut, sehingga dia tidak merasa mempunyai hak terhadap orang yang menyakitinya dan tidak pula berhak menerima sesuatu pun darinya, sekalipun mungkin dia rela terhadap persetujuan dengannya, karena dia hanya menginginkan pahala dari Allah.

 

Karena itu Rasulullah, mencegah para Muhajirin dari penduduk Makkah untuk menuntut harta mereka yang pernah dirampas orang-orang musyrik dan tidak pula meminta tebusan atas orang-orang yang terbunuh fi sabilillah.

 

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddig hendak meminta tebusan dari orang-orang murtad atas terbunuhnya beberapa orang Muslim, maka Umar bin AlKhaththab berkata, “Itu adalah nyawa dan harta yang lenyap karena Allah. Padahal semuanya ada di Tangan Allah dan tidak ada tebusan untuk orang yang mati syahid.” Para shahabat juga lebih setuju terhadap pendapat Umar ini, dan akhirnya Abu Bakar juga menyetujuinya.

 

Siapa yang berjihad karena Allah hingga dia mendapat gangguan, maka Allah melarang untuk membalasnya, sebagaimana yang dikatakan Lugman kepada anaknya,

 

“Dan, suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dan perbuatan yang mungkar, nan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (Allah).” (Luqman: 17).

 

  1. Kesaksian nikmat. Yaitu dengan mempersaksikan nikmatAllah yang menjadikan dirinya sebagai orang yang dizhalimi dan akan mendapat pertolongan, tidak menjadikannya sebagai orang zhalim yang kemudian mendapat kemurkaan dan siksa. Andaikan orang yang berakal disuruh untuk memilih di antara dua keadaan ini, tentu dia akan memilih menjadi orang yang dizhalimi yang kemudian mendapat pertolongan, bukan sebagai orang zhalim yang kemudian mendapat murka dan siksa.

 

Dia juga bisa mempersaksikan nikmat Allah yang berupa penghapusan kesalahan-kesalahannya. Sebab jika orang Mukmin ditimpa kesulitan, kesusahan atau gangguan, maka Allah menghapus di antara kesalahankesalahannya. Pada hakikatnya itu merupakan obat yang mengusir penyakit dosa dan kesalahannya. Manusia yang menyakitimu sama dengan obat dari dokter yang pahit namun menyembuhkan. Jadi jangan melihat pahitnya obat itu dan kebencianmu kepadanya, tapi lihatlah kesembuhan yang ditimbulkannya.

 

Persaksikan pula bahwa gangguan yang menimpamu itu lebih ringan daripada gangguan dan cobaan yang dialami orang lain. Kalau pun gangguan dan cobaan itu cukup berat, maka lihatlah bahwa cobaan itu hanya menimpa badan dan harta, tidak menimpa agama, Islam dan tauhidnya. Sebab setiap cobaan yang tidak menimpa agama, masih dianggap kecil, dan pada hakikatnya itu adalah nikmat.

 

  1. Kesaksian keteladanan. Ini merupakan kesaksian yang lembut sekali. Setiap orang yang berakal tentu ridha untuk meneladani para rasul, nabi dan wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang paling berat cobaannya, paling sering disakiti dan diganggu manusia. Perhatikanlah kisah para nabi, khususnya gangguan yang ditimpakan para musuh kepada nabi kita Muhammad, yang tidak pernah dialami orang-orang sebelumnya. Beliau didustakan, diusir dari kampung halaman, diserang dan dimusuhi. Apakah seorang hamba tidak ridha mempunyai sosok teladan seorang makhluk pilihan Allah yang terbaik ini?

 

  1. Kesaksian tauhid. Ini merupakan kesaksian yang paling tinggi dan mulia. Jika hatinya sudah dipenuhi cinta kepada Allah, ikhlas, tagarrub, ridha dan kerinduan bersua dengan-Nya, menjadikan-Nya sebagai pelindung, ridha terhadap gadha’ dan gadar-Nya, maka hatinya tidak lagi akan memper-saksikan gangguan manusia terhadap dirinya, apalagi hati dan pikirannya sibuk merancang pembalasan. Pembalasan tidak muncul kecuali dari hati yang sama sekali tidak diisi dengan hal-hal tersebut, atau hati yang senantiasa lapar dan tidak pernah kenyang. Jika hati itu melihat santapan macam apa pun yang ada di hadapannya, maka ia langsung menyambarnya. Tapi jika hati sudah terbiasa disuapi dengan makanan yang berkelas tinggi, maka ia tidak akan mau menerima sembarang makanan. Ini merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

 

  1. Membaguskan akhlakmu terhadap Allah dan membaguskannya pada dirimu, yaitu dengan mengetahui bahwa apa pun yang datang dari dirimu harus dimintakan ampunan dan apa pun yang datang dari Allah harus disyukuri, dan engkau tidak boleh merasa telah memenuhi hak-Nya. Derajat ini didasarkan kepada dua kaidah:

 

  1. Engkau harus mengetahui bahwa dirimu adalah kurang, dan apa yang berasal dari yang kurang tentu juga kurang, maka yang kurang ini harus dimintakan ampunan. Seorang hamba harus meminta maaf dan ampun kepada Allah atas kebaikan dan keburukan yang dilakukannya. Untuk keburukan sudah pasti. Sedangkan untuk kebaikan, dengan meminta maaf atas kekurangannya. Di samping berbuat baik, maka dia harus meminta maaf atas kebaikannya itu atau atas kekurangannya. Karena itu Allah memuji para wali-Nya yang hatinya takut sekalipun mereka telah berbuat kebaikan. Firman-Nya,

 

“Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Al-Mukminun: 60).

 

Nabi bersabda sehubungan dengan ayat ini, “Mereka adalah orang yang berpuasa dan mengeluarkan shadagah, namun mereka takut amalnya tidak diterima.”

 

Ada dua alasan yang membuatnya begitu, yaitu: Karena dia melihat kekurangan dan keterbatasan dirinya, karena cintanya benar dan tulus, karena orang yang benar-benar mencintai tentu akan mendekati kekasihnya dengan cara yang bisa dia lakukan, merasa malu dan minta maaf sekalipun dia telah berbuat baik kepadanya.

 

  1. Mengagungkan apa pun yang datang dari Allah, engkau harus mensyukurinya dan engkau harus merasa kurang dalam mensyukurinya. Yang demikian ini hanya ada dalam cinta yang suci dan tulus. Orang yang mencintai merasa apa yang diterima dari kekasihnya terlalu banyak. Orang yang mencintai akan mengagungkan pemberian kekasihnya. Lalu bagaimana dengan berbagai macam kebaikan yang datang dari Allah?

 

  1. Membersihkan akhlak, kemudian naik lagi ke tingkat penyatuan akhlak dengan Allah, kemudian naik lagi ke kebersamaan akhlak di sisi Allah. Membersihkan akhlak di sini ialah menyempurnakan dua derajat sebelumnya, membersihkannya dari segala noda dan cacat. Jika engkau sudah bisa melakukan hal ini, maka engkau akan naik ke tingkatan kebersamaan dengan Allah. Membentuk akhlak merupakan persiapan untuk kebersamaan dan penyatuan dengan Allah. Jika hal ini sudah tercapai, maka dia bisa melepaskan diri dari hal-hal selain Allah.

 

Tawadhu’

 

Allah berfirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu’ (rendah hati) ini,

 

“Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.” (Al-Furqan: 63).

 

Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin Al-Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.

 

Jika dikatakan al-haun, maka artinya lemah lembut. Sedangkan jika dikatakan al-hun, maka artinya hina. Yang pertama merupakan sifat orang yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir. Allah berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 54).

 

Firman Allah, “Adzillah alal-mukminin”, merupakan kerendahan hati yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, dan bukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya menjadi hina. Tapi ini merupakan sifat lemah lembut yang membuat pelakunya penurut. Sebab orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, “Orang Mukmin itu seperti onta yang penurut, sedangkan orang munafik dan fasik itu hina.” Empat hal yang menempel pada diri orang yang hina: Pendusta, pengadu domba, bakhil dan semena-mena.

 

Sifat orang Mukmin terhadap Mukmin lainnya seperti sikap ayah kepada anaknya. Sedangkan dalam menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang menghadapi mangsanya.

 

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Iyadh bin Himar, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya terhadap yang lain.”

 

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata “Rasulullah bersabda,

 

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat dzarrah.” Rasulullah senantiasa menunjukkan sikap tawadhu’ kepada siapa pun. jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan onta, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undangan siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tap! tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melindungi mereka.

 

Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu’. Maka dia menjawab, “Artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya.”

 

Ada yang berpendapat, tawadhu ‘ artinya tidak melihat diri sendiri memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki tawadhu’.

 

Menurut Ibnu Atha’, tawadhu ‘ artinya mau menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu’. Maka siapa yang mencarinya dalam kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari kobaran api.

 

Urwah bin Az-Zubair ws berkata, “Aku pernah melihat Umar bin al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan kepadanya, “Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melakukan hal ini.”

 

Umar menyahut, “Ketika ada beberapa orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya.”

 

Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang berkata, “Beri jalan bagi gubernur kita.”

 

Umar bin Abdul-Aziz mendengar kabar bahwa seorang anaknya membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar menulis surat kepadanya, yang isinya, “Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, makajuallah cincin itu dan belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini: Allah merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya.”

 

Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: Takabur dan ambisi. Takabur merupakan dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan syahwat. Kesudahannya adalah taubat dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari alasan dengan takdir. Dosa Adam membuatnya mengakui dosa tersebut lalu memohon ampunan. Orang yang takabur dan beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama bapak mereka, Adam di dalam surga.

 

Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya.”

 

Saya katakan, “Maka tidak heran jika Allah menjadikan neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabur, sebagaimana firman-Nya,

 

“Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu.” (An-Nahl: 29).

 

Rasulullah bersabda,

 

“Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin, mengatakan, “Yang dimaksudkan tawadhu jalah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah.” Dengan kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh ketundukan dan kepatuhan serta masuk ka dalam penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allah sebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang berkuasa terhadap budak-budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu’. Karena itu Nabi menafsiri takabur sebagai kebalikan dari tawadhu”, dengan bersabda, “Takabur Itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia”.

 

Menurutnya, tawadhu’ ada tiga derajat, yaitu:

 

  1. Tawadhu’ kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan pemikiran dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak berpikir untuk menyangkal.

 

Tawadhu’ kepada agama artinya tunduk kepada apa yang dibawa Rasulullah dan pasrah kepadanya. Hal ini bisa dilakukan dengan tiga cara: – Tidak menentang sedikit pun darinya dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal, giyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka berkata, “Jika akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami mengutamakan akal dan kami abaikan nash.“ Yang kedua milik orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli figih. Mereka berkata, “Jika giyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka kami mengutamakan qiyas daripada nash dan kami tidak akan berpaling kepada nash.” Yang ketiga milik orang-orang yang menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan bertentangan dengan nash, maka mereka mengutamakan perasaan dan tidak peduli terhadap perintah nash. Yang keempat milik para penguasa dan pemimpin yang sombong.

 

Jika syariat dan kepentingan politik saling bertentangan, maka mereka mengutamakan kepentingan politik dan tidak mempedulikan hukum syariat. Empat orang ini adalah orang-orang yang takabur. Sedangkan yang tawadhu’ ialah yang bisa membebaskan diri dari perkara-perkara ini.

 

– Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama, dengan menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak relevan, kurang atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka hendaklah dia mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang seringkali terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil melainkan pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit untuk dipahami, maka itu menunjukkan keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang ilmu, yang kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.

 

– Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah di dalam batinnya, entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia merasa hendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya seperti orang yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minum khamer dan lain sebagainya. Penyangkalan ini merupakan masalah yang amat besar di sisi Allah dan dapat menyeret kepada kemunafikan.

 

Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari hal ini kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah dan istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang kebenaran ada di belakang hujjah.

 

  1. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama hamba seperti yang diridhai Allah bagi dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun datang dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf.

 

Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah diridhai Tuhanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah takabur. Lalu takabur macam apakah yang lebih buruk dari takaburnya hamba terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya, padahal Tuhannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba?

 

Derajat tawadhu’ juga tidak dianggap sah sehingga seorang hamba mau menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun dari orang yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh seperti dia menerimanya dari pelindungnya.

 

Lalu jika ada yang berbuat jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu’ mengharuskanmu menerima maafnya, tak peduli apakah permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atau hanya sekadar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka harus diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang munafik yang melarikan diri dari medan peperangan.

 

Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka meminta maaf. Maka beliau menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.

 

  1. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat dan kebiasaanmu dalam mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu’amalah.

 

Yang disebut tawadhu’ ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya seperti yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut pendapatmu sendiri. Yang membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang membangkitkan orang yang tidak memiliki bashirah. Andaikan yang membiasakannya sesuatu kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebiasaannya. Seorang hamba iuga tidak boleh beranggapan bahwa dia mempunyai hak atas Allah karena amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Selagi dia menganggap mempunyai hak atas Allah, maka mu’amalahnya menjadi rusak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa mendatangkan murka-Nya. Tapi bukan berarti hal ini menafikan hak Allah untuk memberikan balasan dan pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu semata merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada hamba, bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka. Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini secara seksama. Dalam hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan:

 

– Golongan yang mengatakan bahwa hamba terlalu lemah untuk memiliki hak atas Allah, sehingga Allah sama sekali tidak mempunyai keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepadanya.

 

– Golongan yang melihat bahwa Allah mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga mereka beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap Allah dengan amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.

 

– Golongan yang benar, yang mengatakan bahwa dengan amal dan usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan keberuntungan dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bisa masuk surga dan menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika dia mendapat karunia dan rahmat-Nya. Namun begitu Allah juga menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun menggunakan kata “Agar, semoga, mudah-mudahan”.

 

Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak melihat adanya hak atas Allah bukan berarti dia harus menafikan apa yang diwajibkan Allah kepada dirinya dan menafikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagi hamba. Nabi pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal, “Hai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba?”

 

Mu ‘adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

 

Beliau bersabda, “Hak Allah atas mereka ialah agar mereka menyembahNya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Hai Mu’adz, tahukah kamu apa hak hamba atas Allah jika mereka melakukan hal itu?”

 

“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu,” jawab Mu’adz.

 

Beliau bersabda, “Hak mereka atas Allah, hendaknya Dia tidak mengadzab mereka dengan apineraka.”

 

Futuwwah

 

Futuwwah (kejantanan) termasuk salah satu tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Kedudukan ini pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak menyakiti mereka dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka. Perbedaannya dengan muru’ah (keperwiraan), muru’ah lebih umum daripada futuwwah, dan futuwwah merupakan bagian dari muru’ah.

 

Futuwwah merupakan kedudukan yang mulia, yang tidak disebut syariat dengan kata ini, tapi diungkapkan dengan kata “Akhlak yang mulia”, seperti yang disebutkan dalam hadits dari Jabir, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan perbuatan yang baik.”

 

Kata futuwwah berasal dari fata yang artinya pemuda. Firman Allah tentang para penghuni gua,

 

“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi: 13).

 

Istilah futuwwah tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah maupun orang-orang salaf. Tapi istilah ini muncul pada era setelah itu yang berarti akhlak yang baik. Yang awal mula menggunakan istilah ini adalah Ja’far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-ImamAhmad, Sahl bin Abdullah dan AlJunaid.

 

Dikisahkan bahwa Ja’far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Dia tidak langsung menjawab, tapi justru balik bertanya kepada penanya itu, “Apa komentarmu?”

 

Orang itu menjawab, “Jika engkau diberi, maka engkau bersyukur, dan jika tidak diberi, maka engkau bersabar.” Ja far berkata, “Anjing pun di tempat kami juga bisa begitu.”

 

Orang itu bertanya, “Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?”

 

Ja’far menjawab, “Jika kami diberi, maka kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin, berkata, “Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia.”

 

Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah kebalikannya. Sedangkan yang pertengahan adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain.

 

Ada tiga derajat futuwwah, yaitu:

 

  1. Meninggalkan permusuhan, pura-pura melalaikan kesalahan orang lain dan melupakan gangguan orang lain.

 

Untuk menunjukkan futuwwah, engkau tak perlu memusuhi seseorang dan tidak menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Derajat ini ada tiga macam:

 

– Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya

– Tidak memusuhinya dengan hatinya.

– Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya.

 

Hal ini berkaitan dengan hak dirinya. Tapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka futuwwah ini justru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan bersama Allah serta menyerahkan hukum kepada Allah, seperti doa iftitah yang dibaca Nabi, “Karena-Mu aku berperang dan kepadaMu aku menyerahkan hukum.”

 

Pura-pura melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan kesalahan yang menurut syariat harus ada sangsi hukuman, maka buatlah seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya.

 

Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim dan menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita tersebut kentut, sehingga dia merasa sangat malu. Hatim berkata, “Bicaralah yang keras!” Wanita itu langsung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya.

 

Wanita itu berkata, “Kalau begitu dia tidak mendengar suara kentutku.” Karena kejadian ini Hatim dijuluki Hatim si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separoh futuwwah.

 

Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan balasan atau kebencian kepadanya.

 

  1. Mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan orang yang berbuatjahat kepadamu, lapang dada dan bukan amarah, kasih-mengasihi dan bukan menahan-nahan diri serta pura-pura sabar.

 

Derajat ini lebih tinggi dan lebih sulit dari sebelumnya, karena derajat pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai, sedangkan derajat ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan merupakan dua garis sejajar yang tidak bertemu pada satu titik.

 

Siapa yang ingin memahami derajat ini sebagaimana lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah dan pergaulan beliau bersama manusia. Tidak ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris beliau, termasuk pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Rekan-rekannya berkata, “Aku ingin sikapku terhadap temantemanku seperti sikapnya terhadap musuh-musuhnya.”

 

Menurut yang saya lihat, dia tidak pernah mendoakan kecelakaan bagi seorang pun di antara orang-orang yang memusuhinya, tapi beliau senantiasa berdoa bagi keselamatan mereka. Suatu hari saya menemui Syaikhul Islam untuk mengabarkan kematian seseorang yang paling gencar memusuhinya dan bahkan menyakiti serta mengganggunya. Rupanya dia tidak suka dengan cara penyampaianku ini.

 

Setelah mengucapkan inna lillahi dia bangkit dari duduknya lalu datang ke rumah keluarga orang yang meninggal itu. Dia berkata, “Aku akan menjadi wakilnya bagi kalian. Jika kalian membutuhkan suatu pertolongan dariku, maka aku pasti akan menolong kalian.” Mereka sangat gembira mendengarnya dan tak tergambarkan rasa terima kasih mereka.

 

Memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agar sulit untuk dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja? Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan manusia semacam ini muncul dari kelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.

 

  1. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada rupa.

 

Inilah tiga perkara yang terkandung di dalam derajat ini. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung kepada bukti penunjuk dan rambu-rambujalan, berarti dia belum mencium bau keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk menyatakan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan mengesakan-Nya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah,

 

“Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Ibrahim: 10).

 

Bagaimana mungkin tuntutan pembuktian atas sesuatu yang harus dibuktikan dianggap sah, sementara sesuatu yang harus dibuktikan itu lebih nyata daripada pembuktiannya?

 

Dalam memenuhi hak Allah, maka engkau tidak boleh meminta imbalan. Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara tulus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengotorinya dengan tuntutan pengganti dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung mendapatkan pengganti dan imbalan. Selagi imbalan ini bukan merupakan tujuannya, maka diajustru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji dan disyukuri.

 

Taruhlah bahwa engkau mempunyai empat orang budak: Yang pertama, menghendakimu dan tidak menghendaki darimu, yang kehendaknya tergantung kepada dirimu dan keridhaanmu. Kedua, menghendaki darimu dan tidak menghendakimu, yang hanya sibuk dengan imbalan dan bagian yang harus diterimanya. Ketiga, yang menghendakimu dan menghendaki darimu. Keempat, yang tidak menghendakimu dan tidak menghendaki darimu. Maka yang engkau pilih dan yang paling engkau cintai dari empat budak ini adalah yang pertama, yaitu yang menghendakimu dan tidak menghendaki bagian darimu. Begitulah keadaan kita di hadapan Allah.”

 

Tidak menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap hal-hal yang tampak seperti yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti penunjuk, tidak diperbolehkan bagi orang yang mengaku memiliki futuwwah. Jika terhadap musuhmu saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaraan maafnya, maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan ma’rifat terhadap Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendak-Nya?

 

Tentu saja hal ini bertentangan dengan futuwwah dari segala segi.

 

Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya, “Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang keberadaan orang yang mengundangmu”, berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu bagaimana mungkin engkau menuntut bukti dari Allah, yang keberadaanNya, keesaan, kekuasaan, Rububiyah dan Uluhiyah-Nya lebih nyata dari segala bukti dan dalil?

 

Muru’ah Muru ‘ah (Keperwiraan) artinya sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki jiwa seseorang, yang dengannya dia berbeda dengan binatang dan setan yang terkutuk.

 

Di dalam jiwa ada tiga penyeru yang saling tarik-menarik:

 

– Penyeru yang mengajak kepada sifat-sifat setan, seperti takabur, iri, dengki, sombong, aniaya, kejahatan, kerusakan, penipuan, kebohongan dan lainlainnya.

 

– Penyeru yang mengajak kepada sifat-sifat hewan, atau yang mengajak kepada nafsu syahwat.

 

– Penyeru yang mengajak kepada sifat malaikat, seperti kebaikan, kebajikan, ilmu, ketaatan dan lain-lainnya.

 

Hakikat muru’ah ialah jika engkau membenci dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru ketiga. Kemanusiaan, keperwiraan dan kejantanan terjadi karena mengingkari dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru yang ketiga. Sebagian salaf berkata, “Allah menciptakan para malaikat yang mempunyai akal dan tidak mempunyai syahwat, menciptakan hewan yang mempunyai syahwat dan tidak mempunyai akal, dan menciptakan manusia yang di dalam dirinya ada akal dan syahwat. Siapa yang akalnya dapat mengalahkan syahwatnya, maka dia termasuk golongan malaikat, dan siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia termasuk golongan binatang.”

 

Para fugaha berkata tentang pembatasan muru’ah, “Maksudnya adalah pemakaian sesuatu yang membaguskan hamba dan meninggalkan apa yang mengotori dan memperburuk dirinya.”

 

Ada pula yang mengatakan bahwa muru’ah adalah menerapkan setiap akhlak yang baik dan menjauhi setiap akhlak yang buruk.

 

Hakikat muru’ah adalah menghindari hal-hal yang rendah dan hina, baik perkataan, perbuatan maupun akhlak. Muru’ah lisan berupa perkataan yang manis, baik, lembut dan yang dapat memudahkan untuk meraih hasil. Muru’ah akhlak ialah kelapangannya dalam menghadapi orang yang dicintai dan dibenci. Muru’ah harta ialah ketepatan penggunaannya untuk hal-hal yang terpuji, baik dalam pandangan akal, tradisi maupun syariat. Muru’ah kedudukan ialah menggunakan kedudukan itu untuk seseorang yang memerlukannya.

 

Ada tiga derajat muru’ah, yaitu:

 

  1. Muru’ah seseorang saat bersama dirinya, yaitu dengan membawanya kepada hal-hal yang membuatnya baik dan bagus, meninggalkan hal-hal yang mengotori dan memperburuknya, agar dia menjadi malaikat secara zhahirnya. Barangsiapa menginginkan sesuatu dalam kesendiriannya, maka dia harus menjadi malaikat dalam penampakannya, sehingga dia tidak perlu menyingkap aibnya saat sendirian, tidak berkata keras jika memungkinkan melakukan kebalikannya, tidak mengeluarkan angin yang bersuara jika dia mampu melakukan kebalikannya, tidak perlu rakus dan makan banyak.

 

Secara umum dapat dikatakan, seorang hamba tidak boleh melakukan sesuatu yang membuatnya malu di muka umum, kecuali yang tidak dilarang syariat dan akal, tidak melakukan sesuatu yang membuatnya malu saat sendirian, seperti saat berjima’.

 

  1. Muru’ah saat bersama manusia, yaitu dengan melaksanakan syarat-syarat adab, rasa malu dan akhlak yang baik bersama mereka, tidak memperlihatkan apa yang dibencinya terhadap orang lain di hadapan mereka, menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Apa pun yang dibencinya, entah berupa perkataan, perbuatan atau akhlak, harus dihindarinya, dan apa yang disenanginya dan dianggapnya baik harus dilakukan.

 

Orang yang ada dalam derajat ini bisa mengambil manfaat dari siapa pun yang ada di sekitarnya, yang sempurna maupun yang kurang, yang akhlaknya baik maupun yang buruk, yang tidak memiliki muru “ah maupun yang tinggi muru’ah-nya. Banyak orang yang belajar muru’ah dan akhlak yang mulia dari orang-orang yang justru memiliki sifat-sifat kebalikannya, sebagaimana yang diriwayatkan dari seseorang yang terkenal, bahwa dia memiliki seorang budak yang perangainya kasar, keras hatinya dan buruk akhlaknya. Tapi dia justru bersyukur dengan keberadaan budak itu. Ketika halitu ditanyakan kepadanya, maka dia menjawab, “Aku bisa belajar akhlak yang mulia dari dirinya.”

 

  1. Muru ‘ah saat bersama Allah, dengan merasa malu karena Dia melihatmu kapan pun dan dalam setiap hembusan napas. Engkau juga harus berusaha memperbaiki aibmu. Sesungguhnya Allah telah membeli jiwamu dari dirimu, dan engkau berusaha menyerahkan barang yang sudah dibeli dan menerima harganya. Tidak termasuk muru’ah jika engkau menyerahkan barang dagangan yang ada aibnya, tapi engkau ingin menerima harga | secara utuh, atau engkau ingin melihat karunia-Nya selagi engkau sibuk memperbaiki aib itu. Dialah yang berkuasa atas dirimu dan bukan engkau sendiri. Engkau perlu merasa malu atas tabiatmu.

 

Azam Di bagian terdahulu sudah dijelaskan bahwa azam (tekad) itu ada dua macam:

 

– Azam orang yang hendak memulai perjalanan dan ini merupakan permulaan.

 

– Azam orang yang sedang mengadakan perjalanan, dan inilah kedudukan yang diinginkan pengarang Manazilus-Sa’irin, yang maksudnya adalah usaha mewujudkan tujuan dalam keadaan senang atau tidak senang, dalam keadaan suka atau terpaksa.

 

Ada tiga derajat azam, yaitu:

 

  1. Menyesuaikan keadaan dengan petunjuk ilmu, karena sudah melihat pengungkapan dan cahaya serta keinginan untuk mematikan hawanafsu.

 

Setiap keadaan yang tidak mengikuti ilmu adalah keadaan yang rusak dan jauh dari Allah, tapi bukan berarti orang yang sudah memiliki ilmu tidak bisa turun tingkatannya. Orang yang memiliki suatu keadaan tidak mau menoleh ke ilmu, maka dia adalah batil. Ilmu merupakan syarat untuk suatu keadaan, yang kesehatannya tidak bisa diketahui kecuali dengan ilmu. Jika jalan yang ada di hadapannya sudah terungkap dan tersibak, berarti sudah ada cahaya yang menerangi. Jika jalan sudah tersibak, maka orang yang mengadakan perjalanan layaknya orang yang akan mati, sehingga di antara mereka ada yang terjerembab ke tanah dan mengira dia sudah mati. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan segera bangkit, karena tabiat manusia ditetapkan untuk tidak menyukai kematian. Jika tekad sudah bulat, maka hawa nafsu akan mati dan tidak dipedulikan.

 

  1. Tenggelam dalam kesaksiannya, mencari cahaya yang menyinari jalan dan menghimpun kekuatan istiqamah.

 

Tenggelam dalam kesaksian artinya menyibukkan diri dengan perjalanannya dan tidak peduli dengan hal-hal selainnya. Mencari cahaya yang menyinari jalan artinya memperlihatkan kesungguhan dan berusaha meraih apa yang dituju. Hal ini seperti orang yang berjalan menuju suatu kota.Jika kota itu sudah terlihat dari kejauhan, berarti dia sudah melihat jalan yang menghantarkannya ke kota tersebut dan cahayanya menjadi terang. Sebelum dia melihat kota itu, boleh jadi dia membayangkan kota itu tidak akan tercapai. Tapi kini dia tidak akan kehilangan pintu kota itu. Kekuatan zhahir dan batinnya serta tekadnya harus terhimpun, apalagi jika dia sudah melihat tujuannya.

 

  1. Mengetahui penghalang azam dan membebaskan diri dari beban yang membuatnya meninggalkan azam. Sebab azam tidak mewariskan kepada pelakunya sesuatu yang lebih mulia daripada mengetahui penghalang azam. Penghalang azam adalah hal-hal yang dinisbatkan kepada nafsunya.

 

Iradah

 

Sehubungan dengan persinggahan iradah (kehendak) ini Allah telah berfirman, “Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya.” (Al-An am: 52).

 

Allah berfirman terhadap para istri Nabi “Dan, jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar. ”(Al-Ahzab:29).

 

Para teolog merasa kesulitan mengaitkan kehendak kepada Allah dan menjadikan Wajah Allah sebagai sasaran kehendak. Menurut mereka, kehendak tidak bisa dikaitkan kecuali dengan hal-hal yang baru, dan tidak bisa dikaitkan dengan hal-hal yang lama. Sebab sesuatu yang lama tidak bisa dikehendaki. Mereka mena wili kehendak yang dikaitkan dengan sesuatu yang baru sebagai kehendak untuk mendekatkan diri kepadanya, dan mereka menganggap mustahil mendekatkan diri dengan sesuatu yang lama. Inilah anggapan mereka yang membuat hati mereka menjadi keras, karena penghalang bagi mereka terlalu tebal, karena mereka tidak memiliki ruh perilaku dan keindahan cinta. Sebab kehendak bagi orang-orang yang lebih mementingkan perilaku adalah membebaskan diri dari kehendak. Kehendak menurut mereka dianggap tidak sah kecuali bagi orang yang tidak memiliki kehendak. Jangan anggap hal ini kontradiktif, tapi memang inilah yang benar.

 

Ada yang berpendapat, iradah adalah kebangkitan hati untuk mencari kebenaran.

 

Ad-Daggag berkata, “Iradah adalah kilatan di dalam sanubari, nyala di dalam hati, cinta yang membara di dalam perasaan, teriakan di dalam batin dan kobaran di dalam hati.”

 

Ada yang berpendapat, di antara sifat orang yang berkehendak ialah mencintai Allah dengan mendirikan shalat-shalat nafilah, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada umat, merasakan kebersamaan dengan Allah saat sendirian, sabar dalam menghadapi kekerasan para penguasa, mengutamakan perintah Allah, merasa malu karena Allah melihatnya, berusaha melakukan apa yang disukai sang kekasih, puas dengan yang ada, tidak merasakan ketenangan batin hingga dapat bersua pelindung dan sesembahannya.

 

Hatim Al-Asham berkata, “Jika engkau melihat orang yang berkehendak menghendaki selain kehendak Allah, maka ketahuilah bahwa dia telah menampakkan kehinaan dirinya.”

 

Abu Utsman Al-Hiri berkata, “Siapa yang kehendaknya tidak benar pada permulaannya, maka semakin hari dia justru semakin mundur ke belakang.”

 

Diriwayatkan adanya dua versi pernyataan tentang iradah dari Al-Junaid, tapi sifatnya sangat global dan perlu rincian lebih lanjut. Yang pertama dari Ja’far, dia berkata, “Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, “Jika orang yang berkehendak benar, dia tidak memerlukan orang lain yang berilmu.” Yang kedua juga dari Ja’far, dia berkata, “Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan para qari’.”

 

Saya katakan, jika orang yang berkehendak benar dan perjanjiannya dengan Allah benar pula, maka Allah akan memasukkan barakah kebenaran ke dalam hatinya dan mu’amalah yang baik dengan Allah, yang membuatnya tidak memerlukan ilmu yang datang dari pemikiran manusia dan pendapat mereka, tidak memerlukan ilmu yang tidak dibutuhkan sebagai bekal ke alam kubur, tidak memerlukan berbagai macam isyarat dan ilmu orang-orang sufi, yang dengan isyarat dan ilmu itu mereka tidak bisa mengetahui nafsu, aib, kekurangan dan amal-amalnya yang rusak.

 

Sebagai misal, seseorang yang duduk di suatu negeri, siang dan malam sibuk mempelajari ilmu tempat-tempat persinggahan dalam perjalanan, perintang, lembah-lembah yang dilewati, tempat-tempat yang menguntungkan dan segala seluk beluknya. Sementara ada orang lain yang benar kehendaknya dan menempuh perjalanan. Kebenarannya ini membuatnya tidak memerlukan ilmu orang yang duduk tersebut. Jika yang dimaksudkan Al-Junaid adalah kebenaran kehendak yang membuatnya tidak memerlukan ilmu halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, pengetahuan tentang macammacam ibadah, syarat, kewajiban dan hal-hal yang membatalkannya, ilmuilmu Allah dan Rasul-Nya yang zhahir dan batin, maka tentunya Allah melindungi Al-JJunaid dari anggapan seperti ini. Yang demikian ini hanya dikatakan para perampok jalanan dari kalangan zindig dan sufi, yang tidak melihat itba’ Rasul sebagai syarat dalam perjalanan.

 

Orang berkehendak yang benar, maka hatinya akan dibukakan oleh Allah, diberi cahaya dari sisi-Nya dan ditambah lagi dengan cahaya ilmu, yang dengannya dia bisa mengetahui berbagai masalah agama, sehingga dia tidak memerlukan berbagai macam ilmu manusia. Ilmu itu adalah cahaya, dan hati orang yang benar dipenuhi dengan cahaya kebenaran, di samping dia juga memiliki cahaya iman, sehingga ada cahaya yang memberi petunjuk kepada cahaya. Al-Junaid ingin memberitahukan, seperti inilah keadaannya. Apa yang diriwayatkan di atas, tentunya hanya sepotong-potong dan tidak menyeluruh. Kebenaran Al-Junaid membuat dirinya merasa memerlukan ilmu. Tentang keperluan terhadap ilmu ini juga ditegaskan Al-Junaid di tempat lain, bahwa orang yang tidak berilmu tidak akan beruntung, bahwa tak seorang pun boleh berbicara tentang jalan kecuali berdasarkan ilmu. Dia berkata, “Siapa yang tidak menjaga Al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka dia tidak layak diikuti. Sebab ilmu kami terikat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

 

Tentang perkataan Al-Junaid, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya kedalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan para qari “ialah para ahli ibadah, baik dengan membaca Al-Qur’an atau melaksanakan berbagai macam ibadah, namun hanya sebatas zhahirnya saja, tanpa disertai ruh ma’rifat, hakikat iman, cinta dan amal-amal hati. Mereka sangat mendetail dalam pelaksanaan ibadah, seperti puasa dan shalat, namun semua itu tidak disertai dengan manisnya amal hati dan keinginan untuk mengasah jiwa, karena memang bukan itujalan mereka. Sedangkan maksud golongan sufi adalah kebalikannya.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, kaitannya dengan masalah iradah ini, Allah telah berfirman,

 

“Katakanlah, “Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. (Al-Isra ‘:84).

 

Penyitirannya terhadap ayat ini terkandung pembuktian yang sangat agung tentang posisi hamba dalam masalah ilmu. Artinya, setiap orang berbuat menurut keadaan yang membentuknya dan yang sesuai dengan dirinya. Orang jahat akan berbuat sesuai dengan keadaan dirinya, begitu pula orang kafir, munafik, orang yang menghendaki keduniaan dan gemerlapnya, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya. Orang yang mencintai Allah dengan benar dan tulus, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya, bertindak menurut pembentukan kehendaknya dan yang sesuai dengan keadaannya.

 

Ada tiga derajat iradah, yaitu:

 

  1. Meninggalkan kebiasaan berdasarkan kebenaran ilmu, bergantung ke napas orang-orang yang melakukan perjalanan dan yang disertai tujuan yang benar, meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan kampung halaman.

 

Meninggalkan kebiasaan artinya meninggalkan nafsu dan syahwat yang sebelumnya biasa dilakukan, yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan disertai ilmu, karena ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang, agar dia lebih mengutamakan tujuannya. Siapa yang tidak disertai ilmu, maka iradah-nya tidak akan benar.

 

Syaikh bergantung ke napas orang-orang yang melakukan perjalanan dan bukan ke napas ahli ibadah, karena ahli ibadah hanya sebatas melaksanakan amal, sedangkan orang yang melakukan perjalanan lebih memperhatikan keadaan. Meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan kampung halaman, artinya menggambarkan berbagai macam rintangan.

 

  1. Memotong keterikatan keadaan, membiasakan kebersamaan dan berjalan antara menahan dan melepaskan.

 

Memotong keterikatan keadaan artinya menolak pengaruh mu’amalah dari hati, yang bisa mendatangkan kemalasannya dan menghambat kebersamaannya dengan Allah, yang telah melimpahkan nikmat kepada makhluk, sehingga seorang hamba bisa beralih dari rupa amal ke hakikat amal, naik dari Islam ke iman, dari iman ke ihsan.

 

Pada awal mulanya hamba yang mengadakan perjalanan memang akan merasakan beban dan beratnya amal, karena hatinya belum terbiasa bersama sesembahannya. Jika ia sudah terbiasa, maka tidak ada lagi keberatan dan kesulitan itu, sehingga ibadahnya akan menjadi kesenangan dan kenikmatannya, shalat menjadi kesenangan, yang sebelumnya hanya sebatas amal. Yang menjadi ukurannya adalah sabda Nabi, “Kesenanganku dijadikan dalam shalat.” Inilah maksud membiasakan kebersamaan, yaitu kebersamaan dengan Allah. Menahan dan melepaskan merupakan dua keadaan yang saling bertentangan, yang lahir karena rasa takut di satu saat, dan di saat lain lahir karena harapan. Rasa takut menahannya dan harapan melepaskannya.

 

  1. Kebingungan yang disertai istiqamah dan memperhatikan hak dan disertai adab. Maksud kebingungan di sini ialah tidak menoleh ke hal-hal yang lain. Kebingungan akan bermanfaat jika disertai dengan istiqamah, yaitu menjaga ilmu dan tidak menyia-nyiakannya. Jika tidak, maka keadaannya yang paling baik ialah seperti orang gila yang tidak lagi dituntut untuk melakukan kewajiban dan tidak akan disiksa karena tidak istiqamah. Jika sebab kebingungannya mengeluarkannya dari istiqamah, maka dia adalah orang yang durhaka dan mengabaikan perintah Allah.

 

Syaikhul-Islam pernah berkata, “Jika sebab mabuk adalah sesuatu yang dilarang, maka mabuk itu tidak dimaafkan.” Memperhatikan hak di sini artinya memperhatikan hak-hak Allah dengan memperhatikan adab-adabnya.

 

Adab

 

Allah berfirman sehubungan dengan masalah adab ini,

 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6).

 

Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maksud ayat ini, didiklah dan ajarilah mereka.

 

Kata adab merupakan himpunan dari beberapa hal.Jadi adab artinya himpunan perkara-perkara yang baik pada diri hamba. Ada pula kata ma’dabah, yang artinya makanan yang dikerubuti beberapa orang untuk dimakan. Sedangkan ilmu adab artinya ilmu yang mengatur kebagusan lisan, ucapan, membaguskan lafazh-lafazhnya, menjaganya dari kesalahan dan kekeliruan,

 

yang merupakan cabang dari adab secara umum. Adab dalam pembahasan ini ada tiga macam: Adab bersama Allah, adab bersama Rasulullah dan syariatnya, adab bersama makhluk Allah. Adab bersama Allah ada tiga macam: – Menjaga mu’amalah dengan-Nya agar tidak dinodai kekurangan. – Menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain-Nya. – Menjaga kehendak agar tidak bergantung kepada sesuatu yang dibenci Allah.

 

Abu Ali Ad-Daggag berkata, “Dengan ketaatannya kepada Allah, seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adabnya dia bisa mencapai ketaatan kepada Allah.” Dia juga pernah berkata, “Aku pernah melihat seseorang yang hendak mengulurkan tangan ke arah hidungnya, namun kemudian dia mengurungnya karena menjaga adab di hadapan Allah.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Siapa yang memelihara adab Allah, maka dia termasuk orang-orang yang dicintai Allah.” Ibnul Mubarak berkata, “Adab yang sedikit lebih kami butuhkan daripada ilmu yang banyak.” Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang adab yang paling bemanfaat. Maka dia menjawab, “Memahami agama, berzuhud di dunia dan mengetahui hak-hak Allah atas dirimu.”

 

Al-Junaid pernah berkata kepada Abu Hafsh, “Engkau telah mendidik rekan-rekanmu dengan adab para sultan.” Maka Abu Hafsh menyahut, “Adab yang baik secara zhahir merupakan tanda adab yang baik di dalam batin. Adab bersama Allah ialah kebersamaan yang baik dengan-Nya, menyelaraskan gerak zhahir dan batin berdasarkan pengagungan dan rasa malu, seperti suasana dalam pertemuan para raja di hadapan para punggawanya.” Menurut Abu Nashr As-Siraj, ada tiga tingkatan manusia dalam katannya dengan adab:

 

 – Ahli dunia, yang adab mereka berkisar pada masalah kefasihan bicara, sastra bahasa, menjaga ilmu, nasab para raja dan syair-syair.

 

– Ahli agama, yang adabnya berkisar pada masalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga hukum dan meninggalkan nafsu dan syahwat.

 

– Ahli hal-hal yang bersifat khusus, yang adab mereka berkisar pada masalah mensucikan hati, memperhatikan hal-hal yang tersembunyi, memenuhi janji, menjaga waktu, membaguskan adab dan tagarrub.

 

An-Nawawi berkata, “Siapa yang tidak memiliki adab waktu, maka waktunya akan menjadi kebencian.”

 

Perhatikanlah keadaan para rasul bersama Allah, seruan dan doa mereka. Tentunya engkau akan mendapatkan, bahwa semua tindakan mereka tidak lepas dari adab.

 

Al-Masih berkata di dalam surat Al-Maidah: 116-118, berkaitan dengan pertanyaan Allah kepadanya, apakah dia menyatakan kepada manusia agar dijadikan sesembahan? Maka beliau menjawab, “Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya”. Beliau tidak menjawab, “Jika aku tidak pernah mengatakannya”. Ada perbedaan yangjauh antara duajawaban ini dalam mewujudkan hakikat adab. Kemudian beliau melandaskan urusan kepada ilmu Allah, yang mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, dengan berkata, Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku”. Kemudian beliau memuji Allah dan disusul dengan menyebutkan sifat-Nya yang hanya Dialah yang mengetahui perkara-perkara gaib, “Sesungguhnya Engkau mengetahui perkaraperkara yang gaib”. Kemudian beliau menyatakan bahwa beliau hanya mengatakan seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, yang berarti ini merupakan pernyataan tauhid, “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya), yaitu, “Sembahlah Allah, Rabb kalian dan juga Rabbku’.”

 

Kemudian beliau mengabarkan kesaksiannya terhadap diri mereka selagi beliau masih hidup di tengah-tengah mereka. Tapi setelah beliau wafat, maka beliau tidak tahu-menahu tentang keadaan mereka dan hanya Allahlah yang mengetahui dan yang mengawasi keadaan mereka, “Aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (mengangkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka”. Kemudian beliau mensifati Allah, bahwa kesaksian-Nya di atas segala kesaksian, “Dan, Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”. Kemudian beliau berkata, “Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau”. Ini merupakan gambaran adab yang tinggi bersama Allah dalam keadaan tersebut, yaitu saat mengharap rahmat bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah hamba-hamba-Mu dan bukan hamba selain-Mu. Jika Engkau mengadzab mereka, padahal mereka bukanlah hamba yang buruk dan durhaka, maka mengapa Engkau mengadzab mereka? Sebab adanya penghambaan mengharuskan adanya kebaikan dan kasih sayang terhadap hamba.

 

Kemudian Al-Masih berkata, “Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Beliau tidak mengatakan, “Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, karena menjaga adab bersama Allah. Yang demikian ini dikatakan Al-Masih pada saat Allah murka kepada mereka dan memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam neraka. Ini bukan merupakan kesempatan untuk meminta kasih sayang dan syafaat, tapi untuk membebaskan diri dari perbuatan mereka. Seandainya dikatakan, “Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, berarti sama dengan meminta kasih sayang bagi musuh-musuh-Nya yang dimurkai-Nya. Jadi Al-Masih harus menyesuaikan diri dengan keadaan Allah yang sedang murka kepada mereka, sehingga tidak menyebutkan sifat rahmat, kasih sayang dan ampunan-Nya, tetapi menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan, yang mengandung kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya. Dengan kata lain, jika Engkau mengampuni mereka, maka ampunan itu datang dari kesempurnaan kekuasaan dan ilmu, bukan karena ketidakmampuan membalas mereka dan bukan karena tidak tahu dosa-dosa mereka. Sebab bisa saja manusia mengampuni orang lain karena dia tidak mampu membalas kejahatannya atau karena tidak tahu kejahatannya.

 

Begitu pula perkataan Ibrahim, “Dan, jika aku sakit, maka Dia menyembuhkan aku”. Beliau tidak mengatakan, “Jika Dia membuatku sakit”, karena menjaga adab bersama Allah.

 

Begitu pula perkataan Adam, “Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri”. Beliau tidak mengatakan, “Wahai Rabbi, Engkau telah menakdirkan kepadaku”.

 

Maka Nabi memerintahkan agar seseorang menutup auratnya meskipun dalam keadaan sendirian tanpa dilihat orang lain, untuk menjaga adab bersama Allah, karena kedekatannya dengan Allah, sekaligus sebagai pengagungan dan rasa malu kepada-Nya.

 

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Siapa yang meremehkan adab, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang sunnah. Siapa yang meremehkan yang sunnah, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang wajib. Siapa yang meremehkan yang wajib, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan ma’rifat.”

 

Ada yang berkata, “Adab dalam amal merupakan pertanda diterimanya amal itu.”

 

Hakikat adab adalah menerapkan akhlak yang baik. Karena itu adab juga bisa dikatakan sebagai upaya mengeluarkan kesempurnaan dan kekuatan dalam tabiat kepada pelaksanaan.

 

Allah telah mempersiapkan diri manusia untuk menerima kesempurnaan, dengan memberinya keahlian dan kesiapan, yang dijadikan Allah tersembunyi di dalam dirinya seperti api dalam sekam, lalu Allah memberinya ilham, kekuatan, ma’rifat dan petunjuk, mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, untuk mengeluarkan kekuatan yang telah disempurnakan itu kepada perbuatan dan amal. Allah berfirman,

 

“Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 7-10).

 

Allah menggambarkan penciptaan jiwa yang sama dan memiliki kesempurnaan, kemudian mengabarkan bahwa jiwa itu bisa menerima kefasikan dan ketakwaan, yang semua itu merupakan ujian dan cobaan baginya. Kemudian mengkhususkan keberuntungan bagi orang yang mensucikan jiwanya, menumbuhkan dan meninggikannya dengan adab yang dibawa para rasul dan wali-Nya. Kemudian Allah menetapkan penderitaan bagi orang yang mengotori jiwanya dan menodainya dengan kefasikan.

 

Adab adalah semua kandungan agama. Menutup aurat termasuk adab. Wudhu dan mandi janabah termasuk adab. Bersuci dari kotoran termasuk adab, termasuk pula berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci. Karena itu banyak orang yang suka berhias ketika shalat, karena mereka sedang berdiri di hadapan Allah. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Allah memerintahkan lanjutan dari menutup aurat dalam shalat, yaitu memakai pakaian yang indah, sebagaimana firman Allah, “Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid”. Allah mengaitkan perintah ini dengan memakai pakaian yang indah, bukan dengan menutup aurat, sebagai isyarat dan perkenan dari Allah bahwa selayaknya bagi hamba untuk mengenakan perhiasan dan pakaiannya yang paling indah saat mendirikan shalat.”

 

Sebagian di antara orang-orang salaf ada yang memiliki pakaian yang harganya sangat mahal, yang biasa dikenakan saat shalat. Dia berkata, “Rabbku lebih berhak atas diriku untuk mengenakan pakaian ini dalam shalatku.”

 

Sebagaimana yang sudah diketahui, Allah suka melihat pengaruh nikmatNya atas hamba, terlebih lagi saat hamba itu berdiri di hadapan-Nya. Keadaan yang paling baik saat berdiri di hadapan-Nya ialah dengan mengenakan pakaian yang bagus dan menampakkan nikmat-Nya secara zhahir dan batin.

 

Yang juga termasuk adab adalah larangan Rasulullah, agar orang yang mendirikan shalat tidak mengarahkan pandangan ke arah langit. Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang termasuk kesempurnaan adab shalat ialah seorang hamba berdiri di hadapan Rabb-nya dalam keadaan merunduk, mengarahkan pandangan matanya ke tanah, dan tidak mengangkat pandangan ke atas.”

 

Sementara golongan Jahmiyah, karena tidak memahami adab ini dan tidak mengenalnya, mengira ini merupakan dalil bahwa Allah tidak berada di atas “Arsy di atas langit, seperti yang dikabarkan Allah tentang Diri-Nya, yang juga disepakati para rasul dan sesuai dengan ijma’ Ahlus-Sunnah. Hal ini menunjukkan kebodohan mereka, bahkan merupakan bukti bahwa apa yang mereka pahami dari Rasulullah tidak sejalan dengan perkataannya. Sebab di antara adab di hadapan raja ialah larangan mengarahkan pandangan kepadanya dan harus melihat ke arah bawah. Lalu bagaimana dengan adab di hadapan Raja Segala Raja?

 

Saya juga pernah mendengar Syaikhul Islam berkata tentang larangan membawa Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud, “Karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang mulia. Sementara saat ruku’ dan sujud merupakan keadaan hamba yang merendahkan diri. Maka adab bersama kalam Allah ialah tidak membacanya dalam dua keadaan ini. Saat yang paling layak untuk dibaca ialah saat berdiri.”?

 

Di antara adab bersama Allah ialah tidak menghadap atau pun membelakangi Baitullah Al-Haram saat buang hajat, seperti yang diriwayatkan dari Nabi. Namun yang benar dalam masalah ini berlaku secara umum, baik buang hajat itu di tempat terbuka maupun di dalam bangunan.

 

Masih banyak adab-adab lain bersama Allah. Adapun adab bersama Rasulullah sudah banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Adab yang paling penting bersama beliau adalah ketundukan kepada beliau secara utuh, patuh kepada perintah beliau, menerima pengabaran beliau dengan pembenaran tanpa disertai penentangan yang berasal dari hayalan atau pemikiran, tanpa disertaj kesangsian dan keragu-raguan, tidak mengutamakan pendapat para pemimpin daripada pengabaran beliau, sehingga beliaulah satu-satunya yang dijadikan penentu hukum, dipatuhi dan diikuti, sebagaimana yang mengutus beliau, Allah dijadikan satu-satunya yang disembah, yang dijadikan tempat bersandar dan tempat kembali.

 

Ini merupakan dua macam tauhid. Seorang hamba tidak selamat dari siksa Allah kecuali dengan dua tauhid ini, yaitu tauhid Allah yang mengutus rasul dan tauhid mengikuti rasul, sehingga seorang hamba tidak bertahkim kepada selain beliau dan tidak ridha terhadap hukum selain hukum beliau.

 

Diantara adab bersama Rasulullah ialah tidak mendahului beliau dalam masalah perintah dan larangan, perkenan maupun perilaku, hingga beliau memerintah dan melarang, sebagaimana firman-Nya,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan RasulNya.” (Al-Hujurat: 1).

 

Hal ini berlaku hingga Hari Kiamat dan sama sekali tidak terhapus. Mendahulukan Sunnah setelah beliau wafat, sama dengan mendahulukan Sunnah selagi beliau masih hidup, tidak ada perbedaan di antara keduanya bagi orang yang memiliki akal yang sehat. Menurut Mujahid, maksudnya, janganlah kalian lancang membuat fatwa dengan mengalahkan Rasulullah. Abu Ubaidah berkata, “Orang Arab biasa berkata, “Janganlah kalian mendahului pemimpin dan adab”. Artinya janganlah kalian terburu-buru mengambil perintah dan larangan dengan mengabaikannya.”

 

Yang lain lagi berkata, “Artinya, janganlah kalian memerintah sehingga beliau memerintah, dan janganlah kalian melarang sehingga beliau melarang.”

 

Di antara adab bersama beliau adalah tidak mengeraskan suara di atas suara beliau, karena yang demikian ini bisa menggugurkan amalan. Maka lalu bagaimana dengan meninggikan pendapat di atas Sunnah beliau? Apakah yang demikian ini membuat amal bisa diterima, sementara meninggikan suara saja bisa menggugurkan amalan?

 

Di antara adab bersama beliau ialah tidak menjadikan panggilan kepada beliau seperti panggilan kepada selain beliau. Firman Allah,

 

“Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain)” (An-Nur: 63).

 

Ada dua pendapat tentang hal ini di kalangan para mufassir: Pertama, janganlah kalian memanggil dengan nama beliau (Muhammad) sebagaimana sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang lain, tetapi katakanlah, “Wahai Rasulullah, wahai Nabi Allah”. Kedua, janganlah kalian menganggap panggilan beliau seperti panggilan sebagian di antara kalian terhadap sebagian yang lain, jika mau maka dia memenuhinya dan jika tidak mau maka dia meninggalkannya.

 

Di antara adab bersama beliau ialah seperti yang dilakukan para shahabat, bahwa jika mereka bersama beliau dalam suatu urusan yang melibatkan orang banyak, seperti saat beliau menyampaikan pidato, saat berjihad dan saat mengadakan persiapan untuk jihad, maka tak seorang pun di antara mereka yang pergi untuk suatu keperluan, sehingga dia meminta izin kepada beliau, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya yang benar-benar orang Mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.” (An-Nur: 62).

 

Jika kepergian ini dikaitkan dengan suatu keperluan yang ada pada saat itu, yang tidak mereka lakukan kecuali setelah meminta izin kepada beliau, lalu bagaimana dengan kepergian secara mutlak dari agama, meninggalkan dasar dan cabangnya?

 

Di antara adab bersama beliau ialah tidak menganggap rumit perkataan beliau, tapi yang dianggap rumit adalah berbagai pendapat. Juga tidak boleh mempertentangkan nash beliau dengan giyas, tapi berbagai macam giyas harus disingkirkan karena ada nash beliau. Juga tidak boleh mengalihkan perkataan beliau dari hakikatnya karena jalan-jalan pemikiran manusia.

 

Sedangkan adab bersama makhluk ialah cara bermu’amalah dengan mereka, dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan tingkatan mereka. Karena ada adab untuk masing-masing tingkatan. Ada adab khusus bersama kedua orang tua. Ada adab khusus bersama orang yang berilmu. Begitu pula bersama para pemimpin, kerabat, tetangga, rekan, tamu dan lain-lainnya, masing-masing ada adabnya sendiri-sendiri. Setiap keadaan juga mempunyai adab masing-masing, saat makan, minum, naik kendaraan, masuk keluar rumah, bepergian, menginap, tidur, buang hajat, berbicara, diam, mendengarkan perkataan orang lain dan lain sebagainya.

 

Adab seseorang merupakan pertanda kebahagiaan dan keberuntungannya sedangkan sedikit adab merupakan pertanda penderitaan dan kecelakaannya, Tidak ada yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat seperti halnya adab,

 

Perhatikanlah adab bersama kedua orang tua, bagaimana pelakunya bisa terbebas dari keadaannya yang terjebak di dalam gua, karena secara tiba-tiba mulut gua itu tertutup bongkahan batu.”

 

Perhatikan pula keadaan setiap orang yang celaka dan yang terkecoh, tidak mendapatkan apa yang diharapkannya karena adabnya yang minim.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Adab artinya menjaga batas antara berlebih-lebihan dan meremehkan, sambil mengetahui bahaya pelanggaran.”

 

Menyimpang ke salah satu sisi sikap berlebih-lebihan atau meremehkan menunjukkan minimnya adab. Yang disebut adab ialah berada di tengah-tengah di antara dua sisi, tidak meremehkan batas-batas syariat dengan meninggalkan kesempurnaannya, dan tidak pula melebihi batas-batas syariat. Sebab kedua Sisi ini merupakan pelanggaran. Allah tidak suka kepada orang-orang yang melanggar batas. Pelanggaran ini merupakan adab yang buruk.

 

Di antara orang salaf ada yang berkata, “Agama Allah ada di antara orang yang meremehkan dan berlebih-lebihan.”

 

Menyia-nyiakan adab karena meremehkan seperti orang yang tidak menyempurnakan basuhan ke anggota wudhu’ dan tidak memenuhi adab-adab shalat yang disunnahkan Rasulullah, yang kalau dihitung mendekati seratus adab, entah yang wajib maupun yang sunnah. Menyia-nyiakan adab karena berlebih-lebihan seperti gangguan saat berniat lalu melafazhkannya, menyaringkan suara saat berdzikir dan berdoa, padahal disyariatkan untuk membacanya tanpa bersuara.

 

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak para rasul ialah tidak melebih-lebihkan anggapan tentang diri mereka, seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani terhadap Al-Masih, namun juga tidak boleh meremehkan mereka seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi.

 

Orang-orang Nasrani menyembah Al-Masih, sedangkan orang-orang Yahudi mendustakan dan bahkan membunuh nabi mereka. Umat yang adil jalah yang mengimani mereka, mendukung dan menolong serta mengikuti apa yang mereka bawa.

 

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak makhluk ialah tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi hak mereka, sehingga mengalahkan kesibukannya untuk memenuhi hak-hak Allah atau menyempurnakannya. Namun juga tidak boleh mengabaikan hak-hak makhluk. Dua sisi ini merupakan pelanggaran. Berdasarkan batasan ini, maka hakikat adab adalah sikap yang adil.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat adab, yaitu:

 

  1. Mencegah ketakutan agar tidak menjurus ke rasa putus asa, menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan. Maksudnya, seorang hamba tidak membiarkan rasa takut yang membawanya ke suatu batasan yang membangkitkan rasa putus asa terhadap rahmat Allah. Rasa takut seperti ini adalah tercela. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam berkata, “Batasan rasa takut ialah yang mencegahmu dari kedurhakaan kepada Allah. Yang lebih dari itu tidak dibutuhkan.”

 

Rasa takut yang menjurus kepada keputusasaan ini merupakan adab yang buruk terhadap rahmat Allah. Padahal rahmat-Nya mengalahkan kemurkaanNya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuan tentang rahmat itu.

 

Menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, artinya tidak melebih-lebihkan harapan hingga ke suatu batasan yang membuatnya merasa aman dari siksaan. Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi. Batasan harapan ialah yang membuatmu merasa nyaman dalam melaksanakan ubudiyah dan mendorongmu untuk mengadakan perjalanan kepada Allah. Yang demikian ini sama dengan angin berhembus yang memperjalankan perahu. Jika angin itu tidak berhembus, maka perahu pun juga berhenti. Tapi jika angin itu terlalu kencang, bisa menimbulkan kebinasaan.

 

Menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan, tidak dapat dilakukan kecuali orang-orang yang kuat hasratnya, yang tidak terlalu gembira karena kelapangan sehingga mengalahkan rasa syukurnya, dan tidak melemah karena kesempitan sehingga mengalahkan kesabarannya.

 

Nafsu merupakan pasangansyetan dan menyerupai sifat-sifatnya. Pemberian Allah turun ke dalam hati dan ruh. Sementara nafsu selalu mencuri dengar.Jika pemberian itu turun ke dalam hati, maka nafsu melompat untuk mengambil bagian dan menjadikannya sebagai golongannya. Orang yang membiarkan nafsu dan masa bodoh terhadapnya, berarti dia membiarkan nafsu itu berbuat semaunya. Apa pun yang masuk ke dalam hatinya, maka akan menjadi bagian nafsu dan perangkatnya, sehingga dia pun berbuat semenamena dan aniaya serta melampaui batas, karena dia merasa cukup dengan diri dan nafsunya.

 

Memang begitulah manusia yang suka melampaui batas, karena menganggap dirinya cukup dengan harta yang dimilikinya. Lalu bagaimana jika dia diberi yang lebih tinggi dan lebih penting daripada harta? Tentu dia akan menyimpang ke sisi yang tercela?

 

  1. Keluar dari rasa takut ke medan penguasaan, naik dari harapan ke medan pengungkapan, naik dari kegembiraan ke medan kesaksian.

 

Dalam derajat pertama disebutkan cara menjaga batasan di antara beberapa kedudukan agar tidak menyimpang ke salah satu sisi yang mencerminkan adab yang buruk. Sedangkan dalam derajat ini disebutkan adab untuk menjaga agar derajat pertama tidak sia-sia. Dengan kata lain, hendaklah seorang hamba berpindah dari bayangan keadaan ke ruhnya. Rasa takut merupakan bayangan dan penguasaan diri merupakan ruhnya. Harapan merupakan bayangan dan pengungkapan merupakan ruhnya. Kegembiraan merupakan bayangan dan kesaksian merupakan ruhnya.

 

  1. Mengetahui adab, melebur dalam adab yang diberikan Allah, kemudian membebaskan diri dari segala beban adab.

 

Mengetahui adab artinya mengetahui hakikat setiap derajatnya, yang tercakup dalam derajat ketiga ini dan yang sekaligus mencakup dua derajat sebelumnya. Jika hal ini sudah diketahui dan merupakan keadaan seorang hamba, tentu dia akan melebur ke dalam adab yang diberikan Allah kepadanya, melebur ke dalam kesaksian hakikat. Peleburan diri ke dalam adab inilah yang disebut adab yang hakiki. Sehingga dalam keadaan seperti itu dia akan terbebas dari segala beban adab dan hal-hal yang memberatinya. Sebab dengan meleburkan diri ke dalam kesaksian hakikat, maka tidak ada sesuatu pun beban adab yang memberatinya.

 

Yaqin

 

Yaqin merupakan bagian dari iman, tak ubahnya kedudukan ruh dari badan. Dengan yaqin ini orang-orang yang memiliki ma’rifat menjadi tehormat, banyak orang yang berlomba karenanya, orang-orang yang beramal berusaha mendapatkannya dan semua isyarat mereka tertuju kepadanya. Jika sabar berpasangan dengan yaqin, maka akan lahir kepemimpinan dalam agama, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan, adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24).

 

Allah mengkhususkan orang-orang yang yaqin, bahwa hanya merekalah yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan bukti-bukti keterangan, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yaqin.” (Adz-Dzariyat: 20).

 

Allah juga mengkhususkan orang-orang yang yakin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan keberuntungan di antara para penduduk bumi,

 

“Dan, mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yang

yaqin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 4-5).

 

Allah juga mengabarkan bahwa para penghuni neraka adalah mereka yang tidak yaqin,

 

“Dan, apabila dikatakan (kepada kalian), Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya’, niscaya kalian menjawab, “Kami tidak tahu apakah Hari Kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyaqini(nya)’.” (Al-Jatsiyah: 32).

 

Yaqin merupakan ruh amal hati, yang sekaligus merupakan ruh amal anggota tubuh dan merupakan hakikat sifat shidq serta inti Islam.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Janganlah sekali-kali kamu membuat seseorang ridha dengan kemurkaan Allah dan janganlah sekali-kali kamu memuji seseorang dengan mengatasnamaka, karunia Allah, dan janganlah sekali-kali kamu mencela seseorang selagi Allah tidak mengizinkanmu, karna sesungguhnya rezeki Allah tidak dihela kepadam, karena hasrat seseorang yang berhasrat dan tidak ditolak darimu karena kebencian seseorang yang benci, dan sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan neraca-Nya Dia menjadikan ruh dan kegembiraan ada dalam ridha dan yaqin, menjadikan kekhawatiran dan kesedilian ada dalam keragu-raguan dan kemarahan.”

 

Yaqin merupakan pasangan tawakal. Karena itu ada yang menafsiri tawakal dengan kekuatan keyakinan. Yang benar, tawakal merupakan buah yaqin. Maka ada baiknya jika petunjuk disertai dengan yaqin. Selagi yaqin sampai ke dalam hati, maka ia akan memenuhinya dengan cahaya dan kemuliaan, membersihkannya dari keragu-raguan dan kemarahan, kekhawatiran dan kesedihan mengisinya dengan cinta kepada Allah, rasa takut, ridha, syukur, tawakal dan penyandaran kepada-Nya. Jadi yaqin merupakan materi semua kedudukan.

 

Ada perbedaan pendapat tentang kedudukan yaqin, apakah sebagai keadaan yang diusahakan ataukan merupakan pemberian?

 

Ada yang berpendapat, yaqin merupakan ilmu yang disusupkan ke dalam hati. Yang berarti bukan diperoleh karena usaha. Menurut Sahl, yaqin merupakan tambahan iman, sementara iman diperoleh dengan usaha.

 

Yang benar, yaqin diperoleh karena usaha jika ditilik dari sebab-sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari dzatnya. Abu Bakar bin Thahir berkata, “Ilmu masih dimungkinkan untuk diragukan. Sedangkan di dalam yaqin tidak ada keraguan sama sekali.” Menurut Dzun-Nun, yaqin mengajak untuk tidak terlalu berharap. Tidak terlalu berharap mengajak kepada zuhud. Zuhud menghasilkan hikmah, dan hikmah mendorong untuk memandang akibat di kemudian hari. Masih menurut pendapatnya, ada tiga tanda yaqin: Tidak terlalu banyak bergaul dengan manusia, tidak memuji mereka jika mendapat pemberian, dan tidak mencela mereka jika tidak mendapat pemberian mereka. Ada tiga tanda lainnya, yaitu: Memandang kepada Allah dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam keadaan bagaimana pun. Menurut Al-Junaid, yaqin merupakan kemantapan ilmu yang tidak dapat diubah dan tidak pula diganti serta tidak berubah apa yang ada di dalam hati. Menurut Ibnu Atha’, seberapa jauh kedekatan mereka dengan takwa, maka sejauh itu pula mereka bisa mengetahui yaqin. Dasar takwa adalah menyalahi apa yang dilarang atau menyalahi nafsu. Sejauh mana mereka memisahkan diri dari nafsu, maka sejauh itu pula mereka akan mencapai yaqin.

 

Menurut Abu Bakar Al-Waraq, yaqin merupakan pengendali hati. Kesempurnaan iman terjadi karenanya. Allah bisa diketahui dengan yaqin, dan dengan akal ada pemikiran tentang Allah. Yaqin itu ada tiga macam: Yaqin pengabaran, yaqin pembuktian dan yaqin kesaksian. Yaqin pengabaran artinya ketenangan hatimu dan kepercayaannya terhadap kabar yang disampaikan pemberi kabar. Yaqin pembuktian setingkat di atas yaqin pengabaran, yaitu penerimaan pengabaran itu dengan disertai dalil dan bukti keterangan. Hal ini sebagaimana umumnya penggabaran tentang iman, tauhid dan Al-Qur’an yang dikuatkan Allah dengan berbagai dalil, perumpamaan dan bukti-bukti keterangan yang menunjukkan kebenaran pengabaran-Nya. Dengan begitu manusia bisa menerima yaqin dari duasisi, dari sisi pengabaran dan sekaligus dari sisi dalil. Dari sini meningkat lagi ke tingkatan ketiga, yaitu yaqin pengungkapan. Dengan yaqin ini seakan-akan hati mereka bisa merasakan kehadiran pemberi kabar di hadapannya, sehingga pada saat itu kaitan iman kepada yang gaib dengan hati seperti obyek pandangan dengan mata. Ini merupakan tingkatan pengungkapan yang paling tinggi. Ini pula yang diisyaratkan dalam perkataan Amir bin Oais, “Jika tabir disingkap, maka keyakinan akan bertambah.” Ini bukan sabda Nabi gg dan tidak pula merupakan perkataan Ali seperti anggapan sebagian orang.

 

Sebagian orang ada yang berkata, “Aku bisa melihat surga dan neraka secara hakiki.”

 

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

 

Dia menjawab, “Aku melihatnya dengan kedua mata Nabi. Aku melihat dengan kedua mata beliau lebih baik daripada aku melihat dengan kedua mataku sendiri, karena pandanganku bisa salah semuanya, lain dengan pandangan beliau.”

 

Yaqin membuatnya siap mengemban beban dan menghadapi bahaya serta mendorongnya untuk maju terus ke depan. Jika yaqin tidak disertai ilmu, maka ia membawanya kepada kerusakan, sedangkan ilmu menyuruhnya untuk mundur ke belakang, dan jika ilmu tidak disertai yaqin, maka pelakunya tidak mau bergerak dan tidak mau berusaha.

 

An-Nahr Juri berkata, “Jika hakikat yaqin sudah sempurna pada diri hamba, maka cobaan bagi dirinya sama dengan nikmat dan kelapangan sama dengan musibah.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Yaqin merupakan kendaraan orang yang meniti jalan ini dan merupakan puncak derajat orang awam. Ada yang berpendapat, yaqin merupakan langkah pertama orang yang khusus.”

 

Yaqin membawa pejalan kepada Allah, seperti yang dikatakan Abu Sa’id Al-Kharaz, “Ilmu adalah yang mendorongmu untuk berbuat dan yaqin adalah yang membawa dirimu. Yaqin adalah kendaraan yang ditunggangi orang yang berjalan kepada Allah. Tanpa adanya yaqin, seorang pelancong tidak akan sampai kepada Allah.”

 

Pengarang Manazilus Sa’irin menjadikan yaqin ini sebagai akhir atau puncak derajat orang-orang awam, karena memang inilah akhir perjalanan mereka. Kemudian dia menceritakan perkataan seseorang, bahwa yaqin merupakan langkah pertama orang-orang yang khusus. Dengan kata lain, yaqin bukan merupakan tempat kedudukan mereka, tapi merupakan permulaan perjalanan mereka. Dari yaqin inilah mereka memulai perjalanan. Sebab orangorang khusus ini melakukan perjalanan ke inti pemaduan dan kefanaan dalam mempersaksikan hakikat, hasrat tidak pernah berhenti dan tidak terhambat oleh rupa.

 

Tapi boleh saja bagimu menjadikan yaqin ini sebagai puncak perjalanan orang-orang awam dan awal perjalanan mereka. Ada tiga derajat yaqin:

 

  1. Ilmul-yaqin. Artinya menerima apa pun yang tampak dari Allah dan menerima apa yang tidak tampak dari Allah serta berada pada apa yang ditegakkan Allah.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin menyebutkan tiga perkara dalam derajat ini, yang semuanya merupakan kaitan yaqin dan rukun-rukunnya, yaitu:

 

– Menerima apa pun yang tampak dari Allah, yaitu berupa perintah, larangan, syariat, agama-Nya dan apa pun yang tampak dari-Nya, yang disampaikan para rasul. Kita harus menerimanya dengan patuh dan tunduk kepada Rububiyah dan masuk ke dalam ubudiyah.

 

– Menerima apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu iman kepada yang gaib, yang dikabarkan Allah lewat lisan para rasul-Nya, tentang perkaraperkara akhirat, surga, neraka, shirath, timbangan, hisab, tentang langit yang terbelah, planet-planet yang berhamburan, gunung-gunung yang dicabut dari tempatnya dan alam dibalik, tentang alam barzakh, nikmat dan siksanya. Sebelum semua ini harus iman dan pembenaran, yaitu yaqin. Artinya, di dalam hati tidak boleh ada keraguan, kesangsian dan kelalaian.

 

– Berada pada apa yang ditegakkan Allah, yaitu ilmu tauhid, yang asasnya adalah penetapkan asma’ dan sifat. Kebalikannya adalah peniadaan dan penafian. Tauhid ini merupakan kebalikan dari peniadaan. Tauhid yang berorientasi tujuan dan kehendak ialah memurnikan amal karena Allah dan menyembah-Nya semata. Kebalikannya adalah syirik. Sedangkan peniadaan tauhid lebih buruk daripada syirik. Sebab pelakunya mengingkari Dzat dan juga kesempurnaan-Nya, atau juga bisa disebut pengingkaran terhadap hakikat Uluhiyah. Dari segi dzat, dia menganggap Allah tidak bisa mendengar, melihat, berbicara, tidak meridhai, tidak murka, tidak bisa berbuat apa pun, tidak berada di dalam dan di luar alam, tidak berhubungan dan tidak berpisah dengan alam, tidak berada di atas Arsy dan tidak pula di bawahnya. Ada atau tidak ada-Nya dianggap sama. Sementara orang musyrik tetap mengakui keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi dia menyembah selain-Nya di samping juga menyembah-Nya. Berarti orang musyrik lebih baik daripada orang yang meniadakan Dzat dan sifat Allah.?

 

Tiga perkara ini merupakan ilmu manusia yang paling mulia, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan, ilmu tentang asma’ dan sifat serta tauhid, ilmu tentang hari akhirat.

 

  1. Ainul-yaqin. Artinya yang membutuhkan kesaksian dari suatu kesaksian, yang membutuhkan pandangan dengan mata telanjang dari suatu pengabaran dan kesaksian yang menyibak tabir ilmu.

 

Perbedaan antara ilmul-yaqin dan ainul-yaqin seperti perbedaan antara pengabaran yang benar dan pandangan secara langsung. Sedangkan haggulyaqin di atas keduanya. Tiga tingkatan ini dapat diumpamakan dengan ucapan seseorang yang berkata kepadamu, bahwa dia mempunyai madu. Engkau tidak menyangsikan kebenaran pengabarannya itu. Ketika dia memperlihatkan madu itu kepadamu, maka yaqinmu semakin bertambah, kemudian engkau mencicipinya. Yang pertama disebut ilmul-yaqin, yang kedua disebut ainulyaqin, dan yang ketiga disebut haggul-yaqin. Pengetahuan kita tentang surga dan neraka disebut ilmul-yaqin. Jika surga diperlihatkan kepada orang-orang yang bertakwa dan neraka diperlihatkan kepada orang-orang yang durhaka, sementara semua makhluk juga menyaksikannya, maka itulah yang disebut ainul-yaqin. Jika penghuni surga sudah berada di surga dan penghuni neraka berada di dalam neraka, maka saat itulah disebut haqqul-yaqin.

 

Orang yang berada dalam derajat ini mencari dalil untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu obyek yang dikuatkan dengan dalil itu, seperti penguatan pengabaran dengan pandangan secara langsung.

 

Kesaksian atau pengetahuannya dapat menyingkap tabir ilmu, lalu membawanya kepada obyek yang harus diketahui, sehingga pandangan dan hatinya menjadi terkuak.

 

  1. Haqqul-yaqin. Artinya mengobarkan cahaya penyingkapan, membebaskan diri dari beban yaqin dan melebur dalam haqqul-yaqin.

 

Derajat ini tidak bisa diperoleh di dunia kecuali oleh para rasul. Nabi kita melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri selagi beliau masih hidup di dunia. Musa mendengar kalam Allah tanpa perantara. Allah menampakkan Diri-Nya kepada gunung dan Musa melihat kejadian ini, hingga gunung itu hancur berkeping-keping. –

 

Memang pada tingkatan tertentu kita bisa mendapatkan haggul-yaqin, yaitu dengan merasakan hakikat iman yang dikabarkan Rasulullah gg, yang berkaitan dengan hati dan amal-amalnya. Jika hati dapat merasakannya, maka ia berhak untuk berada pada haggul-yakin. Tetapi untuk perkara-perkara akhirat dan Hari Kiamat, melihat Allah dengan mata kepala sendiri serta mendengar kalam Allah secara langsung tanpa perantara, maka yang seharusnya dilakukan orang Mukmin di dunia ini hanya sebatas iman dan ilmul-yaqin. Sedangkan haggul-yaqin ditangguhkan hingga tiba saatnya nanti.

 

Tapi jika orang yang mengadakan perjalanan dapat mewujudkan kesaksian hakikat, berakhir kepada kefanaan dan sampai kepada kebersamaan, maka inilah yang disebut mengobarkan cahaya penyingkapan. Artinya mewujudkan cahaya yaqin yang dapat mengalahkan kegelapan tabir.

 

Membebaskan diri dari beban yaqin artinya bahwa yaqin mempunyai hakhak yang harus dipenuhi pemiliknya, beban dan kesulitannya diemban. Jika dia melebur dalam tauhid, maka dia akan mendapatkan perkara-perkara lain yang tinggi, sehingga akhirnya dia seperti orang yang dibawa setelah dia membawa, seperti terbang setelah berjalan kaki, sehingga hak-hak yang harus dipenuhi dan diembannya itu tidak lagi terasa. Yang menyisa pada dirinya hanya hembusan napas, seperti air yang dimiliki ikan. Ini semua kembali kepada dominasi rasa, yang tidak perlu buru-buru diingkari.

 

Perhatikanlah keadaan seorang shahabat (Amr bin Al-Hammam) sewaktu perang Uhud, yang mengambil beberapa buah korma yang dibawanya sebagai bekal. Karena dia haus dan lapar, maka dia duduk sambil memakan kormanya itu. Tapi karena dia melihat pasar mati syahid yang ramai, dia segera bangkit dari duduknya lalu melempar kormanya, seraya berkata, “Ini merupakan kehidupan yang terlalu lama, selagi aku masih hidup dan masih memakan korma-korma ini.” Seketika itu pula dia bertempur hingga terbunuh sebagai syahid. Begitu pula keadaan para shahabat lainnya, yang tidak jauh berbeda dengan keadaan ini.

 

Jinak Bersama Allah

 

Menurut pengarang Al-Manar, jinak bersama Allah merupakan ruh taqarrub. Karena itu dia menyelaraskan kedudukannya dengan firman Allah,

 

“Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Al-baqarah:186).

 

Hati hamba yang merasakan kebaikan, kebajikan dan keramahan ini mengharuskan kedekatannya dengan Allah. Kedekatannya dengan Allah mengharuskan adanya kejinakan, dan kejinakan ini merupakan buah ketaatan dan cinta. Setiap orang yang taat tentu jinak dan setiap orang yang durhaka tentu liar. Kedekatan mengharuskan adanya kejinakan, keengganan dan cinta.

 

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, kejinakan bersama Allah ini ada tiga derajat:

 

  1. Kejinakan bersama kesaksian, yaitu manisnya ingatan, mencari santapan dengan pendengaran dan memperhatikan isyarat. Inti dari pernyataan ini terletak pada kata kesaksian, yang menurut orangorang ada dua macam:

 

– Hakikat, yaitu apa yang ada di dalam hati hamba, sehingga seakan dia melihat dan menyaksikannya, karena hakikat ini sudah memenuhi hatinya. Apa yang menguasai hatinya dan apa yang diingatnya, seakan-akan dia dapat menyaksikannya. Di antara mereka ada yang disaksikannya adalah amal, ada yang berupa ingatan, ada yang berupa cinta dan ada yang berupa rasa takut. Orang yang berjalan kepada Allah menjadi jinak karena kesaksiannya ini dan menjadi liar jika dia kehilangan kesaksiannya.

 

 – Kesaksian keadaan, yaitu pengaruh yang ada pada diri hamba, yang tampak pada amal, perilaku dan keadaannya. Jika dia mempersaksikannya, maka itulah yang akan tampak pada dirinya.

 

Yang dimaksudkan pengarang Marazilus Sa’irin adalah kesaksian yang pertama, yang karenanya seorang hamba menjadi jinak dan merasakan manisnya ingatan serta menyuapi hati dengan memperhatikan dan mendengarkan, sebagaimana dia menyuapi badan dengan makanan dan minuman. Jika dia benar-benar orang yang mencintai secara tulus, mencari apa yang ada di sisi Allah dan ridha-Nya, maka santapannya adalah dengan mendengarkan Al-Qur’an. Karena inilah santapan orang-orang yang terkemuka dari umat Islam dan mereka yang hatinya paling bersih dan mereka yang keadaannya paling benar, yaitu para shahabat. Namun jika dia orang yang menyimpang dan rusak keadaannya, tertipu dan terpedaya, maka santapannya ialah dengan mendengarkan suara-suara setan, yang isinya dicintai hawa nafsu dan yang para pelakunya adalah orang-orang yang paling jauh dengan Allah serta yang tabir penghalangnya paling tebal, sekalipun isyarat-isyaratnya yang mengarah kepada Allah cukup banyak.

 

Mendengarkan kandungan Al-Qur’an biasa dilakukan orang-orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah, yang memiliki istiqamah untuk meniti jalan Allah yang lurus. Pikiran yang jernih tentu bisa mengambil makna, isyarat, ma ‘rifat dan ilmu dari Al-Qur’an. Hati yang mulia bisa mengambil santapan dengan cahaya kejinakan, lalu ia bisa mendapatkan kenikmatan rohani. Kenikmatan ini merasuk ke relung hati dan ruh, bahkan bisa mengimbas hingga ke badan dan menimbulkan kenikmatan yang tidak bisa disamai kenikmatan inderawi.

 

Memang santapan dengan mendengarkan ini memiliki rahasia yang amat lembut, karena memang tempatnya yang juga lembut dan halus. Maka tidak heran jika banyak orang yang suka mendengarkan bait-bait sya’ir, karena di dalam sya’ir itu terkandung santapan hati, kekuatan dan kenikmatannya. Andaikan engkau membawa seribu ayat atau seribu pengabaran kepadanya, maka ia tidak akan memberikan tempat untuk mendengarkan penyampaianmu, karena baginya hal itu lebih besar artinya daripada berbagai macam fenomena yang ditekuni para filosof dan teolog. Ketahuilah bahwa Allah menjadikan dua macam santapan bagi hamba:

 

– Santapan yang berupa makanan dan minuman yang bersifat inderawi.

 

Hati akan menyimpulkannya dan setiap bagiannya akan mendapatkan sesuai dengan kesiapan dan penerimaannya.

 

– Santapan rohani dan spiritual, yang tidak ada kaitannya dengan makanan dan minuman, yaitu berupa kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, ilmu dan ma’rifat. Dengan santapan ini dia menjadi unsur langit yang tinggi, dan dengan santapan yang pertama dia menjadi unsur bumi yang rendah. Dia menjadi tegak karena dua macam santapan ini. Dia mempunyai keterkaitan dengan masing-masing di antara lima indera dan santapan yang sampai kepadanya. Dia mempunyai keterkaitan dengan indera rabaan dan santapan yang sampai kepadanya. Begitu pula indera penciuman dan rasa. Sementara keterkaitan dirinya dengan indera pendengaran dan penglihatan lebih kuat daripada keterkaitannya dengan selain keduanya, dan sampainya santapan kepada keduanya lebih sempurna dan lebih kuat daripada selainnya, sehingga peran dua indera ini lebih dominan daripada indera yang lain. Maka tidak heran jika kita mendapatkan Al-Qur’an banyak menyertakan dua indera ini, daripada penyertaannya dengan indera yang lain. Bahkan hampir pendengaran dan penglihatan ini merupakan pasangan, yang satu tidak disebutkan melainkan yang satunya juga disebutkan, sebagaimana firman Allah, “Dan, Allah mengeluarkan kalian dan perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran dan penglihatan serta hati, agar kalian bersyukur.” (An-Nahl: 78).

 

“Dan, sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).

 

Allah berfirman tentang sifat orang-orang kafir,

 

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah: 171).

 

Peranan pendengaran dan penglihatan sangat dominan, karena pengaruh sesuatu yang didengar dan dilihat lebih besar daripada pengaruh sesuatu yang diterima rabaan, rasa dan penciuman. Maka inilah tiga jalan ilmu, yaitu: Pendengaran, penglihatan dan akal. Ketergantungan dan keterkaitan hati dengan pendengaran, lebih kuat daripada ketergantungan dan keterkaitannya dengan penglihatan. Karena itu pengaruh kenikmatan yang didengar, lebih besar daripada pengaruh keelokan yang dilihat. Begitu pula hal-hal yang dibenci menurut pendengaran dan penglihatan. Maka satu dari dua pendapat yang lebih benar, bahwa indera pendengaran lebih mulia daripada indera penglihatan, karena kaitannya yang erat dengan hati dan besarnya kebutuhan pendengaran kepada hati, ketergantungan kesempurnaan pendengaran kepada hati dan sampainya ilmu ke pendengaran yang bergantung kepada hati.”

 

Sementara ada golongan lain yang lebih menguatkan indera penglihatan, karena kesempurnaan fungsinya, kerjanya yang tidak mengenal kedustaan dar dengan penglihatan ini segala keraguan bisa disingkirkan. Apa yang diperoleh dengan penglihatan disebut ainul-yaqin, sedangkan yang diperoleh dengan pendengaran adalah ilmul-yaqin. Ainul-yaqin lebih baik dan lebih sempurna daripada ilmul-yaqin. Apalagi jika dikaitkan dengan melihat Wajah Allah di surga pada Hari Kiamat, yang tidak ada kenikmatan lebih tinggi daripada kenikmatan ini.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuat keputusan yang sangat baik di antara dua golongan ini, dengan berkata, “Orang yang memiliki pengetahuan dengan indera pendengaran, lebih umum dan lebih menyeluruh. Sementara orang yang memiliki pengetahuan dengan penglihatan, lebih komplit dan lebih sempurna. Pendengaran memiliki keumuman dan cakupan yang menyeluruh, meliputi yang ada dan yang tidak ada, yang sekarang dan yang lampau, yang inderawi dan yang spiritual, sedangkan penglihatan memiliki kesempurnaan.”

 

Jika masalah ini sudah diketahui, maka lima indera ini mempunyai bayangan dan ruh. Ruhnya adalah bagian hati. Di antara manusia ada yang hatinya tidak mempunyai bagian kecuali seperti bagian yang dimiliki hewan, yang kedudukannya serupa dengan kedudukan hewan.

 

Antara dirinya dan hewan sama-sama pada derajat pertama dari derajat kemanusiaan. Karena itu Allah menyamakan orang semacam ini layaknya hewan piaraan, dan bahkan menganggapnya lebih sesat lagi. Firman-Nya,

 

“Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu). (al-Furqan: 44).

 

Karena itu Allah menafikan pendengaran, penglihatan dan akal dari diri orang-orang kafir. Bolehjadi penafian ini karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dengan pendengaran, penglihatan dan akal itu, sehingga keberadaannya sama dengan tidak adanya, atau boleh jadi penafian itu tertuju kepada pendengaran dan penglihatan hati. Hal ini mereka ketahui ketika semua perkara dikuakkan di hadapan mereka, seperti perkataan para penghuni neraka, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (M-Mulk: 10).

 

Begitu pula firman-Nya,

 

“Dan, kamu melihat mereka itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat.” (Al-A’raf: 198).

 

Ada dua ta’wil tentang ayat ini: Pertama, orang-orang kafir melihat rupa Nabi dengan indera yang tampak dan tidak melihat beliau sebagai sosok nabi, atau dengan indera batin yang merupakan penglihatan hati. Kedua, kata mereka dalam ayat ini adalah berhala-berhala, yang maksudnya merupakan penyerupaan, atau seakan-akan berhala-berhala itu memandangmu, padahal mereka tidak mempunyai penglihatan yang digunakan untuk memandangmu. Namun artinya juga bisa saling berhadapan, seperti perkataan, “Rumahku memandang rumahmu”, atau rumahku berhadapan dengan rumahmu.

 

Begitu pula keadaan orang-orang kafir yang memiliki pendengaran dan hyjjah telah ditegakkan kepada mereka, tapi pendengaran hati dinafikan dari mereka. Mereka mendengarkan Al-Qur’an dengan pendengaran inderawi, seperti kambing yang biasa mendengarkan panggilan dan teriakan penggembalanya, namun tidak bisa mendengarkan panggilan itu dengan ruh yang hakiki, yang menjadi ruh indera pendengaran dan merupakan bagian hati. Andaikan mereka mendengarkannya dari sisi ini, tentu mereka akan mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, yang muncul karena pengaruh pendengaran terhadap hati. Dengan begitu mereka tidak disebut bisu dan tuli, terselamatkan dari kobaran api neraka.

 

Pendengaran yang hakiki merupakan dasar munculnya kehidupan yang menyenangkan. Sementara kehidupan yang menyenangkan merupakan jenis kehidupan yang paling sempurna di dunia ini, dan dengan ini pula dapat diperoleh santapan hati, sehingga tercipta kesempurnaan dalam kekuatan, hidup, kegembiraan dan kenikmatannya.

 

Jika hati tidak mendapatkan santapan yang baik, berarti santapannya buruk. Jika santapannya buruk, berarti hidupnya juga buruk, hilang kekuatan dan kegembiraannya, seperti halnya badan, jika santapannya buruk, maka hidupnya juga menjadi buruk.

 

Karena keterkaitan pendengaran yang zhahir dengan hati sangat kuat dan jarak di antara keduanya lebih dekat daripada jarak antara penglihatan dan hati, maka pengaruh keterkaitan ini lebih cepat daripada pengaruh keterkaitan penglihatan dengan hati. Karena itu ada orang yang langsung pingsan tak sadarkan diri ketika mendengar perkataan yang menyenangkan atau menyedih-kannya, atau pun suara yang merdu merayu. Sementara dia tidak akan pingsan jika melihat sesuatu yang elok. Apa yang didengarkan ini berpengaruh amat besar di dalam hati. Tapi terkadang pelakunya tidak merasakannya jika dia sibuk dengan urusan yang lain, karena saat itu tidak ada keselarasan antara zhahir dan batinnya. Jika dia membebaskan dirinya dari hal-hal yang lain, maka akan muncul kekuatan pengaruh itu. Jika ruh dan hati dalam keadaan bebas dan terputus dari kaitan-kaitan badan, maka porsi yang didengarkannya relatif lebih banyak dan lebih kuat. Jika yang didengarkan merupakan makna yang mulia dan ditunjang dengan suara yang merdu, maka hati akan menyerap makna tersebut dan ruh akan menikmati bagian kemerduan suara, sehingga kenikmatan yang didapatkan seakan menjadi berlipat, menguasai seluruh badan dan bahkan orang-orang di sekitarnya.

 

Yang demikian ini tidak diperoleh kecuali dengan mendengarkan kalam Allah. Jika ruh dalam keadaan bebas dan siap, hati menyatu dengan ruh makna, semua menghadapkan diri terhadap apa yang didengarkan, apalagi jika ditunjang dengan suara yang merdu, maka seakan hati bisa lepas dari alam ini, lalu menuju ke alam lain. Pada saat itulah akan diperoleh kenikmatan dan keadaan yang amat menyenangkan, yang tidak bisa diserupai hal-hal lain. Ini merupakan sentuhan lembut dari keadaan para penghuni surga.

 

Sementara yang demikian itu tidak bisa diperoleh dengan mendengarkan suara-suara yang berbau setan. Kalaupun ada kenikmatan yang dirasakan, maka itu hanya semata karena suara yang merdu, bukan karena maknanya yang khusus.

 

Tidak ada kenikmatan para penghuni surga yang lebih tinggi daripada kenikmatan memandang Wajah Allah, kekasih mereka, dengan mata telanjang, serta mendengarkan kalam-Nya. Abdullah bin Al-Imam Ahmad menyebutkan sebuah atsar di dalam Kitabus-Sunnah, tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut, apakah riwayat ini mauguf ataukah marfu’, yang bunyinya, “Jika manusia mendengarkan Al-Qur’an pada Hari Kiamat dari Allah Yang Maha Pemurah, maka seakan-akan mereka tidak pernah mendengar yang seperti itu.”

 

Jika hati dipenuhi sesuatu dan terjadi pertentangan antara yang zhahir dan batin, maka telinga berperan menyampaikan ke hati apa yang sesuai dengannya, sekalipun apa yang didengarkan itu tidak menunjukkan maksudnya danjuga tidak dikehendaki pembicaranya serta tidak menunjuk ke makna tertentu. Semua terbatas pada suara semata.

 

Pendengaran yang paling sempurna ialah pendengaran orang yang mendengar berkat pertolongan Allah dan mendengarkan apa yang datang dari Allah, yaitu kalam-Nya. Ini adalah pendengaran orang-orang yang jatuh cinta dan yang dicintai, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits gudsi riwayat Al-Bukhari,

 

“Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku seperti dia melaksanakan apa yang Kufardhukan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melaksanakan nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi pengliliatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Maka dengan-Ku dia mendengar, melihat, memegang dan berjalan.” Hati dapat terpengaruh karena pendengaran, tergantung dari cinta yang ada di dalamnya. Jika hati dipenuhi cinta kepada Allah dan suka mendengarkan kalam Kekasihnya, atau dengan menghadirkan Allah di dalam hatinya, maka seperti itulah keadaannya. Jika hati tidak diisi dengan kecintaan kepada Allah, berarti keadaannya juga tidak seperti itu.

 

Keadaan yang kedua ini ada tiga macam:

 

– Orang yang hatinya diisi dengan sifat-sifat nafsu, sehingga hatinya berupa nafsu semata, dikuasai bencana nafsu dan seruan nafsu. Bagian pendengarannya seperti bagian binatang, yang tidak mendengar kecuali panggilan dan teriakan. Perbedaan di antara keduanya tidak jauh berbeda.

 

– Orang yang nafsunya diisi dengan sifat-sifat hati, sehingga nafsunya berupa hati semata. Dia dikuasai ma’rifat, cinta dan penalaran serta kesenangan terhadap sifat-sifat kesempurnaan. Nafsunya bercahaya karena cahaya hati. Pendengarannya merupakan santapan hati dan ruhnya serta kenikmatannya di dunia ini. Karena pengertian seperti inilah banyak orang yang terlena dengan mendengarkan pantun dan sya’ir, sehingga membuat mereka menyimpang dari jalan lurus, entah ke kanan entah ke kiri entah ke belakang.

 

– Orang yang memiliki salah satu dari dua kedudukan. Hatinya tetap berada pada fitrahnya yang pertama, tetapi nafsunya bertingkah lalu mengalihkannya dari fitrah itu dan menghilangkan tanda-tandanya, atau adakalanya nafsu tidak mampu mengalihkan hati itu dari fitrahnya. Begitu pula bagiannya berkaitan dengan pendengaran, yang akan memilih salah satu dari dua keadaan. Pada saat hati mendapat kemenangan, maka dia menjadi kuat, dan jika pada saat tertentu nafsunya yang menang, maka dia menjadi lemah.

 

Sedangkan pendengaran yang berbau setan, dilakukan dengan kebalikan cara-cara di atas, yang meliputi sekian banyak kerusakan, lebih dari seratus macam kerusakan.

 

Kami tidak menyebutkannya satu persatu karena terlalu panjang uraiannya.

 

Kembali ke pembahasan semula tentang derajat pertama dari kejinakan bersama Allah, bahwa kejinakan bersama kesaksian dengan memperhatikan isyarat, maksud isyarat di sini ialah makna-makna yang tertuju ke hakikat, dari tempat yang jauh dan dari balik tabir. Terkadang isyarat ini berasal dari sesuatu yang didengarkan, terkadang dari sesuatu yang dilihat, terkadang dari sesuatu yang dinalar dan terkadang dari sesuatu yang diterima semua indera. Isyarat

 

termasuk jenis bukti dan pertanda. Sebabnya adalah kejernihan yang diperoleh perpaduan beberapa unsur, sehingga perasaan dan pikiran mendapat sentuhan halus, lalu terbangkit untuk mengetahui perkara-perkara yang lembut, yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang benar, isyarat ialah yang ditunjukkan lafazh dari pintu giyas yang pertama.”

 

Contoh yang bisa diberikan adalah firman Allah, “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Makna yang benar tentang ayat ini ialah lembaran-lembaran yang ada di tangan para malaikat.

 

Hal ini dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:

 

– Sebelumnya disifati sebagai kitab-kitab yang terpelihara. Maksudnya tidak dapat dilihat mata, tidak ada makna lain tentang hal ini kecuali kitabkitab yang ada di tangan para malaikat.

 

– Hamba-hamba yang suci (muththahharun) adalah para malaikat. Kalau pun yang dimaksudkan adalah orang-orang yang wudhu’, maka dikatakan mutathahharun, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci.” Para malaikat adalah hamba-hamba yang suci, sedangkan orang-orang Mukmin adalah hamba-hamba yang bersuci.

 

– Kalimat dalam ayat ini merupakan pengabaran. Andaikata merupakan larangan tentu dikatakan, “Tidak boleh menyentuhnya”, dengan menggunakan kata larangan.

 

– Ini merupakan sanggahan terhadap orang yang berkata, bahwa setan datang dengan membawa Al-Qur’an. Lalu Allah mengabarkan bahwa AlQur’an itu berada di dalam kitab yang terpelihara, tidak dapat disentuh dan diraba setan, seperti firman-Nya, “Dan, Al-Jur’an itu tidak dibawa turun oleh setan-setan, dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur’an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa. “(Asy-Syu’ara’: 210-211).

 

Yang bisa membawanya adalah ruh-ruh yang suci, yaitu para malaikat.

 

– Malik berkata di dalam Muwaththa’, “Tafsir terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pernyataan serupa yang difirmankan Allah yang lain, “Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (Abasa: 12-16).

 

– Sekiranya yang dimaksudkan adalah kitab yang ada di tangan manusia, tentu tidak didahului dengan sumpah Allah yang amat agung. Sebagaimana yang sudah dimaklumi, setiap perkataan yang ada di dalam suatu kitab, bisa benar dan bisa salah. Lain halnya jika kitab itu disertai dengan sumpah, bahwa ia berada di dalam kitab yang terpelihara, tidak bisa dilihat mata, ada disisi Allah, tidak bisa disentuh dan dijamah setan serta tidak disentuh kecuali oleh ruh-ruh yang suci.

 

Jadi, makna inilah yang lebih tepat untuk ayat di atas, tanpa ada keraguan di dalamnya. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dengan isyarat ayat ini menunjukkan bahwa Mushhaf Al-Qur’an tidak disentuh kecuali oleh hamba yang suci (para malaikat). Jika Mushhaf ini tidak disentuh kecuali hamba-hamba yang suci, mengingat kehormatannya di sisi Allah, maka Mushhaf Al-Qur’an ini pun lebih layak jika tidak disentuh kecuali orang yang dalam keadaan suci.”

 

Saya juga pernah mendengar Syaikhul Islam berkata tentang sabda Nabi, “Para malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar”, bahwa jika para malaikat yang termasuk jenis makhluk merasa terhalang untuk masuk rumah yang ada anjing dan gambarnya, maka bagaimana mungkin hati yang diisi anjing dan gambar syahwat bisa diisi ma’rifat tentang Allah, cinta kepada-Nya dan kejinakan berdekatan dengan-Nya? Inilah isyarat lafazh yang benar.

 

Ada gambaran lain, bahwa kesucian pakaian dan badan merupakan syarat sahnya shalat dan persiapan sebelum shalat. Jika tidak, maka shalatnya dianggap batal dan rusak. Lalu bagaimana jika hatinya yang najis dan pelakunya tidak mensucikannya? Bagaimana mungkin hati itu siap untuk shalat? Bukankah kesucian zhahir hanya bisa disempurnakan dengan kesucian batin?

 

  1. Kejinakan karena cahaya pengungkapan, yaitu kejinakan yang lebih tinggi dari kejinakan derajat pertama, yang dikuasai gerakan-gerakan yang tidak beraturan, yang dihempas gelombang kefanaan, yang mampu menguasai akal manusia dan merampas kekuatan mereka serta mengikat mereka dengan belenggu ilmu. Karena hal inilah disebutkan dalam doa, “Aku memohon kepada-Mu kerinduan untuk bersua dengan-Mu, tanpa ada kesempitan yang menimbulkan mudharat, tidak pula cobaan yang menyesatkan.” Apa perbedaan antara cahaya kejinakan dan cahaya pengungkapan, sehingga salah satu di antara keduanya menjadi sebab bagi yang lain?

 

Perbedaannya, cahaya pengungkapan termasuk masalah ma’rifat dan pengungkapan hakikat bagi hati, sedangkan cahaya kejinakan termasuk masalah kedekatan dan ketenangan terhadap siapa yang dijinaki.Kebalikan jinak adalah liar dan kebalikan cahaya pengungkapan adalah kegelapan tabir.

 

Awal dari kejinakan yang disebutkan di sini ialah mengungkap asma’ dan sifat yang memang selaras dengan kejinakan dan menjadi gantungannya, seperti asma’ Al-Jamil, Al-Birr, Al-Lathif, Al-Wadud, Al-Halim, Ar-Rahim dan lain-laimnya. Kebergantungan kepada asma’ ini semakin kuatjika akal tenggelam di dalamnya, yang dipadu dengan asma’ lainnya, sehingga akal dipaksa dengan kekuasaannya. Orang yang memiliki kejinakan ini melihat kefanaan mengitari dirinya dan menempatkan dirinya seakan berada di lautan yang bergelombang, bergerak kesana kemari. Inilah makna perkataannya, “Dikuasai gerakangerakan yang tidak beraturan, yang dihempas gelombang kefanaan”.

 

Menguasai akal manusia dan merampas kekuatan mereka, artinya karena mereka melihat sesuatu di atas pengetahuan akal dan di atas kekuatan indera zhahir serta batin, sehingga menimbulkan kekuatan kesaksian dan kekuasaan terhadap akal. Mereka yang sudah sempurna dalam masalah ini menjadi tegar seakan tidak bergerak layaknya gunung.

 

Mengikat mereka dengan belenggu ilmu, artinya ilmu itu mengikat pemiliknya sedangkan ma’rifat membebaskannya dan membuatnya bisa melihat hakikat segala sesuatu, sehingga segala belenggu yang muncul karena tidak adanya cahaya ma’rifat menjadi sirna.

 

Orang yang memiliki ma’rifat adalah orang yang memiliki cahaya pengungkapan, hati dan pengetahuannya tentang hakikatjauh lebih luas serta lebih bebas daripada orang yang memiliki ilmu. Perbandingan di antara keduanya seperti orang berilmu dengan orang bodoh. Sebagaimana orang berilmu yang lebih luas pengetahuannya tentang hakikat dan mempunyai kebebasan karena ilmunya, maka orang yang memiliki ma’rifat lebih luas pengetahuannya tentang hakikat daripada orang yang berilmu. Orang berilmu terikat dengan fenomena-fenomena ilmu dan hukum-hukumnya, sedangkan orang yang memiliki ma’rifat tidak melihat fenomena dan hukum ilmu sebagai pengikat.Berangkat dari sinilah orang-orang zindig melakukan penyimpangan.

 

Mereka mengira bahwa jika mereka melihat hakikat sesuatu dan rahasia-rahasianya, maka mereka melepaskan ikatan zhahir dan rupanya, sibuk dengan tujuan dan melupakan sarana, sibuk dengan hakikat dan melalaikan rupa.

 

Mereka ini adalah orang-orang yang tidak akan sampai kepada Allah dalam perjalanannya, karena mereka dirampok di tengah perjalanan.

 

Memang telah ada kesepakatan bahwa orang-orang yang memiliki ma’rifat harus berbicara tentang hakikat dan mereka memerintahkan untuk beralih dari rupa dan hal-hal yang tampak ke hakikat serta tidak boleh berhenti. Lalu orang-orang zindiq beranggapan bahwa merekajuga sudah lepas dari rupa dan halhal yang zhahir itu. Tidak dapat diragukan bahwa siapa yang membual seperti ini, maka dia termasuk golongan mereka. Allah akan menghimpun yang buruk dengan yang buruk lainnya, lalu melemparkan mereka semua ke dalam neraka Jahannam, dan merekalah orang-orang yang merugi.

 

Sementara orang yang ada dalam derajat ini mengisyaratkan kepada makna yang benarseperti yang diisyaratkan para pemimpin mereka yang lurus.

 

Penggunaan dalil dengan sabda Rasulullah, “Aku memohon kepadaMu kerinduan untuk bersua dengan-Mu, tanpa ada kesempitan yang menimbulkan mudharat, tidak pula cobaan yang menyesatkan”, tidak tepat dalam hal ini. Sebab tidak ada keselarasan antara kerinduan bersua dengan Allah, yang mendorong untuk melakukan persiapan, dengan hantaman gelombang kefanaan yang menguasai akal mereka.

 

  1. Kejinakan ketiadaan dalam mempersaksikan hakikat, yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata dan tidak bisa disebut batasannya. Kejinakan pada derajat ini sulit diungkapkan lewat kata-kata, tidak bisa dibatasi pandangan mata, ciri dan hakikat. Kekuasaan hakikat di atas isyarat, ungkapan dan makna bahasa.

 

Dzikir

 

Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan) merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang kembali.

 

Dzikir merupakan santapan hati, yangjika tidak mendapatkannya, maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri mereka dengan alam gaib. Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, sehingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir merupakan taman surga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan untuk berniaga. Dzikir mengajak hati yang dirundung kepiluan untuk tersenyum gembira dan menghantarkan pelakunya kepada Dzat yang didzikiri, dan bahkan membuat pelakunya menjadi orang yang seakan tidak layak untuk diingat.

 

Dalam setiap anggota tubuh ada ubudiyah yang dilakukan secara temporal. Sedangkan dzikir merupakan ubudiyah hati dan lisan yang tidak mengenal batasan waktu. Mereka diperintahkan untuk mengingat sesembahan dan kekasihnya dalam keadaan seperti apa pun, saat berdiri, duduk, terlentang. Seakan-akan surga itu merupakan kebun dan dzikir adalah tanamannya. Begitu pula hati yang bisa diibaratkan bangunan yang kosong, maka dzikirlah yang membuat bangunan itu semarak.

 

Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya jika hati itu sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikirnya, maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat. Jika ada keselarasan antara hati dan lisan, maka pelakunya akan lalai terhadap segala sesuatu. Sebagai gantinya, Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Dengan dzikir, pendengaran menjadi terbuka, lisan tidak kelu dan kegelapan menyingkir dari pandangan. Dengan dzikir ini Allah menghiasi lisan orangorang yang berdzikir, sebagaimana Dia menghiasi pandangan orang-orang yang bisa memandang dengan cahaya. Lisan yang lalai seperti mata yang buta, telinga yang tuli dan tangan yang buntung. Dzikir merupakan pintu Allah yang paling lebar dan besar, terbuka di antara Allah dan hamba-Nya, selagi pintu itu tidak ditutup sendiri oleh hamba dengan kelalaiannya.

 

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Carilah kemanisan dalam tiga perkara: Dalam shalat, dalam dzikir dan membaca Al-Qur’an. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka ketahuilah bahwa pintunya dalam keadaan tertutup.”

 

Dengan dzikir, hamba bisa mengalahkan setan, sebagaimana setan yang dapat mengalahkan orang-orang yang lalai dan lupa diri. Di antara orang salaf ada yang berkata, “Jika dzikir ada di dalam hati, lalu setan mendekatinya, maka dia langsung kalah, sebagaimana manusia yang dikalahkan setan jika setan mendekatinya. Dalam keadaan kalah ini setan-setan berkerumun di sekelilingnya. Di antara mereka bertanya, ‘Ada apa dengan orang ini? Yang lain menjawab, “Dia sedang gila’.”

 

Dzikir merupakan ruh amal-amal yang shalih. Jika amal terlepas dari dzikir, maka amal itu seperti badan yang tidak memiliki ruh.

 

Di dalam Al-Qur’an disebutkan sepuluh versi dalam hubungannya dengan dzikir, yaitu:

 

  1. Perintah dzikir secara terbatas dan tidak terbatas.

 

  1. Larangan kebalikannya, yaitu lupa dan lalai.

 

  1. Keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya.

 

  1. Pujian terhadap para pelakunya dan pengabaran tentang surga dan ampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka.

 

  1. Pengabaran tentang kerugian yang mengabaikan dzikir dan sibuk dengan selainnya.

 

  1. Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan bagi mereka.

 

  1. Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu.

 

  1. Allah menjadikan dzikir sebagai penutup amal-amal yang shalih dan sekaligus sebagai kuncinya.

 

  1. Pengabaran tentang para pelakunya, bahwa mereka adalah orang-orang yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah dan merekalah orangorang yang berakal.

 

  1. Allah menjadikan dzikir sebagai pendamping segala amal yang shalih dan ruhnya. Jika amal tidak disertai dzikir, maka ia seperti jasad tanpa ruh. Perintah dzikir seperti yang disebutkan dalam firman Allah, ,

 

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian dan malaikat-Nya (memohon ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan, adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 41-43).

 

“Dan, sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut.” (Al-A’raf: 205).

 

Di sini ada dua pendapat: Pertama, berdzikir di dalam hatimu dan sembunyisembunyi. Kedua, dengan lisan, sehingga engkau pun bisa mendengarnya.

 

Larangan kebalikan dzikir, yaitu lalai, seperti firman Allah,

 

“Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 205).

 

“Dan, janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19).

 

Tentang keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya, seperti firman Allah,

 

“Dan, sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45).

 

Pujian terhadap para pelakunya dan kebaikan pahala mereka, seperti firman Allah,

 

“… dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah

menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35).

 

Kerugian orang yang mengabaikan dan melalaikan dzikir, seperti firman Allah,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak

kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafigun: 9).

 

Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan bagi mereka, seperti firman-Nya,

 

“Karena itu ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-baqarah: 152).

 

Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu, seperti firmanNya,

 

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar.” (Al-Ankabut: 45).

 

Ada tiga pendapat tentang makna lebih besar di sini, yaitu:

 

– Mengingat Allah lebih besar dari segala sesuatu dan merupakan ketaatan yang paling utama. Sebab maksud dari seluruh ketaatan adalah menegakkan dzikir kepada Allah, sehingga dzikir ini merupakan rahasia dan ruh ketaatan.

 

-. Maknanya, jika kalian mengingat Allah, maka Dia mengingat kalian. Sementara pengingatan Allah terhadap kalian lebih besar daripada pengingatan kalian kepada-Nya.

 

– Mengingat Allah itu lebih besar daripada membiarkan kekejian dan kemungkaran. Bahkan jika dzikir ini lebih sempurna, maka dzikir itu bisa menghapus segala kesalahan dan kedurhakaan. Begitulah yang disebutkan para mufasir.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Makna ayat ini, bahwa di dalam shalat terkandung dua faidah yang amat besar, yaitu: Fungsi shalat itu yang bisa mencegah kekejian dan kemungkaran, kandungan shalat itu terhadap dzikir kepada Allah. Kandungan dzikir ini lebih besar daripada fungsi pencegahannya terhadap kekejian dan kemungkaran.”

 

Penutup amal-amal yang shalih ialah dengan dzikir, seperti dzikir sebagai penutup puasa. Firman-Nya,

 

“Dan, hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).

 

Dzikir sebagai penutup haji, seperti firman-Nya,

 

“ Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (Al-Baqarah: 200).

 

Dzikir sebagai penutup shalat, seperti firman-Nya,

 

“Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’: 103).

 

Dzikir sebagai penutup shalat Jum’at, seperti firman-Nya,

 

“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10).

 

Tentang pengkhususan orang-orang yang berdzikir, yang bisa mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat Allah, sehingga mereka disebut pula orang. orang yang berakal, seperti firman-Nya,

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imran: 190-191).

 

Tentang dzikir yang berfungsi sebagai pendamping segala amal dan sekaligus merupakan ruhnya, seperti firman Allah yang menyertakan dzikir dengan shalat,

 

“Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).

 

Allah menyertakan dzikir dengan puasa, haji dan amal-amal lainnya, dan bahkan menjadikan dzikir ini sebagai ruh haji dan intinya, sebagaimana sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya thawaf di sekeliling Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah. dan melempar jumrah itu dijadikan hanya untuk menegakkan dzikir kepada Allah.”

 

Allah juga menyertakannya dengan jihad, memerintahkan dzikir saat berhadapan dengan pasukan musuh, seperti firman-Nya,

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguhhatilah kalian dan sebutlah namaAllah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45).

 

Orang-orang yang berdzikir adalah orang-orang yang lebih dahulu berjalan, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim di dalam Shahih-nya, dari hadits Al-Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah pernah melewati suatu jalan di Makkah, lalu beliau melewati sebuah bukit yang disebut Jumdan. Beliau bersabda, “Teruskanlah perjalanan kalian. Ini adalah Jumdan, dan para mufarridun telah dahulu berjalan.”

 

Para shahabat bertanya, “Siapakah para mufarridun itu wahai Rasulullah?”

 

Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, laki-laki dan wanita.”

 

Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu’, dari hadits Abud-Darda’,

 

“Ketahuilah, akan kuberitahukan kepada kalian tentang amal-amal kalian yang paling baik, paling suci di sisi Raja kalian, paling tinggi dalam derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada penganugerahan emas dan perak, lebih baik jika kalian berhadapan dengan musuh, lalu kalian memenggal leher mereka atau mereka yang memenggal leher kalian”. Mereka bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?”

 

Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah.”

 

Beliau juga bersabda, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri,

 

“Tidaklah segolongan orang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka, menyelubungi mereka dengan rahmat, menurunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah menyebut mereka di antara orang-orang yang ada di sisi-Nya.”

 

Bukti kemuliaan dzikir ini, Allah membangga-banggakan para pelakunya di hadapan para malaikat, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Mu’awiyah, bahwa Rasulullah menemui sekerumunan para shahabat, seraya bertanya, “Apa yang membuat kalian berkumpul?”

 

Mereka menjawab, “Kami berkumpul untuk menyebut nama Allah, memujiNya karena telah menunjuki kami kepada Islam dan menganugerahkan Islam itu kepada kami.”

 

Beliau bersabda, “Demi Allah, apakah hanya karena itu yang mendorong kalian untuk berkumpul?”

 

Mereka menjawab, “Demi Allah, hanya inilah yang mendorong kami untuk berkumpul.”

 

Beliau bersabda, “Sebenarnya aku tidak meminta kalian untuk bersumpah karena curiga terhadap kalian. Hanya sajaJibril telah mendatangiku dan mengabarkan kepadaku, bahwa Allah membangga-banggakan kalian kepada para malaikat.”

 

Seorang Arab dusun bertanya kepada Rasulullah “Apakah amal yang paling utama?”

 

Maka beliau menjawab,

 

“Engkau meninggalkan dunia, sedang lisanmu dalam keadaan basah karena sering menyebut nama Allah.”

 

Ada pula seseorang yang pernah berkata kepada beliau, “Sesungguhnya Ssyariat-syariat Islam terlalu banyak bagiku. Maka perintahkanlah kepadaku suatu perkara yang dapat kujadikan gantungan.” Maka beliau bersabda, “Buatlah lisanmu senantiasa basah karena menyebut nama Allah.”

 

Di dalam Al-Musnad disebutkan dari haditsJabir, dia berkata, “Rasulullah menemui kami seraya bersabda, “Wahai manusia, merumputlah kalian di kebunkebun surga.”

 

Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kebun-kebun surga itu?”

 

Beliau menjawab, “Majlis-majlis dzikir.”

 

Beliau juga pernah bersabda,

 

“Pergilah kalian pada waktu pagi dan petang hari serta berdzikirlah. Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia melihat bagaimana kedudukan Allah di sisinya. Karena Allah menempatkan hamba di sisi-Nya sebagaimana dia menempatkan-Nya di sisinya.”

 

Rasulullah meriwayatkan dari Ibrahim pada malam Isra’, bahwa Ibrahim berkata kepada Rasulullah,

 

“Sampaikanlah salam dariku kepada umatmu dan kabarkanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar air nya, bahwa surga itu merupakan kebun-kebun dan adapun tanamannya adalah kalimat Subhanallah walhamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Ahmad dan lainlainya).

 

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Perumpamaan orang yang menyebut nama Rabbnya dan orang yang tidak menyebut nama-Nya seperti orang hidup dan orang mati.” Lafazh Muslim disebutkan,

 

“Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebutkan nama Allah seperti orang hidup dan orang mati.” Beliau menganggap rumah orang yang berdzikir seperti rumah yang hidup dan semarak, sedangkan rumah orang yang lalai dan tidak berdzikir sama dengan rumah orang mati atau kuburan. Dalam lafazh pertama, orang yang berdzikir disamakan dengan orang yang hidup, dan orang yang lalai tidak mau berdzikir disamakan dengan orang yang mati. Dua lafazh ini mencakup pengertian bahwa hati yang berdzikir seperti orang hidup yang berada di rumah orang-orang yang juga hidup, sedangkan orang yang lalai tidak mau berdzikir seperti orang mati yang berada di dalam kuburan. Tidak dapat diragukan bahwa tubuh orang-orang yang lalai merupakan kuburan bagi hati mereka, dan hati mereka yang ada di dalam badannya seperti orang mati di dalam kuburan, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,

 

“Lalai menyebut nama Allah merupakan kematian hati jasad mereka adalah kuburan sebelum masuk ke liang kubur ruh berada di dalam tubuh mereka dalam keadaan liar saat kembali pun mereka tidak mempunyai tempat kembali.”

 

Dalam atsar Ilahi disebutkan,

 

“Allah berfirman, Jika yang menang atas hamba-Ku adalah menyebut nama-Ku, tentu dia mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya.”

 

Dalam atsar Ilahi yang lain disebutkan,

 

“Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-Ku. Aku mengingatmu namun kamu melupakan Aku, Aku menyerumu namun kamu lari kepada selain Aku, Aku menyingkirkan bencana darimu, namun kamu senantiasa berada pada kesalahankesalahan. Wahai anak Adam, apa yang akan kamu katakan besok jika kamu datang kepada-Ku?”

 

Dalam atsar Ilahi yang lain disebutkan,

 

“Wahai anak Adam, ingatlah Aku ketika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu ketika Aku murka. Ridhalah terhadap pertolongan-Ku kepadamu, karena pertolongan-Ku kepadamu lebih baik daripada pertolonganmu untuk dirimu sendiri.”

 

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan atsar Ilahi yang diriwayatkan Nabi dari Rabb,

 

“Siapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku, dan siapa yang mengingat-Ku di keramaian orang, maka Aku mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripada mereka.”

 

Saya telah menyebutkan sekitar seratus faidah dzikir dalam kitab Al-Wabilush-Shayyib,” beserta rahasia-rahasia, keagungan manfaat dan buahnya yang bagus. Di sana juga saya sebutkan tiga macam dzikir, yaitu:

 

– Dzikir asma, sifat dan makna-maknanya, pujian terhadap Allah dengan asma dan sifat-sifat itu serta pengesaan Allah.

 

– Dzikir perintah dan larangan, halal dan haram.

 

– Dzikir karunia, nikmat, kemurahan dan kebaikan.

 

Ada tiga macam dzikir lainnya yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, yaitu:

 

– Dzikir dengan menyelaraskan antara lisan dan hati. Ini merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi.

– Dzikir dengan hati semata.

– Dzikir dengan lisan semata.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Dzikir artinya membebaskan diri dari lalai dan lupa.”

 

Perbedaan antara lalai dan lupa, bahwa lalai merupakan pilihan pelakunya. Sedangkan lupa bukan karena pilihannya. Karena itu Allah berfirman, “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Tidak dikatakan, “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lupa”, karena lalai tidak termasuk dalam pembebanan kewajiban, sehingga tidak dilarang.

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat dzikir, yaitu:

 

  1. Dzikir secara zhahir, berupa pujian, doa atau pengawasan.

 

Yang dimaksudkan zhahir adalah apa yang disampaikan lisan dan sesuai dengan suara hati. Jadi tidak sekadar dzikir sebatas lisan semata, karena banyak orang yang tidak beranggapan seperti ini. Sedangkan pujian seperti ucapan Subhanallah wal-hamdu lillah, la ilaha illallah wallahu akbar. Sedangkan doa seperti yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan hal ini sangat banyak jenisnya. Sedangkan pengawasan, seperti ucapan, “Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikan aku”, dan lain sebagainya yang dapat menguatkan kebersamaannya dengan Allah, yang intinya mengandung pengawasan terhadap kemaslahatan hati, menjaga adab bersama Allah, mewaspadai kelalaian dan berlindung dari setan serta hawa nafsu.

 

Dzikir-dzikir Nabawi menghimpun tiga perkara, yaitu: Pujian terhadap Allah, penyampaian doa dan permohonan, pengakuan terhadap Allah. Maka disebutkan di dalam hadits, “Doa yang paling baik adalah ucapan alhamdulillah.”

 

Ada seseorang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, “Apa pasalnya alhamdulillah dijadikan doa?” Maka dia menjawab, “Apakah engkau tidak mendengar perkataan Umayyah bin Ash-Shallat kepada Abdullah bin Jud’an yang mengharapkan pemberiannya, “Layakkah aku menyebutkan kebutuhanku, padahal orang yang memberiku telah mencukupi aku? Perilakumu itu pun sudah disebut pemberian.”

 

Dzikir-dzikir Nabawi juga mencakup kesempurnaan pengawasan, kemaslahatan hati, kewaspadaan dari kelalaian dan berlindung dari setan.

 

  1. Dzikir tersembunyi, yaitu membebaskan diri dari segala belenggu, berada bersama Allah dan hati yang senantiasa bermunajat kepada Rabb-nya.

 

Yang dimaksudkan tersembunyi di sini ialah dzikir hanya dengan hati. Ini merupakan buah dari dzikir yang pertama. Sedangkan maksud membebaskan diri dari segala belenggu artinya membebaskan diri dari lalai dan lupa, membebaskan diri dari tabir penghalang antara hati dan Allah. Berada bersama Allah artinya seakan-akan dapat melihat Allah. Senantiasa bermunajat artinya menjadikan hati bermunajat, terkadang dengan cara merendahkan diri, terkadang dengan cara memuji, mengagungkan dan lain sebagainya dari macam. macam munajat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dengan hati. Ini merupakan keadaan setiap orang yang jatuh cinta dan yang dicintai.

 

  1. Dzikir yang hakiki, yaitu pengingatan Allah terhadap dirimu, membebaskan diri dari kesaksian dzikirmu dan mengetahui bualan orang yang berdzikir bahwa ia berada dalam dzikir.

 

Dzikir dalam derajat ini disebut yang hakiki, karena dzikir itu dinisbatkan kepada Allah. Sedangkan dzikir yang dinisbatkan kepada hamba, maka itu bukan yang hakiki. Allah yang mengingat hamba-Nya merupakan dzikir (pengingatan) yang hakiki. Ini merupakan kesaksian dzikir Allah terhadap hamba-Nya dan Dia menyebutnya di antara orang-orang yang layak untuk diingat, lalu menjadikannya orang yang senantiasa berdzikir kepada-Nya. Jadi pada hakikatnya dia orang yang berdzikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena Allahlah yang menjadikan dirinya orang yang berdzikir kepada-Nya, lalu Allah pun mengingatnya.

 

Orang yang berada dalam dzikir lalu dia mempersaksikan terhadap dirinya bahwa dia orang yang berdzikir, merupakan bualan. Padahal dia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat. Bualan ini tidak hilang dari dirinya kecuali jika dia meniadakan kesaksian terhadap dzikirnya.

 

Fakir

 

Kefakiran merupakan persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in yang paling mulia dan paling tinggi. Bahkan ini merupakan ruh dan inti setiap persinggahan. Semua ini bisa diketahui setelah mengetahui hakikat kefakiran dan makna yang lebih khusus dari sekadar maknanya yang asli. Lafazh fakir disebutkan di dalam Al-Qur’an di tiga tempat.

 

Yang pertama adalah,

 

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (Al-Baqarah: 273).

 

Jumlah orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin sekitar empat ratus orang. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan juga sanak kerabat di Madinah. Sementara mereka tidak bisa berusaha karena harus berjihad di jalan Allah. Mereka melibatkan diri dalam pasukan perang yang dikirim Rasulullah dan mereka adalah Ahlush-Shuffah (orang-orang yang bertempat tinggal di serambi-serambi masjid). Inilah salah satu dari berbagai pendapat tentang keadaan mereka yang aktif berjihad dijalan Allah.

 

Ada pula yang berpendapat, diri mereka tertahan untuk melakukan ketaatan (ibadah) kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, kefakiran dan kepapaan menahan mereka untuk bergabung dalam jihad di jalan Allah. Ada pula yang berpendapat, bahwa ketika mereka memerangi musuh-musuh Allah dan berjihad di jalan Allah, maka mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencari sumber penghidupan. Adapun pendapat yang benar, karena kefakiran, kelemahan dan ketidakmampuannya, maka mereka tidak bisa berusaha di muka bumi. Tapi karena mereka menjaga kehormatan dirinya, maka orang-orang yang memang tidak mengetahui keadaan mereka yang sesungguhnya, mengira bahwa mereka adalah orang berkecukupan.

 

Tempat yang kedua,

 

“Sesungguhnya shadagah-shadagah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” (At-Taubah: 60).

 

Tempat yang ketiga,

 

“Hai manusia, kamulah yang fakir terhadap Allah, dan Allah Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15).

 

Ayat pada tempat pertama adalah orang-orang fakir secara khusus. Yang kedua adalah orang-orang fakir dari kaum Muslimin, secara khusus maupun umum. Yang ketiga adalah kefakiran secara umum dari semua penduduk bumi, yang wujudnya kaya atau miskin, yang Mukmin maupun kafir. Orang-orang fakir yang disifati dalam ayat pertama kebalikan dari orang-orang yang berkecukupan, orang yang tidak terhalang karena berjihad di jalan Allah dan orang yang tidak menyembunyikan kefakirannya karena menjaga kehormatan diri. Kebalikan dari mereka lebih banyak dari kebalikan orang-orang yang disebutkan dalam ayat kedua. Kebalikan dari orang-orang yang disebutkan dalam ayat kedua adalah orang-orang kaya dan berkecukupan. Yang termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang sengaja meminta-minta dan orangorang yang terhalang untuk berusaha karena sibuk berjihad. Sedangkan golongan yang ketiga tidak ada kebalikannya, karena Allah sematalah yang kaya dan selain-Nya adalah fakir yang membutuhkan-Nya.

 

Tapi yang dimaksudkan fakir di sini lebih khusus dari semua gambaran ini, yaitu perwujudan ubudiyah dan kebutuhan terhadap Allah dalam keadaan bagaimana pun. Makna ini lebih tinggi daripada sekadar sebutan fakir, bahkan ini merupakan hakikat ubudiyah dan intinya.

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya tentang kefakiran ini. Maka dia menjawab, “Hakikatnya adalah tidak membutuhkan kecuali Allah semata. Bentuknya adalah meniadakan semua sebab.”

 

Ketika Ruwaim ditanya tentang makna kefakiran ini, maka dia menjawab, “Meleburkan diri dalam hukum-hukum Allah.”

 

Abu Hafsh pernah ditanya, “Apa yang bisa dipersembahkan orang fakir terhadap Rabb-nya?” Maka dia menjawab, “Orang fakir tidak mempunyai apaapa yang bisa dipersembahkan kepada Rabb-nya.selain dari kefakirannya.”

 

Lalu kapankah orang fakir berhak menyandang sebutan fakir? Maka sebagian ulama menjawab, “Jika tidak ada sesuatu pun yang menyisa pada dirinya.” Bagaimana jelasnya? Dia menjawab, “Yaitu jika sesuatu bagi dirinya

 

dan bukan bagi Allah. Jika sesuatu bukan bagi dirinya, berarti ia bagi Allah.” Ini merupakan ungkapan yang paling pas tentang makna-makna kefakiran yang didefinisikan manusia. Dengan kata lain, orang yang fakir merasa bahwa semua adalah milik Allah, tidak ada yang menyisa bagi dirinya, bagiannya dan keinginannya. Jika dia merasa berhak atas segala sesuatu, berarti makna kefakirannya disangsikan.

 

Hakikat kefakiran ialah jika tidak ada sesuatu yang diperuntukkan bagi diri sendiri, tapi segala sesuatu bagi Allah. Jika engkau memperuntukkannya bagi dirimu sendiri, berarti itu merupakan kepemilikan dan kecukupan, yang berarti menafikan kefakiran.

 

Kefakiran yang diisyaratkan di sini bukan berarti menafikan kekayaan dan harta milik. Para rasul dan nabi Allah adalah orang-orang yang kaya dan memiliki kekuasaan, seperti Ibrahim Al-Khalil yang suka menjamu para tamu, karena memang beliau mempunyai harta yang banyak. Begitu pula Sulaiman dan Daud. Begitu pula nabi kita Muhammad. Mereka adalah orang-orang yang kaya dalam kefakiran. Mereka adalah orang-orang fakir dalam kekayaannya.

 

Orang fakir yang hakiki ialah yang senantiasa mempunyai kebutuhan terhadap Allah dalam keadaan bagaimana pun, jika seorang hamba dalam setiap atom zhahir dan batinnya mempersaksikan kebutuhan secara mutlak kepada Allah. Kefakiran merupakan keadaan yang berkaitan dengan dzat hamba, yang kesaksian dan wujud keadaannya bisa diperbarui.

 

Kefakiran mempunyai berbagai macam pengaruh, tanda, keharusan dan sebab-sebab, yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Sebagian orang berkata, “Orang fakir ialah yang hasratnya tidak mendahului langkahnya.”

 

Ada yang berpendapat, rukun kefakiran itu ada empat macam: Ilmu yang membisikinya, wara” yang mengekangnya, keyakinan yang membebaninya dan dzikir yang menyertainya.

 

Menurut Asy-Syibli, hakikat kefakiran ialah tidak membutuhkan sesuatu pun selain Allah.

 

Sahl bin Abdullah pernah ditanya, “Kapankah orang fakir merasa tenang?” Maka dia menjawab, “Jika dia tidak melihat bagi dirinya selain waktu yang dijalaninya.”

 

Abu Hafsh berkata, “Tawasul kepada Allah yang paling baik bagi hamba ialah senantiasa membutuhkan-Nya dalam keadaan bagaimana pun juga, mengikuti As-Sunnah dalam segala tindakan dan mencari makanan dari cara yang halal.”

 

Kefakiran mempunyai permulaan dan juga kesudahan, zhahir dan juga batin. Permulaannya ialah kehinaan dan kesudahannya ialah kemuliaan. Zhahirnya adalah ketiadaan dan batinnya adalah kecukupan.

 

Maka ada yang berkata, “Tidak ada istilah kefakiran dan kehinaan, tapi kefakiran dan kemuliaan. Tidak ada istilah kefakiran dan kecukupan, tapi kefakiran dan singgasana.”

 

Jika engkau sudah mengetahui makna kefakiran, berarti engkau sudah mengetahui bahwa kekayaan itu hanya milik Allah. Jadi tidak perlu bertanya,

 

“Mana yang lebih sempurna, membutuhkan Allah ataukah meminta kecukupan dari-Nya?” Ini merupakan pertanyaan yang tidak tepat, karena meminta kecukupan kepada-Nya merupakan kebutuhan kepada-Nya. Jadi tidak bisa dipertanyakan, mana di antara keduanya yang paling baik dan sempurna. Sebab keduanya saling berkaitan, yang satu tidak menjadi sempurna kecuali dengan satunya lagi.

 

Lalu bagaimana dengan keutamaan di antara dua orang, yaitu orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur?

 

Menurut para peneliti dan ulama, keutamaan di antara keduanya tidak kembali kepada wujud kefakiran dan kekayaan, tetapi kembali kepada amal, keadaan dan hakikat-hakikatnya. Jadi tidak perlu mempertanyakan, mana yang lebih utama di antara keduanya? Keutamaan di sisi Allah ialah karena takwa dan hakikat-hakikat iman, bukan karena diukur dengan kefakiran dan

 

kekayaan, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kalian”. Tidak dikatakan,

 

“Yang paling fakir atau yang paling kaya.” Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, fakir dan kaya merupakan ujian dari Allah bagi hamba, sebagaimana firman-Nya,

 

“Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakan aku’. Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Rabbku menghinakan aku’. Sekali-kali tidak (demikian).” (Al-Fajr: 15-17).

 

Dengan kata lain, bukan berarti orang yang Kulapangkan rezekinya dan Kuberikan anugerah dari-Ku, adalah orang yang Kumuliakan, bukan berarti orang yang Kusempitkan rezekinya dan Kutahan darinya adalah orang yang Kuhinakan. Yang disebut kemuliaan ialah jika Allah memuliakan hamba, sehingga dia taat, beriman dan mencintai-Nya. Sedangkan kehinaan ialah jika semua itu dicabut darinya. Ibnu Taimiyah berkata, “Keutamaan bukan karena kekayaan dan kefakiran, tetapi karena takwa. Jika ada dua orang yang sama dalam takwanya, berarti keduanya sama dalam derajatnya.”

 

Orang-orang mempersalahkan hal ini di hadapan Yahya bin Mu’adz. Maka dia berkata, “Besok pada Hari Kiamat tidak ada timbangan karena kefakiran dan kekayaan, tetapi karena sabar dan syukur.”

 

Menurut pendapat yang lain, mempersalahkan hal ini adalah sesuatu yang mustahil. Sebab orang kaya maupun orang fakir harus sabar dan juga harus syukur. Iman ada dua paroh: separoh adalah sabar dan separoh lagi adalah syukur. Bahkan boleh jadi kesabaran orang yang kaya lebih banyak daripada orang fakir. Sebab dia sabar dalam keadaan mempunyai kesanggupan, sehingga kesabarannya lebih sempurna daripada kesabaran orang yang lemah. Boleh jadi syukurnya orang yang fakir lebih sempurna daripada syukurnya orang kaya. Sebab syukur adalah menciptakan kelapangan dalam ketaatan kepada Allah. Jadi daftar iman masing-masing di antara keduanya hanya berdasarkan indikator sabar dan syukur.

 

Memang banyak orang yang mengisahkan satu permasalahan tentang syukur, dan satu permasalahan lain tentang sabar, lalu mereka lebih menegaskan salah satu di antara keduanya. Mereka menyebutkan orang kaya yang suka menshadagahkan dan menginfakkan hartanya dalam berbagai jenis ketaatan dan tagarrub, sebagai wujud syukur kepada Allah.

 

Mereka menyebutkan orang fakir yang banyak melaksanakan ketaatan dan mengerjakan ibadah, sebagai wujud kesabaran atas kefakirannya. Apakah dengan begitu orang yang fakir lebih utama daripada yang kaya, ataukah yang kaya lebih utama daripada orang yang fakir tersebut?

 

Yang benar dalam masalah ini, yang lebih utama di antara keduanya adalah yang lebih taat. Jika ketaatannya sama, berarti derajatnya juga sama. Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Kefakiran merupakan istilah pembebasan diri dari kekuasaan.” Syaikh cukup obyektif dengan menggunakan istilah pembebasan diri dari kekuasaan, dan tidak menggunakan istilah peniadaan kekuasaan, karena memang peniadaan kekuasaan merupakan ciri selain Allah. Allahlah penguasa yang hakiki. Pembahasan tentang masalah kefakiran yang pelakunya dipuji, adalah kefakiran karena pilihan sendiri. Ini lebih khusus daripada kefakiran secara umum. Menurutnya, ada tiga derajat kefakiran, yaitu:

 

  1. Kefakiran orang-orang zuhud, yaitu melepaskan tangan dari dunia, entah berupa menahan hasrat maupun pencarian, menjadikan lisan tidak membicarakan dunia, entah berupa pujian maupun celaan, menyelamatkan diri dari dunia, entah dalam hal mencari maupun meninggalkan. Inilah kefakiran yang kemuliaannya dibicarakan.

 

Dunia yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal selain Allah, berupa harta, kedudukan, rupa, martabat dan lain sebagainya. Para teolog saling berbeda pendapat tentang masalah dunia ini, yang terbagi menjadi dua pendapat seperti yang dikisahkan Abul-Hasan Al-Asy’ari dalam makalahnya, yaitu:

 

– Sebutan tentang jangka waktu keberadaan di dunia.

 

– Sebutan tentang wujud antara langit dan bumi. Apa yang ada di atas langit tidak disebut dunia, begitu pula apa yang ada di bawah bumi.

 

Yang pertama merupakan pengertian dunia dari sisi waktu, sedangkan yang kedua dari sisi tempat.

 

Karena masalah dunia ini berkaitan dengan anggota tubuh, hati dan lisan, maka hakikat kefakiran ialah tidak menggantungkan tiga unsur ini kepada dunia. Karena itu dikatakan oleh Syaikh, “Melepaskan tangan dari dunia, entah berupa menahan hasrat maupun pencarian”. Artinya, seorang hamba harus melepaskan tangan dari dunia jika dia mendapatkannya, dan jika tidak mendapatkannya, maka dia harus menahan tangannya untuk tidak mencarinya, tidak mencari apa yang tidak didapatkannya dan tidak bakhil jika sudah mendapatkannya.

 

Lisan tidak membicarakan dunia, artinya tidak memuji dan juga tidak mencelanya. Karena kesibukannya dengan cara memuji atau mencela dunia, merupakan bukti kesenangannya terhadap dunia. Sesungguhnya orang yang mencintai sesuatu, tentu selalu mengingatnya. Dia mencela dunia karena dia tidak mendapatkannya. Orang yang mencela dunia, sebenarnya dia mencintainya, hanya saja dia tidak bisa mendapatkannya.

 

Meninggalkan dunia bisa menimbulkan bencana dan mencarinya juga bisa menimbulkan bencana. Sementara kefakiran merupakan keselamatan hati dari bencana karena mencari dunia dan meninggalkannya, sehingga tidak ada penghalang zhahir dan batin antara dirinya dan Rabb-nya.

 

Boleh jadi engkau bertanya-tanya, “Aku sudah tahu bencana mencari dan mengambil dunia. Lalu di mana letak bencana meninggalkan dunia dan kebencian terhadap dunia?”

 

Dapat saya jawab sebagai berikut, bahwa jika seorang hamba meninggalkan dunia, padahal dia adalah manusia dan bukan malaikat, maka hatinya justru bisa bergantung kepada sesuatu yang bisa menegakkan tulang punggungnya, makanan dan penghidupannya serta apa pun yang dia butuhkan, sehingga dia terus-menerus dalam perjuangan yang keras melawan hasrat dirinya, karena dia meninggalkan bagian dirinya dari dunia. Yang seperti ini jarang dipahami orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah. Bahkan tidak jarang ada orang arif yang tidak mau menerima sesuap makanan untuk dirinya. Yang benar, berikan hak kepada dirimu sendiri dan carilah dari dunia sesuai dengan haknya. Ini merupakan jalan hidup Rasulullah dan orang-orang yang lurus dalam menempuh perjalanan. Beliau bersabda,

 

“Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atas kamu, Rabbmu mempunyai hak atas kamu, istrimu mempunyai hak atas kamu, tamumu mempunyai hak atas kamu. Maka berikanlah hak kepada siapa pun yang lebih berhak.”

 

Dampak lain dari meninggalkan dunia, dia bisa melirik apa yang dimiliki orang lain, jika pada saat tertentu dia membutuhkan apa yang dia tinggalkan. Maka membiarkan dunia ada di tangannya, lebih baik daripada meninggalkannya dan berdampak seperti ini.

 

Kefakiran yang benar ialah selamat dari bencana mengambil dan meninggalkan dunia. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan memahami hakikat kefakiran.

 

  1. Kembali ke ketetapan awal dengan melihat karunia. Yang demikian ini bisa membebaskan pandangan terhadap amal, memotong kesaksian terhadap keadaan dan membersihkan dari noda-noda perhatian terhadap kedudukan.

 

Kembali ke ketetapan awal artinya melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah sejak semula, dengan melihat karunia dan kemurahan-Nya. Kebaikan yang diterima hamba semata karena kemurahan dan karunia Allah. Pada dasarnya hamba tidak mempunyai apa-apa. Dirinya, amalnya, imannya, dan semua yang ada padanya berasal dari karunia Allah. Jika dia mempersaksikan hal ini dan menghadirkannya ke dalam hatinya, maka dia tidak akan memandang amal. Kalaupun dia memandangnya, maka itu karena dari Allah dan berkat pertolongan Allah, bukan berasal dari dirinya dan karena dirinya. Telah ada kesepakatan bahwa memandang amal ini bisa menjadi tabir antara hamba dan Allah. Untuk membebaskannya ialah dengan cara memandang karunia Allah.

 

Membersihkan dari noda-noda perhatian terhadap kedudukan, termasuk jenis membebaskan pandangan terhadap amal dan memotong kesaksian terhadap keadaan, yang semuanya dianggap noda. Melihat karunia bisa membersihkan dari noda-noda ini.

 

  1. Mempersaksikan kesempurnaan kebutuhan yang mendesak, patuh kepada hukum alam dan menghalangi diri untuk melihat hal-hal yang lain. Ini merupakan kefakiran tasawwuf.

 

Pernyataan Syaikh bahwa ini merupakan kefakiran tasawwuf, dapat dipahami bahwa tasawwuf lebih tinggi derajatnya dari kefakiran, karena derajat ketiga ini merupakan derajat yang paling tinggi, yang merupakan sebagian dari kedudukan tasawwuf.

 

Namun ada yang menyanggah pendapat ini, bahwa tasawwuf tidak seperti kedudukan ini, karena tasawwuf hanya sekadar merupakan sarana untuk menuju kepada kefakiran. Tasawwuf merupakan akhlak, sedangkan kefakiran ini merupakan hakikat. Memang ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Namun dapat saya putuskan, bahwa tidak ada keutamaan pada salah satu di antara keduanya. Sebab yang satu tidak menjadi sempurna kecuali dengan yang lain.

 

Kaya

 

Kaya atau kecukupan yang merupakan salah satu persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ada dua macam: Kecukupan karena dari Allah dan tidak membutuhkan selain Allah. Kedua-duanya merupakan hakikat kefakiran. Tapi orang-orang yang meniti jalan kepada Allah mengkhususkan pembahasan tentang kecukupan ini sebagai satu ternpat persinggahan tersendiri. Dalam kaitannya dengan hal ini Allah telah berfirman,

 

“Dan, Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Adh-Dhuha: 8).

 

Ada tiga pendapat tentang ayat ini:

 

– Allah memberikan kecukupan harta kepada beliau, setelah beliau dalam keadaan fakir. Ini merupakan pendapat mayoritas para mufasir, karena kecukupan merupakan kebalikan dari kekurangan. Orang yang kekurangan artinya yang membutuhkan.

 

– Allah menjadikan beliau tidak bergantung terhadap pemberian-Nya dan membuat beliau tidak membutuhkan selain-Nya, sehingga beliau menjadi orang yang kaya hati dan jiwa, bukan kaya harta. Ini merupakan hakikat kecukupan.

 

– Pendapat yang benar ialah mencakup dua jenis kecukupan dan kekayaan. Allah menjadikan beliau kaya hati dan juga kaya harta.

 

Kaya merupakan sebutan yang diberikan kepada pemilik secara sempurna. Dengan kata lain, siapa yang memiliki di satu sisi tapi tidak memiliki di sisi lain, berarti dia bukan orang yang kaya. Maka sebutan kaya hanya layak diberikan kepada Allah semata, sedangkan selain-Nya adalah fakir.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ada tiga derajat kaya, yaitu:

 

  1. Kaya hati, yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum dan pembebasan dari permusuhan.

 

Hakikat kaya hati ialah hanya bergantung kepada Allah semata, dan hakikat kefakiran yang tercela ialah bergantung kepada selain Allah. Jika seorang hamba bergantung kepada Allah, maka dia memperoleh tiga hasil, yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum dan terbebas dari permusuhan.

 

Selamat dari sebab artinya tidak bergantung kepada sebab. Kaya menurut pengertian orang-orang yang lalai, tergantung kepada sebab. Karena itu hati mereka selalu bergantung kepada sebab. Sedangkan menurut orang-orang yang memiliki ma’rifat, kaya itu tergantung dari pembuat sebab. Kaya menurut orangorang yang lalai juga digantungkan kepada ketrampilan dan kekuatan. Sebab, ketrampilan dan kekuatan ini merupakan sisi-sisi kekayaan menurut manusia. Karena itu Nabi 4g melarang pemberian shadagah kepada orang yang kaya, orang yang kuat dan mempunyai mata pencaharian. Ini merupakan kekayaan karena sesuatu dan orangnya menjadi kaya karenanya jika hatinya cenderung kepadanya. Seseorang yang cenderung kepada Allah, berarti dia kaya karena Allah. Siapa yang jiwanya cenderung kepada sesuatu, berarti ia membutuhkannya dan fakir kepadanya.

 

Pasrah kepada hukum ada dua macam: Pertama, pasrah kepada hukum agama yang bersifat perintah, yaitu menyesuaikan diri dengannya dan tidak menentangnya. Kedua, pasrah kepada hukum alam yang berdasarkan kepada takdir, yang terjadi bukan karena pilihannya dan dia tidak kuasa untuk menolaknya. Dalam masalah hukum ini ada catatan yang perlu ditegaskan, yaitu memurnikan penisbatan kepada pembuat hukum dan tidak menisbatkannya kepada yang lain. Hal ini mencakup tauhid Rububiyah dalam kepasrahan kepada hukum alam, dan tauhid Uluhiyah dalam kepasrahan kepada hukum agama. Dua macam tauhid ini merupakan hakikat iyyaka na’budu wa tyyaka nasta’in.

 

Ada yang terpuji tentang pembebasan dari permusuhan, yaitu pembebasan dari permusuhan terhadap nafsu dengan nafsu. Jika seorang hamba bermusuhan karena Allah dan membela Allah, maka ini merupakan wujud kesempurnaan ubudiyah.

 

  1. Kayajiwa, yaitu istiqamah terhadap Allah, keselamatan dari bergantung kepada selain-Nya dan dari sifat riya’.

 

Menurut Syaikh, kaya jiwa lebih tinggi daripada kaya hati. Sebagaimana yang sudah diketahui, perkara-perkara hati lebih sempurna dan lebih kuat daripada perkara-perkara jiwa. Tapi di sini ada sentuhan lembut, bahwa jiwa itu termasuk pasukan hati dan yang paling keras penentangannya. Dari jiwa inilah sesuatu bisa masuk. Dari jiwa ini pula kecukupan bisa masuk ke dalam hati dan dari jiwa pula kefakiran bisa masuk ke dalam hati. Jika hal ini sudah diketahui, maka kekayaan jiwa karena tiga perkara, yaitu:

 

– Istiqamah terhadap Allah.

 

– Keselamatan jiwa dari bagian atau dari hal-hal selain Allah serta tidak bergantung kepadanya, zhahir maupun batin.

 

– Keselamatan dari riya’, yaitu kehendak yang ditujukan kepada selain Allah, baik dari perkataan maupun perbuatan.

 

  1. Kaya karena pertolongan dari Allah. Dalam hal ini ada tiga tingkatan:

 

Pengingatan Allah terhadap dirimu, senantiasa memperhatikan ketetapan yang dibuat Allah sejak semula, dan keberuntungan mendapatkan-Nya.

 

Tingkatan pertama sudah dijelaskan pada pembahasan sebelum ini. Tingkatan kedua, bahwa Allahlah yang awal dan tidak ada sesuatu pun sebelumNya, dan Dialah yang membuat ketetapan sejak awal bagi segala sesuatu. Tingkatan ketiga merupakan kesudahan perjalanan.

 

Dalam atsar Ilahi disebutkan,

 

“Wahai anak Adam, carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu Sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika Aku membuatmu tidak mendapatkan (Aku), maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu. Aku adalah yang paling kamu cintai daripada segala sesuatu.”

 

Siapa yang tidak mengetahui makna keberadaannya karena Allah dan keberuntungan mendapatkan Allah, maka lebih baik baginya untuk menaburkan debu ke kepalanya dan menangisi dirinya.

 

Ihsan

 

Ihsan merupakan inti iman, ruh dan kesempurnaannya. Tempat persinggahan ihsan ini menghimpun semua tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang berarti semuanya tercakup di dalamnya. Semua yang telah dibicarakan dalam buku ini sejak awal hingga tempat ini termasuk bagian ihsan. Pengarang Manazilus-Sa’irin menguatkannya dengan firman Allah,

 

“Tidak ada balasan ihsan kecuali ihsan (pula).” (Ar-Rahman: 60).

 

Menurut Syaikh, ihsan menghimpun semua hakikat, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau dapat melihat-Nya.

 

Tentang makna ayat ini menurut Ibnu Abbas dan para mufasir, tidak ada balasan bagi orang yang mengucapkan Ja ilaha illallah dan beramal sesuai dengan apa yang dibawa Muhammad, selain dari surga.

 

Telah diriwayatkan dari Nabi gg, bahwa beliau pernah membaca ayat ini, Jalu bertanya kepada para shahabat, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian?”

 

Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

 

Beliau bersabda, “Allah berfirman, “Tak ada balasan bagi orang yang Kuberikan nikmat tauhid kepadanya selain dari surga’.”

 

Ada tiga derajat ihsan, yaitu:

 

  1. Ihsan dalam tujuan, dengan mengarahkannya dari sisi ilmu, menguatkannya dari sisi hasrat, dan membersihkannya dari sisi keadaan.

 

Dengan kata lain, ihsan dalam tujuan ini dilakukan dengan tiga cara:

 

– Mengarahkannya dari sisi ilmu, yaitu menjadikannya mengikuti ilmu dan keharusan-keharusannya serta terbebas dari hal-hal keduniaan, sehingga tidak ada tujuan kecuali yang diperbolehkan ilmu. Yang dimaksudkan mengikuti ilmu di sini ialah mengikuti perintah dan ketentuan syariat.

 

– Menguatkannya dari sisi hasrat, atau menyertai tujuan dengan hasrat yang bisa memberikan dorongan, sehingga tidak ada kelemahan atau keloyoan.

 

– Membersihkannya dari sisi keadaan. Artinya, keadaan pelakunya harus bersih dari noda dan kotoran, yang menunjukkan tujuannya yang kotor. Karena keadaan menunjukkan tujuan. Jika keadaannya bersih, berarti tujuannya juga bersih.

 

  1. Ihsan dalam berbagai keadaan, yaitu menjaganya karena cemburu menutupinya dari segala sisi, dan membenahinya dalam kenyataan. Menjaga keadaan karena cemburu maksudnya menjaga keadaan itu agar tidak berubah-ubah. Karena keadaan berlalu seperti awan yang berjalan.Jika hak-haknya tidak dipenuhi, maka ia akan berubah. Menjaga keadaan ialah dengan cara memenuhi hak-haknya.

 

Menutupi keadaan dari segala sisi artinya menutupinya agar tidak diketahui manusia menurut kesanggupan, tidak memperlihatkannya kecuali ada alasan atau kebutuhan atau kemaslahatan yang jelas. Memperlihatkan keadaan kepada orang tanpa ada alasan-alasan ini, bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik, apalagi jika mereka maling, perampok dan pecemburu. Memperlihatkan keadaan kepada manusia merupakan tindakan yang bodoh, karena ini merupakan aksi setan. Orang-orang yang lurus lebih suka menutupi keadaan dirinya, terlebih lagi dalam masalah harta. Sehingga banyak di antara mereka yang justru memperlihatkan keadaan yang sebaliknya.

 

Membenahi keadaan dalam kenyataan artinya berusaha membenahi dan meluruskan keadaan. Karena keadaan itu bisa dicampuri yang hag dan yang batil. Sementara tidak ada yang bisa membedakan antara yang hag dan batil ini kecuali orang yang memiliki ilmu dan ma’rifat.

 

  1. Ihsan dalam waktu, yaitu engkau tidak menghilangkan waktu yang ada, tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat dan menjadikan hijrahmu hanya kepada Allah semata.

 

Tidak menghilangkan waktu yang ada artinya tidak menyia-nyiakannya. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang tegar, yang dapat memotong perjalanan antara jiwa dan hati, antara hati dan Allah.

 

Tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat artinya tidak menggantungkan hasrat kepada seseorang selain Allah, karena yang seperti ini termasuk syirik dalam pandangan orang yang berjalan kepada Allah.

 

Siapa pun yang berjalan kepada Allah secara lurus dan ikhlas, maka dia adalah orang yang berhijrah kepada-Nya. Dia tidak boleh terlewatkan dari hijrah ini, dia harus bergabung hingga dapat bersua Allah. Allah mempunyai dua hak hijrah atas setiap hati, dan sekaligus ini merupakan kewajiban, yaitu:

 

– Hijrah kepada Allah dengan tauhid dan ikhlas, kepasrahan dan cinta, rasa takut, harapan dan ubudiyah.

 

– Hijrah kepada Rasul-Nya, dengan cara patuh, tunduk dan taat kepada beliau, pasrah kepada hukum beliau, menerima hukum yang zhahir maupun yang batin.

 

Siapa yang hatinya tidak memiliki dua macam hijrah ini, maka hendaklah dia menaburkan debu ke kepalanya, agar dia sadar, lalu meneliti kembali imannya sejak awal, kembali ke belakang untuk mencari cahaya, sebelum ada penghalang antara dirinya dan iman itu.

 

Ilmu

 

Jika ilmu tidak menyertai seseorang yang mengadakan perjalanan semenjak awal, yang berperan meletakkan pijakan kakinya padajalan yang semestinya, hingga akhir perjalanannya, tentu dia akan berjalan bukan pada jalan yang semestinya, perjalanannya akan terhalang dan tidak sampai ke tujuan, tidak mendapat bukti petunjuk dan keberuntungan serta pintunya tertutup. Ini merupakan kesepakatan pendapat para syaikh dan orang-orang yang memiliki ma’rifat. Tidak ada yang mencegah dari ilmu selain para perampok dan kaki tangan Iblis.

 

Al-Junaid bin Muhammad berkata, “Semua jalan tertutup bagi manusia selain orang yang mengikuti jejak Rasulullah.“ Dia juga berkata, “Siapa yang tidak menghapal Al-Qur’an dan menulis hadits, berarti dia tidak layak diikuti, karena ilmu kami terikat oleh Al-Kitab dan As-Sunnah.” Diajuga berkata, “Madzhab kami terikat oleh dasar-dasar Al-Kitab dan As-Sunnah.”

 

Abu Hafsh berkata, “Siapa yang tidak menimbang perbuatan dan keadaannya di setiap waktu dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, tidak mencurigai apa yang melintas di dalam sanubarinya, maka dia tidak dianggap para pemimpin.”

 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Boleh jadi pada hari-hari tertentu hatiku disusupi satu titik dari kebiasaan manusia. Tapi aku tidak akan menerimanya kecuali dengan menghadirkan dua saksi yang adil, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

 

As-Sari berkata, “Tasawwuf itu merupakan istilah untuk tiga makna: Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya wara’, tidak membicarakan suatu ilmu di dalam batin yang bertentangan dengan zhahir Al-Kitab, dan tidak membebaninya dengan karamah untuk mencabik selubung hal-hal yang diharamkan Allah.”

 

Ahmad bin Abul-Hawari berkata, “Siapa yang mengerjakan suatu amal tanpa mengikuti As-Sunnah, maka amalnya batil.”

 

Abu Yazid berkata, “Pernah terlintas dalam hatiku untuk memohon kepada Allah agar aku terbebas dari perhatian terhadap wanita. Namun kemudian aku berkata sendiri, “Bagaimana mungkin aku memohon hal seperti ini kepada Allah, sementara Rasulullah tidak memohon hal yang sama?” Maka aku pun tidak jadi memohon yang seperti itu. Kemudian Allah membuatku terbebas dari perhatian terhadap wanita, hingga aku tidak peduli apakah aku berhadapan dengan wanita ataukah dengan dinding.”

 

Dia juga berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang diberi karamah, sehingga dia dapat terbang di angkasa, maka janganlah kalian terpedaya, hingga kalian tahu bagaimana orang itu menempatkan dirinya pada perintah dan larangan, menjaga hukum dan melaksanakan syariat”

 

Abu Utsman An-Naisaburi berkata, “Pergaulan dengan Allah ialah dengan membaguskan adab, senantiasa takut dan merasa diawasi. Pergaulan dengan Rasulullah ialah dengan mengikuti As-Sunnah dan mengikuti zhahir ilmu. Pergaulan dengan wali-wali Allah ialah dengan menghormati dan membantunya. Pergaulan dengan pakar ialah dengan akhlak yang baik. Pergaulan dengan saudara ialah senantiasa memasang muka berseri selagi bukan dalam hal-hal yang dosa. Pergaulan dengan orang-orang yang bodoh ialah dengan mendoakan dan mengasihi mereka.”

 

Abul-Husain An-Nawawi berkata, “Jika kalian melihat seseorang yang mengaku memiliki keadaan tertentu bersama Allah yang membuatnya keluar dari batasan ilmu, maka janganlah kalian dekat-dekat dengannya.”

 

Abu Sa’id Al-Kharaz berkata, “Hal-hal di dalam batin yang bertentangan dengan hal-hal yang zhahir, maka ia adalah batil.”

 

Ahmad bin Hambal pernah menjelaskan berbagai masalah. Lalu dia bertanya kepada Abu Hamzah Al-Baghdadi, seorang pemuka tasawwuf, “Apa pendapatmu wahai orang sufi?” Maka Abu Hamzah menjawab, “Siapa yang mengetahui jalan yang benar, maka perjalanannya pun menjadi mudah. Tidak ada bukti petunjuk jalan kepada Allah selain dari mengikuti Rasulullah gg, dalam perbuatan, perkataan dan keadaannya,”

 

Inilah pernyataan-pernyataan yang dinukil dari para pemuka golongan sufi. Tapi juga banyak pernyataan yang dikisahkan dari sebagian di antara orang-orang sufi itu, yang menghindari ilmu dan tidak membutuhkannya, seperti perkataan di antara mereka, “Kami mengambil ilmu kami dari Yang Mahahidup dan tidak bisa mati, sedangkan kalian mengambil ilmu dari yang hidup namun bisa mati.”

 

Ada pula yang berkata, “Ilmu itu merupakan penghalang antara hati dan Allah.”

 

Ada pula yang berkata, “Jika engkau melihat orang sufi sibuk dengan pengabaran dan periwayatan hadits, maka segeralah cuci tanganmu.”

 

Ada pula yang berkata, “Kami mempunyai ilmu huruf dan kalian, mempunyai ilmu lembaran kertas.”

 

Seperti inilah pernyataan-pernyataan mereka, dan yang paling baik adalah pernyataan dari orang bodoh yang menggambarkan kebodohannya. Siapa yang mencegahmu untuk menyampaikan riwayat dan pengabaran hadits, berarti dia akan menyusupkan hayalan-hayalan tasawwuf atau analog! filsafat. Siapa yang meninggalkan bukti petunjuk, maka jalannya akan sesat. Sementara tidak ada bukti petunjuk kepada Allah dan surga selain dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Setiap jalan yang tidak disertai bukti petunjuk Al-Kitab dan As-Sunnah, maka itu adalah jalan menuju neraka Jahannam dan jalannya setan yang terkutuk.

 

mu adalah yang menjadi landasan bukti petunjuk, dan yang bermanfaat dari ilmu adalah yang dibawa Rasulullah. Ilmu lebih baik daripada keadaan. Ilmu merupakan penentu hukum dan keadaan yang diberi ketentuan hukum. Ilmu merupakan petunjuk dan keadaan yang mengikutinya. Ilmu adalah yang memerintah dan melarang, sedangkan keadaan yang menerima perintah dan larangan. Keadaan merupakan pedang, yang jika tidak diikuti ilmu akan menjadi pembabat di tangan orang yang suka main-main. Keadaan merupakan kendaraan yang tidak bisa berjalan sendiri. Jika tidak disertai ilmu, maka ia berjalan menuju tempat yang merusak. Keadaan seperti harta, yang bisa berada di tangan orang baik dan orang jahat. Jika tidak disertai cahaya ilmu, maka ia akan menjadi bencana bagi pelakunya. Keadaan tanpa ilmu seperti api yang tidak ada penghembusnya. Manfaat keadaan hanya bagi pemiliknya, sedangkan manfaat ilmu seperti air hujan yang merambah permukaan tanah yang tinggi dan rendah, perut lembah dan semua pepohonan. Wilayah ilmu mencakup dunia dan akhirat, sedangkan wilayah keadaan tidak keluar dari pemiliknya atau bahkan lebih sempit lagi. Ilmu merupakan penentu yang membedakan antara keraguan dan yaqin, penyimpangan dan kelurusan, petunjuk dan kesesatan. Allah dapat diketahui dengan ilmu, lalu Dia disembah, diesakan, dipuji dan diagungkan. Dengan ilmu, orang-orang yang berjalan bisa sampai kepada Allah.

 

Dengan ilmu bisa diketahui berbagai macam syariat dan hukum, bisa dibedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan ilmu persaudaraan bisa dijalin, dengan ilmu keridhaan kekasih bisa diketahui, dan dengan ilmu bisa menghantarkan ke tujuan yang dekat. Ilmu merupakan imam dan amal merupakan makmum. Ilmu merupakan pemimpin dan amal merupakan pengikut. Mengingat-ingat ilmu merupakan tasbih, mencarinya merupakan jihad dan tagarrub, mengajarkannya merupakan shadagah, mempelajarinya Sama dengan pahala berpuasa dan mendirikan shalat malam. Kebutuhan terhadap ilmu lebih besar daripada kebutuhan terhadap makan dan minum.

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Sebab seseorang membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali dalam sehari, sementara kebutuhannya terhadap ilmu sebanyak hembusan napasnya.”

 

Kami meriwayatkan dari Asy-Syafi’i, dia berkata, “Mencari ilmu lebih utama daripada shalat nafilah.” Pernyataan serupa juga dinyatakan Abu Hanifah.

 

Bukti paling akurat yang menunjukkan kemuliaan ilmu, bahwa kelebihan orang berilmu daripada semua manusia seperti kelebihan rembulan pada malam purnama daripada semua bintang. Para malaikat merundukkan sayapnya kepada mereka dan memayungi mereka. Semua penghuni langit dan bumi memintakan ampunan bagi orang yang berilmu, termasuk pula ikan paus di lautan dan semut di dalam liangnya. Allah dan para malaikat juga bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. Allah juga memerintahkan Rasul-Nya agar meminta tambahan ilmu, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbi, tambahkanlah kepada ilmu pengetahuan’.” (Thaha: 114).

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ilmu adalah yang tegak karena dalil dan yang kebodohan pun tersingkirkan.”

 

Maksudnya, ilmu itu mempunyai tanda sebelum dan sesudahnya. Tanda sebelumnya ialah yang ditegakkan dengan dalil, dan tanda sesudahnya ialah tersingkirnya kebodohan.

 

Ada tiga derajat ilmu, yaitu:

 

  1. Ilmu jali (nyata), yaitu yang tampak mata, bisa didengar dan disebar secara benar serta juga benar berdasarkan eksperimen. Ilmu yang nyata artinya tidak tersembunyi, yang terdiri dari tiga jenis:

 

– Yang bisa diterima penglihatan mata.

– Yang disandarkan kepada pendengaran, yangjuga disebut ilmu penyebaran.

– Yang disandarkan kepada akal, yang juga disebut ilmu eksperimen.

 

Tiga jalan ini (penglihatan, pendengaran dan akal) merupakanjalan ilmu dan pintu-pintunya. Tapi sebenarnya jalan ilmu tidak terbatas pada tiga hal ini. Sebab setiap indera bisa mendatangkan ilmu dan menjadi jalannya.

 

Perbedaan ilmu dengan ma’rifat, bahwa ma’rifat merupakan inti ilmu. Penisbatan ilmu dengan ma’rifat seperti penisbatan iman dengan ihsan. Makrifat merupakan ilmu khusus, kaitan makrifat lebih tersembunyi daripada kaitan ilmu. Pengungkapan makrifat lebih sempurna daripada pengungkapan ilmu.

 

  1. Ilmu khafi (yang tak tampak dan tersembunyi), yang tumbuh di dalam rahasia-rahasia yang suci dari badan yang suci pula, karena disirami air latihan yang murni, tampak dalam napas-napas yang benar, dimiliki orang-orang yang mempunyai hasrat yang tinggi, pada saat-saat yang senggang. Ini merupakan ilmu yang menampakkan hal yang gaib, meniadakan yang ada dan mengisyaratkan perpaduan.

 

Ini merupakan ilmu yang tersembunyi bagi orang-orang yang ada pada derajat pertama, yang disebut makrifat.

 

Makna rahasia di sini bisa berarti ruh, bisa berarti Allah dan bisa berarti apa yang tersembunyi antara hamba dan Allah. Dikatakan rahasia-rahasia yang suci, karena ia suci dari kotoran dunia dan kesibukannya yang bisa menghambat ruh dari tempatnya yang menyenangkan.

 

Makna badan yang suci ialah yang suci karena ketaatan kepada Allah dan yang tumbuh karena makanan yang halal. Selagi badan terbebas dari halhal yang haram dan kotor, yang dilarang agama, akal dan sifat kesatria, tentu hati akan menjadi suci, sehingga ia bisa ditaburi benih ilmu dan makrifat. Jika kemudian disirami dengan air latihan dan penempaan yang sesuai dengan

 

syariat, maka orangnya bisa memetik hasil dan manfaat yang banyak. |

 

Tampak dalam napas-napas, maksud napas di sini ialah napas dzikir dan makrifah, atau napas cinta dan kehendak. Adapun napas yang benar ialah kebebasannya dari noda dan kotoran keduniaan. Maksud orang-orang yang memiliki hasrat yang tinggi ialah yang tidak bergantung kepada selain Allah, tidak menuju selain Allah dalam perjalanannya. Hasrat yang paling tinggi ialah

 

yang berkaitan dengan Allah Yang Mahatinggi. Sedangkan hasrat yang paling luas ialah yang berkaitan dengan kemaslahatan hamba. Ini merupakan hasrat para rasul dan pewaris mereka. Maksud saat-saat senggang adalah saat-saat yang suci bersama Allah, waktu-waktu bermunajat dengan Allah.

 

Menampakkan yang gaib artinya mengungkap sesuatu yang gaib sehingga

 

dapat diketahui. Meniadakan yang ada artinya meniadakan kesaksian terhadap

 

hal-hal selain Allah.

 

  1. Ilmu laduni. Jalan ilmu ini adalah keberadaannya, pengetahuannya adalah kesaksiannya, sifatnya adalah hukumnya. Antara ilmu ini dan antara yang gaib tidak ada hijab.

 

Ilmu laduni diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh hamba tanpa menggunakan sarana, tapi berdasarkan ilham dari Allah, yang diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya, seperti ilmu Khidhir yang diperoleh tanpa sarana seperti halnya Musa. Allah berfirman,

 

“Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

 

Ada perbedaan antara rahmat dan ilmu. Keduanya dijadikan berasal dari samping Allah dan dari sisi Allah, karena memang keduanya tidak diperoleh begitu saja oleh hamba. Kata min ladunhu lebih khusus dan menunjukkan jarak yang lebih dekat daripada kata min indihi, yang keduanya sama-sama berarti dari sisi-Nya. Maka dari itu Allah berfirman,

 

“Dan, katakanlah, “Ya Rabbi, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dan sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (Al-Isra’: 80).

 

Min ladunhu berupa kekuasaan yang menolong, sedangkan min indihi berupa pertolongan yang diberikan kepada orang-orang Mukmin.

 

Yimu laduni merupakan buah ubudiyah, kepatuhan, kebersamaan dengan Allah, ikhlas karena-Nya dan berusaha mencari ilmu dari misykat Rasul-Nya serta ketundukan kepada beliau. Dengan begitu akan dibukakan kepadanya pemahaman Al-Kitab dan As-Sunnah, yang biasanya dikhususkan pada perkara tertentu.

 

Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, “Apakah Rasulullah memberikan kekhususan tertentu tentang suatu perkara kepada kalian, yang tidak diberikan kepada selain kalian?” Maka dia menjawab, “Tidak. Demi yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angin, selain dari pemahaman tentang Al-Qur’an yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.” Inilah yang disebut ilmu laduni yang hakiki, yaitu ilmu yang datang dari sisi Allah, ilmu tentang pemahaman Kitab-Nya. Sedangkan ilmu yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak diikat dengan keduanya, maka itu datang dari hawa nafsu dan setan. Memang bisa saja disebut ilmu laduni. Tapi dari sisi siapa? Suatu ilmu bisa diketahui sebagai ilmu laduni, jika ja sesuai dengan apa yang dibawa Rasulullah yg, yang berasal dari Allah. Jadi ilmu laduni ada dua macam: Dari sisi Allah, dan dari sisi setan. Materinya disebut wahyu. Sementara tidak ada wahyu setelah Rasulullah.

 

Tentang kisah Musa dengan Khidhir, maka bergantung kepada kisah ini untuk memperbolehkan ketidakbutuhan wahyu kepada ilmu laduni, merupakan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Perbedaannya, Musa tidak diutus sebagai rasul kepada Khidhir dan Khidhir tidak diperintah untuk menjadi pengikut Musa. Andaikan Khidhir diperintahkan menjadi pengikut Musa, tentunya Khidhir diperintahkan untuk mendatangi Musa dan hidup bersama beliau. Karena itu Khidhir bertanya kepada Musa, “Kamukah Musa, Nabi Bani Israel?” Musa menjawab, “Ya.”

 

Sementara Muhammad diutus kepada semua manusia. Risalah beliau diperuntukkan bagi jin dan manusia di setiap zaman. Andaikan Musa dan Isa masih hidup, tentu keduanya menjadi pengikut beliau. Andaikan Isa bin Maryam turun ke bumi, tentu Isa akan menerapkan syariat beliau. Maka siapa yang beranggapan bahwa Isa dengan Muhammad sama seperti Musa dengan Khidhir, atau memperbolehkan anggapan seperti ini, maka hendaklah dia memperbarui Islamnya dan mengucapkan syahadatain sekali lagi secara benar. | Karena dengan anggapan seperti itu dia telah keluar dari Islam secara total, dan sama sekali tidak bisa disebut wali Allah, tapi wali setan.

 

Maksud perkataan, “Pengetahuannya adalah kesaksiannya”, bahwa ilmu ini tidak bisa diambil dengan pemikiran dan kesimpulan, tapi dengan melihat dan menyaksikannya.

 

Maksud perkataan, “Sifatnya adalah hukumnya”, bahwa sifat-sifatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan hukum-hukumnya, sifatnya terbatas pada hukumnya, saksinya adalah hukumnya. Hukum ini merupakan dalil, sehingga antaranya dan hal-hal yang tidak tampak tidak ada hijab. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain.

 

Inilah yang diisyaratkan orang-orang, bahwa ilmu ini merupakan cahaya dari sisi Allah, yang mampu menghapus kekuatan indera dan hukum-hukumnya. Inilah makna yang diisyaratkan dalam atsar Ilahi,”Jika aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat….”

 

llmu laduni yang datang dari Allah merupakan buah cinta ini, yang muncul karena mengerjakan nafilah setelah fardhu. Sedangkan ilmu laduni yang datang dari setan merupakan buah berpaling dari wahyu, mementingkan hawa nafsu dan memberi kekuasaan kepada setan. Hikmah Allah berfirman tentang hikmah ini,

 

“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269).

 

“Dan, telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan, adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisa’:113).

 

Allah berfirman tentang Isa,

 

“Dan, Allah akan mengajarkan kepadanya Al-Kitab, hikmah, Taurat dan Iniil.” (Ali Imran: 48).

 

Hikmah di dalam Al-Qur’an ada dua macam: Yang disebutkan sendirian, dan yang disusuli dengan penyebutan Al-Kitab. Yang disebutkan sendirian ditafsiri nubuwah, tapi ada pula yang menafsiri ilmu Al-Qur’an.

 

Menurut Ibnu Abbas ws, hikmah adalah ilmu tentang Al-Qur’an, yang nasikh dan mansukh, yang pasti maknanya dan yang tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang diturunkan lebih akhir, yang halal dan yang haram dan lain sebagainya.

 

Menurut Adh-Dhahhak, hikmah adalah Al-Qur’an dan pemahaman kandungannya. Menurut Mujahid, hikmah adalah Al-Qur’an, ilmu dan pemahaman. Dalam riwayat lain darinya, hikmah adalah ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Menurut An-Nakha’i, artinya makna segala sesuatu dan pemahamannya. Menurut Al-Hasan, hikmah adalah wara’ dalam agama Allah.

 

Adapun hikmah yang disusuli dengan penyebutan Al-Kitab ialah petunjuk amal, akhlak dan keadaan. Begitulah yang dikatakan Asy-Syafi’i dan imam-imam yang lain. Ada pula yang berpendapat, artinya ketetapan berdasarkan wahyu.

 

Pendapat yang paling tepat tentang makna hikmah ini seperti yang dikatakan Mujahid dan Malik, yaitu: Pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Yang demikian ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami Al-Qur’an, mendalami

 

Syariat-syariat Islam serta hakikat iman.

 

Hikmah ada dua macam: Yang bersifat ilmu dan yang bersifat amal. Yang bersifat ilmu ialah mengetahui kandungan-kandungan segala sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat, penciptaan dan perintah, takdir dan syariat. Sedangkan yang bersifat amal ialah seperti yang dikatakan pengarang Manazilus-Sa’irin, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ada tiga derajat hikmah, yaitu:

 

  1. Engkau memberikan kepada segala sesuatu sesuai dengan haknya, tidak melanggar batasannya, tidak mendahulukan dari waktu yang telah ditetapkan dan tidak pula menundanya.

 

Karena segala sesuatu itu mempunyai tingkatan dan hak, maka engkau harus memenuhinya sesuai dengan takaran dan ketentuannya. Karena segala sesuatu mempunyai batasan dan kesudahan, maka engkau harus sampai ke batasan itu dan tidak boleh melampauinya. Karena segala sesuatu mempunyai waktu, maka engkau tidak boleh mendahulukan atau menundanya. Yang disebut hikmah adalah memperhatikan tiga sisi ini.

 

Ini hukum secara umum untuk seluruh sebab dan akibatnya, menurut ketentuan Allah dan syariat-Nya. Menyia-nyiakan hal ini berarti menyianyiakan hikmah, sama dengan menyia-nyiakan benih yang ditanam dan tidak mau menyirami tanah. Melampaui hak seperti menyirami benih melebihi kebutuhannya, sehingga benih itu terendam air, yang justru akan membuatnya mati. Mendahului dari waktu yang ditentukan seperti memanen buah sebelum masak. Begitu pula meninggalkan makanan, minuman dan pakaian, merupakan tindakan yang melanggar hikmah dan melampaui batasan yang diperlukan. Jadi yang disebut hikmah ialah berbuat menurut semestinya, dengan cara yang semestinya dan pada waktu yang semestinya.

 

Allah telah mempusakakan hikmah kepada Adam dan anak keturunannya. Orang laki-laki yang sempurna ialah yang mempunyai hak waris secara sempurna dari ayahnya. Separoh laki-laki, seperti wanita, memperoleh separoh warisan. Hanya Allahlah yang mengetahui banyaknya perbedaan-perbedaan dalam masalah ini. Makhluk yang paling sempurna dalam pusaka hikmah ini adalah para rasul dan nabi. Yang paling sempurna di antara para rasul adalah Ulul-Azmi. Yang paling sempurna di antara Ulul-Azmi adalah Muhammad. Karena itu Allah mengaruniakan hikmah kepada beliau dan umatnya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan mensucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 151).

 

Setiap tatanan alam berkaitan dengan sifat ini, dan setiap celah di alam ini dan pada diri hamba merupakan penyimpangan dari sifat ini. Orang yang paling sempurna ialah yang paling banyak memiliki hikmah, dan yang paling tidak sempurna ialah yang paling sedikit menerima warisan hikmah.

 

Hikmah mempunyai tiga sendi: Ilmu, ketenangan dan kewibawaan.

 

Kebalikannya adalah kebodohan, kegabahan dan terburu-buru.

 

  1. Mempersaksikan pandangan Allah tentang janji-Nya, mengetahui keadilan Allah dalam hukum-Nya dan memperhatikan kemurahan hati Allah dalam penahanan-Nya.

 

Artinya, engkau bisa mengetahui hikmah dalam janji dan ancaman Allah serta menyaksikan hukum-Nya dalam firman-Nya,

 

“Sesunggunya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”(An-Nisa’:40).

 

Dengan begitu engkau bisa menyaksikan keadilan Allah dalam ancamanNya, kemurahan Allah dalam janji-Nya, dan semua dilandaskan kepada hikmah-Nya. Engkau juga bisa mengetahui keadilan Allah dalam hukumhukum syariat-Nya dan hukum-hukum alam yang berlaku pada semua makhluk, yang di dalamnya tidak ada kezhaliman dan kesewenang-wenangan, termasuk pula hukum-hukum yang diberlakukan terhadap orang-orang yang zhalim sekalipun. Allah adalah yang paling adil dari segala yang adil.

 

Allah juga murah hati, yang simpanan-Nya tidak akan berkurang karena pemberian-Nya. Allah tidak memberikan karunia kepada seseorang melainkan berdasarkan hikmah, karena Allah Maha Murah hati dan Maha Bijaksana. Hikmah-Nya tidak bertentangan dengan kemurahan-Nya. Allah tidak meletakkan kemurahan dan karunia-Nya kecuali di tempat yang semestinya dan sesuai dengan waktunya, sesuai dengan takdir yang ditentukan hikmahNya. Andaikan Allah membentangkan rezeki untuk semua hamba-Nya, tentu mereka semua akan binasa dan rusak. Sekiranya Allah mengetahui pada diri orang-orang kafir terdapat kebaikan dan mau menerima nikmat iman serta syukur kepada-Nya atas nikmat ini, cinta dan pengakuan kepada-Nya, tentu Dia akan menunjukkan mercka kepada iman. Karena itu mereka bertanya kepada orang-orang Mukmin, “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?” Lalu Allah menjawab dengan firman-Nya, “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?” (Al-An’am: 53).

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka itulah orang-orang yang mengetahui kadar nikmat iman dan mereka bersyukur kepada Allah atas nikmat ini.”

 

Allah tidak memberi melainkan berdasarkan hikmah-Nya, tidak menahan melainkan berdasarkan hikmah-Nya, dan tidak menyesatkan melainkan berdasarkan hikmah-Nya pula.

 

  1. Dengan tuntutan bukti engkau bisa mencapai bashirah, dengan petunjukmu engkau bisa mencapai hakikat, dan dengan isyaratmu engkau bisa mencapai sasaran.

 

Artinya, dengan tuntutan dalil dan bukti engkau bisa mencapai derajat ilmu yang paling tinggi, yang juga disebut bashirah, yang penisbatan ilmu dengan hati sama dengan penisbatan obyek pandangan ke pandangan mata. Ini merupakan kekhususan yang dimiliki para shahabat dan tidak dimiliki selain mereka dari umat Islam, dan bashirah ini merupakan derajat ulama yang paling tinggi. Allah berfirman,

 

“Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah’.” (Yusuf: 108).

 

Dengan kata lain, aku dan para pengikutku ada pada bashirah. Tapi ada pula yang berpendapat, bahwa aku menyeru kepada Allah berdasarkan bashirah, dan orang yang mengikutiku juga mengajak kepada Allah berdasarkan bashirah. Pendapat mana pun yang lebih pas dari dua pendapat ini, yang pasti para pengikut beliau adalah orang-orang yang memiliki bashirah, yang menyeru kepada Allah berdasarkan bashirah.

 

Dengan petunjukmu engkau bisa mencapai hakikat, artinya jika engkau memberikan petunjuk kepada orang lain, maka engkau bisa mencapai hakikat. Begitu pula sebaliknya, yaitu jika ada orang lain yang memberimu petunjuk, maka engkau bisa mencapai hakikat.

 

Firasat

 

Allah telah berfirman kaitannya dengan tempat persinggahan firasat ini,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (Al-Hijr: 75).

 

Menurut Mujahid, mutawassimin (orang-orang yang memperhatikan tandatanda) di dalam ayat ini artinya orang-orang yang memiliki firasat. Menurut Ibnu Abbas, artinya orang-orang yang memandang. Menurut Oatadah, artinya orang-orang yang mengambil pelajaran. Menurut Mugatil, artinya orang-orang yang berpikir.

 

Tidak ada yang menyimpang dalam pendapat-pendapat ini. Sebab orang | yang memandang dan memperhatikan akibat dan kesudahan yang dialami orang-orang yang mendustakan, tentu akan mendapatkan firasat dan pelajaran serta pemikiran. Allah berfirman tentang orang-orang munafik,

 

“Dan, kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kamu benar-benar mengenal mereka dengan kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30).

 

Mengenal yang pertama merupakan firasat pandangan dan mata, sedangkan mengenal yang kedua merupakan firasat telinga dan pendengaran.

 

Firasat ada tiga macam:

 

Firasat Pertama: Berkaitan dengan iman. Sebabnya adalah cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba, sehingga dia bisa membedakan antara yang hag dan batil, yang jujur dan yang dusta. Hakikatnya, firasat ini menyusup ke dalam hati dan menafikan kebalikannya, melompat ke dalam hati seperti melompatnya singa ketika menerkam mangsanya. Firasat ini tergantung pada kekuatan iman. Siapa yang imannya lebih kuat, maka firasatnya lebih tajam.

 

Abu Sa’id Al-Kharaz berkata, “Siapa yang memandang dengan cahaya firasat, maka dia memandang dengan cahaya kebenaran.”

 

Al-Wasithi berkata, “Firasat merupakan pancaran cahaya yang menyusup ke dalam hati, yang memungkinkan dapat mengetahui rahasia-rahasia dalam hal-hal yang gaib, dari yang gaib kepada yang gaib, hingga dia dapat mengetahui sesuai seperti yang diperlihatkan Allah kepadanya.”

 

Amr bin Najid menuturkan bahwa Syah Al-Karmani termasuk orang yang tajam firasatnya dan tidak pernah meleset. Dia pernah berkata, “Siapa yang menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, menahan diri dari nafsu, mengisi batinnya dengan pengawasan Allah dan zhahirnya dengan mengikuti As-Sunnah serta biasa memakan yang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”

 

Abu Hafsh An-Naisaburi berkata, “Seseorang tidak boleh membual tentang firasat, tetapi dia harus takut firasat dari orang lain. Sebab Nabi g, pernah bersabda, “Takutlah kalian terhadap firasat orang Mukmin, karena dia memandang dengan cahaya Allah.”

 

Beliau tidak mengatakan,” Berfirasatlah kalian. Maka bagaimana mungkin seseorang membual mendapatkan firasat, padahal dia dalam posisi yang harus mewaspadai firasat?”

 

Suatu hari Al-Junaid berbicara dengan beberapa orang. Lalu ada seorang Nasrani yang berdiri di hadapannya dengan sikap yang tidak kompromis, seraya bertanya, “Wahai Syaikh, apa makna sabda Muhammad, ‘Takutlah kalian terhadap firasat orang Mukmin, karena dia memandang dengan cahaya Allah?”

 

Al-Junaid menundukkan kepala beberapa saat, lalu dia mengangkatnya lagi seraya berkata, “Masuklah Islam, karena kini sudah tiba saatnya bagimu untuk masuk Islam.” Maka orang Nasrani itu pun masuk Islam.

 

Abu Bakar Ash-Shiddig adalah orang yang paling besar firasatnya dari umat ini. Sesudahnya adalah Umar bin Al-Khaththab. Tentang ketepatan firasat Umar ini sudah sangat terkenal. Jika dia berkata, “Kukira begini”, maka yang terjadi pun seperti yang dikatakannya itu. Bahkan firasat Umar ini juga sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah. Firasat para shahabat adalah yang paling benar.

 

Dasar jenis firasat ini berasal dari kehidupan dan cahaya yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga hati mereka menjadi hidup, bersinar dan bercahaya, sehingga hampir-hampir firasatnya tidak meleset.

 

Firasat Kedua: Firasat dengan cara latihan, membuat perut lapar, tidak tidur malam dan menyendiri.Jika jiwa dibebaskan dari segala macam kaitan, maka ia akan memiliki firasat dan pengungkapan hakikat, tergantung dari porsinya. Firasat ini bisa didapatkan orang Mukmin dan kafir, tidak menunjukkan kepada iman. Banyak orang bodoh yang terkecoh dengan firasat ini, karena banyak pendeta yang juga memiliki kejadian-kejadian yang menakjubkan. Ini merupakan firasat yang tidak mengungkap kebenaran yang bermanfaat dan tidak dengan cara yang lurus.

 

Firasat Ketiga: Yang berkaitan dengan bentuk penciptaan, yaitu seperti yang diisyaratkan para dokter dan lain-lainnya. Mereka mengacu kepada bentuk penciptaan untuk mengetahui akhlak, karena memang ada kaitan yang erat antara keduanya, sesuai dengan hikmah yang ditetapkan Allah, seperti pembuktian dengan kecilnya ukuran kepala yang lebih kecil dari ukuran secara normal, yang membuktikan kecilnya ukuran otak, yang berarti menunjukkan sempitnya pikiran. Begitu pula sebaliknya.

 

Kebanyakan firasat dikaitkan dengan mata, karena mata merupakan cermin hati dan tanda yang tersimpan di dalamnya. Berikutnya dengan lisan, karena lisan merupakan utusan dan penerjemahnya. Dasar firasatjuga bisa dikaitkan dengan penampilan, keliaran, keadaan rambut dan lain sebagainya. Tapi masalah ini harus diperhatikan dan seseorang tidak boleh langsung membuat keputusan berdasarkan firasat semata.

 

Sebab dalam keadaan seperti itu, kesalahannya lebih banyak. Tanda-tanda ini hanya sekadar sebagai sebab dan bukan sesuatu yang pasti, yang hukumnya berbeda tergantung dari perbedaan syarat-syaratnya atau karena adanya perintang.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Firasat ialah menyimak hukum sesuatu yang tidak ada di tempat, tanpa meminta bukti kehadirannya.” Maksudnya, jika engkau bisa melihat hukum sesuatu yang tidak ada di tempat. Jika dengan cara menyimak itu engkau bisa mengetahui hukumnya, maka itulah yang disebut firasat. Jika dengan mata, maka itu namanya melihat. Menurut Syaikh, ada tiga derajat firasat, yaitu:

 

  1. Firasat yang datang jarang-jarang, yang turun di lisan seseorang yang tidak beradab, sekali sepanjang hidupnya, karena kebutuhan yang ingin didengarkan orang yang hendak mengadakan perjalanan kepada Allah secara benar, tidak tergantung kepada sebab pemaparannya, mendatangkan tanda kebaikan. Tapi hal ini tidak bisa lepas dari perdukunan atau yang serupa dengan perdukunan, sebab yang demikian itu tidak muncul dari isyarat mata.

 

Yang dimaksudkan Syaikh adalah firasat yang dinyatakan orang-orang yang lalai, yang tidak memiliki kesadaran hati, yang datang jarang-jarang, yang lisannya tidak tersentuh dzikir kepada Allah, yang hatinya tidak merasa tenang dan di luar kesengajaannya.

 

Tentang firasat yang mendatangkan tanda kebaikan, sesungguhnya Rasulullah gg juga menyukai tanda kebaikan dan taajub kepadanya. Memang dalam hal ini juga termasuk ramalan yang buruk. Tetapi orang Mukmin tidak meramal yang buruk, karena meramal yang buruk itu termasuk syirik. Apa yang didengar dari ramalan ini tidak boleh menghalangi tujuan dan kebutuhannya.

 

Tapi dia harus bertawakal kepada Allah dan percaya kepada-Nya serta menyingkirkan keburukan ramalan yang buruk dengan tawakal itu. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Ramalan yang buruk itu adalah syirik. Tidak termasuk golongan kami kecuali jika membebaskan diri darinya, tetapi Allah menyingkirkannya dengan tawakal.”

 

  1. Firasat yang diperoleh karena menanam iman, yang muncul karena keadaan yang baik dan yang berbinar karena cahaya pengungkapan. Firasat ini khusus bagi orang-orang yang beriman. Maka dikatakan, “Yang diperoleh karena menanam iman’. Iman diserupakan dengan tanaman, karena tanaman itu bisa tumbuh dan berkembang, bisa bersih karena disirami, bisa memberikan hasilnya setiap saat menurut izin Rabb-nya, yang akarnya menancap kuat di bumi dan yang cabang-cabangnya menjulang di langit. Siapa yang menanam iman di tanah hatinya yang baik dan subur, menyiraminya dengan air keikhlasan, shidq dan mengikuti perintah, maka sebagian di antara buah yang akan dipetiknya adalah firasat ini.

 

Benarnya firasat berasal dari benarnya keadaan. Selagi keadaan lebih baik, maka firasat pun semakin baik pula. Inilah makna firasat yang muncul dari keadaan yang baik. Yang berbinar karena cahaya pengungkapan, artinya cahaya pengungkapan termasuk sejumlah buah yang dihasilkan firasat. Kekuatan firasat tergantung dari kekuatan cahaya ini dan kelemahannya. Sedangkan kekuatan cahaya itu dan kelemahannya tergantung pada kekuatan dan kelemahan materinya.

 

  1. Firasat orang yang mulia, yang tidak bisa didatangkan oleh pikiran, dinyatakan orang pilihan, baik dengan pernyataan yang jelas maupun melalui simbol-simbol.

 

Firasat orang yang mulia ini merupakan salah satu dari dua ta’wil tentang firman Allah, “Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikanmu pemimpin yang ditaati.” (Maryam: 24). Yang dimaksudkan di dalam ayat ini adalah Al-Masih.

 

Firasat ini tidak bisa didatangkan oleh pikiran, tapi masuk ke dalam hati tanpa diketahui penyebabnya. Orang pilihan yang mengabarkan firasat ini terkadang menyatakannya secara langsung dan jelas dan terkadang dengan isyarat, karena hendak menutupi keadaannya atau menjaga apa yang dikabarkannya.

 

Pengagungan Tempat persinggahan ini mengikuti ma’rifat. Seberapa banyak marrifat yang dimiliki seorang hamba, maka sebanyak itu pula ada pengagungan terhadap Allah di dalam hatinya. Hamba yang paling mengetahui Allah adalah yang paling banyak pengagungan kepada-Nya. Allah telah mencela orang yang tidak mengagungkan-Nya sesuai dengan hak keagungan-Nya, mencela orang yang tidak mengetahui-Nya sesuai dengan hak pengetahuan tentang-Nya, mencela orang yang tidak mensifati Allah sesuai dengan hak sifat-Nya, padahal perkataan mereka berkisar pada masalah ini. Firman Allah,

 

“Mengapa kalian tak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh: 13).

 

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, artinya: Mengapa kalian tidak percaya bahwa Allah mempunyai kebesaran? Menurut Sa’id bin Jubair, artinya: Mengapa kalian tidak mengagungkan Allah sesuai dengan hak keagungan-Nya? Menurut Al-Kalbbi, artinya: Mengapa kalian tidak takut keagungan milik Allah? Menurut Al-Hasan, artinya: Kalian tidak mengetahui hak Allah, dan kalian tidak mensyukuri nikmat-Nya.

 

Ruh ibadah adalah pengagungan dan cinta. Jika satu di antara keduanya tidak menyertai yang lainnya, maka ibadah itu akan rusak dan gugur. Jika keduanya diberikan kepada yang dicintai dan diagungkan, maka itulah hakikat pujian.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Pengagungan artinya mengetahui keagungan dan tunduk kepada keagungan itu.”

 

Menurutnya ada tiga derajat pengagungan, yaitu:

 

  1. Pengagungan perintah dan larangan, yaitu tidak menentangnya dengan mencari-cari keringanan yang bersifat mengabaikan dan dengan kekerasan yang berlebih-lebihan serta tidak menafsiri dengan alasan tertentu yang bisa melemahkan ketundukan.

 

Inilah tiga perkara yang menafikan pengagungan perintah dan larangan:

 

– Mencari-cari keringanan yang membuat pelakunya tidak mengikuti secara sempurna.

 

– Bertindak secara berlebih-lebihan yang membuat pelakunya melanggar batas perintah dan larangan.

 

– Mena’wili perintah dan larangan dengan alasan tertentu.

 

Yang pertama disebut tafrith (mengabaikan) dan yang kedua disebut ifrath (berlebih-lebihan). Allah tidak menurunkan suatu perintah melainkan setan mempunyai kecenderungan di dalamnya, entah kepada pengabaian, entah kepada sikap berlebih-lebihan. Sementara itu, agama Allah ada di tengah-tengah di antara dua sisi ini, seperti lembah yang terletak di antara dua gunung atau seperti jalan lurus di antara duajalan yang menyesatkan. Allah telah melarang sikap berlebih-lebihan sebagaimana firman-Nya,

 

“Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian.” (Al-Maidah: 77).

 

Berlebih-lebihan ada dua macam:

 

– Yang mengeluarkan seseorang dari keadaannya sebagai orang yang taat, seperti menambah satu rakaat dalam shalat dari yang semestinya, puasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa, sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak sepuluh kali dan lain-lainnya, yang dilakukan secara sengaja.

 

– Berlebih-lebihan karena takut ada kerugian, seperti shalat malam sepanjang malam, terus-menerus berpuasa sekalipun tidak berpuasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa, bertindak semena-mena terhadap diri sendiri dalam beribadah dan membaca wirid dan lain sebagainya. Inilah yang disabdakan Nabi seperti yang diriwayatkan Al-Bukhari,

 

“Sesungguhnya agama ini mudah. Sekali-kali seseorang tidak mengeraskan agama melainkan dia akan dikalahkan. Maka berkatalah yang benar, bertagarrublah, permudahlah, dan memohonlah pertolongan pada pagi dan petang hari serta pada sebagian akhir malam.”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Hendaklah salah seorang di antara kalian shalat sesuai dengan kerajinannya. Jika merasa lemah, maka hendaklah dia berbaring.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Perintah dan larangan juga tak boleh dita’wili dengan alasan tertentu, seperti sebagian orang yang mena’wili larangan khamer, karena bisa menimbulkan permusuhan dan perkelahian serta menimbulkan kerusakan. Jika tidak ada dampak-dampak ini, maka khamer boleh diminum

 

  1. Pengagunganhukum, yaitu tidak dicari yang bengkok, tidak ditolak dengan ilmu dan tidak diridhai penggantinya.

 

Derajat pertama mengandung pengagungan hukum agama dan syariat. Sedangkan derajat ini mengandung pengagungan hukum alam dan takdir Allah. Hal ini dikhususkan pengarang dengan sebutan hukum.

 

Di samping keharusan hamba memperhatikan hukum agama, dengan cara mengagungkannya, maka dia juga harus memperhatikan hukum alam, yang pengagungannya dengan tiga cara:

 

– Tidak mencari atau melihat adanya hukum alam yang bengkok dan menyimpang, tapi seorang hamba harus melihat semua hukum alam itu lurus, karena ia keluar dari hikmah yang tidak mengenal penyimpangan dan pembengkokan. Mungkin menurut sebagian orang hal ini sulit diterima. Sebagian orang yang mengingkari takdir beranggapan bahwa dalam penciptaan Allah Yang Maha Pengasih tidak ada sesuatu yang tidak seimbang dan bengkok. Kufur dan kedurhakaan merupakan ketidakseimbangan yang paling besar. Berarti hal ini bukan termasuk penciptaan, kehendak dan takdir-Nya. Golongan lain yang berbeda dengan mereka berkata, bahwa hal ini termasuk penciptaan Allah dan takdir-Nya, dan tidak ada yang menyimpang dalam kedurhakaan itu. Semua yang ada di alam ini adalah lurus.

 

Dua golongan ini sama-sama sesat, menyimpang dari petunjuk yang lurus. Bahkan golongan yang kedua lebih jauh penyimpangannya, sebab mereka menjadikan kufur dan kedurhakaan sebagai jalan lurus dan bukan jalan yang bengkok serta menyimpang. Karena dua golongan ini tidak memilah antara gadha’ dan yang diberi ketetapan gadha’, antara hukuman yang dihukumi, membuat mereka menyimpang semuanya.

 

– Tidak ditolak dengan ilmu. Dengan kata lain, gadha’ dan gadar Allah serta hukum alam-Nya tidak bertentangan dengan agama, syariat dan hukum agama-Nya, yang memungkinkan terjadinya penolakan dan pertentangan di antara keduanya. Ini merupakan kehendak-Nya yang berkaitan dengan alam, dan itu merupakan kehendak-Nya yang berkaitan dengan agama. Sekalipun keduanya saling berbeda, tapi pengagungan masing-masing di antara keduanya tidak harus menentangkan yang satu dengan yang lain, karena keduanya merupakansifat bagi Allah, dan sifatsifat Allah tidak saling bertentangan.

 

– Tidak diridhai penggantinya. Artinya orang yang sudah sampai pada kesaksian hukum, maka dia tidak akan menuntut penggantinya dan tidak menyembah Allah dengan mencari pengganti.

 

  1. Pengagungan Allah, yaitu tidak menjadikan selain-Nya sebagai sebab, tidak melihat adanya hak atas-Nya dan tidak menentang pilihan-Nya. Derajat ini merupakan pengagungan Allah yang menjadi penentu hukum, yang mencipta dan yang memerintah, yang sebelumnya mencakup pengagungan gadha’-Nya.

 

Pengagungan Allah ini meliputi tiga perkara:

 

– Tidak menjadikan selain-Nya sebagai sebab. Artinya, janganlah engkau menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sebab untuk berhubungin dengan-Nya, tapi Dialah yang menjadi penghubung hamba kepada-Nya. Tidak boleh ada yang menjadi penghubung kepada Allah selain Allah. Selain Allah tidak boleh dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada yang menunjukkan tentang Allah kecuali Allah. Selain-Nya tidak bisa menjadi petunjuk kepada-Nya dan selain-Nya tidak bisa mendekatkan kepada-Nya. Allahlah yang menjadikan sebab sebagai sebab.

 

– Tidak melihat hak atas-Nya. Dengan kata lain, siapa pun tidak boleh merasa mempunyai hak atas Allah. Tapi Allahlah yang mempunyai hak atas makhluk-Nya. Dalam atsar di kalangan kaum Isra’il disebutkan, bahwa Daud berkata, “Ya Rabbi, demi hak bapak-bapakku atas-Mu.” Maka Allah mewahyukan kepada beliau, “Hai Daud, apa hak bapak-bapakmu atas Aku? Bukankah Aku yang memberi mereka petunjuk, menganugerahi dan memilih mereka? Akulah yang mempunyai hak atas mereka.” Sekalipun begitu hamba tetap mempunyai hak atas Allah, seperti memberikan pahala kepada hamba-hamba yang taat, menerima taubat di antara mereka yang bertaubat dan memenuhi doa mereka.

 

Inilah hak-hak terpenting yang dipenuhi Allah, sesuai dengan hukum janji dan kemurahan-Nya, bukan karena itu semua merupakan hak yang bisa dituntut dari-Nya. Jadi yang pasti Allahlah yang mempunyai hak atas hamba. Sedangkan hak hamba atas Allah semata karena menurut ketentuan kemurahan dan kemuliaan Allah.

 

– Tidak menentang pilihan-Nya. Dengan kata lain, jika engkau melihat bahwa Allah telah menentukan suatu pilihan bagimu atau bagi orang lain, maka janganlah engkau menentang atau menolak pilihan-Nya itu, tapi ridhalah dengan pilihan-Nya bagi dirimu, karena yang demikian ini mencerminkan pengagungan terhadap Allah.

 

Sakinah

 

Sakinah (ketenangan) termasuk tempat persinggahan pemberian dan bukan pencarian dan usaha. Allah telah menyebutkan kata sakinah ini di enam tempat dalam Kitab-Nya, yaitu:

 

“Dan, Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepada kalian, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 248).

 

“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orangorang yang beriman.” (At-Taubah: 26).

 

“Di waktu dia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya.” (At-Taubah: 40).

 

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).“ (Al-Fath: 4).

 

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).“ (Al-Fath: 18).

 

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang Mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa.” (Al-Fath: 26).

 

Jika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghadapi masalah yang berat, maka dia membaca ayat-ayat yang di dalamnya terkandung ketenangan. Saya sendiri pernah mencoba membaca ayat-ayat ini untuk mengenyahkan kegundahan di dalam hati. Maka saya bisa merasakan pengaruhnya yang amat besar dalam mendatangkan ketenangan.

 

Makna sakinah adalah ketenangan dan thuma ninah yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika mengalami keguncangan dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu dia tidak lagi merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah imannya, kekuatan keyakinan dan keteguhan hatinya. Karena itu Allah mengabarkan ketenangan yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah dan kepada orang-orang Mukmin ketika mereka dalam keadaan cemas dan gelisah, seperti saat hijrah, yaitu ketika beliau danAbu Bakar bersembunyi di dalam gua, sementara musuh-musuh beliau ada di atas kepala. Andaikan di antara mereka ada yang melongok ke bawah, tentulah mereka akan melihat beliau dan Abu Bakar. Begitu pula pada saat perang Hunain, karena pasukan Muslimin melarikan diri setelah mendapatkan gempuran serangan musuh. Sebagian di antara mereka tidak mempedulikan nasib sebagian yang lain. Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang memaksakan syarat-syarat perjanjian yang harus diterima orang-orang Muslim.

 

Ibnu Abbas berkata, “Setiap sakinah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an berarti thuma’ninah atau ketenangan, kecuali yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Sakinah merupakan istilah untuk tiga perkara:

 

– Sakinah Bani Israel yang dimasukkan ke dalam Tabut. Ada perbedaan pendapat, apakah sakinah ini berupa jenis ataukah makna. Kalaupun jenis, bagaimana sifatnya? Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, jenisnya berupa angin yang bertiup kencang, memiliki wajah seperti wajah manusia. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa rupanya seperti kucing yang mempunyai dua sayap dan mata yang berkilauan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, jenisnya berupa baskom yang terbuat dari emas surga, yang digunakan untuk mencuci hati para nabi. Jika sakinah ini diartikan makna, maka artinya ketenangan. Taruhlah bahwa maknanya adalah yang pertama, maka sakinah di sini adalah Tabut itu sendiri.

 

– Sakinah yang disampaikan kepada orang yang sedang dibicarakan, bukan termasuk sesuatu yang bisa dicari dan dimiliki, tapi merupakan anugerah dari Allah, yang diturunkan ke lisan orang yang benar, seperti wahyu yang diturunkan ke dalam hati para nabi. Jika sakinah ini turun ke dalam hati seseorang, maka dia menjadi tenang, tunduk dan pasrah, lisannya tidak mengatakan kecuali yang baik, seakan ada penghalang antara lisan itu dan perkataan-perkataan kotor dan kebatilan. Ibnu Abbas berkata, “Kami saling membicarakan bahwa sakinah ini turun ke lisan Umar dan hatinya, lalu dia menyampaikannya.”

 

– Sakinah yang turun ke dalam hati Rasulullah dan hati orang-orang Mukmin. Sakinah ini merupakan sesuatu yang mampu menghimpun kekuatan dan ruh, menenangkan orang yang tadinya dicekam rasa takut, menghibur hati yang sedih dan gelisah serta menenangkan orang yang durhaka, lancang dan enggan.

 

Syaikh menyebutkan bahwa sesuatu yang diturunkan Allah ke dalam hati Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin, mencakup tiga makna: Cahaya, kekuatan dan ruh, yang menghasilkan tiga buah: Ketenangan orang yang takut, kegembiraan orang yang sedih dan ketenangan orang yang durhaka, lancang dan enggan. Dengan ruh sakinah ini ada kehidupan hati. Dengan cahayanya hati menjadi bersinar, dan dengan kekuatannya ada keteguhan dan hasrat. Dengan cahaya, seorang hamba bisa menyingkap bukti-bukti iman, hakikat keyakinan, bisa membedakan antara yang hag dan batil, petunjuk dan kesesatan, keraguan dan keyakinan. Dengan kehidupan, menghasilkan kesadaran, pemikiran dan membuatnya waspada terhadap kelalaian. Dengan kekuatan, menghasilkan kelurusan, kejujuran dan makrifah yang benar, penguasaan jiwa dan membebaskannya dari aib dan kekurangan. Karena itu sakinah ini bisa menambah keimanan yang sudah ada.

 

Ketenangan kewibawaan yang diturunkan Allah sebagai sifat orang yang memilikinya, merupakan cahaya dari sakinah yang ketiga ini dan merupakan buahnya.

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat sakinah, yaitu:

 

  1. Sakinah kekhusyu’an saat melaksanakan pengabdian, berupa memenuhi hak, mengagungkan dan menghadirkan hati.

 

Yang dimaksudkan adalah ketenangan, kewibawaan dan kekhusyu’an yang diperoleh pelakunya karena berbuat kebajikan. Allah berfirman,

 

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (Al-Hadid: 16).

 

Karena iman mengharuskan munculnya kekhusyu’an dan memang iman itu menyeru kepada kekhusyu’an, maka Allah menyeru mereka dari kedudukan iman ke kedudukan kebajikan. Dengan kata lain Allah berfirman, “Belumkah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai kebajikan dengan iman?” Untuk mewujudkannya ialah dengan kekhusyu’an mereka saat mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka.

 

Memenuhi hak artinya memenuhi hak pengabdian, yang zhahir maupun batin. Pengagungan pengabdian mengikuti pengagungan terhadap Allah yang disembah. Seberapa jauh pengagungan kepada Allah bersemayam di dalam hati hamba, maka sejauh itu pula pengagungannya terhadap pengabdian kepada-Nya. Menghadirkan hati ialah saat menyaksikan Allah yang disembah, seakan-akan dia benar-benar dapat melihat-Nya.

 

  1. Sakinah saat bermu’amalah, dengan menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk dan memperhatikan hak Allah.

 

Derajat inilah yang biasa digeluti orang-orang sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam bermu’amalah dengan Allah serta dengan makhluk, yang bisa diperoleh dengan tiga perkara:

 

– Menghisab diri, sehingga dapat diketahui apa yang menjadi bagiannya dan apa kewajibannya. Kebersihan dan kesuciannya tergantung dari hisab ini. Al-Hasan berkata, “Demi Allah, engkau tidak melihat seorang Mukmin melainkan dia berdiri di hadapan diri sendiri seraya bertanya, “Apa yang kamu kehendaki dari kata ini? Apa yang kamu kehendaki dari sesuap makanan? Apa yang kamu kehendaki dengan masuk atau keluar dari suatu tempat?”

 

Dengan hisab ini dia bisa mengetahui aib dan kekurangannya, lalu memungkinkan untuk membenahinya.

 

– Lemah lembut terhadap makhluk, sesuai dengan kelaziman dalam bermu’amalah dengan mereka, tidak memperlakukan mereka dengan keras dan kaku, karena cara ini justru membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan hubungan dengan Allah serta membuang-buang waktu. Tidak ada yang lebih bermanfaat dalam bermu’amalah dengan manusia kecuali dengan lemah lembut. Hal ini harus diterapkan kepada orang asing, sehingga bisa merebut hati dan cintanya, atau terhadap sahabat dan kekasih, untuk menjaga kelangsungan hubungan dan kasih sayang, atau terhadap musuh dan orang yang membenci, untuk memadamkan kekerasannya dan menghentikan kejahatannya.

 

– Memperhatikan hak Allah. Hal ini bisa mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Dua tingkatan di atas tidak dianggap benar kecuali dengan memenuhi hak Allah.

 

  1. Sakinah yang menguatkan keridhaan terhadap bagian dirinya, mencegah dari pembualan dan menempatkan orang yang memilikinya pada batasan ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam hati nabi atau wali.

 

Orang yang memiliki sakinah ini harus ridha kepada bagiannya dan tidak menoleh ke bagian yang diterima orang lain. Sehingga orang yang memiliki sakinah ini juga tidak membual. Sebab bualan muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Orang yang memiliki sakinah ini juga tidak melanggar batasan ubudiyah. Jika dikatakan bahwa sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam hati nabi atau wali, karena ini merupakan karunia Allah yang paling agung. Maka dari itu Allah tidak menjadikannya kecuali bagi Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.

 

Thuma’ninah

 

Allah berfirman tentang thuma’ninah (ketentraman) ini,

 

“((Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28).

 

“Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr: 27-30)

 

Thuma’ninah merupakan ketentraman hati terhadap sesuatu, tidak cemas dan gelisah. Di dalam atsar disebutkan, “Kejujuran merupakan ketentraman dan kebohongan merupakan kebimbangan.”

 

Allah menjadikan thuma’ninah di dalam hati orang-orang yang beriman dan di dalam jiwa mereka, lalu memberikan kabar gembira, bahwa yang masuk surga adalah orang-orang yang memiliki jiwa yang thuma’ninah. Firman Allah, “Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu”, merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma’ninah. Maka di antara doa yang biasa diucapkan orang-orang salaf, “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku jiwa yang thuma ninah kepada-Mu.”

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Thuma’ninah adalah ketenangan yang dikuatkan rasa aman yang sesungguhnya, menyerupai pandangan mata secara langsung.”

 

Ada dua perbedaan antara sakinah (ketenangan) dan thuma’ninah (ketentraman):

 

– Sakinah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai dengan hilangnya rasa takut. Sedangkan thuma’ninah merupakan pengaruh yang timbul dari adanya sakinah. Seakan-akan thuma’ninah merupakan puncak dari sakinah.

 

– Sebagai gambaran, keberuntungan yang diperoleh karena sakinah, seperti seseorang yang berhadapan dengan musuh. Ketika musuh lari darinya, maka hatinya menjadi tenang. Sedangkan thuma’ninah seperti benteng yang pintunya terbuka, lalu dia masuk ke dalamnya, sehingga dia merasa aman dari musuh. Thuma’ninah sifatnya lebih umum, karena ditunjang ilmu, pengabarannya, keyakinan dan keberuntungan. Maka dari itu hati menjadi thuma’ninah karena bacaan AlQur’an, karena ada iman kepadanya, mengetahuinya dan mendapat petunjuknya. Sedangkan sakinah merupakan keteguhan hati yang dapat mengusir rasa takut dan hilangnya kecemasan, seperti keadaan pasukan Allah yang dapat membunuh musuh.

 

Ada tiga derajat thuma’ninah, yaitu:

 

  1. Thuma’ninah hati karena menyebut asma Allah. Ini merupakan thuma’ninahnya orang takut yang beralih ke harapan, dari kegelisahan ke hukum dan dari cobaan ke pahala.

 

Thuma’ninah bisa muncul karena menyebut asma Allah dan membaca Kitab-Nya. Tapi sifat thuma’ninah ini lebih umum dari sekadar menyebut asma Allah atau membaca Kitab-Nya. Jika seseorang dirundung rasa takut sekian lama, lalu Allah hendak mengenyahkan rasa takutnya itu, maka Dia menurunkan sakinah kepadanya, sehingga hatinya menjadi tenang dan beralih ke harapan. Dengan begitu dia menjadi thuma’ninah dan merasa aman dari ketakutannya.

 

Maksud kegelisahan yang beralih ke hukum, bahwa orang yang merasa gelisah karena harus menanggung berbagai macam kewajiban dan beban perintah, apalagi orang yang mendapat tugas menyampaikan risalah dari Allah, memusuhi musuh-musuh Allah dan orang-orang yang menghadang jalan-Nya, padahal tugas-tugas tidak akan mampu dijalankan manusia, maka tentu saja hatinya akan merasa gelisah dan kesabarannya bisa melemah. Jika Allah hendak menenangkannya, maka Dia menurunkan sakinah kepadanya, kemudian dia menjadi thuma’ninah karena pasrah kepada hukum agama dan hukum alam. Dia tidak akan merasa thuma’ninah kecuali dengan dua hukum ini. Seberapa jauh kesaksiannya terhadap dua hukum ini, maka sejauh itu pula thuma’ninahnya. Dia merasa tentram beralih ke hukum agama, karena dia tahu bahwa itu adalah agama yang benar dan merupakan jalannya yang lurus. Dia merasa tentram beralih ke hukum alam atau takdir, karena dia mengetahui bahwa dia tidak ditimpa sesuatu melainkan sudah ditakdirkan Allah. Apa pun yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi

 

Maksud beralih dari kegelisahan cobaan ke pahala, bahwa jika kesaksian seseorang tentang pahala menjadi kuat, maka hatinya menjadi tenang dan tentram, karena dia merasa akan mendapatkan pengganti. Cobaan terasa semakin berat karena dia tidak melihat pahala di balik cobaan itu. Tapi karena kuatnya kesaksian terhadap pahala ini, adakalanya seseorang justru merasakan kenikmatan cobaan yang menimpanya dan tidak ingin jauh-jauh dari cobaan itu. Banyak orang berakal yang merasa yakin terhadap efektivitas suatu obat yang amat pahit, maka dia justru bisa menikmati kepahitannya itu, karena dia melihat manfaat di balik penderitaannya meminum obat tersebut.

 

  1. Thuma’ninah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat merindukan janji dan saat berpisah untuk berkumpul kembali.

 

Ruh menjadi thuma’ninah jika melihat tujuannya dan tidak ingin menengok ke belakang. Sedangkan pengungkapan hakikat di sini ada dua macam:

 

– Pengungkapan jalan yang menghantarkan ke tujuan, yaitu mengungkap hakikat iman dan syariat Islam.

 

– Pengungkapan tujuan perjalanan, yaitu mengetahui asma’ dan sifat Ruh juga akan merindukan apa yang dijanjikan kepadanya. la menjadi thuma’ninah karena apa yang dijanjikan itu. Ruh juga menjadi thuma’ninah jika dia berpisah dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaannya, seperti orang yang lapar lalu mendapatkan makanan, yang membuatnya merasa thuma’ninah.

 

  1. Thuma’ninah karena menyaksikan kasih sayang Allah, thuma’ninah kebersamaan menuju kekekalan dan thuma’ninah kedudukan menuju cahaya azali.

 

Derajat ini berkaitan dengan kefanaan dan kekekalan. Orang yang sampai kepada kesaksian kebersamaan merasa tentram karena kasih sayang Allah.

 

Maksud thuma’ninah kebersamaan menuju kekekalan, bahwa jika seseorang tidak merasakan thuma’ninah karena kekekalan yang akan dijalaninya, maka dia akan melepaskan ubudiyah. Jika dia merasakan thuma’ninah terhadap kekekalan ini, maka itulah yang disebut thuma’ninah kebersamaan menuju kekekalan.

 

Thuma’ninah kedudukan menuju cahaya azali, artinya thuma’ninah karena mengetahui ketetapan azali yang tidak akan berubah dan berganti. Jika hati merasa tentram karena mengetahui ketentuan Allah di dalam azal, maka inilah yang disebut thuma’ninah kedudukan karena cahaya azal.

 

Himmah

 

Himmah merupakan bentuk lain dari kata hammu, yang merupakan permulaan kehendak atau hasrat. Jadi himmah dikhususkan sebagai kesudahan kehendak atau tekad.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam sebagian atsar Ilahi disebutkan, Allah berfirman, ‘Aku tidak melihat perkataan orang yang bijak, tetap Aku hanya melihat hasratnya.”

 

Orang awam berkata, “Bobot seseorang terletak pada kebaikannya.” Orang khusus berkata, “Bobot seseorang terletak pada apa yang dicarinya.” Dengan kata lain, bobot seseorang terletak pada himmah dan apa yang dicarinya.

 

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Himmah artinya suatu kekuasaan yang secara murni mendorong kepada maksud, yang tidak bisa dibendung pelakunya dan dia tidak bisa berpaling darinya.”

 

Jika himmah hamba bergantung kepada Allah secara benar dan tulus, maka itulah himmah yang tinggi, yang tidak bisa dibendung pelakunya, atau tidak bisa diabaikannya, karena kekuasaannya yang kuat dan keharusannya untuk mencari tujuan yang diinginkan. Dia juga tidak bisa berpaling darinya ke selain hukum-hukumnya. Orang yang memiliki himmah ini begitu cepat mencapai tujuannya dan mendapatkan apa yang dicarinya, selagi tidak ada penghalang yang merintanginya.

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat himmah, yaitu:

 

  1. Himmah yang menjaga hati dari kesenangan kepada keliaran yang fana, membawanya untuk menyenangi yang kekal, dan membersihkannya dari noda kelambanan.

 

Yang fana artinya dunia dan seisinya. Maksudnya, hati harus berzuhud di dunia dan menghindarinya. Ruh dan hati orang-orang yang menyenangi dunia dalam keadaan liar di dalam jasad mereka, karena ia merasa tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, sehingga hati itu menjadi liar. Sedangkan orang-orang yang menghindari dunia melihat dunia itu takut kepada mereka. Tidak ada yang lebih liar di dalam hati selain dari sesuatu yang menjadi penghalang antara hati itu dan apa yang diinginkannya. Karena itu seseorang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan harta, adalah orang yang paling dibenci dan mereka paling liar serta jalang terhadap dirinya. Orangorang yang berzuhud di dunia memandang dunia itu dengan mata hati, sedangkan orang yang menyenangi dunia melihat dunia itu dengan pandangan matanya.

 

Himmah juga membawa hati untuk menyenangi Dzat yang kekal, yaitu Allah. Sedangkan yang kekal atas pengekalan Allah adalah kampung akhirat. Himmah juga membersihkan hati dari noda kelambanan dan kesantaian, karena ini merupakan sebab pengabaian.

 

  1. Himmah yang mempusakakan kesinisan terhadap ketidakpedulian karena beberapa alasan, penurunan amal dan keyakinan terhadap harapan. Orang yang memiliki derajat ini mencurigai himmah dan hatinya, andaikan ia meremehkan karena alasan-alasan tertentu. Dia tidak puas jika perhatiannya hanya tertuju ke rupa amal dan terbatas kepada tujuan saat beramal, karena yang demikian ini bisa menurunkan amal. Sedangkan keyakinan terhadap harapan bisa menimbulkan kesantaian. Sementara orang yang memiliki himmah tidak seperti itu, sebab dia dalam keadaan terbang dan tidak berjalan kaki.

 

  1. Himmah yang naik meninggalkan keadaan dan mu’amalah, tidak terpancang kepada imbalan pengganti dan derajat, meninggalkan sifat untuk menuju dzat.

 

Himmah ini terlalu tinggi jika pemiliknya bergantung kepada keadaan atau pengaruh amal, atau bergantung kepada mu’amalah. Tapi maksudnya bukan meniadakan mu’amalah itu, tapi tetap melaksanakannya tanpa bergantung kepadanya. Himmah ini tampak semakin tinggi karena pemiliknya tidak terpaku kepada imbalan yang akan diperolehnya sebagai pengganti dan derajat yang didapatkannya. Karena yang demikian ini justru bisa menurunkan himmah. Himmah orang yang memilikinya terpancang kepada tuntutan yang paling tinggi, yang lebih tinggi dari segala sesuatu, sehingga dia juga tidak terpancang hanya kepada sifat dan asma’, tapi kepada Dzat Allah.

 

Mahabbah

 

Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai. Dengan sepoi anginnya, orang-orang yang beribadah merasakan ketenangan. Cinta merupakan santapan hati, makanan ruh dan kesenangannya. Cinta merupakan kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya seperti orang mati. Cinta adalah cahaya, siapa yang tidak memilikinya seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita. Cinta adalah obat penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya diendapi berbagai macam penyakit.

 

Cinta adalah kelezatan, siapa yang tidak memilikinya maka seluruh hidupnya diwarnai kegelisahan dan penderitaan. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh. Cinta membawakan beban orang-orang yang mengadakan perjalanan saat menuju ke suatu negeri, yang tentu saja mereka akan keberatan jika beban itu dibawa sendiri. Cinta menghantarkan mereka ke tempat persinggahan yang selainnya tak bisa menghantarkan mereka ke tujuan. Cinta adalah kendaraan yang membawa mereka kepada sang kekasih. Cinta adalah jalan mereka yang lurus, yang menghantarkan mereka ke tempat persinggahan pertama yang terdekat. Demi Allah, para pemilik cinta telah pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat, sehingga akhirnya senantiasa bersama sang kekasih. Allah telah menetapkan bahwa seseorang itu bersama orang yang paling dicintainya. Sungguh ini merupakan kenikmatan tiada tara yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki cinta.

 

Mereka memenuhi panggilan kerinduan, saat ada yang berseru kepada mereka, “Hayya alal-falah”. Mereka rela mengorbankan jiwa agar bisa bersama sang kekasih. Pengorbanan ini dilakukan dengan suka rela dan ridha, rela melakukan perjalanan pada pagi dan petang hari. Pembayaran secara kontan dari harga cinta yang sudah disepakati harganya adalah dengan cara mengorbankan nyawa. Hal ini tidak berlaku bagi orang yang bangkrut, bodoh bakhil dan suka menawar-nawar.

 

Karena banyak orang yang mengaku memiliki cinta, maka mereka dituntut untuk menyodorkan bukti pengakuan itu. Andaikan mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan pengakuannya, maka kesaksian mereka akan beragam. Lalu dikatakan, “Pengakuan ini tidak bisa diterima kecuali ada buktinya.”

 

“Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31).

 

Semua manusia tertinggal di belakang, kecuali orang-orang yang mengikuti sang kekasih dalam perbuatan, perkataan dan akhlaknya. Lalu mereka dituntut keadilan bukti itu lewat proses pensucian jihad.

 

“Mereka berjihad di jalan Allah tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54).

 

Kebanyakan orang-orang yang memiliki cinta tertinggal di belakang, dan yang bangkit adalah orang-orang yang berjihad. Lalu dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Jiwa dan harta orang-orang yang mencintai bukan milik mereka. Maka ke sinilah untuk menyatakan sumpah setia.”

 

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (At-Taubah: 111).

 

Ketika mereka mengetahui keagungan pembeli dan harga yang tinggi serta keagungan yang akan diperolehnya setelah terjadi kontrak jual beli, mereka pun tahu nilai barang. Mereka juga melihat siapa saja orang yang bodoh, karena menjual barang itu dengan harga yang sangat murah. Maka dengan penuh keridhaan mereka ikut dalam perdagangan ini tanpa menawar dan memilih-milih, sambil berkata, “Demi Allah, kami tidak membatalkan dan kami tidak meminta pembatalan perniagaan denganmu.”

 

Setelah kontrak jual beli sudah rampung dan barang sudah diserahkan kepada pembeli, maka dikatakan kepada mereka, “Sejak saat ini jiwamu dan hartamu menjadi milik kami, dan kelak kami akan mengembalikannya lagi kepadamu dalam jumlah yang lebih banyak lagi, jauh lebih banyak.”

 

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.” (Ali Imran: 169-170).

 

Jika pohon cinta ditanam di dalam hati dan disirami dengan air ikhlas serta mengikuti orang yang dicintai, tentu akan menghasilkan buah yang banyak dan bermacam-macam, yang bisa dipetik setiap saat dengan seizin Rabb-nya, yang akarnya tertancap kuat di dalam hati dan cabang-cabangnya menjulang tinggi hingga mencapai Sidratul-Muntaha.

 

Cinta tidak bisa dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Sebab batasan-batasan itu justru membuat cinta semakin sulit dideteksi dan tersembunyi.

 

Batasannya adalah keberadaannya. Tidak ada sifat yang lebih pas untuk cinta selain dari kata cinta itu sendiri. Manusia hanya sekadar bicara tentang sebab, pendorong, tanda, bukti, buah dan hukum-hukumnya. Batasan diri mereka berkisar pada enam unsur ini, dan pengungkapan mereka berbeda-beda, tergantung dari batas pengetahuan, kedudukan, keadaan dan kemampuan masing-masing dalam mengungkapkan cinta.

 

Menurut bahasa, kata mahabbah berkisar pada lima perkara:

 

  1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.

 

  1. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma’i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.

 

  1. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba’ir, yang berarti onta yang sedang menderum dan tidak mau bangkit lagi.

 

  1. Inti dan relung, seperti kata habbatul-galbi, yang berarti relung hati.

 

  1. Menjaga dan menahan, seperti kata hibul-ma’i lil-wi’a’, yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.

 

Beberapa Ungkapan tentang Seputar Cinta Ada banyak ungkapan yang dinyatakan tentang jenis dan batasan cinta, tergantung dari pengaruh dan kesaksiannya, serta ungkapan-ungkapan lain yang diperlukan tentang cinta, di antaranya:

 

  1. Cinta adalah kecenderungan yang terus-menerus di dalam hati yang membara. Pengertian ini tidak membedakan antara cinta yang khusus dan yang umum, antara cinta yang benar dan cinta yang cacat.

 

  1. Mementingkan yang dicintai dari segala yang menyertai. Ini termasuk hukum cinta dan pengaruhnya.

 

  1. Menyesuaikan diri dengan sang kekasih, ketika berada di dekatnya atau saat jauh darinya. Ini merupakan keharusan cinta dan tuntutan cinta yang tulus. Ini lebih sempurna dari dua pengertian di atas, dan bukan sekadar kecenderungan dan mementingkan kehendak. Sebab jika ada penyesuaian diri dengan sang kekasih, maka itu adalah cinta yang cacat.

 

  1. Melebur cinta karena sifatnya dan menegaskan kekasih karena dzatnya. Ini termasuk hukum kefanaan dalam cinta, yaitu menghapus sifat-sifat orang yang mencintai lalu melebur ke dalam sifat-sifat kekasih dan dzatnya.

 

  1. Menyelaraskan hati dengan kehendak-kehendak kekasih. Ini juga termasuk keharusan dan hukum-hukum cinta.

 

  1. Takut meninggalkan pengagungan sambil menegakkan pengabdian. Ini termasuk tanda dan pengaruh cinta.

 

  1. Engkau menganggap sedikit pemberianmu yang banyak terhadap kekasih dan menganggap banyak pemberian kekasih kepada dirimu yang sedikit. Ini termasuk hukum, keharusan dan kesaksian cinta.

 

  1. Engkau menganggap banyak kejahatanmu yang sedikit terhadap kekasih dan menganggap sedikit ketaatanmu yang banyak. Pengertian ini tak jauh berbeda dengan sebelumnya.

 

  1. Selalu memeluk ketaatan dan meninggalkan penentangan. Ini merupakan hukum cinta dan keharusannya, dan merupakan perkataan Sahl bin Abdullah.

 

  1. Masuknya sifat-sifat kekasih ke sifat orang yang mencintai. Maksudnya, nama sang kekasih dan sifat-sifat merasuk ke dalam hati orang yang mencintai, sehingga tidak ada yang menguasainya selain dari itu.

 

  1. Engkau menyerahkan seluruh dirimu kepada siapa yang engkau cintai, sehingga sedikit pun engkau tidak berkuasa terhadap dirimu sendiri. Ini merupakan perkataan Abdullah Al-Oursyi.

 

  1. Engkau harus menghapus selain yang engkau cintai dari hati. Ini merupakan perkataan Asy-Syibli. Kesempurnaan cinta menuntut yang demikian ini.

 

  1. Engkau tidak mencela dirimu terus-menerus untuk mendapatkan keridhaan kekasih, namun engkau tidak ridha terhadap perbuatan dan keadaanmu karena kekasih. Ini merupakan perkataan Ibnu Atha’.

 

  1. Engkau cemburu terhadap kekasih, jika dia dicintai orang lain sepertimu. Ini merupakan perkataan Asy-Syibly. Artinya, engkau menganggap dirimu hina untuk mencintainya, karena ada juga yang mencintainya seperti cintamu.

 

  1. Cinta adalah kehendak yang dahan-dahannya ditanamkan di dalam hati, lalu membuahkan kesesuaian dan ketaatan.

 

  1. Orang yang mencintai lupa bagiannya karena sang kekasih dan dia lupa kebutuhan dirinya. Ini merupakan perkataan Abu Ya’gub As-Susi.

 

  1. Menghindari kelalaian dalam keadaan bagaimana pun. Ini merupakan perkataan An-Nashr Abadi.

 

  1. Menyatukan kekasih dengan ketulusan kehendak dan pencarian.

 

  1. Menggugurkan semua kecintaan dari hati selain kecintaan kepada kekasih, Ini merupakan perkataan Muhammad bin Al-Fadhl.

 

  1. Menundukkan pandangan hati dari selain kekasih karena cemburu dan menundukkan pandangan dari kekurangannya.

 

  1. Kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkannya dibanding terhadap dirimu dan hartamu, lalu engkau menyesuaikan diri dengannya secara lahir dan batin, kemudian engkau mengetahui kekuranganmu dalam mencintainya.

 

  1. Cinta adalah api di dalam hati, yang membakar selain semua kekasih.

 

  1. Cinta adalah mengerahkan usaha dan tidak berpaling dari kekasih. Ini merupakan keharusan cinta, hak dan buahnya.

 

  1. Cinta adalah ketidaksadaran yang tidak bisa sembuh kecuali menyaksikan sang kekasih. Ketika sudah menyaksikannya, maka ketidak sadarannya justru semakin sulit digambarkan.

 

  1. Engkau tidak mementingkan selain kekasih dan tidak menyerahkan urusanmu kepada selainnya.

 

  1. Masuk ke dalam penghambaan kekasih dan membebaskan diri dari perbudakan selainnya.

 

  1. Cinta adalah perjalanan hati menuju sang kekasih dan lisan senantiasa menyebut namanya. Perjalanan ini artinya kerinduan untuk bersua dengannya. Tidak dapat diragukan bahwa siapa yang mencintai sesuatu tentu dia akan banyak menyebutnya.

 

  1. Cinta adalah sesuatu yang tidak berkurang karena pengabaian dan tidak bertambah karena kebaikan. Ini merupakan perkataan Yahya bin Mu’adz.

 

  1. Yang disebut cinta ialah seluruh apa yang ada pada dirimu disibukkan oleh kekasih.

 

  1. Ini merupakan ungkapan cinta yang paling menyeluruh dari ungkapan-ungkapan di atas, sebagaimana yang dituturkan Abu Bakar Al-Kattani, “Di Makkah diadakan dialog tentang masalah cinta, tepatnya pada musim haji. Banyak syaikh yang mengungkapkan pendapatnya tentang cinta ini. Sementara Al-Junaid saat itu merupakan orang yang paling muda di antara mereka. Orang-orang berkata kepadanya, “Sampaikan pendapatmu wahai penduduk dari Irak.” Beberapa saat Al-Junaid menundukkan pandangannya dan air matanya pun menetes perlahan-lahan. Dia berkata, “Cinta ialah jika seorang hamba lepas dari dirinya, senantiasa menyebut nama Rabb-nya, memenuhi hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan sepenuh hati, seakan hatinya terbakar karena cahaya ketakutan kepadaNya, yang minumannya berasal dari gelas kasih sayang-Nya, dan Allah Yang Maha Perkasa menampakkan Diri dari balik tabir kegaiban-Nya. Jika berbicara atas pertolongan Allah, jika berucap berasal dari Allah, jika bergerak atas perintah Allah, jika dia beserta Allah, dia dari Allah, bersama Allah dan milik Allah.”

 

Mendengar ungkapannya ini semua syaikh yang hadir di sana menangis, dan mereka berkata, “Ungkapan ini sudah tidak memerlukan tambahan lagi. Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu wahai mahkota orang-orang yang arif.”

 

Sebab-sebab yang Mendatangkan Cinta kepada Allah

 

  1. Membaca Al-Qur’an dengan mendalami dan memahami makna-maknanya, seperti yang dikehendaki, tak berbeda dengan menelaah buku yang harus dihapalkan seseorang, agar dia dapat memahami maksud pengarangnya.

 

  1. Taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan shalat-shalat nafilah setelah shalat fardhu, karena yang demikian ini bisa menghantarkan seorang hamba ke derajat orang yang dicintai setelah dia memiliki cinta.

 

  1. Senantiasa mengingat dan menyebut asma-Nya dalam keadaan bagaimana pun, baik dengan lisan dan hati, saat beramal dan di setiap keadaan. Cinta yang didapatkannya tergantung dari dzikirnya ini.

 

  1. Lebih mementingkan cinta kepada-Nya daripada cintamu pada saat engkau dikalahkan bisikan hawa nafsu.

 

  1. Mengarahkan perhatian hati kepada asma’ dan sifat-sifat Allah, mempersaksikan dan mengetahuinya. Siapa yang mengetahui Allah melalui sifat, asma’ dan perbuatan-Nya, tentu dia akan mencintai-Nya. Karena itu orang-orang semacam Fir’aun dan golongan Jahmiyah menjadi perintang jalan antara hati dan Allah.

 

  1. Mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang zhahir maupun yang batin, karena yang demikian ini bisa memupuk cinta kepada-Nya.

 

  1. Kepasrahan hati secara total di hadapan Allah.

 

  1. Bersama Allah pada saat Dia turun ke langit dunia, bermunajat kepadaNya, membaca kalam-Nya, menghadap dengan segenap hati, memperhatikan adab-adab ubudiyah di hadapan-Nya, kemudian menutup dengan istighfar dan taubat.

 

  1. Berkumpul bersama orang-orang yang juga mencintai-Nya secara tulus, memetik buah-buah yang segar dari perkataan mereka, sebagaimana memetik buah yang segar dari pohon, tidak berkata kecuali jika merasa yakin perkataannya mendatangkan maslahat, menambah baik keadaanmu dan memberi manfaat bagi orang lain.

 

  1. Menyingkirkan segala sebab yang dapat membuka jarak antara hati dan Allah.

 

Dengan sepuluh sebab ini, maka orang yang mencintai tentu akan sampai ke kedudukan cinta dan bergabung bersama kekasih. Ada hal yang tidak kalah pentingnya dari semua itu, yaitu mempersiapkan ruh untuk mencapai keadaan ini dan membuka mata hati.

 

Cinta Allah dan Cinta Hamba

 

Pembicaraan tentang cinta ini tergantung dari dua sisi, yaitu sisi cinta hamba kepada Rabb-nya dan cinta Rabb kepada hamba-Nya. Kaitannya dengan penetapan dan penafian cinta ini, ada orang-orang yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, sehingga cinta hamba ini di atas segala gambaran cinta dan tidak ada kaitannya dengan seluruh cinta selain dari cinta itu. Inilah hakikat la ilaha illallah. Menurut mereka, cinta Allah kepada para wali, nabi dan rasul-Nya merupakan sifat tambahan dari rahmat, kebaikan dan kemurahan-Nya. Siapa yang dicintai Allah, maka rahmat, kebaikan dan kemurahan yang diterimanya lebih sempurna.

 

Sementara golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat cinta ini, kebalikan dari orang-orang di atas. Menurut mereka (Jahmiyah), Allah tidak mencintai dan tidak perlu dicintai. Padahal tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendustakan nash yang ada. Mereka mena’wili beberapa nash tentang cinta hamba kepada Allah sebagai cinta kepada ketaatan dan ibadah kepada-Nya serta cinta kepada tambahan amal agar mendapatkan pahala, sekalipun mereka tetap menggunakan istilah cinta. Mereka mena’wili cinta Allah kepada hamba sebagai kebaikan, kemurahan dan pemberian pahala kepada hamba, dan terkadang mereka mena’wilinya dengan pujian Allah kepada hamba dan pujian hamba kepada Allah, dan terkadang mereka mena’wilinya dengan kehendak.

 

Menurut mereka, jika kehendak Allah berkaitan dengan pengkhususan keadaan dan kedudukan yang tinggi bagi hamba, maka itu disebut cinta. Jika berkaitan dengan siksa, maka itu disebut murka. Jika berkaitan dengan kebaikan dan kenikmatan yang umum maupun khusus, maka itu disebut kemurahan. Jika berkaitan dengan penganugerahan secara tersembunyi, maka itu disebut kelemahlembutan. Begitu seterusnya. Karena mereka melihat cinta ini sebagai kehendak, sementara kehendak berkaitan dengan sesuatu yang baru dan diciptakan, tidak berkaitan dengan sesuatu yang lama, maka mereka mengingkari cinta hamba, malaikat dan rasul kepada Allah. Menurut mereka, tidak ada makna dalam cinta itu selain dari kehendak untuk mendekatkan diri, beribadah kepadaNya dan mengagungkan-Nya. Mereka mengingkari kekhususan Ilahiyah dan ubudiyah. Padahal semua dalil, pemikiran, fitrah, giyas dan rasa menunjukkan adanya cinta hamba kepada Rabb dan cinta Rabb kepada hamba.

 

Saya telah menyebutkan hampir seratus jalan dalam cinta pada kitab Raudhatul-Muhibbin. Di sana juga saya sebutkan faidah-faidah cinta, buah kesempurnaan yang bisa dipetik orang yang mencintai, sebab-sebab dan pendorong cinta, bantahan terhadap orang yang mengingkari keberadaan cinta dan penjelasan kerusakan pendapatnya. Orang-orang yang mengingkari yang demikian ini juga mengingkari kekhususan penciptaan dan perintah. Padahal penciptaan, perintah, pahala dan siksa semata lahir karena cinta dan keagungan sifat ini. Allahlah yang menciptakan langit dan bumi, yang mencakup perintah dan larangan.

 

Ini merupakan rahasia keyakinan terhadap Allah sebagai Ilah, dan gambaran tauhidnya adalah kesaksian tiada Ilah selain Allah.

 

Tidak seperti anggapan orang-orang yang mengingkari bahwa Ilah adalah Rabb dan Pencipta. Orang-orang musyrik pun menetapkan bahwa tidak ada Rabb selain Allah, tidak ada pencipta selain-Nya, bahwa Allahlah satu-satunya Pencipta dan Rabb. Hanya saja mereka tidak menetapkan tauhid Ilahiyah, yaitu gambaran lain dari cinta dan pengagungan, bahkan mereka menjadikan selain Allah sebagai sesembahan bersama Allah. Inilah syirik yang tidak akan diampuni Allah, dan pelakunya termasuk orang yang mengambil tandingan selain Allah. Firman-Nya,

 

“Dan, diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165).

 

Allah mengabarkan bahwa siapa yang mencintai sesuatu pun selain Allah sebagaimana dia mencintai Allah, maka dia termasuk orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Berarti ini merupakan tandingan dalam cinta, bukan dalam penciptaan dan Rububiyah. Sebab siapa pun di antara penghuni dunia ini tidak bisa diangkat sebagai tandingan dalam Rububiyah. Berbeda dengan tandingan dalam cinta.

 

Mayoritas penghuni bumi ini telah membuat tandingan selain Allah dalam cinta dan pengagungan. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya,

 

“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

 

Ada dua pendapat untuk mengukur bobot makna ayat ini:

 

– Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah, daripada cinta orangorang yang memiliki tandingan terhadap tandingan dan sesembahan yang dicintai dan diagungkan selain Allah.

 

– Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah, daripada cinta orangorang musyrik terhadap tandingan selain Allah. Sebab cinta orang-orang Mukmin adalah cinta yang murni dan tulus, sementara cinta orang-orang musyrik bisa lenyap dengan lenyapnya sesembahan tandingan.

 

Dua pendapat ini masih terkait dengan firman Allah sebelumnya, “Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”. Ada dua makna tentang penggalan ayat ini:

 

– Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Mereka menetapkan cinta kepada Allah dan juga cinta kepada tandingan.

 

– Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana orang-orang Mukmin mencintai Allah. Kemudian dijelaskan, bahwa cinta orang-orang Mukmin kepada Allah lebih besar daripada cinta orang-orang yang mempunyai tandingan terhadap sesembahan tandingan itu.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat pertama dan dia berkata, “Mereka dicela karena membuat persekutuan antara Allah dan sesembahan-sesembahan mereka dalam cinta, dan mereka tidak memurnikan cinta itu seperti cinta orang-orang Mukmin.”

 

Persamaan yang disebutkan dalam firman Allah ini merupakan kisah tentang diri mereka. Ketika sudah berada di neraka, mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan itu, saat sesembahan itu dihadirkan bersama mereka,

 

“Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.“ (Asy-Syu’ara’: 97-98).

 

Seperti yang sudah diketahui bersama, mereka tidak mempersamakan sesembahan-sesembahan itu dengan Allah dalam masalah penciptaan dan Rububiyah, tapi mempersamakan mereka dalam cinta dan pengagungan. Inipula makna persekutuan yang disebutkan dalam firman Allah,

 

“Tapi orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka.” (Al-An’am:1).

 

Artinya, mereka mempersekutukan selain Allah dalam ibadah, yang berarti cinta dan pengagungan. Inilah pendapat yang paling benar. Allah juga berfirman,

 

“Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (Ali Imran: 31).

 

Ini disebutkan ayat cinta. Abu SulaimanAd-Darani berkata, “Ketika hati manusia mengaku mencintai Allah, maka Allah menurunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka.”

 

Diantara orang salaf ada yang berkata, “Firman Allah, Niscaya Allah mencintai kalian’, mengisyaratan kepada bukti cinta, buah dan manfaatnya. Buktinya dan tanda cinta adalah mengikuti Rasul. Buah dan manfaatnya adalah balasan cinta. Siapa yang tidak mengikuti Rasul, berarti tidak akan memetik buah cinta.”

 

Allah juga berfirman tentang cinta ini,

 

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54).

 

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan empat tanda:

 

– Mereka adalah orang-orang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin. Menurut Atha’, sikap ini seperti sikap orang tua terhadap anaknya.

 

– Bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Sikap mereka terhadap orangorang kafir ini seperti singa yang menghadapi mangsanya.

 

– Berjihad dengan jiwa, tangan, lisan dan harta. Ini merupakan perwujudan pengakuan cinta.

 

– Tidak peduli terhadap celaan orang yang suka mencela karena urusan Allah. Ini merupakan tanda cinta yang sebenarnya. Sebab setiap orang yang mencintai tentu tidak lepas dari celaan orang lain karena cintanya terhadap sang kekasih.

 

Allah juga berfirman,

 

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (Al-sra ‘: 57).

 

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga kedudukan:

 

– Cinta, yang merupakan cara untuk tagarrub kepada Allah.

– Bertawassul kepada Allah dengan amal-amal shalih.

– Mengharap dan takut. Artinya mengharapkan rahmat dan takut adzab.

 

Sebagaimana yang sudah diketahui, engkau tidak bisa hidup kecuali berada di dekat kekasih yang engkau cintai. Kesukaan berdekatan dengannya harus mengikuti cinta kepada dzatnya. Bahkan kecintaan kepada dzatnya akan mendatangkan kecintaan untuk selalu dekat dengannya.

 

Golongan Jahmiyah tidak menerima pendapat ini. Menurut mereka, Dzat Allah tidak bisa didekati sedikit pun dan Dzat-Nya tidak mendekati sesuatu pun. Dzat-Nya tidak bisa dicintai dan tidak mencintai. Mereka mengingkari kehidupan hati, kenikmatan ruh, kesenangan hati dan kenikmatan yang paling tinggi di dunia dan di akhirat. Karena itu hati mereka disifati dengan kekerasan, antara diri mereka dan Allah ada hijab, sehingga mereka tidak bisa mencintai dan mengetahui Allah. Firman-Nya, “Padahal tidak seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan semata-mata) karena mencari Wajah Allah Yang Mahatinggi.” (Al-Lail: 20-21).

 

Orang-orang yang berbuat kebaikan, mendekatkan diri dan mencintai Allah adalah mereka yang menghendaki Wajah-Nya. Menghendaki Wajah Allah ini menimbulkan kenikmatan memandang Wajah-Nya pada hari akhirat, sebagaimana yang disebutkan dalam Mustadrak Al-Hakim dan dalam Shahih Ibnu Hibban di dalam hadits marfu’ dari Nabi, bahwa beliau biasa membaca doa, “Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan, Mu atas makhluk, hidupkanlah aku selagi hidup ini baik bagiku, dan matikanlah aku selagi mati baik bagiku. Aku memohon ketakutan kepada-Mu saat sepi dan ramai. Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar saat marah dan ridha. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat fakir dan kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis. Aku memohon kepada, Mu kesenangan hati yang tidak terputus. Aku memohon kepada-Mu ridha setelah gadha’ dan hidup yang dingin setelah kematian. Aku memohon kepada. Mu kenikmatan memandang Wajah-Mu. Aku memohon kepada-Mu kerinduan berjumpa dengan-Mu, tanpa ada kesempitan dan mudharat, tanpa ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami pemberi petunjuk orang-orang yang mengikuti petunjuk.”

 

Di dalam hadits yang mulia ini terkandung penetapan kenikmatan memandang Wajah Allah dan kerinduan berjumpa dengan-Nya. Sementara menurut pendapat golongan Jahmiyah, Allah tidak mempunyai Wajah dan kalaupun punya tidak bisa dipandang, apalagi mendatangkan kenikmatan.

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah bersabda,

 

‘Tiga perkara, siapa yang apabila tiga perkara ini ada padanya, maka dia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) selain keduanya, dia mencintai seseorang dan tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia benci dilemparkan ke neraka.” Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak ditebari pengabaran tentang orangorang yang dicintai Allah, yaitu kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang diikuti dengan pengabaran hal-hal yang dicintai-Nya, berupa amal, perkataan dan akhlak mereka. Di sana juga disebutkan hal-hal kebalikannya yang dibenci Allah.

 

Andaikata masalah cinta ini gugur, maka gugur pula seluruh kedudukan iman dan kebaikan, karena cinta merupakan ruh semua kedudukan dan amal. Jika kedudukan atau amal tidak ada cinta, maka seperti jasad mati yang tidak memiliki ruh. Penisbatan cinta kepada amal seperti penisbatannya ikhlas dengan amal. Bahkan cinta ini merupakan hakikat ikhlas. Siapa yang tidak memiliki cinta kepada Allah, maka dia dianggap tidak berserah diri kepada-Nya.

 

Tingkatan-tingkatan Cinta

 

  1. Alaqah. Disebut alagah (hubungan atau kaitan), karena adanya hubungan antara hati dengan sang kekasih.

 

  1. Iradah (kehendak), yaitu kecenderungan hati kepada yang dicintai dan dicarinya.

 

  1. Shababah, yaitu tumpahnya hati kepada kekasih yang tidak terbendung, seperti tumpahnya air ke tempat curahan.

 

  1. Gharam (cinta yang menyala), yaitu cinta yang benar-benar merasuk ke dalam hati dan tidak dipisahkan darinya.

 

  1. Widad (kasih), merupakan sifat cinta dan intinya. Al-Wadud merupakan sifat Allah. Ada dua makna tentang sifat ini: Allah yang dicintai, dan Allah yang mencintai hamba, seperti sifat-Nya Al-Ghafur, yang berarti memberi ampun dan yang menerima ampunan serta taubat.

 

  1. Syaghaf (cinta yang mendalam), artinya sampainya cinta ke hati yang paling dalam, seperti cintanya Al-Aziz terhadap Nabi Yusuf.

 

  1. Isyg, yaitu cinta yang memuncak dan berlebih-lebihan, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak terhadap orangnya.

 

  1. Tatayyum, atau penghambaan dan merendahkan diri. Taimullah artinya hamba Allah. Yutmu artinya kesendirian. Mutayyam artinya orang yang menyendiri dengan cintanya, seperti kesendirian anak yatim karena ditinggal mati ayahnya.

 

  1. Ta’abbud. Ini setingkat di atas tatayyum. Yang disebut hamba ialah yang dirinya telah dikuasai sang kekasih dan tak ada sesuatu pun yang menyisa bagi dirinya. Semua yang ada pada dirinya menjadi milik kekasihnya, zhahir maupun batin. Inilah yang disebut hakikat ubudiyah. Siapa yang sempurna ta’abbud-nya, maka sempurna pula tingkatannya. Jika martabat anak Adam sudah mencapai kesempurnaan ini, maka Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Saya mencapai martabat ini berkat kesempurnaan ubudiyah kepada Allah dan kesempurnaan ampunan Allah.”

 

Hakikat ubudiyah ialah cinta yang sempurna, merendahkan diri kepada kekasih dan tunduk kepadanya. Bangsa Arab biasa berkata, “Thariqun ma’bad”, artinya jalan yang sudah ditundukkan dan halus karena sering dilewati.

 

  1. Khallah, yaitu cinta yang sudah merasuk ke dalam ruh dan hati orang yang mencintai, sehingga di dalamnya tidak ada tempat bagi selain kekasihnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai kekasih, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.”

 

Inilah rahasia di balik sikap Ibrahim Al-Khalil yang menyembelih putranya dan belahan hatinya. Sebab ketika Kekasih meminta putra beliau, maka beliau langsung menyerahkannya. Kekasih akan cemburu terhadap kekasihnya jika di dalam hatinya ada tempat bagi selain dirinya. Maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk membunuh putranya yang tercinta, agar di dalam hati beliau tidak ada cinta yang lain. Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Cinta adalah keterkaitan hati,antara hasrat dan kejinakan.”

 

Artinya, cinta adalah keterkaitan hati dengan kekasih, dengan suatu kaitan yang disertai hasrat orang yang mencintai dan kejinakannya dengan kekasih serta pengesaan keterkaitan itu, sehingga tidak ada tempat di dalamnya bagi selain kekasih. Cinta merupakan lembah kefanaan yang pertama dan merupakan rambu-rambu yang menggugah kewaspadaan. Cinta merupakan tanda orangorang yang berjalan kepada Allah, petunjuk jalan dan penghubung antara hamba dan Allah.” Ada tiga derajat cinta, yaitu:

 

  1. Cinta yang memotong bisikan-bisikan, yang membuat pengabdian terasa nikmat dan yang membuat musibah terasa menggembirakan.

 

Cinta dan bisikan-bisikan merupakan dua hal yang saling bertentangan. Cinta mengharuskan hati untuk mengingat kekasih semata, sedangkan bisikan-bisikan membuat hati lupa sang kekasih, sehingga ia mengingat selainnya. Perbedaan di antara keduanya seperti perbedaan antara mengingat dan melupakan. Hasrat cinta ialah menyingkirkan keterkaitan hati antara kekasih dan selainnya, dan sekaligus ini merupakan sebab munculnya bisikan-bisikan. Seorang pecinta yang sesungguhnya sama sekali tidak akan membiarkan rongga di dalam hatinya untuk diisi bisikan-bisikan, karena hatinya sudah sibuk dengan keberadaannya di hadapan kekasih. Bukankah bisikan-bisikan ini hanya ada di dalam hati orang-orang yang lalai dan berpaling dari Allah? Bagaimana mungkin cinta dan bisikan-bisikan bisa menyatu? Orang yang mencintai tentu akan merasakan kenikmatan karena dapat mengabdi kepada kekasih. Dia tidak pernah merasa penat karena pengabdiannya itu. Orang yang mencintai juga lupa terhadap musibah yang menimpanya karena dia sudah mendapatkan kenikmatan cinta.

 

Seakan-akan dia memperoleh tabiat lain yang bukan tabiatnya sebagai manusia. Bahkan karena kekuasaan cinta ini, dia tetap merasakan kenikmatan sekalipun musibah yang datang dari kekasihnya amat banyak. Dia tidak lagi peduli terhadap bagian dan keinginan dirinya.

 

Syaikh juga berkata, “Ini merupakan cinta yang tumbuh karena melihat karunia, yang menguat karena mengikuti As-Sunnah dan berkembang karena doa kefakirannya dikabulkan.”

 

Cinta ini muncul karena hamba melihat karunia yang dilimpahkan Allah, berupa nikmat zhahir dan batin. Seberapa jauh dia bisa melihat karunia ini, maka sejauh itu pula kekuatan cintanya. Sesungguhnya hati itu diciptakan untuk mencintai sesuatu yang dianggapnya berbuat baik kepadanya dan membenci yang berbuat jahat kepadanya. Sementara tak ada satu kebaikan pun yang diperoleh hamba melainkan datang dari Allah dan tidak ada kejahatan terhadap dirinya kecuali datang dari setan. Karunia terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah menjadikannya mencintai Allah, mengetahuiNya, mengharapkan Wajah-Nya dan mengikuti kekasih-Nya. Dasar hal ini adalah cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba. Jika cahaya ini menyelusup ke dalam hati dan dirinya, maka dirinya menjadi berbinar-binar dan kegelapan menyingkir darinya. Sebab cahaya dan kegelapan tidak akan menyatu, kecuali setelah salah satu di antara keduanya menyingkir. Pada saat itulah ruh berada di antara keengganan dan kejinakan di samping kekasih yang pertama. Cahaya ini seperti matahari di dalam hati orang-orang yang taqarrub, atau seperti bulan purnama di dalam hati ashhabul-yamin, atau seperti bintang di dalam hati orang-orang Mukmin secara umum.

 

Cinta bisa menguat karena mengikuti As-Sunnah, artinya mengikuti Rasulullah gg, dalam perkataan, perbuatan dan akhlak. Kekuatan dan keteguhan cinta ini tergantung dari kekuatan mengikuti beliau. Jika ada kelemahan dalam mengikuti, maka cinta pun melemah pula. Mengikuti Rasulullah ini menumbuhkan cinta dan status sebagai hamba yang dicintai. Suatu urusan tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dua hal ini. Yang menjadi pertimbangan bukan bagaimana engkau mencintai Allah, tapi bagaimana Allah mencintaimu. Allah tidak akan mencintaimu kecuali jika engkau mencintai kekasih-Nya, secara zhahir dan batin, di samping engkau juga harus membenarkan pengabarannya, menaati perintahnya, memenuhi seruannya, mendahulukan kepentingannya, tidak mengacu kepada hukum selainnya, tidak mencintai orang selainnya, tidak menaati orang selainnya.

 

Doa berkembang karena doa kefakiran dikabulkan, artinya orang yang berdoa melakukan amal yang banyak tapi seakan dia tidak melakukannya. Yang diharapkannya hanyalah kefakiran, karena jalan kefakiran enggan jika pelakunya merasa telah memiliki peran dan amal, kedudukan atau keadaan. Dia ingin menemui Allah dalam keadaan fakir. Maka tidak dapat diragukan bahwa cinta akan tumbuh dari kesaksian ini.

 

  1. Cinta yang mendorong untuk mementingkan Allah daripada selain-Nya, menggerakkan lisan untuk menyebut nama-Nya, menggantungkan hati kepada kesaksian-Nya. Ini adalah cinta yang muncul karena memperhatikan sifat-sifat, melihat tanda-tanda kekuasaan dan melatih diri berada dalam kedudukan.

 

Derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama, karena pertimbangan sebab dan tujuannya. Sebab derajat pertama adalah melihat karunia dan kebaikan Allah. Sedangkan sebab derajat ini adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, memper-saksikan makna tanda-tanda kekuasaan-Nya yang didengarkan atau yang dilihat dan melatih diri dalam kedudukan Islam serta iman. Karena itu derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama.

 

Karena kesempurnaan dan kekuatan cinta, maka orang yang mencintai meninggalkan hal-hal selain Allah, lebih mementingkan Allah daripada selainNya, dan membuat lisannya senantiasa menyebut nama-Nya. Kemudian jika hati menggantungkan kesaksian kepada Allah, maka seakan-akan hati itu tidak lagi menyaksikan selain-Nya.

 

Ini adalah cinta yang muncul karena memperhatikan sifat-sifat. Artinya, pertama cinta itu harus dikukuhkan. Kedua, mengetahui sifat-sifat-Nya. Ketiga, tidak menyimpang dari nash-Nya. Keempat, tidak membuat penyerupaan dengan-Nya. Memperhatikan sifat-sifat-Nya yang bisa menumbuhkan cinta tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara ini.

 

Melihat tanda-tanda kekuasaan artinya melihat dengan pikiran dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan yang bisa disaksikan dan tanda-tanda kekuasaan yang bisa didengarkan. Semua ini bisa mendorong munculnya kekuatan cinta kepada Allah. Begitu pula melatih diri berada dalam kedudukan Islam dan iman, yang bisa memupuk cinta kepada Allah.

 

  1. Cinta yang menyambar, yang memotong ungkapan, yang menepis isyarat dan yang tidak habis disifati.

 

Cinta yang menyambar artinya menyambar hati orang yang mencintai, ketika dia melihat keelokan kekasih. Hal ini diisyaratkan Syaikh kepada kefanaan dalam cinta dan kesaksian. Ungkapan akan terputus tanpa disertai hakikat cinta itu dan isyarat pun tidak akan sampai kepadanya, karena hakikat cinta ini di atas ungkapan dan isyarat.

 

Syaikh berkata, “Cinta adalah poros keadaan ini, sedangkan selainnya adalah mengharapkan sesuatu dari kekasih. Cinta ini disifati lisan, yang diseru akhlak dan diharuskan akal.”

 

Cinta pada derajat ketiga ini merupakan poros keadaan orang-orang yang berjalan kepada Allah, karena cinta ini bersih dari noda, kotoran dan cacat.

 

Sedangkan selainnya adalah orang yang mengharapkan sesuatu dari kekasihnya. Cinta ini selalu disebut-sebut dan disifati lisan, yang tidak bisa didapatkan dengan suatu sebab dan tidak bisa dinyatakan dengan suatu ungkapan. Diharuskan akal, artinya bahwa akal itu menetapkan keharusan mendahulukan cinta kepada Allah daripada cinta kepada diri sendiri, keluarga, harta, anak dan selain-Nya. Siapa yang akalnya tidak memutuskan seperti ini, maka tidak ada peran dalam akalnya itu. Sebab akal, fitrah, syariat dan pandangan, semuanya mengajak untuk mencintai Allah. Cemburu Allah berfirman kaitannya dengan ghairah (cemburu) ini, “Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi.” (Al-A’raf: 33).

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud , dia berkata, “Rasulullah bersabda

 

“Tidak ada seseorang yang lebih cemburu selain dari Allah. Diantara cemburuNya ialah Dia mengharamkan kekejian yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai pujian selain dari Allah. Karena itulah Dia memuji Diri-Nya. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai alasan selain dari Allah. Karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. “

 

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan sesungguhnya orang Mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika hamba melakukan apa yang diharamkanNya.”

 

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, “ Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d? Aku benar-benar lebih cemburu daripada dia dan Allah lebih cemburu daripada aku.” Yang termasuk dalam cemburu adalah firman Allah, “Dan, apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” (Al-Isra’: 45).

 

As-Sari bertanya kepada rekan-rekannya, “Tahukah kalian apa maksud dinding di dalam ayat ini? Itu adalah dinding cemburu. Sementara tidak ada seseorang yang lebih cemburu selain dari Allah. Karena itu Allah tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang layak memahami kalam-Nya, mengetahui, mengesakan dan mencintai-Nya.

 

Allah juga menjadikan di antara mereka dengan Rasul, kalam dan pengesaan-Nya, dinding yang tidak terlihat mata. Inilah kecemburuan Allah jika semua itu diterima orang yang tidak layak menerimanya.”

 

Cemburu merupakan tempat persinggahan yang mulia dan agung. Tetapi orang-orang sufi dekade terakhir ada yang membalik pokok permasalahannya, membuat pengertian lain yang batil, menempatkannya tidak secara proporsional dan menyamarkannya.

 

Cemburu ada dua macam: Cemburu dari sesuatu dan cemburu terhadap sesuatu. Cemburu dari sesuatu ialah kebencianmu kepada sesuatu yang bersekutu dalam mencintai kekasihmu. Sedangkan cemburu terhadap sesuatu ialah hasratmu yang menggebu terhadap kekasih, sehingga engkau merasa takut andaikan orang lain beruntung mendapatkannya atau ada orang lain yang bersekutu untuk mendapatkannya.

 

Cemburu juga ada dua macam: Cemburu Allah terhadap hamba-Nya, dan cemburu hamba bagi Allah dan bukan cemburu terhadap Allah. Cemburu Allah terhadap hamba-Nya ialah tidak menjadikan manusia sebagai hamba bagi makhluk-Nya, tapi menjadikannya sebagai hamba bagi Diri-Nya dan tidak menjadikannya sekutu dalam penghambaan ini.

 

Ini merupakan cemburu yang paling tinggi. Sedangkan cemburu hamba bagi Allah ada dua macam: Cemburu dari dirinya dan cemburu dari selainnya. Cemburu dari dirinya ialah tidak menjadikan sesuatu dari perkataan, perbuatan, keadaan, waktu dan napasnya bagi selain Allah. Sedangkan cemburu dari selainnya ialah marah jika ada pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah atau ada pengabaian terhadap hak-hak Allah.

 

Cemburu hamba terhadap Allah merupakan kebodohan dan kebatilan yang besar, pelakunya adalah orang yang amat bodoh, yang bisa menyeretnya kepada penentangan tanpa disadarinya dan membuatnya menyimpang dari Islam, atau bisa membuatnya berbuat lebih jahat terhadap orang-orang yang berjalan kepada Allah daripada para perampok jalanan. Mengapa harus cemburu terhadap Allah dan bukannya cemburu bagi Allah, yang mengharuskannya mengagungkan hak-Nya dan membersihkan amal serta keadaannya karena Allah? Orang yang berilmu tentu akan cemburu karena Allah. Sedangkan orang bodoh cemburu terhadap Allah. Maka tidak bisa dikatakan, “Aku cemburu terhadap Allah, tapi aku cemburu bagi Allah.”

 

Kecemburuan hamba dari dirinya lebih penting daripada kecemburuannya dari selainnya. Jika engkau cemburu dari dirimu, maka cemburumu dari selainmu bagi Allah menjadi benar. Jika engkau cemburu bagi Allah dari selain dirimu, dan engkau tidak cemburu dari dirimu, maka itu adalah cemburu yang cacat. Perhatikanlah baik-baik masalah ini, karena banyak orang yang kakinya terpeleset. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi petunjuk dan taufik.

 

Dikisahkan dari salah seorang pemimpin sufi yang ternama, bahwa dia pernah berkata, “Aku tidak merasa tenang hingga aku tidak melihat seseorang yang berdzikir kepada Allah.” Ini merupakan kecemburuan terhadap Allah dari orang-orang yang lalai. Anehnya, semacam ini justru dianggap sebagai salah satu kebaikan sufi tersebut. Berdzikir kepada Allah dalam keadaan lalai dan dalam keadaan bagaimana pun, lebih baik daripada lupa berdzikir sama sekali. Selagi lisan tidak mau menyebut asma Allah yang merupakan kekasihnya, tentu akan menyebut hal-hal yang dimurkai-Nya. Lalu ketenangan macam apakah yang dikatakan sufi tersebut?

 

Ada pula di antara mereka yang berkata, “Aku tidak suka melihat Allah dan tidak ingin memandang-Nya.”

 

“Mengapa begitu?” tanya seseorang. Dia menjawab, “Itu merupakan kecemburuan terhadap Allah dari pandangan terhadap diriku.”

 

Tentu saja perkataan seperti ini menggambarkan kecemburuan yang buruk dan menunjukkan kebodohan orangnya.

 

Hal serupa dikisahkan dari Asy-Syibli, bahwa tatkala anaknya meninggal dunia, maka dia mencukur jenggotnya hingga tak selembar rambut pun yang menyisa. Orang-orang yang sedang berta’ziyah bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau lakukan ini?”

 

Dia menjawab, “Aku juga setuju jika seluruh keluargaku mencukur rambut mereka.”

 

Orang-orang berkata, “Beritahukan kepada kami apa alasannya?”

 

Dia menjawab, “Karena aku tahu mereka bermaksud menghiburku pada saat aku lalai, sambil berkata, Semoga Allah memberikan pahala kepadamu. Maka kuputuskan untuk menebus perkataan mereka yang mengingatkan aku pada saat aku lalai dengan mencukur jenggotku.”

 

Perhatikanlah cemburu yang diharamkan dan buruk ini, yang mengandung beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, yaitu mencukur rambut pada saat mendapat musibah. Padahal Nabi telah bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mencukur rambut, mencabik-cabik dan membakar baju (saat mendapat musibah).” Memang tujuan tindakan ini, agar dosa-dosanya diampuni. Hal ini sama sekali tidak bisa disebut kebaikan, terlebih lagi cemburu yang terpuji. Suatu kali Asy-Syibli mengumandangkan adzan. Ketika sampai pada bacaan syahadatain, dia berkata, “Kalau bukan karena Engkau memerintahkan aku untuk menyebut selain-Mu bersama-Mu, tentu aku tidak akan menyebut nama Muhammad.”

 

Lalu orang-orang yang bodoh di sekitarnya berkomentar, “Ini mencerminkan kalimat Ia ilaha illallah yang keluar dari dasar hati, sementara Muhammad Rasulullah keluar dari anting-anting.”

 

Dapat saya katakan, “Muhammad Rasulullah merupakan pelengkap la ilaha illallah. Dua kalimat ini harus keluar dari dasar hati dan dari satu misykat. Salah satu di antaranya belum dianggap sempurna kecuali dengan yang lain.”

 

Dalam membicarakan masalah cemburu ini, pengarang Manazilus-Sa’irin menukil ayat yang mengisahkan tentang Nabi Sulaiman, beliau berkata,

 

“Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku’. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (Shad: 33).

 

Sisi pembuktian dengan ayat ini, bahwa Sulaiman sangat menyukai kuda, sehingga beliau sering menyibukkan diri dengan cara memilih kudakuda yang bagus dan memandanginya. Suatu hari beliau ketinggalan mengerjakan shalat pada siang hari karena kesibukannya ini, apalagi matahari tertutup awan pada saat itu. Maka beliau merasakan cemburu bagi Allah dari kuda ini, sampai-sampai beliau tidak memenuhi hak-hak Allah. Maka kemudian beliau meminta semua kuda itu lalu menyembelihnya, sebagai wujud kecemburuan bagi Allah.

 

Syaikh berkata, “Cemburu adalah menggugurkan kesanggupan karena bakhil dan tidak bisa bersabar karena kecintaannya.”

 

Artinya, orang yang cemburu merasa tidak sanggup melakukan kesibukan yang bisa membuatnya mengabaikan kekasih. Hal itu dia lakukan karena bakhil, dan kebakhilan ini merupakan kemuliaan bagi orang-orang yang mencintai secara benar. Karena cintanya itu dia juga tidak bisa bersabar jika dia mengabaikan kekasih. Ketidaksabaran ini merupakan sikap yang tidak tercela.

 

Ada tiga derajat cemburu, yaitu:

 

  1. Kecemburuan ahli ibadah terhadap sesuatu yang hilang namun dia dapat menutupi apa yang hilang, dapat mengejar yang tertinggal dan dapat mengembalikan kekuatannya.

 

Ahli ibadah di sini adalah orang yang beramal shalih berdasarkan Umu yang bermanfaat. Karena cemburunya terhadap amal shalih yang hilang, maka dia berusaha memperoleh kembali apa yang hilang itu dengan amal lain yang serupa dengannya, meneliti ibadah-ibadah nafilah dan wirid yang hilang lalu mengerjakan ibadah-ibadah serupa atau yang sejenis, menggadha’ mana yang bisa digadha’ dan mengganti mana yang bisa diganti.

 

Perbedaan antara memperoleh kembali apa yang hilang dan mendapatkan kembali yang tertinggal, yang pertama adalah kemungkinan memperoleh kembali sesuatu yang hilang dalam bentuk yang sama, seperti orang yang tidak bisa menunaikan haji pada tahun tertentu yang sebenarnya memungkinkan baginya untuk menunaikannya, lalu dia bisa memperoleh kembali haji yang sama pada tahun berikutnya. Begitu pula orang yang menunda pembayaran zakat pada waktu yang telah ditetapkan, lalu dia bisa mengeluarkan zakat itu pada waktu lain. Sedangkan mendapatkan kembali yang tertinggal, ialah mendapatkan kembali hal yang serupa dengannya, seperti mengqadha’ shalat yang tertinggal dari waktu pelaksanaannya. Sedangkan mengembalikan kekuatan artinya mendapatkan kembali kekuatan itu dengan menggunakannya dalam ketaatan sebelum kekuatannya melemah.

 

Dia cemburu terhadap kekuatannya jika kekuatan itu hilang percuma bukan untuk ketaatan kepada Allah. Inilah cemburunya hamba terhadap amal.

 

  1. Kecemburuan orang yang mencintai, yaitu cemburu terhadap waktu yang tertinggal, dan ini merupakan cemburu yang bisa membunuh, sebab waktu itu cepat berlalunya dan lambat kembalinya.

 

Orang yang mencintai adalah ahli ibadah dan ahli ibadah adalah orang yang mencintai. Tapi sebutan ahli ibadah lebih dikhususkan terhadap orang yang mengerjakan amal secara murni. Orang yang mencintai namun bukan ahli ibadah adalah orang zindig, sedangkan ahli ibadah yang tidak mencintai adalah orang yang takabur. Waktu menurut ahli ibadah ialah untuk mengerjakan ibadah dan wirid, sedangkan menurut orang yang mencintai ialah untuk menghadap kepada Allah dan menyatukan hati dengan-Nya. Waktu bagi dirinya adalah sesuatu yang paling berharga. Dia cemburu terhadap waktu jika berlalu tanpa termanfaatkan untuk itu. Jika waktu ini sudah berlalu, maka dia akan bisa mendapatkannya kembali, sebab waktu berikutnya digunakan untuk mengerjakan kewajibannya yang khusus, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Musnad secara marfu’, “Siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan secara sengaja tanpa ada alasan, maka dia tidak bisa menggadha’nya dengan puasa setahun penuh, sekalipun selama setahun itu dia berpuasa.”

 

Dikatakan cemburu yang bisa membunuh, karena memang cemburu ini bisa mendatangkan bahaya besar yang menyerupai kemampuan untuk membunuh, karena kerugian kehilangan ini memang benar-benar bisa membunuh, apalagi jika orangnya mengetahui bahwa dia sama sekali tidak memperolehnya kembali. Waktu itu juga cepat berlalunya, cepat hilangnya, seperti berlalunya awan, hilang begitu saja dan tidak bisa kembali, kecuali pengaruh dan hukumnya. Maka dari itu pilihlah yang terbaik bagi dirimu dari waktunya agar manfaatnya kembali kepada dirimu sendiri. Maka kelak dikatakan kepada orang-orang yang berbahagia,

 

“Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (Al-Haggah: 24).

 

Sementara kepada orang-orang yang menderita dikatakan,

 

“Yang demikian disebabkan karena kalian bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kalian suka bersuka ria (dalam kemaksiatan).” (Al-Mukmin: 75).

 

  1. Kecemburuan orang yang memiliki ma’rifat terhadap mata yang tertutup tabir, cemburu terhadap rahasia yang tertutup kotoran dan cemburu terhadap napas yang bergantung kepada harapan atau berpaling kepada pemberian.

 

Orang yang memiliki ma’rifat ini cemburu terhadap pandangan yang tertutup tabir atau hijab. Maksud rahasia dalam perkataan Syaikh di sini adalah keadaan antara hamba dan Allah. Jika keadaan ini tertutup kotoran, maka orangnya akan memohon pertolongan, sebagaimana orang yang sedang mendapat siksaan meminta pertolongan agar dibebaskan dari siksaan. Jadi dia cemburu terhadap keadaannya yang tertutup oleh kotoran. Dia juga cemburu terhadap napasnya, jika napas itu bergantung kepada harapan akan datangnya pahala, sementara ia tidak bergantung kepada kehendak Allah dan cinta-Nya. Dia juga cemburu jika berpaling kepada pemberian dari selain Allah, lalu dia ridha.

 

Tidak selayaknya dia bergantung kecuali kepada Allah semata dan tidak berpaling kecuali kepada Allah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.

 

Rindu Allah berfirman berkaitan dengan tempat persinggahan ini,

 

“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan Allah itu pasti datang.” (Al-Ankabut:5).

 

Ada yang berpendapat, ini merupakan hiburan bagi orang-orang yang rindu. Dengan kata lain, Aku tahu bahwa siapa yang mengharap perjumpaan dengan-Ku, berarti dia rindu kepada-Ku. Aku telah mempercepat waktu baginya sehingga terasa dekat, dan waktu itu pasti akan datang. Sebab segala sesuatu yang akan datang itu dekat.

 

Nabi biasa bersabda dalam doa, “Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang Wajah-Mu dan kerinduan berjumpa dengan-Mu.”

 

Sebagian orang berkata, “Nabi senantiasa rindu berjumpa dengan Allah. Kerinduan beliau tidak semata ingin berjumpa dengan Allah, tapi kerinduan ini memiliki seratus bagian. Sembilan puluh sembilan bagi beliau dan satu bagian dibagi-bagi kepada umat. Beliau ingin agar satu bagian ini ditambahkan kepada bagian kerinduan yang dikhususkan bagi beliau. Allahlah yang lebih tahu.”

 

Rindu merupakan salah satu pengaruh dan hukum cinta. Rindu merupakan perjalanan hati menuju kekasih dalam keadaan bagaimana pun. Ada yang berpendapat, rindu adalah gejolak hati untuk bertemu kekasih. Ada yang berpendapat, rindu dapat membakar hati dan menghentikan detak jantung.

 

Cinta lebih tinggi daripada rindu, sebab rindu muncul dari cinta. Kuat dan lemahnya rindu ini tergantung kepada cinta.

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda rindu ialah tersapihnya anggota tubuh dari syahwat.”

 

Abu Utsman berkata, “Tanda rindu ialah menyukai mati asalkan mendatangkan ketenangan jiwa, seperti keadaan Yusuf ketika dimasukkan ke dalam sumur. Dalam keadaan seperti ini beliau tidak berkata, “Matikanlah aku!” Begitu pula saat beliau dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi ketika semua urusan sudah beres, keamanan sudah terjamin dan nikmat ada di mana-mana, maka beliau berkata, “Matikanlah aku dalam keadaan berserah diri.”

 

Ibnu Khafif berkata, “Rindu adalah ketenangan hati karena cinta dan keinginan untuk berjumpa serta berdekatan.”

 

Saya katakan, bahwa di sini ada masalah yang diperselisihkan di antara orang-orang yang mencintai, apakah kerinduan itu bisa lenyap setelah ada pertemuan ataukah tidak? Tapi mereka tidak berbeda pendapat bahwa cinta tidak hilang karena ada pertemuan.

 

Di antara mereka ada yang berpendapat, rindu tidak hilang meskipun sudah ada pertemuan. Sebab rindu merupakan perjalanan hati kepada kekasihnya. Jika sudah sampai di hadapannya, maka rindu ini berganti menjadi kesenangan. Kesenangan ini menyatu dengan cinta dan tidak mengenyahkannya.

 

Ada yang berpendapat, rindu semakin bertambah karena kedekatan dan pertemuan. Rindu tidak hilang karena pertemuan. Karena sebelum menerima kabar dan mengetahui, begitu pula sesudahnya, sudah ada kesaksian.

 

Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar As-Sari berkata, “Rindu merupakan kedudukan yang mulia bagi orang yang memiliki ma’rifat. Jika dia dapat mewujudkan kerinduan itu, maka perhatiannya hanya tertuju kepada siapa yang dia rindukan. Karena itu para penghuni surga senantiasa merindukan Allah, sekalipun mereka dekat dan dapat melihat-Nya.”

 

Di antara bukti bahwa kerinduan justru semakin menggebu pada saat pertemuan, bahwa terkadang melihat orang yang jatuh cinta justru menangis jika bertemu orang yang dicintainya. Tangis itu karena kerinduannya dan cintanya yang amat besar. Maka saat bertemu itu justru dia mendapatkan kerinduan lain di samping kerinduan yang sudah ada, yang tidak dia dapatkan saat berjauhan dengannya.

 

Letak pertentangan dalam masalah ini, bahwa yang dimaksudkan dengan rindu adalah gerakan hati dan kobarannya untuk bertemu kekasih.

 

Hal ini bisa hilang setelah ada pertemuan. Tetapi hal ini bisa menimbulkan kerinduan lain yang justru lebih besar lagi, yang membangkitkan kenikmatan untuk selalu berhubungan dan melihat keelokan kekasih.

 

Hal ini bisa bertambah karena pertemuan dan sama sekali tidak bisa hilang.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Rindu adalah perjalanan hati kepada kekasih yang berjauhan. Menurut golongan ini, alasan kerinduan itu amat besar. Kerinduan muncul terhadap kekasih yang jauh. Kerinduan berdasarkan kepada kesaksian. Karena itu Al-Qur’an tidak dibaca dengan namanya.”

 

Tentang alasan kerinduan ini sudah diisyaratkan sebelumnya, bahwa di antara manusia ada yang menjadikan kerinduan lebih sempurna pada saat pertemuan daripada saat berjauhan.

 

Ada tiga derajat rindu, yaitu:

 

  1. Kerinduan ahli ibadah kepada surga, agar yang takut merasa aman, yang sedih merasa gembira dan yang berharap merasa beruntung.

 

Ada tiga hukum tentang kerinduan ahli ibadah untuk masuk surga, yaitu:

 

– Diperolehnya rasa aman yang mendorong harapan. Ketakutan yang tidak memberikan rasa aman dari segala sisi, tidak akan mampu mendorong orangnya untuk beramal, selagi tidak disertai harapan, yang kemudian berubah menjadi rasa putus asa.

 

– Kegembiraan orang yang sedih. Kesedihan yang tidak disertai kegembiraan, bisa membunuh orangnya. Sekiranya tidak ada ruh kegembiraan, maka kekuatan orang yang sedih akan merosot dan kesedihan akan selalu menyertainya.

 

– Ruh keberuntungan. Jika orang yang berharap tidak disertai ruh harapan, maka harapannya akan mati.

 

  1. Kerinduan kepada Allah. Kerinduan ini ditanam oleh cinta yang tumbuh di atas hamparan anugerah. Hati bergantung kepada sifat-sifat-Nya yang suci, lalu rindu untuk melihat kelembutan kemurahan-Nya, tanda-tanda kebaikan dan karunia-Nya. Ini adalah kerinduan yang tertutup kebaikan, mendekatkan perjalanan dan menguatkan kesabaran.

 

Kerinduan kepada Allah sama sekali tidak menghapus kerinduan kepada surga, karena kenikmatan yang paling baik di surga adalah berdekatan dengan Allah, memandang-Nya dan mendengar kalam-Nya.

 

Kenikmatan kerinduan hanya semata kepada makanan, minuman dan bidadari di surga, adalah kerinduan yang sama sekali tidak sempurna, jika dibandingkan dengan kerinduan kepada Allah. Bahkan kerinduan ini tidak bisa diukur. Kerinduan ini ada dua tingkatan, salah satu di antaranya adalah kerinduan yang ditanam oleh cinta, yang penyebabnya adalah kemurahan dan anugerah, melihat anugerah Allah, kemurahan dan nikmat-Nya.

 

Yang dimaksud sifat-sifat-Nya yang suci di sini adalah sifat-sifat Allah yang khusus berkaitan dengan karunia dan kemurahan, seperti sifat Al-Birr, AlMannan, Al-Muhsin, Al-Jawad, Al-Mu ‘thi, Al-Ghafur dan lain sebagainya. Yang suci di sini juga berarti suci dari penyimpangan ta’wil orang-orang yang menyimpang danjuga penyerupaan.

 

Karena ini merupakan kerinduan yang tertutup kebaikan, berarti merupakan kerinduan yang belum sempurna, tidak murni karena Dzat Kekasih, tapi merupakan kerinduan yang muncul dari kebaikan yang diterima. Dengan kerinduan ini pelakunya merasakan kedekatan perjalanan yang dilakukan dan kesabarannya menjadi lebih kuat. Kesabaran ini mendukung kerinduannya dan tidak mengalahkannya, berbeda dengan kerinduan pada derajat ketiga.

 

  1. Kerinduan berupa api yang dinyalakan kesucian cinta, yang digerakkan hidup, yang disambar kebebasan derita cinta, dan yang tidak bisa dihentikan kecuali bertemu kekasih.

 

Kerinduan ini menyerupai api yang dinyalakan oleh kesucian cinta. Diserupakan dengan api, karena keadaannya yang berkobar di dalam relung hati. Kesucian cinta di sini merupakan isyarat bahwa itu merupakan cinta yang tidak dimaksudkan untuk mendapatkan karunia dan kenikmatan, tapi merupakan cinta yang bergantung kepada Dzat dan sifat Allah. Digerakkan hidup, artinya orangnya tidak bisa diam untuk mendapatkan kenikmatan hidup. Kerinduan ini tidak bisa dihentikan kecuali bertemu kekasih, berarti harus ditunjang dengan kesabaran.

 

Keresahan

 

Kerinduan ini bisa menjadi-jadi dan terbebas dari kesabaran, yang kemudian disebut keresahan. Begitulah sebutan yang diberikan pengarang Manazilus-Sa’irin. Hal ini dikuatkannya dengan firman Allah yang mengisahkan Musa su yang berkata, “Aku bersegera kepada Mu, ya Rabbi, agar Engkau ridha (kepadaku).“ (Thaha: 84).

 

Seakan-akan Syaikh memahami, bahwa Musa bersegera karena didorong oleh keresahan hati, yaitu membebaskan kerinduan dengan bertemu Allah. Tapi menurut zhahir ayat ini, bahwa yang mendorong Musa tergesa-gesa ialah karena mencari keridhaan-Nya, dan keridhaan Allah muncul jika segera melaksanakan perintah-Nya. Karena ayat inilah orang-orang salaf berhujjah bahwa shalat pada awal waktu itu lebih afdhal. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan hal ini, seraya berkata, “Ridha Allah ada dalam penyegeraan perintah-Nya.”

 

Syaikh membatasi keresahan ini dengan tidak adanya kesabaran dalam kerinduan. Jika disertai kesabaran, maka itu semata merupakan kerinduan. Ada tiga derajat keresahan, yaitu:

 

  1. Keresahan yang menyempitkan akhlak, yang membuat benci kepada manusia dan merasakan kenikmatan maut.

 

Akhlak orang yang resah menjadi sempit dalam menghadapi orang lain, apalagi mengikat mereka. Membuat benci kepada manusia, artinya orangnya tidak suka bergaul dengan manusia, karena keresahannya lebih suka menyendiri dan tidak bergaul dengan mereka.

 

Saya pernah diberitahu rekan-rekan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa pada awal mulanya dia suka pergi ke tengah padang pasir dan tidak mau bergaul dengan manusia, jika ada suatu kekuatan yang tidak mampu dilawannya. Maka suatu hari aku membuntuti di belakangnya. Ketika sudah tiba di tengah padang pasir, dia menghela napas dalam-dalam, kemudian melantunkan syair Laila Majnun,

 

“Aku keluar meninggalkan perkampunganagar aku bisa berbincang dengan jiwamu sendirian.”

 

Orang yang resah karena rindu tentu ingin bertemu kekasihnya. Jika dia ingat mati, maka dia merasakan kenikmatan, sebagaimana musafir yang merasa senang jika membayangkan pertemuan dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

 

  1. Keresahan yang mengalahkan akal, mengosongkan pendengaran dan menghambat kekuatan.

 

Hampir saja keresahan ini menundukkan dan mengalahkan akal. Tapi karena belum mencapai derajat kesaksian, maka akal tidak bisa ditundukkan. Sebab yang bisa menundukkan akal adalah kesaksian. Mengosongkan pendengaran, artinya membuat pendengaran itu tidak peduli terhadap peringatan orang lain. Yang diinginkannya hanyalah pengabaran tentang kekasih. Menghambat kekuatan, artinya kekuatan sabar tidak mampu untuk mengenyahkan keresahan itu.

 

  1. Keresahan yang tidak mengasihi selamanya, yang tidak menerima batasan dan yang tidak membiarkan seseorang.

 

Keresahan ini benar-benar sudah menguasai orangnya, karena keresahan ini berasal dari kesaksian. Dia tidak mau menerima batasan di hadapannya. Keresahan ini berkuasa dan tidak bisa dikuasai, mengendalikan hati dan tidak bisa dikendalikan, sehingga kehadiran seseorang dianggap tidak ada.

 

Haus

 

Jika keresahan ini menguat dan menjadi-jadi, hingga membuat keadaan hati seperti kebutuhan terhadap seteguk air karena udara panas yang membakar, maka keadaan ini disebut athasy. Begitulah menurut pengarang Manazilus Sa’irin. Syaikh mengacukan hal ini kepada firman Allah tentang Ibrahim AlKhalil,

 

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lain) dia berkata, Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76).

 

Seakan-akan dari isyarat ini Syaikh menyimpulkan bahwa karena rasa hausnya untuk bertemu kekasih, maka Ibrahim berkata pada saat melihat bintang, “Ini adalah Rabb-ku.” Sesungguhnya orang yang kehausan, seakan melihat air saat melihat fatamorgana, sehingga justru membuat rasa hausnya semakin bertambah.

 

Tapi makna ayat ini bukan seperti yang diisyaratkannya. Sebab memang orang-orang sufi cenderung kepada isyarat-isyarat. Jika bukan itu maksudnya, maka ada yang berpendapat, bahwa dengan perkataan itu, seakan-akan beliau membubuhi dengan tanda tanya, yang berarti, “Inilah Rabb-ku?”

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Haus merupakan kiasan tentang kesukaan yang berat terhadap sesuatu yang diharapkan.”

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat haus, yaitu:

 

  1. Kehausan orang yang mencintai terhadap saksi yang memberinya minum, memberinya isyarat yang menyembuhkannya dan memberinya sentuhan kasih yang melindunginya.

 

Jika orang yang haus menemui seseorang yang menuntunnya ke tempat minum, maka hatinya merasa tenang dan dia bisa menyaksikan yang sebenarnya. Memberi isyarat yang menyembuhkan, artinya menyembuhkan hati dari penyakit yang menimpa. Jika dia mendapat isyarat kesembuhan dari orang lain seperti dirinya, atau dari orang yang lebih berilmu, atau dari ayat yang dipahaminya, maka hatinya bisa sembuh. Memberinya sentuhan kasih, artinya kasih sayang dari kekasihnya, yang bisa memadamkan bara kehausannya. Sebab tidak ada yang bisa mendinginkan hati orang yang mencintai selain dari sentuhan kasih kekasihnya.

 

  1. Kehausan orang yang mengadakan perjalanan hingga ke batas waktu yang dilaluinya, hingga hari ke hari yang dibutuhkannya dan ke persinggahan yang bisa dijadikan tempat beristirahat.

 

Ini merupakan kehausan dalam perjalanan hingga tiba di tempat kekasih. Dia melalui perjalanannya dengan cepat agar sampai ke tujuan, etape demi etape dia lalui, hingga sampai ke suatu hari dia bisa melihat apa yang dibutuhkan hatinya. Dalam perjalanan itu tentunya dia harus melewati beberapa persinggahan untuk menenangkan hatinya dan membebaskannya dari segala keadaan.

 

  1. Kehausan orangyang mencintai terhadap sifat-sifat kekasih, yang tidak ditutupi awan nafsu, yang tidak diselubungi tabir perpisahan dan tidak menunggu-nunggu.

 

Hati orang yang haus pada derajat ini dikuasai oleh sifat-sifat kekasih dan keelokannya, yang tidak ditutupi awan nafsu dan tidak diselubungi tabir. Mereka sepakat bahwa tabir yang paling besar adalah tabir nafsu. Sedangkan tabir Allah adalah cahaya. Jika Dzat beliau tampak kepada sesuatu, maka pancaran Wajah-Nya akan membakar semua penglihatan yang sampai kepadaNya. Sedangkan tabir antara Allah dan hamba adalah nafsu dan kegelapannya. Jika tabir ini terkuak, maka hamba bisa sampai kepada Allah.

 

Al-Barqu Al-Barqu atau kilat merupakan salah satu cahaya iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang menerangi hamba saat masuk kejalan orang-orang yang benar.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Kilat merupakan awal kilauan yang tampak di hadapan hamba, lalu mengajaknya untuk masuk kejalan ini.”

 

Syaikh menguatkan hal ini dengan firman Allah,

 

“ Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu ia berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kamu (di sini) sesungguhnya aku melihat api’.” (Thaha: 9-10).

 

Letak pelandasan kepada ayat ini, karena api yang dilihat Musa itu terjadi pada awal jalan nubuwahnya. Kilat yang diisyaratkannya di sini merupakan kilat keadaan, bukan kilat amal, atau kilat yang datang dari orangyang mengadakan perjalanan, tapi itu semata merupakan pemberian. Ada tiga derajat kilat, yaitu:

 

  1. Kilat yang berkilau dari sisi janji, yang muncul dari hakikat harapan, sehingga karenanya hamba menganggap banyak pemberian yang sedikit, menganggap sedikit keletihannya yang banyak dan menganggap manis kepahitan gadha’.

 

Janji di sini adalah janji yang diberikan Allah kepada para wali-Nya, berupa berbagai macam karamah di dunia ini dan pada saat perjumpaan dengan-Nya. Kilat ini berkilau dari puncak hakikat harapan, sehingga seorang hamba menganggap banyak pemberian Allah yang sedikit, yang pada hakikatnya pemberian itu tidaklah sedikit. Yang membuatnya berpandangan seperti ini empat hal:

 

– Melihat keagungan pemberinya.

– Menghinakan diri sendiri.

– Kecintaan kepada pemberi.

– Melihat keadaan sebelum menerima pemberian itu, yang tidak mempunyai apa-apa.

 

Menganggap sedikit keletihannya, membuatnya mampu mengemban beban perjalanan dan menghadapi kesulitannya. Begitu pula sikapnya yang menganggap manis kepahitan gadha’, yaitu berupa ujian yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, agar Dia mengetahui siapa di antara mereka yang paling sabar, benar dan lebih besar imannya, lebih cinta, tawakal dan patuh.

 

Jika orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah melihat kilat ini, maka gadha’ yang pahit akan terasa manis.

 

  1. Kilat yang berkilau dari sisi peringatan agar waspada, sehingga hamba menganggap pendek harapannya yang panjang, berzuhud di tengah manusia dengan segera dan membersihkan rahasia dirinya.

 

Puncak kilat ini tidak seperti puncak kilat pada derajat pertama. Kilat ini berkilau dari puncak kewaspadaan. Sementara kilat pada derajat pertama dari puncak harapan. Jika hamba bisa menangkap kilat ini, maka dia menganggap pendek harapannya yang panjang dan setiap saat terbayang bahwa karunia pasti akan datang kepadanya. Karena itu dia menjadi semakin waspada terhadap serangannya, karena takut akan mendapatkan siksa Allah atau muncul gangguan saat akan berjumpa dengan-Nya. Sehingga jika saat pertemuan itu dia belum dalam keadaan suci dan tidak diperkenankan masuk kecuali setelah dalam keadaan suci, sebagaimana dia tidak boleh masuk shalat selagi di dunia kecuali setelah dalam keadaan suci.

 

Hal ini mengingatkan hamba agar mensucikan hati sebelum menghadap kepada Allah dan masuk ke tempat perjumpaan, terutama ditujukan kepada orang-orang yang mau memikirkan Allah dan memahami rahasia-rahasia ibadah.

 

Membersihkan rahasia diri artinya membersihkan relung-relungnya dari hal-hal selain Allah. Hal ini telah dijelaskan di bagian terdahulu.

 

  1. Kilat yang berkilau dari sisi kelembutan karena membutuhkan, sehingga menghasilkan awan kegembiraan, menurunkan hujan kesenangan dan mengalir dari sungai kebanggaan.

 

Ini merupakan kilat yang berkilau dari ufuk kelembutan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Yang bisa melihat kilat ini akan memperoleh kebanggaan, yaitu berupajalan paling besar yang menghubungkannya dengan Allah, sedangkanjalan selainnya tertutup. Kilat ini menimbulkan kegembiraan yang bersifat khusus, yang tidak ada duanya di dunia. Jika di langit sudah tampak awan, maka tak lama kemudian akan turun hujan, sehingga membuat batinnya merasa senang dan bangga, yang tidak dimiliki hamba yang lain. Kebanggaan ini termasuk kesempurnaan ubudiyah. Dengan kata lain, jika hamba melihat kasih sayang dan kelembutan Allah, menyaksikan karunia dan kemurahan-Nya, tentu dia akan menyaksikan kebutuhannya kepada Allah di setiap saat. Yang demikian ini termasuk pintu syukur yang paling besar dan merupakan sebab bertambahnya nikmat. Jika nikmat itu beralih dari dirinya, di dalam hatinya tetap ada awan kegembiraan. Jika awan ini menggumpal di langit hatinya, maka akan menimbulkan hujan, dan hujan ini pun mendatangkan kesenangan yang lain.

 

Dalam keadaan seperti itu pada lisannya akan mengalir sungai kebanggaan, bukan karena ujub atau riya’, tapi karena wujud kegembiraan terhadap nikmat Allah yang senantiasa diterimanya.

 

Memperhatikan Pengarang Manazilus-Sa’irin melandaskan masalah memperhatikan ini kepada firman Allah,

 

“Tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku.” (Al-A’raf: 143).

 

Letak pelandasan kepada ayat ini, bahwa Allah ingin memperlihatkan kesempurnaan keagungan-Nya kepada Musa, agar beliau tahu, bahwa kekuatan yang dimiliki manusia di dunia ini tidak akan mampu membuatnya bisa melihat Allah dengan mata telanjang atau secara langsung, karena bukit pun menjadi berkeping-keping ketika Allah menampakkan Diri kepadanya. Hal ini seperti yang diriwayatkan Ibnu Jarir di dalam tafsirnya, dari hadits Humaid bin Salamah, dia berkata, “Kami diberitahu Tsabit, dari Anas, dari Nabi, bahwa ketika Allah menampakkan Diri kepada bukit, maka bukit itu pun hancur berkeping-keping. Lalu Humaid berkata kepada Tsabit, “Apakah engkau meriwayatkan yang seperti ini?” Tsabit memukul dada Humaid, seraya berkata, “Rasulullah yang menyampaikan hal ini, dan bukan aku sendiri yang meriwayatkannya.” (Diriwayatkan Al-Hakim di dalam Shahih-nya menurut syarat Muslim).

 

Letak pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memerintahkan Musa agar melihat ke arah bukit ketika Allah menampakkan Diri kepadanya. Maka Musa melihat bukit itu hancur luluh dan membuat Musa jatuh pingsan.

 

Syaikh berkata, “Memperhatikan artinya melihat secara sepintas lalu.” Artinya memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab: Pengagungan dan keagungan yang dipandang, sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para shahabat terhadap Nabi. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajam terhadap beliau, sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Amr bin Al-Ash berkata, “Aku tidak pernah memandang secara utuh ke arah beliau, sebagai pengagungan terhadap beliau. Jika aku diminta untuk mensifati diri beliau, maka aku tidak akan mampu, karena aku tidak pernah memandang beliau secara sempurna.”

 

Ada sebab lain yang membuat orang yang memandang tidak berani memandang secara langsung kepada yang dipandang, karena dia takut terhadap pengaruh yang dipandang. Hal ini disebabkan oleh cinta, atau rasa malu atau kelemahannya untuk memandang secara langsung. Inilah sebab yang umum dalam hal ini.

 

Begitulah orang yang memiliki keadaan ini. Selagi dia memperhatikan keagungan Rububiyah Allah dengan hatinya, kesempurnaan Allah, kesempurnaan sifat-sifat-Nya, kemurahan, kebaikan serta karunia-Nya, maka hatinya akan mencuri pandang kepada Allah dan ia mempunyai ubudiyah secara khusus.

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat memperhatikan, yaitu:

 

  1. Memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, yang memotong jalan permintaan, dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak Rububiyah, yang menumbuhkan kegembiraan, yang dicampuri kewaspadaan terhadap tipu daya, yang membangkitkan rasa syukur menurut sifat yang ditegakkan Allah bagi Diri-Nya.

 

Seperti kebiasaan Syaikh dalam setiap masalah yang dikupasnya, yang selalu membagi menurut tiga derajat. Dalam masalah ini pun begitu pula. Memperhatikan bisa dengan mata dan bisa dengan hati. Tapi yang dimaksudkan Syaikh adalah yang kedua, memperhatikan degan hati, bukan dengan mata. Karena ini merupakan pembahasan yang khusus. Sementara ayat yang dijadikan sebagai landasan tentang masalah ini lebih terarah kepada perhatian dengan mata. Padahal yang dia maksudkan dalam pembahasan ini bukan perhatian dengan mata.

 

Memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, artinya memperhatikan pemberian Allah yang sudah ditetapkan dalam takdir sebelum dikeluarkan ke dunia, sebagaimana firman-Nya,

 

“Bahwa orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Al-Anbiya’: 101).

 

“Dan, sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan, sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (Ash-Shaffat: 171-173).

 

Masalah ini bisa ditafsiri menurut dua makna, yaitu:

 

Makna Pertama: Jika hamba melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah sejak semula, yang berarti ketetapan itu pasti akan sampai kepadanya, maka hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi tentram, dan dia tahu bahwa apa yang menimpa dirinya bukan untuk menyalahkannya dan kesalahan yang dilakukannya bukan merupakan musibah yang ditimpakan kepadanya. Dia tahu bahwa rahmat yang dibukakan Allah baginya, manusia tidak akan sanggup menahannya, dan apa yang ditahan-Nya, mereka tak akan sanggup melepaskannya. Jika dia meyakini hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman kepada gadha’ dan gadar, lalu dia akan memotong jalan tuntutan terhadap Allah. Sebab apa yang sudah ditetapkan di dalam gadar pasti akan sampai kepadanya.

 

Tapi Syaikh sudah menyadari bahwa hamba harus memohon dan meminta kepada Allah. Maka dia berkata, “Kecuali dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak Rububiyah”. Artinya, dia tidak yakin bahwa permintaannya itu dapat mendatangkan apa yang bermanfaat bagi dirinya dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkannya. Sebab gadar akan sampai kepadanya, dia meminta atau tidak meminta. Tapi permintaan kepada Allah diwujudkan untuk merendahkan diri dan menampakkan kebutuhan ubudiyah di hadapan Rububiyah-Nya. Sebab Allah menyukai hamba yang memohon kepada-Nya. Sebab sampainya pemberian dan kebaikan Allah juga tergantung pada permohonan hamba, sekaligus untuk memperlihatkan martabat ubudiyah, kebutuhan dan pengakuan terhadap kemuliaan Rububiyah serta kesempurnaan kekayaan Allah. Sebab hamba pasti membutuhkan karunia Allah setiap saat. Hamba tetap meminta dan memohon, tapi juga menyadari bahwa sebenarnya dia tidak layak meminta dan memohon. Namun begitu Allah suka jika dimintai, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186).

 

Ayat-ayat lain yang senada banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, berupa perintah untuk memohon kepada Allah. Di dalam As-Sunnah juga banyak disebutkan sabda Rasulullah,

 

“Hendaklah salah seorang di antara kalian memohon segala sesuatu kepada Rabbnya, hingga tali sandalnya yang putus, karena jika Allah tidak memudahkannya, maka dia juga tidak akan mendapatkan kemudahan.”

 

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya, karena Allah suka jika dimintai dari karunia-Nya, dan tidak ada sesuatu yang diminta dari Allah yang lebih disukaiNya selain dari afiat.” Beliau juga bersabda,

 

“Tidaklah ada orang yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa, melainkan Dia akan memberikan salah satu di antara tiga perkara karena doa itu, yaitu: Dia menyegerakan kebutuhan baginya, atau Dia memberinya kebaikan yang serupa dengan doa itu, atau Dia menghindarkan darinya kejahatan yang serupa dengan doa itu”. Mereka bertanya, “Bagaimana jika kita memperbanyak doa wahai Rasulullah? “Beliau menjawab, “Allah (mempunyai) yang lebih banyak lagi.” “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia atas Allah selain dari doa.”

 

Allah berfirman dalam sebuah hadits gudsi yang diriwayatkan Muslim dari Abu Dzarr, dari Rasulullah,

 

“Wahai hamba-hamba-Ku, setiap orang di antara kalian adalah lapar kecuali siapa yang Kuberi makanan. Maka mintalah makanan kepada-Ku agar Aku memberi kalian makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap orang di antara kalian ini menumbuhkan kegembiraannya, selagi dia mengetahui bahwa karunia Allah telah ditetapkan baginya jauh hari sebelum dia diciptakan, dan Allah mengetahui keadaan dan keterbatasannya secara rinci. Pengetahuan Allah ini tidak menghalangi untuk menetapkan karunia dan kebaikan baginya, karena memang Allah lebih mengetahui tentang dirinya yang diciptakan-Nya dari tanah, semenjak dia berada di rahim ibunya. Dalam hal ini Allah tetap melimpahinya dengan karunia dan kebaikan, tanpa ada sebab yang mengawali karunia itu.

 

Jika hamba mengetahui yang demikian ini, maka kesenangannya terhadap Allah menjadi sangat besar, karena dia merasa mendapatkan curahan karunia, kebaikan dan kemurahan-Nya, karena dia menjadi hamba dan orang yang dicintai-Nya, dia senang kepada Allah sebagai Rabb dan ilah-nya, pemberi nikmat dan pelindungnya, jauh lebih senang daripada kesenangan budak karena mendapatkan belas kasihan tuannya. Di bagian mendatang akan dibahas secara rinci makna kesenangan dan kegembiraan ini.

 

Kegembiraan dan kesenangan bisa melapangkan jiwa dan menumbuhkannya, membuatnya lupa aib dan kekurangannya. Kesenangan terhadap nikmat juga bisa membuat hamba lupa terhadap pemberi nikmat itu. Dalam keadaan seperti ini, tipu daya menjadi lebih dekat dengannya daripada jarak antara tangan yang memegang makanan dengan mulut.

 

Demi Allah, berapa banyak orang yang menolak apa yang diberikan kepadanya, yang di dalamnya justru terkandung hikmah dan rahmat baginya. Sebab andaikan dia terus dalam keadaannya itu, maka dikhawatirkan dia akan melampaui batas, sebagaimana firman-Nya,

 

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-Alaq: 6-7).

 

Jika merasa berkecukupan ini berkaitan dengan sesuatu yang fana dan pasti akan berakhir, lalu bagaimana dengan merasa berkecukupan yang berkaitan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari hal itu? Orang seperti ini, yang tidak disertai kewaspadaan terhadap tipu daya, maka dikhawatirkan kecukupan dirampas dan diambil darinya.

 

Tipu daya yang dikhawatirkan di sini ialah seandainya Allah menyingkirkan kesaksian terhadap karunia dan pemberian-Nya, bahwa semua itu semata berasal dari-Nya, hingga Dia menyingkirkan dari dirinya kesaksian terhadap hakikat firman-Nya,

 

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan, jika Allah menghendaki kebaikan kaitan syariat dan gadar dengan ubudiyah ini. Tabir yang menghalangi mereka untuk melihat hikmah ini sangat tebal. Sedangkan golongan kedua tidak bisa melihat pemberian dan karunia Allah, keesaan Allah dalam Rububiyah dan penanganan segala urusan, bahwa apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Hamba tidak mempunyai daya dan kekuatan, karena semuanya berasal dari Allah semata. Tidak ada satu atom pun yang bergerak kecuali dengan seizin Allah dan menurut kehendak-Nya.

 

Kaitannya dengan pendapat golongan pertama, bahwa jika yang diminta sudah ditetapkan dalam gadar, maka pasti akan diperoleh, dan jika tidak ditetapkan, maka tidak perlu mengharapkan akan bisa diperoleh. Dapat dijawab sebagai berikut: Ada pendapat ketiga yang lewat dari perhatian kalian, bahwa Allah menetapkan sebab. Jika ada sebab tentu akan muncul akibatnya. Jika tidak ada sebab tentu tidak akan ada akibat. Di antara sebab diperolehnya apa yang diminta adalah berdoa dan meminta. Jika dua perkara ini ada, maka akan ada pula akibat yang menyusulnya, sebagaimana sebab adanya anak adalah hasil jima’, sebab adanya tanaman adalah benih dan lain sebagainya. Pendapat yang ketiga inilah yang benar.

 

Sedangkan terhadap pendapat golongan kedua, dapat dijawab sebagai berikut: Tidak ada yang mendatangkan kecuali kehendak Allah. Tidak ada sebab yang berdiri sendiri selain dari kehendak-Nya ini. Allahlah yang menjadi sebab itu sebagai sebab, Dialah yang menciptakan akibat dari suatu sebab. Sekiranya Allah menghendaki, maka Dia bisa menciptakan akibat tanpa sebab tersebut, dan jika menghendaki, Dia bisa mencegah fungsi sebab dan memotong akibatnya. Sebab merupakan kehendak dan gadar Allah secara murni, yang ada dalam penanganan-Nya, dan Dia bisa membalik menurut kehendak-Nya.

 

Penafsiran makna kedua tentang memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, bahwa siapa yang memperhatikan dengan mata hatinya apa yang telah ditetapkan Allah baginya sejak semula, berupa nikmat, karunia, pemberian dan rahmat, yang semua itu tanpa ada sebab dari hamba, yang semua itu sebelumnya tidak ada sama sekali, maka perhatian ini membuatnya sibuk mencari Allah dan mencintai-Nya, sehingga dia memotong jalan permintaan, menyibukkan diri untuk berdzikir dan bersyukur kepadaNya, bukan karena dia beranggapan bahwa meminta dan memohon kepadaNya mencerminkan kekurangan.

 

Perkataan Syaikh tentang derajat pertama, “Menumbuhkan kegembiraan yang dicampuri kewaspadaan terhadap tipu daya”, artinya perhatian hamba ini menumbuhkan kegembiraannya, selagi dia mengetahui bahwa karunia Allah telah ditetapkan baginya jauh hari sebelum dia diciptakan, dan Allah mengetahui keadaan dan keterbatasannya secara rinci. Pengetahuan Allah ini tidak menghalangi untuk menetapkan karunia dan kebaikan baginya, karena memang Allah lebih mengetahui tentang dirinya yang diciptakan-Nya dari tanah, semenjak dia berada di rahim ibunya. Dalam hal ini Allah tetap melimpahinya dengan karunia dan kebaikan, tanpa ada sebab yang mengawali karunia itu.

 

Jika hamba mengetahui yang demikian ini, maka kesenangannya terhadap Allah menjadi sangat besar, karena dia merasa mendapatkan curahan karunia, kebaikan dan kemurahan-Nya, karena dia menjadi hamba dan orang yang dicintai-Nya, dia senang kepada Allah sebagai Rabb dan ilah-nya, pemberi nikmat dan pelindungnya, jauh lebih senang daripada kesenangan budak karena mendapatkan belas kasihan tuannya. Di bagian mendatang akan dibahas secara rinci makna kesenangan dan kegembiraan ini.

 

Kegembiraan dan kesenangan bisa melapangkan jiwa dan menumbuhkannya, membuatnya lupa aib dan kekurangannya. Kesenangan terhadap nikmat juga bisa membuat hamba lupa terhadap pemberi nikmat itu. Dalam keadaan seperti ini, tipu daya menjadi lebih dekat dengannya daripada jarak antara tangan yang memegang makanan dengan mulut.

 

Demi Allah, berapa banyak orang yang menolak apa yang diberikan kepadanya, yang di dalamnyajustru terkandung hikmah dan rahmat baginya. Sebab andaikan dia terus dalam keadaannya itu, maka dikhawatirkan dia akan melampaui batas, sebagaimana firman-Nya,

 

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-Alaq: 6-7).

 

Jika merasa berkecukupan ini berkaitan dengan sesuatu yang fana dan pasti akan berakhir, lalu bagaimana dengan merasa berkecukupan yang berkaitan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari hal itu? Orang seperti ini, yang tidak disertai kewaspadaan terhadap tipu daya, maka dikhawatirkan kecukupan dirampas dan diambil darinya.

 

Tipu daya yang dikhawatirkan di sini ialah seandainya Allah menyingkirkan kesaksian terhadap karunia dan pemberian-Nya, bahwa semua itu semata berasal dari-Nya, hingga Dia menyingkirkan dari dirinya kesaksian terhadap hakikat firman-Nya,

 

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan, jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya di antara hamba-hambaNya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107).

 

Begitu pula yang disebutkan dalam ayat-ayat lain yang senada dengan ayat ini. Yang pasti, jika hamba tidak memiliki kesaksian ini, tertipu terhadap pengetahuan tentang usaha dan pencariannya, tertipu terhadap dirinya yang sebenarnya miskin, tidak bersandar kepada Dzat yang memiliki segala-galanya, maka itulah sebab tipu daya yang paling besar. Seberapa pun tingginya ketaatan yang diraih hamba, tidak seharusnya dia melalaikan kewaspadaan ini. Hambahamba Allah yang pilihan pun merasa khawatir akan tipu daya ini, sehingga mereka pasrah kepada kehendak Allah, seperti yang dilakukan Ibrahim, ketika kaumnya menakut-nakuti beliau dengan sesembahan mereka,

 

“Dan, aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan dengan Allah, kecuali jika Rabbku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu.” (Al-An’ am: 80).

 

Ibrahim Al-Khalil menyerahkan urusan kepada kehendak Allah dan pengetahuan-Nya tatkala beliau berdebat dengan kaumnya dan ketika mereka menakut-nakuti dengan sesembahan mereka. Allah juga telah berfirman,

 

“Maka apakah mereka merasa aman dari tipu daya Allah? Tiadalah yang merasa aman dan tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 99).

 

Orang-orang salaf saling berbeda pendapat, apakah dimakruhkan seorang hamba mengucapkan di dalam doanya, “Ya Allah, janganlah Engkau buat aku merasa aman dari tipu daya-Mu.” Sementara itu, di antara mereka memang ada pula yang berdoa seperti ini. Artinya, janganlah Engkau menghinakan aku sehingga aku merasa aman dari tipu daya-Mu dan aku tidak takut padanya. Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syakhir memakruhkan doa semacam ini.

 

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kegembiraan termasuk sebab tipu daya, selagi tidak disertai dengan rasa takut, adalah firman Allah,

 

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44).

 

Namun jika kegembiraan karena Allah dan karena mendapat karunia Allah yang disertai rasa takut dan waspada, maka tidak berdampak bagi orangnya.

 

Perkataan Syaikh, “Membangkitkan rasa syukur menurut sifat yang ditegakkan Allah bagi Diri-Nya”, artinya perhatian bisa membangkitkan rasa syukur kepada Allah dalam keadaan lapang atau sempit dan pada setiap saat, kecuali jika memang tidak sanggup untuk disyukuri.

 

Syukur hamba kepada Allah merupakan nikmat dari Allah, yang mendorongnya untuk bersyukur lagi. Syukur ini juga merupakan nikmat yang lain lagi sehingga perlu disyukuri sekali lagi. Begitu seterusnya.

 

Kalaupun seorang hamba itu disebut asy-syakur (yang banyak bersyukur), maka sebenarnya syukur ini kembali kepada dirinya dan tergantung kepadanya.

 

  1. Memperhatikan cahaya pengungkapan, yang menjulurkan pakaian penghindaran, merasakan kejelian dan yang melindungi dari noda kelalaian.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Karena derajat pertama merupakan perhatian terhadap ketetapan yang sudah ada dengan cahaya ilmu, sedangkan derajat ini merupakan perhatian terhadap pengungkapan dengan suatu keadaan yang telah menguasai hati, membuatnya mengabaikan semua makhluk, sehingga menjulurkan pakaian kekuasaan Allah semata dan berpaling dari selain-Nya.

 

Cahaya pengungkapan menurut mereka merupakan awal kesaksian, yaitu cahaya yang menjelaskan makna-makna Asma’ul-Husna terhadap hati, lalu menyingkap kegelapan hati. Mereka hendak mengisyaratkan kepada kesempurnaan ma’rifat dan menyingkirkan tabir kelalaian, keraguan dan keberpalingan, sehingga hati tidak memberikan kesaksian kecuali marrifat. Mereka membandingkan hal ini dengan terbitnya matahari. Jika matahari terbit, maka cahaya bintang menjadi redup dan akhirnya tidak tampak atau hilang sama sekali, karena kalah dengan sinar matahari. Padahal hakikatnya bintang itu tetap ada di tempatnya. Begitulah gambaran cahaya marrifat jika sudah menguasai hati, yang kekuasaannya amat kuat dan mampu menghilangkan tabir yang menutup hati.

 

Ibadah yang benar, latihan berdasarkan syariat, dzikir secara berkelanjutan dengan hati dan lisan, dapat menimbulkan cahaya, tergantung dari kekuatan dan kelemahannya. Cahaya itu boleh jadi menjadi kuat, sehingga seakan hati bisa melihat seperti mata yang melihat secara langsung. Namun karena lemahnya ilmu dan pemilahan antara kekhususan Rububiyah dan keharusan ubudiyah, maka bisa terjadi pencampuradukan dan kesalahan, sehingga apa yang dilihat hati itu adalah cahaya Dzat. Sama sekali tidak. Cahaya Dzat tidak bisa ditembus oleh sesuatu pun. Andaikan Allah menyingkap hijab dari Wajah-Nya, tentu alam ini akan luluh lantak hancur berkeping-keping, seperti bukit yang hancur di hadapan Musa.

 

Islam mempunyai cahaya. Iman mempunyai cahaya yang lebih kuat lagi. Ihsan mempunyai cahaya yang lebih kuat lagi. Jika Islam, iman dan ihsan berhimpun menjadi satu, dan tabir kesibukan yang melalaikan Allah disingkirkan, maka hati dan anggota tubuh akan dipenuhi dengan cahaya tersebut, bukan dengan cahaya yang merupakan sifat Allah. Karena sifat Allah tidak berada pada sesuatu pun di antara makhluk-Nya, sebagaimana makhluk tidak ada yang berada pada Diri Allah.

 

Perkataan Syaikh, “Melindungi dari noda kelalaian”, bahwajika perhatian ini benar-benar, maka dapat melindungi pelakunya dari noda kelalaian untuk mendapatkan tujuannya.

 

  1. Memperhatikan kebersamaan, yang membangkitkan kemudahan dalam usaha, yang membebaskan dari kebodohan penentangan dan memperhatikan kembali permulaan.

 

Derajat ini lebih tinggi dari sebelumnya. Karena derajat sebelumnya merupakan perhatian terhadap pengungkapan cahaya dan mengisyaratkan ke jenis usaha dan pilihan, sedangkan derajat ini merupakan perhatian yang mengalihkan hati dari lembah kehendak, keadaan dan kedudukan, ke kebersamaan, yang memandang kepada Yang Maha Esa, Yang Awal dan tak ada sesuatu pun sebelum-Nya, Yang Akhir dan tak ada sesuatu pun sesudahNya, Yang Zhahir dan tak ada sesuatupun di atas-Nya, Yang Batin dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Siapa yang memandang dengan mata ini, maka akan membangkitkan hatinya untuk meremehkan berbagai macam usaha. Dengan kata lain, pada permulaan perjalanannya, seorang hamba tentu akan menghadapi berbagai macam rintangan dan harus menempuh berbagai macam usaha. Jika sudah sampai ke derajat ini, maka usaha-usaha yang sulit akan dianggap mudah, karena dia sudah mencapai kedudukan kebersamaan dengan Allah dan merasa tenang dari keletihannya. Kebersamaan sesaat dengan Allah lebih bermanfaat baginya daripada melakukan berbagai macam usaha, apalagi usaha-usaha yang tidak diwajibkan Allah. Jika hasrat dan seluruh isi hati sudah menyatu dengan Allah, maka inilah waktunya yang hakiki dalam hidupnya. Pada saat itu segala keletihan karena usaha seakan hilang.

 

Ada dua golongan manusia yang keliru dalam masalah ini. Yaitu golongan yang bersikap secara berlebih-lebihan dalam hal ini, sehingga mereka lebih mementingkannya daripada melaksanakan yang fardhu dan sunnah. Mereka melihat pelaksanaan yang wajib dan sunnah bisa menurunkan mereka dari tingkat yang tinggi ke tingkat yang rendah.

 

Ada seseorang yang berkata kepada orang yang berlebih-lebihan dalam masalah kebersamaan dengan Allah ini dan dia membual dapat merasakan kebersamaan itu, “Bangunlah dan laksanakan shalat.” Maka orang itu menjawab, “Orang yang lalai dituntut untuk membaca wirid. Lalu bagaimana dengan hati yang setiap saat yang dilaluinya adalah wirid?”

 

Mereka ada di antara status kafir dan orang yang tidak sempurna. Siapa yang tidak melihat pelaksanaan yang fardhu sebagai kewajiban, maka dia adalah orang kafir, dianggap keluar dari agama. Siapa yang menelantarkan kemaslahatan yang sudah pasti, seperti ibadah sunnah, rawatib, ilmu yang bermanfaat, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, maka dia adalah orang yang kurang dan tidak sempurna.

 

Sedangkan golongan kedua tidak peduli terhadap kebersamaan dengan Allah dan tidak berusaha untuk itu. Sebab boleh jadi mereka tidak tahu hakikatnya.

 

Jalan orang-orang yang henar, kuat dan istiqamah ialah memperhatikan kebersamaan dengan Allah dan juga perpisahan selagi memungkinkan untuk itu. Mereka melaksanakan ibadah, memberikan manfaat dan berbuat baik kepada makhluk, juga memperhatikan kebersamaan dengan Allah. Jika dia tidak mampu menghimpun dua perkara ini, maka dia hanya melaksanakan yang fardhu dan tidak melakukan kebersamaan. Sebab Allah menginginkan agar dia melaksanakan yang fardhu, sedangkan jiwanya menghendaki kebersamaan, karena di dalam kebersamaan ini terkandung kesenangan dan terbebas dari penderitaan perpisahan. Fardhu merupakan hak Allah dan kebersamaan merupakan hak dirinya.

 

Perkataan Syaikh mengandung pengertian lain, bahwa memperhatikan kebersamaan bisa membangkitkan kemudahan dalam usaha. Artinya, selagi seorang hamba merasa lebih dekat dengan Allah, maka usahanya justru semakin besar. Inilah makna yang lebih benar. Perhatikanlah keadaan Rasulullah dan para shahabat. Selagi mereka meningkat dalam satu kedudukan yang mendekatkan mereka kepada Allah, maka usaha dan mujahadah mereka semakin besar, tidak seperti anggapan sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada tharigah. Mereka berkata, “Tagarrub yang hakiki ialah yang mengalihkan hamba dari keadaan-keadaan yang hahir ke amal-amal batin, mengistirahatkan jasad dan anggota badan dari keletihan amal.”

 

Mereka ini adalah orang-orang yang sangat kufur dan ingkar, karena mereka meniadakan ubudiyah dan menganggap bahwa mereka tidak membutuhkan ubudiyah lagi, hanya karena hayalan-hayalan batil dan anganangan jiwa serta tipu daya setan. Orang-orang yang istiqamah dan para pemimpin mereka pun menganggap orang-orang yang berpendapat seperti itu adalah kafir dan dianggap keluar dari Islam. Mereka menegaskan bahwa setiap hakikat yang tidak mengikuti syariat adalah kufur.

 

Sari As-Sagathi berkata, “Siapa yang mengaku mendapatkan hakikat batin yang bertentangan dengan zhahir hukum, maka dia adalah salah.”

 

Masih banyak pernyataan-pernyataan mereka, bahwa amal yang tidak mengikuti As-Sunnah adalah batil, tidak sah dan mungkar.

 

Perkataan Syaikh, “Yang membebaskan dari kebodohan penentangan”, artinya perhatian ini membebaskan hamba dari kebodohan penentangan terhadap hukum Allah, baik berupa hukum agama maupun hukum alam. Jadi dia harus tunduk kepada dua hukum ini. Memperhatikan kebersamaan memberikan kesaksian kepadanya bahwa dua hukum ini berasal dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Maka hukum-Nya tidak bisa ditentang dengan pendapat, jalan pikiran, perasaan dan sesuatu yang melintas di sanubari. Di samping itu, hati juga terbebas dari penentangan terhadap perintah. Sebab biasanya perintah bertentangan dengan keinginan jiwa, dan pengabaran bertentangan dengan kesangsian dan keraguan. Memperhatikan kebersamaan ini menjadikan hati terbebas dari dua macam penentangan tersebut. Inilah hati yang bersih, yang beruntung karena dapat bertemu Allah. Begitulah penafsiran orang-orang yang benar dan istiqamah.

 

Perkataan Syaikh, “Memperhatikan kembali permulaan”, mengandung pengertian bahwa pelakunya memperhatikan ketetapan-ketetapan yang telah dibuat Allah terhadap dirinya dan juga terhadap segala sesuatu. Tapi kata permulaan di sini juga bisa berarti permulaan perjalanannya dan keseriusan pencariannya. Selagi sudah memulai perjalanan, maka dia tidak menoleh ke belakang, karena sibuk memperhatikan apa yang ada di hadapannya dan dikuasai hasratnya. Jika dia memperhatikan kebersamaan, maka dia akan menempuh etape pertama, lalu beralih ke etape kedua. Tapi bukan berarti dia tidak memperhatikan permulaannya, bahkan dia merindukannya. Di sana ada kenikmatan waktu-waktu permulaan, saat menghimpun hasrat dan mengadakan perjalanan kepada Allah. Selagi dia memperhatikan kebersamaan, maka hilanglah rupa dirinya. Tapi dia tidak bisa melepaskan diri sifat kemanusiaannya dan hukum-hukum tabiatnya, sehingga dia harus kembali ke waktu-waktu permulaan, karena saat itu dia memperoleh kenikmatan saat memisahkan diri dari makhluk dan saat menghimpun hasrat.

 

Nabi telah mengabarkan, bahwa segala sesuatu mempunyai keburukan, dan setiap keburukan mempunyai jeda waktu. Ketika beliau tidak menerima wahyu selama sekian waktu, maka beliau pergi ke puncak bukit, lalu menyungkurkan diri di sana. LaluJibril turun menemui beliau dan berkata, “Sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah.” Maka hati beliau menjadi tenang kembali.

 

Jeda waktu bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan merupakan hal yang wajar. Siapa yang jeda waktunya untuk lebih mendekatkan diri, tidak mengeluarkannya dari yang wajib dan tidak menyeretnya kepada yang haram, maka diharapkan dia akan kembali kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Al-Khaththab berkata, “Sesungguhnya hati ini mempunyai saat menghadap dan saat berpaling. Jika ia menghadap, maka isilah dengan nafilah, dan jika berpaling, maka isilah dengan yang fardhu.”

 

Waktu

 

Dalam masalah waktu ini pengarang Manazilus-Sa’irin mengacu kepada firman Allah sebagai landasannya,

 

“Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.” (Thaha: 40).

 

Menurut Syaikh, waktu adalah wadah pembentukan. Waktu merupakan istilah dalam kajian ini, yang memiliki tiga makna dan dilandaskan kepada tiga derajat. Makna yang pertama adalah saat mampu dan benar, karena melihat cahaya karunia yang ditarik kebersihan harapan, atau karena ada perlindungan yang ditarik kebenaran ketakutan, atau karena kobaran rindu yang ditarik cinta.

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah telah menetapkan waktu kedatangan Musa pada saat yang sangat dia butuhkan. Menurut Mujahid, artinya pada waktu yang telah dijanjikan. Tapi pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi. Sebab antara Allah dan Musa tidak pernah ada ikatan janji sebelumnya. Pelandasannya kepada ayat ini menunjukkan ilmu Allah. Jika sesuatu berada tepat pada waktunya yang paling tepat, maka itulah yang paling baik dan yang paling bermanfaat, seperti halnya hujan yang sangat dibutuhkan pada suatu waktu, yang menjadi jalan keluar pada saatnya yang paling tepat. Siapa yang memperhatikan ketetapan-ketetapan Allah yang terjadi pada makhluk, maka akan mengetahui bahwa semua itu terjadi pada waktu yang paling tepat. Allah mengutus Musa pada saat manusia sangat membutuhkan utusan-Nya. Begitu pula saat Isa diutus, saat Muhammad diutus, pada waktu yang paling tepat bagi manusia.

 

Waktu menurut Syaikh merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah temporal yang di dalamnya ada kejadian. Tapi waktu menurut mereka mempunyai pengertian yang lebih khusus dari makna ini.

 

Menurut Abu Ali Ad-Daggag, waktu adalah sesuatu yang engkau ada di dalamnya. Jika engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Jika engkau berada di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Jika engkau berada dalam kegembiraan, maka waktumu adalah kegembiraan. Jika engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan itu. Artinya, waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia. Atau bisa juga diartikan, bahwa waktu adalah apa yang ada di antara dua masa, lampau dan mendatang. Ini merupakan istilah yang lebih sering mereka gunakan, maka mereka berkata, “Orang sufi dan orang fakir adalah anak waktunya.” Artinya, hasrat yang dimiliki seorang hamba tidak melebihi tugasnya untuk mengisi hidupnya. Inilah yang paling penting dan paling bermanfaat baginya. Dia dituntut melakukan apa yang ada pada saat itu pula, tidak perlu memperhatikan yang sudah lampau dan mendatang. Dia cukup memperhatikan waktu yang ada. Karena memperhatikan waktu yang lampau dan mendatang hanya akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika datang suatu waktu, maka dia harus meninggalkan dua sisi waktu itu, agar semua waktunya dapat ditinggalkan.

 

Asy-Syafi’i berkata, “Aku pernah menyertai orang-orang sufi. Tidak ada manfaat yang bisa saya petik dari mereka kecuali dua kalimat yang pernah kudengar dari mereka. Mereka berkata, “Waktu adalah pedang. Jika engkau tidak memotongnya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka dirimulah yang akan menyibukkanmu dengan kebatilan’. Saya katakan, “Ini adalah dua kalimat yang sangat mendalam maknanya dan besar manfaatnya, yang menunjukkan kebesaran hasrat orang yang mengatakannya.”

 

Yang mereka maksudkan dengan waktu, lebih khusus dari semua pengertian ini. Waktu menurut mereka adalah sesuatu yang secara kebetulan mendatangkan kebenaran bagi mereka, bukan karena apa yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Jika ada yang berkata, “Fulan menurut hukum waktu”. Artinya, dia menerima apa yang datang dari sisi Allah tanpa memilih dan menentukannya.

 

Yang demikian ini baik dalam satu keadaan tapi juga diharamkan dalam keadaan lain dan pelakunya kurang dalam keadaan yang lain lagi. Dia baik di setiap keadaan yang di dalamnya tidak ada perintah dan larangan Allah, seperti keadaan berlakunya hukum alam yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, seperti keadaan sakit, miskin, asing, lapar, menderita, panas, dingin dan lain sebagainya. Diharamkan dalam keadaan yang di dalamnya ada perintah, larangan dan keharusan memenuhi hak-hak syariat. Karena menyia-nyiakan, kepasrahan dan ketidakpedulian, sementara ada kesanggupan, sama dengan meninggalkan agama secara total dan orangnya dianggap tidak sempurna, pada saat dia sanggup melaksanakan nafilah, kebajikan dan berbagai macam ketaatan. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Dia menolongnya dengan waktu, sehingga waktunya merupakan penolong bagi dirinya.

 

Jika Allah menghendaki suatu keburukan pada diri hamba, maka Dia menjadikan waktunya menguasai dirinya dan waktunya menjadi penghalang baginya. Jika dia bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan, maka waktunya tidak memberikan pertolongan kepadanya. Berbeda dengan orang pertama. Selagi dia hendak duduk, maka waktunya mendorongnya untuk bangkit dan memberikan pertolongan kepadanya.

 

Dalam kaitannya dengan waktu, mereka membagi orang sufi menjadi empat golongan:

 

– Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukum azali tidak bisa dirubah oleh usaha hamba. Sekalipun begitu mereka tetap rajin melaksanakan perintah, menjauhi larangan, bertaqarrub kepada Allah dengan berbagai macam ketaatan, sekalipun mereka tidak begitu yakin akan semua itu.

 

– Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya. Padahal apa yang terjadi nanti tidak bisa diketahui. Berapa banyak musim semi yang membuat pepohonan berbinar, bunga-bunganya merekah, buah-buahnya ranum, tapi begitu cepat pepohonan itu ditimpa bencana dari langit tanpa diduga-duga, sehingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah,

 

“Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Yunus: 24).

 

– Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Mereka tidak menyibukkan diri dengan waktu yang lampau dan tidak pula dengan waktu yang akan datang. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukumhukumnya. Mereka berkata, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang.”

 

– Orang-orang yang bersama pemilik waktu dan saat, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri.

 

Seperti yang sudah disinggung di atas, waktu menurut pengarang Manazilus-Sa’irin merupakan istilah untuk tiga makna:

 

Makna Pertama: Saat yang sesungguhnya dan nyata, yaitu saat dari suatu kemampuan untuk berdiri dengan hatinya, tidak merasa terbebani dan tidak dipaksa untuk memperolehnya. Gantungannya adalah melihat cahaya karunia. Melihat di sini bukan sekadar melihat dengan mata semata, tapi disertai hati dan membuatnya tenang, bukan seperti orang yang melihat musuh dan merasa takut kepadanya.

 

Maksudnya, ini merupakan waktu yang orangnya benar-benarnyata ada di dalamnya, karena dia melihat karunia Allah. Karunia di sini adalah pemberian yang sebenarnya orang yang diberi tidak mempunyai hak atas pemberian itu, atau diberi melebihi kadar yang menjadi haknya. Jika dia melihat karunia ini dan menyimak dengan hatinya, maka akan menghasilkan kemampuan lain yang mendorongnya untuk mencintai Pemberi karunia dan rindu untuk bersua dengan-Nya.

 

Makna Kedua: Merupakan istilah bagi jalan yang dilalui orang yang sedang berjalan di antara kekuatan dan keragaman, tetap dalam keadaannya dan menoleh kepada ilmu. Terkadang ilmu menyibukkannya dan terkadang keadaan membawa dirinya. Bencananya ada di antara keduanya.

 

Kekuatan di sini artinya kepatuhan kepada hukum-hukum ubudiyah berdasarkan kesaksian dan keadaan, sedangkan keragaman mempunyai makna yang lebih khusus lagi, yaitu ketundukan kepada hukum ubudiyah berdasarkan ilmu.

 

Perkataan Syaikh, “Tetap dalam keadaannya dan menoleh kepada ilmu”, artinya hamba berjalan kepada kekuatan selagi dia melewati keadaan dan menoleh ke ilmu, bukan melewati ilmu dan menoleh ke keadaan. Ada dua macam orang yang mengadakan perjalanan: Pertama, orang yang berjalan di atas keadaan dan menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat kepada pengukuhan. Kedua, orang yang berjalan di atas ilmu dan menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat kepada keragaman. Yang satu lemah dalam ilmu dan satunya lagi lemah dalam keadaan. Yang satu tunduk kepada keadaan dan satunya lagi tunduk kepada keadaan. Jika orang yang tunduk kepada keadaan menentang ilmu, maka dia akan terhalang. Sedangkan orang yang tunduk kepada ilmu namun berpaling dari keadaan, maka dia adalah orang kurang dan sia-sia, hanya sibuk dengan sarana dan melupakan tujuan. Orang yang memiliki kekuatan ialah yang mengalihkan ilmunya ke keadaannya, menjadikannya sebagai penentu hukum dan mengalihkan keadaannya ke ilmunya.

 

Perkataan Syaikh, “Terkadang ilmu menyibukkannya dan terkadang keadaan membawa dirinya”, terkadang ilmu menyibukkan dirinya hingga membuatnya lalai menguatkan keadaan. Tapi terkadang dia terlalu dikuasai oleh keadaan, sehingga keadaan itu seakan membawa dirinya sesuai dengan kekuasaannya.

 

Makna Ketiga: Waktu yang sebenarnya. Yang mereka maksudkan adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah. Makna ini menunjukkan bahwa Allah lebih dahulu ada daripada waktu. Inilah kandungan makna yang ketiga ini, yang berbagai rupa melebur di dalamnya karena pengungkapan, bukan karena wujud semata.

 

Ini merupakan makna waktu dalam pengertian yang lebih khusus daripada makna di atas, bahwa orang yang mengadakan perjalanan dengan membawa makna ini, jika dia tenggelam dalam waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa.

 

Kejernihan

 

Allah berfirman kaitannya dengan persinggahan ini,

 

“Dan, sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shad: 47).

 

Shafa’ artinya terbebas dari kekeruhan atau jernih. Sedangkan dalam pembahasan ini berarti gugurnya keragu-raguan.

 

Sisi pelandasannya kepada ayat di atas, bahwa kata mushthofa (pilihan) yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan bentukan dari shafwah (jernih atau bersih). Artinya saringan sesuatu dan membersihkannya dari hal-hal yang mengotorinya.

 

Perkataan Syaikh, “Shafa’ artinya terbebas dari kekeruhan”, makna keruh di sini adalah bercampurnya yang baik dan yang kotor. Menurutnya ada tiga derajat kejernihan, yaitu:

 

  1. Kejernihan ilmu yang membimbing saat meniti jalan, memperlihatkan kesudahan usaha, dan meluruskan hasrat mencapai tujuan. Dalam derajat ini Syaikh menyebutkan tiga faidah, yaitu: Faidah Pertama: Ilmu yang membimbing saat meniti jalan. Ilmu yang jernih seperti yang diisyaratkannya ini adalah ilmu yang dibawa Rasulullah.

 

Al-Junaid sering berkata, “Ilmu kami terikat dengan Al-Kitab dan AsSunnah. Siapa yang tidak menghapal Al-Qur’an dan tidak menulis hadits serta tidak ada keselarasan, maka dia tidak layak ditiru.”

 

An-Nashr Abadi berkata, “Dasar golongan (sufi) ini ialah mengikuti AlKitab dan As-Sunnah, meninggalkan keinginan diri sendiri dan bid’ah, mengikuti orang-orang salaf, meninggalkan bid’ah-bid’ah yang diciptakan golongan lain dan meniti jalan orang-orang lebih dahulu masuk Islam.’”

 

Masih banyak pernyataan-pernyataan lain yang serupa, yang berisi keharusan mengikuti As-Sunnah atau ilmu yang dibawa Rasulullah.

 

Ilmu yang jernih ini, yang diterima dari Misykat wahyu dan nubuwah, membimbing orangnya untuk meniti jalan ubudiyah. Hakikatnya adalah meniru adab-adab Rasulullah secara zhahir dan batin, berhenti di mana beliau berhenti, berjalan di mana beliau berjalan. Engkau menjadikan beliau sebagai syaikhmu, imam, panutan, teladan dan hakim. Engkau menggantungkan hatimu ke hati beliau yang mulia, menggantungkan ruhmu ke ruh beliau, sebagaimana murid yang menggantungkan ruhnya ke ruh syaikhnya. Engkau memenuhinya jika beliau menyerumu, berhenti jika beliau menyuruhmu berhenti, berjalan jika beliau menyuruhmu berjalan, singgah jika beliau memintamu singgah, marah seperti marah beliau, ridha seperti ridha beliau. Jika beliau mengabarkan sesuatu kepadamu, maka engkau menempatkan pengabaran beliau ini seperti sesuatu yang engkau lihat secara langsung. Jika beliau mengabarkan sesuatu dari Allah, maka seakan-akan engkau mendengarnya sendiri pengabaran itu dari Allah secara langsung.

 

Secara umum, engkau menjadikan beliau sebagai syaikh, ustadz, pendidik, pembimbingmu, engkau menyingkirkan sarana antara dirimu dan diri beliau kecuali dalam masalah tabligh, sebagaimana engkau harus menyingkirkan sarana antara dirimu dan Dzat yang mengutus para rasul. Sarana tidak dikukuhkan melainkan agar perintah, larangan dan risalah beliau sampai kepadamu.

 

Dua bentuk pembebasan ini merupakan hakikat la ilaha illallah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Allah sematalah yang disembah dan diibadahi, yang selain-Nya tidak memiliki hak ibadah.

 

Sedangkan Rasul-Nya adalah yang harus ditaati dan diikuti, yang selain beliau tidak mempunyai hak untuk ditaati. Selain beliau boleh ditaati selagi beliau memerintahkannya, sehingga dia ditaati karena ada perintah beliau.

 

Semua jalan tertutup kecuali jalan orang yang mengikuti jejak beliau dan mengikuti beliau secara zhahir dan batin.

 

Tidak ada gunanya seseorang berjalan selain di jalan ini dan dia tidak akan memperoleh hasil apa pun selain dari keletihan, dan amalnya seperti yang difirmankan Allah,

 

“Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lain Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39).

 

Perkataan Syaikh, “Memperlihatkan kesudahan usaha”,artinya kejernihan ilmu membimbing orangnya ke tujuan yang dimaksudkan, dengan usaha dan ketekunan. Karena banyak orang yang berjalan, bahkan mayoritas di antara mereka yang berjalan dengan gigih dan dengan segenap usahanya, tanpa memperhatikan tujuannya.

 

Masalah ini bisa saya sajikan satu contoh yang baik, yaitu ada beberapa orang yang datang di suatu perkampungan. Mereka berasal dari negeri yang jauh, pakaian mereka mentereng, indah, penampilan menawan, membawa perbekalan yang banyak dan mereka memperlihatkan pengaruh kenikmatan yang dimiliki. Maka orang-orang kagum melihat keadaan mereka itu. Ketika orang-orang bertanya tentang keberadaan mereka, maka mereka menjawab, “Negeri kami adalah negeri yang paling baik, banyak kenikmatannya, subur, airnya melimpah, udaranya sejuk, buah-buahannya banyak, rakyatnya makmur. Raja kami juga memiliki semua sifat-sifat yang baik, berilmu, penuh perhatian terhadap rakyat, kasih sayang dan juga dekat dengan mereka, mempunyai pamor dan karisma yang tinggi di mata semua raja dan penguasa, sehingga tak seorang pun raja lain yang berani mengusik kekuasaannya dan memeranginya. Penduduk negeri dalam keadaan aman dan tentram, tak sedikit pun tebersit rasa takut kepada serbuan musuh dari luar. Raja kami menyatu dengan rakyat, biasa menemui mereka dan mereka pun bebas menemuinya. Hampir tidak ada pembatas di antara mereka dan raja kami. Jika melihat kemunculannya, mereka tidak mau menoleh ke arah lain dan seakan segala kenikmatan di sekelilingnya. Semua orang tunduk dan mengagungkannya. Sementara kami adalah utusan raja, bertugas mengundang semua manusia untuk bergabung dengannya. Suratsurat inilah sebagai buktinya. Jadi tidak perlu ada kecurigaan terhadap kami atau menganggap kami sebagai para pembual yang dusta.”

 

Ketika orang-orang mendengar maklumat para utusan itu, maka mereka terpecah menjadi beberapa kelompok:

 

Kelompok Pertama: Yang mengatakan, “Kami tidak akan meninggalkan negeri dan kampung halaman kami, kami tidak sudi menempuh perjalanan jauh dan sulit, untuk meninggalkan tradisi, kehidupan dan tempat tinggal, bapak, keluarga dan teman-teman kami, hanya karena sesuatu yang dijanjikan kepada kami untuk hidup jauh di luar negeri kami. Toh kami belum tahu apakah kami bisa berhasil sampai di sana.” Kelompok ini tidak mau berpisah dengan negerinya, karena mereka melihat hal itu seperti napas yang berpisah dari jasad.

 

Karena napas sudah menyatu denganjasad, sebagai gambaran dari penyatuan mereka dengan negerinya, maka mereka tidak ingin perpisahan ini, sekalipun ada harapan untuk beralih ke kenikmatan yang lebih menyenangkan. Mereka lebih dikuasai dorongan perasaan dan tabiat daripada dorongan akal.

 

Kelompok Kedua: Tatkala melihat keadaan para utusan itu dan mempercayai perkataannya, maka mereka segera mengadakan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh menuju negeri itu. Ketika sudah siap untuk berangkat, mereka dihalang-halangi keluarga, teman dan kerabat. Kehidupan mereka yang sudah menyatu dengan kampung halaman dan tempat tinggalnya, seakan juga mencegah keberangkatan mereka. Di satu saat mereka maju ke depan dan pada saat lain mereka mundur lagi ke belakang.Jika mereka mengingat kenikmatan di negeri raja itu, maka mereka berjalan ke sana, dan jika mereka mengingat kehidupan sebelumnya di tengah keluarga, kerabat dan teman-teman, maka mereka mundur lagi. Mereka tak bisa lepas dari dua daya tarik, sampai akhirnya salah satu di antaranya yang akan menang, dan kesanalah mereka akan berjalan.

 

Kelompok Ketiga: Orang-orang yang sudah mempunyai tekad yang bulat untuk pergi ke negeri itu, karena melihat negeri tersebut lebih baik. Mereka tidak peduli celaan orang lain yang suka mencela. Hanya saja perjalanan mereka lamban, karena informasi tentang negeri tersebut tidak banyak mereka ketahui.

 

Kelompok Keempat: Orang-orang yang bertekad pergi ke negeri itu, berjalan dengan cepat dan penuh semangat, tanpa mau menoleh ke belakang. Hasrat mereka tertuju kepada perjalanan dan agar sampai ke tujuan.

 

Kelompok Kelima: Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam mengadakan perjalanan dan hasrat mereka tertuju kepada tujuan, sehingga seakan-akan mereka sudah melihat langsung tujuan itu, dan seakan-akan tujuan itu menyeru mereka. Mereka berbuat atas kesaksian yang ditunjang oleh hati ini. Orang yang menyaksikan tujuan dan disertai amal yang didukung ilmu, usaha dan keikhlasan, lebih sempurna daripada orang yang tidak menyaksikan dan memperhatikan tujuan. Orang yang berbuat untuk kepentingan raja dan raja itu ada di hadapannya dan menyaksikannya, tidak seperti keadaan orang yang berbuat sesuatu untuk kepentingan raja, tapi raja tidak menyaksikannya secara langsung atau bahkan tidak yakin apa yang diperbuatnya itu sampai kepada raja.

 

Perkataan Syaikh, “Menyehatkan hasrat mencapai tujuan”, artinya kejernihan ilmu ini menyehatkan hasratnya. Selagi hasrat itu sehat, maka ia akan menanjak dan naik. Kehinaan hasrat karena ilmu itu yang sakit. Jika tidak, maka ia seperti api yang meliuk-liuk ke atas dan tidak bisa dicegah.

 

Hasrat yang paling tinggi ialah hasrat yang menghubungkan kepada Allah, baik hasrat pencarian atau menjadikan-Nya sebagai tujuan. Ini merupakan hasrat para rasul dan para pengikut mereka. Sehatnya hasrat ini ialah dengan membedakannya agar tidak terbagi dalam pencariannya, tidak terbagi apa yang dicarinya dan tidak terbagi jalannya. Apa yang dicari harus menyatu dengan ikhlas, pencariannya dengan shidq, dan jalannya dengan berjalan di belakang dalil yang telah dipancangkan Allah, bukan menjadikanjalan itu sebagai dalil.

 

Apabila engkau ingin mengetahui tingkatan-tingkatan hasrat ini, maka lihatlah hasrat Rabi’ah bin Al-Aslami. Suatu saat Rasulullah bersabda kepadanya, “Mintalah kepadaku.” Maka dia berkata, “Aku memohon kepada Engkau agar dapat menyertai engkau di surga.“ Sementara selainnya meminta makanan untuk mengganjal perutnya dan pakaian untuk membungkus badannya.

 

Perhatikan hasrat Rasulullah, saat ditawarkan kunci-kunci dunia, tapi beliau tidak mau menerimanya. Padahal andaikan beliau mengambilnya, tentu beliau akan menginfakkan semuanya dalam ketaatan kepada Allah. Namun begitu hasrat beliau yang tinggi menolak tawaran tersebut, karena beliau tidak ingin bergantung kepada sesuatu selain Allah. Beliau juga ditawari kedudukan seperti raja yang bisa berbuat apa pun. Tapi beliau memilih ubudiyah.

 

Mahasuci Allah yang telah menciptakan hasrat yang tinggi seperti ini.

 

  1. Kejernihan keadaan, yang dipersaksikan hukum hakikat, yang manisnya munajat terasakan dan yang alam pun terlupakan.

 

Derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama, karena ini merupakan hasrat terhadap keadaan. Padahal hasrat terhadap keadaan merupakan buah ilmu. Suatu keadaan tidak bisa menjadi jernih kecuali jika ada kejernihan ilmu yang menghasilkannya. Jika ilmu kotor, maka keadaan juga kotor. Jika keadaan menjadi jernih, maka hamba bisa menyaksikan pengaruh-pengaruh hakikat dan merasakan manisnya munajat. Jika derajat ini sudah mantap, maka seorang hamba bisa melupakan alam dan seluruh isinya.

 

Derajat ini secara khusus berkaitan dengan kejernihan keadaan. Sedangkan derajat pertama berkaitan dengan kejernihan ilmu. Keadaan membentuk hati sesuai dengan hukum hal-hal yang masuk ke dalamnya, mengajak pemiliknya untuk masuk ke sebuah taman dan berada di dalamnya. Jika hal-hal yang masuk itu berasal dari sisi yang benar, maka itulah sisi hakiat Ilahiyah, bukan sekadar hakikat yang muncul dari angan-angan.

 

Hukum hakikat di sini adalah apa-apa yang berkaitan dengan Allah dan yang dinisbatkan kepada-Nya. Cara mewujudkannya ialah membentuk hati dengan pengaruh-pengaruh hakikat. Segala kebenaran mempunyai hakikat, setiap hakikat mempunyai perwujudan hakikat, yaitu dengan mempersaksikan hakikat itu.

 

Perkataan Syaikh, “Yang manisnya munajat terasakan”, bahwa jika keadaan hamba bersih dari kotoran, maka akan terasakan manisnya saat bermunajat kepada Allah. Munajat artinya perbincangan secara rahasia di dalam hati. Jika keadaannya kotor dan keruh, maka dia tidak akan merasakan manisnya munajat dengan Allah. Jika manisnya munajat ini dirasakan hamba, maka dia bisa melupakan kesibukan dengan makhluk, dan hanya sibuk dengan Allah.

 

  1. Kejernihan hubungan, yang memasukkan bagian ubudiyah ke dalam hak Rububiyah, memperkenalkan kesudahan pengabaran ke permulaan kesaksian mata dan tidak melihat ibadah sebagai kewajiban.

 

Yang dimaksudkan hubungan menurut golongan (sufi) ini adalah hubungan hamba dengan Rabb-nya dan sampainya kepada Rabb. Hal ini tidak bisa diartikan sebagai hubungan dzat hamba dengan Dzat Allah, sebagaimana dua macam dzat yang saling berhubungan. Makna lebih jauh dari hubungan ini ialah mengenyahkan nafsu dan kesibukan dengan makhluk dalam perjalanan kepada Allah, serta tidak boleh mengangan-angankan selainnya. Orang yang berjalan senantiasa melakukan perjalanan kepada Allah sampai dia meninggal dunia. Tidak ada yang menghentikan perjalanannya kecuali kematian. Di dalam kehidupan ini tidak ada garis finish dan tidak ada pencapaian. Berarti di sana tidak ada hubungan riel antara dzat hamba dengan Dzat Allah.

 

Perkataan Syaikh, “Memasukkan bagian ubudiyah ke dalam hak Rububiyah”, artinya siapa yang di dalam hatinya ada kesaksian asma’ dan sifat, ilmu dan keadaannya jernih, maka semua amalnya termasuk dalam hak Allah. Dia melihat semua amalnya di samping hak Allah tidak sampai seperti sebiji sawi di sisi sebuah gunung di dunia. Sehingga di dalam hatinya tidak tebersit keinginan untuk menuntut bagiannya yang sekecil dan sehina itu.

 

Al-lmam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Hasyim binAl-Oasim, kami diberitahu Shalih, dari Abu Imran Al-Jauni, dari Abul-Jild, bahwa Allah mewahyukan kepada Daud, “Hai Daud, berikanlah peringatan kepada hambahamba-Ku yang lurus, agar sekali-kali mereka tidak mengagumi diri sendiri dan tidak mengandalkan amalnya. Karena tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba-Ku yang layak untuk dihisab, dan tidaklah Aku menegakkan keadilan atas dirinya melainkan Aku pasti akan mengadzabnya, tanpa menganiayanya. Dan, sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang melakukan kesalahan, bahwa tidak ada dosa yang Kuanggap besar, sehingga Aku mengampuninya dan memaafkannya.”

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Sayyar, kami diberitahu Ja’far, kami diberitahu Tsabit Al-Bannani, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang beribadah selama tujuh puluh tahun. Dalam setiap doanya dia selalu berkata, “Ya Rabbi, berilah aku balasan karena amalku.”

 

Ketika sudah meninggal, dia dimasukkan ke dalam surga dan menetap di sana selama tujuh puluh tahun.

 

Setelah itu dikatakan kepadanya, “Keluarlah dari surga, karena balasan amalmu sudah dipenuhi.”

 

Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apakah sesuatu yang paling engkau yakini di dalam dirimu selagi di dunia?”

 

Tidak ada yang paling dia yakini di dunia selain daripada doa kepada Allah. Maka dia pun berdoa, “Ya Rabbi, selagi di dunia aku mendengar bahwa Engkau mengampuni kekeliruan. Maka ampunilah kekeliruanku pada hari ini.” Karena doanya ini dia pun dibiarkan di surga.”

 

Perkataan Syaikh, “Memperkenalkan kesudahan pengabaran ke permulaan kesaksian mata”, maksud kesudahan pengabaran adalah yang berkaitan dengan yang gaib, sedangkan maksud permulaan kesaksian mata adalah yang berkaitan dengan yang tampak. Dengan kata lain, hamba yang mempersaksikan seakan bisa melihat pengabaran Allah dengan hatinya secara langsung. Firman Allah,

 

“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar, sama dengan orang yang buta?” (Ar-Ra’d: 19).

 

Artinya, samakah orang yang melihat apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah dengan kata hatinya, bahwa apa yang diturunkan itu adalah benar, sama dengan orang yang buta dan tidak melihat hal itu?

 

Nabi juga pernah bersabda tentang ihsan, “Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”

 

Tak dapat diragukan bahwa mempercayai pengabaran bisa menguatkan hati, sehingga yang gaib pun seperti sesuatu yang dapat dilihat dengan mata kepala secara langsung. Orang yang berada pada kedudukan ini seakan dapat melihat Allah yang berada di atas langit-Nya, di ‘Arsy, yang mengawasi hambahamba-Nya, mendengar perkataan mereka dan mengetahui zhahir serta batin mereka. Orang yang berada pada kedudukan ini seakan bisa mendengar Allah berfirman menyampaikan wahyu, berfirman kepada Jibril, menyampaikan perintah dan larangan seperti yang dikehendaki-Nya, mengatur para malaikat.

 

Seakan dia melihat Allah ridha, murka, mencintai dan membenci, memberi dan menahan, tersenyum dan bergembira, memuji para wali-Nya, mencela musuh-musuh-Nya dan lain sebagainya.

 

Kegembiraan

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin menukil firman Allah dalam kaitannya dengan masalah ini,

 

“Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus: 58).

 

Penggunaan ayat ini sebagai landasan pembahasan sungguh amat tepat, sebab Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bergembira karena mendapatkan karunia dan rahmat Allah. Kegembiraan dan kesenangan ini mengikuti Pemberi karunia dan rahmat. Orang yang gembira karena mendapat kemurahan dan kebaikan, memang amat layak untuk merasa gembira. Makna ayat ini akan saya kupas, begitu pula kaitannya dengan perkataan pengarang Manazilus-Sa’irin.

 

Ibnu Abbas, Oatadah, Mujahid, Al-Hasan dan lainnya menyatakan bahwa maksud karunia Allah di sini adalah Islam, sedangkan rahmat-Nya adalah Al-Qur’an. Mereka menganggap rahmat Allah lebih khusus daripada karunia. Karunia-Nya yang khusus diberikan secara umum kepada semua pemeluk Islam. Sedangkan rahmat-Nya yang berupa pendalaman Al-Qur’an menjadi milik sebagian di antara mereka tanpa sebagian yang lain. Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang Muslim karena karunia-Nya, dan menurunkan Al-Qur’an kepada mereka dengan rahmat-Nya. Firman Allah,

 

“Dan, kamu tidak pernah mengharapkan agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu.” (Al-Qashash: 86).

 

Menurut Abu Sa’id Al-Khudri, karunia Allah artinya Al-Qur’an, sedangkan rahmat-Nya ialah kita yang dijadikan sebagai Ahli Al-Qur’an.

 

Sedangkan kegembiraan adalah kelezatan yang ada di dalam hati karena mengetahui yang dicintai dan mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan yang disebut kegembiraan dan kesenangan, sebagaimana kesedihan dan kedukaan karena kehilangan yang dicintai. Jika kehilangan yang dicintai ini menimbulkan kesedihan dan kedukaan, maka mengingat karunia dan rahmat Allah mendatangkan kegembiraan. Firman-Nya,

 

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu perjalanan dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57).

 

Gembira disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam dua bentuk: Tidak ada kaitannya dan yang terkait. Yang tidak ada kaitannya disebutkan dalam bentuk celaan, seperti firman-Nya,

 

“Janganlah kamu terlalu gembira, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu bergembira.” (Al-Oashash: 76).

 

Yang terkait ada dua macam pula: Terkait dengan dunia dan melalaikan pelakunya dari karunia Allah, yang berarti dia tercela, seperti firman-Nya,

 

“Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44).

 

Yang kedua terkait dengan karunia dan rahmat Allah. Hal ini juga ada dua macam: Karunia yang terkait dengan sebab dan karunia yang terkait dengan akibat. Kegembiraan yang terkait dengan Allah, Rasul-Nya, iman, As-Sunnah, ilmu danAl-Qur’an merupakan kedudukan paling tinggi bagi orang yang memiliki ma’rifat. Allah berfirman,

 

“Dan, apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124).

 

Kegembiraan yang terkait dengan ilmu, iman dan As-Sunnah merupakan dalil pengagungan dan kecintaan pemiliknya kepada tiga perkara ini daripada kepada selainnya. Kegembiraan hamba yang terkait dengan sesuatu pada saat mendapatkannya, tergantung dari kecintaannya kepada sesuatu itu. Siapa yang tidak mempunyai kecenderungan terhadap sesuatu, maka dia tidak akan merasa senang saat mendapatkannya dan tidak sedih saat kehilangannya. Gembira mengikuti kecintaan dan kesenangan.

 

Perbedaan antara gembira dan girang, bahwa gembira itu setelah mendapatkan apa yang dicintai, sedangkan girang sebelum mendapatkannya, tapi yakin akan mendapatkannya. Karena itu Allah berfirman,

 

 

“Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka.” (Ali lmran: 170).

 

Kegembiraan merupakan sifat kesempurnaan. Karena itu Allah disifati dengan jenis sifat yang paling tinggi dan paling sempurna, seperti kegembiraanNya karena taubat orang yang bertaubat, yang lebih besar dari kegembiraan orang yang mendapatkan kembali hewan tunggangannya yang hilang, yang membawa makanan dan minumannya, saat dia berada di tengah gurun, yang sebelumnya dia sudah berputus asa untuk mendapatkannya kembali.

 

Maksudnya, kegembiraan merupakan jenis-jenis kenikmatan hati yang paling tinggi. Kegembiraan dan kesenangan merupakan kenikmatan hati, sedangkan kesedihan dan kedukaan merupakan siksaan hati.Kegembiraan karena sesuatu di atas keridhaan terhadap sesuatu. Sebab ridha merupakan thuma’ninah, ketenangan dan kelapangan hati. Sedangkan kegembiraan merupakan kelezatan dan kenikmatannya. Setiap orang yang gembira adalah orang yang ridha, tapi tidak setiap orang yang ridha adalah gembira. Gembira kebalikan dari sedih, ridha kebalikan dari benci. Kesedihan membuat orangnya menderita, sedangkan kebencian tidak membuat orangnya menderita, kecuali jika dia tidak mampu membalas.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Surur merupakan istilah lain dari kegirangan karena akan menerima sesuatu seperti yang diinginkannya. Surur lebih jernih daripada farh. Sebab bolehjadi farh masih serupa dengan kesedihan. Maka Al-Qur’an menyebutkan kata farh di beberapa tempat yang berkaitan dengan kesenangan dunia, dan menyebutkan kata surur di dua tempat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan keadaan (kesenangan) akhirat.”

 

Sedangkan busyra atau bisyarah merupakan kabar awal yang benar dan menggembirakan. Ada dua hal yang dimaksudkan dengan busyra, yaitu: Berita gembira dari pemberinya, dan kegembiraan yang diberi berita. Allah berfirman,

 

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64).

 

Di dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit dan Abud-Darda’, dari Nabi,

 

“ Artinya adalah mimpi baik yang dialami orang Muslim atau yang diperlihatkan kepadanya.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Berita gembira di dunia ialah pada saat mati, saat para malaikat mendatangi mereka sambil membawa rahmat dan berita gembira dari Allah. Sedangkan di akhirat ialah saat keluarnya jiwa orang Mukmin, saat naik kepada Allah.”

 

Perkataan Syaikh, “Surur lebih jernih daripada farh”, dikuatkan dengan perkataannya, “Sebab boleh jadi farh masih serupa dengan kesedihan”. Bahkan antara keduanya bisa bercampur. Hal ini berbeda dengan surur.

 

Maksud perkataan Syaikh, “Maka Al-Qur’an menyebutkan kata farh di beberapa tempat yang berkaitan dengan kesenangan dunia”, bahwa Allah menghubungkan farh dengan keadaan-keadaan dunia, yang kegembiraannya tidak terbebas dari kesedihan dan kedukaannya. Bahkan tidak ada kegembiraan melainkan ada kesusahan sebelumnya, saat mendapatkannya dan setelah mendapatkannya. Memang terkadang kegembiraan lebih kuat daripada kesusahan, tapi bukan berarti lepas darinya sama sekali, terlebih lagi jika kesusahannya lebih dominan.

 

Perkataan Syaikh, “Menyebutkan kata surur di dua tempat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan keadaan (kesenangan) akhirat”, yang dia maksudkan adalah,

 

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (Al-Insyiqaq: 7-9).

 

“Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati.” (Al-Insan:11).

 

Kegembiraan yang berkaitan dengan dunia di satu tempat disebutkan dalam bentuk celaan, seperti firman-Nya,

 

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku’. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya.” (Al-Insyiqaq: 10-13).

 

Tapi menurut pendapat saya, penyebutan kata farh dan surur di dalam AlQur’an, bisa untuk keadaan dunia dan juga akhirat, tidak ada yang dikuatkan dalam hal ini. Bahkan bisa dikatakan bahwa farh-lah yang lebih kuat, sebab Allah juga disifati dengan kata ini, dan tidak disifati dengan surur. Bahkan Allah juga memerintahkan untuk gembira, sebagaimana firman-Nya, “Karena yang demikian itulah hendaknya mereka bergembira”, dan memuji orang-orang yang bergembira, sebagaimana firman-Nya, “Mereka gembira terhadap apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya”

 

Ada tiga derajat kegembiraan, yaitu:

 

  1. Kegembiraan rasa, yang lenyap karena tiga jenis kesedihan, yaitu: Kesedihan yang diwariskan ketakutan pemutusan, kesedihan yang dibangkitkan kegelapan kebodohan, dan kesedihan yang didorong keliaran perpisahan.

 

Karena kegembiraan merupakan kebalikan dari kesedihan dan kesedihan tidak bisa menyatu dengan kegembiraan, berarti kesedihan itu bisa menghilangkan kegembiraan. Karena sebab kegembiraan adalah rasa terhadap sesuatu, maka jika rasa itu lebih sempurna, maka kegembiraan pun juga sempurna.

 

Kegembiraan ini bisa hilang karena tiga macam kesedihan:

 

Pertama: Kesedihan yang diwariskan ketakutan pemutusan. Ini merupakan kesedihan orang-orang yang tidak bergabung dengan orang-orang yang mencintai dan tidak ikut dalam rombongan cinta. Orang-orang yang terputus adalah mereka yang tidak bergabung ke dalam rombongan ini. Merekalah yang difirmankah Allah,

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu sekalian bersama orang-orang yang tinggal itu’.” (At-Taubah:46).

 

Allah melemahkan hasrat mereka untuk berjalan kepada-Nya dan ke surga-Nya, lalu menyuruh hati mereka dengan perintah yang layak bagi mereka, yaitu tinggal bersama orang-orang lain yang juga tinggal.

 

Kesedihan ini bisa hilang jika orangnya merasakan manisnya iman, seperti Abu Bakar Ash-Shiddig yang merasakan janji Allah yang disampaikan Rasulullah. Firman-Nya,

 

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kalian tentang Allah. “(Fathir: 5).

 

Kedua: Kesedihan yang menghilangkan kegembiraan rasa, yaitu kesedihan karena kegelapan kebodohan. Kebodohan ada dua macam: Kebodohan ilmu dan kebodohan ma’rifat, kebodohan amal dan kebodohan kesewenangwenangan. Keduanya merupakan kegelapan dan ketakutan di dalam hati. Sebagaimana ilmu yang menghasilkan cahaya, maka kebalikan ilmu akan menghasilkan kegelapan. Allah dinamakan dengan Al-Ilmu, yang dengannya Dia mengutus para rasul, cahaya, kehidupan dan petunjuk. Sedangkan kebalikannya disebut kegelapan, kematian dan kesesatan. Allah berfirman,

 

“Dan, apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Al-An’am: 122).

 

Allah mengumpamakan cahaya di dalam hati orang Mukmin ini dalam firman-Nya,

 

“Seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nur: 35)

 

Sementara orang yang tidak memiliki cahaya ini diserupakan dengan orang

yang difirmankan Allah,

 

“Seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya lagi awan, gelap gulita yang tindih-menindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40).

 

Ketiga: Kesedihan yang dibangkitkan keliaran pemisahan, yaitu terpisahnya hasrat dan hati dari Allah. Pemisahan ini merupakan kesedihan yang muncul karena tidak ada kebersamaan hati dengan Allah dan kenikmatanNya. Jika semua kenikmatan yang dirasakan semua penduduk dunia dihimpun menjadi satu dan dimiliki satu orang saja, maka masih belum sebanding dengan kenikmatan karena kebersamaan hati dengan Allah, kejinakan di sisi-Nya dan kerinduan bersua dengan-Nya. Yang demikian ini tidak diyakini kecuali oleh orang yang bisa merasakannya.

 

  1. “Kegembiraan kesaksian, yaitu menyingkap hijab ilmu, membebaskan perbudakan pembebanan kewajiban, dan meniadakan kehinaan pilihan.

 

Artinya, ilmu merupakan hijab ma’rifat. Mempersaksikan penyingkapan hijab ini, hingga mendorong hati kepada ma’rifat, dapat menimbulkan kegembiraan. Ilmu yang dimaksudkan golongan ini ialah pengambilan kesimpulan, sedangkan ma’rifat merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan.

 

Ilmu memiliki pengabaran dan ma’rifat memiliki wujud yang bisa dilihat. Ilmu bagi mereka bisa menjadi hijab bagi ma’rifat, sekalipun tidak ada yang bisa menghantarkan kepada ma’rifat selain dari ilmu. Ilmu bagi ma’rifat tak ubahnya lemari penyimpan bagi isinya dan sekaligus sebagai hijabnya. Isi ini tidak bisa diperoleh kecuali lewat lemari penyimpan. Sebagai misal, jika ada lubang di permukaan salju, berarti di dalam salju itu ada hewan yang sedang bernapas.

 

Ini disebut ilmu. Jika engkau melubangi salju itu dan engkau melihat hewan tersebut, maka ini disebut ma rifat.

 

Perkataan Syaikh, “Membebaskan perbudakan pembebanan kewajiban”, tak bisa dibenarkan secara mutlak, sebab perbudakan pembebanan kewajiban tidak bisa dihindarkan hingga mati. Setiap kali hamba maju ke etape perjalanan berikutnya, maka dia akan menyaksikan pembebanan yang tidak dilihat sebelumnya. Perbudakan pembebanan kewajiban merupakan sesuatu yang lazim bagi orang mukallaf, selagi dia masih berada di dunia ini.

 

Tapi yang dimaksudkan Syaikh dengan perkataannya ini, bahwa kegembiraan dengan rasa dapat membebaskan hamba dari perbudakan pembebanan kewajiban, hingga dia tidak lagi menganggapnya sebagai pembebanan kewajiban. Ketaatan yang dilakukan menjadi santapan bagi hati, menjadi kegembiraan baginya dan kesenangan serta kenikmatan bagi ruhnya. Kenikmatan ini jauh lebih dapat dirasakan daripada kenikmatannya terhadap makanan dan minuman serta kenikmatan-kenikmatan jasad lainnya. Kenikmatan ruh dan hati lebih kuat daripada kenikmatan jasad, sehingga dia tidak merasakan beban dalam melaksanakan ibadah dan bukan merupakan pembebanan terhadap haknya. Apa yang dilakukan orang yang mencintai dalam pengabdiannya terhadap kekasih merupakan sesuatu yang paling menggembirakannya. Allah juga menyebut perintah dan larangannya dengan wasiat, janji, pelajaran dan rahmat, tidak menyebutnya pembebanan, kecuali yang sifatnya penafian, seperti firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

Kesanggupan ini berlaku setelah ada pengecualian pembebanan.

 

Perkataan Syaikh, “Meniadakan kehinaan pilihan”, bahwa selagi seorang hamba terikat oleh pilihan-pilihannya, berarti dia terkerangkeng dalam penjara kehendaknya, yang berarti dia dalam kehinaan dan kekerdilan. Tapi hamba yang berada dalam derajat ini bisa terbebas dari kehinaan pilihannya dan dia dalam keadaan merdeka. Di sana ada ubudiyah yang menimbulkan kebebasan dan kebebasan yang menyempurnakan ubudiyah, sehingga dia berada pada pilihan Allah, bukan menurut pilihannya sendiri. Dia berada pada pilihan Allah, layaknya orang yang tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri.

 

  1. Kegembiraan mendengarkan pemenuhan. Ini merupakan kegembiraan yang menghapus pengaruh keliaran, mengetuk pintu kesaksian dan membuat ruh tersenyum.

 

Syaikh mengaitkan pendengaran di sini dengan mendengar pemenuhan, karena inilah pendengaran yang memberikan manfaat, bukan sekadar mendengarkan secara inderawi, yang bisa dilakukan orang yang memenuhi dan yang berpaling. Karena itu Allah berfirman tentang orangnya, “Kami mendengar tapi kami tidak mau menuruti.”

 

Maka ketika ada seorang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah tentang masalah-masalah gaib, maka beliau bertanya, “Apakah hal itu akan memberikan manfaat bagimu jika aku memberitahukannya?” Orang Yahudi itu menjawab, “Aku akan mendengarkannya dengan telingaku.”

 

Sedangkan mendengarkan pemenuhan ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah, “Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. “(At-Taubah: 47).

 

Artinya memenuhi seruan mereka. Inilah yang dimaksudkan dalam ucapan orang yang sedang shalat, “Sami’allahu liman hamidah”. Artinya, Allah memenuhi pujian orang yang memuji-Nya. Pendengaran ini pula yang dinafikan Allah dari orang yang di dalam dirinya tidak dikehendaki Allah ada kebaikan.

 

Makna lebihjauh dari “Mendengarkan pemenuhan” ini ialah mendengarkan ketundukan hati, ruh dan anggota tubuh, tentang apa yang didengarkan kedua telinga.

 

Menghapus pengaruh keliaran artinya menghilangkan sisa-sisa keliaran, yang sebabnya tidak memiliki kepatuhan secara utuh.

 

Mengetuk pintu kesaksian artinya menyaksikan karunia dan pemberian sebagaimana yang disebutkan dalam dua derajat sebelumnya, lalu beralih ke derajat yang lebih tinggi lagi, yaitu menyaksikan kebersamaan.

 

Membuat ruh tersenyum artinya mendengarkan pemenuhan bisa membuat ruh tersenyum, karena kegembiraan yang dirasakan setelah mendengarkan itu. Disebutkan pengkhususan terhadap ruh, agar dari ruh ini keluar kegembiraan yang bisa membuat jiwa, akal dan hati tersenyum semuanya. Tentu saja hal ini dilandaskan kepada perbedaan antara hukum jiwa, hati dan ruh. Rahasia Pengarang Manazilus-Sa’irin menyitir firman Allah berkaitan dengan masalah rahasia ini,

 

” Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka.” (Hud: 31).

 

Syaikh berkata, “Orang-orang yang memiliki rahasia ialah mereka yang suka menyembunyikan keadaannya seperti yang disebutkan dalam pengabaran (hadits) tentang diri mereka.”

 

Letak pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memasukkan sebagian dari rahasia ma’rifat, cinta dan iman kepada-Nya ke dalam hati para pengikut rasul, yang membenarkan mereka, yang lebih mementingkan Allah dan hari akhirat daripada kaum dan rekan-rekannya. Sementara rahasia ini tidak dimiliki musuh-musuh rasul. Mereka hanya melihat hal-hal yang zhahir dan tidak melihat yang batin, sehingga mereka melecehkan dan menghinakan para rasul dan pengikutnya. Mereka berkata kepada Rasul, “Usirlah orang-orang hina itu dari sisimu, agar kami mau menemuimu dan mendengarkan perkataanmu.”

 

Mereka juga tidak percaya bahwa para pengikut rasul inilah yang mendapat karunia Allah. Maka “Nuh berkata kepada kaumnya, “Dan aku tidak mengatakan kepada kalian, “Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang gaib’, dan tidak pula aku mengatakan, “Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat’, dan tidak pula aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatan kalian, ‘Sekali-kali Allah tidak mendatangkan kebaikan kepada mereka’. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka, sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.” (Hud: 31).

 

Yang pasti tentang makna ayat ini, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam diri mereka, karena memang Allah membuat mereka orang-orang yang layak menerima agama dan keesaan-Nya serta membenarkan rasul-rasulNya. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Dia meletakkan pemberian di tempat yang semestinya. Yang juga semisal dengan ayat ini adalah firmanNya yang lain,

 

“Dan, demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang yang miskin), supaya (orang-orang yang kaya) berkata, “Orang-orang semacam inikah yang di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Allah berfirman), “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur?” (Al-An’am: 53).

 

Orang-orang yang kaya dan terpandang itu tidak terima jika Allah memberikan petunjuk dan kebenaran kepada orang-orang yang miskin, karena memang orang-orang yang kaya itu tidak mendapatkan petunjuk. Seakan-akan mereka menganggap pemberian keduniaan sebagai bukti pemberian akhirat. Maka Allah memberitahukan bahwa Dia lebih mengetahui siapa yang layak menerima pemberian-Nya, karena rahasia yang ada di sisi-Nya, yaitu pengetahuan tentang kadar nikmat dan keutamaan pemberi nikmat, kecintaan dan syukur kepada-Nya. Tidak setiap orang mengetahui rahasia ini, dan tidak setiap orang layak menerima pemberian ini.

 

Perkataan Syaikh, “Orang-orang yang memiliki rahasia ialah mereka yang suka sembunyi-sembunyi seperti yang disebutkan dalam pengabaran (hadits) tentang diri mereka”, boleh jadi pengabaran yang dimaksudkannya adalah hadits Sa’id bin Abi Waggash, yang anaknya berkata kepadanya, “Mengapa ayah di sini sementara orang-orang berselisih tentang imarah?”

 

Maka dia menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, kaya dan sembunyisembunyi (tentang keadaan dirinya)’.”

 

Boleh jadi yang dimaksudkannya adalah sabda Rasulullah, “Berapa banyak orang yang lusuh dan berdebu, yang tertolak di ambang pintu dan tidak dipedulikan, namun jika dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.”

 

Begitu pula sabda beliau dalam hadits lain, tatkala ada seseorang yang lewat, lain beliau bertanya kepada para shahabat di dekatnya, “Apa komentar kalian tentang orang itu?”

 

Mereka menjawab, “Dia adalah orang yang pantas. Jika meminta syafa’at, dia layak diberi syafaat. Jika mengajukan lamaran, dia layak dinikahkan. Jika berkata, perkataannya layak didengarkan.”

 

Kemudian ada orang lain yang lewat, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Apa komentar kalian tentang orang ini?”

 

Mereka menjawab, “Dia orang yang tidak pantas. Jika meminta syafaat, dia tidak layak diberi syafaat. Jika mengajukan lamaran, dia tidak layak dinikahkan. Jika berkata, perkataannya tidak layak didengarkan.”

 

Lalu beliau bersabda, “Orang ini lebih baik daripada seisi dunia.”

 

Menurut Syaikh, orang-orang yang memiliki rahasia ini ada tiga golongan:

 

  1. Golongan yang hasratnya tinggi, yang tujuannya bersih, yang perjalanannya benar, yang tidak berhenti pada suatu rupa, yang tidak mengaitkan kepada suatu nama dan yang tidak dituding dengan jari.

 

Merekalah simpanan-simpanan Allah di mana pun mereka berada.

 

Syaikh menyebutkan tiga sifat mereka yang positif dan tiga sifat yang negatif. Sifat-sifat yang positif adalah:

 

Pertama: Hasrat mereka yang tinggi. Maksud hasrat yang tinggi ialah tidak berada pada selain Allah, tidak mengganti-Nya dengan sesuatu selain-Nya, tidak ridha kepada selain-Nya sebagai pengganti-Nya, tidak menjual bagian dirinya yang berasal dari Allah, tidak menjual kedekatan, kegembiraan dan kesenangan karena Allah, dengan sesuatu dari bagian-bagian yang hina dan fana. Hasrat yang tinggi dibandingkan dengan hasrat-hasrat yang lain seperti seekor burung yang terbang paling tinggi dibandingkan dengan burung-burung lain yang terbang lebih rendah, sehingga rintangan dan bencana tidak bisa mengganggunya. Selagi hasrat ini tinggi, maka berbagai bencana tidak akan bisa mengganggunya, tapi selagi hasrat ini rendah, maka berbagai bencana bisa mengganggunya dari segala sisi. Bencana ini berupa perintang dan daya tarik, yang tidak bisa naik ke tempat yang tinggi dan menarik dari sana, karena ia hanya menarik dari tempat-tempat yang rendah. Ketinggian hasrat seseorang merupakan tanda keberuntungannya.

 

Kedua: Tujuan yang bersih, yaitu kebebasannya dari segala noda yang bisa menghambat untuk mencapai tujuannya, atau kebebasannya dari pencarian tujuan lain yang bukan tujuannya. Tujuan yang bersih seperti yang diisyaratkan Syaikh di sini adalah membebaskan tujuan dari segala kehendak yang mencampuri kehendak kepada Allah.

 

Ketiga: Perjalanannya yang benar, yaitu keselamatannya dari segala perintang dan penghalang. Caranya tiga macam: – Harus berada dijalan yang paling besar, yaitu jalan Nabawi yang tinggi dan bukan jalan yang sempit dan hina, yang menggunakan berbagai macam istilah, sekalipun mungkin tampak indah.

 

– Tidak memenuhi panggilan-panggilan yang batil dan yang membuatnya menghentikan perjalanan.

 

– Ketika berjalan harus melihat ke tujuan.

 

Tiga sifat negatif yang disebutkan Syaikh adalah:

 

Pertama: Tidak berhenti pada suatu rupa. Artinya, karena hasratnya yang tinggi, mereka bisa mendahului perjalanan orang-orang lain dan tidak berhenti bersama mereka. Karena cepatnya, mereka tidak meninggalkan jejak dalam perjalanannya dan orang-orang yang tertinggal di belakang tidak tahu di mana mereka lewat?

 

Kedua: Tidak mengaitkan kepada suatu nama. Artinya, mereka tidak menjadi terkenal karena sebutan tertentu, yang membuat manusia mengenali mereka. Sebab biasanya sebutan-sebutan ini menjadi simbol bagi orang-orang yang meniti jalan mereka. Di samping itu, mereka tidak mengikat dengan amal tertentu, sehingga mereka menjadi terkenal karenanya tanpa amal-amal yang lain. Yang demikian ini merupakan bencana dalam ubudiyah dan merupakan ubudiyah yang terbatas. Sedangkan ubudiyah yang tidak terbatas ialah yang pelakunya tidak dikenali karena sebutan atau pun nama tertentu, yang bersama setiap ahli ibadah, tidak mengikat dengan nama, sebutan dan simbol-simbol tertentu yang sengaja diciptakan. Jika dia ditanya, “Siapa syaikhmu?” Maka dia menjawab, “Syaikhku Rasulullah.”

 

Jika ditanya, “Apa tharigahmu?” Maka dia menjawab, “Tharigahku adalah ittiba’.”

 

Jika ditanya, “Apajubahmu?” Maka dia menjawab, “Jubahku adalah baju takwa.”

 

Jika ditanya, “Apa madzhabmu?” Maka dia menjawab, “Madzhabku adalah menjadikan As-Sunnah sebagai penentu hukum.”

 

Ketiga: Yang tidak dituding denganjari. Artinya, karena kebiasaan mereka yang menyembunyikan keadaannya dari orang-orang, maka di antara mereka pun tidak saling mengenal, sehingga mereka saling menunjuk dengan jari mereka kepada yang lain. Di dalam hadits yang terkenal diriwayatkan dari Nabi 4g, beliau bersabda, “Setiap orang yang beramal mempunyai kerajinan, dan setiap kerajinan ada waktu senggangnya. Jika pelakunya benar dan bertagarrub, maka berharaplah baginya, namun jika dia dituding dengan jari, maka janganlah kalian menganggap sedikit pun terhadapnya.”

 

Ketika rawi hadits ini ditanya tentang makna “Dituding dengan jari”, maka dia menjawab, “Dia adalah orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agamanya dan orang yang buruk dalam dunianya.”

 

Tapi masalah ini perlu dirinci lagi. Sebab manusia tentu akan menuding dengan jarinya kepada orang yang datang kepada mereka sambil membawa sesuatu. Di antara mereka ada yang mengenalnya dan ada pula yang tidak mengenalnya. Jika dia lewat, maka orang yang mengenal dirinya memberi isyarat kepada orang yang tidak mengenalnya, dengan berkata, “Ini Fulan, yang dulunya dicela, atau dipuja.” Siapa yang dulunya dikenal sebagai orang beribadah dan berzuhud, namun kemudian keadaannya merosot dan bergumul dengan dunia serta syahwat, maka seandainya dia lewat di tengah orang-orang, sudah selayaknya jika mereka menuding ke arahnya seraya mengatakan, “Dulu dia orang yang zuhud, lalu dia mendapat cobaan dan keadaannya berbalik.” Inilah makna sabda beliau, “Janganlah kalian menganggap sedikit pun terhadap dirinya.”

 

Namun adakalanya seseorang dulunya tenggelam dalam keduniaan, lalu Allah menyadarkannya agar berbuat untuk akhirat, sehingga dia meninggalkan masa lalunya itu dan membalik keadaannya. Dia lewat di antara orang-orang, tentu mereka akan menudingkan jari ke arahnya seraya berkata, “Dulu dia adalah orang yang terpedaya, lalu Allah menyadarkannya. Dulu dia sibuk dengan berbagai macam kedurhakaan, sekarang dia sibuk dengan berbagai macam ketaatan.”

 

Jadi secara umum, isyarat dengan telunjuk yang ditujukan kepada seseorang bisa merupakan tanda kebaikan dan juga bisa merupakan tanda keburukan.

 

Perkataan Syaikh, “Merekalah simpanan-simpanan Allah di mana pun mereka berada”, artinya harta milik yang disimpan dan disembunyikan di sisiNya untuk kepentingan tertentu, yang tidak dikeluarkan kepada setiap orang. Begitu pula apabila seseorang mempunyai simpanan, yang tidak akan dikeluarkannya kecuali untuk kepentingan yang mendadak atau sangat penting. Tapi karena orang-orang dalam golongan ini suka menyembunyikan keadaan dirinya dan sebab-sebabnya, tidak membedakan diri dengan orang lain dengan suatu nama, madzhab, pakaian atau syaikh tertentu, maka mereka tak ubahnya harta simpanan yang disembunyikan. Mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari bencana.

 

Sebagian imam ada yang ditanya tentang As-Sunnah. Maka dia menjawab, “As-Sunnah ialah yang tidak mempunyai nama selain dari As-Sunnah itu sendiri.” Dengan kata lain, Ahlus-Sunnah tidak memiliki nama yang dinisbatkan kepada selain As-Sunnah.

 

  1. Golongan yang mengisyaratkan ke satu persinggahan, padahal mereka berada di persinggahan lain. Mereka mengucapkan suatu lafazh, padahal mereka memaksudkan untuk makna yang lain. Mereka mengajak kepada suatu keadaan, padahal mereka lebih tinggi dari yang lain. Mereka berada dalam kecemburuan yang menutupi keadaan mereka, berada dalam adab yang melindungi mereka dan berada di satu sisi yang membimbing mereka.

 

Golongan ini tetap bergaul dengan manusia secara zhahir, berbicara dengan mereka sesuai dengan bobot pemikirannya, tidak berbicara kecuali yang memang bisa diterima akal mereka, mengingkari mereka, sehingga lawan bicaranya beranggapan bahwa mereka seperti dirinya, padahal mereka tidak termasuk golongannya.

 

Perkataan Syaikh, “Mengisyaratkan ke satu persinggahan, padahal mereka berada di persinggahan lain”, sebagai contoh mereka mengisyaratkan ke persinggahan taubat dan menghisab diri sendiri, padahal mereka berada di persinggahan cinta. Atau bisa saja mereka mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang awam, padahal mereka adalah orang-orang yang khusus dan bahkan lebih khusus lagi. Atau mereka mengisyaratkan sebagai orangorang yang bodoh, padahal mereka orang-orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah. Atau mereka memperlihatkan diri sebagai orang-orang yang tidak layak dipuji, dan mereka menyembunyikan pujian Allah terhadap diri mereka.

 

Hal ini berbeda dengan orang-orang munafik, golongan yang sudah terkenal. Mereka memamerkan amalan dan memendam keadaan lain di dalam hati.

 

Perkataan Syaikh, “Mereka mengucapkan suatu lafazh, padahal mereka memaksudkan untuk makna yang lain”, contohnya perkataan di antara mereka, “Aku adalah orang yang kaya”. Lawan bicaranya memahami bahwa dia kaya harta, padahal maksudnya kaya karena Allah.

 

Perkataan Syaikh, “Mereka mengajak kepada suatu keadaan, padahal mereka lebih tinggi dari yang lain”, artinya mereka memuji keadaan orang lain dan mengajak kepadanya, padahal mereka lebih tinggi dari keadaan itu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkataan sebelumnya.

 

Perkataan Syaikh, “Mereka berada dalam kecemburuan yang menutupi keadaan mereka”, artinya Allah cemburu terhadap mereka, sehingga Dia menutupi keadaan mereka.

 

Perkataan Syaikh, “Berada dalam adab yang melindungi mereka”, artinya mereka tetap memperhatikan adab tatkala bergaul dengan manusia, sehingga mereka terpelihara dari persangkaan yang buruk dan mereka juga terjaga dari akhlak serta amal yang hina. Adab mereka merupakan pelindung bagi keadaan mereka. Hasrat mereka naik ke atas dan adab mereka menyungkur ke tanah.

 

  1. Golongan yang keadaannya disembunyikan Allah, lalu Allah menampakkan suatu penampakan yang membuat mereka tidak tahu apa yang ada pada diri mereka, membuat mereka tidak bisa mempersaksikan keadaan dirinya, sehingga mereka tidak tahu dirinya sendiri. Mereka mempunyai saksisaksi yang mempersaksikan kebenaran kedudukan mereka, berkaitan dengan tujuan yang lebih dahulu ada dan cinta yang sebenarnya, yang menyembunyi-kan permulaan ilmu mereka. Ini merupakan kedudukan yang paling mendetail.

 

Keadaan mereka disembunyikan Allah artinya Dia membuat mereka sibuk bersama Allah dan tidak mengingat-ingat dirinya sendiri. Mengingat Allah membuat mereka lupa mengingat diri sendiri. Ini kebalikan keadaan orangorang yang melupakan Allah, lalu Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri.

 

Tujuan yang dikehendaki Syaikh dalam golongan ini adalah tenggelam dalam kefanaan. Secara umum golongan yang kedua lebih tinggi daripada golongan ini, lebih sempurna dan lebih kuat, sebagaimana keadaan Rasulullah gs yang lebih tinggi dari pada kedudukan Musa pada malam Isra’.Rasulullah tidak tenggelam dalam kefanaan seperti yang dilakukan Musa.

 

Napas

 

Pengarang mensitir firman Allah tentang masalah napas ini,

 

“Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau.” (Al-A’raf: 143).

 

Letak isyaratnya kepada ayat ini, bahwa napas didapatkan kembali setelah meninggalkan keadaan dan setelah napas itu terlepas dari orangnya. Keadaan ini seperti orang yang terhimpit, lalu dia bisa bernapas kembali dan merasa lega ketika sudah lepas dari himpitan itu. Napas disebut dengan napas, agar orangnya bisa merasa lega dan lapang.

 

Ada tiga derajat napas, yaitu:

 

  1. Keserupaan napas dengan derajat-derajat waktu.

 

Sisi keserupaan di antara keduanya, bahwa waktu-waktu itu bisa dihitung dengan napas, seperti derajat-derajatnya yang juga bisa dihitung.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Napas ada tiga macam: Napas pada satu saat menyesak dan tidak tampak, ditahan-tahan dan bergantung kepada ilmu. Jika bernapas mengeluarkan napas duka. Jika berkata mengeluarkan perkataan duka. Menurutku, hal ini terjadi karena ketakutan terhadap hijab. Ini merupakan kegelapan yang dikatakan orang-orang sebagai kedudukan.

 

  1. Napas pada saat tampak, yaitu napas yang keluar dari kedudukan kegembiraan ke kesaksian, dipenuhi cahaya kebersamaan, tanpa memerlukan isyarat.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena derajat pertama terjadi pada saat sesak dan gelap, sedangkan derajat ini terjadi pada saat nyata dan terang. Hakikatnya adalah menyusupnya cahaya kebenaran ke dalam hati orang yang mengadakan perjalanan. Maksud cahaya di sini adalah cahaya ma’riat dan iman, bukan cahaya yang tampak mata.

 

  1. Napas yang dicuci dengan air kesucian dan yang tegak karena isyarat azal. Inilah napas yang disebut dengan kebenaran cahaya.

 

Yang dimaksudkan kesucian di sini adalah kesaksian yang meniadakan sesuatu yang baru dan belum terjadi, sementara yang azal tetap ada. Napas ini keluar karena kesaksian terhadap azal, yang menghapus segala yang baru. Perkataan, “Inilah napas yang disebut dengan kebenaran cahaya”, terkandung makna yang sangat halus, bahwa orang yang mengadakan perjalanan akan menjumpai cahaya dalam perjalanannya untuk beberapa kali, kemudian cahaya itu tidak tampak, seperti kilat yang tampak lalu hilang. Jika cahaya itu kuat dan lama kemunculannya, maka ia akan menjadi cahaya yang sebenarnya.

 

Ghurbah

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ghurbah (keasingan),

 

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka.” (Hud: 116).

 

Pelandasannya kepada ayat ini dalam masalah ghurbah menunjukkan kedalamannya dalam ilmu dan ma’rifat serta pemahamannya tentang AlQur’an. Orang-orang yang asing di dunia ini adalah mereka yang disifati dalam ayat di atas dan mereka yang telah diisyaratkan Nabi dalam sabdanya,

 

“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”

 

Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abdurrahman bin Mahdi, dari Zuhair, dari Amr bin Abu Amr, dari Al-Muththalib bin Hanthab, dari Nabi, beliau bersabda,

 

“Beruntunglah orang-orang yang asing”. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, Siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang bertambah (iman dan takwanya) selagi manusia berkurang (iman dan takwanya).”

 

Dalam hadits Abdullah bin Amr, dia berkata, “Suatu kali selagi kami bersama Nabi sg, beliau bersabda,

 

“Beruntunglah orang-orang yang asing”. Merekn bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing Itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang Shalih yang sedikit jumlahnya di tengah orang-orang yang banyak. Siapa yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang taat kepada mereka.” Beliau juga bersabda,

 

“Sesungguhnya yang paling disukai Allah adalah orang-orang yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang lari sambil membawa agamanya. Mereka berkumpul bersama Isa bin Maryam ya pada Hari Kiamat.”

 

Dalam hadits lain disebutkan,

 

“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu wahai RasululJah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang menghidupkan Sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.”

 

Nafi’ meriwayatkan dari Malik, bahwa suatu kali Umar bin Al-Khaththab memasuki masjid dan mendapatkan Mu’adz bin Jabal sedang duduk menghadap kearah rumah Nabi sambil menitikkan air mata. Umar bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Abu Abdurrahman?”

 

Mu’adz menjawab, “Saudaramu ini telah binasa.”

 

“Tidak. Tetapi aku pernah mendengar sebuah hadits yang disampaikan kekasihku Rasulullah, juga di masjid ini.”

 

“Apa hadits itu?” Tanya Mu’adz.

 

Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang suka sembunyi-sembunyi, miskin, bertakwa dan berbuat kebajikan. Jika mereka tidak tampak, maka mereka tidak dicari, dan apabila mereka tampak, maka mereka tidak dikenali. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari segala cobaan yang buta dan gelap.”

 

Mereka adalah orang-orang asing yang terpuji dan berbahagia. Karena jumlah mereka yang sedikit di tengah manusia yang banyak, maka mereka disebut ghuraba’ (orang-orang yang asing). Mayoritas manusia tidak memiliki sifat-sifat ini. Para pemeluk Islam di tengah manusia adalah orang-orang asing. Orang-orang Mukmin di tengah para pemeluk Islam adalah orang-orang asing. Orang-orang yang memiliki ma’rifat di tengah orang-orang Mukmin adalah orang-orang asing.

 

Ketika Musa melarikan diri dari kaum Fir’aun hingga tiba di Madyan dalam keadaan seperti yang telah dijelaskan Allah, sendirian, asing, takut dan lapar. Lalu beliau berkata, “Ya Rabbi, aku dalam keadaan sendirian, sakit dan asing.”

 

Dikatakan kepada beliau, “Hai Musa, yang sendirian adalah yang tidak mempunyai pendamping seperti Aku. Orang sakit adalah yang tidak mempunyai tabib seperti Aku, dan orang yang asing adalah yang tidak mempunyai mu ‘amalah antara Aku dan dirinya.”

 

Ada tiga macam ghurbah, yaitu:

 

Gurbah Pertama: Keasingan orang-orang yang mengikuti Allah dan Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keasingan yang pelakunya dipuji Rasulullah dan tentang agama yang dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali menjadi asing seperti permulaannya serta yang pelakunya menjadi asing.

 

Keasingan ini bisa terjadi di satu tempat tanpa yang lain, di satu waktu tanpa yang lain dan di tengah suatu kaum tanpa yang lain. Tapi yang pasti, orang-orang yang asing ini adalah mereka yang mengikuti Allah dengan sebenarnya. Mereka tidak berlindung kepada selain Allah, tidak mengaitkan dengan selain Rasulullah dan tidak menyeru kepada selain yang dikabarkan Rasulullah. Jika manusia muncul pada hari kiamat bersama sesembahan mereka, maka orang-orang yang asing itu tetap berada di tempat semula. Dikatakan kepada mereka, “Mengapa kalian tidak menghadap seperti yang dilakukan manusia?” Maka mereka menjawab, “Kamiberbeda dengan manusia, dan pada hari ini kami lebih membutuhkan karunia daripada mereka. Kami sedang menunggu Rabb yang dulu kami sembah.”

 

Keasingan ini bukan merupakan keliaran bagi orangnya, tapi itu merupakan kejinakan selagi manusia menjadi liar. Pelindungnya adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sekalipun mayoritas manusia memusuhi dan menelantarkannya. Di antara orang-orang yang asing ialah seperti yang disebutkan Anas dalam haditsnya dari Nabi,

 

“Berapa banyak orang yang kusut dan berdebu, mengenakan dua lembar pakaian lusuh yang tidak mengundang perhatian, namun sekiranya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya.”

 

Al-Hasan berkata, “Orang Mukmin di dunia seperti orang asing, yang kehinaannya tidak mengundang kesedihan dan yang kemuliaannya tidak perlu disaingi. Manusia dalam satu keadaan dan dia dalam keadaan yang lain. Manusia tidak takut terhadap dirinya, sementara dia dalam kepayahan.”

 

Di antara sifat orang yang asing itu seperti yang digambarkan Nabi adalah berpegang kepada As-Sunnah selagi manusia membenci As-Sunnah. Dia meninggalkan bid’ah yang mereka ciptakan, sekalipun bid’ah itulah yang menjadi tradisi di tengah mereka. Dia memurnikan tauhid sekalipun mayoritas manusia mengingkarinya. Dia meninggalkan penisbatan kepada seseorang selain Allah dan Rasul-Nya, entah kepada syaikh, tharigat, madzhab dan golongan. Seperti inilah gambaran orang-orang asing yang menisbatkan kepada Allah dengan ubudiyah, kepada Rasul-Nya dengan mengikuti apa yang beliau bawa.

 

Orang-orang yang memenuhi dakwah Islam harus meninggalkan kabilah dan kerabatnya, lalu masuk Islam. Mereka adalah orang-orang asing yang sebenarnya. Setelah Islam kuat dan dakwahnya menyebar kemana-mana serta manusia masuk Islam secara berbondong-bondong, maka keasingan itu pun menjadi hilang. Tapi kemudian mereka mengasingkan diri sehingga menjadi orang asing seperti keadaan semula. Islam yang sebenarnya seperti yang ada pada masa Nabi dan para shahabat benar-benar lebih asing pada zaman sekarang daripada keasingan Islam pada permulaannya. Sekalipun simbol, rupa dan tanda-tandanya yang zhahir ada di mana-mana, tapi Islam yang hakiki dalam keadaan asing sekali dan para pemeluknya asing di tengah manusia.

 

Orang Mukmin yang meniti jalan kepada Allah berdasarkan ittiba’ dalam keadaan asing di tengah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya, mematuhi kekikirannya dan bangga dengan pendapat-pendapatnya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah,

 

“Suruhlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang mungkar, hingga jika kalian melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang lebih dipentingkan, setiap orang yang mengeluarkan pendapat kagum terhadap pendapat-nya sendiri, dan jika engkau melihat suatu urusan yang tiada penolong bagimu, maka hendaklah engkau mengikuti dirimu sendiri secara khusus dan tinggalkanlah mereka secara umum, karena di belakang kalian ada hari-hari, yang pada saat itu orang-orang yang sabar seperti orang yang sedang memegang bara api.”

 

Orang Mukmin yang benar adalah orang asing dalam agamanya karena kerusakan agama manusia, asing dalam keteguhannya berpegang kepada AsSunnah karena manusia berpegang kepada bid’ah, asing dalam akidahnya karena kerusakan keyakinan mereka, asing dalam shalatnya karena keburukan shalat mereka, asing dalam jalannya karena kesesatan jalan mereka, asing dalam pergaulannya dengan mereka karena dia mempergauli mereka tidak seperti yang mereka kehendaki. Secara umum dia adalah orang asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, tidak mendapatkan dukungan dan pertolongan dari manusia secara Umum.

 

Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keasingan orang-orang yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar dan lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, toh mereka tetap disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi namun tidak dikenal di antara penghuni langit.

 

Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela. Ini merupakan keasingan karena meninggalkan kampung halaman. Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi  pernah bersabda kepada Abdullah bin Umar . , “Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau pengembara.”

 

Bagaimana tidak disebut orang asing jika di dunia ini seorang hamba adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang dalam perjalanannya itu dia hanya bisa mengaso di antara orang-orang yang berbaring di kuburnya?

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Keasingan merupakan perkara yang diisyaratkan kepada kesendirian tanpa ada yang menyertai.”

 

Artinya, setiap orang yang menyendiri dengan suatu sifat yang mulia, sementara orang lain tidak memilikinya, maka dia adalah orang asing di tengahtengah mereka.

 

Ada tiga derajat ghurbah, yaitu:

 

  1. Ghurbah karena meninggalkan kampung halaman. Kematian orang asing ini merupakan mati syahid. Jarak antara kuburannya dan kampung halamannya akan diukur, dan pada Hari Kiamat akan dihimpun bersama Isa bin Maryam.

 

Ghurbah dalam pengertian ini adalah memisahkan atau meninggalkan, bisa dengan fisik atau dengan tujuan dan keadaan, atau dengan kedua-duanya secara berbarengan. Kematian orang asing yang berarti mati syahid, diisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Kematian orang asing adalah syahid.” Tapi hadits ini tidak kuat dan diriwayatkan dari beberapa jalan yang sedikit pun tidak ada yang shahih. Menurut Al-Imam Ahmad, ini adalah hadits yang diingkari.

 

Pengukuran antara kuburannya dan kampung halamannya, diisyaratkan kepada riwayat Abdullah bin Wahb, dia berkata, “Aku diberitahu Huyai bin Abdullah, dari Abdurrahman Al-Bajali, dari Abdullah bin Amr, dia berkata, “Ada seseorang meninggal dunia di Madinah dan dia termasuk orang yang dilahirkan di sana. Lalu Rasulullah menshalati jenazahnya. Beliau bersabda, “Sekiranya dia meninggal tidak di tempat dia dilahirkan.” Ada seseorang yang bertanya, “Mengapa begitu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika seseorang meninggal dunia, maka akan diukur pahala bagi dirinya di surga antara tempat kelahirannya dan tempat meninggalnya.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Luhai’ah dengan isnad ini.

 

Suatu kali Rasulullah berdiri di dekat kuburan seseorang di Madinah. Lalu beliau bersabda, “Sekiranya dia meninggal sebagai orang asing.” Ada yang bertanya, “Ada apa dengan orang asing yang meninggal tidak di kampung halamannya?” Beliau menjawab, “Tidaklah ada orang asing yang meninggal dunia tidak di kampung halamannya, melainkan di surga akan diukur antara tempat meninggalnya dan tempat kelahirannya.”

 

Perkataannya, “Pada Hari Kiamat akan dihimpun bersama Isa bin Maryam”, diisyaratkan kepada hadits riwayat Al-Imam Ahmad, dari Al-Qasim bin Jamil, dari Muhammad bin Muslim, dari Utsman bin Abdullah bin Idris, dari Sulaiman bin Hurmuz, dari Abdullah bin Amr, dia berkata, “Rasulullah, bersabda, “Yang paling disukai Allah adalah orang-orang asing.” Ada yang bertanya, “Ada apa dengan orang-orang asing wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka yang melarikan diri sambil membawa agamanya akan berhimpun bersama Isa bin Maryam pada Hari Kiamat.”

 

  1. Ghurbah keadaan. Ini termasuk orang-orang asing yang mendapat keberuntungan, yaitu orang shalih pada zaman yang rusak dan berada di tengah kaum yang rusak, atau orang pandai di antara orang-orang yang bodoh, atau orang jujur di antara orang-orang munafik.

 

Yang dimaksudkan keadaan di sini adalah sifat yang dimiliki, berupa agama dan berpegang kepada As-Sunnah, dan bukan keadaan menurut pemahaman yang umum dipakai. Pelakunya adalah orang yang mengetahui kebenaran, melaksanakan dan juga mendakwahkannya.

 

Syaikh mengelompokkan orang-orang asing dalam derajat ini menjadi tiga macam: Orang yang shalih dan berpegang kepada agama di tengah orangorang yang rusak, orang yang memiliki ilmu dan ma’rifat di tengah orangorang yang bodoh, orang jujur dan ikhlas di tengah orang-orang yang munafik dan pendusta. Sifat dan keadaan mereka menafikan sifat orang-orang di sekelilingnya. Perumpamaan orang-orang asing di tengah kaumnya ini seperti seekor burung yang asing di tengah gerombolan burung.

 

  1. Ghurbah hasrat, yaitu keasingan dalam mencari kebenaran, atau ghurbah orang yang memiliki ma’rifat. Sebab orang yang memiliki ma’rifat adalah orang asing dalam kesaksiannya, apa yang menyertai kesaksiannya juga asing. Wujud dzatnya tidak terbebani ilmu. Keasingan orang yang memiliki ma’rifat adalah keasingan dari keasingan. Sebab dia orang asing bagi penghuni dunia dan juga orang asing bagi penghuni akhirat.

 

Derajat ini lebih tinggi tingkatannya daripada derajat sebelumnya. Karena yang pertama merupakan ghurbah dengan fisik, dan yang kedua merupakan ghurbah dengan perbuatan dan keadaan. Sedangkan derajat ini merupakan ghurbah dengan hasrat. Hasrat orang yang memiliki ma’rifat berkutat di sekitar ma’rifat. Dia tidak dikenal di antara orang-orang yang menghendaki akhirat, terlebih lagi di antara orang-orang yang menghendaki dunia, sebagaimana orang yang mencari akhirat adalah orang asing di tengah orang-orang yang mencari akhirat.

 

Tamakkun

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin melandaskan kajian tentang masalah tamakkun (kesanggupan hati) ini kepada firman Allah,

 

“Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (Ar-Rum: 60).

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangatjelas, bahwa orang yang mantap hatinya tidak peduli terhadap banyaknya kesibukan, tidak terusik oleh pergaulannya dengan orang-orang yang lalai dan batil. Bahkan dia menjadi mantap dengan kesabaran dan keyakinannya, sehingga dia tidak gelisah karena tindakan mereka terhadap dirinya. Karena itu Allah berfirman sebelumnya,

 

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar.” (Ar-Rum: 60).

 

Siapa yang memenuhi hak kesabaran dan yakin bahwajanji Allah adalah benar, maka dia tidak akan takut karena ulah orang-orang yang batil dan tidak gelisah karena orang-orang yang tidak yakin. Tapi selagi kesabaran atau keyakinannya melemah, atau kedua-duanya melemah, maka dia akan takut terhadap mereka dan menjadi gelisah karena ulah mereka. Bahkan mereka bisa menariknya ke golongan mereka, tergantung dari lemahnya kesabaran dan keyakinannya. Syaikh berkata, “Tamakkun lebih tinggi daripada thuma’ninah, yaitu merupakan isyarat kepada tujuan keteguhan.” Makna lebih jauh dari tamakkun adalah kemampuan untuk bersikap pada saat berbuat atau tidak berbuat. Bisa juga disebut makanah. Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuan kalian sesungguhnya aku pun berbuat (pula)’.” (Al-An’am: 135).

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, tamakkun lebih tinggi tingkatannya daripada thuma’ninah, sebab thuma’ninah termasuk jenis kecenderungan. Hati menjadi thuma’ninah (tentram) karena sesuatu yang membuatnya tenang.

 

Terkadang hal ini sanggup dilakukan dan terkadang tidak sanggup dilakukan.

 

Karena itu tamakkun merupakan tujuan yang akan ditempati.

 

Ada tiga macam tamakkun, yaitu:

 

  1. Tamakkun-nya murid. Dia harus menghimpun kebenaran tujuan yang mendorong perjalanannya, kejelasan ilmu yang membawanya dan keluasan jalan yang melapangkan hatinya.

 

– Murid dalam istilah golongan ini adalah orang yang sudah menetapkan pilihan untuk mengadakan perjalanan kepada Allah. Jadi tingkatannya di atas ahli ibadah. Ini hanya sekadar istilah yang disesuaikan dengan keadaan orangorang yang mengadakan perjalanan itu. Sebab di luar istilah itu, ahli ibadah juga bisa disebut murid dan murid bisa disebut ahli ibadah.

 

Syaikh menyebutkan tiga perkara yang berkaitan dengan tamakkun dalam derajat ini: Kebenaran tujuan, kebenaran ilmu dan keluasan jalan. Dengan kebenaran tujuan, maka perjalanannya menjadi benar. Dengan kebenaran ilmu, akan terkuak jalan yang akan dilewati. Dengan keluasan jalan, maka perjalanannya menjadi mudah.

 

  1. Tamakkun-nya orang yang sedang mengadakan perjalanan, yaitu dengan menghimpun kebenaran pemutusan, kilat pengungkapan dan sinar keadaan.

 

Derajat ini lebih sempurna daripada derajat pertama. Yang pertama merupakan tamakkun dalam meluruskan tujuan amal, sedangkan derajat ini merupakan tamakkun dalam keadaan tamakkun. Yang dimaksud kebenaran pemutusan ialah pemutusan hati dari segala hal yang bisa mengotorinya. Jika begitu keadaannya, maka hati memperoleh sinar pengungkapan, yang menempatkan iman seperti sesuatu yang dapat dilihat dengan mata kepala.

 

  1. Tamakkun-nya orang yang memiliki ma’rifat, yang diperoleh dalam kemuliaan kebersamaan di atas hijab pencarian, dengan mengenakan cahaya keberuntungan.

 

Orang yang memiliki ma’rifat lebih khusus dan lebih tinggi daripada orang yang mengadakan perjalanan. Tapi menurut pendapat saya, ini bukan kemuliaan kebersamaan, namun merupakan kemuliaan karena pengawasan, yang merupakan ciri khusus para nabi dan orang-orang yang memiliki ma’rifat. Penafsiran ini lebih pas dan lebih benar. Orang yang memiliki kemuliaan ini tidak dikepung oleh mendung kelalaian dan tidak disebutkan hal-hal yang melenakannya.

 

Perkataannya, “Di atas hijab pencarian”, bahwa orang yang memiliki ma ‘rifat naik dari kedudukan pencarian ma’rifat ke kedudukan perolehannya. Orang yang mencari sesuatu berbeda dengan orang yang sudah memperolehnya. Orang yang mencari berarti masih berada di balik hijab pencariannya. Sementara orang yang memiliki ma’rifat naik dari hijab pencarian, karena dia sudah menyaksikan hakikat.

 

Perkataan semacam ini perlu ada kejelasan lebih lanjut. Sebab pencarian tidak pernah lepas dari hamba selagi hukum-hukum ubudiyah masih berlaku pada dirinya. Tapi maksudnya adalah beralih di beberapa kedudukan pencarian, berpindah dari satu ubudiyah ke ubudiyah yang lain, namun sesembahannya tetap satu, tidak beralih dari-Nya.

 

Bagaimana mungkin ma’rifat bisa membebaskan seseorang dari pencarian? Ini merupakan masalah, yang karenanya banyak orang yang terpeleset kakinya, dan orang-orang yang tertipu beranggapan, bahwa mereka tidak perlu melakukan pencarian lagi karena ma’rifat, bahwa pencarian merupakan sarana dan ma’rifat merupakan tujuan, sehingga tidak ada gunanya menyibukkan diri dengan sarana jika tujuan sudah teraih. Mereka yang beranggapan seperti ini adalah orang-orang yang keluar dari agama secara total, setelah mereka menyimpang dari jalan.

 

Mukasyafah

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah kaitannya dengan masalah mukasyafah (pengungkapan) ini,

 

“Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” (An-Najm: 10).

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah mengungkap kepada hamba-Nya, Rasulullah gg, yang tidak diungkapkan-Nya kepada selain beliau, memperlihatkan apa yang tidak diperlihatkan-Nya kepada selain beliau, hingga hati beliau mendapatkan pengungkapan berbagai macam hakikat, yang tak pernah terlintas di dalam sanubari orang lain, hakikat yang dikhususkan bagi beliau. Kata auha artinya pemberitahuan secara cepat dan tersembunyi.

 

Syaikh berkata, “Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin.” Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma’rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya. Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakanakan dapat melihat-Nya.

 

Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:

 

Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.

 

Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya.

 

Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi, “Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari).” Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14).

 

Hijab ada sepuluh macam:

 

  1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma’ serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

 

  1. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

 

  1. Hijab bid’ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

 

  1. Hijab bid’ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli tharigah yang melakukan bid’ah dalam perjalanannya kepada Allah.

 

  1. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya’, dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.

 

  1. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.

 

  1. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.

 

  1. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.

 

  1. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.

 

  1. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.

 

Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, setan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsurunsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan danjalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentangjarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.

 

Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah. Bahkan orangorang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud, yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat, yang sering mendatangi Nabi, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampai-sampai beliau melarang orang lain yang memakinya.

 

Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.

 

Perkataan Syaikh, “Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar”, setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.

 

Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitabkitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan.

 

Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.

 

Syaikh berkata, “Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian.”

 

Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.

 

Musyahadah Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah musyahadah (menyaksikan) ini,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).

 

Allah menjadikan kalam-Nya sebagai peringatan. Tidak ada yang bisa mengambil manfaat dari kalam-Nya kecuali orang yang bisa menghimpun tiga perkara ini:

 

  1. Harus memiliki hati yang hidup dan sadar. Jika tidak, maka dia tidak bisa mengambil manfaat dari peringatan.

 

  1. Harus menyimak dengan pendengarannya dan menghadapkannya secara keseluruhan kepada lawan bicara. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perkataannya.

 

  1. Harus menghadirkan hati dan pikirannya di hadapan orang yang berbicara dengannya. Dengan begitu dia menyaksikan secara langsung atau hadir. Jika hatinya tidak hadir dan melancong ke tempat lain, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraan yang ada. Sebagaimana orang melihat yang tidak bisa mengetahui hakikat obyek yang dilihatnya, kecuali jika dia memiliki kekuatan penglihatan dan memusatkan penglihatan ke obyek yang dilihat serta hatinya tidak sibuk dengan perkara lain. Jika salah satu dari perkara-perkara ini tidak dipenuhi, maka dia tidak akan bisa melihatnya. Berapa banyak orang yang lewat di hadapanmu, namun engkau tidak merasa mereka lewat di hadapanmu, karena engkau sibuk dengan perkara yang lain.

 

Syaikh berkata, “Musyahadah artinya ruhtuhnya ruhtuh secara pasti.” Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. ruhtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.

 

Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:

 

  1. Musyahadah ma’rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa mar’rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma’rifat merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma ‘rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang mengatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang tagarrub berdasarkan ma’rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orangorang yang tagarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukumhukumnya. Sekalipun ma’rifatnya orang-orang yang tagarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama ahli ma’rifat dan ilmu. Orang-orang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma’rifat dan orang-orang yang tagarrub tetap membutuhkan ilmu. Nabi pernah menasihati Mu’adz bin Jabal, “Engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah syahadat Ia ilaha illAllah. Jika mereka sudah mengetahui Allah, kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.” Mu’adz biniabal harus membuat mereka tahu tentang Allah sebelum menyuruh mereka mendirikan shalat dan membayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma’rifat seperti ini tidak seperti ma’rifatnya orang-orang Muhajirin dan Anshar. Manusia berbeda-beda dalam tingkat ma’rifatnya.

 

  1. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian, mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Sebab derajat pertama merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dari sifat-sifatjiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wujud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.

 

  1. Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut Syaikh, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma’rifat.

 

Hayat Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan

masalah al-hayat (kehidupan) ini, “Dan, apakah orang yang sudah mati lalu dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (Al-An’am: 122).

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas. Maksudnya siapa yang hatinya mati, tidak memiliki ruh ilmu, petunjuk dan iman, maka kemudian Allah menghidupkannya dengan ruh lain, tidak seperti ruh yang diberikan Allah untuk menghidupkan jasadnya, yaitu ruh ma’rifat dan tauhid, cinta dan beribadah kepada-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya. Sebab tidak ada kehidupan bagi ruh kecuali yang seperti demikian itu. Jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang mati. Karena itu Allah mensifati orang yang tidak memiliki kehidupan ini sama dengan orang yang sudah mati.

 

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan.” (An-Naml: 80).

 

Allah menyebut wahyu-Nya sebagai ruh, karena dengan wahyu ini dapat diperoleh kehidupan hati dan jiwa. Firman-Nya,

 

“Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.“ (Asy-Syura: 52).

 

Allah memberitahukan bahwa wahyu adalah ruh yang menimbulkan kehidupan, bahwa wahyu adalah cahaya yang menghasilkan terang.

 

Wahyu adalah kehidupan ruh sebagaimana ruh merupakan kehidupan bagi badan. Karena itu siapa yang kehilangan ruh ini, maka dia kehilangan kehidupan yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. Hidupnya di dunia seperti kehidupan binatang dan merupakan kehidupan yang sempit, sedangkan di akhirat dia akan mendapatkan neraka Jahannam, tidak mati dan tidak pula hidup.

 

Allah menjadikan kehidupan yang baik hanya bagi orang-orang yang mengetahui-Nya, mencintai dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana firmanNya,

 

“Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

 

Kehidupan yang baik ada yang menafsiri dengan kepuasan dan ridha, rezeki yang baik dan lain sebagainya. Yang benar adalah kehidupan hati dan kenikmatannya serta kegembiraannya karena iman kepada Allah, mengetahuiNya, mencintai-Nya, bersandar, pasrah dan tawakal kepada-Nya. Tidak ada kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan seperti ini, tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi dari kenikmatan hidup seperti ini selain dari kenikmatan surga. Jika kehidupan hati merupakan kehidupan yang baik dan diikuti dengan kehidupan anggota tubuh, maka itulah hak miliknya yang paling berharga. Karena itu Allah menjadikan kehidupan yang sempit bagi orang yang berpaling dari mengingat-Nya, yaitu kebalikan dari kehidupan yang baik.

 

Kehidupan yang baik ini berlaku di tiga alam: Di dunia, di alam Barzakh dan di akhirat. Begitu pula kehidupan yang sempit, yang juga berlaku di tiga alam tersebut. Orang-orang berbuat kebaikan berada dalam kenikmatan di sini dan di sana, dan orang-orang yang berbuat keburukan menderita di sini dan di sana. Mengingat Allah, mencintai dan menaatinya merupakan jaminan bagi kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Sedangkan berpaling dariNya, melalaikan dan mendurhakai-Nya sudah cukup untuk mendatangkan kehidupan yang sempit di dunia dan di akhirat.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Kehidupan dalam masalah ini diisyaratkan kepada tiga perkara:

 

Kehidupan yang pertama, yaitu kehidupan ilmu dari kematian kebodohan, yang memiliki tiga napas: Napas ketakutan, napas harapan dan napas cinta.” Yang dimaksudkan kehidupan dalam masalah ini adalah kehidupan khusus yang dibicarakan golongan ini, bukan kehidupan secara umum yang menjadi milik semua jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan.

 

Kehidupan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

 

  1. Kehidupan bumi dengan tetumbuhan. Firman-Nya, “Dan, Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkanNya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). (An-Nahl: 65).

 

Allah menjadi kehidupan ini sebagai bukti tentang kehidupan pada hari berbangkit. Ini merupakan kehidupan yang hakiki dan biasa diungkapkan dalam berbagai bahasa manusia.

 

  1. Kehidupan pertumbuhan dan pencarian makanan. Ini merupakan kehidupan persekutuan antara tetumbuhan dan hewan yang hidup dengan makanan. Firman Allah,

 

“Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu bisa hidup.” (Al-Anbiya’:30).

 

  1. Kehidupan hewan yang menyantap makanan dengan takaran yang mencukupinya untuk menunjang pertumbuhan dan kebutuhannya terhadap makanan. Karena itu dia akan menderita jika melakukan hal-hal yang memang membuatnya menderita, atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan dan lain sebagainya. Kehidupan ini di atas kehidupan tetumbuhan. Kehidupan ini bisa menguat dan melemah pada diri satu hewan, tergantung dari keadaannya. Kehidupannya setelah lahir lebih sempurna daripada kehidupannya selagi berada di dalam rahim ibu. Kehidupannya dalam keadaan sehat, lebih sempurna daripada kehidupannya saat sakit. Kehidupan pada tingkatan ini sangat berbedabeda dengan perbedaan yang amat jauh. Kehidupan ular masih lebih baik daripada kehidupan nyamuk. Siapa yang tidak sependapat dengan hal ini, berarti dia menentang perasaan dan akalnya.

 

  1. Kehidupan hewan yang tidak membutuhkan makanan dan minuman, seperti kehidupan para malaikat dan kehidupan ruh setelah berpisah dari badannya. Kehidupan ini lebih baik daripada kehidupan hewan yang membutuhkan makanan. Karena itu yang memiliki kehidupan ini tidak pernah mengenal lelah dan mengantuk serta sela waktu. Firman-Nya tentang para malaikat,

 

“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tak ada henti-hentinya.” (Al-Anbiya’: 29).

 

Begitu pula ruh yang sudah lepas dari badan, maka ia akan menjalani kehidupan lain yang lebih sempurna, jika memang ia mendapat kebahagiaan. Jika termasuk ruh yang menderita, maka ja akan mendapatkan siksa.

 

  1. Kehidupan seperti yang diisyaratkan pengarang Manazilus Sa’irin yaitu kehidupan ilmu dari kematian kebodohan, karena kebodohan merupakan kematian bagi orangnya. Orang yang bodoh, mati hati dan ruhnya, sekalipun badannya hidup. Badannya merupakan kuburan yang berjalan bersamanya di muka bumi. Allah menyerupakan orang yang hatinya mati seperti jasad yang terbujur di dalam kubur. Ruhnya telah mati dan badannya menjadi kuburan bagi hati itu. Sebagaimana jasad di dalam kubur yang tidak bisa mendengar, maka orang yang hatinya sudah mati juga tidak bisa mendengar. Jika kehidupan ini merupakan kehidupan rasa dan gerakan serta segala kelazimannya, maka hati ini tidak bisa merasakan ilmu dan iman serta tidak dapat bergerak untuk itu.

 

AlHmam Ahmad menyebutkan di dalam Kitab Zuhud, dari perkataan Lugman, bahwa dia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, bergaullah dengan orang-orang yang berilmu dan berkumpullah bersama mereka, karena Allah menghidupkan hati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan.”

 

Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah merupakan wujud ketakutan kepada-Nya, mencarinya adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui adalah shadagah dan membiayai orang yang berilmu adalah tagarrub. Ilmu merupakan petunjuk yang halal dan yang haram, menara jalan para penghuni surga, teman pada saat takut, rekan saat sendirian, bukti pada saat lapang dan sempit, senjata saat menghadapi musuh dan hiasan di samping teman-teman. Dengan ilmu Allah meninggikan beberapa kaum dan menjadikan mereka pelopor dalam kebaikan dan pemimpin yang jejaknya diikuti. Perbuatan mereka ditiru dan pendapat mereka diandalkan. Para malaikat menyukai perkumpulan mereka dan mengusap dengan sayapsayapnya. Siapa pun memintakan ampunan bagi mereka, termasuk pula ikan paus di Jautan dan binatang buas di daratan. Sebab ilmu merupakan kehidupan hati dari kebodohan dan pelita bagi penglihatan dari kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba bisa mencapai kedudukan yang paling baik dan derajat yang tinggi di dunia serta di akhirat. Memikirkan ilmu menyempai puasa dan mengkajinya menyerupai shalat malam. Dengan ilmu, tali persaudaraan dapat dijalin, dengan ilmu dapat diketahui mana yang halal dan mana yang haram. Ilmu adalah imam amal dan amal mengikutinya. Orang-orang yang berbahagia diberi ilham ilmu dan orang-orang yang menderita tidak mendapatkannya.” (Diriwayatkan Ath-Thabarani dan Ibnu Abdil-Barr serta lain-lainnya serta dimarfu’kan kepada Nabi).

 

  1. Kehidupan kehendak dan hasrat. Kelemahan kehendak termasuk kelemahan kehidupan hati. Selagi hati memiliki kehidupan yang lebih sempurna, maka hasratnya juga lebih tinggi, kehendak dan cintanya lebih kuat. Kehendak dan cinta mengikuti perasaan terhadap apa yang dikehendaki dan yang dicintai. Kekuatan kehendak dan perasaan merupakan bukti kekuatan kehidupan dan lemahnya kehendak dan perasaan merupakan bukti lemahnya kehidupan. Kehidupan yang baik hanya bisa diperoleh dengan hasrat yang tinggi, cinta yang murni dan kehendak yang tulus. Orang yang paling hina kehidupannya adalah yang paling hina hasratnya, sehingga kehidupan binatang justru lebih baik daripada hidupnya.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa yang senantiasa mengucapkan, Ya hayyu ya gayyum, la ilaha illa anta”, setiap hari sebanyak empat puluh kali setelah shalat sunnah fajar hingga waktu shalat subuh, maka Allah akan menghidupkan hatinya.”

 

Sebagaimana Allah menjadikan kehidupan badan dengan makanan dan minuman, maka kehidupan hati ialah dengan terus-menerus berdzikir, pasrah kepada Allah dan meninggalkan dosa. Bergantung kepada kehinaan dan syahwat akan melemahkan kehidupan ini. Kelemahan senantiasa menyertainya hingga dia mati. Di antara tanda kematiannya, dia tidak menunjukkan yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud, “Tahukah kalian siapakah orang yang hatinya mati?”

 

Orang-orang bertanya, “Siapakah dia?”

 

Dia menjawab, “Orang yang tidak menunjukkan yang ma’ruf dan yang tidak mengingkari kemungkaran.”

 

Yang disebut orang jantan ialah yang takut kematian hatinya, bukan kematian badannya. Sebab mayoritas manusia takut kematian badan dan tidak peduli terhadap kematian hati, tidak mengenal kehidupan selain dari kehidupan yang sejalan dengan tabiatnya. Ini termasuk sebagian kematian hati dan ruh. Kehidupan yang sejalan dengan tabiat ini diibaratkan bayangan teduh yang terlalu cepat berlalu dan seperti tumbuhan perdu yang mudah kering atau seperti mimpi dalam tidur yang sepertinya benar-benar sebuah kenyataan. Jika sudah bangun, maka dia baru sadar bahwa ternyata itu hanya sebuah mimpi. Umar bin Al-Khaththab berkata, “Sekiranya kehidupan dunia ini, sejak pertama kali hingga akhirnya, diberikan kepada satu orang saja, kemudian tiba-tiba kematian menghampirinya, maka hal itu serupa dengan orang yang melihat sesuatu yang menyenangkannya dalam mimpi, kemudian dia pun terbangun, dan ternyata di tangannya tidak ada sesuatu pun.”

 

  1. Kehidupan akhlak dansifat-sifat yang terpuji, yang merupakan kehidupan yang mantap bagi orang yang memilikinya. Dia tidak perlu dipaksa dan tidak kesulitan untuk naik ke derajat kesempurnaan, karena dia sudah memenuhi akhlak dan sifat-sifat kesempurnaan itu. Kehidupan orang yang telah membentuk dirinya untuk malu, menjaga kehormatan, murah hati, dermawan, jujur dan memenuhi janji, lebih sempurna daripada kehidupan orang yang memaksa dirinya dan harus menundukkan tabiatnya, agar bisa seperti itu. Hal ini seperti orang yang terserang suatu penyakit lalu dia menyembuhkan dengan kebalikannya. Selagi akhlak-akhlak ini lebih sempurna pada diri seseorang, maka kehidupannya lebih kuat dan lebih sempurna.

 

  1. Kehidupan kegembiraan dan kesenangan karena Allah, yang terjadi setelah beruntung mendapatkan apa yang dicari, sehingga yang mencarinya menjadi gembira dan senang. Tidak ada kehidupan yang bermanfaat pada selain hal ini. Semua manusia berputar-putar di sekeliling kehidupan ini, dan mereka semua telah salahjalan, tidak sampai ke tempat tujuan, kecuali sebagian kecil saja di antara mereka. Pencarian mereka berkisar di sekitar kehidupan ini, padahal banyak di antara mereka yang juga tidak mendapatkannya.

 

Tingkatan ini merupakan tingkatan kehidupan yang paling tinggi. Tetapi orang yang berpikir bagaimana cara untuk menggapainya tertawan di negeri syahwat dan angan-angannya terhenti karena tenggelam dalam kelezatan, agamanya tergadaikan dengan kedurhakaan.

 

Jika engkau katakan, “Saya merasa respek kepada kehidupan yang tidak terbelenggu di antara mayat-mayat yang hidup. Apakah engkau sudi menjelaskan jalannya, agar saya bisa mencicipi sebagian rasanya? Karena apa yang saya rasakan dalam kehidupan ini tak lebih dari kehidupan binatang, dan bahkan kami lebih binatang daripada binatang.”

 

Dapat saya jawab, bahwa kerinduanmu terhadap kehidupan seperti yang engkau inginkan itu dan upaya mencari ilmu dan ma’rifatnya merupakan bukti kehidupanmu, dan engkau tidak termasuk mayat-mayat yang hidup. Jalan yang pertama kali harus dilalui hamba adalah mengenal Allah, mengikuti jalan yang bisa menghantarkannya ke sana, membakar kegelapan tabiat dengan sinar bashirah dan dengan hatinya dia bisa menyaksikan kehidupan akhirat, tidak bergantung kepada hal-hal yang fana, senantiasa meluruskan taubat, melaksanakan perintah yang zhahir maupun yang batin, meninggalkan larangan yang zhahir dan yang batin, senantiasa menjaga hati, tidak menenggang rasa terhadap lintasan hati yang dibenci Allah dan hal-hal yang berlebih yang tidak bermanfaat. Dalam keadaan seperti itu hatinya menjadi bebas untuk mengingat Allah, mencintai dan bersandar kepada-Nya, keluar dari bilik tabiat dan nafsunya, berpindah ke angkasa kebersamaan dengan Allah dan mengingat-Nya. Setelah itu Allah menganugerahinya kecintaan kepada Rasulullah, menjadikan beliau sebagai imam, pemimpin, pengajar dan panutannya, menyimak perikehidupan beliau, memperhatikan bagaimana turunnya wahyu, mendalami sifat, akhlak dan adab beliau di setiap waktu, ibadah dan pergaulan beliau di tengah keluarga dan para shahabat, sehingga seakan-akan dia merasa berada di tengah para shahabat yang bersama beliau.

 

Setelah itu Allah akan membukakan pemahaman terhadap wahyu yang diturunkan. Jika dia membaca satu surat Al-Qur’an, maka hatinya ikut menyaksikan apa yang diturunkan dan apa yang dikehendaki di dalamnya. Kemudian di dalam hatinya terbuka mata lain yang bisa menyaksikan sifatsifat Allah dan keagungan-Nya, sehingga seakan-akan hatinya dapat melihat seperti melihat dengan mata kepala.

 

  1. Kehidupan ruh setelah meninggalkan badan dan terbebas dari penjara (dunia) yang sempit ini. Di balik penjara ini ada alam yang amatluas, ruh, rezeki dan ketenangan. Perbandingan dunia ini dengan alam sesudahnya seperti rahim ibu dan dunia ini atau bahkan lebih sempit lagi. Sebagian Orang arif berkata, “Kesegeraanmu keluar dari dunia ini seperti kesegeraanmu keluar dari penjara yang sempit untuk bertemu dengan orang-orang yang engkau cintai, lalu berkumpul bersama mereka di taman yang asri.”

 

Allah berfirman tentang kehidupan ini,

 

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan.” (Al-Waqi’ah: 88-89).

 

Puncak dari kebaikan kehidupan ini adalah kebersamaan dengan ArRafigul-A’la (Pendamping Yang Mahatinggi) dan meninggalkan pendamping yang hina.

 

Berusaha dalam umur yang relatif pendek, masa yang singkat, dengan mengemban beban kesulitan dan kesukaran, semata dimaksudkan untuk mendapatkan kehidupan ini. Ilmu dan amal sekadar sebagai sarana untuk menuju kesana.

 

Pengetahuan tentang kehidupan ini sampai kepada kita lewat pengabaran Nahi, yang dibawa makhluk yang paling sempurna dan paling mengetahui. Kejadian-kejadiannya merasuk ke dalam hati orang-orang yang beriman, hingga seakan-akan mereka dapat melihatnya dengan mata kepala. Makajiwa mereka lari dari lindungan yang cepat berakhir dan angan-angan yang cepat berlalu ini, karena menghendaki kehidupan ini dan mendapatkan kesenangannya. Demi Allah, orang yang pergi menuju negeri yang dikenal adil dan subur serta menjanjikan kesenangan, tentu akan sabar dalam menghadapi segala kesulitan dan pesona di tengah perjalanannya. Dia meninggalkan apa yang sedang dibutuhkan orang-orang yang hanya duduk di tempatnya dan memenuhi seruan orang yang memanggilnya, “Hayya alash-shalah”.

 

Dia tinggalkan apa pun yang disenanginya agar segera sampai ke tujuan. Demi Allah, tidak ada yang sulit dan berat dalam umur yang amatsingkat ini, yang bisa diibaratkan sesaat dari waktu siang. Firman Allah,

 

“Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.“ (Al-Ahgat: 35).

 

Di antara kebaikan kehidupan ini dan kenikmatannya seperti yang disabdakan Nabi,

 

“Tidaklah ada jiwa yang meninggal (yang mendapat kebaikan di sisi Allah) senang untuk kembali ke dunia dan walaupun ia mendapatkan dunia serta seisinya, selain dari orang yang mati syahid. Dia berangan-angan dapat kembali lagi ke dunia, karena dia melihat kemuliaan Allah yang diberikan kepadanya.”

 

Dia ingin kembali ke dunia agar dapat berjihad sekali lagi lalu mati syahid. Dalam tingkatan ini dapat diketahui kehidupan orang-orang yang mati syahid. Mereka mendapatrezeki di sisi Allah dan itu merupakan kehidupan yang lebih sempurna serta lebih baik daripada kehidupan mereka di dunia. Sekalipun jasad mereka berceceran, daging tercabik-cabik, sendi-sendi patah dan tulang mereka berserakan, tapi amal mereka tidak sia-sia. Allah berfirman,

 

“Dan, janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.” (Al-Baqarah: 154).

 

Jika seperti ini kehidupan orang-orang yang mati syahid dan yang mengikuti para rasul, lalu apa perkiraanmu tentang kehidupan para rasul sendiri di alam Barzakh? Yang pasti, para rasul, syuhada’ dan shiddigin memiliki kehidupan yang lebih sempurna setelah mereka terbangun dari tidur yang hanya sebentar di dunia.

 

  1. Kehidupan yang abadi dan kekal setelah melewati alam ini dan setelah dunia serta segenap penghuninya berpindah ke tempat tinggal yang kekal. Ini merupakan kehidupan yang telah dilewati orang-orang yang lebih dahulu dan menjadi ajang perlombaan orang-orang yang suka berlomba. Inilah kehidupan yang hendak kami bahas dan yang diserukan kitabkitab samawi serta para rasul. Inilah kehidupan yang dikatakan orangorang yang tidak sempat bersiap-siap untuk menghadapinya, “Apabila bumi diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabbmu, sedang malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka jahannam, dan pada hari itu teringatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini”. Maka pada hari itu tidak seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (Al-Fajr: 21-24).

 

Kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan yang kekal ini seperti yang disabdakan Nabi

 

“Tidaklah dunia di akhirat melainkan seperti salah seorang di antara kalian yang mencelupkan jari telunjuknya di air, lalu perhatikanlah apa yang menyisa saat dia menarik jarinya?”

 

Jika akhirat bisa bernapas, maka dunia ini merupakan salah satu dari hembusan napasnya. Orang yang berbahagia menghembuskan napas kenikmatannya, dan dalam napas inilah mereka beramal. Orang-orang yang menderita menghembuskan napas siksanya, dan dalam napas inilah mereka berbuat.

 

Jika ada yang bertanya, apa sebabnya jiwa manusia tertinggal untuk mencari kehidupan ini dan sama sekali tidak terbetik di dalamnya? Mengapaia justru menghindarinya? Apa sebab kesenangannya kepada kehidupan yang fana dan yang pasti berakhir, yang diibaratkan hayalan atau mimpi yang berlalu? Apakah karena ada yang tidak beres dalam menggambarkan dan merasakannya? Atau karena ada pendustaan terhadap kehidupan itu? Ataukah karena ada yang mengganjal di dalam akal atau ada kebutaan? Ataukah karena lebih mementing-kan kehidupan yang ada dan tampak mata serta mengabaikan yang belum nyata dan yang hanya bisa diketahui dengan iman? Ada yang menjawab, semua itu bisa menjadi sebab yang tersusun menjadi satu bagian. Secara umum sebabnya ada dua macam:

 

. Sebab yang paling kuat adalah iman yang lemah. Karena iman merupakan ruh amal, pembangkit amal, yang memerintahkan kepada amal yang paling baik dan yang mencegah dari amal yang paling buruk, maka sejauh mana kekuatan iman, sejauh itu pula ada perintah dan larangan terhadap orangnya. Jika iman kuat, maka kerinduan terhadap kehidupan ini juga semakin kuat.

 

– Adanya kelalaian di dalam hati, karena kelalaian merupakan tidurnya hati. Karena itu engkau melihat orang yang bangun dalam perasaannya, yang tidur dalam kenyataannya, lalu engkau mengiranya terbangun padahal dia tidur. Jika di dalam hati ada kekuatan kehidupan, maka ia tidak tidur sekalipun badannya tidur. Kesempurnaan hidup seperti ini adalah hidupnya Rasulullah, begitu pula orang yang hatinya dihidupkan Allah dengan cara mencintai-Nya dan mengikuti risalah-Nya. Kelalaian merupakan tidurnya hati untuk mencari kehidupan ini dan sekaligus merupakan hijab baginya. Hijab ini bisa disingkap dengan dzikir. Jika dzikir, maka hijabnya semakin tebal, hingga hijab itu menjadi kesibukan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Hijab ini harus segera disingkirkan. Jika tidak segera disingkirkan dan berubah menjadi dosa besar, maka akan mendatangkan kemurkaan Allah.

 

Kembali ke pembahasan semula, bahwa kehidupan macam pertama mempunyai tiga jenis napas: Napas ketakutan, napas harapan dan napas cinta. Karena setiap hewan harus bernapas, dan napas ini merupakan keharusan hidup, maka napas-napas kehidupan ini diisyaratkan kepada tiga macam napas. Pertama: Napas ketakutan. Sumbernya adalah mengetahui ancaman dan apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, yang lebih mementingkan makhluk daripada Khalig, yang lebih mementingkan nafsu daripada petunjuk. Kedua: Napas harapan, yang sumbernya adalah melihat janji, berbaik sangka kepada Allah, memperhatikan apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang lebih mementingkan Allah, RasulNya dan hari akhirat, menjadikan petunjuk sebagai hakim bagi hawa nafsu, menjadikan wahyu sebagai hakim bagi pendapat, menjadikan As-Sunnah sebagai hakim bagi bid’ah. Ketiga: Napas cinta, yang sumbernya adalah melihat asma’ dan sifat, menyaksikan nikmat dan karunia.

 

Jika seorang hamba mengingat dosanya, maka dia menghembuskan napas ketakutan. Jika mengingat rahmat Allah dan keluasan ampunan-Nya, maka dia menghembuskan napas harapan. Jika mengingat keindahan, keagungan dan kesempurnaan-Nya, maka dia menghembuskan napas cinta. Maka hendaklah setiap hamba menimbang imannya dengan tiga macam napas ini, agar dia mengetahui kadar imannya. Sesungguhnya jiwa itu diciptakan untuk mencintai keindahan dan berhias. Allah adalah indah, bahkan Dia memiliki keindahan yang sempurna, keindahan dzat, sifat, perbuatan dan asma’. Jika keindahan seluruh makhluk terhimpun pada diri seseorang, lalu keindahan ini dibandingkan dengan keindahan Allah, maka perbandingannya seperti pelita yang kecil dibandingkan matahari yang terang benderang.

 

Kehidupan yang kedua ialah kehidupan penyatuan dari kematian penghindaran, yang memiliki tiga napas: Napas pemaksaan, napas kebutuhan dan napas kebanggaan.

 

Yang dimaksudkan penyatuan di sini adalah penyatuan hati dengan Allah, penyatuan rasa dan kehendak untuk menghadap kepada-Nya, bukan penyatuan kebersamaan wujud. Sebab kehidupan penyatuan ini akan disebutkan dalam jenis kehidupan yang ketiga dengan sebutan “Kehidupan wujud”.

 

Penyatuan hati dengan Allah dan menghadapkan rasa kepada-Nya merupakan kehidupan yang hakiki. Sebab hati tidak memiliki kebahagiaan, kesenangan, keberuntungan dan kenikmatan kecuali dengan menjadikan Allah sebagai tujuan pencariannya. Penghindaran yang disusul dengan penolakan untuk menghadap kepada-Nya merupakan penyakit hati, sekalipun tidak membuatnya mati.

 

Kehidupan ini mempunyai tiga napas. Yang pertama adalah napas pemaksaan. Hal ini terjadi karena hamba tidak bisa berharap kepada selain Allah, sehingga dengan hati, ruh, jiwa dan badannya dia terpaksa berharap kepada Allah. Apa pun yang ada pada dirinya, termasuk pula sehelai rambut yang tumbuh membutuhkan Allah yang menjadi sesembahannya. Napas ini mau tidak man membutuhkan Allah sebagai pencipta, penolong, pelindung, pemberi petunjuk, pemberi rezeki dan yang mengatur segala kemaslahatannya, di samping menjadikan-Nya sebagai sesembahan, yang hidupnya tidak akan bermanfaat kecuali dengan menjadikan Allah sebagai kekasih dan yang dirindukannya. Pemaksaan ini merupakan pemaksaan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Sebenarnya napas membutuhkan juga termasuk napas pemaksaan ini. Tapi Syaikh memisahkan di antara keduanya, karena Syaikh ingin menjadikan napas pemaksaan sebagai permulaan, napas membutuhkan sebagai pertengahan dan napas kebanggaan sebagai kesudahan. Seakan-akan napas pemaksaan merupakan pengenyahan makhluk dari hati, dan napas kebutuhan merupakan penggantungan hati kepada Allah. Pada hakikatnya ini merupakan satu kesatuan, yang pada permulaannya merupakan pemutusan dan akhirnya merupakan penyambungan. Sedangkan napas kebanggaan merupakan hasil dari dua napas di atas. Jika dua napas sudah benar pada diri hamba, maka akan tercipta tagarrub, penyatuan dan kebersamaan dengan Allah, dan Allah pun melepas dari hatinya segala kesenangan dunia dan perhiasannya. Pada saat itu dia akan menghembuskan napas lain, yang dengannya dia akan mendapatkan ketenangan dan kelapangan dada:

 

Jika ada yang bertanya, “Mengapa hamba harus berbangga diri? Apa kaitan ubudiyah dengan kebanggaan ini?”

 

Dapat kami jawab, bahwa bukan maksudnya hamba membanggakan diri di hadapan orang lain. Tapi ini merupakan kebanggaan yang berarti kesenangan dan kegembiraan, karena dia tidak kuasa menolak apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Bukanlah sudah selayaknya hamba merasa senang karena menerima karunia Allah? Apalagi Allah suka melihat pengaruh nikmat-Nya pada diri hamba dan Dia senang akan hal ini, karena yang demikian itu merupakan gambaran rasa syukur.

 

Kehidupan yang ketiga adalah kehidupan wujud, yaitu kehidupan dengan Allah. Kehidupan ini mempunyai tiga napas: Napas kehormatan yang mematikan alasan, napas wujud yang mencegah pemisahan dan napas kesendirian yang menghasilkan hubungan.

 

Tingkat kehidupan ini merupakan kehidupan orang yang sudah mendapat-kannya. Ini lebih sempurna daripada dua jenis kehidupan yang sebelumnya. Hamba yang sudah mendapatkan Rabb-nya, seperti yang diisyaratkan dalam hadits Ilahi, “Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Dengan-Ku dia mendengar, dengan-Ku dia melihat, dengan-Ku dia memegang dan dengan-Ku dia berjalan.” Begitu pula yang diisyaratkan dalam firman-Nya, “Wahai anak Adam, carilah Aku, niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu. Jika Aku tidak kamu dapatkan, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu.” Kehidupan wujud merupakan kehidupan yang paling sempurna.

 

Artinya kehidupan karena mendapatkan Allah. Jika engkau katakan, “Saya kesulitan memahami makna kehidupan karena mendapatkan Allah ini.”

 

Dapat kami jawab, bahwa itu terjadi karena ada hijab antara dirimu dan kehidupan ini. Pahamilah kehidupan ini dengan adanya kefanaan, adanya pemilik, penguasa dan penolongmu. Hakikat hidup ini adalah kehidupan dengan Allah, bukan kehidupan dengan napas, kefanaan dan sebab-sebab kehidupan.

 

Kehidupan wujud ini ada yang menafsirinya berdasarkan sifat Allah yang berdiri sendiri, agar hati tidak berpaling kepada selain Allah, tidak takut dan tidak berharap kepadanya. Ketakutan dan harapannya, tawakal dan penyandarannya hanya tertuju kepada Allah Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri. Selagi keadaan ini sudah tercapai, maka tercapai pula kehidupan wujud. Terkadang bernapas dengan napas kehormatan yang meniadakan pencarian alasan, terkadang bernapas dengan napas wujud itu sendiri dan terkadang bernapas dengan napas kesendirian. Kesendirian di sini artinya kesendirian dan keesaan Allah dalam Uluhiyah dan Ubudiyah, tidak memberi tempat bagi selain-Nya dalam Rububiyah dan tidak memberi bagian bagi selain-Nya dalam Uluhiyah.

 

Al-Basthu

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-basthu (pembentangan ini,

 

“Dan Dia menjadikan kalian berkembang biak dengan jalan itu.” (Asy-Syura: 11).

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memberikan kehidupan kepada kalian dengan apa-apa yang diciptakan-Nya bagi kalian, berupa binatang ternak seperti yang telah disebutkan-Nya. Menurut Al-Kalbi, Allah memperbanyak jumlah kalian karena saling berpasang-pasangan. Andaikan tidak ada pasang-pasangan ini, tentu tidak akan ada keturunan yang bersinambungan. Maknanya yang lebih pas, bahwa Allah menjadikan pasangan bagi kalian, karena yang menjadi sebab penciptaan bagi makhluk adalah pasangan. Kata ganti dalam fihi kembali kepada penciptaan. Sedangkan makna yadzra’u adalah menciptakan dan mengembangbiakkan.

 

Kehidupan ini ada dua macam kehidupan, yaitu kehidupan badan dan kehidupan ruh. Karena Allahlah yang menghidupkan hati dan ruh para waliNya dengan kemuliaan, kasih sayang dan pembentangan-Nya, berarti Dia pula yang mengembangbiakkan yang demikian itu bagi mereka.

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Al-Basthu artinya membentangkan amal dan zhahir hamba di atas keharusan ilmu dan menyelimuti batinnya dengan kain cinta. Mereka adalah orang-orang yang mengenakan kain penutup. Mereka membentangkan diri di medan pembentangan.”

 

Maksudnya, karena amal dan zhahirnya terbentang berdasarkan ilmu, dan batinnya dipenuhi cinta kepada Allah, maka dia memiliki keindahan zhahir dan batin. Tentang dua macam keindahan ini telah disebutkan Allah di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, seperti firman-Nya,

 

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik. “(Al-A’raf: 26).

 

As-Sukru

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah as-sukru (mabuk) ini, yang mengisahkan tentang Musa

 

“Musa berkata, “Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’.” (Al-A’raf: 143).

 

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa tatkala Musa sudah ada kemantapan dalam hati dan ruhnya, pendengaran dan penglihatannya, karena beliau merasakan kenikmatan mendengar kalam Allah dan kelezatan perbincangan itu, kemudian hal ini semakin menjadi-jadi hingga disebut mabuk atau mendekati mabuk, maka terlontar dari lidah beliau untuk dapat melihat Allah dalam keadaan tersebut.

 

Syaikh berkata, “Mabuk dalam kajian ini merupakan istilah yang diisyaratkan kepada keadaan tidak sabar karena kegembiraan dan keriangan. Ini merupakan keadaan orang-orang yang jatuh cinta secara khusus.”

 

Pengertian mabuk semacam ini tidak pernah diungkap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta orang-orang salaf yang arif. Ini merupakan istilah yang dimunculkan orang-orang muta’akhirin, dan merupakan istilah yang amat buruk. Sebab lafazh mabuk dan sesuatu yang memabukkan termasuk lafazh yang dicela syariat dan akal. Gambaran secara umum tentang penggunaan istilah mabuk adalah sesuatu yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisa’: 43).

 

Allah menggambarkan guncangan yang sangat hebat, yang dirasakan manusia saat datangnya hari kiamat,

 

“Dan, kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi adzab Allah itu sangat kerasnya.” (Al-Hajj: 2).

 

Allah mensifati keadaan mabuk bagi orang-orang yang berbuat keji dan yang biasa mengkonsumsi minuman yang memabukkan, sehingga istilah ini tidak layak digunakan dalam keadaan dan kedudukan yang mulia, apalagi dalam masalah-masalah hakikat, tidak layak ditujukan kepada hamba yang menjadi lawan bicara Allah. Boleh jadi keadaan ini dirasakan di surga saat memandang Allah dan mendengar kalam-Nya.

 

Namun keadaan ini tidak bisa disebut mabuk. Kami tidak mengingkari makna yang diisyaratkan dengan menggunakan sebutan ini. Yang kami ingkari adalah penamaannya dengan sebutan mabuk ini, apalagi jika dikaitkan dengan sebutan minuman, atau yang dikenal dengan istilah khamer dan gelas-gelas yang dituangi. Penyamaran dan penyebutan inilah yang akan diungkap di sini.

 

Sebelum membicarakan lebih lanjut seperti apa yang dikatakan Syaikh, “Ini merupakan keadaan orang-orang yang jatuh cinta secara khusus”, maka perlu ada kejelasan tentang hakikat mabuk dan sebabnya, pembagiannya menurut dzat, sebab-sebab dan tempat-tempatnya, agar dapat diperoleh faidah yang lebih nyata.

 

Keadaan mabuk merupakan kenikmatan dan ketidaksadaran yang menghilangkan peran akal. Padahal akal inilah yang bisa membedakan segala sesuatu, sehingga pelakunya tidak menyadari apa yang diucapkannya. Maka Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.” Allah menjadikan tujuan dari hilangnya hukum mabuk, agar pelakunya menyadari apa yang diucapkannya. Jika dia sudah menyadarinya, berarti dia sudah keluar dari batasan mabuk. Al-Imam Ahmad berkata, “Orang yang mabuk tidak bisa membedakan mana pakaiannya dan mana pakaian orang lain, mana sandalnya dan mana sandal orang lain.”

 

Keadaan mabuk menghimpun dua makna: Adanya kenikmatan dan tidak bisa berpikir. Orang yang mabuk bertujuan untuk mendapatkan dua keadaan ini atau salah satu di antaranya. Jiwa memiliki nafsu dan syahwat yang menginginkan kenikmatan. Sementara pengetahuan tentang adanya kerusakan dalam kenikmatan itu, mencegahnya untuk mereguk kenikmatan itu. Lalu akal menyuruh untuk tidak melakukannya. Jika tidak ada pengetahuan yang mengungkap dan akal yang memerintah dan melarang, maka jiwa akan menghampiri apa yang diinginkannya.

 

Allah mengharamkan mabuk karena dua perkara seperti yang disebutkan di dalam Kitab-Nya, yaitu karena menimbulkan permusuhan dan perselisihan di antara sesama orang Muslim serta menghalangi dzikir kepada Allah dan shalat. Di samping itu, mabuk juga merusak jiwa karena hilangnya fungsi akal dan kemaslahatan, yang hanya bisa diperoleh dengan akal.

 

Sebab mabuk bisa karena sesuatu yang sebenarnya tidak memabukkan, seperti karena sakit yang teramat sangat, hingga menghilangkan fungsi akal dan menjadi seperti orang yang mabuk. Bisa juga karena sesuatu yang sangat menakutkan dan guncangan yang menghilangkan fungsi akal, seperti keadaan manusia saat Hari Kiamat tiba yang seperti mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Mereka mabuk karena kaget dan takut, bukan karena mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan. Pikiran merekalah yang mabuk karena takut dan kaget. Sebab mabuk juga bisa karena rasa senang yang memuncak karena melihat kekasih, sehingga orangnya menjadi salah tingkah dan ucapannya tidak teratur. Akalnya seperti hilang dan lebih linglung daripada orang yang minum khamer. Bahkan mabuk karena perasaan gembira ini bisa membunuhnya, karena sebab yang alami, yaitu terjadinya pemuaian darah dalam hati secara serentak, di luar kebiasaannya. Sementara darah itu membawa panas. Sehingga karena pemuaian itu, hati menjadi dingin, lalu mengakibatkan kematian.

 

Di antara sebab mabuk adalah kecintaan kepada rupa dan lain-lainnya, baik yang mubah maupun yang haram. Jika cinta sudah menguat dan menjadijadi, maka ia membuat orangnya mabuk. Jika mabuk cinta disusul dengan kesenangan hubungan, maka mabuk itu semakin kuat dan berlipat ganda, sehingga orangnya keluar dari hukum akal dan dia tidak menyadarinya.

 

Sebab mabuk yang paling kuat dan yang pasti mengakibatkan mabuk adalah mendengarkan suara tabuhan yang merdu, apalagi jika berasal dari orang yang cantik menawan di tempat yang cocok, tentu akan membuat pendengarnya mabuk kepayang. Mabuk ini menimbulkan dua faktor:

 

– Menimbulkan kenikmatan yang kuat dan menyatu dengan akal.

 

– Menggerakkanjiwa kepada kekasih. Gerakan dan kerinduan yang disertai hayalan untuk menghadirkan kekasih di dalam jiwa ini menimbulkan kenikmatan yang dapat menundukkan akal, sehingga ruh menjadi mabuk kepayang, lebih mabuk dari orang yang mabuk karena menenggak minuman yang memabukkan.

 

Berangkat dari sinilah Syaikh melandaskan masalah mabuk ini kepada perkataan Musa, setelah beliau mendengar kalam Allah Yang Mahaagung, “Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’.

 

Al-Imam Ahmad dan lainnya menyebutkan, bahwa Allah berfirman kepada Daud pada Hari Kiamat, “Agungkanlah Aku dengan perkataan yang kamu ucapkan di dunia untuk mengagungkan Aku”.

 

Daud bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana caranya? Karena perkataan itu sudah hilang karena kedurhakaan.”

 

Allah berfirman, “Aku akan mengembalikan lagi kepadamu.”

 

Maka Daud berdiri di pinggir “Arsy dan mengagungkan Allah. Para penghuni surga mendengar suaranya hingga menimbulkan kenikmatan bagi mereka.

 

Yang lebih nikmat dari hal itu adalah tatkala para penghuni surga itu mendengar kalam Allah dan seruan-Nya kepada mereka tanpa menggunakan perantara atau secara langsung. Abdullah bin Ahmad menyebutkan di dalam Kitabus-Sunnah sebuah atsar tentang hal ini, bahwa seakan-akan manusia pada Hari Kiamat belum pernah mendengar Al-Qur’an, ketika mereka mendengarnya dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Mahaagung.

 

Jika kenikmatan ini ditambah lagi dengan kenikmatan memandang WajahNya Yang mulia, yang membuat mereka seakan tidak lagi membutuhkan segala kenikmatan surga, maka tentunya ini merupakan perkara yang sulit digambarkan. Di sana ada suara yang tidak pernah didengar telinga, ada rintikrintik air yang tidak pernah menghidupi bumi, ada mara air yang tidak pernah diminum, ada perjamuan yang tidak pernah dikerumuni anak-anak kecil.

 

Sebab mabuk adalah kenikmatan yang menundukkan akal, dan sebab kenikmatan itu adalah mengetahui kekasih. Jika cinta semakin kuat dan keinginan melihat kekasih juga semakin kuat, maka kenikmatan melihat kekasih ini mengikuti kekuatan tersebut. Jika akal kuat, maka tidak akan ada perubahan. Tapi jika akal lemah, maka menimbulkan mabuk yang mengeluarkannya dari hukumnya.

 

Menurut Syaikh, ada tiga tanda mabuk: Tidak sempat mencari kabar, namun pengagungan tetap ada, mengarungi bahtera kerinduan, namun keseimbangan terus berlanjut, tenggelam dalam lautan kegembiraan, dan kesabaran seakan hilang.

 

Maksudnya, karena keinginan yang besar untuk bertemu kekasih dan menghadirkan hati bersamanya, maka orangnya tidak sempat mendengar kabar tentang kekasihnya. Pendapat ini tidak benar secara mutlak. Sebab orang yang benar-benar mencintai justru akan mencari kabar tentang kekasihnya dan mengingat-ingatnya, sebagaimana yang dikatakan Utsman bin Affan, “Andaikan hati kita bersih, tentu kita tidak akan merasa kenyang mendengar kalam Allah.”

 

Yang dimaksudkan Syaikh, bahwa orang yang mencintai secara benar, hatinya akan dipenuhi dengan cinta, sehingga hal inilah yang menguasainya. Tentu saja dia tidak akan melupakan kekasihnya dan tidak menyibukkan hati dengan hal-hal selainnya, tetap mencari tahu tentang kekasihnya, sehingga hampir-hampir dia tidak sabar karena mendengarnya.

 

Tanda mabuk yang kedua ialah mengarungi bahtera kerinduan, dan tidak sekadar berada di tepiannya semata. Sedangkan tanda mabuk yang ketiga ialah tenggelam dalam lautan kegembiraan, tidak pernah lepas dari kegembiraan, sehingga seakan-akan kegembiraan itu merupakan lautan dan dia tenggelam di dalamnya. Sebagaimana orang tenggelam yang tidak lepas dari air, maka orang yang mencintai juga tidak lepas dari kegembiraan. Karena dia tenggelam dalam lautan kegembiraan ini, seakan-akan dia tidak lagi mampu menguasai kesabaran.

 

Ittishal

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ittishal (bersambung) ini,

 

“Kemudian dia mendekat dan bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (An-Najm: 8-9).

 

Seakan-akan Syaikh memahami ayat ini, bahwa seakan-akan yang mendekat dan bertambah dekat lagi sehinggajaraknya seperti dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi adalah Allah. Sekalipun memang ada segolongan mufassir yang berpendapat seperti ini, tapi pendapat yang benar, bahwa yang mendekat itu adalah Jibril. Karena Jibrillah yang disifati sejak awal surat An-Najm ini hingga ayat 13-14,

 

“Dan, sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil-Muntaha.”

 

Begitulah yang ditafsiri Nabi dalam hadits shahih. Aisyah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini. Maka beliau menjawab, “Dialah Jibril, yang tidak pernah kulihat rupa aslinya selain dari dua kali.”

 

Memang lafazh Al-Qur’an sendiri tidak menunjukkan yang demikian itu. Tapi hal ini bisa dilihat dari beberapa sisi yang menguatkan pendapat di atas:

 

  1. Allah menjelaskan, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat”. (An-Najm: 5). Inilah yang Jibril yang disifati Allah dengan kekuatan, seperti firman-Nya yang lain, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah yang mempunyai “Arsy.” (AtTakwir: 19-20).

 

  1. Allah menggambarkannya memiliki akal yang cerdas dan mulia seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

 

  1. Allah menjelaskan keadaannya, “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.” (An-Najm: 7). Keberadaan Jibril di ufuk yang tinggi, sedangkan keberadaan Allah di “Arsy.

 

  1. Allah berfirman, “Kemudian dia mendekat dan bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (An-Najm: 8-9). Yang mendekat ini adalah Jibril dan turun ke bumi, ke tempat Rasulullah. Sedangkan mendekat yang disebutkan di dalam hadits Mi’raj, ketika beliau berada di atas langit adalah mendekatnya Allah. Mendekat yang disebutkan di dalam ayat berbeda dengan mendekat di dalam hadits, sekalipun kata-kata yang digunakan sama.

 

  1. Allah berfirman, “Dan, sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil-Muntaha.” Yang dilihat beliau di Sidratil-Muntaha adalah Jibril, seperti penjelasan beliau kepada Aisyah.

 

  1. Semua kata ganti yang disebutkan di dalam ayat-ayat di atas adalah satu. Maka antara yang menafsiri dan yang ditafsiri tanpa disertai dalil tidak boleh berbeda.

 

  1. Di dalam surat An-Najm ini Allah menyebutkan dua utusan yang mulia: Jenis malaikat dan jenis manusia. Utusan jenis manusia dijauhkan dari kesesatan dan tidak keliru. Sedangkan utusan jenis malaikat dijauhkan dari sifat setan yang buruk dan lemah, tapi dia kuat, mulia dan baik akhlaknya. Hal ini serupa dengan sifat yang disebutkan di dalam surat At-Takwir.

 

  1. Allah mengabarkan di dalam surat At-Takwir, bahwa Rasulullah melihat Jibril di ufuk yang terang, dan di dalam surat An-Najm disebutkan, beliau melihatnya di ufuk yang tinggi. Hal ini menunjukkan hal yang sama dan disifati dengan dua sifat, terang dan tinggi.

 

  1. Allah menjelaskan bahwa Jibril adalah Dzu mirrah, artinya akhlak yang baik.

 

  1. Kalaupunpengabaran ini tentang Allah, tentunya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Rasulullah pernah melihat Allah dua kali. Sekali di ufuk dan sekali di Sidratul-Muntaha. Sekiranya yang benar seperti ini, berarti ada perbedaan dengan apa yang dikabarkan Rasulullah kepada Abu Dzarr, saat dia bertanya kepada beliau, “Apakah engkau pernah melihat Rabb engkau?” Maka beliau menjawab, “Yang kulihat cahaya. Mana mungkin aku bisa melihat-Nya?” Taruhlah bahwa Al-Qur’an mengabarkan bahwa beliau pernah melihat-Nya dua kali lalu bagaimana dengan sabda beliau, “Mana mungkin aku bisa melihat-Nya?” Perkataan seperti ini lebih tegas daripada, “Aku belum pernah melihatnya.”

 

  1. Tidak pernah disebutkan kata ganti yang kembalinya kepada Allah dalam firman-Nya, “Kemudian mendekat dan bertambah dekat lagi”. Kata ganti ini kembali kepada hamba-Nya dan tidak layak dikembalikan kepadaNya.

 

  1. Bagaimana mungkin kata ganti dikembalikan kepada sesuatu yang tidak pernah disebutkan sebelumnya, sementara yang disebutkan justru diabaikan, padahal dialah yang lebih layak?

 

  1. Di dalam At-Takwir disebutkan kata Shahibakum (temanmu), yang kata gantinya kembali kepada yang sesuai, kemudian disebutkan pula syadidulgawiyyu, yang kata gantinya kembali kepada yang sesuai dengannya. Semua pengabaran yang menunjukkan dua penafsiran ini adalah utusan dari jenis malaikat dan utusan dari jenis manusia.

 

  1. Yang mendekat dan bertambah dekat lagi ini berada di ufuk yang tinggi, yaitu ufuk langit. Sementara mendekatnya Allah dari atas “Arsy, bukan ke bumi.

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat ittishal, yaitu ittishal al-i tisham, kemudian ittishal asy-syuhud, kemudian ittishal al-wujud. Ittishal al-i’tisham artinya meluruskan tujuan, kemudian mensucikan kehendak, kemudian keadaan.

 

Dua macam ittishal yang pertama tidak ada masalah, karena yang pertama merupakan kedudukan iman dan yang kedua merupakan kedudukan ihsan. Semuajenis ittishal yang benar setelah itu juga disebut ihsan. Sedangkan ittishal wujud tidak mempunyai hakikat sama sekali. Maka harus ada keterangan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan ittishal ini menurut Syaikh dan apa maksud ittishal seperti yang dikehendaki para ateis, yang mengatakan tentang kesatuan wujud.

 

Tentang ittishal al-i’tisham, Allah telah berfirman,

 

“Dan, berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah Pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Al-Hajj: 78).

 

I’tisham (berpegang) kepada Allah ini ada dua macam:

 

– I’tisham yang berarti tawakkal, pasrah diri, memohon pertolongan, kembali dan bersandar kepada-Nya.

 

– I’tisham kepada wahyu-Nya, yaitu menjadikan wahyu sebagai pengadil dengan mengabaikan pendapat, giyas, pikiran dan perkataan manusia.

 

Siapa yang tidak melakukannya, berarti dia lepas dari i’tisham ini.

 

Ittishal asy-syuhud jalah penguatan kedudukan ihsan. Ittishal yang pertama merupakan ittishal ilmu dan amal, sedangkan ittishal yang kedua merupakan ittishal keadaan dan ma’rifat.

 

Wujud seperti dalam perkataan Syaikh tentang ittishal al-wujud, artinya keberuntangan mendapatkan hakikat sesuatu, Tapi tentunya Syaikh tidak mengartikan hal ini, bahwa wujud hamba bersambung dengan wujud Allah, sehingga masing-masing di antara keduanya menjadi satu wujud seperti anggapan para ateis. Kekufuran orang-orang Nasrani termasuk bagian dari kufur semacam ini. Sekalipun ada hamba yang paling jahat dan paling fasik, toh wujudnya tetap besambung dengan wujud Allah, bahkan dia merupakan wujud Allah. Menurut mereka tidak ada perbedaan antara hamba dan Rabb. Yang dimaksudkan Syaikh dengan ittishal al-wujud di sini, bahwa seorang hamba mendapatkan kembali Rabb-nya setelah dia kehilangan. Hal ini seperti seseorang yang mencari harta simpanannya yang sekian lama tidak didapatkannya, lalu ia berhasil mendapatkannya, sehingga dia tidak perlu lagi mencari-carinya. Inilah yang disebut ittishal al-wujud, seperti yang dikatakan dalam sebuah atsar, “Carilah Aku, niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika kamu tidak mendapatkan, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu.”

 

Mendapatkan di sini bisa bermacam-macam, tergantung dari keadaan dan kedudukan hamba. Orang yang bertaubat secara tulus, maka akan mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Orang yang tawakkal dengan sebenarnya akan mendapatkan Allah Maha Pemberi kecukupan dan perlindungan. Orang yang takut kepada-Nya dengan cara kembali kepadaNya, akan mendapatkan Allah melindunginya dari rasa takut Orang yang mengharapkan, jika benar-benar dalam harapannya, akan mendapatkan Allah ada dalam persangkaannya. Ma’rifat

 

Pengarang Manazilus-Sa ‘irin mensitir firman Allah berkaitan dengan ma’rifat ini,

 

“Dan, apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui.” (Al-Maidah: 83).

 

Ma’rifat artinya meliputi sesuatu seperti apa adanya. Saya katakan, bahwa di dalam Al-Qur’an terkadang disebutkan lafazh ma’rifat dan adakalanya disebutkan lafazh ilmu. Lafazh ilmu yang banyak disebutkan di dalam AlQur’an memiliki batasan yang relatif lebih luas. Allah memilih bagi Diri-Nya asma Al-Ilmu dan segala kaitannya. Allah mensifati Diri-Nya dengan Al-Alim, Al-Allam, alima, ya’lamu, dan mengabarkan bahwa Dia memiliki ilmu, tanpa menggunakan lafazh ma’rifat. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, apa yang dipilih Allah untuk Diri-Nya adalah yang paling sempurna jenis dan maknanya. Lafazh ma’rifat disebutkan di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan orang-orang Mukmin dari Ahli Kitab secara khusus, seperti firman-Nya yang disebutkan di atas, yaitu orang-orang yang mendengarkan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Begitu pula firman-Nya yang lain,

 

“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (Al-An’am: 20).

 

Golongan ini lebih menandaskan ma’rifat daripada ilmu. Bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak peduli terhadap ilmu, yang menganggapnya sebagai pemotong dan hijab, tidak seperti ma’rifat.’? Sementara orang-orang yang istiqamah di antara mereka menegaskan nasihat kepada manusia agar mencari dan memperhatikan ilmu. Menurut mereka, wali Allah tidak akan sempurna perwaliannya jika tidak memiliki ilmu. Sebab Allah tidak akan mengambil wali yang bodoh. Sebab kebodohan merupakan pangkal segala bid’ah, kesesatan dan kekurangan. Sementara ilmu merupakan dasar segala kebaikan, petunjuk dan kesempurnaan.

 

Ada perbedaan antara ilmu dan ma’rifat dari segi lafazh dan maknanya. Dari segi lafazh, kata kerja ma’rifat hanya membutuhkan satu obyek saja, seperti perkataan seseorang, “Araftu zaidan” artinya aku kenal Zaid. Sedangkan kata kerja ilmu membutuhkan dua obyek. Sedangkan perbedaan maknanya dapat dilihat dari beberapa sisi:

 

  1. Ma’rifat berkaitan dengan dzat sesuatu. Sedangkan ilmu berkaitan dengan keadaannya. Dapat engkau katakan, “Aku memiliki ma’rifat tentang ayahmu, dan aku mengetahuinya sebagai orang yang shalih dan berilmu.” Yang pertama ma’rifat (a’rifu) dan yang kedua ilmu (a’lamu).

 

Karena itu disebutkan perintah di dalam Al-Qur’an agar mengetahui (ilmu) dan bukan mengenal (ma’rifat), seperti firman-Nya,

 

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada ilah selain Allah.” (Muhammad: 19).

 

Ma’rifat merupakan kehadiran sesuatu dan penyerupaan ilmiahnya di dalam jiwa. Sedangkan ilmu merupakan kehadiran keadaan, sifat dan kaitannya di dalam jiwa. Ma’rifat menyerupai gambaran dan ilmu menyerupai pembenaran.

 

  1. Biasanya ma’rifat diperuntukkan bagi sesuatu yang hilang dari hati, yang sebelumnya telah diketahui. Jika kemudian sesuatu itu diingatkan kembali, maka dikatakan, “Dia memiliki ma’rifat tentangnya.”

 

Atau bisa juga bagi sesuatu yang disifati dengan sifat-sifat yang bisa ditangkap jiwa. Jika kemudian sesuatu itu disebutkan sifat-sifatnya, maka dikatakan, “Dia memiliki ma’rifat tentangnya.”

 

Ma’rifat menyerupai ingatan tentang sesuatu, yaitu menghadirkan apa yang tidak ada dalam ingatan. Maka kebalikan dari ma’rifat adalah pengingkaran atau tidak mengenal sedangkan, kebalikan ilmu adalah kebodohan. Firman Allah,

 

“Mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya.” (An-Nahl: 83).

 

  1. Ma’rifat mengharuskan pembedaan antara yang dikenal atau yang diketahui dengan yang lainnya, sedangkan ilmu mengharuskan pembedaan antara apa yang disifati dengan yang lainnya. Perbedaan ini berbeda dengan yang pertama, yang kembali kepada pengenalan dzat dan sifat, sedangkan perbedaan ini pada pembebasan dzat dan sifat dari yang lainnya.

 

  1. Jika engkau katakan, “Aku memiliki ma’rifat tentang Zaid”, maka tidak memberikan manfaat apa pun kepada lawan bicara, karena dia masih menunggu kelanjutannya, yaitu keadaan macam apa yang akan engkau kabarkan kepadanya? Jika kemudian engkau katakan, “Seorang yang mulia dan pemberani”, maka engkau memberikan manfaat kepadanya. Jika engkau katakan, “Aku memiliki ma’rifat tentang Zaid”, berarti engkau menegaskan kepada lawan bicara bahwa engkau membedakannya dari yang lain.

 

  1. Ma’rifat merupakan ilmu tentang jenis sesuatu secara terperinci, yang bisa dibedakan dari selainnya. Berbeda dengan ilmu yang berkaitan dengan sesuatu dan bersifat global. Perbedaan ini seperti yang dikatakan Syaikh, “Meliputi sesuatu seperti apa adanya.” Berdasarkan batasan ini, maka tidak bisa digambarkan sama sekali bahwa Allah bisa dikenal, dan hal ini termasuk sesuatu yang mustahil. Sebab Allah tidak bisa diliputi dengan ilmu, ma’rifat dan penglihatan. Allah lebih agung dari hal-hal yang bisa dilihat dan dikenal. Firman-Nya,

 

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 110).

 

Bahkan hakikat batasan ini, tidak ada kaitan ma’rifat dengan makhluk yang paling besar hingga sedetail-detailnya, yaitu matahari.

 

Perbedaan antara ilmu dan ma’rifat menurut golongan ini, bahwa ma’rifat adalah ilmu yang diterapkan orang yang berilmu dengan segala konsekuensinya. Mereka tidak mendefinisikan ma ‘rifat berdasarkan makna ilmu semata, bahkan mereka tidak mensifati ma’rifat kecuali terhadap orang yang mengetahui Allah dan mengetahui jalan yang menghantarkan kepada Allah, bencana dan perintangnya. Orang ini mempunyai suatu keadaan bersama Allah yang secara bersama-sama bisa mempersaksikan ma’rifat. Orang arif (yang memiliki ma’rifat) menurut mereka adalah orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah dengan segala sifat, asma’ dan perbuatan-Nya, kemudian Allah membenarkan mu’amalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepas akhlak-akhlaknya yang buruk, kemudian sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nikmat atau cobaan, kemudian berdoa kepada-Nya berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat-Nya, kemudian memurnikan seruan kepada Allah semata seperti yang dibawa Rasul-Nya, tidak dicampuri dengan pendapat manusia, giyas dan pemikiran mereka, tidak menimbangkan dengan apa yang dibawa Rasulullah. Inilah sebutan untuk orang arif yang hakiki. Mereka telah mendefinisikan ma’rifat dengan segala pengaruh dan kesaksian-kesaksiannya.

 

Di antara mereka ada yang berkata, “Di antara tanda ma’rifat tentang Allah jalah munculnya rasa takut kepada-Nya. Siapa yang ma’rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketakutan kepada-Nya.”

 

Ada pula yang berkata, “Ma’rifatt mengharuskan adanya ketenangan. Siapa yang ma’rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketenangannya.”

 

Ada seorang teman yang bertanya kepada saya, “Apa tanda marrifat seperti yang mereka isyaratkan itu?” Saya jawab, “Kebersamaan hati dengan Allah.” Dia menambahi, “Tandanya yang lain ialah merasakan kedekatan hati dengan Allah, sehingga dia mendapatkannya amat dekat dengan Allah.”

 

Asy-Syibli berkata, “ Orang arif tidak mempunyai kaitan, orang yang mencintai tidak mengeluh, hamba tidak boleh mengadu, orang yang takut tidak stabil dan tak seorang pun bisa lari dari Allah.”

 

Ini merupakan definisi yang amat bagus, karena ma’rifat yang benar harus mampu memotong segala kaitan dari hati. Keterkaitannya hanya dengan marrifat tentang Allah, sehingga tidak ada kaitan selainnya.

 

Ahmad bin Ashim berkata, “Siapa yang paling memiliki ma’rifat tentang Allah, maka dia paling takut kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan firman-Nya,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang yang memiliki ilmu.” (Fathir: 28).

 

Begitu pula sabda Rasulullah

 

“ Aku adalah orang yang paling memiliki ma’rifat tentang Allah di antara kalian dan akulah yang paling takut kepada-Nya.”

 

Ada pula yang berkata, “Siapa yang memiliki ma’rifat tentang Allah, maka hidupnya menjadi jernih dan tenang, segala sesuatu takut kepadanya, tidak takut kepada semua makhluk dan merasakan kejinakan di sisi Allah.”

 

Yang lain lagi berkata, “Siapa yang memiliki ma’rifat tentang Allah, maka dia merasa senang kepada Allah, senang kepada kematian dan semuanya senang kepadanya. Sementara siapa yang tidak memiliki ma’rifat tentang Allah merasa rugi karena tidak mendapatkan dunia. Siapa yang memiliki ma’rifat tentang Allah tidak menyisakan kesenangan kepada selain-Nya. Siapa yang membual memiliki ma’rifat tentang Allah, padahal dia menghendaki selain-Nya, maka kesenangannya itu mendustakan ma’rifatnya. Siapa yang memiliki ma’rifat tentang Allah, maka Allah mencintainya, tergantung dari kadar ma’rifatnya, lalu dia takut, berharap dan tawakal kepada-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan dan memuliakan-Nya. Di antara tanda orang arif ialah hatinya bisa menjadi cermin saat melihat hal gaib yang mengajak kepada iman. Seberapa jauh kejernihan cermin itu, maka sejauh itu pula dia bisa melihat Allah, hari akhirat, surga dan neraka, para malaikat dan rasul.”

 

Ada seseorang yang bertanya kepada Al-Junaid, “Ada segolongan orang yang mengaku memiliki ma’rifat. Mereka shalat tanpa melakukan gerakan, dan ini dianggap masalah kebajikan dan takwa.”

 

Maka Al-Junaid berkata, “Mereka adalah orang-orang yang memang sengaja menggugurkan amal. Ini bukan masalah yang ringan dalam pandangan saya. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada mereka yang berpendapat seperti itu. Orang-orang yang memiliki ma’rifat tentang Allah justru mengambil amal dari Allah dan kepada Allah mereka kembali. Andaikan aku berumur seribu tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amal kebajikan walau sebiji atom pun, kecuali jika umurku sudah dihentikan.”

 

Di antara tanda yang dimiliki orang arif ialah tidak menyesali apa yang lepas dari tangannya dan tidak gembira karena sesuatu yang diterimanya. Sebab dia melihat segala sesuatu dengan mata kefana’an dan kemusnahan, yang pada hakikatnya seperti bayangan atau hayalan.

 

Al-Junaid berkata, “Orang arif tidak disebut arif kecuali dia menjadi seperti tanah yang siap dipijak orang baik dan buruk, atau seperti awan yang memayungi segala sesuatu, atau seperti hujan yang mengairi orang yang disukai dan yang tidak disukai.”

 

Yang lain berkata, “Orang arif tidak disebut arif kecuali jika dia memberikan harta miliknya sebanyak yang dimiliki Nabi Sulaiman, agar tidak membuatnya berpaling dari Allah sekejap mata pun.”

 

Di antara tanda orang arif ialah menghindari makhluk yang ada di antara dirinya dan Allah, sehingga mereka tak ubahnya mayat yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadanya, tidak bisa mendatangkan mati dan hidup. Dia juga menghindari kaitan antara dirinya dan makhluk, sehingga dia berada di tengah mereka seperti orang yang tidak memiliki jiwa.

 

Dzun-Nun berkata, “Tanda orang arif ada tiga macam: Cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak mempercayai batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum, dan limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah.”

 

Masih banyak pengertian-pengertian lain yang diberikan orang tentang ma’rifat. Namun yang terakhir inilah yang paling baik, sekalipun masih membutuhkan penjabaran. Sebab banyak orang yang melihat wara’ sebagai akibat dari minimnya ma’rifat. Padahal ma’rifat ini amat luas jangkauannya, Orang yang arif adalah orang yang lapang dan dilapangkan. Sementara kelapangan bisa memadamkan cahaya wara’. Ma’rifat orang arif tidak akan memadamkan wara’nya, dan wara’nya tidak bertentangan dengan ma’rifatnya, seperti anggapan sebagian orang, bahwa orang arif ialah yang tidak mengingkari kemungkaran. Maksud perkataannya, “Batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum”, diisyaratkan kepada orang-orang yang menyimpang, yang menisbatkan kepada perilaku, yang lebih mementingkan olah rasa dan wiridwirid yang bertentangan dengan hukum syariat, yang berlaku di kalangan mereka dan tidak bisa lagi dihindari. Mereka meyakininya dan meninggalkan zhahir hukum. Contoh tentang hal ini amat banyak, dan semacam inilah yang dikritik para pemimpin golongan ini. Maksud perkataannya, “Limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah”, bahwa nikmat yang banyak bisa membuat hamba melampaui batas dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang baik dan tidak baik, untuk yang halal dan tidak halal. Sementara kebanyakan nikmat yang diberikan kepada mereka tidak terbatas untuk hal-hal yang halal, tapi juga untuk hal-hal yang tidak halal, lalu dia membisiki dirinya bahwa ma’rifatnya tentang Allah mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang dilarang. Maka dia berkata, “Orang arif tidak akan terpengaruh oleh dosa seperti yang terjadi pada diri orang yang bodoh.” Atau bahkan dia beranggapan bahwa dosanya lebih baik daripada ketaatan orang-orang yang bodoh. Tentu saja ini merupakan tipu daya yang paling besar, dan yang sebenarnya adalah kebalikannya, sebab apa yang ditanggung orang bodoh tidak seperti yang ditanggung orang arif. Jika orang bodoh dihukum satu kali, maka orang arif dihukum dua kali lipat. Karena itu hukuman yang dijatuhkan kepada orang merdeka dua kali lipat dari hukuman yang dijatuhkan kepada budak. Maka Allah menjelaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada para istri Nabi dua kali lipat.

 

Di antara orang salaf berkata, “Tidurnya orang arif sama dengan berjaga dan napasnya merupakan tasbih. Tidurnya orang arif lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai.”

 

Dikatakan begitu karena hatinya tetap hidup meskipun kedua matanya terpejam. Ruhnya sujud di bawah “Arsy, ada di hadapan Rabb dan Penciptanya, meskipunjasadnya telentang di atas tempat tidur. Tidurnya lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai. Sebab badan orang yang lalai ini berdiri di dalam shalat, tapi hatinya berenang di genangan dunia dan angan-angan. Karena itu keadaannya saat berjaga sama dengan tidur, sebab hatinya mati.

 

Ada yang berkata, “Bergaul dengan orang arif dapat mengajakmu dari enam perkara ke enam perkara: Dari keraguan ke keyakinan, dari riya’ ke ikhlas, dari lalai ke dzikir, dari keinginan terhadap dunia ke keinginan terhadap akhirat, dari takabur ke tawadhu’ dan dari buruk sangka ke nasihat.”

 

Menurut Syaikh, ada tiga derajat ma’rifat, dan manusia dalam ma’rifat ini bisa dibedakan menjadi tiga golongan.

 

  1. Ma’rifat sifat dan ciri. Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah, yang kesaksian-kesaksiannya muncul dalam ciptaan, karena melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal untuk menanamkan pikiran. Kesaksian-kesaksian ini juga muncul dalam kehidupan hati, dengan pandangan yang baik antara pengagungan dan i’tibar. Ini merupakan ma’rifatnya orang awam, yang syarat-syarat keyakinan tidak bisa terhimpun kecuali dengan hal-hal ini. Ada tiga sendi yang melandasinya: Penetapan sifat dengan nama tanpa ada penyerupaan, penafian penyerupaan, putus asa dalam mengetahui detailnya dan mencari ta wilnya. Ada tiga perbedaan antara ciri dan sifat:

 

– Ciri disertai dengan perbuatan yang baru, sedangkan sifat merupakan perkara yang tetap bagi dzat.

 

– Sifat-sifat yang berhubungan dengan dzat tidak bisa dijelaskan dengan istilah ciri, seperti wajah, tangan, kaki dan jari. Sifat merupakan makna yang meliputi apa yang disifati, sehingga wajah tidak bisa disebut sifat.

 

– Ciri adalah apa yang muncul dari sifat dan yang memang menonjol, yang diketahui orang khusus dan umum.

 

Namun ada yang berpendapat, ini hanya sekadar dua bahasa yang tidak ada perbedaan di antara keduanya, yang maksudnya satu dan permasalahannya punjuga dekat. Kita tidak akan mempermasalahkan hal ini, tapi kita melihat pada maksudnya, bahwa tidak ada yang ditetapkan terhadap hamba dalam ma’rifat dan juga dalam iman, sehingga dia beriman kepada sifat Allah, mengenalinya dengan ma’rifat yang dapat mengeluarkannya dari wilayah kebodohan terhadap Rabb. Iman kepada sifat merupakan asas Islam, kaidah iman dan buah pohon ihsan. Siapa yang mengingkari sifat, berarti telah merusak asas Islam, iman dan ihsan. Allah menganggap orang yang mengingkari sifatsifat-Nya merupakan orang yang berburuk sangka kepada-Nya. Allah memberi ancaman kepadanya yang tidak pernah diberikan kepada orang-orang musyrik, kafir dan pelaku dosa besar. Firman-Nya,

 

“Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan, yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 22-23).

 

Allah mengabarkan bahwa pengingkaran mereka terhadap salah satu dari sifat-sifat-Nya ini, karena mereka berburuk sangka terhadap Allah. Inilah yang kemudian membuat mereka binasa. Allah juga berfirman tentang orang-orang yang berburuk sangka kepada-Nya,

 

“Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amatburuk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam, dan (neraka jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Al-Fath: 6).

 

Tidak pernah disebutkan ancaman yang lebih keras daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah ini. Mengingkari sifat-sifat dan hakikat asma’-Nya merupakan buruk sangka yang paling buruk terhadap Allah.

 

Karena yang paling disukai Allah adalah pujian kepada-Nya dengan menggunakan asma’, sifat dan perbuatan-Nya, maka mengingkari asma”, sifat dan perbuatan-Nya merupakan kufur yang paling besar, yang berarti lebih buruk daripada syirik.

 

Semua rasul, semenjak yang pertama hingga penutup, diutus untuk menyeru kepada Allah dan menjelaskan jalan yang bisa menghantarkan kepadaNya serta menjelaskan keadaan orang-orang yang diseru setelah mereka sampai kepada-Nya. Tiga kaidah ini merupakan urgensi dalam setiap agama yang disampaikan para rasul. Mereka memperkenalkan Rabb yang diserukan kepadaNya dengan asma’, sifat dan perbuatan-Nya dengan cara yang rinci, sehingga seakan-akan hamba bisa mempersaksikan-Nya dan memandang kepada-Nya yang berada di atas ‘Arsy-Nya, yang mengatur segala-galanya.

 

Kaidah kedua adalah memperkenalkan jalan yang menghantarkan kepada Allah, yaitu ash-shirathul-mustaqim yang dipancangkan bagi para rasul dan pengikut-pengikutnya, yaitu mereka yang mengikuti perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, mengimani janji dan ancaman-Nya. Kaidah ketiga adalah memperkenalkan keadaan setelah sampai ke hadapan Allah, yang meliputi kehidupan hari akhirat, berupa surga dan neraka, yang diawali dengan hisab, menyeberangi ash-shirat dan timbangan.

 

Perkataan, “Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah”, dan seterusnya, bahwa Syaikh menyebutkan penetapan sifat yang menunjukkan wahyu yang datang dari sisi Allah dan disampaikan Rasul-Nya, indera yang menangkap pengaruh ciptaan, yang berarti menjadi bukti sifatsifat ciptaannya, kehidupan akal yang menjadi baik karena tanaman pikiran, dan hati yang hidup karena pandangannya, antara pengagungan dan i’tibar.

 

  1. Ma’rifat dzat dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat, yang bisa menguat dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di medan kefana’an, menjadi sempurna dengan ilmu keabadian dan mendekati keterpaduan.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena derajat pertama merupakan pandangan terhadap sifat, sementara derajat ini berkaitan dengan dzat yang meliputi sifat, meskipun dzat itu sendiri tidak lepas dari sifat.

 

Perkataan Syaikh, “Dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat”, bahwa memisahkan antara sifat dan dzat dalam wujud merupakan hal yang mustahil. Ma’rifat dalam derajat ini berkaitan dengan dzat dan sifat secara keseluruhan, tidak bisa dibedakan antara ilmu dan kesaksian. Hal ini lebih sempurna daripada kesaksian terhadap sifat semata atau terhadap dzat semata.

 

Sifat Allah termasuk dalam sebutan asma’-Nya. Asma’ “Allah, Rabb, Ilah” bukan sekadar asma’ dzat semata dan bukan merupakan sifat semata. Asma’ Allah, Rabb, Ilali merupakan asma’ dzat yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan, seperti ilmu, gudrah, iradah, sama’, kalam bashar, hayat, baqa’ dan lain sebagainya dari sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki dzat Allah. Sifatsifat-Nya ada dalam sebutan asma’-Nya. Pemisahan sifat dari dzat dan pemisahan dzat dari sifat merupakan hayalan yang tidak ada hakikatnya.

 

Sementara golongan Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dengan berdalil kepada firman Allah, “Allahlah Pencipta segala sesuatu”. Menurut mereka, Al-Qur’an adalah sesuatu. Orang-orang salaf menyanggah pendapat mereka, bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam-Nya merupakan bagian dari sifat-Nya. Sementara sifat-Nya masuk dalam sebutan asma -Nya. Allah bukan sekadar asma’ bagi dzat yang tidak memiliki ciri, sifat, perbuatan, wajah dan tangan. Itu adalah sesembahan yang tidak tampak namun bisa dihadirkan dalam pikiran, seperti sesembahannya golongan Jahmiyah, yang mereka anggap tidak keluar dari alam dan tidak pula masuk di dalamnya, tidak berhubungan dengan alam namun juga tidak terpisah dengannya.

 

  1. Ma’rifat yang tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak bisa dicapai dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah. Ma’rifat ini memiliki tiga sendi: Mempersaksikan yang dekat, naik untuk meninggalkan ilmu dan memperhatikan kebersamaan. Ini ma’rifatnya orang yang lebih khusus.

 

Menurut Syaikh, derajat ini lebih tinggi dari dua derajat sebelumnya, yang berkaitan dengan sarana dan kesaksian serta berhubungan dengan tuntutan, sedangkan derajat ini herkaitan dengan tujuan semata, terlepas dari sarana dan kesaksian.

 

Ma’rifat merupakan sifat hamba, sedangkan pengenalan merupakan perbuatan Allah dan taufik-Nya. Sifat hamba tenggelam dalam perbuatan Allah dan pengenalan-Nya kepada hamba. Ma’rifat pada derajat ketiga ini tidak bisa dicapai dengan sebab apa pun, karena memang sebab menyingkir darinya dan sarana sudah terputus darinya. Al-Fana’

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-fana’ (kefana’an) ini,

 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27).

 

Kefana’an yang disebutkan di dalam ayat ini tidak seperti maksud yang disebutkan golongan ini. Sebab kefana’an di dalam ayat ini adalah kebinasaan dan ketiadaan. Allah mengabarkan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini akan tiada dan mati, sementara Wajah Allah tetap. Hal ini seperti firman-Nya,

 

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Al-Anbiya’: 35).

 

Menurut Al-Kalbi dan Mugatil, ketika ayat ini turun, maka para malaikat berkata, “Semua penghuni bumi akan binasa”. Ketika Allah menurunkan ayat, “Dan tetap kekal Wajah Rabbmu”, mereka bertambah yakin tentang adanya kebinasaan itu.

 

Asy-Sya’bi berkata, “Jika engkau membaca ayat, Semua yang ada di bumi itu akan binasa’, janganlah engkau berhenti hingga engkau melanjutkan, ‘Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’.”

 

Ini menunjukkan kedalaman ilmu dan pemahamannya tentang Al-Qur’an.

 

Sebab yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah pengabaran tentang kebinasaan apa pun yang ada di muka bumi dan ketetapan Wajah Allah. Redaksi ayat ini dimaksudkan hanya untuk memuji-Nya sebagai satu-satunya yang baqa’ (tetap).

 

Sementara tidak ada pujian yang layak diberikan jika hanya disebutkan kefana’an makhluk. Pujian diberikan kepada ketetapan-Nya setelah kefana’an makhluk-Nya. Hal ini seperti firman-Nya,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash:88).

 

Sedangkan kefana’an yang diterjemahkan golongan ini berbeda dengan makna di atas. Kefana’an yang mereka isyaratkan lewat ayat ini adalah kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan kebergantungannya kepada Dzat Yang Mahatinggi dan yang memiliki baqa’ serta yang tidak dijamah kefana’an. Siapa yang membuat dirinya fana’ dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya serta menghendaki Wajah-Nya, maka kefana’an ini akan menghantarkannya kepada kedudukan baqa’. Ayat ini memberi isyarat bahwa hamba sangat perlu untuk tidak bergantung kepada siapa pun yang fana’ dan meninggalkan yang baqa’, yaitu Dzat Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Seakan-akan ayat ini mengatakan, “Jika engkau bergantung kepada yang fana’, maka kebergantungan ini akan berakhir saat ia fana’. Namun jika engkau bergantung kepada yang baqa’ dan tidak fana’, maka kebergantunganmu kepadanya tidak akan terputus dan akan terus berlanjut.”

 

Kefana’an yang bisa diterjemahkan di sini adalah puncak dan akhir kebergantungan, yang berarti merupakan pemutusan dari selain Allah dari segala sisi. Karena itu Syaikh berkata, “Kefana’an dalam masalah ini adalah pelenyapan selain Allah secara ilmu, lalu pengingkaran, lalu kebenaran.”

 

Fana’ kebalikan dari baqa’. Yang baqa’ bisa baqa’ dengan sendirinya tanpa membutuhkan orang lain yang membuatnya baqa’, tapi baqa’nya merupakan keharusannya. Yang seperti ini adalah Allah semata, sedangkan selain-Nya menjadi baqa’ karena baqa’nya Allah, yang dirinya tidak memiliki baqa’ yang hakiki.

 

Ada tiga derajat kefana’an, yaitu:

 

  1. Kefana’an ma’rifat dalam Dzat yang dikenali. Ini merupakan kefana’an ilmu, kefana’an pandangan dalam apa yang dipandang, kefana’an pengingkaran, kefana’an pencarian dalam apa yang didapatkan dan kefana’an sebagai kebenaran.

 

Kefana an ma’rifat dalam Dzat yang dikenali artinya orang yang memiliki ma’rifat tidak mengenali tentang perasaannya terhadap apa yang dikenali, sehingga dia tidak mengenali apa yang diperbuat Allah. Karena ma’rifat merupakan perbuatan dan sifat orang yang mengenali itu. Jika dia tenggelam dalam kesaksian terhadap (Dzat) yang dikenali, maka ini merupakan kefana’an tentang sifat dan perbuatannya. Karena ma’rifat lebih tinggi derajatnya daripada ilmu dan juga lebih khusus, maka kefana’an ma’rifat tentang (Dzat) yang dikenali, merupakan keharusan bagi kefana’an ilmu dalam ma’rifat. Tentang kefana’an pandangan dalam apa yang dipandang, maka pandangan di atas ma’rifat. Jika ada peralihan dari ma’rifat ke pandangan, maka pandangannya akan menjadi fana’ dalam apa yang dipandang, sebagaimana ma’rifatnya yang menjadi fana’ dalam apa yang dikenali.

 

  1. Kefana’an kesaksian pencarian untuk menggugurkan kesaksian itu, kefana’an kesaksian ilmu untuk menggugurkan kesaksian, dan kefana’an kesaksian pandangan untuk menggugurkan kesaksiannya.

 

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena lebih jauh dalam kefana’annya, sehingga di dalam hati mereka tidak ada kesibukan untuk mengingat keadaan dan kedudukan diri sendiri, karena sibuk dengan Rabb-nya.

 

  1. Kefana’an dalam kesaksian. Ini adalah kefana’an yang sebenarnya, yang melihat cahaya hakikat dari kejauhan, yang mengarungi lautan kebersamaan dan meniti jalan baqa’.

 

Menurut Syaikh, ini merupakan kefana’an yang sebenarnya, karena segala apa selain Allah menjadi fana’ di dalamnya, dan orangnya mempersaksikan kefana’an yang menjadi fana’, sehingga yang menyisa hanya Allah Yang Maha Penguasa dan Menundukkan.

 

Namun di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah maupun dalam perkataan para shahabat serta tabi’in tidak pernah disebutkan sanjungan atau pun celaan terhadap lafazh fana’. Mereka juga tidak menggunakan lafazh ini dengan makna yang diisyaratkan Syaikh tersebut. Para ahli tharigah yang terdahulu juga tidak menggunakannya atau menganggapnya sebagai suatu kedudukan dan tujuan. Jadi kami tidak mengingkari dan juga tidak menerima lafazh ini secara mutlak. Maka dari itu harus ada rincian dan penjelasan tentang masalah ini.

 

Hakikat fana’ seperti yang diisyaratkan Syaikh adalah ketiadaan sesuatu dalam wujud ilmiah dan rasa. Dalam hal ini harus dibedakan antara makna yang diberikan orang-orang yang istiqamah, yang menyimpang dan para ateis. Para ateis yang mengatakan tentang adanya wahdatul-wujud menganggap bahwa kefana’an merupakan tujuan kefana’an tentang wujud yang sama. Sesuatu yang sama tidak bisa ditetapkan wujudnya sama sekali, tidak pula dalam kesaksian dan pandangan, semua ada dalam kesaksian wahdatul-wujud, sehingga saat itu bisa diketahui wujud kebersamaan semua wujud yang ada, yaitu dalam wujud Allah. Jadi di sana tidak ada dua wujud, tapi semua yang ada adalah satu.

 

Kefana’an menurut mereka adalah kefana’an dari sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Tentu saja ini adalah persangkaan semata.

 

Orang-orang yang istiqamah dan ahli tauhid mengisyaratkan kefana’an kepada dua perkara, yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya, yaitu:

 

– Kefana’an dalam kesaksian Rububiyah dan Oayumiyah. Di sini ada kesaksian terhadap kesendirian Allah dalam berdiri sendiri, mengatur, mencipta, memberi rezeki, mencegah, memberi manfaat dan mudharat, dan semua wujud diperlakukan dan bukannya yang melakukan. Dalam semua perbuatan hamba berlaku hukum-hukum Rububiyah, dan dia tidak berkuasa sedikit pun atas dirinya dan juga orang lain.

 

– Kefana’an dalam kesaksian Ilahiyah. Hakikatnya adalah kefana’an dari kehendak kepada selain Allah, cinta, tawakal, takut dan penyandaran kepada-Nya. Dengan cinta kepada Allah, maka ada kefana’an dari cinta kepada selain-Nya. Hakikat kefana’an ini merupakan pengesaan Allah dalam cinta, harapan, takut, pengagungan dan pemuliaan.

 

Al-Baqa’

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-baqa’ (kekekalan) ini,

 

“Dan, Allah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 73).

 

Baqa’ yang diisyaratkan golongan ini adalah sifat hamba dan kedudukannya. Sementara yang diisyaratkan dalam ayat ini adalah kekekalan Allah dan keabadian wujud-Nya. Ini merupakan perkataan tukang-tukang sihir yang kemudian beriman. Sebab musuh Allah, Fir’aun mengancam hendak menghabisi hidup mereka jika mereka beriman. Maka mereka berkata kepada Fir’aun, “Allah yang kami imani, yang kepada-Nya kami berpindah menyembah setelah menyembahmu, yang ridha-Nya kami cari setelah kami mencari ridhamu, lebih baik daripadamu dan lebih kekal. Siksamu dan kenikmatanmu akan terputus, sedangkan siksa dan nikmat-Nya tidak akan terputus. Maka bagaimana mungkin kami lebih mementingkan yang terputus dan fana daripada yang kekal dan abadi?”

 

Letak sisi isyarat pada ayat ini, bahwa segala sarana, kaitan, cinta dan kehendak mengikuti tujuannya. Siapa yang tujuan cinta dan kehendaknya terputus, maka terputus pula kebergantungannya jika ada keterputusan, sehingga perbuatannya menjadi sia-sia semata. Sedangkan siapa yang tujuan dan pencariannya adalah sesuatu yang kekal dan abadi, maka kebergantungan dan kenikmatannya juga akan kekal. Jadi sarana mengikuti tujuan.

 

Syaikh berkata, “Baqa’ adalah sebutan untuk sesuatu yang kekal dalam keadaan tegak setelah ada kefanaan dan keguguran kesaksian.”

 

Dalam ungkapan ini ada keluwesan dan kerancuan makna, dan memang begitulah kebiasaan golongan ini. Baqa’ adalah kekekalan dan keberlangsungan wujud. Ada dua macam baqa’: Terikat dan tidak terikat. Yang terikat adalah baqa’ hingga waktu tertentu, sedangkan yang tidak terikat ialah yang abadi secara terus-menerus tanpa ada batas akhirnya. Dalam batasan ini, maka baqa’ memiliki makna yang lebih jelas. Tetapi ketika baqa’ ini dimaksudkan sebagai sifat dan kedudukan hamba, maka artinya menjadi umum untuk segala jenis yang membuat hamba menjadi kekal karena sifat-sifatnya, setelah ada kefana’an dalil yang menunjukkan kepada hakikat. Kesaksian menurut Syaikh adalah semua rupa. Tapi bolehjadi yang dimaksudkan adalah tanda-tanda kesaksian, sehingga bisa diartikan bahwa tanda-tanda bisa menghantarkan kepada kesaksian. Maka kesaksian itu tetap tegak setelah ada kefana’an tanda-tandanya.

 

Yang pasti dalam hal ini, bahwa Allah membuat apa-apa selain-Nya menjadi fana’ dan baqa’. Sedangkan selain Allah adalah tanda dan rupa semata.

 

Ada tiga derajat baqa’, yaitu:

 

  1. Baqa’nya sesuatu yang diketahui setelah gugurnya ilmu secara pandangan mata dan bukan secara ilmu.

 

Sepintas lalu perkataan Syaikh, “Baqa’nya sesuatu yang diketahui setelah gugurnya ilmu”, adalah saling bertentangan, sehingga sesuatu itu seakan diketahui dan tidak diketahui. Sesuatu yang diketahui menjadi tidak diketahui kecuali jika ada ilmu. Lalu bagaimana mungkin ia dianggap diketahui jika disertai gugurnya ilmu? Jawabannya ada dua macam: Pertama, ada gambaran sesuatu yang diketahui di dalam hati orang yang mengetahui. Kedua, pengetahuan orang yang mengetahui tentang pengetahuan sesuatu yang diketahui. Jadi ini merupakan urusan di balik rupa. Adakalanya seseorang melihat sesuatu dan dapat mendengarkannya, padahal sesuatu itu tidak diketahuinya. Di sini ada kekuatan yang membuatnya tahu, yang apabila hamba bergantung kepadanya, maka sesuatu itu menjadi hal yang diketahuinya. Di sini ada keadaan ketiga yang muncul, yaitu perasaan, ilmu dan pengetahuan.

 

  1. Baqa’nya kesaksian setelah gugurnya kesaksian, secara wujud dan bukan secara sifat.

 

Posisi kesaksian di atas ilmu, karena kesaksian merupakan ilmu dengan pandangan, sehingga beralih dari sekadar kesaksian ke wujud. Maka apa yang disaksikan tetap ada setelah ia hanya sekadar disaksikan. Martabat wujud di atas kesaksian, karena wujud merupakan perolehan secara langsung, sedangkan kesaksian merupakan perolehan menurut ilmu.

 

  1. Baqa’nya yang senantiasa benar (Allah) dan fana’nya makhluk yang dihapuskan.

 

Di dalam hati hamba ada kekuasaan hakikat dan cahaya kebersamaan, sehingga di dalam hati itu tidak ada pengaruh makhluk, sebagaimana cahaya bintang yang hilang karena terbitnya sinar matahari.

 

Derajat pertama merupakan baqa’ dalam martabat ilmu, yang kedua merupakan baqa’ dalam martabat kesaksian dan yang ketiga merupakan baqa’ dalam martabat wujud. Dengan kata lain, apa yang diketahui menggugurkan kesaksian ilmu. Ilmu menggugurkan dan apa yang diketahui menetapkan.

 

Wujud

 

Syaikh berkata, “ Allah menyebutkan istilah wujud (mendapati) di beberapa tempat dalam Al-Qur’an secara jelas, yang diarahkan kepada Diri-Nya. FirmanNya,

 

“… tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa ‘: 64).

 

“Dan, didapatinya Allah di sisi-Nya.” (An-Nur: 39).

 

Syaikh berkata, “Wujud ialah keberuntungan mendapati hakikat sesuatu. Wujud merupakan istilah untuk tiga makna: Pertama, mendapati ilmu laduni, yang memotong ilmu-ilmu kesaksian dalam kebenaran pengungkapan Allah terhadap dirimu. Kedua, mendapati Allah secara langsung, terlepas dariisyarat. Ketiga, mendapati kedudukan ketiadaan rupa karena tenggelam dalam hal yang diutamakan.”

 

Masalah ini merupakan ilmu yang menjadi pusat perhatian dan tujuan golongan ini. Tidak dapat diragukan bahwa mereka juga mengartikannya dengan makna yang benar, lalu mengungkapkannya dengan istilah wujud (mendapati). Mereka mengacu kepada ayat-ayat ini dan juga lain-lainnya yang serupa. Tetapi maksud yang mereka kehendaki dari mendapati tidak seperti yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut, karena ini berarti mendapati yang bergantung kepada nama atau sifat atau sesuatu. Tapi yang mereka maksudkan adalah seperti yang disebutkan di dalam atsar Ilahi yang terkenal, “Wahai anakAdam, carilahAku niscaya engkau akan mendapati Aku. Jika kamu mendapati Aku, maka kamu akan mendapati segala sesuatu, dan jika kamu tidak mendapati, maka kamu tidak akan mendapati segala sesuatu. Aku lebih mencintaimu daripada kepada segala sesuatu.” Atau seperti yang disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Wahai hambaKu, Aku memberimu makan namun kamu tidak memberi-Ku makan….”

 

Perhatikan firman Allah dalam masalah memberi makan dan minum, “Niscaya kamu mendapati yang demikian itu di sisi-Ku.” Sementara Allah berfirman dalam hal mengunjungi orang sakit, “Niscaya kamu mendapati Aku ada di sisinya”, dan tidak berfirman seperti yang pertama.

 

Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah lebih dekat dengan orang yang sakit dan bahwa Allah benar-benar ada di sisinya. Padahal Allah ada di atas langitNya dan beristiwa’ di atas ‘Arsy.

 

Manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan: Orang yang sedang berjalan, orang yang sampai dan orang yang mendapati.

 

Jika engkau katakan, “Berikan contoh kepadaku, agar saya dapat memahami makna sampai dalam masalah ini dan mendapati.”

 

Dapat sayajawab sebagai berikut: Jika didengar informasi bahwa di tempat tertentu ada harta karun yang melimpah, lalu ada yang mendapatkannya, tentu dia menjadi kaya raya tujuh keturunan, maka dia akan bergerak untuk menuju tempat tersebut. Jika dia mengadakan segala persiapan dan melakukan perjalanan hingga benar-benar tiba di tempat harta karun tersebut, berarti dia sampai ke sana. Tetapi belum tentu dia bisa membawa harta karun itu ke rumahnya. Dia sampai tapi tidak mendapatkan. Sedangkan orang yang masih dalam perjalanan adalah orang yang sedang berjalan. Orang yang hanya duduk dan tidak mencari adalah orang yang terputus. Orang yang bisa membawa harta karun ke rumahnya adalah orang yang mendapati. Makna seperti inilah yang dikehendaki golongan ini. Pada permulaannya mereka berusaha untuk mendapati, lalu mendapati pada pertengahannya dan didapati pada akhirnya.

 

Perkataan Syaikh, “Wujud ialah keberuntungan mendapati hakikat sesuatu”, bahwa wujud di sini adalah kata benda dari wajada yajidu. Sedangkan al-wajidu yang termasuk dalam Asma’ul-Husna bagi Allah, artinya adalah memiliki kecukupan dan kekayaan, kebalikan dari orang yang kehilangan.

 

Keberuntungan mendapati sesuatu, jika termasuk dalam masalah ilmu dan ma’rifat, maka artinya adalah ma’rifat yang berjalan di atas batasan ilmu. Jika tertuju kepada hal-hal yang dipandang, maka itu termasuk pandangan, yang berarti diatas ma’rifat.

 

Yang dimaksud ilmu laduni seperti yang dikatakan Syaikh di atas adalah ma rifat. Disebut laduni karena hal ini merupakan salah satu cara pengenalan Allah yang disusupkan ke dalam hati hamba, yang dapat memotong segala macam bisikan dan menghilangkan keraguan serta menggantikan peranan pandangan mata. Karena itu dikatakan, “Memotong ilmu kesaksian.” Ilmu kesaksian menurut Syaikh adalah ilmu penuntutan bukti, yang terputus karena mendapati ilmu ini. Orangnya naik ke tingkat yang lebih sempurna lagi. Orangnya naik dari ilmu yang diperoleh dari kesaksian ke ilmu yang didapati dengan rasa dan batin.’”

 

Perkataan Syaikh, “Mendapati Allah secara langsung”,artinya mendapati dengan pandangan dan bukan sekadar mendapati menurut pengabaran. Maksudnya, hati yang melihat Allah dengan hakikat keyakinan.

 

Perkataan Syaikh, “Mendapati kedudukan ketiadaan rupa karena tenggelam dalam hal yang diutamakan”, terkandung kerancuan. Hakikatnya, orang yang ada dalam derajat ini sibuk dengan apa yang didapatinya daripada kesibukannya untuk menempatkan diri sebagai orang yang mendapati.

 

Derajat pertama adalah mendapati ilmu. Derajat kedua adalah mendapati pandangan. Derajat ketiga adalah mendapati kedudukan yang meniadakan selain apa yang didapati.

 

Al-Jam’u

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-jam’u (penyatuan) ini,

 

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (Al-Anfal: 17).

 

Saya katakan, bahwa ada segolongan orang yang meyakini bahwa maksud ayat ini adalah perampasan terhadap tindakan Rasulullah gg dan mengaitkannya kepada Allah. Mereka menganggap hal ini merupakan murni kekuasaan Allah dan pengguguran penisbatan perbuatan kepada hamba, yang berarti hanya dinisbatkan kepada Allah semata. Tentu saja ini merupakan pendapat yang salah dalam memahami Al-Qur’an. Kalaupun pendapat ini dianggap betul, tentu akan ada penolakan terhadap semua tindakan, sehingga bisa dikatakan, “Bukanlah aku yang shalat ketika aku shalat. Bukanlah aku yang puasa ketika aku puasa. Bu kanlah aku yang bekorban ketika aku bekorban, tetapi Allahlah yang melakukan semua itu.” Jika mereka menolak yang demikian itu, berarti semua perbuatan juga akan ditolak, yang berupa ketaatan maupun kedurhakaan, tanpa ada bedanya. Jika mereka mengkhusus-kannya bagi beliau semata, berarti mereka telah melakukan hal yang kontradiktif. Yang pasti mereka tidak baik dalam memahami maksud ayat ini.

 

Ayat ini turun berkaitan dengan lemparan Rasulullah terhadap orang. orang musyrik sewaktu perang Badr, yaitu berupa kerikil. Setiap kali kerikil itu mengenai wajah seseorang di antara mereka, maka orang itu pun mati, Sebagaimana yang diketahui, lemparan manusia tidak akan sehebat itu. Sumber lemparan dari beliau atau beliaulah yang melempar, namun kesudahan lemparan itu berasal dari Allah, yang disebut ishal (penyampaian). Lemparan dinisbatkan kepada beliau yang menjadi sumber, namun kesudahannya dinafikan dari beliau. Yang serupa dengan kalimat adalah potongan ayat sebelumnya,

 

“Bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka.” (Al-Anfal: 17).

 

Allah mengabarkan bahwa hanya Dialah yang membunuh mereka, dan itu bukan karena kalian, sebagaimana Allah yang menyampaikan kerikil ke mata mereka, yang kesudahannya bukan berasal dari Rasulullah. Tetapi sisi pengisyaratan dengan ayat ini, bahwa Allah menegakkan sebab yang zhahir, seperti menghadapi orang-orang musyrik dan penghancuran mereka dengan sebab-sebab batin dan bukan sebab-sebab yang dapat dilihat manusia. Kemenangan yang diperoleh, jatuhnya korban yang banyak di pihak orangorang musyrik dan kemenangan di pihak orang-orang Muslim dikaitkan kepada Allah, dan Dia adalah sebaik-baik penolong.

 

Syaikh berkata, “Al-Jam’u ialah yang menggugurkan pemisahan, memotong isyarat, menutup mata dari air dan tanah, setelah ada kebenaran ketetapan, keanekaragaman dan kesaksian yang mendua. Penyatuan ada tiga derajat: Penyatuan ilmu, penyatuan wujud dan penyatuan diri.”

 

Perkataannya, “Al-Jam’u ialah yang menggugurkan pemisahan”, merupakan batasan yang tidak mampu memilah antara yang terpuji dan yang tercela. Al-Jam’u dapat dibagi antara yang benar dan batil. Sedangkan pemisahan dibagi antara yang terpuji dan dan tercela. Keduanya tidak dipuji secara mutlak dan tidak pula dicela secara mutlak. Yang dimaksud al-jam’u adalah jam’ulwujud, yaitu al-jam’u menurut versi orang-orang ateis yang menganggap adanya wahdatul-wujud. Sedangkan maksud pemisahan adalah pemisahan antara yang dahulu dan yang baru, antara Khalig dan makhluk. Mereka berkata seperti yang dikatakan Syaikh ini.

 

Al-Jam’u juga bisa diartikan penyatuan antara kehendak dan pencarian untuk mendapatkan apa yang dicari. Sedangkan pemisahan ialah pemisahan hasrat dan kehendak. Ini merupakan penyatuan yang terpuji dan pemisahan yang tercela. Batasan penyatuan yang benar ialah yang meniadakan pemisahan ini. Sedangkan penyatuan yang meniadakan pemisahan antara Rabb dan hamba, Khalig dan makhluk, maka ini membatilkan yang batil. Pemisahan inilah yang benar. Orang yang berpegang kepada pemisahan inilah orang-orang yang berpegang kepada Islam, iman dan ihsan, sebagaimana orang yang berpegang kepada penyatuan itu adalah orang-orang ateis, kafir dan musyrik.

 

Al-far’u juga bisa diartikan penyatuan kesaksian, dan pemisahan adalah yang menafikan hal itu. Jika tidak ada perbedaan di mata orang yang mempersaksikan, berarti dia menetapkan perbedaan. Yang berarti itu merupakan penyatuan dalam kesaksiannya secara khusus.

 

Jika engkau sudah tahu semua ini, berarti al-jam’u yang benar ialah yang menggugurkan pemisahan tabiat jiwa, yaitu jenis pemisahan yang tercela. Sedangkan pemisahan yang bersifat perintah syariat, yaitu antara yang diperintahkan dan yang dilarang, antara yang dicintai dan yang dibenci, maka tidak ada pujian yang diberikan kepada penyatuan yang digugurkannya, tetapi dicela.

 

Perkataannya, “Memotong isyarat”, tidak jauh berbeda dengan menggugurkan pemisahan. Menurut orang-orang ateis, karena isyarat itu terkait antara dua hal, antara yang memberi isyarat dan yang diberi isyarat, maka akan ada penduaan. Jika ada kesatuan, maka muncul pula penyatuan. Jika tidak ada penduaan, maka tidak ada isyarat. Sedangkan menurut ahli tauhid, isyarat terpotong jika ada kesempurnaan penyatuan hati dengan Allah, sehingga tidak ada lagi tempat untuk isyarat. Sebab penyatuannya dengan hal yang dicari dan dikehendaki, tidak memerlukan lagi isyarat.

 

Perkataannya, “Menutup mata dari air dan tanah”, bisa jadi yang dimaksud-kan dengan air dan tanah di sini adalah Bani Adam serta jiwanya. Artinya menutup mata dan berpaling dari manusia serta menggantungkan hati kepada mereka. Hal ini disebutkan secara khusus, karena memang inilah yang paling banyak menjadi gantungan dan yang paling sulit dipisahkan. Jika hati hamba dipalingkan dari manusia secara total dan dijauhkan dari mereka, maka itulah yang lebih baik baginya. Tapi menutup mata dari air dan tanah ini juga bisa diartikan berpaling dari hukum-hukum tabiat yang rendah, yang muncul dari air dan tanah, lalu beralih ke hukum-hukum ruh yang tinggi. Dengan hikmah dan keagungan ciptaan-Nya, Allah telah menjadikan manusia memiliki dua Substansi, yaitu substansi tabiat yang kasat atau jasad, dan substansi spiritual yang lembut atau ruh. Keadaan setiap bentuk akan cenderung kepada bentuknya. Ada manusia yang tertarik kepada alam tabiat dengan segala kekasatannya, dan ada pula manusia yang tertarik kepada alam rohani dengan segala kelembutannya. Sementara di dalam diri manusia ada dua kekuatanyang saling menolak. Yang satu menariknya ke bawah dan yang satu menariknya ke atas. Siapa yang meninggalkan tabiat air dan tanah lalu beralih ke tempat ruh yang tinggi, yang sama sekali tidak memiliki unsur alam bawah ini, maka dia termasuk orang yang ada dalam penyatuan yang terpuji.

 

Perkataannya, “Penyatuan ada tiga derajat: Penyatuan ilmu, penyatuan wujud dan penyatuan diri”, maksud penyatuan ilmu ialah peleburan ilmu kesaksian dalam ilmu laduni. Maksud penyatuan wujud ialah peleburan kesudahan pengaitan dalam apa yang didapati. Maksud penyatuan diri adalah peleburan segala apa yang dibawa isyarat ke dalam Dzat Allah secara sebenarnya.

 

Ilmu kesaksian ialah yang diperoleh dari pencarian dalil dengan menggunakan atsar atas pemberi atsar, dengan menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua ciptaan merupakan kesaksian, dalil dan atsar. Jadi ilmu kesaksian ialah yang dilandaskan kepada kesaksian yang diperolehnya. Sedangkan ilmu laduni ialah ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati sebagai ilham, tanpa ada sebab yang datang dari hamba dan juga tanpa penuntutan dalil.

 

Dapat saya katakan, bahwa ilmu yang diperoleh dengan kesaksian dan dalil adalah ilmu yang hakiki. Sedangkan ilmu yang katanya diperoleh tanpa kesaksian dan dalil, maka sama sekali tidak bisa dipercaya dan tidak bisa disebut ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan kesaksian dan dalil bisa menguat dan bertambah, sehingga ilmu yang dikuasai bisa seperti sesuatu yang disaksikan, yang gaib seperti nyata, ilmul-yaqin seperti ainul-yaqin. Pada awal mulanya berupa rasa, kemudian pelaksanaan, dugaan, ilmu, ma’rifat, ilmul-yaqin, ainulyaqin, lalu haggul-yaqin, kemudian setiap martabat melebur ke martabat di atasnya. Rentetan inilah yang dikatakan benar.

 

Jika ada yang mengaku mendapatkan ilmu tanpa sebab dari pencarian dalil, maka sama sekali tidak benar. Sebab Allah mengaitkan pemberian ma’rifat dengan sebab-sebabnya, sebagaimana Dia mengaitkan semua unsur alam dengan sebab-sebabnya. Seorang hamba tidak bisa mendapatkan ilmu kecuali dengan dalil yang menunjukkannya. Allah telah mendukung para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan bukti keterangan yang menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang mereka bawa berasal dari sisi Allah. Bukti keterangan ini merupakan dalil dan kesaksian bagi para rasul itu serta umatnya. Dalil dan kesaksian yang mereka miliki merupakan dalil dan kesaksian yang paling agung. Allah mempersaksikan kebenaran mereka dengan menegakkan kesaksian. Semua ilmu yang tidak dilandaskan kepada dalil hanya sekadar bualan yang tidak memiliki bukti pendukung dan merupakan hukum yang tidak memiliki bukti keterangan. Jika begitu keadaannya, berarti itu bukan merupakan ilmu, apalagi jlmu laduni yang berasal dari samping Allah.

 

Ilmu laduni adalah yang didukung dalil yang benar, yang datang darisisi Allah lewat lisan para rasul-Nya. Selain itu, maka berasal dari diri manusia, yang darinya berasal dan kepadanya kembali. Bendungan ilmu laduni bisa saja meluber dan nilainya menjadi sangat murah, sehingga setiap golongan bisa membuat pengakuan bahwa ilmunya adalah ilmu laduni. Sehingga siapa pun yang bicara tentang hakikat iman, perjalanan, masalah asma’ dan sifat seperti yang dikehendaki dan menurut bisikan setan di dalam hatinya, mengatakan bahwa apa yang dimilikinya adalah ilmu laduni. Orang-orang ateis dan zindig juga menyatakan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu laduni. Begitu pula para teolog, sufi dan para filosof. Masing-masing membuat pernyataan yang sama. Di antara mereka ada yang benar dan ada pula yang dusta. Kata laduni berasal dari ladun, yang berarti inda. Seakan-akan mereka juga bisa menyebutnya jlmu indi. Dengan mengabaikan makna yang lebih detail dari inda atau ladun, yang penting adalah keadaan orangnya. Sementara Allah menyampaikan celaan yang tegas terhadap orang yang menisbatkan kepada-Nya sesuatu yang sama sekali bukan berasal dari sisi-Nya, seperti firman-Nya,

 

“Mereka mengatakan, “Ia dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 78).

 

Siapa pun yang mengatakan, “Ilmu ini datang dari sisi Allah”, maka dia adalah seorang pendusta, dan dia layak mendapat celaan yang banyak. Yang seperti ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Orang yang mengatakan, “Ini ilmu laduni”, padahal dia tidak tahu betul bahwa ilmunya benar-benar berasal dari sisi Allah dan tanpa didukung bukti keterangan dari Allah bahwa ia berasal dari sisi-Nya, maka dia adalah seorang pendusta, lancang terhadap Allah dan orang yang paling zhalim di antara orang-orang yang zhalim.

 

Syaikh juga berkata, “Al-Jam’u adalah tujuan kedudukan orang-orang yang melakukan perjalanan dan merupakan satu tepian dari lautan tauhid.” Dengan kata lain, selagi seseorang masih berada di dalam perjalanannya, berarti dia harus memisahkan diri dengan penuntutan dalil dan pencarian kesaksian. Jika sudah tiba di kedudukan marrifat, dan hasratnya hanya berupa satu hasrat, yaitu Allah, maka dia akan singgah di persinggahan al-jam’u dan siap mengarungi lautan tauhid, yang di dalamnya segala sesuatu selain Allah melebur. Jadi al-jam’u menurut Syaikh merupakan kesudahan atau akhir perjalanan orang-orang yang berjalan kepada Allah.

 

Anggapan seperti ini tidak bisa diterima secara mutlak. Sebab tujuan kedudukan orang-orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah adalah taubat, yang sekaligus merupakan permulaan persinggahan mereka.

 

Boleh jadi engkau akan menolak pendapat saya ini, sambil engkau katakan, “Ini adalah ucapan orang yang tidak mengenal sedikit punjalan golongan ini.” Demi Allah, bahkan banyak orang yang sependapat denganmu dalam hal ini, sambil berkata, “Lalu di mana kami? Di mana kami berjalan? Sementara kami -: sudah melewati persinggahan taubat dan antara kami dan taubat itu sudah terlewatkan seratus persinggahan. Lalu apakah kami kembali lagi ke seratus persinggahan dan menjadikan taubat itu sebagai tujuan kedudukan orangorang yang berjalan kepada Allah?”

 

Sekarang mohon dengarkan dan simak baik-baik. Jangan terburu apriori dan tergesa-gesa menyanggah. Bukanlah pikiranmu untuk mengenal siapa dirimu, hak-hak Rabb-mu, apa yang harus engkau penuhi dari hak-hak-Nya, kemudian kaitkanlah amal-amal dan keadaanmu serta persinggahan-persinggahan yang telah engkau singgahi dan kedudukan yang telah engkau tempati, yang semuanya dilakukan karena Allah dan bersama Allah. Jika engkau melihat hak-hak Allah itu sudah engkau penuhi semua, begitu pula hak setiap orang yang mempunyai hak, berarti engkau tidak memerlukan taubat. Kembali kepada taubat ini merupakan perjalanan dari kedudukan yang tinggi ke bawah, kembali dari tujuan ke permulaan. Tentu saja hal ini jauh dari gambaran orangorang yang menisbatkan diri dengan masalah ini. Namun jika engkau melihat semua amalmu, keikhlasan, tawakal, kebergantungan, zuhud, ibadah, sama sekali tidak mampu memenuhi hak sedikit pun yang semestinya engkau penuhi, padahal hak Allah jauh lebih besar lagi, maka ketahuilah bahwa taubat merupakan kesudahan setiap orang yang arif dan tujuan setiap orang yang mengadakan perjalanan. Kedudukannya sebagai permulaan sama dengan kedudukannya sebagai kesudahan. Kebutuhan kepada taubat ini pada kesudahannya jauh lebih besar daripada kebutuhan kepadanya pada permulaannya, bahkan merupakan sesuatu yang sangat urgen.

 

Sekarang simak apa yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya pada kesudahan urusan Islam dan bagaimana akhir hayat Rasulullah 4g yang justru lebih banyak memohon ampunan. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117).

 

Ayat ini diturunkan seusai perang Tabuk, dan merupakan peperangan terakhir yang diikuti Rasulullah. Allah memberikan ampunan kepada mereka semua, seakan-akan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang mereka perbuat, yaitu jihad. Allah juga berfirman pada akhir wahyu yang diturunkan kepada beliau, yaitu surat An-Nashr,

 

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”

 

Di dalam Ash-Shahih disebutkan, bahwa setelah turun surat ini, maka beliau tidak pernah ketinggalan mengucapkan seusai shalat, “Mahasuci Engkau ya Allah, Rabb kami dan segala puji-Mu, ya Allah, ampunilah aku.”

 

Itulah yang terjadi pada kesudahan urusan beliau dan pada masa-masa akhir hayat beliau. Maka para ulama dari kalangan shahabat, seperti Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Abbas dan lain-lainnya memahami bahwa ini merupakan pertanda kedekatan ajal yang diberitahukan kepada beliau. Allah memerintahkan agar beliau memohon ampunan pada saat-saat itu, apa pun keadaan dan kedudukan beliau. Di samping itu, ucapan terakhir yang sempat didengar saat beliau menghadap Rabb adalah, “Ya Allah, ampunilah aku, pertemukanlah aku dengan Penyerta Yang Mahatinggi.” Beliau juga mengakhiri setiap amal dengan istighfar, seperti puasa, shalat, haji dan jihad. Beliau juga mensyariatkan penutup majlis dengan istighfar, sekalipun itu majlis untuk kebaikan dan ketaatan. Begitu pula yang harus dilakukan hamba ketika mengakhiri amal kesehariannya. Saat hendak tidur, sebaiknya dia mengucapkan, “Aku memohon ampunan kepada Allah, yang tidak ada Ilah selain Dia, Yang Mahahidup lagi Maha Berdiri sendiri. Aku bertaubat kepadaNya.”

 

Tauhid

 

Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah tauhid ini,

 

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah selain Dia, para malaikat dan orangorang yang beriman…” (Ali Imran: 18).

 

Syaikh berkata, “Tauhid adalah membebaskan Allah dari sifat yang baru. Para ulama dan para peneliti juga telah memberikan isyarat tentang masalah ini, dengan tujuan untuk meluruskan tauhid. Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan.”

 

Dapat saya katakan, bahwa tauhid adalah dakwah yang pertama kali diserukan para rasul dan awal persinggahan dalam perjalanan serta kedudukan pertama bagi orang yang sedang berjalan kepada Allah. Firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh lalu dia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya.” (Al-A’af: 59)

 

Begitu pula yang diserukan Hud, Shalih, Syu’aib dan rasul-rasul lainnya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut’.” (An-Nahl: 36).

 

Tauhid merupakan kunci dakwah para rasul. Karena itu Rasulullah pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah menyembah Allah semata. Jika mereka mau bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.” Begitu selanjutnya.

 

Beliau juga pernah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”

 

Karena itu yang benar, kewajiban pertama kali yang harus dibebankan kepada orang mukallaf adalah kalimat syahadat ini, bukan memandang Allah dan tujuan untuk memandang seperti yang dikatakan golongan-golongan tertentu yang tercela. Tauhid adalah pintu pertama untuk masuk Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia, sebagaimana yang disabdakan Nabi,

 

“Barangsiapa yang perkataannya yang terakhir la ilaha illallah, niscaya dia masuk Surga.”

 

Tauhid merupakan kewajiban pertama dan juga yang terakhir. Tauhid adalah urusan pertama dan juga terakhir.

 

Perkataannya, “Tauhid adalah membebaskan Allah dari sifat yang baru”, batasan seperti ini tidak menunjukkan kepada tauhid yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya, atau seperti yang diturunkan di dalam KitabNya dan tidak pula menyelamatkan hamba dari api neraka, memasukkan ke surga dan mengeluarkan dari syirik. Pengertian ini bisa dinyatakan setiap golongan. Siapa pun yang menetapkan adanya Khalig, bisa menetapkan seperti itu. Para penyembah berhala, orang-orang Majusi, Nasrani, Yahudi dan juga orang-orang musyrik membebaskan Allah dari sifat yang baru dan menetapkan sifat gidam-Nya. Bahkan golongan yang paling kafir pun juga menetapkan seperti itu.

 

Para filosof yang paling jauh dari syariat dan apa yang dibawa para nabi, menetapkan keharusan wujud yang gadim dan yang terbebas dari sifat yang baru. Orang-orang musyrik yang menyembah sesembahan lain dengan Allah, juga menetapkan hal yang sama. Pembebasan dari sifat yang baru adalah suatu kebenaran, tetapi tidak memberikan pengertian Islam dan iman, tidak memasukkan ke dalam syariat dan tidak mengeluarkan dari golongan orangorang kufur. Mestinya pengertian ini tidak mungkin terabaikan oleh Syaikh.

 

Namun begitu pemuka golongan ini, yaitu Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid. Maka dia menjawab, “Tauhid adalah menyendirikan yang gadim dari hal-hal yang baru.” Dia mengisyaratkan bahwa penetapan tauhid tidak dianggap benar, begitu pula keadaan dan kedudukannya serta seorang hamba tidak dianggap ahli tauhid, kecuali jika dia menyendirikan yang gadim dari halhal yang baru. Sebab banyak orang yang menetapkan tauhid, tapi tidak menyendirikan Allah dari hal-hal yang baru. Siapa yang meniadakan perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya, yang berada di atas ‘Arsy, dan menjadikan-Nya ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, berarti dia tidak menyendirikan-Nya dari hal-hal yang baru, tetapi menjadikan-Nya sebagai suatu keadaan dalam hal-hal yang baru, ada di sana dengan Dzat-Nya. Orangorang sufi dan para ahli ibadah di antara mereka adalah golongan Hululiyah, yang berkata, “Dengan Dzat-Nya Allah berada pada makhluk-makhluk.” Mereka ini ada dua golongan: Pertama, mengatakan bahwa Allah menitis dalam segala yang ada. Kedua, mengatakan bahwa Allah menitis pada hal-hal tertentu tanpa yang lain.”

 

Tapi menurut hemat saya, mereka ini ada dua golongan. Yang pertama menganggap bahwa Allah menetap di benda-benda yang indah dan bagus. Yang kedua menganggap bahwa Allah berada di dalam diri orang-orang yang sempurna, yaitu mereka yang bisa melepaskan diri dari nafsu, memiliki sifatsifat keutamaan dan menjauhi hal-hal yang hina. Sementara orang-orang Nasrani menganggap Allah berada di badan Isa Al-Masih. Sedangkan Ittihadiyah menganggap Allah sebagai wujud yang tidak bisa dibatasi, yang bisa didapatkan dengan cara-cara tertentu, dan itu merupakan wujud-Nya. Mereka semua tidak menyendirikan yang gadim dari hal-hal yang baru.

 

Penyendirian seperti yang telah diisyaratkan AlJunaid ini ada dua macam:

 

– Penyendirian dalam keyakinan dan pengabaran. Yang ini pun ada dua macam: Pertama, menetapkan perbedaan Allah dengan makhluk, keberadaan-Nya diatas “Arsy dan di atas langit seperti yang ditegaskan dalam kitab-kitab yang mengupas tentang Ilahiyah dan seperti yang dikabarkan para rasul. Kedua, penyendirian Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan penetapan sifat-sifat secara terinci seperti yang telah ditetapkan Allah bagi Diri-Nya serta yang ditetapkan para rasul, terhindari dari penyimpangan, penyerupaan dan pemutarbalikan.

 

– Penyendirian yang gadim dari hal-hal yang baru, yang berupa ibadah, seperti penyembahan, cinta, takut, harapan, pengagungan, tawakal, memohon pertolongan dan lain-lainnya. Dengan dua macam penyendirian inilah para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan dan syariat-syariat ditetapkan. Karenanya langit dan bumi ditegakkan, surga dan neraka diciptakan, pahala dan siksa diadakan. Penyendirian Allah yang gadim dari hal-hal yang baru, berlaku untuk Dzat, sifat, perbuatan, cinta, tawakal, permohonan pertolongan, takut, harapan, pengagungan dan taubat kepada-Nya. Karena itu pernyataan Al-Junaid tentang tauhid ini sudah betul.

 

Sementara jika yang dimaksudkan pengarang Manazilus-Sa’irin seperti itu, maka tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Tapi yang dimaksudkan adalah membebaskan Allah dari perbuatan yang dipilih-Nya, yang ditegaskan orang-orang yang menafikan perbuatan Allah sebagai penitisan hal-hal yang baru, atau menjadikannya sebagai pembebasan Allah dari kesempurnaan tauhid, sehingga seakan-akan dia berkata, “Tauhid adalah pembebasan Allah dari penitisan hal-hal yang baru”, sementara hakikat yang mereka kehendaki adalah meniadakan perbuatan Allah secara keseluruhan, maka ini adalah sesuatu yang mustahil. Sama dengan mengakui adanya pelaku namun meniadakan perbuatannya sama sekali. Jika yang dimaksudkannya adalah membebaskan Allah dari ciri-ciri hal yang baru dan kekhususan makhluk, maka itu benar. Tapi di sini ada kekurangan dalam mengartikan tauhid. Sebab penetapan sifat kesempurnaan merupakan dasar tauhid. Jadi kesempurnaan penetapan itu ialah membebaskan Allah dari ciri-ciri hal yang baru dan kekhususan makhluk.

 

Berbagai golongan telah membagi-bagi tauhid dan setiap golongan menyebut kebatilannya sebagai tauhid. Para pengikut Aristoteles, Ibnu Sina dan Ath-Thusi juga memiliki pengertian tersendiri tentang tauhid, yaitu penetapan wujud yang terlepas dari hakikat dan sifat. Bahkan itu merupakan wujud yang tak mengenal batas, tidak bisa dihadapkan kepada hakikat sesuatu, tidak bisa disifati dan tidak memiliki ciri khusus. Semua sifatnya merupakan tambahan. Tauhid mereka adalah tujuan ateisme, pengingkaran dan kufur. Cabang dari tauhid ini adalah pengingkaran Dzat Allah dan anggapan tentang adanya angkasa terlebih dahulu, bahwa Allah tidak bisa membangkitkan manusia dari kubur, status nubuwah adalah sesuatu yang bisa dicari, nubuwah adalah suatu profesi seperti halnya kekuasaan atau kepemimpinan, bahwa Allah tidak mengetahui jumlah planet dan tatasurya, tidak mengetahui sedikit pun dari hal-hal tertentu, bahwa di sana tidak ada halal dan haram, tidak ada perintah dan larangan, tidak ada surga dan neraka. Inilah tauhid mereka.

 

Sedangkan tauhid menurut golongan ittihadiyah, bahwa kebenaran yang suci ialah jenis makhluk yang diserupai. Sementara Allah adalah inti wujud dari segala wujud, hakikatnya, tanda dari segala sesuatu, dan di dalam sesuatu ada tanda bahwa itu adalah diri Allah. Menurut mereka, sama saja orang yang menikah dan yang dinikahi, yang makan dan yang diberi makan, yang menyembelih dan yang disembelih. Cabang dari tauhid ini, bahwa Fir’aun dan kaumnya benar-benar beriman dengan keimanan yang sempurna, mereka juga mengenal Allah secara hakiki. Cabangnya lagi, para penyembah berhala juga benar dalam hal ini, bahwa mereka menyembah Allah. Cabangnya lagi, bahwa kebenaran itu tidak membedakan antara yang dihalalkan dan yang diharamkan, antara ibu, saudara perempuan dan wanita lain kerabat, tidak ada bedanya antara air dan khamer, tidak ada bedanya antara nikah dan zina. Semua berasal dari satu jenis, bahkan itulah jenisnya. Jika dikatakan kepada mereka, “Ini haram dan ini halal.” Maka mereka menjawab, “Memang itu haram bagi kalian, karena kalian tidak mengetahui hakikat tauhid.”

 

Tauhid menurut golongan Jahmiyah ialah mengingkari ketinggian Dzat Allah daripada makhluk-Nya, mengingkari keberadaan-Nya di atas ‘Arsy, pendengaran, penglihatan, kekuatan, hidup, kalam, sifat-sifat, perbuatan, cinta-Nya dan cinta hamba kepada-Nya. Tauhid menurut mereka adalah mengingkari secara sungguh-sungguh apa yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan apa yang diturunkan di dalam kitab-kitab-Nya.

 

Tauhid menurut Qadariyah ialah mengingkari gadar Allah dan keumuman kehendak-Nya bagi semua alam dan kekuasaan-Nya terhadap alam. Generasi penerus mereka yang datang belakangan menggabungkannya dengan tauhid golongan Jahmiyah. Sehingga hakikat tauhid menurut mereka adalah pengingkaran gadar, hakikat asma’ul-husna dan sifat-sifat yang tinggi. Boleh jadi pengingkaran mereka terhadap gadar dan kufur terhadap gadha’ Allah ini merupakan keadilan. Karena itu mereka berkata, “Kamilah orang-orang yang membawa bendera keadilan dan tauhid.”

 

Tauhid menurut golongan Jabariyah ialah menyendirikan Allah dengan penciptaan dan perbuatan, bahwa hamba sama sekali tidak bisa berbuat apaapa, tidak bisa menciptakan perbuatan baru dan tidak kuasa untuk itu, bahwa Allah tidak berbuat untuk suatu hikmah dan tujuan yang perlu dituntut dengan perbuatan, bahwa makhluk tidak mempunyai kekuatan, tabiat, instink dan sebab.

 

Sedangkan menurut Syaikh dan para pengikutnya, tauhid ada dua macam: Pertama, tidak ada wujudnya dan tidak mungkin, yaitu tauhid hamba dengan Rabb-nya. Kedua, tauhid yang benar, yaitu tauhid Rabb dengan Diri-Nya. Siapa yang menyertakan dengan selain-Nya, maka dia adalah orang ateis.

 

Tauhid seperti yang diserukan para rasul Allah dan seperti yang diturunkan di dalam kitab-kitab-Nya ada di belakang semua itu. Hal ini ada dua macam:

 

– Tauhid dalam ma’rifat dan penetapan. Ini merupakan hakikat Dzat Allah, Asma’, sifat, perbuatan, ketinggian-Nya di atas ‘Arsy dan langit, kalamNya di dalam kitab, kalam-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya, penetapan keumuman gadha’ dan gadar-Nya. Al-Qur’an telah menjelaskan masalah-masalah ini secara jelas, seperti yang ada dalam awal surat AlHadid, Thaha, akhir surat Al-Hasyr, awal surat As-Sajdah, awal surat Ali Imran, surat Al-Ikhlas dan lain-lainnya.

 

– Tauhid pencarian dan tujuan, seperti yang terkandung dalam surat Al-Kafirun, awal surat Yunus, pertengahan dan akhirnya, awal surat AlA’raf dan akhirnya, di beberapa tempat dalam surat Al-An’am dan tempat-tempat lainnya.

 

Bahkan bisa dikatakan, setiap ayat dalam Al-Qur’an mengandung tauhid, mempersaksikannya dan menyeru kepadanya. Sebab Al-Qur’an itu, entah berupa pengabaran tentang Allah, asma”, sifat dan perbuatan-Nya, yang merupakan tauhid ilmiah dan pengabaran, atau entah berupa seruan untuk menyembah-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya dan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, yang berarti merupakan tauhid kehendak dan pencarian, atau entah berupa perintah dan larangan, keharusan taat kepadaNya dalam perintah dan larangan-Nya, yang berarti ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurnanya, atau entah berupa pengabaran tentang kemurahan Allah terhadap ahli tauhid dan yang taat kepada-Nya serta apa yang dilakukan Allah terhadap mereka di dunia dan di akhirat, yang berarti itu merupakan pahala bagi mereka, atau entah berupa pengabaran tentang apa yang dilakukan Allah terhadap orang-orang musyrik, kehinaan yang ditimpakan kepada mereka di dunia dan adzab di akhirat, yang berarti ini merupakan pengabaran tentang orang yang keluar dari hukum tauhid.

 

Semua Al-Qur’an berkaitan dengan tauhid, hak-hak dan pahalanya, berkaitan dengan syirik, para pelakunya dan balasannya. Alhamdulillah adalah tauhid. Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar-Rahmanir-Rahim adalah tauhid, sampai ihdinash-shiratlhal-mustaqim adalah tauhid yang mengadung permohonan hidayah kejalan ahli tauhid, yang mereka itu mendapat nikmat Allah. Ghairilmaghdhubi ‘alaihim adalah orang-orang yang meninggalkan tauhid. Karena itu Allah mempersaksikan Diri-Nya dengan tauhid semacam ini, begitu pula para malaikat, nabi dan rasul-Nya,

 

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan, (begitu pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 18-19).

 

Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan sanggahan terhadap semua golongan dan sekaligus merupakan kesaksian tentang kebatilan perkataan dan pendapat mereka. Hal ini akan terlihat nyata setelah memahami ayat ini, dengan menjelaskan kandungannya, berupa ma’rifat tentang Ilahiyah dan hakikat-hakikat iman.

 

Ayat ini mengandung kesaksian yang paling agung, paling adil dan paling benar tentang keagungan yang dipersaksikan. Beberapa ungkapan yang disampaikan orang-orang salaf tentang kata syahida (menyatakan kesaksian), berkisar pada masalah hukum, peradilan, pemberitahuan, keterangan dan sekaligus pengabaran. Syahadah (kesaksian) mencakup perkataan orang yang memberi kesaksian, pengabaran, keterangan dan pemberitahuannya. Kesaksian mempunyai empat tingkatan:

 

– Ilmu, ma’rifat, keyakinan terhadap kebenaran yang diberi kesaksian dan penetapannya.

 

– Pembicaraan dan penyampaiannya tentang siapa yang diberi kesaksian. Kalaupun dia tidak memberitahukannya kepada orang lain, tapi setidak-tidaknya dia membisiki dirinya sendiri. Dia bisa menyampaikannya atau menulisnya.

 

– Memberitahukan orang lain tentang apa yang dipersaksikan, diberitahukan dan dijelaskannya.

 

– Memerintahkan sesuai dengan kandungannya. Kesaksian Allah terhadap Diri-Nya dengan wahdaniyah dan menegakkan keadilan, mengandung empat tingkatan ini: Ilmu Allah tentang hal itu, pembicaraan, pemberitahuan dan pengabaran-Nya kepada makhluk tentang hal itu dan perintah-Nya untuk melaksanakannya.

 

Tentang tingkatan ilmu, maka kesaksian tentang yang hag amat urgen. Jika tidak, maka orang yang memberi kesaksian bisa memberi kesaksian tentang apa yang tidak diketahuinya. Rasulullah memerintahkan untuk memberi kesaksian seperti saat mempersaksikan matahari yang tampak jelas.

 

Tentang tingkatan penyampaian, maka siapa yang membicarakan sesuatu dan mengabarkannya, berarti dia mempersaksikannya, sekalipun mungkin dia tidak mengucapkan lafazh kesaksian. Firman Allah,

 

“Dan, mereka menjadikan malaikat-malaikat, yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah, sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (Az-Zukhruf: 19).

 

Perkataan mereka yang demikian dijadikan Allah sebagai kesaksian, meskipun mereka tidak mengucapkan lafazh kesaksian dan tidak memberikan kesaksian di hadapan orang lain. Maka Rasulullah bersabda, “Kesaksian palsu sama dengan syirik kepada Allah.” Kesaksian palsu artinya perkataan palsu dan dusta. Kaum Muslimin sudah sepakat bahwa jika orang kafir mengucapkan la ilaha illallah Muhammad Rasulullah, maka dia sudah masuk

 

Islam dan telah memberikan kesaksian secara benar. Islamnya tidak tergantung kepada lafazh syahadah.

 

Tentang tingkatan pemberitahuan dan pengabaran, maka dua macam: Pemberitahuan dengan menggunakan perkataan, dan pemberitahuan dengan menggunakan perbuatan. Begitulah yang dilakukan setiap orang yang ingin memberitahukan kepada orang lain tentang sesuatu, terkadang memberitahukannya dengan perkataan dan terkadang dengan perbuatannya. Maka siapa yang menjadikan tempat tinggal sebagai masjid, membuka pintunya bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya, mengumandangkan adzan untuk shalat, berarti dia memberitahukan bahwa tempat tinggal itu menjadi wakaf, sekalipun dia tidak melafazhkannya.

 

Tentang tingkatan perintah sesuai dengan kandungan kesaksian dan mengikutinya, maka jika hanya sekadar kesaksian memang tidak mengharuskan seperti itu. Tapi kesaksian dalam masalah ini menunjukkan keharusan itu, bahwa Allah mempersaksikan dengan Diri-Nya sebagai kesaksian pihak yang menetapkan hukum, yang memerintah dan yang mengharuskannya kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan, Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra’: 23).

 

Implikasi kesaksian Allah ialah jika Allah bersaksi bahwa tiada Ilah selain Dia, berarti Allah mengabarkan, menjelaskan, memberitahukan dan menetapkan bahwa selain-Nya bukanlah Ilah, bahwa ketuhanan selain-Nya adalah batil dan siapa yang menetapkan seperti itu adalah orang zhalim yang paling zhalim. Selain-Nya tidak layak diibadahi dan dijadikan sesembahan. Dengan begitu ada keharusan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan larangan menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan. Hal ini tentu bisa dipahami lawan bicara dari penafian dan penetapan di atas, seperti jika engkau melihat seseorang yang hendak meminta fatwa atau meminta kesaksian atau meminta resep kedokteran dari orang yang bukan ahlinya dan dia meninggalkan orang yang ahlinya, lalu engkau berkata kepada orang itu, “Dia itu bukan mutfti, bukan saksi dan bukan dokter. Mufti, saksi atau dokter yang engkau kehendaki adalah Fulan.” Ini namanya perintah dan larangan yang datang dari dirimu.

 

Firman Allah, “Menegakkan keadilan”, merupakan kesaksian-Nya bahwa Dia menegakkan keadilan dalam tauhid-Nya dan menegakkan wahdaniyah dalam keadilan-Nya. Tauhid dan adil merupakan himpunan sifat-sifat kesempurnaan. Tauhid mengandung kesendirian Allah yang memiliki kesempurnaan, keagungan dan kebesaran, yang selain-Nya tidak layak memilikinya. Sedangkan keadilan mengandung kelurusan, kebenaran dan hikmah dalam perbuatan-Nya.

 

Sedangkan tauhid dan keadilan para rasul ialah penetapan sifat dan perintah untuk menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya, penetapan gadar dan hikmah, tujuan yang dicari dan yang terpuji dalam perbuatan dan perintah Allah, bukan seperti tauhidnya golongan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Qadariyah, yang mengingkari sifat dan hakikat asma’ul-husna. Keadilan menurut versi mereka adalah pendustaan terhadap gadar atau penafian hikmah dan tujuan serta akibat yang terpuji dari apa yang diperbuat dan diperintahkan Allah. Penegakan keadilan dalam kesaksian Allah ini mencakup beberapa pengertian, di antaranya:

 

– Allah menegakkan keadilan dalam kesaksian ini, yang tentu saja ini merupakan kesaksian yang paling adil. Maka pengingkarannya merupakan tindakan yang paling zhalim. Tidak ada yang lebih adil daripada tauhid dan tidak ada yang lebih zhalim daripada syirik. Allah menegakkan keadilan dalam kesaksian ini secara perkataan dan perbuatan, dengan cara menyampaikan kesaksian itu dan mengabarkannya kepada hamba, menjelaskan hakikat dan kebenarannya, memerintahkan sesuai dengan keharusannya, menetapkan pahala dan siksa dengannya, memerintah dan melarang sesuai dengan hak dan kewajibannya.

 

– Firman Allah, “Menegakkan”, bisa berarti sifat keadaan dari firman sebelumnya, “Melainkan”. Artinya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Hanya Allahlah yang memiliki Ilahiyah, disertai keadaan-Nya yang menegakkan keadilan. Pengertian ini bisa diterima dan lebih kuat, karena para malaikat dan orang-orang yang berilmu punjuga memberikan kesaksian bahwa tiada Ilah melainkan Dia, dan bahwa Dia menegakkan keadilan.

 

Ayat tentang kesaksian Allah ini ditutup dengan sifat-Nya Al-Aziz AlHakim (Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Jadi ayat ini mengandung tauhid, keadilan, keperkasaan dan hikmah-Nya. Tauhid mengandung penetapkan sifatsifat dan kesempurnaan-Nya, keagungan, tidak adanya sesuatu yang menyerupai-Nya, penyembahan-Nya semata tanpa sekutu. Keadilan Allah mengandung peletakan segala sesuatu di tempatnya, penempatannya pada kedudukan masing-masing, tidak mengkhususkan sesuatu kecuali dengan apa yang memang menjadi kekhususan ketetapan-Nya, tidak menyiksa siapa yang tidak layak disiksa, tidak menahan dari orang yang layak diberi. Keperkasaan Allah mengandung kesempurnaan kekuasaan, kekuatan dan pemaksaan-Nya. Hikmah Allah mengandung kesempurnaan ilmu dan pengalaman-Nya, bahwa Dialah yang memerintah dan melarang, mencipta dan berkuasa, yang semua itu tidak lepas dari hikmah dan tujuan yang terpuji.

 

Asma’ Allah Al-Aziz mengandung kekuasaan, dan asma’-Nya Al-Hakim mengandung pujian. Ayat dan kesaksian ini mengandung bukti tentang wahdaniyah Allah yang menafikan syirik, keadilan-Nya yang menafikan kezhaliman, keperkasaan-Nya yang menafikan kelemahan, dan hikmah-Nya yang menafikan kebodohan dan aib. Di dalamnya ada kesaksian dengan tauhid, keadilan, kekuasaan, ilmu dan hikmah. Karena itu ini merupakan kesaksian yang paling besar. Tidak ada yang menegakkan kesaksian ini dengan segala unsurnya di antara semua golongan kecuali Ahlus-Sunnah, sementara selainnya adalah ahli bid’ah yang tidak akan menegakkannya. Para filosof adalah orangorang yang paling mengingkari dan menolak kandungan ayat ini, sejak awal hingga akhir. Sedangkan golongan Ittihadiyah paling jauh dari kandungan ayat ini, dan golongan Jahmiyah mengingkari hakikatnya.

 

Dalam kandungan kesaksian Ilahiyah ini terdapat pujian terhadap orangorang yang berilmu, yang juga ikut memberikan kesaksian tersebut dan keadilannya. Allah menyertakan kesaksian mereka dengan kesaksian-Nya dan kesaksian para malaikat. Allah meminta kesaksian mereka terhadap Dzat yang paling agung untuk dipersaksikan, dan menjadikan mereka sebagai hujjah atas orang-orang yang mengingkari kesaksian ini, sebagaimana Dia memberikan hujjah dengan bukti keterangan yang nyata terhadap orang yang mengingkari kebenaran. Hujjah ditegakkan dan menyertai para rasul di hadapan makhluk.

 

Orang-orang yang berilmu ini adalah para wakil rasul dan penggantinya dalam menegakkan hujjah Allah di hadapan manusia.

 

Ada yang menafsiri kesaksian orang-orang yang berilmu ini sebagai pengakuan. Ada pula yang menafsirinya dengan penampakan. Yang benar, kesaksian ini mengandung kesaksian, penampakan dan pemberitahuan. Mereka adalah saksi-saksi Allah atas manusia pada Hari Kiamat. Firman-Nya,

 

“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)kalian.” (Al-Baqarah: 143).

 

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dan dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (Al-Hajj: 78).

 

Allah mengabarkan bahwa Dia menjadikan mereka orang-orang yang adil dan pilihan, memuji mereka sebelum menciptakan diri mereka, karena sudah ada dalam ketetapan ilmu-Nya yang terdahulu, bahwa Dia menjadikan mereka sebagai saksi untuk memberikan kesaksian atas semua umat pada Hari Kiamat. Maka siapa yang tidak melaksanakan kesaksian ini, baik secara ilmu, amal, ma ‘rifat, penetapan, dakwah dan ajaran, berarti dia tidak termasuk saksi-saksi Allah.

 

FirmanAllah, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Para mufasir saling berbeda pendapat apakah ini merupakan perkataan yang diperbandingkan ataukah masuk dalam kesaksian di atas? Letak perbedaan ini berasal dari bacaan inna atau anna pada permulaan ayat. Yang pasti, firman Allah ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama semua nabi dan rasul serta para pengikut mereka, semenjakyang pertama hingga yang terakhir, bahwa Allah sama sekali tidak mempunyai agama selainnya. Semua nabi menyatakan Islam atau kepasrahan diri kepada Allah. Islam adalah agama penghuni langit, agama ahli tauhid dari penghuni bumi. Allah tidak menerima dari seorang pun agama selain Islam.

 

Agama penduduk bumi ini ada enam. Satu milik Allah dan lima lainnya milik setan. Agama Allah adalah Islam, sedangkan agama milik setan adalah Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’ah dan agama orang-orang musyrik dengan berbagai macam jenisnya.

 

Inilah keterangan yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini, yang berisi rahasia-rahasia tauhid dan ma’rifat. Kandungan ini jauh lebih penting daripada apa yang dikatakan pengarang Manazilus-Sa’irin.

 

Kembali ke perkataannya, “Tauhid adalah membebaskan Allahdari sifat yang baru. Para ulama dan para peneliti juga telah memberikan isyarat tentang masalah ini, dengan tujuan untuk meluruskan tauhid. Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan.” Maksudnya, tauhid adalah tujuan yang dicari semua kedudukan, keadaan dan amal. Semua tujuannya adalah tauhid. Perkataan para ulama dan peneliti dari orang-orang yang mengadakan perjalanan, semua dimaksudkan untuk meluruskan tauhid. Hal ini sudah jelas, yang memang begitulah maksudnya.

 

Perkataannya, “Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan”, pemurnian tauhid tidak boleh ada alasan yang menyertainya. Sebab jika ada alasan, berarti tidak murni. Pemurniannya ialah dengan menafikan semua alasan darinya. Hal ini berbeda dengan semua keadaan dan kedudukan selainnya, yang disertai dengan alasan. Sebagai contoh, kemurnian tawakal dan hakikatnya menurut mereka adalah membebaskan hati dari alasan tawakal. Orang tawakal yang hakiki menurut mereka adalah orang yang mengosongkan dirinya dari kesulitan memandang dan melihat sebab serta merasa tenang atas bagian dirinya, dengan disertai penyetaraan di antara dua keadaan ini. Caranya, dia harus mengetahui bahwa pencarian tidak akan bermanfaat dan tawakal tidak akan berhimpun. Selagi melihat tawakalnya ada perintang, berarti ada yang perlu disangsikan dalam tawakalnya itu dan tujuannya cacat. Jika dia terbebas dari bisikan sebab dan perhatian terhadap perintang serta tidak memperhatikan dalam tawakalnya kecuali semata karena Allah, maka Allah mencukupkan baginya segala hal yang dianggap penting, seperti yang diwahyukan Allah kepada Musa, “Jadilah seperti yang Kukehendaki, niscaya Aku akan menjadi seperti yang kamu kehendaki.”

 

Perkataan semacam ini dan juga lainnya yang serupa, sebagian ada yang dianggap benar, sebagian lagi salah dan sebagian lagi harus dijelaskan. Perkataan Syaikh, “Sesungguhnya tawakal di jalan yang khusus merupakan kebutaan tentang tauhid dan kembali kepada sebab”, tidak bisa dibenarkan. Tawakal adalah hakikat tauhid. Tauhid tidak dianggap benar kecuali dengan tawakal. Hal ini sudah dijelaskan dalam bab tawakal, yang merupakan kedudukan para rasul, yang mereka inilah orang-orang khusus yang lebih khusus. Sementara tidak ada yang lebih khusus daripada mereka dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada mereka.

 

Syaikh berkata, “Tauhid ini ada tiga macam: Pertama, tauhid orang awam, yang menjadi benar dengan kesaksian. Kedua, tauhid orang khusus, yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat. Ketiga, tauhid orang khusus yang paling khusus.”

 

Tidak diragukan bahwa memang ahli tauhid itu berbeda-beda dalam tauhidnya, baik ilmu, ma’rifat maupun keadaannya. Perbedaan ini amat banyak dan hanya Allahlah yang bisa menghitungnya. Orang yang paling sempurna tauhidnya adalah para nabi. Para rasul lebih sempurna lagi. Ulul-Azmi lebih sempurna lagi. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Yang lebih sempurna di antara Ulul-Azmi ini adalah Al-Khalilani, Ibrahim dan Muhammad. Beliau berdua menegakkan tauhid, tidak seperti yang ditegakkan selainnya, baik ilmu, ma’rifat, keadaan maupun amal. Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada yang ditegakkan para rasul, yang diserukan dan yang karenanya mereka berjihad memerangi berbagai umat. Karena itu Allah memerintahkan Rasulullah agar mengikuti mereka dalam hal ini. Setelah mengisahkan Ibrahim dan perdebatannya dengan ayah dan kaumnya tentang kebatilan syirik dan kebenaran tauhid, serta menyebutkan para nabi di tengah kerabatnya, maka Allah berfirman,

 

“Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (tiga macam ini), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Al-An’am: 89-90),

 

Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada tauhid orang yang diperintahkan Allah untuk mengikutinya. Setelah mereka menegakkan hakikatnya, secara ilmu, amal, dakwah dan jihad, maka Allah menjadikan mereka sebagai pemimpin bagi makhluk. Mereka mengikuti perintah dan menyerukan kepadanya, dan Allah menjadikan semua makhluk sebagai pengikut mereka, mengkhususkan kebahagiaan dan keberuntungan serta petunjuk bagi pengikut mereka, menetapkan penderitaan dan kesesatan bagi orang-orang yang menyalahi mereka. Allah berfirman kepada pemimpin mereka, Ibrahim,

 

“Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata, “Dan saya mohon juga) dari keturunanku’, Allah berfirman, Janji-Ku tidak mengenai orang yang zhalim’.” (Al-Baqarah: 124).

 

Artinya, janji-Ku tentang kepemimpinan ini tidak berlaku bagi orang musyrik. Karena itu Allah mewasiati Rasulullah agar mengikuti millah Ibrahim. Beliau mengajari para shahabat agar berdoa pada pagi hari, “Kami berada pada fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama nabi kami Muhammad dan millah Ibrahim yang lurus dan berserah diri, dan dia bukan termasuk orangorang yang musyrik.” Millah Ibrahim adalah tauhid, dan agama Muhammad adalah apa yang beliau bawa dari sisi Allah, perkataan, perbuatan, maupun keyakinan, Kalimat ikhlas adalah kesaksian tiada Ilah melainkan Allah. Fitrah Islam adalah apa yang difitrahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, berupa cinta dan ibadah kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya, serta berserah diri kepada-Nya.

 

Inilah tauhidnya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Siapa yang tidak senang kepadanya, maka dialah orang yang paling bodoh, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan tidak ada yang benci kepada millah Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tundukpatuh kepada Rabb semesta alam’.” (Al-Baqarah: 130-131).

 

Allah membagi manusia menjadi dua golongan: Orang bodoh yang paling bodoh, dan orang yang mendapat petunjuk. Orang bodoh ialah yang tidak menyukai millah-nya dan berpaling kepada syirik. Orang yang mendapat petunjuk ialah yang terbebas dari syirik, baik perkataan, perbuatan maupun keadaannya. Perkataannya merupakan tauhid, begitu pula amal, keadaan dan seruannya.

 

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah juga telah mengomentari apa yang dikatakan pengarang Manazilus Sa’irin tentang tauhid ini, setelah dia mengupas seluruhnya, bahwa tauhid yang pertama seperti yang disebutkannya adalah tauhid yang dibawa para rasul, semenjak yang pertami hingga yang terakhir dan seperti yang diturunkan di dalam kitab-kitab-Nya. Dia juga menyebutkan ayat yang disitirnya.

 

Perkataan Syaikh, “Tauhid ini ada tiga macam: Pertama, tauhid orang awam, yang menjadi benar dengan kesaksian”, telah dijelaskan bahwa ini adalah tauhidnya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus, dan tidak ada yang lebih darinya atau lebih khusus lagi. Al-Khalilani adalah orang yang paling sempurna tauhidnya. Perkataannya, “Menjadi benar dengan kesaksian”, artinya dengan dalil-dalil, ayat dan bukti keterangan. Hal ini menunjukkan kepada kesempurnaan dan kemuliaan tauhid ini, yang didukung dengan dalil dan kesaksian, serta diperjelas dengan ayat dan bukti keterangan. Setiap tauhid yang tidak benar dengan kesaksian, maka bukanlah tauhid.

 

Syaikh juga berkata, “Ini adalah tauhid yang zhahir dan nyata, yang menafikan syirik yang paling besar.” Demi Allah, karena nyata dan kejelasannya, maka Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab dan memerintahkan segenap manusia untuk berpegang kepadanya. Sedangkan simbol, isyarat dan ungkapan yang tidak bisa dipahami manusia kecuali setelah bersusah payah, maka sama sekali tidak berasal dari para rasul dan tidak diserukannya. Kejelasan tauhid ini, yang disertai kesaksian fitrah dan akal, merupakan bukti paling besar, bahwa ini merupakan tingkatan tauhid yang paling tinggi dan sekaligus merupakan puncaknya. Karena itu ia mampu menafikan syirik yang paling besar. Sebab segala sesuatu yang besar tidak bisa dienyahkan kecuali oleh sesuatu yang besar pula. Andaikan ada sesuatu yang lebih besar daripada tauhid ini, niscaya Allah pun akan mengenyahkan syirik yang paling besar dengannya pula. Karena kebesaran dan kemuliaan tauhid ini, maka kiblat diadakan, millah ditegakkan, perlindungan terhadap ahli dzimmah diharuskan, lalu dibedakan antara wilayah kufur dan wilayah Islam. Kemudian manusia dibedakan antara yang bahagia dan menderita, mendapat petunjuk dan menyimpang.

 

Syaikh berkata, “Tauhid kedua yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat ialah tauhidnya orang khusus, yaitu menggugurkan sebab-sebab yang zhahir, naik meninggalkan pertentangan-pertentangan akal dan tidak bergantung kepada kesaksian. Artinya, tidak memberikan kesaksian dalil dalam tauhid, tidak memberikan kesaksian sebab dalam tawakal, tidak memberikan kesaksian sarana dalam keselamatan. Inilah tauhidnya orang khusus yang menjadi benar dengan ilmu kefana’an, yang menjadi jernih dalam ilmu kebersamaan dan menarik ke tauhid orang-orang yang memiliki kebersamaan.”

 

Perkataannya, “Yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat”, sama dengan perkataan sebelumnya, “Yang menjadi benar dengan kesaksian”. Ketetapan lebih mantap daripada kebenaran. Hakikat lebih mantap daripada kesaksian. Dengan dalil dan kesaksian, maka tauhidnya orang awam menjadi benar. Dengan hakikat, tauhidnya orang khusus menjadi kuat dan tetap.

 

Perkataannya, “Menggugurkan sebab-sebab yang zhahir”, boleh jadi yang dimaksudkan sebab-sebab di sini adalah yang bisa disaksikan dan tampak mata. Menggugurkannya berarti tidak boleh melihatnya sebagai sesuatu yang berpengaruh dan merubah. Kalau pun harus melibatkan diri dengannya dalam pengertian yang sewajarnya, maka hal ini tidak berarti harus menggugurkannya. Tapi boleh jadi yang dimaksudkan sebab-sebab zhahir di sini adalah aktivitas dan amal. Menggugurkannya berarti mengesampingkannya sebagai sesuatu yang memberikan kebahagiaan dan keselamatan, sama sekali tidak menghindari atau mengabaikannya, karena yang demikian ini justru mengeluarkan dari Islam. Sebab-sebab yang zhahir atau amal-amal ini tetap harus ditegakkan, sekalipun tidak diyakini akan menyelamatkan, sebagaimana yang disabdakan Nabi, “Beramallah, beramallah kalian, karena amal salah seorang di antara kalian sama sekali tidak akan maenjamin menyelamatkannya.”

 

Harus diwaspadai antara sebab-sebab zhahir dan sebab-sebab batin, seperti iman, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keselamatan dan kebahagiaan tergantung dari sebab-sebab batin ini. Bahkan tauhid itu sendiri termasuk sebab dan merupakan sebab batin yang paling agung, sehingga tidak boleh digugurkan.

 

Dua pengertian ini belum bisa diterima secara utuh. Bila yang dimaksudkan menggugurkan di sini adalah meniadakan dan mengabaikan, lalu siapakah yang akan membatilkan yang batil? Jika yang dimaksudkan menyingkirkannya dari penyandaran hukum kepada kehendak Allah semata, maka tidak ada perbedaan antara sebab-sebab zhahir dan sebab-sebab batin. Jika yang dimaksudkan adalah sebab-sebab yang diperintahkan kepada hamba, maka tidak bisa menggugurkannya dari tauhid Allah.

 

Secara keseluruhan dapat dikatakan, menggugurkan sebab tidak termasuk tauhid. Tapi sebab-sebab itu harus ditegakkan, dipertimbangkan dan ditempatkan di tempatnya yang lazim seperti yang ditetapkan Allah. Inilah yang disebut tauhid dan ubudiyah. Pendapat tentang menggugurkan sebab adalah tauhidnya golongan Qadariyah dan Jabariyah, yang mereka itu adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Menurut mereka, Allah tidak pernah menciptakan sesuatu pun sebagai sebab dan tidak menjadikan dalam sebab-sebab kekuatan dan tabiat yang bisa mempengaruhi. Di dalam api tidak ada kekuatan untuk membakar. Dalam racun tidak ada kekuatan yang membunuh. Dalam mata tidak ada kekuatan pandangan. Dalam telinga tidak ada kekuatan pendengaran, dan seterusnya. Tetapi Allah menciptakan pengaruh-pengaruh itu ketika bertemu dengan materi-materi tersebut, bukan berarti pengaruh itu berasal dari materi-materi itu. Kenyang bukan karena makan. Ilmu bukan karena mencari pembuktian. Ketaatan dan tauhid bukan merupakan sebab untuk masuk surga dan menyelamatkan diri dari neraka. Syirik, kufur dan kedurhakaan bukan merupakan sebab yang menjerumuskan ke neraka. Tapi mereka masuk surga semata karena kehendak Allah, tanpa ada sebab dan hikmah sama sekali. Mereka masuk neraka semata karena kehendak Allah, tanpa sebab dan hikmah.

 

Syaikh kami, Ibnu Taimiyah berkata, “Dasar yang rusak ini jelas bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, ijima’ ulama salaf dan para imam, bahkan juga bertentangan dengan akal dan rasa. Nabi pernah ditanya tentang menggugurkan sebab karena mempertimbangkan gadar. Maka beliau menolak hal itu dan beliau mengharuskan perhatian terhadap sebab, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda,

 

“Tidaklah ada seorangpun di antara kalian melainkan telah diketahui tempat duduknya dari surga dan tempat duduknya dari neraka”. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita meninggalkan amal dan berlandaskan kepada kitab itu?” Beliau menjawab, “Tidak. Tetapi beramallah. Masing-masing telah diberi kemudahan tentang apa yang diciptakan baginya.”

 

Begitu pula yang ditegaskan Umar bin Al-Khaththab kepada Abu Ubaidah, saat Abu Ubaidah bertanya kepadanya, “Apakah engkau akan lari dari gadar Allah?” Maksudnya lari dari wabah yang menjalar pada saat itu. Maka Umar menjawab, “Aku lari dari gadar Allah ke gadar Allah yang lain Di dalam Al-Qur’an banyak ditebari penjelasan Allah tentang berbagai macam sebab. Bahkan sejak awal hingga akhir Al-Jur’an menyanggah pendapat mereka itu, sebagaimana yang disanggah oleh akal, fitrah dan rasa. Sebagian ulama ada yang berkata, “Berpaling kepada sebab merupakan syirik dalam tauhid. Menghapuskan sebab merubah sisi akal. Berpaling dari sebab secara total dapat menodai syariat. Tawakal merupakan makna yang sesuai dengan makna tauhid, akal dan syariat.”

 

Perkataan ini perlu dijelaskan dan dibatasi. Berpaling kepada sebab bisa memiliki dua pengertian: Bisa berarti syirik dan bisa berarti ubudiyah dan tauhid. Berarti syirik jika seseorang bersandar kepadanya dan hatinya merasa tenang karenanya, dengan disertai keyakinan bahwa sebab itu sendiri sudah bisa menghantarkan kepada maksud. Dia berpaling dari pemberi sebab. Tapi jika dia berpaling kepada sebab itu karena untuk memenuhi hak ubudiyah dan meletakkannya pada tempat yang semestinya, maka hal ini merupakan ubudiyah dan tauhid, selagi tidak membuatnya lalai berpaling kepada pembuat sebab. Meniadakannya sama sekali sebagai sebab menunjukkan ketidakberesan dalam akal. Berpaling secara total dari sebab bisa menodai syariat. Hakikat tawakal ialah memperhatikan sebab dan menyandarkan hati kepada pembuat sebab dan merasa yakin bahwa semua ada di Tangan-Nya. Jika menghendaki, maka Dia bisa mencegahnya. Jika menghendaki Dia bisa menetapkan yang sebaliknya.

 

Ahli tauhid yang tawakal adalah yang tidak berpaling kepada sebab, dalam pengertian hatinya tidak merasa tenang karenanya, tidak mengharapkan, tidak takut dan tidak condong kepadanya.

 

Perkataan Syaikh, “Naik meninggalkan penentangan-penentangan akal”, adalah benar. Tauhid dan iman tidak menjadi sempurna kecuali dengan hal ini. Tidak ada yang merusak agama para rasul selain dari orang-orang yang memiliki penentangan akal. Mereka menentang dengan akal mereka, menetapkan apa yang ditetapkan akal dan menafikan apa yang dinafikan akal. Mereka juga menentang apa yang dibawa para rasul, sambil berkata, “Jika akal kami tidak bisa menerima apa yang dibawa para rasul, maka kami lebih suka tunduk kepada hukum akal kami daripada tunduk kepada apa yang mereka bawa.” Cukup banyak orang yang menjadi rusak karena mereka, lalu mereka pun bergeser dari agama Allah.

 

Tauhid yang ketiga menurut penuturan Syaikh ialah tauhid yang dikhususkan Allah bagi Diri-Nya dan yang dimiliki sesuai dengan hakikatNya, yang sedikit diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hamba-hamba-Nya, yang tidak mampu mensifati-Nya dan yang paling lemah untuk mengabarkan-Nya.

 

Jika yang dimaksudkan tauhid ini berasal dari hamba kepada Rabbnya, berarti itu merupakan tauhid yang ditegakkan hamba, bukan berarti tauhid Allah terhadap Diri-Nya sendiri, yaitu sifat-sifat dan kesempurnaan yang ditegakkan-Nya. Jika yang dimaksudkan adalah tauhid Allah terhadap DiriNya sendiri, maka itu berarti ilmu, kalam dan pengabaran-Nya tentang DiriNya, seperti firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, yang tiada Ilah selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Thaha: 14).

 

Perkataannya, “Yang sedikit diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hamba-hamba-Nya”, mereka adalah orang-orang yang dipilih-Nya. Dapat dikatakan bahwa orang-orang pilihan yang paling mulia adalah para nabi. Yang lebih mulia lagi adalah para rasul. Yang lebih mulia lagi adalah UlulAzmi. Yang lebih mulia lagi adalah Al-Khalilani, Ibrahim dan Muhammad. Para nabi dan rasul inilah yang Allah memperlihatkan rahasia-rahasia, yaitu tauhid yang paling sempurna yang dikenal hamba. Tidak ada yang lebih sempurna dari itu, yang di belakangnya tidak ada bualan dan bisikan. Mereka telah berbicara tentang tauhid, menerangkan dan menjelaskan serta menetapkannya, sehingga semua menjadi jelas dan gamblang. Karenanya hati manusia bisa menangkap-nya, sanubari bisa menerimanya, lidah bisa mengucapkannya, yang didukung dengan bukti-bukti keterangan dan penjelasan serta dikuatkan dalil. Tak ada seorang pun yang bisa menukil dari seorang nabi atau perawi nabi, dan dia mengetahui tauhid lalu tidak bisa mengucapkannya atau tidak mampu menjelaskannya. Apa pun yang diketahui hati, tentu bisa diungkapkan lisan, sekalipun mungkin ungkapannya berbeda-beda. Maka bagaimana mungkin orang yang paling mengetahui dan yang paling fasih tidak mampu menjelaskan tauhid yang diperkenalkan Allah kepadanya dan dia tidak bisa mengabarkannya? Lalu apakah tauhid yang tidak mampu dijelaskan para nabi dan rasul ini kepada orang lain? Ini semua jika yang dimaksudkan Syaikh adalah tauhid yang ditegakkan Dzat Allah bagi Diri-Nya. Tapi jika yang dimaksudkan tauhid ini adalah sifat hamba dan perbuatannya, maka tidak sesuai dengan penuturannya sendiri, “Yang dikhususkan Allah bagi Diri-Nya.”

 

Bisa jadi yang dimaksudkan, bahwa Allahlah yang mentauhidkan bagi Diri-Nya di dalam hati orang-orang pilihan-Nya, bukan mereka yang mentauhidkan bagi-Nya.

 

Yang paling tepat untuk menutup buku ini ialah dengan mensitir firman Allah,

 

“Mahasuci Rabbmu, Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan, kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan, segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam.” (Ash-Shaffat: 180-182).

 

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang baik dan penuh barakah di dalamnya, seperti yang disukai dan diridhai Rabb kami, dan selaras dengan kemuliaan Wajah dan keagungan-Nya. Saya memohon agar Allah agar melimpahi kami rasa syukur atas nikmat-Nya, menjadikan apa yang saya tulis dalam buku ini dan juga buku-buku lainnya semata karena mengharap WajahNya dan untuk menyampaikan nasihat kepada hamba-hamba-Nya.

 

Wahai Pembaca, semoga Anda mendapat manfaat dan hasil, begitu pula pengarangnya. Jika Anda menemukan kebenaran di dalamnya, maka terimalah ia, tanpa memalingkan muka ke arah siapa yang mengatakannya. Lihatlah kepada apa yang dikatakan tanpa harus melihat kepada siapa yang mengatakan. Allah telah mencela orang yang menolak kebenaran yang dibawa orang yang dibencinya, namun mau menerimanya jika yang membawanya orang yang disukainya. Ini adalah akhlak orang-orang yang mendapat murka. Di antara shahabat ada yang berkata, “Terimalah kebenaran dari orang yang mengatakannya, sekalipun dia orang yang dibenci, dan tolaklah kebatilan dari orang yang mengatakannya, sekalipun dari orang yang dicintai.” Jika Anda mendapatkan kesalahan di dalam buku ini, maka yang mengatakannya tidak keberatan untuk diluruskan. Sesungguhnya Allah enggan kecuali Dia sendirilah yang Maha Sempurna. Dikatakan dalam syair,

 

“Kekurangan dalam dasar tabiat pasti tersembunyi kekurangan orang yang memiliki tabiat tak bisa diingkari.”

 

Bagaimana mungkin terlindung dari kesalahan orang yang diciptakan dalam keadaan aniaya dan bodoh? Tetapi apa salahnya jika ada yang menganggap kesalahannya lebih dekat kepada kebenaran, daripada orang yang menganggap kebenarannya serba benar.

 

Siapa yang ingin berbicara dalam masalah ini, maka hendaklah perkataannya dilandaskan kepada ilmu yang benar, tujuannya memberikan nasehat bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan bagi ikhwan Muslimin. Jika kebenaran mengikuti hawa nafsu, maka rusaklah hati, amal, keadaan dan jalan. Firman Allah,

 

“Andaikan kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.” (Al-Mukminun: 71).

 

Ilmu dan keadilan merupakan dasar segala kebaikan, sedangkan kezhaliman dan kebodohan merupakan dasar segala keburukan. Allah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, memerintah beliau agar berbuat adil di antara semua lapisan serta tidak mengikuti hawa nafsu seorang pun di antara mereka.

 

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah, ‘Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu sekalian. Allahlah Rabb kami dan Rabb kalian. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kalian, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).” (Asy-Syura: 15).