Bismillahirrahmanirrahim 

Kitab Thaharah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu.” (QS. Al-Maidah: 6). 

(Asy-Syafi’i berkata): Maka telah jelas bagi orang yang dituju oleh ayat ini bahwa yang dimaksud dengan membasuh adalah dengan air. Kemudian dalam ayat ini dijelaskan bahwa membasuh itu menggunakan air. Dan telah dipahami oleh mereka yang dituju oleh ayat ini bahwa air adalah apa yang diciptakan Allah Tabaraka wa Ta’ala tanpa campur tangan manusia. Air disebutkan secara umum, sehingga air hujan, air sungai, air sumur, air kolam, dan air laut—baik yang tawar maupun asin—sama dalam hal kesuciannya untuk berwudhu dan mandi. Zhahir Al-Qur’an menunjukkan bahwa semua air adalah suci, termasuk air laut dan lainnya.

Telah diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sebuah hadits yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an, namun dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak aku kenal. 

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Shafwan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah, seorang dari keluarga Ibnu Al-Azraq, bahwa Al-Mughirah bin Abi Burdah—dia dari Bani Abdid Dar—mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Wahai Rasulullah, kami sering berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab: ‘Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdul Aziz bin Umar dari Sa’id bin Tsuban dari Abu Hind Al-Farasi dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa yang tidak disucikan oleh laut, maka Allah tidak akan menyucikannya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Semua air adalah suci dan menyucikan selama tidak bercampur dengan najis. Tidak ada yang menyucikan kecuali air atau debu (tayammum). Semua jenis air sama, baik air dingin, es yang mencair, air yang dipanaskan, maupun yang tidak dipanaskan, karena air memiliki sifat suci yang tidak dinodai oleh api, dan api tidak menajiskan air. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- biasa memanaskan air lalu mandi dan berwudhu dengannya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan air yang dijemur kecuali dari segi kesehatan. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Shadaqah bin Abdullah dari Abu Az-Zubair dari Jabir bin Abdullah bahwa Umar memakruhkan mandi dengan air yang dijemur, seraya berkata: “Sesungguhnya itu bisa menyebabkan penyakit kusta.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Air itu pada dasarnya suci dan tidak menjadi najis kecuali jika bercampur dengan najis. Sinar matahari dan api bukanlah najis, karena yang najis adalah sesuatu yang haram. Adapun sesuatu yang diperas…

Manusia berasal dari air pohon, mawar, atau lainnya, maka tidak suci. Demikian pula air dari tubuh makhluk hidup tidak suci karena tidak disebut sebagai air murni, melainkan disebut air mawar, air pohon, air sendi, atau air tubuh tertentu. Begitu juga jika unta disembelih dan diambil air dari perutnya, air itu tidak suci karena tidak disebut sebagai air kecuali dengan tambahan sesuatu, seperti air perut atau air sendi, sebagaimana disebut air mawar atau air pohon. Oleh karena itu, tidak sah berwudhu dengan air-air tersebut.

[Air yang Najis dan yang Tidak Najis] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Air terbagi dua: air mengalir dan air tergenang. 

  1. Air Mengalir:

   – Jika terkena najis seperti bangkai, darah, atau lainnya, dan ada bagian yang menggenang, maka bagian yang menggenang itu najis jika volumenya kurang dari lima qullah. 

   – Jika lebih dari lima qullah, tidak najis kecuali berubah rasa, warna, atau baunya. 

   – Jika air mengalir tanpa genangan, najis hanya mempengaruhi tempat yang langsung terkena, sedangkan air setelahnya tetap suci karena tidak tercampur najis. 

   – Jika air mengalir sedikit dan terkena bangkai, maka tidak sah berwudhu di sekitarnya jika volumenya kurang dari lima qullah (seperti air tergenang). 

  1. Air Tergenang:

   – Jika najis masuk ke air tergenang, seluruhnya najis jika volumenya kurang dari lima qullah atau jika berubah sifatnya (rasa, warna, atau bau). 

   – Jika volumenya lebih dari lima qullah dan tidak berubah sifatnya, tetap suci. 

Perbedaan utama: 

– Air mengalir: Najis hanya mempengaruhi bagian yang terkena, kecuali volumenya sedikit (<5 qullah). 

– Air tergenang: Najis menyebar ke seluruh air jika volumenya sedikit atau berubah sifatnya. 

(Imam Syafi’i menambahkan): 

– Jika air mengalir berubah sifat karena najis, maka najis. Jika setelahnya ada aliran baru yang tidak berubah, aliran baru itu suci. 

– Jika ada bagian rendah di aliran air yang menggenang dan terpisah dari aliran utama, maka dihitung sebagai air tergenang. 

– Jika air mengalir masuk ke tempat genangan tetapi tidak cukup mencapai lima qullah, maka najis jika terkena najis. 

[Kesimpulan] 

Air tergenang najis jika: 

– Kurang dari lima qullah dan terkena najis. 

– Berubah rasa/warna/bau karena najis, berapa pun volumenya. 

Air mengalir najis hanya pada bagian yang langsung terkena, kecuali volumenya sedikit (<5 qullah) atau berubah sifatnya.

Jika tidak ada di dalamnya, jika seseorang bertanya: Apa argumen dalam perbedaan antara apa yang menajiskan dan apa yang tidak menajiskan, dan tidak ada perubahan pada salah satunya? Dijawab: Sunnah. Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya dari Al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis atau kotoran.” Telah mengabarkan kepada kami Muslim dari Ibnu Juraij dengan sanad yang tidak saya ingat penyebutannya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis.” Dalam hadits tersebut disebutkan: “Dengan qullah Hajar.” Ibnu Juraij berkata: “Saya melihat qullah Hajar, satu qullah menampung dua qirbah atau dua qirbah dan sedikit.”

(Asy-Syafi’i berkata): Muslim berpendapat bahwa itu kurang dari setengah qirbah atau setengah qirbah, sehingga ia mengatakan: Lima qirbah adalah ukuran maksimal yang dapat menampung dua qullah, dan dua qullah bisa kurang dari lima qirbah. Dalam sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis” terdapat indikasi bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat membawa najis. (Asy-Syafi’i berkata): Kehati-hatian adalah dengan menjadikan satu qullah setara dengan dua setengah qirbah. Jika air mencapai lima qirbah, maka tidak membawa najis baik dalam aliran atau lainnya. Qirbah di Hijaz besar, sehingga air yang tidak membawa najis hanya dengan qirbah besar. Jika air kurang dari lima qirbah dan bercampur dengan bangkai, maka najis, dan setiap wadah yang ada di dalamnya menjadi najis dan harus ditumpahkan, serta wadah tidak suci kecuali dengan dicuci. Jika air kurang dari lima qirbah dan bercampur dengan najis yang tidak tetap di dalamnya, maka najis. Jika dituangkan air ke atasnya hingga menjadi lima qirbah atau lebih, maka suci. Demikian pula jika air yang kurang dituangkan ke air yang lebih banyak hingga kedua air tersebut menjadi lebih dari lima qirbah, maka tidak saling menajiskan. Jika sudah mencapai lima qirbah dan suci, kemudian dipisahkan, tidak menjadi najis kecuali jika terkena najis baru.

Jika bangkai jatuh ke dalam sumur atau lainnya dan dikeluarkan dengan ember atau lainnya, maka dibuang dan air yang bersamanya ditumpahkan; karena itu kurang dari lima qirbah terpisah dari air lainnya. Lebih baik jika ember dicuci. Jika tidak dicuci dan dimasukkan ke dalam air banyak, maka air banyak tersebut menyucikannya, dan tidak menajiskan air banyak tersebut. (Asy-Syafi’i berkata): Semua yang haram sama, jika jatuh ke dalam air kurang dari lima qirbah, maka menajiskannya.

Jika ikan mati jatuh ke air sedikit atau belalang mati, tidak najis; karena keduanya halal meski mati. Demikian juga semua makhluk bernyawa yang hidup di air atau tidak, jika jatuh ke air yang dapat menjadi najis ketika mati, maka najis jika memiliki darah yang mengalir. Adapun yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, kumbang, dan sejenisnya, ada dua pendapat: Pertama, jika mati dalam air sedikit atau banyak, tidak menajiskannya. Yang berpendapat demikian mengatakan: Jika ada yang bertanya, ini bangkai, mengapa dikatakan tidak najis? Dijawab: Tidak mengubah air sama sekali, dan tidak memiliki darah. Jika ditanya: Adakah dalil untuk ini? Dijawab: Ya, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk menenggelamkan lalat yang jatuh ke air.” Demikian juga dalam makanan. Bisa saja mati karena tenggelam, dan beliau tidak memerintahkan menenggelamkannya dalam air dan makanan jika itu menajiskannya ketika mati; karena itu sengaja merusaknya. Pendapat kedua: Jika mati dalam air yang dapat menjadi najis, maka najis; karena haram. Dan diperintahkan menenggelamkannya untuk obat yang ada padanya, dan biasanya tidak mati. Saya lebih suka bahwa semua yang haram dimakan jika jatuh ke air dan tidak mati hingga dikeluarkan, tidak najis. Jika mati di dalamnya, maka najis, seperti kumbang, kutu, lalat, kutu busuk, dan sejenisnya.

(Asy-Syafi’i berkata): Kotoran burung, baik yang halal dimakan atau tidak, jika bercampur dengan air, maka najis; karena menjadi basah dengan basahan air.

(Ar-Rabi’ berkata): Keringat orang Nasrani, orang junub, dan wanita haid suci. Demikian juga orang Majusi dan keringat semua hewan suci. Sisa minuman hewan dan binatang buas semuanya suci kecuali anjing dan babi.

(Ar-Rabi’ berkata): Ini pendapat Asy-Syafi’i. Jika seseorang meletakkan air dan bersiwak, lalu mencelupkan siwak ke air kemudian mengeluarkannya, maka boleh berwudhu dengan air itu; karena yang paling banyak di siwak adalah air liurnya. Jika ia meludah, berdahak, atau mengeluarkan ingus ke air, tidak menajiskannya. Hewan sendiri minum dari air, dan air liurnya bercampur dengannya, tidak najis kecuali anjing atau babi.

Demikian pula, jika seseorang berkeringat dan keringatnya menetes ke dalam air, maka air itu tidak menjadi najis; karena keringat manusia dan hewan tunggangan tidak najis, baik keringat itu berasal dari ketiak atau bagian tubuh lainnya. 

Jika sesuatu yang haram terdapat dalam air, meskipun airnya banyak, air itu tidak akan pernah suci hanya dengan menguras sebagiannya. Namun, jika air ditambah hingga zat haram itu hilang sama sekali—tidak tersisa sedikit pun—maka air itu menjadi suci. Hal ini bisa dilakukan dengan menambahkan air lain ke dalamnya atau jika air itu berasal dari mata air yang mengalir deras sehingga zat haram tidak lagi terdeteksi. Jika kondisi seperti ini terpenuhi, air menjadi suci meskipun tidak ada yang dikuras. 

(Penulis berkata): Jika sebuah wadah berisi air sedikit, tanah, atau sumur tembok yang berisi air banyak terkena najis karena bercampur dengan sesuatu yang haram, lalu air lain ditambahkan hingga zat haram itu hilang, maka: 

– Jika sebelumnya airnya sedikit dan najis, lalu ditambah air lain hingga mencapai volume yang tidak lagi teranggap najis dan zat haram sudah tidak ada, maka air itu suci. 

– Wadah dan tanah yang menampung air tersebut juga suci, karena najisnya disebabkan oleh najisnya air. Ketika air menjadi suci, maka apa pun yang terkena air itu juga ikut suci. Hukumnya mengikuti air—suci jika air suci, najis jika air najis. 

Jika air sedikit dalam wadah terkena najis, maka air itu harus dibuang dan wadahnya dicuci. Lebih disukai jika dicuci tiga kali, meskipun sekali sebenarnya sudah cukup untuk menyucikannya. Ini berlaku untuk semua najis, kecuali jika yang minum adalah anjing atau babi—maka wadah harus dicuci tujuh kali, dan salah satu dari tujuh kali pencucian itu harus menggunakan tanah. Jika tidak ada tanah, bisa diganti dengan bahan pembersih seperti sabun atau dedak, tetapi ada dua pendapat dalam hal ini: 

  1. Tidak suci kecuali dengan tanah.
  2. Bisa suci dengan pengganti tanah yang lebih bersih.

Jika anjing atau babi minum dari wadah, maka bagian tubuh mereka yang menyentuh air itu menjadi najis, meskipun tidak ada kotoran yang melekat. Namun, jika yang masuk ke air adalah tangan, kaki, atau bagian tubuh lain dari hewan atau manusia yang tidak najis karena minum, maka air tidak menjadi najis kecuali jika ada kotoran yang menempel pada tubuh tersebut. 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa wadah yang diminumi anjing atau babi harus dicuci tujuh kali, sementara bangkai atau darah yang jatuh ke dalamnya cukup dicuci sekali padahal tidak meninggalkan bekas?” 

Jawabannya: “Ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Jika anjing minum dari wadah salah seorang dari kalian, cucilah tujuh kali.” 

Diriwayatkan juga oleh Malik, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Jika anjing minum dari wadah, cucilah tujuh kali.” 

Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Uyainah, dari Ayyub bin Abi Tamimah, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Jika anjing minum dari wadah, cucilah tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Kami menerapkan hukum ini pada anjing berdasarkan perintah Rasulullah ﷺ. Sedangkan babi, karena keadaannya lebih buruk dari anjing, kami qiyaskan padanya. Untuk najis selain keduanya, kami berpedoman pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, dari Hisyam bin ‘Urwah, bahwa istrinya, Fatimah binti Al-Mundzir, mendengar neneknya, Asma binti Abi Bakar, bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang darah haid yang mengenai pakaian. Beliau menjawab: 

“Keriklah, lalu gosok dengan air, kemudian percikilah, dan shalatlah dengan pakaian itu.” 

Diriwayatkan juga oleh Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari Fatimah binti Al-Mundzir, dari Asma, bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah ﷺ: 

“Wahai Rasulullah, bagaimana jika pakaian kami terkena darah haid?” 

Beliau menjawab: 

“Keriklah darah itu, lalu siram dengan air, dan shalatlah dengan pakaian itu.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Rasulullah ﷺ memerintahkan mencuci darah haid tanpa menentukan berapa kali. Istilah “mencuci” bisa berarti sekali atau lebih, sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

“Basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku.” (QS. Al-Maidah: 6) 

Maka, sekali cucian sudah cukup, karena makna “mencuci” mencakup hal itu.

(Imam Syafi’i) berkata: “Nama mandi (ghusl) diberikan padanya.” Maka semua najis diqiyaskan (dianalogikan) pada darah haid karena kesesuaian makna mandi dan wudhu dalam Al-Qur’an dan logika. Kami tidak mengqiyaskannya pada anjing karena itu murni ta’abbudi (berdasarkan ketentuan syariat). Tidakkah engkau lihat bahwa istilah mandi berlaku untuk satu kali atau lebih dari tujuh kali, dan bahwa bejana bisa disucikan dengan satu kali atau kurang dari tujuh kali, dan setelah tujuh kali, air yang menyentuh najis sama seperti sebelum tujuh kali?

(Imam Syafi’i) berkata: “Tidak ada najis pada makhluk hidup yang menyentuh air sedikit, seperti minum darinya atau memasukkan sebagian anggota tubuhnya ke dalam air, kecuali anjing dan babi. Najis hanya ada pada bangkai. Tidakkah engkau lihat bahwa seseorang boleh menunggang keledai, dan keledai berkeringat saat ditunggangi, serta boleh disentuh? Jika ada yang bertanya, ‘Apa dalilnya?’ Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari Dawud bin Al-Hushain, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah: ‘Rasulullah ﷺ ditanya, “Apakah boleh berwudhu dengan sisa minuman keledai?” Beliau menjawab, “Ya, dan dengan sisa minuman semua binatang buas.”‘”

(Imam Syafi’i) berkata: “Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim, dari Ibn Abi Habibah atau Abu Habibah (Rabi’ ragu), dari Dawud bin Al-Hushain, dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi ﷺ dengan hadis serupa. Diriwayatkan dari Malik, dari Ishaq bin Abdullah, dari Humaidah binti ‘Ubaid bin Rifa’ah, dari Kabsyah binti Ka’b bin Malik (istri anak Abu Qatadah): ‘Abu Qatadah masuk, lalu aku menuangkan air wudhu untuknya. Seekor kucing datang dan minum darinya. Aku memandangnya, lalu dia berkata, “Apakah engkau heran, wahai keponakanku? Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kucing itu tidak najis, ia termasuk hewan yang sering berkeliling di sekitar kalian.'”‘”

(Imam Syafi’i -rahimahullah-) berkata: “Diriwayatkan dari sumber terpercaya, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ dengan hadis serupa atau maknanya.” (Imam Syafi’i) berkata: “Kami mengqiyaskan berdasarkan pemahaman dari penjelasan di atas. Perbedaan antara anjing dan babi dengan hewan lain yang tidak dimakan dagingnya adalah bahwa tidak ada satupun dari hewan-hewan itu yang diharamkan untuk dipelihara kecuali karena alasan tertentu. Sedangkan anjing diharamkan untuk dipelihara tanpa alasan tertentu, dan dijelaskan bahwa pahala orang yang memeliharanya tanpa kebutuhan akan berkurang setiap hari – satu atau dua qirath, ditambah fakta bahwa malaikat tidak masuk ke rumah yang ada anjingnya, dan lain sebagainya. Maka semua hewan, baik yang dimakan dagingnya atau tidak, adalah halal kecuali anjing dan babi.”

(Imam Syafi’i) berkata: “Jika air sedikit atau banyak berubah menjadi bau atau berubah warnanya tanpa tercampur sesuatu yang haram, maka statusnya tetap suci. Begitu pula jika seseorang kencing di dalamnya, tetapi tidak diketahui apakah tercampur najis atau tidak, sementara air sudah berubah bau, warna, atau rasanya, maka statusnya suci sampai diketahui kenajisannya. Karena air yang dibiarkan tidak diambil bisa berubah, atau tercampur dedaunan dan lumut yang mengubahnya.”

(Imam Syafi’i) berkata: “Jika sesuatu yang halal jatuh ke dalam air dan mengubah bau atau rasanya, sementara air tidak hilang sifat aslinya karena tercampur, maka boleh berwudhu dengannya. Misalnya, jika kayu ban atau ter jatuh ke dalamnya dan mengeluarkan baunya, atau semisalnya.”

“Jika seseorang mengambil air lalu mencampurnya dengan susu, tepung, atau madu sehingga air hilang sifat aslinya, maka tidak boleh berwudhu dengannya, karena air sudah tidak lagi disebut air, melainkan campuran susu, tepung, atau madu. Namun jika yang dicampurkan sedikit sehingga sifat air masih dominan dan tidak ada rasa dari campuran tersebut, maka boleh berwudhu dengannya, karena air masih dalam keadaan aslinya. Demikian pula segala sesuatu yang bercampur dengan air, baik makanan, minuman, atau lainnya, kecuali jika air tersebut tergenang di tanah. Jika air tergenang di tanah lalu menjadi bau atau berubah, tetap boleh berwudhu dengannya, karena ia tetap disebut air, tidak seperti air yang sengaja dicampur.”

“Jika air mawar dituangkan ke air sehingga baunya tercium, maka tidak boleh berwudhu dengannya, karena air sudah hilang sifat aslinya, dan air yang terlihat bukan lagi air mawar.” (Imam Syafi’i) berkata: “Demikian pula jika ter dituangkan ke air sehingga baunya tercium, maka tidak boleh berwudhu dengannya. Jika baunya tidak tercium, maka boleh, karena ter dan air mawar bercampur dengan air sehingga tidak terpisah lagi.”

“Jika minyak wangi dituangkan ke air, atau dibubuhkan ambar, kayu gaharu, atau sesuatu yang berbau harum tetapi tidak bercampur dengan air, lalu baunya tercium di air, maka boleh berwudhu dengannya, karena tidak ada bagian dari benda itu dalam air yang mengubah nama air. Seandainya…”

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:

Jika ada air yang dituangi minyak misk, dzarirah (sejenis wewangian), atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air tidak lagi bisa dibedakan darinya, lalu muncul aroma darinya, maka tidak boleh berwudhu dengan air tersebut. Sebab pada saat itu, air tersebut telah tercampur dan disebut sebagai air yang bercampur misk, air yang bercampur dzarirah, dan sebagainya. Demikian pula segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam air seperti makanan, sawiq (tepung gandum), tepung, kuah, dan lainnya—jika rasa atau aromanya muncul akibat percampuran tersebut—maka tidak boleh berwudhu dengannya karena air tersebut telah dinisbatkan kepada sesuatu yang bercampur dengannya.

[Pasal tentang Orang Junub dan Lainnya] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah—radhiyallahu ‘anha—bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—mandi dari satu wadah (al-qadah, yaitu al-farq), dan aku pernah mandi bersamanya dari satu wadah yang sama. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Dahulu pada masa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—para lelaki dan perempuan berwudhu bersama-sama.” Malik juga mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—dari satu wadah yang sama.” Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dari Abu Asy-Sya’tsa’ dari Ibnu Abbas dari Maimunah bahwa ia pernah mandi bersama Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dari satu wadah yang sama. Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ashim dari Mu’adzah Al-Adawiyah dari Aisyah, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—dari satu wadah yang sama, dan terkadang aku berkata kepadanya, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’” 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Salim Abi An-Nadhr dari Al-Qasim dari Aisyah, ia berkata, “Aku pernah mandi junub bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—dari satu wadah yang sama.” (Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat seperti ini, sehingga tidak mengapa mandi dengan sisa air orang junub atau wanita haid. Sebab Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah mandi junub bersama Aisyah dari satu wadah yang sama, sehingga masing-masing boleh mandi dengan sisa air yang digunakan oleh yang lain. Haid tidak menajiskan tangan, dan seorang mukmin tidak najis. Ini hanya terkait tata cara ibadah dalam menyentuh air pada kondisi tertentu. 

[Air Orang Nasrani dan Berwudhu Dengannya] 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab pernah berwudhu dengan air milik seorang wanita Nasrani yang berada dalam tempayan miliknya. (Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa berwudhu dengan air orang musyrik atau menggunakan sisa wudhunya selama tidak diketahui ada najis di dalamnya. Sebab air itu suci pada siapa pun dan di mana pun selama tidak diketahui ada najis yang bercampur dengannya.

[Bab Bejana yang Digunakan untuk Berwudhu dan yang Tidak Digunakan untuk Berwudhu] 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati bangkai kambing yang sebelumnya diberikan kepada budak perempuan Maimunah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda: ‘Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?’ Mereka menjawab: ‘Wahai Rasulullah, itu bangkai.’ Beliau bersabda: ‘Yang diharamkan hanyalah memakannya.'” 

Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari ‘Ubaidullah dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hadis serupa. 

Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam, ia mendengar Ibnu Wa’lah, ia mendengar Ibnu Abbas, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kulit apa pun yang disamak, maka ia telah suci.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Wa’lah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kulit disamak, maka ia telah suci.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Abdullah bin Qusith dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari ayahnya dari Aisyah: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memanfaatkan kulit bangkai jika telah disamak.” 

(Imam Syafi’i berkata): Maka, boleh berwudhu dengan semua kulit bangkai yang telah disamak, termasuk kulit hewan buas yang tidak halal dimakan dagingnya, diqiyaskan dengan kulit bangkai tersebut. Kecuali kulit anjing dan babi, karena keduanya tidak bisa suci dengan disamak. Sebab, najis pada keduanya bersifat tetap selama masih hidup. Yang bisa disucikan dengan samak hanyalah yang tidak najis saat masih hidup. 

Samak dilakukan dengan segala bahan yang digunakan oleh orang Arab untuk menyamak, seperti qaraz (tanin dari pohon akasia), syab (tawas), atau bahan lain yang memiliki fungsi serupa, yaitu membuat kulit bertahan, menghilangkan kotorannya, membuatnya harum, dan mencegahnya dari kebusukan.

Jika terkena air, kulit bangkai tidak bisa disucikan melalui penyamakan kecuali dengan cara yang telah dijelaskan. Jika bulunya rontok, maka bulunya najis. Jika disamak dan bulunya dibiarkan, lalu air menyentuh bulunya, maka air itu najis. Namun jika air berada di bagian dalam dan bulunya di bagian luar, air tidak najis selama tidak menyentuh bulunya. 

Adapun kulit hewan yang halal dimakan dagingnya, tidak masalah untuk minum atau berwudu darinya meski belum disamak, karena penyembelihan telah menyucikannya. Jika kulitnya sudah disucikan, boleh shalat di atasnya atau menggunakannya sebagai alas shalat. 

Kulit hewan buas atau hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, baik yang disembelih maupun bangkai, statusnya sama karena penyembelihan tidak menghalalkannya. Jika disamak, semua kulit itu menjadi suci karena mengikuti hukum kulit bangkai, kecuali kulit anjing dan babi—keduanya tidak bisa disucikan dalam kondisi apa pun. 

Tidak boleh berwudu atau minum dari tulang bangkai atau tulang hewan yang tidak halal dimakan, seperti tulang gajah, singa, atau sejenisnya, karena penyamakan dan pencucian tidak menyucikan tulang. Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa ia mendengar Ibnu Umar memakruhkan penggunaan minyak dari tulang gajah karena statusnya sebagai bangkai. 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa berwudu dengan sesuatu dari itu, ia harus mengulangi wudunya dan mencuci bagian yang terkena air dari wadah tersebut. 

[Perkakas selain kulit] 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan wadah yang terbuat dari batu, besi, tembaga, atau bahan lain yang bukan dari makhluk bernyawa, kecuali wadah emas dan perak—aku memakruhkan berwudu dengan keduanya. 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’, dari Zaid bin Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar, dari Ummu Salamah—istri Nabi ﷺ—bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang minum dari wadah perak, ia hanya menelan api neraka Jahannam ke dalam perutnya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwudu atau minum dari wadah itu, aku memakruhkannya tetapi tidak memerintahkannya untuk mengulangi wudu. Aku juga tidak menyatakan bahwa air atau makanan yang diminum/makan dari wadah itu haram, meski perbuatan meminumnya adalah maksiat. 

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana bisa dilarang tetapi airnya tidak diharamkan?” Jawabannya—insya Allah—adalah bahwa Rasulullah ﷺ melarang perbuatan menggunakannya, bukan melarang keberadaannya. Zakat juga diwajibkan pada perak, dan umat Islam boleh memilikinya. Seandainya ia najis, tidak ada yang boleh memilikinya, dan jual belinya pun tidak halal.

[Bab Keraguan tentang Air] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): 

Jika seseorang sedang dalam perjalanan dan membawa air, lalu ia mengira bahwa najis telah bercampur dengannya sehingga air itu menjadi najis, tetapi ia tidak yakin, maka status air tersebut tetap suci. Ia boleh berwudhu dan meminumnya sampai benar-benar yakin bahwa najis telah bercampur dengannya. 

Namun, jika ia yakin bahwa air itu najis dan berniat untuk membuangnya serta menggantinya dengan air lain, lalu ia ragu apakah sudah melakukannya atau belum, maka status air itu tetap najis sampai ia yakin bahwa ia telah membuang dan menggantinya. 

Jika aku berpendapat bahwa air itu najis, maka ia tidak boleh berwudhu dengannya dan wajib bertayamum jika tidak menemukan air lain. Namun, jika terpaksa, ia boleh meminumnya karena meminum dalam keadaan darurat (takut mati) diperbolehkan, sedangkan berwudhu tidak termasuk dalam keadaan darurat. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menjadikan tanah sebagai alat bersuci bagi orang yang tidak menemukan air, dan dalam hal ini ia dianggap tidak memiliki air yang suci. 

Jika seseorang dalam perjalanan membawa dua wadah air, dan ia yakin salah satunya najis sedangkan yang lain tidak, lalu ia membuang yang menurut perkiraannya lebih mungkin najis, maka ia boleh berwudhu dengan air yang satunya. Jika ia khawatir kehausan, ia boleh menyimpan air yang menurut perkiraannya najis dan berwudhu dengan air yang diyakininya suci. 

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin ia berwudhu tanpa keyakinan kesucian, padahal ia yakin ada air yang najis?” Dijawab: Ia yakin najis pada satu air dan yakin suci pada air lainnya. Kita tidak merusak kesuciannya kecuali dengan keyakinan bahwa air itu najis. Air yang masih diragukan najisnya tetap dihukumi suci karena asalnya adalah suci, dan belum ada keyakinan akan kenajisannya. 

Jika ada yang berkata, “Bukankah ia telah menetapkan najis pada air yang satunya tanpa keyakinan penuh?” Dijawab: Tidak, ia menetapkannya sebagai najis berdasarkan keyakinan bahwa salah satunya najis dan menurut perkiraannya air itulah yang najis. Jadi, penetapan najis hanya didasarkan pada keyakinan pemilik air bahwa salah satunya najis dan menurut perkiraannya air itulah yang najis.

Jika setelah yakin bahwa air yang digunakan untuk berwudhu ternyata najis dan yang ditinggalkan adalah air yang suci, maka wajib mencuci semua yang terkena air najis tersebut, baik pakaian maupun badan, serta mengulangi wudhu dan shalat. Namun, sebelumnya ia boleh berwudhu dengan air yang menurut dugaan kuatnya najis hingga ia yakin akan kesuciannya. 

Jika ada dua air yang bercampur dan tidak diketahui mana yang najis, serta tidak ada indikasi yang lebih kuat, maka dikatakan kepadanya: “Jika tidak ada air lain selain keduanya, engkau harus bersuci dengan air yang lebih diyakini suci, dan tidak boleh bertayamum.” Jika yang bingung adalah orang buta yang tidak bisa membedakan mana yang lebih suci, tetapi ada orang yang bisa melihat dan dapat dipercaya bersamanya, maka ia boleh menggunakan air yang menurut orang tersebut lebih suci. Jika tidak ada orang yang bisa dipercaya atau orang yang melihat pun tidak tahu mana yang najis dan bingung menentukan mana yang najis, maka dipilih yang lebih diyakini. Jika tidak ada petunjuk sama sekali dan tidak ada orang yang bisa dipercaya, maka ia berusaha sebaik mungkin dan tetap berwudhu, tidak boleh bertayamum selama masih ada dua air, salah satunya suci. Tayamum tidak menghilangkan najis jika terkena air, dan tayamum tidak wajib selama ada air yang suci. 

Jika seseorang berwudhu dengan air, kemudian ia menduga air itu najis, ia tidak wajib mengulang wudhu sampai benar-benar yakin akan kenajisannya. Namun, lebih baik ia melakukannya. Jika setelah wudhu ia yakin air itu najis, ia harus mencuci semua yang terkena air najis tersebut, mengulang wudhu, dan mengulang semua shalat yang dilakukan setelah terkena air najis. Begitu pula jika ia dalam keadaan berwudhu lalu menyentuh air najis atau benda najis yang basah, kemudian shalat, ia harus mencuci bagian yang terkena najis dan mengulang shalat yang dilakukan setelah menyentuh najis. 

Jika ia terkena najis saat sedang bepergian dan tidak menemukan air, maka ia bertayamum, shalat, dan mengulang semua shalat yang dilakukan setelah terkena najis, karena tayamum tidak membersihkan najis yang menempel pada badan. 

(Imam berkata): Jika seseorang menemukan air sedikit di tanah, sumur, lubang batu, atau tempat lain, dan air itu sangat berubah tetapi tidak diketahui apakah tercampur najis seperti kencing hewan atau lainnya, ia tetap boleh berwudhu dengannya. Sebab, air bisa berubah tanpa sebab yang haram. Selama masih mungkin air itu suci, maka statusnya tetap suci sampai benar-benar yakin ada najis yang bercampur. 

(Imam berkata): Jika melihat air lebih dari lima qullah, lalu yakin ada kijang yang kencing di dalamnya, dan ditemukan rasa, warna, atau baunya berubah, maka air itu najis meskipun diduga perubahan itu bukan karena kencing. Sebab, sudah pasti ada najis yang bercampur, dan perubahan itu nyata. Perubahan karena kencing atau sebab lain bisa berbeda.

[Yang Mewajibkan Wudhu dan Yang Tidak Mewajibkannya] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, basuhlah wajah dan tangan kalian…” (QS. Al-Maidah: 6). (Imam Syafi’i berkata): Secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang hendak shalat wajib berwudhu. Namun, ayat ini juga bisa bermakna khusus, yakni turun berkaitan dengan orang yang bangun dari tidur. Aku mendengar dari orang yang kuyakini keilmuannya tentang Al-Qur’an bahwa ayat ini turun terkait orang yang bangun dari tidur. (Imam Syafi’i berkata): Aku menganggap pendapatnya benar karena dalam hadis ada dalil yang mewajibkan wudhu bagi orang yang bangun dari tidur. 

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidur, jangan langsung mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidur, hendaknya ia mencuci tangannya sebelum memasukkannya ke dalam air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” 

Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abuz-Zinad mengabarkan kepada kami dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidur, jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Barangsiapa tidur dalam keadaan berbaring, wajib baginya berwudhu karena ia bangun dari posisi berbaring. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidur adalah kondisi di mana akal tertidur. Barangsiapa akalnya terganggu karena gila atau sakit, baik dalam posisi berbaring atau tidak, wajib baginya berwudhu karena keadaannya lebih parah dari orang tidur. Orang tidur bisa terbangun jika ada yang menggerakkannya atau bangun sendiri, sedangkan orang yang akalnya terganggu karena gila atau lainnya tidak akan sadar meski digerakkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidur dalam keadaan duduk, lebih aku sukai jika ia berwudhu. Namun, tidak jelas bagiku untuk mewajibkannya. Seorang yang tsiqah (terpercaya) mengabarkan kepada kami dari Humaid Ath-Thawil dari Anas bin Malik, ia berkata: “Para sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- biasa menunggu shalat Isya’ hingga mereka tertidur.”

Saya mengira dia berkata sambil duduk sampai kepala mereka mengangguk, lalu mereka shalat tanpa berwudhu. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia pernah tidur sambil duduk, kemudian shalat tanpa berwudhu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidur dalam posisi duduk tegak, maka menurutku tidak wajib baginya berwudhu, berdasarkan hadis yang telah disebutkan. Jelas bahwa jika ayat itu turun tentang orang yang tidur, maka yang dimaksud adalah tidur berbaring. Dan sudah maklum bahwa jika dikatakan “si fulan sedang tidur,” yang terbayang adalah tidur berbaring. Istilah “tidur” secara mutlak tidak berlaku kecuali dalam posisi berbaring. Adapun “tidur sambil duduk” maksudnya adalah istilah kiasan, seperti dikatakan “dia tidur dari sesuatu yang seharusnya dia perhatikan,” bukan tidur yang sebenarnya. Tidur berbaring berbeda dengan tidur sambil duduk, karena orang yang tidur berbaring lebih berat dan akalnya lebih terganggu dibandingkan orang yang tidur sambil duduk. Juga, kemungkinan keluarnya hadas pada orang yang tidur berbaring lebih mudah dan tersembunyi baginya dibandingkan orang yang tidur sambil duduk.

(Imam Syafi’i berkata): Jika posisi duduknya tidak tegak lagi saat tidur, maka wajib baginya berwudhu, karena orang yang tidur sambil duduk biasanya bersandar ke tanah, dan hampir tidak ada sesuatu yang keluar darinya kecuali dia akan terbangun. Jika posisinya berubah, maka dia seperti orang yang tidur berbaring dalam hal kemungkinan keluarnya hadas.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidur dalam posisi rukuk atau sujud, maka wajib baginya berwudhu, karena lebih mungkin hadas keluar darinya tanpa dia sadari, seperti halnya orang yang tidur berbaring.

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa tidur sambil berdiri, maka wajib baginya berwudhu, karena dia tidak bersandar ke tanah. Dia lebih tepat diqiyaskan kepada orang yang tidur berbaring—karena akalnya sama-sama tertidur—daripada diqiyaskan kepada orang yang tidur sambil duduk, yang dibebaskan dari wudhu hanya karena adanya hadis, padahal sebenarnya alasan yang telah dijelaskan (tidak bersandar ke tanah) tidak terpenuhi.

(Imam Syafi’i berkata): Tidur yang mewajibkan wudhu bagi orang yang terkena kewajiban wudhu karena tidur adalah tidur yang mengalahkan akal, baik sedikit maupun banyak. Adapun orang yang tidak…

Jika seseorang mengantuk atau pikirannya melayang, tetapi tidak yakin apakah dia tertidur atau hanya lamunan, maka dia tidak wajib berwudhu sampai benar-benar yakin bahwa dia telah batal. (Dikatakan): Baik itu orang yang menaiki kapal, unta, hewan tunggangan, atau yang duduk di tanah, jika dia kehilangan keseimbangan—baik dalam posisi duduk, tidur sambil berdiri, rukuk, sujud, atau berbaring—maka dia wajib berwudhu. Jika seseorang ragu apakah dia tertidur atau hanya terlintas dalam pikirannya sesuatu yang tidak jelas apakah itu mimpi atau lamunan, maka dia dianggap tidak tidur sampai benar-benar yakin bahwa dia tertidur. Namun, jika dia yakin itu adalah mimpi tetapi tidak yakin apakah dia tertidur, maka dia dianggap tidur dan wajib berwudhu. Sebaiknya, dalam semua kasus pertama, dia berwudhu sebagai tindakan hati-hati. Begitu pula jika dia yakin itu mimpi dan yakin telah tidur—meskipun sebentar—maka wajib baginya berwudhu.

[Wudhu karena bersentuhan dan buang air besar] 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku.” (QS. Al-Maidah: 6) dan seterusnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan kewajiban wudhu bagi orang yang hendak mendirikan shalat, dan yang lebih tepat adalah orang yang bangun dari tidur. Kemudian, Allah menyebutkan penyucian dari junub. Setelah menyebutkan penyucian dari junub, Allah berfirman, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kamu kembali dari buang air besar (al-ghaith) atau menyentuh perempuan (lamastum an-nisa’), lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah.” (QS. An-Nisa’: 43). 

Maka, yang lebih tepat adalah bahwa Allah mewajibkan wudhu karena buang air besar dan karena bersentuhan (al-mulamasah). Allah menyebutkannya bersamaan dengan buang air besar setelah penyebutan junub, sehingga yang dimaksud dengan al-mulamasah adalah sentuhan tangan atau ciuman yang bukan termasuk junub. 

Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), ia berkata: “Seorang laki-laki yang mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya termasuk al-mulamasah. Barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, maka wajib baginya berwudhu.” 

(Imam Syafi’i berkata): Telah sampai kepada kami riwayat dari Ibnu Mas’ud yang maknanya mirip dengan perkataan Ibnu Umar. Dan apabila seorang laki-laki menyentuh istrinya dengan tangannya atau sebagian…

Jika tubuhnya menyentuh sebagian tubuhnya tanpa penghalang, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, maka wajib baginya berwudhu dan wajib pula baginya (wanita). Demikian pula jika dia (wanita) menyentuhnya, maka wajib baginya dan baginya (wanita) berwudhu. Sama saja dalam semua itu, bagian tubuh mana pun dari keduanya yang sampai kepada yang lain jika sampai ke kulitnya, atau dia (wanita) sampai ke kulitnya dengan sebagian kulitnya. Jika dia menyentuh rambutnya dengan tangannya dan tidak menyentuh kulitnya, maka tidak wajib berwudhu, baik karena syahwat atau bukan, sebagaimana dia menginginkannya tetapi tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhu. Tidak ada makna syahwat dalam hal ini karena syahwat ada di hati, yang dimaksud adalah perbuatannya. Rambut berbeda dengan kulit. (Dia berkata): Jika dia berhati-hati dan berwudhu setelah menyentuh rambutnya, itu lebih aku sukai.

Dan jika dia menyentuh dengan tangannya apa pun yang dia inginkan di atas tubuhnya melalui pakaian tipis, baik yang kasar, sutra, atau lainnya, atau pakaian tebal, baik untuk kenikmatan atau tidak, dan dia (wanita) melakukan hal yang sama, maka tidak wajib bagi salah satu dari mereka berwudhu karena keduanya tidak menyentuh satu sama lain, melainkan hanya menyentuh pakaian pasangannya. Ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: Sentuhan itu dengan telapak tangan. Tidakkah kamu melihat bahwa Rasulullah SAW melarang dari malamasah (berjabat tangan dengan wanita bukan mahram)? Penyair berkata:

Dan aku menyentuh tangannya dengan tanganku, mencari kekayaan 

Tetapi aku tidak tahu bahwa kemurahan hati dari tangannya menular 

Maka aku tidak mendapatkan apa yang didapat oleh orang-orang kaya 

Tetapi aku tertular dan menghamburkan apa yang kumiliki.

[Wudhu dari Buang Air Besar, Kencing, dan Kentut] 

(Imam Syafi’i berkata): Dapat dipahami bahwa ketika Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan buang air besar dalam ayat wudhu, yang dimaksud adalah buang hajat. Siapa pun yang buang hajat, wajib baginya berwudhu. Sufyan mengabarkan kepada kami, dia berkata: Az-Zuhri mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya, Abdullah bin Zaid, dia berkata: “Seorang laki-laki mengadukan kepada Rasulullah ﷺ tentang perasaan was-was saat shalat, maka beliau bersabda, ‘Janganlah dia pergi (membatalkan shalat) sampai dia mendengar suara atau mencium bau.’” 

(Imam Syafi’i berkata): Ketika sunnah menunjukkan bahwa seseorang boleh membatalkan shalat karena kentut, maka kentut termasuk dalam kategori buang hajat, meskipun buang air besar lebih utama darinya. 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abul Huwairits dari Al-A’raj dari Ibnu Ash-Shammah: “Rasulullah ﷺ pernah kencing, lalu beliau bertayamum.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Abun Nadhr, mantan budak Umar bin Abdullah, dari Sulaiman bin Yasar, dari Al-Miqdad bin Al-Aswad: “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyuruhnya untuk bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang seorang laki-laki yang ketika mendekati istrinya keluar madzi, apa yang harus dilakukannya. Ali berkata, ‘Aku memiliki putri Rasulullah ﷺ (sebagai istri), sehingga aku malu untuk menanyakan hal itu.’ Maka Al-Miqdad pun bertanya kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian merasakan hal itu, hendaknya dia membasuh kemaluannya dengan air dan berwudhu seperti wudhu untuk shalat.’” 

Sunnah telah menunjukkan kewajiban wudhu karena keluarnya madzi dan kencing, sebagaimana juga karena kentut. Oleh karena itu, tidak ada pengecualian bahwa segala sesuatu yang keluar dari kemaluan (dzakar atau dubur), baik dari laki-laki atau perempuan, atau dari farji perempuan yang menjadi sebab hadats, mewajibkan wudhu. 

Hal yang sama berlaku untuk sesuatu yang dimasukkan ke dalam dubur atau kemaluan, seperti obat atau suntikan, lalu keluar sebagaimana asalnya atau bercampur dengan sesuatu yang lain—semuanya mewajibkan wudhu karena keluar dari tempat hadats. 

Imam Syafi’i juga berkata: “Demikian pula cacing yang keluar darinya, batu, atau segala sesuatu yang keluar dari salah satu tempat tersebut.”

Dari farji (kemaluan), maka di situ terdapat wudu. Demikian pula angin yang keluar dari zakar laki-laki atau qubul perempuan, di situ ada wudu sebagaimana wudu karena air atau lainnya yang keluar dari dubur. 

Dia berkata: Karena apa yang keluar dari farji adalah hadats, baik angin atau selain angin, maka dihukumi sebagai hadats. Dan orang-orang tidak berbeda pendapat mengenai ludah yang keluar dari mulut, ingus dari hidung, atau sendawa (baik yang berubah baunya maupun tidak) yang keluar dari mulut—semua itu tidak mewajibkan wudu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada wudu karena muntah, mimisan, bekam, atau sesuatu yang keluar dari tubuh selain dari tiga farji (qubul, dubur, dan zakar). 

Sebab, wudu bukanlah karena najisnya yang keluar. Tidakkah kamu lihat bahwa angin keluar dari dubur dan tidak menajiskan sesuatu, tetapi tetap mewajibkan wudu seperti halnya buang air besar? Juga bahwa mani tidak najis, tetapi mandi wajib karenanya. Sesungguhnya, wudu dan mandi adalah bentuk ibadah. 

Dia berkata: Jika seseorang muntah, dia harus membasuh mulutnya dan bagian yang terkena muntahannya—tidak cukup selain itu. Demikian pula jika mimisan, dia harus membasuh bagian yang terkena darah dari hidung atau lainnya—tidak cukup selain itu, dan tidak wajib wudu karenanya. Begitu pula jika keluar dari tubuhnya darah, nanah, atau najis lainnya. 

Keringat orang junub atau haid tidak najis, baik dari bawah ketiak, lipatan paha, bagian tubuh yang berubah, atau yang tidak berubah. Jika ada yang berkata…

Pembicara berkata, “Bagaimana mungkin keringat orang junub dan wanita haid tidak najis?” Dijawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wanita haid untuk mencuci darah haid pada pakaiannya, namun tidak memerintahkan untuk mencuci seluruh pakaiannya.” Pakaian yang terkena darah haid adalah kain sarung, dan tidak diragukan bahwa keringat seringkali mengenai pakaian tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa keduanya pernah berkeringat pada pakaian dalam keadaan junub, kemudian shalat dengan pakaian itu tanpa mencucinya. Demikian juga diriwayatkan dari selain keduanya. 

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari Fatimah binti Al-Mundzir, dia berkata, “Aku mendengar nenekku, Asma binti Abu Bakar, berkata, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian, maka beliau bersabda: “Keriklah, lalu gosoklah dengan air, kemudian percikilah, lalu shalatlah dengan pakaian itu.”‘” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari Fatimah binti Al-Mundzir dari Asma binti Abu Bakar bahwa dia berkata, “Seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” lalu disebutkan hadis serupa. 

Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia pernah berkeringat pada pakaian dalam keadaan junub, kemudian shalat dengan pakaian itu. 

(Imam Syafi’i) berkata: Barangsiapa berwudhu lalu muntah namun tidak berkumur-kumur, atau mimisan namun tidak mencuci bagian yang terkena darah, maka dia harus mengulangi (wudhunya) setelah berkumur-kumur dan mencuci bagian yang terkena darah. Hal ini karena dia shalat dalam keadaan terkena najis, bukan karena wudhunya batal. 

[Bab Wudhu dari Menyentuh Kemaluan] 

(Imam Syafi’i berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm bahwa dia mendengar…

Urwah bin Zubair berkata: Aku masuk menemui Marwan bin Hakam, lalu kami berdiskusi tentang hal-hal yang mewajibkan wudhu. Marwan berkata, “Termasuk menyentuh kemaluan, wajib berwudhu.” Urwah menjawab, “Aku tidak mengetahui hal itu.” Marwan berkata, “Bisrah binti Shafwan mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia berwudhu.'”

Dikabarkan kepada kami oleh Sulaiman bin ‘Amr dan Muhammad bin Abdullah dari Yazid bin Abdul Malik Al-Hasyimi dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya dengan tangannya tanpa penghalang, maka hendaklah dia berwudhu.”

Dikabarkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Abdullah bin Nafi’ dan Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari ‘Uqbah bin Abdurrahman dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya dengan tangannya, maka hendaklah dia berwudhu.” Ibnu Nafi’ menambahkan, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku mendengar banyak ahli hafizh meriwayatkannya tanpa menyebutkan Jabir.

(Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang menyentuh kemaluannya dengan telapak tangannya tanpa penghalang, maka wajib baginya berwudhu. Dia berkata: Baik disengaja maupun tidak disengaja, karena segala sesuatu yang mewajibkan wudhu dengan sengaja, juga mewajibkannya tanpa sengaja. Dia berkata: Baik sedikit maupun banyak sentuhan pada kemaluannya, begitu juga jika menyentuh duburnya, kemaluan istrinya, dubur istrinya, atau menyentuh hal serupa pada anak kecil, maka wajib baginya berwudhu. Jika dia menyentuh kedua pahanya, pantatnya, atau lututnya tanpa menyentuh kemaluannya, maka tidak wajib berwudhu. Sama saja apakah menyentuh orang hidup atau mayit. Jika menyentuh bagian ini dari hewan, tidak wajib berwudhu, karena manusia memiliki kehormatan dan kewajiban beribadah, sedangkan hewan tidak demikian. Jika menyentuh sesuatu yang najis seperti darah basah, nanah, atau lainnya, cukup membersihkan bagian yang terkena tanpa wajib berwudhu.

Jika menyentuh kemaluannya dengan punggung tangan, lengan, atau selain telapak tangan, tidak wajib berwudhu. Jika ada yang bertanya, “Apa perbedaan antara yang telah dijelaskan?” Dijawab: Menyentuh dengan tangan adalah dengan telapaknya, sebagaimana ungkapan “menyentuh dengan tangan saat berjabat tangan” atau “menyentuh tanah dengan tangan saat sujud” atau “menyentuh lutut dengan tangan saat rukuk.” Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan wudhu jika menyentuh kemaluan dengan tangan, maka diketahui bahwa kemaluan bersentuhan dengan paha atau bagian tubuh lainnya, dan hal itu tidak mewajibkan wudhu berdasarkan petunjuk sunnah. Segala sentuhan selain telapak tangan, seperti yang telah dijelaskan, tidak mewajibkan wudhu. Jika ada dua jenis sentuhan, salah satunya mewajibkan wudhu dan yang lain tidak, maka qiyasnya adalah tidak wajib wudhu untuk sentuhan yang tidak disebutkan, karena sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa menyentuh sesuatu yang lebih najis dari kemaluan tidak mewajibkan wudhu.

Dikabarkan kepada kami oleh Sufyan dari Hisyam dari Fatimah dari Asma’, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian. Beliau bersabda, ‘Keriklah lalu gosok dengan air, kemudian percikilah, dan shalatlah dengannya.'” (Asy-Syafi’i) berkata: Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mencuci darah haid dengan tangan tanpa mewajibkan wudhu, padahal darah lebih najis daripada kemaluan, maka segala sesuatu yang terkena najis berdasarkan qiyas ini tidak mewajibkan wudhu. Jika ini berlaku untuk yang najis, maka yang tidak najis lebih utama untuk tidak mewajibkan wudhu kecuali yang secara khusus disebutkan dalam hadits. (Asy-Syafi’i) berkata: Jika menyentuh najis basah atau najis kering, cukup membersihkannya tanpa wajib wudhu.

Jika dia dalam keadaan basah, maka dia wajib mencuci bagian yang terkena najis tersebut. Namun, jika yang terkena najis tidak dalam keadaan basah dan bagian yang terkena juga tidak basah, maka tidak wajib dicuci dan cukup dibersihkan saja. Muslim meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Angin sering membawa kotoran dan tahi yang kering ke arah kami, mengenai wajah dan pakaian kami, lalu kami cukup membersihkannya dengan mengibas atau mengusap, tanpa perlu berwudhu atau mencucinya.”

(Imam Syafi’i berkata): Setiap hal yang aku sebutkan mewajibkan wudhu bagi laki-laki ketika menyentuh kemaluannya, maka hal yang sama juga berlaku bagi perempuan jika menyentuh kemaluannya atau kemaluan suaminya, seperti halnya laki-laki—tidak ada perbedaan di antara keduanya. Al-Qasim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar meriwayatkan—Ar-Rabi’ mengatakan, “Aku menduga dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar”—dari Al-Qasim dari ‘Aisyah, dia berkata: “Jika seorang perempuan menyentuh kemaluannya, dia harus berwudhu.”

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dengan adanya penghalang di antara keduanya—selama tidak langsung menyentuh—maka tidak wajib wudhu, baik penghalang itu tipis maupun tebal.

[Pasal: Tidak Wajib Wudhu dari Sesuatu yang Dimakan] 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Az-Zuhri dari dua orang, salah satunya adalah Ja’far bin ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah memakan paha kambing, lalu shalat tanpa berwudhu. (Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada hal ini. Siapa pun yang memakan sesuatu, baik makanan yang dimasak dengan api atau tidak, tidak wajib berwudhu. Begitu pula jika terpaksa memakan bangkai, tidak wajib berwudhu—baik dimakan mentah atau dimasak. Namun, dia wajib mencuci tangan, mulut, dan bagian tubuh yang terkena bangkai tersebut; tidak boleh tidak. Jika tidak melakukannya, dia harus mencuci dan mengulangi semua shalat yang dikerjakan setelah memakannya sebelum mencuci bagian yang terkena bangkai. Hal yang sama berlaku untuk semua makanan haram—shalat tidak sah sampai dia mencuci bagian yang terkena, seperti tangan, mulut, atau bagian lain. Adapun makanan dan minuman halal, tidak wajib wudhu—baik berbau atau tidak. Ibnu ‘Abbas pernah minum susu tanpa berkumur dan berkata: “Aku tidak peduli dengan hal itu.”

[Pasal: Berbicara dan Minum] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak wajib wudhu karena berbicara, sekalipun banyak, begitu juga karena tertawa—baik dalam shalat maupun di luar shalat. (Imam Syafi’i berkata): Ibnu Syihab meriwayatkan dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan nama Al-Lata, hendaknya dia mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’.” Ibnu Syihab berkata: “Tidak sampai kepadaku bahwa beliau menyebutkan kewajiban wudhu dalam hal itu.” (Imam Syafi’i berkata): Tidak ada kewajiban wudhu dalam hal itu, juga tidak karena menyakiti orang lain, menuduh, atau hal lainnya, karena itu bukan termasuk pembatal wudhu.

Imam Syafi’i berkata: “Al-‘Ala meriwayatkan dari ayahnya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Biarkanlah jenggot dan potonglah kumis, ubahlah uban dan jangan menyerupai Yahudi.'” 

Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa berwudhu kemudian memotong kukunya, rambutnya, jenggotnya, dan kumisnya, maka tidak perlu mengulangi wudhunya. Ini adalah tambahan kebersihan dan kesucian. Demikian pula jika ia mencukur bulu kemaluan dan air mengalir di atasnya, tidak masalah dan tidak ada kewajiban apa pun. Begitu juga segala sesuatu yang halal dimakan—baik berbau atau tidak—seperti minum susu atau lainnya. Jika sesuatu yang halal itu menyentuh tubuh atau pakaiannya, tidak wajib mencucinya. Ibnu Abbas pernah minum susu lalu shalat tanpa menyentuh air.” 

[Bab tentang Istinja’] 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, usaplah kepalamu, dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.’ (QS. Al-Maidah: 6).” 

Imam Syafi’i berkata: “Allah menyebutkan wudhu, dan menurut mazhab kami, hal itu berlaku ketika seseorang bangun dari tidur.” Dia juga berkata: “Orang yang tidur bisa bangun tanpa hadats buang air besar atau kecil, sehingga wudhu yang disebutkan Allah berdasarkan petunjuk Sunnah berlaku bagi yang tidak hadats buang air besar atau kecil, bukan bagi yang hadats karena keduanya najis dan menyentuh sebagian badan.” 

Dia berkata: “Tidak ada kewajiban istinja’ bagi seseorang yang wajib berwudhu kecuali jika ia buang air besar atau kecil, maka ia boleh beristinja’ dengan batu atau air.” 

Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Al-Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku bagi kalian bagaikan seorang ayah. Jika salah seorang dari kalian pergi buang air, jangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air besar atau kecil, dan beristinja’lah dengan tiga batu.” Beliau juga melarang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang belulang, serta melarang beristinja’ dengan tangan kanan. 

Imam Syafi’i berkata: “Ar-ramah adalah tulang yang sudah lapuk.” Seorang penyair berkata: 

“Adapun tulang-tulangnya telah lapuk, sedangkan dagingnya masih segar.” 

Sufyan mengabarkan kepada kami, Hasyim bin ‘Urwah mengabarkan kepadanya, Abu Wajzah mengabarkan dari ‘Imarah bin Khuzaimah dari Tsabit dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang istinja’ dengan tiga batu dan melarang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang, serta melarang beristinja’ dengan tangan kanan. Tiga batu itu tidak boleh mengandung kotoran. 

Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa buang air besar atau kecil, tidak cukup baginya kecuali mengusap dengan tiga batu tiga kali, atau dengan bata, batu pipih, atau benda suci bersih lainnya yang membersihkan seperti batu, misalnya tanah, rumput, tembikar, dan sejenisnya.” 

Dia berkata: “Jika ia menemukan batu, bata, atau batu pipih yang memiliki tiga sisi…”

Lalu beristinja dengan masing-masing batu sebanyak tiga kali usapan. Jika beristinja dengan tiga batu tetapi diketahui masih ada kotoran yang tersisa, maka istinja tersebut tidak sah kecuali jika diulang sampai dipastikan tidak ada lagi kotoran yang tertinggal. Adapun kotoran yang menempel dan hanya bisa dibersihkan dengan air, maka tidak wajib dibersihkan karena meskipun berusaha keras, tidak akan hilang kecuali dengan air.

(Dia berkata): Tidak boleh beristinja dengan batu yang sudah pernah digunakan kecuali jika diketahui batu tersebut telah terkena air yang mensucikannya. Jika tidak diketahui kesuciannya dengan air, maka istinja dengan batu tersebut tidak sah meskipun tidak ada kotoran yang terlihat. Begitu pula jika batu tersebut dicuci dengan air tanaman sampai kotorannya hilang, istinja dengannya tidak sah, karena yang mensucikan hanyalah air yang bisa membersihkan najis.

(Dia berkata): Tidak boleh beristinja dengan kotoran hewan karena ada larangan dalam hadis, sebab kotoran hewan termasuk najis. Demikian pula semua kotoran hewan adalah najis. Juga tidak boleh beristinja dengan tulang karena ada larangan dalam hadis, meskipun tulang tidak najis, tetapi tidak dianggap bersih. Kesucian hanya bisa dicapai dengan sesuatu yang bersih dan suci. Aku tidak mengetahui sesuatu yang serupa dengan tulang kecuali kulit hewan yang disembelih namun belum disamak, yang meskipun suci, tidak dianggap bersih. Adapun kulit yang sudah disamak adalah bersih dan suci, sehingga boleh digunakan untuk beristinja.

(Dia berkata): Orang yang memiliki perut sensitif atau keras boleh beristinja dengan batu atau penggantinya selama kotoran tidak menyebar di sekitar dubur atau bagian dalam kedua pantat. Jika kotoran menyebar keluar dari area tersebut, maka cukup beristinja dengan batu di antara kedua pantat, tetapi untuk bagian yang lebih luas, harus dibersihkan dengan air. Sejak dulu, ada orang yang memiliki perut sensitif atau keras, dan aku menduga perut sensitif lebih banyak terjadi pada kaum Muhajirin karena kebiasaan mereka makan kurma sebagai makanan pokok. Mereka adalah orang-orang yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk beristinja.

(Dia berkata): Beristinja dari kencing sama seperti beristinja dari buang air besar, tidak ada perbedaan. Jika kencing menyebar di sekitar lubang kemaluan, maka istinja dengan batu sudah cukup. Namun jika menyebar lebih jauh, maka bagian yang lebih jauh itu harus dibersihkan dengan air. Orang yang kencing disarankan untuk memastikan tidak ada sisa tetesan kencing, dan lebih baik menunggu sebentar sebelum berwudhu, lalu mengibaskan kemaluannya sebelum beristinja, kemudian berwudhu.

(Dia berkata): Jika seseorang beristinja dengan sesuatu selain air, maka minimal harus menggunakan tiga batu. Jika sudah bersih, maka itu sudah cukup. Namun jika seseorang mengumpulkan kotoran lalu membasuhnya dengan air, itu lebih baik. Dikatakan bahwa sebagian kaum Anshar beristinja dengan air, lalu turun ayat tentang mereka: “Di dalamnya ada orang-orang yang suka menyucikan diri, dan Allah menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. At-Taubah: 108). Jika seseorang hanya menggunakan air tanpa batu, itu sudah cukup karena air lebih membersihkan daripada batu. Jika beristinja dengan air, tidak ada batasan jumlah selama dipastikan sudah bersih total, dan aku menduga itu tidak tercapai kecuali dengan lebih dari tiga kali basuhan atau lebih.

(Dia berkata): Jika seseorang memiliki wasir atau luka dekat dubur atau di dalamnya yang mengeluarkan darah, nanah, atau cairan, maka istinja dengan air wajib dilakukan dan tidak cukup dengan batu. Air adalah pembersih semua najis, sedangkan keringanan beristinja dengan batu hanya berlaku pada tempatnya dan tidak boleh melampauinya. Demikian pula dengan buang air besar atau kecil, jika kotorannya menyebar ke bagian tubuh lain, maka hanya air yang bisa membersihkannya. Beristinja dengan batu dalam wudhu berlaku bagi yang menemukan air maupun yang tidak.

Jika seseorang buang hajat dan tidak menemukan air, sedangkan dia termasuk orang yang boleh tayammum, maka tidak sah kecuali beristinja dulu lalu tayammum. Jika dia tayammum dulu baru beristinja, itu tidak sah kecuali jika tayammum dilakukan setelah istinja. Ar-Rabi’ berkata: Ada pendapat lain dari Asy-Syafi’i yang membolehkan tayammum sebelum istinja asalkan setelahnya dia tidak menyentuh kemaluan atau duburnya dengan tangan. (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang wajib mandi junub, maka di area istinja, yang sah hanya mandi.

[BAB SIWAK] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”

“Dan Mengakhirkan Makan Malam” (Berkata Asy-Syafi’i): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Ishaq dari Ibnu Abi ‘Atiq dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Rabb.” (Berkata Asy-Syafi’i): Dalam hal ini terdapat dalil bahwa siwak tidak wajib, melainkan pilihan. Seandainya wajib, tentu Nabi akan memerintahkan mereka melakukannya baik memberatkan atau tidak. (Berkata Asy-Syafi’i): Disunahkan bersiwak pada setiap keadaan yang mengubah bau mulut, saat bangun tidur, ketika lapar, setelah makan atau minum sesuatu yang mengubah bau mulut, serta sebelum semua shalat. Barangsiapa meninggalkannya lalu shalat, tidak perlu mengulang shalatnya dan tidak wajib berwudhu lagi. 

[Bab Mencuci Tangan Sebelum Wudhu] 

(Berkata Asy-Syafi’i): Allah ‘azza wa jalla menyebutkan wudhu dan memulainya dengan membasuh wajah. Ini menunjukkan bahwa wudhu diwajibkan bagi orang yang bangun tidur sebagaimana firman Allah, bukan karena buang air kecil atau besar, sebab orang tidur tidak melakukan keduanya. Aku menganjurkan mencuci kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana wudhu sebagai sunnah, bukan kewajiban. (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, hendaknya ia mencuci kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” (Berkata Asy-Syafi’i): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” Sufyan juga mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan hadis serupa. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya, sementara ia tidak yakin ada najis yang menyentuhnya, wudhunya tidak batal. Demikian pula jika ragu. Namun, jika tangannya benar-benar menyentuh najis lalu memasukkannya ke dalam air wudhu, maka: 

– Jika air wudhunya kurang dari dua qullah, air itu menjadi najis dan harus dibuang, bejana dicuci, dan ia harus berwudhu dengan air lain. Tidak sah selain itu. 

– Jika airnya dua qullah atau lebih, air tidak najis, ia boleh berwudhu, dan tangannya suci dengan masuknya ke air selama najisnya tidak berbekas. Jika najisnya berbekas, ia harus mengeluarkan tangannya, mencucinya hingga bekas hilang, lalu berwudhu. 

[Bab Berkumur dan Menghirup Air] 

(Berkata Asy-Syafi’i): Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, basuhlah wajah dan tangan hingga siku.” (QS. Al-Maidah: 6). (Berkata Asy-Syafi’i): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa yang wajib dibasuh dalam wudhu adalah bagian wajah yang tampak, bukan yang tersembunyi, dan seseorang tidak wajib membasuh matanya atau memercikkannya. Berkumur dan menghirup air lebih dekat ke bagian yang tampak dibanding mata. Aku tidak mengetahui bahwa berkumur dan menghirup air itu wajib dalam wudhu, dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika seseorang sengaja atau lupa meninggalkannya lalu shalat, ia tidak perlu mengulang. Namun, aku lebih suka jika setelah mencuci tangan, ia berkumur dan menghirup air tiga kali: mengambil satu cakupan air untuk mulut dan hidung, memasukkan air ke hidung secukupnya hingga mencapai pangkal hidung tanpa berlebihan atau seperti memakai obat hidung. Jika sedang puasa, ia boleh berhati-hati saat menghirup air agar tidak masuk terlalu dalam. Aku menekankan berkumur dan menghirup air (bukan membasuh mata) karena sunnah, juga karena mulut dan hidung bisa berubah bau, dan air bisa menghilangkannya, berbeda dengan mata. Jika seseorang berwudhu atau mandi janabah tanpa berkumur dan menghirup air lalu shalat, ia tidak wajib mengulang, tetapi aku lebih suka ia tidak meninggalkannya. Jika meninggalkannya, hendaknya ia berkumur dan menghirup air.

[Bab Membasuh Wajah] 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Basuhlah wajah-wajah kalian.” (QS. Al-Maidah: 6). Maka dipahami bahwa wajah adalah bagian mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga kedua telinga, kedua pipi, dan dagu. Bagian yang melebihi tempat tumbuhnya rambut kepala, seperti rambut yang tipis di kedua sisi kepala, tidak termasuk wajah. Begitu pula kebotakan di depan kepala, bagian botak itu bukan bagian dari wajah. Aku lebih suka jika rambut tipis di kedua sisi itu dibasuh bersama wajah, tetapi jika ditinggalkan, tidak ada konsekuensi apa pun. 

Jika jenggot seseorang tumbuh tetapi belum lebat hingga menutupi bagian wajah, maka ia wajib membasuh wajah sebagaimana sebelum jenggot tumbuh. Jika jenggot sudah lebat hingga menutupi bagian wajah, maka kehati-hatian adalah membasuh seluruhnya, meskipun aku tidak mengetahui kewajiban membasuh seluruhnya. Aku mengatakan bahwa aku tidak mengetahui kewajiban membasuh seluruhnya berdasarkan pendapat mayoritas ulama yang aku temui dan yang diriwayatkan kepadaku, serta karena hakikat wajah adalah bagian yang tidak ditumbuhi rambut kecuali alis, bulu mata, kumis, dan rambut halus di dagu. 

Tidakkah engkau melihat bahwa wajah berbeda dengan bagian depan kepala? Padahal bagian depan kepala secara makna termasuk wajah karena itulah yang berhadapan. Yang aku sebutkan seperti alis, kumis, rambut dagu, dan rambut-rambut di wajah, semuanya memiliki batas atas dan bawah yang merupakan bagian wajah yang terbuka. Tidak boleh ada bagian wajah yang terbuka tidak dibasuh, atau wajah dianggap terpisah sehingga bagian bawah, atas, dan sampingnya adalah wajah, sedangkan bagian tengahnya bukan. 

Jenggot terdiri dari dua bagian: 

  1. Rambut di pelipis yang menyambung dengan pipi, di belakangnya ada bagian wajah. Rambut tipis di sini hukumnya seperti alis, wajib dibasuh karena terbatas oleh wajah seperti penjelasanku, dan rambutnya tidak terlalu lebat sehingga air bisa mencapainya seperti alis, kumis, dan rambut dagu.
  2. Rambut di dagu dan sekitarnya, yaitu jenggot yang lebat. Untuk bagian ini, cukup membasuh permukaan rambutnya bersama basuhan wajah, tetapi tidak boleh meninggalkannya tanpa air. Aku berpendapat bahwa bagian bawah tempat tumbuhnya jenggot yang lebat tidak wajib dibasuh. Jika tidak wajib dibasuh, maka tidak wajib juga menyela-nyelanya. Cukup mengalirkan air di atas rambut jenggot seperti mengalirkannya di wajah.

Bagian yang diusap dari rambut kepala yang tampak tidak sah kecuali dengan cara itu. Jika ada bagian di antara tempat tumbuhnya jenggot yang terpisah dan terlihat dari wajah, maka wajib dibasuh. Begitu pula jika sebagian jenggot tipis seperti rambut dagu atau kumis, wajib dibasuh. Jika seluruh jenggot masih tipis dan melekat seperti saat baru tumbuh, wajib dibasuh. Kewajiban membasuh seluruh jenggot hanya gugur jika sudah lebat sehingga ketika air dialirkan, rambutnya menghalangi kulit. Dalam kondisi seperti itu, tidak wajib membasuh bagian jenggot yang lebat, tetapi wajib mengalirkan air di atasnya sejauh yang bisa dijangkau, seperti yang dilakukan pada wajah. Aku lebih suka jika air dialirkan ke seluruh jenggot yang menjuntai dari wajah, tetapi jika tidak dilakukan dan hanya dialirkan ke bagian yang menempel di wajah, ada dua pendapat: 

  1. Tidak sah, karena jenggot yang menjuntai termasuk wajah.
  2. Sah jika air dialirkan ke bagian yang menempel di wajah.

[Bab Membasuh Kedua Tangan] 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan basuhlah tangan-tangan kalian hingga siku.” (QS. Al-Maidah: 6). Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa siku termasuk yang wajib dibasuh. Seolah-olah mereka berpendapat bahwa maknanya adalah, “Basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga kalian membasuh siku.” Tidak sah membasuh tangan kecuali hingga siku.

Tidak sah kecuali jika membasuh dari ujung jari hingga siku, dan tidak cukup kecuali membasuh bagian luar dan dalam tangan serta sela-selanya hingga selesai. Jika ada bagian yang terlewat, meski sedikit, tidak sah. Mulailah dengan tangan kanan sebelum kiri. Jika memulai dengan kiri sebelum kanan, hal itu makruh, tetapi tidak wajib mengulanginya. 

Jika orang yang berwudhu tidak memiliki tangan, ia membasuh sisa tangannya hingga siku. Jika tangannya terpotong di atas siku, ia membasuh sisa sikunya. Jika tangannya terpotong tepat di siku dan tidak ada sisa siku, kewajiban membasuh tangan gugur. Namun, lebih baik membasuh ujung sisa tangannya atau bahunya, meski tidak melakukannya tidak masalah. 

[Bab Mengusap Kepala] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan usaplah kepala kalian.” (QS. Al-Maidah: 6). Ayat ini dipahami bahwa mengusap sebagian kepala sudah mencukupi, karena ayat tidak menuntut lebih dari itu. Namun, mengusap seluruh kepala juga termasuk maknanya. Sunnah menunjukkan bahwa tidak wajib mengusap seluruh kepala, sehingga makna ayat adalah mengusap sebagian kepala sudah cukup. 

(Imam Syafi’i berkata): Seseorang boleh mengusap bagian mana pun dari kepalanya, baik tanpa rambut atau dengan rambut, menggunakan satu jari, sebagian jari, telapak tangan, atau menyuruh orang lain untuk mengusapnya. Begitu pula jika mengusap ubun-ubun atau sebagiannya, itu sudah cukup karena termasuk kepala. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Yahya bin Hassan, dari Hammad bin Zaid dan Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dari ‘Amr bin Wahb ats-Tsaqafi, dari Al-Mughirah bin Syu’bah: “Rasulullah ﷺ berwudhu lalu mengusap ubun-ubunnya, surbannya, dan kedua khufnya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Muslim, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’: “Rasulullah ﷺ berwudhu, lalu menyingkap surbannya dan mengusap depan kepalanya (ubun-ubun) dengan air.” 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari Ali bin Yahya, dari Ibnu Sirin, dari Al-Mughirah bin Syu’bah: “Rasulullah ﷺ mengusap ubun-ubunnya (depan kepala) dengan air.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika Allah mengizinkan mengusap kepala, dan Rasulullah ﷺ memakai surban lalu menyingkapnya, hal itu menunjukkan bahwa yang diusap adalah kepala, bukan surban. Lebih baik mengusap surban bersama kepala, tetapi jika tidak dilakukan, tidak masalah. Jika hanya mengusap surban tanpa kepala, tidak sah. Demikian pula jika mengusap penutup wajah atau sarung tangan tanpa membasuh wajah dan lengan, tidak sah. 

Jika seseorang memiliki rambut panjang lalu mengusap rambut yang terjuntai dari akar aslinya, tidak sah. Yang sah adalah mengusap kepala langsung atau rambut yang masih menempel di kepala, bukan yang terjuntai. Jika rambut diikat di tengah kepala lalu diusap, tetapi yang diusap adalah rambut yang terjuntai dari akarnya, tidak sah. Begitu pula jika mengusap rambut yang sudah lepas dari akarnya, tidak sah karena dianggap seperti surban. 

Yang utama adalah mengambil air dengan kedua tangan, lalu mengusap kepala secara bersamaan, dari depan ke belakang, dimulai dari depan kepala hingga tengkuk, lalu mengembalikan tangan ke tempat semula. Demikianlah cara Nabi ﷺ mengusap kepala. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Malik, dari ‘Amr bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya: “Aku bertanya kepada Abdullah bin Zid al-Anshari, ‘Bisakah engkau memperlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah ﷺ berwudhu?’ Abdullah bin Zid menjawab, ‘Ya.’ Lalu ia meminta air wudhu, menuangkannya ke tangan, membasuh kedua tangan dua kali-dua kali, berkumur dan menghirup air tiga kali-tiga kali, membasuh muka tiga kali, membasuh tangan hingga siku dua kali-dua kali, lalu mengusap kepalanya…”

Dengan kedua tangannya, dia membasuh kepala lalu menggerakkannya ke depan dan ke belakang, dimulai dari bagian depan kepala kemudian ke belakang, lalu mengembalikannya ke tempat semula, kemudian membasuh kedua kakinya.” (Imam Syafi’i berkata): “Aku lebih suka jika mengusap kepala tiga kali, meskipun sekali sudah cukup. Aku juga lebih suka mengusap bagian luar dan dalam telinga dengan air yang bukan dari air kepala, serta memasukkan jari-jarinya ke dalam celah telinga yang menuju liang telinga. Jika dia tidak mengusap telinga, tidak perlu mengulanginya karena telinga bukan bagian yang wajib dibasuh atau diusap. Jika telinga termasuk bagian kepala, cukup diusap bersama kepala. 

[Bab Membasuh Kedua Kaki] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Dan basuhlah kaki kalian hingga kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6). (Imam Syafi’i berkata): “Kami membacanya dengan makna: ‘Basuhlah wajah, tangan, dan kaki kalian, serta usaplah kepala kalian.’” (Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak mendengar ada yang menyanggah bahwa kedua mata kaki yang disebutkan dalam wudhu adalah tulang yang menonjol di pergelangan kaki, tempat bertemunya tulang betis dan kaki, dan wajib dibasuh hingga mencapai perintah ‘basuhlah kaki kalian hingga kedua mata kaki.’ Tidak sah wudhu seseorang kecuali dengan membasuh seluruh permukaan kaki, termasuk tumit, mata kaki, dan seluruh bagian yang menonjol. Caranya dengan menegakkan kaki lalu menuangkan air dengan tangan kanan atau meminta orang lain menuangkannya, lalu menyela-nyela jari kaki hingga air merata di sela-selanya. Tidak sah jika tidak menyela jari kaki kecuali jika yakin air telah merata.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Yahya bin Sulaim mengabarkan kepadaku dari Abu Hasyim Ismail bin Katsir dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya, ia berkata: ‘Aku pernah menjadi utusan Bani Muntafiq atau bagian dari utusan mereka kepada Rasulullah ﷺ. Kami mendatanginya tetapi tidak bertemu, lalu bertemu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dia menghidangkan kurma dalam nampan, kami pun memakannya. Kemudian dia memerintahkan untuk membuat bubur, lalu kami memakannya. Tak lama kemudian, Rasulullah ﷺ datang dan bertanya, ‘Apakah kalian sudah makan sesuatu? Apakah sudah dihidangkan untuk kalian?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Tak lama kemudian, penggembala datang dengan kambingnya, dan ada seekor anak kambing yang kurus. Beliau bersabda, ‘Wahai fulan, apa yang dilahirkannya?’ Penggembala menjawab, ‘Anak kambing.’ Beliau berkata, ‘Sembelihlah kambing sebagai gantinya.’ Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, ‘Jangan kira kami menyembelihnya karena kalian. Kami memiliki seratus kambing dan tidak ingin bertambah. Jika penggembala melahirkan anak kambing, kami menyembelih kambing sebagai gantinya.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki istri yang kasar lidahnya.’ Beliau bersabda, ‘Ceraikanlah jika begitu.’ Aku berkata, ‘Aku memiliki anak darinya dan dia telah lama bersamaku.’ Beliau bersabda, ‘Nasihatilah dia. Jika ada kebaikan padanya, dia akan mengerti. Jangan memukul istrimu seperti memukul budak.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajari aku tentang wudhu.’ Beliau bersabda, ‘Sempurnakanlah wudhu, sela-selalah jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ke hidung) kecuali jika sedang berpuasa.’” 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika ada sesuatu yang menempel di jari-jarinya, air harus masuk hingga ke kulit yang terlihat. Tidak sah kecuali demikian. Namun, tidak wajib membuka sesuatu yang secara alami tertutup.”

[BAB KEDUDUKAN ORANG YANG MEMBERI WUDHU] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang berdiri untuk membantu orang lain berwudhu, hendaknya ia berdiri di sebelah kiri orang yang berwudhu karena lebih memudahkan dalam mengambil air dan lebih baik dalam adab. Namun, jika ia berdiri di sebelah kanan atau di posisi mana pun selama menuangkan air untuknya lalu orang itu berwudhu, maka wudhunya sah. Sebab kewajiban hanya terletak pada pelaksanaan wudhu, bukan pada posisi orang yang membantu. 

[BAB KADAR AIR UNTUK BERWUDHU] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik.

Dia berkata, “Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan tiba waktu shalat Ashar. Orang-orang mencari air wudhu tetapi tidak menemukannya. Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – diberikan air wudhu dan beliau meletakkan tangannya di dalam bejana itu, lalu memerintahkan orang-orang untuk berwudhu darinya. Aku melihat air memancar dari antara jari-jemarinya, sehingga orang-orang berwudhu hingga yang terakhir dari mereka selesai.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam makna yang serupa, Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah mandi bersama sebagian istrinya dari satu bejana. Jika orang-orang berwudhu bersama-sama, ini menjadi dalil bahwa tidak ada batasan tertentu dalam air yang digunakan untuk bersuci, kecuali melaksanakan apa yang diperintahkan Allah berupa membasuh dan mengusap. Demikian pula jika dua orang mandi bersama. Jika seseorang telah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah berupa membasuh dan mengusap, maka ia telah menunaikan kewajibannya, baik airnya sedikit atau banyak. Terkadang air sedikit bisa mencukupi jika digunakan dengan hemat, sedangkan air banyak bisa tidak cukup jika digunakan boros. 

Minimal air yang cukup untuk membasuh anggota wudhu adalah mengambil air lalu mengalirkannya ke wajah, kedua tangan, dan kedua kaki. Jika air mengalir sendiri hingga membasuh seluruh anggota tersebut, itu sudah mencukupi. Namun, jika ia menggosok dengan tangannya, itu lebih bersih dan lebih disukai. Jika ada sesuatu di anggota tubuhnya seperti cat atau pewarna yang menempel, lalu air dialirkan tetapi tidak menghilangkannya, ia tidak perlu mengulangi basuhan asalkan telah mengalirkan air sesuai kewajiban minimal. Namun, lebih disukai jika ia membasuhnya hingga benar-benar bersih. 

Jika ada sesuatu seperti permen karet atau benda tebal yang menghalangi air sampai ke kulit, wudhunya tidak sah hingga ia menghilangkannya atau memastikan air telah menyentuh seluruh kulit tanpa penghalang. Adapun kepala, ia cukup mengambil air dengan tangannya lalu mengusap kepala atau rambutnya. Jika ada penghalang di rambut atau kulit kepala yang diusap, wudhunya tidak sah hingga penghalang itu dihilangkan. 

Jika seseorang menyelam dalam air mengalir atau air tenang yang tidak najis dengan niat bersuci, dan air tersebut membasuh seluruh anggota wudhu, maka itu sudah mencukupi. Demikian pula jika ia duduk di bawah pancuran air atau hujan dengan niat bersuci, lalu air membasuh seluruh anggota wudhu tanpa tersisa, maka itu sudah sah. 

Wudhu tidak sah tanpa niat. Cukup baginya berniat untuk bersuci dari hadats, atau untuk shalat fardhu, shalat sunnah, membaca mushaf, shalat jenazah, atau amalan lain yang hanya dilakukan oleh orang yang suci. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang membasuh sebagian anggota wudhu tanpa niat, lalu berniat pada anggota yang tersisa, wudhunya tidak sah kecuali ia kembali membasuh anggota yang sebelumnya tanpa niat dengan niat yang sah. Abu Muhammad berkata, “Ia harus membasuh kembali anggota setelahnya,” dan ini juga pendapat Asy-Syafi’i di tempat lain. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika niat dilakukan saat memulai wudhu, wudhunya sah. Namun, jika niat dilakukan sebelumnya lalu hilang sebelum wudhu, wudhunya tidak sah. Jika ia berwudhu dengan niat bersuci lalu niatnya hilang di tengah proses, niat awalnya sudah cukup selama ia tidak berniat untuk mendinginkan badan atau membersihkan diri tanpa tujuan bersuci. Jika ia membasuh wajah dengan niat bersuci, lalu membasuh tangan dan anggota lainnya dengan niat membersihkan atau mendinginkan badan tanpa niat bersuci, wudhunya tidak sah hingga ia kembali membasuh anggota yang tidak diniatkan untuk bersuci. 

Ia harus mengambil air baru untuk setiap anggota wudhu. Jika ia mengusap kepala dengan sisa air dari tangannya atau dengan air dari jenggotnya, itu tidak sah kecuali dengan air baru. 

(Ar-Rabi’ berkata): Jika seseorang membasuh wajah tanpa niat bersuci untuk shalat, lalu membasuh tangan, mengusap kepala, dan membasuh kaki dengan niat bersuci, ia harus mengulangi membasuh wajah dengan niat bersuci serta membasuh anggota lain yang sebelumnya tidak diniatkan untuk bersuci.

Hingga wudhu datang sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Allah ‘azza wa jalla, yaitu sesuatu sebelum sesuatu lainnya. Meskipun seseorang membasuh wajahnya dengan niat bersuci, lalu membasuh kedua tangannya, mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kakinya tanpa niat bersuci, ia hanya perlu membasuh kembali kedua kakinya yang tidak diniatkan untuk bersuci. 

Jika seseorang berwudhu dengan air yang telah dicelupkan kain ke dalamnya, padahal kain tersebut tidak najis dan airnya tetap dalam keadaan aslinya tanpa tercampur sesuatu yang mengubahnya, maka wudhunya sah. 

Jika seseorang berwudhu dengan sisa air orang lain, wudhunya sah. Namun, jika ia berwudhu dengan air yang telah digunakan oleh orang lain untuk berwudhu, padahal tidak ada najis pada anggota tubuh orang tersebut, wudhunya tidak sah karena air tersebut telah digunakan untuk wudhu. Demikian pula jika ia berwudhu dengan air yang digunakan untuk mandi oleh seseorang, sementara airnya kurang dari dua qullah, wudhunya tidak sah. Tetapi jika airnya sebanyak lima qirbah atau lebih, lalu seseorang yang tidak najis masuk ke dalamnya dan berwudhu dengannya, wudhunya sah karena hal itu tidak merusak air. 

Alasan mengapa seseorang tidak boleh berwudhu dengan air yang telah digunakan orang lain adalah karena Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Maka basuhlah wajah-wajahmu dan tangan-tanganmu…” (QS. Al-Maidah: 6). Maka dipahami bahwa wajah tidak dianggap telah dibasuh kecuali dengan air yang baru dituangkan untuk membasuhnya. Demikian pula dengan tangan—menurut pendapatku—harus diawali dengan air baru untuk membasuhnya. Jika ia mengulang menggunakan air yang telah dipakai membasuh wajah, seakan-akan ia tidak menyamakan antara tangan dan wajahnya. Keduanya tidak dianggap sama kecuali jika diawali dengan air baru, sebagaimana diawali untuk wajah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengambil air baru untuk setiap anggota wudhunya. 

Jika air yang digunakan untuk wudhu (tanpa najis pada tubuh) mengenai pakaian orang yang berwudhu atau lainnya, atau tumpah ke tanah, pakaian tidak perlu dicuci, dan shalat di atas tanah tersebut tetap sah karena air itu tidak najis. Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak najis?” Jawabannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, dan pasti ada percikan air wudhu yang mengenai pakaiannya, namun tidak ada riwayat bahwa beliau mencuci pakaiannya atau menggantinya karena hal itu, dan tidak ada seorang muslim pun yang melakukannya. Maka dipahami bahwa jika air tidak menyentuh najis, ia tidak menjadi najis. Jika ditanya, “Mengapa tidak boleh berwudhu dengannya jika tidak najis?” Jawabannya adalah seperti yang telah kami jelaskan—bahwa manusia diperintahkan untuk bersuci secara lahir dan batin meskipun tidak ada najis yang menyentuh tubuh mereka, tetapi tidak ada kewajiban untuk mensucikan pakaian atau tanah, selama tidak terkena najis. 

[Bab Mendahulukan dan Menyempurnakan Wudhu] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Maka basuhlah wajah-wajahmu dan tangan-tanganmu sampai siku, usaplah kepala-kepalamu, dan basuhlah kaki-kakimu sampai mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana diperintahkan Allah, memulai dengan apa yang Allah dahulukan. Maka, yang paling tepat—wallahu a’lam—adalah bahwa dalam wudhu ada dua hal yang harus diperhatikan: 

  1. Memulai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya dahulukan.
  2. Menyempurnakan apa yang diperintahkan.

Barangsiapa memulai dengan tangan sebelum wajah, kepala sebelum tangan, atau kaki sebelum kepala, maka menurutku ia harus mengulangi wudhunya agar setiap anggota dibasuh sesuai urutan setelah yang sebelumnya dan sebelum yang setelahnya. Tidak sah baginya selain itu. Jika ia shalat, ia harus mengulangi shalat setelah mengulangi wudhu. Mengusap kepala dan lainnya dalam hal ini sama. 

Jika ia lupa mengusap kepala hingga membasuh kaki, ia harus kembali mengusap kepala lalu membasuh kaki setelahnya. Alasan aku menyatakan harus mengulang adalah seperti pendapatku dan pendapat ulama lain mengenai firman Allah: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan Shafa dan bersabda, “Kita memulai dengan apa yang Allah dahulukan.” Tidak ada perselisihan bahwa jika seseorang memulai dengan Marwah, thawafnya tidak sah hingga ia memulai dari Shafa. Sebagaimana dalam melempar jumrah, jika memulai dari yang terakhir sebelum yang pertama, ia harus mengulanginya hingga sesuai urutan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dengan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebelum tawaf di Ka’bah, maka ia mengulanginya. Maka, wudhu dalam konteks ini lebih ditekankan pada sebagian anggota wudhu menurut pendapatku, dan Allah lebih mengetahui.

(Dia berkata): Dan Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tangan dan kaki secara bersamaan, maka aku lebih suka memulai dengan yang kanan sebelum yang kiri. Jika memulai dengan yang kiri sebelum yang kanan, maka ia telah berbuat buruk tetapi tidak wajib mengulanginya. Aku lebih suka menyambung wudhu dan tidak memisah-misahkannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya secara berurutan. Juga karena kaum muslimin melakukan tawaf, melempar jumrah, dan amalan sejenisnya secara berurutan. Tidak ada batasan untuk berurutan kecuali apa yang diketahui orang-orang, yaitu seseorang memulai kemudian tidak memutusnya sampai menyelesaikannya kecuali karena uzur. Uzur adalah ketika ia terpaksa meninggalkan tempat wudhunya karena banjir, roboh, kebakaran, atau lainnya, lalu pindah ke tempat lain dan melanjutkan wudhunya. Atau jika airnya sedikit, ia mengambil air lalu melanjutkan wudhunya dalam kedua kondisi tersebut meskipun wudhunya telah kering—seperti ketika ia mengalami mimisan atau lainnya saat shalat—maka ia keluar lalu menyambungnya. Sebagaimana tawaf terputus karena shalat, mimisan, atau batal wudhu, maka ia pergi lalu menyambungnya. (Ar-Rabi’ berkata): Kemudian Asy-Syafi’i menarik kembali pendapatnya dan mengatakan bahwa ia harus memulai shalat jika keluar karena mimisan.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia pergi karena mimisan atau lainnya sebelum menyelesaikan shalatnya, maka ia memulai shalat dari awal. (Ar-Rabi’ berkata): Asy-Syafi’i menarik kembali pendapatnya dalam masalah ini dan mengatakan bahwa jika ia sengaja mengalihkan diri dari menyelesaikan shalat, maka ia mengulangi shalat jika keluar karena mimisan atau lainnya.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia pindah dari tempat ia telah berwudhu sebagian anggota tubuhnya ke tempat lain karena kebersihan, kelapangan, atau alasan serupa, maka ia melanjutkan sisa wudhunya. Demikian pula jika ia pindah karena pilihannya sendiri, bukan karena darurat di tempat sebelumnya. Jika ia memutus wudhu di tengah-tengah karena keperluan atau melakukan hal lain selain wudhu hingga tertunda lama—baik wudhunya kering atau tidak—maka aku lebih suka ia memulai wudhu baru. Namun, tidak jelas bagiku bahwa ia wajib memulai wudhu baru selama tidak hadats di tengah-tengah wudhunya yang membatalkan wudhu sebelumnya. Karena aku tidak menemukan dalam melanjutkan wudhu seperti yang aku temukan dalam mendahulukan sebagian anggota wudhu atas sebagian lainnya. Prinsip mazhab kami adalah bahwa mandi boleh dilakukan sesuai keinginan meskipun terputus, karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Hingga kalian mandi” (QS. An-Nisa’: 43). Ini adalah mandi meskipun terputus. Menurutku, tidak diperbolehkan memutus wudhu kecuali seperti ini. (Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia berwudhu di pasar, membasuh wajah dan tangannya, mengusap kepala, lalu dipanggil untuk jenazah. Ia masuk masjid untuk menshalatinya, lalu mengusap khufnya kemudian menshalati jenazah.

(Dia berkata): Ini bukan melanjutkan wudhu, dan mungkin wudhunya telah kering. Bisa saja wudhu kering dalam waktu lebih singkat dari antara pasar dan masjid. Aku melihatnya ketika meninggalkan tempat wudhu dan pergi ke masjid untuk melakukan aktivitas selain wudhu, sehingga memutus wudhunya. (Dia berkata): Dalam mazhab banyak ulama, jika seseorang melempar jumrah pertama, kemudian terakhir, lalu tengah, maka ia mengulangi jumrah tengah dan terakhir agar sesuai urutannya, tanpa mengulangi yang pertama. Ini menjadi dalil dalam pendapat mereka bahwa memutus wudhu tidak menghalanginya untuk sah, sebagaimana orang yang melempar jumrah pertama lalu terakhir, tidak menghalangi keabsahan lemparan tengah.

[Bab Mengucapkan Nama Allah saat Wudhu] 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku menyukai seseorang untuk menyebut nama Allah ‘azza wa jalla di awal wudhunya. Jika ia lupa, maka ia boleh menyebutnya kapan saja ia ingat, meskipun sebelum menyempurnakan wudhunya. Jika ia meninggalkan tasmiyah (menyebut nama Allah) karena lupa atau sengaja, wudhunya tidak batal, insya Allah ta’ala.” 

[Bab Jumlah Basuhan dalam Wudhu dan Batasannya] 

(Imam Syafi’i berkata): “Abdul Aziz bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha bin Yasar dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Rasulullah ﷺ berwudhu, lalu memasukkan tangannya ke dalam bejana, kemudian beristinsyaq dan berkumur sekali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lagi, lalu menuangkan air ke wajahnya sekali, dan ke kedua tangannya sekali, lalu mengusap kepala dan kedua telinganya sekali.'” 

(Imam Syafi’i berkata): “Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Humran, budak Utsman bin Affan, dari Utsman bin Affan bahwa ia berwudhu di tempat duduk tiga kali-tiga kali, lalu berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, maka dosa-dosanya akan keluar dari wajah, tangan, dan kakinya.”‘” 

(Imam Syafi’i berkata): “Ini bukan pertentangan, tetapi Rasulullah ﷺ terkadang berwudhu tiga kali dan terkadang sekali. Yang sempurna dan utama adalah tiga kali, namun sekali juga cukup. Aku menyukai seseorang untuk membasuh wajah, tangan, dan kakinya tiga kali-tiga kali, serta mengusap kepalanya tiga kali dan meratakan usapan ke seluruh kepalanya. Jika ia membatasi basuhan wajah, tangan, dan kaki hanya sekali, itu sudah cukup. Jika ia membatasi usap kepala hanya sekali dengan tangannya, itu juga cukup, dan itu adalah minimal yang wajib. Jika ia membasuh sebagian anggota wudhu sekali, sebagian dua kali, dan sebagian tiga kali, itu tetap sah, karena jika sekali sudah cukup untuk semuanya, maka sekali juga cukup untuk sebagiannya.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Malik mengabarkan kepada kami dari Amr bin Yahya Al-Mazini dari ayahnya dari Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ berwudhu dengan membasuh wajahnya tiga kali, kedua tangannya dua kali-dua kali, lalu mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, menggerakkannya ke depan dan belakang, dimulai dari depan kepalanya, lalu ke tengkuk, kemudian mengembalikannya ke tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak menyukai orang yang berwudhu lebih dari tiga kali, tetapi jika ia melakukannya, aku tidak membencinya, insya Allah ta’ala. Jika seseorang membasuh wajah dan tangannya lalu berhadats, ia harus mengulangi wudhunya.” 

[Bab Mengusap Khuf] 

(Imam Syafi’i berkata): “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: ‘Basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan usaplah kepalamu serta kakimu sampai kedua mata kaki.’ (QS. Al-Maidah: 6)”

(Imam Syafi’i berkata): Perintah Allah ‘Azza wa Jalla untuk membasuh kedua kaki dapat dimaknai berlaku bagi setiap orang yang berwudhu, atau mungkin hanya bagi sebagian orang yang berwudhu, bukan semua. Namun, tindakan Rasulullah ﷴ mengusap kedua khuf menunjukkan bahwa hal itu berlaku bagi orang yang tidak memakai khuf jika ia memakainya dalam keadaan sempurna bersuci. Sebagaimana shalat Rasulullah ﷴ dua shalat dengan satu wudhu atau beberapa shalat dengan satu wudhu menunjukkan bahwa kewajiban wudhu bagi orang yang hendak shalat berlaku bagi sebagian orang, bukan semua. Jadi, mengusap bukanlah penyimpangan dari Kitabullah ‘Azza wa Jalla, begitu pula membasuh kedua kaki. Demikian pula, tidak ada satu pun sunnah beliau ﷴ yang bertentangan dengan Kitabullah ‘Azza wa Jalla. 

(Imam Syafi’i berkata): Abdullah bin Nafi’ menceritakan kepada kami dari Dawud bin Qais dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Usamah bin Zaid, ia berkata: “Rasulullah ﷴ dan Bilal masuk (ke suatu tempat), lalu beliau pergi untuk buang hajat, kemudian berwudhu dengan membasuh wajahnya, lalu mereka berdua keluar.” Usamah berkata: “Aku bertanya kepada Bilal, ‘Apa yang dilakukan Rasulullah ﷴ?’ Bilal menjawab, ‘Beliau pergi buang hajat, lalu berwudhu dengan membasuh wajah dan tangannya, mengusap kepala, dan mengusap kedua khuf-nya.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Muslim dan Abdul Majid menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari ‘Abbad bin Ziyad bahwa Urwah bin Al-Mughirah bin Syu’bah mengabarkan kepadanya: “Al-Mughirah bin Syu’bah mengabarkan kepadanya bahwa ia pernah berperang bersama Rasulullah ﷴ dalam Perang Tabuk. Al-Mughirah berkata, ‘Rasulullah ﷴ pergi buang air besar, lalu aku membawakan untuk beliau bejana air sebelum Subuh. Ketika Rasulullah ﷴ kembali, aku menuangkan air dari bejana ke tangan beliau, lalu beliau membasuh kedua tangannya tiga kali, kemudian membasuh wajahnya. Lalu beliau berusaha menyingkap lengan bajunya, tetapi bajunya terlalu sempit, sehingga beliau memasukkan tangannya ke dalam baju dan mengeluarkan lengan dari bawah baju, lalu membasuh kedua lengannya hingga siku. Kemudian beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya, lalu berangkat.’ Al-Mughirah berkata, ‘Aku berangkat bersama beliau hingga kami mendapati orang-orang telah menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf sebagai imam. Nabi ﷴ mengikuti satu rakaat bersamanya, lalu shalat satu rakaat terakhir bersama jamaah. Setelah salam, Rasulullah ﷴ bangkit dan menyempurnakan shalatnya. Hal itu membuat kaum Muslimin kaget, dan mereka banyak bertasbih. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghadap mereka dan berkata, “Kalian telah berbuat baik,” atau “Kalian benar,” memuji mereka karena telah menunaikan shalat tepat pada waktunya.'” 

Ibnu Syihab berkata: Ismail bin Muhammad bin Abu Waqqash menceritakan kepadaku dari Hamzah bin Al-Mughirah bin Syu’bah dengan riwayat serupa dengan hadits ‘Abbad: “Al-Mughirah berkata, ‘Aku ingin menunda (shalat) Abdurrahman, tetapi Nabi ﷴ berkata kepadaku, “Biarkan dia.”‘” 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hadits Bilal terdapat petunjuk bahwa Rasulullah ﷴ mengusap kedua khuf-nya dalam keadaan mukim, karena sumur Jamal berada di daerah mukim. Dengan demikian, musafir dan mukim sama-sama boleh mengusap khuf. 

### Bab Siapa yang Boleh Mengusap Khuf 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari Husain, Zakariya, dan Yunus, dari Asy-Sya’bi, dari Urwah bin Al-Mughirah bin Syu’bah, dari ayahnya, ia berkata: “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku mengusap kedua khuf?’ Beliau menjawab, “Ya, aku memakainya dalam keadaan suci.”‘” 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang tidak memakai khuf kecuali dalam keadaan suci (setelah wudhu sempurna), maka ia termasuk orang yang sempurna bersuci dan boleh mengusap khuf. Caranya, seseorang berwudhu dengan sempurna, lalu setelah menyelesaikan wudhu, ia memakai kedua khuf. Jika setelah itu ia berhadats, ia boleh mengusap khuf. Namun, jika ia memakai khuf sebelum wudhu sempurna (misalnya membasuh wajah dan tangan, mengusap kepala, lalu membasuh satu kaki dan langsung memakai khuf, kemudian membasuh kaki satunya dan memakai khuf), maka jika ia berhadats, ia tidak boleh mengusap khuf. Sebab, ia memakai khuf sebelum wudhunya sempurna.

Kebersihan dan diperbolehkan baginya untuk shalat. Begitu pula jika dia mencuci kedua kakinya kemudian berwudhu setelahnya, dia tidak boleh shalat sampai melepas kedua khufnya dan berwudhu untuk menyempurnakan wudhunya, lalu memakai kedua khufnya kembali. Demikian pula jika dia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian memakai salah satu khuf pada kakinya, lalu memasukkan kaki lainnya ke dalam khuf tetapi tidak menempatkannya dengan benar di bagian kaki hingga dia berhadats, maka dia tidak boleh mengusap khuf tersebut karena ini tidak dianggap memakai khuf dengan benar sampai kakinya benar-benar menempati bagian kaki khuf. Dia harus melepasnya dan memulai wudhu kembali. 

Jika khuf menutupi seluruh bagian yang harus dibasuh dalam wudhu, yaitu menutupi kedua mata kaki sehingga tidak terlihat, maka orang yang diperbolehkan mengusap khuf boleh mengusap keduanya karena keduanya dianggap sebagai khuf. Namun, jika mata kaki atau bagian yang sejajar dengannya di depan atau belakang betis terlihat karena khuf terlalu pendek atau robek, atau jika ada bagian yang terlihat, maka orang yang memakainya tidak boleh mengusap khuf tersebut. Demikian pula jika ada robekan pada khuf yang memperlihatkan bagian yang seharusnya dibasuh dalam wudhu, baik di telapak kaki, punggung kaki, sisi-sisinya, atau bagian yang naik dari kaki hingga mata kaki, maka tidak ada seorang pun yang boleh mengusap kedua khuf tersebut karena mengusap khuf adalah keringanan bagi orang yang kedua kakinya tertutup oleh khuf. Jika salah satunya terbuka, maka keduanya tidak dianggap tertutup, dan tidak boleh ada bagian yang wajib dibasuh dari kedua kaki yang terbuka dan tidak dibasuh. Jika wajib membasuh sebagian kaki, maka wajib membasuh seluruhnya. 

Jika ada robekan pada khuf tetapi dipakai bersama kaos kaki yang menutupi kaki, kami berpendapat tidak boleh mengusapnya karena khuf bukanlah kaos kaki, dan jika dia tidak memakai kaos kaki di bawah khuf, sebagian kakinya akan terlihat. 

Dikatakan: Jika lapisan luar khuf terbuka tetapi lapisan dalamnya masih utuh sehingga kaki tidak terlihat, maka boleh mengusapnya karena ini tetap dianggap sebagai khuf. Kaos kaki bukanlah khuf, dan segala sesuatu yang melekat pada khuf dianggap bagian darinya. 

Jika seseorang memakai khuf yang robek, lalu memakai khuf lain yang utuh di atasnya, maka dia boleh mengusap khuf yang utuh tersebut. Jika khuf yang menutupi kakinya utuh, maka dia mengusap khuf itu, bukan khuf yang di atasnya. 

Imam Syafi’i berkata: Jika khuf memiliki sobekan seperti robekan dari jahitan atau lainnya, maka khuf yang boleh diusap adalah khuf yang dikenal, baik sederhana maupun berlapis. 

Imam Syafi’i juga berkata: Jika seseorang memakai khuf yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama, seperti khuf yang seluruhnya terbuat dari kulit sapi, unta, atau kayu—ini lebih tebal daripada khuf dari kulit domba—maka boleh mengusapnya. 

Namun, jika kedua khuf terbuat dari wol, kain, atau anyaman tipis, maka tidak dianggap sebagai khuf sampai dilapisi kulit, kayu, atau bahan yang tahan saat digunakan untuk berjalan, dan bagian yang menutupi tempat wudhu harus tebal dan tidak tembus pandang. Jika seperti ini, maka boleh diusap; jika tidak, maka tidak boleh. Jika tebal tetapi tidak dilapisi, maka itu dianggap sebagai kaos kaki. Jika dilapisi tetapi tembus pandang, maka itu bukan khuf karena khuf harus tidak tembus pandang. 

Imam Syafi’i berkata: Jika khuf dilapisi dan bagian yang menutupi tempat wudhu tebal dan tidak tembus pandang, sementara bagian di atasnya tembus pandang, hal itu tidak masalah karena jika bagian itu tidak ada pun tidak masalah. Namun, jika ada bagian di tempat wudhu yang tembus pandang, maka tidak boleh diusap. 

Jika seseorang memakai dua lapis kaos kaki yang menggantikan khuf, dia boleh mengusapnya, lalu memakai khuf atau sepatu di atasnya. Atau jika dia memakai khuf lalu memakai sepatu lain di atasnya, maka cukup mengusap khuf yang langsung menutupi kakinya, tidak perlu mengusap khuf atau sepatu di atasnya. 

Jika seseorang berwudhu dengan sempurna, lalu memakai khuf atau pengganti khuf, kemudian memakai sepatu di atasnya, lalu berhadats dan ingin mengusap sepatu tersebut, maka hal itu tidak diperbolehkan. Dia harus melepas sepatu itu, mengusap khuf yang menutupi kakinya, lalu boleh memakai sepatu kembali jika dia mau. Jika dia mengusap sepatu sementara di bawahnya ada khuf, maka tidak sah wudhunya dan shalatnya. 

Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang memakai…

Terjemahan ke Bahasa Indonesia:

Dua kaus kaki tidak dapat menggantikan khuf (sepatu kulit), lalu jika memakai khuf di atasnya, boleh mengusap khuf karena tidak ada sesuatu di bawah kedua kaki yang dapat menggantikan khuf. Begitu pula jika membalut kaki dengan kain atau perban yang menutupi, lalu memakai khuf di atasnya, boleh mengusap khuf. Hampir tidak mungkin seseorang memakai khuf tanpa sesuatu di bawahnya sebagai pelindung, seperti kaus kaki atau semacamnya, yang melindungi kaki dari jahitan khuf dan bagian-bagiannya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika khuf atau sebagiannya najis, tidak boleh shalat memakainya, meskipun terbuat dari kulit bangkai selain anjing atau babi. Jika khuf terbuat dari kulit hewan buas yang telah disamak, boleh shalat memakainya selama tidak ada bulu yang tersisa. Jika masih ada bulu, bulu tersebut tidak suci dengan penyamakan, dan tidak boleh shalat memakainya. Jika khuf terbuat dari kulit bangkai atau hewan buas yang tidak disamak, tidak boleh shalat memakainya. Jika khuf terbuat dari kulit hewan halal yang disembah, boleh shalat memakainya meskipun tidak disamak.

(Imam Syafi’i berkata): Mengusap khuf cukup sebagai thaharah untuk wudhu. Jika wajib mandi junub, harus melepas khuf dan membasuh seluruh badan. Begitu pula, istinja dengan batu cukup untuk menghilangkan kotoran atau air kencing dalam wudhu. Jika wajib mandi junub, harus membasuh bagian tersebut karena termasuk bagian yang terlihat dari badan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika kedua kaki terluka dalam khuf atau terkena najis, wajib melepas khuf dan membasuh kaki karena mengusap khuf adalah thaharah ta’abbudi (ketaatan) dalam wudhu, bukan untuk menghilangkan najis.

[Bab Waktu Mengusap Khuf] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Abdul Wahhab bin Abdul Majid mengabarkan kepada kami, dari Abu Makhluud Al-Muhajir, dari Abdul Rahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, dari Rasulullah SAW bahwa beliau memberi keringanan bagi musafir untuk mengusap khuf selama tiga hari tiga malam, dan bagi mukim sehari semalam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwudhu lalu memakai khuf, ia boleh mengusapnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Ashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, ia berkata: Aku mendatangi Shafwan bin Assal, lalu ia bertanya: “Apa yang membawamu ke sini?” Aku jawab: “Mencari ilmu.” Ia berkata: “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia cari.” Aku berkata: “Aku ragu tentang mengusap khuf setelah buang air besar dan kecil, dan aku termasuk sahabat Rasulullah SAW, maka aku mendatangimu untuk bertanya apakah engkau mendengar sesuatu dari Rasulullah SAW tentang hal itu?” Ia menjawab: “Ya, Rasulullah SAW memerintahkan kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas khuf selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, tetapi hanya karena buang air kecil, besar, atau tidur.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memakai khuf dalam keadaan suci untuk shalat, ia boleh shalat dengannya. Jika ia berhadats, ia mengetahui waktu hadats tersebut, meskipun ia baru mengusap setelahnya. Jika ia mukim, ia boleh mengusap khuf hingga waktu hadats keesokan harinya, yaitu sehari semalam, tidak lebih. Jika ia musafir, ia boleh mengusap selama tiga hari tiga malam hingga waktu ia memulai mengusap pada hari ketiga, tidak lebih. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwudhu lalu memakai khuf, kemudian berhadats sebelum matahari tergelincir, ia boleh mengusap untuk shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh dengan satu kali usapan selama wudhunya tidak batal. Jika wudhunya batal, ia boleh mengusap lagi hingga waktu hadats keesokan harinya (sehari semalam). Jika waktu usapan pertama tiba, usapannya batal meskipun ia tidak berhadats, dan ia harus melepas khuf. Jika ia melepasnya dan berwudhu, ia dalam keadaan suci. Kapan pun ia memakai khuf lalu berhadats, ia boleh mengusap hingga waktu hadats yang sama, lalu usapannya batal pada waktu hadats tersebut meskipun ia tidak berhadats. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berhadats setelah matahari tergelincir lalu mengusap, ia boleh shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Subuh, dan Zhuhur berikutnya jika dilaksanakan sebelum waktu hadats. Jika ia mengakhirkan hingga waktu hadats tiba, ia tidak boleh shalat dengan usapan tersebut. Jika ia menyegerakan shalat tetapi salamnya masuk waktu hadats, shalatnya batal.

Dengan mengusap sepatu, dan dia harus melepas kedua sepatunya kemudian berwudhu dan shalat dengan kesucian wudhu. Setiap kali dia memakai sepatunya dalam keadaan suci kemudian berhadats, maka demikianlah seterusnya. (Imam Syafi’i berkata): Dan dia melakukan hal yang sama dalam perjalanan selama tiga hari dan malamnya. Dia mengusap pada hari ketiga hingga waktu yang sama saat dia berhadats, lalu shalat di tempat tinggal lima shalat sekali dan enam shalat sekali lagi dengan mengusap. Dalam perjalanan, lima belas shalat sekali dan enam belas shalat sekali lagi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan jika dia melakukannya secara terpisah. Begitu juga jika dia menggabungkan shalat dalam perjalanan; karena jika dia berhadats saat Ashar, dia shalat lima belas kali dan menggabungkan Ashar dengan Zhuhur pada waktu Zhuhur. Ketika masuk waktu dia mengusap, maka usapannya batal.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengusap di tempat tinggal saat matahari tergelincir, lalu shalat Zhuhur kemudian berangkat bepergian, dia shalat dengan mengusap hingga menyempurnakan satu hari satu malam, tidak lebih dari itu; karena dasar kesucian usapannya adalah di tempat tinggal, dan dia tidak boleh shalat dengannya kecuali satu hari satu malam. Begitu juga jika dia mengusap di tempat tinggal tetapi belum shalat sebelum berangkat bepergian, dia tidak boleh shalat dengan usapan yang dilakukan di tempat tinggal kecuali satu hari satu malam, sebagaimana dia shalat dengannya di tempat tinggal.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia berhadats di tempat tinggal tetapi tidak mengusap hingga berangkat bepergian, dia shalat dengan usapannya dalam perjalanan selama tiga hari dan malamnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengusap di tempat tinggal kemudian bepergian tanpa berhadats, lalu berwudhu dan mengusap dalam perjalanan, dia tidak boleh shalat dengan usapan itu kecuali satu hari satu malam; karena usapannya tidak memiliki makna jika dia mengusap dalam keadaan suci dari usapan di tempat tinggal, sehingga usapannya itu seperti tidak ada jika tidak ada penyucian selain penyucian pertama.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengusap dalam keadaan bepergian, lalu shalat satu shalat atau lebih, kemudian tiba di suatu tempat dan bermaksud tinggal di tempat dia mengusap selama empat hari, dia tidak boleh shalat dengan usapan bepergian setelah menetap kecuali untuk menyempurnakan satu hari satu malam, tidak lebih; karena dia hanya boleh shalat dengan usapan bepergian selama tiga hari. Ketika status bepergiannya batal, hukum usapannya menjadi seperti usapan orang yang menetap.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia telah menyempurnakan usapan dalam perjalanan dengan shalat satu hari satu malam atau lebih, kemudian berniat menetap atau tiba di suatu tempat, dia harus melepas sepatunya dan memulai wudhu baru, tidak ada yang menggantikannya. Jika dia telah menyempurnakan satu hari satu malam dengan usapan bepergian, kemudian memasuki shalat setelah satu hari satu malam dan berniat menetap sebelum menyempurnakan shalat, shalatnya batal dan dia harus memulai wudhu baru kemudian mengulangi shalat tersebut.

Jika dia bepergian dan tidak tahu apakah dia mengusap sebagai orang yang menetap atau bepergian, dia tidak boleh shalat sejak yakin bahwa dia ragu apakah dia dalam keadaan menetap atau bepergian, kecuali satu hari satu malam. Jika dia shalat satu hari satu malam kemudian tahu bahwa dia mengusap sebagai orang bepergian, dia boleh shalat dengannya hingga tiga hari dan malamnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia ragu apakah mengusap sebagai orang menetap atau bepergian, lalu shalat dalam keadaan bepergian lebih dari satu hari satu malam, kemudian yakin bahwa dia mengusap sebagai orang bepergian, dia harus mengulangi setiap shalat yang melebihi satu hari satu malam; karena dia shalat dalam keadaan tidak yakin suci, dan dia tidak wajib mengulangi dengan wudhu jika tahu bahwa dia dalam keadaan suci dengan usapan hingga menyempurnakan tiga hari dan malamnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia ragu saat pertama kali mengusap sebagai orang menetap dan tidak tahu apakah sudah satu hari satu malam atau belum, dia harus melepas sepatunya dan memulai wudhu baru. Jika dia yakin telah mengusap dan shalat tiga shalat, lalu ragu apakah sudah shalat keempat atau belum, dia harus menganggap dirinya telah shalat keempat dengan usapan agar tidak shalat dengan usapan sementara dia ragu apakah sudah mengusap atau belum, dan dia tidak boleh meninggalkan shalat keempat hingga yakin telah melakukannya.

[Pasal Hal-Hal yang Membatalkan Usapan Sepatu]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Seseorang boleh mengusap sepatu selama masih di kakinya dalam waktu yang ditentukan. Jika salah satu kakinya keluar dari sepatu atau keduanya setelah mengusap, maka usapannya batal dan dia harus berwudhu. Jika dia melepas sepatu kemudian berhadats sementara sepatu masih di kakinya, dia boleh mengusap. (Imam Syafi’i berkata): Begitu juga jika salah satu kakinya atau sebagiannya bergeser dari tempatnya di sepatu hingga terlihat bagian yang wajib dibasuh dalam wudhu, usapannya batal. Jika kakinya bergeser dari tempatnya di sepatu tetapi…

Menonjol dari kedua mata kaki atau bagian kaki yang wajib dibasuh dalam wudhu, aku lebih suka memulai wudhu tanpa harus jelas apakah itu wajib (dia berkata): Begitu pula jika sepatu robek hingga terlihat bagian kaki yang wajib dibasuh dalam wudhu, maka mengusap sepatu batal (Asy-Syafi’i berkata): Demikian juga jika sepatu robek namun masih mengenakan kaos kaki yang menutupi kaki, tetapi terlihat bagian yang jika kaki tidak memakai kaos kaki akan terlihat, maka itu seperti melihat kaki dan mengusap sepatu menjadi batal.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika sepatu memiliki jahitan, dan jahitan itu berada di atas bagian yang tidak wajib dibasuh dalam wudhu, maka tidak masalah karena seandainya tidak ada sepatu pun, mengusapnya tetap sah. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika jahitan berada di atas bagian yang wajib dibasuh dalam wudhu, dan terdapat celah yang memperlihatkan bagian kaki, maka tidak boleh mengusap sepatu. Namun jika tidak ada celah yang memperlihatkan kaki, boleh mengusapnya meski jahitannya terbuka. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika jahitannya terbuka, maka mengusap sepatu batal karena meski saat itu tidak terlihat, jika dia berjalan atau bergerak, jahitan akan terbuka hingga terlihat. (Asy-Syafi’i berkata): Jika jahitan berada di atas bagian yang wajib dibasuh dalam wudhu tetapi ada celah, tidak masalah karena seandainya tidak ada sepatu pun, mengusapnya tetap sah. 

[Pasal Hal yang Mewajibkan Mandi dan yang Tidak] 

(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub kecuali sekedar berlalu hingga kalian mandi.” (QS. An-Nisa: 43). 

(Asy-Syafi’i berkata): Allah mewajibkan mandi karena junub, dan dalam bahasa Arab, junub dikenal sebagai hubungan intim meski tidak keluar air mani. Hal ini juga berlaku dalam hukum zina, kewajiban mahar, dan lainnya. Setiap orang yang mendengar “Fulan berjunub dengan Fulanah” akan paham bahwa dia telah menyetubuhinya meski tidak mengeluarkan air mani. 

(Ar-Rabi’ berkata): Maksudnya adalah meski tidak keluar mani, dan Sunnah menunjukkan bahwa junub adalah ketika seorang lelaki bertemu dengan perempuan hingga kemaluannya masuk ke kemaluannya sampai menutupi kepala zakar atau keluar air mani, meski bukan hubungan intim. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ibnu ‘Uyainah mengabarkan dari Ali bin Zaid bin Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib bahwa Abu Musa Al-Asy’ari bertanya kepada Aisyah tentang pertemuan dua khitan (kemaluan). Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika dua khitan bertemu atau khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Zainab binti Abi Salamah dari Ummu Salamah, dia berkata: Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan bertanya: “Wahai Rasulullah, Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?” Beliau menjawab: “Ya, jika dia melihat air (mani).” 

(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang melihat air mani, baik dengan kenikmatan atau tidak, wajib mandi. Begitu pula jika seseorang berhubungan lalu keluar air mani, kemudian mandi, lalu keluar lagi air mani setelah mandi, dia harus mengulang mandinya. Baik sebelum atau setelah buang air kecil, jika air mani menjadi tanda wajibnya mandi, maka hukumnya sama. 

(Asy-Syafi’i berkata): Air mani adalah cairan kental yang bisa menghasilkan anak dan berbau seperti bau telur (pohon kurma jantan). 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika air mani keluar dari seorang lelaki dan berubah karena sakit atau kelainan pada air maninya, selama itu adalah air mani yang kita kenal, maka wajib mandi. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang lelaki memasukkan kemaluannya ke kemaluan wanita, baik dengan kenikmatan atau tidak, bergerak atau dipaksa, atau wanita yang memasukkan kemaluannya ke kemaluan lelaki dalam keadaan sadar atau tidur (tidak sadar), maka wajib mandi.

Dia dan dia (suami istri) wajib mandi, begitu pula setiap kemaluan, dubur, atau lainnya dari perempuan atau hewan, wajib baginya mandi jika kepala kemaluan masuk ke dalamnya disertai maksiat kepada Allah Ta’ala dalam melakukan hal itu selain dengan istrinya. Dan haram baginya melakukan hubungan dengan istrinya di dubur menurut pendapat kami. Demikian pula jika memasukkan kepala kemaluan ke dalam istrinya yang sudah meninggal. Namun jika memasukkan ke dalam darah, khamr, atau sesuatu yang tidak bernyawa dari yang haram atau lainnya, tidak wajib mandi sampai keluar air mani.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika melakukan onani tetapi tidak keluar mani, tidak wajib mandi karena tangan bukanlah kemaluan. Jika kemaluannya menyentuh najis, cukup dicuci tanpa perlu wudhu. Namun jika menyentuh kemaluannya sendiri, wajib berwudhu karena menyentuhnya secara langsung. Jika mencuci kemaluan dan antara tangannya dengan kemaluan ada kain atau penghalang, maka suci dan tidak perlu wudhu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyentuh istrinya tanpa memasukkan kepala kemaluan ke dalam kemaluannya dan tidak keluar mani, tidak wajib mandi. Kami tidak mewajibkan mandi kecuali jika memasukkan kepala kemaluan ke dalam kemaluan atau dubur. Adapun mulut atau bagian tubuh lainnya, tidak wajib mandi jika tidak keluar mani, tetapi wajib berwudhu karena menyentuhnya. Jika istri keluar mani dalam keadaan ini, dia wajib mandi. Demikian pula dalam setiap keadaan yang menyebabkan keluarnya mani, siapa pun yang keluar mani wajib mandi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang ragu apakah keluar mani atau tidak, tidak wajib mandi sampai yakin telah keluar mani. Namun sebagai kehati-hatian, sebaiknya mandi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menemukan air mani di pakaiannya tetapi tidak ingat pernah keluar mani baik karena mimpi basah atau lainnya, sebaiknya mandi, mengulang shalat, dan memperkirakan waktu mimpi basah tersebut untuk mengulang shalat yang dikerjakan setelah tidur yang diduga terjadi mimpi basah.

(Imam Syafi’i berkata): Menurutku, tidak jelas kewajiban mandi dalam hal ini kecuali jika dia melihat sesuatu dalam mimpi dan tidak yakin keluar mani, kecuali jika tidak ada orang lain yang memakai pakaiannya sehingga yakin bahwa itu adalah mimpinya. Dalam kondisi seperti ini, wajib mandi pada waktu yang tidak diragukan lagi bahwa mimpi basah terjadi sebelumnya. Demikian pula jika tidur sebentar, jika sudah shalat setelahnya, harus mengulang shalat tersebut. Jika belum shalat, maka mandi untuk shalat yang akan datang.

(Imam Syafi’i berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Zubaid bin Ash-Shalt bahwa dia berkata: Aku keluar bersama Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- ke Al-Jurf. Tiba-tiba Umar menyadari bahwa dia mimpi basah dan sudah shalat tanpa mandi. Umar berkata: “Demi Allah, aku baru sadar bahwa aku mimpi basah dan tidak menyadarinya. Aku sudah shalat tanpa mandi.” Kemudian Umar mandi, mencuci apa yang dilihat di pakaiannya, dan memerciki yang tidak terlihat. Lalu dia mengumandangkan azan dan iqamah, kemudian shalat setelah matahari tinggi dengan tenang.

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Sulaiman bin Yasar dari Umar bin Khattab. Dan Malik juga mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib bahwa dia berumrah bersama Umar bin Khattab, lalu menyebutkan hadis serupa.

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui kewajiban mandi selain dari junub yang mengharuskan shalat tidak sah tanpanya. Menurutku, mandi yang paling utama setelah mandi junub adalah mandi karena memandikan mayit. Aku tidak suka meninggalkannya dalam keadaan apa pun, juga tidak meninggalkan wudhu karena menyentuh mayit secara langsung.

Kemudian mandi Jumat. Tidak jelas jika seseorang meninggalkannya lalu shalat, apakah harus mandi dan mengulang shalat. Yang mencegahku dari mewajibkan mandi karena memandikan mayit adalah dalam sanadnya ada seorang perawi yang aku tidak menemukan kepastian tentang ketsiqahannya hingga hari ini. Jika aku menemukan orang yang meyakinkanku tentang ketsiqahan hadisnya, aku akan mewajibkan wudhu karena menyentuh mayit secara langsung, karena keduanya dalam satu hadis.

(Imam Syafi’i berkata): Adapun mandi Jumat, menurut kami dalil menunjukkan bahwa itu hanya diperintahkan sebagai pilihan. (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya bahwa seorang sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- masuk masjid pada hari Jumat saat Umar sedang berkhutbah. Umar berkata: “Jam berapa ini?”

Lalu dia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, aku pulang dari pasar dan mendengar panggilan (azan), maka aku hanya berwudhu.” Umar berkata: “Hanya wudhu saja? Bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk mandi?”

(Asy-Syafi’i berkata): Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya dari Umar bin Khattab dengan riwayat yang serupa, dan dia menyebutkan bahwa orang yang masuk itu adalah Utsman bin Affan.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang musyrik masuk Islam, aku lebih suka dia mandi dan mencukur rambutnya. Jika dia tidak melakukannya dan tidak dalam keadaan junub, maka cukup baginya berwudhu dan shalat.

(Asy-Syafi’i berkata): Telah dikatakan bahwa jarang sekali orang yang gila kecuali mengeluarkan mani. Jika memang demikian, maka orang gila wajib mandi karena keluarnya mani. Jika ada keraguan, aku lebih suka dia mandi sebagai bentuk kehati-hatian, tetapi aku tidak mewajibkannya sampai dia benar-benar yakin telah mengeluarkan mani.

[Bab Keluarnya Madzi] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Apabila seorang laki-laki mendekati istrinya lalu keluar madzi darinya, maka wajib baginya berwudhu karena itu adalah hadats yang keluar dari kemaluannya. Jika ia menyentuh tubuh istrinya dengan tangannya, maka wajib baginya berwudhu dari dua sisi (keluarnya madzi dan sentuhan), dan cukup baginya satu wudhu saja. Demikian pula bagi orang yang wajib berwudhu karena semua hal yang mewajibkan wudhu, kemudian ia berwudhu setelah semua itu dengan satu kali wudhu, maka itu sudah mencukupi. Dan tidak wajib mandi karena madzi.

[Bab Cara Mandi] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa: 43). 

(Imam Syafi’i berkata): Maka Allah mewajibkan mandi secara mutlak tanpa menyebutkan sesuatu yang harus didahulukan sebelum yang lain. Jika seseorang telah melakukan mandi, maka itu sudah mencukupi baginya. Allah Maha Mengetahui bagaimana caranya ia melakukannya. Demikian pula, tidak ada ketentuan jumlah air dalam mandi, kecuali bahwa ia harus membasuh seluruh tubuhnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula yang ditunjukkan oleh Sunnah. Jika ada yang bertanya, “Di mana petunjuk Sunnah tersebut?” Dikatakan bahwa ketika Aisyah menceritakan bahwa ia dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mandi dari satu wadah yang sama, maka jelaslah bahwa cara mereka mengambil air berbeda. Seandainya ada ketentuan tertentu selain yang telah disebutkan, tentu tidak mungkin dua orang mandi dan menyelesaikannya dari satu wadah yang sama. Kebanyakan riwayat Aisyah menyebutkan bahwa mandi beliau dan mandinya berbeda. 

(Dia berkata): Perbedaan itu adalah tiga sha’. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Abu Dzar, “Jika engkau menemukan air, maka basuhlah kulitmu.” Tidak disebutkan bahwa beliau menentukan jumlah air tertentu, kecuali membasuh kulit. Cara mandi junub yang paling utama adalah seperti yang diceritakan oleh Aisyah. 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- jika mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, kemudian berwudhu seperti wudhu untuk shalat, lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air dan menyela pangkal rambutnya, kemudian mengguyur kepalanya tiga kali dengan kedua tangannya, lalu menyiramkan air ke seluruh kulitnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita memiliki rambut yang dikepang, ia tidak perlu melepas kepangannya saat mandi junub. Mandinya karena haid sama seperti mandi junub, tidak ada perbedaan. Apa yang mencukupi untuk salah satunya, maka mencukupi untuk yang lain. 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ayyub bin Musa dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abdullah bin Rafi’ dari Ummu Salamah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ‘Aku adalah seorang wanita yang mengepang rambutku. Apakah aku harus melepasnya saat mandi junub?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, cukup bagimu mengguyurkan air tiga kali ke kepalamu, kemudian menyiramkan air ke tubuhmu, maka engkau telah suci—atau beliau bersabda—maka engkau telah suci.'” Jika ia menyela rambutnya, maka itu juga cukup. 

(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula seorang laki-laki yang mengepang atau mengikat rambutnya, ia tidak perlu melepasnya, asalkan air sampai ke pangkal rambutnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika rambutnya dikepal dengan sesuatu yang menghalangi air sampai ke rambut dan kulit kepalanya, maka ia wajib membasuhnya hingga air sampai ke kulit dan rambutnya. Namun jika kepalannya diikat dengan sesuatu yang tidak menghalangi air, maka itu seperti ikatan atau kepangan yang tidak menghalangi air, sehingga tidak perlu dilepas dan cukup dengan air sampai ke rambutnya.

Kulit. (Berkata Asy-Syafi’i): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila hendak mandi junub, beliau memulai dengan mencuci tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian mencuci kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian menyela-nyela rambutnya dengan air, lalu mengguyur kepalanya tiga kali.” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah, “Sesungguhnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengguyur kepalanya saat mandi junub sebanyak tiga kali.” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Aku tidak suka seseorang mengguyur kepalanya saat mandi junub kurang dari tiga kali, dan aku lebih suka ia meresapkan air hingga ke pangkal rambutnya sampai ia yakin air telah sampai ke pangkal rambut dan kulitnya. Ia berkata: Jika ia mengguyur kepalanya sekali dengan yakin air telah meresap ke pangkal rambut dan mengenai seluruh rambut serta kulitnya, itu sudah cukup, dan itu lebih dari tiga kali guyuran yang terputus-putus di antara setiap guyuran. 

(Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-): Jika rambutnya tebal dan lebat, lalu ia mengguyurnya tiga kali tetapi yakin air belum meresap ke seluruh pangkal rambut dan belum mengenai seluruh rambutnya, maka ia harus mengguyur kepalanya dan meresapkan air sampai ia benar-benar yakin air telah sampai ke rambut dan kulitnya. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika ia gundul, botak, atau berambut tipis dan yakin air telah mengenai sisa rambut dan kulitnya dengan satu guyuran umum, itu sudah cukup, tetapi lebih baik tiga kali. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Ummu Salamah untuk mengguyur tiga kali karena kepangannya, dan aku berpendapat itu adalah minimal agar air sampai ke kulitnya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memiliki rambut yang panjang hingga bahu, dan beliau mengguyurnya tiga kali. Demikian pula wudhunya, sepanjang hidup beliau biasanya tiga kali sebagai pilihan -shallallahu ‘alaihi wasallam-, sedangkan satu kali yang sempurna sudah cukup dalam mandi dan wudhu, karena itu sudah disebut mandi dan wudhu jika yakin air telah mengenai rambut dan kulit. 

[Bab Orang yang Lupa Berkumur dan Menghirup Air saat Mandi Junub] 

(Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-): Aku tidak suka seseorang meninggalkan berkumur dan menghirup air saat mandi junub. Jika ia meninggalkannya, aku lebih suka ia berkumur. Jika tidak melakukannya, ia tidak perlu mengulangi shalat yang telah dikerjakannya. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Ia tidak perlu memercikkan air ke matanya atau mencucinya, karena keduanya bukan bagian luar tubuhnya, sebab ada kelopak mata yang melindunginya. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Ia wajib mencuci bagian luar dan dalam telinganya, karena keduanya adalah bagian luar tubuh. Air harus masuk ke bagian liang telinga yang terlihat, tetapi tidak wajib masuk ke bagian dalamnya. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Lebih baik ia menggosok tubuhnya semampunya. Jika tidak melakukannya tetapi air telah mengenai seluruh tubuhnya, itu sudah cukup. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Demikian pula jika ia menyelam ke sungai atau sumur dan air telah mengenai seluruh rambutnya.

Dan dia memberitahukan bahwa itu sudah cukup jika dia mencuci sesuatu yang terkena najis, begitu juga jika dia berdiri di bawah talang air hingga air mengalir pada rambut dan kulitnya. (Dia berkata): Begitu juga jika dia berdiri di bawah hujan hingga air mengalir pada rambut dan kulitnya.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak suci dengan mandi dalam hal-hal yang telah dijelaskan kecuali jika dia berniat mandi untuk bersuci. Begitu juga wudhu, tidak cukup kecuali jika dia berniat untuk bersuci. Jika dia berniat mandi untuk bersuci dari junub dan wudhu untuk bersuci dari hal yang mewajibkan wudhu, serta berniat untuk shalat wajib, shalat sunnah, shalat jenazah, atau membaca mushaf, maka semuanya cukup karena dia telah berniat untuk bersuci dalam semua itu.

(Dia berkata): Jika seseorang yang wajib mandi memiliki rambut panjang, lalu dia mencuci bagian yang ada di kepalanya dan seluruh tubuhnya tetapi meninggalkan bagian rambut yang terjuntai tanpa mencucinya, maka itu tidak cukup karena dia wajib membersihkan rambut dan kulitnya. Jika dia meninggalkan sedikit bagian tubuhnya, baik sedikit atau banyak, dan khawatir bahwa dia telah meninggalkan sebagian tubuhnya lalu shalat, maka dia harus mengulang mencuci bagian yang tertinggal itu kemudian mengulang shalat setelah mandi.

Jika seseorang berwudhu kemudian mandi tetapi tidak menyelesaikan mandinya hingga batal, maka dia boleh melanjutkan mandinya seperti itu dan berwudhu lagi setelah shalat.

(Dia berkata): Jika dia memulai dengan mandi tanpa berwudhu terlebih dahulu, lalu menyelesaikan mandinya, maka itu cukup sebagai pengganti wudhu untuk shalat saat itu. Bersuci dengan mandi lebih utama atau setara dengan bersuci dengan wudhu.

Jika dia memulai dengan mencuci kaki sebelum kepala saat mandi, atau memisahkan cuciannya dengan mencuci sebagian sekarang dan sebagian lain nanti, maka itu sudah cukup. Ini tidak seperti wudhu yang disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, yang harus dilakukan secara berurutan.

Orang yang mandi atau berwudhu harus menyela-nyela jari-jari kakinya hingga yakin bahwa air telah sampai di sela-selanya. Itu tidak cukup kecuali jika dia yakin air telah mencapainya, dan itu sudah cukup meskipun dia tidak menyela-nyelanya. (Dia berkata): Jika di antara jari-jarinya ada sesuatu yang menempel atau berlipat, maka air harus masuk ke dalam lipatan itu, tetapi dia tidak wajib memasukkan air ke bagian yang tidak bisa dimasuki karena menempel. Begitu juga jika ada lipatan di tubuh atau kepalanya, dia harus memastikan air masuk ke dalam lipatan itu hingga meresap.

[Pasal tentang alasan wajibnya mandi dan wudhu] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan jika kamu junub, maka bersucilah. Jika kamu sakit atau dalam perjalanan…” (QS. Al-Maidah: 6). (Imam Syafi’i berkata): Allah tidak memberikan keringanan untuk tayammum kecuali dalam dua keadaan: safar atau ketiadaan air, atau sakit. Jika seseorang sakit ringan, dia boleh tayammum saat di rumah atau dalam perjalanan, baik memiliki air atau tidak. (Dia berkata): Kata “sakit” mencakup berbagai jenis penyakit. Yang aku dengar, sakit yang memperbolehkan tayammum adalah luka.

(Dia berkata): Luka yang tidak dalam sama seperti luka biasa, karena dikhawatirkan jika terkena air akan menyebabkan infeksi yang berbahaya. Setidaknya, itu adalah kondisi yang dikhawatirkan akan terjadi. Jika lukanya kering, dikhawatirkan air akan masuk ke dalamnya.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Jika dikhawatirkan terjadi kerusakan (pada luka), maka diperbolehkan bertayamum meskipun luka tersebut ringan dan tidak dalam, serta tidak dikhawatirkan membahayakan jika dibasuh dengan air. Namun, untuk najis yang mengalir (seperti darah atau nanah), tidak diperbolehkan bertayamum kecuali membersihkannya dengan air, karena alasan yang membolehkan tayamum (ketidakmampuan menggunakan air) sudah tidak ada. Tayamum juga tidak sah bagi orang sakit, apa pun penyakitnya, jika tidak ada luka terbuka, baik di musim dingin maupun lainnya. Jika tetap dilakukan, maka ia harus mengulangi semua shalat yang telah dikerjakan dengan tayamum. Demikian pula, tayamum tidak sah bagi seseorang dalam cuaca sangat dingin. 

Jika seseorang memiliki luka di kepala atau seluruh tubuhnya, ia harus membersihkan bagian yang terkena najis dengan air, tidak boleh diganti dengan tayamum. Begitu pula untuk semua najis yang menempel, tidak sah kecuali dibersihkan dengan air. Jika luka berada di kaki dan dikhawatirkan akan membahayakan jika dibasuh, maka ia tidak perlu membasuhnya, tetapi harus mengulangi semua shalat yang telah dikerjakan selama najis masih menempel. Jika luka hanya di tangan dan tidak di tubuh lainnya, ia tetap harus membasuh seluruh tubuh kecuali tangan, lalu bertayamum, karena ia belum melaksanakan kewajiban bersuci sebagaimana yang ditetapkan Allah. 

Jika seseorang bertayamum padahal mampu membasuh sebagian tubuhnya tanpa bahaya, tayamumnya tidak sah. Ia wajib membasuh semua bagian yang bisa dibasuh dan bertayamum untuk bagian yang tidak bisa, tidak boleh hanya melakukan salah satunya. Jika luka berada di bagian depan kepala tetapi tidak di belakang, ia tetap wajib membasuh bagian belakang kepala. Demikian pula jika luka hanya di sebagian depan kepala, ia harus membasuh bagian yang tidak terluka. 

Jika luka ada di wajah tetapi kepala sehat, dan jika dibasuh air akan mengalir ke wajah, maka ia tidak boleh meninggalkan basuhan. Ia harus berbaring, menengadahkan kepala, dan menuangkan air agar mengalir ke bagian selain wajah. Hal ini juga berlaku jika luka ada di bagian tubuh lain dan dikhawatirkan air akan mengalir ke luka saat dituangkan ke bagian yang sehat. Ia harus menuangkan air dengan hati-hati agar tidak mengalir ke luka, dan itu sudah cukup jika air membasahi rambut atau kulit. 

Jika luka ada di punggung dan ia tidak bisa mengontrol aliran air sendiri, tetapi ada orang lain yang bisa membantunya, maka ia harus meminta bantuan orang tersebut. Begitu pula jika ia buta atau tidak bisa mengontrol basuhan di bagian tubuh lainnya. Jika sedang bepergian dan tidak ada yang bisa membantu, ia harus membersihkan sebisa mungkin, bertayamum, shalat, tetapi wajib mengulangi shalatnya karena masih ada bagian yang bisa dibersihkan. 

Jika seseorang tidak memiliki tangan, ia harus meminta orang lain menuangkan air untuknya karena itu masih memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, ia harus shalat, lalu memerintahkan orang lain untuk membersihkannya ketika sudah bisa, dan mengqadha shalat yang telah dikerjakan tanpa bersuci. 

Jika luka ada di bagian tubuh tertentu dan ia membersihkan bagian lainnya, ia hanya perlu bertayamum untuk wajah dan tangan, tidak perlu bertayamum di bagian yang luka karena tayamum hanya sah untuk wajah dan tangan. Tanah tidak bisa menyucikan selain kedua bagian itu. 

Jika luka ada di wajah atau tangan, ia harus mengusap tanah ke wajah dan tangan hingga siku, lalu membersihkan bagian tubuh lainnya yang bisa dibersihkan. Jika luka di area tayamum (wajah atau lengan) kecil atau besar, ia tetap harus mengusap seluruh bagian dengan tanah karena tanah tidak membahayakan. Jika ada luka terbuka, tanah harus diusapkan ke bagian yang terbuka karena itu bagian yang terlihat. 

Jika ia ingin menutup luka dengan perban yang menghalangi tanah, ia harus melepasnya saat tayamum karena tidak membahayakan. Ia juga tidak boleh mengoleskan sesuatu yang menghalangi tanah menyentuh kulit, kecuali di area yang tertutup rambut janggut. Tanah cukup diusapkan pada bagian janggut yang terlihat, tidak perlu sampai ke kulit yang tertutup rambut. Rambut janggut juga tidak boleh diikat agar tanah bisa menyentuhnya. 

Jika ada luka di tubuh dan ditutup kain, kain tersebut harus dilepas agar air bisa membersihkan area sekitar luka. Jika tidak, ia harus mengulangi shalatnya.

Luka yang menyebabkan patah tulang tidak dapat sembuh kecuali dengan pembidaian. Maka dipasanglah bidai pada bagian yang terkena (luka/patah). Dan di atas bidai boleh diletakkan pembalut lain jika diinginkan. Ketika bidai dan yang menyertainya dilepas, dan bagian yang terkena (luka/patah) tersentuh air dan tanah (debu) saat berwudhu, maka wajib baginya untuk melepasnya jika hadats terjadi, dan membasuhnya dengan air atau tanah (tayammum). Jika air berbahaya baginya, maka tidak ada alternatif lain dalam kondisi apa pun. Meskipun hal itu memperlambat penyembuhan atau memperburuk kondisi patahnya, ia tidak boleh meninggalkan kewajiban tersebut kecuali jika dikhawatirkan akan menyebabkan kematian. Namun, aku tidak menganggap bahwa pelepasan bidai untuk berwudhu atau tayammum akan menyebabkan kematian, meskipun mungkin memperlambat penyembuhan atau memperparah patahnya. Jika dikhawatirkan bahaya ketika melepas bidai dan yang menyertainya, maka ada dua pendapat: Pertama, ia boleh mengusap air di atas bidai dan bertayammum, kemudian mengulangi setiap shalat yang telah dilakukannya ketika ia mampu berwudhu. Pendapat kedua mengatakan tidak perlu mengulangi shalat. Dan yang berpendapat boleh mengusap bidai mengatakan bahwa bidai hanya boleh dipasang dalam keadaan suci (berwudhu). Jika tidak dipasang dalam keadaan suci, maka tidak boleh mengusapnya, sebagaimana pendapat tentang khuf (sepatu kulit).

(Imam Syafi’i berkata): Bidai tidak boleh melebihi area patah selama tidak perlu dilepas. (Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan sebuah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa tangannya patah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengusap air di atas bidai. Seandainya aku mengetahui sanadnya sahih, aku akan berpendapat demikian. (Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i lebih menyukai agar mengulangi shalat ketika mampu berwudhu atau tayammum, karena ia tidak shalat dengan wudhu air atau tayammum. Allah menjadikan tayammum sebagai pengganti air. Ketika anggota tubuh yang seharusnya terkena air atau debu tidak tersentuh, maka wajib baginya untuk mengulang shalat jika mampu. Ini termasuk perkara yang memerlukan pertimbangan yang matang. (Imam Syafi’i berkata): Hukum wudhu ketika ada luka atau patah tulang sama dengan hukum mandi junub, tidak berbeda selama berada di area yang wajib dibasuh dalam wudhu. Adapun jika tidak berada di area wudhu, maka tidak wajib membasuhnya.

(Imam Syafi’i berkata): Wanita haid membersihkan diri seperti orang junub dalam semua yang telah kujelaskan. Demikian pula jika seorang laki-laki atau wanita wajib membasuh wajahnya saat mandi, hukumnya sama.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada bekas darah pada wanita haid atau najis pada orang junub, jika mereka menemukan air, maka wajib mandi. Jika tidak menemukan air, maka bertayammum dan shalat, tanpa perlu mengulangi shalat pada waktu itu atau setelahnya.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak cukup bagi orang sakit yang tidak memiliki luka, atau seseorang dalam cuaca sangat dingin yang dikhawatirkan membahayakan jika mandi, atau orang dengan penyakit parah yang dikhawatirkan bahaya jika terkena air, atau orang yang memiliki luka terkena najis, kecuali membersihkan najis dan mandi. Kecuali jika menurut perkiraan kuat akan membahayakan dirinya, maka ia boleh bertayammum saat itu, shalat, lalu mandi dan membersihkan najis ketika kondisi sudah memungkinkan. Ia wajib mengulangi setiap shalat yang dilakukan dalam kondisi di mana air tidak mencukupi kecuali jika tidak mampu, maka bertayammum, shalat, dan tidak perlu mengulangi shalat baik saat itu atau setelahnya. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula setiap najis yang mengenai mereka saat mandi atau berwudhu, najis tidak bisa disucikan kecuali dengan air. Jika seseorang yang terkena najis—baik wanita haid, orang junub, atau orang yang berwudhu—tidak menemukan air, maka ia bertayammum dan shalat. Jika menemukan air, ia wajib membersihkan najis, mandi jika wajib mandi, berwudhu jika wajib wudhu, dan mengulangi setiap shalat yang dilakukan saat najis masih menempel, karena najis hanya bisa disucikan dengan air.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang dalam perjalanan menemukan air yang cukup untuk membersihkan najis tetapi tidak cukup untuk mandi atau wudhu, maka ia cukup membersihkan najis, bertayammum, shalat, dan tidak perlu mengulanginya, karena ia telah shalat dalam keadaan suci dari najis dan suci dengan tayammum setelah membersihkan kewajiban mandi atau wudhu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang junub menemukan air untuk mandi tetapi khawatir kehausan, maka hukumnya seperti orang yang tidak menemukan air. Ia boleh membersihkan najis jika terkena, lalu bertayammum. Tidak cukup baginya untuk najis kecuali dengan cara yang telah kujelaskan. Jika ia khawatir kehausan saat membersihkan najis sebelum menemukan air, maka cukup mengusap najis dan bertayammum.

Dan apabila dia telah shalat kemudian membersihkan najis dengan air, maka dia harus mengulangi shalatnya. Tidak ada yang cukup selain itu. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia tidak khawatir kehausan dan memiliki air yang cukup untuk membersihkan najis, maka dia harus membersihkan najis tersebut terlebih dahulu, kemudian menggunakan sisa air yang ada untuk membasuh bagian tubuh yang diinginkan. Sebab, dia diperintahkan untuk membasuh seluruh tubuh, bukan sebagian. Maka, dia boleh membasuh anggota wudhu atau bagian lainnya, karena anggota wudhu tidak lebih wajib dalam keadaan junub dibanding bagian tubuh lainnya. Setelah itu, dia boleh bertayamum dan shalat, tanpa wajib mengulanginya jika kemudian menemukan air, karena dia telah shalat dalam keadaan suci. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, mengapa najis tidak bisa dibersihkan kecuali dengan air, sedangkan untuk junub dan wudhu boleh diganti dengan tayamum? Dijawab: Asal bersuci adalah dengan air, kecuali dalam kondisi tertentu di mana Allah menjadikan tanah sebagai sarana bersuci, yaitu saat safar, kesulitan air (baik dalam perjalanan atau di rumah), atau sakit. Tidak ada yang bisa membersihkan najis pada badan atau lainnya kecuali dengan air, kecuali di tempat yang Allah tetapkan boleh bersuci dengan tanah. Tayamum hanya berlaku untuk ibadah seperti wudhu atau mandi junub, yang merupakan kewajiban ibadah, bukan untuk menghilangkan najis yang nyata. Adapun najis yang menempel pada badan atau pakaian, maka kewajibannya adalah menghilangkannya dengan air hingga tidak ada lagi najis pada badan atau pakaian selama ada cara untuk menghilangkannya. Ini adalah ketentuan ibadah dengan makna yang jelas. 

(Imam Syafi’i berkata): Tanah tidak bisa menjadi pengganti untuk membersihkan najis. Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mencuci darah haid dari pakaian karena itu termasuk najis. Maka, najis menurut kami tetap pada hukum asalnya, tidak bisa disucikan kecuali dengan air. Tayamum hanya berlaku pada kondisi yang telah ditetapkan dan tidak boleh diperluas kecuali pada rukhsah yang Allah berikan. Selain itu, hukum asalnya adalah bersuci dengan air. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita junub kemudian haid sebelum mandi junub, maka tidak wajib baginya mandi junub selama haid. Sebab, mandi junub bertujuan untuk menyucikan, sedangkan dia tidak bisa suci dari junub selama haid. Setelah haid berakhir, cukup baginya satu kali mandi untuk semuanya. Begitu pula jika dia mimpi basah saat haid, cukup satu kali mandi setelah haid berakhir, meskipun mimpi basahnya berulang kali. 

(Imam Syafi’i berkata): Wanita haid dalam hal mandi sama seperti orang junub, tidak ada perbedaan kecuali aku menganjurkan agar wanita haid setelah mandi mengambil sedikit misk (kasturi) dan mengusapkannya pada bekas darah. Jika tidak ada misk, maka boleh dengan wewangian lainnya sebagai bentuk mengikuti sunnah dan mencari kesucian. Jika tidak dilakukan, air saja sudah cukup. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, dari Manshur Al-Hujabi, dari ibunya Shafiyyah binti Syaibah, dari Aisyah RA, dia berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ bertanya tentang mandi haid. Beliau bersabda, ‘Ambillah sepotong misk dan bersucilah dengannya.’ Wanita itu bertanya, ‘Bagaimana aku bersuci dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Bersucilah dengannya.’ Wanita itu bertanya lagi, ‘Bagaimana caranya?’ Nabi ﷺ lalu mengucapkan ‘Subhanallah,’ dan menutupi wajahnya dengan kain seraya berkata, ‘Bersucilah dengannya.’ Aku menarik wanita itu dan menjelaskan maksud beliau, ‘Usapkan pada bekas darah,’ yaitu pada kemaluan.” 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang musafir yang tidak memiliki air, atau orang yang tersesat di padang pasir bersama untanya, boleh berjima’ dengan istrinya dan cukup baginya bertayamum asalkan membersihkan apa yang terkena pada kemaluannya, dan wanita juga membersihkan apa yang terkena pada kemaluannya sampai mereka menemukan air. Jika sudah menemukan air, maka keduanya wajib mandi. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari ‘Abbad bin Manshur, dari Abu Raja’ Al-‘Atharidi, dari Imran bin Hushain RA, bahwa Nabi ﷺ memerintahkan seorang lelaki yang junub untuk bertayamum lalu shalat, dan jika menemukan air, maka mandi. Juga diriwayatkan hadits Nabi ﷺ ketika beliau bersabda kepada Abu Dzar, “Jika engkau menemukan air, sentuhkanlah pada kulitmu.”

[Hukum Tayamum bagi Orang yang Bermukim dan Musafir] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat…” (QS. Al-Maidah: 6), dan dalam konteks yang sama disebutkan, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan…” (QS. An-Nisa: 43) hingga “…maka basuhlah wajah dan tanganmu dengannya (debu).” (QS. Al-Maidah: 6). 

(Imam Syafi’i berkata): Hukum Allah Azza wa Jalla menunjukkan bahwa Dia membolehkan tayamum dalam dua keadaan: 

  1. Saat bepergian dan tidak menemukan air.
  2. Saat sakit, baik di rumah maupun dalam perjalanan.

Hal ini juga menunjukkan bahwa musafir wajib mencari air terlebih dahulu, sebagaimana firman-Nya, “Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah.” (QS. An-Nisa: 43). 

(Imam Syafi’i berkata): Setiap orang yang keluar dari satu tempat ke tempat lain, baik perjalanannya pendek maupun panjang, tetap disebut musafir. Tidak ada dalil dari Sunnah yang membedakan antara musafir yang boleh tayamum dan yang tidak. Secara zahir, Al-Qur’an menunjukkan bahwa setiap musafir, baik perjalanannya jauh atau dekat, boleh bertayamum. 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa beliau pulang dari Al-Jurf. Ketika sampai di Al-Murabbad, beliau bertayamum, mengusap wajah dan tangannya, lalu shalat Ashar. Kemudian beliau masuk ke Madinah saat matahari masih tinggi dan tidak mengulangi shalatnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Al-Jurf adalah tempat dekat Madinah. 

[Bab Kapan Boleh Tayamum untuk Shalat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala telah menetapkan waktu-waktu shalat, sehingga tidak boleh seseorang shalat sebelum waktunya. Kita diperintahkan untuk melaksanakan shalat ketika waktunya tiba. Begitu pula perintah untuk bertayamum ketika hendak shalat dan tidak menemukan air. 

Barangsiapa bertayamum untuk shalat sebelum waktunya tiba dan masih mencari air, maka tayamumnya tidak sah untuk shalat tersebut. Shalat hanya boleh dilakukan ketika waktunya tiba, di mana jika dilaksanakan pada waktu itu, shalatnya sah. 

(Imam Syafi’i berkata): Ketika waktu shalat telah tiba, seseorang boleh langsung bertayamum tanpa menunggu akhir waktu, karena Al-Qur’an menunjukkan bahwa tayamum dilakukan ketika hendak shalat dan tidak menemukan air. Jika shalat dilakukan saat itu, maka sah. 

(Imam Syafi’i berkata): Meskipun boleh menunda hingga akhir waktu, aku tidak menganjurkannya sebagaimana anjuran untuk menyegerakan shalat dalam segala keadaan, kecuali jika yakin akan menemukan air. Lebih baik menunda tayamum hingga benar-benar tidak ada harapan menemukan air atau khawatir waktu shalat habis. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bertayamum sebelum mencari air, maka ia harus mengulangi tayamum setelah mencari dan tidak menemukannya. Mencari air wajib dilakukan meskipun tidak yakin ada air. Jika ia tahu tidak ada air, ia tetap wajib mencari, baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain. 

Jika air ditawarkan secara gratis atau dengan harga normal, dan ia mampu membelinya tanpa khawatir kelaparan dalam perjalanan, maka tidak boleh bertayamum selama air tersedia. Namun, jika air hanya diberikan dengan syarat melebihi harga normal, ia tidak wajib membelinya meskipun mampu. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada sumur tetapi tidak ada tali, maka ia harus berusaha mengambil air dengan cara apa pun yang memungkinkan, seperti menggunakan wadah, ember, atau bahkan mencelupkan ujung pakaian lalu memerasnya hingga keluar air. Jika ia mampu melakukan ini sendiri atau dengan bantuan orang lain, maka tidak boleh bertayamum. 

Jika tidak mampu dan bisa turun ke sumur tanpa risiko bahaya, maka ia harus turun. Jika tidak bisa, barulah boleh bertayamum.

Hanya mampu melakukannya dengan rasa takut yang seharusnya tidak ia turunkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada petunjuk tentang air yang dekat di tempat shalat didirikan, dan jika hal itu tidak memutuskan kebersamaan dengan teman-temannya, tidak khawatir terhadap barang bawaannya jika ia pergi mencarinya, tidak ada bahaya dalam perjalanannya, serta tidak keluar dari waktu shalat hingga ia sampai ke air tersebut, maka ia wajib mencarinya. Namun, jika ia khawatir kehilangan barang bawaannya, teman-temannya tidak menunggunya, takut dalam perjalanannya, atau khawatir kehabisan waktu jika mencarinya, maka ia tidak wajib mencarinya dan boleh bertayamum.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia bertayamum dan shalat, kemudian mengetahui bahwa sebenarnya ada air dalam barang bawaannya, ia harus mengulangi shalatnya. Tetapi jika ia mengetahui ada sumur dekat yang bisa ia capai airnya seandainya ia mengetahuinya, maka ia tidak wajib mengulangi shalat. Namun, jika ia mengulanginya, itu adalah bentuk kehati-hatian. (Imam Syafi’i berkata): Perbedaan antara air dalam barang bawaannya dan sumur yang tidak ia ketahui adalah bahwa air dalam barang bawaannya adalah sesuatu yang seharusnya ia ketahui karena itu adalah tanggung jawabnya sendiri, sedangkan apa yang bukan dalam kepemilikannya adalah sesuatu di luar kuasanya, dan ia hanya dituntut untuk mengetahui yang tampak, bukan yang tersembunyi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada air dalam barang bawaannya, tetapi musuh menghalanginya, atau ada binatang buas, kebakaran, sehingga ia tidak bisa mencapainya, maka ia boleh bertayamum dan shalat. Ini dianggap sebagai orang yang tidak menemukan air karena tidak bisa mencapainya. Jika ada air dalam barang bawaannya tetapi ia salah mencari dan waktu shalat tiba, lalu ia mencari air tetapi tidak menemukannya, ia boleh bertayamum dan shalat. Jika ia berada di laut dan tidak membawa air di kapalnya, serta tidak bisa mengambil air laut karena kondisi yang sulit atau tidak ada alat untuk mengambilnya, ia boleh bertayamum dan shalat tanpa perlu mengulanginya, karena ini dianggap sebagai orang yang tidak mampu mendapatkan air.

[Bab Niat dalam Tayamum]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Tayamum tidak sah kecuali setelah mencari air dan tidak menemukannya, lalu ia berniat untuk bertayamum. (Imam Syafi’i berkata): Tayamum tidak sah tanpa mencari air terlebih dahulu. Jika seseorang bertayamum sebelum mencari air, tayamumnya tidak sah.

Dia harus mengulangi tayammum setelah mencari air dan tidak menemukannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berniat tayammum untuk bersuci dari hadas kecil guna shalat wajib, maka setelahnya ia boleh mengerjakan shalat sunnah, membaca Al-Qur’an dari mushaf, menshalati jenazah, melakukan sujud tilawah, dan sujud syukur. Namun, jika tiba waktu shalat wajib lainnya dan ia belum batal, ia tidak boleh menunaikannya kecuali dengan mencari air terlebih dahulu setelah masuk waktu. Jika tidak menemukan air, ia harus memperbarui niat untuk tayammum agar sah digunakan untuk shalat tersebut.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia ingin mengumpulkan dua shalat, lalu menunaikan shalat pertama kemudian mencari air tetapi tidak menemukannya, ia harus memperbarui niat untuk tayammum yang sah, lalu bertayammum, kemudian mengerjakan shalat wajib berikutnya. Jika ada beberapa shalat yang terlewat, ia harus mengulang tayammum untuk setiap shalat sebagaimana penjelasan sebelumnya, dan tidak boleh menggunakan tayammum yang sama. Jika ia mengerjakan dua shalat dengan satu tayammum, ia harus mengulangi shalat yang kedua karena tayammum hanya sah untuk shalat pertama, bukan yang kedua.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bertayammum dengan niat untuk shalat sunnah, jenazah, membaca mushaf, sujud tilawah, atau sujud syukur, ia tidak boleh menggunakannya untuk shalat wajib sampai ia berniat tayammum khusus untuk shalat wajib.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika ia bertayammum untuk menggabungkan beberapa shalat yang terlewat, tayammum tersebut hanya sah untuk shalat pertama, bukan yang lain. Ia harus mengulangi setiap shalat yang dikerjakan dengan tayammum yang tidak sesuai niatnya dan bertayammum ulang untuk masing-masing shalat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bertayammum dengan niat untuk shalat wajib, tidak masalah baginya mengerjakan shalat sunnah sebelumnya, menshalati jenazah, membaca mushaf, atau melakukan sujud syukur dan sujud tilawah. Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak boleh mengerjakan dua shalat wajib dengan satu tayammum atau shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat wajib?” Jawabannya: “Atas kehendak Allah Ta’ala, ketika Allah memerintahkan orang yang hendak shalat dan tidak menemukan air untuk bertayammum, itu menunjukkan bahwa tidak disebut ‘tidak menemukan air’ kecuali setelah sebelumnya berniat mencari air dan tidak mendapatkannya. Allah hanya mewajibkan pencarian air untuk shalat wajib, sehingga tidak sah—wallahu a’lam—jika niat tayammum bukan untuk shalat wajib lalu digunakan untuk shalat wajib. Setiap shalat wajib memiliki kewajiban yang sama, sehingga tayammum hanya sah jika dilakukan setelah mencari air dan tidak menemukannya. Oleh karena itu, kami berpendapat tidak boleh mengerjakan dua shalat wajib dengan satu tayammum karena setiap shalat memiliki kewajiban yang sama, sedangkan shalat sunnah mengikuti shalat wajib dan tidak memiliki hukum terpisah.”

(Imam Syafi’i berkata): Tayammum hanya sah dalam kondisi tertentu. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang bertayammum lalu menemukan air, ia wajib berwudhu? Demikian pula wanita mustahadhah atau orang yang mengeluarkan darah terus-menerus yang memiliki air—mereka dan orang yang bertayammum tidak berbeda dalam kewajiban berwudhu untuk setiap shalat wajib karena tayammum adalah bersifat darurat, bukan bersuci yang sempurna. Jika ada yang berkata, “Bagaimana jika berada di tempat yang tidak mungkin menemukan air?” Jawabannya: “Harapan tidaklah hilang, bisa saja ada musafir membawa air, muncul aliran sungai, ditemukannya kolam, atau air yang tersembunyi di tempat yang tidak terduga.”

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang boleh bertayammum lalu melakukannya, tetapi sebelum masuk shalat (sebelum takbiratul ihram) ia menemukan air, ia tidak boleh shalat kecuali berwudhu terlebih dahulu. Jika ada musafir membawa air tetapi menolak memberikannya, atau ia menemukan air tetapi terhalang, atau tidak mampu mengambilnya, tayammum pertamanya tidak sah. Ia harus memperbarui niat setelah tidak mendapatkan air tersebut untuk tayammum yang sah guna shalat wajib.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia bertayammum lalu memulai shalat sunnah atau shalat jenazah, kemudian melihat air, ia boleh melanjutkan shalatnya. Setelah selesai, ia harus berwudhu jika mampu untuk shalat wajib. Jika tidak mampu, ia harus memperbarui niat untuk shalat wajib dan bertayammum ulang. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika ia memulai shalat sunnah dengan takbir lalu melihat air, ia boleh menyelesaikan dua rakaat tetapi tidak boleh menambahkannya, kemudian salam dan mencari air.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia bertayammum lalu memulai shalat wajib, kemudian melihat air, ia tidak perlu memutus shalat dan boleh menyelesaikannya. Setelah selesai, ia harus berwudhu untuk shalat lainnya dan tidak boleh berpindah shalat dengan tayammum yang sama jika ia menemukan air setelah keluar dari shalat tersebut.

Jika ia bertayammum lalu memulai shalat wajib, kemudian mimisan dan berhenti untuk membersihkan darah, lalu menemukan air, ia tidak boleh melanjutkan shalat kecuali berwudhu ulang karena ia berada dalam keadaan tidak boleh shalat sementara memiliki air. (Imam Syafi’i berkata): Jika saat mimisan ia mencari air tetapi tidak menemukan cukup untuk wudhu, hanya cukup untuk membersihkan darah, ia boleh membersihkannya lalu mengulang tayammum karena ia berada dalam keadaan yang tidak sah untuk shalat selama darah masih mengalir.

Air dalam keadaan itu mengharuskannya untuk mencarinya. Jika dia mencarinya tetapi tidak menemukannya, maka dia harus memperbarui niat yang memungkinkannya untuk bertayammum. Jika seseorang bertanya: “Apa perbedaan antara melihat air sebelum masuk shalat dan tidak boleh memulai shalat sampai dia mencarinya, lalu jika tidak menemukannya, dia memperbarui niat dan bertayammum, dengan masuk shalat lalu melihat air mengalir di sampingnya? Sedangkan Anda mengatakan jika seorang budak wanita dimerdekakan dan telah shalat satu rakaat, maka dia harus menutup kepala (berkerudung) untuk sisa shalatnya, dan tidak sah tanpa itu?” 

Dijawab kepadanya—insya Allah Ta’ala—”Aku memerintahkan budak wanita untuk berkerudung dalam sisa shalatnya dan orang sakit untuk berdiri jika mampu dalam sisa shalatnya, karena keduanya berada dalam shalat mereka setelahnya, dan hukum mereka dalam keadaan mereka untuk sisa shalat adalah bahwa yang satu menutup kepala (sebagai wanita merdeka) dan yang lain berdiri (karena sudah mampu). Aku tidak membatalkan apa pun dari shalat yang telah mereka lakukan sebelumnya, karena keadaan pertama mereka berbeda dengan keadaan setelahnya. Wudhu dan tayammum adalah amalan di luar shalat. Jika keduanya telah selesai dan sah, maka orang yang masuk shalat diperbolehkan, dan keduanya telah selesai serta tidak perlu diulang. Orang yang masuk shalat telah taat dengan memulai shalat, dan apa yang telah dia shalat tercatat baginya. Maka tidak boleh amalnya dihapuskan karena apa yang telah tercatat baginya, sehingga dia harus mengulang wudhu. Sesungguhnya Allah hanya menghapus amal karena kesyirikan kepada-Nya, sehingga tidak boleh dikatakan kepadanya, ‘Berwudhulah dan lanjutkan shalatmu.’ 

Jika terjadi keadaan di mana dia tidak boleh memulai tayammum padahal sudah bertayammum, maka tayammumnya telah selesai, dan dia masuk ke shalat. Shalat bukanlah tayammum, sehingga dia memulai shalat dengan amalan selainnya, dan itu telah selesai serta sah untuk memulai shalat. Tidak ada hukum bagi orang yang bertayammum kecuali masuk ke dalam shalat. Ketika dia masuk shalat dengannya, maka hukumnya telah selesai. Apa yang halal baginya di awal shalat, halal pula di akhirnya.” 

[Bab Cara Tayammum] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman, “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajah dan tanganmu dengannya.” (QS. An-Nisa’: 43). 

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abul Huwairits Abdurrahman bin Muawiyah dari Al-A’raj dari Ibnu Ash-Shammah, “Rasulullah ﷺ bertayammum lalu mengusap wajah dan kedua lengannya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Masuk akal bahwa jika tayammum adalah pengganti wudhu untuk wajah dan kedua tangan, maka tayammum dilakukan sebagaimana wudhu dilakukan pada keduanya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla ketika menyebut keduanya, berarti Dia menggugurkan anggota wudhu dan mandi selain itu dalam tayammum. 

(Imam Syafi’i berkata): Seseorang tidak sah bertayammum kecuali jika mengusap wajah dan kedua lengannya sampai siku. Siku termasuk bagian yang diusap dalam tayammum. Jika dia meninggalkan sedikit saja dari ini, sedikit atau banyak, maka dia harus mengusapnya. Jika dia shalat sebelum mengusapnya, dia harus mengulang shalat. Baik itu seukuran dirham, lebih kecil, atau lebih besar, selama terlihat oleh mata atau dia yakin telah meninggalkannya. Jika dia tidak melihatnya tetapi yakin ada yang terlewat, maka dia harus mengulangnya dan mengulang semua shalat yang telah dilakukan sebelum mengulang tayammum. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia melihat bahwa debu telah mengenai kedua tangannya pada wajah, lengan, dan sikunya, dan tidak ada yang terlewat, maka itu sudah mencukupi. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah kecuali dengan menepuk sekali untuk wajahnya. Aku lebih suka jika dia menepuk dengan kedua tangannya sekaligus. Jika dia membatasi dengan menepuk satu tangan lalu mengusapkannya ke seluruh wajah, itu sah. Demikian juga jika menepuk dengan sebagian tangannya, yang penting debu mengenai wajahnya. Begitu pula jika dia menepuk debu dengan sesuatu lalu mengambil debu dari alat selain tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah. Atau jika orang lain bertayammum untuknya atas perintahnya. 

Jika angin menerbangkan debu ke wajahnya lalu dia mengusap debu yang ada di wajahnya, itu tidak sah karena dia tidak sengaja mengambilnya untuk wajahnya. Namun, jika dia mengambil debu dari kepalanya lalu mengusapkannya ke wajah, itu sah. Demikian juga jika mengambil debu dari sebagian tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan. 

(Imam Syafi’i berkata): Dia harus menepuk dengan kedua tangannya sekaligus untuk lengannya. Tidak sah selain itu jika dia bertayammum sendiri, karena seseorang tidak bisa mengusap satu tangan kecuali dengan tangan yang berlawanan (tangan kanan diusap dengan kiri, dan sebaliknya). 

(Imam Syafi’i berkata): Dia harus menyela jari-jemarinya dengan debu dan mengusap bagian-bagian wudhu dengan debu sebagaimana dia melakukannya dengan air. 

(Imam Syafi’i berkata): Bagaimanapun debu mengenai lengannya, asalkan sampai, itu sudah mencukupi.

Selain itu dengan perintah-Nya sebagaimana telah aku sebutkan dalam penjelasan (Berkata Asy-Syafi’i): Cara tayammum adalah seperti yang telah aku jelaskan, yaitu menepukkan kedua tangannya secara bersamaan ke wajahnya, kemudian mengusapkannya bersama-sama ke wajah dan bagian luar jenggotnya. Tidak sah jika tidak melakukan ini atau meninggalkan pengusapan pada jenggotnya. Kemudian, ia menepukkan kedua tangannya secara bersamaan ke lengan bawahnya, lalu meletakkan lengan kanannya di telapak tangan kirinya, kemudian mengusapkan telapak tangannya ke punggung lengan bawahnya, serta mengusapkan jari-jemarinya ke tepi lengan bawahnya dan ibu jarinya ke pergelangan lengan bawahnya untuk memastikan bahwa ia telah melakukannya dengan sempurna. Jika sudah sempurna pada usapan pertama, cukup baginya tanpa harus membalikkan tangannya. Setelah selesai dengan tangan kanannya, ia bertayammum untuk lengan kiri dengan telapak tangan kanannya. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika ia memulai dengan tangannya sebelum wajahnya, ia harus mengulangi dengan bertayammum untuk wajahnya terlebih dahulu, kemudian lengan bawahnya. Jika ia memulai dengan lengan kiri sebelum kanan, tidak wajib mengulang, tetapi hal itu makruh baginya sebagaimana telah aku sebutkan dalam wudhu. 

Jika seseorang tidak memiliki tangan atau kedua tangannya, ia bertayammum pada sisa bagian yang terpotong. Jika tangannya terpotong dari siku, ia bertayammum pada sisa bagian siku. Jika tangannya terpotong dari bahu, lebih aku sukai jika ia mengusapkan debu ke bahunya, tetapi jika tidak dilakukan, tidak ada kewajiban baginya karena tidak ada kewajiban wudhu atau tayammum pada bagian tersebut. Kewajiban tayammum pada tangan sama seperti kewajiban wudhu. 

Jika tangannya terpotong dari siku, lebih aku sukai jika ia mengusapkan debu ke lengan atas sebagai bentuk kehati-hatian. Aku berpendapat demikian karena itu termasuk bagian dari nama “tangan,” meskipun tidak wajib. Rasulullah ﷺ bertayammum pada lengan bawahnya, menunjukkan bahwa kewajiban tayammum dari Allah pada tangan sama seperti kewajiban wudhu. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang tidak memiliki tangan dan tidak menemukan orang yang dapat membantu bertayammum, jika ia mampu mengotori tangannya dengan debu hingga debu menempel padanya atau mencari cara lain, seperti menggunakan kakinya atau lainnya, itu cukup. Jika tidak mampu, ia boleh mengusapkan wajahnya dengan lembut hingga debu menempel, lalu melakukan hal yang sama pada tangannya, kemudian shalat, dan shalatnya sah. Jika ia tidak mampu mengusap kedua tangannya, cukup mengusap salah satunya, lalu shalat, tetapi ia harus mengulangi shalatnya jika nanti menemukan orang yang dapat membantu bertayammum atau berwudhu. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seorang musafir menemukan air yang tidak cukup untuk membersihkan seluruh anggota wudhunya, ia tidak wajib menggunakan air tersebut untuk mencuci sebagian anggota wudhunya. (Berkata Ar-Rabi’): Ada pendapat lain bahwa ia boleh mencuci sebagian anggota wudhu dengan air yang ada, lalu bertayammum setelahnya. (Berkata Ar-Rabi’): Karena kesuciannya belum sempurna, seperti jika sebagian anggota wudhunya terluka, ia mencuci yang sehat lalu bertayammum karena kesuciannya belum lengkap. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia bertayammum. (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak sah tayammum kecuali jika debu mengenai bagian yang biasa terkena wudhu, yaitu wajah dan kedua tangan hingga siku. 

[Pasal tentang Debu yang Boleh dan Tidak Boleh Digunakan untuk Tayammum] 

(Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-): Allah Ta’ala berfirman, “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik.” (QS. An-Nisa’: 43). (Berkata Asy-Syafi’i): Segala sesuatu yang disebut “sha’id” (debu) dan tidak tercampur najis adalah debu yang baik untuk tayammum. Sedangkan sesuatu yang tidak termasuk dalam makna “sha’id” tidak boleh digunakan untuk tayammum. Nama “sha’id” hanya berlaku untuk debu yang berdebu. (Berkata Asy-Syafi’i): Adapun kerikil kasar atau halus…

Bukit pasir yang tebal tidak termasuk dalam kategori sa’id (tanah yang boleh digunakan untuk tayammum), meskipun tercampur dengan tanah atau lumpur yang berdebu. Yang dianggap sa’id adalah tanah yang tercampur dengannya. Jika seseorang yang bertayammum menepukkan kedua tangannya ke atasnya dan menempelkan debu, maka tayammumnya sah. Namun, jika ia menepukkan tangannya ke atasnya atau ke tempat lain dan tidak ada debu yang menempel, lalu mengusapkannya, maka tayammumnya tidak sah. 

Demikian pula dengan semua jenis tanah, seperti tanah payau, berlumpur, berkerikil, atau lainnya. Jika ketika ditepuk dengan tangan, debu menempel dan digunakan untuk tayammum, maka sah. Jika tidak ada debu yang menempel, maka tayammumnya tidak sah. Begitu juga jika orang yang bertayammum mengibaskan bajunya atau sebagian peralatannya sehingga keluar debu tanah, lalu ia bertayammum dengannya, maka sah selama tanah tersebut termasuk jenis debu yang suci. 

Jika seseorang menepukkan kedua tangannya ke tanah dan menempel banyak debu, tidak masalah jika ia mengibaskan sebagiannya selama masih tersisa debu yang cukup untuk mengusap seluruh wajah. Lebih baik jika ia meletakkan tangannya dengan lembut di tanah terlebih dahulu, lalu bertayammum. Jika banyak debu menempel di tangannya dan diusapkan ke wajah, tidak masalah. Namun, jika terlalu banyak dan diusapkan ke wajah, tayammumnya tidak sah. Ia tidak boleh mengambil debu dari wajahnya untuk mengusap lengan, melainkan harus mengambil debu baru untuk lengan. Jika ia mengusap lengan dengan debu yang sama, maka harus mengambil debu baru lagi untuk lengan. 

Jika ia menepuk satu bagian tanah untuk wajah, lalu menepuk bagian lain untuk lengan, maka sah. Demikian juga jika ia bertayammum dari tempat yang sama, karena setiap tepukan mengambil debu yang berbeda. 

Jika debu dikikis dari dinding dan digunakan untuk tayammum, maka sah. Jika ia meletakkan tangannya di dinding dan debu menempel, lalu digunakan untuk tayammum, maka sah. Jika tidak ada debu yang menempel, tidak sah. Jika debu tercampur dengan kapur, jerami halus, tepung gandum, atau lainnya, tayammum tidak sah kecuali jika debu tersebut murni. 

Jika debu telah diolah sehingga tidak lagi disebut debu atau sa’id, seperti batang tebu yang dimasak atau batu bata yang dihancurkan, maka tayammum dengannya tidak sah. 

Tidak sah bertayammum dengan kapur, celak, arsenik, atau batu lainnya, meskipun dihancurkan hingga seperti debu. Demikian pula dengan kaca, mutiara, minyak misik, kapur barus, wewangian, atau benda lainnya yang dihancurkan menjadi debu tetapi bukan sa’id. 

Adapun tanah liat Armenia atau tanah liat yang bisa dimakan, jika dihancurkan dan digunakan untuk tayammum, maka sah. Namun, jika batu khazan (sejenis batu) dihancurkan, tayammum dengannya tidak sah karena termasuk batu. 

Tidak sah bertayammum dengan tawas, dzarirah (serbuk pewarna), getah pohon, serpihan emas atau perak, atau selain yang telah disebutkan sebagai sa’id. 

Tidak sah bertayammum dengan tanah yang diketahui terkena najis, kecuali jika telah dibersihkan dengan air, seperti tanah yang tercampur najis tanpa zat padat (seperti air kencing) harus disiram air hingga tergenang. Jika najisnya berupa zat padat, harus dihilangkan terlebih dahulu, lalu disiram air di tempatnya atau digali hingga yakin tidak tersisa. 

Tidak sah bertayammum dengan tanah kuburan karena tercampur nanah, daging, atau tulang mayat, meskipun terkena hujan, karena mayat tetap ada di sana dan air tidak menghilangkannya. Demikian pula dengan tanah yang tercampur najis lainnya. 

Jika tanah basah, tidak sah untuk tayammum karena menjadi lumpur. Gunakan debu dari mana saja. Jika pakaian atau kakinya basah, ia bisa mengeringkan lumpur di sebagian peralatannya atau tubuhnya. Setelah kering, dikikis dan digunakan untuk tayammum. Tidak sah selain cara ini. 

Jika wajahnya terkena lumpur, tidak sah untuk tayammum karena tidak termasuk sa’id. Demikian pula jika tanah di rawa basah.

Dia bertayamum dengannya karena ia seperti lumpur yang tidak berdebu. Meskipun ada dalam lumpur dan tidak ada bagian yang kering hingga dikhawatirkan waktu salat habis, maka dia salat terlebih dahulu. Ketika lumpur itu mengering, dia bertayamum dan mengulangi salatnya. Salat yang dia lakukan tanpa wudu atau tayamum tidak dianggap. 

Jika seseorang terkurung di penjara, di tempat kotor, atau di tempat yang tanahnya najis, dan tidak menemukan air, atau menemukan air tetapi tidak menemukan tempat suci untuk salat atau sesuatu yang suci untuk dijadikan alas salat, maka dia salat dengan isyarat. Aku memerintahkannya untuk salat dan mengulangi salatnya di sini. Aku memerintahkan demikian karena dia masih mampu salat dalam kondisi apa pun. Menurutku, tidak boleh ada waktu salat yang berlalu tanpa dia salat sesuai kemampuannya. Aku memerintahkannya untuk mengulang karena salatnya belum sah. 

Begitu pula tawanan yang dipaksa atau orang yang dipaksa, serta orang yang dihalangi dari menunaikan salat, dia salat sesuai kemampuannya, baik duduk atau dengan isyarat, lalu mengulanginya dengan sempurna ketika sudah mampu. Jika orang yang terkurung itu mampu menggunakan air, dia harus berwudu meskipun salatnya tidak sah. Jika dia mampu menggunakan sesuatu yang bersih untuk alas salat, dia harus menggelarnya. Jika tidak mampu, dia boleh menggunakan apa saja yang bisa dia dapatkan, meskipun harus menggantinya nanti. 

Begitu pula jika dia terkurung dalam keadaan terikat di kayu atau tidak bisa salat sama sekali, dia salat dengan isyarat dan mengqadanya ketika sudah mampu. Jika dia meninggal sebelum sempat mengqada, aku berharap dia tidak berdosa karena dia dihalangi dari menunaikan salat, sedangkan Allah tahu niatnya untuk menunaikannya. 

[Bab Mengingat Allah ‘Azza wa Jalla Tanpa Wudu] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abu Bakr bin Umar bin Abdurrahman, dari Nafi’, dari Ibnu Umar: “Seorang lelaki melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Lelaki itu memberi salam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya. Setelah lewat, Nabi memanggilnya dan bersabda, ‘Aku menjawab salammu karena khawatir engkau pergi dan berkata, “Aku memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau tidak menjawab.” Jika engkau melihatku dalam keadaan seperti ini, jangan memberi salam, karena jika engkau melakukannya, aku tidak akan menjawab.'” 

Diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abul Huwairits, dari Al-A’raj, dari Ibnu Ash-Shammah: “Aku melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Aku memberi salam, tetapi beliau tidak menjawab hingga beliau berdiri di dekat dinding, menggosok tangannya dengan tongkat yang dibawanya, lalu mengusap tangannya ke dinding, kemudian mengusap wajah dan kedua lengannya, barulah beliau menjawab salamku.” 

Diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim, dari Yahya bin Sa’id, dari Sulaiman bin Yasar: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke sumur Jamal untuk buang hajat. Ketika kembali, ada yang memberi salam, tetapi beliau tidak menjawab hingga mengusap dinding, baru kemudian menjawab salam.” 

(Imam Syafi’i berkata): Dua hadis pertama sahih, dan kami berpegang padanya. Dalam hadis-hadis tersebut terdapat petunjuk bahwa salam adalah salah satu nama Allah Ta’ala. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam sebelum atau setelah tayamum—padahal tayamum tidak sah bagi orang yang sehat di waktu yang tidak diperbolehkan tayamum—ini menunjukkan bahwa berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla boleh dilakukan tanpa bersuci untuk salat. 

(Imam Syafi’i berkata): Dan sepertinya—wallahu a’lam—membaca Al-Qur’an juga boleh tanpa bersuci, karena itu termasuk zikir kepada Allah Ta’ala. 

(Imam Syafi’i berkata): Hadis ini juga menjadi dalil bahwa orang yang melewati seseorang yang sedang buang air kecil atau besar sebaiknya menahan diri dari memberi salam saat itu. Juga menjadi dalil bahwa menjawab salam dalam keadaan seperti itu boleh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam dalam keadaan tersebut. Tidak menjawab salam hingga selesai dan bertayamum juga boleh, kemudian baru menjawab. Menunda jawaban salam tidak berarti menghilangkan kewajibannya, tetapi mengakhirkan hingga bertayamum. 

(Imam Syafi’i berkata): Menunda jawaban salam hingga tayamum menunjukkan bahwa berzikir setelah tayamum lebih utama daripada sebelumnya, meskipun keduanya boleh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam sebelum dan setelah tayamum. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berpendapat bahwa…

Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjawab salam karena hal itu telah diizinkan baginya. Kami berpendapat bolehnya tayamum untuk jenazah dan dua hari raya jika seseorang ingin melakukannya dan khawatir kehilangan keduanya. Kami berpendapat bahwa jenazah dan hari raya adalah shalat, dan tayamum tidak diperbolehkan di kota untuk shalat. Jika kamu beranggapan bahwa keduanya adalah dzikir, maka hari raya boleh dilakukan tanpa tayamum sebagaimana salam boleh dilakukan tanpa tayamum.

[Bab Apa yang Menyucikan Tanah dan Apa yang Tidak Menyucikannya] 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – berkata: 

“Seorang badui masuk masjid lalu berdoa, ‘Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati seorang pun bersama kami.’ Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, ‘Sungguh, kamu telah menyempitkan yang luas.’ Tidak lama kemudian, orang itu kencing di salah satu sudut masjid. Para sahabat segera ingin menghardiknya, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang mereka. Kemudian beliau memerintahkan untuk menyiramnya dengan seember air. Lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, ‘Ajarilah, mudahkanlah, dan jangan mempersulit.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Yahya bin Sa’id, dia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: 

“Seorang badui kencing di masjid, lalu orang-orang bergegas menghampirinya. Namun, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang mereka dan bersabda, ‘Siramlah dengan seember air.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang kencing di tanah, baik bekas kencingnya masih basah atau tanah telah menyerapnya hingga tempatnya mengering, maka siramlah dengan air yang cukup untuk menggenanginya hingga kencing itu hilang terserap tanah dan air mengalir ke seluruh bagiannya, menghilangkan baunya, sehingga tidak ada lagi zat yang tersisa, baik berupa bau maupun warna. Dengan demikian, tanah itu telah suci. Ukuran minimalnya adalah seperti satu ember besar untuk kencing seorang laki-laki. Jika lebih banyak, maka diperlukan lebih banyak air lagi. Aku tidak ragu bahwa hal itu bisa tujuh kali atau lebih, dan tidak ada cara lain untuk menyucikannya selain dengan air. 

(Dia berkata): Jika ada orang lain yang kencing di atas bekas kencing pertama, maka tanah tidak akan suci kecuali dengan dua ember air. Jika dua orang kencing di tempat yang sama, diperlukan tiga ember. Jika lebih banyak, tempat itu tidak akan suci sampai disiram air yang cukup untuk setiap kencing seorang laki-laki, yaitu sebanyak satu ember besar atau lebih. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika tempat yang terkena kencing adalah khmar (arak), maka siramlah seperti menyiram kencing. Tidak ada perbedaan dalam jumlah air yang digunakan. Jika warna dan baunya hilang dari tanah, maka tanah itu telah suci. 

(Dia berkata): Jika warnanya hilang tetapi baunya masih ada, maka ada dua pendapat: 

  1. Tanah tidak suci sampai baunya hilang, karena bau khmar masih melekat seperti warna dan zatnya. Jadi, tanah tidak suci sampai disiram air yang cukup untuk menghilangkannya. Jika baunya hilang tanpa disiram air, tanah tetap tidak suci sampai disiram air sebagaimana untuk menyucikan kencing.
  2. Jika sudah disiram air secukupnya dan warna serta baunya hilang—tidak ada lagi zat atau warna—maka tanah itu suci.

Jika banyak khmar yang tumpah di tanah, maka perlakuannya sama seperti banyaknya kencing, yaitu ditambah air sebagaimana telah dijelaskan. 

Hal yang sama berlaku untuk segala sesuatu yang bukan zat (jisim) dalam makna ini. Jika ada bangkai di permukaan tanah dan mengeluarkan cairan, lalu bangkainya dipindahkan, maka siramlah cairannya dengan air seperti menyiram kencing atau khmar. Jika setelah disiram air tidak terlihat lagi bekas, warna, atau baunya, maka tanah itu suci. 

Demikian pula jika di tanah ada kotoran, darah, atau najis lainnya, lalu dibersihkan. 

(Dia berkata): Jika sesuatu yang cair seperti kencing, khmar, nanah, atau semisalnya tumpah di tanah, lalu bekas, warna, dan baunya hilang—baik karena panas matahari atau lainnya—maka tanah tidak suci kecuali disiram air. 

Jika hujan turun dengan kadar yang cukup—menurut pengetahuan—untuk membasahi tempat najis lebih banyak daripada air yang telah dijelaskan untuk menyucikannya, maka hujan itu dapat menyucikannya. Begitu pula jika ada banjir yang menggenangi tanah sebentar hingga tanah menyerap air seperti ketika disiram. Aku menduga banjir yang melintas pasti membuat tanah menyerap air lebih banyak daripada jika disiram manual. Jika diketahui pasti bahwa banjir…

Jika dia mengusapnya sekali usapan yang tidak mengambil kadar yang dapat menyucikannya, maka tidak suci hingga dituangkan air yang menyucikannya. Jika dituangkan ke tanah yang najis seperti air kencing, lalu tempat itu ditaburi debu dan digali hingga tidak tersisa sedikit pun dari benda basah di tanah itu, maka hilanglah seluruh najis dan menjadi suci tanpa air. Namun jika mengering dan masih ada bekasnya, lalu digali hingga tidak terlihat bekasnya, tetap tidak suci karena bekas hanya bisa hilang dengan air, kecuali jika diketahui pasti bahwa penggalian telah mencapai kedalaman yang biasa dicapai oleh air kencing, maka tanah itu suci.

Adapun setiap benda atau materi padat dari najis seperti bangkai, kotoran, darah, dan sejenisnya, tanah tidak akan suci darinya kecuali dengan menghilangkannya, kemudian dituangkan air jika masih ada yang perlu dituangkan seperti pada air kencing atau khamar. Jika benda-benda itu menyatu dengan tanah hingga tercampur dan tidak bisa dibedakan lagi, maka tanah itu seperti kuburan—tidak boleh salat di atasnya dan tidak suci, karena tanahnya tidak terpisah dari benda haram yang tercampur. Demikian pula segala sesuatu yang bercampur dengan kotoran atau sejenisnya.

Jika bangkai terkubur di tanah dan tertutup tanah yang tidak basah karena kelembapannya, maka makruh salat di atas kuburnya. Namun, jika seseorang tetap salat di sana, aku tidak memerintahkannya untuk mengulangi salatnya. Hal yang sama berlaku untuk najis-najis yang dikubur tanpa bercampur dengan tanah. Jika batu bata dibuat dari bahan yang mengandung air kencing, tidak boleh salat di atasnya hingga dituangkan air sebagaimana dituangkan pada tanah yang terkena air kencing. Aku juga memakruhkan penggunaan batu bata itu sebagai alas masjid atau bahan bangunan. Jika masjid dibangun dengan batu bata itu atau dindingnya terbuat darinya, aku memakruhkannya, tetapi jika seseorang salat menghadap ke arahnya, aku tidak memakruhkannya dan dia tidak wajib mengulangi salat. Demikian pula jika salat di pekuburan, kuburan, atau bangkai di depannya, karena yang diwajibkan hanyalah menjaga kesucian tanah yang bersentuhan dengannya.

Baik batu bata yang dicampur air kencing itu dibakar atau mentah, tetap tidak suci dengan api. Api tidak menyucikan apa pun. Air harus dituangkan ke seluruhnya seperti yang telah kujelaskan. Jika batu bata dibuat dari tulang bangkai, dagingnya, darah, atau najis padat lainnya yang haram, maka tidak boleh salat di atasnya sama sekali—baik dibakar atau tidak, dicuci atau tidak—karena bangkai adalah bagian yang tetap ada di dalamnya. Tidakkah kamu melihat bahwa jika bangkai dicuci dengan air dunia, tetap tidak suci dan tidak boleh salat di atasnya selama masih berupa benda padat?

Salat seseorang tidak sah di atas tanah atau benda yang menjadi alasnya kecuali seluruh yang bersentuhan dengan tubuhnya suci. Jika ada bagian yang tidak suci tetapi tidak bersentuhan dengannya, sedangkan yang bersentuhan suci, maka salatnya sah. Namun, aku memakruhkannya kecuali jika salat di tempat yang seluruhnya suci. Baik yang bersentuhan itu tangan, kaki, lutut, dahi, hidung, atau bagian tubuh lainnya, hukumnya sama. Demikian pula jika pakaiannya jatuh di atas najis, lalu ada bagian tubuh yang menyentuh najis itu, salatnya tidak sah dan wajib diulangi.

Karpet atau alas salat seperti tanah: jika seseorang berdiri di bagian yang suci meskipun sisanya najis, salatnya sah. Berbeda dengan pakaian: jika dia memakai sebagian pakaian yang suci dan sebagian lainnya tidak menempel padanya (misalnya terjuntai) dan bagian yang terjuntai itu najis, salatnya tidak sah. Sebab, dia dianggap memakai pakaian najis, dan ketika bergerak, pakaian itu bergerak bersamanya. Selama berdiri di tanah, yang diperhitungkan hanya yang bersentuhan. Jika bergerak, tidak dianggap sebagai bagian dari tanah. Demikian pula benda lain yang dijadikan alas selain tanah.

Jika seseorang yakin telah menyentuh najis di tanah, lebih baik dia berpindah ke tempat yang tidak diragukan kesuciannya. Namun, jika tidak melakukannya, salatnya sah selama tidak yakin adanya najis. Demikian pula jika salat di suatu tempat lalu ragu apakah terkena najis atau tidak, salatnya sah karena tanah dianggap suci hingga ada keyakinan tentang kenajisannya.

[Bab: Lalu Lintas Orang Junub dan Musyrik di Atas Tanah] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah mendekati salat ketika kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu hingga kalian mandi.” (QS. An-Nisa: 43).

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

(Imam Syafi’i berkata): Sebagian ahli ilmu Al-Quran menafsirkan firman Allah SWT {Dan janganlah (menghampiri masjid) dalam keadaan junub kecuali sekedar berlalu saja} [An-Nisa: 43]. Mereka berkata, “Jangan mendekati tempat-tempat shalat.” Pendapat ini mirip dengan yang dikatakan karena dalam shalat tidak ada ‘berlalu saja’, yang dimaksud ‘berlalu’ adalah di tempat shalat yaitu masjid. Maka tidak mengapa orang junub melewati masjid asal hanya lewat dan tidak bermalam, berdasarkan firman Allah SWT {Dan janganlah (menghampiri masjid) dalam keadaan junub kecuali sekedar berlalu saja} [An-Nisa: 43].

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan dari Utsman bin Abi Sulaiman bahwa ketika kaum musyrik Quraisy datang ke Madinah untuk menebus tawanan mereka, mereka bermalam di masjid, di antaranya Jubair bin Muth’im. Jubair berkata, “Aku mendengar bacaan Nabi SAW.” (Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang musyrik bermalam di semua masjid kecuali Masjidil Haram, karena Allah SWT berfirman {Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini} [At-Taubah: 28]. Maka tidak sepatutnya orang musyrik memasuki Haram dalam keadaan apapun. (Beliau berkata): Jika orang musyrik bermalam di masjid selain Masjidil Haram, maka demikian juga muslim. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia pernah bermalam di masjid di zaman Rasulullah SAW ketika masih lajang bersama para penghuni Shuffah.

(Beliau berkata): Tanah tidak menjadi najis karena dilalui orang haid, junub, musyrik, atau bangkai, karena tidak ada najis pada manusia yang hidup. Namun makruh bagi wanita haid melewati masjid, tetapi jika ia melewatinya, tidak menajiskannya.

[Pasal tentang penyambungan pada laki-laki dan perempuan]

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika tulang wanita patah dan mencuat, tidak boleh menyambungnya kecuali dengan tulang hewan yang halal dimakan dan disembelih. Demikian juga jika giginya lepas, maka menjadi bangkai dan tidak boleh dipasang kembali setelah terlepas. Tidak boleh memasang gigi selain gigi hewan halal yang disembelih. Jika menyambung tulang dengan tulang bangkai, hewan yang tidak halal dimakan, atau tulang manusia, maka hukumnya seperti bangkai. Ia harus mencabutnya dan mengulangi semua shalat yang dilakukan saat masih terpasang. Jika tidak mencabutnya, penguasa boleh memaksanya. Jika tidak dicabut sampai meninggal, tidak perlu dicabut setelah mati karena seluruh tubuhnya telah menjadi mayit, dan Allah yang akan menghisabnya. Demikian juga gigi yang lepas. Jika giginya goyang dan diikat sebelum lepas, tidak mengapa karena belum menjadi bangkai. (Beliau berkata): Tidak mengapa mengikatnya dengan emas karena bukan untuk dipakai, melainkan keadaan darurat. Ada riwayat dari Nabi SAW tentang emas yang lebih dari ini, yaitu “Seorang laki-laki hidungnya putus karena digigit anjing, lalu ia membuat hidung dari perak. Ia mengeluhkan bau busuk kepada Nabi SAW, lalu Nabi memerintahkannya untuk membuat hidung dari emas.”

(Beliau berkata): Jika seseorang memasukkan darah di bawah kulitnya lalu menumbuhkan daging, ia harus mengeluarkan darah itu dan mengulangi semua shalat yang dilakukan setelah memasukkan darah.

(Beliau berkata): Laki-laki dan perempuan tidak boleh shalat dalam keadaan menyambung rambut manusia dengan rambut mereka, atau rambut mereka dengan rambut hewan yang tidak halal dimakan, atau rambut hewan halal kecuali jika rambut itu diambil saat hewan masih hidup, maka statusnya seperti hewan sembelihan, seperti halnya susu. Atau diambil setelah disembelih, maka penyembelihan berlaku untuk seluruh bagian hidup dan matinya. Jika ada rambut mereka yang lepas lalu disambung dengan rambut manusia atau rambut mereka sendiri, tidak boleh shalat dengannya. Jika dilakukan, ada pendapat yang mengatakan harus mengulangi shalat. Rambut manusia tidak boleh dimanfaatkan seperti rambut hewan karena berbeda dengan rambut hewan halal yang disembelih atau masih hidup. (Imam Syafi’i berkata): Ibnu Uyainah mengabarkan dari Hisyam bin Urwah dari Fatimah binti Al-Mundzir dari Asma binti Abu Bakar, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, putriku terkena campak sehingga rambutnya rontok, bolehkah aku menyambungnya?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung.'” (Imam Syafi’i berkata): Jika rubah atau dub disembelih, boleh shalat dengan kulitnya dan rambut yang ada di kulitnya karena dagingnya halal dimakan. Demikian juga jika rambutnya diambil saat masih hidup, boleh shalat dengannya.

Demikian pula semua yang dagingnya dimakan, boleh shalat dengan kulitnya jika disembelih, serta dengan bulu dan bulu burungnya jika diambil saat masih hidup. Adapun yang dagingnya tidak dimakan, bulu yang diambil saat hidup atau setelah disembelih, tidak boleh shalat dengannya dan shalat harus diulang karena bulu tersebut tidak suci saat hidup, dan penyembelihan tidak berlaku pada bulu, sebab bulu yang disembelih atau tidak tetap sama. Begitu pula jika disamak, tidak boleh shalat dengan bulu atau bulu burungnya, karena penyamakan tidak mensucikan bulu atau bulu burung, tetapi mensucikan kulit, sebab kulit berbeda dengan bulu dan bulu burung. Demikian pula tulang hewan yang dagingnya tidak dimakan, tidak disucikan oleh penyamakan atau pencucian, baik disembelih atau tidak. 

[Bab Kesucian Pakaian] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan pakaianmu, sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir: 4). Dikatakan, shalatlah dengan pakaian yang suci, dan ada pula pendapat lain. Namun, pendapat pertama lebih tepat karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk mencuci darah haid dari pakaian. Setiap pakaian yang tidak diketahui siapa yang membuatnya—baik Muslim, musyrik, penyembah berhala, Majusi, Ahli Kitab, atau dipakai oleh salah satu dari mereka, atau anak kecil—dianggap suci sampai diketahui ada najis. Begitu pula pakaian anak-anak, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Abi Al-‘Ash yang masih kecil dengan pakaian anak-anak. Namun, lebih baik tidak shalat dengan pakaian, celana, sarung, atau selimut orang musyrik sebelum dicuci, meskipun tidak wajib. Jika seseorang shalat dengan pakaian orang musyrik atau Muslim, lalu tahu bahwa pakaian itu najis, ia harus mengulangi shalatnya. 

Setiap najis yang mengenai pakaian, seperti kotoran basah, air kencing, darah, khamr, atau sesuatu yang haram, jika pemiliknya yakin dan menemukan bekasnya—atau tidak—maka wajib dicuci. Jika tidak jelas letaknya, cukup mencuci seluruh pakaian kecuali darah, nanah, dan cairan luka. Jika darah berupa bercak yang terkumpul, meskipun kurang dari ukuran dinar atau fils, wajib dicuci karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk mencuci darah haid, dan darah haid minimal berupa bercak. Jika sedikit seperti darah kutu, tidak perlu dicuci karena kebanyakan orang membolehkannya. (Imam Syafi’i berkata): Nanah dan cairan luka lebih ringan, tidak perlu dicuci kecuali jika berupa bercak. Ada yang berpendapat, jika luka terus mengeluarkan cairan, cukup dicuci sekali. Wallahu a’lam. 

[Bab Air Mani] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala menciptakan Adam dari air dan tanah, menjadikan keduanya suci, dan menciptakan keturunannya dari air yang memancar. Awal penciptaan Adam dari dua unsur suci menunjukkan bahwa tidak ada makhluk lain yang diciptakan kecuali dari yang suci, bukan najis. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menunjukkan hal ini. 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Abi Salamah dari Al-Auza’i dari Yahya bin Sa’id dari Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” 

(Imam Syafi’i berkata): Mani tidak najis. Jika ada yang bertanya, mengapa digosok atau diusap? Jawabannya, seperti menggosok ingus, ludah, atau tanah yang menempel pada pakaian untuk membersihkan, bukan karena najis. Jika shalat sebelum digosok atau diusap, tidak masalah. Tidak ada yang najis dari mani, baik berupa air atau lainnya. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, (Imam Syafi’i berkata): Setiap yang keluar dari kemaluan berupa cairan kencing, madzi, wadi, atau yang tidak diketahui, semuanya najis kecuali mani. Mani yang kental, yang darinya tercipta anak, dan memiliki bau seperti bau bunga palma—tidak ada cairan lain dari kemaluan yang memiliki bau harum selain mani. Semua yang terkena selain mani dari apa yang keluar (dari kemaluan) adalah najis.

Barang siapa yang menyebutkan sesuatu dari pakaian, tubuh, atau lainnya, maka itu menajiskannya, baik sedikit maupun banyak sama saja. Jika dia yakin bahwa najis itu mengenainya, dia harus mencucinya, dan tidak ada yang menggantikannya. Jika dia tidak mengetahui letaknya, dia harus mencuci seluruh pakaiannya. Jika dia mengetahui letaknya tetapi tidak mengetahui ukurannya, dia harus mencuci bagian tersebut dan lebih dari itu. 

Jika dia shalat dengan pakaian tersebut sebelum mencucinya, baik dalam keadaan tahu atau tidak tahu, hukumnya sama, kecuali dalam hal dosa. Dia berdosa jika mengetahui dan tidak berdosa jika tidak tahu, tetapi dia harus mengulangi shalatnya. Setiap kali aku katakan “dia harus mengulangi,” maka dia harus mengulanginya sepanjang waktu karena jika dia shalat, shalatnya tidak sah kecuali jika sudah mencukupi. Jika tidak sah, maka hukumnya seperti orang yang tidak shalat, sehingga dia harus mengulanginya sepanjang waktu. 

Aku mengatakan bahwa mani tidak najis berdasarkan hadis dari Rasulullah ﷺ dan pemahaman akal. Jika ada yang bertanya, “Apa hadisnya?” Aku menjawab: Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Manshur, dari Ibrahim, dari Hammam bin Al-Harits, dari Aisyah yang berkata, “Aku menggosok mani dari pakaian Rasulullah ﷺ, kemudian beliau shalat dengannya.” 

Asy-Syafi’i berkata: Yahya bin Hassan mengabarkan kepada kami dari Hammad bin Salamah, dari Hammad bin Abi Sulaiman, dari Ibrahim, dari Alqamah atau Al-Aswad (Rabi’ ragu), dari Aisyah yang berkata, “Aku menggosok mani dari pakaian Rasulullah ﷺ, kemudian beliau shalat dengannya.” 

Rabi’ berkata: Yahya bin Hassan menceritakan kepada kami. Asy-Syafi’i berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dan Ibnu Juraij, keduanya meriwayatkan dari Atha’, dari Ibnu Abbas yang berkata tentang mani yang mengenai pakaian, “Singkirkan darimu.” Salah satunya berkata, “Dengan kayu atau idzkhir, karena ia seperti ludah atau ingus.” 

Asy-Syafi’i berkata: Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Jarir bin Abdil Hamid, dari Manshur, dari Mujahid yang berkata: Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash mengabarkan kepadaku dari ayahnya bahwa jika mani mengenai pakaiannya, jika basah, dia mengusapnya, dan jika kering, dia mengeriknya, kemudian shalat dengannya. 

Asy-Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Apa pemahaman akal bahwa mani tidak najis?” Maka Allah menciptakan Adam dari air dan tanah, dan menjadikan keduanya suci. Air dan tanah bisa menjadi alat bersuci dalam keadaan tidak ada air. Ini adalah bukti terbesar bahwa ia suci dan tidak najis. Allah menciptakan keturunan Adam dari air yang memancar, dan Dia Maha Mulia untuk menciptakan sesuatu dari yang najis. Selain itu, hadis Rasulullah ﷺ, riwayat dari Aisyah, Ibnu Abbas, dan Sa’d bin Abi Waqqash, serta pemahaman akal bahwa bau dan sifatnya berbeda dengan apa yang keluar dari kemaluan, menunjukkan hal ini. 

Jika ada yang berkata, “Sebagian sahabat Nabi ﷺ berkata, ‘Cucilah apa yang kamu lihat dan percikilah apa yang tidak kamu lihat,'” maka kami mencuci mani tanpa menganggapnya najis, sebagaimana kami mencuci kotoran dan keringat yang tidak kami anggap najis. Seandainya ada sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan ia najis, pendapat mereka tidak bisa dijadikan hujjah melawan Rasulullah ﷺ dan pemahaman yang telah kami sebutkan. 

Jika ada yang berkata, “Tetapi kita diperintahkan untuk mandi karenanya,” kami jawab: Mandi bukan karena najisnya apa yang keluar, tetapi karena itu adalah ibadah yang Allah perintahkan. Jika ditanya, “Apa dalilnya?” Katakanlah: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memasukkan kemaluannya ke dalam faraj yang halal tanpa mengeluarkan air, lalu diwajibkan mandi, padahal faraj itu tidak najis? Jika dia memasukkan kemaluannya ke dalam darah babi, khamr, atau kotoran yang najis, apakah dia wajib mandi?” Jika dia menjawab “Tidak,” maka mandi tidak terkait najis. 

Jika mandi wajib karena najis, maka seharusnya lebih wajib mandi berkali-kali ketika bersentuhan dengan yang najis daripada dengan yang halal dan bersih. Jika najis karena kotoran yang keluar, maka buang air besar dan kecil lebih kotor, tetapi tidak wajib mencuci tempat keluarnya, cukup diusap dengan batu. Sementara wajah, tangan, kaki, dan kepala harus dibasuh dengan air. Paha dan pantat tidak wajib dicuci kecuali yang disebutkan. 

Jika banyaknya air wajib karena kotoran yang keluar, maka buang air besar dan kecil lebih kotor dan lebih pantas diwajibkan mandi berkali-kali, serta tempat keluarnya lebih wajib dicuci daripada wajah yang tidak terkena. Namun, kita diperintahkan berwudhu sebagai ujian ketaatan dari Allah untuk melihat siapa yang taat dan siapa yang durhaka, bukan karena najis.

Kotor dan tidak bersih apa yang keluar. Jika ada yang berkata bahwa Amr bin Maimun meriwayatkan dari ayahnya dari Sulaiman bin Yasar dari Aisyah bahwa ia pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kami katakan: Jika riwayat ini dianggap sahih, itu tidak bertentangan dengan perkataannya bahwa ia pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau shalat dengannya. Sebagaimana membasuh kedua kaki Umar seumur hidupnya tidak bertentangan dengan mengusap khuf-nya di suatu hari. Artinya, jika ia mengusap, kita tahu bahwa shalat sah dengan mengusap dan sah pula dengan membasuh. Demikian juga shalat sah dengan menggosok dan sah dengan mencucinya, bukan berarti salah satunya bertentangan dengan yang lain. Lagipula, riwayat ini tidak sahih dari Aisyah. Mereka khawatir ada kesalahan dari Amr bin Maimun. Ini hanyalah pendapat Sulaiman bin Yasar. Seperti itu yang dihafal oleh para penghafal darinya bahwa ia berkata, “Mencucinya lebih aku sukai.” Dan telah diriwayatkan dari Aisyah pendapat yang bertentangan dengan ini. Sulaiman tidak pernah mendengar satu huruf pun dari Aisyah. Seandainya ia meriwayatkannya dari Aisyah, itu adalah mursal.

(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang yakin bahwa najis telah mengenai pakaiannya, lalu ia shalat dengannya tanpa tahu kapan najis itu mengenainya, maka wajib baginya—jika ia yakin akan sesuatu—untuk mengulangi shalat yang ia yakini. Jika ia tidak yakin, ia boleh memilih hingga ia mengulangi shalat yang ia anggap telah dilakukan dengan pakaian najis, atau lebih banyak darinya. Ia tidak wajib mengulangi kecuali apa yang ia yakini. Fatwa dan pilihan baginya seperti yang telah kujelaskan. Pakaian dan badan sama, najis apa pun yang mengenainya akan menajiskannya.

Khuf dan sandal adalah pakaian. Jika seseorang shalat dengan keduanya sementara ada najis basah yang mengenainya dan tidak dicuci, ia harus mengulangi shalat. Jika najis yang mengenainya kering tanpa basah, ia cukup menggosoknya hingga bersih dan najis hilang, lalu ia boleh shalat dengannya.

Jika seseorang dalam perjalanan dan tidak menemukan air kecuali sedikit, lalu pakaiannya terkena najis, ia harus mencuci bagian yang najis dan bertayamum jika tidak menemukan air untuk mencuci najis tersebut. Ia bertayamum, shalat, dan mengulangi jika tidak mencuci najis, karena najis hanya bisa dihilangkan dengan air. Jika ada yang bertanya, “Mengapa debu menyucikan dari janabah dan hadats, tetapi tidak menyucikan najis kecil yang menyentuh anggota wudhu atau lainnya?” Kami jawab: Mandi dan wudhu untuk hadats dan janabah bukan karena seorang muslim najis, tetapi karena ia diperintahkan melakukannya. Debu dijadikan pengganti thaharah yang bersifat ta’abbudi, bukan pengganti untuk najis yang dicuci karena maknanya, bukan ta’abbudi. Maknanya adalah najis harus dihilangkan dengan air, bukan sekadar ibadah tanpa makna.

Jika najis mengenai pakaiannya dan ia tidak menemukan air untuk mencucinya, ia boleh shalat tanpa pakaian dan tidak perlu mengulangi. Ia tidak boleh shalat dengan pakaian najis dalam keadaan apa pun. Ia boleh shalat tanpa pakaian jika tidak memiliki pakaian suci.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki air dan terkena najis, ia tidak boleh berwudhu dengan air itu, karena berwudhu dengannya justru akan menambah najis.

Jika seseorang memiliki dua air, satu najis dan satu suci, dan ia tidak bisa memisahkan yang najis dari yang suci, ia boleh memilih dan berwudhu dengan salah satunya, serta menahan diri dari berwudhu dengan yang lain dan meminumnya, kecuali jika terpaksa. Jika terpaksa meminumnya, ia boleh meminumnya. Jika terpaksa berwudhu dengannya, ia tidak boleh berwudhu, karena tidak ada dosa baginya untuk tidak berwudhu. Ia boleh bertayamum. Namun, dalam keadaan takut mati, ia boleh meminumnya jika tidak menemukan air lain.

Jika dalam perjalanan atau di rumah, ia berwudhu dengan air najis, atau sedang berwudhu lalu menyentuh air najis, ia tidak boleh shalat. Jika ia shalat, ia harus mengulangi setelah mencuci bagian tubuh atau pakaian yang terkena air najis tersebut.

Menjauhi Istri yang Sedang Haid dan Mendatangi Perempuan yang Istihadhah 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid…” (QS. Al-Baqarah: 222). 

(Asy-Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa perempuan itu dalam keadaan haid, tidak suci, dan memerintahkan agar…

Jangan mendekati wanita yang sedang haid hingga ia suci, dan jika ia telah suci, maka hendaknya ia bersuci dengan air dan termasuk orang yang halal untuk shalat. Tidak halal bagi seorang suami yang istrinya sedang haid untuk menyetubuhinya hingga ia suci. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan tayammum sebagai penyucian ketika tidak ada air atau orang yang bertayammum sedang sakit, dan ia halal untuk shalat dengan mandi jika ada air, atau bertayammum jika tidak menemukannya. (Imam Syafi’i berkata): Ketika Allah Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi wanita haid dan membolehkan mereka setelah suci dan bersuci, serta Sunnah menunjukkan bahwa wanita mustahadhah boleh shalat, maka hal itu menunjukkan bahwa suami wanita mustahadhah boleh menyetubuhinya jika ia menghendaki, karena Allah memerintahkan untuk menjauhi mereka ketika mereka belum suci dan membolehkan mendekati mereka ketika mereka telah suci.

[Pasal tentang apa yang diharamkan dilakukan terhadap wanita haid]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian ahli ilmu Al-Qur’an mengatakan tentang firman Allah Azza wa Jalla {Maka apabila mereka telah suci, campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu} [Al-Baqarah: 222], yaitu menjauhi mereka dari tempat keluarnya haid. (Imam Syafi’i berkata): Ayat ini mengandung kemungkinan seperti yang mereka katakan, dan juga mengandung kemungkinan bahwa menjauhi mereka berarti menjauhi seluruh tubuh mereka. (Imam Syafi’i berkata): Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan larangan mendekati apa yang berada di bawah sarung (kemaluan) dan membolehkan selain itu.

[Pasal tentang larangan shalat bagi wanita haid]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman {Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhi wanita di waktu haid} [Al-Baqarah: 222]. (Imam Syafi’i berkata): Jelas dalam firman Allah Azza wa Jalla {hingga mereka suci} bahwa mereka dalam keadaan haid, bukan dalam keadaan suci. Allah menetapkan bahwa orang yang junub tidak boleh mendekati shalat hingga ia mandi. Jelas bahwa tidak ada cara untuk menyucikan orang junub kecuali dengan mandi, dan tidak ada cara untuk menyucikan wanita haid kecuali setelah berhentinya haid kemudian mandi, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla {hingga mereka suci} [Al-Baqarah: 222], yaitu dengan berakhirnya haid. Maka jika mereka telah suci, maksudnya dengan mandi, karena Sunnah menunjukkan bahwa kesucian wanita haid adalah dengan mandi. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjelaskan apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah bahwa wanita haid tidak boleh shalat. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim.

Dari ayahnya, dari Aisyah, dia berkata: “Aku datang ke Mekah dalam keadaan haid, dan aku tidak melakukan tawaf di Ka’bah maupun sa’i antara Shafa dan Marwah. Aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan beliau bersabda: ‘Lakukanlah seperti yang dilakukan jamaah haji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai engkau suci.'” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata: “Kami pergi bersama Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam hajinya, dan kami tidak menganggapnya kecuali sebagai haji. Ketika kami sampai di Sarif atau dekat dengannya, aku mengalami haid. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menemuiku saat aku menangis. Beliau bertanya: ‘Ada apa, apakah engkau haid?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Ini adalah ketetapan Allah atas anak-anak perempuan Adam. Lakukanlah semua manasik haji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai engkau suci.'” 

(Asy-Syafi’i berkata:) Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan Aisyah untuk tidak tawaf di Ka’bah sampai suci, menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh shalat karena dia tidak suci selama haid berlangsung. Demikian juga firman Allah Ta’ala: “Hingga mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222) 

Bab Wanita Haid Tidak Wajib Mengqadha Shalat 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata:) Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Peliharalah semua shalat dan shalat wustha, serta berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238) 

(Asy-Syafi’i berkata:) Karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak memberi keringanan untuk menunda shalat dalam kondisi takut, tetapi memberi keringanan untuk shalat sesuai kemampuan, baik sambil berjalan atau berkendara, dan firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103) 

(Asy-Syafi’i berkata:) Orang yang baligh dan berakal berdosa jika meninggalkan shalat ketika tiba waktunya dan dia ingat, tidak lupa. Sedangkan wanita haid adalah orang yang baligh, berakal, ingat shalat, dan mampu melakukannya. Namun, hukum Allah melarang suaminya mendekatinya saat haid, dan hukum Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa jika suami dilarang mendekatinya karena haid, maka dia juga dilarang shalat. Ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat gugur selama haid. Jika kewajiban itu gugur sementara dia sadar, berakal, dan mampu, maka tidak ada kewajiban mengqadha. Bagaimana mungkin mengqadha sesuatu yang bukan kewajiban baginya karena kewajibannya telah gugur? 

(Asy-Syafi’i berkata:) Ini adalah pendapat yang tidak ada perselisihan di dalamnya. 

(Asy-Syafi’i berkata:) Orang yang kurang akal, gila, atau pingsan dalam keadaan lebih parah daripada wanita haid karena mereka tidak sadar, dan kewajiban juga gugur selama mereka dalam keadaan seperti itu, sebagaimana kewajiban shalat gugur bagi wanita haid. Mereka tidak wajib mengqadha shalat. Jika salah satu dari mereka sadar atau wanita haid suci dalam waktu shalat, maka mereka wajib shalat karena termasuk orang yang terkena kewajiban shalat. 

Bab Wanita Mustahadhah 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata: “Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: ‘Aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Itu hanya darah penyakit, bukan haid. Jika haid datang, tinggalkan shalat. Jika sudah berlalu ukurannya, bersihkan darah itu lalu shalatlah.'” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah dari pamannya, Imran bin Thalhah, dari ibunya, Hamnah binti Jahsy, dia berkata: “Aku mengalami istihadhah yang deras dan berat. Aku mendatangi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk meminta fatwa, dan kutemui beliau di rumah saudariku, Zainab. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku ingin menanyakan sesuatu yang penting, dan aku malu karenanya.’ Beliau bertanya: ‘Apa itu, wahai Hamnah?’ Dia menjawab: ‘Aku seorang wanita yang mengalami istihadhah deras dan berat. Apa pendapatmu? Karena itu telah menghalangiku (dari ibadah).'”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Tentang shalat dan puasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku sarankan kamu menggunakan kapas karena itu bisa menghentikan darah.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Beliau bersabda, “Gunakanlah pembalut.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Beliau bersabda, “Pakailah kain.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu, bahkan mengalir deras.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku akan perintahkan kamu dua hal, mana saja yang kamu lakukan, itu cukup. Jika kamu mampu melakukan keduanya, kamu lebih tahu.” Beliau bersabda kepadanya, “Itu hanyalah gangguan setan. Maka, anggaplah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah. Jika kamu merasa sudah suci dan bersih, shalatlah selama dua puluh empat malam dan siang, atau dua puluh tiga malam dan siang, serta berpuasalah. Itu cukup bagimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan, sebagaimana wanita haid dan bersuci sesuai waktu haid dan sucinya.” Dan dari kitab lain, “Jika kamu mampu mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Asar, lalu mandi hingga suci, kemudian shalat Zhuhur dan Asar bersama, lalu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan Isya, kemudian mandi dan menggabungkan kedua shalat, serta mandi saat Subuh.”

(Imam Syafi’i berkata): Ini menunjukkan bahwa wanita itu tahu masa haidnya enam atau tujuh hari, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Jika kamu mampu mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Asar, lalu mandi hingga suci, kemudian shalat Zhuhur dan Asar bersama, lalu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan Isya, kemudian mandi dan menggabungkan kedua shalat, lakukanlah. Mandilah saat Subuh, kemudian shalat Subuh. Lakukanlah seperti itu dan berpuasalah jika kamu mampu.” Beliau juga bersabda, “Ini lebih aku sukai dari dua perkara.”

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Nafi’, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa seorang wanita mengalami istihadhah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Ummu Salamah meminta fatwa untuknya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Hendaklah dia menghitung jumlah malam dan hari yang biasanya dia haid dalam sebulan sebelum mengalami istihadhah, lalu tinggalkan shalat selama itu dalam sebulan. Jika sudah melakukannya, mandilah dan gunakan pembalut, kemudian shalatlah.”

(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada tiga hadis ini, dan menurut kami, hadis-hadis ini saling melengkapi dalam hal yang disepakati, dengan sebagian hadis memiliki tambahan atau makna yang berbeda dari yang lain. Hadis Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa darah istihadhah Fathimah binti Abi Hubaisy terpisah dari darah haidnya, berdasarkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika datang haid, tinggalkan shalat. Jika masa haid telah berlalu, bersihkan darah darimu dan shalatlah.”

(Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat bahwa jika darah bisa dibedakan, seperti ada hari-hari di mana darah berwarna merah pekat, kental, dan deras, serta hari-hari di mana darah encer dan kekuningan atau sedikit, maka hari-hari dengan darah merah pekat, kental, dan deras adalah hari haid, sedangkan hari-hari dengan darah encer adalah hari istihadhah.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hadis Aisyah tidak disebutkan mandi saat mulai haid, tetapi disebutkan membersihkan darah. Kami berpegang pada kewajiban mandi berdasarkan firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah kotoran.'” (QS. Al-Baqarah: 222). Dikatakan—dan Allah lebih tahu—bahwa wanita harus bersuci dari haid. Jika mereka sudah bersuci dengan air, kemudian berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjelaskan bahwa bersuci itu dengan mandi. Dalam hadis Hamnah binti Jahsy, beliau memerintahkannya untuk mandi saat haid jika dia merasa sudah suci, kemudian memerintahkannya untuk shalat. Ini menunjukkan bahwa suaminya boleh menyetubuhinya, karena Allah memerintahkan untuk menjauhi wanita haid dan mengizinkan menyetubuhi mereka saat suci. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan hukum istihadhah seperti hukum suci, yaitu mandi dan shalat, ini menunjukkan bahwa suaminya boleh menyetubuhinya.

(Imam Syafi’i berkata): Wanita itu hanya wajib mandi sebagaimana hukum suci dari haid berdasarkan sunnah, dan wajib berwudhu untuk setiap shalat, dianalogikan dengan sunnah berwudhu karena keluarnya sesuatu dari dubur atau farji, baik ada bekasnya atau tidak.

(Imam Syafi’i berkata): Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu Salamah tentang wanita istihadhah menunjukkan bahwa wanita yang ditanyakan Ummu Salamah darahnya tidak terpisah, sehingga beliau memerintahkannya untuk meninggalkan shalat sesuai jumlah malam dan hari haidnya sebelum mengalami istihadhah.

(Imam Syafi’i berkata): Ini juga menunjukkan bahwa tidak ada batasan waktu haid jika seorang wanita…

Engkau melihat darah haid yang lurus dan suci yang lurus. Jika seorang wanita mengalami haid selama satu hari atau lebih, itu dianggap haid. Begitu pula jika melebihi sepuluh hari, itu tetap haid karena Nabi ﷺ memerintahkannya untuk meninggalkan shalat sesuai jumlah hari dan malam haidnya, tanpa menyebut batasan tertentu (kecuali jika melebihi batas tertentu). 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita baru pertama kali haid dan darah terus mengalir tanpa henti, maka: 

– Jika darahnya bisa dibedakan, hari haidnya adalah saat darah berwarna merah pekat, kental, dan mengalir deras, sedangkan hari istihadhah adalah saat darah encer. 

– Jika darah tidak bisa dibedakan, ada dua pendapat: 

  1. Ia meninggalkan shalat selama enam atau tujuh hari, lalu mandi dan shalat sesuai kebiasaan umum haid wanita.
  2. Ia meninggalkan shalat selama minimal satu hari satu malam, lalu mandi dan shalat. Suaminya boleh menyetubuhinya. Namun, jika ingin berhati-hati, lebih baik menunggu hingga tengah atau lebih dari kebiasaan haid wanita.

Pendapat kedua didasarkan pada hadits Hamnah binti Jahsy, yang tidak menyebutkan jumlah hari haidnya secara pasti, sehingga ia diperintahkan untuk berhenti shalat selama enam atau tujuh hari. Namun, ada kemungkinan haditsnya mirip dengan hadits Ummu Salamah, yang menunjukkan haidnya enam atau tujuh hari, karena Nabi ﷺ bersabda: “Berhentilah shalat selama enam atau tujuh hari (masa haidmu), lalu mandi. Jika engkau melihat dirimu suci, shalatlah.” 

(Imam Syafi’i berkata): Kita tahu Hamnah pernah menikah dengan Thalhah dan melahirkan anaknya. Ia menggambarkan darahnya mengalir deras, dan jelas Thalhah tidak akan mendekatinya dalam keadaan seperti itu. Pertanyaannya kepada Nabi ﷺ terjadi setelah ia menikah dengan Zainab, menunjukkan ini pertama kali ia mengalami istihadhah setelah lama baligh. Ini mengindikasikan haidnya biasanya enam atau tujuh hari, sehingga Nabi ﷺ memerintahkannya untuk berhenti shalat sesuai kebiasaan haidnya. 

Nabi ﷺ juga bersabda kepada Hamnah: “Jika engkau kuat, gabungkanlah Zhuhur dan Ashar dengan satu mandi, Maghrib dan Isya dengan satu mandi, dan shalat Subuh dengan mandi tersendiri.” Ini menunjukkan pilihan terbaik baginya, meskipun cukup mandi sekali setelah suci dari haid. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada hadits tentang istihadhah yang sulit dipahami, penjelasan hadits-hadits ini bisa menjadi petunjuk. 

Ditanyakan: “Apakah ada riwayat lain tentang istihadhah selain yang disebutkan?” 

Jawab: “Ya.” Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengalami istihadhah selama tujuh tahun. Nabi ﷺ bersabda: “Itu bukan haid, melainkan darah penyakit. Mandilah dan shalatlah.” Aisyah berkata: “Dia duduk di bak mandi hingga airnya memerah karena darah, lalu shalat.” 

Dalam riwayat lain, Ummu Habibah tidak shalat selama tujuh tahun karena istihadhah, lalu Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mandi setiap shalat. 

Jika ada yang bertanya: “Hadits ini sahih, apakah bertentangan dengan hadits lain?”

Yang pergi ke sana? Aku berkata: Tidak, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya untuk mandi dan shalat, dan tidak disebutkan bahwa beliau memerintahkannya untuk mandi setiap kali shalat. Jika ada yang berkata, kami berpendapat bahwa dia tidak mandi setiap kali shalat kecuali jika diperintahkan demikian, dan dia tidak melakukan kecuali apa yang diperintahkan kepadanya. Dikatakan kepadanya: Apakah kamu mengira beliau memerintahkannya untuk berendam dalam baskom sampai airnya dipenuhi warna merah darah, lalu dia keluar dan shalat? Atau apakah kamu mengira dia suci dengan mandi seperti itu? Dia berkata: Tidak, dia tidak suci dengan mandi yang membuat tubuhnya dipenuhi warna merah darah, dan dia tidak suci sampai dia membersihkannya. Tetapi mungkin dia membersihkannya. Aku berkata: Maukah aku jelaskan kepadamu bahwa berendamnya bukanlah apa yang diperintahkan? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Maka jangan engkau ingkari bahwa mandinya (tidak seperti perintah), dan aku tidak ragu – insya Allah Ta’ala – bahwa mandinya adalah sunnah, bukan yang diperintahkan, dan itu diperbolehkan untuknya. Tidakkah engkau melihat bahwa dia boleh mandi meski tidak diperintahkan untuk mandi? Dia menjawab: Benar. (Asy-Syafi’i berkata): Dan telah diriwayatkan oleh selain Az-Zuhri hadis ini: “Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya untuk mandi setiap kali shalat.” Tetapi dia meriwayatkannya dari ‘Amrah dengan sanad dan konteks ini, dan Az-Zuhri lebih hafal darinya. Dan dia meriwayatkan sesuatu yang menunjukkan bahwa hadis tersebut keliru. Dia berkata: Dia meninggalkan shalat selama masa haidnya, sedangkan ‘Aisyah berkata bahwa masa haid adalah masa suci. Dia berkata: Bagaimana jika kedua riwayat itu sahih, mana yang akan kau ambil? Aku menjawab: Hadis Hamnah binti Jahsy dan lainnya yang memerintahkan mandi ketika darah berhenti, meski tidak diperintahkan untuk setiap shalat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, adakah dalil selain hadis? Dikatakan: Ya, Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Itu adalah kotoran.” (QS. Al-Baqarah: 222) sampai firman-Nya: “Maka apabila mereka telah suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa kesucian adalah mandi, bahwa wanita haid tidak shalat, dan wanita suci shalat. Wanita mustahadhah dihukumi seperti wanita suci dalam hal shalat, sehingga tidak boleh dianggap suci sementara dia wajib mandi tanpa sebab haid atau junub. 

(Dia berkata): Kami telah meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap kali shalat. Aku berkata: Ya, kalian telah meriwayatkannya, dan kami berpendapat demikian berdasarkan qiyas terhadap sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya riwayat itu tetap di sisi kami, itu lebih kami sukai daripada qiyas. 

### [Bab Perbedaan Pendapat tentang Wanita Mustahadhah] 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Seorang penanya berkata kepadaku: Wanita mustahadhah boleh shalat, tetapi suaminya tidak boleh mendatanginya. Sebagian orang yang sepaham dengannya berpendapat bahwa dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Itu adalah kotoran.” (QS. Al-Baqarah: 222), dan bahwa dalam kotoran tersebut, Allah memerintahkan untuk menjauhinya, sehingga berdosa jika melakukannya, dan tidak halal baginya untuk menyetubuhinya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dikatakan kepadanya: Hukum Allah ‘azza wa jalla tentang kotoran haid adalah menjauhi wanita, dan sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa hukum Allah adalah wanita haid tidak shalat. Maka, hukum Allah dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa waktu di mana suami diperintahkan menjauhi wanita karena haid adalah waktu di mana wanita diperintahkan untuk shalat setelah haid berakhir. Dia menjawab: Benar. 

Dikatakan kepadanya: Wanita haid tidak suci – meski mandi – dan tidak halal baginya shalat atau menyentuh mushaf. Dia menjawab: Benar. 

Dikatakan kepadanya: Hukum Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa hukum hari istihadhah adalah seperti hukum suci, dan Allah telah membolehkan suami untuk menyetubuhi istrinya jika dia telah suci. Aku tidak melihatmu kecuali menyelisihi Kitab Allah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah terhadap wanita jika dia suci, dan menyelisihi sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang menetapkan bahwa mandinya pada hari-hari haid menghalalkannya untuk shalat.

Hari-hari istihadhah dan perbedaan antara dua darah dalam hukumnya. Dan perkataannya tentang istihadhah, “Itu hanyalah urat dan bukan haid,” dia berkata, “Itu adalah kotoran.” Aku berkata, “Maka jelaskanlah, jika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membedakan hukumnya, menjadikannya sebagai wanita haid pada salah satu kotoran yang mengharamkan shalat, dan suci pada salah satu kotoran yang mengharamkan meninggalkan shalat. Bagaimana kamu menggabungkan apa yang dipisahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”

(Asy-Syafi’i) berkata: Dan dikatakan kepadanya, “Apakah itu haram jika pada dasarnya ada kelembapan dan perubahan bau yang mengganggu selain darah?” Dia menjawab, “Tidak, dan ini bukan kotoran haid.” Aku berkata, “Dan bukan pula kotoran istihadhah sebagai kotoran haid.”

[Jawaban kepada yang mengatakan bahwa haid tidak boleh kurang dari tiga hari] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Sebagian orang menyelisihi kami dalam sebagian masalah haid dan istihadhah. Mereka berkata, ‘Haid tidak boleh kurang dari tiga hari. Jika seorang wanita melihat darah selama satu hari, dua hari, atau sebagian hari ketiga tanpa menyempurnakannya, maka itu bukan haid. Dia dalam keadaan suci dan wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan selama itu. Haid juga tidak boleh lebih dari sepuluh hari. Jika melebihi sepuluh hari, baik sehari, kurang, atau lebih, maka itu istihadhah. Dan jarak antara dua haid tidak boleh kurang dari lima belas hari.’ 

(Imam Syafi’i berkata): “Lalu dikatakan kepada sebagian yang berpendapat demikian, ‘Bagaimana pendapatmu jika engkau mengatakan sesuatu tidak mungkin terjadi, padahal ilmu telah membuktikan bahwa itu terjadi? Bukankah perkataanmu bahwa itu tidak mungkin terjadi adalah keliru, sehingga engkau berdosa karenanya, atau kebodohanmu sangat parah sehingga engkau tidak pantas berbicara dalam ilmu?’ 

(Dia menjawab): ‘Tidak boleh kecuali apa yang aku katakan, kecuali jika ada dalil, atau engkau (katakan) telah melihat seorang wanita yang terbukti bagiku bahwa dia selalu haid hanya satu hari dan tidak lebih. Juga telah terbukti bagiku dari beberapa wanita bahwa mereka selalu haid kurang dari tiga hari, dan dari wanita lain bahwa mereka selalu haid lima belas hari, serta dari seorang wanita atau lebih bahwa mereka selalu haid tiga belas hari. Lalu bagaimana engkau mengklaim bahwa sesuatu yang kami ketahui terjadi itu tidak mungkin?’ 

(Imam Syafi’i berkata): “Maka dia menjawab, ‘Aku mengatakannya hanya karena sesuatu yang diriwayatkan dari Anas bin Malik.’ Aku bertanya, ‘Bukankah itu hadits dari Al-Jald bin Ayyub?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Aku berkata, ‘Sungguh, Ibnu ‘Ulayyah telah mengabarkan kepadaku dari Al-Jald bin Ayyub, dari Mu’awiyah bin Qurrah, dari Anas bin Malik.'”

Dia berkata bahwa masa haid wanita adalah tiga atau empat hari hingga maksimal sepuluh hari. Ibnu ‘Ulayyah al-Jald bin Ayyub, seorang Badui yang tidak mengenal hadis, berkata kepadaku, “Seorang wanita dari keluarga Anas mengalami istihadhah, lalu Ibnu Abbas dimintai fatwa tentangnya dan memberikan fatwa, sedangkan Anas masih hidup. Bagaimana mungkin Anas memiliki pengetahuan tentang haid seperti yang kau katakan, tetapi mereka perlu bertanya kepada orang lain tentang hal yang dia ketahui? Sementara kita dan kamu tidak menetapkan hadis dari al-Jald, dan kesalahan orang yang lebih hafal darinya bisa dibuktikan dengan hal yang lebih kecil dari ini. Namun, kamu meninggalkan riwayat yang valid dari Anas, yang mengatakan, ‘Jika seorang pria menikahi wanita dan sudah memiliki istri lain, maka pengantin perawan berhak tujuh hari, sedangkan janda tiga hari.’ Ini sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ. Tetapi kamu meninggalkan sunnah dan perkataan Anas, lalu mengklaim menerima pendapat Ibnu Abbas meskipun diketahui ada yang menyelisihinya.” 

Dia bertanya, “Apakah riwayat itu valid menurutmu dari Anas?” Aku menjawab, “Tidak, dan tidak ada seorang pun ahli hadis yang menganggapnya valid. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyadari kamu hanya berlindung pada sesuatu yang tidak memiliki hujjah.” 

Dia berkata, “Seandainya itu valid dari Anas bin Malik—” 

Aku menyela, “Itu tidak valid, jadi mengapa kamu bertanya tentangnya?” 

Dia melanjutkan, “Jawablah seandainya itu valid.” 

Aku berkata, “Tidak ada satu pun dalam riwayat itu yang mendukung pendapatmu.” 

Dia bertanya, “Bagaimana bisa?” 

Aku menjelaskan, “Jika Anas hanya menyampaikan bahwa dia melihat wanita yang haid tiga hari atau antara tiga hingga sepuluh hari, maka maksudnya—insyaallah—adalah bahwa haid wanita itu sesuai kebiasaannya. Wanita yang biasa haid tiga hari tidak tiba-tiba berubah menjadi sepuluh hari, dan yang biasa sepuluh hari tidak berubah menjadi tiga. Haid adalah ketika dia melihat darah. Dia tidak mengatakan haid tidak boleh kurang dari tiga atau lebih dari sepuluh hari. Dan dia—insyaallah, Dia lebih tahu—termasuk orang yang tidak akan mengatakan bahwa tidak mungkin ada makhluk Allah yang tidak diketahui, mungkin pernah ada atau akan ada.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian orang yang mengucapkan pendapat tanpa dasar ini menambahkan—padahal dia mengklaim tidak boleh mengatakan halal atau haram kecuali berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’, atau qiyas atas salah satunya—dengan berkata, “Seandainya seorang wanita biasa haid sepuluh hari, lalu kebiasaannya berubah: dia melihat darah satu hari, kemudian suci beberapa hari, lalu melihat darah lagi pada hari kesepuluh sejak awal haidnya, maka dia dianggap haid pada hari pertama, delapan hari suci, dan hari kesepuluh saat melihat darah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian dia menambahkan, “Seandainya dalam kasus yang sama, dia melihat darah setelah hari kesepuluh selama lima atau sepuluh hari, maka dia dianggap haid pada hari pertama dan delapan hari setelahnya.” Aku tidak tahu apakah dia juga mengatakan hari kesepuluh dan setelahnya sebagai mustahadhah (suci), atau hanya setelah hari kesepuluh sebagai mustahadhah. Lalu temannya mengkritik pendapatnya dan kudengar dia berkata, “Subhanallah! Tidak halal bagi siapa pun yang keliru seperti ini untuk berfatwa selamanya!” Dia menjadikan hari-hari saat wanita melihat darah sebagai suci dan hari-hari melihat kesucian sebagai haid, lalu menyelisihinya dalam dua masalah: dalam kasus pertama, dia menyatakan suci pada hari pertama, delapan hari, dan hari kesepuluh, sedangkan dalam kasus kedua, dia menyatakan suci pada hari pertama dan delapan hari, lalu haid pada hari kesepuluh dan seterusnya hingga genap sepuluh hari. 

Kemudian dia berpendapat bahwa jika seorang wanita awalnya haid tiga hari, lalu suci empat atau lima hari, kemudian haid lagi tiga atau dua hari, maka dia dianggap haid pada hari-hari melihat darah dan suci pada hari-hari melihat kesucian. Dia juga mengatakan bahwa kesucian di antara dua haid hanya dianggap haid jika dua haid itu lebih panjang atau sama panjangnya. Jika masa suci lebih panjang, maka tidak dianggap haid. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Kamu telah mengkritik sesuatu, tetapi aku melihatmu justru terjatuh pada hal yang serupa. Tidak boleh kamu mengkritik sesuatu lalu mengamalkannya.” 

Dia menjawab, “Aku hanya mengatakan bahwa jika dua darah yang dipisahkan masa suci lebih banyak atau sama dengan masa suci.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku bertanya, “Siapa yang memberitahumu ini?” 

Dia diam, lalu aku tanya, “Dengan dasar apa kamu mengatakan masa suci bukan haid? Jika kamu mengatakannya sendiri, itu jelas keliru. Apakah berdasarkan hadis?” Dia menjawab, “Tidak.” 

“Apakah berdasarkan qiyas?” “Tidak.” 

“Apakah logika?” “Ya, wanita tidak terus-menerus melihat darah, tetapi kadang melihatnya dan kadang berhenti.” 

Aku berkata, “Jadi, dalam kondisi yang kamu sebutkan saat darah terputus, apakah dia masuk dalam haid?” 

Aku melanjutkan, “Jika dia memeriksa dan menemukan darah—meski tidak deras—setidaknya berupa kemerahan atau kekeruhan, maka ketika dia melihatnya—”

Kesucian tidak menemukan sesuatu dari hal itu yang tidak keluar dari apa yang dimasukkan ke dalamnya kecuali warna putih. (Dia berkata): “Jika dia melihat apa yang kamu sebut sebagai bercak putih selama satu atau dua hari, kemudian darah kembali lagi pada hari-hari haidnya.” (Aku berkata): “Maka dia dalam keadaan suci ketika melihat bercak putih sampai dia melihat darah, meskipun hanya sesaat.” Dia bertanya: “Siapa yang mengatakan ini?” Aku menjawab: “Ibnu Abbas.” Dia berkata: “Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.” Aku berkata: “Ya, itu sahih darinya dan sesuai dengan makna Al-Qur’an serta logika.” Dia bertanya: “Di mana (dalilnya)?” 

Aku berkata: “Tidakkah kamu perhatikan ketika Allah memerintahkan untuk menjauhi wanita saat haid dan mengizinkan mendekati mereka ketika mereka telah suci? Tidakkah kita mengetahui bahwa haid itu hanya dengan darah dan kesucian hanya dengan berhentinya darah serta melihat bercak putih?” Dia menjawab: “Tidak.” 

Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang seorang wanita yang biasanya haid sepuluh hari setiap bulan, lalu berubah menjadi setiap dua bulan, atau setiap tahun, atau setelah sepuluh tahun, atau setelah sepuluh tahun haidnya hanya tiga hari? Lalu dia berkata: ‘Aku meninggalkan shalat pada waktu haidku, yaitu sepuluh hari setiap bulan.'” Dia menjawab: “Itu tidak boleh baginya.” 

Aku berkata: “Al-Qur’an menunjukkan bahwa dia dalam keadaan haid jika melihat darah dan tidak haid jika tidak melihatnya.” Dia berkata: “Ya.” Aku berkata: “Begitu juga dengan logika.” Dia berkata: “Ya.” Aku berkata: “Mengapa kamu tidak menerima pendapat kami sehingga kamu sejalan dengan Al-Qur’an dan logika?” 

Seseorang yang hadir berkata: “Masih ada satu hal yang menjadi masalah bagimu.” Aku bertanya: “Apa itu?” Dia berkata: “Bagaimana jika seorang wanita haid satu hari dan suci satu hari selama sepuluh hari, apakah kamu menganggap ini sebagai satu haid, atau haid ketika melihat darah dan suci ketika melihat kesucian?” Aku menjawab: “Haid ketika melihat darah dan suci ketika melihat kesucian.” 

Dia berkata: “Jika dia sudah ditalak, maka masa iddahnya berakhir dalam enam hari.” (Asy-Syafi’i) berkata: “Aku berkata kepada orang yang berpendapat demikian: ‘Aku tidak tahu, apakah argumenmu yang pertama lebih lemah atau yang ini?’ Dia bertanya: ‘Apa kelemahan dalam pendapat ini?’ Aku menjawab: ‘Kamu berargumen bahwa kamu membuatnya shalat satu hari dan meninggalkan shalat satu hari dalam masa iddah, padahal ada perbedaan antara keduanya.'” 

Dia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Tidak, tidak ada hubungan antara shalat dan iddah.” Dia bertanya: “Bagaimana bisa begitu?” 

Aku berkata: “Bagaimana dengan wanita yang sudah putus haid (menopause) atau wanita hamil, bukankah mereka tetap menjalani iddah tanpa meninggalkan shalat sampai iddah mereka selesai? Atau apakah masa iddah mereka harus diselingi dengan meninggalkan shalat beberapa hari seperti wanita haid?” Dia menjawab: “Mereka menjalani iddah tanpa meninggalkan shalat.” 

Aku berkata: “Seorang wanita yang ditalak lalu pingsan, gila, atau hilang akalnya, bukankah iddahnya tetap berjalan meskipun dia tidak shalat sama sekali?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Lalu bagaimana kamu berpendapat bahwa iddahnya selesai meskipun dia tidak shalat beberapa hari?” Dia berkata: “Karena hilang akalnya, dan iddah tidak terkait dengan shalat.” 

Aku berkata: “Bagaimana dengan wanita yang haid seperti biasa dan suci seperti biasa, jika dia beriddah dengan tiga kali haid, lalu dia ragu tentang dirinya?” Dia menjawab: “Dia tidak boleh menikah sampai dia yakin (suci).” Aku berkata: “Jadi dia dalam masa iddah bukan karena haid atau bulan, tetapi karena menunggu kepastian?” Dia menjawab: “Ya, jika dia khawatir ada kemungkinan hamil.” 

Aku berkata: “Begitu juga dengan wanita yang beriddah dengan hitungan bulan, jika dia ragu, dia tidak boleh menikah.” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Karena wanita yang bebas (dari kehamilan) berbeda dengan yang tidak bebas.” Dia menjawab: “Ya.” 

Aku berkata: “Wanita yang haid satu hari dan suci satu hari lebih pantas dianggap ragu dan tidak bebas dari kehamilan dibandingkan wanita yang kamu sebutkan. Kami memahami dari Allah bahwa dalam iddah ada dua makna: kebebasan (dari kehamilan) dan tambahan ibadah. Allah menjadikan iddah talak tiga bulan atau tiga kali suci, dan iddah wanita hamil adalah melahirkan, itu puncak kebebasan. Dalam tiga kali suci ada kebebasan dan ibadah, karena haid mereka teratur sehingga memberikan kepastian. Kami memahami bahwa tidak ada iddah kecuali mengandung kebebasan atau kebebasan plus ibadah, karena iddah tidak kurang dari tiga bulan, tiga kali suci, empat bulan sepuluh hari, atau melahirkan. Sedangkan wanita yang haid satu hari dan suci satu hari tidak termasuk dalam makna kebebasan.” 

“Kamu telah menyatakan bahwa iddah dengan haid dan bulan tidak berlaku dan beralih kepada kebebasan jika ada keraguan, sebagaimana kamu menuntut kami pada wanita yang haid satu hari dan tidak haid satu hari.” 

### [Bab Darah Haid] 

(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari Fatimah binti Al-Mundzir, dia berkata:

Aku mendengar Asma berkata, “Aku bertanya kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang darah haid yang mengenai pakaian, lalu beliau bersabda, ‘Keriklah, lalu gosoklah dengan air, percikilah, dan shalatlah dengannya.'” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah dari Asma dengan makna yang serupa, hanya saja dia menyebutkan “gosoklah” tanpa menyebutkan “gosoklah dengan air.” 

(Asy-Syafi’i berkata:) Kami berpegang pada hadits Sufyan dari Hisyam bin ‘Urwah, di mana dia menyebutkan air dalam riwayatnya, sementara yang lain tidak menyebutkannya. 

(Asy-Syafi’i berkata:) Ini menjadi dalil bahwa darah haid itu najis, begitu pula semua darah lainnya. 

(Asy-Syafi’i berkata:) “Menggosoknya” berarti menggosok dengan tangan, dan sabdanya “dengan air” berarti mencucinya dengan air, sedangkan perintah memercikkan air berlaku untuk bagian sekitarnya. 

(Asy-Syafi’i berkata:) Adapun najis, tidak bisa disucikan kecuali dengan mencuci dan memercikkan air. Wallahu a’lam. 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diriwayatkan kepadaku oleh Ibnu ‘Ajlan dari Abdullah bin Rafi’ dari Ummu Salamah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ditanya tentang pakaian yang terkena darah haid, lalu beliau bersabda, “Keriklah, lalu gosoklah dengan air, kemudian shalatlah dengannya.” 

(Asy-Syafi’i berkata:) Ini serupa dengan hadits Asma binti Abu Bakar, dan kami berpegang padanya. Ini juga menunjukkan bahwa memercikkan air adalah pilihan, karena dalam hadits Ummu Salamah tidak diperintahkan untuk memercikkan, sedangkan dalam haditsnya dan hadits Asma diperintahkan untuk menggunakan air. 

(Ar-Rabi’ berkata:) Asy-Syafi’i berkata, “Inilah pendapat kami.” Ar-Rabi’ berkata, “Ini adalah pendapat terakhirnya,” yakni Asy-Syafi’i berpendapat bahwa minimal haid adalah sehari semalam, maksimal lima belas hari, dan minimal suci adalah lima belas hari. 

Jika seorang wanita pertama kali haid dan darah terus mengalir, kami perintahkan dia untuk meninggalkan shalat hingga lima belas hari. Jika darah berhenti dalam lima belas hari, maka semuanya dihitung haid. Jika lebih dari lima belas hari, kami tahu dia mustahadhah, dan kami perintahkan dia untuk meninggalkan shalat pada hari pertama dan semalam, lalu mengqadha empat belas hari, karena mungkin haidnya hanya sehari semalam atau lebih. 

Karena shalat adalah kewajiban, kami tidak memerintahkannya untuk meninggalkan shalat kecuali jika yakin sedang haid. Empat belas hari suci tidak dihitung dalam puasanya jika dia berpuasa, karena puasa wajib hanya dalam keadaan suci yang yakin. 

Jika dia ragu apakah telah menunaikan kewajiban puasa dalam keadaan suci atau tidak, maka puasanya tidak dihitung kecuali jika yakin suci. Begitu pula thawafnya di Baitullah, tidak dihitung kecuali setelah lima belas hari berlalu, karena itu adalah batas maksimal haid yang kami ketahui. Setelah itu, dia boleh thawaf karena dipastikan suci setelah lima belas hari. 

Jika dia haid sehari dan suci sehari, kami perintahkan dia untuk shalat pada hari suci setelah mandi, karena mungkin itu benar-benar suci. Jika darah datang pada hari ketiga, kami tahu bahwa hari sebelumnya yang dia lihat suci sebenarnya masih haid, karena tidak mungkin suci hanya sehari, sebab minimal suci adalah lima belas hari. 

Setiap kali dia melihat suci, kami perintahkan untuk mandi dan shalat, karena mungkin itu suci yang sah. Jika darah datang keesokan harinya, kami tahu itu bukan suci sampai mencapai lima belas hari. Jika berhenti dalam lima belas hari, semuanya dihitung haid. Jika lebih, dia mustahadhah, dan kami katakan, “Qadha shalat setiap hari yang ditinggalkan, kecuali hari pertama dan semalam,” karena mungkin haidnya hanya sehari semalam. 

Ini berlaku bagi wanita yang tidak memiliki siklus haid tertentu dan baru pertama kali mengalami istihadhah. Adapun wanita yang memiliki siklus haid tertentu, lalu darah terus mengalir, dia harus memperhatikan jumlah hari dan malam haidnya setiap bulan, lalu meninggalkan shalat pada hari-hari tersebut. Setelah masa itu berlalu, dia mandi, shalat, dan berwudhu untuk setiap shalat di sisa bulannya. 

Ketika waktu haidnya tiba lagi di bulan berikutnya, dia kembali meninggalkan shalat pada hari-hari haidnya, lalu mandi setelahnya dan berwudhu untuk setiap shalat. Ini hukumnya selama dia mustahadhah. 

Jika dia memiliki siklus haid tertentu tetapi lupa, sehingga tidak tahu di awal bulan atau setelah dua hari, maka…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Lebih sedikit atau lebih banyak, ia mandi setiap kali shalat dan tidak cukup baginya shalat tanpa mandi; karena mungkin saja ketika ia hendak shalat Subuh, itu adalah waktu bersihnya, maka ia harus mandi. Ketika waktu Zhuhur tiba, mungkin juga itu adalah waktu bersihnya, maka ia harus mandi. Demikian pula setiap kali ia hendak shalat fardhu, mungkin itu adalah waktu bersihnya, sehingga tidak cukup baginya kecuali dengan mandi. Karena shalat adalah kewajiban baginya, mungkin saja ketika ia melaksanakannya, yang mencukupinya adalah wudhu. Namun, mungkin juga yang mencukupinya hanya mandi. Karena ia tidak boleh shalat kecuali dalam keadaan suci dengan yakin, maka tidak cukup baginya kecuali mandi, karena itu adalah keyakinan, sedangkan wudhu masih diragukan. Tidak cukup baginya shalat dengan keraguan, yang mencukupinya hanyalah keyakinan, yaitu mandi. Maka ia mandi untuk setiap shalat.

[Bab Asal Kewajiban Shalat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Dan firman-Nya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5), beserta ayat-ayat lain yang menyebutkan kewajiban shalat. 

(Dia berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah ditanya tentang Islam, lalu beliau menjawab: “Lima shalat dalam sehari semalam.” Si penanya bertanya: “Apakah ada kewajiban lain selain itu?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.” 

Awal Disyariatkannya Shalat 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku mendengar dari orang yang kupercaya ilmunya menyebutkan bahwa Allah menurunkan kewajiban shalat, kemudian menghapusnya dengan kewajiban lain, lalu menghapus yang kedua dengan kewajiban shalat lima waktu. 

(Dia berkata): Sepertinya yang dimaksud adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), separuhnya atau kurangilah sedikit dari itu.” (QS. Al-Muzzammil: 1-3). Kemudian ayat ini dihapus dalam surat yang sama dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau separuhnya.” (QS. Al-Muzzammil: 20), hingga firman-Nya: “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Maka dihapuslah kewajiban shalat malam atau separuhnya, atau lebih sedikit atau lebih banyak, dengan apa yang mudah. 

Pendapat ini mirip dengan apa yang dikatakan, meskipun aku lebih suka jika seseorang tidak meninggalkan bacaan Al-Qur’an yang mudah baginya di malam hari. Dikatakan juga bahwa yang kusebutkan dari surat Al-Muzzammil dihapus dengan firman Allah Azza wa Jalla: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (Zhuhur) sampai gelap malam (Isya), dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78). “Dan pada sebagian malam hari, shalat Tahajudlah sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al-Isra’: 79). Maka Allah memberitahukan bahwa shalat malam adalah sunnah, bukan wajib, dan kewajiban shalat adalah pada waktu-waktu yang disebutkan, baik siang maupun malam. 

Dikatakan juga dalam firman Allah Azza wa Jalla: “Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu petang (Maghrib dan Isya) dan waktu pagi (Subuh).” (QS. Ar-Rum: 17). “Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi, dan di waktu petang (Ashar) dan di waktu zuhur (Zhuhur).” (QS. Ar-Rum: 18). Pendapat ini mirip dengan yang telah disebutkan, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. 

(Dia berkata): Penjelasan tentang apa yang kusebutkan terdapat dalam sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Malik mengabarkan kepadaku dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Thalhah bin Ubaidillah berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Lima shalat dalam sehari semalam.’ Si penanya bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lain selain itu?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Maka shalat fardhu ada lima, selain itu adalah sunnah. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat Witr di atas unta, tetapi beliau tidak shalat fardhu di atasnya. Kami mengetahui bahwa shalat sunnah memiliki dua bentuk: berjamaah atau sendiri. Shalat berjamaah lebih ditekankan, dan aku tidak membolehkan meninggalkannya bagi yang mampu, seperti shalat Id, gerhana matahari dan bulan, serta istisqa. Adapun shalat malam Ramadhan, shalat sendiri lebih kusukai, dan yang paling ditekankan adalah shalat berjamaah.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Tentang Shalat Witir dan Sebagiannya 

Shalat witir dan sebagiannya lebih ditekankan daripada sebagian shalat witir lainnya. Ia mirip dengan shalat tahajud, kemudian dua rakaat shalat fajar. Aku tidak memberikan keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satunya, meskipun aku tidak mewajibkannya. Barangsiapa meninggalkan satu shalat dari keduanya, keadaannya lebih buruk daripada orang yang meninggalkan semua shalat sunnah di malam dan siang hari. 

Jumlah Shalat Lima Waktu 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Ta’ala menetapkan kewajiban shalat dalam Kitab-Nya, lalu menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wasallam—jumlahnya, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus ditinggalkan. Penyampaian jumlah setiap shalat termasuk yang disampaikan oleh masyarakat umum kepada masyarakat umum, tanpa memerlukan riwayat khusus, meskipun riwayat khusus juga menyampaikannya tanpa perbedaan. 

Mereka menyampaikan: 

– Zhuhur empat rakaat tanpa mengeraskan bacaan. 

– Ashar empat rakaat tanpa mengeraskan bacaan. 

– Maghrib tiga rakaat, mengeraskan bacaan pada dua rakaat pertama dan merendahkan suara pada rakaat ketiga. 

– Isya empat rakaat, mengeraskan bacaan pada dua rakaat pertama dan merendahkan suara pada dua rakaat terakhir. 

– Subuh dua rakaat dengan mengeraskan bacaan pada keduanya. 

(Imam Syafi’i berkata): Riwayat khusus juga menyampaikan jumlah shalat dan hal-hal lain yang tersebar dalam berbagai tempat. 

Siapa yang Wajib Shalat? 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan tentang izin dalam firman-Nya: 

“Dan apabila anak-anakmu telah mencapai baligh, hendaklah mereka meminta izin.” (QS. An-Nur: 59) 

Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: 

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kamu melihat mereka telah dewasa, serahkanlah harta mereka.” (QS. An-Nisa: 6) 

Allah tidak menyebutkan kedewasaan yang mengharuskan penyerahan harta kecuali setelah mencapai usia nikah. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan jihad, lalu Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—menjelaskan bahwa jihad diwajibkan bagi yang telah genap 15 tahun, berdasarkan hadits: 

“Ibnu Umar diizinkan (berjihad) pada Perang Khandaq saat berusia 15 tahun, tetapi ditolak pada Perang Uhud saat berusia 14 tahun.” 

Jika seorang anak laki-laki telah baligh (ihtilam) atau perempuan telah haid, dan akalnya normal, maka shalat dan seluruh kewajiban agama berlaku bagi mereka. Meskipun usia mereka di bawah 15 tahun, shalat tetap wajib, dan mereka diperintahkan untuk shalat jika sudah memahami. Jika belum memahami, mereka tidak seperti orang yang meninggalkan shalat setelah baligh. Mereka boleh diberi teguran ringan jika meninggalkan shalat. 

Siapa yang akalnya terganggu karena sakit apa pun, kewajiban gugur berdasarkan firman Allah: 

“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) 

Dan firman-Nya: 

“Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’d: 19) 

Orang yang tidak berakal tidak terkena perintah dan larangan. 

Shalat Orang Mabuk dan yang Tidak Berakal 

Allah Ta’ala berfirman: 

“Janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43) 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ayat ini turun sebelum larangan khamr. Bagaimanapun, baik sebelum atau setelah larangan khamr, siapa yang shalat dalam keadaan mabuk, shalatnya tidak sah karena Allah ‘Azza wa Jalla melarangnya sampai ia sadar atas apa yang diucapkan. Logisnya, shalat terdiri dari ucapan dan perbuatan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Menahan di berbagai tempat dan ini hanya dilakukan oleh orang yang diperintahkan oleh yang berakal. Jika seseorang shalat dalam keadaan mabuk, ia harus mengulang shalatnya ketika sadar. Jika seseorang minum minuman haram tetapi tidak mabuk, ia berdosa karena meminum yang haram tetapi tidak wajib mengulang shalat karena ia masih sadar atas apa yang diucapkannya. Orang mabuk yang tidak sadar atas ucapannya, lebih baik baginya mengulang shalat. Tingkatan mabuk paling ringan adalah ketika akalnya terganggu dalam hal-hal yang sebelumnya tidak terpengaruh sebelum minum. Siapa pun yang akalnya terganggu karena tidur berat lalu shalat tanpa kesadaran, wajib mengulang shalat ketika sadar dan hilang rasa kantuknya. Siapa yang minum sesuatu untuk menghilangkan akalnya, ia berdosa karena minum itu dan shalatnya tidak sah. Ia dan orang mabuk wajib mengqadha setiap shalat yang dilakukan saat akal mereka hilang, baik minum anggur yang mereka anggap tidak memabukkan atau anggur yang mereka anggap memabukkan terkait shalat yang telah dijelaskan. Jika mereka memulai shalat dalam keadaan sadar, lalu tidak menyelesaikan shalat sampai akal mereka terganggu, mereka wajib mengulang shalat karena yang merusak awal shalat juga merusak akhirnya. Demikian pula jika mereka bertakbir dalam keadaan tidak sadar, lalu sadar sebelum berpisah dan menyelesaikan shalat kecuali takbir dalam keadaan sadar, mereka wajib mengulang karena memulai shalat tanpa kesadaran. Tingkatan hilang akal paling ringan yang mewajibkan pengulangan shalat adalah ketika bingung, akalnya terganggu meski sedikit, lalu kembali.

Kegilaan yang Tidak Melibatkan Maksiat 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seseorang akalnya terganggu karena kerasukan jin, kegilaan, atau penyakit apa pun yang menghilangkan akalnya, kewajiban shalat gugur selama penyakit itu membuatnya tidak sadar. Ia dilarang shalat sampai sadar atas apa yang diucapkannya, karena ia termasuk orang yang tidak sadar dan dikendalikan oleh hal yang bukan dosa, bahkan ia mendapat pahala dan penghapusan dosa, insya Allah, kecuali jika ia sadar pada waktu shalat, maka ia shalat sesuai waktu itu. Begitu pula jika minum obat mengandung racun yang biasanya tidak membahayakan, ia tidak berdosa karena tidak bermaksud membahayakan diri atau menghilangkan akal. Namun, lebih baik berhati-hati dengan mengulang shalat karena ia minum sesuatu yang beracun, meski halal. Jika makan atau minum yang halal lalu akalnya terganggu, melompat hingga otaknya terguncang, atau bergantung pada sesuatu hingga otaknya terguncang dan akalnya hilang tanpa bermaksud menghilangkan akal, ia tidak wajib mengulang shalat yang dilakukan tanpa sadar atau meninggalkannya karena hilang akal. Tetapi jika melompat tanpa manfaat atau sengaja menjungkirbalikkan diri untuk menghilangkan akal, ia berdosa dan wajib mengulang semua shalat yang dilakukan atau ditinggalkan saat akalnya hilang. Jika dianggap berdosa karena sengaja menghilangkan akal atau merusak diri, ia wajib mengulang shalat yang dilakukan atau ditinggalkan saat tidak sadar. Jika tidak dianggap berdosa, ia tidak wajib mengulang kecuali sadar pada waktu shalat. Jika orang pingsan sadar dan tersisa waktu siang seukuran satu takbir, ia mengqadha Zhuhur dan Ashar, tidak mengulang yang sebelumnya seperti Subuh, Maghrib, atau Isya’. Jika sadar pada malam hari sebelum fajar seukuran satu takbir, ia mengqadha Maghrib dan Isya’. Jika sadar sebelum matahari terbit seukuran satu takbir, ia mengqadha Subuh, tetapi jika matahari telah terbit, tidak perlu. Ini karena waktu tersebut dalam keadaan uzur. Rasulullah ﷺ pernah menjamak Zhuhur-Ashar dalam perjalanan pada waktu Zhuhur dan Maghrib-Isya’ pada waktu Isya’. Ketika waktu pertama menjadi waktu kedua dalam kondisi tertentu, dan sebaliknya, maka waktu salah satunya menjadi waktu lainnya dalam kondisi tertentu. Hilangnya akal adalah uzur, dan dengan sadar ia harus shalat Ashar. Aku perintahkan untuk mengqadha karena ia sadar pada waktu shalat. Demikian pula aku perintahkan wanita haid dan orang yang baru masuk Islam seperti orang pingsan yang aku perintahkan.

Dengan keputusan, maka tidak ada yang mencukupinya kecuali ia harus menunaikannya. 

Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar, ia berkata: 

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menggabungkan shalat Maghrib dan Isya’.” 

[Shalat Murtad] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): 

Jika seseorang murtad dari Islam, kemudian kembali masuk Islam, ia wajib mengqadha semua shalat yang ditinggalkannya selama masa kemurtadannya, serta semua zakat yang menjadi kewajibannya pada masa itu. Jika akalnya terganggu selama kemurtadannya karena sakit atau sebab lain, ia tetap wajib mengqadha shalat pada hari-hari ketika akalnya tidak normal, sebagaimana ia mengqadhanya pada hari-hari ketika akalnya normal. 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa hal ini tidak diqiyaskan kepada orang kafir yang masuk Islam, di mana ia tidak diperintahkan untuk mengulangi shalat?” 

Jawabannya: Allah ‘azza wa jalla telah membedakan antara keduanya, sebagaimana firman-Nya: 

“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafiran), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.'” (QS. Al-Anfal: 38) 

Banyak laki-laki yang masuk Islam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan mereka untuk mengqadha shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerima jizyah dari orang-orang musyrik, dan Allah mengharamkan darah ahli kitab serta melindungi harta mereka dengan ketentuan jizyah. Sedangkan orang murtad tidak termasuk dalam kategori ini. Bahkan, Allah Ta’ala menghapus semua amalnya karena kemurtadannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ia wajib dibunuh jika tidak bertaubat, sesuai dengan hukum keimanan yang sebelumnya ia miliki. 

Harta orang kafir yang tidak terikat perjanjian boleh dijadikan ghanimah, sedangkan harta orang murtad ditahan—jika ia mati dalam keadaan murtad, hartanya diambil sebagai ghanimah; jika ia bertaubat, hartanya kembali menjadi miliknya. Adapun harta ahli kitab tetap menjadi miliknya, baik ia hidup maupun mati. 

Maka, tidak ada pilihan baginya kecuali mengqadha shalat, puasa, zakat, dan segala kewajiban seorang Muslim, karena ia seharusnya melakukannya. Kemaksatannya dengan murtad tidak meringankan kewajiban yang seharusnya ia tunaikan. 

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin ia mengqadha shalat, sedangkan jika ia shalat dalam keadaan murtad, amalnya tidak diterima?” 

Jawabannya: Karena jika ia shalat dalam keadaan murtad, shalatnya tidak sesuai dengan perintah, sehingga ia wajib mengulanginya ketika kembali masuk Islam. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang Muslim shalat sebelum waktunya, ia harus mengulanginya? Begitu pula orang murtad, ia shalat sebelum waktu yang seharusnya, karena Allah ‘azza wa jalla telah menghapus amalnya akibat kemurtadan. 

Jika ada yang bertanya: “Apa yang dihapus dari amalnya?” 

Jawabannya: Pahala amalnya, bukan kewajiban untuk mengulangi ibadah yang telah ia tunaikan sebelum murtad, seperti shalat, puasa, atau lainnya, karena ia menunaikannya dalam keadaan Muslim. 

Jika ada yang bertanya: “Apa yang mirip dengan ini?” 

Jawabannya: Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia menunaikan zakat yang menjadi kewajibannya atau melaksanakan nazar, lalu pahalanya dihapus, itu tidak berarti kewajibannya batal seolah tidak pernah ada? Atau tidakkah engkau melihat bahwa jika ia dihukum had atau qishash, kemudian murtad dan kembali masuk Islam, hukuman itu tidak diulang, padahal itu adalah kewajiban? Jika kewajiban dihapus dalam makna ini, maka semuanya dihapus. 

[Penggabungan Waktu Shalat] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): 

Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan dalam Kitab-Nya bahwa shalat fardhu memiliki waktu tertentu. Waktu tertentu—wallahu a’lam—adalah waktu di mana shalat harus dilaksanakan serta jumlah rakaatnya. Allah berfirman: 

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103) 

Kami telah menyebutkan riwayat umum tentang jumlah shalat pada tempat-tempatnya, dan di sini kami akan menyebutkan waktu-waktunya. 

Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Az-Zuhri: 

Umar bin Abdul Aziz pernah mengakhirkan shalat, lalu Urwah berkata kepadanya: 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jibril turun dan mengimamiku, lalu aku shalat bersamanya. Kemudian ia turun lagi dan mengimamiku, lalu aku shalat bersamanya. Ia melakukan ini hingga menghitung shalat lima waktu.'” 

Umar bin Abdul Aziz berkata: “Bertakwalah kepada Allah, wahai Urwah, dan perhatikan apa yang engkau katakan!” 

Urwah menjawab: “Basyir bin Abi Masud menceritakan ini kepadaku dari ayahnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” 

Diceritakan kepada kami oleh Amr bin Abi Salamah dari Abdul Aziz bin Muhammad dari Abdurrahman bin Al-Harits dari Hakim bin Hakim dari Nafi’ bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

“Jibril mengimamiku di depan pintu Ka’bah dua kali. Ia shalat Zhuhur ketika bayangan sudah sepanjang tali sandal…”

Beliau (Nabi) shalat Ashar ketika bayangan segala sesuatu seukuran dengan aslinya, shalat Maghrib ketika orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat Isya ketika syafak (mega merah) telah hilang, kemudian shalat Subuh ketika diharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Kemudian beliau shalat sekali lagi Zhuhur ketika bayangan segala sesuatu seukuran dengan aslinya seperti waktu Ashar sebelumnya, kemudian shalat Ashar ketika bayangan segala sesuatu dua kali lipat dari aslinya, kemudian shalat Maghrib pada waktu awalnya tanpa menundanya, kemudian shalat Isya pada akhir waktu ketika sepertiga malam telah berlalu, kemudian shalat Subuh ketika fajar telah terang. Kemudian beliau menoleh dan bersabda, “Wahai Muhammad, ini adalah waktu shalat para nabi sebelummu, dan waktu shalat berada di antara dua waktu ini.” 

(Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat seperti ini, dan waktu-waktu ini berlaku bagi orang yang bermukim. Kemungkinan waktu-waktu yang telah dijelaskan berlaku bagi orang yang bermukim dan musafir dalam keadaan uzur atau tidak. Juga mungkin berlaku bagi orang yang berada dalam kondisi seperti saat Jibril mengimami Nabi ﷺ shalat, baik dalam keadaan bermukim maupun tanpa uzur. Rasulullah ﷺ pernah menjamak shalat di Madinah tanpa rasa takut, sehingga kami berpendapat bahwa hal itu dilakukan dalam keadaan hujan atau saat safar. Ini menunjukkan bahwa mengerjakan shalat secara terpisah pada waktunya masing-masing hanya berlaku bagi orang yang bermukim tanpa hujan. Oleh karena itu, tidak sah shalat seseorang yang bermukim tanpa hujan kecuali dikerjakan pada waktunya, dan tidak boleh menggabungkannya dengan shalat lain kecuali jika lupa lalu ingat pada waktu salah satunya, atau tertidur lalu mengqadhanya saat itu juga. Tidak boleh seseorang yang memiliki alasan untuk menjamak shalat keluar dari akhir waktu shalat yang kedua, dan tidak boleh memajukan waktu shalat yang pertama. Waktu adalah batasan yang tidak boleh dilampaui, dimajukan, atau diakhirkan. Shalat Isya tidak boleh diakhirkan melebihi sepertiga malam pertama, baik di kota maupun di luar, baik dalam keadaan bermukim maupun safar. 

[Waktu Zhuhur] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Awal waktu Zhuhur adalah ketika seseorang yakin matahari telah tergelincir dari tengah langit. Pada musim panas, bayangan matahari menyusut hingga tidak ada bayangan sama sekali bagi benda tegak di tengah hari. Jika bayangan telah hilang bagi benda tegak, maka matahari telah tergelincir. Akhir waktu Zhuhur pada saat ini adalah ketika bayangan segala sesuatu seukuran dengan aslinya. Jika bayangan telah melebihi ukuran aslinya sedikit saja, maka waktu Zhuhur telah berakhir dan masuk waktu Ashar tanpa jeda kecuali seperti yang telah dijelaskan. Bayangan pada musim dingin, musim semi, dan musim gugur berbeda dengan musim panas seperti yang telah dijelaskan. 

Cara mengetahui tergelincirnya matahari pada waktu-waktu ini adalah dengan mengamati bayangan dan memerhatikan penyusutannya. Ketika penyusutan telah mencapai puncaknya lalu bertambah, maka saat itulah tergelincirnya matahari dan awal waktu Zhuhur. Akhir waktu Zhuhur adalah ketika diketahui bayangan telah mencapai ukuran seperti bayangan musim panas, yaitu ketika bayangan segala sesuatu seukuran dengan aslinya. Hal ini diketahui dengan membandingkan antara waktu tergelincirnya matahari dan awal waktu Zhuhur, yang lebih pendek daripada jarak antara awal waktu Ashar dan malam. Jika ada tanda yang jelas, maka itu petunjuk. Jika tidak, hendaknya berhati-hati hingga yakin bahwa shalat dilakukan setelah masuk waktu. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika langit berawan, perhatikan pergerakan matahari dan berhati-hatilah dengan mengakhirkan shalat hingga tidak khawatir masuk waktu Ashar. Jika seseorang berusaha keras lalu shalat berdasarkan perkiraan terkuat, maka shalatnya sah. Karena rentang waktu Zhuhur cukup panjang sehingga hampir mencukupi jika berhati-hati dengan memastikan matahari telah tergelincir. Berbeda dengan arah kiblat yang tidak memiliki rentang waktu, karena hanya ada petunjuk tanpa durasi. Sedangkan waktu shalat memiliki petunjuk dari durasi, posisi, dan bayangan. Jika demikian, tidak perlu mengulang shalat kecuali jika yakin telah shalat sebelum tergelincir. Jika diketahui demikian, maka wajib mengulang. Hal yang sama berlaku jika berhati-hati tanpa awan. 

(Imam Syafi’i berkata): Pengetahuan pribadi atau kabar dari orang yang dipercaya bahwa shalat dilakukan sebelum tergelincir—jika ia sendiri tidak melihat atau ragu—mewajibkannya untuk mengulang shalat. Jika orang yang memberitahunya berbohong, maka tidak wajib mengulang, tetapi lebih baik mengulang sebagai kehati-hatian. 

Jika seseorang buta, ia boleh mengikuti kabar dari orang yang dipercaya tentang waktu shalat atau mengikuti muadzin. Jika ia terkurung di tempat gelap atau buta tanpa ada orang di sekitarnya, ia boleh berusaha memperkirakan, dan shalatnya sah hingga yakin telah shalat sebelum waktunya. Waktu berbeda dengan kiblat karena waktu memiliki durasi, sehingga berlalunya waktu dianggap sebagai petunjuk.

Itu dalam kiblat. Jika dia tahu bahwa dia shalat setelah waktu, maka itu cukup baginya dan minimal dia mengqadhanya. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang dalam keadaan seperti yang aku jelaskan, seperti terkurung dalam kegelapan, atau buta tanpa ada orang di dekatnya, maka tidak boleh baginya menunda shalat tanpa alasan yang kuat menurut perkiraannya tentang perjalanan waktu siang dan malam. Jika dia menemukan orang lain, maka dia boleh menundanya bersamanya. Jika dia shalat tanpa menunda, maka dia harus mengulangi setiap shalat yang dilakukan tanpa penundaan. Waktu Zhuhur tidak berakhir sampai bayangan suatu benda melebihi panjang aslinya. Jika bayangan telah melebihi itu, maka waktu Zhuhur telah berakhir. Hal ini karena orang yang menundanya hingga waktu ini menggabungkan dua hal: menunda dari waktu yang seharusnya dan masuknya waktu shalat lain.

Menyegerakan dan Menunda Zhuhur 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Menyegerakan Zhuhur bagi orang yang hadir, baik sebagai imam maupun sendirian, adalah di setiap waktu kecuali saat cuaca sangat panas. Jika panas sangat terik, imam jamaah yang didatangi dari jauh boleh menunda Zhuhur hingga cuaca lebih sejuk, berdasarkan hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sufyan meriwayatkan dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: 

“Jika panas sangat terik, maka tunggulah waktu yang lebih sejuk untuk shalat, karena panas yang menyengat berasal dari hembusan neraka Jahannam. Neraka pernah mengeluh kepada Tuhannya seraya berkata, ‘Wahai Rabbku, sebagianku memakan sebagian yang lain.’ Maka Allah mengizinkannya untuk bernapas dua kali: sekali di musim dingin dan sekali di musim panas. Maka panas terik yang kalian rasakan berasal dari panasnya neraka, dan dingin yang sangat menusuk berasal dari dinginnya neraka.” 

Malik meriwayatkan dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: 

“Jika panas sangat terik, maka tunggulah waktu yang lebih sejuk untuk shalat, karena panas yang menyengat berasal dari hembusan neraka Jahannam.” 

Yahya bin Hassan yang tsiqah meriwayatkan dari Al-Laits bin Sa’d dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: 

“Jika panas sangat terik, maka tunggulah waktu yang lebih sejuk untuk shalat, karena panas yang menyengat berasal dari hembusan neraka Jahannam.” 

(Imam Syafi’i berkata): Penundaan shalat Zhuhur tidak boleh sampai ke akhir waktunya sehingga harus digabung dengan shalat Ashar. Tetapi, menunggu waktu yang lebih sejuk adalah ketika dia tahu bahwa dia bisa shalat dengan tenang dan selesai sebelum waktu berakhir, sehingga ada jeda antara selesainya shalat dan akhir waktu. Adapun orang yang shalat di rumahnya atau berjamaah di halaman rumahnya dengan hanya orang-orang terdekat, maka hendaknya dia shalat di awal waktu karena tidak ada kesulitan bagi mereka dalam panasnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat Zhuhur tidak boleh ditunda dalam keadaan apa pun di musim dingin. Semakin dia menyegerakannya, semakin ringan bagi orang yang melaksanakannya. Imam jamaah yang didatangi dari jauh tidak boleh menundanya kecuali di daerah yang panasnya menyengat seperti Hijaz. Jika di suatu daerah panasnya tidak menyengat, maka tidak perlu ditunda karena tidak ada kesulitan yang perlu dihindari dengan menundanya. 

[Waktu Ashar] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Waktu Ashar di musim panas dimulai ketika bayangan suatu benda melebihi panjang aslinya sedikit, yaitu saat berpisah dari akhir waktu Zhuhur. Aku mendengar dari sebagian sahabat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa makna dari apa yang aku jelaskan adalah shalat Ashar di akhir waktu Zhuhur dengan pengertian bahwa shalat dilakukan ketika bayangan suatu benda sama dengan panjang aslinya, lalu melebihinya sedikit. Pendapat Ibnu Abbas bisa dipahami demikian, dan ini juga pendapat kebanyakan ulama yang aku ketahui. 

Jika di suatu waktu bayangan tidak seperti itu, maka dihitung berdasarkan panjang bayangan saat berkurang. Jika bayangan bertambah setelah berkurang, maka itu adalah waktu tergelincir matahari. Kemudian dihitung seandainya musim panas, bayangan mencapai panjang seperti benda tegak. Jika melebihinya sedikit, maka itu adalah awal waktu Ashar. Shalat Ashar boleh dilakukan di setiap tempat dan waktu. Imam jamaah yang didatangi dari jauh atau dekat, maupun orang yang shalat sendirian, sebaiknya tidak menundanya dari awal waktu. 

Jika langit berawan atau seseorang terkurung dalam kegelapan… (terjemahan berlanjut sesuai konteks).

Kegelapan, atau seorang yang buta di suatu negeri di mana tidak ada seorang pun bersamanya, melakukan apa yang telah kujelaskan dilakukan pada waktu Zuhur, tidak berbeda sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengakhirkan Asar hingga bayangan segala sesuatu melebihi dua kali lipatnya pada musim panas dan ukuran yang sama pada musim dingin, maka ia telah melewatkan waktu ikhtiyar (pilihan). Tidak boleh dikatakan kepadanya: “Ia telah melewatkan waktu Asar secara mutlak,” sebagaimana boleh dikatakan kepada orang yang mengakhirkan Zuhur hingga bayangan segala sesuatu melebihi panjang aslinya secara mutlak. Hal ini karena seperti yang telah kujelaskan, bahwa pada waktu itu masih diperbolehkan baginya untuk shalat Asar, sedangkan pada waktu ini tidak diperbolehkan baginya shalat Zuhur. Aku hanya mengatakan bahwa tidak jelas bagiku apa yang telah dijelaskan, bahwa Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Basyir bin Sa’id, dan dari Al-A’raj, mereka meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan Subuh. Dan barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat Asar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan Asar.” (Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang tidak mendapatkan satu rakaat Asar sebelum matahari terbenam, maka ia telah melewatkan Asar. Dan satu rakaat adalah satu rakaat dengan dua sujud. Aku lebih suka menyegerakan Asar karena Muhammad bin Isma’il mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah ﷺ shalat Asar saat matahari masih tinggi, kemudian seseorang pergi ke Al-‘Awali (pinggiran Madinah) dan sampai di sana saat matahari masih tinggi.” Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam dari Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daili, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang melewatkan Asar, seolah-olah ia kehilangan keluarga dan hartanya.”

[Waktu Maghrib] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak ada waktu untuk Maghrib kecuali satu, yaitu saat matahari terbenam. Hal ini jelas dalam hadis tentang imamah Jibril kepada Nabi ﷺ dan hadis lainnya. Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah dari Abu Nu’aim dari Jabir, ia berkata: “Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah ﷺ, kemudian kami pergi memanah hingga sampai ke rumah Bani Salamah, dan kami masih bisa melihat jatuhnya anak panah karena cahaya senja.” Muhammad bin Isma’il mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqbari dari Al-Qa’qa’ bin Hakim, ia berkata: Kami mengunjungi Jabir bin Abdullah, lalu Jabir berkata: “Kami shalat bersama Nabi ﷺ, kemudian kami pulang dan mendatangi Bani Salamah, dan kami masih bisa melihat jatuhnya anak panah.” Muhammad bin Isma’il mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Shalih maula At-Tau’amah dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata: “Kami shalat Maghrib bersama Nabi ﷺ, kemudian kami pulang dan pergi ke pasar, dan seandainya anak panah dilemparkan, pasti akan terlihat jatuhnya.” (Asy-Syafi’i berkata): Telah dikatakan bahwa waktu Maghrib tidak terlewat hingga masuk awal waktu Isya. Dikatakan: “Ia boleh shalat satu rakaat sebagaimana dikatakan dalam shalat Asar.” Namun, hal ini tidak boleh karena waktu Subuh terlewat jika matahari telah terbit. Dikatakan: “Ia boleh shalat satu rakaat.” Jika ada yang berkata: “Apakah kamu mengqiyaskannya dengan Subuh?” Aku jawab: “Aku tidak mengqiyaskan satu pun waktu shalat dengan waktu lainnya. Semua berdasarkan prinsip dasar, dan prinsip dasarnya adalah hadis tentang imamah Jibril kepada Nabi ﷺ, kecuali jika ada dalil khusus dari Nabi ﷺ atau perkataan umum ulama yang tidak diperselisihkan.” (Asy-Syafi’i berkata): Seandainya dikatakan bahwa Maghrib terlewat jika tidak dikerjakan pada waktunya, maka —Wallahu a’lam— itu lebih sesuai dengan pendapat yang benar. Orang yang shalat boleh mengakhirkannya saat mendung, atau orang yang terkurung dalam kegelapan, atau orang buta, seperti yang telah kujelaskan dalam shalat Zuhur. Ia boleh mengakhirkannya hingga yakin bahwa waktu Maghrib telah masuk atau telah lewat.

[Waktu Isya] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Labid dari Abu Salamah bin Abdurrahman…

Dari Ibnu Umar bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Jangan sampai orang-orang Badui mengalahkan kalian dalam penamaan shalat kalian, yaitu Isya, kecuali karena mereka mengakhirkan (waktu) memerah unta.” (Asy-Syafi’i berkata): “Aku lebih suka agar shalat itu tidak disebut kecuali dengan nama Isya, sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menamakannya. Waktu awalnya adalah ketika syafaq (mega merah) menghilang. Syafaq adalah warna merah yang ada di ufuk barat. Jika warna merah itu hilang dan tidak terlihat lagi, maka masuklah waktunya. Barangsiapa memulai shalat Isya sementara masih ada sisa warna merah, maka ia harus mengulanginya. Yang aku maksudkan dengan waktu adalah masuknya shalat, sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk memulai shalat kecuali setelah masuk waktunya. Bahkan tidak boleh melakukan takbir kecuali setelah masuk waktu, karena takbir adalah permulaan shalat. Jika seseorang mengucapkan takbir sebelum waktunya, maka ia harus mengulangi shalatnya. Waktu akhir shalat Isya adalah hingga berlalu sepertiga malam. Jika sepertiga malam pertama telah berlalu, maka aku menganggap shalat itu telah terlewat, karena itu adalah akhir waktunya. Tidak ada riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang menunjukkan bahwa shalat Isya tidak terlewat kecuali setelah waktu tersebut.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Semua waktu shalat sebagaimana yang aku jelaskan tidak boleh diqiyaskan (dianalogikan). Orang yang terlambat melaksanakan shalat karena mendung, berada dalam penjara yang gelap, atau orang buta yang tidak ada yang menuntunnya, hendaknya melakukan seperti yang aku jelaskan untuk shalat Zhuhur. Mengakhirkan shalat di malam hari lebih ringan daripada mengakhirkan shalat di siang hari karena lamanya waktu dan gelapnya malam yang jelas.” 

[Waktu Fajar] 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan (laksanakanlah) shalat subuh, sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78). Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – juga bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh…” Subuh adalah Fajar, sehingga shalat ini memiliki dua nama: Subuh dan Fajar. Aku lebih suka agar shalat ini hanya disebut dengan salah satu dari dua nama tersebut. Jika fajar kedua (shadiq) telah terlihat membentang di ufuk, maka shalat Subuh telah masuk waktunya. Barangsiapa shalat Subuh sebelum terlihatnya fajar kedua, maka ia harus mengulanginya. Shalat Subuh dilaksanakan segera setelah yakin terbitnya fajar kedua, hingga selesai shalat dalam keadaan masih gelap. 

(Asy-Syafi’i berkata): “Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah, ia berkata: ‘Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah shalat Subuh, lalu para wanita pulang dengan berselimut kain mereka karena masih gelap sehingga mereka tidak dikenali.’ Shalat Subuh tidak terlewat kecuali hingga matahari terbit sebelum seseorang sempat shalat satu rakaat. Satu rakaat adalah satu rakaat dengan sujudnya. Barangsiapa tidak menyelesaikan satu rakaat dengan sujudnya sebelum matahari terbit, maka shalat Subuhnya telah terlewat, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh.'”

[Perbedaan Waktu Shalat] 

Perbedaan Waktu 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Ketika Jibril mengimami Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam keadaan mukim, bukan dalam hujan, dan beliau bersabda, “Antara dua waktu ini adalah waktunya,” maka tidak boleh bagi siapa pun untuk sengaja mengerjakan shalat dalam keadaan mukim atau hujan kecuali pada waktu tersebut.

Waktu dan tidak ada shalat kecuali dilakukan sendirian sebagaimana Jibril shalat bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat setelah menetap dalam hidupnya. Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menggabungkan shalat di Madinah dalam keadaan menetap, hal itu tidak dapat diterima kecuali bertentangan dengan hadis ini, atau keadaan ketika beliau menggabungkannya berbeda dengan keadaan ketika beliau memisahkannya. Maka tidak boleh dikatakan bahwa penggabungannya di tempat tinggal bertentangan dengan pemisahannya di tempat tinggal dari dua sisi: bahwa masing-masing memiliki alasan, dan yang meriwayatkan keduanya adalah satu orang, yaitu Ibnu Abbas. Jadi kita tahu bahwa penggabungannya di tempat tinggal memiliki alasan yang membedakannya dari pemisahannya, dan itu tidak lain adalah hujan. – Allah Ta’ala lebih tahu – jika tidak ada rasa takut. Kami menemukan kesulitan sebagai alasan untuk penggabungan saat hujan, sebagaimana penggabungan dalam perjalanan memiliki alasan kesulitan umum. Maka kami katakan jika alasannya adalah hujan di tempat tinggal, boleh menggabungkan Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. 

(Dia berkata): Tidak boleh menggabungkan kecuali jika hujan masih turun pada waktu penggabungan dilakukan. Jika seseorang telah shalat salah satunya, kemudian hujan berhenti, dia tidak boleh menggabungkan yang lainnya. Jika dia shalat salah satunya saat hujan masih turun, kemudian memulai yang lainnya saat hujan masih turun, lalu hujan berhenti, dia boleh melanjutkan shalatnya; karena jika dia diperbolehkan memulainya, dia juga boleh menyelesaikannya. 

(Dia berkata): Boleh menggabungkan shalat karena sedikit atau banyak hujan. Tidak boleh menggabungkan kecuali bagi orang yang keluar dari rumahnya menuju masjid tempat shalat berjamaah dilakukan, baik masjid itu dekat atau jauh, penduduknya banyak atau sedikit. Tidak boleh seseorang menggabungkan shalat di rumahnya; karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menggabungkan shalat di masjid, dan orang yang shalat di rumah berbeda dengan yang shalat di masjid. Jika seseorang shalat Zhuhur tanpa hujan, kemudian orang lain shalat karena hujan, dia tidak boleh shalat Ashar; karena dia telah shalat Zhuhur dan tidak boleh menggabungkan Ashar dengannya. Demikian juga jika dia memulai Zhuhur tanpa hujan, kemudian hujan turun setelahnya, dia tidak boleh menggabungkan Ashar. Tidak boleh menggabungkan kecuali jika dia memulai shalat pertama dengan niat menggabungkan. Jika dia memulainya saat hujan dan menyelesaikan yang lainnya saat hujan, meskipun hujan berhenti di antara keduanya, dia boleh menggabungkan; karena waktu untuk setiap shalat adalah saat memulainya. Maghrib dan Isya dalam hal ini sama seperti Zhuhur dan Ashar, tidak berbeda. Setiap daerah sama dalam hal ini; karena hujan di setiap tempat menimbulkan kesulitan. 

Jika seseorang menggabungkan dua shalat karena hujan, dia menggabungkannya pada waktu shalat pertama, tidak menundanya. Tidak boleh menggabungkan shalat di tempat tinggal selain karena hujan, karena pada dasarnya shalat dilakukan terpisah. Penggabungan karena hujan adalah keringanan karena uzur. Jika ada uzur lain, tidak boleh menggabungkan; karena uzur selain hujan bersifat khusus, seperti sakit, ketakutan, atau sejenisnya. Ada penyakit dan ketakutan, tetapi tidak ada riwayat bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menggabungkan shalat karenanya. Uzur karena hujan bersifat umum. Boleh menggabungkan shalat dalam perjalanan berdasarkan riwayat dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Petunjuk tentang waktu shalat bersifat umum, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya atau menggabungkannya kecuali di tempat yang Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – beri keringanan, seperti dalam perjalanan. Kami tidak melihat penggabungan selain yang kami lihat karena hujan. – Allah Ta’ala lebih tahu. 

[Waktu Shalat dalam Perjalanan] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, “Dari Jabir bin Abdullah, dia menyebutkan haji Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berangkat dari rumahnya.” Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya, “Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah secara gabungan.” Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abu Az-Zubair.

Dari Abu Thufail Amir bin Watsilah, bahwa Muadz bin Jabal mengabarkan kepadanya bahwa mereka pernah keluar bersama Rasulullah SAW pada tahun Tabuk. Rasulullah SAW menggabungkan shalat Zhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya. Suatu hari, beliau mengakhirkan shalat, lalu keluar dan shalat Zhuhur dan Ashar secara digabung. Kemudian beliau masuk, lalu keluar lagi dan shalat Maghrib dan Isya secara digabung. 

(Imam Syafi’i berkata): Ini dilakukan saat berhenti, bukan dalam perjalanan, karena perkataan “masuk, lalu keluar” menunjukkan beliau sedang berhenti. Seorang musafir boleh menggabungkan shalat baik saat berhenti maupun dalam perjalanan. 

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Ismail bin Abdurrahman bin Abi Dzu’ib Al-Asadi, ia berkata: “Kami pernah keluar bersama Ibnu Umar menuju Al-Hama. Ketika matahari terbenam, kami ingin mengatakan kepadanya, ‘Berhentilah dan shalat!’ Namun, ketika cahaya merah di ufuk hilang dan kegelapan Isya datang, ia berhenti dan shalat tiga rakaat (Maghrib), lalu salam. Kemudian shalat dua rakaat (Isya), lalu salam. Setelah itu, ia menoleh kepada kami dan berkata, ‘Beginilah aku melihat Rasulullah SAW melakukannya.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Sunnah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa seorang musafir boleh menggabungkan shalat Zhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya, pada waktu salah satunya, baik di waktu yang pertama maupun yang terakhir. Karena Nabi SAW pernah menggabungkan Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhur, serta Maghrib dan Isya di waktu Isya. 

Ketika Ibnu Abbas dan Muadz menceritakan penggabungan shalat, baik dalam perjalanan yang sulit maupun tidak, Nabi SAW juga menggabungkannya di Arafah (tanpa perjalanan, kecuali menuju tempat wukuf di dekat masjid) dan di Muzdalifah saat berhenti. Muadz juga menceritakan bahwa beliau menggabungkan shalat saat berhenti dalam perjalanan tanpa bergerak. 

Siapa pun yang diperbolehkan mengqashar shalat, maka ia juga boleh menggabungkannya berdasarkan penjelasan Sunnah. Namun, tidak boleh menggabungkan shalat Subuh dengan shalat lain atau menggabungkan shalat lain dengannya, karena Nabi SAW tidak pernah melakukannya. 

Seorang musafir tidak boleh menggabungkan dua shalat sebelum masuk waktu yang pertama. Jika dilakukan, ia harus mengulangnya, sebagaimana orang yang bermukim harus mengulang shalat jika dikerjakan sebelum waktunya. Namun, ia boleh menggabungkannya setelah waktunya, karena saat itu ia sedang mengqadha. 

Jika seorang musafir memulai shalat sebelum tergelincir matahari, lalu tidak membaca (surat) hingga matahari tergelincir, kemudian melanjutkan shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus, maka ia harus mengulang keduanya. Zhuhur diulang karena waktu belum masuk saat memulai shalat, sehingga shalat dilakukan sebelum waktunya. Adapun Ashar, ia hanya boleh mengerjakannya sebelum waktunya jika digabung dengan Zhuhur, dan itu sah baginya. 

Jika ia memulai Zhuhur dengan mengira matahari belum tergelincir, lalu yakin bahwa ia memulainya setelah tergelincir, maka shalat Zhuhur dan Ashar harus diulang. Karena saat memulai, ia mengira waktu belum masuk, sehingga shalatnya tidak sah. 

Jika ia berniat menggabungkan shalat tetapi memulai dengan Ashar terlebih dahulu, lalu Zhuhur, maka Zhuhur sah baginya, tetapi Ashar tidak. Ashar tidak sah dikerjakan sebelum waktunya kecuali jika Zhuhur sebelumnya sudah sah. 

Jika ia memulai Zhuhur tanpa wudhu, lalu berwudhu untuk Ashar dan mengerjakannya, maka ia harus mengulang Zhuhur dan Ashar. Ashar tidak sah dikerjakan sebelum waktunya kecuali jika Zhuhur sebelumnya sah. 

Demikian pula jika Zhuhur batal karena alasan apa pun, Ashar tidak sah dikerjakan sebelum waktunya. Jika semua ini terjadi pada waktu Ashar hingga Ashar hanya bisa dikerjakan setelah waktunya, maka Ashar sah, tetapi Zhuhur harus diulang. 

Jika ia memulai Zhuhur dalam keraguan tentang waktunya, lalu yakin bahwa ia memulainya setelah masuk waktu, shalatnya tidak sah. Begitu pula jika ia mengira shalatnya terlewat, lalu memulai shalat dengan niat jika terlewat maka itulah shalat yang ia mulai, kemudian ia tahu bahwa ada shalat yang terlewat, shalatnya tidak sah. 

Tidak ada yang sah dari semua ini kecuali jika ia memulai shalat dengan niat shalat dan yakin bahwa waktunya telah masuk. Jika memulai dalam keraguan, niatnya tidak sempurna. 

Jika seorang musafir berniat menggabungkan Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhur, lalu lupa atau sengaja memulai dengan Ashar, maka Ashar tidak sah baginya. Ashar tidak sah sebelum waktunya kecuali jika Zhuhur dikerjakan terlebih dahulu dan sah. 

Demikian pula jika ia shalat Zhuhur pada waktunya, lalu batal tanpa sadar, kemudian shalat Ashar setelahnya di waktu Zhuhur, maka ia harus mengulang Zhuhur, lalu Ashar.

Lelaki itu sedang shalat, padahal ia telah melewatkan shalat sebelumnya. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata bahwa Asy-Syafi’i berkata: 

“Barangsiapa yang luput dari shalat, lalu ia ingat ketika sudah masuk ke dalam shalat yang lain, maka ia boleh melanjutkan shalatnya yang sedang ia kerjakan tanpa membatalkannya, baik sebagai imam maupun makmum. Setelah selesai, ia mengerjakan shalat yang terlewat. Begitu pula jika ia ingat shalat yang terlewat sebelum masuk ke shalat lain, lalu ia masuk ke shalat tersebut sambil tetap ingat shalat yang terlewat, maka shalat yang ia kerjakan tetap sah, dan ia tetap wajib menunaikan shalat fardhu yang terlewat. Namun, yang lebih utama adalah mengerjakan shalat yang terlewat terlebih dahulu sebelum shalat yang ia ingat, kecuali jika ia khawatir akan luput dari shalat yang sedang dalam waktunya, maka ia shalat yang sedang dalam waktunya terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan shalat yang terlewat.” 

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Abdul Karim Al-Jazari. 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Hal ini sama saja, baik shalat yang terlewat itu shalat satu hari atau shalat setahun. Aku telah menetapkan hal ini di tempat lain. Aku mengatakan ini karena Rasulullah ﷺ pernah tertidur hingga terlewat shalat Subuh, lalu beliau berangkat dari tempatnya dan mengakhirkan shalat yang terlewat, padahal beliau bisa mengerjakannya saat itu. Maka, tidak boleh dipahami bahwa sabda beliau, ‘Barangsiapa yang lupa shalat, hendaknya ia shalat ketika ingat,’ berarti bahwa waktu ingat itulah satu-satunya waktu shalat tersebut. Sebab, Nabi ﷺ tidak pernah mengakhirkan shalat dari waktunya. Karena itu, makna sabda beliau adalah agar shalat itu dikerjakan ketika diingat, sebab kewajiban shalat tidak gugur hanya karena lupa, selama ia masih bisa ingat. Dan ia boleh mengerjakannya kapan saja, baik pada waktu yang dilarang shalat atau tidak.” 

(Ar-Rabi’ berkata): 

Asy-Syafi’i berkata: Sabda Nabi ﷺ, “Hendaknya ia shalat ketika ingat,” bisa bermakna bahwa waktu ingat itulah waktunya, atau bisa juga bermakna agar ia shalat ketika ingat, bukan berarti kewajibannya gugur jika waktunya telah lewat. Ketika Nabi ﷺ ingat shalat Subuh saat berada di lembah, beliau tidak mengerjakannya hingga keluar dari lembah. Ini menunjukkan bahwa sabda beliau, “Hendaknya ia shalat ketika ingat,” berarti meski waktunya telah lewat, kewajibannya tidak gugur. Jika ada yang berkata, “Nabi ﷺ keluar dari lembah karena di dalamnya ada setan,” maka jawabannya: Jika shalat tidak sah di lembah yang ada setannya, padahal Nabi ﷺ pernah shalat sambil mencekik setan, dan mencekik setan lebih berat daripada shalat di lembah yang ada setannya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika seorang musafir ingin menjamak Zhuhur dan Ashar pada waktu Ashar, lalu ia memulai dengan Zhuhur tetapi shalatnya batal, kemudian ia shalat Ashar, maka Ashar-nya sah. Ashar sah karena dikerjakan dalam waktunya secara terpisah, yang jika dikerjakan sendiri pun sudah sah. Setelah itu, ia mengerjakan Zhuhur.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika ia memulai dengan Ashar terlebih dahulu, lalu mengerjakan Zhuhur, maka Ashar-nya sah karena dikerjakan dalam waktunya secara terpisah, tetapi ia tetap wajib mengerjakan Zhuhur. Aku tidak menyukai hal ini meski sah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika langit tertutup awan dalam perjalanan, seperti halnya di tempat tinggal, maka boleh diakhirkan. Jika ia menjamak Zhuhur dan Ashar, lalu awan terbuka dan ternyata ia memulai Zhuhur sebelum Zawal (waktu Zhuhur), maka ia harus mengulangi Zhuhur dan Ashar sekaligus, karena keduanya dikerjakan tidak sah: Zhuhur sebelum waktunya dan Ashar di waktu yang tidak sah kecuali jika Zhuhur dikerjakan terlebih dahulu.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika ia mengakhirkan dan mengerjakan keduanya, lalu awan terbuka dan ternyata ia shalat pada waktu Ashar, maka keduanya sah karena ia boleh sengaja menjamak pada waktu itu.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika awan terbuka dan ternyata ia shalat setelah matahari terbenam, maka keduanya sah karena minimal statusnya adalah qadha dari kewajibannya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Jika ia mengakhirkan, lalu ternyata ia shalat salah satunya sebelum matahari terbenam dan satunya setelah terbenam, maka keduanya sah. Salah satunya dikerjakan dalam waktunya, dan minimal satunya lagi berstatus qadha.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula pendapat tentang Maghrib dan Isya, boleh dijama’ antara keduanya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang dalam perjalanan dan tidak berniat menjama’ Zhuhur dengan Ashar pada hari perjalanannya, lalu dia mengakhirkan Zhuhur dengan sengaja tanpa maksud menjama’ hingga masuk waktu Ashar, maka dia berdosa karena menundanya tanpa niat menjama’. Sebab penundaan itu hanya diperbolehkan jika bermaksud menjama’, sehingga waktu itu menjadi waktu untuk keduanya. Jika tidak berniat menjama’, maka menunda dan melaksanakannya adalah maksiat, dan shalat Zhuhurnya dianggap qadha’, sedangkan Ashar dilaksanakan pada waktunya. Keduanya sah, tetapi dia berdosa karena menunda Zhuhur.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang shalat Zhuhur tanpa berniat menjama’ dengan Ashar, lalu setelah menyelesaikan Zhuhur atau masih dalam waktunya dia berniat menjama’, maka itu diperbolehkan. Sebab jika boleh berniat sejak awal, maka boleh juga berniat di waktu yang diperbolehkan untuk menjama’. Namun, jika sudah selesai dari Zhuhur (dengan salam) dan tidak berniat menjama’ sebelumnya atau saat selesai, lalu ingin menjama’, maka tidak boleh. Karena tidak bisa dikatakan dia sedang menjama’ jika sudah selesai, melainkan dia sedang shalat sendiri. Jadi, tidak boleh shalat sebelum waktunya kecuali dalam bentuk jama’, bukan shalat sendiri. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menunda Zhuhur tanpa niat menjama’ dan selesai pada waktu Ashar, dia boleh shalat Ashar. Sebab meskipun dilaksanakan sendiri, shalat itu tetap pada waktunya, bukan di luar waktunya. Begitu pula jika sengaja menunda Zhuhur tanpa niat menjama’ hingga waktu Ashar, dia berdosa karena menundanya dengan sengaja tanpa niat menjama’.

(Imam Syafi’i berkata): Jika shalat Zhuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Zhuhur dan dilakukan berturut-turut tanpa beranjak dari tempat shalat atau disela shalat lain, maka itu sah. Namun, jika beranjak dari tempat shalat atau disela shalat lain, tidak boleh menjama’ karena tidak disebut menjama’ kecuali jika dilakukan berurutan tanpa ada aktivitas di antaranya. Jika imam dan makmum berbicara cukup lama, masih boleh menjama’. Tetapi jika terlalu lama, tidak boleh. Jika menjama’ pada waktu shalat kedua, dia boleh shalat pada waktu pertama lalu pergi dan melakukan apa saja, karena shalat kedua tetap pada waktunya. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa sebagian sahabat yang shalat Maghrib bersama Nabi SAW di Jamu’, ada yang menambatkan untanya di tempat mereka lalu shalat Isya di tempat yang mereka lihat sesuai, padahal Isya dilaksanakan pada waktunya. (Imam Syafi’i berkata): Hukum menjama’ Maghrib dan Isya sama dengan menjama’ Zhuhur dan Ashar, tidak ada perbedaan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berniat menjama’ Zhuhur dan Ashar, lalu shalat Zhuhur, kemudian pingsan dan sadar sebelum waktu Zhuhur habis, dia tidak boleh shalat Ashar sampai masuk waktunya. Karena saat itu dia tidak sedang menjama’. Begitu pula jika tertidur, lupa, sibuk, atau terhalang oleh sesuatu yang lama. (Imam Syafi’i berkata): Intinya, lihat kondisi jika seseorang lupa dalam shalat lalu selesai sebelum menyempurnakannya. Jika selesainya dekat, boleh menjama’. Jika lupa lalu selesai dan waktunya lama, tidak boleh melanjutkan dan harus memulai lagi. Demikian pula, tidak boleh menjama’ dalam kondisi itu. Jika di masjid, jangan keluar dan berlama-lama sebelum kembali shalat. Jika di tempat shalat, jangan berpindah atau berlama-lama sebelum kembali shalat.

[BAB SHALAT KETIKA ADA UDZUR] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Tidak boleh bagi seseorang menggabungkan dua shalat dalam waktu yang pertama kecuali karena hujan. Juga tidak boleh mengqashar shalat dalam keadaan takut atau udzur lainnya, kecuali jika sedang dalam perjalanan. Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat di Khandaq dalam keadaan perang, namun tidak ada riwayat yang menyatakan beliau mengqashar shalat. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, tidak boleh shalat sambil duduk kecuali karena sakit yang tidak memungkinkan untuk berdiri, padahal ia mampu berdiri, kecuali dalam keadaan takut seperti yang telah disebutkan. Tidak boleh shalat sambil duduk karena udzur selain sakit yang menghalangi untuk berdiri. (Imam Syafi’i berkata): Hal itu karena kewajiban dalam shalat fardhu adalah menghadap kiblat dan shalat sambil berdiri. Tidak boleh menyelisihi ini kecuali dalam keadaan-keadaan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Tidak ada sesuatu yang bisa diqiyaskan dengannya, dan segala sesuatu harus dikembalikan kepada pokoknya. Keringanan tidak boleh dilampaui dari tempat-tempat yang telah ditetapkan. 

[BAB SHALAT ORANG SAKIT] 

Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Peliharalah semua shalat dan shalat wustha, serta berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Dikatakan -dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui- bahwa “qanitin” berarti taat. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga memerintahkan untuk shalat sambil berdiri. (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Ketika seseorang diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban, maka selama ia mampu, ia harus melakukannya. Jika seseorang mampu berdiri dalam shalat, maka tidak boleh baginya kecuali berdiri, kecuali dalam keadaan takut seperti yang telah disebutkan. (Imam Syafi’i berkata): Jika ia tidak mampu berdiri, maka ia shalat sambil duduk, ruku’, dan sujud jika mampu melakukannya. 

Telah mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hassan dari Hammad bin Salamah dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah: “Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat orang-orang. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- merasa agak ringan (sakitnya), lalu beliau datang dan duduk di samping Abu Bakar. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengimami Abu Bakar sambil duduk, sedangkan Abu Bakar mengimami orang-orang sambil berdiri.” 

Telah mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata: Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ubaid bin Umair Al-Laitsi menceritakan kepadanya: “Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat Subuh orang-orang. Ketika Abu Bakar bertakbir, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- merasa agak ringan (sakitnya), lalu beliau bangun dan merapikan shaf-shaf.”

Abu Bakar tidak pernah menoleh ketika shalat. Ketika Abu Bakar mendengar suara di belakangnya, ia tahu bahwa tidak ada yang berani maju ke posisi itu kecuali Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ia mundur ke barisan, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengembalikannya ke tempat semula. Rasulullah lalu duduk di sampingnya, sementara Abu Bakar tetap berdiri. Setelah Abu Bakar selesai, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihatmu sudah sehat. Ini adalah hari putri Kharijah.” Abu Bakar pun pulang ke keluarganya, sementara Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tetap di tempatnya, duduk di samping Hajar Aswad, memperingatkan orang-orang tentang fitnah. Beliau bersabda, “Demi Allah, manusia tidak akan bisa menahanku untuk sesuatu pun. Demi Allah, aku tidak menghalalkan kecuali apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya. Wahai Fatimah binti Rasulullah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, beramallah untuk akhirat, karena aku tidak bisa menyelamatkan kalian dari siksa Allah sedikit pun.”

(Imam Syafi’i berkata): Seorang imam boleh shalat sambil duduk, sedangkan makmum di belakangnya shalat berdiri jika mereka mampu. Tidak sah shalat seseorang yang mampu berdiri kecuali dengan berdiri. Demikian pula jika imam mampu berdiri, ia shalat berdiri, sedangkan yang di belakangnya yang tidak mampu berdiri boleh shalat sambil duduk. (Imam Syafi’i berkata): Begitu pula dalam setiap keadaan di mana seorang shalat mampu melaksanakan kewajiban shalat sebagaimana yang Allah tetapkan, ia harus melakukannya. Adapun yang tidak mampu, ia shalat sesuai kemampuannya.

Jika seseorang tidak mampu duduk tetapi mampu shalat sambil berbaring, ia boleh shalat berbaring. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, ia boleh shalat dengan isyarat, dengan menjadikan sujud lebih rendah daripada isyarat rukuk.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang sakit punggung yang tidak menghalanginya berdiri tetapi menghalangi rukuk, ia tidak boleh kecuali berdiri. Cukup baginya membungkuk sesuai kemampuannya saat rukuk. Jika tidak mampu sama sekali hingga lehernya, dan hanya bisa bersandar pada sesuatu, ia boleh bersandar sambil tegak atau miring, lalu rukuk, kemudian bangun, lalu sujud. Jika tidak mampu sujud, ia duduk dan memberi isyarat.

Jika ia mampu sujud dengan pipinya tetapi tidak dengan dahinya, ia boleh menundukkan kepala, meski miring, lalu sujud dengan pipi, karena itu yang paling dekat dengan sujud yang sempurna, baik tegak atau miring. Tidak sah jika ia mampu mendekati sujud tetapi tidak melakukannya. (Imam Syafi’i berkata): Ia juga tidak boleh mengangkat sesuatu ke dahinya untuk sujud, karena tidak disebut sujud kecuali menempel ke tanah. Jika ia meletakkan bantal di tanah lalu sujud di atasnya, itu sah, insya Allah. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata, Imam Syafi’i menyampaikan dari sumber terpercaya, dari Yunus, dari Al-Hasan, dari ibunya, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sujud di atas bantal kulit karena sakit mata.” (Imam Syafi’i berkata):

Jika orang yang sehat sujud di atas bantal kulit yang menempel ke tanah, aku tidak menyukainya, tetapi tidak mewajibkannya mengulang, sebagaimana jika ia sujud di tanah yang lebih tinggi dari tempat ia berdiri, tidak perlu mengulang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mampu rukuk tetapi tidak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk dengan posisi rukuk. Jika rukuk, ia menunduk lebih rendah dari posisi berdiri, lalu sujud. Jika tidak mampu shalat kecuali terlentang, ia shalat terlentang dengan isyarat. (Imam Syafi’i berkata): Dalam setiap keadaan di mana seseorang diperintahkan shalat sesuai kemampuannya, jika ia mengalami kesulitan yang masih bisa ditanggung, ia tetap harus shalat sebagaimana kewajiban aslinya. Jika ia mampu berdiri dengan sedikit kesulitan, ia harus berdiri dan membaca sebagian dari Al-Fatihah, dan lebih baik menambah bacaan lain. Ia hanya diperbolehkan duduk jika kesulitannya sangat berat atau sama sekali tidak mampu berdiri. Hal yang sama berlaku untuk rukuk dan sujud.

Jika ia mampu membaca Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad dalam satu rakaat, serta Inna A’thaina Kal-Kautsar dalam rakaat lain sambil berdiri, tetapi tidak mampu mengikuti imam yang membaca lebih panjang kecuali sambil duduk, ia disuruh shalat sendiri. Ia memiliki uzur karena sakit untuk tidak shalat berjamaah dengan imam.

Jika ia shalat berjamaah dengan imam, mampu berdiri sebagian dan tidak mampu sebagian, ia shalat berdiri saat mampu dan duduk saat tidak mampu, tanpa perlu mengulang.

Jika ia memulai shalat berdiri lalu muncul uzur sehingga duduk, dan uzur itu hilang, ia harus kembali berdiri. Jika ia sudah membaca yang cukup untuk shalat duduk, ia tidak perlu mengulang bacaan saat berdiri. Jika masih ada sisa bacaan, ia membacanya sambil berdiri. Misalnya, jika ia membaca sebagian Al-Fatihah sambil duduk lalu sembuh, ia tidak boleh melanjutkan bacaan sambil duduk, tetapi harus menyelesaikannya sambil berdiri. Jika ia membacanya saat bangun dari duduk, itu boleh.

Dia tidak dianggap cukup sampai membacanya sambil berdiri tegak jika mampu berdiri. Jika membaca sisa sambil berdiri, lalu ada uzur sehingga duduk, maka dia membaca sisa sambil duduk. Jika kemudian mampu berdiri lagi, dia berdiri dan membaca sisa sambil berdiri. Meskipun dia membaca sambil duduk (hanya) Ummul Quran dan sedikit tambahan, lalu mampu berdiri, dia tidak boleh rukuk sampai berdiri tegak. Jika dia membaca sambil berdiri, itu lebih disukai. Jika tidak membaca dan langsung rukuk setelah berdiri tegak, maka rukuknya sah. Jika dia rukuk sebelum berdiri tegak padahal mampu, lalu sujud, maka rakaat dan sujud itu batal. Dia harus berdiri tegak, lalu rukuk dan sujud, tanpa mengulang bacaan. Jika tidak dilakukan sampai dia berdiri, membaca, lalu rukuk dan sujud, maka rakaat yang dibaca dan sujudnya tidak dianggap. Sujud itu dianggap untuk rakaat sebelumnya, sehingga satu rakaat gugur. Jika dia menyelesaikan shalat dan menganggap rakaat yang tidak berdiri tegak sah, lalu ingat masih dalam waktu yang memungkinkan melanjutkan (seperti jika lupa), maka dia bertakbir, rukuk, sujud, dan sujud sahwi, sehingga shalatnya sah. Jika tidak ingat sampai keluar masjid atau waktunya lama, dia harus mengulang shalat. Demikian pula untuk setiap rakaat, sujud, atau rukun shalat yang mampu dilakukannya. Jika tidak dilakukan sesuai kemampuannya, tidak sah. 

Jika mampu sujud tetapi tidak melakukannya dan hanya memberi isyarat, dia harus sujud selama belum rukuk pada rakaat berikutnya. Jika tidak sujud dan hanya memberi isyarat padahal mampu, lalu membaca setelah rukuk, rakaat itu tidak dianggap. Dia harus mengulang bacaan dan rukuk setelahnya; tidak sah tanpa itu. Jika dia rukuk dan sujud sekali, sujud itu menggantikan yang dia mampu tetapi hanya diisyaratkan. Jika dia berdiri, membaca, dan rukuk, rakaat itu tidak dianggap. Begitu pula jika sujud dua kali, satu menggantikan yang diisyaratkan, dan yang kedua tidak dianggap karena sujud sebelum rukuk. Hanya satu sujud yang sah untuk menggantikan sujud sebelumnya yang ditinggalkan atau tidak sah, asalkan sujud berikutnya dilakukan sebagai bagian dari rukun shalat. 

Adapun jika meninggalkan sujud rukun shalat dan hanya memberi isyarat padahal mampu, lalu sujud setelahnya (seperti sujud tilawah atau sujud sahwi) tanpa niat sebagai rukun shalat, maka tidak sah untuk menggantikan sujud yang ditinggalkan atau diisyaratkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula ummul walad, mukatabah, mudabbarah, dan budak perempuan yang shalat bersama tanpa kerudung, lalu dimerdekakan sebelum menyelesaikan shalat, wajib memakai kerudung dan menyempurnakan shalat. Jika mereka tidak memakai kerudung setelah mampu, mereka harus mengulang shalat itu. Jika mereka shalat tanpa kerudung setelah merdeka tanpa tahu status kemerdekaannya, mereka harus mengulang semua shalat yang dilakukan tanpa kerudung sejak hari merdeka, karena mereka harus kembali ke keyakinan (status merdeka). (Imam Syafi’i berkata): Jika seorang mukatabah sudah mampu membayar dan tenggatnya jatuh, lalu shalat tanpa kerudung, hal itu makruh tetapi shalatnya sah, karena dia belum merdeka sampai membayar. Tidak haram baginya tetap sebagai budak, tetapi haram jika menunda padahal mampu membayar. Begitu pula jika seorang majikan berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka jika masuk rumah ini hari ini,” lalu dia tidak masuk padahal mampu, kemudian shalat tanpa kerudung, lalu masuk atau tidak, dia tidak perlu mengulang shalat karena shalatnya sebelum merdeka. Demikian pula jika majikan berkata, “Kamu merdeka jika kamu mau,” lalu dia shalat tanpa memilih kemerdekaan, kemudian dimerdekakan setelahnya, shalat itu tidak perlu diulang. 

Jika seorang anak laki-laki belum baligh, lalu shalat dan belum selesai sampai genap 15 tahun, lebih baik mengulang shalat karena dia sudah wajib menunaikan semua kewajiban shalat secara sempurna. Jika dia menghentikan dan mengulang, itu sah. Jika dia berihram untuk haji dalam keadaan ini, lalu genap 15 tahun setelah wukuf atau baligh, hajinya tetap berlanjut, tetapi dia harus mengulang haji karena sebelumnya belum termasuk orang yang wajib haji. Jika dia berpuasa sehari di Ramadhan dan belum selesai sampai baligh atau genap 15 tahun, lebih baik menyelesaikan hari itu, lalu mengulangnya, tanpa mengulang puasa sebelumnya.

Karena ia belum baligh hingga hari itu berlalu, maka ia tidak perlu mengulangi shalat yang dikerjakan sebelum baligh, sebab shalat itu telah dilakukan sebelum baligh dan setiap shalat bukanlah yang berikutnya. Demikian pula setiap puasa hari bukanlah yang berikutnya, dan tidak dijelaskan bahwa hal ini berlaku dalam shalat maupun puasa. Adapun dalam haji, hal ini dijelaskan.

[Bab Gabungan Adzan]

Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (melakukan) shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan.” (QS. Al-Maidah: 58). Dan firman-Nya: “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9). Maka Allah Azza wa Jalla menyebutkan adzan untuk shalat dan menyebut hari Jum’at, sehingga jelas – dan Allah Ta’ala lebih tahu – bahwa yang dimaksud adalah shalat wajib dalam kedua ayat tersebut. Rasulullah ﷺ mensyariatkan adzan untuk shalat wajib, dan tidak ada seorang pun yang kuketahui meriwayatkan bahwa beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat wajib. Bahkan Az-Zuhri meriwayatkan dari beliau: “Beliau memerintahkan muadzin pada dua hari raya untuk mengucapkan ‘Ash-Shalatu Jami’ah’, dan tidak ada adzan kecuali untuk shalat wajib.” Demikian pula tidak ada iqamah. Adapun shalat hari raya, gerhana, dan shalat malam Ramadhan, lebih aku sukai jika dikatakan: “Ash-Shalatu Jami’ah”. Jika tidak diucapkan, tidak apa-apa bagi yang meninggalkannya, kecuali ia meninggalkan yang lebih utama. Shalat jenazah dan semua shalat sunnah selain hari raya dan gerhana tidak disertai adzan atau ucapan “Ash-Shalatu Jami’ah”.

[Bab Waktu Adzan untuk Subuh]

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Ibnu Salim bin Abdullah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Bilal beradzan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum beradzan. Dan Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta, tidak beradzan hingga dikatakan kepadanya: ‘Subuh telah tiba, subuh telah tiba.’” (Asy-Syafi’i berkata): Sunnahnya adalah adzan Subuh dikumandangkan di malam hari agar musafir yang berjalan malam dan orang yang tidur dapat bersiap untuk menghadiri shalat. Aku lebih suka jika seorang muadzin adzan setelah fajar, namun jika tidak dilakukan, aku tidak melihat masalah untuk meninggalkannya, karena waktu adzannya sebelum fajar pada masa Nabi ﷺ. Adzan untuk shalat selain Subuh tidak dikumandangkan kecuali setelah masuk waktunya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau mengadzankan shalat sebelum waktunya selain Subuh. Muadzin di tempat kami selalu mengumandangkan adzan untuk setiap shalat setelah masuk waktunya kecuali Subuh. Aku tidak suka jika adzan untuk shalat wajib ditinggalkan, baik dikerjakan sendirian maupun berjamaah, begitu pula iqamah di masjid jamaah, baik besar maupun kecil. Seseorang tidak boleh meninggalkannya di rumah atau dalam perjalanan, dan aku lebih menekankannya pada masjid-masjid jamaah yang besar.

Jika seseorang ingin menyempurnakan adzan untuk setiap shalat selain Subuh setelah masuk waktunya, maka jika ia adzan sebelum waktunya, ia harus mengulanginya ketika waktu telah masuk. Jika ia memulai adzan sebelum waktu, lalu waktu masuk, ia harus mengulanginya dari awal. Jika ia menyelesaikan sisa adzan kemudian mengulangi bagian yang telah dikumandangkan sebelum waktu, itu tidak cukup. Adzan tidak sempurna kecuali dikumandangkan secara berurutan dan setelah masuk waktu shalat, kecuali untuk Subuh. Jika ia meninggalkan sebagian adzan, ia harus mengulangi yang ditinggalkan kemudian melanjutkan dari bagian yang ditinggalkan, tidak cukup dengan selain itu.

Demikian pula segala sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, maka ia harus mengucapkannya pada tempatnya. Jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar Allahu Akbar” di awal azan, lalu mengatakan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, kemudian menyelesaikan azannya, ia harus mengulang dengan mengucapkan “Allahu Akbar Allahu Akbar” yang terlewat, lalu melanjutkan dengan “Asyhadu an la ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” dua kali hingga azannya lengkap. Jika ia mengeraskan sebagian azan dan melirihkan sebagian lainnya, ia tidak perlu mengulang seperti yang telah dijelaskan, karena ia telah menyampaikan lafaz azan secara lengkap. Tidak ada kewajiban mengulang, sebagaimana tidak ada kewajiban mengulang bacaan Al-Qur’an yang dilirihkan saat seharusnya dikeraskan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bertakbir, lalu mengucapkan “Hayya ‘ala ash-shalah”, ia harus mengulang dengan mengucapkan syahadat, kemudian mengulang “Hayya ‘ala ash-shalah” hingga azannya lengkap dan setiap bagian berada pada tempatnya. Bagian yang tidak pada tempatnya harus diulang pada posisi yang benar.

### Bab Jumlah Muadzin dan Nafkah Mereka 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku lebih suka jika jumlah muadzin dibatasi hanya dua orang, karena kami hanya mengetahui bahwa dua orang yang biasa mengumandangkan azan untuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Namun, tidak masalah jika lebih dari dua. Jika azan dikumandangkan oleh satu orang, itu sudah cukup. Aku tidak suka jika imam, setelah azan pertama, menunda shalat untuk menunggu azan berikutnya selesai. Sebaiknya, imam segera keluar (untuk shalat), dan azan berikutnya terputus dengan keluarnya imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Wajib bagi imam untuk memantau kondisi para muadzin agar mereka azan tepat pada awal waktu, tidak menunggu mereka untuk iqamah, dan memerintahkan mereka agar iqamah tepat waktu. Aku lebih suka jika azan dikumandangkan secara bergantian, bukan secara bersamaan. 

Jika masjidnya besar dan memiliki banyak muadzin, tidak masalah jika setiap menara ada muadzin yang azan bersamaan sehingga terdengar oleh orang di sekitarnya. Aku lebih suka jika para muadzin melakukannya secara sukarela. Imam tidak boleh memberi mereka nafkah jika ada orang yang bisa azan secara sukarela dan amanah, kecuali jika imam memberinya dari hartanya sendiri. Menurutku, di negeri yang banyak penduduknya, tidak sulit menemukan muadzin yang amanah dan konsisten mengumandangkan azan secara sukarela. Jika tidak ditemukan, tidak masalah memberi nafkah kepada muadzin, tetapi hanya dari seperlima bagian (khumus) saham Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Tidak boleh memberinya dari bagian fai’ lainnya, karena semua itu telah ditentukan pemiliknya. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh memberi muadzin nafkah dari sedekah. Muadzin boleh menerima nafkah jika diberikan dari sumber yang telah dijelaskan, tetapi tidak boleh menerimanya dari sumber lain. 

(Imam Syafi’i berkata): Azan hanya boleh dikumandangkan oleh orang yang adil dan terpercaya karena ia mengawasi aurat dan amanah masyarakat terkait waktu. 

Jika muadzin yang ditunjuk bisa melihat waktu, aku tidak keberatan jika ada tunanetra bersamanya. Jika seorang tunanetra menjadi muadzin sendirian tetapi ada yang memberitahukan waktu, aku juga tidak keberatan. Namun, jika tidak ada yang mendampinginya, aku tidak menyukainya karena ia tidak bisa melihat. 

Aku lebih suka azan hanya dikumandangkan oleh orang yang sudah baligh. Jika anak kecil azan, itu sah. Azan dari budak, mukatab, atau orang merdeka juga sah, begitu pula kasim dan orang asing jika fasih dalam azan dan mengetahui waktu. Namun, yang paling kusukai adalah muadzin berasal dari orang-orang terbaik. 

Wanita tidak boleh mengumandangkan azan. Jika wanita azan untuk laki-laki, azannya tidak sah. Wanita tidak diwajibkan azan, meskipun mereka shalat berjamaah. Jika mereka azan dan iqamah, tidak masalah. Wanita tidak boleh mengeraskan suara saat azan; cukup didengar oleh teman-temannya. Begitu pula saat iqamah. Jika mereka tidak iqamah, aku tidak membencinya sebagaimana kubenci pada laki-laki, meskipun aku lebih suka jika mereka iqamah. 

Azan dan iqamah laki-laki di rumahnya sama seperti di tempat lain dalam hal hukum. Tidak masalah apakah muadzin di sekitarnya mendengar atau tidak. Aku tidak suka jika ia meninggalkan azan atau iqamah. Jika ia masuk masjid yang sudah dikumandangkan iqamah, lebih baik baginya untuk azan dan iqamah dalam hatinya.

[Bab Kisah Azan] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij, ia berkata: Diriwayatkan kepadaku oleh Abdul Aziz bin Abdul Malik bin Abi Mahdzurah bahwa Abdullah bin Muhairiz mengabarkan kepadanya—dan ia adalah anak yatim dalam asuhan Abu Mahdzurah ketika ia mengirimnya ke Syam—ia berkata: Aku berkata kepada Abu Mahdzurah, “Wahai pamanku, aku akan pergi ke Syam dan aku khawatir ditanya tentang azanmu, maka beritahukanlah kepadaku.” Ia menjawab, “Baiklah.” 

Ia berkata: Aku pernah pergi bersama beberapa orang dalam suatu perjalanan di Hunain. Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari Hunain, kami bertemu beliau di suatu tempat. Muadzin Rasulullah ﷺ mengumandangkan azan untuk shalat di dekat beliau. Kami mendengar suara muadzin itu sementara kami sedang bersandar, lalu kami berteriak menirukannya dan mengolok-oloknya. Rasulullah ﷺ mendengar suara kami, lalu mengutus seseorang untuk memanggil kami hingga kami berdiri di hadapan beliau. 

Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa di antara kalian yang suaranya kudengar terdengar keras?” Mereka semua menunjukku dan membenarkan. Lalu beliau melepas mereka semua dan menahanku. Beliau bersabda, “Berdirilah dan kumandangkan azan untuk shalat.” Aku pun berdiri—tidak ada yang lebih aku benci selain Rasulullah ﷺ dan perintahnya—lalu aku berdiri di hadapan beliau. Rasulullah ﷺ kemudian mengajarkan lafaz azan kepadaku langsung. Beliau bersabda, “Ucapkan: 

الله أكبر الله أكبر الله أكبر 

أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله 

أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله 

Kemudian beliau berkata, “Kembalilah dan keraskan suaramu.” Lalu beliau melanjutkan: 

أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله 

أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله 

حي على الصلاة حي على الصلاة 

حي على الفلاح حي على الفلاح 

الله أكبر الله أكبر 

لا إله إلا الله 

Setelah aku menyelesaikan azan, beliau memanggilku dan memberiku sebuah kantong berisi perak. Lalu beliau meletakkan tangannya di ubun-ubun Abu Mahdzurah dan mengusapkannya ke wajahnya, kemudian ke dadanya, hingga sampai ke pusarnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Semoga Allah memberkahimu dan melimpahkan kebaikan padamu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk mengumandangkan azan di Makkah.” Beliau menjawab, “Aku telah memerintahkanmu untuk melakukannya.” 

Maka lenyaplah segala kebencianku terhadap Rasulullah ﷺ, dan semua itu berubah menjadi kecintaan kepada Nabi ﷺ. Aku pun datang kepada ‘Attab bin Asid, gubernur Rasulullah ﷺ, dan mengumandangkan azan atas perintah beliau. 

Ibnu Juraij berkata: Orang-orang dari keluarga Abu Mahdzurah yang aku temui juga mengabarkan hal serupa seperti yang dikabarkan Ibnu Muhairiz. Aku juga mendapati Ibrahim bin Abdul Aziz bin Abdul Malik bin Abi Mahdzurah mengumandangkan azan seperti yang diceritakan Ibnu Muhairiz. 

Asy-Syafi’i berkata: Aku mendengarnya meriwayatkan dari ayahnya, dari Ibnu Muhairiz, dari Abu Mahdzurah, dari Nabi ﷺ dengan makna yang sama seperti yang diceritakan Ibnu Juraij. 

Asy-Syafi’i berkata: Aku juga mendengarnya mengumandangkan iqamah dengan lafaz: 

الله أكبر الله أكبر 

أشهد أن لا إله إلا الله 

أشهد أن محمدا رسول الله 

حي على الصلاة حي على الفلاح 

قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة 

الله أكبر الله أكبر 

لا إله إلا الله 

Aku merasa ia meriwayatkan iqamah sebagaimana ia meriwayatkan azan. 

Asy-Syafi’i berkata: Azan dan iqamah adalah seperti yang diriwayatkan dari keluarga Abu Mahdzurah. Barangsiapa mengurangi atau mendahulukan yang seharusnya diakhirkan, ia harus mengulanginya hingga melengkapi yang kurang dan menempatkan setiap lafaz pada posisinya. Muadzin pertama dan terakhir sama dalam azan. 

Aku tidak menyukai tatswib (mengulang “ash-shalaatu khairun minan-naum”) pada azan Subuh atau selainnya, karena Abu Mahdzurah tidak meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya. Maka aku tidak menyukai penambahan dalam azan dan tidak menyukai tatswib setelahnya.

[BAB MENGHADAP KIBLAT SAAT AZAN] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Aku tidak suka jika muazin dalam seluruh azannya tidak menghadap kiblat, baik kakinya maupun wajahnya tidak berpaling darinya. Karena azan adalah panggilan untuk shalat, dan orang-orang diperintahkan untuk shalat menghadap kiblat. Jika seluruh tubuhnya berpaling dari kiblat, atau wajahnya beralih selama azan—baik seluruhnya atau sebagian—aku tidak menyukainya baginya, tetapi dia tidak wajib mengulang. Aku lebih suka jika muazin dalam keadaan suci seperti untuk shalat. Jika dia azan dalam keadaan junub atau tanpa wudhu, aku tidak menyukainya, tetapi dia tidak wajib mengulang. Demikian juga aku perintahkan dalam iqamah untuk menghadap kiblat dan dalam keadaan suci. Jika dalam kedua keadaan itu dia tidak suci, aku tidak menyukainya, dan dalam iqamah lebih keras larangannya karena dia iqamah lalu orang-orang shalat dan dia pergi, sehingga setidaknya dia membiarkan dirinya dicurigai meremehkan. Aku juga tidak suka azan dalam keadaan junub karena dia masuk masjid, sedangkan tidak diizinkan masuk kecuali sebagai orang yang lewat, sementara muazin bukan orang yang sekadar lewat. Jika dia memulai azan dalam keadaan suci lalu batal kesuciannya, dia boleh melanjutkan azannya tanpa memutus, lalu bersuci setelah selesai. Sama saja apa pun yang membatalkan kesuciannya, baik junub atau selainnya. Jika dia memutus azan, lalu bersuci, kemudian kembali, dia boleh melanjutkan azannya, tetapi jika memulai dari awal, itu lebih kusukai. 

[BAB BERBICARA DI TENGAH AZAN] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Aku lebih suka muazin tidak berbicara sampai selesai azannya. Jika dia berbicara di tengah azan, dia tidak perlu mengulang apa yang telah diucapkan sebelum bicara, apa pun pembicaraannya. (Imam Syafi’i berkata): Apa yang tidak kusukai berupa bicara saat azan, lebih tidak kusukai lagi dalam iqamah. Jika dia bicara saat iqamah, dia tidak perlu mengulang iqamah. Namun, jika di antara bicaranya dalam azan atau iqamah ada jeda panjang, lebih kusukai dia memulai dari awal. Jika tidak dilakukan, itu tidak wajib baginya. Begitu juga jika dia diam lama dalam azan atau iqamah, lebih kusukai dia memulai dari awal, tetapi aku tidak mewajibkannya. 

Jika dia azan sebagian lalu tertidur atau hilang akal, kemudian sadar atau akalnya kembali, lebih kusukai dia memulai dari awal, baik jedanya panjang atau pendek. Jika tidak dilakukan, dia boleh melanjutkan azannya. Demikian juga jika hilang akal di tengah azan lalu kembali, lebih kusukai memulai dari awal, tetapi jika melanjutkan, itu boleh. 

Jika orang yang azan adalah orang lain dalam keadaan seperti ini, dia harus memulai dari awal dan tidak boleh melanjutkan azan sebelumnya, baik jedanya dekat atau jauh. Jika dia melanjutkan azan sebelumnya, itu tidak sah. Hal ini tidak seperti shalat, di mana imam boleh melanjutkan shalat imam sebelumnya, karena imam berdiri lalu menyempurnakan shalatnya, sedangkan azan tidak bisa disempurnakan setelah selesai. Juga, shalat yang dimulai adalah awal shalatnya, sedangkan azan tidak memiliki awal selain takbir lalu syahadat. 

Jika dia azan sebagian atau seluruhnya lalu murtad, lebih kusukai dia tidak diizinkan kembali untuk azan, shalat tidak sah dengan azannya, dan orang lain harus mengumandangkan azan baru.

[Bab Seseorang yang Adzan dan Orang Lain yang Iqamah] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Jika seseorang telah mengumandangkan adzan, aku lebih suka jika dia juga yang melakukan iqamah. Ada riwayat yang menyatakan bahwa orang yang adzan sebaiknya juga yang iqamah. Dan, wallahu a’lam, jika muadzin lebih memperhatikan adzan daripada yang lain, maka dia lebih berhak melakukan iqamah. Jika orang lain yang iqamah, hal itu tidak dilarang, meskipun ada yang memakruhkannya. Namun, jika orang lain yang iqamah, itu sudah mencukupi, insya Allah Ta’ala.” 

[Bab Adzan dan Iqamah untuk Menggabungkan Dua Shalat atau Lebih] 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dan lainnya, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah tentang haji wada’ (haji Islam), dia berkata: “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berangkat ke tempat wukuf di Arafah, lalu beliau menyampaikan khutbah pertama. Kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah itu, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan khutbah kedua. Ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- selesai berkhutbah, Bilal juga telah selesai adzan. Lalu Bilal melakukan iqamah dan shalat Zhuhur, kemudian iqamah lagi dan shalat Ashar.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Isma’il atau Abdullah bin Nafi’, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Ibnu Syihab, dari Salim, dari ayahnya. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abi Fudaik, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Al-Maqbari, dari Abdurrahman bin Abi Sa’id, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: “Kami tertahan pada Perang Khandaq hingga tidak bisa shalat sampai setelah Maghrib, bahkan hingga malam yang gelap, hingga Allah memberikan kemenangan kepada kami. Itulah firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan Allah telah memelihara orang-orang mukmin dari peperangan, dan Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.’ (QS. Al-Ahzab: 25). Lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggil Bilal dan memerintahkannya untuk iqamah. Maka Bilal iqamah untuk Zhuhur, lalu beliau shalat dengan sebaik-baiknya sebagaimana shalat pada waktunya. Kemudian Bilal iqamah untuk Ashar, dan beliau shalat seperti itu. Lalu Bilal iqamah untuk Maghrib, dan beliau shalat seperti itu. Kemudian Bilal iqamah untuk Isya, dan beliau juga shalat seperti itu.” Abu Sa’id berkata: “Itu terjadi sebelum turunnya ayat tentang shalat khauf: ‘Berjalan kaki atau berkendaraan.’ (QS. Al-Baqarah: 239).” 

(Imam Syafi’i berkata): “Kami berpendapat berdasarkan semua ini. Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa siapa pun yang menggabungkan dua shalat pada waktu shalat yang pertama, maka dia melakukan iqamah untuk masing-masing shalat dan adzan hanya untuk shalat pertama, sedangkan untuk shalat berikutnya cukup dengan iqamah tanpa adzan. Demikian pula untuk setiap shalat yang dikerjakan di luar waktunya, seperti yang telah kujelaskan.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Fakta bahwa muadzin tidak adzan untuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- saat beliau menjama’ shalat di Muzdalifah dan Perang Khandaq menjadi dalil bahwa seandainya tidak sah shalat seseorang kecuali dengan adzan, tentu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan meninggalkan perintah untuk adzan padahal beliau mampu melakukannya.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Terdapat dalam sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa jika ini berlaku dalam adzan, dan adzan bukanlah bagian dari shalat, maka demikian pula dengan iqamah, karena iqamah juga bukan bagian dari shalat. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tentang shalat: ‘Apa yang kalian dapatkan (dari shalat berjamaah), maka shalatlah, dan apa yang terlewatkan, maka qadha’lah.’ Barangsiapa mendapatkan akhir shalat (hanya sebagian), maka dia telah kehilangan adzan dan iqamah, tetapi dia tidak perlu adzan atau iqamah untuk dirinya sendiri. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa jika seseorang datang ke masjid dan imam sudah selesai shalat, maka dia boleh shalat tanpa adzan dan iqamah.”

Jika seorang laki-laki meninggalkan azan dan iqamah ketika shalat sendirian atau dalam jamaah, hal itu dimakruhkan baginya, tetapi ia tidak wajib mengulangi shalat yang telah dilakukan tanpa azan dan iqamah. Demikian pula halnya jika ia menggabungkan atau memisahkan beberapa shalat.

[Bab Cukupnya Seseorang dengan Azan dan Iqamah Orang Lain Meskipun Tidak Dilakukan untuknya] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Diriwayatkan kepadaku oleh ‘Imarah bin Ghaziyyah dari Habib bin Abdurrahman dari Hafsh bin ‘Ashim dari Umar bin Al-Khaththab, ia berkata: 

“Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki mengumandangkan azan untuk shalat Maghrib. Lalu Nabi ﷺ mengucapkan seperti yang diucapkan muazin tersebut. Ketika Nabi ﷺ sampai kepada laki-laki itu, shalat telah didirikan. Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Turunlah dan shalatlah.’ Kemudian beliau shalat Maghrib dengan iqamah dari seorang hamba sahaya yang berkulit hitam.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kami berpendapat berdasarkan ini dan mengatakan: Seseorang boleh shalat dengan azan dan iqamah orang lain meskipun azan itu tidak dikhususkan untuknya, baik muazinnya seorang badui, orang berkulit hitam, hamba sahaya, atau orang yang tidak faqih, selama ia melaksanakan azan dan iqamah dengan benar. Namun, lebih disukai jika para muazin adalah orang-orang terbaik karena mereka mengawasi aurat dan amanah terhadap waktu shalat.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abdul Wahhab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafi dari Yunus bin ‘Ubaid dari Al-Hasan, bahwa Nabi ﷺ bersabda: 

“Para muazin adalah orang yang dipercaya oleh umat Islam atas shalat mereka.” 

Dan disebutkan pula hadis lainnya. 

Disunahkan azan karena keutamaannya. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: 

“Para imam adalah penanggung jawab, sedangkan para muazin adalah orang yang dipercaya. Allah memberi petunjuk kepada para imam dan mengampuni para muazin.” 

[Bab Mengeraskan Suara dalam Azan] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah dari ayahnya, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri berkata kepadanya: 

“Aku melihat kamu suka menggembala dan tinggal di pedalaman. Jika kamu berada di tengah ternak atau di pedalaman lalu mengumandangkan azan untuk shalat, keraskanlah suaramu, karena tidak ada jin atau manusia yang mendengar suaramu melainkan akan menjadi saksi untukmu pada hari Kiamat.” 

Abu Sa’id berkata: “Aku mendengarnya dari Rasulullah ﷺ.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menganjurkan untuk mengeraskan suara saat azan. Dan aku menganjurkan agar muazin memiliki suara yang lantang serta berusaha memiliki suara yang indah, karena lebih mudah didengar oleh orang yang mungkin tidak mendengar jika suaranya lemah. Suara yang indah juga lebih menyentuh hati pendengarnya. Anjuran untuk mengeraskan suara menunjukkan perlunya tartil dalam azan, karena seseorang tidak dapat mencapai puncak suaranya dalam ucapan yang beruntun kecuali dengan perlahan. Jika ia terburu-buru dan mengeraskan suara, napasnya akan terputus. Maka, aku menganjurkan azan dengan tartil dan jelas, tanpa berlebihan dalam memanjangkan, bernyanyi, atau tergesa-gesa. Sedangkan dalam iqamah, lebih disukai untuk diucapkan dengan cepat namun tetap jelas.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Bagaimanapun azan dan iqamah dilaksanakan, itu sudah mencukupi. Namun, yang lebih hati-hati adalah seperti yang telah kujelaskan.”

[Bab tentang Berbicara dalam Adzan yang Tidak Ada Manfaatnya bagi Orang Lain] 

Bab tentang Berbicara dalam Adzan 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, ia berkata: 

“Rasulullah ﷺ memerintahkan muadzin jika malam sangat dingin dan berangin untuk mengucapkan: ‘Ala shallu fi rihalikum (Shalatlah di rumah kalian).'” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

Aku lebih suka jika imam memerintahkan hal ini setelah muadzin selesai adzan. Namun jika diucapkan dalam adzan, tidak mengapa. Jika ada pembicaraan setelah adzan yang bermanfaat bagi orang lain, tidak masalah. Tetapi aku tidak suka berbicara dalam adzan yang tidak ada manfaatnya bagi orang lain. Jika ada yang berbicara (selain lafaz adzan), adzan tidak perlu diulang. Demikian pula jika ada yang berbicara dalam iqamah, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang iqamah. 

— 

[Bab tentang Mengucapkan Seperti yang Diucapkan Muadzin] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Atha bin Yazid Al-Laitsi dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Jika kalian mendengar adzan, ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan dari Majma’ bin Yahya, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Umamah dari Ibnu Syihab bahwa ia mendengar Muawiyah berkata: 

Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika muadzin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah,’ maka ucapkanlah ‘Asyhadu alla ilaha illallah.’ Jika ia mengucapkan ‘Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,’ maka ucapkanlah ‘Wa ana,’ kemudian diam.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan dari Thalhah bin Yahya dari pamannya, Isa bin Thalhah, ia berkata: 

Aku mendengar Muawiyah menceritakan hal serupa dari Nabi ﷺ. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij, ia berkata: Diriwayatkan oleh Amr bin Yahya Al-Mazani bahwa Isa bin Umar mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Alqamah bin Waqqash, ia berkata: 

“Aku berada di sisi Muawiyah ketika muadzinnya adzan. Muawiyah mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin hingga ketika muadzin mengucapkan ‘Hayya ‘ala ash-shalah,’ Muawiyah berkata: ‘La hawla wa la quwwata illa billah.’ Ketika muadzin mengucapkan ‘Hayya ‘ala al-falah,’ Muawiyah berkata: ‘La hawla wa la quwwata illa billah.’ Kemudian setelah itu, ia mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin. Lalu ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda demikian.'” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: 

“Kami berpendapat berdasarkan hadits Muawiyah, dan hal itu sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, tetapi dalam hadits Muawiyah terdapat penjelasan yang tidak ada dalam hadits Abu Sa’id.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

Wajib bagi setiap orang yang tidak sedang shalat—baik yang membaca, berzikir, diam, atau berbicara—untuk mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin. Pada lafaz “Hayya ‘ala ash-shalah” dan “Hayya ‘ala al-falah,” ucapkan “La hawla wa la quwwata illa billah.” 

Seseorang yang sedang shalat fardhu atau sunnah, aku lebih suka ia melanjutkan shalatnya. Namun, jika ia telah selesai, aku lebih suka ia mengucapkan apa yang diperintahkan bagi orang yang tidak sedang shalat. Jika ia mengucapkannya dalam shalat, tidak membatalkan shalatnya insya Allah. Tetapi yang lebih utama adalah tidak mengucapkannya. 

— 

[Bab tentang Pakaian Orang yang Shalat] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): 

Allah Ta’ala berfirman: 

“Ambillah perhiasanmu (pakailah pakaianmu yang baik) ketika hendak ke masjid.” (QS. Al-A’raf: 31) 

(Asy-Syafi’i berkata): 

Dikatakan—dan Allah Yang Maha Tahu—bahwa yang dimaksud adalah pakaian, dan ini sesuai dengan apa yang dikatakan. 

Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Janganlah salah seorang dari kalian shalat dengan satu kain yang tidak menutupi pundaknya.” 

Ini menunjukkan bahwa tidak boleh shalat kecuali dengan mengenakan pakaian jika mampu. 

Rasulullah ﷺ juga memerintahkan untuk mencuci darah haid dari pakaian, dan kesucian hanya berlaku…

Shalat menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh shalat kecuali dengan pakaian yang suci. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memerintahkan untuk membersihkan masjid dari najis karena digunakan untuk shalat. Oleh karena itu, apa yang dipakai untuk shalat lebih utama untuk disucikan. Sebagian ulama menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla, “Dan pakaianmu, sucikanlah” (QS. Al-Muddatstsir: 4) sebagai perintah untuk menyucikan pakaian untuk shalat, sementara yang lain menafsirkannya dengan makna berbeda. Wallahu a’lam. 

Dikatakan: Laki-laki dan perempuan tidak boleh shalat kecuali menutup aurat. 

Dikatakan: Jika mereka shalat dengan pakaian yang tidak suci, mereka harus mengulangi shalatnya. Jika mereka shalat dalam keadaan mampu menutup aurat tetapi tidak menutupnya, mereka wajib mengulang shalat, baik mereka menyadarinya saat shalat atau tidak, baik saat itu atau di waktu lain. Mereka diperintahkan untuk mengulang dalam semua keadaan. 

Imam Syafi’i berkata: “Segala sesuatu yang menutup aurat dan tidak najis, shalat di dalamnya sah.” 

Imam Syafi’i juga berkata: “Aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut, sedangkan pusar dan lutut sendiri bukan aurat. Perempuan wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah.” 

Barangsiapa shalat dengan pakaian najis atau membawa sesuatu yang najis, ia harus mengulangi shalatnya. Jika shalat sambil membawa anjing, babi, khamr, darah, bangkai, atau kulit bangkai yang belum disamak, ia wajib mengulang shalat, baik najisnya sedikit maupun banyak. Jika shalat sambil membawa hewan hidup yang tidak halal dimakan selain anjing atau babi, ia tidak perlu mengulang, baik hewan itu hidup atau mati. Namun, jika hewan itu mati, ia wajib mengulang shalat. 

Semua pakaian dianggap suci sampai diketahui ada najisnya. Jika pakaian anak kecil yang tidak menjaga diri dari najis atau tidak mengetahuinya, atau pakaian orang musyrik seperti sarung, celana, atau baju, maka orang yang shalat dengan pakaian tersebut tidak wajib mengulang kecuali jika diketahui ada najisnya. Demikian juga alas dan tanah dianggap suci sampai terbukti najis. Namun, lebih baik menghindari semua pakaian orang musyrik, terutama yang menutupi bagian bawah seperti sarung dan celana. 

Jika ada yang bertanya tentang dalilnya, Imam Syafi’i berkata: “Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari ‘Amir bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Amr bin Sulaim Az-Zarqi dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Abil ‘Ash.” Imam Syafi’i berkata: “Pakaian Umamah adalah pakaian anak kecil.” 

### Bab Cara Memakai Pakaian dalam Shalat 

Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata: “Malik mengabarkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian shalat dengan satu kain tanpa ada bagian yang menutupi pundaknya.'” 

Imam Syafi’i berkata: “Sabda Nabi ini bisa dipahami sebagai anjuran (bukan kewajiban), tetapi juga mungkin berarti tidak sah. Namun, ketika Jabir dan Maimunah meriwayatkan bahwa Nabi pernah shalat dengan satu kain yang sebagian menutupi tubuhnya dan sebagian menutupi istrinya, ini menunjukkan bahwa beliau shalat dengan kain tersebut sebagai sarung, karena tidak mungkin menutup tubuh kecuali dengan cara disarungkan jika sebagian kain dipakai orang lain.” 

Imam Syafi’i berkata: “Dari sini kita tahu bahwa larangan shalat dengan satu kain tanpa penutup pundak adalah anjuran, bukan kewajiban. Laki-laki dan perempuan boleh shalat asalkan menutup aurat. Aurat laki-laki seperti yang telah dijelaskan, sedangkan seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Bagian punggung kaki juga aurat.” 

Jika dalam shalat terbuka aurat laki-laki (antara pusar dan lutut) atau perempuan (rambutnya sedikit maupun banyak, atau tubuhnya selain wajah dan telapak tangan serta pergelangan tangan), baik disadari atau tidak, maka shalatnya harus diulang. Kecuali jika terbuka karena angin atau terjatuh, lalu segera ditutup tanpa berlama-lama. Jika tidak segera ditutup, maka shalatnya harus diulang. Demikian juga bagi perempuan. 

Imam Syafi’i berkata: “Laki-laki boleh shalat dengan celana selama menutup aurat (pusar hingga lutut), tetapi sarung lebih baik dan lebih menutup.” 

Dia juga berkata: “Lebih baik tidak shalat kecuali…” (lanjutan terjemahan terpotong).

Di atas pundaknya ada sesuatu berupa sorban, atau lainnya, bahkan seutas tali yang dia letakkan.

[Bab Shalat dengan Memakai Satu Kemeja] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Telah mengabarkan kepada kami ‘Athaf bin Khalid Al-Makhzumi dan Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi dari Musa bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abi Rabi’ah dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata: 

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sedang berburu, apakah salah seorang dari kami boleh shalat dengan memakai satu kemeja?” 

Beliau menjawab, “Ya, dan hendaknya dia mengencangkannya (dengan ikatan), meski hanya dengan duri. Jika tidak menemukan apa pun selain duri untuk mengencangkannya, maka cukup dengan duri.” 

(Imam Syafi’i berkata): Dan inilah pendapat kami. Pakaian orang-orang saat itu tipis. Jika kemejanya tebal dan tidak tembus pandang, maka boleh shalat dengan satu kemeja asal dikencangkan, diikat dengan sesuatu, atau dirapatkan agar kemeja tidak terbuka sehingga terlihat aurat dari lubang leher atau dilihat orang lain. Namun, jika shalat dengan kemeja atau pakaian yang dibuat seperti kemeja—seperti jubah atau lainnya—tanpa dikencangkan, maka dia harus mengulangi shalatnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Ini berbeda dengan laki-laki yang shalat dengan berselendang, karena selendang mencegah aurat terlihat. Juga berbeda dengan perempuan yang shalat dengan memakai baju kurung, kerudung, dan penutup kepala, karena kerudung dan penutup kepala menutupi aurat di bagian leher. 

Jika seseorang shalat dengan kemeja yang tidak dikencangkan tetapi di atasnya ada sorban, selendang, atau sarung yang menutupi bagian leher sehingga mencegahnya terbuka—atau sesuatu yang menutupi aurat sehingga jika terbuka pun aurat tidak terlihat—maka shalatnya sah. Demikian pula jika dia shalat dengan mengikatkan tali atau benang di atas auratnya, karena hal itu (mencegah terbukanya aurat).

Baju harus menutup aurat yang terbuka di leher, meskipun baju itu berkancing dan tanpa lubang di leher, atau jika sepatunya robek sehingga menampakkan aurat seperti aurat di leher, maka shalat tidak sah kecuali seperti menutup aurat di leher. Jika shalat dengan baju yang memiliki lubang pada sebagian aurat, meskipun kecil, shalatnya tidak sah. Jika shalat dengan baju yang tembus pandang, shalatnya tidak sah. Jika shalat dengan baju yang memiliki lubang di bagian selain aurat dan tidak longgar sehingga aurat terlihat, shalatnya sah. Namun jika aurat terlihat, shalatnya tidak sah. Begitu pula dengan lubang di sarung, boleh shalat dengannya, tetapi lebih baik tidak shalat dengan baju kecuali di bawahnya ada sarung, celana, atau penutup di atasnya. Jika shalat dengan satu baju yang menampakkan bentuk tubuh tetapi tidak tembus pandang, hal itu makruh, tetapi tidak wajib mengulang shalat. Perempuan dalam hal ini lebih ketat daripada laki-laki. Jika perempuan shalat dengan baju dan kerudung yang menampakkan bentuk tubuh, lebih baik tidak shalat kecuali dengan jubah di atasnya dan menjauhkannya agar tidak menampakkan bentuk tubuh.

[Bab Pakaian dan Alas yang Digunakan untuk Shalat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- shalat di atas namirah (kain wol), maka tidak mengapa shalat di atas wol, bulu, atau rambut hewan, dan shalat di atasnya. (Imam Syafi’i berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Kulit apa pun yang disamak, maka ia telah suci.” Maka tidak mengapa shalat di atas kulit bangkai, binatang buas, dan semua hewan bernyawa yang telah disamak, kecuali anjing dan babi. Boleh shalat di atas kulit hewan halal yang dimakan, meskipun belum disamak. Adapun hewan yang tidak halal dimakan, baik yang disembelih atau tidak, tetap najis kecuali jika disamak. Kulit hewan halal yang dimakan boleh digunakan meskipun belum disamak. (Beliau berkata): Potongan kulit dari hewan yang halal atau tidak halal dimakan statusnya bangkai dan tidak suci kecuali dengan disamak. 

Laki-laki dilarang memakai pakaian sutra. Jika ada yang shalat dengannya, tidak perlu mengulang shalat karena sutra tidak najis, tetapi mereka diperintahkan untuk meninggalkannya, bukan karena najis, karena harganya halal. Perempuan boleh memakai sutra dan shalat dengannya. Demikian pula, laki-laki dilarang memakai emas, baik cincin atau lainnya. Jika mereka memakainya lalu shalat, mereka berdosa karena memakainya dan bermaksiat jika tahu larangannya, tetapi tidak wajib mengulang shalat karena emas bukan najis. Bukankah najis bagi laki-laki dan perempuan sama, sedangkan perempuan boleh shalat dengan emas? 

[Bab Shalat Orang yang Tidak Memakai Pakaian] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang tenggelam lalu keluar dalam keadaan telanjang, atau pakaiannya dirampok di jalan, atau terbakar sehingga tidak menemukan pakaian, baik laki-laki maupun perempuan, mereka boleh shalat sendiri-sendiri atau berjamaah (laki-laki saja), berdiri, rukuk, dan sujud. Imam berdiri di tengah mereka, dan mereka saling menundukkan pandangan. Perempuan menjauh dan menutup diri jika ada penutup, lalu shalat berjamaah dengan salah seorang menjadi imam di tengah mereka. Mereka saling menundukkan pandangan, rukuk, sujud, dan shalat berdiri seperti yang telah dijelaskan. Jika dalam keadaan sempit tanpa pembatas di tanah, mereka menundukkan wajah dari laki-laki hingga selesai shalat. Laki-laki juga memalingkan wajah hingga perempuan selesai shalat. Tidak ada kewajiban mengulang shalat jika nanti menemukan pakaian. 

Jika salah seorang memiliki satu pakaian dan bisa membaca Al-Qur’an, ia menjadi imam. Jika tidak bisa membaca, shalat sendiri lalu meminjamkan pakaiannya kepada yang lain agar mereka shalat satu per satu. Jika menolak meminjamkan pakaian, ia telah berbuat buruk, tetapi shalat mereka tetap sah dan tidak boleh memaksanya. Jika ada perempuan, wajib memprioritaskan meminjamkan pakaian kepada perempuan terlebih dahulu, baru kemudian laki-laki. Jika sudah dipinjamkan, tidak boleh shalat bersamaan, tetapi menunggu giliran.

Hingga dia shalat dengan mengenakan pakaian. Jika dia shalat dalam keadaan telanjang padahal ada pakaian yang diberikan kepadanya, maka dia harus mengulangi shalatnya, baik dia khawatir waktu habis maupun tidak, baik pakaian itu bersama mereka atau hanya bersama salah satu dari mereka. Jika pakaian yang ada ternyata najis, maka tidak boleh shalat dengan mengenakannya, dan shalat dalam keadaan telanjang sudah cukup jika pakaiannya tidak suci. Jika dia menemukan sesuatu yang bisa menutupi auratnya seperti daun, kayu yang dia rangkai, kulit, atau lainnya yang tidak najis, maka dia tidak boleh shalat kecuali dengan menutupi auratnya. Demikian pula jika dia hanya menemukan sesuatu yang bisa menutupi kemaluan depan atau belakangnya, dia tidak boleh shalat hingga menutupi keduanya. Jika hanya ada penutup untuk salah satunya, dia harus menutupi yang bisa ditutupi. Jika yang bisa ditutupi hanya satu kemaluan, maka yang ditutupi adalah kemaluan depan (dzakar) bukan belakang (dubur), karena dubur sudah terlindungi oleh pantat, sedangkan dzakar tidak. Hal yang sama berlaku untuk wanita mengenai kemaluan depan dan belakangnya. Jika dia dan istrinya telanjang, lebih baik jika ada sesuatu untuk menutupi istrinya, karena aurat wanita lebih besar kehormatannya daripada aurat laki-laki. Jika dia mengambil penutup untuk dirinya sendiri dan tidak memberikannya kepada istrinya, maka dia telah berbuat buruk, tetapi shalat istrinya tetap sah. Jika dia menyentuh dzakarnya untuk menutupinya, atau istrinya menyentuh kemaluannya untuk menutupinya, maka keduanya harus mengulangi wudhu, tetapi hendaknya mereka menyentuhnya dari balik sesuatu yang tidak langsung bersentuhan.

[Bab Tempat yang Boleh dan Tidak Boleh Dipakai Shalat di Tanah] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amr bin Yahya Al-Mazani dari ayahnya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Seluruh bumi adalah masjid (tempat sujud) kecuali kuburan dan pemandian.” (Imam Syafi’i berkata): Aku menemukan hadis ini dalam kitabku di dua tempat; salah satunya terputus sanadnya, sedangkan yang lain dari Abu Sa’id dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. (Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat demikian, dan hal itu masuk akal sebagaimana hadis tersebut, meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut, karena tidak boleh shalat di tanah yang najis. Kuburan tercampur dengan tanah yang bercampur daging mayat, nanah, dan kotoran mereka, yang semuanya adalah bangkai. Sedangkan pemandian adalah tempat yang biasa digunakan untuk buang air kecil, darah, dan najis. (Imam Syafi’i berkata): Kuburan adalah tempat umum untuk menguburkan mayat, dan tanahnya tercampur dengan mayat seperti yang telah dijelaskan. Adapun tanah lapang yang belum pernah dipakai kuburan, lalu ada orang yang dikuburkan di sana dan kuburannya tidak dipindahkan, maka jika seseorang shalat di samping atau di atas kuburan itu, aku tidak menyukainya tetapi tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalat, karena diketahui bahwa tanahnya suci dan tidak tercampur najis. Demikian pula jika ada beberapa mayat dikubur di sana. Namun, jika seseorang tidak tahu status tanah itu, maka dia tidak boleh shalat di sana karena dianggap sebagai kuburan hingga diketahui bahwa itu bukan kuburan, atau dipastikan bahwa sebelumnya tidak ada mayat yang dikubur di sana dan tidak ada yang menggali kuburan. 

Yang menajiskan tanah ada dua: 

  1. Sesuatu yang bercampur dengan tanah hingga tidak bisa dibedakan.
  2. Sesuatu yang bisa dibedakan dari tanah.

Jika sesuatu yang bercampur dengan tanah masih bisa dikenali sebagai zat, seperti daging mayat, tulang, atau uratnya—meskipun sudah tidak terlihat karena tertutup tanah—maka tanah itu tetap tidak suci meskipun terkena air. Demikian pula darah, kotoran, dan sejenisnya yang jika terpisah masih berupa zat. Adapun najis yang berbentuk padat bisa dibersihkan dengan menghilangkannya, sehingga tanah di bawahnya kembali suci. Sedangkan najis cair seperti air kencing dan khamr jika meresap ke tanah, maka tanah itu bisa disucikan dengan menyiram air hingga tidak lagi terlihat zat atau warnanya. 

[Bab Shalat di Tempat Peristirahatan Unta dan Kandang Domba] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari ‘Ubaidullah bin Thalhah bin Kuriz dari…

Al-Hasan meriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jika kalian mendapati waktu shalat sedangkan kalian berada di tempat minum unta, maka keluarlah darinya dan shalatlah, karena sesungguhnya tempat itu adalah tempat jin, dari jin mereka diciptakan. Tidakkah kalian melihat ketika mereka lari bagaimana mereka mengangkat hidungnya? Dan jika kalian mendapati waktu shalat sedangkan kalian berada di kandang domba, maka shalatlah di sana karena sesungguhnya tempat itu adalah ketenangan dan keberkahan.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Kami berpendapat dengan hadis ini. Maknanya menurut kami -Wallahu a’lam- berdasarkan apa yang diketahui tentang kandang domba dan tempat minum unta bahwa orang-orang biasanya mengistirahatkan domba di tempat yang paling bersih yang mereka temukan karena domba cocok dengan tempat seperti itu. Sedangkan unta cocok dengan tanah yang berdebu dan kotor, sehingga tempat yang mereka pilih adalah yang paling berdebu dan paling kotor.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Kandang (marah) dan tempat minum (athan) adalah dua nama yang diberikan pada suatu tempat di tanah, meskipun tidak banyak digunakan untuk minum atau istirahat. Kandang (marah) adalah tempat yang tanahnya baik, sering digunakan, dan terkena angin utara. Sedangkan tempat minum (athan) adalah dekat sumur yang digunakan untuk memberi minum unta, di mana sumur berada di satu tempat dan kolam dekat dengannya, lalu diisi air untuk diminum unta. Kemudian unta menjauh sedikit dari sumur hingga menemukan tempat yang layak. Itulah athan, bukan berarti athan adalah tempat tidur unta itu sendiri, atau marah adalah kandang domba tempat mereka tidur, melainkan sekitarnya juga termasuk.” 

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jangan shalat di tempat minum unta karena itu adalah tempat jin, dari jin mereka diciptakan,” terdapat petunjuk bahwa larangan ini seperti ketika beliau bersabda saat tertidur dari shalat, “Keluarlah bersama kami dari lembah ini karena di dalamnya ada setan.” Beliau tidak suka shalat dekat setan, sehingga beliau juga tidak suka shalat dekat unta karena mereka diciptakan dari jin, bukan karena najis tempatnya. 

Adapun tentang domba, beliau menyebutnya sebagai hewan surga dan memerintahkan shalat di kandangnya -Wallahu a’lam- di tempat yang disebut kandang domba yang tidak terdapat kotoran atau air seni. (Imam Syafi’i berkata): “Hadis ini tidak mengandung makna selain itu, dan penjelasan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta petunjuk-petunjuknya sudah cukup tanpa perlu penjelasan tambahan.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa shalat di tempat yang terdapat air seni, kotoran unta, domba, kotoran sapi, kotoran kuda, atau keledai, maka ia wajib mengulangi shalatnya karena semua itu najis. Jika shalat di dekatnya, shalatnya sah, tetapi makruh shalat di tempat minum unta meskipun tidak ada kotoran karena larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika tetap shalat, sah shalatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat lalu setan lewat dan mencekiknya hingga beliau merasakan dingin lidah setan di tangannya, namun hal itu tidak membatalkan shalatnya. Ini menunjukkan bahwa larangan shalat di tempat minum unta karena mereka dari jin, seperti sabdanya, ‘Keluarlah bersama kami dari lembah ini karena di dalamnya ada setan,’ adalah bentuk pilihan, bukan keharaman. Tidak ada yang bisa mengetahui di mana jin berada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Selain itu, unta sendiri cenderung berbaring di tempat yang paling berdebu yang mereka temukan. Meskipun tempat minumnya tidak berdebu, mereka akan menggosok-gosokkan tubuhnya hingga membuatnya berdebu atau mendekati keadaan berdebu. Tempat seperti ini tidak layak dipilih untuk shalat karena kebersihannya tidak terjamin.” 

Jika ada yang berkata: “Mungkin air seni unta, kotorannya, dan dagingnya tidak najis, sehingga diperintahkan shalat di kandang domba.” 

Dijawab: “Jika demikian, larangan shalat di tempat minum unta karena air seni dan kotorannya najis, tetapi hadis tidak mendukung pendapat ini.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika ada yang berpendapat bahwa air seni domba tidak najis karena dagingnya halal dimakan, maka dijawab: ‘Daging unta juga halal, tetapi beliau melarang shalat di tempat minumnya. Jika perintah shalat di kandang domba karena air seninya halal, maka air seni dan kotoran unta harus diharamkan. Tetapi maknanya -Wallahu a’lam- adalah seperti yang kami jelaskan.'” 

[Bab Menghadap Kiblat] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Allah Ta’ala berfirman: 

“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu agar kamu dapat petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (QS. Al-An’am: 97)

Dan Dia berfirman, “Dan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 16). Dan Dia berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Dan dari mana saja kamu keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150). (Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Maka Allah ‘azza wa jalla menegakkan bagi mereka Ka’bah dan masjid. Sehingga jika mereka melihatnya, wajib bagi mereka menghadap ke Ka’bah; karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat menghadapnya dan orang-orang bersamanya di sekelilingnya dari segala arah. Allah memberi petunjuk kepada mereka dengan tanda-tanda yang Dia ciptakan bagi mereka dan akal yang Dia tanamkan dalam diri mereka untuk mengarah ke Ka’bah dan Masjidil Haram, yang merupakan tujuan menghadap Ka’bah. Maka wajib bagi setiap orang yang shalat fardhu, sunnah, shalat jenazah, sujud syukur, atau sujud tilawah untuk berusaha menghadap Ka’bah, kecuali dalam dua kondisi yang Allah beri keringanan di dalamnya. Aku akan menyebutkannya insya Allah.

[Cara Menghadap Ka’bah]

Bagaimana cara menghadap Ka’bah?

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Menghadap Ka’bah ada dua keadaan. Siapa pun yang mampu melihat Ka’bah, baik yang berada di Mekkah di masjidnya, rumahnya, dataran, atau gunung, maka shalatnya tidak sah sampai ia benar-benar menghadap Ka’bah; karena ia bisa mengetahui arah yang benar dengan melihat langsung. Jika ia buta, maka cukup baginya untuk diarahkan oleh orang lain ke Ka’bah, dan tidak boleh baginya shalat tanpa diarahkan oleh orang lain. Jika dalam keadaan tidak menemukan seorang pun untuk mengarahkannya, maka ia shalat dan mengulang shalatnya; karena ia tidak tahu apakah telah benar menghadap kiblat berdasarkan petunjuk-petunjuk yang Allah jadikan seperti bintang, matahari, bulan, gunung, angin, dan lainnya yang digunakan oleh ahli pengetahuan untuk menentukan arah ke Ka’bah. Jika ia bisa melihat tetapi shalat dalam kegelapan dan berusaha menghadap kiblat, lalu mengetahui bahwa ia salah arah, maka tidak sah kecuali mengulang shalat; karena ia beralih dari sangkaan kepada kepastian. Demikian pula jika seorang buta diarahkan oleh seseorang ke kiblat, lalu ia tahu dari orang yang dipercayainya bahwa arahnya salah, maka ia harus mengulang shalat. Jika shalat dalam kegelapan yang menghalangi melihat Ka’bah, lalu menghadap kiblat dalam kegelapan, atau diarahkan (sebagai orang buta), kemudian ragu apakah meleset dari Ka’bah, maka tidak wajib mengulang selama mereka dalam keadaan benar ketika terhalang melihat Ka’bah, sampai mereka yakin telah salah, maka keduanya harus mengulang.

(Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang berada di suatu tempat di Mekkah yang tidak melihat Ka’bah, atau di luar Mekkah, maka tidak halal baginya meninggalkan upaya untuk menentukan arah Ka’bah yang benar setiap kali hendak shalat fardhu dengan menggunakan petunjuk seperti bintang, matahari, bulan, gunung, arah angin, atau segala tanda yang menunjukkan arah kiblat. Jika ada sekelompok orang di luar Mekkah berusaha menentukan kiblat dan hasil ijtihad mereka berbeda, maka tidak boleh bagi seorang pun mengikuti ijtihad orang lain meskipun ia lebih ahli, kecuali jika orang lain menunjukkan tanda yang membuatnya yakin bahwa ijtihad pertamanya salah. Ia harus kembali kepada pendapatnya sendiri atau mengikuti ijtihad orang lain. Setiap orang shalat sesuai arah yang ia yakini sebagai kiblat, dan tidak boleh seorang pun menjadi makmum jika ijtihadnya bertentangan dengan imam. (Imam Syafi’i berkata): Jika di antara mereka ada orang buta, maka tidak boleh baginya shalat berdasarkan pendapatnya sendiri; karena ia tidak bisa melihat. Cukup baginya shalat mengikuti arah yang ditunjukkan oleh sebagian mereka. Jika mereka berbeda pendapat, maka ia ikuti orang yang paling ia percaya dan paling jelas pengetahuannya, meskipun orang lain menyelisihinya. (Imam Syafi’i berkata): Jika orang buta shalat berdasarkan pendapatnya sendiri, atau sendirian dalam perjalanan, atau bersama orang lain, maka wajib mengulang semua shalat yang ia lakukan berdasarkan pendapatnya; karena ia tidak memiliki pandangan. (Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang menunjukkan arah kiblat, baik laki-laki, perempuan, atau hamba sahaya dari kalangan Muslim, maka boleh diikuti.

Dia adalah seorang yang bisa melihat dan mampu menerima perkataannya jika ia membenarkannya, dan pembenarannya berarti tidak melihat bahwa ia berdusta. (Dikatakan): Dan tidak boleh baginya menerima petunjuk dari seorang musyrik meskipun ia melihat bahwa orang itu jujur; karena ia tidak berada dalam posisi yang dapat dipercaya mengenai arah kiblat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika langit tertutup awan, baik malam atau siang, seseorang tidak boleh shalat kecuali dengan berusaha mencari arah kiblat, baik dengan gunung, laut, posisi matahari jika ia melihat cahayanya, bulan jika ia melihat cahayanya, posisi bintang, arah angin, atau petunjuk lain yang serupa. Mana pun dari ini yang ia temukan dan tidak menemukan yang lain, maka itu cukup baginya. Jika semua ini tertutup baginya dan ia tidak menemukan petunjuk, maka ia shalat berdasarkan dugaan terkuatnya dan mengulangi shalat tersebut jika kemudian menemukan petunjuk. Jarang sekali seseorang tidak menemukan petunjuk sama sekali. Jika benar-benar tidak ada petunjuk, ia shalat berdasarkan dugaan terkuatnya dan mengulangi shalatnya. Hal yang sama berlaku jika ia buta, sendirian, terkurung dalam kegelapan, atau berada dalam situasi di mana ia tidak dapat melihat petunjuk. Ia shalat berdasarkan dugaan terkuatnya dan wajib mengulanginya. Shalatnya tidak sah kecuali dengan petunjuk mengenai waktu dan arah kiblat, baik dari dirinya sendiri atau orang lain jika ia tidak dapat melihat petunjuk.

[Kesalahan menjadi jelas setelah berijtihad tentang arah kiblat] 

Mengenai orang yang kesalahannya menjadi jelas setelah berijtihad. Malik meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar yang berkata: “Ketika orang-orang sedang shalat Subuh di Quba’, tiba-tiba datang seseorang dan berkata, ‘Rasulullah ﷺ telah menerima wahyu malam ini dan diperintahkan untuk menghadap kiblat. Maka, hadaplah ke arah itu.’ Saat itu, wajah mereka menghadap Syam, lalu mereka berputar menghadap Ka’bah.” (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang jauh dari Ka’bah atau Masjidil Haram yang di dalamnya ada Ka’bah, lalu ia berijtihad dan melihat arah kiblat di satu tempat, tetapi sebelum memulai shalat ia melihat arah kiblat di tempat lain, maka ia shalat di tempat yang terlihat terakhir. Ia tidak boleh shalat di tempat yang pertama kali dilihat, dan ia harus terus berijtihad hingga memulai shalat.

(Dia berkata): Jika ia memulai shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian melihat arah kiblat berbeda, maka ada dua kemungkinan: 

Pertama, jika arah kiblatnya adalah timur, lalu langit tertutup awan, atau ia salah karena petunjuk angin atau lainnya, kemudian matahari, bulan, atau bintang muncul dan ia tahu bahwa ia shalat menghadap timur atau barat, maka shalat sebelumnya tidak dianggap. Ia harus mengucapkan salam dan menghadap kiblat berdasarkan yang jelas baginya, karena ia yakin bahwa arah pertama salah. Ka’bah berada di arah yang berlawanan dengan tempat ia shalat. Jika ia tidak kembali ke kepastian posisi pasti Ka’bah, setidaknya ia kembali ke kepastian arah yang benar dan menyadari kesalahan arah sebelumnya. Hukumnya sama seperti orang yang shalat berdasarkan ijtihadnya sambil melihat Ka’bah, kemudian tahu bahwa ia salah. 

(Dia berkata): Demikian juga jika ia meninggalkan timur sepenuhnya dan menghadap antara timur dan barat. Setiap orang yang yakin telah salah harus kembali ke arah yang benar. Kepastian kesalahan ditemukan berdasarkan arah, dan tidak wajib kembali kecuali jika yakin tentang posisi pasti.

Siapa pun yang yakin bahwa arahnya telah bergeser tetapi masih dalam arah yang sama, maka pergeseran kecil tidak dianggap sebagai kesalahan yang pasti. Misalnya, jika arah kiblatnya adalah timur, lalu ia menghadap timur, kemudian melihat bahwa arah kiblatnya sedikit menyimpang ke kanan atau kiri tetapi masih dalam arah timur, maka ia tidak perlu mengulang shalat atau membatalkan shalat yang sudah dilakukan. Ia hanya perlu menyesuaikan arah berdasarkan ijtihad terbarunya dan menyelesaikan shalatnya, karena ia tidak beralih dari keyakinan salah ke keyakinan benar baik dalam arah maupun posisi. Ia hanya beralih dari satu ijtihad ke ijtihad lain yang mungkin lebih tepat. Namun, ia hanya diwajibkan untuk shalat sesuai dengan ijtihadnya tentang arah kiblat. 

(Dia berkata): Demikian juga jika setelah ijtihad kedua, saat masih dalam shalat, ia melihat arahnya sedikit menyimpang, ia harus menyesuaikan arah dan melanjutkan shalatnya, serta menganggap shalat sebelumnya sah. Jika ada orang buta bersamanya, orang buta itu harus mengikuti pergeserannya dan tidak ada pilihan lain. Demikian juga, jika shalatnya batal karena kepastian kesalahan arah kiblat, shalat orang buta yang bersamanya juga batal jika ia memberitahukannya. Jika tidak memberitahukannya saat itu, tetapi memberitahunya setelah selesai, maka orang buta itu harus mengulang shalatnya.

Jika seseorang yang bisa melihat berijtihad dan menentukan arah, lalu menjadi buta setelah menentukan arah, maka ia boleh…

Jika dia melanjutkan shalatnya ke arah yang dia yakini, lalu dia sendiri berbalik dari arah itu atau orang lain memutarnya sebelum shalatnya selesai, maka dia harus keluar dari shalatnya dan menghadap ke arah kiblat berdasarkan ijtihad orang lain. Jika tidak menemukan orang lain, dia boleh menyelesaikan shalatnya dan mengulanginya ketika menemukan seorang mujtahid yang bisa melihat. 

Jika seorang mujtahid atau sekelompok orang berijtihad dan menentukan arah kiblat di suatu tempat, lalu mereka shalat berjamaah ke arah itu, kemudian seseorang di belakang imam menyadari bahwa imam salah dan arah kiblat menyimpang sedikit dari arah yang dituju, maka dia boleh mengubah arahnya sendiri dan melanjutkan shalat. Jika dia berpendapat bahwa seseorang yang awalnya bermakmum lalu keluar dari makmum sebelum imam menyelesaikan shalat dan menjadi imam bagi dirinya sendiri, maka shalatnya sah dan dia boleh melanjutkan shalatnya. Namun, jika dia berpendapat bahwa keluar dari makmum sebelum imam selesai shalat membatalkan shalatnya, maka dia harus memulai shalat baru. Sebagai kehati-hatian, lebih baik dia memutus shalat dan menghadap ke arah yang dia yakini sebagai kiblat. 

Demikian pula bagi siapa pun yang mengikuti imam sejak awal atau akhir shalat, selama mereka belum keluar dari shalat. Jika imam menyadari arah kiblat menyimpang dari arah yang dituju, dia harus menghadap ke arah yang dia yakini. Namun, makmum tidak boleh mengikuti arah imam kecuali jika mereka juga meyakini hal yang sama. Siapa yang sepakat dengan imam boleh mengikutinya, sedangkan yang tidak sepakat harus keluar dari makmum dan boleh melanjutkan shalat sendiri. 

Perbedaan antara kasus ini dan kasus sebelumnya adalah bahwa dalam kasus ini, imam sendiri yang keluar dari kepemimpinan shalat, sehingga shalat makmum tidak batal. Sebagai contoh, jika imam membatalkan shalatnya sendiri karena mimisan atau alasan lain, makmum boleh melanjutkan shalat karena imam yang keluar, bukan mereka. Sedangkan dalam kasus sebelumnya, makmum yang keluar dari jamaah, bukan imam. 

Secara logis, makmum tidak boleh melanjutkan shalat bersama imam dalam kondisi seperti ini karena mereka harus mengikuti apa yang dilakukan imam, dan imam harus mengikuti apa yang dilakukannya. Jika imam tetap pada pendiriannya, itu bisa dianggap sebagai keluar dari kepemimpinan shalat. 

Jika seseorang berijtihad menentukan arah kiblat, lalu memulai shalat, kemudian ragu dan tidak melihat arah kiblat selain ijtihad pertamanya, dia boleh melanjutkan shalat karena dia masih menghadap ke arah yang diyakininya. Hal ini berlaku baik bagi imam maupun makmum. 

Jika seorang buta diarahkan ke kiblat berdasarkan ijtihad orang lain, lalu orang lain memberitahunya bahwa arahnya salah, dia tidak boleh mengubah arah sendiri karena dia tidak bisa melihat. Namun, jika ada orang lain yang memberitahunya bahwa arahnya salah dan dia mempercayainya, dia harus mengubah arah sesuai petunjuk itu. Shalat yang sudah dia kerjakan tetap sah karena dia mengikuti ijtihad orang yang diterima. 

Jika seseorang terkurung dalam kegelapan tanpa petunjuk arah kiblat sama sekali, dia diperlakukan seperti orang buta: dia boleh shalat berdasarkan perkiraannya dan harus mengulang shalat yang dilakukan tanpa petunjuk. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang bisa melihat tetapi tidak menemukan petunjuk boleh mengikuti ijtihad orang lain. Jika ijtihad itu salah—misalnya, dia diarahkan ke timur padahal kiblat ada di barat—dia harus mengulang semua shalatnya. Jika penyimpangannya sedikit, lebih baik dia mengulang, tetapi jika tidak, shalatnya tetap sah. 

Orang yang bisa melihat hanya boleh shalat dengan keyakinan atau ijtihad sendiri. Jika seseorang shalat dalam keraguan tanpa mengetahui arah kiblat yang pasti, dia harus mengulang shalatnya. Demikian pula jika dia bingung antara dua arah dan memilih salah satunya, shalatnya sah. Namun, jika dia shalat tanpa keyakinan pada salah satu arah, shalatnya tidak sah dan harus diulang. 

[Pembahasan Dua Kondisi yang Diperbolehkan Menghadap Selain Kiblat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Dua kondisi yang diperbolehkan menghadap selain kiblat adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala… (terjemahan dilanjutkan sesuai teks asli).

{وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ} [النساء: 101] hingga {فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ} [النساء: 102]. Allah memerintahkan mereka dalam keadaan takut dan waspada untuk tetap melaksanakan shalat, menunjukkan bahwa mereka diperintahkan untuk shalat menghadap kiblat. Allah SWT berfirman: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى} [البقرة: 238] hingga dalam keadaan berkendara. Keringanan untuk shalat sambil berdiri atau berkendara menunjukkan bahwa kondisi ketakutan yang memungkinkan hal itu berbeda dari kondisi sebelumnya di mana mereka diperintahkan untuk saling menjaga. Dari sini kita tahu bahwa ada dua jenis ketakutan, dan ketakutan yang kedua—di mana mereka diizinkan shalat sambil berdiri atau berkendara—pasti lebih parah dari yang pertama. Dalam kondisi ini, mereka boleh shalat menghadap ke arah mana pun, baik ke kiblat atau tidak, sambil duduk di atas kendaraan atau berdiri di tanah. Hal ini juga didukung oleh Sunnah. 

Malik meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar, ketika ditanya tentang shalat khauf, berkata: “Imam maju bersama sekelompok orang,” lalu menyebutkan hadits tersebut. Ibnu Umar dalam hadits itu juga mengatakan: “Jika ketakutan lebih parah dari itu, mereka boleh shalat sambil berdiri atau berkendara, menghadap kiblat atau tidak.” Malik berkata bahwa Nafi’ menyatakan: “Aku yakin Abdullah menyebutkan hal itu berdasarkan Rasulullah ﷺ.” Juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Tidak boleh dalam shalat wajib menghadap selain kiblat kecuali saat musuh menyerang kaum Muslimin, seperti dalam pertempuran atau situasi sejenis ketika pasukan sudah saling berhadapan. Dalam kondisi itu, mereka boleh shalat sambil berdiri atau berkendara. Jika bisa menghadap kiblat, maka lakukanlah; jika tidak, shalatlah ke arah mana pun yang memungkinkan. Jika tidak bisa rukuk atau sujud, cukup dengan isyarat. Begitu pula jika musuh mengejar mereka, mereka boleh shalat di atas kendaraan dengan isyarat. Namun, dalam kedua kondisi ini, tidak boleh shalat tanpa wudhu atau tayammum, dan tidak boleh mengurangi jumlah rakaat. Mereka boleh shalat dengan tayammum meskipun air ada di dekat mereka, karena terhalang mengaksesnya. Musuh yang dimaksud bisa dari mana saja: kafir, perampok, pemberontak, binatang buas, atau unta yang galak—karena semuanya dapat membahayakan. 

Jika musuh mengejar lalu mereka menjauh hingga bisa berhenti tanpa khawatir diserang, maka wajib turun dan shalat di tanah menghadap kiblat. Jika masih khawatir diserang, mereka boleh shalat sambil berkendara. Jika setelah shalat dengan isyarat musuh sudah tidak mengancam, mereka harus turun dan menyempurnakan shalat yang tersisa dengan menghadap kiblat. Lebih baik mengulang shalat dari awal di tanah. Tidak boleh mengqashar shalat dalam kondisi ini kecuali jika dalam perjalanan yang biasanya membolehkan qashar. 

Jika kaum Muslimin sedang mengejar musuh dan khawatir musuh akan balik menyerang, mereka boleh shalat seperti ini. Namun, jika berhenti mengejar atau mundur membuat mereka aman, maka wajib turun dan shalat, serta menghentikan pengejaran. Tidak boleh terus mengejar dan meninggalkan shalat di tanah jika memungkinkan, karena pengejaran adalah sunnah, sementara shalat adalah kewajiban. Keringanan shalat dalam ketakutan parah—sambil berkendara dan tidak menghadap kiblat—hanya berlaku bagi orang yang memerangi musyrikin atau membela diri dari kezaliman. Tidak berlaku bagi pemberontak atau orang yang berperang dalam maksiat. Siapa pun yang shalat dalam keadaan zalim (seperti berperang secara batil) wajib mengulang shalatnya. Begitu pula jika seseorang bepergian untuk merampok atau berbuat kerusakan, lalu takut pada binatang buas atau unta galak, ia boleh shalat dengan isyarat tetapi wajib mengulang setelah aman. Tidak ada keringanan bagi pelaku maksiat selama ada cara untuk menunaikan kewajiban shalat dengan benar. 

Kondisi Kedua yang Membolehkan Menghadap Selain Kiblat 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa musafir yang shalat sunnah sambil berkendara boleh menghadap ke arah mana pun. Jika seseorang sedang dalam perjalanan dan ingin shalat sunnah sambil berkendara, ia boleh melakukannya ke arah mana pun.

Dia menghadap ke arah kendaraannya dan shalat di atas hewan apa pun yang bisa ditunggangi, baik keledai, unta, atau lainnya. Jika ingin rukuk atau sujud, dia memberi isyarat dan membuat sujud lebih rendah daripada rukuk. Tidak boleh shalat menghadap selain kiblat, baik dalam perjalanan maupun menetap, jika tidak dalam keadaan takut, untuk shalat wajib yang ditentukan waktunya, shalat yang tertinggal, shalat nazar, shalat tawaf, atau shalat jenazah. 

(Imam Syafi’i) berkata: “Dengan ini kami membedakan antara seseorang yang mewajibkan shalat atas dirinya sebelum memulainya—kami berpendapat bahwa tidak sah kecuali seperti shalat wajib dalam hal menghadap kiblat dan lainnya—dengan seseorang yang memulai shalat sunnah, lalu kami berpendapat bahwa keliru orang yang menganggap bahwa jika memulai shalat tanpa kewajiban, maka hukumnya seperti shalat wajib. Kami berpendapat bahwa tidak ada shalat wajib bagi diri sendiri kecuali yang diwajibkan atasnya, dan dalam perjalanan harus menghadap kiblat, sedangkan shalat sunnah boleh menghadap selain kiblat.” 

Diriwayatkan oleh Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar, dia berkata: “Rasulullah ﷺ shalat di atas kendaraannya dalam perjalanan ke arah mana pun kendaraannya menghadap.” 

Diriwayatkan oleh Malik dari Amr bin Yahya dari Abul Hubab Sa’id bin Yasar dari Ibnu Umar, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ shalat di atas keledai saat menuju Khaibar.” 

(Imam Syafi’i) berkata: “Maksudnya adalah shalat sunnah.” 

Diriwayatkan oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij, dia berkata: “Abu Zubair mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Jabir berkata: ‘Aku melihat Rasulullah ﷺ shalat sunnah di atas kendaraannya ke segala arah.'” 

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il dari Ibnu Abi Dzi’b dari Utsman bin Abdullah bin Suraqah dari Jabir: “Nabi ﷺ dalam perang Bani Anmar shalat di atas kendaraannya menghadap timur.” 

Jika seorang musafir berjalan kaki, tidak sah shalatnya kecuali menghadap kiblat saat takbir, lalu boleh berpaling ke arah jalannya sambil berjalan. Jika tiba waktu rukuk atau sujud, tidak sah kecuali rukuk dan sujud di tanah karena tidak ada kesulitan seperti halnya bagi yang menunggang kendaraan. 

(Imam Syafi’i) berkata: “Sujud tilawah, sujud syukur, shalat witir, dan dua rakaat fajar adalah sunnah. Bagi yang menunggang kendaraan, cukup dengan isyarat, sedangkan yang berjalan kaki harus sujud di tanah jika ingin sujud. Bagi yang menunggang kendaraan di kota, tidak boleh shalat sunnah kecuali seperti shalat wajib, yaitu menghadap kiblat dan di tanah, sebagaimana sahnya shalat wajib. Karena asal kewajiban shalat sama, kecuali jika ada kelonggaran berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ.” 

(Imam Syafi’i) berkata: “Baik perjalanan pendek maupun panjang, jika seseorang keluar dari kota sebagai musafir, dia boleh shalat sunnah ke arah mana pun kendaraannya menghadap, sebagaimana bolehnya tayamum dalam perjalanan pendek atau panjang, karena keduanya termasuk safar. Demikian pula jika menunggang hewan tunggangan seperti keledai atau lainnya, dia boleh shalat ke arah mana pun kendaraannya menghadap. Jika memulai shalat sunnah sambil menunggang kendaraan dalam perjalanan, lalu memasuki kota, tidak boleh melanjutkan shalatnya setelah sampai di kotanya atau tempat tinggalnya. Dia harus turun dan rukuk serta sujud di tanah. Begitu pula jika singgah di desa atau tempat lain, tidak boleh melanjutkan shalatnya. Jika melewati desa dalam perjalanan yang bukan kotanya dan tidak bermaksud singgah, maka itu masih bagian dari safar, dan dia boleh melanjutkan shalat di atas untanya. Jika singgah di padang pasir atau desa dalam perjalanan, hukumnya sama, dan tidak boleh shalat kecuali di tanah seperti shalat wajib. Jika memulai shalat di tanah lalu ingin naik kendaraan, tidak boleh kecuali keluar dari shalat dengan salam. Jika naik sebelum menyelesaikannya, maka shalatnya terputus. Shalat sunnah di atas unta tidak sah kecuali dimulai setelah benar-benar dalam perjalanan. Demikian pula jika berjalan kaki. Jika memulai shalat di tanah dalam perjalanan lalu ingin naik unta, tidak boleh kecuali setelah rukuk, sujud, dan salam. Jika dilakukan sebelum shalat dan salam, shalatnya batal. Jika setelah itu naik, membaca (Al-Qur’an), lalu turun dan sujud di tanah, shalatnya tetap batal karena memulai shalat di tanah lalu berpindah ke kendaraan.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Berkendara adalah pekerjaan yang memakan waktu lama dan tidak boleh dilakukan saat shalat. Jika seseorang memulai shalat sambil berkendara lalu ingin turun sebelum menyelesaikan shalat dan tetap dalam shalatnya, itu diperbolehkan karena turun lebih ringan daripada naik. Jika turun, ia harus rukuk dan sujud di tanah, tidak boleh diganti dengan yang lain. Jika turun lalu naik lagi, shalatnya batal karena naik, sebagaimana dijelaskan bahwa setelah turun ia harus rukuk dan sujud di tanah. Jika memulai shalat sambil berkendara atau berjalan, lalu arahnya berubah, ia boleh mengubah arah selama masih dalam shalat. Namun jika arahnya berubah hingga membelakangi kiblat tanpa ada jalan yang bisa dilalui, shalatnya batal, kecuali jika kiblat berada di jalan yang dituju. Jika kendaraannya lepas atau ia mengantuk lalu berbalik arah membelakangi kiblat, jika segera kembali ke posisi semula, ia boleh melanjutkan shalat. Jika berlama-lama dalam keadaan lalai lalu ingat, ia boleh melanjutkan shalat dan melakukan sujud sahwi. Jika ia tetap dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk mengubah arah sambil ingat bahwa ia sedang shalat, shalatnya batal. Jika berkendara dan ingin memulai shalat sesuai arah kendaraannya, ia tidak perlu menunda untuk menghadap kiblat karena boleh sengaja menjadikan arah kendaraannya sebagai kiblat. Jika memulai shalat sambil untanya berhenti tidak menghadap kiblat, shalatnya tidak sah dan hanya boleh dimulai jika untanya menghadap kiblat atau ke arah jalannya saat memulai shalat. Jika untanya berhenti tidak menghadap kiblat, tidak boleh memulai shalat.

Penumpang kapal, rakit, atau kendaraan laut lainnya tidak boleh shalat sunnah sesuai arah kapal, tetapi harus menghadap kiblat. Jika kapal tenggelam dan ia bergantung pada kayu, ia boleh shalat dengan isyarat ke arah itu, lalu mengulang shalat wajib yang dilakukan dalam kondisi tidak menghadap kiblat. Namun, shalat yang sudah dilakukan menghadap kiblat dalam kondisi tersebut tidak perlu diulang. Jika ada yang bertanya mengapa boleh shalat dengan isyarat dan tidak mengulang karena darurat, tetapi harus mengulang jika shalat tidak menghadap kiblat, jawabannya adalah karena orang sakit boleh shalat sesuai kemampuannya, tetapi tidak boleh shalat wajib tidak menghadap kiblat dalam kondisi apa pun.

[Bab Shalat di Ka’bah] 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah masuk Ka’bah bersama Bilal, Usamah, dan Utsman bin Thalhah. Ibnu Umar bertanya kepada Bilal apa yang dilakukan Rasulullah di dalam Ka’bah. Bilal menjawab bahwa Rasulullah meletakkan tiang di sebelah kirinya, tiang di sebelah kanannya, dan tiga tiang di belakangnya, lalu shalat. Saat itu, Ka’bah memiliki enam tiang. (Imam Syafi’i berkata): Boleh shalat sunnah atau wajib di dalam Ka’bah. Bagian mana pun Ka’bah yang dihadapi oleh orang yang shalat di dalamnya adalah kiblat, sebagaimana orang yang shalat di luar Ka’bah menghadap sebagian bangunannya. Jika menghadap pintu Ka’bah tanpa ada bangunan yang menutup di depannya, shalatnya tidak sah. Demikian pula jika shalat di belakang Ka’bah tanpa ada bangunan yang menutup di depannya, shalatnya tidak sah karena tidak ada bangunan Ka’bah yang menutupinya. Jika dibangun atap di atas Ka’bah yang menutupi orang shalat, shalat di atasnya sah. Jika boleh shalat sunnah di dalamnya, maka boleh juga shalat wajib.

“Tidak ada tempat yang lebih suci dan lebih utama untuk beribadah, kecuali kami lebih suka untuk shalat berjamaah, sedangkan jamaah berada di luar tempat tersebut. Adapun shalat yang tertinggal, maka shalat di dalamnya lebih aku sukai daripada shalat di luar. Semakin dekat dengannya, semakin aku sukai dibandingkan yang jauh darinya.”

[BAB NIAT DALAM SHALAT]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan shalat-shalat, dan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- telah menjelaskan jumlah setiap shalat, waktunya, serta apa yang dilakukan di dalamnya. Allah Azza wa Jalla juga telah menjelaskan mana yang sunnah dan mana yang wajib.”

Lalu Dia berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – {Dan pada sebagian malam, tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu} [Al-Isra’: 79]. Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menjelaskannya, sehingga menjadi jelas. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. Jika ada shalat sunnah dan wajib, dan shalat wajib memiliki waktu tertentu, maka tidak sah kecuali dengan niat ketika melakukannya. (Imam Syafi’i berkata): Setiap orang yang shalat wajib harus melakukannya dalam keadaan suci, setelah masuk waktunya, menghadap kiblat, meniatkan shalat tertentu, dan bertakbir. Jika salah satu dari syarat ini ditinggalkan, shalatnya tidak sah. (Imam Syafi’i berkata): Niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tidak sah kecuali bersamaan dengan takbir, tidak sebelum atau sesudahnya. Jika seseorang berdiri untuk shalat dengan niat, lalu niatnya hilang karena lupa atau lainnya, kemudian bertakbir dan shalat, shalatnya tidak sah. Begitu pula jika dia meniatkan shalat tertentu, lalu niatnya hilang untuk shalat yang dia maksudkan, dan niatnya tetap untuk melaksanakan shalat pada waktu itu—baik shalat tepat waktu atau shalat yang tertinggal—shalatnya tidak sah karena tidak meniatkan shalat tertentu. Shalat tidak sah kecuali dengan niat yang jelas, tanpa keraguan atau campuran niat lain. Demikian pula jika dia tertinggal shalat dan tidak tahu apakah itu Zhuhur atau Ashar, lalu bertakbir dengan niat shalat yang tertinggal, itu tidak sah karena tidak meniatkan shalat tertentu. (Imam Syafi’i berkata): Karena itu kami katakan, jika seseorang tertinggal shalat dan tidak tahu shalat apa itu, dia boleh shalat lima waktu dengan setiap shalat diniatkan untuk shalat yang tertinggal. 

Jika dia tertinggal dua shalat yang dia ketahui, lalu memulai salah satunya dengan niat, kemudian ragu dan tidak tahu yang mana dia niatkan, shalatnya tidak sah untuk keduanya. Shalat tidak sah kecuali dia yakin shalat mana yang dia niatkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia memulai shalat tertentu dengan niat, lalu niatnya hilang, tetapi dia tetap shalat, shalatnya sah karena dia memulainya dengan niat yang sah. Hilangnya niat tidak merusak shalat jika dia memulainya dengan niat yang sah, selama tidak mengalihkan niat ke shalat lain. 

Jika seseorang memulai shalat dengan niat, lalu mengalihkan niat ke shalat lain atau berniat keluar dari shalat (meski tidak benar-benar keluar), kemudian kembali meniatkannya, shalatnya batal. Begitu dia mengalihkan niat, shalatnya batal dan harus diulang. Begitu pula jika dia memulai shalat dengan niat, lalu bimbang apakah akan melanjutkan atau tidak, shalatnya batal jika niatnya berubah. Ini berbeda dengan orang yang berniat lalu niatnya hilang tanpa dialihkan ke yang lain, karena tidak wajib terus mengingat niat selama shalat. 

Jika dia yakin telah memulai shalat dengan niat, lalu ragu apakah sudah berniat atau belum, kemudian ingat sebelum melakukan apa pun dalam shalat (seperti membaca, rukuk, atau sujud), shalatnya sah. Jika keraguan muncul setelah sujud dan mengangkat kepala lalu sujud lagi, itu dianggap telah melakukan sesuatu. Jika dia melakukan sesuatu dalam shalat sementara ragu tentang niatnya, dia harus mengulang shalat. Jika dia ingat sebelum melakukan apa pun, shalatnya sah. 

Jika dia memulai shalat dengan niat, lalu mengalihkan niat ke shalat lain—baik sunnah atau wajib—dan niatnya tetap pada shalat yang dialihkan, shalat pertamanya tidak sah karena niatnya telah dialihkan. Shalat yang dialihkan juga tidak sah karena tidak dimulai dengan niat yang benar. Jika dia bertakbir tanpa meniatkan shalat tertentu, lalu berniat, shalatnya tidak sah karena memulai shalat tanpa niat yang jelas. 

Jika dia tertinggal Zhuhur dan Ashar, lalu shalat Zhuhur dengan niat untuk Zhuhur dan Ashar, shalatnya tidak sah untuk keduanya karena tidak meniatkan salah satu secara khusus. 

Jika dia tertinggal shalat dan tidak tahu shalat apa itu, lalu bertakbir dengan niat shalat yang tertinggal, shalatnya tidak sah sampai dia meniatkan shalat tertentu. 

[Pasal: Takbir sebagai Pembuka Shalat] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami, dari Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Kunci shalat adalah wudhu, pengharamannya adalah takbir, dan penghalalannya adalah salam.” (Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa memperbagus takbir, maka dia belum masuk (ke dalam shalat).

Dalam shalat tidak sah kecuali dengan takbir itu sendiri, yaitu mengucapkan “Allahu Akbar”. Tidak dianggap masuk dalam shalat jika mengucapkan selain takbir itu sendiri, meskipun mengucapkan “Allahul Kabir”, “Allahul ‘Azhim”, “Allahul Jalil”, “Alhamdulillah”, “Subhanallah”, atau dzikir lainnya. Tidak dianggap masuk dalam shalat kecuali dengan takbir itu sendiri yaitu “Allahu Akbar”. 

Jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar min kulli syai’in wa a’zham” atau “Allahu Akbar kabiran”, maka ia telah bertakbir dan menambahkan sesuatu, sehingga dianggap masuk dalam shalat dengan takbir tersebut, sedangkan tambahannya dianggap sunnah. Begitu juga jika mengucapkan “Allahul Akbar”. Demikian pula takbir dengan menambahkan alif dan lam tidak mengubah makna takbir. 

Siapa yang tidak bisa mengucapkan takbir dalam bahasa Arab, maka ia boleh bertakbir dengan bahasanya sendiri dan itu sah, namun ia wajib belajar takbir, bacaan Al-Qur’an, dan tasyahud dalam bahasa Arab. Jika ia sudah mampu, maka shalatnya tidak sah kecuali dengan mengucapkannya dalam bahasa Arab. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menguasai bahasa Arab dan bahasa lainnya, lalu ia mengucapkan takbir itu sendiri dalam bahasa selain Arab, maka ia tidak dianggap masuk dalam shalat. Yang sah baginya adalah takbir dengan bahasanya sendiri selama ia belum mampu berbahasa Arab. Jika ia sudah mampu, maka takbirnya tidak sah kecuali dalam bahasa Arab. 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa mengucapkan kalimat yang telah disebutkan bahwa itu tidak membuatnya masuk dalam shalat, atau lupa takbir, lalu ia shalat dengan menyempurnakan seluruh gerakan shalat (baik sebagai imam, makmum, atau sendirian), maka ia harus mengulangi shalatnya. 

Jika ia ingat setelah shalat satu atau dua rakaat bahwa ia belum takbir, maka ia memulai takbir di posisinya saat itu dengan niat takbiratul ihram dan mengabaikan shalat yang telah dilakukannya, karena ia belum masuk dalam shalat. Saat ia bertakbir, barulah ia dianggap masuk shalat. Tidak masalah jika ia tidak salam, karena sebelumnya ia belum dalam shalat. 

Hal ini sama baik ketika shalat di belakang imam atau sendirian. Jika sendirian, ia memulai dari awal dan boleh tetap di tempatnya atau berpindah tanpa masalah. Jika sebagai makmum, ia memulai takbir dan dianggap masuk shalat saat itu juga, tidak boleh melanjutkan shalat yang belum ia masuki karena belum takbir. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang makmum mendapati imam sebelum rukuk atau sedang rukuk, lalu ia mengucapkan satu takbir, maka: 

– Jika ia meniatkannya sebagai takbiratul ihram, maka sah dan ia dianggap masuk shalat. 

– Jika ia meniatkannya sebagai takbir rukuk, maka tidak dianggap masuk shalat. 

– Jika ia bertakbir tanpa meniatkan salah satunya, maka tidak masuk shalat. 

– Jika ia bertakbir dengan niat takbiratul ihram tetapi niatnya bercampur antara takbir masuk shalat dan lainnya, maka jika ia ingat bahwa itu tidak membuatnya masuk shalat, ia harus memulai lagi dengan takbir niat takbiratul ihram, barulah saat itu ia dianggap masuk shalat. 

Jika ia sedang dalam shalat sunnah lalu bertakbir dengan niat shalat wajib, maka shalat wajibnya tidak sah, karena ia masih dalam shalat sunnah sampai salam, baru bisa memulai shalat wajib dengan takbir setelah keluar dari shalat sunnah. 

Jika ia bertakbir dengan niat shalat wajib padahal ia tidak dalam shalat dan sedang rukuk, maka tidak sah. Ia harus bertakbir dalam keadaan berdiri. Jika ia bersama imam dan mendapatinya sebelum imam mengangkat kepala dari rukuk, maka ia mendapatkan rakaat tersebut. Jika tidak mendapatinya sampai imam bangkit dari rukuk, maka ia kehilangan rakaat itu. 

(Imam Syafi’i berkata): Ia harus bertakbir dalam keadaan berdiri dengan niat shalat wajib, dan tidak dianggap masuk shalat wajib kecuali dengan cara yang telah dijelaskan. Jika ia mengurangi satu huruf dari takbir, maka tidak dianggap masuk shalat sampai ia menyempurnakan takbir dalam keadaan berdiri. 

Jika ia menyisakan satu huruf dari takbir lalu mengucapkannya saat rukuk, membungkuk untuk rukuk, atau tidak dalam keadaan berdiri, maka tidak dianggap masuk shalat wajib, melainkan shalat sunnah sampai ia salam, kemudian kembali berdiri untuk menyempurnakan takbir. Misalnya, jika ia mengucapkan “Allahu Akba” tanpa mengucapkan huruf “ra” kecuali saat rukuk, atau menghilangkan huruf “ra” sama sekali, maka takbirnya tidak sempurna. Jika ia mengucapkan “Al-Kabirullah”, maka tidak dianggap masuk shalat dengan ucapan ini. Demikian juga jika ia membaca sesuatu (selain takbir).

Dari Al-Quran, shalat tidak sah kecuali dengan membacanya. Ada yang membaca sebagian di awal dan sebagian di akhir, serta ada yang membacanya sekaligus. Aku berpendapat agar mengulang shalat sampai membacanya secara berurutan sebagaimana diturunkan. Jika seseorang yang shalat memiliki gangguan pada lisannya, ia boleh menggerakkannya dengan takar sesuai kemampuannya dan melakukan sebisa mungkin. Itu sudah mencukupi karena ia telah melakukan sesuai kemampuannya, dan tidak ada kewajiban lebih dari itu. Hal ini sama berlaku bagi orang bisu, yang terputus lidahnya, atau yang memiliki gangguan bicara. Demikian pula yang mereka lakukan dalam bacaan, tasyahud, dan zikir dalam shalat.

Imam disukai untuk mengeraskan takbir dan memperjelasnya, tanpa memanjangkan atau memotongnya. Makmum juga demikian, kecuali dalam mengeraskan takbir. Ia cukup memperdengarkan pada dirinya dan orang di sampingnya jika mau, tanpa berlebihan. Jika imam atau makmum tidak melakukannya tetapi keduanya mendengarkan diri mereka sendiri, itu sudah mencukupi. Jika tidak, shalat mereka tidak sah. Takbir tidak sah kecuali terdengar oleh diri mereka sendiri. Setiap orang yang shalat, baik laki-laki maupun perempuan, sama dalam takbir, kecuali wanita tidak boleh mengeraskan suara melebihi pendengaran diri mereka sendiri. Jika seorang wanita menjadi imam, disukai agar memperdengarkan takbir kepada makmum wanita dengan suara yang lebih rendah. Ketika mereka bertakbir, hendaknya merendahkan suara dalam takbir saat rukuk dan bangkit.

[Bab Orang yang Tidak Bisa Membaca dan Kewajiban Minimal Shalat] 

Takbir Saat Rukuk dan Bangkit 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad dari Ali bin Yahya bin Khalad dari ayahnya dari Rafa’ah bin Malik bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda: 

“Jika salah seorang dari kalian hendak shalat, berwudhulah sebagaimana diperintahkan Allah, lalu bertakbirlah. Jika ia hafal sebagian Al-Quran, bacalah. Jika tidak, hendaknya memuji Allah dan bertakbir, lalu rukuk sampai tumakninah, kemudian bangkit sampai berdiri tegak, lalu sujud sampai tumakninah, kemudian angkat kepala dan duduk sampai tumakninah. Barangsiapa mengurangi ini, ia telah mengurangi kesempurnaan shalatnya.” 

Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Ajlan dari Ali bin Yahya bin Khalad dari ayahnya dari Rafa’ah bin Rafi’, ia berkata: 

“Seorang laki-laki shalat di masjid dekat Rasulullah ﷺ, lalu ia datang dan mengucapkan salam. Nabi ﷺ bersabda: ‘Ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.’ Ia pun mengulangi shalat seperti sebelumnya. Nabi ﷺ kembali bersabda: ‘Ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.’ Laki-laki itu berkata: ‘Ajari aku, wahai Rasulullah, bagaimana cara shalat yang benar?’ Nabi ﷺ bersabda: ‘Jika engkau menghadap kiblat, bertakbirlah, lalu baca Ummul Quran (Al-Fatihah) dan ayat lain yang engkau hafal. Jika rukuk, letakkan kedua telapak tangan di lutut dan lakukan rukuk dengan tenang, panjangkan punggungmu. Jika bangkit, tegakkan tulang punggung dan angkat kepala sampai tulang kembali ke sendinya. Jika sujud, lakukan dengan tenang. Jika bangkit dari sujud, duduklah di atas paha kiri. Lakukan ini pada setiap rakaat dan sujud sampai engkau tumakninah.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang pada semua ini. Orang yang tidak bisa membaca diperintahkan untuk berzikir kepada Allah, memuji-Nya, dan bertakbir. Tidak sah shalatnya jika tidak bisa membaca kecuali dengan zikir kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa perintah membaca hanya ditujukan kepada yang mampu. Demikian pula kewajiban shalat hanya berlaku bagi yang mampu melaksanakannya dengan sadar. Jika seseorang tidak bisa membaca Al-Fatihah tetapi bisa membaca ayat lain, itu tidak cukup.

Dia shalat tanpa membaca dan itu cukup selain surat Al-Fatihah dengan ukuran seperti Ummul Quran. Tidak cukup kurang dari tujuh ayat, dan lebih aku sukai jika ditambah jika dia mampu. Minimal yang aku sukai adalah menambah satu ayat hingga mencapai ukuran Ummul Quran plus satu ayat. Namun, tidak jelas bagiku jika hanya membaca Ummul Quran saja ketika dia mampu, atau membaca selainnya dengan ukuran yang sama jika tidak mampu, apakah dia harus mengulang. Jika tidak mampu membaca tujuh ayat tetapi mampu membaca kurang dari itu, maka tidak cukup kecuali dia membaca semua yang dia kuasai, baik tujuh ayat atau kurang. Jika membaca kurang dari itu, dia harus mengulang rakaat yang tidak menyempurnakan tujuh ayat jika dia mampu. Baik ayat-ayat itu panjang atau pendek, tidak cukup kecuali dengan jumlah ayat seperti Ummul Quran. Baik dalam satu surat atau surat yang terpisah, tidak cukup sampai dia membaca tujuh ayat jika mampu, atau delapan ayat. Minimal yang wajib adalah membaca tujuh ayat. Jika tidak mampu membaca tujuh ayat, dia berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla bersama apa yang dia kuasai, dan tidak cukup kecuali dengan menyebut Allah Yang Maha Agung. Jika dia menyebut sebagian zikir kepada Allah Ta’ala, itu cukup bersama apa yang dia kuasai. 

Aku mengatakan ini karena Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berzikir kepada Allah ketika tidak mampu membaca Ummul Quran, meskipun tidak memerintahkan shalat tanpa zikir. Aku memahami bahwa jika seseorang menguasai Ummul Quran yang merupakan sunnah shalat, maka itu lebih wajib daripada zikir selainnya. 

Jika seseorang tidak menguasai Ummul Quran, tidak boleh menjadi imam bagi orang yang menguasainya. Jika dia memimpin shalat, shalat makmum tidak sah, tetapi shalat imam tetap sah. Jika dia menguasai Ummul Quran tetapi tidak menguasai selainnya, aku tidak suka dia menjadi imam bagi orang yang menguasai lebih banyak. Namun jika dilakukan, tidak jelas bagiku bahwa makmum harus mengulang shalat, karena jika sudah sampai pada batasnya, tidak jelas bagiku untuk mengulang jika tidak menambah. Aku lebih suka jika ditambah satu ayat atau lebih. 

Boleh menjadi imam orang yang tidak menguasai Ummul Quran atau apa pun dari Al-Quran, tetapi tidak boleh menjadi imam bagi orang yang tidak menguasainya jika ada orang lain yang menguasai sebagian Al-Quran. Orang yang menguasai sebagian Al-Quran lebih berhak menjadi imam daripada yang tidak menguasai sama sekali. 

Jika seseorang menguasai kurang dari tujuh ayat lalu menjadi imam atau shalat sendirian, dia boleh mengulang sebagian ayat hingga mencapai tujuh atau delapan ayat. Jika tidak dilakukan, aku tidak mewajibkan pengulangan, tetapi tidak cukup dalam setiap rakaat kecuali membaca yang dia kuasai hingga menyempurnakan tujuh atau delapan ayat dari yang dia mampu. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits Rafi’ah bin Malik dari Nabi ﷺ terdapat petunjuk bahwa Rasulullah ﷺ mengajarkan kewajiban dalam shalat, bukan yang sunnah. Beliau mengajarkan wudhu, takbiratul ihram sebelum membaca, tetapi tidak disebutkan bahwa beliau mengajarkan ucapan setelah takbiratul ihram sebelum membaca, takbir saat rukuk dan bangun, ucapan “Sami’allahu liman hamidah,” mengangkat tangan dalam shalat, atau tasbih dalam rukuk dan sujud. Beliau mengajarkan bacaan, dan jika tidak mampu, maka berzikir. Beliau juga mengajarkan rukuk, sujud, i’tidal, duduk dalam shalat, dan bacaan. 

Karena itu, kami berpendapat: Siapa yang meninggalkan pembukaan shalat setelah takbiratul ihram, takbir saat rukuk dan bangun, mengangkat tangan saat rukuk dan sujud, ucapan “Sami’allahu liman hamidah,” “Rabbana lakal hamd,” atau duduk dengan cara yang tidak diperintahkan, maka dia telah meninggalkan kesunnahan dan tidak wajib mengulang shalat. 

Dalam hadits Ibnu ‘Ajlan, Nabi mengajarkan membaca Ummul Quran dan “ma sya’a Allah,” membebaskannya kepada pembaca. Ini menunjukkan bahwa membaca Ummul Quran dalam shalat adalah wajib, dan tidak cukup diganti dengan selainnya. Jika ditinggalkan padahal mampu, shalatnya tidak sah. Jika meninggalkan selainnya, aku tidak menyukainya, tetapi tidak jelas bagiku wajib mengulang shalat. 

Bisa juga dianggap kewajiban bagi yang mampu membaca Ummul Quran plus satu ayat atau lebih, karena minimal yang sebaiknya dibaca bersama Ummul Quran dalam satu rakaat adalah satu ayat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Dan apa yang Allah kehendaki bersamanya.” Aku tidak suka seseorang meninggalkan membaca satu ayat bersama Ummul Quran dalam satu rakaat. Jika ditinggalkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak jelas bagiku wajib mengulang seperti yang telah kujelaskan. 

Hadits ‘Ubadah dan Abu Hurairah menunjukkan…

“Wajibnya Ummul Quran (Al-Fatihah) dan tidak ada petunjuk di dalam keduanya atau salah satunya tentang kewajiban selainnya bersamanya.” (Imam Syafi’i berkata): “Sengaja meninggalkan Ummul Quran dan keliru dalam hal itu sama, yaitu tidak sah suatu rakaat kecuali dengan membacanya atau bersama bacaan lainnya, kecuali bagi makmum yang disebutkan—insya Allah—dan orang yang tidak mampu membacanya. Karena itulah kami berpendapat bahwa orang yang tidak mampu membaca, shalatnya sah tanpa bacaan, dan kewajiban hanya bagi yang mengetahuinya.”

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkan duduk untuk tasyahud, beliau hanya menyebutkan duduk dari sujud. Maka kami mewajibkan tasyahud dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagi yang mampu, bukan berdasarkan hadis ini. Minimal kewajiban seseorang dalam shalat adalah seperti yang kami jelaskan, dan yang paling sempurna akan kami sebutkan—insya Allah.”

[Bab Mengangkat Tangan saat Takbir dalam Shalat] 

“Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, ia berkata: ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan bahunya, begitu pula ketika hendak rukuk dan setelah mengangkat kepala dari rukuk, tetapi tidak mengangkat tangan di antara dua sujud.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Hadis ini juga diriwayatkan oleh selainnya.”

Ibnu Umar meriwayatkan dari dua belas orang laki-laki bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda (Asy-Syafi’i berkata): “Dan dengan ini kami berpendapat, maka kami memerintahkan setiap orang yang shalat, baik sebagai imam, makmum, atau shalat sendirian; laki-laki maupun perempuan; untuk mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, ketika bertakbir untuk rukuk, dan ketika mengangkat kepala dari rukuk. Pengangkatannya pada ketiga gerakan ini setinggi bahunya. Dan dia menahan kedua tangannya dalam keadaan terangkat sampai selesai dari seluruh takbir, serta mengangkat tangan bersamaan dengan memulai takbir dan mengembalikan tangannya dari pengangkatan ketika selesai takbir.

Kami tidak memerintahkannya untuk mengangkat tangan dalam dzikir apa pun dalam shalat yang memiliki rukuk dan sujud kecuali pada tiga tempat ini. Jika salah satu tangan orang yang shalat…

Sebab jika seseorang tidak mampu mengangkat tangannya hingga ke bahu, maka ia cukup mengangkatnya sesuai kemampuannya. Jika ia memiliki uzur yang membuatnya tidak mampu mengangkat tangannya melebihi bahu, dan juga tidak bisa membatasi pengangkatan hanya setinggi bahu atau di bawahnya, ia tetap tidak boleh meninggalkan pengangkatan tangan meskipun melebihi bahu. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia memiliki uzur yang memungkinkannya melakukan dua cara pengangkatan—entah di bawah bahu atau di atas bahu—tetapi tidak bisa mengangkatnya setinggi bahu, maka ia boleh mengangkatnya di atas bahu. Sebab ia telah melaksanakan pengangkatan sebagaimana diperintahkan, dan kelebihan tersebut terjadi karena keterpaksaan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu tangannya sehat dan yang lain uzur, maka ia melakukan sesuai yang telah dijelaskan untuk tangan yang uzur, sedangkan tangan yang sehat cukup diangkat setinggi bahu. 

Jika ia lupa dan tidak mengangkat tangan saat diperintahkan, hingga selesai takbir yang seharusnya disertai pengangkatan tangan, maka ia tidak perlu mengangkat tangan setelah takbir selesai, atau setelah mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah,” atau di tempat lain. Sebab pengangkatan tangan adalah gerakan yang terkait waktu tertentu, sehingga jika waktunya telah berlalu, tidak perlu dilakukan di waktu lain. 

Jika ia lupa saat memulai takbir, lalu ingat sebelum menyelesaikannya, maka ia tetap mengangkat tangan. Semua yang telah disebutkan berlaku untuk takbir pertama dan takbir saat rukuk, serta saat mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” dan “Rabbana wa lakal hamd.” 

Jika ia menahan tangannya sedikit terangkat setelah selesai takbir, hal itu tidak mengapa, meski tidak diperintahkan. Pengangkatan tangan dalam setiap shalat—baik sunnah maupun wajib—adalah sama. 

(Imam Syafi’i berkata): Ia juga mengangkat tangan dalam setiap takbir saat shalat jenazah, berdasarkan hadis dan qiyas, karena itu adalah takbir dalam keadaan berdiri. Begitu pula dalam setiap takbir shalat Id dan Istisqa, karena semuanya adalah takbir dalam keadaan berdiri. Demikian juga, ia mengangkat tangan saat takbir untuk sujud tilawah dan sujud syukur, karena keduanya termasuk takbir pembukaan. 

Hal ini berlaku sama, baik ia shalat atau sujud dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring dengan isyarat—ia tetap mengangkat tangan karena posisinya dianggap seperti berdiri. 

Jika ia meninggalkan pengangkatan tangan dalam semua yang diperintahkan, atau mengangkat tangan di tempat yang tidak diperintahkan—baik dalam shalat wajib, sunnah, sujud, shalat Id, atau jenazah—aku memandangnya makruh, tetapi tidak wajib mengulang shalat atau sujud, baik sengaja, lupa, atau tidak tahu. Sebab itu termasuk gerakan dalam amal, dan demikianlah pendapatku tentang semua gerakan dalam ibadah yang ditinggalkan.

[BAB PEMBUKAAN SHALAT]

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Muslim bin Khalid, Abdul Majid, dan lainnya dari Ibnu Juraij dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdullah bin Al-Fadhl dari Al-A’raj dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari Ali bin Abi Thalib, “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika memulai shalat, beliau mengucapkan:

‘Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifan wa ma ana minal musyrikin. Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, la syarika lahu, wa bidzalika umirtu.’

Sebagian perawi menambahkan: ‘Wa ana awwalul muslimin.’

Ibnu Abi Rafi’ berkata: Aku ragu apakah ada yang mengatakan: ‘Wa ana minal muslimin.’

Kemudian beliau melanjutkan:

‘Allahumma antal malik, la ilaha illa anta, subhanaka wa bihamdika, anta rabbi wa ana ‘abduka, dzalamtu nafsi wa’taraftu bidzanbi, faghfirli dzunubi jami’an, la yaghfiruha illa anta, wahdini li-ahsanil akhlaq, la yahdi li-ahsaniha illa anta, washrif ‘anni sayyi’aha, la yasrifu ‘anni sayyi’aha illa anta, labbaika wa sa’daika, wal khairu biyadaika, wasy-syarru laisa ilaika, wal mahdi man hadaita, ana bika wa ilaika, la malja’a minka illa ilaika, tabarakta wa ta’alaita, astaghfiruka wa atubu ilaik.'”

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim dari Muhammad, ia berkata: Diriwayatkan oleh Shafwan bin Sulaim dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Hurairah, ia berkata:

“Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika berdiri untuk shalat dan bertakbir, beliau mengucapkan:

‘Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifan wa ma ana minal musyrikin’ (QS. Al-An’am: 79) dan dua ayat setelahnya hingga firman-Nya: ‘Wa ana awwalul muslimin’ (QS. Al-An’am: 163).

Kemudian beliau mengucapkan:

‘Allahumma antal malik, la ilaha illa anta, subhanaka, Allahumma wa bihamdika, anta rabbi wa ana ‘abduka, dzalamtu nafsi wa’taraftu bidzanbi, faghfirli dzunubi jami’an, la yaghfirudz dzunuba illa anta, wahdini li-ahsanil akhlaq, wa la yahdi li-ahsaniha illa anta, washrif ‘anni sayyi’aha, la yasrifu ‘anni sayyi’aha illa anta, labbaika wa sa’daika, wal khairu biyadaika, wasy-syarru laisa ilaika, wal mahdi man hadaita, ana bika wa ilaika, la malja’a wa la manja’a minka illa ilaika, tabarakta wa ta’alaita, astaghfiruka wa atubu ilaik.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku berpendapat dan memerintahkan untuk mengucapkan semua ini sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tanpa meninggalkan sedikitpun. Dan boleh mengganti ‘wa ana awwalul muslimin’ dengan ‘wa ana minal muslimin’.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada yang menambah atau mengurangi, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang shalat atau sujud sahwi, baik sengaja, lupa, atau tidak tahu.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika lupa mengucapkannya saat memulai shalat, lalu ingat sebelum memulai bacaan (Al-Fatihah), lebih baik diucapkan. Jika ingat setelah memulai bacaan, tidak perlu diucapkan. Doa ini hanya diucapkan pada rakaat pertama, tidak pada rakaat berikutnya.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Hal ini berlaku sama bagi imam dan makmum, selama makmum tidak tertinggal bagian shalat yang tidak bisa diikutinya. Jika tertinggal sebagian yang memungkinkan untuk mengucapkan doa ini, lebih baik diucapkan. Jika tidak diucapkan, tidak perlu diqadha di rakaat lain. Jika makmum di belakang imam pada shalat sirriyah (tidak dikeraskan bacaan) dan tertinggal sebagian rakaat sehingga jika mengucapkan doa ini ia tidak sempat membaca Al-Fatihah, maka doa ini ditinggalkan.”

“Jika mengucapkan dzikir atau pengagungan Allah lainnya, tidak masalah insya Allah. Demikian juga jika mengucapkannya di luar tempat yang disyariatkan. Dzikir kepada Allah tidak membatalkan shalat dalam keadaan apapun.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Doa ini diucapkan dalam shalat fardhu dan sunnah.”

[BAB TA’AWUDZ SETELAH PEMBUKAAN]

(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Allah Ta’ala berfirman: ‘Fa-idza qara’tal qur’ana fasta’idz billahi minasy syaithanir rajim’ (QS. An-Nahl: 98).”

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad dari Sa’d bin ‘Utsman dari Shalih bin Abi Shalih.

Dia mendengar Abu Hurairah mengimami orang-orang dengan mengeraskan suaranya, “Rabbana inna na’udzu bika minasy syaithanir rajim” dalam shalat wajib, dan ketika selesai membaca Ummul Quran. 

(Asy-Syafi’i berkata): “Ibnu Umar membaca ta’awudz dalam hatinya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kedua cara itu sah bagi seseorang, baik mengeraskan atau melirihkannya. Sebagian mereka membaca ta’awudz ketika memulai sebelum Ummul Quran, dan inilah pendapatku. Aku lebih suka jika seseorang mengucapkan, ‘A’udzu billahi minasy syaithanir rajim.’ Jika dia memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk dengan kalimat apa pun, itu sudah cukup. Dia boleh mengucapkannya di rakaat pertama. Dikatakan bahwa jika dia mengucapkannya di setiap rakaat sebelum membaca, itu baik. Namun, aku tidak mewajibkannya di seluruh shalat, hanya di rakaat pertama. Jika dia lupa, tidak tahu, atau sengaja meninggalkannya, dia tidak perlu mengulangi shalat atau sujud sahwi. Tapi aku tidak suka jika dia sengaja meninggalkannya. Aku lebih suka jika dia mengucapkannya di rakaat lain jika tidak diucapkan di rakaat pertama. Alasan aku tidak memerintahkannya untuk mengulang adalah karena Nabi ﷺ mengajarkan seorang laki-laki tata cara shalat yang cukup dengan bersabda, ‘Bertakbirlah, lalu bacalah (Al-Fatihah).’ (Asy-Syafi’i berkata): ‘Tidak ada riwayat bahwa Nabi memerintahkannya untuk membaca ta’awudz atau pembukaan, sehingga ini menunjukkan bahwa pembukaan oleh Rasulullah ﷺ bersifat pilihan, dan ta’awudz adalah sesuatu yang tidak membatalkan shalat jika ditinggalkan.’ 

[Bab Membaca Setelah Ta’awudz] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata: 

“Rasulullah ﷺ mencontohkan bahwa seorang yang shalat harus membaca Ummul Quran (Al-Fatihah), dan ini menunjukkan bahwa itu wajib bagi yang mampu membacanya.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i berkata: 

“Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Mahmud bin Rabi’ dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i berkata: 

“Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Al-A’la bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Setiap shalat yang tidak dibacakan Ummul Quran, maka itu kurang, itu kurang.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i berkata: 

“Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Qatadah dari Anas, dia berkata, ‘Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar memulai bacaan dengan “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”‘” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Maksudnya, mereka memulai dengan membaca Ummul Quran sebelum membaca ayat lain. Wallahu a’lam, bukan berarti mereka meninggalkan ‘Bismillahirrahmanirrahim.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Wajib bagi yang shalat sendirian atau sebagai imam untuk membaca Ummul Quran di setiap rakaat, tidak sah tanpa itu. Aku lebih suka jika dia membaca sesuatu bersamanya, baik satu ayat atau lebih. Akan kusebutkan tentang makmum insya Allah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika dia meninggalkan satu huruf dari Ummul Quran karena lupa atau tidak sengaja, rakaat itu tidak dihitung, karena yang meninggalkan satu huruf darinya tidak dianggap telah membaca Ummul Quran dengan sempurna.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah ayat ketujuh. Jika dia meninggalkannya atau sebagiannya, rakaat itu tidak sah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Telah sampai kepadaku bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Rasulullah ﷺ memulai bacaan dengan “Bismillahirrahmanirrahim.”‘” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i berkata: 

“Abdul Majid bin Abdul Aziz mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata, ‘Ayahku mengabarkan kepadaku dari Sa’id bin Jubair tentang firman Allah, “Dan sungguh, Kami telah memberimu tujuh (ayat) yang dibaca berulang-ulang” (Al-Hijr: 87), dia berkata, ‘Itu adalah Ummul Quran.’ Ayahku membacakannya kepada Sa’id bin Jubair hingga selesai, lalu berkata, ‘Bismillahirrahmanirrahim adalah ayat ketujuh.’ Sa’id berkata, ‘Dia membacakannya kepada Ibnu Abbas seperti yang kubacakan kepadamu, lalu berkata, “Bismillahirrahmanirrahim adalah ayat ketujuh.” Ibnu Abbas berkata, “Allah menyimpannya untuk kalian, tidak diberikan kepada siapa pun sebelum kalian.”‘” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i berkata: 

“Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata, Shalih, maula At-Tawaamah, menceritakan kepadaku…”

Bahwa Abu Hurairah membuka shalat dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” 

Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij, dia berkata: Dikabarkan kepadaku oleh Abdullah bin Utsman bin Khutsaim bahwa Abu Bakr bin Hafs bin Umar mengabarkan kepadanya bahwa Anas bin Malik mengabarkan kepadanya, dia berkata: 

“Muawiyah pernah shalat di Madinah dengan mengeraskan bacaan. Dia membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ untuk Ummul Quran (Al-Fatihah), tetapi tidak membacanya untuk surah setelahnya hingga menyelesaikan bacaan tersebut. Dia juga tidak bertakbir ketika turun (untuk sujud) hingga menyelesaikan shalat itu. Ketika dia salam, orang-orang Muhajirin yang mendengarnya berseru dari berbagai arah, ‘Wahai Muawiyah, engkau mencuri shalat atau lupa?’ Setelah itu, ketika shalat berikutnya, dia membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ untuk surah setelah Ummul Quran dan bertakbir ketika turun untuk sujud.” 

Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Utsman bin Khutsaim dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah dari ayahnya bahwa Muawiyah datang ke Madinah dan shalat bersama mereka tanpa membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dan tidak bertakbir ketika turun dan bangun. Orang-orang Muhajirin dan Anshar menegurnya setelah salam, ‘Wahai Muawiyah, engkau mencuri shalatmu! Di mana ‘Bismillahirrahmanirrahim’? Di mana takbir ketika turun dan bangun?’ Kemudian, dia shalat lagi bersama mereka dan melaksanakan apa yang mereka kritik sebelumnya.” 

Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dikabarkan kepadaku oleh Yahya bin Sulaim dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah dari ayahnya tentang Muawiyah, Muhajirin, dan Anshar dengan riwayat serupa atau makna yang tidak bertentangan. Aku mengira sanad ini lebih rendah dari sanad pertama. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam riwayat pertama, disebutkan bahwa dia membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ untuk Ummul Quran tetapi tidak membacanya untuk surah setelahnya. Ini tambahan hafalan dari Ibnu Juraij. Ucapan “dia shalat lagi bersama mereka” bisa berarti mengulang atau shalat berikutnya. Wallahu a’lam. 

Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dikabarkan kepada kami oleh Muslim bin Khalid dan Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia tidak pernah meninggalkan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ untuk Ummul Quran dan surah setelahnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ini lebih aku sukai karena saat itu memulai bacaan Al-Quran. Jika seseorang lupa membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dan langsung membaca ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ hingga akhir surah, dia harus kembali membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ lalu ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ hingga menyelesaikan surah. Tidak cukup membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ setelah ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ atau di tengah-tengah bacaan. Dia harus mengulang dari awal dengan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ lalu memulai Ummul Quran, sehingga setiap huruf berada di tempatnya. 

Demikian pula jika dia lupa membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’, lalu langsung “Maliki yaumid din” hingga akhir surah, dia harus kembali membaca “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin” hingga selesai. Begitu juga jika dia hanya lupa “Alhamdu” dan langsung “Lillahi Rabbil ‘alamin”, dia harus kembali membaca “Alhamdu” dan seterusnya. Tidak sah tanpa menyempurnakannya sesuai urutan turunnya. 

Jika diperbolehkan mendahulukan atau mengakhirkan sebagian karena lupa, maka boleh juga jika lupa membaca akhir ayat lalu mendahulukan ayat sebelumnya, hingga menjadikan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ di akhir. Namun, tidak sah hingga dibaca secara sempurna sesuai urutan. 

Jika berhenti, bingung, atau lupa memasukkan ayat lain, dia harus kembali ke tempat keliru atau membacanya berurutan. Jika dibaca berurutan tanpa mendahulukan atau mengakhirkan, tetapi ada ayat lain yang disisipkan, itu sah karena bacaannya tetap berurutan. Yang disisipkan adalah bacaan yang diperbolehkan dalam shalat, sehingga tidak memutus kesinambungan. 

Jika sengaja membaca sebagian lalu beralih ke ayat lain sebelum menyelesaikannya, ini memutus bacaan, dan dia harus mengulang dari awal. Jika lupa membaca ayat lain tanpa sengaja, tidak perlu mengulang yang sudah dibaca karena kelupaan dimaafkan dalam shalat selama disempurnakan. 

Jika lupa lalu ingat dan menyelesaikan bacaan lain, ini memutus bacaan, dan dia harus memulai dari awal. Jika membaca sebagian lalu berniat memutus, kemudian kembali menyelesaikan sisanya, itu sah. Ini berbeda dengan niat memutus shalat wajib dan beralih ke shalat lain. Namun, jika berniat memutus lalu diam sebentar, itu dianggap memutus.

Dia harus memulainya kembali dan sengaja memotongnya hingga beralih ke yang lain, atau diam. Adapun yang diikuti dengan memotongnya adalah pembicaraan jiwa yang ditinggalkan. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memulai dan membaca selain Al-Fatihah dalam rakaat, kemudian membacanya, itu sudah cukup.

[Bab Mengucapkan Amin setelah Selesai Membaca Ummul Quran] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa keduanya mengabarkan kepadanya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika imam mengucapkan ‘amin’, maka ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang amin-nya bersamaan dengan amin-nya malaikat, dosanya yang telah lalu akan diampuni.” 

Ibnu Syihab berkata: Nabi ﷺ biasa mengucapkan “amin”. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dia berkata: Simi, maula Abu Bakr, mengabarkan kepada kami, dari Abu Shalih As-Samman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika imam membaca: ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhallin’ (Al-Fatihah:7), maka ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapannya bersamaan dengan ucapan malaikat, dosanya yang telah lalu akan diampuni.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan ‘amin’ dan para malaikat di langit juga mengucapkan ‘amin’, lalu keduanya bersamaan, Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” 

(Imam Syafi’i berkata): Ketika imam selesai membaca Ummul Quran, dia mengucapkan “amin” dan mengeraskan suaranya agar diikuti oleh makmum di belakangnya. Jika imam mengucapkannya, mereka juga mengucapkannya dan memperdengarkan kepada diri mereka sendiri. Aku tidak suka jika mereka mengeraskannya, tetapi jika dilakukan, tidak apa-apa. Jika imam tidak mengucapkannya, makmum tetap mengucapkannya dengan suara keras agar imam ingat dan mengucapkannya. Mereka tidak boleh meninggalkannya hanya karena imam meninggalkannya, sebagaimana jika imam tidak mengucapkan takbir atau salam, mereka tidak boleh meninggalkannya. Jika tidak diucapkan oleh imam maupun makmum, tidak perlu diulang dan tidak perlu sujud sahwi. Aku menganjurkan mengucapkan “amin” bagi setiap orang yang shalat, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, dalam jamaah atau tidak. “Amin” hanya diucapkan setelah Ummul Quran. Jika tidak diucapkan, tidak boleh diganti di tempat lain. 

(Imam Syafi’i berkata): Ucapan “amin” menunjukkan bahwa tidak mengapa seorang hamba memohon kepada Tuhannya dalam shalat untuk urusan agama dan dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh sunnah. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengucapkan bersama “amin” seperti “Rabbul ‘alamin” atau dzikir lainnya, itu baik dan tidak memutus shalat selama itu termasuk dzikir kepada Allah. 

[Bab Membaca Surah setelah Ummul Quran] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku menganjurkan agar setelah membaca Ummul Quran, seorang yang shalat membaca surah dari Al-Quran. Jika membaca sebagian surah, itu sudah cukup. Jika hanya membaca Ummul Quran tanpa tambahan apa pun, aku tidak berpendapat harus mengulang rakaat, tetapi aku tidak menganjurkannya. Aku lebih suka minimal bacaan bersama Ummul Quran pada dua rakaat pertama setara dengan surah terpendek dalam Al-Quran, seperti “Inna a’thainakal kautsar” (Al-Kautsar:1) atau yang serupa. Pada dua rakaat terakhir, cukup Ummul Quran dan satu ayat. Lebih dari itu lebih baik, kecuali jika menjadi imam dan memberatkan jamaah. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang lupa membaca sesuatu setelah Ummul Quran, mendahulukannya, atau memotongnya, tidak perlu mengulang shalat. Namun, aku menganjurkannya untuk kembali dan membacanya. Sebab, jika meninggalkan bacaan setelah Ummul Quran, shalatnya tetap sah. Jika membaca Ummul Quran disertai satu ayat apa pun, insya Allah itu cukup.

[Bab Cara Membaca dalam Shalat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-: 

“Dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil: 4). 

(Imam Syafi’i berkata): Minimal tartil adalah meninggalkan ketergesa-gesaan dalam membaca Al-Qur’an hingga jelas pengucapannya. Semakin ditambah kejelasan dalam bacaan, semakin aku sukai, selama tidak berlebihan hingga menjadi bertele-tele. 

Aku menyukai hal ini untuk setiap pembaca, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Namun, aku lebih menekankannya bagi orang yang shalat daripada yang membaca di luar shalat. Jika seseorang yakin bahwa tidak ada bacaan yang tertinggal kecuali telah diucapkan, maka bacaannya sah. Tidak sah jika ia membaca Al-Qur’an dalam hati tanpa menggerakkan lisannya. 

Jika seseorang memiliki gangguan bicara yang membuat bacaannya tidak jelas, bacaannya tetap sah selama ia telah berusaha semampunya. Namun, aku tidak suka jika ia menjadi imam. Tetapi jika ia memimpin shalat, shalatnya sah selama yakin telah membaca bacaan yang sah untuk shalat. 

Demikian pula orang yang gagap, aku tidak suka ia menjadi imam. Namun jika ia memimpin, shalatnya sah. Aku lebih suka imam tidak memiliki cacat dalam pengucapan (seperti tidak jelas atau cadel). Jika shalat sendiri, shalatnya sah. Aku tidak suka imam yang sering melakukan kesalahan dalam bacaan (lahn), karena kesalahan bacaan bisa mengubah makna Al-Qur’an. Jika kesalahannya tidak mengubah makna, shalatnya sah. 

Jika ia salah dalam membaca Al-Fatihah hingga mengubah maknanya, aku tidak menganggap shalatnya sah, baik untuk dirinya maupun makmum di belakangnya. Jika kesalahan terjadi di luar Al-Fatihah, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang shalat. Sebab, jika seseorang meninggalkan bacaan selain Al-Fatihah dan hanya membaca Al-Fatihah, aku berharap shalatnya sah. Jika shalatnya sah, maka shalat makmum di belakangnya juga sah, insya Allah. 

Jika kesalahan bacaannya tidak mengubah makna, shalatnya sah, tetapi aku tidak menyukainya menjadi imam dalam keadaan apa pun. 

— 

[Bab Takbir untuk Rukuk dan Lainnya] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain, ia berkata: 

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bertakbir setiap kali turun dan bangun, dan itu terus beliau lakukan hingga wafat.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah, bahwa Abu Hurairah shalat mengimami mereka dan bertakbir setiap kali turun dan bangun. Setelah selesai, ia berkata: 

“Demi Allah, shalatku paling mirip dengan shalat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak suka jika seorang yang shalat, baik sendirian, sebagai imam, atau makmum, meninggalkan takbir untuk rukuk, sujud, bangun, dan turun; serta mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” dan “Rabbana wa lakal hamd” ketika bangun dari rukuk. 

Jika seseorang mengangkat atau menurunkan kepalanya tanpa takbir, ia tidak perlu mengulangi takbir setelahnya. Jika ia meninggalkan takbir pada tempatnya, ia tidak perlu mengqadanya di tempat lain. 

Abu Muhammad Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: “Aku melewatkan bagian ini dari kitab, tetapi aku mendengarnya dari Al-Buwaithi dan aku mengenalinya sebagai perkataan Imam Syafi’i.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang hendak rukuk, ia memulai takbir dalam keadaan berdiri dan menyempurnakannya saat turun. Ketika bangun dari rukuk, ia memulai ucapan “Sami’allahu liman hamidah” sambil mengangkat badan, lalu setelah tegak berdiri, ia mengucapkan “Rabbana wa lakal hamd”. 

Jika hendak sujud, ia memulai takbir dalam keadaan berdiri dan menyempurnakannya saat turun. Jika ia menyelesaikan takbir dalam keadaan sujud, tidak masalah, asalkan tidak sujud sebelum menyelesaikan takbir. 

Ketika mengangkat kepala dari sujud, ia memulai takbir hingga duduk sempurna. Demikian seterusnya dalam seluruh shalatnya. 

Hendaknya takbir diucapkan dengan jelas, tidak dipanjangkan atau dipendekkan. Jika takbir diucapkan dengan jelas, itu sudah cukup. 

Jika seseorang meninggalkan semua takbir selain takbiratul ihram dan “Sami’allahu liman hamidah”, ia tidak perlu mengulang shalatnya. Demikian pula orang yang meninggalkan (takbir lainnya).

Dzikir dalam rukuk dan sujud. Aku mengatakan apa yang telah kujelaskan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an kemudian Sunnah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Rukuklah dan sujudlah} [Al-Hajj: 77], dan tidak menyebutkan dalam rukuk dan sujud amalan selain keduanya, maka keduanya adalah kewajiban. Barangsiapa melakukan apa yang disebut rukuk atau sujud, maka ia telah menunaikan kewajibannya. Adapun dzikir dalam keduanya adalah sunnah pilihan. Demikian pula yang kami katakan tentang berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) bersama membasuh wajah.

(Asy-Syafi’i berkata): “Rasulullah ﷺ melihat seorang laki-laki shalat dengan shalat yang tidak baik, lalu beliau memerintahkannya untuk mengulanginya. Kemudian ia shalat lagi, lalu beliau memerintahkannya untuk mengulanginya. Laki-laki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku.’ Maka Rasulullah ﷺ mengajarinya rukuk, sujud, bangkit dari rukuk, dan takbir untuk pembukaan (takbiratul ihram). Beliau bersabda, ‘Jika engkau melakukan ini, maka shalatmu telah sempurna.’ Beliau tidak mengajarinya dzikir dalam rukuk atau sujud, tidak pula takbir selain takbiratul ihram, dan tidak mengajarinya ucapan ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Beliau bersabda kepadanya, ‘Jika engkau melakukan ini, maka shalatmu telah sempurna. Apa yang kurang darinya, maka kurang pula dari shalatmu.'” Hal ini menunjukkan bahwa beliau mengajarinya hal-hal yang tidak sah shalat kecuali dengannya, dan apa yang mencukupinya, meskipun pilihan lainnya lebih utama.

[Pasal tentang ucapan dalam rukuk] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Buwaithi mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Shafwan bin Sulaim mengabarkan kepadaku dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi ﷺ apabila rukuk mengucapkan: ‘Ya Allah, untuk-Mu aku rukuk, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman. Engkau adalah Rabbku. Tunduk kepada-Mu pendengaranku, penglihatanku, tulang-tulangku, rambutku, kulitku, dan apa yang dipikul oleh kedua kakiku untuk Allah, Rabb semesta alam.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Buwaithi mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Muslim bin Khalid dan Abdul Majid—aku mengira—dari Ibnu Juraij dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdullah bin Al-Fadhl dari Abdurrahman Al-A’raj dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari Ali bin Abi Thalib: “Nabi ﷺ apabila rukuk mengucapkan: ‘Ya Allah, untuk-Mu aku rukuk, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Engkau adalah Rabbku. Tunduk kepada-Mu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulang-tulangku, dan apa yang dipikul oleh kedua kakiku untuk Allah, Rabb semesta alam.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Buwaithi mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah dan Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin Suhaim dari Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad dari ayahnya dari Ibnu Abbas dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Ketahuilah, aku dilarang membaca (Al-Qur’an) saat rukuk atau sujud. Adapun dalam rukuk, maka agungkanlah Rabb di dalamnya. Sedangkan dalam sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.” Salah seorang perawi mengatakan: “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa,” sedangkan yang lain mengatakan: “Bersungguh-sungguhlah, karena doa di dalamnya sangat layak untuk dikabulkan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku tidak suka seseorang membaca (Al-Qur’an) saat rukuk atau sujud karena larangan Rasulullah ﷺ, dan keduanya adalah tempat dzikir selain membaca (Al-Qur’an). Demikian pula aku tidak suka seseorang membaca (Al-Qur’an) pada tempat tasyahud, sebagai qiyas dari hal ini.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Al-Buwaithi mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ishaq bin Yazid Al-Hudzali dari ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian rukuk lalu mengucapkan ‘Subhana Rabbiyal-‘Azhim’ (Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung) tiga kali, maka rukuknya telah sempurna, dan itu adalah minimalnya. Jika ia sujud lalu mengucapkan ‘Subhana Rabbiyal-A’la’ (Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi) tiga kali, maka sujudnya telah sempurna, dan itu adalah minimalnya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ini shahih, maka yang dimaksud—wallahu a’lam—adalah minimal yang termasuk kesempurnaan kewajiban dan pilihan sekaligus, bukan kesempurnaan kewajiban saja. Aku suka jika orang yang rukuk memulai rukuknya dengan mengucapkan ‘Subhana Rabbiyal-‘Azhim’ tiga kali, kemudian mengucapkan apa yang telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengucapkannya. Setiap apa yang Rasulullah ﷺ ucapkan dalam rukuk atau sujud, aku suka agar tidak ditinggalkan, baik oleh imam maupun orang yang shalat sendirian. Ini adalah bentuk keringanan, bukan beban.” 

Ar-Rabi’ berkata: “Sampai di sini akhir yang kudengar dari Al-Buwaithi.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: “Minimal kesempurnaan rukuk adalah meletakkan kedua telapak tangan pada…”

Lututnya. Jika dia melakukannya, maka dia telah melakukan minimal yang diwajibkan dalam rukuk sehingga tidak perlu mengulangi rakaat tersebut. Namun, jika dia tidak mengingatnya saat rukuk, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Rukuklah dan sujudlah” (QS. Al-Hajj: 77), maka jika dia telah rukuk dan sujud, dia telah memenuhi kewajiban. Adapun dzikir dalam rukuk adalah sunnah pilihan yang tidak disukai untuk ditinggalkan. Nabi ﷺ mengajarkan seorang laki-laki tentang rukuk dan sujud tanpa menyebutkan dzikir, menunjukkan bahwa dzikir dalam rukuk adalah sunnah pilihan. 

Jika seseorang tidak memiliki tangan atau salah satu tangannya lumpuh, dia boleh memegang satu lututnya dengan yang lain. Jika kedua tangannya cacat, dia cukup melakukan rukuk sebagaimana orang yang memiliki kedua tangan bebas meletakkannya di lutut tanpa melebihinya. Tidak sah jika tidak dilakukan seperti itu. Jika seseorang memiliki tangan yang sehat tetapi tidak meletakkannya di lutut, dia telah berbuat buruk, tetapi tidak ada kewajiban apa pun selama dia mencapai posisi rukuk yang memadai. Jika dia meninggalkan meletakkan tangan di lutut dan ragu apakah dia telah mencapai posisi rukuk yang cukup, maka rakaat tersebut tidak dihitung.  

(Imam Syafi’i berkata): Kesempurnaan rukuk adalah meletakkan kedua tangan di lutut, meluruskan punggung dan leher, tidak menundukkan atau mengangkat leher melebihi punggung, serta tidak membungkukkan punggung terlalu jauh. Dia harus berusaha meratakan semuanya. Jika dia mengangkat kepala melebihi punggung, atau punggung melebihi kepala, atau membungkuk terlalu dalam hingga seperti bongkok, hal itu dibenci, tetapi tidak wajib diulang karena dia telah melakukan rukuk yang sah. Rukuk terletak pada posisi punggung. Jika seseorang mencapai posisi rukuk lalu mengangkat tangannya tanpa meletakkannya di lutut atau tempat lain, dia tidak perlu mengulang. 

Jika seseorang menjumpai imam sedang rukuk, lalu dia rukuk sebelum imam bangkit dari rukuk, maka rakaat itu dihitung. Namun, jika dia tidak rukuk sampai imam bangkit dari rukuk, rakaat itu tidak dihitung. Rakaat hanya dihitung jika dia benar-benar rukuk saat imam masih dalam keadaan rukuk. Jika imam rukuk, lalu diam sejenak, kemudian bangkit dari rukuk—baik sempurna berdiri atau tidak—tetapi sudah keluar dari posisi rukuk yang sempurna, lalu dia rukuk lagi untuk bertasbih, dan seseorang menjumpainya dalam keadaan itu lalu rukuk bersamanya, maka rakaat itu tidak dihitung karena imam telah menyelesaikan rukuk pertama, dan rukuk kedua itu tidak sah dalam shalat. 

(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika seseorang rukuk tanpa bertasbih, lalu bangkit, kemudian rukuk lagi untuk bertasbih, shalatnya batal karena rukuk pertamanya sudah sempurna meski tanpa tasbih. Ketika dia rukuk lagi, berarti dia menambah rakaat dengan sengaja, sehingga shalatnya batal. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang rukuk bersama imam, lalu bangkit sebelum imam, lebih baik dia kembali rukuk sampai imam bangkit, kemudian bangkit bersamanya atau setelahnya. Jika dia tidak kembali rukuk meski sudah rukuk bersama imam, hal itu dibenci, tetapi rakaatnya tetap sah. Jika seseorang rukuk lalu terjatuh ke tanah, dia harus berdiri tegak kembali, tidak perlu mengulang rukuk karena rukuknya sudah sah. Jika seseorang menjumpainya setelah rukuk lalu terjatuh dalam keadaan rukuk, bersujud, atau posisi antara keduanya, lalu rukuk bersamanya, rakaat itu tidak dihitung karena rukuk dilakukan dalam keadaan yang tidak sah. Perhatikan, jika dia memulai rukuk dalam keadaan seperti itu, rukuknya tidak sah karena kewajiban rukuk harus dilakukan dalam keadaan berdiri. Jika dia berdiri lagi dalam keadaan rukuk, lalu seseorang rukuk bersamanya, rakaat itu tidak sah karena dia sudah keluar dari rukuk pertama saat meninggalkan posisi berdiri dan memulai rukuk baru sebelum sujud. 

Jika seseorang menjadi imam lalu mendengar suara makmum di belakangnya, dia tidak perlu menunggu atau menahan posisi rukuk untuknya.

Dalam shalat ada sesuatu yang menunggu yang lain, dan shalatnya tidaklah sempurna kecuali ikhlas hanya untuk Allah Azza wa Jalla, tidak menghendaki dengan berdiri di dalamnya sesuatu selain Dia Azza wa Jalla.

[Bab Ucapan Saat Mengangkat Kepala dari Rukuk] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian mengucapkan saat mengangkat kepala mereka dari rukuk: Sami’allahu liman hamidah. Setelah selesai mengucapkannya, dilanjutkan dengan: Rabbana wa lakal hamdu. Atau jika mau, ia bisa mengucapkan: Allahumma Rabbana lakal hamdu. Jika ia hanya mengucapkan Lakal hamdu Rabbana, itu sudah cukup. Namun, ucapan pertama lebih aku sukai karena mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang mengucapkan pujian kepada Allah dan dikabulkan, aku tidak memandang perlu mengulanginya. Tetapi, mengucapkan Sami’allahu liman hamidah dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai. 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abdul Majid bin Abi Dawud dan Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdullah bin Al-Fadhl dari Abdurrahman Al-A’raj dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari Ali bin Abi Thalib: 

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kepala dari rukuk dalam shalat wajib, mengucapkan: ‘Allahumma Rabbana lakal hamdu mil’as-samawati wa mil’al-ardhi wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du.’” 

Jika seseorang tidak menambahkan apa pun selain rukuk dan bangkit tanpa mengucapkan apa-apa, aku tidak menyukai hal itu, tetapi tidak wajib mengulang atau sujud sahwi. 

[Bab Cara Berdiri dari Rukuk] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Ali bin Yahya dari Rifa’ah bin Rafi’: 

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki: ‘Jika engkau rukuk, letakkan kedua telapak tanganmu di atas lututmu dan mantapkan rukukmu. Jika engkau bangkit, tegakkan tulang punggungmu dan angkat kepalamu hingga tulang-tulang kembali ke persendiannya.’” 

(Asy-Syafi’i berkata): Tidak sah shalat seseorang yang mampu berdiri tegak saat mengangkat kepala dari rukuk jika ia tidak berdiri tegak. Jika posisi berdiri tidak sempurna, shalatnya tidak sah. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mengangkat kepalanya lalu ragu apakah sudah tegak kemudian sujud, atau ada hal yang menghalanginya, ia harus kembali berdiri hingga tegak. Sujudnya tidak dianggap sah sampai ia berdiri tegak terlebih dahulu. Jika tidak dilakukan, rakaat itu tidak dihitung dalam shalatnya. 

Jika ia berusaha tegak tetapi ada halangan yang mencegahnya, lalu ia sujud, rakaat itu sah karena ia tidak mampu tegak. Namun, jika halangan itu hilang sebelum sujud, ia wajib kembali tegak karena ia belum meninggalkan posisi berdiri sepenuhnya sebelum memulai sujud. 

Jika halangan itu hilang setelah ia sujud, ia tidak perlu berdiri lagi kecuali untuk rakaat berikutnya. Jika ia melakukannya, wajib baginya sujud sahwi karena menambah gerakan yang tidak seharusnya. 

Ketika sudah berdiri tegak, lebih baik tidak berlama-lama sebelum mengucapkan apa yang disukai, lalu langsung sujud, atau bertakbir sambil menunduk.

Dan setelah sampai ke tanah bersujud dengan selesainya takbir, jika takbir diakhirkan dari itu, atau bertakbir dengan tegak, atau meninggalkan takbir, hal itu dimakruhkan baginya, tanpa perlu mengulang atau sujud sahwi. Bahkan jika memanjangkan berdiri dengan berzikir kepada Allah sambil berdoa dalam keadaan lupa dan tidak berniat qunut, hal itu dimakruhkan tanpa perlu mengulang atau sujud sahwi, karena bacaan adalah bagian dari shalat di tempat lain, sedangkan tempat ini adalah tempat zikir selain bacaan. Jika menambah di situ, tidak mewajibkan sujud sahwi. Oleh karena itu, jika memanjangkan berdiri dengan niat qunut, wajib baginya sujud sahwi, karena qunut adalah perbuatan yang termasuk dalam shalat. Jika dilakukan di luar tempatnya, mewajibkan sujud sahwi. 

[Bab Cara Sujud] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: 

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku lebih suka jika memulai takbir dalam keadaan berdiri, lalu turun ke tempat sujud. Pertama kali yang diletakkan di tanah adalah kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, lalu wajahnya. Jika meletakkan wajah sebelum tangan atau tangan sebelum lutut, hal itu dimakruhkan tanpa perlu mengulang atau sujud sahwi. Ia sujud dengan tujuh anggota: wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota: kedua tangan, kedua lutut, ujung jari-jari kaki, dan dahinya. Beliau juga melarang mengumpulkan rambut dan pakaian.” Sufyan berkata: “Ibnu Thawus menambahkan kepada kami: lalu meletakkan tangannya di dahinya, kemudian menggerakkannya ke hidung hingga mencapai ujung hidung.” Ayahku menganggap ini sebagai satu bagian. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: ‘Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami, ia mendengar Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota dan melarang mengumpulkan rambut atau pakaian.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Abdullah bin Al-Had dari Muhammad bin Ibrahim dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang hamba sujud, tujuh anggota ikut bersujud bersamanya: wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kesempurnaan kewajiban dan sunah sujud adalah bersujud dengan dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. Jika bersujud hanya dengan dahi tanpa hidung, hal itu dimakruhkan tetapi sah, karena dahi adalah tempat sujud.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ishaq bin Abdullah mengabarkan kepadaku dari Yahya bin Ali bin Khalad dari ayahnya dari pamannya, Rifa’ah, atau dari Rifa’ah bin Rafi’ bin Malik: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang lelaki ketika sujud untuk menempelkan wajahnya ke tanah hingga persendiannya tenang, lalu bertakbir dan mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir dan duduk tegak dengan melipat kedua kakinya hingga punggungnya lurus, lalu bersujud kembali hingga wajahnya menempel ke tanah dan persendiannya tenang. Jika salah seorang dari kalian tidak melakukan ini, shalatnya tidak sempurna.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang sujud dengan sebagian dahinya tanpa seluruhnya, hal itu dimakruhkan tetapi tidak perlu diulang, karena ia telah sujud dengan dahinya. Jika sujud hanya dengan hidung tanpa dahi, tidak sah, karena dahi adalah tempat sujud. Hidung dianggap sah karena terhubung dengan dahi dan dekat dengannya. Jika sujud dengan pipi atau pelipis, sujudnya tidak sah. Jika sujud dengan kepala tanpa menyentuhkan sedikit pun dahinya ke tanah, sujudnya tidak sah. Jika sujud dengan kepala dan sebagian dahinya menyentuh tanah, sujudnya sah insya Allah. Jika sujud dengan dahi tetapi di bawahnya ada kain atau lainnya, sujudnya tidak sah kecuali jika terluka, maka itu menjadi uzur. Jika sujud dengan dahi yang tertutup kain robek sehingga sebagian dahinya menyentuh tanah, hal itu sah, karena ia telah sujud dengan sebagian dahinya menempel tanah. Lebih disukai untuk menempelkan kedua telapak tangan langsung ke tanah, baik dalam keadaan dingin maupun panas. Jika tidak dilakukan dan menutupinya karena panas atau dingin, lalu sujud, (hal itu diperbolehkan).”

Keduanya tidak perlu diulang dan tidak perlu sujud sahwi. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak menyukai semua ini pada lututnya. Aku lebih suka jika kedua lututnya tertutup pakaian dan tidak suka jika pakaiannya dikurangi sehingga lututnya terbuka, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang memerintahkan agar lutut menyentuh tanah secara langsung. Aku juga lebih suka jika seseorang yang tidak mengenakan alas kaki menyentuhkan kedua kakinya ke tanah dan tidak sujud sambil memakai sandal, sehingga sandal menghalangi antara kaki dan tanah. Jika lututnya menyentuh tanah atau kakinya tertutup dari tanah, maka tidak apa-apa, karena seseorang boleh sujud memakai sandal tanpa menyentuhkan kakinya ke tanah. 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, dia harus sujud dengan seluruh anggota sujud yang diperintahkan, dan hukumnya berbeda dengan wajah, karena diperbolehkan sujud dengan menutupinya selama nama sujud tetap berlaku meskipun ada penghalang. Barangsiapa berpendapat demikian, maka jika dia meninggalkan dahinya dan tidak menyentuhkannya ke tanah padahal mampu, maka tidak dianggap sujud, sebagaimana jika dia meninggalkan dahinya dan tidak menyentuhkannya ke tanah padahal mampu. Jika dia sujud dengan punggung telapak tangannya, tidak sah karena sujud harus dengan telapak tangan. Demikian pula jika sujud dengan sisi tangan atau hanya sebagian jari, telapak, atau sebagiannya. Jika dia sujud dengan menutupi selain dahinya, maka sah, dan ini juga berlaku untuk kaki dan lutut. 

(Imam Syafi’i berkata): Pendapat ini sesuai dengan hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa jika seseorang sujud dengan dahinya atau sebagiannya tanpa anggota lain, maka sah, karena maksud sujud adalah menghadapkan wajah sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala, dan Rasulullah ﷺ bersabda, “Wajahku sujud kepada Yang menciptakannya dan membuka pendengaran serta penglihatannya.” Dia diperintahkan untuk membuka wajah, bukan lutut atau kaki. Jika seseorang hendak sujud tetapi terjatuh pada sebagian tubuhnya lalu berbalik hingga dahinya menyentuh tanah, sujudnya tidak dihitung karena tidak diniatkan. Namun jika dia berbalik dengan niat sujud dan dahinya menyentuh tanah, maka sah. Demikian pula jika dia terjatuh tanpa niat sujud tetapi dahinya menyentuh tanah, tidak dianggap sujud. Jika dia berniat sujud dan tidak mengubah niatnya, maka sah. 

Sujud pertama tidak sah kecuali jika dia mengangkat kepala, duduk tegak hingga setiap anggota kembali ke posisi semula, lalu turun untuk sujud kedua. Jika sujud kedua dilakukan sebelum ini, tidak dihitung sebagai sujud, berdasarkan hadis Rafi’ bin Rafi’. Setiap rakaat dan sujud dalam shalat harus dilakukan seperti yang telah dijelaskan, termasuk setiap rakaat dan berdiri yang disebutkan dalam shalat. 

### Bab Mengangkat Badan Saat Sujud 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Abdullah bin Abi Bakr meriwayatkan dari Abbas bin Sahl dari Abu Humaid bin Sa’d As-Sa’idi bahwa Rasulullah ﷺ jika sujud, beliau menjauhkan kedua tangannya dari sisi tubuhnya. Shalih, maula At-Tau’amah, meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ jika sujud, terlihat putih ketiaknya karena menjauhkan tubuhnya. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Qais Al-Farra’ dari Ubaidullah bin Abdullah bin Aqram Al-Khuza’i dari ayahnya, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ di Na’marah sedang sujud, dan aku melihat putih ketiaknya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika orang yang sujud melakukan takhwi (mengangkat badan), yaitu mengangkat dada dari paha, menjauhkan siku dan lengan dari sisi tubuh, sehingga jika tidak ada yang menutupi bawah ketiak, terlihat putih ketiaknya. Dia tidak boleh menempelkan salah satu lutut ke lutut lainnya, menjauhkan kaki, mengangkat punggung, dan tidak membungkuk, melainkan…

Dia mengangkatnya seperti yang telah dijelaskan, kecuali bagian tengahnya diangkat dari bagian bawah dan atasnya. 

(Imam Syafi’i berkata): “Allah Ta’ala telah mendidik wanita untuk menutup diri, dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – juga mendidik mereka demikian. Beliau menyukai jika wanita saat sujud merapatkan sebagian tubuhnya ke bagian lain, menempelkan perutnya ke paha, dan sujud dalam keadaan yang paling tertutup. Demikian pula beliau menyukai wanita dalam rukuk, duduk, dan seluruh shalatnya untuk berada dalam keadaan yang paling tertutup. Beliau juga menyukai agar wanita menarik jilbabnya dan menjaganya saat rukuk dan sujud agar pakaiannya tidak menggambarkan bentuk tubuhnya.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Semua yang telah dijelaskan adalah pilihan bagi keduanya (laki-laki dan wanita). Bagaimanapun mereka melakukan sujud dan rukuk, itu sudah mencukupi selama tidak ada bagian yang terbuka.” 

[Bab Dzikir dalam Sujud] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Shafwan bin Sulaim mengabarkan kepadaku dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Hurairah, dia berkata: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika sujud membaca: 

‘Ya Allah, kepada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku berserah, dan kepada-Mu aku beriman. Engkau adalah Tuhanku. Wajahku sujud kepada Yang menciptakannya, membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.'” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin Suhaim dari Ibrahim bin Abdullah bin Sa’d dari ayahnya dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: 

“Ketahuilah, aku dilarang membaca (Al-Qur’an) saat rukuk dan sujud. Adapun dalam rukuk, agungkanlah Tuhan. Sedangkan dalam sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena doa itu layak dikabulkan untuk kalian.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepadaku, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, dia berkata: 

“Keadaan terdekat seorang hamba dengan Allah ‘Azza wa Jalla adalah ketika dia sujud. Tidakkah kamu melihat firman-Nya: ‘Dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)’ (QS. Al-‘Alaq: 19), maksudnya lakukanlah (sujud) dan mendekatlah.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Perkataan Mujahid ini sesuai, wallahu a’lam. Aku menyukai jika seseorang memulai sujud dengan membaca ‘Subhana Rabbiyal A’la’ tiga kali, kemudian mengucapkan apa yang telah disebutkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengucapkannya dalam sujud, serta bersungguh-sungguh dalam berdoa dengan harapan dikabulkan, selama dia tidak menjadi imam yang memberatkan makmum, atau makmum yang menyelisihi imam. Imam boleh memperpanjang selama tidak memberatkan, dan makmum boleh berdoa selama tidak menyelisihi imam.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang meninggalkan hal ini, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib baginya untuk mengulang shalat atau melakukan sujud sahwi. Laki-laki dan wanita sama dalam dzikir dan shalat, tetapi aku memerintahkan wanita untuk lebih menjaga ketertutupan dalam rukuk dan sujud dengan merapatkan tubuhnya.” 

“Ketika seseorang mengangkat kepala dari sujud atau meletakkannya, dia memulai dengan takbir. Ketika ingin sujud kedua, dia bertakbir sambil turun sehingga dia sudah turun untuk sujud dalam keadaan bertakbir, hingga selesai takbir bersamaan dengan sujudnya. Ketika ingin bangun dari sujud kedua, dia bertakbir sambil mengangkat kepala hingga selesai takbir bersamaan dengan berdirinya. Jika ingin duduk untuk tasyahud sebelumnya, dia mengakhiri takbir hingga selesai bersamaan dengan duduknya.” 

“Jika seseorang meninggalkan takbir saat mengangkat atau menurunkan badan, tasbih, doa dalam sujud, atau ucapan yang diperintahkan saat mengangkat kepala dari sujud, itu adalah keutamaan yang terlewat, tetapi tidak wajib baginya mengulang atau sujud sahwi, karena dia telah melakukan rukuk dan sujud.” 

[Bab Duduk Setelah Bangkit dari Sujud di Antara Dua Sujud] 

“Duduk setelah sujud terakhir untuk berdiri atau duduk.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muhammad bin ‘Amr bin Halhalah menceritakan kepadaku…

Diriwayatkan dari Abbas bin Sahl As-Sa’di yang mendengar Abu Humaid As-Sa’di berkata: “Rasulullah SAW apabila duduk di antara dua sujud, beliau melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya, sedangkan kaki kanan beliau tegakkan. Dan apabila duduk pada rakaat keempat, beliau menjauhkan kedua kakinya dari pahanya dan menempelkan pantatnya ke tanah sambil menegakkan paha kanannya.”

Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Muhammad bin Amr bin Halhalah, dari Muhammad bin Amr bin Atha’, dari Abu Humaid, dari Nabi SAW dengan riwayat yang serupa. (Asy-Syafi’i berkata): “Kami berpendapat dengan semua ini. Kami memerintahkan setiap orang yang shalat, baik laki-laki maupun perempuan, untuk duduk dalam tiga posisi: (1) Ketika mengangkat kepala dari sujud, tidak kembali ke tumitnya, melipat kaki kiri dan duduk di atasnya seperti duduk pada tasyahud awal. (2) Jika ingin bangkit dari sujud atau duduk, bertumpu dengan kedua tangan ke tanah lalu bangkit. Aku tidak suka jika bangkit tanpa bertumpu, karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bertumpu ke tanah ketika hendak bangkit.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Demikian juga aku menganjurkan ketika bangkit dari tasyahud atau dari sujud tilawah/syukur. Jika ingin duduk di antara dua sujud, duduk di atas kaki kiri yang terlipat hingga punggung kaki menyentuh tanah, sementara kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari menghadap kiblat. Tangan kiri dibentangkan di paha kiri, sedangkan tangan kanan menggenggam kecuali telunjuk dan ibu jari, lalu berisyarat dengan telunjuk.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Muslim bin Abi Maryam, dari Ali bin Abdurrahman Al-Ma’afiri, yang berkata: “Ibnu Umar melihatku bermain-main dengan kerikil saat shalat. Setelah selesai, ia melarangku dan berkata: ‘Lakukan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana caranya?’ Ia menjawab: ‘Jika duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanan di paha kanan sambil menggenggam semua jari dan berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan telapak tangan kiri diletakkan di paha kiri.'” 

Ketika duduk pada rakaat keempat, beliau mengeluarkan kedua kakinya dari bawah dan menempelkan pantatnya ke tanah, serta mengatur tangan seperti pada duduk sebelumnya. Pada shalat Subuh, hanya ada satu duduk (tasyahud akhir), dan jika tertinggal satu rakaat, ia duduk bersama imam dengan dua duduk (seperti biasa). Jika tertinggal lebih dari satu rakaat, ia duduk pada setiap tasyahud seperti duduk pertama, kecuali tasyahud terakhir. Bagaimanapun caranya duduk, baik sengaja, tahu, tidak tahu, atau lupa, tidak perlu diulang atau sujud sahwi. Yang utama adalah seperti yang telah dijelaskan. Jika ada uzur tetapi masih bisa mendekati cara duduk yang benar, maka itu lebih baik. 

[Bab Bangkit dari Duduk] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Abdul Wahhab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafi, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, yang berkata: “Malik bin Al-Huwairits datang dan shalat di masjid kami, lalu berkata: ‘Demi Allah, aku shalat bukan karena ingin shalat, tapi untuk menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW shalat.’ Ia menyebutkan bahwa beliau bangkit dari rakaat pertama dengan bertumpu pada tangan ketika hendak berdiri.” 

Diriwayatkan juga dari Khalid Al-Hadzdza’, dari Abu Qilabah dengan riwayat serupa, tetapi Malik bin Al-Huwairits menambahkan: “Jika mengangkat kepala dari sujud terakhir pada rakaat pertama, beliau duduk sejenak lalu bangkit sambil bertumpu ke tanah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kami berpegang pada ini. Kami memerintahkan orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat untuk bertumpu dengan kedua tangan ke tanah sebagai mengikuti sunnah. Ini lebih menunjukkan kerendahan hati, memudahkan shalat, dan mengurangi risiko terguling. Bangkit dengan cara selain ini tidak kusukai, tetapi tidak membatalkan shalat atau wajib sujud sahwi, karena ini hanya terkait tata cara shalat. Demikian juga pendapat kami dalam semua tata cara shalat.”

Kami menganjurkannya dan melarang perbuatan yang bertentangan dengannya, namun kami tidak mewajibkan sujud sahwi atau mengulangi shalat atas hal-hal yang kami larang, seperti duduk, khusyuk, menghadap ke arah shalat, dan menjaga ketenangan dalam shalat. Kami juga tidak memerintahkan orang yang meninggalkan sebagian dari hal-hal ini untuk mengulangi shalat atau melakukan sujud sahwi. 

[Bab Tasyahud dan Shalawat kepada Nabi] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Hassan mengabarkan kepada kami dari Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair Al-Makki dari Sa’id bin Jubair dan Thawus dari Ibnu Abbas, ia berkata: 

“Rasulullah ﷺ mengajarkan kami tasyahud sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an. Beliau bersabda: ‘At-tahiyyat al-mubarakat ash-shalawat ath-thayyibat lillah, salam atasmu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan berkah-Nya, salam atas kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.'” 

(Ar-Rabi’ berkata): Yahya bin Hassan juga meriwayatkannya kepada kami. 

(Ash-Shafi’i berkata): Inilah pendapat kami. Telah diriwayatkan berbagai hadits tentang tasyahud, namun ini yang paling kami sukai karena paling lengkap. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: (Ash-Shafi’i berkata): 

“Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan shalawat kepada Rasul-Nya ﷺ dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam penghormatan.’ (QS. Al-Ahzab: 56).” 

(Ash-Shafi’i berkata): Tidak ada tempat yang lebih utama untuk bershalawat kepada Nabi � daripada dalam shalat. Kami menemukan petunjuk dari Rasulullah ﷺ bahwa shalawat kepada beliau adalah kewajiban dalam shalat. Wallahu a’lam. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Shafwan bin Sulaim menceritakan kepadaku dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah, ia berkata: 

“Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu dalam shalat?” Beliau menjawab: ‘Ucapkanlah: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama shallaita ‘ala Ibrahim, wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama barakta ‘ala Ibrahim, kemudian ucapkan salam untukku.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sa’d bin Ishaq bin Ka’b bin ‘Ujrah menceritakan kepadaku dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Ka’b bin ‘Ujrah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda dalam shalat: 

“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim, wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad, kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim, innaka hamidun majid.” 

(Ash-Shafi’i berkata): Ketika diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mengajarkan tasyahud dalam shalat dan mengajarkan cara bershalawat kepada beliau dalam shalat, maka tidak boleh—Wallahu a’lam—bagi kami untuk mengatakan bahwa tasyahud wajib sedangkan shalawat kepada Nabi ﷺ tidak wajib. Keduanya adalah tambahan kewajiban dari Al-Qur’an. 

(Ash-Shafi’i berkata): Setiap muslim yang telah diwajibkan menjalankan kewajiban harus mempelajari tasyahud dan shalawat kepada Nabi ﷺ. Barangsiapa shalat tanpa tasyahud dan shalawat kepada Nabi ﷺ padahal ia mampu melakukannya, maka ia wajib mengulangi shalatnya. Jika ia melakukan tasyahud tanpa shalawat, atau shalawat tanpa tasyahud, maka ia wajib mengulangi shalat hingga menggabungkan keduanya. Jika ia tidak mampu melakukannya dengan benar, maka ia cukup mengucapkan sesuai kemampuannya, tetapi tidak sah kecuali dengan menyebut nama tasyahud dan shalawat kepada Nabi ﷺ. Jika ia mampu tetapi lupa atau sengaja meninggalkannya, maka shalatnya batal dan wajib diulangi. 

Tasyahud dan shalawat kepada Nabi ﷺ dilakukan pada tasyahud awal dalam setiap shalat selain shalat Subuh, yang memiliki dua tasyahud (awal dan akhir). Jika seseorang lupa melakukan tasyahud awal dan shalawat di dalamnya, ia tidak wajib mengulangi shalat tetapi cukup melakukan sujud sahwi.

Untuk meninggalkannya, dan siapa yang meninggalkan tasyahud akhir karena lupa atau sengaja, maka ia wajib mengulangi shalatnya, kecuali jika ia meninggalkannya dalam waktu dekat, maka ia boleh bertasyahud. Semua ini adalah satu kesatuan, tidak ada shalat yang sah kecuali dengan tasyahud, baik karena lupa atau sengaja. Tasyahud dan shalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – di akhir shalat mencukupi tasyahud sebelumnya, dan tidak wajib mengulang shalat. Tasyahud sebelumnya tidak mencukupi tasyahud akhir. Jika seseorang tertinggal satu rakaat dalam shalat Maghrib dan mendapati imam sedang bertasyahud pada rakaat kedua, ia ikut bertasyahud, kemudian ikut bertasyahud lagi pada rakaat ketiga, lalu bertasyahud sendiri pada rakaat ketiga. Dengan demikian, ia telah bertasyahud tiga kali dalam shalat Maghrib. Namun, jika ia meninggalkan tasyahud dan shalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – di akhir shalatnya, maka dua tasyahud sebelumnya tidak mencukupi. Perbedaan antara dua tasyahud adalah bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah berdiri pada rakaat kedua tanpa duduk, lalu sujud sahwi. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa tasyahud akhir yang mengakhiri shalat berbeda dengan tasyahud pertama, karena tidak ada yang boleh berdiri darinya kecuali duduk. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidak menambah dalam tasyahudnya kecuali mengucapkan: “At-tahiyyatu lillah, asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah, as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh, as-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis-shalihin, wa sallallahu ‘ala rasulillah,” aku tidak menyukainya, tetapi tidak mewajibkannya untuk mengulang shalat, karena ia telah menyebutkan tasyahud dan shalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – serta salam kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan hamba-hamba Allah yang shalih. Lafal tasyahud pada rakaat pertama dan kedua sama, tidak berbeda. Begitu pula jika seseorang tertinggal satu rakaat bersama imam, ia bertasyahud bersama imam sebagaimana imam bertasyahud, meskipun itu adalah posisi yang ia tinggalkan dalam shalatnya. Ia tidak boleh meninggalkan tasyahud dalam keadaan apa pun. Jika ia mendapati imam sedang duduk, ia bertasyahud sebanyak yang ia bisa, lalu berdiri ketika imam berdiri. Jika ia lupa bertasyahud bersama imam dalam semua tasyahud imam, lalu bertasyahud di akhir shalatnya, maka tidak perlu mengulang. Demikian pula jika ia meninggalkan tasyahud bersama imam saat shalat sendirian, lalu bertasyahud di akhir shalatnya, itu sudah mencukupi. Maksud perkataanku “tasyahudnya mencukupi” adalah bahwa tasyahud dan shalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – harus dilakukan bersama, tidak sah salah satunya saja. Meskipun dalam beberapa keadaan aku hanya menyebut tasyahud saja. 

Jika seseorang mengikuti shalat bersama imam, lalu lupa tasyahud akhir hingga imam mengucapkan salam, maka ia tidak ikut salam, melainkan bertasyahud sendiri. Jika ia ikut salam bersama imam karena lupa dan keluar setelah imam, maka ia harus mengulang shalat. Jika waktunya masih dekat, ia masuk (ke dalam shalat), bertakbir, duduk, bertasyahud, sujud sahwi, lalu salam.

[BAB BANGUN DARI DUA RAKAAT] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Al-A’raj dari Abdullah bin Buhainah, dia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat bersama kami dua rakaat, kemudian beliau bangun dan tidak duduk (tasyahud), lalu orang-orang pun ikut bangun bersamanya. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya dan kami menunggu salamnya, beliau bertakbir lalu sujud dua kali (sahwi) dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian beliau salam.” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id dari Al-A’raj dari Abdullah bin Buhainah, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bangun dari dua rakaat shalat Zhuhur tanpa duduk (tasyahud) di dalamnya. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya, beliau sujud dua kali (sahwi), kemudian salam setelahnya.”

“(Imam Syafi’i) berkata: Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa jika seseorang meninggalkan tasyahud awal, tidak perlu mengulang shalat. Jika seseorang hendak berdiri setelah dua rakaat lalu ingat (belum tasyahud) saat masih duduk, maka cukup menyempurnakan duduknya tanpa perlu sujud sahwi. Namun, jika ingat setelah mulai berdiri, ia harus kembali duduk selama belum sempurna berdiri, dan wajib sujud sahwi. 

Jika ia berdiri dari duduk terakhir (tasyahud akhir), ia harus kembali duduk, bertasyahud, lalu sujud sahwi dua kali. Begitu pula jika ia berdiri dan beranjak pergi. Jika perginya masih dekat (sekiranya bisa menyempurnakan yang terlupa), ia harus kembali, bertasyahud, lalu sujud sahwi. Tetapi jika sudah jauh, ia harus mengulang shalat dari awal. 

Jika duduk sejenak (tanpa tasyahud), ia wajib sujud sahwi. Jika duduk di akhir shalat tetapi tidak bertasyahud sampai salam dan pergi jauh, maka ia harus mengulang shalat, karena duduk itu hanya untuk tasyahud. Duduk tanpa tasyahud tidak dianggap, seperti berdiri sejenak tanpa membaca (Al-Fatihah).”

Cukup baginya melakukan (tasyahud akhir) sambil berdiri, meskipun jika ia bertasyahud tasyahud akhir sambil berdiri, atau rukuk, atau duduk tidak sempurna (tidak duduk dengan sempurna), maka tidak sah, sebagaimana jika ia membaca (Al-Fatihah) sambil duduk, maka tidak sah bagi orang yang mampu berdiri. Dan segala yang aku katakan tidak sah dalam tasyahud, maka demikian pula tidak sah dalam shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tasyahud tidak menggantikan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menggantikan tasyahud, hingga ia melaksanakan keduanya.

[Bab Durasi Duduk pada Dua Rakaat Pertama dan Dua Rakaat Terakhir] 

Salam dalam Shalat 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Amir bin Sa’d, dari ayahnya, “Dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau mengucapkan salam dalam shalat setelah selesai, ke kanan dan ke kiri.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf, dari ayahnya, dari Abu ‘Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada dua rakaat pertama seperti duduk di atas batu panas.” Aku bertanya, “Hingga beliau berdiri?” Ia menjawab, “Itulah yang dimaksud.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

Dalam hal ini—dan Allah Yang Maha Tahu—terdapat petunjuk bahwa tidak boleh menambah duduk pada tasyahud awal lebih dari tasyahud dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan dengan itu aku perintahkan, karena aku memakruhkannya (jika ditambah), namun tidak perlu mengulang shalat atau sujud sahwi karenanya. 

(Ia berkata): 

Ketika disebutkan ringannya (durasi duduk) pada dua rakaat pertama, maka di dalamnya—dan Allah Yang Maha Tahu—terdapat petunjuk bahwa beliau menambah pada dua rakaat terakhir lebih lama dari duduknya pada dua rakaat pertama. Oleh karena itu, aku menganjurkan setiap orang yang shalat untuk menambah setelah tasyahud dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan dzikir, pujian, dan doa pada dua rakaat terakhir. Dan aku berpendapat bahwa tambahannya, jika ia sebagai imam pada dua rakaat terakhir, hendaknya lebih sedikit dari durasi tasyahud dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, untuk meringankan makmum di belakangnya. 

(Ia berkata): 

Aku berpendapat bahwa jika shalat sendirian, duduknya boleh lebih lama dari itu. Dan aku tidak memakruhkan memperpanjang selama tidak menyebabkan lupa atau dikhawatirkan lupa. Namun jika ia tidak menambah pada dua rakaat terakhir selain tasyahud dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, aku memakruhkannya, tetapi tidak wajib sujud sahwi atau mengulang shalat. 

(Ia berkata): 

Aku berpendapat bahwa dalam segala kondisi, seorang imam boleh menambah tasyahud, tasbih, bacaan (Al-Qur’an), atau menambah sesuatu sesuai kadar yang ia lihat bahwa makmum di belakangnya yang kesulitan (dalam bacaan) telah cukup untuk menunaikan kewajibannya, atau lebih. Demikian pula (boleh bagi makmum).

Saya melihat dalam bacaan, merendahkan dan mengangkat suara, hendaknya dilakukan dengan mantap agar dapat dipahami oleh yang tua, yang lemah, dan yang berat pendengarannya. Jika tidak dilakukan demikian, lalu dia melakukan dengan cara yang paling ringan, saya tidak menyukai hal itu baginya, dan tidak ada sujud sahwi atau pengulangan baginya.

[Bab Salam dalam Shalat] 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Ismail bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Amir bin Sa’d, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ bahwa beliau mengucapkan salam dalam shalat setelah selesai, ke kanan dan ke kiri. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh beberapa orang ahli ilmu, dari Ismail bin ‘Amir bin Sa’d, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ dengan riwayat yang serupa. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Ishaq bin Abdullah, dari Abdul Wahhab bin Bukht, dari Watsilah bin Al-Asqa’, dari Nabi ﷺ bahwa beliau mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri hingga terlihat putih pipinya. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Abu Ali bahwa dia mendengar Abbas bin Sahl menceritakan dari ayahnya, bahwa Nabi ﷺ mengucapkan salam setelah selesai shalat, ke kanan dan ke kiri. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Muslim dan Abdul Majid, dari Ibnu Juraij, dari Amr bin Yahya, dari Muhammad bin Yahya, dari pamannya, Wasi’ bin Hibban, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi ﷺ mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Abdul Aziz bin Muhammad, dari Amr bin Yahya, dari Ibnu Hibban, dari pamannya Wasi’, dia menyebutkan sekali dari Abdullah bin Umar dan sekali dari Abdullah bin Zaid, bahwa Nabi ﷺ mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah, dari Mas’ar bin Kidam, dari Ibnul Qabthiyyah, dari Jabir bin Samurah, dia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ, dan ketika beliau mengucapkan salam, salah seorang dari kami menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan ‘Assalamu ‘alaikum, assalamu ‘alaikum’, dan beliau memberi isyarat dengan tangannya ke kanan dan ke kiri.”

Utara, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kenapa kalian memberi isyarat dengan tangan kalian seakan-akan itu adalah ekor kuda yang liar? Tidakkah cukup—atau: Cukup bagi salah seorang dari kalian untuk meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya, ‘Assalamu’alaikum warahmatullah, assalamu’alaikum warahmatullah’.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Kami mengambil pendapat berdasarkan semua hadis ini. Kami memerintahkan setiap orang yang shalat untuk mengucapkan dua salam, baik sebagai imam, makmum, atau shalat sendirian. Kami juga memerintahkan makmum di belakang imam, jika imam tidak mengucapkan dua salam, maka hendaknya dia sendiri mengucapkan dua salam dan mengucapkan pada setiap salamnya, ‘Assalamu’alaikum warahmatullah.’ Kami memerintahkan imam untuk meniatkan salam pertama kepada yang di sebelah kanannya dan salam kedua kepada yang di sebelah kirinya. Kami juga memerintahkan hal yang sama kepada makmum. Imam berniat ke arah mana pun dia berada. Jika makmum sejajar dengan imam, dia meniatkan salam pertama ke kanan imam. Jika dia meniatkan ke arah lain, tidak masalah. Jika niat imam atau makmum tidak jelas, dan mereka mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’ kepada para malaikat penjaga atau manusia, atau sekadar untuk mengakhiri shalat, maka tidak perlu mengulang salam atau shalat, dan tidak wajib sujud sahwi. Jika seseorang hanya mengucapkan satu salam, tidak perlu diulang. Minimal yang cukup dalam salam adalah mengucapkan ‘Assalamu’alaikum.’ Jika kurang satu huruf darinya, dia harus kembali dan mengucapkan salam. Jika tidak melakukannya hingga berdiri, dia harus kembali, sujud sahwi, lalu mengucapkan salam. Jika memulai dengan ‘Alaikumussalam,’ kami memakruhkannya, tetapi tidak perlu mengulang shalat karena itu tetap termasuk dzikir kepada Allah, dan dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla tidak memutus shalat.” 

[Pembicaraan dalam Shalat] 

(Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata): “Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Ashim bin Abi An-Najud dari Abu Wa`il dari Abdullah, dia berkata: ‘Kami pernah mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau shalat, sebelum kami pergi ke negeri Habasyah, dan beliau membalas salam kami dalam shalat. Ketika kami kembali dari Habasyah, aku mendatanginya untuk mengucapkan salam saat beliau shalat, tetapi beliau tidak membalas. Aku pun diliputi perasaan tidak karuan, lalu duduk hingga beliau selesai shalat. Aku mendatanginya, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di antara yang Allah tetapkan adalah larangan berbicara dalam shalat.”‘ 

Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: …”

Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Ayyub as-Sakhtiyani dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – selesai shalat setelah dua rakaat. Dzul Yadain bertanya, “Apakah shalat diperpendek atau engkau lupa, wahai Rasulullah?” Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Benarkah apa yang dikatakan Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bangkit dan shalat dua rakaat lagi, kemudian salam, lalu bertakbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih lama, kemudian bangkit, lalu bertakbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih lama, kemudian bangkit.”

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Dawud bin al-Hushain dari Abu Sufyan maula Ibnu Abi Ahmad, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat Ashar bersama kami, lalu salam setelah dua rakaat. Dzul Yadain bertanya, ‘Apakah shalat diperpendek atau engkau lupa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menghadap kepada orang-orang dan bertanya, ‘Benarkah apa yang dikatakan Dzul Yadain?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyempurnakan sisa shalat, kemudian sujud dua kali dalam keadaan duduk setelah salam.”

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdul Wahhab ats-Tsaqafi mengabarkan kepada kami dari Khalid al-Hadza’ dari Abu Qilabah dari Abu al-Muhallab dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – salam pada rakaat ketiga shalat Ashar, kemudian bangkit dan masuk ke kamar. Al-Kharbaq, seorang yang panjang tangannya, berdiri dan berseru, ‘Wahai Rasulullah, apakah shalat diperpendek?’ Nabi keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya, lalu bertanya dan diberitahu. Beliau pun shalat rakaat yang tertinggal, kemudian salam, lalu sujud dua kali, kemudian salam.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Kami mengambil semua ini sebagai pedoman dan mengatakan bahwa wajib hukumnya bagi seseorang untuk tidak sengaja berbicara dalam shalat ketika ia sadar bahwa ia sedang shalat. Jika ia melakukannya, shalatnya batal dan ia harus mengulang shalat yang baru, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan karena tidak ada yang aku ketahui menyelisihi pendapat ini di antara ahli ilmu yang aku temui.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Barangsiapa berbicara dalam shalat karena mengira shalat sudah selesai, atau lupa bahwa ia sedang shalat, maka ia boleh menyempurnakan shalatnya dan melakukan sujud sahwi, berdasarkan hadits Dzul Yadain. Hal ini karena orang yang berbicara dalam kondisi seperti itu mengira bahwa ia tidak sedang shalat, dan berbicara di luar shalat adalah diperbolehkan. Hadits Ibnu Mas’ud tidak bertentangan dengan hadits Dzul Yadain. Hadits Ibnu Mas’ud berbicara tentang berbicara secara umum, sedangkan hadits Dzul Yadain menunjukkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membedakan antara berbicara dengan sengaja dan lupa dalam shalat, atau berbicara karena mengira shalat telah selesai.”

Perbedaan pendapat mengenai berbicara dalam shalat. 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam masalah berbicara di dalam shalat dan mengumpulkan berbagai argumen melawan kami yang tidak pernah mereka lakukan dalam masalah lain, kecuali dalam masalah sumpah bersama saksi dan dua masalah lainnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar dia berkata, “Hadits Dzul Yadain adalah hadits yang sahih dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak ada hadits yang lebih masyhur darinya selain hadits ‘al-‘ajma`u jibaar’ (hewan ternak yang merusak tidak ada ganti rugi), dan hadits Dzul Yadain lebih sahih daripada hadits ‘al-‘ajma`u jibaar’. Namun, hadits Dzul Yadain telah dihapus (mansukh).” Aku bertanya, “Apa yang menghapusnya?” Dia menjawab, “Hadits Ibnu Mas’ud,” lalu dia menyebutkan hadits yang aku awali pembahasannya, yang di dalamnya terdapat: “Sesungguhnya Allah -‘Azza wa Jalla- menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di antara yang Allah tetapkan adalah kalian tidak boleh berbicara dalam shalat.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Apakah penghapus (nasikh) jika dua hadits bertentangan adalah yang terakhir?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Bukankah engkau hafal dalam hadits Ibnu Mas’ud ini bahwa Ibnu Mas’ud bertemu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di Makkah, dan mendapati beliau shalat di pelataran Ka’bah? Dan bahwa Ibnu Mas’ud pernah hijrah ke negeri Habasyah, lalu kembali ke Makkah, kemudian hijrah ke Madinah dan ikut perang Badar?” Dia menjawab, “Benar.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Jika kedatangan Ibnu Mas’ud kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di Makkah terjadi sebelum hijrah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, sementara Imran bin Hushain meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi sebatang kayu di belakang masjidnya, bukankah engkau tahu bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak shalat di masjidnya kecuali setelah hijrah dari Makkah?” Dia menjawab, “Benar.” Aku berkata, “Maka hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa hadits Ibnu Mas’ud tidak menghapus hadits Dzul Yadain. Abu Hurairah juga berkata, ‘Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat bersama kami.’ Aku tidak tahu persis kapan masa pergaulan Abu Hurairah dengan beliau.” 

Aku berkata, “Kita sudah memulai dengan cukup dengan hadits Imran yang tidak meragukanmu. Abu Hurairah hanya menemani Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- sejak Khaibar. Abu Hurairah sendiri berkata, ‘Aku menemani Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di Madinah selama tiga atau empat tahun.’ Ar-Rabi’ berkata, ‘Aku ragu.’ Padahal Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tinggal di Madinah bertahun-tahun selain masa tinggal beliau di Makkah setelah kedatangan Ibnu Mas’ud dan sebelum ditemani Abu Hurairah. Apakah mungkin hadits Ibnu Mas’ud menghapus hadits yang datang setelahnya?” Dia menjawab, “Tidak.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Seandainya hadits Ibnu Mas’ud bertentangan dengan hadits Abu Hurairah dan Imran bin Hushain seperti yang kau katakan, dan pokok permasalahannya adalah berbicara—sementara engkau tahu bahwa engkau dalam shalat sebagaimana ketika engkau berbicara, atau engkau mengira telah menyelesaikan shalat, atau lupa bahwa sedang shalat—maka hadits Ibnu Mas’ud adalah yang dihapus, dan berbicara dalam shalat menjadi boleh. Namun, hadits itu tidak menghapus maupun dihapus, melainkan maksudnya seperti yang kau sebutkan bahwa tidak boleh berbicara dalam shalat dengan sengaja. Jika seseorang berbicara dalam shalat seperti itu, shalatnya batal. Namun jika karena lupa, keliru, atau dia berbicara karena mengira boleh, seperti mengira shalat sudah selesai atau lupa bahwa dia sedang shalat, maka shalatnya tidak batal.” 

(Muhammad bin Idris berkata): “Tetapi kalian meriwayatkan bahwa Dzul Yadain terbunuh di Perang Badar.” 

(Aku berkata): “Terserah engkau bagaimana memahaminya. Bukankah shalat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di Madinah dalam hadits Imran bin Hushain terjadi setelah hadits Ibnu Mas’ud di Makkah?” Dia menjawab, “Benar.” 

(Aku berkata): “Maka argumenmu tidak valid seperti yang kau inginkan. Padahal Perang Badar terjadi 16 bulan setelah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tiba di Madinah.” 

(Dia berkata): “Apakah Dzul Yadain yang kalian riwayatkan terbunuh di Badar?” 

(Aku menjawab): “Tidak. Imran menyebutnya Al-Kharbaq dan mengatakan dia berjuluk pendek kedua tangan atau panjang kedua tangan. Sedangkan yang terbunuh di Badar adalah Dzusy-Syimalain. Seandainya keduanya adalah Dzul Yadain, itu hanya kebetulan nama yang mirip, sebagaimana nama-nama yang serupa.” 

(Imam Syafi’i berkata): Sebagian pengikut mazhabnya berkata, “Kami punya argumen lain.” Kami bertanya, “Apa itu?” Dia menjawab, “Mu’awiyah bin Al-Hakam menceritakan bahwa dia pernah berbicara dalam shalat, lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Sesungguhnya shalat tidak boleh dicampuri dengan ucapan manusia.'”

(Asy-Syafi’i) berkata: Maka aku katakan padanya, “Ini menjadi tanggunganmu dan bukan milikmu. Ini hanya diriwayatkan seperti perkataan Ibnu Mas’ud yang sama, dan penjelasannya adalah seperti yang telah kusebutkan.” 

Dia berkata: “Jika kamu mengatakan ini bertentangan.” 

Aku menjawab: “Itu bukan hakmu, dan kami akan mendebatmu tentang hal ini. Jika perintah Muawiyah datang sebelum perintah Dzul Yadain, maka itu telah dihapus (mansukh), dan kamu harus menerima pendapatmu bahwa berbicara dalam shalat itu diperbolehkan seperti halnya di luar shalat. Namun jika perintah Muawiyah bersamaan atau setelahnya, maka dia telah berbicara dalam situasi yang kamu ceritakan, dalam keadaan tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat tidak dilarang. Dan tidak ada riwayat bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mengulangi shalat. Jadi, ini seperti makna hadits Dzul Yadain atau bahkan lebih, karena dia sengaja berbicara dalam haditsnya, meskipun dikisahkan bahwa dia berbicara dalam keadaan tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat tidak diharamkan.” 

Dia berkata: “Ini dalam haditsnya seperti yang kamu sebutkan.” 

Aku menjawab: “Maka itu menjadi tanggunganmu jika sesuai dengan yang kamu sebutkan, dan bukan hakmu jika seperti yang kami katakan.”  

Dia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?” 

Aku menjawab: “Aku berpendapat bahwa ini seperti hadits Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits Dzul Yadain.” 

(Muhammad bin Idris) berkata: “Tetapi kalian telah menyelisihi ketika kalian mengqiyaskan hadits Dzul Yadain.” 

Aku menjawab: “Kami menyelisihinya dalam pokoknya.” 

Dia berkata: “Tidak, tetapi dalam cabangnya.” 

Aku berkata: “Kamu justru menyelisihi teksnya, dan orang yang menyelisihi teks menurutmu lebih buruk keadaannya daripada orang yang lemah pandangannya sehingga salah dalam mengqiyaskan.” 

Dia berkata: “Ya, dan semua itu tidak dimaafkan.” 

(Muhammad) berkata: Maka aku katakan padanya, “Kamu telah menyelisihi pokok dan cabangnya, sedangkan kami tidak menyelisihi sedikit pun dari cabang maupun pokoknya. Maka tanggunganmu adalah apa yang kamu pikul dalam penyelisihanmu dan dalam ucapanmu bahwa kami menyelisihi sesuatu yang sebenarnya tidak kami selisihi.” 

Dia berkata: “Aku akan bertanya sampai aku tahu apakah kamu menyelisihi atau tidak.” 

Aku menjawab: “Tanyalah.” 

Dia bertanya: “Apa pendapatmu tentang seorang imam yang selesai shalat setelah dua rakaat, lalu ada yang memberitahunya bahwa dia hanya shalat dua rakaat, kemudian dia bertanya pada yang lain dan mereka membenarkannya?” 

Aku menjawab: “Makmum yang memberitahunya dan mereka yang bersaksi bahwa dia benar, sementara mereka ingat bahwa dia belum menyempurnakan shalatnya, maka shalat mereka rusak.” 

Dia berkata: “Kamu meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ menyempurnakan shalatnya, dan kamu mengatakan bahwa yang hadir juga menyempurnakan bersamanya, meskipun tidak disebutkan dalam hadits.” 

Aku menjawab: “Benar.” 

Dia berkata: “Kamu telah menyelisihi.” 

Aku menjawab: “Tidak, tetapi keadaan imam kami berbeda dengan keadaan Rasulullah ﷺ.” 

Dia bertanya: “Di mana letak perbedaan keadaan mereka dalam shalat dan keimaman?” 

(Muhammad bin Idris) berkata: Maka aku katakan padanya, “Sesungguhnya Allah ﷻ menurunkan kewajiban-kewajiban kepada Rasul-Nya ﷺ satu per satu, lalu mewajibkan sesuatu yang sebelumnya tidak diwajibkan atau meringankan sebagian kewajiban.” 

Dia berkata: “Benar.” 

Aku berkata: “Kami, kamu, dan semua muslim tidak ragu bahwa Rasulullah ﷺ tidak selesai shalat kecuali dalam keyakinan bahwa shalatnya telah sempurna.” 

Dia berkata: “Benar.” 

Aku berkata: “Ketika beliau melakukannya, Dzul Yadain tidak tahu apakah shalat dipersingkat karena ketentuan baru dari Allah ﷻ ataukah Nabi ﷺ lupa. Hal itu jelas dalam pertanyaannya ketika dia berkata, ‘Apakah shalat dipersingkat atau engkau lupa?'” 

Dia berkata: “Benar.” 

Aku berkata: “Nabi ﷺ tidak langsung menerima dari Dzul Yadain ketika dia bertanya pada yang lain.” 

Dia berkata: “Benar.” 

Aku berkata: “Ketika beliau bertanya pada yang lain, mungkin yang ditanya tidak mendengar perkataannya, sehingga sama seperti dia. Atau mungkin mereka mendengar perkataannya tetapi tidak mendengar Nabi ﷺ membantahnya. Ketika Nabi ﷺ tidak membantahnya, maka mereka dalam posisi seperti Dzul Yadain, yaitu tidak memiliki dalil dari perkataan Nabi ﷺ dan tidak tahu apakah shalat dipersingkat atau Nabi ﷺ lupa. Mereka pun menjawab, dan maknanya seperti Dzul Yadain, yaitu kewajiban bagi mereka untuk menjawab. Tidakkah kamu lihat bahwa ketika mereka memberitahu Nabi ﷺ, beliau menerima ucapan mereka, tidak berbicara, dan mereka pun tidak berbicara sampai mereka menyempurnakan shalatnya?” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Ketika Allah ﷻ mewafatkan Rasul-Nya ﷺ, kewajiban-kewajiban-Nya telah sempurna, tidak ada pengganti atau pengurangan selamanya.” 

Dia berkata: “Ya.” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Maka aku katakan, “Inilah perbedaan antara kami dan dia.” 

Dia berkata: “Siapa pun yang hadir dalam hal ini akan melihat perbedaannya, dan tidak akan ditolak oleh orang yang berilmu karena jelas dan terang.” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Dia berkata, “Sebagian pengikutmu berkata bahwa orang yang berbicara dalam urusan shalat tidak membatalkan shalatnya.” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Maka aku katakan padanya, “Hujjah bagi kami adalah apa yang kami katakan, bukan apa yang dikatakan orang lain.” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Dia berkata, “Aku telah berbicara dengan beberapa pengikutmu, dan tidak ada yang berhujjah dengan ini, bahkan mereka mengatakan amalan berdasarkan hal ini.” 

(Muhammad bin Idris) berkata: Maka aku katakan padanya, “Aku telah memberitahumu bahwa amalan tidak memiliki makna, dan tidak ada hujjah bagimu atas kami dengan perkataan orang lain.” 

Dia berkata: “Benar.” 

Aku berkata: “Maka tinggalkan apa yang tidak menjadi hujjah bagimu.”

Di dalamnya. 

(Muhammad bin Idris berkata): Dan aku berkata kepadanya, “Sungguh, engkau telah keliru dalam pendapatmu yang menyelisihi hadits Dzu al-Yadain padahal hadits itu sahih. Engkau telah menzhalimi dirimu sendiri dengan mengklaim bahwa kami dan orang-orang yang berpendapat seperti kami menghalalkan ucapan, hubungan intim, dan nyanyian dalam shalat. Padahal kami dan mereka sama sekali tidak menghalalkan hal tersebut sedikit pun. Engkau juga berpendapat bahwa jika seseorang mengucapkan salam sebelum shalatnya sempurna padahal ia ingat, maka shalatnya batal karena salam yang diucapkan tidak pada tempatnya dianggap sebagai ucapan. Namun, jika ia mengucapkan salam karena mengira shalatnya telah sempurna, maka shalatnya tetap sah. Seandainya tidak ada hujah lain yang membantah pendapatmu selain ini, cukup ini sebagai hujah yang kuat atasmu. Kami memuji Allah atas celaan terhadap pendapatmu yang menyelisihi hadits dan banyaknya penyimpanganmu darinya.” 

[Bab Ucapan Imam dan Duduknya Setelah Salam] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Sa’d mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, ia berkata: Hind binti Al-Harits bin Abdullah bin Abi Rabi’ah mengabarkan kepadaku dari Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, ia berkata: “Rasulullah ﷺ apabila mengucapkan salam dari shalatnya, para wanita segera berdiri ketika beliau menyelesaikan salamnya, sedangkan Nabi ﷺ tetap berada di tempatnya sebentar.” Ibnu Syihab berkata: “Menurutku, lamanya beliau diam di tempat itu—wallahu a’lam—adalah agar para wanita dapat pergi sebelum didahului oleh jamaah laki-laki yang telah selesai shalat.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku mengenali akhir shalat Rasulullah ﷺ dengan takbir.” ‘Amr bin Dinar berkata: “Kemudian aku menyebutkan hal itu kepada Abu Ma’bad setelahnya, dan ia berkata, ‘Aku tidak menceritakan hal itu kepadamu.’ ‘Amr berkata, ‘Engkau benar-benar telah menceritakannya kepadaku.’ Ia adalah salah satu maula Ibnu ‘Abbas yang paling jujur.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Sepertinya ia lupa setelah menceritakannya.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Musa bin ‘Uqbah menceritakan kepadaku dari Az-Zubair bahwa ia mendengar Abdullah bin Az-Zubair berkata: “Rasulullah ﷺ apabila mengucapkan salam dari shalatnya, beliau mengucapkan dengan suara yang lantang: 

‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Wa laa hawla wa laa quwwata illa billah. Wa laa na’budu illa iyyah, lahun ni’matu wa lahul fadlu wa lahuts tsana’ul hasan. Laa ilaha illallah mukhlishina lahud din wa law karihal kaafirun.’ 

(Asy-Syafi’i berkata): “Ini termasuk perkara yang dibolehkan bagi imam dan selain makmum.” Ia berkata: “Imam mana pun yang berzikir kepada Allah dengan zikir yang aku sebutkan, baik dengan suara keras, pelan, atau selainnya, maka itu baik. Aku lebih memilih agar imam dan makmum berzikir kepada Allah setelah selesai shalat dan melirihkan zikirnya, kecuali jika ia adalah imam yang perlu diikuti (dipelajari) oleh makmum, maka ia boleh mengeraskannya sampai yakin bahwa makmum telah mempelajarinya, kemudian melirihkannya kembali. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Dan janganlah engkau mengeraskan shalatmu dan janganlah (pula) melirihkannya.’ (QS. Al-Isra’: 110) Maksudnya—wallahu a’lam—adalah dalam berdoa. Jangan mengeraskan sampai sangat keras, dan jangan melirihkan sampai tidak terdengar oleh dirimu sendiri. Aku menduga bahwa apa yang diriwayatkan Ibnu Az-Zubair tentang tahlil Nabi ﷺ dan apa yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas tentang takbir beliau adalah sebagaimana yang kami riwayatkan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menduga beliau mengeraskan suaranya sedikit agar orang-orang dapat mempelajarinya. Sebab, mayoritas riwayat yang kami tulis bersama ini dan selainnya tidak menyebutkan adanya zikir setelah salam.”

Tahlil dan tidak takbir, dan disebutkan bahwa beliau berzikir setelah shalat sebagaimana yang telah dijelaskan. Juga disebutkan bahwa beliau berpaling tanpa berzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa beliau berdiam sejenak, namun tidak disebutkan dengan suara keras. Aku menduga beliau hanya berdiam untuk berzikir tanpa mengeraskan suara. Jika ada yang bertanya, “Seperti apa contohnya?” Aku jawab, “Misalnya beliau shalat di atas mimbar, berdiri dan rukuk di atasnya, lalu mundur hingga sujud di tanah.” Sebagian besar umur beliau tidak shalat di atas mimbar, tetapi menurutku beliau ingin mengajarkan kepada orang yang tidak melihatnya, terutama yang jauh, tentang cara berdiri, rukuk, dan bangkit, serta mengajarkan bahwa dalam semua itu terdapat kelonggaran. Dianjurkan bagi imam untuk berzikir kepada Allah sebentar di tempat duduknya, kira-kira seukuran waktu yang diperlukan para wanita untuk pergi lebih dulu, sebagaimana dikatakan Ummu Salamah, kemudian berdiri. Jika beliau berdiri lebih awal atau duduk lebih lama, tidak masalah. Seorang makmum boleh pergi setelah imam mengucapkan salam sebelum imam berdiri, atau menundanya hingga pergi setelah imam pergi, atau bersamanya—yang terakhir ini lebih aku sukai. Aku juga menganjurkan bagi orang yang shalat sendirian atau makmum untuk memperpanjang zikir setelah shalat dan memperbanyak doa, mengharap dikabulkan setelah shalat wajib.

[Bab: Cara Imam atau Bukan Imam Berpaling ke Kanan atau Kiri Setelah Shalat] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abdul Malik bin ‘Umair dari Abul Awar Al-Haritsi, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpaling dari shalat ke kanan atau ke kirinya.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin Mihran dari ‘Ammarah dari Al-Aswad dari Abdullah, dia berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian menjadikan setan sebagai bagian dari shalatnya dengan menganggap bahwa ia tidak boleh berpaling kecuali ke kanan. Sungguh, aku sering melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih banyak berpaling ke kiri.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang selesai shalat, baik sebagai imam atau bukan, hendaknya ia berpaling ke arah yang ia inginkan, baik ke kanan, ke kiri, menghadap ke depan, atau ke belakang. Ia boleh berpaling sesuai kehendaknya, tidak ada ketentuan khusus dalam hal ini—berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpaling ke kanan atau ke kiri, meskipun tidak ada keperluan ke arah tersebut. Beliau menghadap ke mana saja yang beliau kehendaki. Namun, aku lebih suka jika seseorang berpaling ke kanan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai yang kanan, tanpa membebani diri dalam hal ini atau berpaling ke arah yang tidak ada keperluannya. Di mana pun ia berpaling, tidak masalah.

[BAB SUJUD SAHWI] 

Dan tidak disebutkan dalam terjemahan, namun terdapat beberapa naskah. Di antaranya, dalam bab berdiri dari duduk, disebutkan bahwa tidak ada sujud sahwi karena meninggalkan tata cara (haya’at). Beliau berkata ketika menyebutkan bahwa sunnah bagi orang yang berdiri dari duduknya adalah bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya. Jika seseorang berdiri dengan cara selain ini, maka hal itu dimakruhkan baginya, tetapi tidak wajib mengulangi shalatnya atau melakukan sujud sahwi. Karena semua ini termasuk tata cara dalam shalat. Demikian pula pendapat kami dalam setiap tata cara shalat yang kami perintahkan dan kami larang untuk menyelisihinya. Kami tidak mewajibkan sujud sahwi atau mengulang shalat karena meninggalkan hal-hal yang dilarang, seperti cara duduk, khusyuk, menghadap ke arah shalat, dan ketenangan dalam shalat. Kami tidak memerintahkan orang yang meninggalkan sesuatu dari hal ini untuk mengulang shalat atau melakukan sujud sahwi. Hal ini sering diulang dalam berbagai bab shalat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. 

Di antaranya juga naskahnya dalam bab tasyahhud dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Barangsiapa meninggalkan tasyahhud awal dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahhud awal karena lupa, maka tidak wajib mengulang shalat, tetapi wajib baginya melakukan dua sujud sahwi karena meninggalkannya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Perbedaan antara dua tasyahhud adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit pada rakaat kedua dan tidak duduk, lalu beliau sujud sahwi. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku ketahui bahwa tasyahhud akhir yang menjadi penutup shalat berbeda dengan tasyahhud awal, karena tidak ada bangkit darinya kecuali dengan duduk.” 

Di antaranya juga naskahnya di akhir bab yang disebutkan, yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan sesuatu yang dilarang—yang jika dilakukan sengaja dapat membatalkan shalat—maka dia harus sujud jika melakukannya karena lupa dan shalatnya tidak batal karena kelupaannya. Beliau berkata, “Jika seseorang mendapati shalat bersama imam, lalu lupa tasyahhud akhir hingga imam mengucapkan salam, maka dia tidak boleh salam, tetapi harus duduk dan tasyahhud. Jika dia salam bersama imam karena lupa dan keluar, lalu setelah keluar dia mengulangi shalat, atau jika masih dekat, dia masuk kembali, bertakbir, lalu duduk, tasyahhud, sujud sahwi, dan salam.” 

Di antaranya juga apa yang beliau sebutkan tentang berdiri dari dua rakaat, yang disebutkan empat bab sebelum bab ini. Kami memindahkannya ke sini. Di dalamnya disebutkan, Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Al-A’raj dari Abdullah bin Buhainah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri dari dua rakaat dalam shalat Zhuhur tanpa duduk. Setelah menyelesaikan shalatnya, beliau sujud dua kali, kemudian salam setelah itu.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dengan hadis ini, kami berpendapat bahwa jika seseorang meninggalkan tasyahhud awal, dia tidak wajib mengulang shalat. Demikian pula jika…”

Seorang laki-laki hendak berdiri dari duduk (tasyahud awal), lalu ia ingat bahwa ia masih dalam keadaan duduk, maka ia sempurnakan duduknya dan tidak perlu sujud sahwi. Jika ia ingat setelah berdiri, maka ia kembali duduk selama belum sempurna berdiri, dan wajib sujud sahwi. Jika ia bangkit dari duduk terakhir (tasyahud akhir), maka ia kembali duduk untuk tasyahud dan sujud sahwi dua kali. Demikian pula jika ia bangkit lalu pergi (selesai shalat). Jika perginya masih dekat (sekiranya ia lupa sesuatu dalam shalat, ia bisa menyempurnakannya), maka ia kembali tasyahud dan sujud sahwi. Jika sudah jauh, maka ia harus mengulang shalat. Jika ia duduk (tasyahud akhir) tetapi lupa tasyahud hingga salam dan pergi jauh, maka ia harus mengulang shalat. Atau jika ia duduk (tasyahud akhir) tetapi tidak tasyahud hingga salam dan pergi jauh, maka ia harus mengulang shalat.

Shalat; karena duduk itu hanya untuk tasyahud, dan duduk tidak berarti apa-apa jika tidak disertai tasyahud, seperti halnya jika seseorang berdiri seukuran bacaan tetapi tidak membaca, maka berdiri itu tidak cukup. Begitu pula jika seseorang membaca tasyahud akhir dalam keadaan berdiri, rukuk, atau tidak sempurna (bukan duduk), maka itu tidak cukup, sebagaimana jika dia membaca (Al-Fatihah) dalam keadaan duduk, itu tidak cukup bagi orang yang mampu berdiri. Segala yang aku katakan tidak cukup dalam tasyahud, maka demikian pula tidak cukup dalam shalawat kepada Nabi ﷺ. Tasyahud tidak cukup tanpa shalawat kepada Nabi ﷺ, dan shalawat kepada Nabi ﷺ tidak cukup tanpa tasyahud, hingga dia melakukan keduanya.

Di antara nash-nash yang berkaitan dengan sujud sahwi adalah apa yang telah disebutkan dalam bab “Bagaimana cara berdiri dari rukuk”, yaitu perkataan Imam Syafi’i rahimahullah: “Jika penyebab (lupa) hilang setelah dia bersujud, maka tidak ada kewajiban atau keharusan baginya untuk berdiri kecuali untuk melanjutkan rukuk. Jika dia melakukannya, maka wajib baginya sujud sahwi karena dia menambahkan sesuatu dalam shalat yang tidak seharusnya. Jika dia telah tegak berdiri, aku tidak suka dia berlama-lama hingga mengucapkan apa yang aku anjurkan, kemudian langsung sujud, atau memulai takbir lalu sujud sambil menyelesaikan takbir tersebut. Setelah tangannya menyentuh tanah dalam keadaan sujud dan takbir telah selesai, jika dia mengakhirkan takbir dari itu, atau bertakbir dalam keadaan tegak, atau meninggalkan takbir sama sekali, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang atau sujud sahwi. Jika dia memperpanjang berdiri dengan berzikir kepada Allah Azza wa Jalla, berdoa, atau karena lupa tanpa niat qunut, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang atau sujud sahwi, karena bacaan (Al-Fatihah) adalah bagian dari shalat di tempat lain, sedangkan ini adalah tempat zikir selain bacaan. Jika dia menambahkan sesuatu di sini, itu tidak mewajibkan sujud sahwi. Demikian pula jika dia memperpanjang berdiri dengan niat qunut, maka wajib baginya sujud sahwi, karena qunut adalah amalan yang terhitung sebagai bagian dari shalat. Jika dilakukan di luar tempatnya, itu mewajibkan sujud sahwi.”

Dalam Mukhtashar al-Muzani, terdapat nash-nash tentang sujud sahwi yang tidak kami temukan dalam al-Umm. Al-Muzani berkata: 

(Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata): “Barangsiapa ragu dalam shalatnya, tidak tahu apakah sudah tiga atau empat rakaat, maka dia harus membangun shalat berdasarkan apa yang dia yakini. Demikian pula sabda Rasulullah ﷺ. Jika dia telah selesai shalat setelah tasyahud, dia sujud dua kali untuk sujud sahwi sebelum salam.” Beliau berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi ﷺ dan hadits Ibnu Buhainah bahwa beliau sujud sebelum salam dalam Jam’ al-Jawami’. 

(Imam Syafi’i berkata): “Menurut kami, semua sujud sahwi baik karena kelebihan atau kekurangan dilakukan sebelum salam. Ini adalah hukum yang nasikh (menghapus) dan yang terakhir dari dua pendapat. Barangkali Imam Malik tidak mengetahui nasikh dan mansukh dalam hal ini, dan ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadim. Barangsiapa sujud sahwi sebelum salam, maka tasyahud awal sudah cukup. Jika dia sujud sahwi setelah salam, maka dia harus tasyahud lalu salam. Ini dinukil dari Jam’ al-Jawami’.” Kemudian beliau menyebutkan riwayat al-Buwaithi, dan kami akan menyebutkannya bersama riwayat lainnya dalam Mukhtashar al-Buwaithi. Setiap kesalahan dalam shalat, baik karena kekurangan atau kelebihan, baik satu, dua, atau tiga kali, maka dua sujud sahwi sebelum salam sudah mencukupi semuanya. Dalam sujud sahwi terdapat tasyahud dan salam. Telah diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ…

Allah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bangun dari dua rakaat lalu sujud sebelum salam” dan ini merupakan kekurangan. Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan, maka hendaknya ia menyempurnakan berdasarkan keyakinannya lalu sujud dua kali sebelum salam” dan ini merupakan tambahan. Dan beliau berkata dalam tarjamah setelah itu: “Barangsiapa yang tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan, apakah satu, dua, tiga, atau empat, maka hendaknya ia menyempurnakan berdasarkan keyakinannya, kemudian sujud dua kali sebelum salam.” Dan untuk dua sujud sahwi terdapat tasyahud dan salam. Apa yang disebutkan oleh Al-Buwaithi tentang tasyahud untuk dua sujud sahwi bahwa keduanya sebelum salam, zhahirnya adalah bahwa ia sujud dua kali sebelum salam, kemudian tasyahud, lalu salam. Aku tidak melihat seorang pun dari ashhab yang menyebutkan hal ini kecuali dalam kasus sujud setelah salam pada kondisi-kondisi yang dikenal. Jika perkataan Al-Buwaithi dipahami pada kondisi setelah salam, maka itu mungkin.

Di akhir pembahasan sujud sahwi dalam Mukhtashar Al-Muzani, aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: “Jika dua sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka bertasyahudlah untuk keduanya. Jika dilakukan sebelum salam, maka tasyahud pertama sudah mencukupi.” Telah terdahulu dalam qaul qadim seperti ini. Syaikh Abu Hamid menceritakan apa yang disebutkan oleh Al-Muzani dan bahwa itu dalam qaul qadim, dan berkata: “Para ashhab Asy-Syafi’i sepakat bahwa jika sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka bertasyahudlah kemudian salam.” Al-Mawardi berkata: “Itu adalah madzhab Asy-Syafi’i dan sekumpulan fuqaha ashhabnya.” Dia berkata: “Sebagian ashhab kami berkata jika ia berpendapat sujud sahwi setelah salam, maka bertasyahud dan salam, bahkan cukup sujud dua kali saja tanpa yang lain.” Al-Mawardi berkata: “Ini tidak benar berdasarkan riwayat Imran bin Hushain – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bangun dari tiga rakaat dalam shalat Asar karena lupa hingga dikabarkan oleh Al-Kharbaq, lalu beliau menyempurnakan sisanya, salam, kemudian sujud dua kali, bertasyahud, lalu salam.” Apa yang disebutkan Al-Mawardi dari hadits Imran bin Hushain dengan susunan seperti ini adalah gharib. Yang ada hanya riwayat yang diriwayatkan secara tersendiri oleh Asy’ats bin Abdul Malik Al-Humrani dari Muhammad bin Sirin dari Khalid Al-Hadzdza’ dari Abu Qilabah dari Abu Al-Muhallab dari Imran bin Hushain bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat bersama mereka lalu lupa, maka beliau sujud dua kali, kemudian bertasyahud setelahnya, lalu salam.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan gharib.” Apa yang dihasankan oleh At-Tirmidzi menunjukkan tidak ada perbedaan apakah sujud sahwi sebelum atau setelah salam, sehingga bisa dijadikan hujjah untuk pendapat Al-Buwaithi yang telah disebutkan sebelumnya. Kami katakan bahwa ini gharib, kami tidak melihat seorang pun dari ashhab yang berpendapat demikian. Yang dishahihkan oleh sekelompok ashhab adalah bahwa orang yang sujud setelah salam juga tidak perlu bertasyahud. Madzhab yang mu’tamad adalah apa yang telah disebutkan dalam nukilan Al-Muzani dan qaul qadim, dan dipastikan oleh Syaikh Abu Hamid serta diikuti oleh yang lain.

Dalam Mukhtashar Al-Muzani pada bab sujud sahwi: “Jika ia ingat pada rakaat kelima bahwa ia telah sujud atau belum sujud, duduk pada rakaat keempat atau belum duduk, maka ia duduk pada rakaat keempat, bertasyahud, dan sujud sahwi. Jika ia ingat pada rakaat kedua bahwa ia lupa satu sujud dari rakaat pertama setelah ia berdiri tegak, maka ia sujud untuk rakaat pertama hingga sempurna sebelum rakaat kedua. Jika ia ingat setelah selesai dari rakaat kedua bahwa ia lupa satu sujud dari rakaat pertama, maka amalnya pada rakaat kedua tidak dianggap. Jika ia sujud padanya, maka itu termasuk hukum rakaat pertama, dan rakaat pertama sempurna dengan sujud ini, sedangkan rakaat kedua gugur. Jika ia ingat pada rakaat keempat bahwa ia lupa satu sujud dari setiap rakaat, maka rakaat pertama sah kecuali satu sujud, dan amalnya pada rakaat kedua tidak dianggap. Ketika ia sujud padanya satu sujud, maka itu termasuk hukum rakaat pertama, rakaat pertama sempurna, rakaat kedua batal, dan rakaat ketiga menjadi kedua. Ketika ia berdiri pada rakaat ketiga sebelum menyempurnakan rakaat kedua yang ia anggap sebagai ketiga, maka amalnya tidak dianggap. Ketika ia sujud padanya satu sujud, maka itu termasuk hukum rakaat kedua, sehingga rakaat kedua sempurna dan rakaat ketiga yang ia anggap sebagai keempat batal. Kemudian ia berdiri dan membangun dua rakaat, lalu sujud sahwi setelah tasyahud sebelum salam. Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya.

Jika ragu apakah ia lupa atau tidak, maka tidak ada sujud sahwi baginya. Jika yakin telah lupa kemudian ragu apakah sudah sujud sahwi atau belum, maka ia sujud dua kali. Jika ragu apakah sudah sujud sekali atau dua kali, maka ia sujud lagi. Jika lupa…

Sahwin, atau lebih dari itu, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali sujud sahwi.

Jika ia ingat sujud sahwi setelah salam, maka jika waktunya masih dekat, ia boleh mengulanginya lalu salam. Namun jika sudah lama, tidak perlu mengulang.

Orang yang lupa di belakang imam tidak wajib sujud. Jika imam lupa, makmum sujud bersamanya. Jika imam tidak sujud, maka makmum yang sebelumnya sempat shalat sebagian bersama imam, sujud sahwi setelah menyelesaikan shalatnya sebagai bentuk mengikuti imam, bukan untuk sisa shalatnya.

(Imam Syafi’i berkata): Kelupaan dalam shalat terjadi dari dua sisi. Pertama, meninggalkan sesuatu yang seharusnya dilakukan dalam shalat, seperti berdiri pada rakaat kedua tanpa duduk, atau salam sebelum menyelesaikan shalat, dan semisalnya. Kedua, melakukan sesuatu yang bukan bagian dari shalat, seperti rukuk dua kali sebelum sujud, sujud lebih dari dua kali, duduk di saat seharusnya berdiri, atau sujud sebelum rukuk. Jika meninggalkan qunut dalam shalat Subuh, wajib sujud sahwi karena qunut termasuk amalan shalat yang ditinggalkan. Jika meninggalkan qunut dalam shalat witir, tidak wajib sujud kecuali pada separuh akhir bulan Ramadhan. Jika ditinggalkan, wajib sujud sahwi. Kelupaan dalam shalat wajib dan sunah sama hukumnya, berlaku bagi laki-laki, perempuan, yang shalat berjamaah, atau sendirian.

Pendapat ini sesuai dengan teks-teks umum dalam kitab Al-Umm dan lainnya, tetapi perlu ditinjau lebih lanjut.

(Imam Syafi’i berkata): Menurut pendapatku—wallahu a’lam—jika seseorang melakukan sesuatu karena lupa yang mengharuskan sujud sahwi, selama tidak membatalkan shalat, maka jika dilakukan sengaja, tetap wajib sujud sahwi.

Jika seseorang menambah dua rakaat sunah, lalu menyambung shalat hingga empat rakaat atau lebih, wajib sujud sahwi. Jika ia tidak sujud hingga masuk ke shalat lain, maka tidak perlu sujud sahwi. Ini pendapat lama, seperti dalam kitab Jam’ul Jawami’. Jika yang dimaksud adalah ia sudah salam dan jedanya lama, maka dalam pendapat baru juga demikian.

Jika seseorang mendapati sujud sahwi bersama imam, ia ikut sujud. Jika ia musafir sedangkan imam mukim, ia shalat empat rakaat. Jika hanya mendapati salah satunya, ia sujud dan tidak mengqadha yang lain, serta mengikuti shalat imam. Jika imam musafir lalu lupa, makmum sujud bersamanya, lalu menyelesaikan sisa shalatnya.

Jika seseorang lupa sujud sahwi hingga bangkit dari tempat duduknya, atau sengaja meninggalkannya, ada dua pendapat: Pertama, ia boleh sujud kapan saja ingat. Kedua, tidak perlu mengulang. Ini pendapat lama dalam Jam’ul Jawami’. Pendapat kedua ini berlaku jika jedanya lama atau ia sengaja salam.

Kembali bersujud dalam dua situasi pada yang baru dan dalam riwayat Al-Buwaithi. Jika mereka dengan sengaja atau karena tidak tahu meninggalkan sujud sahwi, tidak ada ketetapan bahwa mereka harus mengulangi shalat. Namun, lebih disukai jika waktu masih dekat untuk kembali melakukan dua sujud sahwi. Jika waktu sudah lama, mereka tidak wajib mengulanginya menurut pendapatnya, selama belum keluar dari masjid dan sesuai dengan ucapan Nabi ﷺ serta pertanyaannya. 

Jika imam berhadats setelah salam tetapi sebelum dua sujud sahwi, maka seperti dalam shalat. Jika dia bisa segera kembali, dia memberi isyarat kepada makmum untuk menunggu, lalu berwudhu dan melakukan sujud sahwi. Jika tidak bisa segera kembali, dia memberi isyarat kepada mereka untuk melakukan sujud sahwi sendiri. Ini pendapat dalam qaul qadim. 

Siapa yang ragu tentang sahwi, tidak ada sujud baginya. Semua ini dinukil dari Jam’ al-Jawami’. Dalam bab keraguan dalam shalat, hal-hal yang dibatalkan, dan kewajiban menurut Syafi’i: Jika seseorang lupa empat sujud dan tidak tahu dari rakaat mana, kita mengambil pendapat yang lebih ketat, yaitu menganggap dia lupa satu sujud dari rakaat pertama, dua sujud dari rakaat kedua, rakaat ketiga sempurna, dan lupa satu sujud dari rakaat keempat. Maka, kita menambahkan satu sujud dari rakaat ketiga ke rakaat pertama sehingga sempurna satu rakaat, dan sujud yang tersisa dari rakaat ketiga batal. Lalu, kita menambahkan satu sujud pada rakaat keempat yang harus dia lakukan, seolah-olah rakaat kedua sempurna, kemudian dia melanjutkan dengan dua rakaat beserta sujud dan sujud sahwi. 

[Bab Sujud Tilawah dan Syukur] 

Sujud Al-Qur’an telah diterjemahkan dalam perbedaan pendapat antara Ali dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, dalam perbedaan hadis, serta perbedaan antara Malik dan Syafi’i rahimahumallah dua kali. 

Adapun yang pertama, diriwayatkan oleh Ar-Rabi’: “Syafi’i meriwayatkan dari Hushaim, dari Syu’bah, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: ‘Ayat-ayat wajib sujud adalah Alif Lam Mim. Tanzil (QS. As-Sajdah: 1-2), Wan-Najm (QS. An-Najm: 1), dan Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq (QS. Al-‘Alaq: 1).’ Namun, kami dan mereka tidak berpendapat demikian. Kami berpendapat bahwa jumlah sujud dalam Al-Qur’an seperti ini.” 

Ar-Rabi’ juga meriwayatkan: “Syafi’i meriwayatkan dari Hushaim, dari Abu Abdillah Al-Ju’fi.”

Dari Abu Abdurrahman As-Sulmi dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – dia berkata: “Dia (Nabi) sujud dalam surat Al-Hajj dengan dua sujud, dan dengan ini kami berpendapat. Ini adalah pendapat umum sebelum kami. Diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhum – dan mereka mengingkari sujud terakhir dalam surat Al-Hajj. Hadis ini dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – bertentangan dengan mereka. Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami.”

Dia berkata: Ibnu Mahdi mengabarkan kepada kami dari Sufyan dari Muhammad bin Qais dari Abu Musa bahwa Ali – radhiyallahu ‘anhu – ketika melemparkan majdhah (sejenis tombak), beliau langsung bersujud. Kami berpendapat: tidak mengapa dengan sujud syukur dan kami menganjurkannya. Diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau pernah melakukannya, juga dari Abu Bakar dan Umar – radhiyallahu ‘anhuma -. Sedangkan mereka (sebagian orang) mengingkarinya dan tidak menyukainya. Namun kami berpendapat tidak mengapa bersujud kepada Allah Ta’ala sebagai bentuk syukur.

Adapun yang kedua: yaitu mengenai perbedaan dalam hadis, di dalamnya diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ yang berkata, diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i yang berkata, diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Isma’il dari Ibnu Abi Dzi’b dari Al-Harits bin Abdurrahman dari Muhammad bin Abdurrahman dari Tsauban dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membaca surah An-Najm lalu beliau sujud dan orang-orang pun sujud bersamanya kecuali dua orang. Beliau bersabda, “Mereka menginginkan ketenaran.” 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ yang berkata, diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i yang berkata, diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Isma’il dari Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid dari Abdullah bin Qusait dari ‘Atha’ bin Yasar dari Zaid bin Tsabit bahwa ia pernah membaca surah An-Najm di sisi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – namun beliau tidak sujud di dalamnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam dua hadis ini terdapat dalil bahwa sujud tilawah bukanlah kewajiban, tetapi kami lebih suka jika tidak ditinggalkan, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah sujud dalam surah An-Najm dan juga pernah meninggalkannya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam surah An-Najm terdapat satu sujud, dan aku tidak suka jika seseorang meninggalkan sujud tilawah sama sekali. Jika ia meninggalkannya, aku tidak menyukainya, tetapi ia tidak wajib mengqadha’nya karena sujud tilawah bukanlah kewajiban. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil bahwa sujud tilawah bukan kewajiban?” Dijawab: Sujud adalah bagian dari shalat. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Yang dimaksud dengan “ditentukan waktunya” bisa berarti ditentukan jumlahnya atau ditentukan waktunya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah menjelaskan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan lima shalat. Lalu seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ada kewajiban lain selain itu?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau ingin menambahnya dengan shalat sunnah.” Karena sujud tilawah berada di luar shalat wajib, maka ia adalah sunnah yang bersifat pilihan. Kami lebih suka jika tidak ditinggalkan, dan siapa yang meninggalkannya berarti ia meninggalkan keutamaan, bukan kewajiban. 

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – sujud dalam surah An-Najm karena di dalamnya terdapat ayat sajdah, sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah. Dan sujudnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam surah An-Najm adalah dalil atas apa yang telah aku jelaskan, karena orang-orang sujud bersamanya kecuali dua orang. Kedua orang itu tidak mungkin meninggalkan kewajiban, insya Allah. Seandainya mereka meninggalkannya, pasti Rasulullah akan memerintahkan mereka (untuk melakukannya).

– صلى الله عليه وسلم – dengan mengulanginya.

(Imam Syafi’i berkata): Adapun hadis “Zaid bahwa ia membaca surah An-Najm di depan Nabi – صلى الله عليه وسلم – dan tidak sujud,” maka menurut pendapat yang lebih kuat, Zaid sebagai pembaca tidak sujud, sehingga Nabi – صلى الله عليه وسلم – juga tidak sujud karena tidak wajib baginya, dan Nabi – صلى الله عليه وسلم – tidak memerintahkannya. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar, “Seorang lelaki membaca surah As-Sajdah di depan Nabi – صلى الله عليه وسلم – lalu sujud. Maka Nabi – صلى الله عليه وسلم – pun sujud. Kemudian orang lain membaca surah As-Sajdah di hadapannya, tetapi Nabi – صلى الله عليه وسلم – tidak sujud. Orang itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, fulan membaca surah As-Sajdah di hadapanmu dan engkau sujud, sedangkan aku membacanya di hadapanmu tetapi engkau tidak sujud?’ Nabi – صلى الله عليه وسلم – menjawab, ‘Aku sebagai imam. Seandainya aku sujud, niscaya engkau harus sujud bersamaku.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku menduga orang itu adalah Zaid bin Tsabit, karena diriwayatkan bahwa ia membaca surah An-Najm di depan Nabi – صلى الله عليه وسلم – dan tidak sujud. Hadis ini dan hadis sebelumnya sama-sama diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih menyukai jika orang yang membaca ayat sajdah memulai sujud terlebih dahulu, lalu orang yang mendengarnya turut sujud. Jika ada yang berkata, “Mungkin salah satu dari dua hadis ini menghapus yang lain,” maka dapat dijawab: Tidak seorang pun boleh mengklaim bahwa sujud dalam surah An-Najm telah dihapus, kecuali jika ada yang mengklaim bahwa meninggalkan sujud yang dihapus dan sujud itu yang menghapus. Namun, sujud lebih utama karena sesuai dengan Sunnah berdasarkan firman Allah عز وجل: “Maka sujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An-Najm: 62). Tidak boleh dikatakan bahwa salah satunya menghapus atau dihapus, tetapi ini adalah perbedaan dalam hal kebolehan. 

Adapun yang ketiga, yaitu perbedaan pendapat antara Malik dan Syafi’i – رضي الله عنهما – dalam masalah hadis, maka aku pernah bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sujud dalam “Idzas-samaa’unsyaqqat” (QS. Al-Insyiqaq: 1). Beliau mengatakan bahwa di dalamnya terdapat ayat sajdah. Aku bertanya, “Apa dalilnya?” Beliau menjawab: Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Yazid, maula Al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa Abu Hurairah – رضي الله عنه – pernah membaca “Idzas-samaa’unsyaqqat” (QS. Al-Insyiqaq: 1) di hadapan mereka lalu sujud. Setelah selesai, ia memberitahu mereka bahwa Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – pernah sujud dalam surah tersebut. 

Malik juga mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Al-A’raj bahwa Umar bin Khattab membaca “Wan-najmi idzaa hawaa” (QS. An-Najm: 1) lalu sujud, kemudian bangun dan membaca surah lainnya. 

Imam Syafi’i berkata: Sebagian sahabat kami mengabarkan dari Malik bahwa Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Muhammad bin Muslim agar menyuruh para qari’ untuk sujud dalam “Idzas-samaa’unsyaqqat” (QS. Al-Insyiqaq: 1). 

Ar-Rabi’ berkata: Aku bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sujud dalam surah Al-Hajj. Beliau menjawab bahwa di dalamnya ada dua sajdah. Aku bertanya, “Apa dalilnya?” Beliau menjawab: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia sujud dua kali dalam surah Al-Hajj. 

Malik juga mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari seorang lelaki dari Mesir bahwa Umar pernah sujud dalam…

Haji adalah dua sujud, kemudian dia berkata: “Surah ini memiliki keutamaan dengan dua sujud.” Maka aku bertanya kepada Syafi’i, “Kami berpendapat bahwa orang-orang telah sepakat bahwa sujud dalam Al-Qur’an ada sebelas sujud, dan tidak ada satupun dalam surah-surah pendek (Al-Mufashshal).” Syafi’i menjawab: “Kalian harus tidak mengatakan ‘orang-orang telah sepakat’ kecuali dalam hal yang jika ditanyakan kepada para ulama, mereka akan menjawab, ‘Ya, orang-orang telah sepakat atas apa yang kalian klaim.’ Minimal, mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak tahu ada ulama yang menyelisihi hal itu.’ Namun, jika kalian mengatakan ‘orang-orang telah sepakat’ sementara para ulama berkata, ‘Mereka tidak sepakat seperti yang kalian klaim,’ maka ada dua kesalahan: kalian tidak berhati-hati dalam menyampaikan hadits dan membuka peluang bagi orang lain untuk menolak perkataan kalian. Apalagi jika kalian hanya berpegang pada pendapat Malik—semoga Allah merahmatinya dan kita—sementara kalian juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para qari untuk sujud dalam surah tersebut. Kalian bahkan menjadikan pendapat Umar bin Abdul Aziz sebagai dasar ilmu, seperti ketika kalian berkata, ‘Seorang terdakwa tidak boleh disumpah kecuali ada interaksi antara kedua belah pihak,’ sehingga kalian meninggalkan sabda Nabi ﷺ: ‘Bukti ada pada penggugat, dan sumpah ada pada tergugat,’ hanya karena pendapat Umar. Kemudian kalian menemukan Umar memerintahkan sujud dalam surah ‘Idzas Samaa’un Syaqqat’ (Al-Insyiqaq: 1), yang didukung oleh sunnah Rasulullah ﷺ dan pendapat Abu Hurairah. Namun, kalian tidak menyebutkan seorang pun yang menyelisihi hal ini. Padahal, menurut kalian, amalan itu berdasarkan Nabi ﷺ di zamannya, kemudian Abu Hurairah di kalangan sahabat, lalu Umar bin Abdul Aziz di kalangan tabi’in. Namun, amalan itu menurut kalian hanya berdasarkan pendapat Umar saja. Setidaknya, kesalahan kalian adalah mengklaim bahwa Abu Hurairah sujud dalam ‘Idzas Samaa’un Syaqqat,’ Umar memerintahkan sujud di dalamnya, dan Umar bin Khattab sujud dalam surah An-Najm, sementara kalian juga mengatakan bahwa orang-orang sepakat tidak ada sujud dalam Al-Mufashshal—padahal ini bertentangan dengan riwayat dari sahabat Nabi ﷺ dan ulama tabi’in.” 

Dia berkata: “Perkataan kalian ‘orang-orang telah sepakat’ bertentangan dengan riwayat yang ada. Kalian meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab sujud dalam surah An-Najm, tapi tidak meriwayatkan ada yang menyelisihinya. Kalian juga meriwayatkan bahwa Umar dan Ibnu Umar sujud dua kali dalam surah Al-Hajj, tapi kalian mengatakan hanya ada satu sujud dan mengklaim bahwa orang-orang sepakat hanya ada satu. Padahal, kalian sendiri meriwayatkan hal yang bertentangan dengan klaim kalian. Ini adalah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan karena kebodohan, dan tidak seorang pun rela diingatkan akan hal ini karena sudah sangat jelas bagi siapa pun yang berakal. Coba pikir: jika kalian ditanya, ‘Siapa yang sepakat bahwa tidak ada sujud dalam Al-Mufashshal?’ sementara kalian meriwayatkan bahwa para imam sujud di dalamnya dan tidak meriwayatkan ada yang menyelisihi, bukankah lebih tepat kalian mengatakan ‘orang-orang sepakat bahwa ada sujud dalam Al-Mufashshal’ daripada mengatakan ‘tidak ada sujud’? Jika kalian berkata, ‘Kami tidak boleh mengatakan mereka sepakat jika kami tidak tahu mereka benar-benar sepakat,’ maka mengapa kalian tetap mengklaim ‘mereka sepakat’ padahal tidak ada riwayat dari seorang imam pun yang mendukung perkataan kalian? Siapa sebenarnya ‘orang-orang’ yang kalian maksud? Kami hanya berhujah kepada kalian berdasarkan pendapat ahli Madinah, dan kami tidak menganggap ijma’ kecuali ijma’ mereka. Maka, berhati-hatilah dalam berpendapat dan ketahuilah bahwa kalian tidak boleh mengatakan ‘penduduk Madinah sepakat’ kecuali jika benar-benar tidak ada seorang ulama pun di Madinah yang menyelisihi. Tetapi, jika ada perbedaan pendapat, katakanlah, ‘Telah sampai kepada kami demikian,’ dan jangan mengklaim ijma’.”

Maka tinggalkanlah apa yang ada di lidah kalian yang bertentangan dengannya. Aku tidak mengetahui ada yang lebih buruk daripada seseorang yang berpegang pada ilmu tanpa verifikasi. 

(Aku berkata) kepada Syafi’i: “Bagaimana pendapatmu jika ucapanku ‘orang-orang sepakat’ yang aku maksud adalah penduduk Madinah yang aku ridhai, meskipun mereka sebenarnya berselisih?” Syafi’i menjawab: “Bagaimana menurutmu jika orang yang menyelisihi kalian dan mengikuti pendapat yang bertentangan dengan kalian juga mengatakan ‘orang-orang sepakat’ berdasarkan pendapat yang dia ikuti—apakah dia jujur? Jika dia jujur, sementara di Madinah ada pendapat ketiga yang bertentangan dengan kalian berdua, lalu dikatakan ‘orang-orang sepakat’ pada pendapat itu, maka jika kalian semua jujur dalam takwil, berarti di Madinah ada ijma’ dari tiga sisi yang berbeda. Jika kalian mengatakan bahwa ijma’ adalah lawan dari khilaf, maka tidak disebut ijma’ kecuali dalam hal yang tidak ada perselisihan di Madinah.” 

Aku berkata: “Inilah kebenaran yang sejati, jangan pernah kau tinggalkan. Jangan pernah kalian klaim ijma’ kecuali dalam hal yang tidak ada perselisihan di Madinah. Dan tidak ada di Madinah kecuali yang juga disepakati di seluruh negeri oleh ahli ilmu tanpa perselisihan. Penduduk negeri lain tidak menyelisihi penduduk Madinah kecuali dalam hal yang diperselisihkan di antara penduduk Madinah sendiri.” 

(Syafi’i berkata kepadaku): “Jadikanlah apa yang kami jelaskan dalam bab ini cukup bagimu, bukan yang lain. Jika engkau ingin mengatakan ‘orang-orang sepakat,’ maka jika mereka benar-benar tidak berselisih, katakanlah. Namun jika mereka berselisih, jangan katakan itu, karena kebenaran ada di selainnya.” 

(Dan diterjemahkan lagi tentang sujud dalam Al-Qur’an): Di sini aku bertanya kepada Syafi’i tentang sujud dalam Surah Al-Hajj. Dia menjawab: “Di dalamnya ada dua sujud.” Aku bertanya: “Apa dalilnya?” Dia menjawab: “Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa seorang lelaki dari Mesir mengabarkan kepadanya bahwa Umar bin Khattab sujud dua kali dalam Surah Al-Hajj, lalu berkata: ‘Surah ini diberi keutamaan dengan dua sujud.'” 

(Syafi’i berkata): “Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abdullah bin Tsa’labah bin Shafiyah bahwa Umar bin Khattab shalat bersama mereka di Al-Jabiyah dan membaca Surah Al-Hajj, lalu sujud dua kali di dalamnya.” 

(Syafi’i berkata): “Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia sujud dua kali dalam Surah Al-Hajj.” Aku berkata kepada Syafi’i: “Kami hanya sujud sekali di dalamnya.” Syafi’i menjawab: “Kalian telah menyelisihi riwayat dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Umar sekaligus, juga menyelisihi pendapat umum para sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana kalian menjadikan pendapat Ibnu Umar saja sebagai hujjah, atau pendapat Umar saja sebagai hujjah, lalu menolak Sunnah dengan salah satu dari keduanya, dan membangun banyak fikih di atasnya, kemudian keluar dari pendapat mereka berdua karena pendapat pribadi kalian? Apakah kalian menyadari bahwa ini adalah pengingkaran terhadap pendapat yang jelas, lebih nyata daripada yang kami jelaskan tentang ucapan-ucapan kalian?”

[Bab Shalat Sunnah] 

Dan tidak disebutkan dalam tarjamah, namun terdapat nash-nash dan perkataan yang tersebar. Di antaranya adalah perbedaan pendapat antara Ali dan Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhuma -: 

Ibnu Mahdi meriwayatkan dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari ‘Ashim, dari Ali, ia berkata: 

“Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – biasa shalat dua rakaat setelah setiap shalat, kecuali shalat Ashar dan Subuh.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Ini bertentangan dengan hadits pertama,” yaitu hadits yang diriwayatkan sebelumnya dari Ali, dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau bersabda: 

“Janganlah kalian shalat setelah Ashar kecuali jika kalian shalat saat matahari masih tinggi.” 

Kami akan menyebutkan ini secara lengkap dalam bab tentang waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat. 

Di antara perbedaan pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud juga terkait sunnah Jum’at: 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Mahdi meriwayatkan dari Sufyan, dari Abu Hashin, dari Abu Abdurrahman, bahwa Ali – radhiyallahu ‘anhu – berkata: 

“Barangsiapa yang hendak shalat setelah Jum’at, maka hendaknya ia shalat enam rakaat.” 

Namun, kami dan mereka tidak berpendapat demikian. Adapun kami berpendapat untuk shalat empat rakaat. 

Di antara perbedaan pendapat Malik dan Asy-Syafi’i – radhiyallahu ‘anhuma – dalam bab bacaan pada shalat Id dan Jum’at, sebagai bantahan terhadap orang yang berkata: 

“Kami tidak peduli dengan surat apa yang dibaca.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Bagaimana pendapatmu jika kami menganjurkan dua rakaat sebelum Subuh, witir, dan dua rakaat setelah Maghrib, lalu ada yang berkata: ‘Aku tidak peduli untuk tidak mengerjakan ini sama sekali.’ Apakah hujjah atasnya kecuali dengan mengatakan: ‘Ucapanmu ‘aku tidak peduli’ adalah kebodohan dan meninggalkan sunnah. Sepatutnya kalian menganjurkan apa yang Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lakukan dalam segala kondisi.’” 

[Bab Tentang Witir dengan Satu Rakaat] 

Di antara yang terkait dengan witir, dan telah disebutkan dalam beberapa bab, termasuk perbedaan pendapat Malik dan Asy-Syafi’i: 

Bab Tentang Witir dengan Satu Rakaat 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang witir, apakah boleh seseorang berwitir dengan satu rakaat tanpa shalat sebelumnya? 

Ia menjawab: “Ya, boleh.”

Dan aku memilih untuk shalat sepuluh rakaat kemudian witir dengan satu rakaat. Aku bertanya kepada Syafi’i, “Apa dalil bahwa witir boleh dengan satu rakaat?” Dia menjawab, “Dalilnya adalah Sunnah dan atsar.” Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dan Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu subuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir bagi shalat yang telah dia kerjakan.” Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Syihab dari Urwah dari Aisyah, “Bahwa Nabi ﷺ biasa shalat malam sebelas rakaat dan berwitir dengan satu rakaat.” Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash biasa berwitir dengan satu rakaat. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar biasa mengucapkan salam setelah satu atau dua rakaat dalam witir sampai dia menyelesaikan kebutuhannya.

(Asy-Syafi’i berkata), “Utsman biasa menghidupkan malam dengan satu rakaat sebagai witirnya, dan Mu’awiyah berwitir dengan satu rakaat. Ibnu Abbas berkata, ‘Dia benar.'” Aku bertanya kepada Syafi’i, “Kami berpendapat tidak menyukai seseorang berwitir kurang dari tiga rakaat dan mengucapkan salam setelah dua rakaat, lalu satu rakaat sebagai witir.” Syafi’i menjawab, “Aku tidak tahu alasan pendapat kalian. Allah-lah yang dimintai pertolongan. Jika kalian beranggapan tidak suka shalat satu rakaat sendirian, maka ketika dia shalat dua rakaat sebelumnya lalu salam, kalian memerintahkannya untuk menyendirikan satu rakaat. Karena orang yang salam dari shalat berarti memisahkannya dari yang setelahnya. Tidakkah kamu lihat seseorang shalat sunnah beberapa rakaat dan salam setiap dua rakaat, sehingga setiap dua rakaat yang diselingi salam terpisah dari dua rakaat sebelumnya dan sesudahnya? Dan salam itu lebih utama untuk pemisahan. Tidakkah kamu lihat jika seseorang tertinggal beberapa shalat lalu mengqadhanya dalam satu tempat dengan salam di antaranya, maka setiap shalat terpisah dari shalat sebelumnya dan sesudahnya karena dia keluar dari setiap shalat dengan salam? Jika maksud kalian adalah tidak suka shalat satu rakaat karena Nabi ﷺ lebih banyak melakukannya, dan yang disukai adalah shalat sebelas rakaat dengan witir satu rakaat. Jika kalian berpendapat bahwa Nabi ﷺ bersabda, ‘Shalat malam dua rakaat-dua rakaat,’ maka minimal dua rakaat-dua rakaat adalah empat rakaat atau lebih, sedangkan satu rakaat bukan dua rakaat. Namun beliau berwitir dengan satu rakaat sebagaimana diperintahkan dengan dua rakaat. Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ‘Bahwa Nabi ﷺ biasa berwitir dengan lima rakaat tanpa duduk atau salam kecuali pada rakaat terakhir.'” Aku bertanya kepada Syafi’i, “Apa makna ini?” Dia menjawab, “Ini adalah shalat sunnah yang cukup dengan witir satu rakaat atau lebih, dan kami memilih apa…”

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

Aku telah menjelaskan tanpa menambahkan selain itu, dan perkataan kalian: “Semoga Allah mengampuni kami dan kalian” tidak sesuai dengan sunnah, atsar, qiyas, maupun akal sehat. Perkataan kalian keluar dari semua itu. Perkataan manusia ada dua: kalian mungkin mengatakan tidak boleh witir kecuali dengan tiga rakaat seperti yang dikatakan sebagian orang timur, dan tidak boleh salam pada salah satunya agar witir tidak menjadi satu rakaat. Atau, kalian tidak memakruhkan witir dengan satu rakaat. Bagaimana kalian memakruhkan witir dengan satu rakaat sementara kalian memerintahkan salam di dalamnya? Jika kalian memerintahkannya, maka itu satu rakaat. Jika kalian mengatakan kami memakruhkannya karena Nabi SAW tidak pernah witir dengan satu rakaat tanpa sebelumnya sesuatu, maka Nabi SAW juga tidak pernah witir dengan tiga rakaat tanpa sesuatu di dalamnya. Namun, kalian menganggap baik witir dengan tiga rakaat. Di antara perbedaan pendapat Malik dan Syafi’i dalam bab witir.

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’, dia berkata: Aku bersama Ibnu Umar pada suatu malam ketika langit berawan. Ibnu Umar khawatir masuk waktu subuh, lalu dia witir dengan satu rakaat. Kemudian awan tersibak dan dia melihat masih ada malam, maka dia menambahkan satu rakaat lagi. Syafi’i berkata kepadaku: “Kalian menyelisihi Ibnu Umar dalam dua hal: kalian mengatakan tidak boleh witir dengan satu rakaat, dan jika seseorang witir dengan satu rakaat, dia tidak boleh menambah genap setelahnya.” Dia berkata: “Aku tidak mengetahui kalian meriwayatkan dari siapa pun yang mengatakan tidak boleh menggenapkan witir.” Aku berkata kepada Syafi’i: “Lalu apa pendapatmu dalam hal ini?” Dia menjawab dengan pendapat Ibnu Umar: “Dia biasa witir dengan satu rakaat.” Dia bertanya: “Apakah kamu mengatakan dia boleh menggenapkan witirnya?” Aku menjawab: “Tidak.” Dia bertanya lagi: “Apa dalilmu?” Aku menjawab: “Kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia tidak menyukai Ibnu Umar menggenapkan witirnya. Dia berkata: ‘Jika kamu witir di awal malam, genapkanlah di akhir malam, jangan mengulang witir dan jangan menggenapkannya.’ Sedangkan kalian mengklaim hanya menerima hadits dari sahabat kalian, dan tidak ada hadits dari sahabat kalian yang bertentangan dengan Ibnu Umar.”

Di antara perbedaan pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud RA dalam bab witir dan qunut: Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Hasyim mengabarkan kepada kami dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdurrahim dari Zadzan bahwa Ali RA biasa witir dengan tiga rakaat, membaca di setiap rakaat sembilan surat dari Al-Mufassal. Mereka berkata: “Kami membaca ‘Sabbihisma Rabbika al-A’la’ di rakaat pertama, ‘Qul ya ayyuhal kafirun’ di rakaat kedua, dan ‘Al-Fatihah’ serta ‘Qul huwallahu ahad’ di rakaat ketiga.” Sedangkan kami mengatakan: “Dia membaca ‘Qul huwallahu ahad’, ‘Qul a’udzu birabbil falaq’, dan ‘Qul a’udzu birabbin nas’, serta memisahkan antara dua rakaat dan satu rakaat dengan salam.”

Di antara perbedaan hadits dalam bab witir: (Syafi’i berkata): “Aku mendengar bahwa Nabi SAG pernah witir di awal malam dan di akhir malam dalam hadits yang sahih dan hadits yang lebih rendah darinya. Itu termasuk dalam kebolehan witir sepanjang malam. Kami juga membolehkan shalat wajib di awal atau akhir waktu. Namun, dalam witir lebih longgar.” Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu Ya’fur mengabarkan kepada kami dari Muslim dari Masruq dari Aisyah.

Dia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – biasa melaksanakan shalat witir sepanjang malam, dan witir beliau berakhir hingga waktu sahur.”

Dalam Mukhtashar al-Muzani, pada bab shalat sunnah (Asy-Syafi’i berkata): “Shalat sunnah ada dua macam: salah satunya adalah shalat berjamaah yang ditekankan, yang tidak aku perbolehkan untuk ditinggalkan bagi yang mampu melakukannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, shalat istisqa’, serta shalat sendirian. Sebagian shalat sunnah lebih ditekankan daripada yang lain, dan yang paling ditekankan adalah shalat witir. Yang mirip dengan itu adalah shalat tahajud, kemudian dua rakaat fajar.” Dia juga berkata: “Aku tidak memberikan keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satunya, meskipun tidak wajib. Orang yang meninggalkan salah satunya keadaannya lebih buruk daripada orang yang meninggalkan semua shalat sunnah. Adapun shalat malam bulan Ramadhan, aku lebih menyukai shalat sendirian daripada berjamaah. Aku melihat penduduk Madinah melaksanakannya dengan 39 rakaat, tetapi aku lebih menyukai 20 rakaat karena diriwayatkan dari Umar. Demikian pula mereka melaksanakannya di Mekah dan melakukan witir dengan tiga rakaat.”

(Al-Muzani berkata): “Aku tidak mengetahui Asy-Syafi’i menyebutkan tempat tertentu.”

القنot dalam shalat witir serupa dengan ucapannya setelah rukuk, sebagaimana disebutkan dalam qunut shalat subuh. Karena ucapan orang yang mengangkat kepalanya setelah rukuk adalah “Sami’allahu liman hamidah” yang merupakan doa, maka posisi ini lebih sesuai untuk qunut yang juga merupakan doa. Selain itu, bagi yang berpendapat qunut dilakukan sebelum rukuk, ia diperintahkan untuk bertakbir dalam keadaan berdiri lalu berdoa. Padahal, hukum takbir setelah berdiri sebenarnya untuk rukuk, sehingga ini merupakan tambahan takbir dalam shalat yang tidak didasarkan pada dalil atau qiyas.

Dalam kitab Ikhtilaf Ali wa Abdullah bin Mas’ud, Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Hisyam berkata dari ‘Atha’ bin As-Sa’ib: “Sesungguhnya Ali biasa melakukan qunut dalam witir setelah rukuk.” Namun, mereka (sebagian ulama) tidak mengambil pendapat ini. Mereka mengatakan: “Qunut dilakukan sebelum rukuk. Jika tidak dilakukan sebelum rukuk, maka tidak dilakukan setelahnya, dan ia wajib melakukan sujud sahwi.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Akhir malam lebih aku sukai daripada awalnya. Jika malam dibagi menjadi tiga bagian, maka bagian tengah lebih aku sukai untuk shalat. Jika seseorang melewatkan witir hingga shalat subuh, maka ia tidak perlu mengqadhanya. Ibnu Mas’ud berkata: ‘Witir itu antara Isya dan Fajar.’ Jika dua rakaat fajar terlewat hingga masuk waktu Zhuhur, maka tidak perlu diqadha, karena Abu Hurairah berkata: ‘Jika shalat telah ditegakkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.'” (Dalam kitab Ikhtilaf).

Ali dan Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhuma – mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abu Harun Al-Ghanawi dari Khaththab bin Abdullah berkata, Ali – radhiyallahu ‘anhu – bersabda: “Witir itu ada tiga jenis. Barangsiapa yang ingin witir di awal malam, maka ia boleh melakukannya. Kemudian jika ia terbangun dan ingin menambahkan dengan satu rakaat (untuk menggenapkan), maka ia boleh shalat dua rakaat-dua rakaat hingga subuh. Dan barangsiapa yang ingin witir di akhir malam, maka ia boleh melakukannya.” 

Mereka (para sahabat) tidak menyukai seseorang membatalkan witirnya dan berkata: “Jika seseorang telah witir, maka hendaknya ia shalat dua rakaat-dua rakaat.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, Yazid bin Harun dari Hammad dari ‘Ashim dari Abu Abdurrahman bahwa Ali – radhiyallahu ‘anhu – ketika muadzin mengumandangkan iqamah, beliau berkata: “Di manakah orang yang bertanya tentang witir? Inilah waktu witir yang baik.” Kemudian beliau membaca: “Demi malam apabila hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (QS. At-Takwir: 17-18). Namun, mereka (para ulama) tidak mengambil pendapat ini dan berkata: “Ini bukan termasuk waktu witir.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Hisyam dari Hushain berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Zhabiyan berkata: “Ali – radhiyallahu ‘anhu – biasa keluar menemui kami saat kami melihat cahaya subuh yang pertama, lalu beliau berkata: ‘Shalat, shalat!’ Ketika orang-orang bangun, beliau berkata: ‘Ini adalah waktu witir yang baik.’ Ketika fajar terbit, beliau shalat dua rakaat, kemudian iqamah dikumandangkan.” 

(Dalam Al-Buwaiti).

Dibaca pada dua rakaat fajar (subuh) “Qul yaa ayyuhal kaafiruun” (Surah Al-Kafirun: 1) dan “Qul huwallahu ahad” (Surah Al-Ikhlas), itu lebih aku sukai, meskipun boleh membaca selain itu bersama dengan Ummul Quran (Al-Fatihah).

Cukup baginya.

Dan di dalamnya, di akhir penjelasan tentang bersuci dari tanah, “Barangsiapa yang memasuki masjid, hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum duduk, karena Rasulullah…”

– صلى الله عليه وسلم – memerintahkan hal itu dan bersabda: “Salam masjid adalah dua rakaat.” 

[Bab Waktu-Waktu yang Dimakruhkan untuk Shalat] 

Hal ini disebutkan dalam perbedaan hadis. Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – melarang shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam dan shalat setelah Subuh hingga matahari terbit.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian sengaja shalat saat matahari terbit atau saat terbenam.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Ash-Shanabihi bahwa Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Sesungguhnya matahari terbit bersama tanduk setan. Ketika matahari telah naik, setan meninggalkannya. Ketika matahari tepat di tengah (istiwa), setan menyertainya. Ketika matahari tergelincir (zawal), setan meninggalkannya. Ketika matahari condong ke arah terbenam, setan menyertainya. Dan ketika matahari terbenam, setan meninggalkannya.” Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – juga melarang shalat pada waktu-waktu tersebut. 

(Imam Syafi’i berkata: …)

Asy-Syafi’i) : Diriwayatkan dari Ishaq bin Abdullah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah “bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang shalat di tengah hari hingga matahari tergelincir kecuali pada hari Jumat.” Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Al-Musayyab “bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tertidur dari shalat Subuh, lalu beliau melaksanakannya setelah matahari terbit, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa lupa shalat, hendaknya dia shalat ketika ingat, karena Allah Azza wa Jalla berfirman {Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku} [Thaha: 14].” Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Nafi’ bin Jubair dari seorang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam suatu perjalanan lalu beristirahat. Beliau bersabda: ‘Adakah orang baik yang mau menjaga kita malam ini agar kita tidak tertidur dari shalat?’ Bilal menjawab: ‘Aku, wahai Rasulullah.’ Bilal pun bersandar pada tunggangannya dan menghadap fajar. Mereka tidak terbangun kecuali oleh terik matahari di wajah mereka. Rasulullah…”

Allah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Wahai Bilal,” maka Bilal menjawab: “Wahai Rasulullah, jiwaku telah diambil sebagaimana jiwamu diambil.” Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berwudhu, lalu shalat dua rakaat sebelum subuh, kemudian mereka mempersiapkan kendaraan mereka sedikit, lalu melaksanakan shalat subuh.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Ini diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – secara bersambung melalui hadits Anas dan ‘Imran bin Hushain dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Salah satunya menambahkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya, maka hendaknya dia shalat ketika ingat.’ Yang lain menambahkan: ‘Kapan pun waktunya.’ 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zubair dari Abdullah bin Babah dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Wahai Bani Abdi Manaf, siapa di antara kalian yang mengurusi urusan manusia, janganlah dia melarang seorang pun yang thawaf di Ka’bah ini dan shalat kapan saja yang dia kehendaki, baik malam maupun siang.’ 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muslim dan Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan hadits serupa atau makna yang tidak berbeda. ‘Atha’ menambahkan: ‘Wahai Bani Abdi Muthalib, wahai Bani Hasyim, atau wahai Bani Abdi Manaf.’ 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Labid, dia berkata: Aku mendengar Abu Salamah berkata: “Mu’awiyah datang ke Madinah. Ketika dia berada di atas mimbar, dia berkata: ‘Wahai Katsir bin Ash-Shalt, pergilah kepada Aisyah dan tanyakan kepadanya tentang shalat dua rakaat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – setelah Ashar.’ Abu Salamah berkata: ‘Aku pergi bersamanya, dan Ibnu Abbas mengutus Abdullah bin Al-Harits bin Naufal bersama kami, seraya berkata: “Pergilah dan dengarkan apa yang dikatakan Ummul Mukminin.” Maka dia mendatangi Aisyah dan bertanya kepadanya. Aisyah menjawab: “Aku tidak tahu, tetapi pergilah kepada Ummu Salamah dan tanyakan kepadanya.” Maka kami pergi bersamanya kepada Ummu Salamah. Dia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah masuk ke rumahku suatu hari setelah Ashar, lalu shalat dua rakaat di sisiku yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, engkau shalat dengan shalat yang belum pernah aku lihat sebelumnya.’ Beliau menjawab: ‘Aku biasa shalat dua rakaat setelah Zhuhur, tetapi tiba-tiba datang kepadaku delegasi Bani Tamim atau sedekah, sehingga aku sibuk dan tidak sempat melakukannya. Dua rakaat ini sebagai gantinya.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Qais dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dari kakeknya Qais, dia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melihatku shalat dua rakaat setelah Subuh, lalu bertanya: ‘Dua rakaat apa ini, wahai Qais?’ Aku menjawab: ‘Aku belum shalat dua rakaat sebelum Subuh.’ Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – diam.'” 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak ada perbedaan dalam hadits-hadits ini setelah ini. Sebagian hadits ini saling menjelaskan sebagian yang lain. Kesimpulannya, larangan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – (dan Allah Maha Mengetahui) adalah shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah terbit hingga tinggi. Juga larangan shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam, dan setelah sebagiannya terbenam hingga seluruhnya terbenam. Serta larangan shalat di tengah hari hingga matahari tergelincir, kecuali pada hari Jumat. Namun, larangan ini tidak berlaku untuk shalat yang wajib dilakukan karena suatu sebab, shalat yang sangat dianjurkan meski bukan wajib, atau shalat yang biasa dilakukan seseorang tetapi terlupa. Jika salah satu shalat ini dilakukan pada waktu-waktu terlarang, maka hal itu berdasarkan petunjuk dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan ijma’ (konsensus) umat Islam dalam shalat jenazah setelah Subuh dan Ashar.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika ada yang bertanya: ‘Di mana petunjuk dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam hal ini?’ Jawabannya adalah sabda beliau: ‘Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya, maka hendaknya dia shalat ketika ingat.’ Karena Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.’ (QS. Thaha: 14). Juga perintah beliau untuk tidak melarang siapa pun yang thawaf di Ka’bah dan shalat kapan saja dia mau. Selain itu, umat Islam juga melaksanakan shalat jenazah setelah Subuh dan Ashar.” 

(Imam Syafi’i berkata):

Dalam riwayat Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dua rakaat di rumahnya setelah Ashar, yang biasanya beliau kerjakan setelah Zhuhur, namun beliau tersibukkan oleh tamu sehingga mengerjakannya setelah Ashar. Disebutkan pula bahwa Qais, kakek Yahya bin Sa’id, meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya shalat dua rakaat setelah Subuh, lalu menanyakannya. Ketika dijelaskan bahwa itu adalah shalat sunnah Fajar, beliau membenarkannya. Hal ini karena shalat sunnah Fajar sangat dianjurkan dan diperintahkan, sehingga larangan shalat pada waktu-waktu terlarang hanya berlaku untuk shalat yang tidak wajib. Adapun shalat yang biasa dikerjakan seseorang tetapi terlewatkan, atau shalat yang sangat dianjurkan meski bukan wajib seperti shalat sunnah Fajar dan gerhana, maka larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlaku untuknya. 

(Imam Syafi’i berkata): Larangan shalat setelah Subuh, setelah Ashar, dan saat tengah hari ketika matahari tepat di atas kepala adalah jelas tanpa perbedaan pendapat, karena ini satu larangan yang sama. Ini seperti larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di tengah hari hingga matahari tergelincir, kecuali pada hari Jumat karena kebiasaan orang-orang adalah bersegera ke masjid untuk shalat Jumat hingga imam keluar. 

(Imam Syafi’i juga berkata): Ini seperti hadis tentang larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sehari sebelum Ramadhan, kecuali jika bertepatan dengan kebiasaan puasa seseorang. 

Bab Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini 

Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Sebagian ulama dari daerah kami dan lainnya menyelisihi kami dengan mengatakan bahwa shalat jenazah boleh dilakukan setelah Ashar dan setelah Subuh selama matahari belum terbit atau belum berubah warnanya. Mereka berargumen dengan riwayat dari Ibnu Umar yang mirip dengan pendapat mereka. 

(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Umar hanya mendengar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk sengaja shalat saat matahari terbit atau terbenam. Tidak ada riwayat darinya tentang larangan shalat setelah Ashar atau Subuh. Maka, Ibnu Umar berpendapat larangan itu bersifat mutlak untuk semua shalat, termasuk shalat jenazah, karena itu termasuk shalat pada waktu terlarang. Namun, dia tetap melaksanakan shalat jenazah setelah Subuh dan Ashar karena tidak mengetahui larangan khusus untuk waktu-waktu itu. 

(Imam Syafi’i melanjutkan): Siapa yang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Subuh dan Ashar sebagaimana larangan shalat saat matahari terbit dan terbenam, maka dia harus menerima pendapat kami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk shalat yang tidak wajib. Siapa yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat setelah Ashar (yang biasa beliau kerjakan setelah Zhuhur tetapi tertunda), atau membenarkan Qais yang shalat dua rakaat setelah Subuh, maka dia harus mengakui bahwa larangan itu tidak berlaku untuk shalat sunnah yang biasa dikerjakan atau yang sangat dianjurkan. 

Barangsiapa berpendapat demikian dan mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Subuh hingga matahari terbit dan setelah Ashar hingga matahari terbenam, maka dia tidak boleh berpendapat kecuali seperti pendapat kami, atau harus melarang shalat jenazah setelah Subuh dan Ashar dalam semua kondisi. 

(Imam Syafi’i juga berkata): Dia juga berpendapat bahwa seseorang tidak boleh shalat sunnah thawaf setelah Subuh hingga matahari terbit atau setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dia berargumen bahwa Umar bin Khattab pernah thawaf setelah Subuh, lalu melihat matahari belum terbit, kemudian pergi ke Dzu Thuwa dan shalat di sana. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika Umar tidak menyukai shalat pada waktu itu, maka pendapatnya sama dengan Ibnu Umar, yaitu karena mengetahui larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat setelah Subuh dan Ashar, sehingga dia menunda shalat hingga matahari terbit. Siapa yang berpendapat seperti ini harus konsisten dengan larangan shalat pada semua waktu terlarang, baik untuk thawaf, jenazah, maupun shalat qadha, yaitu sejak selesai Subuh hingga matahari terbit jelas dan sejak selesai Ashar hingga matahari terbenam.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

“Waktu Maghrib dan pertengahan siang hingga matahari tergelincir.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, Abu Ayyub Al-Anshari mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menghadap kiblat atau Baitul Maqdis saat buang hajat. Abu Ayyub berkata, ‘Ketika kami tiba di Syam, kami menemukan toilet yang telah dibangun, lalu kami menghindar (dari arah kiblat) dan memohon ampun kepada Allah.’ Sementara Ibnu Umar heran dengan orang yang mengatakan tidak boleh menghadap kiblat atau Baitul Maqdis saat buang hajat. Ia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas dua batu bata menghadap Baitul Maqdis saat buang hajat.’

(Imam Syafi’i berkata): Abu Ayyub mengetahui larangan tersebut secara mutlak, sedangkan Ibnu Umar melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kiblat saat buang hajat tetapi tidak mengetahui larangannya. Barangsiapa mengetahui keduanya, ia akan mengatakan bahwa larangan itu berlaku di padang terbuka yang tidak ada keperluan mendesak atau penutup bagi orang yang buang hajat, karena padang terbuka adalah tempat shalat, sehingga auratnya terlihat baik saat menghadap atau membelakang. Namun, tidak mengapa melakukannya di dalam rumah karena sempitnya ruangan, kebutuhan manusia akan kenyamanan, dan adanya penutup, sehingga tidak ada yang melihat kecuali jika seseorang masuk atau mengintip.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, Usaid bin Hudhair dan Jabir bin Abdullah shalat dalam keadaan sakit sambil duduk bersama orang-orang yang sehat, lalu mereka memerintahkan jamaah untuk duduk bersamanya. Keduanya—wallahu a’lam—mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil duduk dengan makmum berdiri, lalu beliau memerintahkan mereka untuk duduk. Mereka berdua mengikuti hal itu, padahal seharusnya mereka tidak melakukannya. Aku tidak ragu bahwa mereka lupa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil duduk dalam sakitnya yang membawa kematian, sedangkan Abu Bakar di sampingnya berdiri dan orang-orang di belakangnya juga berdiri. Hal ini menasakh perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar makmum duduk jika imam shalat dalam keadaan sakit. Wajib bagi siapa saja yang mengetahui kedua perintah ini untuk mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terakhir jika ia menasakh yang pertama, atau mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang saling menjelaskan.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkhutbah di hadapan orang-orang saat Utsman bin Affan dikepung. Ia mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyimpan daging kurban setelah tiga hari. Ali berpendapat demikian karena mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu pula Abdullah bin Waqid dan lainnya meriwayatkannya. Namun, ketika Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya saat terjadi kelaparan, kemudian beliau bersabda, ‘Makanlah, berbekallah, simpanlah, dan sedekahkanlah,’ serta Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyimpan daging kurban setelah tiga hari lalu bersabda, ‘Makanlah, berbekallah, dan sedekahkanlah,’ maka wajib bagi yang mengetahui kedua riwayat ini untuk mengatakan bahwa larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlaku dalam kondisi tertentu. Jika kondisinya sama, maka larangan berlaku; jika tidak, maka tidak. Atau bisa juga dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pada suatu waktu, kemudian memberi keringanan setelahnya, dan perintah terakhir menasakh yang pertama.

(Imam Syafi’i berkata): Setiap orang berpendapat berdasarkan apa yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkadang, perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan makna tertentu atau adanya nasakh. Jika seseorang hanya mengetahui yang pertama dan tidak mengetahui yang lain, maka jika ia mengetahui perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu, ia akan mengikutinya insya Allah.

(Imam Syafi’i berkata): Ini juga berlaku untuk hadits-hadits lain. Aku menyampaikan kesimpulan ini untuk menjelaskan kesalahan sebagian orang dalam memahami ilmu, agar diketahui bahwa di antara sahabat senior, orang-orang mulia, ahli agama, dan terpercaya pun ada yang tidak mengetahui sebagian sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diketahui oleh orang lain yang mungkin tidak setara kedudukannya. Juga agar diketahui bahwa ilmu tentang sunnah-sunnah tertentu hanya diberikan kepada orang yang dibukakan oleh Allah, tidak seperti ilmu shalat dan kewajiban umum yang diketahui semua orang. Jika ilmu ini tersebar luas seperti kewajiban umum, maka tidak akan terjadi perbedaan pendapat seperti yang telah kusebutkan. Juga agar diketahui bahwa jika suatu hadits diriwayatkan oleh perawi terpercaya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka itulah kebenarannya. Kita tidak boleh menolak hadits hanya karena bertentangan dengan pendapat sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena sahabat Nabi dan seluruh Muslim memiliki kebutuhan (untuk memahami hukum).”

Kepada perintah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan mereka wajib mengikutinya, bukan bahwa sebagian perkataan mereka mengikuti apa yang diriwayatkan darinya atau sesuai dengannya. Yazid berkata: “Kekuatan (hadis) tidak melemah hanya karena sebagian perkataan mereka bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari orang yang terpercaya; karena perkataannya (Rasulullah) wajib diikuti oleh mereka dan semua orang, dan tidak demikian halnya dengan perkataan manusia selain Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sahih, meskipun sebagian sahabat menyelisihinya, maka boleh baginya untuk menolak pendapat sebagian sahabat karena pertentangannya; karena masing-masing meriwayatkan secara khusus dan bersama, dan di antara keduanya, apa yang diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lebih utama untuk diikuti. Barangsiapa di antara mereka yang berpendapat tanpa meriwayatkannya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, tidak boleh bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa itu berasal dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, karena sebagaimana telah aku jelaskan bahwa sebagian perkataan beliau mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka. Dan tidak boleh menyandarkan pendapat itu kepadanya kecuali sebagai pendapat pribadi selama tidak dinisbatkan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Jika demikian, maka tidak boleh pendapat seseorang dipertentangkan dengan perkataan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Seandainya ada yang berkata, ‘Tidak boleh kecuali berasal dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,’ maka tidak halal baginya menyelisihi orang yang menempatkan perkataan ini. Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melainkan mengambil sebagian perkataannya dan meninggalkan perkataan sahabat lainnya. Dan tidak boleh perkataan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ditolak karena pendapat orang lain.” 

Jika ada yang bertanya, “Sebutkan kepadaku dalil yang menunjukkan apa yang engkau jelaskan,” maka dijawab: “Apa yang telah aku jelaskan dalam bab ini dan lainnya, baik secara terpisah maupun global. Di antaranya adalah bahwa Umar bin Khattab, imam kaum muslimin, yang utama dalam kedudukan, keutamaan, senioritas dalam persahabatan, ketakwaan, kepercayaan, keteguhan, dan yang pertama dalam ilmu sebelum ditanya serta yang menjelaskannya—karena perkataannya adalah hukum yang mengikat hingga ia memutuskan di antara Muhajirin dan Anshar bahwa diyat dibayarkan oleh keluarga (‘aqilah) dan seorang wanita tidak mewarisi diyat suaminya, sampai ia dikabari atau ditulis oleh Adh-Dhahhak bin Sufyan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menulis surat kepadanya untuk memberikan warisan kepada istri Asyim Adh-Dhababi dari diyat suaminya. Maka Umar pun rujuk dan meninggalkan pendapatnya. 

Umar juga pernah memutuskan bahwa diyat ibu jari adalah lima belas (unta), jari tengah dan telunjuk sepuluh-sepuluh, jari manis sembilan, dan kelingking enam, hingga ditemukan sebuah tulisan di keluarga ‘Amr bin Hazm yang ditulis oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: ‘Dan pada setiap jari di antara jari-jari itu diyatnya sepuluh unta.’ Maka orang-orang meninggalkan pendapat Umar dan kembali kepada ketetapan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Umar, yaitu meninggalkan pendapatnya sendiri demi mengikuti perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Itulah yang diwajibkan oleh Allah ‘azza wa jalla atasnya, atas mereka, dan atas seluruh makhluk-Nya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Ini menunjukkan bahwa hakim mereka (sahabat) pernah berijtihad dalam perkara yang sebenarnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memiliki sunnah yang tidak mereka ketahui atau tidak diketahui kebanyakan mereka. Ini membuktikan bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum tertentu bersifat khusus, sebagaimana telah kujelaskan, bukan umum seperti kewajiban-kewajiban dasar yang bersifat umum.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Abu Bakar membagi (harta) hingga bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla, menyamakan antara orang merdeka dan budak tanpa mengutamakan siapa pun berdasarkan senioritas atau nasab. Kemudian Umar membagi dengan menghapus bagian budak dan mengutamakan nasab serta senioritas. Lalu Ali membagi dengan menghapus bagian budak dan menyamakan semua orang. Ini adalah urusan terbesar yang dihadapi para khalifah, paling umum, dan paling pantas untuk tidak diperselisihkan. Namun Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan tiga jenis pembagian harta: fai’, ghanimah, dan sedekah. Para imam berbeda pendapat dalam hal ini, tetapi tidak ada seorang pun yang menolak apa yang diberikan oleh Abu Bakar, Umar, atau Ali. Ini menunjukkan bahwa mereka menerima keputusan pemimpin mereka meskipun pendapat mereka berbeda, dan bahwa pemimpin mereka boleh memutuskan berlawanan dengan pendapat mereka—bukan bahwa semua keputusan mereka berdasarkan ijma’, dan bahwa siapa pun yang mengklaim bahwa keputusan pemimpin mereka, selama berada di tengah-tengah mereka dan tidak mereka tolak, pasti sesuai dengan pendapat mereka, maka dijawab: ‘Jika mereka sepakat dengan pendapatnya, tentu tidak akan menyelisihinya setelahnya.’ 

Jika ada yang berkata, ‘Mereka menyetujuinya selama hidupnya, lalu menyelisihinya setelahnya,’ maka dijawab: ‘Ini justru menunjukkan bahwa ijma’ mereka tidak menjadi hujjah jika mereka boleh berijma’ pada pembagian Abu Bakar, lalu berijma’ pada pembagian Umar, kemudian berijma’ pada pembagian Ali. Padahal masing-masing menyelisihi yang lain. Maka ijma’ mereka, baik awal maupun akhir, bukanlah hujjah bagi mereka.’ Demikian juga tidak boleh jika menurut mereka (ijma’) tidak ada.”

Argumen bahwa harus ada bukti bagi orang setelah mereka. Jika seseorang bertanya: “Bagaimana kamu bisa mengatakan demikian?” Aku menjawab: “Tidak ada satu pun dari ini yang bisa disebut sebagai ijma’, tetapi setiap tindakan dinisbatkan kepada pelakunya. Misalnya, tindakan Abu Bakar dinisbatkan kepadanya, tindakan Umar dinisbatkan kepadanya, dan tindakan Ali dinisbatkan kepadanya. Tidak ada yang bisa dikatakan tentang orang lain yang mengikuti atau menyelisihi mereka, dan perkataan atau tindakan orang yang diam tidak dinisbatkan kepada siapa pun. Setiap perkataan dan tindakan hanya dinisbatkan kepada pelakunya sendiri. Ini menunjukkan bahwa klaim ijma’ dalam banyak hukum khusus tidaklah benar sebagaimana dikatakan oleh orang yang mengklaimnya.” 

Jika seseorang bertanya: “Apakah kamu menemukan contoh seperti ini?” Kami menjawab: “Kami memulai dengan ini karena ini adalah hal paling terkenal yang dilakukan oleh para imam dan seharusnya tidak diperselisihkan atau diabaikan oleh orang awam. Kami menemukan banyak contoh seperti ini. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah, lalu mengesampingkan saudara-saudara dalam pembagian warisan, tetapi Umar, Utsman, dan Ali menyelisihinya dalam hal ini.” 

Contoh lain, Abu Bakar memandang sebagian ahli riddah (orang murtad) layak dibebaskan dengan tebusan atau dijadikan tawanan, lalu Umar membebaskan mereka dan berkata: “Tidak ada tawanan atau tebusan.” Selain ini, masih banyak lagi yang kami diamkan, dan kami cukupkan dengan ini. 

Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Muslim bin Khalid meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Yahya bin Hathib menceritakan kepadanya: “Hathib meninggal dan membebaskan budak-budaknya yang telah shalat dan berpuasa. Dia memiliki seorang budak perempuan Nubia yang telah shalat dan berpuasa, tetapi dia tidak memahami (bahasa Arab) karena dia orang asing. Tiba-tiba dia hamil, padahal dia sudah pernah menikah sebelumnya. Hathib pergi kepada Umar dan menceritakan hal itu. Umar berkata kepadanya: ‘Engkau adalah orang yang tidak membawa kebaikan.’ Hal itu membuatnya ketakutan. Umar memanggil budak perempuan itu dan bertanya: ‘Apakah kamu hamil?’ Dia menjawab: ‘Ya, dari Mar’usy seharga dua dirham.’ Ternyata dia mengakuinya tanpa menyembunyikannya.” 

Umar kebetulan bertemu dengan Ali, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf. Dia berkata: “Berilah aku pendapat.” Saat itu, Utsman sedang duduk, lalu berbaring. Ali dan Abdurrahman berkata: “Hukum hadd telah berlaku padanya.” Umar berkata: “Berilah aku pendapat, wahai Utsman.” Utsman menjawab: “Kedua saudaramu sudah memberi pendapat.” Umar berkata: “Aku ingin pendapatmu.” Utsman berkata: “Aku melihat dia mengakuinya seolah-olah dia tidak tahu, dan hukum hadd hanya berlaku bagi yang mengetahuinya.” Umar berkata: “Kamu benar, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hukum hadd hanya berlaku bagi yang mengetahuinya.” Lalu Umar mencambuknya seratus kali dan mengasingkannya selama setahun. 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dia (Umar) menyelisihi pendapat Ali dan Abdurrahman yang berpendapat bahwa hukumannya adalah rajam. Dia juga menyelisihi Utsman yang berpendapat bahwa dia tidak boleh dihukum sama sekali. Namun, Umar mencambuknya seratus kali dan mengasingkannya. Tidak ada riwayat bahwa salah seorang dari mereka menyelisihinya setelah dia menjatuhkan hukuman. Tidak diketahui adanya perselisihan mereka kecuali melalui perkataan mereka sebelumnya sebelum tindakan Umar.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian orang yang mengatakan hal yang tidak seharusnya berkata: ‘Ketika Umar menghukum budak perempuan Hathib seperti itu, pastilah dia melakukannya berdasarkan ijma’ para sahabat Rasulullah ﷺ.’ Ini adalah kebodohan terhadap ilmu dan keberanian mengucapkan apa yang tidak diketahui. Barangsiapa berani mengatakan bahwa perkataan atau tindakan seseorang dalam hukum khusus—tanpa ada riwayat darinya atau dari mereka—berlaku menurut kami, padahal kami tidak mengetahuinya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Umar bin Khattab memutuskan bahwa ummahatul aulad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) tidak boleh dijual, tetapi Ali menyelisihinya. Umar juga memutuskan bahwa gigi geraham dihukum dengan seekor unta, tetapi orang lain menyelisihinya dan menetapkan bahwa gigi geraham termasuk gigi yang dihukum dengan lima unta. Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lainnya berpendapat bahwa seorang suami memiliki hak rujuk terhadap istrinya sampai dia suci dari haid ketiga. Namun, orang lain menyelisihi mereka dan berkata: ‘Jika dia sudah masuk masa haid ketiga, hak rujuknya telah terputus.’ Masih banyak lagi contoh selain yang telah aku sebutkan. Ini menunjukkan bahwa seorang ulama salaf boleh berpendapat dengan pendapatnya, dan orang lain boleh menyelisihinya dengan pendapatnya sendiri. Jika tidak ada riwayat dari seseorang tentang suatu pendapat, maka tidak boleh dinisbatkan kepadanya baik persetujuan maupun penyelisihan. Sebab, jika dia tidak berkata, pendapatnya tidak diketahui. Jika boleh dinisbatkan kepadanya sebagai persetujuan, maka boleh juga dinisbatkan sebagai penyelisihan, tetapi keduanya adalah kebohongan jika pendapatnya tidak diketahui. Kebenaran hanya bisa dikatakan jika ada perkataan yang jelas. Ini adalah bukti bahwa sebagian mereka tidak menganggap pendapat sebagian yang lain sebagai hujjah yang mengikat jika mereka berpendapat lain. Mereka hanya menganggap Al-Qur’an dan Sunnah sebagai yang mengikat. Mereka tidak pernah berpendapat—insya Allah—bahwa semua hukum khusus adalah ijma’ seperti ijma’ mereka tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan kewajiban-kewajiban pokok. Jika mereka menemukan nash dari Al-Qur’an atau Sunnah, mereka mengikutinya. Jika mereka menafsirkan sesuatu yang multitafsir, mereka mungkin berselisih. Karena itulah, ketika mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak ada Sunnahnya, mereka berselisih pendapat.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Ini adalah bukti bahwa klaim ijma’ dalam semua hukum tidaklah benar sebagaimana diklaim oleh orang yang mengklaimnya. Masih banyak contoh lain selain yang telah aku sebutkan. Intinya adalah…”

Tidak ada yang menyangkal, kesepakatan selain dalam beberapa kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat umum, tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, maupun tabi’in, maupun generasi setelah mereka, atau generasi berikutnya, atau ulama yang aku ketahui di muka bumi, atau siapa pun yang dianggap berilmu oleh masyarakat umum kecuali baru-baru ini. Jika ada yang berkata tentang hal ini dengan makna bahwa aku tidak mengetahui seorang pun dari ahli ilmu yang mengetahuinya, padahal aku telah menghafal dari sejumlah mereka yang membatalkannya.

(Berkata Asy-Syafi’i): “Kapan pun mayoritas ahli ilmu di suatu zaman di berbagai negeri sepakat pada sesuatu, atau generasi sebelumnya dikatakan bahwa hal itu diriwayatkan dari fulan dan fulan, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi, maka kami mengambil pendapat itu. Namun, kami tidak menyatakan bahwa itu adalah pendapat semua orang, karena kami tidak mengetahui siapa saja yang berpendapat demikian kecuali yang kami dengar langsung darinya atau tentangnya.” Dan apa yang aku jelaskan ini adalah pendapat orang-orang yang aku hafal dari ahli ilmu baik secara teks maupun istidlal.

(Berkata Asy-Syafi’i): “Ilmu itu berasal dari dua jalan: mengikuti (ittiba’) atau istinbat. Ittiba’ adalah mengikuti Al-Qur’an. Jika tidak ada, maka Sunnah. Jika tidak ada, maka pendapat mayoritas salaf yang tidak diketahui ada yang menyelisihi. Jika tidak ada, maka qiyas terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla. Jika tidak ada, maka qiyas terhadap Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada, maka qiyas terhadap pendapat mayoritas salaf yang tidak ada yang menyelisihi. Tidak boleh berpendapat kecuali dengan qiyas. Dan ketika orang yang berkompeten melakukan qiyas lalu mereka berselisih, maka masing-masing boleh berpendapat sesuai kadar ijtihadnya, dan tidak boleh baginya mengikuti pendapat orang lain jika ijtihadnya bertentangan dengannya. Wallahu a’lam.”

[Shalat Berjamaah] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris Al-Muththalibi, dia berkata: “Allah Tabaraka Ismuhu menyebutkan tentang azan untuk shalat, firman-Nya: 

‘Dan apabila kamu menyeru (azan) untuk shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan.’ (QS. Al-Maidah: 58). 

Dan firman-Nya: 

‘Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.’ (QS. Al-Jumu’ah: 9). 

Maka Allah mewajibkan – wallahu a’lam – menghadiri shalat Jum’at, dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mensunnahkan azan untuk shalat fardhu. Maka mungkin saja Allah mewajibkan menghadiri shalat berjamaah selain Jum’at sebagaimana perintah menghadiri Jum’at dan meninggalkan jual beli. Atau mungkin juga Allah mengizinkannya untuk dilaksanakan pada waktunya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – selalu mengerjakan shalat berjamaah baik dalam keadaan safar maupun mukim, dalam keadaan takut maupun tidak. Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: 

‘Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu.’ (QS. An-Nisa’: 102) dan ayat setelahnya.” 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan orang yang mendatangi shalat agar datang dengan tenang, dan memberikan keringanan untuk tidak menghadiri jamaah jika ada uzur, sebagaimana akan aku sebutkan insya Allah di tempatnya. Yang paling sesuai dengan apa yang aku jelaskan dari Al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak halal meninggalkan shalat fardhu berjamaah, sehingga tidak ada sekelompok orang yang mukim atau safar kecuali mereka melaksanakan shalat berjamaah.” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: 

“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku hampir memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu diperintahkan untuk shalat dan dikumandangkan azan, kemudian aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, lalu aku mendatangi orang-orang yang tidak datang dan membakar rumah-rumah mereka. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka tahu bahwa dia akan mendapatkan tulang yang gemuk atau dua kaki kambing yang baik, niscaya dia akan menghadiri shalat Isya’.” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abdurrahman bin Harmalah: 

“Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Pemisah antara kami dan orang-orang munafik adalah kehadiran shalat Isya’ dan Subuh, mereka tidak mampu melakukannya.'” Atau semisal ini. 

(Berkata Asy-Syafi’i)

(Asy-Syafi’i) : Hal ini mirip dengan apa yang dikatakan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berniat membakar rumah suatu kaum, yang mungkin beliau ucapkan terkait kaum yang meninggalkan shalat Isya karena kemunafikan. Allah Ta’ala yang lebih tahu. Maka, aku tidak memberikan keringanan bagi yang mampu menghadiri shalat berjamaah untuk meninggalkannya kecuali dengan uzur. Jika seseorang tidak ikut jamaah dan shalat sendiri, ia tidak wajib mengulanginya, baik shalat sebelum atau setelah imam, kecuali shalat Jumat. Barangsiapa shalat zuhur sebelum shalat imam (Jumat), ia wajib mengulanginya karena menghadirinya adalah kewajiban individu. Allah Ta’ala yang lebih tahu.

Setiap jamaah yang diikuti seseorang di rumahnya, masjid kecil, atau masjid besar, baik sedikit atau banyak jamaahnya, sudah mencukupi baginya. Namun, masjid utama atau tempat yang lebih banyak jamaahnya lebih aku sukai. Jika seseorang memiliki masjid biasa untuk berjamaah tetapi terlewat, maka lebih aku sukai jika ia pergi ke masjid jamaah lain. Jika tidak, shalat di masjid sendirian juga baik. Jika masjid memiliki imam tetap dan seseorang atau beberapa orang terlewat shalat berjamaah, mereka boleh shalat sendiri-sendiri, dan aku tidak suka mereka shalat berjamaah di situ. Jika mereka tetap melakukannya, shalat mereka sah, tetapi aku tidak menyukainya karena bukan tradisi salaf sebelumnya, bahkan sebagian mereka menganggapnya tercela. (Asy-Syafi’i berkata) : Aku menduga ketidaksukaan sebagian mereka karena khawatir terjadi perpecahan dan ada yang enggan shalat di belakang imam jamaah, lalu mereka dan yang lain meninggalkan masjid saat waktu shalat. Jika shalat selesai, mereka masuk dan berjamaah sendiri, sehingga menimbulkan perbedaan dan perpecahan yang tidak diinginkan.

Aku tidak menyukai hal ini di setiap masjid yang memiliki imam dan muadzin. Adapun masjid yang dibangun di pinggir jalan atau tempat terpencil tanpa muadzin tetap atau imam tertentu, di mana orang-orang singgah untuk shalat dan berteduh, aku tidak keberatan karena tidak ada maksud perpecahan atau keengganan mengikuti imam tertentu. Jika satu jamaah shalat di masjid yang memiliki imam, lalu jamaah lain shalat setelahnya, aku tidak menyukainya karena alasan yang telah disebutkan, meskipun shalat mereka sah.

[Keutamaan Berjamaah dan Shalat Bersama Mereka] 

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – mengabarkan kepada kami dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dari Malik dari Abi Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:

«Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat salah seorang dari kalian sendirian dengan dua puluh lima bagian.» (Asy-Syafi’i berkata): Dan tiga orang atau lebih jika salah seorang dari mereka mengimami sebagai jamaah, dan aku berharap bahwa dua orang pun, salah satunya mengimami yang lain, dianggap sebagai jamaah. Aku tidak suka seseorang meninggalkan shalat berjamaah, meskipun dia shalat bersama istrinya, budaknya, ibunya, atau sebagian anaknya di rumahnya. Yang menghalangiku untuk mengatakan bahwa shalat seseorang tidak sah jika dilakukan sendirian padahal dia mampu berjamaah adalah karena Nabi ﷺ mengutamakan shalat berjamaah atas shalat sendirian, namun beliau tidak mengatakan bahwa shalat sendirian tidak sah. Kami juga mengetahui bahwa beberapa orang pernah ketinggalan shalat bersama Nabi ﷺ, lalu mereka shalat sendiri dengan pengetahuannya, padahal mereka mampu berjamaah. Juga pernah terjadi sekelompok orang ketinggalan shalat berjamaah, lalu mereka datang ke masjid dan masing-masing shalat sendiri, padahal mereka bisa berjamaah di masjid. Mereka hanya tidak suka mengadakan jamaah di masjid dua kali, tetapi tidak masalah jika mereka pergi ke tempat lain dan berjamaah di sana. Hakikat shalat berjamaah adalah makmum mengikuti seorang imam. Jika satu orang mengikuti seorang imam, itu sudah dianggap shalat berjamaah. Semakin banyak jamaah bersama imam, semakin aku sukai dan lebih dekat—insya Allah—pada keutamaan. 

[Uzur dalam Meninggalkan Shalat Jamaah] 

(Asy-Syafi’i berkata)—rahimahullah Ta’ala—Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia pernah mengumandangkan azan pada malam yang sangat dingin dan berangin, lalu berkata: “Shalatlah di rumah kalian.” Kemudian dia berkata: “Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan muadzin jika malam sangat dingin atau hujan untuk mengatakan, ‘Shalatlah di rumah kalian.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa “Rasulullah ﷺ memerintahkan penyerunya pada malam hujan atau malam dingin yang berangin untuk mengatakan, ‘Shalatlah di rumah kalian.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abdullah bin Al-Arqam bahwa dia pernah mengimami sahabat-sahabatnya suatu hari, lalu pergi untuk buang hajat, kemudian kembali dan berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian ingin buang hajat, hendaknya dia mendahulukannya sebelum shalat.'” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Seorang yang tsiqah mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari Abdullah bin Al-Arqam bahwa dia pernah pergi ke Mekah, lalu sekelompok orang menyertainya dan dia mengimami mereka. Ketika shalat akan didirikan, dia mempersilakan seorang laki-laki (untuk menjadi imam) dan berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jika shalat telah didirikan…'”

“Shalat dan jika salah seorang dari kalian merasakan buang air, hendaknya memulai dengan buang air terlebih dahulu.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang—baik sebagai imam atau bukan—hadir untuk wudhu, maka mulailah dengan wudhu. Aku tidak suka jika dia shalat sementara masih merasakan kebutuhan untuk berwudhu, karena Nabi ﷺ memerintahkan untuk memulai dengan wudhu dan memerintahkan kekhusyukan serta menyempurnakan shalat. Seseorang yang terganggu oleh kebutuhan wudhunya cenderung tidak mencapai kesempurnaan dan kekhusyukan dalam shalat seperti yang dicapai oleh orang yang tidak terganggu. Jika waktu makan malam orang yang berpuasa tiba, atau waktu berbuka, atau makanan telah disajikan dan dia sangat membutuhkannya, aku memberi keringanan untuk meninggalkan jamaah dan memulai dengan makan jika nafsunya sangat menginginkannya. Namun jika nafsunya tidak terlalu menginginkannya, lebih aku sukai untuk meninggalkan makan malam dan menghadiri shalat. 

Aku juga memberi keringanan untuk meninggalkan jamaah karena sakit, karena Rasulullah ﷺ pernah sakit sehingga tidak mengimami shalat berjamaah selama beberapa hari. Begitu pula karena ketakutan, perjalanan, sakit, kematian orang yang mengurus urusannya, atau memperbaiki sesuatu yang dikhawatirkan akan rusak jika tidak segera ditangani—baik harta atau orang yang mengurusnya. Aku tidak memberi keringanan untuk meninggalkan jamaah kecuali karena uzur, dan uzur adalah seperti yang telah kujelaskan atau hal serupa, seperti tertidur, hadirnya harta yang dikhawatirkan hilang jika dia tidak hadir, atau mencari barang hilang yang dia harap dapat ditemukan dan dikhawatirkan akan hilang jika dia tidak mencarinya. 

### [Shalat Tanpa Perintah Pemimpin] 

Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d: “Rasulullah ﷺ pergi ke Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka. Ketika waktu shalat tiba, muadzin datang kepada Abu Bakar dan bertanya, ‘Apakah engkau akan mengimami shalat?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya,’ lalu dia memimpin shalat. Kemudian Rasulullah ﷺ datang sementara orang-orang sedang shalat. Beliau menerobos barisan hingga berdiri di shaf, lalu orang-orang bertepuk tangan. Abu Bakar tidak menoleh dalam shalatnya, tetapi ketika orang-orang terus bertepuk tangan, dia menoleh dan melihat Rasulullah ﷺ. Beliau memberi isyarat agar Abu Bakar tetap di tempatnya. Abu Bakar mengangkat tangannya, memuji Allah atas perintah Rasulullah ﷺ, kemudian mundur, dan Rasulullah ﷺ maju untuk mengimami shalat. Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempat ketika aku memerintahkanmu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Tidak pantas bagi putra Abu Quhafah untuk shalat di depan Rasulullah ﷺ.’ Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Mengapa aku melihat kalian banyak bertepuk tangan? Jika ada sesuatu yang mengganggu dalam shalat, hendaknya bertasbih, karena jika seseorang bertasbih, orang lain akan menoleh. Tepuk tangan hanya untuk wanita.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Cukup bagi seorang laki-laki untuk mengangkat orang lain atau maju sendiri untuk mengimami shalat—baik shalat Jumat, wajib, atau sunnah—tanpa perintah pemimpin yang berwenang, jika tidak ada pemimpin di daerah tersebut. Demikian pula jika pemimpin sedang sibuk, sakit, tidur, atau terlambat shalat. Rasulullah ﷺ pernah pergi mendamaikan Bani Amr bin Auf, lalu muadzin datang kepada Abu Bakar, dan dia maju untuk memimpin shalat. Juga, dalam Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ pergi untuk suatu keperluan, lalu Abdurrahman bin Auf maju dan memimpin shalat satu rakaat Shubuh. Rasulullah ﷺ datang dan menyusul rakaat kedua, shalat di belakang Abdurrahman bin Auf, lalu menyempurnakan rakaat yang terlewat. Orang-orang terkejut, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kalian telah berbuat baik,’ memuji mereka karena melaksanakan shalat tepat pada waktunya—yaitu di awal waktu.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dalam hal ini, aku lebih menyukai…”

Semua itu jika imam dekat, hendaknya meminta izin, dan aku menyukai jika imam menunjuk wakil untuk memimpin shalat berjamaah jika ia terlambat. Hal ini berlaku sama, baik di masa fitnah maupun bukan, kecuali jika mereka khawatir terhadap penguasa. Dalam hal ini, aku lebih suka mereka tidak terburu-buru menghadapi penguasa sampai mereka khawatir waktu shalat habis. Jika waktu hampir habis, mereka tidak punya pilihan selain shalat berjamaah atau sendiri, baik untuk shalat Jumat, hari raya, atau lainnya. Ali pernah memimpin shalat Id saat Utsman dikepung—semoga Allah merahmati mereka berdua. 

Jika sekelompok orang berkumpul dan di antara mereka ada penguasa (Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika penguasa memasuki suatu wilayah yang ia pimpin, lalu ia dan orang lain berkumpul di wilayah kekuasaannya, maka penguasa lebih berhak menjadi imam. Tidak boleh seorang pun mendahului penguasa di wilayah kekuasaannya, baik dalam shalat wajib, sunnah, maupun hari raya. Diriwayatkan bahwa penguasa lebih berhak memimpin shalat di wilayah kekuasaannya. Jika penguasa menunjuk seseorang, itu tidak masalah, karena orang itu menjadi imam atas perintah penguasa. Penguasa mutlak berwenang di mana pun ia berada. 

Jika khalifah memasuki wilayah yang tidak ia pimpin, sementara di sana ada penguasa lain, maka khalifah lebih berhak memimpin shalat karena penguasanya hanya berkuasa karena khalifah. Begitu pula jika ia memasuki wilayah yang dikuasai pemberontak, khalifah lebih berhak. Jika tidak ada khalifah, maka penguasa setempat lebih berhak. Jika ia pergi ke wilayah lain di luar kekuasaannya, maka ia sama dengan orang lain. 

[Memimpin shalat jika tidak ada penguasa] 

(Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ma’an bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud mengabarkan kepadaku dari Al-Qasim bin Abdurrahman dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Termasuk sunnah, tidak boleh ada yang memimpin shalat kecuali pemilik rumah.” (Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa sekelompok sahabat Nabi ﷺ berada di rumah salah seorang dari mereka. Ketika waktu shalat tiba, pemilik rumah menunjuk salah seorang dari mereka dan berkata, “Majulah, engkau lebih berhak menjadi imam di rumahmu.” Maka orang itu pun maju. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak suka jika seseorang memimpin shalat di rumah orang lain tanpa izin pemilik rumah. Jika diizinkan, maka ia memimpin atas perintah pemilik rumah, dan itu tidak masalah insya Allah. Yang aku tidak sukai adalah memimpin shalat di rumah orang lain tanpa izinnya. Namun jika ada izin, maka itu diperbolehkan.

Tinggalkan bagian yang menjadi haknya dalam imamah, dan tidak diperbolehkan bagi penguasa atau pemilik rumah untuk menjadi imam kecuali ia mampu membaca dengan baik apa yang mencukupi dalam shalat. Jika ia tidak bisa membaca apa yang mencukupi dalam shalat, maka tidak boleh baginya menjadi imam. Jika ia tetap memimpin shalat, shalatnya sah, tetapi shalat orang di belakangnya yang mampu membaca dengan baik menjadi batal. Begitu pula jika penguasa atau pemilik rumah termasuk orang yang tidak bisa membaca dengan baik, shalat orang yang mengikutinya tidak sah.

Jika seseorang yang bukan penguasa atau pemilik rumah maju menjadi imam tanpa izin dari keduanya, hal itu dimakruhkan baginya, tetapi ia dan orang yang shalat di belakangnya tidak wajib mengulang shalat. Karena tindakan maju menjadi imam jika terjadi karena kesalahan, shalat itu sendiri tetap sah. Baik imamah seorang laki-laki di rumahnya, baik ia budak atau merdeka, kecuali jika tuannya hadir, maka rumah itu adalah rumah sang tuan, dan ia lebih berhak menjadi imam. Jika penguasa berada di rumah seseorang, maka penguasa lebih berhak menjadi imam karena rumah itu termasuk dalam kekuasaannya.

Jika di suatu kota terdapat masjid jami’ yang tidak memiliki penguasa, maka siapa pun dari ahli fikih dan Quran yang memimpin shalat, aku tidak memakruhkannya. Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Malik bin Anas dari Nafi’ bahwa pemilik tempat khusus datang kepada Ibnu Umar.

[Perkumpulan orang di rumah mereka untuk shalat] 

Perkumpulan orang di rumah mereka sama saja. Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dari Ayyub dari Abu Qilabah, dari Abu Al-Yaman Malik bin Al-Huwairits, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika waktu shalat tiba, hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam.” Asy-Syafi’i berkata: Mereka adalah orang-orang yang datang bersama, sehingga kemungkinan bacaan dan pemahaman fikih mereka setara. Maka, diperintahkan agar yang paling tua menjadi imam. Demikianlah yang aku perintahkan kepada mereka, dan ini yang kami ambil. Kami memerintahkan suatu kaum jika berkumpul di suatu tempat yang tidak ada pemimpinnya dan bukan di rumah seseorang, agar mengangkat yang paling baik bacaannya, paling paham fikih, dan paling tua. Jika kriteria itu tidak terkumpul dalam satu orang, maka jika mereka memilih yang paling paham fikih selama ia bisa membaca Al-Quran dengan cukup untuk shalat, itu baik. Jika mereka memilih yang paling baik bacaannya selama ia memahami fikih yang diperlukan dalam shalat, itu juga baik. 

Kedua kriteria ini lebih diutamakan daripada yang lebih tua. Dikatakan—wallahu a’lam—agar yang paling baik bacaannya menjadi imam karena para imam terdahulu biasanya memeluk Islam saat sudah tua, sehingga mereka memahami fikih sebelum membaca Al-Quran. Sedangkan generasi setelahnya biasanya membaca Al-Quran sejak kecil sebelum memahami fikih. Maka, orang yang paham fikih meskipun hanya membaca sebagian Al-Quran lebih berhak menjadi imam, karena ia mungkin menghadapi situasi dalam shalat yang memerlukan pemahaman fikih, yang tidak diketahui oleh orang yang tidak paham fikih. Jika kemampuan fikih dan bacaannya setara, maka yang paling tua menjadi imam. Nabi ﷺ memerintahkan agar yang paling tua menjadi imam—menurut pendapatku, wallahu a’lam—karena kondisi mereka dalam bacaan dan ilmu hampir sama, sehingga diperintahkan yang paling tua. 

Meskipun di antara mereka ada yang memiliki nasab terhormat, jika mereka memilih yang bukan dari kalangan itu, shalat mereka sah. Namun jika mereka memilih yang memiliki nasab karena kemiripan kondisi dalam bacaan dan fikih, itu lebih baik, karena imamah adalah kedudukan keutamaan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Utamakan Quraisy dan jangan mendahulukan yang lain.” Maka, aku lebih suka jika yang hadir dari kalangan mereka diutamakan sebagai bentuk mengikuti Rasulullah ﷺ selama ada alasan untuk itu. 

Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata: Dahulu dikatakan, “Hendaklah yang paling paham fikih menjadi imam.” Jika pemahaman fikih mereka setara…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

“Bacalah mereka, jika mereka setara dalam pemahaman fikih dan bacaan Al-Qur’an, maka pilihlah yang lebih tua. Kemudian aku mengulangi pertanyaanku tentang budak yang menjadi imam, dan aku bertanya, ‘Apakah budak boleh menjadi imam jika dia yang paling paham?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ (Asy-Syafi’i berkata): Abdul Majid bin Abdul Aziz mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Nafi’ mengabarkan kepadaku, dia berkata: Shalat didirikan di sebuah masjid di suatu daerah Madinah, sementara Ibnu Umar memiliki tanah yang dikerjakannya dekat masjid itu. Imam masjid tersebut adalah budaknya, dan tempat tinggal budak itu beserta para sahabatnya. Ketika Abdullah bin Umar mendengar mereka, dia datang untuk shalat bersama mereka. Budak pemilik masjid itu berkata kepadanya, ‘Majulah dan imamilah.’ Abdullah berkata, ‘Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu daripada aku.’ Maka budak pemilik masjid itu pun mengimami shalat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Pemilik masjid seperti pemilik rumah. Aku tidak suka jika ada yang mendahuluinya kecuali penguasa. Jika seseorang yang tidak disukai menjadi imam memimpin shalat, shalatnya tetap sah. Namun yang utama adalah seperti yang telah kujelaskan, yaitu mendahulukan orang yang lebih paham fikih, lebih baik bacaannya, lebih tua, dan lebih tinggi nasabnya. Jika seorang badui mengimami muhajir atau penduduk desa, tidak masalah—insya Allah—tetapi aku lebih suka orang yang lebih utama menjadi imam dalam segala kondisi. Shalat yang dipimpin oleh seorang muslim baligh yang menegakkan shalat adalah sah, begitu pula shalat makmum di belakangnya, meskipun keadaannya dalam agama tidak terpuji, sejauh mana pun dia menyimpang dari pujian dalam agama. 

Para sahabat Nabi ﷺ pernah shalat di belakang penguasa dan lainnya yang perbuatan mereka tidak terpuji. (Asy-Syafi’i berkata): Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar mengasingkan diri di Mina saat terjadi pertempuran antara Ibnu Zubair dan Al-Hajjaj di Mina, lalu dia shalat bersama Al-Hajjaj. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Hatim mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, bahwa Al-Hasan dan Al-Husain—semoga Allah meridhai mereka—pernah shalat di belakang Marwan. Dia berkata, ‘Apakah mereka tidak shalat lagi ketika pulang ke rumah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, mereka tidak menambah shalat selain shalat bersama imam.’ 

[Shalat seseorang mengikuti shalat orang lain tanpa niat menjadi imam] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata: Jika seseorang memulai shalat untuk dirinya sendiri tanpa berniat menjadi imam, lalu datang sekelompok orang atau seorang lalu shalat mengikutinya, maka shalatnya sah sebagai imam bagi mereka, dan tidak ada bedanya dengan orang yang berniat shalat untuk mereka. Jika hal ini tidak diperbolehkan, maka tidak boleh juga seseorang berniat menjadi imam bagi seseorang atau sekelompok kecil tertentu tanpa berniat mengimami orang lain, lalu datang banyak orang dan shalat bersama mereka. Namun, semua ini diperbolehkan—insya Allah. Aku memohon kepada Allah taufik. 

[Kebencian terhadap imamah] 

(Asy-Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—Shafwan bin Sulaim meriwayatkan dari Al-Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, ‘Akan datang suatu kaum yang shalat untuk kalian. Jika mereka menyempurnakan shalat, maka pahalanya untuk mereka dan kalian. Jika mereka mengurangi, maka dosanya untuk mereka dan kalian.’ (Asy-Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dia menyampaikannya kepada Nabi ﷺ, beliau bersabda, ‘Imam adalah penanggung jawab, dan muadzin adalah orang yang dipercaya. Ya Allah, berilah petunjuk kepada para imam dan ampunilah para muadzin.’ (Asy-Syafi’i berkata): Sabda Rasulullah ﷺ—dan Allah lebih tahu—seolah-olah bermakna: Jika mereka menyempurnakan shalat di awal waktu, membaca Al-Qur’an dengan sempurna, khusyuk, bertasbih saat rukuk dan sujud, menyempurnakan tasyahud dan dzikir, maka itulah kesempurnaan. Jika kurang dari itu, shalat mereka tetap sah untuk mereka dan kalian. Namun, mereka berdosa karena sengaja meninggalkan yang utama, sedangkan kalian mendapatkan apa yang kalian niatkan meskipun tidak sempurna karena mengikuti mereka dalam hal-hal yang sah dalam shalat, meskipun ada yang lebih utama. Mereka berdosa karena mengakhirkan shalat dari waktunya.”

Awal waktu dan melaksanakan minimal yang cukup dari bacaan, rukuk, dan sujud tanpa menyempurnakannya. Kewajiban kalian hanyalah mengikuti mereka dalam hal yang mencukupi bagi kalian, sedangkan mereka wajib mengurangi dari kesempurnaan dan kelengkapan. Termasuk juga dalam hal ini adalah apa yang mereka sembunyikan seperti perlahan dalam bacaan dan zikir. Namun, jika mereka meninggalkan sebagian besar shalat secara terang-terangan hingga waktu habis, atau tidak melaksanakan shalat dengan cara yang sah, maka tidak halal bagi siapa pun untuk mengikuti mereka atau meninggalkan shalat hingga waktunya berlalu, atau melaksanakan shalat yang tidak sah. 

Orang-orang wajib shalat untuk diri mereka sendiri atau berjamaah dengan selain orang yang melakukan hal ini (yang shalat untuk mereka). Jika ada yang bertanya, “Apa dalil dari apa yang engkau sebutkan?” Katakanlah, Allah Ta’ala berfirman: “Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59). Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan para pemimpin pasukan, dan mereka diperintahkan jika berselisih dalam suatu perkara—yaitu perbedaan pendapat di antara mereka—untuk mengembalikannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Hukum Allah dan Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah agar shalat dilaksanakan pada waktunya dan dengan tata cara yang sah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Siapa yang memerintahkan kalian dengan sesuatu yang bukan ketaatan kepada Allah, maka jangan taati.” Jika mereka mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya, atau tidak melaksanakannya dengan tata cara yang sah, maka ini termasuk dosa besar yang Allah perintahkan untuk dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk tidak menaati mereka dalam hal ini. 

Aku menyukai azan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ampunilah para muazin.” Namun, aku tidak menyukai imamah (kepemimpinan shalat) karena tanggung jawabnya. Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan menunaikan kewajibannya dalam imamah. Jika ia melakukannya, aku berharap ia berada dalam keadaan yang lebih baik daripada yang lain. 

[Kewajiban Imam] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Diriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah seorang imam shalat bersama suatu kaum lalu ia mengkhususkan diri dengan doa tanpa mereka.'” Diriwayatkan pula dari ‘Atha bin Abi Rabah hadis serupa. Demikianlah yang kusukai bagi seorang imam. Namun, jika ia tidak melakukannya tetapi tetap melaksanakan shalat pada waktunya, shalatnya dan shalat makmum tetap sah, tetapi ia memiliki kekurangan karena mengkhususkan diri tanpa mereka atau tidak menjaga shalat di awal waktu dengan sempurna dalam rukuk dan sujud. 

[Memimpin Shalat Sedangkan Kaum Membencinya] 

Barangsiapa memimpin shalat suatu kaum sedangkan mereka membencinya—(Imam Syafi’i rahimahullah berkata)—dikatakan, “Tidak diterima shalat orang yang memimpin suatu kaum sedangkan mereka membencinya, tidak pula shalat seorang wanita yang suaminya tidak ridha, atau shalat budak yang kabur hingga ia kembali.” Aku tidak menghafal riwayat yang sahih dari ahli hadits mengenai hal ini.

Dari saya, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui, tentang seorang laki-laki yang bukan pemimpin yang mengimami suatu jamaah yang membencinya. Saya membenci hal itu bagi imam, tetapi tidak masalah bagi makmum dalam keadaan ini karena makmum tidak melakukan sesuatu yang dibenci. Shalat makmum dalam keadaan ini tetap sah, dan saya tidak mengetahui kewajiban mengulang bagi imam karena kesalahannya dalam memimpin tidak menghalanginya untuk menunaikan shalat, meskipun saya khawatir terhadap tindakannya dalam memimpin. 

Demikian pula seorang wanita yang ditinggal suaminya, atau seorang budak yang melarikan diri, saya khawatir terhadap perbuatan mereka, tetapi tidak ada kewajiban mengulang shalat bagi salah satu dari mereka jika mereka telah shalat dalam keadaan tersebut. Begitu pula seorang laki-laki yang keluar untuk merampok, minum khamr, atau melakukan maksiat, saya khawatir terhadap perbuatannya. Namun, jika dia shalat pada waktunya, saya tidak mewajibkannya untuk mengulanginya, meskipun lebih baik jika dia mengulanginya setelah meninggalkan perbuatan yang dibenci. 

Saya membenci seorang laki-laki yang memimpin suatu kaum sementara mereka membencinya. Jika dia memimpin mereka, dan sebagian besar tidak membencinya sementara sebagian kecil membencinya, saya tidak membencinya kecuali dari sisi kebencian terhadap kepemimpinan secara umum. Sebab, tidak ada seorang pemimpin—baik sedikit atau banyak—yang tidak dibenci oleh sebagian orang. Yang diperhatikan dalam hal ini adalah mayoritas, bukan minoritas. Singkatnya, saya membenci kepemimpinan dalam segala keadaan. 

Jika seorang laki-laki memimpin suatu kaum, dia tidak boleh menerima kepemimpinan itu kecuali jika dia mampu memikul tanggung jawab kepemimpinan dalam segala keadaan, amanah terhadap orang yang dipimpinnya, tidak memihak musuh dengan membebankan hal yang tidak benar, waspada, tidak menipu, menjaga harta dan keputusan mereka, serta menegakkan kebenaran. Jika salah satu dari ini tidak terpenuhi, tidak halal baginya untuk memimpin, dan tidak boleh bagi siapa pun yang mengetahuinya untuk mengangkatnya sebagai pemimpin. 

Selain itu, lebih disukai jika dia bersikap lembut terhadap manusia. Jika tidak bisa, tetapi kemarahannya tidak sampai melampaui batas atau mengambil yang batil, itu tidak masalah karena sifat seperti ini adalah watak yang tidak bisa dihindari. Namun, jika dia memimpin dalam keadaan yang diharapkan lalu berubah, maka penguasa wajib mencopotnya, dan dia tidak boleh memimpin lagi. 

Jika seseorang memimpin suatu kaum yang sebagian besar membencinya, dia tidak berdosa insya Allah, kecuali jika meninggalkan kepemimpinan lebih baik baginya, baik mereka mencintainya atau membencinya. 

[Tentang Imam yang Mempercepat Shalat] 

Diriwayatkan dari Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Abuz-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat mengimami orang banyak, hendaknya dia meringankannya, karena di antara mereka ada yang sakit dan lemah. Jika shalat sendirian, maka boleh memanjangkannya sesuai keinginan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Beliau adalah orang yang paling ringan shalatnya ketika mengimami orang banyak dan paling panjang shalatnya ketika sendirian.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dan Amr bin Abi Amr meriwayatkan dari Al-A’la bin Abdurrahman, dari Anas bin Malik yang berkata: “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sempurna shalatnya daripada Rasulullah ﷺ.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Saya lebih suka jika seorang imam…

Meringankan shalat dan menyempurnakannya seperti yang diriwayatkan oleh Anas dan yang bersamanya, serta meringankan dan menyempurnakannya telah tertulis dalam kitab bacaan Imam di tempat lain. Jika Imam tergesa-gesa dari apa yang kusukai dari kesempurnaan penguatan, aku tidak menyukai hal itu baginya, dan tidak ada kewajiban mengulang baginya maupun bagi makmum di belakangnya jika ia telah melaksanakan minimal yang wajib dalam shalat.

[BAB SIFAT-SIFAT IMAM]

Tidak ada dalam tarjamah, namun terdapat hal-hal terkait keutamaan Quraisy, keutamaan Anshar, dan isyarat tentang kepemimpinan besar. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Fudaik menceritakan kepadaku dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab bahwa ia sampai kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Utamakan Quraisy dan jangan mendahuluinya, belajarlah darinya dan jangan mengajarinya, atau ajarkanlah ia” – keraguan dari Ibnu Abi Fudaik. (Asy-Syafi’i berkata): -rahimahullah Ta’ala- Ibnu Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Hakim bin Abi Hakim bahwa ia mendengar Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab berkata, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa menghina Quraisy, Allah akan menghinanya.” Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Al-Harits bin Abdurrahman bahwa ia sampai kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Seandainya Quraisy tidak sombong, niscaya aku akan memberitahukan apa yang ada untuk mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Asy-Syafi’i berkata): Ibnu Abi Fudaik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi’b dari Syarik bin Abdullah bin Abi Numair dari ‘Atha’ bin Yasar bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Quraisy: “Kalian adalah orang yang paling berhak memegang urusan ini selama kalian berada di atas kebenaran, kecuali jika kalian berbuat zalim, maka kalian akan dicabut seperti dicabutnya pelepah ini,” sambil menunjuk pelepah di tangannya. (Asy-Syafi’i berkata): Yahya bin Sulaim bin Abdullah bin Utsman bin Khaitsam mengabarkan kepada kami dari Isma’il bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al-Anshari dari ayahnya dari kakeknya, Rifa’ah, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berseru: “Wahai manusia, sesungguhnya Quraisy adalah pemegang kepemimpinan. Barangsiapa memusuhinya dengan kejahatan, Allah akan menjungkirbalikkannya.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Asy-Syafi’i menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi mengabarkan kepadaku dari Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Al-Had dari Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi bahwa Qatadah bin An-Nu’man mencela Quraisy, seakan ia mencela mereka. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Pelankanlah, wahai Qatadah. Janganlah kamu mencela Quraisy, karena mungkin kamu akan melihat dari mereka orang-orang, atau akan datang dari mereka orang-orang yang membuat amalmu terlihat kecil dibanding amal mereka, dan perbuatanmu dibanding perbuatan mereka, dan kamu akan iri ketika melihat mereka. Seandainya Quraisy tidak melampaui batas, niscaya aku akan memberitahukan apa yang ada untuk mereka di sisi Allah.” (Asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid mengabarkan kepadaku dari Ibnu Abi Dzi’b dengan sanad yang tidak kuhafal bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tentang Quraisy sesuatu yang baik yang tidak kuhafal, dan beliau bersabda: “Orang-orang jahat Quraisy adalah sebaik-baik orang jahat di antara manusia.” Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

Anda akan menemukan manusia seperti berbagai jenis mineral; yang terbaik di masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika mereka memahami.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dia berkata: “Orang-orang Yaman datang kepada kalian, mereka adalah yang paling lembut hatinya dan paling halus perasaannya. Iman ada di Yaman dan hikmah juga Yaman.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari pamannya Muhammad bin Al-Abbas, dari Al-Hasan bin Al-Qasim Al-Azraqi, dia berkata: “Rasulullah ﷺ berdiri di sebuah bukit di Tabuk, lalu bersabda: ‘Ini arah Syam,’ sambil menunjuk ke arah Syam, ‘dan ini arah Yaman,’ sambil menunjuk ke arah Madinah.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dia berkata: “Thufail bin ‘Amr Ad-Dausi datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Daus telah durhaka dan menolak (Islam), maka berdoalah kepada Allah untuk mereka.’ Rasulullah ﷺ lalu menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Orang-orang berkata: ‘Celakalah Daus!’ Namun beliau bersabda: ‘Ya Allah, berilah petunjuk kepada Daus dan datangkanlah mereka (ke dalam Islam).'”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seandainya bukan karena hijrah, aku pasti akan menjadi seorang dari Anshar. Dan seandainya manusia menempuh suatu lembah atau jalan, niscaya aku akan menempuh lembah atau jalan Anshar.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Abdul Karim bin Muhammad Al-Jurjani, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Ibnul Ghasil dari seorang yang disebutkan namanya, dari Anas bin Malik: “Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan sakit, lalu berkhutbah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda: ‘Sesungguhnya kaum Anshar telah menunaikan kewajiban mereka, dan yang tersisa adalah kewajiban kalian terhadap mereka. Maka terimalah kebaikan mereka dan maafkan kesalahan mereka.'”

Dalam riwayat lain dari Al-Hasan disebutkan: “Selama tidak melanggar batas (hukum).”

Al-Jurjani dalam riwayatnya menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, ampunilah kaum Anshar, anak-anak Anshar, dan cucu-cucu Anshar.”

Dalam riwayatnya juga disebutkan: “Nabi ﷺ ketika keluar dengan diusung, para wanita dan anak-anak Anshar menangis karena sedih. Kemudian beliau berkhutbah,” dan menyampaikan pesan tersebut.

Asy-Syafi’i berkata: Sebagian ulama menceritakan kepadaku bahwa Abu Bakar pernah berkata: “Aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat untuk kaum Anshar ini kecuali apa yang dikatakan oleh Thufail Al-Ghanawi:

‘Mereka enggan membuat kami bosan, padahal jika ibu kami merasakan apa yang mereka rasikan, niscaya dia akan bosan. 

Mereka menyatukan kami dengan jiwa mereka, dan melindungi kami di rumah-rumah yang hangat dan teduh. 

Semoga Allah membalas Ja’far atas kebaikannya ketika kami terpeleset, 

dan ketika kendaraan kami tergelincir di antara orang-orang yang berjalan.'”

Ar-Rabi’ berkata: “Bait terakhir ini tidak terdapat dalam hadits.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Abdul Karim bin Muhammad Al-Jurjani, dari Al-Mas’udi, dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dia berkata: “Tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin kecuali kaum Anshar memiliki jasa besar atas mereka. Bukankah mereka telah melapangkan tempat tinggal, berbagi hasil kebun, dan mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan?”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketika aku sedang menimba air dari sumur—maksudnya dalam mimpi, dan mimpi para nabi adalah wahyu—tiba-tiba datang Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar) lalu menimba satu atau dua timba, dan dalam tindakannya terdapat kelemahan—semoga Allah mengampuninya. Kemudian datang Umar bin Al-Khaththab dan menimba hingga timba itu berubah menjadi besar di tangannya, lalu dia memberi minum orang-orang hingga puas. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang begitu kuat dalam melakukannya.”

Muslim bin Khalid menambahkan: “Dia memuaskan dahaga dan memberi minum orang-orang hingga puas.”

Asy-Syafi’i berkata: “Sabda beliau ‘dalam tindakannya terdapat kelemahan’ maksudnya adalah masa kepemimpinannya yang singkat, wafatnya yang cepat, dan kesibukannya memerangi kaum murtad, sehingga tidak sempat melakukan perluasan dan penambahan (kebaikan) seperti yang dicapai Umar.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Panjang Masa dan Ucapannya tentang Umar 

“Lalu berubah di tangannya menjadi gayung besar.” Gayung besar adalah ember besar yang hanya bisa diangkat oleh binatang atau alat pengangkat, tidak bisa diangkat oleh seorang lelaki dengan tangannya sendiri karena panjangnya. Dan bertambah dalam Islam, tidak pernah berhenti mengagungkan urusannya dan nasihatnya kepada kaum Muslimin seperti menguji gayung besar. 

Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan bertanya tentang sesuatu. Beliau menyuruhnya untuk kembali. Wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika aku kembali, aku tidak menemukanmu.’ Seolah-olah dia bermaksud kematian. Beliau bersabda, ‘Datanglah kepada Abu Bakar.'” 

Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Sulaim dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, dia berkata: “Kami dipimpin oleh Abu Bakar, sebaik-baik khalifah Allah, yang paling penyayang dan lembut terhadapnya.” 

[Shalat Musafir Mengimami Orang yang Mukim] 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh orang yang terpercaya dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya, “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat di Mina dua rakaat, begitu pula Abu Bakar dan Umar.” 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Umar bin Al-Khathab seperti itu. 

(Asy-Syafi’i berkata): “Demikianlah yang aku sukai bagi seorang imam, baik musafir maupun mukim, agar tidak menyerahkan kepada orang lain dan memerintahkan orang-orang mukim di belakangnya untuk menyempurnakan shalat, kecuali jika mereka telah paham, maka cukup dengan pemahaman mereka – insya Allah Ta’ala.” 

Jika berkumpul musafir dan mukim, jika pemimpin dari salah satu kelompok, maka dia shalat bersama mereka, baik musafir maupun mukim. Jika dia mukim, lalu orang lain yang mukim shalat bersama mereka, maka aku lebih suka agar dia memerintahkan orang yang mukim dan tidak menyerahkan imam kecuali kepada orang yang tidak boleh mengqashar. Jika dia memerintahkan musafir, aku tidak menyukainya jika di belakangnya ada orang mukim, dan orang mukim mengikuti shalat musafir tanpa perlu mengulang. 

Jika tidak ada pemimpin di antara mereka, maka aku lebih suka orang mukim yang mengimami agar shalat mereka semua dengan imam, dan orang musafir mundur dari jamaah dan menyempurnakan jumlah shalat. 

Jika mereka mengedepankan musafir sebagai imam, maka itu cukup bagi mereka, dan orang mukim mengikuti shalat musafir jika dia mengqashar. Jika dia menyempurnakan, shalat mereka sah. Jika musafir mengimami orang mukim dan menyempurnakan shalat, maka shalatnya sah, begitu pula shalat orang mukim dan musafir di belakangnya. 

[Shalat Seseorang dengan Kaum yang Tidak Mengenalnya] 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Seandainya suatu kaum dalam perjalanan, di tempat tinggal, atau lainnya mengikuti seorang lelaki yang tidak mereka kenal, lalu dia mendirikan shalat, maka shalat mereka sah. Bahkan jika mereka ragu, apakah dia Muslim atau bukan, shalat mereka tetap sah. Karena jika dia mendirikan shalat sebagai imam, secara zahir dia Muslim sampai mereka tahu bahwa dia bukan Muslim.” 

“Jika mereka mengenalnya sebagai non-Muslim, dan termasuk orang yang mengenalnya dengan pengetahuan yang menurut kebiasaan mereka keislamannya tidak mungkin tersembunyi, lalu dia masuk Islam dan shalat, kemudian mereka shalat di belakangnya di masjid berjamaah atau di tanah lapang, shalat mereka tidak sah kecuali jika mereka bertanya dan dia menjawab, ‘Aku masuk Islam sebelum shalat,’ atau ada orang yang mereka percaya memberitahu bahwa dia Muslim sebelum shalat.” 

“Jika dia memberitahu mereka bahwa dia masuk Islam sebelum shalat, maka shalat mereka sah. Tetapi jika mereka shalat bersamanya dalam keadaan tahu dia musyrik dan tidak tahu keislamannya sebelum shalat, lalu dia memberitahu setelah shalat bahwa dia masuk Islam sebelumnya, shalat mereka tidak sah. Karena mereka tidak boleh mengikutinya dalam keadaan tahu kekafirannya, meskipun tidak tahu keislamannya sebelum mengikutinya.” 

“Jika mereka shalat di belakang seseorang berkali-kali, lalu dia memberitahu bahwa dia bukan Muslim, atau mereka tahu dari orang lain, maka mereka harus mengulangi semua shalat yang dilakukan di belakangnya. Begitu pula jika dia masuk Islam kemudian murtad, lalu mereka shalat bersamanya dalam keadaan murtad sebelum dia kembali ke Islam, mereka harus mengulangi semua shalat yang dilakukan bersamanya.”

[Kepemimpinan Wanita dalam Shalat bagi Laki-Laki] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang wanita shalat bersama laki-laki, wanita, dan anak laki-laki kecil, maka shalat para wanita sah, sedangkan shalat laki-laki dan anak laki-laki kecil tidak sah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita dan membatasi mereka (wanita) dari menjadi pemimpin atau yang lainnya. Tidak diperbolehkan sama sekali bagi seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat dalam kondisi apa pun. Demikian pula, jika di antara yang shalat bersama wanita tersebut ada seorang khuntsa (orang dengan jenis kelambigu), shalatnya tidak sah. Jika seorang khuntsa shalat bersamanya dan belum menyelesaikan shalatnya hingga jelas bahwa dia adalah wanita, maka aku berpendapat dia harus mengulangi shalatnya, dan shalatnya tidak sah karena pada saat shalat bersamanya, dia bukan termasuk orang yang boleh mengikutinya (sebagai imam). 

[Kepemimpinan Wanita dan Posisinya dalam Shalat Berjamaah] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari ‘Ammar Ad-Duhni dari seorang wanita dari kaumnya yang bernama Hajirah, bahwa Ummu Salamah pernah menjadi imam mereka dan berdiri di tengah. 

(Imam Syafi’i berkata): Al-Laits meriwayatkan dari ‘Atha’ dari ‘Aisyah bahwa beliau shalat bersama para wanita pada shalat Asar dan berdiri di tengah mereka. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Shafwan yang berkata, “Termasuk sunnah, seorang wanita yang menjadi imam bagi wanita lain berdiri di tengah mereka.” 

(Imam Syafi’i berkata): Ali bin Al-Husain pernah memerintahkan seorang budak perempuannya untuk mengimami keluarganya pada bulan Ramadan. ‘Amrah juga memerintahkan seorang wanita untuk menjadi imam bagi para wanita pada bulan Ramadan. 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang wanita boleh menjadi imam bagi wanita lain dalam shalat fardhu maupun lainnya. Aku memerintahkan agar dia berdiri di tengah shaf. Jika ada banyak wanita bersamanya, aku memerintahkan agar shaf kedua berdiri di belakang shafnya, begitu pula shaf-shaf berikutnya. Mereka harus mengatur shaf seperti shaf laki-laki jika jumlah mereka banyak, tidak berbeda dalam hal apa pun kecuali bahwa wanita berdiri di tengah dan merendahkan suaranya saat takbir dan dzikir yang dikeraskan dalam shalat seperti bacaan Al-Qur’an dan lainnya. Jika seorang wanita berdiri di depan para wanita, shalatnya dan shalat orang di belakangnya sah. Namun, aku lebih menyukai jika yang menjadi imam bagi wanita adalah seorang wanita merdeka karena dia shalat dengan menutup diri (berhijab). Jika seorang budak perempuan menjadi imam, baik dengan menutup kepala atau tidak, sementara makmumnya wanita merdeka yang berhijab, shalat mereka tetap sah karena itu adalah kewajiban mereka. 

Menjadikan orang yang duduk sebagai imam sedangkan makmum di belakangnya berdiri lebih utama daripada menjadikan budak perempuan yang tidak menutup kepala atau wanita merdeka yang berhijab sebagai imam. 

[Kepemimpinan Orang Buta] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Mahmud bin Ar-Rabi’ bahwa ‘Itban bin Malik pernah menjadi imam bagi kaumnya padahal dia buta. Dia berkata kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Kadang terjadi kegelapan, hujan, dan banjir, sementara aku adalah orang yang lemah penglihatannya. Wahai Rasulullah, tentukanlah tempat di rumahku yang bisa kujadikan tempat shalat.” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kemudian datang dan bertanya, “Di mana kamu ingin kami shalat?” Lalu ‘Itban menunjuk suatu tempat di rumahnya, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- shalat di sana. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari…

Mahmud bin Rabi’ menceritakan bahwa ‘Itban bin Malik pernah menjadi imam bagi kaumnya padahal ia buta. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar sejumlah ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat Ibnu Ummi Maktum—yang buta—sebagai penggantinya untuk mengimami shalat jamaah dalam beberapa peperangan. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku membolehkan seorang yang buta menjadi imam. Orang buta yang telah menghadap kiblat lebih kecil kemungkinannya untuk terganggu oleh hal-hal yang dilihat matanya. Siapa pun yang menjadi imam, baik ia sehat atau buta, jika ia menegakkan shalat dengan benar, maka shalatnya sah. Namun, aku tidak memilih mengutamakan imam yang buta dibanding yang sehat, karena kebanyakan imam yang ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang bisa melihat. Aku juga tidak mengutamakan imam yang sehat dibanding yang buta, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering menemukan banyak orang sehat yang beliau perintahkan untuk menjadi imam, lebih banyak daripada orang buta yang diperintahkan untuk itu. 

[Imamnya Budak] 

(Imam Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, yang berkata: Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah mengabarkan kepadaku bahwa mereka dahulu mendatangi Aisyah Ummul Mukminin di bagian atas lembah, bersama Ubaid bin Umair, Al-Miswar bin Makhramah, dan banyak orang lainnya. Lalu Abu Amr, budak Aisyah—yang saat itu belum merdeka—mengimami mereka. Dia adalah imam keluarga Muhammad bin Abi Bakar dan Urwah. 

(Imam Syafi’i berkata): Yang lebih utama adalah mendahulukan orang yang memiliki keutamaan dalam imamah sebagaimana telah kujelaskan, serta mendahulukan orang merdeka dibanding budak. Namun, tidak masalah jika seorang budak mengimami orang merdeka, baik di masjid jamaah, di perjalanan, di rumah, shalat Jumat, shalat Id, atau shalat lainnya. 

Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin seorang budak mengimami shalat Jumat padahal shalat Jumat tidak wajib baginya? 

Jawabannya: Kewajiban shalat Jumat tidak berlaku baginya menurut pendapatku, dalam arti ia tidak dipaksa untuk menghadirinya, sebagaimana shalat Jumat juga tidak wajib bagi wanita dan musafir.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Tentang Imam yang Kesulitan, Ketakutan, atau Musafir 

Barangsiapa yang merasa sempit, takut, atau sedang bepergian, lalu salah satu dari mereka shalat Jumat, maka itu sudah mencukupinya. Dijelaskan bahwa setiap orang dari mereka jika hadir, shalatnya sudah mencukupi, yaitu shalat Zhuhur yang biasanya empat rakaat. Jika dia shalat bersama jamaah, maka itu mencukupi untuknya dan mereka. 

[Imam yang Berbahasa Asing] 

Abdul Majid mengabarkan dari Ibnu Juraij, dia berkata: Atha’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku mendengar Ubaid bin Umair berkata: Sekelompok orang berkumpul di sekitar Mekkah—aku kira dia berkata di bagian atas lembah ini—saat haji. Ketika waktu shalat tiba, seorang laki-laki dari keluarga Abu Saib maju sebagai imam, tetapi lisannya tidak fasih (a’jami). Maka Musawwir bin Makhramah menggesernya dan mengangkat orang lain. Ketika Umar bin Khatab mendengar hal ini, dia tidak menegur sampai Musawwir datang ke Madinah. Setibanya di Madinah, Umar menanyainya. Musawwir berkata: “Wahai Amirul Mukminin, beri aku kesempatan. Orang itu lisannya tidak fasih, dan saat itu sedang haji. Aku khawatir jika sebagian jamaah haji mendengar bacaannya, mereka akan menirukan ucapannya yang tidak fasih.” Umar berkata: “Kamu benar.” Musawwir menjawab: “Ya.” Umar berkata: “Kamu telah melakukan yang tepat.” 

Asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai tindakan Musawwir dan persetujuan Umar untuk menggeser seseorang yang ingin menjadi imam tetapi tidak pantas, dan menggantinya dengan orang lain jika imamnya tidak fasih. Demikian juga jika imamnya tidak baik dalam agama atau tidak memahami tata cara shalat. Aku lebih suka tidak ada yang maju sebagai imam kecuali orang yang hafal bacaannya dan fasih. Aku tidak suka imam yang salah bacaannya, karena kesalahan bacaan bisa mengubah makna. Jika seorang yang tidak fasih atau sering salah baca menjadi imam, tetapi dia membaca Al-Fatihah dengan benar atau kesalahannya tidak mengubah makna, maka shalatnya dan shalat makmum sah. Namun, jika kesalahannya mengubah makna, shalat makmum tidak sah, tetapi shalat imam tetap sah jika tidak ada orang lain yang lebih baik. Seperti halnya jika dia shalat tanpa membaca karena tidak bisa membaca. 

Begitu pula jika dia mengucapkan sebagian bacaan dengan bahasa asing karena tidak bisa mengucapkannya dengan benar, shalatnya sah, tetapi shalat makmum tidak sah, baik mereka membaca bersamanya atau tidak. Jika mereka bermakmum kepadanya, dan keduanya membaca Al-Fatihah dengan salah atau salah satu mengucapkan bahasa asing dalam bacaan selain Al-Fatihah, shalat mereka sah selama niatnya membaca Al-Qur’an meski dengan bahasa asing atau salah. Namun, jika niatnya bukan membaca Al-Qur’an, shalatnya batal. Jika mereka bermakmum kepadanya, shalat mereka batal. Jika mereka keluar dari shalatnya saat shalatnya batal, lalu mengangkat imam lain atau shalat sendiri, shalat mereka sah. 

[Imam Anak Hasil Zina] 

Malik mengabarkan dari Yahya bin Sa’id bahwa seorang laki-laki pernah menjadi imam di ‘Aqiq, lalu Umar bin Abdul Aziz melarangnya karena ayahnya tidak dikenal. Asy-Syafi’i berkata: “Aku tidak suka mengangkat orang yang tidak dikenal ayahnya sebagai imam, karena imam adalah posisi keutamaan. Shalat makmum di belakangnya sah, dan shalatnya juga sah. Demikian juga aku tidak suka imam yang fasik, pelaku bid’ah, atau orang yang shalat di belakang mereka. Shalat makmum sah dan tidak perlu diulang selama imam menegakkan shalat dengan benar.” 

[Imam Anak yang Belum Baligh] 

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika seorang anak yang belum baligh tetapi sudah mengerti shalat dan bisa membaca menjadi imam bagi laki-laki dewasa, shalat mereka sah. Namun, yang lebih utama adalah tidak ada yang menjadi imam kecuali yang sudah baligh, dan imam yang baligh sebaiknya memahami hal-hal yang mungkin terjadi dalam shalat.”

[Kepemimpinan Orang yang Tidak Mahir Membaca] 

Kepemimpinan orang yang tidak mahir membaca dan menambahkan dalam Al-Qur’an: Jika seorang yang buta huruf (ummi) atau yang tidak mahir membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) menjadi imam, meskipun ia mahir membaca bagian lain dari Al-Qur’an tetapi tidak mahir membaca Ummul Qur’an, maka shalat orang yang mahir membaca Ummul Qur’an bersamanya tidak sah. Namun, jika yang menjadi imam adalah orang yang tidak mahir membaca, shalatnya dan shalat makmum yang juga tidak mahir membaca bersamanya tetap sah. 

Jika imam tidak mahir membaca Ummul Qur’an tetapi mahir membaca tujuh atau delapan ayat, sementara makmum di belakangnya tidak mahir membaca Ummul Qur’an tetapi mahir membaca bagian Al-Qur’an lebih banyak daripada imam, shalat mereka tetap sah karena sama-sama tidak mahir membaca Ummul Qur’an, sedangkan imam sudah membaca kadar yang cukup untuk shalatnya. 

Jika seorang laki-laki menjadi imam bagi suatu kaum yang bisa membaca tetapi tidak tahu apakah ia mahir membaca atau tidak, lalu ternyata ia tidak mahir membaca Ummul Qur’an dan hanya melantunkan sajak-sajak (yang bukan dari Al-Qur’an), maka shalat mereka tidak sah dan mereka harus mengulangi shalat. Mereka wajib keluar dari shalat di belakangnya jika imam melantunkan sajak yang bukan dari Al-Qur’an. Hal ini karena ketidakmahiran imam dalam membaca Al-Qur’an, dan sajaknya menjadi bukti jelas bahwa ia tidak mahir membaca. Oleh karena itu, mereka tidak boleh melanjutkan shalat bersamanya. 

Jika mereka awalnya mengira imam mahir membaca dan memulai shalat bersamanya, lalu imam melantunkan sajak, lebih baik mereka keluar dari shalatnya dan memulai shalat baru. Jika mereka tidak melakukannya, atau keluar saat imam bersajak lalu shalat sendiri atau mengangkat imam lain, shalat mereka sah sebagaimana sahnya shalat di belakang imam yang mahir membaca tetapi merusak shalatnya dengan sengaja berbicara atau berbuat sesuatu. Shalat makmum tidak batal karena imam merusak shalatnya, selama awalnya mereka boleh shalat bersamanya. 

Jika seseorang yang tidak diketahui kemahirannya dalam membaca menjadi imam dalam shalat sirriyah (tidak dikeraskan), lebih baik mereka mengulang shalat sebagai sikap hati-hati, tetapi menurut pendapatku, hal itu tidak wajib. Sebab, biasanya seorang muslim tidak akan memimpin shalat kecuali jika ia mampu melaksanakan syarat sah shalat, insya Allah. Namun, jika imam dalam shalat jahriyah (dikeraskan) tidak membaca apa pun, mereka wajib mengulang shalat karena imam meninggalkan bacaan. Meskipun imam berkata, “Aku membaca dalam hati,” jika makmum tidak tahu apakah ia mahir membaca, lebih baik mereka mengulang shalat karena tidak ada bukti bahwa imam mahir membaca atau mendengar bacaannya. 

[Kepemimpinan Orang yang Junub] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik bin Anas, dari Ismail bin Abi Hakim, dari ‘Atha’ bin Yasar: “Nabi ﷺ bertakbir dalam suatu shalat, lalu memberi isyarat agar jamaah tetap di tempat, kemudian beliau pergi dan terlihat bekas air di kulitnya.” Diriwayatkan juga dari sumber terpercaya, dari Usamah bin Zaid, dari Abdullah bin Yazid, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban, dari Abu Hurairah, dengan makna serupa. Diriwayatkan pula dari sumber terpercaya, dari Ibnu ‘Aun, dari Muhammad bin Sirin, dari Nabi ﷺ dengan redaksi: “Aku lupa bahwa aku dalam keadaan junub.” Juga dari Hammad bin Salamah, dari Ziyad Al-A’lam, dari Al-Hasan, dari Abu Bakrah, dengan riwayat serupa. 

Asy-Syafi’i berkata: “Kami berpegang pada ini, dan ini sesuai dengan prinsip Islam. Sebab, manusia hanya dibebani berdasarkan apa yang tampak bagi mereka, dan seorang muslim tidak akan shalat kecuali dalam keadaan suci.” 

Jika seseorang shalat di belakang imam, lalu kemudian tahu bahwa imam dalam keadaan junub atau tanpa wudhu—atau jika seorang wanita mengimami perempuan lain, lalu diketahui bahwa ia sedang haid—shalat makmum (baik laki-laki maupun perempuan) tetap sah, tetapi imam harus mengulangi shalatnya. 

Namun, jika makmum tahu sebelum memulai shalat bahwa imam tidak berwudhu, lalu tetap shalat bersamanya, shalat mereka tidak sah karena mereka sengaja shalat di belakang orang yang tidak memenuhi syarat. Jika mereka tidak tahu dan baru menyadari di tengah shalat bahwa imam tidak suci, mereka harus menyelesaikan shalat untuk diri mereka sendiri dengan niat terpisah.

Keluar dari imamnya dengan pengetahuan mereka, maka sah shalat mereka. Jika tidak dilakukan, dan mereka tetap bermakmum kepadanya setelah mengetahuinya, atau tidak berniat keluar dari imamnya, maka batal shalat mereka dan wajib mengulanginya karena mereka telah bermakmum kepada shalat yang tidak sah diikuti dengan pengetahuan. Jika pengetahuan mereka berbeda, sebagian tahu dan sebagian tidak, maka shalat yang tidak tahu bahwa imam tidak suci adalah sah, sedangkan shalat yang tahu bahwa imam tidak suci dan tetap bermakmum kepadanya tidak sah. 

Jika imam memulai shalat dalam keadaan suci, kemudian batal kesuciannya, lalu melanjutkan shalatnya dengan sengaja atau lupa, hukumnya sama, kecuali ia berdosa jika sengaja dan tidak berdosa jika lupa, insya Allah Ta’ala. 

[Imamnya Orang Kafir] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seorang kafir mengimami sekelompok Muslim tanpa mereka ketahui kekafirannya, atau mereka mengetahuinya, shalat mereka tidak sah, dan shalatnya bukan sebagai keislamannya jika ia belum mengucapkan syahadat sebelum shalat. Orang kafir itu dihukum, dan orang yang shalat di belakangnya sambil tahu ia kafir telah berbuat salah. 

Jika seorang asing shalat mengimami suatu kaum, lalu mereka ragu apakah ia kafir atau Muslim, mereka tidak wajib mengulang shalat sampai tahu pasti ia kafir, karena asumsi dasarnya adalah shalatnya adalah shalat Muslim yang hanya dilakukan oleh Muslim. 

Jika diketahui imamnya kafir, ini berbeda dengan Muslim yang tidak diketahui ketidaksuciannya, karena orang kafir tidak sah menjadi imam dalam keadaan apa pun, sedangkan Mukmin sah menjadi imam dalam semua keadaan kecuali harus dalam keadaan suci. 

Begitu pula jika seorang Muslim murtad, lalu mengimami shalat dalam keadaan murtad, shalat makmumnya tidak sah sampai ia menunjukkan taubat dengan mengucapkan syahadat sebelum mengimami. Jika ia bertaubat sebelum mengimami, shalat mereka bersamanya sah. 

Jika ia memiliki dua keadaan (Muslim dan murtad) lalu mengimami tanpa diketahui dalam keadaan mana, lebih baik mereka mengulang shalat, tetapi tidak wajib sampai diketahui ia mengimami dalam keadaan murtad. 

Jika seorang kafir masuk Islam, lalu mengimami suatu kaum, kemudian mengingkari keislamannya, maka yang bermakmum setelah keislamannya dan sebelum pengingkarannya, shalatnya sah. Sedangkan yang bermakmum setelah pengingkarannya, shalatnya tidak sah sampai ia memperbarui keislaman, lalu mengimami mereka setelahnya. 

[Imamnya Orang yang Tidak Sadar] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seorang Muslim yang gila mengimami suatu kaum, jika ia kadang sadar dan kadang tidak, lalu mengimami dalam keadaan sadar, shalatnya dan shalat mereka sah. Jika ia mengimami dalam keadaan tidak sadar, shalat mereka dan shalatnya tidak sah. 

Jika ia mengimami mereka dalam keadaan…

[Posisi Imam] 

Dia berakal, lalu datang suatu urusan yang menghilangkan akalnya, sehingga mereka keluar dari imamahnya. Mereka shalat sendiri di tempat mereka, dan shalat mereka sah. Jika mereka melanjutkan mengikuti imam meskipun sedikit atau banyak setelah mengetahui akalnya telah hilang, shalat mereka di belakangnya tidak sah. Jika seorang yang mabuk menjadi imam dalam keadaan tidak berakal, hukumnya seperti orang gila. Namun, jika dia menjadi imam dalam keadaan masih berakal, shalatnya sah dan shalat orang yang bermakmum di belakangnya juga sah. Jika dia memimpin shalat dalam keadaan berakal, lalu mabuk yang menguasainya, maka hukumnya seperti yang telah dijelaskan tentang orang gila, tidak berbeda. 

[Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas, dia berkata: “Aku dan seorang anak yatim di rumah kami shalat di belakang Rasulullah ﷺ, sementara Ummu Sulaim shalat di belakang kami.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abu Hazim bin Dinar, dia berkata: “Mereka bertanya kepada Sahl bin Sa’d tentang mimbar Rasulullah ﷺ terbuat dari apa?” Dia menjawab: “Tidak ada lagi orang yang lebih tahu tentang hal ini dariku. Mimbar itu terbuat dari kayu hutan, dibuat oleh fulan, budak fulanah. Sungguh, aku melihat Rasulullah ﷺ ketika naik ke atasnya, beliau menghadap kiblat, bertakbir, lalu rukuk, kemudian turun mundur dan sujud. Kemudian beliau naik lagi, membaca (Al-Qur’an), lalu rukuk, kemudian turun mundur dan sujud.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Makhramah bin Sulaiman dari Kuraib, maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas bahwa dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bermalam di rumah Maimunah, Ummul Mukminin, yang juga bibinya. Dia berkata: “Aku berbaring di sisi bantal, sementara Rasulullah ﷺ dan istrinya berbaring di panjangnya. Rasulullah ﷺ tidur hingga pertengahan malam atau sedikit sebelumnya atau sesudahnya, lalu bangun dan duduk sambil mengusap wajahnya dengan tangannya. Kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari Surah Ali Imran, lalu berdiri menuju kantong air yang tergantung, berwudhu dengan baik, kemudian berdiri untuk shalat.” 

Ibnu Abbas berkata: “Aku pun bangun dan melakukan seperti yang beliau lakukan, lalu berdiri di sampingnya. Rasulullah ﷺ meletakkan tangan kanannya di kepalaku, memegang telinga kananku, dan memelintirnya. Beliau shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, kemudian dua rakaat lagi, lalu witir. Setelah itu, beliau berbaring hingga muadzin datang, lalu bangun dan shalat dua rakaat ringan, kemudian keluar untuk shalat Subuh.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Apa yang aku sampaikan dari hadis-hadis ini menunjukkan bahwa imamah dalam shalat sunnah, baik malam maupun siang, diperbolehkan, dan hukumnya sama seperti imamah dalam shalat wajib, tidak berbeda. Hadis-hadis ini juga menunjukkan bahwa posisi imam adalah di depan makmum, terpisah, sedangkan dua makmum atau lebih berada di belakangnya. Jika seorang laki-laki mengimami dua orang laki-laki, dia berdiri terpisah di depan mereka, sementara mereka berdua berdiri dalam satu barisan di belakangnya. 

Jika di antara makmum terdapat laki-laki, perempuan, dan khuntsa (orang yang tidak jelas jenis kelaminnya), maka laki-laki berdiri dekat dengan imam, khuntsa di belakang laki-laki, dan perempuan di belakang khuntsa. Begitu pula jika tidak ada makmum kecuali satu khuntsa. Jika seorang laki-laki mengimami satu laki-laki, imam menempatkan makmum di sebelah kanannya. Jika dia mengimami khuntsa atau seorang perempuan, maka masing-masing berdiri di belakangnya, tidak sejajar. 

Jika seorang laki-laki mengimami satu laki-laki, lalu makmum berdiri di sebelah kiri imam atau di belakangnya, hal itu dimakruhkan bagi keduanya, tetapi shalat mereka tetap sah dan tidak perlu diulang. Begitu pula jika dia mengimami dua orang, lalu mereka berdiri di kanan dan kirinya, atau di kirinya bersama-sama, atau di kanannya, atau salah satu di sampingnya dan yang lain di belakangnya, atau keduanya berdiri di belakangnya secara terpisah, satu di belakang yang lain—semua ini dimakruhkan, tetapi shalat mereka tetap sah, tidak perlu diulang, dan tidak ada sujud sahwi. 

Aku membolehkan ini karena Rasulullah ﷺ pernah mengimami Ibnu Abbas dan menempatkannya di sampingnya. Jika satu makmum diperbolehkan berdiri di samping imam, maka tidak masalah jika ada dua orang atau lebih di sampingnya, baik di kanan maupun kiri, karena semuanya tetap di samping imam. Shalat seorang yang sendirian di belakang imam juga sah, karena seorang wanita tua pernah shalat sendirian di belakang Anas dan seorang lainnya, sementara mereka berdua shalat di belakang Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ berada di depan mereka.” 

Abu Muhammad berkata: “Aku melihat Nabi ﷺ…”

– صلى الله عليه وسلم – seolah-olah dia berdiri di tempat yang tinggi, lalu aku berdiri di belakangnya saat dia shalat sambil berdiri. Aku berdiri di belakangnya untuk shalat bersamanya, tapi dia menarik tanganku dan menempatkanku di sebelah kanannya. Aku melihat di belakang punggungnya ada tanda kenabian di antara kedua bahunya, menyerupai kubah kecil yang melengkung dengan titik hitam di salah satu ujungnya dan titik hitam di ujung lainnya. Aku pun mendekat dan mencium tanda itu.” 

Jika sebagian makmum berdiri di depan imam untuk mengikutinya, shalat imam dan orang yang shalat di samping atau di belakangnya tetap sah. Namun, shalat orang yang berdiri di depan imam tidak sah karena sunnahnya imam harus berada di depan makmum atau sejajar, bukan di belakang. Baik dekat maupun jauh dari imam, selama makmum berada di depan imam, hal itu berlaku. 

Demikian pula, jika seseorang shalat di belakang imam dalam satu barisan di luar Mekkah, lalu barisan itu melengkung sehingga sebagian mereka lebih dekat ke arah kiblat atau sutrah (pembatas) dibanding imam, shalat mereka yang lebih dekat ke kiblat tidak sah, meskipun mereka melihat imam. Jika makmum ragu apakah dia lebih dekat ke kiblat atau imam, lebih baik baginya mengulangi shalat, tetapi tidak wajib kecuali dia yakin bahwa dirinya lebih dekat ke kiblat daripada imam. 

Jika seorang imam memimpin shalat di Mekkah, sementara jamaah shalat dalam barisan melingkar dengan masing-masing menghadap Ka’bah dari arah mereka, menurut pendapatku—wallahu a’lam—mereka harus berusaha agar imam lebih dekat ke Ka’bah daripada mereka. Tidak jelas batasan jika seseorang bergeser dari posisi imam dan lebih dekat ke Ka’bah, kecuali perbedaannya sangat jelas seperti dalam shaf lurus yang menghadap satu arah. Mereka harus berusaha seperti yang kujelaskan, dan tidak ada kewajiban mengulang shalat kecuali jika mereka yakin telah berada di depan imam dan lebih dekat ke Ka’bah. 

Adapun mereka yang menghadap seluruh bagian Ka’bah dari arah yang berbeda, hendaknya berusaha agar lebih jauh dari Ka’bah dibanding imam. Jika tidak dilakukan dan mereka tahu—atau sebagian tahu—bahwa mereka lebih dekat ke Ka’bah daripada imam, tidak ada kewajiban mengulang shalat karena mereka dan imam sama-sama menghadap Ka’bah. 

Jika ada dua orang, masing-masing menghadap Ka’bah dari arah yang berbeda, dan keduanya tidak searah dengan imam, selama makmum memahami shalat imam, shalatnya sah. 

(Dia berkata): “Orang-orang selalu shalat dengan membelakangi Ka’bah sementara imam menghadapnya. Aku tidak melihat mereka berhati-hati atau diperintahkan untuk memastikan bahwa arah mereka ke Ka’bah berbeda dari imam atau lebih dekat ke Ka’bah. Hal ini sulit diukur di sekitar Ka’bah kecuali dengan perbedaan yang sangat jelas.” 

Begitu pula jika imam shalat bersama orang-orang dan berdiri di belakang Ka’bah atau di salah satu sisinya (bukan menghadap langsung), shalat mereka yang berada di arah itu tidak sah kecuali jika mereka berada di belakang imam. Jika tidak tahu, mereka harus mengulang shalat. Namun, shalat orang yang tidak berada di arah itu tetap sah, meskipun lebih dekat ke Ka’bah daripada imam. Yang utama adalah berusaha berada di belakang imam. 

Jika seorang lelaki menjadi imam bagi jamaah lelaki dan perempuan, lalu para perempuan berdiri di belakang imam dan lelaki di belakang mereka, atau perempuan sejajar dengan imam sementara lelaki di samping mereka, aku tidak menyukai hal itu—baik bagi perempuan, lelaki, maupun imam—tetapi shalat mereka tidak batal. Aku mengatakan ini karena Ibnu ‘Uyainah…

Dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melaksanakan shalat malamnya sementara aku berbaring di antara beliau dan kiblat seperti mayat yang terbaring.” (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Uyainah dari Malik bin Mighwal dari ‘Aun bin Juhayfah dari ayahnya, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – di Abthah, lalu Bilal keluar membawa tombak kecil dan menancapkannya, kemudian beliau shalat menghadapnya. Anjing, wanita, dan keledai lewat di depan beliau.” (Asy-Syafi’i berkata): Jika wanita tidak mengganggu shalat seorang laki-laki ketika berada di depannya, maka jika ia berada di kanan atau kirinya lebih tidak mengganggu lagi. Seorang kasim, baik yang dikebiri atau tidak, statusnya seperti laki-laki dalam shalat, boleh menjadi imam, kesaksiannya sah, bisa mewarisi dan diwarisi, mendapat bagian dalam peperangan, dan bagian dari harta rampasan perang. Jika seorang khuntsa (hermafrodit) masih meragukan jenis kelaminnya, maka jika shalat sendirian di belakang imam, ia berdiri di belakangnya. Jika shalat berjamaah, ia berdiri di belakang shaf laki-laki sendirian dan di depan shaf wanita.

[Shalat Imam dalam Keadaan Duduk] 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunggang kuda, lalu terjatuh dan tergores sisi kanannya. Kemudian beliau melaksanakan salah satu shalat wajib dalam keadaan duduk, dan kami shalat di belakang beliau juga duduk. Setelah selesai, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia shalat berdiri, maka shalatlah kalian berdiri. Jika ia rukuk, maka rukuklah. Jika ia bangkit, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, maka ucapkanlah “Rabbana lakal hamdu”. Dan jika ia shalat duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.'” (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hassan dari Muhammad bin Mathar dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah (Asy-Syafi’i berkata): Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan dalam hadits Anas dan siapa saja yang meriwayatkan bersamanya tentang shalat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau shalat bersama mereka dalam keadaan duduk, sedangkan makmum di belakangnya juga duduk. (Hukum ini) dihapus (mansukh) oleh hadits Aisyah bahwa Rasulullah…

– صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى بِهِمْ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ جَالِسًا وَصَلَّوْا خَلْفَهُ قِيَامًا. 

Maka ini, meskipun merupakan sunnah yang menasakh (menggantikan), secara logis—tidakkah kamu melihat bahwa jika imam tidak mampu berdiri, dia shalat sambil duduk, dan itu menjadi kewajibannya, sedangkan makmum shalat dengan berdiri jika mereka mampu? Setiap orang memiliki kewajibannya sendiri. Jadi, imam shalat sesuai kewajibannya, berdiri jika mampu atau duduk jika tidak mampu. Begitu pula jika tidak bisa rukuk atau sujud, dia shalat berbaring atau memberi isyarat. Sedangkan makmum shalat sesuai kemampuannya. Setiap orang menunaikan kewajibannya, sehingga shalat masing-masing sah. 

Jika seorang imam shalat fardu bersama jamaah sambil duduk padahal dia mampu berdiri, sedangkan makmum di belakangnya shalat berdiri, maka imam telah berbuat salah dan shalatnya tidak sah, tetapi shalat makmum tetap sah karena mereka tidak dibebani untuk mengetahui bahwa imam sebenarnya mampu berdiri. Begitu pula jika imam terlihat sehat dan kuat secara lahir, karena seseorang mungkin merasakan sesuatu yang tersembunyi dari orang lain. 

Jika ada makmum yang tahu bahwa imam shalat duduk tanpa alasan yang sah, lalu dia shalat di belakangnya sambil berdiri, maka dia harus mengulang shalatnya karena dia shalat di belakang seseorang yang dia ketahui shalatnya tidak sah. Jika seseorang yang mampu berdiri shalat di belakang imam yang duduk dan ikut duduk bersamanya, shalatnya tidak sah dan wajib diulang. 

Jika imam shalat sebagian dalam keadaan duduk, lalu mampu berdiri, maka ketika dia sudah mampu, dia harus berdiri pada posisi yang seharusnya. Jika tidak melakukannya, dia harus mengulang shalat tersebut, sedangkan shalat makmum tetap sah. 

Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu sakit sehingga tidak mampu berdiri, dia boleh duduk untuk menyelesaikan shalatnya. Perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan lain, dan laki-laki menjadi imam bagi laki-laki serta perempuan—dalam hal ini kedudukannya sama. 

Jika seorang budak perempuan menjadi imam bagi perempuan lain dan shalat dengan kepala terbuka, shalatnya dan shalat mereka sah. Namun, jika dia telah merdeka, dia wajib menutup kepala untuk sisa shalatnya. Jika tidak melakukannya—baik karena tahu atau tidak bahwa dia sudah merdeka—dia harus mengulang shalat tersebut dan semua shalat yang dia lakukan dengan kepala terbuka. 

[Kedudukan imam lebih tinggi, sedangkan makmum di tempat yang lebih rendah] 

Tempat imam dipisahkan dari jamaah dengan pembatas seperti mimbar atau lainnya. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abu Hazim, dia berkata: Mereka bertanya kepada Sahl bin Sa’d tentang mimbar Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – terbuat dari apa, lalu dia menyebutkan hadis. 

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah, dia berkata: Al-A’masy mengabarkan kepada kami dari Ibrahim dari Hammam, dia berkata: Hudzaifah pernah shalat bersama kami di atas tempat yang tinggi, lalu dia sujud di atasnya. Abu Mas’ud menariknya, dan Hudzaifah mengikuti gerakannya. Setelah selesai shalat, Abu Mas’ud berkata: “Bukankah ini dilarang?” Hudzaifah menjawab: “Tidakkah kamu melihat aku mengikutimu?” 

(Ash-Shafi’i berkata): Aku lebih memilih agar imam yang tahu ada jamaah di belakangnya shalat di tempat yang lebih tinggi agar mereka bisa melihat gerakan rukuk dan sujudnya. Jika tempat shalatnya sempit atau terlalu tinggi sehingga sulit untuk sujud—seperti mimbar yang bertingkat—dia boleh mundur ke belakang hingga posisinya rata, lalu sujud, kemudian kembali ke tempat semula. Jika tempatnya sempit atau tinggi, atau jika memungkinkan untuk mundur atau maju, lebih aku sukai jika dia maju karena maju adalah kebiasaan orang shalat. Jika dia mundur, tidak masalah. 

Jika tempat shalatnya tidak sempit atau tinggi saat sujud, dia boleh sujud di tempat itu tanpa perlu maju atau mundur, karena Nabi – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – hanya mundur untuk sujud karena sempit dan tingginya mimbar. 

Jika dia mundur, maju, atau berjalan sedikit tanpa menyimpang dari kiblat, atau berjalan sedikit tanpa kebutuhan, aku tidak menyukainya, tetapi shalatnya tidak batal dan tidak wajib sujud sahwi selama tidak berlebihan. Jika pergerakannya banyak dan jauh, shalatnya batal. 

Jika imam sudah pernah mengajari orang-orang sekali…

Saya suka jika imam shalat sejajar dengan makmum; karena tidak ada riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau shalat di atas mimbar kecuali sekali saja, dan selain itu beliau selalu shalat di tanah sejajar dengan makmum. Pilihan yang utama adalah imam sejajar dengan jamaah. Sekalipun imam lebih tinggi atau lebih rendah, tidak merusak shalatnya maupun shalat mereka. Tidak mengapa jika makmum shalat di atas masjid mengikuti imam di dalam masjid selama dia mendengar suara imam atau melihat sebagian makmum di belakangnya. Saya pernah melihat sebagian muadzin shalat di atas Masjidil Haram mengikuti imam, dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkarinya. Meskipun saya tahu sebagian ulama lebih suka jika mereka turun ke dalam masjid. (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Shalih maula at-Tau’amah mengabarkan kepada kami bahwa dia melihat Abu Hurairah shalat di atas Masjidil Haram mengikuti imam di dalam masjid. 

(Imam Syafi’i berkata): Posisi wanita jika menjadi imam bagi wanita lain adalah berdiri di tengah-tengah mereka. Jika dia berdiri di depan, tidak merusak shalatnya maupun shalat mereka semua. Dalam hal yang membatalkan shalat mereka tetapi tidak membatalkan shalatnya, mereka diperbolehkan seperti laki-laki, tidak ada perbedaan antara mereka. 

[Perbedaan Niat Imam dan Makmum] 

(Imam Syafi’i berkata) -rahimahullah Ta’ala-: Sufyan mengabarkan kepada kami bahwa dia mendengar Amr bin Dinar berkata: Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Mu’adz bin Jabal shalat Isya’ atau ‘Atamah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian pulang dan mengimami kaumnya di Bani Salamah. Suatu malam Nabi mengakhirkan shalat Isya’, lalu Mu’adz shalat bersama beliau, kemudian pulang dan mengimami kaumnya dengan membaca Surah Al-Baqarah. Seorang lelaki memisahkan diri dari shaf dan shalat sendirian. Mereka bertanya, ‘Apakah kamu munafik?’ Dia menjawab, ‘Tidak, tetapi aku akan mendatangi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.’ Lalu dia mendatangi Nabi dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau mengakhirkan shalat Isya’, dan Mu’adz shalat bersamamu lalu pulang dan mengimami kami dengan membuka Surah Al-Baqarah. Ketika aku melihat itu, aku mundur dan shalat sendirian. Kami adalah pekerja yang mengurus unta dan bekerja dengan tangan kami.’ Maka Nabi menghadap Mu’adz dan berkata, ‘Apakah engkau ingin membuat fitnah, wahai Mu’adz? Apakah engkau ingin membuat fitnah, wahai Mu’adz? Bacalah surah ini dan surah itu.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu Az-Zubair menceritakan kepada kami dari Jabir dengan riwayat serupa dan menambahkan: “Nabi bersabda, ‘Bacalah {Sabbihisma rabbikal-a’la} (Surat Al-A’la), {Wal-laili idza yaghsya} (Surat Al-Lail), {Wassama-i wath-thariq} (Surat Ath-Thariq), dan semisalnya.'” Sufyan berkata: Aku bertanya kepada Amr, “Abu Az-Zubair mengatakan bahwa Nabi bersabda, ‘Bacalah {Sabbihisma rabbikal-a’la}, {Wal-laili idza yaghsya}, {Wassama-i wath-thariq}.'” Amr menjawab, “Itu atau semisalnya.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdul Majid mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Juraij menceritakan dari Amr dari Jabir, dia berkata: “Mu’adz shalat Isya’ bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian pergi kepada kaumnya dan shalat mengimami mereka. Baginya itu sunnah, sedangkan bagi mereka wajib.” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari ‘Ubaidillah bin Miqsam dari Jabir bin Abdullah: “Mu’adz bin Jabal shalat Isya’ bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian pulang kepada kaumnya dan shalat mengimami mereka, dan itu baginya adalah nafilah (sunnah).” 

Seorang yang tsiqah (terpercaya) -Ibnu ‘Ulayyah atau lainnya- mengabarkan kepada kami dari Yunus dari Al-Hasan dari Jabir bin Abdullah: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat Zhuhur dalam kondisi khauf (takut) di Bathni Nakhl. Beliau shalat dua rakaat dengan satu kelompok, lalu salam, kemudian datang kelompok lain dan beliau shalat dua rakaat untuk mereka, lalu salam.” 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat yang kedua bagi Nabi adalah nafilah, sedangkan bagi yang lain adalah fardhu. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Jika kamu mendapati waktu Ashar tetapi belum shalat Zhuhur, jadikan shalat yang kamu ikuti bersama imam sebagai Zhuhur, lalu shalat Ashar setelahnya.” 

Ibnu Juraij berkata: ‘Atha’ mengatakan hal itu setelahnya, dan dahulu dikatakan: “Jika kamu mendapati Ashar tetapi belum shalat Zhuhur, jadikan shalat yang kamu ikuti bersama imam sebagai Zhuhur.”

Dzuhur. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha’ pernah luput dari shalat Isya’, lalu dia datang saat orang-orang sedang melaksanakan shalat malam (qiyam), maka dia shalat bersama mereka dua rakaat dan menambahkan dua rakaat lagi. Dia melihat ‘Atha’ melakukan hal itu dan menganggapnya sebagai shalat Isya’. 

(Asy-Syafi’i berkata): Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: ‘Atha’ berkata, “Barangsiapa lupa shalat Ashar, lalu ingat bahwa dia belum melaksanakannya saat sedang shalat Maghrib, maka jadikanlah shalat tersebut sebagai shalat Ashar. Jika dia ingat setelah selesai shalat Maghrib, maka hendaknya dia shalat Ashar.” 

Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – dan seorang lelaki dari Anshar dengan makna yang serupa. Juga diriwayatkan dari Abu Darda’ dan Ibnu Abbas dengan makna yang mirip. 

Wahb bin Munabbih, Al-Hasan, dan Abu Raja’ Al-‘Atharidi berkata: “Suatu kaum datang kepada Abu Raja’ Al-‘Atharidi ingin shalat Zhuhur bersamanya, tetapi mereka mendapatinya sudah shalat. Mereka berkata, ‘Kami datang hanya untuk shalat bersamamu.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak akan mengecewakan kalian,’ lalu dia berdiri dan shalat bersama mereka.” Abu Qathan menyebutkan hal itu dari Abu Khaldah dari Abu Raja’ Al-‘Atharidi. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Seseorang berkata kepada Thawus, “Aku mendapati orang-orang sedang shalat malam (qiyam), lalu aku jadikan shalat itu sebagai shalat Isya’.” Thawus menjawab, “Engkau benar.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Semua ini diperbolehkan berdasarkan Sunnah dan apa yang kami sebutkan, juga berdasarkan qiyas. Niat setiap orang yang shalat adalah niatnya sendiri, tidak rusak hanya karena berbeda dengan niat orang lain, meskipun dia menjadi imam. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang imam yang sedang safar berniat shalat dua rakaat, tetapi boleh bagi makmum yang muqim shalat di belakangnya dengan niat shalat empat rakaat? Atau tidakkah engkau melihat bahwa imam bisa mendahului seorang lelaki dengan tiga rakaat, dan itu adalah rakaat terakhir bagi imam, tetapi rakaat pertama bagi makmum, dan itu sah? Atau tidakkah engkau melihat bahwa imam berniat shalat wajib, sedangkan makmum di belakangnya berniat shalat sunnah atau nadzar, bukan shalat wajib, dan itu sah baginya? Atau tidakkah engkau melihat seorang lelaki shalat sendirian di tanah lapang, lalu ada orang lain shalat bersamanya, dan shalatnya sah meskipun dia tidak tahu apakah orang yang shalat bersamanya berniat shalat sunnah atau tidak? Atau tidakkah engkau melihat bahwa kita bisa membatalkan shalat imam tetapi menyempurnakan shalat makmum, atau membatalkan shalat makmum tetapi menyempurnakan shalat imam? 

Jika shalat makmum tidak batal karena shalat imam batal, maka niat imam yang berbeda dengan niat makmum lebih utama untuk tidak membatalkan shalat makmum. 

Sesungguhnya dalam apa yang aku jelaskan tentang tegaknya Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sudah cukup dari semua yang aku sebutkan. 

Jika seorang imam shalat sunnah, lalu ada seorang lelaki bermakmum kepadanya pada waktu yang diperbolehkan baginya untuk shalat wajib sendirian, dan dia berniat shalat wajib, maka itu menjadi shalat wajib baginya. Sebagaimana jika imam shalat wajib dan makmum berniat shalat sunnah, maka itu menjadi shalat sunnah bagi makmum. Hal ini tidak berbeda. 

Demikian pula, jika seseorang mendapati imam sedang shalat Ashar sedangkan dia luput shalat Zhuhur, lalu dia berniat shalat Zhuhur, maka itu menjadi shalat Zhuhur baginya, dan setelah itu dia shalat Ashar. 

Namun, yang lebih aku sukai dari semua ini adalah seseorang tidak bermakmum kecuali dalam shalat wajib yang mereka mulai bersama-sama, dan niat mereka dalam satu shalat yang sama.

[Keluar dari Shalat Imam] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Jika seseorang bermakmum kepada imam, lalu shalat bersamanya satu rakaat, atau memulai shalat bersamanya tetapi imam belum menyelesaikan rakaat tersebut, atau shalat lebih dari satu rakaat tetapi imam tidak menyelesaikan shalatnya hingga shalatnya batal, maka makmum harus memulai shalatnya dari awal. Jika dia dalam keadaan safar sedangkan imam adalah muqim (tidak safar), maka dia wajib menyempurnakan shalat sebagai muqim, karena jumlah rakaat imam mengikatnya. 

Jika imam telah shalat bersamanya sebagian shalat, kemudian makmum keluar dari shalat imam tanpa ada pemutusan shalat oleh imam atau tanpa uzur syar’i bagi makmum, maka hal itu makruh baginya dan aku lebih suka dia memulai shalatnya lagi sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, jika dia melanjutkan shalatnya sendiri (tanpa imam), tidak ada dalil bagiku yang mewajibkannya mengulang shalat, karena seorang sahabat pernah keluar dari shalat bersama Muadz setelah memulai shalat bersamanya, lalu shalat sendiri, dan tidak ada riwayat bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkannya untuk mengulang shalat. 

[Shalat dengan Dua Imam Secara Bergantian] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d: 

“Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pergi ke Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka. Ketika waktu shalat tiba, muadzin datang kepada Abu Bakr dan bertanya, ‘Apakah engkau yang mengimami shalat?’ Abu Bakr menjawab, ‘Ya.’ Lalu Abu Bakr mengimami shalat, tiba-tiba Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – datang sementara orang-orang sedang shalat. Beliau menyelinap di antara shaf hingga berdiri di barisan. Orang-orang pun bertepuk tangan. Abu Bakr tidak menoleh dalam shalatnya, tetapi ketika orang-orang semakin banyak bertepuk tangan, dia menoleh dan melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Rasulullah memberi isyarat agar dia tetap di tempatnya. Abu Bakr mengangkat tangannya dan memuji Allah atas perintah Rasulullah itu, kemudian mundur. Rasulullah maju dan mengimami shalat. 

Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempat ketika aku memerintahkanmu?’ Abu Bakr menjawab, ‘Tidak pantas bagi Ibnu Abi Quhafah shalat di depan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Mengapa aku melihat kalian banyak bertepuk tangan? Jika ada sesuatu dalam shalat, bertasbih-lah, karena jika seseorang bertasbih, orang lain akan menoleh. Tepuk tangan itu hanya untuk wanita.’” 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ismail bin Abu Hakim.

Dari ‘Atha bin Yasar dari Rasulullah SAW, beliau bertakbir dalam salah satu shalat, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar jamaah tetap di tempat, kemudian Rasulullah SAW kembali dan pada kulitnya terlihat bekas air. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh seorang yang terpercaya dari Usamah bin Zaid dari Abdullah bin Yazid, maula Al-Aswad bin Sufyan, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW dengan makna yang serupa. 

(Asy-Syafi’i berkata:) Pilihan yang lebih utama adalah jika imam mengalami hadats yang tidak membolehkannya melanjutkan shalat, seperti mimisan, batal wudhu, atau lainnya—jika imam telah menyelesaikan sebagian shalat, seperti satu rakaat atau lebih—maka jamaah boleh menyelesaikan shalat sendiri-sendiri tanpa mengangkat imam pengganti. Namun, jika mereka mengangkat seseorang atau imam sebelumnya menunjuk seorang pengganti, lalu orang tersebut menyelesaikan sisa shalat, shalat mereka sah. 

Hal yang sama berlaku jika imam kedua, ketiga, atau keempat mengalami hadats. Begitu pula jika imam kedua atau ketiga menunjuk salah seorang jamaah atau maju sendiri tanpa ditunjuk oleh imam sebelumnya—semua itu sama saja, dan shalat mereka tetap sah. 

Sebab, Abu Bakar pernah memimpin shalat, kemudian mundur, lalu Rasulullah SAW maju menggantikannya. Abu Bakar yang semula sebagai imam kemudian menjadi makmum, dan jamaah yang awalnya shalat mengikuti Abu Bakar beralih mengikuti Rasulullah SAW. Demikian pula jika imam mundur tanpa sebab hadats dan digantikan oleh orang lain, shalat jamaah tetap sah. 

Namun, lebih baik jika imam tidak melakukan hal ini, karena tidak ada yang setara dengan Rasulullah SAW. Jika hal itu terjadi dan jamaah shalat mengikuti imam pengganti, shalat mereka tetap sah. 

Lebih disukai jika imam yang datang terlambat—sementara shalat sudah dimulai oleh orang lain—ikut menjadi makmum di belakang imam sementara, baik imam sementara itu ditunjuk atau tidak. Rasulullah SAW pernah shalat di belakang Abdurrahman bin Auf dalam perjalanan ke Tabuk. 

Jika ada yang bertanya, “Bukankah ini berbeda dengan kasus Abu Bakar yang mundur dan Nabi SAW yang maju?” Jawabannya, hal itu diperbolehkan, dan imam boleh memilih cara mana pun yang dia kehendaki. Namun, pilihan utama adalah imam mengikuti orang yang memulai shalat. 

Jika seorang imam bertakbir dan membaca (Al-Fatihah), atau belum membaca, tetapi belum rukuk lalu teringat bahwa dia tidak dalam keadaan suci—baik karena keluar angin, batal wudhu, atau junub—dan tempat wudhu atau mandinya dekat, maka jamaah boleh menunggu sampai dia berwudhu, kembali, dan memulai shalat dari awal, sementara mereka menyelesaikan shalat sendiri. 

Seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau teringat bahwa beliau dalam keadaan junub. Jamaah menunggu, lalu beliau memulai shalat dari awal karena takbir sebelumnya (dalam keadaan junub) tidak dihitung, sedangkan jamaah menyelesaikan shalat mereka sendiri. Sebab, jika mereka keluar dari shalatnya, mereka tetap bisa menyelesaikan shalat dengan takbir yang sama. 

Namun, jika tempat bersucinya jauh atau sulit, jamaah boleh menyelesaikan shalat sendiri meskipun imam memberi isyarat atau berbicara agar mereka menunggu. Jika mereka tidak menuruti dan memilih menyelesaikan shalat sendiri atau mengangkat imam lain, shalat mereka tetap sah. 

Menurut pendapatku—dan Allah Yang Maha Tahu—jika shalat imam batal, pilihan terbaik bagi makmum adalah menyelesaikan shalat sendiri-sendiri. 

Jika seorang imam shalat satu rakaat, lalu teringat bahwa dia junub, kemudian keluar untuk mandi, dan jamaah menunggu sampai dia kembali lalu melanjutkan dari rakaat pertama—maka shalat mereka batal karena mereka mengikuti imam yang shalatnya tidak sah (karena tidak boleh melanjutkan shalat dalam keadaan junub). 

Jika sebagian jamaah tahu bahwa imam junub sedangkan sebagian lain tidak tahu, shalat yang tahu batal, sedangkan yang tidak tahu tetap sah. 

(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seorang imam memimpin shalat, lalu menyadari bahwa dia tidak suci atau wudhunya batal, kemudian pergi—lalu jamaah mengangkat imam lain atau tidak mengangkat siapa pun, atau sebagian jamaah menunjuk seseorang, atau seseorang maju sendiri—maka imam pengganti boleh melanjutkan shalat sebelumnya. 

Jika jamaah berselisih dalam memilih imam pengganti—sebagian menunjuk seseorang dan sebagian lain menunjuk orang berbeda—maka siapa pun yang maju, shalat di belakangnya sah. Begitu pula jika yang maju orang lain. 

Jika seorang imam shalat satu rakaat, lalu berhadats, kemudian mengangkat seseorang yang tertinggal rakaat pertama atau lebih—selama pengganti itu sudah bertakbir bersama imam sebelum imam berhadats—maka hal itu diperbolehkan.

Dengan mengikuti imam, maka dia shalat rakaat yang tersisa untuk imam dan duduk seperti imam, kemudian shalat dua rakaat yang tersisa untuk imam dan bertasyahud. Jika dia hendak salam, dia memajukan seorang yang tidak tertinggal sesuatu dari shalat imam, lalu salam bersama mereka. Jika tidak dilakukan, mereka salam sendiri-sendiri, lalu dia berdiri dan menyelesaikan rakaat yang tersisa. Jika dia salam bersama mereka karena lupa dan mereka salam sendiri, shalat mereka sah, dan dia menyempurnakan untuk dirinya serta sujud sahwi. 

Jika dia salam dengan sengaja dan ingat karena shalatnya belum sempurna, maka shalatnya batal. Mereka memajukan seorang lalu salam bersama, atau salam sendiri-sendiri; apa pun yang dilakukan, shalat mereka sah. Jika dia membawa mereka berdiri dan mereka ikut berdiri di belakangnya karena lupa, lalu ingat sebelum rukuk, mereka harus kembali untuk tasyahud, lalu salam sendiri, atau orang lain salam bersama mereka. Jika mereka mengikutinya lalu ingat, mereka kembali dalam keadaan duduk tanpa sujud. Begitu pula jika sudah sujud satu kali dan belum sujud kedua, atau ingat saat sujud, mereka menghentikan sujud dalam keadaan apa pun mereka sadar bahwa mereka menambah shalat. Mereka meninggalkan keadaan itu untuk tasyahud, lalu sujud sahwi dan salam. 

Jika sebagian melakukan ini dengan sadar dan tahu bahwa jumlah rakaatnya belum sempurna, shalatnya batal karena sengaja keluar dari shalat wajib ke shalat sunnah sebelum salam dari shalat wajib. Tidak ada keluar dari shalat kecuali dengan salam. 

Abu Ya’qub Al-Buwaiti berkata: “Barangsiapa takbiratul ihram dalam keadaan junub bersama jamaah, lalu ingat dan keluar untuk berwudhu, kemudian kembali, tidak boleh mengimami mereka karena imam saat itu takbir untuk memulai, sedangkan jamaah sudah takbir lebih dulu. Setiap makmum yang takbir sebelum imam, shalatnya batal berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Jika imam takbir, maka takbirlah.’ Tidak seperti makmum yang takbir di belakang imam di akhir shalat imam. Jika ada jamaah yang takbir di belakang imam di awal shalat imam, lalu imam melakukan sesuatu, maka yang takbir bersamanya di akhir shalat didahulukan, padahal ihramnya lebih awal dari yang menyusul di awal shalat imam.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa takbir sebelum imam, shalatnya batal.” 

[Mengikuti Dua Imam Sekaligus] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): “Jika dua orang berdiri untuk menjadi imam bagi yang di belakangnya, dan tidak saling mengikuti, salah satunya menjadi imam bagi yang lain, atau sejajar, dekat atau jauh, lalu ada orang shalat di belakang mereka mengikuti keduanya sekaligus, bukan salah satunya, maka shalat mereka batal karena tidak mengkhususkan niat mengikuti salah satu imam. Tidakkah kamu lihat jika salah satu rukuk lebih dulu dan mereka rukuk bersamanya, mereka keluar dari imam yang lain tanpa niat, bukan untuk shalat sendiri atau imam baru yang sebelumnya tidak menjadi imam mereka. Jika imam yang terlambat rukuk pertama mendahulukan rukuk kedua dan mereka mengikutinya, mereka telah keluar dari imam pertama dan imam yang mendahulukan rukuk pertama. Jika mereka mengikuti keduanya sekaligus tanpa niat keluar dari keduanya dan shalat sendiri, shalat mereka tidak sah karena memulai shalat dengan dua imam sekaligus, dan itu tidak diperbolehkan.” 

Jika ada yang berkata: “Abu Bakar mengikuti Nabi ﷺ dan orang-orang mengikuti Abu Bakar,” maka jawabannya: “Imamnya adalah Rasulullah ﷺ, sedangkan Abu Bakar adalah makmum yang tahu shalat Rasulullah ﷺ karena Rasulullah ﷺ duduk dengan suara lemah, sedangkan Abu Bakar berdiri melihat dan mendengar. Jika seseorang mengikuti seorang dan orang lain mengikuti si makmum, shalat mereka tidak sah karena tidak boleh seorang imam sekaligus makmum. Imam adalah yang rukuk dan sujud dengan rukuk dan sujudnya sendiri, bukan orang lain. Jika seseorang melihat dua orang berdiri bersama dan berniat mengikuti salah satu tanpa menentukan, lalu keduanya shalat bersama, shalatnya tidak sah karena tidak berniat mengikuti salah satu secara spesifik. Begitu pula jika keduanya shalat sendiri-sendiri lalu dia mengikuti salah satu.”

Shalatnya tidak sah karena dia tidak berniat mengikuti imam yang shalat bersamanya secara spesifik, dan shalatnya di belakang imam tidak sah sampai dia memisahkan niat untuk satu imam. Jika dia memisahkan niat untuk satu imam, shalatnya sah meskipun dia tidak mengenal imam tersebut secara spesifik atau tidak melihatnya, asalkan niatnya tidak terbagi antara dua imam atau diragukan pada salah satu imam.

[Dua orang yang saling mengikuti dan keraguan mereka] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika dua orang shalat bersama dan salah satunya mengikuti yang lain, shalat keduanya sah. Namun, jika keduanya shalat bersama dan tahu salah satunya mengikuti yang lain tetapi sama-sama ragu siapa yang menjadi imam, maka keduanya wajib mengulang shalat. Sebab, kewajiban makmum berbeda dengan imam, begitu pula sebaliknya. Jika salah satu ragu sedangkan yang lain tidak, maka yang ragu harus mengulang shalat, sedangkan yang tidak ragu shalatnya sah. Jika yang ragu membenarkan yang tidak ragu, maka dia tetap wajib mengulang. Setiap kewajiban dalam shalat hanya sah berdasarkan keyakinan diri sendiri, bukan keyakinan orang lain. Jika seseorang ragu lalu diingatkan orang lain, dan dia mengakui keraguannya, maka dia tidak perlu mengulang shalat karena dia meninggalkan pengulangan berdasarkan keyakinan dirinya sendiri, bukan orang lain. 

Jika mereka berjumlah tiga orang atau lebih dan tahu bahwa mereka shalat bersama salah seorang dari mereka, tetapi masing-masing ragu apakah dia imam atau makmum, maka mereka semua harus mengulang shalat. Jika sebagian ragu dan sebagian tidak, maka yang ragu wajib mengulang, sedangkan yang tidak ragu tidak perlu mengulang—seperti kasus sebelumnya. Hal yang sama berlaku jika jumlah mereka banyak. 

[Pasal Orang yang Tertinggal] 

Tidak ada dalam tarajim (bab-bab), tetapi ada nash-nash tentang ini. Di antaranya dalam bab pembahasan rukuk yang disebutkan dalam tarajim shalat, yaitu perkataan beliau—radhiyallahu ‘anhu—: 

Jika seseorang mendapati imam sedang rukuk, lalu dia rukuk sebelum imam mengangkat punggungnya dari rukuk, maka rakaat itu dihitung. Namun, jika dia tidak rukuk sampai imam mengangkat punggungnya dari rukuk, maka rakaat itu tidak dihitung. Rakaat hanya dihitung jika dia rukuk saat imam masih dalam keadaan rukuk. 

Jika imam rukuk dan telah thuma’ninah dalam rukuk, lalu mengangkat kepalanya dari rukuk dan berdiri tegak (atau belum tegak sempurna tetapi sudah keluar dari posisi rukuk yang sempurna), kemudian imam rukuk lagi untuk bertasbih, lalu seseorang mendapatinya dalam keadaan rukuk dan ikut rukuk bersamanya, maka rakaat itu tidak dihitung. Sebab, imam telah menyempurnakan rukuk pertama, sedangkan rukuk kedua ini tidak dihitung dalam shalat. 

(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika imam rukuk tanpa bertasbih, lalu mengangkat kepala, kemudian rukuk lagi untuk bertasbih, maka shalatnya batal. Sebab, rukuk pertama sudah sempurna meski tanpa tasbih. Ketika dia rukuk lagi untuk bertasbih, berarti dia menambah rakaat dengan sengaja, sehingga shalatnya batal. 

Di antara nash tentang orang yang tertinggal adalah yang disebutkan dalam bab perbedaan pendapat ulama Iraq: 

Jika seseorang mendapati imam sedang rukuk, lalu bertakbir bersamanya tetapi tidak rukuk sampai imam mengangkat kepala dari rukuk, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa dia tetap sujud bersama imam tetapi rakaat itu tidak dihitung. (Diriwayatkan kepada kami).

Dengan demikian, dari Al-Hasan, dari Al-Hakam, dari Ibrahim, dan inilah yang diambil oleh Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Dia rukuk dan sujud serta menganggapnya sebagai bagian dari shalatnya.” (Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa menjumpai imam dalam keadaan rukuk, lalu bertakbir tetapi belum sempat rukuk hingga imam mengangkat kepalanya, maka dia sujud bersama imam dan tidak dianggap sujud tersebut karena dia tidak menjumpai rukuk imam. Jika dia rukuk setelah imam mengangkat kepalanya, maka rakaat itu tidak dianggap karena dia tidak menjumpainya bersama imam dan tidak membaca (Al-Fatihah) untuknya, sehingga dia shalat sendiri dengan bacaan dan tidak dianggap shalat bersama imam dalam bagian yang dia dapatkan.”

Dalam Mukhtashar Al-Buwaiti, pada bab “Seseorang yang Didahului Imam dalam Sebagian Shalat” (Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa didahului imam dalam sebagian shalat, maka dia tidak boleh menunaikan yang tertinggal kecuali setelah imam selesai dari dua salam.” Ini adalah nash dalam Al-Buwaiti. Dalam Jam’ul Jawami’, pada bab “Orang yang Didahului Imam dalam Sebagian Shalat,” perkataan ini pertama kali dikutip tanpa menyebut Al-Buwaiti, kemudian dinukil dari Imam Syafi’i -rahimahullah- bahwa beliau berkata: “Aku lebih suka jika dia berdiam sebentar, kira-kira cukup untuk mengetahui apakah imam melakukan sujud sahwi, lalu dia sujud bersamanya.” 

Barangsiapa masuk masjid dan mendapati imam sedang duduk pada rakaat terakhir, maka dia memulai shalat dengan berdiri lalu duduk bersamanya. Ketika imam salam, dia bangkit tanpa takbir dan menunaikan shalatnya. Jika dia menjumpai imam pada satu rakaat, maka dia bangkit setelah imam selesai shalat tanpa takbir. Jika dia menjumpai imam pada dua rakaat, dia duduk bersamanya. Ketika dia hendak bangkit setelah imam selesai dari dua rakaat terakhir untuk menunaikan yang tertinggal, maka dia bangkit dengan takbir. 

Barangsiapa berada di belakang imam dan tertinggal satu rakaat, lalu mendengar suara (yang membuatnya) mengira imam telah salam, kemudian dia menunaikan rakaat yang tersisa dan duduk, lalu mendengar salam imam, maka ini termasuk sahwi yang dibebankan pada imam, tidak dianggap baginya, dan dia harus menunaikan rakaat yang tertinggal. Ini berbeda dengan orang yang keluar dari shalat lalu kembali untuk menunaikannya sendiri. Jika imam salam sementara dia sedang rukuk atau sujud, maka seluruh amalan sebelum salam imam dianggap batal, dan dia memulai rakaat kedua dengan membaca, rukuk, dan sujud setelah imam salam. 

Dalam riwayat Al-Buwaiti dan Ibnu Abi Al-Jarud disebutkan: “Aku lebih suka agar makmum tidak mendahului imam dalam rukuk, sujud, atau amalan apa pun. Jika dia melakukannya, lalu imam rukuk sementara dia sedang rukuk atau sujud, maka itu sudah mencukupi. Jika dia mendahului imam dengan rukuk atau sujud, lalu imam mengangkat kepala sebelumnya, sebagian orang berpendapat bahwa dia harus kembali rukuk atau sujud setelah rukuk/sujudnya agar bisa rukuk atau sujud bersama imam atau mengikutinya. Tidak sah baginya berimam dalam amalan shalat kecuali seperti itu.” 

Dalam kitab Istiqbal Al-Qiblah disebutkan: “Jika dia mengangkat kepala sebelum imam, aku lebih suka agar dia kembali. Jika tidak, aku memakruhkannya, tetapi rakaat itu tetap dianggap.” Dalam Al-Imla’ disebutkan: “Jika dia tidak rukuk atau sujud bersama imam, dan dia berada di belakang imam, maka rakaat itu dianggap selama dia bermakmum. Jika imam mendahuluinya, tidak mengapa dia meletakkan kepala untuk sujud atau berdiri untuk rukuk setelah imam mendahuluinya, asalkan dia masih dalam salah satu dari keduanya bersama imam. Jika dia bangkit sebelum imam, dia harus kembali duduk sesuai kadar imam mendahuluinya dalam berdiri. Jika tidak melakukannya, padahal dia telah duduk dan masih dalam sebagian sujud atau rukuk bersama imam, maka dia seperti orang yang rukuk atau sujud lalu mengangkat kepala sebelum imam, dan itu sudah mencukupi meskipun dia telah berbuat salah dalam semua itu.” 

Jika seseorang masuk shalat bersama imam tetapi tertinggal satu rakaat, lalu imam shalat lima rakaat karena lupa dan dia mengikutinya tanpa tahu bahwa imam lupa, maka shalat makmum sah karena dia telah shalat empat rakaat. Namun, jika dia tahu imam lupa, shalatnya batal. 

Apa yang didapatkan bersama imam adalah awal shalatnya. Tidak boleh seseorang mengatakan ada pendapat lain dalam hal ini. Jika tertinggal dua rakaat Zhuhur bersama imam dan mendapatkan dua rakaat terakhir, maka dia shalat dua rakaat itu bersama imam dengan membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan surah jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, dia membaca apa yang bisa dibaca. Ketika bangkit untuk menunaikan dua rakaat, dia membaca Ummul Qur’an dan surah pada setiap rakaat. Jika hanya membaca Ummul Qur’an, itu sudah cukup. 

Jika tertinggal satu rakaat Maghrib dan shalat dua rakaat, maka dia menunaikan satu rakaat dengan membaca Ummul Qur’an dan surah tanpa mengeraskan suara. Jika mendapatkan satu rakaat darinya, dia bangkit dan mengeraskan suara pada rakaat kedua (yang pertama baginya) dan tidak mengeraskan suara pada rakaat ketiga, serta membaca Ummul Qur’an dan surah di dalamnya. 

Inilah akhir yang dinukil dalam Jam’ul Jawami’ dari nash-nash. Zahir nash ini menunjukkan bahwa barangsiapa mendapatkan satu rakaat Jumat bersama imam, maka dia menunaikan rakaat kedua setelah salam.

Imam mengeraskan suara (jahr) seperti dalam shalat Subuh, begitu pula pada shalat Id, Istisqa, dan gerhana bulan. Hanya saja, ada keraguan dalam menjawab apakah hal yang sama berlaku untuk shalat Jumat, karena shalat Jumat tidak sah dilakukan secara sendiri (munfarid), sedangkan dalam kasus ini seseorang menjadi munfarid, berbeda dengan shalat Subuh dan sejenisnya. Shalat Jumat tidak disyariatkan untuk dilakukan sendiri, dan keraguan ini tidak dianggap karena hukum shalat Jumat tetap berlaku baginya, dan statusnya sebagai munfarid dalam kondisi ini tidak mengubahnya menjadi shalat Zuhur. Dalam kitab Al-Umm, disebutkan dalam pembahasan shalat Khauf ketika imam maju dalam shalat Khauf, ada indikasi bahwa makmum yang tertinggal mengeraskan suara pada rakaat kedua. Disebutkan di akhir pembahasan tersebut: “Jika itu adalah shalat Jumat dalam kondisi khauf dan dia dijaga, ketika imam berkhutbah dengan satu kelompok dan kelompok lain hadir untuk mendengarkan khutbah, kemudian imam shalat dengan kelompok yang telah mendengarkan khutbah satu rakaat dan tetap berdiri, maka mereka menyempurnakan sendiri dengan membaca (qiraah) yang dikeraskan suaranya. Kemudian mereka menghadap musuh, lalu datang kelompok yang belum shalat dan shalat bersama imam pada rakaat yang tersisa dari shalat Jumat, dan imam tetap duduk, lalu mereka menyempurnakan sendiri, kemudian imam mengucapkan salam bersama mereka.” Asy-Syafi’i jelas menyatakan bahwa kelompok pertama menyempurnakan rakaat yang tersisa bagi diri mereka sendiri dengan qiraah yang dikeraskan. Hal ini juga ditegaskan oleh Qadhi Abu Thayyib dalam komentarnya: “Mereka shalat satu rakaat bagi diri mereka sendiri dengan mengeraskan bacaan, karena hukum munfarid dalam shalat yang dikeraskan bacaannya sama seperti hukum imam pada rakaat kedua.” Asy-Syafi’i tidak menyebutkan tentang pengerasan suara kelompok kedua pada rakaat kedua karena mereka mengikuti imam, dan siapa saja yang mengikuti (maftadi) maka dia membaca perlahan (sirr). Hal ini ditegaskan oleh Qadhi Abu Thayyib dan lainnya. Jika ada yang berpendapat bahwa kelompok pertama mengeraskan suara pada rakaat kedua karena hukum shalat Jumat masih berlaku bagi imam, berbeda dengan makmum yang tertinggal, maka kami katakan bahwa ini adalah dugaan yang memiliki dasar, tetapi yang lebih kuat adalah tidak ada perbedaan karena mereka dalam kondisi munfarid seperti makmum yang tertinggal.

Teks ini dikutip dari Al-Umm oleh Syaikh Abu Hamid dan lainnya, dan mereka tidak menyebutkan tentang pengerasan suara yang kami sebutkan. Namun, Ibn Ash-Shabbagh menyebutkannya dalam Asy-Syamil setelah mengutip teks tersebut. Dalam perbedaan pendapat ulama Irak di awal bab shalat, disebutkan: “Jika seseorang datang kepada imam pada hari-hari Tasyriq dan tertinggal satu rakaat, lalu imam mengucapkan salam setelah selesai, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa orang tersebut berdiri dan mengqadha tanpa takbir bersama imam, karena takbir bukan bagian dari shalat melainkan setelah shalat. Pendapat ini diambil oleh Abu Yusuf. Sedangkan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa dia bertakbir terlebih dahulu, lalu berdiri untuk mengqadha.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang tertinggal sebagian shalat pada hari-hari Tasyriq, lalu imam mengucapkan salam dan bertakbir, maka orang yang tertinggal tidak perlu bertakbir untuk bagian shalat yang tertinggal dan cukup mengqadha yang wajib baginya. Setelah salam, barulah dia bertakbir, karena takbir pada hari-hari Tasyriq bukan bagian dari shalat melainkan dzikir setelah shalat. Seseorang hanya mengikuti imam dalam hal yang termasuk shalat, sedangkan takbir bukan bagian dari shalat.”

[Bab Shalat Musafir] 

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: 

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101). 

Beliau berkata: “Jelas dalam Kitabullah bahwa mengqashar shalat saat bepergian dan dalam keadaan takut adalah keringanan dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk makhluk-Nya, bukan kewajiban bagi mereka untuk mengqashar, sebagaimana firman-Nya: 

‘Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka atau sebelum kamu menentukan mahar untuk mereka.’ (QS. Al-Baqarah: 236), 

ini adalah rukhsah (keringanan), bukan kewajiban untuk menceraikan dalam kondisi tersebut. Seperti pula firman-Nya: 

‘Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.’ (QS. Al-Baqarah: 198), 

maksudnya—wallahu a’lam—adalah berdagang saat haji, bukan kewajiban untuk berdagang. Juga seperti firman-Nya: 

‘Maka tidak ada dosa atas mereka melepas pakaian mereka.’ (QS. An-Nur: 60), 

dan firman-Nya: 

‘Tidak ada dosa atas kamu makan bersama-sama.’ (QS. An-Nur: 61), 

bukan berarti itu kewajiban.”

Mereka pasti harus makan dari rumah mereka sendiri, bukan dari rumah orang lain. 

(Imam Syafi’i berkata): Mengqashar shalat dalam keadaan takut dan bepergian berdasarkan Al-Qur’an, kemudian Sunnah, dan mengqashar shalat dalam perjalanan tanpa rasa takut adalah sunnah. Al-Qur’an menunjukkan bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan tanpa rasa takut adalah keringanan dari Allah ‘Azza wa Jalla, bukan kewajiban bagi mereka untuk mengqashar sebagaimana dalam keadaan takut dan bepergian. 

Muslim bin Khalid dan Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Abdul Rahman bin Abdullah bin Abi ‘Ammar mengabarkan kepadaku dari Abdullah bin Babah dari Ya’la bin Umayyah, dia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Khattab, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Jika kamu takut diserang orang-orang kafir, maka shalatlah dengan cara qashar} (QS. An-Nisa’: 101), sedangkan sekarang orang-orang sudah aman.” Umar berkata, “Aku juga heran seperti yang kau herankan, lalu aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau bersabda, ‘Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian, maka terimalah sedekah-Nya.’” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Thalhah bin ‘Amr dari ‘Atha’ dari Aisyah, dia berkata, “Semua itu pernah dilakukan Rasulullah ﷺ, beliau mengqashar shalat dalam perjalanan dan juga menyempurnakannya.” 

Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Harmalah dari Ibnu Al-Musayyib, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang jika bepergian, mereka mengqashar shalat dan berbuka (tidak berpuasa).” 

(Imam Syafi’i berkata): Yang utama dan yang kulakukan saat bepergian serta yang kusukai adalah mengqashar shalat dalam keadaan takut dan bepergian, juga dalam perjalanan tanpa rasa takut. Barangsiapa menyempurnakan shalat dalam kedua keadaan tersebut, shalatnya tidak batal, baik dia duduk seukuran tasyahud atau tidak. Aku tidak menyukai meninggalkan qashar dan melarangnya jika itu berarti menolak sunnah. Aku juga tidak menyukai meninggalkan mengusap khuf (sepatu kulit) karena menolak sunnah. Namun, jika seseorang tidak mengusap khuf bukan karena menolak sunnah, aku tidak mempersoalkannya. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada perbedaan pendapat bahwa qashar hanya berlaku untuk tiga shalat: Zhuhur, Ashar, dan Isya, karena shalat-shalat tersebut awalnya empat rakaat lalu diqashar menjadi dua rakaat. Tidak ada qashar untuk Maghrib dan Subuh. Dalam keluasan bahasa Arab, qashar bisa berarti sebagian shalat, bukan seluruhnya, meskipun ungkapan secara umum mencakup semuanya. 

Jika ada yang berkata, “Sebagian orang tidak menyukai sebagian pemimpin mereka menyempurnakan shalat di Mina,” maka ketidaksukaan itu ada dua sisi. Jika mereka tidak menyukainya karena lebih memilih qashar sebagai sunnah, maka kami juga mengatakan demikian dan memilih sunnah dalam qashar. Jika mereka tidak menyukainya karena orang yang mengqashar berpendapat qashar hanya dalam keadaan takut, padahal Nabi ﷺ pernah mengqashar tanpa rasa takut, maka kami juga mengatakan demikian. Kami tidak menyukai meninggalkan sunnah karena menolaknya, dan tidak mungkin seorang pun dari ulama terdahulu—wallahu a’lam—tidak menyukainya kecuali jika ditinggalkan karena menolak sunnah. 

Jika ditanya, “Apa dalilnya?” Jawabannya adalah: Mereka shalat berjamaah bersama imam yang menyempurnakan empat rakaat, tetapi jika shalat sendirian, mereka shalat dua rakaat. Juga disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari penyempurnaan shalat di Mina di rumahnya, tetapi kemudian dia berdiri dan shalat empat rakaat. Ketika ditanya, dia menjawab, “Perselisihan itu buruk.” Seandainya shalat dalam perjalanan diwajibkan dua rakaat, tidak seorang pun—insya Allah—akan menyempurnakannya, dan Ibnu Mas’ud tidak akan menyempurnakannya di rumahnya. Tetapi kenyataannya seperti yang kujelaskan. Tidak boleh seorang musafir menyempurnakan shalat bersama mukim. 

Jika ada yang berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan, ‘Shalat diwajibkan dua rakaat,’” maka jawabannya: Aisyah sendiri pernah menyempurnakan shalat dalam perjalanan setelah sebelumnya mengqashar. Jika ada yang bertanya, “Apa maksud perkataannya?” Katakanlah: Dia menyatakan bahwa shalat diwajibkan dua rakaat bagi musafir yang menghendaki. Sebagian ahli tafsir memahami makna lain, yaitu jika shalat diwajibkan dua rakaat dalam perjalanan dan Allah mengizinkan qashar dalam keadaan takut, maka shalat khauf adalah satu rakaat. 

Jika ada yang bertanya, “Apa hujjah atas mereka atau siapa pun yang menafsirkan perkataan Aisyah berbeda dengan pendapatmu?” Kami jawab: Tidak ada hujjah yang kuat selain apa yang telah kami sebutkan dari Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ umat bahwa shalat musafir adalah empat rakaat jika bermakmum kepada imam yang mukim. Seandainya shalat mereka diwajibkan dua rakaat, tidak boleh bagi mereka shalat empat rakaat bersama mukim atau selainnya. 

[Jama’ Tafri’ Shalat al-Musafir] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i berkata, “Tidak ada perbedaan shalat wajib antara di rumah dan dalam perjalanan kecuali dalam azan dan waktu.”

Adapun qashar, selain itu, keduanya sama, baik dikeraskan atau dilirihkan dalam perjalanan, sebagaimana dikeraskan dan dilirihkan di tempat tinggal, dan disempurnakan dalam perjalanan sebagaimana disempurnakan di tempat tinggal. Adapun keringanan, jika seseorang melakukan shalat dengan minimal yang diwajibkan dalam perjalanan maupun di tempat tinggal, itu sudah mencukupi. Aku tidak berpendapat untuk meringankan shalat dalam perjalanan dibanding shalat di tempat tinggal kecuali karena uzur, dan ia melakukan apa yang mencukupi. Imamah dalam perjalanan dan di tempat tinggal adalah sama. Aku tidak suka meninggalkan azan dalam perjalanan, meskipun meninggalkannya lebih ringan dibanding meninggalkannya di tempat tinggal. Aku lebih memilih berjamaah dalam shalat saat bepergian, meskipun jika setiap kelompok shalat sendiri-sendiri, itu sudah mencukupi insya Allah. Jika ada musafir dan muqim berkumpul, maka imamah oleh muqim lebih aku sukai, dan tidak masalah jika musafir mengimami muqim. 

Orang yang hendak bepergian tidak boleh mengqashar shalat sampai ia keluar dari seluruh rumah di desa yang ia tinggalkan. Ketika ia memasuki rumah pertama di desa yang ia tuju untuk menetap, ia harus menyempurnakan shalat. Sufyan mengabarkan dari Ibrahim bin Maysarah dari Anas bin Malik yang berkata: “Aku shalat Zhuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah empat rakaat, dan shalat Ashar bersamanya di Dzul Hulaifah dua rakaat.” Sufyan juga mengabarkan dari Muhammad bin Al-Munkadir yang mendengar Anas bin Malik mengatakan hal serupa, tetapi ia menyebutkan: “di Dzul Hulaifah.” Sufyan juga meriwayatkan dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas yang menyatakan hal yang sama. 

Dalam hal ini terdapat dalil bahwa seseorang tidak boleh mengqashar shalat hanya dengan niat bepergian tanpa benar-benar melakukan perjalanan. Jika seseorang berniat bepergian tetapi tidak benar-benar melakukan perjalanan, ia tidak boleh mengqashar. Jika ia telah memulai perjalanan, lalu berniat untuk menetap, ia harus menyempurnakan shalat, karena niat menetap berarti ia telah menjadi muqim. Niat bepergian saja tidak cukup, karena niat harus disertai dengan tindakan. 

Jika seseorang memulai shalat Zhuhur sebagai musafir dengan niat mengqashar, lalu sebelum menyelesaikan dua rakaat ia berniat menetap, ia harus menyempurnakan shalat menjadi empat rakaat dan tidak perlu memulai dari awal, karena ia masih dalam shalat Zhuhur. Jika ia sudah menyelesaikan dua rakaat tetapi belum salam, lalu berniat menetap, ia harus menyempurnakan shalat selanjutnya tanpa mengulang yang sudah dilakukan. Namun, jika ia berniat menetap saat shalat Zhuhur lalu salam setelah dua rakaat, ia harus memulai shalat Zhuhur lagi dengan empat rakaat. 

Jika seseorang memulai shalat dengan niat mengqashar, lalu berubah pikiran untuk menyempurnakannya sebelum atau selama shalat, itu diperbolehkan dan shalatnya tidak batal, karena ia tidak menambah sesuatu yang bukan bagian dari shalat, hanya meninggalkan qashar yang sebelumnya diperbolehkan. 

Jika seorang musafir shalat bersama musafir dan muqim dengan niat shalat dua rakaat, lalu sebelum menyempurnakan shalat ia berniat menyempurnakannya tanpa menetap atau meninggalkan keringanan qashar, maka musafir dan muqim harus menyempurnakan shalat, dan shalat mereka tidak batal. Mereka seperti orang yang shalat di belakang muqim. Jika shalat seorang musafir batal setelah ia bergabung, ia harus shalat empat rakaat, seperti musafir yang bergabung dalam shalat muqim lalu shalatnya batal. 

Jika seorang musafir shalat di belakang musafir lain lalu shalatnya batal, lalu ia pergi untuk berwudhu dan mengetahui bahwa imam shalat dua rakaat, ia cukup shalat dua rakaat. Jika ia tahu imam shalat empat rakaat atau tidak tahu, ia harus shalat empat rakaat. Jika seorang musafir shalat di belakang seseorang yang tidak diketahui statusnya (musafir atau muqim) satu rakaat, lalu imam menyelesaikan shalat atau shalatnya batal atau wudhunya batal, ia harus shalat empat rakaat. 

Jika seorang musafir shalat bersama musafir dan muqim lalu mimisan, lalu ia mengangkat seorang muqim sebagai imam, maka musafir, muqim, dan imam yang mimisan harus shalat empat rakaat, karena shalat belum sempurna bagi satu pun dari mereka sehingga mereka dalam shalat muqim. Jika seorang musafir shalat bersama musafir dan muqim dua rakaat, muqim menyempurnakan shalat, sedangkan musafir boleh mengqashar jika mau. Jika mereka atau salah satunya berniat shalat empat rakaat, mereka seperti muqim yang menyempurnakan shalat dengan niat.

Dan yang wajib bagi mereka adalah menyempurnakan (shalat) dengan niat jika mereka berniat ketika memulai shalat, atau setelah memulai dan sebelum keluar darinya untuk menyempurnakan. Adapun seorang musafir yang berdiri untuk shalat dengan niat empat rakaat, lalu belum takbir hingga berniat dua rakaat, atau berniat empat rakaat setelah salam dari dua rakaat, maka tidak wajib baginya shalat empat rakaat. 

Jika seorang musafir mengimami musafir lain atau orang yang mukim, dan niatnya dua rakaat, lalu shalat empat rakaat karena lupa, maka wajib baginya sujud sahwi. Jika bersama dia ada orang mukim yang shalat di belakangnya dengan niat shalat wajib mereka, maka shalat mereka sah karena dia boleh menyempurnakan shalat, sehingga shalat mereka di belakangnya menjadi sempurna. 

Jika di belakangnya ada musafir yang berniat menyempurnakan shalat untuk diri mereka sendiri, maka shalat mereka sempurna. Namun jika mereka tidak berniat menyempurnakan shalat untuk diri mereka sendiri, kecuali karena melihat imam menyempurnakan shalat (bukan karena lupa), maka shalat mereka tetap sah, karena mereka wajib shalat empat rakaat di belakang orang yang shalat empat rakaat. 

Tetapi jika mereka shalat dua rakaat bersamanya tanpa niat apa pun, dan mengira imam lupa, lalu mengikutinya tanpa berniat menyempurnakan untuk diri mereka sendiri, maka mereka wajib mengulang shalat. Aku tidak mengira mereka bisa mengetahui kelupaan imam, karena imam boleh memendekkan atau menyempurnakan shalat. Jika imam menyempurnakan, maka makmum wajib mengikutinya, baik musafir maupun mukim. 

Jika seorang musafir shalat bersama musafir atau mukim, dan dia tidak tahu apakah imamnya musafir atau mukim, maka dia wajib shalat empat rakaat, kecuali jika dia tahu bahwa imam musafir hanya shalat dua rakaat, maka dia boleh shalat dua rakaat. Jika hal itu samar baginya, maka wajib shalat empat rakaat, tidak sah selain itu, karena dia tidak tahu apakah imam musafir termasuk yang menyempurnakan shalat atau tidak. 

Jika seorang musafir memulai shalat dengan niat qashar, lalu lupa apakah dia berniat menyempurnakan atau mengqashar saat memulai shalat, maka wajib baginya menyempurnakan. Jika dia ingat bahwa dia memulai dengan niat qashar setelah lupa, tetap wajib menyempurnakan, karena saat itu dia dalam keadaan yang mengharuskannya menyempurnakan, dan tidak boleh mengqashar dalam keadaan apa pun. 

Jika dia membatalkan shalat, maka dia harus shalat sempurna, tidak sah selain itu. Jika dia memulai shalat Zhuhur tanpa berniat qashar atau itmam, maka wajib menyempurnakan dan tidak boleh mengqashar. 

Kecuali jika niatnya saat memulai shalat tidak mendahului niat masuk shalat atau masuk shalat dengan niat qashar. Jika demikian, dia boleh mengqashar. Jika tidak, maka wajib menyempurnakan. 

Jika dia memulai shalat dengan niat qashar, lalu berniat itmam, atau ragu tentang niat qasharnya, maka wajib menyempurnakan dalam semua keadaan. 

Jika seseorang tidak tahu bahwa dia boleh mengqashar dalam safar, lalu menyempurnakan shalat, maka shalatnya sah. Jika seseorang mengqashar shalat padahal dia mengira tidak boleh mengqashar, maka dia harus mengulang semua shalat yang diqashar, dan tidak perlu mengulang shalat yang tidak diqashar. 

Jika seseorang dalam safar yang boleh mengqashar shalat, lalu menyempurnakan sebagian shalat dan mengqashar sebagian lainnya, maka itu boleh, seperti halnya jika dia wajib wudhu, lalu mengusap khuf untuk satu shalat, melepasnya dan berwudhu dengan mencuci kaki untuk shalat lain, maka itu boleh. 

Seperti halnya jika dia berpuasa satu hari di bulan Ramadhan dalam keadaan safar, dan berbuka di hari lain, maka itu boleh. 

Jika seseorang tertidur dari shalat dalam safar, atau lupa, lalu ingat saat sudah mukim, maka dia shalat seperti shalat mukim, dan menurutku tidak sah kecuali demikian, karena qashar hanya boleh dalam keadaan safar, dan keadaan itu sudah hilang, sehingga dia memulai shalat dalam keadaan tidak boleh qashar. 

Jika seseorang lupa shalat Zhuhur dan tidak tahu apakah shalat itu dalam keadaan mukim atau safar, maka wajib baginya shalat seperti shalat mukim, baik dia shalat dalam keadaan safar atau mukim. 

Jika seseorang lupa shalat Zhuhur saat mukim, lalu ingat setelah waktunya habis dalam safar, maka dia shalat seperti shalat mukim, tidak sah selain itu. 

Jika dia ingat shalat itu sisa sedikit waktu Zhuhur, maka dia boleh shalat seperti shalat safar.

[Perjalanan yang dalam perjalanan seperti itu shalat boleh diqashar tanpa rasa takut]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengqashar shalat dalam perjalanannya ke Mekah yang jaraknya sembilan atau sepuluh (mil).” Maka qashar beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan bahwa boleh mengqashar dalam jarak seperti yang beliau qashar atau lebih. Dan tidak boleh mengqiyaskan qashar beliau kecuali dengan salah satu dari dua cara: pertama, tidak mengqashar kecuali dalam jarak seperti yang beliau qashar atau lebih. Karena aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa boleh mengqashar dalam jarak kurang dari perjalanan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang beliau qashar, maka tidak boleh mengqiyaskan dengan cara ini.

Cara kedua adalah jika beliau mengqashar dalam suatu perjalanan dan tidak ada riwayat bahwa beliau tidak mengqashar dalam jarak yang lebih pendek, maka boleh mengqashar dalam perjalanan yang disebut sebagai safar, sebagaimana boleh bertayammum dan shalat sunnah di atas kendaraan ke mana pun arahnya dalam perjalanan yang disebut safar. Namun tidak sampai kepada kami bahwa beliau mengqashar dalam jarak kurang dari dua hari, kecuali bahwa kebanyakan ulama yang kami ketahui sepakat untuk tidak mengqashar dalam jarak kurang dari itu.

Maka menurutku, seseorang boleh mengqashar dalam perjalanan yang ditempuh selama dua malam dengan perjalanan biasa, yaitu sekitar empat puluh enam mil menurut ukuran Hasyimi, dan tidak mengqashar dalam jarak kurang dari itu. Adapun aku sendiri, lebih suka tidak mengqashar dalam jarak kurang dari tiga hari sebagai bentuk kehati-hatian bagi diriku, meskipun meninggalkan qashar juga boleh bagiku.

Jika ada yang bertanya: “Apakah ada dalil untuk mengqashar dalam dua hari berdasarkan hadits yang sahih?” Jawabannya: Ya, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-. Sufyan mengabarkan kepada kami dari ‘Amr dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas bahwa beliau ditanya, “Bolehkah kita mengqashar ke Arafah?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi ke ‘Asfan, ke Jeddah, dan ke…”

Taif berkata, dan tempat ini paling dekat dengan Mekah adalah empat puluh enam mil menurut mil Hasyimi, yaitu perjalanan dua malam dengan langkah biasa dan perjalanan membawa beban. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa dia pernah bepergian dengan Ibnu Umar menggunakan pos (kurir) dan tidak mengqashar shalat. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Salim bahwa Ibnu Umar pergi ke Dzatun Nashb dan mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut. Malik berkata, jarak antara Dzatun Nashb dan Madinah adalah empat burd. Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya bahwa dia pergi ke Raim dan mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut. Malik berkata, itu sekitar empat burd. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang ingin melakukan perjalanan paling pendek yang boleh mengqashar shalat, dia tidak boleh mengqashar sampai keluar dari rumahnya yang dia gunakan untuk memulai perjalanan. Baik rumah itu berada di desa atau padang pasir. Jika di desa, dia tidak boleh mengqashar sampai melewati rumah-rumahnya, dan tidak boleh ada rumah terpisah atau bersambung di depannya. Jika di padang pasir, dia tidak boleh mengqashar sampai melewati area tempat rumahnya berada. Jika berada di lembah yang luas, maka sampai melewati lebarnya. Jika di lembah yang panjang, sampai jelas meninggalkan tempat rumahnya. Jika di pemukiman yang padat, sampai melewati batas pemukiman. Jika di pemukiman yang terpencar, sampai melewati bagian pemukiman yang dekat dengan rumahnya. Jika dia mengqashar sebelum melewati batas yang disebutkan, dia harus mengulangi shalat yang diqasharnya di tempat itu. 

Jika dia keluar dengan tujuan perjalanan yang boleh mengqashar shalat untuk tinggal di suatu tempat selama empat hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat lain, dia boleh mengqashar shalat sampai mencapai tempat yang dia niatkan untuk tinggal. Jika sampai di sana dan mengubah niat untuk hanya singgah tanpa bermukim, dia harus menyempurnakan shalat. Namun, jika dia melanjutkan perjalanan, dia boleh mengqashar lagi. Niat bermukim ditentukan oleh niat, dan mengqashar shalat tidak berlaku hanya dengan niat bepergian sampai perjalanan benar-benar dimulai. 

Jika seseorang pergi ke suatu kota untuk tinggal empat hari, kemudian ke kota lain setelahnya, dan kota pertama yang dituju bukan termasuk jarak yang boleh mengqashar shalat, maka dia tidak boleh mengqashar sampai ke sana. Jika setelah keluar dari kota pertama, kota berikutnya termasuk jarak yang boleh mengqashar, dia boleh mengqashar sejak keluar dari kota pertama. Jika tidak, dia tidak boleh mengqashar. Jika dia pulang dari kota kedua menuju kampung halamannya, dan itu termasuk jarak yang boleh mengqashar, dia boleh mengqashar. 

Jika situasinya sama, tetapi niatnya hanya melewati suatu kota tanpa singgah atau bermukim, dia boleh mengqashar selama tujuan akhir perjalanannya termasuk jarak yang boleh mengqashar. Karena dia tidak berniat bermukim atau keperluan di kota tersebut, melainkan hanya melewati. Dia tidak boleh mengqashar jika berniat untuk keperluan di kota yang tidak termasuk jarak qashar. 

Jika seseorang berniat pergi ke suatu kota yang termasuk jarak qashar dan memulai perjalanan, kemudian sebelum sampai dia memutuskan untuk pulang, dia harus menyempurnakan shalat. Jika kemudian dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, dia tetap menyempurnakan shalat kecuali tujuan akhir perjalanannya termasuk jarak qashar dari posisinya saat itu. 

Jika seseorang menuju suatu kota dengan dua rute: satu rute langsung tanpa jarak qashar, dan satu rute lain yang memiliki jarak qashar, maka menurutku dia tidak boleh mengqashar shalat di kedua rute tersebut. Qashar hanya berlaku jika tidak ada rute lain kecuali yang memenuhi jarak qashar, kecuali ada bahaya seperti musuh, jalan sulit, atau kepentingan tertentu di rute yang lebih jauh. 

(Asy-Syafi’i berkata): Hukum qashar berlaku sama bagi orang sakit, sehat, budak, orang merdeka, perempuan, dan laki-laki jika mereka bepergian bersama tanpa maksiat kepada Allah. Namun, jika seseorang bepergian untuk memerangi muslim atau kafir mu’ahad, merampok, merusak di muka bumi, budak yang kabur dari tuannya, atau orang yang lari untuk menghindar dari kewajiban, atau maksiat lainnya, dia tidak boleh mengqashar. Jika dia mengqashar, dia harus mengulangi semua shalat yang diqasharnya, karena qashar adalah keringanan yang hanya diberikan kepada orang yang tidak bermaksiat. 

Allah berfirman: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, bukan karena ingin berbuat dosa dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah: 173). Demikian juga, tidak boleh mengusap khuf, menjama’ shalat, atau shalat sunnah tidak menghadap kiblat bagi pelaku maksiat dalam perjalanan. Begitu pula tidak boleh meringkas shalat bagi orang yang bepergian dalam keadaan maksiat.

Maksiat kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang termasuk penduduk Mekah, maka ia menunaikan haji dengan menyempurnakan shalat di Mina dan Arafah. Demikian juga penduduk Arafah dan Mina, serta orang yang dekat dengan Mekah yang perjalanannya ke Arafah tidak termasuk perjalanan yang memperbolehkan qashar shalat. Termasuk dalam perjalanan yang memperbolehkan qashar adalah perjalanan yang melelahkan atau lambat, perjalanan karena takut (baik dalam pengejaran atau pelarian), maupun perjalanan yang aman. Karena qashar itu berlaku pada inti perjalanan, bukan karena kelelahan atau kenyamanan. Seandainya qashar diperbolehkan karena kelelahan, maka tidak boleh mengqashar dalam perjalanan jauh dengan kendaraan yang ditujukan untuk berjalan, tetapi boleh mengqashar dalam perjalanan dekat dengan berjalan kaki atau berkendaraan yang melelahkan dan menakutkan. Jika penduduk dekat (yang negerinya dekat dengan Mekah sehingga termasuk jarak yang memperbolehkan qashar) menunaikan haji…

Shalat. Kemudian ia berniat tinggal di Mekah selama empat hari. Jika ia pergi ke Arafah dengan niat menyelesaikan manasiknya dan tidak berniat tinggal selama empat hari, maka ketika kembali ke Mekah ia boleh mengqashar shalat; karena masa tinggalnya dipersingkat oleh perjalanan, dan ia shalat antara dirinya dan negerinya. Namun, jika ia berniat setelah menyelesaikan manasiknya untuk tinggal di Mekah selama empat hari, maka ia harus menyempurnakan shalat di Mina, Arafah, dan Mekah hingga ia keluar dari Mekah dalam keadaan bepergian, barulah ia boleh mengqashar. 

Jika seorang musafir mengunjungi Mekah untuk haji, ia boleh mengqashar shalat hingga tiba di Mekah, kemudian menyempurnakan shalat di Mekah, Arafah, dan Mina; karena ia telah sampai ke negeri tempat ia bermukim selama tidak bermaksud untuk pergi. Demikian pula halnya dengan Mekah, dan aturan ini berlaku sama bagi amir haji maupun rakyat biasa, tidak ada perbedaan. Begitu pula jika amir Mekah berangkat bepergian, ia harus menyempurnakan shalat hingga keluar dari Mekah, dan statusnya seperti seseorang yang berniat bepergian tetapi belum berangkat. 

[Shalat Sunnah bagi Musafir] 

Disebutkan bahwa musafir boleh mengerjakan shalat sunnah baik siang maupun malam, baik mengqashar shalat wajib maupun tidak. Ada riwayat shahih dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa…

Dia biasa melaksanakan shalat sunnah di malam hari dalam keadaan qashar. Diriwayatkan bahwa beliau pernah shalat sebelum Zhuhur dalam perjalanan sebanyak dua rakaat dan sebelum Ashar empat rakaat. Juga diriwayatkan secara pasti bahwa beliau melakukan shalat sunnah delapan rakaat di waktu Dhuha pada tahun Fathu Makkah, dan beliau mengqashar shalat pada tahun tersebut. 

[Bab Tempat Tinggal yang Mengharuskan Shalat Sempurna] 

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Humaid, ia berkata: Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang kalian dengar tentang tempat tinggal orang Muhajirin di Makkah?” As-Saib bin Yazid berkata: Al-Ala bin Al-Hadhrami menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang Muhajir boleh tinggal setelah menyelesaikan manasiknya selama tiga hari.” Berdasarkan ini, kami berpendapat bahwa jika seorang musafir berniat tinggal di suatu tempat selama empat hari dan malamnya—di mana tidak termasuk hari saat ia masih dalam perjalanan atau hari saat ia akan berangkat—maka ia harus menyempurnakan shalat. 

Kami berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ, “Seorang Muhajir boleh tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasiknya selama tiga hari.” Padahal, manasiknya selesai pada hari ia tiba. Seorang musafir tidak selamanya dalam perjalanan, juga tidak selamanya menetap, tetapi ia berada dalam keadaan perjalanan atau menetap sementara. Maka, yang paling sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ adalah: “Batas tinggal seorang musafir adalah tiga hari, dan jika lebih dari itu, berarti ia telah menetap.” 

Hari ketika ia masih dalam perjalanan tidak dihitung, begitu pula hari ketika ia sudah menetap lalu berangkat. Umar radhiyallahu ‘anhu mengusir ahli dzimmi dari Hijaz dan memberi batas tiga hari bagi pedagang yang datang. Ini sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Sunnah. 

Rasulullah ﷺ tinggal di Mina selama tiga hari dengan mengqashar shalat. Beliau tiba di Makkah untuk haji dan tinggal selama tiga hari sebelum berangkat ke Arafah dengan mengqashar shalat. Hari ketika beliau tiba di Makkah tidak dihitung karena beliau masih dalam perjalanan, begitu pula hari Tarwiyah karena beliau akan berangkat pada hari itu. 

Karena Nabi ﷺ tidak pernah mengqashar shalat dalam perjalanan lebih dari tiga hari, maka tidak boleh seseorang mengqashar shalat kecuali dalam keadaan musafir. Logikanya, seorang musafir tidak menetap, sehingga batas maksimal tinggalnya adalah seperti yang telah dijelaskan berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ dan praktik beliau. 

Jika seseorang menetap di suatu tempat selama empat hari, ia wajib mengulangi semua shalat yang diqashar. Jika seseorang tiba di suatu kota dengan niat tidak menetap lebih dari empat hari, lalu ia tinggal karena suatu keperluan atau sakit—dengan niat berangkat setelah sembuh atau urusannya selesai—tanpa batas waktu yang pasti, maka selama tidak dalam keadaan perang atau takut perang, ia boleh mengqashar shalat. Jika melebihi empat hari, lebih baik menyempurnakan shalat. Jika tidak, ia harus mengulangi shalat yang diqashar setelah empat hari. 

Seandainya dikatakan bahwa hukum perang dan non-perang dalam hal ini sama, itu adalah satu pendapat. Jika seseorang tetap mengqashar seperti dalam keadaan takut perang, menurutku ia tidak wajib mengulangi shalatnya. Namun, aku lebih memilih pendapat yang telah kujelaskan. 

Jika seseorang menetap karena perang atau takut perang, maka Rasulullah ﷺ pernah tinggal selama 17 atau 18 hari pada tahun Fathu Makkah karena perang dengan Hawazin, dan beliau mengqashar shalat. Dalam keadaan takut, tidak ada pendapat lain kecuali dua: 

  1. Jika melebihi masa tinggal Nabi ﷺ, maka shalat harus disempurnakan.
  2. Atau tetap boleh mengqashar selama dalam keadaan perang.

Aku tidak mengetahui pendapat lain dalam mazhab ulama. Jika tidak ada pendapat lain, maka pendapat pertama lebih utama. 

Jika seseorang tinggal di suatu kota bukan karena perang, takut, atau persiapan perang, ia boleh mengqashar shalat hingga 18 malam. Jika lebih dari itu, ia harus menyempurnakan shalat hingga meninggalkan kota tersebut. 

Demikian pula jika dalam keadaan perang atau takut, ia boleh mengqashar selama 18 hari. Jika lebih, ia harus menyempurnakan shalat. Jika tidak dalam keadaan takut, ia boleh mengqashar selama empat hari, dan jika lebih, ia harus menyempurnakannya. 

Jika seseorang berniat menetap empat hari dalam keadaan takut atau tidak, ia harus menyempurnakan shalat. 

Jika seseorang dalam perjalanan singgah di suatu kota dan berkata, “Jika aku bertemu si fulan, aku akan tinggal empat hari atau lebih,” maka ia boleh mengqashar hingga bertemu. Jika ia bertemu dan berniat tidak menetap empat hari, ia harus menyempurnakan shalat karena niat menetap telah terwujud dengan pertemuan tersebut.

Niat harus disertai dengan tempat tinggal untuk menyatukan niat dan tempat tinggal. 

Niat bepergian tidak membuat seseorang boleh mengqashar shalat hingga disertai dengan perjalanan, sehingga niat dan perjalanan bersatu. 

Jika seseorang memasuki suatu negeri dan berkata, “Jika si fulan datang, aku akan menetap,” lalu menunggu empat hari, maka setelah itu ia harus menyempurnakan shalat menurut pendapat yang dipilih. Namun jika si fulan tidak datang, maka ketika ia keluar dari batas desa, ia boleh mengqashar. 

Jika seseorang bepergian dari Mekah ke Madinah dan di antara Mekah dan Madinah ia memiliki harta, ternak, atau keluarga, lalu ia singgah di salah satu tempat miliknya, ia tetap boleh mengqashar selama tidak berniat menetap di salah satu tempat tersebut selama empat hari. Demikian pula jika ia memiliki kerabat, keluarga istri, atau istri di salah satu tempat tersebut, dan tidak berniat menetap empat hari, ia boleh mengqashar jika mau. 

Para sahabat Rasulullah ﷺ pernah mengqashar shalat bersama beliau pada tahun Fathu Mekah, saat haji beliau, dan haji Abu Bakar. Sebagian dari mereka memiliki rumah atau lebih di Mekah. Abu Bakar memiliki rumah dan kerabat di Mekah, Umar memiliki banyak rumah di Mekah, dan Utsman juga memiliki rumah dan kerabat di Mekah. Aku tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang diperintahkan Rasulullah ﷺ untuk menyempurnakan shalat, atau mereka menyempurnakannya setelah Rasulullah ﷺ wafat saat datang ke Mekah. Bahkan, diriwayatkan dari mereka bahwa mereka mengqashar shalat di Mekah. 

Jika seseorang keluar untuk menemui seseorang, mengambil budaknya, atau mencari barang hilang di suatu negeri dengan jarak yang membolehkan qashar (kurang atau lebih), lalu ia berkata, “Jika aku menemukan keperluanku sebelum sampai ke negeri itu, aku akan kembali,” maka ia tidak boleh mengqashar hingga niatnya benar-benar sampai ke negeri yang membolehkan qashar. Ia tidak boleh berniat kembali sebelum sampai ke sana dalam keadaan apa pun. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang keluar menuju negeri yang membolehkan qashar tanpa niat pasti sampai, dan ia berkata, “Mungkin aku sampai atau mungkin aku kembali,” maka ia tidak boleh mengqashar hingga ia berniat pasti sampai. Namun jika ia keluar dengan niat sampai untuk suatu keperluan tanpa berniat kembali sebelum menyelesaikan keperluannya, maka ia boleh mengqashar. Jika ia menemukan keperluannya sebelum sampai atau tiba-tiba ingin kembali tanpa menyelesaikan keperluannya—dan tempat yang ia capai tidak termasuk jarak qashar—maka ia harus menyempurnakan shalat saat kembali. Namun jika tempat yang ia capai termasuk jarak qashar (seandainya ia memulai perjalanan dari sana), lalu ia memutuskan untuk kembali, maka ia boleh mengqashar. Jika ia berniat menetap di sana, ia harus menyempurnakan shalat hingga ia melanjutkan perjalanan, lalu boleh mengqashar saat bepergian lagi. 

Jika seseorang keluar menuju suatu negeri, lalu negeri setelahnya, maka jika negeri pertama termasuk jarak qashar, ia boleh mengqashar. Jika tidak, ia tidak boleh mengqashar. Saat ia keluar dari negeri pertama, jika jarak antara ia dan negeri tujuan termasuk jarak qashar, ia boleh mengqashar. Jika tidak, ia tidak boleh mengqashar, karena aku menganggapnya seperti memulai perjalanan baru, seperti saat ia pertama kali berangkat dari keluarganya. 

Jika ia kembali dari negeri terjauh dan menuju kampung halamannya, maka jika jarak antara keduanya termasuk qashar, ia boleh mengqashar. Jika tidak, ia tidak boleh. Jika ia ingin kembali ke negeri yang berada antara ia dan kampung halamannya, lalu ke kampung halamannya, ia tidak boleh mengqashar kecuali jika ia menjadikannya sebagai jalur perjalanan, maka ia boleh mengqashar. 

Jika seseorang keluar dari Mekah menuju Madinah, ia boleh mengqashar. Namun jika di tengah jalan (misalnya di ‘Usfan) ia khawatir lalu berniat menetap di sana atau pergi ke negeri selain Madinah untuk menetap atau mencari kebaikan, maka aku menganggapnya sebagai memulai perjalanan baru dari ‘Usfan. Jika jarak perjalanan yang ia tuju dari ‘Usfan tidak termasuk qashar, ia tidak boleh mengqashar. Jika termasuk, ia boleh mengqashar. Demikian pula jika ia kembali dari sana menuju Mekah atau negeri lain, aku menganggapnya sebagai memulai perjalanan baru. Jika jarak yang ia tuju termasuk qashar, ia boleh mengqashar. Jika tidak, ia tidak boleh. 

Orang yang bepergian di darat, laut, atau sungai sama saja. Tidak dianggap berdasarkan perjalanan laut atau sungai, sebagaimana tidak dianggap berdasarkan perjalanan darat, baik dengan kuda, unta cepat, berjalan lambat, orang lemah berjalan pelan, atau hewan ternak yang berat. Namun jika ia bepergian di laut atau sungai dengan jarak yang diketahui bahwa seandainya di darat termasuk qashar, maka ia boleh mengqashar. Jika ragu, ia tidak boleh mengqashar hingga yakin bahwa jaraknya termasuk qashar. 

Bermukim di pelabuhan atau tempat persinggahan di sungai sama hukumnya dengan bermukim di darat, tidak berbeda. Jika berniat menetap empat hari di suatu tempat, ia harus menyempurnakan shalat. Jika tidak berniat menetap empat hari, ia boleh mengqashar. 

Jika angin menahannya di laut dan ia tidak berniat menetap kecuali untuk mencari cara keluar dengan bantuan angin, ia boleh mengqashar hingga empat hari. Setelah empat hari, ia harus menyempurnakan shalat seperti yang dijelaskan dalam pilihan pendapat. Jika ia menempuh jarak qashar, lalu angin mengembalikannya, ia tetap boleh mengqashar hingga ia berniat menetap empat hari atau benar-benar menetap empat hari (tanpa niat), maka ia harus menyempurnakan shalat setelah menetap empat hari menurut pendapat yang dipilih. 

Jika seseorang memiliki kapal dan menjadikannya sebagai tempat tinggalnya…

Dan bersamanya di dalamnya keluarganya, atau tidak ada keluarga yang bersamanya di dalamnya, maka lebih aku sukai agar dia menyempurnakan (shalat). Dan dia boleh mengqashar jika bepergian. Dan wajib baginya di mana pun dia ingin menetap selain tempat perjalanan untuk menyempurnakan (shalat). Dan dia di dalamnya seperti orang asing yang saling meminjamkan, tidak berbeda dalam hal apa yang dimilikinya, hanya saja aku lebih suka dia menyempurnakan (shalat). Dan demikianlah perlakuan terhadap pejalan kaki dan penunggang kendaraannya. 

Jika seseorang berasal dari penduduk pedalaman, maka rumahnya adalah di mana pun dia ingin menetap. Jika dia termasuk orang yang tidak memiliki harta atau rumah untuk kembali, dan dia selalu berpindah mengikuti tempat-tempat hujan, lalu dia singgah di suatu tempat, kemudian melihat kilat dan mengikutinya, maka jika dia yakin bahwa dia berada di negeri yang boleh mengqashar shalat, dia boleh mengqashar. Jika ragu, dia tidak boleh mengqashar. Jika dia yakin bahwa dia berada di negeri yang boleh mengqashar shalat, tetapi niatnya jika melewati tempat yang subur atau cocok untuk tinggal di bawahnya, maka dia tidak boleh mengqashar selama niatnya untuk singgah di tempat yang dia puji di bumi. 

Dan tidak boleh baginya mengqashar sama sekali sampai dia yakin bahwa dia ingin melakukan perjalanan yang tidak ada tujuan lain kecuali tujuan perjalanan, dan jaraknya mencapai batas yang boleh mengqashar shalat. (Berkata Asy-Syafi’i): Seandainya sekelompok orang keluar dari suatu negeri menuju negeri yang boleh mengqashar shalat, dan niat mereka jika melewati tempat yang subur untuk menggembalakan ternak selama masih memungkinkan, maka mereka tidak boleh mengqashar. Jika niat mereka untuk menggembalakan ternak di sana selama satu atau dua hari tanpa bermaksud menetap selama empat hari, maka mereka boleh mengqashar. Jika mereka melewati suatu tempat dan bermaksud menetap selama empat hari, maka mereka harus menyempurnakan shalat. Jika mereka tidak bermaksud menetap empat hari tetapi ternyata menetap selama empat hari, maka setelah empat hari mereka harus menyempurnakan shalat sesuai pilihan. 

[Kewajiban Shalat Jumat] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Diriwayatkan oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9). Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.” (QS. Al-Buruj: 3). (Berkata Asy-Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Shafwan bin Sulaim dari Nafi’ bin Jubair dan ‘Atha’ bin Yasar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Yang menyaksikan adalah hari Jumat, dan yang disaksikan adalah hari Arafah.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Syarik bin ‘Abdullah bin Abi Numair dari ‘Atha’ bin Yasar dari Nabi ﷺ dengan hadits yang serupa. 

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh ‘Abdurrahman bin Harmalah dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Nabi ﷺ dengan hadits yang serupa. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Dan Sunnah menunjukkan kewajiban Jumat sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kitabullah Tabaraka wa Ta’ala. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Kita adalah orang-orang yang terakhir (dalam zaman), tetapi kita adalah yang pertama (dalam pahala) pada hari Kiamat, meskipun mereka diberikan Kitab sebelum kita dan kita diberikan Kitab setelah mereka. Hari ini (Jumat) adalah hari yang mereka perselisihkan, lalu Allah memberi kita petunjuk kepadanya. Maka manusia mengikuti kita dalam hal ini: Yahudi besok (Sabtu) dan Nasrani lusa (Ahad).” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Abi Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dengan hadits yang serupa, hanya saja dia mengatakan, “Meskipun mereka…” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin ‘Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Kita adalah orang-orang terakhir (dalam zaman) tetapi yang pertama (dalam pahala) pada hari Kiamat, meskipun mereka diberikan Kitab sebelum kita dan kita diberikan Kitab setelah mereka. Kemudian hari ini (Jumat) adalah hari yang diwajibkan atas mereka (Yahudi dan Nasrani), tetapi mereka berselisih, lalu Allah memberi kita petunjuk kepadanya. Maka manusia mengikuti kita dalam hal ini: Sabtu (Yahudi) dan Ahad (Nasrani).” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan kewajiban Jumat. Dan diketahui bahwa hari Jumat adalah hari yang berada antara Kamis dan Sabtu, termasuk ilmu yang diketahui oleh jamaah dari jamaah dari Nabi ﷺ dan jamaah kaum muslimin setelahnya, sebagaimana mereka menukilkan bahwa Zhuhur empat rakaat dan Maghrib tiga rakaat. 

Orang Arab sebelum Islam menyebutnya ‘Aruubah’. Seorang penyair berkata: 

“Diriku tebusan bagi kaum yang mencampurkan 

Pada hari ‘Aruubah bekal dengan bekal.” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Salamah bin ‘Abdullah Al-Khathmi dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi.

Aku mendengar seorang laki-laki dari Bani Wa’il berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim kecuali wanita, anak kecil, atau budak.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang menetap di suatu negeri di mana shalat Jumat diwajibkan, yaitu seorang merdeka yang sudah baligh tanpa uzur, maka shalat Jumat wajib baginya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Uzur itu seperti sakit yang menghalanginya untuk menghadiri shalat Jumat kecuali dengan memperparah sakitnya, atau menanggung kesulitan yang tidak tertahankan, atau ditahan oleh penguasa (atau orang yang tidak bisa ia hindari karena terpaksa), atau ada kerabat, ipar, orang yang dicintai, atau orang yang ia urus yang meninggal. Jika demikian, ia boleh meninggalkan shalat Jumat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika anak atau orang tuanya sakit dan ia melihat kondisinya kritis serta khawatir akan kematiannya, maka tidak mengapa ia meninggalkan shalat Jumat. Begitu pula jika orang tersebut tidak dalam kondisi kritis tetapi tidak ada yang mengurusinya selain dirinya, atau ada orang lain yang mengurusinya tetapi sibuk saat waktu shalat Jumat, maka tidak mengapa ia meninggalkan shalat Jumat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Isma’il bin Abdurrahman dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Ibnu Umar dipanggil saat sedang mandi untuk shalat Jumat karena Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail sedang sekarat, lalu ia mendatanginya dan meninggalkan shalat Jumat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia tertimpa bencana seperti tenggelam, kebakaran, atau pencurian, dan ia berharap dengan tidak shalat Jumat bisa mencegah atau mengambil kembali sesuatu yang hilang, maka tidak mengapa ia meninggalkan shalat Jumat. Begitu pula jika anak, harta, hewan, atau lainnya hilang, dan ia berharap bisa menemukannya dengan tidak shalat Jumat, maka itu diperbolehkan. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia khawatir bahwa penguasa akan menahannya tanpa alasan yang benar jika ia pergi shalat Jumat, maka ia boleh tidak shalat Jumat. Namun, jika penguasa menahannya dengan alasan yang benar seperti masalah darah atau hudud, maka ia tidak boleh meninggalkan shalat Jumat atau melarikan diri, kecuali jika ia berharap bisa menghindari hukuman dengan maaf, qishash, atau perdamaian. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia bersembunyi dari orang yang menagih hutang karena kesulitan, maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat. Tetapi jika ia mampu melunasi hutangnya, ia tidak boleh meninggalkan shalat Jumat karena takut ditahan. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia hendak bepergian, aku tidak suka jika ia berangkat pada hari Jumat setelah Subuh. Namun, ia boleh berangkat sebelum Subuh. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang musafir berniat tinggal selama empat hari, maka hukumnya seperti orang yang menetap. Jika tidak berniat tinggal empat hari, maka menurutku ia tidak berdosa jika meninggalkan shalat Jumat, dan ia boleh melanjutkan perjalanan tanpa menghadirinya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Al-Aswad bin Qais dari ayahnya bahwa Umar melihat seorang laki-laki yang berpakaian musafir berkata, “Seandainya hari ini bukan hari Jumat, aku sudah berangkat.” Umar berkata kepadanya, “Berangkatlah, karena shalat Jumat tidak menghalangi perjalanan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Seorang musafir tidak wajib melewati negeri yang mengadakan shalat Jumat, kecuali jika ia berniat tinggal selama empat hari, maka shalat Jumat wajib baginya jika jatuh pada masa tinggalnya. Jika sudah wajib, ia tidak boleh berangkat setelah Subuh pada hari Jumat sampai shalat Jumat selesai. 

(Asy-Syafi’i berkata): Shalat Jumat tidak wajib bagi anak kecil, wanita, atau budak. Namun, aku menyukai jika budak, orang tua, atau anak kecil yang diizinkan untuk shalat Jumat melaksanakannya. Aku tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat Jumat dalam kondisi apa pun berdosa bagi mereka. 

(Asy-Syafi’i berkata): Budak mukatab, mudabbar, yang diizinkan berdagang, dan budak lainnya sama dalam hal ini. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika sebagian budak dimerdekakan dan shalat Jumat jatuh pada hari di mana ia bebas untuk dirinya sendiri, aku tidak memberikan keringanan untuk meninggalkannya. Namun, jika ia meninggalkannya, aku tidak mengatakan bahwa ia berdosa seperti orang merdeka yang meninggalkannya, karena shalat Jumat wajib bagi orang merdeka dalam segala kondisi kecuali ada uzur, sedangkan budak terkadang dalam kondisi di mana kewajiban itu tidak berlaku karena status perbudakannya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Orang merdeka yang aku katakan tidak wajib shalat Jumat karena uzur seperti ditahan atau lainnya, serta wanita, anak kecil, dan budak, jika mereka menghadiri shalat Jumat, maka mereka shalat dua rakaat. Jika mereka mendapatkan satu rakaat, mereka menambah rakaat lainnya, dan itu sudah mencukupi sebagai shalat Jumat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Alasan dikatakan bahwa shalat Jumat tidak wajib bagi mereka—wallahu a’lam—adalah agar mereka tidak berdosa jika meninggalkannya, seperti orang miskin yang tidak memiliki kendaraan dan bekal, lalu ia bersusah payah berjalan, bekerja di perjalanan, atau meminta-minta untuk haji, maka hajinya sah. Atau seperti orang tua yang tidak mampu berkuda, lalu ia dipaksa untuk diikat di hewan tunggangan, maka hajinya sah. Atau seperti musafir atau orang sakit yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa, lalu ia berpuasa, maka puasanya sah. Bukan berarti amal mereka tidak dicatat pahalanya.

Ini menjadi bagian dari keluarganya meskipun tidak berdosa jika meninggalkannya. (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak suka jika seorang yang memiliki uzur untuk meninggalkan Jumat—baik dari kalangan orang merdeka, wanita, anak-anak yang belum baligh, atau budak—melaksanakan salat Zuhur sebelum imam selesai atau sebelum memastikan imam telah selesai dengan berhati-hati hingga yakin imam telah usai. Sebab, mungkin saja ia masih bisa melaksanakan Jumat, dan itu lebih baik baginya. Namun, aku tidak memakruhkan jika mereka salat berjamaah setelah imam selesai, selama bukan karena enggan salat bersama imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka salat berjamaah atau sendiri setelah matahari tergelincir (zawal) dan sebelum imam selesai, mereka tidak perlu mengulang salatnya karena mereka memiliki uzur untuk meninggalkan Jumat. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka salat berjamaah atau sendiri lalu mendapati salat Jumat bersama imam, mereka boleh melakukannya sebagai salat sunah. 

(Imam Syafi’i berkata): Adapun orang yang wajib Jumat tanpa uzur untuk meninggalkannya, ia tidak boleh melaksanakan salat Jumat kecuali bersama imam. Jika ia melakukannya setelah zawal dan sebelum imam selesai, salatnya tidak sah, dan ia wajib mengulangnya dengan salat Zuhur empat rakaat setelah imam selesai. Sebab, ia seharusnya tidak melakukannya sendiri, melainkan wajib menghadiri Jumat. Jika ia terlewat, ia harus mengqadhanya seperti orang yang meninggalkan salat hingga waktunya habis. Aku tidak memakruhkan mengqadha salat Jumat kecuali jika dilakukan dengan meremehkan Jumat atau enggan salat di belakang imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku memerintahkan penghuni penjara dan para pekerja dari kalangan budak untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah. Namun, menyembunyikan jamaah lebih aku sukai daripada menampakkannya, agar tidak disangka mereka enggan salat bersama imam. 

### Jumlah Orang yang Wajib Jumat di Suatu Desa 

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Karena salat Jumat adalah kewajiban yang mungkin berlaku pada setiap orang yang salat tanpa batasan jumlah atau tempat tinggal, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa Jumat tidak wajib kecuali di tempat tinggal tetap. Aku tidak menemukan riwayat yang menyatakan Jumat wajib bagi kurang dari 40 orang laki-laki. Sebagian ulama lain berpendapat Jumat hanya wajib bagi penduduk kota besar. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar beberapa muridku mengatakan bahwa Jumat wajib bagi penduduk tempat tinggal tetap jika berjumlah 40 laki-laki dan merupakan penduduk desa. Kami pun mengikuti pendapat ini, karena ini adalah pendapat paling minimal yang kami ketahui. Aku tidak bisa meninggalkan pendapat ini tanpa dalil yang kuat yang bertentangan. 

Terdapat riwayat—meski tidak kuat menurut ahli hadis—bahwa Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan Jumat dengan 40 orang laki-laki saat baru tiba di Madinah. Juga diriwayatkan bahwa beliau memerintahkan penduduk desa ‘Urainah untuk melaksanakan salat Jumat dan Id. Diriwayatkan pula bahwa beliau memerintahkan ‘Amr bin Hazm untuk mengimami salat Id di Najran. 

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, yang berkata: “Setiap desa yang memiliki 40 laki-laki, wajib bagi mereka melaksanakan Jumat.” 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang terpercaya mengabarkan kepadaku dari Sulaiman bin Musa bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada penduduk daerah antara Syam dan Mekah: “Laksanakanlah Jumat jika kalian mencapai 40 laki-laki.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika penduduk suatu desa berjumlah 40 laki-laki—dengan desa yang terdiri dari bangunan batu, tanah liat, atap, atau pepohonan—dan rumah-rumah mereka berdekatan seperti umumnya desa, serta penduduknya tidak sering bepergian kecuali untuk keperluan seperti kebiasaan penduduk desa, maka menurutku—wallahu a’lam—mereka wajib melaksanakan Jumat. Jika mereka telah melaksanakannya, itu sudah mencukupi. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mencapai jumlah ini tetapi tidak semua hadir, aku berpendapat mereka boleh salat Zuhur. Jika jumlah mereka 40 atau lebih tetapi tidak berada di desa seperti yang kusebutkan, mereka tidak wajib Jumat. Jika mereka berada di kota besar yang banyak non-Muslim atau budak dan wanita Muslim, sementara Muslim merdeka yang baligh tidak mencapai 40 orang, mereka tidak wajib Jumat. Bahkan jika banyak Muslim yang lewat di sana tetapi penduduk tetapnya kurang dari 40, mereka juga tidak wajib Jumat.

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya ada sebuah desa dengan jumlah penduduk seperti itu atau lebih, kemudian sebagian dari mereka meninggal, pergi, atau pindah sehingga tidak tersisa 40 orang laki-laki, mereka tidak boleh melaksanakan shalat Jumat. Meskipun banyak musafir atau pedagang Muslim yang melewati desa itu, selama penduduk aslinya tidak mencapai 40 orang, shalat Jumat tidak sah dilakukan di sana.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika sebuah desa seperti yang telah dijelaskan mengalami kerusakan rumah-rumahnya, atau sebagian rumahnya hancur, tetapi di antara yang tersisa masih ada 40 orang laki-laki yang tetap tinggal dan berusaha memperbaikinya, maka mereka boleh melaksanakan shalat Jumat—baik di bawah naungan atau tanpa naungan.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika penduduk suatu desa berjumlah 40 orang atau lebih, lalu sebagian besar mereka sakit sehingga tidak ada 40 orang laki-laki merdeka yang baligh yang hadir di masjid pada hari Jumat, maka mereka harus shalat Zhuhur.”

(Imam Syafi’i berkata): “Meskipun masjid dipenuhi oleh orang-orang yang lewat atau pedagang yang tidak menetap di desa itu, shalat Jumat tidak sah dilakukan jika tidak ada 40 orang laki-laki merdeka yang baligh dari penduduk setempat yang menetap.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika penduduk desa berjumlah 40 orang laki-laki merdeka yang baligh atau lebih, tetapi di antara mereka ada yang tidak waras, sehingga yang tersisa tidak mencapai 40 orang laki-laki sehat dan baligh yang dapat menghadiri shalat Jumat, maka mereka tidak boleh melaksanakan shalat Jumat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika penduduk desa berjumlah 40 orang atau lebih, lalu imam berkhutbah pada hari Jumat, kemudian sebagian jamaah bubar sebelum takbiratul ihram shalat sehingga tidak tersisa 40 orang, maka jika mereka kembali sebelum imam bertakbir dan jumlahnya mencapai 40 orang, imam boleh melanjutkan shalat Jumat. Namun, jika jumlahnya tidak mencapai 40 orang saat takbiratul ihram, shalat Jumat tidak sah, dan mereka harus shalat Zhuhur empat rakaat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika jamaah bubar setelah khutbah, dan imam menunggu mereka kembali, lebih baik baginya untuk mengulang khutbah jika masih ada waktu, lalu melaksanakan shalat Jumat. Jika tidak, maka shalat Zhuhur empat rakaat. Tidak boleh ada jeda yang terlalu lama antara khutbah dan shalat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika imam berkhutbah dengan jamaah yang kurang dari 40 orang, lalu jumlah jamaah mencapai 40 sebelum shalat dimulai, maka shalat tetap dilaksanakan sebagai Zhuhur empat rakaat. Menurutku, shalat Jumat tidak sah kecuali jika imam memulai shalat dengan 40 orang saat takbiratul ihram.”

(Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak menganggap sah kecuali 40 orang yang memenuhi syarat shalat Jumat, yaitu laki-laki merdeka, baligh, waras, menetap (bukan musafir).”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika imam berkhutbah di hadapan 40 orang, lalu bertakbir, kemudian jamaah bubar, ada dua pendapat: Pertama, jika tersisa dua orang sehingga shalatnya tetap sah sebagai shalat berjamaah sempurna, maka shalat Jumatnya sah karena ia sudah memulai dalam keadaan sah. Namun, jika ia shalat Zhuhur empat rakaat, itu juga sah. Pendapat kedua, shalat Jumat tidak sah dalam keadaan apa pun kecuali jika imam didampingi 40 orang sejak awal hingga selesai shalat. Tetapi jika yang tersisa hanya dua budak, atau satu budak dan satu orang merdeka, atau dua musafir, atau satu musafir dan satu penduduk setempat, maka mereka harus shalat Zhuhur.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika setelah takbir masih tersisa dua orang atau lebih, lalu mereka shalat Jumat, kemudian diketahui bahwa salah satu atau keduanya adalah musafir, budak, atau perempuan, maka imam harus mengulang shalat sebagai Zhuhur empat rakaat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Shalat Jumat tidak sah dalam salah satu dari dua pendapat tersebut kecuali jika imam menyelesaikan shalat bersama dua orang yang memenuhi syarat shalat Jumat. Jika ia shalat tanpa dua orang atau lebih yang memenuhi syarat di belakangnya, maka mereka wajib shalat Zhuhur empat rakaat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika imam batal sebelum takbir, lalu ia mengangkat seorang dari jamaah yang hadir untuk menggantikannya, sementara di belakangnya kurang dari 40 orang, maka mereka harus shalat Zhuhur empat rakaat. Shalat Jumat tidak sah bagi mereka maupun imam yang batal, karena kepemimpinannya telah gugur dan digantikan oleh seseorang yang, seandainya ia memulai shalat dalam keadaan seperti itu, tidak sah kecuali sebagai Zhuhur empat rakaat.”

(Imam Syafi’i berkata): “Jika imam memulai shalat Jumat, lalu diperintahkan untuk mengubahnya menjadi Zhuhur, maka apa yang telah ia kerjakan tetap sah selama ia berniat shalat Jumat, karena shalat Jumat pada dasarnya adalah Zhuhur di hari Jumat, hanya saja diperpendek. Ketika terjadi keadaan di mana ia tidak boleh memendekkannya, ia menyempurnakannya seperti musafir yang awalnya berniat shalat qashar dua rakaat, lalu sebelum selesai ia berniat menetap, sehingga ia menyempurnakan shalat menjadi empat rakaat tanpa mengulang dari awal.”

[Siapa yang Wajib Shalat Jumat di Tempat Tinggalnya] 

(Imam Syafi’i—rahimahullahu ta’ala—berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada sekelompok orang di suatu negeri yang penduduknya melaksanakan shalat Jumat, maka shalat Jumat wajib bagi siapa saja yang mendengar azan dari penduduk kota atau yang dekat dengannya, berdasarkan petunjuk ayat. (Imam Syafi’i berkata): Shalat Jumat wajib menurut kami bagi seluruh penduduk kota, meskipun penduduknya banyak hingga sebagian besar tidak mendengar azan, karena shalat Jumat diwajibkan di kota dan dengan jumlah jamaah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang lebih berhak untuk diwajibkan shalat Jumat daripada yang lain, kecuali yang memiliki uzur. (Imam Syafi’i berkata): Perkataan saya “mendengar azan” adalah jika muazinnya bersuara keras dan orang tersebut sedang mendengarkan, serta suasananya tenang. Namun, jika muazinnya tidak bersuara keras, orang tersebut lalai, dan suara-suara bising, maka sedikit yang mendengar azan. 

(Imam Syafi’i berkata): Saya tidak mengetahui pendapat yang lebih kuat dalam hal ini selain apa yang telah saya jelaskan. Dulu, Sa’id bin Zaid dan Abu Hurairah pernah berada di bawah pohon dengan jarak kurang dari enam mil, lalu mereka menghadiri shalat Jumat atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa salah satu dari mereka pernah berada di Al-‘Aqiq lalu meninggalkan shalat Jumat atau menghadirinya. Juga diriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash pernah berada dua mil dari Thaif, lalu menghadiri shalat Jumat atau meninggalkannya. (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdullah bin Zaid menceritakan kepadaku dari Sa’id bin Al-Musayyib bahwa dia berkata: “Shalat Jumat wajib bagi siapa saja yang mendengar azan.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada sebuah desa yang menjadi pusat dan dikelilingi oleh desa-desa lain yang terhubung secara ekonomi, serta pasar utama desa-desa tersebut berada di desa pusat, maka saya tidak memberikan keringanan bagi seorang pun dari mereka untuk meninggalkan shalat Jumat. Demikian pula, saya tidak memberikan keringanan bagi orang yang berjarak satu atau dua mil atau sejenisnya. Menurut saya, tidak ada yang berdosa karena meninggalkan shalat Jumat kecuali yang mendengar azan. Namun, penduduk kota—meskipun kotanya besar—sepertinya berdosa jika meninggalkan shalat Jumat. 

[Orang yang Boleh Diikuti dalam Shalat Jumat] 

Shalat Jumat di belakang setiap imam—baik penguasa, yang diperintah, perampas kekuasaan di suatu negeri, atau bukan penguasa—adalah sah, sebagaimana shalat biasa di belakang orang-orang sebelumnya. (Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Abu ‘Ubaid, budak Ibnu Azhar, dia berkata: “Kami menghadiri shalat Id bersama Ali—radhiyallahu ‘anhu—sedangkan Utsman sedang dikepung.” 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat Jumat di belakang budak atau musafir tetap sah, sebagaimana shalat lainnya di belakang mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa shalat Jumat bukan kewajiban bagi mereka, maka dijawab bahwa mereka tidak berdosa jika meninggalkannya, tetapi mereka mendapat pahala jika melaksanakannya, dan itu sah bagi mereka sebagaimana sah bagi penduduk setempat. Keduanya tetap memiliki kewajiban shalat yang sempurna. Namun, saya berpendapat bahwa shalat Jumat tidak sah di belakang anak kecil yang belum baligh, wallahu a’lam. 

Seorang wanita tidak boleh mengimami shalat Jumat bagi wanita lainnya, karena shalat Jumat adalah imamah jamaah yang sempurna, sedangkan wanita bukanlah orang yang berhak menjadi imam bagi jamaah yang sempurna. 

[Shalat di Dua Masjid atau Lebih] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Tidak boleh melaksanakan shalat Jumat di suatu kota—meskipun penduduknya banyak, penguasanya banyak, dan masjidnya banyak—kecuali di masjid utama (masjid jami’). Jika ada beberapa masjid besar, shalat Jumat tidak boleh dilaksanakan di sana kecuali di satu masjid. Masjid mana pun yang pertama kali melaksanakan shalat Jumat setelah tergelincir matahari, maka itulah shalat Jumat yang sah. Jika ada yang melaksanakan shalat Jumat di masjid lain setelahnya, maka shalat Jumat mereka tidak sah, dan mereka wajib mengulang shalat Zhuhur empat rakaat. (Imam Syafi’i berkata): Baik yang pertama kali melaksanakan shalat Jumat adalah penguasa, orang yang diperintah, seseorang yang shalat sunnah, perampas kekuasaan, atau orang yang dicopot jabatannya tetapi menolak pencopotan dengan mengumpulkan orang untuk shalat bersamanya, maka shalat Jumatnya sah. Sedangkan orang yang shalat Jumat setelahnya, shalat Jumatnya tidak sah meskipun dia seorang penguasa, dan dia wajib mengulang shalat Zhuhur. 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika shalat Jumat dilaksanakan di beberapa tempat di dalam kota, maka yang sah adalah shalat Jumat pertama, sedangkan selainnya tidak sah kecuali sebagai shalat Zhuhur. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang-orang yang melaksanakan shalat Jumat bingung tentang siapa yang pertama kali melaksanakannya, maka mereka semua wajib mengulang shalat Zhuhur empat rakaat. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka bingung lalu mengulang shalat, kemudian sebagian dari mereka melaksanakan shalat Jumat kedua pada waktu shalat Jumat…

Hal itu telah mencukupi bagi mereka; karena perkumpulan pertama mereka tidak mencukupi dan mereka pada awalnya ketika berkumpul telah merusak, kemudian mereka kembali dan berkumpul pada waktu Jumat (Berkata Ar-Rabi’): Dan ada pendapat lain bahwa mereka shalat Zhuhur karena ilmu mencakup bahwa salah satu kelompok telah shalat sebelum yang lain, maka sebagaimana shalat dianggap sah bagi yang shalat pertama meski tidak mengetahuinya, tidak sah bagi siapa pun shalat Jumat setelah selesainya Jumat yang telah sempurna.

Tanah tempat masjid berada, Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Jika suatu kota luas dan padat penduduknya, lalu dibangun banyak masjid besar dan kecil, menurutku tidak sah shalat Jumat di sana kecuali di satu masjid. Demikian pula jika desa-desa kecil terhubung dengan kota besar, aku tidak suka shalat kecuali di masjid terbesar. Jika shalat di masjid lain, shalatlah Zhuhur empat rakaat. Jika shalat Jumat, ulangi shalat bagi yang melakukannya di sana. (Dia berkata): Shalat Jumat dilakukan di masjid terbesar. Jika imam shalat di masjid yang lebih kecil, aku tidak menyukainya, tetapi itu sah baginya. (Dia berkata): Jika selain imam shalat di masjid terbesar sedangkan imam di masjid kecil, maka Jumat imam dan yang bersamanya sah, sedangkan yang lain mengulangi shalat Jumat.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika imam menunjuk orang untuk shalat, lalu wakil imam shalat di masjid terbesar atau kecil sebelum imam, dan imam shalat di masjid lain, maka Jumat yang shalat di masjid terbesar atau kecil sebelum imam sah, sedangkan yang lain mengulangi shalat Zhuhur. (Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika imam menunjuk dua orang untuk shalat, siapa yang lebih dulu sampai, maka siapa yang shalat Jumat lebih dulu, itu sah. Jika yang lain shalat setelahnya, itu dihitung Zhuhur. Jika seorang pemimpin shalat di masjid kecil dan pemimpin lain datang lalu shalat di masjid besar, maka siapa yang shalat lebih dulu, itulah Jumat. Jika aku berkata siapa yang shalat lebih dulu itulah Jumat, tetapi tidak diketahui siapa yang lebih dulu, maka jika salah satu mengulangi Jumat pada waktunya, itu sah. Jika waktu telah habis, keduanya mengulangi shalat bersama empat rakaat. (Ar-Rabi’ berkata): Maksudnya mengulangi shalat Zhuhur. (Asy-Syafi’i berkata): Hari raya berbeda dengan Jumat. Seseorang boleh shalat Id sendirian atau dalam perjalanan, dan jamaah boleh melakukannya tanpa dianggap sebagai Jumat, karena tidak mengubah kewajiban. Aku juga tidak melihat masalah jika imam keluar ke tempat shalat Id atau istisqa’, lalu memerintahkan orang lain untuk shalat Id bersama orang-orang lemah di suatu tempat di kota atau beberapa tempat. (Dia berkata): Jika shalat seseorang sendirian sudah sah, itu lebih ringan daripada shalat berjamaah dengan perintah pemimpin. Jika pemimpin tidak memerintah, mereka memilih satu orang dan itu sudah mencukupi.

(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka memilih seseorang untuk shalat gerhana di masjid-masjid mereka, aku tidak membenci hal ini, bahkan menyukainya. Aku tidak membencinya kecuali jika yang tidak ikut jamaah besar adalah orang-orang yang mampu hadir, maka aku sangat tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang bagi mereka. Adapun orang-orang yang memiliki uzur karena lemah, aku menyukai hal itu bagi mereka.

Berkata (Imam Syafi’i): “Jumat berbeda dengan semua ini.” (Dia berkata): “Jika mereka shalat berjamaah atau sendiri, mereka shalat sebagaimana imam shalat, tidak menyelisihinya dalam waktu maupun shalat. Tidak mengapa jika salah seorang dari mereka berkhutbah selama itu atas perintah penguasa. Jika bukan atas perintah penguasa, aku tidak menyukainya karena khawatir menimbulkan perpecahan dalam khutbah. Namun, aku tidak membencinya dalam shalat, sebagaimana aku tidak membencinya dalam shalat wajib selain Jumat.”

[Waktu Shalat Jumat] 

Berkata (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala-): “Waktu shalat Jumat adalah sejak matahari tergelincir hingga akhir waktu Zhuhur sebelum imam menyelesaikan shalat Jumat. Barangsiapa shalat setelah tergelincir matahari hingga salam sebelum akhir waktu Zhuhur, maka dia telah shalat pada waktunya dan itu dianggap Jumat baginya, kecuali jika di negeri tersebut sudah dilakukan shalat Jumat sebelumnya.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Barangsiapa belum salam dari shalat Jumat hingga keluar waktu Zhuhur, shalat Jumatnya tetap sah tetapi dianggap sebagai Zhuhur, dan dia wajib mengerjakannya empat rakaat.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: “Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Khalid bin Rabah menceritakan kepadaku dari Al-Muththalib bin Hanthab bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- shalat Jumat ketika bayangan telah sepanjang satu hasta atau sekitar itu.'” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: “Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Yusuf bin Mahak, dia berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada penduduk Makkah saat mereka shalat Jumat sementara bayangan masih berada di Hijr. Mu’adz berkata: ‘Jangan shalat hingga Ka’bah terkena bayangan dari arah depannya.'” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Yang dimaksud ‘depannya’ adalah pintu Ka’bah.” (Dia berkata): “Mu’adz memaksudkan hingga matahari tergelincir.” (Dia berkata): “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku temui bahwa shalat Jumat tidak boleh dilakukan sebelum matahari tergelincir.” (Dia berkata): “Tidak boleh memulai khutbah Jumat hingga jelas bahwa matahari telah tergelincir.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Jika seseorang memulai khutbah Jumat sebelum matahari tergelincir, lalu matahari tergelincir dan dia mengulangi khutbahnya, maka Jumatnya sah. Namun jika dia tidak mengulang dua khutbah setelah tergelincir, Jumatnya tidak sah dan dia wajib shalat Zhuhur empat rakaat.” 

“Jika dia shalat Jumat dalam keadaan tidak sah, lalu mengulangi khutbah dan shalat pada waktunya, maka itu sah. Jika tidak, dia shalat Zhuhur. Waktu yang diperbolehkan untuk shalat Jumat adalah sejak matahari tergelincir hingga masuk waktu Ashar.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Shalat Jumat tidak sah hingga imam menyampaikan dua khutbah dan menyempurnakan salam sebelum masuk waktu Ashar.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Jika awal waktu Ashar masuk sebelum dia salam, maka dia wajib menyempurnakannya sebagai Zhuhur empat rakaat. Jika dia tidak melakukannya hingga keluar dari shalat, dia harus memulai lagi shalat Zhuhur empat rakaat.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Jika seseorang lalai dalam shalat Jumat hingga dia tahu bahwa khutbahnya kurang dari dua khutbah dan shalatnya kurang dari dua rakaat, lalu dia tidak keluar dari shalat hingga masuk waktu Ashar, maka dia wajib shalat Zhuhur empat rakaat tanpa khutbah.” 

Berkata (Imam Syafi’i): “Jika dia berpendapat bahwa dia bisa menyampaikan khutbah paling ringan dan shalat dua rakaat yang sah sebelum masuk waktu Ashar, maka tidak ada pilihan baginya kecuali melakukannya. Jika dia keluar dari shalat sebelum masuk Ashar, maka itu sah. Jika tidak, dan waktu Ashar telah masuk, dia harus menyempurnakannya sebagai Zhuhur empat rakaat. Jika tidak, dan dia salam, maka dia harus memulai lagi shalat Zhuhur empat rakaat. Tidak ada yang menggantikannya.” 

“Jika dia keluar dari shalat dalam keadaan ragu—dia dan makmum—apakah waktu Ashar telah masuk atau belum, maka shalat mereka tetap sah karena mereka yakin telah memulai dalam waktu yang sah, sedangkan keraguan hanya pada keabsahan Jumat. Mereka seperti orang yang yakin berwudhu tetapi ragu.”

Dalam pemberontakan, (Asy-Syafi’i berkata): “Dan sama saja apakah mereka menyelesaikan shalat sebelum masuk waktu karena kegelapan, angin, atau sebab lainnya,” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan tidak serupa dengan Jum’at dalam hal yang kusebutkan. Seseorang yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbenam, ia wajib shalat Ashar setelah terbenamnya. Dan tidak boleh seseorang shalat Jum’at di luar waktunya karena ia telah mengqashar waktunya, dan tidak boleh mengqashar kecuali pada tempat yang ditetapkan untuknya.”

[Waktu Adzan untuk Jum’at] 

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Dan tidak boleh adzan untuk Jum’at sampai matahari tergelincir.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika adzan dikumandangkan sebelum tergelincir, maka adzan harus diulang setelah tergelincir. Jika seorang muadzin adzan sebelum tergelincir dan yang lain adzan setelahnya, maka adzan yang setelah tergelincir sudah mencukupi dan tidak perlu mengulang adzan sebelumnya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku lebih suka jika adzan pada hari Jum’at dilakukan ketika imam masuk masjid dan duduk di tempatnya yang digunakan untuk berkhutbah, baik mimbar kayu, pelepah kurma, atau sesuatu yang ditinggikan untuknya, atau tanah. Jika itu dilakukan, muadzin mulai mengumandangkan adzan. Jika selesai, imam berdiri untuk berkhutbah tanpa menambahnya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku lebih suka jika adzan dikumandangkan oleh satu muadzin ketika di atas mimbar, bukan oleh sekelompok muadzin. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Seorang yang terpercaya mengabarkan kepadaku dari Az-Zuhri dari As-Saib bin Yazid bahwa adzan pertama untuk Jum’at pada zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, dan Umar adalah ketika imam duduk di mimbar. Ketika masa kekhalifahan Utsman dan manusia semakin banyak, Utsman memerintahkan adzan kedua, lalu dikumandangkan, dan hal itu tetap dilakukan setelahnya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Atho’ pernah mengingkari bahwa Utsman yang memulainya dan berkata bahwa Muawiyah yang memulainya. Wallahu a’lam.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Siapapun yang memulainya, tata cara yang berlaku di zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih aku sukai.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika sekelompok muadzin adzan sementara imam di atas mimbar, dan adzan dilakukan seperti adzan sebelum adzan muadzin ketika imam duduk di mimbar, aku tidak menyukai hal itu, tetapi tidak membatalkan shalatnya sedikitpun.” (Asy-Syafi’i berkata): “Tidak ada dalam adzan sesuatu yang membatalkan shalat, karena adzan bukan bagian dari shalat, melainkan seruan kepadanya. Begitu pula jika shalat tanpa adzan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulanginya.”

[Kapan Jual Beli Diharamkan pada Hari Jum’at] 

Kapan jual beli diharamkan? (Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.” (Al-Jumu’ah: 9). (Asy-Syafi’i berkata): “Adzan yang mewajibkan orang yang terkena kewajiban Jum’at untuk meninggalkan jual beli adalah adzan yang berlaku di zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu adzan setelah tergelincir matahari dan imam duduk di mimbar. Jika seorang muadzin adzan sebelum imam duduk di mimbar setelah tergelincir, maka jual beli tidak dilarang sebagaimana ketika imam sudah di mimbar, tetapi aku tidak menyukainya karena itu adalah waktu yang seharusnya imam duduk di mimbar. Begitu pula jika seorang muadzin adzan sebelum tergelincir sementara imam sudah di mimbar, jual beli tidak dilarang. Larangan jual beli hanya berlaku jika adzan dikumandangkan setelah tergelincir dan imam sudah di mimbar.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika orang yang tidak terkena kewajiban Jum’at melakukan jual beli pada waktu yang dilarang, aku tidak membencinya karena mereka tidak terkena kewajiban Jum’at. Yang dilarang adalah jual beli bagi orang yang diperintahkan untuk menghadiri Jum’at.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika orang yang tidak terkena kewajiban Jum’at berjual beli dengan orang yang terkena kewajiban, aku tidak menyukainya bagi yang terkena kewajiban karena alasan yang telah kusebutkan, dan bagi yang lain karena membantu melakukan hal yang tidak kusukai. Namun, aku tidak membatalkan akad jual beli dalam keadaan apapun.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku tidak membenci jual beli pada hari Jum’at sebelum tergelincir matahari, juga tidak…”

Setelah shalat untuk seseorang dalam keadaan tertentu, dan jika dua orang yang diperintahkan (untuk shalat Jumat) melakukan transaksi jual beli pada waktu yang dilarang untuk berjual beli, tidak jelas bagiku untuk membatalkan transaksi antara mereka. Karena secara logis, larangan berjual beli pada waktu itu adalah untuk melaksanakan shalat, bukan karena jual beli itu sendiri haram. Hanya transaksi yang haram secara zatnya yang dibatalkan. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang mengingat shalat dan tidak tersisa waktu kecuali cukup untuk melakukan bagian minimal yang sah dari shalat, lalu ia berjual beli pada waktu itu, maka ia berdosa karena sibuk berjual beli hingga habis waktu shalat. Namun, dosa karena kesibukan tersebut tidak merusak transaksinya. Wallahu a’lam.

[Berangkat Lebih Awal untuk Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): 

Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 

“Jika hari Jumat tiba, di setiap pintu masjid ada malaikat yang mencatat orang-orang sesuai urutan kedatangan mereka. Ketika imam keluar (untuk khutbah), catatan itu ditutup, dan mereka mendengarkan khutbah. Orang yang paling awal datang untuk shalat seperti orang yang berkurban unta, kemudian yang setelahnya seperti berkurban sapi, lalu yang setelahnya seperti berkurban kambing, hingga disebutkan (pahala seperti) ayam dan telur.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Malik mengabarkan kepada kami dari Simak dari Abi Shalih As-Samman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 

“Barangsiapa mandi pada hari Jumat seperti mandi junub, lalu berangkat (ke masjid), maka seolah-olah ia berkurban unta. Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, seperti berkurban sapi. Yang berangkat pada waktu ketiga, seperti berkurban kambing bertanduk. Yang berangkat pada waktu keempat, seperti berkurban ayam. Dan yang berangkat pada waktu kelima, seperti berkurban telur. Ketika imam keluar (untuk khutbah), malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Aku menganjurkan bagi setiap orang yang wajib shalat Jumat untuk berangkat lebih awal semampunya. Semakin awal ia berangkat, semakin besar keutamaannya berdasarkan hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Karena ilmu telah menjelaskan bahwa semakin seseorang mendekatkan diri kepada Allah, semakin utama amalnya. 

(Imam Syafi’i berkata): 

Jika ada yang bertanya, “Mereka diperintahkan ketika azan dikumandangkan pada hari Jumat untuk bersegera mengingat Allah (shalat). Mereka hanya diperintahkan pada kewajiban mereka, dan perintah kewajiban tidak menghalangi keutamaan yang mereka lakukan sebelumnya sebagai amalan sunnah.” 

[Berjalan Menuju Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): 

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, 

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) 

(Imam Syafi’i berkata): 

Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya, ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar Umar membacanya kecuali, ‘Maka berjalanlah untuk mengingat Allah.'” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Secara logis, “bersegera” dalam konteks ini berarti beramal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, 

“Sesungguhnya usahamu (manusia) benar-benar berbeda-beda.” (QS. Al-Lail: 4) 

Dan firman-Nya, 

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39) 

Dan firman-Nya yang Maha Agung, 

“Dan apabila ia berpaling (dari engkau), ia berusaha untuk berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 205) 

(Imam Syafi’i berkata): 

Penyair Zuhair berkata, 

“Sekelompok orang berusaha memenuhi janji mereka agar bisa mencapainya, 

tetapi mereka tidak melakukannya, tidak menunda, dan tidak pula berusaha keras.” 

(Dan sebagian sahabat kami menambahkan dalam bait ini): 

“Dan kebaikan apa pun yang mereka lakukan, 

hanyalah warisan dari nenek moyang mereka dahulu. 

Bukankah langkah-langkah hanya dilakukan oleh yang bersemangat, 

dan pohon kurma hanya ditanam di tempat tumbuhnya?” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Abdurrahman bin Jabir bin ‘Atik menceritakan kepadaku…

Dari kakeknya, Jabir bin ‘Atik, sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata: “Jika engkau pergi ke shalat Jumat, berjalanlah dengan tenang.” 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam penjelasan kami berdasarkan petunjuk Kitabullah ‘Azza wa Jalla bahwa bersegera termasuk perbuatan (yang diperintahkan). Namun, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Jika kalian mendatangi shalat, janganlah datang dengan tergesa-gesa. Datangilah dengan berjalan tenang. Jika kalian mendapati (imam sedang shalat), shalatlah (mengikuti imam), dan sempurnakanlah apa yang terlewat.” 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat Jumat sudah cukup sebagai alasan untuk tidak berlari-lari menuju masjid. Tidak ada riwayat dari seorang pun selain Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang melarang berlari menuju Jumat. Aku juga tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau menambahkan kecepatan berjalan saat menuju Jumat dibanding shalat lainnya, atau dari salah seorang sahabatnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat Jumat sebaiknya didatangi dengan berjalan, sebagaimana shalat lainnya. Jika seseorang bergegas menuju Jumat atau shalat lainnya, shalatnya tidak batal, tetapi aku tidak menyukai hal itu baginya. 

[Tata Cara Hari Jumat] 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – melihat sebuah jubah bergaris di pintu masjid. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika engkau membeli jubah ini dan memakainya pada hari Jumat atau ketika menerima delegasi?” Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Ini hanya dipakai oleh orang yang tidak mendapat bagian di akhirat.” Kemudian, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – diberi beberapa jubah serupa dan memberikan satu kepada Umar bin Khattab. Umar berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memberikannya padaku, padahal engkau pernah berkata tentang jubah ‘Atharid seperti itu?” Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Aku tidak memberikannya untuk engkau pakai.” Maka, Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekkah. 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Ibnu As-Sabaq bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda pada suatu Jumat: “Wahai kaum Muslimin, hari ini adalah hari yang Allah jadikan sebagai hari raya bagi kalian. Mandilah, dan siapa yang memiliki wewangian, hendaknya menggunakannya. Dan bersiwaklah.” 

(Imam Syafi’i berkata): Kami menganjurkan seseorang untuk membersihkan diri pada hari Jumat dengan mandi, memotong rambut dan kuku, menghilangkan bau badan dari seluruh tubuh, bersiwak, dan segala bentuk kebersihan serta wewangian. Jika mampu, hendaknya memakai wewangian dan memakai pakaian terbaiknya untuk mengikuti sunnah, tanpa mengganggu orang di sekitarnya. 

Aku juga menganjurkan hal serupa untuk setiap hari raya dan shalat berjamaah, serta setiap perkumpulan orang banyak. Namun, anjuran ini lebih kuat pada hari raya dan Jumat karena banyaknya orang yang hadir. 

(Imam Syafi’i berkata): Pakaian yang paling aku sukai adalah warna putih. Jika lebih dari itu, seperti pakaian bergaris dari Yaman atau Qathari (jenis kain tertentu) atau sejenisnya yang dicelup benangnya sebelum ditenun, itu juga baik. Jika seseorang shalat dalam keadaan suci dan menutup aurat, itu sudah cukup, meskipun aku menganjurkan kebersihan dan hal-hal lain yang telah disebutkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku juga menganjurkan hal yang sama bagi budak, anak kecil, dan lainnya yang menghadiri Jumat, kecuali wanita. Untuk wanita, aku menganjurkan kebersihan yang menghilangkan bau badan, tetapi aku tidak menyukai mereka memakai wewangian atau pakaian yang mencolok, baik putih atau lainnya. Jika mereka tetap memakai wewangian atau melakukan hal yang tidak disukai, shalat mereka tidak perlu diulang. 

Aku juga menyukai imam untuk berpenampilan baik, bahkan lebih baik dari jamaah, dan aku menyukai jika ia memakai sorban. Dikatakan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – biasa memakai sorban. Jika ia memakai burdah (jubah), itu lebih aku sukai karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga pernah memakainya. 

[Shalat di Pertengahan Siang pada Hari Jumat] 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, Ishaq bin Abdullah mengabarkan dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: … (terjemahan dilanjutkan jika ada teks selanjutnya).

Allah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang shalat di tengah hari hingga matahari tergelincir kecuali pada hari Jumat.” (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Tsa’labah bin Abi Malik bahwa dia menginfokan kepadanya bahwa mereka pada masa Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – pada hari Jumat melaksanakan shalat hingga Umar bin Al-Khaththab keluar. Ketika Umar keluar dan duduk di mimbar serta muadzin mengumandangkan adzan, mereka duduk berbincang hingga ketika muadzin diam dan Umar berdiri, mereka pun diam dan tidak ada seorang pun yang berbicara. (Berkata Asy-Syafi’i): Ibnu Abi Fudaik menceritakan kepadaku dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab, dia berkata: Tsa’labah bin Abi Malik menceritakan kepadaku bahwa duduknya imam memutuskan tasbih dan ucapannya memutuskan pembicaraan, dan bahwa mereka dahulu berbincang pada hari Jumat sementara Umar duduk di atas mimbar. Ketika muadzin diam, Umar berdiri dan tidak ada seorang pun yang berbicara hingga dia menyelesaikan kedua khutbahnya. Ketika shalat didirikan dan Umar turun, mereka pun berbicara. 

(Berkata Asy-Syafi’i): Maka ketika orang-orang pergi untuk shalat Jumat, mereka shalat hingga imam berada di atas mimbar. Ketika imam sudah berada di atas mimbar, orang yang telah shalat dua rakaat atau lebih berhenti berbicara hingga imam memulai khutbah. Ketika imam memulai khutbah, mereka diam berdasarkan dalil yang aku sebutkan, dan tidak dilarang shalat di tengah hari bagi yang hadir pada hari Jumat. 

[Memasuki Masjid pada Hari Jumat saat Imam Sedang Berkhutbah dan Belum Shalat] 

Barangsiapa memasuki masjid pada hari Jumat sementara imam sedang berkhutbah dan dia belum shalat (Berkata Asy-Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: “Seorang laki-laki masuk pada hari Jumat sementara Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sedang berkhutbah. Beliau bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Shalatlah dua rakaat.'” (Berkata Asy-Syafi’i): Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zubair dari Jabir dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan hadits serupa dan menambahkan dalam riwayat Jabir bahwa dia adalah Sulaiq Al-Ghathafani. (Berkata Asy-Syafi’i): Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari ‘Iyadh bin Abdillah, dia berkata: Aku melihat Abu Sa’id Al-Khudri datang sementara Marwan sedang berkhutbah. Dia berdiri dan shalat dua rakaat. Para penjaga datang untuk memaksanya duduk, tetapi dia menolak hingga menyelesaikan dua rakaatnya. Setelah kami selesai shalat, kami mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Abu Sa’id, mereka hampir saja bertindak kasar terhadapmu.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak akan meninggalkannya karena apa pun setelah melihat perbuatan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika seorang laki-laki datang dalam keadaan lusuh sementara beliau sedang berkhutbah. Beliau bertanya, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Shalatlah dua rakaat.’ Kemudian beliau menganjurkan orang-orang untuk bersedekah, lalu mereka melemparkan pakaiannya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberinya dua helai pakaian dari sedekah tersebut. Ketika Jumat berikutnya, laki-laki itu datang lagi sementara Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sedang berkhutbah. Nabi bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Shalatlah dua rakaat.’ Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menganjurkan sedekah, lalu laki-laki itu melemparkan salah satu pakaiannya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berseru kepadanya, ‘Ambillah!’ Dia pun mengambilnya. Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Lihatlah orang ini. Dia datang pada Jumat sebelumnya dalam keadaan lusuh, lalu aku memerintahkan orang-orang untuk bersedekah, dan mereka melemparkan pakaiannya, lalu aku memberinya dua helai pakaian. Ketika Jumat ini aku memerintahkan sedekah lagi, dia datang dan melemparkan salah satu pakaiannya.'” 

(Berkata Asy-Syafi’i): Dengan ini kami berpendapat dan memerintahkan siapa saja yang memasuki masjid sementara imam sedang berkhutbah dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, serta dia belum shalat dua rakaat, agar melaksanakannya. Kami juga memerintahkannya untuk meringankannya, karena dalam hadits disebutkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan untuk meringankannya. (Berkata Asy-Syafi’i): Baik itu pada khutbah pertama atau khutbah terakhir. Jika seseorang masuk sementara imam sudah di akhir khutbah dan dia tidak sempat shalat dua rakaat dengan ringan sebelum imam memulai shalat, maka tidak mengapa baginya untuk tidak melakukannya, karena perintah shalat dua rakaat berlaku selama memungkinkan. Dan kondisi memungkinkan berbeda dengan kondisi tidak memungkinkan. Aku berpendapat bahwa imam sebaiknya memerintahkannya untuk shalat dua rakaat dan menambah ucapannya seukuran waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Jika imam tidak melakukannya, aku memakruhkannya tetapi tidak ada dosa baginya. Dan jika orang yang masuk tidak shalat padahal memungkinkan, (tidak ada konsekuensi).

Di dalamnya aku membenci hal itu baginya, tidak ada pengulangan atau kewajiban atasnya. (Imam Syafi’i berkata): “Dan jika dia shalat dua rakaat sementara shalat (Jumat) telah didirikan, aku membenci hal itu baginya. Namun jika dia mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia telah mendapatkan shalat Jumat.”

[Melangkahi leher orang pada hari Jumat]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Aku membenci melangkahi leher orang pada hari Jumat sebelum dan setelah imam masuk, karena hal itu mengandung gangguan dan sikap tidak sopan terhadap mereka. Oleh karena itu, aku menganjurkan bagi orang yang hendak menghadiri Jumat untuk datang lebih awal, disertai keutamaan dalam datang lebih awal. Diriwayatkan secara mursal dari Al-Hasan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat seorang laki-laki melangkahi leher orang, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadanya: ‘Kamu terlambat dan mengganggu.’ Juga diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melalui Abu Hurairah bahwa beliau bersabda: ‘Aku tidak suka meninggalkan shalat Jumat meskipun aku memiliki ini dan itu, dan lebih aku sukai shalat di punggung (bukit) Al-Harra daripada melangkahi leher orang.’ Jika tidak terlalu ramai dan ada celah di depannya, maka melangkahi satu atau dua orang untuk menuju celah itu, aku harap diperbolehkan. Namun jika ramai, aku membencinya dan tidak menyukainya, kecuali jika dia tidak menemukan jalan ke tempat shalat kecuali dengan melangkahi, maka boleh baginya melangkahi insya Allah Ta’ala. Jika dia berhenti sampai shalat didirikan, lalu orang di depannya maju sehingga dia bisa sampai ke tempat yang sah untuk shalat, maka aku membenci melangkahi. Jika dia melakukan apa yang kubenci yaitu melangkahi, dia tidak wajib mengulang shalatnya. Jika keramaian itu di belakang imam yang memimpin shalat Jumat, aku tidak membenci melangkahi atau meminta orang untuk memberi jalan, sebagaimana kubenci bagi makmum, karena dia terpaksa harus menuju khutbah dan shalat mereka.”

[Mengantuk di masjid pada hari Jumat]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar, dia berkata: ‘Ibnu Umar biasa berkata kepada seseorang yang mengantuk pada hari Jumat saat imam berkhutbah agar dia berpindah tempat.’ (Imam Syafi’i berkata): “Aku menganjurkan seseorang yang mengantuk di masjid pada hari Jumat dan menemukan tempat duduk lain tanpa harus melangkahi siapa pun, untuk berpindah agar dengan berdiri dan mencari tempat baru dapat menghilangkan kantuknya. Jika dia bertahan dan menjaga diri dari kantuk dengan cara yang dia anggap dapat menghilangkan kantuk, maka aku tidak membencinya. Aku juga tidak menganjurkan jika dia merasa bisa menahan kantuk dengan tetap di tempat untuk berpindah. Aku menduga bahwa perintah untuk berpindah itu diberikan ketika kantuk sudah sangat menguasai, sehingga diduga kantuk tidak akan hilang kecuali dengan berpindah. Jika dia tetap di tempat duduknya dalam keadaan mengantuk, aku membencinya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang shalat selama dia tidak tertidur hingga keluar dari batas keseimbangan.”

[Posisi imam saat berkhutbah]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: ‘Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata: ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- jika berkhutbah biasanya bersandar pada batang kurma di antara tiang-tiang masjid. Ketika mimbar dibuat dan beliau berdiri di atasnya, tiang itu berguncang seperti rintihan unta hingga didengar oleh orang-orang di masjid, sampai Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- turun dan memeluknya, lalu tiang itu tenang.’ (Imam Syafi’i berkata): “Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Thufail bin Abi bin Ka’ab menceritakan kepadaku dari ayahnya, dia berkata: ‘Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-…'”

Beliau shalat menghadap batang pohon ketika masjid masih beratap daun, dan beliau berkhutbah menghadap batang pohon tersebut. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, maukah engkau jika kami membuatkan mimbar untukmu agar engkau bisa berdiri di atasnya pada hari Jumat sehingga orang-orang bisa mendengar khutbahmu?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka dibuatkanlah mimbar dengan tiga anak tangga. Ketika mimbar telah selesai dan diletakkan di tempat yang ditentukan Rasulullah ﷺ, Nabi ﷺ memutuskan untuk berdiri di atas mimbar dan berkhutbah di sana. Ketika beliau melewati batang pohon yang biasa dijadikan tempat khutbah, batang itu merintih hingga retak dan pecah. Nabi ﷺ turun ketika mendengar suara batang itu, lalu membelainya dengan tangan beliau, kemudian kembali ke mimbar. Ketika masjid direnovasi, batang pohon itu diambil oleh Ubay bin Ka’b dan disimpan di rumahnya hingga lapuk dimakan rayap dan menjadi debu.

(Imam Syafi’i berkata:) Dari inilah kami berpendapat bahwa tidak mengapa seorang imam berkhutbah di atas sesuatu yang ditinggikan dari tanah atau selainnya. Juga tidak mengapa jika ia turun dari mimbar karena suatu keperluan sebelum berbicara, kemudian kembali lagi ke mimbar. Namun, jika ia turun setelah mulai berbicara, ia harus mengulangi khutbahnya, karena khutbah tidak dianggap sah jika dipisah dengan turun yang lama atau sesuatu yang memutus rangkaiannya.

[Khutbah dengan Berdiri] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata:) Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan meninggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah).” (QS. Al-Jumu’ah: 11). (Imam Syafi’i berkata:) Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun terkait khutbah Nabi ﷺ pada hari Jumat. (Imam Syafi’i berkata:) Dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah ﷺ berkhutbah pada hari Jumat, sementara di dekat mereka ada pasar bernama Bathha’, tempat Bani Sulaim biasa membawa kuda, unta, kambing, dan mentega. Ketika kafilah dagang datang, orang-orang pergi meninggalkan Rasulullah ﷺ. Mereka juga memiliki kebiasaan bersenang-senang ketika ada pernikahan di kalangan Anshar, mereka memukul rebana. Maka Allah mencela mereka dengan firman-Nya: “Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan meninggalkan engkau sedang berdiri.” (QS. Al-Jumu’ah: 11).” 

(Imam Syafi’i berkata:) Dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Nabi ﷺ berkhutbah pada hari Jumat dengan dua khutbah sambil berdiri, dipisah dengan duduk di antara keduanya.” Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Shalih maula At-Tau’amah, dari Abdullah bin Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ dengan riwayat serupa. 

(Imam Syafi’i berkata:) Dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Shalih maula At-Tau’amah, dari Abu Hurairah: “Dari Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar, bahwa mereka berkhutbah pada hari Jumat dengan dua khutbah di atas mimbar sambil berdiri, dipisah dengan duduk. Hingga pada masa Mu’awiyah, ia duduk di khutbah pertama, lalu berkhutbah sambil duduk, kemudian berdiri untuk khutbah kedua.” 

(Imam Syafi’i berkata:) Jika imam berkhutbah satu kali lalu shalat Jumat, ia harus mengulang dengan dua khutbah dan shalat Jumat. Jika tidak dilakukan hingga waktu habis, ia shalat Zhuhur empat rakaat. Tidak sah kurang dari dua khutbah yang dipisah dengan duduk. Jika dipisah tanpa duduk, tidak sah baginya untuk shalat Jumat. Juga tidak sah jika berkhutbah sambil duduk, kecuali karena uzur. Jika ia berkhutbah duduk karena sakit, itu sah baginya dan bagi makmum. Jika ia berkhutbah duduk sementara mereka melihatnya sehat, lalu ia menyebut uzur, maka ia dipercaya atas dirinya. Hal yang sama berlaku dalam shalat. Jika ia berkhutbah duduk sementara mereka tahu ia mampu berdiri, shalat Jumatnya tidak sah, baik bagi imam maupun makmum. Jika ia berkhutbah duduk sementara mereka tidak tahu apakah ia sehat atau sakit, lalu ternyata ia sehat, shalat mereka tetap sah karena asumsi mereka bahwa tidak ada yang berkhutbah duduk kecuali karena sakit. Mereka hanya wajib mengulang jika imam berkhutbah duduk sementara mereka tahu ia mampu berdiri.

Benar, jika satu kelompok mengetahui kebenarannya dan kelompok lain tidak mengetahuinya, maka kelompok yang tidak mengetahui kebenarannya sah salatnya, sedangkan kelompok yang mengetahui kebenarannya tidak sah. Hal ini berlaku dalam salat. (Imam Syafi’i berkata): Kami mengatakan ini tentang khutbah bahwa ia adalah zhahir, kecuali jika dilakukan sesuai perbuatan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berupa dua khutbah yang dipisah dengan duduk, maka boleh baginya salat dua rakaat. Jika tidak dilakukan seperti perbuatan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka ia tetap pada kewajiban asalnya.  

[Adab Khutbah] 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah sampai kepada kami dari Salamah bin Al-Akwa’ bahwa ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkhutbah dua kali dan duduk dua kali.” Dan perawi yang menceritakan kepadaku berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berdiri di anak tangga dekat tempat duduk, lalu memberi salam dan duduk di tempat duduk hingga muadzin selesai azan. Kemudian beliau berdiri dan menyampaikan khutbah pertama, lalu duduk, kemudian berdiri lagi untuk khutbah kedua.” Perawi melanjutkan ucapan ini dengan hadits, tapi aku tidak tahu apakah ia meriwayatkannya dari Salamah atau ia menafsirkannya dalam hadits. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku suka jika imam melakukan seperti yang kujelaskan. Jika muadzin azan sebelum imam naik mimbar, lalu imam muncul di mimbar dan menyampaikan khutbah pertama, kemudian duduk, lalu berdiri lagi untuk khutbah kedua, maka itu sudah cukup – insya Allah – karena ia telah menyampaikan dua khutbah yang dipisah dengan duduk. 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang khatib boleh bersandar pada tongkat, busur, atau semisalnya, karena telah sampai kepada kami bahwa “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah bersandar pada tongkat.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: “Aku bertanya kepada Atha’: Apakah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berdiri dengan tongkat saat berkhutbah? Ia menjawab: Ya, beliau bersandar padanya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika tidak bersandar pada tongkat, aku lebih suka ia menenangkan tubuh dan tangannya, baik dengan meletakkan tangan kanan di atas kiri atau membiarkannya diam di tempatnya. Hendaknya ia mengurangi menoleh dan menghadapkan wajahnya lurus ke depan. Aku tidak suka ia menoleh ke kanan atau kiri agar orang mendengar khutbahnya, karena jika dengan menghadap lurus saja sebagian jamaah tidak mendengar, maka jika ia menoleh ke satu arah, ucapan akan samar bagi arah sebaliknya, ditambah lagi itu termasuk adab yang buruk. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku suka ia mengeraskan suaranya hingga didengar oleh yang paling jauh jika mampu. Ucapannya hendaknya jelas, terstruktur, dengan bahasa yang fasih tanpa gaya bicara yang seperti gagap, terlalu lambat, terputus-putus, atau diulur-ulur, juga tanpa ucapan yang aneh atau terburu-buru hingga tidak dipahami. Hendaknya ucapannya ringkas, padat, dan bermakna.  

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sa’id bin Salim dan Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Umar. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia melakukan hal yang tidak kusukai, seperti memanjangkan khutbah, buruk adabnya dalam khutbah, atau pada dirinya sendiri, tetapi ia menyampaikan dua khutbah yang dipisah duduk, maka tidak perlu diulang. Minimal yang disebut khutbah adalah memuji Allah, bershalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan membaca ayat Al-Qur’an pada khutbah pertama, lalu memuji Allah, bershalawat, memberi nasihat takwa, dan berdoa pada khutbah kedua. Karena secara logika, khutbah adalah mengumpulkan beberapa ucapan dari berbagai sisi. Ini adalah bentuk paling ringkas. 

(Imam Syafi’i berkata): Kami memerintahkan membaca dalam khutbah karena tidak sampai kepada kami bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkhutbah pada Jum’at kecuali dengan membaca. Minimal yang sah disebut membaca adalah satu ayat Al-Qur’an, tetapi lebih dari itu lebih kusukai. 

Jika ia menjadikannya satu khutbah, maka ia harus mengulang khutbah kedua. Jika tidak melakukannya hingga waktu habis, ia harus mengulang salat Zhuhur empat rakaat. Jika ia menyampaikan dua khutbah tanpa dipisah duduk, ia harus mengulang khutbahnya. Jika tidak melakukannya, ia salat Zhuhur empat rakaat. 

Jika ia meninggalkan duduk pertama saat naik mimbar, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib diulang karena itu bukan bagian dari khutbah, bukan pemisah antara keduanya, melainkan amalan sebelum khutbah.

[Membaca dalam Khutbah] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Bakar dari Habib bin Abdurrahman bin Isaf, dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man bahwa ia mendengar Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membaca surat {Qaf} [Qaf: 1] saat berkhutbah di atas mimbar pada hari Jum’at, dan ia tidak menghafalnya kecuali dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pada hari Jum’at saat beliau berada di atas mimbar, karena seringnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membacanya pada hari Jum’at di atas mimbar. 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Bakar bin Hazm dari Muhammad bin Abdurrahman bin Sa’d bin Zurarah dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man dengan riwayat yang serupa. Ibrahim berkata: Aku tidak mengetahui kecuali bahwa aku mendengar Abu Bakar bin Hazm membacanya pada hari Jum’at di atas mimbar. Ibrahim berkata: Dan aku mendengar Muhammad bin Abu Bakar membacanya saat ia menjadi qadhi Madinah di atas mimbar. 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Amr bin Halhalah dari Abu Nu’aim Wahb bin Kaisan dari Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Umar biasa membaca dalam khutbahnya pada hari Jum’at surat {Idzasy Syamsu Kuwwirat} [At-Takwir: 1] hingga sampai pada {‘alimat nafsun ma ahdharat} [At-Takwir: 14], kemudian memotong surat tersebut. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Hisyam dari ayahnya bahwa Umar bin Al-Khaththab membaca demikian di atas mimbar. 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah sampai kepada kami bahwa Ali – karramallahu wajhah – biasa membaca di atas mimbar surat {Qul yaa ayyuhal kafirun} [Al-Kafirun: 1] dan {Qul huwallahu ahad} [Al-Ikhlas: 1]. Kedua khutbah tidak sempurna kecuali dengan membaca satu ayat atau lebih dalam salah satunya. 

Yang aku sukai adalah membaca surat {Qaf} [Qaf: 1] dalam khutbah pertama sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan tidak menguranginya. Jika seseorang membaca selain itu, maka itu sudah mencukupi insya Allah. Jika ia membaca ayat sajdah di atas mimbar, ia tidak turun dan tidak sujud. Namun jika ia melakukannya dan sujud, aku berharap tidak ada masalah, karena hal itu tidak memutus khutbah sebagaimana sujud tilawah tidak memutus shalat. 

(Imam Syafi’i) berkata: Jika ia sujud, ia dapat melanjutkan dari tempat ia berhenti berbicara. Jika ia memulai pembicaraan baru, itu juga baik. 

(Imam Syafi’i) berkata: Aku lebih suka jika ia mendahulukan pembicaraan, kemudian membaca ayat, karena hal itu telah sampai kepada kami. Namun jika ia mendahulukan bacaan kemudian berbicara, tidak masalah. Aku lebih suka jika bacaannya seperti yang telah kusebutkan dalam khutbah pertama, dan dalam khutbah kedua membaca satu ayat atau lebih, kemudian mengucapkan: Astawghfirullah li wa lakum (Aku memohon ampunan Allah untukku dan untuk kalian). 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu – jika berada di akhir khutbah, ia membaca akhir surat An-Nisa’ {Yastaftunaka qulillahu yuftikum fil kalaalah} [An-Nisa’: 176] hingga akhir surat. Di mana pun ia membaca dalam khutbah pertama atau terakhir, baik memulai dengan bacaan, khutbah, atau menjadikan bacaan di tengah-tengah khutbah, atau setelah selesai darinya, jika ia melakukan bacaan, itu sudah mencukupi insya Allah Ta’ala. 

[Pembicaraan Imam dalam Khutbah] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Ibnu Syihab. 

(Imam Syafi’i) berkata: Dalam hadits Jabir dan Abu Sa’id, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada seorang laki-laki yang masuk masjid saat beliau berada di atas mimbar, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak.’ Maka beliau bersabda, ‘Shalatlah dua rakaat.'” Dalam riwayat Abu Sa’id, laki-laki itu bersedekah dengan salah satu pakaiannya, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Lihatlah orang ini yang…” 

(Imam Syafi’i) berkata: Tidak masalah seseorang berbicara dalam…

Khutbah Jumat dan setiap khutbah adalah tentang hal-hal yang berkaitan dengan diri seseorang dan orang lain melalui ucapan manusia. Aku tidak suka jika seseorang berbicara tentang hal yang tidak berkaitan dengannya atau dengan orang lain, atau tentang perkataan yang buruk. Setiap perkataan yang aku izinkan atau aku larang tidak merusak khutbah atau shalatnya.

Bagaimana sebaiknya khutbah itu? (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Abdul Aziz mengabarkan kepada kami dari Ja’far dari ayahnya dari Jabir, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ishaq bin Abdullah menceritakan kepadaku dari Aban bin Shalih dari Kuraib, maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memohon pertolongan, ampunan, petunjuk, dan kemenangan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah tersesat hingga kembali kepada perintah Allah.'” (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Amr menceritakan kepada kami, “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, dalam khutbahnya beliau bersabda: ‘Ketahuilah, dunia ini adalah kesenangan sementara yang dinikmati oleh orang baik dan orang jahat. Ketahuilah, akhirat adalah kepastian yang benar, di sana ada raja yang berkuasa memutuskan. Ketahuilah, semua kebaikan ada di surga. Ketahuilah, semua keburukan ada di neraka. Maka beramallah dengan penuh kewaspadaan terhadap Allah. Ketahuilah, amal perbuatan kalian akan diperlihatkan. Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrah, ia akan melihatnya. Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat zarrah, ia akan melihatnya.'”

[Perkataan yang Dibenci dalam Khutbah dan Lainnya] 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz bin Rafi’ menceritakan kepadaku dari Tamim bin Tharafah dari Adi bin Hatim, ia berkata: “Seorang laki-laki berkhutbah di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: ‘Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa durhaka kepada keduanya, maka ia telah tersesat.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Diamlah! Alangkah buruknya khathib engkau ini.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah tersesat. Jangan katakan: “Dan barangsiapa durhaka kepada keduanya.”‘” (Imam Syafi’i berkata): Dengan ini kami berpendapat, boleh engkau mengatakan: “Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah tersesat,” karena engkau memisahkan maksiat kepada Allah dan menyebut “dan Rasul-Nya” sebagai kalimat baru. Allah Ta’ala berfirman: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59) Meskipun ini dalam konteks kalimat yang berkesinambungan, ia adalah kalimat baru. (Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa taat kepada Allah, maka ia telah taat kepada Rasul-Nya. Barangsiapa durhaka kepada Allah, maka ia telah durhaka kepada Rasul-Nya. Barangsiapa taat kepada Rasul-Nya, maka ia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa durhaka kepada Rasul-Nya, maka ia telah durhaka kepada Allah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba di antara hamba-hamba-Nya yang menjalankan ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya karena Allah telah memberinya petunjuk. Barangsiapa mengatakan: “Dan barangsiapa durhaka kepada keduanya,” aku membenci ucapan itu hingga ia memisahkan nama Allah Azza wa Jalla, kemudian menyebut nama Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam setelahnya, tidak menyebutnya kecuali terpisah.

(Imam Syafi’i berkata): Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah engkau menjadikannya setara? Katakanlah: ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendakmu.'” (Imam Syafi’i berkata): Memisahkan kehendak adalah bentuk penolakan terhadap kesyirikan, karena ketaatan dan kemaksiatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti ketaatan dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Sebab ketaatan dan kemaksiatan telah ditetapkan dengan kewajiban taat dari Allah Azza wa Jalla, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya. Maka boleh dikatakan: “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya” dan “Barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” seperti yang telah aku jelaskan. Sedangkan kehendak adalah keinginan Allah Ta’ala. (Imam Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman:

{Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.} [At-Takwir: 29]. Maka Allah memberitahu makhluk-Nya bahwa kehendak mutlak adalah hak-Nya, bukan hak makhluk, dan kehendak mereka tidak akan terwujud kecuali jika Allah Yang Maha Perkasa berkehendak. Oleh karena itu, dikatakan kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Atas kehendak Allah, kemudian kehendakmu.” Dan dikatakan kepada orang yang menaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan penjelasan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Maka, jika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ditaati, berarti Allah telah ditaati melalui ketaatan kepada Rasul-Nya. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika seorang imam memulai khutbah dengan memuji Allah, bershalawat kepada Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, nasihat, dan bacaan (Al-Qur’an), tanpa menambahi lebih dari itu. (Imam Syafi’i berkata): Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada Atha’, “Apa yang aku lihat orang-orang berdoa dalam khutbah pada masa itu, apakah itu sampai kepadamu dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—atau dari orang setelah Nabi—‘alaihis shalatu wassalam—?” Ia menjawab, “Tidak, itu hanya perkara baru. Khutbah sebenarnya hanyalah peringatan.” (Imam Syafi’i berkata): Jika ia mendoakan seseorang secara khusus, atau mencela seseorang, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib baginya untuk mengulangi khutbah. 

[Mendengarkan Khutbah] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Jika kamu berkata kepada temanmu ‘Diamlah!’ sedangkan imam sedang berkhutbah, maka kamu telah sia-sia.” (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Jika kamu berkata kepada temanmu ‘Diamlah!’ sedangkan imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, maka kamu telah sia-sia.” (Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dengan makna yang serupa, kecuali ia mengatakan, “laghita” (sia-sia). Ibnu ‘Uyainah berkata, “Laghita adalah bahasa Abu Hurairah.” (Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu An-Nadhr, maula Umar bin Abdullah, dari Malik bin Abu ‘Amir bahwa Utsman bin Affan biasa berkata dalam khutbahnya—hampir tidak pernah meninggalkannya—, “Jika imam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, maka dengarkanlah dan diamlah. Sesungguhnya, orang yang diam tetapi tidak mendengar akan mendapat pahala seperti orang yang mendengar dan diam. Jika shalat telah didirikan, luruskan shaf dan ratakan bahu, karena kelurusan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat.” Kemudian Utsman tidak bertakbir sampai beberapa orang yang ditugaskan meluruskan shaf memberitahunya bahwa shaf telah lurus, barulah ia bertakbir. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka agar setiap orang yang hadir dalam khutbah mendengarkan dan diam, tidak berbicara sejak imam mulai berbicara sampai selesai dari kedua khutbah. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa berbicara ketika imam di atas mimbar dan muadzin sedang adzan, atau setelah adzan selesai sebelum imam mulai berbicara. Namun, jika imam sudah mulai berbicara, aku tidak suka seseorang berbicara sampai imam menyelesaikan khutbah terakhir. Jika khutbah terakhir telah selesai, tidak mengapa berbicara sampai imam bertakbir. Namun, lebih baik dalam adab untuk tidak berbicara sejak imam mulai berbicara sampai shalat selesai. Jika seseorang berbicara saat imam berkhutbah, aku tidak menyukainya, tetapi ia tidak wajib mengulangi shalat. Tidakkah kamu melihat bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah berbicara dengan orang-orang yang membunuh Ibnu Abu Al-Huqayq di atas mimbar, dan mereka pun berbicara dengannya serta saling mengabarkan pembunuhan itu? Juga, Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah berbicara dengan orang yang tidak rukuk dan orang itu pun berbicara dengannya. Seandainya khutbah adalah bagian dari shalat, tentu tidak boleh berbicara sejak khutbah dimulai. Imam lebih berhak untuk tidak berbicara, karena orang-orang diminta diam agar bisa mendengar ucapannya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa maksud sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—‘kamu telah sia-sia’?” Dijawab—wallahu a’lam—: Ini menunjukkan seperti yang telah kujelaskan, bahwa…

Perkataan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan perkataan orang yang diajak bicara oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dengan ucapannya menunjukkan apa yang telah aku jelaskan, bahwa diam ketika imam berkhotbah adalah pilihan, dan ucapannya “laghwata” (sia-sia) diucapkan dalam konteks adab yang mengharuskan seseorang tidak berbicara, sedangkan adab dalam situasi yang memungkinkan berbicara adalah tidak berbicara kecuali yang penting. 

Melangkahi leher orang pada hari Jumat termasuk dalam kategori berbicara hal yang tidak penting. (Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang mengucapkan salam kepada orang lain pada hari Jumat, aku tidak menyukainya, tetapi aku berpendapat sebagian mereka boleh membalasnya karena menjawab salam adalah kewajiban.” (Imam Syafi’i berkata): “Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Hassan, ia berkata: ‘Tidak mengapa seseorang mengucapkan salam dan membalasnya saat imam berkhotbah pada hari Jumat.’ Ibnu Sirin membalas salam dengan isyarat tanpa berbicara.” (Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang bersin pada hari Jumat lalu dijawab dengan ‘yarhamukallah’, aku berharap itu diperbolehkan karena mendoakan orang yang bersin adalah sunah.” (Imam Syafi’i berkata): “Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari Al-Hasan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Jika seseorang bersin saat imam berkhotbah pada hari Jumat, doakanlah dia.'” 

(Imam Syafi’i berkata): “Demikian pula jika seseorang ingin memanggil orang lain dengan isyarat tetapi orang itu tidak datang, tidak mengapa dia berbicara. Begitu juga jika dia khawatir terhadap seseorang atau sekelompok orang, aku tidak melihat masalah jika dia berbicara saat imam berkhotbah karena isyaratnya tidak dipahami.” (Imam Syafi’i berkata): “Tidak mengapa jika seseorang bertanya karena khawatir terhadap sesuatu, dan sebagian orang yang tahu boleh menjawabnya. Semua hal serupa tidak masalah, baik bagi imam maupun selainnya, selama bukan sesuatu yang wajib atau penting bagi dirinya. Aku tidak suka berbicara hal-hal seperti menyuruh diam, mengeluhkan musibah, menceritakan kabar gembira, atau kedatangan seseorang yang tidak ada kaitannya, karena hal-hal tersebut tidak penting dan tidak ada mudarat jika tidak disampaikan.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang kehausan, tidak mengapa minum saat imam di atas mimbar. Namun, jika tidak haus dan hanya ingin menikmati minuman, lebih baik menahan diri.” 

Bagi yang Tidak Mendengar Khotbah 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Bagi yang tidak mendengar khotbah, aku lebih suka dia diam sebagaimana yang kusukai bagi yang mendengarkan.” (Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang tidak mendengar sedikit pun dari khotbah, aku tidak melarangnya membaca (Al-Qur’an) dalam hati, berdzikir kepada Allah – tabaraka ismuhu -, dan tidak berbicara dengan orang lain.” (Imam Syafi’i berkata): “Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari Al-Hasan bahwa dia tidak melihat masalah jika seseorang berdzikir dalam hati dengan takbir, tahlil, dan tasbih.” (Imam Syafi’i berkata): “Ibrahim mengabarkan kepada kami, aku tidak mengetahui kecuali bahwa Manshur bin Al-Mu’tamir memberitahuku bahwa dia bertanya kepada Ibrahim, ‘Bolehkah seseorang membaca (Al-Qur’an) saat imam berkhotbah pada hari Jumat sementara dia tidak mendengar khotbah?’ Ibrahim menjawab, ‘Semoga tidak membahayakannya.'” (Imam Syafi’i berkata): “Jika orang yang mendengar khotbah imam melakukan hal ini, dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Namun, jika dia diam untuk mendengarkan, itu lebih baik.” 

Seseorang yang Menyuruh Orang Lain Bangkit dari Tempat Duduknya pada Hari Jumat 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Allah – tabaraka wa ta’ala – berfirman: ‘Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan dalam majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah,” maka berdirilah.'” (QS. Al-Mujadilah: 11). (Imam Syafi’i berkata): “Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh orang lain bangkit dari tempat duduknya lalu dia duduk di sana, tetapi berilah kelapangan dan perluaslah.'” (Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak suka seseorang, baik imam maupun bukan, menyuruh orang lain bangkit dari tempat duduknya lalu dia duduk di sana. Tetapi, kami memerintahkan mereka untuk saling memberi kelapangan.” 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak boleh seseorang disuruh bangkit kecuali jika dia duduk.”

Laki-laki boleh memilih tempat yang mudah baginya, baik di tempat imam shalat atau di jalan umum. Namun, jika masjid sempit dan jamaah banyak, sebaiknya tidak menghadapkan wajahnya ke arah jamaah sehingga mengganggu. Jika tidak mengganggu, tidak masalah menghadap mereka, tetapi lebih baik tidak dilakukan. Siapa yang melakukan hal yang tidak disukai ini, shalatnya tidak perlu diulang. (Imam Syafi’i berkata): Kami mengikuti pendapat ini. Jika seseorang keluar lalu kembali ke tempat duduknya, lebih baik orang yang duduk di situ menyingkir. (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak suka jika seseorang mengusir orang lain dari tempat duduknya pada hari Jumat atau hari lain untuk duduk di situ. Namun, jika seseorang duduk untuk menyiapkan tempat bagi orang lain, tidak masalah menyingkir karena itu sifatnya sukarela. Demikian juga jika dia duduk untuk dirinya sendiri lalu dengan rela menyingkir. Aku tidak suka hal ini kecuali jika dia pindah ke tempat yang setara dalam mendengar khutbah. Aku tidak melarang orang yang duduk setelahnya karena itu atas kerelaan orang pertama. Siapa yang melakukan hal yang tidak disukai ini, shalat Jumatnya tidak perlu diulang. (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Jika salah seorang dari kalian bangkit dari tempat duduknya pada hari Jumat lalu kembali, dia lebih berhak atas tempat itu.” (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah seseorang sengaja mengusir orang lain dari tempat duduknya lalu duduk di situ.” Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Jabir bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengusir saudaranya pada hari Jumat, tetapi katakanlah, ‘Berilah kelapangan.'”

[Duduk Ihtiba’ di Masjid pada Hari Jumat Saat Imam Berkhutbah] 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang kupercaya mengabarkan kepadaku dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia pernah duduk ihtiba’ saat imam berkhutbah pada hari Jumat. (Imam Syafi’i berkata): Duduk saat imam berkhutbah di mimbar pada hari Jumat sama seperti duduk dalam keadaan biasa, kecuali jika menyempitkan orang di sekitarnya. Aku tidak suka hal itu, seperti bersandar hingga mengambil lebih banyak ruang, meluruskan kaki, atau meletakkan tangan di belakang karena itu mempersempit ruang. Kecuali jika ada uzur seperti sakit kaki, maka tidak mengapa, dan lebih baik dia pindah ke tempat yang tidak ramai agar bisa nyaman tanpa mengganggu orang lain.

[Membaca Surah dalam Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Labid dari Sa’id Al-Maqbari dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ membaca surah Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun dalam shalat Jumat. (Imam Syafi’i berkata): Abdul Aziz bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari Abu Hurairah bahwa dia membaca surah Al-Jumu’ah dan “Idza Jaaka Al-Munafiqun” dalam shalat Jumat. Ubaidullah berkata, “Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau membaca dua surah yang biasa dibaca Ali ra. dalam shalat Jumat?’ Dia menjawab, ‘Rasulullah ﷺ biasa membacanya.'” (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Mas’ud bin Kadam dari Ma’bad bin Khalid dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi ﷺ membaca “Sabbihisma Rabbika Al-A’la” dan “Hal Ataka Hadits Al-Ghasyiyah” dalam shalat Jumat. (Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika pada shalat Jumat dibaca surah Al-Jumu’ah dan “Idza Jaaka Al-Munafiqun.”

Karena adanya bacaan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan kedua surah tersebut, urutannya dalam penyusunan Al-Qur’an, serta kewajiban shalat Jumat bagi yang menghadirinya, dan ayat yang turun tentang orang-orang munafik.

(Imam Syafi’i berkata): Apa yang dibaca oleh imam pada hari Jumat dan selainnya, baik Ummul Qur’an (Al-Fatihah) atau satu ayat, itu sudah mencukupi. Jika hanya membaca Ummul Qur’an saja, itu juga cukup, tetapi aku tidak menyukainya untuknya.

(Imam Syafi’i berkata): Riwayat tentang dua surah yang dibaca Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam shalat Jumat menunjukkan bahwa beliau mengeraskan bacaannya dan shalat Jumat dua rakaat. Ini adalah hal yang tidak ada perselisihan yang aku ketahui. Maka imam hendaknya mengeraskan bacaan dalam shalat Jumat dan shalat dua rakaat jika itu shalat Jumat. Jika shalat Zhuhur, bacaan dilirihkan dan shalat empat rakaat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melirihkan bacaan dalam shalat Jumat atau shalat lain yang seharusnya dikeraskan, atau mengeraskan bacaan dalam shalat yang seharusnya dilirihkan, aku membencinya untuknya. Namun tidak perlu diulang dan tidak ada sujud sahwi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam memulai shalat Jumat dengan membaca Surah Al-Munafiqun pada rakaat pertama sebelum Ummul Qur’an, lalu kembali membaca Ummul Qur’an sebelum rukuk, itu sudah cukup. Ia tidak perlu mengulang Surah Al-Munafiqun. Namun, jika membacanya bersama sebagian dari Surah Al-Jumu’ah, itu lebih kusukai. Pada rakaat kedua, hendaknya membaca Surah Al-Jumu’ah.

[Qunut dalam Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Diceritakan jumlah shalat Jumat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, tetapi aku tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang meriwayatkan bahwa beliau qunut dalam shalat Jumat, kecuali jika termasuk dalam qunut beliau di semua shalat ketika mendoakan korban pembunuhan di sumur Ma’unah. Tidak ada qunut dalam shalat apa pun kecuali Subuh, kecuali jika terjadi musibah, maka imam boleh qunut di semua shalat jika ia menghendaki.

[Orang yang Mendapatkan Satu Rakaat dalam Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah mendapatkan shalat.” 

(Imam Syafi’i berkata): Maka makna minimal dari sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – “ia telah mendapatkan shalat” adalah jika ia tidak tertinggal shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa tidak tertinggal shalat, ia shalat dua rakaat. 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat, ia menambahkan satu rakaat lagi, dan shalat Jumatnya sah. Mendapatkan satu rakaat adalah jika seseorang mendapati imam sebelum mengangkat kepala dari rukuk, lalu ia rukuk bersamanya dan sujud. Jika ia mendapati imam sedang rukuk, lalu bertakbir tetapi tidak sempat rukuk bersamanya sebelum imam mengangkat kepala dari rukuk, kemudian ia sujud bersamanya, maka rakaat itu tidak dianggap. Ia harus shalat Zhuhur empat rakaat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia rukuk tetapi ragu apakah sempat rukuk dengan sempurna sebelum imam mengangkat kepala, maka rakaat itu tidak dianggap, dan ia shalat Zhuhur empat rakaat jika tidak mendapatkan rakaat lain bersamanya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia rukuk bersama imam satu rakaat dan sujud dua kali, lalu ragu apakah ia sujud dua kali bersama imam atau hanya satu kali, maka ia shalat tiga rakaat lagi untuk menyempurnakan Zhuhur menjadi empat rakaat. Sebab, seseorang tidak dianggap mendapatkan satu rakaat dengan sempurna kecuali jika ia sujud dua kali. Demikian pula, jika ia mendapatkan satu rakaat bersama imam lalu menambah rakaat lain, kemudian ragu tentang satu sujud—apakah dari rakaat bersama imam atau rakaat yang ia kerjakan sendiri—maka ia dianggap shalat satu rakaat dan mengganti tiga rakaat. Ia tidak dianggap telah shalat Jumat sampai ia yakin telah shalat satu rakaat bersama imam dengan dua sujud.

[Seorang laki-laki yang rukuk bersama imam tetapi tidak sujud bersamanya pada hari Jumat dan selainnya] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan para makmum untuk rukuk ketika imam rukuk dan mengikuti imam dalam gerakan shalat. Maka, tidak boleh bagi makmum untuk meninggalkan ikutan terhadap imam dalam gerakan shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melaksanakan shalat khauf di ‘Usfan. Beliau rukuk, lalu mereka rukuk. Kemudian beliau sujud, maka satu kelompok sujud, sedangkan kelompok lain berjaga hingga imam bangkit dari sujudnya, lalu mereka mengikuti sujud di tempat mereka setelah imam berdiri.” 

(Imam Syafi’i berkata): Maka jelaslah -wallahu a’lam- dalam sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa makmum wajib mengikuti imam selama tidak ada uzur yang menghalanginya. Dan jika ada uzur, ia boleh mengikuti imam setelah uzur itu hilang. 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang makmum dalam shalat Jumat rukuk bersama imam, lalu ia terjepit sehingga tidak bisa sujud sama sekali hingga imam menyelesaikan sujudnya, maka ia mengikuti imam ketika imam berdiri. Jika ia kemudian bisa sujud, ia sujud dan tetap dianggap mendapatkan shalat Jumat selama ia menyelesaikan rakaat yang tersisa. Demikian pula jika ia terhalang oleh penyakit yang membuatnya tidak bisa sujud, atau karena lupa, atau uzur lainnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia mendapatkan rakaat terakhir, sementara imam sudah salam sebelum ia sempat sujud, maka ia sujud dan melanjutkan shalat Zhuhur empat rakaat karena ia tidak mendapatkan satu rakaat penuh bersama imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia mendapatkan rakaat pertama tetapi tidak sempat sujud hingga imam rukuk untuk rakaat kedua, ia tidak boleh sujud untuk rakaat pertama kecuali keluar dari kepemimpinan imam. Jika ia sujud, berarti ia keluar dari kepemimpinan imam, karena para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya sujud untuk rakaat yang mereka tertunda sujudnya karena uzur berjaga sebelum rakaat kedua. 

(Imam Syafi’i berkata): Ia harus mengikuti imam, rukuk dan sujud bersamanya, sehingga dianggap mendapatkan satu rakaat bersamanya, lalu mengganti rakaat yang tertinggal. Jika ia rukuk bersama imam tetapi tidak sujud hingga imam salam, ia sujud dua kali dan dianggap shalat satu rakaat, lalu menambah tiga rakaat lagi karena ia tidak menyelesaikan satu rakaat penuh bersama imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia bisa sujud dengan menumpang di punggung orang lain tetapi meninggalkannya tanpa uzur, maka ia keluar dari shalat berjamaah. Jika ia shalat sendiri, sah sebagai shalat Zhuhur. Jika tidak, dan tetap shalat bersama imam, ia harus mengulangi shalat Zhuhur. Tidak boleh baginya untuk bisa rukuk atau sujud bersama imam tetapi meninggalkannya tanpa uzur atau kelupaan, kecuali ia keluar dari shalat berjamaah. 

Seandainya boleh seorang makmum di belakang imam yang bisa rukuk dan sujud tanpa uzur tetapi tidak melakukannya, maka boleh saja ia meninggalkan tiga rakaat, lalu rukuk pada rakaat keempat, sehingga dianggap seperti memulai shalat saat ia rukuk dan sujud bersama imam. Atau ia meninggalkan empat rakaat, lalu rukuk dan sujud mengikuti imam pada rakaat sebelum sujudnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia lupa satu rakaat, ia tetap mengikuti imam selama imam belum keluar dari shalat dengan rukuk dan sujud, atau imam belum rukuk untuk rakaat kedua. Jika imam rukuk untuk rakaat kedua, ia rukuk bersamanya dan menqadha rakaat yang terlupa. 

Jika imam sudah salam dan ia lupa tiga rakaat, sementara imam mengeraskan bacaan pada dua rakaat, maka ia rukuk dan sujud tanpa membaca, cukup dengan bacaan imam pada satu rakaat menurut pendapat yang mengatakan bahwa makmum tidak perlu membaca pada rakaat yang imam mengeraskan bacaan. Kemudian ia membaca sendiri pada rakaat yang tersisa, dan tidak boleh tidak demikian. 

Jika imam tidak mengeraskan bacaan, maka jika ia membaca, dianggap sah bacaannya pada satu rakaat. Jika tidak membaca, tidak dianggap sah, dan ia harus membaca pada rakaat yang tersisa dalam segala kondisi, tidak sah tanpa itu. 

[Seorang laki-laki yang mimisan pada hari Jumat] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang laki-laki masuk shalat berjamaah pada hari Jumat, baik ia hadir khutbah atau tidak, hukumnya sama. Jika ia mimisan setelah takbir bersama imam lalu keluar untuk mengatasi mimisan…

Pendapat yang paling aku sukai dalam hal ini adalah bahwa (Imam) memutus shalat, lalu berusaha menghentikan darah (dari hidungnya), dan berbicara. Jika ia berhasil mendapatkan satu rakaat bersama Imam (pengganti), ia menambahkan satu rakaat lagi. Jika tidak, ia shalat Zhuhur empat rakaat. Ini adalah pendapat Al-Miswar bin Makhramah. Demikian pula jika ada najis pada tubuh atau pakaiannya, lalu ia keluar untuk mencucinya. Tidak boleh baginya berada dalam keadaan yang tidak sah untuk shalat selama ia masih dalam keadaan itu, kemudian melanjutkan shalatnya. Allah Ta’ala lebih mengetahui. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia kembali dan melanjutkan shalatnya, aku berpendapat bahwa ia harus mengulang. Jika ia memulai shalatnya dengan takbiratul ihram, maka saat itu ia dianggap baru memasuki shalat. 

[Imam yang Mimisan atau Hadats] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Prinsip yang kami pegang adalah bahwa jika shalat Imam batal, shalat makmum di belakangnya tidak batal. Jika Imam bertakbir pada hari Jum’at, lalu mimisan atau berhadats, kemudian ia memajukan seseorang atau seseorang maju tanpa perintahnya—baik atas perintah orang lain atau tidak—dan orang yang maju itu telah masuk dalam shalat bersama Imam sebelum Imam berhadats, maka Imam pengganti itu menggantikan Imam pertama. Ia boleh shalat dua rakaat bersama mereka, dan itu dianggap sebagai shalat Jum’at baginya dan mereka. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika orang yang maju itu masuk bersama Imam di awal shalat atau setelah Imam shalat satu rakaat, lalu Imam mimisan sebelum rukuk atau setelahnya tetapi sebelum sujud, kemudian Imam pergi tanpa menunjuk pengganti, maka mereka shalat sendiri-sendiri. Siapa yang sempat mendapatkan satu rakaat bersama Imam dengan dua sujud, ia menambahkan satu rakaat lagi, dan itu dianggap sebagai shalat Jum’at baginya. Siapa yang tidak sempat mendapatkan satu rakaat penuh dengan dua sujud, ia shalat Zhuhur empat rakaat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika Imam pada hari Jum’at mimisan lalu keluar sebelum menyelesaikan satu rakaat, kemudian menunjuk seseorang yang tidak sempat mendengar takbir (pertama), lalu orang itu shalat dua rakaat bersama mereka, maka mereka harus mengulang shalat Zhuhur empat rakaat karena ia termasuk yang tidak masuk shalat bersamanya sampai Imam keluar dari keimaman. Ini adalah memulai shalat Zhuhur empat rakaat tanpa mengeraskan bacaan. 

Jika Imam shalat bersama mereka dalam keadaan junub atau tanpa wudhu, shalat Jum’at mereka sah, tetapi Imam wajib mengulang shalat Zhuhur empat rakaat untuk dirinya sendiri. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia mengulang khutbah lalu shalat Jum’at dengan sebagian jamaah, hal itu tidak boleh. Ia harus kembali dan shalat Zhuhur empat rakaat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia melakukannya, lalu teringat dalam shalat bahwa ia wajib shalat Zhuhur, lalu ia menyambungnya sebagai Zhuhur, maka ia telah memulai shalat tanpa niat empat rakaat. Lebih aku sukai jika ia memulai shalat Zhuhur empat rakaat dari awal. 

Ini berbeda dengan musafir yang memulai shalat dengan niat qashar lalu menyempurnakannya, karena musafir boleh memilih antara qashar atau menyempurnakan. Musafir itu berniat shalat Zhuhur secara khusus, sehingga ia masuk dalam niat shalat wajib. Sedangkan orang yang shalat Jum’at tidak berniat Zhuhur sama sekali, ia hanya berniat shalat Jum’at yang wajib dua rakaat jika memang hari Jum’at. Orang yang tidak boleh shalat Jum’at empat rakaat, jika ia menyempurnakannya sebagai Zhuhur empat rakaat, aku berharap itu tidak memberatkannya, insya Allah. Namun, aku tidak menyukai hal itu dalam keadaan apa pun. 

Alasan aku tidak mewajibkan pengulangan adalah karena seseorang mungkin masuk shalat bersama Imam dengan niat Jum’at, tetapi tidak mendapatkan satu rakaat penuh, sehingga ia boleh melanjutkan shalatnya bersama Imam sebagai Zhuhur. Meskipun ini berbeda dengan makmum yang mengikuti Imam tanpa kesalahan darinya, sedangkan Imam pertama sengaja melakukan kesalahan sendiri. 

Jika Imam yang berkhutbah berhadats setelah takbir, lalu menunjuk seseorang yang ikut takbir bersamanya tetapi tidak mendengar khutbah, kemudian shalat satu rakaat lalu berhadats lagi, lalu menunjuk orang lain yang sempat mendapatkan satu rakaat bersamanya, maka orang itu shalat satu rakaat lagi, dan itu dianggap sebagai shalat Jum’at baginya dan orang yang sempat mendapatkan rakaat terakhir bersamanya. 

Jika ia menunjuk seseorang yang tidak sempat mendapatkan rakaat pertama, padahal orang itu telah ikut takbir bersamanya, maka orang itu shalat satu rakaat bersama mereka, lalu tasyahud, kemudian menunjuk orang yang sempat dari awal shalat. Lalu ia salam dan menyempurnakan tiga rakaat untuk dirinya sendiri, karena ia tidak sempat mendapatkan satu rakaat bersama Imam sampai ia menjadi Imam untuk dirinya dan orang lain. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika Imam mimisan, berhadats, atau teringat bahwa ia junub atau tanpa wudhu, lalu keluar untuk menghentikan darah atau bersuci, kemudian kembali, ia harus memulai shalat dari awal dan dianggap seperti makmum lainnya. Jika ia sempat mendapatkan satu rakaat bersama Imam pengganti, ia menambahkan satu rakaat lagi, dan itu dianggap sebagai shalat Jum’at baginya. Jika tidak sempat mendapatkan satu rakaat, ia shalat Zhuhur empat rakaat.

[Peringatan Keras tentang Meninggalkan Shalat Jumat] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Shafwan bin Sulaim dari Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad dari ayahnya dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat tanpa alasan yang darurat, maka akan dicatat sebagai seorang munafik dalam kitab yang tidak terhapus dan tidak berubah.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Amr dari Ubaidah bin Sufyan Al-Hadhrami dari Abi Al-Ja’d Adh-Dhamri dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, “Tidaklah seseorang meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkannya, kecuali Allah akan mengunci hatinya.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Dalam sebagian hadis disebutkan “tiga kali berturut-turut.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Shalih bin Kaisan dari Ubaidah bin Sufyan, dia berkata: Aku mendengar Amr bin Umayyah Adh-Dhamri berkata, “Tidaklah seorang muslim meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkannya tanpa menghadirinya, kecuali dia akan dicatat sebagai orang yang lalai.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Menghadiri shalat Jumat adalah kewajiban. Barangsiapa meninggalkan kewajiban karena meremehkannya, maka dia telah menyerahkan dirinya kepada keburukan kecuali jika Allah mengampuninya, sebagaimana seorang yang meninggalkan shalat hingga waktunya habis, dia telah menyerahkan dirinya kepada keburukan kecuali jika Allah mengampuninya. 

[Perintah tentang Malam Jumat dan Hari Jumat] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah sampai kepada kami dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Perbanyaklah shalawat atasku pada hari Jumat, karena shalawat kalian sampai dan diperdengarkan kepadaku.” 

Beliau juga bersabda bahwa sedekah dilipatgandakan pahalanya pada hari itu. Tidak ada satu pun ciptaan Allah antara langit dan bumi – kecuali yang tidak bernyawa – melainkan bersujud kepada Allah Ta’ala pada sore Kamis (malam Jumat). Ketika pagi tiba, tidak ada yang bernyawa melainkan jiwanya berada di tenggorokannya karena ketakutan hingga matahari terbenam. Ketika matahari terbenam, binatang-binatang merasa aman, dan segala sesuatu yang sebelumnya ketakutan menjadi tenang kecuali jin dan manusia. 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Orang yang paling dekat denganku di surga adalah yang paling banyak bershalawat atasku. Maka perbanyaklah shalawat atasku pada malam yang cerah dan hari yang cemerlang.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Yang dimaksud – wallahu a’lam – adalah hari Jumat. 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Shafwan bin Sulaim bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Jika tiba hari Jumat dan malam Jumat, perbanyaklah shalawat atasku.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abdurrahman bin Ma’mar bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Perbanyaklah shalawat atasku pada hari Jumat.” 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah sampai kepada kami bahwa barangsiapa membaca surah Al-Kahfi, dia akan dilindungi dari fitnah Dajjal. 

(Imam Syafi’i) berkata: Aku sangat menganjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam segala keadaan, dan aku lebih menekankannya pada hari Jumat dan malamnya. Aku juga menganjurkan membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat berdasarkan hadis yang ada. 

[Keutamaan Hari Jumat] 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Musa bin Ubaidah, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abul Azhar Muawiyah bin Ishaq bin Thalhah dari Abdullah bin Ubaid bin Umair bahwa dia mendengar Anas bin Malik berkata, “Jibril datang kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membawa cermin putih yang ada titik hitamnya. Nabi bertanya, ‘Apa ini?’ Jibril menjawab…”

Jumat ini adalah keutamaan bagimu dan umatmu, di mana manusia mengikuti jejak Yahudi dan Nasrani. Di dalamnya terdapat kebaikan untuk kalian, dan ada satu waktu di mana tidaklah seorang mukmin berdoa kepada Allah dengan kebaikan melainkan pasti dikabulkan. Hari itu bagi kami adalah hari tambahan. Nabi ﷺ bertanya, “Wahai Jibril, apa itu hari tambahan?” Jibril menjawab, “Sesungguhnya Rabbmu telah menyiapkan di surga Firdaus sebuah lembah yang luas berisi bukit-bukit kesturi. Ketika hari Jumat tiba, Allah Ta’ala menurunkan para malaikat yang Dia kehendaki. Di sekelilingnya terdapat mimbar-mimbar cahaya yang ditempati oleh para nabi dan shiddiqin. Mimbar-mimbar itu dikelilingi oleh mimbar emas bertatahkan yaqut dan zamrud, ditempati para syuhada dan shiddiqin. Mereka duduk di belakang mereka di atas bukit-bukit itu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku adalah Rabbmu, Aku telah memenuhi janji-Ku. Mintalah, pasti Aku berikan.’ Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, kami memohon keridhaan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Aku telah ridha kepada kalian, kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan, dan di sisi-Ku masih ada tambahan.’ Mereka mencintai hari Jumat karena kebaikan yang diberikan oleh Rabb mereka. Hari itu adalah hari di mana Rabbmu Yang Mahasuci bersemayam di atas ‘Arsy, hari penciptaan Adam, dan hari terjadinya Kiamat.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abu Imran Ibrahim bin Al-Ja’d, dari Anas bin Malik dengan redaksi serupa. 

Ditambahkan pula, “Bagi kalian di dalamnya kebaikan. Barangsiapa berdoa dengan kebaikan, maka ia akan diberikan bagiannya. Jika tidak mendapatkan bagiannya, maka disimpan untuknya sesuatu yang lebih baik.” Ada tambahan-tambahan lain. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari ‘Amr bin Syurahbil bin Sa’id bin Sa’d, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Anshar datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang hari Jumat, apa keutamaan di dalamnya?” Nabi ﷺ bersabda, “Di dalamnya ada lima keutamaan: pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu Adam diturunkan ke bumi, pada hari itu Adam diwafatkan, pada hari itu ada satu waktu di mana jika seorang hamba meminta sesuatu kepada Allah, pasti diberikan selama tidak meminta dosa atau memutus silaturahmi, dan pada hari itu Kiamat terjadi. Tidak ada malaikat yang dekat, langit, bumi, atau gunung kecuali merasa takut pada hari Jumat.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Malik bin Anas, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ menyebut hari Jumat dan bersabda, “Di dalamnya ada satu waktu yang jika seorang muslim sedang shalat dan meminta sesuatu kepada Allah, pasti dikabulkan.” Nabi ﷺ mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan betapa singkatnya waktu itu. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Yazid bin Abdullah bin Al-Had, dari Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Allah menciptakan Adam, pada hari itu ia diturunkan, pada hari itu taubatnya diterima, pada hari itu ia wafat, dan pada hari itu Kiamat terjadi. Tidak ada makhluk melata kecuali ia merasa cemas pada hari Jumat sejak pagi hingga matahari terbit karena takut akan Kiamat, kecuali jin dan manusia. Di dalamnya ada satu waktu yang jika seorang hamba muslim meminta sesuatu kepada Allah, pasti diberikan.” 

Abu Hurairah berkata bahwa Abdullah bin Salam mengatakan waktu itu adalah akhir waktu Jumat. Abu Hurairah bertanya, “Bagaimana bisa di akhir hari Jumat, sedangkan Nabi ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba muslim sedang shalat,’ padahal pada waktu itu tidak ada shalat?” Abdullah bin Salam menjawab, “Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa duduk menunggu shalat, maka ia dianggap dalam shalat sampai ia shalat?'” Abu Hurairah menjawab, “Benar.” Maka Abdullah bin Salam berkata, “Itulah maksudnya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Abdurrahman bin Harmalah, dari Ibnul Musayyib, bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Penghulu hari adalah hari Jumat.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dari ayahnya, bahwa Ibnul Musayyib berkata, “Hari yang paling aku sukai untuk meninggal adalah pagi hari Jumat.” 

[Kesalahan dalam Shalat Jumat] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Kesalahan dalam shalat Jumat sama seperti kesalahan dalam shalat lainnya. Jika imam lupa…

Lalu dia berdiri di tempat duduknya, kembali duduk, membaca tasyahud, lalu sujud sahwi.

Dan apakah shalat ini dilakukan oleh orang yang bermukim? Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (QS. An-Nisa’: 101) — (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkan qashar dalam keadaan takut dan safar. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan apabila beliau berada di tengah-tengah mereka (para sahabat) untuk mengimami mereka shalat khauf, yaitu dengan sebagian mereka shalat setelah sebagian yang lain. Maka shalat khauf diperbolehkan bagi musafir dan mukim berdasarkan petunjuk Kitabullah ‘Azza wa Jalla, kemudian Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

(Asy-Syafi’i berkata): Bagi musafir dan mukim, apabila datang rasa takut, mereka boleh melaksanakan shalat khauf. Namun, bagi mukim tidak boleh melakukannya kecuali dengan menyempurnakan bilangan shalat mukim. Sedangkan musafir boleh mengqashar dalam shalat khauf jika dia menghendaki karena safar. Jika dia menyempurnakannya, shalatnya tetap sah, tetapi aku lebih memilih baginya untuk mengqashar.

[Cara Shalat Khauf] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka telah sujud (telah menyelesaikan rakaat pertama), maka hendaklah mereka pindah ke belakangmu (untuk menjaga). Lalu datanglah golongan yang kedua yang belum shalat, dan hendaklah mereka shalat bersamamu.” (QS. An-Nisa’: 102). 

Malik mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Ruman dari Shalih bin Khawwat bin Jubair, dari orang yang shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada hari Dzatur Riqa’ (dalam shalat khauf), bahwa satu kelompok shaf berdiri bersamanya, sementara kelompok lain menghadapi musuh. Nabi shalat bersama mereka (kelompok pertama) satu rakaat, lalu tetap berdiri (menunggu), sementara mereka menyempurnakan shalat sendiri kemudian pergi dan berbaris menghadapi musuh. Kemudian datang kelompok kedua, lalu Nabi shalat bersama mereka untuk rakaat yang tersisa, kemudian tetap duduk (menunggu), sementara mereka menyempurnakan shalat sendiri, lalu Nabi mengucapkan salam bersama mereka. 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang mendengar Abdullah bin Umar bin Hafs menyampaikan dari saudaranya, Ubaidullah bin Umar, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Shalih bin Khawwat bin Jubair, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hadis serupa atau maknanya yang tidak bertentangan. 

(Imam Syafi’i berkata): Maka telah jelas dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla bahwa imam shalat bersama satu kelompok, dan ketika mereka sujud, mereka berpindah ke belakang, lalu datang kelompok lain yang belum shalat, dan mereka shalat bersamanya. Firman Allah ‘Azza wa Jalla “fa idza sajadu” (maka apabila mereka telah sujud) mencakup seluruh sujud dalam shalat. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menunjukkan hal itu, selain petunjuk Kitab Allah, karena disebutkan bahwa kedua kelompok dan imam selesai dari shalat tanpa ada kewajiban qadha bagi salah satunya. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku meriwayatkan beberapa hadis tentang shalat khauf dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan hadis Shalih bin Khawwat adalah yang paling sesuai dengan zhahir Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, maka kami berpegang padanya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf, maka dia shalat sebagaimana yang dijelaskan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat khauf dalam keadaan safar, maka setiap kelompok melakukan seperti ini: imam shalat bersama kelompok pertama satu rakaat, lalu tetap berdiri dan membaca (Al-Qur’an) dengan memanjangkannya. Sementara kelompok pertama menyempurnakan shalat sendiri dengan membaca Al-Fatihah dan surah (tidak boleh tidak, karena mereka telah keluar dari imam setelah Al-Fatihah dan surah pendek), lalu rukuk, sujud, tasyahud, dan menyempurnakan semua rukunnya dengan ringan, kemudian salam. Lalu datang kelompok kedua, dan imam membaca setelah mereka datang seukuran Al-Fatihah dan surah pendek. Tidak masalah jika tidak memulai dengan Al-Fatihah jika dia telah membacanya pada rakaat yang mereka ikuti setelah Al-Fatihah. Kemudian imam rukuk, dan mereka rukuk bersamanya, lalu sujud. Setelah selesai sujud, mereka berdiri dan membaca untuk diri mereka Al-Fatihah dan surah pendek dengan ringan, lalu duduk bersamanya. Imam duduk seukuran waktu yang cukup bagi mereka untuk tasyahud dan berhati-hati sedikit hingga yakin bahwa yang paling lambat pun telah menyempurnakan tasyahud atau lebih, kemudian salam bersama mereka. 

Seandainya imam membaca Al-Fatihah dan surah sebelum mereka bergabung, lalu rukuk bersama mereka saat bergabung tanpa membaca atau mereka membaca sesuatu, itu sudah cukup bagi mereka. Mereka seperti orang yang mendapatkan satu rakaat bersama imam tanpa mendengar bacaannya. Namun, lebih aku sukai jika mereka membaca setelah takbir bersama imam, seperti sebelumnya, dengan Al-Fatihah dan surah ringan. 

Jika shalat yang dipimpin imam adalah shalat yang tidak dikeraskan bacaannya, maka kelompok pertama tidak boleh tidak harus membaca pada dua rakaat pertama Al-Fatihah atau Al-Fatihah plus tambahan jika memungkinkan. Kelompok kedua juga tidak boleh tidak harus membaca Al-Fatihah atau Al-Fatihah plus tambahan jika mereka mendapatkan kesempatan membaca bersama imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika shalat khauf dilakukan dalam keadaan tidak safar (hazr) dan tidak dikeraskan bacaannya, maka tidak boleh satu pun dari kedua kelompok melewatkan satu rakaat tanpa membaca Al-Fatihah, kecuali jika mereka mendapatkan imam pada awal rakaat di waktu yang tidak memungkinkan membaca Al-Fatihah. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika shalat khauf atau lainnya yang dikeraskan bacaannya, maka dalam setiap rakaat yang dikeraskan bacaannya ada dua pendapat: Pertama, tidak sah shalat orang yang shalat bersamanya kecuali jika membaca Al-Fatihah jika memungkinkan. Kedua, cukup baginya tidak membaca dan mencukupkan dengan bacaan imam. Jika shalat itu empat atau tiga rakaat, maka dalam kedua pendapat itu, tidak sah kecuali jika membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir atau rakaat terakhir.

Al-Quran atau lebih, dan tidak cukup dengan bacaan imam.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat dengan kelompok pertama dan membaca ayat sajdah lalu sujud, dan mereka sujud bersamanya, kemudian datang kelompok kedua, maka mereka tidak perlu sujud karena mereka belum dalam keadaan shalat. Sebagaimana jika imam membaca ayat sajdah pada rakaat terakhir dan kelompok kedua sujud, kelompok pertama tidak wajib sujud bersama karena mereka tidak sedang shalat bersamanya.

Menunggu imam untuk kelompok kedua (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika imam yang sedang safar shalat Maghrib dengan kelompok pertama dua rakaat, lalu bangkit dan mereka menyempurnakan sendiri, itu baik. Jika imam tetap duduk dan mereka menyempurnakan sendiri, kemudian imam bangkit untuk menyelesaikan rakaat yang tersisa dengan kelompok yang datang setelahnya, maka itu diperbolehkan insya Allah. Yang lebih aku sukai adalah imam tetap berdiri karena diriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap berdiri. Aku memilih imam memanjangkan bacaan agar kelompok kedua sempat mendapat satu rakaat bersamanya, karena shalat khauf Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya dua rakaat, dan tidak ada riwayat shalat Maghrib atau shalat khauf di tempat tinggal kecuali saat Perang Khandaq sebelum turunnya ketentuan shalat khauf. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap berdiri karena posisi itu adalah posisi berdiri setelah sujud, bukan posisi duduk. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat Maghrib dengan kelompok pertama dua rakaat, lalu kelompok lain datang dan imam shalat satu rakaat bersama mereka, maka kelompok pertama telah terputus kepemimpinan imamnya dan mereka menyempurnakan shalat sendiri dalam posisi duduk imam. Boleh bagi imam duduk sebagaimana diperbolehkan, tetapi ia harus bangkit jika kepemimpinannya terputus pada posisi berdiri.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian juga jika imam shalat khauf bersama mereka, baik di tempat tinggal atau safar, empat rakaat, ia boleh duduk setelah dua rakaat hingga makmum menyelesaikan shalat mereka, sambil duduk untuk tasyahud dan berdzikir, lalu bangkit untuk menyempurnakan dengan kelompok kedua. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat Maghrib dengan kelompok pertama satu rakaat, lalu tetap berdiri dan mereka menyempurnakan sendiri, kemudian shalat dua rakaat dengan kelompok kedua, itu sah insya Allah. Namun, aku tidak menyukainya karena jika dua kelompok shalat bersamanya dengan jumlah rakaat berbeda, sebaiknya kelompok pertama mendapat lebih banyak rakaat bersama imam. Jika imam shalat dua rakaat dalam kondisi khauf, lalu shalat satu rakaat dengan kelompok pertama, kemudian duduk dan mereka menyempurnakan sendiri, lalu bangkit untuk shalat satu rakaat dengan kelompok berikutnya: jika duduknya karena lupa, shalatnya dan shalat makmum sah dengan sujud sahwi; jika karena uzur, shalat mereka sah tanpa sujud sahwi; jika tanpa uzur atau lupa dan duduk sebentar, shalatnya tidak batal; tetapi jika duduk lama, menurutku ia harus mengulang shalat. Jika kelompok lain datang saat imam duduk, lalu ia bangkit dan menyempurnakan shalat bersama mereka dalam keadaan berdiri, maka bagi yang tahu imam duduk lama tanpa uzur atau lupa lalu ikut shalat, menurutku wajib mengulang karena ia tahu imam telah keluar dari shalat tanpa memulai takbiratul ihram baru. Sebagaimana orang yang tahu seseorang shalat tanpa takbir atau melakukan hal yang membatalkan shalat, ia wajib menyempurnakan shalatnya. Adapun yang tidak tahu, shalatnya sah, seperti orang yang shalat di belakang seseorang tanpa wudhu atau yang membatalkan shalat tanpa pengetahuannya. Abu Muhammad berkata: Ada pendapat lain dalam hal ini jika…

Imam sengaja merusak shalat, maka shalat makmum di belakangnya, baik tahu atau tidak tentang kerusakan itu, adalah batal. Karena kita hanya membolehkan shalat di belakang imam yang tidak sengaja merusak shalatnya, sebagaimana Umar mengqadha shalatnya, sementara makmum di belakangnya tidak mengqadha. Umar hanya mengqadha karena lupa.” (Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang mengatakan, “Mungkin saja dia tidak tahu bahwa hal itu merusak shalat imam,” maka dijawab, “Demikian pula, dia mungkin tidak tahu bahwa imam meninggalkan takbiratul ihram atau berbicara yang merusak shalatnya. Namun, dia tidak dimaafkan jika shalat di belakang imam yang melakukan sebagian hal ini.” (Asy-Syafi’i berkata): Shalat jamaah pertama tidak batal karena mereka keluar dari shalat imam sebelum terjadi kerusakan. Seandainya imam bertakbir berdiri dengan niat takbiratul ihram setelah duduk, shalat jamaah pertama tetap sah karena mereka keluar sebelum shalatnya rusak, begitu pula jamaah kedua karena mereka belum masuk ke dalam shalatnya hingga imam memulai shalat yang sah baginya. Rak

Shalat Ketika Pembunuhan di Sumur Ma’unah

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, mengapa rakaat terakhir dalam shalat khauf lebih panjang daripada rakaat pertama, padahal dalam shalat biasa tidak demikian? Dijawab berdasarkan petunjuk Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, Sunnah Nabi-Nya ﷺ, dan pembedaan yang Allah ‘Azza wa Jalla buat antara shalat khauf dengan shalat lainnya. Tidak ada alasan untuk mempertanyakan perbedaan rakaat terakhir shalat khauf dengan rakaat terakhir shalat biasa kecuali ketidaktahuan atau sikap pura-pura tidak tahu dari penanya. Perbedaan seluruh tata cara shalat khauf dengan shalat lainnya lebih banyak daripada sekadar perbedaan satu rakaatnya.

[Kelupaan dalam Shalat Khauf] 

(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Kelupaan dan keraguan dalam shalat khauf sama seperti dalam shalat lainnya. Dilakukan apa yang biasa dilakukan dalam shalat biasa. Jika imam lupa pada rakaat pertama, sebaiknya ia memberi isyarat kepada makmum agar mereka paham bahwa ia lupa. Setelah menyelesaikan rakaat yang tersisa, bertasyahud, mereka sujud sahwi karena imam, lalu salam dan pergi. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa memberi isyarat tetapi makmum tahu kelupaannya, mereka sujud sahwi. Jika imam lupa dan makmum tidak tahu, lalu pergi, kemudian baru tahu, maka jika masih dekat, mereka kembali untuk sujud. Jika sudah jauh, tidak perlu kembali. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka tidak tahu sampai mereka berbaris, musuh datang, dan kelompok lain datang untuk shalat, maka waktu sudah terlambat. Mereka telah melakukan aktivitas lain setelah shalat (seperti berbaris atau berjaga), sehingga tidak boleh meninggalkan tugas mereka. Siapa yang berpendapat harus mengulang shalat jika lupa sujud sahwi, maka perintahkan mereka mengulang. Namun, aku tidak melihat kewajiban mengulang shalat bagi yang meninggalkan sujud sahwi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa sekali, lalu lupa lagi beberapa kali, cukup dua sujud sahwi untuk semuanya. Jika mereka sengaja atau tidak sengaja meninggalkannya, tidak ada keharusan mengulang shalat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam tidak lupa tetapi makmum lupa setelah imam, mereka sujud sahwi sendiri.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa pada rakaat pertama, lalu kelompok lain shalat, mereka sujud sahwi bersamanya saat imam sujud. Kemudian mereka berdiri menyelesaikan shalat sendiri, lalu kembali dan sujud sahwi setelah selesai shalat karena itu waktu yang tepat. Jika tidak dilakukan, aku memakruhkannya, tetapi tidak wajib bagi imam, makmum, atau yang shalat sendirian untuk mengulang shalat jika meninggalkan sujud sahwi, baik karena kekurangan atau kelebihan dalam shalat. Sebab, kami memahami bahwa jumlah sujud dalam shalat sudah ditetapkan, sehingga sujud sahwi dianggap seperti tasbih dalam rukuk, sujud, atau ucapan saat pembukaan—semua memiliki hukum yang sama.

[Bab Hal-Hal yang Menimpa Imam dalam Shalat Khauf] 

(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala mengizinkan shalat khauf dalam dua kondisi: 

  1. Ketakutan tingkat rendah, berdasarkan firman-Nya: “Dan apabila engkau berada di tengah mereka lalu engkau mendirikan shalat untuk mereka…” (QS. An-Nisa’: 102).
  2. Ketakutan yang lebih parah, berdasarkan firman-Nya: “Jika kamu dalam ketakutan, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendara…” (QS. Al-Baqarah: 239).

Karena Allah membedakan keduanya dan Sunnah menunjukkan perbedaannya, maka wajib membedakan tata caranya. Allah Yang Maha Tahu, karena Dia membedakan keduanya sesuai perbedaan situasi. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam memimpin shalat khauf dalam kondisi pertama, maka jamaah tidak boleh melakukan aktivitas selain shalat, sebagaimana dalam shalat biasa. Jika mereka melakukan hal yang membatalkan shalat biasa, shalat mereka batal. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat satu rakaat dengan satu kelompok lalu tetap berdiri (untuk rakaat kedua), sementara mereka menyelesaikan shalat sendiri… (terjemahan dilanjutkan sesuai konteks asli).

Untuk diri mereka sendiri, lalu musuh menyerang mereka atau terjadi perang, sehingga mereka menghadapi musuh dengan tubuh mereka menyimpang dari kiblat, kemudian mereka merasa aman dari musuh setelah memutus shalat mereka. Mereka wajib mengulang shalatnya. Demikian pula jika mereka ketakutan dan menyimpang dari kiblat tanpa maksud berperang atau keluar dari shalat, sementara mereka tetap ingat bahwa mereka dalam shalat, hingga mereka membelakangi kiblat, maka mereka harus mengulang shalatnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka menghadapi musuh sambil tetap menghadap kiblat sejauh satu langkah atau lebih, hal itu dianggap memutus shalat karena niat untuk berperang di dalamnya dan melakukan langkah tersebut. 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika musuh menyerang mereka, lalu mereka bersiap dengan senjata, perisai, atau semacamnya, hal itu dianggap memutus shalat karena niat disertai tindakan untuk menghadapi musuh. Namun, jika musuh menyerang dan mereka takut, lalu berniat tetap dalam shalat tanpa berperang hingga menyelesaikannya, atau mereka bersiap dengan sesuatu yang ringan, ini tidak memutus shalat karena mereka tidak berniat untuk berperang meskipun bersiap, dan persiapan ringan itu diperbolehkan dalam shalat tanpa membatalkannya. Mereka hanya berniat bahwa jika terjadi peperangan, mereka akan memulai pertempuran, bukan karena peperangan telah terjadi atau mereka takut lalu berniat di tempat mereka berdiri dan melakukan sesuatu sesuai niat tersebut. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika musuh datang dan salah seorang dari mereka berbicara di hadapannya sementara ia ingat bahwa ia sedang shalat, maka shalatnya terputus. Namun, jika ia lupa sedang shalat, ia boleh melanjutkan dan sujud sahwi. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka melakukan sesuatu yang membatalkan shalat ketika terjadi peristiwa atau lainnya, seperti berniat memutus shalat atau berniat berperang di tempat mereka berdiri, maka shalat mereka terputus. Namun, jika mereka tetap berniat shalat lalu berniat bahwa jika musuh muncul mereka akan memeranginya, tetapi musuh tidak muncul, hal ini tidak membatalkan shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang melakukan sesuatu yang telah aku sebutkan sebagai pembatal shalat, sementara yang lain tidak melakukannya, maka hanya dialah yang shalatnya batal. Jika imam melakukan hal itu, shalatnya batal, begitu pula orang yang mengikutinya setelah mengetahui apa yang dilakukan imam. Namun, shalat orang yang tidak mengetahui apa yang dilakukan imam tidak batal. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengangkat imam lain untuk menggantikannya dan ia memimpin shalat, maka shalat mereka sah insya Allah. Tetapi, aku lebih suka jika mereka shalat sendiri-sendiri. Demikian juga dalam setiap keadaan di mana imam melakukan sesuatu yang membatalkan shalat, aku lebih suka mereka shalat sendiri. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat khauf yang lebih berat dari ini, baik bagi pejalan kaki maupun penunggang kuda, dibahas di tempat lain dan berbeda dengan shalat ini dalam beberapa hal. 

Jika musuh berada di arah kiblat, (Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—menyampaikan dari sumber terpercaya, dari Manshur bin Al-Mu’tamir, dari Mujahid, dari Abu ‘Ayyasy Az-Zarqi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

“Shalat khauf di ‘Usfan, sementara Khalid bin Al-Walid berada di pihak musuh pada hari itu, dan mereka berada di antara beliau dan kiblat. Rasulullah ﷺ bertakbir, lalu kami berbaris di belakangnya dalam dua shaf. Kemudian beliau rukuk, dan kami pun rukuk. Lalu beliau bangkit, dan kami semua bangkit. Kemudian Nabi ﷺ sujud bersama shaf yang dekat dengannya. Ketika mereka bangkit, shaf yang lain sujud di tempat mereka. Lalu Nabi ﷺ mengucapkan salam.” 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zubair, dari Jabir, yang berkata: “Shalat khauf hampir seperti yang dilakukan para pemimpin kalian.” Maksudnya—wallahu a’lam—seperti ini. 

(Imam Syafi’i berkata): Tempat di mana Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat ini adalah padang pasir yang tidak ada penghalang antara musuh dan Rasulullah ﷺ. Musuh berjumlah dua ratus orang berkuda sebagai pasukan pengintai, sementara Nabi ﷺ bersama 1.400 orang. Beliau tidak merasa takut karena banyaknya pasukan dan sedikitnya musuh. Seandainya mereka menyerang atau bergerak untuk menyerang, pergerakan mereka tidak akan mengkhawatirkan beliau. Mereka juga berada jauh, tidak hilang dari pandangan, dan tidak ada jalan tersembunyi bagi mereka. 

Jika kondisi seperti ini terjadi, imam boleh memimpin shalat seperti ini: imam dan makmum berdiri dalam shaf, lalu imam bertakbir dan mereka ikut bertakbir bersama. Kemudian imam rukuk, dan mereka ikut rukuk. Lalu imam bangkit, dan mereka ikut bangkit. Kemudian imam sujud, dan mereka ikut sujud, kecuali shaf terdekat atau sebagian shaf yang mengawasi musuh agar tidak menyerang atau bergerak ke arah yang menghilangkan pandangan saat imam sujud. Ketika imam dan yang sujud bersamanya bangkit dari sujud, barulah shaf yang lain sujud.

Dan mereka bangkit untuk sujud. Orang-orang yang berdiri mengimami kemudian berdiri bersamanya, lalu rukuk, dan mereka rukuk bersama. Kemudian dia bangkit, dan mereka bangkit bersamanya. Lalu dia sujud, dan bersamanya sujud orang-orang yang sebelumnya sujud bersamanya, kecuali satu barisan yang berjaga-jaga di antara mereka. Ketika mereka telah sujud dua kali, mereka duduk untuk tasyahud. Maka orang-orang yang berjaga-jaga pun sujud, kemudian bertasyahud. Imam mengucapkan salam, dan orang-orang di belakangnya juga salam bersamanya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang-orang yang berjaga-jaga khawatir terhadap keselamatan imam dan berbicara, maka mereka harus mengulangi shalat. Tidak mengapa jika imam memutus shalat, dan jika mereka semua merasa khawatir bersama. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat seperti ini, lalu barisan yang berjaga mundur ke barisan kedua, dan barisan kedua maju untuk menggantikan posisi penjagaan, maka itu tidak mengapa. Jika tidak melakukannya, itu juga diperbolehkan. Jika hanya satu barisan yang berjaga dalam kondisi ini, aku berharap shalat mereka tetap sah. Namun, jika mereka mengulangi rakaat kedua, itu lebih kusukai. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika keadaan seperti yang kujelaskan terjadi karena sedikitnya musuh dan banyaknya kaum Muslimin, serta kondisi negeri seperti yang kusebutkan, lalu imam shalat seperti shalat khauf pada hari Dzatur Riqa’, sedangkan orang-orang bersamanya tidak menyukainya, maka tidak wajib bagi siapa pun di belakangnya untuk mengulang shalat, begitu pula bagi imam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf dengan satu kelompok untuk satu rakaat, lalu mereka berpindah sebelum menyelesaikan shalat dan berdiri menghadap musuh, kemudian kelompok lain shalat satu rakaat dan berpindah sebelum menyelesaikannya untuk berhadapan dengan musuh—sedangkan keduanya tetap dalam keadaan shalat—maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, keduanya harus mengulang shalat karena berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika kelompok lain shalat satu rakaat bersama imam lalu menyelesaikan shalatnya, sementara shalat kelompok pertama yang berpaling sebelum menyelesaikan shalat dianggap batal menurut pendapat ini. Orang yang berpendapat demikian menolak hadits yang diriwayatkan tentang hal ini dengan hadits lainnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Pendapat kedua menyatakan bahwa semua ini diperbolehkan dan termasuk dalam perbedaan yang dibolehkan. Bagaimanapun imam dan makmum melaksanakan shalat sesuai riwayat, itu sudah sah, meskipun memilih sebagian cara atas yang lain. 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika kelompok pertama menyelesaikan shalatnya sebelum berpaling, sedangkan kelompok kedua belum menyelesaikan shalat sebelum berpaling, maka shalat kelompok pertama sah, sedangkan shalat kelompok kedua tidak sah menurut pendapat pertama. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat imam dalam semua kondisi yang kujelaskan tetap sah karena dia tidak berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat seperti shalat khauf pada hari Dzatur Riqa’, lalu dia berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat—baik shalat khauf atau lainnya—sedangkan dia sadar karena belum menyelesaikan shalat, maka dia harus memulai shalat dari awal. 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah (Ibnu ‘Ulayyah atau lainnya), dari Yunus, dari Al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah: “Nabi ﷺ pernah melaksanakan shalat Zhuhur dengan shalat khauf di Bathni Nakhl. Beliau shalat dua rakaat dengan satu kelompok, lalu salam. Kemudian shalat dua rakaat lagi dengan kelompok lain, lalu salam.” 

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf seperti ini, maka shalatnya sah. 

(Imam Syafi’i berkata): Ini serupa dengan shalatnya Mu’adz bersama Nabi ﷺ pada shalat Isya’, lalu dia mengimami kaumnya dengan shalat yang sama. 

(Imam Syafi’i berkata): Hal ini menunjukkan bahwa niat makmum tidak membatalkan shalatnya meskipun berbeda dengan niat imam. Jika imam shalat khauf dengan satu kelompok untuk satu rakaat, lalu mereka salam sedangkan imam belum salam, kemudian imam menyelesaikan rakaat yang tersisa dengan kelompok lain untuk satu rakaat, lalu imam salam dan mereka salam, maka shalat imam sempurna. Namun, kedua kelompok wajib mengulang shalat jika mereka salam dalam keadaan sadar karena masih dalam shalat. 

Abu Ya’qub berkata: Jika mereka menganggap telah menyelesaikan shalat, maka kelompok terakhir boleh menyempurnakan dan sujud sahwi, sedangkan kelompok pertama harus mengulang karena mereka telah lama keluar dari shalat. 

(Imam Syafi’i berkata): Kewajiban makmum dalam jumlah rakaat shalat sama dengan imam; tidak ada perbedaan antara keduanya.

Setiap orang dari mereka menghitung dan tidak ada hadits yang diriwayatkan tentang shalat khauf di Dzi Qard. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami dalam Al-Amali, dia berkata: 

Dan shalat khauf dalam keadaan tidak bepergian (hadhar) dilakukan empat rakaat, sedangkan dalam perjalanan (safar) dua rakaat. Jika melakukannya dalam perjalanan sementara musuh berada di arah selain kiblat, maka orang-orang dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok menghadap musuh tanpa shalat, dan kelompok lain shalat bersamanya. 

Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang bersamanya, lalu tetap berdiri dan membaca (Al-Qur’an) dengan memanjangkan bacaannya. Sementara itu, orang-orang di belakangnya membaca untuk diri mereka sendiri Al-Fatihah dan surah, lalu rukuk, sujud, tasyahud, dan salam bersama-sama. Kemudian mereka pergi dan menggantikan posisi kelompok pertama. Kelompok pertama kemudian datang dan bergabung dengan imam, bertakbir bersama imam dengan takbir yang memasukkannya ke dalam shalat. 

Imam melanjutkan bacaannya setelah mereka bergabung, sepanjang Al-Fatihah dan surah dari tempat dia berhenti, tanpa mengulang Al-Fatihah untuk mereka. Lalu dia sujud, duduk untuk tasyahud, berdzikir, bershalawat kepada Nabi ﷺ, dan berdoa. Sementara itu, mereka (kelompok pertama) berdiri ketika imam mengangkat kepala dari sujud, membaca Al-Fatihah dan surah, lalu rukuk, sujud, dan duduk bersama imam. Imam menambah dzikir sepanjang waktu yang dibutuhkan mereka untuk menyelesaikan tasyahud, lalu salam bersama mereka. 

Jika imam shalat Maghrib bersama mereka, dia shalat satu rakaat pertama, lalu tetap berdiri, sementara mereka menyelesaikan shalat sendiri. Kemudian kelompok lain datang, dan imam shalat dua rakaat bersama mereka, lalu duduk, sementara mereka menyelesaikan rakaat yang tertinggal, kemudian salam bersama mereka. Shalat Maghrib dan Subuh, baik dalam hadhar maupun safar, sama caranya. 

Jika shalat Zhuhur, Ashar, atau Isya’ sebagai shalat khauf dalam keadaan hadhar, dilakukan seperti ini, kecuali imam shalat dua rakaat bersama kelompok pertama, lalu tetap duduk sampai mereka menyelesaikan dua rakaat yang tersisa. Kelompok lain datang, dan ketika mereka bertakbir, imam berdiri dan shalat dua rakaat sisanya bersama mereka, lalu duduk sampai mereka selesai untuk salam bersama. 

(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengatakan “tetap duduk” berdasarkan qiyas dari apa yang datang dari Nabi ﷺ, karena tidak ada riwayat tentang shalat khauf kecuali dalam safar. Seluruh riwayat menunjukkan bahwa imam shalat satu rakaat dengan kelompok pertama, lalu tetap berdiri. Kelompok pertama hanya mengikuti imam dalam satu rakaat tanpa duduk, sedangkan kelompok lain mengikuti imam dalam satu rakaat dengan duduk. Kelompok lain sama seperti kelompok pertama dalam hal mengikuti imam dalam satu rakaat, tetapi mereka juga bersama imam dalam sebagian duduknya. Jadi, mereka berada dalam kondisi yang lebih besar daripada kelompok pertama. 

Jika aku mengatakan bahwa imam tasyahud dengan kelompok pertama lalu tetap berdiri sampai mereka selesai, berarti kelompok pertama mendapatkan bagian yang sama atau lebih banyak dari imam dibanding kelompok lain. Namun, aku berpendapat bahwa imam tetap duduk sampai kelompok lain bergabung dalam duduknya, sehingga mereka mendapatkan duduk terakhir bersama imam, sehingga kondisi mereka lebih utama. Ini sesuai dengan qiyas berdasarkan riwayat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika musuh berada di antara imam dan kiblat, shalat seperti ini tetap sah selama dalam keadaan khauf. Namun, jika dalam keadaan aman karena musuh sedikit, kaum Muslimin banyak, atau mereka berada di padang terbuka tanpa penghalang, dan musuh tidak bisa menyerang dengan panah atau pedang, serta gerakan musuh terlihat jelas, maka mereka semua shaf di belakang imam, mengikuti shalatnya, rukuk dan bangkit bersamanya. Shaf terdekat tetap berdiri, sementara yang lain sujud. Ketika imam bangkit dari sujud, mereka yang di belakang mengikuti sujud, lalu bangkit bersamanya. 

Demikianlah Abu ‘Ayyasy Az-Zuraqi meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat di hari ‘Usfan sementara Khalid bin Al-Walid berada di antara beliau dan kiblat. Begitu pula Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Jabir bahwa shalat khauf adalah seperti yang dilakukan para pemimpin kalian. 

(Asy-Syafi’i berkata): Demikianlah para pemimpin melakukannya, kecuali mereka yang berdiri tanpa sujud bersama imam sampai imam tegak berdiri. Ini berlaku bagi yang dekat di shaf pertama, bukan yang jauh di kanan atau kirinya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika kelompok penjaga mengeraskan suara ketika melihat gerakan musuh untuk bertempur, agar imam mendengar. Jika terjadi pertempuran, sebagian maju sementara sebagian lain tetap menjaga imam.

Jika melihat ada serangan dari arah lain, sebagian pasukan boleh bergerak ke sana. Disukai bagi imam, ketika mendengar hal itu, untuk membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Ikhlas, serta mempersingkat rukuk, sujud, dan duduk dengan sempurna. Jika musuh menyerang atau mengancam, maka beralihlah ke pertempuran dan putuskan shalat. Apakah shalat tersebut perlu diqadha setelahnya? Kesalahan dalam shalat khauf sama seperti shalat biasa, kecuali dalam satu hal: jika kelompok pertama yakin imam melakukan kesalahan pada rakaat yang mereka ikuti, mereka sujud sahwi setelah tasyahud sebelum salam. Mendahului imam dalam sujud sahwi tidak lebih dari mendahului dalam satu rakaat shalat. Jika imam hendak sujud sahwi, ia menundanya hingga kelompok kedua menyelesaikan tasyahud, lalu sujud bersama mereka, kemudian salam bersama. Jika kelompok pertama tidak menyadari kesalahan pada rakaat pertama atau imam khawatir mereka tidak menyadarinya, disukai bagi imam memberi isyarat agar mereka sujud tanpa menoleh. Jika tidak dilakukan dan mereka sujud sendiri hingga selesai atau imam selesai, tidak ada keharusan mengulang atau sujud lagi karena sujud sahwi bukan bagian inti shalat dan waktunya telah berlalu.

[Kondisi yang Membolehkan Shalat Khauf] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak boleh seseorang shalat khauf kecuali melihat musuh dekat yang dikhawatirkan akan menyerang dari suatu tempat, atau mendapat kabar terpercaya tentang kedatangan musuh yang bergerak cepat. Jika salah satu kondisi ini terpenuhi, boleh shalat khauf. Jika tidak, tidak boleh. 

Jika kabar musuh datang lalu ia shalat khauf, kemudian musuh pergi, shalat tidak perlu diulang. Ini berlaku jika berhadapan langsung dengan musuh. Jika berada di benteng yang sulit ditembus, parit dalam dan lebar, atau desa berbenteng, tidak perlu shalat khauf. Namun, jika di desa terbuka atau parit kecil yang mudah dimasuki, shalat khauf diperbolehkan. 

Jika melihat bayangan mendekat—baik di wilayah musuh atau bukan—dan mengira itu musuh, disukai untuk tidak shalat khauf. Dalam semua kondisi yang tidak disukai untuk shalat khauf, imam sebaiknya shalat dengan satu kelompok secara sempurna seperti shalat biasa, sementara kelompok lain berjaga. Setelah selesai, mereka bergantian. Hal yang sama berlaku bagi pasukan keamanan di wilayah Muslim yang berhadapan dengan musuh jika jarak antara mereka cukup jauh dan hanya saling mengawasi tanpa serangan. 

Jika mereka shalat khauf seperti Nabi ﷺ pada Perang Dzatur Riqa’ dalam kondisi yang tidak disukai, kelompok pertama disunahkan mengulang, tetapi imam dan kelompok lain tidak. Namun, kelompok pertama tidak wajib mengulang karena shalat mereka disebabkan kekhawatiran, meskipun ternyata tidak ada ancaman. Seseorang juga mungkin shalat sebagian dengan imam dan sebagian sendiri tanpa perlu mengulang. 

Jika melihat bayangan yang dikira musuh ternyata bukan, dan telah shalat seperti Nabi ﷺ pada Perang Dzatur Riqa’, tidak ada kewajiban mengulang.

Imam tidak perlu mengulangi shalat, begitu pula salah satu dari dua kelompok, karena keduanya tidak menyimpang dari kiblat hingga shalat selesai. Aku shalat karena ketakutan, dan jika ada yang shalat seperti shalat Nabi ﷺ di Bathni Nakhl, atau shalat seperti shalat Nabi ﷺ di ‘Usfan, aku lebih suka penjaga mengulangi shalat, tapi tidak mewajibkannya. Imam dan yang tidak berjaga juga tidak perlu mengulang. (Asy-Syafi’i berkata): Masalah dalam bab ini jarang terjadi karena kami tidak memerintahkan shalat khauf dalam keadaan apa pun kecuali dalam kondisi ketakutan yang sangat ekstrem, kecuali shalat yang jika dilakukan tanpa ketakutan, tidak jelas apakah pelakunya harus mengulang. 

[Berapa jumlah orang yang shalat bersama imam dalam shalat khauf?] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Jika bersama imam dalam shalat khauf ada satu kelompok—dan kelompok itu minimal tiga orang atau lebih—atau sekelompok penjaga—minimal tiga orang atau lebih—aku tidak memakruhkan hal itu. Namun, aku lebih suka penjaga yang mampu menghalangi musuh jika ada serangan. (Asy-Syafi’i berkata): Sama saja, baik yang bersamanya banyak atau sedikit. Orang-orang boleh berpisah dalam shalat khauf menjadi penjaga dan yang shalat, sesuai pertimbangan imam tentang siapa yang cukup untuk berjaga dan memperkuat pertahanan. Sama saja, sedikit yang shalat dan banyak yang berjaga, atau sedikit yang berjaga dan banyak yang shalat, shalat mereka tetap sah asalkan bersama imam ada tiga orang atau lebih. Jika penjaganya kurang dari tiga, atau yang shalat bersamanya kurang dari tiga, aku memakruhkan hal itu karena sebutan “kelompok” tidak berlaku untuk jumlah kurang dari tiga. Tidak ada kewajiban mengulang shalat bagi siapa pun dalam kondisi ini, karena jika sah untuk kelompok, maka sah pula untuk individu, insya Allah Ta’ala. 

[Mengambil senjata dalam shalat khauf] 

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

“Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu dan menyandang senjata mereka.” (An-Nisa’: 102) 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka orang yang shalat membawa senjata selama senjatanya tidak najis. Jika ada najis pada senjata atau sebagiannya, hendaknya dia meletakkannya. Jika shalat dengan senjata yang bernajis, shalatnya tidak sah. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dia boleh membawa senjata yang tidak menghalangi shalatnya dan tidak mengganggu shaf di depan atau belakangnya, seperti pedang, busur, tabung panah, perisai kecil, perisai besar, ikat pinggang, dan sejenisnya. (Asy-Syafi’i berkata): Tidak boleh membawa tombak karena terlalu panjang, kecuali jika berada di pinggir shaf dan tidak ada orang di sampingnya sehingga bisa menjauhkannya agar tidak mengganggu yang di depan atau belakang. 

(Asy-Syafi’i berkata): Begitu pula, tidak boleh memakai senjata yang menghalangi gerakan rukuk dan sujud, seperti baju besi (dir’) dan sejenisnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak membolehkan meletakkan semua senjata dalam shalat khauf kecuali jika sakit yang memberatkan membawa senjata atau terganggu oleh hujan, karena hanya dua kondisi ini yang Allah izinkan untuk meletakkan senjata dan memerintahkan mereka tetap waspada, sesuai firman-Nya: 

“Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata jika kamu mendapat kesusahan karena hujan atau karena sakit. Dan jagalah dirimu.” (An-Nisa’: 102) 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika tidak sakit atau tidak terganggu hujan, aku lebih suka mereka tidak meletakkan senjata kecuali yang telah kusebutkan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Yang menghalanginya untuk bergerak dalam shalat sendiri atau karena beratnya, maka jika sebagian diletakkan dan sebagian lain tetap diharapkan boleh baginya karena ia telah mengambil sebagian senjatanya, dan barangsiapa mengambil sebagian senjatanya maka ia dianggap bersenjata.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia meletakkan semua senjatanya tanpa alasan sakit atau hujan, atau mengambil sebagian senjatanya yang dapat melukai orang di sekitarnya, maka aku tidak menyukai hal itu baginya dalam kedua keadaan tersebut. Namun, hal itu tidak membatalkan shalatnya dalam salah satu dari kedua keadaan karena maksiatnya dalam meninggalkan atau mengambil senjata bukan bagian dari shalat, sehingga tidak dikatakan membatalkan shalatnya, dan mengambilnya tidak menyempurnakan.

[Apa yang tidak boleh dipakai oleh orang yang shalat dalam perang yang terkena najis] 

Dan apa yang diperbolehkan (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika pedang terkena darah lalu diusap hingga hilang, maka tidak boleh dipakai dalam shalat. Demikian juga mata panah, ujung tombak, helm, dan semua besi jika terkena darah. Jika ia shalat sebelum mencucinya dengan air, maka ia harus mengulangi shalatnya. Darah atau najis lainnya tidak dapat disucikan kecuali dengan air, baik pada besi atau lainnya. Jika ia mencucinya dengan minyak agar besi tidak berkarat, atau dengan air selain air yang suci, atau mengusapnya dengan tanah, maka tidak suci. Demikian pula peralatan lainnya, tidak dapat disucikan kecuali dengan air. (Imam Syafi’i berkata): Jika ia memukul hingga pedangnya terkena kotoran hewan, nanah, atau lainnya, maka hukumnya sama seperti najis-najis tersebut.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia ragu apakah peralatannya terkena najis atau tidak, maka lebih baik menghindari membawa barang yang diragukan saat shalat. Jika ia tetap membawanya dalam shalat, maka tidak perlu mengulangi shalat sampai ia mengetahui bahwa barang itu memang terkena najis. Jika ia baru mengetahuinya setelah shalat, maka ia harus mengulangi shalatnya.

(Imam Syafi’i berkata): Semua yang ia bawa, baik dipakai, disandang, diletakkan di tubuh, di lengan baju, atau dipegang dengan tangan atau lainnya, statusnya sama seperti pakaian yang dikenakan. Tidak cukup baginya kecuali jika barang itu tidak terkena najis atau jika terkena najis lalu disucikan dengan air.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia membawa anak panah atau panah yang telah dilumuri keringat hewan apa pun selain anjing atau babi, dari bagian tubuh mana pun, atau air liurnya, atau dipanaskan lalu diberi susu, atau diolesi racun tumbuhan, lalu ia shalat dengan membawanya, maka tidak masalah karena tidak termasuk najis. (Imam Syafi’i berkata): Jika ada racun ular, lemak hewan yang tidak halal dimakan, atau lemak bangkai, lalu ia shalat dengan membawanya, maka ia harus mengulangi shalat kecuali jika disucikan dengan air. Sama saja apakah pedang atau besi lainnya dipanaskan dalam api lalu diolesi racun, atau diolesi racun tanpa dipanaskan. Jika najis bercampur dengannya, baik dipanaskan atau tidak, tidak dapat disucikan kecuali dengan air. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga jika diolesi racun tanpa dipanaskan, lalu dipanaskan dalam api, dan dikatakan bahwa racun itu telah meleleh atau dimakan api, sedangkan racun itu najis, maka api tidak dapat menyucikannya. Tidak ada yang dapat menyucikannya kecuali air. (Imam Syafi’i berkata): Jika besi dipanaskan lalu dituangi sesuatu yang najis atau dicelupkan ke dalamnya, lalu dikatakan bahwa besi telah menyerap najis tersebut, kemudian dicuci dengan air, maka besi itu suci karena pensucian hanya berlaku pada yang tampak, bukan pada bagian dalam. (Imam Syafi’i berkata): Memanaskan besi tidak menambah atau mengurangi pensuciannya karena api tidak dapat menyucikan. Hanya air yang dapat menyucikan. Jika di suatu tempat tidak ada air, lalu ia mengusapnya dengan tanah, maka tanah tidak dapat menyucikannya karena tanah tidak dapat menghilangkan najis.

[Apa yang boleh dipakai oleh orang yang berperang yang menghalangi antara dirinya dan tanah, serta apa yang tidak boleh] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika helm memiliki hidung atau menutupi kepala orang yang takut, maka aku tidak menyukainya dipakai dalam shalat agar bagian yang menutupi atau hidung tidak menghalangi antara dirinya dan sempurnanya sujud. Tidak masalah memakainya, tetapi ketika sujud, ia harus meletakkannya, menggesernya, atau membukanya jika dahinya menyentuh tanah dengan sempurna. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga dengan penutup kepala.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Sorban dan lainnya yang menutupi tempat sujud: 

(Imam Syafi’i berkata): Jika sesuatu dari dahi yang rata menyentuh tanah, itu sudah cukup untuk sahnya sujud, meskipun lebih baik tidak meninggalkan menyentuhkan seluruh dahi dan hidung ke tanah saat sujud. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak menyukai jika di tangannya ada senjata yang menghalangi telapak tangan menyentuh tanah langsung. Jika hal itu terjadi, lebih baik mengulangi shalat, meskipun tidak wajib. Namun, hal ini tidak kubenci jika terjadi pada lutut atau kakinya seperti yang kubenci pada tangannya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang shalat dengan pakaian atau senjata yang terkena darah tanpa ia ketahui, lalu ia mengetahuinya setelahnya, ia harus mengulangi shalat. Setiap kali aku katakan “ulangi,” maka ia harus mengulanginya setelah beberapa waktu, dan sebaiknya segera mengulanginya dalam semua keadaan. Begitu pula jika sebagian shalat telah dilakukan lalu ia menyadari ada darah sebelum menyelesaikannya, dan ia tidak melepas pakaian yang terkena darah, maka ia harus mengulangi shalat. Namun, jika ia segera melepas pakaian saat mengetahui darah dan melanjutkan shalat, shalatnya sah. Jika ia berusaha membersihkan darah, aku tidak menyukainya dan memerintahkannya untuk mengulangi shalat. (Imam Syafi’i berkata): Ada pendapat yang mengatakan cukup membersihkan darah lalu melanjutkan shalat, tetapi aku tidak menganjurkan pendapat ini dan lebih memerintahkan untuk mengulangi. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang yakin darah mengenai sebagian senjata atau pakaiannya tetapi tidak tahu pasti bagian mana, ia boleh meninggalkan yang diduga terkena darah dan shalat dengan pakaian lain, dan itu cukup insya Allah. Namun, jika kemudian ia yakin telah shalat dengan pakaian atau senjata yang najis sebelum disucikan, ia harus mengulangi semua shalat yang dilakukan dengan pakaian/senjata tersebut. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang muslim mengambil senjata dari orang musyrik atau membelinya dari mereka—sementara orang musyrik dianggap sering menyentuh senjata dengan najis—tanpa ada bukti atau kabar tentang kenajisannya, ia boleh shalat dengan senjata itu selama tidak yakin ada najis. Namun, lebih baik jika ia mencucinya terlebih dahulu atau menghindari shalat dengannya. 

Pakaian yang boleh dan tidak boleh dipakai dalam perang: 

Dalam perang, penting memiliki tanda pengenal. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Lebih baik jika seorang pejuang menghindari memakai pakaian dari sutera atau brokat yang terlihat jelas. Namun, jika dipakai untuk perlindungan, tidak mengapa insya Allah, karena dalam perang ada keringanan yang tidak berlaku di luar perang. (Imam Syafi’i berkata): Sutera dan brokat bukan najis, hanya dimakruhkan sebagai bentuk ibadah. Jika seseorang shalat dengan pakaian sutera di luar perang, ia tidak perlu mengulangi. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika kain terbuat dari campuran sutera, katun, atau linen dengan dominasi katun, aku tidak memakruhkan pemakaiannya bagi orang yang takut (dalam perang) atau lainnya. Namun, jika sutera terlihat jelas, aku memakruhkannya bagi semua yang shalat, baik pejuang atau bukan. Aku memakruhkannya bagi pejuang karena sutera tidak memberikan perlindungan seperti pakaian biasa. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memakai jubah yang di dalamnya dilapisi sutera, tidak mengapa karena lapisannya tersembunyi. Yang kumakruhkan adalah menampakkan sutera bagi laki-laki. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika baju besi terdapat emas dalam anyamannya atau seluruhnya terbuat dari emas, aku memakruhkannya kecuali dalam keadaan darurat. Namun, lebih baik tidak menyimpannya karena uangnya bisa digunakan untuk membeli baju besi besi yang lebih kuat. Tidak ada masalah memakai besi. Jika perang tiba-tiba datang dan ia memilikinya, tidak mengapa dipakai. 

(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula jika pedangnya dihiasi emas, lebih baik dilepas. Namun, jika perang tiba-tiba datang, tidak mengapa dipakai. Setelah perang usai, lebih baik dilepas. Hal yang sama berlaku untuk perisai dan seluruh perlengkapannya, termasuk jubah dengan kancing emas. Aku memakruhkannya dengan alasan yang sama, termasuk sabuk dan tali pedang karena semuanya termasuk perlengkapan perang. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika cincinnya dari emas, aku tidak menganjurkannya dipakai baik dalam perang maupun damai karena emas dilarang dan cincin bukan bagian dari perlindungan. 

(Imam Syafi’i berkata): Di mana pun aku memakruhkan emas murni (baik dalam perang atau tidak), aku juga memakruhkan emas yang dilapisi atau dicampur jika warnanya masih terlihat. Jika warnanya tidak terlihat (karena sudah tertutup), maka itu dianggap hilang, tetapi lebih baik tidak dipakai. Meskipun demikian, tidak ada dosa jika dipakai.

Sebagaimana yang telah kukatakan dalam kitab Al-Hasyi ‘ala Al-Qaz. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan seseorang memakai mutiara kecuali sebagai etika, karena itu adalah perhiasan wanita, bukan karena keharaman. Aku juga tidak memakruhkan memakai batu yakud atau zabarjad, kecuali jika berlebihan atau untuk kesombongan. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan bagi orang yang dikenal keberaniannya dalam perang untuk memakai apa saja yang boleh dipakai, menunggang kuda belang, kuda biasa, atau hewan tunggangan yang terkenal, sebagaimana yang dilakukan Hamzah pada perang Badar. Aku juga tidak memakruhkan duel satu lawan satu, karena Ubaidah, Hamzah, dan Ali pernah melakukannya atas perintah Rasulullah ﷺ. 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam perang, boleh memakai kulit rubah atau hyena jika keduanya disembelih dengan benar dan masih berbulu. Jika tidak disembelih dengan benar, maka harus disamak terlebih dahulu setelah bulunya dicabut. Boleh shalat dengan memakainya jika bulunya sudah dicabut. Jika bulunya tidak dicabut, tidak boleh shalat memakainya karena penyamakan tidak membersihkan bulu. 

(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula, boleh memakai kulit hewan halal yang disembelih dengan benar. Jika tidak disembelih dengan benar, maka harus disamak tanpa bulu, dan tidak boleh shalat memakainya. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh shalat dengan memakai kulit hewan yang tidak halal dimakan, baik disembelih dengan benar atau tidak, kecuali jika disamak dan bulunya dicabut. Jika masih ada bulunya, tidak boleh shalat memakainya. Tidak boleh shalat dengan memakai kulit babi atau anjing dalam keadaan apa pun, baik bulunya dicabut atau tidak, baik disamak atau tidak. 

(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula, tidak boleh memasang peralatan dari kulit anjing atau babi pada kuda tunggangan seseorang. Tidak boleh memanfaatkannya kecuali seperti manfaat anjing untuk berburu, menjaga ternak, atau pertanian. Adapun selain keduanya, tidak mengapa dipasang pada kuda atau hewan tunggangan, dan boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh shalat memakainya, seperti kulit monyet, gajah, singa, harimau, serigala, ular, dan hewan yang tidak halal dimakan, karena itu adalah pelindung kuda. Tidak ada larangan menggunakan pelindung kuda selain dari kulit anjing dan babi. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa seseorang shalat dalam keadaan takut sambil memegang tali kekang hewan tunggangannya. Jika hewan itu menariknya sekali, dua kali, atau tiga kali, sementara ia tidak berpaling dari kiblat, maka tidak mengapa. Jika tarikannya berulang-ulang dan ia tidak berpaling dari kiblat, shalatnya batal dan harus diulang. Jika hewan itu menariknya hingga ia berpaling dari kiblat, lalu ia kembali menghadap kiblat, shalatnya tidak batal meski lama berpaling. Namun jika ia tidak bisa kembali menghadap kiblat, shalatnya batal karena seharusnya ia bisa membiarkan hewan itu menghadap kiblat. Jika ia bisa kembali tetapi tidak melakukannya, ia harus mengulang shalatnya. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan tunggangannya lari, tidak mengapa mengejarnya. Jika mengejarnya sambil tetap menghadap kiblat dalam jarak dekat, shalatnya tidak batal. Jika mengejarnya dalam jarak jauh, shalatnya batal. Jika mengejarnya sambil sedikit atau banyak berpaling dari kiblat, shalatnya batal. 

Cara Kedua Shalat Khauf 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Peliharalah semua shalat dan shalat wustha, dan berdirilah karena Allah dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 238-239). 

(Imam Syafi’i berkata): Jelas dalam Kitabullah bahwa keadaan di mana diperbolehkan shalat sambil berjalan atau berkendaraan berbeda dengan keadaan ketika Nabi ﷺ memerintahkan shalat dengan satu kelompok lalu kelompok lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat sambil berjalan atau berkendaraan hanya diperbolehkan dalam ketakutan yang lebih parah daripada ketakutan yang mengharuskan shalat berkelompok. 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia menyebutkan shalat khauf, lalu menyampaikan haditsnya dan berkata: “Jika ketakutan lebih parah dari itu, mereka boleh shalat sambil berjalan atau berkendaraan, baik menghadap kiblat atau tidak.” Malik berkata: “Aku tidak melihat hal itu disebutkan kecuali dari Nabi ﷺ.” 

(Imam Syafi’i berkata): Muhammad bin Isma’il atau Abdullah bin Nafi’ mengabarkan dari Ibnu Abi Dzi’b dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi ﷺ. 

(Imam Syafi’i berkata): Ketakutan yang membolehkan shalat sambil berjalan atau berkendaraan—wallahu a’lam.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Allah Maha Mengetahui ketika musuh mengintai mereka sehingga saling melihat, sementara kaum Muslim tidak berada dalam benteng hingga senjata musuh mengenai mereka dari jarak jauh atau lebih dekat dengan serangan dan pukulan. Jika keadaan seperti ini, musuh datang dari satu arah, sementara kaum Muslim banyak dan sebagian mampu menghadapi musuh hingga sebagian lainnya tidak dalam keadaan ketakutan yang parah, maka satu kelompok boleh berperang sementara kelompok lain shalat tanpa ketakutan yang parah. Begitu pula jika musuh datang dari dua atau tiga arah atau mengepung kaum Muslim, sementara musuh sedikit dan kaum Muslim banyak, setiap kelompok mampu menghadapi musuh yang berhadapan dengannya hingga kelompok yang tidak berhadapan langsung dengan musuh dapat shalat tanpa ketakutan yang parah. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika kelompok yang sudah shalat mampu masuk di antara musuh dan kelompok yang sedang berperang hingga kelompok yang berperang berada dalam keadaan seperti mereka (tanpa ketakutan parah), maka mereka boleh melakukannya. Namun, kelompok yang berperang tidak boleh shalat kecuali dengan shalat biasa (bukan shalat khauf) di tanah dan menghadap kiblat. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika hal ini tidak memungkinkan karena pertempuran sudah berkecamuk atau khawatir jika mereka mundur musuh akan menyerang dari belakang dan menganggapnya sebagai kekalahan, atau kelompok yang sudah shalat tidak bisa masuk di antara mereka dan musuh, atau musuh menghalanginya, atau jalan masuk terlalu sempit sehingga tidak bisa menjadi penghalang antara mereka dan musuh, maka kelompok yang berhadapan dengan musuh boleh shalat sesuai kemampuan, baik menghadap kiblat atau tidak, sambil duduk di atas kendaraan mereka (apapun kendaraannya), atau di tanah sambil berdiri, dengan menganggukkan kepala sebagai isyarat. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika musuh berada di antara mereka dan kiblat, maka mereka menghadap kiblat sebagian shalat, lalu jika musuh bergerak dari arah kiblat, mereka mengikuti dengan wajah mereka. Hal ini tidak memutus shalat mereka selama seluruh shalat mereka dianggap sah meskipun tidak menghadap kiblat jika tidak memungkinkan. Shalat tetap sah meskipun sebagian dilakukan dalam kondisi seperti itu dan sebagian lainnya kurang sempurna. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat mereka sah dalam kondisi seperti ini selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan shalat, seperti berputar, bergerak, atau berjalan sedikit ke arah musuh. Jika mereka melakukan ini, shalat mereka tetap sah. Begitu pula jika musuh menyerang dan mereka bertahan, atau ada yang mendekat dan memukul dengan senjata, atau menusuk, atau menghalau musuh dengan sesuatu. Jika ada kesempatan menyerang musuh dengan pukulan atau tusukan saat shalat, shalatnya tetap sah. Namun, jika terus-menerus memukul atau menusuk, atau menusuk berulang kali, atau melakukan tindakan yang memakan waktu lama, shalatnya tidak sah dan harus diulang jika memungkinkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang sengaja mengucapkan sesuatu dalam shalat untuk memperingatkan Muslim lain atau menakut-nakuti musuh sambil sadar sedang shalat, maka shalatnya batal dan harus diulang ketika memungkinkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mampu shalat khauf dan melakukannya tanpa melakukan hal yang membatalkan, shalatnya sah. Jika mampu shalat biasa (bukan shalat khauf), maka lakukanlah. Begitu pula jika mampu shalat dalam kondisi normal, maka lakukanlah. 

[Jika seseorang shalat sebagian dalam keadaan berkendara lalu turun, atau turun lalu naik, atau berpaling dari kiblat, atau bergerak dari tempatnya] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang memulai shalat dalam keadaan khauf sambil berkendara lalu turun, lebih baik mengulang shalat. Namun, jika wajahnya tidak berubah arah, tidak perlu diulang karena turun adalah hal ringan. Jika wajahnya berubah hingga membelakangi kiblat, maka harus diulang karena telah meninggalkan kiblat. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan tunggangannya menjatuhkannya atau angin menghempaskannya dalam kondisi ini, tidak perlu diulang selama dia kembali menghadap kiblat ketika memungkinkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang shalat dalam keadaan turun lalu naik kendaraan, shalatnya batal karena…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Mengendarai lebih banyak gerakan daripada turun, dan orang yang turun ke tanah lebih utama dalam menyempurnakan shalat daripada yang berkendara.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidak mampu shalat kecuali dengan bertempur, maka ia shalat dan mengulangi setiap shalat yang dilakukan selama bertempur.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang shalat dalam kondisi ketakutan yang sangat, kemudian memungkinkan untuk shalat seperti shalat khauf pertama, maka ia boleh melanjutkan dari shalat dalam kondisi ketakutan yang sangat, namun tidak cukup baginya kecuali shalat seperti shalat khauf pertama. Seperti halnya jika shalat sambil duduk kemudian mampu berdiri, maka tidak cukup baginya kecuali shalat dengan berdiri.

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka shalat dalam kondisi ketakutan yang sangat, baik berjalan kaki maupun berkendara, mereka tidak boleh maju. Jika ada kebutuhan untuk maju karena takut, maka mereka boleh maju baik yang berkendara maupun berjalan kaki, dan shalat mereka tetap sah. Jika mereka maju tanpa kebutuhan atau ketakutan, seperti orang yang shalat bergeser ke tempat dekat, shalat mereka tetap sah. Namun jika bergeser ke tempat jauh, mereka harus memulai shalat dari awal, dan ini dianggap merusak shalat. Demikian pula jika mereka perlu naik kendaraan saat shalat, shalat mereka sah. Jika tidak ada kebutuhan namun mereka tetap naik, mereka harus memulai shalat dari awal. Jika mereka yang berkendara turun tanpa kebutuhan untuk shalat di tanah, shalat mereka tidak batal karena turun adalah gerakan ringan, dan shalat di tanah lebih utama daripada shalat sambil berkendara.

(Imam Syafi’i berkata): Jika sekelompok orang bersembunyi dari musuh di parit, bangunan, atau kegelapan malam, dan khawatir jika berdiri shalat akan terlihat musuh: Jika mereka dalam kelompok yang mampu bertahan, mereka harus shalat berdiri sesuai kemampuan. Jika shalat sambil duduk, mereka telah berbuat salah dan wajib mengulang shalat. Jika tidak mampu bertahan dan khawatir akan terlihat musuh, mereka boleh shalat sambil duduk, namun wajib mengulang shalat. Allah Maha Mengetahui.

(Imam Syafi’i berkata): Jika musuh mengawasi mereka dan ada parit, benteng, atau gunung yang sulit dijangkau musuh, sehingga tidak lepas dari pandangan muslim atau penjaga, tidak boleh shalat sambil duduk, tidak menghadap kiblat, atau dengan isyarat. Shalat dengan isyarat dan tidak menghadap kiblat hanya boleh dalam kondisi berhadapan langsung dengan musuh, sejajar, terlihat, dan dekat hingga bisa terkena senjata jika musuh menyerang. Jika ada penghalang dan tidak ada penjaga, mereka boleh shalat sambil berjalan kaki atau berkendara, menghadap atau tidak menghadap kiblat. Ini termasuk ketakutan terbesar.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang ditawan dan dilarang shalat, namun mampu shalat dengan isyarat, ia harus shalat dan tidak boleh meninggalkannya. Demikian pula jika tidak mampu wudhu, ia shalat dengan tayammum. Jika dipenjara di ruang sempit yang tidak bisa berdiri atau diikat hingga tidak bisa rukuk atau sujud, ia shalat sesuai kemampuannya dan tidak boleh meninggalkannya selama masih mungkin. Ia wajib mengqadha shalat fardhu yang dilakukan dalam kondisi demikian. Jika dilarang berpuasa, ia wajib mengqadhanya ketika memungkinkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dipaksa meminum atau memakan yang haram karena takut, lalu melakukannya, ia wajib memuntahkannya jika mampu.

[Jika shalat sambil memegang tali kekang hewan]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak masalah shalat dalam kondisi khauf sambil memegang tali kekang hewan. Jika hewan menarik, ia boleh menariknya sekali, dua kali, atau tiga kali selama tidak membelakangi kiblat. Jika terlalu banyak menarik dan tidak membelakangi kiblat, shalatnya batal dan harus diulang. Jika menariknya hingga membelakangi kiblat lalu kembali menghadap kiblat, shalatnya tidak batal selama tidak lama. Jika lama membelakangi kiblat dan tidak bisa kembali, shalatnya batal karena ia seharusnya bisa melepaskannya. Jika tidak lama dan bisa kembali menghadap kiblat namun tidak melakukannya, shalatnya batal.

Maka dia harus mengulangi shalatnya (Imam Syafi’i berkata): Jika hewan tunggangannya pergi, tidak mengapa untuk mengejarnya. Jika dia mengejarnya ke arah kiblat dalam jarak yang sedikit, shalatnya tidak batal. Namun jika mengejarnya dalam jarak yang jauh, shalatnya batal.

[Jika mereka shalat sambil berdiri atau berkendara, apakah boleh berperang?] 

Dan apa yang diperbolehkan bagi mereka dalam hal itu? (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang tidak mampu shalat kecuali sambil berperang, maka dia boleh shalat dan mengulangi setiap shalat yang dilakukan sambil berperang.

[Siapa yang boleh melakukan shalat khauf (shalat dalam keadaan takut)?] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Shalat khauf diperbolehkan bagi orang yang memerangi kaum musyrik berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Karena Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan hal tersebut dalam peperangan melawan orang-orang musyrik, sebagaimana firman-Nya dalam ayat: {Dan orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu} [An-Nisa’: 102]. (Imam Syafi’i berkata): Setiap jihad yang diperbolehkan dan ditakuti oleh pelakunya, maka mereka boleh melaksanakan shalat khauf dalam keadaan sangat takut, karena para mujahidin dalam hal itu diberi pahala dan tidak berdosa. Ini termasuk jihad melawan pemberontak yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk diperangi, jihad melawan perampok, atau orang yang mengincar harta, nyawa, atau kehormatan seseorang. Sebagaimana Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid.” (Imam Syafi’i berkata): Adapun orang yang berperang tanpa hak, lalu merasa takut, maka dia tidak boleh melaksanakan shalat khauf dalam keadaan sangat takut dengan hanya memberi isyarat. Jika dia melakukannya, dia wajib mengulanginya. Dia juga tidak boleh melaksanakan shalat khauf dalam ketakutan yang tidak mencapai tingkat ekstrem, kecuali jika shalatnya sah sebagaimana shalat orang yang tidak dalam keadaan takut. (Imam Syafi’i berkata): Ini berlaku bagi orang yang berperang secara zalim, seperti perampok, berperang karena fanatisme, menghalangi hak orang lain, atau bentuk kezaliman lainnya.

[Dalam ketakutan seperti apa shalat khauf diperbolehkan?] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika sekelompok kecil orang takut terhadap serigala atau binatang buas, lalu mereka melaksanakan shalat khauf sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya di Dzatur Riqa’, maka hal itu cukup bagi mereka insya Allah. Namun, lebih aku sukai jika sebagian dari mereka shalat dengan satu imam, lalu sebagian lainnya dengan imam yang berbeda. Jika mereka takut kebakaran pada harta atau rumah mereka, lebih aku sukai agar mereka shalat berjamaah kemudian berjamaah lagi atau sendiri-sendiri, sementara yang tidak ikut shalat bertugas memadamkan api.

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka dalam perjalanan dan kebakaran mendekat, lalu mereka menghindar dari arah angin, maka mereka tidak boleh shalat kecuali seperti shalat sehari-hari. Demikian pula jika mereka berada di tempat tinggal dan kebakaran mengancam keluarga, harta, atau barang-barang mereka.

(Imam Syafi’i berkata): Jika banjir mendekat dan mereka menghindar dari arusnya, atau jika bangunan runtuh dan mereka menghindar dari reruntuhannya, maka mereka tidak boleh melakukan shalat khauf. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka shalat dalam keadaan seperti ini dengan shalat khauf yang sah bagi orang yang takut, maka shalat mereka dianggap cukup.

[Dalam mengejar musuh] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika musuh mengejar kaum Muslimin yang sedang bersiap untuk berperang atau bergabung dengan kelompok tertentu…

Maka dekatilah mereka. Mereka diperbolehkan melaksanakan shalat khauf dalam keadaan berkendaraan atau berjalan sambil memberikan isyarat ke mana pun mereka menghadap, baik ke arah kiblat maupun tidak. Demikian pula jika mereka semula menghadap kiblat, kemudian menemukan jalan yang lebih baik dari arah kiblat, mereka boleh mengambilnya. Jika mereka menyimpang dari kiblat (Asy-Syafi’i berkata): Jika musuh mundur dari mereka atau mereka sibuk atau mendapatkan perlindungan dari musuh, sementara mereka telah memulai shalat dalam keadaan berkendaraan, maka tidak diperbolehkan kecuali mereka harus turun dan menyempurnakan shalat dengan menghadap kiblat seperti yang telah dijelaskan dalam shalat khauf yang tidak dalam kondisi ketakutan yang sangat. Namun, jika mereka masih dapat menghindar dari musuh yang mereka lihat dan tidak merasa aman dari kejaran musuh, mereka boleh menyelesaikan shalat dalam keadaan berkendaraan.

(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka dan musuh berpisah, lalu mereka memulai shalat di tanah, kemudian musuh datang mengejar, mereka boleh naik kendaraan dan menyelesaikan shalat sambil memberikan isyarat. Hal yang sama berlaku jika mereka berjalan kaki. (Asy-Syafi’i berkata): Ini juga berlaku untuk musuh apa pun yang mengejar mereka, baik dari kalangan pemberontak maupun lainnya, selama mereka dalam keadaan terdzalimi. (Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka dikejar oleh singa atau binatang buas. (Asy-Syafi’i berkata): Begitu juga jika mereka terjebak banjir dan tidak menemukan tempat tinggi, mereka boleh shalat sambil memberikan isyarat dalam keadaan berlari, baik berjalan kaki maupun berkendaraan. Jika mereka menemukan tempat tinggi yang aman bagi mereka dan kendaraan mereka, mereka boleh pergi ke sana dan melanjutkan shalat mereka sebelumnya. Jika hanya tubuh mereka yang bisa mencapai tempat tinggi, sedangkan kendaraan tidak, mereka boleh melanjutkan shalat khauf sesuai arah mereka. (Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka menemukan tempat tinggi yang di belakangnya terdapat dua lembah yang memutus jalan, maka ini dianggap tidak aman, dan mereka boleh melaksanakan shalat khauf sambil memberikan isyarat dalam keadaan berlari. Namun, hal ini tidak berlaku jika ada jalan lain untuk menghindari banjir. (Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka terjebak kebakaran, mereka boleh melakukan hal yang sama selama tidak menemukan tempat tinggi seperti gunung untuk berlindung dari api atau angin yang mengubah arah api, atau jalan untuk menghindari jalur api. Jika mereka menemukannya, mereka harus menyempurnakan shalat dengan menghadap kiblat di tanah, dan tidak boleh selain itu. Jika tidak, mereka harus mengulang shalat.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang dikejar oleh penyerang, hal ini sama seperti musuh atau singa, termasuk gajah. Dia boleh shalat dalam semua kondisi ini dengan memberikan isyarat sampai merasa aman.

(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika dia dikejar ular atau musuh apa pun yang dapat membunuh atau melukai, dia boleh melaksanakan shalat dalam kondisi ketakutan yang sangat sambil memberikan isyarat ke arah mana pun.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika musuh telah pergi dan sebagian Muslim kembali ke tempat mereka, lalu melihat bayangan dari awan atau lainnya, seperti unta atau sekelompok orang yang bukan musuh atau debu, dan jaraknya sedemikian dekat sehingga jika itu musuh, senjata bisa mencapainya, lalu mengira semua yang dilihatnya adalah musuh, maka dia melaksanakan shalat dalam kondisi ketakutan yang sangat dengan memberikan isyarat. Jika kemudian ternyata bukan musuh, dia harus mengulang shalat tersebut.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia melaksanakan shalat seperti itu, kemudian tidak jelas apakah itu musuh atau tidak, dia harus mengulang shalat tersebut. Dia hanya boleh melaksanakan shalat seperti itu jika berdasarkan penglihatan yang diketahui benar sebelum atau setelah shalat, atau berdasarkan kabar yang dapat dipercaya. Jika dia ragu, dia harus mengulang shalat karena tidak yakin apakah shalatnya sah.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika datang kabar tentang musuh, lalu dia melaksanakan shalat seperti itu, kemudian diketahui bahwa musuh memang mengejarnya tetapi tidak mendekat hingga menimbulkan ketakutan, dia harus mengulang shalat. Demikian pula jika musuh mengejarnya, tetapi antara dia dan keselamatan atau bergabung dengan kelompok yang dapat melindunginya atau kota yang aman masih ada jarak yang cukup sehingga musuh tidak akan mencapainya, dia harus mengulang shalat jika melakukannya dengan isyarat.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika musuh mengejarnya, tetapi jaraknya masih beberapa mil, dia tidak boleh shalat dengan isyarat. Dia harus shalat di tanah terlebih dahulu, kemudian naik kendaraan untuk menyelamatkan diri. Hal ini berlaku baik musuh berhenti untuk shalat atau tidak.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika kaum Muslimin yang mengejar musuh, mereka tidak boleh shalat dalam keadaan berkendaraan atau berjalan sambil memberikan isyarat, kecuali dalam satu kondisi: jika jumlah pengejar lebih sedikit dari yang dikejar, dan pengejar terpisah dari kelompoknya, sehingga khawatir yang dikejar akan kembali menyerang.

Jika demikian, maka mereka boleh shalat dengan isyarat, dan tidak boleh terus-menerus mengejar musuh. Mereka harus kembali kepada kelompok mereka dan tempat perlindungan mereka. Mereka tidak boleh terus mengejar hingga terpaksa shalat wajib dengan isyarat. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika jumlah mereka banyak dan mereka terus mengejar hingga masuk ke wilayah musuh, lalu jumlah mereka menjadi sedikit di tengah banyaknya musuh. Maka mereka harus kembali, dan boleh shalat dalam keadaan seperti ini dengan isyarat jika khawatir musuh akan kembali saat mereka berhenti. Mereka tidak boleh terus menerus masuk ke wilayah musuh atau mengejar musuh jika terpaksa shalat dengan isyarat. Mereka boleh melakukan itu selama menurut diri mereka tidak terpaksa. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka shalat dengan isyarat lalu musuh datang dari satu arah, mereka boleh menghadap musuh sambil tetap melanjutkan shalat tanpa memutusnya, dan boleh bergerak mengikuti musuh ke mana pun mereka pergi. (Imam Syafi’i berkata): Menghadap ke arah selain kiblat tidak membatalkan shalat mereka, begitu pula jika salah seorang dari mereka memakai perisai untuk melindungi diri, memukul dengan pukulan ringan, menghadapi musuh yang mendekat, atau melangkah maju sedikit dengan tombak atau lainnya. Namun jika pukulan diulang atau langkah maju terlalu jauh, shalatnya batal. Jika memungkinkan, ia harus shalat tanpa bertarung. Jika tidak memungkinkan, ia boleh shalat sambil bertarung, lalu mengulang shalat jika memungkinkan. Ia tidak boleh meninggalkan shalat selama masih bisa melaksanakannya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika kaum Muslimin dalam keadaan dikejar, berlindung pada kelompok tertentu, atau bersiap untuk bertempur, mereka boleh shalat dengan isyarat dan tidak perlu mengulang jika nanti bisa shalat dengan sempurna. Namun jika mereka lari dari musyrikin tanpa bersiap untuk bertempur atau berlindung pada kelompok tertentu, mereka harus shalat dengan isyarat dan mengulangnya karena saat itu mereka dalam keadaan bermaksiat. Keringanan menurut kami hanya berlaku bagi yang taat, bukan bagi yang bermaksiat.

[Mengqashar Shalat dalam Kondisi Takut] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Ketentuan shalat dalam kondisi takut di tempat tinggal atau dalam perjalanan adalah sama, kecuali bahwa orang yang tidak bepergian tidak boleh mengqashar shalat. Shalat khauf dalam perjalanan yang tidak membolehkan qashar statusnya sama seperti shalat khauf di tempat tinggal. Shalat tidak boleh diqashar hanya karena takut, kecuali dalam jarak yang juga membolehkan qashar bagi orang yang tidak dalam kondisi takut. (Beliau berkata): Dikatakan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mengqashar shalat di Dzatu Qird. Jika riwayat ini sahih menurutku, aku berpendapat bahwa seseorang boleh mengqashar jika menggabungkan antara kondisi takut dan bepergian, baik jarak dekat maupun jauh. Jika riwayat itu tidak sahih, maka orang yang takut tidak boleh mengqashar kecuali jika bepergian dalam jarak yang membolehkan qashar bagi orang yang tidak dalam kondisi takut.

(Imam Syafi’i berkata): Jika kaum Muslimin menyerbu wilayah musyrikin, mereka tidak boleh mengqashar shalat kecuali jika sejak awal berniat dari tempat penyerbuan mereka menuju lokasi yang membolehkan qashar. Jika niat awalnya adalah menyerbu tempat yang membolehkan qashar, lalu menemukan sasaran serbuan sebelum sampai ke sana, kemudian menyerbu dan pulang, maka tidak boleh mengqashar kecuali jika berniat khusus untuk bepergian yang membolehkan qashar. (Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku jika kita diserang musuh. (Imam Syafi’i berkata): Jika melakukan seperti yang kujelaskan dan mencapai jarak yang membolehkan qashar dalam penyerbuannya, ia boleh mengqashar shalat saat pulang jika berniat kembali ke markas atau kampung halamannya. Namun jika niatnya adalah terus menyerbu musuh di sepanjang perjalanan pulang, ia tidak boleh mengqashar saat pulang, statusnya seperti saat berangkat, karena niatnya bukan menuju satu tujuan yang membolehkan qashar.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dalam penyerbuannya ia mencapai jarak yang membolehkan qashar dari markas yang akan ia tuju, lalu memutuskan untuk kembali ke markas, ia boleh mengqashar. Namun jika ia bepergian sebentar (baik mengqashar atau tidak), lalu muncul niat untuk menyerbu musuh di sepanjang jalan, ia harus menyempurnakan shalat. Qashar hanya boleh dilakukan jika perjalanannya jelas menuju suatu tempat yang membolehkan qashar.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang pemimpin berperang melawan musuh dalam perjalanan yang membolehkan qashar, lalu berhenti untuk mengepung kota, menghadapi pasukan musuh, mengirim detasemen, keperluan tertentu, singgah di padang pasir, menuju suatu kota, atau berada di kota musuh atau wilayah Islam, semuanya sama. Jika ia berniat…

Kedudukan empat rakaat sempurna, dan jika tidak menyempurnakan empat rakaat, maka tidak sempurna. Jika terpaksa karena perang atau berdiam di tempat lain, pastikan untuk menyempurnakan empat rakaat. Jika tidak yakin, pendekkan antara itu hingga delapan belas malam. Jika melebihi itu, sempurnakan. Jika seseorang berpindah dari tempatnya, pendekkan. Begitu pula setiap kali bermukim, dan bepergian tidak berbeda.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berperang dari tempat yang tidak memendekkan shalat, sempurnakan shalat. Jika imam bermukim dan shalat khauf bersama musafir dan mukim, sempurnakan bersama. Demikian pula musafir yang bergabung sebelum salam, sempurnakan. Jika shalat khauf dan rakaat pertama sebagai musafir bersama musafir dan mukim, tetap berdiri membaca hingga musafir menyelesaikan satu rakaat dan mukim tiga rakaat, lalu berpindah. Kelompok lain datang, shalat rakaat tersisa, dan tetap duduk hingga musafir menyelesaikan satu rakaat dan mukim tiga rakaat. Jika salam tanpa menunggu yang lain, shalatnya sah dan shalat mereka sah jika dipendekkan, tetapi makruh baginya. Shalat khauf di darat dan laut sama, tidak berbeda.

[Tentang Jumat dan Dua Hari Raya dalam Kondisi Khauf]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam tidak boleh meninggalkan Jumat, hari raya, atau shalat gerhana jika memungkinkan untuk shalat sambil berjaga. Shalat seperti shalat wajib dalam khauf. Jika ketakutan sangat, shalat seperti shalat wajib dalam ketakutan hebat dengan isyarat. Jumat hanya sah dengan khutbah sebelumnya. Jika tidak, shalat Zhar empat rakaat. Untuk shalat hari raya atau gerhana, khutbah setelahnya. Jika terburu-buru tanpa khutbah, tidak perlu diulang. Jika sibuk perang, lebih baik diwakilkan. Jika tidak hingga matahari tergelincir pada hari raya, tidak perlu diqadha. Jika tidak hingga gerhana selesai, tidak perlu diqadha. Jika tidak hingga masuk waktu Ashar pada Jumat, tidak perlu diqadha, shalat Zhar empat rakaat. (Imam Syafi’i berkata): Ini jika dalam ketakutan di kota yang shalat berjamaah, baik mukim atau musafir. Jika musafir tidak shalat Jumat, shalat Zhar dua rakaat, sedangkan penduduk kota sempurnakan. (Imam Syafi’i berkata): Jika kekeringan saat perang, tidak masalah meninggalkan istisqa. Jika dalam jumlah besar terhalang, tidak masalah beristisqa dan shalat istisqa seperti shalat wajib dalam khauf. Jika ketakutan hebat, tidak shalat istisqa karena bisa diakhirkan. Shalat hari raya dan gerhana karena tidak bisa diakhirkan. Jika ketakutan di luar kota di padang yang memendekkan shalat atau tidak, tidak shalat Jumat, tetapi Zhar. Demikian pula tidak mewajibkan shalat hari raya, tetapi jika dilakukan tidak makruh. Mereka boleh istisqa, tetapi tidak boleh meninggalkan shalat gerhana. Shalat gerhana boleh dilakukan saat safar, dan shalat hari raya tidak makruh karena boleh dilakukan sendiri. Demikian pula istisqa. Adapun Jumat tidak boleh karena mengubah kewajiban ke kewajiban lain kecuali di kota dengan jamaah.

[Imam Memimpin Shalat Khauf]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika imam batal dalam shalat khauf, sama seperti batal di shalat lain. Lebih baik tidak menggantikan. Jika batal di rakaat pertama atau setelahnya, …

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

Dia berdiri di akhir lalu membaca, sedangkan kelompok kedua tidak ikut bersamanya. Kelompok pertama telah menyelesaikan kewajiban shalat mereka, dan kelompok lainnya dipimpin oleh imam dari mereka atau shalat sendiri-sendiri. Jika dia mengangkat seseorang untuk memimpin shalat, maka itu cukup bagi mereka insya Allah Ta’ala.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam berhadats setelah shalat satu rakaat dan sedang berdiri membaca sambil menunggu kelompok di belakangnya selesai, maka orang yang diangkat berdiri seperti imam dan membaca dalam posisi berdiri. Ketika kelompok di belakangnya selesai dan kelompok berikutnya masuk, dia membaca Ummul Qur’an dan seukuran surat, lalu rukuk bersama mereka. Dalam shalat mereka, dia seperti imam pertama tanpa menyelisihi dalam hal apa pun jika dia mendapatkan rakaat pertama bersama imam pertama, lalu menunggu mereka sampai tasyahud, kemudian salam bersama mereka.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam yang diangkat karena hadats adalah muqim (tidak bepergian), sedangkan yang diangkat kemudian adalah musafir (bepergian), maka hukumnya sama. Dia wajib shalat seperti muqim jika ikut shalat bersama imam sebelum hadats. Jika imam yang diangkat adalah musafir, sedangkan orang yang diangkat adalah muqim dan imam yang hadats telah shalat satu rakaat, maka yang diangkat harus maju dan shalat satu rakaat, lalu duduk. Orang di belakangnya, baik musafir atau muqim, shalat dua rakaat, tasyahud, dan salam karena mereka telah mengikuti shalat muqim, sehingga wajib menyempurnakannya. Kemudian kelompok lainnya datang, dan dia shalat bersama mereka dua rakaat yang tersisa dari shalatnya, lalu mereka berdiri dan menyelesaikan dua rakaat untuk diri mereka sendiri, kemudian salam bersama mereka. Tidak ada yang lain yang cukup karena semuanya telah ikut shalat bersama imam muqim.

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang diangkat sebagai imam tidak ikut shalat bersama imam sampai imam berhadats dan mengangkatnya, dan jika imam yang hadats belum rukuk dalam shalatnya satu rakaat, sedangkan yang diangkat telah bertakbir bersamanya sebelum hadats, maka dia boleh maju. Jika dia maju, wajib membaca Ummul Qur’an dan menambahkan sesuatu yang disukai, lalu shalat bersama jamaah. Jika dia muqim, shalat empat rakaat; jika musafir, shalat dua rakaat karena dia memulai shalat bersama mereka. Jika imam yang mengangkatnya adalah muqim, maka musafir yang ikut shalat bersamanya sebelum hadats wajib shalat empat rakaat. Ini tidak berlaku bagi musafir yang tidak ikut shalat bersamanya sebelum hadats. Adapun muqim, mereka wajib shalat empat rakaat dalam semua kondisi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika imam yang hadats telah shalat satu rakaat, lalu mengangkat seseorang yang tidak ikut shalat bersamanya sama sekali, maka orang itu tidak boleh maju. Jika dia maju, wajib mengulang shalat. Jika dia mengulang, maka orang di belakang imam yang ikut shalat bersama imam sebelum keluar, baik sudah shalat satu rakaat atau belum, wajib mengulang bersama karena yang mendapatkan satu rakaat bersamanya menambah dalam shalat dengan sengaja, bukan lupa, dan imamnya juga tidak lupa. Adapun yang shalat bersamanya dari orang yang tidak ikut shalat bersama imam yang hadats, shalatnya cukup. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia melanjutkan shalat imam, maka shalatnya batal karena dia tidak ikut shalat bersama imam sehingga mengikutinya, dan bukan memulai shalat sendiri sehingga berbuat seperti orang yang memulai. Demikian juga shalat orang di belakangnya, semuanya batal karena dia sengaja mengubah shalatnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia bertakbir bersama imam sebelum imam hadats, dan imam telah shalat satu rakaat, maka dia melanjutkan shalat imam seolah-olah dia adalah imam, tanpa menyelisihi kecuali dalam hal yang akan aku sebutkan insya Allah Ta’ala, sampai tasyahud di akhir shalat imam. Yaitu, imam telah menyempurnakan satu rakaat dan tetap berdiri, lalu mengangkatnya. Dia tetap berdiri sampai kelompok pertama selesai dan salam, lalu kelompok lainnya datang, dan dia shalat bersama mereka satu rakaat yang…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Imam tetap berdiri, duduk, dan bertasyahud hingga kelompok lain selesai. Jika mereka telah menyelesaikan tasyahud, seorang dari mereka maju dan mengucapkan salam bersama mereka, lalu imam berdiri dan menyempurnakan shalatnya sendiri. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika imam hanya shalat satu rakaat lalu duduk tasyahud dan salam tanpa menunggu kelompok lain selesai, aku memakruhkannya, tetapi shalatnya dan shalat mereka tidak batal.

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika imam memulai shalat khauf lalu berhadats, lalu menunjuk seorang dari makmum untuk menggantikannya, namun sebelum menyelesaikan shalat muncul rasa aman (karena musuh berkurang atau musuh telah binasa), maka imam pengganti tersebut melanjutkan shalat dengan keadaan aman bersama makmum. Kelompok yang datang kemudian shalat bersama mereka karena keadaan khauf telah hilang. Jika mereka tidak melakukannya hingga shalat dengan imam lain atau shalat sendiri, mereka dianggap seperti orang yang tidak shalat berjamaah pertama karena uzur.

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika terjadi ketakutan pada hari Jumat, dan imam berkhutbah di depan satu kelompok sementara kelompok lain menjaga, lalu imam shalat satu rakaat dengan kelompok yang hadir khutbah dan tetap berdiri agar mereka menyempurnakan sendiri dengan bacaan jahr, kemudian mereka berjaga menghadapi musuh. Kelompok yang belum shalat datang dan shalat satu rakaat tersisa bersama imam, lalu imam duduk dan mereka menyempurnakan sendiri, kemudian imam salam bersama mereka. Jika kelompok yang hadir khutbah pergi setelah khutbah selesai untuk menjaga imam, lalu kelompok yang tidak hadir datang dan imam shalat bersama mereka, tidak sah kecuali sebagai shalat Zhuhur empat rakaat karena yang hadir khutbah telah pergi, sehingga statusnya seperti imam yang berkhutbah sendirian lalu didatangi jamaah sebelum shalat. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika tersisa 40 orang yang hadir khutbah lalu imam shalat bersama mereka dan kelompok penjaga satu rakaat, kemudian imam tetap berdiri dan mereka menyempurnakan sendiri, lalu datang kelompok yang hadir khutbah tetapi tidak ikut shalat hingga musuh dijaga, lalu imam shalat satu rakaat bersama mereka, shalatnya sah karena telah shalat dengan 40 orang yang hadir khutbah ditambah jamaah yang tidak hadir khutbah.

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika mereka sibuk melawan musuh sehingga tidak hadir khutbah dan tidak ada 40 orang yang ikut shalat, imam tidak boleh shalat Jumat tetapi wajib shalat Zhuhur empat rakaat—shalat khauf pertama jika memungkinkan atau shalat dalam keadaan khauf berat jika tidak memungkinkan.

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika tidak memungkinkan shalat Jumat lalu imam shalat Zhuhur empat rakaat, kemudian musuh dalam keadaan memungkinkan shalat Jumat, tidak wajib baginya atau makmum yang telah shalat untuk mengulangi shalat Jumat. Namun, bagi yang belum shalat dan berjumlah 40 orang, wajib menunjuk imam untuk shalat Jumat. Jika tidak dilakukan dan mereka shalat Zhuhur, aku memakruhkannya tetapi sah. (Berkata Asy-Syafi’i): Jika imam dan makmum mengulangi shalat Jumat dengan imam lain, aku tidak memakruhkannya. Jika imam mengulanginya sebagai imam dan makmum mengikutinya, aku tidak memakruhkannya bagi makmum tetapi memakruhkan bagi imam. Tidak ada kewajiban mengulang bagi yang telah shalat di belakangnya, baik yang telah shalat sebelumnya atau belum, selama shalat dilakukan dalam waktu Jumat.

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman dalam konteks bulan Ramadhan: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 185). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal, dan janganlah berbuka hingga melihatnya. Jika terhalang, sempurnakanlah hitungan menjadi 30 hari.” (Berkata Asy-Syafi’i): Jika orang-orang berpuasa sebulan…

Ramadan berdasarkan kesaksian dua saksi adil tentang terlihatnya hilal, lalu mereka berpuasa selama tiga puluh hari, kemudian hilal tertutup (tidak terlihat), maka mereka berbuka. Mereka tidak memerlukan saksi lagi.

(Dia berkata): Jika mereka berpuasa dua puluh sembilan hari, kemudian hilal tertutup, mereka tidak boleh berbuka sampai mereka menyempurnakan tiga puluh hari atau dua saksi adil bersaksi telah melihat hilal pada malam ketiga puluh.

(Imam Syafi’i berkata): Diterima kesaksian dua saksi adil dalam hal ini, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Tidak diterima kesaksian kurang dari dua saksi adil untuk berbuka puasa, juga tidak dalam memutuskan hak karena Allah Ta’ala memerintahkan dua saksi dan mensyaratkan keadilan pada saksi. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad dari Ishaq bin Abdullah dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia tidak menerima dalam hal berbuka puasa kecuali dengan dua saksi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua saksi bersaksi pada hari ketiga puluh bahwa hilal telah terlihat kemarin, maka orang-orang boleh berbuka kapan saja selama kedua saksi itu adil. Jika mereka adil sebelum zawal (matahari tergelincir), imam shalat Id bersama orang-orang. Jika mereka tidak dianggap adil sampai matahari tergelincir, mereka tidak wajib shalat pada hari itu setelah zawal, juga tidak pada keesokan harinya karena itu adalah amalan pada waktunya. Jika waktu itu berlalu, tidak dilakukan di waktu lain. Jika ada yang bertanya: “Mengapa siang hari tidak dianggap sebagai waktunya?” Dijawab: “Jika Allah menghendaki, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan shalat Id setelah matahari terbit dan menetapkan waktu-waktu shalat. Dalam ketetapannya terdapat petunjuk bahwa jika waktu suatu shalat tiba, maka waktu shalat sebelumnya telah berlalu. Tidak boleh waktu terakhir shalat Id kecuali sampai waktu Zhuhur karena itu adalah shalat yang dilakukan secara berjamaah. Seandainya ada riwayat yang valid bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengajak orang-orang shalat Id pada keesokan harinya, kami akan mengikutinya. Kami juga akan mengatakan: Jika beliau tidak mengajak mereka pada keesokan harinya, beliau akan mengajak mereka pada hari berikutnya. Kami juga akan mengatakan: Boleh shalat pada hari itu setelah zawal jika hilal terlihat pada waktu itu, lalu shalat. Ini diperbolehkan dalam semua keadaan ini. Namun, hal itu tidak valid menurut kami, dan Allah Ta’ala lebih tahu.”

Jika dua saksi atau lebih bersaksi tetapi tidak dikenal keadilannya atau dicela, mereka boleh berbuka. Namun, lebih baik mereka shalat Id sendiri-sendiri atau berjamaah secara tersembunyi. Aku melarang mereka shalat Id secara terang-terangan. Aku memerintahkan mereka shalat secara tersembunyi dan melarang mereka shalat terang-terangan agar tidak diingkari dan agar orang-orang yang suka memecah belah tidak berharap bisa memisahkan orang awam dari kaum Muslimin.

(Dia berkata): Demikian juga jika satu orang bersaksi tetapi tidak dianggap adil, dia tidak punya pilihan selain berbuka dan menyembunyikan bukanya agar tidak ada yang berprasangka buruk padanya. Dia shalat Id untuk dirinya sendiri, kemudian jika mau, dia bisa ikut shalat Id berjamaah sebagai nafilah, itu lebih baik baginya. Tidak diterima kesaksian wanita yang adil dalam hal ini, juga tidak kesaksian kurang dari dua saksi adil, baik mereka orang kota maupun badui.

(Dia berkata): Jika hilal tertutup bagi mereka, lalu datang dua saksi bahwa hilal Ramadhan terlihat pada sore Jumat siang setelah atau sebelum zawal, maka itu adalah hilal malam Sabtu karena hilal bisa terlihat siang hari dan itu adalah hilal malam yang akan datang, bukan malam sebelumnya. Tidak diterima kecuali jika terlihat pada malam tertentu. Adapun terlihatnya siang hari tidak menunjukkan bahwa hilal terlihat kemarin. Jika hilal tertutup bagi mereka, lalu mereka menyempurnakan hitungan tiga puluh hari, kemudian terbukti bagi mereka setelah siang hari berlalu di awal atau akhir malam bahwa mereka berpuasa pada hari Idul Fitri—entah karena hilal Ramadhan terlihat sebelum mereka melihatnya atau karena hilal Syawal terlihat pada malam ketiga puluh—maka mereka berbuka pada hari itu dan keluar untuk shalat Id keesokan harinya. Mereka berbeda dengan orang-orang yang mengetahui hari Id sebelum menyempurnakan puasa karena mereka baru mengetahuinya setelah menyempurnakan puasa, sehingga mereka tidak berbuka berdasarkan kesaksian orang-orang yang mengetahui hari Id saat mereka masih berpuasa. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdullah bin Atha’ bin Ibrahim, maula Shafiyyah binti Abdul Muthalib, menceritakan kepadaku dari Urwah bin Zubair dari Aisyah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Hari Idul Fitri adalah hari ketika kalian berbuka, dan hari Idul Adha adalah hari ketika kalian berkurban.” (Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada ini. Hamba hanya dibebani dengan yang zahir, dan tidak tampak menurut apa yang kujelaskan bahwa mereka berbuka kecuali pada hari kami berbuka.

(Dia berkata): Seandainya para saksi bersaksi kepada kami tentang sesuatu yang menunjukkan bahwa hari Id adalah hari Kamis, tetapi mereka tidak dianggap adil, maka kami menyempurnakan (puasa tiga puluh hari).

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Puasa itu lalu mereka meluruskan (kesaksian) pada malam Jumat atau hari Jumat. Kami tidak keluar untuk Id karena kami telah tahu bahwa hari berbuka adalah hari Kamis sebelum menyempurnakan puasanya. Kami menahan diri sampai kesaksian itu diluruskan. Ketika sudah lurus, ternyata hari berbuka adalah hari Kamis berdasarkan kesaksian mereka. (Imam Syafi’i) berkata: Seandainya mereka tidak meluruskan sampai tiba waktu shalat Id, kami akan melaksanakannya. Jika mereka meluruskan setelah itu, tidak masalah bagi kami. (Beliau) berkata: Jika mereka meluruskan dan ternyata kami mengurangi puasa Ramadhan satu hari karena hilal tidak terlihat atau kami berpuasa pada hari Id, maka kami harus mengqadha satu hari.

(Imam Syafi’i) berkata: Hari raya Idul Fitri adalah hari berbuka itu sendiri, dan hari raya kedua adalah Idul Adha itu sendiri, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, hari setelah hari Arafah.

(Beliau) berkata: Kesaksian tentang hilal Dzulhijjah untuk mengetahui hari Arafah, hari Id, dan hari-hari Mina, sama seperti aturan dalam Idul Fitri, tidak ada perbedaan. Diperbolehkan apa yang diperbolehkan dan ditolak apa yang ditolak. Haji sah jika wukuf di Arafah berdasarkan ru’yah (penglihatan hilal). Jika setelah wukuf di Arafah mereka tahu bahwa hari Arafah adalah hari Nahr (Idul Adha)… (diriwayatkan dari Atha’) seseorang berhaji tetapi salah menentukan hari Arafah, apakah hajinya sah? Dia menjawab: Ya, demi hidupku, itu sah. (Imam Syafi’i) berkata: Saya kira dia juga mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “Idul Fitrimu pada hari kalian berbuka, dan Idul Adhamu pada hari kalian berkurban.” Saya kira beliau juga mengatakan: “Dan Arafah pada hari kalian wukuf.”

[Ibadah Malam Hari Raya]

Diriwayatkan dari Abu Darda’: “Barangsiapa menghidupkan malam Id dengan ikhlas, hatinya tidak akan mati ketika hati-hati lain mati.” (Imam Syafi’i) berkata: Kami mendapat kabar bahwa doa dikabulkan pada lima malam: malam Jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama Rajab, dan malam Nishfu Sya’ban. Diriwayatkan bahwa para sesepuh terbaik Madinah biasa berkumpul di masjid Nabi SAW pada malam Id, berdoa dan berdzikir sampai larut malam. Kami juga mendapat kabar bahwa Ibnu Umar menghidupkan malam Jum’ah (malam Id), karena paginya adalah hari Nahr. (Imam Syafi’i) berkata: Saya menganjurkan semua amalan yang disebutkan pada malam-malam tersebut, meskipun bukan kewajiban.

[Takbir Malam Idul Fitri]

(Imam Syafi’i) berkata: Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah:185: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.” Aku mendengar dari ahli Quran yang terpercaya bahwa maksudnya adalah menyempurnakan hitungan puasa Ramadhan dan bertakbir saat menyelesaikannya sebagai bentuk syukur atas petunjuk-Nya. Penyempurnaan itu terjadi saat matahari terbenam di akhir Ramadhan. (Imam Syafi’i) berkata: Pendapat itu sangat tepat, wallahu a’lam. (Beliau) berkata: Ketika melihat hilal Syawal, aku suka jika orang-orang bertakbir, baik berjamaah maupun sendiri, di masjid, pasar, jalan, rumah, dalam perjalanan atau di rumah, dalam segala kondisi dan di mana saja. Mereka harus menampakkan takbir dan terus bertakbir sampai berangkat ke tempat shalat Id, bahkan setelah berangkat sampai imam datang untuk shalat, lalu berhenti. Aku juga menganjurkan hal serupa pada malam Idul Adha bagi yang tidak berhaji. Sedangkan bagi jamaah haji, dzikir mereka adalah talbiyah. Diriwayatkan bahwa Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Abu Salamah, dan Abu Bakar bin Abdurrahman biasa bertakbir dengan suara keras di masjid pada malam Idul Fitri.

Dengan takbir, telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah menceritakan kepadaku Shalih bin Muhammad bin Za’idah dari Urwah bin Az-Zubair dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa keduanya mengeraskan takbir ketika pergi ke tempat shalat. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah menceritakan kepadaku Yazid bin Al-Had bahwa ia mendengar Nafi’ bin Jubair mengeraskan takbir ketika pergi ke tempat shalat pada hari raya. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepadaku Ibnu Muhammad bin ‘Ajlan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia ketika pergi ke tempat shalat pada hari raya, bertakbir dan mengeraskan suaranya dengan takbir. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah menceritakan kepadaku Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia pergi ke tempat shalat pada hari Idul Fitri ketika matahari terbit, lalu bertakbir hingga sampai di tempat shalat pada hari raya, kemudian bertakbir di tempat shalat hingga jika imam duduk, ia berhenti bertakbir. 

[Mandi untuk Dua Hari Raya] 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa ia mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke tempat shalat. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad berkata, telah mengabarkan kepada kami Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mandi pada hari raya, hari Jumat, hari Arafah, dan ketika hendak berihram. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku menganjurkan semua ini, dan tidak ada yang lebih ditekankan dari mandi Jumat. Jika seseorang berwudhu, aku berharap itu cukup insya Allah Ta’ala, asalkan shalat dalam keadaan suci. 

(Asy-Syafi’i berkata): Tidak boleh bagi seseorang bertayamum di kota untuk shalat Id atau jenazah, meskipun khawatir ketinggalan. Ia harus dalam keadaan suci seperti suci untuk shalat wajib, karena keduanya adalah shalat. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah mengabarkan kepadaku Yazid bin Abi ‘Ubaid, maula Salamah, dari Salamah bin Al-Akwa’ bahwa ia mandi pada hari raya. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah mengabarkan kepada kami Shalih bin Muhammad bin Za’idah dari Urwah bin Az-Zubair berkata: Sunnahnya adalah mandi pada dua hari raya. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab bahwa ia berkata: Mandi pada dua hari raya adalah sunnah. 

(Asy-Syafi’i berkata): Pendapat Sa’id dan Urwah bahwa mandi pada dua hari raya adalah sunnah karena itu lebih baik, lebih dikenal, lebih bersih, dan telah dilakukan oleh orang-orang shaleh, bukan karena itu wajib sebagai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah mengabarkan kepadaku Al-Muththalib bin As-Saib dari Ibnu Abi Wada’ah dari Sa’id bin Al-Musayyab bahwa ia mandi pada dua hari raya ketika pergi ke tempat shalat.  

[Waktu Pergi ke Dua Hari Raya] 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim berkata, telah menceritakan kepadaku Abul Huwairits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada Amr bin Hazm saat berada di Najran: “Segeralah pergi pada hari Idul Adha, dan akhirkan pada Idul Fitri, serta ingatkan manusia.” 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, telah mengabarkan kepadaku seorang yang tsiqah bahwa Al-Hasan berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi pada dua hari raya, Idul Adha dan Idul Fitri, ketika matahari terbit dan sempurna terbitnya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Pergi pada Idul Adha sekitar waktu sampai di tempat shalat saat matahari mulai terbit. Ini waktu paling cepat yang diperkirakan. Sedangkan untuk Idul Fitri, perginya sedikit lebih lambat tapi tidak terlalu lama. 

(Asy-Syafi’i berkata): Imam dalam hal ini berbeda dengan keadaan orang banyak. Adapun orang banyak, lebih baik mereka berangkat lebih awal setelah selesai dari…

Terjemahan ke Bahasa Indonesia:

Tentang Pergi ke Tempat Shalat Id

Di pagi hari, mereka pergi untuk mengambil tempat duduk mereka dan menunggu shalat agar mereka tetap dalam pahala shalat itu, insya Allah, selama mereka menunggu. Adapun imam, jika ia pergi di pagi hari, ia tidak menghadap kecuali ke tempat shalat, lalu shalat. Sebagian orang pergi setelah shalat Subuh, sebagian lain setelah itu, dan semuanya baik. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam pergi saat shalat Subuh dan shalat Id setelah matahari terbit, tidak perlu mengulang. Namun, jika shalat sebelum matahari terbit, ia harus mengulang karena shalat sebelum waktu Id.

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari ‘Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa ia pergi ke tempat shalat Idul Fitri setelah matahari terbit. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari Abdullah bin Abi Bakr, bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis kepada anaknya, seorang petugas di Madinah: “Jika matahari terbit pada hari Id, pergilah ke tempat shalat.” Semua ini luas (boleh). 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Ibnu Nistas bahwa ia melihat Ibnu Al-Musayyab pada hari Idul Adha memakai burdah ungu dan sorban hitam, pergi ke masjid untuk shalat Id setelah shalat Subuh saat matahari telah terbit. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Ibnu Harmalah bahwa ia melihat Sa’id bin Al-Musayyab pergi ke tempat shalat Id setelah shalat Subuh. 

(Imam Syafi’i berkata): Semua ini luas selama sampai pada waktu shalat. Namun, yang lebih aku sukai adalah bersantai untuk mendapatkan tempat duduk. 

Makan Sebelum Shalat Idul Fitri 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim bin Sa’d, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Al-Musayyab bahwa kaum Muslimin makan pada hari Idul Fitri sebelum shalat, tetapi tidak melakukannya pada hari Idul Adha. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik bin Anas, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa ia makan sebelum pergi shalat Idul Fitri. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Al-Musayyab bahwa orang-orang diperintahkan untuk makan sebelum pergi shalat Idul Fitri. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa ia memerintahkan untuk makan sebelum pergi ke tempat shalat Idul Fitri. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari Shafwan bin Sulaim bahwa Nabi ﷺ makan sebelum pergi ke tanah lapang pada Idul Fitri dan memerintahkannya. 

(Imam Syafi’i berkata): Kami memerintahkan siapa saja yang pergi ke tempat shalat untuk makan dan minum sebelum berangkat. Jika tidak dilakukan, kami perintahkan di jalan atau di tempat shalat jika memungkinkan. Jika tidak dilakukan, tidak ada dosa, tetapi makruh jika tidak dilakukan. Kami tidak memerintahkannya pada Idul Adha, namun jika makan pada Idul Adha, tidak mengapa. 

Berhias untuk Hari Raya 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari Ja’far, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi ﷺ memakai burdah hibarah (kain bergaris) pada setiap hari raya. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Ibrahim, dari Ja’far bahwa Nabi ﷺ memakai sorban pada setiap hari raya. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku suka jika seseorang memakai pakaian terbaik yang ia miliki pada hari raya, Jumat, dan pertemuan orang banyak, serta membersihkan diri dan memakai wewangian. Namun, pada shalat Istisqa’, aku lebih suka jika ia bersih tetapi sederhana. Aku menyukai sorban bagi imam, baik dalam cuaca dingin maupun panas. Aku juga menyukai jika orang-orang menjaga kebersihan, memakai wewangian, dan pakaian terbaik yang mereka mampu, meski anjuran memakai sorban tidak sekuat bagi imam.

Sebagaimana sunnah bagi imam, dan bagi siapa saja dari mereka yang menghadiri shalat-shalat ini dalam keadaan suci, maka shalatnya sah, baik laki-laki maupun perempuan yang memakai pakaian yang diperbolehkan untuk shalat, maka itu sudah mencukupi. 

(Dia berkata): Dan aku menyukai jika perempuan yang hadir pada hari raya dan shalat-shalat tersebut datang dalam keadaan bersih (dengan air), tidak memakai wewangian, tidak memakai pakaian yang mencolok atau perhiasan, dan hendaknya mereka memakai pakaian sederhana, baik putih maupun lainnya. Aku tidak menyukai bagi mereka untuk memakai pewarna sama sekali, karena itu menyerupai perhiasan dan ketenaran, atau keduanya. 

(Imam Syafi’i berkata): Dan anak-anak kecil hendaknya memakai pakaian terbaik yang mereka mampu, baik laki-laki maupun perempuan, serta boleh memakai perhiasan dan pewarna. Jika seorang perempuan yang haid menghadirinya, dia tidak shalat tetapi berdoa, dan aku tidak memakruhkannya. Namun, aku memakruhkan baginya untuk hadir selain dalam keadaan haid kecuali dalam keadaan suci untuk shalat, karena dia tidak bisa bersuci. Aku juga memakruhkan kehadirannya kecuali dalam keadaan suci jika air dapat menyucikannya. 

[Berkendara Menuju Shalat Id] 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: Telah sampai kepada kami bahwa Az-Zuhri berkata, “Rasulullah ﷺ tidak pernah berkendara menuju shalat Id atau jenazah sama sekali.” (Imam Syafi’i berkata): Dan aku lebih suka jika tidak berkendara menuju shalat Id atau jenazah, kecuali jika seseorang – laki-laki atau perempuan – lemah untuk berjalan, maka tidak mengapa baginya untuk berkendara. Jika dia berkendara tanpa uzur, tidak ada dosa baginya. Ar-Rabi’ berkata: Ini menurut kami berlaku ketika pergi menuju shalat Id dan jenazah, tetapi ketika pulang dari keduanya, tidak mengapa. 

[Datang dari Jalan yang Berbeda saat Shalat Id] 

Datang dari jalan yang berbeda saat pergi shalat Id. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i berkata, dan telah sampai kepada kami bahwa “Rasulullah ﷺ biasa pergi shalat Id dari satu jalan dan pulang melalui jalan lain.” Maka hal itu disukai bagi imam dan masyarakat umum. Jika mereka pergi dan pulang melalui jalan yang sama, tidak ada dosa bagi mereka, insya Allah. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Khalid bin Rabah menceritakan kepadaku dari Al-Muththalib bin Abdullah bin Hanthab bahwa “Nabi ﷺ biasa pergi pada hari raya ke tempat shalat melalui jalan utama, dan ketika pulang, beliau mengambil jalan lain melewati rumah Ammar bin Yasir.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Mu’adz bin Abdurrahman At-Taimi menceritakan kepadaku dari ayahnya dari kakeknya bahwa dia melihat Nabi ﷺ pulang dari tempat shalat pada hari raya melalui jalan para penjual kurma di bawah pasar. Ketika sampai di masjid Al-A’raj – yang berada di dekat tempat mata air di pasar – beliau berhenti, menghadap ke arah jalan Bani Aslam, lalu berdoa, kemudian pergi. 

(Imam Syafi’i berkata): Maka aku menyukai jika imam melakukan seperti ini, yaitu berhenti di suatu tempat dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla sambil menghadap kiblat. Jika tidak melakukannya, tidak ada kafarat atau kewajiban mengulang baginya. 

[Keluarnya Orang-Orang Menuju Shalat Id] 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: Telah sampai kepada kami bahwa “Rasulullah ﷺ biasa keluar menuju tanah lapang di Madinah untuk shalat dua hari raya.” Demikian pula orang-orang setelah beliau dan kebanyakan penduduk negeri, kecuali penduduk Makkah. Karena tidak sampai kepada kami bahwa seorang pun dari salaf shalat Id bersama mereka kecuali di masjid mereka. 

(Imam Syafi’i berkata): Dan aku menduga – dan Allah lebih tahu – bahwa karena Masjidil Haram adalah tempat terbaik di muka bumi, maka mereka tidak suka jika ada shalat selain di dalamnya selama memungkinkan. 

(Dia berkata): Aku mengatakan ini karena…

Dahulu, mereka tidak memiliki kelapangan di sekitar rumah-rumah di Mekah yang cukup luas, dan aku tidak mengetahui mereka pernah shalat Id sama sekali, atau shalat Istisqa kecuali di tempat itu.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika suatu kota telah berkembang dan masjid penduduknya dapat menampung mereka pada hari raya, aku tidak melihat mereka keluar darinya. Jika mereka keluar, itu tidak mengapa. Namun jika masjid tidak dapat menampung mereka dan imam shalat bersama mereka di dalamnya, aku tidak menyukai hal itu, tetapi mereka tidak perlu mengulangi shalat.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada uzur seperti hujan atau lainnya, aku memerintahkan agar shalat dilakukan di masjid dan tidak perlu keluar ke tanah lapang. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku dari seorang laki-laki bahwa Aban bin Utsman pernah shalat bersama orang-orang di Masjid Nabi ﷺ pada hari Idul Fitri ketika hujan turun. Kemudian ia berkata kepada Abdullah bin Amir: “Sampaikan kepada mereka,” lalu Abdullah menceritakan tentang Umar bin Khattab. Abdullah berkata: “Umar bin Khattab pernah shalat bersama orang-orang di masjid pada hari Idul Fitri ketika hujan.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Shalih bin Muhammad bin Za’idah menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Khattab pernah shalat bersama orang-orang di Masjid Nabi ﷺ pada hari hujan.

[Shalat Sebelum dan Sesudah Id] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Adi bin Tsabit dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah ﷺ shalat dua hari raya di tanah lapang, dan beliau tidak shalat sebelum atau sesudahnya. Kemudian beliau berpaling ke arah wanita dan berkhutbah sambil berdiri, lalu memerintahkan untuk bersedekah. Maka para wanita pun bersedekah dengan anting-anting dan semisalnya.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Amr bin Abi Amr menceritakan kepadaku dari Ibnu Umar bahwa ia pernah pergi bersama Nabi ﷺ ke tanah lapang pada hari raya, kemudian pulang ke rumahnya tanpa shalat sebelum atau sesudah Id. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i berkata: Demikianlah yang aku sukai bagi imam, sesuai hadis dari Nabi ﷺ dan perintah yang diberikan kepada kami, yaitu pergi dari rumah sebelum tiba waktu shalat sunnah. Kami memerintahkannya jika telah tiba di tanah lapang untuk memulai dengan shalat Id, dan jika telah berkhutbah, hendaknya ia segera pulang. 

(Asy-Syafi’i berkata): Adapun makmum, ia berbeda dengan imam, karena kami memerintahkan makmum untuk shalat sunnah sebelum dan sesudah Jumat, sedangkan imam kami perintahkan untuk memulai dengan khutbah lalu shalat Jumat tanpa shalat sunnah. Kami lebih suka ia pulang agar shalat sunnahnya dilakukan di rumah, karena makmum berbeda dengan imam. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak melihat masalah jika makmum shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat Id, baik di rumah, masjid, perjalanan, tanah lapang, atau di mana pun ia bisa shalat sunnah setelah matahari terbit. Sebagian orang shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Id, sebagian lain hanya sebelum, sebagian hanya sesudah, dan sebagian meninggalkan shalat sunnah sama sekali sebelum dan sesudahnya. Ini seperti kebiasaan sehari-hari; terkadang mereka shalat sunnah, terkadang tidak, kadang sedikit, kadang banyak, kadang sebelum shalat wajib, kadang sesudah, atau hanya salah satunya, atau meninggalkan keduanya. Semua ini boleh, tetapi memperbanyak shalat dalam segala keadaan lebih kami sukai. 

(Asy-Syafi’i berkata): Semua shalat sunnah lebih aku sukai dilakukan di rumah kecuali pada hari Jumat. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sa’d bin Ishaq menceritakan kepadaku dari Abdul Malik bin Ka’b bahwa Ka’b bin ‘Ujrah tidak pernah shalat sebelum atau sesudah Id. 

(Asy-Syafi’i berkata): Ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud atau Abu Mas’ud, Hudzaifah, Jabir, Ibnu Abi Aufa, Syuraih, Ibnu Ma’qil, dan diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d serta Rafi’ bin Khadij bahwa keduanya shalat sebelum dan sesudah Id. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah dari ayahnya, ia berkata: “Pada masa Nabi ﷺ, kami tidak shalat di masjid pada hari Idul Fitri atau Idul Adha sampai kami tiba di tanah lapang. Jika kami pulang, kami melewati masjid dan shalat di dalamnya.”

[Barangsiapa yang mengatakan tidak ada azan untuk dua hari raya] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya dari Az-Zuhri bahwa dia berkata: “Tidak pernah dikumandangkan azan untuk Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, maupun Utsman pada dua hari raya hingga Muawiyah memperkenalkannya di Syam. Kemudian Al-Hajjaj memperkenalkannya di Madinah ketika dia diangkat sebagai pemimpin di sana.” Az-Zuhri juga berkata: “Nabi ﷺ memerintahkan muazin pada dua hari raya untuk mengucapkan: ‘Ash-shalatu jami’ah’ (Marilah shalat berjamaah).” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Tidak ada azan kecuali untuk shalat wajib. Kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ mengumandangkan azan kecuali untuk shalat wajib. Aku lebih suka jika imam memerintahkan muazin untuk mengucapkan pada hari raya dan shalat yang dikumpulkan orang untuknya: ‘Ash-shalatu jami’ah’ atau ‘Inna ash-shalata.’ Jika dia mengucapkan: ‘Halumma ila ash-shalati’ (Marilah menuju shalat), kami tidak membencinya. Jika dia mengucapkan: ‘Hayya ‘ala ash-shalati’ (Mari menunaikan shalat), itu juga tidak mengapa, meskipun aku lebih suka menghindari kalimat itu karena termasuk ucapan azan. Aku lebih suka menghindari semua ucapan azan. Jika ada yang mengumandangkan azan atau qamat untuk hari raya, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulanginya.” 

[Memulai dengan shalat sebelum khutbah] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan dari Ayyub As-Sakhtiyani, dia berkata: Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabah berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ shalat sebelum khutbah pada hari raya, kemudian beliau berkhutbah. Beliau melihat bahwa wanita-wanita tidak mendengar, maka beliau mendatangi mereka, mengingatkan, memberi nasihat, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Bilal bersama beliau mengumpulkan sedekah dengan bajunya, lalu para wanita melemparkan perhiasan dan lainnya.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Amr bin ‘Abdul ‘Aziz dari Salim bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Umar: “Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar shalat pada dua hari raya sebelum khutbah.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim, dia berkata: Diriwayatkan oleh ‘Umar bin Nafi’ dari ayahnya dari Ibnu ‘Umar: “Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman shalat pada dua hari raya sebelum khutbah.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim, dia berkata: Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh bahwa Abu Sa’id berkata: “Marwan mengutus seseorang kepadaku, lalu kami berjalan hingga sampai ke tempat shalat. Ketika dia hendak naik mimbar, aku menariknya dan berkata: ‘Wahai Abu Sa’id, engkau meninggalkan apa yang engkau ketahui.’ Abu Sa’id berkata: ‘Aku berteriak tiga kali dan berkata: Demi Allah, kalian hanya membawa keburukan darinya.'” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim, dia berkata: Diriwayatkan oleh Dawud bin Al-Hushain dari ‘Abdullah bin Yazid Al-Khathmi: “Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai dengan shalat sebelum khutbah hingga Muawiyah datang dan mendahulukan khutbah.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim, dia berkata: Diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah bin Sa’d bahwa Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Nabi ﷺ shalat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha sebelum khutbah.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim dari Wahb bin Kaisan, dia berkata: “Aku melihat Ibnu Zubair memulai dengan shalat sebelum khutbah, lalu dia berkata: ‘Semua sunnah Rasulullah ﷺ telah diubah, bahkan shalat.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Inilah yang kami pegang, dan di dalamnya terdapat petunjuk bahwa tidak mengapa imam berkhutbah sambil berdiri di tanah. Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dari Nabi ﷺ. Tidak mengapa imam berkhutbah di atas kendaraannya.” 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim, dia berkata: Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin: “Nabi ﷺ berkhutbah di atas kendaraannya setelah selesai shalat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Tidak mengapa berkhutbah.”

Di atas mimbar, diketahui bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkhutbah di atas mimbar pada hari Jumat. Sebelumnya, beliau berkhutbah dengan berdiri di dekat batang pohon. Di antaranya juga disebutkan bahwa tidak mengapa seorang laki-laki berkhutbah kepada para lelaki. Jika dia melihat bahwa para wanita atau sekelompok lelaki tidak mendengar khutbahnya, aku tidak melihat masalah jika dia mendatangi mereka dan menyampaikan khutbah ringan agar mereka mendengarnya. Hal ini tidak wajib karena tidak diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kecuali sekali saja, padahal beliau telah menyampaikan banyak khutbah. Ini menunjukkan bahwa hal itu kadang dilakukan dan kadang ditinggalkan, dan lebih sering ditinggalkan. 

(Dia berkata): Imam tidak boleh berkhutbah pada hari raya kecuali dengan berdiri, karena khutbah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – selalu dilakukan dengan berdiri, kecuali jika ada uzur, maka boleh berkhutbah sambil duduk, sebagaimana boleh shalat sambil duduk karena uzur. 

(Dia berkata): Pada hari raya, dimulai dengan shalat sebelum khutbah. Jika memulai dengan khutbah sebelum shalat, aku berpendapat agar mengulang khutbah setelah shalat. Jika tidak dilakukan, tidak wajib mengulang shalat atau membayar kafarat, sebagaimana jika seseorang shalat tanpa berkhutbah, tidak wajib mengulang khutbah atau shalat. Khutbah dilakukan dua kali dengan duduk di antaranya, seperti yang dilakukan pada shalat Jumat. 

[Takbir dalam Shalat Hari Raya] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, Abu Bakar, dan Umar bertakbir pada shalat dua hari raya dan shalat istisqa’ tujuh kali dan lima kali, serta shalat sebelum khutbah dan mengeraskan bacaan. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Ja’far dari ayahnya dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – bahwa dia bertakbir pada shalat dua hari raya dan istisqa’ tujuh kali dan lima kali serta mengeraskan bacaan. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ishaq bin Abdullah menceritakan kepadaku dari Utsman bin Urwah dari ayahnya bahwa Abu Ayyub dan Zaid bin Tsabit memerintahkan Marwan untuk bertakbir dalam shalat hari raya tujuh kali dan lima kali. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’, mantan budak Ibnu Umar, dia berkata: Aku menyaksikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Abu Hurairah, lalu dia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah), dan pada rakaat terakhir lima kali sebelum membaca (Al-Fatihah). 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika imam memulai shalat dua hari raya, dia bertakbir untuk masuk ke dalam shalat, kemudian membaca iftitah seperti dalam shalat wajib, mengucapkan: “Wajjahtu wajhi…” dan seterusnya, lalu bertakbir tujuh kali (tidak termasuk takbiratul ihram), kemudian membaca (Al-Fatihah dan surah), lalu rukuk dan sujud. Ketika bangkit ke rakaat kedua, dia bangkit dengan takbir berdiri, kemudian bertakbir lima kali (selain takbir berdiri), lalu membaca (Al-Fatihah dan surah), rukuk, dan sujud seperti yang telah kujelaskan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas. 

(Asy-Syafi’i berkata): Semua hadits menunjukkan hal ini karena mereka hanya menyebutkan takbir tambahan dalam shalat hari raya yang tidak ada dalam shalat lainnya. Sebagaimana mereka tidak memasukkan takbir berdiri pada rakaat kedua ke dalam lima takbir, demikian pula kemungkinan mereka tidak memasukkan takbiratul ihram ke dalam tujuh takbir pada rakaat pertama. Bahkan, lebih utama tidak memasukkannya karena shalat tidak dimulai kecuali dengannya, kemudian mengucapkan: “Wajjahtu wajhi…”. Jika takbir berdiri ditinggalkan, shalatnya tidak batal. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika memulai shalat, kemudian memulai dengan takbir pertama dari tujuh takbir setelah iftitah shalat, lalu bertakbir, kemudian berhenti sejenak antara takbir pertama dan kedua (sekadar membaca satu ayat, tidak terlalu panjang atau pendek), lalu bertahlil, bertakbir, dan memuji Allah, kemudian melakukan hal ini di antara setiap dua takbir dari tujuh dan lima takbir, lalu membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan surah. Jika dia menyambung beberapa takbir tanpa diselingi dzikir, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang atau sujud sahwi. 

(Dia berkata): Jika lupa takbir atau sebagiannya hingga mulai membaca (Al-Fatihah), lalu menghentikan bacaan, bertakbir, kemudian kembali membaca, shalatnya tidak batal. Aku tidak memerintahkannya untuk menghentikan bacaan jika sudah memulainya.

Dan jika dia telah selesai darinya, tidak disunnahkan untuk bertakbir. Aku memerintahkannya untuk bertakbir pada rakaat kedua seperti takbirnya (pada rakaat pertama), dan tidak menambah lebih dari itu karena itu merupakan dzikir di tempat tertentu. Jika tempat itu telah berlalu, tidak ada kewajiban mengqadha bagi yang meninggalkannya di tempat lain, sebagaimana aku tidak memerintahkannya untuk bertasbih dalam keadaan berdiri jika dia meninggalkan tasbih saat ruku’ atau sujud.

(Dia berkata): Jika dia meninggalkan tujuh atau lima takbir dengan sengaja atau lupa, tidak ada kewajiban mengulang shalat, juga tidak ada sujud sahwi karena itu adalah dzikir yang tidak membatalkan shalat jika ditinggalkan, dan itu bukan amalan yang mewajibkan sujud sahwi.

(Dia berkata): Jika dia meninggalkan takbir kemudian ingat lalu bertakbir, aku lebih suka jika dia kembali ke bacaan kedua. Jika tidak melakukannya, tidak wajib baginya untuk kembali, dan shalatnya tidak batal.

(Dia berkata): Jika dia mengurangi sesuatu dari takbir yang aku perintahkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang atau sujud sahwi kecuali jika dia ingat takbir sebelum membaca, maka dia bertakbir untuk yang dia tinggalkan.

(Dia berkata): Jika dia menambah sesuatu dari takbir yang aku perintahkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang atau sujud sahwi karena itu adalah dzikir yang tidak membatalkan shalat. Namun, aku lebih suka jika dia menempatkan setiap sesuatu pada tempatnya.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia yakin bahwa dia telah bertakbir tujuh kali atau lebih atau kurang pada rakaat pertama, tetapi ragu apakah dia berniat salah satunya sebagai takbiratul ihram, shalatnya tidak sah. Ketika dia ragu, dia harus memulai dengan niat takbiratul ihram pada tempatnya, kemudian memulai pembukaan, takbir, dan bacaan. Tidak sah sampai dia berada dalam keadaan seperti orang yang memulai shalat dalam keadaan tersebut.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia yakin bahwa dia telah bertakbir tujuh kali atau lebih atau kurang, dan dia berniat salah satunya sebagai takbiratul ihram tetapi tidak tahu apakah itu yang pertama, kedua, atau terakhir dari takbirnya, maka dia memulai shalat itu dengan mengucapkan “Wajjahtu wajhiya” dan seterusnya, karena dia yakin telah bertakbir untuk ihram, lalu memulai tujuh takbir setelah ihram, kemudian membaca. Jika dia yakin telah bertakbir untuk ihram di tengah-tengah takbirnya, kemudian bertakbir setelah ihram tetapi tidak tahu apakah satu atau lebih, dia melanjutkan berdasarkan keyakinannya dari takbir setelah ihram sampai menyempurnakan tujuh takbir.

(Dia berkata): Jika dia bertakbir untuk memulai shalat, kemudian meninggalkan istiftah sampai bertakbir untuk shalat Id, lalu ingat istiftah, tidak wajib baginya untuk beristiftah. Jika dia melakukannya, aku lebih suka dia mengulang tujuh takbir untuk Id agar setiap takbir dilakukan setelah istiftah. Jika tidak melakukannya, tidak ada kewajiban mengulang atau sujud sahwi.

[Mengangkat Tangan pada Takbir Shalat Id]

(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat, saat ingin ruku’, dan saat mengangkat kepala dari ruku’, tetapi tidak mengangkatnya saat sujud.” Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengangkat tangan pada setiap dzikir takbir dan ucapan “Sami’allahu liman hamidah”, dan saat berdzikir kepada Allah -azza wa jalla- dengan mengangkat tangan dalam keadaan berdiri atau mengangkat hingga berdiri tanpa sujud, maka tidak boleh dikatakan kecuali bahwa orang yang bertakbir pada shalat Id mengangkat tangannya pada setiap takbir yang dilakukan dalam keadaan berdiri, yaitu takbiratul ihram, tujuh takbir setelahnya, dan lima takbir pada rakaat kedua. Dia juga mengangkat tangan saat mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” karena itulah tempat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengangkat tangan dalam shalat. Jika dia meninggalkan semua itu dengan sengaja atau lupa, atau sebagiannya, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang takbir atau sujud sahwi.

(Dia berkata): Demikian juga, dia mengangkat tangan saat bertakbir untuk jenazah pada setiap takbir, dan saat bertakbir untuk sujud syukur atau sujud tilawah, baik dalam keadaan berdiri atau duduk, karena dia memulai dengan takbir, sehingga dia berada dalam posisi berdiri. Demikian juga jika shalat sunnah atau shalat apa pun yang dilakukan sambil duduk, dia mengangkat tangan karena dia berada dalam posisi berdiri.

[Bacaan pada Shalat Id]

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini dari ayahnya.

Dari Ubaidullah bin Abdullah, “Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Abu Waqid Al-Laitsi, ‘Apa yang biasanya dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Idul Adha dan Idul Fitri?’ Ia menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca Surah Qaaf wal-Qur’anil Majid (Surah Qaaf: 1) dan Iqtarabatis-sa’atu wansyaqal-qamar (Surah Al-Qamar: 1).'” (Asy-Syafi’i berkata), “Aku suka jika pada kedua salat Id, pada rakaat pertama dibaca Surah Qaaf (Qaaf: 1) dan pada rakaat kedua dibaca Iqtarabatis-sa’ah (Al-Qamar: 1). Begitu pula pada salat Istisqa, aku suka jika dibaca demikian. Namun jika pada rakaat kedua salat Istisqa dibaca Inna arsalna Nuhan (Nuh: 1), aku juga menyukainya.”

(Asy-Syafi’i berkata), “Jika seseorang membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) di setiap rakaat seperti yang kusebutkan, maka cukup baginya membaca surah lain bersamanya atau hanya membaca Al-Fatihah saja, itu sudah mencukupi insya Allah. Tidak cukup jika tidak membacanya.”

(Asy-Syafi’i berkata), “Hendaknya mengeraskan bacaan dalam salat Idain (dua hari raya) dan Istisqa. Jika dilirihkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulanginya. Begitu pula jika dikeraskan pada tempat yang seharusnya dilirihkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulanginya.”

[Amalan Setelah Bacaan dalam Salat Idain]

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata), “Rukuk, sujud, dan tasyahud dalam salat Idain sama seperti salat-salat lainnya, tidak berbeda. Tidak ada qunut dalam salat Idain maupun Istisqa. Jika qunut dilakukan karena musibah, aku tidak membencinya. Tetapi jika qunut dilakukan tanpa musibah, aku tidak menyukainya.”

[Khutbah dengan Berpegangan pada Tongkat]

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata), “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika berkhutbah, beliau bersandar pada tongkat.” Juga dikatakan bahwa beliau berkhutbah sambil bersandar pada tombak pendek atau busur. Semua itu adalah bentuk bersandar. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Laits dari ‘Atha’, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika berkhutbah, beliau bersandar pada tombak pendeknya.” (Asy-Syafi’i berkata), “Aku suka jika setiap orang yang berkhutbah, apa pun khutbahnya, bersandar pada sesuatu. Jika tidak bersandar, aku suka jika ia menenangkan kedua tangannya dan seluruh tubuhnya, tidak bermain-main dengan tangannya—bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri atau membiarkannya tenang. Jika tidak meletakkan salah satunya di atas yang lain, atau meninggalkan apa yang kusukai, atau bermain-main dengan tangannya, atau meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulanginya.”

[Pemisah Antara Dua Khutbah]

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah menceritakan kepadaku dari Ibrahim bin Abdullah dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, ia berkata, “Sunnahnya, imam berkhutbah pada dua hari raya dengan dua khutbah yang dipisah dengan duduk.” (Asy-Syafi’i berkata), “Begitu pula khutbah Istisqa, khutbah gerhana, dan khutbah haji—semua khutbah yang dilakukan secara berjamaah.” (Asy-Syafi’i berkata), “Imam memulai semua ini ketika telah tampak di atas mimbar, lalu mengucapkan salam, dan orang-orang menjawabnya. Ini diriwayatkan secara marfu’. Kemudian ia duduk di mimbar sebentar, seperti duduknya imam pada hari Jumat saat azan. Lalu ia berdiri dan berkhutbah. Setelah khutbah pertama, ia duduk lagi sebentar, lebih singkat atau sama, lalu berdiri dan berkhutbah lagi, kemudian turun.” (Asy-Syafi’i berkata), “Semua khutbah sama dalam hal yang kusebutkan dan dalam hal tidak meninggalkan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam—demi ayah dan ibuku.”

Ini adalah terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

“Ucapannya adalah awal dan akhir perkataannya.

(Dia berkata): Imam boleh berkhutbah di atas mimbar, di atas bangunan, di atas tanah yang tinggi, di atas tanah, atau di atas kendaraannya. Semua itu diperbolehkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkhutbah di luar hari Jumat dengan satu khutbah dan meninggalkan khutbah atau sebagian dari apa yang diperintahkan dalam khutbah tersebut, maka tidak ada kewajiban mengulang, meskipun itu perbuatan yang tidak baik. Khutbah Jumat berbeda dengan ini. Jika khutbah Jumat ditinggalkan, maka shalat diganti dengan shalat Zhuhur empat rakaat, karena shalat Jumat dianggap sah dengan khutbah. Jika tidak ada khutbah, maka shalat Zhuhur dilakukan. Selain shalat Jumat, tidak ada kewajiban yang berubah menjadi kewajiban lain.

[Takbir dalam Khutbah pada Dua Hari Raya]

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah dari Ibrahim bin Abdullah dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, dia berkata: Sunnah dalam takbir pada hari Idul Adha dan Idul Fitri di atas mimbar sebelum khutbah adalah imam memulai sebelum berkhutbah, berdiri di atas mimbar dengan sembilan takbir berturut-turut tanpa diselingi ucapan apapun, kemudian berkhutbah, lalu duduk sebentar, kemudian berdiri untuk khutbah kedua dan memulainya dengan tujuh takbir berturut-turut tanpa diselingi ucapan apapun, kemudian berkhutbah. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ismail bin Umayah mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar takbir pada khutbah pertama sebanyak sembilan kali dan pada khutbah terakhir sebanyak tujuh kali. (Asy-Syafi’i berkata): Kami mengikuti pendapat Ubaidullah bin Abdullah, sehingga kami memerintahkan imam ketika berdiri untuk khutbah pertama agar bertakbir sembilan kali berturut-turut tanpa diselingi ucapan apapun. Ketika berdiri untuk khutbah kedua, hendaknya bertakbir tujuh kali berturut-turut tanpa diselingi ucapan apapun, mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar” hingga genap tujuh kali. Jika dia menyelipkan pujian dan tahlil di antara takbir, itu baik, asalkan tidak mengurangi jumlah takbir. Dia juga memisahkan antara dua khutbahnya dengan takbir. (Asy-Syafi’i berkata): Seorang yang terpercaya dari penduduk Madinah mengabarkan kepadaku bahwa dia memiliki catatan dari Abu Hurairah tentang imam bertakbir dalam khutbah pertama pada hari Idul Fitri dan Idul Adha sebanyak satu atau lima puluh tiga kali di sela-sela khutbah di antara pembicaraan. (Asy-Syafi’i berkata): Seorang yang aku percayai dari kalangan ulama Madinah mengabarkan kepadaku, dia berkata: Aku mendengar Umar bin Abdul Aziz, ketika menjadi khalifah pada hari Idul Fitri, naik ke mimbar, lalu mengucapkan salam, kemudian duduk, kemudian berkata: “Syi’ar hari ini adalah takbir dan tahmid,” kemudian bertakbir berulang kali, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd,” kemudian membaca syahadat untuk khutbah, lalu memisahkan syahadat dengan takbir.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang meninggalkan takbir atau salam di atas mimbar atau sebagian dari apa yang diperintahkan, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang dalam hal ini selama bukan khutbah Jumat.

[Mendengarkan Khutbah pada Dua Hari Raya]

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Aku menyukai bagi siapa saja yang hadir dalam khutbah Id, istisqa’, haji, atau gerhana untuk diam dan mendengarkan. Aku juga menyukai agar tidak ada yang pergi sebelum mendengarkan khutbah. Jika seseorang berbicara, tidak mendengarkan, atau pergi, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban mengulang atau kafarat. Ini tidak seperti khutbah Jumat karena shalat Jumat adalah kewajiban.

(Dia berkata): Demikian juga, aku menyukai agar orang-orang miskin yang hadir mendengarkan khutbah dan menahan diri dari meminta-minta hingga imam selesai berkhutbah. Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Yazid bin Abdullah bin Al-Had menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz membiarkan orang-orang miskin berkeliling meminta-minta di tempat shalat pada khutbah pertama hari Idul Adha dan Idul Fitri. Ketika dia berkhutbah untuk khutbah terakhir, dia memerintahkan mereka untuk duduk. (Asy-Syafi’i berkata): Sama saja, khutbah pertama atau terakhir, aku tidak menyukai mereka meminta-minta. Jika mereka melakukannya, maka tidak apa-apa.”

Tidak ada kewajiban bagi mereka kecuali meninggalkan kelebihan dalam mendengarkan.

[Pertemuan Dua Hari Raya]

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin ‘Uqbah dari Umar bin Abdul Aziz, dia berkata: “Dua hari raya bertepatan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: ‘Barangsiapa dari penduduk ‘Aliyah (pinggiran kota) yang ingin duduk (tidak menghadiri shalat Jumat), maka silakan duduk tanpa dosa.’” Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Abu ‘Ubaid, maula Ibnu Azhar, dia berkata: “Aku menghadiri shalat Id bersama Utsman bin Affan, lalu dia datang dan shalat, kemudian pergi dan berkhutbah. Dia berkata: ‘Sesungguhnya pada hari ini kalian mengalami dua hari raya yang bertepatan. Barangsiapa dari penduduk ‘Aliyah yang ingin menunggu shalat Jumat, silakan menunggu. Dan barangsiapa yang ingin pulang, silakan pulang, aku telah mengizinkannya.’”

(Asy-Syafi’i berkata): Jika hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, imam shalat Id ketika shalat sudah diperbolehkan, kemudian mengizinkan orang yang hadir selain penduduk kota untuk pulang jika mereka mau kepada keluarga mereka, dan tidak perlu kembali untuk shalat Jumat. Namun, lebih baik bagi mereka untuk tetap tinggal hingga shalat Jumat atau kembali setelah pulang jika mereka mampu untuk shalat Jumat. Jika tidak melakukannya, tidak ada dosa insya Allah Ta’ala. (Asy-Syafi’i berkata): Hal ini tidak diperbolehkan bagi penduduk kota untuk meninggalkan shalat Jumat kecuali ada uzur yang membolehkan mereka meninggalkan shalat Jumat, meskipun itu hari raya. (Asy-Syafi’i berkata): Demikian juga jika hari raya Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat, tidak ada perbedaan jika berada di kota yang mengadakan shalat Jumat dan shalat Id. Penduduk Mina tidak shalat Idul Adha maupun shalat Jumat karena Mina bukan termasuk kota.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika terjadi gerhana matahari pada hari Jumat dan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, mulailah dengan shalat Id terlebih dahulu, kemudian shalat gerhana jika matahari belum kembali normal sebelum memulai shalat.

(Dia berkata): Jika gerhana matahari terjadi saat imam sedang shalat Id atau setelahnya sebelum berkhutbah, maka shalat gerhana terlebih dahulu, kemudian berkhutbah untuk Id dan gerhana sekaligus dengan dua khutbah yang menggabungkan pembicaraan tentang gerhana dan Id. Jika sudah berkhutbah untuk shalat Id lalu terjadi gerhana matahari, persingkat kedua khutbah, lalu turun dan shalat gerhana, kemudian berkhutbah untuk gerhana. Setelah itu, izinkan orang yang bukan penduduk kota untuk pulang seperti yang telah dijelaskan. Hal ini tidak diperbolehkan bagi penduduk kota yang mampu menghadiri shalat Jumat. Jika bertepatan hari raya Idul Fitri, Jumat, gerhana, dan kekeringan sehingga ingin memohon hujan, maka shalat Istisqa’ ditunda hingga besok atau setelahnya, dan berdoa memohon hujan dalam khutbah, kemudian keluar untuk shalat Istisqa’, lalu berkhutbah. Abu Ya’qub berkata: Mulailah dengan shalat gerhana, kemudian shalat Id jika matahari belum kembali normal, lalu shalat Jumat jika matahari telah tergelincir, karena setiap shalat memiliki waktunya sendiri, sedangkan Istisqa’ tidak memiliki waktu tertentu.

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak suka memohon hujan pada hari Jumat kecuali di atas mimbar, karena shalat Jumat lebih wajib daripada Istisqa’. Istisqa’ bisa menghalangi seseorang untuk datang ke shalat Jumat atau memberatkannya.

(Dia berkata): Jika hari raya dan gerhana terjadi pada waktu yang sama, shalat gerhana terlebih dahulu sebelum shalat Id karena waktu shalat Id hingga tergelincirnya matahari, sedangkan waktu shalat gerhana adalah hingga gerhana selesai. Jika memulai dengan shalat Id dan selesai sebelum gerhana berakhir, maka shalat gerhana dan berkhutbah untuk keduanya sekaligus. Jika selesai shalat dan gerhana telah berakhir, berkhutbah untuk Id, dan jika mau, bisa menyebutkan gerhana dalam khutbah.

[Orang yang Wajib Menghadiri Dua Hari Raya]

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Aku tidak memberikan keringanan bagi siapa pun yang wajib shalat Jumat untuk meninggalkan shalat dua hari raya. Aku lebih suka jika shalat dua hari raya dan gerhana dilakukan di pedesaan yang tidak ada shalat Jumat. Wanita boleh shalat di rumahnya, dan budak di…

Tempatnya karena bukan rujukan wajib, dan aku tidak suka seseorang meninggalkannya. 

(Dia berkata): Dan siapa yang mengerjakannya, maka dia mengerjakannya seperti shalat imam dengan takbirnya dan jumlahnya. (Imam Syafi’i berkata): Hal ini sama antara laki-laki dan perempuan. Dan siapa yang tertinggal shalat Id bersama imam, lalu menemukan imam sedang berkhutbah, hendaknya dia duduk. Jika imam telah selesai, dia boleh shalat Id di tempatnya, di rumahnya, atau di perjalanannya sebagaimana imam melakukannya dengan sempurna dalam takbir dan bacaan. Jika seseorang meninggalkan shalat dua hari raya yang dia tertinggal atau meninggalkannya—padahal dia tidak wajib Jumat—aku tidak menyukai hal itu baginya. (Dia berkata): Dan tidak ada qadha atasnya, begitu pula shalat gerhana. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa jika sekelompok musafir mengerjakan shalat Id atau gerhana lalu salah seorang dari mereka berkhutbah dalam perjalanan, atau di desa yang tidak ada Jumat. Mereka juga boleh mengerjakannya di masjid jamaah di kota, tetapi aku tidak suka jika seseorang berkhutbah di kota jika sudah ada imam, karena khawatir terjadi perpecahan. 

(Dia berkata): Jika perempuan menghadiri Jumat dan dua hari raya, begitu pula budak dan musafir, maka hukum mereka sama seperti laki-laki merdeka yang menetap. Dan bagi masing-masing, cukup baginya apa yang cukup bagi yang lain. 

(Dia berkata): Aku menyukai kehadiran perempuan tua dan yang tidak berhias dalam shalat dan hari raya. Dan aku lebih menganjurkan kehadiran mereka pada hari raya dibanding shalat wajib lainnya. 

(Dia berkata): Jika seseorang hendak ke tempat shalat Id lalu bertemu dengan orang yang sudah pulang, jika mau, dia boleh pergi ke tempat imam dan shalat di sana, atau jika mau, dia boleh pulang dan shalat di mana saja. 

[Takbir pada Dua Hari Raya] 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Orang-orang bertakbir pada hari raya Fitri saat matahari terbenam di malam Idul Fitri, baik sendiri maupun berjamaah, dalam segala keadaan, hingga imam keluar untuk shalat Id, lalu mereka berhenti bertakbir. (Dia berkata): Aku lebih suka jika imam bertakbir setelah shalat Maghrib, Isya, dan Subuh, serta di antara waktu-waktu itu, dan terus bertakbir hingga tiba di tempat shalat, lalu berhenti. Aku menganjurkan hal ini bagi imam karena dia seperti orang lain dalam apa yang kusukai untuk mereka. Jika imam tidak melakukannya, orang-orang tetap bertakbir. 

(Dia berkata): Jamaah haji bertakbir setelah shalat Zuhur pada hari Nahr hingga shalat Subuh di akhir hari Tasyriq, lalu mereka berhenti bertakbir setelah shalat Subuh di akhir hari Tasyriq. Imam mereka bertakbir setelah shalat, lalu mereka bertakbir bersama-sama, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah, siang dan malam, dalam semua keadaan ini. Sebab dalam haji ada dua dzikir yang dikeraskan: talbiyah—yang tidak terputus kecuali setelah Subuh pada hari Nahr—dan shalat yang memulai takbir. Tidak ada shalat setelah melempar jumrah pada hari Nahr sebelum Zuhur, lalu tidak ada shalat di Mina setelah Subuh di hari terakhir Mina. 

(Dia berkata): Orang-orang di berbagai negeri, baik yang menetap maupun musafir, juga bertakbir demikian. Begitu pula yang menghadiri jamaah dan yang tidak, serta wanita haid, junub, dan yang tidak berwudhu di waktu-waktu siang dan malam. Imam bertakbir, dan begitu pula yang lainnya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Setelah shalat, makmum mengucapkan takbir tiga kali atau lebih. Jika imam tidak melakukannya, makmum tetap bertakbir. Orang-orang di berbagai wilayah juga bertakbir sebagaimana jamaah di Mina, tanpa perbedaan kecuali jika mereka mendahului dalam takbir. Jika mereka memulai takbir setelah shalat Maghrib pada malam Idul Adha, dengan mengacu pada perintah Allah untuk bertakbir saat menyempurnakan hitungan di bulan Ramadan, dan karena mereka bukan orang yang berihram yang sedang bertalbiyah sehingga cukup dengan talbiyah tanpa takbir, aku tidak memakruhkannya. Aku pernah mendengar ada yang menganjurkan hal ini. Jika mereka tidak bertakbir dan menundanya hingga bertakbir bersama jamaah Mina, itu juga tidak mengapa insya Allah. Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa mereka memulai takbir setelah shalat Subuh pada hari Arafah. Aku memohon taufik kepada Allah.

(Imam Syafi’i berkata): Imam bertakbir setelah shalat selama belum meninggalkan tempatnya. Jika sudah berdiri, tidak perlu kembali untuk bertakbir. Lebih disukai jika ia bertakbir sambil berjalan atau di tempat lain jika sudah berpindah. (Ia berkata): Makmum tidak boleh meninggalkan takbir karena imam, dan tidak boleh meninggalkannya jika imam tidak bertakbir. Jika imam terputus oleh pembicaraan dan masih di tempatnya, ia tidak wajib bertakbir saat itu juga, tetapi itu disukai. Jika lupa, ia tidak bertakbir hingga selesai sujud sahwi.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tertinggal sebagian shalat dan imam bertakbir, ia menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu. Jika ada sujud sahwi, ia melakukannya. Setelah salam, barulah ia bertakbir. Takbir dilakukan setelah shalat sunnah maupun wajib, dalam segala kondisi.

[Cara Takbir pada Hari Raya]

Bagaimana cara takbir? (Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Takbir dilakukan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dalam shalat: “Allahu Akbar”. Imam memulai dengan mengucapkan “Allahu Akbar” tiga kali. Jika lebih, itu baik. Jika menambahkan: “Allahu Akbar kabira, walhamdulillahi katsira, wa subhanallahi bukratan wa asila, Allahu Akbar, wa la na’budu illa Allah mukhlisina lahud din, wa law karihal kafirun, la ilaha illa Allah wahdahu shadaqa wa’dahu, wa nashara ‘abduhu, wa hazamal ahzaba wahdahu, la ilaha illa Allah, wallahu Akbar”, itu juga baik. Semua dzikir tambahan yang menyertai takbir aku sukai, tetapi aku lebih suka memulai dengan tiga takbir berurutan. Jika hanya satu, itu cukup. Jika memulai dengan dzikir sebelum takbir atau tidak bertakbir sama sekali, tidak ada kafarat.

Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Sulaiman, dari Imam Syafi’i, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari atau bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Fushshilat: 37-38). Allah juga berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia…” (QS. Al-Baqarah: 164) hingga firman-Nya “orang-orang yang berakal”, beserta ayat-ayat lain dalam Kitab-Nya. (Imam Syafi’i berkata): Allah menyebutkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, tetapi tidak menyebutkan sujud kecuali terkait matahari dan bulan. Dia melarang sujud kepada keduanya dan memerintahkan sujud hanya kepada-Nya. Ini menunjukkan perintah untuk shalat ketika terjadi fenomena pada matahari atau bulan. Bisa juga larangan sujud kepada keduanya seperti larangan menyembah selain-Nya. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan perintah shalat kepada Allah (saat gerhana).

Ketika terjadi gerhana matahari dan bulan, hal itu menyerupai dua makna: pertama, bahwa shalat dilakukan saat gerhana terjadi tanpa perbedaan pendapat dalam hal itu, dan bahwa tidak diperintahkan untuk shalat pada setiap tanda (ayat) selain gerhana sebagaimana diperintahkan saat gerhana. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menyebutkan shalat dalam ayat-ayat lain, sedangkan shalat dalam segala kondisi adalah ketaatan kepada Allah dan kebahagiaan bagi yang melaksanakannya. 

(Imam Syafi’i berkata): Maka shalatlah saat gerhana matahari dan bulan dengan berjamaah, dan jangan lakukan hal itu pada tanda-tanda lainnya. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: 

“Pada masa Rasulullah ﷺ, matahari mengalami gerhana, lalu Rasulullah ﷺ shalat bersama orang-orang. Beliau berdiri lama, kira-kira sepanjang bacaan Surah Al-Baqarah. Kemudian beliau rukuk lama, lalu bangkit dan berdiri lagi lama, tetapi lebih singkat dari yang pertama. Kemudian beliau rukuk lagi lama, tetapi lebih singkat dari rukuk pertama. Lalu beliau sujud. Setelah itu, beliau berdiri lagi lama, tetapi lebih singkat dari sebelumnya, kemudian rukuk lama tetapi lebih singkat dari sebelumnya, lalu bangkit dan berdiri lagi lama tetapi lebih singkat, kemudian rukuk lama tetapi lebih singkat, lalu sujud. Setelah selesai, matahari telah terang kembali. 

Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihatnya, berdzikirlah kepada Allah.’ 

Para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, kami melihat engkau seakan-akan mengambil sesuatu saat berdiri, lalu engkau mundur sedikit.’ 

Beliau menjawab: ‘Aku diperlihatkan surga, lalu aku mengambil setandan anggur. Seandainya aku mengambilnya, kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Aku juga diperlihatkan neraka, dan belum pernah melihat pemandangan seperti hari ini. Kebanyakan penghuninya adalah wanita.’ 

Mereka bertanya: ‘Mengapa, wahai Rasulullah?’ 

Beliau menjawab: ‘Karena kekufuran mereka.’ 

Ditanyakan: ‘Apakah mereka kufur kepada Allah?’ 

Beliau menjawab: ‘Mereka kufur kepada suami dan kebaikan. Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang masa, lalu ia melihat sedikit kesalahan darimu, ia akan berkata: Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Perkataan Ibnu Abbas tentang sabda Rasulullah ﷺ setelah shalat menunjukkan bahwa beliau berkhutbah setelahnya. Ini juga menunjukkan perbedaan antara khutbah sunnah dan khutbah wajib. Khutbah Jum’at didahulukan karena ia terkait shalat wajib, sedangkan khutbah gerhana diakhirkan karena bukan bagian dari shalat lima waktu. Demikian pula pada shalat Id, karena keduanya bukan shalat wajib. Begitu pula seharusnya pada shalat Istisqa’. 

Beliau juga menyebutkan perintah untuk segera berdzikir kepada Allah saat gerhana matahari dan bulan. Dzikir yang dimaksud adalah yang dilakukan Rasulullah ﷺ, kemudian peringatan, sesuai firman Allah: 

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri dan mengingat nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’la: 14-15) 

(Imam Syafi’i berkata): Perkataan Ibnu Abbas dari Rasulullah ﷺ cukup sebagai bukti bahwa beliau memerintahkan hal yang sama saat gerhana bulan seperti gerhana matahari. Perintah saat gerhana matahari adalah shalat dan dzikir. 

Sufyan juga meriwayatkan hadits yang mendukung hal ini. 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata: 

“Matahari gerhana pada hari wafatnya Ibrahim bin Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihatnya, segeralah berdzikir kepada Allah dan shalat.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ juga memerintahkan shalat pada kedua gerhana. 

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim mengabarkan kepada kami, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari Al-Hasan, dari Ibnu Abbas: 

“Bulan pernah gerhana saat Ibnu Abbas berada di Bashrah. Lalu ia keluar dan shalat bersama kami dua rakaat, di setiap rakaat ada dua rukuk. Kemudian ia naik kendaraan dan berkhutbah: ‘Aku shalat sebagaimana aku melihat Rasulullah ﷺ shalat.’ 

Ia juga berkata: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihat salah satunya gerhana, segeralah berdzikir kepada Allah.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id, dari Amrah, dari Aisyah, dari Nabi ﷺ: 

“Matahari pernah gerhana, lalu Rasulullah ﷺ shalat.” (Lalu Aisyah menjelaskan tata cara shalat beliau).

Dua rakaat, setiap rakaat terdiri dari dua rakaat. 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – seperti itu. (Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu Suhail Nafi’ menceritakan kepadaku dari Abu Qilabah dari Abu Musa dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – seperti itu. (Imam Syafi’i berkata): Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: “Aku berdiri di samping Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk shalat gerhana matahari, dan aku tidak mendengar satu huruf pun darinya.” Dalam perkataan “seukuran surat Al-Baqarah” terdapat indikasi bahwa dia tidak mendengar apa yang dibaca, karena jika dia mendengarnya, tentu tidak akan diukur dengan selainnya. 

[Waktu Gerhana Matahari] 

Waktu gerhana matahari (Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Kapan pun matahari mengalami gerhana, baik di tengah hari, setelah Ashar, atau sebelumnya, imam hendaknya mengimami orang-orang shalat gerhana, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan shalat untuk gerhana matahari. Tidak ada waktu yang diharamkan untuk shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, sebagaimana tidak diharamkan pada waktu shalat yang tertinggal, shalat jenazah, shalat untuk tawaf, atau shalat yang seseorang tekadkan untuk dirinya sendiri sehingga dia sibuk atau lupa melakukannya. 

(Dia berkata): Jika gerhana matahari terjadi pada waktu shalat (wajib), mulailah dengan shalat gerhana matahari. Orang yang shalat diperkirakan bisa menyelesaikan shalat gerhana, lalu shalat wajib, kemudian berkhutbah untuk gerhana setelah shalat wajib. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika gerhana matahari terjadi pada waktu Jumat, mulailah dengan shalat gerhana matahari dan ringankanlah. Bacalah dalam setiap dua rakaat dalam satu rakaat Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan surat “Qul Huwallahu Ahad” (Al-Ikhlas) atau yang semisalnya. Kemudian berkhutbah untuk Jumat dan menyebut gerhana dalam khutbah Jumat, menggabungkan pembicaraan dalam khutbah tentang gerhana dan Jumat, serta meniatkannya sebagai Jumat, lalu shalat Jumat. 

(Dia berkata): Jika dia mengakhirkan shalat Jumat hingga dia melihat bahwa shalat gerhana telah dilakukan dengan sangat ringan, dan khawatir tidak sempat berkhutbah yang menggabungkan (gerhana dan Jumat) hingga masuk waktu Ashar, maka mulailah dengan shalat Jumat. Jika dia selesai dan matahari masih gerhana, lakukan shalat gerhana. Jika dia selesai dan matahari telah terang sepenuhnya hingga kembali seperti semula sebelum gerhana, maka tidak perlu shalat gerhana dan tidak perlu mengqadha karena itu adalah amalan yang terkait waktu. Jika waktunya telah berlalu, tidak perlu dilakukan. (Dia berkata): Demikian juga yang dilakukan pada setiap shalat wajib yang bertepatan dengan gerhana. Jika dikhawatirkan terlewat, mulailah dengan shalat wajib. Jika tidak dikhawatirkan terlewat, mulailah dengan shalat gerhana lalu shalat wajib, karena khutbah tidak terikat waktu. 

(Dia berkata): Jika gerhana, shalat Id, shalat Istisqa, dan jenazah terjadi bersamaan, mulailah dengan shalat jenazah. Jika imam belum hadir, suruhlah orang yang bisa menanganinya, lalu mulailah dengan shalat gerhana. Jika jenazah sudah siap, shalatlah atau tinggalkan, kemudian lakukan shalat Id, dan tunda Istisqa ke hari selain hari itu. (Dia berkata): Jika dikhawatirkan terlewat shalat Id, shalatlah dengan ringan, lalu selesaikan dan lanjutkan ke shalat gerhana, kemudian berkhutbah untuk Id dan gerhana. Tidak masalah berkhutbah setelah Zawal untuk keduanya karena tidak seperti khutbah Jumat. 

(Dia berkata): Jika gerhana terjadi di Mekkah saat imam pergi ke Mina untuk shalat, lakukan shalat gerhana. Jika dikhawatirkan terlewat shalat Zuhur di Mina, shalatlah di Mekkah. 

(Dia berkata): Jika gerhana terjadi di Arafah saat Zawal, dahulukan shalat gerhana, lalu shalat Zuhur dan Ashar. Jika dikhawatirkan terlewat keduanya, mulailah dengan keduanya, lalu shalat gerhana, dan jangan tinggalkan untuk wukuf. Ringankan shalat gerhana dan khutbahnya. (Dia berkata): Demikian juga yang dilakukan pada gerhana bulan. 

(Dia berkata): Jika gerhana matahari terjadi setelah Ashar saat di Arafah, lakukan shalat gerhana, lalu berkhutbah di atas untanya dan berdoa. Jika gerhana bulan terjadi sebelum Subuh di Muzdalifah atau setelahnya, lakukan shalat gerhana dan berkhutbah, meskipun hal itu menahannya hingga matahari terbit.

Diringankan agar tidak menahannya hingga matahari terbit jika memungkinkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada dua hal yang dikhawatirkan salah satunya akan terlewat, sementara yang lain tidak dikhawatirkan terlewat, maka mulailah dengan yang dikhawatirkan terlewat, kemudian kembali kepada yang tidak dikhawatirkan terlewat.

(Dia berkata): Jika gerhana bulan terjadi saat shalat malam, mulailah dengan shalat gerhana bulan. Demikian juga, shalat gerhana didahulukan sebelum witir dan dua rakaat fajar karena shalat gerhana dilakukan berjamaah, sedangkan witir dan dua rakaat fajar adalah shalat sendiri. Jadi, shalat gerhana didahulukan sebelum keduanya meskipun keduanya terlewat.

(Dia berkata): Jika matahari gerhana dan mereka belum shalat hingga matahari terbenam dalam keadaan gerhana atau telah terang, maka tidak perlu shalat gerhana matahari. Begitu pula jika bulan gerhana dan mereka belum shalat hingga bulan terang atau matahari terbit, maka tidak perlu shalat. Namun, jika mereka shalat subuh sementara bulan masih dalam keadaan gerhana, mereka boleh shalat gerhana bulan setelah subuh selama matahari belum terbit. Shalat gerhana bulan dalam keadaan ini diringankan agar selesai sebelum matahari terbit. Jika mereka memulai shalat setelah subuh dan sebelum matahari terbit tetapi belum selesai hingga matahari terbit, mereka tetap menyelesaikannya.

(Imam Syafi’i berkata): Khutbah dilakukan setelah matahari terang karena khutbah dilakukan setelah matahari atau bulan terang. Jika matahari gerhana kemudian terjadi ketakutan, imam shalat gerhana dengan shalat khauf sebagaimana shalat wajib dalam keadaan khauf, tidak ada perbedaan. Demikian juga shalat gerhana dan shalat dalam keadaan sangat takut dilakukan dengan isyarat, baik sambil berkendara atau berjalan. Jika memungkinkan berkhutbah dan shalat, maka lakukanlah; jika tidak, tidak mengapa.

(Dia berkata): Jika matahari gerhana di perkotaan dan penduduk diserang musuh, mereka boleh menghadapi musuh. Jika memungkinkan shalat gerhana seperti shalat wajib dalam keadaan khauf, lakukanlah. Jika tidak memungkinkan, shalatlah dalam keadaan sangat takut, baik dalam keadaan mengejar atau dikejar, tidak ada perbedaan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika lalai mengerjakan shalat gerhana hingga matahari terang, tidak wajib mengerjakannya atau mengqadhanya.

(Dia berkata): Jika mereka lalai hingga matahari seluruhnya gerhana kemudian sebagiannya terang, mereka boleh shalat gerhana dengan tenang jika tidak dalam keadaan takut atau terpisah-pisah. Jika matahari terang, mereka tidak perlu menghentikan shalat hingga selesai, selama masih dalam keadaan gerhana sebelum kembali seperti semula.

(Dia berkata): Jika matahari gerhana tetapi tertutup awan, debu, atau penghalang apa pun sehingga dikira telah terang, mereka tetap shalat gerhana jika tahu sebelumnya terjadi gerhana. Statusnya tetap gerhana hingga yakin telah terang. Jika sebagian terang dan terlihat jelas, mereka tidak perlu menghentikan shalat karena yakin terjadi gerhana dan tidak tahu apakah bagian yang tertutup telah terang atau belum. Gerhana bisa terjadi sebagian atau seluruhnya, lalu sebagian terang sebelum sisanya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika matahari terbit dalam keadaan berkabut atau tertutup awan sehingga dikira gerhana, tidak perlu shalat hingga yakin benar terjadi gerhana.

(Dia berkata): Jika imam hendak shalat gerhana tetapi belum takbir hingga matahari terang, tidak perlu shalat gerhana. Jika sudah takbir lalu matahari terang, lanjutkan shalat gerhana hingga selesai.

(Dia berkata): Jika shalat gerhana telah selesai kemudian bubar sementara matahari masih gerhana, baik bertambah atau tidak, tidak perlu mengulang shalat. Berkhutbahlah karena tidak ada riwayat Nabi SAW shalat gerhana lebih dari dua rakaat. Shalat gerhana bulan sama dengan shalat gerhana matahari, tidak ada perbedaan kecuali imam tidak mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana matahari karena Nabi SAW tidak mengeraskannya seperti shalat hari raya, dan itu termasuk shalat siang. Bacaan dikeraskan dalam shalat gerhana bulan karena termasuk shalat malam, dan Nabi SAW mensunnahkan mengeraskan bacaan dalam shalat malam.

[Khutbah dalam Shalat Gerhana] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam hendaknya menyampaikan dua khutbah dalam shalat gerhana yang dilakukan siang hari. Dia duduk di awal setelah naik mimbar, lalu berdiri. Setelah selesai khutbah pertama, dia duduk kemudian berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah kedua. Setelah selesai, dia turun. (Imam Syafi’i berkata): Khutbah tersebut seperti khutbah lainnya, dimulai dengan memuji Allah, bershalawat kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, mengajak manusia kepada kebaikan, serta memerintahkan mereka untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Khutbah disampaikan di tempat shalatnya, dan shalat dilakukan di masjid tempat shalat Jum’at, bukan tempat shalat hari raya. Jika hal ini ditinggalkan dan shalat dilakukan di tempat lain, maka sah insya Allah Ta’ala. Jika berada di Arafah, khutbah disampaikan sambil menunggang kendaraan, dengan jeda antara dua khutbah seperti jeda saat berkhutbah di atas mimbarnya. Aku lebih suka jika imam memperdengarkan khutbah dalam shalat gerhana, hari raya, dan istisqa’, serta diam mendengarkannya. Jika seseorang pergi sebelum mendengarnya atau berbicara, aku tidak menyukai hal itu, tetapi tidak wajib mengulang. Jika imam meninggalkan khutbah atau berkhutbah tidak sesuai perintah, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib mengulang. (Imam Syafi’i berkata): Aku menganjurkan bagi masyarakat pedalaman atau dalam perjalanan, serta di tempat yang tidak dilaksanakan shalat berjamaah, agar salah seorang di antara mereka berkhutbah dan mengingatkan mereka saat shalat gerhana. (Dia berkata): Aku tidak menganjurkan hal ini bagi wanita di rumah karena tidak termasuk sunnah wanita berkhutbah jika tidak bersama laki-laki. 

[Adzan untuk Gerhana]  

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak ada adzan untuk shalat gerhana, hari raya, atau shalat sunnah lainnya. Namun, jika imam memerintahkan seseorang untuk menyeru “ash-shalatu jami’ah”, aku menyukai hal itu. Karena Az-Zuhri berkata: “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan muadzin pada shalat hari raya untuk mengucapkan ‘ash-shalatu jami’ah’.” 

[Tata Cara Shalat Gerhana] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku menganjurkan imam berdiri dalam shalat gerhana, bertakbir, lalu membuka shalat seperti shalat wajib. Kemudian membaca surat Al-Baqarah pada rakaat pertama setelah pembukaan jika hafal, atau seukuran panjangnya dari Al-Qur’an jika tidak hafal. Lalu rukuk dengan lama, seukuran membaca seratus ayat dari Al-Baqarah. Kemudian bangkit sambil mengucapkan “sami’allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamdu.” Lalu membaca Ummul Qur’an dan seukuran dua ratus ayat dari Al-Baqarah. Kemudian rukuk seukuran dua pertiga dari rukuk pertama, lalu bangkit dan sujud. Pada rakaat kedua, membaca Ummul Qur’an dan seukuran seratus lima puluh ayat dari Al-Baqarah. Kemudian rukuk seukuran tujuh puluh ayat dari Al-Baqarah, lalu bangkit dan membaca Ummul Qur’an serta seukuran seratus ayat dari Al-Baqarah. Setelah itu rukuk seukuran lima puluh ayat dari Al-Baqarah, lalu bangkit dan sujud. (Imam Syafi’i berkata): Jika melebihi atau kurang dari ukuran ini dalam sebagian gerakan, atau melebihinya seluruhnya atau menguranginya seluruhnya, asalkan membaca Ummul Qur’an di awal rakaat dan setelah bangkit dari rukuk sebelum rukuk kedua pada setiap rakaat, maka sah. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika meninggalkan Ummul Qur’an pada salah satu rakaat shalat gerhana, baik di berdiri pertama atau kedua, maka rakaat tersebut tidak dihitung. Dia harus mengganti dengan rakaat lain dan melakukan sujud sahwi, sebagaimana jika meninggalkan Ummul Qur’an dalam satu rakaat shalat wajib, maka tidak dihitung seolah-olah dia membaca Ummul Qur’an saat membuka shalat lalu rukuk dan bangkit tanpa membacanya.

Al-Quran diangkat kemudian kembali ke Ummul Quran (Al-Fatihah) dan membacanya lalu rukuk. Jika meninggalkan Ummul Quran hingga sujud, maka sujudnya batal dan harus kembali berdiri untuk rukuk setelah membaca Ummul Quran.

(Dia berkata): Tidak sah menjadi imam dalam shalat gerhana kecuali orang yang sah menjadi imam dalam shalat wajib. Jika yang menjadi imam adalah orang yang tidak bisa membaca (ummi), shalat mereka tidak sah, meskipun mereka membaca bersamanya jika mereka bermakmum kepadanya. (Dia berkata): Jika imam mereka adalah orang yang bisa membaca, shalatnya sah untuk mereka. Jika kau katakan tidak sah, mereka harus mengulang dengan imam selagi matahari masih gerhana. Jika gerhana telah selesai, mereka tidak perlu mengulang. Jika semua menolak mengulang kecuali satu orang, maka satu orang itu diperintahkan untuk mengulang. Jika ada orang lain bersamanya, keduanya diperintahkan untuk shalat berjamaah.

[Shalat Sendirian dalam Shalat Gerhana]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Bakar dari Amru atau Shafwan bin Abdullah bin Shafwan, dia berkata: Aku melihat Ibnu Abbas shalat di atas Zamzam karena gerhana matahari, dua rakaat, setiap rakaat dua kali rukuk.

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengira Ibnu Abbas melakukan shalat gerhana kecuali karena penguasa meninggalkannya, mungkin gerhana terjadi setelah Ashar sehingga dia tidak shalat, lalu Ibnu Abbas shalat, atau mungkin penguasa tidak ada atau menolak shalat. (Dia berkata): Begitulah, aku menganjurkan setiap orang yang hadir sebagai imam untuk shalat jika imam meninggalkan shalat gerhana, dilakukan terang-terangan jika tidak takut, atau sembunyi jika takut penguasa, kapan pun gerhana terjadi. Aku menduga orang yang meriwayatkan bahwa gerhana terjadi setelah Ashar saat dia di Makkah, meninggalkannya di zaman Bani Umayah karena takut kepada mereka. Adapun Ayyub bin Musa berpendapat tidak ada shalat setelah Ashar, baik untuk tawaf maupun lainnya. Namun sunnah menunjukkan seperti yang kujelaskan, yaitu shalat setelah Ashar untuk tawaf dan shalat sunnah yang ditekankan bisa terlupa atau disibukkan, tetapi menurutku shalat gerhana tidak boleh ditinggalkan, baik oleh musafir maupun mukim, atau siapa pun yang boleh shalat dalam kondisi apa pun. Setiap orang yang kusebutkan boleh shalat dengan imam yang lebih dahulu, atau sendirian jika tidak menemukan imam, dan shalat seperti yang kujelaskan, dua rakaat, setiap rakaat dua rukuk, begitu pula gerhana bulan. (Dia berkata): Jika seseorang yang kusebutkan berkhutbah dan mengingatkan mereka, aku tidak memakruhkannya.

(Dia berkata): Jika terjadi gerhana matahari dan seorang laki-laki bersama perempuan yang ada mahramnya, dia boleh mengimami mereka. Jika tidak ada mahram, aku memakruhkan hal itu baginya. Jika dia shalat mengimami mereka, tidak mengapa insya Allah. Jika yang shalat hanya perempuan, maka khutbah bukanlah kewajiban perempuan, tetapi jika salah satu dari mereka mengingatkan yang lain, itu baik.

(Dia berkata): Jika seseorang shalat gerhana sendirian, lalu mendapati shalat berjamaah dengan imam, dia shalat seperti shalat wajib. Begitu pula perempuan. Aku tidak memakruhkan perempuan yang tidak punya penampilan mencolok, perempuan tua, atau anak kecil untuk menghadiri shalat gerhana berjamaah, bahkan aku menganjurkannya. Namun, aku lebih suka perempuan yang berpenampilan mencolok shalat di rumah mereka.

[Shalat Selain Gerhana Matahari dan Bulan]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku tidak memerintahkan shalat berjamaah untuk gempa, kegelapan, petir, angin, atau tanda-tanda lainnya. Aku memerintahkan shalat sendirian seperti shalat-shalat lainnya.

Kapan imam melakukan shalat istisqa’? Apakah imam boleh meminta hujan dihentikan jika dikhawatirkan membahayakan? Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas, dia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”

Lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah, hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan-jalan terputus. Mohon berdoalah kepada Allah.” Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berdoa, dan kami pun diberi hujan dari Jumat hingga Jumat berikutnya.” Kemudian seorang laki-laki datang kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan berkata: “Wahai Rasulullah, rumah-rumah telah roboh, jalan-jalan terputus, dan hewan-hewan ternak binasa.” Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu berdiri dan berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan di atas puncak gunung, bukit-bukit, lembah-lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” Maka awan pun menjauh dari Madinah seperti terlepasnya pakaian.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika terjadi kekeringan atau berkurangnya air di sungai, mata air, atau sumur, baik di perkotaan maupun pedalaman kaum Muslimin, aku tidak suka jika seorang imam meninggalkan pelaksanaan salat istisqa. Jika dia meninggalkannya, tidak ada kafarat atau qadha baginya, tetapi dia telah berbuat buruk dengan meninggalkannya dan menyia-nyiakan sunnah, meskipun itu tidak wajib, melainkan termasuk amalan yang utama. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa salat istisqa dengan doa dan khutbah tidak diwajibkan baginya?’ Dijawab: ‘Tidak ada kewajiban salat selain lima waktu.’ Dalam hadis Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terdapat petunjuk bahwa ketika terjadi kekeringan, Rasulullah tidak langsung melaksanakan salat istisqa, tetapi melakukannya setelah beberapa waktu kemudian. Berdasarkan hal itu, aku berpendapat bahwa seorang imam tidak boleh meninggalkan istisqa. Namun, jika imam tidak melakukannya, aku tidak melihat alasan bagi masyarakat untuk meninggalkan istisqa, karena hewan ternak tidak binasa kecuali setelah didahului oleh kekeringan yang berkepanjangan. Adapun berdoa meminta hujan, aku sangat menganjurkan untuk tidak meninggalkannya saat terjadi kekeringan, meskipun tidak disertai salat atau khutbah. Jika mereka beristisqa tetapi tidak turun hujan, aku menganjurkan untuk mengulanginya hingga hujan turun. Anjuran untuk mengulang kedua atau ketiga kalinya tidak sekuat anjuran untuk pertama kalinya. Aku membolehkan pengulangan setelah yang pertama karena salat dan jamaah pada yang pertama adalah kewajiban. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika beristisqa, biasanya langsung diberi hujan. Jika hujan telah turun, imam tidak perlu mengulanginya.” 

Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku seseorang yang tidak aku ragukan, dari Sulaiman bin Abdullah bin ‘Uwaimir al-Aslami, dari Urwah bin Az-Zubair, dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – dia berkata: “Orang-orang mengalami musim paceklik yang parah pada masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang Yahudi lewat dan berkata: ‘Demi Allah, jika pemimpin kalian menghendaki, niscaya kalian akan diberi hujan sebanyak yang kalian inginkan. Tetapi dia tidak menginginkannya.’ Orang-orang pun memberitahu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang perkataan Yahudi itu. Beliau bertanya: ‘Benarkah dia berkata demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Aku benar-benar memohon pertolongan dengan tahun ini terhadap penduduk Najd. Aku melihat awan keluar dari mata air, tetapi aku tidak suka itu menjadi waktu yang dijanjikan untuk kalian pada hari tertentu. Aku akan memohon hujan untuk kalian.’ Ketika hari itu tiba, orang-orang pun berangkat. Sebelum mereka berpisah, hujan turun sebanyak yang mereka inginkan, dan langit tidak berhenti menurunkan hujan selama sepekan.” 

Jika orang-orang khawatir banjir bandang atau sungai yang meluap, mereka berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari bahaya, sebagaimana Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berdoa agar rumah-rumah tidak roboh. Demikian pula, mereka berdoa agar hujan tidak membahayakan pemukiman, tetapi turun di tempat yang bermanfaat, seperti di gunung, pepohonan, dan padang pasir. Aku tidak memerintahkan salat berjamaah dalam hal ini, tetapi memerintahkan imam dan masyarakat untuk berdoa dalam khutbah Jumat, setelah salat, dan dalam setiap musibah yang menimpa kaum Muslimin. Jika suatu daerah subur sementara daerah lain mengalami kekeringan, sebaiknya imam daerah yang subur beristisqa untuk penduduk daerah yang kekeringan dan seluruh kaum Muslimin. Dia memohon kepada Allah tambahan rezeki bagi yang subur sekaligus hujan bagi yang kekeringan, karena karunia Allah sangat luas. Aku tidak mewajibkan istisqa bagi yang tidak berada di wilayahnya sebagaimana kewajiban bagi yang dekat dengannya. Dia dapat menulis kepada pemimpin daerah yang kekeringan agar beristisqa untuk mereka atau imam terdekat dengan mereka. Jika tidak dilakukan, aku menganjurkan agar salah seorang dari mereka beristisqa. 

Siapa yang Beristisqa dengan Salat? 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Setiap imam yang menunaikan salat Jumat, salat Id, dan salat kusuf dapat beristisqa.”

Shalat Jumat hanya diwajibkan di tempat yang memenuhi syarat, karena pada dasarnya ia adalah shalat Zhuhur. Jika shalat Jumat telah dilaksanakan, maka shalat Zhuhur dipendekkan menjadi dua rakaat. Diperbolehkan juga melaksanakan shalat Istisqa (minta hujan), dan disunahkan melaksanakan shalat Idain (Idul Fitri & Idul Adha) serta shalat Kusuf (gerhana) di tempat yang tidak diadakan jamaah, seperti di pedalaman atau desa kecil. Para musafir di pedalaman juga boleh melakukannya karena hal itu tidak mengurangi kewajiban apa pun, melainkan termasuk sunah dan amalan tambahan yang baik. Saya tidak suka meninggalkannya dalam keadaan apa pun, meskipun itu hanya sekadar perintah atau anjuran dari saya. Anjuran untuk melakukannya di tempat yang tidak ada jamaah tidak sama dengan anjuran di tempat yang ada jamaah, juga tidak seperti perintah saya kepada imam atau masyarakat yang berjamaah. Saya hanya memerintahkannya seperti yang telah saya jelaskan karena itu adalah sunah, dan tidak ada larangan dari pihak yang berwenang. 

Jika sekelompok orang di pedalaman melaksanakan Istisqa, mereka boleh melakukan seperti yang dilakukan di kota, baik berupa shalat atau khutbah. Jika suatu kota tidak memiliki pemimpin, mereka boleh mengangkat salah seorang di antara mereka untuk memimpin shalat Jumat, Idain, Kusuf, dan Istisqa, sebagaimana masyarakat pernah mengangkat Abu Bakar dan Abdul Rahman bin Auf untuk memimpin shalat wajib ketika Rasulullah ﷺ sedang mendamaikan perselisihan Bani Amr bin Auf dan Abdul Rahman dalam Perang Tabuk, atau ketika Rasulullah ﷺ pergi untuk keperluannya. Rasulullah ﷺ pun memuji tindakan masyarakat yang mengangkat Abdul Rahman bin Auf. Jika Rasulullah ﷺ membolehkan hal ini untuk shalat wajib selain Jumat, maka Jumat yang juga termasuk shalat wajib tentu lebih boleh. Demikian pula hal ini dibolehkan untuk shalat-shalat non-wajib yang telah disebutkan. 

[Istisqa tanpa Shalat] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Seorang imam boleh melaksanakan Istisqa tanpa shalat, misalnya dengan berdoa setelah khutbah atau shalat, atau di belakang shalat. Saya pernah melihat seseorang menunjuk muadzin untuk memimpin doa Istisqa setelah shalat Subuh atau Maghrib dan mengajak orang-orang untuk berdoa. Saya tidak memandang buruk perbuatan tersebut. 

[Azan untuk Shalat Non-Wajib] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak ada azan atau iqamah kecuali untuk shalat wajib. Adapun shalat Kusuf, Idain, Istisqa, dan semua shalat sunah, tidak perlu azan atau iqamah. 

[Tata Cara Memulai Istisqa] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Kami mendapat kabar dari sebagian ulama bahwa jika hendak melaksanakan Istisqa, mereka memerintahkan masyarakat untuk berpuasa tiga hari berturut-turut dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amal kebaikan semampunya. Kemudian, pada hari keempat, mereka keluar untuk melaksanakan Istisqa. Saya menyukai hal itu dan menganjurkan mereka untuk keluar pada hari keempat dalam keadaan berpuasa, tanpa mewajibkannya kepada mereka atau imam mereka. Saya juga tidak melihat masalah jika imam memerintahkan mereka untuk keluar dan melaksanakan Istisqa sebelum memerintahkan puasa. 

Amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah menunaikan kewajiban, seperti membayar denda darah, harta, atau ganti rugi, kemudian mendamaikan perselisihan, serta memperbanyak sedekah, shalat, zikir, dan amal kebajikan lainnya. Saya juga menganjurkan setiap kali imam hendak mengulangi Istisqa, agar memerintahkan masyarakat untuk berpuasa tiga hari sebelumnya.

[Penampilan untuk Shalat Istisqa]

Untuk dua hari raya.

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari Jumat dan dua hari raya dengan penampilan terbaik.” Diriwayatkan pula bahwa beliau “keluar untuk shalat istisqa dengan penampilan sederhana.” Saya menduga perawi menyebutkan “dengan pakaian biasa.” Maka, disukai pada dua hari raya untuk keluar dengan pakaian terbaik dan wewangian terbaik. Sedangkan untuk istisqa, disukai bersih dengan air dan sesuatu yang menghilangkan bau seperti siwak, serta memakai pakaian sederhana. Cara berjalan, duduk, dan berbicaranya pun menunjukkan kerendahan hati dan ketundukan. Apa yang saya sukai untuk imam dalam situasi ini, saya sukai pula untuk semua orang. Pakaian yang dipakai imam dan jamaah selama halal untuk shalat, maka itu sudah mencukupi.

[Keluarnya Wanita dan Anak-Anak untuk Istisqa]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Saya suka jika anak-anak keluar dan membersihkan diri untuk istisqa, begitu pula wanita tua dan yang tidak berhias. Namun, saya tidak suka wanita yang berhias keluar, dan saya tidak memerintahkan hewan ternak dibawa. Saya tidak menyukai orang non-Muslim ikut istisqa bersama Muslim di tempat yang sama atau lainnya, dan saya perintahkan untuk mencegah mereka. Jika mereka keluar terpisah, kami tidak melarang. Wanita non-Muslim sama seperti laki-laki mereka dalam hal ini. Jika mereka terpisah, saya tidak keberatan mereka keluar seperti orang dewasa mereka. Saya lebih suka jika tuan budak Muslim membiarkan budaknya keluar, meski tidak wajib. Budak perempuan sama seperti wanita merdeka. Saya lebih suka wanita tua dan yang tidak berhias keluar, tapi tidak untuk yang berhias, meski tuannya tidak wajib melarang.

[Hujan Sebelum Istisqa]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika imam bersiap keluar lalu turun hujan (sedikit atau banyak), saya suka jika ia tetap melanjutkan dan orang-orang tetap keluar untuk bersyukur kepada Allah atas hujan dan memohon tambahan serta merata untuk semua. Jika mereka tidak keluar, tidak ada kafarat atau qadha. Jika hujan turun saat waktu keluar, imam boleh istisqa di masjid atau menunggu hingga hujan reda. Jika imam bernazar istisqa lalu hujan turun, ia tetap wajib keluar untuk memenuhi nazar. Jika tidak, ia harus mengqadha. Ia tidak wajib mengajak orang lain karena tidak memiliki kuasa atas mereka, dan tidak boleh memaksa mereka istisqa tanpa kemarau. Begitu pula jika seseorang bernazar keluar istisqa, ia wajib keluar sendiri. Jika nazarnya mengajak orang, ia hanya wajib keluar sendiri karena tidak memiliki kuasa atas mereka. Manusia tidak bisa bernazar atas sesuatu yang bukan miliknya. Saya suka jika ia mengajak yang patuh seperti anak atau lainnya. Jika nazarnya berkhutbah, ia boleh duduk sambil berzikir dan berdoa karena tidak ada kewajiban berdiri jika bukan pemimpin atau tidak ada jamaah. Jika nazarnya berkhutbah di mimbar, ia boleh duduk dan tidak wajib di mimbar karena tidak ada kewajiban naik mimbar, unta, atau bangunan. Ini hanya untuk imam agar didengar orang. Jika ia imam dengan jamaah, nazarnya hanya terpenuhi dengan khutbah berdiri karena itu yang sesuai. Jika semua ini dilakukan, baik di mimbar, dinding, atau berdiri, nazarnya sudah terpenuhi. Jika ia bernazar keluar…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Bolehkah shalat istisqa di rumah? 

Dia boleh melakukan shalat istisqa di masjid, dan itu sudah cukup jika dia melakukannya di rumah.

[Di mana shalat istisqa dilakukan?] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam shalat di tempat yang sama seperti shalat Id, di tempat yang paling luas yang dia temukan untuk orang banyak. Di mana pun dia melakukan istisqa, itu sudah cukup, insya Allah Ta’ala.

[Waktu imam keluar untuk istisqa dan bagaimana khutbahnya] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam keluar untuk istisqa pada waktu yang sama seperti ketika dia sampai ke tempat shalat Id, saat matahari telah terbit. Dia memulai dengan shalat, dan setelah selesai, dia berkhutbah. Dia boleh berkhutbah di atas mimbar yang disiapkan, atau jika dia mau, dia bisa berkhutbah sambil menunggang kuda, di atas tembok, sesuatu yang ditinggikan untuknya, atau di tanah. Semua itu boleh baginya.

[Tata cara shalat istisqa] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bahwa dia mendengar Abbad bin Tamim berkata: Aku mendengar Abdullah bin Zaid Al-Mazini berkata: “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pergi ke tanah lapang untuk istisqa, lalu membalik selendangnya saat menghadap kiblat.” 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku ragukan, dari Ja’far bin Muhammad: “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- Abu Bakar, dan Umar mengeraskan bacaan dalam shalat istisqa, shalat sebelum khutbah, dan bertakbir tujuh kali dan lima kali dalam istisqa.” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ja’far bin Muhammad mengabarkan kepadaku dari ayahnya, dari Ali -radhiyallahu anhu- seperti itu. 

(Imam Syafi’i berkata): Sa’ad bin Ishaq mengabarkan kepadaku dari Shalih dari Ibnul Musayyab dari Utsman bin Affan bahwa dia bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali. 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepadaku, dia berkata: Abu Huwairits mengabarkan kepadaku dari Ishaq bin Abdullah bin Kinanah dari ayahnya bahwa dia bertanya kepada Ibnu Abbas tentang takbir dalam shalat istisqa. Dia menjawab: “Seperti takbir dalam shalat Id, tujuh kali dan lima kali.” 

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdullah bin Abi Bakr mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Abbad bin Tamim mengabarkan dari pamannya, Abdullah bin Zaid, dia berkata: “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pergi ke tanah lapang untuk istisqa, lalu menghadap kiblat, membalik selendangnya, dan shalat dua rakaat.” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Hisyam bin Ishaq bin Abdullah bin Kinanah mengabarkan kepadaku dari ayahnya dari Ibnu Abbas seperti itu. 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Shalih bin Muhammad bin Za’idah mengabarkan kepadaku dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali, dan bertakbir dalam shalat Id seperti itu. 

Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Amr bin Yahya bin Imarah mengabarkan kepadaku bahwa Abu Bakr bin Amr bin Hazm menyarankan kepada Muhammad bin Hisyam untuk bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali. 

(Imam Syafi’i berkata): Dengan semua ini kami mengambil pendapat, maka kami memerintahkan imam untuk bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (Al-Fatihah), mengangkat tangan pada setiap takbir dari tujuh dan lima kali, mengeraskan bacaan, dan shalat dua rakaat tanpa berbeda dengan shalat Id sedikit pun. Kami memerintahkan dia untuk membaca dalam shalat istisqa apa yang dibaca dalam shalat Id. Jika dia tidak mengeraskan bacaan dalam shalat istisqa, tidak perlu diulang. Jika dia meninggalkan takbir, juga tidak perlu diulang, dan tidak ada sujud sahwi. Jika dia meninggalkan takbir sampai memulai bacaan dalam suatu rakaat, dia tidak perlu bertakbir setelah memulai bacaan. Demikian pula jika dia bertakbir sebagian lalu memulai bacaan, dia tidak perlu menyempurnakan takbir yang tertinggal.

Takbir pada rakaat itu, dan bertakbir pada rakaat lainnya untuk takbirnya, dan tidak mengqadha apa yang ditinggalkan dari takbir pertama. Jika dilakukan pada rakaat lainnya seperti itu, maka begitulah caranya bertakbir sebelum membaca, dan tidak bertakbir setelah membaca pada rakaat yang dibuka dengan bacaan. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula hal ini dalam shalat Idain (dua hari raya), tidak berbeda. Apa yang dibaca bersama Ummul Quran (Al-Fatihah) pada setiap rakaat sudah mencukupi. Jika hanya membaca Ummul Quran pada setiap rakaat, itu juga mencukupi. Jika shalat dua rakaat dan membaca Ummul Quran pada salah satunya, sedangkan pada rakaat lainnya tidak membaca Ummul Quran, maka shalatnya hanya dianggap satu rakaat, sehingga harus menambah rakaat lain dan sujud sahwi. Baik dia maupun makmum di belakangnya tidak boleh menganggap rakaat yang tidak membaca Ummul Quran. Jika shalat dua rakaat dan tidak membaca Ummul Quran pada keduanya, maka harus mengulanginya baik berkhutbah atau tidak. Jika tidak mengulanginya hingga selesai, aku lebih suka dia mengulanginya keesokan harinya atau pada hari itu jika jamaah belum bubar. Jika mengulanginya, maka khutbah juga diulang setelahnya. Jika ini terjadi dalam shalat Id, maka dia harus mengulanginya pada hari itu sebelum matahari tergelincir. Jika matahari telah tergelincir, tidak perlu mengulanginya karena shalat Id memiliki waktu tertentu, jika sudah lewat maka tidak boleh dilaksanakan. Setiap hari adalah waktu untuk shalat Istisqa’, karena itu boleh mengulanginya setelah Zhuhur dan sebelum Ashar.

[Thaharah untuk Shalat Istisqa’] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak boleh seorang yang hadir atau musafir melaksanakan shalat Istisqa’, shalat Id, shalat jenazah, sujud syukur, sujud tilawah, atau menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci, yaitu thaharah yang sah untuk shalat wajib, karena semua itu termasuk shalat. Tidak halal menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci. Baik dia khawatir kehilangan sebagian dari shalat ini atau tidak, hukumnya sama seperti shalat wajib.

[Khutbah dalam Istisqa’] 

Bagaimana khutbah dalam Istisqa’? 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Imam berkhutbah dalam Istisqa’ dua khutbah, sebagaimana khutbah pada shalat Idain. Dia bertakbir kepada Allah, memuji-Nya, bershalawat kepada Nabi ﷺ, dan memperbanyak istighfar hingga menjadi bagian terbesar dari khutbahnya. Dia juga banyak membaca: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit kepadamu.” (Nuh: 10-11).

[Doa dalam Khutbah Istisqa’] 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Dan dia mengucapkan: “Ya Allah, Engkau telah memerintahkan kami untuk berdoa kepada-Mu dan menjanjikan akan mengabulkannya. Kami telah berdoa sebagaimana Engkau perintahkan, maka kabulkanlah sebagaimana janji-Mu. Ya Allah, jika Engkau mewajibkan pengabulan doa bagi ahli ketaatan, sedangkan kami telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketaatan murni, maka berilah kami ampunan atas kesalahan kami dan kabulkanlah doa kami untuk turunnya hujan serta kelapangan rezeki.” Kemudian dia boleh berdoa dengan apa saja yang dia inginkan untuk urusan dunia dan akhirat, tetapi doanya harus didominasi oleh istighfar. Dia memulai doa dengan istighfar, memisahkan pembicaraan dengannya, dan mengakhirinya dengan istighfar. Sebagian besar ucapannya adalah istighfar hingga selesai. Dia juga mengajak manusia untuk bertaubat, taat, dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Imam Syafi’i berkata): Telah sampai kepada kami bahwa “Rasulullah ﷺ apabila berdoa dalam Istisqa’, beliau mengangkat kedua tangannya.” Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad dari Syarik bin Abdullah bin Abi Numair dari Anas bin Malik bahwa “Nabi ﷺ apabila memohon hujan, beliau berdoa: ‘Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.’” Diriwayatkan oleh Ibrahim dari Khalid bin Rabah dari Al-Muthalib bin Hantab bahwa “Nabi ﷺ …” (lanjutan hadis).

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dia biasa berdoa saat hujan: “Ya Allah, turunkanlah hujan sebagai rahmat, bukan sebagai azab, bukan bencana, bukan penghancur, bukan pula banjir. Ya Allah, turunkanlah hujan di bukit-bukit, tempat tumbuhnya pepohonan. Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk membinasakan kami.” (Salim bin Abdullah meriwayatkan dari ayahnya): “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika meminta hujan berdoa: ‘Ya Allah, turunkanlah hujan yang menyuburkan, menyegarkan, bermanfaat, lebat, merata, melimpah, terus-menerus. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, jangan jadikan kami termasuk orang yang putus asa. Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu, negeri-negeri, hewan ternak, dan makhluk-Mu sedang mengalami kesulitan, kesusahan, dan penderitaan yang tidak kami adukan kecuali kepada-Mu. Ya Allah, tumbuhkanlah tanaman untuk kami, penuhilah susu ternak kami, turunkanlah hujan dari berkah langit, dan tumbuhkanlah untuk kami dari berkah bumi. Ya Allah, hindarkanlah kami dari kesulitan, kelaparan, dan kekurangan, dan singkirkanlah dari kami bencana yang tidak bisa disingkirkan selain oleh-Mu. Ya Allah, kami memohon ampun kepada-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka turunkanlah hujan yang deras kepada kami.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Aku suka jika imam berdoa dengan ini, tidak ada batasan waktu dalam berdoa, dan tidak melampauinya.” Ibrahim mengabarkan dari Al-Muthalib bin Saib dari Ibnul Musayyab, dia berkata: “Umar meminta hujan, dan doanya yang paling banyak adalah istighfar.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika dia berkhutbah dengan satu khutbah tanpa duduk di tengah, tidak perlu mengulang, tetapi lebih baik jika dia duduk saat naik mimbar atau tempat berkhutbah, lalu berkhutbah, kemudian duduk, lalu berkhutbah lagi.”

[Membalik Selimut Imam dalam Shalat Istisqa]

Membalik selimut imam (Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): “Dia memulai dengan khutbah pertama, lalu duduk, kemudian berdiri untuk melanjutkan sebagian khutbah terakhir. Dia menghadap jamaah dalam kedua khutbah, lalu menghadap kiblat dan membalik selimutnya, dan jamaah juga membalik selimut mereka bersamanya. Dia berdoa dalam hati, dan jamaah berdoa bersamanya. Kemudian dia menghadap jamaah dan memberi nasihat, memerintahkan kebaikan, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdoa untuk mukminin dan mukminat, membaca satu ayat atau lebih dari Al-Qur’an, dan mengucapkan: ‘Aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian,’ lalu turun. Jika dia menghadap kiblat dalam khutbah pertama, tidak perlu mengulanginya dalam khutbah kedua. Aku suka jika yang hadir dalam istisqa mendengarkan khutbah dengan tenang, tetapi ini tidak wajib seperti dalam shalat Jumat.”

Bagaimana imam membalik selimutnya dalam khutbah.

(Asy-Syafi’i berkata): “Ad-Darawardi mengabarkan dari Umarah bin Ghaziyah dari Abbad bin Tamim, dia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan dengan mengenakan selimut hitam. Rasulullah ingin memegang bagian bawahnya dan menjadikannya di atas, tetapi karena berat, beliau membalikkannya di pundaknya.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Inilah pendapatku, kami memerintahkan imam untuk membalik selimutnya, menjadikan bagian atas di bawah, dan menambah dengan memindahkan bagian yang di pundak kanan ke pundak kiri, dan yang di pundak kiri ke pundak kanan. Dengan demikian, dia telah melakukan apa yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari membalik dan memindahkan bagian kanan ke kiri jika selimutnya ringan. Jika berat, dia melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu memindahkan bagian kanan ke kiri dan sebaliknya. Jamaah melakukan seperti yang dilakukan imam. Jika ada yang meninggalkannya, baik jamaah atau imam, aku tidak menyukai hal itu, tetapi tidak ada kafarat atau pengulangan. Dia tidak perlu membalik selimutnya saat turun dari tempat khutbah. Jika mereka membalik selimut, biarkan tetap terbalik sampai dilepas. Jika seseorang hanya memindahkan selimutnya tanpa membalik, itu cukup insya Allah, karena ada kelonggaran dalam hal ini. Demikian pula jika hanya membalik tanpa memindahkan, aku berharap itu cukup.”

[Kebencian terhadap Penyebutan Hujan karena Bintang]

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – mengabarkan kepada kami dari Malik dari Shalih bin Kaisan dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah shalat Subuh bersama kami di Hudaibiyah setelah turun hujan pada malam harinya. Setelah selesai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang dan bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda: ‘Allah berfirman: “Di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang.”‘” (Imam Syafi’i berkata): Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – (ayah dan ibuku sebagai tebusannya) adalah orang Arab yang fasih bahasanya, perkataannya mengandung berbagai makna. Hujan itu turun di tengah-tengah kaum yang mayoritasnya musyrik, karena ini terjadi pada perang Hudaibiyah. Menurut pemahamanku – wallahu a’lam – makna sabda beliau adalah bahwa orang yang mengatakan, “Kami diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah,” itu adalah keimanan kepada Allah karena ia tahu bahwa tidak ada yang menurunkan hujan atau memberi kecuali Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang yang mengatakan, “Kami diberi hujan karena bintang ini dan itu,” seperti yang dimaksud sebagian orang musyrik dengan menyandarkan hujan kepada bintang tertentu, maka itu adalah kekufuran sebagaimana sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena bintang adalah waktu, sedangkan waktu adalah makhluk yang tidak memiliki kuasa apa pun untuk dirinya maupun orang lain, tidak menurunkan hujan, dan tidak melakukan apa pun. Namun, jika seseorang mengatakan, “Kami diberi hujan karena bintang ini,” dengan maksud “kami diberi hujan pada waktu ini,” maka itu sama seperti mengatakan, “Kami diberi hujan pada bulan ini,” dan ini tidak dianggap kufur. Meski begitu, perkataan lain lebih aku sukai daripada ini. (Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika seseorang mengatakan, “Kami diberi hujan pada waktu ini.” Diriwayatkan dari Umar bahwa ia pernah berkata pada hari Jumat saat berada di mimbar: “Berapa lama lagi waktu bintang Tsurai’a tersisa?” Al-‘Abbas berdiri dan berkata, “Tidak ada yang tersisa kecuali ‘awa’ (sisa sedikit).” Lalu Umar berdoa, dan orang-orang pun berdoa hingga ia turun dari mimbar, kemudian turunlah hujan yang membuat orang-orang basah kuyup. Perkataan Umar ini menjelaskan apa yang aku jelaskan sebelumnya, karena ia hanya bermaksud menanyakan berapa lama waktu bintang Tsurai’a tersisa untuk memberitahu mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan waktu-waktu tertentu untuk hujan berdasarkan pengalaman mereka, sebagaimana mereka tahu bahwa Allah menetapkan panas dan dingin pada waktu-waktu tertentu berdasarkan pengalaman. Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – jika pagi hari dan orang-orang telah kehujanan, ia berkata, “Kami diberi hujan karena bintang al-Fath,” lalu membaca firman Allah: {Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada yang dapat menahannya} (QS. Fathir: 2). Juga telah sampai kepadaku bahwa Umar bin al-Khattab pernah memarahi seorang tua dari Bani Tamim yang bersandar pada tongkatnya di pagi hari setelah orang-orang kehujanan, ia berkata, “Malam tadi bintang al-Majdah telah memberi dengan baik.” Umar mengingkari perkataannya, “Bintang al-Majdah telah memberi dengan baik,” karena ia menyandarkan hujan kepada bintang al-Majdah.

[Menampakkan Diri untuk Kehujanan]

(Imam Syafi’i) – rahimahullah Ta’ala – telah sampai kepada kami bahwa “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa kehujanan pada awal turunnya hujan hingga tubuhnya basah.” Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika langit menurunkan hujan, ia berkata kepada pelayannya, “Keluarkan kasur dan pelanaku agar terkena hujan.” Abu al-Jauza’ bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa engkau melakukan ini, semoga Allah merahmatimu?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Tidakkah engkau membaca firman Allah: {Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah} (QS. Qaf: 9)? Aku ingin berkah itu mengenai kasur dan pelanaku.” Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Harmalah dari Ibnu al-Musayyib bahwa ia melihatnya di masjid ketika langit menurunkan hujan. Saat itu, ia berada di tempat minum, lalu pergi ke pelataran masjid dan membuka punggungnya untuk terkena hujan hingga basah, kemudian kembali ke tempat duduknya.

[Yang Diucapkan Saat Terjadi Banjir] 

Banjir 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah Ta’ala- berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai dari Yazid bin Abdullah bin Al-Had, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila terjadi banjir, beliau bersabda: “Keluarlah bersama kami menuju sesuatu yang Allah jadikan sebagai penyuci, agar kita bersuci dengannya dan memuji Allah atasnya.” (Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai dari Ishaq bin Abdullah bahwa Umar -radhiyallahu ‘anhu- apabila terjadi banjir, beliau pergi bersama sahabat-sahabatnya ke sana dan berkata: “Tidaklah datang sesuatu dari kedatangannya (banjir) kecuali kami mengusap diri dengannya.” 

[Meminta Dikabulkan Doa] 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah Ta’ala- berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz bin Umar dari Makhul dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Mintalah dikabulkan doa saat bertemunya pasukan, dilaksanakannya shalat, dan turunnya hujan.” (Imam Syafi’i) berkata: Aku telah menghafal dari banyak orang tentang permintaan dikabulkannya doa saat turun hujan dan dilaksanakannya shalat. 

[Ucapan Saat Melihat Awan dan Angin] 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah Ta’ala- berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Khalid bin Rabah dari Al-Muthalib bin Hanthab, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila langit berkilat atau berguruh, perubahan itu terlihat pada wajahnya. Namun, apabila hujan turun, beliau merasa lega. (Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Al-Miqdam bin Syuraih meriwayatkan dari ayahnya dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila melihat sesuatu di langit (awan), beliau meninggalkan pekerjaannya, menghadap kiblat, dan berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang ada padanya.’ Jika Allah menghilangkannya, beliau memuji Allah Ta’ala. Dan jika hujan turun, beliau berdoa: ‘Ya Allah, jadikanlah hujan yang bermanfaat.'” (Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu Hazim dari Ibnu Al-Musayyib, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila mendengar suara guruh, perubahan itu terlihat pada wajahnya. Namun, apabila hujan turun, beliau merasa lega. Beliau ditanya tentang hal itu, lalu bersabda: “Aku tidak tahu apakah ini diutus sebagai azab atau rahmat.” (Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-‘Ala bin Rasyid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Tidaklah angin bertiup kecuali Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersimpuh pada lututnya dan berdoa: ‘Ya Allah, jadikanlah ia sebagai rahmat, dan jangan jadikan ia sebagai azab. Ya Allah, jadikanlah ia angin yang baik, dan jangan jadikan ia angin yang buruk.'” Ibnu Abbas berkata: Dalam kitab Allah Azza wa Jalla (terdapat firman-Nya): “Sesungguhnya Kami telah mengirim kepada mereka angin yang sangat kencang.” (QS. Al-Qamar: 19), dan “Ketika Kami mengirim kepada mereka angin yang tidak membawa hasil.” (QS. Adz-Dzariyat: 41). Dan firman-Nya: “Dan Kami telah mengirim angin untuk membawa hujan.” (QS. Al-Hijr: 22), “Dia mengirim angin pembawa kabar gembira.” (QS. Ar-Rum: 46). 

(Imam Syafi’i) berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Shafwan bin Salim.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Janganlah kalian mencaci angin, dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya.” (Asy-Syafi’i berkata): Tidak pantas bagi seseorang mencaci angin, karena ia adalah makhluk Allah ‘Azza wa Jalla yang taat dan tentara dari tentara-tentara-Nya. Dia menjadikannya sebagai rahmat atau azab sesuai kehendak-Nya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abbas, ia berkata, “Seorang laki-laki mengeluhkan kemiskinan kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu Nabi bersabda, ‘Mungkin engkau mencaci angin?'” 

Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah dari Az-Zuhri dari Tsabit bin Qais dari Abu Hurairah, ia berkata, “Orang-orang diterpa angin kencang di jalan Mekkah saat Umar sedang menunaikan haji. Umar – radhiyallahu ‘anhu – bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, ‘Apa yang kalian ketahui tentang angin?’ Mereka tidak menjawabnya. Lalu sampai kepadaku pertanyaan Umar tentang angin, maka aku segera memacu tungganganku hingga menyusul Umar, karena aku berada di barisan belakang. Aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, aku mendengar engkau bertanya tentang angin. Sungguh, aku mendengar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Angin adalah bagian dari roh Allah. Ia datang membawa rahmat dan juga azab. Maka janganlah kalian mencacinya. Mohonlah kepada Allah kebaikannya dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya.”‘” 

Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Thawus, ‘Apa yang biasa ayahmu ucapkan ketika mendengar guruh?’ Ia menjawab, ‘Biasanya beliau mengucapkan: “Subhana man sabbahat lahu” (Maha Suci Dzat yang guruh bertasbih kepada-Nya).'” (Asy-Syafi’i berkata): Sepertinya ia merujuk pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan guruh bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. Ar-Ra’d: 13). 

[Isyarat tentang Hujan] 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tidak aku ragukan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abdullah dari Urwah bin Az-Zubair, ia berkata, “Jika salah seorang dari kalian melihat kilat atau hujan, janganlah menunjuk ke arahnya, tetapi hendaklah ia menyifatinya dan menggambarkannya.” (Asy-Syafi’i berkata): Orang Arab sejak dulu tidak suka menunjuk ke arah guruh. 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata, telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah bahwa Mujahid pernah berkata, “Guruh adalah malaikat, dan kilat adalah sayap malaikat yang menggiring awan.” (Asy-Syafi’i berkata): Perkataan Mujahid sangat mirip dengan zahir Al-Qur’an. 

Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah dari Mujahid, ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar ada seseorang yang matanya hilang karena kilat,” seakan ia merujuk pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 20). 

Dikatakan juga: Telah sampai kepadaku dari Mujahid bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar orang yang tersambar petir,” seakan ia merujuk pada firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan Dia melepaskan petir, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Ar-Ra’d: 13). Dan aku pernah mendengar orang berkata, “Petir terkadang membunuh dan membakar.” 

Banyak dan Sedikitnya Hujan 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim dari ‘Amr bin Abi ‘Amr dari Al-Muththalib bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak ada satu jam pun di malam atau siang hari kecuali langit menurunkan hujan, lalu Allah mengalirkannya ke mana saja yang Dia kehendaki.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tidak aku ragukan dari Abdullah bin Abi Bakar dari ayahnya, “Orang-orang pernah kehujanan pada suatu malam. Ketika pagi hari, Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – datang kepada mereka dan bersabda, ‘Tidak ada satu tempat pun di bumi kecuali telah turun hujan pada malam ini.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tidak aku ragukan dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tahun kekeringan bukanlah tahun di mana kalian tidak mendapat hujan sama sekali, melainkan tahun di mana kalian tetap mendapat hujan, tetapi bumi tidak menumbuhkan sesuatu pun.” 

Daerah Mana yang Dihujani 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata, telah mengabarkan kepadaku seorang yang tidak aku ragukan, ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Ishaq bin Abdullah dari Al-Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Madinah berada di antara dua mata air langit: satu mata air di Syam dan satu mata air…”

Di Yaman, yang merupakan daerah dengan curah hujan paling sedikit,” (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku tuduh (berdusta), ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Yazid atau Naufal bin Abdul Malik Al-Hasyimi bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Diamlah, daerah dengan curah hujan paling sedikit, yang terletak di antara mata langit, yaitu Madinah: satu mata di Syam dan satu mata di Yaman.” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku tuduh. Ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Hampir saja Madinah turun hujan yang tidak bisa melindungi penduduknya di rumah-rumah, melainkan hanya bisa berlindung di bawah tenda-tenda bulu.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku tuduh dari Shafwan bin Sulaim bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Madinah akan ditimpa hujan yang tidak bisa melindungi penduduknya di rumah-rumah tanah.” (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang tidak aku tuduh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Zaid bin Muhajir dari Shalih bin Abdullah bin Az-Zubair bahwa Ka’ab berkata kepadanya saat sedang bekerja di Mekah: “Kuatkan dan ikatlah dengan baik, karena kami menemukan dalam kitab-kitab bahwa banjir besar akan sering terjadi di akhir zaman.” Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Amr bin Dinar dari Sa’id bin Al-Musayyib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: “Pernah datang banjir besar ke Mekah yang memenuhi seluruh area antara dua gunung.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Dan telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku tuduh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Musa bin Jubair dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif dari Yusuf bin Abdullah bin Salam dari ayahnya, ia berkata: “Hampir saja Madinah ditimpa hujan selama empat puluh malam, sehingga penduduknya tidak bisa berlindung di rumah-rumah tanah.” 

“Angin apa yang membawa hujan?” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku tuduh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Ubaidah dari Muhammad bin Amr bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Aku ditolong dengan angin timur, sedangkan ia adalah azab bagi umat sebelumku.” (Asy-Syafi’i berkata): Dan telah sampai kepadaku bahwa Qatadah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah angin selatan berhembus kecuali akan mengalirkan air di lembah.” (Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya adalah Allah menciptakan angin itu berhembus membawa kabar gembira sebelum turunnya rahmat berupa hujan. Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sulaiman dari Al-Minhal bin Amr dari Qais bin As-Sakan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengirim angin yang membawa air dari langit, kemudian melewati awan hingga mengumpulkan air seperti unta yang mengumpulkan susu, lalu turunlah hujan.” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i. Ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami orang yang tidak aku tuduh, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Abdullah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika angin laut berubah menjadi angin Syam, maka itu pertanda akan banyak hujan.” 

[Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat] 

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata: “Barangsiapa meninggalkan shalat wajib dari kalangan orang yang telah masuk Islam, maka katakanlah kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak shalat?’ Jika ia menyebutkan karena lupa, maka kami katakan: ‘Shalatlah ketika ingat.’ Jika ia menyebutkan karena sakit, maka kami katakan: ‘Shalatlah semampumu, baik sambil berdiri, duduk, berbaring, atau dengan isyarat.’ Jika ia berkata: ‘Aku mampu shalat dan bisa melakukannya dengan baik, tetapi aku tidak mau shalat meskipun itu kewajibanku,’ maka katakanlah kepadanya: ‘Shalat adalah kewajibanmu yang tidak bisa diwakilkan orang lain, dan tidak sah kecuali dengan usahamu sendiri. Jika engkau shalat, (maka itu baik). Jika tidak, kami akan memintamu bertobat. Jika engkau bertobat, (maka diterima). Jika tidak, kami akan membunuhmu, karena shalat lebih besar daripada zakat.’ Dalil dalam hal ini adalah sebagaimana yang telah aku sebutkan, bahwa Abu Bakar -radhiyallahu ‘anhu- berkata: ‘Seandainya mereka menahan dariku seutas tali yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya. Janganlah kalian memisahkan apa yang telah Allah satukan.’ 

(Asy-Syafi’i berkata): Menurut pendapatku -dan Allah Ta’ala lebih tahu- hal ini merujuk pada firman Allah Ta’ala: ‘Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat.’ (QS. Al-Baqarah: 43). Abu Bakar mengabarkan bahwa ia akan memerangi mereka karena shalat dan zakat, sedangkan para sahabat Rasulullah ﷺ memerangi orang-orang yang…

Melarang zakat padahal ia adalah kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah Yang Maha Tinggi, dan menghalangi orang-orang yang berhak menerimanya sehingga tidak bisa mengambilnya dengan sukarela, dan mereka tidak dipaksa untuk membayarnya sehingga bisa diambil dari mereka seperti pelaksanaan hukuman atas mereka dengan terpaksa, dan harta mereka diambil untuk yang berhak menerima zakat atau hutang, baik dengan rela atau terpaksa, maka diperbolehkan memerangi mereka. Dan perang adalah sebab terbunuhnya mereka. Sedangkan shalat, meskipun orang yang meninggalkannya berada dalam kuasa kita dan tidak menghalangi kita, kita tidak bisa mengambil shalat darinya karena shalat bukanlah sesuatu yang bisa diambil dari tangannya seperti barang temuan, pajak, atau harta. 

Kami berkata: “Jika engkau shalat, jika tidak, kami akan membunuhmu,” sebagaimana kami katakan: “Jika engkau menerima iman, jika tidak, kami akan membunuhmu,” karena iman tidak terwujud kecuali dengan pengakuanmu. Sedangkan shalat dan iman berbeda dengan apa yang ada di tanganmu dan apa yang kami ambil dari hartamu, karena kami bisa mengambil hakmu dalam hal itu meskipun engkau tidak suka. Jika ada saksi yang bersaksi bahwa ia meninggalkan shalat, ia akan ditanya tentang apa yang mereka katakan. Jika ia berkata: “Mereka dusta,” dan memungkinkan baginya untuk shalat di tempat yang tidak mereka ketahui, maka ia dibenarkan. Jika ia berkata: “Aku lupa,” maka ia juga dibenarkan. Begitu pula jika mereka bersaksi bahwa ia shalat sambil duduk padahal ia sehat, lalu ia berkata: “Aku sakit atau sedang shalat sunnah,” maka ia dibenarkan. 

(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat diberi kesempatan bertaubat selama tiga hari. Jika ia shalat dalam tiga hari itu, maka ia dibiarkan. Jika tidak, ia dibunuh. Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami mengenai orang yang meninggalkan shalat ketika diperintahkan untuk melakukannya dan berkata: “Aku tidak akan shalat.” Sebagian berkata: “Ia tidak dibunuh.” Sebagian lain berkata: “Aku akan memukul dan memenjarakannya.” Sebagian lagi berkata: “Aku akan memenjarakannya tanpa memukul.” Dan sebagian lain berkata: “Aku tidak akan memukul atau memenjarakannya, karena ia dianggap amanah dalam shalatnya.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepada yang mengatakan “Aku tidak akan membunuhnya”: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang engkau putuskan hukumnya menurut pendapatmu, padahal ia termasuk ahli fikih, lalu ia berkata: ‘Engkau salah dalam menghukum, dan demi Allah, aku tidak akan menyerahkan apa yang engkau putuskan kepada yang engkau beri keputusan’?” Ia menjawab: “Jika aku bisa mengambilnya darinya, aku akan mengambilnya tanpa peduli ucapannya. Jika aku tidak bisa dan ia menghalanginya, aku akan memeranginya sampai aku bisa mengambilnya atau membunuhnya.” 

Aku berkata kepadanya: “Dan dalilmu adalah bahwa Abu Bakar memerangi orang yang menolak zakat dan membunuh sebagian mereka.” Ia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Jika ia berkata kepadamu: ‘Zakat adalah kewajiban dari Allah yang tidak boleh diabaikan, sedangkan putusanmu adalah pendapat pribadi yang boleh saja menurutmu dan orang lain berbeda pendapat. Lalu bagaimana engkau membunuhku atas sesuatu yang engkau sendiri tidak yakin kebenarannya, seperti membunuh orang yang menolak kewajiban Allah dalam zakat yang tidak diragukan lagi?'” Ia menjawab: “Karena itu adalah hak menurutku, dan aku memaksamu untuk menunaikannya.” 

Aku berkata: “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa engkau boleh memaksaku?” Ia menjawab: “Para hakim ditempatkan untuk memaksa berdasarkan pendapat mereka.” Aku berkata: “Jika ia berkata: ‘Apakah mereka memutuskan berdasarkan hukum Allah, sunnah, atau sesuatu yang tidak diperselisihkan?'” Ia menjawab: “Mereka terkadang memutuskan hal yang diperselisihkan.” 

Aku berkata: “Jika ia berkata: ‘Pernahkah engkau mendengar seorang hakim memerangi orang yang menolak pendapatnya sehingga engkau mencontohnya?'” Ia menjawab: “Aku tidak menemukan hal itu. Tetapi jika aku yang memutuskan dan ia menolak, aku akan memeranginya.” 

Aku berkata: “Siapa yang mengatakan ini kepadamu?” Dan aku berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata kepadamu: ‘Orang yang murtad dari Islam, jika engkau menawarkannya untuk kembali dan ia berkata: ‘Aku telah mengetahuinya, tetapi aku tidak mau mengucapkannya,’ apakah engkau akan memenjarakan dan memukulnya sampai ia mau mengucapkannya?'” Ia menjawab: “Tidak, karena ia telah mengganti agamanya, dan tidak diterima kecuali jika ia mengucapkannya.” 

Aku berkata: “Apakah engkau akan membunuh orang yang meninggalkan shalat, padahal shalat adalah bagian dari agamanya dan tidak sah kecuali dengannya, sebagaimana pengakuan iman tidak sah kecuali dengannya? Atau apakah engkau akan mempercayakannya dalam shalat seperti sebagian sahabatmu yang berkata: ‘Kami tidak memenjarakan atau memukulnya’?” Ia menjawab: “Ia tidak bisa dipercaya dalam shalat jika jelas bagiku bahwa ia tidak shalat, padahal itu adalah kewajibannya.” 

Aku berkata: “Apakah engkau akan membunuhnya karena pendapatmu bahwa ia menolak putusanmu, tetapi engkau tidak membunuhnya karena ia meninggalkan shalat, yang merupakan kewajiban paling jelas setelah mengesakan Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan beriman dengan apa yang dibawanya dari Allah Yang Maha Tinggi?”

[Hukum Terhadap Tukang Sihir Laki-laki dan Perempuan] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, 

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (iman dengan sihir) maka tidak ada bagian baginya di akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 102). 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, 

“Bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah engkau bahwa Allah telah memberi fatwa kepadaku dalam suatu urusan yang aku minta petunjuk-Nya? Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah beberapa hari lamanya merasa seolah-olah mendatangi istrinya, padahal tidak. Kemudian datanglah dua orang laki-laki kepadaku, yang satu duduk di dekat kakiku dan yang lain di dekat kepalaku. Yang di dekat kakiku bertanya kepada yang di dekat kepalaku, ‘Apa yang terjadi dengan laki-laki ini?’ Ia menjawab, ‘Ia terkena sihir.’ Ia bertanya lagi, ‘Siapa yang menyihirnya?’ Ia menjawab, ‘Labid bin A’sham.’ Ia bertanya, ‘Dengan apa?’ Ia menjawab, ‘Dengan sisir dan rambut yang terjatuh, di dalam kulit mayang kurma jantan, di bawah batu besar di sumur Dzarwan.’ Kemudian Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—datang ke sumur itu dan berkata, ‘Inilah yang diperlihatkan kepadaku, seolah-olah pohon kurmanya adalah kepala-kepala setan, dan airnya seperti rendaman inai.’ Lalu Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memerintahkan untuk mengeluarkannya. ‘Aisyah berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menyihir balik?’ (Sufyan berkata: Maksudnya, ‘Mengapa tidak engkau lepaskan?’). Rasulullah menjawab, ‘Allah ‘Azza wa Jalla telah menyembuhkanku, dan aku tidak suka menimbulkan kejahatan kepada manusia karenanya.’” 

Labid bin A’sham berasal dari Bani Zuraiq, sekutu Yahudi. 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan dari ‘Amr bin Dinar bahwa ia mendengar Bajalah berkata, 

“Umar menulis surat, ‘Bunuhlah setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan!’ Maka kami membunuh tiga tukang sihir perempuan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Dan diriwayatkan kepada kami bahwa Hafshah, istri Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah membunuh seorang budak perempuannya karena ia menyihirnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Sihir adalah nama yang mencakup berbagai makna. Tanyakan kepada tukang sihir, ‘Jelaskan sihir yang engkau lakukan!’ Jika sihirnya berupa ucapan kekafiran yang jelas, maka ia diminta untuk bertobat. Jika tidak bertobat, ia dibunuh, dan hartanya diambil sebagai fai’. Jika sihirnya berupa ucapan yang tidak termasuk kekafiran dan tidak dikenal, serta tidak membahayakan siapa pun, ia dilarang. Jika mengulanginya, ia dihukum. Jika ia tahu bahwa sihirnya membahayakan orang lain tanpa membunuh, dan sengaja melakukannya, ia dihukum. Jika perbuatannya menyebabkan kematian dan ia berkata, ‘Aku sengaja membunuhnya,’ maka ia dihukum qishas, kecuali jika ahli waris korban memilih mengambil diyat dari hartanya. 

Jika ia berkata, ‘Aku melakukan ini untuk membunuh,’ tetapi tidak membunuh, hanya menyebabkan sakit, lalu korban meninggal karenanya, maka ia wajib membayar diyat tanpa qishas. Jika ia berkata, ‘Aku menyihirnya sehingga ia sakit tetapi tidak meninggal,’ lalu ahli waris korban bersumpah bahwa korban meninggal karena perbuatannya, maka mereka berhak mendapat diyat tanpa qishas. 

Harta tukang sihir tidak dirampas kecuali jika sihirnya termasuk kekafiran yang jelas. Umar memerintahkan untuk membunuh tukang sihir menurut pendapat kami. Allah Ta’ala lebih tahu apakah sihir itu syirik seperti yang kami jelaskan. Demikian juga perintah Hafshah. 

Adapun ‘Aisyah menjual budak perempuannya dan tidak memerintahkan membunuhnya, kemungkinan ia tidak tahu bahwa itu sihir, sehingga ia menjualnya karena ia berhak menjual budaknya menurut kami, meskipun budak itu tidak menyihirnya. Seandainya budak itu mengakui di hadapan ‘Aisyah bahwa sihir itu syirik, ‘Aisyah tidak akan membiarkannya hidup jika tidak bertobat atau menyerahkannya kepada imam untuk dibunuh, insya Allah Ta’ala. 

Hadits ‘Aisyah dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menurut kami mengandung salah satu makna ini. Allah Ta’ala lebih tahu. 

(Asy-Syafi’i berkata): Allah melindungi darah dan harta kecuali dengan hak, yaitu dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya atau perjanjian dari kaum mukminin kepada Ahli Kitab. Allah menghalalkan darah orang dewasa yang menolak beriman jika tidak ada perjanjian. 

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, 

“Apabila sudah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka, tangkaplah, kepunglah, dan intailah di setiap tempat pengintaian.” (QS. At-Taubah: 5) hingga “Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, 

“Aku akan terus memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah. Jika mereka mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terlindungi.”

“Darah dan harta mereka tidak halal bagiku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka ada di sisi Allah.” (Asy-Syafi’i berkata): “Yang Allah kehendaki adalah mereka diperangi hingga bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, yaitu para penyembah berhala dari kalangan Arab dan lainnya yang tidak memiliki kitab suci. Jika ada yang bertanya, ‘Apa dalilnya?’ Katakanlah, Allah berfirman: ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, dari kalangan ahli kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk.’ (QS. At-Taubah: 29).” (Asy-Syafi’i berkata): “Siapa yang tetap dalam kesyirikan tanpa beralih ke Islam, maka hukum bunuh berlaku bagi laki-laki dewasa, bukan perempuan.”

[Murtad dari Islam] 

(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Siapa yang berpindah dari kesyirikan kepada keimanan, lalu kembali dari keimanan ke kesyirikan, baik laki-laki maupun perempuan dewasa, diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat, diterima. Jika tidak, dibunuh. Allah berfirman: ‘Mereka tidak akan berhenti memerangi kalian hingga mengembalikan kalian dari agama kalian jika mereka mampu.’ (QS. Al-Baqarah: 217) hingga ‘Mereka kekal di dalamnya.’ (QS. Al-Baqarah: 39).” (Asy-Syafi’i berkata): “Seorang terpercaya dari sahabat kami mengabarkan dari Hammad dari Yahya bin Sa’id dari Abi Umamah bin Sahl bin Hunaif dari Utsman bin Affan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga hal: kekafiran setelah beriman, zina setelah berihsan, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Sufyan bin Uyainah mengabarkan dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Ikrimah yang berkata: Ketika Ibnu Abbas mendengar bahwa Ali -radhiyallahu ‘anhu- membakar orang-orang murtad atau zindiq, ia berkata: ‘Seandainya aku, tidak akan kubakar, tapi akan kubunuh sesuai sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah.’ Aku tidak akan membakar mereka karena sabda Rasulullah: ‘Tidak pantas bagi siapa pun menyiksa dengan siksa Allah.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Malik bin Anas mengabarkan dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Siapa yang mengubah agamanya, penggallah lehernya.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Hadits Yahya bin Sa’id sahih, sedangkan aku tidak melihat ahli hadits mensahkan dua hadits setelah hadits Zaid karena terputus, begitu juga hadits sebelumnya.” (Ia berkata): “Makna hadits Utsman dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ‘kekafiran setelah beriman’ dan makna ‘siapa yang mengganti (agamanya) bunuhlah’ menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang meninggalkan agama benar, yaitu Islam, bukan yang meninggalkan selain Islam. Sebab, orang yang keluar dari selain Islam ke agama lain berarti berpindah dari kebatilan ke kebatilan. Tidak dibunuh karena meninggalkan kebatilan, melainkan karena meninggalkan kebenaran, sebab ia tidak pernah berada pada agama yang menjamin surga dan sebaliknya neraka jika menolaknya. Ia hanya berada pada agama yang menjerumuskannya ke neraka jika tetap di atasnya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.’ (QS. Ali Imran: 19). Allah juga berfirman: ‘Barangsiapa mencari agama selain Islam, tidak akan diterima.’ (QS. Ali Imran: 85) hingga firman-Nya: ‘termasuk orang yang merugi.’ (QS. Al-Baqarah: 64). Dan firman-Nya: ‘Dan Ibrahim mewasiatkan kepada anak-anaknya, begitu pula Ya’qub.’ (QS. Al-Baqarah: 132) hingga ‘Muslim.’ (QS. Al-Baqarah: 132).” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika seorang murtad (laki-laki atau perempuan) dibunuh, hartanya menjadi fa’i (harta rampasan), tidak diwarisi muslim atau dzimmi. Baik harta yang diperoleh selama murtad atau sebelumnya. Anak keturunan orang murtad tidak boleh dijadikan tawanan, baik mereka bertahan di negerinya, melarikan diri ke darul harbi, atau tetap di darul Islam, karena hak Islam telah melekat pada mereka berupa status keagamaan dan kebebasan. Mereka tidak berdosa atas kemurtadan orang tua mereka. Mereka tetap saling mewarisi dan dishalatkan. Jika sudah baligh, diperintahkan masuk Islam. Jika menolak, dibunuh. Jika orang kafir mu’ahad murtad lalu bertahan atau lari ke darul harbi, sementara di antara mereka ada anak keturunan yang lahir dari perjanjian, kami tidak menawan mereka. Kami katakan kepada mereka jika sudah baligh: ‘Jika mau, perjanjian tetap berlaku. Jika tidak, kami batalkan, dan kalian harus keluar dari darul Islam, status kalian adalah musuh.’ Anak yang lahir dari orang murtad (muslim atau dzimmi) tidak ditawan karena orang tua mereka pun tidak ditawan, dan hartanya tidak diambil selama hidup. Jika mati dalam keadaan murtad…”

Murtad atau dibunuh, kami menjadikan hartanya sebagai fai’. Jika dia kembali memeluk Islam, maka hartanya dikembalikan kepadanya. Jika seorang laki-laki atau perempuan murtad dari Islam, keduanya diberi kesempatan untuk bertobat. Secara zahir, hadis menunjukkan bahwa mereka harus diminta bertobat di tempat. Jika bertobat, baik; jika tidak, dibunuh. Namun, hadis juga memungkinkan pemberian waktu untuk bertobat dalam beberapa hari. 

Malik meriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Qari dari ayahnya, yang berkata: Seorang utusan Abu Musa al-Asy’ari datang menemui Umar bin Khattab. Umar bertanya tentang keadaan masyarakat, dan utusan itu memberitahukannya. Lalu Umar bertanya, “Apakah ada kejadian yang mengejutkan di antara kalian?” Utusan itu menjawab, “Ya, ada seorang yang kafir setelah memeluk Islam.” Umar bertanya, “Apa yang kalian lakukan terhadapnya?” Dia menjawab, “Kami mendekatkannya lalu memenggal lehernya.” Umar berkata, “Mengapa kalian tidak menahannya selama tiga hari, memberinya sepotong roti setiap hari, dan memintanya bertobat? Barangkali dia bertobat dan kembali kepada ketetapan Allah. Ya Allah, aku tidak hadir, tidak memerintahkan, dan tidak rela ketika hal itu sampai kepadaku.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Ada dua pendapat mengenai penahanan selama tiga hari. Pertama, berdasarkan hadis Nabi ﷺ: “Darah seorang halal (boleh dibunuh) karena tiga hal: kekafiran setelah iman…” Orang ini telah kafir setelah beriman dan mengganti agama yang benar. Nabi ﷺ tidak memerintahkan penundaan tertentu dalam hal ini. Jika ada yang berargumen bahwa Allah memberi kesempatan tiga hari bagi sebagian orang sebelum azab ditimpakan, maka azab Allah berbeda dengan kewajiban pemimpin dalam menegakkan hak Allah. 

Jika ada yang bertanya, apa dalilnya? Jawabannya adalah kebijaksanaan Allah dalam memberi kesempatan bagi orang kafir dan durhaka. Ada yang dihukum segera, ada yang ditunda hingga azab akhirat. Allah melaksanakan ketetapan-Nya sesuai kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak hukum-Nya. Dia Mahacepat perhitungan-Nya. Tidak ada makhluk yang memiliki hak seperti ini. 

Oleh karena itu, memberi kesempatan tiga hari untuk bertobat adalah pendapat yang sah. Jika dia tidak bertobat setelah tiga hari, harapan untuk tobatnya terputus. Atau, bisa juga keputusannya langsung diambil saat itu juga. Ini adalah pendapat yang kuat, wallahu a’lam. 

Sebagian berpendapat tidak perlu menunda, dengan alasan hadis Umar (“Jika kalian menahannya tiga hari…”) tidak kuat karena sanadnya tidak bersambung. Meski jika sahih, seolah-olah tidak ada konsekuensi bagi yang membunuh sebelum tiga hari. 

Pendapat kedua adalah menahannya tiga hari. Yang berpendapat demikian berargumen bahwa Umar bin Khattab memerintahkannya, dan hukuman kadang bisa ditunda tanpa cela. 

Ar-Rabi’ berkata, Asy-Syafi’i dalam kesempatan lain mengatakan: “Tidak dibunuh hingga melewati setiap waktu shalat, lalu dikatakan, ‘Shalatlah!’ Jika tidak shalat, baru dibunuh.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Para sahabat kami berbeda pendapat tentang murtad. Sebagian mengatakan: Siapa yang lahir dalam fitrah (Islam) lalu murtad ke agama yang jelas atau tidak jelas, tidak perlu diberi kesempatan bertobat, langsung dibunuh. Sebagian lain berpendapat, baik yang lahir dalam fitrah maupun yang masuk Islam kemudian, jika murtad ke Yahudi, Nasrani, atau agama yang jelas, diberi kesempatan bertobat. Jika bertobat, diterima; jika tidak, dibunuh. Jika murtad ke agama tersembunyi seperti zindiq, langsung dibunuh tanpa melihat tobat. 

Sebagian lagi berpendapat, baik yang lahir dalam fitrah atau tidak, jika murtad, diberi kesempatan bertobat. Jika bertobat, diterima; jika tidak, dibunuh. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku memilih pendapat ini. Jika ada yang bertanya, mengapa? Karena yang menghalalkan darah murtad adalah sebagaimana Allah menghalalkan darah musyrik. Sabda Nabi ﷺ: “Kekafiran setelah iman” menunjukkan bahwa ucapan kekafiran menghalalkan darahnya, seperti zina setelah ihshar. Dia dibunuh karena kekafirannya, apapun bentuk kekafirannya, baik lahir dalam fitrah atau tidak. 

Atau, yang menghalalkan darahnya adalah kekafiran yang jelas. Jika diminta kembali kepada Islam tetapi menolak, ini lebih utama. Karena Nabi ﷺ pernah membunuh seorang murtad, Abu Bakar memerangi kaum murtad, dan Umar membunuh Tulaihah, ‘Uyainah bin Badr, dan lainnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dua pendapat yang aku tinggalkan tidak… (tidak dilanjutkan).

dengan salah satu dari dua pendapat ini yang tidak ada alasan lain bagi apa yang datang dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – selain keduanya. Sesungguhnya hamba-hamba hanya dibebani untuk menilai yang tampak dari ucapan dan perbuatan, sedangkan Allah yang mengurusi pahala berdasarkan rahasia hati, bukan makhluk-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: 

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau adalah utusan-Nya, dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Al-Munafiqun: 1-2) 

sampai firman-Nya: 

“Maka Allah mengunci mati hati mereka.” (QS. Al-Munafiqun: 3) 

Dikatakan mengenai firman Allah ‘azza wa jalla “Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta,” bahwa mereka tidak ikhlas. Dan dalam firman Allah tentang orang-orang yang beriman kemudian kafir, lalu menampakkan pengakuan kembali, Allah tabaraka ismuhu berfirman: 

“Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengucapkan (kata-kata kufur), padahal sungguh mereka telah mengucapkan kekufuran dan telah kafir setelah keislaman mereka.” (QS. At-Taubah: 74) 

Maka, Allah melindungi darah mereka karena pengakuan sumpah yang mereka tampakkan, meskipun mereka telah mengucapkan kekafiran. 

Firman Allah jalla tsana’uhu “Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai,” menunjukkan bahwa menampakkan keimanan adalah pelindung dari pembunuhan, sedangkan Allah yang menguasai rahasia hati. 

(Asy-Syafi’i berkata): Yahya bin Hassan mengabarkan kepada kami dari Al-Laits bin Sa’d dari Ibnu Syihab dari ‘Atha’ bin Yazid Al-Laitsi dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bin Al-Khiyar, dari Al-Miqdad bahwa dia mengabarkan kepadanya bahwa dia berkata: 

“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bertemu seorang lelaki dari orang-orang kafir, lalu dia memerangiku dan memukul salah satu tanganku dengan pedang hingga memutuskannya, kemudian dia berlindung dariku dengan sebuah pohon seraya berkata, ‘Aku berserah diri kepada Allah,’ apakah aku boleh membunuhnya, wahai Rasulullah, setelah dia mengucapkannya?” 

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Jangan engkau bunuh dia.” 

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, dia telah memutuskan salah satu tanganku, lalu mengucapkan itu setelah memutuskannya.” 

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Jangan engkau bunuh dia. Jika engkau membunuhnya, maka dia berada dalam posisimu sebelum engkau membunuhnya, dan engkau berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat yang dia ucapkan.” 

Ar-Rabi’ berkata: Makna sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – “Jika engkau membunuhnya, maka dia berada dalam posisimu sebelum engkau membunuhnya, dan engkau berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat yang dia ucapkan,” yaitu bahwa dia dalam posisimu yang haram darahnya, sedangkan engkau jika membunuhnya, maka engkau berada dalam posisinya yang halal darahnya sebelum dia mengucapkan apa yang dia ucapkan. 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang-orang munafik terdapat petunjuk tentang beberapa hal, di antaranya: 

  1. Tidak dibunuh orang yang menampakkan taubat dari kekafiran setelah beriman.
  2. Bahwa darah mereka dilindungi meskipun mereka kembali kepada selain Yahudi, Nasrani, Majusi, atau agama yang mereka tampakkan. Mereka hanya menampakkan Islam, sedangkan mereka menyembunyikan kekafiran. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membiarkan mereka secara lahiriah tetap dalam hukum-hukum Islam, sehingga mereka menikahi kaum muslimin, saling mewarisi, diberi bagian ghanimah bagi yang ikut perang, dan dibiarkan berada di masjid-masjid kaum muslimin.

(Asy-Syafi’i berkata): Tidak ada yang lebih keras dan lebih jelas kekafirannya daripada orang yang Allah ‘azza wa jalla kabarkan tentang kekafirannya setelah keimanannya. 

Jika ada yang berkata: “Allah ‘azza wa jalla mengabarkan rahasia mereka, dan mungkin manusia tidak mengetahuinya. Di antara mereka ada yang disaksikan kekafirannya setelah keimanan, ada yang mengaku setelah persaksian, ada yang mengaku tanpa persaksian, dan ada yang mengingkari setelah persaksian.” 

Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang mereka dengan ucapan yang jelas, firman-Nya: 

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.'” (QS. Al-Ahzab: 12) 

Maka, siapa pun yang mengucapkan apa yang mereka ucapkan, baik dia tetap pada ucapannya, mengingkari, atau mengaku, lalu menampakkan Islam, maka dia dibiarkan karena menampakkan Islam dan tidak dibunuh. 

Jika ada yang berkata: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seorang pun yang mati di antara mereka selama-lamanya,’ sampai firman-Nya, ‘karena mereka orang-orang fasik.'” 

Maka, shalat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berbeda dengan shalat kaum muslimin selain beliau, karena kami berharap beliau tidak menshalati seorang pun kecuali orang yang Allah berikan rahmat kepadanya. 

Allah telah menetapkan: 

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan engkau tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145) 

Dan firman-Nya jalla tsana’uhu: 

“Kamu memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampunan bagi mereka, (itu sama saja). Jika kamu memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 80) 

Jika ada yang berkata: “Apa yang menunjukkan perbedaan antara shalat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika dilarang untuk mereka dan shalat kaum muslimin selain beliau?” 

Maka, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dilarang menshalati mereka berdasarkan larangan Allah, sedangkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak melarang kaum muslimin untuk menshalati atau mewarisi mereka. 

Jika ada yang berkata: “Apakah larangan membunuh mereka khusus untuk Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -?”

Maka hal itu masuk ke dalam hukum-hukum lainnya. Dikatakan mengenai orang yang meninggalkan—semoga keselamatan atasnya—membunuhnya atau membunuhnya, hal ini dianggap khusus baginya dan tidak berlaku untuk orang lain kecuali ada bukti yang menunjukkan bahwa suatu perkara dikhususkan untuk Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika tidak, maka apa yang dilakukannya secara umum, orang-orang wajib mengikutinya dalam hal yang serupa, kecuali jika dijelaskan bahwa itu khusus atau ada petunjuk melalui suatu riwayat. 

(Imam Syafi’i berkata): Mereka hidup bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman, para pemimpin petunjuk, dan mereka saling mengenal satu sama lain, tetapi tidak seorang pun dari mereka dibunuh. Mereka juga tidak menghalangi hukum Islam secara lahiriah selama mereka menampakkan keislaman. Umar pernah melewati Hudzaifah bin Al-Yaman ketika ada jenazah. Jika Hudzaifah memberi isyarat agar Umar duduk, maka Umar duduk dan mengambil kesimpulan bahwa jenazah itu seorang munafik. Namun, Umar tidak melarang seorang Muslim untuk menshalatinya. Umar hanya duduk dan tidak menshalati karena duduk dan tidak menshalati jenazah itu diperbolehkan bagi selain munafik jika ada orang lain yang menshalatinya. 

Seorang lelaki mungkin murtad kembali ke Nasrani, lalu menampakkan taubat. Ada kemungkinan dia tetap dalam kemurtadannya karena dia mungkin menganggap hal itu boleh tanpa perlu bergaul dengan orang Nasrani atau mengunjungi gereja. Tidak ada dalam kemurtadannya ke agama yang tidak dia tampakkan—jika dia menampakkan taubat—alasan untuk mengatakan bahwa tidak ada bukti taubatnya selain ucapannya, sementara dia masih masuk dalam Nasrani. Setiap agama yang dia tampakkan, sebelum kemurtadannya terlihat, mungkin saja mengandung kemurtadan. 

Jika ada yang berkata, “Aku tidak dibebani untuk menilai ini, aku hanya dibebani dengan yang tampak. Allah yang menguasai yang tersembunyi,” maka perkataan iman diterima ketika diucapkan secara lahiriah dan dinisbatkan kepadanya, serta diamalkan jika dia beramal dengannya. Ini berlaku sama untuk semua orang, tidak berbeda. Tidak boleh dibedakan kecuali dengan dalil, kecuali jika Allah dan Rasul-Nya membedakannya. Kami tidak mengetahui hukum dari Allah atau Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wasallam—yang membedakan hal ini. Hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya menunjukkan bahwa tidak seorang pun boleh menghukumi orang lain kecuali berdasarkan yang tampak. Yang tampak adalah apa yang diakui atau apa yang dibuktikan dengan bukti yang sah. 

Dalil dalam hal yang kami sebutkan tentang orang munafik dan dalam kisah seorang lelaki yang meminta fatwa kepada Al-Miqdad dari Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—yang telah memotong tangannya karena syirik, dan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—”Mengapa engkau tidak membuka hatinya?” maksudnya adalah bahwa engkau hanya memiliki yang lahiriah. 

Dan dalam sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—tentang dua orang yang saling melaknat: “Jika anak itu lahir dengan kulit kemerahan seperti biawak, maka aku menganggap dia telah berdusta atasnya. Jika anak itu lahir dengan kulit hitam legam dan rambut keriting, maka aku menganggap dia telah jujur.” Lalu anak itu lahir dengan ciri-ciri yang tidak diinginkan, maka Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda, “Sungguh urusannya jelas, seandainya bukan karena ketetapan Allah.” 

Dan dalam sabda Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—: “Aku hanya manusia, dan kalian datang kepadaku untuk berdebat. Bisa jadi sebagian kalian lebih pandai menyampaikan argumen daripada yang lain, dan aku memutuskan berdasarkan apa yang kudengar. Barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu dari hak saudaranya, janganlah dia mengambilnya, karena sesungguhnya aku hanya memberinya sepotong api neraka.” 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam semua ini terdapat petunjuk yang jelas bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—tidak memutuskan kecuali berdasarkan yang lahiriah. Maka para hakim setelahnya lebih pantas untuk tidak memutuskan kecuali berdasarkan yang lahiriah. Tidak ada yang mengetahui yang tersembunyi kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Berprasangka itu haram bagi manusia, dan barangsiapa yang menghukumi dengan prasangka, maka itu tidak boleh baginya. Wallahu a’lam. 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang lelaki atau wanita murtad dari Islam lalu melarikan diri dan bergabung dengan darul harb atau lainnya, sementara dia memiliki istri-istri, ummahatul aulad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya), budak yang sedang mengangsur pembebasan (mukatab), budak yang dijanjikan kebebasan (mudabbar), hamba sahaya, harta berupa hewan ternak, tanah, atau piutang, maka hakim memerintahkan para istrinya untuk menjalani iddah dan memberikan nafkah kepada mereka dari hartanya. Jika dia kembali dengan taubat sementara mereka masih dalam masa iddah, maka pernikahan tetap berlaku. Jika dia tidak bertaubat hingga masa iddah selesai, maka pernikahan telah batal, dan mereka boleh menikah dengan siapa pun yang mereka kehendaki. 

Ummahatul aulad ditahan statusnya. Jika dia bertaubat dan kembali, maka mereka kembali menjadi miliknya, dan dia wajib menafkahi mereka dari hartanya. Jika dia mati atau dibunuh, maka mereka merdeka. 

Budak-budak yang sedang mengangsur pembebasan (mukatab) tetap dalam perjanjian mereka, dan cicilan mereka diambil. Jika mereka tidak mampu, maka status mereka kembali sebagai budak. Hakim akan meninjau budak-budak yang tersisa. Jika menahan mereka menambah hartanya, maka mereka ditahan. Jika ada di antara mereka yang dapat menambah hartanya melalui pajak, keahlian, atau mengelola tanah, maka mereka dipertahankan. Jika menahan mereka mengurangi hartanya, atau menahan sebagian dari mereka merugikan, maka yang merugikan dijual. 

Demikian pula dilakukan terhadap hewan ternak, tanah, rumah, budak, dan piutangnya. Hutang yang telah jatuh tempo dibayarkan atas namanya. Jika dia kembali dengan taubat, maka harta yang ditahan dikembalikan kepadanya. Jika dia mati atau dibunuh dalam keadaan murtad, maka sisa hartanya menjadi fa’i (harta rampasan untuk baitul mal). 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia melakukan tindak kriminal dalam kemurtadannya yang mengharuskan denda (diyat), maka diambil dari hartanya. Jika ada yang …

Oleh karena itu, kejahatan itu sia-sia karena darahnya halal, apalagi yang lebih rendah dari darahnya tentu lebih layak untuk dihalalkan daripada darahnya. 

(Dia berkata): Jika seorang murtad membebaskan salah satu budaknya selama kemurtadannya, maka pembebasan itu ditangguhkan dan budak tersebut tetap dimanfaatkan. Statusnya ditangguhkan; jika dia mati, dia tetap budak, dan hasil kerjanya bersama dirinya menjadi fa’i (harta rampasan). Jika dia kembali bertaubat, maka dia merdeka dan berhak atas hasil kerjanya setelah pembebasan. (Dia berkata): Jika dia mengakui sesuatu dari hartanya selama kemurtadannya, maka hukumnya seperti yang aku jelaskan mengenai pembebasan budak. Demikian pula jika dia bersedekah. (Dia berkata): Jika dia memberikan hibah, hibah itu tidak sah karena hibah hanya sah jika diserahkan. 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, apa perbedaan antara orang murtad dan orang yang dihalangi mengelola hartanya (seperti anak yatim)? Anak yatim yang memerdekakan budak, pembebasannya batal; jika bersedekah, sedekahnya batal, dan itu tidak mengikat jika dia keluar dari perwalian. Perbedaannya adalah bahwa Allah Ta’ala berfirman: 

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kalian melihat mereka telah dewasa (berakal), maka serahkanlah hartanya kepada mereka.” (QS. An-Nisa: 6) 

Keputusan Allah adalah bahwa harta mereka ditahan sampai mereka dewasa dan menunjukkan kematangan. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak berwenang atas harta mereka, dan harta itu ditahan demi kebaikan mereka dalam hidupnya. Mereka tidak diberi kuasa untuk menghabiskannya dalam hal yang tidak wajib atau tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Maka, apa yang mereka habiskan dalam kondisi ini batal karena tidak ada kewajiban memerdekakan budak atau bersedekah bagi mereka. 

Sedangkan harta orang murtad tidak ditahan untuk kepentingan hartanya atau karena itu miliknya, meskipun dia musyrik. Seandainya boleh membiarkannya dalam kemusyrikannya, maka pengelolaan hartanya juga boleh, karena kita tidak menguasai harta orang musyrik. Kita membenarkan apa yang dia lakukan terhadap hartanya jika dia kembali kepada Islam. Jika dia tidak kembali sampai mati atau dibunuh, maka harta yang ada di tangan kita menjadi fa’i setelah kematiannya sebelum dia bertaubat. 

Jika ada yang bertanya, “Bukankah hartanya tetap seperti semula?” Jawabnya: “Tidak, hartanya tergantung pada syarat.” 

### [Perbedaan Pendapat tentang Orang Murtad] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian orang berkata, “Jika seorang wanita murtad dari Islam, dia dipenjara dan tidak dibunuh.” Aku bertanya kepada yang berpendapat demikian, “Apakah ini berdasarkan riwayat atau qiyas?” Dia menjawab, “Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas.” 

Aku berkata, “Orang yang mengatakan ini keliru, dan sebagian ulama bahkan membatalkannya dengan argumen yang lebih kuat.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku juga berkata kepadanya, “Sebagian perawi kalian meriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa dia membunuh wanita-wanita yang murtad dari Islam. Namun, kami tidak bisa berhujah dengannya karena riwayat itu lemah menurut ahli hadis.” 

Dia berkata, “Aku mengatakannya berdasarkan qiyas terhadap Sunnah.” 

Aku berkata, “Sebutkan qiyasnya.” 

Dia menjawab, “Rasulullah ﷺ melarang membunuh wanita dan anak-anak di negeri kafir (darul harb). Jika wanita tidak boleh dibunuh di darul harb, maka wanita yang telah memiliki kehormatan Islam tentu lebih layak untuk tidak dibunuh.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Apakah hukum darul harb disamakan dengan hukum darul Islam?” 

Dia bertanya, “Apa bedanya?” 

Aku berkata, “Kamu sendiri yang membedakannya.” 

Dia bertanya, “Di mana?” 

Aku berkata, “Bagaimana dengan orang tua renta atau rahib yang disewa, apakah mereka dibunuh di darul harb?” 

Dia menjawab, “Tidak.” 

Aku berkata, “Jika seorang lelaki murtad lalu menjadi rahib atau murtad sebagai pekerja, apakah kita bunuh?” 

Dia menjawab, “Ya.” 

Aku bertanya, “Mengapa? Padahal mereka sebelumnya memiliki kehormatan Islam, lalu menjadi kafir. Mengapa darah mereka tidak dilindungi?” 

Dia berkata, “Karena membunuh mereka seperti hukuman had, dan aku tidak boleh mengabaikannya.” 

Aku berkata, “Apakah hukum had yang kamu tetapkan itu gugur untuk wanita? Bagaimana dengan hukuman bunuh, potong tangan, rajam, dan cambuk—apakah kamu menemukan perbedaan antara wanita dan pria Muslim dalam hal ini?” 

Dia menjawab, “Tidak.” 

Aku berkata, “Lalu mengapa kamu tidak membunuhnya sebagai had dalam kasus kemurtadan?” 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku juga bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan wanita dari darul harb, apakah hartanya dirampas, dia ditawan, dan dijadikan budak?” 

Dia menjawab, “Ya.” 

Aku bertanya, “Apakah kamu melakukan ini kepada wanita murtad di darul Islam?” 

Dia menjawab, “Tidak.” 

Aku berkata, “Lalu bagaimana kamu boleh mengqiyaskan sesuatu yang tidak serupa dalam dua aspek ini?” 

(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian orang juga berkata, “Jika seorang lelaki murtad dari Islam lalu dibunuh, mati dalam kemurtadannya, atau pergi ke darul harb, maka kami membagi warisannya kepada ahli warisnya yang Muslim, melunasi semua hutangnya yang berjangka, memerdekakan ummahat awlad (ibu dari anak-anaknya), dan mudabbir-nya (budak yang telah dijanjikan kemerdekaan). Jika dia kembali kepada Islam, kami tidak membatalkan keputusan apa pun kecuali jika kami menemukan sebagian hartanya masih di tangan seseorang.”

Ahli warisnya ingin mengembalikannya karena itu adalah hartanya, dan jika ada ahli waris yang merusak sesuatu yang telah kami putuskan sebagai warisan untuknya, maka dia tidak menanggungnya. (Asy-Syafi’i) berkata: Aku bertanya kepada orang yang lebih tinggi yang mengatakan pendapat ini di antara mereka: “Landasan ilmu menurutmu ada empat landasan utama yang paling wajib dan utama untuk diikuti, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sehingga aku tidak melihatmu kecuali telah menyimpang dari keduanya. Kemudian qiyas dan akal yang menurutmu harus diikuti setelah keduanya, yaitu ijma’. Namun, engkau telah menyalahi qiyas dan akal, serta mengatakan perkataan yang kontradiktif dalam hal ini.” 

Dia berkata: “Tunjukkan kepadaku apa yang engkau sebutkan.” Aku berkata kepadanya: “Allah Ta’ala berfirman: 

‘Jika seseorang meninggal tanpa anak dan memiliki saudara perempuan, maka dia mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan, dan dia (saudara laki-laki) mewarisinya jika dia (saudara perempuan) tidak memiliki anak.’ (QS. An-Nisa’: 176) 

bersama dengan ayat-ayat waris lainnya. Tidakkah engkau melihat bahwa Allah ‘Azza wa Jalla hanya memberikan hak milik kepada orang hidup melalui warisan atas apa yang dimiliki orang mati ketika mereka masih hidup?” 

Dia menjawab: “Ya.” 

Aku bertanya: “Dan orang hidup berbeda dengan orang mati?” 

Dia menjawab: “Ya.” 

Aku bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seorang murtad di perbatasan kita yang bergabung dengan pasukan musuh, lalu dia terlibat dalam peperangan melawan kita, atau menjadi rahib, atau mengasingkan diri sehingga kehidupannya tidak diketahui—bagaimana engkau menghukuminya seperti orang mati padahal dia masih hidup? Apakah berdasarkan kabar yang engkau katakan atau qiyas?” 

Dia menjawab: “Apa yang kukatakan adalah kabar.” 

Aku berkata: “Bagaimana engkau mencela keputusan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab dan Utsman bin Affan tentang wanita yang ditinggal suaminya hilang, bahwa dia harus menunggu empat tahun kemudian beriddah, sementara mereka tidak memutuskan hartanya? Aku berkata: ‘Subhanallah, boleh saja menghukuminya dengan sebagian hukum orang mati, meskipun kemungkinan besar dia sudah mati, karena bisa saja dia belum mati, dan tidak boleh dihukum kecuali dengan keyakinan. Sedangkan engkau menghukuminya dalam sekejap mata dengan hukum orang mati dalam segala hal berdasarkan pendapatmu sendiri, lalu engkau mengatakan perkataan yang kontradiktif.'” 

Dia berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa jika aku menangkapnya lalu membunuhnya—” 

Aku berkata: “Bisa saja engkau menangkapnya tapi tidak membunuhnya, misalnya karena dia bisu atau tidak bisa bicara, sehingga engkau tidak membunuhnya sampai dia sadar dan engkau memintanya bertobat.” 

Dia menjawab: “Ya.” 

Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu jika engkau menangkapnya lalu membunuhnya—apakah itu mengharuskan hukum orang mati atasnya, padahal engkau belum menangkap atau membunuhnya? Bisa saja engkau menangkapnya tapi tidak membunuhnya karena dia bertobat setelah ditangkap sebelum keadaannya berubah karena bisu?” 

Dia berkata: “Aku berpendapat bahwa jika dia murtad dan bergabung dengan darul harb, maka hukumnya seperti orang mati.” 

Aku berkata: “Bolehkah dikatakan bahwa orang mati bisa hidup kembali tanpa kabar? Jika ini boleh bagimu, maka boleh juga bagi orang lain, lalu orang-orang bodoh akan berbicara tentang halal dan haram.” 

Dia berkata: “Itu tidak boleh bagi mereka.” 

Aku bertanya: “Mengapa?” 

Dia menjawab: “Karena kewajiban ulama adalah berbicara berdasarkan Kitab, Sunnah, perkara yang disepakati, atsar, qiyas, atau akal. Mereka tidak boleh berbicara dengan sesuatu yang tidak dikenal kecuali jika dibedakan oleh Kitab, Sunnah, ijma’, atau atsar. Dan tidak boleh dalam qiyas untuk bertentangan.” 

Aku berkata: “Ini adalah Sunnah?” 

Dia menjawab: “Ya.” 

Aku berkata: “Engkau telah menyalahi Kitab, qiyas, dan akal.” 

Dia bertanya: “Di mana aku menyalahi qiyas?” 

Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu ketika engkau beranggapan bahwa jika seseorang murtad dan bergabung dengan darul harb, engkau harus menghukuminya seperti orang mati, dan engkau tidak bisa membatalkan keputusan jika dia kembali? Karena jika engkau memutuskan demikian, maka itu mengikatmu. Jika kemudian datang Sunnah yang membatalkannya, engkau tidak memutuskan hartanya selama sepuluh tahun sampai dia kembali bertobat. Lalu orang yang engkau hukumi hartanya seperti orang mati memintamu untuk menyerahkan hartanya, dan dia berkata: ‘Engkau wajib memberikannya kepada kami setelah sepuluh tahun?'” 

Dia berkata: “Aku tidak akan memberikannya, padahal dia lebih berhak atas hartanya.” 

Aku berkata: “Jika mereka berkata: ‘Jika ini mengikatmu, maka tidak halal bagimu kecuali memberikannya kepada kami. Jika tidak mengikatmu kecuali setelah kematiannya, maka engkau telah memberikannya dalam keadaan yang tidak halal bagimu dan bagi kami.'” 

(Asy-Syafi’i) berkata: Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana pendapatmu jika engkau beranggapan bahwa ketika engkau menghukumnya dengan hukum orang mati, apakah keputusan itu tidak bisa dibatalkan atau ditangguhkan sampai dia kembali?” 

Dia berkata: “Aku tidak mengatakan dengan ketentuan ini.” 

Aku bertanya: “Apakah engkau membedakannya dengan kabar yang mengikat sehingga kami mengikutinya?” 

Dia menjawab: “Tidak.” 

Aku berkata: “Jika ini bertentangan dengan qiyas dan akal, serta engkau mengatakan tanpa kabar, apakah ini boleh?” 

Dia berkata: “Sesungguhnya para sahabatmu membedakan tanpa kabar.” 

Aku bertanya: “Apakah engkau melihat bahwa perbuatan mereka yang melakukan itu benar?” 

Dia menjawab: “Tidak.” 

Aku berkata: “Atau apakah engkau juga melihat pendapatmu bahwa jika dia memiliki utang selama tiga puluh tahun lalu bergabung dengan darul harb, lalu engkau membayarkan utangnya sebesar seratus ribu dinar, memerdekakan ummahat awladnya dan mudabbirnya, serta membagi warisannya di antara anak-anaknya sehingga masing-masing mendapat seribu dinar—lalu salah satunya menghabiskan bagiannya sedangkan yang lain masih utuh—kemudian dia kembali masuk Islam pada hari itu atau esoknya dan berkata: ‘Kembalikan hartaku, yaitu ini, dan mereka adalah ummahat awladku serta mudabbirku’?”

Secara pribadi, dan ini adalah pemuka agama saya yang berkata padamu: “Ini hartaku di tanganku, aku tidak mengubahnya,” dan kedua anakku ini, hartaku ada di tangan salah satunya atau yang lain telah merampas dan menghancurkan hartaku.” (Dia berkata): Aku katakan padanya: “Keputusan telah diambil, dan tidak dapat dibatalkan, kecuali aku memberimu harta yang ada di tangan anakmu yang tidak merusaknya.” Lalu aku bertanya padanya, dan dia menjawab: “Mengapa engkau memberikannya padanya dan bukan hartaku?” (Dia berkata): “Karena itu adalah hartamu sendiri.” Aku berkata padanya: “Lalu budak yang dimerdekakan setelah tuannya meninggal, ibu dari anak-anaknya, dan hutangnya yang tertunda, apakah itu hartanya sendiri? Berikanlah padanya.” (Dia berkata): “Aku tidak memberikannya karena keputusan telah diambil.” (Aku berkata): “Dan keputusan yang kau berikan pada anaknya juga telah berlalu?” Dia menjawab: “Ya.” (Aku berkata): “Maka engkau telah memutuskan satu keputusan. Jika yang benar adalah melaksanakannya, laksanakan semuanya. Jika yang benar adalah membatalkannya, batalkan semuanya.” (Dia berkata): “Aku mengembalikan apa yang kudapati sebagai miliknya sendiri.” (Aku berkata): “Maka kembalikan hutangnya yang tertunda, budak yang dimerdekakan setelah tuannya meninggal, dan ibu dari anak-anaknya.” Dia berkata: “Aku mengembalikan apa yang kudapati sebagai milik ahli warisnya.” (Aku berkata): “Menurutmu, apakah ini jawaban yang tepat?” Dia tidak menambah kecuali berkata: “Lalu di manakah Sunnah?” (Asy-Syafi’i berkata): Maka aku berkata padanya: “Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir.'” (Asy-Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid dari Rasulullah ﷺ dengan hadis yang serupa. (Aku berkata): “Apakah seorang murtad tidak dianggap kafir atau muslim?” Dia menjawab: “Bahkan kafir, dan karena itu aku membunuhnya.” (Aku berkata): “Bukankah Sunnah telah jelas bagimu bahwa seorang muslim tidak mewarisi orang kafir?” Dia berkata: “Kami telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mewarisi seorang murtad yang dia bunuh, dan ahli warisnya dari kalangan muslim.” (Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata: “Aku mendengarmu dan yang lain mengklaim bahwa riwayat dari Ali tentang mewarisi orang murtad adalah keliru, dan para penghafal tidak meriwayatkannya dalam hadis.” Dia berkata: “Seorang yang terpercaya telah meriwayatkannya, dan kami hanya mengatakan itu keliru berdasarkan istidlal, dan itu adalah dugaan.” (Aku berkata): “Ats-Tsaqafi, seorang yang terpercaya, meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya radhiyallahu ‘anhuma dari Jabir: ‘Nabi ﷺ memutuskan dengan sumpah bersama satu saksi.'” Aku berkata: “Para penghafal tidak menyebutkan Jabir, dan ini menunjukkan bahwa itu keliru. Bagaimana pendapatmu jika kami berhujah padamu dengan hujah serupa dan berkata: ‘Ini dugaan, dan Ats-Tsaqafi terpercaya, dan yang lain hampir melakukan hal yang sama?'” Dia berkata: “Maka engkau tidak adil.” (Aku berkata): “Demikian juga engkau tidak adil ketika mengabarkan padaku bahwa para penghafal meriwayatkan hadis ini dari Ali radhiyallahu ‘anhu tanpa menyebutkan pewarisan hartanya, lalu engkau berkata: ‘Ini keliru,’ kemudian engkau berhujah dengannya.” Dia berkata: “Jika itu benar.” Aku berkata: “Prinsip yang kami, engkau, dan para ulama pegang adalah bahwa apa yang sahih dari Rasulullah ﷺ, meskipun banyak yang menyelisihinya, tidak bisa dijadikan hujah?” Dia menjawab: “Benar, tapi aku berkata: Sabda Nabi ﷺ ‘Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir’ mungkin merujuk pada orang yang tidak pernah masuk Islam.” (Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata padanya: “Apakah engkau mengatakan ini berdasarkan petunjuk dalam hadis?” Dia menjawab: “Tidak, tapi Ali radhiyallahu ‘anhu lebih mengetahuinya.” Aku berkata: “Apakah Ali meriwayatkan hadis ini dari Nabi ﷺ sehingga kita bisa mengatakan dia tidak meninggalkan sesuatu yang dia riwayatkan dari Nabi ﷺ kecuali dia telah memahami maknanya dan menafsirkannya sesuai pendapatmu?” Dia berkata: “Aku tidak mengetahui dia meriwayatkannya dari Nabi ﷺ.” (Aku berkata): “Mungkinkah dia tidak mendengarnya?” Dia menjawab: “Ya.” (Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata padanya: “Apakah engkau melihat ini sebagai hujah bagimu?” Dia berkata: “Tidak mungkin hal seperti ini tersembunyi dari Ali radhiyallahu ‘anhu.” Aku berkata: “Aku mendapati engkau mengabarkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau memutuskan untuk Bari’ binti Wasyiq dengan mahar seperti mahar wanita lainnya, padahal dia menikah tanpa mahar, lalu beliau memutuskan sebaliknya. Dan aku mendengarnya berkata seperti perkataan Ali, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Abbas.” Aku berkata: “Tidak ada hujah bagi siapa pun, juga tidak dalam perkataan mereka bersama Nabi ﷺ.” Dan aku berkata padanya: “Jika seseorang berkata padamu: ‘Mungkin Zaid, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas mengatakan ini karena mereka tahu Nabi ﷺ telah mengetahui bahwa suami Bari’ telah menetapkan mahar untuknya setelah akad nikah, sehingga Ma’qil memahami bahwa akad nikah setelah penentuan mahar, sedangkan mereka tahu bahwa penentuan mahar terjadi setelah masuk.'”

Dia berkata: Tidak ada dalam hadits Ma’qil, dan mereka tidak meriwayatkannya sehingga mereka mengatakannya berdasarkan riwayat. Mereka hanya berpendapat berdasarkan ra’yu (pendapat pribadi) sampai mereka mengklaim ada riwayat di dalamnya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Maka aku bertanya, “Mengapa riwayat dari Ali tentang murtad tidak seperti ini?” 

Dia berkata: Dan aku katakan kepadanya, “Mu’adz bin Jabal mewarisi Muslim dari orang kafir, begitu pula Mu’awiyah, Ibnul Musayyib, Muhammad bin Ali, dan lainnya. Sebagian mereka berkata, ‘Kami mewarisi mereka, tetapi mereka tidak mewarisi kami, sebagaimana wanita mereka halal bagi kami, tetapi wanita kami tidak halal bagi mereka.’ Bagaimana jika ada yang berkata kepadamu, ‘Mu’adz bin Jabal termasuk ulama dari sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan hadits Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – “Muslim tidak mewarisi orang kafir” mungkin berlaku untuk penyembah berhala, karena kebanyakan hukumnya terkait mereka, dan wanita mereka tidak halal. Namun, Muslim boleh mewarisi orang kafir dari Ahli Kitab sebagaimana halal menikahi wanita mereka.'” 

Dia berkata: “Itu tidak berlaku baginya, dan hadits itu bisa mencakup banyak penafsiran. Mu’adz bukan hujjah (dalil pasti), meskipun ia berpendapat dan hadits itu memungkinkan penafsirannya, karena ia tidak meriwayatkan hadits tersebut.” 

Aku berkata: “Lalu kami katakan kepadamu, apakah Mu’adz tidak tahu ini, sedangkan Usamah bin Zaid meriwayatkannya?” 

Dia menjawab: “Ya, mungkin seorang sahabat senior tidak mengetahui suatu sunnah, sementara sahabat junior mengetahuinya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Maka aku bertanya, “Mengapa engkau tidak mengatakan hal ini tentang murtad?” 

(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian dia memotong pembicaraan dan berkata, “Mengapa engkau berpendapat bahwa harta orang murtad menjadi fa’i (harta rampasan)?” 

Aku menjawab: “Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala mengharamkan darah dan harta seorang mukmin kecuali dengan satu alasan yang pasti. Namun, darah dan harta orang kafir halal kecuali jika mereka membayar jizyah atau meminta perlindungan sementara. Maka, yang menghalalkan darah orang musyrik yang baligh juga menghalalkan hartanya, dan harta mengikuti perkara yang lebih besar darinya. Ketika seorang murtad keluar dari Islam, ia berada dalam status yang darahnya halal karena kekufurannya, bukan karena alasan lain, dan hartanya mengikuti darahnya. Harta itu halal sebagaimana darahnya halal. Tidak mungkin ikatan Islam terlepas darinya sehingga darahnya halal tetapi hartanya terlarang.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Dia berkata, “Jika engkau menyamakannya dengan ahli darul harb (negara perang), engkau menyamakan mereka dalam satu hal tetapi membedakannya dalam hal lain.” 

Aku bertanya, “Apa maksudmu?” 

Dia menjawab, “Engkau tidak mengambil hartanya sampai ia mati atau engkau membunuhnya, sedangkan harta ahli harb bisa diambil sebelum mereka mati atau dibunuh.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Maka aku menjawab, “Hukum terhadap ahli darul harb ada dua: 

  1. Siapa yang telah sampai dakwah kepadanya, maka aku menyerang dan mengambil hartanya meski belum membunuhnya.
  2. Siapa yang belum sampai dakwah kepadanya, aku tidak menyerang sampai aku menyerunya. Aku tidak mengambil hartanya sampai aku menyerunya, lalu jika ia menolak, darah dan hartanya halal.

Karena pendapat tentang murtad adalah ia harus diseru terlebih dahulu, maka hartanya tidak diambil sampai ia diseru. Jika ia menolak, ia dibunuh, dan hartanya dirampas.” 

[Bab Tentang Memandikan Mayit] 

Kitab Al-Jana’iz, Bab Tentang Memandikan Mayit. 

Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik bin Anas berkata: “Tidak ada batasan tertentu dalam memandikan mayit yang wajib dipenuhi atau tidak boleh dilampaui. Namun, ia dimandikan hingga bersih.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Ayyub As-Sakhtiyani dari Muhammad bin Sirin dari Ummu ‘Athiyyah: 

“Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda kepada mereka tentang memandikan putrinya, ‘Mandikanlah dia tiga kali, lima kali, atau lebih jika kalian anggap perlu, dengan air dan daun sidr. Dan jadikanlah pada bilasan terakhir kapur barus atau sedikit darinya.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian orang mencela pendapat Malik ini dan berkata, “Subhanallah, bagaimana mungkin penduduk Madinah tidak tahu cara memandikan mayit, padahal hadits tentangnya banyak?” 

Kemudian ia menyebutkan beberapa hadits dari Ibrahim dan Ibnu Sirin, lalu Malik memahami maknanya adalah membersihkan mayit. Karena riwayat mereka datang dari beberapa orang tentang jumlah mandi dan bahan yang digunakan, seperti, “Fulan memandikan fulan dengan begini dan begitu,” atau “Fulan dimandikan dengan begini.” 

Kami berpendapat – wallahu a’lam – bahwa hal itu disesuaikan dengan ketersediaan bahan untuk memandikan mayit.

Dan sesuai dengan sejauh mana pembersihannya, terdapat perbedaan dalam menangani jenazah berdasarkan perbedaan kondisi, serta apa yang mungkin dan sulit dilakukan oleh para pemandinya. Malik menyatakan pendapat yang ringkas, “Dia dimandikan hingga bersih.” Demikian pula diriwayatkan tentang wudhu sekali, dua kali, atau tiga kali, dan tentang mandi secara umum. 

Semua itu kembali pada kebersihan. Jika jenazah sudah dibersihkan dengan air murni atau air yang dicampur sesuatu, itu sudah cukup untuk memandikannya, sebagaimana kita turunkan dan katakan bersama mereka tentang orang hidup. Diriwayatkan juga tata cara memandikannya. (Asy-Syafi’i berkata:) “Tetapi aku lebih suka jika jenazah dimandikan tiga kali dengan air yang dicampur sesuatu, tidak kurang dari tiga kali, karena Nabi ﷺ bersabda, ‘Mandikanlah dia tiga kali.’ Jika belum bersih dalam tiga atau lima kali? Kami jawab, mereka boleh menambah hingga bersih. Jika sudah bersih dalam kurang dari tiga kali, itu sudah cukup. Kami tidak berpendapat bahwa sabda Nabi ﷺ itu hanya bermakna kebersihan, karena beliau menyebutkan bilangan ganjil: tiga atau lima, tanpa batasan tertentu.” 

Sebagian sahabat kami meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Abu Ja’far, “Rasulullah ﷺ memandikan jenazah tiga kali.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i berkata, seorang yang terpercaya mengabarkan dari ‘Atha’, “Cukup memandikan jenazah sekali.” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada ketentuan khusus dalam hal ini.” Demikian juga yang sampai kepada kami dari Tsa’labah bin Abi Malik. 

(Asy-Syafi’i berkata:) “Yang aku sukai dalam memandikan jenazah adalah meletakkannya di atas tempat pemandian jenazah dan memandikannya dengan mengenakan kafan.” Malik mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, “Rasulullah ﷺ dimandikan dengan mengenakan kafan.” (Dia berkata:) Jika tidak dimandikan dengan kafan, maka auratnya ditutupi dengan kain tipis untuk menutupinya, lalu diselimuti dengan kain. Jenazah dimasukkan ke ruangan tertutup, hanya orang yang memandikannya yang boleh melihatnya. 

Kemudian seorang menuangkan air. Orang yang memandikan mengenakan kain tipis di tangannya, lalu mengikatnya, kemudian memulai dari bagian bawah jenazah, membersihkannya sebagaimana orang hidup beristinja. Setelah itu, dia membersihkan tangannya, lalu memasukkan kain yang digunakan untuk membersihkan bagian bawah jenazah. Jika hanya satu orang yang memandikan, dia mengganti kain yang digunakan untuk membersihkan bagian bawah jenazah dengan kain bersih lainnya, mengikatnya di tangannya, lalu menuangkan air ke atas jenazah. 

Kemudian dia memasukkan kain ke mulut jenazah di antara bibirnya tanpa membuka mulutnya lebar-lebar, lalu menggerakkannya di atas gigi dengan air. Dia juga memasukkan ujung jarinya ke lubang hidung jenazah dengan sedikit air untuk membersihkan jika ada kotoran. Setelah itu, dia berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, lalu membasuh kepala dan jenggot jenazah dengan air sidr. Jika rambutnya kusut, tidak masalah menyisirnya dengan sisir bergigi renggang, tanpa mencabut rambutnya. 

Kemudian dia membasuh sisi kanan jenazah dari bawah kepala hingga kaki kanan, menggerakkannya untuk membersihkan punggung sebagaimana perutnya. Lalu beralih ke sisi kiri dan melakukan hal yang sama. Jenazah dibalik dari satu sisi ke sisi lain setiap kali dimandikan hingga tidak ada bagian yang terlewat dari air dan sidr. Proses ini diulang tiga atau lima kali. Setelah itu, dia menyiram jenazah dengan air murni yang telah dicampur kapur barus. Hal yang sama dilakukan pada setiap kali memandikan hingga jenazah benar-benar bersih. Perutnya diusap lembut sambil terus disiram air untuk memastikan tidak ada kotoran yang tersisa. 

(Dia berkata:) Memandikan wanita mirip dengan memandikan laki-laki sebagaimana yang telah dijelaskan. (Asy-Syafi’i berkata:) Sebagian orang berpendapat, jenazah pertama kali dimandikan dengan air murni tanpa kapur barus. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i berkata, Malik mengabarkan dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin dari Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah, dia berkata, “Rasulullah ﷺ menemui kami ketika putrinya wafat dan bersabda, ‘Mandikanlah dia tiga, lima, atau lebih jika kalian anggap perlu, dengan air dan sidr. Pada basuhan terakhir, campurkan kapur barus atau sedikit darinya.'” 

(Asy-Syafi’i berkata:) Jika jenazah adalah wanita, rambut kepalanya dikepang menjadi tiga: ubun-ubun dan dua sisi kepang, lalu dibiarkan terjuntai ke belakang. (Asy-Syafi’i berkata:) Sebagian orang mengingkari hal ini kepada kami dan berkata, “Rambutnya dibiarkan terjuntai di antara kedua payudaranya.” Kami hanya mengikuti atsar dalam hal ini. Seandainya ada yang berpendapat untuk menyisir rambut jenazah menurut pendapatnya sendiri, itu sama saja dengan perkataan orang yang mengingkari kami. 

Seorang yang terpercaya di antara sahabat kami meriwayatkan dari Hisyam bin Hassan dari Hafshah binti Sirin dari Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Kami mengepang rambut putri Rasulullah ﷺ menjadi tiga: ubun-ubun dan dua sisi kepang, lalu kami biarkan terjuntai ke belakang.” 

(Asy-Syafi’i berkata:) Kami memerintahkan sesuai perintah Rasulullah ﷺ kepada siapa pun yang memandikan dan mengafani putri beliau. Hadis ini menjadi hujjah bagi yang mencela pendapat Malik yang mengatakan tidak ada ketentuan khusus dalam memandikan jenazah, padahal dia sendiri menyelisihi pendapat ini di tempat lain. 

(Dia berkata:) Mereka menyelisihi kami dalam hal ini dengan mengatakan, “Rambut kepala dan jenggot jenazah tidak boleh disisir.” Yang dimakruhkan dalam menyisir adalah mencabut rambutnya, bukan menyisirnya sendiri.

Sahabat maka itu lebih ringan daripada mandi dengan sidr, yaitu membersihkan dan merapikannya (dia berkata): Dan diikuti apa yang ada di antara kuku-kukunya dengan kayu yang lembut untuk membersihkan kotoran di bawah kuku mayit dan di bagian luar telinganya serta lubang telinganya (dia berkata): Dan orang-orang yang memandikan mencukur, jika ada kotoran yang menggumpal pada salah satu dari mereka, aku berpendapat untuk memandikannya dengan ushnan dan terus menggosoknya hingga kotoran itu bersih (Asy-Syafi’i berkata): Di antara sahabat kami ada yang berkata: Aku tidak berpendapat untuk mencukur rambut setelah kematian, dan tidak memotong kukunya. Di antara mereka ada yang tidak melihat masalah dengan hal itu. Ketika meminyaki mayit, kapur barus diletakkan pada tempat-tempat sujudnya dan wewangian di kepalanya serta jenggotnya (dia berkata): Jika diletakkan pada keduanya dan seluruh tubuhnya kapur barus, maka tidak mengapa insya Allah (dia berkata): Wewangian dan kapur barus diletakkan pada kapas kemudian diletakkan pada lubang hidungnya, mulutnya, telinganya, dan pantatnya. Jika ada luka yang terbuka, diletakkan di atasnya (dia berkata): Jika dikhawatirkan dari kematiannya atau mayitnya bahwa sesuatu akan keluar ketika digerakkan saat dibawa karena suatu sebab, maka aku menganjurkan untuk mengikat bagian bawahnya secukupnya yang dianggap dapat menahan sesuatu jika keluar dengan kain tebal. Jika tidak cukup, maka dengan kain lap tebal (dia berkata): Wajib di dalam rumah yang ada mayit untuk dibakar wewangian tanpa henti hingga selesai memandikannya untuk menutupi bau jika berubah, dan tidak diikuti dengan api hingga ke kubur. 

(Dia berkata): Aku lebih suka jika melihat sesuatu pada seorang Muslim untuk tidak menceritakannya, karena seorang Muslim sepatutnya menutupi apa yang tidak disukai dari Muslim lainnya. Aku lebih suka mayit tidak dimandikan kecuali oleh orang yang amanah dalam memandikannya (dia berkata): Orang yang paling berhak memandikannya adalah yang paling berhak menyalatinya. Jika orang lain yang melakukannya, maka tidak mengapa. Aku lebih suka orang yang menuangkan air ke mayit menundukkan pandangannya dari mayit. Jika satu orang tidak mampu memandikannya, maka orang lain membantunya (dia berkata): Kemudian, setelah selesai memandikan mayit, dikeringkan dengan kain hingga kelembapannya hilang, lalu dibungkus dengan kain kafannya (dia berkata): Aku lebih suka orang yang memandikan mayit untuk mandi, tetapi itu tidak wajib menurutku, wallahu a’lam. Ada hadis tentang tidak perlu mandi, di antaranya: “Janganlah kalian menajisi orang mati kalian.” Tidak mengapa seorang Muslim memandikan kerabatnya yang musyrik, mengikuti jenazahnya, dan menguburkannya, tetapi tidak menyalatinya. Hal itu karena “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ali radhiyallahu ‘anhu untuk memandikan Abu Thalib.” Tidak mengapa seorang Muslim dihibur jika ada yang meninggal. Ar-Rabi’ berkata: Jika ayahnya meninggal dalam keadaan kafir. 

[Pasal tentang berapa kain untuk mengkafani mayit] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata: Mayit dikafani dengan tiga helai kain putih. Demikian pula yang sampai kepada kami bahwa “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikafani, dan aku tidak suka memakaikan baju atau sorban.” Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikafani dengan tiga helai kain putih sahuliyyah, tanpa baju dan sorban.” (Asy-Syafi’i berkata): Apa pun yang mayit dikafani dengannya, itu sudah mencukupi insya Allah. Kami mengatakan ini karena “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkafani sebagian korban perang Uhud dengan satu kain bergaris,” hal itu menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan minimal, dan yang penting menutupi aurat. 

(Dia berkata): Jika dipakaikan baju atau sorban, maka tidak mengapa insya Allah, tetapi aku tidak suka mayit dikafani dengan lebih dari lima helai kain karena itu berlebihan (dia berkata): Ketika mayit dikafani dengan tiga helai kain, dibakar wewangian dengan kayu hingga harum, kemudian dibentangkan yang terbaik dan terluas sebagai lapisan pertama, ditaburi sedikit wewangian, lalu dibentangkan yang berikutnya dalam urutan keluasannya, ditaburi wewangian, kemudian dibentangkan yang berikutnya, ditaburi wewangian, lalu mayit diletakkan di atasnya terlentang, diminyaki seperti yang telah kujelaskan, dan kapas diletakkan seperti yang kujelaskan. Kemudian dilipatkan bagian kain yang menutupi sisi kanannya, lalu dilipatkan bagian lainnya ke sisi kirinya seperti orang mengenakan selendang (maksudnya taylasan) hingga seimbang.

Jenis kain kafan yang dilipat pertama kali sesuai dengan lebar kain, kemudian dilakukan hal yang sama dengan tiga kain lainnya. Dikatakan: “Dan sisakan kelebihan kain di bagian kepala lebih banyak daripada di bagian kaki, cukup untuk menutupi keduanya. Kemudian lipat kelebihan kain dari bagian kepala dan kaki. Jika dikhawatirkan ikatannya terlepas, maka ketika mayat dimasukkan ke liang lahad, semua ikatan dibuka.” 

Dikatakan: “Jika mayat dikafani dengan baju, letakkan baju di bawah kain kafan dan kain kafan di atasnya. Jika diberi sorban, letakkan sorban di bawah kain kafan dan kain kafan di atasnya. Tidak ada kesulitan dalam hal ini, insya Allah.” 

Dikatakan: “Jika hanya ada satu kain, itu sudah cukup. Jika sempit dan pendek, tutupi kepala dan aurat, serta letakkan sesuatu di atas kaki. Hal ini juga dilakukan pada sebagian sahabat Nabi ﷺ pada Perang Uhud.” 

Imam Syafi’i berkata: “Jika kain tidak cukup untuk menutupi kepala dan aurat, maka prioritaskan menutupi aurat.” 

Dikatakan: “Jika seseorang meninggal di kapal di laut, lakukan seperti ini. Jika memungkinkan untuk dikuburkan, maka kuburkan. Jika tidak, lebih baik mayat diletakkan di antara dua papan dan diikat dengan tali agar terbawa ombak ke pantai, sehingga mungkin ditemukan oleh Muslim dan dikuburkan. Ini lebih aku sukai daripada membiarkannya dimakan ikan. Jika tidak dilakukan dan mayat dibuang ke laut, aku berharap itu cukup bagi mereka.” 

Dikatakan: “Perempuan dimandikan dan diberi wewangian seperti yang telah dijelaskan, tetapi berbeda dengan laki-laki dalam hal kafan jika tersedia. Dia diberi baju (dress), sarung, sorban, dan dibungkus, lalu diikatkan kain di dadanya dengan seluruh kain kafannya.” 

Dikatakan: “Aku lebih suka jika sarung diletakkan di bawah baju, sesuai perintah Nabi ﷺ dalam hal putrinya. Bayi keguguran dimandikan, dikafani, dan dishalatkan jika menangis saat lahir. Jika tidak menangis, cukup dimandikan, dikafani, dan dikuburkan.” 

Dikatakan: “Kain kecil yang setara dengan pembungkus sudah cukup.” 

Dikatakan: “Para syuhada yang sempat hidup dan makan makanan diperlakukan seperti mayat biasa dalam hal kafan, memandikan, dan shalat. Sedangkan yang gugur di medan perang dikafani dengan pakaian mereka saat gugur jika diinginkan oleh keluarga atau penguasa. Sandal dan bulu binatang (jika ada) dilepas. Jika diinginkan, semua pakaian mereka boleh dilepas dan dikafani dengan kain lain.” 

Jika ada yang berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Bungkuslah mereka bersama luka dan darah mereka,” maka luka dan darah bukanlah pakaian. Jika sebagian dikafani dengan pakaian, itu tidak bertentangan. Sebagian lain boleh dikafani dengan kain selain pakaian saat gugur, karena Rasulullah ﷺ pernah mengkafani sebagian syuhada Uhud dengan kain tipis yang jika menutupi kepala, kakinya terlihat, lalu diberi daun-daunan di kakinya. Padahal dalam perang, jelas mereka mengenakan pakaian. 

Imam Syafi’i berkata: “Biaya kafan, wewangian, dan penguburan mayat diambil dari harta peninggalannya. Para kreditur atau ahli waris tidak boleh menghalangi. Jika terjadi perselisihan, maka tiga helai kain (untuk orang menengah, tidak kaya atau miskin) dan wewangian secukupnya, tanpa berlebihan atau kekurangan. Jika tidak ada wewangian atau kapur barus, aku berharap itu tetap sah.” 

[Bab: Apa yang Dilakukan Terhadap Syahid] 

(Tidak ada dalam terjemahan asli) 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika orang-orang musyrik membunuh Muslim di medan perang, mayat tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan dikuburkan bersama luka dan darah mereka. Keluarga boleh mengkafani mereka sesuai keinginan, seperti mengkafani orang biasa—bisa dengan pakaian yang mirip kafan, seperti baju, sarung, jubah, atau sorban. Jika diinginkan, pakaian mereka boleh dilepas dan dikafani dengan kain lain, seperti mayat biasa. Pakaian yang dikenakan saat meninggal harus dilepas.” 

“Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian syuhada Uhud dikafani dengan…”

Nomor, dan dia tidak meragukan, insya Allah Ta’ala, senjata dan pakaian mereka. Beberapa orang berkata: “Mereka dikafani dengan pakaian yang mereka terbunuh di dalamnya, kecuali bulu, isian, atau kain tebal.” (Dia berkata): “Dan tidak sampai kepada kami bahwa ada seseorang yang dikafani dengan kulit, bulu, atau isian. Jika isian itu seluruhnya berupa kain, maka jika dikafani dengannya, aku tidak melihat masalah karena itu termasuk pakaian umum masyarakat. Adapun kulit, tidak diketahui sebagai pakaian masyarakat.” 

Beberapa orang berkata: “Mereka dishalatkan tetapi tidak dimandikan,” dengan berargumen bahwa Asy-Sya’bi meriwayatkan bahwa Hamzah dishalatkan tujuh puluh kali shalat. Dibawa sembilan orang syuhada, dengan Hamzah sebagai yang kesepuluh, lalu mereka dishalatkan kemudian diangkat, sedangkan Hamzah tetap di tempatnya. Kemudian dibawa orang lain, lalu mereka dishalatkan dengan Hamzah tetap di tempatnya, hingga dia dishalatkan tujuh puluh kali. 

(Dia berkata): “Syuhada Uhud berjumlah tujuh puluh dua orang. Jika menurut Asy-Sya’bi mereka dishalatkan sepuluh-sepuluh, maka shalat tidak lebih dari tujuh atau delapan kali. Kita anggap yang terbanyak, yaitu jika dua orang dishalatkan sekali dan Hamzah sekali, maka total sembilan shalat. Dari mana datangnya tujuh puluh shalat? Jika yang dimaksud tujuh puluh takbir, kami dan mereka berpendapat bahwa takbir jenazah hanya empat. Jika sembilan shalat, maka total tiga puluh enam takbir. Dari mana datangnya tiga puluh empat? Seharusnya orang yang meriwayatkan hadis ini malu pada dirinya sendiri. Seharusnya dia menimbang dengan hadis-hadis lain yang jelas datang dari jalur mutawatir bahwa Nabi ﷺ tidak menshalatkan mereka dan bersabda, ‘Kafanilah mereka dengan luka-luka mereka.’ Jika ada yang berkata, ‘Mereka dimandikan tetapi tidak dishalatkan,’ tidak ada argumen melawannya kecuali mengatakan, ‘Kamu meninggalkan sebagian hadis dan mengambil sebagian lainnya.'” 

(Dia berkata): “Mungkin tidak memandikan dan menshalatkan mereka yang terbunuh oleh sekelompok musyrik adalah agar mereka bertemu Allah ‘Azza wa Jalla dengan luka-luka mereka, sesuai hadis Nabi ﷺ, ‘Bau luka mereka seperti misik, dan warnanya seperti darah.’ Mereka cukup dengan kemuliaan Allah ‘Azza wa Jalla bagi mereka tanpa shalat, sekaligus meringankan kaum Muslimin yang masih hidup, karena adanya luka-luka dalam perang melawan musyrikin, kekhawatiran musuh kembali, harapan mengejar mereka, dan kesibukan mereka dengan keluarga, sebagaimana keluarga mereka sibuk dengan mereka.” 

(Dia berkata): “Di antara yang menunjukkan hal ini adalah bahwa para pemimpin Muslim memandikan Umar dan menshalatkannya, padahal dia syahid. Namun, dia mencapai syahid bukan dalam peperangan. Mereka juga memandikan orang yang mati karena sakit perut, terbakar, tenggelam, dan tertimpa bangunan, yang semuanya syahid. Sebab, tidak ada makna perang pada mereka yang masih hidup. Adapun yang terbunuh di medan perang—dan menurutku juga jika dia hidup beberapa lama hingga perang berhenti dan ada keamanan meski belum makan—Malik mengabarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khattab dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika anak kecil atau wanita terbunuh di medan perang, diperlakukan seperti syuhada, tidak dimandikan, dan tidak dishalatkan. Siapa pun yang terbunuh di medan perang dengan senjata atau lainnya, terinjak hewan, atau sebab kematian lainnya, statusnya seperti yang terbunuh dengan senjata.” 

Sebagian orang menyelisihi kami tentang anak kecil, berkata: “Dia tidak seperti syahid.” Namun, sebagian sahabat berpendapat seperti kami dan berkata: “Anak kecil itu syahid, tidak berdosa, bahkan lebih utama dari orang dewasa.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, sebagian sahabat kami mengabarkan dari Laits bin Sa’d dari Abdurrahman bin Ka’b bin Malik dari Jabir bin Abdullah: “Rasulullah ﷺ tidak menshalatkan syuhada Uhud dan tidak memandikan mereka.” 

Sebagian sahabat kami mengabarkan dari Usamah bin Zaid dari Az-Zuhri dari Anas bin Malik: “Rasulullah ﷺ tidak menshalatkan syuhada Uhud dan tidak memandikan mereka.” 

Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dan Mu’ammar menetapkannya dari Ibnu Abi Ash-Shaghir: “Nabi ﷺ melihat syuhada Uhud dan bersabda, ‘Aku bersaksi untuk mereka. Kafanilah mereka dengan darah dan luka-luka mereka.'”

[BAB MAYIT YANG DIBUNUH YANG DIMANDIKAN DAN DISALATKAN SERTA MAYIT YANG TIDAK DITEMUKAN] 

Tidak terdapat dalam tarajim (biografi). 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): 

Barangsiapa dibunuh oleh seorang musyrik secara sendirian atau sekelompok orang dalam peperangan dari kalangan ahli baghyi (pemberontak) atau selain mereka, atau dibunuh karena qishash, maka ia dimandikan jika memungkinkan dan disalatkan. Sebab maknanya berbeda dengan orang yang dibunuh oleh kaum musyrikin. Dan makna orang yang dibunuh oleh seorang musyrik sendirian lalu melarikan diri berbeda dengan makna orang yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum musyrikin, karena kaum musyrikin tidak terjamin tidak akan kembali. Bisa jadi mereka mencari salah seorang dari mereka lalu ia melarikan diri, sementara kembalinya terjamin. Sedangkan ahli baghyi berasal dari kalangan kita dan tidak menyerupai kaum musyrikin. Tidakkah engkau melihat bahwa kita tidak boleh mengejar mereka sebagaimana kita boleh mengejar kaum musyrikin? 

Sebagian orang berkata: “Barangsiapa dibunuh secara zalim di luar kota tanpa senjata, maka ia dimandikan.” Lalu dikatakan kepadanya: “Jika engkau mengatakan ini berdasarkan atsar (riwayat), kami memahaminya.” Ia menjawab: “Tidak ada atsar dalam hal ini.” Kami berkata: “Lalu apa alasan yang membedakan antara mereka? Jika engkau menginginkan nama syahid, maka Umar adalah syahid yang terbunuh di kota, dimandikan, dan disalatkan. Kita juga menemukan nama syahid diberikan pada orang yang dibunuh di kota tanpa senjata, orang yang tenggelam, orang yang sakit perut, dan orang yang tertimpa reruntuhan di kota atau di luar kota. Kita tidak membedakan antara mereka, dan kita serta engkau tetap mensalatkan serta memandikan mereka. Jika engkau berdalil dengan kezaliman, maka engkau telah meninggalkan orang yang dibunuh secara zalim di kota tanpa senjata dari kategori syuhada, padahal mungkin pahalanya lebih besar karena pembunuhan tanpa senjata lebih kejam. Jika lebih kejam, maka pahalanya lebih besar.” 

Sebagian orang juga berkata: “Jika ahli baghyi menyerang lalu membunuh, maka para lelaki, perempuan, dan anak-anak dianggap seperti syuhada dan tidak dimandikan.” Sebagian sahabatnya menyelisihi pendapat ini dan berkata: “Anak-anak lebih suci dan lebih berhak disebut syahid.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Semua mereka dimandikan dan disalatkan, karena memandikan dan mensalatkan adalah sunnah bagi Bani Adam. Tidak terkecuali darinya kecuali yang ditinggalkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu mereka yang dibunuh oleh kaum musyrikin secara berkelompok khususnya dalam peperangan. 

(Imam Syafi’i berkata): 

Barangsiapa dimakan oleh binatang buas, dibunuh oleh ahli baghyi atau perampok, atau tidak diketahui siapa pembunuhnya, maka ia dimandikan dan disalatkan. Jika hanya ditemukan sebagian jasadnya, maka disalatkan atas bagian yang ditemukan dan anggota tubuh itu dimandikan. Telah sampai kepada kami riwayat dari Abu Ubaidah bahwa beliau mensalatkan beberapa kepala. Sebagian sahabat kami meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan bahwa Abu Ubaidah pernah mensalatkan beberapa kepala. Juga sampai kepada kami bahwa seekor burung menjatuhkan sebuah tangan di Mekah pada peristiwa Perang Jamal, lalu mereka mengenalinya melalui cincinnya, kemudian memandikannya dan mensalatkannya. 

Sebagian orang berkata: “Disalatkan atas badan yang terdapat qasamah (sumpah untuk menetapkan pembunuh), tetapi tidak disalatkan atas kepala atau tangan.” 

(Imam Syafi’i berkata): 

Jika menurutnya tidak ada qasamah dan mayit tidak ditemukan di tanah milik seseorang, lalu bagaimana kita mensalatkannya? Apa hubungan qasamah dengan salat dan memandikan? Jika boleh mensalatkan sebagian jasad tanpa sebagian lainnya, maka sedikit atau banyak dari tangannya sama saja. Tidak disalatkan atas kepala, padahal kepala adalah tempat pendengaran, penglihatan, lisan, dan penopang badan, sementara badan tanpa kepala disalatkan. Salat adalah sunnah kaum Muslimin, dan kehormatan sedikit bagian badan karena dahulu terdapat ruh adalah kehormatan yang besar dalam salat. 

[BAB PERCAMPURAN MAYIT MUSLIMIN DENGAN MAYIT KAUM KAFIR] 

Tidak terdapat dalam tarajim. 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): 

Jika para lelaki tenggelam, tertimpa reruntuhan, atau kebakaran, dan di antara mereka terdapat orang-orang musyrik—baik jumlah mereka lebih banyak atau lebih sedikit daripada Muslimin—maka disalatkan atas mereka dengan niat salat untuk Muslimin saja, bukan kaum musyrikin. 

Sebagian orang berkata: “Jika Muslimin lebih banyak, maka disalatkan atas mereka dengan niat untuk Muslimin saja, bukan kaum musyrikin. Jika kaum musyrikin lebih banyak, maka tidak disalatkan.”

Orang-orang musyrik lebih banyak, tidak ada satu pun dari mereka yang shalat (Asy-Syafi’i berkata): Jika diperbolehkan shalat untuk seratus Muslim di antara mereka ada seorang musyrik dengan niat, maka itu juga diperbolehkan untuk seratus musyrik di antara mereka ada seorang Muslim. Tidak lain adalah jika mereka bercampur dengan seorang musyrik yang tidak dikenal, maka shalat menjadi haram bagi mereka. Sesungguhnya shalat diharamkan bagi orang-orang musyrik, sehingga tidak boleh shalat untuk mereka. Atau shalat wajib bagi Muslim, meskipun bercampur dengan orang musyrik, niatkan shalat untuk Muslim, dan itu cukup bagi yang shalat. Jika tidak mencukupi shalat dalam hal itu, tempat orang-orang musyrik, baik mereka lebih banyak atau lebih sedikit (Asy-Syafi’i berkata): Kita tidak perlu dalam hal ini untuk menjelaskan kesalahannya dengan yang lain, karena kesalahan di dalamnya sudah jelas, dan tidak seharusnya membingungkan siapa pun yang memiliki ilmu.

[Pembahasan Mengusung Jenazah]

Tidak ada dalam tarjamah.

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Disunnahkan bagi yang mengusung jenazah untuk meletakkan keranda di atas pundaknya di antara dua tiang depan dan mengusung dari keempat sisi. Seorang berkata: “Jangan diusung di antara tiang.” Ini menurut kami adalah sesuatu yang diingkari, sehingga dia tidak rela mengakui apa yang seharusnya dia ketahui sampai dia mencela pendapat orang yang mengatakan hal ini. Dan telah diriwayatkan dari sebagian sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa mereka melakukan hal itu. Ibrahim bin Sa’ad mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: “Aku melihat Sa’ad bin Abi Waqqash dalam jenazah Abdurrahman bin ‘Auf berdiri di antara dua tiang depan, meletakkan keranda di atas pundaknya.” Sebagian sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Yusuf bin Mahak bahwa dia melihat Ibnu Umar dalam jenazah Rafi’ bin Khadij berdiri di antara dua tiang keranda. Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Ishaq bin Yahya bin Thalhah dari pamannya, Isa bin Thalhah, dia berkata: “Aku melihat Utsman bin Affan mengusung di antara dua tiang keranda ibunya, dan dia tidak meninggalkannya sampai meletakkannya.” Sebagian sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Tsabit dari ayahnya, dia berkata: “Aku melihat Abu Hurairah mengusung di antara dua tiang keranda Sa’ad bin Abi Waqqash.” Sebagian sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Syurahbil bin Abi Aun dari ayahnya, dia berkata: “Aku melihat Ibnu Zubair mengusung di antara dua tiang keranda Al-Miswar bin Makhramah.” (Asy-Syafi’i berkata): Orang yang mencela hal ini kepada kami mengklaim bahwa ini adalah sesuatu yang diingkari, dan kami tidak mengetahuinya kecuali dia berkata berdasarkan pendapatnya sendiri. Padahal mereka adalah sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan hadits-hadits yang kami diamkan lebih banyak daripada yang kami sebutkan.

[Pembahasan Apa yang Dilakukan Terhadap Orang yang Berihram Jika Meninggal]

Tidak ada dalam tarjamah.

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika orang yang berihram meninggal, dia dimandikan dengan air dan daun bidara, dikafani dengan pakaian yang dia gunakan saat berihram atau pakaian lain yang tidak ada kemeja atau sorban di dalamnya, dan tidak diikatkan kain padanya sebagaimana orang yang berihram yang masih hidup tidak diikatkan kain. Tidak boleh disentuh dengan wewangian, wajahnya ditutup, tetapi kepalanya tidak ditutup, dishalatkan, dan dikuburkan. Sebagian orang berkata: “Jika dia meninggal, dia dikafani seperti orang yang tidak berihram.” Namun, tidak ada ihram bagi orang yang sudah meninggal. Dia berargumen dengan perkataan Abdullah bin Umar, dan mungkin Abdullah bin Umar tidak mendengar hadits tersebut, atau aku tidak ragu -insya Allah- jika dia mendengarnya, dia tidak akan menyelisihinya. Dan telah tetap dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- perkataan kami sebagaimana yang kami katakan, dan telah sampai kepada kami dari Utsman bin Affan hal yang serupa. Apa yang telah tetap dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak boleh diselisihi oleh siapa pun jika telah sampai kepadanya. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar, dia berkata:

Saya mendengar Sa’id bin Jubair berkata, saya mendengar Ibnu Abbas berkata: “Kami bersama Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – lalu seorang lelaki terjatuh dari untanya dan meninggal. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Mandikan dia dengan air dan daun sidr, kafani dengan dua kainnya, dan jangan tutup kepalanya.'” Sufyan menambahkan, dan Ibrahim bin Abi Bahrah menambahkan dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tutup wajahnya, jangan tutup kepalanya, dan jangan beri wewangian karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab bahwa Utsman bin Affan melakukan hal serupa.

[Bab Shalat Jenazah dan Takbir di Dalamnya] 

Apa yang dilakukan setelah setiap takbir, dan tidak ada dalam tarjamah (Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang shalat jenazah, dia bertakbir empat kali, itu adalah sunnah, dan diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah: “Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengabarkan kematian An-Najasyi kepada orang-orang pada hari dia meninggal, lalu beliau keluar bersama mereka ke mushalla, membuat shaf, dan bertakbir empat kali.” 

Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab bahwa Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif mengabarkan kepadanya: “Seorang wanita miskin sakit, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dikabarkan tentang sakitnya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa menjenguk orang sakit dan menanyakan keadaan mereka. Beliau bersabda: ‘Jika dia meninggal, beritahu aku.’ Ketika jenazahnya dibawa keluar di malam hari, mereka enggan membangunkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika pagi hari, beliau dikabarkan tentang kejadian itu, lalu bersabda: ‘Bukankah aku sudah memerintahkan kalian untuk memberitahuku?’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, kami tidak ingin mengganggumu di malam hari.’ Lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – keluar dan membuat shaf bersama orang-orang di atas kuburnya, lalu bertakbir empat kali.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Karena itulah kami berpendapat untuk bertakbir empat kali pada jenazah, membaca Ummul Qur’an pada takbir pertama, kemudian bershalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan berdoa untuk mayit.” Sebagian orang berkata: “Tidak perlu membaca dalam shalat jenazah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kami telah shalat jenazah dan mengetahui bagaimana sunnah shalatnya dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kami menemukan sunnah dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam, kami mengikutinya. Bagaimana jika ada yang berkata: ‘Aku menambah takbir melebihi yang kalian katakan karena itu bukan wajib,’ atau ‘Aku tidak bertakbir dan hanya mendoakan mayit,’ apakah ada argumen untuk menolaknya selain mengatakan bahwa dia menyelisihi sunnah? Demikian pula argumen bagi yang mengatakan tidak perlu membaca, kecuali jika seseorang belum mengetahui sunnahnya.” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Jabir bin Abdullah: “Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bertakbir empat kali untuk mayit dan membaca Ummul Qur’an setelah takbir pertama.” 

Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Sa’d dari ayahnya dari Thalhah bin Abdullah bin Auf: “Aku shalat di belakang Ibnu Abbas untuk jenazah, dan dia membaca Fatihatul Kitab. Setelah salam, aku bertanya kepadanya tentang itu, dan dia menjawab: ‘Itu sunnah dan benar.'” 

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Sa’id bin Abi Sa’d Al-Maqburi: “Aku mendengar Ibnu Abbas mengeraskan bacaan Fatihatul Kitab dalam shalat jenazah dan berkata: ‘Aku lakukan ini agar kalian tahu itu sunnah.'” 

Mutharrif bin Mazin mengabarkan kepada kami dari Ma’mar dari Az-Zuhri: “Abu Umamah bin Sahl mengabarkan kepadaku bahwa seorang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberitahunya: ‘Sunnah dalam shalat jenazah adalah imam bertakbir, lalu membaca Fatihatul Kitab setelah takbir pertama secara pelan dalam hati, kemudian bershalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan murni mendoakan mayit pada takbir-takbir berikutnya tanpa membaca apa pun, lalu salam secara pelan dalam hati.'” 

Mutharrif bin Mazin mengabarkan kepada kami dari Ma’mar dari Az-Zuhri: “Muhammad Al-Fihri menceritakan kepadaku dari Adh-Dhahhak bin Qais bahwa dia berkata…”

Seperti perkataan Abu Umamah (Imam Syafi’i berkata): Dan orang-orang mengikuti imam mereka, melakukan apa yang dia lakukan. 

(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Abbas dan Dhahak bin Qais adalah dua orang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang tidak menyebut Sunnah kecuali Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – insya Allah. 

(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Laits bin Sa’d dari Az-Zuhri dari Abu Umamah, dia berkata: Sunnahnya adalah membaca Fatihatul Kitab di atas jenazah. 

(Imam Syafi’i berkata): Para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak menyebut Sunnah dan kebenaran kecuali Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – insya Allah Ta’ala. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ishaq bin Abdullah dari Musa bin Wardan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa dia membaca Ummul Qur’an setelah takbir pertama di atas jenazah. Dan telah sampai kepada kami hal itu dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Sahl bin Hanif, dan lainnya dari sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa shalat atas mayit dengan niat, karena “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah melakukannya atas Najasyi, beliau shalat atasnya dengan niat.” Sebagian orang berkata: Tidak boleh shalat atasnya dengan niat. Ini bertentangan dengan Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang tidak halal bagi siapa pun menyelisihinya, dan kami tidak mengetahui ada riwayat dalam hal itu kecuali pendapat berdasarkan akal. 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa shalat di atas kubur setelah mayit dikuburkan, bahkan kami menganjurkannya. Sebagian orang berkata: Tidak boleh shalat di atas kubur. Ini juga bertentangan dengan Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang tidak halal bagi siapa pun yang mengetahuinya untuk menyelisihinya, karena “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah shalat di atas kubur Al-Bara’ bin Ma’rur dan kubur lainnya.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abu Umamah bin Sahl: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat di atas kubur seorang wanita dan bertakbir empat kali.” 

(Imam Syafi’i berkata): Aisyah pernah shalat di atas kubur saudaranya, dan Ibnu Umar shalat di atas kubur saudaranya, Ashim bin Umar. 

(Imam Syafi’i berkata): Orang yang shalat mengangkat tangannya setiap kali bertakbir di atas jenazah pada setiap takbir berdasarkan atsar dan qiyas atas Sunnah dalam shalat, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengangkat tangannya pada setiap takbir yang dia lakukan dalam shalat saat berdiri. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muhammad bin Umar mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Umar bin Hafs dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia mengangkat tangannya setiap kali bertakbir di atas jenazah. 

(Imam Syafi’i berkata): Telah sampai kepadaku dari Sa’id bin Al-Musayyib dan Urwah bin Az-Zubair hal yang serupa. Demikianlah yang aku temui dari ulama di negeri kami. Sebagian orang berkata: Tidak mengangkat tangan kecuali pada takbir pertama. 

(Imam Syafi’i berkata): Dan dia mengucapkan salam satu kali yang didengar oleh orang di sebelahnya, atau jika mau, dua kali salam. 

Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia mengucapkan salam dalam shalat jenazah. 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat jenazah dilakukan dengan berdiri menghadap kiblat. Jika mereka shalat sambil duduk tanpa uzur atau berkendara, mereka harus mengulang. Jika shalat tanpa bersuci, mereka harus mengulang. Jika mayit dikubur tanpa shalat, tanpa dimandikan, atau tidak menghadap kiblat, tidak mengapa menurutku untuk membersihkan tanah darinya dan memindahkannya untuk menghadap kiblat. Ada yang berpendapat: Mayit dikeluarkan, dimandikan, dan dishalati selama belum berubah. Jika dikuburkan setelah dimandikan tetapi belum dishalati, aku tidak suka mengeluarkannya, tetapi dishalati di kubur. 

(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika bertakbir di atas jenazah untuk membaca Ummul Qur’an setelah takbir pertama, kemudian bertakbir lagi, lalu bershalawat atas Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, memohon ampun untuk mukminin dan mukminat, kemudian murni berdoa untuk mayit. Tidak ada batasan tertentu dalam doa. Aku lebih suka mengucapkan: 

“Ya Allah, hamba-Mu, anak hamba-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu dahulu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Engkau, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Engkau lebih mengetahui tentangnya. Ya Allah, jika dia berbuat baik, tambahkan kebaikannya, tinggikan derajatnya, lindungilah dia dari azab kubur dan segala kengerian hari kiamat, dan bangkitkan dia bersama orang-orang yang aman. Jika dia berbuat buruk, maafkanlah dia, sampaikan dia dengan ampunan-Mu dan panjangnya derajat orang-orang yang berbuat baik. Ya Allah, pisahkan dia dari orang yang dia cintai dari kelapangan dunia, keluarga, dan selain mereka menuju kegelapan dan kesempitan kubur, terputus amalnya, dan kami datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat untuknya, dan kami berharap rahmat-Mu untuknya, sedangkan Engkau lebih penyayang kepadanya. Ya Allah, rahmatilah dia dengan keutamaan rahmat-Mu, karena dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, sedangkan Engkau Maha Kaya dari azabnya.”

Imam Syafi’i berkata: “Kami mendengar dari sebagian sahabat kami yang berpendapat bahwa berjalan di depan jenazah lebih utama daripada berjalan di belakangnya. Aku tidak mendengar seorang pun di kalangan kami yang menyelisihi pendapat ini. Sebagian orang berpendapat bahwa berjalan di belakang jenazah lebih utama, dengan alasan bahwa Umar hanya memerintahkan orang-orang untuk berjalan di depan karena sempitnya jalan. Seolah-olah kami tidak membutuhkan dalil selain riwayat dari Umar dalam hal ini. Mereka juga berdalil dengan perkataan Ali -radhiyallahu ‘anhu- bahwa berjalan di belakang jenazah lebih utama, serta alasan bahwa jenazah itu diikuti, bukan mengikuti. Mereka juga berkata bahwa merenungkan urusan jenazah lebih banyak dilakukan jika berada di belakangnya.”

Imam Syafi’i berkata: “Pendapat bahwa berjalan di depan jenazah lebih utama didasarkan pada kebiasaan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang berjalan di depannya. Mereka (para sahabat) tahu bahwa masyarakat umum akan mencontoh mereka dan mengikuti perbuatan mereka. Padahal, mereka tidak mengajarkan kepada masyarakat untuk meninggalkan posisi yang lebih utama dalam mengiringi jenazah. Kami tidak mengetahui posisi yang lebih utama kecuali dengan mengikuti perbuatan mereka. Jika mereka melakukan sesuatu dan terus-menerus melakukannya, maka itulah posisi yang lebih utama. Dalil dari kebiasaan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih kuat sehingga tidak memerlukan dalil lain, meskipun kesepakatan para imam petunjuk setelahnya juga menjadi hujjah. Mereka tidak berjalan di depan karena sempitnya jalan, karena Madinah atau sebagian besar wilayahnya masih lapang sampai kemudian berkembang. Di mana letak kesempitan jalan di sana? Kami juga tidak mengetahui bahwa Ali -radhiyallahu ‘anhu- menyelisihi perbuatan para sahabatnya.”

Ada yang berkata: “Jenazah itu diikuti, dan kami tidak melihat orang yang berjalan di depannya kecuali untuk mengikutinya. Jika seseorang berjalan untuk keperluannya sendiri, maka dia tidak termasuk yang mengiringi jenazah.” Tidak diragukan oleh siapa pun bahwa orang yang berada di depan jenazah tetap bersama jenazah. Seandainya ada yang berkata: “Jenazah itu diikuti,” maka ini adalah perkataan yang lemah, karena jenazah hanya dipindahkan, tidak mengikuti siapa pun. Jenazah diiringi dan dipindahkan oleh para lelaki, bukan dia yang mengikuti atau bergerak sendiri. Jenazah tidak memiliki perbuatan; yang berbuat adalah orang yang mengiringi atau menyertainya. Seandainya seorang yang berdalil ingin mengatakan bahwa yang paling utama dalam jenazah adalah memikulnya, dan pemikul biasanya berada di depannya, lalu memikulnya, maka itu adalah suatu pendapat. Merenung bagi yang di depan atau di belakang adalah sama. Demi umurku, orang yang berjalan di depan jenazah juga merenungkannya. Dia keluar dari keluarganya untuk mengiringinya. Ini termasuk kelalaian. Tidak ada jaminan bahwa jika dia berada di belakang jenazah, dia akan lebih merenung.”

Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami, dia berkata: “Asy-Syafi’i menceritakan kepada kami, dia berkata: “Ibnu ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakar, dan Umar berjalan di depan jenazah.” Muslim bin Khalid dan lainnya menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakar, Umar, dan Utsman berjalan di depan jenazah.” Malik menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Rabi’ah dari Abdullah bin Al-Hudair bahwa dia melihat Umar bin Al-Khattab memerintahkan orang-orang untuk berjalan di depan jenazah Zainab binti Jahsy.” Ibnu ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari ‘Ubaid, mantan budak As-Saib, dia berkata: “Aku melihat Ibnu Umar dan ‘Ubaid bin ‘Umair berjalan di depan jenazah, lalu mereka berdua duduk dan berbicara. Ketika jenazah telah melewati mereka, mereka berdiri.”

Imam Syafi’i berkata: “Dengan hadits Ibnu Umar dan lainnya, kami berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang berjalan di depan lalu duduk sebelum jenazah datang, tanpa menunggu izin dari keluarganya untuk duduk. Dia juga boleh pergi tanpa izin. Namun, lebih aku sukai jika dia menyempurnakan semua itu.”

Imam Syafi’i berkata: “Aku lebih suka memikul jenazah dari mana saja dipikul. Cara terbaik memikul adalah meletakkan tangan kiri pada bagian depan usungan di bahu kanan, lalu tangan kiri pada bagian belakang usungan, kemudian tangan kanan pada bagian depan usungan di bahu kiri, lalu tangan kanan pada bagian belakang usungan. Jika banyak orang yang mengiringi jenazah, maka lebih aku sukai jika sebagian besar pemikul berada di antara kedua tiang usungan. Bagaimanapun cara memikulnya, itu baik. Memikul jenazah laki-laki dan perempuan sama saja. Wanita tidak boleh memikul jenazah laki-laki atau perempuan. Jika jenazah perempuan berat, aku melihat ada yang sengaja memikulnya hingga enam atau delapan orang.”

Di atas tempat tidur, di atas papan jika tidak ada tempat tidur, atau di atas tandu, dan apa pun yang digunakan untuk membawanya sudah cukup. Jika berada di tempat yang sulit atau ada kebutuhan mendesak yang menghalangi, dan dikhawatirkan mayat akan berubah sebelum ada yang bisa digunakan untuk membawanya, maka mayat boleh dibawa dengan tangan atau di atas pundak. Berjalan dengan jenazah sebaiknya dilakukan dengan kecepatan alami seperti berjalan biasa, bukan berjalan cepat yang memberatkan orang-orang yang mengikutinya, kecuali jika dikhawatirkan mayat akan berubah atau mengeluarkan cairan, maka diperbolehkan mempercepat sesuai kemampuan. Saya tidak menyukai jika ada dari keluarga jenazah yang memperlambat prosesi pemandian atau berdiri di sisi kubur, karena ini memberatkan orang yang mengikuti jenazah.

[Pasal Perbedaan Pendapat tentang Memasukkan Mayit ke Kubur] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Mayit dimasukkan dari arah kepala. Sebagian orang berpendapat mayit dimasukkan melintang dari arah kiblat. Hammad meriwayatkan dari Ibrahim bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dimasukkan melintang dari arah kiblat. Orang-orang terpercaya dari kalangan sahabat kami mengabarkan bahwa makam Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berada di sebelah kanan orang yang masuk ke rumah, menempel pada dinding. Dinding yang menjadi pembatas liang lahad berada di sisi kiblat rumah, dan liang lahadnya berada di bawah dinding. Bagaimana mungkin mayit dimasukkan melintang, sementara liang lahad menempel pada dinding dan tidak ada ruang untuk berdiri? Tidak ada cara lain kecuali memasukkannya dari arah kepala atau dari selain arah kiblat. 

Urusan jenazah dan cara memasukkannya ke kubur adalah hal yang sudah dikenal luas di kalangan kami karena seringnya kematian dan kehadiran para imam serta orang-orang terpercaya. Ini termasuk urusan umum yang tidak memerlukan hadis khusus, karena pengetahuan masyarakat sudah cukup. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kaum Muhajirin, dan Anshar ada di tengah-tengah kami, dan masyarakat umum meriwayatkan dari masyarakat umum tanpa perbedaan pendapat bahwa mayit dimasukkan dari arah kepala. Kemudian datang seseorang dari luar negeri kami yang mengajarkan cara memasukkan mayit, tetapi dia tidak tahu sampai meriwayatkan dari Hammad dari Ibrahim bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dimasukkan melintang. 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, Muslim bin Khalid dan lainnya mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Imran bin Musa bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dimasukkan dari arah kepala, dan orang-orang setelah itu mengikuti cara ini. Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Amr bin Atha’ dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dimasukkan dari arah kepala.” Juga dikabarkan kepada kami dari sahabat-sahabat kami dari Abu Az-Zinad, Rabi’ah, dan Ibnu Adh-Dhar, tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakar, dan Umar dimasukkan dari arah kepala. 

(Imam Syafi’i berkata): Kubur diratakan. Demikian juga yang sampai kepada kami tentang Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau meratakan kubur Ibrahim putranya dan meletakkan kerikil dari kerikil Rawdhah di atasnya. Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyiram kubur Ibrahim putranya dan meletakkan kerikil di atasnya. Kerikil tidak akan menempel kecuali di atas kubur yang rata. Sebagian orang berpendapat bahwa kubur sebaiknya dibuat berbentuk punuk. Namun, pemakaman kaum Muhajirin dan Anshar di tempat kami memiliki kubur yang rata, sedikit ditinggikan sekitar sejengkal dari tanah, dan kadang diberi kerikil atau dilapisi tanah liat. Saya tidak menganggap ini sebagai hal yang perlu diperselisihkan. 

Aku menerima kabar dari Al-Qasim bin Muhammad, dia berkata: “Aku melihat kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakar, dan Umar dalam keadaan rata.” 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang suami boleh memandikan istrinya jika meninggal, dan seorang istri boleh memandikan suaminya jika meninggal. Sebagian orang berpendapat bahwa istri boleh memandikan suaminya, tetapi suami tidak boleh memandikan istrinya. Ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau membedakan antara keduanya?” Dia menjawab: “Abu Bakar berwasiat agar Asma’ yang memandikannya.” Aku berkata: “Fatimah juga berwasiat agar Ali -radhiyallahu ‘anhuma- yang memandikannya.” Dia berkata: “Aku mengatakan bahwa istri yang memandikan karena dia masih dalam masa ‘iddah.” Kami berkata: “Jika argumenmu adalah atsar dari Abu Bakar, seandainya tidak ada riwayat dari Thalhah -radhiyallahu ‘anhu-, Ibnu Abbas, atau yang lainnya tentang hal ini, maka…”

Argumen yang membebankanmu adalah bahwa kita telah mengetahui bahwa tidak halal baginya (istri) dari suami yang meninggal kecuali apa yang dihalalkan baginya (suami) darinya (istri). Dikatakan: Tidakkah kamu melihat bahwa suami boleh menikahi empat wanita selainnya jika istrinya meninggal, dan boleh menikahi saudara perempuannya? Maka dikatakan kepadanya: Masa ‘iddah dan pernikahan tidak ada hubungannya dengan memandikan. Bagaimana pendapatmu jika kamu mengatakan: Dia boleh menikahi saudara perempuannya atau empat wanita lainnya, bahwa dia (istri) telah terlepas dari hukum kehidupan (suami), dan seolah-olah dia bukan istri atau tidak pernah menjadi istri? Dijawab: Ya. Dikatakan: Maka jika suami meninggal, apakah dia seperti bukan suami? Dijawab: Bahkan dia bukan suami, hukum kehidupan telah terputus darinya sebagaimana terputus darinya (istri), hanya saja istri masih memiliki kewajiban ‘iddah darinya. Kami berkata: ‘Iddah diwajibkan atasnya karena alasan yang bukan ini. Tidakkah kamu melihat bahwa dia (istri) ber’iddah sedangkan suami tidak, dan jika dia (suami) meninggal, dia (istri) boleh menikah dengan empat orang? Sedangkan jika istri meninggal, suami tidak boleh menikah (dengan wanita lain) sampai dia (istri yang meninggal) menyelesaikan ‘iddah empat bulan sepuluh hari? Ini adalah ketentuan Allah Ta’ala atasnya (istri), bukan atas suami. Sesungguhnya masing-masing dari pasangan suami-istri, dalam hal yang dihalalkan dan diharamkan bagi mereka dari pasangannya, adalah sama. Bagaimana pendapatmu jika suami menceraikannya dengan talak tiga, bukankah dia (istri) masih memiliki ‘iddah darinya? Dijawab: Ya. (Aku berkata): Demikian juga jika dia berpisah karena ila’ atau li’an? Dijawab: Ya. Dikatakan: Jika dia berpisah darinya (suami) kemudian suami meninggal, sementara dia dalam masa ‘iddah talak, apakah dia memandikannya? Dijawab: Tidak. (Aku berkata): Mengapa kamu berpendapat bahwa memandikannya (suami) oleh istri, bukan memandikan istri oleh suami, adalah karena ‘iddah, sedangkan dia (istri) sedang ber’iddah? (Dia menjawab): Dia bukan istrinya lagi. (Aku berkata): Maka apa gunanya argumenmu tentang ‘iddah seperti main-main? Seharusnya kamu mengatakan: Dia memandikannya karena kamu berpendapat bahwa ‘iddah menghalalkan baginya (istri) dari suami apa yang diharamkan, maka tidak diharamkan baginya memandikannya. Dikatakan: Apakah halal baginya selama ‘iddah darinya, sementara keduanya masih hidup, untuk melihat kemaluannya dan memegangnya sebagaimana halal baginya sebelum talak? Dijawab: Tidak. Dikatakan: Dan dia (istri) sedang dalam ‘iddah darinya. (Dia menjawab): ‘Iddah tidak menghalalkan sesuatu di sini, juga tidak mengharamkannya. Yang menghalalkan adalah akad nikah. Jika itu hilang karena tidak ada hak rujuk baginya atasnya, maka dia (istri) darinya dalam hal yang dihalalkan dan diharamkan sama seperti wanita lainnya. Dikatakan: Demikian juga suami darinya? Dijawab: Ya. Dikatakan: Jika ada yang mengatakan: Ini berbeda dengan pendapat kalian, maka kalian lemahkan; dan dia (istri) tidak melampaui, dan dia (suami) tidak melampaui jika istri meninggal, bahwa akad nikah telah hilang tanpa hilangnya talak, maka tidak halal baginya (suami) memandikannya (istri), dan tidak halal baginya (istri) memandikannya (suami). Atau akad itu tetap ada, maka halal bagi masing-masing dari mereka terhadap pasangannya apa yang halal bagi yang lain. Atau kita hanya mengikuti pendapat ulama sebelumnya dalam hal ini. Sungguh Abu Bakar telah memerintahkan di tengah-tengah Muhajirin dan Anshar bahwa Asma’ memandikannya (Nabi), dan dia (Abu Bakar) dalam hal yang dihalalkan dan diharamkan lebih tahu dan lebih bertakwa kepada Allah. Itu adalah bukti bahwa jika dia (Abu Bakar) melihat bahwa istri boleh memandikan suami jika dia meninggal, maka suami boleh memandikan istri jika dia meninggal, karena akad yang menghalalkan baginya (suami) adalah akad yang menghalalkan baginya (istri). Tidakkah kamu melihat bahwa kemaluan adalah haram sebelum akad, lalu ketika akad terjadi menjadi halal sampai akad itu batal? Maka masing-masing dari pasangan suami-istri dalam hal yang dihalalkan bagi masing-masing dari pasangannya memiliki hak yang sama. Tidak ada satu pun dari mereka dalam akad yang tidak dimiliki pasangannya. Juga ketika akad batal dan tidak ada hak rujuk baginya atasnya, tidak ada sesuatu yang halal bagi pasangannya. Juga ketika meninggal, tidak ada sesuatu yang halal bagi pasangannya. Maka mereka dalam kondisi ini adalah sama.

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepadaku oleh Ibrahim bin Muhammad dari Abdullah bin Abu Bakar dari Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair bahwa Aisyah berkata: “Seandainya kami mengetahui sebelumnya apa yang kami ketahui sekarang, tidak ada yang memandikan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kecuali istri-istrinya.” Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad dari ‘Amarah dari Ummu Muhammad binti Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib dari neneknya Asma’ binti ‘Umais bahwa Fatimah binti Rasulullah berwasiat kepadanya untuk memandikannya jika dia (Fatimah) dan Ali (meninggal), maka dia (Asma’) memandikannya bersama Ali -radhiyallahu ‘anhuma-.

[Bab Amalan dalam Jenazah]

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Kewajiban atas manusia adalah memandikan mayit, menshalatkannya, dan menguburkannya. Tidak boleh bagi kebanyakan mereka meninggalkannya. Jika ada di antara mereka yang mampu melakukannya, maka itu sudah cukup insya Allah Ta’ala. Ini seperti jihad, kewajiban bagi mereka untuk tidak meninggalkannya. Jika ada di antara mereka yang bersegera memenuhi kebutuhan di daerah tempat jihad, maka itu sudah cukup bagi mereka.

Keutamaan bagi ahli wilayah dalam hal ini dibandingkan dengan orang yang meninggalkannya (Asy-Syafi’i berkata): Menurut kami, Umar meninggalkan (hukuman tersebut) sebagai hukuman bagi orang yang melewati wanita yang dikuburkan, aku kira dia dari suku Kalb, karena orang yang lewat sendirian mungkin mengandalkan orang lain yang bisa menggantikannya. Adapun sekelompok orang yang sendirian di jalan yang tidak berpenghuni, jika mereka meninggalkan mayat di antara mereka padahal mereka wajib menguburkannya, maka seharusnya imam menghukum mereka karena meremehkan kewajiban mereka dalam urusan Islam. Demikian pula segala kewajiban yang diabaikan oleh masyarakat, maka penguasa berhak menindak dan menghukum mereka sesuai dengan kebijaksanaannya tanpa melampaui batas. (Dia berkata): Dan aku lebih suka jika mayat tidak segera dimandikan oleh keluarganya karena terkadang orang pingsan dan dikira sudah meninggal, sampai mereka melihat tanda-tanda kematian yang dikenal, yaitu kakinya kendur tidak tegak, kedua lengannya terbuka, dan tanda-tanda lain yang dikenal sebagai kematian. Jika mereka melihat tanda-tanda itu, mereka boleh segera memandikan dan menguburkannya karena menyegerakan penguburan adalah hak mayat. Tidak perlu menunggu orang yang tidak hadir untuk menguburkan mayat. Jika mayat telah meninggal, matanya dipejamkan. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Sa’ad mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab bahwa Qabishah Nashr bin Dzu’aib menceritakan: “Rasulullah SAW memejamkan mata Abu Salamah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Mulutnya dirapatkan, dan jika dikhawatirkan rahangnya kendur, diikat dengan kain. (Dia berkata): Aku melihat orang yang melunakkan persendian mayat dan merenggangkannya agar lentur, tapi tidak kaku. Aku juga melihat orang meletakkan besi, seperti pedang atau lainnya, di perut mayat, atau sesuatu dari tanah basah, seolah mereka ingin mencegah perutnya membengkak. Apa pun yang mereka lakukan dengan harapan dan keyakinan dapat mencegah hal yang tidak diinginkan, aku berharap itu tidak masalah insya Allah. Namun, aku tidak melihat kebiasaan orang meletakkan za’uq (raksa) di telinga atau hidung mayat, atau meletakkan martak (murdasang) di persendiannya. Itu adalah kebiasaan orang non-Arab yang ingin mayat tetap awet. Mereka bahkan mungkin menaruhnya di peti dan mencampurnya dengan kapur barus. Aku tidak menyukai hal ini sama sekali. Mayat seharusnya diperlakukan seperti umumnya kaum Muslimin: dimandikan, dikafani, diberi wewangian, dan dikuburkan, karena dia akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Kemuliaannya terletak pada rahmat Allah Ta’ala dan amal shalehnya. (Dia berkata): Telah sampai kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash: “Maukah kami membuatkan peti kayu untukmu?” Dia menjawab: “Perlakukan aku seperti kalian memperlakukan Rasulullah SAW. Susunlah bata di atasku, lalu timbunlah dengan tanah.” 

[Bab Shalat atas Mayat] 

(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Jika wali mayat hadir, aku lebih suka agar tidak ada yang menshalatkannya kecuali atas perintah walinya, karena ini termasuk urusan khusus yang menurutku lebih menjadi hak wali daripada penguasa. Wallahu a’lam. Sebagian ulama berpendapat: penguasa lebih berhak. 

Jika kerabat mayat hadir untuk menshalatkannya, yang paling berhak adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, kemudian anak, cucu, saudara seayah-seibu, saudara seayah, lalu kerabat terdekat dari pihak ayah—bukan dari pihak ibu—karena hak perwalian hanya untuk ‘ashabah. Jika para wali memiliki kedudukan yang sama dalam kekerabatan dan berselisih, maka yang paling aku sukai adalah yang paling tua, kecuali jika sifatnya tidak terpuji, maka yang lebih utama dan faqih lebih aku sukai. Jika mereka setara (dan jarang terjadi), lalu tidak ada kesepakatan, diadakan undian. Siapa yang namanya keluar, dialah yang berhak menshalatkannya. 

(Asy-Syafi’i berkata): Wali yang merdeka lebih berhak menshalatkan mayat daripada budak, tetapi tidak masalah jika budak menshalatkan jenazah. Jika seorang laki-laki—baik wali atau bukan—hadir bersama wanita untuk menshalatkan mayat laki-laki atau perempuan, maka dia lebih berhak menjadi imam daripada wanita.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Tentang Kesadaran dalam Shalat Jenazah: 

Jika mayit adalah anak kecil yang belum baligh, baik budak atau merdeka, dan belum memiliki kesadaran untuk shalat, maka shalat jenazah boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (tanpa imam). Jika salah seorang wanita menjadi imam dan berdiri di tengah mereka, aku tidak melihat masalah dalam hal itu. Sebab, “orang-orang pernah shalat atas Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – secara sendiri-sendiri tanpa seorang pun menjadi imam.” Hal itu karena besarnya kedudukan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan persaingan mereka agar tidak hanya satu orang yang memimpin shalat atas beliau. Mereka pun mengulang shalat berkali-kali. Namun, sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam shalat jenazah dan amalan yang berlaku hingga hari ini adalah shalat dengan imam. Meskipun jika shalat dilakukan sendiri-sendiri, itu tetap sah insya Allah. Aku lebih menyukai shalat jenazah dilakukan sekali saja, sebagaimana yang kulihat pada kebiasaan orang-orang. Tidak ada duduk setelah selesai shalat untuk orang yang tertinggal, meskipun dia datang atau menjadi wali mayit. Jika tidak dikhawatirkan mayit berubah, maka shalat boleh dilakukan, dan aku berharap tidak ada masalah dalam hal itu insya Allah.

Imam yang Berhadats: 

Jika imam berhadats, dia boleh pergi berwudhu, sementara makmum menyelesaikan takbir yang tersisa secara sendiri-sendiri tanpa imam. Jika tempat wudhunya dekat dan mereka menunggu, maka imam boleh melanjutkan takbir, dan aku berharap tidak ada masalah. Shalat jenazah di perkotaan hanya boleh dilakukan oleh orang yang suci.

Jika Seseorang Tertinggal Takbir: 

Jika seseorang tertinggal sebagian takbir, dia tidak perlu menunggu mayit hingga menyelesaikan takbirnya. Orang yang tertinggal juga tidak perlu menunggu imam untuk takbir lagi, melainkan memulai sendiri. Sebagian orang berpendapat: Jika seseorang di perkotaan khawatir ketinggalan jenazah, dia boleh tayamum dan shalat. Namun, pendapat ini tidak membolehkan tayamum di perkotaan untuk shalat sunnah atau wajib kecuali bagi orang sakit. Padahal, ini bukan orang sakit. Shalat jenazah statusnya seperti shalat lainnya, tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan suci (berwudhu). Tayamum di perkotaan tidak berlaku bagi orang sehat yang mampu berwudhu. Atau, jika dianggap seperti dzikir, maka boleh shalat tanpa suci, baik khawatir ketinggalan atau tidak, sebagaimana boleh berdzikir tanpa suci.

Bab Berkumpulnya Beberapa Jenazah: 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika berkumpul jenazah laki-laki, perempuan, anak kecil, dan khuntsa (hermafrodit), maka posisikan laki-laki di dekat imam, yang paling utama di depan, lalu anak kecil di belakang mereka, kemudian khuntsa, dan terakhir perempuan di arah kiblat. Jika para wali jenazah berselisih dan jenazahnya berbeda-beda, maka wali jenazah yang lebih dulu boleh shalat. Jika wali jenazah lain mau, dia boleh mencukupkan diri dengan shalat itu atau mengulang shalat untuk jenazahnya. Jika mereka berselisih tentang posisi jenazah, maka yang lebih dulu berhak jika semuanya laki-laki. Jika ada laki-laki dan perempuan, letakkan laki-laki di dekat imam dan perempuan di arah kiblat, tanpa mempertimbangkan siapa yang lebih dulu karena posisi mereka memang demikian. Begitu pula khuntsa. Namun, jika wali anak kecil lebih dulu, dia tidak harus memindahkan anak kecil dari posisinya. Wali laki-laki boleh menempatkan jenazah laki-laki di belakangnya atau memindahkannya ke tempat lain. Jika imam sudah memulai shalat jenazah dengan satu atau dua takbir, lalu datang jenazah lain, jenazah itu diletakkan hingga imam selesai shalat untuk jenazah pertama, karena shalat awalnya ditujukan untuk jenazah yang pertama, bukan yang datang belakangan.

Shalat dengan Imam Tidak Berwudhu: 

Jika imam shalat jenazah tanpa wudhu sedangkan makmum berwudhu, shalat mereka sah. Jika semuanya tidak berwudhu, mereka harus mengulang. Jika ada tiga orang atau lebih yang berwudhu, shalat mereka sah. Jika sebagian wali sudah shalat jenazah lebih dulu, lalu datang wali lain, lebih baik tidak perlu diulang, meskipun jika diulang juga tidak masalah insya Allah.

Barang Berharga yang Jatuh ke Kubur: 

Jika barang berharga milik seseorang jatuh ke kubur dan terkubur, dia boleh membongkar kubur untuk mengambilnya.

[Bab Penguburan] 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang meninggal di Mekah atau Madinah, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman kedua kota itu. Demikian pula jika ia meninggal di suatu daerah yang disebutkan dalam hadits tentang pemakamannya, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman tersebut. Namun, jika di suatu daerah tidak ada keterangan tentang hal itu, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman umum karena kehormatan pemakaman dan alasan-alasan lainnya, serta lebih dekat kepada kebersamaan (umat). Ini lebih baik daripada dikubur di tempat yang mungkin diinjak, dikencingi, atau digali. Di mana pun jenazah dikubur, itu baik insya Allah. 

Aku lebih suka lubang kubur diperdalam sekitar satu hasta atau lebih. Jika sudah dalam dan jenazah tertutup dengan baik, itu sudah cukup. Tujuannya agar tidak diganggu binatang buas, tidak mudah digali jika ada yang berniat, dan tidak tercium bau jenazah. Dalam keadaan darurat karena sempit atau terburu-buru, dua atau tiga jenazah boleh dimakamkan dalam satu liang. Yang paling dekat ke arah kiblat sebaiknya yang paling utama dan paling tua di antara mereka. 

Aku tidak suka perempuan dimakamkan bersama laki-laki dalam keadaan apa pun, kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada pilihan lain. Jika terpaksa, laki-laki diletakkan di depan dan perempuan di belakangnya, serta diberi pembatas tanah di antara mereka. Aku lebih suka kuburan diperkuat. Tidak ada batasan jumlah orang yang masuk ke liang kubur, tetapi jika jumlahnya ganjil lebih aku sukai. Jika mereka bisa mengurus jenazah tanpa kesulitan, itu lebih baik. 

Jenazah ditarik dari arah kepala, yaitu kepala kerandanya diletakkan di ujung liang kubur, lalu ditarik perlahan. Liang kubur ditutup dengan kain bersih hingga jenazah disusun dalam liang lahat. Penutupan kuburan perempuan lebih ditekankan daripada laki-laki. Perempuan ditarik seperti laki-laki. Jika yang mengeluarkannya dari keranda adalah laki-laki, ia boleh melepas ikatan pakaian jenazah jika diperlukan. Jika perempuan yang mengurusnya, itu lebih baik. Jika tidak ada mahram, maka kerabat atau walinya yang mengurus. Jika tidak ada, maka kaum Muslimin yang menjadi walinya karena ini keadaan darurat. 

Jenazah sudah menjadi mayat, dan hukum kehidupan telah terputus darinya. (Asy-Syafi’i berkata): Jenazah diletakkan di kubur dalam posisi miring ke kanan, kepalanya ditinggikan dengan batu atau bata, dan disangga agar tidak terjungkir atau terlentang. Jika tanahnya keras, dibuat liang lahat, lalu di atasnya diberi lapisan bata yang disusun rapat, dan celahnya diisi dengan pecahan bata atau tanah liat hingga kokoh, kemudian ditimbun tanah. Jika tanahnya lunak, digali parit, lalu liang lahat dibangun dengan batu atau bata, dan atapnya dari batu atau kayu karena bata tidak cukup kuat. Jika memakai atap, celahnya harus ditutup rapat. 

Aku melihat di tempat kami, mereka meletakkan alang-alang di atas atap kubur, lalu menimbunnya dengan tanah hingga rata, kemudian menimbunnya lagi. (Asy-Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan atsar yang harus diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan. Bagaimanapun jenazah dikubur, itu sudah cukup insya Allah. Orang yang mengubur disunnahkan mengambil tanah dari tepi kubur dengan kedua tangan sekaligus sebanyak tiga kali. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya—radhiyallahu ‘anhuma—bahwa Nabi ﷺ mengambil tanah dengan kedua tangan sekaligus dan menaburkannya ke jenazah sebanyak tiga kali. 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka menyegerakan penguburan jenazah jika kematiannya sudah jelas. Jika masih meragukan, lebih baik ditunda hingga benar-benar yakin. Jika jenazahnya tenggelam, lebih baik ditunda selama waktu penggalian kubur. Jika mati pingsan (seperti tersambar petir), lebih baik ditunda hingga dikhawatirkan sudah berubah (membusuk), bahkan hingga dua atau tiga hari, karena aku mendengar ada orang yang pingsan hingga hilang akalnya, lalu sadar setelah dua hari atau sejenisnya. Demikian pula jika ia ketakutan karena perang, binatang buas, atau ketakutan lain, atau jatuh dari gunung. 

Jika seseorang meninggal, tanda-tanda kematiannya biasanya jelas insya Allah. Jika sebagian orang tidak yakin, biasanya yang lain yakin. Jika terjadi wabah atau kematian mendadak, dan kematian sudah jelas, tetapi keluarga tidak bisa mengurus semua jenazah sekaligus, maka didahulukan orang tua (ayah/ibu), lalu yang lainnya sesuai urutan. Jika ada dua istri seorang laki-laki, diadakan undian siapa yang didahulukan. Jika dikhawatirkan ada jenazah yang cepat berubah, maka yang lebih berisiko didahulukan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dia (mayit) dihadapkan ke arah kiblat, dan orang dewasa didahulukan daripada anak kecil jika tidak dikhawatirkan perubahan pada yang tertinggal. Jika terpaksa, dua atau tiga jenazah boleh dimakamkan dalam satu liang, dengan yang paling utama dan paling banyak hafalan Al-Qur’annya dihadapkan ke kiblat, lalu diberi pembatas tanah di antaranya. Jika jenazah terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak, posisikan laki-laki paling dekat kiblat, diikuti anak laki-laki, kemudian perempuan di belakangnya. Aku lebih suka jika perempuan tidak dimakamkan bersama laki-laki. Kebolehan memakamkan dua jenazah dalam satu liang berdasarkan hadis, tetapi aku tidak mendengar ulama membolehkan lebih dari itu kecuali riwayat: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para syuhada Uhud dimakamkan dua atau tiga jenazah dalam satu liang.”

[BAB HAL-HAL YANG DILAKUKAN SETELAH PEMAKAMAN]

Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa Asy-Syafi’i berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa sebagian ulama menganjurkan duduk di kuburan setelah pemakaman selama waktu menyembelih unta. Ini baik, tetapi tidak kulihat orang-orang di sini melakukannya.” Malik meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya: “Aku tidak suka dimakamkan di Baqi’, lebih suka di tempat lain. Sebab di Baqi’ ada dua jenis orang: jika tetanggaku zalim, aku tidak suka; jika shaleh, aku tidak ingin tulangnya terganggu.” Malik juga meriwayatkan bahwa Aisyah berkata: “Mematahkan tulang mayit seperti mematahkan tulang orang hidup.” Asy-Syafi’i menjelaskan: “Maksudnya dalam hal dosa. Jika tulang mayit dikeluarkan, lebih baik dikembalikan dan dikubur. Aku juga lebih suka tidak menambah tanah dari luar ke kuburan, meski tidak masalah jika dilakukan asal tidak berlebihan. Kuburan sebaiknya ditinggikan sekitar sejengkal dari tanah, tetapi tidak dibangun atau diplester karena menyerupai kesombongan, padahal maut bukan tempat untuk itu. Kuburan Muhajirin dan Anshar pun tidak diplester.” Thawus meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membangun atau mengapur kuburan.” Asy-Syafi’i menambahkan: “Aku melihat penguasa merobohkan bangunan di makam Mekah, dan tidak ada ulama yang mengingkarinya. Jika kuburan berada di tanah milik mayit atau ahli warisnya, bangunan tidak boleh dirobohkan. Perobohan hanya dilakukan jika tanah itu bukan milik siapa pun, agar tidak mempersulit penguburan orang lain.”

Asy-Syafi’i berkata: “Jika terjadi perselisihan tentang penggalian makam di tanah umum, yang pertama datang berhak memilih lokasi. Jika bersamaan, diundi oleh penguasa. Setelah penguburan, tidak boleh ada yang menggali kuburan itu sampai waktu tertentu (biasanya setahun atau lebih, tergantung kebiasaan setempat). Jika ada yang terburu-buru menggali dan menemukan jenazah atau sebagiannya, tanah harus dikembalikan, termasuk tulang yang mungkin terangkat.”

Jika seseorang mengizinkan penguburan di tanahnya lalu ingin menarik kembali, ia hanya boleh mengambil bagian yang belum dipakai. Jika penguburan dilakukan tanpa izin, pemilik berhak memindahkan jenazah, membangun, bertani, atau menggali sumur di situ, tetapi hal itu tidak disukai. Meski demikian, haknya tetap diakui, namun lebih baik membiarkan jenazah sampai hancur.

Asy-Syafi’i tidak menyukai menginjak, duduk, atau bersandar pada kuburan kecuali dalam keadaan darurat, seperti tidak ada jalan lain untuk menziarahi makam keluarga. Sebagian sahabat kami berpendapat: “Tidak masalah duduk di kuburan selama bukan untuk buang hajat.” Asy-Syafi’i menolak pendapat ini, karena larangan duduk di kuburan bersifat mutlak, bukan hanya untuk buang hajat. Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i dari Ibrahim bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya: “Aku mengikuti jenazah bersama Abu Hurairah. Mendekati makam, Abu Hurairah duduk dan berkata: ‘Duduk di bara api hingga membakar pakaianku lebih kusukai daripada duduk di kuburan.'”

“Barangsiapa yang duduk di atas kuburan seorang muslim.” 

(Dia berkata): “Dan aku tidak suka jika dibangun masjid di atas kubur, atau kubur itu diratakan lalu shalat di atasnya, atau shalat menghadap ke kubur yang belum rata.” (Dia berkata): “Jika seseorang shalat menghadap ke kubur, shalatnya sah, tetapi dia telah berbuat buruk.” Malik mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah memerangi Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Tidak akan tersisa dua agama di tanah Arab.” (Dia berkata): “Aku membenci hal ini karena bertentangan dengan Sunnah dan atsar, dan karena itu dibenci—wallahu a’lam—jika seorang muslim dimuliakan dengan menjadikan kuburnya sebagai masjid. Tidak ada jaminan terhindar dari fitnah dan kesesatan bagi orang yang datang setelahnya. Aku membencinya—wallahu a’lam—agar tidak diinjak-injak, karena tempat penyimpanan mayat di bumi bukanlah tempat yang paling bersih, sedangkan tempat lain lebih bersih.” 

[Pembicaraan Saat Menguburkan Mayat] 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Ketika mayat diletakkan di kubur, hendaklah orang yang meletakkannya mengucapkan: ‘Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah ﷺ.'” Dan aku suka jika dia mengucapkan: 

“Ya Allah, serahkanlah dia kepada-Mu, jauhkanlah dia dari kekikiran anak-anaknya, keluarganya, kerabatnya, dan saudara-saudaranya. Pisahkanlah dia dari orang yang dia cintai kedekatannya. Keluarkanlah dia dari kelapangan rumah dan kehidupan menuju kegelapan dan kesempitan kubur. Tempatkanlah dia di sisi-Mu, dan Engkau adalah sebaik-baik tempat berlindung. Jika Engkau menghukumnya, itu karena dosanya. Jika Engkau memaafkan, maka Engkau adalah Yang Maha Pemaaf. Ya Allah, Engkau Maha Kaya dari menyiksanya, sedangkan dia sangat membutuhkan rahmat-Mu. Ya Allah, terimalah kebaikannya, maafkanlah keburukannya, jadikanlah doa kami sebagai syafaat baginya, ampunilah dosanya, luaskanlah kuburnya, lindungilah dia dari azab kubur, masukkanlah ketenangan dan kedamaian ke dalam kuburnya.” 

Tidak mengapa mengunjungi kuburan. Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku pernah melarang kalian mengunjungi kubur, tetapi sekarang kunjungilah. Hanya saja, jangan mengucapkan perkataan kotor.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Tetapi jangan mengucapkan kata-kata buruk di sana, seperti doa kebinasaan, ratapan, atau tangisan. Namun, jika kunjungan itu untuk memohon ampunan bagi mayit, melembutkan hati, dan mengingat akhirat, maka itu termasuk hal yang tidak aku benci.” 

Aku tidak suka bermalam di kuburan karena kesepian yang dirasakan orang yang bermalam. Aku melihat orang-orang di tempat kami menguburkan kerabat dekat berdekatan, dan aku menyukai hal itu. Aku menjadikan orang tua lebih dekat ke arah kiblat daripada anak jika memungkinkan. Bagaimanapun penguburannya, itu sudah cukup insya Allah. 

Tidak ada batasan waktu khusus dalam takziah. Tidak ada ucapan yang harus dihindari selain ucapan buruk. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Al-Qasim bin Abdullah bin Umar mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: 

“Ketika Rasulullah ﷺ wafat dan datang takziah, mereka mendengar seseorang berkata: ‘Sesungguhnya di dalam Allah ada penghiburan dari setiap musibah, pengganti dari setiap yang hilang, dan pencapaian dari setiap yang luput. Maka, bertawakallah kepada Allah, berharaplah hanya kepada-Nya, karena orang yang benar-benar terkena musibah adalah yang terhalang dari pahala.'” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian orang saleh telah memberikan takziah dengan ucapan yang berbeda. Aku suka jika seseorang mengucapkan ucapan ini, mendoakan rahmat untuk mayit, dan berdoa bagi yang ditinggalkannya.” 

Takziah boleh dilakukan sejak kematian mayit, baik di rumah, masjid, jalan menuju kuburan, atau setelah penguburan. Kapan pun takziah dilakukan, itu baik. Jika seseorang menghadiri jenazah, aku lebih suka jika takziah ditunda sampai mayit dikuburkan, kecuali jika keluarga mayit terlihat sangat sedih, maka hiburlah mereka saat itu juga. Takziah boleh diberikan kepada anak kecil, orang dewasa, dan wanita, kecuali jika wanita itu masih muda—aku tidak suka berbicara langsung dengannya kecuali oleh mahramnya.” 

Aku suka jika tetangga mayit atau kerabatnya membuatkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malamnya. Itu adalah Sunnah, perbuatan mulia, dan termasuk kebiasaan orang-orang baik sebelum dan sesudah kita. Karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rasulullah ﷺ bersabda: “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa urusan yang menyibukkan.” 

Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ja’far dari ayahnya, Abdullah bin Ja’far, dia berkata: 

“Ketika berita kematian Ja’far datang, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa urusan yang menyibukkan—atau sesuatu yang menyibukkan.'” (Sufyan ragu).

As-Syafi’i berkata: “Aku suka jika tetangga keluarga mayit saat musibah memperhatikan yang paling lemah di antara mereka dengan memberikan penghiburan melalui ucapan dan perbuatan yang dianggap dapat menenangkan dan meringankan kesedihannya. Aku juga suka jika wali mayit memprioritaskan pelunasan hutangnya. Jika hal itu tertunda, hendaknya ia meminta kreditor untuk membebaskannya atau mencari cara untuk menyelesaikannya, serta berusaha memuaskan mereka dengan cara apa pun.

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya, dari Umar bin Abi Salamah—aku kira dari ayahnya, dari Abu Hurairah—bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada hutangnya hingga dilunaskan.”

(As-Syafi’i) berkata: “Aku suka jika wasiat mayit untuk sedekah segera dilaksanakan, dan disalurkan kepada kerabat, tetangga, serta jalan kebaikan. Aku juga suka mengusap kepala anak yatim, memberinya minyak, memuliakannya, serta tidak membentak atau menindasnya, karena Allah ﷻ telah memerintahkan hal itu.”

[Bab Berdiri untuk Jenazah] 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, (As-Syafi’i) berkata: “Tidak perlu berdiri untuk jenazah bagi yang menyaksikannya, karena perintah berdiri telah dihapus.” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dari As-Syafi’i, dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Waqid bin Umar bin Sa’d bin Mu’adz, dari Nafi’ bin Jubair, dari Mas’ud bin Al-Hakam, dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata: “Rasulullah ﷺ pernah berdiri untuk jenazah, kemudian beliau duduk setelahnya.” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Muhammad bin Amr bin Alqamah dengan sanad serupa atau mirip, ia berkata: “Rasulullah ﷺ berdiri dan memerintahkan untuk berdiri, kemudian duduk dan memerintahkan untuk duduk.” 

(As-Syafi’i) berkata: “Shalat jenazah boleh dilakukan kapan saja, siang atau malam, begitu juga dengan penguburan. Pernah ‘seorang wanita miskin dikuburkan pada zaman Rasulullah ﷺ di malam hari, dan tidak ada yang mengingkarinya.’ Abu Bakar Ash-Shiddiq juga dikuburkan di malam hari, begitu pula kaum muslimin setelahnya.” 

Sebagian sahabat kami berpendapat: “Tidak boleh shalat jenazah saat matahari menguning (saat terbit atau terbenam) hingga ia benar-benar terbit atau terbenam.” Mereka berargumen dengan perkataan Ibnu Umar kepada orang-orang yang membawa jenazah setelah Subuh: “Jika kalian ingin menshalatkannya sekarang, lakukanlah, atau tunggulah hingga matahari tinggi.” 

(As-Syafi’i) berkata: “Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi ﷺ: ‘Janganlah seseorang sengaja shalat saat matahari terbit atau terbenam.’ Bisa jadi Ibnu Umar mendengar ini khusus dari Nabi ﷺ, tetapi tidak mendengar larangan shalat setelah Subuh hingga matahari terbit atau setelah Ashar hingga matahari terbenam. Maka, ia memahami larangan ini berlaku untuk semua shalat, kecuali yang ia dengar langsung.” 

(As-Syafi’i) melanjutkan: “Ada riwayat dari Rasulullah ﷺ yang menunjukkan bahwa larangan shalat pada waktu-waktu tersebut hanya berlaku untuk shalat sunnah, bukan shalat wajib atau shalat jenazah. Jika larangan itu berlaku untuk semua shalat, maka tidak boleh menshalatkan jenazah di waktu Ashar atau Subuh. Bisa juga Ibnu Umar bermaksud agar orang-orang yang mengantar jenazah tidak duduk atau bubar sebelum banyak yang menshalatkannya, karena para sahabat kami biasanya menunggu orang selesai shalat agar lebih banyak yang ikut menshalatkan jenazah. Maka, ia berkata: ‘Shalatlah saat banyak orang, atau tundalah hingga waktu Dhuha.'” 

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dari As-Syafi’i, dari seorang yang tsiqah di Madinah dengan sanad yang tidak aku hafal, bahwa ia menshalatkan jenazah Aqil bin Abi Thalib saat matahari menguning menjelang Maghrib, tanpa menunggu matahari terbenam. 

(As-Syafi’i) berkata: “Aku tidak menyukai ratapan atas mayit setelah kematiannya, atau seorang perempuan meratapinya sendirian. Sebaiknya, keluarga dihibur dengan perintah Allah ﷻ untuk bersabar dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku juga tidak menyukai berkumpulnya orang (majelis duka), meski tanpa tangisan, karena hal itu memperbarui kesedihan dan memberatkan, selain adanya atsar yang melarangnya.” 

(As-Syafi’i) memberi keringanan untuk menangis asalkan tidak berlebihan atau diumumkan.

Kecuali sebuah kabar, dan mereka tidak menyerukan perang sebelum kematian. Jika telah meninggal, mereka menahannya. 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Abdullah bin Jabir bin ‘Atik dari ‘Atik bin Al-Harits bin ‘Atik, dia mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin ‘Atik: “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – datang menjenguk Abdullah bin Tsabit dan mendapatinya telah dikalahkan (sakaratul maut). Beliau memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab. Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan berkata, ‘Kami telah dikalahkan atasmu, wahai Abu Ar-Rabi’.’ Para wanita pun berteriak dan menangis. Lalu Ibnu ‘Atik berusaha membungkam mereka. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, ‘Biarkan mereka. Jika telah wajib (meninggal), jangan ada wanita yang menangis.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang dimaksud wajib, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Jika dia telah meninggal.'” 

[MEMANDIKAN MAYIT] 

Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Aku tidak mendengar kitab ini langsung dari Asy-Syafi’i, melainkan aku membacanya berdasarkan pengetahuan. (Asy-Syafi’i berkata): Hal pertama yang dilakukan oleh keluarga terdekat mayit adalah yang paling lembut di antara mereka menutup kelopak matanya dengan cara yang paling mudah, mengikat dagunya dengan kain lebar, dan mengikatnya dari atas kepalanya agar dagu bagian bawah tidak kendur sehingga mulutnya terbuka. Setelah meninggal, tubuhnya akan mengeras dan tidak bisa menutup kembali. Kedua tangannya ditekuk hingga menempel pada ketiaknya, kemudian dibentangkan, lalu ditekuk lagi dan dibentangkan beberapa kali agar tetap lentur dan tidak mengeras. Jika masih lentur saat ruh keluar, kelenturannya akan bertahan hingga waktu penguburan sehingga bisa dibuka, dan keduanya tetap lentur. Jari-jarinya juga dilenturkan dengan cara yang sama. Kedua kakinya ditekuk dari bagian dalam hingga menempel pada pahanya, seperti yang dijelaskan mengenai tangannya. 

Diletakkan sesuatu di atas perutnya, seperti tanah, bata, atau besi (pedang atau lainnya), karena sebagian orang yang berpengalaman berpendapat bahwa hal itu mencegah perutnya membengkak. Mayit diletakkan di atas papan jika memungkinkan atau di atas ranjang kayu yang rata, karena sebagian orang yang berpengalaman berpendapat bahwa mayit lebih cepat membengkak jika diletakkan di atas tanah. Pakaian yang dikenakannya dilepas, lalu ditutupi dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Diberikan alas di bawah kaki, kepala, dan sisi tubuhnya agar tidak terbuka. 

Ketika telah siap untuk dimandikan, dikafani, dan selesai dipersiapkan, jika ada rambut di tangannya atau kemaluannya, sebagian orang tidak menyukai mencukurnya, sedangkan sebagian lain membolehkannya. Yang membolehkannya tidak masalah mencukurnya dengan air kapur atau memotongnya dengan gunting. Kumis dipotong, kuku dipotong, dan dilakukan padanya setelah kematian apa yang termasuk sunnah fitrah ketika hidup. Rambut kepala dan jenggot tidak dicukur sedikit pun, karena itu hanya dipotong untuk perhiasan atau ibadah. 

Apa yang telah dijelaskan sebagai sunnah fitrah, lebih baik dicukur dengan air kapur. Jika tidak menggunakan air kapur, sebelumnya dibuatkan batang-batang panjang dari kayu lunak yang tidak melukai. Kemudian semua kotoran di bawah kuku tangan dan kakinya dibersihkan, lalu dibawa ke tempat pemandian dalam keadaan tertutup. Jika dimandikan dengan baju, itu lebih aku sukai, dan baju yang tipis lebih aku sukai. Jika terlalu sempit, minimal ditutupi bagian antara pusar hingga lutut karena itu aurat laki-laki ketika hidup. 

Tempat memandikan mayit ditutupi dengan tirai, dan tidak boleh ada yang melihat mayit kecuali orang yang sangat diperlukan, seperti yang memegang, membolak-balik, atau menuangkan air. Semua orang harus menundukkan pandangan, kecuali untuk keperluan memandikan, seperti melihat bagian yang perlu dibersihkan, sejauh mana pemandian telah dilakukan, atau apakah perlu ditambah. 

Ranjan

Aku tidak suka jika mayat dimandikan dengan air yang dipanaskan, namun jika dimandikan dengan air tersebut, itu sudah mencukupi insya Allah Ta’ala. Jika pada mayat terdapat kotoran, dan berada di daerah dingin atau memiliki kondisi yang membuat air biasa tidak bisa membersihkan tubuhnya secara sempurna, maka boleh menggunakan air hangat. Jika ada sesuatu yang menempel di tubuhnya yang hanya bisa dibersihkan dengan minyak, maka boleh diolesi minyak kemudian dimandikan hingga bersih. Begitu pula jika dilumuri dengan kapur sirih.

Orang yang memandikan mayat tidak boleh menyentuh aurat mayat dengan tangannya secara langsung. Lebih baik jika seluruh tubuh mayat dihindari dari sentuhan langsung. Siapkan dua potong kain bersih sebelum memandikan. Bungkus salah satu kain pada tangan, lalu gunakan untuk membersihkan bagian atas dan bawah tubuh mayat. Ketika sampai pada bagian antara paha dan kemaluan, bersihkan area tersebut lalu buang kainnya dan cuci. Bungkus tangan dengan kain yang kedua, dan setiap kali kembali membersihkan kemaluan dan bagian antara kedua pantat, buang kain yang ada di tangan dan ambil kain yang sudah dicuci. Hal ini agar tidak mengotori bagian tubuh lainnya dengan kotoran yang sudah dibersihkan dari kemaluan dan antara kedua pantat, insya Allah.

[Pasal tentang jumlah mandi mayat]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Minimal mandi mayat yang mencukupi adalah membersihkannya sebagaimana minimal mandi junub. Namun yang lebih disukai adalah memandikannya tiga kali. Jika belum bersih sesuai keinginan orang yang memandikan, maka lima kali. Jika belum juga, maka tujuh kali. Mayat tidak boleh dimandikan dengan air biasa kecuali dicampur dengan kapur barus sebagai sunnah. Jika tidak dilakukan, aku tidak menyukainya tapi berharap itu tetap mencukupi. Aku tidak mengetahui adanya anjuran untuk mencampur air dengan daun sidr atau wewangian selain kapur barus. Tidak perlu berlebihan, cukup biarkan air di wajahnya dan campurkan kapur barus.

[Tata cara awal memandikan mayat]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Letakkan mayat dalam posisi terlentang. Orang yang memandikan mulai dengan membasuh seperti wudhu untuk shalat. Dudukkan mayat dengan lembut dan usap perutnya dengan halus namun menyeluruh agar jika ada sesuatu di dalamnya bisa keluar. Jika ada yang keluar, buanglah dan lepaskan kain dari tangan, lalu berikan wudhu. Kemudian cuci kepala dan jenggot dengan daun sidr hingga bersih, sisir dengan lembut. Setelah itu, mandikan dari leher sebelah kanan hingga kaki kanan, termasuk dada, sisi tubuh, paha, dan betis sebelah kanan. Gerakkan tubuh mayat agar air bisa masuk ke sela-sela paha. Usap dengan tangan di antara paha, ambil air dan basuh punggung sebelah kanan. Lakukan hal yang sama untuk sisi kiri. Miringkan mayat ke kiri, basuh bagian punggung yang menonjol, pantat, paha, betis hingga kaki, pastikan semuanya terlihat bersih. Kemudian miringkan ke kanan dan lakukan hal yang sama untuk punggung kiri, seluruh tubuh, kedua pantat, paha, betis, dan kaki. Setiap kali memiringkan, pastikan bagian yang sudah dibersihkan tidak terkena kotoran lagi. Lakukan ini pada setiap kali mandi hingga selesai. Jika ada kotoran di tubuh, bersihkan dengan sabun kemudian air biasa. Jika sudah…

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Tentang Sidr, Ats-Tsan, atau Lainnya: 

Kami tidak menganggap sesuatu yang tercampur dengan ini sebagai penghalang untuk mandi. Namun, jika air dituangkan hingga hilang campurannya, maka air murni yang mengalir setelahnya sudah cukup seperti yang telah dijelaskan. Mandi dengan air tersebut adalah pembersihan, bukan mandi untuk bersuci. Air yang tidak mengandung kapur barus seperti air yang ada sedikit kapur barus tidak mengubah sifat asli air, hanya aromanya saja yang terasa, sedangkan air tetap dalam keadaannya. Banyaknya kapur barus dalam air tidak merusak dan tidak menghalangi air tersebut untuk digunakan bersuci oleh orang hidup. Namun, orang hidup tidak boleh berwudhu dengan air yang dicampur sidr karena sidr tidak mensucikan. 

Tentang Memandikan Mayit: 

Perut mayit diusap pada setiap kali pembasuhan. Setelah selesai setiap basuhan, duduklah sebentar. Ketika selesai dari basuhan terakhir, tangan dan kaki mayit diperhatikan agar tidak kaku, lalu direkatkan ke sisi tubuhnya. Kedua kaki dirapatkan dengan salah satu tumit menempel ke tumit lainnya, dan paha dirapatkan. Jika setelah selesai memandikan mayit keluar sesuatu (kotoran), dibersihkan dan dihitung sebagai satu basuhan tambahan. Kemudian mayit dikeringkan dengan kain, dan setelah kering, dimasukkan ke dalam kafan. 

Jumlah Kafan Mayit: 

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): 

“Jumlah kafan mayit yang paling disukai adalah tiga helai kain putih tipis, tanpa baju atau sorban. Cara mengkafani: kain yang ingin diletakkan paling atas dibentangkan terlebih dahulu, lalu kain kedua di atasnya, kemudian kain ketiga di atas keduanya. Mayit diletakkan di atas kain teratas. Kemudian kapas yang sudah dibersihkan dari biji diisi dengan wewangian dan kapur barus, lalu diletakkan di atas mayit untuk menutupinya. 

Kapas dimasukkan dengan kuat di antara kedua pantat untuk menahan jika ada sesuatu yang keluar saat mayit diangkat. Jika dikhawatirkan ada yang keluar karena penyakit atau sebab lain, bisa dimasukkan lapisan tebal antara mayit dan kafannya, lalu diikat kuat seperti ikat pinggang longgar untuk mencegah sesuatu yang keluar. Atau bisa digunakan kain tebal yang mirip dengan lapisan tebal untuk mencegah keluarnya sesuatu, insya Allah. Jika tidak dikhawatirkan, cukup dililitkan kain biasa, dan jika tidak dilakukan pun, aku berharap itu sudah cukup, tetapi lebih baik berhati-hati. 

Proses Pengafanan: 

Kapas diberi kapur barus, lalu diletakkan di mulut, hidung, mata, dan tempat sujud mayit. Jika ada luka terbuka, kapur barus juga diletakkan di sana. Kepala dan jenggotnya diberi wewangian. Jika kapur barus ditaburkan ke seluruh tubuh dan kain kafannya, itu lebih baik. 

Mayit diletakkan di kafan dengan bagian kaki lebih sedikit dibanding bagian kepala. Kain sebelah kanan dilipat ke sisi kiri mayit, lalu kain sebelah kiri dilipat ke sisi kanan hingga menutupi lipatan pertama. Proses yang sama dilakukan untuk lapisan kain berikutnya hingga yang teratas. Disukai untuk menaburkan wewangian dan kapur barus di antara lipatan-lipatan kain. 

Kain di bagian kepala dikumpulkan seperti sorban, lalu dilipat ke wajah hingga mencapai dada. Kain di bagian kaki juga dilipat hingga menutupi punggung kaki. Jika dikhawatirkan kain terbuka, bisa diikat, tetapi semua ikatan harus dilepas sebelum mayit dimasukkan ke liang lahat. 

Pemakaman: 

Mayit dibaringkan miring ke kanan, kepalanya ditinggikan dengan bata agar tidak terlentang. Mayit didekatkan ke dinding liang lahat agar tidak terbalik. Jika di daerah berpasir, sebaiknya dibuat liang lahat dan ditutup dengan bata, lalu diberi tanah. Jika tanahnya gembur, bisa dibuat lubang (dhorh), yaitu tanah digali, dibangun dinding, lalu mayit dimasukkan seperti yang dijelaskan, ditutup dengan papan, dan diberi rerumputan atau kayu untuk menahan tanah agar tidak masuk ke mayit. Tanah ditimbun sedikit demi sedikit agar kayu tidak bergeser. 

— 

Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan tetap mempertahankan makna asli teks.

Tanah, dan disunnahkan untuk menaburkan tanah dari tepi kubur dengan kedua tangannya ke atas jenazah, kemudian ditimbun dengan sekop. Tidak disukai menambah tanah di kubur lebih dari tanah aslinya, bukan karena haram, tetapi agar kubur tidak terlalu tinggi. Kubur sebaiknya ditinggikan sekitar satu jengkal dari permukaan tanah, diratakan, dan di atasnya diberi kerikil. Sisi-sisinya ditutup dengan bata atau bangunan, lalu kubur disiram air. Di bagian kepala kubur diletakkan batu atau tanda lainnya. Setelah selesai menguburkan, itulah kesempurnaan dalam mengikuti jenazah, maka siapa yang ingin boleh pulang. 

Perempuan dalam hal memandikan dan merawat apa yang keluar dari jenazahnya sama seperti laki-laki, bahkan sebaiknya lebih diperiksa lagi. Jika jenazah perempuan sedang hamil, nifas, atau memiliki penyakit yang dikhawatirkan, sebaiknya diberi lapisan kain untuk mencegah keluarnya sesuatu jika terjadi. 

Mengiringi jenazah disunnahkan dengan berjalan cepat, lebih dari kecepatan biasa. Namun, jika jenazah memiliki kondisi yang dikhawatirkan akan mengeluarkan sesuatu, lebih baik berjalan perlahan dan berhati-hati agar tidak menimbulkan gangguan. 

Jika perempuan dimandikan, rambutnya dikepang menjadi tiga bagian dan dibiarkan terjuntai ke belakang. Disukai jika di sisi kubur dibacakan (Al-Qur’an) dan didoakan untuk mayit, tanpa doa khusus. 

Disunnahkan memberikan takziyah kepada keluarga mayit, terutama kepada yang tua dan anak-anak yang tidak kuat menanggung musibah. Kerabat dan tetangga sebaiknya menyediakan makanan untuk mereka karena kesibukan mereka dalam musibah. 

Penyakit pada Mayit 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika mayit terkena sambaran petir, mati karena sedih, terbakar, tenggelam, atau memiliki penyakit yang mirip dengan kematian, maka ditunda penguburannya dan diperiksa sampai benar-benar yakin bahwa dia telah meninggal, tanpa batasan waktu tertentu—bisa sehari, dua hari, atau tiga hari—selama belum tampak tanda kematian atau dikhawatirkan efeknya. Setelah dipastikan meninggal, segera dimandikan dan dikuburkan. 

Tanda-tanda kematian antara lain: 

– Kulit anak buah zakar mengendur (menurut Ar-Rabi’, maksudnya buah zakar, karena ia mengendur saat mati). 

– Kedua lengan terbuka lebar. 

– Kaki lemas hingga tidak bisa tegak. 

– Hidung miring. 

Dan tanda-tanda lainnya. Jika tanda-tanda ini terlihat, itu menunjukkan kematian. 

Siapa yang Masuk ke Kubur Laki-Laki 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak masalah laki-laki mana pun yang masuk ke kubur laki-laki, tetapi perempuan tidak boleh masuk ke kubur laki-laki, begitu pula sebaliknya kecuali tidak ada orang lain. 

Disukai jika yang masuk ke kubur berjumlah ganjil: tiga, lima, atau tujuh orang, tetapi tidak masalah jika genap. Yang masuk sebaiknya orang yang mampu. Yang paling utama masuk ke kubur adalah yang paling faqih, kemudian yang paling dekat kekerabatannya. 

Untuk kubur perempuan, jumlah yang masuk sama seperti kubur laki-laki. Perempuan tidak boleh masuk kecuali tidak ada orang lain. Tidak masalah jika perempuan yang mengurusnya untuk membersihkan sesuatu atau melepas ikatan. Jika laki-laki yang mengurus semuanya, tidak masalah insya Allah. 

Tidak disukai perempuan dimandikan kecuali oleh suami atau mahramnya, kecuali jika tidak ada. Jika tidak ada, lebih baik budak perempuannya. Jika tidak ada, oleh kasim. Jika tidak ada mahram atau walinya, maka oleh Muslim yang mengurusnya. 

Tidak masalah insya Allah jika seorang perempuan memandikan suaminya, atau laki-laki memandikan istrinya jika dia mau. Lebih disukai jika perempuan dimandikan oleh mahramnya. Jika tidak ada, maka oleh perempuan Muslim lainnya. 

Perempuan boleh dimasukkan ke kuburnya jika tidak ada kerabatnya yang saleh—orang yang jika dia membutuhkan mereka saat hidup, boleh melihat dan menyaksikannya.

[BAB TAKBIR ATAS JENAZAH] 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Dan bertakbirlah atas jenazah empat kali, mengangkat kedua tangan pada setiap takbir, dan mengucapkan salam ke kanan dan kiri setelah selesai. Membaca surat Al-Fatihah setelah takbir pertama, kemudian bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, berdoa untuk seluruh kaum mukminin dan mukminat, lalu mengkhususkan doa untuk mayit. Di antara doa yang dianjurkan adalah: 

‘Ya Allah, hamba-Mu dan anak hamba-Mu telah keluar dari kehidupan dunia dan kesenangannya, serta meninggalkan orang-orang yang dicintainya di dunia menuju kegelapan kubur dan apa yang akan dihadapinya. Dia dahulu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Engkau, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu, sedangkan Engkau lebih mengetahui keadaannya. Ya Allah, dia datang kepada-Mu, dan Engkau sebaik-baik tempat berlindung. Dia menjadi fakir terhadap rahmat-Mu, sedangkan Engkau tidak membutuhkan siksaannya. Kami datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat untuknya dengan penuh harap. Ya Allah, jika dia berbuat baik, tambahkanlah kebaikannya. Jika dia berbuat salah, maafkanlah dia. Sampaikanlah dia dengan rahmat-Mu kepada keridhaan-Mu, lindungilah dia dari fitnah dan azab kubur, luaskanlah kuburnya, jauhkanlah tanah dari lambungnya, dan pertemukanlah dia dengan keamanan dari azab-Mu hingga Engkau membangkitkannya ke surga-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari semua pengasih.’ 

Dan ketika mayit dimasukkan ke kubur, hendaknya dikatakan: 

‘Ya Allah, kami serahkan dia kepada-Mu, keluarga dan saudara-saudaranya telah kembali, dan setiap yang menyertainya telah pergi, hanya amalnya yang tetap menyertainya. Ya Allah, tambahkanlah kebaikannya, terimalah amalnya, hapuskanlah keburukannya, ampunilah dia, kumpulkanlah dia dengan rahmat-Mu dalam keamanan dari azab-Mu, cukupilah dia dari segala ketakutan sebelum surga. Ya Allah, gantilah dia dalam harta yang ditinggalkannya bagi yang masih hidup, tinggikanlah derajatnya di ‘Illiyyin, dan berilah dia tambahan karunia rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari semua pengasih.'”

[Bab Hukum bagi Orang yang Telah Memulai Shalat atau Puasa, Apakah Boleh Menghentikan yang Telah Dimulainya Sebelum Selesai?] 

Tidak disebutkan dalam tarajim (biografi), Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata (Asy-Syafi’i berkata): 

“Barangsiapa memulai puasa wajib, baik puasa Ramadhan, qadha’, puasa nazar, atau kafarah dari satu sisi kewajiban, atau mengerjakan shalat fardhu pada waktunya, mengqadhanya, shalat nazar, atau shalat thawaf, maka tidak boleh baginya keluar dari puasa atau shalat tersebut selama ia masih mampu berpuasa dan shalat dalam keadaan suci (untuk shalat). Jika ia keluar dari salah satunya tanpa uzur seperti yang telah aku sebutkan atau semisalnya dengan sengaja, maka ia telah merusak (ibadahnya) dan berdosa menurut kami. Wallahu a’lam. 

Ia wajib mengulangi ibadah yang ditinggalkannya dengan sempurna jika keluar tanpa uzur. Namun, jika keluar karena uzur seperti lupa, batal wudhu, atau uzur lainnya, ia wajib kembali dan menyempurnakan sisa puasa atau shalat yang ditinggalkannya. Tidak halal baginya selain itu, baik ia meninggalkannya lama atau sebentar. 

Prinsipnya, seseorang tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa sebelum memulainya. Jika ia keluar sebelum menyelesaikannya, ia harus kembali dan menyempurnakannya. Sebab, jika tidak menyempurnakannya setelah memulai, ia tetap dalam kewajiban karena belum menunaikannya sebagaimana mestinya. 

Shalat atau puasa wajib hanya sah jika disertai niat sejak awal. Jika seseorang bertakbir tanpa meniatkan shalat wajib atau memulai puasa tanpa niat wajib, maka shalat dan puasanya tidak sah untuk kewajiban yang dimaksud. 

Pendapatku dalam hal ini didasarkan pada petunjuk sunnah atau atsar yang tidak kuketahui adanya perbedaan pendapat ulama mengenainya.” 

(Asy-Syafi’i berkata): 

“Barangsiapa melakukan shalat sunnah, thawaf, atau puasa sunnah, aku lebih suka ia tidak keluar darinya hingga menyelesaikannya kecuali karena uzur yang dibenarkan, seperti uzur dalam ibadah wajib (misalnya lupa, ketidakmampuan, atau batal wudhu dalam shalat). Jika ia keluar dengan uzur atau tanpa uzur, lebih baik baginya untuk kembali dan menyempurnakannya, tetapi hal itu tidak wajib menurutku. Wallahu a’lam.” 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa tidak wajib kembali menyempurnakan ibadah sunnah (seperti puasa, shalat, atau thawaf) jika keluar darinya, sebagaimana wajib dalam ibadah fardhu?” 

Jawabannya, insya Allah, karena perbedaan antara ibadah wajib dan sunnah. 

Jika ditanya lagi: “Di mana letak perbedaannya?” 

Jawabannya, insya Allah: 

– Sebelum memulai, keduanya sudah berbeda. 

– Setelah memulai, tetap berbeda. 

Jika ditanya: “Apa bukti perbedaannya?” 

Jawab: “Tidakkah engkau tahu bahwa ibadah wajib tidak boleh ditinggalkan sebelum dimulai?” 

Jika ia menjawab: “Tidak boleh,” 

Tanyakan lagi: “Bagaimana dengan ibadah sunnah, apakah boleh ditinggalkan sebelum dimulai?” 

Jika ia menjawab: “Ya, boleh,” 

Maka katakan: “Bukankah keduanya jelas berbeda sebelum dimulai?” 

Jika ia mengiyakan, tanyakan lagi: 

“Tidakkah engkau tahu bahwa dalam ibadah wajib (puasa atau shalat), tidak sah jika seseorang memulainya tanpa meniatkan jenis kewajiban tertentu?” 

Jika ia menjawab: “Tidak sah, dan jika dilakukan, tidak mencukupi,” 

Maka katakan padanya: “Apakah boleh seseorang memulai shalat atau puasa sunnah tanpa meniatkan jenis sunnah tertentu atau tanpa niat fardhu?”

Apakah itu sunnah? Jika dia menjawab: Ya, maka dikatakan kepadanya: Apakah boleh bagi seseorang yang mampu berdiri dalam shalat untuk shalat sambil duduk atau berbaring, dan dalam perjalanan sambil menunggang kendaraan di mana hewan tunggangannya menghadap, lalu dia memberi isyarat? Jika dia menjawab: Ya, maka dikatakan kepadanya: Apakah hal ini diperbolehkan dalam shalat wajib? Jika dia menjawab: Tidak, maka dikatakan: Apakah engkau menganggap keduanya terpisah, baik sebelum memulai, saat memulai, atau setelah memulai, menurut kami dan menurutmu berdasarkan dalil sunnah? Dan aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihi hal ini. 

Bab perbedaan pendapat dalam hal ini. 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal ini. Aku berbicara dengan sebagian mereka, dan mereka menyampaikan sebagian argumen yang telah kusebutkan di awal masalah ini. Aku menjelaskan maksudnya, dan mereka menjawab dengan ringkas seperti yang kukatakan. Namun, aku tidak tahu apakah aku telah menjelaskannya lebih rinci saat menuliskannya dibanding saat aku berbicara dengan mereka. Aku tidak ingin menyampaikan kecuali apa yang benar-benar kukatakan, meskipun aku hanya menyampaikan makna dari ucapanku kepada mereka. Bahkan, aku berusaha untuk menyampaikan yang paling ringkas dari apa yang kukatakan dan menyampaikan apa yang mereka katakan. Kemudian, aku berdiskusi dengannya dan orang lain dari kalangan mereka yang dianggap berilmu tentang apa yang akan kusampaikan—insya Allah—tentang apa yang mereka katakan. 

Aku berkata: Dia berkata kepadaku, “Engkau tentu tahu bahwa para fuqaha Makkah dan beberapa fuqaha Madinah mengatakan seperti yang engkau katakan dan tidak menyelisihimu. Sebagian ulama Madinah juga sepakat dengan pendapat kami, tetapi sekali waktu mereka menyelisihimu dan dalam hal lain menyelisihi kami.” 

Aku menjawab, “Aku tidak mengetahui secara pasti. Sebutkan pendapatmu dan dalilnya. Sebutkan pendapat orang yang tidak berhujjah kecuali dengan apa yang dianggap sebagai hujjah, dan jangan menyebutkan pendapat yang sepakat dengan pendapatmu dari orang yang pendapatnya tidak dianggap sebagai hujjah sama sekali.” 

Dia berkata, “Baik.” Kemudian dia berkata, “Ibnu Juraij mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab—atau seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab—bahwa ‘Aisyah dan Hafshah suatu pagi dalam keadaan berpuasa, lalu dihadiahkan kepada mereka sesuatu. Mereka menyebutkannya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bersabda, ‘Berpuasalah satu hari sebagai gantinya.'” 

Aku bertanya, “Apakah engkau memiliki dalil lain dari riwayat atau atsar yang mengikat selain ini?” 

Dia menjawab, “Tidak ada yang terlintas dalam benakku selain ini. Inilah yang kami jadikan dasar dari berbagai khabar dalam hal ini.” 

Aku berkata, “Maukah engkau menerima jika aku menyampaikan banyak hadits mursal kepadamu dari Ibnu Syihab, Ibnu Al-Munkadir, dan orang-orang semisal mereka, bahkan dari yang lebih senior seperti ‘Amr bin Dinar, ‘Atha’, Ibnu Al-Musayyib, dan ‘Urwah?” 

Dia menjawab, “Tidak.” 

Aku bertanya, “Lalu bagaimana engkau menerima hadits mursal dari Ibnu Syihab dalam satu masalah tetapi tidak menerimanya dalam masalah lain, padahal dia dan orang yang lebih senior darinya meriwayatkannya?” 

Dia menjawab, “Mungkin dia hanya meriwayatkannya dari orang yang terpercaya.” 

Aku berkata, “Begitu pula orang yang berpegang pada hadits mursal dalam masalah lain akan mengatakan hal yang sama. Setiap kali ada ketidakjelasan tentang periwayat yang mungkin dia ambil dari orang terpercaya atau orang yang tidak dikenal, maka tidak ada hujjah bagiku sampai aku mengetahui bahwa periwayatnya terpercaya sehingga aku menerimanya, atau tidak dikenal sehingga aku menolaknya.” 

Aku bertanya, “Mengapa? Kecuali jika engkau menyamakannya dengan kesaksian, dan engkau tidak yakin bahwa dua saksi bersaksi atas sesuatu yang tidak mereka lihat atau dengar dari orang yang mereka persaksikan?” 

Dia menjawab, “Benar, dan demikianlah pendapat kami tentang hadits secara keseluruhan.” 

Aku berkata, “Dia telah berbicara kepadaku tentang hadits Ibnu Syihab seolah-olah dia tidak mengetahuinya. Padahal, hadits Ibnu Syihab ini ada pada Ibnu Syihab sendiri, dan ada sebagian yang menyelisihinya. Namun, kami tidak mengetahui ada perawi tsiqah yang menyelisihinya, sehingga ini lebih layak untuk dipegang daripada hadits Ibnu Syihab yang engkau sampaikan.” 

Dia bertanya, “Apakah hadits itu lemah menurut Ibnu Syihab?” 

Aku menjawab, “Ya. Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab bahwa dia berkata tentang hadits yang diriwayatkan dari Hafshah dan ‘Aisyah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ibnu Juraij berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, apakah engkau mendengarnya dari ‘Urwah bin Az-Zubair?’ Dia menjawab, ‘Tidak, hanya saja seorang lelaki di pintu Abdil Malik bin Marwan atau salah seorang sahabat Abdil Malik bin Marwan mengabarkannya kepadaku.'” 

(Imam Syafi’i berkata): Aku bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berpendapat bahwa hujjah bisa dibangun dengan hadits mursal, lalu engkau mengetahui bahwa Ibnu Syihab berkata tentang hadits seperti yang kusampaikan, apakah engkau akan menerimanya?” 

Dia menjawab, “Tidak, ini melemahkannya karena dia mengabarkan bahwa dia menerimanya dari …”

Seorang lelaki yang tidak menyebut namanya—jika ia mengenalnya, tentu akan menyebut atau mempercayainya—(Asy-Syafi’i berkata): Lalu ia berkata, “Tidakkah buruk jika seorang masuk ke dalam shalatnya kemudian keluar sebelum menyelesaikan dua rakaat? Atau dalam puasa, lalu keluar sebelum menyempurnakan puasa sehari? Atau dalam tawaf, lalu keluar sebelum menyelesaikan tujuh putaran?” Aku berkata kepadanya, “Engkau telah berubah karena tidak menemukan argumen dalam apa yang kau pegang, sehingga berbicara seperti ucapan orang-orang yang suka berlebihan.” Ia berkata, “Apa yang kukatakan lebih baik.” Aku bertanya, “Apakah engkau mengatakan bahwa seseorang harus menyempurnakan apa yang telah ia mulai?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Dan lebih baik lagi jika ia menambah beberapa kali lipat?” Ia menjawab, “Tentu.” Aku bertanya, “Apakah engkau mewajibkannya?” Ia menjawab, “Tidak.” 

Aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang kuat, bersemangat, dan memiliki waktu luang, tetapi tidak berpuasa sunat sehari, tidak bertawaf tujuh putaran, atau tidak shalat satu rakaat—apakah perbuatannya lebih buruk daripada orang yang bertawaf tetapi tidak menyelesaikannya karena uzur, atau melakukan hal serupa dalam puasa atau shalat?” Ia menjawab, “Orang yang enggan memulai itu lebih buruk.” 

Aku bertanya, “Apakah engkau memerintahkannya—karena perbuatannya lebih buruk—untuk shalat, berpuasa, dan bertawaf sunat sebagai kewajiban?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Maka ucapanmu ‘lebih baik’ dan ‘lebih buruk’ bukanlah argumen di sini, melainkan hanya pilihan.” Ia menjawab, “Ya.” Maka pilihan tidak termasuk dalam argumen, dan sebelumnya kami telah membolehkannya sebelum mengatakan ini. 

Kami berkata, “Kami tidak suka jika seseorang mampu berpuasa, lalu sebulan berlalu tanpa ia berpuasa sebagian, atau malam dan siang berlalu tanpa ia shalat sunat dalam jumlah banyak. Siapa pun yang menambah amalan, itu lebih baik baginya, dan siapa pun yang mengurangi, ia merugi. Namun, seorang alim tidak boleh berkata kepada seseorang, ‘Ini tercela, ini meremehkan,’ karena celaan dan sikap meremehkan tergantung niat dan perbuatan. Bisa jadi perbuatan atau meninggalkannya berasal dari orang yang tidak meremehkan.” 

Lalu ia bertanya tentang pendapatku bahwa jika seseorang keluar dari amalan sunat (shalat, puasa, atau tawaf), ia tidak wajib mengqadhanya—apakah ada hadits yang mewajibkan atau qiyas yang dikenal? Aku menjawab, “Ya.” 

Ia berkata, “Sebutkan sebagian yang engkau ketahui.” Kami berkata, “Sufyan meriwayatkan dari Thalhah bin Yahya dari bibinya, Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, ‘Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—datang kepadaku, lalu aku berkata, “Kami menyimpan hais (makanan kurma dan keju) untukmu.” Beliau bersabda, “Aku sebenarnya ingin berpuasa, tetapi hidangkanlah.”‘” (Asy-Syafi’i berkata): Lalu ia berkata, “Ada yang mengatakan bahwa beliau berpuasa di hari lain sebagai gantinya.” (Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata, “Tidak ada dalam riwayat Sufyan yang kuhafal tentang hal itu, dan aku bertanya kepadamu.” Ia berkata, “Tanyalah.” 

Aku bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika seseorang memulai puasa wajib (kafarat atau lainnya), apakah boleh berbuka lalu mengqadha di hari lain?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya lagi, “Jika menurutmu memulai puasa sunat sama dengan puasa wajib, apakah boleh berbuka tanpa darurat lalu mengqadha?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Seandainya hadits itu ada dan sesuai pendapatmu, apakah engkau akan menyelisihinya?” Ia berkata, “Jika ada dalam hadits, apakah mungkin maknanya bukan kewajiban mengqadha?” Aku menjawab, “Ya, bisa bermakna jika ia mau, ia boleh berpuasa sunat di hari lain sebagai gantinya.” 

Ia bertanya, “Apakah engkau menemukan riwayat dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—yang menunjukkan hal itu?” Aku menjawab, “Ya. Sufyan meriwayatkan dari Ibnu Abi Labid, ia berkata, ‘Aku mendengar Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, “Muawiyah bin Abi Sufyan datang ke Madinah, lalu saat di mimbar, ia berkata, ‘Wahai Katsir bin Ash-Shalt, temuilah Aisyah dan tanyakan tentang shalat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—setelah Ashar.’ Abu Salamah berkata, ‘Aku pergi bersamanya menemui Aisyah, dan Ibnu Abbas mengirim Abdullah bin Al-Harits bin Nawfal bersama kami. Ia mendatangi Aisyah dan bertanya, lalu Aisyah berkata, “Tanyalah Ummu Salamah.” Kami pun pergi ke Ummu Salamah dan bertanya. Ummu Salamah berkata, “Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah masuk ke rumahku suatu hari setelah Ashar, lalu shalat dua rakaat yang tidak biasa kulihat beliau lakukan. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau shalat yang tidak biasa kulihat.’ Beliau bersabda, ‘Aku biasa shalat dua rakaat sebelum Zhuhur, tetapi datang kepadaku utusan Bani Tamim atau sedekah yang menyibukkanku, maka inilah pengganti dua rakaat itu.'”‘” 

(Asy-Syafi’i berkata): Dan telah tsabit dari Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bahwa beliau bersabda, “Amalan yang paling aku cintai…”

“Amal yang paling langgeng di sisi Allah Ta’ala adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” Maksudnya—dan Allah Ta’ala lebih tahu—adalah konsisten dalam amal yang biasa dilakukan, sehingga ketika terganggu, ia segera menyelesaikannya di waktu terdekat. Bukan berarti dua rakaat sebelum Ashar atau sesudahnya menjadi wajib, melainkan itu adalah sunnah. Umar bin Khattab berkata, “Barangsiapa terlewat sebagian shalat malam, hendaknya ia mengerjakannya saat matahari tergelincir, karena itu dianggap sebagai qiyamul lail.” Ini bukan berarti qiyamul lail atau qadhanya wajib, melainkan siapa yang ingin berusaha dan melakukannya, silakan. 

Sufyan mengabarkan dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa Umar pernah bernazar untuk i’tikaf di masa jahiliyah, lalu ia bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkannya untuk i’tikaf dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang ingin melanjutkan nazar i’tikafnya, ia boleh melakukannya, dan nazar di masa jahiliyah tidak menghalanginya. 

Ad-Darawardi dan lainnya mengabarkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (semoga Allah meridhoi mereka), dari Jabir bahwa Nabi ﷺ berpuasa dalam perjalanan ke Mekkah pada tahun Fathu Makkah di bulan Ramadhan, namun beliau memerintahkan orang-orang untuk berbuka. Ada yang berkata, “Orang-orang berpuasa karena melihatmu berpuasa.” Maka beliau meminta bejana berisi air, meletakkannya di tangannya, dan meminta orang di depannya untuk berhenti. Ketika mereka berhenti dan orang di belakangnya mendekat, beliau mengangkat bejana dan minum. Dalam riwayat lain, hal ini terjadi setelah Ashar. 

Sufyan bin Uyainah mengabarkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, “Nabi ﷺ keluar dari Madinah hingga tiba di Kura’ al-Ghamim dalam keadaan berpuasa. Kemudian beliau mengangkat bejana berisi air, meletakkannya di tangannya sambil berada di atas kendaraan. Orang di depannya berhenti, sementara yang di belakangnya mendekat, lalu beliau minum sementara orang-orang melihat.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Ini terjadi di bulan Ramadhan. Aku (perawi) berkata, “Ini semakin menguatkan hujjah bahwa jika seseorang boleh berbuka saat safar di Ramadhan tanpa alasan selain rukhshah dari Allah, dan jika ia ingin melanjutkan puasa, itu sah, maka ini menunjukkan bahwa sebelum memulai puasa, ia boleh memilih tidak melakukannya. Begitu pula jika sudah memulai, ia boleh membatalkannya kapan saja, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ. Jika yang sunnah saja demikian, apalagi yang wajib yang boleh ditinggalkan untuk diqadha di waktu lain.” 

Dia (penanya) berkata, “Apakah engkau berpendapat demikian?” Aku menjawab, “Ya, aku mengatakannya karena mengikuti perintah Nabi ﷺ: ‘Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk memilih yang lain dalam urusan mereka.’ (QS. Al-Ahzab: 36).” 

Dia berkata, “Aku dengar engkau hafal atsar dari sebagian sahabat Rasulullah ﷺ tentang ini.” Aku menjawab, “Yang aku sampaikan padamu lebih jelas dan lebih layak diikuti daripada sekadar atsar.” Dia berkata, “Sebutkan atsarnya.” Aku berkata, “Jika aku menyebutkannya dengan sanad yang sahih dari salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, dan engkau tidak membawa riwayat sahih yang bertentangan dari mereka, bukankah itu membuktikan kebenaran pendapat kami dan kesalahan pendapat yang berlawanan?” Dia berkata, “Sebutkan.” 

Aku berkata: Muslim dan Abdul Majid mengabarkan dari Ibnu Juraij, dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa Ibnu Abbas tidak mempermasalahkan seseorang membatalkan puasa sunnah. Ia membuat perumpamaan: seseorang yang telah thawaf tujuh putaran tetapi tidak menyempurnakannya, ia tetap mendapat pahala sesuai niatnya. Atau seseorang yang shalat satu rakaat dan tidak menyempurnakan rakaat berikutnya, ia tetap mendapat pahala sesuai niatnya. 

Muslim dan Abdul Majid juga mengabarkan dari Ibnu Juraij, dari Amr bin Dinar bahwa Ibnu Abbas tidak menganggap masalah membatalkan puasa sunnah. 

Abdul Majid mengabarkan dari Ibnu Juraij, dari Az-Zubair, dari Jabir bahwa ia tidak mempermasalahkan membatalkan puasa sunnah. 

Abdul Majid mengabarkan dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Abud Darda’ bahwa ia biasa pulang ke rumah saat tengah hari atau sebelumnya dan bertanya, “Apakah ada makanan?” Jika ada, ia makan; jika tidak, ia tetap tidak berpuasa.

Dia berkata: “Aku akan berpuasa hari ini,” lalu dia berpuasa, meskipun sebelumnya tidak berniat puasa, dan waktu itu telah tiba dalam keadaan dia tidak berpuasa. Ibnu Juraij mengatakan: “Atha’ mengabarkan kepada kami, dan kami mendengar bahwa dia melakukan hal itu ketika dia memasuki pagi hari tanpa niat puasa hingga waktu Dhuha atau setelahnya, mungkin dia menemukan makanan atau tidak.” (Asy-Syafi’i berkata): Dalam ucapannya “memasuki pagi tanpa niat puasa,” maksudnya adalah dia tidak berniat puasa dan belum makan apa pun. (Asy-Syafi’i berkata): “Ini tidak cukup untuk puasa wajib sampai dia berniat puasa sebelum fajar.” 

Kami diberitahu oleh orang-orang terpercaya dari sahabat kami, dari Jarir bin Abdul Majid, dari Qabus bin Abi Zhabyan, dari ayahnya, dia berkata: “Umar bin Khattab masuk masjid, lalu shalat satu rakaat, kemudian keluar. Dia ditanya tentang hal itu, lalu menjawab: ‘Itu hanya sunah, siapa yang mau boleh menambah, dan siapa yang mau boleh mengurangi.'” 

Kami diberitahu oleh beberapa ulama dengan sanad yang tidak saya ingat sekarang, tentang riwayat yang sahih dari Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- dengan makna yang sama seperti riwayat dari Umar, tanpa pertentangan. 

Kami diberitahu oleh Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najih, dari ayahnya, dia berkata: “Seseorang yang melihat Abu Dzar memperbanyak rukuk dan sujud berkata kepadanya: ‘Wahai Syaikh, apakah engkau tahu apakah engkau selesai shalat pada bilangan genap atau ganjil?’ Abu Dzar menjawab: ‘Tetapi Allah yang tahu.'” 

Kami diberitahu oleh Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dari Khalid Al-Hadzdza’, dari Abu Tamim Al-Mundziri, dari Mutharrif, dia berkata: “Aku datang ke Baitul Maqdis, lalu melihat seorang syaikh yang memperbanyak rukuk dan sujud. Setelah selesai, aku berkata: ‘Engkau seorang syaikh, dan engkau tidak tahu apakah engkau selesai pada bilangan genap atau ganjil.’ Dia menjawab: ‘Engkau telah dibebani untuk menghafalnya, dan aku berharap tidak ada satu sujud pun kecuali Allah mengangkatku satu derajat atau mencatatkan untukku satu kebaikan, atau menggabungkan keduanya untukku.'” Abdul Wahhab berkata: “Syaikh yang shalat dan mengucapkan perkataan itu adalah Abu Dzar.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Perkataan Abu Dzar ‘Tetapi Allah yang tahu’ dan ‘Engkau telah dibebani untuk menghafalnya’ maksudnya adalah ilmu Allah tentang hal itu, dan dia bersikap longgar meskipun dia sendiri tidak tahu. Wallahu a’lam. Ini tidak bisa dilonggarkan dalam ibadah wajib kecuali jika selesai pada bilangan yang tidak ditambah atau dikurangi. Namun, Abu Dzar bersikap longgar dalam hal ini karena itu adalah sunah.” 

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku katakan, madzhabmu dalam hal yang tampak adalah mengikuti salah satu sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- jika tidak ada yang menyelisihinya, berdasarkan riwayatmu dan riwayat sahabat-sahabatmu yang sahih menurut mereka. Apa yang diriwayatkan dari Ali, Umar, dan Abu Dzar adalah riwayat yang tidak bisa dibantah oleh ulama bahwa itu sangat kuat. Kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan kami serta engkau menetapkan riwayat kami dari Jabir bin Abdullah. Banyak sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- meriwayatkan dari Abu Dzar yang sesuai dengan apa yang kami katakan. Seandainya tidak ada dalil sunah dalam hal ini, maka hanya ada atsar. Bagaimanapun juga, tidak sesuai dengan prinsip madzhabmu jika kami mengatakan pendapat kami dalam hal ini, sementara engkau meriwayatkan dari Umar bahwa jika dia menutup pintu atau menurunkan tirai, maka mahar menjadi wajib. Kami juga mengatakan, meskipun mereka bersepakat bahwa dia tidak menyentuhnya, mahar dan iddah tetap wajib, dengan mengikuti pendapat Umar. Lalu engkau menolak orang yang menyelisihinya, padahal Ibnu Abbas dan Syuraih menyelisihinya dan menakwilkan dalil berdasarkan firman Allah: 

‘Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separuh dari apa yang telah kamu tentukan.’ (QS. Al-Baqarah: 237) 

Dan firman-Nya: 

‘Maka tidak ada kewajiban iddah atas mereka yang harus kamu jalankan.’ (QS. Al-Ahzab: 49) 

Mereka berkata: ‘Allah hanya mewajibkan mahar dan iddah dalam perceraian setelah terjadi hubungan suami-istri.’ 

Aku katakan: ‘Janganlah engkau berselisih dengan Umar dan jangan menakwilkannya, tetapi ikutilah dia.’ 

Dan kami mengikuti Ibnu Abbas dalam ucapannya: ‘Barangsiapa lupa atau meninggalkan sesuatu dari manasiknya, hendaknya dia menyembelih hewan.’ 

Dan dalam ucapannya: ‘Apa yang dilarang oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam jual beli makanan sebelum diterima, lalu dia berpendapat, dan aku tidak menganggap segala sesuatu kecuali seperti itu.’ 

Aku katakan: ‘Tidak boleh menjual sesuatu yang dibeli sebelum diterima, dengan mengikuti Ibnu Abbas.’ 

Engkau meriwayatkannya sebagai hujjah atas orang yang menyelisihimu jika bersamamu ada pendapat Ibnu Abbas. 

Engkau juga meriwayatkan dari Ali -radhiyallahu ‘anhu- tentang wanita yang ditinggal suaminya hilang, yang bertentangan dengan pendapat Umar, dan engkau berhujjah dengannya atas Umar. Engkau menganggapnya sebagai hujjah atas orang yang menyelisihimu. 

Lalu engkau meninggalkan Umar, Ali, Ibnu Abbas, Jabir, Abu Dzar, dan sejumlah sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang sepakat dalam ucapan dan perbuatan mereka, lalu engkau menyelisihi mereka dengan qiyas. Kemudian engkau menyalahkan qiyas. 

Tidakkah engkau melihat bahwa tidak mungkin seseorang dalam pendapat salah satu dari mereka memasukkan qiyas yang benar, sementara bersama mereka ada dalil-dalil sunah yang tidak ada seorang pun yang menyelisihinya?” 

(Dia berkata): “Apakah shalat satu rakaat itu sah?” 

(Aku berkata): “Pertanyaanmu bersama dengan apa yang telah aku sebutkan dari berbagai riwayat.”

Ketidaktahuan atau pengabaian, jika engkau mengklaim bahwa kita memiliki, atau bahwa kita boleh menjadi ahli kalam berdasarkan sunnah atau atsar dari sebagian sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—maka engkau telah bertanya di tempat yang salah. Jika engkau mengklaim bahwa perkataan mereka adalah batas akhir yang tidak boleh dilampaui, meskipun tidak disertai sunnah, maka pertanyaanmu tidak memiliki dasar. 

(Dia) berkata: “Bagaimana pendapatmu jika aku berbicara tentang puasa dan tawaf, lalu aku berdiskusi denganmu tentang shalat dan aku menyatakan bahwa aku tidak mengqiyaskan satu syariat dengan syariat lainnya, dan hal itu tidak boleh bagimu? Ketika aku tidak menemukan hadits yang sahih yang bertentangan dengan pendapatku dalam puasa dan tawaf, lalu aku menahan diri dari membicarakannya, aku pun berkata dan kembali membolehkan seseorang untuk membatalkan puasa sunnah atau tawaf?” 

Dia menjawab: “Aku berhenti (tawaquf) dalam hal ini.” 

Aku berkata: “Apakah engkau menerima dari orang lain sikap tawaquf ketika ada hujjah?” 

Dia menjawab: “Mungkin aku akan menemukan hujjah dalam perkataanmu.” 

Aku berkata: “Jika orang lain berkata kepadamu, ‘Mungkin aku akan menemukan hujjah yang menolak pendapatmu,’ maka aku tidak akan menerimanya darimu. Apakah hal itu boleh baginya? Apa faedah tawaquf-mu, sementara hadits yang semestinya mengikat menurut pendapatmu justru bertentangan dengan perkataanmu?” 

Jika dia berkata: “Jika aku mengatakan kepadamu tentang shalat bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, ‘Shalat malam dan siang dua rakaat-dua rakaat, dengan salam setiap dua rakaat,’ lalu engkau menyelisihi ini dengan mengatakan shalat siang empat rakaat dan shalat malam dua rakaat?” 

Dia menjawab dengan sebuah hadits. 

Aku berkata: “Maka hadits itu bertentangan dengan hadits ini. Mana yang sahih?” 

Dia berkata: “Cukupkan dengan shalat malam, dan engkau tahu hadits itu berlaku di malam hari dan menetapkannya?” 

Aku menjawab: “Ya. Namun, engkau tidak memiliki hujjah dalam hal ini jika tidak ada yang menentangmu.” 

Dia berkata: “Bagaimana bisa?” 

Aku menjawab: “Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—hanya mensunnahkan shalat malam dua rakaat bagi yang ingin shalat lebih dari dua rakaat, lalu memerintahkan untuk salam setiap dua rakaat agar tidak disamakan dengan shalat wajib. Bukan berarti haram shalat kurang dari dua rakaat atau lebih.” 

Dia berkata: “Di mana beliau membolehkan shalat kurang dari dua rakaat?” 

Aku menjawab: “Dalam sabdanya, ‘Jika khawatir masuk subuh, hendaknya dia shalat satu rakaat sebagai witir atas shalat yang telah dilakukannya.’ Itu berarti beliau shalat satu rakaat sendiri dan menjadikannya sebagai shalat. Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya dari Aisyah bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah witir dengan lima rakaat tanpa salam dan tidak duduk kecuali di rakaat terakhir. Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah salam setelah satu rakaat atau dua rakaat. Beliau menjelaskan bahwa bentuk shalat sunnah adalah dua rakaat, tetapi tidak mengharamkan lebih atau kurang dari itu.” 

Dia berkata: “Jika aku berkata bahwa haram shalat kecuali dua rakaat?” 

Aku menjawab: “Maka engkau telah menyelisihi (sunnah). Jika engkau mengklaim witir itu satu rakaat, atau tiga rakaat tanpa salam di antaranya, atau lebih, maka itu bukan dua rakaat.” 

Sebagian sahabatnya yang hadir berkata: “Pendapatmu ini tidak menjadi hujjah bagimu. Orang-orang selalu memerintahkan shalat dua rakaat, tetapi tidak mengharamkan kurang dari itu. Jika boleh shalat bukan dua rakaat, mengapa engkau berhujjah dengannya?” 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya: “Kita sepakat bahwa seseorang wajib sujud jika membaca ayat sajdah dalam keadaan suci, dan engkau mewajibkannya. Apakah sujud tanpa bacaan lebih ringan daripada satu rakaat?” 

Dia menjawab: “Ini sunnah dan atsar.” 

Aku berkata: “Tidakkah ini masuk dalam sunnah dan atsar?” 

Dia menjawab: “Tidak.” 

Aku berkata: “Lalu mengapa engkau memasukkannya ke dalam sunnah dan atsar? Jika sujud dianggap shalat, dan engkau tidak membatalkannya dengan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—’Shalat malam dua rakaat,’ karena tidak sampai melebihi dua rakaat sehingga dibatasi dua rakaat, lalu bagaimana bisa kita sembarangan mengatakan shalat kurang dari dua rakaat atau lebih dari satu sujud?” 

Dia berkata: “Jika engkau berkata sujud itu wajib, kami katakan itu justru menguatkan hujjah atasmu bahwa boleh shalat dengan satu sujud tanpa bacaan dan rukuk, lalu engkau mencela jika lebih dari itu.” 

Aku berkata kepadanya: “Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah sujud syukur kepada Allah Azza wa Jalla.” 

(Asy-Syafi’i berkata): Ad-Darawardi mengabarkan kepada kami bahwa Abu Bakar pernah sujud syukur ketika mendengar berita terbunuhnya Musailamah, dan Umar sujud syukur ketika mendengar penaklukan Mesir. Jika boleh beribadah sunnah dengan satu sujud, mengapa engkau memakruhkan ibadah sunnah yang lebih dari itu?

Dan aku berkata kepadanya, seandainya seorang pergi berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Muzzammil ketika meringankan salat malam dan separuhnya, Dia berfirman: “Maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an” (QS. Al-Muzzammil: 20), maksudnya salatlah semampumu. Jika hal itu diserahkan kepada mereka dalam hal yang telah dihapus kewajibannya tanpa batasan waktu, maka itu lebih mendekati keserupaan bahwa ini bisa menjadi hujjah. Dan Allah lebih tahu darimu. Sungguh, Utsman bin Affan, Sa’ad, dan lainnya pernah salat witir dengan satu rakaat di malam hari tanpa menambah setelah salat wajib.

Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: ‘Utbah bin Muhammad bin Al-Harits mengabarkan kepadaku bahwa Kuraib, maula Ibnu Abbas, mengabarkan kepadanya bahwa ia melihat Muawiyah salat Isya kemudian witir dengan satu rakaat tanpa menambah. Lalu ia mengabarkan hal itu kepada Ibnu Abbas, dan ia berkata: “Benar, wahai anakku. Tidak ada seorang pun di antara kita yang lebih tahu dari Muawiyah. Witir itu boleh satu, lima, tujuh, atau lebih dari itu, sesuai keinginan.”

Abdul Majid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Zaid bin Khusaifah dari As-Saib bin Yazid bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abdurrahman At-Taimi tentang salat Thalhah. Ia berkata: “Jika kamu mau, aku akan memberitahumu tentang salat Utsman.” Aku berkata: “Aku akan berusaha keras malam ini untuk berdiri (salat).” Lalu aku berdiri, tiba-tiba ada seorang laki-laki mendekatiku dengan berselimut. Aku melihat ternyata itu Utsman. Maka aku mundur darinya. Ia salat, ternyata ia sujud dengan sujud tilawah hingga aku berkata: “Ini fajar telah terbit.” Lalu ia witir dengan satu rakaat tanpa salat lainnya.

(Asy-Syafi’i) berkata: “Lalu apa hujjahmu terhadap orang yang menyelisihi pendapatmu?” Aku menjawab: “Hujjahku atasmu adalah hujjahku atasnya. Seandainya aku diam dari semua yang kau jadikan hujjah, seperti diamnya orang yang tidak mengetahuinya, niscaya aku telah terkalahkan oleh ucapanmu sendiri.” Ia berkata: “Di mana?” Aku berkata: “Apakah nafilah dalam salat, thawaf, dan puasa tidak seperti yang kau katakan, bahwa karena seseorang tidak wajib memasukinya, lalu ia memasukinya dan memutusnya, maka tidak ada kewajiban menggantinya, sebab asalnya bukan kewajiban yang harus ditunaikan? Ataukah ia tidak wajib, tetapi jika ia memasukinya, maka menjadi wajib karena masuk ke dalamnya, sehingga ia harus menyempurnakannya?” Ia berkata: “Tidak keluar dari salah satu dari dua hal ini.” Aku berkata: “Lalu pendapatnya keluar dari dua hal ini?” Ia berkata: “Bagaimana?” Aku berkata: “Ia mengira bahwa siapa yang memutus salat, puasa, atau thawaf tanpa uzur, wajib mengqadhanya seperti mengqadha kewajiban. Dan siapa yang memutus karena uzur, tidak wajib mengqadhanya. Namun, ia berpendapat dalam hal yang wajib, jika diputus karena sakit, wajib mengqadhanya seperti jika diputus tanpa uzur.” Ia berkata: “Tidak ada hujjah bagi yang mengatakan ini. Seorang alim perlu mendebatnya. Aku telah tahu bahwa ia menyetujui sebagian pendapat kami dan menyelisihi sebagian lainnya yang tidak aku ketahui hingga ia menyebutkannya.” Aku berkata: “Begitulah pendapatnya.” Ia berkata: “Mungkin ia memiliki atsar dalam hal ini.” Kami berkata: “Ia seolah-olah memiliki atsar tetapi tidak menyebutkannya. Dan kau lihat ia menyebutkan atsar-atsar yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Kau tidak melihat ada hujjah atau atsar baginya.”

(Asy-Syafi’i) berkata: “Maka masih ada hujjah kami atasmu, yaitu bahwa kau meninggalkan sebagian dasar yang kau pegang dalam hal ini.” (Asy-Syafi’i) berkata: Aku bertanya: “Apa itu?” Ia berkata: “Kau berkata, siapa yang tathawwu’ (sunnah) haji atau umrah lalu memasukinya, tidak boleh keluar darinya, padahal keduanya nafilah. Lalu apa bedanya haji, umrah, dan lainnya seperti salat, thawaf, dan puasa?” Aku berkata: “Perbedaan yang tidak aku ketahui dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya.” Ia berkata: “Apa itu?” Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu jika seseorang merusak salat, puasa, atau thawafnya, apakah ia melanjutkannya atau mengulangnya?” Ia berkata: “Ia harus mengulangnya.” Aku berkata: “Seandainya ia melanjutkan salat, puasa, atau thawaf yang rusak, tidak sah dan ia berdosa. Jika wudhunya batal lalu ia melanjutkan salat atau thawaf, tidak sah?” Ia berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah ia diperintahkan keluar darinya?” Ia berkata: “Ya.” Aku berkata: “Bagaimana jika haji atau umrahnya rusak, apakah dikatakan: ‘Keluarlah darinya,’ karena tidak boleh melanjutkan yang rusak?” Ia berkata: “Tidak.” Aku berkata: “Dan dikatakan: ‘Lakukan haji dan umrah meski rusak, seperti melakukannya dengan benar. Jangan tinggalkan sesuatu pun karena kerusakan. Lakukan haji tahun depan, umrah, dan bayar fidyah.'” Ia berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah keduanya menyerupai sesuatu yang aku sebutkan? Wallahu a’lam.”