Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Idris Al-Muththalibi Asy-Syafi’i -rahimahullah-, dia berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5). (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa Dia mewajibkan atas mereka untuk beribadah kepada-Nya dengan memurnikan ketaatan dalam agama, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Dan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'” (QS. At-Taubah: 34-35).
Dan Dia Yang Maha Mulia berfirman: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180). (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam dua ayat ini kewajiban zakat; karena sesungguhnya Dia mengazab atas penahanan apa yang diwajibkan, dan menjelaskan bahwa pada emas dan perak ada zakatnya. (Asy-Syafi’i berkata): Firman Allah Azza wa Jalla: “Dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah” (QS. At-Taubah: 34) maksudnya -wallahu a’lam- adalah pada jalan-Nya yang diwajibkan berupa zakat dan selainnya. (Asy-Syafi’i berkata): Adapun menyimpan harta adalah salah satu bentuk penahanan, dan jika penahanan itu diperbolehkan dengan suatu cara, maka diperbolehkan pula dengan menyimpan dan lainnya. Telah datang sunnah yang menunjukkan hal itu, kemudian aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini, kemudian ada atsar-atsar.
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Jami’ bin Abi Rasyid dan Abdul Malik bin A’yan, keduanya mendengar Abu Wa’il mengabarkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Tidaklah seorang yang tidak menunaikan zakat hartanya kecuali akan dijadikan baginya pada hari kiamat seekor ular botak yang akan mengejarnya sambil menghindar, lalu ular itu mengikutinya hingga melilit lehernya.” Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membacakan kepada kami: “Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180).
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abi Shalih As-Saman dari Abu Hurairah, dia berkata: “Barangsiapa yang memiliki harta lalu tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat akan dijadikan baginya seekor ular botak yang memiliki dua titik hitam, mengejarnya hingga berhasil melilitnya sambil berkata: ‘Aku adalah hartamu yang kamu simpan.'”
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ibnu ‘Ajlan dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dia berkata: “Setiap harta yang dizakati maka bukanlah simpanan, meskipun terpendam. Dan setiap harta yang tidak dizakati maka itu adalah simpanan, meskipun tidak terpendam.” Dan Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103). (Asy-Syafi’i berkata): Dan Dia memerintahkannya untuk mengambil dari mereka apa yang diwajibkan atas mereka. Dan Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan zakat di banyak tempat dalam kitab-Nya selain yang telah aku sebutkan. (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan kewajiban zakat dalam kitab-Nya, kemudian menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada harta apa zakat itu diwajibkan. Maka Dia menjelaskan pada harta yang ada zakatnya, bahwa sebagiannya ada yang tidak dikenakan zakat, dan sebagiannya ada yang tetap dikenakan, dan bahwa di antara harta ada yang tidak ada zakatnya. (Asy-Syafi’i berkata): Dan di antara penjelasan ini beserta yang lainnya adalah penjelasan tentang kedudukan yang Allah letakkan Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam agama dan kitab-Nya, serta bukti bahwa sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah dalam hal apa yang Allah Azza wa Jalla tetapkan hukumnya.
Bukti mengenai apa yang dikehendaki oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan hukum-Nya, apakah khusus atau umum, dan berapa jumlah yang dikehendaki-Nya, serta jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berada pada posisi ini dalam Kitab Allah Azza wa Jalla dan agama-Nya, maka posisinya sama di setiap tempat, dan sunnahnya tidak lain adalah penjelasan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala serta mengikuti perintah-Nya.
Bab Jumlah Unta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah Al-Mazani dari ayahnya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan, ia berkata: Diriwayatkan oleh Amr bin Yahya Al-Mazani dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor.”
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Malik dari Amr bin Yahya Al-Mazani dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan hadits yang serupa.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang dengan ini, dan aku tidak mengetahui ada ulama yang aku temui yang menyelisihinya. Aku juga tidak mengetahui perawi tsiqah yang meriwayatkannya kecuali dari Abu Sa’id Al-Khudri.
Jika mereka menetapkan satu hadits sekali, maka wajib bagi mereka untuk menetapkannya lagi.
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam sunnah telah dijelaskan bahwa tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, dan pada lima ekor unta wajib zakat.
Bab Cara Penetapan Zakat
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Abdullah bin Umar dari Al-Mutsanna bin Anas atau Ibnu Fulan bin Anas (Asy-Syafi’i ragu) dari Anas bin Malik, ia berkata: “Inilah zakat, kemudian kambing dan lainnya ditinggalkan, dan orang-orang tidak menyukainya.”
Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah kewajiban zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – atas kaum Muslimin, yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Barangsiapa diminta zakat sesuai ketentuannya dari orang-orang beriman, maka hendaklah ia memberikannya. Dan barangsiapa diminta lebih dari itu, maka jangan diberikan.
Pada 24 ekor unta atau kurang, zakatnya adalah kambing, setiap lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor unta betina berumur satu tahun (bintu makhadh). Jika tidak ada, maka seekor unta jantan berumur dua tahun (ibnu labun). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor unta betina berumur dua tahun (bintu labun). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor unta betina berumur tiga tahun (hiqqah) yang siap dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor unta betina berumur empat tahun (jadza’ah). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor unta betina berumur dua tahun (bintu labun). Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor unta betina berumur tiga tahun (hiqqah) yang siap dikawini unta jantan. Jika lebih dari 120 ekor, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor unta betina berumur dua tahun (bintu labun), dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina berumur tiga tahun (hiqqah).
Dan mengenai perbedaan usia unta dalam ketentuan zakat: jika seseorang memiliki unta yang seharusnya zakatnya seekor jadza’ah tetapi ia tidak memilikinya, dan ia memiliki hiqqah, maka hiqqah diterima dengan menambahkan dua ekor kambing atau 20 dirham. Jika seharusnya zakatnya hiqqah tetapi ia tidak memilikinya, dan ia memiliki jadza’ah, maka jadza’ah diterima dan petugas zakat memberinya 20 dirham atau dua ekor kambing.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh beberapa perawi tsiqah dari Hammad bin Salamah dari Tsumamah bin Abdullah bin Anas bin Malik dari Anas bin Malik dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan makna yang serupa, tidak ada perbedaan kecuali aku tidak hafal apakah harus menambahkan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan aku tidak hafal apakah itu disesuaikan dengan kemampuannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menduga dalam hadits Hammad dari Anas bahwa ia berkata: “Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – menyerahkan kitab zakat dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan menyebutkan makna ini seperti yang aku jelaskan.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Juraij, ia berkata: Ibnu Thawus berkata kepadaku: “Ayahku memiliki kitab tentang diyat yang turun dengan wahyu, dan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang diyat atau zakat, maka itu turun dengan wahyu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Itu, insya Allah Ta’ala, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Thawus, dan dijelaskan dalam perkataan Anas.
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Anas adalah hadits yang sahih melalui jalur Hammad bin Salamah dan lainnya dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan kami berpegang dengan ini.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Anas bin Iyadh dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa ini adalah kitab zakat:
Pada 24 ekor unta atau kurang, zakatnya adalah kambing, setiap lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Pada lebih dari itu hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor bintu makhadh. Jika tidak ada, maka seekor ibnu labun jantan. Pada lebih dari itu hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor bintu labun. Pada lebih dari itu hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor hiqqah yang siap dikawini unta jantan. Pada lebih dari itu hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor jadza’ah. Pada lebih dari itu hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor bintu labun. Pada lebih dari itu hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah yang siap dikawini unta jantan. Jika lebih dari itu, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor bintu labun, dan setiap 50 ekor zakatnya seekor hiqqah.
Pada kambing yang digembalakan, jika mencapai 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Pada lebih dari itu hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Pada lebih dari itu hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari itu, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing. Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat kambing yang tua, cacat, atau jantan, kecuali jika petugas zakat menghendaki. Tidak boleh menggabungkan yang terpisah atau memisahkan yang tergabung untuk menghindari zakat. Jika ada dua orang yang berserikat, maka mereka boleh mengatur pembagian zakat secara adil.
Pada perak, zakatnya seperempat puluh (2,5%) jika mencapai lima uqiyah.
Ini adalah salinan kitab Umar bin Al-Khaththab yang digunakan sebagai pedoman.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang dengan semua ini.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh seorang tsiqah dari ahli ilmu dari Sufyan bin Husain dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – (aku tidak tahu apakah Ibnu Umar menyertakan Umar antara dirinya dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam hadits Sufyan atau tidak) tentang zakat unta dengan makna seperti ini, tidak ada perbedaan. Aku tidak mengetahui, bahkan aku tidak ragu insya Allah Ta’ala, bahwa ia meriwayatkan seluruh hadits tentang zakat kambing, perserikatan, dan perak seperti ini, hanya saja aku tidak hafal kecuali tentang unta dalam haditsnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dikatakan tentang kambing yang digembalakan seperti ini, maka kemungkinan besar – wallahu a’lam – tidak ada zakat pada kambing selain yang digembalakan. Karena setiap kali sesuatu disebutkan dengan sifat tertentu, dan sesuatu itu memiliki dua sifat, maka yang diambil adalah sifat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak diambil zakat dari sifat yang lain.
(Asy-Syafi’i berkata): Dengan ini kami berpendapat bahwa tidak jelas adanya kewajiban zakat pada kambing selain yang digembalakan. Dan jika ini berlaku pada unta dan sapi, karena itulah hewan ternak yang wajib dizakati, bukan yang lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki empat ekor unta, maka tidak ada zakat sampai mencapai lima ekor. Jika mencapai lima ekor, zakatnya seekor kambing. Kemudian tidak ada zakat pada tambahan di atas lima hingga mencapai sepuluh ekor. Jika mencapai sepuluh ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari sepuluh ekor, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai lima belas ekor. Jika mencapai lima belas ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai dua puluh ekor. Jika mencapai dua puluh ekor, zakatnya empat ekor kambing. Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai dua puluh lima ekor.
Jika mencapai dua puluh lima ekor, maka zakat kambing tidak berlaku lagi, dan tidak ada zakat kambing dalam kondisi apa pun. Zakatnya adalah seekor bintu makhadh. Jika tidak ada, maka seekor ibnu labun jantan.
Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai tiga puluh enam ekor. Jika mencapai tiga puluh enam ekor, zakatnya seekor bintu labun.
Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai empat puluh enam ekor. Jika mencapai empat puluh enam ekor, zakatnya seekor hiqqah yang siap dikawini unta jantan.
Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai enam puluh satu ekor. Jika mencapai enam puluh satu ekor, zakatnya seekor jadza’ah.
Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai tujuh puluh enam ekor. Jika mencapai tujuh puluh enam ekor, zakatnya dua ekor bintu labun.
Jika lebih dari itu, tidak ada zakat pada tambahan hingga mencapai sembilan puluh satu ekor. Jika mencapai sembilan puluh satu ekor, zakatnya dua ekor hiqqah yang siap dikawini unta jantan.
Jika lebih dari itu…
Tidak ada kewajiban zakat pada tambahan hingga mencapai seratus dua puluh satu unta. Ketika mencapai jumlah itu, kewajiban kedua gugur dan dimulailah kewajiban ketiga, sehingga dihitung seluruhnya. Pada setiap empat puluh unta, zakatnya adalah bintu labun (unta betina berumur dua tahun), dan pada setiap lima puluh unta, zakatnya adalah hiqqah (unta betina berumur tiga tahun).
(Imam Syafi’i berkata): Penjelasannya adalah ketika unta berjumlah seratus dua puluh satu, zakatnya adalah tiga bintu labun. Jika bertambah, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus tiga puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah satu hiqqah dan dua bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus empat puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah dua hiqqah dan satu bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus lima puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah tiga hiqqah. Kemudian, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus enam puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah empat bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus tujuh puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah satu hiqqah dan tiga bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus delapan puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah dua hiqqah dan dua bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai seratus sembilan puluh. Ketika mencapai jumlah itu, zakatnya adalah tiga hiqqah dan satu bintu labun.
Jika bertambah lagi, tidak ada kewajiban pada tambahan hingga mencapai dua ratus. Ketika mencapai jumlah itu, petugas zakat (mushaddiq) harus meminta pendapat. Jika empat hiqqah lebih baik daripada lima bintu labun, maka diambil empat hiqqah. Jika lima bintu labun lebih baik, maka diambil lima bintu labun. Tidak halal baginya mengambil selain itu, dan aku berpendapat bahwa pemilik harta juga tidak boleh memberikan selain itu.
Jika petugas zakat mengambil jenis yang lebih rendah dari pemilik harta, maka pemilik harta wajib memberikan selisih kelebihan antara yang diambil dan yang seharusnya, lalu memberikannya kepada para mustahiq zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula pada setiap harta yang mencapai nisab, baik empat ratus unta atau lebih, petugas zakat mengambil yang terbaik untuk mustahiq dan memberikan hak pemilik harta. Jika pemilik harta menolak, maka ia wajib mengeluarkan kelebihannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika nilai empat hiqqah setara dengan lima bintu labun, petugas zakat boleh mengambil salah satunya sesuai keinginannya, karena tidak ada kelebihan yang harus diberikan kepada pemilik harta.
Jika petugas zakat hanya menemukan salah satu dari dua jenis (hiqqah atau bintu labun) dan tidak menemukan yang lain, maka ia mengambil jenis yang ditemukan. Misalnya, jika menemukan empat hiqqah tetapi tidak menemukan lima bintu labun, maka ia mengambil hiqqah. Jika menemukan lima bintu labun tetapi tidak menemukan hiqqah, maka ia mengambil bintu labun, karena tidak ada kewajiban lain atau kelebihan yang harus diberikan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika unta berjumlah dua ratus, dan petugas zakat menemukan empat bintu labun dan empat hiqqah, lalu ia melihat bahwa empat bintu labun hampir setara dengan hiqqah, tetapi ia yakin bahwa jika ditambah satu lagi, bintu labun akan lebih baik daripada hiqqah, maka ia tidak boleh mengambil selain hiqqah. Ia juga tidak boleh memaksa pemilik harta memberikan apa yang tidak ada pada untanya, sementara kewajiban zakatnya sudah terpenuhi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika bintu labun dalam kondisi seperti yang disebutkan, dan ada hiqqah, lalu petugas zakat ingin mengambil bintu labun beserta hiqqah atau bintu makhadh (unta betina berumur satu tahun) karena lebih rendah dari bintu labun, padahal bintu labun lebih baik untuk mustahiq, maka hal itu tidak boleh, karena berarti menyimpang dari ketentuan zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hiqqah dalam kondisi sakit atau cacat, petugas zakat tidak boleh mengambilnya kecuali jika bintu labun dalam kondisi sehat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kedua jenis yang menjadi kewajiban zakat cacat, sementara unta lainnya sehat, maka dikatakan kepada pemilik harta: “Jika engkau memberikan salah satu jenis yang sehat dari mana saja, kami terima. Jika tidak, kami akan mengambil yang lebih tinggi dan mengembalikan sisanya, atau mengambil yang lebih rendah dan mengambil sisanya.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seluruh unta cacat atau sebagian besar cacat kecuali sedikit yang memenuhi jumlah zakat (misalnya zakat lima atau empat unta, sementara yang sehat hanya tiga atau dua), maka dikatakan kepada pemilik harta: “Kami akan mengambil yang sehat darimu, dan engkau wajib mengganti sisanya dengan yang sehat. Jika engkau tidak memberikannya, kami akan mengambil yang lebih tinggi dan mengembalikan sisanya, atau mengambil yang lebih rendah dan mengambil sisanya. Kami tidak akan mengambil yang sakit, selama masih ada unta yang sehat.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika unta berjumlah dua puluh lima, tetapi tidak ada bintu makhadh, maka diambil ibnu labun (unta jantan berumur dua tahun). Jika tidak ada, pemilik harta boleh memilih untuk memberikan salah satunya sesuai keinginannya, dan apa pun yang diberikan menjadi kewajiban zakat. Jika ia memberikan keduanya, petugas zakat hanya boleh mengambil bintu makhadh, karena itulah kewajiban pertama yang tidak ada penggantinya, dan itu sudah tersedia.
[Bab Cacat dan Kekurangan pada Unta]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika semua unta cacat karena kudis, penyakit, ayan, atau cacat lainnya, maka petugas zakat mengambil satu dari unta-unta tersebut dan tidak meminta yang sehat dari selainnya. (Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Jika semua unta cacat, petugas zakat tidak boleh mengurangi atau menambah kewajiban, juga tidak boleh menolak atau mengambil berdasarkan pertimbangan untuk orang miskin. Penambahan atau pengurangan hanya berlaku jika usia unta yang ditentukan tidak ada, atau usia tersebut ada tetapi cacat, sementara pada harta lainnya ada yang sehat.
(Asy-Syafi’i berkata): Petugas zakat boleh mengambil yang tidak cacat dari usia yang diwajibkan, dan pemilik harta tidak boleh menggantinya dengan yang lebih buruk. (Asy-Syafi’i berkata): Jika unta-unta itu cacat dan kewajibannya diganti dengan kambing, sementara harga kambing yang diwajibkan lebih mahal daripada unta, maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau memberikannya, aku terima. Jika tidak, engkau boleh memilih antara memberikan unta sukarela sebagai gantinya atau memberikan kambing.” Jika ia menolak memilih, ia dipaksa mengambil kambing. Jika ia dipaksa tetapi tidak memberikan kambing lalu memilih memberikan unta, maka itu diterima.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika sebagian unta berbeda kualitasnya, lalu pemiliknya memberikan yang paling rendah, sedang, atau tertinggi, maka itu diterima. Tidak seperti unta yang kewajibannya berasal dari dirinya sendiri yang memiliki kekurangan. (Asy-Syafi’i berkata): Sama saja apakah kekurangan itu sudah lama atau baru terjadi setelah unta dihitung, atau sebelum dikurangi dari unta atau kambing. Jika yang diambil berkurang atau rusak di tangan petugas, atau unta pemilik harta berkurang atau rusak di tangannya, maka tidak ada ganti rugi antara keduanya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika petugas zakat telah menghitung unta tetapi belum menerima zakat dari pemiliknya hingga unta itu rusak sebagian atau seluruhnya tanpa kelalaian, maka jika pada sisa yang ada masih memenuhi kewajiban, ia mengambilnya. Jika tidak, ia tidak berhak atas apa pun.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki unta, lalu petugas zakat menghitungnya, dan pemiliknya berkata: “Aku memiliki unta yang tidak hadir,” lalu petugas mengambil zakat untuk unta yang tidak hadir dan yang hadir, kemudian petugas dari daerah unta yang tidak hadir mengambil zakatnya, maka petugas yang telah mengambil zakat untuk unta yang tidak hadir wajib mengembalikan kadar zakat unta yang tidak hadir dari zakat lainnya yang telah dibagikan, kecuali jika pemilik ternak rela melepas haknya.
[Bab Jika Usia yang Ditentukan Tidak Ditemukan]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Kami menghafal bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang usia unta yang kewajibannya dimulai dari bintu labun ke atas: “Jika petugas zakat tidak menemukan usia yang diwajibkan dan mengambil usia di bawahnya, maka ia mengambil dua ekor kambing atau dua puluh dirham dari pemilik harta. Jika ia mengambil usia di atasnya, ia mengembalikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham kepada pemilik harta.” (Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Wajib bagi petugas zakat, jika tidak menemukan usia yang diwajibkan tetapi menemukan usia di atas atau di bawahnya, untuk tidak mengambil kecuali yang terbaik bagi penerima zakat. Demikian pula pemilik harta wajib memberikannya yang terbaik bagi mereka. Jika petugas zakat tidak menerima yang terbaik bagi mereka, maka pemilik harta wajib mengeluarkan selisih antara yang diambil petugas dan yang terbaik, lalu memberikannya kepada penerima zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia menemukan usia yang lebih tinggi tetapi tidak menemukan yang lebih rendah, atau sebaliknya, maka ia tidak punya pilihan lain dan harus mengambil yang ditemukan. (Asy-Syafi’i berkata): Jika ia menemukan salah satu usia yang cacat atau keduanya cacat, sementara di bawah atau di atasnya ada unta yang sehat, dan ia tidak menemukan usia yang lebih tinggi atau lebih rendah, maka ia tidak boleh mengambil yang cacat jika ada unta yang sehat. Ia boleh mengambil berdasarkan pertimbangan untuk orang miskin seperti yang dijelaskan. Setiap kali ia naik satu tingkat usia, pemilik harta wajib memberikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Jika naik dua tingkat usia, ia memberikan empat ekor kambing atau empat puluh dirham. Jika naik tiga tingkat, ia menambah dua ekor kambing lagi, sehingga total enam ekor kambing atau enam puluh dirham. Demikian pula jika turun usia, ia mengambil dua ekor kambing atau dua puluh dirham untuk setiap tingkat penurunan, tanpa mempertimbangkan apakah selisih harga antara dua usia lebih besar atau lebih kecil dari ketentuan syariat.
(Asy-Syafi’i berkata): Petugas zakat tidak boleh memberinya dua puluh dirham jika dua ekor kambing lebih menguntungkan bagi orang miskin, atau sebaliknya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika petugas zakat menangani zakat berupa dirham, unta, dan kambing, maka aturannya seperti ini. Jika ia hanya menangani hewan ternak, ia boleh menjualnya dan mengembalikan dua puluh dirham kepada yang berzakat jika itu lebih baik bagi orang miskin.
(Asy-Syafi’i berkata): Ia boleh menjual hewan ternak apa pun yang diambil demi kepentingan orang miskin.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika unta yang dizakati tidak bernilai karena warna atau cacat, lalu petugas tidak menemukan usia yang diwajibkan tetapi menemukan usia di bawahnya, sehingga jika ia mengambilnya beserta dua ekor kambing atau dua puluh dirham, ternyata dua ekor kambing atau dua puluh dirham lebih baik daripada satu unta, maka pemilik harta boleh memilih antara memberikan usia yang lebih tinggi secara sukarela atau memberikan apa yang terbaik bagi orang miskin.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika petugas mengambil selisih antara dua usia, pemilik harta boleh memberikan apa yang ia mau, dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Petugas tidak boleh menolak karena dalam hadis disebutkan: “Dua ekor kambing jika ada, atau dua puluh dirham.” Jika dua ekor kambing tersedia dan mencukupi, ia memberikannya kecuali jika pemilih memilih dua puluh dirham.
(Asy-Syafi’i berkata): Sebaiknya pemilik harta memberikan yang lebih menguntungkan orang miskin, baik dua ekor kambing atau dua puluh dirham.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki unta yang wajib dizakati tetapi tidak memiliki usia yang diwajibkan, lalu pemilik unta berkata: “Aku akan membawanya,” maka jika ia membawa unta yang setara atau lebih baik dari untanya, itu diterima. Jika ia membawa unta yang lebih rendah, petugas zakat tidak boleh menerimanya dan boleh menaikkan usia lalu mengembalikan selisihnya atau menurunkan usia lalu mengambil selisihnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Unta berbeda dengan sapi dan kambing dalam hal ini. Jika usia yang ditentukan tidak ditemukan pada sapi atau kambing, pemiliknya wajib menyediakannya kecuali jika ia memberikan yang lebih tinggi secara sukarela. Jika usia tersebut ada tetapi cacat, sementara hewan lainnya sehat, petugas tidak boleh menaikkan atau menurunkan usia untuk sapi atau kambing dalam keadaan apa pun.
[Bab Kambing yang Diambil sebagai Zakat Unta]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika seseorang memiliki unta yang kewajibannya diganti dengan kambing, dan ia memiliki kambing, maka diambil dari kambingnya yang memenuhi syarat kurban. Jika kambingnya adalah kambing biasa (ma’z), maka diambil yang berusia dua tahun. Jika domba (dha’n), maka diambil yang berusia satu tahun (jadza’ah). Tidak boleh mengambil yang lebih tinggi atau lebih rendah kecuali jika pemilik harta memberikan yang lebih tinggi secara sukarela.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kambingnya cacat, sakit, atau ia tidak memiliki kambing, maka pilihan ada padanya untuk memberikan kambing apa pun yang sah sebagai kurban, baik domba atau kambing biasa. Aku tidak melihat kebiasaan di daerah tersebut karena kewajibannya hanyalah seekor kambing. Jika aku mengambilnya sesuai usia yang sah untuk zakat kambing, maka aku tidak…
Lebih dari itu (Asy-Syafi’i berkata): Demikian juga jika kambing itu domba atau kambing biasa, atau domba lalu ingin memberikan kambing biasa, atau kambing biasa ingin memberikan domba, maka aku menerimanya; karena yang disebutkan hanya “kambing”, jadi selama ia membawa kambing, aku menerimanya (Asy-Syafi’i berkata): Dan untuk unta, diambil berdasarkan jumlah, baik unta itu biasa maupun yang bagus, tidak ada perbedaan. Domba apa pun dari jenis yang biasa di daerahnya bisa dijadikan kurban, aku menerimanya. Jika ia membawa domba dari jenis yang bukan biasa di daerahnya tetapi setara atau lebih baik, aku terima. Namun jika di bawah standar, tidak diterima.
Jika seseorang memiliki unta yang bagus dan wajib mengeluarkan zakat darinya, lalu ia ingin memberikan unta miliknya atau orang lain yang usianya sama tetapi kualitasnya lebih rendah, kami tidak boleh menerimanya dan zakatnya tidak sah jika ia memberikan unta tersebut. Sama halnya jika ia memiliki unta biasa dan unta bagus di daerah lain atau di daerahnya sendiri, kami tidak mengambil zakat dari unta biasa di daerahnya atau unta yang berada di daerah lain. Kami mengambil dari masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku (Asy-Syafi’i berkata): Jika wajib bagi kami untuk mengambil unta betina yang sudah berusia satu tahun (jadza’ah), petugas zakat tidak boleh mengambil yang sedang hamil kecuali ia rela. Jika unta jantan sudah mencapai usia wajib zakat tetapi tidak jelas apakah sudah kawin atau belum, kami katakan: “Kami tidak mengambilnya, atau bawakan yang lain dengan usia yang sama jika mau, atau kami ambil yang lebih rendah dan kami beri ganti, atau yang lebih tinggi dan kami beri ganti kepadamu.”
[Bab Zakat Sapi]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Thawus, “Bahwa Mu’adz bin Jabal diberi sapi yang belum mencapai usia wajib zakat, lalu ia berkata: ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak memerintahkan apa pun kepadaku tentang ini.'” (Asy-Syafi’i berkata): Yang dimaksud adalah sapi yang belum memenuhi syarat wajib zakat. (Asy-Syafi’i berkata): Sepertinya Mu’adz mengambil zakat berdasarkan perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diriwayatkan bahwa ketika ia diberi sapi kurang dari tiga puluh, ia berkata: “Aku tidak mendengar dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hal ini.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Hamid bin Qais dari Thawus al-Yamani, “Bahwa Mu’adz bin Jabal mengambil dari tiga puluh sapi seekor tabi’ (sapi jantan berusia satu tahun), dan dari empat puluh sapi seekor musinnah (sapi betina berusia dua tahun). Ketika diberi kurang dari itu, ia menolak dan berkata: ‘Aku tidak mendengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang ini sampai aku menemuinya dan bertanya.’ Namun Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- wafat sebelum Mu’adz bin Jabal kembali.” (Asy-Syafi’i berkata): Thawus adalah orang yang paham urusan Mu’adz, meskipun ia tidak bertemu langsung dengannya, berdasarkan banyaknya orang Yaman yang ia temui yang pernah hidup sezaman dengan Mu’adz. Diriwayatkan juga bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Mu’adz untuk mengambil dari tiga puluh sapi seekor tabi’, dan dari empat puluh sapi seekor musinnah. (Asy-Syafi’i berkata): Beberapa orang Yaman yang terpercaya mengabarkan kepadaku bahwa Mu’adz mengambil zakat sapi sesuai riwayat Thawus. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Seorang ulama terpercaya mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Nu’aim bin Salamah, “Bahwa Umar bin Abdul Aziz meminta sebuah catatan, dan mereka menyangka bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menulisnya untuk Mu’adz bin Jabal. Di dalamnya tertulis: ‘Setiap tiga puluh sapi, zakatnya seekor tabi’; setiap empat puluh sapi, zakatnya seekor musinnah.'” (Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah pendapat yang tidak aku ketahui adanya perbedaan di antara ulama yang aku temui, dan kami mengamalkannya.
[Bab Rincian Zakat Sapi]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak ada zakat pada sapi sampai jumlahnya mencapai tiga puluh. Jika sudah, maka zakatnya seekor tabi’. Jika bertambah, tidak ada zakat lagi sampai mencapai empat puluh. Jika sudah, zakatnya seekor musinnah. (Asy-Syafi’i berkata): Kemudian tidak ada zakat lagi sampai mencapai enam puluh. Jika sudah, zakatnya dua tabi’. Lalu tidak ada zakat lagi sampai tujuh puluh. Jika sudah, zakatnya seekor musinnah dan seekor tabi’. Kemudian tidak ada zakat lagi sampai delapan puluh. Jika sudah, zakatnya dua musinnah. Lalu tidak ada zakat lagi sampai sembilan puluh. Jika sudah, zakatnya tiga tabi’. Kemudian tidak ada zakat lagi sampai seratus. Jika sudah, zakatnya seekor musinnah dan dua tabi’. Lalu tidak ada zakat lagi sampai seratus sepuluh. Jika sudah, zakatnya dua musinnah dan seekor tabi’. Kemudian tidak ada zakat lagi sampai seratus dua puluh. Jika sudah, petugas zakat boleh mengambil yang terbaik untuk orang miskin: empat tabi’ atau tiga musinnah, seperti ketentuan pada unta. Jika salah satu usia tidak ditemukan, zakat diambil dari usia yang ada, seperti pada unta, tanpa perbedaan. Ini berlaku terus hingga jumlah sapi bertambah banyak.
[Bab Zakat Kambing]
(Asy-Syafi’i berkata): Telah tetap dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang zakat kambing sebagaimana yang aku sebutkan, insya Allah. Yaitu tidak ada zakat pada kambing sampai jumlahnya empat puluh. Jika sudah, zakatnya seekor kambing. Lalu tidak ada zakat lagi sampai seratus dua puluh satu. Jika sudah, zakatnya dua kambing. Kemudian tidak ada zakat lagi sampai dua ratus satu. Jika sudah, zakatnya tiga kambing. Lalu tidak ada zakat lagi sampai empat ratus. Jika sudah, zakatnya empat kambing. Kemudian aturan awal diulang: setiap seratus kambing, zakatnya seekor, tanpa zakat pada tambahan sampai genap seratus lagi. Kambing dihitung secara keseluruhan, tidak dipisah, dan pemilik tidak boleh memilih. Petugas zakat boleh memilih kambing terbaik yang memenuhi syarat usia jika kambing itu seragam.
[Bab Usia Kambing yang Diambil untuk Zakat]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Bisyr bin ‘Ashim menceritakan dari ayahnya bahwa Umar mengangkat Abu Sufyan bin Abdullah sebagai petugas zakat di Thaif dan sekitarnya. Saat memungut zakat, ia menghitung kambing yang masih menyusu tetapi tidak mengambilnya. Mereka protes: “Jika kau menghitung yang masih menyusu, ambillah!” Ia pun menahan diri sampai bertemu Umar dan berkata: “Mereka mengira kami zalim karena menghitung yang masih menyusu tetapi tidak mengambilnya.” Umar berkata: “Hitunglah yang masih menyusu, bahkan anak kambing yang digendong penggembala, dan katakan: ‘Aku tidak mengambil yang masih kecil, yang hamil, yang sedang menyusui, yang gemuk, atau pejantan. Ambillah yang muda (al-‘anaq), jadza’ah, atau tsaniyyah. Itu adil antara pertumbuhan harta dan kualitasnya.'”
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Ini adalah pendapat kami: yang diambil adalah jadza’ah dan tsaniyyah. Ini sesuai makna bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengambil zakat dari kurma kecil atau gandum yang rusak. Meskipun dipahami bahwa zakat diambil dari pertengahan kurma, maka zakat kambing juga diambil dari pertengahan kualitasnya, yaitu kambing yang layak dijadikan kurban. (Asy-Syafi’i berkata): Demikianlah -wallahu a’lam-.
Saya tahu – masuk akal jika disebut seekor kambing, maka apa yang mencukupi sebagai kurban juga mencukupi untuk apa yang secara umum disebut kambing.
[Bab Kambing yang Berbeda]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki kambing yang berbeda jenis, sebagian lebih tinggi kualitasnya dari yang lain, maka petugas zakat mengambil dari jenis pertengahan, bukan yang tertinggi atau terendah. Jika hanya ada satu jenis, maka diambil yang terbaik sesuai kewajibannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika kambing terbaik atau pertengahan lebih banyak, maka sama saja. Allah yang lebih tahu. Petugas zakat mengambil dari yang pertengahan. Jika tidak ditemukan usia yang wajib pada yang pertengahan, dia berkata kepada pemilik kambing: “Jika kamu bersedia memberikan yang lebih tinggi, aku akan menerimanya. Jika tidak, aku akan memintamu untuk memberikan kambing pertengahan yang setara, dan aku tidak akan mengambil yang lebih rendah.” Pertengahan diambil dari yang telah dijelaskan, yaitu tsaniyyah (kambing berusia dua tahun) atau jadza’ah (domba berusia satu tahun). Aku tidak boleh mengambil yang lebih tinggi jika semua kambing miliknya lebih tinggi, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Mu’adz bin Jabal saat mengutusnya sebagai petugas zakat: “Hindarilah mengambil harta terbaik mereka.” Harta terbaik adalah yang lebih tinggi dari segala yang boleh dijadikan kurban. (Imam Syafi’i berkata): Jika kambing terdiri dari domba dan kambing biasa dengan jumlah yang sama, dikatakan bahwa petugas zakat boleh mengambil dari mana saja yang dia kehendaki. Jika salah satunya lebih banyak, dia mengambil dari yang lebih banyak. (Imam Syafi’i berkata): Qiyasnya adalah mengambil dari setiap jenis sesuai porsinya. Ini tidak seperti kurma, karena domba dan kambing biasa dapat dibedakan, sedangkan kurma tidak. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga sapi, tidak berbeda dengan kambing jika terdiri dari kerbau, sapi lokal, dan sapi impor. (Imam Syafi’i berkata): Jika unta terdiri dari bakh (unta campuran) dan ‘irab (unta murni), atau jenis-jenis berbeda, dan zakatnya adalah kambing, maka tidak ada perbedaan. Jika zakatnya dari unta itu sendiri, maka yang berpendapat untuk mengambil dari jenis yang lebih banyak, dia mengambil dari yang lebih banyak. Jika tidak ditemukan usia yang wajib pada yang lebih banyak, pemilik hewan diminta untuk menyediakannya tanpa mengurangi atau menambah, kecuali jika yang lebih banyak itu lebih rendah atau lebih tinggi, maka dikembalikan. Adapun untuk jenis lain yang tidak lebih banyak, tidak demikian. (Imam Syafi’i berkata): Yang berpendapat untuk mengambil dari setiap jenis sesuai porsinya, maka diambil berdasarkan nilai. Seolah-olah dia memiliki unta bintu makhadh (unta betina berusia satu tahun), dan unta muhriyah (jenis unta tertentu) senilai 100, unta arhabiyah (jenis unta lain) senilai 50, dan lima unta najdiyah (jenis unta lain) senilai 50. Maka diambil bintu makhadh atau ibn labun (unta jantan berusia dua tahun) senilai dua per lima muhriyah, dua per lima arhabiyah, dan seperlima najdiyah, kecuali jika pemiliknya rela memberikan yang lebih baik tanpa memperhitungkan nilai. (Imam Syafi’i berkata): Jika pada sebagian unta, sapi, atau kambing yang berbeda terdapat cacat, petugas zakat mengambil dari jenis yang tidak cacat, karena tidak boleh mengambil yang cacat. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kambing yang tidak terjangkau oleh petugas zakat, dan dia mengklaim bahwa kualitasnya lebih rendah dari kambing yang terjangkau, lalu meminta petugas zakat untuk mengambil dari yang lebih banyak atau yang lebih rendah, atau dari setiap jenis sesuai porsinya, maka petugas zakat harus membenarkannya jika dia jujur tentang jumlah dan kualitasnya. Demikian juga jika sapi terdiri dari sapi lokal, impor, dan kerbau, serta kambing yang berbeda, maka zakatnya diambil seperti yang telah dijelaskan sesuai porsinya. Nilai yang diambil berdasarkan jumlah setiap jenis. Bakh digabungkan dengan ‘irab, kerbau dengan sapi, dan domba dengan kambing biasa.
[Bab Kelebihan pada Hewan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, semuanya di atas tsaniyyah, petugas zakat memaksa pemilik hewan untuk memberikan tsaniyyah jika kambing biasa, atau jadza’ah jika domba, kecuali jika dia rela memberikan seekor dari kambingnya, maka diterima karena itu lebih baik. Sebab, jika dia diminta memberikan yang wajib dari luar kambingnya, maka kelebihan pada kambingnya tetap ada. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga jika semua kambing yang wajib zakat adalah makhadh (belum beranak), labun (sedang menyusui), atau mutabi’ (mengikuti induk), karena semua ini tidak dihitung kelebihannya dari yang wajib. Demikian juga jika semuanya adalah jantan, karena kelebihan jantan. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga jika semua kambing yang wajib zakat adalah akulah (tua), dia diminta untuk memberikan usia yang wajib, kecuali jika dia rela memberikan dari yang dimilikinya. Jika dia rela memberikan dari yang dimilikinya di atas usia yang wajib tanpa cacat, maka diterima. Jika dia memberikan yang cacat, padahal ada yang sehat, tidak diterima. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia memberikan yang cacat tetapi nilainya lebih tinggi dari usia yang wajib, tidak diterima jika tidak sah sebagai kurban. Jika sah sebagai kurban, diterima, kecuali jika itu jantan, maka tidak diterima dalam keadaan apa pun, karena zakat kambing tidak wajib pada jantan. (Imam Syafi’i berkata): Demikian juga pada sapi, tidak berbeda kecuali dalam satu hal. Jika yang wajib adalah musinnah (sapi betina berusia dua tahun), dan sapinya adalah sapi jantan, lalu dia memberikan seekor sapi jantan, itu cukup jika lebih baik dari tabi’ (sapi jantan berusia satu tahun). Jika yang wajib adalah betina, maka jantan tidak diterima sebagai gantinya. Ar-Rabi’ berkata: Aku kira sebagai pengganti musinnah adalah tabi’. Ini kesalahan penulis, karena akhir kalimat menunjukkan bahwa itu adalah tabi’. (Imam Syafi’i berkata): Adapun unta, berbeda dengan kambing dan sapi dalam hal ini, karena petugas zakat boleh mengambil usia yang lebih tinggi dan mengembalikan, atau yang lebih rendah dan mengambil. Tidak ada pengembalian pada kambing atau sapi. Jika dia memberikan jantan senilai betina, tidak diambil. Yang diambil adalah betina jika yang wajib betina, dan jantan jika yang wajib jantan, selama itu pada hewannya yang lebih tinggi dari yang boleh untuk zakat. Jantan tidak diambil sebagai pengganti betina, kecuali jika semua hewannya adalah jantan, maka diambil darinya. Jika dia rela memberikan dari yang dimilikinya di atas usia yang wajib tanpa cacat, maka diterima.
[Bab Kekurangan pada Hewan]
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, lalu haul (tahun zakat) tiba, kemudian setelah haul itu kambingnya beranak, maka anaknya tidak dihitung, baik sebelum atau setelah petugas zakat datang. (Dia berkata): Yang dihitung adalah anak yang lahir sebelum haul, meski hanya sekejap mata. (Imam Syafi’i berkata): Hewan tidak dianggap sampai haul kecuali pada awal dan akhir haul berjumlah 40 ekor. (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak melihat kedatangan petugas zakat, tetapi melihat haul sejak hari pemilik hewan memiliki hewan tersebut. Perkataan pemilik hewan yang dipegang. Jika petugas zakat keluar di bulan Muharram, sedangkan haul hewan di bulan Shafar, Rabi’ul Awal, Rajab, atau sebelum/sesudahnya, maka tidak diambil dari pemilik hewan apa pun sampai haulnya tiba, kecuali jika pemilik hewan rela membayar zakatnya. (Imam Syafi’i berkata): Ini jelas menunjukkan bahwa petugas zakat bukanlah sebab wajibnya zakat, tetapi zakat wajib karena haul. (Imam Syafi’i berkata): Petugas zakat boleh mengutus seseorang untuk menerima zakat pada haulnya. Jika tidak dilakukan, maka pemilik hewan wajib membayar zakat pada haulnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, lalu haul tiba, kemudian setelah haul itu kambingnya beranak, lalu induknya mati sehingga dia tidak bisa membayar zakatnya, maka tidak ada zakat pada anak-anaknya, meski jumlahnya banyak sampai haul tiba pada anak-anaknya. Anak-anak itu seperti keuntungan jika haul tiba sebelum mereka lahir. Anak hanya dihitung jika lahir sebelum haul. (Imam Syafi’i berkata): Jika anak lahir sebelum haul, lalu induknya mati, maka jika anak-anaknya berjumlah 40, wajib zakat. Jika kurang dari 40, tidak wajib zakat, karena haul telah tiba, dan itu adalah harta yang tidak wajib zakat seandainya induknya sendiri. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kambing yang tidak wajib zakat, lalu beranak sebelum haul, kemudian haul tiba dan jumlahnya 40, maka tidak ada zakat sampai haul tiba sejak hari jumlahnya genap 40 dan haul tiba dalam keadaan 40 atau lebih. (Dia berkata): Demikian juga jika dia mendapatkan kambing lalu menggabungkannya dengan kambing yang tidak wajib zakat, maka tidak wajib zakat sampai haul tiba sejak hari dia mendapatkan 40 ekor. (Imam Syafi’i berkata): Anak kambing tidak dihitung kecuali jika lahir sebelum haul, dan induknya sudah 40 ekor atau lebih. Jika kurang dari 40, dan kambing itu bukan harta wajib zakat, maka anak tidak dihitung sampai jumlahnya genap 40, lalu haul dimulai sejak hari jumlahnya genap 40.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, lalu haul tiba, dan dia bisa membayar zakat tetapi tidak melakukannya sampai semua atau sebagiannya mati, maka dia wajib membayar seekor kambing. Jika dia tidak sempat membayar zakat sampai sebagian mati, maka tidak ada zakat pada sisanya, karena kurang dari 40. Jika kambing berjumlah 40 ekor, lalu beranak 40 ekor sebelum haul, kemudian induknya mati, lalu petugas zakat datang dan menemukan 40 ekor jantan atau campuran jantan dan betina, atau ini terjadi pada unta sehingga petugas zakat menemukannya sebagai anak unta, atau pada sapi sebagai anak sapi, maka diambil satu dari setiap jenis. Jika pada kambing ada betina dan jantan, diambil betina meski hanya satu. Jika pada sapi ada jantan dan betina, diambil jantan meski hanya satu jika jumlahnya 30. Jika 40, diambil betina meski hanya satu. Jika pada unta ada betina dan jantan, diambil betina meski hanya satu. Jika semuanya betina, diambil betina, lalu petugas zakat berkata kepada pemilik: “Jika kamu mau, berikan jantan yang setara, atau bayarlah betina, dan kamu rela dengan kelebihan jika ada tabi’.” (Dia berkata): Jika ada yang bertanya: Mengapa zakat tidak batal jika pada hewannya tidak ada usia yang wajib zakat? Atau mengapa dia tidak diminta usia yang wajib jika dihitung dengan yang kecil disamakan dengan yang besar? Dijawab: Insya Allah, menurutku tidak boleh salah satu dari dua pendapat itu. Tidak boleh membatalkan zakatnya, dan hukum anak sama dengan induk dalam jumlah jika bersama induk wajib zakat. Adapun mengambil usia yang lebih besar dari yang ada pada kambingnya, itu jauh dari kebenaran. Menurutku, tidak boleh -Wallahu a’lam- karena jika dikatakan kepadaku: “Tinggalkan yang masih menyusui, yang hamil, yang sedang menyusui besar, dan pejantan, ambillah jadza’ah dan tsaniyyah,” maka kami pahami bahwa aku diperintahkan untuk meninggalkan yang lebih baik dari yang diambil jika ada yang lebih baik dan lebih rendah, dan mengambil dari hewan yang lebih rendah. Ambil yang adil antara kecil dan besar, yaitu jadza’ah dan tsaniyyah. Jika dia memiliki 40 ekor kambing biasa senilai 20 dirham, lalu diminta seekor kambing senilai 20 dirham, maka aku tidak mengambil yang adil dari hartanya, tetapi mengambil nilai seluruh hartanya. Aku hanya diperintahkan mengambil seperempat puluh dari hartanya jika berjumlah 40. Jika ada yang berkata: “Engkau diperintahkan untuk mengambil tsaniyyah jika ada dan dilarang mengambil yang lebih kecil?” Dijawab: Ya, dan aku diperintahkan untuk tidak mengambil kurma kecil atau busuk. Jika semua kurma seseorang kecil atau busuk, maka diambil darinya tanpa meminta yang lebih baik seandainya ada. Tsaniyyah diambil jika ditemukan pada kambing biasa karena zakat sudah wajib pada induknya melalui haul, tetapi induknya mati sehingga tidak ada zakat pada yang mati. Ini berbeda dengan kurma kecil. Jika seseorang memiliki kurma kecil dan kurma baik, maka diambil sepersepuluh dari yang baik. (Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya: Mengapa dari 25 unta diambil satu dari dua usia? Aku jawab: Jumlah yang diambil sama, hanya kelebihan di antara keduanya adalah usia yang lebih tinggi. Jika salah satu usia tidak ditemukan, dan usia lain ada, maka diambil dari usia yang ada. Demikian juga diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian dari Umar seperti ini. Tidak diambil yang tidak ada pada harta, dan tidak ada kelebihan pada harta selain itu. Zakat hanya pada harta yang ada, tidak diminta selainnya kecuali jika pada hartanya ada kelebihan yang disembunyikan dari petugas zakat, maka dikatakan: “Berikan usia yang wajib atasmu, kecuali jika kamu rela memberikan dari yang ada di tanganmu.” Seperti dikatakan kepada kami: “Ambillah dari kurma pertengahan, jangan ambil yang kecil.” Jika tidak ditemukan kecuali yang kecil, kami ambil tanpa mengurangi takaran, tetapi mengurangi kualitas yang kami ambil jika tidak menemukan yang baik. Demikian juga kami mengurangi usia jika tidak ditemukan, tanpa mengurangi jumlah.
[Bab Kelebihan pada Hewan]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, semuanya di atas usia yang diambil, atau semuanya makhadh, atau mutabi’, atau semuanya tua, atau semuanya jantan, dikatakan kepadanya: “Atasmu tsaniyyah atau jadza’ah. Jika kamu memberikannya, kami terima. Jika kamu memberikan seekor dari kambingmu, kami terima, dan kamu rela dengan kelebihannya.” Demikian juga pada sapi. Jika kami meninggalkan kelebihan untukmu pada hartamu, kamu harus memberikan yang wajib atasmu. Demikian juga pada sapi. Adapun unta, jika kami mengambil usia yang lebih tinggi, kami mengembalikan kepadamu. Jika kamu memberikan usia yang wajib, kami tidak mengambil selainnya insya Allah. Jika kamu memberikan seekor jantan dari kambing atau sapi jantan pada jumlah yang wajibnya betina, padahal ada betina, tidak diterima karena jantan berbeda dengan betina.
[Bab Zakat Sekutu]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Hadis datang, “Jangan menggabungkan yang terpisah atau memisahkan yang tergabung karena takut zakat. Apa yang dari dua sekutu, maka mereka saling mengembalikan di antara mereka dengan adil.” (Asy-Syafi’i berkata): Yang tidak aku ragukan adalah dua sekutu yang belum membagi hewan, dan saling mengembalikan dengan adil berarti mereka sekutu dalam unta yang ada kambing, lalu unta diambil untuk zakat dari salah satu mereka, kemudian dia menuntut sekutunya dengan adil. (Asy-Syafi’i berkata): Dua sekutu bisa dua orang yang menggabungkan hewan mereka meski masing-masing tahu hewannya sendiri. Mereka tidak disebut sekutu sampai menggembalakan, minum, dan pejantannya bercampur. Jika seperti ini, mereka membayar zakat seperti satu orang dalam segala hal. (Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka terpisah dalam penggembalaan, minum, atau pejantan, maka bukan sekutu dan membayar zakat dua orang. (Asy-Syafi’i berkata): Mereka tidak menjadi sekutu sampai haul tiba sejak hari mereka bergabung. Jika haul tiba sejak hari bergabung, mereka membayar zakat seperti satu orang. Jika haul belum tiba, mereka membayar zakat dua orang. Jika mereka bergabung satu haul lalu berpisah sebelum petugas z
Dan tidak diambil dari kambing yang ditentukan secara khusus, diambil darinya menurut pendapat yang tidak mengambil zakat dari gabungan pemilik jika mereka mengenali kambing mereka masing-masing dan diambil menurut pendapat yang mengambil zakat dari mereka, meskipun mereka mengenali harta mereka.
[Pasal Apa yang Diperhitungkan atas Pemilik Ternak]
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Bisyr bin ‘Ashim dari ayahnya bahwa Umar mengangkat Abu Sufyan bin Abdullah sebagai pemungut zakat di Thaif dan sekitarnya. Ketika dia keluar untuk memungut zakat, dia memperhitungkan pakan ternak mereka tetapi tidak mengambilnya. Mereka berkata kepadanya: “Jika engkau memperhitungkan pakan ternak kami, ambillah dari kami.” Maka dia menahan diri sampai bertemu Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Mereka mengira kami menzalimi mereka dengan memperhitungkan pakan ternak tetapi tidak mengambilnya.” Umar berkata kepadanya: “Perhitungkanlah pakan ternak mereka, bahkan anak kambing yang digendong penggembala dengan tangannya, dan katakan kepada mereka: ‘Aku tidak akan mengambil yang masih menyusu, yang hamil, yang sedang menyusui, kambing yang gemuk, atau pejantan kambing. Ambillah anak kambing betina berumur satu tahun, yang berumur dua tahun, dan yang berumur tiga tahun.’ Itu adalah keadilan antara pakan ternak dan kualitas terbaiknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Secara keseluruhan, berdasarkan apa yang aku hafal dari banyak ahli yang aku temui dan pendapatku, seseorang tidak wajib membayar zakat ternaknya sampai ia memiliki 40 ekor kambing di awal dan akhir tahun serta telah berlalu satu tahun (haul) dalam kepemilikannya. Jika kurang dari 40 ekor di awal haul lalu berkembang biak hingga mencapai 40 ekor, tidak wajib zakat sampai berlalu satu haul sejak mencapai 40 ekor. Demikian pula jika kurang dari 40 ekor lalu ditambah hingga genap 40 ekor, tidak ada zakat sampai berlalu haul sejak sempurna 40 ekor dalam kepemilikannya. Anak ternak yang belum wajib zakat dihitung seperti tambahan. Jika telah berlalu haul dan ternak itu termasuk yang wajib zakat, maka anak ternaknya dihitung seperti induknya yang wajib zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika telah berlalu haul dan ternak mencapai 40 ekor atau lebih, lalu petugas zakat datang, dia menghitung semua anak ternak yang lahir sebelum haul dan mengambil usia kambing yang wajib dizakati.
(Asy-Syafi’i berkata): Setiap tambahan ternak yang dimiliki seseorang, zakatnya dihitung berdasarkan haulnya sendiri. Tidak boleh digabungkan dengan ternak lain yang sudah wajib zakat untuk dizakati bersama haul ternak tersebut, melainkan setiap tambahan dizakati berdasarkan haulnya sendiri. Demikian pula setiap tambahan emas, keuntungan emas, atau perak—tidak boleh digabungkan dengan yang lain, dan haulnya hanya dihitung berdasarkan dirinya sendiri. Begitu pula anak ternak yang induknya belum wajib zakat. Adapun anak ternak dari induk yang wajib zakat, maka zakatnya mengikuti haul induknya jika anak itu lahir sebelum haul. Jika lahir setelah haul, tidak dihitung karena haul telah berlalu dan zakatnya sudah wajib.
[Pasal Usia Kambing yang Diambil untuk Zakat]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad dari Isma’il bin Umayyah dari ‘Amr bin Abi Sufyan dari seorang yang bernama Ibn Mas’ar insya Allah Ta’ala, dari Mas’ar saudara Bani ‘Adi, dia berkata: “Dua orang datang kepadaku dan berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami untuk memungut zakat harta manusia.’ Aku mengeluarkan seekor kambing hamil terbaik yang kumiliki, tetapi mereka menolaknya dan berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami mengambil kambing yang hamil.’ Lalu aku memberi mereka kambing biasa dari tengah kawanan, dan mereka menerimanya.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika petugas zakat menemukan kambing pada seseorang dan menghitungnya, lalu pemiliknya mengklaim sebagiannya adalah titipan…
Jika dia memiliki, atau dia memeliharanya, atau ternak itu tersesat, atau sebagiannya adalah keuntungan yang belum genap satu tahun, atau semuanya adalah keuntungan yang belum genap satu tahun zakat, maka tidak diambil darinya apa pun. Jika dia khawatir dia berbohong, dia disumpah atas nama Allah Yang Maha Kuasa, lalu diterima darinya. Jika dua saksi bersaksi bahwa dia memiliki seratus kambing sejak awal tahun hingga akhirnya, kesaksian dua saksi tidak diterima sampai mereka bersaksi bahwa kambing-kambing itu secara spesifik. Jika mereka melakukannya, zakat diambil darinya. Jika mereka tidak dapat membuktikan hal ini, atau berkata: “Sebagian kami kenali secara spesifik, sebagian tidak,” maka jika yang mereka kenali termasuk yang wajib zakat, zakat diambil darinya. Jika tidak termasuk yang wajib zakat, tidak diambil darinya; karena mungkin dia memiliki kambing tertentu lalu mendapat tambahan, dan belum genap satu tahun untuk yang baru didapat hingga petugas zakat datang, sehingga tidak wajib zakat baginya.
Dia berkata: Jika dua saksi bersaksi atas seratus kambing tertentu, lalu dia berkata: “Aku telah menjualnya lalu membelinya kembali,” dia dipercaya dan zakatnya tidak diambil sampai genap satu tahun dari hari pembelian terakhir. (Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku untuk unta dan sapi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyembunyikan zakatnya lalu terbukti, zakat diambil darinya tanpa tambahan. (Imam Syafi’i berkata): Ulama ahli hadits tidak menetapkan untuk mengambil zakat plus setengahnya, hanya zakat yang disembunyikan. Jika ada ketetapan, kami akan mengikutinya. Jika penguasa adil dan menempatkan zakat pada tempatnya, dia berhak memberikan hukuman, kecuali jika dia mengklaim ketidaktahuan, maka hukuman dihentikan. Jika dia tidak menempatkannya pada tempatnya, dia tidak berhak menghukum.
[Bab Waktu Wajibnya Zakat]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Sa’ad mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dia berkata: “Zakat diambil setiap tahun sebagai sunnah dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata): “Ini termasuk hal yang tidak ada perbedaan pendapat yang aku ketahui, berlaku untuk semua zakat hewan ternak dan selainnya yang bukan hasil bumi.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dia berkata: “Tidak ada kewajiban zakat pada harta sampai genap satu tahun.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Uqbah dari Al-Qasim bin Muhammad, dia berkata: “Abu Bakar tidak mengambil zakat pada harta sampai genap satu tahun.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Umar bin Husain dari ‘Aisyah binti Qudamah dari ayahnya, dia berkata: “Jika aku mendatangi Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu – untuk menerima pemberianku, dia bertanya: ‘Apakah kamu memiliki harta yang wajib zakat?’ Jika aku jawab ya, dia mengambil zakat dari pemberianku untuk harta itu. Jika aku jawab tidak, dia memberikannya kepadaku.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dia berkata: “Orang pertama yang mengambil zakat dari pemberian adalah Mu’awiyah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Pemberian adalah keuntungan, sehingga tidak ada zakat sampai genap satu tahun.” (Dia berkata): “Itu adalah harta yang diambil dari fai’ (harta rampasan) orang musyrik lalu diberikan kepada kaum muslimin. Mereka memilikinya pada hari diberikan kepada mereka.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Setiap harta seseorang yang wajib zakat, kewajibannya adalah setelah genap satu tahun di tangan pemiliknya, kecuali hasil bumi. Zakat wajib saat keluar dari bumi dan sudah layak, begitu juga barang tambang dan harta karun yang ditemukan di bumi.”
(Dia berkata): “Penguasa wajib mengutus petugas zakat sebelum genap satu tahun, agar mereka tiba saat genap satu tahun untuk mengambil zakat.” (Dia berkata): “Aku lebih suka zakat diambil pada bulan Muharram. Begitu juga aku melihat petugas mengambilnya saat Muharram, baik musim panas atau dingin. Tidak boleh kecuali ada bulan tertentu. Seandainya kami menetapkannya berdasarkan musim panas, kami akan menjadikan waktunya tanpa melihat hilal.”
Allah Ta’ala menjadikannya sebagai waktu-waktu (berkata): Dan tidak boleh zakat diwajibkan kecuali setelah haul (genap setahun) tanpa menunggu petugas zakat, dan petugas zakat mengambilnya ketika haul telah terpenuhi.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika hewan ternak termasuk yang wajib dizakati dan beranak sebelum haul, maka anaknya dihitung bersamanya. Demikian pula jika beranak sesaat sebelum haul, anaknya dihitung bersamanya dan petugas zakat memperhitungkan anak tersebut. Jika haul telah terpenuhi dan jumlahnya tidak berkurang, maka zakat diambil. (Berkata Asy-Syafi’i): Menurutku tidak jelas apakah petugas zakat wajib memperhitungkan anak yang lahir setelah haul tetapi sebelum kedatangannya, atau bersamanya jika kedatangannya setelah haul. Jika pemilik harta bersedia menambahkannya, itu lebih aku sukai, tetapi aku tidak memandangnya wajib. Jika haul telah terpenuhi bagi pemilik ternak yang wajib dizakati, tetapi petugas zakat terlambat datang sehingga tidak mengambilnya, maka pemilik wajib mengeluarkan zakatnya. Jika tidak dilakukan padahal mampu, ia bertanggung jawab atas zakat tersebut sampai dibayarkan. (Berkata Asy-Syafi’i): Demikian pula jika ia menyembelih, menghadiahkan, atau menjual sebagian ternaknya, ia wajib memperhitungkannya agar zakat diambil berdasarkan jumlah pada saat haul terpenuhi. (Berkata Asy-Syafi’i): Begitu juga jika ia menjual ternaknya setelah haul tetapi sebelum petugas zakat datang, atau setelah kedatangannya tetapi sebelum zakat diambil, zakat tetap wajib atasnya.
(Berkata): Demikian pula jika petugas zakat telah menghitung ternak, lalu ternak mati setelah haul dalam waktu yang memungkinkan petugas mengambilnya tetapi tidak dilakukan, sementara pemilik mampu menyerahkannya. Jika haul telah terpenuhi, petugas bisa mengambilnya di tempat, dan pemilik bisa menyerahkannya, tetapi keduanya tidak melakukannya hingga ternak rusak, maka itu menjadi tanggungan pemilik dan ia tetap wajib membayar zakatnya. Hal ini sama seperti harta lain yang telah haul dan pemilik mampu menyerahkannya tetapi tidak dilakukan hingga rusak, maka zakat tetap wajib. (Berkata Asy-Syafi’i): Menurutku, pendapat ini yang benar karena Sunnah menetapkan zakat wajib saat haul terpenuhi. Tugas petugas zakat hanyalah memungutnya, sehingga seharusnya pemilik menyiapkannya untuk diambil saat haul tiba. Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i dari Ibrahim bin Sa’d dari Ibnu Syihab bahwa Abu Bakar dan Umar tidak memungut zakat berulang kali, tetapi mengutus petugas di masa sulit, subur, gemuk, atau kurus, karena Rasulullah ﷺ memungutnya setiap tahun sebagai Sunnah. (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku ketahui bahwa Sunnah Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat pada ternak dan harta lainnya kecuali hasil bumi tanpa haul. Siapa yang berpendapat zakat bergantung pada petugas dan haul, ia telah menyelisihi Sunnah dan menambahkan syarat selain haul. Konsekuensinya, jika petugas terlambat setahun atau dua tahun, zakat tidak wajib sampai ia datang, lalu memungutnya sekaligus, bukan berulang kali.
(Berkata): Jika seseorang memiliki 40 kambing dan tidak berzakat selama beberapa tahun tanpa penambahan, ia wajib membayar 1 kambing. Jika bertambah 1 kambing, wajib 2 kambing. Jika bertambah 3 kambing setelah 4 tahun, wajib 4 kambing karena setiap tambahan di atas nisab wajib zakat, lalu kembali ke nisab 40 dengan 1 kambing. (Berkata Asy-Syafi’i): Lebih aku sukai jika 40 kambing tanpa tambahan membayar 1 kambing setiap tahun karena tidak berkurang dari nisab dan haul terpenuhi setiap tahun.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang memiliki 40 kambing, haul pertama terpenuhi tetapi tidak berzakat, lalu haul kedua terpenuhi dengan kelahiran 1 kambing yang kemudian mati, dan haul ketiga terpenuhi dengan tetap 40 kambing, maka wajib 2 kambing: 1 untuk 40 kambing dan 1 karena pernah melebihi nisab tetapi tidak dibayarkan saat mampu.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang memiliki 40 kambing yang hilang di awal tahun lalu ditemukan di akhir tahun sebelum atau setelah haul, zakat tetap wajib. Demikian pula jika hilang selama beberapa haul dengan jumlah 50 kambing, ia wajib membayar 1 kambing setiap tahun karena tetap memenuhi nisab.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dia berada dalam kepemilikannya, dan begitu pula jika dia merampasnya kemudian mengambilnya, dia harus membayar satu kambing setiap tahun dari ternak tersebut. (Dia berkata): Ini juga berlaku untuk sapi dan unta yang kewajibannya dari jenis tersebut. Untuk unta yang kewajibannya dari kambing, ada dua pendapat: pertama, aturannya sama karena kambing yang menjadi kewajiban tersebut bisa dijual untuk membeli unta jika pemiliknya tidak memberikannya, dan ini pendapat yang lebih kuat. Kedua, untuk setiap lima unta yang telah melewati tiga haul, wajib membayar tiga kambing, satu kambing setiap haul.
(Dia berkata): Jika seseorang memiliki 25 unta dan telah melewati tiga haul dalam kepemilikannya, dia harus membayar satu bintu makhad di tahun pertama, empat kambing di tahun kedua, dan empat kambing di tahun ketiga. Jika untanya berjumlah 91 dan telah melewati tiga tahun, dia harus membayar dua hiqqah di tahun pertama, dua bintu labun di tahun kedua, dan dua ibnu labun di tahun ketiga.
(Dia berkata): Jika seseorang memiliki 201 kambing dan telah melewati tiga haul, di tahun pertama dia wajib membayar tiga kambing, dan di setiap dua tahun berikutnya dua kambing.
(Dia berkata): Jika seseorang tidak membayar zakat selama satu tahun, kemudian memperoleh kambing lagi dan tidak membayar zakat untuk kambing yang lama dan yang baru selama satu tahun lagi, maka zakat kambing pertama wajib untuk dua haul, sedangkan zakat kambing yang baru hanya untuk satu haul karena kewajibannya hanya berlaku selama satu tahun.
[Bab Kambing yang Bercampur dengan Hewan Lain]
Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Jika seseorang memiliki kambing lalu kijang mengawininya dan melahirkan, anak-anaknya tidak dihitung bersama induknya dalam keadaan apa pun. Jika anaknya banyak hingga seratus atau lebih, tidak ada zakatnya karena tidak ada zakat pada kijang. Begitu pula jika dia memiliki kijang lalu dikawini oleh kambing jantan dan melahirkan, tidak ada zakat yang diambil. Ini adalah campuran kijang dan kambing. Jika ditanya bagaimana hak kambing diabaikan, jawabannya adalah zakat hanya berlaku untuk kambing, dan hewan ini tidak bisa disebut kambing secara mutlak. Sebagaimana kuda diberi saham dalam perang tetapi baghal (hasil kawin kuda dan keledai) tidak, meskipun ayah atau ibunya kuda. (Dia berkata): Begitu juga jika banteng liar mengawini sapi jinak atau banteng jinak mengawini sapi liar, tidak sah sebagai kurban dan tidak boleh disembelih oleh orang yang sedang ihram.
(Al-Syafi’i berkata): Jika domba mengawini kambing betina atau kambing jantan mengawini domba betina dan melahirkan, anaknya wajib dizakati karena semuanya adalah kambing. Begitu pula jika kerbau mengawini sapi, atau sapi mengawini kerbau, atau unta Bactrian mengawini unta Arab, atau sebaliknya, zakat berlaku pada semua anaknya karena semuanya adalah sapi atau unta. Tidakkah kamu lihat kita mengeluarkan zakat unta Bactrian bersama unta Arab dan semua jenis unta meskipun berbeda bentuknya? Kita juga mengeluarkan zakat kerbau bersama sapi, sapi Darbani bersama sapi Arab, dan semua jenis sapi meskipun berbeda. Domba bisa melahirkan kambing, dan semua jenis kambing dan domba karena semuanya termasuk kambing, sapi, atau unta.
(Al-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 40 kambing dan seekor di antaranya hilang sebelum haul, petugas zakat tidak mengambil apa pun. Jika dia menemukannya, dia wajib membayar satu kambing pada hari dia menemukannya. Jika dia menemukannya setelah haul berlalu satu bulan atau lebih, dan semua atau sebagian kambingnya telah mati atau dijual, dia tetap wajib membayar kambing yang ditemukan kecuali jika dia memilih untuk membayar sesuai usia kambing yang seharusnya, itu sudah cukup karena saat menemukannya dia tahu bahwa dia memiliki kewajiban satu kambing.
[Bab Pemisahan Ternak]
Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Al-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Jika seseorang memiliki 40 kambing di satu daerah dan 40 kambing di daerah lain, atau 20 kambing di satu daerah dan 20 kambing di daerah lain, dia harus memberikan kepada setiap petugas zakat nilai satu kambing yang wajib dibayarkan untuk dibagikan bersama zakat lainnya. Saya tidak suka jika dia membayar satu kambing di satu daerah dan meninggalkan daerah lain karena saya lebih suka zakat harta dibagikan di tempat harta tersebut berada.
(Dia berkata) Dan jika seseorang memiliki 40 kambing di suatu negeri, lalu petugas zakat berkata, “Aku akan mengambil satu kambing darinya,” tetapi pemiliknya memberitahu bahwa zakat yang wajib baginya hanya setengah kambing, maka petugas zakat wajib mempercayainya. Jika petugas mencurigainya, ia boleh meminta pemilik bersumpah, dan perkataannya diterima. Petugas tidak boleh menambah lebih dari memintanya bersumpah demi Allah Ta’ala. Jika pemilik telah menyerahkan satu kambing di salah satu negeri, aku tidak menyukai hal itu baginya, dan aku tidak mewajibkannya untuk menyerahkan setengah kambing lagi di negeri lainnya. Pemilik di negeri lain itu wajib dipercaya perkataannya, dan petugas tidak boleh mengambil apa pun darinya. Jika petugas mencurigainya, ia boleh memintanya bersumpah demi Allah Ta’ala.
(Dia berkata) Jika seseorang memiliki 101 kambing di satu negeri dan 101 kambing di negeri lain, maka wajib baginya menyerahkan tiga kambing: satu setengah kambing di setiap negeri, dengan kelebihan satu kambing di atas 100 sebagaimana aku jelaskan dalam perhitungan setengah kambing.
(Imam Syafi’i berkata) Jika seseorang menyerahkan tiga kambing kepada petugas zakat di salah satu negeri, kemudian terbukti bahwa ternaknya yang hilang telah musnah sebelum haul, maka petugas wajib mengembalikan dua kambing kepadanya karena yang wajib baginya hanya satu kambing.
(Dia berkata) Hal yang sama berlaku apakah ternaknya berada di timur dan barat di bawah kekuasaan satu khalifah atau dua penguasa yang berbeda. Zakat wajib atas hartanya sendiri, bukan berdasarkan penguasanya atau jarak negeri.
(Dia berkata) Demikian juga dengan makanan dan lainnya jika terpisah.
(Dia berkata) Jika seseorang memiliki ternak lalu murtad dari Islam, tidak dibunuh, dan tidak bertaubat hingga haul ternaknya tiba, maka ternaknya ditahan. Jika ia bertaubat, zakatnya diambil. Jika ia mati atau dibunuh karena murtad, ternaknya menjadi fa’i yang dikenai khumus: seperlima untuk ahli khumus dan empat perlima untuk ahli fa’i.
(Imam Syafi’i berkata) Jika dua orang memiliki 40 kambing bersama, dan salah satunya memiliki 40 kambing lain di negeri lain, petugas zakat mengambil satu kambing dari keduanya: tiga perempat dari pemilik 40 kambing yang jauh dan seperempat dari pemilik 20 kambing yang tidak memiliki ternak lain. Aku menggabungkan seluruh harta seseorang ke hartanya di mana pun berada, lalu mengambil zakatnya.
(Imam Syafi’i berkata) Jika seseorang memiliki 40 kambing di satu negeri dan 40 kambing di negeri lain, lalu setelah enam bulan ia menjual separuh 40 kambing secara musya kepada seseorang tanpa membaginya hingga haul ternaknya tiba (yaitu setelah enam bulan sejak penjualan), maka diambil satu kambing penuh darinya karena haulnya telah tiba. Ia wajib menyerahkan satu kambing utuh jika ternak rekanannya musnah. Ketika haul rekanannya tiba setelah enam bulan berikutnya, aku mengambil setengah kambing darinya karena percampuran harta, dan tidak mengembalikan ke pemilik pertama karena perbedaan haul. Meski aku menggabungkan ternak mereka dalam kepemilikan bersama.
(Dia berkata) Jika seseorang memiliki dua kelompok ternak yang wajib zakat dengan haul berbeda, aku menggabungkannya dan mengambil dari masing-masing sesuai haulnya, berapa pun jumlahnya.
[Bab Di Mana Ternak Diambil Zakatnya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata) Petugas zakat wajib mengambil ternak di tempat minum pemiliknya. Jika pemilik memiliki dua sumber air, petugas tidak berhak memaksa memilih salah satunya; pemilik boleh memilih. Pemilik wajib membawa ternaknya ke air untuk diambil zakatnya. Petugas tidak boleh menahan ternak di air untuk memaksa pemiliknya menebus dengan tambahan.
(Imam Syafi’i berkata) Jika ternak telah melewati sumber air, petugas wajib mengambil zakat di rumah atau halaman pemilik, tanpa harus mengikuti penggembalanya.
(Dia berkata) Jika petugas meminta mereka berkumpul di tempat tertentu saat haus, itu bukan kezaliman. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata) Jika mereka berpindah tempat, zakat diambil di tempat tujuan mereka, baik di sumber air atau kediaman baru mereka.
(Imam Syafi’i berkata) Jika biaya pengumpulan zakat besar dan zakatnya sedikit, petugas boleh mengutus orang yang ringan biayanya kepada pemilik zakat di mana pun mereka berada untuk mengambil zakatnya.
[Bab Cara Menghitung Ternak]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Domba-domba digiring ke sebuah pagar, tembok, gunung, atau sesuatu yang berdiri hingga jalannya menyempit, kemudian dihalau agar berjalan satu per satu. Jalan itu hanya bisa dilewati satu atau dua ekor domba. Penghitung (petugas zakat) memegang sesuatu sebagai penunjuk, lalu mengambil zakat berdasarkan hitungan tersebut. Sebab tidak ada cara penghitungan yang lebih akurat dan lebih baik dari ini. Jika pemilik ternak mengklaim bahwa petugas salah menghitung, maka penghitungan diulang. Demikian pula jika petugas zakat (sā‘ī) menduga bahwa penghitungnya salah dalam menghitung.
[Bab Mempercepat Pembayaran Zakat]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Rafi’: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah meminjam seekor unta muda dari seseorang. Ketika datang unta zakat, beliau memerintahkan aku untuk membayarkannya kepada orang tersebut.”
(Asy-Syafi’i berkata): Seorang pemimpin (wali) boleh meminjamkan zakat terlebih dahulu kepada para mustahik jika melihat mereka dalam kesulitan, dengan syarat pemilik harta rela memberikannya sebelum waktu wajib zakat tiba, kecuali jika ia mengeluarkannya secara sukarela.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika pemimpin meminjamkan sebagian zakat dari seseorang, atau harta untuk seseorang yang bukan bagian dari mustahik zakat yang berhak menerima pembagian zakat, maka ia boleh membayarnya dari bagian mustahik zakat yang sesuai dengan apa yang telah diambil untuk mereka. (Asy-Syafi’i berkata): Jika ia meminjamkan untuk mereka, lalu pinjaman itu rusak sebelum diserahkan—baik karena kelalaian atau bukan—ia wajib menggantinya dari hartanya sendiri. Hal ini berbeda dengan wali anak yatim yang mengambil harta untuk kepentingan yang tidak bisa diatur kecuali dengan cara itu. Sebab mustahik zakat bisa saja orang-orang yang sudah dewasa seperti dia atau lebih dewasa, atau mungkin juga belum dewasa dan memiliki wali lain selain dia. (Asy-Syafi’i berkata): Bolehnya meminjamkan zakat untuk mereka karena hal itu merupakan percepatan hak mereka sebelum jatuh tempo, dan mempercepat hak adalah keuntungan bagi mereka dalam segala keadaan. (Ia berkata): Ia juga boleh meminjamkan untuk sebagian mustahik saja, lalu membayarnya dari hak orang yang dipinjami, bukan dari hak orang lain.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika pemimpin meminjamkan untuk satu atau dua orang mustahik zakat seekor atau dua ekor unta, lalu memberikannya kepada mereka, tetapi mereka merusaknya atau unta itu mati sebelum haul (genap satu tahun), maka pemimpin boleh mengambil ganti dari harta mereka untuk diberikan kepada mustahik zakat. Sebab, karena haul belum genap, kita tahu bahwa mereka belum berhak menerima zakat yang jatuh tempo setelah haul yang belum mereka penuhi. Jika mereka meninggal setelah haul tetapi sebelum menerima zakat, maka mereka telah berhak atas zakat karena haul telah genap, meskipun penerimaannya tertunda. (Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka meninggal dalam keadaan tidak mampu, pemimpin wajib menanggung apa yang telah dipinjamkan untuk mereka dari hartanya sendiri. (Ia berkata): Jika mereka tidak meninggal tetapi menjadi kaya sebelum haul—jika kekayaan itu berasal dari zakat yang diberikan kepada mereka—maka mereka telah mengambil haknya dan diberkahi, sehingga tidak ada yang perlu diambil kembali. Namun, jika kekayaan itu berasal dari selain zakat sebelum haul, maka zakat yang telah diberikan kepada mereka diambil kembali. Sebab, sudah pasti bahwa haul belum tiba kecuali mereka sudah bukan termasuk mustahik zakat. Jadi, kita tahu bahwa pemimpin telah memberi mereka sesuatu yang bukan hak mereka. Namun, hasil berkembangnya (na
Dua orang yang memberikan zakat tidak dapat menuntut kembali dari penerimanya; karena ia memberikannya dari hartanya secara sukarela tanpa imbalan dan pemberiannya telah selesai dengan penerimaan. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikannya kepada orang lain, namun tahun zakat belum berlalu hingga pemberi meninggal, sementara pemilik harta memiliki harta yang wajib dizakati, maka ia menunaikan zakat hartanya dan tidak boleh menuntut kembali harta mayit karena pemberiannya bersifat sukarela. Jika tahun zakat telah berlalu tetapi tidak ada harta yang wajib dizakati di tangannya, maka tidak ada kewajiban zakat baginya. Apa yang ia berikan seperti sedekah atau nafkah. (Imam Syafi’i berkata): Jika tahun zakat belum berlalu hingga penerima menjadi mampu, maka zakat hartanya dibayar dari harta lain. Jika di tangannya ada harta yang wajib dizakati, ia menunaikan zakatnya; karena kita tahu bahwa ia memberikannya kepada orang yang tidak berhak saat zakat jatuh tempo. Sebab, ketika zakat jatuh tempo, ia harus memberikannya kepada golongan tertentu. Jika tahun zakat telah berlalu tetapi penerima awal tidak termasuk golongan tersebut, maka pemberian itu tidak sah sebagai zakat. Ini berbeda dengan seseorang yang memiliki hak tertentu dan memberikannya lebih awal. Jika tahun zakat telah berlalu dan ia mampu dengan harta yang diberikan, bukan harta lain, maka itu sah sebagai zakatnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang mempercepat zakat hartanya meninggal, ahli warisnya menggantikan posisinya dalam zakat yang telah dipercepat. Apa yang sah baginya juga sah bagi mereka, dan apa yang tidak sah baginya juga tidak sah bagi mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidak memiliki harta yang wajib dizakati, lalu ia mengeluarkan lima dirham seraya berkata, “Jika aku mendapatkan dua ratus dirham, ini zakatnya,” atau seekor kambing seraya berkata, “Jika aku mendapatkan empat puluh kambing, ini sedekahnya,” lalu memberikannya kepada yang berhak, kemudian ia mendapatkan dua ratus dirham atau empat puluh kambing dan tahun zakat telah berlalu, maka apa yang ia keluarkan sebelumnya (dirham atau kambing) tidak sah sebagai zakat. Sebab, ia memberikannya tanpa adanya harta yang wajib dizakati. Ia seolah-olah mempercepat sesuatu yang belum wajib, sehingga tidak sah sebagai zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika seseorang bersedekah sebagai kafarat sumpah sebelum ia bersumpah, seraya berkata, “Jika aku melanggar sumpah, ini kafaratnya,” lalu ia melanggar, maka itu tidak sah sebagai kafarat. Karena ia belum bersumpah. Jika ia bersumpah, lalu membayar kafarat sebelum melanggar, kemudian melanggar, maka itu sah sebagai kafarat. Jika ada yang bertanya, “Dari mana engkau berpendapat demikian?” Aku jawab, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka datanglah, aku akan memberikan mut’ah kepadamu dan melepaskan kamu dengan cara yang baik.’ (QS. Al-Ahzab: 28). Dia mendahulukan mut’ah sebelum pelepasan. Dalam kitab kafarat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa bersumpah lalu melihat yang lain lebih baik, hendaknya ia membayar kafarat sumpahnya dan melakukan yang lebih baik.'” (Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka bersumpah lalu membayar kafarat sebelum melanggarnya. (Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam—namun kami tidak tahu apakah sahih atau tidak—bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memajukan zakat harta Abbas sebelum jatuh tempo. Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami, ia berkata, “Asy-Syafi’i menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia mengirim zakat fitrah kepada orang yang bertugas mengumpulkannya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri.'”
[Bab Niat dalam Mengeluarkan Zakat]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Karena sedekah ada yang wajib dan sunah, maka tidak sah—wallahu a’lam—jika tanpa niat.
Tentang seorang yang menunaikan zakat dan membagikannya tanpa niat bahwa itu adalah kewajiban. Jika dia berniat untuk kewajiban dan seseorang memiliki 400 dirham lalu menunaikan 5 dirham dengan niat zakat untuk seluruhnya, sebagiannya, atau berniat untuk kewajiban yang ada padanya, maka itu sudah cukup baginya karena dia telah berniat untuk zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menunaikan 5 dirham tanpa niat zakat saat melakukannya, kemudian berniat setelah menunaikannya bahwa itu adalah bagian dari kewajibannya, maka itu tidak cukup baginya dari zakat apa pun karena dia menunaikannya tanpa niat kewajiban yang dibebankan padanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 400 dirham lalu menunaikan 1 dinar (senilai 10 dirham atau lebih) untuk 400 dirham tersebut, itu tidak cukup baginya karena itu bukan yang diwajibkan. Demikian pula, jika yang diwajibkan adalah jenis tertentu lalu dia menunaikan jenis lain dengan nilai yang sama, itu tidak cukup baginya, dan yang pertama dianggap sebagai sedekah sunnah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengeluarkan 10 dirham dan berkata, “Jika hartaku yang tidak hadir selamat, maka 10 dirham ini adalah zakatnya atau sedekah sunnah. Jika tidak selamat, maka ini sedekah sunnah,” lalu hartanya yang tidak hadir ternyata selamat, itu tidak cukup baginya karena niatnya tidak murni untuk kewajiban, melainkan menggabungkannya antara kewajiban dan sunnah. Hal yang sama berlaku jika dia berkata, “10 dirham ini untuk hartaku yang tidak hadir atau sedekah sunnah.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia berkata, “10 dirham ini untuk hartaku yang tidak hadir,” itu cukup baginya jika hartanya selamat dan menjadi sedekah sunnah jika hartanya hilang sebelum zakat wajib baginya. Jika dia berkata, “10 dirham ini untuk hartaku yang tidak hadir jika selamat, dan jika tidak selamat maka ini sedekah sunnah,” itu cukup baginya, dan dia memberikannya untuk yang tidak hadir dengan niat seperti itu meskipun tidak diucapkan. Karena jika tidak ada kewajiban zakat pada hartanya yang tidak hadir, apa yang dia keluarkan adalah sedekah sunnah baginya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengeluarkan 5 dirham untuk 200 dirham yang tidak hadir atau yang ada padanya, lalu yang tidak hadir hilang—jika dia menyegerakan 5 dirham untuk yang ada sebelum haulnya atau salah menghitung haul sehingga mengira sudah genap lalu mengeluarkannya, kemudian tahu bahwa haulnya belum genap dan hartanya yang ada atau yang tidak hadir hilang sebelum zakat wajib—lalu dia ingin menjadikan 5 dirham ini untuk 200 dirham lainnya, itu tidak boleh karena niatnya saat menunaikan adalah untuk harta tertentu. Dia tidak boleh mengalihkan niat setelah menyerahkan dirham kepada penerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia belum menyerahkan dirham kepada penerima dan mengeluarkannya untuk dibagikan, lalu hartanya hilang, dia boleh menahan dirham tersebut dan mengalihkannya hingga menunaikannya untuk harta lain, dan itu cukup baginya karena belum diterima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menyerahkan dirham ini kepada amil zakat sebagai sedekah sunnah dan amil telah membagikannya, itu dianggap sedekah sunnah baginya. Dia tidak boleh meminta kembali dari amil setelah dibagikan atau mengalihkannya untuk harta lain setelah dibagikan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika amil belum membagikannya dan hartanya hilang sebelum zakat wajib, amil harus mengembalikannya, dan dia boleh mengalihkannya untuk harta lain.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengeluarkan 5 dirham dan berkata, “Ini dari zakat hartaku sebelum atau setelah waktu zakat,” lalu dia memiliki harta yang mewajibkan 5 dirham, itu cukup baginya. Jika tidak, itu dianggap sedekah sunnah. Jika dia memiliki emas lalu menunaikan seperempat puluhnya dalam perak, atau memiliki perak lalu menunaikan zakatnya dalam emas, itu tidak cukup. Dia hanya boleh menunaikan apa yang diwajibkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia memiliki 20 dinar lalu menunaikan setengah dinar dalam bentuk dirham senilainya, itu tidak cukup. Dia harus menunaikannya dalam emas.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula setiap jenis yang wajib zakat, tidak cukup menunaikannya kecuali dengan jenis yang diwajibkan, bukan penggantinya, selama yang asli ada.
(Imam Syafi’i berkata): Aku mengatakan zakat tidak cukup tanpa niat karena seseorang bisa memberikan hartanya sebagai kewajiban atau sunnah. Maka, tidak sah sebagai kewajiban kecuali dengan niat, baik di dalam hati atau diucapkan bahwa yang diberikan adalah kewajiban.
(Imam Syafi’i berkata): Yang mencegahku menyamakan niat zakat dengan niat shalat adalah perbedaan antara zakat dan shalat dalam beberapa hal. Tidakkah kamu lihat bahwa zakat boleh ditunaikan sebelum waktunya dan amil boleh mengambilnya tanpa kerelaan pemilik, dan itu cukup. Ini tidak berlaku dalam shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika amil mengambil zakat dari seseorang tanpa niat dari orang tersebut saat memberikannya, baik rela atau terpaksa, dan amil tidak berniat saat mengambilnya atau berniat, itu tetap cukup baginya sebagaimana cukup dalam pembagiannya.
Zakat hewan ternak dibagi oleh walinya atau penguasa, dan tidak dibagi sendiri, sebagaimana amal dilakukan dengan tubuhnya sendiri. (Imam Syafi’i berkata): “Lebih aku sukai jika seseorang menangani sendiri pembagian zakatnya agar yakin telah menunaikannya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memiliki ternak dan belum genap satu tahun, lalu datang petugas zakat dan ia secara sukarela memberikan zakatnya, petugas berhak menerimanya. Jika ia berkata, ‘Ambilah untuk disimpan sampai genap satu tahun,’ hal itu diperbolehkan.” (Imam Syafi’i berkata): “Jika petugas mengambilnya untuk disimpan sampai genap satu tahun lalu membagikannya, kemudian ternak itu mati sebelum genap satu tahun, maka ia wajib mengembalikan apa yang telah diambil. Jika ternak itu diambil alih oleh orang lain, maka ia wajib mengembalikan bagian yang telah diambil petugas dari bagian mustahik zakat yang telah diterimanya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika pemilik ternak menyerahkannya kepada petugas tanpa memberitahu bahwa haul belum genap, lalu petugas membagikannya dan ternak pemilik itu mati, ia tidak boleh menuntut petugas apa pun, karena ia telah bersedekah secara sukarela.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang bersedekah sebelum haul dengan menunaikan zakat ternaknya yang berjumlah 200 ekor dengan 2 ekor kambing, lalu haul tiba dan ternak bertambah 1 ekor, maka diambil 1 ekor lagi. Tidak gugur kewajiban 2 ekor sebelumnya, karena kewajiban baru berlaku setelah haul. Seandainya awalnya diambil 2 ekor, lalu haul tiba dan hanya tersisa 1 ekor, maka 1 ekor dikembalikan.”
[Pasal: Hal-hal yang menggugurkan zakat ternak]
Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Imam Syafi’i, yang menyebutkan hadis Nabi SAW: “Pada kambing yang digembalakan, zakatnya begini…” Jika ini sahih, maka tidak ada zakat pada ternak yang tidak digembalakan. (Imam Syafi’i berkata): “Diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi SAW bahwa unta atau sapi yang digunakan untuk bekerja tidak wajib zakat.” (Imam Syafi’i berkata): “Demikian juga kambing yang diberi makan.” (Imam Syafi’i berkata): “Menurutku, tidak ada zakat pada ternak kecuali yang digembalakan. Yang digembalakan adalah yang merumput.” (Imam Syafi’i berkata): “Syaratnya ada dua: memiliki biaya pakan dan berkembang biak melalui penggembalaan. Jika diberi pakan, biaya pakan itu menutupi kelebihan atau pertambahannya.” (Imam Syafi’i berkata): “Pada masa Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidin, unta yang digunakan untuk mengairi sawah ada, tetapi tidak ada riwayat bahwa beliau atau para khalifah mengambil zakat darinya. Aku yakin, seseorang bisa memiliki lima ekor atau lebih, tetapi dalam hadis Umar bin Khattab RA disebutkan, ‘Pada kambing yang digembalakan, zakatnya begini…’ Ini menunjukkan zakat hanya wajib pada ternak yang digembalakan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memiliki unta untuk mengairi, sapi untuk membajak, atau unta pengangkut, menurutku tidak ada zakat padanya, meskipun sebagian besar tahun ia digembalakan, karena bukan ternak yang digembalakan sepanjang tahun.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika ternak pekerja kadang digembalakan, kadang digunakan bekerja, atau digembalakan di musim tertentu dan digunakan di musim lain, atau kambing yang kadang diberi pakan dan kadang digembalakan, menurutku tidak ada zakat pada ternak seperti ini. Aku tidak akan mengambil zakat dari pemiliknya, tetapi jika itu milikku, aku akan menunaikan zakatnya dan mempersilakan pemiliknya memilih.”
[BAB TUKAR MENUKAR DENGAN BINATANG TERNAK]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki binatang ternak berupa unta, lalu ia menukarnya dengan sapi, atau unta dengan jenis yang berbeda, atau menukar kambing dengan sapi, atau unta dengan sapi, atau menjualnya dengan harta berupa barang atau uang tunai, maka semua ini hukumnya sama. Jika pertukaran dilakukan sebelum haul (genap satu tahun), maka tidak ada kewajiban zakat pada binatang pertama maupun kedua sampai haul kedua terhitung sejak ia memilikinya. Demikian pula jika ia menukar binatang yang dimilikinya sebelum haul dengan binatang ternak lainnya, tidak ada kewajiban zakat padanya. Namun, aku tidak menyukai hal ini jika tujuannya untuk menghindar dari zakat, karena penghindaran tidak mewajibkan zakat, melainkan haul dan kepemilikanlah yang mewajibkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menukarnya setelah haul tiba, atau menjualnya, maka zakat wajib atas binatang yang telah mencapai haul karena itu adalah harta yang telah genap haulnya, baik sebelum atau setelah petugas zakat datang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menukar atau menjualnya setelah haul, maka zakat tetap wajib, dan mengenai akad jual-belinya ada dua pendapat:
- Pembeli boleh memilih antara membatalkan transaksi karena zakat yang diambil mengurangi nilai barang yang dibeli, atau melanjutkan transaksi.
- Transaksi itu batal karena ia menjual sesuatu yang ia miliki dan tidak ia miliki (karena zakat), sehingga tidak sah kecuali dilakukan akad baru.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar kambingnya sebelum haul dengan kambing lain atau selainnya, lalu haul terpenuhi di tangan pihak penukar, kemudian ditemukan cacat setelah haul pertama sebelum penukaran, maka ia boleh mengembalikannya baik sebelum atau setelah haul, dan tidak ada zakat atas pemilik baru karena haul belum terpenuhi sejak ia memilikinya. Juga tidak ada zakat atas pemilik pertama karena ia menukarnya sebelum haul sehingga kepemilikannya berakhir, lalu binatang itu kembali kepadanya karena cacat, sehingga haul dihitung ulang sejak ia memilikinya kembali.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menukarnya sebelum haul dan pembeli telah menerimanya, lalu binatang itu berada di tangannya hingga haul, atau belum diterima tetapi telah dimiliki hingga haul, kemudian ia ingin mengembalikannya karena cacat, hal itu tidak boleh karena zakat telah wajib atasnya selama binatang itu dalam kepemilikannya. Ia hanya boleh menuntut ganti rugi cacat dari harga asal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kasusnya seperti ini dan pemilik pertama membatalkan transaksi sementara ia tahu zakat telah wajib, maka zakat diambil dari pemilik kedua yang telah memenuhi haul di tangannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar 40 ekor kambing yang belum haul dengan 40 ekor kambing milik orang lain yang juga belum haul dalam transaksi sah, maka tidak ada zakat atas keduanya sampai haul terpenuhi di tangan masing-masing.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kasusnya sama tetapi transaksi tukar-menukarnya tidak sah, maka masing-masing tetap pemilik kambingnya, dan zakat wajib atas keduanya karena kepemilikan tidak berpindah akibat transaksi yang tidak sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual ternaknya sebelum haul atau menukarnya dengan syarat penjual boleh memilih, lalu pembeli menerimanya dan haul terpenuhi di tangan pembeli, atau penjual tidak menjualnya sampai haul terpenuhi di tangannya, kemudian penjual memilih membatalkan transaksi, maka zakat tetap wajib atasnya karena kepemilikan belum berakhir sebelum haul. Jika ia memilih melanjutkan transaksi setelah haul, zakat juga wajib karena kepemilikan baru berakhir setelah haul.
[BAB LAKI-LAKI YANG MEMBERIKAN MAHAR PADA PEREMPUAN]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki memberikan mahar kepada perempuan berupa 40 ekor kambing tanpa menentukan spesifiknya, atau mengatakan, “40 ekor kambing dari kambing-kambingku ini,” tanpa menunjuk secara spesifik dan belum diserahkan, maka zakat tetap wajib atasnya, dan perempuan tidak berhak atas ternaknya dalam kedua kondisi. Pada kondisi pertama, zakat tetap menjadi tanggungannya.
Empat puluh kambing sebagai mahar, sedangkan untuk mahar kedua, dia wajib membayar mahar yang setara. Jika dia memberikannya sebagai mahar secara spesifik, baik dia menyerahkannya atau tidak, maka tidak ada zakat yang wajib dibayar atasnya. (Imam Syafi’i) berkata: Jika telah berlalu satu tahun (haul) dan kambing tersebut masih dalam kepemilikannya, baik dia telah menerimanya atau belum, lalu dia membayar zakatnya, kemudian dia menceraikannya, maka dia berhak mengambil kembali separuh kambing dan separuh nilai kambing yang diambil darinya. Jika zakat belum dibayarkan dan haul telah berlalu saat kambing masih di tangannya, maka dia mengambil kambing yang wajib dizakati dan berhak mengambil kembali separuh kambing serta separuh nilai kambing yang dikeluarkan untuk zakat. Jika zakat dibayarkan oleh orang lain, dia tetap berhak mengambil separuhnya, karena tidak ada yang diambil dari tangannya selama kambing masih dalam keadaan sama seperti saat diterima. (Imam Syafi’i) berkata: Jika zakat wajib atasnya tetapi belum dikeluarkan hingga dia menceraikannya dan memberikan separuhnya, maka zakat diambil dari separuh yang masih di tangannya. Jika separuh yang di tangannya telah habis, maka diambil dari separuh yang ada di tangan suaminya, dan dia berhak menuntut nilainya. (Imam Syafi’i) berkata: Hal yang sama berlaku jika istri yang dinikahi dengan mahar kambing tersebut adalah budak atau mudabbar, karena tuannya adalah pemilik atas apa yang dimilikinya. Jika dia adalah mukatab atau dzimmi, maka tidak ada zakat yang wajib atasnya. (Imam Syafi’i) berkata: Aturan yang sama berlaku untuk sapi dan unta yang zakatnya diambil dari jenisnya. Adapun unta yang zakatnya dibayar dengan kambing, maka aturannya berbeda, seperti jika dia memberikan lima unta sebagai mahar tetapi istri tidak memiliki kambing atau uang untuk membeli kambing, maka satu unta dijual untuk membeli kambing, dan jika dia menceraikannya sebelum menggaulinya, dia berhak mengambil kembali dua setengah unta. (Imam Syafi’i) berkata: Aturan yang sama berlaku untuk dirham yang dijual dengan dirham atau dinar, dan dinar yang dijual dengan dinar atau dirham, tanpa perbedaan. Tidak ada zakat pada kedua transaksi tersebut hingga berlalu satu tahun sejak kepemilikannya.
[Bab Gadai Hewan Ternak]
(Rabi’ meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kambing yang telah mencapai haul tetapi belum mengeluarkan zakatnya hingga dia menggadaikannya, maka zakat diambil dari kambing tersebut, dan sisanya menjadi jaminan gadai. Hal yang sama berlaku untuk unta dan kambing yang zakatnya diambil dari jenisnya. Jika penerima gadai menjual barang yang digadaikan dengan syarat menggadaikan hewan ternak yang wajib dizakati, maka dia berhak membatalkan penjualan, karena dia menggadaikan sesuatu yang sebagiannya sudah menjadi hak orang lain, seperti menggadaikan barang miliknya dan bukan miliknya. Jika zakat dibayarkan dari hewan lain, penjual berhak memilih, seperti menjual barang miliknya dan bukan miliknya. Jika barang yang bukan miliknya rusak, penjual tetap berhak memilih, karena akad gadai tidak sah. (Imam Syafi’i) berkata: Jika kasusnya sama tetapi dia menggadaikannya setelah haul dan wajib membayar zakat empat kambing dari untanya, maka zakat diambil dari kambing yang digadaikan, bukan dari unta, dan unta dijual untuk membayar zakatnya.
(Imam Syafi’i) berkata: Jika zakat kambing belum dibayar selama dua atau tiga tahun dan kambing masih ada, maka zakat tahun-tahun sebelumnya diambil, dan sisanya tetap menjadi jaminan gadai. (Imam Syafi’i) berkata: Jika dia memiliki kambing lain yang wajib dizakati tetapi belum dibayar hingga kambing tersebut hilang, maka zakat tidak diambil dari kambing yang digadaikan, tetapi dia wajib membayar zakat kambing lain dari hartanya. Jika tidak ada harta lain dan dia bangkrut, maka kambing yang digadaikan dijual. Jika ada sisa setelah hak penerima gadai dipenuhi, zakat diambil dari sisa tersebut. Jika tidak ada sisa, maka itu menjadi hutang yang wajib dibayar ketika dia mampu, dan penerima gadai berhak atas barang gadainya.
(Imam Syafi’i) berkata: Jika gadai tidak sah secara keseluruhan, maka statusnya seperti harta biasa yang belum keluar dari kepemilikannya, sehingga zakat tetap diambil darinya dan dari harta lainnya. Kreditur lain juga berhak bersama penerima gadai.
(Imam Syafi’i) berkata: Jika seseorang menggadaikan unta yang zakatnya dibayar dengan kambing dan haul telah berlalu tetapi zakat belum dibayar, maka jika dia memiliki harta lain, zakat diambil darinya. Jika tidak ada harta selain unta, dan dia menggadaikannya setelah zakat wajib tetapi belum dibayar, maka zakat diambil dari unta tersebut. Jika dia menggadaikannya sebelum zakat wajib, lalu haul tiba tetapi tidak ada harta lain, maka ada dua pendapat: Pertama, dia dianggap bangkrut dan unta dijual, lalu pemilik…
Gadai adalah haknya. Jika ada kelebihan darinya, maka zakat diambil dari kelebihan tersebut. Jika tidak, maka itu menjadi hutang yang harus dibayar ketika ia mampu, dan para krediturnya akan membagi hak pemilik zakat setelah pemegang gadai melunasi gadainya. Pendapat kedua adalah bahwa unta itu sendiri digadaikan sejak awal beserta zakat yang ada padanya. Ketika zakat sudah jatuh tempo, unta itu dijual kepada pemiliknya dan pemegang gadai, dan pemegang gadai berhak atas kelebihan setelah zakat dibayarkan. Ini adalah pendapat yang saya pegang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan ternak digadaikan dan kemudian melahirkan, maka anaknya tidak termasuk dalam gadai. Tidak boleh menjual induknya yang sedang hamil sampai ia melahirkan, kecuali jika pemiliknya (yang menggadaikan) menghendaki. Setelah melahirkan, induknya dijual sebagai bagian dari gadai, sedangkan anaknya tidak.
[Bab Hutang pada Hewan Ternak]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki hewan ternak dan menyewa pekerja untuk merawatnya dengan upah tertentu atau dengan seekor unta yang tidak ditentukan, lalu telah berlalu satu tahun tanpa ada pembayaran dari ternak tersebut, maka zakat wajib dikeluarkan. Demikian juga jika ia memiliki hutang, zakat diambil terlebih dahulu, kemudian hutangnya dibayar dari sisa hartanya. Jika seseorang menyewa orang lain dengan seekor unta atau beberapa unta tertentu, maka unta-unta itu menjadi milik penyewa. Jika ia mengeluarkannya (untuk zakat), maka zakat dikeluarkan darinya. Jika tidak, maka unta-unta itu tetap menjadi miliknya, dan ia adalah mitra pemilik modal dalam hal zakat. Hal yang sama berlaku untuk tanaman, perak, dan emas. Zakat pada semuanya sama.
[Bab Tidak Ada Zakat pada Kuda]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik dan Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, keduanya dari Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Seorang Muslim tidak wajib mengeluarkan zakat pada budaknya atau kudanya.” (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ayyub bin Musa dari Makhul dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan hadits yang sama). (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah dengan hadits yang sama secara mauquf). (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Aku bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyib tentang zakat pada kuda poni, ia menjawab: “Apakah ada zakat pada kuda?”).
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada zakat pada kuda itu sendiri atau pada hewan ternak selain unta, sapi, dan kambing, berdasarkan sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Tidak ada zakat pada kuda karena kami tidak mengetahui Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mengambil zakat pada hewan ternak selain unta, sapi, dan kambing.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli salah satu dari hewan ternak ini atau lainnya yang tidak terkena zakat untuk diperdagangkan, maka zakat wajib dikeluarkan karena niat berdagang dan membelinya, bukan karena hewan itu sendiri wajib zakat.
[Bab Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Zakat wajib atas setiap pemilik harta yang merdeka dan memiliki kepemilikan penuh, meskipun masih anak-anak, gila, atau perempuan. Tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal ini, sebagaimana kewajiban zakat pada harta setiap orang yang memenuhi syarat.
Wajah-wajah itu adalah kejahatan, atau warisan darinya, atau nafkah untuk kedua orang tuanya, atau anak yang membutuhkan, baik itu pada hewan ternak, tanaman, buah-buahan, perdagangan, dan zakat fitrah tidak berbeda.
(Dia berkata): Jika seorang budak memiliki hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya, karena itu adalah milik tuannya dan digabungkan dengan harta tuannya di mana pun tuannya memiliki hak milik. Demikian pula kambing budak mudabbar dan umm al-walad, karena harta masing-masing mereka adalah milik tuannya. Baik budak itu kafir maupun muslim, karena dia adalah milik tuannya.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun harta seorang mukatab, baik berupa hewan ternak maupun lainnya, sepertinya tidak ada zakat di dalamnya, karena itu keluar dari kepemilikan tuannya selama dia masih dalam status mukatab, kecuali jika dia gagal memenuhi pembebasannya. Kepemilikan mukatab tidak sempurna, bukankah kamu melihat bahwa tidak diperbolehkan baginya untuk menghibahkan hartanya atau memaksanya untuk menafkahi orang yang diwajibkan bagi orang merdeka untuk menafkahinya, seperti anak dan orang tua? Jika seorang mukatab merdeka, maka hartanya seperti harta yang diperolehnya sejak saat itu, dan jika sudah mencapai haul sejak hari pembebasannya, zakatnya wajib dikeluarkan. Demikian pula jika dia gagal memenuhi pembebasannya, maka hartanya seperti harta yang diambil tuannya dari hartanya, dan jika sudah mencapai haul, zakatnya wajib dikeluarkan, karena pada saat itu kepemilikan masing-masing telah sempurna.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati, kemudian dia murtad dari Islam dan melarikan diri, atau menjadi gila, atau lemah akal, atau dipenjara untuk diminta bertobat atau dibunuh, lalu haul hartanya telah mencapai setahun sejak dia memilikinya, maka ada dua pendapat: Pertama, zakat tetap wajib dikeluarkan, karena hartanya tidak akan lepas dari kematian dalam keadaan murtad sehingga menjadi milik umat Islam, dan apa yang menjadi milik mereka wajib dizakati. Atau dia mungkin kembali ke Islam dan hartanya kembali menjadi miliknya, sehingga kemurtadannya tidak menghilangkan kewajiban apa pun darinya. Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat tidak diambil sampai ada kepastian. Jika dia kembali masuk Islam, maka dia memiliki hartanya kembali dan zakatnya diambil, karena kewajiban itu tidak gugur darinya, meskipun dia tidak mendapat pahala atasnya. Jika dia dibunuh dalam keadaan murtad, maka tidak ada zakat pada hartanya, karena itu adalah harta orang musyrik yang dirampas. Jika seseorang mendapatkan bagian darinya, maka itu seperti harta baru dan harus menunggu haul sebelum dizakati. Jika dia tetap dalam kemurtadan untuk waktu yang lama, maka seperti yang telah dijelaskan: jika dia kembali ke Islam, zakat hartanya diambil. Dia tidak seperti dzimmi yang dilindungi hartanya karena status kewarganegaraannya, juga bukan seperti orang yang memerangi atau musyrik non-dzimmi yang hartanya tidak pernah wajib dizakati. Bukankah kamu melihat bahwa kami memerintahkannya untuk masuk Islam? Jika dia menolak, kami akan membunuhnya. Kami juga memutuskan hak-hak manusia yang harus dia penuhi. Jika dikatakan bahwa dia tidak mendapat pahala atas zakatnya, maka dijawab bahwa dia juga tidak mendapat pahala atas hak-hak manusia lainnya yang wajib dia penuhi, dan pahala amalnya sebelum murtad terhapus. Demikian pula, dia tidak mendapat pahala jika hutangnya diambil darinya, tetapi hutang itu tetap harus dibayar.
[Bab Zakat pada Harta Anak Yatim]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Manusia adalah hamba Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia. Dia memilikikan kepada mereka apa yang Dia kehendaki dan mewajibkan atas mereka dalam apa yang Dia milikkan kepada mereka sesuai kehendak-Nya. {Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya} (QS. Al-Anbiya’: 23). Dalam apa yang Dia berikan kepada mereka, ada lebih banyak daripada yang Dia tetapkan sebagai kewajiban atas mereka.
Dan segala nikmat yang Dia anugerahkan kepada mereka, maka di antara kewajiban yang dibebankan atas mereka dalam harta yang mereka miliki adalah zakat. Dia menjelaskan bahwa dalam harta mereka ada hak orang lain pada waktu tertentu melalui lisan Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Maka halal bagi mereka untuk memiliki harta, namun haram bagi mereka menahan zakat; karena zakat itu adalah hak orang lain pada waktu tertentu, sebagaimana mereka memiliki harta sementara orang lain tidak. Hal ini jelas dalam apa yang telah aku jelaskan, dan dalam firman Allah Ta’ala: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Bahwa setiap pemilik yang sempurna kepemilikannya, baik dia seorang merdeka yang memiliki harta yang wajib dizakati, baik dia sudah baligh, sehat, gila, atau anak kecil; karena masing-masing adalah pemilik seperti yang dimiliki oleh yang lain. Demikian pula, kewajiban dalam kepemilikannya sama dengan kewajiban dalam kepemilikan orang lain. Dan cukup dengan apa yang telah aku jelaskan bahwa anak kecil dan orang gila wajib mengeluarkan zakat, tanpa perlu hadits, sebagaimana anak kecil dan orang gila juga wajib menafkahi orang yang wajib dinafkahi oleh orang yang baligh dan sehat. Dan harta mereka juga terkena denda atas kerusakan yang mereka timpakan pada harta orang lain, sebagaimana harta orang yang baligh dan berakal. Semua ini adalah hak orang lain dalam harta mereka, begitu pula zakat. Dan Allah lebih mengetahui.
Sama halnya dengan semua harta anak yatim, baik berupa uang, hewan ternak, hasil pertanian, atau lainnya. Apa yang wajib dizakati oleh orang dewasa yang baligh, maka wajib pula bagi anak kecil dan orang gila, serta setiap muslim yang merdeka. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan sama.
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Yusuf bin Mahak bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Carilah (kelola) harta anak yatim, atau harta anak-anak yatim, agar tidak habis atau tidak termakan oleh zakat.”
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ma’mar dari Ayyub bin Abi Tamimah dari Muhammad bin Sirin bahwa Umar bin Al-Khaththab berkata kepada seorang laki-laki: “Sesungguhnya kami memiliki harta anak yatim yang zakatnya telah dipercepat.”
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya, dia berkata: “Aisyah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, pernah mengasuhku dan dua saudaraku yang yatim dalam pengawasannya. Dia mengeluarkan zakat dari harta kami.”
Bab Zakat Harta Anak Yatim Kedua
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata (Asy-Syafi’i berkata): “Zakat pada harta anak yatim sama seperti zakat pada harta orang yang sudah baligh; karena Allah ‘azza wa jalla berfirman: ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…’ (QS. At-Taubah: 103). Dia tidak mengkhususkan harta tertentu.”
Sebagian orang berpendapat bahwa jika seorang anak yatim memiliki emas atau perak, maka tidak ada zakat padanya. Mereka berargumen dengan firman Allah: “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43). Mereka beranggapan bahwa kewajiban zakat hanya berlaku bagi orang yang sudah wajib shalat. Mereka berkata: “Bagaimana mungkin anak yatim yang masih kecil diwajibkan zakat, sementara shalat tidak diwajibkan atasnya, begitu pula kebanyakan kewajiban lainnya? Tidakkah engkau melihat bahwa jika dia berzina atau minum khamr, dia tidak dihukum, dan jika dia kafir, dia tidak dibunuh?” Mereka juga berargumen dengan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: “Pena diangkat dari tiga orang…” lalu menyebutkan, “…dan anak kecil sampai dia baligh.”
Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata kepada sebagian orang yang berpendapat demikian: “Jika argumenmu sesuai dengan apa yang kamu kemukakan, maka kamu telah meninggalkan poin-poin penting dalam berargumen.” Dia berkata: “Di mana kamu mengatakan bahwa hewan ternak dan hasil pertanian milik anak yatim wajib dizakati? Jika kamu berpendapat bahwa tidak ada zakat pada hartanya, maka kamu telah mengambil zakat pada sebagian hartanya, mungkin yang lebih banyak, dan kamu telah menzaliminya dengan mengambil apa yang bukan kewajibannya. Jika hartanya termasuk dalam warisan, maka zakat tetap wajib. Kamu telah meninggalkan zakat emas dan peraknya. Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang membedakan antara ini dan berkata: ‘Aku mengambil zakat dari emas dan peraknya, tapi tidak mengambil zakat dari hewan ternak dan hasil pertaniannya’? Bukankah argumen yang bisa digunakan melawannya hanyalah bahwa dia tidak keluar dari makna ayat; karena dia seorang muslim yang merdeka, sehingga zakat berlaku pada seluruh hartanya, atau dia keluar dari makna ayat karena belum baligh sehingga tidak ada zakat pada hartanya sama sekali? Atau bagaimana pendapatmu ketika kamu berpendapat bahwa walinya wajib mengeluarkan zakat fitrah untuknya, lalu bagaimana kamu mengeluarkannya dalam satu zakat tetapi memasukkannya dalam zakat lain? Atau bagaimana pendapatmu ketika kamu berpendapat bahwa shalat tidak wajib atasnya, lalu kamu beranggapan bahwa kewajiban itu berlaku atau gugur secara bersamaan, dan bahwa yang dibebani kewajiban adalah…”
Orang-orang dewasa, dan bahwa semua kewajiban dari satu sisi, sebagian ditetapkan dengan ditetapkannya sebagian yang lain dan sebagian gugur dengan gugurnya sebagian yang lain. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan bagi wanita yang beriddah karena kematian suami untuk menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian kamu berpendapat bahwa anak kecil termasuk dalam makna kewajiban iddah, padahal ia masih bayi yang belum pernah digauli. Atau apakah kamu tidak melihat ketika Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan diyat bagi pembunuh, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menetapkannya kepada ‘aqilah karena kesalahan pembunuh? Bagaimana kamu berpendapat bahwa jika seorang anak kecil membunuh seseorang, maka diyat dibebankan padanya? Dan bagaimana kamu berpendapat bahwa anak kecil dalam setiap kerusakan yang ia lakukan terhadap hamba sahaya atau orang merdeka, dari tindakan yang memiliki denda, atau merusak harta, atau menghabiskan hartanya, maka itu menjadi tanggungan hartanya sebagaimana menjadi tanggungan orang dewasa, dan tindakannya menjadi tanggungan ‘aqilah-nya? Bukankah kamu telah berpendapat bahwa ia termasuk dalam makna beberapa kewajiban namun keluar dari kewajiban lainnya?
Atau apakah kamu tidak melihat ketika kamu berpendapat bahwa shalat dan zakat, jika keduanya diwajibkan, maka salah satunya ditetapkan dengan ditetapkannya yang lain? Bagaimana pendapatmu jika seseorang tidak memiliki harta, bukankah ia keluar dari kewajiban zakat? Jika ia keluar dari kewajiban zakat, apakah ia juga keluar dari kewajiban shalat? Atau bagaimana jika ia memiliki harta lalu bepergian, bukankah ia boleh mengqashar shalat? Apakah ia juga boleh mengurangi zakat sesuai dengan pengurangan shalat? Bagaimana pendapatmu jika seseorang pingsan selama setahun, bukankah shalat gugur darinya? Apakah zakat juga gugur darinya untuk tahun itu? Atau bagaimana jika seorang wanita haid sepuluh hari lalu suci lima belas hari kemudian haid lagi sepuluh hari, bukankah shalat gugur darinya selama hari-hari haidnya? Sedangkan zakatnya selama setahun, apakah di hari-hari haidnya tidak dihitung sebagai bagian dari hari dalam setahun? Jika kamu berpendapat bahwa ini tidak demikian, maka kamu telah berpendapat bahwa shalat tetap berlaku di mana zakat gugur, dan itu bisa diqiyaskan dengan lainnya.
Atau apakah kamu tidak melihat budak mukatab? Bukankah shalat tetap wajib atasnya, sedangkan zakat menurut pendapatmu gugur? Dengan demikian, kamu telah berpendapat bahwa di antara orang dewasa, merdeka atau budak, dan anak kecil, ada yang hanya dibebani sebagian kewajiban dan tidak yang lain?
Dia (penanya) berkata: Kami meriwayatkan dari An-Nakha’i dan Sa’id bin Jubair serta beberapa Tabi’in bahwa mereka berkata: “Tidak ada zakat pada harta anak yatim.” Lalu dikatakan kepadanya: “Seandainya kami tidak memiliki argumen selain apa yang kami sebutkan atau mungkin akan kami sebutkan kecuali riwayat yang kamu sebutkan, niscaya kamu telah terbantah.” Dia (penanya) berkata: “Di mana kamu katakan bahwa jika para Tabi’in berpendapat, maka kamu boleh menyelisihi mereka dengan pendapatmu? Lalu bagaimana kamu menjadikan mereka sebagai hujjah? Tidak lain yang kamu katakan adalah sebagaimana yang kamu ucapkan, sehingga kamu salah dengan berhujjah dengan orang yang perkataannya bukan hujjah bagimu. Atau jika perkataan mereka adalah hujjah, maka kamu salah dengan mengatakan bahwa tidak ada hujjah di dalamnya. Padahal, penyelisihan mereka terhadapmu banyak terjadi di luar konteks ini. Jika dikatakan kepadamu: ‘Mengapa kamu menyelisihi mereka?’ Kamu menjawab: ‘Hujjah hanya ada dalam Kitab, Sunnah, atsar dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau perkataan umum kaum Muslimin yang tidak mereka perselisihkan, atau qiyas yang masuk dalam makna sebagian hal ini.’ Namun, kamu sendiri menyelisihi sebagian riwayat dari mereka.
Mereka berkata dalam riwayat yang kamu sebutkan: ‘Tidak ada zakat pada harta anak yatim,’ sedangkan kamu mewajibkan zakat pada sebagian besar harta anak yatim?” Dia (penanya) berkata: “Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata: ‘Jagalah harta anak yatim, jika ia telah baligh, beritahukanlah tahun-tahun yang telah berlalu.'” Kami berkata: “Ini adalah hujjah atasmu, seandainya kami tidak memiliki hujjah selain ini. Sekiranya riwayat ini benar dari Ibnu Mas’ud, maka Ibnu Mas’ud memerintahkan wali anak yatim untuk tidak membayarkan zakat atas namanya sampai ia sendiri berniat membayarnya untuk dirinya. Karena ia tidak memerintahkan untuk menghitung tahun-tahun yang berlalu dan jumlah hartanya kecuali agar ia membayar sendiri kewajiban zakatnya. Padahal, kamu sendiri berpendapat bahwa riwayat ini tidak valid dari Ibnu Mas’ud karena dua alasan: Pertama, sanadnya terputus. Kedua, perawinya tidak hafizh.
Seandainya kami tidak memiliki hujjah selain menunjukkan bahwa prinsip mazhab kami dan mazhabmu adalah bahwa kami tidak menyelisihi seorang pun dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali jika ada Sahabat lain yang menyelisihinya, niscaya ini sudah cukup sebagai hujjah atasmu. Kamu meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia menjadi wali anak yatim Bani Abi Rafi’ dan membayarkan zakat dari harta mereka. Kami juga meriwayatkannya dari Umar bin Al-Khaththab, Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhum, dan selain mereka. Bahkan, kebanyakan ulama sebelum kami berpendapat demikian, dan kami meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Allah – صلى الله عليه وسلم – dari jalur yang terputus, mengabarkan kepada kami Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Yusuf bin Mahak bahwa Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Carilah (kebaikan) dalam harta anak yatim, jangan sampai sedekah menghabiskannya, atau jangan sampai sedekah melenyapkannya,” atau beliau bersabda: “Dalam harta anak-anak yatim, jangan memakannya, atau jangan sampai zakat atau sedekah melenyapkannya.” Asy-Syafi’i rahimahullah meragukan redaksi yang tepat di antara keduanya.
Dikabarkan kepada kami Malik dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya, ia berkata: “Aisyah mengasuh aku dan saudaraku yang masih yatim dalam pengawasannya, lalu ia mengeluarkan zakat dari harta kami.”
Dikabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa Umar bin Khattab – رضي الله عنه – berkata: “Carilah (kebaikan) dalam harta anak-anak yatim, jangan sampai zakat menghabiskannya.”
Dikabarkan kepada kami Sufyan dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia mengeluarkan zakat harta anak yatim.
Dikabarkan kepada kami Sufyan dari Ayyub bin Musa, Yahya bin Sa’id, dan Abdul Karim bin Abi Al-Mukhariq, semuanya meriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad, ia berkata: “Aisyah – رضي الله عنها – mengeluarkan zakat harta kami, padahal harta itu diperdagangkan ke Bahrain.”
Dikabarkan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abi Laila dari Al-Hakam bin Utbah bahwa Ali – رضي الله عنه – memiliki harta Bani Abi Rafi’, lalu ia mengeluarkan zakatnya setiap tahun.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang pada hadis-hadis ini dan dengan dalil bahwa Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Tidak ada zakat pada kurang dari lima wasaq, tidak ada zakat pada kurang dari lima ekor unta, dan tidak ada zakat pada kurang dari lima uqiyah.” Sabda beliau – صلى الله عليه وسلم – menunjukkan bahwa lima ekor unta, lima uqiyah, dan lima wasaq, jika salah satunya dimiliki oleh seorang muslim yang merdeka, maka wajib dikeluarkan zakat pada harta itu sendiri, bukan pada pemiliknya. Sebab, jika pemiliknya miskin, ia tidak wajib mengeluarkan zakat.
[Bab Jumlah Kurma yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya]
Dikabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, dikabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, dikabarkan kepada kami Malik dari Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah Al-Mazini dari ayahnya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq.”
Dikabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, dikabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, dikabarkan kepada kami Malik dari Amr bin Yahya Al-Mazini dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata, Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bersabda: “Tidak ada zakat pada (hasil tanaman) yang kurang dari lima wasaq.”
Dikabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata, dikabarkan kepada kami Asy-Syafi’i berkata, dikabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah berkata, aku mendengar Amr bin Yahya Al-Mazini berkata, ayahku mengabarkan kepadaku dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi – صلى الله عليه وسلم – beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada (hasil tanaman) yang kurang dari lima wasaq.”
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang pada ini, dan tidak ada riwayat yang sahih dari Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – kecuali dari Abu Sa’id Al-Khudri. Jika ini adalah pendapat mayoritas ulama yang berpegang padanya, dan ini hanya satu riwayat, maka wajib bagi mereka menerima riwayat semisalnya di mana pun ia ditemukan.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak ada zakat pada kurma sampai mencapai lima wasaq. Jika mencapai lima wasaq, maka wajib dikeluarkan zakatnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Satu wasaq adalah enam puluh sha’ dengan sha’ Nabi – صلى الله عليه وسلم -, sehingga lima wasaq adalah tiga ratus sha’ dengan sha’ Rasulullah – صلى الله عليه وسلم -. Satu sha’ adalah empat mud dengan takaran Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – (semoga aku dikorbankan untuknya).
(Asy-Syafi’i berkata): Dua pemilik kebun kurma yang belum membagi hasilnya seperti dua sekutu dalam kepemilikan hewan ternak; mereka mengeluarkan zakat seperti satu orang. Maka, apa yang wajib zakat bagi satu orang, wajib pula bagi sekelompok orang jika mereka bersekutu dalam kepemilikan pokok pohon kurma. Demikian pula jika mereka bersekutu dalam kepemilikan pokok tanaman.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika tanah wakaf yang dikelola bersama menghasilkan buah hingga lima wasaq, maka diambil zakat darinya. Jika sekelompok orang mewarisi pohon kurma atau memilikinya dengan jenis kepemilikan apa pun, lalu mereka belum membaginya sampai berbuah dan hasilnya mencapai lima wasaq, maka diambil zakat darinya.
Sedekah, jika mereka membaginya setelah buahnya boleh dijual pada waktu perkiraan (khars) dengan pembagian yang sah, dan bagian salah seorang dari mereka tidak mencapai lima wasaq, sedangkan jika digabungkan mencapai lima wasaq, maka wajib atas mereka sedekah. Karena kewajiban sedekah pertama kali muncul ketika mereka masih berserikat, sehingga sedekah tidak gugur meskipun mereka berpisah setelah kewajiban pertama itu. Jika mereka membaginya sebelum buahnya boleh dijual, maka tidak ada zakat atas salah seorang dari mereka sampai bagiannya mencapai lima wasaq.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka saling menarik (hak) tanpa pemutusan dan tanpa pembagian pokok pohon kurma dengan kerelaan bersama, maka mereka tetap dianggap berserikat dan wajib membayar sedekah seperti satu orang, karena pembagian seperti ini tidak sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pohon kurma itu adalah sedekah yang diwakafkan, lalu mereka membaginya, maka pembagian itu batal karena mereka tidak memiliki kepemilikan penuh atasnya. Buahnya tetap wajib dizakati seperti milik satu orang, dan jika mencapai lima wasaq, wajib dikeluarkan sedekahnya.
Jika seseorang memiliki pohon kurma di satu tanah dan lainnya di tanah yang berbeda, baik jauh atau dekat, lalu berbuah dalam satu tahun, maka kedua buahnya digabungkan. Jika gabungannya mencapai lima wasaq, maka diambil sedekah darinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki pohon kurma bersama orang lain yang menghasilkan empat wasaq, dan ia memiliki pohon kurma lain yang menghasilkan tiga wasaq, maka ia wajib membayar sedekah untuk kedua pohonnya karena totalnya lima wasaq. Sedangkan rekannya tidak wajib membayar sedekah untuk pohonnya karena tidak mencapai lima wasaq dalam kepemilikan bersama. Hal yang sama berlaku untuk hewan ternak dan tanaman.
(Imam Syafi’i berkata): Buah dalam satu tahun bisa berbeda; ada pohon kurma yang berbuah di Tihamah sementara di Najd masih berupa busr (kurma muda) atau ruthab (kurma basah). Semua itu digabungkan karena termasuk satu jenis buah. Jika pohon kurma berbuah di satu tahun lalu berbuah lagi di tahun berikutnya, maka tidak digabungkan.
Hal serupa berlaku untuk semua jenis tanaman, baik yang panen awal atau terlambat, karena di daerah panas panen lebih awal sementara di daerah dingin lebih lambat. Jika seseorang memiliki tanaman di dua daerah, maka digabungkan, dan jika mencapai lima wasaq, wajib dikeluarkan sedekah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menanam tanaman dalam satu tahun dan hasilnya tidak mencapai lima wasaq, sementara ia memiliki tanaman lain yang jika digabungkan mencapai lima wasaq, maka:
– Jika masa tanam dan panen keduanya dalam satu tahun yang sama, dianggap sebagai satu tanaman.
– Jika masa tanam atau panennya berbeda tahun, maka dianggap dua tanaman terpisah dan tidak digabungkan.
(Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku jika seseorang memiliki pohon kurma yang berbuah di waktu berbeda, atau satu pohon yang berbuah dua kali dalam setahun, maka dianggap berbeda.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pohon kurma menghasilkan buah yang berbeda kualitas, tetap digabungkan, baik kurma rendah (daqlah), sedang, atau tinggi (baradi). Sedekah diambil dari kualitas sedang.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya: “Tidak boleh dikeluarkan untuk sedekah kurma yang jelek (al-ju’rur), kurma yang dimakan tikus, atau kurma dari pohon Ibnu Habiq.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Malik, dari Ziyad bin Sa’d, dari Az-Zuhri.
(Imam Syafi’i berkata): Ini adalah kurma yang sangat rendah kualitasnya. Pemilik kebun boleh menyimpan kurma terbaik seperti baradi atau kualitas tinggi lainnya, sedangkan sedekah diambil dari kurma sedang.
(Imam Syafi’i berkata): Ini seperti kambing; jika beragam, pemilik boleh menyimpan yang tua (tsaniyah) atau dewasa (jadza’ah), sedangkan sedekah diambil dari yang pertengahan (jadza’ah atau tsaniyah), karena itu yang umum. Sebagaimana kurma beragam jenis, kambing juga beragam umur.
Jika seseorang hanya memiliki kurma baradi, sedekah diambil dari baradi. Jika hanya memiliki kurma jelek (ju’rur), diambil dari ju’rur. Begitu pula jika semua kambingnya masih kecil, sedekah diambil dari yang kecil.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki pohon kurma baradi dua jenis, satu jenis baradi dan satu jenis lainnya… (lanjutan teks terpotong).
Warna, diambil dari setiap jenis sesuai kadarnya, dan yang diambil adalah yang pertengahan jika kurma berbeda-beda dan perbedaannya banyak. Ini berbeda dengan hewan ternak dalam hal ini. Demikian pula jika terdapat berbagai jenis, setiap jenis dihitung dengan pasti sehingga tidak ada keraguan, dan pemilik harta dapat memilih untuk memberikan setiap jenis sesuai kewajiban yang harus diambil darinya.
[Bab Cara Mengambil Zakat Pohon Kurma dan Anggur]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwatkan oleh Abdullah bin Nafi’ dari Ibnu Shalih At-Tammar dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ‘Itab bin Usaid, “Rasulullah ﷺ bersabda tentang zakat kebun anggur: ‘Diperkirakan (dihitung) sebagaimana pohon kurma diperkirakan, kemudian zakatnya dikeluarkan dalam bentuk kismis sebagaimana zakat kurma dikeluarkan dalam bentuk kurma.'”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Shalih At-Tammar dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ‘Itab bin Usaid, “Rasulullah ﷺ mengutus orang untuk memperkirakan (menghitung) kebun anggur dan buah-buahan milik masyarakat.”
(Asy-Syafi’i berkata):
Kami berpendapat demikian untuk setiap buah yang bisa menjadi kismis. Buah-buahan di Hijaz, sepengetahuan saya, semuanya menjadi kurma atau kismis, kecuali jika ada yang tidak saya ketahui.
Saya menduga perintah Rasulullah ﷺ untuk memperkirakan (menghitung) kurma dan anggur karena dua alasan:
- Pemiliknya tidak boleh menahan zakat darinya.
- Mereka memiliki sembilan persepuluh bagian, sementara sepersepuluhnya adalah hak para mustahik zakat.
Banyak manfaat bagi pemiliknya ketika buah masih segar (ruthab) atau anggur (basah), karena harganya lebih tinggi daripada dalam bentuk kurma atau kismis. Jika mereka menahannya dalam bentuk basah untuk menghindari pengambilan sepersepuluh, itu akan merugikan mereka. Namun, jika tidak dihitung, hak mustahik zakat akan terabaikan. Maka, diambil tanpa penghitungan pasti, tetapi dengan perkiraan. Allah Maha Mengetahui. Mereka diberi kelonggaran untuk kemudahan, sambil tetap menjaga hak mustahik zakat.
(Asy-Syafi’i berkata):
Perkiraan (khars) dilakukan ketika buah sudah bisa dijual, yaitu ketika tampak kemerahan atau kekuningan pada kebun. Demikian pula ketika anggur sudah matang dan ada yang bisa dimakan. Petugas zakat mendatangi pohon kurma, memeriksa seluruh buahnya, lalu mengatakan: “Perkiraannya dalam bentuk basah sekian, dan akan berkurang menjadi sekian ketika sudah kering.” Ia mengukurnya berdasarkan takaran kurma kering dan melakukan hal yang sama untuk seluruh kebun. Kemudian, zakat diambil berdasarkan takaran kurma kering. Hal serupa dilakukan pada anggur, lalu pemiliknya dibiarkan mengurusnya. Ketika sudah menjadi kismis atau kurma, diambil sepersepuluh sesuai perkiraan dalam bentuk kurma atau kismis.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika pemiliknya mengklaim bahwa buahnya terkena bencana yang menghancurkan sebagian atau seluruhnya, mereka dipercaya selama tidak ada kecurigaan. Jika dicurigai, mereka harus bersumpah. Jika mereka berkata: “Kami telah mengambil sebagian, dan sebagian lagi hilang tanpa diketahui jumlahnya,” dikatakan kepada mereka: “Klaimlah sesuai yang kalian yakini, bertakwalah kepada Allah, jangan mengklaim kecuali yang kalian ketahui dengan pasti, lalu bersumpahlah.” Kemudian, zakat diambil dari sisanya jika masih mencapai nishab. Jika tidak ada lagi di tangan mereka dan sepersepuluhnya telah hilang, mereka tidak dikenai kewajiban zakat.
Jika seseorang berkata: “Sebagiannya rusak, tapi aku tidak tahu berapa,” dikatakan kepadanya: “Jika engkau mengklaim sesuatu dan bersumpah, kami akan mengurangi zakatmu sesuai klaimmu. Jika tidak, kami akan mengambil sepersepuluh sesuai perkiraan kami.”
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika seseorang berkata: “Aku telah menghitung takaran yang aku ambil, ternyata yang aku ambil sekian dan sisanya sekian, sehingga perkiraan sebelumnya salah,” ia dipercaya dan zakat diambil berdasarkan pengakuannya, karena zakat adalah amanah dan ia dipercaya dalam hal ini.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika seseorang berkata: “Sebagiannya dicuri dan aku tidak tahu berapa,” ia tidak menanggung yang dicuri, dan zakat diambil dari yang tersisa setelah diketahui jumlah yang diambil dan yang masih ada.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika seseorang berkata: “Buahku dicuri setelah dipindahkan ke tempat pengeringan (jirn), maka:
– Jika dicuri setelah kering dan ia bisa menyerahkannya kepada pemerintah atau mustahik zakat tetapi lalai, ia menanggungnya.
– Jika dicuri setelah menjadi kurma kering tetapi ia belum bisa menyerahkannya kepada pemerintah atau membagikannya, padahal sebenarnya bisa, maka…
Dua saham itu menjadi tanggungannya karena ia lalai. Jika kurma mengering dan ia tidak bisa menyerahkannya kepada pemilik saham atau kepada pemerintah, maka ia tidak menanggung apa pun, dan zakat diambil dari apa yang ia konsumsi dan yang masih tersisa di tangannya jika ada kewajiban zakat padanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menemukan sebagian pemilik saham tetapi tidak menemukan sebagian lainnya, dan ia tidak menyerahkannya kepada mereka atau kepada pemerintah, maka ia menanggung sesuai dengan hak pemilik saham yang ditemukannya, dan tidak menanggung hak pemilik saham yang tidak ditemukannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menghabiskan seluruhnya dalam keadaan basah atau mentah setelah perkiraan hasil, maka ia menanggung takaran perkiraan hasilnya dengan kurma yang setara dengan kualitas pertengahan kurmanya. Jika ia dan pemerintah berselisih pendapat, misalnya ia berkata, “Kualitas pertengahan kurmaku seperti ini,” maka jika pemerintah mendatangkan saksi, diambil darinya sesuai dengan kesaksian saksi. Jika tidak ada saksi, diambil darinya berdasarkan perkataan pemilik harta disertai sumpah. Minimal saksi yang diterima dalam hal ini adalah dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan.
(Imam Syafi’i berkata): Pemerintah tidak boleh bersumpah bersama saksinya, dan tidak ada seorang pun dari pemilik saham yang boleh bersumpah karena mereka bukan pemilik sesuatu yang dapat mereka sumpahkan secara khusus.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kebunnya mengalami kekeringan dan diketahui bahwa jika buah dibiarkan akan merusak pohon kurma, atau jika dipotong setelah perkiraan hasil akan mengurangi nilai jualnya, maka ia boleh memotongnya dan diambil sepersepuluhnya dalam keadaan terpotong untuk dibagikan kepada pemilik saham. Jika ia tidak menyerahkan sepersepuluhnya kepada pemerintah atau pemilik saham, maka ia menanggung nilainya dalam keadaan terpotong jika tidak ada yang setara.
(Imam Syafi’i berkata): Buah yang dipotong dari pohon kurmanya sebelum boleh dijual tidak dikenakan sepersepuluh, dan aku tidak menyukai hal itu kecuali jika dipotong untuk dimakan atau diberikan, maka tidak masalah. Demikian juga, aku tidak menyukai pemotongan bunga jantan kecuali untuk dimakan, diberikan, atau untuk meringankan beban pohon agar berbuah baik. Adapun bunga jantan yang tidak menghasilkan kurma, aku tidak mempersoalkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menyimpan kurma di tempat pengeringan untuk pemiliknya, lalu menyiraminya dengan air atau melakukan sesuatu yang menyebabkan kerusakan atau berkurang, maka ia menanggungnya karena ia yang merusaknya. Jika tidak ada tindakannya selain yang diketahui baik untuk kurma, lalu kurma itu rusak, maka ia tidak menanggungnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia meletakkan kurma di tempat biasa seperti tempat pengeringan, rumah, atau pekarangannya, lalu dicuri sebelum kering, maka ia tidak menanggungnya. Jika ia meletakkannya di jalan atau tempat yang tidak aman untuk kurma semacam itu, lalu rusak, maka ia menanggung sepersepuluhnya.
(Imam Syafi’i berkata): Kurma yang dimakan setelah berada di tempat pengeringan, ia menanggung sepersepuluhnya, begitu juga yang diberikan kepada orang lain.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pohon kurma yang biasanya menghasilkan kurma dijual pemiliknya dalam keadaan basah seluruhnya, atau diberikan seluruhnya, atau dimakan seluruhnya, aku tidak menyukai hal itu dan ia menanggung sepersepuluhnya dalam bentuk kurma dengan kualitas pertengahan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pohon itu tidak menghasilkan kurma sama sekali, aku lebih suka pemerintah mengetahuinya dan memerintahkan seseorang untuk menjual sepersepuluhnya dalam keadaan basah. Jika tidak dilakukan, maka diperkirakan hasilnya, lalu pemilik harta membayar zakat sesuai dengan nilai buah basahnya, dan diambil sepersepuluh dari harga buah basahnya. Jika ia memakan atau menghabiskan seluruhnya, maka diambil darinya nilai sepersepuluh buah basahnya dalam bentuk emas atau perak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menghabiskan sebagian buah basahnya dan menyisakan sebagian, lalu berkata, “Ambillah sepersepuluh dari yang tersisa,” jika harga yang dihabiskan lebih mahal dari yang tersisa, maka diambil sepersepuluh dari harga yang dihabiskan dan sepersepuluh dari yang tersisa. Demikian juga jika harganya lebih murah atau sama. Jika pemilik harta hanya memberikan harganya, maka ia wajib membayar harga sepersepuluhnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pertimbangannya untuk orang miskin, maka diambil sepersepuluh dari buah basah yang tersisa, dan pemilik harta melakukannya. Petugas zakat mengambilnya seperti mengambil setiap kelebihan yang diberikan sukarela oleh pemilik harta.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki dua jenis pohon kurma, satu menghasilkan kurma dan satu tidak, maka zakat untuk yang menghasilkan kurma dibayar dengan kurma, dan untuk yang tidak menghasilkan kurma seperti yang telah aku jelaskan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik harta menawarkan harga kurma kepada petugas zakat, maka petugas tidak boleh menerimanya dalam keadaan apa pun, baik itu untuk kepentingan pemilik saham atau bukan, karena tidak halal menjual zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia menghabiskannya dan kesulitan menemukan kurma sama sekali, maka boleh mengambil nilainya untuk pemilik saham. Ini seperti seseorang yang memegang makanan orang lain lalu menghabiskannya, maka ia wajib mengganti dengan yang sama. Jika tidak ditemukan, maka dengan nilai sebagai ganti rugi karena penghabisan, karena ini bukan jual beli yang sah sebelum serah terima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pohon kurma seseorang menghasilkan buah muda lalu dipotong sebelum terlihat kemerahan, atau dipotong bunganya karena takut kekeringan, aku tidak menyukai hal itu tetapi tidak ada kewajiban sepersepuluh, dan tidak ada kewajiban sepersepuluh sampai dipotong setelah boleh dijual. (Imam Syafi’i berkata):
Dan segala yang telah aku sebutkan mengenai kurma, berlaku pula untuk anggur. Keduanya sama, tidak berbeda.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki pohon kurma yang menghasilkan lima wasaq, sedangkan anggurnya tidak mencapai lima wasaq, maka zakat diambil dari kurma dan tidak dari anggur. Satu jenis tidak digabungkan dengan jenis lainnya. Anggur berbeda dengan kurma. Seluruh kurma dianggap satu, sehingga yang jelek digabungkan dengan yang baik. Demikian pula seluruh anggur dianggap satu, yang jelek digabungkan dengan yang baik.
[Bab Zakat Hasil Kebun]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyib, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Yahudi Khaibar ketika menaklukkan Khaibar, ‘Aku membiarkan kalian tetap tinggal di sini sebagaimana Allah membiarkan kalian, dengan syarat kurma menjadi milik bersama antara kami dan kalian.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abdullah bin Rawahah untuk menaksir hasil kebun mereka, lalu berkata, ‘Jika kalian mau, kurma itu untuk kalian. Jika kalian mau, kurma itu untukku.’ Maka mereka biasanya mengambilnya.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abdullah bin Rawahah untuk menaksir hasil kebun antara beliau dan Yahudi Khaibar.”
(Imam Syafi’i berkata): Abdullah bin Rawahah menaksir pohon kurma yang dimiliki oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa mereka telah menerimanya, insya Allah. Kemudian beliau memberi mereka pilihan setelah memberitahukan hasil taksiran: apakah mereka mau menjamin setengah dari hasil taksiran berupa kurma dan menyerahkan pohon beserta isinya, atau beliau menjamin jumlah kurma yang sama dan mereka menyerahkan pohon beserta isinya. Para petugas cenderung ingin menjadi pihak yang keputusannya mengikat bagi diri mereka sendiri, sedangkan pemilik kebun yang diajak kerja sama juga keputusannya mengikat bagi diri mereka sendiri. Jika seseorang menaksir untuk petugas dan diberi pilihan, maka taksirannya sah. (Dia berkata): Dan orang yang diambil zakat kurma atau anggurnya bercampur, di antara mereka ada yang sudah baligh dan cakap hukum, ada juga yang tidak cakap seperti anak kecil, orang bodoh, orang gila, dan orang yang tidak hadir, serta orang yang diambil taksirannya dari ahli saham dan kebanyakan pemilik harta. Jika seorang penaksir diutus kepada mereka, maka siapa saja yang sudah baligh dan cakap hukum dalam hartanya, penaksir memberinya pilihan setelah taksiran. Jika dia memilih hartanya, maka itu sah baginya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Rawahah. Demikian pula jika mereka tidak diberi pilihan tetapi menerima. Adapun orang yang tidak hadir tanpa wakil, orang bodoh, mereka tidak diberi pilihan dan tidak bisa menerima. Maka aku lebih suka agar tidak hanya mengutus satu penaksir untuk zakat sepersepuluh dalam keadaan apa pun, tetapi mengutus dua orang agar mereka seperti penilai dalam selain taksiran.
(Imam Syafi’i berkata): Pengutusan Abdullah bin Rawahah sendirian adalah hadits yang terputus. Diriwayatkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang lain bersama Abdullah. Bisa saja beliau mengutus orang lain bersama Abdullah meskipun tidak disebutkan, dan yang disebut hanya Abdullah bin Rawahah karena dia yang utama. Dalam semua kasus, aku lebih suka ada dua penaksir atau lebih dalam muamalah dan zakat sepersepuluh. Ada yang berpendapat bahwa satu penaksir boleh, sebagaimana satu hakim boleh. Jika kita tidak mengetahui jumlah kurma yang dihasilkan, maka zakat sepersepuluh diambil berdasarkan taksiran. Yang tidak diketahui adalah apa yang dimakan sebagai ruthab (kurma basah) atau habis sebagai kurma kering tanpa perhitungan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik kebun menyatakan bahwa mereka telah menghitung semua hasil kebun, sedangkan taksiran atas mereka lebih banyak, maka mereka dibenarkan dengan sumpah mereka. Jika mereka berkata, “Taksirannya lebih banyak dari yang sebenarnya,” maka diambil dari mereka tambahan yang mereka akui dari kurma mereka. Hal ini berbeda dengan qimah (nilai) dalam kasus ini karena tidak ada pasar yang diketahui pada hari taksiran, sebagaimana barang dagangan memiliki pasar pada hari penilaian. Kadang hasilnya rusak sehingga zakat gugur dari mereka jika kerusakan itu bukan karena ulah mereka. Kerusakan bisa terjadi karena pencurian tanpa sepengetahuan mereka, atau pohon kurma rusak karena kekeringan dan lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Zakat tidak diambil dari sesuatu yang…
Pohon selain kurma dan anggur, karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengambil zakat dari keduanya dan keduanya merupakan makanan pokok. Demikian pula, zakat tidak diambil dari kapas, dan aku tidak mengetahui kewajiban zakat pada zaitun karena ia adalah lauk, bukan makanan yang dimakan langsung. Hal yang sama berlaku untuk kenari, almond, dan lainnya yang termasuk lauk atau dikeringkan dan disimpan, karena semuanya adalah buah-buahan dan bukan makanan pokok di Hijaz yang kami ketahui.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak dilakukan perkiraan (khars) pada tanaman karena waktu panennya tidak jelas bagi yang mengira, ada penghalang, dan tidak ada pengalaman yang cukup dalam kebenarannya seperti pada kurma dan anggur. Hadis tentang keduanya bersifat khusus, dan tidak ada tanaman lain yang memiliki makna serupa seperti yang telah dijelaskan.
[Bab Zakat Tanaman]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Apa saja yang ditanam manusia, bisa dikeringkan, disimpan, dan dijadikan makanan pokok baik berupa roti, sawiq (tepung), atau masakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau mengambil zakat dari gandum, jelai, dan jagung. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula semua yang telah aku sebutkan, yaitu yang ditanam manusia dan dijadikan makanan pokok, maka zakat diambil dari ‘alas (sejenis gandum), jawawut, salt, dan semua jenis kacang-kacangan seperti kacang arab, lentil, kacang fava, dan jawawut, karena semuanya dimakan sebagai roti, sawiq, atau masakan, dan ditanam manusia. Namun, aku tidak melihat zakat diwajibkan pada fut (sejenis tanaman), meskipun ia makanan pokok, karena bukan tanaman yang biasa ditanam manusia. Begitu pula biji hanzhal, meskipun dijadikan makanan pokok, karena maknanya lebih jauh dari fut. Demikian pula, tidak diambil zakat dari biji pohon liar, sebagaimana tidak diambil zakat dari sapi liar atau kijang.
(Imam Syafi’i berkata): Zakat juga tidak diambil dari tsafa’ (sejenis tanaman) atau asbawis, karena kebanyakan tanaman ini tumbuh untuk obat, atau biji-bijian sejenis yang digunakan sebagai obat, atau biji sayuran karena statusnya seperti buah-buahan. Demikian pula mentimun, semangka, dan bijinya tidak ada zakatnya karena dianggap seperti buah-buahan. Zakat juga tidak diambil dari biji safflower, biji lobak, biji sayuran, atau wijen.
[Bab Rincian Zakat Gandum]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Jika satu jenis biji-bijian yang wajib zakat mencapai lima wasaq, maka zakatnya wajib dikeluarkan. Pendapat tentang setiap jenisnya, baik yang berkualitas baik atau buruk, adalah dihitung bersama seperti pada kurma. Namun, perbedaannya tidak seperti perbedaan pada kurma, karena kurma bisa terdiri dari dua atau tiga jenis, sehingga zakat diambil dari setiap jenis sesuai kadarnya. Kurma bisa mencapai lima puluh jenis atau lebih, sedangkan gandum hanya dua jenis: gandum yang ditumbuk hingga bijinya terbuka tanpa penghalang seperti kulit atau sekam. Jika mencapai lima wasaq, maka zakatnya wajib. Jenis lainnya adalah ‘alas, yang jika ditumbuk, bijinya tetap berada dalam kulitnya. Kulitnya tidak dibuang kecuali ketika pemiliknya ingin menggunakannya, dan mereka menyatakan bahwa membuang kulitnya akan merusaknya. Jenis ini tidak tahan lama seperti jenis gandum lainnya.
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika kulitnya dibuang dengan dihancurkan atau digiling dengan penggilingan ringan hingga bijinya muncul seperti gandum biasa, tetapi tidak muncul dengan penumbukan seperti gandum lainnya, dan orang yang berpengalaman menyatakan bahwa jika kulit yang tersisa setelah penumbukan dibuang, maka jumlahnya menjadi setengah dari takaran semula. Pemiliknya boleh memilih antara membuang kulitnya dan menakar bijinya, atau menakar biji beserta kulitnya. Jika mencapai lima wasaq, maka zakatnya wajib.
Lima wasaq, zakat diambil darinya dan dijelaskan bahwa ia ditakar bersama kulitnya. Jika mencapai sepuluh wasaq, zakat diambil darinya karena saat itu setara dengan lima wasaq. Manapun yang dipilih, tidak boleh dibebankan pada yang lain sehingga merugikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang meminta agar zakat diambil dari bulirnya yang masih berbiji, hal itu tidak diperbolehkan. Begitu pula jika pemilik gandum non-als meminta agar zakat diambil dari bulirnya, itu tidak diizinkan, sebagaimana kami membolehkan penjualan kenari dengan kulitnya. Bagian yang tersisa menjadi pelindungnya karena jika dikupas, akan mempercepat kerusakan saat dibuang. Kami tidak membolehkannya melebihi kulit kecuali untuk bagian di atas kulit yang ada di bawahnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki gandum non-als dan gandum als, keduanya digabungkan sesuai penjelasan sebelumnya: gandum dihitung takarannya, sedangkan als dalam kulitnya dihitung setengah takaran. Jika gandum non-als tiga wasaq dan als dua wasaq, tidak ada zakat karena totalnya empat setengah wasaq. Jika empat wasaq, zakat wajib karena totalnya lima wasaq (gandum tiga wasaq, als dalam kulitnya dua wasaq).
[Bab Zakat Bijian Selain Gandum]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Zakat tidak diambil dari tanaman selain als sampai kulitnya dibuang dan ditakar. Setelah mencapai lima wasaq, zakat diambil dari jewawut. Jewawut tidak digabung dengan gandum, begitu pula selit dengan gandum, jewawut, atau beras dengan millet atau jagung.
(Imam Syafi’i berkata): Jagung ada dua jenis: jagung batis tanpa kulit atau selubung putih, dan jagung dengan warna merah seperti lingkaran atau bulu halus tapi lebih tipis, mirip kulit gandum yang halus. Takarannya tidak berkurang dan hanya keluar saat digiling. Jarang keluar saat ditumbuk. Keduanya ditakar tanpa mengurangkan bagian tertentu, seperti tidak mengurangkan ujung tajam jewawut atau selubung kurma meski terpisah dari buahnya. Ini tidak terpisah dari biji karena menyatu secara alami, sebagaimana dedak jewawut atau gandum tidak dikurangi.
(Imam Syafi’i berkata): Millet tidak digabung dengan kacang-kacangan, kacang arab dengan lentil, kacang fava dengan lainnya, atau biji dengan nama khusus yang berbeda bentuk, rasa, atau buahnya. Setiap jenis yang lebih besar digabung dengan yang lebih kecil, dan yang memanjang digabung dengan yang bulat.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui zakat pada lupin, dan tidak dimakan kecuali sebagai obat atau camilan, bukan makanan pokok. Tidak ada zakat pada bawang merah atau bawang putih karena hanya dimakan sebagai bumbu atau penyedap.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Istilah ‘quthniyah’ mencakup kacang arab dan lentil,” jawabnya: Ya, tapi masing-masing memiliki nama khusus. Istilah ‘biji-bijian’ juga mencakup gandum dan jagung, tapi tidak boleh digabungkan hanya karena kesamaan nama. Kurma dan kismis disatukan dalam kategori manis dan bisa diperkirakan (khars), tapi tidak digabungkan.
Jika ada yang berkata, “Umar mengambil sepersepuluh dari Nabath untuk quthniyah,” jawabnya: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga mengambil zakat dari kurma, kismis, dan hasil bumi lainnya yang wajib zakat sepersepuluh. Kesamaan dalam kewajiban zakat sepersepuluh tidak menunjukkan bolehnya penggabungan.
Mengumpulkan sebagian dengan sebagian lainnya, dan Umar telah mengambil dari orang Nabath berupa zakat dari anggur kering dan kacang-kacangan sepersepuluh, lalu menggabungkan anggur kering dengan kacang-kacangan.
(Imam Syafi’i berkata): “Zakat tidak diambil dari sesuatu yang dihasilkan bumi yang mengering sampai benar-benar kering dan melalui proses seperti yang telah dijelaskan, yaitu kurma dan anggur keringnya benar-benar kering sampai sempurna. Jika zakat diambil dalam keadaan masih basah, aku tidak menyukainya, dan wajib mengembalikannya atau membayar nilainya jika tidak ditemukan yang sejenis. Jika diambil dalam keadaan kering, aku tidak membolehkan menjual sebagian dengan sebagian lainnya dalam keadaan basah karena perbedaan kadar penyusutannya dan ketidakjelasan saat itu.”
(Imam Syafi’i berkata): “Zakat sepersepuluh itu seperti pembagian hasil (mukhasamah) seperti jual beli. Jika diambil dalam keadaan basah lalu mengering di tangannya seperti sempurna di tangan pemiliknya, maka itu menjadi miliknya. Jika yang di tangannya lebih dari sepersepuluh, kelebihannya dikembalikan. Jika kurang, kekurangannya diambil. Jika pemiliknya tidak tahu apa yang ada di tangannya dan itu rusak, maka perkataan pemilik yang dipegang, dan ia harus mengembalikan apa yang ada di tangannya jika masih basah sampai mengering.” (Ia berkata): “Demikian juga jika gandum diambil masih dalam tangkainya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika diambil dalam keadaan basah lalu rusak di tangan petugas zakat, maka petugas zakat bertanggung jawab menggantinya dengan yang sejenis atau nilainya jika tidak ada yang sejenis, dan petugas berhak mengambil zakat sepersepuluhnya dalam keadaan kering.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika diambil dalam keadaan basah dari anggur yang tidak bisa menjadi kismis, atau kurma basah yang tidak menjadi kurma kering, aku tidak menyukainya dan memerintahkan untuk mengembalikannya karena alasan yang telah disebutkan bahwa tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian lainnya dalam keadaan basah. Jika rusak, ia harus mengganti dengan yang sejenis atau nilainya, dan kelebihannya dikembalikan. Ia menjadi mitra dalam anggur dengan menjualnya dan memberikan harga kepada para pemilik saham. Jika tidak bisa menjadi kismis, jika dibagi sebagai anggur dengan timbangan dan diambil sepersepuluhnya untuk diberikan kepada para pemilik saham, aku tidak menyukainya tetapi ia tidak wajib mengganti.”
[Pasal Waktu Pengambilan Zakat dari Hasil Bumi]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Ketika hasil bumi mencapai nisab zakat, zakatnya harus diambil tanpa menunggu haul (satu tahun), berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Dan berikanlah haknya pada hari memetik hasilnya.’ (QS. Al-An’am: 141). Allah tidak menetapkan waktu kecuali saat panen. Firman Allah ‘pada hari memetik hasilnya’ bisa berarti ketika sudah layak setelah dipanen, atau saat dipanen meski belum layak. Namun, Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan bahwa zakat diambil setelah kering, bukan saat memetik kurma atau anggur, dan zakatnya diambil dalam bentuk kismis atau kurma kering. Demikian pula semua hasil bumi yang layak setelah kering dan melalui proses, termasuk zakat barang tambang yang dikeluarkan dari bumi, tidak diambil sampai menjadi emas atau perak, dan diambil pada saat sudah layak.” (Imam Syafi’i berkata): “Zakat rikaz (harta karun) diambil saat ditemukan karena sudah layak dalam keadaannya tanpa perlu pengolahan, dan semuanya termasuk hasil bumi.”
[Pasal Tanaman di Berbagai Waktu]
Jagung ditanam sekali lalu dipanen, kemudian tumbuh lagi di banyak tempat dan dipanen lagi. Semua ini dianggap sebagai satu panen, digabungkan sebagian dengan sebagian lainnya karena termasuk satu jenis tanaman, meski panen terakhirnya tertunda.
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian juga jika benih ditanam pada waktu berbeda, seperti ditanam hari ini dan sebulan kemudian, karena semua ini masih dalam satu waktu tanam dan pertumbuhannya berdekatan.”
(Ia berkata): “Jika seseorang menanam jagung putih, merah, dan gila (jenis-jenis jagung) dalam waktu berbeda, lalu sebagiannya matang sebelum yang lain.”
Gabungkan yang pertama yang telah dipanen dengan yang berikutnya, dan yang berikutnya dengan yang tersisa setelah ini. Jika semuanya mencapai lima wasaq, maka zakat wajib dikeluarkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika terdapat kebun anggur atau kurma basah, dan sebagiannya matang sebelum yang lain dalam satu tahun, meskipun ada jeda waktu antara yang kering dan yang dipetik pertama kali dengan yang terakhir dalam sebulan—baik lebih cepat atau lebih lambat—maka semuanya digabungkan karena ini adalah satu jenis buah. Sebab, semua yang dihasilkan tanah adalah satu kesatuan; sebagian dipanen dan sebagian lain ditanam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki beberapa pohon kurma yang berbuah, menghasilkan kurma basah, setengah matang, kurma kering, dan bunga secara bersamaan, lalu ia memetik kurma basah terlebih dahulu, kemudian kurma setengah matang, lalu kurma kering, dan terakhir bunga, maka semuanya digabungkan dan dihitung sebagai satu panen dalam satu musim. Karena itu adalah buah dari pohon kurmanya dalam waktu yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kebun di Najd, satu di Syi’af, dan satu lagi di Tihamah, lalu panen di Tihamah lebih dulu, diikuti Syi’af, kemudian Najd, maka ini dianggap sebagai buah satu tahun dan digabungkan, meskipun ada selang waktu sebulan atau dua bulan di antaranya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian penduduk Yaman menanam dua kali setahun, pada musim gugur dan waktu yang disebut Syabath. Jika ada kelompok yang menanam tiga kali setahun di musim berbeda—musim gugur, semi, dan panas—baik gandum, padi, atau biji-bijian, dan semuanya dari jenis yang sama, maka ada beberapa pendapat:
- Jika ditanam dalam satu tahun dan sebagian dipanen di tahun itu, sedangkan sebagian lain di tahun berikutnya, maka digabungkan.
- Yang dipanen di tahun pertama digabung dengan yang dipanen di tahun pertama, dan yang dipanen di tahun kedua digabung dengan panen tahun kedua.
- Jika ditanam di waktu yang berbeda seperti yang dijelaskan, maka tidak digabungkan.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun yang ditanam di musim gugur, sebagian awal dan sebagian akhir, maka musim gugur dihitung sebagai tiga bulan, sehingga semuanya digabungkan. Begitu pula yang ditanam di musim semi, baik di awal atau akhir musimnya, dan juga jika ditanam di musim panas.
(Imam Syafi’i berkata): Hasil tanam satu tahun tidak boleh digabung dengan hasil tanam tahun lain, begitu pula buah satu tahun tidak digabung dengan buah tahun lain. Jika petugas zakat dan pemilik kebun berselisih—misalnya, petugas zakat mengatakan ini hasil satu tahun, sedangkan pemilik kebun mengatakan dua tahun—maka pendapat pemilik kebun yang diterima disertai sumpah, kecuali jika ia dicurigai. Bagi petugas zakat, wajib mendatangkan bukti. Jika bukti ada, maka digabungkan. Ini berlaku untuk semua harta yang wajib dizakati.
Bab Kadar Zakat dari Hasil Bumi
(Imam Syafi’i berkata): Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dengan makna:
“Apa yang disiram dengan tenaga manusia atau hewan, zakatnya setengah sepersepuluh. Sedangkan yang disiram dengan air hujan atau mata air, zakatnya sepersepuluh.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b dari Nabi ﷺ, dan aku tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihinya.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Anas bin ‘Iyadh, dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar berkata:
“Zakat buah-buahan dan tanaman—baik kurma, anggur, gandum, jelai, atau sejenisnya—jika diairi dengan hujan, sungai, mata air, atau air tadah hujan, maka zakatnya sepersepuluh (10%). Jika diairi dengan usaha manusia (menggunakan ember atau hewan), maka zakatnya setengah sepersepuluh (5%).”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada ini. Setiap yang diairi sungai, banjir, laut, hujan, atau tadah hujan dari tanaman yang wajib zakat, maka zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang diairi dengan timba dari sumur, sungai, atau mata air menggunakan tenaga manusia atau hewan, maka zakatnya setengah sepersepuluh.
atau lainnya, atau dengan baling-baling, atau kincir, atau roda (dia berkata): maka segala yang disirami seperti itu, zakatnya setengah sepersepuluh (dia berkata): jika sebagian dari ini disirami dengan sungai, atau aliran air, atau sesuatu yang mengharuskan zakat sepersepuluh, tetapi tidak cukup sehingga harus disirami dengan timba, maka qiyasnya adalah kita melihat bagian yang hidup dengan kedua cara penyiraman. Jika hidup dengan keduanya secara setengah-setengah, maka zakatnya tiga perempat sepersepuluh. Jika lebih banyak hidup dengan aliran air, maka ditambah sesuai kadar itu. Jika lebih banyak hidup dengan timba, maka dikurangi sesuai kadar itu (dia berkata): telah dikatakan, lihatlah cara mana yang lebih dominan untuk hidup, maka zakatnya mengikuti cara itu. Jika lebih banyak hidup dengan aliran air, maka zakatnya sepersepuluh. Jika lebih banyak hidup dengan timba, maka zakatnya setengah sepersepuluh.
(Imam Syafi’i berkata): jika ada hadis tentang hal ini, maka hadis lebih utama. Jika tidak, maka qiyas seperti yang aku jelaskan. Pendapat yang dipegang adalah pendapat pemilik tanaman disertai sumpahnya. Bagi petugas zakat, wajib menunjukkan bukti jika bertentangan dengan pemiliknya.
(Imam Syafi’i berkata): pengambilan zakat sepersepuluh adalah dengan menakar sembilan bagian untuk pemilik harta, dan petugas zakat mengambil bagian kesepuluh. Demikian juga pengambilan setengah sepersepuluh, dengan menakar sembilan belas bagian untuk pemilik harta, dan petugas zakat mengambil bagian kedua puluh (dia berkata): untuk jumlah lebih dari sepuluh yang tidak mencapai kelipatannya, diambil sesuai perhitungan. Baik sedikit atau banyak, jika sudah wajib zakat, maka kelebihannya dari sepuluh juga dizakati.
(dia berkata): ditakar untuk pemilik harta dan petugas zakat dengan takaran yang sama, tidak dikurangi sedikit pun dari takaran, tidak dipadatkan, dan takaran tidak digoyang. Takaran diisi penuh, dan apa yang tersisa di atasnya dituangkan. Jika yang wajib dizakati setengah sepersepuluh mencapai lima wasaq, maka zakat diambil sebagaimana zakat sepersepuluh diambil.
(dia berkata): jika kurma ditakar dengan karung, kantong, tempayan, atau botol, lalu pemilik kurma atau petugas zakat meminta untuk mengambil zakat berdasarkan jumlah atau timbangan, hal itu tidak diperbolehkan. Wajib mengambilnya berdasarkan takaran dengan perkiraan (dia berkata): demikian juga jika perkiraan diabaikan, lalu ditemukan kurma di tangannya, maka diambil berdasarkan takaran. Pemilik harta dipercaya atas jumlah takarannya. Jika sebelumnya sudah diambil dalam keadaan basah, maka diambil berdasarkan pengakuan pemilik atau perkiraannya, lalu diambil berdasarkan perkiraan itu.
(Imam Syafi’i berkata): demikian juga jika dia meminta petugas untuk mengambil gandum atau biji-bijian lainnya secara acak, atau dengan ukuran tertentu dalam karung atau wadah, atau dengan timbangan, hal itu tidak diperbolehkan. Petugas wajib mengambilnya secara sempurna (Imam Syafi’i berkata): jika petugas mengabaikan perkiraan, maka perkataan pemilik kurma disertai sumpahnya diterima.
[Pasal Zakat pada Za’faran dan Wars]
(Imam Syafi’i berkata): tidak ada zakat pada za’faran dan wars, karena banyak harta yang tidak wajib dizakati. Kami mengambil zakat berdasarkan hadis atau makna hadis. Za’faran dan wars adalah wewangian, bukan makanan pokok, dan tidak ada zakat pada keduanya. Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui, sebagaimana tidak ada zakat pada ambar, misk, atau wewangian lainnya (dia berkata): demikian juga tidak ada seperlima pada mutiara, dan tidak ada zakat pada sesuatu yang dihasilkan laut dari perhiasannya, atau hasil buruannya.
[Pasal Tidak Ada Zakat pada Madu]
Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: diceritakan kepada kami oleh Imam Syafi’i, dia berkata: diceritakan kepada kami oleh Anas bin ‘Iyadh dari Al-Harits bin Abdurrahman bin Abu Dzabab dari ayahnya, dari Sa’d bin Abu Dzabab, dia berkata: “Aku menghadap Rasulullah SAW, lalu aku masuk Islam. Kemudian aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah untuk kaumku harta mereka yang mereka serahkan saat masuk Islam.’ Rasulullah SAW pun melakukannya dan mengangkatku sebagai pemimpin mereka, kemudian Abu Bakar dan Umar juga mengangkatku. Sa’d adalah penduduk As-Sarah. Lalu aku berbicara kepada kaumku tentang madu, aku katakan kepada mereka: ‘Zakatilah madu, karena tidak ada kebaikan pada buah yang tidak dizakati.’ Mereka bertanya: ‘Menurutmu berapa?'”
Lalu aku berkata: “Sepersepuluh,” maka aku mengambil sepersepuluh dari mereka, kemudian aku mendatangi Umar bin Khattab dan memberitahukan apa yang terjadi. Umar lalu mengambilnya, menjualnya, dan memasukkan hasil penjualannya ke dalam sedekah kaum Muslimin.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abu Bakr, dia berkata: “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada ayahku ketika dia berada di Mina, yang berisi larangan mengambil zakat dari kuda dan madu.”
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata:) “Sa’ad bin Abu Dzabab menceritakan sesuatu yang menunjukkan bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—tidak memerintahkannya untuk mengambil zakat dari madu, melainkan itu adalah sesuatu yang dia lihat, lalu pemiliknya memberikannya secara sukarela.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Tidak ada zakat pada madu dan kuda. Namun, jika pemiliknya memberikan sesuatu secara sukarela, maka boleh diterima dan dimasukkan ke dalam sedekah kaum Muslimin. Umar bin Khattab pernah menerima sedekah sukarela dari penduduk Syam atas kuda mereka. Demikian pula sedekah dari segala sesuatu, boleh diterima dari orang yang memberikannya secara sukarela.”
[Bab Zakat Perak]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Amr bin Yahya Al-Mazini dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda:
“Tidak ada zakat pada harta yang kurang dari lima uqiyah.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Amr bin Yahya Al-Mazini menceritakan kepada kami, dia berkata: Ayahku mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda:
“Dan tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda:
“Dan tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Inilah pendapat yang kami ambil. Jika perak telah mencapai lima uqiyah, yaitu dua ratus dirham dengan timbangan dirham Islam, dan setiap sepuluh dirham Islam setara dengan tujuh mitsqal emas menurut timbangan Islam, maka zakat wajib dikeluarkan dari perak tersebut.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Sama saja apakah perak itu berupa dirham berkualitas tinggi yang sangat murni dengan harga sepuluh dirham per dinar, atau perak batangan yang harganya dua puluh dirham per dinar. Aku tidak melihat nilainya dibandingkan dengan yang lain, karena zakat dikenakan pada zatnya, sebagaimana aku tidak melihat nilai pada hewan ternak atau hasil pertanian. Aku menggabungkan yang baik dan yang buruk dari jenis yang sama.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Jika seseorang memiliki dua ratus dirham kurang satu biji, atau kurang sedikit namun masih dalam batas toleransi timbangan, atau lebih sedikit dari timbangan standar, maka tidak ada zakat padanya. Sebagaimana jika seseorang memiliki empat unta yang bernilai seribu dinar, tidak ada zakat berupa kambing. Namun, jika memiliki lima unta yang tidak bernilai sepuluh dinar, tetap wajib mengeluarkan seekor kambing. Begitu pula jika seseorang memiliki empat wasaq kurma berkualitas tinggi yang nilainya lebih baik dari seratus wasaq jenis lain, tidak ada zakat padanya.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Barangsiapa berpendapat selain ini, maka dia telah menyelisihi sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—dengan mewajibkan zakat pada harta yang kurang dari lima uqiyah, padahal Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—telah mengecualikannya.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Jika seseorang memiliki perak yang buruk dan perak yang baik, maka zakat diambil dari masing-masing sesuai kadar yang wajib, dari yang baik sesuai kadarnya dan dari yang buruk sesuai kadarnya.”
(Asy-Syafi’i berkata:) “Jika seseorang memiliki perak yang tercampur tembaga atau bahan campuran lain, aku memerintahkan untuk memurnikannya terlebih dahulu, lalu zakat diambil setelah murni jika telah mencapai nisab. Jika dia bersedekah secara sukarela dengan perak yang tidak tercampur, maka boleh diterima. Namun, aku tidak menyukai perak yang tercampur, agar tidak menipu orang lain, atau jika dia meninggal, ahli warisnya tidak menipu orang lain dengan perak tersebut.”
(Asy-Syafi’i berkata:)
(Imam Syafi’i) Dan kertas (perak) yang dicampur dengan emas batangan dimasukkan ke dalam dirham yang dicetak.
(Dia berkata): Jika seseorang memiliki perak yang dicampur dengan emas, maka ia harus memasukkannya ke dalam api hingga bisa dibedakan antara keduanya, lalu mengeluarkan zakat dari masing-masing. Jika ia mengeluarkan zakat dari masing-masing sesuai dengan kadar yang ia ketahui, maka tidak masalah. Demikian pula jika pengetahuannya tidak pasti, lalu ia berhati-hati hingga yakin bahwa ia telah mengeluarkan zakat dari masing-masing sesuai kadar yang ada—atau lebih—maka tidak masalah. (Dia berkata): Jika penguasa mengambil zakat darinya, penguasa tidak boleh menerimanya kecuali jika ia bersumpah atas sesuatu yang ia ketahui dengan pasti, lalu penguasa menerimanya. Adapun sesuatu yang tidak ia ketahui, penguasa tidak boleh menerimanya hingga para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak ada lebih dari yang ia katakan. Jika mereka tidak mengatakan demikian, maka ia tidak boleh bersumpah atas kepastian pembayarannya, lalu penguasa mengambil zakat dari masing-masing sesuai kadar yang ada.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki perak yang menempel pada pelana kuda atau digunakan untuk melapisi atapnya, lalu bisa dibedakan sehingga menjadi sesuatu yang terkumpul dengan api, maka ia wajib mengeluarkan zakat atasnya. Namun, jika tidak bisa dibedakan dan tidak menjadi sesuatu, maka itu dianggap hilang dan tidak ada kewajiban zakat atasnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kurang dari lima uqiyah perak yang ada, dan sisanya hingga mencapai lima uqiyah berupa utang atau perak dalam perdagangan yang tidak hadir, maka ia menghitung yang ada dan menunggu utang tersebut. Jika utang telah dibayar dan barang dagangan dinilai, lalu semuanya mencapai nisab zakat, maka ia wajib membayar zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Zakat perak dan emas adalah seperempat puluh (2,5%), tidak boleh ditambah atau dikurangi. (Imam Syafi’i berkata): Jika perak dan emas mencapai nisab zakat, maka diambil seperempat puluh darinya. Jika melebihi nisab, maka kelebihannya juga diambil seperempat puluh, meskipun kelebihannya hanya sebesar satu qirath.
[Bab Zakat Emas]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) dia berkata: (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa tidak ada zakat pada emas hingga mencapai 20 mitsqal. Jika telah mencapai 20 mitsqal, maka wajib zakat.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Pendapat bahwa zakat diambil berdasarkan berat, baik emas itu berkualitas baik, buruk, berupa dinar, bejana, atau batangan, sama seperti hukum pada perak. Jika dinar kurang dari 20 mitsqal sebesar satu biji atau kurang, meskipun masih sah seperti timbangan yang berlaku atau memiliki kelebihan dari timbangan, maka tidak diambil zakat darinya karena zakat berdasarkan berat. Adapun emas yang tercampur dengan lainnya, baik yang tidak hadir maupun yang hadir, hukumnya sama seperti perak tanpa perbedaan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 20 mitsqal emas kurang satu qirath, atau lima uqiyah perak kurang satu qirath, maka tidak ada zakat pada keduanya. Emas tidak boleh digabung dengan perak, dan perak tidak boleh digabung dengan emas, begitu pula jenis harta zakat lainnya tidak boleh digabung dengan jenis yang berbeda. (Dia berkata): Jika kurma tidak boleh digabung dengan kismis—padahal keduanya bisa diperkirakan dan dizakati, serta sama-sama makanan manis dan lebih dekat kesamaannya dalam hal buah dan bentuk dibanding emas dengan perak—maka bagaimana mungkin seseorang beranggapan boleh menggabungkan emas dengan perak? Padahal keduanya tidak serupa dalam warna maupun nilai, dan salah satunya jauh lebih berharga. Bagaimana mungkin boleh digabungkan? Siapa yang menggabungkannya, maka ia telah menyelisihi sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang bersabda, “Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah.” Maka orang yang menggabungkannya telah mengambil zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah. Jika ia berkata, “Aku menggabungkannya dengan yang lain,” maka katakanlah, “Gabungkan juga dengan 30 kambing atau kurang dari 30 sapi.” Jika ia berkata, “Aku tidak menggabungkannya karena bukan satu jenis,” maka demikian pula emas bukan satu jenis dengan perak.
Tidak ada kewajiban zakat pada emas seseorang hingga mencapai 20 dinar di awal dan akhir haul. Jika berkurang dari 20 dinar sehari sebelum haul, lalu kembali genap 20 dinar, maka tidak ada zakat hingga dimulai haul baru dari hari ia genap.
(Dia berkata): Jika seseorang berdagang emas lalu mendapat keuntungan emas, maka keuntungan emas tersebut tidak digabung dengan emas sebelumnya. Emas sebelumnya tetap pada haulnya, sedangkan keuntungan emas memulai haul baru dari hari ia mendapatkannya, seperti keuntungan lainnya selain laba emas. Hukum ini juga berlaku pada perak tanpa perbedaan.
[BAB ZAKAT PERHIASAN]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa ia mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang yatim di bawah pengawasannya, mereka memiliki perhiasan, dan Aisyah tidak mengeluarkan zakat darinya.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-Mu’ammal dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Aisyah -radhiyallahu ‘anha- menghiasi anak-anak perempuan saudara laki-lakinya dengan emas dan perak, dan tidak mengeluarkan zakatnya.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia menghiasi anak-anak perempuannya dan budak-budak perempuannya dengan emas, kemudian tidak mengeluarkan zakat darinya.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan dari Amr bin Dinar, ia berkata: Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang perhiasan: “Apakah ada zakat padanya?” Jabir menjawab: “Tidak.” Orang itu bertanya lagi: “Meskipun nilainya mencapai seribu dinar?” Jabir menjawab: “Itu banyak.”
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik -tetapi aku tidak tahu pasti apakah maknanya sesuai dengan perkataan mereka- bahwa tidak ada zakat pada perhiasan. Dan diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa ada zakat pada perhiasan.
(Asy-Syafi’i berkata): Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya sendiri ada tiga jenis: emas, perak, dan sebagian hasil bumi, serta apa yang diperoleh dari tambang, barang temuan, dan hewan ternak.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki emas atau perak yang mencapai nisab zakat, maka zakatnya dikeluarkan dalam bentuk aslinya ketika haul (tahun) tiba. Misalnya, jika ia memiliki dua ratus dirham yang setara dengan sepuluh dinar, kemudian harganya naik sehingga setara dengan dua puluh dinar, atau turun sehingga setara dengan satu dinar, maka zakatnya tetap pada bentuk aslinya. Demikian juga dengan emas.
Jika ia berdagang dengan dua ratus dirham sehingga menjadi tiga ratus dirham sebelum haul, kemudian haul tiba, maka ia mengeluarkan zakat untuk dua ratus dirham sesuai haulnya, dan seratus dirham kelebihannya sesuai haulnya. Keuntungan tidak digabungkan karena itu bukan bagian dari aset pokok.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini berbeda dengan seseorang yang memiliki dua ratus dirham selama enam bulan, kemudian membeli barang dagangan dengan uang itu. Ketika haul tiba dan barang dagangan masih ada di tangannya, maka barang itu dinilai berdasarkan harga saat itu, baik naik atau turun, karena zakat telah berpindah ke barang dagangan dengan niat berdagang. Barang dagangan dihitung seperti dirham, haulnya mengikuti haul dirham yang digunakan membelinya. Jika barang itu dijual setelah haul, maka zakat diambil dari harganya berapapun nilainya, karena haul telah berlaku pada barang tersebut dan pada asal harta yang digunakan untuk membelinya.
Namun, jika barang itu dijual sebelum haul dan kembali menjadi dirham, maka kelebihannya tidak wajib dizakati sampai haul tiba, karena hukumnya kembali ke dirham, sebab pada awal dan akhir tahun harta itu berbentuk dirham dan telah berubah dari barang dagangan.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini berbeda dengan pertumbuhan hewan ternak sebelum haul, tetapi sesuai dengan pertumbuhannya setelah haul. Aku telah menulis tentang pertumbuhan hewan ternak dalam bab hewan ternak.
(Asy-Syafi’i berkata): Para pemilik gabungan dalam emas dan perak sama seperti pemilik gabungan dalam hewan ternak dan hasil pertanian, tidak ada perbedaan.
(Asy-Syafi’i berkata): Ada pendapat yang mengatakan bahwa perhiasan wajib dikeluarkan sedekah (zakat). Inilah pendapat yang aku pilih dengan memohon petunjuk kepada Allah -Azza wa Jalla-.
(Ar-Rabi’ berkata): Asy-Syafi’i telah memohon petunjuk kepada Allah -Azza wa Jalla- dalam hal ini dan berpendapat bahwa tidak ada zakat pada perhiasan.
Barangsiapa yang berpendapat bahwa perhiasan wajib dikeluarkan sedekah, ia berkata bahwa itu adalah berat tertentu dari perak yang telah ditetapkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagai sedekah, dan berat tertentu dari emas yang telah ditetapkan kaum Muslimin sebagai sedekah.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang berpendapat ada zakat pada perhiasan, maka jika perhiasan itu terpisah atau dirangkai dengan lainnya, ia harus menimbangnya dan mengeluarkan zakat sesuai beratnya. Atau ia boleh berhati-hati dengan mengeluarkan lebih untuk memastikan bahwa ia telah menunaikan semua kewajibannya.
Pendapat ini juga berlaku untuk perak yang digunakan sebagai hiasan pedang, mushaf, cincin, dan segala emas serta perak yang dimiliki dengan cara apa pun.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan, seharusnya ia juga mengatakan tidak ada zakat pada segala sesuatu yang boleh dijadikan perhiasan, tidak ada zakat pada cincin perak seorang laki-laki, hiasan pedangnya, mushafnya, atau ikat pinggangnya jika terbuat dari perak. Jika ia membuatnya dari emas atau membuat perhiasan untuk dirinya sendiri… (terputus).
Perempuan, kalung, gelang, atau perhiasan wanita lainnya, maka di dalamnya ada zakat; karena tidak boleh memakai cincin emas, tidak boleh memakainya di ikat pinggang, tidak boleh mengenakannya di pedang atau mushaf, demikian juga tidak boleh memakainya di baju besi, jubah, atau lainnya dengan cara apa pun. Demikian pula tidak boleh memakai dua gelang, dua anting, atau kalung dari perak atau lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Wanita boleh berhias dengan emas dan perak, dan tidak ada zakat pada perhiasannya bagi yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki atau perempuan membuat bejana dari emas atau perak, maka wajib zakat menurut kedua pendapat. Jika bejana itu bernilai seribu dirham saat berbentuk mentah, tetapi bernilai dua ribu setelah dibentuk, maka zakatnya dihitung berdasarkan beratnya, bukan nilainya. (Beliau berkata): Jika perhiasannya rusak dan dia ingin menggantinya atau tidak, maka tidak ada zakat bagi yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan, kecuali jika dia berniat menjadikannya sebagai harta simpanan, maka wajib dizakati. (Beliau berkata): Jika seorang laki-laki atau perempuan membuat bejana emas atau perak, maka ada zakat menurut kedua pendapat, dan zakat tidak gugur dalam salah satu pendapat kecuali pada perhiasan yang dipakai. (Imam Syafi’i berkata): Jika perhiasan itu dipakai, disimpan, dipinjamkan, atau disewakan, maka tidak ada zakat padanya. Hal ini berlaku sama, baik perhiasan itu banyak, berlipat, atau sedikit, termasuk anting, cincin, mahkota, perhiasan pengantin, dan lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewarisi perhiasan atau membelinya lalu memberikannya kepada istri, pelayan, sebagai hadiah, pinjaman, atau disiapkan untuk itu, maka tidak ada zakat bagi yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan jika disiapkan untuk yang berhak. Jika tidak bermaksud demikian atau bermaksud memakainya, maka wajib zakat karena dia tidak boleh memakainya. Demikian juga jika bermaksud untuk meleburnya.
[Pasal Perhiasan yang Tidak Wajib Zakat]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i berkata: Perhiasan wanita, baik yang disimpan oleh wanita atau laki-laki, seperti mutiara, zamrud, yaqut, marjan, atau hiasan laut lainnya, tidak ada zakat padanya. Zakat hanya wajib pada emas dan perak. Tidak ada zakat pada tembaga, besi, timah, batu, belerang, atau apa pun yang keluar dari bumi. Tidak ada zakat pada ambar atau mutiara yang diambil dari laut. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i berkata, dari Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Adzinah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Tidak ada zakat pada ambar, karena ia adalah sesuatu yang dihanyutkan laut. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i berkata, dari Sufyan bin Uyainah, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, ia ditanya tentang ambar, lalu menjawab: Jika ada sesuatu padanya, maka ada seperlimanya (khumus). (Imam Syafi’i berkata): Tidak ada zakat padanya, juga pada misk (kasturi) atau lainnya yang berbeda dengan rikaz (harta terpendam), hasil pertanian, ternak, emas, dan perak.
[Pasal Zakat Barang Tambang]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Imam Syafi’i berkata: Jika bekerja di pertambangan, tidak ada zakat pada apa pun yang keluar darinya kecuali emas dan perak. Adapun celak, timah, tembaga, besi, belerang, mumia, dan lainnya, tidak ada zakat padanya. (Beliau berkata):
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
(Asy-Syafi’i) : Jika keluar darinya emas atau perak dalam keadaan belum terpisah sehingga perlu diolah dengan api, penggilingan, atau pemurnian, maka tidak ada zakatnya hingga menjadi emas atau perak murni dan terpisah dari campurannya.
(Asy-Syafi’i berkata) : Jika pemilik tambang meminta petugas zakat untuk mengambil zakatnya dengan takaran, timbangan, atau perkiraan, hal itu tidak diperbolehkan. Jika dilakukan, maka itu harus dikembalikan. Pemilik tambang wajib memurnikannya hingga menjadi emas atau perak, lalu zakat diambil darinya. (Dia berkata) : Apa yang diambil petugas zakat sebelum menjadi emas atau perak murni, maka petugas zakat menanggungnya. Pernyataan tentang kadar emas atau perak yang ada adalah pernyataan petugas zakat disertai sumpah jika telah habis. Jika masih di tangannya dan dia berkata, “Ini yang aku ambil darimu,” maka perkataannya diterima.
(Asy-Syafi’i berkata) : Tidak boleh menjual tanah tambang dalam keadaan apa pun karena mengandung perak atau emas yang bercampur dan belum terpisah. (Asy-Syafi’i berkata) : Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa tambang bukan termasuk rikaz, dan zakat berlaku padanya. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari beberapa ulama mereka bahwa Nabi SAW memberikan hak tambang Qabaliyah kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzani, yang terletak di daerah Al-Far’. Tambang tersebut tidak dikenai zakat hingga hari ini.
(Asy-Syafi’i berkata) : Ini bukan riwayat yang diakui ahli hadits. Seandainya pun diakui, tidak ada riwayat dari Nabi SAW kecuali pemberian hak tersebut. Adapun zakat pada tambang selain seperlima (khumus), tidak diriwayatkan dari Nabi SAW. Sebagian ulama di daerah kami berpendapat bahwa tambang dikenai zakat. (Dia berkata) : Ulama lain berpendapat bahwa tambang adalah rikaz yang dikenai khumus. (Dia berkata) : Siapa yang berpendapat zakat pada tambang, maka itu berlaku pada hasil tambang yang memerlukan biaya pengolahan, penggilingan, atau pembakaran. (Dia berkata) : Jika pendapat itu mencakup emas yang ditemukan terkumpul di tambang atau di sungai bekas banjir yang terbentuk di bumi, itu adalah mazhab. Jika dibedakan dengan mengatakan semua ini rikaz—karena jika seseorang menemukan gumpalan emas di tambang, dikatakan telah menemukan rikaz—dan pendapat itu mencakup apa yang ditemukan di sungai bekas hujan serta menganggapnya rikaz, bukan yang memerlukan pemurnian dan penggilingan, itu juga mazhab.
(Asy-Syafi’i berkata) : Pada bagian yang dikenai zakat, tidak ada zakat hingga emas mencapai 20 mitsqal atau perak mencapai 5 awaq. (Dia berkata) : Hitunglah yang diperoleh dalam sehari atau hari-hari berturut-turut dan gabungkan jika pekerjaannya di tambang berkelanjutan. Jika mencapai nisab, maka zakatlah.
(Asy-Syafi’i berkata) : Jika tambang tidak produktif dan pekerja menghentikan pekerjaan lalu melanjutkannya lagi, maka yang diperoleh dari pekerjaan kedua tidak digabung dengan yang pertama, baik sedikit atau banyak. Penghentian berarti berhenti bekerja tanpa alasan alat atau sakit. Jika alasannya adalah alat atau sakit selama masih mungkin bekerja, ini bukan penghentian karena pekerjaan seluruhnya seperti ini. Begitu pula jika pekerjanya sulit didapat atau budaknya melarikan diri, ini tidak dianggap penghentian dan tidak ada batasan kecuali seperti yang kusebutkan, sedikit atau banyak.
(Asy-Syafi’i berkata) : Jika pekerjaan di tambang berlanjut dan tambang tetap produktif tanpa penghentian, maka yang diperoleh dari pekerjaan berikutnya digabung dengan yang pertama karena itu satu kesatuan pekerjaan. Tidak setiap hari tambang menghasilkan. Jika pekerjaan dihentikan lalu dilanjutkan lagi, yang diperoleh dari pekerjaan kedua tidak digabung dengan yang pertama. Tidak ada batasan sedikit atau banyaknya penghentian kecuali seperti yang kusebutkan, baik dengan penghentian maupun tanpa penghentian.
[BAB ZAKAT RIKAZ]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada rikaz terdapat zakat seperlima.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada rikaz terdapat zakat seperlima.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada rikaz terdapat zakat seperlima.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Syabur dan Ya’qub bin ‘Atha’ dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang harta karun yang ditemukan seseorang di reruntuhan jahiliyah: Jika engkau menemukannya di perkampungan yang berpenghuni atau jalan umum, maka umumkanlah. Tetapi jika engkau menemukannya di reruntuhan jahiliyah atau perkampungan yang tidak berpenghuni, maka padanya—dan pada rikaz—terdapat zakat seperlima.”
(Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata): “Yang tidak aku ragukan adalah bahwa rikaz adalah harta terpendam dari jahiliyah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Sedangkan yang masih aku pertimbangkan adalah rikaz dalam tambang dan emas yang terbentuk di dalam bumi.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Rikaz yang dikenakan zakat seperlima adalah harta terpendam jahiliyah yang ditemukan di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, baik di negeri Islam maupun tanah mati. Demikian juga berlaku di negeri perang dan negeri perjanjian, kecuali jika mereka telah berdamai atas kepemilikan tanah mati tersebut. Barangsiapa menemukan harta terpendam jahiliyah di tanah mati, maka empat perlimanya untuknya, dan seperlima untuk para penerima zakat.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang menemukan rikaz di tanah mati pada hari ditemukannya, padahal tanah itu pernah hidup (dihuni) oleh penduduk Islam atau pemegang perjanjian, maka harta itu milik pemilik tanah karena tanah itu tidak termasuk tanah mati, sebagaimana jika ditemukan di rumah reruntuhan milik seseorang, maka itu milik pemiliknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ditemukan di negeri perang, baik di tanah yang dihuni atau reruntuhan yang pernah dihuni oleh seseorang, maka itu termasuk ghanimah, dan penemunya tidak lebih berhak daripada pasukan Muslim. Statusnya seperti harta yang diambil dari pemukiman musuh.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang diberikan sebidang tanah di negeri Islam, lalu orang lain menemukan rikaz di dalamnya, maka itu milik pemilik tanah, meskipun dia tidak menghuninya, karena tanah itu miliknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang menemukan rikaz di tanah atau rumah orang lain, lalu pemilik rumah mengklaim itu miliknya, maka itu menjadi miliknya tanpa perlu bersumpah. Jika pemilik rumah berkata: ‘Itu bukan milikku,’ dan dia mewarisi rumah itu, maka dikatakan: ‘Jika engkau mengklaimnya untuk orang yang mewariskan rumah itu kepadamu, maka itu dibagi antara kamu dan ahli warisnya.’ Jika dia ragu-ragu dalam klaimnya atau berkata: ‘Itu bukan milik orang yang mewariskan rumah kepadaku,’ maka ahli waris lain dari pemilik rumah boleh mengklaim bagian warisan mereka dan mengambil sesuai bagian warisan mereka.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ahli waris seseorang mengklaim bahwa rikaz itu milik mereka, maka perkataan mereka diterima.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ahli waris mengingkari bahwa rikaz itu milik ayah mereka, maka itu menjadi milik orang yang memiliki rumah sebelum ayah mereka dan ahli warisnya jika dia telah meninggal. Jika mereka yang hidup mengingkari atau ahli warisnya jika dia telah meninggal bahwa itu milik mereka, maka itu menjadi milik pemilik rumah sebelumnya, demikian seterusnya, dan bukan milik penemunya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang menemukan rikaz di rumah orang lain yang dihuni oleh penyewa, lalu pemilik rumah mengklaim itu miliknya, maka rikaz itu milik penyewa, sebagaimana barang-barang lain di rumah yang tidak terikat dengan bangunan.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Harta terpendam jahiliyah adalah apa yang diketahui sebagai kebiasaan orang jahiliyah, seperti barang-barang buatan non-Arab, perhiasan mereka, atau perhiasan orang musyrik lainnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Sama saja apakah ditemukan di kuburan atau tempat lain selama berada di lokasi yang tidak dimiliki oleh siapa pun.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ditemukan…
Bagi orang-orang jahiliyah dan syirik, suatu perbuatan atau pukulan yang dilakukan oleh orang Islam dan mereka lakukan, atau ditemukan sesuatu dari jenis Islam, atau perbuatan mereka yang tidak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, maka itu dianggap sebagai luqathah (barang temuan). Jika barang itu terkubur atau ditemukan di tempat yang bukan milik seseorang, maka diperlakukan sebagaimana luqathah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ditemukan di tanah milik seseorang, maka itu miliknya. Bagi yang menemukan barang yang biasa dibuat oleh orang jahiliyah atau Islam, hendaknya dia mengumumkannya. Jika tidak, dia boleh mengeluarkan seperlimanya dan tidak dipaksa untuk mengumumkannya. Jika itu adalah rikaz (harta terpendam), dia wajib menyerahkan hak yang ada padanya. Jika bukan rikaz, maka dia bersedekah dengan mengeluarkan seperlima. Hal yang sama berlaku untuk rikaz yang ditemukan di kuburan, rumah, reruntuhan, terkubur, atau dalam bangunannya.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Imam Syafi’i menceritakan kepada kami, Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami, Ismail bin Abi Khalid menceritakan kepada kami dari Asy-Sya’bi, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Ali -radhiyallahu ‘anhu- dan berkata: “Aku menemukan seribu lima ratus dirham di reruntuhan di Sawad.” Maka Ali -karramallahu wajhahu- berkata: “Aku akan memutuskan perkara ini dengan jelas. Jika engkau menemukannya di reruntuhan yang kharaj-nya dibayar oleh desa lain, maka itu milik penduduk desa itu. Jika engkau menemukannya di desa yang kharaj-nya tidak dibayar oleh desa lain, maka empat perlima untukmu dan seperlima untuk kami, kemudian seperlima itu juga untukmu.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menemukan rikaz di tanah yang tidak dimiliki, lalu penguasa mengambil seperlimanya dan memberikan empat perlima kepada si penemu, kemudian seseorang datang dengan bukti bahwa itu miliknya, maka penguasa dan penemu rikaz harus mengembalikan semua yang mereka ambil. Jika mereka telah menghabiskannya, maka penemu empat perlima wajib mengganti empat perlima dari hartanya. Jika penguasa telah memberikannya kepada ahli saham (penerima zakat), maka diambil dari bagian ahli saham dan diberikan kepada yang berhak. Ini dilakukan dengan mengambil dari pembagian lima rikaz lainnya atau sedekah Muslim, lalu diberikan kepada pemilik rikaz. Jika penguasa menghabiskannya untuk dirinya sendiri, dia wajib menggantinya dari hartanya. Demikian pula jika dia memberikannya kepada selain ahli saham, dia wajib menggantinya dan boleh menuntut kembali dari yang diberi jika dia mau.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seperlima itu hilang di tangannya tanpa kelalaian, dan dia menerimanya untuk ahli saham, maka dia wajib menggantinya untuk pemiliknya dari bagian ahli saham. Jika dia diberhentikan, maka penggantinya wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dari bagian ahli saham.
(Imam Syafi’i berkata): Apa yang aku katakan sebagai rikaz, maka demikianlah hukumnya. Sedangkan apa yang aku katakan milik penghuni rumah dan merupakan luqathah, maka luqathah tidak dikenakan seperlima. Itu milik si penemu jika tidak diumumkan. Begitu pula jika diumumkan, tidak dikenakan seperlima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menemukan rikaz di negeri kafir harbi di tanah mati yang tidak dimiliki, seperti tanah mati di Arab, maka itu milik si penemu dengan kewajiban seperlima. Jika ditemukan di tanah yang dihuni dan dimiliki oleh seorang musuh, maka itu seperti ghanimah dan harta yang diambil dari rumah-rumah mereka.
[Bab Barang Temuan Rikaz]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku tidak ragu bahwa jika seseorang menemukan rikaz berupa emas atau perak dan mencapai nishab zakat, maka zakatnya adalah seperlima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika yang ditemukan kurang dari nishab zakat, atau bukan emas dan perak, ada yang berpendapat wajib dikeluarkan seperlima. Sekalipun berupa tembikar, senilai satu dirham atau kurang, aku tidak memastikan kewajiban itu atau memaksakannya. Namun, seandainya aku yang menemukannya, aku akan mengeluarkan seperlimanya berapapun nilainya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menemukan rikaz dan wajib mengeluarkan seperlima, maka kewajibannya adalah saat ditemukan, seperti zakat ma’din saat dikeluarkan dari bumi. Karena ia berasal dari bumi dan berbeda dengan harta yang diperoleh dari selain bumi.
Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta karun (rikaz) kecuali jika harta tersebut termasuk harta yang wajib dizakati, maka jika haul zakat hartanya jatuh pada bulan Muharram dan ia telah mengeluarkan zakat hartanya, kemudian ia menemukan rikaz pada bulan Shafar sedangkan ia memiliki harta lain yang wajib dizakati, maka ia wajib mengeluarkan zakat rikaz sebesar seperlima (khumus). Bahkan jika rikaz tersebut hanya satu dinar, karena saat itu adalah waktu wajibnya zakat rikaz dan ia memiliki harta yang wajib dizakati, atau harta yang jika digabung dengan rikaz menjadi wajib zakat. Hal ini berlaku jika harta tersebut ada di tangannya. Jika hartanya berupa piutang atau harta yang sedang dalam perjalanan dagang, maka ia harus mengetahui waktu saat menemukan rikaz, lalu bertanya. Jika diketahui bahwa harta yang sedang dalam perjalanan dagang tersebut berada di tangan orang yang diberi kuasa untuk memperdagangkannya, maka statusnya sama seperti harta yang ada di tangannya, dan ia wajib mengeluarkan zakat rikaz saat mengetahui hal itu, meskipun harta yang sedang dalam perjalanan tersebut kemudian hilang. Demikian juga jika ia memiliki titipan harta di tangan seseorang, atau harta yang terkubur di suatu tempat, lalu ia mengetahui bahwa pada saat menemukan rikaz, harta tersebut masih ada di tempatnya.”
Imam Syafi’i berkata: “Demikian pula jika seseorang memperoleh sepuluh dinar dan haul zakatnya jatuh pada bulan Shafar, sedangkan haul zakat hartanya jatuh pada bulan Muharram, maka hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan mengenai rikaz.”
Imam Syafi’i berkata: “Jika seseorang menemukan rikaz pada bulan Shafar dan ia memiliki piutang yang wajib dizakati ketika diterima, maka jika piutang tersebut digabung dengan rikaz, ia tidak wajib mengeluarkan zakat sampai piutang tersebut diterima. Namun ia wajib menagihnya ketika sudah jatuh tempo. Jika piutang tersebut diterima, atau diterima sebagian yang cukup untuk memenuhi nisab zakat rikaz, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.”
Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang berpendapat seperti ini, maka ia akan mengatakan: ‘Jika seseorang memperoleh rikaz hari ini yang tidak wajib dizakati, lalu besok memperoleh rikaz lagi, maka jika keduanya digabung dan memenuhi nisab zakat, tidak ada kewajiban seperlima pada masing-masing rikaz, dan keduanya tidak boleh digabung. Keduanya dianggap seperti harta yang diperoleh pada waktu tertentu, lalu setelah genap satu tahun, diperoleh harta lain pada waktu yang berbeda, sehingga tidak ada kewajiban zakat.’ Jika seseorang memegang rikaz seperti ini, dan rikaz tersebut termasuk harta yang wajib dizakati, maka ketika haulnya genap, ia wajib mengeluarkan zakat sebesar seperempat puluh (2,5%) berdasarkan haul, bukan seperlima.”
[Bab Zakat Perdagangan]
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Abi Salamah dari Abu Amr bin Hammad, bahwa ayahnya berkata: “Aku pernah melewati Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- sementara di pundakku ada kulit yang kubawa. Umar berkata: ‘Wahai Hammad, tidakkah engkau keluarkan zakatnya?’ Aku menjawab: ‘Wahai Amirul Mukminin, aku tidak memiliki harta selain yang ada di punggungku dan kulit yang sedang direndam.’ Umar berkata: ‘Itu adalah harta, letakkanlah.’ Aku pun meletakkannya di hadapannya, lalu ia menghitungnya dan ternyata mencapai nisab zakat. Maka Umar mengambil zakat darinya.”
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Ajlan menceritakan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Abu Amr bin Hammad dari ayahnya dengan riwayat yang serupa.
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Seorang yang terpercaya mengabarkan kepada kami dari Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Tidak ada zakat pada barang (harta tidak bergerak) kecuali jika dimaksudkan untuk diperdagangkan.”
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Raziq bin Hakim bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepadanya: “Perhatikan setiap muslim yang melewati daerahmu, ambillah zakat dari harta perdagangan mereka yang tampak, yaitu setiap 40 dinar dikenakan 1 dinar. Jika kurang, hitunglah proporsional sampai mencapai 20 dinar. Jika kurang sepertiga dinar, biarkanlah dan jangan ambil apa-apa.”
Imam Syafi’i berkata: “Hitunglah haulnya sampai genap satu tahun, baru ambil zakatnya. Jangan mengambil zakat dari mereka sampai mereka mengetahui bahwa haul zakat telah genap pada harta yang dizakati.”
Imam Syafi’i berkata: “Kami sependapat dengan pernyataannya: ‘Jika kurang sepertiga dinar…'”
“Sepertiga dinar, tinggalkanlah dan kita berbeda pendapat bahwa jika kurang dari dua puluh dinar bahkan kurang dari sebutir biji, kita tidak mengambil apa pun darinya karena zakat telah ditetapkan bahwa ia hanya diambil dari dua puluh dinar. Maka, ilmu mencakup bahwa zakat tidak diambil dari kurang dari dua puluh dinar, berapa pun jumlahnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Kami mengambil pendapat ini secara keseluruhan, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yang aku hafal dan yang disebutkan kepadaku dari ahli ilmu di berbagai negeri.”
(Imam Syafi’i berkata): “Barang-barang (‘urudh) yang tidak dibeli untuk perdagangan termasuk harta yang tidak wajib dizakati. Siapa pun yang memiliki rumah, pemandian untuk disewakan, pakaian—baik banyak maupun sedikit—atau budak—baik banyak maupun sedikit—tidak ada zakat atasnya. Demikian pula, tidak ada zakat pada hasilnya hingga berlalu haul (satu tahun) di tangan pemiliknya. Begitu juga dengan harta seorang mukatab (budak yang menebus dirinya) dan lainnya, tidak ada zakat kecuali setelah haul. Demikian pula semua harta yang bukan berupa hewan ternak, hasil pertanian, emas, atau perak—baik yang dibutuhkan, tidak dibutuhkan, disewakan, atau disimpan—dan tidak dimaksudkan untuk perdagangan, maka tidak ada zakat atasnya, baik dari nilainya, hasilnya, maupun harganya jika dijual, kecuali jika ia menjualnya atau mengubahnya menjadi emas atau perak. Jika harga penjualannya telah memenuhi haul di tangannya, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Begitu pula hasilnya, jika termasuk harta yang wajib dizakati seperti unta, sapi, kambing yang digembalakan, emas, atau perak. Jika ia menyewakan sesuatu dengan imbalan gandum atau tanaman yang wajib dizakati, maka tidak ada zakat atasnya, baik haul telah berlalu atau belum, karena ia tidak menanamnya sehingga zakat menjadi wajib. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan agar haknya diberikan pada hari panen, dan ini menunjukkan bahwa zakat hanya diwajibkan pada hasil pertanian.”
(Ar-Rabi’ berkata): “Abu Ya’qub berkata: ‘Zakat hasil pertanian wajib bagi penjualnya, karena tidak sah menjual hasil pertanian menurut pendapat yang membolehkannya kecuali setelah menguning.'”
(Abu Muhammad Ar-Rabi’ berkata): “Jawaban Imam Syafi’i dalam hal ini berdasarkan pendapat yang membolehkan penjualannya. Adapun beliau sendiri tidak membolehkan penjualan tanaman yang masih di tangkai kecuali ada hadis Nabi ﷺ yang mendukungnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama yang aku ketahui bahwa siapa pun yang telah mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari tanahnya, lalu menahan makanannya selama beberapa tahun, maka tidak ada zakat atasnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Siapa pun yang memiliki barang-barang (‘urudh) ini melalui warisan, hibah, wasiat, atau cara kepemilikan lainnya selain pembelian, atau ia menahannya dengan niat menjual, lalu berlalu beberapa haul, maka tidak ada zakat atasnya karena ia tidak membelinya untuk diperdagangkan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Siapa pun yang membeli barang (‘urudh) seperti yang telah aku sebutkan atau lainnya yang tidak wajib dizakati secara langsung—baik emas, perak, atau barang—dengan cara pembelian yang sah, ia harus menghitung haul sejak hari ia memilikinya secara sah. Jika haul telah berlalu sejak hari kepemilikannya, dan barang itu masih di tangannya untuk diperdagangkan, maka ia wajib menilai barang tersebut dengan mata uang yang berlaku di negerinya—baik dinar maupun dirham—kemudian mengeluarkan zakat dari harta yang digunakan untuk menilainya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian pula jika ia menjual satu barang dengan barang lain yang dibeli untuk perdagangan, ia harus menilai barang kedua pada haul sejak hari kepemilikan barang pertama untuk perdagangan, lalu mengeluarkan zakat dari nilainya. Sama saja apakah ia merugi dalam pembelian atau tidak, kecuali jika ia merugi karena pilih kasih atau ketidaktahuan, karena zakat tetap wajib atas barang itu sendiri tanpa perbedaan pendapat.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang membeli barang dengan uang yang wajib dizakati atau dengan barang yang wajib dizakati nilainya, maka perhitungan haul dimulai sejak harta itu berada di tangannya. Misalnya, jika uang atau barang yang digunakan untuk membeli barang dagangan telah berada di tangannya selama enam bulan, lalu ia membeli barang dagangan lain yang bertahan di tangannya selama enam bulan, maka haul telah sempurna untuk kedua harta tersebut, dan zakat wajib atas keduanya. Maka, ia harus menilai barang yang ada di tangannya dan mengeluarkan zakatnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika di tangannya ada barang yang tidak ia beli atau barang yang dibeli bukan untuk perdagangan, lalu ia membeli barang lain untuk diperdagangkan, haul tidak dihitung sejak kepemilikan barang pertama, melainkan sejak hari ia membeli barang kedua. Jika haul telah berlalu sejak hari pembelian, ia wajib mengeluarkan zakat, karena barang pertama bukan termasuk harta yang wajib dizakati.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang membeli barang untuk diperdagangkan dengan dinar, dirham, atau harta lain yang wajib dizakati seperti hewan ternak, dan ia memperoleh harga barang itu pada hari yang sama, maka barang tersebut tidak dinilai hingga haul harga barang itu sempurna, lalu ia mengeluarkan zakat setelah haul.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika barang ini berada di tangannya selama enam bulan, lalu ia menjualnya dengan dirham atau dinar yang tetap berada di…”
Harta yang telah berada di tangannya selama enam bulan wajib dizakati, baik berupa dinar maupun dirham, karena zakat tidak diwajibkan pada barang dagangan kecuali jika dibeli dengan niat untuk diperdagangkan. Maka hukumnya sama seperti emas dan perak yang telah mencapai haul (satu tahun) di tangannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki 200 dirham selama enam bulan, lalu ia membeli barang dagangan dengannya, dan barang itu tetap berada di tangannya hingga mencapai haul sejak ia memiliki 200 dirham yang ia tukarkan untuk barang dagangan, atau ia menjualnya dengan barang lain untuk tujuan dagang, maka haul dihitung sejak ia memiliki 200 dirham atau sejak ia menzakati 200 dirham tersebut. Barang itu dinilai dengan dirham, lalu dizakati, dan tidak dinilai dengan dinar meskipun dinar lebih dominan sebagai mata uang setempat. Penilaian dengan yang lebih dominan hanya berlaku jika ia membelinya dengan barang dagangan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia membeli barang dengan dirham, lalu menjualnya dengan dinar sebelum haul sempurna sejak ia memiliki dirham yang ia tukarkan atau sejak ia menzakatinya, maka ia wajib mengeluarkan zakat sejak ia memiliki dirham yang digunakan untuk membelinya—jika dirham tersebut termasuk harta yang wajib dizakati. Sebab zakat berlaku pada barang itu sendiri. Maka, apapun yang digunakan untuk menjual barang tersebut, zakat tetap wajib. Dinar yang diterima dari penjualan dinilai dengan dirham, lalu zakat diambil berdasarkan nilai dirham tersebut. Tidakkah kamu melihat bahwa jika barang dijual dengan barang lain, ia dinilai lalu zakat diambil, dan jika tetap sebagai barang dagangan, ia dinilai lalu zakat diambil? Jika dijual dengan dinar, maka dinar itu dizakati berdasarkan nilai dirham.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika penjual membeli barang dengan dirham lalu menjualnya dengan dinar, transaksi itu sah, dan ia tidak perlu menilainya dengan dirham atau mengeluarkan zakat, karena dinar itu sendiri wajib dizakati. Dirham telah berubah menjadi dinar, sehingga tidak ada zakat lagi padanya.
Prinsip pendapat Imam Syafi’i adalah bahwa jika seseorang menjual barang dengan dirham yang hampir genap haulnya (kurang sehari) dengan dinar, maka tidak ada zakat pada dinar tersebut hingga haul baru dimulai, sama seperti jika ia menukar sapi atau kambing dengan unta yang hampir genap haulnya—haul baru dimulai dari apa yang dibeli, selama hewan tersebut digembalakan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli barang tanpa niat untuk diperdagangkan, lalu haul berlalu atau tidak, kemudian ia berniat untuk memperdagangkannya, maka tidak ada zakat padanya hingga ia menjualnya dan haul sempurna pada harganya. Sebab, jika ia membelinya tanpa niat dagang, maka statusnya seperti harta yang dimiliki tanpa pembelian—tidak ada zakat padanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli barang dengan niat dagang, lalu sebelum haul sempurna ia berniat untuk menyimpannya (tidak untuk diperdagangkan), maka tidak ada zakat. Namun, lebih baik baginya untuk tetap menzakatinya. Zakat hanya wajib jika ia membelinya dengan niat dagang dan tidak mengubah niatnya. Jika niatnya berubah, maka menurutku tidak ada zakat. Ini berbeda dengan hewan ternak yang digembalakan—jika ia berniat memberi pakan, status penggembalaannya tidak berubah hingga ia benar-benar memberinya pakan. Sedangkan niat menyimpan atau berdagang sama saja, tidak ada perbedaan kecuali berdasarkan niat pemilik.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang hanya memiliki kurang dari 200 dirham atau 20 mitsqal, lalu ia membeli barang dagangan dengannya, kemudian menjualnya setelah haul, atau saat haul, atau sebelumnya dengan harta yang wajib dizakati, maka barang itu dizakati sejak ia memilikinya, bukan sejak ia memiliki dirham. Sebab, jika dirham itu tetap ada tanpa dibelanjakan, tidak ada zakat padanya meskipun haul telah sempurna.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dinar atau dirham yang ia miliki—dan tidak memiliki selainnya—untuk membeli barang dagangan telah berada di tangannya selama beberapa bulan, maka masa kepemilikannya tidak dihitung. Sebab, harta itu tidak wajib dizakati saat di tangannya. Haul barang dagangan dihitung sejak ia memilikinya. Kami menganggap haul barang dagangan dimulai sejak ia memilikinya karena zakat menjadi wajib padanya sendiri akibat niat membeli untuk berdagang, jika haul telah sempurna sejak ia memilikinya—selama barang itu termasuk harta yang wajib dizakati. Seperti yang telah kujelaskan, zakat berlaku pada barang itu sendiri, dan aku tidak melihat nilainya pada awal kepemilikan.
Tahun maupun di tengah-tengahnya; karena zakat hanya wajib jika nilainya pada hari jatuh tempo zakat termasuk harta yang wajib dizakati. Dalam hal ini, ia berbeda dengan emas dan perak. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang membeli barang senilai dua puluh dinar, lalu pada saat haul (putaran tahun) nilainya kurang dari dua puluh dinar, maka zakatnya gugur? Karena ini menunjukkan bahwa zakat terkait pada barang tersebut dan harganya jika dijual, bukan pada harga pembeliannya.
(Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku untuk segala yang dibeli untuk perdagangan, kecuali barang-barang yang wajib dizakati secara zatnya, seperti budak dan lainnya. Jika seseorang membeli budak untuk diperdagangkan, lalu tiba waktu Fitri dan budak tersebut masih dalam kepemilikannya, maka ia wajib mengeluarkan zakat Fitri untuk mereka jika mereka muslim, serta zakat perdagangan berdasarkan haulnya. Jika mereka non-muslim, hanya zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan, bukan zakat Fitri. (Imam Syafi’i berkata): Tidak ada zakat Fitri untuk barang yang dibeli untuk perdagangan selain budak muslim, dan zakatnya berbeda dengan zakat perdagangan. Tidakkah kamu melihat bahwa zakat Fitri dikenakan berdasarkan jumlah orang merdeka yang bukan harta, dan ia merupakan penyucian bagi orang yang terkena kewajiban iman?
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli dirham dengan dinar, atau dengan barang, atau dinar dengan dirham, atau dengan barang dengan niat untuk berdagang, maka tidak ada zakat pada apa yang dibeli tersebut hingga haulnya sempurna sejak hari ia memilikinya. Misalnya, jika seseorang memiliki seratus dinar selama sebelas bulan, lalu membeli seratus dinar atau seribu dirham dengannya, maka tidak ada zakat pada dinar atau dirham yang baru dibeli hingga haulnya sempurna sejak hari ia memilikinya, karena zakatnya terkait pada zatnya. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika seseorang membeli hewan ternak (sā’imah) seperti unta, sapi, atau kambing dengan dinar, dirham, atau hewan lainnya, maka tidak ada zakat pada yang dibeli hingga haulnya sempurna dalam kepemilikannya sejak hari ia membelinya, baik dengan barang sejenis atau lainnya yang wajib dizakati. Tidak ada zakat pada barang yang ia simpan selama ia mau, karena zakatnya terkait pada zatnya, bukan niat untuk berdagang atau lainnya. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli hewan ternak untuk diperdagangkan, maka zakatnya adalah zakat hewan ternak, bukan zakat perdagangan. Jika seseorang memiliki hewan ternak melalui warisan, hadiah, atau lainnya, maka zakatnya adalah zakat hewan ternak berdasarkan haulnya, dan ini berbeda dengan zakat perdagangan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli kebun kurma atau tanah untuk diperdagangkan, maka zakatnya adalah zakat kebun kurma dan tanaman. Jika seseorang membeli tanah yang terdapat tanaman selain kurma, anggur, atau gandum… (Abu Ya’qub dan Ar-Rabi’ berkata): …atau barang yang mengandung rikaz (harta terpendam) untuk diperdagangkan, maka zakatnya adalah zakat perdagangan, karena ini termasuk harta yang tidak wajib dizakati secara zatnya, melainkan hanya dizakati sebagai zakat perdagangan. (Imam Syafi’i berkata): Siapa yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan atau hewan ternak selain sā’imah, maka jika seseorang membeli salah satu dari keduanya untuk diperdagangkan, zakatnya seperti zakat pada barang dagangan lainnya.
[Pasal Zakat Modal Qiradh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memberikan seribu dirham kepada orang lain sebagai modal qiradh (kerja sama bagi hasil), lalu modal tersebut digunakan untuk membeli barang senilai dua ribu dirham dan haulnya sempurna sebelum barang tersebut dijual, maka ada dua pendapat: Pertama, barang tersebut wajib dizakati seluruhnya karena ia adalah milik pemilik modal, dan tidak ada hak bagi pengelola (muqāridh) hingga modal dikembalikan kepada pemilik modal dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika barang tersebut dijual setelah haul atau sebelum haul, tetapi harta belum dibagi hingga haul sempurna. (Imam Syafi’i berkata): Jika barang dijual sebelum haul, modal dikembalikan kepada pemilik modal, dan keuntungan dibagi, lalu haul sempurna, maka zakat wajib dikeluarkan atas modal dan keuntungan pemilik modal, tetapi tidak ada zakat pada bagian pengelola karena ia memperoleh harta yang belum sempurna haulnya.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika modal dikembalikan kepada pemilik modal tetapi keuntungan belum dibagi hingga haul sempurna, maka zakat wajib atas modal dan bagian keuntungan pemilik modal, tetapi tidak wajib atas bagian pengelola meskipun ia adalah mitra, karena kepemilikannya baru terjadi dan haulnya belum sempurna sejak hari ia memilikinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika harta tersebut tertunda selama bertahun-tahun tanpa dijual, maka zakatnya wajib setiap tahun atas pemilik modal hingga modal dikembalikan kepadanya. Adapun bagian yang belum dikembalikan kepada pemilik modal tetap menjadi miliknya menurut pendapat ini.
Berbeda.
(Imam Syafi’i berkata): “Jika pemilik harta adalah seorang muslim yang merdeka, atau budak yang diizinkan berdagang, sedangkan pekerja (amil) adalah seorang Nasrani atau mukatab, maka zakat tetap dikeluarkan selama pemilik harta belum mengambil modalnya. Jika pemilik harta mengambil modalnya, maka zakat dikeluarkan atas seluruh hartanya, dan zakat tidak dikeluarkan atas bagian harta Nasrani atau mukatab. Pendapat ini lebih sesuai di antara dua pendapat, dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui.”
(Imam Syafi’i berkata): “Pendapat kedua, jika seseorang menyerahkan seribu dirham sebagai modal (qirāḍ) kepada orang lain, lalu dibelikan barang senilai seribu dirham, kemudian haul (tahun zakat) tiba atas barang tersebut di tangan pengelola modal sebelum dijual, maka barang itu dinilai. Jika nilainya mencapai dua ribu dirham, zakat dikeluarkan atas seribu lima ratus dirham karena itu adalah bagian pemilik modal, sedangkan zakat atas lima ratus dirham ditahan. Jika haul kedua tiba dan nilainya tetap dua ribu dirham, maka zakat dikeluarkan atas dua ribu dirham karena haul atas lima ratus dirham telah sempurna sejak menjadi milik pengelola modal. Jika nilai barang berkurang, tidak ada kewajiban zakat atas pemilik modal atau pengelola modal, dan mereka tidak perlu mengembalikan zakat yang telah dikeluarkan. Jika nilai barang bertambah hingga mencapai tiga ribu dirham pada tahun berikutnya, maka zakat dikeluarkan atas tiga ribu dirham seperti yang telah dijelaskan. Bahkan jika keuntungannya hanya seratus dirham, separuhnya menjadi milik pengelola modal, dan haulnya dihitung sejak ia memiliki keuntungan tersebut, maka zakat dikeluarkan karena pengelola modal adalah mitra dalam harta tersebut. Jika nilai barang turun hingga seribu dirham, zakat dikeluarkan atas seribu dirham, dan zakat pertama dianggap sebagai kewajiban bersama keduanya. Seandainya mereka adalah mitra dalam satu harta, zakat diambil dari keduanya bersama-sama atau hanya dari pemilik modal. Ini berlaku jika pengelola modal adalah muslim merdeka atau budak yang diizinkan majikannya untuk mengelola modal, sehingga hartanya dianggap sebagai harta majikannya.
Jika pengelola modal adalah orang yang tidak wajib zakat, seperti Nasrani, dan situasinya tetap sama, maka zakat dikeluarkan atas bagian pengelola modal yang muslim dan tidak dikeluarkan atas bagian pengelola modal yang Nasrani, karena jika keuntungannya aman, itu menjadi miliknya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian pula jika pengelola modal adalah mukatab menurut pendapat pertama, di mana modalnya milik muslim, dan zakat tidak dikeluarkan atas bagian pekerja Nasrani atau mukatab dalam pendapat lain karena mereka tidak wajib zakat atas harta mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika situasinya tetap sama, tetapi pemilik modal adalah Nasrani dan pengelola modal adalah muslim, lalu ia membeli barang senilai seribu dirham, kemudian haul tiba saat barang itu bernilai dua ribu dirham, maka tidak ada zakat atasnya meskipun haul berulang kali, karena itu adalah harta Nasrani. Kecuali jika pengelola modal mengembalikan modal kepada Nasrani, maka kelebihan antara mereka berdua menjadi milik pengelola modal muslim, dan zakat dikeluarkan atas bagiannya jika haul telah sempurna, sementara bagian Nasrani tidak dizakati menurut pendapat pertama. Adapun menurut pendapat kedua, ia menghitungnya tetapi tidak wajib zakat sampai haul sempurna. Jika haul sempurna dan keuntungan aman, ia mengeluarkan zakatnya seperti zakat atas tahun-tahun sebelumnya sejak ia memiliki kelebihan dalam harta tersebut.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika kepemilikan harta bersama antara muslim dan kafir, maka muslim mengeluarkan zakat atas bagiannya seperti zakat harta perorangan, bukan zakat mitra atau rekan dalam hewan ternak, tanaman, dan lainnya. Karena zakat hanya dikumpulkan dari harta yang seluruhnya wajib zakat, sedangkan menggabungkan harta yang tidak wajib zakat tidak diperbolehkan.”
### [Bab Hutang dan Zakat]
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari As-Saib bin Yazid bahwa Utsman bin Affan pernah berkata: “Ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang memiliki hutang, hendaknya melunasinya terlebih dahulu hingga harta kalian bersih, lalu keluarkan zakat dari harta tersebut.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Hadis Utsman ini menunjukkan -dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui- bahwa beliau memerintahkan untuk melunasi hutang sebelum zakat jatuh tempo pada harta. Dalam perkataannya, ‘Ini adalah bulan zakat kalian,’ bisa berarti bulan ini adalah bulan di mana jika telah berlalu, zakat kalian menjadi wajib, sebagaimana bulan Dzulhijjah, padahal ibadah haji dilakukan setelah beberapa hari berlalu.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memiliki dua ratus dirham dan memiliki hutang dua ratus dirham, lalu ia melunasi sebagian dari dua ratus dirham sebelum haul dua ratus dirham sempurna, atau pihak berwenang memaksa pelunasan sebelum haul sempurna, maka tidak ada zakat atasnya karena haul belum sempurna dan hartanya tidak mencapai nisab.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika tidak…”
Dia dihukum untuk membayar dua ratus kecuali setelah berlalu haul (satu tahun), maka dia harus mengeluarkan lima dirham darinya, kemudian penguasa memutuskan sisanya.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika dia mengadukan kepada penguasa sebelum haul, lalu hartanya ditahan dan tidak dihukum untuk membayar hutang sampai haul berlalu, maka dia wajib mengeluarkan zakatnya, kemudian menyerahkan sisanya kepada para kreditur.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika penguasa telah memutuskan hutang sebelum haul, kemudian haul berlalu sebelum kreditur menerimanya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya, karena harta itu telah menjadi milik kreditur sebelum haul. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa zakat tetap wajib, karena jika harta itu rusak, tanggungannya kembali kepadanya, dan jika dia memperoleh harta lain selain ini, dia boleh menahan harta ini dan membayar kreditur dari harta lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Ketika Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan zakat atas suatu harta, maka zakat itu dikeluarkan dari hartanya untuk diberikan kepada yang berhak. Menurutku—dan Allah lebih tahu—tidak boleh kecuali seperti harta yang ada di tangannya, lalu sebagiannya menjadi hak orang lain, maka dia memberikan bagian yang menjadi hak itu dan melunasi hutangnya dari sisa hartanya jika ada.
(Asy-Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku untuk emas, perak, tanaman, buah-buahan, dan ternak; tidak boleh dibedakan karena semuanya termasuk dalam sabda Rasulullah ﷺ bahwa jika mencapai nishab, wajib dikeluarkan zakatnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula zakat unta yang zakatnya berupa unta itu sendiri atau yang diganti dengan kambing, seperti barang gadai. Barang gadai itu milik pemilik gadai, sementara sisa nilainya untuk kreditur pemilik harta. Dalam banyak kasus, kewajiban zakat atas harta yang ada padanya, seperti upah pekerja dan lainnya, harus diberikan sebelum haul.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk menggembalakan kambingnya dengan upah seekor kambing tertentu, maka kambing itu milik penyewa. Jika dia menerimanya sebelum haul, maka itu miliknya, dan tidak ada zakat atas ternaknya kecuali jika setelah kambing upah itu masih mencapai nishab. Jika pekerja belum menerima kambing itu sampai haul berlalu, maka zakat wajib atas kambingnya, termasuk bagian zakat dari kambing upah itu karena tercampur kepemilikannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku jika seseorang disewa dengan upah kurma dari pohon tertentu atau beberapa pohon, tidak ada perbedaan selama upah belum diterima.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika disewa dengan sebagian hasil pertanian yang masih tumbuh secara tertentu, maka akad sewa itu tidak sah karena ketidakjelasan, seperti tidak boleh menjualnya kecuali ada tradisi yang membolehkan jual beli semacam itu. Jika boleh, maka akad sewa juga boleh, seperti halnya kambing tertentu atau kurma dari pohon tertentu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia menyewa dengan seekor kambing yang disifatkan, atau kurma yang disifatkan, atau menjual kambing, maka zakat wajib atas kambing, kurma, atau tanamannya. Pekerja atau pembeli berhak menerima sesuai sifat yang disepakati dari harta yang sudah dikeluarkan zakatnya atau lainnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Sama saja apakah dia memiliki banyak barang dagangan yang bisa menutup hutangnya atau tidak memiliki apa-apa selain harta yang wajib dizakati.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki dua ratus dirham, lalu krediturnya menuntut, dan dia berkata, “Haul-nya sudah berlalu,” sementara kreditur berkata, “Belum,” maka perkataannya yang diterima. Dia mengeluarkan zakatnya dan menyerahkan sisanya kepada kreditur jika mereka memiliki hak atas sisa itu atau lebih.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia memiliki lebih dari dua ratus dirham dan berkata, “Sudah beberapa haul berlalu dan aku belum mengeluarkan zakatnya,” sementara kreditur mendustakannya, maka perkataannya yang diterima. Dia mengeluarkan zakat untuk setiap haul, lalu kreditur mengambil sisanya setelah zakat, karena mereka lebih berhak atas sisa itu daripada pemilik aslinya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan seribu dirham dengan seribu dirham, atau dua ribu dirham dengan seratus dinar, maka hukumnya sama. Jika haul atas dirham yang digadaikan berlalu sebelum atau setelah jatuh tempo hutang penerima gadai, maka zakat tetap dikeluarkan sebelum hutang penerima gadai.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula setiap harta gadai yang wajib dizakati.
[Bab Zakat Hutang]
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Jika hutang seseorang tidak ada di tangannya, maka statusnya seperti barang dagangan yang tidak ada di tempat.
Tentang barang titipan dan dalam setiap zakat (dia berkata): Dan ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan zakat pada haul (setahun), tidak diperbolehkan menjadikan zakat hartanya kecuali pada haul; karena harta tidak bisa lepas dari adanya zakat atau tidak ada zakat sama sekali, sebagaimana yang ditetapkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – atau tidak ada zakat padanya, sehingga statusnya seperti harta yang baru diperoleh.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki piutang pada orang lain dan telah mencapai haul, sedangkan pemilik harta mampu mengambilnya dengan kehadiran pemilik piutang dan kelengkapannya, serta tidak ada pengingkaran atau paksaan untuk menuntut, maka ia wajib mengambilnya atau mengeluarkan zakatnya, sebagaimana berlaku pada barang titipan. Demikian pula jika pemilik harta tidak ada, atau hadir tetapi tidak bisa mengambilnya kecuali dengan rasa takut atau kebangkrutan jika menuntut, dan orang yang berutang tidak ada, maka zakatnya ditahan sampai ia bisa menerimanya. Ketika ia menerimanya, ia wajib mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang telah berlalu, tidak ada pilihan lain.
Begitu pula hewan ternak yang tidak bisa dijangkau sendiri atau melalui orang lain, atau barang titipan dan harta yang terkubur lalu lupa tempatnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika harta yang tidak terjangkau digunakan dalam perdagangan dan ada wakil yang bisa menerimanya di tempat tersebut, maka nilailah di tempat itu dan keluarkan zakatnya. Tidak ada pilihan lain, seperti harta yang terkubur atau piutang. Setiap kali aku katakan tidak ada pilihan selain mengeluarkan zakat pada haul dan ketika memungkinkan, jika harta itu hilang sebelum sampai kepadanya setelah haul dan memungkinkan untuk diambil, maka zakatnya menjadi utang. Demikian pula setiap harta yang diketahui tempatnya dan tidak bisa dihindarkan, maka setiap kali aku katakan ia wajib mengeluarkan zakat, ia tidak wajib membayar zakat sebelum menerimanya. Jika harta itu hilang sebelum bisa diterima, maka tidak ada tanggungan zakat atas masa lalu karena aset yang wajib dizakati telah hilang sebelum bisa dikeluarkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang merampas harta lalu harta itu berada di tangan perampas dalam waktu yang lama tanpa bisa diambil, kemudian ia berhasil mengambilnya, atau hartanya tenggelam di laut dalam waktu lama lalu bisa diambil, atau harta terkubur lalu lupa tempatnya kemudian ditemukan, maka hanya ada dua pendapat:
- Tidak ada zakat untuk masa lalu dan ketika diterima sampai haul baru terhitung dari hari penerimaan, karena ia tidak memiliki kuasa atasnya, berbeda dengan utang atau perdagangan.
- Zakat tetap wajib jika harta selamat, karena kepemilikannya tidak hilang selama tahun-tahun yang berlalu.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat kedua lebih kuat menurutku, karena jika harta dirampas atau tenggelam, kepemilikannya tidak hilang. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika seseorang memiliki harta pada orang lain, baik sebagai jaminan atau amanah, lalu diingkari tanpa bukti, atau buktinya tidak ada, sehingga tidak bisa mengambilnya dengan cara apa pun.
(Ar-Rabi’ berkata): Ketika ia berhasil mengambilnya, ia wajib mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang telah berlalu. Ini adalah maksud perkataan Imam Syafi’i.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hartanya hilang lalu ditemukan orang lain, atau tidak diketahui apakah ditemukan atau tidak, maka ada kemungkinan zakat tidak wajib sama sekali, karena penemu bisa memilikinya setelah setahun dengan syarat mengembalikan jika pemilik datang. Hal ini berbeda dengan kasus sebelumnya.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap piutang yang diterima dan wajib dizakati, harus dikeluarkan zakatnya untuk tahun-tahun yang telah berlalu. Setiap kali menerima sebagian, maka demikian pula.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengenali barang temuan selama setahun lalu memilikinya, kemudian haul berlalu tanpa dizakati, lalu pemilik aslinya datang, maka tidak ada zakat bagi yang menemukan. Ini berbeda dengan mahar wanita, karena ia tidak pernah benar-benar memilikinya sampai pemilik datang. Jika ia mengeluarkan zakat dari barang itu, ia harus menggantinya kepada pemilik.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat tentang tidak wajibnya zakat bagi pemilik yang mengakui, atau wajib zakat ketika barang berada di tangan orang lain, adalah seperti penjelasanku bahwa zakat gugur ketika barang berada di tangan penemu setelah setahun, karena ia boleh memanfaatkannya tanpa izin penemu. Atau zakat tetap wajib, karena kepemilikannya tidak hilang.
(Ar-Rabi’ berkata): Ini adalah makna perkataan Imam Syafi’i.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang kehilangan harta lalu ditemukan orang lain, atau tidak diketahui apakah ditemukan atau tidak, maka mungkin zakat tidak wajib sama sekali, karena penemu bisa memilikinya setelah setahun dengan syarat mengembalikan jika pemilik datang. Ini berbeda dengan kasus sebelumnya.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap piutang yang diterima dan wajib dizakati, harus dikeluarkan zakatnya untuk tahun-tahun yang telah berlalu. Setiap kali menerima sebagian, maka demikian pula.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengenali barang temuan selama setahun lalu memilikinya, kemudian haul berlalu tanpa dizakati, lalu pemilik aslinya datang, maka tidak ada zakat bagi yang menemukan. Ini berbeda dengan mahar wanita, karena ia tidak pernah benar-benar memilikinya sampai pemilik datang. Jika ia mengeluarkan zakat dari barang itu, ia harus menggantinya kepada pemilik.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat tentang tidak wajibnya zakat bagi pemilik yang mengakui, atau wajib zakat ketika barang berada di tangan orang lain, adalah seperti penjelasanku bahwa zakat gugur ketika barang berada di tangan penemu setelah setahun, karena ia boleh memanfaatkannya tanpa izin penemu. Atau zakat tetap wajib, karena kepemilikannya tidak hilang.
(Ar-Rabi’ berkata): Ini adalah makna perkataan Imam Syafi’i.
Harta dan semua yang diterima dari hutang yang telah dikeluarkan zakatnya, maka zakatnya tetap berlaku jika pada harta sejenisnya wajib zakat untuk masa lalu. Setiap kali menerima sebagian darinya, maka berlaku hal yang sama. Jika menerima harta yang tidak wajib zakat pada jenisnya, namun ia memiliki harta lain, maka digabungkan. Jika tidak, dihitung terpisah. Ketika menerima harta yang wajib zakat bersamanya, maka wajib mengeluarkan zakatnya untuk tahun-tahun yang telah berlalu.
[Pasal tentang orang yang mengeluarkan zakatnya lalu harta itu rusak sebelum diserahkan kepada mustahik]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya sebelum jatuh tempo, lalu harta itu rusak sebelum diserahkan kepada mustahik, maka tidak sah. Jika sudah jatuh tempo zakat hartanya, ia wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ada di tangannya, dan tidak dihitung harta yang rusak dalam semua kondisi ini. Hal ini sama berlaku untuk hasil pertanian dan buah-buahan jika ia memilikinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia mengeluarkan zakat setelah jatuh tempo, lalu harta itu rusak sebelum diserahkan kepada mustahik, maka jika ia tidak lalai (dalam menyerahkannya)—dan kelalaian berarti ia mampu menyerahkannya kepada mustahik atau petugas zakat setelah jatuh tempo tetapi menunda—maka harta yang rusak tidak dihitung dan zakatnya tidak sah. Sebab, kewajiban tidak gugur kecuali dengan menyerahkannya kepada yang berhak.
(Imam Syafi’i berkata): Ia kembali kepada sisa hartanya. Jika pada sisa itu terdapat harta yang wajib dizakati, maka ia mengeluarkan zakatnya. Jika tidak, maka tidak wajib zakat. Misalnya, ia memiliki 20 dinar dan mengeluarkan setengah dinar sebagai zakat, lalu zakat itu rusak sebelum diserahkan, sementara sisanya 19,5 dinar, maka tidak ada zakat atasnya. Jika ia memiliki 21,5 dinar, lalu zakat itu rusak sebelum diserahkan, dan sisanya 19,5 dinar, maka tidak ada zakat atasnya. Jika ia memiliki 21,5 dinar dan ingin mengeluarkan zakat, maka untuk 20 dinar dikeluarkan setengah dinar, dan untuk sisanya dikeluarkan seperempat puluh (2,5%) dari sisa itu. Sebab, kelebihan dinar, dirham, atau makanan di atas nisab wajib dizakati sesuai perhitungan. Jika zakat rusak dan tersisa 20 dinar atau lebih, maka zakat dikeluarkan dari sisa itu sebesar 2,5%.
(Imam Syafi’i berkata): Aturan ini berlaku untuk hasil bumi, perdagangan, dan jenis zakat lainnya, kecuali hewan ternak. Hewan ternak berbeda karena zakatnya berdasarkan jumlah dan ada keringanan antara dua nisab. Jika haulnya tiba saat ia sedang bepergian dan tidak menemukan mustahik, atau ia berada di kota tetapi tidak menemukan mustahik saat itu, atau ia dipenjara, atau dihalangi dari hartanya, maka ini semua termasuk uzur dan tidak dianggap lalai. Harta yang rusak setelah haul tidak dihitung dalam zakat, sebagaimana harta yang rusak sebelum haul.
Namun, jika ia bisa menunjuk orang kepercayaan saat dipenjara tetapi tidak melakukannya, atau menemukan mustahik tetapi menunda penyerahan—padahal mampu—maka ia dianggap lalai. Jika hartanya rusak, zakat tetap wajib atas sisa yang ada di tangannya. Misalnya, jika ia memiliki 20 dinar dan mampu mengeluarkan zakat tetapi menunda, lalu 20 dinar itu rusak, maka ia tetap wajib membayar setengah dinar kapan pun ia mampu.
Jika ia memiliki harta yang cukup untuk zakat tetapi tidak mengeluarkannya, lalu zakat menjadi wajib selama beberapa tahun, kemudian hartanya rusak, maka ia tetap wajib membayar zakat untuk tahun-tahun yang ia tunda. Jika ia memiliki 100 kambing dan menyimpannya selama tiga tahun, lalu pada tahun ketiga ia mampu mengeluarkan zakat tetapi tidak melakukannya, maka ia wajib membayar zakat untuk tiga tahun. Jika pada tahun ketiga ia tidak mampu mengeluarkan zakat hingga hartanya rusak, maka tidak ada zakat untuk tahun ketiga, tetapi tetap wajib zakat untuk dua tahun sebelumnya yang ia tunda.
[BAB HARTA YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN DI TANGAN PEMILIKNYA]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika seseorang memiliki lima unta, lalu terjadi perubahan keadaan pada unta-unta tersebut selama berada di tangannya namun ia belum menunaikan zakatnya, maka ia wajib membayar zakat untuk satu tahun saja, karena zakat terkait pada benda itu sendiri. Jika seekor kambing keluar dari jumlah tersebut dalam setahun sehingga tidak lagi mencapai lima unta yang wajib zakat, maka tidak ada kewajiban zakat.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa untuk setiap lima unta yang berada di tangannya selama beberapa tahun, ia wajib membayar zakat setiap tahun berupa seekor kambing setiap tahun, karena zakat itu dikeluarkan dari harta lain yang menggantikannya.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Demikian pula jika seseorang memiliki empat puluh kambing, atau tiga puluh sapi, atau dua puluh dinar, atau dua ratus dirham, ia wajib mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun, karena zakatnya keluar dari kepemilikannya dan dijamin di tangannya untuk para pemiliknya seperti jaminan atas harta yang dirampas.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika unta-unta miliknya berjumlah enam ekor dan mengalami perubahan keadaan selama tiga tahun, serta salah satu unta bernilai dua kambing atau lebih, maka ia wajib membayar zakat untuk tiga tahun, karena jika satu unta bernilai dua kambing atau lebih, maka ia masih memiliki lima unta yang wajib zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki empat puluh dua kambing, atau dua puluh satu dinar, lalu terjadi perubahan keadaan selama tiga tahun, maka diambil tiga kambing sebagai zakat, karena dua kambing akan habis dan tersisa empat puluh kambing yang wajib zakat satu kambing. Untuk dinar, diambil satu setengah dinar dan bagian kelebihannya, karena zakat diambil dan sisanya tetap memenuhi syarat zakat. Demikian pula jika pada tahun pertama ia memiliki empat puluh kambing, lalu bertambah satu kambing pada tahun kedua sehingga menjadi empat puluh satu kambing, kemudian bertambah lagi satu kambing pada tahun ketiga sehingga menjadi empat puluh dua kambing, maka zakatnya adalah tiga kambing, karena tahun baru berlaku jika pemiliknya memiliki empat puluh kambing. (Asy-Syafi’i berkata): Demikianlah seluruh bab ini terkait zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki empat puluh kambing dan terjadi perubahan keadaan selama beberapa tahun tanpa penambahan, maka lebih disukai baginya untuk membayar zakat untuk tahun-tahun yang telah berlalu. Namun, tidak jelas bagi saya untuk memaksanya jika ia hanya memiliki empat puluh kambing selama tiga tahun untuk membayar tiga kambing.
(Ar-Rabi’ berkata): Untuk unta, jika seseorang memiliki lima unta dan terjadi perubahan keadaan, maka ia wajib membayar seekor kambing setiap tahun, karena zakat tidak diambil dari unta itu sendiri melainkan dari harta lain yang menggantikannya, berbeda dengan kambing yang zakatnya diambil dari benda itu sendiri.
[BAB JUAL BELI PADA HARTA YANG WAJIB ZAKAT]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika seseorang menjual dua ratus dirham kepada orang lain dengan lima dinar dalam transaksi yang tidak sah, lalu harta itu berada di tangan pembeli selama satu bulan, kemudian genap satu tahun sejak hari penjualan, maka zakatnya tetap menjadi kewajiban penjual dan harta itu harus dikembalikan kepadanya, karena harta itu tidak keluar dari kepemilikannya akibat jual beli yang tidak sah. Demikian pula setiap harta yang wajib zakat, jika dijual dalam transaksi tidak sah, baik berupa hewan ternak maupun lainnya, zakat tetap menjadi tanggungan pemilik pertama, karena harta itu tidak keluar dari kepemilikannya. Jika penjual menjualnya dalam transaksi sah dengan hak khiyar selama tiga hari, baik pembeli telah menerima barang atau belum, lalu genap satu tahun sejak hari penjualan, maka zakat tetap wajib dibayar, karena harta itu belum sepenuhnya keluar dari kepemilikan penjual hingga genap satu tahun. Pembeli berhak mengembalikannya karena berkurangnya nilai akibat zakat. Demikian pula jika hak khiyar dimiliki oleh penjual dan pembeli bersama-sama.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hak khiyar hanya dimiliki pembeli, bukan penjual, lalu pembeli memilih untuk melanjutkan transaksi setelah genap satu tahun, maka ada dua pendapat: Pertama, zakat menjadi kewajiban penjual, karena transaksi belum final hingga setelah genap satu tahun dan harta belum sepenuhnya keluar dari kepemilikannya. Kedua, zakat menjadi kewajiban pembeli, karena satu tahun genap saat harta itu miliknya, dan ia hanya memiliki hak untuk mengembalikan jika ia menghendaki, bukan penjual.
(Ar-Rabi’ berkata): Demikian pula jika seseorang memiliki seorang budak perempuan, pembeli boleh menikahinya selama masa khiyar, sedangkan penjual tidak. Karena kepemilikan lebih besar berada di tangan pembeli, maka zakat menjadi tanggungannya.
Zakat menjadi wajib atas pembeli jika telah berlalu haul (satu tahun) sejak hari ia membeli, menerima, dan menguasai harta tersebut. Zakat gugur dari penjual karena harta telah keluar dari kepemilikannya melalui transaksi jual beli yang sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual suatu jenis harta yang wajib zakat sehari sebelum haulnya, dengan syarat penjual memiliki hak khiyar (opsi membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama satu hari, lalu ia memilih untuk melanjutkan transaksi setelah satu hari (setelah haul sempurna), maka zakat tetap wajib atas harta tersebut. Sebab, transaksi jual beli belum final sebelum haul sempurna, sementara harta belum keluar dari kepemilikannya. Pembeli berhak mengembalikan harta dengan memotong zakatnya. Namun, jika penjual memilih melanjutkan transaksi sebelum haul sempurna, maka tidak ada zakat karena transaksi telah selesai sebelum haul.
(Imam Syafi’i berkata): Hal ini berlaku untuk semua jenis harta—seperti dinar, dirham, atau hewan ternak—yang dijual sebelum atau setelah zakat wajib. Tidak ada perbedaan dalam hukum ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual dinar dengan dirham, dirham dengan dinar, sapi dengan kambing, sapi dengan sapi, kambing dengan kambing, unta dengan unta, atau kambing dengan unta, maka hukumnya sama. Jika penjualan terjadi sebelum haul, maka penjual tidak wajib zakat karena haul belum sempurna di tangannya. Pembeli juga tidak wajib zakat sampai haul sempurna sejak ia memiliki harta tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Hukum ini juga berlaku jika bentuk aset berubah, seperti unta menjadi emas atau sebaliknya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.
Jika seseorang menjual pohon kurma beserta buahnya, atau hanya buahnya saja, maka zakat hanya wajib atas buah kurma, bukan pohonnya. Jika pembeli memiliki buah kurma—baik dengan membeli beserta pohonnya, membeli buahnya saja secara sah, menerima hibah, pengakuan, sedekah, wasiat, atau cara kepemilikan lainnya—maka zakat wajib atasnya. Jika kepemilikan sah sebelum buah tampak kemerahan atau kekuningan (tanda matang), maka zakat menjadi tanggungan pemilik sebelumnya. Sebab, awal waktu wajib zakat adalah ketika buah mulai menunjukkan tanda matang, lalu dilakukan perkiraan (khars), dan zakat diambil dalam bentuk kurma.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pembeli memiliki buah setelah tampak kemerahan atau kekuningan, maka zakat tetap menjadi kewajiban pemilik pertama. Jika pemilik baru tidak memenuhi syarat zakat, buah tetap diperkirakan sebelum atau setelah kepemilikan.
(Imam Syafi’i berkata): Hukum ini tidak berbeda dalam berbagai bentuk kepemilikan buah, kecuali dalam satu kasus: jika buah dibeli setelah tampak tanda matang, maka zakat sepersepuluh tetap berlaku, dan transaksi jual beli buah dianggap batal (fasid) namun tetap sah. Seperti menjual dua budak, satu miliknya dan satu bukan miliknya—transaksi fasid tetapi sah.
Tidak sah menjual buah dengan syarat dibiarkan di pohon, kecuali jika dijual sembilan per sepuluh bagian (jika diairi dengan sumber air tertentu) atau sembilan setengah per sepuluh (jika diairi dengan gayung). Juga sah menjual buah di bawah lima wasaq jika penjual tidak memiliki lebih dari itu.
Jika petugas zakat mengambil harta yang tidak wajib zakat atau mengambil lebih dari yang seharusnya, pembeli tidak boleh menuntut penjual, karena itu merupakan kezaliman yang menimpa pembeli.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kebun dengan buah senilai lima wasaq, lalu menjual buahnya kepada satu atau dua orang setelah tanda matang, maka zakat tetap wajib atas penjual seperti penjelasan sebelumnya. Jika dijual sebelum tanda matang tanpa syarat pemetikan, maka zakat tetap wajib dan transaksi dianggap fasid.
Jika pembeli menghabiskan semua buah, pemilik kebun tetap menanggung zakat. Jika pembeli bangkrut, diambil sepersepuluh nilai buah dari harga belinya, dan sisanya dikembalikan ke pemilik kebun. Jika penjual tidak bangkrut, ia tetap wajib membayar sepersepuluh karena dialah penyebab kerusakan.
Dan jika pembeli memiliki hutang, maka harga sepersepuluh yang dikonsumsi adalah sepuluh, dan tidak ada yang semisalnya, serta harga sepersepuluh yang semisal adalah dua puluh pada saat zakat diambil. Dia membeli setengah sepersepuluh dengan harga sepuluh, karena itu adalah harga sepersepuluh yang dikonsumsinya, yang menjadi miliknya dan bukan milik para pemilik hutang. Wali zakat berhak menjadi pihak yang menuntut hutang, menggantikan posisi para pemilik saham dalam sepuluh yang tersisa bagi pemilik kebun.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik kebun menjual buahnya yang mencapai lima wasaq kepada dua orang sebelum tampak matangnya dengan syarat mereka memetiknya, maka penjualan itu sah. Jika mereka memetiknya sebelum buah itu matang, maka tidak ada zakat padanya. Namun, jika mereka membiarkannya hingga matang, maka zakat wajib dikeluarkan. Jika pemilik kebun mengambil alih pemetikan, kami batalkan transaksi antara mereka, karena zakat telah menjadi kewajiban. Tidak boleh memetiknya sehingga menghalangi zakat, yang merupakan hak para pemiliknya, juga tidak boleh mengambil buah dalam kondisi belum matang, karena itu bukan kondisi yang ditetapkan Rasulullah ﷺ. Pembeli tidak berhak atas buah kurma yang telah disyaratkan untuk dipetik, sehingga dalam transaksi ini hanya ada pembatalan.
Jika penjual rela membiarkannya hingga matang dan kedua pembeli juga rela, maka mereka tidak boleh menuntut penjual untuk sepersepuluh, karena penjual telah menyerahkan semua yang dijualnya, dan tidak ada zakat pada saat itu. Namun, mereka wajib mengeluarkan zakat sepersepuluh yang menjadi kewajiban.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kasusnya seperti ini, lalu kedua pembeli membiarkannya hingga matang, sementara penjual rela membiarkannya tetapi pembeli tidak rela, maka ada dua pendapat:
- Mereka dipaksa untuk membiarkannya, dan penjualan tidak dibatalkan karena kewajiban zakat.
- Penjualan dibatalkan, karena mereka telah mensyaratkan pemetikan, sementara pemetikan tidak boleh dilakukan setelah zakat menjadi hak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu pembeli rela membiarkannya bersama penjual, sedangkan yang lain tidak rela, maka dalam pendapat pertama, mereka dipaksa untuk membiarkannya. Dalam pendapat kedua, bagian yang tidak rela dibatalkan, sementara bagian yang rela tetap berlaku, seperti seseorang yang membeli separuh buah. Jika dia rela membiarkannya lalu ingin memetiknya sebelum panen, dia tidak boleh memetik semuanya, dan tidak ada pembatalan penjualan setelah sekali menolak pembatalan.
Semua ini berlaku jika buah dijual secara bagi sebelum matang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kebun dengan buah lima wasaq, lalu menjual sebagian pohonnya kepada satu orang dan sebagian lagi kepada orang lain setelah buah tampak matang, maka zakat sepersepuluh wajib dikeluarkan, dan penjualan batal kecuali jika dia menjual sembilan persepuluh dari setiap pembeli.
Jika penjualan terjadi sebelum buah matang dengan syarat mereka memetiknya, lalu mereka memetik sebagian dan membiarkan sebagian hingga matang, maka jika yang tersisa mencapai lima wasaq, zakat wajib dikeluarkan, dan penjualan berlaku seperti kasus sebelumnya. Jika sisanya kurang dari lima wasaq, penjualan sah tanpa pembatalan, dan mereka wajib memetiknya kecuali penjual rela membiarkannya.
Jika mereka memetik buah setelah matang dan berkata, “Buahnya tidak mencapai lima wasaq,” maka perkataan mereka diterima dengan sumpah, dan penjualan tidak dibatalkan. Jika ada bukti yang menunjukkan sebaliknya, maka bukti itu yang diambil. Jika tidak ada bukti, perkataan pemilik kebun diterima mengenai pengurangan zakat atau sebagiannya, selama tidak ada bukti yang menyangkal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada bukti yang mengurangi zakat atau sebagiannya, dan dia mengakui kewajiban zakat atau menambahnya, maka perkataannya diterima. Aku menerima buktinya jika sesuai dengan klaimnya untuk membela diri. Jika bukti itu bertentangan, aku menerima pengakuannya yang memberatkan dirinya, karena itu lebih mengikat daripada buktinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kebun, dia tidak boleh menghalangi pemetikan buah sejak muncul hingga tampak kemerahan. Jika sudah tampak kemerahan, pemetikan dilarang hingga dilakukan perkiraan (khars). Jika dia memetiknya sebelum diperkirakan setelah tampak kemerahan, maka perkataannya tentang jumlah yang dipetik diterima dengan sumpah, kecuali ada bukti dari orang-orang terpercaya di kotanya yang menyatakan sebaliknya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika aku menerima bukti atau pengakuannya, maka diambil kurma pertengahan selain dari kebunnya hingga sepersepuluh terpenuhi, dan tidak diambil harganya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika buah telah diperkirakan lalu dikonsumsi, maka diambil kurma pertengahan yang semisal dengan kurmanya.
[BAB WARISAN HARTA BERSAMA]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika suatu kaum mewarisi kebun kurma dan belum membaginya, sementara buahnya mencapai lima wasaq, maka mereka wajib mengeluarkan zakat. Sebab mereka dianggap sebagai pemilik bersama yang membayar zakat seperti satu orang.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka membagi kebun tersebut dalam keadaan berbuah dengan pembagian yang sah, dan pembagian itu dilakukan sebelum buahnya menguning atau memerah, maka tidak ada zakat bagi yang bagiannya kurang dari lima wasaq. Sedangkan yang bagiannya mencapai lima wasaq wajib mengeluarkan zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka membaginya setelah buahnya menguning atau memerah, maka seluruh buah itu wajib dizakati seperti zakat satu orang jika totalnya mencapai lima wasaq. Zakat diambil darinya karena awal kewajiban zakat adalah ketika buah mulai menguning atau memerah di kebun, baik sudah diperkirakan (dikira-kira jumlahnya) maupun belum.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau menetapkan zakat untuk kurma dan anggur yang dikira-kira (dihitung) di awal dan akhir, berbeda dengan hewan ternak, perak, dan emas? Padahal menurutmu, awal dan akhir kewajiban zakat adalah haul (setahun), bukan saat diperkirakan?” Maka dijawab, insya Allah: Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan perkiraan buah anggur dan kurma ketika sudah matang, kami tahu bahwa beliau tidak memerintahkannya sebelum matang dan tidak ada zakat saat itu. Ketika buah itu dipetik menjadi kurma atau kismis, kami tahu bahwa akhir kewajiban zakat adalah ketika sudah menjadi kurma atau kismis, sesuai ketentuan sebelumnya. Jika ia berkata, “Apa yang mirip dengan ini?” Dijawab: Haji memiliki awal dan dua akhir. Akhir pertamanya adalah melempar jumrah dan bercukur, sedangkan akhir terakhirnya adalah mengunjungi Baitullah setelah jumrah dan bercukur. Tidak demikian dengan umrah, puasa, atau shalat—semuanya memiliki awal dan akhir yang sama. Semuanya sesuai sunnah Rasulullah ﷺ.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka membagi kebun sebelum buahnya menguning atau memerah, lalu tidak menentukan bagian masing-masing sampai setiap orang tahu haknya, atau belum saling ridha sampai setiap orang tahu haknya, kemudian buah itu menguning atau memerah, maka zakatnya seperti zakat satu orang. Sebab pembagian belum selesai sampai zakat menjadi wajib.
(Asy-Syafi’i berkata): Perkataan pemilik harta dianggap benar bahwa mereka membagi sebelum buah menguning atau memerah, kecuali ada bukti lain.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kebun itu menghasilkan lima wasaq, lalu dibagi dua, salah seorang berkata, “Kami membaginya sebelum buah menguning atau memerah,” sedangkan yang lain berkata, “Setelah menguning atau memerah,” maka zakat diambil dari bagian yang mengaku membagi setelah zakat wajib, sesuai kewajibannya. Tidak diambil dari bagian yang tidak mengaku.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka membagi buahnya saja, tanpa tanah atau pohon, sebelum buah layak dipanen, maka pembagian itu batal dan status kepemilikannya kembali seperti semula. Jika mereka membaginya setelah buah layak dipanen, maka zakat berlaku seperti kewajiban satu orang dalam kedua keadaan tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mewarisi kebun lalu berbuah, atau kebunnya berbuah sebelum dibagi waris, maka zakat diambil dari buah kebun itu. Demikian pula jika ia mewarisi hewan ternak, emas, atau perak, lalu tidak mengetahuinya, atau tahu kemudian genap haul, maka zakatnya diambil karena harta itu sudah menjadi miliknya dan telah genap haul. Begitu pula harta yang dimiliki tanpa pengetahuannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati, lalu murtad dari Islam dan melarikan diri, atau gila, atau hilang akal, atau dipenjara untuk diminta taubat atau dihukum mati, lalu haul hartanya genap sejak ia memilikinya, maka ada dua pendapat:
Pertama: Hartanya wajib dizakati, karena hartanya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia mati dalam keadaan murtad sehingga hartanya untuk kaum Muslimin (dan harta kaum Muslimin wajib dizakati), atau ia kembali masuk Islam sehingga hartanya tetap miliknya. Kemurtadan tidak menghilangkan kewajiban apa pun atasnya.
Kedua: Zakat tidak diambil sampai jelas keadaannya. Jika ia masuk Islam, ia memiliki hartanya kembali dan zakat diambil, karena kewajiban itu tidak gugur darinya meski tidak diberi pahala. Jika ia dibunuh dalam keadaan murtad, hartanya tidak ada zakat karena menjadi harta rampasan yang dibagi. Jika seseorang mendapat bagian darinya, itu seperti keuntungan baru yang dimulai haul baru kemudian dizakati.
Jika ia tetap dalam kemurtadan sekian lama, maka seperti penjelasanku tadi: Jika kembali masuk Islam, zakat diambil darinya. Ia tidak seperti kafir dzimmi yang dilindungi dengan jizyah, atau musyrik non-dzimmi yang hartanya tidak pernah wajib zakat. Tidakkah engkau lihat bahwa kami memerintahkannya untuk masuk Islam? Jika menolak, kami bunuh dan kami tetapkan hak-haknya.
Orang-orang dengan mewajibkannya. Jika dikatakan: dia tidak diberi pahala atas zakat, maka dijawab: dia tidak diberi pahala atas zakat maupun hak-hak orang lain yang wajib dia penuhi, dan pahala amalnya dalam hal yang telah dia tunaikan sebelum murtad juga terhapus. Demikian pula, dia tidak diberi pahala jika hutang diambil darinya, karena hutang itu tetap harus diambil.
[Bab Larangan Melampaui Batas dalam Mengambil Sedekah]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah istri Nabi ﷺ, dia berkata: “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah melewati sekumpulan kambing sedekah, lalu dia melihat seekor kambing gemuk yang susunya banyak.” Umar bertanya: “Kambing apa ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah kambing sedekah.” Umar berkata: “Pemiliknya tidak memberikan ini dengan sukarela saat mereka taat. Jangan kalian fitnah orang-orang! Jangan kalian ambil harta terbaik kaum Muslimin. Jauhilah makanan (yang meragukan).”
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Umar mengira bahwa pemiliknya tidak memberikan kambing itu secara sukarela dan tidak melihat kewajiban zakat pada kambing yang susunya banyak, maka dia berkata demikian. Seandainya dia tahu bahwa petugas zakat memaksa pemiliknya untuk memberikannya, niscaya dia akan mengembalikannya kepada mereka insya Allah, dan petugas zakat itu pantas dihukum. Namun, aku tidak melihat masalah jika kambing itu diambil dengan kerelaan pemiliknya.
(Asy-Syafi’i berkata): Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman sebagai petugas zakat: “Hindarilah mengambil harta terbaik mereka.” Dalam semua ini terdapat petunjuk bahwa harta terbaik tidak boleh diambil sebagai sedekah. Jika diambil, maka wajib bagi penguasa untuk mengembalikannya dan menjadikannya sebagai tanggungan petugas zakat, karena dia telah melampaui batas dengan mengambilnya hingga dia mengembalikannya kepada pemiliknya. Jika harta itu sudah tidak ada, petugas zakat harus menanggungnya dan mengambil dari pemiliknya hanya sebatas kewajiban mereka, kecuali jika mereka rela menerima selisih nilai antara kedua harta tersebut. Petugas zakat harus mengembalikan selisih itu dan menyalurkan kelebihan yang dia ambil kepada para mustahiq zakat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, bahwa dia berkata: Dua orang dari suku Asyja’ mengabarkan kepadaku bahwa Muhammad bin Maslamah Al-Anshari pernah datang kepada mereka sebagai petugas zakat, lalu dia berkata kepada pemilik harta: “Keluarkanlah zakat hartamu.” Tidaklah pemilik harta menyerahkan kambing yang memenuhi kewajibannya kecuali dia menerimanya.
(Asy-Syafi’i berkata): Sama saja apakah petugas zakat mengambilnya tanpa melampaui batas atau pemilik harta menyerahkannya dalam keadaan memenuhi kewajiban. Jika petugas zakat berkata kepada pemilik harta: “Keluarkan zakat hartamu,” lalu dia mengeluarkan lebih dari kewajibannya, maka jika dia rela setelah mengetahuinya, petugas zakat boleh mengambilnya. Jika tidak, petugas zakat hanya boleh mengambil sebatas kewajibannya. Petugas zakat tidak boleh mengambilnya kecuali setelah memberitahukan bahwa yang dia berikan lebih dari kewajibannya.
[Bab Ghulul (Penggelapan) dalam Sedekah]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan sedekah, dan menahannya adalah haram. Kemudian Dia menguatkan keharamannya dengan firman-Nya: “Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya itu buruk bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 180).
Ayat dan firman Allah Ta’ala: _”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…”_ (QS. At-Taubah: 34) hingga firman-Nya: _”Apa yang kamu simpan.”_ (QS. At-Taubah: 35).
(Imam Syafi’i berkata): “Yang dimaksud dengan ‘jalan Allah’—wallahu a’lam—adalah kewajiban zakat.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Jami’ bin Abi Rasyid dan Abdul Malik bin A’yan, keduanya mendengar Abu Wa’il meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: _”Tidaklah seseorang yang tidak menunaikan zakat hartanya, melainkan pada hari kiamat nanti hartanya akan berubah menjadi ular botak yang akan mengejarnya. Dia lari, tetapi ular itu terus mengikutinya hingga melilit lehernya.”_ Kemudian beliau membacakan kepada kami: _”Kelak akan dikalungkan di leher mereka apa yang mereka bakhilkan pada hari kiamat.”_ (QS. Ali Imran: 180).
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Dinar, dia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Umar ditanya tentang harta simpanan (kanz), maka dia menjawab: “Itu adalah harta yang tidak dikeluarkan zakatnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar—insya Allah Ta’ala—karena mereka disiksa akibat menahan hak (zakat), bukan karena menyimpan atau menahan harta mereka. Menyimpan harta (dengan cara mengubur) adalah salah satu bentuk penjagaan, dan itu tidak diharamkan bagi mereka. Seandainya menyimpan harta tidak diperbolehkan, maka zakat tidak akan diwajibkan setelah berlalu satu haul (tahun), karena zakat hanya diwajibkan setelah harta disimpan selama satu haul.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abu Hurairah, dia berkata: _”Barangsiapa memiliki harta namun tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya akan berubah menjadi ular botak yang memiliki dua titik hitam, mengejarnya hingga melilitnya sambil berkata: ‘Aku adalah hartamu yang kamu simpan!'”_
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibnu Thawus dari ayahnya, dia berkata: _”Rasulullah ﷺ pernah mengangkat Ubadah bin Ash-Shamit sebagai petugas zakat. Beliau bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai Abul Walid! Jangan sampai engkau datang pada hari kiamat dengan membawa unta yang mendengus di lehermu, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.’ Ubadah berkata: ‘Wahai Rasulullah, benarkah demikian?’ Beliau menjawab: ‘Ya, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kecuali orang yang dirahmati Allah.’ Maka Ubadah berkata: ‘Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan bekerja sebagai petugas zakat lagi selamanya.'”_
[Bab: Apa yang Boleh Diberikan oleh Manusia dari Harta Mereka]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Ta’ala berfirman: _”Dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.”_ (QS. Al-Baqarah: 267).
(Imam Syafi’i berkata): “Maksudnya—wallahu a’lam—kamu mengambil untuk dirimu sendiri dari apa yang menjadi hakmu, maka janganlah kamu menginfakkan apa yang tidak kamu ambil untuk dirimu sendiri. Artinya, janganlah kamu memberi dari yang buruk—wallahu a’lam—sedangkan kamu memiliki yang baik.”
(Imam Syafi’i berkata): “Haram bagi orang yang wajib mengeluarkan zakat untuk memberikannya dari yang buruk. Haram bagi pemilik kurma untuk memberikan sepersepuluh dari yang buruk, pemilik gandum untuk memberikan sepersepuluh dari yang buruk, pemilik emas untuk mengeluarkan zakatnya dari yang buruk, dan pemilik unta untuk memberikan zakat dari yang buruk jika dia menyerahkannya sendiri kepada yang berhak. Wajib bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut darinya. Haram baginya—jika jenis hartanya tidak diketahui oleh penguasa lalu penguasa menerima ucapannya—untuk memberikan zakat dari yang buruk dan berkata: ‘Semua hartanya seperti ini.'”
Ar-Rabi’ berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan dari Dawud bin Abi Hind dari Asy-Sya’bi dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: _”Jika petugas zakat datang kepadamu, maka jangan biarkan dia pergi kecuali dalam keadaan ridha.”_
(Imam Syafi’i berkata): “Maksudnya—wallahu a’lam—adalah mereka menunaikannya dengan rela, bukan karena terpaksa, dan tidak memberikan dari harta mereka yang bukan kewajiban mereka. Inilah yang kami perintahkan kepada mereka dan kepada petugas zakat.”
[BAB HADIAH UNTUK PENGUASA KARENA KEKUASAAN]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan dari Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Abu Humaid As-Sa’idi, dia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat seorang laki-laki dari suku Azd yang bernama Ibnul Latbiyyah sebagai petugas zakat. Ketika dia kembali, dia berkata: ‘Ini untuk kalian, dan ini hadiah untukku.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar dan bersabda: ‘Kenapa seorang petugas yang kita utus untuk mengurus sebagian urusan kita mengatakan: Ini untuk kalian, dan ini hadiah untukku? Kenapa dia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu melihat apakah dia akan diberi hadiah atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang mengambil sesuatu darinya (hadiah karena jabatan) kecuali dia akan datang pada hari Kiamat dengan membawanya di atas lehernya. Jika berupa unta, maka dia akan mengembik; jika berupa sapi, maka dia akan melenguh; dan jika berupa kambing, maka dia akan mengembek.’ Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga kami melihat putih ketiaknya, lalu bersabda: ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?'”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abu Humaid As-Sa’idi, dia berkata: “Mataku melihat dan telingaku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tanyakanlah kepada Zaid bin Tsabit,” maksudnya semisal itu.
(Asy-Syafi’i berkata): Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Ibnul Latbiyyah mengandung kemungkinan larangan menerima hadiah jika hadiah tersebut tidak diberikan kecuali karena kekuasaan. Dan juga mengandung kemungkinan bahwa hadiah tersebut untuk petugas zakat jika diberikan karena jabatan mereka sebagai petugas zakat, sebagaimana harta yang diberikan secara sukarela oleh pemilik harta yang bukan kewajiban mereka untuk petugas zakat, bukan untuk penguasa zakat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika salah seorang dari kaum memberikan hadiah kepada penguasa, jika hadiah itu diberikan untuk mendapatkan sesuatu yang hak atau batil darinya, atau untuk mendapatkan sesuatu yang hak atau batil darinya, maka haram bagi penguasa untuk menerimanya. Karena haram baginya untuk mempercepat pengambilan hak bagi orang yang diurusnya, padahal Allah ‘azza wajalla telah mewajibkannya untuk mengambil hak mereka. Dan haram baginya untuk mengambil kebatilan untuk mereka, dan lebih haram lagi jika dia mengambil upah. Demikian juga jika dia mengambilnya untuk menolak sesuatu yang tidak disukainya. Jika dia menolak hak yang wajib baginya dengan hadiah, maka haram baginya untuk menolak hak jika itu wajib baginya. Adapun jika dia menolak kebatilan, maka haram baginya, kecuali jika dia menolaknya dalam segala keadaan.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hadiah diberikan kepadanya bukan karena dua alasan di atas dari salah seorang yang berada di bawah kekuasaannya, sebagai bentuk kemuliaan atau ucapan terima kasih atas perlakuan yang baik, maka janganlah dia menerimanya. Jika dia menerimanya, maka itu termasuk sedekah, dan tidak ada kelonggaran bagiku selain itu, kecuali jika dia membalasnya dengan kadar yang sama, maka dia boleh memilikinya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hadiah itu dari seseorang yang tidak memiliki kekuasaan atasnya dan bukan penduduk negeri yang dia kuasai, sebagai ucapan terima kasih atas kebaikannya, maka lebih aku sukai jika dia memberikannya kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya jika dia menerimanya, atau meninggalkan penerimaannya sehingga dia tidak mengambil imbalan atas kebaikan. Jika dia menerimanya dan memilikinya, maka itu tidak haram menurutku.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Dan telah diriwayatkan oleh Mutharrif bin Mazin dari seorang syaikh yang terpercaya yang disebutkan namanya (namanya tidak terlintas dalam ingatanku) bahwa seorang laki-laki yang memimpin Aden berbuat baik di sana, lalu sebagian orang asing mengirim hadiah kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikannya. Maka dia menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz tentang hal itu, dan aku mengira dia berkata dengan makna: “Masukkanlah ke baitul mal.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan oleh Muhammad bin Utsman bin Shafwan Al-Jumahi dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu mencampurkan sedekah dengan harta kecuali akan merusaknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya -wallahu a’lam- bahwa pengkhianatan terhadap sedekah akan merusak harta yang tercampur dengan pengkhianatan dari sedekah.
(Asy-Syafi’i berkata): Adapun hadiah yang diberikan oleh kerabat atau teman yang biasa saling memberi hadiah, maka itu diperbolehkan.
Sebelum menjadi wali, dia tidak mengutusnya untuk menjadi wali, sehingga pemberiannya didasarkan pada rasa takut. Menjaga diri lebih aku sukai dan lebih jauh dari celaan. Tidak mengapa menerima dan mengambil harta jika pemberian itu dimaksudkan demikian, baik sebagai hadiah atau hibah.
[Bab Membeli Zakat]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Seorang syaikh dari penduduk Mekah menceritakan kepadaku, dia berkata: Aku mendengar Thawus, saat aku berdiri di dekatnya, ditanya tentang menjual zakat sebelum diterima. Thawus berkata: “Demi Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), tidak halal menjualnya sebelum diterima, juga tidak setelah diterima.”
(Ash-Shafi’i berkata): Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan agar zakat diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin mereka, yaitu fakir dari golongan yang berhak menerima zakat. Zakat harus diberikan dalam bentuk aslinya, bukan nilainya.
(Ash-Shafi’i berkata): Jika petugas zakat menjual sebagian zakat tanpa alasan yang sah, seperti agar seseorang tidak mendapat setengah kambing atau semisalnya, maka dia harus menggantinya dengan yang serupa atau membagikannya kepada yang berhak. Tidak ada pengganti selain itu.
(Ash-Shafi’i berkata): Aku membatalkan penjualan zakat oleh petugas dalam segala kondisi jika memungkinkan. Aku juga tidak menyukai jika orang yang mengeluarkan zakat membelinya kembali dari tangan penerima yang telah dibagikan. Namun, aku tidak membatalkan penjualan jika mereka membelinya. Aku tidak menyukainya karena Rasulullah ﷺ memerintahkan seorang lelaki yang menyumbangkan kuda di jalan Allah, lalu melihatnya dijual, untuk tidak membelinya. Diriwayatkan juga dari Rasulullah ﷺ: “Orang yang menarik kembali sedekah atau hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.”
Namun, tidak ada penjelasan bahwa Rasulullah ﷺ melarang membeli apa yang telah dikeluarkan. Aku membatalkan penjualan itu. Seorang Anshar pernah bersedekah untuk kedua orang tuanya, lalu mereka meninggal. Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk mengambilnya kembali sebagai warisan. Oleh karena itu, aku memperbolehkan seseorang memiliki kembali apa yang telah dia keluarkan dengan cara yang halal.
(Ash-Shafi’i berkata): Aku tidak melarang seseorang membeli dari penerima zakat hak mereka, selama yang dibeli bukan bagian dari zakat yang wajib atau sedekah sunnah.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Seorang yang terpercaya mengabarkan dari ‘Amr bin Muslim atau Ibnu Thawus, bahwa Thawus pernah mengurus zakat kafilah untuk Muhammad bin Yusuf. Dia mendatangi suatu kaum dan berkata: “Bayarlah zakat, semoga Allah merahmati kalian, dari apa yang Allah berikan kepada kalian.” Apa yang mereka berikan, dia terima. Lalu dia bertanya: “Di mana orang miskin kalian?” Dia mengambil dari yang ini dan memberikannya kepada yang itu. Dia tidak mengambil untuk dirinya dalam pekerjaannya, tidak menjual, dan tidak memberikan sesuatu pun kepada penguasa. Jika seseorang dari kafilah pergi, dia tidak meminta apa pun darinya.
(Ash-Shafi’i berkata): Ini cukup bagi yang mengurus zakat menurutku. Lebih aku sukai jika dia berhati-hati untuk penerima zakat, memeriksa dan meminta sumpah dari yang dicurigai, karena banyak penyelewengan dalam hal ini. Tidak boleh bagi siapa pun untuk berhati-hati, meminta sumpah, atau mengurus zakat kecuali dia menempatkannya pada tempatnya. Siapa yang tidak menempatkannya pada tempatnya, tidak berhak melakukannya.
[Bab Apa yang Diucapkan Petugas Zakat Saat Mengambil Zakat]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: “Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan mereka.” (QS. At-Taubah: 103).
(Ash-Shafi’i berkata): Doa untuk mereka saat mengambil zakat adalah bagian dari penyucian. Wajib bagi petugas saat mengambil zakat seseorang untuk mendoakannya. Lebih aku sukai jika dia mengucapkan: “Semoga Allah memberi pahala atas apa yang kau berikan, menjadikannya penyuci bagimu, dan memberkati apa yang kau sisakan.” Doa apa pun yang dia panjatkan, itu cukup insya Allah.
[Bab Cara Menghitung dan Menandai Zakat]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku menyaksikan pamanku, Muhammad bin Al-‘Abbas, saat zakat diambil di hadapannya. Dia memerintahkan…
Di tempat penampungan, dia melarang dan memerintahkan suatu kaum untuk mencatat pemilik panah. Kemudian beberapa lelaki berdiri agak jauh dari penampungan, lalu domba-domba mengalir antara para lelaki dan penampungan, melewati dengan cepat, satu per satu atau dua per dua. Di tangan orang yang menghitung ada tongkat yang dia gunakan untuk menunjuk sambil menghitung di hadapan Muhammad bin Al-Abbas, dan pemilik harta bersamanya. Jika dia berkata ada kesalahan, dia memerintahkan untuk mengulang sampai mereka sepakat pada jumlah yang sama. Kemudian dia mengambil apa yang menjadi kewajibannya setelah bertanya kepada pemilik harta: “Apakah dia memiliki domba selain yang dibawanya?” Lalu dia membawa apa yang diambil ke tempat pencap untuk dicap dengan cap zakat, yaitu kitab Allah Azza wa Jalla. Domba-domba dicap di pangkal telinganya, dan unta dicap di pahanya. Kemudian dikembalikan ke penampungan sampai selesai menghitung apa yang diambil dari kumpulan itu, lalu dibagikan sesuai yang dia lihat pantas.
(Imam Syafi’i berkata): Beginilah sebaiknya petugas zakat bertindak. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu-: “Ada unta buta di kumpulan ternak.” Umar bertanya: “Apakah itu dari ternak jizyah atau ternak zakat?” Aslam menjawab: “Dari ternak jizyah,” dan berkata: “Padanya ada cap jizyah.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini menunjukkan bahwa Umar -radhiyallahu ‘anhu- memberi dua cap: cap jizyah dan cap zakat. Dan ini pendapat kami.
[Keutamaan Sedekah]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Abul Qasim -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba bersedekah dengan harta yang halal -dan Allah tidak menerima kecuali yang halal, dan tidak naik ke langit kecuali yang halal- melainkan seakan-akan dia meletakkannya di tangan Ar-Rahman, lalu Dia mengembangkannya untuknya seperti salah seorang dari kalian mengembang anak kudanya, hingga sesuap makanan datang pada hari kiamat sebesar gunung yang besar.” Kemudian beliau membaca: “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah?” (QS. At-Taubah: 104).
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Perumpamaan orang yang dermawan dan orang yang bakhil seperti dua orang yang memakai baju besi dari dada sampai tulang selangka. Jika orang yang dermawan ingin bersedekah, baju besinya meluas hingga menutupi jari-jarinya dan menghapus jejaknya. Jika orang yang bakhil ingin bersedekah, baju besinya mengerut dan setiap lingkarannya menempel di tempatnya hingga mencekik leher atau tulang selangkanya. Dia berusaha melonggarkannya tapi tidak bisa.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Al-Hasan bin Muslim dari Thawus dari Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan hadits serupa, hanya saja beliau bersabda: “Dia berusaha melonggarkannya tapi tidak bisa.”
(Imam Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla memuji sedekah di banyak tempat dalam kitab-Nya. Siapa yang mampu memperbanyak sedekah, hendaknya dia lakukan.
[Sedekah Sunnah kepada Orang Musyrik]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ibunya, Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata: “Ibuku mendatangiku di masa perjanjian Quraisy dalam keadaan ingin (berbuat baik), lalu aku bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Bolehkah aku menyambung hubungan dengannya?’ Beliau menjawab: ‘Ya.'”
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa bersedekah sunnah kepada orang musyrik, tetapi dia tidak berhak menerima sedekah wajib.
Hak, dan Allah Ta’ala telah memuji suatu kaum dengan berfirman: “Dan mereka memberikan makanan…” (QS. Al-Insan: 8) dan seterusnya.
[Pasal Perbedaan Zakat atas Harta yang Tidak Dimiliki]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Jika seseorang meminjamkan kepada orang lain seratus dinar untuk makanan tertentu atau lainnya sebagai pinjaman yang sah, maka seratus dinar tersebut adalah milik pemberi pinjaman dan wajib dizakati jika ia memiliki harta lain untuk melunasi hutangnya. Jika tidak, maka zakatnya dihitung pada saat ia menerimanya. Jika peminjam bangkrut setelah haul (genap setahun) dan seratus dinar tersebut masih utuh di tangannya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya. Pemilik seratus dinar berhak mengambil apa yang ditemukan darinya dan menuntut sisanya setelah dikurangi zakat serta kerusakan yang terjadi.
Demikian pula, jika seorang laki-laki memberikan mahar kepada seorang perempuan sebesar seratus dinar, lalu perempuan itu menerimanya dan haul genap di tangannya, kemudian suaminya menceraikannya, maka seratus dinar tersebut wajib dizakati. Suami berhak mengambil kembali lima puluh dinar, karena perempuan itu telah memiliki seluruhnya, dan kepemilikan atas lima puluh dinar baru batal setelah kepemilikan penuh selama setahun. Begitu juga jika perempuan itu belum menerimanya, tetapi haul genap di tangan suami, lalu suaminya menceraikannya, maka zakat wajib dikeluarkan jika ia menerima lima puluh dinar darinya. Ia harus mengeluarkan zakat harta, karena harta itu telah menjadi miliknya. Hal ini sama seperti seseorang yang memiliki piutang seratus dinar kepada orang lain, lalu ia menerima lima puluh dinar setelah haul dan membebaskan sisanya. Ia tetap wajib mengeluarkan zakat atas seratus dinar jika mampu mengambilnya.
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika suami menceraikannya sebelum haul genap sejak hari pernikahan, maka zakat hanya wajib atas lima puluh dinar ketika haul genap, karena perempuan itu belum menerimanya dan haul belum genap sebelum kepemilikan atas lima puluh dinar batal.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewakan rumah kepada orang lain sebesar seratus dinar untuk empat tahun, maka sewa itu jatuh tempo kecuali jika disyaratkan untuk tempo tertentu. Ketika haul genap sejak hari penyewaan, ia harus menghitung haul dan wajib mengeluarkan zakat sebesar dua puluh lima dinar. Ia boleh memilih untuk mengeluarkan zakat seratus dinar sekaligus, tetapi tidak dipaksa. Jika haul kedua genap, ia wajib mengeluarkan zakat atas lima puluh dinar untuk dua tahun, dengan memperhitungkan zakat dua puluh lima dinar yang telah dikeluarkan pada tahun pertama. Jika haul ketiga genap, ia wajib mengeluarkan zakat tujuh puluh lima dinar untuk tiga tahun, dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan sebelumnya. Jika haul keempat genap, ia wajib mengeluarkan zakat seratus dinar untuk empat tahun, dengan memperhitungkan semua zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit maupun banyak.
(Ar-Rabi’ dan Abu Ya’qub berkata): Ia wajib mengeluarkan zakat seratus dinar.
(Ar-Rabi’ berkata): Aku mendengar seluruh kitab ini, kecuali bagian dari sini sampai akhir yang tidak aku bandingkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewakan rumah sebesar seratus dinar dan menerima uang sewanya, lalu rumah itu runtuh, maka sewa batal sejak hari keruntuhan. Ia hanya wajib mengeluarkan zakat atas bagian sewa yang telah diterima sebelum keruntuhan. Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa ia tidak wajib mengeluarkan zakat seratus dinar sampai sewa itu aman, tetapi wajib mengeluarkan zakat atas bagian sewa yang telah aman diterima. Hal yang sama berlaku untuk sewa tanah dengan emas, perak, atau lainnya yang disewakan oleh pemiliknya.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku membedakan antara sewa tanah, rumah, dan mahar karena mahar adalah sesuatu yang dimiliki secara penuh. Jika perempuan itu meninggal, suaminya meninggal, atau suami telah menggaulinya, maka mahar menjadi miliknya sepenuhnya. Jika suami menceraikannya, ia berhak mengambil kembali separuhnya. Sedangkan sewa tidak dimiliki sepenuhnya kecuali jika manfaat yang disewa aman selama masa sewa. Oleh karena itu, aku membedakan keduanya berdasarkan penjelasan ini.
(Asy-Syafi’i berkata): Kepemilikan suami atas separuh mahar karena perceraian mirip dengan kepemilikan syuf’ah, yang menjadi milik orang yang memegangnya sampai diambil darinya. (Ia berkata): Hutang budak mukatab, budak biasa, atau budak perempuan tidak termasuk dalam hal ini. Tidak ada zakat yang wajib atas mereka atau tuannya sampai tuannya menerimanya dan haul genap sejak hari penerimaan, karena hutang itu bukan kewajiban yang mengikat bagi budak mukatab, budak, atau budak perempuan. Kepemilikan penuh tidak terjadi sampai ia menerimanya. Sedangkan hutang yang ada pada orang merdeka, kepemilikannya tetap berlaku atasnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian juga semua harta yang dimiliki yang asalnya adalah sedekah, perak, kambing, sapi, atau unta. Adapun harta yang dimiliki berupa makanan, kurma, atau lainnya, tidak ada zakatnya. Zakat hanya wajib atas hasil bumi yang dikeluarkan, yaitu jika ia memiliki hasil bumi tersebut, maka ada hak (zakat) pada hari itu.
(Imam Syafi’i berkata): Dan apa yang dikeluarkan dari bumi lalu dizakati, kemudian pemiliknya menyimpannya selama bertahun-tahun, maka tidak ada zakat atasnya. Karena zakatnya hanya berlaku ketika bumi mengeluarkannya pada hari itu. Adapun selain itu, tidak ada zakat dalam keadaan apa pun, kecuali jika dibeli untuk diperdagangkan. Namun, jika niatnya untuk berdagang tetapi barang itu dimiliki tanpa pembelian, maka tidak ada zakat atasnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kaum Muslimin menyerang musuh dengan kuda dan tunggangan, lalu mereka mengumpulkan rampasan perang dan harta itu telah mencapai haul sebelum dibagi, maka penguasa telah berbuat salah jika tidak ada uzur. Tidak ada zakat pada perak, emas, atau hewan ternak dari rampasan itu sampai dibagi. Mereka harus menghitung haul setelah pembagian, karena rampasan perang bukan milik satu orang saja, melainkan kepemilikan bersama. Harta itu tidak diperoleh melalui pembelian atau warisan, melainkan mereka rela memilikinya secara bersama. Imam boleh menunda pembagian sampai memungkinkan, dan karena di dalamnya ada seperlima yang mungkin dialokasikan ke bagian tertentu. Jadi, tidak ada bagian tertentu yang mutlak dimiliki seseorang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika rampasan dibagi, lalu seratus orang menggabungkan saham mereka dengan kerelaan pada suatu barang—misalnya hewan ternak atau sesuatu yang wajib dizakati—dan mereka tidak membaginya sampai mencapai haul, maka mereka wajib mengeluarkan zakat. Karena mereka telah memilikinya secara penuh, berbeda dengan bagian lain atau pemilik lain. Jika penguasa membagikan tanpa kerelaan mereka, ia tidak boleh memaksa. Jika dibagikan saat mereka tidak hadir dan diberikan kepada seseorang, lalu mencapai haul, maka tidak ada zakat atas mereka karena mereka belum memilikinya. Penguasa tidak boleh memaksa mereka. Jika mereka menerima dan rela, maka kepemilikan baru dimulai, dan haul dihitung dari hari mereka menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penguasa menyisihkan bagian seperlima untuk ahlinya, lalu memberikan bagian itu dalam bentuk tertentu, maka jika berupa hewan ternak, tidak wajib sedekah (zakat) atas mereka. Karena itu diberikan kepada banyak orang yang tidak dikenal, seperti rampasan perang yang dibagi kepada banyak orang tanpa batasan. Jika seseorang menerima bagiannya, ia menghitung haul baru. Demikian juga dengan dinar, emas batangan, dan dirham dalam semua kasus ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penguasa mengumpulkan fa’i (harta rampasan tanpa perang) berupa emas atau perak, lalu memasukkannya ke baitulmal sampai mencapai haul, atau hewan ternak yang digembalakan di hima (tanah larangan) sampai haul, maka tidak ada zakat atasnya. Karena pemiliknya tidak terbatas dan tidak dikenal satu per satu. Jika diberikan kepada seseorang, ia menghitung haul baru.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seperlima disisihkan untuk ahlinya, maka berlaku ketentuan yang sama, karena ahli (penerima)nya tidak terbatas. Demikian juga dengan seperlima dari seperlima. Jika disisihkan untuk golongan tertentu dan diberikan kepada mereka, lalu mencapai haul sebelum dibagi, mereka mengeluarkan zakat seperti satu orang karena kepemilikan bersama. Jika dibagi sebelum haul, tidak ada zakat atas mereka.
[Bab Zakat Fitrah]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan dari kalangan Muslimin.
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah atas orang merdeka, budak, laki-laki, dan perempuan dari orang yang menjadi tanggungannya.
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Iyadh bin Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh, bahwa ia mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ kismis, atau satu sha’ aqith (susu kering).”
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Kami berpendapat dengan semua ini. Dalam hadits Nafi’ terdapat petunjuk bahwa Rasulullah ﷺ hanya mewajibkannya atas Muslimin, sesuai dengan Kitabullah. Allah menjadikan zakat sebagai penyuci bagi Muslimin, dan penyucian hanya berlaku bagi Muslimin. Dalam hadits Ja’far terdapat petunjuk bahwa Nabi ﷺ mewajibkannya atas seseorang untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya.
Imam Syafi’i berkata: Dalam hadits Nafi’ terdapat petunjuk sunnah melalui hadits Ja’far, di mana Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah kepada orang merdeka dan budak, sedangkan budak tidak memiliki harta. Hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah kepada tuannya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa seorang tuan wajib membayar zakat fitrah untuk budak laki-laki dan perempuannya yang menjadi tanggungan nafkahnya.
Imam Syafi’i berkata: Setiap orang yang menanggung nafkah seseorang hingga tidak bisa meninggalkannya wajib membayarkan zakat fitrah untuk orang tersebut. Ini termasuk orang yang wajib dia nafkahi, seperti anak-anak kecil, anak dewasa yang cacat dan miskin, orang tua yang cacat dan miskin, istri, dan pembantu rumah tangganya. Jika istri memiliki lebih dari satu pembantu, suami tidak wajib membayar zakat fitrah untuk pembantu tambahan tersebut, tetapi sang istri wajib membayarkan zakat fitrah untuk budak-budaknya yang lain.
Imam Syafi’i berkata: Seorang tuan wajib membayar zakat fitrah untuk budaknya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, baik dia berharap budaknya kembali atau tidak, selama dia mengetahui budaknya masih hidup. Sebab, mereka semua masih dalam kepemilikannya. Demikian pula budak perempuan yang melahirkan anak tuannya, budak yang dimerdekakan dengan tempo, dan budak yang dijadikan gadai, karena mereka semua masih dalam kepemilikannya. Namun, jika di antara tanggungannya ada orang kafir, dia tidak wajib membayar zakat fitrah untuknya karena zakat tidak menyucikan orang kafir.
Imam Syafi’i berkata: Budak dari budaknya juga termasuk budaknya, sehingga dia wajib membayar zakat fitrah untuk mereka.
Imam Syafi’i berkata: Jika anak-anak yang berada dalam perwaliannya memiliki harta, maka zakat fitrah mereka harus dikeluarkan dari harta mereka sendiri, kecuali jika dia rela membayarkannya dari hartanya sendiri, maka itu sudah cukup. Jika seorang merdeka yang menjadi tanggungan seseorang (seperti istri, anak, ayah, atau ibu) dengan sukarela membayar zakat fitrah untuk dirinya sendiri, maka kewajiban itu telah terpenuhi, dan tidak perlu dibayar lagi oleh yang menanggungnya. Namun, jika mereka hanya membayar sebagian, maka yang menanggungnya wajib melengkapi kekurangannya.
Imam Syafi’i berkata: Siapa pun yang termasuk orang yang wajib dibayarkan zakat fitrahnya, jika seseorang memiliki anak yang lahir, atau seseorang masuk dalam kepemilikannya, atau menjadi tanggungannya pada siang hari terakhir Ramadhan, lalu matahari terbenam pada malam Syawal, maka zakat fitrah untuknya menjadi wajib. Bahkan jika orang tersebut meninggal pada malam itu, zakat fitrah tetap wajib. Namun, jika matahari terbenam pada malam Idul Fitri, lalu seseorang lahir atau masuk dalam tanggungannya setelah itu, maka zakat fitrah tidak wajib untuk tahun tersebut, seperti harta yang dimiliki setelah haul.
Jika seorang budak dimiliki bersama oleh dua orang, maka masing-masing wajib membayar zakat fitrah sesuai dengan bagian kepemilikannya.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menjual budak dengan syarat ada hak khiyar (pilihan), lalu bulan Syawal tiba sebelum pembeli memutuskan untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi, maka zakat fitrah tetap menjadi tanggungan penjual.
Ar-Rabi’ berkata: Demikian pula jika penjualan dilakukan dengan khiyar bagi penjual dan pembeli, lalu bulan Syawal tiba sementara budak masih di tangan pembeli, maka baik pembeli memutuskan melanjutkan atau membatalkan transaksi, zakat fitrah tetap menjadi tanggungan penjual.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menjual budak dengan khiyar bagi pembeli, lalu bulan Syawal tiba sebelum pembeli memutuskan menerima atau mengembalikan budak, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pembeli. Kecuali jika pembeli memutuskan sebelum bulan Syawal, maka zakat fitrah tetap menjadi tanggungan penjual. Baik budak berada di tangan pembeli atau penjual, yang dilihat adalah siapa yang memiliki kepemilikan penuh saat itu.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang merampas budak orang lain, zakat fitrah untuk budak tersebut tetap menjadi kewajiban pemilik aslinya. Demikian pula jika seseorang menyewa budak dengan syarat penyewa menanggung nafkahnya.
Imam Syafi’i berkata: Seseorang wajib membayar zakat fitrah untuk budak yang dibeli untuk diperdagangkan, sekaligus membayar zakat perdagangan untuk mereka. Dia juga wajib membayar zakat fitrah untuk budak yang dimiliki untuk pelayanan atau keperluan lainnya, serta semua budak yang dimilikinya.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang menghadiahkan budak kepada orang lain di bulan Ramadhan, tetapi budak belum diserahkan hingga bulan Syawal tiba, maka status zakat fitrahnya ditangguhkan. Jika budak diserahkan sebelum malam Idul Fitri, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penerima hadiah. Jika tidak diserahkan, zakat fitrah tetap menjadi tanggungan pemberi hadiah.
Demikian pula berlaku untuk semua bentuk kepemilikan budak, baik melalui jual beli, hadiah, atau lainnya.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang memerdekakan separuh budak yang dimiliki bersama dengan orang lain, sementara budak tersebut tidak mampu membayar zakatnya sendiri, maka separuh zakat fitrahnya menjadi kewajiban pemilik separuh yang tersisa. Namun, jika budak memiliki cukup harta untuk menafkahi dirinya pada malam dan hari Idul Fitri serta mampu membayar separuh zakat fitrahnya sendiri, maka dia wajib membayar separuh zakat fitrah untuk dirinya.
dirinya sendiri; karena dia adalah pemilik apa yang dia peroleh pada harinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai modal mudharabah, lalu digunakan untuk membeli budak, kemudian tiba bulan Syawal sebelum budak-budak itu dijual, maka zakat mereka menjadi tanggungan pemilik modal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki meninggal dan memiliki budak, lalu budak-budak itu diwarisi oleh ahli warisnya sebelum hilal Syawal, kemudian tiba hilal Syawal sementara budak-budak itu masih berada di tangan mereka, maka mereka wajib membayar zakat fitrah sesuai dengan bagian warisan mereka dari budak-budak tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Jika sebagian ahli waris ingin melepas bagian warisannya, dia tetap wajib membayar zakat fitrah untuk bagian itu; karena kepemilikan itu telah melekat padanya dalam segala keadaan. Seandainya dia meninggal ketika hilal Syawal tiba dan budak-budak itu diwarisi oleh ahli warisnya, zakat fitrah untuknya dan untuk siapa pun yang memiliki hak atas hartanya tetap wajib, baik terkait hutang maupun warisan dan wasiat lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki meninggal dan mewasiatkan seorang budak atau beberapa budak kepada seseorang, maka:
– Jika kematiannya setelah hilal Syawal, zakat fitrah untuk budak-budak itu diambil dari hartanya.
– Jika kematiannya sebelum Syawal, dan penerima wasiat belum memutuskan untuk menerima atau menolak wasiat, atau bahkan belum mengetahuinya sampai tiba bulan Syawal, maka zakat fitrah untuk budak-budak itu tertunda.
– Jika penerima wasiat memilih menerima wasiat, maka zakat fitrah menjadi tanggungannya, karena budak-budak itu keluar dari kepemilikan mayit, sementara ahli waris tidak memiliki hak kepemilikan atas mereka.
– Jika dia memilih menolak wasiat, maka zakat fitrah tidak wajib baginya, dan ahli warislah yang wajib mengeluarkan zakat untuk budak-budak itu, karena status mereka tergantung pada kepemilikan ahli waris atau penerima wasiat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika penerima wasiat meninggal sebelum memilih menerima atau menolak wasiat, maka ahli warisnya menggantikan posisinya dalam memilih. Jika mereka memilih menerima, zakat fitrah untuk budak-budak itu diambil dari harta ayah mereka, karena mereka mewarisi kepemilikan atas budak-budak itu, kecuali jika mereka ingin membayarnya secara sukarela dari harta mereka sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Ini berlaku jika wasiat dikeluarkan dari sepertiga harta dan penerima wasiat menerimanya. Jika tidak dikeluarkan dari sepertiga, maka budak-budak itu menjadi milik bersama antara ahli waris dan penerima wasiat, dan zakat fitrah dibagi sesuai dengan bagian warisan dan wasiat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewasiatkan kepemilikan atas seorang budak kepada satu orang dan pelayanannya kepada orang lain seumur hidup atau untuk waktu tertentu, lalu wasiat itu diterima, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pemilik kepemilikan budak. Jika wasiat tidak diterima, zakat fitrah menjadi tanggungan ahli waris, karena merekalah yang memiliki kepemilikan atas budak itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan hutang dan budak, maka:
– Zakat fitrah untuk budak-budak itu diambil dari hartanya.
– Jika dia meninggal sebelum Syawal, ahli waris wajib membayar zakat fitrah untuk budak-budak itu, karena mereka masih dalam kepemilikan ahli waris sampai budak-budak itu dijual untuk melunasi hutang.
Ini berbeda dengan budak yang diwasiatkan, karena budak yang diwasiatkan keluar dari kepemilikan mayit jika wasiat diterima, sementara budak yang menjadi jaminan hutang tidak keluar dari kepemilikannya selama ahli waris melunasi hutang.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki budak mukatab dengan perjanjian yang tidak sah, statusnya seperti budak biasa, sehingga pemilik wajib membayar zakat fitrah untuknya. Namun, jika perjanjiannya sah, pemilik tidak wajib membayar zakat fitrah, karena budak itu terhalang dari kepemilikan penuh atas hartanya, dan budak mukatab juga tidak wajib membayar zakat fitrah karena tidak memiliki kepemilikan penuh atas hartanya.
Jika seseorang memiliki ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) atau mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal), maka dia wajib membayar zakat fitrah untuk keduanya, karena dia masih pemilik mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Wali dari orang gila atau anak kecil wajib membayar zakat fitrah untuk mereka dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungan nafkah mereka, sebagaimana orang yang sehat membayar untuk dirinya sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Seseorang tidak boleh menahan zakat untuk budaknya yang hilang, meskipun tidak ada kabar tentangnya, sampai dia mengetahui bahwa budak itu telah meninggal sebelum hilal Syawal. Jika dia mengetahui budak itu telah meninggal sebelum Syawal, dia tidak wajib membayar zakat fitrah untuknya. Namun, jika tidak yakin, dia tetap wajib membayarnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tidak mengetahui apakah orang lain yang berada di luar negerinya masih hidup atau sudah meninggal saat waktu zakat fitrah tiba, maka dia tetap wajib membayar zakat untuk orang itu.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa beliau mengeluarkan zakat fitrah untuk budak-budaknya yang berada di pedesaan dan Khaibar.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap orang yang memasuki bulan Syawal dan memiliki cukup makanan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya pada hari itu, serta memiliki harta untuk membayar zakat fitrah untuk dirinya dan mereka, maka dia wajib membayarnya.
Jika dia hanya memiliki cukup untuk membayar sebagian, maka dia membayar untuk sebagian saja.
Jika dia tidak memiliki kecuali sekadar untuk kebutuhan dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya pada hari itu, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah, baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada seseorang yang menjadi tanggungan…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Dan bagi orang yang tidak mampu membayar zakat fitrah, saya tidak memberikan keringanan untuk meninggalkannya bagi dirinya sendiri, dan tidak jelas bagi saya bahwa itu wajib baginya; karena itu diwajibkan pada orang lain dalam hal ini. (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak masalah membayar zakat fitrah dan menerimanya jika dia membutuhkan, begitu juga sedekah wajib lainnya dan sedekah biasa, dan setiap muslim dalam zakat adalah sama. (Berkata Asy-Syafi’i): Dan tidak wajib bagi orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki uang, dan tidak menemukan makanan untuk sehari, untuk berhutang demi zakat.
[Bab Zakat Fitrah Kedua]
Mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ berkata (Berkata Asy-Syafi’i): Mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan kepada manusia, satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan dari kalangan muslimin.” (Berkata Asy-Syafi’i) – rahimahullah – tidak ada zakat fitrah kecuali atas seorang muslim, dan seorang laki-laki wajib membayar zakat untuk setiap orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, baik kecil maupun besar.
(Berkata Asy-Syafi’i): Dan dia wajib menafkahi istrinya dan pembantunya, tidak lebih dari itu, dan istri wajib membayar zakat untuk budak-budaknya yang tersisa. Dan wajib bagi siapa saja yang memiliki budak, baik hadir maupun tidak, baik untuk perdagangan atau pelayanan, baik dia berharap mereka kembali atau tidak, jika dia mengetahui mereka masih hidup, maka dia wajib membayar zakat untuk mereka. Demikian juga, dia wajib membayar zakat untuk budak dari budaknya, dan untuk ummahatul aulad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) serta budak yang dimerdekakan secara bertahap. Tidak ada zakat bagi siapa pun atas budak laki-laki kafir atau budak perempuan kafir. Dan bagi siapa yang saya katakan wajib zakat fitrah, jika dia memiliki anak atau orang yang berada di bawah tanggungannya pada sebagian siang hari terakhir Ramadhan, lalu matahari terbenam pada malam hilal Syawal, maka wajib baginya zakat fitrah untuknya, meskipun dia meninggal pada malam itu. Jika matahari terbenam pada hari terakhir Ramadhan, lalu dia memiliki anak atau ada tambahan dalam tanggungannya, maka tidak wajib zakat fitrah untuk mereka. Itu seperti harta yang dimiliki setelah haul (satu tahun), dan hanya wajib jika dimiliki sebelum jatuh tempo, lalu jatuh tempo saat dimiliki.
Jika seseorang membeli budak dengan syarat pembeli memiliki hak khiyar (pilihan), lalu masuk Syawal sebelum dia memilih untuk mengembalikan atau menerima, lalu dia memilih untuk mengembalikan atau menerima, maka zakat fitrah tetap menjadi tanggungan pembeli; karena jika jual beli telah tetap dan hak khiyar hanya ada padanya, maka jual beli adalah miliknya. Jika dia memilih untuk mengembalikannya berdasarkan syarat, maka itu seperti mengembalikannya karena cacat. Baik budak yang dijual berada di tangan pembeli atau penjual, saya hanya melihat siapa yang memilikinya, lalu mewajibkan zakat fitrah padanya.
Jika seseorang merampas budak, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pemiliknya.
Jika seseorang menyewa budak dan mensyaratkan nafkahnya, maka zakat fitrah menjadi tanggungan tuannya.
Jika seseorang menghadiahkan budak kepada orang lain di bulan Ramadhan, tetapi penerima hadiah belum menerimanya sampai masuk Syawal, maka kami menahan zakat fitrah. Jika penerima hadiah menerimanya, maka dia yang membayar zakatnya. Jika tidak menerimanya, maka pemberi hadiah yang membayar zakatnya. Jika penerima hadiah menerimanya sebelum malam, lalu matahari terbenam dan dia mengembalikannya, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penerima hadiah. Demikian juga setiap kepemilikan budak laki-laki atau perempuan.
Jika seseorang meninggal dan memiliki budak, lalu ahli waris mewarisinya sebelum hilal Syawal, kemudian masuk Syawal dan budak belum keluar dari tangan mereka, maka mereka wajib membayar zakat fitrah sesuai bagian warisan mereka. Jika salah satu dari mereka ingin meninggalkan bagian warisannya setelah masuk Syawal, maka dia tetap wajib membayar zakat fitrah; karena kepemilikan telah tetap baginya dalam segala kondisi.
Jika seorang budak sebagian merdeka dan sebagian masih budak, maka pemilik bagian wajib membayar zakat sesuai kepemilikannya, dan budak wajib membayar sisanya. Budak boleh membayar dari hasil kerjanya pada hari itu jika dia memiliki cukup untuk kebutuhan hari dan malam Idul Fitri. Jika dia tidak memiliki kelebihan untuk kebutuhan dirinya pada malam dan hari Idul Fitri, maka tidak ada kewajiban baginya.
Jika seorang mudharib (pengelola modal) membeli budak, lalu masuk Syawal dan budak masih bersamanya, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pemilik modal.
Jika seseorang meninggal saat masuk Syawal, maka zakat fitrah diambil dari hartanya, didahulukan sebelum utang dan wasiat, dibayarkan untuk dirinya dan orang-orang yang dia miliki serta yang menjadi tanggungan nafkahnya dari kalangan muslimin.
Jika seseorang meninggal dan mewasiatkan budak kepada orang lain, jika kematiannya setelah hilal Syawal dan wasiat itu keluar dari sepertiga harta, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pemilik dalam hartanya. Jika dia meninggal sebelum hilal Syawal, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penerima wasiat jika dia menerima wasiat tersebut. Jika tidak menerimanya, atau tidak mengetahuinya, …”
Jika dia tidak mengetahuinya, maka zakat ditangguhkan. Jika dia memilih mengambilnya, maka zakat menjadi tanggungannya. Jika dia menolaknya, maka ahli waris wajib mengeluarkan zakat untuk budak tersebut. Jika tidak dikeluarkan dari sepertiga harta, maka dia menjadi mitra ahli waris jika wasiat diterima, dan zakat menjadi tanggungan mereka seperti halnya mitra. Jika penerima wasiat meninggal sebelum memilih menerima atau menolak, maka ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika mereka memilih menerima, maka mereka wajib membayar zakat fitrah dari harta ayah mereka.
Jika seseorang mewasiatkan kepemilikan budak kepada seorang lelaki dan pelayanannya kepada orang lain selama hidup penerima wasiat, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pemilik kepemilikan. Jika penerima wasiat tidak menerima kepemilikan, maka zakat fitrah menjadi tanggungan ahli waris.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meninggal dan memiliki budak serta memiliki hutang setelah hilal Syawal, maka zakat menjadi tanggungan hartanya untuk dirinya dan budaknya. Jika dia meninggal sebelum hilal, maka zakat menjadi tanggungan ahli waris karena budak tersebut masih dalam kepemilikan mereka hingga hutang dilunasi.
Seorang tuan tidak wajib membayar zakat untuk mukatabnya jika perjanjian mukatab sah. Mukatab juga tidak wajib membayar zakat untuk dirinya sendiri. Jika perjanjian mukatab tidak sah, maka statusnya seperti budak biasa, dan tuannya wajib membayar zakat fitrah untuknya.
(Imam Syafi’i berkata): Wali anak kecil dan orang gila wajib membayar zakat fitrah untuk mereka dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkah mereka, sebagaimana orang yang sehat wajib membayar.
Setiap orang yang memasuki hilal Syawal dan memiliki cukup makanan untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya selama sehari semalam, serta mampu membayar zakat fitrah untuk mereka dan dirinya, maka wajib membayarnya. Jika dia hanya memiliki cukup untuk membayar zakat fitrah untuk dirinya atau sebagian dari mereka, maka dia wajib membayarnya. Jika dia hanya memiliki cukup makanan untuk dirinya dan mereka, maka tidak ada kewajiban zakat. Jika di antara mereka ada yang memiliki kelebihan dari kebutuhan sehari, maka dia wajib membayar zakat untuk dirinya jika tidak ada yang membayarkan untuknya. Namun, menurutku, tidak wajib karena zakat fitrah diwajibkan pada orang lain untuknya. Tidak masalah jika seseorang membayar zakat fitrah dan menerimanya, atau sedekah wajib dan sunnah lainnya. Setiap muslim dalam zakat memiliki kedudukan yang sama. Tidak wajib bagi orang yang tidak memiliki apa-apa untuk meminjam zakat fitrah, meskipun ada yang bersedia meminjamkannya. Jika dia menjadi mampu setelah hilal Syawal, tidak wajib membayar karena waktunya telah lewat dan dia sebelumnya tidak mampu. Namun, jika dia tetap membayar, itu lebih baik.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual budak dengan transaksi yang tidak sah, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penjual karena budak tersebut belum keluar dari kepemilikannya. Demikian juga jika dia menggadaikan budak dengan gadai yang tidak sah atau sah, maka zakat fitrah tetap menjadi tanggungan pemiliknya.
Jika seseorang menikahkan budak perempuannya dengan seorang budak, maka dia wajib membayar zakat fitrah untuknya. Begitu juga dengan mukatab. Jika dia menikahkannya dengan orang merdeka, maka zakat fitrah menjadi tanggungan suaminya yang merdeka jika dia membiarkan mereka hidup bersama. Jika tidak, maka zakat fitrah menjadi tanggungan tuannya. Jika suami yang merdeka tidak mampu, maka zakat fitrah menjadi tanggungan tuan budak perempuan.
Jika seseorang menghadiahkan budak perempuan atau laki-laki kepada anak kecilnya dan anak tersebut tidak memiliki harta lain, maka tidak jelas apakah zakat fitrah menjadi kewajiban ayahnya, karena nafkah anak tersebut bukan tanggungannya kecuali jika anak tersebut masih menyusu atau sangat membutuhkannya, sehingga ayahnya wajib menafkahi dan membayar zakat fitrah untuk mereka. Jika ayahnya menahan mereka untuk melayaninya, maka dia telah berbuat buruk, tetapi tidak jelas apakah dia wajib membayar zakat fitrah untuk mereka karena mereka bukan orang yang wajib dinafkahinya. Jika anaknya memiliki harta, maka zakat fitrah untuk budaknya dibayarkan dari hartanya. Jika ayah menyewa penyusu untuk anaknya, maka tidak wajib membayar zakat fitrah untuk penyusu tersebut. Selain wali anak kecil, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Jika dia mengeluarkannya tanpa perintah hakim, maka dia harus mengganti.
[Bab Takaran Zakat Fitrah]
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Iyadh bin Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh bahwa dia mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ keju.” Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Qais bahwa dia mendengar ‘Iyadh bin Abdullah bin Sa’d berkata: Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Pada zaman Nabi SAW, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, atau satu sha’ keju, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’.”
Dari gandum, maka kami terus mengeluarkannya hingga Muawiyah datang untuk haji atau umrah. Dia berkhutbah di hadapan orang-orang, dan di antara yang disampaikannya adalah: “Aku melihat bahwa satu mud dari gandum Syam setara dengan satu sha’ kurma.” Maka orang-orang pun mengikuti hal itu.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh mengeluarkan zakat fitri dari gandum kecuali satu sha’.
(Imam Syafi’i berkata): Yang tetap dari Rasulullah ﷺ adalah kurma dan gandum. Aku tidak melihat Abu Sa’id Al-Khudri menyandarkan bahwa Nabi ﷺ mewajibkannya, tetapi dia menyandarkan bahwa mereka biasa mengeluarkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam sunnah Rasulullah ﷺ, zakat fitri dikeluarkan dari makanan pokok seseorang dan dari yang termasuk zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Makanan pokok apa pun yang dominan bagi seseorang, maka darinya dia menunaikan zakat fitri. Jika ada orang yang memberinya pinjaman, lalu dia bangkrut, maka tidak ada kewajiban zakat fitri baginya. Jika dia mampu pada hari itu atau setelahnya, dia tidak wajib mengeluarkannya pada waktunya karena saat itu dia tidak berkewajiban. Namun, jika dia mengeluarkannya, itu lebih aku sukai untuknya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual budak dengan jualan yang fasid, maka zakat fitri tetap menjadi tanggungan penjual karena budak itu belum keluar dari kepemilikannya. Demikian pula jika dia menggadaikannya kepada seseorang atau budak itu dirampas, zakat fitri tetap menjadi tanggungan pemilik asal karena budak itu masih dalam kepemilikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula jika seseorang menjual budak dengan hak khiyar, lalu bulan Syawal tiba sebelum dia memilih untuk melanjutkan atau membatalkan jualan, kemudian dia memilih melanjutkannya, maka zakat fitri menjadi tanggungan pembeli karena dia telah memilikinya sejak akad pertama. Jika hak khiyar ada pada pembeli, maka zakat fitri ditangguhkan. Jika dia memilih melanjutkan, maka menjadi tanggungan pembeli. Jika dia mengembalikan, maka menjadi tanggungan penjual.
(Abu Muhammad berkata): Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa zakat fitri tetap menjadi tanggungan penjual karena kepemilikan pembeli belum sempurna kecuali setelah memilih atau habisnya masa khiyar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menikahkan budak perempuannya dengan seorang budak, maka dia wajib menunaikan zakat fitri untuknya. Demikian pula dengan mukatab. Jika dia menikahkannya dengan orang merdeka, maka zakat fitri menjadi tanggungan suaminya yang merdeka. Jika suaminya tidak mampu, maka tuannyalah yang wajib menunaikan zakat fitri untuknya. Jika dia menikahkannya dengan orang merdeka tetapi suaminya belum menggaulinya atau menghalanginya, maka zakat fitri tetap menjadi tanggungan tuannya.
Jika seseorang menghadiahkan budak laki-laki atau perempuan kepada anak kecilnya yang tidak memiliki harta, maka tidak jelas apakah ayahnya wajib menunaikan zakat fitri untuk mereka, kecuali jika mereka termasuk orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, seperti ibu susuan atau orang yang tidak bisa ditinggalkan oleh anak kecil itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ayahnya menahan mereka untuk melayani dirinya sendiri, maka dia telah berbuat buruk, tetapi tidak jelas apakah dia wajib menunaikan zakat fitri untuk mereka, karena mereka bukan orang yang selalu menjadi tanggungan nafkahnya, kecuali jika dia menahan mereka.
Jika dia menyewa ibu susuan untuk anaknya, maka dia tidak wajib menunaikan zakat fitri untuknya.
Orang yang bukan wali tidak boleh mengeluarkan zakat fitri dari harta orang lain. Jika dia mengeluarkannya atau zakat lainnya tanpa perintah hakim, maka dia harus mengganti dan melaporkannya kepada hakim agar hakim memerintahkan orang yang berwenang untuk mengeluarkannya.
Jika zakat berupa gandum, jagung, al-‘alas (sejenis gandum), sya’ir (jelai), kurma, atau kismis, maka yang dikeluarkan adalah satu sha’ sesuai takaran Nabi ﷺ. Tidak boleh mengurangi sedikit pun, dan zakat tidak boleh diganti dengan nilai uang. Jika dia menggantinya, misalnya dengan mengeluarkan satu sha’ kismis yang buruk, maka dia harus menggantinya dengan delapan sha’ gandum.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh mengeluarkan zakat dari biji-bijian selain biji itu sendiri, tidak boleh dalam bentuk tepung, sawiq (tepung gandum yang disangrai), atau nilai uangnya.
Aku lebih suka jika penduduk Badui tidak mengeluarkan aqith (keju kering), karena jika mereka memiliki makanan pokok, maka mereka harus mengeluarkan dari makanan pokok mereka.
Jika mereka biasa memakan tumbuhan pahit (seperti handhal) atau makanan lain yang tidak diragukan lagi, maka mereka harus berusaha mengeluarkan makanan pokok yang paling dekat dengan penduduk negeri terdekat, karena mereka biasa memakan buah yang tidak termasuk zakat, maka mereka harus mengeluarkan dari buah yang termasuk zakat, yaitu satu sha’ untuk setiap orang.
Penduduk Badui dan penduduk desa dalam hal ini sama, karena Nabi ﷺ tidak mengkhususkan seorang Muslim pun atas yang lain.
Jika mereka mengeluarkan aqith, maka tidak jelas bagiku bahwa…
Saya melihat mereka harus mengulangi, apa yang mereka bayarkan, atau selain mereka dari makanan pokok yang pada asalnya tidak termasuk zakat selain _aqth_ (keju kering), maka mereka wajib mengulangi.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui ada orang yang menjadikan biji kapas sebagai makanan pokok. Jika tidak dijadikan makanan pokok, maka tidak sah sebagai zakat. Namun jika ada suatu kaum yang menjadikannya sebagai makanan pokok, maka zakat dengan biji kapas sah bagi mereka karena pada asalnya termasuk zakat.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh seseorang mengeluarkan setengah sha’ gandum dan setengah sha’ jelai, meskipun makanan pokoknya adalah jelai. Tidak boleh mengeluarkan zakat kecuali dari satu jenis. Dibolehkan jika makanan pokoknya jelai, ia boleh mengeluarkan untuk dirinya dan lebih banyak jelai, atau untuk dirinya dan lebih banyak gandum, karena gandum lebih utama. Sebagaimana boleh bersedekah dengan hewan yang lebih tinggi kualitasnya. Tidak dikatakan “ia telah membayar dengan setara dari jelai”, melainkan dikatakan “ia diberi kebolehan untuk membayar dengan jelai jika itu makanannya”, bukan karena zakat harus jelai bukan gandum. Jika makanan pokoknya gandum lalu ia ingin membayar dengan jelai, itu tidak boleh karena jelai lebih rendah dari makanannya. Sebagaimana tidak boleh membayar dengan kurma jelek dan kurma bagus, atau hewan di bawah usia yang diwajibkan. Namun ia boleh membayar setengah sha’ kurma jelek jika itu makanannya. Jika ia berusaha membayar setengah sha’ kurma bagus bersamanya, maka itu sah karena ini satu jenis. Sedangkan gandum dan jelai adalah dua jenis, sehingga tidak boleh menggabungkan satu jenis dengan lainnya dalam zakat. Jika ia memiliki gandum, ia boleh mengeluarkan zakat fitrah dari bagian mana pun yang ia kehendaki.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki kurma, ia mengeluarkan dari kurma pertengahan yang wajib dizakati. Jika ia mengeluarkan dari yang terbaik, itu lebih aku sukai. Tidak boleh mengeluarkan zakat dari kurma, gandum, atau lainnya yang sudah rusak atau cacat. Ia hanya boleh mengeluarkan yang baik. Dibolehkan mengeluarkan yang lama asalkan rasanya atau warnanya belum berubah, karena perubahan itu termasuk cacat.
[Pasal Takaran Zakat Fitrah Kedua]
(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Iyadh bin Abdullah bin Sa’d bahwa ia mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ jelai, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ _aqth_.” Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Qais bahwa ia mendengar ‘Iyadh bin Abdullah bin Sa’d berkata: Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami mengeluarkan satu sha’ makanan, atau satu sha’ _aqth_, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ jelai. Kami terus melakukannya demikian hingga Mu’awiyah datang untuk haji atau umrah. Ia berkhutbah di hadapan orang-orang, di antaranya ia berkata: ‘Aku melihat bahwa satu _mudd_ gandum Syam setara dengan satu sha’ kurma.’ Maka orang-orang pun mengambil pendapat itu.”
(Imam Syafi’i berkata): Kami mengambil berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Imam Syafi’i berkata): Seseorang boleh membayar dari makanan pokok yang paling dominan, baik gandum, jagung, _’alas_ (sejenis gandum), jelai, kurma, atau kismis. Apa pun yang ia bayarkan dari ini, ia harus membayar satu sha’ sesuai takaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia tidak boleh mengeluarkan dari biji-bijian kecuali biji itu sendiri, tidak boleh dengan tepung atau _sawiq_ (tepung yang sudah dimasak), tidak boleh dengan nilai harganya. Penduduk Badui tidak boleh membayar zakat dari makanan pokok mereka seperti _futs_ (sejenis tumbuhan pahit), _handhal_ (buah pahit), atau buah lainnya yang tidak sah untuk zakat. Mereka diwajibkan membayar dari makanan pokok penduduk negeri terdekat yang mengonsumsi gandum, jagung, _’alas_, jelai, kurma, atau kismis, bukan selain itu. Jika mereka membayar dengan _aqth_, itu sah bagi mereka. Jika mereka atau selain mereka membayar dengan sesuatu yang pada asalnya tidak termasuk zakat selain _aqth_, maka mereka harus mengulangi.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui ada orang yang menjadikan biji kapas sebagai makanan pokok. Jika ada yang menjadikannya makanan pokok, maka zakat dengannya sah karena pada asalnya termasuk zakat. Jika tidak dijadikan makanan pokok, maka tidak sah. Tidak boleh seseorang mengeluarkan setengah sha’ gandum dan setengah sha’ jelai, meskipun makanan pokoknya jelai. Tidak boleh mengeluarkan zakat kecuali dari satu jenis. Dibolehkan mengeluarkan untuk dirinya dan orang yang ia tanggung dengan gandum.
Dan dikeluarkan dari sebagian orang yang memberi makan berupa gandum, sebagaimana boleh juga memberikan dalam sedekah hewan yang lebih tua. Jika makanannya adalah gandum, lalu ia ingin membayar dengan gandum, itu tidak diperbolehkan karena lebih rendah dari apa yang dimakannya. Juga tidak boleh mengeluarkan kurma yang baik dan kurma yang jelek, atau sesuatu yang kurang dari yang wajib. Jika ia mengeluarkan kurma yang jelek sebagai makanannya, itu sudah mencukupi. Jika ia memiliki kurma, maka ia harus mengeluarkan zakat dari pertengahannya. Tidak boleh mengeluarkan kurma atau gandum atau lainnya jika sudah rusak atau cacat, kecuali dalam keadaan baik.
[Bagian tentang hilangnya zakat fitrah sebelum dibagikan]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami: Barangsiapa mengeluarkan zakat fitrah pada waktunya, sebelumnya, atau sesudahnya untuk dibagikan, lalu hilang, dan ia termasuk orang yang mampu membayar zakat fitrah, maka ia wajib mengeluarkannya lagi sampai dibagikan atau diserahkan kepada penguasa. Demikian pula setiap hak yang wajib ditunaikan, tidak gugur kecuali dengan menunaikannya bagi orang yang wajib membayar. (Asy-Syafi’i berkata): Zakat fitrah dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat harta, tidak sah jika diberikan kepada selain mereka. Jika seseorang menanganinya, ia membaginya menjadi enam bagian, karena bagian amil dan muallaf telah gugur. (Ia berkata): Bagian amil gugur karena ia menanganinya sendiri, sehingga tidak berhak mengambil upah. Zakat dibagikan kepada fakir, miskin, budak (mukatab), orang yang terlilit utang, fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jika ada golongan yang tidak ditemukan, maka ia wajib menjamin hak mereka dari zakat tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Seseorang boleh memberikan zakat hartanya kepada kerabat jika mereka termasuk golongan yang berhak, dan yang paling dekat lebih utama untuk diberi jika ia bukan orang yang wajib dinafkahi dalam keadaan apa pun. Jika ia memberinya secara sukarela, maka boleh memberinya zakat karena nafkahnya bersifat sukarela, bukan kewajiban.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih memilih membagikan zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pengumpul zakat. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Al-Mu’ammal mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah, dan seorang lelaki berkata kepadanya: “Atho’ memerintahkanku untuk menyerahkan zakat fitrah di masjid.” Maka Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Apakah orang asing itu memberimu fatwa tanpa pendapatnya? Bagikanlah! Ibnu Hisyam hanya memberikannya kepada penjaganya dan siapa saja yang ia kehendaki.” Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepada kami dari Usamah bin Zaid Al-Laitsi bahwa ia bertanya kepada Salim bin Abdullah tentang zakat. Salim berkata: “Berikanlah sendiri.” Aku berkata: “Bukankah Ibnu Umar berkata untuk menyerahkannya kepada penguasa?” Ia menjawab: “Ya, tapi aku tidak melihat perlu menyerahkannya kepada penguasa.” Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar mengirim zakat fitrah yang dikumpulkan di tempatnya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri.
[Bagian kedua tentang hilangnya zakat fitrah sebelum dibagikan]
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa mengeluarkan zakat fitrah pada waktunya, sebelumnya, atau sesudahnya untuk dibagikan, lalu hilang, dan ia termasuk orang yang mampu, maka ia wajib mengeluarkannya lagi sampai dibagikan atau diserahkan kepada penguasa. Demikian pula setiap hak yang wajib ditunaikan, tidak gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat fitrah dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat harta, tidak sah jika diberikan kepada selain mereka. Jika seseorang menanganinya, ia membaginya menjadi enam bagian, karena bagian amil dan muallaf telah gugur, lalu dibagikan kepada fakir, miskin, budak (mukatab), orang yang terlilit utang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Dan orang-orang miskin, budak yang ingin memerdekakan diri (mukatab), orang yang terlilit utang, di jalan Allah, dan ibnu sabil. Jika ada golongan dari mereka yang tidak diberi, maka dia harus menanggung hak mereka darinya. Seorang laki-laki ketika mengeluarkan zakat fitrah boleh memberikannya kepada kerabatnya jika mereka termasuk golongan yang berhak menerimanya, dan yang paling dekat hubungannya lebih berhak untuk diberi jika mereka termasuk orang yang tidak wajib dinafkahi olehnya. Membagi zakat fitrah oleh seseorang adalah baik, dan menyerahkannya kepada orang yang mengumpulkannya sudah mencukupi insya Allah. Ibnu Umar dan Atha’ bin Abi Rabah menyerahkan zakat fitrah kepada orang yang mengumpulkannya. (Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i ditanya tentang zakat fitrah, beliau menjawab: “Engkau menyerahkannya langsung dengan tanganmu lebih aku sukai daripada engkau serahkan kepada orang lain, karena engkau lebih yakin jika memberikannya sendiri. Sedangkan jika engkau serahkan kepada orang lain, engkau tidak yakin apakah sudah disalurkan dengan benar.”
[BAB ORANG YANG BERBEDA MAKANAN POKOKNYA]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, beliau berkata: “Jika seseorang mengonsumsi berbagai jenis biji-bijian seperti gandum, sya’ir (jelai), kurma, dan kismis, maka yang lebih utama baginya adalah mengeluarkan zakat fitrah dari gandum. Namun, jika dia mengeluarkan dari jenis lainnya, itu sudah mencukupi insya Allah Ta’ala.” (Beliau berkata): “Jika seseorang biasa mengonsumsi gandum tetapi ingin mengeluarkan zakat berupa kismis, kurma, atau sya’ir, aku tidak menyukainya dan lebih suka jika dia mengulangi dan mengeluarkannya berupa gandum. Karena makanan pokok yang paling umum di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah adalah kurma, dan yang mengonsumsi sya’ir sedikit. Mungkin tidak ada seorang pun di sana yang mengonsumsi gandum, dan mungkin gandum saat itu termasuk makanan mewah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah dari makanan pokok mereka. Aku tidak suka jika seseorang yang biasa mengonsumsi gandum mengeluarkan zakat dari selainnya. Namun, aku lebih suka jika seseorang yang biasa mengonsumsi sya’ir mengeluarkan gandum karena lebih utama.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar tidak pernah mengeluarkan zakat fitrah kecuali dengan kurma, kecuali sekali saja ketika dia mengeluarkan sya’ir.
(Imam Syafi’i berkata): “Aku menduga Nafi’ bersama Abdullah bin Umar, dia biasa mengonsumsi gandum. Aku lebih menyukai seperti yang aku sebutkan sebelumnya, yaitu mengeluarkan gandum.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika suatu kaum mengonsumsi jagung, millet, sult (sejenis gandum), beras, atau biji-bijian apa pun yang termasuk harta yang wajib dizakati, maka mereka boleh mengeluarkan zakat darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mewajibkan zakat fitrah dari makanan dan menyebutkan sya’ir dan kurma, kami memahami bahwa yang beliau maksud adalah makanan pokok. Maka, apa saja yang termasuk makanan pokok dan wajib dizakati, jika mereka mengeluarkannya, itu sudah mencukupi insya Allah Ta’ala. Namun, aku lebih suka jika mereka mengeluarkan gandum, kecuali jika makanan pokok mereka adalah kurma atau sya’ir, maka mereka boleh mengeluarkan apa yang mereka konsumsi.”
[BAB ORANG YANG BERBEDA MAKANAN POKOKNYA (2)]
(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): “Jika seseorang mengonsumsi berbagai biji-bijian seperti sya’ir, gandum, kismis, dan kurma, maka yang lebih aku sukai adalah dia mengeluarkan zakat dari gandum. Namun, jika dia mengeluarkan dari jenis lainnya, itu sudah mencukupi. Jika dia biasa mengonsumsi gandum tetapi ingin mengeluarkan kismis, kurma, atau sya’ir, aku tidak menyukainya dan lebih suka jika dia mengulangi dan mengeluarkan gandum. Jika suatu kaum mengonsumsi jagung, millet, beras, sult, atau biji-bijian apa pun yang wajib dizakati, mereka boleh mengeluarkan zakat darinya. Demikian juga jika makanan pokok mereka adalah kacang-kacangan.”
[Bab Orang yang Kesulitan Membayar Zakat Fitrah]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Barangsiapa yang memasuki bulan Syawal dalam keadaan kesulitan membayar zakat fitrah, kemudian ia mampu setelah hari raya atau sesudahnya, maka tidak wajib baginya zakat fitrah. Namun, lebih aku sukai jika ia membayar zakat fitrah kapan saja ia mampu, baik masih dalam bulan Syawal atau setelahnya.
(Asy-Syafi’i) berkata: Aku mengatakan waktu zakat fitrah adalah saat terlihatnya hilal Syawal karena itu menandai berakhirnya puasa dan masuknya bulan pertama berbuka (Syawal). Sebagaimana jika seseorang memiliki hak atas orang lain yang jatuh tempo pada akhir Ramadan, hak itu menjadi wajib ketika hilal Syawal terlihat, bukan saat fajar malam hilal Syawal. Jika ini dibolehkan, maka zakat fitrah bisa dibayar kapan saja di bulan Syawal, sehari, sepuluh hari, atau lebih, selama belum berakhir bulan Syawal.
(Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala) berkata: Tidak mengapa seseorang membayar zakat fitrah dan menerimanya jika ia membutuhkan, begitu juga sedekah wajib lainnya. Setiap muslim dalam hal zakat adalah sama.
(Asy-Syafi’i) berkata: Orang yang tidak memiliki harta, tidak memiliki uang, dan tidak memiliki cukup untuk kebutuhan sehari-harinya tidak wajib berhutang untuk membayar zakat.
—
[Bab Kumpulan Kewajiban Zakat]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan zakat di beberapa tempat dalam Kitab-Nya, sebagaimana telah kami tulis di bagian akhir pembahasan zakat. Allah berfirman dalam beberapa ayat Kitab-Nya: “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat” (QS. Al-Baqarah: 43), yang berarti berikanlah zakat. Allah juga berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: “Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103).
(Asy-Syafi’i) berkata: Allah mewajibkan bagi siapa saja yang memiliki harta wajib zakat untuk menunaikannya kepada yang berhak. Dia juga mewajibkan penguasa untuk memungutnya jika tidak dibayarkan, dan jika sudah dibayarkan, penguasa tidak boleh mengambilnya lagi karena Allah menyebutnya sebagai satu zakat, bukan dua. Kewajiban zakat termasuk hukum yang telah Allah tetapkan dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya ﷺ. Dia juga menjelaskan harta apa yang wajib zakat, harta apa yang tidak, berapa lama kepemilikan harta hingga zakat menjadi wajib, dan waktu-waktu zakat serta kadarnya—ada yang seperlima, sepersepuluh, setengah sepersepuluh, seperempat sepersepuluh, atau jumlah yang bervariasi.
(Asy-Syafi’i) berkata: Ini adalah penjelasan tentang kedudukan yang Allah berikan kepada Nabi-Nya ﷺ dalam menjelaskan hukum zakat. Setiap kewajiban harta seorang muslim yang bukan karena kesalahan yang ia lakukan atau kesalahan orang yang menjadi tanggungannya, bukan pula sedekah sunnah atau kewajiban yang ia buat sendiri, maka itu adalah zakat. Zakat adalah sedekah, keduanya memiliki nama yang sama. Jika seseorang mengelola sedekah hartanya atau penguasa yang melakukannya, maka keduanya wajib membagikannya sesuai ketentuan Allah tanpa menyimpang. Kami telah menjelaskan hal ini di tempatnya, dan kami memohon taufik kepada Allah.
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At-Taubah: 60).
Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan kewajiban zakat dalam Kitab-Nya, kemudian menguatkannya dengan firman-Nya, “sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (QS. At-Taubah: 60).
(Imam Syafi’i berkata): Tidak seorang pun berhak membagikan zakat selain kepada golongan yang telah ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, selama golongan-golongan tersebut ada. Karena zakat hanya diberikan kepada yang ada. Sebagaimana firman Allah,
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya.” (QS. An-Nisa’: 7).
Dan firman-Nya,
“Dan bagimu (suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu.” (QS. An-Nisa’: 12).
Dan firman-Nya,
“Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS. An-Nisa’: 12).
Dapat dipahami dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa Dia menetapkan hak ini bagi yang ada pada hari kematian mayit. Dan dapat dipahami pula bahwa bagian-bagian ini adalah bagi yang ada pada saat zakat diambil dan dibagikan.
(Imam Syafi’i berkata): Apabila zakat telah diambil dari suatu kaum, maka zakat itu dibagikan kepada ahli waris yang ada di tempat tersebut dalam bentuk dirham. Zakat tidak boleh dialihkan dari tetangga mereka kepada orang lain, hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka yang berhak menerimanya.
(Diriwayatkan kepada kami) oleh Mutharrif dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia memutuskan: “Siapa saja yang berpindah dari wilayah sukunya, maka sepersepuluh (zakat) dan sedekahnya tetap dikembalikan kepada wilayah sukunya.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini seperti yang telah aku jelaskan, bahwa sepersepuluh (zakat) dan sedekah diberikan kepada tetangga tempat harta itu berada, bukan kepada tetangga pemilik harta jika ia jauh dari lokasi harta tersebut.
(Diriwayatkan kepada kami) oleh Waki’ bin Al-Jarrah, atau perawi terpercaya lainnya, atau keduanya, dari Zakariya bin Ishaq dari Yahya bin Abdullah bin Shafi dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman:
“Jika mereka mematuhimu, beritahukanlah bahwa mereka wajib mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini termasuk yang telah aku jelaskan, bahwa sepersepuluh (zakat) dan sedekah diberikan kepada tetangga tempat harta itu berada, bukan kepada tetangga pemilik harta jika ia jauh dari lokasi harta tersebut.
(Diriwayatkan kepada kami) oleh perawi terpercaya, yaitu Yahya bin Hassan dari Al-Laits bin Sa’d dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Syarik bin Abdullah bin Abi Numair dari Anas bin Malik, bahwa seorang laki-laki bertanya:
“Wahai Rasulullah, demi Allah, aku memohon kepadamu, apakah Allah memerintahkanmu untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kami dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir di antara kami?” Beliau menjawab: “Ya, demi Allah.”
(Imam Syafi’i berkata): Zakat tidak boleh dipindahkan dari suatu tempat hingga tidak tersisa seorang pun di sana yang berhak menerimanya.
### [Penjelasan tentang Golongan Penerima Zakat]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -:
– Orang fakir – wallahu a’lam – adalah orang yang tidak memiliki harta maupun pekerjaan yang mencukupinya, baik dalam keadaan sulit maupun tidak, baik ia meminta-minta maupun tidak.
– Orang miskin adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan, tetapi tidak mencukupinya, baik ia meminta-minta maupun tidak.
Jika seseorang fakir atau miskin, lalu ia atau keluarganya mampu mencukupi kebutuhan melalui usaha atau pekerjaannya, maka ia tidak berhak menerima zakat dari golongan mana pun, karena ia telah menjadi kaya dengan cara tersebut.
– Amil zakat adalah orang yang bertugas memungut zakat dari para wajib zakat, termasuk petugas lapangan dan orang yang membantu mereka, seperti petugas lokal yang tidak bisa memungut zakat tanpa bantuannya. Adapun khalifah atau penguasa wilayah besar yang menunjuk orang lain sebagai amil di bawahnya, maka ia tidak berhak atas bagian amil. Demikian pula orang yang membantu penguasa dalam memungut zakat tetapi sudah kaya, ia tidak berhak atas bagian amil.
Baik amil zakat itu kaya atau miskin, penduduk setempat atau bukan, jika mereka diangkat sebagai amil, maka mereka termasuk golongan amil. Para pembantu administrasi penguasa zakat diberi sesuai dengan kontribusi dan manfaat mereka dalam pengelolaan zakat.
– Mu’allaf adalah orang yang baru masuk Islam. Tidak boleh memberikan zakat kepada orang musyrik untuk menarik hatinya masuk Islam. Jika ada yang bertanya, “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebagian harta rampasan perang (fa’i) dan harta pribadinya kepada beberapa orang musyrik dari golongan mu’allaf pada tahun Perang Hunain?” Maka jawabannya adalah: Itu dari harta fa’i atau harta pribadi Nabi, bukan dari harta zakat. Dan Nabi boleh memberikan hartanya sendiri. Allah Ta’ala telah memberikan harta orang musyrik kepada kaum Muslimin, bukan sebaliknya. Zakat kaum Muslimin dikembalikan kepada mereka sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan, bukan diberikan kepada yang berbeda agama.
– Budak yang ingin memerdekakan diri (riqab) adalah budak mukatab (yang memiliki perjanjian merdeka dengan tuannya) di sekitar tempat zakat. Jika bagian zakat mencukupi, mereka boleh diberi hingga merdeka. Jika penguasa menyerahkan zakat kepada orang yang akan memerdekakan mereka, itu baik. Jika diberikan langsung kepada mereka, itu juga sah. Jika bagian zakat terbatas, maka zakat diberikan kepada para budak mukatab untuk membantu mereka dalam memenuhi syarat kemerdekaannya.
Penulisan mereka
Dan orang-orang yang berutang terbagi menjadi dua golongan: golongan pertama adalah mereka yang berutang untuk kepentingan diri mereka sendiri atau kebaikan tanpa maksiat, kemudian mereka tidak mampu melunasi utang tersebut baik dalam bentuk barang maupun uang tunai. Maka, mereka diberi bantuan untuk melunasi utangnya karena ketidakmampuan mereka. Jika mereka memiliki barang atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membayar utang, maka mereka dianggap mampu dan tidak diberi apa pun dari zakat. Mereka harus membayar utang mereka dari barang atau uang tunai yang dimilikinya. Jika mereka telah melunasinya, maka bagian zakat menjadi hak mereka, tetapi jika mereka masih memiliki harta yang membuat mereka mampu, mereka tidak diberi apa pun. Namun, jika mereka miskin atau sangat membutuhkan, maka mereka boleh meminta sesuai golongan mereka dan diberi karena termasuk dalam golongan tersebut, bukan dari zakat golongan lain.
Dikatakan pula: Jika mereka masih memiliki harta yang membuat mereka mampu, meskipun ada utang yang membebani mereka, mereka tidak diberi bagian apa pun dari zakat karena mereka termasuk golongan orang yang mampu. Mereka mungkin terbebas dari utang, sehingga tidak diberi sampai mereka benar-benar tidak memiliki apa pun yang membuat mereka mampu.
Golongan kedua adalah mereka yang berutang untuk menanggung beban orang lain, mendamaikan perselisihan, atau kebaikan, dan mereka memiliki barang yang bisa digunakan untuk menanggung beban tersebut atau sebagian besar darinya. Jika barang itu dijual, akan merugikan mereka, meskipun mereka tidak menjadi miskin. Maka, golongan ini diberi bantuan untuk melestarikan barang-barang mereka, sebagaimana orang-orang yang membutuhkan dari golongan orang berutang, sampai mereka melunasi utangnya.
Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Harun bin Ri`ab dari Kananah bin Nu’aim, dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali, ia berkata: “Aku menanggung beban (utang orang lain), lalu aku mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta bantuan. Beliau bersabda: ‘Kami akan melunasinya atau mengeluarkannya untukmu besok ketika harta zakat datang. Wahai Qabishah, meminta-minta itu haram kecuali dalam tiga kondisi: (1) seseorang yang menanggung beban (utang orang lain), maka halal baginya meminta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti; (2) seseorang yang ditimpa kefakiran atau kebutuhan sampai tiga orang yang bijak dari kaumnya bersaksi bahwa ia benar-benar membutuhkan, maka halal baginya meminta sampai ia mendapatkan kecukupan hidup; (3) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka halal baginya meminta sampai ia mendapatkan kecukupan hidup. Selain itu, meminta-minta adalah haram (termasuk memakan harta yang haram).'”
Asy-Syafi’i berkata: “Inilah pendapat yang kami pegang, dan inilah makna yang aku maksud tentang golongan orang berutang.” Sabda Nabi ﷺ: “Meminta-minta dibolehkan dalam kondisi fakir dan membutuhkan,” maksudnya—wallahu a’lam—adalah dari bagian zakat fakir miskin, bukan dari bagian orang berutang. Sabda beliau ﷺ: “Sampai ia mendapatkan kecukupan hidup,” maksudnya—wallahu a’lam—adalah tingkat di bawah kategori kaya, dan inilah pendapat kami. Saat itu, ia keluar dari golongan fakir atau miskin.
Dan diberi dari bagian zakat fi sabilillah bagi orang yang berperang dari kalangan penerima zakat, baik ia fakir maupun kaya. Tidak ada yang diberi selain mereka kecuali jika diperlukan untuk membela mereka, maka diberi bagian untuk membela mereka dari serangan musyrikin.
Ibnu Sabil dari kalangan penerima zakat adalah mereka yang ingin bepergian untuk tujuan yang tidak maksiat tetapi tidak mampu melanjutkan perjalanan tanpa bantuan. Adapun Ibnu Sabil yang mampu melanjutkan perjalanan tanpa bantuan, maka ia tidak diberi karena termasuk golongan yang tidak halal menerima zakat dan tidak termasuk pengecualian. Ia berbeda dengan mujahid yang diberi zakat untuk membela kaum muslimin, dan berbeda pula dengan orang berutang yang berutang untuk kemaslahatan umat Islam atau mendamaikan perselisihan.
Amil zakat yang kaya karena mengurus zakat dengan baik berbeda dengan orang kaya yang diberi hadiah oleh kaum muslimin, karena hadiah adalah pemberian sukarela, bukan karena ia mengambil zakat. Ini menunjukkan bahwa sedekah dan pemberian non-wajib halal bagi orang yang tidak halal menerima zakat, seperti keluarga Muhammad ﷺ (ahlul khumus) dan orang kaya lainnya.
[Bab: Orang yang Meminta dari Golongan Penerima Zakat]
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kebanyakan keadaan manusia adalah tidak kaya sampai kekayaannya diketahui. Siapa yang meminta zakat dengan alasan fakir atau miskin, maka ia diberi selama tidak diketahui kekayaannya.” Diriwayatkan dari Sufyan…
Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dari Abdullah bin Adi bin Al-Khiyar berkata: “Dua orang laki-laki menceritakan kepadaku bahwa mereka mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta sedekah. Beliau memandang mereka ke atas dan ke bawah, lalu bersabda: ‘Jika kalian berdua mau, (boleh mengambil sedekah), tetapi tidak ada bagian dalam sedekah bagi orang kaya maupun orang kuat yang mampu bekerja.'”
(Imam Syafi’i berkata): Nabi SAW melihat penampilan fisik mereka yang terlihat kuat, seakan mampu bekerja hingga bisa mencukupi diri, tetapi beliau tidak mengetahui keadaan harta mereka. Beliau juga tahu bahwa kekuatan fisik tidak selalu menjamin kecukupan, mungkin karena banyak tanggungan atau pekerjaan yang lemah. Maka beliau memberitahu mereka bahwa jika mereka menyatakan tidak memiliki harta maupun penghasilan yang mencukupi, beliau akan memberi mereka.
Jika ada yang bertanya: “Di mana beliau memberitahu mereka?”
Dijawab: Yaitu ketika beliau bersabda: “Tidak ada bagian dalam sedekah bagi orang kaya maupun orang kuat yang mampu bekerja.”
Diberitakan kepada kami oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya dari Rihyan bin Yazid, ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata: “Sedekah tidak halal bagi orang kaya maupun orang yang kuat (mampu bekerja).”
Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar: Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah tidak halal kecuali untuk:
- Orang yang berperang di jalan Allah,
- Petugas yang mengurus sedekah,
- Orang yang terlilit hutang,
- Seseorang yang membelinya dengan hartanya (untuk dimanfaatkan),
- Seseorang yang memiliki tetangga miskin, lalu ia bersedekah kepada si miskin, kemudian si miskin menghadiahkannya kepada orang kaya.”
(Imam Syafi’i berkata): Berdasarkan ini, kami berpendapat bahwa:
– Orang yang berperang dan petugas sedekah boleh diberi meskipun kaya.
– Orang yang terlilit hutang (gharim) dalam hal penjaminan, sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, tidak termasuk hutang lainnya kecuali jika ia tidak memiliki harta untuk melunasinya, maka ia diberi untuk menutup hutangnya.
– Siapa yang meminta bagian Ibnu Sabil (musafir yang kehabisan bekal) dan menyatakan tidak mampu sampai ke tujuan tanpa bantuan, maka ia diberi dengan makna seperti yang kusebutkan—yaitu ia tidak dianggap kuat sampai terbukti kekayaannya.
– Siapa yang meminta karena ingin berperang, ia diberi baik kaya maupun miskin.
– Siapa yang mengaku sebagai gharim (orang berhutang) atau budak yang sedang melakukan mukatabah (perjanjian merdeka), ia tidak diberi kecuali dengan bukti yang sah, karena pada dasarnya orang tidak dianggap berhutang sampai terbukti, dan budak tidak dianggap sedang mukatabah sampai terbukti perjanjiannya.
– Siapa yang meminta sebagai muallaf (orang yang diharapkan keislamannya atau penguatan imannya), ia tidak diberi kecuali jika terbukti kebutuhan tersebut, dan ia berhak diberi dari bagian muallaf.
[Bab: Pengetahuan Pembagi Sedekah Setelah Memberi yang Tidak Berhak]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seorang pemimpin (wali) atau pembagi sedekah telah memberikan sedekah kepada orang yang kami sebutkan—baik berdasarkan pengakuannya atau bukti yang sah—kemudian setelah pemberian itu diketahui bahwa mereka tidak berhak, maka sedekah itu diambil kembali dan diberikan kepada yang berhak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka sudah bangkrut, atau harta itu sudah habis sehingga tidak bisa diambil kembali, maka pemimpin tidak menanggung ganti rugi, karena ia hanya amanat dalam memberi dan mengambil, bukan untuk sebagian orang saja. Jika ia keliru, ia hanya dibebani sesuai yang tampak, seperti seorang hakim, sehingga tidak menanggung dua hal sekaligus.
Jika kemudian harta itu bisa diambil kembali, atau ada penggantinya, maka mereka (yang tidak berhak) harus mengembalikannya, dan diberikan kepada yang berhak pada hari pembagian itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka sudah meninggal, sedekah itu diberikan kepada ahli warisnya—baik mereka miskin maupun kaya—karena mereka berhak pada hari pemberian itu, dan saat itu mereka termasuk golongan yang berhak.
Jika yang membagikan adalah pemilik harta sendiri (bukan wali/pemimpin), lalu ia tahu bahwa sebagian penerima tidak termasuk golongan mustahik—misalnya diberi karena kemiskinan, hutang, atau status Ibnu Sabil, tetapi ternyata mereka budak atau tidak memenuhi syarat—maka ia boleh mengambil kembali dan membagikannya kepada yang berhak.
Jika mereka sudah meninggal atau bangkrut, ada dua pendapat:
- Ia harus menanggung dan membayarkan kepada yang berhak.
Pendapat ini berargumen bahwa pemilik zakat wajib menyalurkannya kepada mustahik, dan tidak gugur kewajibannya kecuali jika sudah diberikan, sebagaimana kewajiban lainnya.
- Tidak ada tanggungan bagi pemilik sedekah jika ia sudah membagikannya.
Adapun wali (pemimpin), ia hanya amanat dalam mengambil dan membagikan. Tidakkah kamu lihat bahwa pemberi sedekah yang menyerahkan kepada wali tidak menanggung apa-apa, dan kewajibannya gugur setelah diserahkan? Karena ia diperintahkan untuk menyerahkannya kepada wali.
Pendapat kedua: Pemilik sedekah tidak menanggung apa-apa jika ia sudah membagikannya.
Atas usaha sebagaimana pemimpin tidak menjamin (ia berkata): Dan jika ia memberikannya kepada seorang laki-laki untuk berperang, atau seorang laki-laki untuk bepergian dari satu negeri ke negeri lain, lalu keduanya menetap, maka diambil kembali apa yang diberikan kepada mereka dan diberikan kepada orang lain yang keluar seperti tujuan mereka.
[Pembagian Rincian Pembagian Bagian]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Seyogyanya bagi pemimpin zakat untuk memulai dengan memerintahkan agar para penerima bagian dicatat dan ditempatkan sesuai posisi mereka, serta dihitung setiap golongan mereka secara terpisah. Dicatat nama-nama fakir dan miskin, serta diketahui berapa jumlah yang dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan atau kefakiran menuju sebutan minimal sebagai orang kaya. Juga dicatat nama-nama orang yang berutang beserta jumlah utang masing-masing, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), seberapa jauh tujuan setiap orang, serta para budak yang ingin memerdekakan diri dan berapa jumlah tebusan yang harus dibayar hingga merdeka. Nama-nama para pejuang juga dicatat, berapa yang cukup untuk memenuhi kebutuhan perang mereka, serta diketahui para muallaf dan para amil beserta hak mereka atas pekerjaannya.
Pemungutan zakat dilakukan setelah selesai mengetahui semua golongan penerima bagian seperti yang telah dijelaskan, atau setelahnya. Kemudian zakat dibagi menjadi delapan bagian dan didistribusikan sebagaimana akan aku jelaskan, insya Allah Ta’ala.
Aku telah memberikan contoh: jika harta zakat berjumlah delapan ribu, maka setiap golongan mendapat seribu, tanpa mengurangi bagian satu golongan untuk golongan lain jika ada yang berhak. Misalnya, setelah dihitung, terdapat tiga orang fakir, seratus orang miskin, dan sepuluh orang yang berutang. Kemudian fakir dibedakan: satu orang bisa keluar dari kemiskinan dengan seratus, yang lain dengan tiga ratus, dan yang lain dengan enam ratus. Maka masing-masing diberi sesuai kebutuhan untuk mencapai kecukupan. Begitu pula dengan miskin: seribu cukup untuk mengeluarkan seratus orang dari kemiskinan menuju kecukupan, lalu diberikan sesuai tingkat kefakiran mereka, bukan berdasarkan jumlah atau waktu tertentu.
Tujuan pemberian kepada fakir dan miskin adalah agar mereka mencapai tingkat yang membuat mereka tidak lagi disebut fakir atau miskin, bukan untuk kecukupan setahun atau waktu tertentu, melainkan sekadar apa yang dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan atau kefakiran menuju awal tingkatan kecukupan. Jika seseorang sudah cukup dengan satu dirham bersama penghasilannya, maka tidak perlu ditambah. Jika seribu masih belum cukup, maka diberikan jika bagian masih mencukupi.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada bagian bagi orang kaya,” yaitu orang yang kaya dengan harta. “Dan tidak pula bagi orang kuat yang mampu bekerja,” maksudnya—wallahu a’lam—juga tidak bagi fakir yang sudah cukup dengan penghasilannya, karena ia termasuk dalam dua jenis kecukupan. Namun, Rasulullah ﷺ memisahkan dua kalimat karena perbedaan sebab kecukupan. Kecukupan pertama adalah kecukupan dengan harta yang tidak memerlukan kerja, dan bertambah dengan kerja—ini kecukupan tertinggi. Kecukupan kedua adalah kecukupan dengan penghasilan.
Jika ada yang berkata: “Penghasilan bisa hilang karena sakit,” maka dijawab: “Harta juga bisa hilang karena kerusakan.” Yang dilihat adalah kondisi saat pembagian, bukan sebelumnya atau sesudahnya, karena masa lalu sudah lewat dan masa depan tidak diketahui. Hukum berlaku pada hari pembagian, dan pembagian terjadi ketika hak telah terpenuhi.
Kemudian, orang yang berutang diperiksa utangnya, dan ditemukan bahwa seribu cukup untuk membebaskan mereka semua dari utang meski jumlah yang dibutuhkan masing-masing berbeda. Maka diberikan seluruh seribu itu, seperti contoh pemberian kepada fakir dan miskin. Hal yang sama dilakukan untuk budak yang ingin merdeka.
Selanjutnya, ibnu sabil dibedakan berdasarkan negeri yang dituju. Jika jauh, diberikan biaya transport dan nafkah. Jika hanya pergi, cukup biaya pergi saja. Jika pergi dan pulang, diberikan biaya pergi-pulang serta nafkah berupa makanan, minuman, dan sewa kendaraan. Jika tidak memiliki pakaian, diberikan pakaian seperlunya sesuai golongannya. Jika tempat tujuan dekat dan ibnu sabil lemah, tetap diberi seperti itu. Jika dekat…
Dan orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang kuat, maka diberi nafkah tanpa bekal jika negeri yang dilaluinya berpenduduk, tersedia air, dan aman. Jika airnya terputus, atau merasa takut, atau sepi, maka mereka diberi bekal. Kemudian diperlakukan seperti yang telah dijelaskan mengenai ahli saham sebelumnya—mereka diberi berdasarkan kebutuhan, bukan jumlah.
Para pejuang (ghuzat) diberi bekal, kendaraan, senjata, nafkah, dan pakaian. Jika harta berlimpah, ditambahkan kuda. Jika tidak, maka diberi biaya sewa hewan tunggangan. Mereka diberi bekal saat berangkat dan pulang. Jika mereka ingin menetap, diberi nafkah saat berangkat dan kekuatan untuk menetap sesuai keperluan ekspedisi dan kebutuhan mereka—bukan berdasarkan jumlah. Jika ada kelebihan dari pemberian ini di tangan mereka, tidak dilarang untuk dimanfaatkan, dan penguasa tidak boleh mengambilnya setelah mereka berperang. Begitu pula dengan ibnu sabil.
(Tertulis): Tidak seorang pun dari muallaf diberi (zakat) untuk menguatkan hati mereka terhadap Islam, meskipun mereka Muslim, kecuali jika kaum Muslimin menghadapi situasi genting di mana ketaatan kepada penguasa tidak tegak, atau para penarik zakat tidak cukup kuat untuk mengambilnya kecuali dengan bantuan muallaf, atau negeri para pembayar zakat sulit dijangkau karena jauh, banyak penduduk, atau mereka menolak membayar. Atau ada kelompok yang tidak bisa diandalkan keteguhannya, maka mereka diberi sebagian sesuai pertimbangan imam, tanpa melebihi bagian muallaf atau menguranginya jika memungkinkan, hingga mereka bisa membantu pengambilan zakat. Diriwayatkan bahwa Adi bin Hatim datang kepada Abu Bakar dengan sekitar 300 unta zakat kaumnya, lalu Abu Bakar memberinya 30 unta dan memerintahkannya berjihad bersama Khalid. Ia pun berjihad dengan sekitar seribu orang. Mungkin Abu Bakar memberinya dari bagian muallaf jika riwayat ini sahih, karena aku tidak menemukannya dalam sumber yang diakui ahli hadis. Ini berasal dari riwayat yang dinisbatkan kepada sebagian ahli ilmu tentang riddah.
(Tertulis): Para petugas zakat (‘amil) diberi upah sesuai standar upah sepadan untuk perjalanan dan tugas yang mereka lakukan, tanpa tambahan. Penguasa sebaiknya mempekerjakan mereka dengan upah. Jika lalai, beri mereka upah standar. Jika itu diabaikan, mereka hanya boleh mengambil sebesar upah standar. Baik itu sebagian dari bagian ‘amil atau seluruhnya, mereka hanya berhak atas upah sepadan. Jika bagian ‘amil tidak mencukupi dan tidak ada orang tepercaya yang mau mengurus kecuali dengan upah lebih, aku berpendapat penguasa boleh memberi mereka seluruh bagian ‘amil dan menambahi dari bagian Nabi (saw) dalam fai’ dan ghanimah hingga upah mereka terpenuhi. Menurutku, ini tidak memberatkan penguasa atau ‘amil untuk menerimanya, karena jika tidak diambil, zakat akan sia-sia. Tidakkah engkau lihat harta anak yatim yang harus disewa penjaganya jika dikhawatirkan hilang? Meski mungkin menghabiskan banyak, jarang bagian ‘amil tidak cukup untuk upah petugas. Jika ada orang tepercaya yang rela menerima bagian ‘amil atau kurang, lebih baik dia yang ditugaskan.
[Bab Penjelasan Pembagian Sahabat]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Secara umum, pembagian saham kami dasarkan pada hak setiap yang disebutkan, bukan jumlah atau memberi setiap kelompok satu saham meski tidak dibutuhkan. Mereka tidak dilarang mengambil dari bagian lain jika ada kelebihan, karena Allah SWT telah menetapkan bagian masing-masing. Kami memberikannya dengan dua cara.
Bersama-sama, maka masuk akal bahwa orang-orang fakir, miskin, dan orang yang berutang jika diberi hingga mereka keluar dari kemiskinan dan kesulitan menuju kecukupan dan terbebas dari utang, sehingga mereka tidak lagi disebut sebagai orang yang berutang, maka mereka tidak lagi berhak menerima bagian zakat dan menjadi orang kaya, sebagaimana orang kaya pada awalnya tidak berhak menerima bagian. Sesuatu yang mengeluarkan mereka dari sebutan fakir, miskin, dan orang yang berutang juga menghilangkan makna dari nama-nama tersebut. Demikian pula dengan budak yang ingin memerdekakan diri (mukatab). Sedangkan ibn sabil (orang yang dalam perjalanan) dan ghazi (pejuang di jalan Allah) diberi sesuai dengan kebutuhan perjalanan dan jihad mereka, serta upah bagi amil (pengurus zakat). Pemberian ini tidak menghilangkan status mereka sebagai ibn sabil, ghazi, atau amil selama mereka masih dalam kondisi tersebut. Mereka diberi berdasarkan kebutuhan, bukan untuk menghilangkan status mereka. Begitu pula dengan muallaf (orang yang baru masuk Islam atau yang diharapkan keislamannya), status ini tidak hilang meskipun mereka diberi seluruh bagian zakat. Mereka dikelompokkan berdasarkan alasan pemberian, meskipun nama-nama mereka berbeda.
[Bab Kelonggaran Bagian Zakat Hingga Terdapat Kelebihan untuk Sebagian Penerimanya]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: (Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika bagian zakat melimpah, aku memberikan contoh: jika total zakat delapan ribu, dan terdapat tiga orang fakir yang membutuhkan seratus untuk keluar dari kemiskinan, lima orang miskin membutuhkan dua ratus, dan empat orang yang berutang membutuhkan seribu, maka tersisa sembilan ratus untuk fakir dan delapan ratus untuk miskin, sedangkan bagian orang yang berutang habis terpakai. Kelebihan seribu tujuh ratus dari fakir dan miskin kita gabungkan dengan lima bagian lainnya, yaitu bagian orang yang berutang, muallaf, budak (untuk dimerdekakan), fi sabilillah, dan ibn sabil. Kemudian kita bagi kembali kelebihan ini di antara mereka sebagaimana pembagian awal, seolah-olah hanya mereka yang berhak tanpa ada golongan lain. Jika ada golongan yang sudah cukup dengan bagian kurang dari haknya, kelebihannya dikembalikan ke pokok zakat (seperdelapan) dan dibagikan lagi kepada semua golongan yang berhak, sebagaimana kelebihan dari golongan lain juga dibagikan kepada mereka.
[Bab Kelonggaran Bagian untuk Sebagian dan Kekurangan untuk Sebagian Lain]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika total zakat delapan ribu dengan setiap bagian seribu, lalu setelah dihitung terdapat lima fakir yang butuh lima ratus, sepuluh miskin butuh lima ratus, dan sepuluh orang yang berutang butuh lima ribu, lalu orang yang berutang meminta agar bagian mereka didahulukan sesuai kebutuhan, hal itu tidak boleh. Setiap golongan diberi sesuai bagiannya hingga cukup. Jika ada kelebihan, dikembalikan kepada semua golongan yang berhak, tanpa ada yang lebih berhak daripada lainnya. Demikianlah cara pembagian untuk semua golongan penerima zakat. Setiap golongan hanya menerima bagiannya sendiri hingga cukup, dan kelebihannya dibagikan secara merata. Jika kebutuhan orang yang berutang berbeda, misalnya jumlah mereka sepuluh orang…
Dan salah seorang dari mereka membayar denda seratus, yang lain seribu, dan yang lain lima ratus. Mereka meminta agar diberikan sesuai jumlah, tetapi itu tidak diperbolehkan bagi mereka. Kemudian denda masing-masing dikumpulkan, dan total dendanya menjadi sepuluh ribu, sedangkan bagian mereka seribu. Maka, setiap orang diberikan sepersepuluh dari dendanya, berapa pun jumlahnya.
Orang yang dendanya seratus diberikan sepuluh, yang dendanya seribu diberikan seratus, dan yang dendanya lima ratus diberikan lima puluh. Dengan demikian, mereka disamakan berdasarkan besaran denda, bukan jumlah orang, dan tidak boleh ditambah lebih dari itu.
Jika ada kelebihan setelah diberikan kepada semua penerima zakat, maka kelebihan itu dibagikan kembali kepada mereka dan orang lain. Setiap orang diberikan sesuai bagian sepersepuluh dari dendanya.
Jika tidak ada budak yang ingin dimerdekakan, orang yang perlu dilunakkan hatinya, atau orang yang berutang, maka pembagian dimulai dengan lima bagian. Delapan bagian dibagikan secara merata, dan begitu seterusnya untuk setiap golongan yang tidak ditemukan.
Setiap golongan yang sudah cukup, kelebihannya diberikan kepada golongan lain yang masih membutuhkan. Zakat tidak boleh dikeluarkan dari wilayah tempat zakat itu diambil, sedikit atau banyak, sampai tidak ada satu pun penerima zakat yang tidak mendapatkan haknya.
Jika tidak ada penerima zakat selain orang fakir dan amil, maka delapan bagian dibagikan kepada mereka sampai orang fakir terbebas dari kemiskinan dan amil diberikan sesuai tugasnya.
[Bab: Kurangnya Pembagian untuk Sebagian Penerima]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Jika ada delapan bagian penerima zakat dan jumlah penerimanya banyak, lalu kami mengumpulkan orang fakir dan menemukan mereka serta orang miskin berjumlah seratus yang membutuhkan seribu untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan, serta tiga orang yang berutang membutuhkan seribu untuk melunasi utangnya, lalu orang fakir dan miskin meminta agar seluruh harta dibagikan secara merata sesuai hak mereka, maka itu tidak diperbolehkan.
Setiap golongan harus diberikan secara lengkap, dan dibagi di antara mereka sesuai hak masing-masing. Jika itu mencukupi, maka sudah cukup. Jika tidak, mereka tidak diberikan apa pun kecuali ada kelebihan dari golongan lain. Jika tidak ada kelebihan, mereka tidak boleh diberi lebih dari bagiannya.
Jika dalam kondisi yang sama, pembagian tidak mencukupi untuk semua golongan, sehingga tidak ada golongan yang cukup dengan bagiannya, atau setiap golongan hanya mendapatkan bagiannya tanpa tambahan, maka tidak boleh ditambah karena tidak ada kelebihan harta.
Jika ada satu golongan yang bisa bertahan tanpa diberikan zakat berdasarkan pengetahuan yang jelas, sementara golongan lain sangat membutuhkan karena jumlah mereka banyak dan kebutuhan mendesak, maka penguasa tidak boleh menambah bagian mereka dari bagian golongan lain sampai golongan lain sudah cukup. Jika ada kelebihan, baru diberikan kepada mereka bersama golongan lain, tanpa mengutamakan mereka meski kebutuhannya lebih besar.
Sebagaimana harta yang sudah ditetapkan untuk suatu golongan tidak boleh dialihkan ke golongan lain hanya karena kebutuhan yang lebih mendesak atau alasan lain. Setiap golongan harus diberikan haknya sepenuhnya. Begitu pula berlaku untuk semua penerima zakat.
Jika penduduk suatu daerah dilanda kekeringan dan ternak mereka mati sehingga dikhawatirkan mereka binasa, sementara penduduk daerah lain makmur tanpa kekhawatiran, maka tidak boleh memindahkan zakat mereka ke daerah lain sampai kebutuhan mereka terpenuhi. Tidak boleh sesuatu yang ditetapkan untuk suatu kaum dialihkan kepada kaum lain yang lebih membutuhkan, karena kebutuhan tidak membenarkan seseorang mengambil harta orang lain.
[BAB PEMBAGIAN HARTA BERDASARKAN YANG ADA]
(Imam Syafi’i berkata): Setiap harta yang telah dikeluarkan zakatnya harus dibagikan sesuai ketentuan tanpa diubah atau dijual. Jika hak para penerima zakat terkumpul pada seekor unta, sapi, kambing, dinar, atau dirham, atau jika dua orang atau lebih dari para penerima zakat berkumpul dalam satu harta, maka harta itu diberikan kepada mereka dengan membagi bersama, sebagaimana harta yang dihibahkan, diwasiatkan, diakui, atau dibeli dengan harta mereka. Demikian pula, jika salah seorang berhak atas sepersepuluh, yang lain setengah, dan sisanya diberikan kepada yang lain, maka pembagian dilakukan sesuai hak masing-masing. Begitu pula dalam semua jenis zakat, baik ternak, dinar, maupun dirham, hingga beberapa orang boleh berbagi dalam satu dirham atau dinar tanpa dijual atau ditukar. Dinar tidak boleh ditukar dengan dirham, dirham tidak boleh ditukar dengan fulus atau gandum lalu dibagikan. Adapun kurma, kismis, dan hasil bumi lainnya, maka dibagikan dengan takaran sesuai hak masing-masing.
[BAB PENGUMPULAN DAN PEMBAGIAN HARTA OLEH PENGUASA DAN PEMILIK HARTA]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Semua zakat yang diambil dari seorang Muslim, seperti zakat fitrah, seperlima harta temuan, zakat tambang, zakat ternak, zakat harta, sepersepuluh hasil pertanian, dan jenis zakat lainnya, harus dibagikan berdasarkan ayat dalam Surah At-Taubah: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin…” (QS. At-Taubah: 60). Tidak ada perbedaan dalam pembagiannya, baik sedikit maupun banyak, sebagaimana telah dijelaskan. Jika penguasa yang membagikannya, maka bagian amil (petugas zakat) gugur karena tidak ada amil yang mengambilnya. Namun, jika pemilik harta berkata, “Saya sendiri yang mengumpulkan dan membagikannya, lalu mengambil upah seperti orang lain,” dikatakan kepadanya, “Kamu tidak disebut sebagai amil untuk dirimu sendiri, dan tidak halal bagimu—jika zakat itu wajib atasmu—untuk mengambil kembali sebagian darinya. Jika kamu menunaikan kewajibanmu, itu sudah cukup; jika tidak, kamu berdosa karena menahannya.” Jika dia bertanya, “Bagaimana jika aku menunjuk orang lain?” Dijawab, “Jika kamu sendiri tidak boleh menjadi amil, maka orang lain yang kamu tunjuk juga tidak boleh, kecuali sebagai wakilmu dengan upah yang sama atau lebih rendah, karena kewajibanmu adalah menyalurkannya. Jika sudah jelas kamu yang menunaikannya, maka tidak boleh mengurangi bagiannya.” (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak suka seseorang menyerahkan zakat hartanya kepada orang lain, karena yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah dirinya sendiri. Dia lebih berhak bersungguh-sungguh dalam menyalurkan zakat ke tempatnya daripada orang lain. Dia yakin dengan tindakannya sendiri dalam menunaikannya, tetapi ragu dengan tindakan orang lain—apakah sudah ditunaikan atau belum. Jika dia berkata, “Aku khawatir tergesa-gesa,” maka ketakutan yang sama juga berlaku jika orang lain yang menunaikannya. Dia yakin dengan dirinya sendiri tetapi ragu dengan orang lain.
[BAB KELEBIHAN BAGIAN ZAKAT DARI KELOMPOK PENERIMANYA]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Para penguasa wajib menyalurkan semua zakat harta yang tampak, seperti buah-buahan, hasil pertanian, tambang, dan ternak. Jika penguasa tidak datang setelah jatuh tempo zakat, maka pemilik harta wajib membagikannya sendiri. Namun, jika penguasa datang setelah pembagian…
Keluarganya tidak mengambilnya lagi dari mereka. Jika mereka meragukan seseorang dan khawatir ia mengklaim palsu dalam pembagiannya, maka tidak mengapa untuk menyuruhnya bersumpah demi Allah bahwa ia telah membagikannya secara penuh kepada keluarganya. Jika mereka memberikan zakat perdagangan, itu sudah mencukupi insya Allah Ta’ala. Jika mereka membagikannya tanpa melibatkan mereka, tidak mengapa. Demikian juga dengan zakat fitrah dan rikaz.
[Bab Menyempurnakan Dua Sedekah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Seorang pemimpin tidak seharusnya menunda pembagian sedekah dari waktu yang ditentukan selama satu tahun. Jika ia menundanya, pemilik harta juga tidak boleh menundanya. Jika keduanya menunda, mereka harus membagikannya bersama saat masih memungkinkan, tanpa penundaan dalam keadaan apa pun.
Jika ada suatu kaum yang termasuk penerima sedekah tahun lalu dan masih termasuk tahun ini, sementara ada kaum lain yang membutuhkan tahun ini dan termasuk penerima sedekah meski tidak termasuk tahun lalu, maka yang termasuk tahun lalu diberi sedekah tahun lalu. Jika mereka sudah mencukupi kebutuhannya, mereka tidak diberi apa pun tahun ini.
Demikian pula, jika sedekah diambil dan seseorang termasuk penerimanya tetapi belum dibagikan hingga ia menjadi berkecukupan, ia tidak diberi apa pun. Ia hanya diberi jika masih termasuk penerima saat sedekah dibagikan.
Jika mereka belum mencukupi kebutuhannya dengan sedekah tahun lalu, mereka berhak mendapat bagian dari sedekah tahun ini bersama yang berhak tahun ini, selama mereka masih termasuk penerima. Mereka tidak boleh dihalangi hanya karena sudah menerima tahun lalu, sementara yang lain tidak termasuk penerima saat itu.
Yang berhak menerima sedekah dalam dua tahun berturut-turut hanyalah fakir, miskin, orang yang berutang, dan budak yang ingin merdeka. Adapun golongan lain yang termasuk asnaf, tidak diberi untuk tahun sebelumnya. Sebab, amil hanya diberi imbalan atas pekerjaannya, dan mereka tidak bekerja tahun sebelumnya. Ibnu sabil dan pejuang diberi karena bepergian, dan mereka tidak bepergian tahun sebelumnya, atau sudah bepergian tetapi sudah mencukupi kebutuhannya. Adapun muallaf, mereka hanya diberi untuk menarik simpati dalam rangka membantu pengumpulan sedekah, dan tahun sebelumnya sedekah belum diambil sehingga mereka belum membantu.
[Bab Tetangga Sedekah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Dahulu, orang Arab adalah penerima sedekah, dan mereka bertetangga berdasarkan kekerabatan agar saling melindungi. Ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan agar sedekah diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin mereka, jelaslah bahwa sedekah harus diberikan kepada fakir miskin yang bertetangga dengan yang dikenai kewajiban sedekah.
Banyak riwayat menunjukkan bahwa utusan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam pengumpulan sedekah mengambil dari satu rumah dan memberikannya kepada rumah tetangga mereka jika mereka termasuk penerimanya.
Demikian juga keputusan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa “Siapa pun yang pindah dari wilayah sukunya ke wilayah suku lain, sedekah dan ushr (pajak sepersepuluh)nya tetap diberikan kepada wilayah sukunya.” Maksudnya, diberikan kepada tetangga harta yang dikenai sedekah, bukan tetangga pemilik harta.
Inilah pendapat kami: Jika seseorang memiliki harta di suatu negeri tetapi tinggal di negeri lain, sedekahnya dibagikan kepada penduduk negeri tempat hartanya berada yang terkena kewajiban sedekah.
Mereka adalah kerabatnya atau bukan kerabatnya. Adapun pemilik tanaman dan buah-buahan yang wajib dizakati, urusan mereka jelas. Tanaman dan buah-buahan dibagikan kepada tetangga-tetangganya. Jika tidak ada tetangga, maka kepada orang terdekat yang tinggal di sekitarnya, karena mereka yang paling berhak atas nama tetangga. Demikian juga pemilik hewan ternak yang subur, unta yang tidak digunakan untuk berpindah tempat. Adapun orang-orang yang berpindah-pindah mengikuti tempat turunnya hujan, jika mereka memiliki rumah tempat sumber air dan tempat tinggal utama mereka, maka orang-orang miskin yang tinggal di rumah itu lebih berhak, sebagaimana tetangga orang-orang kaya yang menetap lebih berhak. Jika di antara mereka ada yang ikut berpindah tempat, maka yang lebih dekat jaraknya dengan orang yang menetap di rumah mereka hingga mereka kembali, zakat dibagikan kepada kelompok yang berpindah tempat bersama mereka dan yang menetap, bukan kepada yang ikut berpindah tapi bukan dari penghuni rumah mereka, atau kepada orang yang mereka datangi di rumahnya, atau yang mereka temui dalam perpindahan yang bukan tetangga mereka. Jika penghuni rumah mereka tidak ikut serta dan tidak ada yang ikut berpindah dari penghuni rumah yang berhak menerima bagian, maka bagian itu diberikan kepada penghuni rumah mereka, bukan kepada orang yang mereka datangi atau yang mereka temui dalam perpindahan. Jika mereka memindahkan harta dan zakat mereka kepada tetangga-tetangga harta yang mereka bawa, meskipun perpindahan mereka sangat jauh hingga tidak kembali ke negeri mereka kecuali dalam jarak yang memperbolehkan qashar shalat, maka zakat dibagikan kepada tetangga-tetangga harta mereka, dan tidak dibawa kepada penghuni rumah mereka jika mereka sudah menjadi musafir yang memperbolehkan qashar shalat.
[Bab Keutamaan Pembagian Zakat kepada yang Berhak]
(Imam Syafi’i berkata) -rahimahullah-: Jika tidak ada lagi yang berhak menerima zakat kecuali satu golongan, maka seluruh zakat diberikan kepada golongan itu hingga mereka berkecukupan. Jika masih ada sisa setelah mencukupi mereka, maka sisa itu dipindahkan kepada orang terdekat tempat tinggalnya. (Beliau berkata): Jika dalam kedekatan jarak, antara kerabat dan non-kerabat sama, maka zakat diberikan kepada kerabat, bukan non-kerabat. Jika non-kerabat adalah orang terdekat tempat tinggalnya, sedangkan kerabat mereka berada dalam perjalanan yang memperbolehkan qashar shalat, maka zakat diberikan kepada non-kerabat selama jaraknya tidak sampai memperbolehkan qashar shalat, karena mereka lebih berhak atas status sebagai penduduk setempat. Siapa yang lebih berhak atas status penduduk setempat, maka lebih berhak sebagai tetangga. Jika kerabat berada dalam jarak yang tidak memperbolehkan qashar shalat dan non-kerabat lebih dekat, maka zakat diberikan kepada kerabat, karena mereka di pedalaman tidak keluar dari status tetangga. Oleh karena itu, mereka dalam hal tamattu’ dianggap seperti penduduk Masjidil Haram.
[Bab Tanda Zakat]
(Imam Syafi’i berkata) -rahimahullah-: Seyogyanya bagi pengurus zakat untuk memberi tanda pada setiap hewan zakat yang diambil, baik unta, sapi, atau kambing. Unta dan sapi ditandai di pahanya, sedangkan kambing di pangkal telinganya. Tanda zakat harus bertuliskan “Lillah” (karena Allah). Tanda untuk kambing hendaknya lebih halus daripada tanda unta dan sapi. Aku mengatakan hal ini karena kami menerima kabar bahwa petugas Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberi tanda, dan demikian juga petugas Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- memberi tanda. Malik mengabarkan kepada kami…
Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya bahwa ia berkata kepada Umar bin Khattab: “Sesungguhnya pada unta zakat ada seekor unta yang buta.” Maka Umar berkata: “Kita serahkan kepada keluarga yang bisa memanfaatkannya.” Aku bertanya: “Padahal ia buta?” Umar menjawab: “Mereka bisa mengawinkannya dengan unta lain.” Aku bertanya lagi: “Bagaimana ia bisa makan dari tanah?” Umar balik bertanya: “Apakah ini dari unta jizyah atau unta zakat?” Aku menjawab: “Bukan, ini dari unta jizyah.” Umar berkata: “Demi Allah, kalian ingin memakannya!” Aku menjawab: “Sesungguhnya padanya ada cap jizyah.” Maka Umar memerintahkan untuk membawanya, lalu disembelih. Umar memiliki sembilan piring besar. Tidak ada buah atau makanan istimewa kecuali ia letakkan sebagian di piring-piring itu, lalu dikirim kepada istri-istri Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang dikirim ke Hafshah biasanya dari yang terakhir. Jika ada kekurangan, itu menjadi bagian Hafshah. Maka daging unta itu diletakkan di piring-piring tersebut dan dikirim kepada istri-istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Sisanya dimasak, lalu Umar mengundang kaum Muhajirin dan Anshar.
(Asy-Syafi’i berkata): Para petugas zakat selalu memberitahuku bahwa mereka memberi cap seperti yang kujelaskan. Aku tidak melihat masalah dalam pencapian kecuali jika zakat yang diambil sudah diketahui, maka penerimanya tidak boleh membelinya kembali karena itu adalah sesuatu yang telah dikeluarkan untuk Allah – Azza wa Jalla – sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan Umar bin Khattab mengenai kuda yang diinfakkan di jalan Allah, lalu ia melihatnya dijual, agar tidak membelinya. Seperti halnya kaum Muhajirin tidak menempati rumah-rumah mereka di Mekkah karena mereka telah meninggalkannya untuk Allah – Azza wa Jalla.
[Bab Alasan dalam Pembagian]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang bertugas membagi zakat, ia membaginya ke dalam enam bagian, menghilangkan bagian untuk mu’allaf (orang yang dilunakkan hatinya), kecuali jika ia menemukan mereka dalam keadaan seperti yang dijelaskan—yaitu mereka bersedia membantu pengumpulan zakat—maka mereka boleh diberi. Tidak ada bagian untuk petugas zakat. Aku lebih suka jika pembagian dilakukan seperti yang diperintahkan kepada pemimpin, yaitu menyebarkannya kepada semua penerima zakat di kotanya selama mereka ada. Jika hanya ditemukan satu orang dari satu golongan, ia diberi seluruh bagian golongan itu jika berhak. Sebab jika tidak diberi, berarti dialihkan kepada orang lain yang sebenarnya berbagi hak dengannya. Maka tidak boleh mengalihkan bagian suatu golongan yang telah ditetapkan sementara di antara mereka ada yang membutuhkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ditemukan banyak orang dari setiap golongan dan zakatnya sedikit, aku lebih suka agar dibagi secara merata kepada mereka sebanyak apa pun. Jika tidak bisa, minimal diberikan kepada tiga orang dari setiap golongan, karena jumlah minimal penerima zakat dari satu golongan adalah tiga. Allah – Azza wa Jalla – menyebut mereka secara kolektif: fuqara (orang fakir) dan masakin (orang miskin), begitu juga dengan golongan lain. Jika dibagi kepada dua orang padahal ada yang ketiga, ia menanggung sepertiga bagian. Jika hanya memberi satu orang, ia menanggung dua pertiga bagian, karena jika ia meninggalkan satu golongan padahal mereka ada, ia menanggung bagian mereka. Hal ini berlaku untuk setiap golongan.
Jika zakat dikirim ke kota lain, aku tidak menyukainya, tetapi tidak jelas bagiku untuk memerintahkan pengembaliannya karena ia telah memberikannya kepada yang berhak secara nama. Jika ia meninggalkan tetangga dekatnya, sementara ia memiliki kerabat dari golongan penerima zakat yang tidak wajib ia nafkahi, maka kerabat itu lebih berhak daripada orang jauh, karena ia lebih tahu kondisi kerabatnya. Demikian juga dengan orang terdekatnya dan kerabat yang tidak wajib dinafkahi selain anak dan orang tua. Ia tidak boleh memberi zakat kepada cucu (baik kecil maupun dewasa), orang tua, kakek, nenek, atau mereka yang sudah tua renta.
(Ar-Rabi’ berkata): Seseorang tidak boleh memberikan zakat hartanya kepada ayah, ibu, anak, kakek, nenek, atau yang lebih tinggi jika mereka fakir, karena nafkah mereka menjadi tanggungannya dan mereka sebenarnya kaya melalui hartanya. Begitu pula jika mereka tidak mampu bekerja sehingga termasuk golongan fakir, ia tidak boleh memberi mereka zakat, karena nafkah mereka wajib ditanggungnya. Jika mereka masih bisa bekerja dan mencukupi diri, maka nafkah mereka tidak wajib, dan mereka termasuk golongan orang kaya yang tidak boleh menerima zakat. Tidak halal baginya atau orang lain untuk… (terputus).
Dia memberikan sebagian dari zakat hartanya kepada mereka, dan menurutku ini lebih mirip dengan pendapat Syafi’i.
(Syafi’i berkata): “Dia tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya karena nafkahnya adalah kewajibannya. Aku mengatakan bahwa dia tidak boleh memberikan kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya karena mereka sudah tercukupi oleh nafkahnya.”
(Syafi’i berkata): “Jika istrinya, anaknya yang sudah baligh berutang kemudian jatuh miskin dan membutuhkan, atau ayahnya yang berutang, maka dia boleh memberikan kepada mereka dari bagian ghārimīn (orang yang berutang). Demikian juga dari bagian ibnus sabīl (orang yang dalam perjalanan). Dia boleh memberikan kepada mereka selain dari bagian fakir dan miskin, karena dia tidak wajib membayarkan utang mereka atau membiayai perjalanan mereka ke negeri yang mereka tuju. Jadi, mereka tidak tercukupi dalam hal ini sebagaimana mereka tercukupi dari kemiskinan karena nafkahnya.”
(Syafi’i berkata): “Dia boleh memberikan sedekah kepada ayahnya, kakeknya, ibunya, neneknya, dan anak-anaknya yang sudah baligh tetapi tidak miskin jika mereka hendak bepergian, karena nafkah mereka tidak wajib dalam keadaan seperti itu.”
(Syafi’i—rahimahullāh Ta‘ālā—berkata): “Dia boleh memberikan zakat kepada laki-laki mereka, baik kaya maupun miskin, jika mereka berperang. Semua ini berlaku jika mereka bukan dari keluarga Muhammad—ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.”
(Syafi’i berkata): “Adapun keluarga Muhammad yang diberi seperlima (khumus) sebagai pengganti sedekah, maka mereka tidak boleh diberi sedikit pun dari sedekah wajib, baik sedikit maupun banyak. Tidak halal bagi mereka menerimanya, dan tidak sah bagi orang yang memberikannya jika dia tahu mereka adalah keluarga Muhammad. Meskipun mereka membutuhkan, berutang, atau termasuk ashhabus suhmān (golongan yang berhak menerima zakat). Jika khumus tidak diberikan kepada mereka, dan hak mereka dalam khumus tidak dipenuhi, maka yang haram bagi mereka (menerima sedekah) menjadi halal.”
(Syafi’i berkata): “Keluarga Muhammad yang haram menerima sedekah wajib adalah ahli khumus, yaitu ahlusy syi‘b (keluarga besar), yaitu keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Sedekah sunnah tidak haram bagi keluarga Muhammad, yang haram hanyalah sedekah wajib.”
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa dia pernah minum dari tempat minum orang-orang di Mekah dan Madinah. Aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau minum dari sedekah yang tidak halal bagimu?” Dia menjawab, “Yang haram bagi kami hanyalah sedekah wajib.”
(Syafi’i berkata): “Ali dan Fatimah pernah bersedekah kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib dari harta mereka sendiri, karena itu adalah sedekah sunnah. Nabi—ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam—pernah menerima hadiah dari sedekah yang diberikan kepada Barirah, karena itu adalah sedekah sunnah dari Barirah, bukan sedekah wajib.”
(Syafi’i berkata): “Jika petugas zakat (amil) membagi zakat, dia harus membaginya sesuai ketentuan yang telah kujelaskan, dan dia memiliki kelonggaran dalam hal ini. Sebab, dia mengumpulkan zakat dari banyak orang sehingga jumlahnya besar. Tidak halal baginya mengutamakan seseorang atas yang lain jika dia tahu tempatnya. Jika dia melakukannya tanpa ijtihad, aku khawatir dia berdosa, tetapi aku tidak memastikan bahwa dia harus mengganti jika dia memberikannya kepada yang berhak. Demikian juga jika dia memindahkan zakat dari satu negeri ke negeri lain yang ada ashhabus suhmān (golongan penerima zakat), aku tidak memastikan bahwa dia harus mengganti dalam kedua keadaan ini.”
(Syafi’i berkata): “Jika ada orang yang mewajibkannya mengganti, itu adalah suatu pendapat. Wallāhu a‘lam.”
(Syafi’i berkata): “Namun, jika petugas zakat meninggalkan golongan penerima zakat yang ada di tempat pembagian padahal dia mengenal mereka, lalu memberikan bagian mereka kepada orang lain, maka dia wajib mengganti. Karena bagian mereka jelas disebutkan dalam Kitabullāh Tabāraka wa Ta‘ālā, dan tidak ada ketentuan untuk menyamaratakan pembagian dalam nash. Demikian juga jika pembagi zakat (wali) meninggalkan golongan penerima zakat yang ada, dia wajib mengganti seperti yang telah kujelaskan.”
(Syafi’i berkata): “Orang fakir adalah yang tidak memiliki pekerjaan atau harta, sedangkan orang miskin adalah yang memiliki sedikit harta tetapi tidak mencukupi.”
[Bab Sebab Berkumpulnya Penerima Zakat]
(Syafi’i—rahimahullāh Ta‘ālā—berkata): “Jika zakat berjumlah delapan ribu, dan semua ashhabus suhmān ada, tetapi hanya ada satu fakir yang berhak mengambil seluruh bagiannya, satu miskin yang berhak mengambil seluruh bagiannya, dan seratus orang yang berutang yang bagiannya tidak cukup untuk satu orang pun, lalu mereka meminta agar fakir dan miskin diberi sepertiga bagian karena hanya ada satu orang, dan minimal pemberian jika ada tiga orang—maka dikatakan kepada mereka, ‘Itu bukan hak kalian, karena kalian tidak berhak mengambil sedikit pun dari bagian fakir dan miskin selama mereka membutuhkannya. Bagian itu dikumpulkan khusus untuk mereka selama salah satu dari mereka membutuhkannya. Jika ada kelebihan, maka kalian dan golongan penerima zakat lainnya sama-sama berhak. Kalian hanya berhak seperti salah satu dari mereka.’ Hal yang sama berlaku dalam…”
Semua ahli Sahan (yang berhak menerima zakat), dan jika di antara mereka ada yang terlilit hutang (gharimun) tanpa memiliki harta untuk melunasinya, maka berikanlah sejumlah hutang mereka atau kurang dari itu. Mereka berkata: “Kami adalah orang-orang fakir yang berhutang, kami diberi berdasarkan hutang, sedangkan kalian melihat kami sebagai orang-orang fakir.” Dikatakan kepada mereka: “Kami memberimu berdasarkan salah satu dari dua makna. Seandainya ini di awal, lalu seseorang berkata: ‘Aku fakir dan berhutang,’ maka dikatakan padanya: ‘Pilih salah satu dari dua makna yang kau inginkan, kami akan memberimu. Jika kau memilih makna fakir, atau jika kau memilih makna hutang.’ Mana yang dia pilih lebih besar nilainya, itu yang kami berikan. Jika dia memilih yang lebih kecil, kami berikan itu. Dan mana yang dia katakan lebih besar, kami berikan berdasarkan itu, bukan yang lain. Jika kami memberinya atas nama fakir, maka para pemberi hutang berhak mengambil hak mereka dari apa yang ada di tangannya, sebagaimana mereka berhak mengambil harta jika dia memilikinya. Demikian juga jika kami memberinya berdasarkan makna hutang. Jika kami memberinya berdasarkan makna hutang, lebih baik dia yang menyerahkannya kepada pemberi hutang. Jika tidak, maka boleh diberikan sebagaimana bolehnya seorang mukatab (budak yang sedang membayar tebusan) diberi dari bagiannya.
Jika ada yang bertanya: “Mengapa aku tidak diberi berdasarkan dua makna sekaligus jika aku termasuk dalam keduanya?” Dijawab: “Fakir miskin dan miskin fakir adalah keadaan yang menyatukan keduanya dalam satu nama tetapi juga memisahkan mereka dalam nama lain. Allah Ta’ala telah membedakan antara keduanya, sehingga tidak boleh memberi seorang miskin lalu memberinya sebagai fakir karena kemiskinan bersama kefakiran, atau memberi miskin karena kefakiran dan kemiskinan. Tidak boleh memberi salah satunya kecuali berdasarkan satu makna. Demikian juga tidak boleh memberi seseorang pemegang saham kecuali berdasarkan satu makna. Seandainya ini boleh, maka boleh juga memberi seseorang karena kefakiran, hutang, sebagai ibn sabil (musafir), pejuang, muallaf, atau amil (petugas zakat), sehingga dia diberi berdasarkan semua makna ini.”
Jika ada yang bertanya: “Adakah indikasi yang menunjukkan bahwa nama fakir mencakup miskin, dan kemiskinan mencakup fakir?” Dijawab: “Ya. Makna fakir adalah makna kemiskinan, dan makna kemiskinan adalah makna kefakiran. Jika keduanya digabung, tidak boleh kecuali dengan membedakan antara kedua keadaannya, yaitu fakir yang disebut pertama adalah yang lebih parah. Demikian juga dalam bahasa, orang Arab menyebut seseorang sebagai fakir miskin atau miskin fakir. Kemiskinan dan kefakiran tidak terjadi karena profesi atau harta.”
[Pembagian Zakat Bagian Kedua]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dari Asy-Syafi’i, yang berkata: “Allah Azza wa Jalla mewajibkan atas pemeluk agama-Nya, kaum Muslimin, hak dalam harta mereka untuk orang lain dari kalangan Muslimin yang membutuhkannya. Pemilik harta tidak boleh menahan hak itu dari orang yang diperintahkan untuk menerimanya, begitu pula para pemimpin tidak boleh membiarkannya bagi pemilik harta, karena mereka adalah penanggung jawab dalam mengambilnya dari mereka untuk ahlinya. Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka.’ (QS. At-Taubah: 103). Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik harta tidak boleh menahan apa yang Allah wajibkan atas mereka, dan para pemimpin tidak boleh membiarkannya bagi mereka.”
Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa’d dari Ibnu Syihab, yang berkata: “Tidak sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar mengambil zakat secara berulang, tetapi mereka mengutus petugas zakat di masa subur, paceklik, gemuk, atau kurus, tanpa menjamin pemiliknya atau menundanya dari setiap tahun, karena mengambilnya setiap tahun adalah sunnah dari Rasulullah ﷺ.”
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): “Kami tidak mengetahui Rasulullah ﷺ…”
Yang terakhir adalah tahun di mana ia tidak mengambilnya, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Seandainya mereka menghalangiku untuk mengambil seekor anak kambing dari apa yang mereka berikan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – niscaya aku akan memerangi mereka karenanya. Janganlah kalian memisahkan apa yang telah Allah satukan.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini hanya berlaku untuk apa yang diambil dari kaum Muslimin khususnya, karena zakat dan penyucian itu hanya untuk kaum Muslimin, serta doa untuk pahala dan keberkahan. (Asy-Syafi’i berkata): Ketika mengambil sedekah dari seorang Muslim, ia mendoakannya dengan pahala dan keberkahan, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla: “Dan berdoalah untuk mereka” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Maka apa yang diambil dari seorang Muslim adalah zakat, dan zakat adalah sedekah, sedangkan sedekah adalah zakat dan penyucian—perintah dan makna keduanya adalah satu.
Jika sekali disebut zakat dan sekali disebut sedekah, keduanya adalah dua nama dengan makna yang sama. Orang Arab sering menyebut satu hal dengan banyak nama, dan ini jelas dalam Kitabullah ‘azza wa jalla, Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, serta bahasa Arab. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat” (QS. Al-Baqarah: 43). Abu Bakar berkata: “Seandainya mereka menghalangiku untuk mengambil seekor anak kambing dari apa yang mereka berikan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – niscaya aku akan memerangi mereka karenanya. Janganlah kalian memisahkan apa yang telah Allah satukan.” Maksudnya—wallahu a’lam—adalah firman Allah ‘azza wa jalla: “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat” (QS. Al-Baqarah: 43). Nama dari apa yang diambil sebagai zakat adalah sedekah, dan Allah Ta’ala menyebutnya dalam pembagian sebagai sedekah, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin…” (QS. At-Taubah: 60). Orang-orang berkata: “Jika datang pemungut sedekah,” yaitu yang mengambil ternak, atau mereka berkata: “Jika datang petugas,” atau “jika datang amil.”
(Asy-Syafi’i berkata): Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidak ada sedekah pada ternak yang kurang dari lima ekor, tidak ada sedekah pada kurma yang kurang dari lima wasaq, dan tidak ada sedekah pada perak yang kurang dari lima uqiyah.” (Asy-Syafi’i berkata): Kebanyakan orang awam menyebut sepersepuluh pada kurma, sedekah pada ternak, dan zakat pada perak. Namun, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyebut semuanya sebagai sedekah. Orang Arab menyebutnya sedekah dan zakat, dan makna keduanya menurut mereka adalah satu.
Maka apa yang diambil dari seorang Muslim, baik sedekah hartanya berupa kambing, ternak, hasil pertanian, zakat fitrah, seperlima rikaz (harta temuan), sedekah tambang, atau lainnya yang wajib atas hartanya berdasarkan Kitab, Sunnah, atau kesepakatan umum kaum Muslimin—maknanya satu, yaitu zakat. Zakat adalah sedekah, dan pembagiannya sama, tidak berbeda, sebagaimana pembagian yang Allah tetapkan.
Sedekah adalah apa yang Allah wajibkan atas kaum Muslimin, dan ia adalah penyucian. (Asy-Syafi’i berkata): Pembagian fai’ berbeda dengan ini. Fai’ adalah apa yang diambil dari orang musyrik untuk ahli agama Allah, dan hal itu dibahas di tempat lain. (Dia berkata): Apa yang diambil dari hak seorang Muslim yang wajib pada hartanya dibagi sesuai pembagian Allah dalam sedekah, baik sedikit maupun banyak, sepersepuluh, seperlima, seperempat puluh, atau jumlah yang berbeda—semuanya sama, karena nama sedekah mencakup semuanya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin…” (QS. At-Taubah: 60). Maka Allah menjelaskan untuk siapa sedekah itu, kemudian menegaskan dan menguatkannya dengan firman-Nya: “Sebagai kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 60). Maka semua yang diambil dari seorang Muslim dibagi sesuai pembagian Allah ‘azza wa jalla, yaitu delapan golongan. Tidak boleh dialihkan satu bagian pun dari mereka selama ada yang berhak menerimanya. Sedekah suatu kaum tidak boleh dikeluarkan dari negeri mereka jika di sana ada yang berhak menerimanya.
Waki’ mengabarkan kepada kami dari Zakariya bin Ishaq dari Yahya bin Abdullah bin Shafi dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma -: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya: ‘Jika mereka mematuhimu, beritahukanlah bahwa atas mereka sedekah yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakir mereka.'”
Yahya bin Hassan, seorang yang terpercaya dari kalangan sahabat kami, mengabarkan kepada kami dari Al-Laits bin Sa’d dari Sa’id Al-Maqbari dari Syarik bin Abi Namr dari Anas bin Malik: “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah memerintahkanmu untuk mengambil sedekah dari orang kaya kami dan memberikannya kepada orang fakir kami?’ Beliau menjawab: ‘Ya.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Yang dimaksud fakir di sini adalah setiap orang yang termasuk dalam golongan delapan yang disebutkan Allah Ta’ala, karena mereka semua diberi berdasarkan kebutuhan, bukan sekadar nama. Seandainya seorang musafir kaya, ia tidak diberi, karena yang diberi adalah musafir yang membutuhkan.
Orang yang membutuhkan senjata pada waktunya diberikan, jika tidak ditemukan dari orang-orang yang berhak menerima sedekah yang termasuk dalam golongan yang disebutkan oleh Allah SWT, maka bagian yang tidak ditemukan diberikan kepada yang ditemukan. Misalnya, jika yang ditemukan hanya fakir, miskin, dan orang yang berutang, maka delapan bagian dibagi menjadi tiga bagian. Penjelasan lebih rinci ada di bagian bawah kitab ini.
Golongan yang berhak menerima sedekah adalah mereka yang membutuhkan harta tersebut, meskipun alasan kebutuhan mereka berbeda-beda. Penyebab hak mereka juga beragam, tetapi yang menyatukan adalah kebutuhan, sedangkan yang membedakan adalah sifat-sifat mereka. Jika mereka berkumpul, maka:
– Fakir adalah orang yang lemah, tidak memiliki pekerjaan.
– Orang yang memiliki pekerjaan lemah yang tidak mencukupi kebutuhannya dan tidak meminta-minta.
– Miskin adalah orang yang meminta-minta atau yang tidak meminta meski memiliki pekerjaan yang tidak mencukupi untuk diri dan keluarganya.
Jika seorang yang kuat meminta sedekah dengan menunjukkan kemiskinan, tetapi pemimpin mengetahui bahwa dia sehat dan mampu bekerja sehingga bisa mencukupi kebutuhan keluarganya (jika ada) atau dirinya sendiri (jika tidak ada keluarga), maka pemimpin tidak memberinya apa pun. Namun, jika si peminta berkata, “Aku tidak bekerja,” atau “Pekerjaanku tidak mencukupi,” sementara pemimpin tidak yakin kebenaran ucapannya, maka perkataannya diterima dan pemimpin memberinya.
Diriwayatkan dari Sufyan, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Abdullah bin Adi bin Al-Khayyar, bahwa dua orang mendatangi Rasulullah SAW meminta sedekah. Beliau memandang mereka dan berkata, “Jika kalian mau, aku akan memberi, tetapi tidak ada bagian untuk orang kaya atau yang mampu bekerja.” (Imam Syafi’i berkata: Nabi SAW melihat mereka kuat dan sehat, menunjukkan kemampuan bekerja. Beliau memberitahu bahwa tidak pantas bagi mereka mengambil sedekah jika bisa mencukupi diri dengan bekerja, meski tidak diketahui pasti apakah mereka bekerja atau tidak. Beliau bersabda, “Jika kalian mau, setelah kukabarkan bahwa tidak ada bagian untuk orang kaya atau yang bekerja, aku akan beri.” Mereka menjawab, “Berilah, karena kami berhak—kami tidak kaya dan pekerjaan kami tidak mencukupi.”)
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’d, dari ayahnya, dari Rayhan bin Yazid, bahwa Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata, “Sedekah tidak halal untuk orang kaya atau yang kuat.”
(Imam Syafi’i berkata: Hadis ini juga diriwayatkan dari Sa’d, dari ayahnya.)
Petugas sedekah adalah orang yang ditunjuk pemimpin untuk mengumpulkan dan membagikannya, baik dari golongan penerima sedekah atau bukan, seperti petugas yang membantu pemimpin dalam pengumpulan. Namun, pemilik ternak yang menggembalakannya bukan termasuk petugas sedekah—itu kewajiban pemilik ternak. Demikian juga orang yang membantu pemimpin tetapi tidak esensial, tidak berhak atas bagian sedekah. Khalifah atau gubernur yang bertugas mengambil sedekah tidak termasuk yang berhak menerima bagian, karena mereka tidak secara langsung mengurusnya.
Diriwayatkan dari Malik, dari Zaid bin Aslam, bahwa Umar minum susu dan menyukainya. Ia bertanya kepada yang memberinya, “Dari mana susu ini?” Orang itu menjawab bahwa ia melewati tempat penggembalaan ternak sedekah dan memerah susu untuknya. Umar segera memuntahkannya.
Diriwayatkan dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah tidak halal untuk orang kaya, kecuali lima golongan: pejuang di jalan Allah, petugas sedekah, orang yang berutang, orang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin lalu memberinya sedekah dan si miskin memberikannya kembali kepadanya.”
“Orang miskin untuk orang kaya.”
(Imam Syafi’i berkata): Petugas yang mengurus zakat boleh mengambil dari zakat sesuai dengan jerih payahnya, tidak boleh lebih dari itu. Meskipun petugas itu kaya, ia hanya mengambilnya sebagai upah.
Adapun muallaf (orang yang perlu dilunakkan hatinya), dalam riwayat sebelumnya ada dua golongan:
- Kaum Muslimin yang memiliki pengaruh dan terhormat, yang berjihad bersama kaum Muslimin sehingga umat Islam menjadi kuat karenanya, dan niat mereka tidak diragukan seperti niat orang lain.
- Jika mereka seperti ini dan berjihad melawan orang musyrik, maka aku berpendapat mereka boleh diberi dari bagian Nabi ﷺ, yaitu seperlima dari seperlima (khumus), selain bagian mereka bersama kaum Muslimin jika terjadi peperangan.
Sebab, Allah ﷻ menjadikan bagian ini khusus untuk Nabi-Nya, lalu Nabi ﷺ mengembalikannya untuk kemaslahatan umat Islam. Beliau bersabda:
“Tidak ada bagianku dari harta rampasan yang Allah berikan kepada kalian kecuali seperlima, dan seperlima itu dikembalikan untuk kalian.”
Maksud “seperlima” di sini adalah hak beliau dari khumus, dan “dikembalikan untuk kalian” berarti untuk kemaslahatan umat.
Diriwayatkan kepadaku dari orang yang tidak aku ragukan, dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits, dari ayahnya:
“Rasulullah ﷺ pernah memberikan bagian dari khumus kepada muallaf pada hari Hunain.”
(Imam Syafi’i berkata): Mereka seperti ‘Uyainah, Al-Aqra’, dan sahabat-sahabat mereka. Namun, Nabi ﷺ tidak memberikan kepada ‘Ubadah bin Mirdas—padahal ia seorang terhormat dan sangat berjasa—hingga ia meminta maaf, barulah beliau memberinya.
(Imam Syafi’i melanjutkan): Ketika beliau menghendaki apa yang diinginkan kaum itu, mungkin juga karena Rasulullah ﷺ merasa tidak senang dengan sikapnya terhadap Muhajirin dan Anshar, lalu beliau memberinya sebagaimana memberi yang lain. Bisa juga beliau memberinya dari hartanya sendiri karena itu hak beliau sepenuhnya.
Beliau juga pernah memberi Shafwan bin Umayyah sebelum ia masuk Islam, tetapi ia pernah meminjamkan peralatan dan senjata kepada Rasulullah ﷺ. Ketika kekalahan terjadi di kalangan pasukan beliau pada awal Perang Hunain, seseorang berkata kepadanya:
“Hauazin telah menang, dan Muhammad terbunuh!”
Maka Shafwan menjawab:
“Mulutmu berbatu! Demi Allah, seorang pemuka Quraisy lebih aku cintai daripada pemuka Hauazin.”
Kaumnya dari Quraisy masuk Islam, dan sepertinya ia tidak ragu akan keislamannya—wallahu a’lam.
Ini tercatat dalam Kitab Pembagian Fai’. Jika ada orang seperti ini, aku berpendapat ia boleh diberi dari bagian Nabi ﷺ, dan ini lebih aku sukai untuk mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.
Seandainya ada yang berkata:
“Bagian ini dahulu milik Rasulullah ﷺ, jadi beliau boleh memberikannya kepada siapa yang beliau kehendaki. Beliau pernah melakukannya di Khaibar dengan memberi sebagian sahamnya kepada beberapa Muhajirin dan Anshar karena itu hartanya sendiri. Namun, sekarang tidak ada yang boleh diberi dari harta rampasan seperti ini, dan tidak ada riwayat bahwa khalifah setelah beliau pernah melakukannya. Muallaf tidak memiliki bagian tetap dalam pembagian rampasan perang.”
Jika ada yang berpendapat demikian, itu adalah salah satu pendapat—wallahu a’lam.
Adapun muallaf, dalam pembagian zakat mereka memiliki bagian. Aku ingat dalam riwayat terdahulu bahwa Adi bin Hatim datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq—seingatku—dengan membawa 300 unta zakat dari kaumnya. Abu Bakar memberinya 30 unta dan memerintahkannya untuk bergabung dengan Khalid bin Walid bersama orang-orang yang menaatinya. Ia pun datang dengan sekitar seribu orang dan berperang dengan baik.
Dalam riwayat ini tidak disebutkan dari mana Abu Bakar memberinya, tetapi yang hampir dipastikan—berdasarkan analisis riwayat—wallahu a’lam, bahwa itu dari bagian zakat.
Penulis, jika dia memberikan sesuatu untuk mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan, atau memberikannya untuk menarik orang lain dari kaumnya yang tidak dipercayai seperti Adi bin Hatim, maka menurutku dia boleh diberikan bagian dari jatah “muallafatu qulubuhum” (orang yang dibujuk hatinya) dalam konteks seperti ini jika umat Islam menghadapi situasi genting yang mungkin terjadi, insya Allah. Misalnya, ketika musuh berada di tempat yang sulit dijangkau pasukan kecuali dengan upaya besar, dan musuh berhadapan dengan orang-orang yang berhak menerima zakat. Jika mereka membantu dengan niat baik, maka menurutku mereka boleh diperkuat dengan jatah “sabilillah” dari zakat. Atau, jika mereka hanya mau berperang setelah diberi jatah “muallafatu qulubuhum” atau cukup dari bagian itu. Begitu pula jika ada tokoh Arab yang enggan berpartisipasi kecuali jika diberi salah satu dari dua jatah zakat ini—dengan syarat jika diberi, mereka akan membantu melawan orang musyrik dan mendukung zakat; jika tidak, bantuan mereka tidak bisa diandalkan. Dalam situasi seperti ini, jika musuh mengancam dan mereka lebih kuat daripada kelompok lain yang jauh atau lemah, maka pemberian itu dibolehkan. Namun, jika tidak dalam kondisi seperti yang kujelaskan—seperti di masa Abu Bakar ketika banyak orang Arab menolak zakat dan murtad—maka menurutku tidak ada yang berhak menerima jatah “muallafatu qulubuhum”, dan bagian itu harus dikembalikan ke kelompok penerima lainnya. Sebab, tidak ada riwayat bahwa Umar, Utsman, atau Ali pernah memberi seseorang untuk menarik hati mereka masuk Islam. Allah—segala puji bagi-Nya—telah memuliakan Islam sehingga tidak perlu lagi menarik orang dengan iming-iming.
Firman-Nya tentang “ar-riqab” (budak) merujuk pada mukatab (budak yang sedang menebus kebebasannya), wallahu a’lam. Tidak boleh membeli budak lalu memerdekakannya.
“Al-gharimun” (orang yang terlilit utang) adalah mereka yang berutang, baik memiliki harta yang mencukupi atau tidak. Mereka hanya berhak menerima zakat jika berutang untuk menanggung diyat (denda), tertimpa bencana, atau utangnya bukan untuk maksiat atau berfoya-foya. Siapa yang berutang untuk maksiat, menurutku tidak berhak menerima jatah “sabilillah”. Seperti yang kujelaskan, jatah itu untuk yang ingin berperang. Jika ada kelompok yang menolak membayar zakat lalu dibantu oleh kelompok lain, maka yang membantu itu boleh diberi. Jika tidak ada kondisi seperti itu, jatah “sabilillah” dikembalikan ke kelompok penerima lainnya.
“Ibnu sabil” (musafir) menurutku adalah orang yang berhak menerima zakat dan sedang dalam perjalanan ke negeri lain, bukan penduduk setempat.
[Cara Membagi Zakat]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Petugas zakat sebaiknya memerintahkan pendataan para penerima zakat di wilayahnya, termasuk nama, nasab, kondisi, dan kebutuhan mereka. Setelah mengumpulkan zakat, dia memisahkan jatah petugas sesuai haknya, lalu membagikan sisanya kepada semua penerima sesuai ketentuan—insya Allah. Misalnya, jika ada 10 fakir, 20 miskin, dan 5 gharimun (total tiga kelompok penerima), maka ketiganya berhak atas tiga bagian zakat.
Semua harta itu tiga ribu. Jika orang-orang fakir membutuhkan bagian mereka seribu, yaitu sepertiga harta, maka bagian mereka cukup untuk mengeluarkan mereka dari batas kemiskinan ke batas kekayaan, berikanlah semuanya. Jika untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan ke kekayaan dibutuhkan tiga, empat, kurang, atau lebih, berikanlah sejumlah yang bisa menghilangkan sebutan fakir dan membuat mereka disebut kaya. Sisanya disimpan oleh penguasa, kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin bagian mereka seribu, dan kepada orang yang berutang bagian mereka seribu.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana bisa engkau katakan setiap golongan yang ada berhak atas bagian mereka, lalu mereka cukup dengan sebagian bagian, mengapa sisa bagiannya tidak diberikan kepada mereka?”
(Imam Syafi’i) menjawab: Aku katakan karena Allah Tabaraka wa Ta’ala menetapkan bagian itu untuk mereka bersama golongan lain berdasarkan makna tertentu, yaitu fakir, miskin, dan berutang. Jika mereka sudah keluar dari fakir dan miskin, menjadi kaya, atau terbebas dari utang, maka kewajiban terhadap mereka gugur, dan mereka bukan lagi termasuk golongan penerima zakat. Sebab, mereka tidak lagi termasuk dalam sebutan yang Allah tetapkan untuk menerima bagian tersebut. Tidakkah engkau lihat bahwa orang kaya yang meminta zakat dengan alasan fakir atau miskin sejak awal tidak boleh diberi, dan dikatakan kepada mereka, “Kalian bukan golongan yang Allah tetapkan.” Demikian juga jika mereka meminta dengan alasan berutang padahal tidak berutang. Rasulullah ﷺ bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang kaya,” kecuali yang dikecualikan. Jika fakir dan miskin diberi zakat lalu menjadi kaya, maka mereka termasuk yang tidak halal menerimanya. Jika tidak halal bagi mereka, maka memberikannya berarti memberi sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan tidak halal bagiku untuk memberi. Allah mensyaratkan pemberian kepada orang fakir dan miskin, sedangkan mereka sudah tidak termasuk golongan itu.
(Imam Syafi’i) berkata: Petugas zakat mengambil bagian sesuai upah mereka, sepadan dengan kebutuhan, tanggung jawab, kejujuran, dan beban mereka. Seorang petugas pengumpul zakat mengambil untuk dirinya berdasarkan makna ini. Kepala kampung (arif) dan orang yang mengumpulkan zakat diberi sesuai kebutuhan dan kesulitannya, yang ringan karena dia berada di wilayahnya sendiri. Musafir (ibnu sabil) diberi secukupnya untuk sampai ke negeri yang dituju, termasuk biaya perjalanan dan kendaraan jika jaraknya jauh dan dia lemah. Jika jaraknya dekat dan dia kuat berjalan, serta mampu berjalan kaki, dia diberi biaya hidup tanpa kendaraan. Jika dia ingin pergi dan kembali, diberi cukup untuk pergi dan pulang. Jika biayanya menghabiskan seluruh bagian, berikan semuanya jika tidak ada musafir lain. Jika hanya membutuhkan seperseratus bagian, jangan diberi lebih.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau memberi fakir, miskin, dan orang berutang sampai mereka keluar dari sebutan fakir, miskin, dan berutang, sedangkan petugas zakat dan musafir diberi tanpa menghilangkan sebutan yang membuat mereka berhak menerima?”
Jawabannya: Mereka tidak diberi karena sebutan, tetapi karena maknanya. Jika maknanya hilang, hilang pula haknya. Petugas zakat diberi berdasarkan makna kecukupan, dan musafir berdasarkan makna sampai ke tujuan. Seandainya aku memberi petugas zakat dan musafir seluruh bagian atau lebih, sebutan petugas tidak hilang selama dia belum dicopot, dan sebutan musafir tidak hilang selama dia masih dalam perjalanan atau berniat bepergian lalu diberi. Adapun fakir, miskin, dan orang berutang memiliki makna yang sama meski sebutannya berbeda. Petugas zakat adalah pihak yang mengurus mereka, sehingga dia berhak mendapat bagian berdasarkan makna kecukupan dan kemaslahatan bagi pemberi dan penerima zakat. Dia diberi upah yang semestinya. Inilah yang berlaku menurut atsar dan pendapat ulama yang aku temui di negeri kami.
Makna memberi musafir adalah memberinya cukup sampai tujuan, jika dia tidak mampu bepergian tanpa bantuan, mirip dengan petugas zakat dalam sebagian urusannya. Budak mukatab diberi sesuai kebutuhan sampai merdeka, sedikit atau banyak, bahkan sampai menghabiskan bagian. Jika diberikan langsung kepadanya, menurut kami, dia dianggap bersungguh-sungguh agar tidak gagal merdeka. Jika diberikan kepada tuannya, itu lebih aku sukai dan lebih hati-hati.
[Mengembalikan Kelebihan kepada Ahli Sahan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika tidak ada mu’allaf dan tidak ada kaum dari penerima zakat yang ingin berjihad, maka tidak ada bagian untuk sabilillah atau mu’allaf. Bagian mereka dipisahkan. Demikian pula jika tidak ada ibnu sabil atau orang yang terlilit utang. Begitu juga jika mereka tidak hadir, lalu diberikan harta yang cukup untuk mereka dan masih ada sisa, atau jika di antara ahli saham lainnya ada yang memiliki sisa harta, maka kelebihan dari semua itu dipisahkan. Kemudian, dihitung sisa ahli saham yang belum menerima atau telah menerima tetapi belum mencukupi kebutuhannya. Lalu, pembagian harta ini dimulai untuk mereka sebagaimana pembagian zakat pertama kali, yaitu dibagi kepada ahli saham yang tersisa.
Baik yang tersisa adalah fakir miskin yang belum tercukupi, atau orang yang terlilit utang yang belum lunas seluruh utangnya, dan tidak ada lagi dari delapan golongan ahli saham selain mereka, maka seluruh sisa harta dibagi kepada mereka dalam tiga bagian. Jika orang yang terlilit utang sudah tercukupi dengan bagian mereka (sepertiga dari seluruh harta), maka kelebihan dari bagian mereka dikembalikan kepada fakir miskin, lalu dibagi kepada kedua golongan ini hingga habis. Jika setelah dibagi, fakir sudah tercukupi dengan sebagiannya, maka sisanya dikembalikan kepada miskin hingga mereka pun tercukupi.
Jika ada yang bertanya: “Mengapa engkau mengembalikan kelebihan dari saham yang tidak dibutuhkan oleh golongan yang memerlukan, termasuk yang tidak termasuk ahli saham seperti mu’allaf dan lainnya, padahal ketika mereka semua berkumpul, engkau memberikan setiap golongan bagiannya?”
(Imam Syafi’i menjawab): Ketika mereka semua berkumpul, mereka secara syar’i dalam keadaan membutuhkan, dan masing-masing berhak atas apa yang Allah tetapkan untuk mereka. Mereka ada delapan golongan, sehingga aku tidak boleh menghalangi salah satu dari mereka dari hak yang Allah berikan. Allah Ta’ala menyebutkan mereka secara umum tanpa mengkhususkan satu golongan atas yang lain, maka aku membagi untuk mereka bersama-sama sebagaimana Allah menyebut mereka bersamaan.
Yang menghalangiku untuk memberikan setiap golongan bagiannya secara penuh—meski mereka bisa tercukupi dengan kurang dari itu—adalah karena dalam ketetapan Allah, mereka hanya diberi berdasarkan kriteria yang Allah sebutkan. Jika kriteria itu hilang, seperti fakir dan miskin sudah kaya, atau orang yang berutang sudah bebas dari utang, maka mereka bukan lagi golongan yang berhak menerima. Jika aku tetap memberikannya, berarti aku memberi kepada yang tidak diperintahkan.
Seandainya boleh memberi mereka setelah mereka kaya atau bebas dari utang, maka berarti boleh juga memberi kepada orang kaya atau ahli waris mereka. Dengan demikian, hak dialihkan dari yang berhak kepada yang tidak berhak. Tidak boleh bagi siapa pun mengalihkan hak dari yang Allah tetapkan atau memberikannya kepada yang tidak berhak.
Aku mengembalikan kelebihan dari sebagian ahli saham kepada yang tersisa dari ahli saham yang belum tercukupi karena Allah Ta’ala mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan sebagian harta mereka untuk golongan tertentu dengan kriteria tertentu. Jika sebagian dari golongan yang Allah sebutkan sudah tidak ada atau sudah kaya, maka harta ini tidak memiliki pemilik tertentu dari kalangan manusia yang harus dikembalikan, berbeda dengan hibah atau wasiat manusia. Seandainya seseorang berwasiat untuk orang lain, lalu penerima wasiat meninggal sebelum pemberi wasiat, maka wasiat itu kembali kepada ahli waris pemberi wasiat.
Karena harta zakat berbeda dengan harta warisan, maka tidak ada seorang pun yang lebih berhak atas pembagian Allah selain golongan yang Allah sebutkan. Mereka adalah bagian dari yang Allah tetapkan sebagai penerima, dan tidak ada seorang muslim yang membutuhkan kecuali dia memiliki hak selain itu.
Adapun ahli fai’ (penerima harta fai’), mereka tidak masuk dalam penerima zakat. Sedangkan penerima zakat lainnya, zakat dibagi khusus untuk mereka. Sekalipun zakatnya banyak, tidak boleh diberikan kepada selain mereka, dan setiap dari mereka berhak menerimanya.
Sebagaimana mereka tidak memasukkan orang lain kepada mereka, begitu pula mereka tidak memasukkan kepada orang lain apa yang berasal dari orang lain yang berhak mendapat bagian darinya. Jika penduduk suatu pekerjaan mencukupi kebutuhan mereka dengan sebagian yang dibagikan untuk mereka dan masih ada kelebihan, maka aku berpendapat bahwa kelebihan itu dipindahkan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatan dan tempat tinggalnya dengan mereka.
[Keterbatasan Bagian dan Apa yang Harus Dilakukan dalam Pembagian]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Jika bagian-bagian itu terbatas, misalnya orang-orang fakir berjumlah seribu dan bagian mereka seribu, sedangkan orang-orang yang berutang (gharimin) berjumlah tiga dan utang mereka seribu serta bagian mereka seribu, lalu orang-orang fakir berkata: “Kami hanya membutuhkan seratus ribu, sedangkan mereka (gharimin) bisa melunasi utang mereka dengan seribu. Gabungkanlah bagian kami dan bagian mereka, lalu berikan kepada kami seratus bagian dari seribu dan kepada mereka satu bagian, sebagaimana harta ini dibagi jika berada di antara kami secara merata dengan makna yang sama.” Namun, hal itu tidak berlaku bagi mereka menurut kami—wallahu a’lam—karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan bagian untuk gharimin sebagaimana Dia menetapkan bagian untuk orang-orang fakir. Maka, bagian itu diberikan kepada gharimin meskipun mereka menghabiskan seluruh bagian itu, dan mereka tidak diberi lebih dari yang telah ditetapkan. Jika ada kelebihan dari bagian mereka, maka kalian tidak lebih berhak atasnya daripada orang lain, terutama jika ada kelompok lain yang juga disebutkan bersama kalian. Namun, kelebihan dari bagian mereka atau kelompok lain dikembalikan kepada kalian dan orang lain dari penerima bagian yang masih membutuhkan, sebagaimana pembagian awal di antara kalian.
Demikian pula, jika kalian yang sudah mencukupi kebutuhan sedangkan gharimin belum, kami tidak akan memasukkan mereka kepada kalian kecuali setelah kebutuhan kalian terpenuhi. Kami juga tidak membiarkan mereka menuntut kalian selama setiap orang dari kalian telah menerima bagiannya. Tidak ada batasan waktu dalam pemberian kepada orang fakir kecuali sampai mereka keluar dari batas kemiskinan menuju kecukupan, baik sedikit maupun banyak, baik harta itu wajib zakat atau tidak. Sebab, pada hari pemberian itu, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Seseorang bisa saja kaya tetapi tidak memiliki harta yang wajib dizakati, atau miskin karena banyak tanggungan meskipun memiliki harta yang wajib dizakati. Kekayaan dan kemiskinan dinilai berdasarkan kondisi nyata seseorang.
Orang Arab dahulu tinggal berdekatan di pedesaan atau perkampungan berdasarkan kekerabatan karena takut terhadap orang luar. Di masa jahiliyah, mereka tinggal berdekatan agar saling melindungi. Jika demikian halnya ketika mereka berzakat, zakat mereka dibagikan kepada fakir miskin di antara mereka dengan mempertimbangkan kekerabatan dan kedekatan tempat tinggal.
Jika mereka adalah penduduk pedesaan dan petugas zakat (amil) bertugas di satu atau dua kabilah, dan sebagian anggota kabilah bergaul dengan kabilah lain yang bukan kerabat mereka, serta kedekatan dan interaksi mereka seperti berpindah dan menetap bersama sehingga bagian zakat terbatas, maka kami membagikannya berdasarkan kedekatan tempat tinggal, bukan kekerabatan. Hal yang sama berlaku jika ada non-Arab yang bergaul dengan mereka dan ikut dalam pembagian berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika mereka terkadang berpisah dan terkadang berkumpul saat berpindah tempat, maka aku lebih suka membaginya berdasarkan kekerabatan jika kondisi mereka setara—sebab kekerabatan lebih utama menurutku. Namun, jika kondisinya berbeda, kedekatan tempat tinggal lebih utama daripada kekerabatan.
Jika seorang pemberi zakat berkata: “Kami memiliki fakir miskin di luar wilayah ini, dan mereka seperti yang kusebutkan—kadang berkumpul dan kadang berpisah saat berpindah tempat,” maka hitunglah mereka bersama-sama, lalu bagikan kelebihan itu kepada yang tidak hadir dan yang hadir. Jika mereka tinggal di ujung-ujung pedesaan yang berjauhan—misalnya sebagian di satu ujung yang lebih dekat dengan mereka—maka bagikanlah berdasarkan kedekatan wilayah, dan ujung yang lebih dekat dianggap seperti tempat tinggal tetap bagi mereka. Ini berlaku jika mereka adalah orang-orang yang berpindah-pindah tanpa tempat tinggal tetap. Namun, jika mereka memiliki tempat tinggal tetap, aku akan selalu membagikannya berdasarkan kedekatan tempat tinggal.
Suku-suku pedesaan seperti Irāk dan Hamdh yang menetap di tempat tinggal mereka, zakat dibagikan di antara mereka berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika ada orang luar yang tinggal di dekat mereka, zakat dibagikan kepada tetangga mereka berdasarkan kedekatan tempat tinggal, atau berdasarkan kekerabatan dan kedekatan tempat tinggal jika keduanya ada.
Jika penduduk pedesaan memiliki tambang, hasil tambang dibagikan kepada orang yang tinggal di dekat tambang, meskipun mereka bukan kerabat pemilik tambang jika tempat tinggal mereka jauh.
Demikian pula jika mereka memiliki tanaman, hasil tanaman dibagikan kepada tetangga yang tinggal di sekitar lahan pertanian, bukan berdasarkan kekerabatan jika kerabat tinggal jauh dari lokasi pertanian. Zakat penduduk desa dibagikan kepada para penerima bagian (ashnaf) yang berhak.
Dari penduduk desa tanpa memandang nasab jika yang memiliki nasab tidak berada di desa dan mereka jauh darinya, demikian pula kurma mereka dan zakat harta mereka. Tidak boleh mengeluarkan sesuatu dari sedekah (zakat) dari satu desa ke desa lain jika di desa tersebut ada yang berhak menerimanya, juga tidak dari satu tempat ke tempat lain jika di tempat tersebut ada yang berhak. Orang yang paling berhak mendapat bagian adalah tetangga terdekat dari tempat harta itu diambil, meskipun nasabnya jauh jika tidak ada kerabat bersamanya. Jika seseorang bertugas mengeluarkan zakat hartanya dan ia memiliki kerabat di daerah tempat pembagian serta tetangga yang juga berhak menerima, lalu jika sempit (hartanya) maka ia lebih mengutamakan kerabatnya, maka itu baik menurutku selama mereka termasuk golongan yang berhak menerima.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun ahli fai’ (penerima bagian dari harta rampasan perang) tidak boleh masuk ke dalam golongan penerima sedekah (zakat) selama mereka masih menerima bagian dari fai’. Seandainya ada seseorang yang menerima bagian (fai’) lalu ia ditugaskan untuk berperang, sedangkan ia berada di desa yang memiliki zakat, ia tidak boleh mengambil bagian dari zakat. Namun jika ia keluar dari penerima fai’ dengan alasan tidak mau berperang dan membutuhkan, maka ia boleh diberi dari zakat. Siapa saja dari penerima zakat di pedalaman atau desa yang tidak ikut memerangi musuh, maka ia bukan termasuk ahli fai’. Jika ia berhijrah, diberi bagian (fai’), dan ikut berperang, maka ia menjadi ahli fai’ dan mengambil bagian darinya. Jika ia membutuhkan saat masih termasuk ahli fai’, ia tidak boleh mengambil dari zakat. Namun jika ia keluar dari ahli fai’ dan kembali ke golongan penerima zakat, maka itu diperbolehkan baginya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berpendapat tidak ada lagi mu’allaf (orang yang dilunakkan hatinya), sehingga bagian mu’allaf dan bagian fi sabilillah dialokasikan untuk persiapan perang dan senjata di perbatasan kaum Muslimin sesuai kebijakan pemimpin. Sebagian lain berpendapat bahwa ibn sabil (musafir yang kehabisan bekal) termasuk yang berhak menerima zakat di daerah tempat zakat itu diambil, baik dari golongan penerima zakat maupun bukan. Ia juga berkata: Pembagian zakat didasarkan pada petunjuk (kebutuhan), di mana jumlah banyak atau kebutuhan mendesak, maka itu lebih utama. Seolah ia berpendapat bahwa jika bagian zakat seribu, sementara seorang gharim (orang yang terlilit utang) membutuhkan seribu, sementara para miskin membutuhkan sepuluh ribu, fakir juga demikian, dan ibn sabil serupa, maka gharim hanya diberi satu bagian dari mereka, sehingga sebagian besar harta diberikan kepada yang lebih banyak jumlah dan kebutuhannya. Seolah ia berpendapat bahwa harta itu diserahkan kepada mereka untuk dibagi berdasarkan jumlah dan kebutuhan, bukan setiap golongan mendapat bagian tertentu.
Sebagian sahabat kami berkata: Jika zakat suatu kaum diambil di suatu negeri, sementara ada penduduk di negeri lain yang dilanda paceklik, dan golongan penerima zakat di negeri asal masih mampu bertahan tanpa kesulitan seberat penduduk paceklik yang tidak memiliki zakat di negeri mereka atau hanya memiliki zakat sedikit yang tidak mencukupi, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk paceklik jika dikhawatirkan mereka akan mati kelaparan jika tidak diberi. Seolah ia juga berpendapat bahwa harta ini adalah harta dari Allah Yang Maha Mulia, yang dibagikan kepada golongan penerima zakat untuk kemaslahatan hamba-Nya. Maka pemimpin boleh mempertimbangkan untuk memindahkan bagian ini ke golongan penerima zakat di mana pun mereka berada, baik dekat maupun jauh, sesuai ijtihad. Aku menduga ia juga berkata: Bagian zakat penerima sedekah boleh dipindahkan kepada ahli fai’ jika mereka sangat membutuhkan.
Dan harta rampasan menjadi sempit bagi mereka.
Dan harta rampasan itu dialihkan kepada penerima zakat jika mereka kesulitan dan zakat menjadi sempit, dengan maksud untuk kebaikan hamba-hamba Allah Ta’ala. Namun, aku berpendapat berbeda dengan pendapat ini karena Allah Azza wa Jalla telah membagi harta menjadi dua bagian: satu bagian zakat yang disucikan untuk delapan golongan, dan telah ditegaskan dalam sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa zakat diambil dari orang kaya suatu kaum dan diberikan kepada fakir miskin mereka, bukan fakir miskin selain mereka. Maka, menurutku – dan Allah lebih tahu – tidak boleh ada penyimpangan dari apa yang kusampaikan, yaitu bahwa zakat tidak boleh dipindahkan dari satu kaum ke kaum lain sementara di antara mereka masih ada yang berhak menerimanya. Tidak boleh pula bagian seseorang yang berhak dialihkan kepada orang lain yang juga berhak. Bagaimana mungkin dibenarkan jika Allah Azza wa Jalla menetapkan golongan-golongan tertentu, lalu mereka ada bersama-sama, tetapi satu orang diberi bagiannya dan bagian orang lain? Jika ini dibenarkan menurutku, maka boleh saja satu bagian diberikan kepada satu orang sehingga tujuh golongan lain yang telah ditetapkan haknya terhalangi, sementara satu orang diberi apa yang bukan haknya.
Orang yang berpendapat demikian tidak akan berselisih dengan kami bahwa jika seseorang berkata, “Aku mewasiatkan untuk si Fulan, si Fulan, dan si Fulan,” atau “Aku mewasiatkan sepertiga hartaku untuk si Fulan, si Fulan, dan si Fulan,” maka tanah atau sepertiga harta itu dibagi rata di antara mereka. Demikian pula, tidak ada perselisihan bahwa jika seseorang berkata, “Sepertiga hartaku untuk fakir miskin Bani Fulan, orang yang terlilit utang Bani Fulan, dan musafir Bani Fulan,” maka setiap golongan ini berhak menerima bagian dari sepertiga tersebut, dan tidak boleh satu golongan diberi seluruh sepertiga sementara yang lain tidak.
Demikian pula, tidak boleh seluruh harta diberikan hanya kepada fakir miskin tanpa menyertakan orang yang terlilit utang, atau hanya untuk orang yang terlilit utang tanpa musafir, atau satu golongan yang disebutkan tanpa golongan lain yang lebih membutuhkan. Sebab, pemberi wasiat atau sedekah telah menetapkan golongan-golongan tertentu, sehingga harta satu golongan tidak boleh dialihkan ke golongan lain, dan hak yang telah ditetapkan tidak boleh diberikan kepada yang tidak berhak. Setiap golongan memiliki hak atas apa yang ditetapkan untuk mereka, sehingga hak satu golongan tidak boleh dialihkan ke golongan lain.
Jika ini adalah pendapat kami dan pendapat orang yang berpendapat demikian, maka pemberian manusia tidak boleh dilaksanakan kecuali sesuai dengan apa yang mereka berikan. Maka, pemberian Allah Azza wa Jalla lebih berhak untuk dilaksanakan sesuai dengan ketetapan-Nya. Jika dalam salah satu pemberian boleh dialihkan dari yang berhak kepada yang tidak berhak, atau hak satu golongan diberikan kepada golongan lain, tentu hal itu lebih pantas dilakukan dalam pemberian manusia. Namun, hal itu tidak dibenarkan dalam kedua kasus tersebut.
Ketika Allah Azza wa Jalla membagi harta rampasan dan berfirman,
“Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul…” (QS. Al-Anfal: 41),
dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan bahwa empat perlimanya diberikan kepada yang ikut berperang, dengan tiga bagian untuk penunggang kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki, maka kami tidak mengetahui Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberikan kelebihan kepada penunggang kuda yang paling berjasa dibanding yang lain. Kaum muslimin juga menyamakan hak antara dua penunggang kuda, bahkan mereka berkata, “Seandainya ada penunggang kuda yang paling besar jasanya dan seorang penakut, keduanya tetap diberi bagian yang sama.” Demikian pula halnya dengan pejalan kaki.
Bagaimana pendapatmu jika ada yang membantah kami dan mereka dengan berkata, “Jika empat perlima rampasan perang diberikan kepada yang hadir, padahal maksud kehadiran adalah untuk membela kaum muslimin dan memerangi orang musyrik, maka aku tidak akan memberikan empat perlima itu kepada semua yang hadir. Aku hanya akan menghitung orang-orang yang benar-benar berjasa, lalu memberi satu orang bagian seratus orang atau kurang jika jasanya setara atau lebih, sementara orang penakut atau yang tidak berniat baik tidak kuberi atau hanya kuberi seperseratus bagian dari orang yang berjasa, sesuai dengan kontribusinya.” Apa argumen melawannya kecuali dengan mengatakan, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membagi tiga bagian untuk penunggang kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki, dan hal ini bersifat umum. Kami tidak mengetahui beliau mengkhususkan bagi yang berjasa besar, tetapi beliau memberi semua yang hadir berdasarkan kehadiran dan kebebasan.”
Dan hanya Islam, tanpa nyanyian.
Barangsiapa yang berbeda pendapat dengan kami dalam pembagian sedekah, tidak akan berbeda pendapat dalam pembagian empat perlima dari harta rampasan perang. Bagaimana mungkin dia boleh berbeda pendapat dalam sedekah, padahal Allah telah menetapkan pembagian yang jelas bagi mereka, memberikan sebagian dan tidak kepada yang lain? Jika menurut kami dan menurutnya tidak boleh bagi para pejuang yang berperang—yang merupakan ahli perang tanpa nyanyian—untuk memberikan sebagian dari rampasan perang mereka kepada kaum lemah dari kalangan musyrikin yang juga tidak memiliki kemampuan, sementara di sisi lain ada pejuang Muslim yang kuat yang berperang melawan musuh yang tangguh, maka bagaimana bisa mereka tidak diberikan bagian dari rampasan perang yang diperoleh dari kaum Muslim yang lemah melawan kaum musyrikin yang lemah, sementara kaum Muslim yang kuat yang berperang melawan kaum musyrikin yang kuat dan banyak jumlahnya tidak diberikan bagian demi mempertimbangkan Islam dan pemeluknya? Seharusnya, bagian rampasan perang yang diperoleh dari kaum Muslim yang lemah melawan kaum musyrikin yang lemah diberikan kepada kaum Muslim yang kuat yang berperang melawan kesyirikan yang kuat, karena mereka menanggung beban besar dalam memerangi musuh dan mereka lebih besar manfaatnya bagi kaum Muslim. Namun, aku memberikan hak setiap pejuang sesuai haknya.
Lalu, bagaimana bisa dibenarkan memindahkan sedekah dari suatu kaum yang membutuhkannya kepada orang lain yang lebih membutuhkan, atau membagikannya bersama mereka, atau memindahkannya dari satu golongan ke golongan lain, sementara golongan yang sedekahnya dipindahkan itu juga membutuhkan hak mereka? Atau bagaimana pendapatmu jika ada seseorang berkata kepada suatu kaum yang kaya dan telah berperang melawan musuh: “Kalian orang kaya, maka aku akan mengambil rampasan perang kalian dan membagikannya kepada penerima sedekah yang membutuhkan di tahun paceklik, karena penerima sedekah adalah Muslim yang menjadi tanggungan Allah, dan ini adalah harta dari harta Allah. Aku khawatir jika aku menahan ini dari mereka dan tidak memiliki harta lain, akan membahayakan mereka, sementara mengambilnya dari kalian tidak merugikan kalian.” Bukankah bantahan terhadapnya hanyalah: “Orang yang telah ditetapkan bagiannya lebih berhak atas apa yang dibagikan daripada yang tidak ditetapkan, meskipun yang tidak ditetapkan lebih membutuhkan.” Demikian pula seharusnya dikatakan tentang penerima sedekah: ia telah ditetapkan pembagiannya dengan jelas.
Atau bagaimana pendapatmu jika ada yang berkata tentang ahli waris yang telah Allah tetapkan haknya atau yang disebutkan dalam hadits, bahwa mereka mewarisi karena kekerabatan dan musibah kematian. Jika di antara mereka ada yang lebih baik kepada si mayit semasa hidupnya dan lebih memperhatikan hartanya setelah kematiannya, serta lebih membutuhkan harta yang ditinggalkan, maka dia lebih berhak atas warisan, karena setiap orang memiliki hak dalam keadaan tertentu. Bukankah bantahan terhadapnya hanyalah: “Kami tidak melampaui apa yang telah Allah tetapkan.” Demikian pula argumen dalam pembagian sedekah.
(Imam Syafi’i berkata): Argumen terhadap orang yang berpendapat demikian lebih banyak dari ini, dan ini sudah cukup. Tidak ada keraguan dalam pendapat ini yang patut diikuti, karena menurutku—dan Allah lebih tahu—ini adalah pembatalan hak orang yang telah Allah berikan haknya, serta membolehkan penguasa mengambil sedekah dan memindahkannya kepada kerabat atau temannya di negeri lain, padahal penerima sedekah itu termasuk golongan yang berhak.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang berargumen tentang pemindahan sedekah beralasan bahwa sebagian ulama yang diikuti berkata: “Jika engkau berikan kepada satu golongan saja, itu sudah cukup.” Namun, perkataan ini tidak bisa dijadikan hujjah yang mengikat. Seandainya dia berkata demikian, bukan berarti dia berkata: “Berikan kepada satu golongan sementara golongan lain ada.” Kami berkata seperti itu hanya jika tidak ada golongan lain selain satu golongan, maka boleh diberikan kepada mereka. Dia juga berargumen dengan riwayat Thawus bahwa Muadz bin Jabal berkata kepada sebagian penduduk Yaman: “Bawalah kain sebagai ganti gandum dan sya’ir, karena itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi Muhajirin di Madinah.”
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ pernah berdamai dengan ahli dzimmi Yaman dengan ketentuan satu dinar per orang setiap tahun. Pada suatu tahun, jika tidak ada dinar, diambil nilai setara dari barang Ma’afir. Mungkin Muadz mengambil gandum dan sya’ir jika mereka kesulitan membayar dinar, karena itu yang paling banyak mereka miliki. Jika boleh meninggalkan dinar demi suatu tujuan…
Mungkin menurutnya diperbolehkan mengambil makanan dan barang lain dari mereka senilai dinar, sehingga mereka segera memberikannya makanan karena melimpahnya makanan pada mereka. Pakaian lebih baik bagi para Muhajirin di Madinah dan lebih ringan bagi kalian; karena tidak memerlukan biaya besar untuk mengangkut pakaian ke Madinah, dan pakaian di sana lebih mahal harganya.
Jika ada yang berkata: “Ini adalah takwil yang tidak bisa diterima kecuali dengan petunjuk dari perawi,” maka kami mengatakan hal ini berdasarkan petunjuk dari Mu’adz, dan dialah yang meriwayatkannya.
Telah mengabarkan kepada kami Mutharrif bin Mazin dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa Mu’adz memutuskan: “Siapa saja yang pindah dari wilayah sukunya ke wilayah suku lain, maka zakat dan sedekahnya tetap untuk wilayah sukunya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam kisah Mu’adz ini jelas bahwa hal ini khusus bagi kaum Muslimin, karena zakat dan sedekah hanya untuk kaum Muslimin.
(Asy-Syafi’i berkata): Ketika Mu’adz melihat seorang yang diambil zakatnya pindah bersama keluarganya dari wilayah sukunya, maka zakat dan sedekahnya tetap untuk wilayah sukunya. Dengan demikian, zakat hartanya yang berupa uang tunai dan hewan ternak tetap diberikan kepada penduduk wilayah sukunya, bukan kepada orang yang ia pindah kepadanya karena hubungan kekerabatan, bukan penduduk wilayah yang ia tinggalkan. Meskipun kebanyakan wilayah suku adalah untuk sukunya, namun ada juga yang bercampur dengan suku lain, meskipun sukunya lebih banyak. Pendapat lain mengatakan bahwa Mu’adz berpendapat bahwa jika sedekah telah tetap untuk penduduk wilayah sukunya, maka tidak boleh dipindahkan zakat dan sedekahnya karena perpindahannya, dan itu tetap menjadi hak mereka sebagaimana awalnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini bisa berarti bahwa zakat dan sedekahnya yang berada di tengah-tengah wilayah sukunya tidak boleh dipindahkan dari mereka, berbeda dengan uang tunai yang bisa dipindahkan. Mu’adz, ketika memutuskan hal ini, termasuk orang yang paling enggan memindahkan zakat kaum Muslimin dari penduduk Yaman (yang berhak menerima zakat) ke penduduk Madinah (yang kebanyakan adalah ahli fai’). Dalam riwayat yang kami sampaikan dari Mu’adz ini terdapat petunjuk yang mendukung pendapat kami: zakat tidak boleh dipindahkan dari tetangga pemilik harta yang diambil zakatnya kepada selain mereka.
(Asy-Syafi’i berkata): Thawus—jika benar meriwayatkan sesuatu dari Mu’adz—tidak akan menyelisihinya, insya Allah. Thawus juga bersumpah bahwa tidak halal menjual sedekah sebelum atau sesudah diterima. Jika argumen yang diajukan kepada kami adalah bahwa Mu’adz menjual gandum dan jelai yang diambil dari kaum Muslimin dengan pakaian, maka itu berarti menjual sedekah sebelum diterima. Namun menurut kami, Mu’adz hanya berkata: “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian.”
Jika ada yang berkata: “Adi bin Hatim dan Az-Zibriqan bin Badr pernah membawa zakat kepada Abu Bakar, dan keduanya membawa kelebihan dari keluarganya, lalu memindahkannya ke Madinah,” maka kemungkinan di Madinah ada kerabat terdekat mereka yang membutuhkan, atau orang-orang dari Mudhar dan Thayyi’ di Yaman. Bisa juga orang-orang di sekitar mereka murtad sehingga tidak berhak menerima zakat, sementara di Madinah ada yang berhak dan lebih dekat hubungannya. Atau mungkin juga zakat itu dibawa kepada Abu Bakar, lalu dia memerintahkan untuk mengembalikannya kepada selain penduduk Madinah. Tidak ada riwayat yang jelas dari Abu Bakar tentang hal ini.
Jika ada yang berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Umar pernah diberi hewan ternak dari zakat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Di Madinah ada zakat kurma, tanaman, uang tunai, dan hewan ternak. Madinah dihuni oleh Muhajirin, Anshar, sekutu mereka, suku Asyja’, Juhainah, Muzainah, dan suku-suku Arab lainnya. Keluarga penduduk Madinah ada di Madinah, begitu pula keluarga kerabat dan tetangga mereka. Mungkin juga keluarga yang tinggal di pinggiran Madinah dan keluarga tetangga serta kerabat mereka ada di sana. Mereka membawa zakat ke Madinah sebagai tempat berkumpulnya para mustahiq, sebagaimana sumber air dan desa menjadi tempat berkumpulnya mustahiq dari kalangan Arab. Bisa jadi mereka sudah cukup, lalu zakat itu dipindahkan kepada kerabat terdekat mereka yang tinggal di Madinah.
Jika ada yang berkata: “Umar pernah mengirim banyak unta ke Syam dan Irak,” maka jawabannya: “Itu bukan dari zakat, wallahu a’lam, melainkan dari jizyah.” Karena yang dibebankan hanyalah unta yang mampu mengangkut, sedangkan kebanyakan unta zakat tidak bisa mengangkut orang.
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam bahwa Umar pernah diberi banyak unta dari jizyah. Juga dikabarkan kepada kami oleh sebagian sahabat kami dari Muhammad bin Abdullah bin Malik Ad-Dar dari Yahya bin Abdullah bin Malik dari ayahnya bahwa ia bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang unta yang digunakan Umar untuk mengangkut pasukan perang, kemudian Utsman setelahnya?” Dia menjawab: “Ayahku mengabarkan kepadaku bahwa itu adalah unta jizyah yang dikirim oleh Mu’awiyah dan Amr bin Ash.” Aku bertanya: “Dari siapa unta-unta itu diambil?”
Dia berkata: “Dari penduduk jizyah penduduk Madinah diambil dari Bani Taghlib secara langsung, lalu dijual dan dibelikan unta-unta yang bagus, kemudian dikirim kepada Umar untuk dijadikan tunggangan.” Seorang yang terpercaya dari sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Yahya, dari Sa’id bin Abi Hind, dia berkata: “Abdul Malik mengutus sebagian kelompok dengan membawa pemberian untuk penduduk Madinah dan menulis kepada gubernur Yamamah agar mengirimkan dari Yamamah ke Madinah sejuta dirham untuk melengkapi pemberian mereka. Ketika uang itu tiba di Madinah, mereka menolak menerimanya dan berkata: ‘Apakah kami diberi kotoran manusia dan sesuatu yang tidak pantas kami terima? Kami tidak akan menerimanya selamanya.’ Hal itu sampai kepada Abdul Malik, lalu dia mengembalikannya dan berkata: ‘Selama masih ada sisa orang-orang seperti ini, mereka akan terus berbuat demikian.’ Aku bertanya kepada Sa’id bin Abi Hind: ‘Siapa yang berbicara saat itu?’ Dia menjawab: ‘Yang utama adalah Sa’id bin Al-Musayyib, Abu Bakr bin Abdurrahman, Kharijah bin Zaid, dan Ubaidullah bin Abdullah, bersama banyak orang lainnya.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Perkataan mereka ‘tidak pantas untuk kami’ maksudnya adalah tidak halal bagi kami menerima sedekah sedangkan kami adalah ahli fai’. Ahli fai’ tidak berhak atas sedekah, dan tidak boleh dipindahkan dari satu kaum ke kaum lain.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika hewan ternak diambil sebagai sedekah, dicap, dan dimasukkan ke kandang, unta dan sapi dicap di pahanya, sedangkan kambing dicap di pangkal telinganya. Cap sedekah bertuliskan ‘Lillah Azza wa Jalla’. Unta yang diambil sebagai jizyah dicap dengan cap yang berbeda dari cap sedekah. Jika ada yang bertanya: ‘Apa buktinya bahwa cap sedekah berbeda dengan cap jizyah?’ Dijawab: ‘Karena sedekah adalah harta yang diserahkan pemiliknya kepada Allah dan dicatat untuk Allah Azza wa Jalla, sebagai tanda bahwa pemiliknya mengeluarkannya untuk Allah. Sedangkan unta jizyah diberikan sebagai tanda ketundukan, tanpa pahala bagi pemiliknya.'”
Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa dia berkata kepada Umar: “Ada seekor unta buta di antara hewan ternak.” Umar bertanya: “Apakah itu dari hewan jizyah atau hewan sedekah?” Dia menjawab: “Dari hewan jizyah,” dan memberitahukan bahwa unta itu memiliki cap jizyah. Ini juga menunjukkan perbedaan antara kedua cap tersebut.
Sebagian orang berpendapat seperti pendapat kami bahwa segala yang diambil dari Muslim maka hukumnya seperti sedekah. Mereka juga berkata bahwa hukum rikaz (harta karun) seperti sedekah, dan meriwayatkan seperti yang kami riwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang rikaz: “Seperlimanya (untuk baitulmal).”
(Asy-Syafi’i berkata): “Tambang termasuk rikaz, dan segala yang ditemukan dari harta terpendam zaman jahiliyah, baik yang wajib dizakati atau tidak, adalah rikaz. Baik ditemukan oleh orang kaya atau miskin, itu adalah rikaz yang wajib dikeluarkan seperlimanya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Kemudian dia kembali pada pendapat yang ketat dan membatalkannya, dengan berpendapat bahwa jika seseorang menemukan rikaz, dia boleh merahasiakannya dari penguasa menurut pertimbangannya dengan Allah Azza wa Jalla. Penguasa boleh mengembalikannya setelah mengambilnya darinya dan membiarkannya memilikinya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Aku heran, ketika dia berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan seperlima untuk rikaz, dan berpendapat bahwa segala yang diambil dari Muslim dibagikan seperti sedekah, dia telah membatalkan hak berdasarkan Sunnah dalam pengambilannya dan hak Allah Azza wa Jalla dalam pembagiannya.”
“Seperlima hanya wajib menurut kami dan menurutnya pada harta untuk orang miskin yang Allah Azza wa Jalla tetapkan untuk mereka. Bagaimana mungkin penguasa boleh meninggalkan hak yang Allah Azza wa Jalla wajibkan pada harta tersebut, padahal hak itu untuk orang yang Allah Azza wa Jalla tetapkan untuknya? Bagaimana pendapatmu jika ada yang berkata: ‘Ini berlaku untuk sepersepuluh hasil pertanian, zakat emas, zakat perdagangan, atau lainnya yang diambil dari Muslim? Apa dalilnya?'”
Atasnya? Bukankah dikatakan bahwa apa yang ada padamu dalam hartamu hanyalah sesuatu yang wajib bagi orang lain, sehingga tidak halal bagi penguasa untuk membiarkannya bagimu, dan tidak halal bagimu untuk menahannya jika penguasa membiarkannya bagimu dari orang yang Allah Tabaraka wa Ta’ala tetapkan untuknya?
(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui siapa yang mengatakan ini tentang rikaz (harta temuan). Jika ini dibolehkan dalam rikaz, maka akan dibolehkan pula bagi setiap orang yang memiliki kewajiban hak dalam hartanya untuk menahannya, dan bagi penguasa untuk membiarkannya baginya, sehingga hak orang-orang yang Allah Azza wa Jalla tetapkan bagi mereka dari delapan golongan penerima zakat menjadi batal.
Dia berkata: Kami meriwayatkan dari Asy-Sya’bi bahwa seorang laki-laki menemukan empat ribu atau lima ribu (dirham). Maka Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Aku akan memutuskan perkara ini dengan keputusan yang jelas. Empat perlima untukmu, dan seperlima untuk kaum Muslimin.” Kemudian dia berkata: “Dan seperlima itu dikembalikan kepadamu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits ini sebagiannya membatalkan sebagian yang lain, karena dia menyangka bahwa Ali mengatakan “seperlima untuk kaum Muslimin,” lalu bagaimana mungkin seorang penguasa melihat ada hak kaum Muslimin dalam harta seseorang, kemudian mengembalikannya kepadanya atau membiarkannya untuknya? Padahal kewajiban penguasa adalah jika seseorang menahan hak kaum Muslimin dalam hartanya, ia harus berjuang untuk mengambilnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Riwayat dari Ali ini diingkari. Dan telah diriwayatkan dari Ali dengan sanad yang bersambung bahwa dia berkata: “Empat perlima untukmu, dan bagikanlah seperlima kepada fakir dari keluargamu.” Hadits ini lebih mirip dengan Ali. Mungkin Ali mengetahui bahwa dia orang yang amanah dan mengetahui ada fakir di keluarganya dari golongan yang berhak menerima, sehingga memerintahkannya untuk membagikannya kepada mereka.
(Asy-Syafi’i berkata): Mereka menyelisihi apa yang diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dari dua sisi:
Pertama: Mereka berpendapat bahwa siapa yang memiliki dua ratus dirham, maka penguasa tidak boleh memberinya, dan dia tidak boleh mengambil sesuatu dari bagian yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan, juga tidak dari sedekah sunnah. Padahal mereka menyangka bahwa Ali membiarkan seperlima rikaz untuknya. Padahal ini adalah seorang laki-laki yang memiliki empat ribu dirham, dan mungkin dia memiliki harta selain itu.
Mereka juga berpendapat bahwa jika penguasa mengambil kewajiban dari hartanya, maka penguasa tidak boleh mengembalikan apa yang telah diambilnya, baik kepadanya maupun kepada orang lain. Mereka juga berpendapat bahwa jika dia yang menguasainya tanpa penguasa, dia tidak boleh menahannya atau memberikannya kepada orang yang dia nafkahi.
(Asy-Syafi’i berkata): Sedangkan yang diriwayatkan dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – adalah mengembalikannya setelah mengambilnya, atau membiarkannya untuknya sebelum mengambilnya. Ini adalah pembatalan dari segala sisi dan bertentangan dengan apa yang mereka katakan.
Jika dia boleh menyembunyikannya dan penguasa boleh mengembalikannya kepadanya, maka itu berarti tidak wajib baginya, dan membiarkannya sama saja dengan tidak mengambilnya. Dengan pendapat ini, mereka telah membatalkan sunnah tentang kewajiban seperlima dalam rikaz, dan membatalkan hak orang-orang yang Allah Azza wa Jalla tetapkan bagi mereka dari delapan golongan penerima zakat.
Jika ada yang berkata: “Ini hanya berlaku untuk rikaz,” maka dikatakan: Jika ada yang berkata: “Jika ini berlaku untuk rikaz yang termasuk sedekah, maka berlaku untuk semuanya.” Jika kamu boleh mengkhususkan sebagian tanpa sebagian lain, maka aku katakan: Ini berlaku untuk usyur (zakat pertanian) dan sedekah hewan ternak. Orang lain selainmu berkata: Ini berlaku untuk sedekah harta (uang), tetapi tidak berlaku untuk ini.
Jika dia berkata: “Ini hanya seperlima, dan hak di dalamnya seperti hak dalam tanaman (sepersepuluh), dalam harta (seperempat puluh), dan dalam hewan ternak yang berbeda-beda, dan semua ini bertentangan.” Padahal setiap harta diambil sesuai kadar yang ditetapkan dan dibagikan sesuai tempat pembagian sedekah.
(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian sebagian orang menyelisihi kami dalam hal pemberian sedekah. Mereka berkata: “Tidak boleh seorang pun yang memiliki harta wajib zakat mengambilnya, dan tidak boleh seorang pun yang memiliki dua ratus dirham atau sesuatu yang wajib dizakati diberi sedekah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki tidak memiliki dua ratus dirham atau sesuatu yang wajib dizakati, maka tidak halal baginya mengambil sedekah kecuali jika dia membutuhkan karena lemah pekerjaan atau banyak tanggungan. Sebaliknya, ada orang yang memiliki lebih dari itu tetapi membutuhkan karena lemah pekerjaan atau banyak tanggungan.
Kebutuhan itu ditentukan berdasarkan keadaan orang yang meminta zakat dan hartanya, bukan hanya berdasarkan jumlah harta. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang memiliki seratus tanggungan dan dua ratus dirham tidak diberi, padahal dia jelas sangat membutuhkan? Sedangkan orang lain yang tidak memiliki dua ratus dirham dan tidak memiliki tanggungan, meskipun tidak kaya, diberi.
Padahal orang tahu bahwa orang yang diperintahkan untuk diberi lebih dekat kepada kekayaan, sedangkan yang dilarang diberi lebih jauh dari kekayaan. Jika orang yang terlilit utang diberi untuk membebaskan utangnya, mengapa orang fakir tidak diberi untuk mengeluarkannya dari kefakiran? Yakni dengan mengatakan…
Jika seratus dirham atau kurang mengeluarkannya dari kemiskinan menjadi kekayaan, dan tidak lebih dari itu, maka mengapa jika dua ratus dirham tidak mengeluarkannya dari kemiskinan menjadi kekayaan, dia tidak diberikannya? Dan pada hari dia memberikannya, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Zakat hanya wajib atasnya jika telah berlalu satu tahun sejak dia memilikinya.
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bulan itu ada dua puluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal, dan janganlah berbuka sampai melihatnya. Jika terhalang oleh awan, sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” (Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): “Inilah pendapat kami. Jika masyarakat umum tidak melihat hilal Ramadhan, tetapi seorang yang adil melihatnya, aku berpendapat untuk menerima kesaksiannya berdasarkan hadits dan kehati-hatian.”
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Ad-Darawardi dari Muhammad bin Abdullah bin Amr bin Utsman dari ibunya, Fatimah binti Al-Husain, bahwa seorang lelaki bersaksi di hadapan Ali radhiyallahu ‘anhu tentang melihat hilal Ramadhan, lalu Ali berpuasa dan—aku kira dia berkata—memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Ali berkata: “Berpuasa sehari di bulan Sya’ban lebih aku sukai daripada berbuka sehari di bulan Ramadhan.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Selanjutnya, tidak boleh menerima kesaksian hilal Ramadhan kecuali dengan dua saksi.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian sahabat kami berkata: ‘Aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi.’ Ini adalah qiyas terhadap setiap hal yang memerlukan bukti. Sebagian yang lain berkata: ‘Boleh dengan sekelompok orang.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Aku tidak menerima kesaksian hilal Syawal kecuali dengan dua saksi yang adil atau lebih. Jika orang-orang berpuasa berdasarkan kesaksian satu atau dua orang, mereka harus menyempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari kecuali jika melihat hilal atau ada bukti yang sahih tentang penglihatannya, maka mereka boleh berbuka. Jika kedua bulan tertutup awan dan mereka berpuasa selama tiga puluh hari, lalu datang bukti bahwa Sya’ban telah terlihat sehari sebelum puasa mereka, maka mereka harus mengqadha satu hari karena telah meninggalkan satu hari Ramadhan.”
“Jika tertutup awan dan datang bukti bahwa mereka berpuasa pada hari Idul Fitri, mereka harus berbuka kapan pun bukti itu datang. Jika bukti datang sebelum zawal (tengah hari), mereka harus shalat Id. Jika setelah zawal, mereka tidak shalat Id. Ini adalah pendapat yang aku hafal dari sahabat-sahabat kami.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian orang menyelisihi pendapat ini. Mereka berkata: ‘Sebelum zawal, pendapat kami seperti yang telah disebutkan. Setelah zawal, imam mengajak mereka keluar keesokan harinya dan tidak shalat bersama mereka pada hari itu.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Dikatakan kepada sebagian yang berargumen dengan pendapat ini: ‘Jika shalat Id menurut kami dan menurutmu adalah sunnah yang tidak diqadha jika terlewat, dan waktunya telah berlalu, mengapa engkau memerintahkannya untuk dilakukan di luar waktunya? Padahal jika waktunya telah lewat, engkau tidak diperintahkan untuk melakukannya di waktu lain—seperti Muzdalifah: jika malamnya telah lewat, engkau tidak diperintahkan untuk bermalam di sana, atau melempar jumrah jika hari-harinya telah lewat, engkau tidak diperintahkan untuk melemparnya, tetapi engkau diperintahkan membayar fidyah untuk hal-hal yang ada fidyahnya. Begitu pula berlari-lari kecil (ramal) dalam thawaf: jika tiga putaran pertama telah lewat, tidak sepatutnya engkau melakukannya di empat putaran sisanya karena waktunya telah lewat dan tidak ada penggantinya dengan kafarah. Jika engkau memerintahkan shalat Id di luar waktunya, mengapa tidak memerintahkannya setelah Zhuhur di hari yang sama, sementara shalat itu boleh dilakukan pada hari itu? Tetapi engkau memerintahkannya untuk dilakukan keesokan harinya, padahal hari Id lebih dekat dengan waktu berbuka daripada keesokan harinya?'”
Dia menjawab: “Keesokan harinya, shalat dilakukan pada waktu yang sama.”
Dikatakan kepadanya: “Bukankah engkau berkata bahwa setiap shalat wajib yang terlewat harus diqadha ketika ingat? Lalu bagaimana…”
Apakah kamu membandingkan antara ini dan itu? Jika alasanmu adalah waktu, apa pendapatmu jika dia meninggalkannya besok, apakah dia akan shalat pada hari berikutnya pada waktu itu? Dia menjawab: Tidak. Dikatakan: Maka kamu telah meninggalkan alasanmu untuk shalat pada waktu seperti itu, apa argumenmu dalam hal ini? Dia berkata: Kami meriwayatkan sesuatu dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kami berkata: Kami telah mendengarnya, tetapi itu tidak termasuk yang dianggap sahih menurut kami, dan Allah lebih tahu. Kamu melemahkan apa yang lebih kuat darinya. Jika kamu menganggapnya sahih, bagaimana dia mengqadhanya besok sementara kamu tidak melarangnya untuk mengqadha setelahnya? Seharusnya kamu mengatakan dia mengqadha setelah beberapa hari, meskipun hari-hari itu panjang.
(Imam Syafi’i berkata): Aku ingin menyebutkan sesuatu tentang hal ini, meskipun tidak sahih dan boleh dilakukan sebagai sunnah, untuk dilakukan besok atau lusa jika tidak dilakukan besok; karena itu adalah sunnah. Dan seseorang melakukan apa yang tidak wajib lebih aku sukai daripada meninggalkan yang wajib. Meskipun hadits itu tidak sahih, jika boleh dilakukan sebagai sunnah, maka ini adalah kebaikan yang Allah kehendaki untuknya. Aku berharap Allah memberinya pahala atas niat dalam amalnya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh shalat ketika matahari tergelincir pada hari raya.
(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami bahwa dia mendengar hilal terlihat pada masa Utsman bin Affan di waktu sore, tetapi Utsman tidak berbuka sampai matahari terbenam.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian juga pendapat kami, jika hilal tidak terlihat dan tidak ada saksi yang melihatnya di malam hari, orang-orang tidak berbuka karena melihat hilal di siang hari, baik sebelum atau setelah matahari tergelincir. Dan itu, wallahu a’lam, adalah hilal malam yang akan datang. Sebagian orang berpendapat: Jika hilal terlihat setelah matahari tergelincir, itu pendapat kami. Jika terlihat sebelum matahari tergelincir, mereka berbuka. Mereka berkata: Kami hanya mengikuti atsar yang kami riwayatkan, bukan qiyas. Kami berkata: Atsar lebih berhak diikuti daripada qiyas. Jika itu sahih, maka lebih utama untuk diambil.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang melihat hilal Ramadhan sendirian, dia harus berpuasa dan tidak ada pilihan lain. Jika dia melihat hilal Syawal, dia berbuka kecuali jika ada keraguan atau khawatir dituduh meremehkan puasa.
[Pasal Masuknya Puasa dan Perbedaan Pendapat Tentangnya]
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah – Sebagian sahabat kami berkata: Puasa Ramadhan tidak sah kecuali dengan niat, sebagaimana shalat tidak sah kecuali dengan niat. Mereka berargumen dengan perkataan Ibnu Umar: Tidak ada puasa kecuali bagi yang berniat puasa sebelum fajar.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian juga Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
(Imam Syafi’i berkata): Ini, wallahu a’lam, khusus untuk Ramadhan dan untuk nazar atau puasa wajib yang dijanjikan seseorang. Adapun puasa sunnah, tidak mengapa berniat sebelum matahari tergelincir selama belum makan atau minum. Sebagian orang menyelisihi pendapat ini dan berkata: Makna perkataan Ibnu Umar ini berlaku untuk puasa sunnah, sehingga tidak boleh untuk puasa sunnah tetapi boleh untuk Ramadhan. Mereka menyelisihi atsar dalam hal ini.
(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepada orang yang berpendapat demikian: Mengapa kamu berpendapat bahwa puasa Ramadhan sah tanpa niat, sedangkan puasa nazar atau kafarat tidak sah kecuali dengan niat? Demikian juga menurutmu, shalat wajib, nazar shalat, atau tayamum tidak sah kecuali dengan niat? Dia menjawab: Karena puasa nazar dan kafarat tidak terikat waktu, kapan saja dilakukan, itu sah. Sedangkan shalat dan niat tayamum terikat waktu.
Dikatakan kepadanya: “Apa pendapatmu tentang orang yang berkata: ‘Aku bernazar kepada Allah untuk berpuasa satu bulan dalam tahun ini,’ lalu ia menundanya hingga bulan terakhir tahun itu dan berpuasa tanpa niat nazar?” Dia menjawab, “Tidak sah.” Dikatakan lagi, “Ia telah menentukan tahun tersebut dan tidak tersisa kecuali bulan ini, sehingga jika ia tidak berpuasa, ia akan keluar dari waktu yang ditetapkan.” Kemudian ditanyakan, “Apa pendapatmu jika seseorang meninggalkan salat Zuhur hingga tidak tersisa waktu kecuali cukup untuk menyelesaikannya, lalu ia salat empat rakaat sebagai kewajiban salat tanpa meniatkan Zuhur?” Dia menjawab, “Tidak sah, karena ia tidak berniat Zuhur.”
Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak melihat perbedaan antara Ramadan dan kasus ini. Ia beralasan dengan waktu, dan kami menemukan waktu dalam salat wajib terbatas dan terukur—jika ia meninggalkan amal di dalamnya, ia akan terlewat. Kami juga menemukannya dalam nazar, lalu dalam dua waktu terbatas, keduanya merupakan amal seperti amal salat wajib dan amal nazar. Tidak ada kelebihan waktu untuk salat wajib atau nazar, karena tidak tersisa tempat kecuali waktu ini untuk mengerjakannya—ia mengerjakannya di akhir waktu. Ia berpendapat bahwa keduanya tidak sah jika tidak diniatkan sebagai salat wajib atau nazar. Jika alasan utamanya adalah waktu yang terbatas, seharusnya ia berpendapat di sini bahwa salat wajib dan nazar sah jika waktunya terbatas, sebagaimana Ramadan sah jika waktunya terbatas.”
[Bab Puasa Ramadan]
(Asy-Syafi’i berkata) – rahimahullah – “Barangsiapa berpendapat bahwa puasa Ramadan tidak sah kecuali dengan niat, maka jika seseorang keliru tentang bulan (karena tertawan) lalu berpuasa Ramadan dengan niat puasa sunnah, puasanya tidak sah dan ia wajib menggantinya. Sedangkan yang berpendapat sah tanpa niat, puasanya telah cukup, meskipun menurutku pendapat ini keliru—wallahu a’lam.”
Ia berpendapat bahwa jika seseorang bangun pagi mengira itu hari di bulan Syakban, lalu tidak makan, minum, atau berniat berbuka, kemudian tahu bahwa itu Ramadan sebelum tengah hari dan menahan diri dari makan, puasanya sah untuk Ramadan. Ini mirip dengan pendapat pertamanya. Lalu ia berkata, “Jika ia mengetahuinya setelah tengah hari, lalu menahan diri dan berniat puasa, puasanya tidak sah dan ia wajib mengganti harinya.” Ini bertentangan dengan pendapat pertamanya.
(Asy-Syafi’i berkata), “Ia mengatakan hal itu berdasarkan ra’yu (pendapat pribadi), demikian pula sahabat-sahabat kami—wallahu a’lam. Namun, mereka memiliki qiyas (analogi), sehingga pendapat mereka kuat bagi yang menyelisihinya. Menurutku, ini lebih baik dan lebih layak dipegang jika didasarkan pada qiyas.”
[Bab Hal yang Membatalkan Puasa, Sahur, dan Perbedaan Pendapat di Dalamnya]
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata), “Waktu yang diharamkan makan bagi orang yang berpuasa adalah ketika fajar kedua terlihat jelas di ufuk.”
(Asy-Syafi’i berkata), “Demikian pula yang sampai kepada kami dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – hingga terbenamnya matahari. Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, ‘Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.’ (QS. Al-Baqarah: 187).”
(Asy-Syafi’i berkata), “Jika seseorang makan atau minum di antara dua waktu ini dengan sengaja, sambil ingat bahwa ia sedang berpuasa, ia wajib mengqadha.”
(Asy-Syafi’i berkata), “Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam, dari saudaranya Khalid bin Aslam, bahwa Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – pernah berbuka di Ramadan pada hari yang berawan karena mengira matahari telah terbenam. Lalu seorang lelaki datang dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, matahari masih terbit!’ Umar menjawab, ‘Masalahnya ringan.’”
(Asy-Syafi’i berkata), “Sepertinya ia bermaksud—wallahu a’lam—untuk mengqadha hari tersebut.”
(Asy-Syafi’i berkata), “Disukai untuk memperlambat sahur selama tidak terlalu dekat dengan waktu yang dikhawatirkan telah terbit fajar. Aku lebih suka menghentikannya di waktu itu. Jika fajar terbit sementara ada makanan di mulutnya yang telah dikunyah, ia harus memuntahkannya, karena memasukkannya ke mulut tidak berpengaruh—yang membatalkan puasa adalah masuknya ke perut. Jika ia menelannya setelah fajar, ia wajib mengqadha satu hari. Adapun yang tidak wajib qadha dalam hal ini…”
Sesuatu yang tersisa di antara gigi-giginya, di mana air liur masuk ke dalamnya, tidaklah membatalkan puasa. Menurutku, hal itu ringan sehingga tidak wajib qadha. Adapun selain itu, seperti sesuatu yang bisa diludahkan, maka itu membatalkan puasa menurutku. Wallahu a’lam. (Kemudian beliau berkata) Kami memfatwakannya batal jika ada sesuatu di antara gigi yang bisa dikeluarkan.
(Ar-Rabi’ berkata): Kecuali jika dia tidak mampu mengeluarkannya dan dipaksa, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Ini sesuai dengan makna perkataan Asy-Syafi’i.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menganjurkan untuk menyegerakan berbuka dan tidak mengakhirkannya. Aku hanya tidak suka mengakhirkannya jika sengaja, seolah-olah menganggap ada keutamaan dalam menundanya. (Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Hazim bin Dinar dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Manusia akan selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan tidak mengakhirkannya.” (Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Umar dan Utsman biasa shalat Maghrib ketika melihat malam telah gelap, kemudian berbuka setelah shalat, dan itu terjadi di bulan Ramadhan.
(Asy-Syafi’i berkata): Sepertinya mereka berdua menganggap mengakhirkan berbuka itu diperbolehkan, bukan karena sengaja mencari keutamaan dengan menundanya setelah dihalalkan bagi mereka, dan mereka telah berbuka tanpa makan atau minum. Karena puasa tidak sah di malam hari, dan seseorang tidak dianggap berpuasa meskipun berniat.
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berkata: “Tidak mengapa berbekam bagi orang yang berpuasa, dan itu tidak membatalkan puasanya.” (Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia pernah berbekam saat puasa, kemudian meninggalkannya. (Asy-Syafi’i berkata): Dan Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya bahwa dia tidak pernah melihat ayahnya berbekam saat puasa.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah fatwa banyak ulama yang aku temui. Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Orang yang membekam dan dibekam batal puasanya,” dan juga diriwayatkan bahwa beliau berbekam saat puasa. (Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui mana yang sahih dari kedua riwayat itu. Jika salah satunya sahih dari Nabi ﷺ, aku akan mengikutinya karena itu hujjah dalam perkataannya. Namun, jika seseorang meninggalkan bekam saat puasa sebagai kehati-hatian, itu lebih aku sukai. Tapi jika dia berbekam, aku tidak menganggapnya batal.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa yang muntah dengan sengaja saat puasa, wajib baginya qadha. Tetapi jika muntah tanpa sengaja, tidak ada qadha atasnya. Ini berdasarkan kabar dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa yang makan atau minum karena lupa, hendaknya menyempurnakan puasanya dan tidak wajib qadha. Demikian juga yang sampai kepada kami dari Abu Hurairah. Namun, ada yang mengatakan bahwa riwayat Abu Hurairah itu marfu’ dari seorang perawi yang tidak kuat hafalannya. (Asy-Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berpendapat wajib qadha, tetapi kami tidak mengambil pendapat itu. Sebagian lain sepakat dengan kami bahwa tidak wajib qadha. Hujjah atas mereka adalah pembicaraan tentang lupa dalam shalat dan perbedaan antara sengaja dan lupa dalam puasa. Bahkan, pembicaraan tentang lupa dalam shalat lebih kuat dan utama karena berasal dari Nabi ﷺ. Lalu bagaimana bisa dibedakan antara sengaja dan lupa dalam puasa? Perbedaan itu ada karena Abu Hurairah tidak mewajibkan qadha bagi yang makan karena lupa. Pendapat Abu Hurairah adalah hujjah untuk membedakan sengaja dan lupa, dan itu hujjah bagi kami. Kemudian dia meninggalkan riwayat Abu Hurairah, Ibnu Umar, Imran bin Hushain, Thalhah bin Ubaidillah, dan lainnya dari Rasulullah ﷺ tentang hadits Dzul Yadain, yang menunjukkan perbedaan antara sengaja dan lupa dalam shalat. Ini adalah riwayat yang sahih dari Rasulullah ﷺ, dan apa yang datang dari beliau lebih wajib daripada yang datang dari selainnya. Meninggalkan yang lebih wajib dan sahih lalu mengambil yang lebih lemah, serta mencela orang lain yang menyamakan sengaja dan lupa dalam puasa, kemudian dia sendiri menyamakannya dalam shalat tetapi tidak konsisten.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa yang mimpi basah di bulan Ramadhan, dia mandi dan tidak wajib qadha. Begitu juga jika seseorang berhubungan dengan istrinya, lalu fajar terbit sebelum mandi, dia mandi lalu menyempurnakan puasanya. (Asy-Syafi’i berkata): Jika fajar terbit saat dia masih berhubungan, lalu segera menghentikannya, dia menyempurnakan puasanya karena tidak bisa menghentikan hubungan kecuali dengan cara itu. Jika dia menetap lebih lama, maka … (teks terpotong).
Gerakan tanpa mengeluarkan (sesuatu) dan telah jelas baginya fajar, maka ia kafir. (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abdurrahman bin Ma’mar dari Abu Yunus, budak Aisyah, dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Aisyah mendengarnya: “Aku bangun dalam keadaan junub dan aku ingin berpuasa.” Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Aku juga bangun dalam keadaan junub dan aku ingin berpuasa, lalu aku mandi kemudian berpuasa pada hari itu.” Laki-laki itu berkata: “Engkau tidak seperti kami, Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- marah dan bersabda: “Demi Allah, sungguh aku berharap menjadi orang yang paling takwa kepada Allah di antara kalian dan paling tahu tentang apa yang harus aku hindari.”
(Berkata Asy-Syafi’i): Hadis ini juga datang dari jalur lain, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama di daerah kami dan di kebanyakan negeri. Jika ada yang berpendapat bahwa junub karena hubungan intim di bulan Ramadhan, maka hubungan intim itu terjadi ketika masih dibolehkan, dan junub tetap ada dengan makna sebelumnya. Mandi tidak ada kaitannya dengan puasa, meskipun ia wajib karena hubungan intim, ia bukanlah hubungan intim itu sendiri. (Berkata Asy-Syafi’i): Ini adalah hujjah bagi kami terhadap orang yang berpendapat bahwa suami yang menceraikan istrinya tetap berhak rujuk sampai ia mandi setelah haid ketiga. Padahal Allah Ta’ala berfirman: “Tiga kali suci” (QS. Al-Baqarah: 228). Menurutnya, “quru'” adalah haid, lalu mengapa harus mandi? Jika mandi wajib karena haid, ia bukanlah haid itu sendiri. Seandainya hukumnya ketika wajib mengikuti hukum haid, maka mandi yang wajib karena hubungan intim juga harus mengikuti hukum hubungan intim, sehingga batal puasanya dan kafir orang yang bangun dalam keadaan junub.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika ada yang berkata: “Telah diriwayatkan sesuatu tentang hal ini,” maka riwayat ini lebih kuat. Bisa jadi riwayat yang lain itu dipahami bahwa orang yang bangun junub batal puasanya dengan makna jika hubungan intim terjadi setelah fajar atau melakukan sesuatu setelah fajar seperti yang kami jelaskan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Siapa yang mencium (istrinya) dan syahwatnya bergerak, maka hal itu makruh baginya. Jika ia melakukannya, puasanya tidak batal. Siapa yang syahwatnya tidak bergerak, maka tidak mengapa baginya mencium. Namun, mengendalikan diri dalam kedua kondisi itu lebih utama, karena menahan syahwat itu diharapkan pahala dari Allah Ta’ala. (Berkata Asy-Syafi’i): Kami mengatakan puasanya tidak batal karena jika ciuman itu membatalkan puasa, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan melakukannya, dan Ibnu Abbas serta lainnya tidak akan memberi keringanan dalam hal itu, sebagaimana mereka tidak memberi keringanan dalam hal yang membatalkan puasa. Mereka tidak melihat apakah orang yang berpuasa melakukannya dengan syahwat atau tidak. (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata: “Sungguh, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya saat berpuasa,” lalu Aisyah tertawa. (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami bahwa Aisyah, jika menyebutkan hal itu, berkata: “Siapa di antara kalian yang lebih mampu mengendalikan syahwatnya daripada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-?”
(Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa ia berkata: “Aku tidak melihat ciuman mengajak kepada kebaikan.” (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang mencium bagi orang yang berpuasa, lalu ia memberi keringanan untuk orang tua dan memakruhkannya untuk orang muda.
(Berkata Asy-Syafi’i): Menurutku -wallahu a’lam- ini sesuai dengan apa yang aku jelaskan, bukan perbedaan pendapat di antara mereka, tetapi sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak timbul keinginan untuk berhubungan intim, sesuai dengan kondisi orang yang bertanya atau yang dinilai darinya.
[Pasal tentang Hubungan Intim di Bulan Ramadhan dan Perbedaan Pendapat tentangnya]
(Berkata Asy-Syafi’i) -rahimahullah Ta’ala-: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki berbuka (dengan sengaja) di bulan Ramadhan, maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkannya untuk memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata: “Aku tidak mampu.” Lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- diberi setandan kurma, beliau bersabda: “Ambil ini dan sedekahkan.” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang lebih membutuhkan daripada aku.” Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tertawa sampai terlihat gigi taringnya, lalu bersabda: “Makanlah.” (Berkata Asy-Syafi’i): Malik mengabarkan kepada kami dari Atha’ Al-Khurasani dari Sa’id bin Al-Musayyab, ia berkata: “Seorang badui datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sambil mencabut-cabut rambutnya dan memukul dadanya, lalu berkata: ‘Celakalah orang yang jauh ini.'”
Nabi ﷺ bersabda: “Apa itu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan saat aku sedang berpuasa.” Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah kamu mampu memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu mampu menyembelih unta?” Ia menjawab: “Tidak.” Nabi bersabda: “Duduklah.” Kemudian Rasulullah ﷺ datang membawa sekeranjang kurma dan bersabda: “Ambillah ini dan sedekahkanlah.” Laki-laki itu berkata: “Aku tidak menemukan orang yang lebih membutuhkan daripada diriku.” Nabi bersabda: “Makanlah dan berpuasalah sehari sebagai ganti dari apa yang telah kamu lakukan.”
‘Atha’ berkata: Aku bertanya kepada Sa’id: “Berapa banyak kurma dalam keranjang itu?” Ia menjawab: “Antara lima belas hingga dua puluh sha’.” (Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadis lain disebutkan: “Berikanlah kepada keluargamu.” (Asy-Syafi’i berkata): Kami berpendapat berdasarkan semua ini: Jika seseorang mampu memerdekakan budak, maka itu yang utama. Jika tidak mampu, ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu juga, ia memberi makan enam puluh orang miskin.
(Asy-Syafi’i berkata): Sabda Nabi ﷺ “Makanlah dan berikanlah kepada keluargamu” mengandung beberapa kemungkinan makna:
- Ketika seseorang tidak mampu melakukan salah satu kafarat, Nabi ﷺ memberikan keringanan dengan mengatakan bahwa kurma yang dibawakan itu bisa menjadi tebusan. Ketika laki-laki itu menyatakan kebutuhannya dan belum menerimanya, Nabi bersabda: “Makanlah dan berikanlah kepada keluargamu,” sehingga saat itu ia memiliki hak penuh atasnya.
- Bisa juga ia telah memilikinya, dan karena ia membutuhkan, kafarat hanya wajib jika ia memiliki kelebihan. Karena tidak ada kelebihan, ia boleh memakannya bersama keluarganya.
- Bisa juga kafarat menjadi hutang yang wajib dilunasi ketika ia mampu, meskipun hal ini tidak disebutkan dalam hadis. Pendapat ini lebih kami sukai dan lebih berhati-hati.
- Bisa juga jika ia tidak mampu sama sekali, orang lain boleh menanggung kafaratnya atau memberikannya kepada keluarganya jika mereka membutuhkan, dan itu sudah cukup.
- Bisa juga jika ia benar-benar tidak mampu, kafarat gugur seperti shalat yang gugur bagi orang yang pingsan. Wallahu a’lam.
- Bisa juga kafarat menjadi pengganti puasa, atau puasa tetap dilakukan bersama kafarat. Setiap pendapat memiliki dasar.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika seseorang menunaikan kafarat ketika mampu dan tetap berpuasa bersamanya. Dalam hadis juga dijelaskan bahwa kafarat itu satu mud, bukan dua mud.
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian orang berpendapat dua mud, tetapi ini bertentangan dengan hadis. Wallahu a’lam.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang berhubungan di satu hari, lalu menunaikan kafarat, kemudian berhubungan lagi di hari lain, ia wajib membayar kafarat lagi. Demikian pula jika belum menunaikan kafarat pertama, setiap hari memerlukan kafarat tersendiri karena kewajiban setiap hari terpisah.
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian orang berpendapat: Jika ia telah menunaikan kafarat lalu mengulangi perbuatannya, ia wajib kafarat lagi. Namun, jika belum menunaikan kafarat pertama sampai mengulangi, cukup satu kafarat untuk seluruh Ramadhan karena dianggap satu kesatuan.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami bertanya kepada yang berpendapat demikian: “Tidak ada riwayat yang mendukung pendapatmu. Hadis Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa beliau memerintahkan seorang laki-laki untuk menunaikan kafarat sekali, dan ini menunjukkan bahwa jika ia berhubungan di hari lain, beliau akan memerintahkan kafarat lagi karena setiap hari memiliki kewajiban sendiri. Apa dasarmu?” Ia menjawab: “Tidakkah kamu lihat bahwa jika seseorang berhubungan dalam haji berkali-kali, ia hanya wajib satu kafarat?” Kami menjawab: “Apa hubungan haji dengan puasa? Haji adalah syariat tersendiri, puasa syariat lain. Dalam haji, makan dan minum diperbolehkan, sedangkan dalam puasa diharamkan. Dalam puasa, pakaian, berburu, dan wewangian diperbolehkan, sedangkan dalam haji diharamkan.”
(Asy-Syafi’i berkata): Haji adalah satu kesatuan ihram, dan seseorang tidak keluar darinya kecuali setelah sempurna. Sedangkan setiap hari di bulan Ramadhan adalah kesempurnaan tersendiri.
Dan kekurangannya di dalamnya, tidakkah kamu melihat bahwa dia berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan kemudian berbuka padahal hari itu telah sempurna dan dia telah keluar dari puasanya, kemudian masuk ke hari berikutnya? Jika dia merusaknya, maka puasa sebelumnya tidaklah rusak. Sedangkan haji, menurut mereka, jika dirusak sebelum tergelincir matahari pada hari Arafah, maka seluruhnya rusak meskipun banyak amalannya telah dilakukan. Namun, pendapat ini salah dari beberapa sisi. Orang yang mengkiaskannya dengan haji mengira bahwa hukum orang yang bersetubuh dalam haji berbeda-beda, yaitu dikenakan kambing jika sebelum Arafah dan hajinya batal, tetapi jika setelah tergelincir matahari dikenakan unta dan hajinya tidak batal.
Sedangkan dalam puasa, menurutnya, tidak ada perbedaan antara awal dan akhir hari; cukup membayar kafarat (memerdekakan budak) dalam kedua keadaan, dan puasanya batal. Jadi, dia membedakan antara haji dan puasa dalam setiap aspeknya, juga dalam jenis kafaratnya. Dia berpendapat bahwa jika seseorang bersetubuh pada suatu hari, lalu membayar kafarat, kemudian bersetubuh lagi pada hari lain dan membayar kafarat lagi, maka itu diperbolehkan. Namun, jika dalam haji dia telah membayar kafarat karena bersetubuh lalu bersetubuh lagi, dia tidak perlu mengulang kafarat. Jika ditanya, “Mengapa demikian?” Dia menjawab, “Haji itu satu, sedangkan hari-hari Ramadhan terpisah.” Aku berkata, “Bagaimana kamu mengkiaskan salah satunya dengan yang lain? Orang yang bersetubuh dalam haji membatalkannya, lalu dia tetap harus menyempurnakan amalan haji meskipun sudah batal. Tidak demikian halnya dengan puasa atau shalat.”
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika ada yang berkata, “Aku mengkiaskannya dengan kafarat sumpah,” kami jawab, “Ini lebih jauh dari kafarat sumpah. Orang yang melanggar sumpah tanpa sengaja tetap wajib membayar kafarat, sedangkan jika sengaja, menurutmu tidak wajib. Namun, dalam hal ini, jika bersetubuh dengan sengaja, dia wajib kafarat, tetapi jika tidak sengaja, tidak wajib. Lalu bagaimana kamu mengkiaskannya dengan kafarat sumpah? Padahal kafarat sumpah tidak merusak amalan yang sedang dilakukan, dan tidak ada kewajiban mengulang setelah rusak. Kafarat sumpah hanya membebaskan dari sumpah palsu, sedangkan ini membatalkan puasa dan mengharuskan mengulang puasa yang sama.”
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh atau dengan hewan, maka kafaratnya satu. Jika bersetubuh dengan wanita baligh, kafaratnya sama, tidak bertambah bagi laki-laki. Jika dia membayar kafarat, itu sudah mencukupi untuk dirinya dan istrinya. Demikian pula dalam haji dan umrah. Inilah yang sesuai dengan Sunnah. Tidakkah kamu melihat bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menyuruh wanita membayar kafarat, dan dalam hadits tentang orang yang bersetubuh dalam haji, tidak disebutkan bahwa wanitanya juga wajib kafarat?
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika ada yang bertanya, “Mengapa wanita dikenai hukuman hadd untuk persetubuhan tetapi tidak wajib kafarat?” Dijawab, “Hadd tidak sama dengan kafarat. Tidakkah kamu melihat bahwa hadd berbeda antara orang merdeka dan budak, juga antara yang sudah menikah dan yang perjaka? Sedangkan persetubuhan dengan sengaja di bulan Ramadhan tidak berbeda, meskipun dalam hal lain ada perbedaan. Pendapat kami dan yang kami pegang adalah jika dalil-dalil membedakan antara dua hal, maka kita pun membedakannya sebagaimana dalil membedakan.”
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang bersetubuh saat mengqadha puasa Ramadhan, puasa kafarat, atau puasa nazar, maka puasanya batal dan tidak ada kafarat, tetapi dia harus mengganti hari itu dengan puasa di hari lain.
(Berkata Asy-Syafi’i): Sebagian orang berpendapat seperti ini, tetapi menurut kami lebih utama untuk membayar kafarat karena pengganti Ramadhan memiliki kedudukan yang sama. Jika kafarat hanya dikhususkan untuk Ramadhan karena dalilnya khusus tentang persetubuhan di dalamnya, lalu bagaimana dia mengkiaskannya dengan makan dan minum padahal tidak ada dalil kafarat untuk itu?
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang bersetubuh karena lupa bahwa dia sedang puasa, maka tidak wajib kafarat.
Jika dia bersetubuh karena syubhat, misalnya dia makan karena lupa lalu mengira sudah berbuka, lalu bersetubuh dalam keadaan syubhat itu, maka tidak ada kafarat baginya.
(Berkata Asy-Syafi’i): Ini juga menjadi hujah terhadap pendapat mereka tentang lupa dalam shalat. Mereka berpendapat bahwa orang yang bersetubuh karena syubhat tidak wajib kafarat, maka orang yang berbicara karena mengira bahwa berbicara dalam shalat diperbolehkan lebih layak untuk tidak membatalkan shalatnya.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang melihat (istrinya) lalu keluar mani tanpa menyentuh atau merasakan kenikmatan, maka puasanya tetap sah. Kafarat dalam Ramadhan hanya wajib jika terjadi pertemuan dua khitan (persetubuhan), yang juga menjadi batasan wajibnya hadd.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Selain itu, tidak wajib membayar kafarah. Kafarah juga tidak wajib karena berbuka selain dengan jimak, baik karena makanan, minuman, atau lainnya. Sebagian orang berpendapat kafarah wajib jika makan atau minum, seperti wajibnya karena jimak. (Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepada yang berpendapat demikian: “Sunnah datang tentang orang yang berjimak, lalu siapa yang memberitahukan kepada kalian tentang makanan dan minuman?” Mereka menjawab: “Kami mengqiyaskannya dengan jimak.” Kami bertanya: “Apakah makan dan minum menyerupai jimak sehingga kalian mengqiyaskannya?” Mereka menjawab: “Ya, dalam satu aspek bahwa keduanya diharamkan dan membatalkan puasa.” Dikatakan kepada mereka: “Apakah setiap yang kalian temukan haram dalam puasa dan membatalkannya, kalian putuskan wajib kafarah?” Mereka menjawab: “Ya.” Kami bertanya: “Apa pendapatmu tentang orang yang memakai wewangian atau obat?” Mereka menjawab: “Tidak wajib kafarah.” Kami bertanya: “Mengapa?” Mereka menjawab: “Itu tidak mengenyangkan badan.” Kami berkata: “Kamu mengqiyaskan ini dengan jimak karena ia haram dan membatalkan, sedangkan ini menurut kami dan kamu juga haram dan membatalkan.” Mereka menjawab: “Ini tidak mengenyangkan badan.” Kami berkata: “Bagaimana kamu tahu ini tidak mengenyangkan badan, sementara kamu berpendapat jika seseorang menelan buah yang sehat, puasanya batal tanpa kafarah, padahal buah itu bisa mengenyangkan badan menurut pandangan kami?” Kami juga berkata: “Kamu telah beralih dari fikih ke kedokteran. Jika kamu berpegang pada qiyas yang mengenyangkan, maka jimak justru melemahkan badan karena mengeluarkan sesuatu yang mengurangi badan, bukan memasukkan sesuatu. Bagaimana kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang menambah badan, sedangkan jimak mengurangi badan? Atau sesuatu yang mengenyangkan, sedangkan jimak membuat lapar? Lalu bagaimana kamu berpendapat bahwa suntikan dan obat hidung membatalkan puasa padahal keduanya tidak mengenyangkan? Jika kamu beralasan karena makanan, sementara menurutmu tidak ada kafarah dalam kedua hal itu, maka seharusnya kamu konsisten bahwa setiap yang kamu putuskan membatalkan puasa, wajib kafarah jika ingin berpegang pada qiyas.” (Imam Syafi’i berkata): Sebagian dari mereka berkata: “Ini memang konsekuensi bagi kami, tetapi mengapa kamu tidak mengqiyaskannya dengan jimak?” Aku menjawab: “Malik bin Anas mengabarkan dari Nafi’ dari Umar bahwa beliau berkata: ‘Orang yang muntah tanpa sengaja tidak wajib qadha, tetapi yang sengaja muntah wajib qadha.'” (Imam Syafi’i berkata): Demikianlah pendapat kami dan kalian. Kami menemukan seorang sahabat Nabi saw. berpendapat bahwa orang yang sengaja berbuka wajib qadha tanpa kafarah. Karena itu, aku berpendapat tidak ada kafarah kecuali dalam jimak. Aku melihat jimak tidak menyerupai hal lain, hukumannya berbeda dengan hukuman lainnya. Aku juga melihat para fuqaha sepakat bahwa orang yang berihram jika menyetubuhi istrinya, hajinya batal dan harus menggantinya. Padahal dalam haji diharamkan berburu, memakai wewangian, dan memakai pakaian berjahit, tetapi melakukan hal-hal itu tidak membatalkan haji, berbeda dengan jimak. Aku juga melihat orang yang berjimak wajib mandi, tidak demikian dengan perbuatan yang lebih kotor. Karena itu, kami membedakan antara jimak dan selainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bercumbu dengan istrinya sampai keluar mani, puasanya batal dan wajib qadha. Adapun cumbuan yang tidak sampai keluar mani, aku memakruhkannya tetapi tidak membatalkan puasa. Wallahu a’lam.
Jika seseorang menyetubuhi istrinya di dubur, berhubungan dengan hewan, atau melakukan liwath (homoseksual), puasanya batal dan wajib kafarah disertai dosa karena melakukan yang haram dan membatalkan puasa. Sebagian orang berpendapat dalam semua ini tidak wajib kafarah dan tidak perlu mengqadha puasa kecuali jika keluar mani, maka wajib qadha tanpa kafarah. (Imam Syafi’i berkata): Sebagian pengikutnya menyelisihinya dalam kasus liwath dan menyetubuhi istri di dubur, mereka berkata puasanya batal karena ini termasuk jimak, meskipun bukan jimak yang diperbolehkan. Mereka sepakat dalam kasus berhubungan dengan hewan, dan setiap jimak (wajib kafarah), hanya saja dalam hal ini ada dua maksiat kepada Allah. Seandainya salah satunya ditambah, maka pelaku perbuatan haram akan mendapat tambahan dosa dari dua sisi.
(Imam Syafi’i berkata): Memakai celak tidak membatalkan puasa. Jika seseorang mengeluarkan dahak, dahak itu berasal dari kepala karena dikeluarkan, sedangkan mata terhubung dengan kepala. Tidak sampai ke kepala dan perut sepengetahuanku, dan aku tidak tahu seorang pun yang memakruhkan celak karena dianggap membatalkan puasa.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan minyak, meskipun seseorang berendam di dalamnya atau di air. Namun, aku memakruhkan mengunyah permen karet karena memicu keluarnya air liur. Jika dikunyah, tidak membatalkan puasa. Demikian juga berkumur dan menghirup air ke hidung, asalkan tidak berlebihan agar tidak masuk ke kepala. Jika masuk ke kepala, tidak membatalkan puasa, kecuali jika yakin telah sampai ke kepala.
Atau bagian dalam mulut saat berkumur, jika dilakukan dengan sengaja dan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal. (Berkata Ar-Rabi’): Dan suatu kali Asy-Syafi’i berkata, tidak ada konsekuensi apa-apa. (Berkata Ar-Rabi’): Dan ini lebih aku sukai, karena dia dalam keadaan terpaksa.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan bersiwak dengan kayu basah atau kering, atau lainnya di pagi hari. Namun, aku memakruhkannya di sore hari karena aku menyukai bau mulut orang yang berpuasa. Jika dilakukan, puasanya tidak batal. Jika seseorang mengobati luka dengan sesuatu yang basah atau kering, lalu masuk ke dalam tubuhnya, puasanya batal jika dia melakukan itu dengan sengaja dan ingat sedang berpuasa. Sebagian orang berpendapat bahwa yang basah membatalkan, sedangkan yang kering tidak.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika obat itu turun ke dalam tubuh seperti halnya makanan atau minuman, maka yang basah dan kering dianggap sama menurut mereka. Jika tidak turun seperti makanan atau minuman, maka seharusnya dikatakan keduanya tidak membatalkan. Adapun berpendapat bahwa satu membatalkan dan yang lain tidak, itu keliru.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika seseorang menjaga puasanya dari perkataan sia-sia dan saling mencaci. Jika dicaci, hendaknya dia berkata, “Aku sedang berpuasa.” Jika dia mencaci, puasanya tidak batal.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang musafir tiba di suatu hari dan sebelumnya telah membatalkan puasa, sementara istrinya sedang haid lalu suci, lalu dia berhubungan dengannya, aku tidak melihat masalah. Demikian juga jika mereka makan atau minum, karena mereka tidak sedang berpuasa. Sebagian orang berpendapat bahwa mereka tidak berpuasa dan tidak ada kafarat, tapi aku memakruhkannya karena orang-orang di kota sedang berpuasa.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka berpuasa, maka tidak boleh melakukan itu. Jika tidak berpuasa, maka ini hanya diharamkan bagi yang berpuasa. (Asy-Syafi’i berkata): Jika dia menghindarinya agar tidak dilihat orang sehingga disangka berbuka tanpa alasan, itu lebih aku sukai.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika bulan-bulan membingungkan seorang tawanan, lalu dia memperkirakan bulan Ramadhan dan ternyata tepat atau bulan setelahnya, lalu dia berpuasa sebulan atau 30 hari, itu cukup. Jika dia berpuasa sebelum Ramadhan, ada yang berpendapat itu tidak cukup kecuali jika tepat atau bulan setelahnya, seperti mengqadha. Ini satu pendapat. Jika ada yang berpendapat bahwa jika tidak tahu pasti dan hanya memperkirakan, maka cukup baik sebelum atau sesudah, itu juga pendapat. Sebab, seseorang bisa memperkirakan arah kiblat. Jika setelah shalat diketahui salah, shalatnya tetap sah. Demikian juga dalam kesalahan di Arafah dan berbuka. Manusia hanya dibebani berdasarkan yang tampak. Jika bulan-bulan membingungkan tawanan, itu seperti sesuatu yang tersembunyi baginya. Wallahu a’lam.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat terakhir Asy-Syafi’i adalah tidak cukup jika berpuasa dalam keadaan ragu sampai tepat atau bulan setelahnya. Pendapat terakhirnya tentang kiblat juga demikian, tidak cukup jika hanya memperkirakan. Jika dia tepat tanpa petunjuk, wajib mengulang. Adapun Arafah, Idul Fitri, dan Idul Adha, itu cukup karena ini berdasarkan kesepakatan umum, sedangkan puasa dan shalat adalah urusan pribadi.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memasuki hari syak (ragu) tanpa niat puasa, lalu tidak makan dan minum sampai tahu itu Ramadhan, lalu menyempurnakan puasanya, aku berpendapat dia harus mengulang. Baik itu diketahui sebelum atau setelah zuhur, jika dia tidak berniat puasa Ramadhan sejak pagi.
(Asy-Syafi’i berkata): Menurutku—Wallahu a’lam—demikian juga jika dia berniat puasa sunnah di pagi hari, itu tidak cukup untuk Ramadhan. Ramadhan hanya sah dengan niat khusus. Wallahu a’lam. Aku tidak melihat perbedaan antara ini dan nadzar shalat serta lainnya yang tidak sah tanpa niat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang mukim berniat puasa sebelum fajar, lalu bepergian setelah fajar, puasanya tidak batal karena dia memulai puasa sebagai mukim. (Ar-Rabi’ berkata): Di kitab lain ada pengecualian kecuali jika hadis tentang Nabi SAW berbuka di Al-Kudaid shahih, bahwa beliau berniat puasa hari itu sebagai mukim.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia berniat di malam hari, lalu bepergian sebelum fajar, itu seperti belum memulai puasa sampai dia safar. Dia boleh memilih menyempurnakan puasa atau berbuka.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memperkirakan arah kiblat tanpa petunjuk, lalu di pagi hari tahu arahnya tepat, dia wajib…
Pengulangan; karena dia shalat saat shalat dalam keadaan ragu.
(Imam Syafi’i berkata): Dan dilarang berpuasa saat bepergian, namun larangan tersebut menurut kami -Wallahu a’lam- adalah untuk memberikan keringanan bagi manusia, bukan berarti haram atau tidak sah. Sebagian orang mungkin hanya mendengar larangannya tanpa memahami makna di balik larangan tersebut, sehingga mereka memahami larangan tersebut secara mutlak.
(Imam Syafi’i berkata): Bukti dari apa yang kusampaikan kepadamu bahwa puasa saat bepergian adalah rukhshah (keringanan) adalah riwayat yang disampaikan oleh Malik kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku berpuasa saat bepergian?” -dia adalah orang yang sering berpuasa- Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kamu mau, berpuasalah. Jika kamu mau, berbukalah.” Malik juga mengabarkan kepada kami dari Hamid At-Thawil dari Anas bin Malik, dia berkata, “Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini adalah bukti dari apa yang telah kujelaskan. Jika ada orang yang berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut orang yang berpuasa saat bepergian sebagai orang yang bermaksiat, maka larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa saat bepergian adalah untuk persiapan menghadapi musuh. Saat itu beliau sedang berperang pada tahun larangan berpuasa saat bepergian. Namun, sekelompok orang bersikeras untuk berpuasa, sehingga sebagian yang mendengar larangan tersebut menyebut mereka sebagai orang yang bermaksiat karena meninggalkan perintah untuk berbuka. Bisa juga dikatakan bahwa mereka meninggalkan keringanan dan enggan menerimanya, dan ini adalah sesuatu yang kami benci. Kami hanya mengatakan, berbukalah atau berpuasalah dengan kesadaran bahwa keduanya diperbolehkan. Jika itu diperbolehkan, maka puasa lebih kami sukai bagi yang mampu melakukannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata bahwa ada riwayat, “Bukan termasuk kebajikan berpuasa saat bepergian,” maka jawabannya adalah ini tidak bertentangan dengan hadits Hisyam bin Urwah. Namun, seperti yang telah kujelaskan, jika seseorang menganggap puasa sebagai kebajikan dan berbuka sebagai dosa, serta enggan menerima keringanan saat bepergian.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang musafir memasuki waktu fajar sebelum sampai ke kampung halamannya atau tempat yang dia niatkan untuk bermukim, dan dia berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Namun, jika dia memutuskan untuk berbuka, lalu berniat puasa setelah fajar, maka puasanya tidak sah, baik dalam keadaan mukim maupun bepergian. Jika dia bepergian dan tidak berpuasa sampai meninggal, maka tidak ada qadha atas puasa yang dia tinggalkan, karena dia boleh berbuka. Qadha hanya wajib jika dia harus berpuasa dalam keadaan mukim tetapi meninggalkannya. Saat itulah dia wajib mengqadha dan membayar kafarat setelah meninggal. Demikian juga orang sakit yang tidak sembuh sampai meninggal, tidak ada puasa atau kafarat atasnya.
[Bab Puasa Sunnah]
(Imam Syafi’i berkata): Orang yang melakukan puasa sunnah berbeda dengan orang yang wajib berpuasa seperti di bulan Ramadhan atau puasa wajib lainnya. Menurutku, puasa mereka tidak sah kecuali dengan berniat sebelum fajar. Sedangkan orang yang berpuasa sunnah, selama dia tidak makan atau minum, maka puasanya sah meski dia baru berniat setelah masuk waktu pagi. Jika orang yang berpuasa sunnah berbuka tanpa alasan, aku tidak menyukainya, tapi tidak ada qadha atasnya. Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini dan mengatakan bahwa dia wajib mengqadha. Mereka berargumen dengan hadits Az-Zuhri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Aisyah dan Hafshah untuk mengqadha satu hari sebagai ganti hari yang mereka batalkan.
(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepadanya bahwa hadits itu tidak kuat, karena Az-Zuhri meriwayatkannya dari seorang yang tidak kami kenal. Sekalipun hadits itu sahih, bisa jadi perintah tersebut bersifat opsional (“jika kalian mau”) -Wallahu a’lam- sebagaimana Umar diperintahkan untuk menunaikan nadzar yang dia ucapkan di masa jahiliyah, yang juga bersifat opsional (“jika dia mau”). Tidak ada indikasi dalam riwayat tersebut yang mendukung pendapatmu.
(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Thalhah bin Yahya dari bibinya, Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku, lalu aku berkata, ‘Kami menyimpan hais (makanan dari kurma, keju, dan mentega) untukmu.’ Beliau bersabda, ‘Aku sebenarnya ingin berpuasa, tapi hidangkanlah itu untukku.'”
(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, jika orang yang berpuasa sunnah wajib mengqadha ketika membatalkan puasanya, maka dia tidak boleh membatalkannya tanpa alasan. Karena membatalkan puasa sunnah tanpa alasan…
Boleh, dan bagaimana mungkin seseorang keluar dari suatu ibadah yang telah sempurna tanp alasan, jika ia harus kembali melakukannya, maka tidak boleh baginya untuk keluar darinya.
(Imam Syafi’i berkata): I’tikaf dan setiap ibadah yang sebelum memulainya boleh untuk tidak memulainya, maka boleh baginya untuk keluar sebelum menyelesaikannya. Namun, lebih aku sukai jika ia menyelesaikannya, kecuali hanya untuk haji dan umrah. Jika ada yang bertanya: “Mengapa engkau memerintahkannya jika merusak haji dan umrah untuk kembali melakukannya dan mengqadhanya dua kali, berbeda dengan ibadah-ibadah lain?” Kami jawab: Haji dan umrah tidak sama dengan puasa, shalat, atau ibadah lainnya. Tidakkah engkau lihat bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa seseorang harus melanjutkan haji dan umrah meskipun rusak, sebagaimana ia melanjutkannya sebelum rusak, lalu membayar kafarat dan mengulanginya? Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika seseorang merusak shalat, ia tidak boleh melanjutkannya dan tidak sah baginya shalat tanpa wudhu. Demikian pula puasa, jika rusak, tidak boleh dilanjutkan. Tidakkah engkau lihat bahwa dalam haji dan umrah, baik sunnah maupun wajib, hanya ada satu kafarat, sedangkan dalam shalat, i’tikaf, atau puasa sunnah tidak ada kafarat sama sekali? Diriwayatkan dari Ibnu Umar—oleh mereka yang berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini—bahwa ia shalat satu rakaat dan berkata: “Ini hanya sunnah.” Dan kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas pendapat serupa mengenai tawaf.
[Bab Hukum Orang yang Berbuka di Bulan Ramadhan]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Siapa yang berbuka beberapa hari di bulan Ramadhan karena uzur sakit atau safar, maka ia harus mengqadha hari-hari itu kapan saja ia mau, baik di bulan Dzulhijjah atau lainnya, asalkan sebelum Ramadhan berikutnya tiba, baik secara terpisah maupun berurutan. Hal ini karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184). Allah tidak menyebutkan harus berurutan. Dan telah sampai kepada kami dari sebagian sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang berkata: “Jika engkau telah menghitung hari-hari yang harus diqadha, maka berpuasalah sebagaimana engkau mau.”
(Imam Syafi’i berkata): Adapun puasa kafarat sumpah harus dilakukan secara berurutan—wallahu a’lam. Jika orang yang berbuka di Ramadhan karena sakit atau safar tidak mampu mengqadha sampai Ramadhan berikutnya tiba, maka ia tetap wajib mengqadhanya tanpa kafarat. Namun, jika ia menunda padahal mampu berpuasa hingga Ramadhan berikutnya datang, maka ia harus berpuasa di Ramadhan yang baru dan mengqadha hari-hari yang ditinggalkan, serta membayar kafarat untuk setiap hari dengan satu mud gandum.
(Imam Syafi’i berkata): Wanita hamil dan menyusui jika mampu berpuasa dan tidak khawatir terhadap anak mereka, maka wajib berpuasa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika keduanya tidak mampu berpuasa, maka hukumnya seperti orang sakit—boleh berbuka dan wajib mengqadha tanpa kafarat. Ini berdasarkan hadits dan karena mereka berbuka bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk orang lain. Inilah perbedaan mereka dengan orang sakit yang tidak dikenakan kafarat.
Orang tua yang sudah lemah dan tidak mampu berpuasa tetapi mampu membayar kafarat, maka ia harus bersedekah untuk setiap hari dengan satu mud gandum—berdasarkan riwayat dari sebagian sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan qiyas terhadap orang yang tidak mampu haji, boleh dihajikan oleh orang lain. Namun, amalan orang lain bukanlah pengganti amalannya sendiri, sebagaimana kafarat bukanlah pengganti ibadahnya.
(Imam Syafi’i berkata): Kondisi yang membolehkan orang tua untuk tidak berpuasa adalah ketika puasa memberatkannya secara tidak wajar. Demikian pula orang sakit, wanita hamil, dan menyusui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika sakit seseorang semakin parah secara nyata, maka boleh berbuka. Namun, jika sakitnya masih bisa ditahan, maka tidak boleh berbuka. Wanita hamil jika khawatir terhadap anaknya, boleh berbuka. Demikian pula wanita menyusui jika puasa mengurangi air susunya.
Bahasa Indonesia:
Kerusakan yang jelas, adapun yang masih bisa ditoleransi maka tidak membatalkan puasanya. Puasa bisa memperparah sebagian besar penyakit, tetapi masih dalam batas yang bisa ditoleransi, dan mengurangi sebagian susu, tetapi pengurangan yang masih bisa ditoleransi. Jika sudah sangat parah, maka keduanya membatalkan puasa. (Imam Syafi’i berkata): Seolah-olah ia menafsirkan bahwa jika tidak mampu berpuasa, maka menggantinya dengan fidyah. Allah yang lebih tahu. Jika ada yang bertanya: “Bagaimana kewajiban shalat gugur jika tidak mampu, sedangkan kewajiban puasa tidak gugur?” Dijawab: Kewajiban shalat tidak gugur dalam keadaan apa pun, tetapi ia shalat sesuai kemampuannya, baik berdiri, duduk, atau berbaring, sehingga sebagian menggantikan sebagian lainnya. Tidak ada yang bisa menggantikan shalat selain shalat itu sendiri, dan shalat tidak bisa menggantikan yang lain. Puasa tidak sah kecuali dengan menyempurnakannya, dan tidak berubah sesuai keadaan pelakunya. Kewajiban puasa bisa ditangguhkan karena safar atau sakit, karena tidak ada pengurangan dalam puasa sebagaimana sebagian shalat bisa dipendekkan atau dilakukan sambil duduk. Puasa bisa diganti dengan makanan dalam kafarah, dan makanan bisa menggantikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang sakit hingga meninggal tanpa sembuh, maka tidak ada qadha atasnya. Qadha hanya berlaku jika sembuh kemudian lalai. Siapa yang meninggal dalam keadaan lalai mengqadha, maka untuk setiap hari yang ditinggalkan, diberikan satu mud makanan kepada orang miskin.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang bernazar puasa setahun, maka ia berpuasa dan berbuka pada hari-hari yang dilarang berpuasa, yaitu hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Mina, lalu mengqadhanya.
Siapa yang bernazar puasa pada hari kedatangan seseorang, maka ia berpuasa. Jika orang itu datang saat siang hari atau pada hari raya, maka ia mengqadhanya. Jika datang malam hari, maka lebih aku sukai ia berpuasa keesokan harinya dengan niat puasa nazar. Jika tidak dilakukan, aku tidak mewajibkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang bernazar puasa pada hari Jumat tetapi bertepatan dengan hari raya, maka ia berbuka dan mengqadhanya.
Siapa yang berniat puasa pada hari raya, maka tidak sah puasanya dan tidak perlu mengqadha, karena tidak boleh berpuasa pada hari itu.
Demikian pula jika seorang wanita bernazar puasa pada hari-hari haidnya, maka tidak sah puasanya dan tidak perlu mengqadha, karena tidak boleh berpuasa pada hari-hari itu.
(Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i pernah berkata: “Siapa yang bernazar puasa pada hari kedatangan seseorang, lalu bertepatan dengan hari raya, maka tidak ada kewajiban apa pun. Dan siapa yang bernazar puasa pada hari kedatangan seseorang, lalu orang itu datang di sebagian siang, maka tidak ada kewajiban apa pun.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata bahwa Asy-Syafi’i berkata: “I’tikaf adalah sunnah. Barangsiapa yang mewajibkan atas dirinya i’tikaf selama satu bulan, maka ia memasuki i’tikaf sebelum matahari terbenam dan keluar darinya setelah matahari terbenam pada akhir bulan.”
Dia (Asy-Syafi’i) berkata: “Tidak mengapa membuat syarat dalam i’tikaf yang wajib, yaitu dengan mengatakan, ‘Jika ada keperluan mendesak, aku boleh keluar.’ Juga tidak mengapa beri’tikaf tanpa meniatkan jumlah hari tertentu atau kewajiban i’tikaf; kapan saja ia ingin keluar, ia boleh melakukannya. I’tikaf di masjid jami’ lebih kami sukai, tetapi jika beri’tikaf di masjid lain, maka dari Jumat ke Jumat.”
Jika seseorang mewajibkan atas dirinya i’tikaf di sebuah masjid, lalu masjid itu roboh, ia boleh beri’tikaf di tempat lain di dalam masjid tersebut. Jika tidak memungkinkan, ia boleh keluar dari i’tikaf. Jika masjid dibangun kembali, ia kembali dan melanjutkan i’tikafnya.
Seorang yang beri’tikaf boleh keluar untuk keperluan buang air kecil atau besar, baik ke rumahnya atau tempat lain, tetapi tidak boleh berlama-lama setelah selesai. Tidak mengapa menanyakan kabar orang sakit jika ia memasuki rumahnya, atau melakukan jual beli, menjahit, duduk bersama ulama, dan berbicara tentang hal-hal yang disukai selama tidak mengandung dosa. Mencaci atau berdebat tidak membatalkan i’tikaf.
Dia (Asy-Syafi’i) berkata: “Tidak boleh menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah jika i’tikafnya wajib.”
Tidak mengapa seorang muadzin beri’tikaf dan naik menara, baik menara itu berada di dalam atau di luar masjid. Namun, makruh baginya mengumandangkan adzan untuk shalat atas nama penguasa. Tidak mengapa ia mengganti (qadha) i’tikaf.
Jika ia dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka wajib baginya memenuhi panggilan itu. Jika ia memenuhinya, ia harus mengganti i’tikafnya.
Jika seorang yang beri’tikaf makan di rumahnya, tidak ada konsekuensi apa pun.
Jika orang yang mewajibkan i’tikaf atas dirinya jatuh sakit, ia boleh keluar. Setelah sembuh, ia kembali dan melanjutkan sisa i’tikafnya. Namun, jika ia menunda tanpa alasan setelah sembuh, ia harus memulai i’tikaf dari awal.
Jika seorang yang beri’tikaf keluar tanpa keperluan, i’tikafnya batal.
Jika seorang yang beri’tikaf berbuka puasa atau berhubungan intim, ia harus memulai i’tikafnya kembali jika i’tikaf itu wajib dengan puasa. Demikian pula halnya dengan wanita yang beri’tikaf.
(Dia berkata): “Dan jika seseorang bernadzar untuk beriktikaf bagi Allah selama satu bulan tanpa menyebutkan bulan tertentu dan tidak mengatakan ‘berturut-turut’, maka dia boleh beriktikaf kapan saja dia mau, tetapi lebih utama jika dilakukan secara berturut-turut.”
Iktikaf tidak batal karena hubungan suami-istri kecuali jika sampai mewajibkan had (hukuman). Iktikaf tidak batal karena ciuman, sentuhan, atau pandangan, baik keluar mani maupun tidak. Demikian pula halnya bagi wanita, baik dilakukan di masjid maupun di tempat lain.
Jika seseorang berkata: “Aku bernadzar untuk Allah bahwa aku akan beriktikaf pada siang hari selama satu bulan,” maka dia boleh beriktikaf pada siang hari saja tanpa malam. Begitu pula jika dia berkata: “Aku bernadzar untuk Allah bahwa aku tidak akan berbicara dengan si Fulan pada siang hari selama satu bulan.”
Jika seseorang bernadzar untuk beriktikaf pada bulan tertentu, lalu bulan itu berlalu tanpa dia menyadarinya, maka dia wajib beriktikaf pada bulan yang lain sebagai gantinya.
Jika seseorang bernadzar untuk beriktikaf selama satu bulan, lalu dia beriktikaf kecuali satu hari, maka dia wajib mengqadha hari itu.
Jika seseorang beriktikaf yang wajib, lalu dia dipaksa keluar oleh penguasa atau orang lain, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Ketika dia sudah bebas, dia boleh melanjutkan iktikafnya. Begitu pula jika dia dikeluarkan karena had (hukuman) atau utang lalu dipenjara, maka ketika dia bebas, dia boleh kembali dan melanjutkan iktikafnya.
Jika orang yang beriktikaf mabuk, baik siang maupun malam, maka iktikafnya batal, dan dia wajib memulai lagi jika iktikafnya wajib.
Dan jika—
Seorang yang sedang beri’tikaf keluar karena suatu keperluan, lalu bertemu dengan orang yang memusuhinya, maka tidak mengapa jika ia menunjuk wakil untuk menyelesaikan urusannya. Jika seorang yang beri’tikaf memiliki hutang dan ditahan oleh penagihnya sehingga tidak bisa beri’tikaf, maka ketika dibebaskan, ia boleh kembali dan melanjutkan i’tikafnya.
Jika seorang yang beri’tikaf merasa khawatir terhadap penguasa, ia boleh keluar, dan ketika merasa aman, ia boleh kembali melanjutkan i’tikaf. I’tikaf yang wajib adalah dengan mengucapkan, “Atas nama Allah, aku bernadzar untuk beri’tikaf sekian dan sekian.” Sedangkan i’tikaf yang tidak wajib adalah dengan beri’tikaf tanpa berniat apa pun. Jika seseorang berniat beri’tikaf selama satu hari dan memulai di pertengahan siang, maka ia harus beri’tikaf hingga waktu yang sama keesokan harinya. Jika ia bernadzar untuk beri’tikaf satu hari, maka ia harus masuk sebelum fajar dan beri’tikaf hingga matahari terbenam. Jika ia bernadzar untuk beri’tikaf dua hari, maka ia harus masuk sebelum fajar dan beri’tikaf selama satu hari satu malam dan satu hari lagi, kecuali jika ia berniat hanya untuk siang hari tanpa malam.
Jika seseorang bernadzar untuk beri’tikaf selama satu bulan dengan berpuasa, lalu meninggal sebelum menyelesaikannya, maka keluarganya harus membayar fidyah sebanyak satu mud untuk setiap hari yang tertinggal. Jika ia bernadzar dalam keadaan sakit lalu meninggal sebelum sembuh, maka tidak ada kewajiban apa pun. Namun, jika ia sempat sembuh kurang dari satu bulan lalu meninggal, maka keluarganya harus membayar fidyah sesuai jumlah hari ia dalam keadaan sehat.
Hari yang Panjang
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’): Jika seseorang meninggal dan seharusnya dia beri’tikaf dan berpuasa, maka diberi makan atas namanya. Jika tidak memungkinkan, tidak ada kewajiban baginya.
Tidak mengapa seseorang beri’tikaf pada malam hari, begitu pula pada hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq. I’tikaf boleh dilakukan tanpa berpuasa.
Jika seseorang bernazar, “Atas nama Allah, aku akan beri’tikaf pada hari si fulan datang,” lalu si fulan datang di awal atau akhir siang, maka dia beri’tikaf untuk sisa hari itu. Jika si fulan datang saat dia sakit atau dipenjara, maka setelah sembuh atau bebas, dia mengqadhanya. Jika si fulan datang malam hari, tidak ada kewajiban baginya. Jika dia bernazar untuk beri’tikaf sebulan dan menyebutkan bulannya, lalu bulan itu berlalu, tidak ada kewajiban baginya.
(Dia berkata): Jika orang yang sedang i’tikaf memulai ihram haji, dia menyelesaikan i’tikafnya. Jika khawatir hajinya terlewat, dia boleh melanjutkan hajinya. Jika i’tikafnya berturut-turut, setelah pulang haji dia memulai lagi dari awal. Jika tidak berturut-turut, dia melanjutkan.
I’tikaf di Masjidil Haram lebih utama daripada di masjid lainnya, begitu pula di Masjid Nabi ﷺ. Semakin besar dan ramai suatu masjid, semakin utama. Wanita, budak, dan musafir boleh beri’tikaf di mana saja karena mereka tidak wajib shalat Jumat.
Jika seorang wanita bernazar i’tikaf, suaminya boleh melarangnya. Begitu pula tuan budak, mudabbar, dan ummul walad boleh dilarang. Jika sudah diizinkan lalu ingin dilarang sebelum selesai, itu boleh. Namun, tuan mukatab tidak boleh melarang budaknya beri’tikaf.
Jika budak yang dimerdekakan separuhnya bernazar i’tikaf beberapa hari, dia boleh beri’tikaf sehari dan melayani tuannya sehari hingga selesai.
Jika orang yang beri’tikaf gila selama bertahun-tahun lalu sadar, dia melanjutkan i’tikafnya.
Orang buta dan lumpuh dalam i’tikaf sama seperti orang sehat. Tidak mengapa memakai pakaian apa saja, makan makanan apa saja, memakai wewangian, tidur di masjid, meletakkan meja makan, dan mencuci tangan di masjid dengan baskom.
Jika orang yang beri’tikaf lupa keluar lalu kembali, i’tikafnya tidak batal. Tidak mengapa mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci oleh keluarga—seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ. Boleh juga menikahkan diri atau menikahkan orang lain saat i’tikaf.
Jika suami wanita yang beri’tikaf meninggal, dia boleh keluar. Setelah menyelesaikan iddah, dia kembali dan melanjutkan i’tikaf. Ada pendapat bahwa dia tidak boleh keluar; jika melakukannya, dia harus memulai lagi. Wallahu a’lam.
[Buku Haji] [Bab Kewajiban Haji bagi yang Diwajibkan Haji]
Bab Kewajiban Haji bagi yang Diwajibkan Haji
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi di Mesir pada tahun 207 H, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia berkata:
Dasar penetapan kewajiban haji khususnya terdapat dalam Kitab Allah Ta’ala, kemudian dalam Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan haji di beberapa tempat dalam Kitab-Nya. Dia mengisahkan bahwa Dia berfirman kepada Ibrahim – ‘alaihis salam -:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta yang kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Dan Dia Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan kurban), qalaid (hewan ternak yang diberi tanda untuk kurban), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang datang ke Baitul Haram.” (QS. Al-Ma’idah: 2), bersamaan dengan penyebutan haji di dalamnya.
(Asy-Syafi’i berkata):
Ayat yang menjelaskan kewajiban haji bagi yang diwajibkan atasnya adalah firman Allah Jalla Dzikruh:
“Dan bagi Allah, wajib atas manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97).
Dan firman-Nya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196). Ayat ini ditempatkan beserta penjelasannya dalam konteks umrah.
(Asy-Syafi’i berkata):
Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari ‘Ikrimah, ia berkata:
Ketika turun ayat:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya.” (QS. Ali Imran: 85), orang-orang Yahudi berkata: “Kalau begitu, kami adalah muslimin.” Maka Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya untuk menguji mereka. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda kepada mereka: “Berhajilah!” Mereka menjawab: “Itu tidak diwajibkan atas kami,” dan mereka menolak untuk berhaji. Allah Jalla Tsana’uh berfirman:
“Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97).
‘Ikrimah berkata: “Barangsiapa kafir dari kalangan pemeluk agama, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” Pendapat ‘Ikrimah sangat mirip dengan apa yang dikatakan, dan Allah lebih tahu. Karena ini adalah kekufuran terhadap kewajiban haji, padahal Allah telah menurunkannya. Kufur terhadap satu ayat dari Kitab Allah adalah kekufuran.
(Diriwayatkan kepada kami): Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, ia berkata: Mujahid berkata tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan barangsiapa kafir.” (QS. Ali Imran: 97), ia berkata: “Yaitu orang yang jika berhaji, ia tidak menganggapnya sebagai kebaikan, dan jika duduk (tidak berhaji), ia tidak menganggapnya sebagai dosa.”
Said bin Salim berpendapat bahwa mengingkari kewajiban haji adalah bentuk kekafiran.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa mengingkari satu ayat dari Kitab Allah, maka ia kafir. Ini—insya Allah—seperti yang dikatakan Mujahid. Pendapat Ikrimah dalam hal ini lebih jelas, meskipun yang ini pun sudah jelas.
(Asy-Syafi’i berkata): Kewajiban haji berlaku bagi setiap orang yang sudah baligh dan mampu melakukannya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa anak yang belum baligh tetapi mampu tidak diwajibkan haji?” Jawabannya adalah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman:
“Dan apabila anak-anakmu telah mencapai usia baligh, hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An-Nur: 59)
Maksudnya, perintah meminta izin berlaku bagi orang yang sudah baligh. Allah juga berfirman:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kalian melihat mereka telah memiliki kedewasaan (akal), serahkanlah harta mereka.” (QS. An-Nisa: 6)
Allah tidak memerintahkan penyerahan harta kecuali setelah mereka baligh dan memiliki kedewasaan.
Allah juga mewajibkan jihad dalam Kitab-Nya, lalu Nabi ﷺ menegaskan hal ini.
“Abdullah bin Umar datang kepada Rasulullah ﷺ dengan semangat ingin berjihad, dan ayahnya juga mendukungnya, padahal usianya baru 14 tahun. Rasulullah ﷺ menolaknya pada Perang Uhud, lalu mengizinkannya saat usianya 15 tahun pada Perang Khandaq.”
Rasulullah ﷺ adalah penjelas kehendak Allah, sehingga kita berdalil bahwa kewajiban dan hukum hudud hanya berlaku bagi orang yang sudah baligh. Nabi ﷺ melakukan hal yang sama pada Perang Uhud terhadap Ibnu Umar dan beberapa pemuda seusianya.
(Asy-Syafi’i berkata): Haji wajib bagi orang yang baligh dan berakal, sebagaimana kewajiban lainnya—meskipun ia bodoh—begitu juga hukum hudud. Jika ia menunaikan haji setelah baligh dan berakal, itu sudah cukup dan tidak perlu mengulanginya setelah ia menjadi lebih bijak. Begitu pula dengan wanita yang sudah baligh.
Kewajiban haji gugur bagi orang yang kehilangan akalnya, karena kewajiban hanya berlaku bagi yang memahami. Allah berfirman tentang kewajiban dalam beberapa ayat, dan Dia hanya berbicara kepada yang berakal. Sunnah Rasulullah ﷺ juga mendukung hal ini:
“Pena diangkat dari tiga golongan: anak kecil sampai ia baligh, orang gila sampai ia sadar, dan orang tidur sampai ia bangun.”
Jika seseorang kadang gila dan kadang sadar, ia wajib haji saat sadar. Jika ia berhaji dalam keadaan sadar, itu sah. Tapi jika dalam keadaan gila, tidak sah. Wali dari orang bodoh yang sudah baligh wajib membiayai hajinya, karena itu kewajibannya. Orang bodoh tidak boleh meninggalkan kewajiban, begitu pula wali wanita bodoh yang sudah baligh.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang anak berhaji sebelum baligh atau sebelum genap 15 tahun, lalu ia hidup sampai baligh tetapi tidak berhaji lagi, maka haji sebelum baligh tidak dianggap sebagai haji Islam. Sebab, ia melakukannya sebelum kewajiban berlaku. Ini seperti orang yang shalat wajib sebelum waktunya, sehingga dianggap shalat sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Muslim dalam hal ini.
Budak yang berhaji tidak diwajibkan haji. Jika tuannya mengizinkan atau menyuruhnya haji, itu dianggap haji sunnah, bukan pengganti haji Islam. Jika ia merdeka dan hidup cukup lama untuk berhaji setelah kewajiban berlaku, maka ia tetap wajib haji.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang kafir yang sudah baligh berhaji lalu masuk Islam, hajinya tidak sah sebagai haji Islam. Sebab, amal yang dilakukan sebelum beriman tidak dicatat sebagai kewajiban. Setelah masuk Islam, barulah ia wajib haji.
Haji membutuhkan biaya, sedangkan budak tidak memiliki harta. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa menjual budak yang memiliki harta, maka hartanya tetap milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya.”
Ini menunjukkan bahwa budak tidak memiliki harta.
Bahwa seorang hamba tidak memiliki harta, dan apa yang ia miliki sebenarnya adalah milik tuannya. Kaum Muslimin tidak mewariskan harta kepada hamba dari anaknya, orang tuanya, atau lainnya. Ini dianggap sebagai salah satu argumen mereka berdasarkan sunnah Rasulullah � bahwa hamba hanya dimiliki oleh tuannya, dan tuannya bukanlah ahli warisnya. Kaum Muslimin juga tidak mewajibkan tuannya untuk mengizinkannya berhaji, sehingga hamba termasuk orang yang tidak mampu melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa budak tidak termasuk dalam kewajiban haji karena ketidakmampuan mereka. Bahkan jika tuannya mengizinkan, hajinya tidak sah.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak sah?” Jawabannya adalah karena haji tidak wajib baginya, dan ibadah tidak sah bagi yang tidak diwajibkan. Seperti apa contohnya? Seperti shalat wajib sebelum waktunya atau puasa Ramadhan sebelum hilal terlihat—tidak sah kecuali dilakukan pada waktunya. Sebab, ibadah badan hanya sah jika dilakukan pada waktu yang ditentukan. Orang dewasa yang mampu wajib melakukannya untuk diri sendiri dan orang lain, berbeda dengan budak atau anak kecil yang belum baligh. Jika mereka berhaji, haji Islam tidak sah sampai mereka baligh atau merdeka dan mampu.
### Pasal tentang Haji Anak Kecil dan Hamba
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Anak kecil tidak wajib haji sampai baligh—laki-laki dengan mimpi basah atau perempuan dengan haid—atau genap 15 tahun. Jika sudah mencapai usia itu atau tanda baligh, barulah haji wajib. Namun, baik jika anak kecil berhaji meski belum mengerti, asalkan memenuhi syarat ihram dan menjauhi larangan seperti orang dewasa. Jika mereka mampu melakukan sebagian ritual, dilakukan sendiri; jika tidak, diwakilkan. Ini berlaku untuk shalat dalam tawaf atau ritual haji lainnya.
Jika ada yang bertanya, “Apakah shalat wajib biasa juga diwakilkan?” Jawabannya tidak. Lalu apa bedanya dengan shalat dalam haji? Shalat dalam haji adalah bagian dari ritual haji, seperti tawaf, wukuf, atau melempar jumrah—bukan kewajiban di luar haji.
Perbedaan lain: wanita haid boleh berhaji atau umrah, lalu mengqadha shalat tawaf, tetapi tidak perlu mengqadha shalat wajib yang terlewat saat haid. Dalilnya, Rasulullah � mengizinkan seseorang berhaji untuk orang lain, berarti amalnya sah seperti amal untuk diri sendiri. Jika ada yang tersisa dari ritual haji (seperti shalat), maka tawaf atau lainnya juga bisa tersisa. Namun, harus disempurnakan sebagaimana jika dilakukan sendiri.
Tidak ada ulama yang menyelisihi pendapat ini, meski ada yang berpendapat bahwa semua ritual haji bisa diwakilkan kecuali shalat. Namun, ini bertentangan dengan prinsip bahwa haji untuk orang lain hanya berlaku dalam kondisi tertentu.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalil bahwa anak kecil boleh berhaji meski tidak wajib?” Jawabannya: Allah melipatgandakan pahala dan menyertakan anak cucu dalam rahmat-Nya, seperti firman-Nya: “Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal mereka.” (QS. At-Thur: 21). Jika Allah memasukkan anak-anak ke surga tanpa amal, maka pantas jika amal mereka dicatat sebagai karunia-Nya.
Kebaikan dalam haji, meskipun tidak wajib bagi mereka dalam makna tersebut. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil yang menunjukkan apa yang telah kujelaskan?” Maka telah datang hadits-hadits tentang anak-anak kaum muslimin bahwa mereka akan masuk surga. Dalil tentang hal ini dari Rasulullah ﷺ:
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ibrahim bin ‘Uqbah dari Kuraib, maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas:
“Nabi ﷺ sedang dalam perjalanan pulang. Ketika sampai di Rauha’, beliau bertemu dengan sekelompok orang, lalu mengucapkan salam kepada mereka. Beliau bertanya, ‘Siapa kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kaum muslimin.’ Lalu beliau bertanya lagi, ‘Siapa kalian?’ Mereka menjawab, ‘Rasulullah ﷺ.’ Kemudian seorang wanita mengangkat seorang anak kecil dari pelana kendaraannya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah anak ini sudah dianggap berhaji?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan bagimu pahala.'”
Malik mengabarkan kepada kami dari Ibrahim bin ‘Uqbah dari Kuraib, maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas:
“Rasulullah ﷺ melewati seorang wanita yang berada di pelana kendaraannya. Dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah Rasulullah ﷺ.’ Lalu wanita itu memegang lengan anak kecil yang bersamanya dan bertanya, ‘Apakah anak ini sudah dianggap berhaji?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan bagimu pahala.'”
(Imam Syafi’i berkata): Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Malik bin Mighwal dari Abus-Safar, ia berkata, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang kalian ucapkan dan pahamilah apa yang kusampaikan kepada kalian. Jika seorang budak dihajikan oleh keluarganya lalu ia meninggal sebelum merdeka, maka hajinya telah sah. Jika ia merdeka sebelum meninggal, maka ia wajib berhaji. Begitu pula jika seorang anak dihajikan oleh keluarganya lalu ia meninggal sebelum baligh, maka hajinya telah sah. Jika ia baligh, maka ia wajib berhaji.”
Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata:
“Haji seorang budak telah sah sampai ia merdeka. Jika ia merdeka, maka haji menjadi wajib baginya, meskipun sebelumnya tidak wajib.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini seperti perkataan ‘Atha’ tentang budak, insya Allah. Dan bagi yang belum baligh, telah jelas makna perkataannya dan perkataan Ibnu Abbas menurut kami seperti ini. Perkataannya, “Jika ia merdeka, maka ia wajib berhaji,” menunjukkan bahwa jika haji Islam telah cukup baginya, maka ia tidak akan diperintahkan untuk berhaji setelah merdeka. Ini juga menunjukkan bahwa haji tidak wajib baginya selama masih dalam status perbudakan. Sebab, dia dan kaum muslimin lainnya tidak mewajibkan haji kecuali sekali saja, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bagi Allah, wajib atas manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu.” (QS. Ali Imran: 97)
Allah menyebutkannya sekali dan tidak mengulanginya lagi.
(Imam Syafi’i berkata): Muslim dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada ‘Atha’:
“Bagaimana pendapatmu jika seorang budak berhaji sunnah dengan izin tuannya, bukan untuk dirinya sendiri atau dihajikan oleh keluarganya sebagai pelayan?”
‘Atha’ menjawab: “Kami mendengar bahwa jika ia merdeka, ia wajib berhaji.”
Muslim dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus bahwa ayahnya berkata:
“Haji anak kecil telah sah sampai ia berakal. Jika ia sudah berakal, maka haji menjadi wajib baginya. Begitu pula dengan budak.”
Keduanya berkata: Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami bahwa perkataan ini berasal dari Ibnu Abbas.
(Imam Syafi’i berkata): Perkataan mereka, “Jika anak kecil sudah berakal,” maksudnya adalah jika sudah baligh, wallahu a’lam. Diriwayatkan dari Umar tentang anak kecil dan budak dengan makna yang serupa. Maka, budak dan anak yang belum baligh disamakan dalam hal ini, tetapi berbeda dalam hal yang berkaitan dengan haji masing-masing.
[Izin bagi Budak untuk Berhaji]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengizinkan budaknya untuk berhaji, lalu budak itu berihram, maka tuannya tidak boleh melarangnya untuk menyempurnakan ihramnya. Namun, tuannya boleh menjualnya, dan pembelinya tidak boleh menghalanginya untuk menyempurnakan ihramnya. Pembeli memiliki hak khiyar jika ia tidak mengetahui bahwa budak tersebut sedang berihram, karena ia terhalang untuk memanfaatkannya sampai ihramnya selesai. Hukum yang sama berlaku untuk budak perempuan dan anak kecil jika orang tua mengizinkan mereka berihram, maka orang tua tidak boleh menghalangi mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang budak berhubungan dengan istrinya sehingga hajinya batal, tuannya tidak boleh menghalanginya, karena ia diperintahkan untuk melanjutkan haji yang rusak sebagaimana haji yang sah. Jika tuannya mengizinkannya berhaji lalu ia berihram, kemudian ia sakit, tuannya tidak boleh menghalanginya jika ia sembuh dan bisa bertahallul dengan thawaf. Namun, jika tuannya mengizinkannya berhaji tetapi ia belum berihram, tuannya boleh melarangnya selama ia belum berihram.
(Imam Syafi’i berkata): Jika tuannya mengizinkannya untuk berhaji tamattu’ atau qiran, lalu memberinya dam untuk tamattu’ atau qiran, maka itu tidak sah, karena budak tidak memiliki harta. Jika tuannya memberinya sesuatu, maka itu menjadi milik tuannya.
Dia membayar untuk sesuatu yang tidak dimiliki dalam keadaan apa pun, dan dia wajib berpuasa untuk apa yang dimilikinya. Jika dia tidak berpuasa hingga merdeka dan mampu, ada dua pendapat: pertama, dia membayar kafarat seperti orang merdeka yang mampu; kedua, dia tidak membayar kafarat kecuali dengan berpuasa, karena saat itu tidak ada kewajiban baginya selain puasa.
Jika seorang budak diizinkan berhaji lalu merusaknya, tuannya harus membiarkannya menyelesaikannya, dan tuannya tidak boleh membiarkannya menggantinya. Jika dia menggantinya, itu sah sebagai pengganti, dan setelah merdeka, dia wajib menunaikan haji Islam.
Jika tuannya tidak mengizinkan budak berhaji tetapi budak itu berihram, lebih baik tuannya membiarkannya menyelesaikannya. Jika tidak, tuannya boleh menahannya. Ada dua pendapat: pertama, jika tuannya menahannya dari menyelesaikan haji, dia wajib membayar seekor kambing yang dinilai dengan uang, lalu uang itu dikonversi menjadi makanan, dan dia berpuasa satu hari untuk setiap mud, lalu bertahallul. Pendapat kedua, dia boleh bertahallul tanpa kewajiban apa pun hingga merdeka, lalu wajib membayar seekor kambing.
Jika tuannya mengizinkan budak berhaji dengan tamattu’ lalu budak itu meninggal, tuannya wajib membayar untuknya. Jika ada yang bertanya, “Bolehkah membedakan antara apa yang sah untuk budak saat hidup (diberikan tuannya) dan apa yang sah setelah mati?” Jawabannya: ya. Apa yang diberikan saat hidup tidak sah kecuali pemberinya adalah pemiliknya, dan budak bukan pemilik. Demikian juga jika diberikan untuk orang merdeka dengan izinnya atau dihadiahkan untuknya, orang merdeka langsung memilikinya. Jika diberikan untuk orang merdeka setelah mati atau budak, tidak sah karena mayit tidak memiliki apa-apa. Bukankah kamu lihat bahwa hibah, wasiat, atau sedekah untuk mayit tidak sah? Kami hanya membolehkan sedekah untuk mereka berdasarkan hadis Nabi ﷺ yang memerintahkan Sa’ad bersedekah untuk ibunya. Tanpa itu, tidak boleh.
[Bab Bagaimana Kemampuan untuk Haji]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata:) Kemampuan ada dua jenis:
- Seseorang mampu secara fisik dan memiliki harta untuk berhaji, sehingga kewajiban haji berlaku dan tidak bisa digantikan kecuali dilaksanakan sendiri.
- Seseorang lemah fisiknya sehingga tidak bisa menunggang kendaraan, tetapi mampu memerintahkan orang lain untuk berhaji atas namanya atau memiliki harta untuk menyewa seseorang. Ini juga termasuk yang wajib haji sesuai kemampuannya.
Dalam bahasa Arab, “kemampuan” bisa berarti kemampuan fisik atau melalui orang lain. Misalnya, seseorang berkata, “Aku mampu membangun rumah,” bisa berarti dengan tangannya sendiri atau dengan menyuruh orang lain.
Jika ada yang bertanya, “Haji adalah kewajiban fisik, tapi mengapa boleh diwakilkan sedangkan ibadah fisik lain seperti shalat dan puasa tidak?” Jawabannya: Syariat memiliki persamaan dan perbedaan sesuai ketentuan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah atau kesepakatan umat Islam.
Jika diminta dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah, disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Nabi ﷺ tentang haji untuk ayahnya yang sudah tua, dan Nabi ﷺ membolehkannya. Ini menunjukkan bolehnya haji melalui orang lain.
Terjemahan selesai.
Aku bertanya kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu dia berkata: “Sesungguhnya kewajiban Allah dalam haji bagi hamba-hamba-Nya telah menjumpai ayahku sebagai seorang tua renta yang tidak mampu duduk tegak di atas kendaraannya. Apakah engkau berpendapat bahwa aku boleh berhaji untuknya?” Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: Demikianlah aku menghafalnya dari Az-Zuhri, dan telah mengabarkan kepadaku Amr bin Dinar dari Az-Zuhri dari Sulaiman bin Yasar dari Ibnu Abbas dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang serupa, dan dia menambahkan: Lalu wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, apakah itu bermanfaat baginya?” Beliau menjawab: “Ya, seperti halnya jika dia memiliki hutang lalu engkau melunasinya, itu akan bermanfaat baginya.”
Dalam riwayat yang dihafal Sufyan dari Az-Zuhri, disebutkan bahwa jika ayahnya telah terkena kewajiban haji namun tidak mampu duduk tegak di atas kendaraannya, maka boleh bagi orang lain untuk menghajikannya, baik anaknya atau selainnya. Dan boleh bagi orang lain untuk menunaikan kewajiban haji atas namanya jika dia tidak mampu melakukannya secara fisik, karena kewajiban itu tetap berlaku baginya. Seandainya tidak wajib, tentu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – akan berkata kepadanya: “Tidak ada kewajiban haji atas ayahmu jika dia baru masuk Islam dan tidak mampu duduk di atas kendaraan, insya Allah.” Atau beliau akan berkata: “Tidak boleh seseorang menghaji untuk orang lain, karena setiap orang hanya beramal untuk dirinya sendiri.”
Kemudian Sufyan menjelaskan dari Amr dari Az-Zuhri dalam hadis tersebut sesuatu yang tidak meninggalkan keraguan di hati orang yang tidak paham. Dalam hadis itu disebutkan: “Wanita itu bertanya: ‘Apakah itu bermanfaat baginya, wahai Rasulullah?’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjawab: ‘Ya, seperti jika ayahmu memiliki hutang lalu engkau melunasinya, itu akan bermanfaat baginya.'”
Menunaikan hutang bagi orang yang wajib membayarnya, baik masih hidup atau sudah meninggal, adalah kewajiban dari Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya, melalui lisan Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberitahukan kepada wanita itu bahwa menunaikan haji atas nama ayahnya akan bermanfaat baginya, sebagaimana manfaat melunasi hutangnya jika dia memiliki hutang. Manfaatnya adalah membebaskannya dari dosa dan memberikan pahala penunaian kewajiban haji untuknya, sebagaimana halnya dalam hutang. Tidak ada yang lebih utama untuk disamakan daripada apa yang disamakan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – antara keduanya.
Kami menyamakan dengan qiyas antara hal-hal yang serupa dalam satu aspek, meskipun berbeda dalam aspek lain, selama tidak ada yang lebih kuat kesamaannya. Maka para ulama berpendapat bahwa haji itu wajib bagi yang mampu. Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menyamakan dua hal, maka wajib bagi kita untuk menyamakan apa yang beliau samakan.
Ada perbedaan lain bahwa orang yang berakal tetap wajib shalat meskipun tidak mampu berdiri, maka dia shalat sambil duduk, berbaring, atau dengan isyarat sesuai kemampuannya. Jika tidak mampu berpuasa, dia boleh mengqadhanya. Jika tidak mampu mengqadha, maka dia membayar fidyah. Kewajiban yang terkait dengan fisik pada dasarnya sama dalam hal kewajibannya, kemudian berbeda sesuai dengan ketentuan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – serta penjelasan para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – atau ulama setelah mereka.
Orang yang menyelisihi kami dan tidak membolehkan seseorang menghaji untuk orang lain berpendapat bahwa jika seseorang lupa dan berbicara dalam shalat, shalatnya tidak batal. Tetapi jika lupa dan makan di bulan Ramadhan, puasanya batal. Dia juga berpendapat bahwa jika seseorang berhubungan suami-istri dalam haji, dia wajib membayar dam. Jika berhubungan di bulan Ramadhan, dia wajib bersedekah. Jika berhubungan dalam shalat, tidak ada kewajiban apa-apa. Dia membedakan antara berbagai kewajiban dalam banyak hal tanpa batas.
Alasannya dalam membedakan hal-hal tersebut adalah hadis dan ijma’. Jika ini alasannya, mengapa dia menolak pendapat yang sejenis dengan yang dia pegang?
Asy-Syafi’i berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar dari Abdullah bin Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – dia berkata: “Al-Fadhl bin Abbas pernah membonceng Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, lalu datang seorang wanita dari Khas’am meminta fatwa. Al-Fadhl terus memandanginya dan wanita itu juga memandanginya. Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memalingkan wajah Al-Fadhl ke arah lain. Wanita itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menjumpai ayahku sebagai seorang tua renta yang tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan. Bolehkah aku menghaji untuknya?’ Beliau menjawab: ‘Ya.'” Peristiwa itu terjadi pada haji wada’.
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid Az-Zanji mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Ibnu Syihab berkata: Sulaiman bin Yasar menceritakan kepadaku dari Abdullah bin Abbas dari Al-Fadhl bin Abbas bahwa seorang wanita dari Khas’am berkata: “Wahai Rasulullah, ayahku telah terkena kewajiban haji dari Allah, tetapi dia sudah tua renta dan tidak mampu duduk tegak di atas untanya.” Beliau bersabda: “Berhajilah untuknya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Amr bin Abi Salamah mengabarkan kepada kami dari Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi dari Abdurrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi dari Zaid bin Ali bin Al-Husain bin Ali dari ayahnya dari Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Setiap Mina adalah tempat penyembelihan.” Kemudian datang seorang wanita…
Dari Khaitsam, seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, ayahku sudah sangat tua dan lemah, dia telah terkena kewajiban haji dari Allah, tetapi tidak mampu melaksanakannya. Apakah boleh aku menghajikannya?” Rasulullah menjawab: “Ya.” (Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW dijelaskan bahwa jika seseorang mampu, dia wajib menghajikan dirinya sendiri. Jika tidak mampu, orang lain boleh menghajikannya, dan itu sudah mencukupi. Pelaksanaan haji hanya berlaku untuk kewajiban yang sudah tetap.
(Asy-Syafi’i berkata): Syaibah bin Salim mengabarkan kepada kami dari Hanzhalah bin Abi Sufyan, dia berkata: Aku mendengar Thawus berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata: ‘Ibuku telah meninggal dan masih memiliki kewajiban haji.’ Nabi bersabda: ‘Berhajilah untuk ibumu.'”
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, dia berkata: “Nabi SAW mendengar seorang laki-laki mengucapkan: ‘Labbaik atas nama fulan.’ Maka Nabi bersabda: ‘Jika kamu sudah berhaji, ucapkanlah itu untuknya. Jika belum, berhajilah untuk dirimu sendiri.'”
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Ali bin Abi Thalib RA berkata kepada seorang laki-laki tua yang belum berhaji: “Jika kamu mau, suruhlah seseorang berhaji untukmu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang dalam kondisi seperti itu menyuruh orang lain berhaji untuknya, lalu kemudian dia mampu untuk berhaji sendiri, maka haji yang sudah dilakukan tidak mencukupi, dan dia tetap wajib berhaji sendiri. Jika dia tidak melakukannya sampai meninggal atau kembali tidak mampu, maka wajib baginya untuk mengutus seseorang berhaji untuknya, karena haji orang lain hanya sah jika dia benar-benar tidak mampu. Jika dia mampu, maka dia wajib berhaji sendiri.
Demikian pula dengan nadzar atau ibadah sunnah, hukumnya sama dengan haji wajib dan umrah. Dia wajib melakukannya sendiri jika mampu, atau diwakilkan jika tidak mampu.
[Bab Perbedaan Pendapat tentang Haji untuk Orang yang Meninggal]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Aku tidak mengetahui seorang pun yang dianggap berilmu di negeri mana pun—yang penduduknya dikenal berilmu—yang menyelisihi pendapat kami bahwa boleh menghajikan seseorang yang telah meninggal untuk haji wajibnya, kecuali sebagian orang yang kami temui di Madinah. Padahal, para ulama besar Madinah dan ahli fikih terdahulu mereka memerintahkannya berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, kemudian perintah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat Nabi SAW, serta Ibnu Musayyib dan Rabi’ah.
Adapun yang mengatakan bahwa tidak boleh berhaji untuk orang lain, pendapat itu hanya berdasar pada riwayat yang lemah. Padahal, ada tiga riwayat sahih dari Nabi SAW—selain yang diriwayatkan banyak orang—yang memerintahkan seseorang untuk menghajikan orang lain. Namun, mereka meninggalkan riwayat-riwayat itu dan berargumen dengan pendapat Ibnu Umar yang mengatakan: “Tidak boleh seseorang berhaji untuk orang lain.” Padahal, Ibnu Umar sendiri meriwayatkan 63 hadits yang dia tinggalkan—entah karena bertentangan dengan hadits Nabi SAW, pendapat sahabat, tabi’in, atau pendapat pribadinya.
Bagaimana mungkin seorang yang mengaku berilmu menjadikan pendapat Ibnu Umar sebagai hujjah untuk menolak sunnah, tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah untuk menolak pendapatnya sendiri?
Argumen mereka adalah: “Bagaimana mungkin amal seseorang bisa menggantikan orang lain, padahal dalam sunnah Rasulullah SAW tidak ada kecuali mengikuti kewajiban dari Allah?” Padahal, dalam masalah ini, sunnah sudah jelas dan tidak boleh diabaikan oleh seorang alim.
Seandainya pendapat ini boleh diikuti oleh seseorang, maka… (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).
Jika ada yang mengatakan hal ini kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – maka dapat dibenarkan dengan sanad yang lebih lemah daripada perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepada sebagian orang untuk menghajikan sebagian yang lain. Dalam hal ini, banyak yang menyelisihinya, seperti hukum memotong seperempat dinar, jual beli ‘araya, larangan menjual daging dengan hewan, dan beberapa sunnah lainnya yang lebih lemah. Lalu, bagaimana mungkin dia membenarkan pendapat yang lemah terhadap yang menyelisihinya dan menolak pendapat yang lebih kuat? Bagaimana pula dia boleh berpendapat tentang qasamah yang diperselisihkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -? Kebanyakan orang menyelisihinya dalam hal ini, sementara dia memberikan hak berdasarkan sumpah para penuntut darah dan harta yang besar, padahal dalam kasus lain dia tidak memberikan hak sekecil luka atau dirham pun.
Jika ada yang berargumen bahwa dalam sunnah tidak ada qiyas atau pertimbangan akal, maka hadits tentang seseorang menghajikan orang lain lebih kuat daripada semua yang disebutkan tadi dan lebih pantas untuk tidak dianggap jauh dari akal setelah penjelasan tentang qasamah dan lainnya. Kemudian dia kembali mencela pendapat tentang seseorang menghajikan orang lain, seolah-olah meninggalkannya lebih baik, padahal meninggalkannya justru tidak dibolehkan. Dia berkata, “Jika seseorang berwasiat untuk dihajikan, maka haji itu dilakukan dari hartanya.” Padahal, prinsip mazhabnya adalah tidak boleh seseorang menghajikan orang lain, sebagaimana tidak boleh seseorang shalat atau puasa untuk orang lain.
Aku pernah bertanya kepada salah seorang pengikut mazhabnya, “Bagaimana pendapatmu jika seseorang berwasiat agar shalat atau puasa dilakukan untuknya, baik dengan upah, nafkah selain upah, atau sukarela? Apakah boleh dipuasakan atau dishalatkan untuknya?” Dia menjawab, “Tidak, wasiat itu batal.” Aku bertanya lagi, “Jika haji dibatalkan karena dianggap seperti puasa dan shalat, lalu mengapa dia membolehkan seseorang menghajikan orang lain dengan hartanya dan tidak membatalkan wasiat tersebut sebagaimana dia membatalkannya dalam puasa dan shalat?” Dia menjawab, “Orang-orang membolehkannya.” Aku berkata, “Orang-orang yang membolehkannya juga membolehkan seseorang menghajikan orang lain jika dia tidak mampu, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Sedangkan kamu tidak membolehkannya sebagaimana mereka membolehkannya berdasarkan sunnah, dan kamu tidak membatalkannya seperti membatalkan wasiat puasa dan shalat.”
Ternyata tidak ada dalil sunnah, atsar, qiyas, atau akal yang mendukung pendapatnya, bahkan bertentangan dengan semua itu dan bertentangan dengan argumen yang dia kemukakan dari Ibnu Umar. Aku tidak melihat konsistensi dalam ucapannya bahwa “tidak boleh seseorang menghajikan orang lain,” dan dia tidak memerintahkan haji dalam keadaan yang diperintahkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan para sahabatnya serta mayoritas fuqaha. Aku juga tidak melihat pembatalan hadits-hadits oleh ahli kalam yang bersandar pada argumen lemah untuk membatalkan pendapat ulama kami yang melarang seseorang menghajikan orang lain, sementara dia sendiri membatalkannya dan meninggalkan beberapa sunnah tanpa alasan yang jelas.
Kami pernah berkata kepada salah seorang yang berpendapat demikian, “Cara kamu berargumen seperti ini adalah cara orang yang tidak berilmu atau berilmu tapi tidak adil.” Dia bertanya, “Bagaimana bisa?” Aku menjawab, “Apakah argumen yang kamu gunakan ini adalah pendapat seseorang yang wajib diikuti sehingga kamu menganggap besar penyelisihannya? Ataukah pendapat manusia biasa yang mungkin saja keliru?” Dia menjawab, “Tentu pendapat manusia yang mungkin keliru.” Kami berkata, “Kalau begitu, meninggalkan pendapat bahwa seseorang boleh menghajikan orang lain dalam keadaan yang dia tinggalkan adalah sesuatu yang tercela dan tidak diterima, padahal dia termasuk golonganmu.” Kami juga berkata, “Kami tidak pernah mengklaim bahwa seorang pun di zaman kita atau golongan kita terbebas dari kelalaian. Mereka sama seperti manusia lainnya. Seorang yang adil tidak akan berargumen dengan pendapat orang lain, melainkan dengan pendapatnya sendiri.”
[Bab Keadaan yang Mengharuskan Haji]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Aku tidak suka seseorang meninggalkan haji dengan berjalan kaki jika dia mampu melakukannya dan tidak mampu berkendara, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, laki-laki lebih sedikit uzurnya dibanding perempuan. Aku tidak melihat kewajiban haji dengan berjalan kaki karena tidak ada riwayat dari para ulama yang mewajibkannya. Ada beberapa hadits Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang menunjukkan bahwa berjalan kaki untuk haji tidak wajib meskipun seseorang mampu, tetapi sebagian sanadnya terputus dan sebagian lagi diragukan oleh ahli hadits.
(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sa’id bin Salim dari Ibrahim bin Yazid dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far, dia berkata, “Kami pernah duduk…”
Kepada Abdullah bin Umar, lalu aku mendengarnya berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – seraya berkata: ‘Siapa yang disebut haji?’ Beliau menjawab: ‘Orang yang rambutnya kusut dan berdebu.’ Kemudian orang lain berdiri dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, haji seperti apa yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Yang bersuara keras dan mengalirkan darah (berkurban).’ Lalu orang lain lagi berdiri dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan bekal perjalanan?’ Beliau menjawab: ‘Bekal dan kendaraan.'” (Perawi) berkata: “Diriwayatkan dari Syarik bin Abi Numair dari seseorang yang mendengar Anas bin Malik menceritakan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda: ‘Bekal perjalanan adalah makanan dan kendaraan.'”
[BAB MEMINJAM UNTUK HAJI]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Sufyan Ats-Tsauri dari Thariq bin Abdurrahman dari “Abdullah bin Abi Aufa, sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa dia berkata: ‘Aku bertanya kepadanya tentang seorang laki-laki yang belum berhaji, apakah boleh berhutang untuk haji?’ Dia menjawab: ‘Tidak.'”
(Asy-Syafi’i) berkata: “Barangsiapa yang tidak memiliki harta yang cukup untuk haji tanpa harus berhutang, maka dia tidak memiliki bekal perjalanan. Namun, jika dia memiliki harta yang banyak, maka dia harus menjual sebagian hartanya atau berhutang untuk haji. Jika dia memiliki rumah, pelayan, dan cukup nafkah untuk keluarganya sampai dia kembali dari haji jika selamat, maka dia wajib haji. Jika dia hanya memiliki nafkah untuk keluarganya atau kendaraan tetapi tidak mencukupi keduanya, maka menurutku nafkah untuk keluarga lebih wajib daripada haji. Wallahu a’lam. Dan haji tidak wajib baginya sampai dia memenuhi nafkah keluarganya selama kepergiannya.”
Jika seseorang menyewa dirinya kepada orang lain untuk melayaninya, lalu dia berihram untuk haji bersamanya, maka itu sudah mencukupi sebagai haji Islam. Karena pekerjaan haji tidak batal dengan penyewaan diri selama dia menyempurnakan hajinya. Tidak haram baginya untuk mengurus urusan orang lain selama tidak mengurangi pekerjaan haji, sebagaimana dia mengurus urusannya sendiri jika telah memenuhi kewajibannya, dan sebagaimana dia boleh melayani orang lain untuk pahala atau tanpa pahala. Muslim dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki bertanya kepadanya: “Bolehkah aku menyewa diriku kepada orang-orang ini lalu aku melakukan manasik haji bersama mereka untuk upah?” Ibnu Abbas menjawab: “Ya, ‘Mereka mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah cepat perhitungan-Nya.'” (QS. Al-Baqarah: 202). Jika seseorang berhaji dengan biaya dan bekal orang lain, maka itu sudah mencukupi sebagai haji Islam. Dahulu, sekelompok orang berhaji bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan biaya beliau, lalu beliau membagikan kepada mereka kambing dari hartanya, lalu mereka menyembelihnya untuk kewajiban mereka, dan itu sudah mencukupi bagi mereka. Karena mereka memiliki kambing yang diberikan kepada mereka, lalu mereka menyembelih apa yang mereka miliki. Barangsiapa yang biayanya ditanggung orang lain, maka hajinya sah, baik sebagai sunnah atau dengan upah, selama dia memenuhi kewajiban hajinya. Dan boleh baginya menerima upah dan menerima pemberian, baik dia kaya atau miskin. Pemberian tidak haram bagi siapa pun, hanya sedekah yang haram bagi sebagian orang. Dan dia tidak wajib meminta-minta atau menyewa dirinya jika tidak memiliki kendaraan. Yang dimaksud bekal perjalanan yang mewajibkan haji adalah memiliki biaya dan kendaraan, baik dari hartanya sendiri sebelum haji atau pada waktunya.
[BAB HAJI WANITA DAN BUDAK]
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Jika dalam riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terdapat petunjuk bahwa bekal perjalanan adalah makanan dan kendaraan, dan seorang wanita memilikinya, serta dia bersama wanita terpercaya di jalan yang ramai dan aman, maka dia termasuk yang wajib haji menurutku. Wallahu a’lam, meskipun tidak bersama mahramnya. Karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak mengecualikan dalam kewajiban haji kecuali makanan dan kendaraan. Jika dia tidak bersama wanita muslimah terpercaya atau lebih, maka dia tidak boleh pergi bersama laki-laki yang tidak ada wanita atau mahramnya di antara mereka. Telah sampai kepada kami dari Aisyah, Ibnu Umar, dan Ibnu Az-Zubair pendapat yang sama dengan kami tentang bolehnya wanita bepergian untuk haji meskipun tanpa mahram.” Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: “‘Atha’ ditanya tentang seorang wanita yang tidak memiliki mahram, …”
Bersamanya ada mahram atau suami, tetapi bersamanya ada pelayan dan pembantu yang memudahkan perjalanan, menjaga, dan membantunya. Dia berkata: “Ya, maka hendaklah dia berhaji.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apakah ada hal lain yang serupa selain yang telah disebutkan?” Jawabnya, “Ya, sesuatu yang tidak diselisihi oleh siapa pun yang aku ketahui, yaitu bahwa seorang wanita wajib menunaikan hak (haji) dan tuntutan (haji) tetap berlaku atasnya di suatu negeri yang tidak ada qadhi di sana, maka dia harus dibawa dari negeri tersebut. Bisa jadi tuntutan itu gugur darinya atau dia datang dengan alasan yang membebaskannya dari kewajiban jika dia harus menempuh perjalanan beberapa hari tanpa mahram, asalkan bersama seorang wanita.
Allah Ta’ala berfirman tentang wanita-wanita yang sedang dalam masa iddah:
“Dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1)
Dikatakan bahwa hukuman hadd akan dijatuhkan atasnya. Jika demikian, maka Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidak melarangnya keluar untuk menunaikan kewajiban yang harus dia penuhi. Namun, jika bukan demikian dan keluarnya itu termasuk perbuatan keji, maka dia lebih layak dikenai kewajiban meskipun keluar dalam keadaan bermaksiat.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalilnya?” Dijawab, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama sepengetahuanku bahwa seorang wanita dalam iddah boleh keluar rumah untuk menunaikan hukuman hadd atau kewajiban lain yang harus dia penuhi. Sunnah juga menunjukkan bahwa dia boleh keluar untuk memenuhi panggilan, sebagaimana Nabi ﷺ mengizinkan Fatimah binti Qais keluar.”
Jika Al-Qur’an dan Sunnah bersama-sama menunjukkan hal ini, dan ada ijma’ dalam kondisi tertentu bahwa wanita yang dilarang bepergian atau keluar rumah selama iddah hanya dilarang dari hal-hal yang tidak wajib dan bukan untuk urusan yang wajib atau penting baginya, maka haji adalah kewajiban yang harus ditunaikan jika dia mampu secara finansial dan fisik, serta ditemani oleh seorang wanita atau lebih yang terpercaya.
Jika seorang wanita sudah mencapai usia haid atau genap 15 tahun tetapi tidak memiliki harta untuk menunaikan haji, maka orang tuanya wajib membiayainya. Jika dia tidak memiliki wali atau suami, maka tidak ada kewajiban bagi wali atau suaminya untuk membiayai hajinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki ingin berhaji dengan berjalan kaki dan dia mampu melakukannya, maka ayah atau walinya tidak boleh melarangnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita ingin berhaji dengan berjalan kaki, walinya boleh melarangnya dari berjalan kaki dalam hal yang tidak wajib.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita sudah baligh dan mampu secara fisik dan finansial untuk berhaji, lalu walinya atau suaminya melarangnya, maka dia boleh dilarang kecuali jika dia sudah berniat ihram haji. Sebab, haji adalah kewajiban tanpa batas waktu tertentu, melainkan seumur hidup. Jika dia berniat ihram haji dengan izin suaminya, maka suaminya tidak boleh melarangnya. Jika dia berniat ihram tanpa izin, maka ada dua pendapat:
- Suami wajib membiarkannya. Menurut pendapat ini, jika dia berhaji sunnah dan sudah berniat ihram, suami tidak boleh melarangnya karena siapa pun yang sudah memulai haji wajib menyelesaikannya.
- Dia dianggap seperti orang yang terhalang (muhshar), sehingga harus menyembelih hewan, memendekkan rambut, dan bertahallul, dan itu menjadi hak suami.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dan Muslim bin Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwa dia berkata tentang seorang wanita yang berniat haji lalu dilarang suaminya: “Dia seperti orang yang terhalang (muhshar).”
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika suaminya tidak melarangnya. Jika itu kewajiban, maka dia telah menunaikan kewajibannya. Jika itu sunnah, dia mendapat pahala insya Allah.
Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini:
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa kewajiban haji bagi yang mampu berlaku pada waktu tertentu. Jika dia menunda padahal bisa menunaikannya di awal kesempatan, maka dia berdosa. Dia seperti orang yang meninggalkan shalat padahal mampu, hingga waktunya habis. Haji setelah tahun pertama kemampuannya dianggap qadha, seperti shalat yang ditunaikan setelah waktunya habis. Kemudian dia memberikan kami…
Beberapa orang melakukannya dalam shalat ketika masuk waktu pertama, lalu meninggalkannya. Jika dia shalat pada waktunya, atau dalam nazar puasa, atau yang wajib baginya karena kafarat atau qadha, maka dalam semua itu dikatakan bahwa selama memungkinkan dan dia menundanya, maka dia berdosa karena penundaannya. Kemudian dia berkata tentang wanita: ayah dan suaminya bisa memaksanya untuk meninggalkan hal ini demi alasan tersebut. Pendapat ini juga diikuti oleh orang lain yang memberikan fatwa, dan aku tidak tahu dalilnya kecuali apa yang telah dijelaskan dari pendapat sebagian ahli kalam.
(Imam Syafi’i berkata): Sekelompok dari mereka berkata kepadaku: “Kami bertanya kepadamu, dari mana engkau berpendapat bahwa seseorang boleh menunda haji padahal dia mampu? Jika itu boleh, maka pendapatmu tentang wanita juga boleh?” Aku menjawab: “Berdasarkan dalil dari Kitab Allah ‘azza wa jalla dengan hujah yang meyakinkan.” Mereka berkata: “Sebutkanlah.” Aku menjawab: “Ya. Kewajiban haji turun setelah hijrah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin haji, sementara beliau sendiri tidak berhaji di Madinah setelah kembali dari Tabuk—tidak karena perang atau kesibukan.” Kebanyakan kaum muslimin yang mampu juga tidak berhaji, termasuk istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika pendapat kalian benar, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan meninggalkan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sebab, beliau tidak berhaji setelah diwajibkan kecuali pada Haji Wada’. Beliau juga tidak akan membiarkan seorang muslim meninggalkan kewajiban Allah Ta’ala padahal dia mampu, sementara bersama mereka ada ribuan orang yang mampu tetapi tidak berhaji setelah kewajiban haji. Jibril pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua waktu dan berkata: ‘Antara kedua waktu ini adalah waktu (shalat).’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengakhirkan shalat Isya’ sampai anak-anak dan wanita tertidur. Jika seperti yang kalian katakan, tentu beliau akan shalat ketika syafaq (mega merah) telah hilang. Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata: ‘Jika aku memiliki hutang puasa Ramadhan, aku tidak mampu mengqadhanya sampai Sya’ban.’ Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sehari sedangkan suaminya hadir kecuali dengan izinnya.'”
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian mereka berkata kepadaku: “Jelaskan kepadaku waktu haji.” Aku menjawab: “Haji itu antara ketika diwajibkan bagi yang wajib hingga dia mati atau menunaikannya. Jika dia mati, kita tahu waktunya telah habis.” Dia bertanya: “Apa dalilnya?” Aku menjawab: “Seperti yang kusebutkan tentang penundaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istrinya, dan banyak sahabatnya padahal mereka mampu.” Dia bertanya: “Kapan haji menjadi terlewat?” Aku menjawab: “Jika dia mati sebelum menunaikannya atau mencapai usia yang tidak memungkinkannya untuk melakukannya karena lemah.” Dia bertanya: “Apakah bisa diqadha untuknya?” Aku menjawab: “Ya.” Dia bertanya: “Bisakah kau beri contoh seperti ini?” Aku menjawab: “Ya. Seseorang memiliki kewajiban puasa selain Ramadhan. Jika dia mati sebelum menunaikannya padahal mampu, maka dia berdosa karena meninggalkannya. Jika dia mati sebelum sempat, maka tidak berdosa karena tidak sempat.” Dia bertanya: “Bagaimana dengan shalat?” Aku menjawab: “Sama dalam satu makna, tetapi berbeda dalam makna lain.” Dia bertanya: “Apa makna yang sama?” Aku menjawab: “Shalat memiliki dua waktu: awal dan akhir. Jika dia mengakhirkan dari waktu pertama tanpa kelalaian hingga keluar waktu akhir, maka dia berdosa karena meninggalkannya padahal mampu. Namun, tidak ada shalat yang diwakilkan.” Dia bertanya: “Di mana perbedaannya?” Aku menjawab: “Karena Allah dan Rasul-Nya membedakannya. Tidakkah kau lihat bahwa wanita haid mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha shalat, tidak shalat tetapi boleh haji? Orang yang membatalkan shalatnya dengan jima’ harus mengulang tanpa kafarat, sedangkan yang membatalkan puasanya dengan jima’ harus membayar kafarat dan mengulang, dan yang membatalkan hajinya dengan jima’ harus membayar kafarat yang berbeda dengan kafarat puasa serta mengulang?” Dia berkata: “Aku melihat perbedaannya, cukup.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: “Mengapa engkau tidak mengatakan bahwa wanita yang berniat haji lalu dilarang walinya tidak wajib haji atau dam karena dia tidak memiliki hak, sedangkan engkau mengatakan hal itu pada budak?” Aku menjawab: “Aku mengatakan tidak wajib haji atau dam bagi orang yang tidak boleh berihram sama sekali pada waktu ihram. Sedangkan ihram bagi wanita dan budak diperbolehkan dalam kondisi tertentu atau kondisi yang tidak melarang mereka berihram pada saat mereka berihram. Mereka hanya dilarang karena sebagian alasan…”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Keduanya (manusia) dilarang, dan jika dibiarkan, maka ihram mereka tetap sah bagi keduanya. Jika ada yang bertanya: “Mengapa engkau katakan agar mereka menyembelih darah di tempat mereka?” Aku jawab: “Nabi SAW menyembelih di Hudaibiyyah di luar tanah haram ketika terhalang.” Jika ada yang bertanya: “Apa yang mirip dengan orang yang terhalang ini?” Dijawab: “Aku tidak menganggap ada yang lebih pantas untuk dianalogikan daripada orang yang terhalang. Ia dalam beberapa kondisinya memiliki makna lebih dari sekadar terhalang, yaitu bahwa orang yang terhalang tercegah oleh manusia karena takut pada yang dilarang, sehingga ia diperbolehkan keluar dari ihram. Jika penghalang dari manusia bersifat melampaui batas dengan larangan, maka jika wanita dan budak ini memiliki penghalang dari manusia yang tidak melampaui batas, mereka sama-sama terhalang oleh sebagian manusia dan bahkan lebih, karena manusia yang menghalangi mereka berhak melarang mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): “Budak yang berihram untuk haji tanpa izin tuannya, lebih aku sukai jika tuannya membiarkannya, meskipun tuannya berhak melarang. Jika tuannya melarang, budak itu seperti orang yang terhalang, tidak ada pilihan kecuali dua pendapat, dan Allah lebih tahu. Pertama: ia hanya wajib menyembelih darah dan tidak boleh diganti, sehingga ia boleh bertahallul jika ia budak yang tidak mampu menyembelih. Jika ia merdeka dan mampu, ia harus menyembelih. Siapa yang berpendapat demikian untuk budak, juga berpendapat sama untuk orang merdeka yang terhalang musuh dan tidak memiliki apa-apa: ia boleh mencukur dan bertahallul, dan ketika mampu, ia wajib menyembelih darah. Pendapat kedua: mengganti kambing dengan dirham, dan dirham dengan makanan. Jika ia menemukan makanan, ia bersedekah dengannya; jika tidak, ia berpuasa setiap satu mud setara dengan satu hari. Budak dalam kondisi apa pun dianggap tidak mampu, sehingga ia berpuasa.”
(Imam Syafi’i berkata): “Siapa yang mengambil pendapat ini menganalogikannya dengan dam untuk tamattu’, karena Allah SWT berfirman: ‘Maka sembelihlah dam yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (dam), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang.’ (QS. Al-Baqarah: 196). Jika ia tidak menemukan dam dan tidak berpuasa, hal itu tidak menghalanginya untuk bertahallul dari umrah dan hajinya, tetapi ia tetap wajib menyembelih dam atau bersedekah makanan setelahnya. Dikatakan: Jika orang yang terhalang boleh bertahallul dengan menyembelih dam tetapi tidak menemukannya, ia boleh bertahallul dan menyembelih ketika mampu, atau menggantinya jika ada pengganti. Ia tidak boleh ditahan untuk dam sehingga haram baginya bertahallul pada waktu yang diperintahkan. Ini juga dianalogikan dengan tebusan untuk perburuan, karena Allah SWT berfirman: ‘Hendaklah diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kamu dengan menyembelih dam yang sampai ke Ka’bah, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa sebanding dengan itu.’ (QS. Al-Maidah: 95). Dikatakan: Ketika Allah menyebut dam di sini dan memberikan penggantinya, serta menyebutkan alternatif dalam kafarat, lalu menyebut darah untuk orang yang terhalang tanpa menyebut pengganti, maka ketentuan Allah SWT adalah adanya pengganti dalam kewajiban lain. Ulama tidak boleh menjadikan nash yang jelas dalam ibadah sebagai dalil untuk yang global, sehingga menghukumi yang global seperti yang jelas, sebagaimana kami katakan tentang memerdekakan budak mukmin dalam pembunuhan, serupa dengan budak dalam zhihar meskipun tidak disebut ‘mukmin’. Sebagaimana kami katakan tentang saksi yang disebut adil di satu tempat dan tidak disyaratkan di tempat lain: mereka tetap adil di setiap tempat sesuai ketentuan Allah. Kami berdalil—dan Allah lebih tahu—bahwa hukum yang global sama dengan yang jelas jika maknanya satu. Pengganti bukan tambahan. Terkadang ada ketentuan Allah di mana kami tidak mengatakan ini, karena tidak jelas bahwa kami wajib mengatakan ini untuk dam ihshar. Ini tidak jelas dan bersifat global, dan Allah lebih tahu.”
(Imam Syafi’i berkata): “Wanita dalam masa iddah dari suami yang masih berhak rujuk, jika berihram untuk haji dan suami merujuknya, suami berhak melarangnya. Jika tidak merujuk, ia tetap dilarang hingga iddah selesai. Jika iddah selesai, ia merdeka memilih dan boleh menyempurnakan hajinya. Demikian juga wanita merdeka (janda) yang berihram, walinya boleh melarangnya pergi. Dikatakan kepada walinya: ‘Jika mau, temani dia; jika tidak, kami akan mengirimnya dengan wanita terpercaya.’ Jika tidak ada wanita terpercaya, ia tidak boleh bepergian sendirian atau hanya dengan satu wanita. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa ihramnya tidak batal jika ia berihram selama iddah?’ Aku jawab: ‘Selama ia masih memiliki jalan untuk itu, aku tidak buru-buru membatalkannya hingga jelas tidak ada jalan.'”
“Jika ia berihram selama iddah kematian suami atau talak yang telah berlalu, ihramnya tetap wajib, dan ia dilarang pergi hingga iddah selesai. Jika iddah selesai, ia boleh pergi. Jika sempat haji, ia menunaikannya; jika tidak, ia bertahallul dengan umrah. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa tidak menganggapnya terhalang oleh penghalangnya?’ Aku jawab: ‘Ia hanya terhalang untuk sementara waktu. Jika waktu itu habis, ia tidak terhalang lagi. Masa itu adalah hari-hari yang akan berlalu, dan larangannya bukan sesuatu yang berpindah ke orang lain. Ia tidak boleh pergi hingga…”
Dikatakan bahwa seseorang mungkin dibebaskan sebelum pembebasannya oleh sesuatu yang dibuat oleh orang lain untuknya atau tidak dibuat olehnya, dan ini tidak seperti wanita yang sedang dalam masa iddah yang memiliki penghalang untuk dihalangi. Jika seorang hamba berniat untuk haji lalu tuannya menghalanginya, maka dia boleh bertahallul. Jika dia dibebaskan setelah bertahallul, maka tidak ada kewajiban haji atasnya kecuali haji Islam. Jika dia dibebaskan sebelum bertahallul, maka dia harus melanjutkan ihramnya, seperti seseorang yang terhalang oleh musuh sehingga dia boleh bertahallul. Jika dia tidak bertahallul sampai aman dari musuh, maka dia tidak boleh bertahallul dan harus melanjutkan ihramnya. Jika seorang wanita yang menguasai dirinya sendiri berniat haji lalu menikah, suaminya tidak boleh menghalanginya dari haji karena haji itu telah menjadi kewajibannya sebelum suami memiliki hak untuk menghalanginya. Suami juga tidak wajib menafkahinya selama dia pergi haji atau dalam ihramnya karena dia menghalangi dirinya sendiri tanpa izin suami, baik suami ikut haji atau tidak. Tidak boleh menikahi wanita yang sedang ihram atau laki-laki yang sedang ihram.
(Ar-Rabi’ berkata): Masalah ini mengandung kesalahan karena Asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita yang sedang ihram atau laki-laki yang sedang ihram. Ketika wanita ini berniat haji lalu menikah, maka pernikahannya batal. Dia tidak memiliki suami yang bisa menghalanginya, dan dia harus melanjutkan hajinya. Dia juga tidak memiliki suami yang wajib menafkahinya karena dia tidak termasuk dalam hukum istri. Mungkin Asy-Syafi’i hanya menyampaikan pendapat ini dari orang yang membolehkan pernikahan orang yang sedang ihram. Adapun pendapatnya sendiri adalah bahwa tidak boleh menikahi laki-laki atau perempuan yang sedang ihram, dan ini terdapat dalam kitab Asy-Syighar.
(Asy-Syafi’i berkata): Wali dari wanita baligh yang kurang akal, jika ada mahram yang bersedia menemaninya dan dia memiliki harta, wajib memberinya dari hartanya untuk biaya haji jika dia menghendakinya, selama ada mahram yang menemaninya atau dia pergi bersama wanita muslimah lainnya.
[Pasal tentang waktu yang mengharuskan haji dan yang tidak mengharuskan]
(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Jika seorang anak laki-laki bermimpi basah atau anak perempuan haid, meskipun belum genap 15 tahun atau sudah genap 15 tahun sebelum baligh, dan keduanya tidak terganggu akalnya, memiliki kendaraan dan bekal, mampu menggunakan kendaraan, tidak terhalang oleh penyakit, penguasa, atau musuh, serta berada di tempat yang jika mereka berangkat dari sana dengan perjalanan normal bisa mencapai haji, maka haji wajib atas mereka. Jika mereka tidak melakukannya sampai meninggal, maka haji tetap menjadi kewajiban mereka karena mereka mampu melakukannya pada waktu yang sah untuk mereka. Namun, jika mereka berada di tempat yang jika berangkat saat baligh tidak akan bisa mencapai haji karena jarak yang jauh atau waktu haji yang dekat, lalu mereka tidak berangkat dan tidak hidup sampai haji tahun berikutnya, maka tidak ada kewajiban haji atas mereka. Siapa yang tidak wajib haji lalu meninggalkannya, padahal jika dia haji akan sah, maka tidak ada kewajiban qadha atasnya.
Jika saat baligh mereka berangkat dengan perjalanan yang jauh lebih cepat dari perjalanan normal, seperti menempuh perjalanan dua hari dalam satu hari atau tiga hari dalam dua hari, maka menurutku – wallahu a’lam – mereka tidak wajib melakukan perjalanan yang berbeda dari kebiasaan umum. Semua ini jika dilakukan adalah baik. Jika mereka baligh dalam keadaan berakal, lalu tidak sempat berangkat seperti kebiasaan penduduk negerinya sampai akalnya terganggu dan tidak kembali pada waktu yang memungkinkan mereka mencapai haji, maka tidak wajib menghajikan mereka. Kewajiban menghajikan mereka hanya jika ada waktu ketika mereka masih berakal dan akalnya tidak hilang sampai waktu yang memungkinkan mereka berangkat haji.
Jika ada yang bertanya: Apa bedanya orang yang terganggu akalnya dengan orang yang terganggu oleh penyakit? Dijawab: Kewajiban orang yang terganggu akalnya gugur selama masa terganggunya, sedangkan kewajiban orang yang terganggu oleh penyakit tetapi akalnya sehat tidak gugur selama masa sakitnya. Jika orang yang terganggu akalnya berhaji, tidak sah hajinya, karena amal badan tidak sah jika pelakunya tidak berakal, berdasarkan firman Allah: “Janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk.” (QS. An-Nisa: 43). Jika orang yang berakal tetapi terganggu oleh penyakit berhaji, maka sah hajinya. Jika mereka baligh pada tahun paceklik yang kebanyakan orang khawatir binasa karena kehausan dalam perjalanan dari daerah mereka, atau tidak tersedianya kebutuhan pokok seperti pakan, atau dalam ketakutan dari musuh, maka tidak ada kewajiban haji atas mereka.
Kelompok jamaah haji yang terhalang atau pencuri pun tidak mampu melawannya. Ini lebih mirip dengan orang yang ingin menunaikan haji tetapi tidak mampu, sehingga tidak wajib baginya karena ketidakmampuan tersebut. Jika dia meninggal sebelum sempat menunaikan haji karena perubahan keadaan, maka tidak ada kewajiban haji baginya. Begitu pula jika dia berhaji pertama kali setelah baligh, lalu terhalang oleh musuh, menyembelih hewan kurban, bertahallul sebelum mencapai Mekah, dan pulang, kemudian tidak bisa menunaikan haji hingga meninggal, maka tidak ada kewajiban haji baginya.
Jika penghalang tersebut berada di darat, tetapi dia mampu menempuh perjalanan laut sebagai alternatif, maka aku menyarankan hal itu. Namun, tidak jelas bagiku bahwa dia wajib menempuh jalur laut untuk haji, karena umumnya perjalanan laut mengandung risiko bahaya.
Jika dua orang mencapai usia baligh tetapi akalnya tidak waras (gila) dan tidak sadar hingga melewati masa di mana mereka seharusnya bisa berhaji, maka tidak ada kewajiban haji bagi mereka. Jika keduanya mencapai usia baligh bersama-sama, lalu terhalang oleh musuh yang menghalangi penduduk daerah mereka dari menunaikan haji, dan tidak ada kesempatan bagi mereka atau penduduk daerah lainnya untuk berhaji, maka tidak ada kewajiban haji yang harus ditunaikan atas nama mereka jika mereka meninggal sebelum sempat berhaji.
Namun, jika mereka terhalang secara khusus karena ditahan oleh musuh, penguasa, atau lainnya, sementara orang lain masih bisa berhaji, lalu mereka meninggal tanpa menunaikan haji, maka keduanya termasuk orang yang memiliki kemampuan melalui orang lain, sehingga haji wajib ditunaikan atas nama mereka.
Demikian pula jika seseorang tertahan di negerinya atau di perjalanan karena sakit atau kondisi lain tanpa alasan yang jelas, lalu hidup dalam keadaan tidak sehat hingga waktu haji tiba, kemudian meninggal sebelum sembuh, maka haji tetap wajib baginya.
Intinya, jika dua orang yang telah baligh tidak mampu menunaikan haji dengan cara apa pun melalui kemampuan fisik mereka, tetapi memiliki harta dan ada orang di daerah mereka yang mampu berhaji, lalu mereka meninggal sebelum sempat berhaji, maka haji tetap menjadi kewajiban mereka. Kewajiban haji gugur hanya jika tidak ada seorang pun di daerah mereka yang mampu menunaikannya dengan alasan-alasan yang telah disebutkan.
Jika ada yang bertanya: “Apa perbedaan antara kasus ini dengan orang yang terhalang oleh musuh atau kejadian tertentu?” Jawabannya adalah bahwa dia tidak menemukan jalan untuk berhaji sendiri atau melalui orang lain di daerahnya, karena orang lain juga berada dalam kondisi yang sama—takut pada musuh, bahaya kelaparan, sakit, atau uzur lainnya. Meskipun dia uzur secara pribadi, mungkin masih ada orang sehat yang bisa menghajikannya.
Contoh lain adalah jika seseorang ditahan oleh penguasa atau pencuri sendirian, sementara orang lain masih bisa berhaji, lalu dia meninggal, maka haji wajib ditunaikan atas namanya. Orang tua yang renta lebih dekat kepada uzur dibandingkan dua kasus ini, tetapi jika ada yang bisa menghajikannya, maka itu tetap wajib.
[Bab Kemampuan dengan Diri Sendiri atau Orang Lain]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ketika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—memerintahkan wanita dari Khas’am untuk menghajikan ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa firman Allah “Barangsiapa mampu menempuh perjalanan…” (QS. Ali Imran: 97) memiliki dua makna:
- Mampu secara fisik dan finansial.
- Tidak mampu secara fisik karena uzur seperti usia tua, sakit, atau cacat bawaan yang menghalanginya untuk bertahan di kendaraan, tetapi ada orang yang bisa menunaikan haji atas namanya—baik dengan memberikan upah (jika dia mampu) atau tanpa upah (jika orang tersebut patuh).
Ini termasuk salah satu bentuk kemampuan. Hukum ini berlaku sama bagi:
– Pria yang masuk Islam tetapi tidak bisa bertahan di kendaraan.
– Anak yang mencapai baligh dalam kondisi serupa.
– Budak yang merdeka tetapi tidak mampu.
Jika dia mampu bertahan di tandu atau kendaraan tertentu tanpa bahaya, maka wajib baginya untuk menaikinya. Namun, jika tidak ada orang yang patut diutus atau tidak memiliki harta, maka dia termasuk orang yang tidak mampu secara fisik maupun melalui perantaraan, sehingga haji tidak wajib baginya.
Kemampuan melalui perantaraan terbagi dua:
- Memerintahkan orang lain dan ditaati tanpa perlu memberi upah.
- Memiliki harta untuk menyewa seseorang.
Jika dia memaksakan diri untuk berhaji, maka hajinya sah, dan aku berharap pahalanya lebih besar daripada orang yang mampu dengan mudah.
Hal itu menjadi ringan baginya. Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan seorang wanita untuk berhaji atas nama ayahnya karena ayahnya telah masuk Islam namun tidak mampu bertahan di atas kendaraan, hal ini menunjukkan bahwa kewajiban haji tetap berlaku jika seseorang mampu melalui orang lain dalam kondisi seperti ini. Orang yang telah meninggal lebih berhak untuk dihajikan atas namanya karena ia berada dalam keadaan yang lebih membutuhkan dibandingkan orang yang jika memaksakan diri untuk haji dalam keadaan tertentu masih bisa diterima, sedangkan mayit sama sekali tidak mungkin memaksakan diri.
[Pembahasan tentang Kondisi yang Memungkinkan Seseorang Menghajikan Orang Lain]
(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan dalam haji wajib agar seseorang menghajikan orang lain. Hal ini dapat dianalogikan dengan dua sudut pandang:
Pertama, bahwa Allah ta’ala mewajibkan dua jenis kewajiban kepada makhluk-Nya: satu yang terkait badan (fisik) dan satu lagi terkait harta. Kewajiban yang terkait badan tidak dapat dialihkan kepada orang lain, seperti shalat, hudud, qishash, dan lainnya. Orang sakit tetap shalat sesuai kemampuannya, tetapi jika akalnya terganggu, kewajiban shalat gugur. Demikian pula wanita haid, kewajiban shalatnya gugur selama masa haid. Shalat yang dilakukan dalam keadaan akal terganggu atau haid tidak sah, dan tidak ada kewajiban bagi orang lain untuk menggantikan shalat mereka. Namun, ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan seseorang menghajikan orang lain untuk haji wajib, hal ini seperti perintah beliau dalam haji dan umrah wajib. Adapun haji atau umrah sunnah, tidak boleh dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain, baik semasa hidup maupun setelah mati.
Pendapat ini memiliki konsekuensi: jika seseorang berwasiat agar dihajikan untuknya secara sunnah, wasiat itu batal, seperti wasiat untuk shalat atas namanya. Jika seseorang menghajikan orang lain berdasarkan wasiat, biayanya diambil dari sepertiga harta, dan akad ijārah (upah) atasnya tidak sah. Terdapat dua pendapat mengenai upah yang diterima:
- Ia berhak mendapat upah sepadan dan mengembalikan kelebihan yang diterima, atau menutupi kekurangan, sebagaimana dalam semua akad ijārah yang tidak sah.
- Ia tidak berhak upah karena amalnya dianggap untuk dirinya sendiri, bukan orang lain.
Pendapat kedua, perintah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – agar seseorang menghajikan orang lain dalam kewajiban menunjukkan bahwa kewajiban badan terbagi dua:
- Yang tidak dapat diwakilkan, seperti shalat dan hudud.
- Ibadah haji dan umrah, yang dapat diwakilkan, baik sunnah maupun wajib, jika orang tersebut tidak mampu melakukannya. Namun, tidak boleh menghajikan orang lain secara sunnah jika yang bersangkutan masih mampu, karena izin Rasulullah hanya berlaku bagi yang tidak mampu. Jika seseorang menghajikan orang lain yang masih mampu, haji wajibnya tidak sah.
‘Atha’ berpendapat bahwa seseorang boleh mewakilkan ibadah haji atau umrah sunnah atas nama orang lain, baik yang bersangkutan mampu atau tidak. Sufyan meriwayatkan dari Yazid, maula ‘Atha’, bahwa ‘Atha’ pernah memerintahkannya untuk thawaf atas namanya.
(Imam Syafi’i berkata): Sepertinya ‘Atha’ berpendapat bahwa thawaf termasuk ibadah yang boleh diwakilkan dalam kondisi apa pun. Namun, kami tidak sependapat. Menurut kami, tidak boleh seseorang beribadah atas nama orang lain kecuali jika yang bersangkutan benar-benar tidak mampu, baik karena usia, sakit yang tidak ada harapan sembuh, atau setelah kematiannya. Pendapat ini lebih sesuai dengan sunnah dan logika.
Dia menjelaskan bahwa jika seseorang berhaji secara sukarela untuk orang lain, sementara orang yang diwakili itu mampu menunaikan haji sendiri, maka haji yang diwakilkan itu tidak sah. Dia berkata: “Dan bagi anak kecil yang belum mampu menaiki kendaraan, baik tandu maupun lainnya, atau jika hal itu terjadi ketika dia sudah dewasa, atau seorang budak yang merdeka, atau seorang kafir yang masuk Islam sehingga tidak sempat menunaikan haji sebelum kondisi tersebut menimpanya, maka wajib baginya untuk mencari orang yang bisa menghajikannya, baik dengan upah atau tanpa upah. Jika dia mampu menaiki kendaraan seperti tandu atau kursi atau lainnya, maka dia wajib menghajikan dirinya sendiri. Namun, jika dia tidak mampu menaiki unta atau hewan tunggangan kecuali dengan tandu atau kursi, atau dengan cara apa pun yang memungkinkannya untuk berkendara, maka dia wajib menunaikan haji sendiri, dan tidak boleh diwakilkan.”
Dia juga berkata: “Siapa pun yang sehat dan mampu menunaikan haji tetapi tidak melakukannya hingga kondisi seperti ini menimpanya, maka dia boleh mengutus orang lain untuk menghajikannya, karena dia telah mencapai kondisi yang diizinkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dihajikan oleh orang lain.” Dia menambahkan: “Jika seseorang sakit tetapi masih ada harapan sembuh, aku berpendapat dia tidak boleh mengutus orang lain untuk menghajikannya sampai dia sembuh dan menunaikan haji sendiri, atau menjadi tua sehingga bisa dihajikan, atau meninggal sehingga dihajikan setelah kematiannya. Jika ada yang bertanya, ‘Apa perbedaan antara orang sakit yang parah ini dengan orang tua atau orang yang lemah?’ Dijawab, ‘Aku tidak mengetahui seorang pun yang setelah tua tidak disertai penyakit lain sehingga masih mampu menaiki kendaraan. Kebanyakan orang yang lemah kondisinya seperti orang tua, sedangkan orang sakit sering kali kembali sehat.'”
Dia juga menyatakan: “Jika seseorang menghajikan orang yang lemah, kemudian kelemahannya hilang dan dia hidup dalam keadaan mampu menunaikan haji sendiri, maka dia wajib menghajikan dirinya sendiri. Sebab, izin untuk dihajikan hanya diberikan karena ketidakmampuan. Ketika kemampuan itu ada, dia tidak boleh meninggalkan kewajiban haji selama mampu melakukannya sendiri. Wallahu a’lam.”
Dia melanjutkan: “Jika orang sakit mengutus seseorang untuk menghajikannya, lalu dia sembuh dan hidup dalam keadaan mampu menunaikan haji tetapi tidak melakukannya hingga meninggal, maka haji itu tetap menjadi kewajibannya. Hal yang sama berlaku untuk orang yang lemah dan orang tua.” Dia menjelaskan: “Kelemahan dan usia tua yang tidak ada harapan sembuh memiliki makna yang sama dalam hal ini. Namun, orang sakit berbeda; kami tidak memerintahkannya untuk mengutus orang lain, sedangkan orang tua dan yang lemah diperintahkan untuk mengutus orang yang menghajikan mereka. Jika orang sakit mengutus seseorang untuk menghajikannya lalu meninggal sebelum sembuh, ada dua pendapat: pertama, hajinya tidak sah karena diutus dalam kondisi yang tidak diperbolehkan—ini pendapat yang lebih kuat dan yang aku pegang; kedua, hajinya sah karena telah dihajikan oleh orang dewasa yang merdeka sementara dia tidak mampu, dan tidak sempat menjadi mampu setelah dihajikan orang lain sehingga bisa menghajikan dirinya sendiri.”
[Bab: Orang yang Tidak Boleh Menghajikan Orang Lain]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i rahimahullah, dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki mengucapkan, “Labbaika ‘an Fulan (Aku penuhi panggilan-Mu untuk si Fulan).” Maka Nabi bersabda, “Jika engkau sudah berhaji, ucapkanlah labbaik untuk si Fulan. Jika belum, berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu berhajilah untuknya.” Diriwayatkan juga oleh Sufyan, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, bahwa Ibnu Abbas mendengar seorang lelaki mengucapkan, “Labbaika ‘an Syubrumah.” Ibnu Abbas berkata, “Celaka engkau, siapa Syubrumah?” Lelaki itu menyebutkan kerabatnya, lalu Ibnu Abbas bertanya, “Sudahkah engkau berhaji untuk dirimu sendiri?” Lelaki itu menjawab, “Belum.” Ibnu Abbas berkata, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu berhajilah untuk Syubrumah.”
Asy-Syafi’i berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wanita dari Khas’am untuk menghajikan ayahnya, hal itu mengandung beberapa petunjuk, termasuk yang telah kami jelaskan bahwa itu adalah salah satu dari dua bentuk kemampuan. Jika Nabi memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya, maka…”
Keadaan di mana seseorang diperintahkan untuk menunaikan haji atas namanya dan itu seperti melunasi utangnya, maka jelas bahwa amal untuk dirinya dalam kondisi tersebut boleh dilakukan oleh orang lain dan itu mencukupinya, berbeda dengan shalat dalam hal ini. Jadi, sama saja apakah yang menunaikan haji atas namanya itu kerabat atau bukan. Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan seorang wanita untuk menunaikan haji atas nama seorang laki-laki, dan keduanya sama-sama dalam keadaan ihram kecuali dalam hal pakaian, karena keduanya berbeda dalam beberapa aspek, maka laki-laki lebih utama untuk menunaikan haji atas nama laki-laki, dan wanita atas nama wanita, meskipun semua itu boleh berdasarkan riwayat dari Thawus dan lainnya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sebagaimana yang telah kami tulis, yang cukup dengan teks hadits.
Jika seseorang tidak wajib menunaikan haji kecuali dalam keadaan tidak mampu secara fisik, maka tidak wajib bagi orang lain untuk menunaikan haji atas namanya. Namun, lebih disukai jika kerabatnya yang menunaikan haji atas namanya, meskipun itu bukan kewajiban, atau menyewa orang untuk menunaikan haji bagi yang bersangkutan, bahkan jika dia miskin dan tidak mampu membeli bekal atau kendaraan. Jika tubuhnya sehat tetapi terus dalam keadaan demikian hingga dia menjadi mampu sebelum musim haji dalam waktu yang jika dia berangkat tidak akan sampai ke haji, lalu dia meninggal sebelum datang musim haji berikutnya, maka tidak ada haji yang wajib ditunaikan atas namanya. Jika dia menjadi mampu dalam waktu yang tidak memungkinkannya untuk menunaikan haji, lalu dia tetap dalam keadaan mampu hingga datang musim haji, tetapi tidak sempat berangkat bersama penduduk negerinya untuk sampai ke haji hingga dia tidak lagi memiliki bekal atau kendaraan, lalu meninggal sebelum menunaikan haji tersebut atau sebelum haji berikutnya di mana dia menjadi mampu, maka tidak ada haji yang wajib atasnya. Haji hanya wajib jika telah tiba waktu haji setelah baligh dan mampu, lalu dia tidak menunaikannya hingga terlewat. Jika dia dalam keadaan mampu tetapi terhalang dari haji, maka wajib baginya untuk menyuruh orang lain menunaikan haji atas namanya, atau haji tersebut ditunaikan setelah kematiannya. Hal ini telah ditulis di tempat lain.
[Bab Menyewa untuk Haji]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Seseorang boleh menyewa orang lain untuk menunaikan haji atas namanya jika dia tidak mampu menaiki kendaraan karena kelemahan fisik tetapi memiliki harta yang cukup, atau bagi ahli warisnya setelah kematiannya. Menyewa untuk haji diperbolehkan seperti menyewa untuk pekerjaan lainnya. Bahkan, menyewa untuk kebaikan lebih baik dengan izin Allah daripada menyewa untuk hal yang tidak mengandung kebaikan. Dia boleh mengambil upah sesuai yang diberikan, meskipun banyak, seperti upah untuk pekerjaan lain, tidak ada perbedaan dalam hal ini. Jika seseorang menyewa orang lain untuk menunaikan haji atas namanya lalu orang tersebut melakukan haji qiran, maka dam qiran menjadi tanggungan orang yang disewa, dan bekal orang yang dihajikan lebih baik karena dia telah menunaikan haji sekaligus umrah.
Jika seseorang menyewa orang lain untuk menunaikan haji atas namanya atau atas nama orang lain, maka penyewaan itu diperbolehkan, dan haji atas namanya sah sejak memulai ihram untuknya. Tidak diperbolehkan menyewa dengan syarat “menunaikan haji atas namanya dari negeri tertentu” hingga dikatakan “mulai ihram untuknya dari tempat tertentu,” karena ihram boleh dimulai dari mana saja. Jika tidak menyebutkan ini, maka penyewaan itu tidak jelas. Jika ditentukan tempat tertentu untuk memulai ihram, lalu dia memulai ihram sebelum tempat itu kemudian meninggal, maka tidak ada upah untuk perjalanannya sama sekali. Upah dihitung sejak dia memulai ihram dari miqat yang ditentukan hingga menyelesaikan haji. Jika dia memulai ihram setelah melewati miqat, maka upah hanya dihitung dari miqat. Jika dia melewati miqat tanpa ihram lalu meninggal sebelum berihram, maka tidak ada upah karena dia belum mulai amal haji. Jika dia meninggal setelah berihram dari tempat setelah miqat, maka upah dihitung sejak hari dia berihram dari tempat tersebut dan tidak dihitung dari miqat karena dia tidak berihram darinya. Jika dia berangkat untuk haji tetapi tidak berihram atau mengucapkan talbiyah, atau melakukan amal haji atau tidak melakukannya, jika dia berkata “Aku tidak berihram untuk haji” atau “Aku berumrah tetapi tidak berhaji” atau “Aku disewa untuk haji tetapi hanya berumrah,” maka dia tidak berhak atas upah. Demikian juga jika dia berhaji tetapi merusaknya, karena dia telah meninggalkan perjanjian dan membatalkan haknya sendiri. Jika dia disewa untuk menunaikan haji atas namanya dengan syarat berihram dari tempat tertentu, lalu dia berihram dari sana kemudian meninggal dalam perjalanan, maka dia berhak atas upah sesuai jarak yang telah ditempuh. Jika dia disewa untuk memulai ihram setelah miqat lalu melakukannya, maka dia telah menyelesaikan sebagian dari apa yang disewakan. Jika dia disewa, maka kewajibannya adalah berihram dari miqat, dan ihram sebelum miqat adalah sunnah. Jika dia disewa untuk…
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji dari Yaman, lalu dia berumrah untuk dirinya sendiri kemudian pergi ke miqat yang ditentukan untuk hajinya dan memulai ihram haji atas nama orang yang mengupahnya, maka itu tidak cukup kecuali jika dia pergi ke miqat yang disepakati untuk memulai ihram haji atas nama orang tersebut. Jika tidak dilakukan dan dia memulai ihram haji bukan dari miqat yang ditentukan, maka dia harus memulai ihram dari miqat tersebut. Jika dia sampai ke miqat dan memulai ihram haji dari sana atas nama orang yang mengupahnya, itu sudah cukup. Jika tidak, dia harus menyembelih dam, dan itu menjadi tanggungannya sendiri, bukan orang yang mengupahnya. Dia juga harus mengembalikan sebagian upah sesuai jarak antara miqat dan tempat dia memulai ihram, karena itu merupakan kekurangan dalam pekerjaannya. Dam tidak dibebankan kepada orang yang mengupah karena itu akibat kelalaiannya. Haji tetap sah dalam kondisi apa pun, baik dia memulai ihram sebelum miqat, setelah miqat, atau dari miqat itu sendiri. Jika pekerja melakukan sesuatu dalam haji yang tidak diperintahkan oleh orang yang mengupah dan mengharuskannya membayar fidyah, maka fidyah itu menjadi tanggungannya sendiri, bukan orang yang mengupahnya.
Jika dia memulai ihram haji atas nama orang yang mengupah dari miqat yang ditentukan setelah berumrah untuk dirinya sendiri, lalu meninggal sebelum menyelesaikan haji, maka dia berhak menerima upah sesuai bagian haji yang telah dilakukannya. Ada pendapat yang mengatakan dia tidak berhak upah kecuali jika hajinya selesai. Pendapat ini berargumen bahwa seseorang yang menghajikan orang lain tidak berhak upah kecuali jika hajinya sempurna. Namun, pendapat pertama lebih tepat karena dia telah melakukan sebagian pekerjaannya.
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji lalu merusak hajinya, dia harus mengembalikan seluruh upahnya dan wajib menunaikan haji sendiri di tahun berikutnya karena haji yang rusak tidak sah untuk orang lain. Jika haji yang rusak itu dianggap untuk dirinya sendiri, maka dia harus menunaikannya kembali untuk dirinya. Jika dia mengambil upah untuk menunaikan haji yang rusak, dia harus mengembalikannya karena itu tidak sah untuk orang lain. Jika dalam hajinya dia melakukan kesalahan yang mengharuskan fidyah tetapi tidak merusak haji, maka fidyah itu menjadi tanggungannya, dan upah tetap menjadi haknya.
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji lalu terhalang oleh musuh sehingga tidak bisa menyelesaikan haji, kemudian masuk (ke Mekah), thawaf, sa’i, dan bercukur, maka dia berhak menerima upah sesuai jarak dari miqat hingga tempat dia terhalang dalam perjalanannya. Karena itu adalah bagian dari perjalanan haji yang diupah sampai dia tidak lagi menjadi haji. Upah diberikan untuk haji, sedangkan dia keluar dari ihram dengan amalan yang bukan bagian dari haji.
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji atas nama orang lain, lalu dia berumrah untuk dirinya sendiri kemudian ingin menunaikan haji atas nama orang yang mengupah, dia harus pergi ke miqat orang yang dihajikannya dan memulai ihram dari sana. Jika tidak dilakukan, dia harus menyembelih dam.
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji atas nama orang lain, lalu dia berumrah untuk dirinya sendiri kemudian pergi ke miqat yang disepakati untuk memulai ihram haji atas nama orang tersebut, dan jika miqat itu memang ditentukan khusus, lalu dia memulai ihram haji dari sana, maka itu cukup untuk orang yang dihajikannya. Jika dia meninggalkan miqatnya dan memulai ihram dari Mekah, hajinya tetap sah, tetapi dia harus menyembelih dam karena meninggalkan miqat, dan itu menjadi tanggungannya sendiri. Dia juga harus mengembalikan sebagian upah sesuai jarak antara miqat dan Mekah.
Jika seseorang diupah untuk menunaikan haji tamattu’ atas nama orang lain, tetapi dia melakukan haji ifrad, maka hajinya tetap sah untuk orang tersebut, dan dia harus mengembalikan bagian upah untuk umrah karena dia diupah untuk dua amalan tetapi hanya melakukan satu. Jika dia diupah untuk haji ifrad tetapi melakukan haji qiran, maka dia telah menambahkan umrah, dan orang yang mengupah harus membayar dam qiran. Ini seperti seseorang diupah untuk melakukan suatu pekerjaan, lalu dia menambahkan pekerjaan lain, maka dia tidak berhak upah untuk tambahan umrah karena itu adalah sukarela. Jika dia diupah untuk haji qiran tetapi melakukan haji ifrad, maka hajinya tetap sah, dan dia harus mengirim orang lain untuk berumrah atas nama orang tersebut jika umrah itu wajib. Dia juga harus mengembalikan bagian upah untuk umrah karena dia diupah untuk dua amalan tetapi hanya melakukan satu.
Jika seseorang disewa untuk melakukan haji atas nama orang lain, lalu ia berniat umrah untuk dirinya sendiri dan haji untuk yang menyewa, maka seluruh upah sewa harus dikembalikan karena perjalanan dan amal keduanya satu. Ia tidak boleh beralih dari umrah ke haji atau melakukan amal haji tanpa umrah, karena tidak boleh berniat menggabungkan dua amal, satu untuk dirinya dan satu untuk orang lain. Keduanya juga tidak boleh dilakukan untuk yang menyewa, karena ia telah berniat satu untuk dirinya sendiri, sehingga keduanya dianggap untuk dirinya. Amal untuk diri sendiri lebih utama daripada amal untuk orang lain jika amal tersebut tidak dapat dibedakan.
Jika seseorang disewa untuk menghajikan seorang yang telah meninggal, lalu ia berniat haji untuk mayit tersebut kemudian mengubahnya untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut dianggap untuk yang ia niatkan. Ada dua pendapat mengenai upah sewa: pertama, upah batal karena ia meninggalkan haknya; kedua, upah tetap sah karena haji dilakukan untuk orang lain.
Jika dua orang menyewa seseorang untuk menghajikan kedua orang tua mereka, lalu ia berniat haji untuk keduanya sekaligus, maka sewa tersebut batal dan haji dianggap untuk dirinya sendiri, bukan untuk salah satu dari mereka. Jika ia berniat haji untuk dirinya dan untuk mereka atau salah satunya, maka haji dianggap untuk dirinya dan sewa batal.
Jika seseorang meninggal dan ia masih memiliki kewajiban haji Islam (haji wajib) tetapi belum pernah melaksanakannya, lalu seseorang yang sudah menunaikan haji wajib bersedia menghajikannya, maka haji tersebut sah dan menggantikan kewajibannya. Namun, wali mayit tidak boleh mengeluarkan harta mayit untuk menghajikannya atau memberi upah kepada yang menghajikannya, karena haji tersebut dilakukan secara sukarela. Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan seorang wanita dari Khas’am untuk menghajikan ayahnya, seorang laki-laki untuk menghajikan ibunya, dan seorang laki-laki untuk menghajikan ayahnya karena nazar ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa perempuan boleh berihram untuk laki-laki. Meskipun jika tidak ada contoh ini, sebenarnya laki-laki berihram untuk laki-laki atau perempuan lebih utama, karena ihram laki-laki lebih sempurna. Namun, jika seorang laki-laki menghajikan perempuan atau laki-laki, atau perempuan menghajikan perempuan atau laki-laki, haji tersebut sah asalkan yang menghajikan sudah menunaikan haji wajib.
[Bab: Dari Mana Biaya Haji Orang yang Meninggal dan Belum Berhaji?]
(Imam Syafi’i) rahimahullah berkata: Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dan Thawus, keduanya berkata: “Haji wajib diambil dari pokok harta (warisan).”
(Imam Syafi’i) berkata: Ulama lain berpendapat bahwa haji untuk mayit hanya dilakukan jika ia berwasiat. Jika berwasiat, haji diambil dari sepertiga harta jika mencukupi, dan didahulukan atas wasiat lainnya karena bersifat wajib. Jika tidak berwasiat, tidak boleh dihajikan dari sepertiga atau lainnya, karena haji dianggap seperti wasiat dan didahulukan atas ahli waris. Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia juga mendahulukan memerdekakan budak.
(Imam Syafi’i) berkata: Qiyas dalam hal ini adalah bahwa haji wajib diambil dari pokok harta. Barangsiapa berpendapat demikian, ia memutuskan agar disewa orang untuk mayit dengan upah seminimal mungkin, yaitu menyewa seseorang dari miqat terdekat untuk mengurangi biaya. Tidak boleh menyewa orang dari negeri jauh kecuali tidak ada yang lebih dekat. Pendapat ini didasarkan pada perintah Rasulullah ﷺ dan dianggap sebagai hutang mayit. Pendapat ini juga berlaku untuk segala kewajiban serupa, seperti zakat harta, yang wajib dilaksanakan tanpa pilihan, karena hak manusia harus dipenuhi dari pokok harta. Haji termasuk hak manusia yang wajib ditunaikan kepada golongan tertentu. Dengan demikian, haji diwajibkan oleh Allah, dan jika terkait hak manusia, ia didahulukan atas wasiat dan hutang lainnya sebelum dibagikan kepada ahli waris.
Apa yang menjadi kewajiban manusia, dan ini adalah pendapat yang benar, wallahu a’lam. Barangsiapa yang berpendapat demikian, ia mengatakannya dalam konteks haji jika seseorang tidak mampu melakukannya kecuali dalam keadaan sakit, lalu ia tidak sembuh hingga meninggal dalam keadaan sakit, maka wajib baginya tanpa wasiat; karena kewajiban bagi orang sakit dan yang sehat adalah sama. Adapun apa yang menjadi tanggungannya seperti kafarat sumpah atau lainnya, jika ia berwasiat untuk itu, ada yang mengatakan itu termasuk dalam sepertiga hartanya seperti wasiat lainnya. Ada juga yang berpendapat itu adalah kewajiban. Dan apa yang menjadi kewajibannya karena sesuatu yang ia bebankan pada dirinya sendiri, seperti nazar, kafarat pembunuhan, atau zhihar, sementara ia mampu, mungkin berbeda dengan kewajiban yang mutlak dalam segala kondisi karena itu adalah sesuatu yang sudah ada dan tidak wajib atasnya, tetapi ia sendiri yang mewajibkannya. Keduanya berbeda dalam hal ini, tetapi bersepakat bahwa keduanya adalah kewajiban. Maka ini wajib, dan pengakuan manusia juga wajib. Ada kemungkinan dikatakan bahwa keduanya adalah kewajiban bersamaan, dan aku memohon petunjuk kepada Allah Ta’ala dalam hal ini.
[Bab Haji Tanpa Niat]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Aku lebih suka jika seseorang berniat untuk haji dan umrah ketika memulainya, sebagaimana aku lebih suka untuk semua kewajiban lainnya. Jika seseorang berihram untuk haji dan belum melaksanakan haji Islam, ia berniat untuk melakukannya sebagai tathawwu’ (sunnah) atau untuk orang lain. Atau jika ia berihram dan berkata, ‘Ihramku seperti ihram si fulan,’ untuk seseorang yang tidak hadir, dan si fulan tersebut sedang berihram untuk haji, maka dalam semua kondisi ini ia dianggap sebagai haji dan sah sebagai pengganti haji Islam. Jika ada yang bertanya, ‘Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan?’ Aku jawab: Muslim bin Khalid dan lainnya meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: ‘Atha’ mengabarkan kepada kami bahwa ia mendengar Jabir berkata: “Ali -radhiyallahu ‘anhu- datang dari tugasnya, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, ‘Dengan apa engkau berihram, wahai Ali?’ Ali menjawab, ‘Dengan apa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berihram.’ Nabi bersabda, ‘Berkurbanlah dan tetaplah dalam keadaan ihram sebagaimana engkau sekarang.’ Ali pun berkurban untuknya.” (Imam Syafi’i) berkata: Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah, ia menceritakan tentang haji Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Kami pergi bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hingga sampai di Baida’. Aku melihat sejauh pandanganku, antara penunggang kuda dan pejalan kaki, di depan, kanan, kiri, dan belakang beliau, semuanya ingin mengikutinya dan meneladani apa yang diucapkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka tidak berniat kecuali haji, tidak mengenal yang lain, dan tidak mengenal umrah. Ketika kami thawaf dan berada di Marwah, beliau bersabda, ‘Wahai manusia, barangsiapa yang tidak membawa hadyu (hewan kurban), hendaklah ia bertahallul dan menjadikannya umrah. Seandainya aku mengetahui sebelumnya apa yang aku ketahui sekarang, aku tidak akan membawa hadyu.’ Maka, orang yang tidak membawa hadyu pun bertahallul.” Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Manshur bin Abdurrahman dari Shafiyyah binti Syaibah dari Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata: “Kami pergi bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang membawa hadyu, hendaklah ia tetap dalam ihramnya. Dan barangsiapa yang tidak membawa hadyu, hendaklah ia bertahallul.’ Aku tidak membawa hadyu, maka aku bertahallul, sedangkan Zubair membawa hadyu sehingga ia tidak bertahallul.” Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Amrah dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada lima hari terakhir bulan Dzulqa’dah, dan kami tidak mengira kecuali itu adalah haji. Ketika kami sampai di Saraf atau dekat dengannya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu untuk menjadikannya umrah. Ketika kami sampai di Mina, aku diberikan daging sapi. Aku bertanya, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyembelih untuk istri-istrinya.'” Yahya berkata: Aku menceritakannya kepada Al-Qasim bin Muhammad, lalu ia berkata, “Demi Allah, engkau telah mendapatkan hadits yang benar.” Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Amrah dan Al-Qasim dengan makna yang sama seperti hadits Sufyan, tidak berbeda maknanya. Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim bin Hamd dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hajinya, dan kami tidak mengira kecuali itu adalah haji. Hingga ketika kami sampai di Saraf atau dekat dengannya, aku mengalami haid. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menemuiku saat aku menangis. Beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi, apakah engkau haid?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Ini adalah sesuatu yang Allah tetapkan bagi anak-anak perempuan Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali thawaf di Ka’bah.'”
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkurban untuk istri-istrinya dengan sapi.” Sufyan mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Thawus, Ibrahim bin Maisarah, dan Hisyam bin Hujair mengabarkan kepada kami, mereka mendengar Thawus berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – keluar dari Madinah tanpa menyebut haji atau umrah, menunggu keputusan (dari Allah). Kemudian keputusan turun kepadanya saat beliau berada antara Shafa dan Marwah. Beliau memerintahkan para sahabatnya yang sudah berihram tetapi tidak membawa hadyu (hewan kurban) untuk mengubahnya menjadi umrah. Beliau bersabda: ‘Seandainya aku mengetahui sebelumnya apa yang aku ketahui sekarang, aku tidak akan membawa hadyu. Tetapi aku telah menggundul kepalaku dan membawa hadyu, sehingga aku tidak boleh bertahallul sebelum hadyu sampai ke tempatnya.’ Kemudian Suraqah bin Malik datang dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, putuskanlah untuk kami seperti orang yang baru lahir hari ini. Apakah umrah kami ini hanya untuk tahun ini atau untuk selamanya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, tetapi untuk selamanya. Umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari Kiamat.'”
Ali datang dari Yaman, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bertanya kepadanya: “Dengan apa kamu berihram?” Salah satu perawi dari Thawus berkata: “Dengan ihram Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.” Perawi lainnya berkata: “Aku memenuhi panggilan haji Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.” Asy-Syafi’i berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan para sahabat keluar dalam keadaan berihram, menunggu keputusan. Mereka mengikat ihram bukan untuk haji, umrah, atau qiran, tetapi menunggu keputusan. Ketika keputusan turun kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, beliau memerintahkan siapa saja yang tidak membawa hadyu untuk mengubah ihramnya menjadi umrah, dan siapa yang membawa hadyu untuk menjadikannya haji.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Ali dan Abu Musa Al-Asy’ari bertalbiyah di Yaman, dan keduanya berkata dalam talbiyah mereka: ‘Berihram seperti ihram Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.’ Maka Nabi memerintahkan mereka untuk tetap dalam ihram mereka. Ini menunjukkan perbedaan antara ihram dan shalat, karena shalat tidak sah kecuali dengan niat yang spesifik (seperti shalat fardhu), begitu juga puasa. Namun, ihram sah dengan sunnah. Ketika sunnah menunjukkan bahwa seseorang boleh berihram meskipun tidak berniat haji tertentu, dan boleh berihram seperti orang lain tanpa mengetahuinya, ini menunjukkan bahwa jika seseorang berihram untuk tathawwu’ (sunnah) dan belum menunaikan haji fardhu, maka haji tersebut menjadi haji fardhu. Ketika seseorang berihram untuk haji atas nama orang lain tetapi tidak berihram untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut dianggap untuk dirinya sendiri. Ini dipahami dalam sunnah dan cukup sebagai dalil tanpa perlu yang lain. Aku telah menyebutkan hadits mursal dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan pendapat Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – yang bersambung.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Tidak sah seseorang menghajikan orang lain kecuali jika dia merdeka, baligh, dan muslim. Tidak sah menghajikan budak yang baligh atau orang merdeka yang belum baligh, karena haji mereka untuk diri mereka sendiri tidak mencukupi sebagai haji Islam, sehingga tidak sah untuk orang lain. Allah Maha Mengetahui.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Perintah haji dan umrah sama. Seseorang boleh mengumrahkan orang lain sebagaimana dia boleh menghajikannya. Tidak sah mengumrahkan orang lain kecuali oleh orang yang sudah mengumrahkan untuk dirinya sendiri, yaitu muslim yang merdeka dan baligh.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang mengumrahkan untuk dirinya sendiri tetapi belum berhaji, lalu dia diperintahkan untuk menghajikan dan mengumrahkan orang lain, maka umrahnya sah untuk orang tersebut, tetapi hajinya tidak sah. Demikian pula jika seseorang berhaji untuk dirinya sendiri tetapi belum berumrah, lalu dia menghajikan dan mengumrahkan orang lain, maka hajinya sah untuk orang tersebut, tetapi umrahnya tidak sah. Yang sah adalah ibadah yang sudah dia kerjakan untuk dirinya sendiri, kemudian dia kerjakan untuk orang lain. Ibadah yang belum dia kerjakan untuk dirinya sendiri tidak sah untuk orang lain.”
“Jika seseorang boleh mengutus orang untuk menghajikan dan mengumrahkannya, maka sah mengutus satu orang untuk menggabungkan haji dan umrah, atau mengutus dua orang terpisah, satu untuk haji dan satu untuk umrah. Begitu juga dengan dua wanita atau seorang wanita dan seorang laki-laki.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Ini berlaku dalam kewajiban haji dan umrah. Sebagaimana telah kujelaskan, sah seseorang menghajikan orang lain. Ada yang berpendapat jika sah dalam kewajiban, maka sah juga dalam tathawwu’ (sunnah). Namun, ada juga yang berpendapat hanya haji fardhu yang sah berdasarkan sunnah, tidak boleh menghajikan atau mengumrahkan orang lain secara tathawwu’.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Siapa yang berpendapat boleh menghajikan orang lain secara tathawwu’, dia berkata: ‘Karena asal haji berbeda dengan shalat dan puasa, dan seseorang boleh berhaji untuk orang lain yang sudah meninggal atau tidak mampu, maka demikian juga boleh berhaji untuknya secara tathawwu’. Begitu juga dengan semua ibadah lainnya.’ Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Yazid, maula Atha’, dia berkata: ‘Atha’ kadang berkata kepadaku: ‘Berthawaflah untukku.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Ada juga yang berpendapat bahwa tidak sah seseorang menghajikan orang lain kecuali untuk haji Islam dan umrahnya. Yang berpendapat ini mengatakan dalilnya adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya memerintahkan haji untuk orang lain dalam keadaan orang yang dihajikan tidak mampu berhaji untuk dirinya sendiri.”
Aku tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat bahwa jika seseorang menunaikan haji untuk orang lain yang mampu melakukannya, haji tersebut tidak sah sebagai haji Islam. Jika demikian menurut mereka, hal itu menunjukkan bahwa keringanan hanya diberikan dalam keadaan darurat untuk menunaikan kewajiban, dan apa yang diperbolehkan dalam keadaan darurat tidak berlaku jika tidak ada darurat yang serupa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berniat haji tetapi tidak sempat menyelesaikannya, lalu ia bertahallul dengan thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, hajinya tidak sah sebagai haji Islam karena ia tidak sempat menyelesaikannya. Itu juga tidak sah sebagai umrah Islam atau umrah nazar karena itu bukan umrah. Ia tidak boleh meneruskan niat hajinya karena dua alasan: Pertama, itu adalah haji sunnah, sehingga tidak bisa digabung dengan haji sunnah lainnya. Kedua, ia tidak boleh tetap berihram untuk haji di luar bulan haji. Jika seseorang berniat haji di luar bulan haji, niatnya dianggap sebagai umrah yang sah sebagai umrah Islam karena tidak ada alasan untuk berihram kecuali untuk haji atau umrah. Karena ia berniat di waktu yang hanya boleh untuk umrah dan tidak untuk haji, maka niatnya dianggap umrah. Ini berbeda dengan orang yang berniat haji di waktu yang diperbolehkan tetapi tidak sempat menyelesaikannya, karena niat awalnya adalah haji, sedangkan dalam kasus ini niat awalnya adalah umrah. Jika umrah sah tanpa niat umrah, maka umrah juga sah jika seseorang berniat haji tetapi niatnya dianggap umrah.
(Imam Syafi’i berkata): Umrah tidak bisa terlewat karena bisa dilakukan kapan saja, sedangkan haji bisa terlewat karena hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu dalam setahun. Jika seseorang berniat umrah dalam setahun tetapi tertahan karena sakit, kesalahan, atau hal lain selain musuh, ia tetap dalam keadaan ihram sampai bertahallul kapan pun bisa, dan umrahnya tidak terlewat selama ia sampai ke Ka’bah dan melakukan ritualnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menunaikan haji untuk orang lain tanpa upah, lalu ia ingin meminta upah, ia tidak berhak mendapatkannya dan hajinya dianggap sebagai amal sukarela yang sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk menunaikan umrah baginya di bulan tertentu, tetapi umrah dilakukan di bulan lain, atau menyewa untuk haji di tahun tertentu tetapi haji dilakukan di tahun lain, upah tetap berlaku tetapi orang tersebut telah berbuat salah.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada masalah dengan upah untuk haji, umrah, atau semua kebaikan. Upah untuk amal kebaikan lebih diperbolehkan daripada untuk hal yang bukan kebaikan atau mubah. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil bolehnya upah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan kebaikan?” Diriwayatkan dari Malik, dari Abu Hazim bin Dinar, dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi bahwa Rasulullah SAW menikahkan seorang pria dengan seorang wanita sebagai mahar surat Al-Qur’an. Pernikahan hanya sah dengan mahar yang bernilai, termasuk upah dan harga.
[Bab Wasiat untuk Haji]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang yang belum haji berwasiat agar ahli warisnya menunaikan haji untuknya tanpa menyebut jumlah biaya, ahli waris boleh menunaikannya dengan biaya minimal yang bisa ditemukan. Jika ahli waris menolak, biaya tidak boleh ditambah, dan orang lain boleh menunaikannya dengan biaya minimal dari orang yang amanah.
(Imam Syafi’i berkata): Ahli waris tidak boleh menolak wasiat seperti ini karena ini adalah izin. Tetapi jika wasiat menyebut, “Gunakan jumlah tertentu untuk hajiku,” maka semua biaya di atas minimal dibatalkan. Jika ahli waris menerima, orang lain tidak boleh menunaikannya. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwasiat kepada non-ahli waris dengan 100 dinar untuk haji, jika haji dilakukan, uang itu untuknya dan kelebihannya dianggap wasiat. Jika ia menolak, tidak ada yang boleh menunaikan haji untuknya bahkan dengan biaya minimal. Jika wasiat mengatakan, “Gunakan 100 dinar untuk hajiku sesuai pendapat si fulan,” dan fulan memilih ahli waris, ahli waris hanya boleh menunaikannya dengan biaya minimal. Jika ia menolak, fulan boleh memilih non-ahli waris. Jika dilakukan, itu sah. Jika tidak, aku akan menunjuk orang lain untuk menunaikannya.
Dengan upah minimal yang ada untuk orang yang berhaji atas namanya.
(Dia berkata): Jika seseorang berkata, “Siapa pun yang pertama berhaji atas namaku akan mendapat seratus dinar,” lalu seseorang yang bukan ahli waris berhaji atas namanya, maka dia berhak mendapatkan seratus dinar. Namun, jika ahli waris yang berhaji atas namanya, dia hanya berhak mendapatkan upah minimal yang ada untuk orang yang berhaji, dan kelebihan dari itu harus dikembalikan karena itu dianggap wasiat untuk ahli waris.
(Dia berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk berhaji atau umrah atas namanya dengan upah yang disepakati, maka upah itu menjadi hak penyewa setelah haji atau umrah dilaksanakan. Jika dia menyewanya untuk berhaji tetapi hajinya rusak, maka haji itu tidak sah, dan penyewa wajib mengembalikan seluruh upahnya. Hal yang sama berlaku jika terjadi kesalahan dalam perhitungan sehingga haji terlewat, atau jika umrahnya rusak.
(Dia berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk berhaji atau umrah, lalu orang itu berburu, memakai wewangian, atau melakukan sesuatu yang mengharuskan membayar fidyah selama haji atau umrah, maka fidyah dibayar dari hartanya sendiri, sedangkan upah tetap menjadi haknya. Perhatikan bahwa segala sesuatu yang menjadi kewajiban jika dia berhaji untuk dirinya sendiri juga berlaku jika dia berhaji untuk orang lain, dan dia tetap berhak atas upah penuh, tetapi wajib membayar fidyah dari hartanya sendiri.
(Dia berkata): Hal yang sama berlaku bagi wali mayit yang menyewa seseorang untuk berhaji atas nama mayit; tidak ada perbedaan dalam hal apa pun.
(Dia berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk berhaji atas namanya dan dia menggabungkan haji (haji qiran), maka itu lebih baik baginya dan tidak mengurangi nilainya, tetapi dia wajib membayar dam qiran dari hartanya sendiri.
(Dia berkata): Jika dia menyewanya untuk berhaji tetapi orang itu malah umrah, atau sebaliknya, maka upah harus dikembalikan karena haji dan umrah adalah dua ibadah yang berbeda.
(Dia berkata): Jika dia menyewanya untuk berhaji, lalu orang itu umrah terlebih dahulu kemudian kembali dan berhaji dari miqatnya, maka itu sah.
(Dia berkata): Jika seseorang umrah untuk dirinya sendiri lalu ingin berhaji untuk orang lain, hajinya tidak sah kecuali jika dia berangkat dari miqat orang yang dihajikan. Jika dia tidak melakukannya dan berhaji dari selain miqatnya, dia harus membayar dam, tetapi hajinya tetap sah.
(Dia berkata): Jika seseorang berangkat untuk berhaji atas nama orang lain tetapi mengambil jalan yang berbeda dan melewati miqat lain, lalu berihram dari sana dan menyelesaikan hajinya, maka haji itu sah sebagai haji Islam, insya Allah.
(Dia berkata): Cukup bagi orang yang berhaji atas nama orang lain untuk berniat haji untuknya saat ihram, meskipun tidak diucapkan, sebagaimana sahnya niat untuk dirinya sendiri. Orang yang berhaji secara sukarela untuk orang lain sama seperti orang yang disewa dalam semua hal, dan semua yang membatalkan haji untuk dirinya juga berlaku untuk haji orang lain, kecuali bahwa orang yang sukarela tidak perlu mengembalikan upah karena dia tidak menerimanya.
(Dia berkata): Jika seseorang menyewa orang lain untuk berhaji atas namanya atau atas nama mayit, lalu orang itu berhaji padahal dia sendiri belum pernah berhaji, maka haji itu sah untuk dirinya tetapi tidak sah untuk mereka, dan upah harus dikembalikan.
(Dia berkata): Tidak masalah jika wali mayit menyewa seseorang untuk berhaji atas nama mayit, baik mayit pernah berhaji atau belum, baik dia mewasiatkannya atau tidak. Upah itu tidak dianggap wasiat. Baik penyewa adalah ahli waris atau bukan, hukumnya sama. Haji dan umrah wajib atas nama mayit boleh dilaksanakan, baik diwasiatkan atau tidak, seperti halnya melunasi hutangnya.
(Dia berkata): Jika mayit mewasiatkan sepertiga hartanya untuk orang yang berhaji, aku lebih memilih agar diberikan kepada fakir miskin jamaah haji, dan aku tidak mengetahui larangan memberikannya kepada yang kaya di antara mereka.
(Dia berkata): Jika mayit berwasiat agar seseorang berhaji sunnah atas namanya, ada dua pendapat: Pertama, itu boleh; kedua, itu tidak boleh, seperti jika dia berwasiat agar seseorang shalat atas namanya, itu tidak sah. Pendapat yang melarang wasiat semacam itu mengembalikannya sebagai bagian warisan.
(Dia berkata): Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Berhajilah atas nama si mayit dengan biayamu sendiri,” baik dia memberikan biaya atau tidak, itu tidak boleh karena upahnya tidak jelas. Jika dia tetap berhaji, itu sah, dan dia berhak mendapat upah yang setara. Baik penyewa adalah ahli waris atau bukan, dan baik mayit mewasiatkannya atau tidak, hukumnya sama. Namun, jika wasiat itu untuk ahli waris, dia tidak boleh menerima lebih dari upah yang setara karena memberikan kelebihan dianggap wasiat, dan wasiat tidak boleh untuk ahli waris.
[Bab Kewajiban Haji bagi Laki-Laki yang Balig]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang muslim yang merdeka dan balig telah memenuhi syarat untuk menunaikan haji, maka hajinya dianggap sah sebagai haji Islam. Jika dia termasuk orang yang tidak mampu secara finansial tetapi tetap berhaji dengan berjalan kaki, maka dia telah berbuat baik dengan bersusah payah melakukan sesuatu yang sebenarnya dia boleh meninggalkannya, dan hajinya tetap sah selama dilaksanakan pada waktu yang tepat. Demikian pula jika dia menyewa dirinya kepada seseorang untuk melayani lalu berhaji. Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apakah aku boleh menyewa diriku kepada sekelompok orang untuk beribadah haji bersama mereka? Apakah itu sah bagiku?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, ‘Mereka mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah cepat perhitungan-Nya.’ (QS. Al-Baqarah: 202).”
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika dia berhaji sementara orang lain menanggung biayanya, karena dia berhaji untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. (Dia juga berkata): Demikian pula jika dia berhaji pada tahun di mana orang-orang keliru dalam menentukan hari Arafah, karena haji mereka dianggap sah pada hari mereka berhaji, sebagaimana puasa mereka dianggap sah pada hari mereka berpuasa dan kurban mereka dianggap sah pada hari mereka berkurban. Mereka hanya dibebani dengan apa yang tampak oleh mereka, sedangkan urusan batin diserahkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Demikian pula jika seseorang berhubungan suami-istri setelah melempar jumrah dan mencukur rambut, maka dia wajib menyembelih seekor unta, tetapi hajinya tetap sah. Demikian pula jika seseorang masuk Arafah setelah matahari tergelincir dan keluar sebelum matahari terbenam, hajinya sah tetapi dia wajib menyembelih hewan. Demikian pula semua perbuatan yang tidak membatalkan ihram selain berhubungan suami-istri, maka dia wajib membayar kafarat dan hajinya tetap sah sebagai haji Islam.
[Bab Haji Anak Kecil yang Balig, Budak yang Dimerdekakan, dan Kafir Dzimi yang Masuk Islam]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang anak kecil mencapai balig, seorang budak dimerdekakan, atau seorang kafir masuk Islam di Arafah atau Muzdalifah, lalu salah satu dari mereka berihram untuk haji dalam keadaan tersebut, kemudian sampai di Arafah sebelum fajar menyingsing pada malam Muzdalifah—baik dia berwukuf atau tidak—maka dia telah mendapatkan haji dan itu dianggap sah sebagai haji Islam, tetapi dia wajib menyembelih hewan karena tidak memulai ihram dari miqat.
Jika seorang budak atau anak kecil yang belum balig berihram untuk haji dengan niat haji wajib, sunah, atau tanpa niat, lalu budak itu dimerdekakan atau anak itu balig sebelum Arafah, di Arafah, di Muzdalifah, atau di mana pun, kemudian mereka kembali ke Arafah setelah balig atau merdeka, maka haji mereka dianggap sah sebagai haji Islam. Jika mereka berhati-hati dengan menyembelih hewan, itu lebih aku sukai, tetapi tidak jelas bagi saya bahwa itu wajib bagi mereka.
Adapun orang kafir, jika dia berihram dari miqatnya lalu masuk Islam di Arafah, dia wajib menyembelih hewan karena ihramnya tidak sah.
Jika seorang laki-laki mengizinkan budaknya untuk berihram haji, lalu budak itu merusak hajinya sebelum Arafah, kemudian dia dimerdekakan dan sampai di Arafah, maka hajinya tidak dianggap sah sebagai haji Islam karena dia sebelumnya wajib menyempurnakannya. Meskipun ihramnya sah karena izin tuannya, hajinya tetap tidak sah sebagai haji Islam. Jika dia merusaknya, dia harus melanjutkan hajinya yang rusak itu, mengqadhanya, dan menyembelih seekor unta. Setelah mengqadha, qadha itu dianggap sah sebagai haji Islam.
(Imam Syafi’i berkata) tentang anak kecil yang hampir balig: Jika dia berihram untuk haji lalu berhubungan dengan istrinya sebelum Arafah, kemudian bermimpi basah di Arafah, dia boleh melanjutkan hajinya, tetapi aku tidak menganggap haji ini sah sebagai haji Islam. Sebab, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan bahwa jika seorang anak kecil berhaji lalu berhubungan, hajinya batal dan dia wajib mengganti serta menyembelih unta. Jika dia telah mengganti dan menyembelih unta, maka itu dianggap sah sebagai haji Islam.
(Dia juga berkata): Jika seorang kafir dzimi atau kafir lainnya berihram untuk sesuatu yang bukan haji, lalu berhubungan, kemudian masuk Islam sebelum Arafah setelah berhubungan, lalu memperbarui ihram dari miqat atau di bawah miqat dan menyembelih hewan karena tidak memulai dari miqat, maka hajinya dianggap sah sebagai haji Islam. Sebab, dia tidak merusak haji dalam keadaan syirik karena sebelumnya tidak sah berihram.
Jika ada yang bertanya, “Jika menurutmu ihramnya sebelumnya tidak sah, apakah kewajiban haji gugur darinya?” Jawabannya: Tidak, kewajiban haji tetap berlaku baginya dan bagi setiap orang yang…
Beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung dan kepada Rasul-Nya, serta menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi kepada Nabi-Nya. Namun, Sunnah menunjukkan—dan sepengetahuanku kaum Muslim tidak berselisih dalam hal ini—bahwa setiap kafir yang masuk Islam, ia memulai kewajiban-kewajiban dari hari ia masuk Islam dan tidak diperintahkan untuk mengulangi apa yang ia tinggalkan selama dalam kesyirikan. Sesungguhnya Islam menghapus apa yang sebelumnya, jika ia masuk Islam kemudian istiqamah. Karena ia memulai amal-amal baru dan tidak ada amal yang dicatat baginya kecuali setelah masuk Islam, maka ihram yang tidak tercatat baginya bukanlah ihram yang sah. Amal dicatat untuk hamba yang sudah baligh. Jika Rasulullah � bersabda tentang anak kecil, “Baginya haji,” maka itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang haji dan hajinya—insya Allah Ta’ala—tercatat baginya.
[Bab: Seseorang yang Bernazar untuk Haji atau Umrah]
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa mewajibkan atas dirinya haji atau umrah dengan nazar, lalu ia berhaji atau berumrah dengan niat menunaikan haji atau umrah nazarnya, maka haji dan umrah yang ia niatkan untuk menunaikan nazar tersebut menjadi haji Islam dan umrahnya. Setelah itu, ia masih wajib menunaikan haji nazar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia meninggal sebelum menunaikan nazar atau kewajiban, maka kewajiban haji Islam ditunaikan terlebih dahulu. Jika hartanya mencukupi atau ada orang yang berhaji atas namanya, maka nazarnya ditunaikan setelah itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berhaji untuknya dengan upah atau sukarela dengan niat menunaikan nazar, maka haji wajib (haji Islam) didahulukan, kemudian nazarnya ditunaikan setelahnya—jika ihram orang lain atas namanya sah. Jika seseorang ingin menunaikan kewajiban untuknya, maka ihram orang tersebut menggantikan ihramnya sendiri dalam menunaikan kewajiban. Demikian pula halnya dengan nazar. Wallahu a’lam. Jika dua orang berhaji untuknya, satu untuk kewajiban dan satu untuk nazar, maka itu lebih kusukai dan sah baginya.
[Bab: Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini]
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam bab ini dan berkata, “Kami sependapat denganmu bahwa jika seseorang berhaji secara sukarela atau tanpa niat tertentu, maka itu dianggap sebagai haji Islam berdasarkan atsar dan qiyas, karena haji sukarela bukan kewajiban baginya. Lalu bagaimana pendapatmu tentang kewajiban nazar? Jika nazar itu wajib dan haji wajib adalah ibadah sukarela yang diwajibkan, mengapa engkau berpendapat bahwa jika ia berniat nazar—yang statusnya wajib—maka haji wajib (haji Islam) terpenuhi, seperti pendapatmu dalam haji sukarela? Padahal nazar bukanlah ibadah sukarela?”
Aku menjawab, “Pendapatku didasarkan pada fakta bahwa jika seseorang mampu (berhaji) sejak baligh hingga wafat, maka tidak ada waktu haji yang ia lalui kecuali kewajiban haji sudah melekat padanya tanpa ada tambahan kewajiban dari dirinya sendiri. Nazar tidak wajib baginya kecuali setelah ia mewajibkannya atas dirinya sendiri. Maka, nazar dalam hal ini serupa dengan haji sukarela, sedangkan kewajiban haji Islam lebih utama untuk didahulukan daripada nazar yang baru wajib karena ia mewajibkannya atas dirinya sendiri.”
Jika ada yang berkata, “Bagaimana nazar disamakan dengan ibadah sunnah?” Dijawab, “Jika ia memulai nazar setelah haji Islam, maka ia wajib menyelesaikannya. Namun, karena ketika ia memulai nazar, statusnya seperti memulai haji Islam dengan niat yang baru, maka memulai nazar tidak serta-merta mewajibkannya. Ia hanya mewajibkan sesuatu atas dirinya sendiri. Seandainya nazar itu diwajibkan atasnya, ia tetap diperintahkan untuk menyelesaikannya sebagaimana diperintahkan untuk menyelesaikan haji dengan tawaf dan diperintahkan untuk menunaikannya.”
Lalu ia berkata, “Engkau meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ditanya, lalu salah satunya berkata, ‘Aku menunaikan keduanya—Demi Tuhan Ka’bah—bagi orang yang bernazar haji lalu ia berhaji untuk menunaikan nazar dan haji wajib.’ Sedangkan yang lain berkata, ‘Ini adalah haji Islam.'”
Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
“Haruslah dia memenuhi nadzar, maka aku berkata, ‘Tetapi kamu menyelisihi keduanya, lalu kamu menganggap bahwa nadzar ini dan di atasnya ada kewajiban haji Islam, lalu bagaimana kamu berhujjah dengan sesuatu yang kamu selisihi?’ Dia berkata, ‘Dan kamu menyelisihi salah satunya.’ Maka aku berkata, ‘Jika aku menyelisihinya, aku menyelisihinya dengan makna Sunnah dan aku sepakat dengan yang lain.’ Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri dari Zaid bin Jubair, dia berkata, ‘Aku berada di sisi Abdullah bin Umar ketika dia ditanya tentang hal ini, lalu dia menjawab, ‘Ini adalah haji Islam, hendaklah dia berusaha menunaikan nadzarnya.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Kami tidak melihat dua amalan yang wajib atasnya, sehingga tidak boleh meninggalkan salah satunya sejak awal, cukup baginya melakukan salah satunya. Maka kami katakan ini dalam haji yang dinadzarkan seseorang sedangkan dia masih memiliki kewajiban haji Islam. Jika dia telah menunaikan haji Islam dan masih ada kewajiban haji nadzar, lalu dia berhaji sunnah, maka itu menjadi haji nadzar. Tidak boleh berhaji sunnah sementara masih ada kewajiban haji. Jika haji sunnah bisa menggantikan haji wajib karena kami menganggap yang sunnah itu sebagai kewajiban dari fardhu, maka demikian pula jika dia melakukan sunnah sementara masih ada kewajiban nadzar, tidak ada perbedaan antara keduanya.”
[Bab Apakah Umrah Wajib Seperti Haji?]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196). Maka manusia berselisih pendapat tentang umrah. Sebagian orang dari timur berkata, ‘Umrah itu sunnah.’ Ini juga dikatakan oleh Sa’id bin Salim dan berhujjah bahwa Sufyan Ats-Tsauri mengabarkan kepadanya dari Mu’awiyah bin Ishaq dari Abu Shalih Al-Hanafi bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Haji adalah jihad dan umrah adalah sunnah.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah engkau memiliki riwayat yang kuat seperti ini dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-?’ Dia menjawab, ‘Ini munqathi’ (terputus sanadnya). Meskipun tidak bisa dijadikan hujjah, hujjah kami bahwa umrah itu sunnah adalah firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan (kewajiban) haji ke Baitullah bagi orang yang mampu.’ (QS. Ali Imran: 97). Allah tidak menyebutkan kewajiban umrah di tempat yang menjelaskan kewajiban haji. Dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kaum Muslimin yang diperintahkan untuk menunaikan umrah atas nama orang yang telah meninggal.'”
Aku berkata kepadanya, “Firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196) bisa saja bermakna bahwa umrah diwajibkan bersamaan dengan haji. Kewajiban yang disebutkan dalam satu tempat bisa tetap berlaku di banyak tempat, seperti firman-Nya, ‘Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat.’ (QS. Al-Baqarah: 43), kemudian Dia berfirman, ‘Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.’ (QS. An-Nisa’: 103). Dia menyebutkannya sekali bersama shalat dan menyebut shalat secara terpisah di waktu lain tanpa zakat. Hal itu tidak menghalangi zakat untuk tetap diwajibkan. Kamu tidak memiliki hujjah dalam perkataanmu bahwa kami tidak mengetahui seorang pun yang diperintahkan menunaikan umrah untuk orang yang telah meninggal, kecuali hujjah yang sama bisa digunakan oleh orang yang mewajibkan umrah dengan mengatakan, ‘Kami tidak mengetahui seorang pun dari salaf yang dinyatakan darinya bahwa umrah tidak perlu ditunaikan untuk orang yang telah meninggal atau bahwa umrah itu sunnah seperti yang kamu katakan.’ Jika kamu tidak memiliki hujjah, maka perkataan orang yang mewajibkan umrah, ‘Kami tidak mengetahui seorang pun dari salaf yang dinyatakan darinya bahwa umrah itu sunnah dan tidak perlu ditunaikan untuk orang yang telah meninggal,’ adalah hujjah atasmu.”
(Dia berkata): “Orang yang berpendapat seperti ini lebih cenderung menafsirkan ayat, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196) dengan makna ‘jika kalian telah memasukinya.’ Sebagian sahabat kami berkata, ‘Umrah itu sunnah, kami tidak mengetahui seorang pun yang memberikan keringanan untuk meninggalkannya.'”
(Dia berkata): “Ini adalah pendapat yang bisa mengandung makna kewajiban umrah jika yang dimaksud adalah bahwa ayat itu mengandung kemungkinan kewajiban umrah dan bahwa Ibnu Abbas berpendapat tentang kewajibannya tanpa ada imam lain yang menyelisihinya. Bisa juga bermakna penekanan, bukan kewajiban.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Pendapat yang lebih sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan lebih utama menurut para ulama menurutku -dan aku memohon kepada Allah taufiq- adalah bahwa umrah itu wajib. Karena Allah Azza wa Jalla menggandengkannya dengan haji dalam firman-Nya, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat.’ (QS. Al-Baqarah: 196). Juga karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berumrah sebelum berhaji. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menetapkan ihram, keluar darinya dengan thawaf dan cukur, serta miqat untuk umrah. Sedangkan haji memiliki amalan tambahan dibanding umrah. Maka zhahir Al-Qur’an lebih utama selama tidak ada indikasi bahwa yang dimaksud adalah batin, bukan zhahir. Selain itu, ada pula perkataan Ibnu Abbas dan lainnya.”
Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami.
Dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ia adalah pasangannya dalam Kitab Allah: ‘Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah’ (QS. Al-Baqarah: 196).” Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata: “Tidak ada seorang pun dari makhluk Allah Ta’ala melainkan ia wajib menunaikan haji dan umrah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Pendapat ini juga dikatakan oleh ulama lain dari kalangan kami (penduduk Mekkah) dan merupakan pendapat mayoritas mereka.” (Asy-Syafi’i berkata): “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu yang mudah didapat’ (QS. Al-Baqarah: 196). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menetapkan penyembelihan hadyu bagi yang menggabungkan umrah dengan haji (Qiran). Seandainya asal umrah adalah sunnah, maka seharusnya tidak boleh seseorang menggabungkan umrah dengan haji, karena tidak boleh seseorang memasukkan amalan sunnah ke dalam amalan wajib sebelum keluar dari salah satunya sebelum memasuki yang lain. Seseorang boleh melakukan shalat sunnah empat rakaat atau lebih sebelum memisahkan keduanya dengan salam, namun hal itu tidak berlaku dalam shalat wajib dan sunnah. Oleh karena itu, seharusnya tidak wajib menyembelih hadyu ketika Tamattu’ atau Qiran jika asal umrah adalah sunnah dalam segala kondisi, karena hukum sesuatu yang hanya sunnah berbeda dengan hukum sesuatu yang wajib dalam kondisi tertentu.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari kiamat.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang bertanya tentang wewangian dan pakaian: ‘Lakukanlah dalam umrahmu apa yang biasa kamu lakukan dalam hajimu.'” (Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Amr bin Hazm disebutkan bahwa umrah adalah haji kecil. Ibnu Juraij berkata: “Abdullah bin Abi Bakar tidak menceritakan kepadaku tentang surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Amr bin Hazm kecuali aku bertanya: ‘Apakah kalian ragu bahwa itu adalah surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ia menjawab: ‘Tidak.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada yang berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita untuk menunaikan haji atas nama ayahnya, namun tidak ada riwayat bahwa beliau memerintahkan untuk menunaikan umrah atas namanya,’ maka jawabannya -insya Allah- bisa jadi dalam hadits tersebut sebagiannya dihafal dan sebagian lainnya tidak, atau seluruhnya dihafal namun hanya sebagian yang disampaikan. Juga bisa dijawab dengan mengatakan bahwa jika haji bisa ditunaikan atas nama orang lain, maka umrah juga demikian. Jika ada yang bertanya: ‘Apa yang mendukung pendapatmu?’ Maka katakanlah: ‘Thalhah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam, lalu beliau menjawab: ‘Lima shalat dalam sehari semalam.’ Beliau menyebutkan puasa namun tidak menyebutkan haji atau umrah sebagai bagian dari Islam, dan masih banyak lagi yang semisal dengan ini.’ Wallahu a’lam.”
Jika ada yang bertanya: “Apa alasan hal ini?” Maka jawablah: “Seperti yang telah aku jelaskan, bahwa dalam sebuah hadits bisa jadi hanya sebagian yang disampaikan atau dihafal, atau penanya sudah mengetahui sebagiannya sehingga cukup dengan jawaban atas pertanyaannya saja, atau penanya mengetahui sisanya kemudian namun tidak disampaikan dalam pertanyaannya, namun disampaikan dalam pertanyaan lainnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan umrah secara terpisah (Ifrad), maka miqatnya sama dengan miqat haji. Umrah boleh dilakukan setiap bulan dalam setahun, kecuali kami melarang orang yang sedang berihram haji untuk melakukan umrah pada hari-hari Tasyriq karena ia sedang sibuk dengan amalan haji dan tidak boleh keluar dari ihramnya hingga menyelesaikan seluruh amalan ihram yang ia lakukan secara terpisah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang belum menunaikan haji lalu menahan diri dari umrah hingga berlalu hari-hari Tasyriq, maka itu boleh. Namun jika ia tidak melakukannya, maka juga boleh baginya, karena ia tidak dalam keadaan ihram yang melarangnya dari ihram lainnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Cukup baginya menggabungkan haji dengan umrah (Qiran), dan itu sudah memenuhi kewajiban umrahnya serta wajib menyembelih hadyu, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu yang mudah didapat’ (QS. Al-Baqarah: 196). Orang yang Qiran lebih ringan keadaannya dibandingkan orang yang Tamattu’. Orang yang Tamattu’ memasukkan umrah lalu menyambungkannya dengan haji, sehingga miqat hajinya gugur. Sedangkan orang yang Qiran juga demikian, ia memasukkan umrah dalam hari-hari haji. Orang yang Tamattu’ memiliki kelebihan yaitu bisa menikmati kehalalan (tahallul) dari umrah hingga ihram haji, namun dalam hal kewajiban hadyu, orang yang Tamattu’ tidak lebih berat dari orang yang Qiran.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Umrah sebelum haji atau haji sebelum umrah sudah mencukupi kewajibannya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang berumrah sebelum haji, lalu menetap di Mekkah hingga memulai haji, maka ia memulainya dari Mekkah, bukan dari miqat.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan haji secara terpisah (Ifrad) lalu ingin berumrah setelah haji, maka ia keluar dari tanah haram kemudian berihram dari mana saja ia mau. Miqat hajinya sudah gugur dengan ihram hajinya, sehingga ia berihram umrah dari tempat terdekat dari miqat umrah, dan tidak ada miqat baginya.”
Tanpa penjelasan, berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dia memiliki tanpa solusi. Juga, waktu haji gugur jika umrah dilakukan sebelumnya karena salah satunya masuk ke dalam yang lain, dan lebih disukai untuk berumrah dari Ji’ranah karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berumrah dari sana. Jika tidak memungkinkan, berumrahlah dari Tan’im karena “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan Aisyah untuk berumrah dari sana, dan itu adalah tempat halal terdekat ke Ka’bah.” Jika itu juga tidak memungkinkan, berumrahlah dari Hudaibiyah karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – shalat di sana dan ingin memulai umrahnya dari sana. Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami bahwa dia mendengar ‘Amr bin Dinar berkata, aku mendengar ‘Amr bin Aus Ats-Tsaqafi berkata, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar mengabarkan kepadaku bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan dia untuk membonceng Aisyah dan mengumrahkannya dari Tan’im. Asy-Syafi’i berkata, “Aisyah adalah qarin (menggabungkan haji dan umrah), lalu menunaikan haji dan umrah yang wajib baginya. Dia ingin pulang dengan umrah yang tidak digabungkan dengan haji, maka dia meminta hal itu kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, lalu beliau memerintahkan untuk mengumrahkannya, sehingga itu menjadi sunnah baginya. Dia telah memasuki Mekkah dengan ihram, sehingga tidak perlu kembali ke miqat.” Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Umayyah dari Muzahim dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Khalid dari Muharisy Al-Ka’bi atau Muharisy “bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – keluar dari Ji’ranah pada malam hari, lalu berumrah dan pagi harinya berada di sana seperti bermalam.” Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dengan sanad ini, dan Ibnu Juraij berkata, “Dia adalah Muharisy.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibnu Juraij benar karena keturunannya di sisi kami adalah Bani Muharisy. Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepada Aisyah, “Thawafmu di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwa cukup untuk haji dan umrahmu.” Sufyan mengabarkan dari Ibnu Abi Najih dari ‘Atha’ dari Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dengan riwayat serupa. Terkadang Sufyan berkata dari ‘Atha’ dari Aisyah, dan terkadang dia berkata, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepada Aisyah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aisyah adalah qarin pada bulan Dzulhijjah, kemudian berumrah atas perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – setelah haji, sehingga dia memiliki dua umrah dalam satu bulan. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebelumnya berumrah dari Ji’ranah sebagai umrah qadha, sehingga umrah Ji’ranah adalah sunnah. Meskipun beliau memasuki Mekkah pada tahun Fathu Mekkah tanpa ihram karena perang, umrahnya dari Ji’ranah bukan qadha melainkan sunnah. Orang yang ingin bersunnah boleh berumrah dari mana saja di luar tanah haram.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang berihram untuk haji tetapi gagal, dia keluar dari hajinya dengan melakukan umrah, dan wajib baginya haji tahun depan serta menyembelih hadyu. Ini tidak menggugurkan kewajiban haji atau umrah wajibnya karena dia hanya keluar dari haji dengan melakukan umrah, bukan memulai umrah yang bisa menggugurkan umrah wajibnya.
[Bab Waktu yang Diperbolehkan untuk Umrah]
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Seseorang boleh berihram untuk umrah sepanjang tahun, termasuk pada hari Arafah dan hari-hari Mina, serta hari lainnya selama dia bukan jamaah haji dan tidak berharap bisa mengejar haji. Jika dia berharap bisa mengejar haji, lebih baik baginya berihram untuk haji saja atau haji bersama umrah. Jika tidak dilakukan dan dia berumrah, umrahnya sah dan mencukupi untuk umrah Islam atau umrah yang dia wajibkan atas dirinya karena nazar, kaffarah, atau umrah untuk orang lain.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia berkata…
Penerjemahan ke Bahasa Indonesia:
Seorang penanya berkata, “Bagaimana mungkin umrah dilakukan pada hari-hari haji?” Dijawab, “Rasulullah ﷺ memerintahkan Aisyah untuk memasukkan haji ke dalam umrah, sehingga dia sampai di Arafah dan Mina dalam keadaan berihram untuk umrah, sedangkan umrahnya telah dilakukan sebelumnya. Umar bin Khattab ra juga memerintahkan Hibar bin Al-Aswad dan Abu Ayyub Al-Anshari pada hari Nahr (Idul Adha) yang sedang berihram untuk haji agar thawaf, sa’i, bercukur, dan bertahallul. Ini adalah amalan umrah jika hajinya terlewat. Hari yang paling mulia adalah yang paling utama untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.”
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak ada alasan untuk melarang seseorang berumrah pada hari Arafah atau malam-malam Mina, kecuali jika dia sedang haji. Jangan memasukkan umrah ke dalam haji atau berumrah sebelum menyelesaikan seluruh amalan haji, karena dia terikat di Mina untuk melakukan amalan haji seperti melempar jumrah dan bermalam di Mina, baik sudah thawaf ifadhah atau belum. Jika dia berumrah sisa ihram hajinya atau keluar dari ihram haji tetapi masih melakukan amalan haji, maka umrahnya tidak sah dan tidak ada dam, karena dia berihram untuk umrah pada waktu yang tidak diperbolehkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Umrah boleh dilakukan sepanjang tahun, sehingga tidak masalah seseorang berumrah beberapa kali dalam setahun. Ini adalah pendapat umum ulama Mekah dan penduduk berbagai negeri. Namun, sebagian ulama Hijaz memakruhkan umrah lebih dari sekali setahun. Karena umrah sah dilakukan setiap bulan, ia tidak sama dengan haji yang hanya sah pada hari tertentu di bulan tertentu. Jika tidak sempat, haji ditunda ke tahun depan. Umrah tidak bisa disamakan dengan haji karena berbeda dalam semua hal ini.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalilnya?” Dijawab, “Aisyah—yang tidak membawa hadyu—diperintahkan Nabi ﷺ untuk memasukkan haji ke dalam umrah. Namun, dia mengalami haid sehingga tidak bisa thawaf. Rasulullah ﷺ memerintahkan dia untuk berniat haji, sehingga menjadi qiran. Umrahnya dilakukan di bulan Dzulhijjah. Lalu dia meminta izin untuk berumrah lagi, dan Nabi mengizinkannya di bulan yang sama. Jadi, dia melakukan dua umrah dalam satu bulan. Bagaimana mungkin ada yang mengingkari dua umrah dalam sebulan setelah Nabi ﷺ memerintahkannya, lalu mengatakan umrah hanya boleh sekali setahun?”
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah, dari Ibnu Abi Husain, dari sebagian keturunan Anas bin Malik, “Kami bersama Anas bin Malik di Mekah. Setiap kali kepalanya gatal, dia keluar untuk berumrah.” Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, dari Ali bin Abi Thalib ra, “Umrah boleh dilakukan setiap bulan.” Diriwayatkan dari Sufyan, dari Yahya bin Sa’id, dari Ibnul Musayyab, “Aisyah berumrah dua kali dalam setahun: sekali dari Dzulhulaifah dan sekali dari Al-Juhfah.” Diriwayatkan dari Sufyan, dari Shadaqah bin Yasar, dari Al-Qasim bin Muhammad, “Aisyah ummul mukminin, istri Nabi ﷺ, berumrah dua kali dalam setahun.” Shadaqah berkata, “Aku bertanya, ‘Apakah ada yang mengkritiknya?’ Dia menjawab, ‘Subhanallah, itu ummul mukminin!’ Aku pun malu.” Diriwayatkan dari Anas bin Iyadh, dari Musa bin Uqbah, dari Nafi’, “Abdullah bin Umar berumrah beberapa kali di masa Ibnu Zubair, dua kali setiap tahun.” Diriwayatkan dari Abdul Wahhab bin Abdul Majid, dari Habib Al-Mu’allim, “Atho’ ditanya tentang umrah setiap bulan, dia menjawab, ‘Boleh.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Kisah umrah Aisyah atas perintah Nabi ﷺ dan lainnya di bulan Dzulhijjah, serta umrah di bulan-bulan haji, menunjukkan bahwa umrah boleh dilakukan baik di musim haji maupun di luar musim haji. Jika umrah boleh dilakukan dua kali dalam sebulan atas perintah Nabi ﷺ, maka ia berbeda dengan haji yang hanya sekali setahun, dan sah dilakukan setiap bulan kapan saja seseorang menghendakinya.
Kecuali jika dia berihram untuk selainnya, seperti haji atau umrah, maka dia tidak boleh memasukkan ihram lainnya sebelum menyelesaikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berihram untuk umrah, dia boleh memasukkan haji ke dalam umrah selama belum memulai tawaf di Ka’bah. Jika sudah memulai tawaf, dia tidak boleh memasukkan haji ke dalamnya. Jika dia melakukannya, hajinya tidak sah karena dia sedang menyelesaikan umrah pada waktu yang tidak diperbolehkan untuk memasukkan haji ke dalam amalan umrah. Jika dia berihram untuk haji, dia tidak boleh memasukkan umrah ke dalamnya. Jika dia melakukannya, umrahnya tidak sah dan dia tidak wajib membayar dam.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang belum menunaikan haji boleh berumrah kapan saja dalam setahun. Siapa yang sudah berhaji tidak boleh memasukkan umrah ke dalam haji sampai menyelesaikan amalan haji, yaitu pada hari-hari Tasyriq terakhir jika dia menetap sampai selesai. Jika dia berangkat pada hari pertama, lalu berumrah pada hari itu, umrahnya sah karena tidak ada lagi amalan haji yang tersisa. Namun, lebih baik jika dia menundanya. Jika dia berihram untuk umrah pada hari pertama keberangkatan tetapi tidak berangkat, ihramnya batal karena dia masih terikat dengan amalan haji dan hanya bisa keluar darinya dengan menyelesaikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian ulama Hijaz menyelisihi kami dengan mengatakan bahwa umrah hanya boleh dilakukan sekali dalam setahun. Ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ, yang memerintahkan Aisyah untuk berumrah dua kali dalam satu bulan pada tahun yang sama, serta bertentangan dengan perbuatan Aisyah sendiri, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Anas – radhiyallahu ‘anhum – dan kebanyakan orang. Jika mereka berpendapat bahwa umrah boleh dilakukan kapan saja dalam setahun, bagaimana mereka menyamakannya dengan haji yang hanya boleh dilakukan pada hari tertentu? Kapan waktu yang tepat untuk umrah dalam setahun? Jika mereka mengatakan “kapan saja,” mengapa tidak boleh berumrah berkali-kapa? Pendapat umum sesuai dengan apa yang kami katakan.
[Bab Seseorang yang Berihram untuk Dua Haji atau Dua Umrah]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Siapa yang berihram untuk dua haji sekaligus atau berhaji lalu memasukkan haji lain sebelum menyelesaikan haji pertama, maka ihramnya hanya untuk satu haji, dan tidak ada kewajiban dam, qadha, atau lainnya untuk haji kedua.
(Imam Syafi’i berkata): Menyelesaikan amalan haji berarti tidak ada lagi tawaf, mencukur rambut, melempar jumrah, atau bermalam di Mina yang tersisa. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana Anda bisa mengatakan ini?” Jawabannya: Dalam haji, seseorang harus menyelesaikan semua amalannya secara sempurna. Dia masuk dalam keadaan ihram dan keluar dalam keadaan halal, sebagian pada hari Nahr dan sepenuhnya setelah hari Nahr. Jika kami mewajibkan dua haji dan berkata, “Selesaikan salah satunya,” kami memerintahkannya untuk tahallul padahal dia masih berihram untuk haji. Jika kami berkata, “Jangan keluar dari ihram salah satunya kecuali setelah menyelesaikan yang lain,” berarti kami menyuruhnya melakukan sebagian amalan haji tanpa menyelesaikannya. Jika ditanya, “Apa yang masih tersisa dari amalan haji?” Jawabannya: Mencukur rambut. Kami memerintahkannya untuk tidak menyelesaikan haji pertama sambil menunggu haji kedua. Jika ini diperbolehkan, berarti boleh juga berkata, “Tinggallah di negerimu atau di Mekah dan jangan lakukan amalan untuk salah satu hajimu sampai kamu menyelesaikan yang lain,” seperti yang dikatakan kepada orang yang qiran. Akibatnya, dia hanya melakukan satu haji dan yang lainnya batal. Jika kami berkata, “Lakukan amalan untuk salah satunya dan tetap berihram untuk yang lain,” berarti dia belum menyelesaikan salah satunya. Bagaimana mungkin dia wajib menyelesaikan satu haji sementara yang lain gugur? Jika dikatakan, “Dia boleh tahallul dari salah satunya,” maka mengapa dia masih wajib menunaikan yang lain jika boleh keluar dari yang pertama tanpa memasukkan yang lain kecuali dengan ihram baru?
(Imam Syafi’i berkata): Umar bin Khattab dan banyak ulama yang kami hafal pendapatnya sepakat bahwa jika seseorang berihram untuk haji lalu tertinggal dari Arafah, dia tidak boleh tetap berihram. Dia harus tawaf, sa’i, dan mencukur rambut, lalu mengqadha hajinya. Tidak boleh sama sekali bagi orang yang tidak tertinggal haji untuk tetap berihram setelah haji. Jika tidak boleh, berarti salah satu haji harus gugur. Wallahu a’lam. Diriwayatkan dari Atha’ bahwa dia berkata, “Jika seseorang berihram untuk dua haji, ihramnya hanya untuk satu haji,” dan Hasan bin Abi Hasan mengikutinya.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat yang sama berlaku untuk dua umrah.
Dan kesempurnaan umrah adalah tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta mencukur rambut. Perintah bagi mereka yang tertinggal haji adalah bertahallul dengan tawaf, sa’i, dan mencukur rambut, serta menunaikannya bersama-sama. Ini menunjukkan bahwa tidak boleh berniat haji di luar bulan-bulan haji, karena orang yang tertinggal haji mungkin bisa menetap sebagai orang yang haram hingga tahun berikutnya. Aku tidak melihat mereka memerintahkan untuk keluar dari ihramnya dengan tawaf atau menetap sebagai orang yang haram, karena tidak diperbolehkan baginya untuk tetap berihram haji di luar bulan-bulan haji. Ini juga menunjukkan bahwa jika seseorang keluar dari hajinya dan melakukan umrah, hajinya tidak berubah menjadi umrah, dan umrah tidak terjadi. Dia telah memulai haji pada waktu yang diperbolehkan untuk berniat haji. Seandainya haji boleh dibatalkan menjadi umrah, maka orang yang memulai dengan dua niat haji juga boleh berniat haji dan umrah, karena memang boleh memulai dengan haji dan umrah. Namun, pendapat yang mengatakan hajinya berubah menjadi umrah tidak dibenarkan kecuali seperti yang telah dijelaskan, yaitu jika seseorang memulai dengan dua niat haji, maka dia dianggap berniat haji dan umrah. Adapun orang yang berniat haji kemudian memasukkan niat haji lagi setelah berniat, jelas dalam setiap keadaan bahwa tidak boleh memasukkan haji ke dalam haji atau umrah bersama haji, sebagaimana jika dia memulai dengan memasukkan umrah ke dalam haji, itu tidak diperbolehkan. Seandainya haji boleh diubah menjadi umrah, maka umrah juga boleh diubah menjadi haji, sehingga orang yang berniat dua umrah di bulan-bulan haji dianggap berniat haji dan umrah, dan kami mengalihkan ihramnya kepada yang diperbolehkan. Tidak ada yang diperbolehkan dalam hal ini selain pendapat pertama, yaitu orang yang berniat dua haji dianggap berniat haji, dan orang yang berniat dua umrah dianggap berniat umrah, tanpa kewajiban lainnya.
[Bab Perbedaan Pendapat tentang Orang yang Berniat Dua Haji atau Dua Umrah]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Perbedaan pendapat kami dengan dua orang dari kalangan manusia. Salah satu dari mereka berkata: “Barangsiapa berniat dua haji, maka keduanya wajib baginya. Ketika dia memulai salah satunya, dia meninggalkan yang lain.” Yang lain berkata: “Dia meninggalkan yang lain sejak awal berniat.” Aku menduga keduanya berkata: “Dia wajib membayar dam karena meninggalkan dan wajib mengqadha.”
(Imam Syafi’i) berkata: Telah diceritakan kepadaku dari keduanya bahwa mereka berkata: “Barangsiapa berniat puasa dua hari lalu mengerjakan salah satunya, maka yang lain tidak wajib baginya, karena tidak boleh memasukkan yang lain kecuali setelah keluar dari yang pertama.” Demikian juga orang yang tertinggal shalat, lalu bertakbir dengan niat dua shalat, maka itu hanya dianggap satu shalat, dan tidak wajib baginya dua shalat sekaligus, karena tidak boleh memasukkan yang lain kecuali setelah keluar dari yang pertama. (Imam Syafi’i) berkata: “Demikian juga jika berniat dua shalat sunnah yang dipisah dengan salam, jika hal ini berlaku dalam puasa dan shalat, mengapa tidak demikian dalam haji menurut mereka? Padahal mereka harus meninggalkan pendapat mereka tentang haji jika berpendapat bahwa haji berubah menjadi umrah jika tertinggal Arafah. Seharusnya mereka berpendapat bahwa jika ihram dengan dua haji yang wajib, maka itu adalah haji dan umrah, baik mereka mengatakan harus mengqadha salah satunya atau tidak.”
(Imam Syafi’i) berkata: “Karena itulah kami berpendapat tidak boleh menggabungkan dua ibadah kecuali haji dan umrah, di mana haji dimasukkan ke dalam umrah, tetapi umrah tidak dimasukkan ke dalam haji jika memulai dengan haji, karena prinsipnya adalah tidak menggabungkan dua ibadah. Ketika keduanya digabungkan dalam suatu keadaan, itu sesuai dengan hadits tentang penggabungan keduanya, dan tidak boleh menggabungkannya kecuali sesuai dengan yang disebutkan dalam hadits, tidak menyelisihi atau mengqiyaskannya.”
[Bab tentang Miqat-miqat Haji]
Tentang miqat-miqat (Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Penduduk Madinah memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Al-Juhfah, dan penduduk Najd dari Qarn.” Ibnu Umar berkata, “Mereka menyangka bahwa Rasulullah ﷺ juga bersabda, ‘Dan penduduk Yaman dari Yalamlam.'”
Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Rasulullah memerintahkan penduduk Madinah untuk memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Al-Juhfah, dan penduduk Najd dari Qarn.” Ibnu Umar berkata, “Adapun ketiga miqat ini, aku mendengarnya langsung dari Rasulullah ﷺ, dan aku dikabarkan bahwa beliau bersabda, ‘Dan penduduk Yaman dari Yalamlam.'”
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata, “Seorang laki-laki dari penduduk Madinah berdiri di masjid dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dari mana engkau memerintahkan kami untuk memulai ihram?’ Beliau menjawab, ‘Penduduk Madinah memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Al-Juhfah, dan penduduk Najd dari Qarn.'” Nafi’ berkata kepadaku, “Mereka menyangka bahwa Nabi ﷺ juga bersabda, ‘Dan penduduk Yaman dari Yalamlam.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij yang berkata: Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah ditanya tentang miqat, lalu ia menjawab, “Aku mendengar—kemudian ia berhenti—aku kira ia mengisyaratkan Nabi ﷺ—bersabda, ‘Penduduk Madinah memulai ihram dari Dzul Hulaifah, jalan lain dari Al-Juhfah untuk penduduk Maghrib, penduduk Irak dari Dzatu ‘Irq, penduduk Najd dari Qarn, dan penduduk Yaman dari Yalamlam.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Jabir bin Abdullah tidak menyebutkan nama Nabi ﷺ secara langsung. Bisa jadi ia mendengar dari Umar bin Al-Khaththab. Ibnu Sirin berkata, “Diriwayatkan secara mursal dari Umar bin Al-Khaththab bahwa ia menetapkan Dzatu ‘Irq sebagai miqat untuk penduduk Masyriq.” Bisa juga ia mendengar dari selain Umar bin Al-Khaththab di antara sahabat Nabi ﷺ.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami bahwa Ibnu Juraij berkata: Atha’ mengabarkan kepadaku, “Rasulullah ﷺ menetapkan Dzul Hulaifah untuk penduduk Madinah, Al-Juhfah untuk penduduk Maghrib, Dzatu ‘Irq untuk penduduk Masyriq, Qarn untuk penduduk Najd, dan bagi yang melewati Najd dari penduduk Yaman atau lainnya, Qarnul Manazil, serta Yalamlam untuk penduduk Yaman.”
Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij yang berkata: Aku memeriksa kembali kepada Atha’ dan bertanya, “Mereka menyangka bahwa Nabi ﷺ tidak menetapkan Dzatu ‘Irq dan saat itu belum ada penduduk Masyriq.” Ia menjawab, “Demikianlah yang kami dengar, bahwa beliau menetapkan Dzatu ‘Irq atau Al-‘Aqiq untuk penduduk Masyriq.” Ia juga berkata, “Saat itu belum ada Irak, tetapi untuk penduduk Masyriq.” Ia tidak menyandarkannya kepada seseorang selain Nabi ﷺ, tetapi ia bersikeras bahwa Nabi ﷺ yang menetapkannya.
Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya yang berkata, “Rasulullah ﷺ tidak menetapkan Dzatu ‘Irq, dan saat itu belum ada penduduk Masyriq. Kemudian orang-orang menetapkan Dzatu ‘Irq.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku berpendapat seperti perkataan Thawus, wallahu a’lam.
Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar dari Abu Asy-Sya’tsa’ yang berkata, “Nabi ﷺ tidak menetapkan miqat untuk penduduk Masyriq, lalu orang-orang menjadikan Dzatu ‘Irq sejajar dengan Qarn.”
Seorang yang tsiqah mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Ibnu Sirin bahwa Umar bin Al-Khaththab menetapkan Dzatu ‘Irq untuk penduduk Masyriq.
(Asy-Syafi’i berkata): Riwayat ini dari Umar bin Al-Khaththab secara mursal. Dzatu ‘Irq mirip dengan Qarn dalam jarak dan Yalamlam.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika penduduk Masyriq memulai ihram dari sana, aku berharap itu cukup bagi mereka berdasarkan qiyas dengan Qarn dan Yalamlam. Namun, jika mereka memulai ihram dari Al-‘Aqiq, itu lebih aku sukai.
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Thawus dari ayahnya yang berkata, “Rasulullah ﷺ menetapkan Dzul Hulaifah untuk penduduk Madinah, Al-Juhfah untuk penduduk Syam, Qarn untuk penduduk Najd, dan Yalamlam untuk penduduk Yaman. Kemudian beliau bersabda, ‘Miqat-miqat ini bagi penduduknya dan bagi setiap orang yang melewatinya dari selain penduduknya yang ingin menunaikan haji atau umrah. Barangsiapa yang tempat tinggalnya lebih dekat dari miqat-miqat ini, maka ia memulai ihram dari rumahnya.'”
Miqat adalah tempat untuk memulai ihram dari mana seseorang memulai perjalanan hingga sampai ke penduduk Mekah.” Diberitakan kepada kami oleh seorang yang terpercaya dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang miqat-miqat dengan makna yang serupa dengan hadits Sufyan tentang miqat. Diberitakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Al-Qasim bin Ma’n dari Laits dari ‘Atha’ dari Thawus dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al-Juhfah, bagi penduduk Yaman di Yalamlam, bagi penduduk Najd di Qarn, dan bagi yang berada di bawah itu, maka dari tempat ia memulai.”
Diberitakan kepada kami oleh Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’: “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika menetapkan miqat-miqat, bersabda: ‘Seseorang boleh menikmati keluarganya dan pakaiannya hingga sampai pada miqat-miqat tersebut.'” Aku bertanya: “Apakah tidak sampai kepadamu bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Jika mereka mencapai miqat, maka hendaknya mereka berihram?'” Ia menjawab: “Aku tidak tahu.”
### [Bab Penjelasan Rinci tentang Miqat]
Diberitakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ yang berkata, diberitakan kepada kami oleh Asy-Syafi’i yang berkata, diberitakan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Thawus yang berkata: “Dan ‘Amr tidak menyebutkan siapa yang berkata, tetapi kami mengira itu adalah Ibnu Abbas: ‘Seorang laki-laki boleh memulai ihram dari keluarganya dan setelah melewati tempat yang ia kehendaki, tetapi tidak boleh melewati miqat kecuali dalam keadaan berihram.'” Diberitakan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Abi Asy-Sya’tsa’ bahwa ia melihat Ibnu Abbas mengembalikan orang yang melewati miqat tanpa berihram.
(Asy-Syafi’i berkata): “Kami berpendapat dengan ini. Jika seseorang memulai ihram untuk haji atau umrah sebelum miqatnya, kemudian kembali ke miqatnya, maka ia tetap dalam keadaan ihram saat kembali tersebut. Jika ada yang bertanya: ‘Bagaimana engkau memerintahkannya untuk kembali padahal engkau telah mewajibkan ihram yang ia mulai sebelum miqat?’ Apakah pendapatmu itu mengikuti Ibnu Abbas, atau berdasarkan kabar dari selainnya, atau qiyas?” Aku jawab: “Meskipun itu mengikuti Ibnu Abbas, tetapi hal itu sesuai dengan makna Sunnah.” Jika ia bertanya: “Sebutkan Sunnah yang sesuai dengan makna itu.” Aku jawab: “Bagaimana pendapatmu ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan miqat bagi yang ingin haji atau umrah, bukankah orang yang berniat keduanya diperintahkan untuk berihram dari miqat dan tidak halal kecuali setelah sampai ke Baitullah, thawaf, dan amalan lainnya?” Ia menjawab: “Benar.”
Aku bertanya lagi: “Apakah ia diizinkan sebelum sampai miqat untuk tidak berihram?” Ia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Apakah ia diizinkan untuk menjadikan sebagian perjalanannya halal dan sebagian lainnya haram?” Ia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Bagaimana jika ia melewati miqat, lalu berihram atau tidak berihram, kemudian kembali ke miqat dan berihram darinya, bukankah ia telah melakukan apa yang diperintahkan, yaitu berihram dari miqat hingga halal dengan thawaf di Baitullah dan amalan lainnya?” Ia menjawab: “Benar. Tetapi jika ia memasuki ihram setelah miqat, maka ihram itu tetap berlaku baginya, dan ia tidak dianggap memulai ihram dari miqat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata: “Tidak ada kesulitan baginya untuk memulai ihram sebelum miqat, sebagaimana tidak ada kesulitan jika ia berihram dari keluarganya dan tidak sampai ke miqat kecuali setelah ihramnya, karena ia telah melakukan apa yang diperintahkan, yaitu berihram dari miqat hingga halal dengan thawaf dan amalan haji. Jika demikian, maka orang yang melewati miqat, lalu berihram, kemudian kembali ke miqat, memiliki makna yang sama, yaitu ia telah melewati miqat dalam keadaan berihram, kemudian tetap berihram hingga thawaf dan amalan ihramnya, hanya saja ia menambah perjalanan dengan kembali, dan tambahan itu tidak membuatnya berdosa atau wajib membayar fidyah, insya Allah Ta’ala.”
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana dengan orang yang keluarganya berada sebelum miqat atau ia termasuk penduduk miqat?” Aku jawab: “Perjalanannya seluruhnya adalah ihram, dan keadaannya ketika melewati keluarganya sama dengan orang yang melewati miqat, ia melakukan apa yang kami perintahkan bagi yang melewati miqat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Diberitakan kepada kami oleh Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij yang berkata:
Amr bin Dinar dari Thawus: Barangsiapa yang ingin berihram dari rumahnya, dan barangsiapa yang ingin menikmati pakaiannya hingga sampai miqatnya, tetapi tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan berihram, yaitu miqatnya. Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: Miqat-miqat dalam haji dan umrah adalah sama. Barangsiapa yang ingin berihram dari belakangnya, dan barangsiapa yang ingin berihram darinya, dan tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan berihram. Kami mengambil pendapat ini. Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha’ berkata: Barangsiapa yang lalai untuk berihram haji dari miqatnya atau sengaja melakukannya, maka hendaknya dia kembali ke miqatnya dan berihram darinya, kecuali jika dia terhalang oleh suatu uzur seperti sakit atau lainnya, atau khawatir akan ketinggalan haji jika kembali, maka hendaknya dia menyembelih hewan dan tidak perlu kembali. Minimal hewan yang disembelih dalam haji atau lainnya adalah kambing. Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada ‘Atha’: Bagaimana pendapatmu tentang orang yang lalai berihram haji dari miqatnya dan datang ketika haji sudah dekat, lalu dia menyembelih hewan, apakah dia harus keluar dari Haram dan berihram haji dari luar Haram? ‘Atha’ menjawab: Tidak, dan dia tidak perlu keluar karena khawatir akan darah yang harus dia sembelih.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengambil pendapat ini tentang orang yang berihram sebelum miqatnya, kami memerintahkannya untuk kembali ke miqatnya selama dia belum thawaf di Ka’bah. Jika dia sudah thawaf di Ka’bah, kami tidak memerintahkannya untuk kembali, tetapi kami memerintahkannya untuk menyembelih hewan. Jika dia tidak mampu kembali ke miqatnya karena uzur atau sengaja tidak kembali, kami tidak memerintahkannya untuk pergi ke tempat sebelum miqatnya, tetapi kami memerintahkannya untuk menyembelih hewan. Dia berdosa jika sengaja tidak kembali ketika mampu. Jika miqat suatu kaum adalah sebuah desa, minimal kewajiban ihramnya adalah tidak keluar dari rumah-rumahnya hingga berihram. Aku lebih suka jika rumah-rumahnya berkumpul atau terpisah, dia mencari tempat terjauh dan berihram dari rumah terjauh yang menghadap ke negerinya yang lebih jauh dari Mekkah. Jika itu adalah lembah, aku lebih suka dia berihram dari ujung terjauh atau terdekat dengan negerinya yang lebih jauh dari Mekkah. Jika itu adalah dataran tanah, minimal kewajibannya adalah berihram dari tempat yang disebut dataran, lembah, tempat, atau desa, kecuali jika dia tahu lokasinya, maka dia berihram darinya. Aku lebih suka dia berihram dari ujung terjauh ke negerinya yang lebih jauh dari Mekkah. Jika dia melakukan ini, dia pasti telah berihram dari miqat atau lebih, dan kelebihan tidak merugikan. Jika dia tahu desa itu telah dipindahkan, dia berihram dari desa pertama. Jika dia melewati tempat yang disebut namanya, dia harus kembali atau menyembelih hewan. Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abdul Karim Al-Jazari, dia berkata: Sa’id bin Jubair melihat seorang laki-laki ingin berihram dari miqat Dzatu ‘Irq, lalu dia memegang tangannya dan membawanya keluar dari rumah-rumah, melintasi lembah, dan membawanya ke kuburan, lalu berkata: Ini adalah Dzatu ‘Irq yang pertama.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang menempuh jalan laut atau darat dari arah selain miqat, dia berihram haji ketika sejajar dengan miqat dengan sengaja. Aku lebih suka dia berhati-hati dan berihram dari belakangnya. Jika dia tahu dia berihram setelah melewati miqat, dia seperti orang yang melewatinya lalu kembali atau menyembelih hewan. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: Barangsiapa yang menempuh jalan laut atau darat dari arah selain miqat, dia berihram ketika sejajar dengan miqat.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengambil pendapat ini. Barangsiapa yang melewati Kuda’ dari penduduk Najd dan Sarawat, dia berihram haji dari Qarn, itu sebelum sampai ke Tsaniyah Kuda, itu lebih tinggi dari Qarn di Najd dan lebih atas dari lembah Qarn. Kesimpulannya adalah apa yang dikatakan ‘Atha’: Barangsiapa yang datang dari arah selain miqat, dia berihram ketika sejajar dengan miqat. Hadits Thawus tentang miqat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah yang paling jelas maknanya dan paling cukup dari yang lain, yaitu bahwa dia datang ke miqat-miqat lalu berkata dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Miqat-miqat ini adalah untuk penduduknya dan untuk setiap orang yang datang dari selain penduduknya yang ingin haji atau umrah.” Jelas di dalamnya bahwa orang Irak atau Syam jika melewati Madinah ingin haji atau umrah, miqatnya adalah Dzul Hulaifah. Jika orang Madinah datang dari Yaman, miqatnya adalah Yalamlam. Ucapannya bahwa penduduk Madinah berihram dari Dzul Hulaifah karena mereka keluar dari negerinya dan Dzul Hulaifah adalah jalan mereka dan miqat pertama yang mereka lewati. Ucapannya bahwa penduduk Syam berihram dari Juhfah karena mereka keluar dari negerinya dan Juhfah adalah jalan mereka dan miqat pertama yang mereka lewati, kecuali jika mereka menyimpang ke sana. Demikian juga ucapannya tentang penduduk Najd dan Yaman karena masing-masing mereka keluar dari negerinya dan miqat pertama yang mereka lewati. Ada makna lain bahwa penduduk Najd Yaman melewati Qarn.
Ketika itu merupakan jalur mereka, mereka tidak diwajibkan untuk datang ke Yalamlam, karena miqat Yalamlam adalah untuk penduduk Yaman yang rendah (ghawr) dan sekitarnya yang melalui jalur tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh dalam hadits selain apa yang aku katakan, dan Allah lebih tahu. Sebab, jika penduduk Madinah—di mana pun mereka berada—ingin berhaji dan berniat ihram dari Dzul Hulaifah, mereka harus kembali dari Yaman ke Dzul Hulaifah, dan penduduk Yaman yang berada di Madinah jika ingin berhaji harus kembali ke Yalamlam. Namun, maknanya adalah seperti yang aku katakan, dan Allah lebih tahu. Hal ini terdapat dalam hadits yang dapat dipahami, sebagaimana dalam sabdanya, “Bagi setiap orang yang melewati miqat-miqat tersebut,” seperti yang aku jelaskan, dan sabdanya, “Bagi siapa yang ingin haji atau umrah,” bahwa miqat-miqat itu berlaku bagi siapa saja yang melewatinya dengan niat haji atau umrah. Adapun orang yang melewatinya tanpa niat haji atau umrah, kemudian setelah melewati miqat ia berkeinginan untuk haji atau umrah, maka ia boleh berniat ihram dari tempat ia berada saat itu, dan itu menjadi miqatnya, sebagaimana miqat bagi penduduk setempat yang memulai niat haji atau umrah dari tempat mereka. Inilah makna perintah Rasulullah ﷺ dalam sabdanya, “Bagi siapa yang ingin haji atau umrah,” karena orang ini telah melewati miqat tanpa niat haji atau umrah.
Makna sabdanya, “Bagi setiap orang yang melewati miqat-miqat tersebut dengan niat haji atau umrah,” adalah bahwa ia baru berniat haji atau umrah setelah melewati miqat, sedangkan ia berada di bawah miqat yang telah ditetapkan. Namun, ia tetap termasuk dalam ketentuan miqat berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Siapa yang keluarganya berada di bawah miqat, maka ia berniat dari tempat ia memulai, hingga berlaku bagi penduduk Mekah.” Inilah ketentuan miqat secara keseluruhan.
Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia pernah berniat ihram dari Al-Far’.
(Imam Syafi’i berkata): Menurut kami—dan Allah lebih tahu—ia melewati miqatnya tanpa niat haji atau umrah, kemudian di Al-Far’ ia berniat ihram dari sana, atau ia datang ke Al-Far’ dari Mekah atau tempat lain, lalu berniat ihram tanpa kembali ke Dzul Hulaifah. Padahal, ia meriwayatkan hadits tentang miqat dari Nabi ﷺ. Seandainya seorang penduduk Madinah pergi ke Thaif untuk keperluan tanpa niat haji atau umrah, lalu keluar dari sana juga tanpa niat haji atau umrah hingga mendekati Tanah Haram, kemudian ia berniat ihram untuk haji atau umrah, maka ia boleh berniat dari tempatnya saat itu tanpa harus kembali.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya yang berkata, “Jika seorang penduduk Mekah melewati miqat penduduk Mesir, ia tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan ihram.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Thawus berkata, “Jika seorang penduduk Mekah melewati miqat dengan tujuan ke Mekah, ia tidak boleh meninggalkannya tanpa berumrah.”
[Bab: Masuk Mekah Tanpa Niat Haji atau Umrah]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah ﷻ berfirman,
“Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan Baitullah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…” (QS. Al-Baqarah: 125) hingga firman-Nya, “…dan rukuk serta sujud.” (QS. Al-Baqarah: 125).
(Imam Syafi’i berkata): Al-Matsabah dalam bahasa Arab berarti tempat yang selalu dikunjungi orang, mereka kembali kepadanya setelah pergi darinya. Ada juga yang mengatakan, tsaba ilaihi berarti berkumpul kepadanya. Jadi, al-matsabah adalah tempat berkumpul, dan ya`ubun berarti mereka datang kembali setelah pergi atau pertama kali datang.
Waraqah bin Naufal pernah menyebutkan tentang Baitullah dalam syairnya:
“Tempat kembali yang tak pernah sepi dari kabilah-kabilah,
Unta-unta yang kurus pun berlari menuju kepadanya.”
Khidasy bin Zuhair An-Nashri juga berkata: …
Maka Bakr terus kembali dan dipanggil … dan dari mereka, yang awal dan yang akhir menyusul.
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedangkan manusia di sekitarnya saling merampok?” (Al-Ankabut: 67). Maksudnya—dan Allah yang lebih tahu—aman bagi siapa saja yang datang ke sana, tidak seperti orang-orang di sekeliling mereka yang saling merampok. Dan Dia berfirman kepada Ibrahim, kekasih-Nya: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta yang kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Al-Hajj: 27).
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar sebagian ulama yang kupercaya menyebutkan bahwa ketika Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan hal ini kepada Ibrahim—’alaihissalam—, beliau berdiri di Maqam lalu berseru: “Wahai hamba-hamba Allah, penuhilah panggilan Tuhan!” Maka seruan itu dijawab, bahkan oleh mereka yang masih dalam tulang sulbi lelaki dan rahim perempuan. Barangsiapa berhaji setelah seruannya, maka ia termasuk yang menjawab panggilannya. Mereka berkata: “Labbaik da’i rabbana labbaik (Aku penuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku).” Dan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan bagi Allah, wajib atas manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, bagi yang mampu.” (Ali Imran: 97). Ini menjadi petunjuk dari Kitabullah bagi kita dan umat-umat terdahulu bahwa manusia diajak untuk mendatangi Baitullah dengan berihram.
Allah Azza wa Jalla juga berfirman: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang ruku’, dan yang sujud.'” (Al-Baqarah: 125). Dan firman-Nya: “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.” (Ibrahim: 37).
(Imam Syafi’i berkata): Ini termasuk ajakan untuk mendatangi Haram dengan berihram. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Labid, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata: “Ketika Allah menurunkan Adam dari surga, Adam mengeluhkan kesepian karena tidak mendengar suara para malaikat. Ia berkata: ‘Wahai Tuhanku, mengapa aku tidak mendengar suara malaikat?’ Allah berfirman: ‘Karena dosamu, wahai Adam. Tetapi pergilah, sesungguhnya Aku memiliki rumah di Mekah, datangi dan lakukanlah thawaf di sekitarnya sebagaimana engkau melihat malaikat thawaf mengelilingi ‘Arsy-Ku.’ Maka Adam berjalan melangkah, setiap langkahnya sejauh satu desa, dan di antaranya adalah padang pasir. Lalu para malaikat menjumpainya di Raddam dan berkata: ‘Semoga hajimu diterima, wahai Adam. Sungguh, kami telah berhaji ke rumah ini 2000 tahun sebelummu.'”
Diriwayatkan juga dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Labid, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazi atau lainnya, ia berkata: “Adam berhaji, lalu para malaikat menjumpainya dan berkata: ‘Semoga ibadahmu diterima, wahai Adam. Sungguh, kami telah berhaji sebelummu 2000 tahun.'”
(Imam Syafi’i berkata): Ini—insya Allah—sebagaimana yang dikatakan. Namun, Abu Salamah dan Sufyan bin ‘Uyainah meragukan sanadnya.
(Imam Syafi’i berkata): Dikisahkan bahwa para nabi dahulu berhaji. Jika mereka memasuki Haram, mereka berjalan dengan khidmat dan tanpa alas kaki. Tidak ada riwayat bahwa seorang nabi atau umat terdahulu memasuki Baitullah kecuali dengan berihram. Rasulullah ﷺ juga tidak memasuki Mekah—sepengetahuan kami—kecuali dengan berihram, kecuali saat Perang Fath. Dari sini kami berpendapat bahwa sunnah Allah atas hamba-Nya adalah tidak memasuki Haram kecuali dengan berihram.
Para ulama kami juga berkata: “Barangsiapa bernazar untuk mendatangi Baitullah, hendaknya ia datang dengan berihram, baik untuk haji atau umrah.” Aku menduga mereka mengatakan hal itu berdasarkan apa yang kujelaskan, dan bahwa Allah menyebutkan cara memasuki Haram dalam firman-Nya: “Sungguh, Allah akan membenarkan mimpi Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram—insya Allah—dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut atau memendekkannya.” (Al-Fath: 27). Ini menunjukkan cara masuk untuk ibadah, keamanan, keringanan dalam perang, dan bahwa ada perbedaan antara memasuki Mekah dan kota lainnya. Sebab, semua kota lain sama, tidak perlu berihram, sedangkan Mekah dikhususkan bahwa siapa pun yang mendatanginya dengan niat ibadah, harus berihram.
(Imam Syafi’i berkata): Namun, sebagian sahabat kami memberikan keringanan bagi para pengumpul kayu bakar dan yang masuk untuk keperluan penduduk atau mencari nafkah. Aku berpendapat alasan terbaik untuk pendapat ini adalah bahwa tujuan mereka masuk Mekah adalah untuk bekerja, bukan ibadah, dan hal itu terus-menerus dilakukan sehingga mereka menyerupai penduduk setempat. Bisa jadi para pengumpul kayu bakar itu adalah budak yang tidak diizinkan untuk beribadah. Jika kewajiban haji gugur bagi budak, maka ibadah sunnah juga gugur. Jika mereka budak, maka ini alasan khusus yang tidak berlaku bagi selain mereka. Keringanan bagi mereka karena tujuan masuk Mekah bukan untuk ibadah, melainkan untuk keperluan sehari-hari yang mirip dengan penduduk tetap.
Barangsiapa yang seperti itu, maka ia memiliki keringanan. Adapun seseorang yang datang kepada keluarganya di Mekah dari perjalanan, maka ia tidak boleh masuk kecuali dalam keadaan ihram, karena ia tidak termasuk dalam salah satu dari dua makna tersebut. Adapun kurir yang datang membawa pesan atau mengunjungi keluarganya dan tidak terus-menerus masuk, maka jika ia meminta izin lalu masuk dalam keadaan ihram, itu lebih aku sukai. Namun jika tidak melakukannya, maka terdapat makna yang telah aku jelaskan yang menggugurkan kewajiban itu darinya.
Siapa yang masuk Mekah karena takut perang, maka tidak mengapa ia memasukinya tanpa ihram. Jika ada yang bertanya: “Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan?” Dijawab: “Kitabullah dan Sunnah.” Jika ia bertanya lagi: “Di mana?” Dijawab: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.’ (QS. Al-Baqarah: 196).” Maka, Allah mengizinkan orang yang berihram untuk haji atau umrah bertahallul karena takut perang. Oleh karena itu, orang yang tidak berihram lebih utama jika ia takut perang untuk tidak berihram, sebagaimana orang yang berihram boleh keluar dari ihramnya.
Rasulullah ﷺ memasuki Mekah pada tahun Fathu Mekah tanpa ihram karena perang. Jika ada yang bertanya: “Apakah ia wajib mengqadha ihramnya jika masuk Mekah tanpa ihram karena musuh dan perang?” Dijawab: “Tidak. Ia hanya mengqadha kewajiban yang batal atau ditinggalkan tanpa dilakukan. Adapun masuk Mekah tanpa ihram, asalnya adalah bahwa siapa yang mau, ia tidak perlu memasukinya jika telah menunaikan haji Islam dan umrahnya. Jadi, asalnya bukan kewajiban mutlak. Jika ia masuk dalam keadaan halal lalu meninggalkannya, maka ia meninggalkan keutamaan dan perkara yang asalnya bukan kewajiban mutlak, sehingga tidak perlu diqadha.
Namun, jika ia wajib menunaikannya untuk haji Islam atau nazar, lalu ia meninggalkannya, maka ia harus mengqadhanya atau diqadha setelah kematiannya atau ketika tiba waktu di mana ia tidak mampu lagi menaiki kendaraan.
Menurutku, boleh bagi orang yang masuk Mekah karena takut penguasa atau perkara yang tidak bisa dihindari untuk meninggalkan ihram jika ia takut saat thawaf dan sa’i. Namun, jika tidak takut dalam keduanya, maka tidak boleh. Wallahu a’lam.
Sebagian penduduk Madinah berkata: “Tidak mengapa masuk tanpa ihram,” dengan berargumen bahwa Ibnu Umar pernah masuk Mekah tanpa ihram.
(Asy-Syafi’i berkata): “Ibnu Abbas menyelisihinya, dan ia memiliki dalil seperti yang kami jelaskan, dengan berargumen bahwa Nabi ﷺ masuk Mekah pada tahun Fathu Mekah tanpa ihram, dan bahwa Nabi ﷺ memasukinya dalam keadaan berperang seperti yang kami jelaskan.”
Jika ada yang berkata: “Aku mengqiyaskan dengan masuknya Nabi ﷺ,” maka dikatakan kepadanya: “Apakah engkau juga mengqiyaskan dengan terkepungnya Nabi ﷺ karena perang?” Jika ia menjawab: “Tidak, karena perang berbeda dengan lainnya,” maka dikatakan: “Lakukanlah seperti itu dalam perang di mana pun, jangan engkau bedakan di satu tempat dan satukan di tempat lain.”
### [Bab Miqat Umrah Bersama Haji]
(Asy-Syafi’i berkata) -rahimahullah-: “Miqat umrah dan haji adalah satu. Barangsiapa yang menggabungkannya (Qiran), maka itu cukup baginya untuk haji Islam dan umrahnya, tetapi ia wajib membayar dam Qiran. Barangsiapa yang berihram untuk umrah, lalu ia ingin menambahkan haji, maka itu boleh baginya selama ia belum memulai thawaf di Ka’bah. Jika ia sudah memulai thawaf, maka ia telah masuk dalam amalan yang mengeluarkannya dari ihram, sehingga tidak boleh baginya memasuki ihram baru sebelum menyelesaikan keluar dari ihram sebelumnya. Jadi, tidak boleh berihram baru di atas ihram yang belum selesai, kecuali jika ia menetap dalam ihram tersebut.
Ini adalah pendapat Atha’ dan ulama lainnya. Jika ia memulai thawaf lalu memasukkan haji ke dalamnya, maka ia tidak dianggap berihram dan tidak wajib mengqadhanya atau membayar fidyah karena meninggalkannya.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin ia bisa menjadi mufrid (hanya umrah) lalu memasukkan haji ke dalamnya?” Dijawab: “Karena ia belum keluar dari ihram umrahnya. Ini tidak boleh dalam shalat atau puasa.”
Dan dikatakan kepadanya, insya Allah: “Aisyah dan para sahabat Rasulullah ﷺ berihram sambil menunggu keputusan. Lalu turun keputusan kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan siapa yang tidak membawa hadyu untuk mengubah ihramnya menjadi umrah. Maka Aisyah berumrah karena tidak membawa hadyu. Ketika haid menghalanginya dari tahallul umrah dan waktu haji mendesak, Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk memasukkan haji ke dalam umrahnya, maka ia pun melakukannya dan menjadi Qiran.”
Karena itulah kami berpendapat bahwa haji boleh dimasukkan ke dalam umrah selama belum memulai thawaf.
Disebutkan kepadanya tentang menggabungkan haji dan umrah. Jika ada yang mengatakan itu boleh, maka ditanyakan, “Apakah boleh menggabungkan dua shalat atau dua puasa?” Jika dia menjawab tidak, maka dikatakan, “Maka tidak boleh menggabungkan sesuatu yang engkau pisahkan.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berihram untuk haji, lalu ingin memasukkan umrah, maka kebanyakan ulama yang aku temui dan hafal pendapatnya mengatakan itu tidak boleh baginya. Jika hal itu tidak diperbolehkan, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya untuk mengqadha umrah atau membayar fidyah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Bagaimana jika menurut Sunnah, keduanya adalah dua ibadah yang bisa saling dimasukkan, tetapi berbeda dalam hal jika haji dimasukkan ke dalam umrah, maka ihramnya lebih banyak daripada ihram umrah. Sedangkan jika umrah dimasukkan ke dalam haji, ihramnya lebih sedikit daripada ihram haji.” Meskipun demikian, perbedaan ini tidak menghalangi salah satunya untuk diqiyaskan kepada yang lain, karena sesuatu yang lebih jauh pun bisa diqiyaskan. Aku tidak mengetahui dalil yang membedakan keduanya selain apa yang kuhafal dari para ulama yang kudengar pendapatnya. Ada juga riwayat dari sebagian tabi’in, tetapi aku tidak tahu apakah ada riwayat yang sahih dari sahabat Rasulullah ﷺ atau tidak. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, tetapi tidak sahih. Barangsiapa berpendapat tidak boleh berumrah, maka umrahnya tidak sah sebagai pengganti umrah Islam, tidak wajib menyembelih hadyu, dan tidak ada kewajiban apa pun jika meninggalkannya. Sedangkan yang berpendapat boleh memasukkan umrah ke dalam haji, maka itu sah sebagai pengganti haji dan umrah Islam.
Jika seseorang berihram untuk umrah, lalu menetap di Mekah hingga waktu haji, maka dia memulai ihram haji dari Mekah. Jika dia berihram untuk haji lalu ingin umrah, maka dia memulai ihram umrah dari mana saja di luar tanah haram jika dia telah keluar darinya. Aku berpendapat bahwa jika seseorang menetap di Mekah selama setahun, dia boleh berihram seperti ihram penduduk luar yang kembali ke miqat mereka. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil dari pendapatmu?” Dijawab bahwa kebanyakan sahabat Rasulullah ﷺ berihram untuk umrah bersama beliau, lalu diperintahkan untuk berihram haji ketika berangkat ke Mina dari Mekah. Jadi, umrah yang dilakukan sebelum haji diqiyaskan dengan ini. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari ulama yang kuhafal. Jika ada yang berkata, “Nabi ﷺ memerintahkan Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengumrahkan Aisyah dari Tan’im,” maka ihram Aisyah adalah untuk umrah, lalu dia berihram haji dari Mekah, sedangkan umrahnya dari Tan’im adalah nafilah. Ini bukan dalil bagi kami karena alasan yang telah kami jelaskan.
Barangsiapa berihram untuk umrah dari luar tanah haram, maka itu sah baginya. Jika sebelumnya dia belum memasuki Mekah untuk haji atau umrah, lalu menetap di Mekah, maka umrah wajibnya adalah dengan kembali ke miqat dalam keadaan berihram. Tidak ada kewajiban apa pun jika dia sampai di miqat dalam keadaan berihram. Jika tidak melakukannya, dia wajib menyembelih dam, dan umrah wajibnya tetap sah.
Barangsiapa berihram untuk umrah dari Mekah, maka ada dua pendapat. Pertama, jika dia tidak keluar ke tanah halal hingga thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka dia tidak halal. Dia harus keluar dan bertalbiyah untuk umrah itu di luar tanah haram, lalu thawaf, sa’i, dan mencukur atau memendekkan rambut. Tidak ada kewajiban apa pun jika dia belum mencukur, tetapi jika sudah mencukur, dia wajib menyembelih dam. Jika dia berhubungan dengan istrinya, maka umrahnya batal, dan dia harus bertalbiyah di luar tanah haram, lalu thawaf, sa’i, memendekkan atau mencukur rambut, menyembelih unta, lalu mengqadha umrah yang batal itu dengan umrah baru. Keluarnya dari tanah haram hanya untuk umrah yang batal ini. Pendapat kedua mengatakan bahwa umrah ini sah tetapi dia wajib menyembelih dam. Pendapat pertama lebih sesuai, wallahu a’lam. Namun, jika seseorang berihram untuk haji dari Mekah tanpa sebelumnya berihram dari miqat dan tidak kembali ke miqatnya, dia wajib menyembelih dam karena meninggalkan miqat, tetapi hajinya dari Mekah sah sebagai pengganti haji Islam. Karena rukun haji berada di luar tanah haram, yaitu Arafah, sedangkan semua amalan umrah selain waktu berada di tanah haram, maka tidak sah memulainya dari tempat berakhirnya amalan dan rukunnya. Aku tidak suka seseorang berihram untuk haji atau umrah dari miqatnya lalu kembali ke negerinya atau menetap di tempatnya. Jika dia melakukannya, tidak ada fidyah, tetapi lebih baik melanjutkan.
Untuk wajahnya, maka dia berniat dengan niat ibadahnya.
(Dia berkata): Demikian juga, aku tidak menyukai jika dia mengambil jalan lain yang lebih jauh tanpa ada keperluan yang mendesak atau untuk kenyamanan. Jika ada keperluan mendesak atau jalan yang lebih nyaman, maka aku tidak melarangnya dan tidak ada denda baginya meskipun dia berbelok tanpa alasan.
Barangsiapa yang berihram untuk umrah dalam suatu tahun, lalu tinggal di Mekah, di negerinya, atau di perjalanan selama satu atau dua tahun, maka dia tetap dalam keadaan ihram sampai melakukan tawaf di Ka’bah. Umrah ini sudah cukup baginya karena waktu umrah berlaku sepanjang tahun, tidak seperti haji yang jika terlewat pada tahun itu, dia tidak boleh tetap dalam ihram, melainkan harus keluar darinya dan mengqadhanya. Aku tidak menyukai hal ini sebagai bentuk teguran atas ihramnya.
Jika seseorang berihram untuk umrah dalam keadaan sadar, lalu hilang akalnya, kemudian tawaf dalam keadaan sadar, maka umrahnya sah. Pondasi umrah adalah ihram dan tawaf, dan tidak masalah bagi orang yang berumrah jika di antara keduanya dia kehilangan akal.
(Asy-Syafi’i berkata): Seorang penanya berkata, “Mengapa engkau mewajibkan orang yang melewati miqat tanpa berihram untuk kembali ke miqat jika tidak khawatir kehabisan waktu haji?” Aku menjawab, karena dalam hajinya dia diperintahkan untuk berihram dari miqatnya, dan hal itu menunjukkan bahwa dia harus berihram antara miqat dan Ka’bah, tetapi tidak diwajibkan berihram sejak dari rumahnya sampai miqat. Aku katakan padanya, “Kembalilah agar engkau memulai ihram di tempat yang diperintahkan untuk memulainya.” Kami mengatakan ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas dan petunjuk yang serupa dari Sunnah.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau mengatakan jika dia tidak kembali karena takut kehabisan waktu atau tanpa uzur, maka dia harus menyembelih dam?” Aku menjawab, karena dia telah melewati batas yang ditetapkan Rasulullah ﷺ, sehingga dia meninggalkan kewajiban yang sempurna, maka kami perintahkan dia untuk menggantinya dengan dam.
Jika dia bertanya lagi, “Bagaimana engkau menjadikan pengganti dari meninggalkan sesuatu yang wajib dalam ibadah yang dia lewati, sementara melewatinya bukanlah haknya, lalu engkau menjadikan penggantinya dengan menyembelih dam? Padahal dalam ibadah selain haji, engkau menjadikan penggantinya dengan sesuatu yang harus dia lakukan, seperti puasa dengan puasa atau shalat dengan shalat?”
Aku menjawab, puasa dan shalat berbeda dengan hajji, dan keduanya juga berbeda dalam hakikatnya.
Dia bertanya lagi, “Di mana letak perbedaannya?”
Aku menjawab, jika haji rusak, dia tetap melanjutkannya dan menyembelih unta sebagai pengganti. Jika shalat rusak, dia menggantinya tanpa kafarah. Jika dia terlewat dari wukuf di Arafah dalam keadaan ihram, dia keluar dari haji dengan tawaf dan sa’i. Sedangkan jika shalat terlewat dari waktunya, dia tidak bisa keluar darinya. Jika haji terlewat, dia tidak bisa mengqadhanya kecuali pada hari yang sama di tahun berikutnya. Jika shalat terlewat, dia mengqadhanya saat ingat. Jika puasa terlewat, dia mengqadhanya keesokan harinya. Jika puasa batal karena muntah atau lainnya menurut pendapat kami dan pendapatmu, tidak ada kafarah, dan dia boleh mengulanginya. Jika batal karena jima’, dia wajib memerdekakan budak jika mampu, beserta penggantinya.
Dengan perbedaan-perbedaan ini, bagaimana engkau menyamakan dua hal yang berbeda padahal keduanya jelas berbeda?
(Asy-Syafi’i berkata): Aku juga mengatakan kepadanya, dalil dalam hal ini adalah bahwa kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa seseorang boleh berihram sebelum sampai ke miqatnya, dan jika dia meninggalkan ihram dari miqatnya dan tidak kembali, hajinya tetap sah. Sebagian besar ulama mengatakan dia harus menyembelih dam, sedangkan minoritas mengatakan tidak ada kewajiban apa pun, dan hajinya sah.
Sebagian besar ulama juga berpendapat bahwa orang yang meninggalkan mabit di Mina atau di Muzdalifah harus menyembelih dam. Kami juga berpendapat bahwa orang yang meninggalkan melempar jumrah harus menyembelih dam. Jadi, kami dan mereka menjadikan pengganti dari beberapa amalan haji dengan dam.
(Dia berkata): Jika seorang penduduk Mekah melewati suatu miqat untuk haji atau umrah, lalu berihram setelah melewatinya, maka hukumnya sama seperti orang lain: dia harus kembali atau menyembelih dam.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana engkau berpendapat demikian untuk penduduk Mekah, sementara engkau tidak mewajibkan dam tamattu’ atas mereka?”
Dijawab, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 196)
[Bab Mandi untuk Ihram]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Ad-Darawardi dan Hatim bin Isma’il dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Jabir bin Abdullah Al-Anshari ketika ia menceritakan tentang haji Nabi ﷺ, ia berkata: “Ketika kami berada di Dzul Hulaifah, Asma’ binti Umais melahirkan, lalu Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mandi dan berihram.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menganjurkan mandi ketika ihram bagi laki-laki, anak kecil, perempuan, wanita haid, dan nifas, serta siapa saja yang hendak berihram, sebagai bentuk mengikuti sunnah. Secara logika, hal itu wajib ketika seseorang memasuki ibadah yang mengharuskannya untuk memulai dengan kesucian sempurna dan kebersihan, karena ia dilarang memakai wewangian saat ihram. Jika Rasulullah ﷺ memerintahkan seorang wanita yang sedang nifas—yang mandi tidak menyucikannya untuk shalat—untuk mandi, maka orang yang mandinya menyucikan untuk shalat lebih layak diperintahkan mandi, atau setidaknya dalam makna yang sama atau lebih. Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan Asma’ untuk mandi dan berihram dalam keadaan yang tetap diperbolehkan ihram meski tidak boleh shalat, maka jika seseorang berihram tanpa mandi—baik karena junub, tidak berwudhu, haid, atau nifas—ihramnya sah. Sebab, jika orang yang tidak suci boleh berihram, maka semua Muslim yang tidak boleh shalat dalam kondisi tertentu juga boleh berihram tanpa dikenakan denda, meski aku tidak menyukainya dan lebih memilih mereka mandi. Aku tidak pernah meninggalkan mandi ihram, bahkan ketika sakit dalam perjalanan, meski khawatir air membahayakanku. Aku juga tidak pernah menemukan seorang pun yang kuiikuti meninggalkannya, atau melihat mereka sengaja melakukannya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika wanita nifas atau haid berasal dari daerah jauh, lalu mereka berangkat dalam keadaan suci, kemudian mengalami nifas atau haid—atau sudah dalam keadaan itu di negeri mereka—dan tiba waktu haji, tidak masalah mereka berihram dalam kondisi tersebut. Jika mereka bisa mandi saat sampai di miqat, hendaknya melakukannya. Jika tidak bisa, atau tidak ada air, aku lebih suka mereka bertayamum bersama lalu berihram untuk haji atau umrah. Namun, aku tidak suka jika wanita nifas atau haid memulai ihram sebelum miqat, terutama jika negeri mereka dekat, aman, dan masih ada waktu untuk bersuci serta mengejar haji tanpa terburu-buru atau kesulitan. Aku lebih suka mereka menunda hingga suci, lalu berihram dalam keadaan suci. Hal yang sama berlaku jika mereka berada sebelum miqat atau di miqat, atau jika mereka tinggal di Makkah tanpa berihram sebelumnya. Jika mereka diperintahkan pergi ke miqat untuk haji, aku lebih suka mereka tidak berangkat kecuali dalam keadaan suci atau hampir suci, agar bisa berihram dari miqat dalam keadaan suci. Jika mereka menunggu di miqat hingga suci, itu lebih kusukai. Demikian pula jika mereka diperintahkan berangkat untuk umrah sebelum haji, selama tidak terlewatkan hajinya, atau jika mereka penduduk Makkah, aku lebih suka mereka berihram dalam keadaan suci. Namun, jika mereka berihram dalam semua kondisi ini—baik memulai perjalanan atau tidak, dalam keadaan tidak suci—ihramnya sah tanpa dikenakan denda. Semua amalan haji yang dilakukan wanita haid juga boleh dilakukan laki-laki dalam keadaan junub atau tanpa wudhu, tetapi yang utama adalah tidak melakukannya kecuali dalam keadaan suci. Semua amalan haji boleh dilakukan wanita haid dan laki-laki yang tidak suci, kecuali thawaf di Ka’bah dan shalat.”
[Bab Mandi Setelah Ihram]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Zaid bin Aslam dari …
Ibrahim bin Abdullah bin Hunain meriwayatkan dari ayahnya bahwa Abdullah bin Abbas dan Miswar bin Makhramah berselisih pendapat di Abwa’. Abdullah bin Abbas berkata, “Orang yang berihram boleh mencuci kepalanya,” sedangkan Miswar berkata, “Orang yang berihram tidak boleh mencuci kepalanya.” Maka Ibnu Abbas mengutusku kepada Abu Ayyub Al-Anshari untuk menanyakan hal itu. Aku mendapatinya sedang mandi di antara dua tanduk sambil menutupi diri dengan kain. Aku mengucapkan salam, lalu dia bertanya, “Siapa ini?” Aku menjawab, “Aku Abdullah, diutus oleh Ibnu Abbas untuk bertanya kepadamu: ‘Bagaimana Rasulullah ﷺ mencuci kepalanya saat berihram?'” Abu Ayyub meletakkan tangannya pada kain, lalu menundukkan kepala hingga terlihat olehku. Kemudian dia menyuruh seseorang menuangkan air ke atas kepalanya, lalu menggerakkan kepalanya dengan tangannya ke depan dan belakang, seraya berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah ﷺ melakukannya.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, yang berkata bahwa ‘Atha’ mengabarkan kepadanya dari Shafwan bin Ya’la, dari ayahnya Ya’la bin Umayyah, yang berkata, “Ketika Umar bin Khattab sedang mandi di dekat unta, aku menutupinya dengan kain. Umar berkata, ‘Ya’la, tuangkan air ke kepalaku!’ Aku menjawab, ‘Amirul Mukminin lebih tahu.’ Umar bin Khattab berkata, ‘Demi Allah, air tidak menambah rambut kecuali kusut.’ Lalu dia menyebut nama Allah dan menuangkan air ke kepalanya.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwa dia mendengar beberapa orang berlomba di depan Umar bin Khattab di tepi pantai, dan Umar melihat mereka tanpa mengingkari perbuatan mereka.
Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang berkata, “Umar bin Khattab terkadang berkata kepadaku, ‘Ayo, kita berlomba menahan napas dalam air, sementara kita sedang berihram!'”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, yang berkata, “Orang yang junub, baik sedang berihram atau tidak, jika mandi, boleh menggosok kulitnya jika dia mau, tetapi tidak boleh menggosok kepalanya.” Ibnu Juraij bertanya, “Mengapa tidak boleh menggosok kulit atau kepalanya?” Dia menjawab, “Karena bagian kulitnya mungkin terlihat, sedangkan kepalanya tidak.”
Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Aslam, mantan budak Umar bin Khattab, yang berkata, “Ashim bin Umar dan Abdurrahman bin Zaid pernah berlomba sambil berihram, dan Umar melihat mereka.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Kami berpendapat berdasarkan semua ini bahwa orang yang berihram boleh mandi meski tidak junub atau dalam keadaan darurat. Dia boleh mencuci kepalanya dan menggosok tubuhnya dengan air untuk membersihkan kotoran. Jika mencuci kepala, dia boleh menuangkan air secara merata. Lebih baik jika dia tidak menggerakkan tangannya saat mencuci kepala kecuali dalam keadaan junub. Jika dia melakukannya, aku harap tidak ada masalah. Jika mencuci karena junub, lebih baik dia mencuci dengan ujung jari dan telapak tangan, meratakan air ke akar rambut dengan lembut, tanpa menggaruk dengan kuku, dan menghindari memotong rambut. Jika dia menggerakkan rambut dengan keras atau ringan hingga ada rambut yang rontok, lebih baik membayar fidyah, tetapi tidak wajib kecuali dia yakin telah memotong atau mencabutnya. Hal yang sama berlaku untuk jenggot. Rambut bisa rontok dan tersangkut di antara rambut lainnya, sehingga jika disentuh atau digerakkan, rambut yang rontok bisa keluar. Jangan mencuci kepala dengan sidr atau khitmi karena bisa merapikan rambut. Jika dilakukan, lebih baik membayar fidyah, tetapi aku tidak mewajibkannya. Orang yang berihram tidak boleh mencelupkan kepalanya ke dalam air jika rambutnya telah dilabur berulang kali untuk melunakkannya. Dia boleh menggosok tubuhnya dengan keras karena tidak ada rambut di tubuh yang perlu dijaga seperti di kepala dan jenggot. Jika ada rambut yang terpotong karena digosok, dia boleh membayar fidyah.”
[Bab: Orang yang Berihram Masuk ke Pemakaman]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, (Asy-Syafi’i berkata): “Aku tidak memakruhkan orang yang berihram masuk ke pemakaman karena itu adalah tempat mandi, dan mandi diperbolehkan dengan dua alasan.”
Untuk kebersihan dan penyucian, begitu pula di kamar mandi, dan Allah lebih tahu, dan kotoran dapat dibersihkan darinya baik di kamar mandi atau tempat lain, dan tidak ada ibadah dalam kotoran, juga tidak ada larangan atau kebencian bagi orang yang berihram untuk memasukkan kepalanya ke dalam air panas atau dingin yang mengalir atau bermanfaat.
[Pembahasan Tempat yang Disukai untuk Mandi]
(Imam Syafi’i berkata): Aku menyukai mandi untuk memulai ihram, memasuki Mekah, berdiam di Arafah pada sore hari, berdiam di Muzdalifah, dan untuk melempar jumrah selain pada hari penyembelihan. Aku juga menyukai mandi di antara waktu-waktu ini ketika badan berubah karena keringat atau lainnya untuk membersihkan badan. Begitu pula aku menyukainya bagi wanita haid, namun tidak ada satupun dari ini yang wajib. Diriwayatkan dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah dari Utsman bin Urwah dari ayahnya: “Rasulullah SAW bermalam di Dzul Thuwa hingga shalat Subuh, kemudian mandi di sana dan memasuki Mekah.” Diriwayatkan pula dari Ummu Hani binti Abi Thalib, dan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Ali bin Abi Thalib RA mandi di rumahnya di Mekah ketika tiba sebelum memasuki masjid. Diriwayatkan dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dari Ummu Dzurrah bahwa Aisyah RA mandi di Dzul Thuwa ketika tiba di Mekah.
(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa jika ia keluar untuk haji atau umrah, ia tidak memasuki Mekah hingga mandi dan memerintahkan orang yang bersamanya untuk mandi.
[Pembahasan Pakaian yang Dipakai oleh Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami bahwa ia mendengar Amr bin Dinar berkata: Aku mendengar Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid berkata: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersabda: “Jika orang yang berihram tidak menemukan sandal, ia boleh memakai sepatu. Jika ia tidak menemukan kain sarung, ia boleh memakai celana.” Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan bertanya: ‘Apa yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Jangan memakai baju, sorban, penutup kepala, celana, atau sepatu kecuali bagi yang tidak menemukan sandal. Jika tidak menemukan sandal, pakailah sepatu dan potonglah hingga di bawah mata kaki.'” Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Apa yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Jangan memakai baju, sorban, celana, penutup kepala, atau sepatu kecuali seseorang yang tidak menemukan sandal, maka ia boleh memakai sepatu dan memotongnya hingga di bawah mata kaki.'” Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar: “Rasulullah SAW melarang orang yang berihram memakai pakaian yang dicelup dengan za’faran atau wars. Beliau bersabda: ‘Siapa yang tidak menemukan sandal, pakailah sepatu dan potonglah hingga di bawah mata kaki.'”
(Imam Syafi’i berkata): Nabi SAW memberikan pengecualian bagi yang tidak menemukan sandal untuk memakai sepatu dan memotongnya hingga di bawah mata kaki.
(Imam Syafi’i berkata): Dan siapa yang tidak menemukan kain sarung, ia boleh memakai celana. Keduanya sama, hanya saja ia tidak perlu memotong celana, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan untuk memotongnya. Jika seseorang memakai salah satunya kemudian menemukan sandal, ia boleh memakai sandal dan melepas sepatu. Jika setelah memakai celana ia menemukan kain sarung, ia boleh memakai kain sarung dan melepas celana. Jika tidak melakukannya, ia harus membayar fidyah. Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Asma binti Abu Bakar bahwa ia biasa memakai…
Pakaian yang dicelup dengan warna kuning yang pekat dan diharamkan (bagi orang yang berihram) yang tidak mengandung za’faran. Sufyan mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali, dia berkata: Umar bin Khattab melihat Abdullah bin Ja’far mengenakan dua pakaian yang dicelup merah (mudhrij) saat sedang berihram. Umar bertanya: “Pakaian apa ini?” Maka Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- menjawab: “Aku tidak menyangka ada orang yang mengajari kami tentang sunnah.” Maka Umar pun diam.
[Pasal tentang pakaian yang boleh dikenakan wanita]
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Az-Zubair dari Jabir bahwa dia mendengarnya berkata: “Wanita tidak boleh mengenakan pakaian yang diberi wewangian, tetapi boleh mengenakan pakaian yang dicelup kuning (mu’shfar). Dan aku tidak menganggap celupan kuning sebagai wewangian.” Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya bahwa dia biasa memfatwakan kepada wanita yang berihram untuk memotong khuf (sepatu kulit). Hingga Shafiyyah mengabarkan kepadanya dari Aisyah bahwa dia memfatwakan wanita untuk tidak memotongnya. Maka ayahnya pun menghentikan fatwa tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Wanita tidak perlu memotong khuf-nya. Wanita boleh mengenakan celana panjang, khuf, kerudung, dan baju panjang tanpa kebutuhan darurat seperti halnya laki-laki. Dalam hal ini, wanita tidak sama dengan laki-laki. Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Dalam kitab Ali -radhiyallahu ‘anhu- disebutkan: ‘Barangsiapa tidak menemukan sandal tetapi menemukan khuf, maka hendaklah dia mengenakannya.'” Aku bertanya: “Apakah engkau yakin itu adalah kitab Ali?” Dia menjawab: “Aku tidak ragu bahwa itu adalah kitabnya.” Dia berkata: “Dan tidak ada perintah untuk memotongnya.” Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa dia berkata: “Barangsiapa tidak memiliki izar tetapi memiliki sarung atau celana panjang, maka hendaklah dia mengenakannya.” Sa’id bin Salim berkata: “Tidak perlu memotong khuf.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku berpendapat khuf harus dipotong, karena hal itu terdapat dalam hadits Ibnu Umar, meskipun tidak ada dalam hadits Ibnu Abbas. Keduanya adalah orang yang jujur dan hafizh. Tambahan salah satunya atas yang lain bukanlah sesuatu yang tidak disampaikan oleh yang lain, mungkin karena lupa, ragu sehingga tidak menyampaikannya, atau diam. Atau mungkin dia menyampaikannya tetapi tidak diriwayatkan darinya karena beberapa alasan perbedaan. Dengan semua ini kami berpendapat, kecuali apa yang telah kami jelaskan bahwa kami meninggalkannya. Sunnah, kemudian perkataan kebanyakan ulama yang kami hafal menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita yang berihram ada kesamaan dan perbedaan dalam hal pakaian. Adapun hal yang sama adalah keduanya tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup dengan za’faran atau wars. Jika tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup za’faran atau wars karena keduanya termasuk wewangian, maka mencelup pakaian dengan air mawar, misk, amber, atau wewangian lain yang lebih harum atau setara dengan wars, atau yang dianggap sebagai wewangian, lebih pantas untuk tidak dikenakan. Baik celupan itu meninggalkan warna pada pakaian atau tidak, selama memiliki aroma wangi yang tercium baik dalam keadaan kering atau basah. Seandainya seseorang mengambil air mawar lalu mencelupkan pakaian dengannya sehingga aromanya tercium dari pakaian tersebut baik dalam keadaan kering atau basah karena bekas wewangian pada pakaian, maka orang yang berihram tidak boleh mengenakannya. Demikian pula jika za’faran dioleskan hingga memutihkan pakaian, orang yang berihram tidak boleh mengenakannya. Begitu juga jika dicelupkan dalam minyak wangi atau sejenisnya. Atau jika direndam dalam air rendaman bunga raya Persia atau bunga-bunga wangi lain yang makruh dihirup oleh orang yang berihram, maka orang yang berihram tidak boleh mengenakan pakaian yang direndam dalam air tersebut. Kesimpulannya, semua wewangian yang tidak boleh dihirup oleh orang yang berihram, jika airnya diekstrak dengan cara apa pun baik mentah atau dimasak lalu pakaian dicelupkan ke dalamnya, maka tidak boleh dikenakan oleh orang yang berihram.
Untuk wanita yang sedang berihram, dia boleh mengenakan pakaian tertentu dan diperbolehkan mencium aroma tumbuhan dari bumi yang tidak termasuk wewangian atau minyak harum, seperti al-Idzkhir, adh-Dhuru, asy-Syih, al-Qaishum, al-Basyam, dan sejenisnya. Atau tumbuhan yang bisa dimakan dan memiliki aroma harum seperti buah at-Turuj, as-Safarjal, dan apel—jika airnya diperas murni lalu pakaian dicelupkan ke dalamnya. Jika orang yang berihram menghindarinya, itu lebih aku sukai. Namun jika mereka mengenakannya, tidak ada kewajiban fidyah bagi keduanya.
Mereka (laki-laki dan perempuan yang berihram) memiliki kesamaan dalam larangan: tidak boleh menutup wajah (tabarruq), tidak boleh mengenakan sarung tangan, dan boleh mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (warna kuning), baik pekat maupun tidak. Ini menunjukkan bahwa pakaian yang dicelup dengan wars atau za’faran tidak dilarang karena warnanya, dan jika warnanya tidak beraroma harum, maka tidak masalah. Larangan hanya berlaku untuk yang beraroma harum, sedangkan ‘ushfur tidak termasuk wewangian.
Yang lebih aku sukai untuk keduanya adalah mengenakan pakaian putih, dan aku tidak menyukai pakaian yang mencolok seperti warna ‘ushfur, hitam, atau lainnya. Tidak ada kewajiban fidyah jika mereka mengenakan pakaian yang tidak mengandung wewangian. Mereka boleh mengenakan pakaian yang diwarnai dengan bahan non-wewangian. Namun, jika mereka meninggalkannya dan memilih pakaian putih, itu lebih aku sukai—baik bagi orang yang diikuti maupun yang tidak diikuti.
Bagi yang diikuti, seperti perkataan Umar bin al-Khaththab: “Orang awam melihatnya lalu mengira bahwa semua celupan sama, sehingga dia mengenakan pakaian yang dicelup dengan wewangian.” Sedangkan bagi yang tidak diikuti, aku khawatir dia akan dicurigai jika meninggalkan sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan dalam ihram. Meskipun demikian, orang yang diikuti dan tidak diikuti tetap memiliki kesamaan dalam hal ini. Seorang ulama sebaiknya meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan dalam ihram di hadapan orang yang tidak berilmu.
Jika orang awam melihat dan ulama tidak mengingkarinya, maka orang yang tidak tahu akan mengira bahwa ulama tersebut membenarkan. Ini diperbolehkan menurut ulama. Orang awam mungkin berkata: “Aku melihat si fulan (seorang ulama) melihat orang yang mengenakan pakaian berwarna dan tidak mengingkarinya.”
Kemudian, perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam ihram:
– Wanita boleh mengenakan khuff (sepatu tertutup) tanpa memotongnya, jika dia tidak menemukan sandal.
– Wanita juga boleh mengenakan baju (dir’), kerudung (khimar), dan celana panjang (sirwal). Khuff tidak lebih dari salah satu dari ini.
– Aku tidak menyukai jika wanita mengenakan dua sandal.
Perbedaan lain:
– Ihram wanita ada di wajahnya, sedangkan ihram laki-laki ada di kepalanya.
– Laki-laki boleh menutup seluruh wajahnya tanpa keperluan, sedangkan wanita tidak boleh.
– Jika seorang wanita ingin menutup diri dari pandangan orang, dia boleh menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya, atau pakaian lainnya dari atas kepala dan menjauhkannya dari wajah sehingga wajahnya tertutup secara longgar seperti tirai. Namun, dia tidak boleh mengenakan niqab (cadar).
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Hendaknya wanita menjulurkan jilbabnya ke bawah dan tidak menekannya ke wajah.” Aku bertanya: “Apa maksud tidak menekannya?” Lalu dia memberi isyarat seperti seorang wanita yang mengenakan jilbab, kemudian mengisyaratkan ke bagian pipi dari jilbab dan berkata: “Jangan menutupinya dengan menekan jilbab ke wajah. Biarkan menjulur ke wajah sebagaimana adanya, tanpa dibalik, ditekan, atau dilipat.”
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya, dia berkata: “Hendaknya wanita yang berihram menjulurkan pakaiannya ke wajah dan tidak mengenakan niqab.”
(Asy-Syafi’i berkata):
– Wanita tidak boleh mengangkat pakaian dari bawah ke atas.
– Dia tidak boleh menutupi dahinya atau sebagian wajahnya, kecuali bagian yang diperlukan untuk menahan kerudung agar rambutnya tertutup, seperti area dekat potongan rambut di wajah yang membuat kerudung tetap stabil. Jika kerudung hanya diletakkan di atas potongan rambut, rambut akan terbuka.
– Wanita boleh mengenakan kerudung, sedangkan laki-laki tidak boleh mengenakan imamah (surban).
– Laki-laki tidak boleh mengenakan khuff kecuali jika tidak menemukan sandal, maka dia boleh mengenakannya dengan memotong bagian bawahnya hingga di bawah mata kaki.
– Laki-laki tidak boleh mengenakan celana panjang kecuali jika tidak menemukan izar (kain bawah), maka dia boleh mengenakannya tanpa memotongnya. Wanita boleh mengenakannya.
– Keduanya boleh mengenakan pakaian tipis, tebal, katun halus atau kasar, serta pakaian yang dicelup dengan al-mudr (tanah) karena al-mudr bukan wewangian, atau dicelup dengan sidr serta celupan lainnya selain wewangian.
Jika pakaian terkena wewangian dan aromanya masih tersisa, maka tidak boleh dikenakan, statusnya seperti pakaian yang dicelup. Jika pakaian dicelup dengan za’faran atau wars lalu aromanya hilang karena lama dipakai atau sebab lain, dan jika salah satu dari keduanya… (terputus)
Air menggerakkan baunya sedikit, meskipun sedikit, tidak dipakai oleh orang yang berihram. Jika air mengenai keduanya (za’faran dan wars) dan tidak menggerakkan salah satunya, maka lebih aku sukai dan lebih baik jika keduanya dicuci, serta lebih memastikan tidak ada sisa bau yang tertinggal. Namun, jika tidak dicuci, aku berharap boleh memakainya selama kondisinya seperti itu karena pewarna itu tidak najis. Tujuan kami dengan mencuci adalah menghilangkan bau. Jika bau hilang tanpa dicuci, aku berharap itu cukup. Seandainya ada larangan memakai pakaian yang terkena za’faran atau wars dalam keadaan apa pun, maka jika terkena dan kemudian hilang, tidak boleh dipakai meskipun sudah dicuci berkali-kali. Tetapi larangan hanya berlaku jika za’faran atau wars masih ada saat itu. Allah Maha Mengetahui, dan apa yang kukatakan ada dalam hadis. Allah Maha Mengetahui.
(Dia berkata): Demikian juga jika pakaian dicelup setelah za’faran dan wars dengan sidr atau warna hitam, lalu ketika terkena air tidak muncul bau za’faran atau wars, maka boleh dipakai. Namun, jika masih muncul bau za’faran atau wars ketika terkena air, tidak boleh dipakai. Jika sebagian pakaian terkena za’faran atau wars, orang yang berihram tidak boleh memakainya sampai dicuci. Orang yang berihram boleh mengikat sarungnya karena itu bagian dari kesempurnaan sarung. Sarung adalah yang diikat, dan tidak boleh memakai dua ujung sarung lalu mengikatnya di belakang, juga tidak boleh mengikat selendang di atasnya. Tetapi boleh menyelipkan ujung selendang ke sarung atau celana jika selendang itu terurai. Jika dia memakai sesuatu yang tidak diperbolehkan sambil ingat dan tahu bahwa itu tidak boleh, maka dia harus membayar fidyah, baik sedikit atau banyak sama saja. Jika orang yang berihram menutup kepalanya sekejap sambil ingat dan tahu, atau wanita memakai cadar, atau memakai sesuatu yang tidak boleh, maka keduanya wajib membayar fidyah. Orang yang berihram tidak boleh mengikat kepala karena sakit atau alasan lain. Jika dilakukan, harus membayar fidyah meskipun itu bukan pakaian.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata tentang orang yang berihram yang melilitkan kain di perutnya karena kebutuhan atau kedinginan: “Jika karena kebutuhan, tidak ada fidyah.” Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Hujair dari Thawus: “Aku melihat Ibnu Umar berthawaf di Ka’bah dengan mengikat kain di perutnya.” Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Isma’il bin Umayah bahwa Nafi’ mengabarkan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar tidak mengikat kain di tubuhnya, hanya menyelipkan ujungnya ke sarung. Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Muslim bin Jundub: “Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar saat aku bersamanya: ‘Aku menyilangkan ujung kainku di belakang lalu mengikatnya saat berihram.’ Abdullah berkata: ‘Jangan mengikat apa pun.'” Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa dia tidak suka orang yang berihram memakai selendang lalu mengikat ujungnya di belakang kecuali karena kebutuhan. Jika karena kebutuhan, tidak perlu fidyah. Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki yang berihram mengikat tali di perutnya, lalu beliau bersabda: “Lepaskan talinya,” dua kali. Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ tentang orang yang berihram meletakkan keranjang di kepalanya, dia menjawab: “Ya, tidak masalah.” Aku bertanya tentang ikat kepala untuk orang yang berihram, dia menjawab: “Tidak, ikat kepala menahan banyak rambut.”
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak masalah orang yang berihram memakai selendang atau mengenakan baju, celana, bulu domba, dan lainnya selama tidak dipakai sebagai pakaian, itu seperti selendang. Tidak masalah orang yang berihram mencuci pakaiannya atau pakaian orang lain, dan memakai pakaian selain yang dipakai saat berihram, asalkan bukan pakaian yang dilarang. Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Orang yang berihram boleh memakai pakaian yang tidak dipakai saat berihram.” Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa dia tidak melihat masalah dengan orang yang berihram memakai pakaian yang dicelup, dan berkata: “Itu hanya seperti tanah liat.” Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim, Ar-Rabi’—aku kira dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’—bahwa dia tidak melihat masalah jika orang yang berihram memakai pakaian tebal selama tidak dijahit. Jika dijahit dengan sengaja, harus membayar fidyah seperti jika memakai baju dengan sengaja. (Asy-Syafi’i berkata): Kami mengambil pendapat ini.
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa dia tidak melihat…
Memakai safflower (asfar) dan za’faran bagi orang yang berihram tidaklah mengapa selama tidak tercium aromanya.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun safflower tidak mengapa, sedangkan za’faran jika terkena air lalu aromanya keluar, maka orang yang berihram tidak boleh memakainya. Jika tetap dipakai, dia harus membayar fidyah.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Al-Hasan bin Muslim dari Shafiyyah binti Syaibah, dia berkata: Kami berada di sisi Aisyah ketika seorang wanita dari Bani Abdud Dar bernama Tamlik datang dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, putriku fulanah telah bersumpah untuk tidak memakai perhiasannya selama musim haji.” Aisyah menjawab, “Katakan padanya, Ummul Mukminin bersumpah agar engkau memakai semua perhiasanmu.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Musa bin ‘Ubaidah dari saudaranya, Abdullah bin ‘Ubaidah, dan Abdullah bin Dinar, mereka berkata: “Termasuk sunnah bagi wanita untuk mengoleskan tangannya dengan henna saat berihram, tetapi jangan berihram dalam keadaan memakai wewangian.”
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian juga yang aku anjurkan untuknya.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita yang berihram memakai inai dan membalut tangannya, aku berpendapat dia harus membayar fidyah. Namun, jika hanya mengoleskan henna di tangannya, aku tidak mewajibkan fidyah, tetapi aku tidak menyukainya karena termasuk permulaan berhias.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa beberapa orang bertanya kepadanya tentang celak antimon (ithmid) bagi wanita yang berihram yang tidak mengandung wewangian. Dia berkata, “Aku tidak menyukainya karena itu adalah perhiasan, padahal hari-hari itu adalah waktu untuk merendahkan diri dan beribadah.”
(Imam Syafi’i berkata): “Celak bagi wanita lebih berat daripada bagi laki-laki. Jika keduanya melakukannya, aku tidak mengetahui kewajiban fidyah atas salah satunya, kecuali jika celak itu mengandung wewangian, maka siapa pun yang memakainya wajib membayar fidyah.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Ayyub bin Musa dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa jika matanya sakit saat berihram, dia meneteskan aloe vera ke matanya. Ibnu Umar juga berkata, “Orang yang berihram boleh bercelak dengan celak apa pun jika matanya sakit, asalkan tidak menggunakan celak yang mengandung wewangian atau bercelak tanpa sebab sakit.”
[Bab Memakai Ikat Pinggang dan Pedang bagi Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Orang yang berihram boleh memakai ikat pinggang, bahkan jika di ujungnya terdapat tali yang diikatkan satu sama lain, itu tidak masalah. Orang yang berihram juga boleh mengenakan pedang karena khawatir (akan bahaya) tanpa dikenakan fidyah. Namun, tidak boleh menggantungkan mushaf (di leher).”
[Bab Memakai Wewangian saat Berihram]
Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Salim bin Abdullah, dia berkata: Umar bin Khattab berkata, “Jika kalian telah melempar jumrah, maka halal bagi kalian segala yang sebelumnya diharamkan kecuali wanita dan wewangian.”
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Salim, dia berkata: “Aisyah berkata, ‘Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.’ Salim berkata, ‘Dan sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih berhak untuk diikuti.'”
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata, “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk ihramnya sebelum beliau berihram, dan untuk tahallulnya sebelum beliau thawaf di Ka’bah.”
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Aisyah sambil mengulurkan kedua tangannya berkata, “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan kedua tanganku ini untuk ihramnya saat beliau berihram dan untuk tahallulnya sebelum beliau thawaf di Ka’bah.”
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Az-Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah, dia berkata, “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
“Dengan kedua tanganku ini, untuk keharamannya saat berihram dan untuk kehalalannya sebelum thawaf di Ka’bah.” Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Utsman bin ‘Urwah, dia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar ‘Aisyah berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk keharaman dan kehalalannya.” Aku bertanya kepadanya: “Dengan wewangian apa?” Dia menjawab: “Dengan wewangian terbaik.”
‘Utsman berkata: “Hisham tidak meriwayatkan hadits ini kecuali dariku.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Atha’ bin as-Saib dari Ibrahim dari al-Aswad dari ‘Aisyah, dia berkata: “Aku melihat kilau wewangian di bagian rambut Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – setelah tiga hari.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Umar bin ‘Abdullah bin ‘Urwah bahwa dia mendengar al-Qasim bin Muhammad dan ‘Urwah mengabarkan dari ‘Aisyah bahwa dia berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan tanganku pada Haji Wada’ untuk kehalalan dan keharaman.”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ajlan bahwa dia mendengar ‘Aisyah binti Sa’d berkata: “Aku memakaikan wewangian kepada ayahku saat berihram dengan misk dan dzarirah.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Hasan bin Zaid dari ayahnya bahwa dia berkata: “Aku melihat Ibnu ‘Abbas berihram, dan di kepalanya terdapat semacam Rab (jenis wewangian) dari ghaliah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpegang dengan semua ini. Kami berpendapat: Tidak mengapa seseorang memakai wewangian sebelum berihram dengan wewangian terbaik yang dia temukan, baik ghaliah, wangi-wangian yang dibakar, atau lainnya, kecuali yang dilarang seperti za’faran. Tidak mengapa bagi wanita memakai wewangian apa pun yang dia inginkan sebelum ihram. Demikian pula, tidak mengapa bagi keduanya (laki-laki dan wanita) untuk melakukannya setelah melempar jumrah ‘Aqabah, mencukur rambut (bagi laki-laki), dan memotong rambut (bagi wanita) sebelum thawaf di Ka’bah. Dalilnya adalah apa yang telah kami sebutkan tentang Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memakai wewangian dalam dua keadaan tersebut.
Demikian pula, tidak mengapa dengan wangi-wangian yang dibakar atau lainnya, karena dia berihram sementara wewangian itu awalnya halal dan diperbolehkan baginya. Keberadaannya pada dirinya bukanlah sesuatu yang baru. Begitu pula jika wewangian itu berupa minyak atau selainnya. Namun, jika dia berihram lalu menyentuh wewangian, sedikit atau banyak, dengan tangannya atau terkena tubuhnya, sementara dia ingat keharamannya dan tidak lupa bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan, maka dia wajib membayar fidyah.
Segala sesuatu yang dianggap sebagai wewangian dalam keadaan ini, seperti rempah-rempah atau lainnya, atau sesuatu yang biasa dimakan (meskipun beraroma harum), tidak mengapa untuk dimakan atau dicium, seperti mastik, jahe, kayu manis, dan sejenisnya. Demikian pula tumbuhan seperti kayu wormwood, qayshum, idzkhir, dan sejenisnya. Jika dia menciumnya, memakannya, atau menghaluskannya lalu mengoleskannya ke tubuhnya, tidak ada fidyah atasnya karena itu bukan wewangian atau minyak.
Menurutku, raihan (kemangi) termasuk wewangian. Minyak yang diharumkan dengan raihan dan tetap wangi, maka itu termasuk wewangian. Namun, bunga violet bukanlah wewangian karena digunakan untuk manfaat, bukan untuk wewangian.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari az-Zubair dari Jabir bahwa dia ditanya: “Bolehkah orang yang berihram mencium raihan, minyak, atau wewangian?” Dia menjawab: “Tidak.”
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: “Menurutku, mawar dan melati termasuk wewangian.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika orang yang berihram menyentuh wewangian basah dengan bagian tubuhnya, dia wajib membayar fidyah. Jika dia menyentuh wewangian kering dengan tangannya dan tidak meninggalkan bekas atau aroma, aku memakruhkannya tetapi tidak mewajibkan fidyah. Fidyah hanya diwajibkan untuk mencium wewangian yang meninggalkan bekas.
Jika dia duduk di dekat penjual minyak wangi dalam waktu lama, atau melewatinya lalu mencium bau wewangian, atau mencium bau Ka’bah yang diberi wewangian atau dibakar, tidak ada fidyah atasnya. Jika dia menyentuh khaluq Ka’bah dalam keadaan kering, seperti yang telah kujelaskan, tidak ada fidyah karena tidak meninggalkan bekas atau aroma di tubuhnya. Begitu pula jika menyentuh Rukun (Yamani). Namun, jika menyentuh khaluq dalam keadaan basah, dia wajib membayar fidyah. Jika terkena percikan…
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Jika seseorang tidak sengaja terkena sesuatu yang haram, ia wajib mencucinya tanpa perlu membayar fidyah. Demikian pula jika pakaiannya terkena. Jika ia mengikat wewangian dalam kain atau lainnya dan aromanya tercium, tidak ada fidyah baginya, tetapi hal itu makruh karena ia tidak menyentuh wewangian secara langsung. Namun, jika ia memakan wewangian, memasukkannya ke hidung, atau menggunakannya sebagai obat dubur, ia wajib membayar fidyah.
Jika makanan tercampur za’faran, baik terkena api atau tidak, perhatikan: jika aromanya tercium atau rasa wewangiannya terasa, maka orang yang berihram memakannya wajib membayar fidyah. Jika tidak ada aroma atau rasa, meski warnanya terlihat, tidak ada fidyah. Sebab, wewangian dalam makanan bisa banyak dan terkena api sehingga aromanya terasa, atau sedikit dan tidak terkena api sehingga tidak terasa. Fidyah ditentukan berdasarkan aroma dan rasa, bukan warna, karena warna bukanlah wewangian.
Jika orang yang berihram mengisi lukanya dengan wewangian, ia wajib membayar fidyah. Minyak ada dua jenis: minyak wangi, yang wajib fidyah jika digunakan pada tubuh, sedikit atau banyak, seperti minyak yang dicampur wewangian, air mawar, dll.
Sedangkan minyak non-wangi, seperti minyak biasa, minyak samin, atau mentega, tidak ada fidyah jika digunakan pada tubuh selain kepala atau jenggot. Jika digunakan pada kepala atau jenggot, wajib fidyah karena keduanya adalah area yang biasanya dirawat dengan minyak. Jika kepala diolesi madu atau susu, tidak ada fidyah karena bukan wewangian atau minyak perawatan.
Diriwayatkan dari ‘Atha’: Orang yang berihram boleh mengolesi kakinya yang pecah-pecah dengan lemak asalkan tidak beraroma. Namun, tidak boleh mengolesi kepala yang pecah-pecah dengan samin kecuali membayar fidyah, karena samin merapikan rambut.
[Bab Orang yang Berihram yang Tidak Sadar Memakai Pakaian atau Wewangian]
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW: Seorang lelaki datang dengan mengenakan jubah dan wewangian saat berihram untuk umrah. Nabi menyuruhnya melepas jubah dan mencuci wewangian, sebagaimana yang akan dilakukannya dalam haji.
‘Atha’ berpendapat: Siapa yang berihram dengan mengenakan baju atau jubah, hendaknya melepasnya tanpa merobek. Ini sesuai sunnah, karena Nabi memerintahkan melepas jubah, bukan merobeknya.
Jika seseorang berihram di miqat dengan mengenakan jubah, lalu berjalan beberapa mil sebelum melepasnya, ia tidak perlu kembali ke miqat untuk memulai ihram baru. Cukup ihram pertama.
Imam Syafi’i berpendapat: Larangan memakai wewangian sebelum ihram dan ifadhah didasarkan pada perintah Nabi untuk mencuci wewangian dan melepas jubah. Sebab, wewangian dianggap haram saat ihram, meski sebagian orang tidak menyadarinya.
Aisyah meriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – atau mereka mengajarkannya lalu melihat perbedaan, maka mereka mengambil larangan untuk memakai wewangian. Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan orang badui untuk mencuci khuluq darinya, dan Allah lebih tahu karena beliau melarang laki-laki memakai za’faran.
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ismail yang dikenal sebagai Ibnu Ulayyah mengabarkan kepadaku, dia berkata: Abdul Aziz bin Shuhaib mengabarkan kepadaku dari Anas, “Sesungguhnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang laki-laki memakai za’faran.”
Jika ada yang berkata: “Hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang orang yang memakai jubah (untuk mencuci khuluq) mungkin seperti yang kau jelaskan, atau mungkin beliau memerintahkannya untuk mencucinya karena itu adalah wewangian, dan orang yang berihram tidak boleh membiarkan wewangian meskipun dipakai sebelum ihram.”
Jika dikatakan: “Bagaimana jika pendapatmu ternyata mansukh (terhapus)?” Maka kami jawab: “Apa yang menghapusnya?” Kami katakan: “Hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang orang badui di Ji’ranah, dan peristiwa Ji’ranah terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Sedangkan hadis Aisyah bahwa dia memakaikan wewangian kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika beliau halal dan haram dalam haji wada’ (tahun 10 Hijriyah).”
Jika ada yang berkata: “Umar melarang hal itu,” kami jawab: “Mungkin Umar melarangnya berdasarkan makna yang telah kami jelaskan, insya Allah.”
Jika ada yang bertanya: “Tidakkah kau khawatir ada kesalahan dari perawi yang meriwayatkan dari Aisyah?” Dijawab: “Mereka lebih kecil kemungkinan salah dibanding yang meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Umar, karena yang meriwayatkan dari Ibnu Umar hanya satu atau dua orang, sedangkan yang meriwayatkan dari Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ada enam atau tujuh orang. Jumlah yang banyak lebih kecil kemungkinan salah daripada yang sedikit. Semua riwayat menurut kami tidak salah, insya Allah.”
Jika boleh meragukan riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena bertentangan dengan riwayat Umar, maka boleh juga meragukan riwayat dari Umar. Namun, karena kita tahu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memakai wewangian, sedangkan Umar membencinya, maka pengetahuan ini berasal dari satu sumber. Tidak boleh bagi siapa pun meninggalkan perkataan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kecuali karena perkataan beliau sendiri, bukan perkataan orang lain.
Umar pernah berselisih dengan Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Abbas, dan lainnya. Ada yang meninggalkan wewangian saat ihram dan halal karena pendapat Umar, padahal Umar terkadang berpendapat sendiri tanpa didukung sahabat lain.
Jika dalam sebagian pendapat Umar saja demikian, bagaimana mungkin boleh meninggalkan sunnah yang Allah wajibkan untuk diikuti hanya karena perkataan seseorang yang seperti ini? Sungguh, jika boleh mengambil pendapat Umar dan meninggalkan sunnah yang bertentangan, maka dalam perkara yang tidak ada sunnahnya lebih sempit dan lebih pantas untuk tidak keluar dari perselisihan.
Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan orang yang bertanya untuk melepas jubahnya dan mencuci warna kuning, tetapi tidak memerintahkannya membayar kafarat, kami katakan:
“Barangsiapa memakai sesuatu yang tidak boleh dipakai sebelum ihram karena tidak tahu atau lupa akan keharamannya, lalu tetap memakainya—berapa pun lamanya setelah ihram—atau memulainya setelah ihram dalam keadaan tidak tahu, lupa, atau keliru (mengira itu pakaian lain), maka dia cukup melepas jubah atau baju tanpa merobeknya dan tidak ada kafarat. Demikian pula wewangian, diqiyaskan seperti itu. Jika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan mencucinya karena warna kuning, atau karena wewangian, maka hal itu lebih utama atau setara, sebab warna kuning mencakup wewangian dan warna.”
Jika ada yang bertanya: “Mengapa kau berpendapat demikian untuk orang yang lupa atau tidak tahu dalam hal pakaian dan wewangian, tetapi tidak untuk orang yang mencukur rambut atau memburu hewan?” Dijawab: “Insya Allah, …”
Aku mengatakannya sebagai kabar dan qiyas, dan bahwa dalam mengenakan pakaian dan wewangian terdapat penyimpangan dari keadaannya saat mencukur rambut dan memburu hewan. Jika ada yang bertanya: “Apa perbedaan antara wewangian, pakaian, memburu hewan, dan mencukur rambut, padahal dia jahil dalam semua itu?” Dijawab kepadanya: “Wewangian dan pakaian adalah sesuatu yang jika dia melepasnya, maka hilanglah. Jadi, ketika dia melepasnya, keadaannya seperti sebelum mengenakan pakaian dan wewangian. Dia tidak merusak sesuatu yang diharamkan untuk dirusak, dan tidak menghilangkan sesuatu yang diharamkan untuk dihilangkan. Dia hanya menghilangkan apa yang diperintahkan untuk dihilangkan, yaitu sesuatu yang tidak boleh tetap ada padanya. Sedangkan memburu hewan adalah merusak sesuatu yang diharamkan pada waktu itu untuk dirusak. Mencukur rambut dan memotong kuku adalah menghilangkan dengan memotong sesuatu yang dilarang untuk dihilangkan pada waktu itu. Menghilangkan sesuatu yang tidak boleh dihilangkan adalah merusak, dan dalam merusak sesuatu yang dilarang untuk dirusak, ada kewajiban ganti rugi, baik karena kesalahan atau sengaja. Sebagaimana Allah menetapkan diyat untuk pembunuhan tidak sengaja, dan tidak ada ganti rugi selain itu dalam kerusakan seperti ini. Namun, jika dia melakukannya dengan mengetahui bahwa itu tidak boleh, mengingat ihramnya, dan tidak keliru, maka dia wajib membayar fidyah untuk sedikit atau banyaknya pakaian dan wewangian, seperti yang telah aku jelaskan dalam bab sebelumnya. Jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu, kemudian mengetahuinya dan meninggalkannya sesaat, padahal dia bisa melepasnya dengan mencopot pakaian atau mencuci wewangian, maka dia wajib membayar fidyah karena dia membiarkan pakaian dan wewangian tetap ada setelah hilangnya udzur. Jika dia tidak bisa mencopot pakaian karena sakit atau cedera pada tubuhnya dan menunggu orang lain untuk mencopotnya tetapi tidak bisa, maka ini adalah udzur. Jika memungkinkan untuk melepasnya, maka dia harus melepasnya. Jika tidak, maka dia wajib membayar fidyah jika meninggalkannya setelah memungkinkan. Dia tidak wajib membayar fidyah jika melepasnya setelah memungkinkan. Jika dia tidak bisa mencuci wewangian yang ada di tubuhnya, aku berpendapat bahwa dia boleh mengusapnya dengan kain. Jika tidak menemukan kain, maka dengan debu jika bisa menghilangkannya. Jika tidak bisa, maka dengan pohon atau rumput. Jika tidak mampu atau mampu tetapi tidak menghilangkannya, maka ini adalah udzur. Jika air tersedia, maka dia harus mencucinya, meskipun airnya sedikit. Jika mencucinya dengan air itu tidak cukup untuk wudhu, maka dia harus mencucinya dan bertayamum karena dia diperintahkan untuk mencucinya dan tidak ada keringanan untuk meninggalkannya jika mampu mencucinya. Dia diberi keringanan untuk bertayamum jika tidak menemukan air. Jika orang lain yang mencuci wewangiannya, itu lebih aku sukai. Jika dia mencuci wewangiannya sendiri dengan tangannya, maka dia tidak wajib membayar fidyah karena dia berkewajiban mencucinya. Jika dia menyentuhnya, maka dia menyentuhnya untuk menghilangkannya, bukan untuk berhias atau menetapkannya. Demikian pula, segala sesuatu yang wajib dia tinggalkan, maka dia harus meninggalkannya semampunya. Jika seseorang memasuki rumah orang lain tanpa izin, maka itu tidak boleh baginya dan dia wajib keluar darinya. Aku tidak berpendapat bahwa dia terbebas dengan keluar darinya, meskipun dia berjalan di tempat yang tidak diizinkan, karena berjalannya untuk keluar dari dosa, bukan untuk menambahnya. Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya.
[Bab Waktu yang Diperbolehkan untuk Haji dan Umrah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman: “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niat haji dalam bulan itu, maka tidak boleh rafats…” (QS. Al-Baqarah: 197) hingga firman-Nya: “dalam haji” (QS. Al-Baqarah: 197). Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abuz-Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdillah ditanya tentang seseorang yang berihram untuk haji sebelum bulan-bulan haji? Maka dia menjawab: “Tidak boleh.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Aku bertanya kepada Nafi’: “Apakah engkau mendengar dari Abdullah bin Umar tentang penamaan bulan-bulan haji?” Dia menjawab: “Ya, dia menamakan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.” Aku bertanya kepada Nafi’: “Bagaimana jika seseorang berihram untuk haji sebelum bulan-bulan itu?” Dia menjawab: “Aku tidak mendengar darinya tentang hal itu.” Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Thawus berkata: “Bulan-bulan itu adalah Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.” Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’: “Bagaimana pendapatmu jika seseorang datang berihram untuk haji pada bulan Ramadhan, apa yang akan engkau katakan kepadanya?” Atha’ menjawab: …
Saya berkata kepadanya: “Jadikanlah itu umrah.” Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Umar bin ‘Atha’ mengabarkan kepada kami dari Ikrimah bahwa dia berkata: “Tidak sepatutnya seseorang berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, karena firman Allah Azza wa Jalla: ‘(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.’ (QS. Al-Baqarah: 197). Dan tidak sepatutnya seseorang bertalbiyah untuk haji kemudian menetap (di Mekah).”
[Bab: Apakah Menyebutkan Haji atau Umrah saat Ihram atau Cukup dengan Niat Saja?]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata (Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Dalam hadis-hadis yang kami riwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- terdapat petunjuk bahwa niat orang yang bertalbiyah sudah cukup baginya tanpa harus menampakkan apa yang diihramkannya, sebagaimana niat orang yang shalat -baik wajib, sunnah, atau nadzar- cukup baginya tanpa harus menampakkan apa yang diniatkannya, dengan ihram apa pun dia berniat. Demikian juga niat orang yang berpuasa. Begitu pula jika dia berhaji atau berumrah untuk orang lain, niatnya sudah cukup tanpa harus menyebutkan bahwa hajinya ini untuk orang lain.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Sa’id bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah menyebutkan haji atau umrah dalam talbiyah beliau.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seorang yang berihram menyebutkannya, aku tidak memakruhkannya. Namun, seandainya itu sunnah, tentu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- atau orang setelah beliau akan menyebutkannya. Jika seorang yang berihram bertalbiyah dengan mengatakan: ‘Labbaik bihajjatin wa ‘umratin’ (Aku penuhi panggilan-Mu untuk haji dan umrah) sementara dia berniat haji, maka dia menjadi mufrad (haji saja). Jika dia berniat umrah, maka dia menjadi mu’tamir (orang yang berumrah). Jika dia menyebutkan umrah tetapi berniat haji, maka itu dianggap haji. Jika dia menyebutkan umrah tetapi berniat qiran, maka itu dianggap qiran. Urusannya kembali kepada niat selama dia menampakkan talbiyah bersamanya. Dia tidak diwajibkan lebih dari apa yang diucapkannya jika tidak ada niat. Sebab, ini adalah ibadah yang murni untuk Allah, tidak ada hak manusia lain di dalamnya, sehingga yang diambil adalah apa yang tampak dari ucapannya, bukan niatnya.
Jika seseorang bertalbiyah tanpa berniat haji atau umrah, maka dia tidak menjadi haji atau mu’tamir, sebagaimana jika seseorang bertakbir tanpa berniat shalat, dia tidak masuk dalam shalat. Jika seseorang makan sahur tanpa berniat puasa, dia tidak masuk dalam puasa. Demikian juga jika seseorang tidak makan seharian tetapi tidak berniat puasa, dia tidak dianggap berpuasa.
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud bertemu dengan sekelompok kafilah di pesisir yang sedang berihram. Mereka bertalbiyah, lalu Ibnu Mas’ud pun bertalbiyah sementara dia sedang menuju Kufah. Talbiyah adalah dzikir, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang untuk mengucapkannya, juga tidak mewajibkan seseorang masuk dalam ihram jika tidak diniatkan.”
[Bab: Bagaimana Talbiyah?]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar: “Talbiyah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah: ‘Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syariika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syariika laka.'”
Nafi’ berkata: “Abdullah bin Umar menambahkan: ‘Labbaik labbaik labbaik wa sa’daik, wal khairu biyadaik, war raghbaa’u ilaik wal ‘amal.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagian ahli ilmu mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berihram dengan mengucapkan tauhid: ‘Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syariika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syariika laka.'”
Al-Majisyun menyebutkan dari Abdullah bin Al-Fadhl dari Al-A’raj dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata: “Di antara talbiyah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah: ‘Labbaik ilaahal haq, labbaik.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir dan Ibnu Umar, “Talbiyah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang paling sering beliau ucapkan adalah yang aku sukai untuk diucapkan oleh orang yang berihram, tidak mengurangi atau melebihinya.” Kecuali jika memasukkan apa yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena maknanya serupa, yaitu talbiyah, dan talbiyah adalah jawaban. Ini menunjukkan bahwa beliau menjawab Ilahul Haq dengan ‘labbaik’ di awal dan akhir.
Sa’id bin Salim meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dia berkata: Hammid al-A’raj mengabarkan kepadaku dari Mujahid bahwa dia berkata, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – biasa mengumandangkan talbiyah: Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak. Hingga pada suatu hari ketika orang-orang mulai berpaling darinya, seolah-olah beliau menyukai apa yang beliau ucapkan, lalu beliau menambahkan: Labbaik innal ‘aysya ‘aysyul akhirah. Ibnu Juraij berkata, ‘Aku menduga itu terjadi pada hari Arafah.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah talbiyah seperti talbiyah beliau yang diriwayatkan darinya, dan beliau mengabarkan bahwa kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat, bukan kehidupan dunia dan segala isinya. Tidak boleh menyempitkan makna seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar atau lainnya dalam mengagungkan Allah dan berdoa bersama talbiyah. Namun, yang utama menurutku adalah mengucapkan talbiyah yang diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tanpa menambahkan sesuatu kecuali apa yang disebutkan dari beliau. Hendaknya seseorang mengagungkan Allah dan berdoa setelah selesai bertalbiyah.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari al-Qasim bin Ma’an dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Abdullah bin Abi Salamah bahwa dia berkata, “Sa’ad mendengar sebagian keponakannya bertalbiyah: ‘Ya Dzal Ma’arij,’ lalu Sa’ad berkata, ‘Sa’ad, Dzal Ma’arij? Sungguh Dia adalah Pemilik Ma’arij, tetapi bukan seperti itu kami bertalbiyah di masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam.'”
[Bab Mengeraskan Suara dalam Talbiyah]
(Asy-Syafi’i berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari Abdul Malik bin Abi Bakr bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam dari Khallad bin as-Sa’ib al-Anshari dari ayahnya bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Jibril mendatangiku dan memerintahkanku untuk menyuruh para sahabat atau orang yang bersamaku agar mengeraskan suara mereka dalam talbiyah atau ihram.” (Maksudnya salah satunya).
(Asy-Syafi’i berkata): Perintah Jibril kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – itu berlaku untuk para lelaki yang berihram. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud sahabat adalah para lelaki, bukan wanita. Mereka diperintahkan untuk mengeraskan suara sekuat mungkin selama tidak sampai memutus suara mereka. Seolah-olah kami tidak suka jika suara mereka terputus. Jika hadits menunjukkan bahwa yang diperintahkan mengeraskan suara dalam talbiyah adalah lelaki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup diri, maka lebih utama dan lebih baik jika suara wanita tidak terdengar oleh siapa pun. Jadi, wanita tidak boleh mengeraskan suaranya dalam talbiyah, cukup didengar oleh dirinya sendiri.
[Bab Tempat yang Dianjurkan untuk Terus Bertalbiyah]
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sabith mengabarkan kepadaku bahwa para pendahulu kami tidak meninggalkan talbiyah dalam empat keadaan:
- Ketika rombongan berkumpul hingga benar-benar lengkap.
- Ketika mereka mendekati sesuatu (tempat tertentu).
- Ketika mereka turun dari lembah-lembah.
- Ketika mereka turun dari tempat yang tinggi, dan setelah selesai shalat.
(Asy-Syafi’i berkata): Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Sabith dari para pendahulu sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa Jibril – ‘alaihis salam – memerintahkannya untuk menyuruh mereka mengeraskan suara dalam talbiyah. Jika talbiyah adalah kebaikan, maka orang yang bertalbiyah diperintahkan untuk mengeraskan suaranya. Tempat yang paling utama untuk mengeraskan suara adalah di keramaian orang, seperti masjid-masjid jamaah, pasar, dan perkumpulan rombongan, di mana pun mereka berkumpul.
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Dari ketaatan mereka dengan mengeraskan suara, dan makna mengeraskan suara di sini seperti makna mengeraskan suara dalam azan yang tidak didengar oleh sesuatu kecuali bersaksi untuknya. Dalam hal ini terdapat peringatan bagi yang mendengarnya, menumbuhkan keinginan untuk beramal karena Allah dengan diri dan lisannya atau sebagiannya, dan orang yang mengingatkannya akan mendapat pahala.
[Pasal Perbedaan Pendapat tentang Mengeraskan Suara dalam Talbiyah di Masjid]
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Tidak boleh mengeraskan suara talbiyah di masjid jamaah kecuali di Masjid Mekah dan Mina,” maka ini pendapat yang bertentangan dengan hadis. Selain itu, tidak ada makna yang bisa diterima, karena diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa Jibril memerintahkannya untuk menyuruh sahabat mengeraskan suara talbiyah. Jadi, kapan pun seseorang bertalbiyah, seharusnya dia mengeraskan suaranya. Jika ada yang mengatakan boleh mengeraskannya dalam kondisi tertentu, maka bisa juga dikatakan untuk tidak mengeraskannya dalam kondisi lain. Ini tidak boleh menurut kami. Dalam hadis Ibnu Sabith dari salaf, mereka tidak meninggalkan talbiyah saat berkumpul dengan rombongan, menunjukkan mereka konsisten melakukannya saat orang berkumpul. Jika mereka memilih berkumpul di jalan, bukankah masjid lebih utama untuk mengeraskan suara talbiyah di dalamnya atau dalam makna yang serupa? Bagaimana dengan azan, apakah tidak boleh dikeraskan suaranya di masjid jamaah? Jika dikatakan tidak, karena diperintahkan untuk mengeraskan suara, maka talbiyah juga demikian. Bagaimana jika tidak ada yang tahu, apakah talbiyah hanya dikeraskan saat berjamaah? Setiap jamaah sama dalam hal ini. Ataukah dilarang di masjid karena mengganggu orang shalat? Jika demikian, Masjidil Haram dan Masjid Mina lebih utama untuk tidak mengeraskan suara, atau sama seperti lainnya. Jika ini karena makruhnya mengeraskan suara di masjid sebagai adab dan penghormatan, maka masjid yang paling utama dihormati adalah Masjidil Haram dan Masjid Mina karena berada di tanah haram.
[Pasal Talbiyah dalam Setiap Kondisi]
Diriwayatkan dari Ar-Rabi’, dari Imam Syafi’i, dari Sa’id bin Salim, dari Muhammad bin Abi Hamid, dari Muhammad bin Al-Munkadir: “Nabi SAW sering bertalbiyah.” Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim, dari Abdullah bin Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa ia bertalbiyah saat berkendara, berhenti, dan berbaring.
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar dari Muhammad bin Al-Hanafiyah bahwa ia ditanya, “Apakah orang yang berihram boleh bertalbiyah dalam keadaan junub?” Ia menjawab, “Ya.”
(Imam Syafi’i berkata): Talbiyah adalah dzikir kepada Allah, sehingga boleh dilakukan dalam keadaan suci, junub, tanpa wudhu, wanita haid, junub, suci, dan dalam semua kondisi. Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah, “Jika kamu mengalami haid, lakukan apa yang dilakukan jamaah haji kecuali tawaf.” Talbiyah termasuk amalan haji.
[Pasal Anjuran Berbicara Setelah Talbiyah]
(Imam Syafi’i berkata): Dianjurkan setelah salam untuk bertalbiyah tiga kali, lalu dilanjutkan dengan shalawat kepada Nabi SAW, memohon ridha Allah, surga, dan perlindungan dari neraka. Ini karena talbiyah adalah bentuk memenuhi panggilan Allah, dan penyempurnaan doa adalah dengan shalawat.
Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan memohon kepada Allah Ta’ala setelah kesempurnaan itu dengan bershalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – surga dan berlindung dari neraka, karena itu adalah permohonan terbesar. Setelah itu, ia boleh meminta apa yang diinginkannya. Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Shalih bin Muhammad bin Za’idah dari ‘Ammarah bin Khuzaimah bin Tsabit dari ayahnya, «dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau setelah selesai dari talbiyah, memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan-Nya dan surga, serta berlindung dengan rahmat-Nya dari neraka.» Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad bahwa Al-Qasim bin Muhammad memerintahkan agar setelah selesai dari talbiyah, bershalawat kepada Nabi Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.
[Bab Istitsna’ dalam Haji]
(Berkata Asy-Syafi’i): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, «bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melewati Dhuba’ah binti Az-Zubair, lalu beliau bersabda: “Tidakkah engkau ingin berhaji?” Dia menjawab, “Aku sedang sakit.” Maka beliau bersabda kepadanya, “Berhajilah dan berilah syarat: ‘Tempat tahallulku adalah di mana Engkau menahanku.'”» Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata: Aisyah berkata kepadaku, “Apakah engkau ber-istitsna’ ketika berhaji?” Aku bertanya kepadanya, “Apa yang harus aku ucapkan?” Dia menjawab, “Katakanlah: ‘Ya Allah, aku berniat haji dan menuju kepada-Mu. Jika Engkau memudahkannya, maka itu adalah haji. Jika Engkau menahanku dengan suatu halangan, maka itu adalah umrah.'”
(Berkata Asy-Syafi’i): Seandainya hadits ‘Urwah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang istitsna’ itu shahih, aku tidak akan merujuk kepada pendapat lain, karena tidak halal bagiku menyelisihi apa yang telah tetap dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Hujjah dalam hal ini adalah bahwa orang yang ber-istitsna’ berbeda dengan yang tidak ber-istitsna’ jika terhalang oleh musuh, sakit, kehilangan harta, kesalahan hitungan, atau kelalaian. Jika seseorang memberi syarat lalu terhalang oleh musuh, sakit, kehilangan harta, atau kelemahan sehingga tidak bisa melanjutkan, maka dia boleh bertahallul di tempat itu tanpa dam atau kafarat lainnya, lalu pulang ke negerinya tanpa wajib mengqadha, kecuali jika dia belum menunaikan haji Islam, maka dia wajib menunaikannya. Hujjahnya adalah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak memerintahkan syarat kecuali sesuai dengan perintah-Nya. Hadits ‘Urwah dari Aisyah sejalan dalam makna bahwa dia memerintahkan untuk memberi syarat. Maksud perintah syarat ini adalah jika terhalang dari haji, maka jadilah umrah, dengan mengucapkan: “Jika aku terhalang oleh suatu halangan dari haji, tetapi aku menemukan jalan untuk sampai ke Baitullah, maka jadilah umrah.” Hal ini terkandung dalam perkataannya bahwa tidak ada qadha atau kafarat baginya. Wallahu a’lam.
Barangsiapa yang tidak menganggap shahih hadits ‘Urwah karena terputus dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, maka dia mungkin berhujjah dengan hadits Aisyah karena dia berkata: “Jika itu haji, maka baik. Jika tidak, maka itu umrah.” Dia juga berdalil bahwa Aisyah tidak melihat seseorang boleh bertahallul kecuali sampai ke Baitullah. Seandainya dia memerintahkan syarat sejak awal agar seseorang boleh bertahallul tanpa sampai ke Baitullah, tentu dia akan memerintahkannya. Pendapat ini beranggapan bahwa memberi syarat atau tidak adalah sama, dan bahwa orang yang berhaji wajib mengqadha jika bertahallul dengan amalan umrah, sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab. Yang nampak adalah bahwa pendapat ini mungkin bertentangan dengan Aisyah karena dia memerintahkan qadha dan menggabungkan antara yang memberi syarat dan yang tidak, sehingga syarat tidak memiliki makna. Ini termasuk hal yang aku memohon petunjuk Allah Ta’ala padanya.
Seandainya seseorang mengabaikan pendapat Aisyah, dia akan mengambil pendapat Umar tentang orang yang terlewat hajinya: thawaf, sa’i, mencukur atau memendekkan rambut, dan menyembelih hadyu. Sebagian sahabat kami berpendapat untuk membatalkan syarat, tetapi dalam pembatalannya tidak ada dalil kuat yang aku ketahui. Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab bahwa dia pernah ditanya tentang istitsna’ dalam haji, lalu dia mengingkarinya. Barangsiapa yang membatalkan istitsna’, lalu seseorang melakukannya sehingga bertahallul dari haji atau umrah, kemudian menikahi wanita, memakai wewangian, atau berburu, maka …
Merusak dan diwajibkan atasnya kafarat atas apa yang dia peroleh, serta kembali menjadi haram hingga dia tawaf di Ka’bah, kemudian menunaikan haji jika dia berihram untuk haji, atau umrah jika dia berihram untuk umrah.
[Bab Ihshar (Terhalang)]
[Bab Ihshar karena Musuh]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata):
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al-Baqarah: 196)
(Imam Syafi’i berkata):
Aku tidak mendengar dari ahli tafsir yang aku hafal pendapatnya adanya perbedaan bahwa ayat ini turun saat peristiwa Hudaibiyah, ketika Nabi ﷺ terhalang oleh kaum musyrik sehingga tidak bisa mencapai Ka’bah. Rasulullah ﷺ menyembelih hadyu di Hudaibiyah, mencukur rambut, dan kembali dalam keadaan halal tanpa sampai ke Ka’bah, begitu pula para sahabatnya kecuali Utsman bin Affan sendirian—dan kisahnya akan kami sebutkan.
Lafal ayat menunjukkan perintah Allah agar mereka tidak mencukur rambut sebelum hadyu sampai di tempatnya, serta perintah-Nya bagi yang kepalanya sakit untuk membayar fidyah yang telah ditentukan. Allah berfirman:
“Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat-ayat setelahnya menunjukkan—wallahu a’lam—bahwa orang yang terhalang musuh tidak wajib mengqadha, karena Allah tidak menyebutkan kewajiban qadha, hanya menyebutkan kewajiban dalam ihram setelah perintah-Nya.
(Imam Syafi’i berkata):
Aku memahami dari riwayat ahli maghazi (sejarah peperangan) sesuatu yang sesuai dengan makna zhahir ayat. Kami mengetahui dari kesepakatan riwayat mereka bahwa di tahun Hudaibiyah, ada beberapa sahabat Nabi ﷺ yang dikenal namanya, lalu Rasulullah ﷺ melaksanakan Umrah Qadha’, sementara sebagian mereka tetap di Hudaibiyah tanpa alasan darurat yang kami ketahui. Seandainya mereka wajib mengqadha, tentu Rasulullah ﷺ akan memerintahkan mereka—insya Allah—untuk tidak meninggalkannya, dan mereka tidak akan meninggalkan perintah Nabi ﷺ.
Dari kesepakatan riwayat ahli maghazi dan keterangan tentang sebagian yang terhalang di Hudaibiyah—sementara Hudaibiyah adalah tempat yang sebagiannya di tanah halal dan sebagian di tanah haram—kami berpendapat bahwa penyembelihan hadyu dilakukan di tanah halal. Di sana ada masjid Rasulullah ﷺ tempat baiat di bawah pohon, sebagaimana firman Allah:
“Sungguh, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (QS. Al-Fath: 18)
Berdasarkan ini semua, kami berpendapat:
– Siapa yang terhalang musuh, dia halal di tempat dia tertahan, baik di tanah halal atau haram.
– Dia menyembelih hadyu (minimal seekor kambing; jika tujuh orang patungan untuk unta/sapi, cukup).
– Tidak ada qadha bagi yang terhalang musuh setelah keluar dari ihram selama penghalang masih ada.
– Jika musuh hilang sebelum dia pulang dan ada harapan untuk sampai ke Ka’bah (karena izin musuh atau mereka pergi), lebih baik tidak tergesa-gesa tahallul, tetapi jika sudah tahallul, itu sah—insya Allah.
Jika orang yang terhalang menunda tahallul karena alasan apa pun lalu membutuhkan sesuatu yang mewajibkan fidyah, dia wajib membayarnya, karena fidyah kepala turun terkait kasus Ka’b bin ‘Ujrah saat terhalang.
Jika ada yang bertanya: “Apa maksud firman Allah ‘hingga hadyu sampai di tempatnya’ (QS. Al-Baqarah: 196) dalam peristiwa Hudaibiyah?”
Jawabannya—wallahu a’lam—adalah:
– Sunnah menunjukkan bahwa tempatnya adalah penyembelihan, karena Rasulullah ﷺ menyembelih di tanah halal.
Jika ada yang berkata: “Allah berfirman tentang hadyu: ‘Kemudian tempatnya adalah di Baitul Atiq’ (QS. Al-Hajj: 33).”
Jawabannya: Itu berlaku jika mampu menyembelih di Baitul Atiq.
Jika ditanya: “Adakah yang menyelisihimu dalam masalah hadyu orang yang terhalang?”
Jawabannya: Ya, ‘Atha’ bin Abi Rabah berpendapat bahwa Nabi ﷺ menyembelih di tanah haram.
Jika ditanya: “Dengan apa engkau menolak pendapat ‘Atha’?”
(Jawabannya ada dalam kelanjutan teks yang tidak diterjemahkan.)
Apakah terputus seperti kabarmu tentang ahli peperangan? Aku berkata, ‘Atha’ dan lainnya berpendapat bahwa tempat hewan kurban dan lainnya yang berbeda pendapat dengan kami mengatakan bahwa orang yang terhalang oleh musuh atau sakit tidak boleh bertahallul sampai hewan kurbannya mencapai tanah haram untuk disembelih di sana, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembelih kecuali di tanah haram.’ Jika ada yang bertanya, ‘Apakah ada dalil yang menjelaskan pendapatmu?’ Aku jawab, ‘Ya, jika mereka dan kami berpendapat bahwa tanah haram adalah batas akhir hewan kurban dalam segala keadaan, dan jika disembelih di sana, maka itu sudah mencukupi. Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa hewan kurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencapai tanah haram.’ Jika ditanya, ‘Di mana dalilnya?’ Aku jawab, ‘Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itulah orang-orang yang kafir dan menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, sedangkan hewan kurban tertahan sampai mencapai tempatnya.” (QS. Al-Fath: 25).’ Jika ada yang berkata, ‘Allah Ta’ala berfirman: “Sampai hewan kurban mencapai tempatnya.” (QS. Al-Baqarah: 196),’ maka aku jawab, ‘Allah lebih tahu tentang tempatnya di sini. Sepertinya jika seseorang terhalang, ia menyembelih di tempat terhalangnya, seperti yang telah kujelaskan. Sedangkan tempatnya selain dalam keadaan terhalang adalah tanah haram. Ini adalah bahasa Arab yang luas.’
Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dan berkata, ‘Orang yang terhalang oleh musuh atau sakit sama saja, keduanya wajib mengqadha dan boleh bertahallul dari ihram.’ Mereka juga berkata, ‘Umrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau lakukan setelah terhalang adalah qadha dari umrah yang beliau terhalang melakukannya. Tidakkah kamu lihat bahwa umrah itu disebut Umrah Al-Qadha’ dan Umrah Al-Qishash?’ Maka dikatakan kepada sebagian yang berpendapat demikian, ‘Bahasa Arab itu luas. Mereka mengatakan, “Aku menuntut balas atas apa yang dilakukan padaku,” dan “Aku membalas apa yang dilakukan padaku,” sehingga aku mendapatkan apa yang dihalangi dariku, baik yang wajib maupun yang tidak wajib bagiku untuk mencapainya.’ (Asy-Syafi’i berkata), ‘Pendapat kami dalam hal ini adalah bahwa umrah itu disebut Umrah Al-Qishash dan Umrah Al-Qadha’ karena Allah Ta’ala membalas untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau masuk ke Mekah sebagaimana mereka menghalanginya, bukan karena itu wajib atas beliau.’
Dia bertanya, ‘Apakah kamu memiliki dalil tentang itu?’ Aku jawab, ‘Ya, Sufyan mengabarkan dari Mujahid.’ (Asy-Syafi’i berkata), ‘Maka dia berkata, “Ini adalah pendapat seseorang yang tidak mewajibkanku untuk menerimanya.” Aku berkata, “Kami tidak mengklaim bahwa pendapatnya mewajibkanmu, kecuali berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, kabar ahli peperangan, dan apa yang ditunjukkan oleh Sunnah.” Dia berkata, “Aku telah mendengar apa yang kamu sebutkan dari Sunnah, tetapi kamu tidak menyebutkan hadits yang jelas.” Aku jawab, “Kamu juga tidak menyebutkan hadits yang jelas bahwa umrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut Umrah Al-Qadha’. Yang kamu miliki hanyalah kabar dari mereka. Jadi, aku boleh menolak apa yang aku ketahui, dan kamu tidak membawakan hadits yang jelas yang bisa dijadikan hujjah secara mandiri. Padahal, hal itu sudah dikenal dan disepakati oleh sebagian ahli ilmu tentang peperangan. Jika aku tidak bisa menolak pendapatmu dengan ini, maka kamu juga tidak bisa menolak pendapatku bahwa sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah tidak ikut serta dalam Umrah Al-Qadha’.”
Dia berkata, “Jawaban ini tidak memuaskanku. Tunjukkanlah dalil dari Al-Qur’an.” Aku berkata, “Allah Ta’ala berfirman: ‘Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku qishash. Barangsiapa menyerangmu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadapmu.’ (QS. Al-Baqarah: 194).” Dia berkata, “Ini adalah hujjahku bahwa Allah Ta’ala berfirman ‘qishash’, dan qishash hanya berlaku untuk yang wajib.” (Asy-Syafi’i berkata), “Maka aku katakan kepadanya, ‘Qishash meskipun wajib bagi yang berhak melakukannya, tetapi tidak wajib baginya untuk membalas.’ Dia bertanya, ‘Apa dalilnya?’ Aku jawab, ‘Allah Ta’ala berfirman: “Dan luka-luka (pun) ada qishash-nya.” (QS. Al-Maidah: 45). Apakah wajib bagi orang yang dilukai untuk membalas orang yang melukainya, ataukah dia boleh membalas dan lebih baik memaafkan?’ Dia berkata, ‘Dia boleh memaafkan dan boleh membalas.’
Aku juga berkata kepadanya, ‘Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa menyerangmu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadapmu.” (QS. Al-Baqarah: 194). Seandainya seorang musyrik menyerang kami, kami boleh membalasnya setimpal, tetapi tidak wajib bagi kami untuk melakukannya.’ Dia mengakui hal itu seperti yang kujelaskan. Maka aku berkata, ‘Ini menunjukkan apa yang telah kujelaskan dan apa yang dikatakan Mujahid.’
Allah ‘azza wa jalla telah menjauhkan mereka darinya, lalu Dia memasuki mereka pada bulan yang sama ketika mereka mengembalikannya, dan tidak ada indikasi bahwa masuknya adalah kewajiban baginya dalam rangka menyelesaikan manasik. Allah lebih tahu. Yang bisa diketahui hanyalah kewajiban dan bukan kewajiban melalui berita, dan berita itu menunjukkan seperti yang kami jelaskan bahwa hal itu bukanlah kewajiban.
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa pun yang terhalang di suatu tempat, ia boleh kembali dari tempat ia terhalang dan bertahallul. Jika ia merasa aman setelah kembali, ia boleh menyempurnakan (haji/umrah) meskipun jaraknya dekat atau jauh. Namun, jika aku memerintahkannya untuk keluar dari ihramnya, ia kembali seperti orang yang tidak berihram sama sekali. Tetapi aku lebih suka jika ia kembali—baik dekat maupun jauh—hingga sampai ke Baitullah yang sebelumnya terhalang. Pilihanku untuknya dalam hal ini adalah yang lebih dekat, karena meskipun kembali itu diperbolehkan, meninggalkan kembali mengandung kesulitan yang lebih besar dalam makna ini. Meskipun, orang yang kembali dari jarak jauh pahalanya lebih besar.
Jika aku membolehkannya untuk menyembelih, mencukur, bertahallul, dan pergi, lalu ia menyembelih tetapi belum mencukur hingga musuh pergi, maka ia tidak boleh mencukur dan wajib menyempurnakan (haji/umrah) karena ia belum bertahallul hingga ia tidak terhalang lagi. Ia tetap mendapat pahala atas penyembelihannya, insya Allah. Ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa tahallul orang yang berihram tidak sempurna kecuali dengan mencukur. Sedangkan yang berpendapat tahallul sempurna sebelum mencukur—dengan mencukur sebagai awal tahallul—berkata bahwa jika ia menyembelih, ia telah bertahallul dan tidak wajib melanjutkan perjalanannya.
Jika seseorang terhalang dan bersamanya hewan hadyu—baik sunnah maupun wajib sebelum terhalang—ia boleh menyembelihnya di tempatnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ menyembelih hadyu beliau di Hudaibiyah setelah mewajibkannya sebelum terhalang. Jika ia wajib bertahallul di Baitullah tetapi terhalang sehingga bertahallul di tempat lain karena uzur, maka hadyu lebih utama disembelih di tempat ia tertahan. Ia wajib menyembelih hadyu karena terhalang, selain hadyu yang sudah wajib sebelumnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hadyu wajib saat itu tetapi ia tidak membawanya, ia boleh membeli dan menyembelihnya di tempatnya. Jika hadyu sudah wajib sebelumnya, ia juga boleh melakukannya. Namun, lebih aku sukai jika ia menunda hadyunya untuk dikirim setelah halangan selesai, karena itu bukan kewajiban saat itu. Menundanya setelah waktu wajib sama seperti menundanya setelah kewajiban.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang terhalang tanpa membawa hadyu, ia boleh membeli dan menyembelih hadyu di tempatnya lalu bertahallul. Jika hadyu dihadiahkan atau dimilikinya dengan cara apa pun lalu disembelih, itu mencukupinya. Jika ia mampu membeli hadyu tetapi tidak menemukannya di tempatnya, atau miskin tetapi terhalang, ada dua pendapat: Pertama, ia tidak boleh bertahallul kecuali dengan hadyu. Kedua, ia diperintahkan melakukan apa yang mampu, dan jika tidak mampu, ia terbebas dari kewajiban tetapi harus menunaikannya ketika mampu. Yang berpendapat ini mengatakan ia boleh bertahallul di tempatnya dan menyembelih ketika mampu. Jika ia mampu menyembelih di Makkah, ia tidak boleh menyembelih di tempat lain. Jika tidak mampu, ia menyembelih di mana saja ia bisa.
(Asy-Syafi’i berkata): Ada yang mengatakan hanya hadyu yang mencukupi, dan ada yang mengatakan jika tidak menemukan hadyu, ia boleh memberi makan atau berpuasa. Jika tidak menemukan makanan, ia seperti orang yang tidak menemukan hadyu. Jika tidak mampu berpuasa, ia seperti orang yang tidak menemukan hadyu atau makanan. Jika mampu, ia menunaikan apa pun yang wajib.
Jika seorang hamba yang diizinkan tuannya berhaji—tetapi tidak memiliki harta—terhalang dan wajib berpuasa, maka ia mengganti kambing dengan dirham, lalu dirham dengan makanan, lalu berpuasa satu hari untuk setiap mud. Ada dua pendapat tentang tahallulnya sebelum puasa: Pertama, ia boleh bertahallul sebelum puasa. Kedua, ia tidak boleh bertahallul hingga berpuasa. Yang pertama lebih sesuai qiyas, karena jika ia diperintahkan keluar dari ihram dan kembali karena takut, lebih pantas tidak diperintahkan tetap dalam ketakutan untuk puasa. Puasa bisa dilakukan di mana saja.
Jika seorang laki-laki, perempuan, atau banyak orang terhalang oleh musuh musyrik seperti musuh yang menghalangi Rasulullah ﷺ dan sahabatnya pada tahun Hudaibiyah—baik mereka mampu memerangi atau tidak—mereka boleh kembali karena boleh meninggalkan perang kecuali dalam situasi wajib atau jika musuh memulai. Jika pertimbangan kaum Muslimin adalah mundur, aku memilih itu untuk mereka. Jika pertimbangannya adalah membunuh musuh, aku memilih perang, mengenakan baju besi, dan membayar fidyah. Jika terhalang oleh selain musyrik, aku memilih mundur dalam segala kondisi setelah bertahallul dari halangan.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana kamu berpendapat bahwa terhalang oleh Muslim adalah halangan yang membolehkan tahallul, sedangkan Rasulullah ﷺ hanya terhalang oleh musyrik?” Katakanlah, insya Allah, beliau menyebutkan…
Allah menyebutkan tentang terhalang oleh musuh secara mutlak, tanpa membedakan antara terhalang oleh orang kafir atau Muslim. Maksudnya adalah bagi orang yang berada dalam kekafiran yang hadir, yang memungkinkan orang yang terhalang untuk keluar dari ihram karena khawatir musuh akan mencelakakan orang yang berihram seperti mereka mencelakakan musuh mereka. Maka, berdasarkan teks Sunnah, dapat dipahami bahwa siapa pun dalam kondisi seperti ini memiliki uzur untuk keluar dari ihramnya.
Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia pernah pergi ke Mekah untuk umrah di masa fitnah (kekacauan) dan berkata, “Jika aku dihalangi dari Ka’bah, aku akan melakukan seperti yang kami lakukan bersama Rasulullah ﷺ.”
(Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya, kami akan bertahallul sebagaimana kami bertahallul bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Perjanjian Hudaibiyah.
Perkataan Ibnu Umar ini sesuai dengan makna yang telah aku jelaskan, karena saat itu di Mekah ada Ibnu Zubair dan pasukan Syam. Ia melihat bahwa jika mereka menghalanginya atau ia khawatir mereka akan menyakitinya di tengah kerumunan orang, maka ia berada dalam kondisi terhalang (muhshar), sehingga boleh baginya bertahallul.
Jika seseorang terhalang oleh kaum musyrik atau selain mereka, lalu mereka memberikan jaminan keamanan agar diizinkan bertahallul, maka mereka tidak boleh kembali (ke ihram), dan status mereka seperti orang yang tidak terhalang. Kecuali jika mereka termasuk orang yang tidak bisa dipercaya janjinya dan dikenal suka berkhianat, maka mereka boleh membatalkan ihram jika kondisinya seperti itu setelah tahallul.
Jika mereka termasuk orang yang bisa dipercaya janjinya, lalu memberikan jaminan keamanan agar masuk dan bertahallul dengan imbalan sedikit atau banyak, aku berpendapat bahwa mereka tidak boleh memberikan apa pun, karena mereka memiliki uzur untuk bertahallul akibat terhalang. Aku juga tidak suka jika seorang Muslim memberikan sesuatu kepada orang musyrik, karena kaum musyrik seharusnya direndahkan. Meskipun mereka melakukannya, hal itu tidak haram bagi mereka, meskipun aku tidak menyukainya, sebagaimana tidak haram bagi mereka memberikan harta kepada orang musyrik.
Orang yang terhalang (muhshar) boleh memerangi orang musyrik yang menghalanginya dari Ka’bah, dan juga boleh meninggalkan mereka, karena Rasulullah ﷺ pernah melakukan kedua hal itu: memerangi mereka dan meninggalkan mereka.
Jika orang yang terhalang memerangi mereka, lalu membunuh, melukai, atau membunuh hewan ternak manusia, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Jika ia membunuh hewan buruan yang dimiliki musuh, ia cukup menggantinya dengan yang semisal dan tidak perlu membayar denda.
Jika hewan buruan itu milik Muslim yang tidak memerangi mereka, maka ia harus menggantinya dengan yang semisal dan membayar denda kepada kaum Muslimin, karena Mekah bukan daerah perang yang boleh dirampas.
Jika hewan buruan itu milik orang lain, maka orang yang berihram boleh menggantinya dengan yang semisal jika ia mau, karena Allah menetapkan fidyah kepala di tempatnya, dan Rasulullah ﷺ memerintahkan Ka’ab untuk melakukannya. Demikian pula hadyu (hewan kurban) disembelih di tempatnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ menyembelih hewan hadyu yang dibawa secara sukarela di tempatnya.
Kondisi terhalang (ihshar) berbeda dengan kondisi sampai (ke Ka’bah). Meskipun aku tidak suka jika ia tidak sampai ke Ka’bah, aku hanya tidak menyukainya jika terjadi sesuatu yang menghalanginya sehingga tidak bisa menyelesaikan hajinya.
Jika sekelompok orang terhalang oleh musuh, lalu mereka ingin bertahallul sebelum memerangi musuh, aku tidak melihat masalah dalam hal itu.
Jika sekelompok orang terhalang oleh musuh yang tidak menetap di Mekah atau di tempat mereka terhalang, dan orang yang berihram berharap musuh akan pergi serta merasa aman di tempatnya, aku berpendapat bahwa ia tidak perlu pergi selama tiga hari. Jika lebih dari itu, lebih aku sukai.
Jika ia pergi setelah tahallul sebelum tiga hari, itu diperbolehkan, karena makna perginya musuh adalah menghilang. Terkadang mereka ingin pergi tetapi tidak pergi, atau tidak ingin pergi tetapi justru pergi.
Nabi ﷺ tinggal di Hudaibiyah untuk berunding dan berdamai dengan kaum musyrik.
Jika sekelompok orang terhalang oleh musuh sebelum Mekah, sementara ada jalan lain bagi jamaah haji yang tidak melalui musuh, aku berpendapat bahwa mereka sebaiknya mengambil jalan itu jika aman. Mereka tidak memiliki keringanan untuk bertahallul jika mereka bisa aman sampai ke Ka’bah.
Jika jalan aman mereka adalah melalui laut, bukan darat, mereka tidak wajib menempuh laut karena berisiko bahaya. Namun, jika mereka melakukannya, itu lebih aku sukai.
Jika jalan mereka adalah darat, tetapi mereka tidak mampu secara fisik atau finansial, mereka boleh bertahallul karena tidak mampu sampai ke Ka’bah akibat terhalang musuh.
Jika jalan darat mereka jauh, tetapi mereka mampu sampai ke Ka’bah dengan harta dan fisik, sementara waktu haji hampir habis dalam keadaan berihram, maka mereka tidak boleh bertahallul.
Hingga mereka melakukan tawaf di Ka’bah, Safa, dan Marwah, karena tahallul pertama dalam haji adalah tawaf. Pendapat tentang apakah mereka wajib mengulang atau tidak terbagi menjadi dua: pertama, tidak ada kewajiban mengulang haji karena mereka terhalang oleh musuh dan telah melakukan apa yang mampu mereka lakukan berupa tawaf. Pendapat ini juga menyatakan mereka wajib membayar dam karena kehilangan haji, dan ini yang lebih kuat menurut qiyas. Pendapat kedua menyatakan mereka wajib haji dan dam, seperti orang yang terhalang haji bukan karena musuh jika mereka akhirnya bisa sampai ke Ka’bah. Ini memiliki dasar. Jika mereka sampai ke Mekah tetapi terhalang hingga tidak bisa ke Arafah, mereka boleh tahallul dengan tawaf, sa’i, mencukur rambut, dan menyembelih dam. Pembahasan ini sama dengan masalah sebelumnya, baik bagi penduduk Mekah yang terhalang atau bukan.
Jika penduduk Mekah terhalang di Mekah sehingga tidak bisa ke Arafah, hukumnya sama dengan orang asing yang terhalang di Mekah: keduanya wajib menyembelih dam, tawaf, sa’i, dan tahallul. Hukum mengqadha sama seperti dua masalah sebelumnya. Mereka tidak boleh keluar dari Mekah jika masih mampu haji. Jika mereka keluar sebelum tawaf atau terhalang di daerah mereka sehingga tidak bisa tawaf, statusnya seperti orang yang terhalang di luar Mekah menurut qiyas. Jika mereka menunggu kemungkinan bisa tawaf, itu lebih baik.
Jika jamaah haji terhalang setelah Arafah di Muzdalifah, Mina, atau Mekah sehingga tidak bisa menyelesaikan ritual di Muzdalifah, Mina, atau tawaf, mereka boleh menyembelih dam, mencukur rambut, atau memendekkannya, lalu tahallul. Jika bisa melepas seluruh ihram, boleh melepas sebagian. Jika itu haji wajib, ia tahallul kecuali berhubungan dengan istri, lalu mengqadhanya. Jika bukan haji wajib, tidak perlu qadha karena terhalang musuh. Jika ia menahan diri dari tahallul hingga bisa tawaf di Ka’bah dan menyembelih dam karena meninggalkan Muzdalifah, melempar jumrah, atau bermalam di Mina, itu cukup baginya untuk haji wajib asal ia tawaf, kapan pun itu. Jika ia melakukan semua ini setelah terhalang lalu menyembelih dam, itu cukup. Begitu pula jika ia membayar fidyah karena memburu hewan buruan. Yang membatalkan haji wajib hanya berhubungan dengan istri, karena itu merusak haji.
Orang yang terhalang musuh atau ditahan harus diperintahkan keluar. Jika mereka berihram haji lalu berhubungan sebelum tahallul, hajinya batal dan wajib menyembelih unta serta mengulang haji setelahnya. Jika mereka melakukan pelanggaran yang memerlukan fidyah sebelum tahallul, wajib membayarnya. Setelah tahallul, statusnya seperti orang tidak berihram.
Bab Terhalang Bukan Karena Ditahan Musuh
Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa Asy-Syafi’i berkata: Jika seseorang berihram haji lalu ditahan penguasa, dan penahanannya memiliki batas waktu yang memungkinkannya masih mengejar haji dengan jalan aman ke Mekah, ia tidak boleh tahallul. Jika dibebaskan, ia boleh melanjutkan. Jika penahanannya tidak jelas batasnya atau tidak memungkinkannya mengejar haji, atau ia tidak bisa pulang, ia boleh tahallul seperti orang yang terhalang musuh. Qiyas dalam hal ini sama seperti terhalang musuh. Contoh lain adalah wanita yang berihram haji lalu dilarang suaminya, atau budak yang dilarang tuannya.
Asy-Syafi’i berkata tentang orang yang berihram haji sunnah lalu dilarang orang tua atau salah satunya: “Aku berpendapat ia boleh tahallul seperti orang terhalang.” Ini berlaku untuk haji sunnah. Untuk haji wajib, ia harus melanjutkan setelah berihram, dan orang tua tidak berhak melarang.
Jika ada yang bertanya: “Musuh yang menakutkan boleh membuat muhrim tahallul, apakah orang tua, tuan budak, atau suami juga termasuk?” Jawabnya: Ya, mereka termasuk karena menghalangi, bahkan lebih berhak melarang.
Untuk musuh ada larangan, dan mereka yang berbeda dengannya dalam hal mereka tidak menimbulkan rasa takut seperti yang ditakutinya. Jika ada yang bertanya: “Bagaimana Anda menyatukan mereka padahal mereka terpisah dalam makna, meskipun bersatu dalam makna lain?” Aku menjawab: Mereka bersatu dalam makna yang berlaku, yaitu bahwa mereka memiliki hak untuk melarang. Dan aku mendengar dari banyak sumber bahwa jika seorang wanita berniat untuk haji selain haji wajib, suaminya berhak melarangnya. Aku juga mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sehari sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.” Ini berlaku untuk puasa sunnah, bukan puasa wajib. Jika seorang wanita tidak boleh berpuasa kecuali dengan izin suaminya, maka suami berhak membatalkan puasanya meskipun dia berpuasa, karena puasanya tidak sah. Demikian juga dengan haji. Seorang tuan lebih berkuasa atas budaknya daripada suami atas istrinya, dan hak kedua orang tua seorang laki-laki lebih besar daripada hak suami atas istrinya, serta ketaatan kepada mereka lebih wajib. Karena itulah aku mengatakan seperti yang telah kusampaikan.
[Pasal Ihshar karena Sakit]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196).
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mendengar ada perbedaan pendapat dari ulama tafsir yang kuhafal dan kutetui bahwa ayat ini turun terkait peristiwa Hudaibiyah, yaitu ihshar (terhalang) oleh musuh. Maka dalam keadaan terkepung, Allah memberikan keringanan bagi yang terhalang untuk menyembelih hadyu yang mudah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang membolehkan orang yang berihram untuk bertahallul adalah ihshar karena musuh.
Aku berpendapat bahwa ayat ini umum berlaku bagi setiap jamaah haji dan umrah, kecuali yang dikecualikan Allah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan sunnah terkait ihshar karena musuh. Sedangkan orang sakit, menurutku, termasuk dalam keumuman ayat ini.
Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah sesuai dengan makna yang kusampaikan, meskipun mereka tidak mengatakannya secara langsung kecuali seperti yang diriwayatkan dari mereka.
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah dari Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: “Tidak ada ihshar kecuali ihshar karena musuh.”
(Imam Syafi’i berkata): Perkataan Ibnu Abbas “Tidak ada ihshar kecuali ihshar karena musuh” maksudnya tidak ada ihshar yang membolehkan tahallul kecuali ihshar karena musuh. Seolah-olah ia menginginkan makna seperti yang kujelaskan. Wallahu a’lam.
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa ia berkata: “Siapa yang terhalang sampai ke Baitullah karena sakit, maka ia tidak boleh bertahallul sampai ia thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah.”
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya bahwa ia berkata: “Orang yang terhalang (muhshar) tidak boleh bertahallul sampai ia thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Jika ia terpaksa memakai pakaian yang ia butuhkan, maka ia boleh melakukannya dan membayar fidyah.”
(Imam Syafi’i berkata): Yang dimaksud adalah ihshar karena sakit. Wallahu a’lam.
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id dari Sulaiman bin Yasar bahwa Abdullah bin Umar, Marwan bin Al-Hakam, dan Ibnu Zubair memberi fatwa kepada Ibnu Huzabah Al-Makhzumi—yang mengalami pingsan di suatu jalan menuju Makkah dalam keadaan ihram—untuk berobat dengan apa yang ia butuhkan dan membayar fidyah. Jika ia sembuh, ia boleh melakukan umrah dan bertahallul dari ihramnya, tetapi ia wajib haji pada tahun berikutnya dan menyembelih hadyu.
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Ayyub As-Sakhtiyani dari seorang lelaki dari Bashrah yang sudah lama wafat, ia berkata: “Aku pergi ke Makkah, tetapi di tengah jalan pahaku patah. Aku mengirim utusan ke Makkah di mana saat itu ada Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan banyak orang. Tidak ada seorang pun yang memberiku keringanan untuk bertahallul. Aku tinggal di mata air itu selama tujuh bulan, kemudian aku bertahallul dengan umrah.”
Diceritakan kepada kami oleh Ismail bin Ulayyah dari seorang lelaki yang sudah lama wafat—aku rasa ia menyebut namanya dan nasabnya, serta menyebut nama mata air tempat ia tinggal bernama Ad-Datsinah—dan ia menyampaikan hadits yang serupa maknanya dengan hadits Malik.
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id bahwa ia mendengar Aisyah berkata: “Tidak ada yang membolehkan orang yang berihram untuk bertahallul kecuali (thawaf di) Baitullah.”
(Imam Syafi’i berkata): Semua ini berlaku sama untuk segala jenis penyakit, baik yang menyebabkan hilang akal maupun tidak. Jika ia terpaksa minum obat, ia boleh melakukannya dan membayar fidyah. Jika akalnya hilang, maka dibayarkan fidyah untuk obat yang ia minum.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana Anda memerintahkan orang yang hilang akal untuk membayar fidyah, sedangkan pena diangkat (tidak dicatat amal) dalam keadaan seperti itu?”
Dijawab: “In syaa Allah, itu hanya…”
Dia diobati oleh orang yang berakal, dan tebusan wajib bagi pelakunya yang berakal. Tebusan itu dibebankan pada harta orang yang diobati jika si pengobat menghendaki, karena itu merupakan tindakan kriminal si pengobat terhadap yang diobati. Jika orang yang berihram dikuasai akalnya (tidak sadar) lalu memburu hewan, ada dua pendapat: pertama, dia wajib membayar tebusan karena orang yang berihram wajib membayar tebusan untuk orang miskin Haram jika memburu hewan, seperti halnya jika dia membunuh seseorang, meskipun pelakunya tidak sadar. Jika dia merusak harta orang lain, dia wajib mengganti nilainya. Begitu pula jika dia mencukur rambutnya—makna ini mencakup kedua aspek.
Pendapat kedua: tidak ada kewajiban apa pun karena pena diangkat darinya (tidak terkena taklif). Asalnya, hewan buruan tidak haram, begitu pula mencukur rambut. Ini hanya dijadikan hukuman bagi yang melakukannya sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan orang yang tidak sadar tidak sedang beribadah saat itu. Ini berbeda dengan harta orang lain yang selalu dilindungi, kecuali dalam keadaan tertentu.
Jika dia menyetubuhi istrinya, ada dua kemungkinan, dan ini lebih ringan karena tidak ada kerusakan pada sesuatu. Adapun memakai wewangian atau pakaian biasa, tidak ada kewajiban apa pun karena kami membebaskannya bagi orang yang tidak tahu (jahil) yang berakal dan orang yang lupa yang berakal. Ini lebih pantas dibebaskan karena tidak ada kerusakan pada sesuatu. Bisa juga persetubuhan oleh orang yang tidak sadar dianalogikan dengan ini karena tidak merusak apa pun.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana jika seseorang tidak sadar, mengapa tidak dianggap keluar dari ihram seperti keluar dari shalat?” Jawabannya, insya Allah, karena perbedaan antara shalat dan haji. Jika ditanya lagi: “Di mana perbedaannya?” Dijawab: Orang shalat harus suci, sadar, dan tetap sadar sepanjang shalat karena seluruhnya adalah amal yang tidak bisa diganti. Sedangkan orang haji boleh melakukan banyak amalan haji dalam keadaan junub, dan wanita haid boleh melakukan semuanya kecuali tawaf.
Jika ditanya: “Apa minimal kesadaran yang cukup bagi jamaah haji?” Jawabannya: Amalan haji ada tiga: (1) berniat ihram dalam keadaan sadar, (2) masuk Arafah pada waktunya dengan sadar, dan (3) tawaf serta sa’i dengan sadar. Jika syarat-syarat ini terpenuhi lalu hilang kesadarannya di antara amalan-amalan itu, hajinya sah, insya Allah. Ini telah ditulis dalam bab masuk Arafah.
(Imam Syafi’i berkata): Penduduk Mekkah atau orang asing yang memulai haji dari Mekkah, lalu tahallul dan tinggal di sana hingga memulai haji lagi, tetapi terhalang sakit hingga tertinggal haji—mereka cukup tawaf, sa’i, dan mencukur atau memendekkan rambut. Tahun depan, mereka wajib haji lagi. Keduanya boleh keluar dari Haram ke Hal karena bukan umrah. Mereka hanya melakukan minimal amalan haji jika tidak bisa ke Arafah, Mina, atau Muzdalifah, yaitu tawaf, sa’i, dan memotong rambut.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana dengan riwayat dari Umar tentang ini?” Jawabannya sesuai dengan yang kukatakan, insya Allah. Umar berkata kepada penanya: “Lakukan seperti amalan umrah,” tetapi tidak mengatakan: “Engkau sedang umrah.” Dia juga menyuruhnya haji tahun depan dan berkurban. Jika ihramnya berubah jadi umrah, tidak ada kewajiban haji, dan dia telah mendapatkan umrah. Perintah Umar untuk haji tahun depan menunjukkan bahwa ihramnya adalah haji, bukan umrah. Jika berubah jadi umrah, tidak mungkin diperintahkan haji sebagai qadha—bagaimana mungkin mengqadha sesuatu yang sudah berubah? Tapi dia diperintahkan qadha karena hajinya tertinggal.
Ada orang yang tertinggal haji lalu bertanya kepada Umar saat sedang menyembelih kurban. Aku yakin, insya Allah, dia sudah masuk Haram sebelum subuh malam nahar. Jika hajinya berubah jadi umrah saat subuh malam nahar dan hajinya tertinggal, Umar pasti menyuruhnya keluar ke Hal dan berniat dari sana. Tapi seperti yang kujelaskan, insya Allah, bukan seperti pendapat yang mengatakan ihramnya berubah jadi umrah. Pendapat itu keliru—maksudnya, amalannya jadi umrah dan sebagian amalan haji gugur karena tertinggal Arafah. Jika benar berubah jadi umrah, itu sudah cukup sebagai pengganti umrah.
Islam dan umrah jika dinazarkan lalu dilupakan saat tidak bisa menunaikan haji, maka tidak cukup menggantikan salah satunya.
Barangsiapa berihram untuk haji lalu terhalang oleh sakit, hilang akal, kesibukan, kelalaian, atau kesalahan perhitungan, kemudian sembuh saat masih memungkinkan untuk pergi ke Baitullah, maka ia tidak boleh bertahallul dari ihramnya sampai tiba di Baitullah. Jika ia masih bisa menunaikan haji pada tahun itu, ia tidak boleh bertahallul hingga hari nahar. Jika ia terlewatkan haji pada tahun itu, ia boleh bertahallul setelah thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta bercukur atau memendekkan rambut.
Jika niat ihramnya untuk haji dan ia berhasil menunaikannya, maka tidak ada kewajiban lain. Jika niat ihramnya untuk haji tetapi terlewatkan, ia keluar dari ihram dengan menunaikan umrah dan wajib haji pada tahun berikutnya atau setelahnya, serta menyembelih hewan kurban yang mudah. Jika ia berihram qiran (haji dan umrah sekaligus) dan berhasil menunaikan haji, maka ia telah menyelesaikan keduanya. Jika hajinya terlewatkan, ia menunaikannya dengan thawaf, sa’i, bercukur atau memendekkan rambut, dan wajib berihram lagi untuk haji dan umrah secara qiran tanpa menambah apa pun, sebagaimana jika seseorang terlewatkan shalat, puasa, atau umrah, ia diperintahkan untuk mengqadha tanpa menambah lainnya.
Jika hajinya terlewatkan dan ia datang setelah Arafah, tidak bermalam di Mina, dan tidak melakukan amalan haji, maka ia keluar dari ihramnya (baik ifrad maupun qiran) dengan menunaikan umrah (thawaf, sa’i, bercukur atau memendekkan rambut) dan wajib haji pada tahun berikutnya. Jika ia menundanya dan menunaikannya kemudian, itu tetap sah, sebagaimana menunda haji Islam setelah bertahun-tahun.
Jika sebelum tahallul ia terpaksa melakukan sesuatu yang mengharuskannya membayar fidyah (karena ihram atau terkena larangan), maka wajib baginya membayar fidyah. Jika ia tidak sampai ke Baitullah sebelum atau sesudah terlewatkan haji, wajib baginya fidyah jika ada ketentuan fidyah, atau batal jika ada ketentuan kebatalan, karena ihramnya tetap berlaku.
Jika ada yang berpendapat bahwa orang sakit boleh bertahallul dengan mengirim hewan kurban, lalu ia mengirim dan menyembelihkannya, maka statusnya seperti orang yang bertahallul tanpa mengirim hewan kurban, sehingga ia tetap dalam keadaan haram. Jika ia pulang ke negerinya, ia tetap dalam keadaan haram. Jika ia sembuh dan mengirim hewan kurban, lalu segera pergi ke Baitullah setelah penyembelihan, maka hewan kurbannya tidak sah untuk menebus kewajiban ihramnya, baik untuk haji maupun umrah, karena ia menyembelihnya untuk sesuatu yang tidak wajib.
Jika hewan kurban sampai sebelum disembelih dan ia menahannya, maka itu boleh selama belum diwajibkan dengan ucapan. Jika hewan kurban sampai sebelum disembelih dan ia telah mewajibkannya dengan ucapan, maka wajib disembelih, seperti kasus pertama, atau seperti orang yang mewajibkannya secara sukarela, atau seperti memerdekakan budak untuk sesuatu yang tidak wajib, maka itu sah sebagai sedekah.
Jika ia tidak mewajibkan hewan kurban dengan ucapan tetapi mengirimkannya, lalu hewan itu sampai sebelum disembelih, maka itu menjadi hartanya. Jika ia tidak mewajibkannya dengan ucapan tetapi memberi tanda (sekaligus niat), maka menurut pendapat yang mengatakan niat dalam memberi tanda cukup mewajibkannya, maka statusnya seperti diucapkan. Pendapat ini membedakan antara amal yang berkaitan dengan dirinya dan harta di hadapan Allah dengan amal di hadapan manusia. Di hadapan manusia, hanya yang diucapkan yang wajib, sedangkan di hadapan Allah, niat dan amal cukup, sebagaimana dalam shalat, puasa, dan haji.
Orang Mekah boleh berihram untuk haji dari Mekah atau dari miqat, lalu jika ia sakit, hilang akal, atau terhalang haji dengan cara apa pun seperti orang asing, ia boleh bertahallul dengan thawaf, sa’i, bercukur atau memendekkan rambut, dan wajib menunaikan haji pada tahun berikutnya serta menyembelih kambing sebagai kurban yang mudah.
[BAB TENTANG TERLEWATKANNYA HAJI TANPA HALANGAN MUSUH, SAKIT, ATAU HILANG AKAL]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa terlewatkan hajinya bukan karena terkepung musuh, tertahan sakit, atau hilang akal—dengan cara apa pun ia terlewatkan, baik karena kesalahan hitungan, lambat dalam perjalanan, kesibukan, atau kelalaian—maka semuanya sama. Orang sakit dan yang hilang akal jika terlewatkan hajinya, wajib atas semuanya membayar fidyah, mengqadha, thawaf, sa’i, mencukur atau memendekkan rambut. Apa yang wajib bagi sebagian, wajib bagi semuanya. Hanya saja, orang yang lalai hingga terlewatkan hajinya berdosa, kecuali jika Allah mengampuninya.
Jika ada yang bertanya, “Apakah ada dalil atas apa yang engkau katakan?” Aku jawab, “Ya, sebagian ada dalilnya, dan sebagian lainnya serupa maknanya.”
(Imam Syafi’i berkata): Anas bin Iyad mengabarkan kepada kami dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Siapa yang menjumpai malam nahr bersama jamaah haji lalu wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan haji. Siapa yang tidak menjumpai Arafah dan tidak wukuf di sana sebelum terbit fajar, maka hajinya terlewat. Hendaknya ia mendatangi Ka’bah, thawaf tujuh kali, sa’i antara Shafa dan Marwah tujuh kali, lalu mencukur atau memendekkan rambut sesuai keinginannya. Jika ia membawa hewan kurban, sembelih sebelum mencukur. Setelah selesai thawaf dan sa’i, cukurlah atau pendekkan rambut, lalu pulang ke keluarganya. Jika tahun depan ia bisa haji, berhajilah jika mampu dan berkurbanlah. Jika tidak mendapat hewan kurban, berpuasalah tiga hari selama haji dan tujuh hari setelah pulang ke keluarga.”
Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id, ia berkata: Sulaiman bin Yasar mengabarkan kepadaku bahwa Abu Ayyub pergi haji, tetapi ketika sampai di padang pasir di jalur Mekkah, kendaraannya tersesat. Ia menghadap Umar bin Khattab pada hari nahr dan menceritakan hal itu. Umar berkata, “Lakukan seperti umrah, lalu bertahallullah. Jika tahun depan engkau bisa haji, berhajilah dan berkurbanlah dengan hewan yang mudah.”
Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Sulaiman bin Yasar bahwa Hibar bin Al-Aswad datang saat Umar bin Khattab menyembelih kurbannya. Umar berkata, “Pergi, thawaf bersama temanmu, sembelih kurban jika ada, lalu cukurlah atau pendekkan rambut, kemudian pulang. Jika tahun depan kalian haji, berkurbanlah. (QS. Al-Baqarah: 196: ‘Barangsiapa tidak mampu, berpuasalah tiga hari saat haji dan tujuh hari setelah pulang’).”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada semua ini. Dalam hadits Yahya dari Sulaiman terdapat petunjuk dari Umar bahwa ia melakukan amalan umrah, bukan berarti ihramnya untuk umrah. Jika yang terlewatkan hajinya adalah qarin (haji qiran), maka ia tetap haji qiran dan menyembelih dua kurban: satu karena terlewat haji, satu karena qiran.
Seandainya orang yang berihram haji ingin tetap dalam ihram haji hingga tahun depan, itu tidak boleh. Ini menunjukkan kebenaran pendapat kami bahwa tidak boleh berihram haji di luar bulan haji, karena bulan haji telah ditetapkan (QS. Al-Baqarah: 197: “Musim haji adalah bulan-bulan yang dimaklumi”). Sepertinya—wallahu a’lam—haji di luar waktu itu terlarang.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau tidak mengatakan bahwa ia boleh tetap berihram haji hingga tahun depan?” Dijawab: Karena alasan ayat dan atsar dari Umar serta Ibnu Umar, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ini juga menunjukkan bahwa seandainya boleh tetap berihram haji hingga tahun depan, ia wajib menetap dan tidak boleh keluar dari amalan yang bisa diselesaikan, sebagaimana umrah, shalat, dan puasa.
Sebagian orang, termasuk sebagian penduduk Mekkah, berbeda pendapat tentang orang yang tertahan haji karena sakit. Mereka berkata, “Ia sama dengan orang yang terkepung musuh, tidak ada perbedaan.” Sebagian yang aku temui berkata, “Orang yang terkepung mengirim hewan kurban dan menentukan hari penyembelihannya.” Sebagian lain berkata, “Ia menunggu satu atau dua hari setelah waktu yang ditentukan, lalu mencukur atau memendekkan rambut, bertahallul, pulang, dan mengqadha ihram yang terlewat.” Sebagian penduduk Mekkah berkata, “Cukup seperti yang terlewat, tidak perlu lebih.”
Sebagian lain berkata, “Jika ia berihram haji, ia mengqadha haji dan umrah karena ihram hajinya berubah jadi umrah.” Aku kira ia juga berkata, “Jika qiran, maka dua haji dan dua umrah.” Sebagian yang berpendapat ini berkata kepadaku, “Kami tidak membantahmu bahwa ayat ihshar turun di Hudaibiyah dan itu terkait musuh. Lalu bagaimana dengan izin Allah Ta’ala—”
Untuk orang yang terhalang (muhshar) dengan apa yang mudah dari hadyu? Kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan penyembelihan dan tahallul. Mengapa orang yang terhalang karena sakit tidak diqiyaskan kepada orang yang terhalang karena musuh, sehingga engkau memberikan hukum yang sama? Maka aku berkata kepadanya: “Pada asalnya, kewajiban adalah menyempurnakan haji dan umrah karena Allah, sedangkan keringanan tahallul diberikan kepada orang yang terhalang karena musuh. Kami mengatakan dalam setiap perkara berdasarkan perintah Allah ‘azza wa jalla, dan kami tidak menempatkan keringanan pada tempatnya, sebagaimana kami tidak menempatkan keringanan mengusap khuf. Kami juga tidak mengqiyaskan sorban atau sarung tangan kepada khuf.”
Dia bertanya: “Apakah ada perbedaan antara terhalang karena musuh dan karena sakit?”
Aku menjawab: “Ya.”
Dia bertanya: “Di mana perbedaannya?”
Aku menjawab: “Orang yang terhalang karena musuh takut dibunuh jika melanjutkan, dan tidak tahu apa yang akan menimpanya jika ia nekat. Telah diberikan keringanan bagi siapa saja yang bertemu dengan orang musyrik untuk bersiap berperang atau bergabung dengan kelompok. Jika orang yang terhalang itu meninggalkan tempatnya dan pulang, keadaannya menjadi lebih baik daripada jika ia tetap di sana, karena ia berpindah dari ketakutan kepada keamanan. Sedangkan orang sakit tidak termasuk dalam makna ini sama sekali—ia tidak takut pada bahaya, tidak pula berpindah dari ketakutan kepada keamanan dengan pulang. Keadaannya tidak berubah kecuali hanya harapan kesembuhan, dan harapannya saat melanjutkan perjalanan sama dengan harapannya saat pulang atau diam di tempat, sehingga keadaannya seimbang antara tetap di tempat, melanjutkan ke Baitullah, atau pulang. Oleh karena itu, orang sakit lebih pantas untuk tidak diqiyaskan kepada orang yang terhalang karena musuh, seperti halnya sorban, sarung tangan, dan burqa’ tidak diqiyaskan kepada khuf.
Seandainya boleh mengabaikan penjelasan kami tentang asal kewajiban menyempurnakan haji dan umrah, serta pengecualian bagi orang yang terhalang karena musuh, lalu kami katakan bahwa penghalang itu adalah segala sesuatu yang seperti musuh, maka boleh saja kami katakan bahwa jika seseorang tersesat jalan atau salah hitung hingga terlewat waktu haji, ia boleh bertahallul.” Sebagian mereka berkata: “Kami dalam hal ini bersandar pada sesuatu yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dan dengan itu kami berpendapat.”
Aku berkata: “Seandainya tidak ada seorang pun dari yang kami sebutkan yang menyelisihinya, tentu kami akan mengikuti pendapatnya. Tetapi bukankah engkau terbantahkan dengan hal itu?”
Dia bertanya: “Dari mana?”
Aku menjawab: “Bukankah kami dan kalian berpendapat bahwa jika dua sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berselisih pendapat, dan salah satunya lebih dekat dengan Al-Qur’an, maka wajib bagi kami untuk mengikuti pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an? Pendapat kami lebih dekat dengan Al-Qur’an berdasarkan apa yang telah kujelaskan. Atau bagaimana menurutmu jika kami tidak berdalil dengan Al-Qur’an untuk pendapat kami maupun pendapatmu, tetapi pendapat kami lebih kuat dari segi asal dan tinjauan ulang dibanding pendapatmu—bukankah pendapat kami lebih layak diikuti?”
Dia menjawab: “Ya, jika seperti yang kau katakan.”
Aku berkata: “Maka itu seperti yang kukatakan, dan bersama kami ada tiga sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, sedangkan tiga lebih banyak daripada satu.”
Dia bertanya: “Di mana letak kekuatan pendapatmu?”
Aku menjawab: “Bagaimana menurutmu jika seseorang sakit, lalu engkau memerintahkannya untuk mengirim hadyu dan menetapkan hari tertentu untuk menyembelih hadyu atas namanya, kemudian ia mencukur atau memendekkan rambut dan bertahallul? Bukankah engkau telah memerintahkannya untuk bertahallul, padahal engkau tidak tahu—bisa jadi hadyu itu belum sampai ke tempatnya—sementara engkau mencela orang-orang yang memerintahkan seseorang keluar dari kewajiban berdasarkan prasangka?”
Dia berkata: “Kami tidak berpendapat berdasarkan prasangka, tetapi berdasarkan zhahir (yang tampak).”
Aku menjawab: “Zhahir dalam hal ini adalah prasangka. Seandainya zhahir dalam hal ini bukan prasangka, maka pendapatmu juga kontradiktif.”
Dia bertanya: “Dari mana?”
Aku berkata: “Jika hukum dalam perintahmu kepada orang sakit untuk bertahallul didasarkan pada janji penyembelihan hadyu, dan zhahir menurutmu bahwa ia telah halal setelah jangka waktu tertentu, lalu bagaimana engkau berpendapat bahwa jika hadyu itu rusak, tersesat, atau dicuri setelah engkau memerintahkannya bertahallul, lalu ia bertahallul, berhubungan suami-istri, atau berburu—menurutmu ia wajib membayar denda berburu dan fidyah, serta kembali menjadi haram seperti semula?”
Aku bertanya: “Begitu juga jika ia mengirim hadyu dua puluh kali dan mengalami hal serupa?”
Dia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Bukankah engkau telah membolehkannya bertahallul, lalu memberinya kewajiban fidyah atas apa yang engkau halalkan, merusaknya, dan menjadikannya halal beberapa hari lalu haram beberapa hari? Pendapat mana yang lebih kontradiktif dan lebih pantas ditinggalkan daripada ini? Dan pendapat mana yang lebih pantas ditolak oleh akal sehat daripada ini?”
Dia juga berkata tentang orang yang terlewat dari Arafah dan tiba pada hari Nahr: “Seperti yang kami katakan, ia thawaf, sa’i, mencukur atau memendekkan rambut, dan wajib haji tahun depan.” Kemudian dia menyelisihi kami dengan mengatakan: “Tidak ada kewajiban hadyu baginya,” dan meriwayatkan hadits dari Umar yang tidak menyebutkan perintah hadyu.
Dia berkata: “Aku bertanya kepada Zaid bin Tsabit dua puluh tahun setelahnya, dan ia menjawab seperti Umar.”
Dia berkata: “Kami meriwayatkan ini dari Umar.”
Dia bertanya: “Lalu pendapat siapa yang kalian ikuti?”
Aku menjawab: “Kami meriwayatkan dari Umar seperti pendapat kami.”
Siapa yang memerintahkannya untuk membawa hadyu (hewan kurban)?
Dikatakan, “Kalian meriwayatkannya secara terputus, sedangkan hadis kami bersambung.” Kami menjawab, “Hadismu yang bersambung sesuai dengan hadis kami dari Umar dan menambahkan tentang hadyu. Tambahan dalam hadis lebih layak dihafal daripada yang tidak menyertakan tambahan, baik menurut kami maupun menurutmu.” Dia berkata, “Aku tidak menetapkannya untukmu saat ini dari Umar secara terputus. Apakah kalian meriwayatkannya dari selain Umar?” Kami menjawab, “Ya, dari Ibnu Umar, sebagaimana yang kami katakan secara bersambung.” Dia bertanya, “Mengapa kalian memilih riwayat dari Ibnu Umar atas riwayat kami dari Umar?” Kami menjawab, “Kami meriwayatkan dari Umar seperti riwayat kami dari Ibnu Umar, meskipun tidak bersambung.” Dia berkata, “Apakah kalian dalam memilih pendapat Ibnu Umar memiliki alasan selain sekadar mengikuti Ibnu Umar, sehingga kami bisa mengikuti Umar atas Ibnu Umar?” Aku menjawab, “Ya, aku berpegang pada sesuatu yang lebih mewajibkanmu secara khusus daripada orang lain, sehingga kamu harus meninggalkan pendapatmu untuk mengikuti pendapat kami.” Dia bertanya, “Di mana letaknya?” Aku menjawab, “Kamu berpendapat bahwa jika seorang wanita haid tidak suci hingga Arafah saat berumrah, maka umrahnya batal, dia harus berihram untuk haji, menyembelih hewan karena membatalkan umrah, dan wajib mengqadhanya. Kemudian kamu menerapkan hal ini juga pada laki-laki yang berumrah jika khawatir kehabisan waktu haji.” Dia berkata, “Aku telah mengatakannya untuk wanita haid dan laki-laki yang berumrah yang khawatir kehabisan waktu haji. Namun, aku ragu tentang laki-laki yang berumrah, sedangkan untuk wanita haid aku tetap berpegang pada riwayat yang kami miliki.” Aku bertanya, “Mengapa kamu ragu? Bukankah menurutmu dia wajib menyembelih hewan hanya karena kehabisan umrah?” Dia menjawab, “Bagaimana jika aku katakan bukan karena kehabisan umrah?” Aku berkata, “Katakanlah sesukamu.” Dia berkata, “Karena dia keluar dari umrah tanpa kehabisan waktu, sebab jika mau, dia bisa tetap melanjutkan umrah.” Aku bertanya, “Lalu apa pendapatmu jika haji tidak memaksanya, lalu dia ingin keluar dari umrah dengan menyembelih hewan, kemudian berhaji dan mengqadha umrah?” Dia menjawab, “Itu tidak boleh baginya.” Aku berkata, “Apakah kamu memerintahkannya untuk keluar dari umrah kecuali karena kehabisan waktu? Padahal jika dia tetap melanjutkan umrah, tidak ada kewajiban apa pun. Sedangkan orang yang berhaji menurutmu, jika kehabisan waktu haji, tidak boleh tetap melanjutkan haji dan dianggap telah keluar sebelum menyelesaikannya, sebagaimana wanita haid keluar dari umrah sebelum menyelesaikannya. Mengapa kamu mewajibkan wanita haid menyembelih hewan karena keluar sebelum menyelesaikan ihram yang wajib, tetapi tidak mewajibkannya pada orang yang berhaji yang juga keluar sebelum menyelesaikan ihram yang wajib? Keduanya sama dalam hal ini dan sama-sama harus mengqadha. Lalu mengapa kamu membedakan mereka dalam hal penyembelihan?”
Kamu juga berkata berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwa jika seseorang memiliki hutang puasa Ramadan lalu lupa hingga Ramadan berikutnya tiba, lalu dia berpuasa, maka dia harus berpuasa setelahnya untuk menutup hutang puasa Ramadan yang dia lupakan dan bersedekah untuk setiap harinya kepada seorang miskin karena tidak menunaikan puasa pada waktunya. Maka, orang yang kehabisan waktu haji berada dalam makna yang sama, bahkan lebih layak kamu terapkan pendapat ini padanya. Namun, kamu justru menyelisihi kami dan berkata, “Jika yang kehabisan waktu haji adalah orang yang berhaji ifrad, maka dia wajib haji dan umrah. Jika qiran, maka dia wajib haji dan dua umrah.” Aku bertanya, “Apakah kamu mengatakan ini berdasarkan riwayat atau qiyas?” Dia tidak menyebutkan riwayat yang kami ketahui atau yang dia anggap sebagai hujjah jika dia jujur. Dia menjawab, “Qiyas.” Kami bertanya, “Lalu atas dasar apa kamu mengqiyaskannya?” Dia berkata, “Umar berkata, ‘Lakukan seperti yang dilakukan orang yang berumrah.’ Ini menunjukkan bahwa hajinya berubah menjadi umrah.” Aku berkata, “Ketika seseorang tidak bisa keluar dari ihram kecuali dengan thawaf dan sa’i, baik dalam haji atau umrah, dan thawaf serta sa’i adalah penyempurna keluar dari umrah, sedangkan Arafah, jumrah, Mina, dan thawaf adalah penyempurna keluar dari haji, maka jika dia kehabisan waktu Arafah, tidak ada haji baginya dan tidak ada kewajiban amalan haji. Lalu dikatakan, ‘Keluar dengan amalan minimal untuk keluar dari ihram,’ yaitu amalan umrah, bukan berarti hajinya berubah menjadi umrah. Bagaimana pendapatmu jika seseorang memiliki kewajiban umrah, lalu dia berniat haji untuk umrah ini, kemudian kehabisan waktu? Apakah umrah wajibnya terpenuhi?” Dia menjawab, “Tidak, karena dia berniat haji.” Aku berkata, “Jika dia berniat haji, maka menurutmu itu tidak berubah menjadi umrah yang mencukupkannya?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya, “Lalu dari mana kamu menyangka itu adalah umrah, padahal itu tidak mencukupkannya dari umrah wajib, meskipun jika dia memulai ihramnya dengan umrah wajib?”
Aku juga berkata, “Jika hajinya berubah menjadi umrah, maka pendapatmu bahwa dia tidak wajib haji atau umrah justru semakin jauh, karena dia telah mengqadha umrah, sedangkan yang dia lewatkan adalah haji, sehingga tidak ada kewajiban haji dan umrah.” Dia berkata, “Aku mengatakannya karena haji berubah menjadi umrah, sehingga ketika dia kehabisan waktu haji…” Aku berkata, “Aku tidak melihatmu mengemukakan hujjah kecuali itu justru menjadi bumerang bagimu. Kapan ihram hajinya berubah menjadi umrah menurutmu?” Dia menjawab, “Setelah Arafah.” Aku bertanya, “Jika dia memulai ihram setelah Arafah dengan umrah, apakah dia tidak berihram atau berihram dan amalannya cukup tanpa perlu mengqadhanya?” Dia bertanya, “Lalu apa yang harus kita katakan?” Aku menjawab, “Apapun yang kamu katakan, kamu telah terpaksa meninggalkan pendapatmu…”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Aku berhujah dengannya, ia berkata: “Tinggalkan ini.” Aku berkata: “Perkataanmu saling bertentangan.” Ia bertanya: “Bagaimana?” Aku menjawab: “Engkau meriwayatkan dari Umar bahwa ia memerintahkan orang yang tertinggal haji untuk thawaf, sa’i, mengqashar atau mencukur, lalu berhaji tahun depan. Dan engkau berkata kepadanya: ‘Dia wajib menyembelih hadyu, Umar memerintahkannya.’ Namun dalam riwayat kami darinya, ia memerintahkan hadyu. Jika engkau katakan riwayat itu terputus, bagaimana jika dalam riwayatmu darinya ia memerintahkan haji tahun depan tanpa memerintahkan umrah? Mengapa tidak kau katakan: ‘Tidak ada umrah baginya,’ mengikuti pendapat Umar, Zaid bin Tsabit, dan riwayat kami dari Ibnu Umar? Aku tidak melihatmu kecuali sengaja menyelisihi mereka semua, lalu menyelisihi mereka dengan cara yang tidak benar. Kau katakan kepada orang yang tertinggal haji: ‘Wajib atasmu umrah dan haji.’ Pernahkah kau lihat seseorang yang tertinggal sesuatu lalu wajib mengqadha yang tertinggal itu plus lainnya? Padahal lainnya bukan yang tertinggal, karena haji bukan umrah dan umrah bukan haji.”
[BAB HADYU ORANG YANG TERTINGGAL HAJI]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Orang yang terhalang musuh wajib menyembelih hadyu wajib atau hadyu sunnah. Keduanya disembelih di tempat terhalang, tapi tidak bisa menggantikan hadyu penghalangan. Karena masing-masing wajib karena kewajiban atau kesunnahannya sebelum terkena kewajiban hadyu penghalangan. Jika terhalang, wajib hadyu lain untuk tahallul. Adapun yang tertinggal haji karena sakit dll, hadyunya tidak sah sampai sampai ke tanah haram.”
[BAB MANDI UNTUK MASUK MEKKAH]
(Imam Syafi’i berkata): “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mandi saat Fathu Mekkah untuk masuk Mekkah dalam keadaan halal dan memakai wewangian. Aku berpendapat -insya Allah- beliau tidak meninggalkan mandi untuk masuk sebagai orang haram di tanah haram tanpa wewangian. Malik mengabarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia mandi untuk masuk Mekkah.”
(Imam Syafi’i berkata): “Aku suka mandi saat masuk Mekkah. Jika ditinggalkan, tidak ada denda karena bukan mandi wajib.”
[BAB UCAPAN KETIKA MELIHAT KA’BAH]
Sa’id bin Salim mengabarkan dari Ibnu Juraij: “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- jika melihat Ka’bah mengangkat tangan dan berdoa: ‘Ya Allah, tambahkan kemuliaan, keagungan, dan keberkahan pada rumah ini. Tambahkan kemuliaan bagi yang menghormatinya dengan haji atau umrah.'”
Dari jalur lain: “Tangan diangkat saat shalat, melihat Ka’bah, di Shafa-Marwa, sore Arafah, Muzdalifah, di dua jamrah, dan saat jenazah.”
Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Sa’id bin Musayyib dari ayahnya, bahwa jika melihat Ka’bah ia berdoa: “Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dari-Mu keselamatan. Hidupkan kami dengan keselamatan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Aku anjurkan saat melihat Ka’bah mengucapkan doa-doa tersebut. Ucapan baik lainnya juga cukup -insya Allah-.”
[Bab tentang menyegerakan tawaf di Ka’bah saat memasuki Mekkah]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha, ia berkata, “Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memasuki Mekkah, beliau tidak berbelok atau berhenti.”
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak sampai kepada kami bahwa ketika beliau memasuki Mekkah, beliau berbelok untuk suatu keperluan atau berhenti dalam haji ini maupun seluruh umrahnya, hingga beliau memasuki masjid. Beliau juga tidak melakukan sesuatu pun saat memasuki masjid, tidak shalat sunnah maupun lainnya, hingga memulai dengan Ka’bah dan melakukan tawaf. Ini berlaku dalam haji dan seluruh umrahnya.
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, ia berkata bahwa ‘Atha berkata tentang orang yang datang untuk umrah: “Jika ia memasuki masjid, hendaknya langsung tawaf mengelilingi Ka’bah tanpa menunda tawaf atau shalat sunnah terlebih dahulu. Jika ia mendapati orang-orang sedang shalat wajib, hendaknya shalat bersama mereka, dan aku tidak suka ia shalat sunnah setelahnya hingga selesai tawaf. Jika ia datang sebelum shalat, jangan duduk atau menunggunya, tetapi langsung tawaf. Jika imam memotong tawafnya, hendaknya ia menyelesaikannya setelah shalat.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Atha, “Tidakkah aku shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat wajib jika belum melakukannya?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali dua rakaat shalat Subuh jika belum dikerjakan, maka lakukanlah, lalu tawaf, karena keduanya lebih utama.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada ‘Atha: “Bagaimana jika seorang wanita datang di siang hari?” Ia menjawab, “Aku tidak mempermasalahkannya selama ia menutup diri.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku mengambil seluruh pendapat ‘Atha karena sesuai dengan sunnah. Maka, aku tidak suka seseorang memulai dengan sesuatu sebelum tawaf jika ia mampu tawaf, kecuali jika ia lupa shalat wajib, maka shalatlah dahulu. Atau jika ia tiba di akhir waktu shalat wajib dan khawatir ketinggalan, maka mulailah dengan shalat. Atau jika khawatir ketinggalan dua rakaat Fajar, mulailah dengannya. Atau jika lupa shalat Witir, mulailah dengannya, lalu tawaf. Jika ia datang dan orang-orang menghalangi tawaf, shalatlah dua rakaat saat masuk masjid. Jika shalat sudah didirikan, mulailah dengan shalat. Jika iqamat hampir dikumandangkan, mulailah dengan shalat.
Laki-laki dan perempuan sama dalam hal menyegerakan tawaf saat tiba di malam hari. Demikian juga jika tiba di siang hari, kecuali wanita muda yang menarik perhatian, maka aku lebih suka ia menunda tawaf hingga malam agar tertutup oleh kegelapan.
[Bab tentang dari mana memulai tawaf]
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Imam Syafi’i, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Manshur dari Abu Wail dari Masruq dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia melihatnya memulai dengan menyentuh Hajar Aswad, lalu berjalan ke kanan, berlari-lari kecil tiga putaran, dan berjalan empat putaran. Kemudian ia mendatangi Maqam Ibrahim dan shalat dua rakaat di belakangnya.
Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Orang yang berumrah tetap membaca talbiyah saat memulai tawaf, baik menyentuh Hajar Aswad atau tidak.”
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada perbedaan bahwa batasan awal tawaf adalah dari Rukun Aswad (Hajar Aswad), dan penyelesaian tawaf juga kembali kepadanya. Aku lebih suka menyentuhnya saat memulai tawaf. Jika seseorang memulai tawaf dari suatu tempat tanpa sejajar dengan Rukun Aswad, tawafnya tidak dianggap. Jika ia menyentuh Rukun Aswad dengan tangannya dari posisi yang tidak sejajar, tawafnya tidak sah, karena tawaf dilakukan dengan seluruh badan, bukan sebagian. Jika seluruh badannya sejajar dengan Rukun Aswad, tawafnya dianggap sah. Demikian juga jika pada putaran ketujuh ia sejajar dengan sebagian Rukun Aswad, maka tawafnya sempurna. Jika ia memutus tawaf sebelum sejajar dengan Rukun Aswad, meski telah menyentuhnya, tawafnya tidak sempurna.
[Bab Apa yang Diucapkan saat Menyentuh Rukun]
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, ia berkata: “Aku diberitahu bahwa sebagian sahabat Nabi ﷺ bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus kami ucapkan ketika menyentuh Hajar Aswad?’ Beliau menjawab, ‘Ucapkanlah: Bismillah, Allahu Akbar, sebagai bentuk keimanan kepada Allah dan pembenaran terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.'”
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): “Demikianlah yang aku sukai untuk diucapkan seseorang ketika memulai thawaf. Dan setiap kali melewati rukun, hendaknya mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dan ‘La ilaha illallah,’ serta menyebut nama Allah dan bershalawat kepada Rasul-Nya. Itu baik.”
[Bab Cara Memulai Thawaf dan Rukun-rukun yang Disentuh]
(Imam Syafi’i berkata): “Aku lebih suka jika orang yang thawaf memulai dengan menyentuh (Hajar Aswad). Aku juga menyukai jika ia mencium Rukun Aswad (Hajar Aswad). Jika ia menyentuhnya dengan tangan, maka ciumlah tangannya. Aku juga suka jika ia menyentuh Rukun Yamani dengan tangan lalu mencium tangannya, tetapi tidak mencium rukun itu sendiri, karena aku tidak mengetahui ada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau menciumnya selain Hajar Aswad. Namun, jika ada yang menciumnya, tidak mengapa. Aku tidak memerintahkan untuk menyentuh dua rukun yang berdekatan dengan Hajar Aswad. Jika seseorang menyentuhnya atau bagian antara rukun-rukun Ka’bah, tidak wajib mengulang atau membayar fidyah, tetapi aku lebih suka mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.”
(Imam Syafi’i berkata): “Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mencium Hajar Aswad, dan aku pun menyukai hal itu. Boleh juga hanya menyentuhnya tanpa mencium, karena menyentuh sudah cukup tanpa mencium.”
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Abu Ja’far, ia berkata: “Aku melihat Ibnu Abbas datang pada hari Tarwiyah dengan kepala yang tertunduk. Ia mencium Hajar Aswad, lalu sujud di atasnya, kemudian menciumnya lagi, lalu sujud, dan menciumnya sekali lagi, lalu sujud—sebanyak tiga kali.”
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Hanzhalah bin Abi Sufyan dari Thawus, bahwa ia tidak menyentuh Hajar Aswad kecuali jika melihatnya sepi. Ia berkata: “Jika ia menyentuhnya, ia menciumnya tiga kali dan sujud di atasnya setelah setiap ciuman.”
(Imam Syafi’i berkata): “Aku suka jika memungkinkan untuk melakukan seperti yang dilakukan Ibnu Abbas, yaitu sujud di atas Hajar Aswad, karena itu adalah bentuk ciuman dan tambahan sujud kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang menyentuhnya, jangan tinggalkan menciumnya. Namun, jika ada yang meninggalkannya, tidak ada kewajiban fidyah.”
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, ia berkata: “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Pernahkah engkau melihat salah seorang sahabat Nabi ﷺ mencium tangan mereka setelah menyentuh (Hajar Aswad)?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku melihat Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Abu Hurairah melakukannya.’ Aku bertanya, ‘Dan Ibnu Abbas?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku sering melihatnya.’ Aku bertanya, ‘Apakah engkau sendiri meninggalkan mencium tanganmu setelah menyentuhnya?’ Ia menjawab, ‘Lalu untuk apa aku menyentuhnya?'”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang tidak menyentuh rukun, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada kewajiban apa pun atasnya.”
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Salim dari Ibrahim bin Nafi’, ia berkata: “Aku thawaf bersama Thawus, dan ia tidak menyentuh satu pun rukun hingga selesai thawafnya.”
[Dua sudut yang berdekatan dengan Hajar Aswad]
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzi dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi: “Seorang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa mengusap semua sudut Ka’bah dan berkata, ‘Tidak pantas bagi rumah Allah Ta’ala ada bagiannya yang diabaikan.'” Ibnu Abbas juga berkata, “Sungguh, bagi kalian ada teladan yang baik dalam diri Rasulullah.”
(Imam Syafi’i berkata): Apa yang dilakukan Ibnu Abbas lebih aku sukai karena ia meriwayatkannya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan Umar juga meriwayatkannya dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Tidak mengusap dua sudut yang berdekatan dengan Hajar Aswad tidak menunjukkan bahwa keduanya diabaikan. Bagaimana mungkin sudut yang dijadikan patokan tawaf diabaikan? Jika meninggalkan mengusapnya berarti mengabaikannya, maka meninggalkan mengusap bagian antara sudut-sudut juga berarti mengabaikannya.
[Anjuran mengusap pada putaran ganjil]
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Utsman bin Al-Aswad dari Mujahid bahwa ia hampir tidak pernah meninggalkan mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad pada setiap putaran ganjil dalam tawafnya. Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Thawus yang berkata, “Usaplah sudut ini sebagai yang kelima bagi kami.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih menyukai mengusap pada setiap putaran ganjil daripada pada putaran genap. Jika tidak ada keramaian, aku lebih suka mengusap pada setiap putaran tawaf.
[Mengusap saat ramai]
(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Aku menyukai mengusap saat memulai tawaf dalam segala kondisi. Aku juga menyukai jika seseorang mengusap selama tidak menyakiti atau disakiti karena keramaian, dan meninggalkannya jika ia menyakiti atau disakiti. Aku tidak menyukai keramaian kecuali saat memulai tawaf. Jika terpaksa berdesakan, lakukanlah di akhir. Aku menduga Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada Abdurrahman, “Kamu benar,” karena ia menggambarkan bahwa ia mengusap saat tidak ramai dan meninggalkannya saat ramai. Sebab, tidak mungkin beliau mengatakan “kamu benar” dalam hal melakukan dan meninggalkan sesuatu kecuali jika situasinya berbeda. Jika seseorang meninggalkan mengusap sepanjang tawaf padahal ia mampu, atau mengusap tetapi menyakiti atau disakiti selama tawaf, aku tidak menyukainya. Tidak ada denda atau kewajiban mengulang baginya.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas yang berkata, “Jika kamu menemukan keramaian di sudut Ka’bah, pergilah dan jangan berhenti.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Umar bin Sa’id bin Abi Husain dari Manbuz bin Abi Sulaiman dari ibunya bahwa ia pernah berada di sisi Aisyah Ummul Mukminin – radhiyallahu ‘anha -. Seorang budak perempuan masuk dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, aku telah tawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali dan mengusap sudut dua atau tiga kali.” Aisyah berkata, “Semoga Allah tidak memberi pahala kepadamu, semoga Allah tidak memberi pahala kepadamu! Kamu berdesakan dengan laki-laki? Tidakkah kamu bertakbir dan berlalu saja?”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id…
Usman bin Muqsim ar-Rabi dari Aisyah binti Sa’d bahwa ia berkata, ayahku pernah berkata kepada kami, “Jika kalian menemukan celah di antara orang-orang, maka sentuhlah (Hajar Aswad), jika tidak, maka bertakbirlah dan teruslah berjalan.” Ketika Aisyah Ummul Mukminin dan Sa’d memerintahkan para lelaki, jika para wanita menyentuh (Hajar Aswad), agar tidak berdesak-desakan dengan mereka dan menjauh dari mereka, karena aku tidak suka segala bentuk kerumunan di sana. Dan aku suka jika memungkinkan bagi orang yang thawaf untuk menyentuh dua rukun, yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani, serta menyentuhnya dengan tangannya dan mencium tangannya. Dan aku suka jika memungkinkan baginya untuk mencium Hajar Aswad dengan mulutnya dan menyentuh Rukun Yamani dengan tangannya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau memerintahkan untuk mencium Hajar Aswad dan tidak memerintahkan untuk mencium Rukun Yamani?” Dikatakan kepadanya, insya Allah, kami meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani. Dan kami melihat para ulama mencium yang satu dan menyentuh yang lain. Jika ada yang berkata, “Bagaimana jika seseorang menciumnya?” Aku katakan, itu baik, dan bagian mana pun dari Ka’bah yang dicium itu baik. Hanya saja, kami memerintahkan untuk mengikuti dan melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau tidak memerintahkan untuk menyentuh dua rukun yang berdekatan dengan Hajar Aswad?” Kami katakan kepadanya, kami tidak mengetahui Nabi ﷺ menyentuhnya, dan kami melihat kebanyakan orang tidak menyentuhnya. Jika ada yang berkata, “Kami melihat hal itu,” kami katakan, Allah lebih tahu. Adapun alasan tidak menyentuh keduanya adalah seperti tidak menyentuh bagian Ka’bah lainnya. Kami katakan, kami menyentuh apa yang dilihat Rasulullah ﷺ menyentuhnya, bukan yang tidak beliau sentuh. Adapun alasan untuk keduanya, kami melihat bahwa Ka’bah tidak disempurnakan sesuai fondasi Ibrahim, sehingga keduanya seperti bagian Ka’bah lainnya yang tidak diwajibkan untuk disentuh. Jika seseorang mengusap keduanya seperti mengusap bagian Ka’bah lainnya, itu baik.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami, ia berkata, Musa bin ‘Ubaidah ar-Rabadzi mengabarkan kepadaku dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi bahwa Ibnu Abbas biasa mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad, sedangkan Ibnu Zubair mengusap semua rukun dan berkata, “Tidak pantas bagi rumah Allah ada bagian yang diabaikan.” Ibnu Abbas berkata, “Sungguh, bagi kalian dalam Rasulullah ada teladan yang baik.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibnu Abbas mengabarkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau menyentuh Rukun Yamani dan Hajar Aswad, bukan dua rukun Syam. Inilah pendapat kami. Adapun perkataan Ibnu Zubair, “Tidak pantas ada bagian dari rumah Allah yang diabaikan,” tetapi tidak ada seorang pun yang meninggalkan menyentuh rukun karena mengabaikan rumah Allah. Mereka hanya menyentuh apa yang disentuh Rasulullah ﷺ dan menahan diri dari apa yang beliau tidak sentuh. Mereka juga tidak menyentuh bagian Ka’bah selain rukun-rukun, dan tidak ada seorang pun yang meninggalkannya karena mengabaikan bagian dari rumah Allah.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Abu Muslim dari Ibrahim bin Maysarah, ia berkata, Ibnu Thawus menyebutkan bahwa ia tidak pernah meninggalkan dua rukun tanpa menyentuhnya. Ia berkata, “Tetapi ayahnya yang lebih utama meninggalkannya.”
[Pendapat tentang Thawaf]
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Yahya bin ‘Ubaid, maula as-Saib, dari ayahnya, dari as-Saib bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda di antara Rukun Bani Jumah dan Hajar Aswad, “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” Ini termasuk doa yang paling kusukai diucapkan dalam thawaf. Dan aku suka jika doa itu diucapkan di seluruh thawaf.
[Bab Mengurangi Bicara Saat Thawaf]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Hanzhalah bin Abi Sufyan dari Thawus bahwa ia mendengarnya berkata: Aku mendengar Ibnu Umar berkata, “Sedikitkanlah bicara saat thawaf karena sesungguhnya kalian dalam keadaan shalat.”
(Imam Syafi’i berkata): Ia berpendapat tentang sunnahnya mengurangi bicara, dan perkataannya “dalam shalat” maksudnya dalam ketaatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan suci seperti shalat, karena berbicara dapat membatalkan shalat. Seandainya menurutnya berbicara membatalkan thawaf, tentu ia akan melarang sedikit maupun banyak bicara. Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata, “Aku thawaf di belakang Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dan aku tidak mendengar salah satu dari mereka berbicara sampai selesai thawafnya.” Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibrahim bin Nafi’ al-A’war, ia berkata, “Aku thawaf bersama Thawus dan aku mengajaknya bicara saat thawaf, lalu ia pun menjawabku.” Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa ia membenci bicara saat thawaf kecuali sedikit, atau berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
(Imam Syafi’i berkata): Telah sampai kepada kami bahwa Mujahid pernah membaca Al-Qur’an saat thawaf.
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih menyukai membaca Al-Qur’an saat thawaf. Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ pernah berbicara dan diajak bicara saat thawaf. Maka, siapa yang berbicara saat thawaf, bicaranya tidak membatalkan thawafnya. Namun, berdzikir kepada Allah lebih aku sukai daripada berbicara. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau membolehkan bicara saat thawaf tetapi menganjurkan untuk menguranginya dan lebih memilih berdzikir?” Jawabannya, insya Allah, aku lebih suka mengurangi bicara di padang pasir, rumah, atau tempat lain selain ibadah, kecuali untuk berdzikir kepada Allah agar manfaat dzikir kembali kepada yang berdzikir atau bicara tentang hal yang bermanfaat bagi urusannya. Jika demikian di padang pasir dan rumah, apalagi di dekat Baitullah dengan harapan pahala besar dari Allah. Jika ada yang bertanya, “Adakah dalil dari atsar atas pendapatmu?” Aku jawab, “Ya, seperti yang telah kusampaikan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Dan aku menganjurkan membaca Al-Qur’an saat thawaf, karena bacaan Al-Qur’an adalah ucapan terbaik.”
[Bab Istirahat Saat Thawaf]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak mengapa istirahat saat thawaf. Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa ia tidak melihat masalah dalam istirahat saat thawaf, dan ia menyebutkan istirahat dengan duduk.
[Thawaf dengan Berkendara]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Az-Zubair Al-Makki dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari bahwa ia mendengarnya berkata, “Rasulullah ﷺ thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah dengan berkendara pada haji wada’ agar orang-orang melihatnya dan beliau menampakkan diri karena banyak orang yang berdesakan.” Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ thawaf dengan berkendara dan menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya. Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Abi Dzi’b dari Syu’bah, maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas dari Nabi ﷺ yang serupa. Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Atha’, “Rasulullah ﷺ thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah dengan berkendara. Aku bertanya, ‘Mengapa?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian beliau turun dan shalat dua rakaat.” Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Al-Ahwash bin Hakim, ia berkata: Aku melihat Anas bin Malik thawaf antara Shafa dan Marwah dengan berkendara.
Keledai “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melakukan thawaf di Ka’bah, Safa, dan Marwa dengan berkendaraan tanpa ada sakit, tetapi beliau ingin dilihat orang-orang agar mereka bertanya kepadanya, dan tidak ada seorang pun di tempat itu dari manusia.” Kebanyakan thawaf Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – di Ka’bah, Safa, dan Marwa dalam manasiknya dilakukan dengan berjalan kaki. Maka, lebih aku sukai jika seseorang thawaf di Ka’bah, Safa, dan Marwa dengan berjalan kaki kecuali jika ada uzur. Jika dia thawaf dengan berkendaraan tanpa uzur, tidak ada kewajiban mengulang atau membayar fidyah.
Bab Berkendara karena Uzur dalam Thawaf
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Aku tidak memakruhkan wanita berkendara saat thawaf antara Safa dan Marwa atau dibawa orang saat thawaf di Ka’bah karena uzur. Namun, aku memakruhkan seseorang berkendara hewan saat thawaf mengelilingi Ka’bah. Jika dia melakukannya dan thawaf di atasnya, itu sudah mencukupi.
(Imam Syafi’i berkata): Jabir mengabarkan bahwa “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah thawaf dengan berkendara, dan beliau melakukannya agar dilihat orang-orang.” Ini menunjukkan bahwa beliau tidak thawaf karena sakit, dan aku tidak mengetahui beliau mengeluh sakit dalam haji tersebut. Sa’id bin Jubair berkata bahwa beliau thawaf karena sakit, tetapi aku tidak tahu dari siapa dia mengambil riwayat itu. Perkataan Jabir lebih layak diterima karena dia menyaksikan langsung, sedangkan Sa’id tidak.
(Imam Syafi’i berkata): Adapun tujuh putaran thawaf beliau saat pertama kali tiba, dilakukan dengan berjalan kaki karena Jabir meriwayatkan bahwa beliau berlari kecil (ramal) dalam tiga putaran dan berjalan dalam empat putaran. Tidak mungkin Jabir meriwayatkan bahwa beliau thawaf dengan berjalan dan berkendara dalam satu putaran yang sama. Juga diriwayatkan bahwa sa’i yang beliau lakukan dengan berkendara adalah pada hari Nahr.
Sufyan mengabarkan dari Abdullah bin Thawus dari ayahnya bahwa “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan para sahabat untuk bersegera dalam ifadhah, dan beliau ifadhah bersama istri-istrinya di malam hari dengan berkendaraan, menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya.” Aku kira dia juga berkata: “Dan mencium ujung tongkat.”
[Bab Idhthiba’]
Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa dia mendengar “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ber-idhthiba’ dengan selendangnya saat thawaf.”
Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Umar bin Khattab menyentuh Hajar Aswad untuk memulai sa’i, lalu berkata kepada orang-orang: “Mengapa sekarang kita membuka pundak-pundak kita dan ingin dilihat, padahal Allah telah menampakkan Islam? Demi Allah, aku akan berlari kecil sebagaimana beliau berlari kecil.”
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Maksudnya adalah ramal sambil ber-idhthiba’.
(Imam Syafi’i berkata): Idhthiba’ adalah mengenakan selendang di atas pundak kiri dan di bawah pundak kanan sehingga pundak kanan terbuka sampai menyelesaikan tujuh putaran. Jika seseorang thawaf dengan berjalan kaki tanpa uzur yang menghalanginya dari ramal, aku tidak suka jika dia meninggalkan idhthiba’ saat memulai thawaf. Jika dia bersiap dengan idhthiba’ sebelum memulai thawaf, itu tidak masalah.
Jika dia memakai kain dan sorban, aku lebih suka dia meletakkannya di bawah pundak kanan. Begitu juga jika dia memakai baju, celana, atau lainnya. Jika dia hanya memakai kain tanpa penutup pundak, maka pundaknya terbuka tanpa kain untuk idhthiba’. Kemudian dia ramal saat memulai thawaf. Jika dia meninggalkan idhthiba’ di sebagian putaran, hendaknya dia idhthiba’ di sisa putaran. Jika dia tidak idhthiba’ sama sekali, aku memakruhkannya sebagaimana aku memakruhkan meninggalkan ramal dalam tiga putaran, tetapi tidak ada kewajiban fidyah atau mengulang.
Sa’id mengabarkan dari Abdullah bin Umar dari Nafi’ bahwa “Ibnu Umar berlari kecil dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad, lalu berkata: ‘Beginilah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melakukannya.'”
Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Atha’ bahwa “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berlari kecil dalam tiga putaran pertama dari tujuh putaran, tanpa diselingi berjalan.”
Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Atha’ bahwa “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melakukan sa’i dalam umrahnya, semuanya empat putaran di Ka’bah dan antara Safa dan Marwa,” kecuali mereka …
Raudlah pada putaran pertama dan keempat dari Hudaibiyah, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha, ia berkata: Abu Bakar berlari-lari kecil saat haji ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya, kemudian ‘Umar, lalu ‘Utsman, dan para khalifah seterusnya juga melakukan hal yang sama.
(Asy-Syafi’i berkata): Ramil (lari-lari kecil) adalah lari yang tidak terlalu cepat, dilakukan dalam tiga putaran tanpa disela oleh berhenti kecuali berhenti saat menyentuh dua rukun (Hajar Aswad dan Rukun Yamani), kemudian melanjutkan dengan lari-lari kecil. Jika ada kerumunan yang menghalanginya untuk berlari-lari kecil dan ia menemukan celah setelah berhenti, maka ia boleh berhenti. Jika menemukan celah, ia boleh berlari-lari kecil. Jika kerumunan terlalu padat sehingga tidak ada harapan menemukan celah, lebih baik ia menepi di sisi thawaf agar bisa berlari-lari kecil. Jika menepi memungkinkannya untuk berlari-lari kecil, maka itu lebih baik. Namun, jika di tepi pun ia terhalang oleh banyaknya wanita sehingga tidak bisa berlari-lari kecil, ia boleh berlari-lari kecil jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, ia berjalan biasa seperti jalan biasanya. Aku tidak suka jika ia melompat seperti lompatan saat berlari-lari kecil, melainkan cukup berjalan biasa. Berlari-lari kecil dilakukan pada tiga putaran pertama, sedangkan empat putaran berikutnya dengan berjalan. Jika ia meninggalkan raml pada putaran pertama, ia bisa menggantinya pada dua putaran berikutnya. Begitu pula jika ia meninggalkan raml pada dua putaran pertama, ia bisa menggantinya pada putaran ketiga. Namun, jika ia meninggalkan raml pada tiga putaran pertama, ia tidak perlu menggantinya pada empat putaran berikutnya, karena raml adalah bentuk (hiasan) dalam waktu tertentu. Jika waktu itu telah berlalu, ia tidak perlu melakukannya di luar waktunya, dan tidak ada denda atau pengulangan baginya karena ia telah menyelesaikan thawaf, sedangkan thawaf itu sendiri adalah kewajiban. Jika ia meninggalkan zikir dalam thawaf, aku tidak menyukainya, tetapi tidak perlu diulang. Jika ia meninggalkan raml pada sebagian putaran, ia bisa melakukannya pada sisa putaran, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara tujuh kelompok, sebagian berlari-lari kecil dan sebagian berjalan. Jadi, tidak perlu berlari-lari kecil di tempat Nabi berjalan, dan lebih baik tidak berjalan di tempat Nabi berlari-lari kecil.
(Asy-Syafi’i berkata): Meninggalkan raml, baik sengaja, lupa, atau tidak tahu, hukumnya sama: tidak perlu mengulang atau membayar denda. Namun, aku tidak menyukainya jika dilakukan dengan sengaja, dan tidak ada cela bagi yang lupa atau tidak tahu. Hal ini berlaku sama untuk semua thawaf ibadah sebelum atau setelah Arafah, dalam setiap haji atau umrah, jika thawaf tersebut menghubungkannya dengan sa’i antara Shafa dan Marwah. Jika seseorang datang sebagai haji atau qiran, lalu thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, kemudian melakukan ziarah pada hari Nahr atau setelahnya, ia tidak perlu raml karena thawaf yang menghubungkannya dengan Shafa dan Marwah sudah selesai. Thawaf setelahnya hanya untuk menghalalkan wanita baginya. Jika seseorang datang sebagai haji dan belum thawaf sampai tiba di Mina, ia harus raml dalam thawaf di Ka’bah setelah Arafah. Sa’id mengabarkan kepada kami dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim bahwa ia melihat Mujahid melakukan raml pada hari Nahr. Jika ada yang bertanya, “Engkau pernah mengatakan bahwa jika seseorang meninggalkan sesuatu dalam ibadahnya, ia harus membayar dam. Mengapa dalam hal ini engkau tidak memerintahkannya untuk membayar dam?” Aku jawab, “Aku hanya memerintahkannya jika ia meninggalkan amalan itu sendiri.” Ia berkata, “Bukankah ini termasuk amalannya?” Aku jawab, “Tidak. Thawaf adalah amalan, sedangkan raml adalah bentuk dalam amalan. Ia telah menyelesaikan amalan dengan sempurna dan hanya meninggalkan bentuknya. Sujud dan rukuk adalah amalan. Jika ia meninggalkan tasbih dalam keduanya, ia tidak dianggap meninggalkan amalan yang harus diganti seperti mengganti sujud yang tertinggal atau merusak shalatnya jika keluar sebelum menyempurnakannya. Bahkan, tasbih dalam rukuk dan sujud lebih layak dianggap merusak karena ia adalah ucapan dan amalan, sedangkan ucapan adalah amalan. Idhthiba’ (menyelendangkan kain) dan raml adalah bentuk yang lebih ringan daripada tasbih dalam rukuk dan sujud.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang melakukan raml dalam thawaf lalu kerumunan membuatnya sulit, ia boleh bergerak dengan langkah yang mendekati raml. Alasan aku tidak memerintahkannya untuk berhenti sampai menemukan celah adalah karena berhenti bisa mengganggu orang di belakangnya, dan kecil kemungkinan menemukan celah di depannya. Jika ia berada di tempat yang tidak ramai, lalu orang-orang berkerumun karena pintu Ka’bah dibuka atau ada halangan dalam thawaf di tempat yang tidak mengganggu orang di belakangnya dan ada harapan menemukan celah di depannya, aku akan memerintahkannya untuk berhenti sampai ada celah sehingga ia bisa raml. Kapan pun memungkinkan, ia harus raml. Lebih baik mendekati Ka’bah saat thawaf. Jika ia jauh dari Ka’bah tetapi berharap menemukan jalan untuk raml, aku memerintahkannya untuk menjauh.
[Pasal tentang Thawaf dengan Berkendara bagi Orang Sakit atau Anak Kecil]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang thawaf membawa anak kecil, lebih baik ia raml bersamanya. Jika ia thawaf…
Laki-laki dengan Laki-laki
Aku suka jika seseorang mampu berlari kecil (ramal), maka ia boleh melakukannya. Jika sekelompok orang mengusung seseorang di tandu, aku suka jika mereka mampu berlari kecil, maka mereka boleh melakukannya. Jika seseorang thawaf sambil menunggang hewan tanpa mengganggu orang lain, aku suka agar hewannya dipercepat di tempat yang seharusnya berlari kecil. Semua ini berlaku untuk laki-laki.
[Bab Tidak Ada Kewajiban Sa’i bagi Perempuan]
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata: “Tidak ada kewajiban sa’i di sekitar Ka’bah atau antara Shafa dan Marwah bagi perempuan.”
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa ia bertanya kepada Atha’: “Apakah perempuan harus sa’i?” Atha’ sangat mengingkarinya.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari seorang laki-laki dari Mujahid bahwa ia berkata: “Aisyah – radhiyallahu ‘anha – melihat perempuan-perempuan melakukan sa’i di sekitar Ka’bah, lalu ia berkata: ‘Tidakkah kalian memiliki teladan dari kami? Tidak ada kewajiban sa’i bagi kalian.'”
(Asy-Syafi’i berkata):
Tidak ada ramal (lari kecil) bagi perempuan, tidak ada sa’i antara Shafa dan Marwah, dan tidak ada idtiba’ (membuka bahu kanan). Jika mereka diusung, orang yang mengusungnya tidak perlu berlari kecil. Demikian pula anak kecil yang diusung oleh seorang perempuan, sedangkan yang dewasa diusung dengan tandu atau menunggang hewan. Sebab, mereka diperintahkan untuk menutup diri, sedangkan idtiba’ dan ramal bertentangan dengan penutupan diri.
[Bab Tidak Boleh Mengatakan ‘Satu Putaran’ atau ‘Dua Putaran’]
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Mujahid bahwa ia tidak suka mengatakan “satu putaran” atau “dua putaran” untuk thawaf, tetapi ia mengatakan “thawaf” atau “dua thawaf.”
(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata):
Aku lebih tidak menyukai hal itu sebagaimana Mujahid tidak menyukainya, karena Allah – Azza wa Jalla – berfirman: “Dan hendaklah mereka thawaf di sekeliling Baitul Atiq.” (QS. Al-Hajj: 29). Maka, itu disebut thawaf karena Allah – Ta’ala – menyebut sekelilingnya sebagai thawaf.
[Bab Kesempurnaan Thawaf]
Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwa Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar mengabarkan kepada Abdullah bin Umar dari Aisyah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidakkah engkau melihat kaummu ketika membangun Ka’bah, mereka mengurangi dari fondasi Ibrahim?” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya ke fondasi Ibrahim?” Beliau bersabda: “Seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran, niscaya aku akan mengembalikannya seperti semula.”
Maka, Abdullah bin Umar berkata: “Jika Aisyah mendengar ini dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka aku tidak melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – meninggalkan menyentuh dua rukun yang dekat dengan Hijr kecuali karena Ka’bah tidak dibangun di atas fondasi Ibrahim.”
Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: Hasyim bin Hujair menceritakan kepada kami dari Thawus – seingatku ia berkata dari Ibnu Abbas – bahwa ia berkata: “Hijr adalah bagian dari Ka’bah.” Allah – Azza wa Jalla – berfirman: “Dan hendaklah mereka thawaf di sekeliling Baitul Atiq.” (QS. Al-Hajj: 29), dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – thawaf dari belakang Hijr.
Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Abu Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Ayahku mengabarkan kepadaku bahwa Umar mengutus seorang syaikh dari Bani Zuhrah. Aku datang bersamanya menemui Umar yang berada di Hijr. Umar bertanya kepadanya tentang anak-anak yang lahir di masa Jahiliyah. Syaikh itu berkata: “Adapun nutfah (sperma) berasal dari si fulan, tetapi anak itu dianggap sebagai anak si fulan (suami yang sah).” Umar berkata: “Engkau benar, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah memutuskan bahwa anak itu milik pemilik kasur (suami yang sah).” Ketika syaikh itu hendak pergi, Umar memanggilnya kembali dan berkata: “Kabarkan kepadaku tentang…”
Ketika membangun Ka’bah, dia berkata, “Sesungguhnya Quraisy memberikan makanan untuk membangun Ka’bah, tetapi mereka tidak mampu menyelesaikannya sehingga meninggalkan sebagian di Hijir.” Umar berkata kepadanya, “Engkau benar.” Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dia berkata, “Tidak ada Hijir dalam Hijir, kecuali agar orang-orang bisa melakukan tawaf di belakangnya untuk melengkapi tawaf mengelilingi Ka’bah.” Aku mendengar beberapa ulama dari Quraisy menyebutkan bahwa sekitar enam hasta dari Ka’bah ditinggalkan di Hijir.
(Asy-Syafi’i berkata): Kesempurnaan tawaf mengelilingi Ka’bah adalah seseorang melakukan tawaf di belakang Hijir. Jika dia bertawaf dan melewati Hijir, tawafnya tidak dianggap. Jika dia bertawaf di atas dinding Hijir, tawafnya juga tidak dianggap karena tidak menyempurnakan tawaf mengelilingi Ka’bah. Setiap tawaf yang dilakukan di atas Syadzarwan Ka’bah, di dalam Hijir, atau di atas dinding Hijir dianggap seperti tidak bertawaf.
Ketika memulai tawaf, seseorang menyentuh Hajar Aswad, kemudian meninggalkannya di sebelah kirinya dan bertawaf. Jika dia menyentuh Hajar Aswad tetapi meninggalkannya di sebelah kanannya lalu bertawaf, maka tawafnya terbalik dan tidak dianggap. Siapa pun yang bertawaf dengan cara yang dilarang, seperti tawaf terbalik, di atas Syadzarwan Ka’bah, di dalam Hijir, atau di atas dindingnya, hukumnya sama seperti tidak bertawaf, dan tidak ada perbedaan.
[Bab Tentang Tempat Tawaf]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Menyempurnakan tawaf mengelilingi Ka’bah adalah dengan bertawaf di belakang Hijir dan di belakang Syadzarwan Ka’bah. Jika seseorang bertawaf mengelilingi Ka’bah dan melewati bagian dalam Hijir, dia harus mengulangi tawafnya. Demikian pula jika dia bertawaf di atas Syadzarwan Ka’bah, dia harus mengulanginya.
Jika ada yang berkata, “Allah -Azza wa Jalla- berfirman, ‘Dan hendaklah mereka melakukan tawaf mengelilingi Baitul Atiq,’ lalu bagaimana engkau berpendapat bahwa seseorang bisa bertawaf mengelilingi Ka’bah dan selainnya?” Dikatakan kepadanya, insya Allah -Ta’ala-, adapun Syadzarwan, aku mengira itu dibangun di atas fondasi Ka’bah, tetapi bangunannya tidak mencakup seluruhnya. Jika demikian, maka orang yang bertawaf di atasnya belum menyempurnakan tawaf mengelilingi Ka’bah, melainkan hanya mengelilingi sebagiannya.
Adapun Hijir, ketika Quraisy membangun Ka’bah, mereka mengurangi dari fondasi Ibrahim, sehingga sekitar enam hasta Ka’bah tertinggal di Hijir. Ibnu Zubair merobohkannya dan membangunnya kembali di atas fondasi Ibrahim. Al-Hajjaj merobohkan tambahan yang dibuat Ibnu Zubair untuk menyesuaikan fondasi tersebut. Beberapa penguasa berniat mengembalikannya ke fondasi asli, tetapi sebagian yang memberi nasihat tidak setuju dan berkata, “Aku khawatir setiap penguasa akan ingin meninggalkan jejaknya di Ka’bah, padahal Ka’bah terlalu mulia untuk itu.” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para khalifah setelahnya membiarkannya sebagaimana adanya.
(Asy-Syafi’i berkata): Seluruh area masjid adalah tempat untuk tawaf.
[Bab Tentang Haji Anak Kecil]
Malik mengabarkan kepada kami dari Ibrahim bin ‘Uqbah dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa…
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melewati seorang wanita yang berada di dalam haudaj-nya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Ini adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka wanita itu mengambil anak kecil yang bersamanya dan bertanya: “Apakah anak ini boleh berhaji?” Beliau menjawab: “Ya, dan untukmu juga pahala.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Malik bin Mughwal dari Abus-Safar, dia berkata: Ibnu Abbas berkata: “Wahai manusia, dengarkanlah apa yang kalian ucapkan dan pahamilah apa yang kusampaikan kepada kalian. Seorang budak yang dihajikan oleh tuannya lalu meninggal sebelum merdeka, maka hajinya telah sah. Jika dia merdeka sebelum meninggal, maka wajib baginya berhaji. Demikian pula seorang anak yang dihajikan oleh keluarganya lalu meninggal sebelum baligh, hajinya telah sah. Jika dia baligh, maka wajib baginya berhaji.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dan Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Haji seorang budak telah sah sampai dia merdeka. Jika dia merdeka, maka haji menjadi kewajibannya, meskipun sebelumnya tidak wajib baginya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini seperti yang dikatakan ‘Atha’, insya Allah, tentang budak dan anak yang belum baligh. Makna perkataannya dan perkataan Ibnu Abbas menurut kami adalah demikian. Ucapannya: “Jika dia merdeka, maka hendaknya berhaji,” menunjukkan bahwa jika haji Islamnya sudah cukup, tentu dia tidak akan memerintahkannya untuk berhaji setelah merdeka. Ini juga menunjukkan bahwa haji tidak wajib baginya selama masih dalam status perbudakan. Sebab dia dan kaum muslimin lainnya tidak mewajibkan haji kecuali sekali, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan bagi Allah, wajib atas manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, bagi yang mampu.” (Ali Imran: 97)
[Pasal tentang Tawaf: Kapan Sah dan Kapan Tidak Sah]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Seluruh masjid adalah tempat untuk tawaf. Siapa yang tawaf di dalam masjid, baik di luar area Zamzam dan Saqiyah, atau di belakang keduanya, atau di belakang tempat-tempat minum baru di masjid yang mengelilinginya sehingga orang yang tawaf berada di belakang semuanya, maka tawafnya sah karena dia berada di tempat tawaf. Kebanyakan orang yang tawaf terhalang oleh orang lain yang sedang tawaf atau shalat.
Jika seseorang keluar dari masjid lalu tawaf di belakangnya, maka tawafnya tidak dianggap karena dilakukan di luar tempat tawaf. Jika hal ini dibolehkan, maka tawaf di luar Haram atau di dalam Haram pun akan dibolehkan. Jika seseorang tawaf dengan terbalik, tawafnya tidak sah. Aku tidak mengira ada orang yang tawaf terbalik, karena pasti ada orang di sekitarnya yang akan mengingatkannya jika dia tidak tahu.
Jika seseorang tawaf dalam keadaan ihram dengan kewajiban tawaf, tetapi tidak berniat untuk tawaf wajib atau tawaf sunnah/nadzar, maka tawafnya tetap dianggap sebagai tawaf wajib. Demikian pula amalan haji atau umrah lainnya. Sebab jika dalam haji dan umrah boleh memulai dengan niat sunnah lalu menjadi wajib, maka dalam sebagian amalannya lebih utama untuk dianggap sah.
Jika seseorang tawaf sebagian lalu pingsan sebelum menyelesaikannya, kemudian diusung untuk menyelesaikan sisa tawafnya dalam keadaan tidak sadar, baik karena pingsan, gila, atau halangan lainnya, atau memulai tawaf dalam keadaan tidak sadar, maka tawafnya tidak sah sampai dia sadar selama seluruh tujuh putaran. Sebagaimana shalat tidak sah kecuali dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Jika seseorang tawaf dalam keadaan sadar lalu pingsan sebelum menyelesaikannya, kemudian siuman setelah itu, maka dia harus memulai wudhu dan tawafnya kembali, baik waktu yang tersisa dekat atau jauh. Jika seseorang tawaf dengan menunggang unta atau kuda, tawafnya sah. Banyak orang yang menggunakan jasa pengangkut agar lebih ringan bagi yang bersamanya dibandingkan menunggang unta atau kuda.
Jika seseorang tawaf mengenakan pakaian yang tidak boleh dipakai orang yang berihram, tawafnya tetap sah, tetapi dia wajib membayar fidyah untuk pakaian yang dikenakannya. Demikian pula jika tawaf dengan menutup wajah (niqab/burqa).
[Pasal tentang Perbedaan Pendapat dalam Tawaf Tanpa Bersuci]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian orang berpendapat bahwa tawaf tidak sah kecuali dalam keadaan suci, dan orang yang berumrah atau berhaji…
Jika seseorang melakukan tawaf wajib di Ka’bah dalam keadaan tidak berwudhu, ia diperintahkan untuk mengulanginya. Namun, jika ia sudah sampai di kampung halamannya, ia tidak diperintahkan untuk mengulang. Jika ia melakukan tawaf dalam keadaan junub, ia diperintahkan untuk kembali dari kampung halamannya jika memungkinkan. Sebagian ulama yang berpendapat demikian ditanya: “Apakah tawaf sebelum bersuci dianggap sah, seperti pendapat kami bahwa tidak boleh tawaf di Ka’bah kecuali orang yang boleh shalat, ataukah tawaf itu seperti dzikir dan amalan haji serta umrah selain tawaf?”
Dia menjawab: “Jika engkau berpendapat bahwa tawaf seperti shalat dan tidak sah kecuali dengan wudhu, maka orang junub dan yang tidak berwudhu sama saja, karena keduanya tidak suci dan tidak boleh shalat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata, “Benar.” Dia menjawab, “Maka aku tidak berpendapat demikian, tetapi aku berpendapat bahwa tawaf seperti amalan haji lainnya.” Aku bertanya, “Lalu mengapa engkau memerintahkan orang yang tawaf tanpa wudhu untuk mengulang tawaf, sementara engkau juga memerintahkannya untuk memulai tanpa wudhu?”
Dia menjawab, “Jika engkau berkata tidak perlu mengulang, maka engkau menyelisihi Sunnah.” Aku berkata, “Nabi ﷺ memerintahkan Aisyah untuk tidak tawaf di Ka’bah agar tidak masuk masjid dalam keadaan haid.”
Aku bertanya, “Apakah menurutmu orang musyrik dan orang junub boleh masuk Masjidil Haram?” Dia menjawab, “Aku tidak mengatakan itu, tetapi aku berpendapat bahwa tawaf seperti shalat dan tidak boleh kecuali dalam keadaan suci. Namun, orang junub lebih parah keadaannya daripada yang tidak berwudhu.” Aku bertanya, “Apakah engkau menemukan perbedaan antara keduanya dalam shalat?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Silakan berpendapat sesukamu, tetapi jangan sampai menyelisihi Sunnah dan pendapat mayoritas ulama. Karena tidak boleh tawaf di Ka’bah kecuali dalam keadaan suci, atau engkau harus mengatakan bahwa hanya orang suci yang boleh tawaf. Jika engkau tidak memerintahkannya untuk kembali, maka itu seperti orang yang tidak tawaf sama sekali, dan itu bertentangan dengan prinsip pendapatmu.”
### [Bab Kesempurnaan Amalan Tawaf]
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik dan Abdul Aziz bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah. Anas bin ‘Iyadh juga mengabarkan kepada kami dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau jika melakukan tawaf dalam haji atau umrah saat pertama kali tiba, beliau berlari-lari kecil tiga putaran di Ka’bah dan berjalan empat putaran, kemudian shalat dua rakaat, lalu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa tawaf di Ka’bah kurang dari tujuh putaran, meski hanya kurang satu langkah, maka tawafnya tidak sempurna. Jika setelah itu ia melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka statusnya seperti orang yang belum melakukan sa’i. Tidak sah sa’i antara Shafa dan Marwah kecuali setelah menyempurnakan tujuh putaran penuh di Ka’bah. Jika ia sedang umrah lalu pulang ke keluarganya, maka ia masih dalam keadaan ihram seperti semula. Ia harus kembali dan memulai tawaf tujuh putaran di Ka’bah serta sa’i tujuh putaran antara Shafa dan Marwah, kemudian bercukur atau memendekkan rambut. Jika ia sudah bercukur sebelumnya, maka wajib baginya menyembelih dam karena bercukur sebelum tahallul.
Aku tidak memberi keringanan untuk memutus tawaf di Ka’bah kecuali karena uzur, seperti jika shalat didirikan, maka ia shalat lalu melanjutkan tawaf dari tempat ia berhenti. Jika ia melanjutkan dari tempat yang tidak sesuai dengan titik berhentinya, maka tawaf itu batal dan tidak dihitung.
(Asy-Syafi’i berkata): Atau jika ia terjebak kerumunan lalu berhenti, itu tidak dianggap memutus tawaf. Atau jika ia lelah lalu beristirahat dengan duduk, itu juga tidak dianggap memutus tawaf. Jika wudhunya batal, ia keluar untuk berwudhu, dan lebih aku sukai jika ia memulai tawaf dari awal dan tidak melanjutkan. Ada juga yang berpendapat bahwa ia boleh melanjutkan dan itu sah selama tidak terlalu lama. Namun, jika terlalu lama, maka tidak sah kecuali memulai dari awal.
Tawaf tidak sah kecuali dilakukan di dalam masjid, karena masjid adalah tempat tawaf. Tawaf di dalam masjid tetap sah meskipun terhalang oleh sesuatu seperti wanita, sekelompok orang, tempat air, atau tiang masjid, selama tidak keluar dari masjid. Jika ia keluar lalu tawaf di luar, maka tawafnya tidak dihitung, sedikit atau banyak. Jika aku membolehkan tawaf di luar masjid, berarti aku juga membolehkan tawaf dari balik gunung selama tidak keluar dari tanah haram.
Jika ia keluar dari satu pintu masjid lalu masuk dari pintu lain, jika pintu yang dimasukinya sejajar dengan pintu yang ia keluar, maka tawafnya dihitung karena ia telah melewati tempat keluar tersebut.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tawaf dan Kembali pada Sebagiannya
Jika seseorang melakukan tawaf dan kembali mengulang sebagiannya, namun jika ia tidak menyelesaikannya, maka tawaf tersebut tidak dianggap sah.
[Bab Keraguan dalam Tawaf]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mencontohkan bagi orang yang ragu apakah telah shalat tiga atau empat rakaat, untuk menambah satu rakaat. Hal ini menunjukkan pengabaian keraguan dan membangun atas keyakinan. Demikian pula jika seseorang ragu dalam tawaf, ia harus melakukan seperti dalam shalat: mengabaikan keraguan dan membangun atas keyakinan, kecuali bahwa dalam tawaf tidak ada sujud sahwi atau kafarah.
(Imam Syafi’i berkata): Begitu pula jika seseorang ragu tentang wudhunya saat tawaf. Jika ia yakin telah berwudhu tetapi ragu apakah batal, tawafnya sah sebagaimana shalatnya sah. Namun, jika ia yakin telah batal tetapi ragu apakah sudah berwudhu, tawafnya tidak sah sebagaimana shalatnya tidak sah.
[Bab Tawaf dengan Pakaian Najis, Mimisan, Hadats, dan Membangun atas Tawaf]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang tawaf dengan pakaian najis, atau pada tubuh atau sandalnya terdapat najis, tawafnya tidak dianggap sah, sebagaimana shalat dalam kondisi demikian tidak sah. Ia dihukumi seperti orang yang belum tawaf. Ia harus melepas pakaian najis itu, membersihkan najis dari tubuhnya, lalu kembali dan memulai tawaf baru. Tidak cukup baginya bersuci kecuali dengan cara yang sah untuk shalat. Siapa yang tawaf di Ka’bah, statusnya seperti orang yang shalat dalam hal kesucian.
Jika ia mimisan atau muntah, ia harus pergi, membersihkan darah atau muntah, lalu kembali dan melanjutkan tawaf. Demikian pula jika ia terkena hadats, ia harus berwudhu terlebih dahulu, lalu kembali dan melanjutkan. Namun, lebih aku sukai jika ia memulai dari awal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang tawaf dengan kondisi yang tidak sah untuk shalat, lalu melakukan sa’i, ia harus mengulang tawaf dan sa’i. Sa’i tidak dianggap sah sebelum tawaf selesai. Jika ia pulang ke kampung halamannya, ia harus kembali untuk menyelesaikan tawaf dan sa’i dalam keadaan suci. Kesimpulannya, siapa yang tawaf tanpa kesucian sempurna pada diri dan pakaiannya, dianggap seperti belum tawaf.
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih memilih jika seseorang memutus tawaf dan lama tidak kembali, untuk memulai dari awal sebagai kehati-hatian. Namun, ada pendapat yang membolehkan jika ia tawaf hari ini dan besoknya, karena tawaf tidak terikat waktu.
[Bab Tawaf setelah Arafah]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada pada diri mereka), menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan melakukan tawaf di Baitul Atiq.” (QS. Al-Hajj: 29).
(Imam Syafi’i berkata): Ayat ini mungkin merujuk pada tawaf wada’, karena disebutkan setelah menghilangkan kotoran. Namun, mungkin juga merujuk pada tawaf setelah Mina, karena dilakukan setelah mencukur rambut, memakai pakaian biasa, dan memakai wewangian, yang merupakan bagian dari menghilangkan kotoran. Ini lebih sesuai dengan konteks, karena tawaf setelah Mina wajib bagi jamaah haji, dan ayat ini menjadi dalil kewajibannya. Wallahu a’lam. Tawaf wada’ tidak seperti ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ayat ini turun tentang tawaf setelah Mina, itu menunjukkan bolehnya memakai wewangian.
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Janganlah seseorang berangkat (dari Mekah) hingga akhir perjumpaannya adalah dengan Baitullah (tawaf wada’).”
Sufyan juga meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi memerintahkan orang-orang… (bersambung).
Terakhir perjumpaan mereka dengan Baitullah hanyalah bahwa beliau memberikan keringanan bagi wanita haid. Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, “Janganlah seorang pun dari jamaah haji berangkat pulang hingga akhir perjumpaannya adalah dengan Baitullah, karena akhir dari manasik adalah thawaf di Baitullah.”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat demikian. Dalam perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada wanita haid untuk berangkat sebelum melakukan thawaf wada’, terdapat petunjuk bahwa meninggalkan thawaf wada’ tidak merusak haji. Haji terdiri dari amalan-amalan yang terpisah, di antaranya ada yang jika tidak dikerjakan oleh jamaah haji akan merusak hajinya, yaitu ihram, berakal saat ihram, dan wukuf di Arafah. Jika salah satu dari ini ditinggalkan, hajinya tidak sah.
(Imam Syafi’i berkata): Di antara amalan haji, ada yang jika ditinggalkan, seseorang tidak terbebas dari seluruh ihramnya dan wajib baginya untuk mengerjakannya seumur hidup, yaitu thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah yang menghalalkannya kecuali dari wanita. Jika salah satunya ditinggalkan, ia harus kembali dari negerinya dan tetap dalam keadaan ihram dari wanita hingga menunaikannya. Ada juga amalan yang dikerjakan dalam waktu tertentu, jika waktu itu berlalu, tidak ada kewajiban atau pengganti baginya, tetapi wajib membayar fidyah, seperti mabit di Muzdalifah, bermalam di Mina, dan melempar jumrah. Ada pula amalan yang jika ditinggalkan lalu dikerjakan kembali, darah (fidyah) gugur, tetapi jika tidak dikerjakan, wajib membayar darah, seperti miqat dalam ihram. Demikian pula -Wallahu a’lam- thawaf wada’, karena keduanya adalah amalan yang diperintahkan bersamaan. Jika keduanya ditinggalkan, maka menurutku tidak terpisah dalam hal kewajiban fidyah bagi masing-masing, dengan qiyas pada Muzdalifah, jumrah, dan bermalam di Mina, karena itu adalah manasik yang ditinggalkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, “Barangsiapa lupa atau meninggalkan sesuatu dari manasiknya, hendaknya dia menyembelih darah (hewan kurban).” Jika ada yang bertanya, “Thawaf wada’ adalah thawaf yang diperintahkan, dan thawaf untuk tahallul dari ihram juga thawaf yang diperintahkan, keduanya adalah amalan yang tidak terikat waktu, kapan saja dikerjakan, sah. Mengapa engkau tidak mengqiyaskan thawaf dengan thawaf?” Dijawab dengan petunjuk dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang perbedaan antara keduanya, serta petunjuk yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya.
Jika ada yang bertanya, “Di mana petunjuknya?” Dijawab, ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan thawaf wada’ dan memberikan keringanan bagi wanita haid untuk berangkat tanpa thawaf wada’, maka kami menyimpulkan bahwa jika thawaf wada’ sama seperti thawaf tahallul dari ihram, tentu Rasulullah tidak akan memberikan keringanan bagi wanita haid untuk meninggalkannya. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya tentang Shafiyyah, “Apakah dia sudah thawaf setelah menyembelih?” Dijawab, “Sudah.” Beliau pun bersabda, “Maka hendaknya dia berangkat.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini menunjukkan kewajiban baginya untuk menetap demi thawaf setelah menyembelih, tetapi keringanan dalam thawaf wada’.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada keringanan dalam hal yang tidak menghalalkan orang yang berihram kecuali dengan melakukannya. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang thawaf setelah melempar jumrah, menyembelih, dan mencukur rambut, maka halal baginya (berhubungan dengan) wanita. Ketika wanita halal baginya, berarti dia telah keluar dari ihram haji dengan sempurna. Barangsiapa keluar dari ihram haji, apa yang ditinggalkannya setelah itu tidak merusak hajinya. Bagaimana mungkin merusak sesuatu yang sudah keluar darinya? Ini menjelaskan bahwa meninggalkan miqat tidak merusak haji, karena seseorang tetap dalam keadaan ihram meskipun melewati miqat, dan orang yang berada sebelum miqat boleh berniat ihram, itu sah baginya.
Yang merusak haji adalah meninggalkan sesuatu yang tidak sah kecuali dengan mengerjakannya. Namun, boleh sah bagi orang yang tahu untuk berniat ihram sebelum miqat jika mereka berada di bawah miqat. Ini juga menunjukkan bahwa meninggalkan mabit di Mina dan melempar jumrah tidak merusak haji.
[Bab: Wanita Haid Meninggalkan Thawaf Wada’]
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa dia berkata, “Shafiyyah haid setelah melakukan thawaf ifadhah. Aku memberitahu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang haidnya, lalu beliau bersabda, ‘Apakah dia menahan kita?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah…'”
Dia haid setelah melakukan ifadhah. Maka dia tidak perlu menunggu.” Malik mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa Shafiyah binti Huyai mengalami haid. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya, “Apakah dia akan menahan kita (tidak berangkat)?” Aku menjawab, “Dia sudah melakukan ifadhah, kemudian haid setelah itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, dia tidak perlu menunggu.”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa Shafiyah haid pada hari nahar. Aisyah menyampaikan haidnya kepada Nabi SAW, lalu beliau bertanya, “Apakah dia akan menahan kita?” Aku menjawab, “Dia sudah melakukan ifadhah, kemudian haid setelah itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, dia boleh berangkat.”
Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW menyebut Shafiyah binti Huyai. Dikatakan kepada beliau bahwa dia haid. Rasulullah SAW bersabda, “Mungkin dia akan menahan kita.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, dia sudah melakukan ifadhah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, dia tidak perlu menunggu.”
Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, Urwah berkata, Aisyah berkata, “Kami membicarakan hal itu, dan orang-orang tidak menunda keberangkatan wanita-wanita mereka jika itu tidak bermanfaat bagi mereka. Seandainya pendapat itu benar, tentu di Mina akan ada lebih dari enam ribu wanita yang haid.”
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Al-Hasan bin Muslim dari Thawus, dia berkata, “Aku bersama Ibnu Abbas ketika Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, ‘Apakah engkau berfatwa bahwa wanita haid boleh berangkat sebelum melakukan thawaf wada’?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya.’ Zaid berkata, ‘Jangan berfatwa seperti itu.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Jika tidak percaya, tanyalah fulanah Al-Anshariyah, apakah Rasulullah SAW memerintahkannya demikian?’ Zaid bin Tsabit pun kembali sambil tertawa dan berkata, ‘Aku tidak melihat kecuali engkau benar.'”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Husain, dia berkata, “Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit berbeda pendapat tentang wanita haid. Ibnu Abbas berkata, ‘Dia boleh berangkat.’ Zaid berkata, ‘Dia tidak boleh berangkat.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Tanyalah.’ Zaid pun bertanya kepada Ummu Sulaim dan teman-temannya. Setelah beberapa lama, Zaid kembali sambil tertawa dan berkata, ‘Pendapatmu benar.'”
Malik mengabarkan kepada kami dari Abur-Rijal Muhammad bin Abdurrahman dari ibunya, Amrah binti Abdurrahman, bahwa dia mengabarkan kepadanya, Aisyah, istri Nabi SAW, jika berhaji bersama wanita-wanita yang dikhawatirkan haid, beliau menyuruh mereka melakukan ifadhah pada hari nahar. Jika mereka haid setelah itu, beliau tidak menunggu mereka suci, tetapi berangkat bersama mereka dalam keadaan haid.
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah memerintahkan wanita-wanita untuk segera melakukan ifadhah karena khawatir haid.
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dan Ibrahim bin Maisarah dari Thawus, dia berkata, “Aku duduk bersama Ibnu Umar dan mendengarnya berkata, ‘Jangan ada yang berangkat sampai thawaf wada’.’ Aku berkata, ‘Kenapa dia? Apakah dia tidak mendengar apa yang didengar sahabat-sahabatnya?’ Tahun berikutnya, aku duduk bersamanya lagi dan mendengarnya berkata, ‘Mereka mengatakan bahwa ada keringanan bagi wanita haid.'”
(Asy-Syafi’i berkata), “Sepertinya Ibnu Umar –wallahu a’lam– mendengar perintah thawaf wada’ tetapi tidak mendengar keringanan bagi wanita haid, sehingga dia berpendapat seperti itu pada tahun itu. Begitulah seharusnya bagi orang yang mendengar satu ketentuan umum untuk berpendapat dengannya. Ketika dia mengetahui keringanan bagi wanita haid, dia menyebutkannya.”
Dia mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dia berkata, “Aisyah memberikan keringanan bagi wanita dalam tiga hal: (1) Wanita haid tidak perlu thawaf wada’ jika dia sudah ifadhah setelah ma’rifah (wukuf), kemudian haid sebelum berangkat. (2) Jika wanita sudah thawaf ifadhah yang menghalalkannya untuk suami, kemudian haid, dia boleh berangkat tanpa thawaf wada’ dan tidak ada dam. Jika dia suci sebelum berangkat, wajib thawaf wada’ seperti wanita lain yang tidak haid. (3) Jika dia keluar dari semua rumah di Mekkah sebelum suci, kemudian suci, dia tidak wajib thawaf wada’. Jika dia suci di dalam rumah, wajib thawaf wada’. Begitu juga jika dia melihat suci tetapi tidak menemukan air, wajib thawaf wada’ seperti wajib shalat. Jika dia mustahadhah, dia thawaf pada hari-hari dia shalat. Jika istihadhah baru mulai, kami katakan, ‘Tunggulah sampai tahu kadar haid dan istihadhahnya.’ Jika dia berangkat, lalu kami tahu hari keberangkatannya adalah hari suci, dia wajib dam karena meninggalkan thawaf wada’. Jika hari haid, tidak wajib dam.”
[Bab Larangan Berburu]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (QS. Al-Ma’idah: 96).
(Imam Syafi’i berkata): Laut adalah nama yang mencakup segala perairan yang luas dan banyak airnya. Jika ada yang berkata, “Laut yang dikenal adalah air asin,” maka jawabannya, “Ya, tetapi air tawar juga termasuk di dalamnya, sebagaimana dikenal oleh orang Arab.” Jika ada yang bertanya, “Apakah ada dalil dalam Kitabullah tentang hal ini?” Jawabannya, “Ya.” Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dan tidak sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12).
Dalam ayat ini terdapat dua penjelasan:
- Bahwa laut mencakup air tawar dan asin.
- Bahwa buruan keduanya disebutkan secara umum.
Maka, segala yang ditangkap di air tawar atau laut, sedikit atau banyak, berupa hewan yang hidup di air, halal bagi orang yang berihram, dan halal pula menangkapnya meski di tanah haram karena hukumnya sama seperti buruan laut yang halal bagi orang yang berihram tanpa perbedaan.
Orang yang diperintahkan untuk menghalalkan buruan laut dan makanannya memahami bahwa yang dihalalkan adalah segala yang hidup di laut, termasuk yang hidup di airnya, karena buruan dan makanannya menurut kami adalah apa yang terambil atau mengapung di atasnya. Wallahu a’lam. Ayat ini tidak mungkin dipahami kecuali dengan makna ini, atau makanannya berupa hewan yang hidup di dalamnya dan mudah ditangkap tanpa usaha berat seperti berburu, sehingga termasuk dalam keumuman ayat. Wallahu a’lam.
Jika ada yang bertanya, “Adakah hadis yang mendukung hal ini?” Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia ditanya tentang buruan sungai dan air yang tergenang, “Bukankah itu termasuk buruan laut?” Ia menjawab, “Ya,” lalu membaca ayat,
“Yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12).
Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa seseorang bertanya kepada ‘Atha’ tentang ikan di kolam Al-Qashri—sebuah sumur besar di tanah haram—”Bolehkah ditangkap?” Ia menjawab, “Ya, dan aku ingin kita memilikinya.”
—
[Bab Asal Hewan yang Boleh dan Dilarang Dibunuh bagi Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i berkata): Allah -Azza wa Jalla- menyebutkan buruan laut secara global dan terperinci. Penjelasan dalam Kitabullah menunjukkan makna yang global dengan penjelasan yang terang. Wallahu a’lam.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (QS. Al-Ma’idah: 96).
Ketika Allah menetapkan kehalalan buruan laut dan keharaman buruan darat selama ihram, ini menunjukkan bahwa yang diharamkan adalah hewan yang halal dimakan sebelum ihram. Karena, tidak mungkin yang diharamkan khusus saat ihram kecuali yang sebelumnya halal. Adapun yang haram bagi orang yang tidak ihram, keharaman pertama sudah mencukupi.
Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga mendukung pendapat ini, meski sudah jelas dalam ayat. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan dari Sufyan dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Lima hewan yang tidak berdosa membunuhnya, baik di tanah halal maupun haram: burung gagak, elang, tikus, kalajengking, dan anjing buas.”
—
[Bab Membunuh Binatang Buruan secara Tidak Sengaja]
(Imam Syafi’i berkata): Allah -Tabaraka wa Ta’ala- berfirman,
“Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa membunuhnya dengan sengaja…” (QS. Al-Ma’idah: 95).
(Imam Syafi’i berkata): Kafarat berlaku bagi yang membunuh binatang buruan, baik sengaja maupun tidak. Jika ada yang bertanya, “Mengapa kafarat diwajibkan dalam ayat ini bagi pemburu yang sengaja?”
Dengan sengaja, bagaimana mungkin kamu mewajibkan atas pembunuh yang tidak disengaja? Dikatakan kepadanya, “Insya Allah: Kewajiban membayar denda atas pemburuan yang disengaja tidak menghalangi kewajiban yang sama atas pembunuhan yang tidak disengaja.” Jika ada yang bertanya, “Jika kamu mewajibkannya untuk kesengajaan berdasarkan Al-Qur’an, dari mana kamu mewajibkan denda untuk ketidaksengajaan?” Dijawab, “Aku mewajibkannya untuk ketidaksengajaan berdasarkan qiyas (analogi) dari Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ (konsensus ulama).”
Jika dia bertanya, “Di mana qiyas dari Al-Qur’an?” Dijawab, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang pembunuhan tidak sengaja:
‘Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka (kewajibannya) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya.’ (QS. An-Nisa’: 92)
Dan firman-Nya:
‘Jika korban itu dari kaum yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (kewajibannya) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.’ (QS. An-Nisa’: 92)
Karena jiwa manusia dilindungi oleh Islam dan perjanjian, maka Allah mewajibkan diat dan memerdekakan budak untuk pembunuhan tidak sengaja. Begitu pula buruan saat ihram dilindungi berdasarkan firman Allah:
‘Dan diharamkan atasmu (menangkap) buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.’ (QS. Al-Maidah: 96)
Allah telah menetapkan hukum bagi yang membunuh buruan dengan sengaja, yaitu membayar ganti yang setara. Larangan dalam Al-Qur’an bersifat mutlak dan umum untuk semua jenis buruan. Dan pemilik yang wajib membayar ganti adalah ahli Haram, berdasarkan firman Allah:
‘Dengan membawa hadyu (hewan kurban) yang sampai ke Ka’bah.’ (QS. Al-Maidah: 95)
Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslim bahwa segala sesuatu yang dilarang untuk dirusak—baik jiwa manusia, burung, hewan, atau lainnya yang boleh dimiliki—jika seseorang merusaknya dengan sengaja, maka dia wajib membayar ganti kepada pemiliknya. Begitu pula jika merusaknya tanpa sengaja, hanya bedanya dosa pada kesengajaan.
Karena hal ini demikian, dan ada contoh serupa lainnya, maka seluruh buruan diharamkan dalam kitab Allah. Allah berfirman:
‘Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.’ (QS. Al-Maidah: 96)
Karena seluruh buruan haram saat ihram, dan Allah telah menetapkan hukum adil bagi sebagiannya dengan membayar hadyu ke Ka’bah, maka demikian pula semua yang dilarang diburu saat ihram—tidak dibedakan, sebagaimana Muslim tidak membedakan antara denda untuk hal yang dilarang (terkait jiwa dan harta) dalam kesengajaan dan ketidaksengajaan.
Jika ada yang bertanya, “Siapa yang sependapat denganmu dalam hal ini?” Dijawab, “Hujjah (argumen) adalah apa yang telah kujelaskan, dan itu cukup bagi kami. Sebelum kami, ada juga yang berpendapat demikian.”
Jika dia berkata, “Sebutkan!”
Aku berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij, aku berkata kepada ‘Atha’ tentang firman Allah:
‘Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja…’ (QS. Al-Maidah: 95)
Aku bertanya kepadanya, “Jika ada yang membunuhnya tanpa sengaja, apakah dia tetap wajib membayar denda?” Dia menjawab, “Ya, untuk mengagungkan larangan-larangan Allah, dan Sunnah telah menetapkannya.”
Telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar, dia berkata, “Aku melihat orang-orang membayar denda untuk ketidaksengajaan.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apakah ada dalil yang lebih kuat dari ini?” Dijawab, “Ada yang mengandung makna serupa, tetapi juga bisa ditafsirkan berbeda.”
Jika dia bertanya, “Apa itu?”
Aku berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdul Malik bin Qarib.
(Asy-Syafi’i berkata): Bisa jadi mereka menginjak biawak tanpa sengaja, atau sengaja menginjaknya.
Seseorang bertanya kepadaku, “Adakah yang menyelisihi pendapatmu dalam hal ini?”
Aku jawab, “Ya.”
Dia berkata, “Sebutkan!”
Aku berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sa’id dari Ibnu Juraij, bahwa Mujahid berkata:
“Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, tidak lupa keharamannya, dan tidak bermaksud selain itu, maka dia telah melanggar dan tidak ada keringanan baginya. Tetapi jika dia membunuhnya karena lupa keharamannya atau bermaksud selain itu, maka itu termasuk kesengajaan yang bisa ditebus dengan menyembelih hewan.”
Dia bertanya, “Apa maksud ‘dia telah melanggar’?”
Aku jawab, “Aku menduga dia mengarah pada ‘melanggar hukuman Allah’.”
Dia bertanya lagi, “Apakah maksudnya ‘bebas dari ihram’?”
Aku jawab, “Tidak, sepengetahuanku tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah.”
Dia bertanya, “Apa kesimpulan pendapatnya tentang buruan?”
Aku jawab, “Dia berpendapat bahwa kesengajaan murni tidak bisa ditebus, sedangkan kesengajaan yang tercampur ketidaksengajaan bisa ditebus.”
Dia berkata, “Jelaskan maksudnya!”
Aku jawab, “Dia berpendapat bahwa jika seseorang sengaja membunuh buruan tetapi lupa sedang ihram, maka ada unsur ketidaksengajaan karena lupa ihram. Jika dia sengaja membidik yang lain tetapi mengenai buruan, maka itu juga termasuk ketidaksengajaan.”
Kesalahan dari pihak perbuatan yang menyebabkan pembunuhan, Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid mengenai firman-Nya {Dan barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja} [QS. Al-Maidah: 95], yaitu membunuh karena lupa akan keharamannya, maka itu yang dihukum. Sedangkan barangsiapa membunuhnya dengan sengaja karena ingat akan keharamannya, tidak dihukum. Atha’ berkata: “Dia dihukum.” Atha’ juga mengatakan: “Kami mengambil pendapat ini.”
Jika ada yang bertanya: “Apakah ada yang berbeda pendapat dengan dua mazhab ini?” Aku jawab: “Ya.” Sebagian ulama lain berpendapat: “Dihukum bagi yang membunuh dengan sengaja, dan tidak dihukum bagi yang membunuh karena tidak sengaja dalam keadaan apa pun.”
[Bab Orang yang Mengulangi Memburu Satwa]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa membunuh satwa lalu dihukum, kemudian mengulangi membunuh satwa lain, maka dia dihukum setiap kali mengulanginya selamanya. Jika ada yang bertanya: “Dari mana engkau mengambil pendapat ini?” Aku jawab: “Jika dia telah wajib dihukum karena merusak yang pertama, maka wajib pula dihukum karena merusak yang kedua dan seterusnya, sebagaimana jika dia membunuh seorang manusia, dia wajib membayar diyat, dan jika membunuh manusia lain setelahnya, dia wajib membayar diyat lagi untuk setiap jiwa. Seperti pula jika dia merusak barang seseorang, lalu merusak barang orang lain, kemudian merusak banyak barang setelahnya, dia wajib membayar nilai kerusakan dalam setiap keadaan.”
Jika ada yang bertanya: “Lalu bagaimana dengan firman Allah -‘Azza wa Jalla- {Dan barangsiapa mengulangi, maka Allah akan membalasnya} [QS. Al-Maidah: 95]? Bukankah ini menunjukkan bahwa dia tidak dihukum?”
(Imam Syafi’i menjawab): “Menurut pengetahuanku, ini tidak menunjukkan hal itu.” Jika ada yang bertanya: “Lalu apa maknanya?” Dijawab: “Allah lebih tahu maknanya. Namun, yang mendekati maknanya -wallahu a’lam- adalah bahwa dengan mengulangi, dia berhak mendapat balasan, dan balasan itu bisa dalam berbagai bentuk, di dunia berupa harta atau di akhirat berupa neraka.”
Jika ada yang bertanya: “Apakah engkau menemukan dalil lain yang mendukung pendapatmu selain ayat ini atau yang serupa?” Dijawab: “Ya, Allah berfirman -Ta’ala-: {Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain bersama Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan demikian, niscaya dia akan mendapat hukuman, azab dilipatgandakan baginya pada hari Kiamat, dan dia akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina} [QS. Al-Furqan: 68-69].”
Allah menetapkan hukuman mati bagi orang kafir dan pembunuh dengan sengaja. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan pengampunan bagi pembunuh dengan diyat jika diinginkan oleh wali korban. Allah juga menetapkan hukuman had bagi pezina. Ketika Allah mewajibkan balasan dengan melipatgandakan azab di akhirat kecuali jika mereka bertaubat, dan menetapkan hukuman had bagi pezina, ini menunjukkan bahwa balasan di akhirat tidak menghapus hukum di dunia.
Allah -Tabaraka wa Ta’ala- berfirman: {Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali} [QS. An-Nur: 2]. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setiap kali mereka berzina setelah dihukum, mereka harus didera lagi. Hak atas mereka dalam zina berikutnya sama seperti zina pertama. Seandainya harus dibedakan, maka zina berikutnya atau pembunuhan berikutnya lebih pantas untuk tidak diabaikan.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengabaikannya dengan alasan itu adalah dosa sengaja? Bukankah pembunuhan satwa pertama kali dengan sengaja sudah berdosa, lalu bagaimana dia dihukum?”
Aku jawab: “Allah -Ta’ala- telah menetapkan hukum atasnya. Jika seperti pendapatmu, seharusnya dia tidak dihukum sejak awal karena dosa sengaja. Jika pembunuhan pertama dianggap dosa sengaja, maka yang kedua juga sama.”
Jika ada yang bertanya: “Apakah ada yang sependapat denganmu selain dirimu?” Dijawab: “Ya.” Jika diminta menyebutkannya, aku katakan: “Sa’id mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Jabir dari Hammad dari Ibrahim, bahwa dia berkata tentang seorang muhrim yang membunuh satwa dengan sengaja: ‘Dia dihukum setiap kali membunuh.'”
Jika ada yang bertanya: “Lalu bagaimana dengan firman Allah -‘Azza wa Jalla- {Allah telah memaafkan apa yang telah lalu, dan barangsiapa mengulangi, maka Allah akan membalasnya} [QS. Al-Maidah: 95]?” Dijawab: “Allah lebih tahu maksudnya. Adapun Atha’ bin Abi Rabah berpendapat bahwa {Allah telah memaafkan apa yang telah lalu} [QS. Al-Maidah: 95] adalah untuk perbuatan di masa Jahiliyah, sedangkan barangsiapa mengulangi dalam Islam setelah diharamkan, yaitu membunuh satwa sekali, maka Allah akan membalasnya.”
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah -‘Azza wa Jalla- {Allah telah memaafkan apa yang telah lalu} [QS. Al-Maidah: 95], dia menjawab: ‘Allah telah memaafkan.'”
Allah mengabaikan apa yang terjadi di masa jahiliyah. Aku bertanya tentang firman-Nya, “Dan barangsiapa kembali (melanggar), maka Allah akan membalasnya.” (QS. Al-Maidah: 95). Dia berkata, “Barangsiapa kembali (melanggar) dalam Islam, maka Allah akan membalasnya, dan dia wajib menambah kafarah.” Aku bertanya, “Jika dia sengaja, apakah tetap wajib kafarah?” Dia menjawab, “Tidak ada hukuman tertentu yang diketahui untuk pelanggaran berulang.” Aku bertanya lagi, “Apakah Imam berhak menghukumnya?” Dia menjawab, “Tidak, itu adalah dosa antara dia dan Allah Ta’ala, dan dia harus menebusnya.”
(Imam Syafi’i berkata): Imam tidak menghukumnya karena dosa ini telah ditetapkan tebusannya, kecuali jika dia sengaja melakukannya dengan meremehkan.
[Bab Di Mana Tempat Hewan Kurban untuk Perburuan?]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) dengan membawa kurban ke Ka’bah.” (QS. Al-Maidah: 95). Setiap hewan yang dimaksudkan sebagai kurban dari kepemilikan manusia adalah kurban, dan semua hewan kurban harus disembelih di Mekah. Allah Maha Mengetahui. Jika ada yang tidak mengetahui hal ini, seharusnya tidak samar baginya bahwa jika hewan buruan diganti dengan hewan ternak, penggantiannya hanya sah jika dilakukan di Mekah. Ini menunjukkan bahwa Mekah adalah tanah Allah yang paling suci dan paling utama untuk dijaga dari pertumpahan darah, kecuali yang telah dipahami dari ketentuan Allah bahwa (kurban itu) untuk orang-orang miskin di Mekah. Jika kita memahami dari Allah bahwa tebusan buruan adalah makanan, maka tidak sah—Allah Maha Mengetahui—kecuali di Mekah. Sebagaimana kita pahami dari Allah tentang penyebutan kesaksian dalam dua tempat di Al-Qur’an dengan keadilan, dan di tempat lain tanpa penyebutan keadilan, namun semua kesaksian tetap harus adil. Kami tidak berpendapat bahwa tempat yang tidak disebutkan keadilan berarti boleh tidak adil. Jika seseorang memberi makan sebagai tebusan buruan di luar Mekah, tidak sah, dan dia harus mengulanginya di Mekah atau Mina—karena Mina termasuk wilayah Haram. Hal yang sama berlaku untuk semua kafarah yang wajib bagi orang yang berihram, baik karena melanggar larangan, memakai wewangian, pakaian, atau lainnya, karena semuanya terkait dengan ibadah haji, dan manfaatnya untuk orang miskin di Haram.
(Imam Syafi’i berkata): Orang miskin yang hadir di Ka’bah saat kurban atau makanan sampai boleh menerimanya, baik penduduk setempat atau orang asing, karena mereka diberi karena keberadaannya di sana. Jika jumlahnya sedikit, boleh memberi sebagian saja, baik orang asing atau penduduk Mekah, atau mencampur keduanya. Bahkan jika lebih mengutamakan penduduk Mekah karena mereka lebih dekat dan menetap, itu lebih baik. Allah Maha Mengetahui. Jika ada yang bertanya, “Apakah ada ulama yang berpendapat demikian?” Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij, aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah, “Maka tebusannya ialah mengganti dengan hewan ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, dengan membawa kurban ke Ka’bah, atau membayar kafarah dengan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Maidah: 95). Atha’ berkata, “Karena dia melanggar di tanah haram dekat Ka’bah, maka kafarahnya harus di dekat Ka’bah.”
Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa Atha’ juga berkata, “Orang yang memburu di Mekah harus bersedekah.” Allah berfirman, “Dengan membawa kurban ke Ka’bah.” (QS. Al-Maidah: 95). Atha’ berkata, “Hendaknya dia bersedekah di Mekah.”
(Imam Syafi’i berkata): Atha’ maksudnya seperti yang aku jelaskan tentang makanan dan hewan kurban, semuanya adalah kurban. Allah Maha Mengetahui.
[Bab Bagaimana Mengganti dengan Puasa]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): “Atau menggantinya dengan puasa.” (QS. Al-Maidah: 95). Diriwayatkan dari Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa…
Dia bertanya kepada Atha tentang firman-Nya {atau menggantinya dengan puasa} [Al-Maidah: 95]. Atha menjawab, “Jika seseorang mendapatkan sesuatu yang setara dengan seekor kambing atau lebih, maka seekor kambing disembelih sebagai makanan, kemudian untuk setiap mud (takaran) diganti dengan berpuasa satu hari.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Ini, insya Allah, seperti yang dikatakan Atha, dan itulah pendapatku. Begitu pula dengan unta jika diwajibkan, dan begitu pula dengan satu mud jika diwajibkan sebagai nilai dari hasil buruan, maka dia berpuasa satu hari sebagai gantinya. Jika hasil buruan nilainya lebih dari satu mud tetapi kurang dari dua mud, dia berpuasa dua hari. Demikian pula, untuk setiap yang tidak mencapai satu mud, dia berpuasa satu hari sebagai gantinya. Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha makna ini.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada yang bertanya, ‘Dari mana engkau mengatakan bahwa satu mud diganti dengan puasa satu hari, dan setiap tambahan yang tidak mencapai mud berikutnya diganti dengan puasa satu hari?’ Aku menjawab, ‘Aku mengatakannya berdasarkan pemahaman dan qiyas.’ Jika dia bertanya lagi, ‘Di mana letak qiyas dan pemahamannya?’ Aku menjawab, ‘Bagaimana pendapatmu jika seseorang membunuh belalang, dia tidak boleh meninggalkan sedekah dengan nilai buah atau sesuap makanan, karena itu diharamkan dan tetap berlaku meskipun nilainya kecil. Kemudian ditetapkan nilainya, lalu jika dia ingin berpuasa, apakah dia menemukan puasa yang sah kurang dari satu hari?’ Jika dia menjawab, ‘Tidak,’ maka aku katakan, ‘Dari situlah kami memahami bahwa minimal puasa yang wajib adalah satu hari. Kami juga memahami dan mengqiyaskan bahwa talak jika tidak terbagi, lalu seseorang menalak sebagian talak, maka talak satu kali tetap berlaku. Kami juga memahami bahwa iddah budak perempuan adalah setengah iddah perempuan merdeka, tetapi haid tidak terbagi menjadi dua, sehingga kami menetapkan iddahnya dua kali haid.'”
Bab Perbedaan Pendapat tentang Pengganti Puasa dan Makanan
Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami, dia berkata (Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian orang berkata kepadaku, ‘Jika seseorang berpuasa sebagai ganti membayar denda hasil buruan, dia berpuasa satu hari untuk setiap mud. Tetapi jika dia memberi makan dalam kafarat sumpah, dia memberi setiap orang miskin dua mud.’ Dia bertanya, ‘Apakah engkau meriwayatkan sesuatu dari sahabatmu yang sesuai dengan pendapat kami dan bertentangan dengan pendapatmu?’ Aku menjawab, ‘Ya, Sa’id menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Mujahid pernah berkata, ‘Untuk setiap dua mud, diganti dengan puasa satu hari.'” Dia bertanya lagi, ‘Mengapa engkau tidak mengambil pendapat Mujahid dan mengambil pendapat Atha tentang memberi makan satu mud di tempat yang diwajibkan, kecuali dalam fidyah melanggar larangan ihram, di mana engkau mengatakan dua mud? Mengapa tidak engkau katakan dua mud di semua tempat?'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menjawab, ‘Jawaban untuk kedua pertanyaanmu bisa disatukan, insya Allah.’ Dia berkata, ‘Jelaskan.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Prinsip yang kami, engkau, dan para ahli fikih sepakati adalah kewajiban untuk tidak berkata kecuali berdasarkan ilmu, dan mengetahui bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya berasal dari dua aspek yang menyatu, yaitu bersifat ta’abbudi (ibadah). Dalam ta’abbudi ada dua jenis: pertama, ta’abbudi untuk perintah yang Allah atau Rasul-Nya jelaskan sebabnya, baik dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Itulah yang kami pegang dan kami qiyaskan pada makna serupa. Kedua, ta’abbudi untuk sesuatu yang Allah kehendaki, yang kita ketahui hukumnya tetapi tidak mengetahui penjelasannya dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Kami menunaikan kewajiban dengan mengikuti dan berpegang padanya, dan kami tidak menemukan makna untuk diqiyaskan. Kami hanya mengqiyaskan apa yang kami ketahui, dan kami tidak memiliki ilmu selain yang Allah berikan.”
“Ini semua seperti yang kujelaskan. Aku belum mendengar seorang pun dari ahli takshif (pembuka rahasia) yang mengatakan selain ini. Tunjukkan padaku sesuatu yang aku pahami, karena sahabat-sahabat kami menerima prinsip ini tanpa menyimpang sedikit pun, meskipun pendapat mereka berbeda dalam penerapannya.” Aku berkata, “Terimalah yang benar dari mereka dan tolaklah kelalaian mereka.” Dia berkata, “Itu wajib bagiku, tetapi manusia tidak lepas dari kelalaian yang panjang. Berikan contoh untuk apa yang kaukatakan.”
Aku berkata, “Bagaimana pendapatmu ketika Rasulullah ﷺ menetapkan diyat untuk janin berupa ghurrah (harta tertentu)? Kami dan engkau sepakat nilainya lima puluh dinar. Padahal, jika janin itu hidup, diyatnya seribu dinar, dan jika mati, tidak ada diyat. Janin tidak mungkin tidak dalam keadaan hidup atau mati, tetapi hukumnya tersembunyi.”
Makna dapat mencakup kehidupan dan kematian. Jika makna itu diabaikan, apakah kita bisa mengkiaskannya dengan sesuatu yang dibungkus atau seorang pria di rumah yang di dalamnya terdapat kemungkinan kematian dan kehidupan, sementara keduanya tersembunyi maknanya?
Dia menjawab: “Tidak.”
Aku bertanya: “Dan kita tidak mengkiaskan sesuatu pun dari darah padanya?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Aku bertanya: “Mengapa?”
Dia menjawab: “Karena kita diperintahkan untuk taat kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam hal ini, dan kita tidak mengetahui alasan di balik hukum yang beliau tetapkan.”
Aku berkata: “Demikian pula yang kami katakan tentang mengusap khuf (sepatu kulit). Tidak boleh diqiyaskan padanya sorban, penutup wajah, atau sarung tangan.”
Dia menjawab: “Benar, karena dalam hal ini ada kewajiban wudhu, dan khuf secara khusus disebutkan. Ini adalah bentuk ibadah yang tidak bisa diqiyaskan.”
Aku berkata: “Kita berdua pernah mengqiyaskan ketika Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menetapkan bahwa kharaj (pajak tanah) menjadi tanggungan pembeli, lalu kita menyamakan pelayanan seperti kharaj.”
Dia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Karena kita tahu bahwa kharaj muncul setelah kepemilikan pembeli dan menjadi tanggungannya, sementara transaksi jual beli tidak mencakup itu.”
Dia menjawab: “Benar.”
Dan dalam hal ini cukup sebagai penjelasan dari apa yang kuinginkan serta petunjuk bahwa ada sunnah yang bisa diqiyaskan dan ada yang tidak. Demikian pula qasamah (sumpah dalam kasus pembunuhan), tidak bisa diqiyaskan dengan yang lain.
Tetapi beritahukanlah kepadaku tentang alasan mengapa engkau memilih bahwa setiap orang miskin diberi satu mud, kecuali dalam fidyah karena melanggar (seperti mencukur rambut saat ihram), di mana jika seseorang tidak berpuasa, maka dia boleh menggantinya dengan berpuasa sehari untuk setiap mud. Jika engkau berpegang bahwa satu mud itu sah, aku tidak akan menanyakanmu kecuali dalam hal yang kau katakan bahwa puasa sehari menggantikan memberi makan satu orang miskin.
Aku berkata kepadanya: “Allah—’azza wa jalla—telah menetapkan hukum bagi orang yang berzhihar (menyamakan istri dengan mahramnya) yang kembali (ke istrinya):
‘Maka (wajib baginya) memerdekakan seorang budak sebelum mereka berdua bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin.’ (QS. Al-Mujadilah: 3-4).”
Maka masuk akal bahwa menahan diri dari makan selama enam puluh hari sama dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Dengan makna ini, aku berpendapat bahwa memberi makan satu orang miskin menggantikan puasa sehari.
Dia bertanya: “Apakah ada dalil selain ini?”
Aku menjawab: “Ya. Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah bertanya kepada seorang yang berjima’ dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan:
‘Apakah engkau memiliki budak untuk dimerdekakan?’
Dia menjawab: ‘Tidak.’
Beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’
Dia menjawab: ‘Tidak.’
Beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’
Dia menjawab: ‘Tidak.’
Lalu beliau memberinya satu ‘araq (kurma) dan menyuruhnya untuk bersedekah kepada enam puluh orang miskin.”
Dalam hadits itu disebutkan bahwa satu ‘araq berisi lima belas sha’—atau dua puluh sha’. Dan diketahui bahwa satu ‘araq biasanya dihitung lima belas sha’, sehingga wasaq (ukuran besar) menjadi empat. Dari sini, kami berpendapat bahwa memberi makan satu orang miskin adalah satu mud makanan, dan sebagai gantinya adalah puasa sehari.
Dia berkata: “Mengenai puasa sehari sebagai ganti memberi makan satu orang miskin, itu seperti yang kau katakan. Tetapi jika dikatakan satu ‘araq adalah dua puluh sha’, maka itu berarti satu setengah mud untuk setiap orang miskin.”
Aku bertanya: “Mengapa engkau tidak berpendapat demikian?”
Dia menjawab: “Pernahkah engkau mendengar seseorang mengatakan selain satu mud atau dua mud?”
Aku menjawab: “Tidak.”
Dia berkata: “Jika seperti yang kau katakan, maka engkau telah menyelisihi pendapat itu. Tetapi ini adalah kehati-hatian dari ahli hadits, sebagaimana yang kau katakan bahwa satu ‘araq adalah lima belas sha’.”
Dan berdasarkan itu, beberapa ulama dari Yaman memberitahuku bahwa mereka menggunakan ‘araq sebagai takaran seperti mud, dengan perhitungan lima belas sha’ kurma.
Dia berkata: “Engkau telah menyatakan bahwa kafarat dalam makanan dan hubungan suami-istri adalah ibadah yang telah diketahui. Jelaskan bahwa kafarat dalam fidyah pelanggaran dan lainnya adalah ibadah yang tidak bisa diqiyaskan.”
Aku berkata: “Bukankah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah berkata kepada Ka’b bin ‘Ujrah:
‘Memberi makan satu farq (tiga sha’) untuk enam orang miskin,’
yang berarti dua mud untuk setiap orang?”
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Dan beliau bersabda: ‘Atau berpuasa tiga hari.'”
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Dan beliau bersabda: ‘Atau menyembelih seekor kambing.'”
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Jika kita mengqiyaskan makanan dengan puasa, bukankah kita akan mengatakan bahwa puasa sehari menggantikan memberi makan dua orang miskin?”
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Dan jika kita mengqiyaskan kambing dengan puasa, maka seekor kambing setara dengan puasa tiga hari?”
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Allah—’azza wa jalla—berfirman tentang orang yang melakukan tamattu’:
‘Maka wajib berkorban dengan hewan yang mudah didapat. Tetapi jika tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari selama haji dan tujuh hari setelah kembali.’ (QS. Al-Baqarah: 196).”
Maka pengganti satu kambing adalah puasa sepuluh hari.
Dia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Allah—’azza wa jalla—berfirman:
‘Maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.’ (QS. Al-Maidah: 89).”
Maka memerdekakan budak menggantikan memberi makan sepuluh orang miskin.
Dia menjawab: “Benar.”
Aku berkata: “Dan memerdekakan budak dalam zhihar dan pembunuhan menggantikan puasa enam puluh hari.”
Dia menjawab: “Benar.”
Dan telah jelas bahwa puasa enam puluh hari lebih dekat kepada memerdekakan budak daripada puasa sepuluh hari. Juga telah jelas bagiku bahwa puasa sehari lebih tepat diqiyaskan dengan memberi makan satu orang miskin daripada dua orang, karena puasa sehari berarti menahan lapar sehari, dan memberi makan satu orang miskin adalah memberi makan sehari. Maka satu hari dengan satu hari lebih tepat diqiyaskan daripada dua hari dengan satu hari. Dan lebih jelas bahwa itu lebih utama.
Perkara-perkara dengan perbandingan, dia berkata: “Apakah ada riwayat yang lebih tinggi dari perkataan ‘Atha’?”
Aku menjawab: “Ya, Malik telah mengabarkan kepada kami.” (Asy-Syafi’i berkata): Dia bertanya lagi: “Apakah ada orang lain di daerahmu yang menyelisihimu dalam hal ini?”
Aku menjawab: “Ya, sebagian dari mereka mengklaim bahwa kafarat itu dengan takaran Nabi ﷺ, kecuali kafarat zhihar yang menggunakan takaran Hisyam.”
Dia berkata: “Mungkin takaran Hisyam itu dua mud, sehingga maksudnya sesuai dengan pendapat kami (dua mud), tetapi takaran Hisyam dijadikan patokan.”
Aku berkata: “Tidak, takaran Hisyam adalah satu mud sepertiga dari takaran Nabi ﷺ atau satu setengah mud.” (Asy-Syafi’i berkata):
Dia lalu berkata: “Maka orang yang sudah memahami masalah ini tidak memerlukan pendapat seperti itu—jika memang seperti yang kau jelaskan—karena tidak perlu mengulang atau menjelaskan lagi. Bagaimana mungkin ada yang berpendapat bahwa kafarat itu dengan takaran yang berbeda-beda?”
“Bagaimana pendapatmu jika ada yang mengatakan bahwa kafarat itu dengan takaran yang lebih besar beberapa kali lipat dari takaran Hisyam, sedangkan makanan (kafarat) dengan takaran Nabi ﷺ, dan selain itu dengan takaran baru yang lebih besar dari takaran Hisyam? Atau bagaimana pendapatmu tentang kafarat yang diturunkan kepada Nabi ﷺ, bagaimana mungkin diukur dengan takaran seseorang yang ayahnya bahkan belum lahir, atau mungkin kakeknya belum lahir di zaman Nabi ﷺ? Orang-orang hanya mengatakan bahwa itu dua mud dengan takaran Nabi ﷺ atau satu mud dengan takaran Nabi ﷺ. Lalu dari mana muncul takaran dan pecahan lainnya?”
“Ini adalah penyimpangan dari pendapat ahli fikih tentang kafarat.” (Asy-Syafi’i berkata):
Aku berkata kepadanya: “Sebagian orang di daerah kami juga berpendapat bahwa kafarat bagi selain penduduk Madinah lebih besar daripada penduduk Madinah, karena makanan di daerah mereka lebih melimpah dibanding di Madinah.”
Dia bertanya: “Apa jawabanmu kepada orang yang mengatakan ini?”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku menjawab: “Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang yang mengonsumsi biji-bijian pahit, atau yang hanya makan susu, atau yang makan buah hanzhal (pahit), atau yang hanya makan ikan, atau di mana harga makanan di daerah mereka jauh lebih mahal daripada di Madinah? Bagaimana mereka membayar kafarat? Menurut pendapat mereka, seharusnya kafarat mereka lebih ringan daripada penduduk Madinah. Dan bagaimana dengan orang yang membayar kafarat dengan biji-bijian (dahn), yang dimakan sebagian orang saat paceklik?”
“Seharusnya, jika harga di Madinah lebih murah daripada di suatu daerah, maka orang yang membayar kafarat di saat harga mahal di daerahnya harus membayar kafarat lebih sedikit daripada penduduk Madinah—jika alasannya adalah karena harga di Madinah murah.”
Lalu dikatakan kepadanya: “Pernahkah kamu melihat kewajiban dari Allah yang diringankan untuk seseorang, atau berbeda-beda dalam shalat, zakat, hudud, atau lainnya?”
(Asy-Syafi’i berkata):
Aku berkata: “Maka tidak pantas untuk membantah pendapat orang yang mengatakan ini.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ada juga yang berpendapat selain ini, bahwa dia berkata: “Makanan (kafarat) boleh di mana saja yang dikehendaki oleh orang yang membayar kafarat, begitu pula dalam haji dan puasa.”
(Asy-Syafi’i berkata): Lalu dikatakan kepadanya: “Jika kamu berpendapat bahwa dam (denda haji) hanya boleh disembelih di Mekah, maka seharusnya makanan (kafarat) juga hanya di Mekah, karena keduanya sama-sama makanan.”
Dia bertanya: “Lalu apa dalilmu tentang puasa?”
Aku menjawab: “Allah mengizinkan orang yang tamattu’ untuk berpuasa tiga hari selama haji dan tujuh hari setelah pulang. Puasa tidak memberikan manfaat langsung kepada fakir miskin di Haram, dan itu adalah ibadah fisik yang tidak terikat tempat, sehingga boleh dilakukan di mana saja.”
[Bab: Apakah Boleh Membayar Fidyah Selain dengan Unta?]
(Asy-Syafi’i berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah,” (QS. Al-Maidah: 95) sampai firman-Nya: “atau berpuasa.” (QS. Al-Maidah: 95).
Maka orang yang tepat diperintahkan untuk menebusnya dan dikatakan kepadanya dari unta atau kafarat memberi makan orang miskin atau yang setara dengan puasa. Kemungkinan ia diberi pilihan untuk menebus dengan apa pun yang ia inginkan, dan ia tidak boleh keluar dari salah satunya. Ini adalah makna yang paling jelas dan paling utama sesuai dengan ayat. Juga mungkin ia diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban jika memilikinya, jika tidak maka memberi makan, dan jika tidak mampu maka berpuasa, sebagaimana perintah dalam tamattu’ dan zhihar. Namun, makna pertama lebih sesuai, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan Ka’ab bin ‘Ujrah untuk membayar kafarat dengan pilihan apa pun yang ia inginkan sebagai tebusan atas gangguan.
Allah Ta’ala juga memberikan hak kepada tuan untuk menarik kembali atau membebaskan budak. Meskipun ada kemungkinan makna lain, jika ada yang bertanya: “Apakah ada orang lain yang berpendapat seperti pendapatmu?”
Dijawab: “Ya, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata tentang firman Allah: {…menyembelih hewan kurban yang sampai ke Ka’bah, atau memberi makan orang miskin, atau yang setara dengan puasa} (QS. Al-Maidah: 95). ‘Atha’ berkata: ‘Jika seseorang memburu unta, maka ia wajib—jika mampu—menyembelih unta, atau memberi makan senilai, atau berpuasa senilai, mana saja yang ia pilih, berdasarkan firman Allah {maka tebusannya} (QS. Al-Maidah: 95) demikianlah. Setiap perkara dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata “atau”, maka pelaku boleh memilih yang ia kehendaki.'”
Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya kepada ‘Atha’, ‘Bagaimana jika ia mampu memberi makan tetapi tidak mampu membayar senilai hewan buruannya?’ Ia menjawab, ‘Itu adalah keringanan dari Allah, mungkin ia memiliki makanan tetapi tidak memiliki harga unta, dan itu adalah kemudahan.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika kita memberikan pilihan kepadanya, maka ia boleh melakukan yang mana saja ia kehendaki. Namun, jika ia mampu melakukan yang ringan, maka yang lebih utama dan hati-hati adalah menebus dengan unta. Jika tidak mendapatkannya, maka dengan makanan, dan tidak berpuasa kecuali jika tidak mampu keduanya.”
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar tentang firman Allah: {…maka tebusannya adalah berpuasa, bersedekah, atau berkurban} (QS. Al-Baqarah: 196), ia boleh memilih yang ia kehendaki.
Diriwayatkan dari Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Dinar: “Setiap perkara dalam Al-Qur’an yang menggunakan ‘atau’, maka ia boleh memilih yang ia kehendaki.” Ibnu Juraij berkata: “Kecuali dalam firman-Nya {Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya} (QS. Al-Maidah: 33), di sini tidak ada pilihan.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Seperti yang dikatakan Ibnu Juraij dan ‘Amr tentang pemberontak dan lainnya dalam masalah ini, aku berpendapat demikian.” Ditanyakan kepada Asy-Syafi’i: “Apakah ada yang berpendapat bahwa tidak ada pilihan?”
Ia menjawab: “Ya, Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Al-Hasan bin Muslim, ia berkata: ‘Barangsiapa memburu hewan yang mengharuskannya menyembelih kambing, maka itulah yang dimaksud firman Allah {maka tebusannya adalah menyembelih hewan ternak yang setara} (QS. Al-Maidah: 95). Adapun {atau memberi makan orang miskin} (QS. Al-Maidah: 95) berlaku untuk hewan buruan kecil seperti burung, yang tidak mengharuskan kurban.'”
Ibnu Juraij berkata: “Aku menyampaikan hal itu kepada ‘Atha’, ia berkata: ‘Setiap perkara dalam Al-Qur’an yang menggunakan “atau”, maka pelaku boleh memilih yang ia kehendaki.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Aku berpendapat seperti pendapat ‘Atha’ dalam hal ini. Allah berfirman tentang tebusan buruan: {…menyembelih hewan kurban yang sampai ke Ka’bah, atau memberi makan orang miskin, atau yang setara dengan puasa} (QS. Al-Maidah: 95). Dan firman-Nya: {Barangsiapa sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka tebusannya adalah berpuasa, bersedekah, atau berkurban} (QS. Al-Baqarah: 196). Juga diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah: ‘Yang mana pun kamu lakukan, itu cukup.'”
(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menemukan keduanya sebagai tebusan dari sesuatu yang dilarang bagi orang yang berihram. Yang pertama adalah membunuh buruan, yang kedua adalah mencukur rambut.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Setiap hal yang dilarang bagi orang yang berihram selain keduanya—sebagaimana ia dilarang melakukannya—maka wajib membayar tebusan. Ia boleh memilih antara menyembelih hewan, memberi makan, atau berpuasa, mana saja yang ia kehendaki, baik ia mampu maupun tidak. Allah berfirman: {Barangsiapa yang mengerjakan umrah sebelum haji, maka ia wajib menyembelih hewan kurban yang mudah. Jika tidak mampu, maka berpuasa} (QS. Al-Baqarah: 196).”
(Asy-Syafi’i berkata): “Tamattu’ dalam umrah sebelum haji bukanlah sesuatu yang dilarang, tetapi Allah mewajibkan kurban. Adapun perbuatan orang yang berihram yang mengharuskannya membayar tebusan—dan perbuatan itu bukanlah sesuatu yang dilarang—maka ia wajib menebus dengan hewan jika mampu, dan tidak boleh menebus dengan selain hewan jika ia memilikinya. Contohnya adalah memakai wewangian, memakai pakaian yang dilarang, berhubungan intim, atau hal-hal sejenisnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada yang bertanya, ‘Apa maksud firman Allah {Barangsiapa sakit atau ada gangguan di kepalanya} (QS. Al-Baqarah: 196)?’
Aku jawab: ‘Allah yang lebih tahu. Secara zahir, ia diizinkan untuk mencukur.'”
Terjemahan ke Bahasa Indonesia:
Syair tentang penyakit dan gangguan di kepala, meskipun tidak sakit. Jika engkau meletakkannya di tempat fidyah berupa hewan ternak, maka katakanlah tidak boleh kecuali dari hewan ternak yang masih ada. Jika orang yang wajib membayar fidyah tidak memiliki hewan ternak karena kebutuhan atau ketiadaan hewan ternak, maka dia dapat menggantinya dengan makanan pokok masyarakat setara dengan nilai dirham yang wajib dibayarkan, lalu bersedekah dengan makanan itu kepada setiap orang miskin sebanyak satu mud. Jika tidak memiliki makanan, maka dia berpuasa satu hari untuk setiap mud. Jika ada yang bertanya: “Jika engkau mengqiyaskannya dengan tamattu’, mengapa engkau tidak mengatakan di sini seperti yang engkau katakan dalam tamattu’?” Dijawab: “Jika Allah menghendaki, engkau mengqiyaskannya dalam hal keduanya adalah perbuatan yang tidak merusak. Namun, keduanya berbeda karena nilainya bervariasi: unta untuk luka yang besar dan kambing untuk yang lebih kecil. Karena nilainya berubah sesuai tingkat keparahan luka, maka ini berbeda dengan hadyu tamattu’ yang tidak berkurang atau bertambah. Jika lebih, itu adalah tathawwu’.”
(Imam Syafi’i berkata): “Kami menetapkan makanan dan puasa berdasarkan makna yang dipahami dari Al-Qur’an mengenai kafarat zhihar, pembunuhan, dan yang bersetubuh di bulan Ramadhan. Dari sini juga ditinggalkan bermalam di Mina, meninggalkan Muzdalifah, keluar sebelum matahari terbenam dari Arafah, dan melewatkan melempar jumrah serta semisalnya.”
[Ketidakmampuan dalam Hadyu Tamattu’ dan Waktunya]
(Imam Syafi’i berkata): Allah berfirman: “Barangsiapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (tamattu’), maka wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196) hingga firman-Nya: “Sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah: 196).
(Imam Syafi’i berkata): “Ayat ini menunjukkan kewajiban puasa dalam haji. Secara logis dalam Al-Qur’an, puasa itu dilakukan dalam haji yang mewajibkannya, dan tidak boleh dilakukan sebelum memasuki ihram haji, baik di bulan-bulan haji maupun selainnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (tamattu’)” (QS. Al-Baqarah: 196). Jika seseorang berihram haji di Syawal, Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah, dia boleh berpuasa saat memasuki haji dan tidak boleh keluar dari haji sebelum berpuasa jika tidak menemukan hadyu. Hari terakhir puasanya adalah tiga hari sebelum hari Arafah, karena esok harinya (hari Arafah) dia keluar dari haji dan hari itu (hari Nahr) tidak boleh berpuasa. Demikian juga riwayat dari Aisyah dan Ibnu Umar: Ibrahim bin Sa’d mengabarkan dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang bertamattu’ jika tidak menemukan hadyu dan belum berpuasa sebelum hari Arafah, maka dia berpuasa di hari-hari Mina. Ibrahim juga mengabarkan dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya seperti itu.
(Imam Syafi’i berkata): “Inilah pendapat kami, sesuai dengan makna yang kami sebutkan, dan Allah lebih tahu. Ini juga selaras dengan Al-Qur’an.”
(Imam Syafi’i berkata): “Aththa’ dan Amr bin Dinar berbeda pendapat tentang kewajiban puasa bagi muhallil (orang yang bertamattu’). Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Aththa’ bahwa dia berkata: ‘Tidak wajib puasa sampai tiba di Arafah dalam keadaan berihram haji.’ Sedangkan Amr bin Dinar berkata: ‘Jika sudah berihram haji, wajib baginya berpuasa.’”
(Imam Syafi’i berkata): “Kami mengambil pendapat Amr bin Dinar karena lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits dari Aisyah dan Ibnu Umar.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang berihram haji lalu meninggal saat itu atau setelahnya sebelum berpuasa, ada dua pendapat:
- Dia wajib membayar dam tamattu’ karena itu hutangnya, sebab dia tidak berpuasa dan tidak boleh diqadha. Ini pendapat yang mungkin.
- Tidak ada dam atau puasa, karena waktu wajib puasa adalah saat kewajiban dam gugur dan puasa lebih utama. Jika masih ada waktu untuk puasa tetapi dia menyia-nyiakannya, maka disedekahkan tiga mud gandum sebagai ganti tiga hari. Tujuh hari (jika dia haji qiran) hanya wajib setelah pulang ke keluarganya. Jika dia pulang lalu meninggal sebelum menyelesaikan tiga atau tujuh hari puasa, disedekahkan untuknya sesuai sisa hari yang ditinggalkan. Ini pendapat yang sahih secara qiyas dan logis, wallahu a’lam.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tentang puasa tamattu’ di hari-hari Mina: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa di hari-hari Mina.’ Kami tidak menemukan alasan larangan ini khusus kecuali jika ada petunjuk dari Nabi bahwa larangannya hanya berlaku bagi…”
Yang tidak wajib dari puasa dan mungkin diperbolehkan, bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa orang yang melakukan tamattu’ berpuasa pada hari-hari Mina, maka ia telah melupakan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, aku tidak berpendapat untuk berpuasa pada hari-hari Mina, padahal sebelumnya aku pernah memandangnya boleh. Aku memohon kepada Allah petunjuk yang benar.
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendapati hari-hari Mina sebagai waktu di luar haji, di mana seseorang menjadi halal (boleh melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang) jika ia telah melakukan thawaf di Baitullah. Maka, tidak boleh bagiku untuk mengatakan bahwa ini masih termasuk dalam haji, padahal ia sudah keluar darinya, meskipun masih ada sebagian amalan haji yang tersisa. Jika ada yang bertanya: “Apakah secara bahasa masih mungkin dianggap dalam haji?”
Dijawab: Ya, secara bahasa masih mungkin selama masih ada sisa amalan haji, meskipun secara batin dipaksakan, tidak secara zhahir. Seandainya ini diperbolehkan, maka boleh juga jika seseorang belum melakukan thawaf yang menghalalkannya dari haji, lalu ia berpuasa selama satu atau dua bulan dengan anggapan bahwa ia berpuasa dalam keadaan haji.
(Imam Syafi’i berkata): Seandainya boleh berpuasa pada hari-hari Mina, maka boleh juga berpuasa pada hari Nahr (Idul Adha), karena puasa pada hari itu dilarang, sebagaimana puasa pada hari-hari Mina juga dilarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada hari-hari Mina sekali, sebagaimana larangan beliau untuk berpuasa pada hari Nahr, baik sekali maupun berulang kali.
[Pembahasan tentang keadaan di mana seseorang kesulitan memenuhi kewajiban fidyah]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menunaikan haji sedangkan ia wajib menyembelih unta (sebagai dam), maka ia tidak boleh meninggalkannya jika ia mampu. Jika ia mampu membeli hewan kurban, maka ia tidak perlu memberi makan (fidyah). Jika ia tidak mampu membeli hewan kurban, maka ia memberi makan. Namun, makanan atau hewan kurban itu harus dilakukan di Mekah. Jika ia tidak mampu melakukan keduanya, maka ia boleh berpuasa di mana saja ia kehendaki. Namun, jika ia berpuasa segera, itu lebih aku sukai.
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata tentang puasa bagi orang yang membayar fidyah: “Tidak ada riwayat yang sampai kepadaku tentang hal itu, tetapi aku lebih suka jika ia melakukannya segera.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, bahwa Mujahid berkata: “Fidyah itu bisa berupa puasa, sedekah, atau menyembelih hewan dalam haji atau umrahnya.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, bahwa Sulaiman bin Musa berkata tentang orang yang membayar fidyah: “Telah sampai kepadaku bahwa fidyah itu dilakukan antara saat ia melakukan kewajiban yang mengharuskan fidyah hingga ia bertahallul. Jika ia sedang haji, maka ia menyembelih. Jika ia sedang umrah, maka ia thawaf.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini—insya Allah—demikian. Jika ada yang bertanya: “Apa dalil yang mendukung pendapatmu?”
Dijawab: Jika fidyah itu adalah sesuatu yang wajib dalam haji atau umrah, maka aku lebih suka jika ia membayarnya saat haji atau umrah. Sebab, memperbaiki setiap amalan dalam ibadah itu seperti memperbaiki shalat di dalamnya. Meskipun ini berbeda dengan shalat karena fidyah bukan bagian dari haji, sedangkan memperbaiki shalat adalah bagian dari shalat. Namun, pilihan yang terbaik adalah seperti yang aku sebutkan.
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah memerintahkan seseorang untuk berpuasa dan tidak membayar fidyah, padahal ia mampu. Seolah-olah, jika bukan karena ia berpendapat bahwa puasa sudah mencukupi dalam perjalanannya, niscaya ia akan menanyakan kemampuannya dan mungkin akan berkata: “Tunggulah sampai engkau memiliki harta.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku memperhatikan keadaan orang yang wajib membayar fidyah dalam haji atau umrahnya. Jika ia memiliki fidyah yang tidak bisa diganti dengan yang lain, maka aku mewajibkannya tanpa ada kelonggaran. Jika aku mewajibkannya, tetapi ia tidak membayarnya hingga ia kesulitan, maka itu menjadi hutang yang harus ia bayar ketika ia mampu. Namun, aku lebih suka jika ia berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian, bukan kewajiban. Kemudian, jika ia mampu, ia menyembelih hewan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia tidak mampu, maka ia bersedekah. Jika ia tidak mampu bersedekah, maka ia berpuasa. Jika ia berpuasa sehari atau lebih, kemudian ia mampu dalam perjalanannya atau setelahnya, maka ia tidak wajib menyembelih, tetapi jika ia melakukannya, itu baik.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia dalam keadaan kesulitan ketika fidyah itu wajib, lalu ia tidak bersedekah atau berpuasa hingga ia mampu, maka ia wajib menyembelih hewan tanpa pengecualian. Sebab, ia memulai sesuatu yang baru, sehingga tidak boleh memulai dengan sedekah atau puasa jika ia memiliki hewan kurban.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia kembali ke negerinya dalam keadaan masih kesulitan selama perjalanan, dan ia belum membayar fidyah hingga ia mampu, kemudian ia kembali kesulitan, maka ia tetap wajib menyembelih hewan tanpa pengecualian. Sebab, ia belum beralih dari kewajiban menyembelih ke yang lain ketika ia mampu. Aku lebih suka jika ia berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian, bukan kewajiban.
Jika hewan kurban dianggap sebagai hutang, maka sama saja apakah ia mengirimkannya dari negerinya atau membelinya di Mekah untuk disembelih atas namanya. Tidak sah baginya hingga hewan itu disembelih di Mekah dan dagingnya disedekahkan. Demikian pula dengan makanan (fidyah). Adapun puasa, ia boleh mengqadhanya di mana saja ia kehendaki jika ia menundanya setelah perjalanannya.
Demikianlah setiap kewajiban, baik berupa dam, makanan, atau lainnya, tidak sah kecuali dilakukan di Mekah.
[Fidyah untuk Burung Unta]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha Al-Khurasani bahwa Umar bin Al-Khaththab, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, dan Mu’awiyah – radhiyallahu ‘anhum – berpendapat tentang burung unta yang dibunuh oleh orang yang berihram, dendanya adalah seekor unta.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini tidak kuat menurut ahli ilmu hadits, namun ini adalah pendapat mayoritas ulama yang aku temui. Kami berpendapat bahwa dendanya seekor unta berdasarkan qiyas, bukan karena riwayat ini. Jika seorang muhrim membunuh burung unta, dendanya seekor unta. Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada ‘Atha: “Jika burung unta itu sedang mengandung ketika aku menyembelihnya sebagai dendanya, lalu anaknya lahir kemudian mati sebelum mencapai usia disembelih, apakah aku harus membayar dendanya?” ‘Atha menjawab: “Tidak.” Aku bertanya lagi: “Jika aku membelinya beserta anaknya, lalu aku hadiahkan, kemudian anaknya mati sebelum mencapai usia disembelih, apakah aku harus membayar dendanya?” ‘Atha menjawab: “Tidak.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini menunjukkan bahwa ‘Atha berpendapat dendanya seekor unta. Kami juga berpendapat demikian berdasarkan perkataannya bahwa jika ada janin dalam hewan yang wajib disembelih sebagai denda, maka janin itu juga disembelih bersamanya. Kami juga berpendapat bahwa setiap hewan buruan yang dibunuh dalam keadaan mengandung, dendanya sama seperti hewan yang mengandung.
[Pasal tentang Telur Burung Unta yang Dimakan oleh Orang yang Berihram]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha bahwa ia berkata: “Jika engkau mengambil telur burung unta tanpa sengaja, engkau tetap harus membayar dendanya sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatan Allah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpendapat demikian karena telur adalah bagian dari hewan buruan yang bisa menjadi buruan. Aku tidak mengetahui ada ulama yang berbeda pendapat dalam hal ini. Perkataan ‘Atha ini menunjukkan bahwa telur harus dibayar dendanya, dan orang yang tidak sengaja tetap wajib membayar karena ini termasuk merusak, diqiyaskan dengan pembunuhan karena kesalahan.
(Asy-Syafi’i berkata): Untuk telur burung unta, dendanya adalah nilai harganya karena tidak ada padanan dari hewan ternak, tetapi termasuk dalam kategori burung yang memiliki nilai seperti belalang dan lainnya. Kami mengqiyaskannya dengan belalang yang dendanya adalah nilainya. Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i: “Apakah engkau meriwayatkan hadits marfu’ tentang ini?”
Ia menjawab: “Tidak ada riwayat yang sahih tentang itu.” Aku bertanya lagi: “Lalu apa dasarnya?”
Ia berkata: “Seorang yang tsiqah meriwayatkan kepadaku dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang telur burung unta yang diambil oleh muhrim: ‘Dendanya adalah nilainya.'” Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Abdullah bin Al-Hushain dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa ia berkata: “Denda telur burung unta yang diambil oleh muhrim adalah puasa sehari atau memberi makan seorang miskin.” Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Abu ‘Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud dengan pendapat yang sama.
Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i: “Bagaimana jika di dalam telur burung unta itu ada anaknya?”
Ia menjawab: “Segala sesuatu yang diambil oleh muhrim yang tidak ada padanannya dari hewan ternak dan tidak termasuk burung, dendanya adalah nilainya di tempat ia mengambilnya. Nilainya dinilai sebagaimana jika ia mengambil milik seseorang. Telur tanpa anak dinilai sebagai telur tanpa anak, sedangkan telur yang berisi anak dinilai lebih mahal.”
Aku bertanya: “Bagaimana jika telurnya sudah busuk?”
Ia menjawab: “Nilainya dinilai dalam keadaan busuk.”
Apakah ia memiliki nilai dan disedekahkan dengan nilainya, dan jika tidak memiliki nilai maka tidak ada kewajiban bagimu?
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Bolehkah orang yang berihram memakannya?”
Dia menjawab: “Tidak, karena itu termasuk hasil buruan dan bisa jadi termasuk hewan buruan.”
Aku bertanya lagi: “Menurut Syafi’i, hewan buruan itu terlarang, sedangkan ini tidak terlarang.”
(Syafi’i) berkata: “Bisa jadi dari hewan buruan ada yang terpotong atau masih kecil sehingga tidak terlarang, dan orang yang berihram cukup membayar tebusan jika terkena (membunuhnya).”
Aku berkata: “Itu sebenarnya terlarang atau akan mengarah pada pelarangan.”
Dia menjawab: “Telur itu bisa berkembang menjadi anak burung, lalu akhirnya menjadi terlarang.”
Perbedaan pendapat tentang telur burung unta.
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Adakah yang berbeda pendapat denganmu tentang telur burung unta?”
Dia menjawab: “Ya.”
Aku bertanya: “Apa pendapat mereka?”
Dia berkata: “Sebagian orang berpendapat jika ada unta (sebagai tebusan), maka itu dibebankan pada unta. Riwayat ini dinisbatkan kepada Ali -radhiyallahu ‘anhu- dengan sanad yang tidak diakui oleh ahli hadits, sehingga kami meninggalkannya. Selain itu, jika seseorang wajib membayar sesuatu, tidak cukup dengan sesuatu yang belum pasti (ada atau tidak), melainkan harus dengan yang jelas.”
Aku bertanya: “Apakah ada yang lain yang berbeda pendapat denganmu?”
Dia menjawab: “Ya, seorang lelaki yang sepertinya mendengar pendapat ini lalu mengikutinya.”
Aku bertanya: “Apa pendapatnya?”
Dia berkata: “Dia wajib membayar sepersepuluh nilai induknya, seperti halnya janin budak wanita yang wajib membayar sepersepuluh nilai budak tersebut.”
Aku bertanya: “Apakah pendapat ini memiliki dasar?”
Dia menjawab: “Tidak. Telur, jika dianggap sebagai janin, tidak berarti apa-apa karena terpisah dari induknya, sehingga hukumnya seperti dirinya sendiri. Jika janin keluar dari induknya dalam keadaan hidup lalu dibunuh, maka wajib membayar nilai hidupnya. Namun jika keluar dalam keadaan mati lalu dipotong, tidak ada kewajiban apa pun. Jika mau, anggaplah telur dalam keadaan mati atau hidup, karena keduanya berbeda. Apa hubungannya telur dengan janin? Hukum telur adalah hukum dirinya sendiri, sehingga tidak boleh (dibebankan tebusan) kecuali jika dinilai berdasarkan nilainya.”
(Syafi’i) berkata: “Orang itu berkata kepada yang berpendapat demikian: ‘Tidak ada kewajiban apa pun pada telur ini karena ia bisa dimakan dan bukan hewan, sehingga orang yang berihram boleh memakannya.’ Namun, ini bertentangan dengan pendapat para ulama.”
[Bab Sapi Liar, Keledai Liar, Rusa, dan Kambing Gunung]
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Bagaimana jika orang yang berihram memburu sapi liar atau keledai liar?”
Dia menjawab: “Untuk masing-masing, tebusannya adalah sapi.”
Aku bertanya: “Dari mana engkau mengambil pendapat ini?”
Dia menjawab: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah kamu membunuh hewan buruan ketika kamu sedang berihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya.’ (QS. Al-Maidah: 95).”
(Syafi’i) berkata: “Mengganti dengan hewan ternak yang sepadan menunjukkan bahwa kesepadanan itu dilihat dari kesamaan jenis hewan. Tidak boleh kecuali dengan membandingkan hewan buruan dengan hewan ternak. Jika melebihi kambing, naik ke domba jantan. Jika melebihi domba jantan, naik ke sapi. Jika melebihi sapi, naik ke unta. Tidak ada tebusan hewan buruan yang melebihi unta. Jika lebih kecil dari kambing dewasa, maka turun ke yang lebih kecil. Begitulah ketentuan untuk hewan buruan.”
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Untuk sapi liar, tebusannya sapi. Untuk keledai liar, tebusannya sapi.”
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Tentang Rusa (Al-Arwa) Setara dengan Sapi.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Israil dari Abu Ishaq Al-Hamdani dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Pada rusa liar setara dengan sapi, dan pada unta juga setara dengan sapi.”
(Imam Syafi’i berkata): “Inilah pendapat yang kami pegang.”
(Imam Syafi’i berkata): “Rusa nilainya di bawah sapi dewasa tetapi di atas domba jantan, dan boleh diganti dengan hewan jantan atau betina, tergantung yang dipilih untuk tebusan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang membunuh keledai liar yang masih kecil atau anak rusa kecil, maka tebusannya adalah sapi kecil. Hewan jantan ditebus dengan jantan, dan betina dengan betina.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika membunuh rusa kecil, kami menyesuaikan dengan sapi yang lebih kecil hingga tebusannya sesuai dan tidak memberatkan. Begitu pula dengan hewan buruan lainnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika hewan buruan yang dibunuh adalah sapi yang hamil dan setelah dipukul mengeluarkan anaknya dalam keadaan hidup lalu mati, maka tebusannya adalah seekor sapi dan anak sapi. Hal ini berlaku untuk semua hewan yang mengandung.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika anaknya lahir mati dan induknya mati, dan ingin menebusnya dengan makanan, maka nilai tebusannya disesuaikan dengan hewan ternak yang sepadan, dan harganya dihitung berdasarkan nilai makanan.”
[Bab Tentang Dubuk]
Diceritakan kepada kami oleh Malik dan Sufyan bin Uyainah dari Abu Az-Zubair dari Jabir bahwa Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – memutuskan tebusan dubuk adalah seekor domba jantan.
(Imam Syafi’i berkata): “Ini adalah pendapat ulama Mekah yang kami hafal.”
(Imam Syafi’i berkata): “Untuk dubuk kecil, tebusannya adalah anak domba kecil.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – berkata tentang dubuk: “Tebusannya seekor domba jantan.”
Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: “Diceritakan kepada kami oleh Imam Syafi’i, ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Ikrimah, maula Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan dubuk sebagai hewan buruan dan memutuskan tebusannya seekor domba jantan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Hadis ini tidak kuat jika berdiri sendiri, tetapi kami menyebutkannya karena Muslim bin Khalid menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Ubaid bin Umair dari Ibnu Abi Ammar, Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang dubuk, apakah termasuk hewan buruan? Ia menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya: ‘Boleh dimakan?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya: ‘Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam?’ Ia menjawab: ‘Ya.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Ini menjelaskan bahwa hanya hewan buruan yang halal dimakan yang ditebus, bukan yang tidak dimakan.”
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid bahwa Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Dubuk adalah hewan buruan, dan tebusannya seekor domba jantan jika dibunuh oleh orang yang sedang ihram.”
[Bab Tentang Kijang]
Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’, ia berkata: “Diceritakan kepada kami oleh Imam Syafi’i, ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Malik dan Sufyan bin Uyainah dari Abu Az-Zubair dari Jabir bahwa Umar bin Khattab menetapkan tebusan kijang adalah seekor kambing betina.”
(Imam Syafi’i berkata): “Inilah pendapat kami, dan kijang tidak melebihi nilai kambing betina.”
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Israil bin Yunus dari Abu Ishaq dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tentang…”
Kijang adalah kambing jantan berwarna kuning atau domba betina tua.
(Imam Syafi’i berkata): Laki-laki ditebus dengan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan dari apa yang terkena (dosa). Dalam semua ini, lebih aku sukai jika perempuan ditebus dengan yang setara, kecuali jika ukurannya lebih kecil dari tubuh korban, maka laki-laki yang ditebus, dan tebusan dilakukan dengan yang sesuai dengan tubuh mereka.
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Israil bin Yunus dari Smak dari Ikrimah bahwa seorang laki-laki di Thaif membunuh seekor kijang saat ihram, lalu ia mendatangi Ali. Ali berkata: “Berkurbanlah dengan domba jantan atau kambing.” Sa’id berkata: “Aku tidak yakin kecuali ia mengatakan kambing.” (Imam Syafi’i berkata): Kami mengambil pendapat ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya yang kuat. Adapun ini, ahli hadits tidak menguatkannya.
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata: “Untuk gazel, (tebusannya) seekor kambing.”
[Bab Kelinci]
Dikabarkan kepada kami oleh Malik dan Sufyan dari Abu Az-Zubair dari Jabir bahwa Umar bin Khattab memutuskan tebusan untuk kelinci adalah seekor anak kambing betina.
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Israil bin Yunus dari Abu Ishaq dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Untuk kelinci, (tebusannya) seekor kambing.”
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa Mujahid berkata: “Untuk kelinci, (tebusannya) seekor kambing.”
(Imam Syafi’i berkata): Kambing kecil maupun besar tetap disebut kambing. Jika Atha’ dan Mujahid menganggap yang kecil, maka kami juga berpendapat demikian. Namun, jika mereka menganggap yang tua, kami berbeda pendapat dan mengikuti ucapan Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- dan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa tebusannya adalah anak kambing betina, bukan yang tua, karena lebih sesuai dengan makna Kitabullah. Ada juga riwayat dari Atha’ yang mirip dengan pendapat mereka:
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ar-Rabi’ bin Shabih dari Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata: “Untuk kelinci, (tebusannya) anak kambing betina atau domba muda.”
[Bab Tikus Padang]
Dikabarkan kepada kami oleh Malik dan Sufyan dari Abu Az-Zubair dari Jabir bahwa Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- memutuskan tebusan untuk tikus padang adalah seekor anak unta betina.
Dikabarkan kepada kami oleh Sufyan dari Abdul Karim Al-Jazari dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud. Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ar-Rabi’ bin Shabih dari Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata: “Untuk tikus padang, (tebusannya) seekor anak unta betina.” (Imam Syafi’i berkata): Kami mengambil semua pendapat ini.
[Bab Rubah]
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata: “Untuk rubah, (tebusannya) seekor kambing.”
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Iyasy bin Abdullah bin Ma’bad, ia berkata: “Untuk rubah, (tebusannya) seekor kambing.”
[Bab Biawak]
Dikabarkan kepada kami oleh Ibnu Uyainah dari Makhariq dari Thariq bin Syihab, ia berkata: “Kami pergi berhaji, lalu seorang laki-laki di antara kami yang bernama Arbad menginjak biawak hingga mematahkan punggungnya. Kami pun mendatangi Umar, lalu Arbad menanyakan hal itu kepadanya. Umar berkata: ‘Putuskanlah sendiri, wahai Arbad.’ Arbad menjawab: ‘Engkau lebih baik dan lebih tahu dariku, wahai Amirul Mukminin.’ Umar berkata: ‘Aku hanya menyuruhmu memutuskan, bukan memujiku.’ Arbad berkata: ‘Menurutku, tebusannya seekor kambing jantan yang telah memenuhi air dan pohon (cukup umur).’ Umar berkata: ‘Itulah tebusannya.'”
Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Atha’, ia berkata: “Untuk biawak, (tebusannya) seekor kambing.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika Atha’ menganggap kambing kecil, maka kami berpendapat demikian. Namun, jika ia menganggap yang tua, (kami berbeda).
Kami berbeda pendapat dengannya dan kami mengikuti pendapat Umar dalam hal ini, karena lebih mirip dengan Al-Qur’an.
[Bab Bulu]
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Atha’ yang berkata: “Mengenai bulu, jika hewan itu dimakan (seperti kambing), (Asy-Syafi’i berkata): Perkataan Atha’ “jika dimakan” menunjukkan bahwa hanya hewan yang dimakan yang perlu ditebus.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika orang Arab memakan bulu, maka tebusannya adalah seekor anak unta, dan tidak lebih dari seekor unta dewasa.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id bahwa Mujahid berkata: “Untuk bulu, tebusannya adalah seekor kambing.”
[Bab Ummu Habin]
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Mutharrif dari Abus Safar bahwa Utsman bin Affan memutuskan tebusan untuk Ummu Habin adalah dua anak domba.
(Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya adalah seekor anak domba. (Asy-Syafi’i berkata): Jika orang Arab memakannya, maka tebusannya adalah seperti yang diriwayatkan dari Utsman, yaitu seekor anak kambing atau yang setara dari kambing yang tidak terlalu kecil.
[Bab Hewan Buruan yang Tidak Disebutkan]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Setiap hewan buruan yang boleh dimakan dan telah kami sebutkan, maka tebusannya sesuai dengan yang telah disebutkan. Adapun hewan buruan yang boleh dimakan tetapi tidak kami sebutkan, maka tebusannya diqiyaskan dengan hewan yang telah kami sebutkan. Tidak ada perbedaan untuk hewan yang lebih kecil dari kambing, seperti anak kambing. Nilainya disesuaikan dengan besar kecilnya hewan buruan hingga tebusannya setara dengan seekor unta dewasa atau sedikit lebih besar dari anak kambing. Tebusan hewan buruan hanya boleh dari hewan ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya: “Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan, sedangkan orang Arab menyebut unta sebagai ‘an’am’, sapi sebagai ‘baqar’, dan kambing sebagai ‘ghanam’?”
Dijawab: Ini adalah firman Allah -Ta’ala- seperti yang telah aku jelaskan. Jika engkau menggabungkannya, aku katakan: Semuanya adalah ‘na’am’, dan yang lebih rendah disandarkan kepada yang lebih tinggi. Hal ini diketahui oleh para ulama. Allah -Ta’ala- berfirman: “Dihalalkan bagimu binatang ternak (‘bahimatul an’am’) kecuali yang akan dibacakan kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 1). Aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi bahwa yang dimaksud adalah unta, sapi, kambing, dan domba, yaitu delapan pasang. Allah -Ta’ala- berfirman: “Dua dari domba dan dua dari kambing. Katakanlah: Apakah yang jantan yang diharamkan atau yang betina?” (QS. Al-An’am: 143), dan firman-Nya: “Dan dua dari unta dan dua dari sapi.” (QS. Al-An’am: 144). Maka itulah ‘bahimatul an’am’, delapan pasang, dan hewan-hewan jinak yang dijadikan kurban dan hadyu (hewan sembelihan bagi orang yang berihram), dan tidak termasuk hewan liar lainnya.
[Tebusan Burung yang Dibunuh Orang yang Berihram]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah -Ta’ala- berfirman: “Janganlah kamu membunuh hewan buruan ketika kamu sedang berihram.” (QS. Al-Maidah: 95) – hingga firman-Nya – “Maka tebusannya adalah dengan menyembelih hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 95).
(Imam Syafi’i berkata): Firman Allah -‘Azza wa Jalla- {seperti binatang ternak yang dibunuh} [QS. Al-Maidah: 95] menunjukkan bahwa keserupaan dengan binatang ternak hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki kesamaan dengannya. Keserupaan itu adalah hewan buruan yang mirip dengan binatang ternak dalam hal merumput di bumi. Hewan buruan tersebut adalah hewan ternak, bukan unggas, dan tubuhnya menyerupai tubuh binatang ternak serta mendekatinya. Tidak ada satu pun jenis burung yang sesuai dengan bentuk hewan ternak dalam keadaan atau maknanya.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana cara membayar fidyah untuk burung, padahal tidak ada yang serupa dari binatang ternak?”
Dijawab: Fidyahnya ditentukan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, kemudian atsar, lalu qiyas dan logika. Jika ditanya, “Di mana dalilnya dari Al-Qur’an?”
Dijawab: Firman Allah -‘Azza wa Jalla- {Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanannya sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, tetapi diharamkan atasmu hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.} [QS. Al-Maidah: 96]. Maka semua hewan buruan yang dimakan termasuk dalam keharaman. Aku menemukan bahwa Allah memerintahkan untuk membayar fidyah dengan yang serupa bagi yang memiliki kesamaan. Karena burung tidak memiliki kesamaan dengan binatang ternak, sementara ia termasuk yang diharamkan, dan aku menemukan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memutuskan ganti rugi pada tanaman, serta kaum Muslimin memutuskan bahwa sesuatu yang haram jika dirusak harus diganti dengan nilainya. Maka aku memutuskan bahwa burung yang diburu harus diganti dengan nilainya karena ia termasuk yang diharamkan dalam Al-Qur’an, dan berdasarkan qiyas dari Sunnah serta ijma’. Aku menjadikan nilai tersebut bagi yang berhak menerima fidyah dari hewan buruan yang diharamkan, karena keduanya sama-sama haram dan tidak ada pemiliknya. Keduanya diperintahkan untuk diberikan kepada orang miskin di sekitar Ka’bah. Aku tidak melihat pada burung kecuali menggantinya dengan nilai berdasarkan atsar dan qiyas sebagaimana yang kusebutkan, insya Allah.
[Fidyah burung merpati Haram]
Fidyah burung merpati:
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Umar bin Sa’id bin Abi Husain dari Abdullah bin Katsir Ad-Dari dari Thalhah bin Abi Hafshah dari Nafi’ bin Abdul Harits, ia berkata: Umar bin Khattab datang ke Makkah dan memasuki Darun Nadwah pada hari Jumat. Ia ingin mencari jalan terdekat ke masjid, lalu melemparkan jubahnya pada sebuah tiang di rumah itu. Seekor burung merpati hinggap di atasnya, lalu Umar mengusirnya. Tiba-tiba seekor ular menerkam dan membunuhnya. Setelah shalat Jumat, aku dan Utsman bin Affan masuk menemuinya. Umar berkata, “Berilah keputusan atas sesuatu yang kulakukan hari ini. Aku masuk ke rumah ini dan ingin mencari jalan terdekat ke masjid, lalu melemparkan jubahku pada tiang ini. Seekor burung merpati hinggap di atasnya, dan aku khawatir ia mengotori jubahku dengan kotorannya, maka kuusir burung itu. Ia lalu hinggap di tiang lain, dan seekor ular menerkam serta membunuhnya. Aku merasa bersalah karena mengusirnya dari tempat yang aman ke tempat yang menjadi kematiannya.”
Aku (Nafi’) berkata kepada Utsman, “Bagaimana pendapatmu tentang seekor kambing betina berwarna kekuningan sebagai fidyah untuk Amirul Mukminin?” Utsman menjawab, “Aku setuju.” Maka Umar memerintahkan untuk menyembelihnya.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, bahwa Utsman bin Ubaidillah bin Humaid membunuh seekor anak merpati. Lalu ia mendatangi Ibnu Abbas dan menceritakan hal itu. Ibnu Abbas berkata, “Sembelihlah seekor kambing dan sedekahkan.” Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Apakah itu merpati Makkah?’ Ia menjawab, ‘Ya.'”
(Imam Syafi’i berkata): Dalam perkataan Ibnu Abbas terdapat dua petunjuk:
Pertama, bahwa fidyah merpati Makkah adalah seekor kambing.
Kedua, bahwa fidyah itu disedekahkan kepada orang miskin. Jika dikatakan “disedekahkan,” maka yang dimaksud adalah seluruhnya, bukan sebagian.
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dari Atha’, dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, bahwa fidyah seekor merpati adalah seekor kambing.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: Mujahid berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan seekor merpati diusir, lalu ia hinggap di Marwah. Seekor ular menerkamnya, maka Umar menetapkan fidyah seekor kambing.”
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa membunuh seekor merpati di Makkah, maka fidyahnya seekor kambing, berdasarkan atsar-atsar yang kami sebutkan dari Umar, Utsman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ashim bin Umar, Atha’, dan Ibnu Al-Musayyab—bukan berdasarkan qiyas.
[Fidyah untuk Belalang]
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari Yusuf bin Mahak bahwa Abdullah bin Abi ‘Ammar mengabarkan kepadanya, ia pernah bersama Mu’adz bin Jabal dan Ka’ab Al-Ahbar beserta beberapa orang yang sedang berihram untuk umrah dari Baitul Maqdis. Ketika berada di suatu tempat dalam perjalanan, Ka’ab sedang menghangatkan diri di dekat api, lalu lewatlah seekor belalang di dekatnya. Ia mengambil dua ekor belalang, memanggangnya, dan lupa bahwa ia sedang berihram. Setelah ingat, ia pun membuang kedua belalang itu.
Ketika tiba di Madinah, rombongan menemui Umar bin Khattab, dan aku ikut bersama mereka. Ka’ab menceritakan kisah dua belalang itu kepada Umar. Umar bertanya, “Siapa yang memerintahkanmu melakukan itu, wahai Ka’ab?” Ka’ab menjawab, “Tidak ada.” Umar berkata, “Orang-orang Himyar suka memakan belalang.” Lalu ia bertanya, “Berapa nilai yang kau tetapkan dalam hatimu?” Ka’ab menjawab, “Dua dirham.” Umar berkata, “Bagus! Dua dirham lebih baik daripada seratus belalang. Tetapkanlah sesuai yang kau nilai dalam hatimu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits ini terdapat beberapa petunjuk, di antaranya:
– Ihramnya Mu’adz, Ka’ab, dan yang lainnya dari Baitul Maqdis, padahal letaknya jauh dari miqat.
– Ka’ab membunuh dua belalang itu tanpa menyembelihnya.
– Semua ini diceritakan kepada Umar, dan ia tidak mengingkarinya.
– Umar berkata, “Dua dirham lebih baik daripada seratus belalang,” menunjukkan bahwa engkau melakukan sesuatu yang tidak wajib atasmu, maka lakukanlah sebagai bentuk kebaikan sukarela.
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Bukair bin Abdullah bin Al-Asyaj, ia berkata: Aku mendengar Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku pernah duduk bersama Abdullah bin Abbas, lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang seekor belalang yang dibunuhnya saat sedang berihram.” Ibnu Abbas menjawab, “Untuk itu, dia harus membayar segenggam makanan. Namun, kita akan mengambil segenggam belalang sebagai gantinya. Tetapi, seandainya…” Ini menunjukkan bahwa ia hanya mewajibkan nilai belalang tersebut dan menyuruhnya untuk berhati-hati.
Nilai seekor belalang tergantung pada tempat ia ditemukan, apakah senilai kurma, kurang, atau lebih. Ini adalah pendapat para ulama—wallahu a’lam. Aku mendapati pendapat Umar, Ibnu Abbas, dan lainnya bahwa untuk belalang, harus dibayar nilainya. Aku juga mendapati pendapat mereka bahwa untuk binatang buruan yang sejenis ternak, tidak ada nilai tertentu karena nilainya tidak setara. Misalnya:
– Serigala tidak senilai seekor kambing.
– Kijang bisa senilai atau tidak senilai seekor kambing.
– Tikus padang pasir tidak senilai seekor anak kambing.
– Kelinci tidak senilai seekor anak kambing betina.
Aku jarang melihat mereka menetapkan nilai binatang buruan berdasarkan kesamaan fisik, bukan nilai, karena alasan yang telah kusebutkan. Juga karena keputusan mereka berlaku di berbagai negeri dan zaman. Seandainya mereka menetapkan berdasarkan nilai, maka hukumnya akan berbeda-beda sesuai perbedaan negeri dan zaman. Mereka akan mengatakan, “Bayarlah nilainya,” seperti yang mereka katakan untuk belalang.
Aku mendapati pendapat mereka sepakat membedakan hukum antara binatang darat dan burung karena alasan yang telah disebutkan:
– Untuk binatang darat, dibayar dengan hewan ternak yang sejenis.
– Untuk belalang (sejenis burung), dibayar nilainya.
– Untuk burung yang lebih kecil dari merpati, berlaku ketentuan tersendiri.
(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian aku mendapati pendapat mereka membedakan antara merpati dan belalang, karena secara pengetahuan umum diketahui bahwa merpati Mekah tidak senilai seekor kambing. Jika demikian, maka yang berlaku adalah mengikuti pendapat mereka, karena kita tidak boleh menyelisihi pendapat ulama kecuali dengan pendapat yang setara, dan kita tidak mengetahui ada ulama setara mereka yang menyelisihi.
Perbedaan antara merpati Mekah dan burung lainnya yang dibunuh orang yang berihram adalah bahwa tidak ada ketentuan kecuali berdasarkan apa yang dikenal oleh orang Arab, bahwa merpati adalah burung yang paling mulia dan paling mahal harganya di sisi mereka. Merpati adalah burung yang biasa dipelihara di rumah-rumah mereka, dianggap paling cerdas, mudah diarahkan, cepat beradaptasi, dan suaranya dihargai karena merdu. Mereka juga menikmati suara merpati, kejinakannya, kemampuannya menunjukkan arah, dan anak-anaknya. Selain itu, merpati juga bisa dimakan. Tidak ada burung lain yang bisa dimanfaatkan seperti merpati selain untuk dimakan.
Maka dikatakan: “Setiap burung yang oleh orang Arab disebut merpati, maka dendanya adalah seekor kambing.” Dan itu berlaku untuk merpati.
Burung merpati, burung tekukur, burung qumari, burung dabasi, burung fuakhat, dan segala jenis burung yang oleh orang Arab disebut sebagai hamamah (merpati).
(Imam Syafi’i berkata): Di antara orang Arab ada yang mengatakan, “Hamamah ath-thair nas ath-thair,” artinya burung itu memiliki akal seperti manusia. Orang Arab juga menyebutkan burung merpati dalam syair-syair mereka. Seorang penyair dari suku Hudzail berkata:
“Dan mengingatkanku akan tangisan di atas bukit, seekor merpati yang bersahut-sahutan dengan burung merpati lainnya.”
Seorang penyair lain berkata:
“Aku rindu ketika seekor merpati di lembah Wajj berkicau di atas pohon kurma dengan suara merdu.”
Jarir berkata:
“Sungguh, Az-Zubair mengingatkanku pada seekor merpati yang berkicau di antara dua batu dengan suara lembut.”
Ar-Rabi’ meriwayatkan, seorang penyair berkata:
“Aku berhenti di bekas perkemahan yang telah usang, lalu tangisan burung merpati di atas bekas itu membuatku sedih.”
(Imam Syafi’i berkata): Mereka telah menyebutkan banyak syair tentang burung merpati, menganggap suaranya seperti nyanyian dan tangisan yang dapat dipahami. Hal ini tidak ditemukan pada burung lain selain yang disebut hamamah (merpati).
(Imam Syafi’i berkata): Untuk burung yang disebut hamamah, diwajibkan seekor kambing sebagai tebusan. Ini berdasarkan riwayat tentang burung merpati Mekah. Aku tidak melihat pendapat yang lebih sesuai dengan fiqh selain pendapat ini. Siapa yang mengikuti pendapat ini seharusnya juga mengatakan bahwa burung yang tidak disebut hamamah, baik yang lebih kecil atau lebih besar, tebusannya adalah nilai harganya di tempat burung itu diburu.
[Perbedaan Pendapat tentang Burung Merpati Mekah]
(Imam Syafi’i berkata): Ada yang berpendapat bahwa untuk burung merpati Mekah diwajibkan seekor kambing, sedangkan burung merpati selain Mekah dan burung lainnya tebusannya adalah nilai harganya.
(Imam Syafi’i berkata): Bagi yang mewajibkan seekor kambing untuk burung merpati Mekah, jika alasannya adalah kehormatan burung itu sendiri, maka seharusnya juga mewajibkan seekor kambing bagi yang membunuh burung merpati Mekah di luar tanah haram dan bukan dalam keadaan ihram.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada kewajiban apa pun jika burung merpati Mekah dibunuh di luar tanah haram oleh orang yang tidak sedang ihram. Jika ini pendapat kami dan pendapatnya, maka burung merpati Mekah tidak berbeda dengan burung merpati selain Mekah.
Jika ada yang berpendapat bahwa kewajiban seekor kambing berlaku karena burung itu berada di tanah haram dan termasuk jenis merpati Mekah, maka seharusnya pendapat ini juga berlaku untuk semua hewan buruan lain yang dibunuh di tanah haram.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat kami dan pendapatnya adalah bahwa hewan buruan yang dibunuh oleh orang yang berihram (qiran) di tanah haram sama hukumnya dengan hewan buruan yang dibunuh oleh orang yang berihram (ifrad atau umrah) di luar tanah haram.
Pendapat yang mengatakan bahwa untuk burung merpati tanah haram diwajibkan seekor kambing, tetapi untuk burung merpati di luar tanah haram tidak diwajibkan apa-apa, tidak memiliki dasar yang kuat.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qatadah, ia berkata: “Jika seorang yang berihram membunuh seekor merpati di luar tanah haram, maka wajib baginya membayar satu dirham. Jika ia membunuh burung merpati tanah haram di dalam tanah haram, maka wajib baginya seekor kambing.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini adalah salah satu pendapat yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi tidak memiliki dasar yang kuat, karena konsekuensinya adalah mewajibkan denda untuk burung merpati Mekah yang dibunuh di luar tanah haram dan bukan dalam keadaan ihram. Aku tidak menduga ia akan mengatakan hal ini, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang berpendapat demikian.
‘
Atas pemberian seperti yang kami jelaskan, dan bahwa dia wajib jika menetapkan seekor kambing untuk burung merpati, bukan karena kelebihan merpati atau perbedaannya dengan yang lain, tetapi harus menambah pada burung yang melebihinya. Ini tidaklah tepat kecuali jika tidak dibedakan antara keduanya sebagaimana kami bedakan.
Diceritakan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha bahwa dia berkata: “Pada burung qumri dan dabsi (jenis burung merpati) adalah seekor kambing untuk setiap ekor.” (Asy-Syafi’i berkata): “Kebanyakan merpati seperti yang aku jelaskan. Burung yang minum dengan meneguk air seperti merpati, maka itu termasuk merpati. Sedangkan yang minum setetes demi setetes seperti ayam, maka bukan termasuk merpati.” Demikian juga dikabarkan kepada kami oleh Muslim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha.
Telur merpati (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan telur merpati Mekah serta merpati lainnya, termasuk telur buruan lain yang wajib dibayar nilainya. (Asy-Syafi’i berkata): Seperti yang kami katakan tentang telur burung unta dalam keadaan dihancurkan. Jika dihancurkannya tanpa ada anak di dalamnya, maka wajib membayar nilai satu telur. Jika dihancurkan dan ada anak di dalamnya, maka wajib membayar nilai satu telur yang berisi anak, seandainya itu milik seseorang lalu dihancurkan orang lain. Jika dihancurkan dalam keadaan rusak, maka tidak ada kewajiban apa-apa, sebagaimana tidak ada kewajiban jika dihancurkan untuk siapa pun. (Asy-Syafi’i berkata): Pendapat ‘Atha tentang telur merpati bertentangan dengan pendapat kami. Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa dia bertanya kepada ‘Atha: “Berapa nilai telur merpati Mekah?” (Dia menjawab): “Setengah dirham untuk satu telur, dua telur satu dirham. Jika dihancurkan satu telur yang berisi anak, maka nilainya satu dirham.” (Asy-Syafi’i berkata): Aku melihat ‘Atha bermaksud dengan ucapannya itu adalah nilai pada saat itu. Jika itu yang dia maksud, maka kami mengambil pendapat: nilainya pada saat dihancurkannya. Tetapi jika dia bermaksud ucapannya sebagai ketetapan hukum, maka kami tidak mengambilnya.
Burung selain merpati. Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha, dia berkata: “Aku tidak melihat dhu’ atau dhu’ (Ar-Rabi’ ragu), jika itu merpati, maka wajib seekor kambing.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dhu’ adalah burung yang lebih kecil dari merpati dan tidak termasuk nama merpati, maka wajib membayar nilainya. Setiap burung yang diburu oleh orang yang sedang ihram selain merpati, wajib membayar nilainya, baik lebih besar atau lebih kecil dari merpati. Karena Allah Ta’ala berfirman tentang buruan: ‘Maka dendanya adalah mengganti dengan yang semisal.’ (QS. Al-Maidah: 95).” (Asy-Syafi’i berkata): “Maka burung tidak memiliki kesamaan (dengan hewan ternak), dan telah diketahui termasuk yang diharamkan. Maka penggantinya adalah dengan nilai jika tidak ada yang semisal dari hewan ternak. Ini adalah qiyas berdasarkan pendapat Umar dan Ibnu Abbas tentang belalang, serta pendapat yang sejalan dengan mereka tentang burung yang lebih kecil dari merpati. ‘Atha pernah berpendapat tentang burung, jika pendapatnya itu berdasarkan nilai burung pada saat itu, maka sesuai dengan pendapat kami. Tetapi jika itu sebagai ketetapan hukum, kami menyelisihinya berdasarkan qiyas dari pendapat Umar, Ibnu Abbas, dan pendapat lainnya tentang belalang. Aku menduga dia sengaja menetapkannya, padahal tidak boleh menetapkan kecuali berdasarkan Kitab, Sunnah, perkara yang tidak diperselisihkan, atau qiyas. Seandainya tidak ada kesepakatan tentang merpati Mekah, kami tidak akan menetapkan dendanya dengan seekor kambing karena itu bukan qiyas. Oleh karena itu, kami meninggalkan ketetapan ‘Atha tentang burung yang lebih besar atau lebih kecil dari merpati, juga tentang telur merpati. Kami tidak mengambil pendapatnya kecuali jika sesuai dengan Kitab, Sunnah, atsar yang tidak bertentangan, atau qiyas. Jika ada yang bertanya: “Apa batasan dari perkataan ‘Atha?” (Asy-Syafi’i berkata): Dikabarkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, dia berkata: “‘Atha pernah berkata kepadaku tentang burung pipit dengan penjelasan dan tafsiran. Dia berkata: ‘Adapun…'”
Burung pipit setengah dirham: Atha’ berkata, dan aku melihat burung hudhud lebih rendah dari burung merpati dan lebih tinggi dari burung pipit, maka padanya satu dirham. Atha’ berkata, dan al-ku’ait adalah burung pipit.
(Asy-Syafi’i berkata): Ketika dia mengatakan hal ini, kami meninggalkan pendapatnya karena menurutnya pada burung pipit setengah dirham dan pada hudhud satu dirham; padahal hudhud berada di antara burung merpati dan burung pipit, sehingga seharusnya pada hudhud, karena kedekatannya dengan burung merpati, lebih dari satu dirham. Ibnu Juraij berkata, Atha’ berkata: Adapun kelelawar, yang lebih tinggi dari burung pipit dan lebih rendah dari hudhud, maka padanya dua pertiga dirham.
[Bab Belalang]
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Aku mendengar Atha’ berkata, Ibnu Abbas ditanya tentang menangkap belalang di tanah haram, lalu dia menjawab: Tidak, dan dia melarangnya. Aku (Atha’) berkata kepadanya: “Atau seseorang dari kaummu? Karena kaummu menangkapnya sementara mereka duduk di masjid.” Dia menjawab: “Mereka tidak tahu.”
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas seperti itu, kecuali dia mengatakan: “Mereka membungkuk.”
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim lebih benar di antara keduanya, dan para penghafal meriwayatkan dari Ibnu Juraij: “Mereka membungkuk.”
Sa’id dan Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, bahwa dia berkata tentang belalang yang dibunuh oleh seseorang yang tidak tahu (hukumnya)? Dia menjawab: “Dia harus membayar denda, karena belalang adalah hewan buruan.”
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Bukair bin Abdullah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku mendengar Al-Qasim bin Muhammad berkata: Aku duduk di dekat Ibnu Abbas, lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang belalang yang dibunuhnya saat ihram. Ibnu Abbas menjawab: “Untuk itu segenggam makanan, dan kami akan mengambil segenggam belalang, tetapi meskipun begitu…”
(Asy-Syafi’i berkata): Ucapan “kami akan mengambil segenggam belalang” menunjukkan nilai (denda), dan ucapannya “meskipun begitu” berarti berhati-hati sehingga kamu mengeluarkan lebih dari yang wajib atasmu setelah aku memberitahumu bahwa itu lebih dari yang wajib.
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin Abi Ammar, dia mengabarkan bahwa dia datang bersama Mu’adz bin Jabal dan Ka’ab – meriwayatkan hadits dan dia adalah Mu’adz.
(Asy-Syafi’i berkata): Ucapan Umar “Dua dirham lebih baik dari seratus belalang” menunjukkan bahwa dia tidak melihat pada belalang kecuali nilainya, dan ucapannya “Anggaplah apa yang kamu niatkan dalam dirimu sebagai kebaikan sukarela, maka lakukanlah, bukan karena itu wajib atasmu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ad-Daba adalah belalang kecil, maka pada daba kurang dari satu kurma – jika orang yang membayar denda menghendaki – atau sesuap kecil, dan apa yang dia bayarkan sebagai denda lebih baik darinya.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia bertanya kepada Atha’ tentang daba: “Apakah aku boleh membunuhnya?” Dia menjawab: “Tidak, demi Allah. Jika kamu membunuhnya, bayarlah denda.” Aku bertanya: “Apa yang harus kubayar?” Dia menjawab: “Sekadar apa yang kamu bayar untuk belalang, lalu perkirakan jumlah dendanya dari denda belalang.”
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata: Aku berkata kepada Atha’: “Aku membunuh belalang atau daba saat ihram, dan aku tidak tahu, atau untaku membunuhnya saat aku menungganginya.” Dia menjawab: “Bayarlah denda untuk semua itu, dengan begitu kamu mengagungkan larangan-larangan Allah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika orang yang ihram berada di atas untanya atau menuntunnya atau menggiringnya, dia membayar denda untuk apa yang dilakukan untanya. Tetapi jika untanya lepas, dia tidak membayar denda untuk apa yang dilakukan untanya.
Sa’id mengabarkan kepada kami dari Thalhah bin Amr dari Atha’, bahwa dia berkata tentang belalang yang diambil oleh orang yang ihram: “Segenggam makanan.”
[Telur Belalang]
(Asy-Syafi’i berkata): Jika telur belalang dihancurkan, dia harus membayar denda, dan apa yang dia bayarkan untuk setiap telurnya berupa makanan adalah lebih baik darinya. Jika dia mengenai banyak telur, dia harus berhati-hati sampai yakin telah membayar nilainya atau lebih dari nilainya, dengan mengqiyaskan pada telur semua hewan buruan.
[Bab tentang Penyebab dalam Mengambil Hewan Buruan Bukan untuk Membunuhnya]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata tentang seseorang yang mengambil seekor merpati untuk melepaskan sesuatu yang melilit kakinya, lalu merpati itu mati. Ia berkata, “Aku tidak melihat ada kewajiban apa pun atasnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa berpendapat demikian, ia berpendapat bahwa jika seseorang mengambil hewan buruan untuk menyelamatkannya dari sesuatu, seperti dari cengkeraman kucing, binatang buas, atau karena tertimpa dinding saat ia berihram, atau terkena sengatan lalu diberi penawar atau semacamnya untuk mengobatinya—dan tujuan pengambilannya adalah untuk menghilangkan bahaya atau memberikan manfaat padanya—maka ia tidak menanggung ganti rugi. Pendapat ini berlaku untuk semua hewan buruan.
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah pendapat yang bisa diterima. Namun, jika ada yang berpendapat bahwa ia tetap menanggung ganti rugi meskipun berniat baik karena hewan itu mati di tangannya, itu juga pendapat yang bisa diterima. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa ia bertanya kepada ‘Atha’ tentang telur merpati yang ditemukannya di tempat tidurnya. ‘Atha’ menjawab, “Singkirkan dari tempat tidurmu.” Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya lagi kepada ‘Atha’, jika telur itu berada di rak atau tempat lain di rumah yang serupa, terpisah.” Ia menjawab, “Jangan disingkirkan.”
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Thalhah dari ‘Atha’, ia berkata, “Jangan keluarkan telur merpati Mekkah dan anaknya dari rumahmu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah pendapat yang aku pegang. Jika seseorang mengeluarkannya lalu mati, ia wajib mengganti. Ini adalah pendapat yang bisa diterima: bahwa seseorang boleh menyingkirkannya dari tempat tidur selama tidak merusaknya. Jika telur itu rusak karena dipindahkan sehingga merpati meninggalkannya, tidak ada denda. Namun, bisa juga dianggap jika rusak karena dipindahkan, maka ada denda.
Barangsiapa berpendapat demikian, ia juga berpendapat bahwa jika merpati hinggap di tempat tidurnya, lalu ia menyingkirkannya dan mati karena hal itu, maka ada denda atasnya—seperti yang dilakukan Umar saat menyingkirkan merpati dari pakaiannya, lalu mati, maka ia membayar dendanya.
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata, “Jika ada belalang atau laba-laba yang menghalangi seluruh jalanmu dan engkau tidak menemukan jalan lain, lalu engkau membunuhnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi.”
(Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya jika engkau menginjaknya. Namun, jika membunuhnya langsung tanpa sebab jalan, maka wajib membayar ganti rugi.
(Asy-Syafi’i berkata): Pendapat ini mirip dengan pendapatnya tentang telur yang disingkirkan dari tempat tidur. Bisa juga dianggap bahwa semua ini diqiyaskan pada perbuatan Umar bin Khattab yang menyingkirkan merpati dari pakaiannya, lalu mati, maka ia membayar dendanya.
[Mencabut Bulu Burung]
Diriwayatkan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Muhajid dari ayahnya dan dari ‘Atha’, keduanya berkata, “Barangsiapa mencabut bulu merpati atau burung lainnya dari burung haram, maka ia wajib membayar denda sesuai dengan yang dicabut.”
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berpendapat demikian. Burung dinilai dalam keadaan sehat dan setelah dicabut bulunya, lalu dihitung selisih harganya karena ia tidak bisa terbang dan mudah ditangkap. Tidak ada kewajiban lain kecuali itu. Jika mati setelahnya, sebagai kehati-hatian, ia harus membayar denda penuh, bukan hanya untuk bulu yang hilang, karena mungkin kematiannya disebabkan pencabutan bulu. Namun, secara qiyas, tidak ada kewajiban selama burung itu masih bisa terbang sampai diketahui bahwa ia mati karena pencabutan bulu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika burung yang dicabut bulunya tidak bisa terbang, lalu dipelihara di rumah atau di mana saja, diberi makan dan minum sampai bisa terbang lagi, maka ia hanya membayar denda untuk bulu yang hilang, tidak lebih.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia menunda pembayaran denda dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, maka sebagai kehati-hatian, ia membayar dendanya. Namun, secara qiyas, tidak wajib membayar sampai diketahui bahwa burung itu mati.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika burung mati saat dicabut bulunya, maka ia wajib mengganti karena menghalanginya untuk terbang. Jika burung itu masih bisa terbang meski tidak sempurna, maka—
Seperti burung yang tidak dapat terbang dalam semua jawaban kita hingga terbangnya menjadi mustahil. Dan barangsiapa yang melempar burung lalu melukainya dengan luka yang mustahil baginya untuk terbang, atau mematahkannya dengan patahan yang tidak mustahil baginya, maka jawabannya sama seperti jawaban mengenai mencabut bulu burung, tanpa perbedaan. Jika ia menahannya hingga sembuh dan menjadi mustahil untuk terbang, baik dalam keadaan sehat atau patah, maka ia harus membayar selisih nilai antara harga tebusannya. Jika yang sembuh adalah burung yang pincang dan tidak mustahil seluruhnya, karena ia menjadikannya tidak mustahil dalam keadaan apa pun. Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata: “Jika seorang yang sedang ihram memburu hewan buruan dan mengenainya, lalu tidak tahu apa yang terjadi pada hewan buruan tersebut, maka ia harus membayar tebusannya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah sikap kehati-hatian, dan lebih aku sukai. Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij, aku melihatnya dari ‘Atha’, ia berkata tentang seorang yang sedang ihram mengambil hewan buruan lalu melepaskannya, kemudian hewan itu mati setelah dilepaskan—ia harus membayar tebusannya. Sa’id bin Salim berkata: “Jika ia tidak tahu, mungkin hewan itu mati karena diambilnya atau mati karena dilepaskannya.” Diriwayatkan oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia berkata: “Jika anak perempuannya mengambil hewan itu dan bermain dengannya, lalu tidak tahu apa yang terjadi, maka hendaknya ia bersedekah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Sikap kehati-hatian adalah membayar tebusannya, dan tidak ada kewajiban dalam qiyas hingga diketahui bahwa hewan itu mati.
Belalang dan Kadal
Diriwayatkan oleh Sa’id dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada ‘Atha’: “Bagaimana pendapatmu tentang membunuh kadal dan belalang, apakah keduanya seperti belalang (yang halal)?” Ia menjawab: “Tidak. Belalang adalah hewan buruan yang dimakan, sedangkan keduanya tidak dimakan dan bukan termasuk hewan buruan.” Aku bertanya: “Bolehkah aku membunuhnya?” Ia menjawab: “Aku tidak suka, tetapi jika kau membunuhnya, tidak ada kewajiban apa pun atasmu.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika keduanya tidak dimakan, maka—seperti kata ‘Atha’—statusnya sama. Aku tidak suka jika keduanya dibunuh, tetapi jika dibunuh, tidak ada kewajiban apa pun. Setiap hewan yang dagingnya tidak dimakan, maka orang yang sedang ihram tidak perlu membayar tebusannya.
Membunuh Kutu
Diriwayatkan oleh Sufyan dari Ibnu Abi Najih, ia berkata: Aku mendengar Maimun bin Mihran berkata: “Aku pernah bersama Ibnu Abbas, lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya: ‘Aku mengambil seekor kutu lalu melemparkannya, kemudian aku mencarinya tetapi tidak menemukannya.’ Maka Ibnu Abbas berkata: ‘Itu adalah barang hilang yang tidak perlu dicari.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang sedang ihram membunuh kutu yang terlihat di tubuhnya, melemparkannya, atau membunuh kutu yang halal, maka tidak ada kewajiban tebusan. Kutu bukanlah hewan buruan, dan sekiranya ia hewan buruan, ia tidak dimakan sehingga tidak perlu ditebus. Kutu adalah bagian dari manusia, bukan hewan buruan. Kami berpendapat bahwa jika seseorang mengeluarkannya dari kepalanya lalu membunuhnya atau melemparkannya, maka ia harus membayar tebusan dengan sesuap makanan atau sesuatu yang lebih dari itu. Kami berpendapat demikian karena perbuatan itu seperti menghilangkan gangguan, dan kami memakruhkannya seperti memotong kuku dan rambut.
(Asy-Syafi’i berkata): Telur kutu (pepunden) sama seperti kutu dalam hal kemakruhan membunuhnya dan kebolehannya.
Orang yang Sedang Ihram Membunuh Hewan Buruan Kecil atau Cacat
(Asy-Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Maka tebusannya adalah dengan menyembelih hewan ternak yang sebanding dengan apa yang dibunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 95).
(Asy-Syafi’i berkata): “Kesuaian” berarti kesamaan dalam sifat dan kemiripan, yang sehat dengan yang sehat, yang cacat dengan yang cacat, dan yang sempurna dengan yang sempurna.
(Asy-Syafi’i berkata): Ayat ini tidak mengandung makna selain ini. Namun, jika seseorang secara sukarela memberikan hewan yang besar dan sempurna sebagai ganti hewan yang kecil atau cacat, itu lebih aku sukai, meskipun tidak wajib.
Sa’id bin Salim meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’: “Bagaimana pendapatmu jika aku membunuh hewan buruan, lalu ternyata hewan itu buta sebelah, pincang, atau cacat, apakah aku harus membayar ganti rugi dengan hewan yang serupa jika aku mau?” Atha’ menjawab: “Ya.” Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya lagi: ‘Apakah lebih baik bagimu jika aku membayar dengan hewan yang sempurna?'” Atha’ menjawab: “Ya.”
Sa’id bin Salim mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata: “Jika kamu membunuh anak kijang, maka gantinya adalah anak kambing yang serupa. Jika kamu membunuh anak sapi liar, maka gantinya adalah anak sapi domestik yang serupa.” Dia berkata: “Jika kamu membunuh anak burung, maka gantinya adalah anak kambing yang serupa. Semua itu dihitung berdasarkan keserupaan.”
[Perihal hewan buruan yang berkembang biak di tangan manusia dan penduduk desa]
Sa’id mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’: “Bagaimana pendapatmu tentang hewan buruan yang telah dijinakkan di desa dan berkembang biak di sana, baik burung maupun lainnya, apakah statusnya sama dengan hewan buruan?” Atha’ menjawab: “Ya. Dan kamu tidak boleh menyembelihnya saat ihram, begitu pula dengan hewan yang lahir di desa. Anak-anaknya statusnya sama dengan induknya.”
Sa’id bin Salim mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Umar—tanpa mendengar langsung darinya—bahwa dia berpendapat burung ternak dan kijang peliharaan statusnya sama dengan hewan buruan.
(Imam Syafi’i berkata): “Kami berpegang pada semua ini, dan tidak ada pendapat lain yang diperbolehkan. Jika status hewan buruan berubah dari liar menjadi jinak sehingga hukumnya sama dengan hewan ternak, maka orang yang berihram boleh menyembelihnya, menjadikannya hewan kurban, atau menebus hewan buruan yang dibunuh. Begitu pula jika hewan ternak seperti unta, sapi, atau kambing menjadi liar, maka statusnya menjadi hewan buruan yang boleh dibunuh oleh orang yang berihram, tetapi tidak boleh dijadikan hewan kurban atau tebusan. Namun, semua ini tetap pada hukum aslinya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika hewan liar dan ternak kawin dan menghasilkan anak, maka orang yang berihram tidak boleh membunuhnya. Jika dia membunuhnya, dia harus membayar tebusan penuh. Baik induknya betina maupun jantan, seperti keledai liar yang mengawini keledai betina jinak, atau keledai jantan jinak yang mengawini keledai betina liar, lalu melahirkan anak. Atau ayam jantan yang mengawini burung betina, lalu bertelur atau beranak. Semua ini jika dibunuh oleh orang yang berihram, dia harus membayar tebusan karena hewan yang haram bagi orang yang berihram bercampur dengan yang halal baginya dan tidak bisa dibedakan. Setiap yang haram bercampur dengan yang halal dan tidak bisa dipisahkan, maka statusnya haram, seperti percampuran khamar dengan makanan. Jika pelaku kebingungan apakah hewan yang dibunuh itu liar, campuran, atau jinak, maka dia harus membayar tebusan sebagai langkah hati-hati. Namun, tebusan tidak wajib kecuali jika diketahui bahwa yang dibunuh adalah hewan liar, hasil campuran, atau merusak telur hewan liar atau campurannya.”
[Mukhtashar Hajj al-Mutawassit]
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan bahwa Muhammad bin Idris asy-Syafi’i berkata: “Miqat penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah. Untuk penduduk yang datang dari arah Syam, Maghrib, Mesir, dan lainnya, miqatnya adalah Juhfah. Penduduk Tihamah Yaman miqatnya di Yalamlam, penduduk Najd Yaman dan seluruh Najd miqatnya di Qarn, sedangkan penduduk timur miqatnya di Dzatu ‘Irq. Namun, jika mereka memulai ihram dari ‘Aqiq, itu lebih aku sukai. Miqat berlaku bagi penduduk setempat dan siapa saja yang melewatinya dengan niat haji atau umrah. Jika seseorang dari timur, barat, Syam, Mesir, atau lainnya melewati Dzul Hulaifah, maka itu menjadi miqatnya. Begitu pula jika seorang penduduk Madinah melewati miqat selain miqatnya dan tidak datang dari negerinya, maka miqatnya adalah miqat penduduk daerah yang dia lewati. Miqat untuk haji, umrah, dan qiran adalah sama.”
Dia berkata: “Siapa yang mengambil jalur selain miqat, baik darat maupun laut, maka dia memulai ihram saat sejajar dengan miqat. Dia boleh mengakhirkan ihram sampai di batas miqat atau setelah melewatinya, dan tidak masalah memulai ihram sebelumnya.”
Salah satu dari batas-batas miqat kecuali bahwa tidak ada yang melewati miqat kecuali dalam keadaan berihram. Jika seseorang meninggalkan ihram hingga melewati miqat, ia harus kembali ke miqat tersebut. Jika tidak kembali, ia harus menyembelih dam (hewan kurban). (Imam Syafi’i) berkata: “Jika miqat itu berupa desa, maka seseorang berihram dari ujung desa yang paling jauh dari arah kotanya. Demikian pula jika miqat itu berupa lembah atau dataran tinggi, ia berihram dari ujungnya yang paling jauh dari arah kotanya, yaitu yang paling jauh dari Haram. Minimal, ia harus berihram dari desa tersebut, tidak keluar dari rumah-rumahnya, atau dari lembah, atau dari dataran tinggi kecuali dalam keadaan berihram. Jika seseorang melewati salah satu miqat tanpa niat haji atau umrah, lalu melewatinya, ia tidak perlu berihram. Kemudian jika ia ingin berihram, ia boleh berihram dari tempat yang ia inginkan, dan itu menjadi miqatnya. Barangsiapa yang rumahnya berada sebelum miqat dari arah Haram, maka miqatnya adalah dari tempat ia keluar dari rumahnya. Ia tidak boleh melewati itu kecuali dalam keadaan berihram. Jika ia melewatinya tanpa berihram, lalu berihram setelah melewatinya, ia harus kembali hingga berihram dari rumahnya, dan dalam perjalanan kembali itu ia harus dalam keadaan berihram. Jika tidak kembali, ia harus menyembelih dam.”
[Thaharah untuk Ihram]
(Imam Syafi’i) berkata: “Aku menganjurkan bagi laki-laki dan perempuan, baik yang suci, haid, atau nifas, untuk mandi saat berihram. Jika tidak melakukannya, dan seorang laki-laki berihram tanpa wudhu atau dalam keadaan junub, tidak ada kewajiban mengulang atau membayar kafarah. Apa yang boleh dilakukan oleh perempuan haid, boleh juga dilakukan oleh laki-laki dalam keadaan junub atau tanpa wudhu.”
[Pakaian untuk Ihram]
(Imam Syafi’i) berkata: “Laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dan perbedaan dalam hal pakaian ihram. Dalam hal yang sama, keduanya tidak boleh memakai pakaian yang dicelup dengan wewangian atau pakaian yang mengandung wewangian. Wewangian mencakup za’faran, wars, dan jenis wewangian lainnya. Jika pakaian terkena sesuatu dari wewangian itu, lalu dicuci hingga baunya hilang—baik pakaian itu kering atau basah—tidak masalah memakainya meski warnanya belum hilang. Keduanya boleh memakai pakaian yang dicelup dengan bahan non-wewangian seperti sidr, mudar, warna hitam, atau ‘ushfur meski berdebu. Aku lebih suka jika keduanya memakai pakaian putih dan lebih suka jika pakaian mereka baru atau telah dicuci. Jika tidak baru atau belum dicuci, tidak masalah. Mereka boleh mencuci pakaiannya dan memakai pakaian yang belum digunakan untuk berbuat dosa. Laki-laki tidak boleh memakai sorban, celana panjang, khuff (sepatu kulit), gamis, atau pakaian berjahit seperti qaba’, dira’ah, atau sejenisnya. Ia tidak boleh memakai sesuatu dari ini kecuali jika terpaksa. Jika tidak menemukan izar (kain ihram), ia boleh memakai celana panjang tanpa memotongnya. Jika tidak menemukan sandal, ia boleh memakai khuff dan memotongnya di bawah mata kaki. Sufyan mengabarkan kepada kami, ia mendengar Amr bin Dinar berkata, ia mendengar Abu Syi’tsa’ berkata, ia mendengar Ibnu Abbas berkata, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika orang yang berihram tidak menemukan sandal, ia boleh memakai khuff. Jika tidak menemukan izar, ia boleh memakai celana panjang.’ Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak menemukan sandal, ia boleh memakai khuff dan memotongnya di bawah mata kaki.'”
(Imam Syafi’i) berkata: “Jika orang yang berihram terpaksa memakai sesuatu selain celana panjang atau khuff, ia boleh memakainya dengan membayar fidyah. Fidyahnya adalah puasa tiga hari, menyembelih seekor kambing, atau memberi makan enam orang miskin, masing-masing satu mud (sekitar 0,6 kg) sesuai ukuran mud Nabi ﷺ. Perempuan boleh memakai khimar (kerudung) dan khuff tanpa memotongnya, serta celana panjang tanpa ada keperluan mendesak. Ia juga boleh memakai dira’ah, gamis, atau qaba’. Yang haram baginya adalah menutup wajah dengan pakaian, jadi ia tidak boleh menutup wajahnya tetapi boleh menutup kepalanya. Jika sengaja menutup wajah, ia harus membayar fidyah. Jika laki-laki yang berihram sengaja menutup kepalanya, ia juga harus membayar fidyah. Namun, ia boleh menutup wajahnya, dan perempuan boleh menjauhkan pakaian dari wajahnya untuk menutupi diri.”
Dan dia menjauhkan kerudung kemudian menjulurkannya ke wajahnya tanpa menyentuh wajahnya. Laki-laki dan perempuan memakai ikat pinggang untuk menyimpan dirham dan dinar di atas atau di bawah pakaian. (Imam Syafi’i) berkata: Jika seorang perempuan atau laki-laki memakai sesuatu yang tidak seharusnya mereka pakai karena lupa, atau memakai wewangian karena lupa ihramnya, atau tidak tahu hukumnya, maka mereka cukup mandi dan melepas pakaian itu tanpa perlu membayar fidyah. Diriwayatkan oleh Sufyan dari Amr bin Dinar dari Atha’ dari Shafwan bin Ya’la dari ayahnya: “Seorang badui datang kepada Nabi SAW dengan memakai pakaian yang dijahit dan ada bekas kunyit di tubuhnya. Dia berkata, ‘Aku berihram untuk umrah dalam keadaan seperti ini.’ Nabi bertanya, ‘Apa yang akan kamu lakukan jika ini haji?’ Dia menjawab, ‘Aku akan melepas ikat pinggang dan mencuci bekas kunyit ini.’ Nabi bersabda, ‘Lakukan dalam umrahmu apa yang kamu lakukan dalam hajimu.’”
(Imam Syafi’i) berkata: Nabi SAW tidak memerintahkan membayar kafarat. Tidak mengapa seorang perempuan yang berihram memakai sarung tangan. Sa’ad bin Abi Waqqash memerintahkan putri-putrinya untuk memakai sarung tangan saat ihram, tetapi perempuan yang berihram tidak boleh menutup wajahnya dengan cadar.
(Imam Syafi’i) berkata: Jika seorang yang berihram meninggal, jangan diberi wewangian, dimandikan dengan air dan daun sidr, tidak dipakaikan kemeja, wajahnya ditutup tetapi kepalanya tidak. Perlakukan dia dalam kematian sebagaimana dia memperlakukan dirinya saat hidup. Diriwayatkan oleh Sufyan dari Amr bin Dinar dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas: “Kami bersama Nabi SAW ketika seorang laki-laki yang berihram terjatuh dari untanya dan meninggal. Nabi bersabda, ‘Mandikan dia dengan air dan daun sidr, kafani dengan dua kain yang dipakainya saat meninggal, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.’” Sufyan menambahkan dari Ibrahim bin Abi Jurah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW dengan tambahan, “Jangan beri dia wewangian.” Diriwayatkan oleh Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab bahwa Utsman bin Affan melakukan hal serupa pada anaknya yang meninggal dalam keadaan ihram.
(Imam Syafi’i) berkata: Orang yang berihram boleh berteduh di bawah tandu, kendaraan, atau tanah dengan apa saja selama tidak menutupi kepala.
[Wewangian untuk Ihram]
(Imam Syafi’i) berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ibnu Syihab dan Hisyam bin Urwah atau Utsman bin Urwah dari Urwah dari Aisyah dan Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah: “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah SAW dengan kedua tanganku untuk ihram sebelum beliau berihram dan untuk tahallul sebelum beliau thawaf di Ka’bah.” Utsman bin Urwah menambahkan dari ayahnya: Aku bertanya, “Dengan apa?” Aisyah menjawab, “Dengan wewangian terbaik.” Diriwayatkan oleh Sufyan dari Ibnu Ajlan dari Aisyah binti Sa’d bahwa dia memakaikan wewangian kepada ayahnya untuk ihram dengan misk dan dzarirah. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Salim dari Hasan bin Zaid (aku yakin dia mendengarnya dari Hasan) dari ayahnya: “Aku melihat Ibnu Abbas dalam keadaan ihram dengan kepala dan janggutnya seperti dipenuhi minyak wangi.”
(Imam Syafi’i) berkata: Tidak mengapa laki-laki dan perempuan yang berihram memakai wewangian terkuat seperti minyak wangi atau parfum lainnya, karena wewangian itu dipakai saat halal (sebelum ihram). Jika bekasnya masih ada saat ihram, maka ihram adalah keadaan baru setelahnya. Jika mereka berihram, tidak boleh memakai wewangian atau menyentuhnya. Jika mereka sengaja menyentuhnya dengan tangan dan bekas atau aromanya masih menempel, maka wajib membayar fidyah, baik sedikit maupun banyak. Jika wewangian itu kering dan tidak meninggalkan bekas tetapi masih beraroma, tidak perlu fidyah. Tidak mengapa duduk di dekat penjual wewangian, masuk ke tokonya, atau membeli wewangian selama tidak menyentuhnya dengan tubuh. Boleh duduk di dekat Ka’bah saat dibakar wewangian dan menyentuhnya selama tidak basah. Jika mereka menyentuhnya tanpa sadar bahwa itu basah dan menempel di tangan, cukup dicuci tanpa kewajiban apa pun.
Jika mereka sengaja menyentuh wewangian dalam keadaan basah lalu menempel di tangan mereka, maka mereka harus membayar fidyah. Mereka juga tidak boleh mengoleskan atau menyentuh sedikit pun wewangian yang harum, seperti misik, bunga lily, khiri, atau minyak yang mengandung rempah-rempah. Jika mereka menyentuh sesuatu dari ini dengan sengaja, mereka wajib membayar fidyah. Jika mereka mencium bau basil, mereka juga wajib membayar fidyah. Namun, jika mereka mencium bau tumbuhan dari bumi yang harum tetapi tidak biasa digunakan sebagai wewangian oleh orang-orang, maka tidak ada fidyah. Demikian pula jika mereka memakan apel, menciumnya, atau memakan buah sitrun, quince, atau makanan lainnya, tidak ada fidyah. Jika mereka memasukkan saffron atau wewangian ke dalam makanan sehingga tercium baunya, terasa rasanya, atau mewarnai lidah, lalu mereka memakannya, maka mereka wajib membayar fidyah. Jika baunya, rasanya, atau warnanya tidak terdeteksi, maka tidak ada fidyah karena sudah larut dalam makanan. Hal ini berlaku baik makanan mentah maupun matang, tidak ada perbedaan. Mereka boleh mengoleskan minyak seperti minyak zaitun, minyak wijen, samin, mentega, atau minyak lainnya yang tidak harum ke seluruh tubuh mereka, asalkan tidak mengoleskan kepala atau janggut, karena kedua bagian itu adalah tempat wewangian. Jika seseorang mengoleskan kepala atau janggut dengan wewangian, maka wajib membayar fidyah. Jika mereka perlu berobat dengan sesuatu yang harum, mereka boleh melakukannya asalkan membayar fidyah.
Setiap wewangian atau benda beraroma yang dilarang untuk dihirup atau dipakai oleh orang yang berihram, juga dilarang untuk dijadikan alas tidur. Jika tidur di atasnya dengan kulit bersentuhan langsung, wajib membayar fidyah. Namun, jika ada kain penghalang, tidak ada fidyah.
[Talbiyah]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang ingin berihram, baik pernah haji atau belum, ia boleh memulai dengan umrah, haji dan umrah sekaligus, atau haji saja. Yang paling aku sukai adalah haji saja, karena menurut riwayat yang sahih, Nabi SAW melaksanakan haji saja. (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah bahwa Nabi SAW melaksanakan haji saja).
Niat cukup dalam semua ini, baik menyebut haji atau umrah. Jika menyebutnya sebelum atau saat berihram, tidak masalah. Jika seseorang mengucapkan talbiyah untuk haji padahal berniat umrah, maka itu dianggap umrah. Jika mengucapkan talbiyah untuk umrah padahal berniat haji, maka itu dianggap haji. Jika mengucapkan talbiyah tanpa niat haji atau umrah, maka tidak sah. Jika mengucapkan talbiyah dengan niat ihram tetapi tidak menentukan haji atau umrah, ia boleh memilih salah satunya. Jika sudah berniat salah satunya tetapi lupa, maka ia dianggap qarin (haji dan umrah sekaligus) dan tidak boleh menggantinya.
Talbiyah diucapkan dengan: “Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syarika lak.” Tidak dianjurkan menambahkan kata lain kecuali jika melihat sesuatu yang mengagumkan, boleh mengucapkan “Labbaik innal ‘aysya ‘aysyul akhirati.” Tidak ada riwayat bahwa Nabi SAW menambahkan talbiyah kecuali dalam kondisi tertentu. Setelah selesai bertalbiyah, disunnahkan bershalawat kepada Nabi SAW, memohon ridha dan surga Allah, serta berlindung dari neraka.
Talbiyah boleh diucapkan dalam segala kondisi: berdiri, duduk, berkendara, turun, junub, atau suci. Suara talbiyah boleh dikeraskan di semua masjid, tempat shalat berjamaah, atau tempat lainnya. Wanita tidak perlu mengeraskan suara talbiyah, cukup terdengar oleh dirinya sendiri. Para salaf menganjurkan bertalbiyah saat berkumpul dengan rombongan, saat berada di ketinggian, saat turun, dan setelah shalat.
Pada waktu sahur dan saat menyambut malam, sementara kita terus melantunkan talbiyah dalam segala keadaan.
[Shalat saat Ihram]
(Imam Syafi’i berkata): Ketika seseorang hendak memulai ihram, aku menganjurkannya untuk shalat sunnah terlebih dahulu, kemudian menaiki kendaraannya. Ketika kendaraannya telah tegak dan menghadap kiblat siap berjalan, barulah ia berihram. Jika ia berjalan kaki, maka ketika ia menghadap kiblat sambil berjalan, ia berihram.
(Imam Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir bahwa Nabi � bersabda kepada mereka, “Jika kalian berangkat menuju Mina, bertalbiyahlah.”
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi � bahwa beliau tidak melihat beliau bertalbiyah hingga kendaraannya berjalan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang bertalbiyah sebelum itu atau bertalbiyah setelah shalat fardhu atau di luar waktu shalat, maka tidak mengapa, insya Allah. Orang yang haji atau qiran tetap bertalbiyah saat thawaf di Ka’bah, di Shafa dan Marwah, dan dalam segala keadaan. Jika dia seorang imam, maka di atas mimbar di Mekah, di Arafah, dan bertalbiyah di tempat wukuf di Arafah, setelah berangkat dari Arafah, di Muzdalifah, saat wukuf di Muzdalifah, dan ketika berangkat dari Muzdalifah hingga melempar jumrah dengan batu pertama, kemudian menghentikan talbiyah. Muslim dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Al-Fadhl bin Abbas mengabarkan kepadaku bahwa Nabi � memboncengkannya dari Muzdalifah ke Mina, dan beliau terus bertalbiyah hingga melempar jumrah.” Sufyan mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas dari Al-Fadhl bin Abbas dari Nabi � seperti itu.
(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Nabi � seperti itu. Umar bertalbiyah hingga melempar jumrah, begitu pula Maimunah istri Nabi � hingga melempar jumrah, Ibnu Abbas hingga melempar jumrah, Atha’, Thawus, dan Mujahid.
(Imam Syafi’i berkata): Orang yang umrah tetap bertalbiyah hingga memulai thawaf, baik menyentuh Hajar Aswad atau tidak. Muslim dan Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Orang yang umrah tetap bertalbiyah hingga memulai thawaf, baik menyentuh Hajar Aswad atau tidak.”
(Imam Syafi’i berkata): Talbiyah berlaku sama, baik orang yang berihram dari luar miqat, di miqat, di bawah miqat, orang Mekah, atau selainnya.
[Mandi setelah Ihram]
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang yang berihram mandi untuk mendinginkan badan atau tidak, menuangkan air ke kepalanya. Jika menyentuh rambutnya, hendaknya dilakukan dengan lembut agar tidak tercabut. Demikian pula tidak mengapa berendam di air dan mencelupkan kepalanya. Nabi � pernah mandi dalam keadaan ihram. Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdul Karim Al-Jazari dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Umar pernah berkata kepadaku, ‘Kemarilah, mari kita berlomba di air, siapa yang lebih tahan napas?’ sementara kami dalam keadaan ihram.”
Sufyan mengabarkan kepada kami bahwa seorang anak Umar dan keponakannya pernah berlomba di air di hadapannya dalam keadaan ihram, dan Umar tidak melarang mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang yang berihram masuk ke pemandian. Seorang yang tsiqah (terpercaya), entah Sufyan atau lainnya, mengabarkan kepada kami dari Ayyub As-Sakhtiyani dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dia pernah masuk pemandian di Juhfah dalam keadaan ihram.
(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Abi Najih mengabarkan kepada kami bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam pernah meminta untuk menggosok kotoran di punggungnya sambil menggaruknya dalam keadaan ihram.
[Mandi bagi Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang yang berihram menggosok badannya dengan air atau lainnya, bahkan menggaruknya hingga berdarah jika dia mau.
Tidak mengapa seseorang menggaruk kepala dan jenggotnya, dan lebih disukai jika menggaruknya dengan bagian dalam jari-jarinya agar tidak memutus rambut. Jika dia menggaruk atau menyentuhnya lalu ada rambut yang rontok dari kepala atau jenggotnya, lebih baik baginya untuk membayar fidyah sebagai tindakan hati-hati, meskipun tidak wajib kecuali dia yakin bahwa rambut itu rontok karena perbuatannya. Sebab, bisa saja rambut itu sudah rontok sebelumnya dan hanya terbawa saat disentuh. Fidyah untuk satu helai rambut adalah satu mud (dengan takaran Nabi ﷺ) gandum yang disedekahkan kepada seorang miskin. Untuk dua helai, dua mud kepada dua orang miskin, dan untuk tiga helai atau lebih, wajib menyembelih seekor domba. Tidak ada tambahan fidyah meskipun rambut yang rontok banyak.
[Apa yang Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari ‘Atha’ dan Thawus—salah seorang atau keduanya—dari Ibnu Abbas bahwa “Nabi ﷺ berbekam saat sedang berihram.”
(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang yang berihram berbekam, baik karena kebutuhan atau tidak. Dia juga tidak boleh mencukur rambut. Begitu pula, boleh membuka pembuluh darah, mengobati luka, atau memotong anggota tubuh untuk pengobatan tanpa dikenakan denda apa pun. Namun, jika dia ingin berhati-hati dengan membayar fidyah saat memotong anggota tubuh yang berambut, itu lebih baik, meskipun tidak wajib karena yang dipotong bukan rambutnya melainkan anggota tubuh yang diperbolehkan. Orang yang berihram juga boleh berkhitan dan menempelkan obat tanpa dikenakan denda. Jika dia menunaikan haji dalam keadaan belum berkhitan, hajinya tetap sah. Jika dia mengobati luka dengan menempelkan kain atau obat, tidak ada fidyah kecuali jika dilakukan di kepala, maka wajib membayar fidyah.
[Apa yang Tidak Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i berkata): Orang yang berihram tidak boleh memotong rambut atau kukunya. Jika ada kuku yang patah dan masih menggantung, boleh memotong bagian yang patah asalkan tidak terhubung dengan kuku yang utuh. Tidak boleh memotong bagian yang masih menempel karena itu dianggap bagian dari kuku yang utuh. Jika dia memotong satu kuku, wajib memberi makan seorang miskin. Jika memotong dua kuku, memberi dua orang miskin. Jika memotong tiga kuku sekaligus, wajib menyembelih seekor domba. Jika dipotong terpisah, wajib memberi satu mud untuk setiap kuku. Aturan yang sama berlaku untuk rambut. Baik lupa atau sengaja, hukumnya sama dalam hal memotong kuku, rambut, atau membunuh buruan, karena itu termasuk perbuatan yang tidak bisa dikembalikan.
Orang yang berihram boleh memotong kuku atau mencukur rambut orang yang sudah tahallul. Namun, orang yang sudah tahallul tidak boleh memotong kuku atau mencukur rambut orang yang masih berihram. Jika dia melakukannya atas perintah orang yang berihram, fidyah dibebankan kepada orang yang berihram. Jika dilakukan tanpa perintah—misalnya saat orang yang berihram tidur atau dipaksa—orang yang berihram tetap wajib membayar fidyah, tetapi boleh menuntut ganti rugi dari pelakunya.
[Bab tentang Buruan bagi Orang yang Berihram]
(Imam Syafi’i berkata): Buruan darat terbagi menjadi tiga jenis: yang halal dimakan dan yang tidak. Yang halal dimakan terdiri dari dua jenis: burung dan hewan darat. Untuk hewan darat yang diburu, ditentukan tebusannya berdasarkan hewan ternak yang paling mirip. Hewan ternak meliputi unta, sapi, dan kambing.
– Untuk burung unta: seekor unta.
– Untuk sapi liar: seekor sapi.
– Untuk keledai liar: seekor sapi.
– Untuk rusa: seekor sapi.
– Untuk kijang: seekor kambing betina.
– Untuk dubuk: seekor domba jantan.
– Untuk kelinci: seekor kambing muda.
– Untuk tikus padang: seekor anak kambing.
– Untuk anak hewan-hewan tersebut: hewan kecil yang sesuai.
Anak-anak ini, jika ada yang terluka atau patah, maka tebusannya adalah yang serupa, terluka atau patah. Namun, jika menebus dengan yang sehat, itu lebih aku sukai. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zubair dari Jabir bahwa Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- memutuskan tebusan untuk dhab’ (sejenis kijang) dengan seekor kambing kibas, untuk ghazal (rusa) dengan seekor kambing betina, untuk arnab (kelinci) dengan seekor anak kambing betina, dan untuk yarbu’ (tikus padang) dengan seekor anak kambing.
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdul Karim Al-Jazari dari Abu ‘Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya, Ibnu Mas’ud, bahwa dia memutuskan tebusan untuk yarbu’ dengan seekor jafr (anak kambing) atau jafrah (anak kambing betina).
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Mukhariq dari Thariq bahwa Arbad menginjak dhab (kadal gurun) hingga mematahkan punggungnya, lalu dia mendatangi Umar dan bertanya. Umar berkata, “Apa pendapatmu?” Dia menjawab, “Seekor anak kambing yang telah memadukan air dan pepohonan.” Umar berkata, “Itulah tebusannya.”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Mutharrif dari Abu As-Safar bahwa Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- memutuskan tebusan untuk umm hubain (sejenis burung) dengan dua anak kambing. Anak kambing adalah al-hamal.
Abdul Wahhab mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Syuraih bahwa dia berkata, “Seandainya aku memiliki wewenang menghukum, niscaya aku akan memutuskan tebusan untuk rubah dengan seekor anak kambing.”
Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa dia berkata tentang hewan buruan kecil, “Tebusannya adalah anak kambing kecil. Untuk yang cacat, tebusannya adalah kambing yang cacat. Namun, jika dia menebus dengan kambing dewasa yang sehat, itu lebih aku sukai.”
(Dia berkata,) “Jika seseorang memukul hewan buruan hingga melukainya, dan tidak diketahui apakah hewan itu mati atau hidup, maka menurutku dia wajib membayar nilai kerugian akibat luka tersebut. Jika itu adalah seekor dhab (kijang), maka nilainya dihitung antara yang sehat dan yang terluka. Jika kerugiannya sepersepuluh, maka dia wajib membayar sepersepuluh dari harga seekor kambing. Demikian pula jika itu sapi atau unta. Jika kemudian ada orang lain yang membunuhnya, maka dia wajib membayar seekor kambing yang terluka. Namun, jika dia menebus dengan yang sehat, itu lebih aku sukai. Dan lebih aku sukai jika dia menebusnya sebagai bentuk kehati-hatian ketika melukainya lalu hewan itu menghilang.
Jika dia mematahkannya, maka dia wajib memberinya makan hingga sembuh dan bisa berdiri. Jika tidak bisa berdiri, maka dia wajib membayar tebusan penuh.
Jika dia memukul seekor dhab yang sedang hamil hingga mati, maka dia wajib membayar nilai seekor kambing yang hamil untuk disedekahkan. Karena jika aku memerintahkannya untuk menyembelih seekor kambing yang hamil, itu lebih buruk bagi orang miskin daripada kambing yang tidak hamil. Jika aku ingin menambah untuk mereka, aku tidak akan menambah sesuatu yang justru mengurangi manfaat bagi mereka. Tetapi aku akan menambah nilai harganya dan memberikannya sebagai makanan.”
(Dia berkata,) “Jika seorang muhrim (orang yang sedang ihram) membunuh hewan buruan yang wajib ditebus, maka dia boleh menebusnya dengan hewan yang serupa jika dia mau. Jika tidak ingin menebus dengan yang serupa, maka nilai hewan tersebut dihitung dalam dirham, kemudian dirham itu dibelikan makanan, lalu makanan itu disedekahkan. Jika dia ingin berpuasa, maka dia berpuasa satu hari untuk setiap mud (ukuran tertentu). Tidak cukup baginya untuk bersedekah dengan makanan atau daging kecuali di Mekah atau Mina. Jika dia bersedekah di luar Mekah atau Mina, maka dia harus mengulanginya di Mekah atau Mina. Dan itu cukup baginya, baik sebelum tahallul maupun setelahnya. Jika dia telah menyelesaikan haji tetapi belum menebus, maka dia harus mengirim tebusannya agar bisa dibayarkan. Jika dia menebus dengan puasa, maka dia boleh berpuasa di mana saja, karena puasanya tidak memberi manfaat bagi orang miskin Haram.
Jika seorang muhrim membunuh hewan buruan, baik sengaja maupun tidak sengaja, maka dia wajib menebusnya. Jika dia membunuh hewan buruan, maka dia wajib menebusnya. Setiap kali dia mengulangi perbuatan itu, dia wajib menebus setiap hewan yang dibunuhnya. Jika dia membunuh hewan lalu memakannya, maka tidak ada tambahan kewajiban karena memakannya, tetapi itu perbuatan yang buruk.
Jika dua orang muhrim atau lebih membunuh seekor hewan buruan, maka mereka semua wajib membayar satu tebusan bersama.”
(Asy-Syafi’i berkata,) Malik mengabarkan kepada kami dari Abdul Malik bin Qarib dari Ibnu Sirin bahwa Umar dan seorang sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- (Malik berkata: dia adalah Abdurrahman bin ‘Auf) memutuskan terhadap dua orang yang menginjak seekor dhab hingga mematahkannya, bahwa mereka berdua wajib menebus dengan seekor kambing.
Seorang yang terpercaya mengabarkan kepadaku dari Hammad bin Salamah dari Ziyad, mantan budak Bani Makhzum -dan dia orang yang terpercaya- bahwa sekelompok orang yang sedang ihram membunuh hewan buruan. Ibnu Umar berkata kepada mereka, “Kalian wajib membayar tebusan.” Mereka bertanya, “Apakah setiap orang dari kami wajib membayar tebusan, atau kami semua wajib membayar satu tebusan bersama?” Ibnu Umar menjawab, “Itu akan memberatkan kalian. Sebenarnya, kalian semua wajib membayar satu tebusan bersama.”
Imam Syafi’i berkata: Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ tentang sekelompok orang yang bersekutu dalam membunuh hewan buruan, ia berkata: “Mereka semua dikenakan satu tebusan.” (Imam Syafi’i) berkata: “Ini sesuai dengan Kitab Allah -Azza wa Jalla-, karena Allah -Tabaraka wa Ta’ala- berfirman: {Maka tebusannya adalah dengan menyembelih hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya} [QS. Al-Maidah: 95]. Ini adalah kesepadanan. Barangsiapa yang mengatakan ada dua tebusan, maka ia telah menyalahi makna Al-Qur’an.”
[Buruan Burung]
(Imam Syafi’i) berkata: “Burung terbagi dua: merpati dan selain merpati. Jika yang diburu adalah merpati, baik jantan maupun betina, maka tebusannya adalah seekor kambing, mengikuti tradisi dan karena orang Arab selalu membedakan antara merpati dan burung lainnya, serta menyebut merpati sebagai pemimpin burung. Merpati mencakup semua yang berkotek dan bermain di air. Mereka menyebutnya dengan berbagai nama seperti hamam, yamam, dabasi, qamari, fawakhit, dan lainnya yang berkotek.” Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Amr dari Atha’ dari Ibnu Abbas bahwa ia memutuskan tebusan seekor merpati dari merpati Mekah dengan seekor kambing.
(Imam Syafi’i) berkata: “Umar, Utsman, Nafi’ bin Abdul Harits, Abdullah bin Umar, Ashim bin Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, dan Atha’ juga berpendapat demikian.” (Imam Syafi’i) berkata: “Ini berlaku jika merpati itu diburu di Mekah atau diburu oleh orang yang sedang ihram.” (Imam Syafi’i) berkata: “Untuk burung selain merpati, tebusannya adalah nilai burung tersebut di tempat ia diburu.”
Aku (Imam Syafi’i) bertanya: “Atau jika burung itu dihancurkan?” (Imam Syafi’i) berkata: “Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Bukair bin Abdullah dari Al-Qasim dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang orang yang sedang ihram membunuh belalang. Ia menjawab: ‘Hendaknya ia bersedekah dengan segenggam makanan.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Ambillah segenggam belalang, tetapi itu hanya pendapat.'” (Imam Syafi’i) berkata: “Umar berpendapat tentang belalang dengan satu kurma.”
(Imam Syafi’i) berkata: “Setiap hewan buruan yang ditebus, seperti burung unta, merpati, dan lainnya, jika telurnya diambil, maka tebusannya adalah nilai telur tersebut di tempat ia diambil, seperti nilainya jika diambil oleh seseorang. Jika hewan buruan milik seseorang dibunuh, maka orang yang sedang ihram wajib membayar nilainya dalam dirham atau dinar kepada pemiliknya, dan tebusannya untuk orang miskin. Apa pun yang dibunuh oleh orang yang sedang ihram, baik di tanah halal atau haram, baik sebagai qarin, mufrad, atau mutamatti’, tebusannya sama dan tidak bertambah karena jauhnya tanah haram, karena sedikit atau banyaknya tanah haram sama saja dalam larangan berburu. Setiap yang dibunuh oleh orang yang sedang ihram hingga ia keluar dari ihramnya, yang wajib ditebus, maka ia harus menebusnya. Keluar dari umrah adalah dengan thawaf, sa’i, mencukur, atau memendekkan rambut. Keluar dari haji ada dua tahap:
Pertama: melempar jumrah dan mencukur. Jika ia membunuh hewan buruan di luar tanah haram, maka tidak ada tebusan karena ia telah keluar dari seluruh ihramnya kecuali larangan wanita. Begitu pula jika ia thawaf di Ka’bah atau mencukur setelah Arafah meskipun belum melempar jumrah. Orang yang sedang ihram boleh memakan daging buruan selama ia tidak memburunya atau diburu untuknya.” (Imam Syafi’i) berkata: “Ibnu Abi Yahya mengabarkan kepada kami dari Amr bin Abi Amr, maula Al-Muththalib, dari Al-Muththalib bin Abdullah bin Hanthab dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi wa Sallam- bersabda: ‘Daging buruan halal bagi kalian selama ihram asalkan kalian tidak memburunya atau diburu untuk kalian.'” (Imam Syafi’i) berkata: “Demikian juga yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Bilal.” (Imam Syafi’i) berkata: “Ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Amr bin Abi Amr dari seorang laki-laki dari Bani Salamah dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi wa Sallam- bersabda: ‘Daging buruan halal bagi kalian selama ihram asalkan kalian tidak memburunya atau diburu untuk kalian.'”
(Imam Syafi’i) berkata: “Ibnu Abi Yahya lebih hafizh daripada Ad-Darawardi.” (Imam Syafi’i) berkata: “Jika…”
Bahwa seorang yang sedang ihram memburu hewan buruan, lalu orang lain menyembelihnya, kemudian dia memakannya, maka dia telah memakan sesuatu yang haram baginya, tetapi tidak ada kewajiban membayar denda (fidyah) karena Allah Ta’ala hanya menetapkan denda bagi yang membunuhnya, sedangkan dia tidak membunuhnya. Dia juga boleh memakan bangkai yang haram, tetapi tidak ada kewajiban denda.
Jika seorang yang sedang ihram menunjukkan hewan buruan yang halal kepada orang lain, atau memberinya senjata, atau mengangkutnya dengan hewan tunggangan untuk dibunuh, lalu hewan itu dibunuh, maka tidak ada kewajiban denda baginya, tetapi dia telah berbuat buruk. Sebagaimana jika dia menyuruh orang lain untuk membunuh seorang muslim, maka hukuman qisas dibebankan kepada si pembunuh, bukan kepada yang menyuruh, meskipun yang menyuruh tetap berdosa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang yang halal (tidak sedang ihram) memburu hewan buruan, lalu seorang yang sedang ihram membelinya atau diberi hadiah, kemudian menyembelihnya, maka dia wajib membayar denda karena dia telah membunuhnya. Seorang yang halal membunuh hewan buruan di tanah haram sama seperti seorang yang sedang ihram membunuhnya di tanah haram atau dalam keadaan ihram, dan dia wajib membayar denda jika membunuhnya.
[Memotong Pohon di Tanah Haram]
(Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang menebang pohon di tanah haram, baik dia dalam keadaan halal atau haram, wajib membayar denda. Untuk pohon kecil dendanya seekor kambing, sedangkan untuk pohon besar dendanya seekor sapi. Ini diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha’.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang sedang ihram boleh menebang pohon di luar tanah haram karena pohon bukanlah hewan buruan.
[Hewan Buruan yang Tidak Boleh Dimakan]
(Imam Syafi’i berkata): Hewan buruan yang tidak boleh dimakan dagingnya terbagi menjadi dua jenis:
- Jenis yang berbahaya dan merugikan, serta tidak boleh dimakan, sehingga boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram, seperti singa, serigala, macan, gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing buas. Orang yang sedang ihram boleh membunuhnya, baik yang kecil maupun yang besar, karena termasuk jenis yang boleh dibunuh. Dia juga boleh membunuhnya meskipun tidak membahayakan.
- Jenis yang tidak boleh dimakan dan tidak berbahaya, seperti burung kecil, burung pemakan bangkai, kumbang, dan sejenisnya. Saya tidak mengetahui ketentuan denda untuk jenis ini, tetapi saya memerintahkannya untuk membunuhnya. Jika dia membunuhnya, tidak ada kewajiban denda karena bukan termasuk hewan buruan.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, dia berkata: “Seorang yang sedang ihram tidak wajib membayar denda dari hewan buruan kecuali yang boleh dimakan dagingnya.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan makna Al-Qur’an dan Sunnah.
Seorang yang sedang ihram boleh membunuh kutu, caplak, kutu busuk, dan nyamuk. Namun, jika kutu berada di kepalanya, saya tidak suka jika dia membasminya karena itu termasuk menghilangkan gangguan. Saya tidak menyukainya jika dia membunuhnya, tetapi saya memerintahkannya untuk bersedekah sebagai gantinya, meskipun tidak wajib. Jika kutu muncul di kulitnya, dia boleh membuang dan membunuhnya.
[Membunuh Hewan yang Halal]
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Maimun bin Mihran, dia berkata: “Saya duduk bersama Ibnu Abbas, lalu seorang lelaki datang—saya belum pernah melihat orang yang rambutnya lebih panjang darinya—dan berkata: ‘Saya berihram dalam keadaan rambut seperti ini.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Selimutilah rambutmu yang berada di bawah telinga.’
Lelaki itu berkata: ‘Saya mencium seorang wanita yang bukan istriku.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Itu zina, bertobatlah.’
Lelaki itu berkata: ‘Saya melihat kutu lalu membuangnya.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Itu sesuatu yang tersesat, tidak perlu dicari.’
Diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Rabi’ah bin Al-Hudair bahwa dia melihat Umar bin Al-Khattab menuntun untanya di lumpur di Saqya dalam keadaan ihram.
(Imam Syafi’i berkata): Ibnu Abbas berkata: “Tidak mengapa seorang yang sedang ihram membunuh kutu dan caplak.”
[Hasil Tangkapan Laut]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Dihalalkan bagimu hasil tangkapan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Maidah: 96). Dan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidak sama dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12). (Imam Syafi’i berkata): Maka segala sesuatu yang termasuk hasil tangkapan, baik dari sumur, air yang tergenang, atau lainnya, itu dianggap sebagai laut. Sama saja, baik di tanah halal atau haram, boleh ditangkap dan dimakan karena termasuk yang tidak dilarang oleh keharaman apa pun. Yang disebut hasil tangkapan laut hanyalah hewan yang sebagian besar hidupnya di laut. Adapun burung yang hinggap di daratan sekitar laut, maka itu termasuk hasil tangkapan darat. Jika ditangkap, wajib membayar denda.
[Memasuki Mekah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Dianjurkan bagi seseorang yang hendak memasuki Mekah untuk mandi di pinggir kota, kemudian langsung menuju Ka’bah tanpa berhenti, dan memulai dengan tawaf. Jika ia tidak mandi atau berhenti karena suatu keperluan, tidak masalah. Ketika melihat Ka’bah, ucapkan: “Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, penghormatan, dan kewibawaan bagi rumah ini. Dan tambahkanlah kemuliaan, keagungan, dan keberkahan bagi orang yang berhaji atau umrah kepadanya dengan kemuliaan, keagungan, penghormatan, dan kebaikan. Ya Allah, Engkau Maha Pemberi Keselamatan, dan dari-Mu lah keselamatan. Hidupkanlah kami, wahai Tuhan kami, dengan keselamatan.”
Ketika sampai untuk tawaf, lakukan idtiba’ (meletakkan selendang di bawah ketiak kanan dan mengembalikannya ke bahu kiri) sehingga bahu kanan terbuka. Kemudian, usap Hajar Aswad jika memungkinkan, dan ucapkan saat mengusapnya: “Ya Allah, (aku lakukan ini) dengan iman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, dan mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
Selanjutnya, berjalan ke arah kanan dan lakukan ramal (berlari-lari kecil) selama tiga putaran dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad tanpa diselingi jalan biasa, lalu berjalan biasa empat putaran. Jika terlalu ramai sehingga tidak bisa ramal, maka jika berhenti tidak mengganggu orang lain, ia boleh berhenti hingga ada celah. Namun, jika berhenti mengganggu orang lain, ia boleh berjalan biasa bersama orang banyak, dan setiap ada celah, ia boleh ramal. Lebih baik jika ia menepi ke pinggir kerumunan orang lalu ramal.
Jika ia meninggalkan ramal dalam satu putaran tawaf, ia boleh menggantinya di putaran lain. Jika ia meninggalkannya dalam dua putaran, ia bisa ramal di satu putaran. Namun, jika ia meninggalkannya dalam tiga putaran, tidak perlu mengganti karena kesempatannya telah berlalu, tidak ada denda atau kewajiban mengulang. Sama saja, baik ia lupa atau sengaja, kecuali jika sengaja meninggalkannya, itu termasuk perbuatan buruk. Begitu pula dengan idtiba’ dan mengusap Hajar Aswad, jika ditinggalkan, tidak ada denda atau kewajiban mengulang.
(Imam Syafi’i berkata): Lebih baik mengusap Hajar Aswad ketika memungkinkan. Tidak perlu mengusap semua rukun Ka’bah kecuali Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Rukun Yamani cukup diusap dengan tangan lalu dicium tangannya, tidak perlu mencium rukunnya. Sedangkan Hajar Aswad diusap dengan tangan lalu dicium tangan dan batu itu sendiri jika memungkinkan tanpa khawatir terluka pada mata atau wajah.
Setiap kali sejajar dengan Hajar Aswad, disunnahkan bertakbir dan berdoa saat ramal: “Ya Allah, jadikanlah haji ini haji yang mabrur, dosa yang diampuni, dan usaha yang disyukuri.” Sedangkan dalam empat putaran lainnya, ucapkan: “Ya Allah, ampunilah, rahmatilah, dan maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Mulia lagi Maha Pemurah. Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari azab neraka.”
Setelah selesai tawaf, shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Pada rakaat pertama, baca Surah Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua, baca Surah Al-Ikhlas, masing-masing setelah Al-Fatihah. Kemudian kembali ke Hajar Aswad untuk mengusapnya. Di mana pun shalat, itu cukup. Apa pun yang dibaca setelah Al-Fatihah, itu juga cukup. Jika tidak mengusap Rukun Yamani, tidak apa-apa.
Tawaf di Ka’bah dan shalat tidak sah kecuali dalam keadaan suci. Tawaf di Ka’bah tidak sah jika kurang dari tujuh putaran sempurna. Jika keluar sebelum tujuh putaran lalu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka sa’inya batal hingga ia melakukannya setelah menyempurnakan tawaf.
Tujuh putaran sempurna dalam keadaan suci. Jika terputus karena shalat, ia melanjutkan dari tempat terputus. Jika wudhunya batal atau mimisan, ia keluar, berwudhu, lalu kembali dan melanjutkan dari tempat terputus. Demikian juga jika wudhunya batal. Jika hal itu berlangsung lama, ia memulai thawaf dari awal. Jika ragu dalam thawaf, tidak tahu apakah sudah lima atau empat putaran, ia berpegang pada yang yakin dan mengabaikan keraguan sampai yakin telah menyelesaikan tujuh putaran penuh atau lebih.
[Menuju Shafa]
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika ia keluar menuju Shafa dari pintu Shafa, berdiri di atasnya di tempat yang bisa melihat Ka’bah, lalu menghadap Ka’bah, bertakbir, dan mengucapkan: “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamd. Allahu Akbar ‘ala ma hadana walhamdulillah ‘ala ma aulana. La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit, biyadihil khair, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. La ilaha illallah, shadaqa wa’dahu, wa nashara ‘abdahu, wa hazamal ahzaba wahdah. La ilaha illallah wa la na’budu illa iyyahu mukhlisina lahud din wa law karihal kafirun.” Kemudian berdoa dan bertalbiyah, lalu mengulangi ucapan ini sebanyak tiga kali. Di antara setiap dua takbir, ia boleh berdoa untuk urusan agama atau dunia. Setelah itu, ia turun dan berjalan hingga sampai di dekat tiang hijau yang tergantung di sudut masjid (sekitar enam hasta), lalu berlari-lari kecil hingga sejajar dengan dua tiang hijau di pelataran masjid dan rumah Abbas. Kemudian ia berjalan lagi hingga naik ke Marwah. Jika Ka’bah terlihat, ia menghadapnya dan melakukan hal yang sama seperti di Shafa hingga menyelesaikan tujuh putaran, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah. Minimal yang wajib adalah menyempurnakan perjalanan antara keduanya, baik berjalan biasa atau berlari-lari kecil.
Jika tidak berdiri di atas Shafa atau Marwah, tidak bertakbir, tidak berdoa, atau tidak berlari-lari kecil, ia telah meninggalkan kesempurnaan tetapi tidak wajib mengulang atau membayar fidyah. Aku lebih suka jika ia dalam keadaan suci saat sa’i, tetapi jika tidak suci (junub atau tanpa wudhu), tidak masalah karena wanita haid juga melakukannya. Jika shalat didirikan saat ia sedang sa’i antara Shafa dan Marwah, ia masuk untuk shalat lalu kembali dan melanjutkan dari tempat terputus. Jika mimisan atau wudhunya batal, ia pergi berwudhu lalu kembali dan melanjutkan. Sa’i antara Shafa dan Marwah adalah wajib dan tidak bisa diganti. Jika seseorang meninggalkannya hingga pulang ke kampung halaman, jika ia sedang umrah, ia haram melakukan segala sesuatu hingga kembali. Jika ia sedang haji dan telah melempar jumrah serta mencukur rambut, ia haram mendekati wanita hingga kembali. Tidak sah sa’i kecuali dengan tujuh putaran penuh. Jika ia berangkat sebelum menyelesaikan tujuh putaran, misalnya tersisa satu hasta di putaran ketujuh, statusnya seperti belum sa’i dan harus kembali untuk memulai dari awal.
Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Imam Syafi’i, dari Abdullah bin Al-Mu’mal Al-‘Abidi, dari Umar bin Abdurrahman bin Muhishin, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Seorang wanita dari Bani Abi Tajrah (salah satu istri Bani Abdud Dar) mengabarkan kepadaku: ‘Aku pernah masuk bersama beberapa wanita Quraisy ke rumah Ibnu Abi Al-Husain untuk melihat Rasulullah SAW saat sa’i antara Shafa dan Marwah. Aku melihat beliau berlari-lari kecil hingga ujung kainnya berputar karena cepatnya, sampai-sampai aku berkata: Aku tidak melihat lututnya. Dan aku mendengar beliau bersabda: ‘Berlari-larilah kecil, karena Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.'”
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Najih dari ayahnya, ia berkata: “Seorang yang melihat Utsman bin Affan RA berdiri di kolam di bawah Shafa tanpa naik ke atasnya.”
(Imam Syafi’i berkata): Wanita tidak wajib lari-lari kecil (raml) di Ka’bah atau sa’i.
Antara Safa dan Marwah, mereka berjalan dengan tenang. Dianjurkan bagi wanita yang terkenal cantik untuk melakukan tawaf dan sa’i pada malam hari. Jika dia tawaf pada siang hari, hendaknya menutup wajah dengan kain atau tawaf dalam keadaan tertutup. Laki-laki dan wanita melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah dan sa’i antara Safa dan Marwah dengan berjalan. Tidak mengapa jika mereka tawaf dalam keadaan digendong karena uzur. Jika tawaf dalam keadaan digendong tanpa uzur, tidak perlu mengulang atau membayar fidyah.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Sa’id bin Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Abbas, bahwa “Nabi ﷺ tawaf mengelilingi Ka’bah dengan menunggang untanya, menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan oleh Sufyan, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa “Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat untuk bersegera dalam ifadhah. Beliau ifadhah bersama istri-istrinya pada malam hari, tawaf mengelilingi Ka’bah sambil menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya—aku kira beliau juga mencium ujung tongkatnya.”
[Laki-laki yang tawaf sambil menggendong orang lain]
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki sedang ihram lalu tawaf sambil menggendong anak kecil atau orang dewasa yang juga sedang ihram, dengan niat menunaikan tawaf untuk yang digendong dan dirinya sendiri, maka tawaf itu dianggap sebagai tawaf orang yang digendong, bukan yang menggendong. Ia wajib mengulang tawaf karena dianggap belum tawaf.
[Apa yang dilakukan setelah Sa’i antara Safa dan Marwah]
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang sedang umrah dan membawa hewan kurban, disukai setelah selesai sa’i antara Safa dan Marwah untuk menyembelih hewan sebelum mencukur atau memotong rambut. Penyembelihan bisa dilakukan di dekat Marwah atau di mana saja di Mekah. Jika mencukur atau memotong rambut sebelum menyembelih, tidak ada fidyah. Hewan kurban tetap disembelih, baik itu wajib maupun sunnah.
Jika seseorang sedang qiran atau haji, ia menahan diri dari mencukur rambut hingga melempar jumrah pada hari Nahr, baru kemudian mencukur atau memotong rambut—mencukur lebih utama. Jika seseorang botak atau tidak memiliki rambut, disarankan menggerakkan pisau di atas kepalanya. Lebih baik juga memotong sedikit dari jenggot dan kumis sebagai simbol pengurbanan rambut untuk Allah. Jika tidak dilakukan, tidak apa-apa karena kewajiban hanya pada rambut kepala, bukan jenggot.
Wanita tidak wajib mencukur rambut, cukup memotong sepanjang ujung jari, merata di seluruh kepala. Jika memotong kurang dari itu atau hanya dari sebagian kepala, asal minimal tiga helai rambut, itu sudah cukup—baik menggunakan pisau, gunting, mencabut, atau mengerat. Yang penting ada bagian rambut yang dikurbankan untuk Allah.
[Apa yang dilakukan oleh haji dan qiran]
(Asy-Syafi’i berkata): Dianjurkan bagi haji dan qarin untuk memperbanyak tawaf. Pada hari Tarwiyah, disukai untuk… (lanjutan terpotong)
Keduanya pergi ke “Mina” kemudian bermalam di sana hingga melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh. Setelah itu, mereka berangkat saat matahari terbit di atas bukit Tsabir, yaitu saat awal kemunculannya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah, menghadiri shalat bersama imam, dan menggabungkan shalat Zhuhur dan Ashar saat matahari tergelincir. Aku menyarankan hal yang sama untuk imam seperti yang kusarankan bagi mereka, dan tidak perlu mengeraskan bacaan karena itu bukan hari Jumat.
Ketika matahari tergelincir, imam datang ke masjid, duduk di mimbar, dan menyampaikan khutbah pertama. Saat imam duduk, muadzin mulai mengumandangkan azan, sementara imam berbicara. Khutbah kedua dipersingkat agar selesai bersamaan dengan azan. Setelah itu, muadzin mengumandangkan iqamah, lalu shalat Zhuhur dilaksanakan. Begitu imam selesai shalat Zhuhur, muadzin mengumandangkan iqamah lagi untuk shalat Ashar.
Setelah itu, imam menaiki kendaraannya dan berangkat ke tempat wukuf di Arafah, yaitu di dekat batu-batu tempat imam biasa berhenti. Ia menghadap kiblat dan berdoa hingga malam tiba. Orang-orang melakukan hal yang sama, dan di mana pun mereka berwukuf di Arafah, itu sudah cukup, karena Nabi ﷺ bersabda, “Ini adalah tempat wukuf, dan seluruh Arafah adalah tempat wukuf.”
Selama wukuf, mereka terus mengucapkan talbiyah, boleh sambil berdiri atau berkendara. Menurutku, tidak ada keutamaan khusus berdiri dibanding berkendara jika memiliki hewan tunggangan, kecuali jika ia yakin mampu dan tidak melemah. Jika ia turun dan berdiri, tidak masalah. Jika ia turun dan duduk, juga tidak apa-apa. Di mana pun ia berhenti, baik di dataran rendah atau gunung, semuanya sah.
Minimal yang harus dilakukan di Arafah agar hajinya sah adalah memasuki wilayah Arafah. Jika seseorang tidak berwukuf atau berdoa antara tergelincirnya matahari hingga terbit fajar pada malam Idul Adha, maka hajinya batal. Namun, lebih utama jika ia menyibukkan diri dengan doa pada hari itu. Jika ia berdagang atau sibuk dengan urusan lain sehingga tidak berdoa, hajinya tetap sah dan tidak ada denda.
Jika seseorang keluar dari Arafah setelah matahari tergelincir tetapi sebelum matahari terbenam, ia harus kembali sebelum fajar. Jika ia melakukannya, tidak ada denda. Jika tidak, ia wajib membayar denda berupa menyembelih hewan. Namun, jika ia keluar dari Arafah setelah matahari terbenam dan belum berwukuf sebelumnya pada siang hari, tidak ada denda.
Arafah adalah wilayah di seberang lembah Uranah, tempat masjid berada. Masjid dan lembah Uranah bukan bagian dari Arafah. Seluruh pegunungan di seberang Arafah yang menghadap ke kebun Ibnu Amir dan jalan benteng termasuk Arafah. Jika melewati batas itu, bukan lagi Arafah.
Jika seseorang tidak melewati Mina pada awal perjalanan, tidak apa-apa. Begitu pula jika ia melewatinya tetapi tidak singgah. Ia tidak boleh meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam dan benar-benar tenggelam.
[Bab: Apa yang Dilakukan Saat Meninggalkan Arafah]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Disukai saat meninggalkan Arafah untuk berjalan dengan tenang, baik berkendara atau berjalan kaki. Jika ia berjalan lebih cepat tetapi tidak mengganggu orang lain, tidak masalah. Namun, aku tidak suka jika ia mengganggu. Jika ia mengganggu, tidak ada denda.
Lebih baik mengambil jalan antara dua Muzdalifah, tetapi jika mengambil jalan lain seperti Dab, tidak apa-apa. Shalat Maghrib dan Isya tidak dilaksanakan sampai tiba di Muzdalifah, lalu digabungkan dengan dua iqamah tanpa azan. Jika tengah malam tiba sebelum sampai Muzdalifah, ia boleh shalat di luar Muzdalifah.
Muzdalifah dimulai dari saat ia melewati dua jalan sempit Arafah hingga tiba di Qarnul Manazil. Qarnul Manazil mencakup semua tempat di kanan dan kirimu, termasuk dataran, bukit, lembah, dan pepohonan. Seluruh wilayah itu termasuk Muzdalifah.
Jika seseorang keluar dari Muzdalifah setelah tengah malam, tidak ada denda. Jika ia keluar sebelum tengah malam dan tidak kembali, ia wajib membayar denda berupa seekor kambing yang disembelih dan disedekahkan.
Disukai untuk tetap di Muzdalifah hingga shalat Subuh di awal waktu, lalu berhenti di Quzah hingga fajar terang sebelum matahari terbit, kemudian berangkat. Di mana pun ia berhenti atau singgah di Muzdalifah, itu sudah cukup.
Jika ia terlambat meninggalkan Muzdalifah hingga matahari terbit atau lebih, aku tidak menyukainya, tetapi tidak ada denda. Jika ia sama sekali tidak singgah di Muzdalifah antara tengah malam hingga shalat Subuh, ia wajib membayar denda. Namun, jika ia masuk Muzdalifah dalam waktu tersebut, tidak ada denda.
Kemudian, ia berangkat dari Muzdalifah dengan tenang, sebagaimana dijelaskan tentang perjalanan dari Arafah.
Disukai untuk mempercepat langkah di lembah Muhassir… (terputus)
Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:
Melempar batu, jika tidak dilakukan, maka tidak ada konsekuensinya. (Imam Syafi’i berkata) Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Thawus dari ayahnya, dan Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin Qais bin Makhramah. Salah seorang dari mereka menambahkan dan maknanya bersepakat bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Dahulu orang-orang jahiliyah berangkat dari Arafah sebelum matahari terbenam dan dari Muzdalifah setelah matahari terbit. Mereka berkata: ‘Terbitlah, wahai Tsabir, agar kami bisa bergegas.’ Maka Allah Ta’ala mengakhirkan yang ini (Arafah) dan menyegerakan yang ini (Muzdalifah).”
Yakni, menyegerakan Muzdalifah sebelum matahari terbit dan mengakhirkan Arafah hingga matahari terbenam.
(Imam Syafi’i berkata) Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir, dan Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Al-Munkadir dan Sa’id bin Abdurrahman bin Yarbu’ dari Abu Al-Huwairits yang berkata:
“Aku melihat Abu Bakar Ash-Shiddiq berdiri di Quzah seraya berkata: ‘Wahai manusia, bersegeralah! Wahai manusia, bersegeralah!’ Kemudian ia berangkat, dan aku melihat pahanya karena ia memacu untanya dengan tongkatnya.”
(Imam Syafi’i berkata) Seorang yang tsiqah (terpercaya), Ibnu Abi Yahya atau Sufyan atau keduanya, mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Umar pernah mempercepat langkahnya di Bathn Muhassir sambil berkata:
“Kepadamu ia berlari dengan gelisah dan beban beratnya, menyelisih agama Nasrani, agamanya.”
(Imam Syafi’i berkata) Sufyan mengabarkan kepada kami bahwa ia mendengar Ubaidullah bin Abi Yazid berkata:
“Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: ‘Aku termasuk orang yang disegerakan Nabi ﷺ dari keluarganya yang lemah,’ yakni dari Muzdalifah ke Mina.”
[Masuk ke Mina]
(Imam Syafi’i berkata) Aku lebih suka jika seseorang tidak melempar hingga matahari terbit, tetapi tidak mengapa jika melempar sebelum matahari terbit atau sebelum fajar asalkan setelah tengah malam.
Dawud bin Abdurrahman dan Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya yang berkata:
“Rasulullah ﷺ pada hari Nahr singgah ke Ummu Salamah dan memerintahkannya untuk segera berangkat dari Jam’ (Muzdalifah) agar bisa melempar jumrah dan sampai shalat Subuh di Makkah pada hari itu. Beliau ingin ia sampai bersamanya.”
Seorang yang tsiqah mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari Zainab binti Abi Salamah dari Ummu Salamah dari Nabi ﷺ dengan hadits serupa.
(Imam Syafi’i berkata) Ini menunjukkan bahwa beliau melempar jumrah sebelum fajar sekitar satu jam. Pada hari Nahr, hanya Jumrah Aqabah yang dilempar, dan dilempar sambil menunggang kendaraan. Demikian pula pada hari Nafar (hari terakhir Mina), dilempar sambil menunggang, tetapi lebih aku sukai jika berjalan pada dua hari lainnya. Jika menunggang, tidak apa-apa.
Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami bahwa Ayman bin Nabil mengabarkan kepadanya dari Qudamah bin Abdullah bin Ammar Al-Kalabi yang berkata:
“Aku melihat Nabi ﷺ melempar Jumrah Aqabah dengan untanya yang kemerah-merahan, tanpa memukul, mengusir, atau mengatakan ‘Ayo, ayo!’.”
(Imam Syafi’i berkata) Aku lebih suka jika batu jumrah diambil pada hari Nahr dari Muzdalifah, tetapi dari mana pun diambil, sah. Demikian pula pada hari-hari Mina, dari mana pun diambil, sah. Namun, aku tidak suka jika diambil dari tiga tempat: Masjid (karena dikhawatirkan mengurangi batu Masjid), tempat kotor (karena najis), dan dari Jumrah (karena batu itu sudah digunakan sekali). Jika melempar dengan batu-batu ini, tetap sah.
(Imam Syafi’i berkata) Tidak sah melempar kecuali dengan batu. Segala yang disebut batu, seperti marmer, batu kali, atau batu keras, sah. Sedangkan yang tidak disebut batu, seperti bata, tanah liat (baik dibakar atau mentah), garam, kaca, dan sejenisnya, tidak sah. Siapa yang melempar dengan ini, harus mengulang dan dianggap belum melempar.
Siapa yang melempar jumrah dari atas, bawah, atau sejajar dari arah mana pun, tidak ada konsekuensinya. Jumrah tidak dilempar pada hari-hari Mina selain hari Nahr kecuali setelah matahari tergelincir. Siapa yang melempar sebelum tergelincir, harus mengulang. Tidak boleh melempar jumrah dengan kurang dari tujuh batu kecil.
Jika dia melempar dengan enam batu atau jika dia memiliki dua puluh satu batu dan melempar jumrah tetapi tidak tahu jumrah mana yang dia lempar dengan enam batu, maka dia harus mengulangi dengan melempar jumrah pertama dengan satu batu hingga yakin telah menyempurnakan lemparannya dengan tujuh batu. Kemudian, dia melempar dua jumrah lainnya masing-masing dengan tujuh batu.
Jika dia melempar satu batu dan mengenai seseorang atau hewan tunggangan, lalu batu itu menggelinding hingga mencapai tempat jatuhnya batu di jumrah, maka itu sudah cukup. Namun, jika batu itu jatuh lalu disentuh oleh seseorang atau unta sehingga mencapai tempat jatuhnya batu di jumrah, itu tidak dianggap sah.
Jika seseorang melempar dua, tiga, atau lebih batu dalam sekali lempar, itu hanya dihitung sebagai satu batu. Dia wajib melempar tujuh kali. Minimal dalam lemparan adalah melempar hingga batunya jatuh di tempat yang ditentukan.
Jika dia melempar batu tetapi hilang dan tidak tahu di mana jatuhnya, dia harus mengulang lemparan itu hingga yakin batu itu jatuh di tempat yang benar.
Dia melempar jumrah pertama dan tengah dari atas, dan dari mana saja dia melempar, itu sudah cukup. Untuk jumrah aqabah, dia melempar dari lembah, dan dari mana saja dia melempar, itu sah.
Setelah melempar jumrah pertama, dia maju sedikit dan berdiri di tempat yang tidak terkena lemparan batu, lalu bertakbir, berzikir, dan berdoa sepanjang bacaan Surah Al-Baqarah. Hal yang sama dilakukan di jumrah tengah, kecuali dia berdiri di sebelah kanan karena jumrah tengah berada di bukit kecil.
Dia berdiri di tengah lembah agar tidak terkena lemparan batu. Ini tidak dilakukan di jumrah aqabah, tetapi dilakukan di semua hari di Mina. Jika dia tidak melakukannya, tidak ada kewajiban mengulang atau membayar dam.
Tidak masalah jika penggembala melempar jumrah pada hari nahar lalu pergi dan tidak bermalam di Mina, tetapi bermalam di tempat unta mereka. Mereka boleh menunda lemparan keesokan harinya setelah hari nahar, lalu datang pada hari berikutnya (hari nahar pertama) dan memulai lemparan untuk hari sebelumnya yang mereka lewatkan. Setelah menyelesaikan lemparan, mereka mengulang lemparan jumrah pertama untuk hari itu. Jika mereka ingin pergi, mereka telah menyelesaikan kewajiban lemparan. Jika mereka kembali ke unta atau tetap di Mina tanpa ingin pergi, mereka melempar keesokan harinya (hari nafar lainnya).
Jika seseorang lupa melempar salah satu jumrah di siang hari, dia boleh melemparnya di malam hari tanpa dam. Begitu pula jika dia lupa melempar jumrah hingga hari terakhir Mina, tidak ada kewajiban apa pun, baik untuk jumrah aqabah maupun ketiga jumrah.
Jika hari-hari lemparan telah berlalu dan masih tersisa tiga batu atau lebih yang belum dilempar, dia wajib membayar dam. Jika tersisa satu batu, dia wajib membayar satu mud. Jika dua batu, dua mud. Jika tiga batu, dam.
Jika ada dua lemparan yang tertinggal, dia harus menyelesaikan lemparan pertama terlebih dahulu, baru kemudian memulai lemparan kedua. Tidak sah jika melempar 14 batu sekaligus dalam satu tempat.
Jika dia menundanya hingga hari terakhir Mina dan belum menyelesaikan semua lemparan hingga matahari terbenam, dia wajib membayar fidyah (dam untuk tiga batu atau lebih). Tidak ada lemparan setelah matahari terbenam.
Begitu pula jika dia sudah nafar (berangkat) pada hari nafar pertama lalu ingat masih ada lemparan yang tertinggal, dia wajib membayar dam. Jika dia berhati-hati dan tetap melempar, itu tidak masalah dan tidak ada kewajiban apa pun karena hajinya sudah selesai.
Orang sakit yang tidak mampu melempar boleh diwakilkan. Ada pendapat bahwa orang sakit meletakkan batu di tangan orang yang mewakilinya sambil bertakbir. Jika dilakukan, itu baik. Jika tidak, tidak apa-apa. Jika dia sembuh di hari-hari Mina dan melempar sendiri, itu lebih baik. Jika tidak, tidak ada kewajiban.
Anak kecil yang tidak mampu melempar boleh diwakilkan. Jika dia sudah mengerti, dia boleh melempar sendiri jika diperintahkan. Jika seseorang melempar untuk dirinya dan orang lain, dia harus menyelesaikan lemparannya sendiri terlebih dahulu, baru kemudian melempar untuk orang lain, seperti ketika ada dua lemparan yang tertinggal.
Disukai jika saat melempar dia mengangkat tangan hingga terlihat putih ketiaknya dan bertakbir setiap melempar batu. Jika tidak dilakukan, tidak ada dam.
Jika batu yang digunakan najis, disukai untuk mencucinya terlebih dahulu, terutama jika ada keraguan tentang kenajisannya agar tidak menajisi tangan.
Atau kain sarung, dan jika tidak dilakukan dan melemparkannya, itu sudah cukup. Dan melempar jumrah dengan ukuran kerikil yang digunakan untuk lemparan (al-khadhf), tidak boleh melebihi itu. Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Az-Zubair dari Jabir bahwa “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melempar jumrah dengan kerikil seukuran al-khadhf.”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Humaid bin Qais dari Muhammad dari Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi dari seorang lelaki dari kaumnya dari Bani Taim yang bernama Mu’adz atau “Ibnu Mu’adz melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan orang-orang di Mina pada tempat-tempat mereka, dan beliau bersabda: ‘Lemparlah, lemparlah dengan kerikil seukuran al-khadhf.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Al-khadhf adalah apa yang digunakan seseorang untuk melempar, dan ukurannya lebih kecil dari ujung jari (al-anmulah) baik panjang maupun lebarnya. Jika seseorang melempar dengan yang lebih kecil atau lebih besar dari itu, aku tidak menyukainya, tetapi tidak wajib baginya untuk mengulanginya.
[Apa yang dilakukan di Mina selain melempar]
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika seseorang, setelah melempar jumrah dan memiliki hewan kurban, memulai dengan menyembelihnya, kemudian mencukur atau memendekkan rambut, lalu memakan daging kurbannya, kemudian berangkat (ifadhah). Jika ia menyembelih sebelum melempar, atau mencukur sebelum menyembelih, atau mendahulukan salah satu ritual sebelum yang lain pada hari Nahr, tidak ada dosa dan tidak ada denda.
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Isa bin Thalhah bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti di Mina saat haji wada’ untuk menjawab pertanyaan orang-orang. Seorang lelaki datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak sadar sehingga mencukur sebelum menyembelih.’ Beliau bersabda, ‘Sembelihlah, tidak ada dosa.’ Kemudian datang lelaki lain dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak sadar sehingga menyembelih sebelum melempar.’ Beliau bersabda, ‘Lemparlah, tidak ada dosa.’ Ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan kecuali beliau menjawab, “Lakukanlah, tidak ada dosa.”‘”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang berangkat ifadhah sebelum melempar lalu thawaf, ia tetap wajib melempar dan tidak perlu mengulangi thawaf. Jika ia menunda ifadhah hingga hari-hari Mina berlalu atau setelahnya, tidak ada denda dan tidak ada batasan waktu untuk melakukan thawaf.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak seorang pun dari jamaah haji boleh bermalam kecuali di Mina. Mina adalah daerah antara ‘Aqabah, dan ‘Aqabah bukan bagian dari Mina hingga ke Bathn Muhassir. Bathn Muhassir juga bukan bagian dari Mina. Baik dataran rendah maupun gunung yang menghadap ke Mina termasuk Mina, sedangkan gunung yang membelakanginya bukan bagian dari Mina. Tidak ada keringanan bagi siapa pun untuk tidak bermalam di Mina kecuali para penggembala unta dan petugas penyediaan air minum (saqayah) milik Al-Abbas bin Abdul Muththalib, bukan penyediaan air lainnya. Tidak ada keringanan bagi siapa pun dari petugas penyediaan air kecuali bagi mereka yang bertugas mengurusnya.
Baik mereka yang ditugaskan atau yang asli (petugas). (Asy-Syafi’i berkata): Yahya bin Sulaim mengabarkan kepada kami dari Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi keringanan kepada petugas penyediaan air dari keluarganya untuk bermalam di Mekah pada malam-malam Mina.”
(Asy-Syafi’i berkata): Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dengan riwayat serupa, dan Atha’ menambahkan, “Karena tugas penyediaan air mereka.”
(Asy-Syafi’i berkata): Siapa yang tidak bermalam di Mina selain orang yang disebutkan, maka ia harus bersedekah untuk satu malam sebesar satu dirham, dua malam dua dirham, dan tiga malam dengan menyembelih dam.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak mengapa jika seseorang menghabiskan sebagian besar malamnya di Mina, lalu keluar di awal atau akhir malam dari Mina.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang belum berangkat ifadhah, lalu ia berangkat dan sibuk dengan thawaf sehingga sebagian besar malamnya di Mekah, tidak ada denda baginya karena ia sedang melakukan kewajiban haji dan ia boleh melakukan itu pada waktu tersebut. Namun, jika amalnya hanya sunnah, ia harus membayar denda. Demikian pula jika ia pergi untuk mengunjungi seseorang atau keperluan lain.
Barangsiapa yang matahari terbenam pada hari nafar pertama di Mina dan ia belum berangkat, maka ia wajib bermalam pada malam itu.
Dan pada keesokan harinya dia melempar, tetapi jika dia keluar dari Mina sebelum matahari terbenam karena ingin pergi, kemudian kembali ke sana untuk lewat atau berkunjung, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya jika bermalam, dan dia juga tidak wajib melempar pada keesokan harinya jika bermalam.
[Thawaf bagi yang belum melakukan Ifadhah dan yang sudah]
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa mendahulukan thawaf hajinya sebelum Arafah di Baitullah dan antara Shafa-Marwah, maka dia tidak halal (tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang saat ihram) sampai dia melakukan thawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran, dan dia tidak wajib kembali ke Shafa-Marwah. Hal ini sama saja, baik dia sebagai qarin (haji dan umrah sekaligus) atau mufrad (haji saja). Barangsiapa mengakhirkan thawaf sampai kembali dari Mina, maka dia wajib thawaf di Baitullah dan antara Shafa-Marwah, baik sebagai qarin maupun mufrad. Qarin dan mufrad sama dalam semua hal, kecuali qarin wajib menyembelih dam, sedangkan mufrad tidak. Karena qarin telah menyelesaikan haji dan umrah Islamnya, sedangkan mufrad harus mengulang umrahnya. Adapun hal-hal yang mengharuskan mereka membayar fidyah, maka keduanya sama. Laki-laki dan perempuan juga sama dalam semua ini, kecuali satu hal: perempuan berbeda dengan laki-laki dalam hal tidak wajibnya wada’ (thawaf perpisahan) jika dia thawaf setelah Mina saat haid. Jika suci, maka dia seperti laki-laki, tidak boleh pergi sebelum melakukan thawaf wada’. Jika dia belum thawaf setelah Mina, maka tidak boleh pergi sampai thawaf. Namun, tidak wajib bagi suami atau teman-temannya untuk menahannya, meskipun baik jika mereka melakukannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang pergi sebelum thawaf wada’, maka jika jaraknya dekat—yaitu kurang dari jarak qashar shalat—dia diperintahkan untuk kembali. Jika sudah mencapai jarak qashar, dia harus mengirim dam untuk disembelih di Mekkah. Jika sengaja melakukannya, dia berdosa, tetapi hajinya tidak batal, dan cukup baginya menyembelih dam. Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Sulaiman Al-Ahwal dari Thawus dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Orang-orang diperintahkan agar akhir perjalanan mereka adalah Baitullah, kecuali diberi keringanan bagi wanita haid.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang thawaf di Baitullah dengan thawaf wajib, lalu lupa mengerjakan dua rakaat wajib sampai dia sa’i antara Shafa-Marwah, maka dia tidak perlu mengulanginya. Demikian juga dalam semua amalan yang sah dilakukan di mana saja, dan shalat bisa dilakukan di mana saja. Namun, dia wajib shalat dua rakaat thawaf di mana pun dia ingat, baik di tanah halal atau haram.
[Hadyu (Hewan Kurban)]
(Imam Syafi’i berkata): Hadyu terdiri dari unta, sapi, dan kambing. Baik unta Persia atau Arab, sapi, kerbau, domba, atau kambing, semuanya sah. Barangsiapa bernazar untuk menyembelih hewan tertentu, maka wajib baginya menyembelih hewan yang disebutkan, baik kecil maupun besar. Barangsiapa tidak menyebutkan jenis hewan atau wajib menyembelih hadyu bukan sebagai tebusan buruan, maka cukup dengan hewan yang setara. Tidak sah kecuali unta, sapi, atau kambing yang sudah berumur dua tahun ke atas, baik jantan maupun betina. Untuk domba, cukup yang berumut satu tahun. Tempat wajib hadyu adalah di tanah haram, tidak boleh di luarnya, kecuali jika seseorang menyebutkan tempat tertentu di bumi untuk menyembelih hadyu, atau seseorang terhalang musuh, maka dia boleh menyembelih di tempat terhalang. Tidak ada hadyu kecuali di tanah haram, tidak di tempat lain.
(Imam Syafi’i berkata): Yang utama dalam hadyu adalah pemiliknya menghadapkannya ke kiblat, kemudian mengalungkan dua sandal, lalu melukai punuknya di sisi kanan. Itulah isy’ar (tanda hewan kurban).
Dalam petunjuk (hadyu), hewan kurban (unta atau sapi) ditandai dengan besi pada punuknya hingga berdarah. Sapi dan unta diperlakukan sama dalam hal ini, sedangkan kambing tidak perlu ditandai. Hewan kurban juga diberi kalung dan kantong air yang rusak, kemudian pemiliknya berihram di tempatnya. Jika ia tidak memberi kalung atau menandai, tidak apa-apa. Namun, jika ia memberi kalung dan menandai tanpa niat berihram, maka ia tidak dianggap berihram.
Jika seseorang membawa hewan kurban, ia tidak boleh menaikinya kecuali dalam keadaan darurat. Jika terpaksa, ia boleh menaikinya dengan cara yang tidak memberatkan hewan tersebut. Ia juga boleh membawa orang yang kelelahan atau dalam keadaan darurat di atas hewan kurbannya.
Jika hewan kurban betina melahirkan, maka anaknya ikut dibawa. Jika anaknya tidak bisa mengikuti, ia boleh menggendongnya. Pemilik tidak boleh meminum susunya kecuali setelah anaknya kenyang, dan ia juga tidak boleh memberikannya kepada orang lain. Ia boleh menggendong anaknya, tetapi jika membawanya tanpa alasan darurat hingga membuat induknya kurus, ia harus mengganti kerugian. Demikian pula jika ia meminum susu hingga melemahkan anaknya, ia harus membayar nilai susu yang diminum.
Jika seseorang memberi kalung, menandai, dan mengarahkan hewan kurban ke Ka’bah atau mengucapkan, “Ini adalah hadyu,” maka ia tidak boleh membatalkannya atau menukarnya dengan yang lebih baik atau lebih buruk, baik hewan itu sehat atau tidak. Jika hewan itu mati, ahli warisnya tidak boleh mewarisinya.
Hewan kurban dinilai pada hari wajibnya. Jika saat itu ia memenuhi syarat, lalu kemudian cacat atau pincang sehingga tidak lagi memenuhi syarat, hal itu tidak masalah asalkan sampai di tempat penyembelihan. Namun, jika pada hari wajibnya ia tidak memenuhi syarat, lalu sembuh sebelum disembelih, itu tidak cukup sebagai kurban. Ia tidak boleh menahannya dan tidak wajib menggantinya kecuali jika ia ingin mengganti secara sukarela atau jika kurban itu awalnya wajib, maka penggantinya harus memenuhi syarat.
Hadyu ada dua jenis:
- Hadyu sukarela: Jika hewan kurban rusak dalam perjalanan tetapi masih bisa disembelih, disukai untuk mencelupkan kalungnya ke dalam darahnya, mengoleskannya pada tubuh hewan, lalu membiarkan orang-orang memakannya. Jika tidak ada yang mengambilnya, biarkan dalam keadaan itu. Jika hewan mati sebelum sempat disembelih, tidak ada kewajiban mengganti. Namun, jika sempat disembelih tetapi tidak dilakukan, atau disembelih lalu dimakan, diberikan kepada orang kaya, atau dijual, maka ia wajib menggantinya. Jika sebagian diberikan kepada orang kaya dan sebagian kepada orang miskin, atau sebagian dimakan dan sisanya dibiarkan, ia harus membayar nilai yang dimakan dan diberikan kepada orang kaya, lalu disedekahkan kepada orang miskin di tanah haram. Tidak ada pengganti selain itu.
- Hadyu wajib: Jika hewan kurban rusak sebelum sampai ke tanah haram, pemilik boleh melakukan apa saja (menjual, menghadiahkan, atau menyimpannya), tetapi ia tetap wajib menggantinya. Bahkan jika disedekahkan di tempatnya kepada orang miskin, ia tetap harus mengganti karena statusnya sebagai hadyu sudah hilang saat rusak sebelum sampai ke tempatnya.
Jika seorang muktamadi atau qarin membawa hewan kurban untuk tamattu’ atau qirannya, lebih disukai menyembelihnya pada hari Nahr. Namun, jika ia menyembelihnya lebih awal di tanah haram, itu sudah cukup karena kewajiban manusia ada dua: kewajiban badan (harus sesuai waktu) dan kewajiban harta (bisa dilakukan sebelum waktu jika termasuk dalam kewajiban). Hal yang sama berlaku jika ia membawa hewan kurban secara terpisah sebagai ibadah sunah.
Lebih disukai bagi orang yang membawa hewan kurban untuk umrah agar menyembelihnya setelah thawaf dan sa’i antara Shafa dan Marwah, sebelum mencukur rambut di Marwah. Di mana pun ia menyembelihnya di sekitar Mekah, itu sudah cukup. Untuk haji, lebih disukai menyembelih setelah melempar Jamrah Aqabah dan sebelum mencukur rambut. Di mana pun ia menyembelihnya di Mina atau Mekah, asalkan diberikan kepada orang miskin di tanah haram, itu sudah cukup.
Jika dua orang masing-masing memiliki kewajiban hadyu, lalu salah satu dari mereka keliru menyembelih hewan kurban milik yang lain, kemudian menyadarinya sebelum disedekahkan, maka masing-masing mengambil hewan kurban miliknya dan saling mengganti selisih nilai antara kedua hewan tersebut (baik dalam keadaan hidup maupun setelah disembelih). Itu sudah cukup bagi keduanya, dan mereka harus menyedekahkan apa yang menjadi tanggungan masing-masing. Jika mereka tidak menyadarinya hingga sedekahnya terlewatkan, maka masing-masing wajib mengganti.
Dari keduanya, nilai hadiah hidup untuk pemiliknya, dan setiap orang dari mereka wajib menggantinya. Saya tidak suka jika salah satunya diganti kecuali dengan seluruh harga hadiahnya. Jika tidak menemukan hadiah dengan harga yang setara, dia harus menambah hingga bisa menggantinya dengan hadiah.
Jika seseorang menyembelih hadiahnya tetapi menghalangi orang miskin untuk mengambilnya, atau menyembelihnya di tempat terpencil sehingga orang miskin tidak bisa mendapatkannya hingga dagingnya membusuk, maka dia wajib menggantinya. Penyembelihan dilakukan pada hari penyembelihan (yaumun nahr) dan hari-hari Mina hingga matahari terbenam pada hari terakhir. Jika matahari telah terbenam, tidak ada lagi penyembelihan, kecuali bagi yang wajib menyembelih hadiah dan memberikannya kepada orang miskin Haram sebagai qadha. Penyembelihan boleh dilakukan siang atau malam, tetapi saya tidak suka penyembelihan malam karena khawatir ada kesalahan dalam penyembelihan atau tidak ada orang miskin yang hadir. Namun, jika penyembelihan dilakukan dengan benar dan ada orang miskin yang hadir, maka itu sah. Di mana pun di Haram dia menyembelih, asalkan diberikan kepada orang miskin Haram, itu sudah cukup. Meskipun dia menyembelihnya di tempat yang tidak ramai.
Unta disembelih dalam keadaan berdiri tanpa diikat. Jika dia ingin mengikat salah satu kakinya, boleh. Jika disembelih dalam keadaan duduk atau berbaring, itu sah. Unta disembelih, sedangkan sapi dan kambing dipotong. Jika sapi atau kambing disembelih (seperti unta) atau unta dipotong (seperti sapi/kambing), saya tidak menyukainya, tetapi itu tetap sah. Siapa pun yang mampu menyembelih, baik perempuan atau laki-laki, boleh menyembelih hewan kurban. Demikian juga dengan orang yang sah penyembelihannya, tetapi saya tidak suka jika hewan kurban disembelih oleh Yahudi atau Nasrani. Jika itu terjadi, pemiliknya tidak perlu mengulang. Saya lebih suka jika pemilik hewan kurban menyembelihnya sendiri atau hadir saat penyembelihan, karena diharapkan ampunan saat darah mengalir.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyebut nama Allah saat menyembelih kurban, itu sudah cukup. Jika dia berkata, “Ya Allah, terimalah dariku” atau “terimalah dari si fulan yang memerintahkannya untuk menyembelih,” tidak masalah. Saya suka jika dia memakan sebagian hati atau daging kurbannya sebelum bertahalul, tetapi jika tidak, tidak apa-apa. Saya memerintahkannya untuk memakan sebagian dari kurban sunnah dan wajib. Kurban ada dua jenis: wajib dan sunnah. Semua yang asalnya wajib bagi seseorang dan tidak boleh ditahan, maka dia tidak boleh memakannya sedikit pun, seperti kurban karena merusak ihram, kafarat, tebusan buruan, nazar, dan tamattu’.
Jika dia memakan dari kurban wajib, dia harus bersedekah senilai apa yang dimakannya. Semua yang asalnya sunnah, seperti kurban Idul Adha atau hadyu sunnah, boleh dimakan, diberikan, dihadiahkan, disimpan, atau disedekahkan. Saya lebih suka jika tidak memakan atau menyimpan lebih dari sepertiga, menghadiahkan sepertiga, dan menyedekahkan sepertiga. Jika tidak memberi tanda atau menggunting telinga hewan kurban, baik qiran atau lainnya, dia boleh membeli hewan kurban dari Mina atau Makkah lalu menyembelihnya di tempatnya, karena tidak ada kewajiban tertentu pada hewan tersebut. Yang penting adalah amalan manusia dan ibadah mereka. Ini hanyalah harta yang mereka nafkahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak masalah jika tujuh orang yang melakukan tamattu’ patungan untuk seekor unta atau sapi. Begitu juga jika tujuh orang masing-masing wajib menyembelih kambing atau sedang ihsar, mereka boleh mengumpulkan bagiannya dari harga hewan tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zubair dari Jabir, dia berkata: “Kami pernah menyembelih unta bersama Rasulullah ﷺ di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang.”
[Yang Merusak Haji]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berihram untuk umrah, lalu berhubungan dengan istrinya antara saat berihram hingga menyelesaikan thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka hajinya rusak. Jika seseorang berihram untuk haji atau haji dan umrah (qiran), lalu berhubungan dengan istrinya antara saat itu hingga melempar Jumrah Aqabah dengan tujuh kerikil dan thawaf di Ka’bah (meski belum melempar Jumrah Aqabah setelah Arafah), maka hajinya rusak. Yang merusak haji adalah perbuatan yang mengharuskan had, yaitu masuknya hasyafah (kepala kemaluan). Tidak ada yang merusak haji selain itu, baik berupa sentuhan atau kenikmatan lain. Jika air mani keluar, tidak apa-apa. Apa saja yang dilakukan jamaah haji dari larangan, seperti berburu atau lainnya, jika seseorang merusak hajinya, dia tetap melanjutkan hajinya sebagaimana biasa. Jika tahun depan dia haji lagi dan menyembelih unta, itu cukup untuk menebus keduanya. Begitu juga jika…
Istri halal sedangkan dia haram, maka cukup baginya menyembelih unta. Demikian pula jika istri haram sedangkan dia halal, maka wajib baginya menyembelih unta dan melakukan haji pada tahun berikutnya karena dialah pelakunya. Hadis-hadis yang datang hanya menyebutkan satu unta yang mencukupi untuk keduanya. Jika berhubungan berulang kali, tetap dihitung satu karena dia telah merusak ihram sekali. Jika berhubungan dengan beberapa wanita, tetap dihitung satu karena dia telah merusak ihram sekali, kecuali jika mereka dalam keadaan ihram, maka dia telah merusak ihram mereka semua. Dia wajib menghajikan mereka semua, kemudian menyembelih satu unta untuk setiap wanita karena ihram masing-masing wanita berbeda. Untuk kenikmatan selain yang disebutkan dari urusan duniawi dengan istrinya, maka cukup dengan menyembelih kambing. Jika orang yang merusak ihram tidak menemukan unta, dia boleh menyembelih sapi. Jika tidak menemukan sapi, dia boleh menyembelih tujuh ekor kambing. Jika tidak mampu sama sekali, nilai unta dihitung dengan dirham di Mekah, lalu dirham tersebut dibelikan makanan dan dibagikan. Jika tidak mampu membeli makanan, dia berpuasa sehari untuk setiap mud. Demikianlah semua kewajiban yang tidak mampu dilaksanakan, jika tidak ada nash khusus, maka dilakukan seperti ini. Jika ada nash khusus, maka mengikuti nash tersebut. Makanan dan hadiah kurban hanya boleh di Mekah dan Mina, sedangkan puasa boleh dilakukan di mana saja karena tidak ada manfaat bagi penduduk Haram dari puasanya.
[Ihshar (Terhalang)]
(Imam Syafi’i berkata): Ihshar yang disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Jika kamu terkepung (terhalang), maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat” (QS. Al-Baqarah: 196), turun pada peristiwa Hudaibiyah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkepung musuh. Beliau menyembelih kurban di tanah halal. Ada juga yang mengatakan beliau menyembelih di tanah haram. Namun kami berpendapat beliau menyembelih di tanah halal, sebagian di tanah haram, karena Allah berfirman: “Dan mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, sedangkan hadyu tertahan tidak sampai ke tempatnya” (QS. Al-Fath: 25). Seluruh tanah haram adalah tempat penyembelihan menurut ulama. Di mana pun seseorang terkepung, dekat atau jauh, oleh musuh yang menghalangi, baik muslim atau kafir, sedangkan dia dalam keadaan ihram, maka dia boleh menyembelih kambing dan bertahallul tanpa wajib qadha, kecuali jika hajinya adalah haji wajib, maka dia harus mengqadhanya. Demikian juga jika penguasa menahannya di penjara atau lainnya. Demikian pula budak yang berihram tanpa izin tuannya, atau wanita yang berihram tanpa izin suaminya, karena keduanya boleh menahannya. Namun orang tua tidak boleh menahan anaknya, dan wali tidak boleh menahan orang yang diwalinya. Jika orang yang terkepung menunda dengan harapan bisa dilepaskan, itu lebih aku sukai. Jika dia melihat tidak mungkin dilepaskan, maka dia boleh bertahallul. Jika sudah bertahallul kemudian dilepaskan, lebih aku sukai jika dia memperbarui ihram. Jika tidak melakukannya, tidak apa-apa karena aku telah mengizinkannya bertahallul tanpa qadha. Jika tidak menemukan kambing untuk disembelih bagi fakir miskin, lebih aku sukai jika dia berpuasa senilai kambing sebelum bertahallul. Jika tidak melakukannya dan bertahallul, aku berharap tidak ada kewajiban baginya. Kapan pun dia mendapat gangguan sedangkan dia berharap bisa dilepaskan, dia boleh menghindarinya dan membayar fidyah di tempat tersebut, seperti fidyah orang yang terkepung jika dilepaskan di luar tanah haram. Ini berbeda dengan orang yang mampu ke tanah haram, tidak sah baginya kecuali hadyunya sampai ke tanah haram.
[Ihshar Karena Sakit dan Lainnya]
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas dan lainnya, dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: “Tidak ada ihshar kecuali karena terkepung musuh.” Salah seorang menambahkan: “Ihshar sekarang sudah tidak ada.”
(Imam Syafi’i berkata): Pendapatku adalah bahwa ihshar yang disebutkan Allah Ta’ala yang membolehkan bertahallul adalah terkepung musuh. Siapa yang tertahan karena kesalahan penguasa atau sakit, tidak boleh bertahallul dari ihramnya. Jika butuh pengobatan, dia wajib membayar fidyah atau menghilangkan gangguan yang dilakukannya.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dan dia menebus, dan menebus di Tanah Haram dengan melakukannya dan mengirim hadyu ke Tanah Haram. Jika dia mampu pergi, maka dia pergi dan tahallul dari ihramnya dengan thawaf dan sa’i. Jika dia berumrah, tidak ada waktu baginya, dia tahallul dan kembali. Jika dia berhaji dan sempat menunaikan haji, maka itu cukup. Jika tidak sempat, dia thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, dan wajib baginya haji tahun depan serta hadyu yang mudah. Demikian juga bagi yang salah dalam hitungan.
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang tidak masuk Arafah kecuali dalam keadaan pingsan, tidak sadar sesaat atau sekejap mata saat di Arafah, maka hajinya batal. Jika dia thawaf dalam keadaan tidak sadar, maka thawafnya tidak sah. Jika dia berihram dalam keadaan tidak sadar, maka ihramnya tidak sah. Jika dia sadar di Arafah sesaat atau sadar setelah ihram sesaat dalam keadaan berihram, lalu pingsan di antara waktu itu, tidak masalah. Kecuali jika dia tidak sadar hingga melewati waktu, maka wajib baginya dam karena meninggalkan waktu. Tidak sah thawaf atau shalatnya kecuali jika dia sadar dalam semua itu, karena ini adalah amalan yang sedikitnya tidak mencukupi dari banyaknya. Sedangkan di Arafah, sedikitnya mencukupi dari banyaknya, begitu juga ihram.
[Dari Mukhtashar Hajj ash-Shaghir]
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, dia berkata: (Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang melewati Madinah, maka dia berihram dari Dzul Hulaifah. Barangsiapa yang melewati pesisir, maka dia berihram dari Juhfah. Barangsiapa yang melewati laut atau selain pesisir, maka dia berihram ketika sejajar dengan Juhfah. Tidak masalah berihram sebelum itu hingga ke negerinya. Jika melewati miqat, dia harus kembali ke miqatnya. Jika tidak kembali, wajib baginya menyembelih dam, yaitu seekor kambing yang disedekahkan kepada orang miskin.
(Imam Syafi’i berkata): Dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan yang sedang haid atau nifas untuk mandi ketika berihram dan memotong rambut serta kuku sebelumnya. Jika tidak dilakukan dan hanya berwudhu, itu sudah cukup.
(Imam Syafi’i berkata): Dianjurkan untuk berihram setelah shalat, baik wajib maupun sunnah. Jika tidak dilakukan dan berihram tanpa wudhu, tidak masalah.
(Imam Syafi’i berkata): Dianjurkan bagi laki-laki untuk memakai dua kain putih yang baru atau bersih, dan bagi perempuan untuk memakai pakaian serupa. Tidak masalah memakai pakaian apa pun selama tidak dicelup dengan za’faran, wars, atau wewangian. Laki-laki memakai izaar dan rida’, atau pakaian bersih yang dikenakan seperti rida’. Jika tidak menemukan izaar, dia boleh memakai celana. Jika tidak menemukan sandal, dia boleh memakai sepatu bot yang dipotong di bawah mata kaki. Tidak boleh memakai pakaian berjahit atau sorban, kecuali jika dikenakan di pundak atau punggung secara longgar. Dia boleh menutup wajahnya tetapi tidak boleh menutup kepalanya. Perempuan boleh memakai celana, sepatu bot, gamis, dan kerudung, serta semua pakaian yang biasa dikenakan selain pakaian berwewangian. Dia tidak boleh menutup wajahnya tetapi boleh menutup kepalanya, kecuali jika ingin menutup wajah, maka kerudung dijauhkan lalu pakaian disampirkan ke wajah secara longgar. Orang yang berihram boleh berteduh di tenda, gereja, atau tempat lain, serta mengganti pakaian ihramnya dengan pakaian lain.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang berihram meninggal, dia dimandikan dengan air dan daun sidr, tidak diberi wewangian, dikafani dengan dua kain ihramnya tanpa gamis, wajahnya ditutup tetapi kepalanya tidak.
(Imam Syafi’i berkata): Jika perempuan yang berihram meninggal, dia dimandikan dengan air dan daun sidr, dikenakan gamis, izaar, dan kerudung diikat di kepalanya, sementara wajahnya dibiarkan terbuka.
(Imam Syafi’i berkata): Perempuan yang berihram tidak boleh memakai sarung tangan atau burqa.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak masalah bagi orang yang berihram untuk memakai wewangian seperti ghaliyah, nadhuh, atau asap wangi, selama bekas wewangiannya masih ada setelah ihram jika wewangian dipakai sebelum ihram. Begitu juga boleh memakai wewangian saat melempar jumrah Aqabah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka memotong rambut sebelum ihram, maka saat berihram, mereka boleh memilih antara qiran, ifrad haji, atau tamattu’ dengan umrah ke haji.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dan tamattu’ lebih aku sukai (dia berkata): Jika mereka melakukan tamattu’ atau qiran, cukup bagi mereka menyembelih seekor kambing. Jika tidak mendapatkannya, berpuasalah tiga hari antara mulai ihram haji hingga hari Arafah. Jika tidak berpuasa pada hari-hari itu, berpuasalah tiga hari setelah Mina di Mekah atau dalam perjalanan mereka, dan tujuh hari setelahnya. Aku lebih memilih tamattu’ bagi mereka. Mana saja yang mereka niatkan untuk ihram, cukup dengan niat. Jika menyebutkannya, tidak apa-apa.
[Talbiyah]
Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak. Setelah selesai membaca talbiyah, bershalawatlah kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, memohon ridha Allah dan surga, serta berlindung dari murka-Nya dan neraka. Perbanyaklah talbiyah, dan pria mengeraskannya selama tidak memberatkan, sedangkan wanita melirihkannya. Aku menyukai talbiyah setelah shalat, bersama fajar, saat matahari terbenam, saat berkumpulnya rombongan, saat turun atau naik, dan dalam setiap keadaan. Tidak masalah membaca talbiyah dalam keadaan berwudu atau tidak. Wanita juga boleh membaca talbiyah saat haid. Tidak masalah mandi dan membersihkan badan dari kotoran, tetapi jangan menggosok kepala agar tidak memotong rambut. Aku menyukai mandi saat memasuki Mekah. Jika sudah masuk, lebih baik tidak keluar hingga thawaf di Ka’bah.
(Dia berkata): Aku menyukai jika melihat Ka’bah untuk membaca: “Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, dan penghormatan pada rumah ini, serta tambahkanlah kemuliaan bagi orang yang menghormatinya dengan berhaji atau umrah.” Peganglah Hajar Aswad dan lakukan idtiba’ dengan memasukkan selendang di bawah ketiak kanan hingga bahu terlihat. Lari-lari kecil tiga putaran dari Hajar ke Hajar, lalu berjalan empat putaran. Pegang Rukun Yamani dan Hajar Aswad, tidak perlu memegang yang lain. Jika terlalu ramai, lanjutkan dengan bertakbir tanpa memegang.
(Dia berkata): Aku menyukai banyak membaca doa saat thawaf: “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.” Setelah selesai, shalatlah dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim atau tempat lain, membaca Al-Fatihah, Surah Al-Kafirun, dan Al-Ikhlas. Kemudian naik ke Shafa hingga Ka’bah terlihat, bertakbir tiga kali, dan membaca: “Tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah, Yang menepati janji, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan musuh sendirian. Tiada Tuhan selain Allah dengan ikhlas beragama meski orang kafir membenci.” Berdoalah untuk urusan agama dan dunia, ulangi bacaan ini hingga tiga kali, lalu turun dari Shafa. Saat mendekati tanda hijau di sudut masjid (sekitar enam hasta), berlari kecil hingga sejajar dengan dua tanda di halaman masjid dan Darul Abbas, lalu menuju Marwa dengan sungguh-sungguh hingga Ka’bah terlihat. Lakukan di Marwa seperti di Shafa. Cukup berdoa apa saja hingga menyelesaikan tujuh putaran sa’i, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa.
Jika tamattu’, potonglah rambut dan tahallul. Saat hendak ke Mina pada hari Tarwiyah sebelum zuhur, thawaf tujuh putaran untuk wada’, lalu ihram haji dari masjid. Tiba di Mina, shalat zuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh. Kemudian berangkat ke Arafah, singgah di mana saja, dan lebih baik shalat zuhur dan asar bersama imam, berdiri dekat dengannya sambil berdoa. Saat matahari terbenam, berangkat dengan tenang ke Muzdalifah, shalat maghrib, isya, dan subuh. Berangkat lagi, berdoa, lalu melempar Jumrah Aqabah dengan tujuh kerikil dari dasar lembah. Setelah itu, halal baginya segala yang dilarang saat ihram kecuali wanita. Terus bertalbiyah hingga melempar Jumrah Aqabah dengan kerikil pertama, lalu berhenti. Jika sudah thawaf tujuh putaran dan sa’i tujuh putaran, halal baginya wanita. Jika qiran atau ifrad, wajib… (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).
Untuk menetapkan seorang muhrim dalam keadaannya dan melakukan apa yang telah dijelaskan, namun jika ia adalah qarin atau mufrid, maka cukup baginya jika telah melakukan tawaf sebelum Mina dan antara Shafa-Marwah, yaitu melakukan tawaf di Ka’bah tujuh kali sekali setelah Arafah, sehingga wanita halal baginya dan ia tidak perlu kembali ke Shafa-Marwah. Jika ia belum tawaf sebelum Mina, maka setelah Arafah ia wajib tawaf di Ka’bah tujuh kali dan antara Shafa-Marwah tujuh kali. Dianjurkan baginya untuk mandi saat melempar jumrah, wukuf di Arafah, dan Muzdalifah. Namun jika tidak dilakukan dan seluruh amalan haji dikerjakan tanpa wudhu, itu tetap sah, karena wanita haid pun melakukannya kecuali shalat dan tawaf di Ka’bah, yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan suci.
Jika setelah hari Nahr ia menyembelih kambing, wajib baginya menyedekahkan kulit dan dagingnya tanpa menyimpan sedikit pun. Jika itu adalah nafilah, ia boleh bersedekah, memakan, dan menyimpan sebagian. Penyembelihan boleh dilakukan sepanjang hari-hari Mina, siang atau malam, tetapi siang lebih utama. Melempar jumrah dilakukan pada semua hari Mina (tiga hari), masing-masing dengan tujuh kerikil, dan tidak boleh dilakukan sebelum matahari tergelincir pada semua hari setelah hari Nahr. Dianjurkan saat melempar untuk bertakbir setiap kali melempar kerikil, berdiri agak jauh dari Jumrah Al-Dunya di tempat orang biasa berhenti, lalu berdoa panjang seukuran membaca Surah Al-Baqarah. Hal yang sama dilakukan di Jumrah Al-Wustha, tetapi tidak di Jumrah Al-Aqabah.
Jika keliru melempar dua kerikil sekaligus, itu dihitung satu hingga ia melempar tujuh kali. Kerikil jumrah boleh diambil dari mana saja kecuali tempat najis, masjid, atau dari jumrah itu sendiri, karena makruh mengambil dari tempat-tempat tersebut. Kerikil seukuran biji kecil (lebih kecil dari ujung jari) boleh digunakan, dan tidak masalah membersihkannya sebelum digunakan.
Jika ia ingin mempercepat (nafar awal) pada dua hari setelah hari Nahr, itu boleh. Jika matahari terbenam pada hari kedua, ia tetap tinggal hingga melempar jumrah pada hari ketiga setelah tergelincir matahari. Jika ia lupa atau tidak sempat melempar, ia harus mengulanginya setelah selesai, tetapi tidak boleh melempar 14 kerikil sekaligus.
Ketika hendak meninggalkan Mekah, ia harus tawaf tujuh kali sebagai tawaf wada’ (perpisahan), sebagai amalan terakhir. Jika ia pergi tanpa tawaf, wajib mengirim hewan untuk disembelih atas namanya. Aturan ini sama bagi laki-laki dan perempuan, kecuali wanita haid yang boleh pergi tanpa tawaf wada’ jika telah menyelesaikan tawaf wajibnya.
Dianjurkan saat tawaf wada’ untuk berhenti di Multazam (antara Rukun dan Pintu Ka’bah) dan berdoa:
“Ya Allah, Ka’bah ini adalah rumah-Mu, hamba ini adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Engkau membawaku dengan makhluk-Mu yang Engkau mudahkan, mengantarkanku di negeri-Mu, dan memberiku nikmat hingga menolongku menyelesaikan manasikku. Jika Engkau ridha, tambahkanlah keridhaan-Mu. Jika belum, berilah keridhaan-Mu sekarang sebelum aku jauh dari rumah-Mu. Inilah saat kepulanganku jika Engkau mengizinkan, tanpa menggantikan-Mu atau rumah-Mu, dan tanpa berpaling darimu atau Ka’bah-Mu. Ya Allah, lindungi tubuhku dengan kesehatan, agamaku dengan keselamatan, perbaikilah tempat kembaliku, dan karuniakanlah ketaatan kepada-Mu selama hidupku.”
Doa lebih dari ini juga sah jika dikehendaki Allah.
Diriwayatkan oleh Al-Rabi’, berkata (Asy-Syafi’i rahimahullah):
“Kurban adalah sunnah yang tidak aku sukai untuk ditinggalkan. Kurban minimal dengan kambing, unta, atau sapi yang sudah cukup umur (tsaniyy), kecuali domba yang boleh masih jadza’. Seandainya kurban wajib, tidak sah bagi satu keluarga kecuali menyembelih satu kambing per orang atau satu unta/sapi untuk tujuh orang. Namun karena ia bukan wajib, jika seorang menyembelih di keluarganya, itu sudah memenuhi nama kurban tanpa mengabaikan kewajiban bagi yang meninggalkannya.”
(Berkata):
“Waktu kurban dimulai setelah imam selesai shalat Id. Jika imam terlambat atau di tempat tanpa imam, cukup dengan perkiraan waktu shalat, lalu shalat dua rakaat. Imam tidak berdosa jika terlambat shalat…”
Waktu itu karena waktu hanyalah waktu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bukan apa yang diada-adakan setelahnya. Meskipun Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan orang yang diperintahkan untuk mengulangi kurbannya dengan domba yang masih kecil (jadh’ah), maka itu sudah mencukupi. Dan jika beliau memerintahkan dengan jadh’ah selain domba, maka telah diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau bersabda, “Itu mencukupimu tetapi tidak mencukupi orang lain setelahmu.” Adapun selain yang telah disebutkan, tidak dianggap sebagai kurban sampai terpenuhi syarat usia hewan dan waktu penyembelihan, serta hari-hari Mina khususnya. Jika hari-hari Mina telah berlalu, maka tidak ada lagi kurban, dan apa yang disembelih saat itu hanyalah sembelihan biasa, bukan kurban. Kita diperintahkan untuk berkurban pada hari-hari Mina, dan kami berpendapat bahwa waktu kurban tidak terlewat karena kami meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Ini adalah hari-hari penyembelihan dan melempar jumrah.” Kami juga melihat kaum muslimin ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang sesuatu pada hari-hari Mina, mereka menjauhinya dan melarang umrah bagi yang sedang berhaji karena masih dalam sisa ibadah hajinya. Jika ada yang berpendapat bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – hanya berkurban pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), maka itu adalah waktu terbaik untuk berkurban, meskipun masih sah pada hari-hari setelahnya karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Ini adalah hari-hari penyembelihan.” Ketika kaum muslimin menyatakan seperti yang kami sebutkan, maka harus diakui bahwa hari ketiga sama seperti dua hari sebelumnya. Kami tidak menyukai berkurban pada malam hari, sebagaimana kami tidak menyukai pelaksanaan hukuman had pada malam hari, karena malam adalah waktu istirahat sedangkan siang adalah waktu mencari penghidupan. Kami lebih suka jika orang yang membutuhkan daging kurban hadir, karena itu lebih besar pahalanya bagi yang bersedekah dan lebih memungkinkan untuk tidak menemukan alasan untuk tidak bersedekah kepada yang hadir, baik orang miskin maupun lainnya, karena malu. Selain itu, menyembelih kurban pada siang hari lebih ringan dan lebih aman dari bahaya serta tidak merusak bagian kurban. Penduduk kota dalam hal ini sama seperti penduduk Mina. Jika matahari telah terbenam pada hari terakhir Tasyriq, lalu seseorang menyembelih, maka itu tidak dianggap sebagai kurban.
[Pasal: Apa yang Mencukupi dari Unta untuk Jumlah dalam Kurban]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Aku berpendapat berdasarkan hadits Malik dari Abu Az-Zubair, dari Jabir bahwa mereka menyembelih unta bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pada tahun Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang.
(Imam Syafi’i berkata): Saat itu mereka sedang terkepung (muhshar). Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu terkepung (terhalang), maka sembelihlah kurban yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196). Ketika Allah berfirman, “maka sembelihlah kurban yang mudah didapat,” maka seekor kambing sudah mencukupi. Unta mencukupi untuk tujuh orang yang terkepung atau berhaji tamattu’, atau tujuh orang yang wajib atas mereka kurban karena qiran, tebusan karena memburu, atau lainnya, asalkan setiap orang diwajibkan satu kambing, karena ini setara dengan kambing. Jika setiap orang mengeluarkan bagiannya dari harga unta, itu sudah mencukupi. Jika mereka memilikinya tanpa membeli atau dengan membayar harganya, itu juga mencukupi, baik mereka satu keluarga atau bukan, karena orang-orang di Hudaibiyah berasal dari berbagai kabilah dan kelompok yang berbeda. Unta tidak mencukupi untuk lebih dari tujuh orang. Jika kurang dari tujuh, itu sudah mencukupi, dan mereka mendapatkan keutamaan tambahan, sebagaimana unta juga mencukupi bagi yang wajib berkurban dengan kambing tetapi berniat lebih. Jika unta tidak ada, maka gantinya adalah tujuh kambing berdasarkan qiyas dari hadits ini. Demikian juga sapi. Jika seseorang mengaku telah menyebut nama Allah saat menyembelih, maka dia dipercaya, dan orang-orang boleh memakannya. Dia juga dipercaya dalam hal yang lebih besar seperti iman dan shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap penyembelihan yang wajib bagi seorang muslim, aku tidak suka jika…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Seorang Nasrani boleh menyembelih (hewan kurban), dan aku tidak melarangnya jika dia menyembelihnya, karena jika dagingnya halal baginya, maka sembelihannya lebih mudah. Setiap penyembelihan yang tidak wajib, tidak masalah jika dilakukan oleh seorang Nasrani, wanita, atau anak kecil. Jika penyembelih menghadap kiblat, itu lebih aku sukai. Namun jika dia keliru atau lupa, tidak ada dosa baginya insya Allah. Karena kurban adalah darah yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka darah yang terbaik lebih aku sukai. Sebagian mufasir berpendapat bahwa firman Allah Azza wa Jalla, “Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) adalah tentang memilih hewan kurban yang gemuk dan bagus. Rasulullah ﷺ pernah ditanya, “Budak mana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling mahal harganya dan paling berharga bagi pemiliknya.”
(Imam Syafi’i berkata): Akal pasti memahami bahwa segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, jika itu berharga, maka semakin besar pengorbanannya bagi yang mendekatkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, semakin besar pula pahalanya.
Kurban Kedua
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah –: Hewan kurban adalah domba yang sudah berusia satu tahun (jadza’), kambing yang sudah berusia dua tahun (tsaniyyah), unta, atau sapi. Tidak sah berkurban dengan hewan yang kurang dari ini. Kurban adalah sunnah yang bersifat sukarela, dan semua yang bersifat sukarela berlaku seperti ini. Adapun untuk tebusan (fidyah) buruan, baik kecil atau besar, jika setara dengan buruan yang dibunuh, maka itu sudah cukup karena sebagai pengganti, dan pengganti harus seperti yang diburu. Hal ini telah ditulis dengan argumen-argumennya dalam kitab Haji.
(Imam Syafi’i berkata): Waktu penyembelihan kurban adalah ketika imam masuk shalat, yaitu saat matahari telah terbit. Imam shalat dua rakaat, lalu berkhutbah dua khutbah singkat. Setelah waktu itu berlalu, penyembelihan kurban sudah boleh dilakukan. Waktu ini tidak tergantung pada tindakan orang-orang yang mengerjakan shalat, baik mereka memajukan atau mengakhirkannya. Bagaimana pendapatmu jika seseorang shalat setelah Subuh, berkhutbah, lalu selesai saat matahari terbit atau sebelumnya, atau mengakhirkannya hingga waktu Dhuha yang tinggi? Apakah boleh berkurban pada waktu pertama, atau haram berkurban sebelum waktu lainnya? Tidak ada waktu dalam sesuatu yang telah ditetapkan waktunya oleh Rasulullah ﷺ kecuali waktu itu. Adapun pengunduran atau pemajuan tindakan dari waktu yang beliau tetapkan, tidak ada ketentuan waktu di dalamnya.
(Imam Syafi’i berkata): Penduduk pedalaman dan penduduk desa yang memiliki imam dalam hal ini sama. Tidak ada waktu kecuali sesuai dengan shalat Nabi ﷺ. Adapun shalat setelah beliau, tidak ada waktu tertentu karena ada yang mengakhirkan atau memajukannya.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada cacat pada tanduk yang menghalangi kurban dengan hewan yang tidak bertanduk (jalha’). Jika berkurban dengan jalha’, itu lebih baik daripada hewan yang tanduknya patah, baik tanduknya berdarah atau sehat, karena tidak ada kekhawatiran pada darah tanduknya yang membuatnya sakit sehingga tidak sah. Tidak ada yang diperbolehkan kecuali ini. Jika tanduknya patah sedikit atau banyak, berdarah atau tidak, itu tetap sah.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang imam boleh berkurban di tempat shalatnya atau di rumahnya. Setelah imam shalat, orang-orang yang bersamanya tahu bahwa waktu kurban telah tiba. Mereka tidak perlu menunggu imam berkurban terlebih dahulu, dan tidak ada kesulitan bagi mereka untuk menyembelih. Bagaimana pendapatmu jika imam tidak berkurban sama sekali, atau mengakhirkan kurban hingga siang hari, besok, atau setelahnya?
(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah berkurban dengan hewan yang sakit, apa pun sakitnya, selama itu jelas. Jika seseorang menetapkan hewan sebagai kurban (dengan mengatakan, “Ini adalah kurban”), bukan sekadar membeli atau berniat untuk berkurban, maka setelah ditetapkan, dia tidak boleh menukarnya dengan yang lebih baik atau lebih buruk. Jika dia menukarnya dan menyembelih penggantinya, dia harus kembali menyembelih hewan pertama dan tidak boleh menahannya. Jika belum ditetapkan, dia boleh membatalkan niat berkurban, baik menukarnya atau tidak, seperti membeli budak dengan niat memerdekakannya atau harta dengan niat sedekah. Dia tidak wajib memerdekakan atau menyedekahkannya, tetapi jika dilakukan, itu lebih baik baginya. (Dia berkata): Tidak sah berkurban dengan hewan yang berkudis, baik sedikit atau banyak, karena itu penyakit yang merusak daging dan mengurangi harga.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual hewan kurban yang sudah ditetapkan, penjualannya batal. Jika hewan itu sudah tidak ada, dia harus membeli kurban pengganti dengan seluruh harga penjualannya.
Jika dia menjadikannya sebagai hewan kurban, dan harganya setara dengan dua hewan kurban, maka dia harus membeli dua hewan tersebut karena harganya adalah penggantinya, dan dia tidak boleh memiliki bagian apa pun darinya. Jika harganya setara dengan satu hewan kurban dan ada kelebihan yang tidak mencapai harga hewan kurban kedua, maka dia harus menyembelih hewan kurban tersebut dan mengalokasikan kelebihannya sebagaimana hewan kurban.
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih menyukai jika kelebihannya disedekahkan. Jika harganya kurang dari satu hewan kurban, maka dia harus menambahnya hingga mencukupi satu hewan kurban. Kurang dari itu tidak sah karena dia telah menghilangkan hewan kurban, sehingga kewajiban minimalnya adalah mengganti dengan hewan kurban yang sepadan.
(Imam Syafi’i berkata): Berkurban adalah sunnah yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi yang berkurban, minimal cukup dengan domba jadza’ (berumur setahun), kambing tsaniyy (berumur dua tahun), atau unta/sapi tsaniyy. Aku lebih menyukai berkurban dengan unta daripada sapi, dan sapi lebih kusukai daripada kambing. Semakin mahal harga hewan ternak, semakin kusukai, dan semakin baik kualitas dagingnya, semakin utama.
(Imam Syafi’i berkata): Domba lebih kusukai daripada kambing, dan yang berwarna putih lebih kusukai daripada yang hitam. Hukum kurban sama bagi penduduk Mina dan penduduk kota lainnya. Karena kurban adalah darah yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka darah yang paling baik lebih kusukai. Sebagian mufasir berpendapat bahwa firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah…” (QS. Al-Hajj: 32) mencakup memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya, “Budak mana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling mahal harganya dan paling berharga bagi pemiliknya.” Akal pun memahami bahwa segala sesuatu yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, jika bernilai tinggi dan berharga bagi yang berkurban, maka pahalanya lebih besar.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang yang melakukan haji tamattu’, “Maka (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196). Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai seekor kambing. Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabat yang melakukan haji tamattu’ untuk menyembelih seekor kambing masing-masing, karena itu adalah minimal yang sah. Jika yang paling rendah sudah mencukupi, maka yang lebih tinggi tentu lebih baik.
Seandainya kami berpendapat bahwa kurban itu wajib, maka tidak sah bagi satu keluarga kecuali setiap orang menyembelih seekor kambing atau tujuh orang bersama-sama seekor unta. Namun karena kurban bukan kewajiban, jika seseorang berkurban di keluarganya, maka sudah disebut berkurban dan tidak terabaikan. Siapa yang tidak melakukannya, dia tidak meninggalkan kewajiban.
Seseorang tidak wajib berkurban untuk istrinya, anaknya, atau dirinya sendiri. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak berkurban karena khawatir diikuti orang lain sehingga dikira wajib.
Dari Ibnu Abbas, dia pernah duduk bersama sahabatnya lalu mengirim dua dirham seraya berkata, “Beli lah daging dengan ini,” kemudian berkata, “Ini adalah kurban Ibnu Abbas.” Hampir tidak ada hari yang berlalu kecuali dia menyembelih hewan di Mekah. Ini seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar.
Pendapat tentang kurban tidak keluar dari dua kemungkinan: wajib atau tidak. Jika wajib, maka setiap orang—baik kecil maupun besar—harus menyembelih seekor kambing. Selain itu, pendapat lain tidak boleh.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan kurban melahirkan sebelum disembelih, maka anaknya juga disembelih bersamanya, seperti halnya hewan hadyu yang melahirkan. Jika kurban tidak wajib, dia boleh menahan anaknya atau menyembelihnya.
Barangsiapa berpendapat bahwa hewan kurban tidak boleh diganti dengan yang sepadan atau yang lebih rendah, maka dia telah menjadikannya wajib dalam hal ini. Dia juga harus mengatakan bahwa tidak boleh menggantinya dengan yang lebih baik, karena ini berlaku untuk segala yang wajib.
Hukum hewan kurban yang sudah dibeli tidak keluar dari dua kemungkinan: seperti hadyu wajib yang tidak boleh diganti meski dengan seribu hewan sejenis, atau seperti harta biasa yang boleh diganti dengan hewan kurban lain yang sah meski lebih rendah, atau ditahan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kurban wajib, bulunya tidak boleh dicukur. Jika tidak wajib, bulunya boleh dicukur. Kurban adalah ibadah yang diperbolehkan untuk dimakan, diberikan, atau disimpan. Semua bagian kurban—kulit, daging, dll.—boleh dimanfaatkan, tetapi aku tidak suka jika dijual atau ditukar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau tidak suka dijual, padahal boleh dimakan dan disimpan?” Katakanlah, “Karena kurban adalah ibadah. Allah telah menetapkan hukum untuk hewan kurban, ‘Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan…’ (QS. Al-Hajj: 28). Rasulullah ﷺ juga mengizinkan memakan dan memberi dari kurban. Jadi, apa yang diizinkan Allah dan Rasul-Nya boleh dilakukan. Asalnya, apa yang dikeluarkan untuk Allah tidak boleh kembali kepada pemiliknya kecuali yang diizinkan.”
Atau Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – maka kami membatasi diri pada apa yang diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, serta kami melarang jual beli berdasarkan prinsip ibadah yang dilarang untuk diperjualbelikan. Jika ada yang bertanya: “Apakah engkau menemukan contoh yang mirip dengan ini?” Jawabnya: “Ya, seperti pasukan yang memasuki wilayah musuh, maka harta rampasan (ghulul) diharamkan bagi mereka, dan apa yang mereka peroleh dari musuh dibagi di antara mereka. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengizinkan mereka memakan makanan yang mereka dapatkan dari musuh, sehingga kami mengeluarkannya dari kategori ghulul jika itu berupa makanan. Kami berpendapat bahwa jika barang itu dijual, maka termasuk ghulul, dan penjualnya wajib mengembalikan harganya. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, bahwa siapa pun yang menjual kulit atau bagian lain dari hewan kurbannya, ia harus mengembalikan harganya atau nilai yang lebih tinggi jika nilainya melebihi harga jual, selama masih termasuk kategori hewan yang sah untuk kurban. Bersedekah dengannya lebih aku sukai, sebagaimana bersedekah dengan daging kurban lebih aku sukai. Susu hewan kurban seperti susu unta, jika kurban itu wajib, pemiliknya tidak boleh meminumnya kecuali kelebihan dari kebutuhan anaknya dan tidak sampai mengurangi dagingnya. Jika disedekahkan, itu lebih aku sukai. Jika tidak wajib, ia boleh berbuat sesukanya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tidak sah kurban hewan yang buta, dan sedikitnya warna putih pada hitam pada mata, baik terlihat atau tidak, selama disebut buta yang jelas. Juga tidak sah hewan yang pincang, selama pincangnya jelas, baik karena bawaan lahir atau cacat yang menetap.”
(Imam Syafi’i berkata): “Siapa yang membeli hewan kurban lalu mewajibkannya, atau menghadiahkan hewan hadyu (untuk haji) dan mewajibkannya dalam keadaan sempurna, kemudian terjadi cacat hingga waktu penyembelihan, itu tetap sah. Aku melihat semua ini pada hari ia mewajibkannya, sehingga hewan itu keluar dari hartanya untuk tujuan tersebut. Jika hewan itu sempurna dan memenuhi syarat saat diwajibkan, maka sah meskipun kemudian cacat. Namun, jika ia membeli hewan lalu mewajibkannya setelah terjadi cacat yang membuatnya tidak sah, lalu ia menyembelihnya, itu tidak sah karena diwajibkan dalam keadaan tidak memenuhi syarat. Untuk kurban wajib, ia harus mengganti dengan hewan yang sempurna. Sedangkan untuk kurban sunnah, tidak wajib mengganti.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang membeli hewan kurban, baik diwajibkan atau tidak, lalu hewan itu mati, hilang, atau dicuri, ia tidak wajib mengganti. Ini tidak lebih dari hadyu sunnah yang diwajibkan pemiliknya, lalu mati, sehingga tidak ada kewajiban mengganti. Penggantian hanya berlaku untuk yang wajib. Namun, jika hewan itu ditemukan setelah diwajibkan, ia harus menyembelihnya meskipun hari-hari penyembelihan telah berlalu, seperti halnya unta hadyu yang hilang. Jika belum diwajibkan lalu ditemukan, tidak ada keharusan menyembelih, tetapi jika disembelih, itu lebih aku sukai.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang membeli hewan kurban tetapi belum mewajibkannya hingga terjadi cacat yang membuatnya tidak sah sebelum disembelih, maka itu tidak sah sebagai kurban. Jika ia telah mewajibkannya dalam keadaan sehat lalu terjadi cacat hingga hari penyembelihan, ia tetap menyembelihnya dan itu sah. Aku melihat keadaan hewan saat diwajibkan. Tidak ada tanggung jawab atas apa yang terjadi setelah penyembelihan, karena saat itu hewan sudah disembelih dan nyawanya telah pergi. Tidak masalah jika tubuhnya rusak, karena itu akan terjadi pada akhirnya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika kami berpendapat bahwa hewan pincang atau buta tidak sah untuk kurban, maka hewan yang tidak memiliki tangan atau kaki juga termasuk dalam kategori ini dan lebih parah lagi. Tidak ada cacat pada tanduk. Jika hewan terlahir dengan telinga, itu sah, tetapi jika tidak memiliki telinga sejak lahir, tidak sah. Begitu pula jika telinganya dipotong, tidak sah karena itu mengurangi bagian yang bisa dimakan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang mewajibkan kurban atau hadyu, lalu disembelih tanpa izinnya sebelum dagingnya habis, maka keduanya sah selama penyembelihan dilakukan pada waktunya. Ia boleh menuntut orang yang melanggar dengan selisih nilai hewan saat hidup dan setelah disembelih, lalu menggunakannya untuk hadyu atau kurban. Tidak ada penggantian selain itu. Jika ada yang menyembelih kambing yang ia beli tetapi belum diwajibkan, lalu ia ingin menjadikannya kurban, itu tidak sah. Ia boleh menuntut selisih nilai hidup dan setelah disembelih. Jika ia ingin menyimpan dagingnya, boleh, karena belum diwajibkan. Jika dagingnya hilang dalam semua kasus ini, ia boleh menuntut penyembelih dengan nilai hewan saat hidup dan wajib membeli hewan kurban atau hadyu dengan nilai yang diterimanya. Jika kurang, ia harus menambahnya hingga memenuhi kewajiban minimal. Jika lebih, seluruhnya digunakan untuk kurban atau hadyu, sehingga tidak ada yang ditahan. Jawaban untuk semua ini sama seperti dua jamaah haji yang menyembelih hewan masing-masing atau dua orang yang berkurban.”
Setiap orang dari mereka menyembelih kurban temannya, dan masing-masing menanggung hadiahnya untuk temannya, antara nilai apa yang disembelih dalam keadaan hidup dan sudah disembelih, serta mencukupi bagi masing-masing dari mereka hadiah atau kurbannya jika belum rusak. Jika masing-masing dari mereka mengonsumsi hadiah atau kurban temannya, maka masing-masing menanggung nilai apa yang dikonsumsi dalam keadaan hidup, dan setiap orang dari mereka wajib mengganti setiap kewajiban.
(Imam Syafi’i berkata): Jamaah haji dari Mekah, orang yang berniat, musafir, penduduk setempat, laki-laki, dan perempuan yang mampu berkurban adalah sama, tidak ada perbedaan di antara mereka. Jika kurban wajib bagi salah satu dari mereka, maka wajib bagi semuanya. Jika gugur dari salah satu dari mereka, maka gugur dari semuanya. Seandainya kurban wajib bagi sebagian mereka dan tidak bagi yang lain, maka jamaah haji lebih utama untuk diwajibkan karena kurban adalah ibadah, dan mereka sedang menunaikan ibadah haji, sedangkan yang lain tidak. Namun, tidak boleh mewajibkan sesuatu kepada manusia kecuali dengan dalil, dan tidak boleh membedakan antara mereka kecuali dengan alasan yang setara. Aku tidak menyukai dan tidak membolehkan bagi seorang budak, mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal), mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), atau umm walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) untuk berkurban, karena mereka tidak memiliki harta yang sepenuhnya milik mereka—harta mereka adalah milik tuannya. Demikian pula, aku tidak menyukai dan tidak membolehkan bagi seorang mukatab untuk berkurban, karena kepemilikannya atas hartanya tidak sempurna, sebab jika dia gagal menebus dirinya, hartanya kembali kepada tuannya, dan dia dilarang memberikan hibah atau memerdekakan dirinya karena kepemilikannya atas hartanya belum sempurna.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada kurban untuk janin dalam kandungan.
(Imam Syafi’i berkata): Kurban diperbolehkan pada hari penyembelihan (10 Dzulhijjah) dan selama hari-hari Mina (11-13 Dzulhijjah), karena itu adalah hari-hari ibadah. Jika seseorang menyembelih kurban pada malam hari di hari-hari Mina, itu sah. Namun, aku tidak menyukai penyembelihan kurban atau hadiyah pada malam hari karena dua alasan: pertama, kekhawatiran kesalahan dalam penyembelihan yang dapat membahayakan dirinya atau orang di sekitarnya, atau kesalahan dalam proses penyembelihan; kedua, orang-orang miskin tidak hadir pada malam hari seperti halnya di siang hari. Selain alasan ini, aku tidak melarangnya. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil bahwa hari-hari Mina seluruhnya adalah hari penyembelihan kurban?” Jawabannya adalah sebagaimana dalil bahwa dua hari setelah hari penyembelihan (10 Dzulhijjah) juga termasuk hari kurban. Jika ada yang bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Dijawab, “Nabi ﷺ menyembelih hadiyah dan berkurban pada hari penyembelihan.” Ketika Nabi tidak melarang orang untuk berkurban setelah hari penyembelihan selama satu atau dua hari, maka kami tidak melihat hari ketiga berbeda dengan dua hari sebelumnya, karena pada hari itu juga dilakukan ibadah dan melempar jumrah sebagaimana pada dua hari sebelumnya. Jika ada yang bertanya, “Apakah ada hadis tentang ini?” Dijawab, “Ya, ada petunjuk dari sunnah Nabi ﷺ.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, yang berkata: Anjing terlatih yang terlatih menangkap mangsa dan menahannya tanpa memakannya, lalu hal ini dilakukan berulang kali, maka ia dianggap terlatih dan pemiliknya boleh memakan hasil buruannya. Namun, jika ia membunuh mangsa tanpa memakannya, kemudian memakannya, ada pendapat bahwa hal ini menghilangkan statusnya sebagai anjing terlatih, dan pemiliknya dilarang memakan hasil buruan yang telah dimakan anjing tersebut, karena anjing itu menahkannya untuk dirinya sendiri. Jika pemiliknya tetap memakannya, maka ia dianggap memakan hasil buruan dari anjing yang tidak terlatih. Secara logika (qiyas), sebenarnya boleh memakannya, karena jika anjing itu terlatih, maka pembunuhannya dianggap sebagai penyembelihan (dzakat), sehingga boleh memakan apa yang tidak diharamkan selama hewan itu halal, seperti jika hewan itu disembelih lalu dimakan oleh anjing, tidak menjadi haram kecuali bagian yang dimakan dan sekitarnya. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan sebagian sahabat kami. Namun, kami meninggalkan pendapat ini karena hadis yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dari Adi bin Hatim bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Jika ia memakannya, maka janganlah kamu memakannya.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika telah tetap sebuah hadis dari Nabi ﷺ, tidak boleh meninggalkannya untuk alasan apa pun. Jika kita berpendapat demikian tentang anjing terlatih yang menangkap mangsa dan menahannya tanpa memakan, maka hasil buruannya halal, karena pembunuhannya dianggap sebagai penyembelihan. Namun, jika ia menahannya lalu memakannya, maka statusnya tidak lagi sebagai anjing terlatih, sehingga kembali seperti semula dan tidak halal dimakan sebagaimana awalnya. Ini adalah pendapat yang bisa diterima secara qiyas dan sahih. Ada juga yang berpendapat bahwa jika anjing yang najis memakan sesuatu yang basah, mungkin najisnya menyebar ke sekitarnya, tetapi tidak sampai mengharamkan kecuali yang dimakan dan sekitarnya. Selama hewan itu masih hidup dan darah masih mengalir, najis bisa menyebar, tetapi setelah mati, darah tidak lagi mengalir, dan hanya bagian yang dimakan serta sekitarnya yang najis. Ar-Rabi’ mengatakan ada pendapat lain bahwa jika seluruhnya najis, bisa dicuci dan diperas seperti mencuci pakaian atau kulit hingga suci, sehingga dagingnya bisa dimakan.
[Bab: Buruan dengan Hewan Pemburu Lainnya]
(Imam Syafi’i berkata): Melatih macan tutul atau hewan lain sama seperti melatih anjing, tidak ada perbedaan kecuali bahwa anjing lebih najis. Tidak ada hewan hidup yang najis selain anjing dan babi. Melatih buruan seperti elang, alap-alap, rajawali, dan lainnya adalah sama, yaitu jika ia datang ketika dipanggil, terbang ketika disuruh, menangkap lalu menahan mangsa. Jika dilakukan berulang, ia dianggap terlatih, dan hasil buruannya halal dimakan. Jika ia memakan sebagian, maka hukumnya seperti anjing. Sebagian ulama dari Timur berpendapat bahwa hasil buruannya halal meski dimakan, sementara anjing jika memakan, tidak halal. Mereka beralasan bahwa anjing dipukul sedangkan burung tidak. Namun, jika mereka membedakan keduanya, mengapa mereka juga mensyaratkan burung harus terlatih (datang jika dipanggil, terbang jika disuruh) agar hasil buruannya halal? Jika tidak terlatih, hasil buruannya tidak halal. Bagaimana jika seseorang membedakan dua hal yang seharusnya disamakan, atau menyamakan dua hal yang seharusnya dibedakan? Bukankah argumennya akan lemah?
[Bab: Menyebut Nama Allah saat Melepas Hewan Pemburu]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang muslim melepas anjing atau burung pemburu yang terlatih, disukai untuk menyebut nama Allah. Jika lupa menyebut nama lalu hewan itu membunuh mangsanya, tetap halal dimakan, karena pembunuhannya dianggap seperti penyembelihan. Seperti orang yang lupa menyebut nama saat menyembelih, tetap halal karena seorang muslim menyembelih atas nama Allah, meski lupa. Demikian pula jika kamu berburu dengan senjata yang melukai mangsa.
[Bab Mengirim Anjing oleh Muslim dan Majusi]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang Muslim dan seorang Majusi mengirim satu anjing, dua anjing yang terpisah, dua burung, atau dua anak panah, lalu keduanya mengenai buruan, kemudian tidak sempat disembelih secara syar’i, maka buruan itu tidak halal dimakan. Hukumnya sama seperti sembelihan seorang Muslim dan Majusi, tidak ada perbedaan antara keduanya. Jika dalam penyembelihan terdapat unsur yang tidak halal, maka sembelihan itu tidak halal. Begitu pula jika dibantu oleh anjing yang tidak terlatih. Sama saja apakah anak panah atau anjing terlatih menembus bagian vital buruan atau tidak, selama buruan itu terkena sesuatu yang tidak halal dan menyebabkan kematiannya. Sebab, bagian vital bisa saja tertembus tetapi buruan masih hidup, kecuali jika lukanya mencapai tingkat seperti penyembelihan sempurna pada hewan yang disembelih—yakni kondisi di mana hewan tidak mungkin hidup lagi sekejap mata, atau gerakannya seperti gerakan hewan yang sudah disembelih, yaitu gerakan sisa nyawa yang belum sepenuhnya keluar. Jika sudah mencapai kondisi ini, maka tidak masalah apa pun yang mengenainya, karena ia sudah mati ketika terkena.
[Bab Buruan yang Menghilang dari Pandangan, Lalu Ditemukan dalam Keadaan Mati]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memanah buruan atau mengirim hewan pemburu yang terlatih, lalu buruan itu menghilang dari pandangannya dan ditemukan sudah mati, maka menurut riwayat Ibnu Abbas dan qiyas, buruan itu tidak boleh dimakan. Sebab, bisa jadi kematiannya disebabkan oleh hewan lain di tanah. Pernah ada yang bertanya kepada Ibnu Abbas, “Aku memanah, kadang kena dan kadang meleset.” Ibnu Abbas menjawab, “Makanlah yang kena, tinggalkan yang meleset.”
(Imam Syafi’i berkata): Yang dimaksud “kena” adalah buruan yang mati karena anjing (atau panah) saat masih terlihat, sedangkan “meleset” adalah buruan yang menghilang dari pandangan saat diburu. Jika buruan sudah mencapai kondisi seperti penyembelihan yang aku jelaskan sebelumnya, lalu jatuh dan menghilang, maka boleh dimakan. Adapun mengenai luka yang menembus bagian vital, terkadang hewan masih hidup setelahnya. Menurutku, tidak ada yang membolehkannya kecuali dalam kondisi ini, kecuali jika ada hadis Nabi ﷺ yang menyatakan lain. Sebab, aku menduga ada riwayat yang membatalkan pendapat lain. Tidak ada pendapat atau qiyas yang bisa bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ, karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memutuskan alasan untuk menentangnya melalui sabda Nabi ﷺ.
(Imam Syafi’i berkata): Jika anak panah mengenai buruan sementara si pemanah tidak melihatnya, lalu buruan itu disembelih atau mencapai kondisi yang diinginkan (seperti penyembelihan sempurna), tetapi ditemukan bekas luka lain (dari hewan lain), maka tidak boleh dimakan—baik ada bekas maupun tidak. Sebab, bisa jadi buruan itu mati karena sesuatu yang tidak meninggalkan bekas.
Jika seseorang menemukan buruan dan senjatanya atau hewan pemburunya belum mencapai tahap penyembelihan (di mana tidak ada sisa kehidupan), tetapi ia sempat menyembelihnya namun tidak melakukannya, maka buruan itu tidak halal dimakan. Jika alat penyembelihan ada di tempat dan ada waktu untuk menyembelih, tetapi tidak dilakukan, maka tidak sah. Sebab, penyembelihan ada dua jenis:
- Jika hewan bisa ditangkap, maka harus disembelih atau dinahr (untuk unta).
- Jika tidak bisa ditangkap, maka disembelih sesuai kemampuan.
Jika penyembelihan tidak mencapai syarat dan hewan bisa ditangkap, maka tidak sah kecuali dengan penyembelihan atau nahr. Jika ia lalai dengan pisau (tidak menyembelih padahal bisa), lalu hewan itu mati, maka tidak halal dimakan. Ia hanya boleh memakannya jika sejak awal tidak bisa menyembelih.
Jika kita membolehkannya memakan tanpa penyembelihan karena alasan kembali (ke hewan itu), maka kita juga harus membolehkan memakan hewan yang mati setelah sehari tidak menemukan alat penyembelihan.
Jika kamu menemukan buruan dan memiliki alat penyembelihan, tetapi tidak bisa mengarahkannya ke tempat penyembelihan tanpa kelalaian hingga hewan itu mati, maka boleh dimakan. Jika kamu bisa mengarahkannya ke tempat penyembelihan tanpa kelalaian, lalu mendekatkan pisau, tetapi hewan mati sebelum pisau menyentuh lehernya, maka boleh dimakan. Jika pisau sudah menyentuh leher tetapi belum digerakkan saat hewan mati (tanpa penundaan), maka boleh dimakan. Sebab, dalam semua kondisi ini, penyembelihan masih mungkin dilakukan.
Namun, jika pisau sudah digerakkan (menyembelih), lalu hewan mati setelahnya, maka tidak boleh dimakan. Sebab, bisa jadi hewan mati karena tercekik.
Penyembelihan yang sah adalah yang mencapai tahap di mana penyembelih, pemanah, atau hewan pemburu telah memenuhi syarat.
Penyembelihan yang sah adalah dengan memotong tenggorokan dan kerongkongan, tidak cukup kurang dari itu. Yang sempurna adalah dengan menambah dua urat leher. Jika dua urat leher terpotong tetapi tenggorokan dan kerongkongan tidak terpotong, maka tidak sah sebagai penyembelihan, karena dua urat leher bisa terpotong pada manusia dan ia masih hidup. Adapun penyembelihan pada hewan yang tidak memiliki kehidupan jika dipotong adalah tenggorokan dan kerongkongan karena keduanya lebih jelas. Jika keduanya terpotong hingga terputus sepenuhnya, maka itu pasti setelah terputusnya tenggorokan dan kerongkongan.
Jika seseorang melepas anjing atau panahnya sambil menyebut nama Allah Ta’ala dan ia melihat hewan buruan, lalu mengenai selain yang ia lihat, maka boleh memakannya karena ia telah melihat hewan buruan dan berniat untuknya, meskipun yang terkena adalah selainnya. Namun jika ia melepas keduanya tanpa melihat hewan buruan dan berniat, maka tidak boleh memakannya. Niat hanya berlaku jika disertai dengan melihat hewan secara langsung. Demikian pula jika ia memanah sekumpulan hewan buruan dan berniat untuk yang terkena, maka boleh memakan yang terkena. Jika dikatakan tidak boleh memakan kecuali yang ia niatkan secara spesifik, maka diketahui bahwa jika seseorang melepas panah ke arah seratus burung atau anjing ke arah seratus kijang, tidak mungkin semuanya terbunuh. Jika ia berniat untuk semuanya dan hanya satu yang terkena, maka yang satu itu tidak spesifik dalam niatnya. Orang yang berpendapat tidak boleh memakan buruan kecuali yang ia panah secara spesifik, maka ia tidak boleh memakan apa pun dalam kasus ini, karena diketahui bahwa tidak semua akan terbunuh. Jika hal ini sudah diketahui, maka yang ia niatkan tanpa spesifik tetap boleh dimakan, wallahu a’lam. Semua yang diburu oleh anjing yang tidak terlatih, batu, ketapel, atau selain senjata, tidak boleh dimakan kecuali jika sempat disembelih, sehingga halal dimakan karena penyembelihan, seperti hewan yang dipukul, jatuh, atau ditanduk yang kemudian disembelih.
(Imam Syafi’i berkata): Kebanyakan anjing pemburu tidak berada di tangan pemiliknya, tetapi mereka mengikuti pemiliknya. Jika seseorang memerintahkan anjingnya untuk mengejar buruan, baik dekat atau jauh, lalu anjing itu mengejar dan menangkap buruan, maka boleh dimakan meskipun anjing itu membunuhnya. Ini seperti melepasnya langsung dari tangan. Namun jika anjing sudah mengejar buruan sebelum diperintah pemiliknya, lalu melanjutkan dan menangkapnya, maka tidak boleh dimakan kecuali sempat disembelih, kecuali jika pemiliknya bisa menghentikannya atau membelokkannya, lalu memerintahkannya lagi sehingga anjing itu bergerak karena perintah baru. Maka boleh dimakan seperti jika anjing itu dilepas sejak awal. Tetapi jika anjing tetap melanjutkan tanpa berhenti atau berbelok meskipun diperintah, maka tidak boleh dimakan. Hal ini sama baik diperintah oleh pemiliknya atau orang lain yang sah penyembelihannya.
(Imam Syafi’i berkata): Buruan anak kecil lebih mudah daripada sembelihannya. Tidak masalah dengan buruannya karena tindakan berbicara dan penyembelihan dilakukan oleh orang lain. Tidak masalah dengan sembelihannya jika ia mampu menyembelih dan melakukan penyembelihan dengan benar. Demikian pula wanita dan siapa pun yang sah penyembelihannya, seperti Nasrani atau Yahudi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memanah, menikam, memukul, atau melepas anjingnya ke hewan buruan lalu memotongnya menjadi dua, memenggal kepala, atau membelah perut dan tulang belakang meskipun tidak sampai separuh, maka kedua bagian boleh dimakan. Ini adalah penyembelihannya. Apa pun yang menjadi penyembelihan untuk sebagiannya, maka itu penyembelihan untuk seluruh anggotanya. Tetapi jika hanya memotong tangan, kaki, atau anggota lain yang memungkinkan hewan tetap hidup sebentar atau lebih lama setelah terpisah, lalu hewan itu mati karena luka tersebut, maka anggota yang tersisa boleh dimakan, tetapi anggota yang terpotong saat hewan masih hidup tidak boleh dimakan karena itu adalah anggota yang terpotong dari hewan hidup. Tidak boleh memakan apa yang terpotong dari hewan hidup, baik sempat disembelih atau tidak. Jika kematiannya karena potongan pertama, maka kedua bagian boleh dimakan. Sebagian orang berpendapat jika dipukul hingga terpotong menjadi dua, maka boleh dimakan. Jika terpotong kurang dari separuh, maka bagian yang dekat kepala boleh dimakan, sedangkan yang dekat ekor tidak boleh.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pukulan yang menyebabkan kematian adalah penyembelihan untuk sebagiannya, maka itu penyembelihan untuk seluruhnya. Tidak boleh memakan satu bagian tanpa bagian lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Semua hewan yang hidup di air, seperti ikan atau lainnya, tidak perlu disembelih. Jika disembelih, tidak haram. Jika hewan itu bisa hidup lama dan disembelih untuk mempercepat kematiannya, maka itu tidak disukai. Sama saja apakah yang menangkapnya adalah Majusi atau penyembah berhala, karena hewan itu halal secara alami, sehingga tidak masalah siapa yang menangkapnya. Sama saja apakah hewan itu mati saat keluar dari air atau bisa hidup, selama ia terkait dengan air dan sebagian besar hidupnya di sana. Dalam hal ini, sama saja apakah bangkainya terdampar atau diambil dari air. Sebagian orang dari timur menyelisihi kami dengan berpendapat bahwa tidak masalah memakan bangkai yang terdampar atau yang diambil sebelum terdampar, tetapi jika sudah terdampar maka tidak boleh.
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Teks Pertama:
“Ada kebaikan di dalamnya, dan aku tidak tahu alasan untuk membenci ikan yang terapung. Sunnah menunjukkan bolehnya memakan apa yang dilautkan dalam keadaan mati selama belasan malam, dan dia mengatakan hal itu. Qiyas menyatakan bahwa semuanya sama, tetapi sampai kepada kami bahwa sebagian sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – (mungkin Jabir atau lainnya) membenci ikan terapung, maka kami mengikuti atsar dalam hal ini.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami katakan, jika engkau benar-benar mengikuti atsar atau sunnah ketika memisahkan yang seharusnya diikuti, kami akan memujimu. Tetapi engkau meninggalkan atsar yang tetap tanpa pertentangan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan para sahabatnya, lalu mengambil riwayat dari seorang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa dia membenci ikan terapung. Padahal Abu Ayyub pernah memakan ikan terapung, dan dia adalah sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Di sisi lain, engkau berpegang pada qiyas, sedangkan kami berpegang pada sunnah. Engkau juga berpendapat bahwa seandainya tidak ada sunnah, lalu seorang sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berpendapat dengan qiyas, sementara banyak sahabat lain berpendapat sebaliknya, maka wajib bagi kami dan engkau untuk mengikuti pendapat yang sesuai qiyas. Namun, engkau meninggalkan hal ini, padahal ada sunnah dan qiyas.
Ayyub meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin bahwa Abu Ayyub memakan ikan terapung.”
—
Teks Kedua:
[Bab: Hewan Buruan yang Dimiliki Manusia]
(Asy-Syafi’i berkata): Setiap hewan buruan yang asalnya dari hewan liar, tetapi telah dimiliki manusia, lalu seseorang menemukannya, maka wajib mengembalikannya. Jika rusak di tangannya, dia harus mengganti nilainya. Contohnya seperti kijang, rusa, burung merpati, burung dabbasi, burung puyuh, dan sejenisnya.
Jika hewan buruan tersebut sampai ke tangan seseorang—baik karena dia memburunya, diburu untuknya, atau diperoleh dengan cara apa pun—dan tidak diketahui pemiliknya, maka tidak masalah baginya karena asalnya halal. Hewan itu tidak haram baginya sampai dia tahu bahwa orang lain memilikinya. Jika dia mengambilnya lalu menghabiskannya atau masih di tangannya, lalu ada yang mengaku, maka yang utama adalah membenarkan pengakuan itu dan mengembalikannya atau membayar harganya. Namun, secara hukum, dia tidak wajib membenarkannya kecuali dengan bukti yang jelas.
Adapun hewan yang biasa dimiliki manusia dan tidak berasal dari hewan liar—seperti merpati (selain merpati Mekah)—maka statusnya seperti kambing atau unta. Tidak boleh diambil dengan cara apa pun karena pasti ada pemiliknya. Begitu pula jika menemukan merpati di gunung atau tempat lain yang berkembang biak di sana, tidak boleh mengambil anak-anaknya karena anak-anak itu milik pemilik induknya. Seperti halnya keledai jinak yang halal, tidak boleh diambil karena pasti ada pemiliknya.
Jika di suatu daerah ada hewan seperti ini yang diketahui bukan milik siapa-siapa, maka hukumnya seperti burung puyuh atau burung qatha.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dua orang memiliki menara merpati, lalu sebagian merpati salah satunya pindah ke menara yang lain, maka wajib mengembalikannya seperti mengembalikan unta yang tersesat. Jika tidak dikenali kecuali dengan klaim pemiliknya, maka yang utama adalah membenarkan klaim tersebut selama tidak ada indikasi kebohongan. Namun, secara hukum, dia tidak bisa dipaksa membenarkannya kecuali dengan bukti. Kami tidak suka seseorang menahan sesuatu yang diragukan, tetapi lebih baik memberikannya jika diketahui pemiliknya dan menahannya jika tidak diketahui, serta menghalalkan bagi pemiliknya jika tidak jelas.
Hukum merpati sama seperti unta, sapi, atau budak.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki hewan buruan sebentar, lalu lepas dan diambil orang lain, maka wajib mengembalikannya—baik lepas baru sebentar atau sudah seratus tahun, tidak ada bedanya. Tidak boleh dilakukan selain ini, kecuali jika hewan itu sudah lepas dari kepemilikan.
Jika ada yang mengambilnya seketika, dia tidak wajib mengembalikannya. Tetapi jika dia mengembalikan ketika lepas baru sebentar dan tidak mengembalikan ketika sudah lama, ini bukan hal yang bisa dimaafkan karena ketidaktahuan.
Jika seseorang menemukan hewan buruan yang diberi kalung, anting, cap, atau tanda buatan manusia, maka dia tahu itu milik orang lain. Tidak halal baginya kecuali seperti hukum kambing tersesat—karena kambing tersesat tidak bisa menjaga diri sendiri dan boleh diambil di tanah yang membahayakan, tetapi harus menggantinya jika pemiliknya datang. Sedangkan hewan liar statusnya seperti unta.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersamanya adalah sandal dan kantong airnya, ia minum air dan memakan pepohonan hingga pemiliknya datang.” Maka kami katakan bahwa segala sesuatu yang bisa mandiri tanpa pemiliknya seperti unta, maka tidak ada jalan untuk mengambilnya. Begitu pula dengan seluruh hewan liar, seperti sapi jinak, sapi liar, kijang, dan semua jenis burung.
(Dia berkata): Dan apa yang ditunjukkan oleh Al-Kitab, kemudian Sunnah, kemudian atsar, kemudian qiyas, bahwa tidak ada tebusan bagi orang yang berihram dari hewan buruan yang dagingnya tidak dimakan. Namun, tebusan berlaku untuk hewan yang dagingnya bisa dimakan. Sedangkan burung elang dan sejenisnya tidak dimakan dagingnya, sebagaimana daging gagak juga tidak dimakan. Jika seorang yang berihram membunuh burung elang yang telah dilatih untuk seseorang, maka ia harus mengganti nilainya saat itu juga, sebagaimana jika ia membunuh budak yang bekerja sebagai tukang roti, penjahit, atau penulis, maka ia harus mengganti nilainya sesuai keadaan saat dibunuh. Begitu pula jika ia membunuh unta yang cepat atau kuda yang jinak, ia harus mengganti nilainya saat itu juga. Tidak ada kewajiban tebusan ihram atasnya karena ia membunuhnya, dan tidak ada kewajiban tebusan bagi siapa pun kecuali jika ada ketentuan. Jika ia membunuh seekor kijang, maka ia wajib menyembelih seekor kambing untuk disedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram, sementara nilai kijang tersebut, berapa pun harganya, tetap menjadi hak pemiliknya, baik kurang atau lebih dari seekor kambing.
(Asy-Syafi’i berkata): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengambil harga anjing.” Maka tidak halal menjual anjing yang berbahaya maupun yang tidak. Demikian pula pendapat sebagian sahabat kami. Jika seseorang membunuhnya, maka ia wajib membayar nilainya, tetapi nilai tersebut harus dikembalikan karena itu adalah harga sesuatu yang haram, dan yang haram harus ditolak, baik saat itu juga atau setelah seratus tahun, sebagaimana khamr, babi, dan segala yang haram dijual harus ditolak. Tidak ada pilihan lain kecuali ini, atau seperti pendapat orang-orang Masyriq yang membolehkan harganya sebagaimana harga kambing. Adapun beranggapan bahwa asalnya haram dan harus ditolak jika dekat, tetapi tidak ditolak jika sudah lama, ini tidak boleh bagi siapa pun dan tidak bisa diterima. Jika hal ini dibolehkan tanpa dalil, maka bisa saja seseorang menolak harga jika sudah lama tetapi tidak menolaknya jika masih dekat. Jika ada yang berkata, “Aku merasa ini baik,” maka kami katakan, “Kami menganggap baik apa yang kamu anggap buruk, dan menganggap buruk apa yang kamu anggap baik.” Tidak haram menjual hewan atau burung apa pun, dan tidak ada najis pada salah satunya kecuali anjing dan babi, karena keduanya najis baik hidup maupun mati, dan tidak halal mengambil harganya dalam kondisi apa pun.
(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa membunuh anjing penjaga tanaman, ternak, buruan, atau penjaga rumah, maka tidak ada kewajiban membayar nilainya, karena hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengambil harga anjing saat hidup, sehingga tidak halal baginya memiliki harga baik hidup maupun mati. Jika aku mewajibkan pembunuhnya membayar nilainya, berarti aku telah memberinya harga saat hidup, padahal itu dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya boleh memiliki harga dalam salah satu keadaannya, maka harga saat hidup lebih pantas ketika dibeli untuk berburu, menjaga ternak, atau tanaman, daripada saat sudah tidak bermanfaat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kamu memiliki hak atas seorang Nasrani dalam bentuk apa pun, lalu ia melunasinya dengan harga khamr atau babi yang kamu ketahui, maka tidak halal bagimu menerimanya. Hal yang sama berlaku baik ia memberikannya sebagai pelunasan, hadiah, atau makanan, sebagaimana jika seorang Muslim melunasi hakmu dengan harta yang haram, hasil rampasan, riba, atau penjualan yang haram, maka tidak halal bagimu menerimanya. Jika kamu tidak mengetahui asalnya, baik dari Nasrani maupun Muslim, dan apa yang diberikannya kepadamu, baik sebagai hadiah, makanan, atau pelunasan, mungkin berasal dari yang halal atau haram, maka kamu boleh menerimanya sebagai halal hingga kamu tahu itu haram. Namun, sikap wara’ adalah menjauhinya. Pemberian Nasrani berupa harga khamr atau babi, baik sebagai hakmu atau sukarela, tidak bisa menjadi halal bagimu, karena itu halal baginya sesuai keyakinan agamanya, tetapi haram bagimu karena perbedaan hukum antara kamu dan dia. Tidak ada bedanya apakah ia memberikannya secara sukarela atau sebagai kewajiban. Adapun sesuatu yang halal, maka hal itu halal bagi semua makhluk Allah, dan yang haram juga sama bagi mereka. Demikian pula dengan khamr dan babi, harganya haram bagi Nasrani sebagaimana haram bagi Muslim. Jika ada yang bertanya, “Mengapa kamu tidak mengatakan bahwa harga khamr dan babi halal bagi Ahli Kitab, sementara kamu tidak melarang mereka memilikinya atau memperjualbelikannya?” Katakanlah, “Allah Azza wa Jalla telah memberitahu kita bahwa mereka tidak beriman kepada-Nya dan hari akhir, serta tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya,” hingga firman-Nya, “sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29). (Dia berkata):
(Imam Syafi’i) Maka bagaimana mungkin seseorang yang berakal tentang Allah ‘azza wa jalla mengklaim bahwa hal itu dihalalkan bagi mereka, padahal Allah Ta’ala telah memberitahu kita bahwa mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya? Jika ada yang berkata, “Apakah engkau membiarkan mereka melakukannya?” Aku jawab, “Ya, dan juga membiarkan mereka menyekutukan Allah, karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan kita untuk membiarkan mereka dalam kesyirikan serta membolehkan mereka meminum khamr dan meninggalkan agama yang benar, dengan syarat kita mengambil jizyah dari mereka sebagai penguatan bagi pemeluk agama-Nya. Hujjah Allah Ta’ala tetap berlaku atas mereka, tidak ada jalan keluar maupun alasan bagi mereka hingga mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.”
Adapun segala hasil buruan yang halal di luar tanah haram, seperti buruan di Mekah termasuk burung merpati dan lainnya, maka tidak mengapa dimakan karena tidak ada keharaman pada buruan itu sendiri yang mencegahnya untuk dimakan. Larangan hanya berlaku karena kehormatan tempat, seperti tanah haram, atau karena ihramnya seorang yang berihram, atau karena hak orang lain seperti kepemilikan. Namun, secara zatnya, buruan itu sendiri tidak terlarang.
(Imam Syafi’i) —rahimahullah— berkata:
Allah telah menghalalkan makanan Ahli Kitab. Menurut sebagian ahli tafsir yang aku ketahui, makanan mereka adalah sembelihan mereka, dan beberapa riwayat menunjukkan kehalalan sembelihan mereka. Jika mereka menyembelih dengan menyebut nama Allah Ta’ala, maka sembelihan itu halal. Namun, jika mereka memiliki cara penyembelihan lain dengan menyebut nama selain Allah, seperti nama Al-Masih, atau menyembelih tanpa menyebut nama Allah, maka sembelihan semacam itu tidak halal. Aku tidak menemukan bukti bahwa sembelihan mereka seperti ini.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana engkau berpendapat bahwa sembelihan mereka terbagi dua, padahal telah dihalalkan secara mutlak?” Dijawab: “Sesuatu bisa dihalalkan secara mutlak, tetapi yang dimaksud hanya sebagian, bukan semuanya. Seandainya ada yang berpendapat bahwa jika seorang Muslim lupa menyebut nama Allah, sembelihannya boleh dimakan, tetapi jika sengaja meninggalkannya karena meremehkan, sembelihannya tidak halal—padahal ia tidak meninggalkannya karena kesyirikan—maka orang yang meninggalkannya karena kesyirikan lebih pantas sembelihannya ditolak.”
Allah ‘azza wa jalla telah menghalalkan daging kurban secara mutlak dengan firman-Nya: “Maka apabila telah roboh (penyembelihan itu), makanlah sebagiannya.” (QS. Al-Hajj: 36). Namun, kami menemukan sebagian Muslim berpendapat bahwa tidak boleh memakan daging kurban yang dinazarkan, atau sebagai tebusan pelanggaran perburuan, atau fidyah. Karena ayat ini memungkinkan penafsiran seperti itu, kami mengikuti pendapat ini dan tidak mengambil keumumannya—bukan karena bertentangan dengan Al-Qur’an, tetapi karena ada kemungkinan makna lain. Secara logis, jika seseorang wajib memberikan sesuatu dari hartanya, ia tidak berhak mengambil sedikit pun darinya. Sebab, jika kita membolehkannya mengambil sebagian, berarti kita tidak mewajibkan seluruhnya, hanya sebagian yang diberikan. Demikian pula sembelihan Ahli Kitab, dengan analogi seperti yang kami sebutkan.
[Sembelihan Nasrani Arab]
(Imam Syafi’i) menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abdullah bin Dinar, dari Sa’d al-Fulah—bekas budak Umar atau anak Sa’d al-Fulah—bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nasrani Arab bukanlah Ahli Kitab, sembelihan mereka tidak halal bagi kita, dan aku tidak akan membiarkan mereka hingga mereka masuk Islam atau aku penggal leher mereka.”
(Imam Syafi’i) menyampaikan kepada kami dari ats-Tsaqafi, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari ‘Ubaidah, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: “Janganlah kalian memakan sembelihan Nasrani Bani Taghlib, karena mereka tidak berpegang pada agama mereka kecuali dalam hal meminum khamr.”
(Imam Syafi’i) berkata:
Sepertinya keduanya (Umar dan Ali) berpendapat bahwa mereka tidak memahami agama dengan benar sehingga tidak tahu tata cara penyembelihan yang sah. Mereka berpendapat bahwa Ahli Kitab hanyalah orang-orang yang benar-benar menerima kitab suci, bukan yang sekadar mengaku beragama setelah turunnya Al-Qur’an. Dengan pemahaman ini, kami berpendapat bahwa sembelihan Nasrani Arab tidak halal. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa beliau membolehkan sembelihan mereka dan menafsirkan ayat “Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai sekutu, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51). Namun, sekalipun riwayat ini sahih dari Ibnu Abbas, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Umar.
Dan Ali – semoga Allah meridhoi mereka berdua – lebih utama dan bersamanya adalah yang masuk akal. Adapun firman-Nya, “Dan barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai sekutu, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” (QS. Al-Maidah: 51), maknanya adalah di luar hukum mereka. Demikian pula halnya dengan hasil buruan mereka: siapa yang sembelihannya halal dimakan, maka hasil buruannya juga halal; dan siapa yang sembelihannya tidak halal, maka hasil buruannya pun tidak halal kecuali jika sempat disembelih secara syar’i.
[Penyembelihan oleh Nasrani Arab]
(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Tidak ada kebaikan dalam sembelihan Nasrani Arab. Jika ada yang bertanya, “Apa dalil untuk meninggalkan sembelihan mereka?” Maka jawabannya adalah karena mereka tergabung dalam kesyirikan dan mereka bukanlah ahli kitab. Jika ada yang berkata, “Kami mengambil jizyah dari mereka,” kami jawab, “Kami juga mengambil jizyah dari Majusi, tetapi kami tidak memakan sembelihan mereka.” Makna sembelihan berbeda dengan makna jizyah. Jika ditanya, “Apakah ada dalil dari atsar yang bisa dijadikan pegangan?” Maka jawabannya adalah ya. Kemudian beliau menyebutkan sebuah hadits bahwa Umar bin Khattab berkata, “Nasrani Arab bukanlah ahli kitab, dan sembelihan mereka tidak halal bagi kita.” Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abi Yahya, tetapi aku tidak menuliskannya. Jika ada yang bertanya tentang hadits Tsaur dari Ibnu Abbas – semoga Allah meridhoi mereka berdua -, dikatakan bahwa Tsaur meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, tetapi Tsaur tidak pernah bertemu Ibnu Abbas. Jika ada yang bertanya, “Apa bukti dari riwayat Ikrimah?” Maka kami meriwayatkan dari Ibrahim dari Tsaur dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dengan hadits ini. Beliau berkata, “Dan memutuskan urat leher tanpa merobek adalah penyembelihan yang sah, kecuali dengan kuku atau gigi, karena penyembelihan dengan keduanya tidak halal berdasarkan larangan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk menyembelih dengan keduanya.”
[Muslim Berburu dengan Anjing Majusi]
(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): Tentang seorang Muslim yang berburu dengan anjing terlatih milik Majusi, hasil buruannya halal dimakan karena perburuan tersebut memenuhi dua syarat yang membuat hasil buruan halal, yaitu: pemburu yang melepas anjing adalah orang yang sah penyembelihannya, dan hewan buruan telah disembelih dengan cara yang sah. Kedua syarat ini telah terpenuhi. Pelatihan anjing oleh Majusi atau Muslim sama saja, karena anjing hanyalah alat yang patuh untuk menangkap sesuai perintah yang melepasnya. Jika anjing itu patuh, maka hukumnya mengikuti yang melepas, bukan anjingnya. Demikian pula jika anjing Muslim dilepas oleh Majusi lalu membunuh buruan, maka tidak halal dimakan karena hukumnya mengikuti yang melepas, sedangkan anjing hanyalah alat.
[Penyembelihan Belalang dan Ikan]
(Imam Syafi’i berkata): Hewan yang halal dimakan terbagi dua: pertama, yang tidak halal kecuali disembelih oleh orang yang sah penyembelihannya, seperti hewan buruan atau yang ditembak, karena penyembelihan biasa tidak mungkin dilakukan. Kedua, yang halal tanpa penyembelihan, baik mati sendiri atau dibunuh, yaitu ikan dan belalang. Karena keduanya halal tanpa penyembelihan, maka dalam keadaan mati pun tetap halal dimakan tanpa perbedaan. Barangsiapa membedakan antara keduanya, maka ikan seharusnya lebih pantas tidak halal dalam keadaan mati karena penyembelihan ikan lebih mungkin dilakukan daripada belalang.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Ia menghalalkan bangkai, dan belalang dihalalkan dalam keadaan mati, dan tidak boleh membedakan antara keduanya. Jika ada yang membedakan, maka hendaknya ia menunjukkan dalil siapa yang mensyariatkan penyembelihan untuk belalang atau menghalalkan sebagiannya dalam keadaan mati dan mengharamkan sebagian lainnya dalam keadaan mati? Aku tidak melihat bangkai yang dihalalkan kecuali belalang dan ikan. (Berkata Asy-Syafi’i): Telah mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah -aku rasa beliau berkata- hati dan limpa.” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Hatim bin Ismail dan Ad-Darawardi atau salah satu dari mereka dari Ja’far dari ayahnya -radhiyallahu ‘anhuma- ia berkata: Ikan dan belalang adalah sembelihan.
[Yang Dibenci dari Hewan Sembelihan]
(Berkata Asy-Syafi’i) -rahimahullah-: Jika engkau mengetahui adanya kehidupan pada kambing yang bergerak setelah disembelih atau sebelumnya, maka boleh dimakan. Tidak bergerak setelah disembelih apa yang mati sebelumnya, yang bergerak setelahnya adalah yang masih memiliki nyawa sebelumnya. (Berkata): Setiap yang diketahui adanya kehidupan kemudian disembelih setelahnya, maka boleh dimakan.
[Penyembelihan Janin dalam Perut Hewan]
(Berkata Asy-Syafi’i): Tentang penyembelihan janin, penyembelihannya hanyalah untuk membersihkan, dan jika tidak dilakukan maka tidak ada dosa baginya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah melarang dari Al-Mashburah, yaitu kambing yang diikat lalu dilempari panah.
[Sembelihan dari Orang yang Campuran Nasabnya dari Pemeluk Agama Lain dan Selainnya]
(Berkata Asy-Syafi’i): Tentang anak yang salah satu orang tuanya Nasrani dan yang lain Majusi, jika ia menyembelih atau berburu, maka sembelihannya atau buruannya tidak boleh dimakan karena ia berasal dari kedua orang tuanya. Ini tidak seperti Muslim yang anak kecilnya mengikuti agamanya, atau Muslimah yang anaknya mengikuti agamanya, karena hak Islam jika bercampur dengan hak kekafiran pada orang yang tidak beragama, maka hak Islam lebih utama baginya. Hak Nasrani tidak lebih utama dari hak Majusi, dan hak Majusi tidak lebih utama dari hak Nasrani, keduanya adalah kekafiran terhadap Allah. Jika seorang Nasrani murtad ke Majusi atau Majusi murtad ke Nasrani, kita tidak meminta taubatnya dan tidak membunuhnya karena ia keluar dari kekafiran ke kekafiran lain. Siapa yang keluar dari agama Islam ke agama lain, kita bunuh jika tidak bertaubat. Jika anak ini telah baligh dan memeluk agama Ahli Kitab, maka ia termasuk dari mereka, dan sembelihannya boleh dimakan. Jika seseorang mengukur Islam dengan kekafiran dan menyamakan anak dengan Nasrani dengan anggapan bahwa Nasrani melakukan seperti Islam, maka ia harus membedakan antara orang yang murtad dari Nasrani ke Majusi. Dan orang lain bisa mengatakan: Anak budak perempuan dari orang merdeka statusnya mengikuti ibu, dan anak perempuan merdeka dari budak laki-laki statusnya merdeka mengikuti ibu. Maka status anak Muslim mengikuti ibu bukan ayah. Jika ada yang berkata: Orang yang murtad dari Islam dibunuh, dan Islam bukan syirik, dan tidak halal buruan yang tidak diburu oleh Muslim atau Ahli Kitab yang tetap pada agamanya. Aku tidak tahu seorang pun dari manusia -baik Majusi maupun penyembah berhala- yang lebih buruk sembelihannya darinya, karena penguasa boleh mengambil jizyah dari Majusi dan membiarkannya pada agamanya, dan boleh setelah mampu memerangi orang kafir harbi.
Untuk meninggalkannya tanpa membunuh tidak diperbolehkan bagi murtad karena darahnya halal sebagaimana darah orang yang memerangi (muharib), dan tidak halal membiarkannya sebagaimana tidak halal membiarkan muharib karena besarnya dosanya dengan keluar dari agama Allah yang telah ia ridhai.
[Penyembelihan dan apa yang dihalalkan serta tidak dihalalkan untuk dimakan]
(Imam Syafi’i berkata): Penyembelihan ada dua jenis: pertama, pada hewan yang bisa disembelih atau dihadapi, dan kedua, pada hewan yang tidak bisa dihadapi, seperti yang terkena senjata di tangan seseorang atau panah yang dilepaskan olehnya—itu merupakan perbuatan tangannya—atau hewan buruan yang dihalalkan oleh Allah Yang Maha Tinggi, yaitu hewan pemburu yang terlatih yang menangkap karena perbuatan manusia, sebagaimana anak panah mengenai karena perbuatannya. Adapun perangkap, ia tidak termasuk dalam hal ini—baik ada senjata yang membunuh atau tidak. Seandainya seseorang memasang pedang atau tombak, lalu seekor hewan buruan terpaksa mendekat dan terkena sehingga mati, maka tidak halal dimakan karena penyembelihan itu terjadi tanpa perbuatan seorang pun. Demikian pula jika seekor kambing atau hewan buruan lewat dan tergores pedang hingga mengenai tempat sembelihannya, tidak halal dimakan karena hewan itu membunuh dirinya sendiri, bukan dibunuh oleh orang yang berhak menyembelih atau berburu.
Jika seseorang menangkap ikan atau belalang, lebih aku sukai jika ia menyebut nama Allah Ta’ala, tetapi jika tidak, kami tidak mengharamkannya karena ikan dan belalang halal dimakan dalam keadaan mati. Menyebut nama Allah adalah bagian dari sunnah penyembelihan. Jika penyembelihan tidak berlaku, maka halal tanpa menyebut nama.
Penyembelihan ada dua macam:
- Untuk hewan yang bisa ditangkap, baik jinak maupun liar, tidak ada penyembelihan kecuali pada dada dan tenggorokan.
- Untuk hewan yang lari, baik jinak maupun liar, apa pun yang terkena senjata dan membunuhnya, itu adalah penyembelihannya.
Contohnya unta atau hewan lain yang jatuh ke sumur sehingga tidak bisa disembelih pada leher atau dadanya, maka dipotong dengan pisau pada bagian tubuh mana pun yang bisa dijangkau sambil menyebut nama Allah, dan itu dianggap sebagai penyembelihan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ujung anak panah diasah hingga tajam seperti senjata, maka tidak masalah memakannya.
[Buruan dalam buruan]
(Imam Syafi’i berkata): Jika ditemukan ikan di dalam perut ikan lain, burung, atau hewan buas, maka tidak masalah memakannya. Namun, jika ditemukan dalam bangkai, ia tidak haram karena ikan halal dimakan dalam keadaan mati. Seandainya aku mengharamkannya karena hukumnya seperti apa yang ada di dalam perutnya, maka tidak halal apa yang ada di dalam perut hewan buas karena hewan buas tidak halal dimakan, atau di dalam perut burung kecuali jika sempat disembelih. Aku tidak boleh menjadikan penyembelihannya bergantung pada penyembelihan burung karena ia bukan bagian dari burung. Penyembelihan janin dalam perut bergantung pada penyembelihan induknya karena ia adalah bagian darinya, dan hukumnya mengikuti induknya selama belum terpisah—baik pada manusia maupun hewan.
Adapun apa yang ditelan burung, seandainya burung menelan seekor burung kecil, tidak halal dengan menyembelih yang ditelan itu, melainkan harus dibuang. Demikian pula apa yang kami temukan di perut burung selain belalang dan ikan—tidak halal dimakan, baik daging maupun burung, karena itu adalah sesuatu dari selainnya. Penyembelihan hanya berlaku pada apa yang berasal darinya, bukan dari selainnya. Seperti jika ikan menelan kambing, kami memakan ikan dan membuang kambing karena kambing bukan bagian dari ikan.
[Melepas hewan pemburu]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang melepas hewan pemburu, baik burung maupun hewan lain, untuk berburu, lalu hewan itu pergi dan menerkam buruan—baik pemiliknya melihat buruan itu atau tidak—jika hewan itu menyimpang dari jalurnya dan mengambil jalan lain, maka ia dianggap sedang mencari, bukan kembali. Jika ia membunuh buruan, maka halal dimakan.
Namun, jika hewan itu kembali kepada pemiliknya—baik melihat buruan atau tidak—lalu pergi lagi dan membunuh buruan, maka tidak halal dimakan karena pelepasan pertama telah berakhir, dan ini adalah permintaan baru setelah pelepasan. Jika pemiliknya memanggilnya untuk kembali…
Jika hewan buruan lari lalu berhenti dan menghadap, atau berada di jalan yang bukan jalur perburuan, kemudian kembali berlari lalu dibunuh dan dimakan, maka hal itu dianggap seperti melepasnya dari tangan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memanah hewan buruan dan melukainya sehingga tidak mampu melarikan diri, atau hewan itu sakit, patah tulang, atau masih kecil sehingga tidak bisa melarikan diri, lalu dipanah dan dibunuh, maka dagingnya tidak halal dimakan. Hewan itu hanya halal jika disembelih secara syar’i. Penyembelihan syar’i ada dua jenis: untuk hewan liar atau jinak. Hewan yang bisa ditangkap tanpa panah atau senjata tidak halal kecuali dengan disembelih. Sedangkan hewan yang hanya bisa ditangkap dengan panah atau senjata, maka panah atau senjata itu dianggap sebagai penyembelihannya.
[Pasal tentang Penyembelihan dan Memanah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Umar bin Sa’id bin Masruq dari ayahnya dari ‘Ubayah bin Rifa’ah dari kakeknya, Rafi’ bin Khadij, yang berkata: “Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, besok kami akan bertemu musuh dan kami tidak memiliki pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan lisyk (batu tajam atau bambu)?’ Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Apa saja yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah atasnya, maka makanlah, kecuali yang disembelih dengan gigi atau kuku, karena gigi adalah tulang manusia dan kuku adalah pisau orang Habasyah.'”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memanah hewan buruan hingga patah tulangnya, sayapnya terpotong, atau mencapai kondisi di mana hewan itu tidak bisa melarikan diri, lalu orang lain memanahnya hingga mati, maka hewan itu haram. Orang yang memanah pertama wajib membayar nilai hewan dalam kondisi terluka atau terpotong karena ia telah merusak buruan yang sebenarnya sudah menjadi milik orang lain. Jika ia memanah lalu mengenai, kemudian berhasil menyembelihnya secara syar’i, maka hewan itu milik pemanah pertama. Pemanah kedua wajib membayar kerusakan akibat panahnya pada kondisi saat itu.
Jika pemanah pertama memanah dan mengenai, tetapi hewan itu masih bisa lari (terbang jika burung atau lari jika hewan darat), lalu pemanah kedua memanah hingga hewan itu tidak bisa melarikan diri, maka hewan itu milik pemanah kedua. Jika pemanah pertama memanah dalam kondisi hewan tidak bisa lari lalu membunuhnya, ia wajib mengganti nilainya kepada pemanah kedua karena hewan itu sudah menjadi milik pemanah kedua.
Jika dua orang memanah bersamaan, hewan itu lolos, lalu orang ketiga memanah hingga tidak bisa lari, maka hewan itu milik pemanah ketiga. Jika dua orang pertama memanah lagi setelah panahan ketiga dan membunuhnya, mereka wajib mengganti nilainya.
Jika dua orang memanah bersamaan atau berurutan, salah satu panahan meleset dan yang lain mengenai, maka yang panahannya mengenai wajib membayar ganti rugi. Jika kedua panahan mengenai, baik bersamaan atau berurutan, dan salah satu panahan menyebabkan kematian (misalnya memutus tenggorokan, kerongkongan, kepala, atau membelah tubuh), sementara panahan lain tidak, maka hewan itu milik pemanah yang menyembelihnya. Jika panahan pertama tidak mematikan, lalu panahan kedua menyembelih, maka hewan itu milik pemanah kedua. Pemanah pertama tidak wajib membayar apa pun karena hewan itu sudah menjadi milik pemanah kedua.
Jika hewan yang dipanah masuk ke rumah seseorang lalu ditangkap dan disembelih pemilik rumah, maka hewan itu milik pemanah pertama karena dialah yang membuat hewan itu tidak bisa lari. Pemilik rumah wajib membayar kerusakan akibat penyembelihan jika ada. Jika pemilik rumah menangkap tetapi tidak menyembelih, ia wajib mengembalikannya. Jika hewan mati sebelum dikembalikan, ia wajib mengganti karena telah mengambil dan menghalangi pemiliknya menyembelih.
Jika panahan belum membuat hewan tidak bisa lari, lalu hewan itu masuk ke rumah seseorang dan ditangkap, maka hewan itu milik pemilik rumah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika pemanah pertama dan kedua memanah, tetapi tidak jelas siapa yang membuat hewan tidak bisa lari, maka kami menetapkan… (terjeda).
Antara keduanya dibagi dua, sebagaimana kami menjadikan kedua pembunuh bersama, dan ia berada pada penyembelihan hingga diketahui bahwa ia telah mencapai keadaan di mana tidak mampu menolak lagi dan dapat disembelih.
(Dia berkata): Jika seseorang melemparkan burung yang sedang terbang dan mengenai burung tersebut, baik luka ringan atau berat, di bagian mana pun, jika melukainya hingga mengeluarkan darah atau lebih dari itu, lalu burung itu jatuh ke tanah dan ditemukan mati, kita tidak tahu apakah ia mati di udara atau setelah sampai ke tanah, maka boleh dimakan karena termasuk hewan buruan yang halal dan tidak bisa ditangkap kecuali dengan jatuh. Jika kita mengharamkan ini karena khawatir tanah yang membunuhnya, maka kita akan mengharamkan seluruh buruan burung kecuali yang ditangkap lalu disembelih. Demikian pula jika burung itu jatuh di gunung atau tempat lain dan tidak bergerak hingga ditangkap. Namun, jika jatuh di gunung lalu tergelincir dari tempat jatuhnya, sedikit atau banyak, maka ia dianggap tergelincir dan tidak boleh dimakan kecuali disembelih hingga diketahui pasti bahwa ia mati sebelum tergelincir, atau ditemukan bahwa panah telah memutus lehernya, menyembelihnya, atau membelahnya menjadi dua sehingga diketahui bahwa ia tidak jatuh kecuali dalam keadaan disembelih. Jika jatuh di suatu tempat lalu tergelincir dan melewati batu tajam, duri, atau sesuatu yang mungkin memutus leher atau membelahnya, maka tidak boleh dimakan hingga diketahui pasti bahwa ia tidak tergelincir kecuali setelah mati.
Jika seseorang memanah buruan tetapi mengenai hewan lain, atau mengenai buruan lalu panah menembus dan membunuh hewan lain, maka hukumnya sama. Semua yang terkena panah boleh dimakan jika tujuan memanah adalah memburu hewan yang terlihat, karena telah memenuhi syarat penyembelihan. Jika berniat memburu hewan tertentu, maka yang terkena panah boleh dimakan.
Jika seseorang memburu hewan dengan batu atau peluru, baik menembus atau tidak, maka tidak boleh dimakan kecuali disembelih saat masih hidup, karena umumnya cara itu tidak termasuk penyembelihan dan hanya membunuh dengan kekuatan benturan, bukan sayatan, serta bukan termasuk senjata yang sah untuk penyembelihan. Jika memanah dengan anak panah tumpul dan mengenai dengan sisi tumpulnya hingga membunuh, maka hewan itu dianggap mati tanpa penyembelihan dan tidak boleh dimakan. Namun, jika mengenai dengan ujung tajamnya dan menembus, maka boleh dimakan karena termasuk panah yang membunuh dengan sayatan, bukan benturan.
Jika melempar dengan tongkat atau kayu, maka hewan itu dianggap mati tanpa penyembelihan dan tidak boleh dimakan. Jika kayu atau tongkat itu tajam dan bergerak seperti senjata, maka boleh dimakan. Jika tidak tajam dan hanya membunuh dengan beratnya, maka tidak boleh dimakan karena kemungkinan besar kematian disebabkan oleh benturan.
### Penyembelihan dengan Besi
Penyembelihan (Asy-Syafi’i berkata): Yang paling disukai dalam penyembelihan adalah menggunakan besi, dan alat sembelih dari besi harus tajam agar lebih ringan bagi hewan. Disukai juga jika penyembelih adalah Muslim yang baligh dan berilmu. Namun, penyembelihan oleh wanita atau anak Muslim juga sah, begitu pula oleh anak-anak atau wanita Ahli Kitab.
Setiap alat yang dapat mengalirkan darah, memotong urat leher, dan tempat sembelih tanpa merobek daging secara berlebihan, maka sah untuk penyembelihan, kecuali kuku dan gigi karena ada larangan dari Nabi ﷺ. Jika seseorang menyembelih dengan kuku atau giginya, baik masih melekat atau sudah lepas, atau dengan kuku binatang buas, gigi, atau apa pun yang disebut kuku seperti cakar burung, maka tidak halal dimakan karena larangan tegas dari Nabi ﷺ.
(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Umar bin Sa’id bin Masruq.
(Asy-Syafi’i berkata): Kesempurnaan penyembelihan adalah dengan memotong empat bagian: tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Minimal yang cukup adalah dua: tenggorokan dan kerongkongan. Kami lebih suka urat leher juga dipotong karena jika urat leher terpotong, pasti tenggorokan dan kerongkongan telah terputus sempurna. Tempat penyembelihan yang utama adalah tenggorokan dan kerongkongan, bukan urat leher, karena urat leher adalah pembuluh darah yang bisa mengalir pada manusia lalu ia masih hidup. Kerongkongan adalah tempat masuknya makanan bagi semua makhluk yang makan, baik manusia atau hewan, sedangkan tenggorokan adalah tempat napas. Jika keduanya terputus, tidak ada kehidupan yang bertahan lebih dari sekejap mata.
Jika tenggorokan dan urat leher terpotong tetapi kerongkongan tidak, maka tidak sah sebagai penyembelihan karena kehidupan mungkin masih berlangsung meski sebentar.
Demikian pula, jika kerongkongan dan dua urat nadi terputus tanpa memutus tenggorokan, maka penyembelihan tidak sah karena kehidupan mungkin masih berlangsung setelah itu meskipun sebentar. Penyembelihan hanya sah jika setelahnya tidak ada kehidupan sekejap mata, dan ini hanya terjadi jika tenggorokan dan kerongkongan terputus bersamaan, bukan selain keduanya.
[Pembahasan tentang Tempat Penyembelihan untuk Hewan yang Dapat Disembelih dan Hukum Hewan yang Tidak Dapat Disembelih]
(Imam Syafi’i berkata): Penyembelihan ada dua macam: penyembelihan untuk hewan yang dapat ditangkap, baik hewan liar maupun ternak, dengan cara menyembelih atau melukai leher, dan tempat penyembelihan adalah pangkal leher atau tempat melukai leher. Tidak ada tempat lain karena di situlah letak tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat nadi. Itulah penyembelihan yang sesuai dengan sunnah dan atsar.
Adapun hewan yang tidak dapat ditangkap, maka penyembelihannya seperti penyembelihan hewan buruan, baik hewan liar maupun ternak. Jika ada yang bertanya, “Dengan apa engkau mengqiyaskan ini?” Jawabannya: Aku mengqiyaskannya dengan sunnah dan atsar, dan aku telah menuliskannya di tempat lain. Sunnah menunjukkan bahwa untuk hewan ternak diperintahkan penyembelihan atau melukai leher jika memungkinkan, sedangkan untuk hewan liar diperintahkan untuk diburu dengan panah atau hewan pemburu. Ketika hewan liar dapat ditangkap, maka tidak halal kecuali dengan cara yang sama seperti hewan ternak.
Demikian pula, ketika diperintahkan penyembelihan atau melukai leher untuk hewan ternak, tetapi hewan tersebut sulit ditangkap seperti hewan liar, maka dapat diqiyaskan dengan penyembelihan hewan liar yang sulit ditangkap. Jika ada yang berkata, “Aku tidak menemukan hal ini untuk hewan ternak,” maka dijawab, “Kamu juga tidak menemukan penyembelihan untuk hewan liar.” Jika hewan buruan yang awalnya tidak disembelih menjadi dapat ditangkap, maka penyembelihan disamakan dengan hewan ternak. Begitu pula, jika hewan ternak menjadi sulit ditangkap, maka penyembelihannya disamakan dengan hewan buruan.
Jika ada yang berkata, “Aku tidak mengalihkan penyembelihan hewan ternak yang sulit ditangkap ke penyembelihan hewan liar,” maka orang lain juga boleh berkata, “Aku tidak mengalihkan penyembelihan hewan liar yang dapat ditangkap ke penyembelihan hewan ternak.” Setiap hewan tetap pada penyembelihannya sesuai keadaannya, tanpa dialihkan. Namun, pendapat ini lebih tepat untuk hewan buruan karena tidak ada hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal ini, sedangkan untuk hewan ternak yang sulit ditangkap, ada riwayat yang menunjukkan bahwa penyembelihannya seperti hewan buruan. Bagaimana mungkin seseorang membedakan antara dua hal yang seharusnya disamakan? Jika dibedakan, maka ia telah membatalkan ketetapan yang didasarkan pada hadits dan menetapkan hukum lain tanpa dasar hadits.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memburu hewan dengan pedang atau pisau, lalu terkena mata pedang atau mata pisau sehingga hewan itu mati, maka hukumnya seperti panah yang mengenai hewan dengan mata panah. Namun, jika terkena bagian tumpul pedang, gagang pedang, punggung pisau, atau bagian lain yang tidak tajam sehingga tidak menyebabkan kematian, maka hewan tersebut tidak halal dimakan kecuali jika sempat disembelih sebelum mati. Ini seperti memanah dengan anak panah, kayu, atau belati—tidak halal dimakan karena tidak diketahui apa yang membunuhnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memburu hewan tertentu dengan pedang atau panah tanpa berniat memakannya, maka ia boleh memakannya, seperti menyembelih kambing tanpa berniat memakannya—tetap halal dimakan. Namun, jika seseorang melemparkan sesuatu ke arah objek yang dikira kayu, batu, atau pohon, ternyata itu hewan buruan yang mati, maka lebih baik tidak memakannya. Meskipun jika dimakan, tidak haram.
Sebagai contoh, jika seseorang salah menyembelih kambingnya tanpa berniat menyembelih, atau memotong lehernya di malam hari karena mengira itu kayu lunak, maka menurut pengetahuanku, hal itu tidak haram. Namun, jika kita mengharamkannya karena tidak ada niat menyembelih, maka konsekuensinya adalah:
– Jika seseorang mengambil kambing untuk dibunuh, bukan disembelih, lalu menyembelihnya dengan menyebut nama Allah, maka tidak halal dimakan.
– Jika seseorang memanah burung atau hewan yang tidak halal dimakan, tetapi mengenai hewan buruan yang halal, maka tidak boleh dimakan karena tidak ada niat berburu untuk dimakan.
– Jika seseorang berniat menyembelih kambing tertentu tetapi salah menyembelih kambing lain, maka tidak halal memakannya.
– Jika seseorang meletakkan dua kambing untuk disembelih salah satunya, lalu menyembelih keduanya dengan menyebut nama Allah, maka hanya kambing yang diniatkan yang halal dimakan.
Ini dan contoh lainnya menunjukkan betapa rumitnya masalah ini.
Masukkan seperti yang dimasukkan oleh sebagian ahli kalam, yaitu ketika seseorang menyembelih domba milik orang lain, lalu pemiliknya menemukannya. Ia mengklaim bahwa dagingnya tidak halal dimakan oleh keduanya karena penyembelihnya adalah orang yang durhaka sehingga tidak halal baginya, sedangkan pemiliknya bukan penyembelih atau yang memerintahkan penyembelihan. Pendapat ini tidak benar, bertentangan dengan atsar, dan aku tidak mengetahui adanya amalan dalam perintah penyembelihan atau niat selain penyembelihan itu sendiri. Sungguh, pendapat ini telah melampaui batas hingga mengklaim bahwa jika seseorang merampas cambuk milik orang lain lalu mencambuk budaknya karena zina, atau jika penguasa merampas cambuk dan menghukum hadd dengan cambuk itu, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang dihukum. Mereka berdua harus dihukum hadd dengan cambuk yang tidak dirampas. Jika menurut ulama hal ini tidak sesuai dengan pendapatnya, maka niat dalam penyembelihan dan perburuan lebih utama untuk tidak dianggap sebagai suatu amalan. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hewan buruan dikejar oleh anjing atau burung pemangsa hingga kelelahan dan mati tanpa sempat disentuh oleh mereka, maka tidak halal dimakan karena statusnya bangkai. Penyembelihan hanya berlaku jika hewan itu sempat disentuh, karena sentuhan itu menggantikan penyembelihan. Jika seseorang mengejar domba untuk disembelih, lalu domba itu kelelahan dan mati sebelum disembelih, maka tidak halal dimakan. Begitu pula, jika hewan buruan terkena senjata apa pun tetapi tidak melukainya, maka tidak halal dimakan hingga luka itu mengeluarkan darah atau melukai hingga merobek atau menghancurkannya. Jika hewan buruan dibunuh oleh anjing, elang, atau hewan pemburu lainnya tanpa melukainya, maka ada dua kemungkinan: pertama, tidak halal dimakan hingga ada bagian yang robek karena hewan pemburu itu tidak merobek. Allah Ta’ala berfirman, “al-jawarih” (hewan pemburu). Kedua, semua tindakan mereka dianggap sebagai penyembelihan, sehingga apa pun yang membunuhnya adalah halal. Ini mungkin dibolehkan karena tindakan mereka berbeda dengan tindakan manusia. Tindakan manusia minimal harus melukai hingga mengeluarkan darah, sedangkan tindakan hewan pemburu adalah membunuh dengan sengaja, bukan dalam bentuk dua tindakan (penyembelihan dan bukan penyembelihan). Mereka disebut “jawarih” karena melukai, sehingga nama itu melekat pada mereka. Apa yang mereka tangkap adalah halal secara mutlak, dan luka hanyalah nama yang diberikan kepada mereka, bukan syarat halal. Jika hewan itu tidak terluka tetapi mati, tetap halal dimakan.
Jika seseorang menangkap hewan buruan, lalu mengikatnya dan menjaganya atau tidak menjaganya, kemudian hewan itu lepas dan diburu oleh orang lain, baik segera atau setelah waktu lama, maka hewan itu tetap milik penangkap pertama karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan yang sah, seperti kepemilikan domba. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang membunuhnya saat masih di tangannya, ia harus membayar harganya seperti membayar harga domba? Jika demikian, maka ia telah memilikinya seperti kepemilikan domba. Tidakkah kamu melihat bahwa jika keledai jinak menjadi liar lalu ditangkap orang lain, maka ia tetap milik pemilik pertama? Sunnah Islam menetapkan bahwa apa yang dimiliki seseorang tidak keluar dari kepemilikannya kecuali ia sendiri yang melepaskannya. Jika hewan liar lepas dari tangannya, itu tidak mengeluarkannya dari kepemilikannya. Jika ada yang menyanggah pendapat ini, maka jika hewan itu lepas, ia keluar dari kepemilikan dengan sendirinya dan menjadi miliknya sendiri, sehingga tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Jika ada yang berkata tidak, bagaimana hewan bisa memiliki dirinya sendiri? Maka dijawab, demikian pula, tidak ada yang memilikinya selain pemilik aslinya, kecuali jika ia melepaskannya dari tangannya. Jika ada yang membedakan antara lepas dari tangan lalu menjadi liar, jika ditangkap orang lain, maka milik pemilik pertama jika waktunya dekat, dan milik penangkap baru jika waktunya lama. Bagaimana jika ada yang berkata sebaliknya? Apa argumennya? Tidak ada kecuali mengatakan bahwa itu tetap milik pemilik pertama dalam semua keadaan, dan jika lepas, maka milik penangkap sejak saat itu. Demikian pula semua hewan liar di darat, burung, ikan, atau hewan buruan lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memukul atau memanah hewan buruan hingga putus tangannya atau kakinya, lalu mati karena pukulan itu, maka hukumnya sama. Bahkan jika separuh tubuhnya putus, maka kedua bagian, tangan, kaki, dan seluruh tubuh halal dimakan karena pukulan itu dianggap sebagai penyembelihan untuk bagian yang putus dan yang tersisa, seperti jika dipukul atau disembelih hingga putus kepalanya, maka penyembelihan berlaku untuk kepala dan seluruh tubuh. Pukulan atau panahan tidak lain adalah penyembelihan, dan penyembelihan tidak berlaku untuk sebagian tubuh saja atau tidak sama sekali. Namun, jika ada anggota tubuh yang putus, lalu hewan itu sempat disembelih, maka disembelihlah.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Anggota tubuh yang terpotong tidak dimakan karena penyembelihan pertama tidak sah, dan penyembelihan yang sah harus dilakukan pada leher. Jika tidak mengenai badan atau bagian yang melekat padanya, statusnya seperti bangkai. Tidakkah kamu lihat, jika ada anggota tubuh yang terpotong kemudian hewan itu disembelih dengan benar, maka bagian yang terpotong sebelumnya tidak dimakan karena penyembelihan yang sah telah dilakukan, sehingga potongan pertama dianggap tidak sah.
[Pasal tentang Masalah-Masalah Penyembelihan]
Pasal yang berisi masalah-masalah sebelumnya (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Setiap hewan yang halal dimakan, baik burung maupun hewan ternak, lebih disukai untuk disembelih, karena itu adalah sunnah dan petunjuk Al-Qur’an. Sapi termasuk dalam hal ini berdasarkan firman Allah: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi” (QS. Al-Baqarah: 67), dan kisahnya: “Lalu mereka menyembelihnya dan hampir saja tidak melakukannya” (QS. Al-Baqarah: 71). Kecuali unta, karena harus disembelih dengan cara nahr (menyembelih di bagian dada), sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyembelih untanya. Tempat nahr yang disunahkan adalah di lahbah (pangkal leher), sedangkan tempat penyembelihan yang disunahkan adalah di bawah rahang. Penyembelihan yang sah untuk semua hewan, baik yang disembelih dengan nahr atau dzabh (menyembelih di leher), adalah antara lahbah dan tenggorokan. Di mana pun penyembelihan dilakukan dalam area tersebut, itu sudah mencukupi. Jika seseorang menyembelih dengan nahr untuk hewan yang seharusnya dzabh, atau sebaliknya, aku memakruhkannya tetapi tidak mengharamkannya, karena nahr dan dzabh sama-sama termasuk penyembelihan yang sah. Namun, aku lebih suka jika setiap hewan disembelih sesuai tempatnya. Ibnu Abbas berkata: “Penyembelihan yang sah adalah di lahbah dan tenggorokan bagi yang mampu.” Hal serupa juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab, dan Umar menambahkan: “Jangan tergesa-gesa mencabut nyawa.”
(Imam Syafi’i berkata): Penyembelihan ada dua jenis. Untuk hewan yang bisa ditangani, penyembelihan yang sah adalah di lahbah dan tenggorokan, tidak halal selain itu, baik hewan jinak maupun liar. Untuk hewan yang tidak bisa ditangani, penyembelihannya adalah dengan senjata di bagian mana pun yang bisa dijangkau, baik hewan jinak maupun liar. Jika seekor unta jatuh ke sungai atau sumur sehingga tidak bisa disembelih di tempat yang sah, lalu ditusuk dengan pisau atau alat yang sah untuk mengalirkan darahnya, kemudian mati, maka boleh dimakan. Begitu juga penyembelihan hewan yang tidak bisa ditangani. Pernah ada unta yang jatuh ke sumur, lalu ditusuk di bahunya. Ketika ditanya, Ibnu Umar memerintahkan untuk memakannya dan mengambil dagingnya seharga dua dirham. Sa’id bin Musayyab ditanya tentang hewan yang jatuh dan ditusuk dengan senjata tetapi tidak bisa disembelih di tempat yang sah, ia menjawab: “Di mana pun kamu bisa menikamnya dengan senjata, makanlah.” Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
(Imam Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika hewan disembelih menghadap kiblat jika memungkinkan. Jika tidak dilakukan, penyembelih telah meninggalkan hal yang kusukai, tetapi itu tidak mengharamkannya.
(Imam Syafi’i berkata): Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- melarang nakh’ (mematahkan leher setelah disembelih) dan tergesa-gesa mencabut nyawa. Nakh’ adalah menyembelih kambing lalu mematahkan tulang lehernya dari tempat penyembelihan untuk mempercepat kematiannya. Aku memakruhkan ini, juga menguliti atau memotong bagiannya selagi masih bergerak, atau menyentuhnya dengan pukulan atau lainnya sebelum benar-benar mati. Jika seseorang melakukan hal yang kumakruhkan setelah penyembelihan sah, ia telah berbuat buruk, tetapi tidak mengharamkan hewan tersebut karena sudah sah disembelih.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyembelih lalu tangannya tergesa-gesa sehingga memutus kepala, hewan itu tetap halal dimakan karena penyembelihan sah dilakukan sebelum kepala terputus. Jika menyembelih dari belakang leher atau salah satu sisi leher, lalu tidak diketahui kapan matinya, maka tidak boleh dimakan sampai diketahui. Jika diketahui hewan itu masih hidup setelah pemotongan belakang leher atau salah satu sisi leher, lalu pisau mencapai tenggorokan dan kerongkongan serta memotongnya selagi masih hidup, maka halal dimakan. Namun, ia telah berbuat buruk dengan luka pertama, seperti jika melukainya lalu menyembelihnya, ia telah berbuat buruk tetapi hewannya halal. Setelah tenggorokan dan kerongkongan terputus, tidak masalah apakah sisa kepala dipotong atau tidak. Aku hanya melihat tenggorokan dan kerongkongan. Jika mencapainya selagi masih hidup, maka sah. Jika tidak mencapainya selagi masih hidup, maka statusnya bangkai. Jika tidak jelas dan penyembelihan dimulai dari tempat yang salah, maka hukumnya tergantung tempat awal penyembelihan jika tidak ada kepastian hidup setelahnya.
(Imam Syafi’i berkata): Menyebut nama Allah saat menyembelih adalah wajib. Jika ditambah dengan dzikir lainnya, itu lebih baik. Aku tidak memakruhkan jika seseorang membaca shalawat setelah menyebut nama Allah saat menyembelih.
Rasulullah, bahkan aku mencintainya karena Allah dan mencintai agar shalawat atasnya diperbanyak. Maka, semoga Allah melimpahkan shalawat kepadanya dalam segala keadaan, karena mengingat Allah Yang Maha Agung dan bershalawat atas Nabi adalah bentuk keimanan kepada Allah Ta’ala dan ibadah yang diberi pahala, insya Allah, bagi yang mengucapkannya. Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf pernah bersama Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ berjalan mendahuluinya. Abdurrahman mengikutinya dan menemukan beliau sedang sujud. Ia pun menunggu, tetapi Nabi ﷺ memanjangkan sujudnya. Setelah bangkit, Abdurrahman berkata, “Aku khawatir Allah Yang Maha Agung telah mencabut nyawamu dalam sujudmu.” Nabi ﷺ bersabda, “Wahai Abdurrahman, ketika aku berada di tempat yang kau lihat, Jibril menemuiku dan menyampaikan dari Allah Yang Maha Agung bahwa barangsiapa bershalawat kepadamu, Aku akan bershalawat kepadanya. Maka aku bersujud syukur kepada Allah.” Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Barangsiapa lupa bershalawat kepadaku, ia telah menyimpang dari jalan surga.”
(Ar-Rabi’ berkata): Malik berpendapat tidak boleh bershalawat kepada Nabi ﷺ bersamaan dengan menyebut nama saat menyembelih hewan. Ini aneh. Sedangkan Syafi’i mengatakan boleh bershalawat kepada Nabi ﷺ saat menyembelih.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami tidak mengetahui seorang muslim—dan kami tidak khawatir—kecuali shalawatnya kepada Nabi ﷺ adalah bentuk keimanan kepada Allah. Aku khawatir setan telah memasukkan larangan menyebut nama Rasulullah ﷺ saat menyembelih kepada sebagian orang bodoh, agar mereka tidak bershalawat kepadanya dalam keadaan tertentu, karena bisikan di hati orang-orang yang lalai. Tidaklah seseorang bershalawat kepadanya kecuali sebagai keimanan kepada Allah, pengagungan, dan pendekatan diri kepada-Nya. Shalawat kepada Nabi mendekatkan kita kepada Allah. Penyebutan nama saat menyembelih sama saja, baik untuk kurban atau lainnya. Jika ingin mengucap, “Ya Allah, terimalah dariku,” boleh. Atau jika berkata, “Ya Allah, dari-Mu dan kepada-Mu, terimalah dariku,” juga boleh. Jika berkurban untuk orang lain, ucapkan, “Terimalah dari fulan,” tidak masalah, karena itu doa yang tidak makruh. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ (dengan sanad yang tidak kuat) bahwa beliau berkurban dengan dua domba. Pada satu domba, setelah menyebut nama Allah, beliau berdoa, “Ya Allah, untuk Muhammad dan keluarga Muhammad,” dan pada domba lainnya, “Ya Allah, untuk Muhammad dan umat Muhammad.”
(Ar-Rabi’ berkata): Aku melihat Asy-Syafi’i hadir saat penyembelihan kurban hingga selesai.
[Pasal Penyembelihan dan Siapa yang Boleh Menyembelih]
(Asy-Syafi’i berkata): Penyembelihan oleh siapa pun yang mampu, baik wanita haid, anak kecil Muslim, lebih aku sukai daripada penyembelihan oleh Yahudi atau Nasrani, meski sembelihan mereka halal. Namun, lebih baik seseorang menyembelih kurbannya sendiri, karena diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada seorang wanita keluarganya (Fathimah atau lainnya), “Hadirilah penyembelihan kurbannmu, karena dosamu diampuni pada tetesan darah pertamanya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika kurban disembelih bukan oleh pemiliknya, tetap sah, karena Nabi ﷺ menyembelih sebagian hadyunya dan sebagian lain disembelih orang lain. Namun, aku tidak suka jika penyembelihan kurban dilakukan oleh musyrik, karena ibadah sebaiknya dilakukan oleh Muslim. Jika disembelih oleh musyrik yang sembelihannya halal, tetap sah meski aku tidak menyukainya. Wanita Ahli Kitab yang mampu menyembelih seperti laki-laki mereka. Hewan sembelihan Yahudi dan Nasrani untuk diri mereka sendiri—baik buruan atau ternak—yang halal dimakan Muslim, meski mereka mengharamkan lemak, jeroan, atau bagian yang bercampur tulang, tetap halal bagi Muslim. Sebab, jika Allah menghalalkan makanan mereka (menurut ahli tafsir: sembelihan mereka), maka apa yang mereka sembelih untuk kita—meski mengandung yang haram bagi mereka—tetap halal. Seandainya haram bagi kita karena mereka menyembelihnya untuk diri mereka sendiri, tentu haram juga jika mereka menyembelih untuk kita. Jika diharamkan karena bukan termasuk makanan mereka, padahal yang dihalalkan untuk kita adalah makanan mereka sesuai keyakinan mereka, maka mereka mungkin menganggap halal sesuatu yang haram bagi kita.
Mereka menganggapnya sebagai makanan bagi mereka. Maka, seandainya kita mengikuti pendapat ini, kita juga harus memakannya karena itu termasuk makanan halal bagi mereka menurut mereka. Namun, ini bukanlah makna ayat tersebut. Maknanya adalah seperti yang telah kami jelaskan, dan Allah lebih mengetahui.
(Imam Syafi’i berkata): Allah Yang Maha Tinggi telah menurunkan kepada Nabi-Nya ﷺ bahwa apa yang dihalalkan-Nya adalah halal hingga hari kiamat, baik sebelumnya diharamkan atau tidak. Dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram hingga hari kiamat, baik sebelumnya diharamkan atau tidak. Allah menghapus dengan syariat ini segala agama yang bertentangan, baik yang masih ada sebelumnya maupun yang telah lalu. Allah mewajibkan makhluk untuk mengikutinya, kecuali bahwa Dia mengizinkan pengambilan jizyah dari Ahli Kitab dalam keadaan mereka tunduk, tanpa membenarkan mereka meninggalkan iman, tidak mengharamkan apa yang dihalalkan dalam Kitab-Nya, dan tidak menghalalkan apa yang diharamkan dalam Kitab-Nya. Sembelihan Ahli Kitab sama saja, baik mereka dalam keadaan perang, dalam perjanjian keamanan, atau sebagai dzimmi.
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memakruhkan sembelihan orang muslim yang bisu atau orang gila saat sadar, tetapi aku memakruhkan sembelihan orang mabuk dan orang gila yang tidak sadar. Namun, aku tidak mengatakan itu haram. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau berpendapat bahwa shalat mereka berdua tidak sah jika dilakukan, tetapi sembelihan mereka sah?” Jawabannya, insya Allah, karena perbedaan antara shalat dan penyembelihan. Shalat adalah ibadah yang hanya sah jika dilakukan dengan kesadaran, thaharah, pada waktunya, serta dengan awal dan akhir yang benar. Sedangkan penyembelihan hanya dimaksudkan agar dilakukan dengan benar. Jika sudah dilakukan, aku tidak bisa menyamakan keduanya dengan penyembelihan orang musyrik, wanita haid, anak kecil yang belum berakal, atau orang yang tidak terkena hukum had. Semua sembelihan mereka sah. Maka, aku berpendapat seperti ini karena yang penting adalah pelaksanaan penyembelihan.
Tidak ada terjemahan dalam bagian ini, tetapi dijelaskan tentang yang halal dan haram.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Asal makanan yang halal dari hewan ternak, binatang melata, dan burung ada dua kategori, kemudian terbagi lagi. Ada yang diharamkan secara tegas dalam Sunnah Rasulullah ﷺ dan ada yang diharamkan dalam kandungan Kitabullah, yaitu yang keluar dari kategori thayyibāt dan bahimatul-an‘ām. Allah berfirman, “Dihalalkan bagi kamu bahimatul-an‘ām” (QS. Al-Maidah: 1) dan “Dihalalkan bagi kamu yang thayyibāt” (QS. Al-Maidah: 4). Jika ada yang berpendapat bahwa Allah berfirman, “Katakanlah: Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya” (QS. Al-An‘am: 145), maka para ahli tafsir atau yang aku dengar dari mereka mengatakan bahwa maksud ayat “Katakanlah: Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu yang diharamkan” (QS. Al-An‘am: 145) adalah dari apa yang biasa kalian makan. Dahulu, orang Arab mengharamkan sesuatu karena dianggap khabāits dan menghalalkan sesuatu karena dianggap thayyibāt. Maka, Allah menghalalkan bagi mereka apa yang mereka anggap thayyibāt, kecuali yang dikecualikan, dan mengharamkan apa yang mereka anggap khabāits. Allah berfirman, “Dan mengharamkan bagi mereka yang khabāits” (QS. Al-A‘raf: 157).
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan?” Jawabannya, tidak boleh menafsirkan ayat ini kecuali seperti yang telah dijelaskan, bahwa khabāits adalah sesuatu yang dikenal buruk oleh yang diajak bicara, begitu pula thayyibāt, baik berdasarkan bahasa mereka atau kabar yang sampai kepada mereka. Seandainya ada yang berpendapat bahwa semua yang diharamkan adalah haram secara spesifik, dan apa yang tidak disebutkan keharamannya adalah halal, maka berarti dia membolehkan memakan kotoran, cacing, dan minum air kencing karena tidak ada nash yang mengharamkannya. Namun, semua itu termasuk dalam makna khabāits yang diharamkan bagi mereka, sehingga haram bagi mereka. Bahkan, ini lebih buruk daripada bangkai dan darah yang diharamkan karena keduanya najis dan menajiskan apa yang terkena. Padahal, bangkai sebelum mati tidak najis, sedangkan air kencing dan kotoran yang sejak awal sudah najis lebih pantas diharamkan untuk dimakan atau diminum.
Jika sudah demikian, maka ini sudah cukup. Selain itu, ada juga petunjuk dari Sunnah Rasulullah ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membunuh burung gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing buas, ini menunjukkan haramnya memakan apa yang diperintahkan untuk dibunuh saat ihram. Karena ini termasuk burung…
Binatang-binatang sebagaimana telah dijelaskan menunjukkan bahwa kita harus melihat pada apa yang biasa dimakan oleh orang Arab, maka itu halal, dan apa yang tidak biasa dimakan oleh mereka, maka itu haram. Orang Arab tidak memakan anjing, serigala, singa, atau macan, tetapi mereka memakan dubuk, sehingga dubuk halal. Orang yang berihram boleh memburunya berdasarkan hadis Nabi ﷺ bahwa dubuk adalah buruan yang boleh dimakan. Mereka tidak memakan tikus, kalajengking, ular, burung gagak, atau burung hering, sehingga datanglah sunnah yang sesuai dengan Al-Qur’an dalam mengharamkan apa yang mereka haramkan dan menghalalkan apa yang mereka halalkan, serta membolehkan membunuh hewan yang tidak halal dimakan saat berihram.
Ini adalah prinsip dasarnya. Oleh karena itu, tidak boleh memakan burung nasar, burung kecil, elang, atau burung pemburu seperti falcon, alap-alap, atau rajawali. Juga tidak boleh memakan kumbang, kotoran hewan, kadal, laba-laba, tawon, atau segala sesuatu yang tidak dimakan oleh orang Arab.
Namun, boleh memakan biawak, kelinci, marmut, kuda liar, dan segala yang dimakan oleh orang Arab atau yang ditebus oleh orang yang berihram berdasarkan sunnah atau atsar. Dubuk dan rubah juga halal. (Imam Syafi’i berkata): Muslim, Abdul Majid, dan Abdullah bin Harits meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Ubaid bin Umair dari Ibnu Abi Ammar, ia berkata: “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang dubuk, apakah ia termasuk buruan?” Ia menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi: “Boleh dimakan?” Ia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?” Ia menjawab: “Ya.”
(Imam Syafi’i berkata): Daging dubuk tidak dijual di Mekah kecuali di antara Shafa dan Marwah. Semua binatang buas yang bertaring tidak halal kecuali yang menyerang manusia, dan itu hanya ada pada tiga jenis: singa, serigala, dan macan. Adapun dubuk tidak menyerang manusia, begitu pula rubah. Boleh memakan tikus padang dan landak.
(Imam Syafi’i berkata): Binatang darat dan burung mengikuti prinsip dasarnya. Jika asalnya liar kemudian dijinakkan, maka hukumnya seperti hewan liar. Misalnya, kuda liar dan kijang yang dijinakkan, atau keledai yang dijinakkan—orang yang berihram tidak boleh membunuhnya. Jika ia membunuhnya, ia harus membayar denda. Namun, boleh menyembelih kuda liar yang dijinakkan untuk dimakan. Adapun hewan yang tidak memiliki asal liar, seperti ayam, keledai ternak, unta, kambing, dan sapi—jika menjadi liar lalu dibunuh oleh orang yang berihram, ia tidak boleh menebusnya tetapi harus membayar harganya kepada pemiliknya jika ada.
Kami menetapkan semua ini berdasarkan prinsip dasarnya. Jika ada yang bertanya: “Apakah ada sapi atau kijang liar seperti sapi dan kambing ternak?” Jawabannya: “Ya, mereka memiliki sifat yang berbeda dari hewan ternak, meski ada kemiripan yang dikenal.” Seandainya kami berpendapat bahwa kuda liar yang dijinakkan tidak halal dimakan, konsekuensinya adalah jika orang yang berihram membunuhnya, ia tidak boleh menebusnya—seperti jika ia membunuh keledai ternak, ia tidak boleh menebusnya. Begitu pula keledai ternak yang menjadi liar, hukumnya seperti hewan liar. Semua hewan ternak yang menjadi liar dihukumi sebagai hewan liar, dan hewan liar yang dijinakkan dihukumi sebagai hewan ternak.
Adapun unta yang sebagian besar makanannya adalah kotoran kering, maka semua hewan yang dimakan dan diberi makan seperti ini disebut jallalah (hewan pemakan kotoran). Bau kotoran terdapat dalam daging dan susunya karena dagingnya terbentuk dari itu. Jika unta atau hewan lain sebagian besar makanannya bukan kotoran, dan hanya sedikit memakannya, maka tidak terlihat bekasnya dalam daging atau susunya karena sumber nutrisinya berasal dari makanan lain, sehingga tidak termasuk jallalah yang dilarang.
Daging jallalah dilarang dimakan sampai diberi makanan lain yang mengubah baunya, sehingga tidak lagi tercium bau kotoran pada daging atau susunya. Ini menandakan bahwa nutrisinya telah berubah, sehingga barulah boleh dimakan. Tidak ada indikator yang lebih jelas selain ini. Dalam beberapa atsar disebutkan bahwa unta harus diberi makan (selain kotoran) selama 40 hari, kambing lebih sedikit, dan ayam selama tujuh hari.
Semua ini bertujuan untuk mengubah sifat-sifat yang tidak disukai menjadi sifat alami hewan yang tidak menjijikkan.
[BAB PENYEMBELIHAN BANI ISRAIL]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: (Asy-Syafi’i) berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Semua makanan halal bagi Bani Israil kecuali apa yang diharamkan oleh Israil atas dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran: 93). Dan Dia Yang Maha Mulia berfirman, “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang dahulu dihalalkan bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 160).
(Asy-Syafi’i) berkata: Maksudnya—dan Allah lebih mengetahui—adalah makanan baik yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Dan Allah Yang Maha Tinggi berfirman, “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (QS. Al-An’am: 146) hingga firman-Nya, “orang-orang yang benar.”
(Asy-Syafi’i) berkata: Al-Hawaya adalah apa yang mengandung makanan dan minuman di dalam perut. Maka, apa yang diharamkan Allah atas Bani Israil—khususnya Yahudi dan umumnya selain mereka—tetap haram sejak diharamkan hingga Allah Yang Maha Agung mengutus Muhammad ﷺ. Lalu Allah mewajibkan iman kepadanya, memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya ﷺ, menaati perintahnya, dan memberitahukan kepada makhluk-Nya bahwa ketaatan kepadanya adalah ketaatan kepada-Nya, serta bahwa agama-Nya adalah Islam yang menghapus semua agama sebelumnya. Allah menjadikan siapa pun yang menjumpainya dan mengetahui agamanya tetapi tidak mengikutinya sebagai orang yang kafir, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Ini termaktub dalam Al-Qur’an.
Allah Yang Maha Tinggi juga menurunkan ayat tentang Ahli Kitab dari kalangan musyrikin, “Katakanlah, ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah kepada kalimat yang sama antara kami dan kalian.'” (QS. Ali Imran: 64) hingga firman-Nya, “orang-orang yang berserah diri (Muslim).” Dan kita diperintahkan untuk memerangi mereka hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk jika mereka tidak masuk Islam.
Allah juga menurunkan tentang mereka, “Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapati tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil.” (QS. Al-A’raf: 157) hingga firman-Nya, “dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” Dikatakan—dan Allah lebih mengetahui—bahwa itu adalah dosa-dosa mereka dan apa yang mereka larang akibat bid’ah mereka sebelum syariat agama Muhammad ﷺ.
Sejak Allah mengutus Muhammad ﷺ, tidak ada lagi makhluk berakal—baik Ahli Kitab, penyembah berhala, maupun makhluk hidup berjiwa dari jin atau manusia—yang telah sampai dakwah Muhammad ﷺ kepadanya, kecuali hujjah Allah tegak atasnya untuk mengikuti agamanya. Siapa pun yang beriman dengan mengikutinya adalah mukmin, dan yang menolak adalah kafir. Setiap orang, baik beriman atau kafir, terikat dengan pengharaman apa yang diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya ﷺ, meskipun sebelumnya halal dalam agama mana pun. Allah menghalalkan makanan Ahli Kitab dan menjelaskan penyembelihan mereka tanpa pengecualian.
Maka, tidak boleh diharamkan sembelihan Ahli Kitab, meskipun dalam sembelihan itu terdapat yang haram bagi setiap Muslim—seperti yang diharamkan atas Ahli Kitab sebelum Muhammad ﷺ. Tidak boleh tersisa lemak sapi atau kambing. Begitu pula jika seorang Ahli Kitab menyembelih untuk dirinya dan menghalalkannya bagi Muslim, tidak haram bagi Muslim lemak sapi atau kambing darinya. Tidak boleh ada sesuatu yang halal karena penyembelihan bagi seseorang tetapi haram bagi yang lain, karena Allah menghalalkannya secara umum, bukan khusus.
Jika ada yang bertanya, “Apakah diharamkan bagi Ahli Kitab apa yang diharamkan atas mereka sebelum Muhammad ﷺ, seperti lemak-lemak ini dan lainnya, jika mereka tidak mengikuti Muhammad ﷺ?” Maka ada yang berpendapat semuanya haram bagi mereka hingga mereka beriman. Namun, seharusnya tidak diharamkan bagi mereka, karena apa yang bertentangan dengan agama Muhammad ﷺ telah dihapus oleh agamanya. Sebagaimana tidak boleh anggur halal bagi mereka kecuali jika diharamkan melalui lisan Muhammad ﷺ, meskipun mereka tidak masuk agamanya.
Apa yang Diharamkan Kaum Musyrik atas Diri Mereka
(Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata): Kaum musyrik mengharamkan atas diri mereka sebagian harta mereka, tetapi Allah menjelaskan bahwa itu tidak haram karena pengharaman mereka. Sebagian yang Allah sebutkan, seperti al-Bahirah (unta yang dibiarkan bebas), as-Saibah (hewan yang dilepas untuk berhala), al-Washilah (hewan yang melahirkan betina berturut-turut), dan al-Ham (hewan jantan yang telah membuahi betina berkali-kali). Mereka membiarkannya pada unta dan kambing seperti memerdekakan, lalu mengharamkan susu, daging, dan kepemilikannya. Ini telah dijelaskan.
Di tempat lain, Allah Ta’ala berfirman:
“Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah, dan ham.” (QS. Al-Maidah: 103).
Dan firman-Nya:
“Sungguh rugi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan tanpa pengetahuan, dan mengharamkan rezeki yang Allah berikan dengan berdusta atas nama Allah. Mereka telah sesat dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 140).
Allah juga berfirman tentang apa yang mereka haramkan:
“Dan mereka berkata, ‘Inilah hewan ternak dan tanaman yang terlarang; tidak boleh dimakan kecuali oleh orang yang kami kehendaki,’ menurut anggapan mereka.” (QS. Al-An’am: 138)
sampai firman-Nya:
“Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 139).
“Dan mereka berkata, ‘Apa yang ada di dalam perut hewan ternak ini khusus untuk laki-laki kami dan haram bagi istri-istri kami.'” (QS. Al-An’am: 139).
Dan firman-Nya:
“Delapan pasang (hewan ternak), yaitu dua domba dan dua kambing.” (QS. Al-An’am: 143)
dan dua ayat setelahnya. Allah memberitahukan bahwa apa yang mereka haramkan bukanlah haram bagi mereka. Dikatakan pula bahwa ayat ini turun tentang mereka:
“Katakanlah, ‘Bawalah kemari saksi-saksimu yang bersaksi bahwa Allah mengharamkan ini.’ Jika mereka bersaksi, janganlah engkau ikut bersaksi bersama mereka.” (QS. Al-An’am: 150).
Allah menolak kebiasaan mereka tentang bahirah, saibah, wasilah, dan ham, serta memberitahu bahwa apa yang mereka haramkan bukanlah haram menurut ketetapan-Nya.
Allah berfirman:
“Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 1),
yang dimaksud—wallahu a’lam—adalah bangkai. Dikatakan pula bahwa turun tentang hal ini:
“Katakanlah, ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.'” (QS. Al-An’am: 145)
sampai firman-Nya:
“Kecuali jika (hewan itu) disembelih untuk selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145).
Ini mirip dengan apa yang dikatakan, yakni:
“Katakanlah, ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan,'” (QS. Al-An’am: 145)
yaitu dari hewan ternak, kecuali bangkai, darah yang mengalir, atau sembelihan untuk berhala. Disebutkan juga keharaman babi bersamanya. Ada yang mengatakan, “Kalian tidak memakan kecuali seperti ini.”
Allah berfirman:
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu.” (QS. An-Nahl: 114)
sampai firman-Nya:
“Dan (hewan) yang disembelih untuk selain Allah.” (QS. An-Nahl: 115).
Ayat ini serupa maknanya dengan ayat sebelumnya.
[Apa yang Diharamkan Berdasarkan Nash]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157).
Maka diartikan bahwa yang halal adalah apa yang dianggap baik menurut mereka, dan yang haram adalah apa yang dianggap buruk menurut mereka.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu memburu hewan buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan.” (QS. Al-Maidah: 95).
Hewan buruan adalah segala yang liar. Ayat ini mengandung kemungkinan bahwa yang haram bagi orang yang ihram adalah segala yang disebut hewan buruan, meskipun dendanya hanya berlaku untuk sebagian.
Sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa ada hewan buruan yang tidak dikenakan denda, yaitu yang boleh dibunuh oleh orang yang ihram. Tidak ada perbedaan dalam hewan buruan kecuali dalam dua hal:
- Allah menghendaki tebusan untuk hewan buruan yang halal dimakan, bukan yang haram dimakan. Ini lebih utama—wallahu a’lam—karena mereka berburu untuk dimakan, bukan sekadar membunuh. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an:
“Allah akan menguji kamu dengan hewan buruan yang dapat ditangkap oleh tangan dan tombakmu.” (QS. Al-Maidah: 94).
“Janganlah kamu membunuh hewan buruan ketika kamu sedang ihram.” (QS. Al-Maidah: 95).
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanannya sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan, tetapi diharamkan bagimu hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (QS. Al-Maidah: 96).
Allah menyebutkan kebolehan buruan laut bagi orang yang ihram sebagai rezeki (makanan), lalu mengharamkan buruan darat. Maka yang diharamkan saat ihram adalah yang sebelumnya halal dimakan.
Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang ihram membunuh burung gagak, elang, tikus, anjing ganas, singa, macan, dan serigala yang menyerang manusia. Hewan-hewan ini haram dimakan berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang melarang memakan binatang buas bertaring. Yang boleh dibunuh bersama hewan-hewan ini dianggap haram dimakan karena kebolehannya sejalan dengan mereka, dan tidak membahayakan seperti mereka. Namun, Nabi ﷺ membolehkan makan daging dubuk, padahal bahayanya lebih besar daripada gagak, elang, atau tikus.
- Orang yang ihram boleh membunuh hewan yang membahayakan, dan tidak boleh membunuh yang tidak membahayakan—jika dibunuh, wajib denda. Namun, ini bukan makna yang dimaksud, karena Rasulullah ﷺ membolehkan makan daging dubuk, sedangkan para salaf dan masyarakat umum menganggapnya halal.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Mereka lebih berbahaya daripada burung gagak, elang, dan tikus. Segala yang tidak dimakan oleh orang Arab kecuali dalam keadaan darurat, dan mereka membiarkannya karena dianggap kotor, adalah haram. Seperti elang, burung pemakan bangkai, rajawali, alap-alap, burung nasar, tikus, kadal, kumbang, kumbang tahi, biawak, kalajengking, ular, semut, lalat, dan sejenisnya.
Segala yang biasa dimakan dan tidak ada larangannya, serta tidak termasuk dalam makna yang diharamkan secara teks atau tidak ada indikasi keharamannya, adalah halal. Seperti tikus tanah, dubuk, rubah, biawak. Adapun yang tidak dimakan dan tidak ada larangannya, seperti kencing, khamr, cacing, dan sejenisnya, ilmu tentang hal ini masih ada hingga kini. Semua yang kukatakan halal, harganya halal dan menjadi halal dengan penyembelihan. Semua yang kukatakan haram, harganya haram dan tidak halal dengan penyembelihan. Tidak boleh memakan obat yang dibuat dari daging ular kecuali dalam keadaan darurat, seperti ketika boleh memakan bangkai. Namun bangkai tetap tidak boleh dalam keadaan apa pun.
[Makanan dan Minuman]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata:
(Asy-Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29). Dan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10). Dan firman-Nya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4). Allah menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa harta wanita terlindungi dari suaminya yang berhak atasnya kecuali dengan kerelaan hatinya, dan dihalalkan dengan kerelaannya karena dia adalah pemilik hartanya, terlindungi oleh kepemilikannya, dan dihalalkan dengan kerelaannya sebagaimana keputusan Allah dalam kitab-Nya. Ini menunjukkan bahwa setiap pemilik, hartanya terlindungi dan haram kecuali dengan kerelaannya untuk membolehkannya, sehingga menjadi halal dengan izin pemiliknya. Tidak ada perbedaan antara wanita dan pria. Juga menunjukkan bahwa kekuasaan wanita atas hartanya sama dengan kekuasaan pria atas hartanya jika dia sudah baligh dan memiliki kecerdasan. Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,” (QS. An-Nisa’: 10) menunjukkan -wallahu a’lam- bahwa tidak ada pengecualian kecuali dengan kerelaan anak yatim, bahwa kerelaan anak yatim tidak menghalalkan memakan hartanya. Anak yatim laki-laki dan perempuan dalam hal ini sama. Orang yang berada di bawah pengampuan menurut kami juga demikian karena tidak berkuasa atas hartanya -wallahu a’lam- sebab manusia dalam harta mereka terbagi dua: yang dibebaskan mengurus hartanya, maka apa yang halal baginya dan dihalalkan untuk orang lain, adalah halal; atau yang dilarang dari hartanya, maka apa yang dihalalkan darinya tidak boleh bagi orang yang dihalalkan baginya karena dia tidak berkuasa untuk menghalalkannya. Jika ada yang bertanya: Apakah ada dasar pengampuan dalam Al-Qur’an yang menunjukkan hal itu? Jawabannya: Ya, insya Allah. Allah berfirman, “Jika orang yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282). (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’), ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian memerah susu ternak saudaranya tanpa izinnya. Apakah salah seorang dari kalian suka jika tempat minumnya didatangi lalu dihancurkan sehingga hartanya diambil?” Dan diriwayatkan hadits yang tidak sah, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke kebun, maka makanlah dan jangan mengambil kantong.” Hadits yang tidak sah tidak bisa dijadikan hujjah. Susu ternak…
Lebih utama dianggap boleh. Jika tidak terbukti demikian dari buah kebun, karena susu itu dapat diganti setiap hari, dan orang-orang mengetahui bahwa mereka memberikan sebagian darinya dan mewajibkan pemberian yang tidak mereka lakukan untuk buah. Seandainya ada riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hal ini, tentu kami akan mengikutinya dan tidak menyelisihinya.
[Kumpulan Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata:
Asal segala yang dimakan dan diminum adalah halal selama tidak dimiliki oleh seorang manusia atau pemiliknya dari kalangan manusia telah menghalalkannya, kecuali apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah diwajibkan dalam Kitab Allah ‘azza wa jalla untuk diharamkan, dan diharamkan pula apa yang tidak diperselisihkan oleh kaum Muslimin tentang keharamannya, serta memiliki makna yang sesuai dengan Kitab, Sunnah, atau ijma’.
Jika ada yang bertanya: “Apa dalil bahwa segala sesuatu yang asalnya boleh menjadi haram karena kepemilikannya hingga pemiliknya mengizinkannya?”
Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla:
“Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan yang saling ridha.” (QS. An-Nisa’: 29)
Dan firman-Nya:
“Berikanlah harta kepada anak-anak yatim.” (QS. An-Nisa’: 2)
Serta firman-Nya:
“Berikanlah mahar kepada wanita sebagai pemberian.” (QS. An-Nisa’: 4)
sampai firman-Nya:
“Dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4)
Bersama banyak ayat lain dalam Kitab Allah ‘azza wa jalla yang melarang mengambil harta orang lain tanpa kerelaan mereka, kecuali apa yang telah diwajibkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, serta dibuktikan dengan hujjah.
(Imam Syafi’i) berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian memerah susu hewan ternak saudaranya tanpa izin. Apakah salah seorang dari kalian suka jika tempat minumnya didatangi lalu dihancurkan?”
Maka Allah telah menjelaskan dalam Kitab-Nya bahwa apa yang menjadi milik seorang manusia tidak halal diambil dengan cara apa pun kecuali dengan izinnya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menjelaskannya, sehingga menjadikan yang halal tetap halal dalam satu kondisi dan haram dalam kondisi lain. Sunnah pun telah menjelaskannya.
Jika Allah melarang mengambil harta seorang wanita kecuali dengan kerelaan hatinya, dan istilah “harta” mencakup yang sedikit maupun banyak, maka di dalamnya terdapat makna Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang susu yang sedikit bebannya bagi pemiliknya dan dapat diganti sekali atau dua kali sehari. Maka, yang lebih sedikit pun diharamkan tanpa izin pemiliknya, apalagi yang lebih banyak—tentu lebih haram sesuai dengan besarnya, dibandingkan harta Muslim yang lebih kecil nilainya.
Contoh lain adalah apa yang Allah wajibkan dalam pembagian warisan setelah kematian pemilik harta. Ketika seorang kerabat tidak berhak mewarisi harta yang pemilik aslinya telah tiada kecuali melalui kepemilikan yang sah, maka mengambil harta orang hidup tanpa kerelaannya atau harta orang mati tanpa ketentuan Allah adalah lebih terlarang lagi.
(Imam Syafi’i) berkata:
Harta-harta itu diharamkan karena kepemilikannya, terlindungi kecuali dengan ketentuan Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya, penjelasan melalui lisan Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan Sunnah Rasul-Nya. Maka, hamba-hamba-Nya wajib menaati ketetapan Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena hal itu menggabungkan dua makna dari hak Allah ‘azza wa jalla:
- Ketaatan terhadap kewajiban dalam harta orang-orang Muslim yang merdeka, baik mereka rela atau tidak, seperti zakat dan kewajiban akibat perbuatan mereka atau orang lain yang telah ditetapkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk diambil dari harta mereka.
- Makna kedua menjelaskan bahwa apa yang diperintahkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah wajib berdasarkan ketetapan Allah ‘azza wa jalla. Contohnya adalah diyat (denda) bagi pembunuh tidak sengaja, yang dibebankan kepada keluarganya meskipun mereka tidak rela, serta kewajiban lain seperti zakat dan diyat yang telah ditetapkan pada tempatnya.
Seandainya bukan karena kecukupan pengetahuan umum tentang apa yang kami jelaskan dalam hal ini, tentu kami akan memberikan penjelasan lebih rinci daripada yang telah kami tulis, insya Allah Ta’ala.
Barangsiapa diperintahkan untuk menanam, mengurusi kurma, hewan ternak, atau harta lainnya, ia tidak boleh mengambil sedikit pun darinya kecuali dengan izin pemiliknya, karena hal ini tidak didasarkan pada Kitab atau Sunnah yang sahih tentang kebolehannya. Maka, harta itu terlindungi oleh pemiliknya kecuali dengan izinnya. Wallahu a’lam.
Dan telah dikatakan…
Barangsiapa melewati tembok (kebun), dia boleh memakan (buahnya), tetapi tidak boleh membawa (dalam wadah). Ada hadis yang diriwayatkan tentang hal ini, seandainya hadis seperti itu sahih menurut kami, kami tidak akan menyelisihinya. Namun, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis yang sahih, tidak boleh memakan harta seseorang tanpa izinnya. Jika seseorang dalam keadaan darurat dan takut mati, lalu melewati makanan milik orang lain, aku tidak melihat masalah jika dia memakannya sekedar untuk menghilangkan laparnya, dengan kewajiban mengganti harganya. Dan aku tidak memandang boleh bagi pemilik makanan itu untuk melarangnya dalam keadaan seperti itu, apalagi jika dia memiliki makanan lebih. Aku khawatir hal itu akan memberatkannya dan berarti membantu membunuhnya, karena dengan melarang bisa menyebabkan kematiannya.
[Kumpulan Halal dan Haram dalam Makanan dan Minuman yang Dimiliki Manusia]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Asal segala yang dimiliki manusia berupa makanan dan minuman ada dua macam. Pertama, yang memiliki nyawa, di dalamnya ada yang haram dan halal. Kedua, yang tidak memiliki nyawa, semuanya halal selama masih dalam keadaan asli ciptaan Allah dan manusia tidak mengolahnya dengan campuran haram atau menjadikannya memabukkan. Jika diolah menjadi racun mematikan, aku memandangnya haram karena Allah ‘azza wa jalla mengharamkan pembunuhan terhadap manusia, apalagi membunuh diri sendiri. Adapun sesuatu yang kotor dan menjijikkan, orang Arab telah meninggalkannya karena keharaman akibat kekotorannya, termasuk yang najis.
Jika sesuatu dikenal sebagai racun mematikan, aku khawatir tidak ada keringanan untuk meminumnya, baik sebagai obat maupun lainnya. Aku membenci sedikit maupun banyaknya, baik dicampur atau tidak. Aku khawatir bagi peminum dan yang memberikannya, bisa menjadi pembunuh diri sendiri dan orang lain. Ada yang berpendapat: yang haram adalah yang murni racun dalam jumlah besar, sedangkan sedikit yang dominan manfaatnya dan tidak mematikan adalah halal. Namun, aku pernah mendengar ada yang mati karena sedikit racun, padahal orang lain selamat. Karena itu, aku tidak menyukainya dan tidak memberi keringanan dalam keadaan apapun. Ini bisa dianalogikan dengan racun yang banyak. Larangan ini tidak menghalangi keharaman meminumnya.
Penjabaran Halal dan Haram (Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Allah Ta’ala berfirman: “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, (diharamkan bagimu) berburu ketika ihram.” (QS. Al-Ma’idah: 1). Firman Allah “Dihalalkan bagimu binatang ternak” bisa bermakna hanya itu yang dihalalkan, atau dihalalkan tanpa melarang selainnya. Firman-Nya “Dan sungguh, telah dijelaskan kepadamu apa yang diharamkan kepadamu, kecuali dalam keadaan darurat” (QS. Al-An’am: 119), dan firman-Nya “Katakanlah: ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir, daging babi -karena itu kotor- atau (hewan) yang disembelih bukan karena Allah” (QS. Al-An’am: 145), serta firman-Nya “Maka makanlah dari (hewan) yang disebut nama Allah atasnya” (QS. Al-An’am: 118) dan ayat-ayat semisalnya menunjukkan bahwa semua makanan dihalalkan selama tidak ada nash dalam Al-Qur’an yang mengharamkannya. Namun, bisa juga bermakna bahwa semua makanan bernyawa yang tidak disebutkan keharamannya secara spesifik dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap haram berdasarkan nash Al-Qur’an, karena Allah memerintahkan untuk mengikuti perintah Nabi-Nya. Dengan demikian, keharamannya tetap berdasarkan Al-Qur’an dalam dua sudut pandang ini.
Karena makna-makna ini mengandung kemungkinan, maka yang paling utama bagi kami adalah berdalil dengan Kitabullah, kemudian Sunnah yang menjelaskan Kitabullah atau kesepakatan umat Islam. Sebab, tidak mungkin dalam kesepakatan mereka terdapat kebodohan terhadap halal-haram dari Allah. Yang mungkin terjadi hanya pada sebagian mereka, bukan secara umum. Kami telah menjelaskan hal ini dalam tempat-tempatnya secara terperinci.
[Yang diharamkan dari segi apa yang tidak dimakan oleh orang Arab]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Asal pengharaman adalah nash dari Kitab, Sunnah, kesimpulan dari Kitab atau Sunnah, atau ijma’. Allah Ta’ala berfirman:
“Yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157).
Dan firman-Nya:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?'” (QS. Al-Maidah: 4).
Yang dimaksud “yang baik” dan “yang buruk” adalah menurut kebiasaan orang yang memakannya, yaitu orang Arab yang bertanya tentang hal ini. Hukum-hukum turun untuk mereka, dan mereka membenci makanan yang buruk yang mungkin tidak dibenci oleh orang lain.
(Imam Syafi’i) berkata: Aku mendengar sebagian ulama menafsirkan firman Allah:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.'” (QS. Al-An’am: 145),
maksudnya adalah dari apa yang biasa kalian makan. Ayat-ayat yang disebutkan dalam kitab ini dan yang semakna menunjukkan apa yang telah aku jelaskan.
Jika ada yang bertanya, “Apa buktinya?”
Jawabnya: Bagaimana pendapatmu jika kami berpendapat bahwa segala sesuatu itu halal kecuali yang ada nash pengharamannya dalam Kitab atau Sunnah? Bukankah berarti kami menganggap bahwa makan cacing, lalat, ingus, dahak, kumbang, kadal, tokek, serangga tanah, burung pemakan bangkai, elang, burung kecil, gagak, burung hering, tikus, dan sejenisnya adalah halal?
Jika ada yang bertanya, “Lalu apa dalil pengharamannya?”
Jawabnya: Allah berfirman:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat selama kalian dalam keadaan ihram.” (QS. Al-Maidah: 96).
Ada dua hal yang dihalalkan, lalu Dia menetapkan kehalalan salah satunya, yaitu buruan laut dan makanannya—yang asin.
Segala yang mengandung manfaat bagi mereka untuk dinikmati makanannya dihalalkan, sedangkan buruan darat diharamkan untuk dinikmati makanannya berdasarkan Kitab dan Sunnah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah tidak mengharamkan buruan darat dalam ihram kecuali yang sebelumnya halal bagi mereka.
Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan orang yang berihram untuk membunuh gagak, burung hering, kalajengking, tikus, anjing buas, dan ular, ini menunjukkan bahwa daging hewan-hewan tersebut haram. Seandainya termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah untuk dibunuh saat ihram, Rasulullah tidak akan membolehkannya. Ini juga menunjukkan makna lain, bahwa orang Arab tidak memakan apa yang Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – perbolehkan untuk dibunuh saat ihram.
(Imam Syafi’i) berkata: Setiap kali engkau ditanya tentang makhluk hidup yang tidak ada nash pengharaman atau penghalalannya, lihatlah apakah orang Arab memakannya. Jika mereka memakannya dan tidak ada nash pengharamannya, maka itu halal karena termasuk dalam kategori halal dan baik menurut mereka, sebab mereka menghalalkan apa yang mereka anggap baik. Sedangkan yang tidak mereka makan karena dianggap menjijikkan, maka itu haram karena termasuk dalam kategori yang buruk, keluar dari apa yang dihalalkan bagi mereka, dan masuk dalam kategori yang buruk yang mereka haramkan untuk diri mereka sendiri.
(Imam Syafi’i) berkata: Aku tidak mengetahui pendapat ulama yang aku temui dari kalangan ahli ilmu yang menyelisihi pendapat orang Mekah dalam hal ini. Intinya, pengharaman bisa berasal dari apa yang diharamkan oleh orang Arab untuk diri mereka sendiri, meski tidak termasuk dalam kategori yang baik. Aku tidak menghafal tafsir ini secara pasti, tetapi inilah kesimpulannya. Dan dalam riwayat yang aku hafal dari ulama, ini menjadi hujjah.
Seandainya bukan karena singkatnya penjelasan, aku akan menjabarkannya lebih panjang. Dan insya Allah akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian-bagian bab lainnya.
[Haramnya memakan semua binatang buas yang bertaring]
Ar-Rabi’ berkata: Ash-Shafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dan Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Idris dari Abu Tsa’labah, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan semua binatang buas yang bertaring.” Malik mengabarkan kepada kami dari Isma’il bin Abu Hakim dari ‘Ubaidah bin Sufyan Al-Hadhrami dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Memakan semua binatang buas yang bertaring adalah haram.”
(Ash-Shafi’i berkata): Dan dengan ini kami berpendapat. (Ar-Rabi’ berkata): Ash-Shafi’i rahimahullah berkata: “Yang diharamkan adalah setiap binatang buas yang menyerang dengan taringnya.”
Perbedaan dan Kesepakatan dalam Memakan Semua Binatang Buas yang Bertaring serta Penjelasannya
(Ash-Shafi’i berkata): Sebagian orang yang sepakat dengan kami tentang pengharaman semua binatang buas yang bertaring berkata kepadaku, “Mengapa semua binatang buas yang bertaring tidak diharamkan, kecuali yang keluar dari sifat ini?” Aku menjawab, “Ilmu meliputi—insya Allah Ta’ala—bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika bermaksud, maka beliau bermaksud untuk mengharamkan binatang buas dengan sifat tertentu. Jadi, beliau bermaksud mengharamkan sebagian binatang buas, bukan semuanya. Seperti jika engkau berkata, ‘Aku mewasiatkan untuk setiap pemuda di Mekah, atau setiap orang tua di Mekah, atau setiap yang tampan wajahnya di Mekah,’ maka engkau telah bermaksud dengan wasiat tersebut sifat tertentu, bukan sifat lainnya, dan mengeluarkan dari wasiat orang yang tidak memiliki sifat yang engkau sebutkan.” Dia berkata, “Benar. Seandainya beliau tidak mengkhususkan pengharaman binatang buas, tentu akan lebih umum dan lebih dekat. Tetapi beliau mengkhususkan sebagian dan tidak mengharamkan sebagian lainnya.”
(Ash-Shafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Ini adalah tingkatan pertama dari ilmu pengharaman semua binatang yang bertaring. Tanyakan tentang tingkatan kedua.” Dia berkata, “Apakah ada binatang yang diciptakan memiliki taring dan ada yang tidak?” Aku menjawab, “Tidak seperti yang kuketahui.” Dia berkata, “Jika tidak berbeda, sehingga taring dimiliki oleh sebagian dan tidak oleh sebagian lainnya, lalu bagaimana pendapatmu?” Aku berkata, “Tidak ada makna dalam penciptaan taring terkait halal atau haram, karena aku tidak menemukan—jika penciptaan taring sama—sesuatu yang mengeluarkannya dari pengharaman. Dan pasti ada sebagian yang dikeluarkan dari pengharaman jika dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada pengeluarannya.” Dia berkata, “Benar, ini seperti yang engkau jelaskan. Tetapi apa maksudmu dengan ini?” Aku berkata, “Aku ingin menghilangkan kesalahanmu bahwa pengharaman dan penghalalan terletak pada penciptaan taring.” Dia berkata, “Lalu di mana?” Aku menjawab, “Pada maknanya, bukan penciptaannya. Tanyakan tentang taring yang menjadi puncak ilmu ‘setiap yang bertaring’.” Dia berkata, “Sebutkan engkau.” Aku berkata, “Semua binatang yang menyerang manusia dengan kekuatan dan kekerasan menggunakan taringnya, bukan yang tidak menyerang.” Dia berkata, “Apakah ada yang tidak menyerang manusia dengan kekerasan, berbeda dengan yang lainnya?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Sebutkan yang menyerang.” Aku berkata, “Singa, macan, dan serigala.” Dia berkata, “Sebutkan yang tidak menyerang manusia dengan kekerasan.” Aku menjawab, “Seperti dubuk, rubah, dan sejenisnya.” Dia berkata, “Tidak ada makna lain selain yang engkau sebutkan?” Aku berkata, “Ini adalah makna kedua, meskipun semuanya diciptakan memiliki taring.”
(Ash-Shafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Aku akan menambah penjelasannya.” Dia berkata, “Aku tidak butuh tambahan setelah penjelasanmu. Jarang sesuatu bisa dijelaskan sejelas ini.” Aku berkata, “Aku akan memperjelasnya untukmu dan orang lain yang belum memahaminya seperti yang engkau pahami, atau agar mereka memahaminya sehingga tidak berpaling ke pendapat lain.” Dia berkata, “Jelaskanlah.”
[Daging Hyena]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Sufyan dan Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Ubaidillah bin Umair.
(Imam Syafi’i) berkata: Daging hyena dijual di sekitar kita di Mekah antara Safa dan Marwah. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabat kami tentang kehalalannya. Dalam pertanyaan Ibnu Abi Ammar kepada Jabir, “Apakah hyena termasuk hewan buruan?” Jabir menjawab, “Ya.” Lalu ditanya lagi, “Bolehkah dimakan?” Jawabnya, “Ya.” Kemudian ditanya, “Apakah engkau mendengarnya langsung dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam?” Jabir menjawab, “Ya.” Ini adalah dalil bahwa hewan buruan yang dilarang Allah bagi orang yang berihram untuk membunuhnya adalah hewan yang halal dimakan. Mereka memburu hewan untuk dimakan, bukan untuk main-main. Dalil serupa terdapat dalam hadits Ali – radhiyallahu ‘anhu – dan contoh lainnya dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah – azza wa jalla -: “Maka makanlah dari apa yang disebut nama Allah atasnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’am: 118). Maksudnya adalah apa yang dihalalkan Allah untuk dimakan. Sebab, jika seseorang menyembelih hewan yang haram lalu menyebut nama Allah, sembelihan itu tetap tidak halal. Hadits Jabir dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang hyena menjadi dalil bagi pendapat kami bahwa hewan buas yang bertaring itu haram kecuali yang tidak menyerang manusia dengan ganas. Jika hyena halal dimakan padahal ia termasuk hewan buas, tetapi tidak menyerang manusia secara ganas—meskipun lebih berbahaya bagi ternak dibanding hewan buas lainnya—maka dihalalkan karena tidak menyerang manusia secara ganas. Ini juga menunjukkan kehalalan hewan yang biasa dimakan bangsa Arab selama tidak ada nash yang melarangnya, serta keharaman hewan yang mereka hindari karena ganas. Sebab, sejak dulu hingga sekarang, bangsa Arab memakan hyena dan menghindari singa, macan, dan serigala karena dianggap najis. Dengan demikian, Sunnah sejalan dengan apa yang mereka halalkan dan haramkan berdasarkan Kitabullah. Wallahu a’lam. Ini juga menunjukkan bahwa orang yang berihram hanya boleh membayar denda (fidyah) untuk hewan buruan yang halal dimakan, bukan yang haram. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan untuk membunuh anjing galak saat ihram, padahal ia menyerang manusia. Beliau tidak akan memerintahkan membunuh hewan yang tidak boleh dibunuh jika pemiliknya harus menanggung denda. Ini membuktikan bahwa hewan buruan yang haram dibunuh saat ihram adalah yang halal dimakan, sebagaimana hadits Jabir bin Abdullah dan penjelasan sebelumnya. Tidak masalah memakan hewan buas darat yang tidak menyerang manusia, seperti rubah dan lainnya, dengan mengqiyaskannya pada hyena. Adapun hewan darat selain hewan buas, semuanya halal dimakan berdasarkan dua makna: (1) jika termasuk hewan buas tetapi tidak menyerang, maka halal dimakan; (2) jika bukan hewan buas dan biasa dimakan bangsa Arab tanpa darurat, maka halal karena termasuk dalam makna ayat dan bukan termasuk yang dianggap kotor oleh mereka. Sedangkan yang mereka tinggalkan karena dianggap haram, berarti dagingnya kotor dan tidak boleh dimakan sama sekali. Setiap hewan yang diperintahkan untuk dimakan, jika dibunuh oleh orang yang berihram, maka wajib membayar denda. Seperti hyena, semua hewan buas bertaring dari hewan darat atau lainnya, selama bangsa Arab biasa memakannya, maka halal—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
[Yang Halal dan Haram dari Burung]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Asal hukum halal dan haramnya burung ada dua sisi: Pertama, burung yang Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – izinkan untuk dibunuh oleh orang yang berihram, meskipun tidak dimakan, karena ia keluar dari makna hewan buruan yang diharamkan bagi orang yang berihram.
Orang yang sedang berihram membunuhnya untuk memakannya. Ilmu hampir mencakup bahwa yang diharamkan bagi orang yang berihram adalah berburu hewan yang sebelumnya halal baginya sebelum berihram. Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membolehkan membunuh sebagian hewan buruan, itu menunjukkan bahwa haram memakannya, karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Tidak halal membunuh apa yang dihalalkan oleh Allah Azza wa Jalla.” Burung hering dan gagak termasuk yang dihalalkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk dibunuh oleh orang yang berihram. Maka, burung yang serupa maknanya dengan keduanya termasuk dalam kategori yang tidak boleh dimakan dagingnya, sebagaimana tidak boleh memakan daging keduanya, karena ia serupa dalam makna, dan karena keduanya juga termasuk yang tidak dimakan oleh orang Arab. Contohnya adalah hewan buas dan burung yang membahayakan, seperti elang, burung nasar, alap-alap, rajawali, falcon, dan sejenisnya, selama ia mengambil burung merpati milik orang atau burung lainnya. Semua burung yang termasuk dalam makna ini tidak boleh dimakan karena dua alasan yang telah disebutkan, yaitu karena serupa dengan burung hering dan gagak, serta termasuk dalam makna yang tidak dimakan oleh orang Arab. Adapun burung yang tidak sampai mengambil harta manusia, dan orang Arab tidak mengharamkannya karena dianggap kotor, maka semuanya halal untuk dimakan. Berdasarkan ini, seluruh bab ini dan analoginya dapat dipahami.
Jika ada yang berkata, “Kami melihat engkau membedakan antara hewan buas yang memiliki taring, seperti dubuk dan rubah, engkau menghalalkan memakannya, padahal keduanya lebih banyak merugikan harta manusia dibanding burung yang engkau haramkan.” Aku jawab, meskipun aku mengharamkannya, bukan hanya karena bahayanya saja aku mengharamkannya, dan bukan karena rubah dan dubuk tidak berbahaya aku menghalalkannya. Aku menghalalkannya berdasarkan sunnah, yaitu ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring, itu menunjukkan bahwa beliau membolehkan hewan buas yang tidak bertaring, dan beliau secara teks membolehkan dubuk, serta orang Arab sejak dulu memakannya, termasuk rubah. Mereka tidak memakan serigala, macan, dan singa. Orang Arab juga tidak pernah memakan burung nasar, alap-alap, rajawali, falcon, gagak, dan burung hering meskipun berbahaya, serta tidak memakan burung yang tidak berbahaya, sehingga aku tidak membolehkannya, seperti burung pemakan bangkai dan burung unta. Keduanya tidak berbahaya, tetapi tidak boleh dimakan karena termasuk yang kotor dan bukan dari yang baik. Aku juga mengatakan hal serupa tentang cacing, aku tidak membolehkan memakan kadal kecil, kadal besar, atau kumbang, meskipun tidak berbahaya, tetapi orang Arab tidak memakannya, sehingga termasuk dalam makna yang kotor dan bukan dari yang baik menurut mereka.
[Mengonsumsi Dhab (kadal gurun)]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak mengapa memakan dhab, baik kecil maupun besar. Jika ada yang berkata, “Telah diriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ditanya tentang dhab, beliau menjawab, ‘Aku tidak memakannya, tetapi aku tidak mengharamkannya.'” Dikatakan kepadanya, insya Allah, tidak ada riwayat lain dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang dhab selain ini, dan kebolehan memakannya di hadapannya telah tetap. Jika ada yang bertanya, “Di mana dalilnya?” Dijawab, ketika beliau bersabda, “Aku tidak memakannya, tetapi aku tidak mengharamkannya,” itu menunjukkan bahwa beliau meninggalkannya bukan karena keharaman. Jika bukan karena keharaman, berarti beliau meninggalkan sesuatu yang halal karena tidak menyukainya. Seandainya beliau tidak menyukai roti, daging, kurma, atau lainnya, itu hanyalah selera, bukan mengharamkan apa yang tidak beliau sukai.
Sebagian orang berkata kepadaku, “Bagaimana jika ucapan ini diucapkan oleh selain Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, apakah mengandung makna selain yang engkau klaim dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -?” Aku menjawab, “Ya, itu jelas dan tidak mengandung makna lain.” Dia berkata, “Jika engkau katakan bahwa selain Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak ma’shum?” Aku jawab, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak mengeluarkannya dari kehalalan, sehingga tidak boleh ditanya tentang kehalalan atau keharaman kecuali beliau menghalalkan atau mengharamkannya. Tidak demikian halnya dengan orang setelah beliau, baik yang berilmu maupun yang bodoh, yang ragu atau yang menjawab, karena jawaban mereka tidak setara dengan jawaban Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.” Dia bertanya, “Lalu apa…”
Makna yang Anda sebutkan telah menjelaskan hadis ini dibandingkan yang lain? Saya berkata: “Seekor dhab (biawak padang pasir) didekatkan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu beliau menolak untuk memakannya. Maka Khalid bin Walid bertanya, ‘Apakah haram, wahai Rasulullah?’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menjawab, ‘Tidak, tetapi aku tidak menyukainya karena ia bukan makanan kaumku.’ Kemudian Khalid bin Walid mengambil dan memakannya sementara Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melihat.” Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengatakan bahwa sesuatu tidak haram, maka itu halal. Dan jika beliau membiarkan Khalid memakannya, beliau tidak akan membiarkannya memakan yang haram. Beliau telah menjelaskan bahwa meninggalkannya karena tidak menyukainya, bukan karena mengharamkannya.
[Makan Daging Kuda]
Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir yang berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberi kami makan daging kuda dan melarang kami memakan daging keledai.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari Fatimah dari Asma’ yang berkata: “Kami menyembelih kuda pada masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – lalu memakannya.”
Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abdul Karim bin Abi Umayyah yang berkata: “Aku memakan daging kuda pada masa Ibnu Zubair dan merasakannya lezat.”
(Imam Syafi’i berkata): “Semua yang termasuk dalam nama kuda, baik yang murni, campuran, atau kuda biasa, maka memakannya halal.”
[Makan Daging Keledai Jinak]
Malik mengabarkan kepada kami dari Syihab dari Abdullah dan Al-Hasan, anak-anak Muhammad bin Ali, dari ayah mereka, dari Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhum -: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang pada tahun Khaibar dari nikah mut’ah dan dari memakan daging keledai jinak.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar Sufyan meriwayatkan dari Az-Zuhri, mengabarkan kepada kami Abdullah dan Al-Hasan, anak-anak Muhammad bin Ali – dan Al-Hasan lebih aku sukai – dari Ali – radhiyallahu ‘anhu -.
(Imam Syafi’i berkata): “Dalam hadis ini terdapat dua petunjuk. Pertama, pengharaman memakan daging keledai jinak. Kedua, kebolehan memakan daging keledai liar, karena tidak ada jenis keledai selain jinak dan liar. Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengarahkan larangan kepada yang jinak, lalu menyifatkannya, maka itu menunjukkan bahwa beliau mengeluarkan yang liar dari larangan. Ini seperti larangan beliau terhadap semua binatang buas yang bertaring. Beliau mengarahkan larangan pada jenis tertentu, sehingga mengharamkan yang dilarang dan menghalalkan yang tidak termasuk dalam sifat tersebut. Selain itu, telah datang dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kebolehan memakan keledai liar, seperti ketika beliau memerintahkan Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – untuk membagikan daging keledai liar yang dibunuh Abu Qatadah kepada rombongan. Juga hadis Thalhah bahwa mereka makan bersama beliau daging keledai liar.”
(Imam Syafi’i berkata): “Sifat keledai jinak berbeda dengan keledai liar, perbedaan yang diketahui oleh orang yang berpengalaman. Jika keledai jinak menjadi liar, ia tidak halal dimakan karena tetap pada hukum asal keharaman. Jika keledai liar menjadi jinak, ia tidak haram dimakan karena tetap pada hukum asal kebolehan. Namun, orang yang sedang ihram tidak boleh menyembelihnya meskipun telah jinak. Jika keledai jinak kawin dengan kuda betina atau kuda jantan kawin dengan keledai betina jinak, maka anaknya tidak halal dimakan. Aku tidak melihat mana yang lebih dominan, karena anak itu berasal dari keduanya, sehingga tidak halal kecuali jika daging kedua induknya halal. Semua yang diketahui ada unsur keledai jinak dari pihak ayah atau ibu, maka tidak halal dimakan dalam keadaan apa pun, termasuk keturunannya. Jika keledai liar kawin dengan kuda betina atau kuda jantan kawin dengan keledai betina liar, maka anaknya halal dimakan karena kedua induknya halal. Demikian juga jika burung gagak atau elang jantan membuahi burung hubara, atau burung hubara jantan atau burung yang halal dagingnya membuahi gagak atau elang.”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Burung elang atau sapi jantan yang bertelur dan menetaskan anak. Anaknya tidak halal dimakan karena perkawinan campur antara yang haram dan halal. Tidakkah kamu melihat jika khamr bercampur dengan susu, atau lemak babi dengan samin, atau yang haram dengan halal sehingga tidak bisa dipisahkan, maka haram untuk dimakan. Jika ada hewan buruan atau telur buruan yang bentuknya meragukan sehingga tidak diketahui apakah salah satu induknya haram dimakan sedangkan yang lain halal, maka lebih baik dihindari. Sebaiknya dilihat bentuknya, mana yang lebih dominan, maka hukumnya mengikuti yang dominan. Jika yang halal lebih dominan, boleh dimakan. Jika yang haram lebih dominan, jangan dimakan. Contohnya seperti keledai jinak mengawini keledai betina liar atau sebaliknya. Jika keledai liar mengawini kuda betina atau kuda mengawini keledai betina liar, tidak masalah dimakan karena keduanya halal. Jika hewan itu menjadi liar dan diburu, maka dimakan sebagaimana hewan buruan lainnya. Begitu pula anak-anaknya, telur, dan piyiknya, sama hukumnya. Hewan buruan yang halal dimakan jika dibunuh oleh orang yang sedang ihram, wajib denda. Demikian pula telurnya. Jika hewan buruan yang haram dimakan atau telurnya dibunuh, tidak ada denda. Jika serigala mengawini dubuk dan melahirkan anak, maka anaknya tidak mirip sepenuhnya dengan induknya atau serigala, disebut as-sabu’, tidak halal dimakan karena percampuran haram dan halal yang tidak bisa dibedakan.
[Yang dihalalkan dalam keadaan darurat]
(Asy-Syafi’i berkata): Allah berfirman tentang yang diharamkan tetapi tidak dihalalkan dengan penyembelihan: “Mengapa kamu tidak mau memakan (hewan) yang disebut nama Allah ketika disembelih, padahal Dia telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa?” (QS. Al-An’am: 119). Dan firman-Nya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Baqarah: 173) hingga “…Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173). Dan tentang yang diharamkan: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 3). (Asy-Syafi’i berkata): Maka dihalalkan bagi orang yang terpaksa memakan bangkai, darah, daging babi, dan segala yang haram termasuk khamr selama tidak memabukkan. Orang yang terpaksa adalah seseorang yang berada di tempat tanpa makanan atau sesuatu yang bisa menahan lapar seperti susu atau semisalnya, dan kelaparan itu mencapai tingkat yang dikhawatirkan menyebabkan kematian, sakit, kelemahan, atau bahaya. Termasuk jika seseorang sedang berjalan lalu lemah untuk mencapai tujuannya, atau berkendara lalu lemah untuk mengendalikan kendaraannya, atau situasi darurat lainnya. Dalam kondisi seperti ini, dia boleh memakannya. Begitu pula minum dari yang haram selama tidak memabukkan, seperti air yang terkena bangkai atau semisalnya. Lebih baik jika dia makan atau minum secukupnya untuk menghilangkan rasa takut dan mendapatkan sedikit kekuatan, meskipun tidak sampai kenyang. Karena keharaman telah hilang akibat darurat. Namun jika sudah kenyang atau puas, tidak boleh berlebihan karena itu mendekati bahaya. Siapa yang sudah kenyang berarti telah keluar dari batas darurat, begitu pula dengan minum. Tidak masalah membawa bangkai sebagai bekal jika darurat, tetapi jika sudah menemukan yang halal, harus dibuang. Jika dia membawa bangkai lalu bertemu orang lain yang membutuhkan dan ingin membelinya, tidak boleh menjualnya karena yang dihalalkan hanya untuk menghilangkan bahaya, bukan untuk diperjualbelikan. Jika dalam keadaan darurat dan menemukan makanan yang tidak diizinkan untuknya, tidak boleh dimakan, tetapi boleh memakan yang diizinkan dalam keadaan darurat.
Bangkai, meskipun dalam keadaan terpaksa, dan ia memiliki sesuatu yang dapat dibelikan untuk mendapatkan yang halal, jika ia menjualnya dengan harga yang sesuai di tempatnya atau dengan harga yang biasa ditawar oleh orang-orang, maka ia tidak boleh memakan bangkai. Namun, jika ia hanya bisa menjualnya dengan harga yang tidak biasa ditawar orang, maka ia boleh memakan bangkai. Namun, lebih baik ia menaikkan harganya dan meninggalkan bangkai. Dalam keadaan apa pun, ia tidak boleh memaksa seseorang untuk mengambil makanan atau minumannya sementara ia memiliki sesuatu yang bisa menggantikannya, seperti minuman yang mengandung bangkai atau bangkai itu sendiri. Jika ia terpaksa dan tidak menemukan bangkai atau minuman yang mengandung bangkai, sementara orang lain memiliki sesuatu, maka ia boleh memaksanya, dan orang tersebut wajib memberikannya. Jika ia memaksa, ia harus memberikan harga yang penuh. Namun, jika mengambil sesuatu dikhawatirkan akan membahayakan pemilik harta, maka ia tidak boleh memaksanya.
Jika seseorang dalam keadaan ihram terpaksa memakan bangkai atau hasil buruan, maka ia boleh memakan bangkai dan meninggalkan hasil buruan. Jika ia memakan hasil buruan, maka ia harus membayar denda jika dialah yang memburunya. Jika ia terpaksa dan menemukan seseorang yang memberinya makan atau minum, maka ia tidak boleh menolak untuk makan atau minum. Jika ia menemukan makanan atau minuman, maka keadaan daruratnya telah hilang, kecuali dalam satu kondisi: jika ia khawatir bahwa makanan atau minuman tersebut mengandung racun yang dapat membunuhnya, maka ia boleh meninggalkannya.
Jika seseorang sakit dan menemukan makanan atau minuman yang ia ketahui dapat membahayakan atau memperparah penyakitnya, maka ia boleh meninggalkannya dan memakan bangkai atau meminum air yang mengandung bangkai. Ada pendapat yang menyatakan bahwa keadaan darurat juga mencakup ketika seseorang sakit dan para ahli ilmu atau ia sendiri mengetahui bahwa penyakitnya sulit sembuh kecuali dengan memakan atau meminum sesuatu tertentu, atau dikatakan kepadanya bahwa cara tercepat untuk sembuh adalah dengan memakan atau meminum sesuatu tertentu. Dalam kondisi ini, ia boleh memakan atau meminumnya, selama bukan khamr (minuman memabukkan) yang dapat membuatnya mabuk, atau sesuatu yang menghilangkan akal dari hal-hal yang haram atau lainnya, karena menghilangkan akal adalah haram.
Sebagian ulama berpendapat: “Nabi ﷺ memerintahkan orang Badui untuk meminum susu dan air kencing unta, padahal penyakit bisa sembuh tanpa keduanya.” Namun, yang lebih dekat adalah bahwa hal itu dapat menyembuhkan orang Badui karena sesuai dengan kondisi tubuh mereka. Semua air kencing adalah haram karena najis, dan tidak boleh meminum khamr karena dapat menyebabkan haus dan lapar, juga tidak boleh untuk pengobatan karena dapat menghilangkan akal. Hilangnya akal menghalangi kewajiban dan dapat mendorong kepada perbuatan haram. Demikian juga hal-hal lain yang menghilangkan akal.
Siapa yang bepergian lalu mengalami keadaan darurat seperti kelaparan atau kehausan, dan perjalanannya bukan untuk maksiat kepada Allah ﷻ, maka halal baginya apa yang diharamkan sebagaimana yang kami jelaskan, insya Allah. Namun, jika seseorang bepergian untuk maksiat, maka tidak halal baginya sesuatu yang diharamkan Allah ﷻ dalam keadaan apa pun, karena Allah hanya menghalalkan yang haram dalam keadaan darurat dengan syarat orang yang terpaksa bukan orang yang melampaui batas atau berbuat dosa.
Jika seseorang bepergian untuk maksiat, lalu bertaubat dan setelah taubatnya ia mengalami keadaan darurat, maka aku berharap ia boleh memakan atau meminum yang haram. Namun, jika ia bepergian bukan untuk maksiat, lalu berniat maksiat, kemudian mengalami keadaan darurat dengan niat maksiat tersebut, maka aku khawatir ia tidak boleh memakan yang haram, karena aku melihat niatnya saat keadaan darurat, bukan sebelum atau sesudahnya.
[Bab Nadzar yang Kafaratnya Seperti Kafarat Sumpah]
Bab Nadzar yang Kafaratnya Seperti Kafarat Sumpah (Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala-): Barangsiapa yang mengatakan, “Atas saya nadzar,” tanpa menyebut sesuatu tertentu, maka tidak ada nadzar dan tidak ada kafarat. Karena makna nadzar adalah “atas saya untuk berbuat kebajikan,” bukan bermakna “saya berdosa” atau “saya bersumpah,” sehingga tidak ada konsekuensinya. Jika dia berniat dengan nadzar tersebut untuk sesuatu yang termasuk ketaatan kepada Allah, maka itulah yang dia niatkan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Kami berpendapat tentang orang yang mengatakan, “Atas saya nadzar, jika saya berbicara dengan si fulan,” atau “Atas saya nadzar untuk berbicara dengan si fulan,” dengan maksud untuk memboikotnya, maka dia wajib membayar kafarat sumpah. Namun, jika dia mengatakan, “Atas saya nadzar untuk memboikotnya,” dengan maksud nadzar untuk boikot itu sendiri, bukan bermakna apakah dia akan memboikot atau tidak, maka tidak ada kafarat atasnya, dan hendaknya dia berbicara dengannya karena nadzar tersebut dalam kemaksiatan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Barangsiapa yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan si fulan atau tidak menyambung silaturahmi dengannya, maka inilah yang disebut “melanggar sumpah lebih baik bagimu daripada menepatinya.” Bayarlah kafarat dan langgarlah sumpahmu, karena dengan memboikotnya, kamu bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan keutamaan dalam menyambung hubungan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Hendaknya dia melakukan yang lebih baik dan membayar kafarat sumpahnya.” Demikian pula setiap kemaksiatan yang dijadikan sumpah, kami perintahkan untuk meninggalkan kemaksiatan itu, melanggar sumpah, dan melakukan ketaatan. Jika dia bersumpah untuk suatu kebaikan, kami perintahkan untuk menepatinya dan tidak melanggarnya, seperti ucapannya, “Demi Allah, saya akan berpuasa hari ini,” atau “Demi Allah, saya akan shalat sekian rakaat sunnah.” Kami katakan padanya: “Tepati sumpahmu dan taatilah Tuhanmu.” Jika tidak dilakukan, dia melanggar sumpah dan wajib membayar kafarat.
Prinsip yang kami pegang adalah bahwa nadzar bukanlah sumpah. Barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla, hendaknya dia menaati-Nya. Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah dia bermaksiat dan tidak ada kafarat baginya.
[Orang yang Menjadikan Sebagian Hartanya sebagai Sedekah atau di Jalan Allah]
(Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-): Jika seseorang bersumpah dalam hal apa pun selain memerdekakan budak atau talak, seperti ucapannya, “Harta saya ini di jalan Allah,” atau “Rumah saya ini di jalan Allah,” atau selain itu dari harta yang dia miliki sebagai sedekah atau di jalan Allah, jika itu—
Makna sumpah menurut pendapat Atha’ adalah bahwa hal itu cukup baginya untuk menebus sumpah tersebut dengan kafarat sumpah. Barangsiapa yang berpendapat demikian, maka pendapatnya berlaku untuk semua pelanggaran sumpah kecuali dalam kasus memerdekakan budak atau talak. Ini adalah pendapat Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, qiyas, dan pendapat beberapa sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Wallahu a’lam. Ada juga yang berpendapat bahwa ia harus bersedekah dengan seluruh hartanya, tetapi ia boleh menyisihkan secukupnya untuk kebutuhan hidupnya. Jika kemudian ia mampu, ia harus bersedekah dengan apa yang disisihkannya itu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia cukup bersedekah dengan sepertiga hartanya, sementara yang lain berpendapat cukup dengan zakat hartanya. Sama saja apakah ia menyebutnya sedekah atau “fi sabilillah”, selama sesuai dengan makna sumpah.
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa bersumpah untuk bersedekah dengan hartanya lalu melanggarnya, jika ia bermaksud sumpah, maka cukup dengan kafarat sumpah. Namun jika ia bermaksud sebagai nadzar berbakti, seperti mengatakan, “Atas nama Allah, aku akan bersedekah dengan seluruh hartaku,” maka ia wajib menunaikannya seluruhnya. Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia menaatinya.”
[Pasal Nadzar Taat]
Tidak ada dalam terjemahan, tetapi termasuk di dalamnya adalah nadzar untuk berjalan ke Baitullah. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa bernazar taat untuk berjalan ke Baitullah Haram, maka ia wajib berjalan jika mampu. Jika tidak mampu, ia boleh berkendara tetapi harus menyembelih hewan sebagai kehati-hatian karena ia tidak menunaikan sesuai yang dinazarkannya. Secara qiyas, seharusnya tidak ada kewajiban menyembelih hewan, karena jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu, maka gugur kewajibannya, seperti tidak mampu berdiri dalam shalat maka boleh duduk, atau tidak mampu duduk maka boleh berbaring. Perbedaan antara haji, umrah, dan shalat adalah bahwa orang-orang telah mengatur urusan haji dengan puasa, sedekah, dan kurban, tetapi tidak demikian dengan shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak seorang pun boleh berjalan ke Baitullah kecuali untuk haji atau umrah, kecuali dalam keadaan rendah diri. (Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i juga memiliki pendapat lain bahwa jika seseorang bersumpah untuk berjalan ke Baitullah Haram lalu melanggarnya, maka cukup dengan kafarat sumpah jika ia bermaksud sumpah. (Ar-Rabi’ berkata): Aku mendengar Imam Syafi’i memberi fatwa demikian kepada seseorang, lalu orang itu bertanya, “Ini pendapatmu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Ini pendapat orang yang lebih baik dariku.” Orang itu bertanya, “Siapa?” Beliau menjawab, “Atha’ bin Abi Rabah.”
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa bersumpah untuk berjalan ke Baitullah, maka ada dua pendapat. Salah satunya adalah pendapat yang masuk akal dari Atha’, bahwa setiap orang yang bersumpah dengan sesuatu yang termasuk ibadah, seperti puasa, haji, atau umrah, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah jika ia melanggarnya, dan tidak wajib haji, umrah, atau puasa. Pendapat Atha’ adalah bahwa amal kebaikan untuk Allah hanya bisa dilakukan dengan kewajiban yang ditetapkan Allah atau sebagai bentuk taat yang ditujukan untuk-Nya. Adapun hal-hal yang dianggap tinggi seperti iman, tidak termasuk taat, karena taat hanya dilakukan untuk hal-hal yang tidak tinggi. Selain Atha’, ada juga yang berpendapat bahwa ia wajib berjalan sebagaimana jika ia bernazar taat.
(Imam Syafi’i berkata): Nadzar taat adalah ketika seseorang mengatakan, “Atas nama Allah, jika Allah menyembuhkan fulan atau memulangkan fulan dari perjalanannya atau melunasi hutangku atau terjadi demikian, maka aku akan berhaji sebagai nazar.” Ini adalah nadzar taat. Adapun jika ia mengatakan, “Jika aku tidak membayar hakmu, maka aku wajib berjalan ke Baitullah,” ini termasuk makna sumpah, bukan nadzar. Dasar pendapat Atha’ dalam makna nadzar adalah bahwa jika seseorang bernazar untuk maksiat kepada Allah, maka ia tidak wajib menunaikannya dan tidak ada kafarat. Ini sesuai dengan sunnah, seperti sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia menaatinya. Dan barangsiapa bernazar untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah ia memaksiati-Nya.”
(Diriwayatkan oleh Sufyan dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Muhallab dari Imran bin Hushain) bahwa Bani ‘Aqil…
Sekutu bagi Tsaqif di masa Jahiliyah. Ketika itu, Tsaqif telah menangkap dua orang Muslim. Kemudian, kaum Muslim menangkap seorang lelaki dari Bani ‘Aqil beserta untanya. Untanya itu pernah memenangi perlombaan di antara jamaah haji di masa Jahiliyah beberapa kali. Jika seekor unta memenangi perlombaan di masa Jahiliyah, ia tidak dilarang merumput di mana pun atau minum dari kolam mana pun.
(Asy-Syafi’i berkata): Lalu lelaki itu dibawa kepada Nabi ﷺ. Dia berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau menangkapku dan menangkap untaku yang pernah memenangi perlombaan haji?” Nabi ﷺ menjawab, “Karena kejahatan sekutumu, Tsaqif.”
(Asy-Syafi’i berkata): Lelaki itu ditahan di tempat yang biasa dilalui Nabi ﷺ. Suatu ketika, Rasulullah ﷺ melewatinya, dan lelaki itu berkata, “Wahai Muhammad, aku telah masuk Islam.” Nabi ﷺ bersabda, “Seandainya kau mengucapkannya saat kau masih berkuasa, niscaya kau benar-benar beruntung.”
Kemudian, Nabi ﷺ melewatinya lagi, dan lelaki itu berkata, “Wahai Muhammad, aku lapar, berilah aku makan. Aku haus, berilah aku minum.” Nabi ﷺ bersabda, “Itulah yang kau butuhkan.”
Setelah itu, Nabi ﷺ memutuskan untuk menukarnya dengan dua orang Muslim yang ditawan Tsaqif, sementara unta itu tetap ditahan.
Kemudian, musuh menyerang Madinah dan merampas ternak Nabi ﷺ. Di antara ternak itu, mereka menemukan unta tersebut. Saat itu, ada seorang wanita Muslimah yang juga ditawan. Setiap petang, mereka menggiring ternak. Suatu malam, wanita itu mendatangi ternak-ternak itu. Setiap kali ia mendekati seekor unta, unta itu menguak, hingga akhirnya ia mendatangi unta tersebut, dan unta itu tidak menguak. Wanita itu menaikinya dan berhasil melarikan diri.
Ketika tiba di Madinah, orang-orang berkata, “Al-‘Adhba’! Al-‘Adhba’!” (nama unta itu). Wanita itu berkata, “Aku bernazar jika Allah menyelamatkanku dengan unta ini, aku akan menyembelihnya.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Betapa buruk balasanmu! Tidak ada pemenuhan nazar dalam maksiat kepada Allah atau dalam hal yang tidak dimiliki manusia.”
(Asy-Syafi’i berkata): Nabi ﷺ mengambil untanya dan tidak memerintahkannya untuk menyembelih pengganti atau menyembelihnya sendiri, juga tidak memerintahkan kafarat.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula pendapat kami. Barangsiapa bernazar untuk menyembelih harta orang lain sebagai bentuk taqarrub, maka nazar itu tidak sah karena ia tidak memiliki hak atasnya. Nazarnya gugur, sebagaimana nazar seseorang yang bernazar melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan—nazarnya gugur karena ia tidak memiliki kuasa atasnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang bernazar untuk berhaji dengan berjalan kaki, ia harus berjalan hingga tahallul (boleh berhubungan dengan istri), kemudian boleh berkendara setelahnya. Itulah kesempurnaan hajinya. Jika ia bernazar umrah dengan berjalan kaki, ia harus berjalan hingga thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta mencukur atau memendekkan rambut. Itulah kesempurnaan umrahnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang bernazar haji dengan berjalan kaki, lalu ia berjalan tetapi tertinggal haji, ia tetap thawaf dan sa’i dengan berjalan kaki, lalu bertahallul. Ia wajib menunaikan haji tahun depan dengan berjalan kaki, sebagaimana kewajiban haji tahun depan jika ia tertinggal haji. Tidakkah engkau melihat bahwa hukumnya sama, baik ia berhaji sunnah, bernazar, atau menunaikan haji fardhu dan umrah? Haji ini tidak menggugurkan kewajiban haji atau umrah. Jika hajinya tidak sah dan tidak menggugurkan kewajiban, bagaimana mungkin berjalan kaki—yang hanya merupakan bentuk pelaksanaan haji dan umrah—bisa dianggap sah?
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang bernazar untuk berhaji atau umrah tetapi belum menunaikannya, dan ia bernazar untuk melakukannya dengan berjalan kaki, ia tidak wajib berjalan kaki karena itu adalah haji fardhu dan umrahnya. Jika ia berjalan kaki, itu dianggap sebagai haji fardhu dan umrahnya. Ia tetap wajib berhaji dan umrah dengan berjalan kaki, karena ibadah pertama yang harus dilakukan seseorang jika belum berhaji atau umrah adalah haji fardhu. Meskipun ia tidak berniat haji fardhu, melainkan nazar, haji untuk orang lain, atau haji sunnah, semuanya tetap dianggap haji fardhu.
Dan dia telah membangunnya, dan dia harus kembali untuk memenuhi nazarnya dengan berjalan kaki atau tidak berjalan kaki. (Berkata Ar-Rabi’): Ini berlaku jika berjalan kaki tidak membahayakan orang yang melakukannya. Jika berjalan kaki membahayakannya, maka dia boleh berkendaraan dan tidak ada kewajiban atasnya, sebagaimana Nabi ﷺ memerintahkan Abu Israil untuk menyempurnakan puasanya dan menghindari matahari. Beliau memerintahkan apa yang mengandung kebaikan dan tidak membahayakannya, serta melarangnya menyiksa diri karena Allah tidak membutuhkan penyiksaan diri. Demikian pula orang yang berjalan kaki jika hal itu menyiksanya dan membahayakannya, dia boleh meninggalkannya dan tidak ada kewajiban atasnya.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang berkata, “Jika Allah menyembuhkan fulan, maka aku wajib berjalan kaki untuk Allah,” maka dia tidak wajib berjalan kaki sampai dia meniatkan sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan. Jika dia tidak meniatkan sesuatu, maka tidak ada kewajiban atasnya karena berjalan kaki ke tempat yang tidak mengandung kebaikan bukanlah suatu kebaikan.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang bernazar dengan mengatakan, “Aku wajib berjalan kaki ke Afrika, Irak, atau negeri lainnya,” maka tidak ada kewajiban atasnya karena tidak ada ketaatan kepada Allah dalam berjalan kaki ke negeri-negeri tersebut. Berjalan kaki hanya diwajibkan ke tempat-tempat yang diharapkan mengandung kebaikan, yaitu Masjidil Haram. Aku lebih suka jika seseorang bernazar untuk berjalan kaki ke Masjid Madinah atau Masjid Baitul Maqdis karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Baitul Maqdis.” Namun, tidak jelas bagiku untuk mewajibkan berjalan kaki ke Masjid Nabi ﷺ dan Masjid Baitul Maqdis sebagaimana jelas bagiku untuk mewajibkan berjalan kaki ke Baitullah Haram. Sebab, kebaikan dengan mengunjungi Baitullah adalah wajib, sedangkan kebaikan dengan mengunjungi dua masjid lainnya adalah sunnah. Jika seseorang bernazar untuk berjalan kaki ke “rumah Allah” tanpa niat tertentu, maka yang utama adalah berjalan kaki ke Baitullah Haram, tetapi itu tidak wajib kecuali jika dia meniatkannya. Karena masjid-masjid adalah rumah Allah, jika dia bernazar untuk berjalan kaki ke masjid suatu kota, dia tidak wajib melakukannya. Namun, jika dia bernazar untuk suatu kebaikan, kami perintahkan untuk memenuhinya tanpa dipaksa.
Ini berbeda dengan hak manusia atas manusia lainnya. Ini adalah amal antara dia dan Allah Yang Maha Kuasa, yang tidak mengikat kecuali jika dia mewajibkannya atas dirinya sendiri. Jika seseorang bernazar untuk menyembelih hewan di Mekah, maka tidak sah kecuali disembelih di Mekah karena menyembelih di Mekah adalah kebaikan. Jika dia bernazar untuk menyembelih di tempat lain untuk bersedekah, maka tidak sah kecuali disembelih di tempat yang dia nazarkan untuk bersedekah. Aku mewajibkannya meskipun menyembelih di luar Mekah bukanlah kebaikan, karena dia bernazar untuk bersedekah kepada orang miskin di negeri tersebut. Jika dia bernazar untuk bersedekah kepada orang miskin suatu negeri, maka dia wajib bersedekah kepada mereka.
Dalam terjemahan tentang hadyu (hewan kurban) yang disebutkan dalam terjemahan ringkas haji pertengahan, terdapat teks-teks terkait hadyu yang dinazarkan. Di antaranya adalah perkataan Asy-Syafi’i rahimahullah: Hadyu terdiri dari unta, sapi, dan kambing. Baik unta Baktria atau Arab, sapi, kerbau, domba, dan kambing, semuanya sama. Siapa yang bernazar hadyu dan menyebutkan sesuatu, maka dia wajib memberikan apa yang disebutkannya, baik kecil maupun besar. Siapa yang tidak menyebutkan sesuatu, maka dia wajib memberikan hadyu yang bukan sebagai tebusan dari perburuan, sehingga harus sepadan. Tidak sah baginya dari unta, sapi, atau kambing kecuali yang berumur dua tahun ke atas, dan boleh jantan atau betina. Untuk domba, cukup yang berumut satu tahun. Tempat yang wajib baginya adalah tanah haram, tidak ada tempat lain untuk hadyu kecuali jika seseorang menyebutkan suatu tempat di bumi untuk menyembelih hadyu di sana, atau seseorang terhalang oleh musuh sehingga menyembelih di tempat terhalangnya. Tidak ada hadyu kecuali di tanah haram, tidak di tempat lain. Di sini disebutkan tentang tanda kalung dan tanda pada hewan, yang telah dijelaskan sebelumnya dalam bab hadyu di akhir haji, terkait hadyu nazar dan sunnah.
(Berkata): Jika seseorang membawa…
Hadyu, maka tidak boleh dinaikinya kecuali dalam keadaan darurat. Jika terpaksa, dia boleh menaikinya dengan cara yang tidak memberatkannya, dan boleh membawa orang yang kelelahan atau dalam keadaan darurat di atas hadyunya. Jika hadyu itu betina dan melahirkan anak, maka jika anaknya mengikutinya, dia boleh menggiringnya. Jika tidak mengikutinya, dia boleh mengangkutnya di atasnya. Dia tidak boleh meminum susunya kecuali setelah anaknya kenyang, dan juga tidak boleh memberikannya kepada orang lain. Dia boleh mengangkut anaknya. Jika dia mengangkutnya tanpa keperluan dan membuatnya kurus, dia harus membayar nilai yang mengurangi harga hewan tersebut. Demikian pula jika dia meminum susunya hingga melemahkan anaknya, dia harus membayar nilai susu yang diminumnya. Jika dia memberi kalung atau tanda dan menghadapkannya ke Ka’bah, atau menghadapkannya dengan ucapan seperti “Ini hadyuku,” maka dia tidak boleh menarik kembali atau menukarnya dengan yang lebih baik atau lebih buruk, baik hewan itu sehat atau tidak. Begitu pula jika hewan itu mati, ahli warisnya tidak boleh mewarisinya. Hadyu dinilai pada hari diwajibkannya. Jika saat itu memenuhi syarat, lalu setelah itu cacat atau pincang, atau sesuatu yang membuatnya tidak memenuhi syarat sejak awal, hal itu tidak merugikannya asalkan sampai di tempat penyembelihan. Jika pada hari diwajibkannya tidak memenuhi syarat, lalu sembuh hingga memenuhi syarat sebelum disembelih, itu tidak cukup baginya. Dia tidak boleh menahannya dan tidak wajib menggantinya kecuali jika dia rela menggantinya sambil menyembelihnya, atau asalnya memang wajib, maka tidak boleh diganti kecuali dengan yang memenuhi syarat.
(Dia berkata): Hadyu ada dua jenis: hadyu yang asalnya sunah, maka disebutkan tentang kerusakan dan pemberian makanannya seperti yang telah disebutkan dalam bab hadyu. (Dia berkata): Dan hadyu yang wajib, jika rusak sebelum sampai ke Tanah Haram, pemiliknya boleh melakukan apa saja seperti menjual, menghadiahkan, atau menahannya, tetapi dia tetap wajib menggantinya dalam segala kondisi. Jika dia menyedekahkannya di tempatnya kepada orang miskin, dia tetap wajib menggantinya karena hewan itu sudah tidak dianggap sebagai hadyu setelah rusak sebelum sampai ke tempatnya. Di sini disebutkan tentang dam tamattu’, qiran, dan lainnya seperti yang telah disebutkan dalam bab hadyu. (Dia berkata): Jika dua orang masing-masing memiliki hadyu wajib, lalu salah satu dari mereka salah menyembelih hadyu milik yang lain, kemudian menyadarinya sebelum disedekahkan, maka masing-masing mengambil hadyunya sendiri dan saling menuntut nilai perbedaan antara kedua hadyu dalam keadaan hidup atau setelah disembelih. Itu sudah cukup bagi keduanya, dan mereka menyedekahkan apa yang dijamin oleh masing-masing. Jika mereka tidak menyadarinya hingga disedekahkan, maka masing-masing menjamin nilai hadyu dalam keadaan hidup kepada yang lain, dan masing-masing wajib menggantinya. Saya tidak suka jika salah satu dari mereka menggantinya kecuali dengan harga penuh hadyunya. Jika dia tidak menemukan hadyu dengan harga yang sama, dia boleh menambah hingga bisa menggantinya dengan hadyu. Jika seseorang menyembelih hadyu lalu menghalangi orang miskin untuk mengambilnya, atau menyembelihnya di tempat terpencil tanpa memberi kesempatan kepada orang miskin hingga dagingnya membusuk, maka dia wajib menggantinya.
Penyembelihan hadyu dilakukan pada hari penyembelihan (yaumun nahr) dan semua hari Mina hingga matahari terbenam pada hari terakhir. Jika matahari telah terbenam, tidak boleh disembelih kecuali bagi yang memiliki hadyu wajib, lalu menyembelihnya dan memberikannya kepada orang miskin di Tanah Haram sebagai qadha. Penyembelihan boleh dilakukan siang atau malam, tetapi saya tidak suka penyembelihan malam karena khawatir ada kesalahan dalam penyembelihan atau tidak ada orang miskin yang hadir. Jika penyembelihan dilakukan dengan benar dan ada orang miskin yang hadir, maka itu sah. Di mana pun di Tanah Haram disembelih, asalkan diberikan kepada orang miskin di sana, itu sudah cukup meskipun disembelih di tempat yang sepi.
Unta disembelih dalam keadaan berdiri tanpa diikat, tetapi boleh mengikat salah satu kakinya jika mau. Jika disembelih dalam keadaan duduk atau bebas, itu sudah cukup. Unta disembelih (dengan cara nahr), sedangkan sapi dan kambing disembelih (dengan cara dzabh). Jika sapi atau kambing disembelih dengan cara nahr, atau unta disembelih dengan cara dzabh, itu dimakruhkan tetapi tetap sah. Siapa pun yang mampu menyembelih, baik perempuan atau laki-laki, boleh menyembelih hewan kurban. Demikian pula orang yang sah penyembelihannya, tetapi saya tidak suka jika hewan kurban disembelih oleh Yahudi atau Nasrani. Jika itu terjadi, pemiliknya tidak perlu mengulang. Saya lebih suka jika hewan kurban disembelih oleh pemiliknya atau dia hadir saat penyembelihan, karena diharapkan ampunan saat darah mengalir.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyebut nama Allah Ta’ala saat menyembelih hewan kurban, itu sudah cukup. Jika dia berkata, “Ya Allah, terimalah dariku atau terimalah dari si fulan” yang memerintahkannya untuk menyembelih, itu tidak masalah. Kemudian disebutkan tentang memakan dari hadyu sunah, seperti yang telah disebutkan dalam bab hadyu. (Dia berkata): Hadyu ada dua jenis: wajib dan sunah. Semua yang asalnya wajib bagi seseorang, dia tidak boleh menahannya dan tidak boleh memakannya sedikit pun, seperti hadyu karena merusak ihram, hadyu karena bercukur sebelum waktunya, dam karena membunuh hewan buruan, nadzar, dan tamattu’. Jika dia memakan dari hadyu wajib, dia harus bersedekah dengan nilai yang dimakannya. Kemudian disebutkan hal-hal terkait hadyu sunah yang telah dijelaskan sebelumnya.
(Dia berkata) Dan jika dia tidak meniru hewan kurbannya dan tidak menyadarinya, baik sebagai qarin atau lainnya, cukup baginya untuk membeli hewan kurban dari “Mina” atau dari “Mekah” kemudian menyembelihnya di tempatnya karena tidak ada kewajiban atas hewan kurban tersebut. Yang ada adalah kewajiban atas manusia dan ibadah untuk mereka. Ini hanyalah dari harta mereka yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mengatakan, “Budakku merdeka kecuali jika aku berubah pikiran pada saat ini atau hari ini, atau jika si fulan menghendaki agar dia tidak merdeka,” atau “Istriku tertalak kecuali jika aku menghendaki agar dia tidak tertalak pada hari ini,” atau “Jika si fulan menghendaki,” lalu dia atau orang yang disebutkan dalam pengecualian menghendaki, maka budak itu tidak merdeka dan wanita itu tidak tertalak. (Dia berkata): Jika seseorang mengatakan, “Aku akan menyembelih kambing ini sebagai nazar,” atau “Aku akan berjalan sebagai nazar,” maka dia wajib menyembelihnya dan wajib berjalan, kecuali jika dia bermaksud, “Aku akan bernazar,” atau “Aku akan menyembelihnya.” Maka itu tidak wajib baginya, karena ucapannya itu bukanlah sebuah kewajiban. Jika seseorang bernazar untuk pergi ke suatu tempat di Tanah Haram dengan berjalan kaki atau berkendara, maka dia wajib pergi ke Tanah Haram untuk haji atau umrah. Jika dia bernazar untuk pergi ke Arafah, Marwa, atau tempat dekat Tanah Haram yang bukan bagian dari Tanah Haram, tidak ada kewajiban baginya karena ini adalah nazar yang tidak dalam ketaatan. Jika seseorang bernazar untuk haji tanpa menyebut waktu, maka dia wajib haji dan berihram pada bulan-bulan haji kapan pun dia mau.
Jika dia mengatakan, “Aku bernazar untuk haji jika si fulan menghendaki,” maka tidak ada kewajiban baginya meskipun si fulan menghendaki. Nazar hanya sah jika dimaksudkan untuk Allah Yang Maha Kuasa, bukan berdasarkan keinginan selain orang yang bernazar. Jika seseorang bernazar untuk menyembelih hewan ternak, tidak sah kecuali jika dia menyembelihnya. Jika dia bernazar untuk menyembelih harta benda, tidak sah kecuali jika dia menyembelihnya atau menyedekahkannya kepada orang miskin di Tanah Haram. Jika niatnya adalah untuk mengikatnya di Ka’bah atau menjadikannya sebagai wewangian untuk Ka’bah, maka dia meletakkannya sesuai niatnya. Jika dia bernazar untuk menyembelih sesuatu yang tidak bisa dibawa, seperti tanah atau rumah, dia boleh menjualnya dan menyembelih dengan hasil penjualannya. Orang yang bernazar sedekah dengan itu, mengikatnya di Ka’bah, atau memberinya wewangian, atau menunjuk orang kepercayaan untuk melakukannya. Jika seseorang bernazar untuk menyembelih unta, tidak sah kecuali unta berumur dua tahun atau lebih, baik jantan, betina, atau yang dikebiri. Yang lebih mahal lebih disukai. Jika tidak menemukan unta, dia boleh menyembelih sapi berumur dua tahun atau lebih. Jika tidak menemukan sapi, dia boleh menyembelih tujuh ekor kambing berumur dua tahun atau lebih jika kambing, atau satu tahun atau lebih jika domba. Jika niatnya adalah untuk unta dan bukan sapi, tidak sah baginya untuk menyembelih pengganti kecuali dengan nilai yang setara. Jika seseorang bernazar untuk berkurban tanpa menyebut hewan atau niat tertentu, lebih disukai baginya untuk menyembelih kambing. Jika dia menyembelih satu mud gandum atau makanan lain, itu sudah cukup karena semuanya adalah kurban. Jika dia menyembelih, itu lebih disukai, karena semuanya adalah kurban. Tidakkah kamu melihat firman Allah Yang Maha Kuasa, “Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu.” (QS. Al-Maidah: 95). Terkadang buruan yang dibunuh masih kecil, pincang, atau buta, dan dendanya cukup dengan yang sepadan.
Atau tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang membunuh belalang atau burung kecil, yang termasuk buruan, dendanya cukup dengan satu kurma atau nilai burung itu? Mungkin hanya segenggam, tetapi Allah menyebut semua ini sebagai hadyu. Jika seseorang mengatakan, “Kambingku ini adalah hadyu untuk Tanah Haram,” atau “untuk suatu tempat di Tanah Haram,” maka dia harus menyembelihnya. Jika seseorang bernazar untuk menyembelih unta, tidak sah kecuali di Mekah. Jika dia menyebut tempat tertentu untuk menyembelihnya, itu sudah cukup.
Jika seseorang bernazar untuk berpuasa dalam jumlah tertentu, dia boleh melakukannya secara terpisah atau berturut-turut. (Dia berkata): Jika seseorang bernazar untuk berpuasa beberapa bulan, maka dia berpuasa sesuai dengan hitungan bulan, baik 29 atau 30 hari. Jika dia berpuasa berdasarkan hitungan hari, dia berpuasa 30 hari untuk setiap bulan. Jika dia bernazar untuk berpuasa satu tahun tertentu, dia berpuasa sepanjang tahun kecuali Ramadhan. Untuk Ramadhan, dia berpuasa seperti biasa, juga pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq, tanpa perlu mengqadha. Seolah-olah dia bernazar untuk berpuasa pada hari-hari itu, tidak ada nazar atau qadha. Jika dia bernazar untuk satu tahun tanpa menyebut tahun tertentu, dia harus mengqadha semua hari itu sampai menyelesaikan puasa satu tahun penuh. Jika dia terhalang karena sakit, kesalahan hitung, lupa, atau kelalaian, dia harus mengqadhanya jika dia mengaku.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Jika seseorang berniat haji lalu terhalang musuh, maka tidak ada kewajiban mengqadha. Hal serupa berlaku bagi yang bernazar haji tertentu. Pendapatmu bahwa orang yang terhalang wajib mengqadha, aku perintahkan untuk mengqadhanya jika itu nazar lalu terhalang. Demikian pula jika bernazar puasa setahun tertentu lalu sakit, ia wajib mengqadha kecuali hari-hari yang dilarang berpuasa.
Jika ada yang bertanya: “Mengapa orang yang terhalang kau perintahkan menyembelih hadyu, sedangkan yang ini tidak?” Aku jawab: “Aku perintahkan hadyu untuk keluar dari ihram, sedangkan yang ini tidak berihram.”
Jika orang berpuasa makan atau minum di Ramadhan – baik puasa nazar, kafarat, wajib, atau sunnah – karena lupa, puasanya tetap sah tanpa qadha. Jika sahur setelah fajar atau berbuka sebelum malam karena tidak tahu, puasanya batal dan wajib mengganti. Jika puasa berturut-turut, ia harus memulai lagi.
Jika seseorang bernazar: “Aku wajib puasa di hari si fulan datang”, lalu fulan datang malam hari, tidak wajib puasa esok harinya karena datangnya malam, bukan siang. Namun lebih baik berpuasa. Jika fulan datang siang hari sementara yang bernazar sudah berbuka, wajib mengqadha karena nazar hanya sah jika diniatkan sebelum fajar. Ini sikap hati-hati, meski secara qiyas mungkin tidak wajib qadha karena tidak memenuhi syarat nazar. Kami memilih sikap hati-hati karena puasanya sah, berbeda dengan hari raya. Karena nazarnya terkait kedatangan fulan, maka wajib qadha – ini lebih tepat secara qiyas.
Jika di hari yang sama ia berpuasa karena nazar lain atau qadha Ramadhan, lebih baik ia kembali untuk puasa nazar/qadha tersebut, lalu mengulang puasa untuk kedatangan fulan. Jika fulan datang di hari raya atau hari Tasyriq, tidak wajib puasa atau qadha karena tidak ada ketaatan dalam puasa hari itu.
Jika bernazar: “Aku wajib puasa di hari fulan datang selamanya”, lalu fulan datang Senin, maka wajib qadha hari kedatangan plus puasa setiap Senin berikutnya. Jika meninggalkannya, wajib qadha kecuali jika Senin itu hari raya atau Tasyriq – tidak perlu puasa atau qadha. Demikian pula jika jatuh di Ramadhan, tidak perlu qadha karena sudah puasa Ramadhan. Seperti orang yang bernazar puasa Ramadhan – cukup puasa fardhu, tidak perlu nazar atau qadha. Begitu juga nazar puasa di hari raya atau Tasyriq.
Jika kasus sama tetapi fulan datang Senin sementara ia wajib puasa dua bulan berturut-turut, ia tetap puasa dua bulan itu dan mengqadha setiap Seninnya. Ini berbeda dengan Ramadhan karena ini kewajiban tambahan setelah nazar puasa Senin, sementara Ramadhan kewajiban dari Allah.
Jika yang bernazar wanita, hukum sama dengan pria dan wajib mengqadha hari-hari haidnya. Jika wanita bernazar: “Aku wajib puasa setiap haid”, tidak ada puasa atau qadha karena tidak sah puasa saat haid.
Jika seseorang bernazar shalat atau puasa tanpa menyebut jumlah, minimal shalat dua rakaat dan puasa satu hari, karena itu batas minimal. (Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa satu rakaat cukup, berdasarkan riwayat Umar yang shalat sunnah satu rakaat, Rasulullah SAW witir satu rakaat setelah sepuluh rakaat, dan Utsman berwitir satu rakaat. (Ar-Rabi’ berkata): Karena satu rakaat sudah disebut shalat, maka nazar “shalat” tanpa jumlah bisa dipenuhi dengan satu rakaat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang bernazar membebaskan budak, budak mana pun yang dibebaskan sudah memenuhi nazarnya.