Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah membimbing orang-orang pilihan-Nya untuk melaksanakan ketaatan dengan tetap menjaga adab. Dan telah menunjukkan orang-orang yang mendapatkan ridho-Nya dalam membagi waktu-waktunya untuk fokus mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat, beribadah dan mengamalkan Hizb.
Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tidak ada yang menyekutui-Nya, Dzat yang memelihara dan penerima taubat. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan utusan-Nya, paling utamanya manusia yang menjauhi kemewahan dunia, pasrah, ikhlas, menyendiri untuk beribadah dan kembali kepada Allah. sholawatullah semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang akhlaknya adalah AlQur’an, beserta para keluarga dan sahabatnya, yaitu orang-orang yang telah menempuh jalan yang benar. Selanjutnya akan berkata orang yang fakir dan banyak kecerobohannya, dan yang berlindung kepada tuhannya yang maha perkasa, Muhammad yang terkenal dengan nama Nawawi kitab ini adalah kitab penjelasan atas nadzam karya Syekh Zainuddin, ayah dari Syekh Abdul Aziz, ayah dari Syekh Zainuddin pengarang kitab Fath al-Mu’in.
Maka, pengarang Nadzam ini adalah kakek pengarang kitab Fath al-Maurin. Nadzam ini dari kategori Bahr Kamil, komposisinya adalah (6x). Saya menamai kitab syarh ini “Selalim al-Fudhala’ ‘ala Hitdayah al-Adzktya’ ‘tla thariq al-Auliya’””.
Dalam kodifikasi kitab syarah ini, saya hanya menulis dan menghimpun perkataan para tokoh panutan. Oleh karena itu, apabila anda menjumpali suatu kesalahan di dalamnya, maka hal itu berasal dari kekurangan yang terjadi pada diriku, atau kesalahan akibat buruknya pemahamanku. Kami berharap kepada orang yang menjumpai kesalahan itu untuk membenahinya setelah melakukan pertimbangan. Semoga Allah mengasihi orang yang melihat aib kemudian la menutupinya, menjumpai kekeliruan lalu ia mengampuninya, atau menjumpai kesalahan lalu la memberikan toleransi dan memaklumi pelakunya. Sebab sedikit sekali seorang pengarang bisa terlepas dari kesalahan, atau selamat dari terpeleset, disertai ketidak ahlianku dalam menyusun dan keterbatasanku untuk sampai pada makna yang ada di nadzam itu.
Dan sesungguhnya aku menjauhkan diriku dalam jalan menuju Allah Swt. dari kesalahan yang dilakukan jari-jariku, penjelasan yang menyesatkan, dan termuatnya kekeliruan dan kelalaian. Dan hanya pada Alloh aku menengadahkan tangan pengharapan agar Alloh tidak menjadikan kitab ini hujjah atasku di hari kiamat, hari tampaknya berbagai ketakutan. Ketahuilah, bahwa pengarang nadzam ini, yaitu syekh Zainuddin Bin Ali Bin’ Ahmad As-Syafi dilahirkan di daerah kausyan, salah satu. daerah Malibar, setelah terbitnya matahari pada hari kamis tanggal 12 sya’ban 871 H. saat masih kecil beliau dibawa oleh pamannya, yaitu Qadhi Zainuddin Bin Ahmad ke daerah Fanan. Dan di situlah beliau wafat pada tengah malam jum’at 16 Sya’ban 928 H.
Beliau ini juga memiliki banyak karya lain, seperti Tuhfah AlAhibbah, Irsyad Al-Qashidin fi Ikhtishari Minhaj Al-Abidin, dan Sy’ab Al-Iman yang ditranslit ke dalam baha Arab dari Syu’ab AIIman dalam bahasa Persi kaya Sayyid Nuruddin Al-lyjy. Nadzam ini tersebar di tanah Jawa serta mengalami banyak perubahan. Karena itulah kami mengutip bait-bait nya lalu menjelaskannya dengan ringkas.
Latar belakang penyusunan nadzam ini, seperti yang dikisahkan oleh pengarang, bahwa beliau pernah mengalami kebimbangan dalam memilih ilmu yang akan beliau tekuni, apakah akan menekuni fikih atau tasawuf seperti kitab AlAwarif dan lain-lain. Di tengah kebimbangan itu beliau bermimpi pada malam Rabu 24 Sya’ban 914 H. bertemu dengan seseorang, Orang itu berkata kepada beliau bahwa ilmu tasawuf itu lebih utama antuk ditekuni, Sebab orang yang berenang dari tepi ke tepi yang lain di seberang sungai, tentu ia akan berenang dari arah di mana air mengalir, yaitu dari hulu hingga ia Sampai pada tempat tujuannya. Ia tidak akan menyelami lebarnya sungai begitu saja Karena cara ini tidak akan mengantarkan pada tujuannya, melainkan pada tempat yang ada di bawahnya. Pada akhirnya beliau pun paham bahwa mendalami ilmu tasawuf itu dapat mengantarkan ke tempat tujuan, sedangkan menekuni ilmu fiqih itu tidak dapat mengantarkan pada tujuan. Setelah mengalami mimpi tersebut, beliau pun menyibukkan diri dengan mengarang bait—bait nadzam ini yang berjumlah seratus delapan puluh delapan bait dan membuat bagus untainnya.
Beliau memulai penyusunan bait ini dengan membaca : “bismillahirrahmanirrahim ” Artinya saya memulainya dengan seluruh nama untuk Dzat yang maha suci, tidak dengan yang lain, seraya mengharapkan berkah. Di antara makna-makna yang tersembunyi dalam basmalah adalah pernyataan bahwa ba’ adalah baha’ullah, sin adalah sana’ullah, mim adalah majdullah. Juga dikatakan bahwa ba’ berarti buka’ at-taibin, sin berarti sahw al-ghaflin, dan mim berarti maghfirah lh almudznibin. Sedangkan ism al-jalalah (lafadz ) itu merupakan raja dari segala nama, serta merupakan nama yang mengakomodir seluruh makna-makna dari nama-namaNya adalah dua nama di antara beberapa nama Allah Swt. Dua lafad tersebut mempunyai banyak penafsiran, di antaranya adalah yang dikatakan sebagian Ulama, “Ar-Rahman itu adalah Dzat yang ketika diminta ia akan memberi, dan Ar-Rahim itu adalah dzat yang ketika tidak dimintai ia akan murka”. Menggunakan dua nama ini, bukan nama-nama Allah yang lain adalah untuk mengisyaratkan bahwa rahmat Allah itu mendahului murka-Nya. Nabi Saw bersabda; “Sesungguhnya Allah itu’ mempunyai seratus rahmat. sembilan puluh sembilan di antaranya Allah simpan di sisi-Nya, dan Allah menurunkan satu rahmat saja. Dengan satu rahmat itulah kalian saling mengasihi satu sama lain. Kelak pada hari kiamat, Allah akan mengumpulkan satu rahmat itu dengan sembilan puluh sembilan rahmat yang ada di sisi-Nya. Maka Allah akan mengasihi seluruh hamba-Nya dengan semua rahmat-Nya.”
Dan Allah telah menganugerahkan kepada umat Rasulullah Saw. Dari kalimat inilah empat sungai surga mengalir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda; “Pada malam di mana aku dinaikkan ke langit, Jibril turun kepadaku. Ia berkata, Muhammad, buka kedua matamu! Maka aku pun membuka kedua mataku lala mengamati sekelilingku. Dan ternyata aku berada di bawah pohon yang sangat besar. sisi pohon itu terdapat kubah dari intan putih dengan pintu yang terbuat dari emas berwarna merah. Pada pintu tersebut terdapat gembok dari emas merah. Seandainya seluruh penghuni dunia berkumpul dan naik ke atas kubah tersebut, niscaya mereka hanya seperti seekor burung yang hinggap di atas pegunungan, atau seperti seorang yang berenang di lautan. Lalu aku melihat sungai yang mengalir dari kubah tersebut. Saat aku hendak pergi, jibril berkata kepadaku, Anda akan kemana Apakah anda tidak ingin memasukinya?. Aku pun menjawab, Wahai saudaraku jibril, bagaimana caraku memasukinya, sedangkan pada kubah itu ada gembok yang terbuat dari emas?. Jibril pun berkata, bukalah gembok itu Karena kuncinya adalah kalimat Akupun membuka dan masuk kedalamnya, di sana aku melihat telaga air yang mengalir dari mimnya lafadz [ ], aku melihat telaga susu mengalir dari hurf ha’-nya lafad [ ], telaga khamr mengalir dari mim-nya lafad [. ], dan telaga madu dari mim-nya lafad [ ] Sehingga aku pun mengerti bahwa semua telaga surga mengalir dari kalimat [ ]. Demikian penuturan al Fasyani.
Sepala puji bagi Allah, Dzat yang membimbing menuju derajat luhur, dengan pujian yang membandingi kebaikan-Nya yang sempurna.
[ ] adalah sanjungran dengan alat kumunikasi, meski dengan sikap, yang dilatar belakangi oleh suatu kebaikan yang bisa diusahakan, baik secara hakikat atau pun secara hukum, disertai pengagungan dzahir dan batin, yakni dengan tidak meyakini hal yang berbeda dari apa yang ia sifatkan kepadanya serta tidak didustakan oleh sikapnya, baik pujian tersebut diungkapkan untuk membalas suatu nikmat atau pun tidak.
[ ] dengan dibaca dhammah ‘ain-nya, jama’ dari lafadz [ ]. Artinya dzat yang menciptakan kemampuan untuk menghasilkan sarana menuju martabat yang luhur, sarana tersebut adalah ta’at Kepada AWlah dan Rasul-Nya.
Lafad [ ] adalah maful muthlaq yang di-nashob-kan oleh mashdar. Adanya pemisah antara dua mashdar itu) tidaklah berpengaruh. Adapun pernyataan Ulama, Tidak boleh memisah antara mashdar darn ma’mul-nya dengan lafad lain, mungkin maksudnya adalah ma’mul selain maful muthlaq dan maful liajlhh.
Arti [ ], dengan dibaca kasrah ba’-nya, adalah membandingi pemberian-pemberian Allah Swt, sekira pujian tersebut sesuai dengan kadar pemberian-Nya sehingga tidak ada satu pun pemberian kecuali sebanding dengan pujian tersebut, sekira pujian itu berbanding lurus dengan seluruh pemberian-Nya. Ungkapan ini mengunakan gaya mubalaghah (melebih-lebihkan) sesuai apa yang diharapkan pengarang. Jika tidak demikian, maka setiap pemberian itu memerlukan pujian tersendiri, seperti keterangan Al-Jamal. Ibn Al-Muqri berkata, Arti [ ], pujian itu melunasi kebaikan-Nya, dan memenuhi haknya.
Kemudian shalawat semoga tercurahkan kepada Rasul yang dipilih, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya yang berkelanjutan. Artinya; Rahmat yang disertai penghormatan semoga tercurah kepada Rasulullah, seorang yang dipilih dari sekian makhluk-Nya. Dan Kepada keluarga beliau, yakni kerabat beliau dari bani hasyim dan bani al-Muthallib yang beriman. Ini lah yang dimaksud keluarga Rasul pada nadzam ini, sebab pengarang menuturkan lafad [ ] (pengikut) setelahnya.
Keluarga Nabi itu pasti mencakup putera-puteri beliau yang jumlahnya ada tujuh, empat perempuan dan tiga Jaki-laki. Yaitu, Al-Qasim, Zainab, Rugayyah, Fathimah, Ummii Kultsum, Abdullah, Ibrahim. Putera beliau Abdullah bergelar At-thayyib dan At-thahir. Seluruh putera dan puteri Rasul itu wafat saat Rasulullah masih hidup kecuali Fathimah, beliau wafat enam bulan setelah Rasulullah wafat. Dan semuanya lahir dari rahimmn Sayyidah Khadiyah kecuali Ibrahim, belinu lahir dari rahim Maariyah AI-Qibthiyah.
Lafad [ ] itu. dengan dibaca sukun ‘ain-nya dan fathah Shod-nya, juga boleh dibaca kasrah. Sahabat ‘adalah orang yang berkumpul bersama Nabi Saw seraya beriman kepada beliau, dengan berkumpul secara umum meskipun belum pernah melihat atau meriwayatkan satu hadits pun dari beliau, dan meskipun tidak lama bersama beliau. Hal imi berbeda dengan tabi’in beserta sahabat. Untuk menyandang status tabiin, diharuskan berkumpul dengan Sahabat dalam jangka yang lama, atau pernah meriwayatkan hadits darinya.
Oleh Karena itu, orang yang pernah berkumpul dengan Nabi Saw sebelum ia beriman, Kemudian ia beriman setelah Nabi wafat, maka orang tersebut tidak masuk Kategori Sahabat. Masuk dalam kategori Sahabat adalah Nabi Isa as. Karena beliau pernah berkumpul dengan Nabi Saw di area thawaf, dan belajar syari’at Islam dari beliau sebagaimana pendapat syekh Abd As-Salam, berbeda dengan pendapat Ar-Raml.. Begitu juga dengan Nabi Khidhir as. Adapun Malaikat Jibril, maka beliau pasti masuk Ke dalam Kategori sahabat. Sebab beliau pernah mendatangi Rasulullah Saw dalam wujud manusia, demikian ini seperti yang dituturkan oleh Sayyid Athiyah Al-Ajhuri.
[ ] dengan dibaca dhamimah ta’ dan di-tasydid ba’-nya, merupakan jama’ dari latad Mereka adalah orang-orang yang mengikuti agama Rasulullah Saw. Lafad [ ] dengan dikasrah wawu-nya, merupakan sifat untuk lafadz [ ], artinya terus menerus seperti dalam kitab As-Sihah. Maksudnya, terus-menerus sampai dekatnya hari kiamat.
Takwa kepada tuhan adalah asas setiap kebahagiaan. Sedangkan mengikuti hawa nafsu itu merupakan pokok buruknya jebakan setan. Berkata Ali Bin Ahmad Al-Jizy dalam kitab Tuhfah Al-Khawas, Taqwa secara bahasa adalah sikap menjauhi sesuatu yang membahayakan agama dan duniawi seseorang. Sedangkan dalam istilah syar’i, Taqwa adalah menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan. Dan terkadang istilah taqwa dikhususkan untuk sikap menjauhi syubhat. Dan hukum-hukum syarrat itu tidak lepas dari melaksanakan perintah dan menjahui larangan. Arti bait di atas ialah; Taqwa kepada Allah Swt. saat sendirian maupun di keramaian merupakan faktor yang mendatangkan semua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab, taqwa merupakan bekal menuju alam akhirat. Orang yang bertaqwa sungguh telah membuat tembok pembatas yang menghalangi antara dirinya dan maksiat. Tembok tersebut adalah niatan kuat untuk menjauhi maksiat, serta menyadari keburukannya. Sebagian Ulama melantunkan sya‘ir dart bahr thawil yang artinya;
Apabila anda tidak pergi dengan membawa bekal berupa ketaqwaan, dan setelah kematian anda bertemu dengan orang yang membawa bekal, niscaya anda akan menyesal karena tidak membawa bekal seperti orang itu, dan menyesal karena tidak mempersiapkan seperti yang ia persiapkan.
Lafad [ ] dengan dibaca kasroh ta’znya adalah mashdar dari lafad [ ] [ ] adalah jama’ dari lafad [ ] dengan dibaca pendek. Pada dasarnya, jama’ dari lafad ini dibaca . panjang [ ], namun di sini dibaca pendek karena tuntutan wazan. [ ] adalah mudhaf ilaih, jama’ dari lafad [ ] yang berarti “jaring untuk berburu”, namun arti yang dimaksud pada ba’it ini adalah “jebakan”. Maksud dari bait ini, mengikuti hawa nafsu itu merupakan pangkal buruknya jebakan setan. Sebab, setiap orang yang menuruti hawa nafsu, ia adalah hamba atau budak kesenangannya, bukan hamba Allah. Karena itulah Allah memberikan kekuasaan kepada setan atas dirinya. Allah berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”. Ayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang menuhankan hawa nafsunya, ia adalah hamba hawa nafsu, bukan hamba Allah.
Sesungguhnya jalan untuk menuju kepada Allah itu adalah syari’at, thoriqah dan hakikat. Maka dengarkanlah perumpamaan untuk ketiganya.
Artinya, jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah itu ada tiga. Pertama, syari’at. Makna asli kata ini ialah tempat berduyun-duyunnya manusia untuk mencari air. Dalam istilah fikih, syari’at adalah menjalankan perintah dan meninggalkan sesuatu yang dilarang. Ke dua, thariqah. Yaitu mencari tau perilaku-perilaku Rasulullah dan mengamalkannya. Ke tiga, hakikat. Yaitu hasil dari thariqah. [ ] menggunakan mabnz mazhul. Artiya, dengarkanlah perumpamaan yang dibuat oleh ulama untuk ketiga hal di atas.
Syari’at itu ibarat bahtera. Thariqah ibarat lautan. Lalu hakikat itu ibarat mutiara yang mahal harganya. Artinya, syari’at itu ibarat bahtera dalam hal sebagai sarana untuk sampai pada tujuan, serta untuk selamat dari kebinasaan.
Thariqah itu ibarat lautan yang menjadi tempat mutiara dalam hal sebagai tempat sesuatu yang menjadi tujuan. Dan hakikat itu bagaikan mutiara yang sangat istimewa dan sangat mahal. Mutiara itu tidak akan ditemukan kecuali di dasar lautan, dan lautan itu tidak akan bisa diarungi tanpa menggunakan bahtera.
Pada sya’ir ini, mubtada’ berupa isim nakirah (yang semestinya tidak diperbolehkan) dikarenakan tujuannya adalah untuk memerinci) dan membagi. Seperti sya’ir dari bahar mutaqarib;
Aku berhadapan dengan merangkak di atas kedua lututku, ada baju yang kupakai ada baju yang kuseret.
Maka, syariat adalah menjalankan agama sang pencipta, serta menegakkan perintah dan larangan yang sudah jelas.
Thariqah adalah menjalani kehatihatian seperti wara’, dan menjalani kondisi sulit seperti riyadhah seraya fokus beribadah.
Dan hakikat itu adalah sampainya seorang salik pada tujuan, dan penyaksiannya terhadap cahaya pencerahan dengan jelas.
Artinya, syariat adalah pencarian seorang salik terhadap ajaran agama Islam, serta senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt, dan itu yang disebut istiqamah. Arti lafad [ ] ialah perintah dan larangan yang telah menjadi jelas bagi segenap manusia, kalimat ini adalah penyempurna bait.
Thariqah adalah sikap bersandar pada perkara-perkara yang berat seperti wira’i, yakni meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat adalah wara’nya orang-orang salih. Dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermasalah karena khawatir terjerumus pada sesuatu yang bermasalah, seperti yang disampaikan oleh Umar ra.; Kami meninggalkan sembilan sepersepuluh sesuatu yang halal karena khawatir terjerumus pada sesuatu yang haram. Ini merupakan tingkatan para muttaqin. Dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak murni karena Allah Swt, ini adalah tingkat wara’ para shiddiqin. Yaitu mereka yang meng-Esa-kan Allah dan memurnikan amal hanya untuk-Nya. Mereka tidak bergerak dan tidak diam kecuali karena Allah, tidak berbicara dan tidak membisu kecuali Karena Allah, tidak makan kecuali supaya kuat untuk menjalankan ibadah, tidak tidur kecuali karena Allah, dan jika mereka berjalan, maka untuk memenuhi Kebutuhan orang muslim atau melakukan kebaikan.
Lafad [ ] diathafkan pada lafad [ ]. Arti penggalan bait ini, thariqah adalah mempercayakannya seorang salik terhadap Kondisi yang berat seperti riyadhah, yaitu melemahkan nafsu dengan sedikit makan, minum dan tidur, serta menjauhkan nafsu’ dari perkara mubah yang berlebihan.
Lafad [ ] adalah hal dari fa’il-nya lafad [ ] yang dikira-kirakan. Artinya, seraya menghabiskan waktu untuk beribadah, serta meninggalkan kepentingan duniawi untuk menuju kepada Allah.
Hakikat adalah sampainya seorang salik pada tujuannya. Lafad [ ], huruf shad-nya bisa dibaca kasrah, yaitu sebagai isim makan yang berarti tempat tujuan. Juga bisa dibaca fathah sebagai mashdar mim‘ namun bermakna isim maful, maknanya adalah sesuatu yang dituju.
Latad ( ) adalah mubtada’. [ ] adalah khabar-nya, tidak bisa dibalik karena mubtada’ adalah mahkum alaih, dan khabar adalah mahkum bih. Syarat dari mahkum ‘alaih itu harus berupa sesuatu yang maklum, _ sedangkan mahkum bih itu harus majhul (tidak dikenali), seperti keterangan dalam Al-Unmudzaj. Lafad [ ] itu sudah diketahui dari bait sebelumnya, maka lafad tersebut adalah isim makrifat secara makna. Sementara lafad [ ] itu tidak ada pada bait sebelumnya. Di samping itu, susunan [ ] itu. mengikuti runtutan nadzam [ ]
Lafad [ ] dengan dibaca sukun hurf ha’-nya yang terahir karena menyesuaikan wazan. Lafad tersebut di-athaf-kan pada lafad [ ], maka terbaca rafa’ karena athaf pada khabar, serta dimudhafkan pada lafad setelahnya.
Maksud dari menyaksikan cahaya pencerahan dengan terang adalah melihat cahaya pencerahan dengan tersingkap secara sempurna. Sebagian ulama berkata, hakikat itu adalah memahami seluruh subtansi dari segala sesuatu, seperti menyaksikan nama, sifat dan dzat, dan memahami rahasia yang terkandung di dalam al-Qur’an, di dalam larangan dan suatu kebolehan, serta memahami pengetahuan yang bersifat gaib yang tidak bisa dipelajari dari seorang guru.
Maka, tajally adalah cahaya gaib (tidak terjangkau oleh pancaindra) yang tersingkap pada qalbu seorang salik. Apabila hal itu berawal dari dzat, tanpa melihat satu sifat pun, maka disebut tajally ad-dzat. Namun kebanyakan para wali mengingkarinya, mereka menyatakan bahawa tajally ad-dzat itu tidak bisa diperoleh kecuali melalui suatu sifat, maka ini merupakan kategori tajally asma’ yang mendekati tajally sifat. Dan apabila permulaannya adalah pekerjaan Allah Swt, maka disebut tajally Af al. Maka, tajyally asma’ adalah tersingkapnya hakikat nama Allah Swt pada hati seorang salik. Dan apabila salah satu nama Allah telah tersingkap pada hati seorang salik, ia akan terpesona di bawah cahaya nama tersebut, sehingga jika ia memanggil Allah dengan nama tersebut, maka Allah akan menjawab panggilannya itu. Demikian ini seperti yang diutarakan oleh Ahmad Al-Junaidi di dalam As-Sair Was-Suluk Ilallah.
Orang yang menginginkan mutiara, ia akan berlayar dengan perahu dan menyelami lautan, Kemudian ia akan memperoleh mutiara.
Artinya; orang yang menginginkan mutiara ia akan berlayar dengan perahu terlebih dahulu, kemudian menyelami lautan untuk mencarinya, dan setelah itu ia akan mendapatkan mutiara itu.
Hurf lam pada lafad [ ] itu bermakna ‘ala. Sebab lafad () merupakan fi’il yang mutaady dengan dirinya sendiri atau dengan huruf jar [ ] seperti keterangan dalam Al-Misbah. Lafad itu dinashab-kan sebab pembuangan huruf jar Sebab, lafad [ ] itu muta’adi dengan huruf [ ], seperti keterangan dalam Al-Qamus dan As-Sihah, dan dengan [ ] seperti keterangan dalam Al-Mlisbah. Sedangkan huruf alif pada lafad [ ] itu adalah alif ithlaq.
Begitu pula dengan thoriqoh dan hakikat wahai saudaraku, keduanya tidak akan diperoleh jika tidak disertai menjalankan syari’at.
Alif pada lafad [ ] adalah dhomir tasniyah yang kembali pada lafad dan sebab lafad tersebut adalah khobar dari kedua lafad ini sehingga hurf fa’ masuk pada keduanya. Lafad [ ] adalah khobarnya mubtada’ yang terbuang.
Artinya hal itu seperti orang yang mencari mutiara dan menyelami lautan tanpa menaiki perahu terlebih dahulu, sehingga dia pun tidak bisa mendapatkan mutiara yang dicari, dan tidak Kuasa untuk menyelam. Maka dari itu, kewajiban pertama atas mukallaf adalah menjalankan syari’at. Orang yang mengamalkan syariat, akan mudah baginya dengan pertolongan Allah memasuki pintu mukahadah yang notabenenya adalah thoriqoh, dan orang yang menjalani Mujahadah, akan tampak padanya cahaya hakikat.
Al-Qusyairi berkata, setiap syariat yang tidak dikuatkan dengan hakikat itu) tidaklah diterima, dan setiap hakikat yang tidak diikat dengan Syari’at itu tidaklah bisa dicapai. Sebagian ulama berkata, barang siapa mengamalkan syari’at’ tapi belum ada padanya sentuhan hakikat, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah, dan barang siapa mengamalkan hakikat tapi dia tidak mengamalkan syari’at, maka ia adalah seorang zindiq. Maqolah ini disampaikan oleh syekh Abdul Ghoni An-Nabilisy. Syekh Abu Madyan berkata di dalam kitab Al-Hikam, Barang siapa yang merasa cukup dengan ibadah tanpa memahami figqih, maka ia telah melenceng dan berbuat bid’ah, dan barang siapa yang merasa cukup dengan fiqih tanpa menjalani wira’i, maka ia telah tertipu dan terpedaya. Artinya, orang yang menyembah Allah Swt tanpa menggunakan fiqih, maka ia telah keluar dari jalan yang benar karena ketidak tahuannya terhadap tata cara ibadah sehingga ia merusaknya. Dan orang yang berbuat seperti itu, maka ia telah berbuat bid’ah karena menyalahi sunnah Nabi Saw dan melakukan kebiasaan kaum jahiliyah. Sedangkan orang yang menjalani fiqih tanpa disertai wira’i, maka ia telah tertipu oleh pemikirannya bahwa apa yang ia lakukan termasuk hal yang bisa menyelamatkan, atau terpedaya dengannya ketika ia merasa puas dengannya. Adapun wirai itu adalah menjauhi syubhat dan menjauhi penyebab-penyebab rusaknya amal.
Maka wajib baginya menghiasi dzohirnya dengan syari’at supaya hatinya yang ditinggikan bisa tercerahkan.
Dan supaya kegelapan lenyap dari hatinya, juga supaya thoriqhoh bisa turun Ke dalam kalbunya.
Artinya, wajib atas salik menghiasi lahiriahnya dengan menggunakan syari’at. supaya hati yang tinggi kedudukannya bisa tercerahkan oleh cahayanya. Sebab, hati itu layaknya raja, sedangkan organ tubuh yang lain itu ibarat rakyat. Dan hati itu ibarat tanah, sementara aktivitas jasad itu seperti tumbuhan. Dan ibarat mata air, sedangkan jasad itu ibarat tanaman. Sehingga, apabila hatinya baik, maka seluruh jasad menjadi baik. Sebaliknya, apabuila hatinya rusak, maka jasadnya pun juga rusak.
Lafad [ ] adalah sifatnya lafad . Lafad tersebut adalah isim maful dengan arti “ditinggikan”, diambil dari ungkapan di dalam kitab As-Shihah, (saya tinggikan imamah ke kepalaku) ketika kamu mengangkat ‘umamah dan melipatnya dari keningmu. Lafad [ ] itu diathofkan pada lafad [ ], artinya supaya kegelapan maksiat lenyap dari hatinya. Sebab, maksiat itu memiliki kegelapan yang akan naik ke hati, sebagaimana ketaatan itu yang memiliki cahaya yang naik ke hati. Maka cahaya ketaatan akan melenyapkan kegelapan maksiat dari hati.
Lafad [ ] itu juga diathofkan pada lafad . Artinya, supaya thoriqoh bisa tinggal di dalam hatinya, sehingga ia akan merasa mudah untuk menggerakkan dirinya pada perkara-perkara yang berat. Thoriqoh tidak akan seimbang tanpa disertai syari’at. Dan ~syari’at itu tidak akan gugur dari seorang mukallaf $meskipun telah tinggi kedudukannya dan menjadi bagian dari kekasih Allah. maka tidak gugur darinya kewayjiban-kewayjiban syari’at seperti sholat dan lain sebagainya. Orang yang berfikir bahwa seseorang yang telah menjadi wali dan telah sampai pada hakikat itu gugur tanggungan syari’atnya, maka ia adalah orang yang tersesat dan menyesatkan. Sebab, ibadah itu tidak gugur dari para Nabi, lantas bagaimana mungkin bisa gugur dari para wali?!
Masing-masing: manusia itu memiliki jalan tersendiri yang ia pilih, sehingga dari jalannya itu ia bisa sampali.
Seperti duduknya di antara manusia untuk mendidik. Dan seperti memperbanyak wirid seperti puasa dan sholat.
Juga seperti melayani kebutuhan manusia. Dan memikul kayu bakar untuk disedekahkan hasil penjualannya.
Artinya, masing-masing orang sufi itu mempunyai jalan yang ia pilih dan ia jalani. Sehingga dari jalan itulah ia bisa sampai pada Allah Swt. Sebagian dari mereka ada yang duduk menjadi pendidik di tengah-tengah manusia dengan memandu mereka untuk shalat dan berakhlak mulia. Orang yang berilmu lalu mengamalkan dan mengajarkannya, maka ia adalah orang’ dipanggil sebagai orang besar di kerajaan langit. Sebab ia bagai matahari yang menerangi makhluk yang lain, ia juga menerangi dirinya sendiri. Atau bagaikan misik yang harum dan mengharumkan yang lain. Ketika seseorang telah menyibukkan diri dengan mengajar, sungguh ia telah memegang urusan yang besar dan resiko yang besar. Maka hendaknya la menjaga adab-adabnya seperti yang dikatakan Al-Ghozali di dalam kitab Ihya’.
Sebagian ulama lain ada yang memilih memperbanyak wirid, yakni rutinitas ibadah seperti sholat dan puasa sunnah, membaca Al-Qur’an dan tasbih. Ini merupakan derajat orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk beribadah, dan merupakan jalan orang-orang sholih. Ada juga yang memilih mengabdi kepada ulama fiqih, ulama sufi dan tokoh agama. Hal ini lebih utama dari pada ibadah sunnah karena merupakan bentuk ibadah sekaligus menolong umat Islam, seperti yang dikatakan Al-Jylani, “Aku tidak sampai kepada Allah melalui ibadah di malam hari dan puasa di siang hari, tapi aku bisa sampai kepada-Nya dengan kedermawanan, tawadhu’ dan kesucian hati’. Dan ada di antara mereka yang memikul kayu bakar untuk dijual di pasar agar bisa bersedekah dengan hasil penjualannya. Hal ini termasuk ibadah yang bermanfaat, dengannya ia bisa memperoleh berkah doa umat Islam. Lafad [ ] dengan dibaca sukun ba’nya karena wazan, lafad tersebut adalah maful bih. Lafad [ ] dengan dibaca fathah wawu-nya, yakni sesuatu yang ditukar dengan harta. Lafad ini adalah maful-nya lafad [ ] dengan dibaca kasroh shod-nya yang ditasydid.
Barang siapa ingin menempuh jalan para wali, hendaknya ia memelihara seraya mengamalkan wasiat-wasiat ini.
Artinya, barang siapa yang ingin masuk kedalam jalan para wali, maka hendaknya ia menjalankan sembilan wasiat yang akan disebutkan pada nadzom berikutnya dan hal-hal yang menyertainya. Lafad [ ] dengan disukun Kaf-nya karena dhorurot, bukan karena dijazmkan oleh huruf , seperti dalam sya’ir dari bahr thowil ;
Aku takut ia mengetahui keperluan itu lalu ia menolaknya, sehingga ia akan meninggalkannya karena merasa berat atas diriku. Dinashobkannya lafad [ ] dan [ ] yang diathofkan pada lafad [ ] adalah bukti bahwa lafad itu disukun karena dhorurot, bukan karena I’rob jazm. Dhomir yang tersimpan di dalam lafad itu kembali pada Butsaynah, kekasih si penya’ir yang bernama Jamil. Sedangkan dhomir bariz pada lafad itu kembali pada lafad Juga boleh dikatakan bahwa lafad [ ] itu dijazmkan oleh , dengan dasar bahwa sebagian Ulama Kufah dan Abu Ubaidah itu memperbolehkan jazm dengan menggunakan . Hal ini dikutip oleh Al-Lahyany dari sebagian bani Shobah dari kabilah Dhobbah. Dalilnya adalah sya’ir dari bahr thowil di bawah ini : Ketika kami berangkat diwaktu pagi, berkatalah putra-—putra keluarga kami, kemarilah kalian sampai buruan mendatangi kita, maka kita akan mencari kayu bakar. Lafad [ ] artinya kami berangkat pagi. Lafad [ ] dengan dikasroh tho’-nya, artinya kita mengumpulkan kKkayu bakar. Lafad tersebut adalah jawabnya amr.
Diantara kesembilan wasiat tersebut adalah taubat. Taubat itu’ dibagi menjadi tiga. pertama “Taubat, tengahnya adalah Inabah, dan akhirnya adalah Awbah. Orang yang bertaubat Karena takut terhadap siksa, maka ia adalah pemegang derajat taubat. Orang yang bertaubat karena mengharap pahala, ini adalah pemegang derajat inabah. Dan orang yang bertaubat karena menjaga atau menegakkan sifat kehambaan, bukan karena menginginkan pahala atau takut terhadap siksa, maka ia adalah pemegang derajat Awbah. Hal ini dijelaskan oleh syek Muhyiddin bin Al-Arobi Al-Magribi.
Pintalah taubat dengan menyesali dan menghentikan perbuatan dosa. Dan dengan menyengaja untuk meninggalkan dosa pada masa yang akan datang.
Juga dengan membebaskan diri dari setiap hak adami. Maka pelihara dan sempurnakanlah rukun-rukun ini. Artinya, pintalah taubat disertai engkau menyesali usiamu yang telah berlalu di dalam kemaksiatan. Dan disertai dengan menghentikan kemaksiatan seketika itu juga apabila engkau sedang melakukannya atau sedang berniat untuk mengulanginya lagi, yakni dengan cara meninggalkannya dan menetapi pada keadaan yang paling baik seketika itu juga. Dan disertai engkau bertekad untuk meninggalkan dosa itu selama engkau masih hidup, serta bertekad untuk tidak mengulangi Kebiasaan-kebiasaan buruk.
Dan disertai engkau membebaskan tanggungan dari setiap hak orang lain, seperti harta benda dan qisohs. Artinya, apabila ada hak orang lain yang berhubungan dengan seseorang yang bertaubat, maka disyaratkan pembebasan dirinya dari hak tersebut. Yakni dengan memberikan harta itu jika masih ada, atau memberikan gantinya jika sudah rusak, atau meminta halal kepada si pemilik hak agar ia membebaskannya. Ia juga harus memberi tahu si pemilik kecuali jika tanggungan haknya berupa had, dalam hal ini ia boleh menutupi dirinya. Maka orang yang mencuri dan telah mengembalikan barang curiannya, ia tidak wajib memberitahu bahwa ia mengambilnya dengan cara mencuri.
Lalu apabila si pemilik hak telah mati, maka haknya diserahkan kepada ahli waris. Apabila tidak ditemukan ahli warisnya, maka diserahkan kepada qodhi yang diridhoi perilaku dan keagamaannya. Bila tidak ada, diserahkan kepada orang alim yang menjalankan agamanya. Bila hal itu terasa sulit, maka dialokasikan pada kemaslahatan, seperti jembatan, dengan niat suatu saat akan memberikan ganti rugi kepada pemiliknya ketika ia sudah ditemukan. Apabila ia tidak mampu, atau merasa keberatan untuk menyerahkannya karena takut atau yang lain, maka diserahkan kepada orang yang sangat membutuhkan. Ia juga boleh mengalokasikan hak tersebut pada dirinya sendiri saat ia memerlukan. Semua ini apabila orang yang bertaubat tersebut adalah orang kaya. Apabila ia orang yang mengalami kesulitan hidup, maka ia harus berniat untuk menunaikannya ketika dia sudah mampu. Jika ia mati sebelum mampu menunaikan, maka yang diharapkan dari anugerah Allah adalah pengampunan dan memberikan ganti kepada si pemilik hak. Ini apabila ia tidak bermaksiat disebabkan menunda-nunda. Jika seperti itu, maka diambil dari kebaikannya dengan kadar kedzoliman yang ia lakukan. Jika kebaikannya sudah habis, maka dilemparkan Kepadanya dosa dari keburukan-keburukan orang yang didzolimi. Al-Hakim meriwayatkan dari Anas ra., dari Rasulullah Saw, “Sebagian pelebur dosa menggunjing adalah engkau memintakan ampunan untuk orang yang kau gunjing, yakni dengan berdoa; Hal ini apabila gunjingan tersebut tidak sampai pada orang yang digunjing. Jika sudah sampai, maka juga disyaratkan meminta halalnya. Apabila hal itu dirasa sulit karena orang yang digunjing telah mati atau pergi jauh, maka ia harus memintakan ampunan untuknya Kepada Allah, tidak cukup meminta halal kepada ahli warisnya seperti yang dijelaskan oleh Ali bin Ahmad Al-Jiyzy di dalam “Tuhfatul Khowash. Ungkapan penyusun artinya peliharalah rukun-rukun ini dengan menjalankan dan menyempurnakannya. Huruf alif pada lafad adalah pengganti nun taukid khofifah. Keempat hal ini disebut rukun-rukun taubat, sebagian UWlama ada yang menyebutnya syarat-Syarat taubat. Ibn Al-Imad berkata, keempat syarat taubat itu diambil dari Al Qur’an. Menyesal diambil dari firman Allah, “Dan orang-orang yang ketika melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampunan untuk dosa dosa mereka. Hal itu karena ketika seorang hamba telah berbuat dosa lalu mengingat Allah, maka ia akan merasa menyesal atas dosa yang menetapkan siksa. Adapun berhenti dari perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya dan mengembalikan penganiayaan itu diambil dari firman Allah, “Dan mereka tidak meneruskan atas dosa yang telah mereka kerjakan’. Sebab orang yang tidak menghentikan perbuaan dosanya, ia adalah orang yang meneruskan dosanya. Begitu pula orang yang telah menghentikan perbuatan dosanya tapi berniat untuk mengulanginya lagi, atau bertekad untuk tidak mengulangi lagi tapi dia masih menyimpan barag yang ia ghoshob dan belum mngembalikannya, maka ia masih meneruskan dosa yang ia kerjakan.
Jagalah taubatmu dengan muhasabah yang dapat mencegahmu dari kecerobohan dan meremehkan.
Dan berjuanglah dengan menjaga mata, lisan dan seluruh anggota tubuh jangan merasa malas.
Artinya, jagalah taubatmu dari sesuatu. yang dapat merusaknya, yakni perbuatan-perbuatan yang berseberangan dengan syari‘at, di sisa umurmu. Yaitu dengan cara mengevaluasi amal burukmu, gerakan-gerakanmu dan bisikan-bisikan hati diwaktu) malam dan siang. Itulah yang bisa mencegahmu dari menunda-nunda ibadah, dan mencegahmu dari meremehkan urusan agamamu. Amirul Mukminin Umar ra. berkata, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, bersinpiah untuk menghadapi peradilan yange paling besar dihadapan Alloh, pada hari itu perbuatan kalian akan ditamptilhan, tidak ada yang tersembunyi sedikitpun.
Sebaiknya kita juga membaca istighfar dan berdoa “Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunta dan kebatkan di akhitrat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”’, sebab doa ini termasuk bagian istigfar seperti yang tertera di dalam hadits. Dan memperbanyak munajat dengan ungkapan seperti yang diungkapkan Imam As-Syafi’i dari bahr wafir di bawah ini:
Ya tuhanku, hamba-Mu yang durhaka ini telah datang menghadapMu seraya mengakui dosa-dosanya, dan sungguh ia telah berdoa kepada-Mu.
Apabila Engkau memaafkannya, memang Engkau berkuasa untuk itu. Dan jika Engkau menolak, maka Siapa lagi yang bisa mengasihinya selain diri-Mu.
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah meneruskan dosa, orang yang beristighfar meskipun ia mengulanginya lagi sebanyak tujuh puluh kali pada hari tersebut’. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhori, Abu dawud, At ‘Turmudzi dari Abi Bakr As Shiddiq ra. Maknanya adalah barang siapa mengiringi perbuatan dosa dengan istighfar, maka ia tidak tergolong terus mengerjakan dosa meski ia berulang-kali melakukannya Dan juga jagalah taubatmu dengan menjaga mata dari memandang remeh seorang muslim. Dan dari melihat aib orang muslim, melihat gambar dengan syahwat, melihat aurat laki-laka dan perempuan yang bukan mahrom. Tidak ada dosa atas seseorang yang dengan tanpa sengaja memandang sesuatu yang diharamakan pada kali pertama, beda halnya jika ia mengulanginya Jagi. Dinukil dari kitab Uhya’ bahwa Allah akan bertanya kepada hamba-Nya tentang kelebilan padangan sebagaimana Allah bertanya tentang kelebihan ucapan.
Dan jagalah taubatmu dengan menjaga lisan dari berkata dusta, tidak menepati janji, menggunjing, perselisihan, menyanjung. diri sendiri, mengutuk, memohon kebinasaan untuk makhluk lain, dan terlalu banyak bergurau. .
Dan jagalah taubatmu dengan menjaga organ tubuh yang lain.“ Seperti telinga, engkau menjaganya dari mendengarkan sesuatu yang tidak sepantasnya. Hidung, engkau menjaganya dari mencium bau perempuan yang bukan mahrom. Perut, engkau menjaganya dari mengkonsumsi sesuatu yang haram dan syubhat, dan dari keinginankeinginan yang tidak pantas. Farji, engkau menjaganya dari segala sesuatu. yang haram. Tangan; engkau menjaganya dari memukul orang yang terlindungi, dari mengambil harta yang haram, menyakiti seseorang, berkhianat pada titipan, dan dari menulis kalimat yang tidak boleh diucapkan.
Kaki, engkau menjaganya dari berjalan menuju keharaman, atau berjalan mengphadap penguasa yang dzolim disertai rasa ridho dengan kedzolimannya. Hati, engkau menjyaganya dari iri, riya’ dan ‘ujub.
Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang telah bertaubat maka Allah membuat malaikat khafadzoh lupa terhadap dosanya, dan Allah membuat anggota tubuh dan jegaknya (maksudnya jejak yang ada di lokasi terjadinya maksiat) lupa terhadap hal itu, sehingga za bertemu dengan Allah dan tidak ada satu sakst pun atas dirinya dari sisi Allah terhadap dosanya’. H.R Ibnu ‘Asaakir, Al Hakim dari Anas bin malik.
Lafad [ ] dengan membaca fathah ha’-nya, artinya, lakukan taubatmu disertai menjaga anggota tubuh sekuatmu. Lafad [ ] dengan membuang huruf athof dan difathah sin-nya, artinya, jangan malas dari hal itu. Maka huruf alifnya adalah penganti nun taukid. Sebab, taubat itu merupakan kunci setiap ibadah, dan merupakan dasar seluruh kebaikan.
Artinya, bertaubat dari segala dosa dan kembali kepada dzat yang maha menutupi aib itu merupakan Kunci keistiqomahan orang-orang yang condong hatinya, permulaan jalan para salik, langkah pertama para murid, modal orang-orang yang berhasil, dan pembukaan orangorang yang dipiliah untuk menjadi orang yang dekat dengan Allah. Lafad [ ] adalah taukid untuk lafad karena dengan mengira-ngirakan idhofah, atau karena berupa ‘alam jinis sehingga cari termasuk isim ma’rifat. Lafad ( ) adalah taukid ke dua, karena lafad ini menunjukkan makna keseluruhan dengan menggunakan maknanya lafadz yang berarti, seluruhnya. Apabila engkau diuji dengan kelalaian atau dengan persahabatan di dalam suatu majlis, maka susulilah dengan segera.
Lafad [ ] dengan bentuk mabni maf’ul. Artinya, apabila Allah mengujyimu dengan kKelalaian dalam menjaga sikapmu, atau dengan persahabatan dengan orang yang menyibukkanmu dari menjaga sikap di dalam suatu majlis, maka segera susullah apa yang telah luput darimu dengan muhasabah (evaluasi diri) dan memperbanyak istighfar.
Ketahuilah bahwasanya apabila seorang sahk bersungguh-sungguh di dalam taubanya, maka ia harus bermujahadah (melawan hawa nuafsu) dan meggunakan anggota tubuhnya di dalam Ketaatan. Sebab, ketika seseorang selalu bermujahadah, maka akan berbuah untuknya gerakan-gerakan lahir dan berkahberkah batin, Karena gerakan lahir mendorong gerakan batin. Berkata Abu Utsman Al-Maghroby, Barang Siapa yang berfikir bahwa akan dibuka atau disingkap untuknya sesuatu dari jalan ini tanpa memerlukan mujahadah, maka ia telah keliru.
Abu Yazid Al-Bustomy berkata, saya berdiam selama dua belas tahun sebagai tukang besi menempa diriku, lama puluh tahun sebagai cermin hatiku, dan satu tahun untuk merenungi sesuatu yang terjadi di tengah-tengah kedua masa tersebut. Dan ternyata ada belenggu di Pinggangku. Lalu lima tahun aku berusaha dan berfikir bagaimana cara memutus belenggu itu. Maka disingkaplah suatu tabir untuk ku, maka aku melihat seluruh makhluk dalam keadaan mati, Kemudian aku membacakan empat kali takbir untuk mereka.
Maksud ungkapan ini bahwa Abu Yazid memerangi nafsunya dan menghilangkan kotorannya, yakni ‘ujub, sombong, cinta dunia, dendam, iri dan sebagainya. Beliau pun berusaha menghilangkan sifat-sifat itu dengan memasukkan nafsunya kedalam tungku intimidasi dan memukulnya dengan martil perintah dan larangan syariat sampai hal itu membuat beliau merasa berat. Beliau pun mengira bahwa nafsunya telah bersih. Kemudian beliau melihat kalbunya di dalam cermin ikhlas, ternyata di sana masih ada sisa-sisa air syirik khofy, yaitu riya’, membanggakan amal, mengingat pahala dan siksa, menginginkan kekeramatan dan pemberian-pemberian dari Allah. semua ini merupakan syirik di dalam ikhlas. Syirik itulah yang beliau bahasakan dengan istilah belenggu. Maka beliau pun memutus dirinya dari berbagai ketergantungan dan penghalang dengan mengalihkan perhatian dari segenap makhluk, sehingga beliau bisa mematikan dari hatinya sesuatu yang hidup dan menghidupkan sesuatu) yang mati, dan sehingga beliau bisa menetapkan keyakinannya dalam menyaksikan sifat gidam dan memposisikan yang lain sebagai sesuatu yang tiada. Maka pada saat itulah beliau membacakan selamat tinggal kepada makhluk dan pergi menuju Allah yang haq.
Adapun maksud ungkapan beliau “Aku membacakan empat kali takbir untuk makhluk”, karena mayat itu dibacakan takbir sebanyak empat kali, dan karena tabir yang menghalangi makhluk dari Allah itu juga ada empat; nafsu, kesenangan, setan dan dunia. Maka beliau mematikan nafsu dan kesenangannya, serta melemparkan setan dan dunianya. Karena itulah beliau membacakan satu kali takbir untuk masing-masing dari keempatnya yang telah hilang. Keterangan ini sebagaimana di dalam kitab Hilli arRumuz karya syekh Muhammad AlMaghrobi.
Diantara kesembilan wasiat itu adalah qona’ah, yakni merasa puas ‘dengan rezeki yang telah dibagikan. Imam As-Syafi berkata,
Rezekimu itu tidak akan haliang darimu disebabkan santai dalam bekerja. Dan kerja keras itu tidaklah menambahi rejeki.
Apabila kamu mempunyai hati yang qona‘ah, niseaya kamu dan pengruasa dunia itu sejajar.
Merasa puaslah dengan meninggalkan terhadap hal-hal yang diinginkan dan membanggakan, meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal
Artinya, merasa puaslah wahai orang yang meninginkan jalan akhirat, dengan meninggalkan sesuatu yang bisa mengantarkan pada puncak sesuatu yang mungkin untuk dicapai, serta meninggalkan kemewahan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Di dalam hadits disebutkan, “Keberuntungan bagi orang yang diberi hidayah untuk memeluk agama Islam, rezekinya cukup dan ia merasa puas dengan rezekinya itu’. Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya ketika Allah menyukai seorang hamba, Allah akan menjadikan rezekinya cukup”. Yakni tidak melebihi kadar kecukupannya hingga membuatnya menjadi sewenang wenang, tidak pula kurang hingga mempersulit kehidupannya.
Rasulullah Saw bersabda, apabila hari kiamat telah datang, Allah akan menumbuhkan sayap bagi sekelompok dari umatku. Lalu mereka pun terbang dari kubur menuju surga, mereka beristirahat dan bersenang senang di dalamnya sesuka hati mereka. malaikat pun bertanya kepada mereka, Apakah kalian melihat hisab?. Mereka menjawab, kami tidak melihatnya. Apakah kalian melewati jembatan?, tanya malaikat. Mereka menjawab, Kami tidak melihatnya. Malaikat bertanya, Apa kahan mehhat jahanname. Kami tidak melihat apapun, jawab mercka. Dari umat siapakah kalian?. Kami dari umat Muhammad Saw. Lalu malaikat itu berkata, kami bertanya kepada kalian dengan bersumpah kepada Allah, ceritkanlah kepada kami amal apa yang telah kalian kerjakan di dunia?. Ada dua hal pada diri kami sehingga kami bisa sampai pada derajat ini dengan karunia Allah. Apa dua hal itu?, tanya malaikat. Mereka menjawab, Ketika kami sedang sendirian, kami malu untuk berbuat maksiat kepada Allah, dan kami merasa puas dengan sedikit rezeki yang telah dibagikan kepada kami. Malaikat pun berkata, Karunia ini memang milik kalian. Demikian ini keterangan di dalam kitab ihya’.
Barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak diperlukan, niseaya akan hilang darinya sesuatu. yang ia perlukan tanpa bisa ditunda.
Artinya, barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak ia perlukan, yakni segala kelebihan dengan beragam macamnya, seperti permainan, gurauan, sesuatu yang dapat merusak marwah, memperbanyak materi duniawi, mengejar kedudukan dan kepemimpinan, suka dipuji dan lain sebagainya dari hal-hal yang tidak membawa kemanfaatan akhirat, maka ia telah menyia-nyiakan waktu yang amat berharga, yang mana waktu yang hilang di dalam sesuatu yang ia tidak diciptakan untuknya itu tidak mungkin tergantikan. Demikian ini seperti yang dijelaskan oleh Ibrohim As-Sabarkhoity.
Lafad ([ ], artinya tanpa bisa ditunda. Bait int diambil dari unpkapan Amirul Mukminin Ali ra., Barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak ia perlukan, maka hilang darinya sesuatu yang ia perlukan. lafad dengan ya’ terbaca fathah, dan disukunnya ‘ain Sebagian ulama berkata, maksud dari sesuatu yang diperlukan adalah sesuatu yang membawa kemanfaatan untuk agama atau untuk duniawinya yang mengantarkan pada akhirat. Sedang sesuatu yang tidak diperlukan adalah sebaliknya yakni, sesuatu yang terdapat manfaat yang kembali pada-nya untuk agamanya, ataupun untuk duniyawi yang mengantarkan pada akhiratnya.
Lafad [ ] adalah fi’il syarat yang kemasukan nun taukid. Hal ini sangat sedikit, mengingat masuknya mun taukid pada fi’il mudhori’ yang berada setelah selain lafad dari beberapa adat syarat itu sangat sedikit, seperti sya’ir dari bahr Kamil berikut ini :
Siapa pun yang tertangkap dari mereka, maka ia tidak akan pernah kembali. Karena membunuh bani Outaibah adalah hal yang bisa mengobatiku.
Lafad [ ] menggunakan ya’ seraya dimabnikan maful, artinya ditemukan, atau menggunakan ta’ seraya dimabnikan fa’il. Lafad [ ] artinya bisa kembali.. Lafad [ ] adalah mubtada’, huruf wawunya berfaidah ta’lil (alasan).
Lafad ( ) adalah khobarnya, artinya menyembuh-kan luka. Lafad ( ) itu mengguna-kan bentuk tashghir. Makna bait ini, seseorang dari musuh-musuhku dari kabilah Qutaibah yang ditemukan, ia tidak akan bisa kembali kepada keluarganya, melainkan ia harus terbunuh, karena terbunuhnya anggota kabilah tersebut dapat menyembuhkan kemarahan dan kesusahan karena mereka.
Diantara kesembilan wasiat itu adalah zuhud. Ada perbedaan pendapat mengenai definisi Zuhud secara syari’at. Pendapat yang kuat menurut sebagian ulama bahwa zuhud itu) adalah menganggap sepele dunia dengan segala isinya, serta meremehkan seluruh urusan duniawi. Barang siapa yang di sisinya dunia terlihat kecil dan remeh, maka dunia akan menjadi mudah baginya. Sehingga ia tidak merasa bahagia karena memperoleh sesuatu. dari dunia, tidak pula merasa susah karena kehilangannya, dan tidak mengambil sesuatu darinya kecuali yang bisa membantunya untuk melakukan ketaatan kepada tuhannya, disamping itu dia juga menjadi orang yang selalu sibuk mengingat Allah dan akhirat. Ini merupakan tingkat tertinggi dari zuhud. Orang yang telah mencapai tingkatan ini raganya ada di dunia sedangkan jiwa dan pikirannya ada di akhirat. Imam Ahmad, Sufyan tsaury dan yang lain berkata, Zuhud adalah memendckkan angan-angan. Ibnu Al-Mubarok berkata, Zuhud adalah memperyacakan pada Allah. Menurut Abu Sulaiman Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang mengganggu dzikir kepada Allah. semuanya itu disebutkan oleh Al-Azizi.
Zuhudlah, yakni ketidak tertarikan hatimu terhadap harta, bukan ketidak adaan harta, maka engkau menjadi insan tercerdas.
Artinya, zuhudlah kamu, wahai orang yang menginginkan jalan akhirat, pada dunia, maka engkau akan menjadi insan tercerdas. Dalam hal ini ada masalah figih, yaitu jika ada seseorang yang berkata “Aku sedekahkan hartaku kepada manusia tercerdas, para fuqoha’ berfatwa bahwa harta tersebut diberikan pada orang-orang zuhud, Karena orang yang berakal adalah orang yang menceraikan dunia. Ulama menembangkan syair dari bahr romal;
Talaklah dunia dengan talak tiga. dan carilah pasangan yang lain. Sebab dunia adalah pasangan yang buruk, ia tidak perduli dengan siapa yang datang kepadanya.
Kau memberikan padanya apa yang ia minta, sedangkan ia memberikan punggungnya kepadamu. karena ketika ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan darimu, maka ia akan meninggalkanmu.
Zuhud adalah kosongnya hati dari kecondongan terhadap seseuatu yang melebihi kadar kebutuhan, dan dari mengandalkan makhluk. Apabila tangannya dipenuhi harta yang halal, maka ia sadar bahwa semuanya itu adalah milik Allah, dan Allah meletakkan semua itu ditangannya murni sebagai pinjaman yang suatu saat akan diambil, serta menyadari bahwa alokasinya pada harta tersebut harus sesual izin syar’i seperti halnya alokasi perwakilan khusus. Artinya ja mempercayakan penuh terhadap Allah dan yang ada di sisi-Nya melebihi pada apa yang ada di tangannya.
Adapun mencari sebatas kebutuhan dari harta yang halal, maka hukumnya wajib. Oleh karena itu Nabi Saw bersabda, “Tidak ada kebatkan kecuali pada diri orang yang mencintat harta yang bisa ia pergunakan untuk menyambung kerabatnya, menunaikan amanatnya dan menjadikannya tidak membutuhkan kepada makhluk tuhannya’. Hal itu dituturkan oleh As-Suhaimi. Lafad [ ] dengan difathah ‘ainnya menunjukkan arti ma’na (abstrak), yakni bermakna cinta. Berbeda dengan yang dikasroh ‘ain-nya, karena menunjukkan arti dzat. Zuhud adalah kedudukan terbaik setelah takwa. Dan dengannya dapat deperoleh kedudukan orang-orang yang tinggi Al-Ghozali berkata, Zuhud pada dunia adalah tingkatan mulia dari beberapa tingkatan salik. Tingkatan ini tersusun dari ilmu, sikap dan amal sepbagaimana tingkat-tingkat yang lain. Sebab, semua pintu-pintu keimanan itu kembali mengacu pada keyakinan, ucapan dan tindakan. Seorang zahid semestinya di dalam batinnya disandarkan pada tiga tanda. Pertama, tidak bergembira dengan harta yang ada dan tidak bersedih atas harta yang tidak ada, bahkan semestinya ia bersikap sebaliknya, yakni merasa sedih karena adanya harta dan bergembira karena ketiadaan harta. Ke dua, baginya tidak ada beda antara orang yang mencela dan orang menyanjungnya. Yang pertama adalah tanda zuhud pada harta, dan yang kedua adalah tanda zuhud pada popularitas. Ke tiga, perhatian terbesarnya hanyalah Allah Swt, dan yang menguasai hatinya adalah manisnya ketaatan.
Sufyan bin Uyainah berkata, kata Zuhud itu terdiri dari tiga huruf; za’, ha’ dan dal. Za’ maknanya meninggalkan zinah (perhiasan), ha’ maknanya meninggalkan hawa (kesenangan), dan dal maknanya meninggalkan dunia seluruhnya.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika kalian melihat seseorang yang diberi sikap Zuhud terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka dekatilah karena dia telah dibert hikmah’. Al-Munawi berkata, lafad [ ] dengan qof yang ditasydid dan difathah, artinya diajari isyaratisyarat lembut yang bisa mengobati penyakit-penyakit hati dan yang bisa mencegah dari mengikuti kesenangan nafsu. Rasulullah juga bersabda, “Barang stapa tlmunya bertambah tapr tidak bertambah suhudnya terhadap dunta, maka ta tidak bertambah dekat melainkan bertambah jauh dart Allah’. diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Ali ra. Hal ini dikarenakan ulama itu lebih berhak terhadap sikap zuhud dari pada orang lain. Orang yang cinta kepada dunia itu berkata, “dimana jalannya?”, “dimana jalan keluarnya?” seperti orang yang mabuk akibat meminum arak murni. Bait ini diambil dari ungkapan syekh Hasan Al-Mu’allim Al-Hasan Ba’alawi, Ketika manusia telah tenggelam ke dalam kecintaan pada dunia, ia pasti berkata, bagaimana aku bertindak?, dimana jalannya?, dimana solusinya?, ia mirip dengan orang yang sedang mabuk atau orang yang tenggelam di lautan. Jika tidak mirip dengan itu, maka tidak ada jalan selain firman Allah dan petunjuk Rasul-Nya
Lafad [ ] itu dengan dibaca dhommah dal-nya, atau kasroh seperti yang dinukil oleh As-Suhaimi dari Ibn Qutaibah, dan dibaca pendek tanpa tanwin karena alif-nya adalah tanda muannats.
Lafad [. ] dengan disukun qofnya. Pada lafad tersebut ada sesuatu yang oleh ahli ‘arudh disebut fadzyzl. Maksud lafad [ ] di sini ialah khomr. Makna aslinya adalah air perasan anggur yang dimasak sampai hilang dua pertiganya.
Tinggalkanlah dari istri-istrimu, istri yang tidak mendukungmu dalam ketaatan. Dan pilihlah untuk hidup membujang yang lebih utama. Lafad [. ] adalah fi’il Amr dari lafad . Ungkapan [ ], lafad adalah maful-nya dan adalah huruf nafi. Lafad [ ] adalah penjelas untuk lafad . Artinya, tinggalkanlah dari istri-istrimu, perempuan yang tidak mendukungmu dalam mentaati Allah Swt. yang dimaksud bait ini adalah apa yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Daroni, Zuhud terhadap perempuan adalam memilih perempuan yang rendah atau yatim dari pada perempuan yang cantik atau bernasab mulia.
Lafad [ ] dengan didhommah ‘ain-nya, artinya tidak menikah. Sedangkan maksud lafad [ ] yaitu bahwa membujang itu terkadang lebih baik dari pada menikah. Sebab terkadang perempuan itu bisa menyibukkan dari ingat kKepada ANah. Dengan demikian, tidak menikah termasuk dari zuhud, maka Piliuhlah itu. Dan yang dimaksud ungkapan [ ] sampai akhir adalah sesuatu yang diisyaratkan oleh Abu Sulaiman dengan ungkapan beliau, sesuatu yang menyibukkanmu dari mengingat Allah, meliputi istri, harta dan anak, maka itu adalah kemalangan yang menimpa mu. Dan ungkapan beliau juga; Bersabar dari tidak adanya istri itu lebih baik dari pada bersabar atas adanya istri, bersabar atas adanya istri itu lebih baik dari pada bersabar atas api neraka.
Ada empat hal untuk selamat dari dunia, yaitu memaafkan kesalahan orang, lain, dan tidak berbuat salah. Kau tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan kau dermakan hartamu kepada orang lain.
Dua bait ini diambil dari perkataan Hatim Al-Ashom, yaitu ketika imam Ahmad bin Hambal berkata kepada beliau; wahai Abu Abdurrohman, apakah yang bisa menyelamatkan dari dinia?. Beliau menjawab, wahai Abu Abdillah, kamu tidak akan selamat dari dunia sampai ada empat hal yang menyertaimu, 1), Memaafkan kesalahan orang lain, 2), Tidak berbuat salah kepada mereka, 3), Mendermakan hartamu kepada mereka, 4) Tidak mengharap sedikitpun dari pemberian mereka. Apabila kamu seperti ini, niseaya kamu selamat.
Lafad [ ] itu diathofkan pada lafad dengan membuang huruf athof. Lafad [ ], yakni meremehkan mereka dengan cara mencela atau yang lain dari perilaku orang-orang bodoh. Lafad tersebut dinashobkan oleh oi yang terbuang, dan berada dalam ta’wil masdar yang dibaca nashob atau jar. Sebab lafad a itu muta’ady pada dua maful, dan mafulnya yang kedua bisa dibaca nashob dan bisa dibaca jar dengan mengira-ngirakan huruf sebagaimana dalam As-Shihah. Menashobkan fi’il dengan yang terbuang dalam contoh seperti ini hukumnya syadz, tidak bisa digiyaskan menurut ulama bashroh, dan bisa diqiyaskan menurut ulama kufah dan yang sependapat, seperti ungkapan orang arab ; “ ” printahlah dia untuk mengpalinya. dengan menashobkan lafad . Dan ungkapan, “ ” tangkap sipencuri sebelum dia menangkapmu.
Lafad [ ] itu dimnashobkan oleh huruf yang tersimpan secara jawaz, dan berada dalam ta’wil masdar serta diathofkan pada lafad . Makna [ ] adalah pemberian mereka. Dengan difathah huruf sin-nya. Lafad [ ] itu disukun ya-nya karena wazan, asalnya berharokat dan ditasydid atau dibaca ringan. Lafad tersebut adalah jama’ dari kata sebagaimana keterangan di dalam Al-Qomus, atau jama’ dari lafad sehing ga huruf ya’-nya adalah pengganti dari nun sebagaimana keterangan di dalam As-Shihah. [ ] maknanya orang yang putus asa/tidak berharap. [ ] maknanya orang yang memberikan.
Di antara kesembilan wasiat adalah mempelajari ilmu syariat. yang dimaksud di sini adalah tiga cabang ilmu yang disebutkan dalam nadzam berikut; Pelajari dan kuasailah ilmu yang dapat membenarkan ketaatan dan akidah, serta ilmu yang dapat membersihkan hati. Artinya, wahai orang yang mengharap keridhaan Allah, pelajarilah ilmu yang dapat membenarkan ketaatanmu, mulai dari wudhu, shalat, puasa, zakat dan haji. Yaitu dengan mempelajari hukum-hukum dzahir dari ibadah tersebut yang sering kali terjadi, bukan yang jarang terjadi. Dan pelajarilah ilmu yang dapat membenarkan akidahmu, supaya dengan ilmu tersebut engkau mampu menjaga dari keraguan-keraguan yang dimunculkan oleh ahli bid’ah, dan supaya engkau bisa menghilangkan keraguan dari hatimu. Dan pelajarilah imu yang dapat membersihkan hatimu dari ahklak tercela, seperti sombong, hasud, riya’ dan penyakit-penyakit hati semacamnya.
Lafad [ ] itu di-athaf-kan pada lafad [ ]. Arti lafadz ini adalah bersihkanlah hatimu dari sesuatu yang dapat mengotorinya. Huruf qaf pada lafad tersebut bisa dibaca dhammah dan fathah sebagaimana keterangan dalam Al-Misbah. Makna yang dikehendaki pada madzam ini adalah perjelaslah ilmu-ilmu itu sampai tidak ada kesamaran pada dirimu.
Ketiga ilmu ini hukumnya adalah fardhu ‘ain. Maka pelajari dan amalkanlah isinya, engkau pun akan memperoleh keselamatan dan kemuliaan. Artinya, mempelajari ilmu ini adalah fardhu ‘ain atas setiap orang mukallaf, ia tidak boleh bodoh dalam ilmu ini.
Maka dari itu, ketahui dan amalkan lah isi ketiganya, maka engkau pun akan mendapatkan keselamatan di ahirat dan kemuliaan derajat. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya amal sedikit itu bisa bermanfaat jika disertai ilmu pada Allah. Dan amal yang banyak itu tidak akan bermanfaat jika disertai ketidak tahuan pada Allah”. Nabi juga bersabda; “Memintakan ampunan untuk orang alim seluruh makhluk yang ada dit langit dan bumi?’. Imam Al-Ghazzali berkata mengomentari hadits ini, Kedudukan seperti apa yang mengungguli kedudukan seseorang yang malaikat di langit dan di bumi memintakan ampunan untuknyap!, ia sibuk dengan dirinya sendiri, sementara para malaikat sibuk memintakan ampunan untuknya.
Diantara ke sembelian wasiat adalah menjaga amaliah-amaliah sunnah, seperti shalat-shalat rawatib dan sebagainya.
Peliharalah amaliah-amaliah sunnah dan adab yang diriwayatkan cari sebaik-baiknya orang yang datang sebagai utusan Allah.
Artinya, wahai orang yangs mencari jalan menuju Allah Swt, peliharalah shalat-shalat sunnah dan kesunahan lain, dan peliharalah adab yang diriwayatkan dari sebaik-baiknya manusia yang telah datang Kepada kita sebagai utusan dari sisi Allah Swt. Adab adalah sesuatu yang terpuji, baik ucapan maupun tindakan, yaitu melaksanakan tuingkah laku dan akhlak yang baik. Ibnu Atha’illah berkata, Adab adalah selalu melakukan hal-hal yang dianggap baik. Beliau berkata, Arti ucapanku itu ialah engkau berinteraksi dengan Allah, baik saat sendirian maupun di tengah keramaian, dengan disertai adab, apabila engkau sudah seperti itu, maka engkau telah menjadi orang yang beradab meskipun engkau adalah orang non Arab. Lalu beliau menembangkan sebuah sya’ir dari bahr thawul;
Saat ia berbicara, ia menggunakan bahsa yang sangat manis. Dan di saat ia diam, ia diam dengan sangat manis. Ada yang mengatakan bahwa adab adalah mengambil akhlak-akhlak mulia. Adab itu dibagi menyjadi empat; 1) Adab syar’i, yaitu) melaksanakan perintah dan menyjauhi larangan syarivat; 2) Adab thabi’iy (karakter), seperti dermawan dan pemberani; 3) Adab Kasby, seperti mengetahui ilmu nahwu dan bahasa; dan 4) Adab shufy, yaitu mengendalikan panca indera dan menjaga nafsu. Sebagian ulama berkata dalam sebuah sya‘ir dari bahr mutaqarib; Tidak setiap saat engkau dapat melihat penolong, maka jagalah adab,
Maka engkau akan melihat Allah Swt menyingkap sesuatu yang samar, hingga engkau pun memperoleh pahala dan beberapa derajat.
Sesungguhnya tashawwuf seluruhnya adalah adab. Dan dari kitab AlAwarif, pelajarilah adab-adab itu dan berpedomanlah padanya. Artinya inti dari tashawuuf itu adalah adab. Ali Al-Jizy dalam kitab Tuhfah Al-Khawash berkata, Tashawwuf adalah memurnikan hati hanya kepada Allah, serta meremehkan selain Allah. Syaikh Al-Islam Zakariyya berkata, Pernyataan Al-Jizy “meremehkan selain Allah’, maksudnya adalah ketika disandingkan pada keagungan-Nya, jika tidak difahami demikian, maka pernyataan itu tidak benar, karena sudah maklum bahwasanya meremehkan para Nabi, Malaikat, Ulama dan sebagainya, itu adalah hal yang dilarang, bahkan bisa mengakibatkan kufur. Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa maksud dari pernyataan itu adalah meyakini bahwa selain Allah itu tidak bisa membawa petaka dan tidak mendatangkan manfaat. As-Suhrawardy dalam kitab Awarif Al-Ma’arif berkata, Adab adalah membersihkan lahir dan batin, ketika lahiriyah dan batiniah seseorang: telah bersih, maka ia telah menjadi sufi yang memelila adab, Adab dalam diri seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kesempurnaan akhlak-akhlak mulia. Sedangkan akhlak-akhlak mulia itu terhimpun oleh perbaikan etika. Yusuf bin Al-Husain berkata, Dengan Adab, ilmu dapat difahami. Dengan ilmu, amal bisa sah. Dengan amal, hikmah dapat diperoleh. Dengan hikmah, zuhud bisa ditegakkan. Dengan zuhud, dunia dapat ditinggalkan. Dengan mening galkan dunia, akhirat diinginkan. Dengan menginginkan akhirat, rahmat Allah Swt dapat diperoleh. Abul Husain An-Nawawi berkata, Tidak ada tingkatan, keadaan, dan kema’rifatan pada diri hamba Alloh, yang dapat menggugurkan adab-adab syari’at, adab syari at merupakan perhiasan lahiriah, dan Allah tidak mem-perkenankan seseorang mengabaikan lahiriahnya tanpa dihiasi dengan kebaikankebaikan. Ibnu Al-Mubarok berkata, Adab dalam berkhidmah itu lebih mulia dari pada khidmah itu sendiri.
[ ] maksudnya, dan pelajarilah adab dari kitab ‘Awarifil Ma’arif karya syekh aS-Suhrowardi pada bab ke 31, 32 dan bab setelahnya. Saya telah menukil sebagian ungkapan pada syarah ini dari kitab tersebut.
Sebab, tidak ada dalil atas jalan menuju tuhan kecuali mengikuti sang Rasul yang disempurnakan.
Di dalam sikap, pekerjaan damn ucapan beliau. Maka telitilah semua itu dan ikuti. Jangan beralih pada yang lain.
As-Suhrowardi berkata, sepala bentuk adab itu diterima dari Rasulullah Saw karena beliau adalah pusat adab, dzohir maupun batin. Allah telah memberitakan kebaikan adab beliaau di sisi-Nya dengan firmanNya “Penglihatanya Muhammad) tidak menyimpang (dari yang adilihatnya) dan tidak (pula) melampauinya’. Artinya, penglihatan Rasulullah Saw tidak menyimpang dari yang dilihatnya dan tidak melampaunya, akan tetapi beliau mentapkan penglihatannya secara benar dan tepat. Atau beliau penglihatan beliau tidak pernah beralih dari melihat keajaiban-Keajaian yang beliau diperintah untuk melihatnya, serta tidak melampauinya. Ayat ini merupakan salah satu adab yang samar yang hanya dimailiki Rasulullah Saw. Sebab, di dalamnya terkandung makna yang lembut, artinya penglihatannya tidak menyimpang sekira penglihatannya tidak tertinggal dari mata batin dan tidak terbatas. Lafad [ ] Artinya, penglihatnnya tidak mendahului mata batin sehingga melampaui batasnya. Akan tetapi, ada keselarasan antara penglihatan dan mata batin, dzohir dan batin, jiwa dan raga, pandangan dan langkah. Maka, pandangannya tidak mendahului langkahnya hingga menyebabkan kesewenang-wenangan, dan langkahnya tidak tertinggal oleh mata batinnya hingga menyebabkan kecerobohan.
Allah juga berfirman mengisahkan adab Nabi Ayyub As di sisi-Nya, Dan ( ingatlah kisah) Ayyub ketika dia berdoa kepada tuahnnya, (ya tuhanku ) sungguh aku telah ditimpa penyakit, sementara engkau adalah tuhan yang maha penyayang dari semua yang penyayang . Nabi Ayyub As tidak berkata “kasihanilah aku” karena menjaga adab dalam berbicara. Dan firman Allah mengisahkan Adab Nabi Isa as, dimana beliau berbicara dihadapan Allah “Jikalau aku pernah mengatakannya, tentunya Engkau telah mengetahuinya’. Nabi Isa As tidak berkata “aku tidak mengatakannya” karena menjaga ketika di hadapan Allah Swt.
Lafad [ ] dengan ditasydid ba’nya dan difathah, yakni pelajarilah sikap, pekerjaan, dan sabda beliau Saw dengan sungguh-sungguh agar kamu bisa mengetahuinya, ikutilah beliau dalam hal-hal tersebut dan jangan melenceng darinya.
Berkata sebagian ulama salaf, Sebagaimana tenaga pada tubuh diperoleh dari makanan-makanan yang diproduksi, kemampuan akal pun juga diperoleh dari adab-adab yang didengar. Abdullah ibn AlMubarok berkata, Orang yang meremehkan adab akan dihukum dengan terhalangnya kesunnahan, orang yang meremehkan kesunnahan akan dihukum dengan terhalangnya kefardhuan, dan orang yang meremhkan kefardhuan akan dihukum dengan terhalangnya marifat. Beliau juga berkata, Kami lebih butuh pada sedikit adab dari pada banyaknya ilmu. Beliau juga berkata, Adab bagi orang yang ma’rifat itu seperti taubat bagi pemula. Dzunnuan berkata, ketika seorang murid telah melenceng dari batas pengpunaan adab, maka ia akan Kembali ke tempat semula. Abu Ali berkata, meninggalkan adab itu mengakibatkan penolakan, maka barang siapa yang beretika buruk saat berada di atas Karpet, nisaya ia dikembalikan menuju pintu, dan barang siapa yang beretika buruk saat berada di pintu, maka ia akan dikembalikan sebagai penggembala ternak. Demikian ini seperti di dalam kitab Awarifil Awarif.
Ajaran semua syekh itu terikat pada Kitabullah dan hadits Nabi yang mana keduanya menjadi dasar.
Bait ini disarikan dari ungkapan Pimpinan kaum sufi dalam hal keilmua dan amal, yakni Abul Qosim Al-Junaid, madzhab kami ini diikatkan pada dasar-dasar AlQur’an dan Hadits. Beliau juga berkata, barang siapa belum hafal Al-Qur’an dan belum menulis Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam urusan ini Karena ilmu kami diikatkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, As-Suyuthi berkata di dalam An-Niqoyah, Kami meyakini bahwa ajaran Al-Junaid dan pengikutnya merupakan ajaran yang benar karena ajaran tersebut sepi dari bid’ah dan menitik beratkan pada penyerahan diri, serta dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Lafad [ ] adalah fil madhi, fa’ilnya adalah dhomir yang kembali pada lafad dan . Jumlah fi’liyah ini berada dalam mahal nashob sebagai hal dari keduanya, yakni “yang mana keduanya menjadi dasar”, sebab para syekh berpegangan pada keduanya dan tidak mengikuti pemukiran kelompok yang mengedepankan hawa nafsu dan kelompok bid’ah, serta tidak menjalankan kemurahankemurahan syariat dan ta’wil. Kajilah kitab Riyadhus Sholihin dan kuasailah isinya, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan. Dan amalkanlah.
Artinya, kajilah kitab Riyadhus Sholihin yang berisi hadits Nabi Saw karya Imam An-Nawawi. Lafad [ ] dengan difathah hamzahnya dan dikasroh kaf-nya. Artinya, dan kuasailah hadits yang ada di dalamnya sehingga engkau mendapat kebahagiaan, dan amalkanlah isinya, karena kitab tersebut menghimpun hadits-hadits yang menerangkan sunnah Nabi dan adab.
Perhatianlah pada ibadah fardhu, yang mana tidak ada sesuatu yang bisa mendekatkan kepada Allah melebihinya.
seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku menjadi tangan dan kakinya.
Dan menjadi pendengarannya, kemudian matanya yang dapat melihat, masudnya seperti semua itu seraya bersegera dalam memenuhi permohonannya.
Tiga bait ini mengisyaratkan terhadap hadits yang diriwayatkan Al-Bukory dan Abu Huroiroh ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, sesungpungnya Allah Swt telah berfirman, “Barang siapa yang memusuhi waliku, maka sungguh aku nyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah yang lebih Aku suka daripada apa yang telah Ku wajibkan padanya. Dan hamb-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan kesunnahankesunnahan sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, maka aku. Maka aku menjaga telinga yang ia gunakan untuk mendengar, mata yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia gunakan untuk memukul dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan bila dia meminta pada-Ku niseaya Aku sungguh akan memberinya, dan bila dia meminta perlindungan-Ku niseaya Aku sungguh Akan melindunginya.
Artinya, barang siapa yang memusuhi terhadap orang alim-Ku yang rutin menjalankan ketaatan dan memurnikan ibadahnya, niseaya Aku nyatakan pembinasaan-Ku padanya. Seorang hamba tidak mendekat kepada-Ku dengan suatu amal yang lebih Ku sukai dari pada menjalankan sesuatu. yang Ku fardhukan padanya, baik frdhu ‘ain maupun lafayah. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, meliputi sholat, shodaqoh, haji sunnah, mendamaikan manusin, menambal buah pikiran mereka dan menolong Kaum muslim, hingga Aku menyukainya. Ketika Aku telah menyukainya lantaran pendekatannya pada-Ku denpan melaksanakan fardhu dan memperbanyak ibadh sunnah, maka Aku menjadi penjaga pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar sehingga ia tidak mendengar kecuali pada sesuatu yang boleh didengar, menjadi penjaga penglihatannya sehingga ia tidak melihat kecuali pada sesuatu yang boleh dilihat, menjadi penjaga tangannya sehingga ia tidak men gambil dengan tangannya kecuali pada sesuatu yang boleh diambil olehnya, dan menjadi penjaga kakinya sehingga tidak berjalan dengannya Kecuali dalam sesuatu yang diperbolehka, wajib, sunnah atau pun mubah -Penafsiran ini adalah penafsiran yang mu’tamad, menurut As-Sabarkhoiti- Apabila ia meminta-Ku sesuatu dari urusan dunia atau akhirat, niseaya Aku akan memberikannya. Dan jika ia berlindung pada-Ku, miseaya Aku akan melindunginya dari sesuatu yang ia khawatirkan.
[ ] artinya uruslah kefardhuan, seperti keterangan di dalam Al-Misbah. Lafad [ ] adalah na’ibul fa’il-nya lafad Lafad [ ], dengan shighot am dan membuang huruf athof, adala lafad yang diathofkan pada lafad , artinya dan sempurnakanlah kefardhuan itu. Juga boleh menjadi afalut tafdhil dan menjadi sifat dari mashdar yang terbuang, maknanya, perhatianlah pada ibadah fardhu secara lebih sempurna dari pada perhatianmu pada yang lain.
dhomir mustatirnya Kembali pada lafad yang merupakan sifat dari lafad jalalah yang terbuang. Adapun dhomir yang dijarkan itu kembali pada lafad . Lafad [ ] dibuat menjai bentuk jama’ karena sempitnya nadzom, dan karena ketika kaki berjalan, seluruh organ tubuh akan mengikutinya. Lafad [ ] dengan dibaca panjang, dhomir-nya kembali pada lafad dan bermakna lam. [ ], yakni Allah yang maha pemberi itu seperti keempat organ tubuh tersebut dalam hal bersegera memenuhi permintaan hamba-Nya itu. Lafad [ ] adalah maful-nya fi’il yang terbuang, perkiraannya “ ”. Penafsiran ini mengisyaratkan pada pendapat Abu Utsman Al-hayri terkait makna firman Allah “Aku Adalah pendengarannya dst.”. Menurut beliau maknanya adalah, “Aku lebih cepat dalam memenuhi keperluannya dari pada kecepatan pendenganrannya dalam menangkap suara, matanya dalam menangkap bayangan, tangannya dalam menyentuh, dan kaiknya dalam berjalan”. Penafsiran yang digunakan penyusun ini hampir sama dengan pendapat sebagian ulama, bahwa maknanya adalah “Aku dalam hal menolongnya itu seperti pendengaran, penglihatan, tangan dan kaiknya dalam memberi bantuan”.
Di antara kesembilan wasiat yaitu tawakkal. Tawakal adalah bergantung kepada Allah, yakni mempercayakan segala urusan kepada-Nya dan mengharapkan rezeki dari-Nya, sebab melihat rezeki dari pekerjaan adalah bentuk mengingkari nikmat, seperti yang dikatakan oleh Ahmad As-Suhaimi.
Tawakallah dalam urusan rezekimu saat engkau fokus beribadah tanpa memiliki anak dan istri, dengan dilandasi kepercayaan terhadap Janji tuhan yang maha mulia dan maha pemurah.
Artinya, Bertawakallah kepada Allah dalam urusan rezekimu seraya engkau bersungguh-sungguh di dalam ketaatan dan sendiri tanpa anak dan isitri, hal itu dilakukan karena percaya dengan sepenuh hati terhadapa janji Allah di dalam firmanNya, “Dan tidak satupun makhluk bergerak di bumi melainkan semuanya dyamin Allah rezekinyd’. Allah adalah dzat yang maha pemurah karena Dia memberi tanpa dimintai, dan maha baik terhadap segenap makhluk-Nya. Lafad [ ] dan [ ] adalah hal dari lafad [ ]. Lafad adalah isim tafdhil. Lafad [ adalah isim fail dari lafad yang bermakna , seperti di dalam As-Shihah.
Allah berfirman, “Dan barang stapa yangse bertawwakal kepada Allah, niseaya Allah memcukupi (keperluan) nya’. Rasulullah Saw bersabda, “Barang stapa yang beribadah sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi semua kebutuhannya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan barang stapa menfokuskan mencart dunza maka Alloh akan menyerahkan dia pada dunia’.
As-Suyuthi berkata, ulama berbeda pendapat mengenai bekerja dan tidak bekerja. Sebagian ulama mengatakan bahwa berpaling dari pekerjaan dengan menggantungkan hati kepada Allah itu lebih utama. Sebagian lain ada yang mengatakan bahwa bekerja itu lebih utama dari pada tidak bekerja. Juga ada yang mengatakan bahwa orang yang di dalam tawakalnya merasa rela disaat rezekinya sempit, serta tidak menginginkan pemberian seorang pun, maka baginya tawakal lebih utama karena di dalamnya terdapat sabar dan memerangi nafsu. Sedangkan orang yang di dalam tawakalnya mengalami keadaan sebaliknya, maka baginya bekerja lebih utama, Karena untuk menjaga diri dari ketidak relaan dengan pembagian Allah dan menginginkan pemberian orang lain. Namun menurut pandanganku, bekerja itu tidak menafikan tawakal. Bahkan seseorang bisa menjadi pekerja yang bertawakal bila ia rela terhadap rezeki yang telah dibagikan oleh Allah untuknya, serta tidak menginginkan yang lebih banyak dari rezeki tersebut. Umar ra. pernah berkata kepada orang-orang yang duduk tidak bekerja dan mengaku bahwa dirinya bertawakal kepada Allah, sesungguhnya oang yang bertawakal adalah orang yang menanam bijinya ke dalam tanah dan memasrahkannya (kepada Allah). Dan diriwayatkan dari Sahl bin Abdillah, tawakal adalah mentalitas Rasulullah Saw dan bekerja adalah sunnahnya, maka barang siapa yang mentalnya telah kuat, hendaknya ia tidak meninggalkan sunnah beliau Saw. Menyimpan bahan makanan untuk masa satu tahun juga tidak menafikan tawakal, karena Rasulullah Saw pernah menyimpan bahan makanan keluarga beliau untuk masa satu tahun sebagaimana di dalam AsShohihain, padahal beliau adalah pemimpin orang-oang yang tawakal.
Abu Jafar Al-Haddad, yang merupakan ahli tawakal dan guru daru syekh Junaid, berkata, Aku menyembunyikan tawakalku selama dua puluh tahun, dan aku tidak pernah menghindari pasar. Setiap hari aku bisa menghasilkan satu dinar, dan aku tidak membiarkan satu dunia pun darinya hingga waktu malam, juga tidak bersantai masuk ke pemandian dengan satu qirot pun darinya, tapi aku menghabiskan semuanya sebelum waktu malam tiba.
Berkata Ali Al-Jiyzi dalam kitab Tuhfatul Khowas, kiat agar bisa tawakal adalah selalu menjaga lima ingatan. Pertama, mengingat bahwa Allah adalah Dzat yang maha tahu terhadap semua keadaannya, dari lapar dan sebagainya, meskipun ia berada di bawah tujuh lapisan bumi atau di ujung dunia. Ke dua, meyakini kemaha kuasaan Allah Swt. Ke tiga, berkeyakinan bahwa Allah adalah dzat yang disucikan dari sifat lalai dan lupa. Ke empat, berkeyakinan bahwa Allah disucikan dari sifat mengingkari janji. Ke lima, berkeyakinyan bahwa kekayaan Allah tidak akan berkurang selama-lamanya.
Adapun orang yang memiliki keluarga, maka ia tidak boleh duduk tidak mencari nafkah untuk keluarganya seraya tawakal.
Lafad [ ] dengan dibaca dhommah mim-nya, artinya adalah orang yang banyak keluarganya. Al-Ghazali berkata, hukum orang yang memiuiliki keluarga (dalam hal tawakal) itu berbeda dengan orang yang hidup sendiri (tidak menanggung nafkah keluarga). Sebab orang yang hidup sendiri itu tidak sah tawakalnya kecuali disertai dua hal. Pertama, kuat menahan rasa lapar selama satu minggu tanpa mengharap pemberian seorang pun, dan tidak merasa susah. Ke dua, rela mati seandainya tidak ada rezeki yang datang karena yakin bahwa rezekinya adalah mati dan lapar. Sebab, meskipun lapar adalah suatu kekurangan di dunia, tapi di akhirat merupakan tambahan kebaikan. Dengan demikian la meyakini bahwa ia diberi rezeki terbaik, yakni rezeki akhirat, dan meyakini bahwa lapar tersebut adalah sakit yang melantari keamatianaya dan ia rela dengan hal itu, serta meyakini bahwai nasibnya memang ditakdirkan seperti itu. Dengan semua ini, maka sempurnalah tawakal seseorang yang hidup sendiri.
Haram bagi orang yang memiliki keluarga memasuki hutan belantara mening galkan keluarganya, atau tidak memperhatikan urusan mereka karena tawakal. la juga tidak boleh memaksa keluarganya untuk menahan rasa lapar, Karena hal itu bisa membuat mereka mati sehingga ia berdosa karena kematian mereka itu.
Sejatinya, tidak ada perbedaan antara dirinya dan keluarganya. Sebab, apabila mereka mendukungnya untuk bersabar menahan rasa lapar dan siap menghadapi kematian karena menganggapnya sebagal rezeki dan keuntungan akhirat, maka ia boleh tawakal kepada Allah dalam urusan mereka. Jiwanya pun sebenarnya juga merupakan tanggungjawabnya, ia tidak boleh menyia-nyiakannya Kecuali jika jiwanya mendukung untuk bersabar sesaat menahan rasa lapar. “Tawakal seseorang dalam hal-hal yang bisa membayakan badanya itu’ seperti tawakalnya dalam keluarganya. Hanya saja, ia boleh memaksa dirinya untuk bersabar menahan rasa lapar dan ia tidak boleh melakukan hal itu pada keluarganya.
Dari sini telah jelas bagimu bahwa tawakal bukanlah memutus dari sebaba-sebab rizki, namun tawakal adalah bersabar sesaat menahan rasa lapar dan ridho dengan kematian seandainya rezekinya datang terlarmbat meskipun hal itu jarang terjadi. Jangan jatuhkan harga dirimu hadapan manusia dengan ketarnakan pada harta atau kedudukan mereka seraya merendahkan diri.
Artinya, jangan menghinakan dirimu kepada pencari dunia dengan ketamakanmu pada harta atau kedudukan mereka dan dengan merendah kepada mereka. lafad [ ] dengan dikasroh ‘ain-nya, yakni dirimu. Lafad [ ] adalah hal yang menaukidi amilnya. Al-Ghozali berkata, Bisyr rahimahullah berkata, orang fakir itu ada tiga macam,; 1). Fakir yang tidak meminta-minta kepada manusia, dan jika diberi ia tidak mengambilnya. Orang ini kelak di surga “illyin bersama dengan golongan malaikat. 2). Fakir yang tidak meminta-minta tapi jika diberi ia akan mengambilnya. Orang ini kelak di surga firdaus bersama golongan yang mendekatkan diri kepada Allah. 3). Fakir yang meminta ketika ada kKebutuhan. Orang ini kKelak di surga bersama golongan yang jujur yang menerima buku catatan dengan tangan kanan. Jika demikian, semua ulama telah sepakat atas tercelanya meminta-minta, dan sepakat bahwa memuinta di saat membutuhkan itu’ bisa menurunkan martabat dan derayjat. Adapun orang-orang yang miliki tingkatan-tingkatan di dalam tashawuf, mereka telah terkuasai oleh suatu keadaan yang meminta-minta justeru bisa menambahkan derajat mereka, namun dinisbatkan pada keadaan mereka itu. Sebab, amaliah seperti ini tergantung pada niatnya. Hal itu seperti ucapan sebagian ulama, saya pernah melihat Abu Ishaq An-Nauri menengadahkan tangannya seraya meminta-minta kepada orang-orang di beberapa tempat. Aku merasa heran dan menganggap buruk perilaku beliau itu. Aku pun datang menghadap Junaid lalu menceritakan kejadian itu. Beliau berkata, hal ini jangan kau besar-besarkan, sebab An-Nauri itu tidak meminta kepada manusia kecuali agar beliau bisa memberikan pahala kepada mereka di akhirat dengan cara yang tidak membahayakan, bukan karena menginginkan apa yang beliau ambil itu. Melalui ungkapan ini, seakan-akan Al-Junaid mengisyaratkan sabda Nabi Saw, “Langan orang yang memberi itu tangan yang dit atas’, Al-Junaid mengartikan bahwa tangan orang yang memberi itu adalah tangan orang yang menerima pemeberian karena dia adalah orang yang memberi pahala.
Kemudian Al-Junaid berkata kepadaku, ambilkan timbangan. Lalu beliau menimbang uang seratus dirham kemudian beliau mengambil segenggam dirham danbeliau campurkan pada seratus dirham tersebut. Kemudian beliau berkata, bawalah bungkusan berisi dirham ini kepada An-Nauri. Akupun bertanya pada diri sendiri, menimbang sesuatu itu supaya diketahui kadarnya, lalu kenapa beliau justru mencapurkan pada hasil timbangan tersebut sesuatu yang tidak diketahui kadarnya, padahal beliau adalah seorang yang bijaksana?. Namun aku sunhkan untuk bertanya langsung kepada beliau. Aku pun datang kepada An-Nauri dengan membawa bungkusan yang berisi dirham tadi. Beliau berkta, ambilkan timbangan. Selanjut-nya beliau menimbang seratus dirham, kemudian berkata, kembalikan seratus dirham ini dan katakan padanya, “aku tidak menerima sedikitpun dari pemberianmu”. Dan ternyata beliau mengambil sisa dari seratus dirham.
Aku semakin heran dengan hal ini, sehingga aku memberanikan diri bertanya kepadanya. Beliau berkata, Al-Junaid adalah orang yang biyak, la ingin memegang dua ujung tall. Ia menimbang seratus dirham untuk dirinya sendiri karena mengharapkan pahala, dan mencampurkan segenggam dirham padanya karena Allah Swt. aku mengambil dirham yang ia berikan karena Allah Swt, dan mengembalikan dirham yang ia jadikan untuk dirinya sendiri. Perawi kisah ini berkata, maka aku mengembalikannya kepada AlJunaid, lantas beliau menangis dan berkata, Dia mengambil sesuatu yang ku berikan karena Allah, dan mengembalikan apa yang ku berikan karena diriku.
Diantara sembilan washiat adalah ikhlas. Yaitu. membersihkan amal dari ‘ujub (berbangga diri) padanya.
Sebab, memghiraukan dan melihat amal adalah bentuk dari ujub, dan ‘ujub termasul bagian hal-hal yang merusak aral. Ada yang miongratakan, ikhlas adalah senantiasa merasa diawasi Allah dan tmelhapakan semua kepentingan-kepentingsan pribadi, demikian ini seperti yang disebutkan Al-Ghozali.
Ikhlaslah. Yaitu engkau tidak menginginkan dengan amalmu melainkan untuk mendekatkan diri kepada tuhanmu yang mempunyal penjagaan. Artinya, Ikhlaslah wahai orang yang mencari ridho Allah Swt. ikhias adalah engkau tidak menyembah kecuali kepada tuhanmu dan istiqomah di dalam ibadah kepada-Nya sebagaimana engkau diperintahkan, seperti jawaban Rasulullah kepada seseorang yang bertanya tentang arti ikhlash, “(ikhlas) adalah engkau mengucapkan “Tuhanku adalah Allah’, hkemudian enghau meneguhkannya’. Wadits ini meng-isyaratkan pada tidak menghiraukan segala sesuatu selain Allah, dan itu adalah ikhlas yang hakiki.
Sahl berkata, Ikhlas adalah apabila diam dan geraknya seseorang itu hanya karena Allah. kalimat ini menghimpun seluruh makna ikhlas dan meliputi maksud dari ikhlas. Al-Junaid berkata, Ikhlas adalah mem-bersihkan amal dari setiap kotoran. Lafad [ ] dengan dikasroh kafnya dan dibaca panjang, namun di sini dibaca pendek Karena dhorurot. Arti lafad tersebut adalah dzat yang memiliki penjagaan. Di balik penuturan kalimat ini’ terdapat isyarat: untuk memohon penjagaan amal dari hal-hal yang dapat merusaknya.
Jangan menyengaja ibadahmu, beserta niat taqarrub, sebagai sarana untuk mendapatkan kepentingan duniawi, seperti pujian makhluk atau sejenisnya.
Artinya, Jangan menyengayja, beserta pendekatan dirimu kepada Allah, menjadikan ibadahmu sebagai perantara untuk mendapatkan kepentingan duniawi, seperti sanjungan makhluk dan menjadi pemimpin di tengah mereka, karena hal itu dapat menghilangkan keikhlasan. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Isa as. ketika kaum MHawariyin bertanya, seperti apakah amal yang murni itu?. Beliau menjawab, yaitu seorang yang beramal karena Allah, ia tidak ingin disanjung oleh seorang pun atas amalnya itu. Dan seperti yang dikatakan Al-Khowas, barang siapa yang meneguk dari gelas kepemimpinan, maka ia sungguh telah keluar dari keikhlsan penghambaan diri. Dan seperti yang dikatakan Al-Muhasibi, Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dari muamalah dengan tuhan, ungkapan ini mengisyaratkan penafian riya’. Juga seperti yang dikatakan Abu Utsman, Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dengan senantiasa memandang kepada sang pencipta, ungkapan ini mengisyaratkan pada bahaya riya’.
Waspadailah riya’ yang dapat melebur pahala ibadah. Dan nantikanlah pertolongan zat yang maha tahu sehingga engkau menjadi sempurna,
Penyusun menyebuthan riya’ secara khusus karena riya’ adalah pemicu terkuat yang mengacaukan keikhlasan., Al-Jayzi berkata di dalam Tuhtatul Khowash, Riya’ adalah beribadah dengan niatan agar dilihat manusia supaya mendapatkan harta, kedudukan atau pujian. Riya’ termasuk kategori dosa besar. Segala bentuk amal yang tercampuri riya’ itu batil dan tidak diterima. Adapun selain riya’, seperti haji disertai niatan berniaga dan bersuci disertai niatan menyegarkan badan, maka di dalamnya masih terdapat pahala sesuai kadar niatan ukhrowi-nya meskipun tidak dominan. Riya’ itu bisa masuk ke seluruh amal, sekalipun berupa sholawat menurut qaul ashoh sebagaimana yang difatwakan oleh Syaikuhul Islam dan Ar-Romli. Lafad [ ] dengan huruf cha’, yakni mebatalkan pahala ibadah seperti di dalam As-Shihah. Lafad ] yakni tunggulah pertolongan tuhan yang maha mengetahui terhadap seluruh keadaanmu, seperti di dalam Al-Qomus dan Al-Mishbah.
Jangan menampakkan kebaikan agar engkau diyakini sebagai orang baik, jangan pula menampakkan keburukan agar mereka ingkar kepadamu. Artinya, jangan menampakkan ketaatanmu kepada manusia dengan tujuan supaya engkau diyakini sebagai orang baik. Adapun memperlihatkan ketaatan agar diikuti dan untuk mendorong orang lain pada kebaikan, maka hal itu lebih baik hari pada menyembunyikannya dengan syarat tidak ada unsur-unsur riya’ di dalamnya. Menamapakkan amal itu ada dua macam. Pertama, menampakkan dzatiah amal.
Ada dua hal yang harus dilakukan oleh orang yang menampakkan amalnya. Pertama, la boleh menampakkan amal ketika yakin atau menduga bahwa ia akan diikuti. Sebab terkadang ia diikuti oleh keluarganya sendiri, bukan tetangganya. Dan terkadang ia diikuti oleh tetangganya, bukan penghuni pasar. Dan terkadang ia dikiuti penduduk kampungnya. Adapun orang alim yang telah terkenal, maka ia diikuti oleh segenap umat. Sedangkan selain orang alim, ketika ia memperlihatkan ketaatannya, terkadang ia dianggap riya’ atau munafiq, dan terkadang ia juga akan dicela dan tidak diikuti. Jika demikian, maka ia tidak boleh menampakkan amalnya tanpa ada faidah. Sebab, memperlihatkan ketaatan dengan niatan agar diikuti hanya bisa dibenarkan dari orang yang mempunyal posisi itu. Ke dua, mengawasi hatinya. Sebab, terkadang di dalamnya terdapat pamrih yang samar sehingga mendorongnya untuk memperlihatkan ketaatan. Padahal tanpa ia sadari, keinginnannya adalah mempercantik diri dengan amal, sementara ia tidak merasa, akibatnya ia akan celaka.
Ke dua, menceritakan amal yang telah dikerjakan. Hukumpnya itu sama seperti menampakkan dzatiah amal. Resiko dalam hal ini lebih besar, Sebab, perbekalan bicara itu sangat ringan, dan terkadang di dalam cerita itu terdapat tambahan dan melebih-lebihkan, dan natsu itu merasakan kenikmatan luar biasa saat keinginannya terwujud. Hanya saja, menceritakan amal yang telah dikerjakan itu lebih ringan. Sebab, seandainya hal ini dimasuki riya’, maka riya’ tidak akan merusak ibadah yang telah lewat itu.
Dan jangan memperlihatkan perbuatan ma’siat kepada manusia agar mereka mengingkarimu. Karena di dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya orang yang Allah tutupt (keburukannya) di dunia, maka kelak dt akhirat Allah akan menutupi keburukannya”. Yang tidak boleh adalah menutupi perbuatan maksiat agar terlihat sebagai orang yang wirai dan takut kepada Allah, padahal ia tidak seperti itu. Hal ini adalah menutupinya orang yang riya’. Adapun orang yang tulus alias tidak riya’, maka ia boleh menutupi maksiatnya.
Menutupi maksiat itu dianjurkan karena delapan hal. Pertama, merasa bahagia dengan naungan Allah pada dirmya, dan jika kedoknya terbongkar, ia merasa susah Jantaran Allah menyibak naunganNya, serta khawatir apabila Allah juga akan menyibaknya di hari kiamat berdasarkan hadits yang telah lewat. Ke dua, mengetahui bahwa Allah tidak menyukai jika maksiat diumbar, dan menyukai jika maksiat ditutupi. Ke tiga, tidak ingin dicela manusia lantaran maksiat tersebut, dari sisi hal itu akan membuatnya merasa susah serta dapat menyibukkan hati dan pikirannya Berdasarkan alasan ini, sebaiknya seseorang: juga tidak menyukai pujian yang dapat menyibukkan dan memalingkan hatinya dari ingat kepada Allah. ke empat, tidak ingin dicela manusia dari sisi hal itu akan melikai batinnya. Sebab, penghinaan itu dapat menyakiti hati, seperti halnya pukulan itu bisa menyakiti badan. “Takut hatinya tersakiti itu tidak lah haram dan tidak terhitung maksiat. Yang terhitung maksiat adalah apabila hatinya merasa cemas Karena penghinaan manusia dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkKan demi menghindari hinaan mereka. Ke lima, tidak ingin dicela dari sisi seseorang yang omencelanya itu telah berbuat maksiat kepada Allah.
Ke enam, khawatir ada orang yang berniat buruk pada dirinya apabila orang tersebut mengetahui dosanya. Ke tujyuh, malu. Sebab, malu adalah salah satu bentuk kepedihan selain kepedihan akibat penghinaan dan niatan buruk seseorang. Dan malu adalah akhlak yang bernilai serta merupakan sifat terpuji. Rasulullah Saw bersabda, “Rasa malu adalah kebatkan seluruhnya’. Dan sabda beliau, “Rasa malu adalah salah satu cabang keimanan’. Dan sabda beliau, “Rasa malu itu tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan’. Ke delapan, khawatir terlihatnya maksiat akan menjadikan orang lain berani melakukannya atau dikuti orang lain.
Dengan alasan inilah sebaiknya seseorang menutupi maksiatnya dari istri dan anaknya, karena mereka belajar darinya. Semua keterangan ini disampaikan oleh Al-Ghozali.
An-Nawawi berkata, membeicarakan kebaikan diri sendiri itu ada dua kategori, tercela dan terpuji. Yang tercela adalah membeicarakannya karena membanggakan diri, menampakkan keluhuran dan keistimewaanya di atas kawankawannya, atau alasan yang serupa. Sedangkan yang terpuji itu adalah jika di dalam membicarakannya terdapat kemaslahatan untuk agama. Hal itu seperti jika ia seorang yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau memberi nasihat, menunjukkan kemaslahatan, mengajar, mendidik, ceramah, mengingatkan, mendamaikan di antara dua orang, menghindari bahaya yang mengancam jiwanya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini ia boleh membicarakan kebaikankebaikannya dengan niatan supaya ucapannya mudah diterima dan kebaikan yang ia bicarakan diyadikan pedoman. Atau dengan mengatakan “petuah ini tidak akan kamu temukan dari orang lain, maka simpanlah petuah itu”, atau niat sejenisnya.
Keimanan seseorang itu tidaklah sempurna hingga ia melihat menusia sama dengan unta.
Al-Ghozali berkata, Tanda ikhlas adalah apabila pikiran seseorang itu menyukai kebaikan saat ia sendirian sebagaimana saat ia berada di keramaian, dan kehadiran orange lain tidak menjadi penyebab munculnya pikiran tersebut seperti halnya ketika yang datang adalah bintang. Sehingga, selama ia masih membedakan anatara kehadiran manusia dan kehadiran binatang, maka ia keluar dari kejernihan ikhlas, dan ia adalah orang yang mengotori batiniahnya dengan syirik yang samar, yakni riya’. Di dalam hati manusia, syirik ini lebih Samar dari pada gerakan kaki semut hitam di kegelapan malam di atas batu yang sangat hitam.
Dari pembahasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud iman pada nadzam di atas adalah ikhlas. Lafad [ ] adalah fi’il madhi, fa’ilnya adalah dhomir yang kembali pada lafad Jumlah fi’liyah ini adalah khobarnya yang berkedudukan sebagai khobarnya mubtada’. Lafad [ ] dengan disukun ba’nya untuk meringankan, seperti di dalam Al-Misbah, dan untuk menyesuaikan wazan. Lafad tersebut terhubung pada lafad [ ] yang dimabnikan majyhul dan berkedudukan sebagai sifat untuk lafad [].
Maka sanjungan dan hinaan manusia menjadi sama. Ia tidak menakutlkan cemoohan orang lain di dalam derajat yang mulia ini.
Syekh Abu Madyan berkata, Tanda ikhlas adalah apabila makhluk sirna darimu di dalam menyaksikan yang Hak. Ahmad bin Alan berkata mengomentari ungkapan tersebut, sebab hakikat ikhlas adalah terbebas dari memandang terhadap makhluk dan masuk ke dalam maqom ihsan.
Al-Ghozali berkata, pokok di dalam ikhlas adalah kesamaan batiniah dan lahiriah. Seperti yang dikatakan Umar ra kepada seorang laki-laki, Peliharalah amal lahiriahmu. LakiJaki itu bertanya, apa amal lahiriah itu?. Beliau menjawab, yaitu amal yang ketika engkau ketahuan melakukannya, engkau tidak merasa malu karena amal tersebut. Abu Muslim Al-Khoulani berkata, Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang aku menghiraukan ketika orang lain melihatnya kecuali berhubungan badan, buang. air kecil dan air besar. Ini adalah derajat luar biasa yang tidak bisa diperoleh setiap orang.
Lafad [ ] dengan dibaca panjang huruf mim pada dua lafad tersebut, dan dhomirnnya kembali pada lafad Lafad [ ] artnya di dalam derajat yang luhur ini, yakni peribadatan. Maka lafad adalah isim isyaroh untuk muannats, bukan yang bermakna sebagaimana yang kadang disalah pahami.
Beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan meninngalkan amal karena manusia itu adalah riya’ serta kosong dari faidah.
Bait ini diambil dari ungkapan tuankua Al-Fudhail, beliau berkata, meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan beramal karena maanusia adalah syirik. Adapun ikhlas yaitu jika Allah menyelamatkanmu dari keduanya. Lafad [ ] itu diambil dari pernyataan Umar ra., Aku sungguh membenci melihat seorang dari kKalian menganggur, tidak pada amal dunia dan tidak pada ama akhirat.
Jangan mengharapkan derayjat di sisi dzat yang maha mengawasi apabila kamu masih mengharap derajat di sisi manusia.
Bait ini mengisyaratkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Kelak akan dikatakan kepada orang yang menyekutukan Allah di dalam amalnya, Ambillah pahalamu dari orang yang engkhau beramal karenanya”. Juga mengisyaratkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ra., Sesungguhnya Allah Swt berfirman, “Aku adalah dzat yang maha kaya tidak membutuhkan persekutuan, barang stapa yang beramal karena diri-Ku lalu ia menyekutukan orang latin bersama, maka Aku akan meninggalkan bagian-Ku untuk sekutu-Ku itu”.
Lafad [ ] artinya adalah yang mengawasi setiap jiwa beserta apa yang ia kerjakan. Atau berarti dzat yang mengetahui yang tidak ada sesuatu pun samar dari ilmu-Nya, demikian ini seperti yang dituturkan As-Syanwani. Lafad [ ] dengan disukun ha’-nya, artinya martabat. Begitu juga lafad tanpa menggunakan huruf ha’, sebagaimana di dalam As-Shihah.
Diantara sembilan wasiat adalah ‘uzlah, yakni menjauhi pergaulan dengan makhluk. Jangan bersahabat dengan orangorang yang suka menganggur dan yang meremehkan agama. Hal itu adalah musibah.
Lafad [ ] ba’-nya bisa diharokati tiga harokat seperti di dalam Al-Misbah,-artinya adalah menganggur tidak bekerya. [ ], yakni bersahabat dengan orang tersebut adalah musibah, maka waspadalah. Syekh Ahmad bin Athoillah berkata di dalam kitab Hikam-nya, Jangan bersahabat dengan orang’ yang sikapnya tidak membangkitkanmu dan ucapannya tidak menunjukkanmu kepada Allah.
Abu Madyan berkata di dalam kitab Hikam-nya, barang Sslapa yang duduk dengan ahli dzikir, niseaya ia akan tersadar dari kealpaannya. Dan barang siapa melayani orang-orang solih, mniseaya ia akan terangkat karena khidmahnya itu. Beliau juga berkata, Orang yang meniup tungku api, jika ia tidak membakarmu dengan apinya, maka ia akan menyakitimu dengan percikan apinya. Sedangkan orang yang membawa parfum, bila ia tidak memberimu sebagian parfumnya, ia akan membuatmu senang dengan semerbak baunya.
Artinya, bersahabat dengan orang tidak baik itu seperti bersahabat dengan orang yang meniup tungku api yang jika ia tidak membakarmu dengan apinya, ia akan menyakitimu dengan percikannya. Begitu juga dengan orang tidak baik, jika ia tidak menyakitimu dengan ucapannya, ia akan menyeretmu pada perbuatan keji dengan keburukan perilakunya. Bersahabat dengan orang-orang baik itu seperti bersahabat dengan orang yang membawa parfum yang jika ia tidak memberimu sebagian parfumnya, ia akan menyenangkanmu dengan semerbak baunya. Pun demikian dengan orang solih, jika ucapannya tidak memberimu manfaat, niseaya ia akan menarikmu menuju kepada tuhanmu dengan kebaikan perilakunya.
‘uzlah itu adalah hal yang lebih baik disaat zaman telah rusak, atau khawatir terhadap musibah berupa kekacauan yang terjadi di dalam agama.
Begitu pun disaat khawatir terjerumus ke dalam syubhat, keharaman atau yang menyerupainya.
Al-Ghozali berkata, manfaat ‘uzlah itu ada enam. Pertama, berkonsenterasi pada ibadah dan berfikir, menenangkan jiwa dengan bermunajat kepada Allah, menyibukkan diri membuka misteri ilahi pada hal-hal yang ada di dunia, akhirat, kerajaan langit dan bumi. Ke dua, melepaskan diri dari perbuatan maksiat yang pada umumnya timbul disebabkan berbaur dengan orang lain, yakni menggunjing, adu domba, riya’, diam dari amar ma’ruf nahi munkar, penularan karakter buruk berupa akhlak tercela dan perbuatan keji. Ke tiga, selama dari fitnah dan pertengkaran, serta menjagpa agama. Ke empat, selamat dari keburukan orang lain dan rasa sakit yang mereka timpakan dengan gunjingan, prasangka buruk, tawaran dan harapan semu yang sulit terpenuhi, adu domba, atau dengan dusta. Ke lima, memutus Ketamakan orang lain dari dirinya, dan memutus ketamakannya terhadap orang lain. Ke delapan, selamat dari menyaksikan orang-orang yang berat dalam menjalankan ibadah dan orangorang dungu, dan dari kedunguan serta akhlak mereka yang Kasar.
[ ], yakni disebakan banyaknya maksiat. , yakni ke dalam harta yang syubhat, huruf ba’ di situ bermakna Lafad [ ] diathofkan pada lafad yang merupakan maful bih. Lafad [ ] itu terhubung pada lafad
Adapun berbaur dengan manusia di dalam jum’at, jamaah dan yang menyamainya itu diutamakan. Hal ini bagi orang yang mampu menyeru pada Kebaikan dan mencegah kemungkaran seraya memikul beban berat.
Dan sabar atas segala rasa sakit. Dan bagi orang yang tidak memiliki dugaan kuat akan bermaksiat di tengah-tengah perkumpulan.
Al-Ghozali berkata, trisarnfaat berbaur itu ada tujuh. Pertatna, belajar dan mengajar. Keduanya merupakan sebaik-baiknya ibadah di dunia, dan tidak akan terealisasi kecuali dengan berbaur. Ke dua, memberikan manfaat kepada orang lain dengan harta dan tenaga, serta mengambil manfaat dari orang lain dengan kerja dan muamalah. Ke tiga, mendidik dengan cara melatih orang lain, ini merupakan tingkah para guru sufi, dan melatih adab dengan cara melatih diri dengan sikap keras orang lain, serta dengan berjuang dalam menanggung rasa sakit untuk menakhlukkan nafsu dan syahwat. Ke empat, beramah tamah, hal itu merupakan tujuan orang yang menghadiri pesta, undangan atau tempat-tempat berbaurnya manusia. Hal inl terkadang disunnahkan apabila tujuannya adalah menghibur diri untuk membangkitkan gairah pada ibadah. Dan juga disunnahkan ketika tujuannya adalah urusan agama, ini berlaku pada orang yang perangai dan petuah agamanya menjadi penenang bagi orang lain, seperti beramah-tamah dengan para syekh yang menetapi identitas ketakwaanya.
Ke lima, meraih pahala dengan menghadiri jenazah, menjenguk orang sakit atau menghadiri hari raya. Begitu pula menghadiri akad nikah dan undangan, Karena di dalam menghadirinya ada pahala dari sisi menyuntikkan kebahagian di hati orang Islam. dan membuat orang lain meraih pahala dengan membuka pintu agrar mereka menjenguknya, atau supaya mereka berbelasungkawa saat ia tertimpa musibah, atau mengucapkan selamat atas nikmat yang ia peroleh. Dengan semua itu mereka akan mendapatkan pahala. Adapun menghadiri jum’at itu merupakan keharusan. Menghaidiri jama’ah di dalam sholat-sholat yang lain itu juga tidak ada toleransi di dalam meninggalkannya, kecuali karena takut akan bahaya yang sebanding dengan fadhilah jamaah yang hilang, bahkan lebih.
Ke enam, tawadhu’. Sebab tawadhu’ merupakansalah satu maqom terbaik, dan tidak akan dikuasai dalam Kesendirian. Bahkan, terkadang kesombongan menjadi pemicu dalam memiulih ‘uzlah. Ke tujuh, pengalaman. Sebab, pengalaman itu bisa diperoleh dari berbaur dengan makhluk dan dari perkembangan perangai mereka. Akal tidaklah cukup dalam memahami Kemaslahatankemaslahatan agama dan dunia, kemaslahatan hanya bisa dimengerti dengan pengalaman dan praktek.
Lafad , dengan didhommah jim dan disukun mimnya Karena dhorurot, merupakan bentuk jama’nya lafad . Lafad [ ] itu menggunakan mabni maful. Adapun alasan wajibnya menghadiri jum’at itu karena hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sedangkan alasan wajibnya menghadiri jama’ah pada sholat yang lain, itu karena tidak ada toleransi di dalam meninggalkannya kecuali karena udzur-udzur yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
[ ], yakni keutamaan berbaur dengan manusia. Lafad ] itu terhubung pada lafad [ ], yaitu sesuatu yang Syari’at dan akal membertahukan kebaikannya, sebagaimana yang dikatakan Al-Azizi. Lafad [ ] adalah shilah-nya , Lafad [ ] dinashobkan oleh oi yang dikira-kirakan. Lafad tersebut dita’wil mashdar’ Karena diarkan oleh huruf ks yang terbuang karena dhorurot. Dan menjadi ma’mulnya lafad , karena lafad ini muta’addi menggunakan huruf .Alif-nya adalah alif ithlaq. Lafad [, ] itu terhubung pada lafad Lafad itu diathofkan pada shilah-nya oe. Lafad [ ] adalah hal dari fa’il lafad atau lafad Artinya, memikul beban berat.
Laftad [ ] itu diathofkan pada lafad Duisre dengan membuang huruf athof, sera menta’wilnya menjadi isim fa’il. lafad [ ] itu diathofkan pada lafad dengan membuang huruf athof, artinya, hal ini juga berlaku bagi orang yang tidak memiliki dugaan kuat dst. Lafad [ ] artinya di tempat-tempat berkumpulnya manusia, huruf ba’nya bermakna
Akan tetapi, sebagian ulama mutaakhirin berkata bahwa ‘uzlah pada saat ini itu diutamakan.
Karena secara fakta, jarang sekali sepinya perkumpulan dari perbuatan dosa. Maka perhatikanlah dirimu seraya berpikir.
Semua maksiat, seperti riya’, ghibah dan lain sebagainya, itu terjadi disebabkan berbaur.
Al-Ghozali berkata, semestinya pahala berbaur dengan manusia itu ditimbang dengan petaka yang ditimbulkan olehnya, yakni manfaatmanfaat ‘uzlah. Dengan cara itu, terkadang ‘uzlah menjadi lebih unggul dan terkadang sebaliknya. Telah dikisahkan dari segolongan ulama salaf seperti Malik dan yang lain, mereka tidak memenuhi undangan, tidak menjenguk orang sakit dan tidak menghadiri jenazah. Bahkan mereka berdiam diri di rumah masing-masing, tidak pernah keluar kecuali untuk melaksanakan sholat jum’at atau ziarah kubur. Sebagian lain ada yang meninggalkan perkotaan dan menyingkir ke lereng-lereng gunung agar bisa konsenterasi pada ibadah dan menjauhi hal-hal yang mengganggu pikirannya. [ ] dst, artinya, berpendapat dipilih dan diutamakannya ‘uzlah mengungguli berbaur dengan manusia, yaitu Suffyan Ats-Tsauri, Ibrohimn bin Adham, Dawud Ath-Tho’i, Fadhail bin Iyadh, Sulaiman Al-Khowas, Yusuf bin Ashbath, Hudzaifah Al-Mar’asyi, Bisyr Al-Haafi. Dan sebagian ulama lain memilih berbaur, memperbanyak rekan dan kawan, bersatu, menunjukkan kasih sayang terhadap kaum mukmin, serta meminta bantuan mereka dalam rangka saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Lafad [ ] adalah khobar-nya lafad yang dikira-kirakan, dan jumlahnya adalah khobarnya mubtada’. Lafad [ ] adalah khobar muqoddam. Lafad [ ] adalah maful muthlaqnya fi’il yang terbuang, yakni lafad . Lafad [ ] adalah mubtada’ yang diakhirkan. Lafad [ ] itu dengan ditanwin Karena wazan. Lafad [ ] dengan difathah cha’nya, artinya adalah kesalahan seperti di dalam Al-Misbah. Lafad [ ] itu dimabnikan maful, jumlahnya adalah khobar-nya mubtada’. Dan alifnya adalah alif ithlaq.
Diantara kesembilan wasiat adalah memelihara waktu. Yaitu dengan membaginya pada wirid-wirid sejak pagi hingga sore.
Curahkanlah seluruh waktumu untuk melakukan ketaatan-ketaatan, Jangan biarkan waktumu kosong dari ibadah seraya meremehkan,
Dengan niat yang baik, waktuwaktue mubah itu akan menjadi kebaikan. Maka ingatlah niat) baik seraya tidak ceroboh.
Dengan pertolongan Allah, bagilah waktumu, curahkanlah semuanya pada hal-hal yang layak seraya engkau habiskan waktumu untuk beribadah.
Artinya; bagilah waktumu untuk beragam ibadah. Jangan kau biarkan waktumu kosong tanpa beribadah seraya meremehkannya sehingga engkau: menjadi layaknya binatang yang tidak .mengerti apa yang seharusnya dikerjakan. Pada ahirnya banyak waktumu yang terbuang siasia shingga ngkau menjadi sangat merugi.
Oleh karena itu, sebaiknya curahkan waktu-waktumu untuk kemanfaatan manusia dengan ilmu yang kau miliki dalam pengajaran atau menelaah kitab. Apabila engkau bisa menghabiskan waktu dalam hal itu, maka itu merupakan sebaik-baiknya perbuatan yang bisa kau tekuni setelah shalat fardhu dan shalat rawatib. Hal ini apabila engkau merupakan orang alim. Namun apabila engkau adalah seorang pelajar, maka sibukkanlah dirimu dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat untuk agama. Sebab, kedatanganmu di majelis ilmu itu adalah hal yang lebih baik dari pada engkau menyibukkan diri dengan wirid dan ibadah-ibadah sunnah,
Lalu gunakanlah waktumu untuk rutinitas ibadah seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dzilkir dans tasbih. Kemudian untuk membantu umat Islam dan memasukkan kegembiraan ke dalam hati mereka. Kemudian gunakanlah waktumu untuk bekerja serta tetap membaca Al-Qur’an, dzikir atau tasbih, juga disertai degan niat menyedekahkan sisa dari pemenuhan kebutuhanmu. Hal itu lebih baik dari pada hanya berdzikir, sebab bekerja dengan niatan seperti itu adalah ibadah yang bisa mendekatkanmu kepada Allah Swt. Engkau juga akan memperoleh berkah doa umat Islam. Pahalamu pun akan berlipat-lipat, sebab sesuatu. yang mubah itu akan menjadi sebuah ketaatan disebabkan niat yang baik, sebagaimana ketaatan itu) akan menjadi keburukan disebabkan niat yang tidak baik.
Lafad [ ] termasuk kategori ; af’al at-tashyir, sehingga amalnya merambah (muta’addy) kepada dua ‘ maful. Lafad [ ] adalah maful yang pertama, dan lafad [ ] , adalah maful yang kedua. Hal itu seperti pada firman Allah, “Dan pada hari itu Kami biarkan mereka berbaur antara satu dengan yang lain”. Yakni, pada hari kiamat Kami jadikan sebagian Yakjuj Makjuj berbaur dengan sebagian yang lain. Lafadz [ ] adalah hal dari dhamir yang tersimpan pada lafadz [ ]
Ungkapan mushannif itu, terhubung pada lafad [ ], pada ungkapan ini terdapat pembuangan sifat, asalnya adalah [ ]. Dan huaruaf ba’-nya itu berfaidah sababiyah. Atau terhubung pada latad yang terbuang, serta berada pada mahal nashab karena menjadi hal dari lafadz [ ], sedangkan huruf ba’-nya itu berfaidah mulabasah. Lafad [ ] adalah khobar dari lafad artinya, yang kembali.
Ungkapan mushannif [ ] itu dengan membaca dhammah cha’nya. Artinya; “Ingatlah niat baik ini serta tidak melalaikannya”.
Pahala sebuah amal itu akan berlipat-lipat sesuai kadar niat di dalamnya. Seperti halnya ketika ada seseorang yang duduk di dalam masjid dengan niat I’tikaf, menunggu shalat, menjauhi hal-hal yang menyibukkan hati, menghindar dari manusia, dzikir, membaca Al-Qur’an, niat menjaga pendengar, pandangan dan lisan dari hal-hal yang tidak berguna, dan niat memakmurkan masjid, tentulah ia tidak sama dengan orang yang duduk di masjid dengan niat mengerjakan salah satu hal di atas Saja.
Dikisahkan dari seorang tokoh Sufi, saat beliau sedang’ sakit, beliau dikunjungi sebagian saudarasaudaranya. Lalu beliau berkata kepada mereka; niatlah haji bersamaku, niatlah menjaga pertahanan bersamaku, hingga beliau menuturkan bermacam-macam perbuatan baik., Saudara-saudaranya pun bertanya, bagaimana mungkin, sedangkan anda masih dalam keadaaan seperti ini?. Beliau menjawab, jika aku hidup, aku akan memenuhinya, dan jika aku mati, maka telah hasil untukku pahala niat. Sebagian sufi ditemui beliau di dalam muimpi setelah beliau wafat, dikatakan kepada beliau; apa yang Allah lakukan terhadap anda?. Beliau menjawab, Allah mengampuni dan menaikkan derajatku. Lalu dikatakan lagi, disebabkan apa? Beliau menjawab; “Di tempat inl hamba Allah bergaul sesuai kadar kedermawanannya, bukan rukw’ dan sujudnya. Mereka diberi sesual kadar niatnya, bukan khidmahnya. Diampuni dosanya sebab anugerah Allah, bukan disebabkan amal perbuatan”. Semua kisah ini dituturkan oleh Ibrahim’ As-Syarkhyti di dalam kitab Al-Futuhaat Al-Wahbiyah.
Ungkapan mushannif [ ] artinya, bagilah waktumu, sebab kesungguhan dalam beramal itu tidak akan berhasil tanpanya. Ungkapan beliau [ ] artinya, gunakanlah seluruh waktumu dalam hal-hal yang pantas untuknya, serta yang berhubungan dengan mu, sebagaimana makna yang terdapat dalam kitab Al-Mishbah. Arti lafadz [ ] adalah memusatkan diri kepada Allah dengan menanggalkan kepentingan kepentingan dunia kecuali sebatas keperluan hichiap.
Bila fajar telah nampak, maka sholatlah dengan khusyu’, serta merenungkan kandungan bacaan dan menyempurnakannya.
Berusahalah dengan keras agar hatimu dapat hadir ke dalam sholatmu supaya engkau dapat ‘ memperoleh keutamaan-keutamaan. Jangan lupa bahwa Allah melihat hatimu. Dan jangan melupakan kehadiran dan kesaksian-Nya padmu, maka takutlah.
Artinya, apabila fajar shodiq telah terbit, kerjakanlah sholat fajar, sunnah dan fardhunya, dengan berusaha agar dapat khusyu’, yakni memusatkan hati. Dan dengan merenungi arti bacaannya secara global, sehingga engkau tidak perlu terlalu mendalaminya namun cukup membuat gambaran secara global, sebagaimana yang dikemukakan oleh syekh ‘Athiyah. Juga dengan menyempurnakan sholatmu, yaitu dengan melaksanakan setiap rukun, syarat, sunah ab’ad dan haiatnya.
Disunnahkan memisah antara sholat sunnah fajar dan sholat fardhunya dengan berbaring miring untuk mengingat posisi miring di dalam kubur di awal masuknya waktu siang. Hal imi dilakukan agar menjadi pendorong untuk mengerjakan amal-amal akhirat. Saat melakukan ritual mi disunnahkan membaca do’a yang artinya ; “Ya Allah tuhannya malatkat Jibril, Miuka’il, Isrofil, Izro’il dan tuhannya Nabi Muhammad Saw selamatkan diriku dari api neraka”, dibaca sebanyak tiga kali.
Dan berusahalah denagean keras uarituk mengphadirkan hatimmu di salam sholat agar engkau memperoleh banyak fadhilah. Sebab, kehadiran hati itu bisa menyingkap hijab. Barang siapa yang sholat tanpa disertai kehadiran hati, maka dia adalah orang yang bermain-main, sebagaimana yang disampaikan syekh Umar As-Suhrowardy.
Di dalam sholat, engkau jangan lupa bahwa Allah itu melihat’ hatimu. Dan jangan lupa Kehadiran dan kesaksian-N ya. Sebab mengingat hal ini adalah sarana untuk muroqobah, yaitu sibuknya hati dan tenggelamnya seluruh organ tubuh secara terus-menerus bersama Allah Swt.
Lafadz [ ] adalah fi’il amr dengan mengganti wawu menjadi ya’ Karena dibaca kasrahnya hamzah yang berada sebelum wawu, sebagaimana dalam kitab As-Shihah. Hanya sayja, dalam bait ini lafadz tersebut dibaca dengan memasukkan hamzah dan sukun huruf ya’nya Karena menyesuaikan wazan, padahal hamzahnya adalah hamzah washol. Arti dari lafadz .tersebut adalah, takutlah kepada Allah seperti ketakutanmu kepada penguasa.
Umar As-Suhrowardi berkata, saat engkau sholat, bayangkanlah bahwa surga ada di sisi Kananmu dan neraka di sisi kirimu. Sebab ketika hati ini sibuk dengan mengingat akhirat, akan terputus darinya perasaan was-was. Dengan demikian, pengaambaran ini adalah obat hati untuk mengobat was-was
Dikisahkan bahwa Allah mewahyukan kepada sebagian NabiNya. Allah berfirman =; “Tatkala enghkau masuk ke dalam sholat, maka berikanlah kepada-Ku kekhusyu’an hatimu, kerendahan badanmu dan air matamu. Sesungguhnya Aku adalah dzat yang maha dekat’. Jangan kau tinggalkan sholat berjamaah yang telah diunggulkan dengan dua pulh tujuh keutamaan yang tinggi.
Untuk apa kau belajar, jika engkau mermehkan dalam hal seperti ini, maka engkau menjadi orang yang merugi dan bodoh.
Artinya; Jangan kau tinggalkan sholat berjamaah, sebab sholat berjamaah itu lebih utama dua puluh tujuh sholat atas sholat sendirian, terlebih sholat isya’ dan shubuh. Rasulullah Saw bersabda; “Sholat jamaah ttu lebth utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan sholat sendtrian’’. Beliau juga bersabda; “Barang siapa menghadirt jamaah sholat isya’, seakan-akan ta telah beribadah setengah malam. Dan barang stapa menghadirt jamaah shubuh, maka seakan-akan ia beribadah semalam suntuk’. Rasulullah Saw juga bersabda; “Barang siapa melakukan sholat jamaah, maka ia telah memenuhi tubuhnya dengan tbadah’.
Apabila engkau meremehkan pada keuntungan seperti ini, yakni fadilah jama’ah, maka apa faidah yang kamu peroleh dalam mencari ilmu, sebab buah dari ilmu itu hanyalah menganalkannya.
Lafadz, adalah tamyiz-nya lafadz, [ ] Lafadz [ ] itu adalah fi’il madhi, fa’il-nya adalah dhomir yang kembali pada lafadz [ ]. Lafadz [ ] itu dengan membuang alif-nya istifham. Sebab ketika huruf jar masuk pada istiftham, maka wajib membuang alif untuk membedakan antara istifham dengan yang lain. Lafadz [ ] adalah mubtada’ yang diakhirkan, artinya, “ mempelajart ilmu, apa yang kau harapkan dengannya?”. Lafadz [ ] itu merupakan khobarnya lafadz [ ] yang dikira-kirakan dan menjadi jawabnya syarat.
Kemudian sibuklah dengan wirid, jangan berkata sepatah kata pun, seraya menghadap kiblat, muroqobah dan membaca tahlil.
Sesuai ajaran yang telah diketahui dari para guru supaya engkau dapat melihat panas dan cahaya yang diperoleh.
Sehingga permukaan hatimu menjadi terang dengan sinar yang terang itu, dan karakter buruk yang ada padamu menjadi hilang.
Setelah itu engkau akan menjadi ahli musyahahadah, yang mana hal itu adalah nikmat yang sangat besar. Maka Jadilah engkau orang yang ahli.
Artinya: kemudian sibuklah dengan membaca wirid setelah sholat shubuh, dan jangan berbicara sampai terbitnya matahari seraya menghadap kiablat dan muqorobah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Madyan dalam kitab Al-Hikam ; “Seorang hamba itu tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan muroqobah”. Sebab kesempurnaan hamba itu. dengan kesempurnaan penghambaannya. Penghambaan tidak akan sempurna kecuali disertai keikhlasan yang total dalam mengabdi kepada tuannya. Sedangkan keikhlasan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan murogobah . yang sempurna, yaitu senantiasa menyadarl pengawasan Allah kepada dirinya.
Dan seraya engkau membaca “ “ setelah membaca wirid yang diajarkan para guru tarekat. Hal itu supaya engkau dapat melihat rasa panas disebabkan panasnya bacaan tahlil yang sampai ke dalam hati. Oleh sebab itulah para sufi mengatakan, “ Termasuk adab yang kukuh adalah tidak meminum air setelah atau di tengah-tengah membaca tahlil”. Sebab, dzikir itu mempunyai energi panas yang dapat memancing datangnya cahaya, tajally dan warid. Sedangkan meminum air itu dapat memadamkan energi tersebut. Minimal adalah tidak minum air sampai setengah jam, semakin lama semakin baik. Dan supaya engkau juga dapat melihat cahaya yang dihasilkan dari dzikir sehingga mata batinmu menjadi terang disebabhkan cahaya yang nyata., Dan supaya watak-watak tercela menjadi hilang, dari jiwamu sehingga engkaupun menjadi orang yang berhak atas musyahadah yang merupakan nikmat yang sangat besar. Maka jadilah orang yang berhak atasnya. Mousyahadah adalah keadaan di mana seorang hamba di dalam ibadahnya itu seperti kKeadaan orang yang melihat Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda : “Barang stapa yang mengerjakan sholat fajar dengan berjamaah, lalu dia duduk berdzikir kepada Allah Swt sampaz matahari terbit, kemudian ia mengerjakan sholat dua rokaat maka pahala semua itu bak pahala ibadah haze dan umroh yang sempurna, yang sempurna, yang sempurna’. Beliau juga bersabda : “Sungguh dudukku di suatu majlis, yang di situ aku berdzikir kepada Allah Swt, mulai dari sholat shubuh hingga matahari terbit, itu lebih aku sukai daripada memerdekakan empat budak’.
Faidah; As-Suhrowardy berkata, dan sebaiknya ia tetap berada di tempat di mana ia melakukan sholat shubuh, Kecuali jika ia merasa bahwa pindah tempat itu lebih mengamankan agamanya. Hal itu bertujuan agar ia tidak perlu berbicara atau menoleh pada sesuatu. Sebab berdiam diiri dan tidak berbicara pada waktu seperti ini (setelah shubuh) itu) memilki dampak yang nyata yang bisa dirasakan oleh orang-orang yang ahli dalam berinteraksi dengan Allah Swt, Dan Rasulullah Saw juga menganjurkan hal itu. Kemudian ia membaca surat Al-Fatihah, awal surat Al-Baqarah sampai ayat ke lima, membaca dua ayat yaitu ayat yang berbunyi dan ayat kursi dan dua ayat setelahnya, membaca ayat [ ] dan satu ayat sebelumnya, membaca ayat [ ], akhir surat Al-Kahfi mulai dari sampai sampai akhir surat, awal surat Al-Hadid sampai [ ], dan ahir surat Al-Hasr dari
Kemudian membaca tasbih, tahmid dan takbir masing-masing tiga puluh tiga kali, dan disempurnakan dengan membaca Setelah menyelesaikan seluruh bacaan di atas, kemudian menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an dengan hafalan atau membacanya dari mushaf, atau dengan) membaca beragam dzikir. Hal itu terus dilakukan tanpa kendur dan ngantuk, sebab tidur di waktu ini sangat dimakurhkan. Apabila merasa sangat ngantuk, hendaknya berdiri menghadap lablat. Dan jika masih belum juga hilang, maka hendaknya berjalan maju ke arah kiblat dan mundur dengan tetap menghadap kiblat, dan hendaknya tidak membelakangi kiblat. Sebab, menghadap kiblat, tidak berbicara, tidak tidur dan berdzikir secara kontinu di waktu ini memiliki dampak yang besar dan berkah yang tidak sedikit. Kami telah merasakannya, dan kami mewasiatkan hal itu. kepada para pencari ilmu. Dampak dari kontinuitas di atas bagi orang yang mampu menyatukan hati dan lisannya dalam berdzikir itu amat banyak dan nyata. Waktu ini adalah awal waktu siang. Dan siang adalah tempat tipu daya. Apabila pondasi waktu siang telah dikukuhkan dengan penjagaan seperti di atas, maka bangunan siangnya pun akan kukuh, dan seluruh waktu siang akan terbentuk di atas pondasi ini.
Tatkala matahari sudah hampir terbit, maka memulai membaca bacaan yang diulangi sebanyak tujuh kali, yaitu’ bacaan yang diajarkan oleh Nabi Khadhir kepada Ibrahim At-Taimi. Beliau menuturkan bahwa Nabi Kodhir As mempelajarinya dari Rasulullah Saw, dan dengan terus-menerus menjalankannya, Nabi khodhir memperoleh seluruh golongan di dalam dzikir dan do’a-do’a,
Bacaan yang diulangi sebanyak tujyuh kali itu adalah sepuluh bacaan yang masing-masing dibaca sebanyak tujuh kali, yaitu surat Al-Fatihah, Mu’wwidzatain, Al-Ikhlas, Al-Kafirun, ayat kursi, sholawat kepada Nabi dan keluarganya, memohon ampunan untuk diri sendiri, orang tua dan seluruh kaum mukmin, dan terahir membaca do’a ;
Diriwayatkan bahwa ketika Ibrohim At-Taimi telah membacanya setelah beliau pelajari dari Nabi Khodhir as, dalam tidurnya beliau bermimpi masuk surga dan melihat para malaikat dan Para Nabi, serta memakan buahbuahan surga. Ada yang mengatakan bahwa setelah mimp? itu beliau tidak makan selama empat bulan. Setelah menyelesaikan bacaanbacaan tersebut, hendaknya memulai untuk membaca tasbih, istighfar dan membaca Al-Qur’an hingga matahari terbit dan naik kira-kira satu tombak menurut pandangan mata. Kemudian sholat dua roka’at sebelum meninggalkan tempat.
Sampai ketika matahari telah mencapai kira-kira satu. tombak kecil kita, maka hendaknya sholat isyroq dan membaca Al-Qur’an
Satu hizb atau lebih dengan menerima nasihat, serta menjaga adab dan kehadiran hati, dibaca dengan husyu’ dan tartil.
Artinya; ketika matahari telah narnpalks naik kira-kira satu tombak, yaitu tujuh dziro’, atau setengah tombak sebagaimana dalam kitab ihya’ dan seperti yang diisyaratkan pengarang dengan ungkapan [ ] menggunakan shigot tasghir, maka kerjakanlah dua roka’at dengan niat sholat sunnah isyroq. Pada rokaat pertama setelah membaca AlFatihah membaca ayat , sampai (QS. An-Nur ;35). Dan pada rokaat ke dua membaca sampai (QS. Annur; 3638). Bacaan ini dinukil oleh Syekh Abdul ‘Aziz dari kitab Ar-Risalah Al-Oudsiyah Karya Syekh Zainuddin Al-Rhowafy.
Dalam kitab ‘Awarifil Ma’arif, As-Syuhrowardi berkata, dua rokaat ini diniati untuk bersukur kepada Allah Swt atas segala nikmat-Nya di waktu siang dan malam. Dan yang lebih baik adalah membaca ayat kursi pada rokaat pertama, dan pada rokaat ke dua membaca [. ] (QS. Al-Baqoroh; 285) dan sampai [ ] (QS. AnNur ; 36-38).
Setelah selesai melakukan sholat dua rokaat, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an yang telah menjadi wirid seraya meresapi setiap pesan-pesan yang terkandung di dalam nya. Juga dengan menjaga adab. Yaitu dengan menjaga kedua tangan untuk tidak bergerak yang tidak perlu, menjaga kedua mata untuk tidak meninggalkan memandangi mushaf tanpa suatu keperluan, membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci, menghadap kiblat, duduk yang baik dan tenang, memakai baju putih yang bersih dan duduk bersila atau duduk dengan cara lain. Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah Ibn Mas’ud pernah membacakan Al-Qur’an kepada jamaah di dalam masjid dengan berlutut, demikian seperti dalam kitab At-Tibyan karya An-Nawawi.
Dan menghadirkan hati tanpa lengah sedikitpun. Serta membacanya dengan khusyu’ seakan-akan sedang berbicara dengan Allah Swt. Rasulullah besabda ; “Bacalah AlQur’an dan menangislah, jika tidak bisa menangis maka pura-pura lah menangis’. Dan membaca dengan tartil. Tartil, sebagaimana yang disampaikan Oleh Sayyidina Ali, adalah mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya dan berhenti pada tempatnya.
As-Suhrowardi berkata, setelah melakukan semua itu jika tidak sibuk dengan urusan duniawi, hendaknya menyibukkan diri dengan amal-amal baik, seperti sholat, membaca Al-Qur’an dan berdzikir sampai masuk waktu dhuha. Yaitu ketika waktu siang hampir mencapai seperempatnya.
Obat hati itu ada lima; membaca AlOur’an dengan merenungkan maknanya, kosongnya perut (lapar),
Sholat malam, berdzikir memohon kepada Allah di waktu sahur, bergaul dengan orang-orang sholih.
Dua bait ini disadur dari ungkapan Sayyid Ibrahim Al-Khawwash yang berbunyi, Obat hati itu ada lima perkara; membaca Al-Qur’an dengan merenungkan maknanya, mengosongkan perut, sholat malam, berdzikir memohon kepada Allah di waktu sahur, bergaul dengan orang-orang sholih. Sebagian Ulama menadzamkan kelimanya dengan bahr bashit;
Obat hatimu ketika hatimu keras itu ada lima, langgengkanlah kelimanya maka engkau akan mendapatkan kebaikan. Yaitu kosongnya perut, merenungi makna Al-Qur’an, memohon dengan menangis di waktu sahur, Sholat malam, bergaul dengan orang-orang baik dan yang membicarakan ilmu.
Sebagian ulama ada yang menambahkan ‘uzlah, diam tidak berbicara dan tidak membicarakan urusan orang lain. Ada juga yang menambahkan mengkonsumsi makanan yang halal, dan im merupakan inti dari semuanya. Sebab, mengkonsumsi makanan yang halal itu. dapat mencerahkan dan memperbaiki hati, sehingga seluruh organ tubuh menjadi suci, menolak kerusakan dan memperbanyak kemaslahatan. Lafad [ ] itu terhubung dengan lafadz [ ]. Dianjurkan bagi pelajar dan pengajar Al-Qur’an agar berperilaku yang baik dan diridhoi, serta menyempurnakan perilaku baiknya.
Seperti Zuhud dan mengabaikan dunia dan penguasanya seraya meminimalisirnya.
Juga seperti dermawan, etika-etika mulia, wajah yang berseri tanpa menipu.
Santun, sabar dan menghindari pekerjaan yang rendahan seraya menghias diri.
Selalu bersikap tenang, wira’i, khusyu’dan tawadhu’ dengan sempurna.
Dan selalu mencukur kumis, merapihkan jenggot, memotong kuku dan bulu ketiak. Maka kerjakanlah itu semua.
Dan menghilangkan bau tidak sedap, kotoran dan pakaian yang dimakruhkan. Maka sempurnakanlah. Juga selalu menjauhi tertawa terbahak-bahak dan banyak bergurau. Waspadailah sifat mengagumi diri sendiri, pamrih, dengki dan meremehkan orang lain dengan merasa lebih tinggi.
Dan kerjakanlah dzikir dan do’a yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, bepitu juga tasbih dan tahlil. Dan hendaknya takut kepada Allah, baik sant sendiri atau di tengah keramaian, dan bersandarlah kepada Allah dalam segala urusan.
Ini adalah sebagian adab bagi pelajar Al-Qur’an, dan pelajarilah sisanya dalam kitab At-Tibyan seraya menyempurnakannya. Beberapa bait di ini di ambil dari kitab At-Tibyan Fi Bayani Adabi Hammalatil Qur’an karya Syekh Mouhyiddin Yahya An-Nawaw. Imam An-Nawawi menuturkan adab-adab tersebut dalam bab tersendiri secara runtut. Kemudian pengarang nadzam ini menggubahnya menjadi nadzam.dan sekarang saya ingin mengutip adab-adab tersebut pada bab ini dalam rangka bertabarruk kepada beliuau dan menguatkan nadzam di atas.
An-Nawawi berkata, seyogyanya bagi pengajar untuk berperilaku baik yang telah disampaikan oleh syari’at, dan berperilaku terpuji dan diridhoi yang telah kami tunjukkan, seperti sikap zuhud (tidak menginginkan) terhadap materi duniawi dan menyedikitkannya, mengabaikannya dan orang yang menguasainya, dermawan, berakhlak mulia, menampakkan keceriaan yang tidak sampai batas menipu, santun, sabar, menghindari profesii yang rendah, selalu bersikap wira’i, khusyu’, tenang dan rendah diri, menjauhi tertawa terbahak-bahak, menjauhi banyak bergurau, selalu menjalankan rutinitas syar’i seperti menjaga kebersihan dengan menghilangkan kotoran dan memotong rambut yang telah diperintahkan oleh syariat, seperti mencukur kumis, memotong kuku, merapikan jenggot, menghilangkan bau tidak sedap dan menanggalkan pakaian-pakaian yang dimakruhkan. Dan hendaknya sangat mewaspadai sifat dengki, pamrih, membanggakan diri dan merendahkan orang lain meskipun ia berada di bawahnya. Dan hendaknya mengamalkan isi dari hadis-hadis yang menerangkan tasbih, tahlil dan sesamanya dari beberapa doa dan dzikir-dzikir yang lain. Dan supaya merasa diawasi oleh Allah Swt, baik saat sendiri atau di hadapan manusia. Dan hendaknya sandaran dalam setiap urusannya adalah kepada Allah Swt.
Lafad [ ] artinya adalah pelajar Al-Qur’an, sedangkan [. ] artinya adalah pengajar Al-Qur’an. Lafadz [ ] dengan dibaca kasroh mimnyakemudian fathah adalah jama’ dari lafadz [ ] dengan dibaca sukun ya’-nya yang berarti watak. Lafadz [ ] itu’ irobnya rofa’ disertai tanwin karena merupakan mubtada’ yang diakhirkan. Jumlah ini berada dalam mahal jar diathofkan pada lafadz yang di-jarkan dengan huruf kaf. Lafadz [ ] itu Yrobnya nashob sebagai maf’ul bih. Arti lafadz tersebut adalah memperdulikan. Lafadz [ ] itu berarti tanpa menipu. Maka huruf adalah kalimat isim yang semakna dengan dan menjadi sifat dari lafadz [ ]. yang dimaksud dengan tanpa menipu adalah seperti yang dikatakan An-Nawawi yaitu tanpa keluar sampai batas menipu, yakni melucu, yaitu bergurau dan tidak mempedulikannya seseorang terhadap apa yang ia kerjakan. Lafadz dengan dikasroh nun-nya adalah isim fa’il yang menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang. Dan jumlah tersebut adalah shilahnya maushul. Artinya, dari perkara yang rendah. Bentuk madhi dari lafadz tersebut adalah [ ] dengan hamzah seperti , dan [ ] seperti [ ] Lafadz dengan dibaca kasroh lam dan difathah cha’-nya adalah jama’nya lafadz [ ], juga bisa didhommah lam-nya seperti lafadz [ ].
Lafadz [ ] adalah maful yang didahulukan bagi lafadz [ ]. Lafadz [ ], dengan dikasroh ya’-nya seraya ditasydid, itu adalah fi’il amr yang dikuatkan dengan nun taukid khofifah. Maksud lafadz tersebut adalah bedakanlah antara bergurau yang mubah dan yang dilarang. Bergurau yang dilarang adalah sering dan selalu bergurau. Sebab, hal itu dapat mengakibatkan tertawa terbahak-bahak dan kerasnya hati, dapat melalaikan dari dzikir kepada Allah dan memikirkan kepentingan-kepentingan agama, dan seringkali sampai menyakiti orang lain bahkan merendahkannya, juga dapat menghilangkan kewibawaan dan kehormatan sebagaimana sebuah syair yang artinya;
Janganlah ikut bergurau dengan orang-orang saat mereka bergurau, sebab aku belum pernah melihat kaum yang bergurau bisa selamat. Bergurau itu dapat menghilangkan kewibawaan. Betapa banyak ucapan yang darinya darah mengalir. Ungkapan penyusain, artinya adalah merasa di ‘atas” orang lain. Lafadz [ ] dengan difathah jimmnya serta dibaca panjang, namun dalam madzom ini dibaca pendek karena dhorurot wazan. Lafadz tersebut adalah khobar-nya mubtada’ yang:. dibuang, artinya, “itu adalah hal yang jelas”, seperti dalam kitab Asshihah. Dan lafadz ini merupakan penyempurna bait. Juga bisa dijadikan fi’il madhi, fa’ilnya adalah dhomir yang kembali pada lafadz tahlil, dan jumlah fi’il dan fa’il ini adalah sifat untuk lafadz tahlil, artinya; “Tahlil yang telah jelas bagi manusia”. Akan tetapi lafadz [ ] yang merupakan fi’il madhi itu muta’ady dengan dirinya sendiri atau dengan perantara huruf [ ] sebagaimana yang diketahui dalam kitab bahasa.
Lafadz [ ] artinya adalah pelajar, sebagaimana ungkapan An-Nawawi bahwa seluruh adab pengajar pada dirinya sendiri yang telah disebutkan, itu juga merupakan adab bagi pelajar. Lafad ( ) adalah maful bih dengan mengikuti dialek kaum yang menyukan isim manqush secara mutlak, serta membuang ya’ nya karena bertemu tanwin. Al-mubarrod berkata, penggunaan dialek ini adalah sebaik-baiknya solusi dhorurot sy’ir, karena hal itu mengarahkan nashob menjadi rofa’ dan jar. Dan menurut qaul ashoh penggunaan dialek tersebut diperbolehkan dalam qiro’ah sab’ah berdasarkan bacaan imam Ja’far As-Shodiq ; , dengan disukun ya’ nya dan menambahkan alif setelah huruf ha’. Lafadz ([ ] artinya, pergilah pada kitab At-Tibyan seraya menyempurnakan adab. Saat ini saya telah menemukan pesan-pesan itu dari kitab tersebut.
Di antara adab pelajar adalah menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang menggangsu aktifitas belajarnya, kecuali pekerjaan yang tidak bisa dihindari untuk memenuhi kebutuhan. Bersikap tawadhwu’ kepada gurunya dan menjaga adab di sisinya meskipun usia gurunya lebih kecil, lebih rendah popularitasnya, nasabnya, Kesalehannya dan lain sebagainya. Dan hendaknya bermusyawarah dengan guru dalam setiap urusan dan menerima pendapatnya. Seyogyanya tidak mengambil ilmu Kecuali dari guru yang jelas keberagamaannya dan terbukti kapasitas pengetahuannya. Dan sebaiknya datang menghadap guru dengan kondisi yang prima seraya dalam keadaan suci dan bersiwak.
Sebaiknya tidak datang menghadap tanpa meminta ijin terlebih dahulu, kecuali gurunya berada di tempat yang di situ tidak diperlukan meminta izin. Dan hendaknya juga menypapa adab dengan teman belajarnya dan jamaah lain yang hadir di majelis gurunya. Idan tidak mengeraskan suara dengan terlalu jika tidak diperlukan. Dan hendaknya tidak bermain-main dengan tangannya atau yang lain, tidak menoleh kekanan dan kekiri tanpa suatu keperluan, pelajar harus fokus menghadap kepada gurunya serta mendengarkan untaian kKalamnya. Dan hendaknya tadak belajar membaca kepada guru saat sang guru terlihat sibuk atau sedang bosan. Dan hendaknya berangkat sangat pagi untuk membaca di hadapan guru.
Dan dianjurkan bagi seorang guru agar dalam mengajar tidak berniat selain mencari ridho Allah Swt. Dan tidak bertjuan menjadikannya sebagai jembatan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan duniawi, seperti kekayaan, jabatan, mengalahkan kawan, dielu-elukan manusia atau agar memperoleh perhatian dari manusia. Dan hendaknya mengasihi murid yang belajar kepadanya, menasehati dan mengajarinya adab-adab yang luhur kepadanya secara bertahab. Dan dalam mengajar hendaknya mendahulukan yang datang lebih awal, serta menanyakan murid yang absen.
Ulama mengatakan, seorang guru tidak boleh menahan diri dari mengajar kepada seseorang dikarenakan niatnya tidak benar. Ulama berkata, “kami mencari ilmu karena selain Allah, namun ilmu tidak mau kecuali karena Allah “. Artinya, pada ahirnya belajar imu akan menjadi karena Allah, Dan hendaknya tidak merendahkan ilmunya, sehingga ia datang ke tempat muridnya untuk mengajarinya di tempat tersebut, meskipun yang belajar itu adalah kholifah atau sebawahnya. Dan hendaknya memiliki tempat yang luas agar orang yang duduk di sisinya merasa nyaman. Mengajar itu hukumnya fardhu kifayah. Dan jika tidak ada yang layak mengajar kecuali satu orang, maka menjadi fardhu ‘ain baginya. Dan jika semua orang menolak untuk mengajar, maka semuanya berdosa. Dan dianjurkan bagi siapapun saat hendak membaca Al-Qur’an supaya membersihkan mulutnya dengan siwak atau yang lain dengan niat menjalankan kesunnahan. Dan saat bersiwak membaca do’a ;
Dan supaya membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun membacanya dalam keadaan berhadas itu diperbolehkan berdasarkan ijma’. Dan supaya membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih, serta menghadap kiblat, Saat akan memulai membaca hendaknya membaca: demikian seperti yang dikatakan mayoritas ulama. Sebagian ulama mengatakan,
hendaknya juga membaca ta’awud setelah selesai membaca, Segolongan ulama salaf berta’awud dengan membaca;
Dan hendaknya menjaga untuk selalu membaca basmalah di Setiap surat selain surat baro’ah. Dan ketika membaca ayat tentang rohmat, hendaknya berdo’a kepada Allah meminta anugerah-Nya. Dan ketika membaca ayat tetntang adzab, hendaknya memohon perlindungan dari keburukan dan adzab, serta membaca;
Dan ketika membaca ayat yang mensucikan Allah, hendaknya membaca
Murid-murid Imam Syafi’I berkata, permintaan, mohon perlindungan dan tasbih ini disunnahkan bagi setiap orang yang membaca, baik di dalam maupun di luar sholat. Dan hal itu juga disunnahkan bagi imam, ma’mum dan orang yang sholat sendirian. Sehingga jama’ah sholat mengucapkannya secara serentak sebagaimana membaca amin setelah Al-Fatihah. Yang kami tuturkan ini adalah madzhab imam As-Syaf’i dan mayoritas Ulama. Imam Abu Hanifah berkata; semua itu tidak disunnahkan, bahkan hukumnya makruh. Diantara sesuatu’ yang sangat diperintahkan adalah memuliakan Al-Qur’an. Diantara bentuk memuliakannya adalah dengan menjahui berbica dan bercerita di secla-sela pembacaan Al-Qur’an kecuali pembicaraan yang sangat dibutuhkan, dan hendaknya mentaati perintah Allah, yaituo Firman-Nya “Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu sekalzan mendapatkan rahmat”.
Tidak boleh membacanya dengan bahasa ‘Ajam (bahasa selain Arab), baik si pembaca cakap berbahasa Arab atau tidak, di dalam atau pun di luar sholat. Sehing ga, jika seseorang membacanya di dalam sholat mengunakan bahasa Ajam, maka sholatnya tidak sah. Ini merupakan madzhab Imam As-Syaf’i, Imam Malik, Imam Ahamad, Imam Dawud dan Imam Abu Bakar ibnul Mundzir. Imam Abu Hanifah berkata, hal itu diperbolehkan, dan sah sholat dengannya. Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad berkata, hal itu diperboleh Kan bagi orang yang tidak cakap berbahasa Arab, tidak boleh bagi orang yang cakap.
Boleh membaca Al-Qur’an dengan Qira’ah Sab’ah yang telah disepakati, tidak beoleh dengan selainya. Dan tidak boleh membcanya berdasarkan riwayat yang syadz yang dinuqil dari Imam-Imam qiro’ah sab’ah. Kemudian, jika seseorang memulai bacaannya dengan salah satu dari ketujuh qiro’ah itu, maka sebaiknya ia tidak pindah pada qiro’ah lain selama pembahasannya masih berhubungan. Dan jika pembahasannya sudah tuntas, barulah ia boleh pindah pada qiro’ah yang lain. Namun yang lebih utama adalah tetap pada qiro’ah pertama dalam satu majlis. Membaca Al-Qur’an dari mushaf itu lebih utama dari pada membacanya seara hafalan. Sebab, melihat mushaf adalah ibadah yang disunnahkan sehingga akan terakomodir pahala membaca dan melihat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Qodhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghozali dan segolongan ulama salaf.
Dan hendaknya menghentikan bacaan saat mengalami kentut sampai kentutnya keluar secara tuntas, kemudian kembali lagi membaca. Atau saat menguap sampal menguapnya tuntas.
Kemudian kerjakanlah sholat dhuha. Dan jangan kau tinggalkan berfikir tetang mendadaknya kematian, tentang kesusahan dan kehancran jasad. Artinya, kemudian setelah selesai membaca Al-Qur’an dan setelah memasuki tengah-tengah antara waktu shubuh dan dzuhur, sebagaimana ashar menjadi tengahtengah antara dzuhur dan maghrib, maka hendaknya mengerjakan sholat dhuha; empat, enam atau delapan roka’at. delapan Roka’at adalah maksimal dan yang paling utama menurut qaul mu’tamad. Waktu tengah-tengah antara shubuh dan dzuhur itu adalah waktu yang paling utama untuk sholat dhuha. Dan sah sholat dhuha saat waktu isyroq. Rasulullah Saw bersabda; “ Sungguh dudukku bersama kaum yang mengingat Allah mula sholat subuh hingga matahari terbit kemudian aku sholat dua atau empat roka‘at, itu lebih aku sukai dari pada aku memerdekakan empat budak dari keturunan Isma’il, yang mana diat setiap satu dari mereka adalah dua belas ribu. Dan sesunggulnya dudukku bersama kaum yang mengingat Allah sejak sholat ashar hingga matahari terbenam, itu lebih aku sukat dari pada aku memerdekakan satu budak dari keturunan Ismail”. HR. Abu Dawud dari Anas ra.
Dan jangan meninggalkan berfikir tentang mendadaknya kematian pada waktu yang tidak disangkasangka dengan hati yang kosong. Barang siapa mengingat kematian dengan hati yang disibukkan dengan syahwat duniawi, maka mengingat kematian tidak akan memberikan manfaat pada hatinya. Oleh karena itu, cara untuk mengingat kematian adalah seseorang mengosongkan hatinya dari segala sesuatu kecuali mengingat kematian yang ada di depannya. Seperti orang yang bepergian menuju belantara yang mengerikkan, atau seperti orang yang mengarungl lautan, ia tidak akan memikirkan apapun kecuali tempat di mana ia sedang berada.
Ketika ingat kematian telah menyentuh hati, maka kemungkinan besar hal itu akan memberikan pengaruh di dalamnya. Dan di saat seperti itu, kebahagiannya pada dunia akan mengurang, dan hatinya akan merasakan susah. Dan tips yang paling ampuh dalam mengingat kematian adalah dengan mengingat kawan-kawan yang telah meninggal dunia.
Dan jangan kau tinggalkan berfikir tentang kesusahan yang kelak akan kamu alami di ahirat disebabkan terlalu lama merasa tenteram pada harta yang ada di genggamanmu dan dikarenakan kecondongan hatimu padanya, serta terlalu lama menyibukkan diri dengan aktifitas yang melalaikan dari mengingat Allah dan akhirat. Sebab, itu semua dapat mempengaruhi untuk merasa asyik terhadap syahwat-syahwat duniawi.
Dan jangan kau tinggalkan berfikir tentang pembusukan jasad di dalam kubur. Senatiasa berfikir tentang hal-hal di atas itu dapat mematri ingatan akan kematian di dalam hati sehingga menjadiakan kematian berada di depan mata. Kemudian, pada saat seperti itu. akan mudah baginya untuk mempersiapkan kematian dan menjauhkan diri dari dunia yang penuh tipu daya.
Lafad [ ] dengan dibaca kasroh fa’-nya, difathah kaf-nya dan disukun ro-nya karena menyesuaikan wazan. Lafad tersebut merupakan bentuk jama’ dari lafad [ ] sebagaimana . dan Lafad adalah isim masdar dari masdar Lafad [ ] menggunakan huruf cha’, artinya adalah merasa susah. Lafad [ ], dengan dibaca kasroh huruf ba’nya dan dibaca pendek, adalah masdar dari mengiukuti babnya sebagaimana dalam kitab Al-Mishbah.
Amal tanpa disertai ingat kematian itu tidak akan memberikan dampak. Dan disertai dengan mengingatnya dengan benar, pengaruh amal itu seperti dampak pukulan kampak.
Bait ini diambil dari ungpkapan syekh Umar bin Abdur Rahman yang berbunyi, Amal yang disertal perwujudan terhadap hakikat ingat kematian itu akan membekas layaknya pukulan menggunakan kampak. Sedangkan amal yang disertai lalai mengingat kematian itu tidak akan membekas layaknya pukulan menggunakan sumbu.
Rasulullah Saw bersabda; “Perbanyaklah ingat kematian, sebab hal itu dapat melebur dosa dan menjadikan suhud pada dunia’. Ibn Umar ra berkata, aku datang menghadap Rasulullah Saw sebagai orang Ke sepuluh. Lalu berkatalah seorang pria dari kaum Anshor, Slapa manusia tercerdas dan termulia, wahai Rasulullah?. Rasulullah menjawab ; “Mereka adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling gigih dalam wiemperstapkannya. merekalah manusia tercerdas, mereka pastt akan pergt dengan membawa keagungan dunia dan kemuliaan akhirat”. Lafad adalah jama’-nya lafad , yaitu kapak yang berukuran besar.
Kemudian sibukkanlah dirimu dengan ilmu, ibadah atau Kebutuhan hidup. Dan pilihlah yang lebih utama. Artinya; lalu setelah sholat dhuha, maka sibukKanlah dirimu dengan ilmu yang bermanfaat untuk agama, dengan cara mengajar, belajar muthola’ah atau menyalin keterangan dalam kitab. Rasulullah Saw bersabda; “Sesungguhnya diantara beberapa dosa, ada: dosa yang tidak bisa ditebus oleh sholat, puasa dan haji, akan tetapi yang dapat meleburnya adalah kesusahan dalam mencari ilmu’. Rasulullah Saw juga bersabda; “Barang siapa yang ajalnya tiba saat ia mencari ilmu, ia akan bertemu denganku, antara orang tersebut dan para nabi tidak ada kecuali satu derajat.”’ Beliau juga bersabda; “Barang siapa yang menulis satu huruf untuk seorang muslim, maka seakan-akan ia telah bersedekah dengan satu Dinar dan memerdekakan budak, dan dengan tiap-tiap satu huruf, Allah mencatat untuknya satu kebatkan dan melebur satu keburukan’.
Atau sibukkanlah dirimu dengan aktifitas peribadatan. Sebab di kalangan sahabat Nabi, ada seorang sahabat yang wiridnya membaca dua belas ribu tasbih dalam sehari, dan ada yang membacanya sebanyak tiga puluh ribu Kali. Dan ada yang wiridnya adalah sholat tiga ratus roka’at sampai enam ratus, bahkan sampai seribu roka’at. Ada juga yang kebanyakan wiridnya adalah membaca Al-Qur’an. Bahkan ada sebagian sahabat yang menghabiskan slang atau malamnya untuk merenungi makna satu ayat seraya membacanya berulang-ulang.
Dan termasuk ibadah yaitu menyibukkan diri dengan aktifitas yang membawa kebaikan untuk umat Islam, aktifitas yang menyenangkan hati mereka, dan aktifitas yang bisa mempermudah pelaksanaan amal-amal kebaikan, seperti melayani kebutuhan Ulama fiqih, Ulama sufi dan tokoh agama, dan seperti berbolak-balik dalam menangan kesibukan mereka. Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya; “Barang siapa melayani orang alim selama tujuh hari, maka ia seperti melayani Allah selama tujuh ribu tahun’. Dan termasuk ibadah adalah menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah ke pemakaman dan memberi makanan kepada kaum fakir miskin. Rasulullah Saw bersabda; “Amal yang paling disukai oleh Allah setelah thadah fardhu adalah menggembirakan orang islam.”
Dan sibukkanlah dirimu dengan memenuhi kebutuhan hidup yang kamu perlukan, seperti mencari nafkah untuk dirimu dan orang yang kamu tanggung biaya hidupnya, Karena kamu tidak boleh mengabaikan mereka dan menghabiskan waktu untuk beribadah. Namun, hal itu (bekerja) harus’ dilakukan dengan syarat terjaganya agamamu dari ma’siat, dan keselamatan umat Islam dari kKeburukan tangan dan lsanmu.
Pilihlah ilmu dan ibadah yang paling utama. Sebab, tingkat keutamaan ilmu dan ibadah itu berbeda-beda sesuai kondisi setiap individu. Maka dari itu, hendaknya ia mengamati hatinya. Apa yang ia lhat paling berpengaruh di dalam hatinya, hendaknya dilakukan secara rutin. Dan jika ia mulai merasa bosan dengan hal itu, maka hendaknya ia pindah pada yang lain. Sebab, rasa malas itu adalah hal yang kaparah pada tabi’at manusia, seperti yang dijelaskan oleh Al-Ghazali Dan hendaknya kamu juga memulih pekerjaan-pekerjaan yang layak untuk, Orang yang berilmu itu mempunyat keunggulan melebihi orang yang ahli ibadah, seperti keunggulan sinar bulan-bulan purnama melebihi sinar bintang-gemintang.
Lafad [ ] dengan dibaca kasroh jim-nya dan sebenarnya dibaca panjang, namun di sin dibaca pendek karena darurat nadzom. Lafad ini adalah bentuk masdarnya lafad [ ] sebagaimana dalam Al-Misbah. Artinya adalah menampakkan sinar dan cahaya. Bait ini diambil dari hadits riwayat Abi Nu’aim dari Mu’adz bin Jabal ra, Rasulullah bersabda; “Keunggulan orang berilmu di atas ahlt thadah itu seperti keunggulan bulan di malam purnama di atas bintang gemintang”. Al-Azizi berkata, yang dimaksud kenggulan di sini adalah banyaknya pahala yang juga mencakup sesuatu yang Allah berikan kepada hambaNya kelak di akhirat, berupa derayat, kenikmatan, makanan, minuman dan pasangan di surga. Dan mencakup sesuatu yang Allah berikan kepada hamba-Nya berupa derajat kedekatan dengan Allah, kenikmatan melihat dzat-Nya dan mendengar kalamNya. Dan yang dimaksud dengan orang berilmu adalah orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Rasulullah juga bersabda; “Sedekah yang paling utama adalah sesorang yang belajar suatu ilmu kemudian ia mengajarkan ilmu yang ia peroleh kepada saudara muslimnya’. HR. Ibnu Majjah dari Abu Hurairoh. Yang dimahsud dengan imu di sini adalah imu syarvat atau imu yang menjadi sarana penunjangnya. Maka, mengajarkan ilmu itu adalah sedekah, serta merupakan bagian dari bentuk sedekah yang paling utama karena manfaat ilmu itu di atas mafaat harta. Sebab, harta itu akan habis, sedangkan ilmu itu akan terus lestari. Sesungguhnya Allah beserta penduduk langit dan bumi hingga ikan di laut dan semut di padang belantara.
Wahai kekasihku Semuanya memintakan ampunan untuk seorang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia seraya terus belajar. Dua bait ini diambil dari sabda Nabi Saw yang artinya; “Sesungguhnya Allah Swit beserta malaikat, penduduk bumi dan langit-Nya hingga semut di dalam sarangnya dan tkan di lautan ztu memintakan amupunan kepada orang-orang yang mengajarkan suatu kebatkan kepada manusia’. Beliau juga bersabda; “Menuntut ilmu itu hukumnya fardhu atas setiap muslim, dan sesungguhnya orang syang menuntut ilmu itu dimintakan ampunan oleh segala sesuatu hingga ikan yang ada di lautan’. Semua itu dikarenakan kesejahteraan alam itu dipercayakan kepada orang berilmu, yakni dengan cara menyampaikan hukum-hukum syariat, yang diantaranya bahwa menyiksa binatang itu hukumnya haram.
Lafad dalah bentuk jama’ dari lafnd [ ], yaitu tanah yang tidak berair. Lafad dengan dikasroh ba’-nya karena permbuangan ya’ mutakallim. Lafad adalah maf’ul ke dua, sementara lafad itu adalah maful pertama. Sebab, orang yang mengambil adalah maf’ul pertama, dan yang diambil adalah maf’ul ke dua, baik didahulukan atau diakhirkan. Lafad [ ] maksudnya adalah untuk menghilangkan kebodohan, menegakkan agama, menggapai ridho Allah, mensyukuri nikmat akal dan Kesehatan jasmani. Lafad tersebut adalah hal dari fa’il-nya lafad [ ].
Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka ia memiiliki jalan menuju surga yang dimudahkan Lafad [ ] adalah isim mashul serta menjadi mubtada’. Lafad [ ] adalah shilah-nya. Lafad [ ] adalah maful yang didahulukan, dan Karena itulah ditambahkan huruf untuk menguatkan. Lafad [ ] itu terhubung dengan lafad Lafad [ ] adalah mubtada’ yang di akhirkan dan khobar yang didahulukan, jumlah ini menjadi khobarnya isim maushul. Lafad [ ] dengan dimabnikan maful, jumlah ini adalah sifat untuk lafad [ ].
Bait ini diambil dari sabda Nabi Saw; “Barang siapa yang menempuh Jalan untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga”. HR. At-Turmudzy dari Abu Hurairoh. Artinya, barang slapa menempuh jalan untuk mencari ilmu syari’at atau ilmu alatnya, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga di dunia, yaitu dengan membimbingnya untuk menjalankan amal kebaikan. Atau di akhirat, yaitu dengan memberinya jalan yang tidak ada kesulitan dan kengerian di dalamnya, sampai ia masuk surga dengan selamat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Azizi. Dan malaikat pun meletakkan sayapnya untuk pencari ilmu saat ia berjalan, karena ridho dengan apa yang menjadi tujyuannya, seraya diterima di sisi Allah.
Lafad [ ] artinya berangkat menuju orang alim. [ ] yakni dengan tujuannya. Lafad [ ] adalah maf ul liajlih, ilat untuk lafad [ ]. Lafad [ ] adalah hal dari fa’ilnya lafad atau dari dhomir ha’ yang dijarkan oleh lam. Artinya diterima di sisi Allah. Bait ini diambil dari sabda Nabi Saw; “Tuntutlah ilmu walaupun ke negri shin, karena sesungguhnya , menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan sesungguhnya para malaikat itu meletakkan sayapnya untuk menuntut ilmu karena ridho dengan apa yang dicarinya’
Ada tiga pendapat ulama mengenai maksud “meletakkan sayap”, Pertama, maksudnya adalah tawadhu’ kepada penuntut ilmu karena mengagungkannya. Ke dua, turun di majlis-majlis ilmu dan tidak terbang. Ke tiga, maksudnya adalah membentangkan sayap.
Kemudian mengenai maksud “membentangkan” ini juga ada tiga pendapat Pertama, meletakkan sayap suapaya menjadi alas bagi penuntut ilmu tiap kali ia berjalan. Ke dua, menaungi dengan sayapnya. Ke tiga, memberi pertolongan serta memudahkan perjalanan menuntut ilmu. Mempelajari satu. bab ilmu itu memiliki keutamaan melebihi keutamaan seratus roka’at sholat sunnah seraya mendapatkan tambahan.
Lafad [ ] adalah hal dari lafad . Adapun alasan yang memperbolehkan shohibul shal berupa isim nakiroh adalah alasan pada mubtada’. Lafad tersebut juga patut menjadi hal dari fa’ilnya lafad es yang dikira-kirakan, yakni seraya orang tersebut mendapat keuntungan berupa keuatamaankeutamaan ibadah. Lafad [ ] adalah mubtada’, dan jumlah itu menjadi khobarnya. Lafad [ ] itu menggunakan bentuk tashghir karena menyesuaikan wazan, Bait ini diambil dari sabda Nabi Saw; “Sungguh keluarmu di pagi hari untuk belajar satu bab ilmu itu lebih baik bagimu dari pada sholat seribu roka‘at”. diriwayatkan oleh Ibn Abdil Bar.
Nabi Saw juga bersabda; “Menuntut tlmu itu lebih utama di sist Allah dart pada sholat, puasa, hajt dan jihad Diriwayatkan oleh Ad-Dailamy dari Ibn Abbas ra. Hal ini dikarenakan manfaat ilmu itu bisa menjalar kepada orang lain, juga karena keabsahan suatu ibadah itu bergantung pada ilmu.
Keutamaan ini apabila ia menyengaja Allah dan akhirat dengan ilmunya itu. Dan jika tidak demikian, pasti kerugianlah yang akan ia dapatkan.
Lafad [ ] dengan membuang huruf wawu untuk menyesuaikan wazan. Artinya, jika bukan Allah dan akhirat yang menjadi tujuannya, yakni dengan tujuan agar memperoleh pamor atau materi duniawi, maka pasti ia akan memperoleh kerugian. Paruh ke dua dari bait ini di ambil dari sabda Nabi Saw; “Barang siapa yang mempelajari ilmu karena selain Allah, maka hendaknya ta menyiapkan tempat duduknya dari mneraka. Kemudian penyusun menerangkan kerugian yang dimaksud dengan bait berikut:
Sungguh dia akan dihalangi dari bau harum surga, sungguh ia akan jatuh terjun kedalam beberapa lapisan neraka.
Lafad [ ] maksudnya adalah bau surga yang wangi. Paruh pertama dari bait ini diambil dari dari sabda Nabi Saw =: “Barangsiapa menari ilmu yang seharusnya digunakan untuk meraih ridho Allah, tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih materi duniawi, maka ia tidak akan mendapat wangi surga di hari kiamat’. HR. Abu Dawud dengan sanad yang sahih dari Abu Huroiroh ra. Ini juga dituturkan oleh An-Nawawi di dalam At-Tibyan.
Al-Ghozali berkata, orang yang mencari harta benda dengan ilmu itu layaknya sesorang yang mengusap alas sepatu dengan mukanya supaya bersih. Maka, sesuatu yang semestinya dilayani berbalik menjadi pelayan, dan yang semestinya menjadi pelayan berbalik menjadi majikan. Hal ini adalah jungkir balk.
Sedangkan paruh keduanya itu diambil dari sabda Nabi Saw : “Barang stapa menuntut tlmu dengan mzat untuk menyaingi para Ulama, mendebat orang bodoh atau wuntuk memalingkan wajah orang-orang awam kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka’. HR. At-Turmudzi dari Ka’b bin Malik. Arti sabda Nabi Saw [ ] adalah bersaing bersama para ulama dalam perdebatan untuk menampakkan ilmunya kepada manusia karena riya’ dan popularitas. Arti [ ] adalah berhujjah dan berdebat dengan orang-orang awam. Sedangkan arti adalah mendapatkan perhatian manusia lantaran ilmu yang dimiliki dengan niatan meraih harta dan keduduhan, Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Al-Azizi.
Kelak seseorang yang alim akan dibawa dan dilemparkan ke dalam neraka sehingga teruarai ususnya. Di dalam neraka, ia akan berputarputar bak berputarnya keledai kita dengan membawa gilingan, seraya tergilas ususnya seperti tergilasnya hasil panen, serta terhinakan. Kemudian datanglah para penghini neraka, mereka bertanya kepada si alim itu, “Bukankah anda adalah orang yang menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran?”.
Ia pun menjawab, “Wahai kaumku, hal itu memang benar, hanya saja aku tidak mengamalkan ilmu yang dimuliakan itu”.
Empat bait ini diambil dari sabda Nabi Saw : “Kelak di hari kiamat akan didatangkan seorang alim, kemudian ia dilemparkan kedalam neraka sehingga terural usus-ususnya, kemudian ia berputar-putar membawa ususnya itu seperti halnya keledai berputar membawa gilingan. Penghunt neraka pun berkerumun di kelilingnya. Mereka bertanya, kenapa denganmu?Ia pun menjawab, saya adalah orang yang menyeru kebatkan namun tidak melaksanakannya, dan saya mencegah heburukan namun saya malah melakukannya”. Ini sebagaimana yang dituturkan oleh AL Ghozali dari hadisnya Usamah bin Zaid.
Namun perlu diketahui, bahwasanya siksaan ini adalah karena melakukan kemungkaran, bukan karena mengingkarinya. Sebab, imam At-Thobrony meriwayatkan dari penggalan hadist sahabat Anas ra, beliau berkata : Wahai rasulullah, kami tidak menyeru kebaikan hingga kami bisa melakukkannya, dan kami tidak mencegah kemungkaran hingga kami bisa menjauhinya. Rasulullah pun bersabda : “Serulah kebaikan meskipun kalian belum menjalankannya, dan cegahlah kemungkaran meskipun kalian belum bisa menjauhi semuanya”. Hal ini seperti yang disampaikan As-Syabarhity. Dan di saat menumpas kemungkaran, disunnahkan membaca:
Artinya; Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap, sungguh yang batil itu pasti lenyap, kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulat dan tidak pula akan mengulangi”.
Sayyidina Ali ra berkata, barang siapa yang mengangkat dirinya menjadi imam bagi umat manusia, maka wajib baginya untuk mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain, dan hendaknya pengajarannya itu dengan lisannya. Dikatakan, orang yang mendidik dan mengajari dirinya sendiri itu lebih layak dimuliakan dari pada orang yang mendidik dan mengajar orang lain. Ulama bersenandung dari bahr kamil :
Wahai orang yang mengajar orang lain. Kenapa anda tidak mengajari dirimu sendiri?
Kenapa anda memberikan resep obat kepada pengidap penyakit agar dia sehat, namun anda sendiri sedang: sakit.
Kami melihatmu berbuat baik dengan menunjukkan kKebenaran pada akal pikiran kami, tetapi anda sendiri malah kosong dari kebenaran itu. Maka dari itu, mulailah dengan mendidik nafsumu. Cegahlah nafsumu dari kesesatannya. Jika nafsumu sudah meninggalkannya, engkaupun menjadi orang biaksana. Dan di saat seperti itu, apa yang anda sampaikan bisa diterima dan bisa dijadikan petunjuk, serta pengajaranmu kepada orang lain akan bermanfaat.
Anda jangan melarang suatu perilaku sedangkan anda sendiri melakukannya. Aib yang besar menimpamu jika anda melakukannya. Lafad dengan membaca fathah huruf jim dan dibaca panjang. Namun, pada bait ini dibaca pendek karena dorurot. Arti adalah keluar. lafad tersebut berkedudukan sebagai maful mutlaq, amilnya adalah lafad atau yang dikira-kirakan bedasarkan Khilaf antara ulama nahwu. Lafad tersebut adalah masdar dari kata yakni keluar, sebagaimana dalam Al-Misbah. Lafad dimabnikan maful, naibul fa’il-nya adalah dhomir yang kembali pada lafad yakni seperti gandum dan sebagainya. Lafad adalah masdar yang bermakma isim fail, berkedudukan sebagai hal dari fa’il-nya lafad . Penyebab orang alim ini berputarputar serta terurai dan tergilas ususnya, itu Karena saat di dunia, ia menguras tenaga untuk menyeru, mencegah dan membimbing;: manusia, namun ia mengeluarkan hal itu dari dirinya sendiri alias tidak mengamalkannya. Sebab, balasan sebuah amal itu dari jenis amal tersebut.
Lafad [ ] adalah jumlah haliyah dari fa’ilnya lafad atau diathofkan pada lafad dengan membuang hurf athof. Lafad [ ] itu terhubung pada lafad Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang tidaklah alim sampat ia mengamalkan ilmunya’. Lafad adalah hal dari fa’ilnya lafad dengan memandang lafadnya. Berdosa sesorang yang menyengaja selain Allah dan pahala akhirat dengan belajarnya, seraya lalai.
Yakni, sungguh telah durhaka orang yang menuntut ilmu seraya melalaikan niat yang benar. Yaitu mencari ilmu bukan Karena mencari ridho Allah Swt atau pahala di akhirat.
Berkata Sahl rahimahullah, Semua ilmu adalah dunia, dan (sisi) akhirat dari dlmu adalah mengamalkannya. Semua amal adalah debu kecuali (didasari) ikhlash. Beliau jugea berkata, semua manusia adlalah orang yang mati kecuali Ulama. Dan semua Ulama adalah orang yang mabuk kecuali yang mengamalkan ilmunya. Semua Ulama yang mengamalkan ilmunya itu terpedaya kecuali orang-orang yang ikhlas. Dan orang yang ikhlias itu dalam keadaan takut sampai ia tahu dengan amal apa usianya ditutup. Nabi Muhammad Saw bersabda : “Allah menciptakan dunia adalah untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk kemakmuran. Dia mencitptakan usia untuk beribadah, bukan untuk bersenangsenang. Dia mencitptakan harta untuk dinafkahkan, bukan untuk disimpan. Dan Dia menciptakan ilmu untuk dramalkan, bukan untuk membanggakan diri dan perdebatan.
Haram baginya jariyah yang dihusukan untuk pelajar fiqh, Kecuali ia menyibukkan dirinya dengan ilmu yang bermanfa’at. Artinya, jariyah yang husus bagi pelajar fikih itu haram atas orang yang belajarnya bukan karena mencari keridhoan Allah Swt dan akhirat. Dan bagi penanggung jawab harta wasiat dan wakaf tidak diperbolehkan memberikannya kepada orang tersebut. Orang tersebut juga tidak diperbolehkan mengambil jariyah itu apabila ia tahu bahwa jaiyah tersebut hanya diberikan untuk pelajar fiqih.
Jariyah tersebut halal bagi orang yang sibuk mempclajari ilmu yang bermantaat. Yakni ilmu yang menambahkan rasa takut kepada Allah dan menambah pengetahuan terhadap keburukan diri sendiri, serta meminimalisir kecintaan pada dunia dan menambah kecintaan pada akhirat, dan menunjukkan tipu daya setan.
Lafad adalah khobar muqaddam, dengan membaca fathah huruf cha’ dan ro’nya Karena lafad terkadang dibaca pendek seperti halnya , menjadi . Atau dengan membaca kasroh huruf cha’ dan sukun huruf ro’nya, ini merupakan salah satu dialek sebagaimana dalam Al-Miisbah. Lafad [ ] itu terhubung pada lafad
Juga berdosa orang yang mengayjarinya kecuali mengajarkan ilmu yang bermanfaat, tidak berdosa jika ia tidak tahu.
Artinya, seorang guru tidak boleh mengajar sisiwa yang belajar bukan karena Allah, karena la akan menjadi penolongnya dalam bermaksiat. Dalam hal ini, guru layaknya penjual senjata Kepada penyamun, maka ia pun bersekutu dalam dosanya. Kecuali jika ia mengajarkan Kepada siswa tersebut ilmu yang bermanfaat serta dapat mengobati penyakit hatinya itu, maka ia boleh mengajarnya. Kondisi dimana seorang guru tidak boleh mengajarkan Kecuali ilmu yang dapat mengobati hatinya adalah ketika ia mengetahui tujuan siswa tersecbut, apabila ia tidak mengetahuinya, maka hal itu diperbolehkan karena tidak tahu.
Lafad [ ] itu di-athof-kan pada lafad yang tebuang, yaitu hal dari fa’il-nya lafad atau fa’il-nya lafad
Ketika seseorang melihat seorang pelajar jatuh pada syahwat serta bertindak mengikuti kesenanganya IDan bergegas pada tujuan duniawi tanpa mengikuti jalan yang diperbolehkan
Atau menekuni ilmu fardhu kifayah sebelum memahami dan mengamalkan fardhu ‘ain,
Maka sungguh jelas dari indikasi perangainya itu tujuan selain Allah seraya masuk Ke dalam tujuan tersebut.
Begitu pula ketika ia meninggalkan sholat berjama’ah tanpa ada udzur, tetapi karena malas.
Atau meninggalkan sholat rowatib dan sholat-sholat sunnah lain apabila dikukuhkan kesunnahannya. Maka ketahui hal itu, dan sadarlah seraya beribadah dengan sepenuhnya. Penysun mengisyaratkan dengan enam bait ini bahwa apabila pada diri seorang pelajar ditemukan salah satu dari lima tanda, maka jelaslah bahwa tujyuannya menuntut ilmu bukan Karena pahala Allah Swt di akhirat.
Pertama, mendatangei syahwat dan kesenangan nafsu, serta bertindak mengikuti tuntutan kesenangan, Ke dua, bersegera dalam mencari duniawi dan disibukain dengannya tanpa melalui cara yang mubah secara syariat. Ke tiga, sibuke mempelajari ilmu yang fardhu kifayah, seperti imu nahwu, shorf, sastra, kedokteran dan matematika, sebelurm menuntaskan ilmu yang fardhu ‘ain sekaligus mengamalkannya. Keempat, meninggalkan sholat berjama’ah tanpa ada udzur. Ke lima, meninggalkan sholat rawatib dan sholat-sholat sunnah yang dikukuhkan kesunnahannya.
Sebagian Ulama mengatakan, sungguh aku melihat orang-orang pada masa ini tidak menuntut ilmu_ untuk diamalkan, akan tetapi untuk membanggakan diri dihadapan kawan-kawannya, serta untuk dijadikan sebagai peralatan menipu dan berbuat dzalim.
Lafad [ .] dengan membaca kasroh huruf mim-nya, maksudnya adalah bertindak menuntaskan hawa nafsunya. Lafad tersebut adalah dari fail-nya lafad , apabila kita menjadikannya sebagai hal yang beruntun, dan itu lebih utama. Atau hal dari dhomirnya lafad apabila kita menjadikannya sebagai hal yang mandiri, dan merupakan hal yang ke dua.
Lafad [ ] menggunakan huruf fa’ dan disusul dengan hamzah, artinya adalah mengelabuhi. Diambil dari ungkapan syekh Isma‘il di dalam As-Shihah, adalah sebuah permainan anak-anak di mana mereka menyembunyikan sesuata di dalam tanah kemudian membaginya, lalu mereka bertanya “Di manakah sesuatu tersebut?”.
Lafad [ ], artinya menguji ilmu, yaitu mengamalkannya. [ ] dengan dua huruf ghoin, yakni masuk dan bergegas dalam niatan itu. [ ] yakni fahamilah keterangan ini. [ ] yakni ingatlah seraya engkau memutuskan diri dari dunia dan menuju kepada Allah.
Dan Ulama akhirat itu memiliki tanda yang bisa dilihat, yaitu mereka tidak mencari dunia dengan pengetahuannya pada beberapa permasalahan.
Lafad [ ] adalah mudhof ilaih Artinya, Ulama akhirat itu memiliki beberapa tanda yang akan disebutkan pada bait selanjutnya. Yaitu ulama yang tidak mencari dunia dengan ilmunya. Sebab, derajat paling bawah dari orang alim adalah kesadaranya terhadap kerendahan dunia, kehinaannya, kekeruhan dan ketidak abadiannya. Serta mengetahui keagungan akhirat, kebesaran keajaannya, kemurnian nikmat dan keabadiannya. Dan mengetahui bahwa keduanya (dunia dan akhirat) adalah dua hal yang berlawanan. Sebab, keduanya itu seperti dua isteri, jika yang satu merasa lega, maka yang lain merasa muak. Atau seperti dua daun timbangan, apabila yang satu menggauli, maka yang lain ringan. Atau seperti ujung timur dan ujung barat, ketika mendekat pada salah satunya, maka menjauh dari sisi yang lain. Atau seperti dua gelas yang salah satunya dipenuhi air sementara yang lain kosong, jika air dituangkan pada gelas yang satunya, maka yang lain menjadi kosong tidak berisi. Maka sesungguhnya orang yang tidak mengetahui hal ini adalah orang yang cacat pikirannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ghazali di dalam Ihya’.
Ulama akhirat itu memiliki tanda yang banyak. Diantaranya adalah keselarasan ucapan dengan apa yang ia perbuat.
Ian terhadap perintah, ia adalah orang pertama yang melaksanakan. Dan dari larangan, ia adalah orang pertama yang menyingkir.
Dan dia adalah orang yang mementingkan ilmu yang mendorongnya pada ketaatan, yang mencegahnya dari mencintai dunia, dan meninggikan derajatnya.
Serta menjauhi ilmu yang memperbanyak pembicaraan yang tidak berguna dan perdebatan.
Ia adalah orang yang menjauhi kemewahan makanan dan kemegahan tempat tinggal serta perabotannya. Dan Menjauhi kemewahan dan menghias diri dengan pakalian yang ia kenakan. Dia adalah orang yang cenderung untuk qana’ah dan menyedikitkannya.
Dan ia adalah orang yang menjauhi para penguasa, yakni tidak pernah seharipun ia datang kepada penguasa.
Kecuali untuk memberi nasihat, melawan kedzaliman atau memberikan pertolongan dalam halhal yang diridhoi Allah. Maka datanglah untuk itu semua.
Dan terhadap fatwa, ia bukanlah orang yang tergesa-gesa, dan berkata berkata, “Akan ku tanyakan kepada ahlinya”.
Seraya enggan berijtihad yang tidak menjadi fardhu ‘ain baginya, dan berkata, “aku tidak tahu” ketika ytihad tidak dimudahkan.
Dan ia menyengaja suatu ilmu yang bisa digunakan untuk meraih kebahagiaan akhirat.
Sehingga ia mementingkan ilmu batin dan bertindak mengawasi hati agar bisa mengaturnya.
Dan mengharap terbukanya jalan ilmu akhirat dari usaha keras yang ada.
Dan ia adalah orang yang bersandar pada taqlidnya kepada Nabi pembawa syari’at, dan kepada mata hatinya yang terbuka.
Bait-bait ini diambil dari untaian kalam Al-Ghozali di dalam ihya’. Dan saya akan melaampirkannya di sini untuk memaparkan maksud bait-bait tersebut, yaitu : Ulama akhirat itu mempunyai tujuh tanda-tanda. Pertama, perilakunya tidak bertentangan dengan ucapannya. Ia tidak menyeru kepada sesuatu selama ia bukan orang yang pertama kali mengerjakannya. Allah Swt berfirman, “Mengapa engkau menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan engkau melupakan diri dari kewajibanmu”. Allah Swt juga berfirman, “Amat besar kebencian di sisi. Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan’”’. Rasulullah Saw bersabda, “Di malam aku dinaikkan ke langit, aku bertemu dengan sekelompok manusia yang bibirnya dipotong menggunakan gunting dari api. Maka aku pun bertanya, Siapa kalian?. Mereka menjawab, kami adalah orang yang menyeru pada kebaikan tapi kami tidak melaksanakannya, dan kami mencegah kemunkaran tapi kami justeru melakukannya”.
Fudhail bin Iyadh berkata, telah datang sebuah berita kepadaku bahwa kelak di hari kiamat orang-orang fasik dari kaum berilmu akan didahulukan sebelum para penyembah berhala. Abu Darda’ ra berkata, kebinasaan untuk orang yang tidak berilmu, satu kali. Kebinasaan untuk orang berilmu tapi tidak mengamalkannya, tujuh kali.
Kedua, perhatiannya tercurahkan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat di akhirat dan yang mendorongnya di dalam ketaatan, serta menjauhi ilmu yang sedikit manfaatnya dan yang memperbanyak perdebatan dan pembicaraan yang tidak berguna. Bahkan sebaiknya belajarnya adalah dari kategori hal-hal yang diriwayatkan dari Hatim Al-Ashom, murid dari Ayaqiq AlBalkhi.
Bahwasanya ia ditanya oleh Syaqiq, seyak berapa tahun kamu bersamaku?. tiga puluh tiga tahun yang lalu, jawab Hatim. Syaqiq berkata, apa yang sudah kamu pelajari dari ku?. Delapan masalah, jawab hatim. Syaqiq berkata, Innalillahi wainna ilaihi roji’un, usiaku habis bersamamu tapi kamu tidak mempelajari kecuali delapan masalah. Hatim berkata, ustadz, saya tidak mempelajari yang lain, saya tidak bohong. Syaqiq berkata, utarakanlah delapan masalah itu agar aku bisa mendengarnya.
Hatim berkata, saya mengamati manusia, lalu saya menyimpulkan bahwa masing-masin dari mereka menyukai sesuatu. Suatu saat, ia datang ke pemakaman bersama sesuatu itu. Dan ketika sudah sampai, sesuatu tersebut mennggalkannya sendirian. Maka saya pun menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang saya sukai, sehingga ketika saya masuk Ke dalam kKubur, sesuatu yang saya sukai itupun ikut masuk bersamaku.
Syaqiq berkata, Kamu melakukan dengan baik Hatim, lalu apa yang ke dua?. Hatim berkata, Aku merenungi firman Allah Swt, “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sungeouh surgalah tempat tinggalnya’. Maka aku pun yakin bahwa firman Allah itu benar, sehingga aku memayahkan diriku di dalam menahan hawa nafsu sampai diriku benar-benar menjadi stabil menjalankan ketaatan kepada Allah.
Ketiga, aku mengamati makhluk di dunia ini sehingga aku melihat setiap orang yang bersamanya terdapat sesuatu yang bernilai meninggikan dan menjaga sesuatu tersebut. Kemudian aku merenungi firman Allah Swt, “Apa yang ada di sismu akan lenyap, dan apa yang ada di sist Allah adalah kekal’. Maka setiap kali di sisiku terdapat sesuatu yang bernilai, aku mengirimkannya kepada Allah agar terjaga di sisiNya.
Keempat, aku mengamati makhluk di dunia ini, aku melihat tiap-tiap dari mereka bergantung pada harta, kemuliaan dan garis keturunan. Aku pun berpikir tentang hal itu, dan ternyata semuanya tidak berguna. Lalu aku merenungi firman Allah Swt, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa’. Maka aku menjalankan takwa sampai aku menjadi orang yang mulia di sisiNya.
Ke lima, aku mengamati makhluk, mereka saling mencela dan saling mengutuk satu dengan yang lainya. Akar semua ini adalah kedengkian. Kemudian aku merenungi firman Allah, “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia’. Maka aku pun meninggalkan sifat dengki dan menjauhi makhluk. Dan aku yakin bahwa bagian ini adalah dari Allah sehingga aku mengabaikan memusuhinya makhluk pada diriku.
Keenam, Aku melihat makhluk saling menganiaya dan memerangi satu sama lain. Lantas aku kembali pada firman Allah, “Sungguh setan itu adalah musuh bagimu, maka perlakukanlah ia Sebagai musuh’’. Maka aku hanya memusuhinya, dan aku berusaha keras untuk memasang kewaspadaanku darinya. Sebab, Allah Swt telah bersaksi bahwa setan adalah musuh bagiku sehingga aku tidak akan memusuhi makhluk selain dirinya.
Ke tujyuh, Aku mengamati makhluk, aku melihat salah satu dari mereka mencari Kepingan roti sehingga ia merendahkan dirinya dan masuk Ke dalam sesuatu yang tidak halal baginya. KRemudian aku merenungi firman Allah Swt, “Dan tidak satupun makhluk bergerak di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya’. Aku yakin bahwa aku adalah salah satu dari makhluk yang dijamin Allah rezekinya, sehingga aku menyibukkan diri dengan kewajibanku kepada-Nya, dan aku meninggalkan hak ku yang ada di sisi-Nya.
Ke delapan, aku mengamati makhluk, aku melihat mereka bersandar kepada makhluk lain, si A bersandar kepada tanahnya, si B kepada niaganya, si C kepada industrinya, si D kepada kesehatannya. Kemudian aku kembali pada firman Allah Swt, “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niseaya Allah akan mencukupinya.” Maka aku pun bertawakal kepada Allah karena Dialah yang akan mencukupiku.
Syaqiq berkata, hai Hatim, semoga Allah membimbingmu. Sungguh aku telah menmpelajari ilmu Taurot, Injil, Zabur dan Al-Furqon sehinggga aku menemukan semua bentuk kebaikan dan keberagamaan berpusat pada delapan masalah ini. Maka barang Siapa yang mengamalkannya, berarti ia telah mengamalkan empat kitab suci itu. Ketiga, ia tidak memiliki kecondongan untuk bermewah-mewah dalam makanan, minuman, pakaian, perlengkapan dan tempat tinggal. Ia lebih memilih pola sederhana dan berusaha meniru ulamasalaf di dalam semua itu, dan lebih condong terhadap yang lebih sedikit. Setiap kali bertamabah kecondongannya terhadap yang sedikit, bertambah pula kedekatannya dengan Allah Swt. Ali bin Abi tholib ra berkata dalam bahr wafir;
Kami ridho dengan pembagian Allah yang maha besar di dalam diri kami. Yaitu ilmu bagi Kami, dan harta bagi musuh-musuh Kami. Sebab, harta akan sirna dalam waktu dekat. Sedangkan ilmu tetap kekal tidak akan sirna.
Ke empat, ia adalah orang yang berusaha menjauh dari para penguasa. Sama sekali tidak pernah masuk menghadap mereka selama ada jalan untuk berlari menjauh.
Bahkan sebarknya menghindari bergaul dengan mereka meskipun mereka datang kepadanya. Sebab, dunia itu manis dan hijau, dan tali Kekangnya berada di tangan para penguasa. Orang yang bergaul dengan para penguasa hampir pasti ia akan berusaha untuk memperoleh rasa simpati mereka, walaupun mereka adalah penguasa yang dzolim.
Setiap orang beragama wajib mengingkari penguasa yang dzolim, serta menyudutkan mereka dengan mengemukakan kedzaliman yang diperbuat dan mencela perbuatan mereka itu.
Dengan demikian, orang yang datang kepada penguasa itu adakalanya yang merasa perlu untuk berteman baik dengan mereka, maka ia meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Ada yang diam tidak menentang kejahatan para penguasa, maka ia adalah orang yang bersikap lemah lembut kepada mereka Ada yang berpura-pura membicarakan sesuatu agar mendapat simpati mereka, serta mengeluelukan sikap mereka, itu adalah dusta yang nyata. Dan ada yang ingin mendapatkan materi duniawi, itu adalah haram.
Kelima, ia bukan orang yang tergesagesa dalam berfatwa, akan tetapi ia adalah orang yang menahan dan menjaga (dari berfatwa) selama ada celah untuk menghindar. Jika ia ditanya tentang sesuatu yang ia ketahui secara pasti berdasarkan nash kitabullah, hadits, ijma’ atau Qiyas jaly, maka ia akan berfatwa.
Dab jika ditanya tentang sesuatu yang ia ragu di dalamnya, ia akan berkata “saya tidak mengerti”. Dan bila ditanya tentang sesuatu yang ia ketahui berdasarkan ijtihadnya, maka ia akan berhati-hati, menutup diri dan mengarahkannya kepada orang lain yang mampu.
Keenam, tujuan belajarnya adalah untuk memperoleh ridho Allah kelak diakhirat. Dan perhatiannya lebih banyak tercurahkan pada ilmu batin, ilmu pengawasan diri, pengetahuan jalan akhirat dan suluknya, serta kesungguhan harapan untuk menyingkap jalan tersebut, yakni mujahadah dan murogobah. Sebab, mujahadah itu akan mengantar pada musyahadah, sedangkan detil ilmu batin itu akan dipancarkan oleh luapan hikmah dari dalam hati. Adapun kitab dan pendidikan, itu tidak lah cukup untuk semua itu. Hikmah yang tidak bisa dihitung jumlahnya itu hanya bisa terbuka melalui mujahadah, murogobah, mengerjakan amaliah dzohir dan bathin, berdua dengan Allah Swt di tempat sepi seraya menghadirkan hati dengan kejernihan pikiran, serta memusatkan diri hanya kepada Allah Swt. itu semua merupakan kunci ilham dan sumber kasyaf (terbukanya hal-hal ghaib).
Betapa banyak orang yang sudah lama menuntut ilmu namun tidak mampu melampaui apa yang ia dengar, satu kalimat pun. Dan betapa banyak orang yang fokus pada pelajaran yang penting, serta menyempurnakan amal dan pengawasan hatinya, sehingga Allah buka untuknya kelembutan hikmah yang membingungkan akal.
Ketujuh, ia menyandarkan ilmunya terhadap pengertian dan pemahaman dengan hati yang jernih, tidak berdasarkan buku catatan atau mengikuti apa yang didengar dari orang lain. Yang berhak diikuti hanyalah Rasulullah Saw di dalam apa yang beliau perintah dan ucapkan. Adapun Sahabat itu diikuti hanya karena perilakunya menunjukkan atas sesuatu yang ia dengar dari Rasulullah Saw.
Kemudian, jika ia mengikuti Rasulullah di dalam ucapan dan perilaku beliau, maka hendaknya ia gigih dalam memahami rahasia di balik semua itu. Sebab, ia mengikuti suatu perilaku hanya karena perilaku tersebut dikerjakan oleh Rasulullah Saw. Dan di dalam perilaku beliau pasti tersimpan suatu rahasia. Oleh Karena itu, hendaknya ia membahas dengan gigih rahasia di balik peilaku dan sabda beliau. Sebab, jika ia merasa cukup terhadap apa yang beliau ucapkan, maka ia hanyalah wadah ilmu, bukan orang yang berilmu.
Karena itulah diucapkan, si fulan adalah wadah ilmu sehingga tidak disebut alim, apabila urusannya hanya menghafal tanpa mempelajari hikmah dan rahasia dibaliknya. Orang yang telah disingkap tutup dari hatinya dan tercerahkan oleh cahaya hidayah, maka dengan sendirinya ia menjadi orang yang diikuti sehingga tidak perlu mengikuti yang lain.
Lafad adalah fi’il madhi. Alifnya adalah alif ithlaq. Fa‘il-nya adalah dhomir yang kembali pada lafad . Dan jumlah fi’il-fa’il ini adalah sifat untuknya. Lafad tersebut mengyerunakan hamzah di awalnya, atau membaca tasydid huruf ghai-nya. Lafad [ ] adalah sifat ke dua. Lafad ] adalah fi’il madhi. Fa’ilnya adalah dhomir yang kembali pada lafad ilmu, dan jumlah ini adalah sifat ketiganya. Maknanya, ilmu tersebut mengangkat derajatnya di akhirat. Diambil dari kata: (saya meningglkan surban dari dahi).
Lafad [] adalah khobar keduanya lafad artinya menghiasi. Lafad [ ] adalah ma’thuf pada lafad Lafad [ ] itu terhubung pada lafad sehingga wawu itu masuk pada lafad tersebut. Lafad artinya adalah perlengkapan rumah. [ ] adalah ma’thuf pada lafad , artinya adalah hidup dalam kenyamanan. [ ] itu terhubung pada lafad , wawu-nya masuk pada lafad tersebut, dan di-athofkan pada lafad . Ungkapan [ ] itu diathofkan pada lafad , lafad , adalah masdarnya lafad yang bermakna takut, sebagaimana di dalam As-Shihah. Lafad [ ] terhubung pada lafad yang merupakan khobar keduanya lafad , yakni, dia adalah orang yang bertindak mendidik hatinya, seperti di dalam Al-Qomus. Lafad [ ] adalah khobar’ ketiga, artinya menanti-nanti. Lafad [ ] terhubung pada lafad , lafad tersebut adalah maf ulnya lafad Lafad juga terhubung pada lafad artinya adalah mengharap terbukanya jalan akhirat dari usaha kerasnya. Lafad [ ] dengan dikasroh jimnya adalah masdar yang bermakna isim maful. Artinya, yang telah dibuka disebabkan hilangnya kegelapan dari hati.
Para imam seperti As-Syafi’iy, itu disempurnakan dengan enam perilaku.
Yaitu. zuhud, kesalehan, ibadah, mengetahui ilmu yang berhubungan dengan akgirat dan bermanfaat bagi manusia.
Memahami kemaslahatan agama, dan mengharap keridhoan Allah dengan belajarnya.
Lafad [] dengan dibaca dhommah kaf-nya, adalah khobarnya lafad . dengan ditanwin, itu terhubung pada lafad adalah badal dari lafad .
Lafad maknanya adalah mendahulukan akhirat dari pada dunia,seperti yang dikatakan Al-Ghozali. Lafad [ ] maknanya adalah menjalankan ibadah, khusyu’, tawadhu’ dan etika yang baik. Hal ini adalah makna yang difahami dari firman Allah ;” Tetapz berkata orangorang yang dianugerahi tlmu berkata, Celakalah kamu. Ketahuilah, pahala Allah itu lebih baik bagi orang-orang beriman dan mengerjakan khebajikan”.
Ketika rasulullah membaca firman Allah, “ Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapatkan hidayah, Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam’, ada yang bertanya kepada beliau, bagaimana kejelasannya?. Beliau menjawab, “Sesungguhnya cahaya, ketika dipancarkan ke dalam hati, maka hati akan terasa bahagia .dan lapang karenanya”. Ditanyakan lagi, apakah hal itu mempunyai tanda?. Beliau menjawab, “Betul, yaitu menjaga jarak dart dunia yang menipu dan kembali menuju akhirat tempat yang kekal, serta memperstapkan dirt untuk kematian sebelum datangnya ajal”.
Faidah. Imam As-Syafiiy ditanya tentang sesuatu yang wajib dan yang lebih wajib darinya, sesuatu yang dekat dan yang lebih dekat, sesuatu yang menakjubkan dan yang lebih menakjubkan, sesuatu yang berat dan yang lebih berat. Beliau menjawab dengan syair yang berbunyi ;
Wajib atas manusia untuk bertaubat, Namun meninggalkan dosa itu lebih wajib.
Waktu pada dasarnya adalah hal yang menakjubkan, namun kelalaian manusia padanya adalah hal yang lebih menakjubkan.
Segala sesuatu yang diharapkan itu adalah dekat. Namun kematian itu lebih dekat dari semua itu.
Sabar saat tertimpa musibah itu berat, namun hilangnya pahala itu adalah hal yang lebih berat.
Ulama fiqih kami telah mengikuti As-Syafiiy di dalam bidang fiqih mereka, bukan yang lain. Maka ikutilah mereka agar engkau mendapat Kebaikan.
Artinya, sesunguguhnya ulama fiqih golongan Kami dan yang semasa dengan kami itu telah mengikuti Imam As-Syafiy dan orang-orang setingkat beliau di dalam bidang faqih, yaitu ilmu yang berhubungan dengan lahiriah sajya, bukan untuk . memperindah batiniah. Maka. ikutilah seluruh §sifat-sifat mereka agar engkau mendapatkan kebaikan yang agung. Sebab, keluhuran derajat di sisi Allah itu tidaklah dengan ilmu dzhohir saja.
Maka pelajarilah ilmu yang bermanfaat Karena Allah Swt, apabila kamu menginginkan kerajaan duniaakhirat yang luhur. Lafad [ ] adalah fi’il madhi, fa’ilnya adalah dhomir yang kembali pada lafad . Jumlah fi’ill dan fa’il ini adalah sifat lafad tersebut.
Rasulullah Saw bersabda : “Apabila seorang pelajar duduk di hadapan gurunya, maka Allah membuka watuknya tujuh puluh pintu rahmat. Ia tidak pergi dari sisi gurunya kecuali seperti hari di mana ia dilahirkan oleh ibunya. Dan Allah memberinya dengan setiap huruf pahala ibadah satu tahun. Allah juga membangun untuknya dengan setiap huruf seratus kota, setiap kota itu seperti sepuluh kala lipat dunia”.
Raslullah bersabda : “barang siapa keluar untuk mempelajari satu bab ilmu, maka malaikat akan menaungi, burung-burung di angkasa dan ikan-ikan di lautan pun mendoakannya, dan ia di tempatkan di sisi Allah pada tempatnya tujuh puluh syuhada’”.
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Lukman Al-Hakim berkata kepada puteranya, wahai puteraku, kamu harus duduk bersama para Ulama dan mendengar petuah ahli hikmah, sebab Allah itu menghidupkan hari yang mati dengan cahaya ilmu dan hikmah sebagaimana Allah menyuburkan tanah yang tandus dengan siraman air hujan”.
Rasulullah bersabda : “Barang siapa mencari ilmu dan mendapatkannya, maka ia mendapat dua bagran pahatla, dan seandainya ia tidak mendapatkannya, maka za masth mendapatkan satu bagian pahala”. Sholih Al-lakhomy bersya’ir dengan bahr thowil :
Belajarlah apa bila kamu bakan orang alim. Sebab tidak ada ilmu kecuali disisi orang yang selalu belajar
Belajarlah, sebab ilmu itu lebih memperindah seorang pemuda dari pada wanita cantik yang bersolek saat ia berbicara.
Sebagian Ulama’ berkata dalam sair berbahr basith :
Ilmu di dalam hati itu bagaikan matahari di cakrawala. Ilmu bagi seseorang itu. bagaikan mahkota bagi raja.
Eratkanlah pegangan tanganmu pada tali allah seraya berjaga diri. Sebab, ilmu bagi seseorang itu ibarat air bagi ikan.
mengajarnya seseorang karena Allah itu merupakan sebaik-baiknya ibadah, khilafah dan warisan. Maka mohonlah dengan sungguh-sungguh. Artinya, mengajarkan ilmu yang bermanfaat karena Allah Swt itu adalah sebaik-baiknya ibadah. Rasulullah Saw bersabda : “Seorang muslim tidak membert kepada saudaranya suatu manfaat yang lebth batk dari pada ucapan batk yang ia sampathan kepadanya, kemudian ia sampatkan kepada yang lain’. Beliau juga bersabda : “Satu kalimat ia dengar kemudian dia ajarkan dan amalkan itu lebih baik untuknya dari pada ibadah satu tahun”.
Mengajar juga merupakan khilafah terbaik, yakni sesuatu yang datang setelah berlalunya orang yang mendahuluinya. Rasulullah Saw bersabda, “Rahmat Allah semoga tercurahkan atau para penggantiku, Sahabat bertanya, siapa penggantimu?. Beliaubersabda, “Orang orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada umat manusia’,
Mengajar juga merupakan sebaik-baiknya warisan. Sebab mengajar adalah warisan dari Rasulillah Saw. Beliau bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nab?’. Adalah Hal yang maklum bahwa tidak ada kedudukan yang lebih tinggi di atas kenabian, dan tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris kedudukan itu. Maka mintalah kepada Allah dengan media mengajar supaya meninggikan derajatmu.
Rasulullah bersabda : “Ketika hari kiamat telah tiba, Allah akan berfirman kepada ahli ibadah dan para mujahid, Masuklah kalian ke dalam surga”. Kemudidan para Ulama berkata, Dengan kebatkan ilmu kami mereka beribadah dan berjthad. Allah ber iman, kalian di sisi-Ku seperti sebagian malaikat, mohonkanlah syafaat maka akan diterima. Lalu mereka memohonkan syafaat, kemudian mereka masuk ke dalam surga’. Keutamaan ini hanya bisa diperoleh melalui imu yang bisa menjyalar dengan cara mengajar, bukan ilmu yang tidak bisa menjalar. Sebagian Ulama membuat sya’ir dari bahr bashit :
Ilmu adalah lebih bernilainya sesuatu yang kau simpan. Barang siapa mempelajari ilmu, maka tidak akan hilang keagungannya.
Datangilah ilmu dan sambutlah tujuantujuannya. Sebab permulaan ilmu itu adalah perhatian, begitupun akhirnya.
Syarat-syarat ilmu, sebagaimana yang dikatakan An-Nawawy, itu ada delapan. Pertama, mengamalkan apa yang ia ketahui. Anas ra berkata, semangat ulama adalah menjaga, sementara orang bodoh semangatnya adalah meriwayatkan.
Ke dua, menyebarkan ilmu. Allah Swt berfirman, “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali”. Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “Tidakkah aku memberi tahu kalian mengenai orang yang paling dermawan?”’. Sahabat menjawab, baik wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Allah adalah dzat yang paling dermawan, aku adalah manusia paling dermawan. Dan manusia paling dermawan setelahku adalah laki-laki yang mempelajari ilmu lantas menyebarkannya, di hari kiamat ia akan dibangkitkan sebagai imam, dan laki-laki yang mendermawakan dirinya di jalan Allah sampai ia gugur”.
Ke tiga, menjauhi sikap menyaingi dan mendebat. Rasulullah bersabda , “Barang siapa menuntut olmu untuk empat hal, maka ia masuk neraka, yattu untuk menyaingi ulama, untuk mendebat orang-orang bodoh, untuk mendapatkan harta benda, atau untuk mendapatkan perhatian manusia’.
Ke empat, mengharap ridho Allah dalam menyebarkan ilmu (tidak mencari keuntungan duniawi) dan tidak pelit dengan ilmu yang dimiliki. Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad), Aku tidak meminta kepada kalian sesuatu imbalan pun’. . Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang mengetahui sebuah ilmu lantas ia menyembunyikannya, maka di hari kiamat Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api.
Ke lima, tidak gengsi untuk berkata “saya tidak tahu”. Sebab, Rasulullah Saw dengan ketinggian derajatnya, saat beliau ditanya mengenai hari kiamat, beliau menjawab, “Orang yang ditanyai mengenai hal itu tidak lebih tahu dari pada si penanya’. Dan ketika ditanya tentang roh, beliau menjawab, “Saya tidak tahu”.
Ke enam, rendah hati. Allah Swt berfirman, “Adapun hamba-hamba tuhan yang maha pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati”. Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, jagalah wasiat nabimu, supaya Allah memberimu manfaat dengannya. Rendah hatilah supaya Allah mening gikanmu di hari kiamat. Ucapkanlah salam Kepada orang yang kau temui dari umatku, yang baik maupun yang jelek perangainya. Kenakanlah pakaian yang kasar. Jangan kau niati itu semua kecuali untuk mendapat ridho Allah supaya sifat sombong dan gengsi tidak menemukan celah di dalam hatimu’”.
Ke tujuh, mau menanggung resiko dalam memberikan nasihat, dan mengikuti ulama salaf dalam hal tersebut. Allah berfirman “Dan cegahlah (mereka) dari kemungkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa”, Rasulullah Saw bersabda, “Tidak seorang Nabi pun yang disakiti Seperts diriku’.
Ke delapan, berniat mengajarkan ilmunya kepada orang yang lebih membutuhkan pendidikan, seperti halnya berniat menyedekahkan kekayaan kepada orang yang lebih membutuhkan. Maka, barang siapa yang mencerdaskan orang bodoh dengan mengajarkan ilmu, maka seakan-akan ia telah mencerdaskan seluruh manusia.
Hormatilah petuah kaum sufi seraya tidak menyalahkannya. Hormatilah gurumu, dan jangan menjadi orang yang membantahnya.
Artinya, hormatilah petuah kaum sufi seraya tidak mengatakan bahwa petuahnya salah. Sebab, orang yang mengingkari mereka akan terhalang dari berkah mereka dan beresiko su’ul khotimah, na’udzu billah. Dan hormatilah gurumu. Jangan menjadi orang yang membantahnya sehingga engkau berburuk sangka kepada guru, meremehkannya dan tidak beretika dihadapannya. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda : “Barang siapa yang memandang remeh gurunya, ia akan diuji dengan tiga perkara; lupa pada hafalannya, tumpul ucapannya, dan menjadi fakir di akhir hayatnya”. Muntakhob membuat sya’ir dari bahr rajaz;
Muliakanlah seorang guru yang selalu membimbing. Sebab, ia adalah sebaik-baiknya bapak bagi setiap pelajar.
Layanilah gurumu karena mengutip ilmu itu menjadikan perbudakan, apabila engkau seperti emas, ia adalah mata uang.
Mintalah fatwanya meskipun beliau adalah tukang sayur. Dan lihatlah isi ucapan, bukan siapa yang mengucapkan.
Arti [ ] adalah setiap orang yang mempelajari sepenggal ilmu dan etika. Berkata sebagian ahli hikmah, barang siapa yang banyak etika (baik)nya, akan banyak pula kemuliaannya meskipun ia adalah orang yang sederhana, terkenal meskipun ia adalah orang yang menyembunyikan diri, menjadi panutan meskipun ia adalah orang asing, dan banyak dibutuhkan orang lain meskipun ia adalah orang fakir. Diantara para penyair ada yang berkata; Segala sesuatu itu memiliki perhiasan di tengah-tengah makhluk. Sedangkan perhiasan sesorang adalah kesempurnaan etikanya Sesorang akan menjadi mulia lantaran etikanya, meskipun ia adalah orang yang rendah nasabnya. Karena itulah dikatakan, seseorang itu dinilai dari sisi ia mengukuhkan adabnya, bukan dari mana ia tumbuh, dan dari mana ia ditemukan, bukan dari mana ia dilahirkan.
Seorang penyair berkata; Jadilah anak siapapun, dan capailah etika yang baik, maka etika terpuyi akan mencukupimu dari nasab.
Sesungguhnya seorang pemuda itu adalah orang yang berkata, inilah saya. Seorang, pemuda bukarn orang yang berkata, ayahku.
Mintalah penjelasan kepada guru, tinggalkanlah apa yang nampak pada pemahamanmu dari kitab, dan bertanyalah.
Artinya, bertanyalah kepada gurumu dan mintalah penjelasan darinya. Abaikanlah pemahaman yang nampak dari kitabmu. Sebab, barang Siapa yang mengambil ilmu dari sebuah kitab dan tidak mengambilnya dari mulut para guru, maka kKesalahannya akan lebih banyak dari pada Kebenarannya., seperti yang dikatakan guru kami, syekh An-Nahrowy.
Adapun orang yang telah Allah lapangkan hatinya dengan keyakinan, hendaknya ia bersandar pada hatinya. Karena jiwa yang sempurna itu mempunyali kesadaran terhadap sesuatu yang terpuji hasilnya, sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw, “Mintalah nasehat pada hatzmu mesktpun orang tlazn menasehatimu’. Artinya, bergantunglah pada apa yang terbesit di dalam hatimu, dan kerjakanlah meskipun orang lain menyampaikan nasehat yang tidak sesuai dengan isi hati. Sebab mereka hanya mengamati sesuatu yang nampak
Cocokkanlah kitanmu sebelum tiba waktu membaca dengan kita-kitab yang sahih dan jelas yang telah dijadikan standart
Lafad dengan bentuk mabni maful, naib failnya adalah dhomir yang kembali pada lafad Artinya, kitab yang telah dijadikan standar lantaran tersebar luas di antara para ulama, atau karena telah ditashih oleh para Ulama.
telaahlah redaksinya secara berulangulang sebelum masuk pada penjelasan. Sebab hal itu lebih utama dan lebih baik hasilnya.
Sungguh memahami satu baris redaksi kitab itu lebih baik dari pada memahami sepuluh baris penjelasan. Maka terimalah.
Artinya, wahai penuntut ilmu. Telaahlah redaksi kitabmu secara berulang-ulang sebelum menelaah kitab syarahnya. Sebab, menelaah redaksi matan terlebih dahulu itu lebih bagus karena merupakan bagian nasihat, karena arti dari sikap yang demikian adalah mendahulukan kitab yang kecil sebelum yang besar.
Dan juga lebih baik hasilnya lantaran cara tersebut bisa meningkatkan pemahaman dan mematrinya di dalam hati. Memaham satu baris redaksi matan itu lebih baik dari memahami sepuluh baris kitab penjelasan. Sebab, terkadang redaksi matan itu mempunyai maksud yang tidak disebutkan oleh penulis penjelasannya. Di samping itu, tatkala seorang pelajar memahami keterangan dari kitab syarh, maka nalarnya akan melemah dalam mengkaji kemusykilan redaksi matan yang abstrak, yang darinya dapat difahami bermacam-macam ilmu.
Dikisahkan bahwa syekh Al-Islam Zakariya Al-Anshory saat menjabat sebagai qadhi di Mesir, beliau tidak pernah meninggalkan matan At Tahrir karya beliau sendiri, beliau selalu menaruhnya di saku jubahnya dan mencukupkan diri dengan kita tersebut.
Lafad [ ] dengan membaca fathah huruf hamzah dan dhommah tho’nya. afad [ ] maksudnya, benarkanlah ucapanku dan ambillah nasehatku. Berkata seorang penya’ir: Jadilah orang alim, dan terimalah menjadi seperti barisan sandal, dan jangan menampakkan diri tanpa disertai kesempurnaan. Sebab jika kamu menampakkan diri tanpa dilengkapi alat, maka engkau telah menjadikan permulaanmu seperti barisan sandal.
Awalilah dengan mempelajari fardhu ‘ain lalu kerjakanlah, kemudian mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara pelan-pelan. Artinya, dalam belajar, awalilah dengan mempelajari ilmu yang fardhu ‘ain. Yaitu ilmu untuk mengetahui Ke-Fsaan Allah Swt, meluhurkan dzat dan sifat-sifat-Nya, dan ilmu untuk mengetahui tatacara ibadah, halal-haram, halal dan haram dalam muamalah, serta ilmu untuk mengetahui halk-hal yang merusak kejiwaan. Lalu kerjakanlah semua itu. Kemudian mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lafad [ ] adalah hal dari dhomir pada lafad artinya secara perlahan. Makna semua itu adalah bahwasanya seandainya seseorang telah baligh di pagi hari, maka kewajiban pertamanya adalah mempelajari dua kalimat syahadat serta memahami maknanya tanpa tanpa melakukan kajian dan mencari dalil. Seandainya ia terus hidup sampai waktu dzuhur, maka ia wajib mempelajari tatacara bersuci dan sholat. Namun apabila tidak memungkinkan baginya untuk mempelajari dan mengamalkannya di dalam waktu, yakni waktu dzuhur akan habis jika ia mempelajari semua itu, maka ia harus belajar sebelum masuk waktu. Begitu juga dalam sholat-sholat yang lain.
Jikalau ia terus hidup sampai tiba bulan Ramadhan, maka ia wajib mempelajari tatacara puasa. Yaitu dengan mengetahui bahwa waktu pelaksanaannya dimulai dari shubuh sampai terbenamnya matahari, dan kewajiban di dalamnya adalah niat serta menahan diri dari hal-hal yang membatalkan. Apabila ia mempunyali harta benda, maka ia wajib mempelajari sesuatu yang wayjib dizakati. Dan jika ia hendak menunaikan ibadah haji, maka ia wajib mempelajari tatacara haji. Jika hendak melakukan jual-beli, ia wajib mempelajari tatacaranya. Demikian pula saat ia dihadapkan pada suatu kewayjiban, ia harus mempelayari hal-hal yang mengesahkan dan membatalkannya.
Lanjutkanlah dengan mempelajari faqih kemudian ushulnya. Kemudian pelajarilah ilmu yang lain’ secara bertahap.
Latad dengan membaca washol hamzah-nya karena wazan, dan kasroh ba’-nya. Lafacd dengan dibaca sukun ya’nya, adalah maful muqaddam. Lafad [ ] adalah masdar, berkedudukan sebagai hal dari dhomir pada lafad Lafad [ ] adalah maful-nya lafad . Arti bait ini, susulilah ilmu yang fardhu ‘ain dengan mempelajari furu’iyah fiqh hingga mencapal kelas fatwa, ini hukumnya fardhu kifayah. Dan sampai kelas ijtihad, ani hukumnya sunnah. Kemudian lanjutkan dengan mempelajari ushul fiqh, yaitu dalil-dali fiqh yang bersifat global, cara mengambil kesimpulan dengan cara tarjih ketika terjadi pertenmtangan dalil, dan sifat-sifat mujtahid. Kemudian peliharalah ilmu yang lain secara bertahap. Sebab ilmu itu’ sangat banyak, sedangkan usia itu singkat. Jangan berhenti pada satu bidang ilmu, tapi teruskanlah pada bidang ilmu yang lain. Seperti yang disampaikan ulama dalam bentuk sya’ir dari bahr basiht :
‘Tekunlah untuk mempelajari semua ilmu, maka engkau akan merasa mudah olehnya. Dan jangan berhenti pada satu ilmu karena malas.
Karena lebah, tatkala ia mengambil makanan dari berbagai sari buah, ia mampu menghasilkan dua hal, lilin dan madu.
Pada lilin terdapat cahaya yang menerangi. Dan didalam madu terdapat obat penyembuh segala penyalkit.
Adapun ilmu sastra itu ada delapan, bahasa, shorf, nahwu, dan ma’ny. IIlmu bayan, bad’, gafiyah dan ‘arudh. Maka pelajarilah semuanya dengan tuntas.
Cabang ilmu-ilmu ini adalah menggubah prosa dan sya’ir, muhadhoroh dan tulis-menulis, maka sempurnakanlah.
Artinya, ilmu sastra itu ada delapan. Yaitu ilmu yang berguna untuk menjaga kesalahan dalam berbahasa Arab dari segi lafad, tulisan dan makna. Sebagian Ulama menyebutnya ilmu bahasa Arab. Pertama, lughot. Yaitu lafad-lafad yang dipergunakan orang Arab untuk menyampaikan maksud hati mereka, serta berguna untuk mengetahui bentuk kosa kata arab. Ke dua, shorf. Yaitu ilmu yang membahas pokok-pokok kalimat dan keadaannya, sohih dan kemasukan huruf ‘illat. Ke tiga, nahwu. Yaitu ilmu yang mengkaji keadaan akhir kalimat, dari segi ’rob dan bina’. Ke empat, ma’any. Yaitu ilmu yang digunakan untuk mengenali keadaan lafad Arab, yang dengannya bisa menyesuaikan lafad dengan tuntutan situasi.
Ke lima, bayan. Yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui cara menyampaikan satu makna dengan gaya bahasa yang berbeda-beda tingkat kejelasannya, sehingga sebagiannya lebih jelas atau lebih samar maksudnya dari yang lain. Ke enam, badi’. Yaitu ilmu untuk mengetahui cara memperindah ucapan setelah menjaga keserasiannya dengan tuntutan keadan, dlan terhindar dari kerumitan. Ulama menjadikan ilmu ini sebagai terusan untuk ilmu ma’any, bukan cabang ilmu tersendiri. Ke tujuh, qofiyah, yaitu ilmu tentang ahir sebuah bait. Ke delapan, ‘arudh. Yaitu ilmu untuk mengenah Keadaan ritme sy’ir.
Cabang dari ilmu sastra adalah menggubah prosa dalam beberapa makalah dan ceramah. Menggubah sya ir, yaitu menyampaikan perkataan yang berirama. Dan ini dinamakan gqordhu sy’ir. Dan ilmu muhadhoroh -dan ini merupakan buah ilmu sejarahyaitu mengutip suatu yang asings yang sesuai dengan situasi aktual. Dan ilmusejarah, yakni pengetahuan tentang kisah umat terdahulu, serta perubahan masa yang terjadi pada mereka untuk menciptakan Kemampuan uji coba dan menjaga diri dari jebakan zaman. Ilmu ini termasuk ilmu yang mubah seperti yang disampaikan Al-Ghazali. Beda halnya dengan ilmu ramal, yaitu berita tentang Kejadian di masa yang akan datang, maka hukumnya haram.
Dan dari katgori ilmu alat adalah ilmu tulis menulis. Yaitu ilmu yang membahas tata cara penulisan berbagai lafad, yakni pemeliharaan huruf-hurufnya dari penambahan dan pengurangan, menyambung, memisah, dan mengganti. ilmu ini termasuk kategori ilmu bahasa Arab dan merupakan bagian ilmu tersendir sepert yang disampaikan , Yusuf di dalam Al-Arus AL Majalliyah.
Lafad [] adalah mafulnya fi’il yang terbuang, perkiraannya adalah ceel atau . Lafad tersebut merupakan penyempurna bait. Lafad [ ] artinya adalah mengukuhkan. Lafad ini adalah hal dari fa’il-nya lafad . Lafad [ ] artinya kukuhkanlah ilmu-ilmu ini supaya kamu menjadi orang cerdas.
Jangan terbujuk dengan terjunnya orang masa kini untuk mendalami imu manthiq kemudian ilmu kalam. Wahai saudaraku, bacalah dengan teliti kitab ihya’ karya Al-Ghozali, maka engkau akan mendapatkan di dalamnya penawar dari berbagai penyakit yang akut.
Lafad [ ] itu terhubung pada lafad , yang merupakan fil madhi. Fa’il-nya adalah dhomir yang kembali pada lafad . Jumlah filiyah ini adalah sifat-nya lafad jal atau hal darinya karena merupakan lafad yang semi makrifat. Maka jumlah ini mengira-ngirakan huruf . Sebab, apabila fi’il madhi menjadi hal, maka harus disertai huruf , ditampakkan atau dikira-kirakan.
Arti bait pertaima ialah, jangan tertipu dengan oranp-orang yang: mendalami ilmu omanthiq dan ilmu tauhid. Akan tetapi pelajarilah timu manthiq yang diperlukan Karena hukumnya sunnah, bahkan fardhu kifayah bagi penduduk setiap negerli. Ilmu manthiq yang diperselisihkan boleh dan tidaknya untuk dipelajari, itu adalah ilmu manthiq yang dipadukan dengan beragam kesesatan falsafat yang dapat mengkafirkan. Sedangkan ilmu manthiq yang kosong dari semua itu, maka tidak ada perselisihan Ulama tentang bolehnya untuk dipelajari, bahkan dianjurkan karena merupakan tonggak untuk menjawab Keraguan-keraguan di dalam ilmukalam. Demikian ini seperti yang diungkapkan oleh Al-Bajury. Beliau juga berkata, manthiq adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan konseptual dan Kesimpulan berfikir yang mengantarkan pada konsep atau kesimpulan sesuatu yang tidak dikenali.
Dan pelajarilah ilmu Kalam, yakni dasar-dasar tauhid, sekira dapat digunakan untuk mengetahui dzat Allah, sifat, pekerjaan dan sunnahNya pada makhluk, serta hikmahNya di dalam menyusun akhirat atas dunia. Ilmu ini adalah ilmu yang terpuji, sedikit ataupun banyak, semakin banyak semakin baik seperti yang dikatakan Al-Ghozali. Adapun ilmu kalam yang terlarang, itu adalah kitab-kitab ilmu kalam yang memuat perpaduan filsafit, sepert, kitab Al-Matholi’? At-Thowal’ dan Al-Maqit Al-Maqoshid sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Bajury.
Lafad [ ] adalah munada mudhof yang dibuang huruf nida’-nya. Lafad dengan di-kasroh hamzahnya serta dibaca pendek Karena wazan. Lafad [ ] dengan membaca ringan hurf za’-nya adalah nisbat pada ghuzalah, salah satu desa di kota thus, sebagaimana riwayat bahwa syekh Muhyiddin bin Muhammad bin Majduddin bin Syarwan bin Fakhrowar bin Ubaidillah bin Sitti Nisa’ binti Abu Hamid AlGhozali berkata, orang-orang telah salah dalam membaca tasydid huruf Za’ pada nama kakek Kami, yang benar dibaca ringgan, nisbat pada daerah Ghuzalah.
Lafad [ ] adalah fi’il madhi. Artinya penyakit itu sudah akut. Arti bait Ke dua ialah, bacalah kitab Ihya ‘ulumiddin, yaitu Karya Allamah Al-Imam Muhammad AIlGhozah. Sebab di dalamnya terdapat penawar dari berbagai penyakit yang membuat para dokter tidak berdaya. Sebagimana yang diucapkan sebagian guru, tidak ada kitab yang lebih luas manfaatnya dan lebih banyak kegunaannya dari pada kitab Ihya Ulumiddin.
Kemudian penyusun mamsuk dalam pembahasan adab-adab makan dan tidur, Beliau memasukannya ke dalam bab memelihara waktu. Belia berkata ;
Setelah itu konsumsilah makanan halal yang tidak ada syubhat di dalamnya. Makanan yang tidak dicela syari’at itulah yang di halalkan.
Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat untuk tubuh dan agama dari pada menyedikitkan makan dan minum.
Artinya, makanlah setelah kesibukanmu membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu makanan yang halal dan yang tidak ada syubhat di dalamnya. Halal, menurut Imam As-Syafi’i adalah makanan yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Mrenurut Imam Abu Hanifah adalah makanan halal adalah makanan yang kehalalannya ditunjukkan oleh suatu dalil. Faidah dari perbedaan ini akan nampak pada makanan yang tidak disebutkan di dalam syari’at, halal menurut pendapat pertama, dan haram menurut pendapat ke dua.
Diantara dari petuah Abu Manshur Mudzoffar, kalian jangan mengira bahwa ular yang datang Ke kuburan itu) masuk dari luar. Ingatlah, sesungguhnya pekerjaan kalian adalah ular kalian. Makanan haram yang kalian makan adalah ular kalian. Keterangan ini disampaikan Ar-Romli di dalam ‘umdatur Robih. Berkata At-Thurthusy, sesungguhnya panjang usus manusia adalah delapan belas jengkal. Sebaiknya pola makan tidak melebihi seper tiganya, yaitu enam jengkal, dan ini merupakan kenyang yang umum. dan disunnahkan untuk kurang dari itu, yakni dengan cara makan dengan kadar yang bisa menegakkan tulang rusuknya untuk beraktifitas. Ini merupakan kenyang syar’iy, sebagaimana sabda Nabi Saw, “manusia tidak memenuht wadah yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah untuk manusia beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang rusuknya, jika memang harus lebih, maka sepertiga untuk makanannya, seperrtiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk mnafasnya”. Riwayat imam Ahmad, At-Turmudzy, ibn Majjah dan Al-Hakim.
Lafad [ ] dengan membaca sukun sin-nya. Lafad [ ] dengan dibaca fathah menurut pendapat Al-Munawy, dan dhommah menurut Al-‘Alqomy. Lafad [ ] fa’-nya dibaca fathah. Maksud hadits ini cukup bagi manusia beberapa suapan kecil yang dapat menegakkan punggungnya. Apabila harus lebih dari itu, maka hendaknya dibagi tiga, masingmasing untuk makanan, minuman dan pernafasannya. Ini adalah kiat yang paling bermanfaat untuk kesehatan hati dan jantung. Sebab, ketika perut telah terpenuhi makanan, maka perut menjadi sempit untuk minuman. Lantas jika ada minuman yang masuk kedalamnya, maka akan sempit untuk menampung pernafasan, sehingga timbulah rasa nyeri dan gangguan pada perut disebabkan muatannya, layaknya orang yang memikul beban yang berat.
Dampak negatif dari kenyang adalah beratnya badan, kerasnya hati dan menghilangkan ketajaman pikiran.
Juga melemahkan badan untuk beribadah kepada tuhannya dan menyebabkan kantuk. Maka hindarilah rasa kenyang.
Efek negatif yang ditimbulkan rasa kenyang yang umum itu ada enam. Pertama, beratnya badan. Sebab rasa kenyang dapat melemahkan tenaga dan tubuh. Tubuh itu menjadi lebih bertenaga tergantung sedikitnya jumlah porsi makanan, bukan banyanya. Orang yang porsi makannya melebihi sepertiga usus, maka ia telah menyimpang dari jalan yang dilalui oleh para salikin, sebagaimana yang dituturkan oleh Al‘Azizi.
Ke dua, Kerasnya hati. Seperti yang diriwayatkan dari Hudzaifah dari Rasulullah Saw, beliau bersabda : “Barang siapa yang makannya sedikit, maka perutnya sehat dan hatinya bersih. Dan barang stapa yang makannya banyak, maka perutnya menjadi sakit dan hatinya menjadi keras’.
Ketiga, menghilangkan ketajaman berfikir, merusak mental dan menggaggu hafalan. Seperti yang dikatakan Ali ra.,, perut yang kenyang itu menghilangkan kecerdasan. Ke empat, melemahkan tubuh untuk menjalankan ibadah dan menuntut ilmu. Sebagaimana wasiat Lukman kepada puteranya, Wahai anakku, apabila lambung telah kenyang, pikiran akan tertidur, hikmah akan menjadi bisu, dan tubuh menjadi lemah.
Ke lima, menyebabkan kantuk, Sebagaimana yang dikatakan sebagian ahli hikmah, barang siapa yang banyak makannya, akan banyak pula minumnya, barang slapa yang banyak minumnya, akan banyak pula tidurnya, barang siapa yang banyak tidurnya, akan banyak pula dagingnya, barang siapa yang banyak dagingnya, akan menjadi keras hatanya, dan barang siapa yang keras hatinya, ia akan tenggelam dalam lautan dosa. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “Jangan matikan hatimu lantaran banyaknya makan dan minum, karena hati itu seperti tanaman, bila terlalu banyak disirami akan mati’. Beliau juga bersabda, “Allah tidak menghtasz seseorang derngan sesuatu yang lebih baik dari pada keterjagaan perutnya’.
Ke enam, menguatkan syahwat dan membantu bala tentara setan sebagaimana yang dikatakan AIlGhozalhi. Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda : “Sesungguhnya banyaknya maka adalah kesialan’.
Lafad [ ] artinya tidak tetap, lafad ini adalah sifat-nya lafad . Lafad [ ] artinya, tinggalkanlah kekenyangan. Lafad ini adalah fi’il amr yang ditaukidi dengan nun khofifah. Seperti yang dikatakan oleh As-Syafi’i :
Wahai pencari ilmu, jalankanlah wira’i, jauhi tidur dan hindari kenyang. senantiasalah belajar, jangan pernah meninggalkannya., Sebab dengan belajar, ilmu menjadi tegak dan berkembang.
Setelah itu tidurlah qailulah agar bisa terjaga di malam hari untuk menjalankan ketaatan. Lalu bangunlah sebelum tergelincirnya matahari. Artinya, tidurlah di paruh waktu Siang setelah makan di selain hari jum’at, hal itu supaya bisa terjaga di malam hari untuk sholat tahajjud, berdzikir atau belajar. Lalu sadarlah dari tidurmu seraya bangun dari tidurmu, seperti dalam As-Shihah, atau seraya menyadarkan diri, seperti di dalam Al-Miusbah. Rasulullah Saw bersabda, “Tidurlah qailulah karena sesungguhnya setan tidak tidur qailulah’. Diriwayatkan oleh At-thobrony dan Abu Nu’aim dari Anas ra. Imsam Zamakhsyari berkomentar terkait maksud hadits ini, qailulah adalah tidur sejenak sebelum waktu dzuhur. Al’Azizi berkata mengutip dari kitab An-Nihayah, qailulah adalah istirahat diparuh waktu siang meskipun tidak tidur.
Berkata sebagian Ulama, dianjurkan secara medis untuk tidur setelah sarapan pagi dan berjalan setelah makan malam minimal seratus langkah. Orang Arab berkata, sarapanlah dan luruskan kakimu meskipun sultan duduk bersamamu, makan malamlah dan berjalanlah meskipun sang rembulan sedang menemanimu. Bentuk asli lafad .adalah dengan dua huruf dal, namun diringkas menjadi satu, seperti halnya dua ‘huruf tho pada firman, Allah Swt ;
“Kemudian dia Pergi kepada keluarganya dengan sombong”.
Yakni seseorang pergi, yaitu Abu Jahal, kepada keluarganya dengan sombong lantaran mendustakan Rasulullah Saw. Sebagian ulama bersya’ir,
Apabila kamu telah Sarapan pagi, tidrulah meskipun di atas kepala kambing.
Apabila kamu telah makan malam, berkelilinglah meskipun di atas tembok.
Lafad qof-nya dikasroh. Lafad [ ] dengan menggunakan dal, seperti keterangan dalam As-Shihah. Lafad [ ] adalah masdar yang bermakna isim fa’il,’ lafad tersebut adalah hal dari dhomir yang berada di dalam lafad .
Dan kerjakanlah sholat dzuhur berjamaah beserta sunnahnya. Kemudian sibukkanlah diri dengan kebaikan-kebaikan yang telah lewat.
Penuntut ilmu menyibukkan dairi dengan mempelayjari ilmu. Ahh ibadah menyibukkan diri dengan sholat, baca Al-Qur’an atau tahlil.
Begitu seterusnya hingga tiba waktu tidur. Maka tekunilah hal ini, dan jangan menjadi orang yang lalai.
Pelajarilah kitab Adzkar An-Nawawti dan kerjakan isinya, maka kamu akan mendapat kebaikan yang nyata.
Artinya, kemudian dirikanlah sholat dzuhur berjamaah beserta’ sunah qobliyah dan ba’diyah-nya, Karena Nabi Saw bersabda : “Barang siapa yang memelihara empat rokaat sebelum Sholat dzuhur dan empat rokaat setelahnya, niseaya Allah mengharamkannya masuk neraka’. Maksudnya adalah neraka keabadian seperti yang dikatakan Al-Munawy. Atau neraka yang menjadi tempat siksanya lantaran dosa yang ia kerjakan, sehingga empat rokaat tersebut adalah penebus untuk siksaan itu, seperti yang disampaikan Al-Azizi.
Setelah itu sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang telah lewat. Apabila Kamu seorang alim atau pelajar, maka sibukkanlah dirimu dngan belajar, datang menghadap guru, menelaah kitab, atau menyalinnya. Jika bukan, maka sibukkKanlah dirimu dengan sholat-sholat sunnah, membaca Al-Qur’an, tahlil, menolong orang Islam, atau bekerja untuk menolong’ agama. Tekunlah pada pembagian ini, dan jangan lupakan hal itu hingga tiba waktu tidur.
Telaahlah kitab Aal-Adzkar Karya syekh An-Nawawi. Kitab tersebut adalah kitab yang berharga, berisi tentang berbagai rutinitas ibadah. Dan kerjakanlah isinya sehingga engkau memperoleh banyak Kebaikan.
Lafad , dengan dibaca fathah jim-nya dan dibaca panjang, adalah hobar-nya mubtada’ yang terbuang, yakni (itu adalah sesuatu yang jelas), Juga bisa menjadi fi’il madhi, failnya adalah dhomir yang kembali pada lafad , dan jumlahnya menjadi sifat untuk lafad tersebut, yakni .
Jangan berusaha tidur, dan jangan tidur melainkan dengan dzikir dan dalam keadaan suci.
Artinya, jangan berusaha tidur. Jangan tidur kecuali selama belum merasa sangat kantuk, kecuali jika kamu bermaksud menjadikannya sebagai sarana ibadah di akhir malam. Jangan menikmati tidurmu dengan membentangkan alas tidur yang bagus. Dan jangan tidur melainkan dengan berdzikir. Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu hendak tedur di temopat tedurmu, maka bacalah : . Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra.
Beliau juga bersabda, “Barang siapa yang saat hendak menuju tempat tiurnya membaca : Niseaya Allah Swt mengampuni dosanya meskipun seperti baih lautan. Diriwayatkan oleh Ibn As-Sinny, Abu Niuaim, Ibn Hibban, Ibn Jarir dan Ibn “Asakir dari Abu Hurairoh ra. Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Buraidah, Rasulullah Saw bersabda, “Ketika kamu hendak menuju tempat tidurmu, bacalah doa:
Rasulullah Saw bersabda, “Barang Siapa yang ketika menuju tempat tidurnya membaca: ‘ sebaanyak tiga kali, niseaya Allah mengampuni dosanya meskipun seperti buih lautan, meskipun sebanyak daun pepohonan, meskipun sebanyak pasir, meskipun sebanyak hitungan hari di dunia”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Turmudzy dari Abi Sa’id.
Beliau juga bersabda, “Apabila kamu hendak tidur, bacalah ; diriiwayatkan Abu Nashr dari Ibn ‘Umar ra. Hadist-hadits di atas disampaikan oleh syekh Mushthofa Al-Bakri.
Dan jangan tidur kecuali dalam keadaan suci. Rasulullah Saw berabda, “Ketika kamu hendak menuju tempat tidurmu, maka wudhulah seperti wudhumu untuk sholat, lalu berbaringlah dengan posisi miring kekanan kemudian bacalah doa :
Apabila kamu mati di malammu itu, maka kamu mati dalam keadaan fitrah, dan jadikan kalimat-kalimat itu sebagai kalimat yang terahir kamu ucapkan (sebelum tidur). Diriwayatkan oleh Syaikh Bukhory-Musli dan Ahmad dari Al-Barro’ ra, disampaikan oleh syekh Mushthofa Al-Bakri. An-Nawawi berkata di dalam At-Tibyan, saat hendak tidur, disunnahkan membaca ayat Kursy, Al-Ikhlash, Al-Mu’awwidzatain dan akhir surat Al-Baqoroh. Ini adalah bacaan yang penting dan harus sangat perlu diperhatikan karena telah tetap hadits sohih yang menerangkannya.
Lafad [ ] adalah maful bih-nya fiil yang terbuang, yaitu . Maksudnya adalah suci yang sempurna, dzohir dan batin, seperti yang disabdakan Nabi Saw, “Barang siapa yang menuju tempat tidurnya tidak disertai niatan untuk berbuat dzolim dan dengki kepada seorang pun, maka diampuni dosa yang telah ia kerjakan’. Tidak jadi masalah kamu bergumul dengan istrimu jika tidak terus menerus dalam kelalaian dan persetubuhan.
Artinya, tidak apa-apa kamu bergumul dengan istrimu selama kamu tidak keasikan dalam kelalaian dan persetubuhan. Dan disunnahkan membaca basmalah ketika hendak bersetubuh. Rasulullah Saw bersabda : “Seandainya salah satu dari kalian ketika hendak bersetubuh dengan istrinya membaca : Maka, seandainya ditakdirkhan anak untuknya, anak tersebut tidak akan dibahayakan oleh setan”. Dan di saat terasa sperma akan keluar, disunnahkan untuk membaca di dalam hati, tanpa menggerakkan lisan, firman Allah Swt : “dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air mani lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Dia adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. Sebagaimana yang diutarakan syeikh Muhammad bin ‘Utsman al-Qobbani
Ketahuilah bahwa bersetubuh dengan posisi berdiri itu sangat membahayakan bagi kesehatan manusia, serta mengakibatkan denyut jantung cepat tak beraturan, sakit lambung dan pusing. Penyakit-penyakit ini bisa timbul seketika atau selang beberapa lama.
Berhubungan badan dengan posisi miring juga sangat membahayakan, bisa menimbulkan penyakit jantung dan liver, dan bisa menimbulkan beser. Terlebih jika dengan posisi mering ke kanan, lebih membahayakan dari pada miring ke kiri. Begitu juga dengan posisi terlentang, sementara perempuan berada di atas, Posisi ini bisa menyebabkan terjadinya infeksi saluran kencing, kencing: batu, air kencing terasa panas, dankeluar darah dan nanah dari alat kelamin.
Adapun cara dan posisi terbaik saat bersetubuh adalah istri tiduran dengan posisi terlentang yang rata, dan meletakkan bantal kecil di bawah pinggangnya. Kemudian ia mengangkat sendiri pahanya. Sedangkan si suami menegakkan tangan dan jemari kakinya sampai hampir mencapai klimaks. Ketika sudah mulai klimaks, si laki-laki hendaknya meletakkan kedua lututnya dan menjatuhkan diri memeluk pasangannya sampai spermanya tuntas masuk ke dalam rahim. Jangan ditumpahkan dengan posisl miring agar sperma tidak tumpah sehingga tidak bisa menghasilkan anak, serta menimbulkan rasa sakit pada si laki-laki.
Apabila persetubuhan dilakukan dengan cara yang dianjurkan ini, maka akan terhindar dari penyakit yang telah disebutkan di atas, seperti keterangan di dalam kitab kesehatan. Syekh Yusuf As-Sambalawany menuturkan, dianjurkan bagi orang yang hendak bersetubuh untuk terlebih dahulu merangsang dzakarnya di sekitar farji agar menimbulkan gairah, setelah itu barulah memulai persetubuhan, ketika sudah mulai klimaks, hendaknya ia mengangkat pantat istrinya dengran kedua tangannya, dengan cara ini ia akan merasakan kemikmatan yang luar biasa.
Apabila kamu terjaga di malam hari, bertahajudlah. Dan mintalah ampunan untuk segenap kaum beriman, dan merataplah kepada-Nya
Sungguh sholat dua roka’at di malam hari adalah kekayaan yang tersimpan di akhirat, lebih kekal dan banyak.
Maka perbanyaklah harta sumpananmu untuk menghadapi Kefakiran yang akan menghampirimu di saat tidak ada kerabat dan orang yang menolongmu.
Artinya, ketika kamu terbangun di malam hari, kerjakan sholat sunnah meskipun hanya satu roka’at. sebagaimana yang dikatakan As-Syibromulasy, Dua rokaat di tengah malam merupakan kKebaikan yang tersimpan. Maka perbanyaklah simpananmu untuk hari di mana kamu membutuhkannya, hari di mana tidak ada Kerabat yang bisa memberikan manfaat kepadamu, dan tidak ada orang yang biusa menolongmu.
Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Dzar, “Seandatnya kamu hendak bepergian, apakah kame akan memperstapkan perbekalan?’’. Ia menjawab, iya. Beliau bersdabda, “Tantas bagaimana bagatmana dengan perjalanan ktramaz maukah kamu kuberitahu tentang sesuatu yang bermanfaat untukmu di hari itu?’. Ia menjawab, Baik, demi ayah dan ibuku. Beliau bersabda, “Berpuasalah di hari yang sangat panas (sebagai bekal) untuk hari kebangkitan, sholatlah dua roka’at di kegelapan malam(sebagai bekal) untuk kesunyian kubur, berhajilah (sebagat bekal) untuk perkara-perkara yang berat, dan bersedekahlah dengan mendermakan harta kepada orang miskin, atau dengan kalimat kebenaran yang kamu ucapkan, atau dengan kalimat buruk yang kamu tinggalkan”.
Rasulullah bersabda, “Kerjakanlah sholat malam karena itu merupakan kebtasaan orang-orang sholih sebelum kalian, mendekatkan kepada Allah Swt, menjauhkan dari dosa, menghapus dosa dan menghilangkan penyakit yang ada di badan”. Dan sabda rasulullah Saw, “Dua roka’at di pertengahan malam yang dikerjakan oleh manusza, ttu lebth batk dari dunia dan isinya. Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umat, niseaya aku wajibkan dua rokaat itu atas mereka’. diriwayatkan bahwa sanya Allah membanggakan diri dengan orang-orang yang beribadah di malam hari’ kepada para malaikatnya, “Lihatlah hambahamba-Ku, mereka telah beribadah di kegelapan malam hingga tidak seorangpun melihat mereka selain diriKu. Aku sakstkan pada khalian bahwa Aku telah membolehkan mereka menempati surga-Ku’.
Usai sholat mintalah ampunan untuk kaum mukmin. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memintakan ampunan untuk kamu mukmin, maka Allah akan menulis untuknya dengan tiap-tiap mukmin ‘ satu kebaikan’. Beliau juga bersabda,
“Barang siapa yang beristighfar tujuh puluh kali sehari, maka ia tidak akan ditulis dari golongan orang orang pembohong. Dan barang siapa beristighfar tujuh puluh kali dalam semalam, ia tidak akan ditulis dari golongan orang-orang yang lalat “, Rasulullah bersabda, “Barang stapa yang memintakan ampunan untuk kaum mukmin dua puluh tujuh kali sehari, maka ia tergolong orang-orang yang dikabulkan doanya dan menjadi penyebab dibert rizkinya penghuni bumi’. Beliau bersabda, “Brang szapa yang beristighfar kepada Allah setiap selesat sholat sebanyak tiga kali, ia membaca: niseaya dosa-dosanya diampuni meskipun ia telah lari dart barisan perang”.
Lafad [ ] dengan hamzah qotho’,, yakni tangisilah dosa-dosamu dan kecerobohanmu dalam beribadah. Seperti halnya sya’ir An-Najary dari bahr rajaz : Sucikanlah hatimu dari berbagat kotoran, penawarnya adalah menangis di waktu sahur.
Artinya, kosongkanlah hatimu dari sesuatu yang dapat mengeruhkannya, seperti riya’, iri, sombong, ‘ujub, senang kepemimpinan dan ketenaran, banyak bicara dan bergurau. Obatnya adalah menangis di akhir malam karena itu adalah waktu tersingkapnya cahaya Ilahi dan waktu turunnya rahmat, sebagaimana di dalam hadits sohih dari Jabir ra., Bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya di sebagian malam terdapat waktu, yang mana seorang hamba tidak bertepatan dengannya seraya menta kebaikan kepada Allah Swh melainkan Allah akan memberikan kebarkan itu kepadanya’. ‘ dalam riwayat lain disebutkan “Ia, meminta kepada Allah kebathan dunia dan akhirat, melainkan Allah akan memeberinya, dan waktu tersebut ada di setiap malam’.
Oleh karena itu, dianjurkan kepada setap insan untuk bersungguhsungguh dalam mendoakan dirinya dan orang lain’ karena Allah menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa. Sebagian orang-orang sholih membaca istighosah di bawah ini: Wahai dzat yang hanya kepada-Nya tempat mengadu, dan hanya kepadaNya urusan makhluk akan kembali. Wahai dzat yang dengan menyebutnya akan terurai simpul segala musibah dan kesulitan.
Wahai dzat yang Hidup lagi terus menerus mengurus makhluknya, wahai dzat yang menjadi tempat meminta segala sesuatu dan yang tidak tertandingi.
Engkau sangat mengetahui terhadap musibah yang menimpaku, dan engkaupun juga menyaksikannya. Engkaulah dzat yang selalu mengawasi hamba-hamba-Nya, dan Engkau adalah satu-satunya penguasa. Engkaulah dzat yang memuliakan orang yang taat kepada-Mu. Dan engkaulah dzat yang menghinakan tiap-tiap pembangkang.
Engkau adalah dzat yang disucikan, wahai dzat yang menciptakan makhluk, dari orang tua dan anak.
Lapangkanlah kesusahanku dengan kekuasaan-Mu, wahai dzat yang memiliki tempat kembali yang baik.
Maka kelembutan kebaikan-Mu adalah penolong atas masa yang sulit.
Engkaulah dzat yang memudahkan, yang membuat sebab, yang melancarkan dan yang menolong.
Mudahkanlah hilangnya kesusahan kami dalam waktu dekat, wahai tuhanku, janganlah engkau menjauhkannya.
Jadilah engkau Dzat yang mengasihiku, sungguh aku telah putus asa dari orang-orang yang dekat dan yang jauh.
Lafad [ ] adalah hal dari dhomir yang tersimpan di dalam jar-majrur. Lafad artinya lebih utama dan lebih besar, Vrobnya sama seperti ‘.
Sholat malam ini bisa luput disebabkan terlalu banyaknya perhatian dan kesibukanmu dengan dunia seraya lalai.
Membicarakan urusan duniawi dan berbicara yang tidak berarti. Begitu juga memayahkan tubuh dan Kenyangnya perut.
Dan yang bisa menolong untuk melaksanakannya yaitu: memperbaharui wudhu, berdzikir sebelum terbenam dengan membaca tasbih dan menghadap kaiblat.
Dan beribadah di antara maghrib dan isya’, dan meninggalkan pembicaraan seraya lalai setelah ibadah itu.
Artinya, hal-hal yang menyebabkan Juputnya sholat tahajjud ada empat. 1), Mencurahkan perhatian pada dunia serta melalaikan akhirat. 2), Berbicara yang tidak bermanfaat, berbicara buruk dan ramai-ramai. 3), Menguras tenaga dengan aktifitas di siang hari. 4), Banyak makan.
Adapun hal-hal yang memudahkan qiyamullail ada empa. 1) Memperbarui wudhu. 2), berdzikir sebelum terbenam, dan itu mencakup bacaan tasbih. AsSuhrowardi berkata, dan hendaknya di antara malam dan siang membaca tasbih ini seratus kali, yaitu :
Barang siapa yang membacanya seratus kali, ia tidak akan meninggal sampai ia mengetahui tempatnya di surga. 3) Beribadah di antara Maghrib dan Isya. 4) Tidak berbicara di antara dua waktu tersebut.
Al-Ghozali berkata, ketahuilah bahwa qiyamullail adalah sesuatu yang sangat sulit dikerjakan kecuali bagi orang yang dibimbing untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan lahir batin yang bisa memudahkannya.
Adapun persyaratan lahir yang memudahkannya ada empat; 1) Tidak banyak makan sehingga ia akan banyak minum, akibatnya ia akan terkuasai rasa kantuk dan berat untuk bangun di malam hari.
2) Tidak memayahkan tubuh dengan aktifitas di siang hari yang dapat menguras tenaga. Sebab hal itu juga mengakibatkan kantuk.
3), Tidak meninggalkan tidur sejenak (qolulah) di siang hari, sebab itu disunnahkan untuk mempermudah bangun di malam hari.
4) Tidak berbuat maksiat di waktu siang, karena hal itu termasuk salah satu faktor yang membuat hati menjadi keras, serta menjadi penghalang antara seseorang dengan rohmat Allah.
Sedangkan syarat batin untuk memudahkan qiyamullail itu ada empat; 1) terbebasnya hati dari sifat dengki kepada umat Islam, dari perbuatan bida’ah dan terlalu memikirkan dunia. Orang yang menguras pikirannya dalam mengatur duniawi, tidak akan mudah baginya sholat di malam hari. Kalaupun ia sholat, ia tidak akan akan konsenterasi pada sholatnya melainkan pada pekerjaannya.
2) Rasa takut kepada Allah yang memenuhi dan menetap di relung kalbu disertai pendeknya angan-angan, Sebab di saat seorang berfikir tentang kengerian akhirat dan lapisan Jahanam, niseaya kantuknya akan hilang dan terselimuti rasa takut.
3), Mengetahui keutamaan sholat malam, yaitu dengan mendengarkan ayat, hadits dan penuturan sahabat sampai mengakar rasa inginnya terhadap pahala sholat malam. Dengan demikian keinginannya itu akan menggerakkannya untuk mencari tambahan dan menggerakkan hasratnya pada derajat di surga.
4), Rasa cinta kepada Allah dan kuatnya keperccayaan bahwa di dalam sholatnya, ia tidak berbicara sepatah katapun melainkan ia sedang bermunajat kepada Allah dengan kata-kata tersebut, Allah pun sedang menyaksikannya beserta apa yang terbesit di dalam hatinya, dan sesungguhnya apa yang terbesit di hatinya itu berasal dari Allah sebagai sarana komunikasi denganNya. Apabila seseorang telah cinta kepada Allah, tidak diragukan lagi ia akan suka berduaan dengan-Nya dan akan merasakan nikmat dengan munajatnya. Sehingga, rasa nikmatnya itu akan mendorongnya untuk berlama-lama di dalam sholat.
Faidah. Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda : “Barang siapa yang ingin tidur dan bangun di waktu tertentu, hendaknya ia tidur dalam keadaan suci, saat hendak tdur membaca ayat ;” ” sampat akhir ayat, lalu mengusapkan tangan kirinya pada dada dan berdoa, Ya Allah bangunkanlah ahu di waktu dan jam sekran, niseaya ta pasti akan terbangun pada waktu tersebut. Berkata An-Nawawi di dalam at-Tibyan, saat terbangun dari tidur malam disunnahkan membaca akhir surat Ali Imron mulai ayat “ ” sampai habis. Karena telah tetap di dalam sohih Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah Saw membaca penutup surat Ali Imron ketika beliau terjaga dari tidur.
Tekunilah pemeliharaan waktu seperti ini di sisa umurmu, pangkaslah amganmu dan berjuanglah, niseaya engkau menjadi orang mulia. Artinya, tekunilah pemeliharaan waktu dengan membaginya untuk berbagai macam ibadah di sisa umurmu. Apa bila terasa berat menekuni rutinitas ibadah, maka bersabarlah seperti kesabaran orang sakit terhadap pahitnya obat agar memperoleh kesembuhan. Dan berfikirlah tentang pendeknya umurmu walaupun seandainya kamu hidup selama seratus tahun, sebab itu. sangat sedikit jika dibanding dengan diammu di akhirat, karena kehidupan di sana tidak berujung. Dan jangan berangan-angan bahwa kamu masih akan hidup satu bulan kedepan, misalkan, sehingga kamu akan merasa berat untuk beramal. Tapi perkirakanlah bahwa kematianmu sudah dekat. Sebab jika kamu memperkirakan bahwa kamu masih akan hidup selama satu tahun kedepan, misalnya, nafsumu tidak akan mau diajak bersabar menjalankan ketaatan.
Fudhail bin Iyadh berkata, tandatanda kesengrsaraan ada litma; Kkerasnya hati, mata yang tidak pernah menangis, kurangnya rasa malu, cinta dunia dan panjanpnya angan-angan. Hal ini seperti yang disampaikan As-Sya’rony. Dan berjuanglah melawan nafsumu yang seringg mengajak pada keburukan, yaitu dengan memaksanya bersabar menjalankan Ketaatan kepada Allah hari demi hari.
Lafad [] ba’nya dibaca dhommah karena mabni fa’il dari bab
Artinya, maka kau akan menjadi orang mulia dan besar di sisi Allah Swt, dan menjadi orang yang bahagia saat ajal menjemput dengan kebahagiaan yang tiada akhir
Ini adalah nasehat bagi semua Kaum mukmin. Maka berterima kasihlah kepada penyusun nadzom ini, seperti perkataan Al-Hariri;
Buatlah tanda yang akan disanjung jejaknya, dan berterimakasihlah kepada orang yang memberi sesuatu, walaupun hanya biji Sawi.
Orang yang tidak memiuliki kesibukan dengan dunia seraya meninggalkannya, ada apa gerangan ia menganggur.
Hendaknya kamu menikmatinya dengan mengabdi Kepada tuhan yang maha tinggi, seraya menyibukkan diri dengan sholat dan tilawah.
Ketika rasa bosan pada bosan telah menghampiri maka bacalah Al-Qur’an dengan khidmah dan merenungi maknany.
Ketika telah bosan dengan membaca, maka turunlah pada dzikir dengan hati dan lisan seraya menyempurnakan.
Lalu berdzikirlah dengan hati, yaitu merasa berada di sisi Allah. jangan terlena dengan suara hati.
Sebab suara hati itu sama dengan pembicaraan dengan lisan, bisa membuat hati menjadi kKeras. Maka jangan Kau Kerjakan.
Artinya, apabila seseorang tidak sibuk dengan urusan duniawi, karena memang tidak mempunyainya atau Karena tidak membutuhkan kerja, maka tidak seyogyanya ia mengosongkan waktunya dari ibadah. Sebab hal itu adalah kerugian yang nyata di dunia dan akhirat. Akan tetapi hendaknya ia menyibukkan diri dengan sholat sunnah, Karena sholat adalah ibadah badaniyah yang paling afdhol setelah iman. Lalu apabila ia merasa jemu dari sholat, hendaknya ia membaca Al-Qur’an, Karena sabda Nabi Saw : “Paling utamanya zbhadah umatku adalah membaca Al-Qur’an’. HR. Turmudzy. Hal itu disebabkKan orang yang membaca Al-Qur’an akan memperoleh sepuluh kebaikan dengan satu huruf yang dibacanya, dan membacanya merupakan bentuk munajat kKepada Allah, dan AlOur’an merupakan pokok segala imu. Maka dari itu, menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an itu lebih utama dari pada berdzikir kecuali dzikir yang diterangkan secara khusus,, seperti yang dijelaskan Al-Azizi.
Dan ketika telah jemu dari Al-Qur’an, maka berdzikir dengan hati dan lisan. Kemudian berdzikir dengan hati, yaitu merasa bersama Allah hingga seakan-akan Allah ada di hadapannya. Dzikir adalah jalan yang paling cepat untuk menuju kepada Allah. Dan dzikir juga merupakan tanda atas keberadaan sifat kewalian, seperti yang dikatakan oleh Ulama, Dzikir adalah tanda kewalian. Oleh karena itu, orang yang dibimbing untuk berdzikir, ia telah diberi tanda kewalian, dan orang yang dzikir telah direnggut darinya, maka tanda kewaliannya telah dihapus. Disamping: itu, semua kebiasaan yang terpuji itu kembali pada dzikir, dan tumbuh dari dzikir.
Keutamaan-keutamaan dzikir itu tidak terhitung. Cukup untukmu sebagai petunjuk keutamaan dzikir firman Allah Swt, “Maka ingatlah kepada-Ku, niseaya aku pun ingat kepadamu’. Dan firman Allah Swt di dalam hadits Qudsy di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw, “Aku tergantung terhadap perasaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku menyertainya tatkala ia mengingat-Ku. Jika ta mengingat-Ku dalam diri sendiri, aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di khalayak ramai, Aku akan mengingatnya di tengah khalayak yang lebth batk darinya. Jika ia mendekat dari diri-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan. Aku akan mendatanginya dengan berlari.
Ulama berkata, diantara keistimewaan dzaikir adalah tidak terbatasi oleh waktu, sehingga tidak sedikitpun kecuali seseorang dianjurkan untuk berdzikir di dalamnya, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibn Abbas berkata, Allah Swt tidak menetapkan suatu kewajiban kecuali telah menetapkan batasan untuknya, kemudian Allah mentoleril orang yang terkena kewajiban saat ia dalam kondisi yang tidak memungkinkan, kecuali dzikir, Allah tidak menetapkan batasan tertentu sebagai batas akhirnya, dan tidak mentoleril siapapun dalam meninggalkannya Kecuali terhadap orang yang tidak waras akalnya.
Allah telah memerintahkan umat manusia untuk mengingatnya. Allah berfirman, “Maka ingatlah Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring’’. Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan mengingat yang sebanyak-banyaknya’, yakni di malam dan siang hari, di daratan maupun di lautan, di perjalanan dan di rumah, di saat kaya maupun miskin, sehat dan sakit, di saat sendirian dan di keramaian. Mujahid berkata, Arti dzikir yang banyak adalah tidak melupakan Allah selama-lamanya.
Oleh karena itu, dianjurkan bagi setiap orang untuk memperbanyak dzikir dalam kondisi apapun dan menghabiskan seluruh waktunya di dalam dzikir. Ia tidak boleh lalai dari berdzikir, juga tidak boleh meninggalkannya dikarenakan adanya kelalaian saat berdzikir. Sebab meninggalkan dzikir disertai lalai itu lebih buruk dari pada lalai saat berdzikir. Maka dari itu: ia harus menyebut Allah dengan lisannya meskipun lalai di dalamnya, semoga saja dzikirnya disertai kelalaian dapat mengangkatnya pada dzikir disertai kesadaran, dan ini adalah sifat orang yang berakal. Dan semoga saja dzikirnya disertai kesadaran bisa mengangkatnya pada dzikir disertai kehadiran hati, ini adalah sifat para Ulama. Dan semoga saja dzikirnya disertai kehadiran hati bisa mengangkatnya pada dzikir disertai kelenyapan apapun selain Allah, ini adalah tingkatan para wali Allah. Pada tingkatan ini dzikir dengan lisan telah terputus, dan seseorang yang mencapainya akan merasa tenang disebakan menyaksikan.
Abul Abbas bin Al-Banna’ berkata, diantara dzikir terbaik adalah dzikir yang bergejolak dari wham yang datang dari Allah. Dan inilah yang disebut zikir khofy menurut Ulama tashawwuf, bisa terjadi dengan menetapi pada rahasia-rahasia dzikir. Semua keterangan di atas disampaikan oleh syekh Yusuf AsSanbalawany.
Dan jangan sibukkan dirimu dengan bisikan hati karena itu sama dengan ucapan lisan dalam hal ketidak bergunaan dan maksiatnya. Lafad [..] artinya diam tanpa aktifitas apapun, alifnya adalah pengganti nun taukid khofifah. Lafad yakni yang tinggi derajatnya di dalam semua sifat kesempurnaan, sikira tidak seorang pun dapat menysul-Nya pada derajat ates seperti yang dikatakan AaSyanwany. Lafad adalah mashdar yang dinashobkan oleh fi’il yang terbuang, asalnya : artinya besenangsenaglah dalam mengabdi kepada tuhanmu. [ ] artinya menghadap.
Lafad [ ] ro’nya dibaca fathah dan menggunakan alif layyinah. Disebut Al-Qur’an Karena ia menghimpun perintah, larangan, informasi, janji, ancaman dan lain sebagainya yang tidak terhitung banyaknya seperti yang dikatakan sebagian Ulama. [ ] artinya dengan merasa takut. [ ] maksudnya mengumbar diri di dalam bisikan hati. Lafad tersebut adalah hal dari fa’ilnya lafad , yang tersimpan. Ketika bisikan hati datang padamu, maka tolaklah dengan cara berpaling darinya dan berfikir tentang ciptaan Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda, “Berfikir sesaat itu lebih baik dari pada ibadah satu tahun’. Ini seperti yang dijelaskan oleh syekh Yusuf As-Sanbalawany. [ ] jangan menjadi orang yang mengerjakan bisikan hatimu Karena itu bisa membuat hati menjadi keras. Dalam maskah lain menggunkan redaksi “ ” (jangan menjadi orang yang lalai dari berdzikir), yakni dengan meninggalkannya dengan sengaja atau lupa. Ini adalah hal yang sangrat perlu diperhatikan. Mayoritas ahli makrifat telah bersepakat bahwa lebih utama-utamanya taat kepada Allah
Adalah menjaga nafas, yakni keluar dan masuknya nafas disertai dengan menyebut nama Allah, saat di keramaian maupun sedang sendirian.
Diucapkan dengan memperjelas tasydid dan memanjangkan, dimulai dari perut Kemudian naik Ke atas, dan hadirkanlah sifat-Nya beserta syaikh. Maka sempurnakanlah.
Atau disertai dengan bacaan tahlil. Dan ulang-ulanglah dzikir khofy tanpa menggerakkan lisan.
Bait-bait ini dikutip dari syekh Al‘Idrus Abdullah Bin Abu Bakar. Artinya, mayoritas ahli makrifat telah bersepakat bahwa Ketaatan yang paling utama adalah menjaga mafas. Yakni menjaga agar kKeluar masuknya nafas disertai dengan ucapan “Allah”, baik dengan jamaah atau pun sendirian. Sebab hal itu adalah kunci alam ghaib, pembawa kebaikan, penenang orang yang sedang merasa kesepian, dan pemersatu perpecahan. Jika hal itu telah menguasal orang yang berdzikir, rasa cinta pada nama yang disebut akan melebur dengan ruhnya. Sampai suatu kKetika ada seseorang ahli dzikir kejatuhan batu hingga darahnya bercucuran, dari darahnya itu tertulis kalimat “ “, seperti yang dituuturkan oleh Syekh Abdul Wahab As-Sya’rony.
Seorang murid diharuskan berdzikir dengan sekuat mungkin, sekira tidak tersisa ruang kosong di dalam dirinya. Ketika ia mengingat tuhannya dengan Kuat dan mantap, akan dilipat untuknya maqommaqom perjalanan menuju Allah dengan segera. Bisa jadi dalam satu jam ia bisa menempuh maqom yang tidak bisa ditempuh orang iain dalam jangka satu bulan. dalil atas hal itu adalah firman Allah, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga seperti batu, bahkan lebih keras”. Seprti halnya batu yang tidak bisa pecah Kecuali dipukul dengan sekuat tenaga, dzikir pun tidak akan berpengaruh dalam menyatukan konsentrasi kecuali dilakukan dengan sekuat mungkin. keterangan ini seperti yang disampaikan syekh Abdul wahab dari kaum sufi, dan ini merupakan maksud dari kata , dan , seperti yang dikatakan Ahmd Al-Junaidy Al-Maimuny, mengucapkan lafad “Allah” dan nama-nama-Nya yang lain dari pusar lalu menurunkannya Ke dalam relung hati. Imam As-Sya’rony berkata, mengerakkannya dari atas kepala sampai ujung jari kaki.
Ungkapan penyusun [ ] bisa dibaca dengan sukun hurf fa’ dan ha’ yang diarkan oleh lam, dan ditanwin qof-nya lafad . Atau bisa dibaca dengan sulain huruf ha’ yang berada osetelah fa’ yang dibaca fathah, dhommah huruf ha’ yang dyarkan oleh lam dan tidak ditanwin qof-nya lafad . Adapun maknanya berdasarkan cara baca yang pertama adalah, hadirkanlah syekhmu saat berdzikir supaya menemanimu dalam perjalanan menuju kepada Allah. dan ini merupakan adab terpenting. Dengan demikian, makna ucapan penyusun di atas adalah, sebutlah lafad “Allah” dengan lisanmu seraya memurnikannya dan menghadirkan syekhmu di dalam hati. Dan berdasarkan cara baca yang kedua, maknanya adalah bahwa cara di dalam berdzikir itu adalah berdzikir bersama guru sehingga tidak melampaui pada selain dzikir yang ia ajarkan kecuali telah mendapatkan idzin darinya, dan kecuali pada wirid-wirid khusus sesuai thoriqoh sang guru.
Lafad [ ] diathofkan pada lafad . Rasulullah Saw bersabda, “dzikir yang paling utama adalah . Hal itu karena kalimat ini adalah kalimat tauhid, dan kalimat tauhid itu tidak disejajari oleh apapun. Juga karena memeliki pengaruh dalam menyucikan bathin. Dengan kalimat ini orang yang berdzikir bisa menafikan sifat ketuhanan dengan ucapan , dan menetapkan ke-Esaan Allah dengan ucapan Dan ia bisa mengembalikan dzikir dari lisan ke relung hatinya.
Lafad itu terhubung pada lafad yang merupakan fil amr yang disertai nun taukid. Artinya, ambillah dzikir khofy secara berulang-ulang dan sering, yaitu dzikir tanpa menggerakkan lisan. Rasulullah Saw bersabda, “Sebatk-batknya dzikir adalah dztker khofy, dan sebatk-batknya tbadah adalah tbadah yang paling ringan’. Diriwayatkan oleh Al-Qoqho’i dari Utsman bin Affan. Keberadaan ibadah yang paling ringan sebagai ibadah yang paling baik adalah dikarenakan ibadah tersebut lebih mudah untuk ditekuni, juga karena lebih membawa semangat pada diri seseorang.
Lafad [. ], dalam satu riwayat “ ”, yaitu dzikir yang disamarkan dari orang lain. Dzikir ini lebih baik dari pada dzikir dengan keras. Di dalam beberapa hadits lain disebutkan bahwa dzikir dengan keras itu lebih utama, seperti yang dijelaskan oleh Al-Azizi. Abdul Wahab As-Sya’rony berkata, sungguh Ulama, baik salaf maupun kholaf,; telah bersepakat atas dianjurkannya dzikir secara berjamaah di masjid atau di tempat-tempat lain tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, namun dengan syarat terjaga dari riya’ serta tidak mengganggu orang sholat dan sesamanya. Al-Ghozali menganalogikan dzikir sendirian dan dzikir berjamaah dengan adzan sendirian dan adzan sekelompok muadzin secara serempak. Suara adzan dari beberapa muadzin itu bisa membelah udara melebihi suara satu muadzin. Demikian pula adzikir berjamaah, akan lebih berpen garuh dalam menyingkap tabir yang menyelimuti hati. Hal ini karena Allah menyerupakan hati dengan batu. Maklum adanya jika batu tidak akan terbelah kecuali dengan menyatukan kekuatan sekelompok orang, sebab kekuatan sekelompok orang itu lebih dahsyat dari pada kekuatan satu orang. Berkata syekh Al-Kamil Ibrohim AlMatbuly, keraskanlah suara kalian saat berdzikir sampai kalian bisa menghasilkan pemusatan hati seperti para ‘Arifin. Lalu beliau berkata, para guru telah berkata, diharuskan bagi para pemula untuk mengeraskan suaranya di tengah keramaian sampai tersingkKap tabir penutupnya, setelah ia terpatri kuat di dalam dzikir dan merasa senang bersama Allah, maka di sititulah ia tidak perlu lagi menjaga dari seorang pun dari makhluk sehingga ia tidak perlu mengeraskan suara. Abdul Wahab berkata, sebaiknya dzikir dengan kKeras itu dilakukan dengan halus, sebab jika tidak dilakukan dengan halus bisa menumbuhkan sobekan di dalam perut sehingga dzikir kerasnya menjadi tidak berguna.
Lafad [ ] jim-nya dibaca shommah, artinya mayoritas. Lafad [ ] dengan memasukkan hamzah untuk menyesuaikan wazan. Lafad [ ] dengan difathah atau didhommah ‘ain-nya, Pada lafad ini terdapat pembuangan mudhof, yaitu lafad artinya adalah kemuliaan dan keluhuran sebagaimana dalam As-Shihah, Lafad [ ] artinya perantara antara dirinya dan Allah Swt, yakni guru. yang bertugas menyingkirkan sesuatu yang menghalangi seseorang dalam menghadirkan hati. Seperti yang diungkapkan sebagian Ulama, barang siapa tidak memiliki guru’ maka gurunya adalah setan. Lantas apabila ia tidak menemukan guru, hendaknya ia memperbanyak dzikir dengan lisan sampai ia bisa menghadirkan Allah. Pada saat seperti itulah hatinya bisa saja terbuka seperti yang dyelaskan As-Sya’rony.
As-Sya’rony juga berkata mengutip dari tokoh sufi, wajib atas seorang guru memerintah kepada muridnya untuk berdzikir dengan lisannya dengan kuat dan mantap. Apabila hal itu telah terpatri, maka guru memerintahkannya untuk menyamakan lisan dan hatinya dalam berdzikir, dan berkata, kuatkanlah dirimu untuk senantiasa berdzikir seperti ini seakan-akan kamu berada di hadapan tuhanmu selamanya, jangan pernah meninggalkan dzikir sampai kamu bisa menghasilkan keadaan mental dan seluruh organ tubuhmu ikut berdzikir.
Lafad [ ] artinya sempurnakanlah adab-adab dalam berdzikir. Sebab tali benang yang membujur pada thoriqoh kaum sufi adalah adab, dan benang yang melintang adalah dzikir, sehinggra rajutan thoriqoh itu tidak akan sempurna kecuali demsgran keduanya. Hendaknya dzikir dilakukan dalam keadaan suci dari hadats dan najis, menghadap kiblat apabila sedang sendirian, jika tidak maka membuat lingkaran,serta men gosongkan hati dari selain Allah Swt sehingga ia tidak mengharapkan dunia, akhirat, pahala atau naik derajat, ia berdzikir hanya karena cinta kepada-Nya.
Dan seraya memejamkKan Kedua matanya, Karena cara ini lebih mempercepat tersinarinya hati. Dan hendakanya tempatnya gelap sehingga apabila disana terdapat lentera, maka hendaknya ia padamkan jika sendiri. Dan hendaknya ia perjelas hamzahnya , memanjangkan alif-nya dengan mad thobz’i atau lebih panjang, membaca fathah ha’-nya, membaca sukun ha’-nya lafadz . Ia angkat kepalanya saat memanjangkan lamnya ‘ dari arah pusar kearah otak kepala, dan ia condongkan kepalanya ke arah kanan seraya membaca , lalu ia Kembali ke arah dada saat membaca dan Ke arah hati saat membaca yakni arah kiri, seraya menghantam hati dengan ucapan dengan hantaman yang kuat agar lafad jalalah bersemayam dalam hati sehingga dapat membakar semua pikiran-pikiran jelek.
Barang siapa yang dipermulaannya tidak bersungguh-sungguh, ia tidak akan menjumpai sebiji Sawi pun dari thoriqoh ini.
Makrifat yang tinggi, pada umumnya juga tidak akan didapatkan tanpa mujahadah.
Memerangi nafsu adalah dengan membersihkan diri dari keburukan-keburukannya, serta menghiasinya dengan cahaya Kebaikan.
Bait pertama diambil dari ungkapan syekh Abdul Karim Al-Qusyairy,. ketahuilah bahwa orang yang dipermulaannya tidak memerangi nafsunya, maka ia tidak akan mencium bau apapun dari thoriqoh imi. Lantas beliau berkata, ketahuilah bahwa inti mujyahadah adalah menyapih nafsu dari hal-hal yang disukainya, dan memandunya pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kesenangannya di setiap waktu.
Pada umumnya, makrifat juga tidak akan diperoleh tanpa melalui mujahadah (memerangi nafsu). Abu thoyyib berkata, makrifat adalah terbitnya kebenaran di dalam relung hati disebabkan pertemuan beberapa cahaya. Berkata Ibn Atho’, makrifat itu dibangun berdasarkan tiga rukun; merasa takut, malu dan merasa tenang. Berkata Dzunnun, tanda orang makrifat ada tiga; cahaya makrifatnya tidak meredupkan cahaya wira’inya, tidak meyakini bahwa ilmu kebatinannya bisa merusak hukum dzohirnya, banyaknya nikmat Allah pada duirinya tidak mempengaruhinya untuk berbuat semaunya. Suatu ketika Abu Yazid ditanyai tentang ahli makrifat, beliau menjawab, ia adalah orang yang di saat tidur dan terjaga tidak melihat selain Allah dan tidak mencocoki selain Allah. Demekian itu dituturkan oleh al Qusyairy.
Selanjutnya penyusun menuturkan bahwa maksud memerangi nafsu adalah mensucikannya dari keburukan-keburukannya dan menghiasinya dengan cahaya amal ibadah. Rasulullah Saw bersabda, “Sebatk-batknya jrhad adalah orang yang memerangi nafsunya karena Allah’. HR. At-Thobrony. Al-Azizi berkata, maksud sabda Rasul tersebut bahwasanya sebaik-baiknya jihad adalah perjuangan sesorang dalam menyibukkan dirinya dengan melaksanakan perintah dan mencegahnya dari hal-hal yang dilarang karena mematuhi perintah Allah Swt. Sebab, kebaikan dan kemuliaan sesuatu itu tergantung kemuliaan hasilnya, dan hasil dari mujahadah adalah hidayah. Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang berithad untuk mencari jalan kamz kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan khamt?’.
Lafad [ ] adalah fi’il madhi, alifnya untuk melepaskan suara, jumlah fi’liyah ini adalah Khobarnya lafad Lafad [ ] terhubung pada lafad . Lafad [ ,] dengan membuang mudhof, yakni “ ”. Lafad tersebut adalah jama’ dari lafad ,menggunkan ta’ marbuthoh seperti dalam As-Shihah. Lafad. dhomirnya kembalu pada mashdarnya lafad sebab dhomir tidak kembali melainkan pada isim. Lafad dan [ ] itu terhubung pada lafad , lafad ini menjelaskan maksud dari lafad .
Orang-orang yang ma’rifat kepada tuhannya itu lebih utama dari pada pakar fiqih dan ushulnya secara keseluruhan.
Sungguh satu rokaat yang dikerjakan ahli ma’rifat itu lebih utama dari pada seribu rokaat yang dikerjakan orang alim. Maka terimalah.
Artinya, orang-orang yang ma’rifat itu lebih utama dari pada pakar fikih dan ushuluddin secara keseluruhan. Bagaimana tidak, mereka adalah orang-orang yang tercerahkan, seperti yang dikatakan Ahman bin “Alan. Syekh Al-Idrus berkata menukil dari sebagian Ulama, satu rokaat dari ahli ma’rifat itu lebih utama dari seribu rokaat yang dikerjakan ahli ilmu, dan satu hembusan nafas dari orang yang mengerti hakikat tauhid itu lebih utama daripada amal yang dikerjakan semua ahli ilmu dan ahli ma’rifat. Dan dikatakan bahwa ahli ma’rifat itu melampaui ucapannya, sedangkan ahli ilmu itu terlampaui oleh ucapannya. Maka orang yang menguasai hakikat tauhid adalah mereka yang mampu meneguhkan hatinya.
Ruwaim berkata, dinrmnya ahli marifat itu sangat bermanfaat, dan bicaranya sangat memikat. Dzunnun berkata, para ahli zuhud kelak adalah raja di akhirat, mereka adalah ahli makrifat dari polongan kaum faqir. Demikianlah al Qusyairy menuturkan
Lafad [ ] dengan di dlommah huruf mimnya sebagai bentuk mashdar, artinya keseluruhan, sebab dikatakan dalam bahasa arab-; artinya, berilah dia harta ini seluruhnya sebagaimana disebutkan dalam kitab shihah. Lafad [ ] adalah fi’il amr yang ditaukidi dengan nun taukid khofifah artinya terimalah perkataan ini.
“Telah berkata imam As-Suhrowardy, semoga Allah mensucikan hatinya. Artinya, berkata Umar bin Muhammad bin Abdullah bin muhammad, beliau termasuk cicit dari Abu Bakar Ashiddig ra. Allah telah memenuhi hatinya dengan ilmu ladunny setelah dadanya diusap dengan tangan syekh Abdul Qodir. Lafad [ ] dengan membaca sukun ya’-nya karena wazan, adalah nisbat pada suhrowardi, yaitu wilayah kecil di dekat Zanjan Iraq. Lafad [ ] dengan bentuk mabni majhul, yakni semoga Allah mensucikan hatinya. Dan ucapanku [ ] artinya, semoga Alloh memenuhi.
Tajuan akhir dari mujahadah adalah menyaksikan nur Allah yang maha tinggi.
Miaka hendaknya seseorang memperbanyak membaca Al-Qur’an, memperbanyak dzikir dengan kalimat thoyyibah dan memusatkan pikiran kepada Allah
Dan hendaknya bersungguh-sungguh dalam mencocokkan hati dengan lisannya sampal semuanya itu terpatri kuat di dalam hatinya.
Dan sampau semua itu bisa menghilangkan bisikan hati, supaya hatimu tercerahkan seraya memperoleh kondisi yang luhur.
Dan cahaya di dalam hati itu menyebar pada tubuh. Maka orang init akan terhiasi oleh amal-amal kebajikannya.
Dan dzikirnya pun menjadi dzikir dzat. Maka dapatkanlah musyahadah yang mulia ini.
Seluruh bait ini diambil dari ungkapan As-Suhrowardy di dalam kitab Awarifil Ma’aarif pada bab ke dua puluh tujuh. Di sini saya akan mengutipnya dari awal agar menjadi penjelas nadzom di atas. Yakni ungkapan beliau, diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra. beliau berkata : Di dalam kitab ‘Taurat tertulis ayat, Wahai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, dan sebagai pelindung kaum mukminin dan harta simpanan kaum yang buta baca tulis. Koarrvaa saclsalcahi harnba sekalipoaas utusan-KRou Aku menyebutmi Miutawalkedel, ticlals kasar, tidlak keras, tidak suka terinak—-terink cdi tensgrah pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memberikan maaf dan pengampunan. Aku tidak akan mengambilnya hingga dengannya agama yang melenceng menjadi lurus, yakni dengan ucapan mereka “ ’, dan sampai ia membuka mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai.
Maka seorang hamba dalam kesendiriannya tiada henti mengulangulang kalimat ini dengan lisannya disertai kecocokan hati, sampai kalimat tersebut terpatri di dalam hatinya dan menghilangkan bisikan hati. Makna kKalimat tersebut akan menyinari hatinya sebagai pengganti bisikan hati. Lalu apabila kKalimat itu telah menduduki dan lancar diucapkan lisan, hati pun akan meresapinya. Sehingga ketika lisannya telah berhenti berdzikir, hatinya tidak akan berhenti. Lalu kalimat itu akan bersinar di dalam hati. Dan dengan itu, sinar keyakinan akan terpatri kuat di dalam hati. Bahkan di saat bentuk kalimat itu telah hilang dari lhsan dan hati, Ssinarnya akan tetap memancar. Dan dzikir ini akan menyatu dengan menyaksikan keagungan dzat Allah Swt. Pada saat seperti itu, dzikir tersebut akan menjadi dzikir dzat. Dzikir dzat ini adalah menyaksikan, menyingkap dan melihat secara langsung. Melalui dzikir dzat, cahaya dzikir akan bersinar. Dan inilah tujuan akhir dari menyendiri disertai dzikir.
Perolehan ini tidak hanya dengan berdzikir menggunakan kalimat tersebut, akan tetapi juga bisa diperoleh dengan membaca Al-Our’an, dengan catatan ia membacanya dengan sering, serta berupaya untuk menyelaraskan hati dengan lisan sampai bacaan tersebut mengalir pada lisan, dan maknanya bisa menempati posisi bisikan hati. Dengan demikian ia akan merasa mudah dalam membaca dan sholat, dan batinnya akan tercerahkan oleh rasa mudah tersebut, dan cahaya Al-Qur’an akan bersinar di dalam hatinya. Dari situ juga akan wujud dzikir dzat, dan cahaya Al-Qur’an di dalam hati akan bersatu dengan melihat keagungan dzat yang mengungkapkannya, yaitu Allah Swt. dibawah anugerah ini masih ada hal-hal yang dibukakan untuknya, yakni ilham dan ilmu ladunny. Bersama dengan pencapaian seseorang pada tingkatan ini, apabila batinnya sudah bersih, terkadang ia akan tenggelam di dalam dzikir dikarenakan ketenangannnya dan Kenyamanan dzikirnya yang paripurna, hingga keadaanya mirip dengan orang yang tidur.
Abdul Wahab As-Sya’rony berkata, hakikat dzikir kepada Allah adalah seseorang terus-menerus merasakan bahwa ia berada dihadapan tuhannya. Sementara dzikir dengan lisan itu hanya sebagai perantara agar bisa memunculkan perasaan itu. Kemudian apabila ia telah bisa merasakan hal itu, ia tidak lagi membutuhkan daikir dengan lisan kecuali di tempat di mana ia menjadi imam di tempat tersebut, tidak pada yang lain. Sebab, pelataran kesaksian terhadap Allah yang haq adalah pelataran yang samar dan hening, yang mana pnghuninya tidak lagi memerlukan dzikir karena posisinya adalah sebagai dalil (penunjuk), ketika seseorang telah bisa berkumpul dengan apa yang ditunjukkan, maka ja tidak lagi memerlukan dalil. Mengertilah, karena hal itu sangat bernilai.
Dzunnun berkata, saya melihat seorang perempuan di slah satu pesisir daerah Syam. Aku pun bertanya kepadanya, anda datang dari mana?. Dia menjawab, dari sisi kaum yang lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Lalu anda mau kemana?, tanyaku. Ia menjawab, ke tempat laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah. gambarkanlah kepadaku tentang mereka, kataku. Lalu ia pun bersya’ir dari bahr basith ;
Mereka adalah kaum yang perhatiannya telah terikat pada Allah. Hingga mereka tidak memiliki kepentingan pada seorang pun.
Maka yang mereka cari adalah tuan mereka. Duhai betapa indahnya pencarian mereka terhadap dzat yang satu dan maha dibutuhkan oleh segenap hamba-Nya.
Tidak berdebat dengan mereka dunia, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah makanan, kenikmatan dan anak.
Tidak pula pada mengpena pakaian yang baik dan bagus, dan tidak pada kebahagiaan yang berada di suatu daerah,
Kecuali bersegera meninggalkan kedudukan yang hampir dicapai sejauh-jauhnya.
Mereka adalah orang-orang yang tersandra di sungai kecil ghodron dan lembahnya. Maka di pegunungan yang tinggi engkau akan menemui mereka ditemani segerombolan singa.
Lafad [ ] dengan didhommah. ‘ain-nya, adalah jama’-nya lafad . Lafad [ ] artinya memisahkan diri dari selain Allah. lafad [ ] artinya menyesuaikan hati dengan ucapan lisan. [ ] artinya terpatri dengan kuat. Lafad [ ] terhubung pada lafad , artinya menghasilkan keadaan yang luhur. Lafad [ ] dengan difathah lamnya dan disukun ba’-nya Karena wazan, artinya jasad. Lafad [ ] adalah mubtada’, dan jumlah dari lafad adalah khobarnya, artinya, hamba ini menghias dirinya dengan amal-amal baik. Lafad [ ] adalah khobarnya lafad ,le yang didahulukan. Lafad adalah isimnya yang diakhirkan, Lafad adalah-nya lafad yang di dahulukan, lafad adalah fiil amr yang dikuatkan dengan nun taukid, maknanya, musyahadah ini, yang notabenenya adalah dzikir dzat, bisa diperoleh dengan mengulang-ulang kalimat yang luhur itu, atau dengan membaca Al-Qur’an dengan cara yang telah disebutkan.
Seluruh keterangan ini adalah wasiat yang disampaikan oleh para syekh yang sempurna. Semoga Allah membimbing kita untuk bisa menjalani semuanya sebagai anugerah darinya.
Artinya, seluruh keterangan yang disebutkan di dalam kitab ini dari awal sampai akhir adalah ‘sesuatu yang diwasiatkan oleh orang-orang sempurna dan makrifat. Lafad [ ] dengan didhommah kaf dan ditasydid mim-nya adalah jama nya lafad . Ungkpan penyusun sampai akhir bait adalah jumlah du’aiyah. Maknanya, semoga Allah membimbing kita untuk mengamalkan wasiat-wasiat ini sebagai anugerah dari-Nya.
Dan segala puji bagi dzat yang kekal dan maha pengasih. Seraya memanjatkan sholawat kepada utusan-Nya dan membaca haugqolah. Arti lafad [ ] adalah yang kekal wujudnya, tidak akan mengalami sirna dan tidak akan berjumpa dengan ketiadaan, singga wujud dan kekelan-Nya tidak akan terputus., Barang siapa yang mengetahui bahwa Allah adalah dzat yang kekal, ia tidak akan mempertimbangkan sesuatu selain Allah dalam setiap urusan-urusannya, dan tidak akan berpaling dari taat kepada-Nya, bahan akan terus tetap taat kepada-Nya. Arti lafad [ ] adalah yang sangat mengasihi. Seseorang yang mengetahui bahwa Allah’ adalah dzat yang maha mengasihi, ia tidak akan merasa putus asa dari rohmatNya, ia juga akan menyayangi dan mengasihi segenap hamba Allah, seperti yang dijelaskan oleh As-Syanwany.
Penyusun menutup kitab ini dengan do’a, karena do’a itu sesuai dengan akhir segala sesuatu. Dan dengan hamdalah Karena mengikuti para penghuni surga sebagaimana yang diinformasikan Allah Swt melalui farman-Nya, “Dan penutup doa mereka adalah alhamdulillahi robbil alamin”. Dan dengan bersholawat kepada Nabi sebagaimana beliau memulai kitab ini, dengan harapan diterimanya sesuatu yang ada di antara dua sholawat tersebut. Sebab, sholawat itu pasti diterima meskipun dari orang yang ialai, seperti yang dikatakan oleh syekh As-Syadzili, Aku melihat Rasulullah Saw di dalam tidurku. Aku berkata kepada beliau, Sepuluh rohmat Allah yang diberikan kepada orang yang bersholawat Kepadamu satu kali, apakah hanya deberikan kepada orang yang hadir hatinya?. Beliau berkata, tidak. Tapi untuk setiap orang yang bersholawat kepadaku meski dalam keadaan lalai, dan Allah memberinya seperti beberapa gunung dari Malaikat yang kesemuanya mendoakan dan memintakan ampunan untuknya.
Adapun jika bersholawat disertai kehadiran hati, maka tidak ada yang mengetahui pahalanya kecuali Allah Swt. Juga Karena mengamalkan sabda Nabi Saw, “Tidak duduk suatu kaum di dalam suatu majlis yang di dalamnya mereka tidak mengingat Allah dan tidak bersholawat kepadaku melainkan terjadi kekurangan atas mereka di hari kiamat, jika berkehendak, Allah akan menyiksa mereka, jika berkehendak, Allah akan mengampuni mereka.
Penyusun juga menutup kitabnya dengan membaca hauqolah untuk berlepas diri dari kemampuan dan kekuatannya dengan membenarkan keikhlasan, sebagaimana dikatakan, benarkanlah amalmu dengan ikhlas, dan benarkanlah keikhlasanmu dengan berlepas diri dari Kemampuan dan keukatan (diri sendiri).
Ini adalah akhir dari syarah yang dimudahkan Allah atas nadzom ini. Semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam kepada baginda Muhammad sebagaimana Allah melimpahkannya kepada baginda Ibrohim. Dan semoga Allah memberkahi baginda Muhamamd sebagaimana Allah memberkahi baginda Ibrohim. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha terpuji lagi luhur. Keselamatan semoga terlimpahkan kepada para utusan, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam.
Penyusun syarah ini berkata, syarah ini mulai disusun pada hari rabu tanggal 22 Robi’ Atstani, dan selesai pada hari selasa tanggal 23 Jumada Al-Ula tahun 1293 H. segala puji bagi Allah mulai awal hingga akhir.