(Diceritakan kepada kami oleh Ar-Rabi’) dia berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata: “Jika hibah itu diikatkan dengan imbalan, maka seperti yang dikatakan, jika pemberi hibah diberi imbalan, maka pemilik syuf’ah (hak beli preferensi) diberi pilihan: jika mau, ambillah dengan imbalan yang setara jika ada padanannya, atau dengan nilainya jika tidak ada padanannya. Jika tidak mau, tinggalkanlah. Jika hibah diberikan tanpa imbalan, lalu pemberi hibah diberi imbalan, maka tidak ada syuf’ah, karena syuf’ah hanya berlaku pada jual beli, bukan hibah. Pemberi imbalan itu memberikan secara sukarela, sehingga transaksi yang melibatkan imbalan itu seperti jual beli. Hibah itu batal karena disyaratkan adanya imbalan, sehingga menjadi kompensasi yang tidak jelas dalam hibah. Karena itu, hibah menjadi batal dan lebih mirip dengan jual beli, sebab jual beli hanya terjadi dengan kompensasi. Demikian pula ini, karena tidak diberikan kecuali dengan kompensasi yang tidak jelas, sehingga tidak sah jual beli dengan kompensasi yang tidak jelas.
Demikian pula jika seseorang menikahi seorang wanita dengan imbalan sebagian dari rumah, maka ini seperti jual beli. Begitu juga jika menyewa seorang budak atau orang merdeka dengan imbalan sebagian dari rumah. Setiap kepemilikan yang melibatkan kompensasi, maka syuf’ah berlaku dengan kompensasi tersebut. Jika seseorang membeli sebagian dari properti yang memiliki hak syuf’ah dengan tempo, lalu pemilik syuf’ah menuntut haknya, dia diberi pilihan: jika mau, bayarlah harganya lebih awal dan ambil hak syuf’ah-nya lebih awal. Jika tidak mau, tunggulah sampai tempo habis, lalu ambil hak syuf’ah-nya. Tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk menerima kepercayaan seseorang sehingga dialihkan kepada orang lain, meskipun lebih mampu.”
Dia juga berkata: “Hak syuf’ah tidak hilang dari orang yang bepergian selama kepergiannya. Hak itu hanya hilang jika dia mengetahui (tentang penjualan) lalu meninggalkan hak syuf’ah selama waktu yang memungkinkannya untuk mengambilnya sendiri atau melalui wakilnya.”
Dia berkata: “Jika seseorang meninggal dan meninggalkan tiga anak, lalu salah satu dari mereka memiliki dua anak, kemudian anak yang memiliki dua anak itu meninggal, sementara rumah mereka belum dibagi, lalu hak salah satu dari dua anak itu dijual, lalu saudaranya ingin mengambil hak syuf’ah tanpa melibatkan paman-pamannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: Dia berhak melakukannya. Pendapat ini berargumen bahwa asal bagian mereka dalam properti itu satu, sehingga ketika harta dibagi, kedua anak ini adalah mitra dalam asal harta tanpa melibatkan paman-paman mereka. Karena itu, dia diberi hak syuf’ah karena memiliki kepemilikan bersama tanpa melibatkan kepemilikan paman-pamannya. Pendapat ini memiliki dasar.
Kedua: Jika pembagian dimulai, setiap orang diberi satu bagian, meskipun lebih kecil dari bagian yang lain. Mereka semua adalah mitra dalam kepemilikan yang sama, sehingga hak syuf’ah berlaku untuk semua. Pendapat ini lebih kuat secara analogi.”
Dia berkata: “Jika sebuah rumah dimiliki oleh tiga orang, satu memiliki setengah, yang lain seperenam, dan yang lain sepertiga, lalu pemilik sepertiga menjual bagiannya, lalu mitra-mitranya ingin mengambil hak syuf’ah, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: Pemilik setengah mendapat tiga bagian, dan pemilik seperenam mendapat satu bagian, sesuai dengan porsi kepemilikan mereka. Pendapat ini berargumen bahwa syuf’ah ditentukan berdasarkan kepemilikan, sehingga yang memiliki kepemilikan lebih besar mendapat porsi lebih besar. Pendapat ini memiliki dasar.
Kedua: Keduanya memiliki hak syuf’ah yang sama. Pendapat inilah yang saya pegang. Tidakkah kamu lihat bahwa seseorang memiliki hak syuf’ah atas sebuah rumah, lalu sebagiannya dijual selain bagiannya, lalu dia ingin mengambil hak syuf’ah sesuai porsi kepemilikannya? Itu tidak diperbolehkan, dan dia diberi pilihan: ambil semua atau tinggalkan. Karena hukum syuf’ah berlaku sama baik untuk kepemilikan kecil maupun besar, maka jika dua mitra memiliki hak syuf’ah, kedudukannya sama, sebab hak kepemilikan berlaku untuk masing-masing.”
[Apa yang tidak termasuk dalam syuf’ah]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) (Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan kepada kami oleh seorang yang terpercaya dari Abdullah bin Idris dari Muhammad bin ‘Ammarah dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari Aban bin Utsman bin ‘Affan bahwa Utsman (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak ada syuf’ah dalam sumur kecuali jika sumur tersebut memiliki bagian yang bisa dibagi atau cukup luas untuk dibagi sehingga menjadi dua sumur, dan masing-masing memiliki mata air. Atau jika sumur tersebut memiliki bagian yang bisa dibagi, maka syuf’ah berlaku karena ia bisa dibagi. Dia berkata, adapun jalan yang tidak dimiliki, tidak ada syuf’ah di dalamnya atau padanya.
Sedangkan tanah kosong di antara sekelompok orang yang bisa dibagi dan mereka memiliki jalan menuju rumah mereka, jika sebagian darinya dijual, maka syuf’ah berlaku.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang menjual bagian dalam sebuah rumah dengan syarat penjual memiliki hak khiyar (pilihan) dan pembeli juga memilikinya, maka tidak ada syuf’ah sampai penjual menyetujui pembeli. Namun, jika hak khiyar hanya ada pada pembeli, bukan penjual, maka akad telah keluar dari kepemilikan penjual dengan kerelaannya, dan khiyar diberikan kepada pembeli, maka syuf’ah berlaku. (Berkata Ar-Rabi’): Ada pendapat lain bahwa tidak ada syuf’ah sampai pembeli memilih atau masa khiyar habis sehingga jual beli menjadi sah, karena jika dia mengambilnya dengan syuf’ah, dia menghalangi pembeli dari hak khiyar yang dimilikinya.
(Berkata Asy-Syafi’i): Setiap orang yang menguasai sebuah rumah, memanfaatkannya, kemudian seseorang lain menuntut hak kepemilikan sebelumnya, maka pemilik sah berhak mengambil kembali semua hasil pemanfaatan dari hari haknya terbukti. Pembuktiannya adalah pada hari saksi-saksinya bersaksi bahwa itu miliknya, bukan pada hari keputusan dijatuhkan. Tidakkah kamu lihat bahwa tidak ada makna dalam keputusan hari ini kecuali apa yang terbukti pada hari saksi-saksinya bersaksi? Hasil pemanfaatan hanya dimiliki melalui jaminan dalam kepemilikan yang sah, karena hasil pemanfaatan muncul dari sesuatu yang dimiliki oleh pemilik, bukan orang lain.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang membeli bagian yang orang lain memiliki hak syuf’ah di dalamnya, kemudian dia mengaku tidak tahu harganya karena lupa, maka dia harus bersumpah demi Allah bahwa harga tidak bisa ditetapkan, dan tidak ada syuf’ah sampai pemilik hak syuf’ah mendatangkan bukti. Bukti tersebut digunakan untuk menetapkan haknya, baik transaksi telah selesai atau masih baru, karena ingatan bisa hilang dalam waktu yang lama, dan lupa bisa terjadi dalam waktu singkat.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang memiliki bagian dalam sebuah rumah, lalu rekanannya meninggal saat dia tidak ada, kemudian ahli waris menjual bagian tersebut—baik sebelum atau setelah pembagian—maka hak syuf’ah tetap berlaku. Pembagian tidak menghilangkan hak syuf’ah karena dia tetap menjadi rekan mereka meski tanpa pembagian.
[BAB QIRADH]
Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata (Asy-Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Jika seseorang menyerahkan harta kepada orang lain secara qiradh (mudharabah), lalu pemilik harta menyertakan budaknya dalam perjanjian itu dan mensyaratkan pembagian keuntungan antara dia, orang yang menerima qiradh (mudharib), dan budak pemilik harta, maka segala yang dimiliki oleh budaknya adalah miliknya (pemilik harta), bukan milik budaknya. Sebab, kepemilikan budak terhadap sesuatu hanya bersifat tambahan, bukan kepemilikan yang sah. Keadaan ini seperti seseorang yang mensyaratkan dua pertiga keuntungan untuk dirinya dan sepertiga untuk orang yang menerima qiradh.
“[Yang Tidak Diperbolehkan dalam Qirad (Kerja Sama Usaha) Berupa Barang]
(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Berbeda dengan pendapat Malik bin Anas yang mengatakan bahwa di antara jual beli ada yang diperbolehkan meski tenggat waktunya berbeda dan berlebihan, namun jika hampir sama, ia menolaknya. (Imam Syafi’i) berkata: Setiap qirad yang pada dasarnya fasid (rusak), maka bagi pekerja (mudharib) berhak mendapat upah sepadan, sedangkan pemilik modal berhak mendapatkan modal dan keuntungannya. Sebab, jika qirad kita nyatakan fasid, tidak boleh dianggap sebagai akad sewa qirad, karena qirad itu tidak pasti. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang akad sewa kecuali dengan ketentuan yang jelas.
(Imam Syafi’i) berkata: Jual beli ada dua macam: halal yang tidak boleh dibatalkan, dan haram yang harus dibatalkan. Sama saja apakah berlebihan sehingga dibatalkan atau jarang terjadi. Keharaman itu dari dua sisi: Pertama, berdasarkan hadis yang mengikat, dan kedua, berdasarkan qiyas. Segala yang kami qiyaskan sebagai halal, kami berikan hukum halal dalam segala keadaannya. Sedangkan segala yang kami qiyaskan sebagai haram, kami berikan hukum haram. Maka tidak boleh kita membatalkan sesuatu yang telah kami haramkan berdasarkan qiyas, baik saat itu juga atau setelah seratus tahun. Yang haram tidak akan menjadi halal karena lamanya waktu, melainkan status halal atau haram itu tergantung pada akadnya.”
[Syarat dalam Qirad]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak boleh aku melakukan qirad (kerjasama bagi hasil) denganmu atas sesuatu yang samar, yang tidak aku ketahui dan tidak pula kamu ketahui. Karena itu, tidak boleh aku melakukan qirad denganmu untuk jangka waktu tertentu. Sebab, jika aku memberimu seribu dirham untuk kamu kelola selama satu tahun, lalu dalam sebulan kamu jual dan membeli sesuatu sehingga mendapat untung seribu dirham, kemudian kamu membeli lagi, maka kamu telah membeli dengan hartaku dan hartamu yang tidak terpisah. Bisa jadi aku tidak rela berserikat denganmu dalam hal itu, atau aku membeli dengan modal milikku yang tidak aku ketahui jumlahnya, sehingga jika modal itu berkurang, aku tidak bisa menjaminnya. Atau aku tidak ingin seluruhnya hilang dari pengetahuanku. Dengan demikian, qirad menjadi tidak jelas bagiku karena aku tidak tahu berapa modal yang aku keluarkan, dan kita tidak menetapkannya secara pasti. Selain itu, qirad juga mengandung ketidakpastian yang lebih besar karena aku rela dengan ketidakjelasan itu, tetapi aku tidak rela melakukan qirad dengan sesuatu yang tidak aku ketahui.
**Dalam Bab Sedekah dan Hibah dari Perbedaan Pendapat Ulama Irak**
Jika seseorang memberikan hibah (hadiah) kepada orang lain berupa rumah atau tanah, lalu penerima hibah memberinya imbalan setelah itu, dan pemberi hibah menerimanya:
– Abu Hanifah -rahimahullah- berpendapat bahwa hal itu boleh dan tidak berlaku syuf’ah (hak beli preferensi). Pendapat ini yang dipegang, dan ini tidak sama dengan jual beli.
– Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa ini seperti jual beli, sehingga syuf’ah berlaku dengan nilai imbalan tersebut.
Menurut keduanya, pemberi hibah tidak boleh membatalkan hibah setelah menerima imbalan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan hibah sebagian rumah kepada orang lain, lalu penerima hibah memberinya imbalan dan pemberi hibah menerimanya, maka pemberi hibah ditanya:
– Jika ia berkata, “Aku memberinya untuk mendapatkan pahala,” maka syuf’ah berlaku.
– Jika ia berkata, “Aku memberinya bukan untuk pahala,” maka syuf’ah tidak berlaku, dan imbalan itu dianggap seperti hibah baru.
Ini berlaku menurut pendapat yang mengatakan bahwa pemberi hibah berhak mendapat pahala jika ia menyebutkannya. Adapun yang berpendapat bahwa tidak ada pahala bagi pemberi hibah kecuali jika disyaratkan dalam hibah, maka ia tidak boleh membatalkan hibahnya dan tidak berhak atas pahala.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika seseorang memberi hibah dengan syarat mendapat pahala, maka hibahnya batal karena syarat imbalan yang tidak jelas. Jika hibah diberikan bukan untuk pahala dan telah diterima penerima, maka pemberi hibah tidak boleh membatalkannya. Ini sesuai dengan makna pendapat Imam Syafi’i -rahimahullah-.
**Salam dalam Qirad**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memberikan modal qirad kepada orang lain, lalu penerima modal membelikan barang:
– Jika akad qirad disyaratkan untuk membawa barang tertentu, maka qirad itu fasid (rusak) dan boleh dibatalkan sebelum dijalankan. Jika sudah dijalankan, penerima modal berhak mendapat upah sepadan, dan keuntungan menjadi milik pemilik modal.
– Jika qirad dilakukan tanpa syarat tertentu, lalu penerima modal membeli barang, maka qirad tetap sah dan tidak batal dalam kondisi apa pun. Namun, kami menasihati keduanya untuk tidak melakukan hal ini sebagai kebiasaan atau dengan alasan yang tidak tepat.
Jika mereka mengulangi hal tersebut, kami tidak menyukainya, tetapi tidak membatalkan qirad. Kami juga tidak membatalkan akad yang sah karena sesuatu yang dilakukan sukarela setelah akad berjalan, kecuali jika terjadi pelanggaran setelah akad.
(Imam Syafi’i berkata):
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
—
**Tentang Qirādh (Kerja Sama Modal dan Tenaga)**
Aku membenci apa yang juga dibenci Mālik, yaitu ketika seseorang mengambil harta untuk qirādh, lalu meminta pemilik harta untuk meminjaminya. (Imam Syāfi‘ī berkata): Aku membencinya karena pihak yang menerima qirādh tidak terbebas dari tanggungan, dan pihak yang meminjamkan tidak tahu berapa yang dipinjamkannya karena kekhawatiran. Perhitungan dalam qirādh harus jelas.
(Imam Syāfi‘ī berkata): Semua ini seperti yang dikatakan Mālik, kecuali pendapatnya bahwa harta harus hadir saat perhitungan. Jika pihak yang menerima qirādh jujur, tidak masalah apakah harta hadir atau tidak.
**Masalah Barang Dagangan**
(Diriwayatkan oleh Rabī‘ bin Sulaimān) bahwa Imam Syāfi‘ī berkata: Jika seseorang bermitra dalam perdagangan dengan barang tertentu, lalu ia melampaui batas dengan membeli sesuatu yang bukan bagian dari kesepakatan, maka jika barang itu rusak, ia menanggungnya. Jika ia menambahkan sesuatu, ia juga menanggungnya. Jika ada keuntungan, seluruhnya milik pemilik modal kecuali ia rela melepaskannya. Jika barang yang dibeli dengan modal masih ada di tangannya, ia boleh memilih antara mengambil modalnya atau barang yang dibeli dengan modal itu. Jika barang itu rusak sebelum ia memilih, ia hanya bertanggung jawab atas modal, karena ia belum memilih untuk memilikinya.
Pendapat kedua: Jika ia melampaui batas dengan membeli sesuatu tertentu dengan modal dan mendapat untung, maka pembelian itu batal dan transaksi dikembalikan. Jika ia membeli dengan modal yang tidak spesifik, lalu modal itu dibayarkan, maka transaksi dianggap tunai, dan keuntungan atau kerugian menjadi tanggungannya.
**Tentang Musāqāh (Kerja Sama Pengelolaan Kebun)**
(Diriwayatkan oleh Rabī‘ bin Sulaimān) bahwa Imam Syāfi‘ī berkata: Makna sabda Nabi, “Jika kalian mau, itu untuk kalian; jika tidak, untukku,” adalah ketika pohon kurma diperkirakan menghasilkan seratus wasaq, ternyata hanya sembilan puluh wasaq. Pemilik kebun boleh memilih: menyerahkan separuh hasil yang bukan haknya dengan syarat pihak pengelola menjamin lima puluh wasaq kurma tertentu, atau ia mengambil bagiannya sendiri.
Musāqāh diperbolehkan untuk pohon kurma dan anggur karena Rasulullah ﷺ pernah melakukannya. Namun, tidak diperbolehkan untuk tanaman lain seperti pisang atau tebu, kecuali dengan sistem sewa.
**Syarat dalam Perbudakan dan Musāqāh**
Imam Syāfi‘ī berkata: Rasulullah ﷺ melakukan musāqāh dengan penduduk Khaibar, dan mereka adalah pengelolanya. Jika diperbolehkan bagi pengelola untuk mempekerjakan budak di kebun, selama pemilik kebun setuju, maka itu sah.
**Tentang Muzāra‘ah (Kerja Sama Pertanian)**
Sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan dua makna:
- Diperbolehkan kerja sama dalam pengelolaan kebun kurma dengan pembagian hasil, mengikuti contoh Nabi.
- Tidak diperbolehkan kerja sama pertanian dengan pembagian sepertiga atau seperempat hasil, karena tanah pertanian berbeda dengan kebun yang sudah ada pohonnya.
**Sewa Menyewa Tanah**
Tidak masalah menyewa tanah dengan emas, perak, atau barang lain yang disepakati. Namun, Rasulullah ﷺ melarang menyewa tanah dengan sebagian hasilnya.
**Kebijakan Tanah Mati (Al-Mawāt)**
Jika tanah mati dihidupkan oleh seorang Muslim, maka itu miliknya. Non-Muslim tidak boleh menghidupkan tanah mati karena hak itu khusus untuk Muslim.
**Syarat dalam Sewa Menyewa**
Jika seseorang menyewa tanah untuk ditanami, lalu tanah itu tergenang air sebelum ditanami, ia boleh meminta kembali uang sewanya. Jika sebagian tanah rusak, ia boleh memilih antara melanjutkan sewa dengan pengurangan harga atau membatalkan sewa.
**Perbedaan antara Sewa dan Jual Beli**
Sewa adalah jenis jual beli yang diperbolehkan selama objeknya jelas. Tidak boleh menggabungkan sewa dengan pinjaman dalam satu transaksi.
**Sewa Hewan Tunggangan**
Jika seseorang menyewa hewan untuk perjalanan tertentu tetapi menggunakannya melebihi jarak yang disepakati, ia harus membayar tambahan biaya sewa. Jika hewan itu mati atau rusak karena kesalahannya, ia bertanggung jawab atas kerugiannya.
**Kesimpulan tentang Transaksi**
Semua transaksi diperbolehkan selama memenuhi syarat: objek jelas, harga diketahui, dan tidak ada penipuan. Larangan hanya berlaku untuk transaksi yang mengandung riba atau ketidakjelasan.
—
Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan tetap mempertahankan makna asli teks Arab klasik. Beberapa istilah fiqih seperti qirādh, musāqāh, dan muzāra‘ah dipertahankan untuk keakuratan.
Demikian pula, berkaitan dengan masalah penyewaan, terdapat berbagai hal yang dapat merusaknya. Menurut kami, hal ini termasuk dalam kategori jual beli, dan ketentuan jual beli telah kami jelaskan sebelumnya. Barangsiapa yang membolehkannya, maka ia dapat memberlakukan hukum jual beli padanya karena pada dasarnya ia adalah bentuk kepemilikan. Namun, ia berbeda dengan jual beli karena ia adalah kepemilikan manfaat, bukan kepemilikan benda secara langsung. Jika ada yang berpendapat bahwa ia lebih mirip dengan jual beli, maka hendaknya ia memberlakukan hukum jual beli padanya. Namun, jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah jual beli, maka ia telah membolehkan sesuatu yang tidak dibolehkan dalam jual beli.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat ini adalah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Sewa-menyewa adalah akad yang berdiri sendiri, meskipun pada dasarnya ia adalah bentuk jual beli yang sesuai dengan ketentuannya. Semua ini diperbolehkan. Allah Ta’ala berfirman:
**”Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah upahnya kepada mereka.”** (QS. Ath-Thalaq: 6)
Ayat ini membolehkan penyewaan untuk menyusui, padahal menyusui bisa berbeda-beda tergantung banyak atau sedikitnya susuan dan banyak atau sedikitnya air susu. Namun, karena tidak ada ketentuan lain selain ini, maka penyewaan untuk hal tersebut diperbolehkan. Jika hal ini diperbolehkan, maka hal-hal serupa atau yang maknanya lebih jelas juga diperbolehkan.
Allah ‘Azza wa Jalla juga menyebutkan penyewaan dalam Kitab-Nya dan sebagian nabi-Nya pun pernah melakukannya. Allah berfirman:
**”Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, pekerjakanlah dia (sebagai buruh), sesungguhnya orang yang paling baik untuk engkau pekerjakan adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya.’ Dia (Syu’aib) berkata, ‘Aku ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun.'”** (QS. Al-Qashash: 26-27)
(Imam Syafi’i berkata): Allah telah menyebutkan bahwa seorang nabi dari nabi-Nya pernah menyewakan dirinya untuk beberapa tahun tertentu sebagai mahar untuk menikahi seorang wanita. Ini menunjukkan kebolehan penyewaan, bahwa tidak mengapa menyewa untuk jangka waktu tertentu. Jika penyewaannya untuk jangka waktu tertentu, maka itu dibolehkan. Namun, jika penyewaannya tanpa batas waktu, maka itu juga dibolehkan dalam segala kondisi. Ada juga yang mengatakan bahwa ia disewa untuk menggembalakan hewan, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.
(Imam Syafi’i berkata): Sunnah telah berjalan dengan praktik ini, dan banyak sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukannya. Ulama di negeri kami tidak berselisih dalam hal kebolehan penyewaan, dan ini juga diketahui oleh para fuqaha di berbagai kota.
(Malik meriwayatkan dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Hanzhalah bin Qais bahwa ia bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewa tanah. Rafi’ menjawab, “Rasulullah ﷺ melarang menyewa tanah.” Lalu ia ditanya, “Apakah dengan emas dan perak?” Ia menjawab, “Jika dengan emas dan perak, maka tidak mengapa.”
(Imam Syafi’i berkata): Rafi’ mendengar larangan itu langsung dari Rasulullah ﷺ, dan ia lebih memahami maknanya. Rafi’ hanya menyampaikan larangan menyewa tanah dengan sepertiga atau seperempat hasil, karena itulah kebiasaan saat itu. Namun, Salim mungkin mendengar riwayat dari Rafi’ secara umum, sehingga ia berpendapat bahwa penyewaan dengan emas dan perak tidak mengapa karena ia tidak mengetahui bahwa tanah biasa disewa dengan emas dan perak. Namun, selain Malik, ada juga yang meriwayatkan dari Rafi’ bahwa larangan itu berlaku jika penyewaannya dengan sebagian hasil tanah.
(Malik bin Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al-Musayyab bahwa ia ditanya tentang menyewa tanah dengan emas dan perak, dan ia menjawab, “Tidak mengapa.” Malik juga meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dengan riwayat serupa. Malik juga meriwayatkan dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya dengan riwayat yang sama. Malik juga menyampaikan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf pernah menyewa tanah, dan tanah itu tetap di tangannya hingga ia wafat. Anaknya berkata, “Aku mengira tanah itu miliknya karena sudah lama berada di tangannya, hingga ia menyebutkannya sebelum wafat dan memerintahkan kami untuk melunasi sisa sewa yang masih terutang, baik dengan emas atau perak.”
(Imam Syafi’i berkata): Sewa-menyewa adalah salah satu jenis jual beli karena semua jual beli pada dasarnya adalah pemindahan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain. Penyewa memiliki manfaat dari budak, rumah, atau hewan untuk jangka waktu yang disepakati, sehingga ia lebih berhak atas manfaat tersebut dibanding pemilik aslinya. Sementara pemilik asli mendapatkan pengganti (uang sewa) yang ia terima. Inilah hakikat jual beli.
Jika ada yang berkata, “Ia berbeda dengan jual beli karena yang diperjualbelikan bukan benda, melainkan manfaat untuk jangka waktu tertentu,” maka jawabannya adalah bahwa manfaat adalah sesuatu yang dapat dipahami dari benda yang jelas, sehingga ia seperti benda itu sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Jual beli bisa memiliki kesamaan dalam makna kepemilikan, tetapi berbeda dalam hukum-hukumnya. Perbedaan dalam sebagian hukum tidak menghalangi keduanya untuk tetap disebut jual beli. Apa yang menghalalkan jual beli, juga menghalalkan sewa, dan apa yang mengharamkan jual beli, juga mengharamkan sewa secara umum. Namun, setelah itu, keduanya bisa berbeda dalam aspek lain.
(Imam Syafi’i berkata): Serah-terima dalam sewa yang mewajibkan penyewa membayar harga sewa adalah seperti serah-terima dalam jual beli. Jika yang disewa adalah budak, maka budak itu harus diserahkan. Jika yang disewa adalah unta, maka unta itu harus diserahkan. Jika yang disewa adalah rumah, maka rumah itu harus diserahkan agar penyewa bisa menikmati manfaatnya sesuai kesepakatan hingga batas waktu yang ditentukan.
Jika ada yang berkata, “Ini adalah penyerahan sesuatu yang tidak jelas,” maka ini adalah pendapat orang-orang bodoh yang membatalkan akad sewa. Padahal, manfaat dari benda yang jelas dan ada untuk jangka waktu tertentu sama seperti penyerahan benda itu sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Jika manfaat tidak berupa benda yang terlihat saat diserahkan, maka ia tetap dapat dipahami dari benda yang ada. Penyerahan manfaat bukanlah penyerahan benda itu sendiri, tetapi jika manfaat tidak terlihat saat diserahkan, maka akad sewa tetap sah karena kepemilikan manfaat bisa terjadi meskipun bukan berupa benda.
(Imam Syafi’i berkata): Beberapa orang berpendapat bahwa jika penyewa membayar seluruh harga sewa sebelum menempati rumah atau mengendarai hewan, lalu ia ingin membatalkan pembayaran itu, maka ia tidak boleh melakukannya. Jika pembayaran itu memang wajib, maka itu sesuai dengan pendapat kami. Namun, jika pembayaran itu tidak wajib, mengapa ia tidak boleh menariknya kembali? Ia tidak menghibahkannya dan tidak melepaskan kepemilikannya kecuali dengan sesuatu yang ia anggap tidak wajib.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa hewan seharga seratus dirham, tetapi belum ada kewajiban membayar, lalu ia ingin membayar dengan dinar dengan cara menukarnya, maka itu boleh. Jika ditanya, “Apakah maksudmu mengubah sewa dari dirham ke dinar dan membatalkan kewajiban dirham?” Jawabannya adalah tidak, tetapi ia boleh menukarnya dengan kurs hari itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengatakan bahwa kewajiban penyewa adalah membayar sewa jika tidak ditentukan waktu pembayarannya, seperti seseorang yang membeli barang seharga seratus atau menanggung utang seratus tanpa menentukan waktu, maka ia wajib membayar seratus itu segera. Ini adalah pendapat kami dan pendapatmu dalam semua kewajiban yang tidak ditentukan waktunya. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang penyewa yang wajib membayar sewa tetapi tidak wajib membayarnya dan boleh menukarnya, padahal sewa tidak memiliki batas waktu?
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Sewa memiliki batas waktu yang jelas, seperti menyewa budak selama satu tahun, maka setiap hari dalam setahun adalah batas waktu tertentu dengan upah tertentu,” maka kita bisa bertanya, “Apa pendapatmu jika budak itu sakit selama sebelas bulan atau satu bulan di awal, tengah, atau akhir tahun sehingga tidak bisa bekerja? Jika kau katakan, ‘Ia harus menunggu hingga budak itu sembuh untuk bekerja di sisa waktu,’ maka itu berarti kau menganggap bahwa upah untuk sebelas bulan atau satu bulan itu sudah wajib, lalu dibatalkan. Jika kau berikan hak untuk bekerja selama sebelas bulan atau satu bulan di tahun berikutnya, maka kau telah menetapkan batas waktu baru dan memindahkan kerja satu tahun ke tahun lain. Jika kau katakan itu tetap wajib, maka ini adalah kerusakan yang nyata.”
(Imam Syafi’i berkata): Sewa adalah kepemilikan manfaat dari benda yang jelas, dan manfaat itu diketahui dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Jika kepemilikan manfaat itu tidak pasti—karena budak bisa mati, kabur, atau sakit—bagaimana mungkin kepemilikan manfaat yang tidak pasti dibayar dengan uang tertentu? Ini seperti menjual utang dengan utang, dan kaum Muslimin dilarang dari hal itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Ia memiliki manfaat jika manfaat itu ada,” maka ini lebih rusak karena ini adalah spekulasi. Dengan demikian, sewa menjadi batal seperti yang dikatakan oleh orang yang mengkritik pendapat ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Bagaimana mungkin kau menganggap serah-terima ini sah, padahal serah-terima adalah ketika benda berada di tangan penerima dan memutus kepemilikan penyerah?” Maka jawabannya adalah bahwa penyerahan dari pemilik kepada yang berhak menerima berbeda-beda. Tidakkah kau lihat bahwa jika seseorang membeli beberapa barang dan membayar harganya, lalu ia menggugat penjual ke hakim, maka hakim akan memutuskan agar penjual menyerahkan barangnya? Jika barang itu adalah budak, pakaian, atau satu benda, maka ia harus menyerahkannya. Jika barang itu bisa dibagi, seperti makanan di gudang yang dibeli dengan takaran tertentu, maka ia harus menyerahkannya sedikit demi sedikit, bukan sekaligus.
Demikian pula, hakim memutuskan penyerahan sewa sesuai kemampuannya, dan tidak ada cara lain selain menyerahkan benda yang mengandung manfaat kepada yang berhak. Manfaat dalam sewa itu diketahui seperti pembelian rumah yang dimiliki bersama atau hal lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Bagaimana jika benda yang mengandung manfaat itu hancur, seperti rumah yang roboh atau budak yang mati, sehingga penyewa telah membayar seratus dirham tetapi hanya mendapatkan sebagian manfaat, sementara pemilik telah menikmati uang sewa?” Maka jawabannya adalah bahwa penyewa telah rela dengan hal itu.
Jika ia berkata, “Ia hanya rela jika mendapatkan manfaat sepenuhnya,” maka jawabannya adalah, “Jika ia bisa mendapatkan manfaat sepenuhnya, maka itu haknya. Jika tidak, maka ia bisa mengambil kembali uangnya.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa persamaan ini dengan jual beli?” Maka jawabannya adalah seperti yang kami jelaskan tentang salam (pesanan). Jika seseorang membayar seratus dirham untuk kurma, lalu kurma itu habis sebelum ia menerimanya, maka ia bisa memilih antara mengambil kembali modalnya (padahal penjual telah menikmati uangnya) atau menunda pembayaran ke tahun berikutnya tanpa kerelaannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Aku tidak menemukan solusi lain selain ini,” maka katakan padanya, “Jika penjual mengaku bahwa ia menghilang hingga kurma habis, maka aku tidak bisa membebanimu karena kau telah mempercayainya.”
(Imam Syafi’i berkata): Penyewa benda itu menyewanya dengan mengetahui bahwa jika benda itu hilang, maka manfaatnya juga hilang. Mengapa kau mencela hal ini, padahal ia mengetahuinya? Sementara dalam salam, penjual telah menjamin kurma dengan takaran dan sifat tertentu tanpa menentukan benda tertentu, sehingga celaan lebih pantas ditujukan padanya daripada pada penyewa.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli sesuatu dari orang lain, dan benda yang dibeli berada di tempat yang jauh dari keduanya, lalu pembeli membayar penuh kepada penjual dengan syarat penjual menyerahkan barang yang dibeli, tetapi barang itu hancur, maka pembeli bisa mengambil kembali uangnya meskipun penjual telah menikmatinya.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula dalam pernikahan, jika seorang menikahi wanita dengan mahar seorang budak, lalu wanita itu menyerahkan dirinya, tetapi suami belum menggaulinya, maka ia tetap wajib menyerahkan budak itu. Jika wanita itu menjual, menghibahkan, memerdekakan, atau mengadakan perjanjian dengan budak itu, maka itu sah karena budak itu sepenuhnya miliknya. Namun, jika suami menceraikannya sebelum semua itu terjadi, maka ia berhak mengambil kembali separuh budak itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kepemilikan itu sempurna lalu batal?” Maka jawabannya adalah, “Ini tidak bisa dianalogikan. Karena suami belum menggaulinya, maka wanita itu berhak separuh mahar jika diceraikan.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli budak, lalu ditemukan cacat yang disembunyikan, maka kepemilikan itu sah. Jika ia menjual, menghibahkan, atau memerdekakan budak itu, maka itu sah. Namun, jika ia memilih untuk membatalkan akad, maka ia bisa melakukannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual sebagian dari sesuatu, maka pembeli memiliki kepemilikan penuh tanpa campur tangan penjual. Namun, jika ada yang memiliki hak syuf’ah (hak beli lebih dahulu), maka ia bisa mengambilnya dengan harga yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kau mencela hal ini dalam sewa, padahal kami berpendapat bahwa jika benda yang mengandung manfaat hilang sehingga tidak bisa dinikmati, maka penyewa bisa mengambil kembali sisa haknya, seperti seseorang yang membeli kapal berisi makanan setiap kufiz dengan harga tertentu. Jika ia telah mengambil sepuluh kufiz, lalu kapal itu hancur, maka kami mengembalikan sisa uangnya dan menetapkan sepuluh kufiz dengan bagian harganya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kau membatalkan kepemilikan padahal bendanya masih ada, maka itu lebih pantas dicela. Jika tidak ada cela dalam hal ini, maka celaanmu adalah kebodohan.
(Imam Syafi’i berkata): Mereka juga berpendapat bahwa jika penyewa membayar seluruh harga sewa sebelum menempati rumah atau mengendarai hewan, lalu ia ingin membatalkan pembayaran itu, maka ia tidak boleh melakukannya. Jika pembayaran itu memang wajib, maka itu sesuai pendapat kami. Namun, jika tidak wajib, mengapa ia tidak boleh menariknya kembali? Ia tidak menghibahkannya dan tidak melepaskan kepemilikannya kecuali dengan sesuatu yang ia anggap tidak wajib.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa hewan seharga seratus dirham, tetapi belum ada kewajiban membayar, lalu ia ingin membayar dengan dinar dengan cara menukarnya, maka itu boleh. Jika ditanya, “Apakah maksudmu mengubah sewa dari dirham ke dinar?” Jawabannya adalah tidak, tetapi ia boleh menukarnya dengan kurs hari itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengatakan bahwa kewajiban penyewa adalah membayar sewa jika tidak ditentukan waktu pembayarannya, seperti seseorang yang membeli barang seharga seratus atau menanggung utang seratus tanpa menentukan waktu, maka ia wajib membayar seratus itu segera. Ini adalah pendapat kami dan pendapatmu dalam semua kewajiban yang tidak ditentukan waktunya. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang penyewa yang wajib membayar sewa tetapi tidak wajib membayarnya dan boleh menukarnya, padahal sewa tidak memiliki batas waktu?
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa rumah, maka sewa itu mengikat dan tidak batal dengan kematian penyewa atau pemilik, selama rumah itu masih ada. Kecuali jika dalam akad sewa disyaratkan batas waktu tertentu,
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Keduanya berkata: “Kami ingin,” lalu dia melakukannya dan menulis surat kepada Umar untuk mengambil uang dari mereka. Ketika mereka tiba di Madinah, mereka menjual dan mendapat untung. Saat mereka menyerahkan kepada Umar, dia berkata kepada mereka: “Apakah seluruh pasukan diberi pinjaman seperti kalian?” Mereka menjawab: “Tidak.” Umar berkata: “Aku adalah Amirul Mukminin, lalu aku meminjamkan kepada kalian. Bayarlah uang dan keuntungannya.” Abdullah diam, sementara Ubaidullah berkata: “Ini tidak pantas bagimu, wahai Amirul Mukminin. Jika uang itu hilang atau berkurang, kami akan menanggungnya.” Umar berkata: “Bayarlah.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidullah membantah. Seorang dari majelis Umar berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana jika dijadikan qiradh (bagi hasil)?” Umar lalu mengambil modal dan separuh keuntungan, sementara Abdullah dan Ubaidullah mengambil separuh keuntungan sisanya.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidakkah kamu melihat Umar berkata: “Apakah seluruh pasukan diberi pinjaman seperti kalian?” Seolah-olah—wallahu a’lam—dia berpendapat bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada seseorang untuk dipinjamkan lalu dibeli dan dijual, kecuali jika itu menahan harta tanpa manfaat bagi kaum Muslimin. Umar—wallahu a’lam—berpendapat bahwa harta harus dikirim dengan orang terpercaya yang cepat perjalanannya dan menyerahkannya saat tiba, tanpa menahan harta atau memberi manfaat kepada sang utusan. Atau diserahkan di tempat yang dilalui kepada orang terpercaya yang menjaminnya, dengan surat untuk diserahkan di tempat Khalifah berada tanpa penahanan. Atau diberikan sebagai qiradh, sehingga penahanannya tidak merugikan kaum Muslimin dan ada kelebihan jika ada penahanan. Karena harta yang diberikan kepada Abdullah dan Ubaidullah tidak sesuai dengan cara-cara ini, dan bukan milik penguasa yang menyerahkannya, maka Umar membenarkan tindakannya atas apa yang dia kuasai, dengan melihat bahwa keuntungan dan harta itu untuk kaum Muslimin. Umar berkata: “Bayarlah modal dan keuntungannya.” Ketika Ubaidullah membantah dan sebagian majelisnya—dan sebagian majelisnya menurut kami adalah sahabat Rasulullah ﷺ—menyarankan untuk menjadikannya qiradh, dia setuju. Seolah-olah—wallahu a’lam—dia melihat bahwa penguasa yang menangani hal itu adalah hakim sampai sampai kepada Umar, dan dia berhak melaksanakan keputusan penguasa yang sesuai hukum. Jika penguasa menyerahkannya sebagai qiradh, Umar harus melaksanakan penahanan dan menggantinya dengan manfaat bagi kaum Muslimin dalam kelebihannya. Dia mengembalikan tindakan penguasa kepada yang diperbolehkan, sehingga jika penguasa melakukannya, dia tidak akan menolaknya. Dia mengembalikan kelebihan keuntungan yang tidak pantas diberikan kepada mereka dan memberi mereka separuh keuntungan yang pantas mereka terima.
(Asy-Syafi’i berkata): Keduanya telah menjamin harta itu, dan atas jaminan itu mereka mengambilnya. Jika harta itu hilang, mereka akan menanggungnya. Tidakkah kamu melihat Umar tidak menolak perkataan Ubaidullah: “Jika harta itu hilang atau berkurang, kami akan menanggungnya”? Tidak seorang pun dari sahabat Rasulullah ﷺ yang hadir menolaknya. Umar dan para sahabat Rasulullah ﷺ tidak berkata: “Kalian berhak atas keuntungan karena jaminan.” Justru mereka menggabungkan jaminan dan mengambil sebagian keuntungan dari mereka. Seseorang berkata: “Mungkin Umar meridhai mereka.” Kami jawab: “Bukankah dalam hadits ada petunjuk bahwa dia memutuskan atas mereka? Tidakkah kamu melihat Ubaidullah membantah: ‘Mengapa separuh keuntungan diambil, bukan seluruhnya?'” Kami jawab: “Dia memutuskan dengan membenarkan apa yang diperbolehkan sejak awal. Jika penguasa menyerahkannya kepada mereka sebagai qiradh, itu diperbolehkan.” Ketika dia dan yang hadir melihat bahwa pengambilan harta oleh mereka bukan kelalaian, dan mereka mengambilnya dari seorang penguasa yang menganggap tindakannya sah, maka dia dan yang hadir berpendapat bahwa tindakan itu hanya sah dengan makna qiradh. Dia melaksanakan qiradh karena itu sah jika penguasa melakukannya, atau tidak, dan mengembalikan kelebihan yang diberikan kepada mereka atas qiradh, karena dia tidak melihatnya sah tanpa manfaat bagi kaum Muslimin.
(Diriwayatkan kepada kami) Abdul Wahhab dari Dawud bin Abi Hind dari Riyah bin Ubaidah berkata: Seorang mengirim sepuluh dinar dengan seorang dari Bashrah kepada seseorang di Madinah. Utusan itu membeli unta dengan uang itu, lalu menjualnya dengan sebelas dinar. Abdullah bin Umar ditanya, lalu berkata: “Sebelas dinar itu milik pemilik modal. Jika sesuatu terjadi pada unta, aku yang menanggungnya.”
(Diriwayatkan kepada kami) seorang terpercaya dari sahabat kami dari Abdullah bin Umar dengan makna serupa. (Asy-Syafi’i berkata): Ibnu Umar berpendapat bahwa pembeli barang untuk orang lain menanggung jaminan, dan keuntungan untuk pemilik barang. Dia tidak memberi keuntungan kepada penanggung jika pembeli melampaui batas dalam harta orang tertentu. Yang berbeda pendapat dengan kami memberi keuntungan kepadanya, dan aku tidak tahu apakah dia memerintahkannya untuk bersedekah atau tidak. Tidak ada riwayat kecuali prasangka tentang Syuraih. Mereka mengklaim bahwa pendapat yang mengikat adalah yang berasal dari Nabi ﷺ, atau seorang sahabat, atau kesepakatan orang tanpa perbedaan. Pendapat mereka ini tidak termasuk hal-hal yang mengikat menurut kami dan mereka.
**[Sewa Unta dan Hewan Tunggangan]**
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Menyewa unta untuk membawa pelana, muatan, tunggangan, dan beban lainnya diperbolehkan. Begitu juga menyewa hewan tunggangan untuk pelana, kendali, dan muatan. (Asy-Syafi’i berkata): Tidak diperbolehkan menyewa sesuatu yang tidak terlihat sampai penumpang melihatnya, tempat pelana, alas duduk, dan bagaimana naungannya jika disyaratkan. Karena hal-hal itu berbeda dan bisa berubah. Atau muatan dengan berat atau takaran tertentu, atau wadah yang terlihat, atau jika disyaratkan diketahui seperti karung obat atau semacamnya. (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata: “Aku menyewa pelana atau tunggangan atau muatan darimu,” maka itu batal. Tidakkah kamu melihat jika mereka berselisih, tidak ada batasan untuk ini meski disyaratkan berat? Jika dia berkata: “Muatan,” atau menunjukkan pelana dan berkata: “Yang layak,” maka qiyas dalam semua ini adalah tidak sah karena tidak ada batasannya. Jika disyaratkan berat dan dikatakan “muatan,” atau ditunjukkan pelana, maka sama. Sebagian orang berkata: “Aku membolehkannya sesuai ukuran rata-rata orang.”
(Asy-Syafi’i berkata): Akad sewa tidak sah kecuali dengan ketentuan yang jelas, seperti jual beli yang tidak sah kecuali jelas.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa pelana dari Madinah ke Mekah dengan syarat perjalanan tertentu, itu sah. Jika tidak disyaratkan, yang aku hafal adalah perjalanan yang diketahui, yaitu tahapan perjalanan. Mereka terikat dengan tahapan itu karena itu yang umum dilakukan orang. Jika ada yang berkata: “Mengapa sewa ini tidak batal padahal perjalanan bisa berbeda?” Dijawab: Tidak ada alasan untuk membatalkan. Jika ditanya: “Dengan apa kamu mengqiyaskannya?” Dijawab: “Dengan mata uang negeri. Negeri punya mata uang, timbangan, dan hasil berbeda. Seseorang boleh menjual dengan dirham tanpa mensyaratkan mata uang tertentu, dan jualannya tidak batal. Dia mendapat mata uang yang umum di negeri itu. Begitu juga, mereka terikat dengan kebiasaan perjalanan orang.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika penyewa ingin melebihi tahapan atau pengendara ingin mempersingkat, itu tidak boleh kecuali dengan kerelaan kedua pihak. Jika perjalanan dengan hitungan hari dan pengendara ingin berhenti lalu mengejar ketertinggalan, atau penyewa ingin demikian, itu tidak boleh bagi salah satunya. Karena itu memberatkan penyewa atau pengendara.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika menyewa unta untuk budaknya dengan perjalanan tertentu, lalu ingin menaikkan malam tanpa siang, atau siang tanpa malam, atau pengendara ingin demikian, itu tidak boleh bagi keduanya. Dia harus menaiki sesuai kebiasaan orang, lalu turun dan berjalan sesuai jarak yang dinaiki, kemudian naik lagi sesuai jarak yang berjalan. Tidak boleh terus berjalan hingga kelelahan atau terus menaiki hingga membahayakan unta. Jika menyewa unta tertentu, dia boleh menaikinya. Jika menyewa muatan tanpa menyebut unta tertentu, dia menaiki yang bisa membawanya. Jika membawa di unta yang kasar, jika itu sangat membahayakan, dia diperintahkan menggantinya. Jika seperti yang biasa dinaiki orang, dia tidak dipaksa mengganti.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika unta terjatuh atau tersandung hingga dikhawatirkan membahayakan penumpang, dia diperintahkan menggantinya.
(Asy-Syafi’i berkata): Dia harus menaikkan wanita di unta yang jinak dan menurunkannya dengan jinak, karena itu kebiasaan wanita. Untuk pria, mereka menaiki sesuai kebiasaan orang. Dia harus menurunkan untuk shalat dan menunggu hingga selesai tanpa terburu-buru, termasuk untuk wudhu. Dia tidak harus menunggu selain hal-hal yang penting.
(Asy-Syafi’i berkata): Pengendara tidak boleh melewati tempat singgah jika ingin mencari rumput, begitu juga penyewa jika ingin menyendiri. Jika mereka berselisih tentang waktu perjalanan, jika pengendara atau penyewa ingin bepergian di panas terik, dilihat kebiasaan orang dalam tahapan yang mereka tuju.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak baik menyewa unta tertentu untuk waktu tertentu. Sewa hanya sah saat akan berangkat. Karena penyewa memanfaatkan apa yang dia terima dari penyewa, dan pengendara tidak wajib menanggung muatan jika unta tertentu mati. Tidak boleh membeli sesuatu yang tidak terlihat untuk waktu tertentu. Sewa hanya sah untuk sesuatu yang dijamin tanpa spesifikasi tertentu.
Seperti tangga, atau pada sesuatu yang disepakati oleh penyewa saat menyewa sebagaimana barang yang dijual disepakati.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa unta tertentu, lalu mengendarainya kemudian unta itu mati, maka unta tersebut dikembalikan dari apa yang telah diambil sesuai sisa waktu sewa, dan penyewa tidak menanggung beban. Hal ini seperti menyewa rumah atau mempekerjakan budak. Beban hanya menjadi tanggungannya jika disyaratkan. Kecuali unta tertentu yang selalu menjadi tanggungan pemilik unta, dan sewa tetap menjadi kewajiban penyewa. Sewa tidak pernah batal karena kematian salah satu atau kedua belah pihak. Sewa tetap menjadi hak pemilik unta jika penyewa yang meninggal, dan menjadi hak penyewa jika pemilik unta yang meninggal. Ahli waris orang yang meninggal wajib menanggung bebannya atau menggantinya dengan yang sepadan. Sedangkan ahli waris pemilik unta, jika mereka mau, dapat melanjutkan sewa. Jika tidak, penguasa boleh menjual harta si pemilik unta dan menyewa orang lain untuk memenuhi beban yang disyaratkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika terjadi perselisihan tentang perjalanan, maka perjalanan harus dilakukan tanpa membebani atau membiarkan unta terlentang. Jika pelana atau naungan rusak, harus diganti dengan yang sepadan. Jika terjadi perselisihan tentang bekal yang sebagian habis, dan pemilik bekal berkata, “Gantilah dengan berat yang sama,” maka yang benar adalah menggantinya hingga beratnya terpenuhi. Ada yang berpendapat bahwa tidak perlu mengganti karena bekal biasanya berkurang sedikit dan tidak perlu diganti, tetapi ini hanya salah satu pendapat—wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata): Hewan tunggangan seperti unta. Jika terjadi perselisihan tentang perjalanan, maka perjalanan harus dilakukan sebagaimana kebiasaan orang, tanpa memberatkan atau mengurangi, sesuai kebanyakan orang. Jika hewan itu sulit dikendalikan, tetapi kesulitannya masih wajar seperti hewan pada umumnya, maka penyewa tetap menanggungnya. Jika sangat berbahaya, dan hewan itu disewa secara spesifik tanpa diketahui kelemahannya, maka penyewa boleh membatalkan sewa. Jika yang disewa adalah kendaraan umum, maka pemilik harus menggantinya dengan hewan lain yang layak.
(Imam Syafi’i berkata): Makanan hewan tunggangan dan unta menjadi tanggungan pemilik. Jika salah satu pihak tidak ada, dan penyewa memberi makan, itu dianggap sukarela kecuali dia melaporkan kepada penguasa. Penguasa sebaiknya menunjuk seseorang untuk memberi makan dan menghitungnya sebagai tanggungan pemilik. Jika tidak ada orang lain selain penyewa, dan ada yang berpendapat bahwa penyewa boleh diperintahkan memberi makan karena hak berkendara tidak terpenuhi tanpa makanan, maka ini adalah kondisi darurat. Tidak ada pilihan lain karena hewan bisa mati, dan penyewa tidak mendapat manfaat sewa.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, penyewa dianggap amanah terhadap dirinya sendiri. Jika pemilik hewan berkata, “Dia hanya memberi makan sekian,” sedangkan si penyewa berkata lebih, maka jika perkataan pemilik diterima, hak pemberi makan akan berkurang. Jika perkataan penyewa yang diterima, maka itu menjadi tanggung jawab pihak lain. Jika dilihat dari kebiasaan pemberian makan hewan sejenis, maka hal itu bisa dijadikan patokan. Beberapa ulama kami menolak qiyas dalam hal ini dan memutuskan berdasarkan keadilan yang paling mendekati jika tidak ada hukum sebelumnya.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian orang mengkritik pendapat ini dan mengatakan bahwa qiyas harus berdasarkan hukum sebelumnya. Namun, pada akhirnya, mereka juga banyak menggunakan pendapat yang mereka kritik. Jika boleh memutuskan berdasarkan keadilan menurut hakim, maka itu adalah pendapat sebagian ulama kami. Jika tidak, maka ahli qiyas pun terkadang meninggalkan qiyas. Wallahu a’lam. Mereka yang sepaham dengan kami mengedepankan kebiasaan umum dan kemaslahatan terdekat, serta memutuskan berdasarkan bukti yang ada. Sedangkan yang berpegang pada qiyas mengembalikan segala sesuatu kepada dasar hukum lalu mengqiyaskannya. Ini kadang bisa berlebihan.
[Masalah seseorang yang menyewa hewan lalu memukulnya hingga mati]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) ia berkata: (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa hewan dari orang lain, lalu ia memukulnya, mencambuknya dengan tali kekang, atau mendorongnya hingga mati, maka ahli pengetahuan tentang berkendara harus dimintai pendapat. Jika ia melakukan hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang dan menurut mereka tidak dikhawatirkan akan merusak, atau ia melakukan pukulan dan cambukan sebagaimana biasa dilakukan pada hewan serupa dalam situasi yang sama, maka aku tidak menganggapnya sebagai kelalaian, dan tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun, jika ia melakukannya di tempat yang berpotensi merusak atau di situasi yang tidak lazim, maka ia dianggap lalai dan wajib mengganti.
Adapun penyewa, statusnya seperti peminjam. Jika pemilik hewan tidak ingin menuntut ganti rugi, maka tidak ada kewajiban. Tetapi jika pemilik ingin menuntut ganti rugi atas pinjaman tersebut, maka penyewa wajib mengganti, baik ia lalai maupun tidak.
Sedangkan pelatih hewan, kebiasaan mereka yang dikenal adalah melatih hewan dengan memukul atau membebani lebih dari yang dilakukan oleh penunggang biasa. Jika ia melakukan hal yang menurut ahli pelatihan hewan merupakan metode pelatihan dan pendisiplinan tanpa kekerasan berlebihan, maka ia tidak wajib mengganti jika hewan tersebut kelelahan. Namun, jika ia melampaui batas ini, ia dianggap lalai dan wajib mengganti. Penyewa hewan juga demikian: jika ia lalai, ia wajib mengganti; jika tidak, ia tidak wajib.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat yang kami pegang tentang peminjam adalah ia wajib mengganti, baik lalai maupun tidak, berdasarkan hadis Nabi ﷺ: “Barang pinjaman wajib dikembalikan.” Ini adalah pendapat terakhir Asy-Syafi’i.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika penggembala melakukan hal yang biasa dilakukan oleh penggembala lainnya, yang diperlukan untuk merawat hewan ternak, atau seperti yang dilakukan pemilik ternak terhadap hewan mereka sendiri untuk melatihnya, dan hal itu dianggap sebagai perbaikan bukan kerusakan, maka ia tidak wajib mengganti meskipun hewan itu rusak. Tetapi jika ia melakukan hal yang dianggap merusak, maka ia wajib mengganti menurut pendapat yang mewajibkan pekerja upahan.
[Masalah pekerja upahan]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) ia berkata: Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata: Semua pekerja upahan sama. Jika terjadi kerusakan di tangan mereka tanpa kesengajaan, maka hanya ada dua pendapat:
- Setiap orang yang menerima upah atas sesuatu wajib menjamin keselamatannya atau mengganti kerusakan.
- Pekerja upahan tidak wajib mengganti kecuali jika ia melampaui batas.
Pendapat pertama berargumen bahwa amanah hanya berlaku jika seseorang menerima sesuatu dengan kerelaan atas keamanannya, bukan karena upah. Sedangkan pendapat kedua berpendapat pekerja upahan hanya wajib mengganti jika ia melampaui batas atau mengambil manfaat untuk dirinya sendiri.
Tidak ada hadis atau atsar yang sahih dari sahabat Nabi ﷺ tentang hal ini, meskipun ada riwayat dari Umar dan Ali yang tidak kuat. Seandainya riwayat itu sahih, maka semua pekerja upahan—baik yang bekerja sendiri, bersama, penjaga, penggembala, atau pengangkut—wajib mengganti.
Jika pekerja upahan hadir menjaga harta, lalu harta itu rusak tanpa kelalaian, ia tidak wajib mengganti. Jika ada pihak lain yang merusak, maka yang wajib mengganti adalah perusak tersebut. Jika pekerja upahan tidak hadir atau lalai, ia wajib mengganti.
Jika terjadi perselisihan antara pekerja dan penyewa tentang cara kerja, maka ahli di bidang tersebut dimintai pendapat. Jika mereka menyatakan pekerja tidak melampaui batas, ia tidak wajib mengganti. Jika sebaliknya, ia wajib mengganti. Jika tidak ada saksi, sumpah pekerja diterima.
Jika pekerja diwajibkan mengganti karena ketidakhadirannya, lalu ada pihak lain yang merusak, pemilik harta boleh memilih menuntut pekerja atau perusak. Jika pekerja sudah mengganti, ia boleh menuntut perusak. Tetapi jika perusak yang mengganti, ia tidak boleh menuntut pekerja.
Jika seseorang menyewa jasa pengangkut dengan takaran dan tempat yang jelas, lalu terjadi kelebihan atau kekurangan, maka ahli bidang tersebut dimintai pendapat apakah hal itu wajar. Jika mereka menyatakan itu wajar, penyewa tidak wajib mengganti. Jika tidak, ia wajib mengganti.
[Perselisihan antara pekerja dan penyewa]
(Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika dua orang berselisih tentang upah tetapi sepakat pada pekerjaan, mereka harus bersumpah, dan pekerja berhak mendapat upah yang semestinya.
Jika mereka berselisih tentang pekerjaan—misalnya penyewa menyuruh mengecat kuning atau menjahit baju, tetapi pekerja mengecat warna lain atau menjahit jubah—maka mereka harus bersumpah. Pekerja wajib mengganti kerusakan dan tidak berhak atas upah. Jika cat menambah nilai, pekerja berhak atas bagiannya. Jika tidak, ia tidak wajib mengganti dan tidak mendapat upah.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat Asy-Syafi’i dalam hal ini adalah perkataan pemilik baju yang dipegang, dan pekerja wajib mengganti kerusakan meskipun sedikit. Pekerja mengaku menerima baju dalam keadaan baik tetapi menyatakan diperintahkan memotong atau mengecat seperti klaimnya. Jika tidak ada bukti, pemilik baju bersumpah, dan pekerja wajib menanggung kerusakan. Jika pekerja menambah nilai (seperti cat), ia berhak atas bagiannya, tetapi tidak mendapat upah.
Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
—
Jika ada tambahan kerajinan pada suatu barang, maka pengrajin menjadi mitra dalam hal itu jika ada sesuatu yang melekat padanya seperti pewarnaan, dan dia tidak mengambil upah apa pun. Jika tidak ada sesuatu yang melekat, maka dia tidak mendapatkan apa-apa.
[Menghidupkan Tanah Mati]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) dia berkata: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata: Aku tidak mendengar kitab ini darinya, tetapi aku membacanya dengan pengetahuan bahwa itu termasuk ucapannya. Dia berkata: Negeri-negeri kaum Muslimin terbagi menjadi dua: yang dihuni dan yang mati. Yang dihuni adalah milik penduduknya, dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi wilayah yang dihuni, seperti jalan, halaman, aliran air, atau lainnya, statusnya sama seperti wilayah yang dihuni, sehingga tidak ada yang bisa menguasainya tanpa izin penduduknya.
Adapun tanah mati terbagi menjadi dua:
- Tanah mati yang sebelumnya dihuni oleh orang-orang tertentu pada masa Islam, kemudian penghuniannya hilang sehingga menjadi tanah mati tanpa penghuni. Tanah seperti ini tetap milik penduduknya seperti wilayah yang dihuni, dan tidak boleh dimiliki oleh siapa pun selain mereka. Demikian pula fasilitasnya, jalan, halaman, aliran air, dan tempat minumnya.
- Tanah mati yang tidak dimiliki oleh siapa pun dalam Islam berdasarkan kebiasaan, tidak pernah dihuni, baik pernah dimiliki pada masa jahiliyah atau tidak. Inilah tanah mati yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ: *”Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”*
Tanah mati seperti ini boleh diberikan oleh penguasa kepada siapa saja yang mampu menghidupkannya, atau dia boleh melindungi sebagiannya untuk kepentingan umum kaum Muslimin.
Setiap tanah mati yang tidak memiliki pemilik, baik yang berada di dekat desa yang ramai, lembah yang dihuni penduduk, padang pasir yang berpenghuni, dekat sungai yang ramai, atau di mana pun, tidak ada perbedaan dalam hukumnya.
Baik tanah itu diberikan oleh khalifah, wali, atau dia melindunginya tanpa pemberian dari siapa pun, semua itu termasuk menghidupkan tanah mati, dan tidak ada perbedaan di antara mereka.
[Yang Termasuk Menghidupkan Tanah]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Menghidupkan tanah mati adalah apa yang diakui oleh masyarakat sebagai penghidupan sesuai dengan jenis tanah yang dihidupkan. Jika berupa tempat tinggal, maka harus dibangun seperti bangunan pada umumnya, baik dari batu, bata, atau tanah liat. Demikian pula jika seseorang menghidupkan tanah untuk rumahnya atau kandang hewan, dia harus membangunnya dengan batu, tanah liat, atau menyediakan air.
Jika dia hanya mengumpulkan tanah untuk pagar atau parit, itu tidak dianggap sebagai penghidupan. Begitu pula jika dia mendirikan tenda dari bulu, pelepah, atau kayu, itu tidak dianggap sebagai penghidupan yang membuatnya memiliki tanah. Selama bangunan itu masih ada, tidak ada yang berhak menghancurkannya. Jika pemiliknya menghancurkannya sendiri, dia tidak lagi memilikinya, dan orang lain boleh menempati serta menghidupkannya.
Ini seperti kemah yang didirikan oleh musafir atau pengembala untuk berteduh. Seseorang lebih berhak atasnya sampai dia meninggalkannya. Begitu pula pagar dari duri atau kayu.
Menghidupkan tanah dengan menanam pohon atau bercocok tanam dianggap seperti membangun. Jika pohon sudah tertanam kuat di tanah, statusnya seperti bangunan. Jika pohonnya hilang, seperti bangunan yang runtuh, maka pemilik tanah tetap memilikinya secara penuh kecuali jika dia melepasnya.
Minimal penghidupan tanah untuk bercocok tanam yang tidak memerlukan air adalah dengan membuat pagar dari batu, tanah liat, pelepah, atau tanah yang dikumpulkan, lalu membajak dan menanaminya. Jika semua ini terpenuhi, maka dia telah menghidupkannya dan berhak memilikinya.
Jika ada aliran air, sungai, atau hujan yang mengairinya, itu juga termasuk penghidupan, karena air adalah milik bersama. Jika dia memiliki sumber air khusus, seperti mata air atau sungai yang dia alirkan ke tanahnya, itu juga dianggap sebagai penghidupan.
(Asy-Syafi’i berkata): Tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun dari kaum Muslimin terbagi menjadi dua:
- Tanah yang boleh dimiliki oleh yang menghidupkannya, seperti tanah untuk pertanian, perkebunan, sumur, mata air, dan fasilitas pendukungnya. Jika seseorang menghidupkannya, baik dengan izin penguasa atau tanpa izin, dia berhak memilikinya, kecuali jika dia melepaskannya.
- Tanah yang manfaatnya bisa diambil langsung tanpa perlu tambahan dari luar, seperti semua jenis tambang (emas, perak, tembaga, belerang, garam, dll.).
Tambang terbagi menjadi dua:
– Tambang yang jelas, seperti garam di gunung yang biasa diambil orang. Tidak boleh ada yang menguasainya, dan semua orang berhak memanfaatkannya.
– Tambang yang tersembunyi, seperti emas dan perak, yang memerlukan usaha untuk mengambilnya. Penguasa boleh memberikannya kepada yang mampu mengelolanya, dengan syarat dia terus bekerja di sana. Jika dia berhenti, orang lain boleh mengambil alih.
Jika seseorang diberi tanah untuk dihidupkan, lalu ditemukan tambang di sana, dia berhak memilikinya seperti tanah lainnya.
[Tanah yang Dihidupkan untuk Orang Lain]
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Muhammad bin Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab ra. pernah mengangkat seorang budaknya bernama Hani sebagai penjaga *hima* (tanah yang dilindungi untuk kepentingan umum). Umar berkata kepadanya: *”Berbuat baiklah kepada manusia, takutlah pada doa orang yang terzalimi, karena doa orang terzalimi mustajab. Izinkan orang miskin dan lemah masuk, tetapi jangan beri hak istimewa kepada Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf. Jika hewan ternak mereka mati, mereka masih memiliki kebun kurma dan tanah pertanian. Tetapi orang miskin jika ternaknya mati, dia akan datang membawa keluarganya dan berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, apakah Engkau akan membiarkan kami?’ Padahal air dan rumput lebih mudah bagiku daripada dinar dan dirham. Demi Allah, mereka mengira aku telah menzalimi mereka, padahal tanah ini adalah tanah mereka. Mereka berperang untuknya di masa jahiliyah dan masuk Islam di atasnya. Jika bukan karena harta yang aku gunakan di jalan Allah, aku tidak akan melindungi sejengkal pun tanah mereka dari kaum Muslimin.”*
Jika riwayat ini shahih, maka aku akan mengambilnya. Ini adalah pendapat yang paling dekat dengan Umar ra. bahwa tidak boleh ada yang memonopoli tanah.
[Larangan Monopoli Tanah]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Diriwayatkan dari Sufyan dari Az-Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Ash-Shab bin Jatsamah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: *”Tidak ada hima (tanah yang dilindungi) kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.”*
Diriwayatkan juga dari banyak ulama bahwa Rasulullah ﷺ pernah melindungi Naqi’ (sebuah daerah).
(Asy-Syafi’i berkata): Dahulu, orang-orang Arab yang kuat jika mendatangi tanah subur, mereka akan membawa anjing ke bukit, lalu melarang orang lain mendekati wilayah sejauh suara anjing itu. Ini mereka lakukan untuk melindungi ternak mereka yang lemah.
Sabda Rasulullah ﷺ *”Tidak ada hima kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya”* berarti tidak boleh ada monopoli tanah untuk kepentingan pribadi. Hima yang dibolehkan adalah untuk kepentingan umum kaum Muslimin, seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ untuk kuda perang dan hewan zakat.
Umar ra. juga pernah melindungi tanah untuk kepentingan umum, bukan untuk dirinya atau keluarganya.
[Kepemilikan Tanah yang Dihidupkan]
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Nabi ﷺ: *”Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang zalim.”*
(Asy-Syafi’i berkata): Yang dimaksud dengan “orang yang zalim” adalah siapa saja yang menggali, menanam, atau membangun di tanah orang lain tanpa hak.
Diriwayatkan dari Sufyan dari Thawus bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: *”Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Tanah yang terlantar adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian untuk kalian.”*
Dalam hadis-hadis ini terdapat dalil bahwa tanah mati bukan milik siapa pun, dan siapa saja yang menghidupkannya berhak memilikinya.
[Peran Penguasa dalam Pembagian Tanah]
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar dari Yahya bin Ja’dah: *”Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau membagikan tanah kepada orang-orang. Seorang dari Bani Zahrah berkata: ‘Kenapa anak Ummu Abd (maksudnya Rasulullah) tidak memberi kami bagian?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Lalu untuk apa Allah mengutusku? Sesungguhnya Allah tidak menyucikan umat yang tidak menegakkan hak orang lemah di antara mereka.’”*
Ini menunjukkan bahwa penguasa wajib membagikan tanah kepada yang membutuhkan.
Rasulullah ﷺ dan Umar ra. pernah membagikan tanah mati kepada kaum Muslimin. Sabda Rasulullah ﷺ *”Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”* adalah ketetapan umum yang membolehkan kepemilikan tanah bagi yang menghidupkannya.
[Tanah yang Dikuasai Secara Paksa]
(Asy-Syafi’i berkata): Tanah yang diperoleh melalui peperangan di negeri kafir menjadi milik kaum Muslimin yang menaklukkannya. Tanah itu dibagi menjadi lima bagian: satu bagian untuk baitulmal dan empat bagian untuk pasukan yang berperang.
Jika ada tambang di tanah yang dibagikan, maka itu milik pemilik tanah tersebut.
[Kesimpulan]
(Asy-Syafi’i berkata): Tanah mati boleh dihidupkan oleh siapa saja, dan penguasa boleh membagikannya untuk kemaslahatan umum. Tidak boleh ada monopoli tanah, kecuali untuk kepentingan bersama.
—
Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa Indonesia yang formal dan mudah dipahami, dengan tetap mempertahankan makna aslinya. Beberapa bagian yang panjang dan berulang disingkat untuk menjaga kejelasan.
Dokumen dalam Tahanan
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i melalui dikte, berkata: Ini adalah dokumen yang ditulis oleh Fulan bin Fulan Al-Fulani dalam keadaan sehat jasmani dan akalnya, serta sah urusannya, pada bulan tertentu tahun tertentu. Aku menyedekahkan rumahku yang berada di Fustat, Mesir, di lokasi tertentu, dengan batas-batas tertentu: satu batas berakhir di suatu tempat, kedua, ketiga, dan keempat. Aku menyedekahkan seluruh tanah rumah ini beserta bangunannya, termasuk kayu, konstruksi, pintu, dan segala yang ada di dalamnya, jalan aksesnya, saluran airnya, fasilitasnya, dan segala yang kecil maupun besar yang menjadi bagian darinya, serta segala hak yang melekat padanya, baik di dalam maupun di luarnya. Aku mewakafkannya sebagai sedekah yang abadi, ditujukan semata untuk mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa keraguan atau penarikan kembali. Wakaf ini bersifat tetap, tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihibahkan hingga Allah mewarisi bumi dan segala isinya, dan Dia adalah sebaik-baik pewaris.
Aku telah mengeluarkannya dari kepemilikanku dan menyerahkannya kepada Fulan bin Fulan untuk mengelolanya sendiri atau melalui orang lain yang aku sedekahkan kepadanya, sesuai syarat yang aku tetapkan dalam dokumen ini. Syaratku adalah bahwa sedekah ini diperuntukkan bagi anak-anak kandungku, baik laki-laki maupun perempuan, yang hidup saat ini atau akan lahir di kemudian hari. Aku memperlakukan mereka sama, laki-laki dan perempuan, kecil maupun besar, secara adil dalam hak menempati dan mengambil manfaatnya, tanpa mendahulukan satu atas yang lain selama putri-putriku belum menikah. Jika salah satu putriku menikah dan tinggal bersama suaminya, haknya terputus selama ia bersama suami, dan hak tersebut beralih kepada ahli sedekah yang tersisa sesuai ketentuan sedekahku. Mereka berhak atasnya secara adil selama ia bersama suami.
Jika ia kembali karena suaminya meninggal atau bercerai, haknya atas rumahku kembali seperti sebelum menikah. Setiap putriku yang menikah tunduk pada syarat yang sama: ia keluar dari sedekahku saat menikah dan haknya kembali jika bercerai atau suaminya meninggal. Tidak ada yang keluar dari sedekahku kecuali karena menikah.
Jika salah satu anak kandungku, laki-laki atau perempuan, meninggal, haknya beralih kepada yang masih hidup. Jika tidak ada lagi anak kandungku yang hidup, sedekah ini menjadi wakaf bagi cucu-cucuku dari garis laki-laki. Anak dari garis perempuan tidak memiliki hak. Cucu-cucuku, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama seperti anak kandungku, dengan syarat yang sama: perempuan keluar karena menikah dan kembali jika bercerai atau suaminya meninggal. Setiap keturunan baru dari cucuku, laki-laki atau perempuan, termasuk dalam sedekahku. Jika salah satu meninggal, haknya beralih kepada yang masih hidup hingga tidak ada lagi keturunan dari cucuku.
Jika tidak ada lagi keturunan dari cucuku, sedekah ini dengan syarat yang sama berlaku untuk keturunan berikutnya dari garis laki-laki. Perempuan keluar karena menikah dan kembali jika suaminya meninggal atau bercerai. Setiap keturunan baru dari garis ini masuk dalam sedekahku, tetapi keturunan dari garis perempuan tidak termasuk kecuali jika ia juga termasuk dalam garis laki-laki.
Sedekah ini berlaku abadi bagi keturunanku yang sah, betapapun jauh generasinya, hingga seratus generasi atau lebih. Jika seluruh keturunanku punah, rumah ini menjadi wakaf sedekah yang tidak boleh dijual atau dihibahkan, diperuntukkan bagi kerabat dekat yang membutuhkan dari garis ayah dan ibuku, laki-laki dan perempuan, yang lebih dekat atau jauh, secara adil. Jika mereka punah, wakaf ini beralih kepada mantan budak yang telah aku merdekakan atau yang dimerdekakan oleh leluhurku, beserta anak dan keturunan mereka, laki-laki dan perempuan.
Jika mereka punah, wakaf ini diperuntukkan bagi pejuang Muslim, musafir, fakir miskin di sekitar rumah ini, penduduk Fustat, dan siapa saja yang membutuhkan hingga Allah mewarisi bumi dan segala isinya.
Pengelola rumah ini adalah putraku, Fulan bin Fulan, yang aku tunjuk selama hidupku dan setelah kematianku, selama ia mampu dan amanah dalam mengelola hasilnya serta adil dalam pembagian dan penempatan ahli sedekah sesuai hak mereka. Jika ia tidak mampu atau tidak amanah, pengelolaan beralih kepada anakku yang paling saleh dan amanah dengan syarat yang sama. Setiap generasi yang menerima sedekah ini harus mengelolanya dengan cara terbaik. Jika suatu generasi tidak memiliki orang yang layak, qadi Muslim berwenang menunjuk pengelola dari kerabat terdekat atau mantan budak. Jika tidak ada, qadi boleh memilih orang Muslim yang layak.
Setiap pengelola wajib merawat rumah ini, memperbaiki kerusakan, membuka pintu yang diperlukan, dan membagikan hasilnya secara adil. Penguasa Muslim tidak boleh mencabut pengelolaan dari orang yang layak kecuali ada alasan syar’i.
Disaksikan oleh Fulan bin Fulan dan saksi-saksi lainnya.
Dalam perbedaan pendapat antara Malik dan Asy-Syafi’i, bab “Keputusan tentang Hibah”:
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i rahimahullah, berkata: Diriwayatkan oleh Malik dari Dawud bin Al-Hushain dari Abi Al-Ghathfan bin Tharif Al-Murri dari Marwan bin Al-Hakam bahwa Umar bin Al-Khaththab berkata: “Siapa yang memberi hibah untuk menyambung silaturahmi atau sebagai sedekah, ia tidak boleh menariknya kembali. Tetapi jika hibah diberikan untuk mengharap pahala, ia boleh menariknya kembali jika tidak puas.”
Malik berpendapat jika hibah berubah nilai di tangan penerima, penerima wajib mengganti nilainya saat diterima. Aku (Asy-Syafi’i) bertanya kepada Malik, dan ia menjawab sesuai pendapat Umar bahwa pemberi hibah berhak memilih selama belum puas, bahkan jika ia telah memberi berkali-kali lipat. Namun, mazhab kami berbeda dengan riwayat Umar.
[Perbedaan Pendapat Ulama Irak tentang Sedekah dan Hibah]
Asy-Syafi’i berkata: Jika seorang wanita memberi hibah kepada suaminya, atau melepaskan hak maharnya, lalu ia mengaku dipaksa dan membuktikannya, Abu Hanifah menolak buktinya dan mengesahkan hibah tersebut, sedangkan Ibn Abi Layla menerima bukti dan membatalkan hibah.
Jika seorang wanita bersedekah kepada suaminya atau melepaskan hak mahar, lalu membuktikan paksaan, sedekah itu batal karena suami berpotensi memaksa.
Jika seseorang memberi hibah berupa rumah, lalu penerima merenovasinya dengan biaya besar, atau hibah berupa budak perempuan yang kemudian dewasa dan terlatih, Abu Hanifah berpendapat pemberi tidak boleh menarik kembali hibah yang nilainya meningkat. Ibn Abi Layla berpendapat pemberi boleh menarik kembali hibah beserta hasilnya, seperti anak yang lahir dari budak hibah.
Asy-Syafi’i berpendapat: Jika hibah diberikan untuk mengharap pahala, pemberi boleh menariknya selama belum puas, kecuali jika nilai hibah bertambah di tangan penerima. Untuk rumah, penerima berhak atas renovasi selama ia pemilik sah.
Jika seorang ayah menghibahkan budak kepada anak dewasa yang masih dalam tanggungannya, Abu Hanifah mensyaratkan penyerahan fisik, sedangkan Ibn Abi Layla menganggap hibah sah tanpa penyerahan jika anak masih dalam tanggungan.
Asy-Syafi’i berpendapat: Hibah tidak sah tanpa penyerahan fisik, kecuali untuk anak kecil. Ini sesuai riwayat dari Abu Bakar, Aisyah, dan Umar.
Jika hibah diberikan kepada dua orang dan mereka menerimanya bersama, Abu Hanifah mensyaratkan pembagian, sedangkan Ibn Abi Layla mengesahkan hibah tanpa pembagian.
Jika dua orang memberi hibah kepada satu orang, hibah sah. Abu Yusuf menyamakan keduanya.
Asy-Syafi’i berpendapat: Hibah sah tanpa pembagian jika objeknya tidak bisa dibagi, seperti rumah utuh, makanan, atau pakaian.
Jika salah satu pemilik rumah menghibahkan bagiannya kepada rekan pemilik tanpa pembagian, Abu Hanifah membatalkan hibah, sedangkan Ibn Abi Layla mengesahkannya.
Penyerahan hibah berarti penerima menguasai objek tanpa halangan. Penyerahan dalam hibah sama dengan penyerahan dalam jual beli.
Jika penerima hibah memberi imbalan kepada pemberi, Abu Hanifah mengesahkan tanpa hak syuf’ah (hak beli preferensi), sedangkan Asy-Syafi’i mensyaratkan niat pemberi: jika untuk pahala, ada hak syuf’ah; jika tidak, tidak ada.
Jika hibah diberikan saat sakit dan belum diserahkan hingga pemberi meninggal, Abu Hanifah membatalkannya, sedangkan Ibn Abi Layla mengesahkan dari sepertiga harta.
Asy-Syafi’i berpendapat: Hibah yang belum diserahkan sebelum pemberi meninggal batal dan menjadi hak ahli waris.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Sedekah tidak sah tanpa penyerahan.” Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengikuti pendapat ini.
Asy-Syafi’i berkata: Pemberi hibah tidak boleh menarik kembali hibah yang telah diberi imbalan, sedikit atau banyak.
(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa hibah dengan syarat imbalan batal karena imbalannya tidak jelas. Jika hibah tanpa syarat dan telah diserahkan, pemberi tidak boleh menariknya kembali. Ini sesuai pendapat Asy-Syafi’i.
[Bab tentang Umra dalam Kitab Perbedaan Pendapat antara Malik dan Syafi’i]
– Semoga Allah meridhai keduanya –
(Imam Syafi’i berkata): Aku bertanya kepada Imam Syafi’i tentang seseorang yang memberikan umra untuk dirinya dan keturunannya. Beliau menjawab, “Umra itu menjadi milik penerimanya dan tidak kembali kepada pemberinya.” Aku bertanya, “Apa dalilnya?” Beliau menjawab, “Sunnah yang sahih dari hadis orang-orang dan hadis Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Diriwayatkan oleh Malik) dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa pun yang memberikan umra untuk dirinya dan keturunannya, maka umra itu menjadi milik penerimanya dan tidak kembali kepada pemberinya,” karena ia telah memberikan pemberian yang berlaku padanya hukum waris.
(Imam Syafi’i berkata): “Inilah pendapat yang kami ambil dan diikuti oleh kebanyakan ulama di berbagai negeri selain Madinah, serta para ulama besar Madinah. Hadis ini juga diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit selain Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Aku berkata kepada Imam Syafi’i, “Tetapi kami berbeda pendapat dalam hal ini.” Beliau bertanya, “Kalian berbeda pendapat padahal kalian meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Aku menjawab, “Argumen kami adalah bahwa Malik berkata, ‘Yahya bin Sa’id mengabarkan kepadaku dari Abdurrahman bin Al-Qasim bahwa ia mendengar Makhul Ad-Dimasyqi bertanya kepada Al-Qasim bin Muhammad tentang umra dan pendapat orang-orang mengenainya.’ Al-Qasim menjawab, ‘Aku tidak menemui orang-orang kecuali mereka berpegang pada syarat-syarat mereka dalam harta dan pemberian mereka.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Al-Qasim tidak menjawab tentang umra dengan sesuatu pun, ia hanya mengabarkan bahwa orang-orang berpegang pada syarat-syarat mereka. Jika ada yang berpendapat bahwa umra termasuk harta dan syarat di dalamnya diperbolehkan, maka orang-orang boleh membuat syarat-syarat dalam harta mereka meskipun tidak diperbolehkan. Jika ada yang bertanya, ‘Apa contohnya?’ Dijawab, ‘Seseorang membeli budak dengan syarat ia memerdekakannya dan perwaliannya kembali kepada penjual. Jika ia memerdekakannya, maka budak itu merdeka dan perwaliannya untuk yang memerdekakan, sedangkan syaratnya batal.’ Jika ada yang berkata, ‘Sunnah menunjukkan batalnya syarat ini,’ kami katakan, ‘Sunnah juga menunjukkan batalnya syarat dalam umra. Mengapa kalian terkadang mengambil Sunnah dan terkadang meninggalkannya?’ Padahal, jika perkataan Al-Qasim – semoga Allah merahmatinya – dimaksudkan untuk umra, lalu ia berkata, ‘Mereka berpegang pada syarat-syarat mereka dalam hal itu,’ ini tidak bisa menolak hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Jika ada yang bertanya, “Mengapa?” Kami jawab, “Kami tidak mengetahui bahwa Al-Qasim mengatakan ini kecuali berdasarkan kabar dari Yahya dari Abdurrahman darinya. Demikian pula, kami mengetahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang umra dari hadis Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan lainnya. Jika kami menerima kabar dari orang-orang yang jujur, maka riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih kuat daripada riwayat dari Al-Qasim. Tidak ada keraguan bagi seorang ulama bahwa apa yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk diikuti daripada pendapat orang-orang setelahnya, yang mungkin saja tidak mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak sampai kepada mereka sesuatu darinya, dan mereka adalah orang-orang yang tidak kami kenal.”
Jika ada yang berkata, “Al-Qasim tidak mengatakan ‘orang-orang’ kecuali merujuk kepada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau ulama yang tidak mengabaikan Sunnah Nabi, tidak pernah bersepakat berdasarkan pendapat semata, dan hanya bersepakat berdasarkan Sunnah,” maka kami jawab, “Malik telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa seorang lelaki memiliki budak perempuan milik suatu kaum. Ia berkata kepada pemiliknya, ‘Uruslah budak ini.’ Orang-orang berpendapat bahwa itu dihitung satu talak, sedangkan kalian berpendapat itu tiga talak. Jika ditanyakan kepada kalian, ‘Mengapa kalian tidak mengikuti pendapat Al-Qasim dan orang-orang bahwa itu satu talak?’ Kalian menjawab, ‘Kami tidak tahu siapa orang-orang yang Al-Qasim riwayatkan ini dari mereka.’ Jika perkataan Al-Qasim tentang pendapat orang-orang tidak menjadi hujah bagi kalian menurut pendapat kalian sendiri, maka itu lebih jauh lagi untuk dijadikan hujah atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika itu dianggap hujah, maka kalian telah salah karena menyelisihinya dengan pendapat kalian sendiri. Kami juga meriwayatkan dari Ibnu Umar tentang umra yang sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah) dari Amr bin Dinar dan Humaid Al-A’raj dari Habib bin Abi Tsabit, ia berkata, “Aku berada di sisi Ibnu Umar ketika seorang badui datang dan berkata, ‘Aku telah memberikan seekor unta kepada anakku semasa hidupku, dan unta itu telah beranak pinak.’ Ibnu Umar berkata, ‘Unta itu miliknya selama hidup dan setelah matinya.’ Orang itu berkata, ‘Aku telah menyedekahkannya untuknya.’ Ibnu Umar menjawab, ‘Itu lebih jauh bagimu dari unta itu.'”
(Diriwayatkan oleh Sufyan) dari Ibnu Abi Najih dari Habib bin Abi Tsabit dengan redaksi serupa, hanya saja ia mengatakan ‘untanya telah tua dan lemah.’
(Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i) bahwa Sufyan bin Uyainah mengabarkan dari Amr bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar bahwa Thariq memutuskan di Madinah tentang umra berdasarkan perkataan Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah) dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Hijr Al-Madari dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan umra untuk ahli waris.
(Diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah) dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian memberikan umra atau ruqba. Barangsiapa memberikan umra atau ruqba, maka itu mengikuti hukum waris.”
(Diriwayatkan oleh Sufyan) dari Ayyub dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Aku menyaksikan Syuraih memutuskan umra untuk seorang tunanetra. Orang itu bertanya, ‘Wahai Abu Umayyah, atas dasar apa engkau memutuskanku?’ Syuraih menjawab, ‘Bukan aku yang memutuskannya untukmu, tetapi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskannya untukmu sejak empat puluh tahun lalu. Beliau bersabda, ‘Barangsiapa memberikan umra selama hidupnya, maka itu untuk ahli warisnya jika ia meninggal.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Mengapa kalian meninggalkan penjelasan tentang umra padahal ia sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan itu juga pendapat Zaid bin Tsabit, Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Sulaiman bin Yasar, Urwah bin Az-Zubair, dan demikian pula amalan di masa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kalangan kalian? Hanya karena keraguan terhadap perkataan Al-Qasim, padahal kalian menemukan dalam perkataan Al-Qasim – yaitu tentang seorang lelaki yang berkata kepada budak perempuan suatu kaum, ‘Uruslah budak ini,’ lalu orang-orang berpendapat itu satu talak – kemudian kalian menyelisihinya dengan pendapat kalian sendiri dan apa yang diriwayatkan Al-Qasim dari orang-orang.”
Dalam sebagian naskah, disebutkan dari ibu tentang umra.
(Imam Syafi’i berkata): “Diriwayatkan dari Rabi’ah bahwa ia meninggalkan hadis umra karena berargumen bahwa waktu telah lama berlalu dan kemungkinan ada kesalahan dalam riwayat. Padahal Az-Zuhri meriwayatkan dari Abu Salamah dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Barangsiapa memberikan umra untuk dirinya dan keturunannya, maka itu milik penerimanya dan tidak kembali kepada pemberinya, karena ia telah memberikan pemberian yang berlaku padanya hukum waris.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Sufyan telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa memberikan umra, maka itu miliknya.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Hijr Al-Madari dari Zaid bin Tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, ‘Umra itu untuk ahli waris.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr bin Dinar dan Ibnu Abi Najih dari Habib bin Abi Tsabit, ia berkata, ‘Kami berada di sisi Abdullah bin Umar ketika seorang badui datang dan berkata, ‘Aku telah memberikan seekor unta kepada sebagian anakku selama hidupnya.’ Dalam hadis disebutkan bahwa unta itu telah beranak pinak. Ibnu Abi Najih dalam riwayatnya mengatakan, ‘Unta itu telah tua dan lemah.’ Ibnu Umar berkata, ‘Unta itu miliknya selama hidup dan setelah matinya.’ Orang itu berkata, ‘Aku telah menyedekahkannya untuknya.’ Ibnu Umar menjawab, ‘Itu lebih jauh bagimu dari unta itu.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Sufyan dan Abdul Wahhab mengabarkan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin bahwa Syuraih memutuskan umra untuk seorang tunanetra. Orang itu bertanya, ‘Atas dasar apa engkau memutuskanku, wahai Abu Umayyah?’ Syuraih menjawab, ‘Bukan aku yang memutuskannya untukmu, tetapi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskannya untukmu sejak empat puluh tahun lalu. Beliau memutuskan bahwa barangsiapa memberikan umra selama hidupnya, maka itu miliknya selama hidup dan setelah matinya.’ Sufyan dan Abdul Wahhab berkata, ‘Itu untuk ahli warisnya jika ia meninggal.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Mengapa kalian meninggalkan ini, padahal ia diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Jabir bin Abdullah dari berbagai jalur yang sahih, Zaid bin Tsabit, dan difatwakan oleh Jabir di Madinah, difatwakan oleh Ibnu Umar, serta difatwakan oleh kebanyakan penduduk negeri-negeri? Aku tidak mengetahui mereka berselisih dalam hal ini, hanya karena Yahya bin Sa’id mengabarkan dari Abdurrahman bin Al-Qasim bahwa ia mendengar Makhul bertanya kepada Al-Qasim bin Muhammad tentang umra dan pendapat orang-orang mengenainya. Al-Qasim menjawab, ‘Aku tidak menemui orang-orang kecuali mereka berpegang pada syarat-syarat mereka dalam harta dan pemberian mereka.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Al-Qasim – semoga Allah merahmatinya – tidak menjawab tentang umra dengan sesuatu pun. Ia hanya mengabarkan bahwa ia menemui orang-orang berpegang pada syarat-syarat mereka, dan tidak mengatakan bahwa umra termasuk syarat-syarat yang dipegang orang-orang. Bisa jadi Al-Qasim tidak mendengar hadis tersebut, dan seandainya ia mendengarnya, ia tidak akan menyelisihinya insya Allah.”
Beliau berkata, “Jika ada yang berpendapat seperti pendapatnya, lalu ada yang membantah dengan mengatakan, ‘Aku khawatir ada kesalahan dalam riwayat dari Al-Qasim,’ padahal hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana kami jelaskan diriwayatkan dari berbagai jalur yang bersanad, maka dikatakan, ‘Tidak boleh menuduh orang-orang yang hafal melakukan kesalahan.’ Jika ia berkata, ‘Tidak boleh,’ kami katakan, ‘Apa yang sah dari Nabi lebih utama untuk diikuti oleh pemeluk agama Allah daripada perkataan Al-Qasim, ‘Aku menemui orang-orang,’ sementara kami tidak mengenal orang-orang yang ia riwayatkan ini dari mereka.’ Jika ia berkata, ‘Tidak mungkin orang seperti Al-Qasim dengan ilmunya mengatakan, ‘Aku menemui orang-orang,’ kecuali orang-orang yang ia temui adalah para imam yang wajib diikuti pendapatnya,’ maka kami katakan, ‘Yahya bin Sa’id telah meriwayatkan dari Al-Qasim bahwa seorang lelaki memiliki budak perempuan milik suatu kaum. Ia berkata kepada pemiliknya, ‘Uruslah budak ini.’ Orang-orang berpendapat itu satu talak, sedangkan kalian berpendapat itu tiga talak. Jika ditanyakan kepada kalian, ‘Mengapa kalian tidak mengikuti pendapat Al-Qasim dan orang-orang bahwa itu satu talak?’ Kalian menjawab, ‘Kami tidak tahu siapa orang-orang yang Al-Qasim riwayatkan ini dari mereka.’ Jika perkataan Al-Qasim tentang pendapat orang-orang tidak menjadi hujah bagi kalian menurut pendapat kalian sendiri, maka itu lebih jauh lagi untuk dijadikan hujah atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika itu dianggap hujah, maka kalian telah salah karena menyelisihinya dengan pendapat kalian sendiri. Kami meriwayatkan dari Ibnu Umar tentang umra yang sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah) dari Amr bin Dinar dan Humaid Al-A’raj dari Habib bin Abi Tsabit, ia berkata, “Aku berada di sisi Ibnu Umar ketika seorang badui datang dan berkata, ‘Aku telah memberikan seekor unta kepada anakku semasa hidupku, dan unta itu telah beranak pinak.’ Ibnu Umar berkata, ‘Unta itu miliknya selama hidup dan setelah matinya.’ Orang itu berkata, ‘Aku telah menyedekahkannya untuknya.’ Ibnu Umar menjawab, ‘Itu lebih jauh bagimu dari unta itu.'”
(Diriwayatkan oleh Sufyan) dari Ibnu Abi Najih dari Habib bin Abi Tsabit dengan redaksi serupa, hanya saja ia mengatakan ‘untanya telah tua dan lemah.’
(Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i) bahwa Sufyan bin Uyainah mengabarkan dari Amr bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar bahwa Thariq memutuskan di Madinah tentang umra berdasarkan perkataan Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah) dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Hijr Al-Madari dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan umra untuk ahli waris.
(Diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah) dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian memberikan umra atau ruqba. Barangsiapa memberikan umra atau ruqba, maka itu mengikuti hukum waris.”
(Diriwayatkan oleh Sufyan) dari Ayyub dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Aku menyaksikan Syuraih memutuskan umra untuk seorang tunanetra. Orang itu bertanya, ‘Wahai Abu Umayyah, atas dasar apa engkau memutuskanku?’ Syuraih menjawab, ‘Bukan aku yang memutuskannya untukmu, tetapi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskannya untukmu sejak empat puluh tahun lalu. Beliau bersabda, ‘Barangsiapa memberikan umra selama hidupnya, maka itu untuk ahli warisnya jika ia meninggal.'”
(Imam Syafi’i berkata): “Mengapa kalian meninggalkan penjelasan tentang umra padahal ia sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan itu juga pendapat Zaid bin Tsabit, Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Sulaiman bin Yasar, Urwah bin Az-Zubair, dan demikian pula amalan di masa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kalangan kalian? Hanya karena keraguan terhadap perkataan Al
Siapa yang mengetahuinya boleh menikmatinya, dan demikianlah sunnah yang tetap dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Hadits Ibnu Mas’ud mirip dengan sunnah. Namun, mereka menyelisihi semua ini dan meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amir dari ayahnya dari Abdullah bahwa ia membeli seorang budak perempuan, lalu pemiliknya pergi. Maka mereka menyedekahkan harganya dan berkata: “Ya Allah, (sedekah ini) untuk pemiliknya. Jika ia tidak suka, maka tanggungannya ada padaku.” Kemudian ia berkata: “Demikianlah kami lakukan terhadap barang temuan.” Mereka menyelisihi sunnah dalam hal barang temuan yang tidak ada dalilnya, dan menyelisihi hadits Ibnu Mas’ud yang sesuai dengan sunnah, padahal hadits itu tetap menurut mereka dan mereka berhujah dengannya. Namun, mereka justru menyelisihi hadits dari ‘Amir dalam hal yang sama, dengan mengatakan: “Jika penjual pergi, pembeli tidak boleh menyedekahkan harganya, tetapi harus menahannya sampai pemiliknya datang kapan pun ia datang.”
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) ia berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata tentang anak yang dibuang: “Ia merdeka dan tidak ada kewalian baginya. Kaum muslim hanya mewarisinya karena mereka diberi hak atas setiap harta yang tidak memiliki pemilik. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengambil harta seorang Nasrani yang tidak memiliki ahli waris? Seandainya mereka memerdekakannya, mereka tidak akan mengambil hartanya melalui kewalian. Tetapi mereka diberi hak atas harta yang tidak memiliki pemilik. Jika kaum muslim mewarisinya, wajib bagi imam untuk tidak memberikannya kepada salah seorang muslim lebih dari yang lain, dan orang-orang pasar serta Arab dari kalangan muslim harus diperlakukan sama. Kemudian wajib baginya untuk menjadikan kewaliannya pada hari ibunya melahirkannya kepada sekumpulan orang muslim yang masih hidup, baik laki-laki maupun perempuan. Lalu ia menjadikan warisannya untuk ahli warisnya dari kalangan muslim yang masih hidup, yaitu laki-laki saja tanpa perempuan, sebagaimana kewalian diwariskan. Tetapi ini adalah harta seperti yang kami jelaskan, tidak memiliki pemilik, dan dikembalikan kepada kaum muslim. Imam menempatkannya berdasarkan ijtihad di mana ia memandang tepat.”
Dalam riwayat sirah Al-Auza’i: Seorang anak kecil ditawan lalu meninggal. Abu Hanifah – rahimahullah – ditanya tentang seorang anak kecil yang ditawan, sedangkan ayahnya kafir, dan mereka berdua menjadi bagian seorang lelaki (dalam pembagian rampasan perang). Kemudian ayahnya meninggal dalam keadaan kafir, lalu anak itu meninggal sebelum mengucapkan keislaman. Abu Hanifah berkata: “Tidak dishalati, karena ia mengikuti agama ayahnya, sebab ia tidak mengikrarkan Islam.” Al-Auza’i berkata: “Maulanya lebih berhak daripada ayahnya, ia dishalati.” Ia juga berkata: “Seandainya ayahnya tidak bersamanya dan ayahnya keluar sebagai musta’man (dengan jaminan keamanan), maulanya boleh menjualnya kepada ayahnya.” Abu Yusuf berkata: “Jika ayahnya tidak ditawan bersamanya, ia menjadi muslim, dan maulanya tidak boleh menjualnya kepada ayahnya jika ia masuk dengan jaminan keamanan.” Ini membatalkan pendapat Al-Auza’i bahwa tidak masalah membeli tawanan dan mengembalikannya ke darul harb (negeri perang). Dalam masalah sebelumnya, pendapat yang benar adalah seperti yang dikatakan Abu Hanifah: “Jika anak itu bersama kedua orang tuanya atau salah satunya, ia mengikuti agama mereka sampai mengikrarkan Islam. Jika tidak bersama keduanya atau salah satunya, ia dianggap muslim.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menawan wanita dan anak-anak Bani Quraizhah, lalu menjual mereka kepada orang-orang musyrik. Abu Asy-Syahm Al-Yahudi membeli keluarga seorang nenek tua beserta anaknya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengirim sisa tawanan dalam tiga bagian: sepertiga ke Tihamah, sepertiga ke Najd, dan sepertiga ke jalan Syam.” Mereka dijual dengan harga kuda, senjata, unta, dan harta. Di antara mereka ada anak kecil dan dewasa. Kemungkinan ini terjadi karena ibu-ibu anak-anak bersama mereka, atau mungkin ada anak yang tidak memiliki ibu. Jika mereka ditawan bersama ibu-ibu mereka, tidak masalah menjual mereka kepada orang musyrik. Demikian pula jika ditawan bersama ayah mereka. Jika ibu atau ayah mereka meninggal sebelum mereka baligh dan mengikrarkan Islam, kita tidak boleh menshalati mereka karena mereka mengikuti agama ibu dan ayah mereka. Jika wanita-wanita itu sudah baligh, kita boleh menjual mereka setelah kematian ibu-ibu mereka yang musyrik, karena kita telah menetapkan hukum kekafiran atas mereka ketika kita tidak menshalati mereka, sebagaimana kita menetapkannya ketika mereka bersama ayah mereka. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Jika hukum kekafiran berlaku atas mereka, kita boleh menjual mereka kepada orang musyrik.
Demikian pula wanita dewasa telah “meminta Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – seorang budak perempuan dewasa dari salah seorang sahabatnya, lalu beliau menebus dengannya dua orang laki-laki.”
[Perbedaan Pendapat antara Malik dan Syafi’i dalam Bab Anak Temuan]
Dan diterjemahkan dalam perbedaan pendapat antara Malik dan Syafi’i pada bab anak temuan: (Mengabarkan kepada kami) Malik dari Ibnu Syihab dari Sunain Abu Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim, bahwa ia menemukan seorang anak temuan pada masa Umar bin Khattab, lalu ia membawanya kepada Umar. Umar bertanya, “Apa yang mendorongmu mengambil nyawa ini?” Ia menjawab, “Aku menemukannya tersia-sia, maka aku mengambilnya.” Pemimpin sukunya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah orang yang saleh.” Umar bertanya, “Benarkah demikian?” Ia menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Pergilah, ia merdeka, perwaliannya untukmu, dan nafkahnya menjadi tanggungan kami.” Malik berkata, “Kesepakatan yang berlaku di antara kami tentang anak temuan adalah bahwa ia merdeka dan perwaliannya untuk kaum Muslimin.” Aku bertanya kepada Syafi’i, maka kami mengambil pendapat Malik.
(Syafi’i berkata), “Sungguh, kalian telah meninggalkan apa yang diriwayatkan dari Umar tentang anak temuan. Jika kalian meninggalkannya karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Perwalian itu bagi yang memerdekakan,’ maka kalian berpendapat bahwa hal itu menunjukkan perwalian hanya bagi yang memerdekakan dan tidak beralih dari yang memerdekakan. Kalian telah menyelisihi Umar dengan berdalil kepada Sunnah, kemudian menyelisihi Sunnah dengan berpendapat bahwa as-saibah (budak yang dimerdekakan tanpa sebab) perwaliannya bukan bagi yang memerdekakannya, padahal ia adalah yang memerdekakan. Maka, kalian telah menyelisihi keduanya dan menyelisihi Sunnah dalam kasus Nasrani yang memerdekakan budak Muslim, dengan berpendapat tidak ada perwalian baginya, padahal ia yang memerdekakan. Kalian juga menyelisihi Sunnah dalam kasus anak temuan, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Sesungguhnya perwalian itu bagi yang memerdekakan.’ Ini menafikan perwalian bagi yang memerdekakan, sedangkan anak temuan tidak dimerdekakan oleh siapa pun dan tidak ada perwalian baginya. Maka, siapa yang bersepakat meninggalkan Sunnah dan menyelisihi Umar? Aduhai, siapakah orang-orang yang bersepakat ini? Mereka tidak disebutkan namanya, kami tidak mengenal mereka. Hanya Allah tempat meminta pertolongan. Allah tidak membebani seseorang untuk mengambil agamanya dari orang yang tidak dikenalnya. Seandainya dibebankan, bolehkah ia menerima dari orang yang tidak dikenal? Sungguh, ini adalah kelalaian yang panjang. Aku tidak mengetahui seorang pun yang diambil ilmunya lalu dikritik seperti ini dalam pendapatnya: seseorang meninggalkan riwayat tentang anak temuan dari Umar karena Sunnah, kemudian meninggalkan Sunnah dalam kasus lain seperti as-saibah dan Nasrani yang memerdekakan budak Muslim.”
(Syafi’i berkata), “Sebagian orang telah menyelisihi kami dalam hal ini, dan pendapat mereka lebih kuat daripada pendapat kalian. Mereka berkata, ‘Kita mengikuti apa yang datang dari Umar tentang anak temuan, karena hal itu mungkin tidak bertentangan dengan Sunnah, dan Sunnah berlaku bagi yang memerdekakan dalam kasus yang tidak ada perwaliannya.’ Mereka menjadikan perwalian seorang laki-laki yang masuk Islam di tangannya untuk kaum Muslim berdasarkan hadits Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga berkata dalam kasus as-saibah dan Nasrani yang memerdekakan budak Muslim seperti pendapat kami. Kami berpendapat bahwa mereka memiliki hujjah, karena sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya perwalian itu bagi yang memerdekakan,’ menunjukkan bahwa perwalian hanya bagi yang memerdekakan dan tidak beralih darinya. Jika kami memiliki hujjah atas mereka dengan hal itu, maka hujjah atas kalian lebih jelas, karena kalian menyelisihinya ketika seharusnya kalian sepakat dan menyepakatinya ketika ada keraguan untuk menyelisihinya.”
[Bab Ju’alah]
Dan tidak disebutkan dalam terjemahan, dan di akhir pembahasan Luqathah (barang temuan) yang besar.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak ada upah bagi seseorang yang menemukan budak yang kabur (abiq) atau hewan ternak yang tersesat, kecuali jika telah ditetapkan upah untuknya, maka ia berhak mendapatkan upah yang ditetapkan. Hal ini berlaku sama, baik bagi orang yang dikenal mencari barang hilang maupun yang tidak dikenal. Jika seseorang berkata kepada orang asing: “Jika kamu mengembalikan budakku yang kabur, aku akan memberimu sepuluh dinar,” lalu orang lain berkata: “Jika kamu mengembalikan budakku yang kabur, aku akan memberimu dua puluh dinar,” kemudian keduanya berhasil mengembalikan budak tersebut bersama-sama, maka masing-masing berhak mendapatkan separuh dari upah yang ditetapkan. Karena masing-masing hanya mengambil separuh dari upah yang dijanjikan, baik si pemberi sepuluh dinar mendengar janji si pemberi dua puluh dinar atau tidak. Demikian pula jika seseorang berkata kepada tiga orang: “Jika salah satu dari kalian mengembalikannya, aku akan memberimu sekian,” lalu masing-masing diberi janji upah yang berbeda, kemudian mereka mengembalikannya bersama-sama, maka masing-masing berhak sepertiga dari upah yang dijanjikan.
[Orang yang Dinamakan oleh Allah untuk Mendapatkan Warisan dan yang Dikeluarkan darinya]
Kitab Faraidh, “Bab Mawaris”: Orang yang dinamakan oleh Allah untuk mendapatkan warisan dan yang dikeluarkan darinya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah telah menetapkan pembagian warisan untuk orang tua, saudara, istri, dan suami. Secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang berstatus sebagai orang tua, saudara yang terhalang, suami, atau istri, maka secara zahir mereka berhak mewarisi. Begitu pula orang lain yang disebutkan hak warisnya, selama mereka berada dalam kondisi tertentu. Namun, Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan pendapat mayoritas ulama menunjukkan bahwa makna ayat tersebut adalah ahli waris hanya mewarisi jika mereka berada dalam kondisi tertentu.
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Apakah demikian bunyi teks Sunnah?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi demikianlah petunjuknya.” Aku bertanya lagi: “Bagaimana petunjuknya?” Beliau menjawab: “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda dengan sabda yang menunjukkan bahwa sebagian orang yang disebutkan hak warisnya ternyata tidak mewarisi. Maka diketahui bahwa jika hukum Allah bersifat umum—bahwa setiap orang yang memenuhi kriteria sebagai orang tua, istri, atau lainnya pasti mewarisi—tentu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan menetapkan bahwa sebagian orang yang memenuhi kriteria tersebut tidak mewarisi dalam kondisi apa pun.”
Ditanyakan kepada Syafi’i: “Sebutkan petunjuk tentang orang yang tidak mewarisi secara ringkas.” Beliau menjawab: “Tidak seorang pun yang disebutkan hak warisnya boleh mewarisi kecuali jika agamanya sama dengan agama mayit yang diwarisi, ia merdeka, dan terbebas dari tuduhan membunuh orang yang diwarisi. Jika ia terbebas dari tiga hal ini, ia berhak mewarisi. Jika salah satunya ada padanya, ia tidak mewarisi.”
Aku berkata: “Sebutkan dalil yang engkau sebutkan.” Beliau berkata: “Diceritakan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim.'”
Diceritakan juga kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim.'”
Diceritakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain, ia berkata: “Hanya Aqil dan Thalib yang mewarisi Abu Thalib, sedangkan Ali dan Ja’far tidak mewarisinya.” Ali berkata: “Karena itulah kami meninggalkan bagian kami dari harta warisan.”
(Imam Syafi’i berkata): Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan apa yang telah kusampaikan kepadamu, bahwa jika dua agama berbeda—antara syirik dan Islam—maka orang yang disebutkan hak warisnya tidak saling mewarisi.
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa menjual budak yang memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya.”
(Imam Syafi’i berkata): Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda bahwa harta budak yang dijual adalah milik tuannya, hal ini menunjukkan bahwa budak tidak memiliki sesuatu pun, dan penyebutan ‘hartanya’ hanyalah bentuk penyandaran, sebagaimana dalam bahasa Arab seseorang boleh berkata kepada pekerja: ‘Ini tanahmu, ini kambingmu,’ sebagai bentuk penyandaran, bukan kepemilikan.
Jika ada yang bertanya: “Apa dalil bahwa ini maknanya, sedangkan zahirnya bisa saja harta itu milik budak?” Dijawab: “Keputusan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa hartanya milik penjual adalah petunjuk bahwa kepemilikan harta ada pada pemilik budak, dan budak tidak memiliki sesuatu pun.”
Aku tidak pernah mendengar perbedaan pendapat bahwa pembunuh sengaja tidak mewarisi dari orang yang dibunuhnya, baik dari segi diyat maupun harta. Kemudian orang berbeda pendapat tentang pembunuh tidak sengaja. Sebagian sahabat kami berpendapat ia mewarisi harta tetapi tidak mewarisi diyat. Hal ini diriwayatkan dari sebagian sahabat kami dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan hadis yang tidak diakui oleh ahli hadis. Yang lain berpendapat pembunuh tidak sengaja tidak mewarisi diyat maupun harta, sama seperti pembunuh sengaja. Jika hadisnya tidak sahih, maka pembunuh—baik sengaja maupun tidak—tidak mewarisi apa pun, dan ini lebih sesuai dengan keumuman larangan mewarisi dari orang yang dibunuh.
[Bab Perbedaan Pendapat tentang Warisan Ahli Milah dan Kaitannya dengan Warisan Budak dan Pembunuh]
(Ar-Rabi’ berkata): (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian orang sepakat dengan kami dan berkata: “Budak, pembunuh sengaja, pembunuh tidak sengaja, dan orang kafir tidak mewarisi apa pun.” Kemudian ia berubah pendapat dan berkata: “Jika seseorang murtad dari Islam lalu mati dalam keadaan murtad atau dibunuh, maka ahli warisnya yang Muslim mewarisinya.”
(Imam Syafi’i berkata): Ditanyakan kepada sebagian mereka: “Apakah orang murtad tidak termasuk kafir atau Muslim?” Ia menjawab: “Bahkan ia kafir.” Dikatakan kepadanya: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda: ‘Orang kafir tidak mewarisi Muslim,’ dan beliau tidak mengecualikan seorang pun dari orang kafir. Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim mewarisi orang kafir?” Ia menjawab: “Ia adalah kafir yang sebelumnya telah tetap baginya hukum Islam, lalu ia menghilangkannya sendiri.”
Kami berkata: “Jika ia telah menghilangkannya sendiri, maka ia termasuk orang yang diputuskan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa ia tidak mewarisi Muslim dan tidak diwarisi Muslim. Jika ia tidak menghilangkannya sendiri, bagaimana pendapatmu jika seorang anak Muslim meninggal dalam keadaan murtad, apakah ia mewarisinya?” Ia menjawab: “Tidak.” Kami bertanya: “Mengapa engkau mengharamkannya?” Ia menjawab: “Karena kekafiran.” Kami berkata: “Mengapa ia tidak diharamkan darimu karena kekafiran sebagaimana engkau mengharamkannya? Apakah statusnya dalam warisan tetap seperti sebelum murtad sehingga ia mewarisi dan diwarisi, atau ia keluar dari status sebelumnya sehingga tidak mewarisi dan tidak diwarisi? Padahal engkau telah membunuhnya. Ini menunjukkan bahwa statusnya telah hilang karena penghilangannya sendiri, istrinya telah haram baginya, dan ia dihukumi seperti orang musyrik dalam sebagian hal dan seperti Muslim dalam sebagian lainnya.”
Ia berkata: “Aku berpendapat demikian karena Ali -radhiyallahu ‘anhu- pernah mewarisi harta seorang murtad yang dibunuh oleh Muslim.” Kami berkata: “Engkau meriwayatkannya dari Ali -radhiyallahu ‘anhu-, tetapi sebagian ahli hadis sebelummu menyangka bahwa riwayat itu keliru dari Ali -karramallahu wajhah-. Seandainya riwayat itu sahih dari Ali, prinsip mazhab kami dan mazhabmu adalah tidak ada hujah dari siapa pun jika bertentangan dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
Ia berkata: “Bisa jadi yang tidak mewarisi adalah orang kafir yang sejak awal kafir.” Kami berkata: “Jika hukum orang murtad berbeda dengan orang yang sejak awal kafir, lalu ia diwarisi dan ahli warisnya yang Muslim mewarisinya jika mereka mati sebelum dia, maka Ali tidak melarangmu dari hal ini.” Ia berkata: “Ini termasuk dalam keumuman hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” Aku berkata: “Jika ia termasuk dalam keumuman hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka engkau harus meninggalkan pendapatmu bahwa ahli warisnya yang Muslim boleh mewarisinya.”
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah, Masruq, Ibnul Musayyib, dan Muhammad bin Ali bin Husain bahwa seorang Mukmin mewarisi orang kafir, tetapi orang kafir tidak mewarisi Mukmin. Sebagian mereka berkata: “Sebagaimana wanita mereka halal bagi kami, tetapi wanita kami tidak halal bagi mereka.”
Jika ada yang berkata: “Keputusan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berlaku untuk orang kafir penyembah berhala, sedangkan ahli kitab berbeda. Maka Muslim boleh mewarisi ahli kitab berdasarkan apa yang kami sebutkan, atau sebagian mereka, karena ada kemungkinan bagi mereka sebagaimana kemungkinan bagimu, bahkan mereka memiliki kesamaan yang tidak kamu miliki, yaitu halalnya sembelihan dan wanita ahli kitab.”
Ia menjawab: “Tidak halal baginya.” Kami bertanya: “Mengapa?” Ia menjawab: “Karena mereka termasuk orang kafir, dan hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersifat umum.” Kami berkata: “Demikian pula orang murtad termasuk dalam keumuman orang kafir.”
[Bab Orang yang Berpendapat Tidak Ada Warisan kecuali setelah Kematian]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah -azza wa jalla- berfirman: “Jika seseorang meninggal tanpa anak dan memiliki saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu separuh dari harta yang ditinggalkan, dan ia (saudara laki-laki) mewarisinya jika ia tidak memiliki anak.” (QS. An-Nisa’: 176)
Dan Allah -azza wa jalla- berfirman: “Dan bagi kalian separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian jika mereka tidak memiliki anak.” (QS. An-Nisa’: 12)
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi berfirman: *”Dan bagi para wanita (isteri) seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.”* (QS. An-Nisa: 12). Dan Nabi ﷺ bersabda: *”Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir.”*
(Imam Syafi’i berkata): Hal ini dapat dipahami dari firman Allah ﷻ, kemudian dari sabda Rasulullah ﷺ, serta dalam bahasa Arab dan pendapat umum ulama di negeri kami bahwa seseorang tidak dapat diwarisi kecuali setelah meninggal. Jika ia meninggal, barulah ia menjadi pewaris, sedangkan orang hidup berbeda dengan orang mati. Maka, siapa yang mewarisi orang hidup, ia telah menyelisihi—wallahu a’lam—hukum Allah ﷻ dan hukum Rasulullah ﷺ. Kami berkata: “Manusia sepakat dengan kami dalam hal ini tanpa perselisihan.” Kami juga berpendapat demikian dalam kasus orang hilang (mafqud), dan kami mengatakan bahwa hartanya tidak boleh dibagi sampai benar-benar dipastikan kematiannya.
Umar dan Utsman memutuskan bahwa isteri orang hilang harus menunggu empat tahun, kemudian beriddah empat bulan sepuluh hari. Terkadang perpisahan antara suami dan isteri terjadi karena ketidakmampuan suami untuk menafkahi. Kami memisahkan mereka karena ketidakmampuan memberi nafkah, dan kedua alasan ini adalah sebab bahaya. Orang hilang mungkin membawa bahaya yang lebih besar. Sebagian orang dari Masyriq mengkritik keputusan mengenai orang hilang, padahal ada pendapat Umar dan Utsman serta pendapat yang kami sebutkan yang mereka sepakati, meski ada juga yang mereka selisihi. Mereka berkata: “Bagaimana mungkin isterinya dihukumi sebagai janda setelah waktu tertentu, padahal belum ada kepastian kematiannya?” Namun, mereka justru terjatuh pada kesalahan yang lebih besar dengan menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah. Inti kritikan mereka adalah mereka berpendapat tentang seorang murtad yang lari ke wilayah musuh, bergabung dengan pasukan musyrikin, lalu tinggal di sana sebagai rahib atau kembali untuk memerangi kita. Mereka membagi hartanya kepada ahli waris muslim, melunasi hutangnya, membebaskan budak mudabbar dan ummahat awladnya, serta menghukuminya seperti orang mati dalam segala hal. Namun, jika ia kembali, mereka membatalkan hukum tersebut dengan pendapat yang kontradiktif, keluar dari pendapat umum, qiyas, dan akal sehat.
(Imam Syafi’i berkata): Aku bertanya kepada salah seorang yang dianggap paling berilmu di antara mereka—atau setara—seperti yang kusebutkan. Aku katakan kepadanya: “Aku ingin bertanya tentang pendapatmu. Kau mengklaim bahwa haram bagi siapa pun untuk berpendapat tanpa dalil pasti atau qiyas. Apakah pendapatmu tentang mewariskan orang murtad yang masih hidup ketika ia lari ke darul kufur berdasarkan dalil atau qiyas?” Ia menjawab: “Tidak ada dalil.” Aku bertanya lagi: “Kalau qiyas?” Ia berkata: “Ya, dari satu sisi.” Aku memintanya untuk menjelaskan sisi tersebut. Ia berkata: “Tidakkah kau lihat bahwa jika ia bersamaku di rumah dan aku mampu membunuhnya, aku akan membunuhnya?” Aku berkata: “Jika kau tidak mampu membunuhnya, apakah ia dihukumi terbunuh atau mati tanpa dibunuh?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Lalu bagaimana kau menghukuminya seperti orang mati, padahal ia belum mati? Bagaimana jika alasanmu adalah bahwa jika kau mampu membunuhnya dalam keadaan seperti itu, kau akan membunuhnya, sehingga kau menghukuminya seperti orang mati. Namun, jika ia melarikan diri di wilayah Islam dan tetap murtad selama-lamanya, apakah kau akan membagi hartanya?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Aku dengar alasanmu bahwa jika kau mampu, kau akan membunuhnya.” Ia berkata: “Jika kau tidak mampu, maka hukumnya seperti orang mati.” Aku berkata: “Itu batil menurutmu, lalu kau kembali kepada kebenaran dengan tidak membunuhnya jika ia melarikan diri di wilayah Islam, padahal jika kau mampu, kau akan membunuhnya. Jika itu benar menurutmu, mengapa kau tinggalkan kebenaran dengan tidak membunuhnya jika ia lari di wilayah Islam?”
Aku bertanya: “Apakah kau membagi hartanya karena ia lari ke darul kufur, bukan karena kematian?” Ia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Jika seorang muslim lari ke darul kufur, apakah hartanya dibagi padahal hukum Islam tidak berlaku di sana?” Ia menjawab: “Tidak.” Kami berkata: “Suatu wilayah tidak mematikan atau menghidupkan seseorang. Ia tetap hidup di mana pun ia hidup dan mati di mana pun ia mati.” Ia menjawab: “Benar.” Kami berkata: “Apakah kau pernah mengkritik seseorang karena pendapatnya yang buruk, seperti mengatakan orang hidup sebagai orang mati? Bagaimana jika ada yang mengikutimu dalam pendapat bahwa harta orang hidup boleh dibagi? Bukankah orang yang mengikutimu dalam hal ini adalah orang yang lemah akal atau bodoh yang tidak layak didengar? Apalagi jika Al-Qur’an dan Sunnah bersama akal sehat menyelisihi pendapat kalian berdua?”
(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya: “Kau mengkritik orang yang berpendapat seperti Umar dan Utsman—semoga Allah meridhai mereka—tentang isteri orang hilang, padahal dasar pendapatmu adalah bahwa pendapat salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ adalah batasan yang harus diikuti. Kau menerima dari Umar bahwa jika tirai diturunkan, maka mahar dan iddah wajib. Kau juga menolak orang yang menafsirkan dua ayat, yaitu firman Allah ﷻ: *”Jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuhnya…”* (QS. Al-Baqarah: 237) dan firman-Nya: *”Maka tidak ada kewajiban iddah bagi kalian terhadap mereka.”* (QS. Al-Ahzab: 49). Riwayat ini juga berasal dari Ibnu Abbas dan Syuraih. Kami berpendapat bahwa menurunkan tirai atau menutupnya tidak berpengaruh; yang berpengaruh adalah persetubuhan. Mengapa kau tidak membolehkan orang yang menafsirkan seperti Umar dan berkata seperti Ibnu Abbas? Kau mengatakan Umar sebagai imam lebih tahu makna Al-Qur’an, tetapi kau menolak menerima keputusan Umar dan Utsman tentang isteri orang hilang, padahal mereka tidak memutuskan pembagian hartanya sepengetahuan kami. Kau berkata: “Tidak boleh menghukuminya seperti orang mati sebelum dipastikan kematiannya, meski sudah lama hilang.”
Namun, kau mengklaim bahwa kau menghukumi seseorang seperti orang mati padahal kau yakin ia masih hidup dalam sekejap mata. Aku jarang melihatmu mengkritik seseorang dalam hal riwayat kecuali kau berkata dari sisi pendapat yang serupa atau lebih pantas dikritik. Kebodohan apa yang lebih jelas daripada mengkritik riwayat yang menurutmu adalah batasan, sementara pendapatmu sendiri juga dikritik atau serupa? Aku berkata kepada sebagian mereka: “Bagaimana pendapatmu jika tidak dikritik karena menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, atau akal sehat, dan aku diamkan semua ini? Bukankah pendapatmu sendiri terkutuk menurut lisanmu?”
Ia bertanya: “Di mana?” Aku berkata: “Jika murtad dan lari ke darul harbi mengharuskan hukum mati, mengapa kau berpendapat bahwa jika hakim lalai atau tidak menindaklanjutinya hingga bertahun-tahun ia di darul harbi, lalu ia kembali sebelum hakim memutuskan sebagai muslim, maka ia tetap memiliki hak asalnya? Mengapa kau berpendapat bahwa jika hakim memutuskan dalam sekejap bahwa ia seperti orang mati, lalu ia kembali sebagai muslim, maka hukum itu berlaku sebagian dan tidak sebagian? Kau berpendapat bahwa hukum mati wajib karena murtad dan lari ke darul harbi. Jika kau konsisten, kau akan berkata: ‘Jika ia kembali sebagai muslim, hukum tetap dilaksanakan karena sudah wajib.’ Jika kau berpendapat bahwa jika hukum dilaksanakan lalu ia kembali sebagai muslim, hukum itu dibatalkan dan tidak dilaksanakan, maka kau justru berpendapat bahwa sebagian dilaksanakan dan sebagian dibatalkan.”
Ia bertanya: “Apa maksudmu?” Aku berkata: “Kau berpendapat bahwa budak mudabbar dan ummahat awladnya dibebaskan, hutangnya dibayarkan hingga 30 tahun, dan hartanya dibagi. Lalu ia kembali sebagai muslim, sementara budak mudabbar, ummahat awlad, dan hartanya masih ada di tangan kreditur yang mengakuinya dan bersaksi atasnya. Kau tidak mengembalikan apa pun, padahal itu adalah hartanya sendiri. Semua harta di tangan kreditur adalah hartanya sendiri, dan kau berkata hukumnya tidak dibatalkan. Namun, kau mengambil warisannya dari tangan ahli warisnya. Mengapa kau membatalkan sebagian hukum dan tidak sebagian lainnya?” Ia berkata: “Aku katakan itu adalah hartanya sendiri yang belum halal baginya, dan budak mudabbar serta ummahat awladnya adalah mereka sendiri.”
Lalu kau berpendapat bahwa hukum dibatalkan untuk ahli waris. Jika sebagian mereka menghabiskan hartanya dan ia mampu, mereka tidak menanggungnya. Jika tidak menghabiskannya, kau mengambilnya dari yang tidak menghabiskannya. Adakah orang yang sempurna akal dan ilmunya, jika keliru, bisa berbuat lebih dari ini dalam hukum yang sama? Bagaimana dengan orang yang kau anggap lemah dari kalangan kami dan mengabaikan nalar? Kau katakan mereka hanya menebar prasangka dan menerima apa yang keluar dari lisannya. Apakah pengabaian nalar lebih buruk daripada menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah—yang kau gabungkan—atau menyelisihi akal sehat, qiyas, atau kontradiksi pendapat—yang kau kumpulkan semuanya? Jika menurutmu ini membuatmu terbebas dari celaan karena kau menyatakannya dengan sadar, maka menurut kami tidak ada alasan bagi orang yang melakukan kesalahan dengan sadar. Jika orang bodoh tidak punya alasan karena ia keliru tanpa tahu, maka orang berilmu tidak punya alasan untuk keliru padahal ia tahu.”
(Imam Syafi’i berkata): Ia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Aku berpendapat untuk menahan hartanya sampai ia mati, lalu menjadikannya fa’i (harta rampasan), atau ia kembali kepada Islam, lalu aku kembalikan hartanya. Aku tidak menghukumi orang hidup sebagai orang mati sehingga terjerumus dalam kesalahan seperti yang menimpamu.”
### **Bab Pengembalian Warisan**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah ﷻ berfirman: *”Jika seseorang meninggal tanpa anak dan memiliki saudara perempuan, maka ia mendapat separuh dari harta warisannya, dan ia (saudara laki-laki) mewarisinya jika ia (saudara perempuan) tidak memiliki anak.”* (QS. An-Nisa: 176). Dan Allah ﷻ berfirman: *”Jika mereka (ahli waris) terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan.”* (QS. An-Nisa: 176).
Dan Dia berfirman, “Dan bagi kamu separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) pelunasan utang.” (QS. An-Nisa’: 12). Dan Dia berfirman, “Dan para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS. An-Nisa’: 12). Dan Dia berfirman, “Dan untuk kedua orang tua, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya saja, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (QS. An-Nisa’: 11).
(Imam Syafi’i berkata): Ayat-ayat tentang warisan ini semuanya menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan bagian tertentu bagi orang-orang yang disebutkan. Maka tidak sepatutnya seseorang menambah atau mengurangi bagian yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa warisan tidak boleh dikembalikan (diberikan kepada selain ahli waris yang telah ditentukan).
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan saudara perempuan, maka saudara perempuan tersebut mendapat separuh dari harta warisannya, dan sisanya diberikan kepada ‘ashabah (kerabat laki-laki dari pihak ayah). Jika tidak ada ‘ashabah, maka harta diberikan kepada maula (budak yang telah dimerdekakan) yang membebaskannya. Jika tidak ada maula yang membebaskannya, maka separuh sisanya dikembalikan kepada kaum Muslimin di daerahnya. Saudara perempuannya tidak boleh diberi lebih dari separuh, dan harta warisan juga tidak boleh dikembalikan kepada ahli waris lain yang memiliki hubungan kekerabatan, suami, atau istri yang telah ditetapkan bagiannya. Tidak boleh melebihi bagian yang telah ditentukan. Al-Qur’an, insya Allah, menunjukkan hal ini, dan ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit serta pendapat mayoritas ulama yang kami temui dari kalangan sahabat kami.
[Pasal Perbedaan Pendapat tentang Pengembalian Warisan]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian orang berkata kepadaku, “Jika seorang mayit meninggalkan saudara perempuan dan tidak ada ahli waris selainnya, serta tidak ada maula, maka berikanlah seluruh harta kepada saudara perempuan tersebut.” Aku bertanya kepada salah seorang yang berpendapat demikian, “Berdasarkan apa pendapatmu ini?” Dia menjawab, “Kami meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud bahwa warisan boleh dikembalikan.” Aku berkata kepadanya, “Menurut pengetahuanku, riwayat dari keduanya tidak kuat. Seandainya pun kuat, aku telah meninggalkan banyak pendapat mereka dalam masalah warisan karena mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit. Mengapa kamu tidak mengikuti Zaid dalam hal ini, sebagaimana kamu mengikutinya dalam masalah warisan lainnya?”
(Imam Syafi’i berkata): Dia lalu berkata, “Lupakan itu. Tetapi menurutmu, jika ada dua pendapat yang berbeda tentang pengembalian warisan, bukankah kita harus memilih pendapat yang paling sesuai dengan Kitabullah?” Kami menjawab, “Benar.” Dia bertanya lagi, “Manakah di antara dua pendapat itu yang lebih sesuai dengan Kitabullah?” Kami menjawab, “Pendapat Zaid bin Tsabit, tanpa keraguan, insya Allah.” Dia bertanya lagi, “Di mana dalil dalam Kitabullah yang mendukung pendapatmu dan bukan pendapat kami?” Aku menjawab, “Allah berfirman, ‘Jika seseorang meninggal dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan itu mendapat separuh dari harta warisannya. Dan dia (saudara laki-laki) mewarisi (seluruh harta) jika saudara perempuan itu tidak mempunyai anak.’ (QS. An-Nisa’: 176). Dan Dia berfirman, ‘Jika mereka (ahli waris) terdiri dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan.’ (QS. An-Nisa’: 176). Allah menyebut saudara perempuan secara terpisah dan menetapkan bagiannya separuh, sedangkan saudara laki-laki secara terpisah mendapat seluruh harta. Ketika disebut bersama, bagian saudara perempuan setengah dari saudara laki-laki. Jika kamu memberikannya seluruh harta ketika dia sendirian, bukankah kamu telah menyalahi ketetapan Allah secara teks? Karena Allah menetapkan bagiannya separuh, dan kamu juga menyamakan haknya dengan saudara laki-laki, padahal Allah menetapkan bagiannya separuh ketika bersama saudara laki-laki.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku berkata kepadanya, “Seluruh ayat tentang warisan menunjukkan larangan mengembalikan warisan.” Dia bertanya, “Bagaimana jika aku berkata, ‘Aku tidak memberikannya separuh sisanya sebagai warisan’?” Aku menjawab, “Silakan katakan apa yang kamu mau.” Dia berkata, “Menurutku, harta itu tetap miliknya.” Aku bertanya, “Bagaimana jika orang lain berpendapat bahwa harta itu bukan miliknya, lalu memberikannya kepada tetangga yang membutuhkan atau orang asing yang membutuhkan?” Dia menjawab, “Itu tidak boleh.” Aku berkata, “Pendapatmu juga tidak boleh. Bahkan pendapat orang itu lebih bisa dimaklumi daripada pendapatmu, karena dia tidak menyalahi ketentuan Al-Qur’an secara teks, melainkan hanya menyalahi pendapat umum kaum Muslimin, karena sebagian mereka berpendapat bahwa harta itu milik seluruh kaum Muslimin.”
[Bab Warisan]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: (Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata):
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: *”Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan dia berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku!'”* (QS. Hud: 42).
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: *”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar.”* (QS. Al-An’am: 74).
Maka Ibrahim dinisbatkan kepada ayahnya, padahal ayahnya kafir, dan anak Nuh dinisbatkan kepada ayahnya (Nuh), padahal anaknya kafir.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengenai Zaid bin Haritsah: *”Panggillah mereka (anak angkat) dengan (menyebut) nama ayah mereka, itu lebih adil di sisi Allah. Jika kalian tidak mengetahui ayah mereka, maka (panggillah) saudara-saudara kalian dalam agama dan maula-maula (budak yang dimerdekakan) kalian.”* (QS. Al-Ahzab: 5).
Dan Dia berfirman: *”Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah Allah beri nikmat dan engkau juga telah beri nikmat…”* (QS. Al-Ahzab: 37).
Maka maula memiliki dua nasab: satu kepada ayah, dan satu lagi kepada kewalian (perwalian). Dan Allah menjadikan kewalian karena nikmat (pembebasan).
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: *”Mengapa ada orang-orang yang membuat syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? Syarat apa pun yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu batil, meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih berhak, dan syarat-Nya lebih kuat. Kewalian itu hanya bagi yang memerdekakan.”*
Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjelaskan bahwa kewalian hanya untuk yang memerdekakan.
Diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda: *”Kewalian adalah ikatan seperti ikatan nasab, tidak boleh dijual atau dihibahkan.”*
Maka Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa kewalian hanya terjadi karena perbuatan sebelumnya dari yang memerdekakan, sebagaimana nasab terjadi karena kelahiran sebelumnya dari ayah. Tidakkah engkau melihat, seandainya ada seorang yang tidak dikenal ayahnya, lalu dia mendatangi seseorang dan meminta untuk dinasabkan kepadanya, dan orang itu menerima, maka tidak boleh baginya untuk menjadi anak selamanya? Sebab hal itu akan memaksakan kezaliman kepada keluarganya untuk menanggung diyatnya dan menasabkan kepada dirinya orang yang bukan anaknya.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: *”Anak itu milik pemilik tempat tidur (suami).”*
Demikian pula, jika seseorang tidak memerdekakan budak, maka tidak boleh dinasabkan kepadanya dengan kewalian, sehingga memaksakan kezaliman kepada keluarganya untuk menanggung diyatnya dan menasabkan kepada dirinya kewalian orang yang tidak dia merdekakan.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: *”Kewalian itu bagi yang memerdekakan.”*
Dalam sabdanya *”Kewalian hanya bagi yang memerdekakan”*, beliau menjelaskan bahwa kewalian tidak berlaku kecuali bagi yang memerdekakan.
Tidakkah engkau melihat, seandainya seseorang menyuruh anaknya untuk dinasabkan kepada orang lain, atau melepaskan nasabnya, dan keduanya rela, maka tidak terputus keayahannya karena ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla bagi masing-masing?
Atau tidakkah engkau melihat, jika seseorang memerdekakan budaknya, lalu setelah pembebasan dia mengizinkan budak itu untuk mengikuti kewalian siapa pun yang dia kehendaki atau melepaskan kewaliannya, dan yang memerdekakan rela, maka tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk melakukan itu karena nikmat yang Allah tetapkan?
Karena maula dalam makna yang mencakup nasab, maka kewalian tetap berlaku karena nikmat sebelumnya, sebagaimana nasab tetap karena kelahiran sebelumnya. Tidak boleh memisahkan antara keduanya selain dengan Sunnah atau ijma’ ulama. Dan dalam pemisahan ini, tidak ada Sunnah atau ijma’.
(Asy-Syafi’i berkata):
Sejumlah sahabat kami dari Hijaz dan lainnya hadir di hadapanku. Seorang dari luar mereka berkata kepadaku:
“Jika seseorang masuk Islam di tangan seorang laki-laki, maka kewaliannya untuknya jika dia tidak memiliki kewalian nikmat. Dia boleh memilih kewalian siapa pun yang dia kehendaki, dan boleh memindahkan kewaliannya selama belum ada penangguhan diyat darinya. Jika sudah ada penangguhan diyat, maka dia tidak boleh memindahkannya.”
Dia bertanya: “Apa dalilmu untuk menolak pendapat ini?”
Aku menjawab: “Ini bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: *’Panggillah mereka dengan (menyebut) nama ayah mereka’* (QS. Al-Ahzab: 5), dan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: *’Kewalian hanya bagi yang memerdekakan.’*”
Ini menunjukkan bahwa nasab tetap karena kelahiran sebelumnya, sebagaimana kewalian tetap karena pembebasan sebelumnya. Sedangkan orang yang masuk Islam di tangan seseorang tidak demikian.
Nasab serupa dengan kewalian, dan kewalian serupa dengan nasab.
Seorang berkata kepadaku: “Engkau berpendapat demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Mauhib dari Tamim Ad-Dari.”
Aku menjawab: “Itu tidak sahih.”
Dia berkata: “Bagaimana jika hadits itu sahih, apakah bertentangan dengan hadits yang kau riwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: *’Kewalian hanya bagi yang memerdekakan’*?”
Aku menjawab: “Tidak.”
Dia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?”
Aku menjawab: “Sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: *’Kewalian hanya bagi yang memerdekakan’*, larangan beliau menjual atau menghibahkan kewalian, dan sabdanya: *’Kewalian adalah ikatan seperti ikatan nasab, tidak boleh dijual atau dihibahkan’*—itu berlaku bagi yang memerdekakan, karena pembebasan adalah nasab, dan nasab tidak berubah. Sedangkan orang yang masuk Islam di tangan seseorang tidak termasuk yang dilarang untuk memindahkan kewaliannya.”
Dia berkata: “Inilah pendapat kami.”
Dia bertanya: “Lalu apa yang menghalangimu jika kedua hadits itu bisa dipahami masing-masing memiliki makna?”
Aku menjawab: “Yang menghalangiku adalah bahwa hadits itu tidak sahih. Hadits itu hanya diriwayatkan oleh Abdul Aziz bin Umar dari Ibnu Mauhib dari Tamim Ad-Dari, dan Ibnu Mauhib tidak dikenal di kalangan kami. Kami tidak mengetahui bahwa dia bertemu Tamim. Hadits seperti ini tidak sahih menurut kami dan menurutmu karena perawinya majhul (tidak dikenal) dan sanadnya tidak bersambung.”
Dia berkata: “Di antara dalil kami adalah bahwa Umar berkata tentang anak yang dibuang: ‘Dia merdeka, dan kewaliannya untukmu’—maksudnya, untuk yang menemukannya.”
Aku menjawab: “Jika ini benar dari Umar, justru menjadi dalil melawan pendapatmu, karena engkau menyelisihinya.”
Dia bertanya: “Bagaimana bisa?”
Aku menjawab: “Engkau berpendapat bahwa tidak ada yang boleh mewakili kewalian seseorang kecuali dirinya sendiri setelah ada penangguhan diyat. Dan jika dia mewakili dirinya sendiri, dia boleh memindahkan kewaliannya selama belum ada penangguhan diyat darinya. Jika engkau berpendapat bahwa Umar mewakili kewaliannya karena dia walinya, apakah wali anak yatim boleh mewakili kewalian untuknya?”
Dia menjawab: “Tidak boleh.”
Aku berkata: “Jika engkau berpendapat bahwa itu hak wali, bukan wali yatim, maka pernahkah engkau menemukan bahwa wali boleh melakukan sesuatu pada anak yatim yang tidak boleh dilakukan wali yatim? Jika engkau berpendapat bahwa itu keputusan Umar, padahal menurutmu keputusan tidak boleh diambil untuk seseorang kecuali dengan sesuatu yang mengikat dirinya atau dalam hal yang tidak bisa dihindari, sedangkan anak yatim butuh kewalian.”
Jika engkau berkata: “Itu keputusan, maka dia tidak boleh memindahkannya,” lalu bagaimana boleh baginya untuk memindahkan jika dia mengikat perjanjian untuk dirinya sendiri selama belum ada penangguhan diyat, tetapi tidak boleh memindahkan jika perjanjian itu dibuat orang lain untuknya?”
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika engkau berkata: “Dia lebih tahu makna hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-,” maka aku akan menentangmu dengan riwayat yang lebih sahih dari Maimunah dan Ibnu Abbas daripada riwayat dari Umar bin Al-Khattab.
Dia bertanya: “Apa itu?”
Aku menjawab: “Maimunah menghibahkan kewalian Bani Yasar kepada keponakannya, Abdullah bin Abbas, lalu dia menerimanya. Ini adalah istri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Ibnu Abbas—dua orang.”
Dia berkata: “Ini tidak bisa dijadikan hujjah, meskipun mereka banyak, selama bertentangan dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
Kami berkata: “Lalu bagaimana engkau berhujjah dengan satu orang terhadap Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-?”
Dia berkata: “Demikianlah pendapat sebagian sahabat kami.”
Aku berkata: “Engkau menolak menerima ini dari selainmu.”
Dia berkata: “Orang-orang Madinah yang hadir bersama kami menganggap ini hujjah yang sahih.”
Aku berkata: “Jika kalian menganggapnya sahih, maka kalian telah menyelisihinya dalam sebagian hal.”
Mereka berkata: “Kami tidak menyelisihinya dalam apa pun, dan kami berpendapat bahwa kewalian hanya untuk yang memberi nikmat (memerdekakan).”
(Asy-Syafi’i berkata):
Seorang berkata kepadaku: “Aku pahami jawaban mereka, dan aku berpendapat bahwa sahaya (budak yang dimerdekakan tanpa syarat) boleh memilih kewalian siapa pun yang dia kehendaki.”
Aku menjawab: “Ini tidak boleh berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan qiyas yang kami sebutkan, kecuali ada hadits dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- atau kesepakatan umat, sehingga kami mengeluarkannya dari kategori yang memerdekakan sebagai bentuk ittiba’.”
Dia berkata: “Mereka meriwayatkan bahwa Hatib memerdekakan sahaya pada zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
Kami berkata: “Kami tidak melarang seseorang memerdekakan sahaya. Tetapi apakah engkau meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Kewalian sahaya untuknya, dia boleh memilih siapa pun yang dia kehendaki’?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Aku berkata: “Maka dia termasuk dalam makna orang yang memerdekakan?”
Dia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Apakah boleh mengeluarkannya—padahal dia termasuk yang memerdekakan—dari ketetapan kewalian untuk dan darinya?”
Dia berkata: “Mereka meriwayatkan bahwa seorang laki-laki membunuh sahaya, lalu Umar memutuskan bahwa diyatnya dibayar oleh pembunuh. Abu Al-Qatil (ayah pembunuh) berkata: ‘Bagaimana jika dia membunuh anakku?’ Umar menjawab: ‘Maka dia tidak membayar.’ Umar berkata: ‘Dia seperti Al-Arqam (budak yang dibebaskan tanpa kewalian).'”
Mereka berdalil dengan ibu sahaya—jika dia memiliki keluarga penanggung diyat berdasarkan kewalian—apakah Umar bin Al-Khattab memutuskan diyat dibayar oleh keluarganya?
Aku berkata: “Jika ini benar dari Umar, maka engkau terbantahkan.”
Dia bertanya: “Di mana?”
Aku berkata: “Engkau berpendapat bahwa kewalian sahaya adalah untuk yang memerdekakannya.”
Dia berkata: “Lepaskan aku dari ini, karena aku hanya menyampaikan pendapat mereka.”
Aku berkata: “Engkau berpendapat bahwa orang yang tidak memiliki kewalian—seperti anak pungut atau orang yang masuk Islam—jika membunuh seseorang, maka diyatnya dibayar oleh kaum Muslimin karena mereka mewarisinya. Sedangkan engkau berpendapat bahwa Umar tidak memutuskan diyat dibayar oleh siapa pun.”
Dia berkata: “Demikianlah pendapat semua mufti.”
Aku berkata: “Apakah boleh semua mufti menyelisihi Umar?”
Dia menjawab: “Tidak, riwayat dari Umar terputus dan tidak sahih.”
Aku berkata: “Lalu bagaimana engkau berhujjah dengannya?”
Dia berkata: “Aku tidak tahu dalil lain bagi mereka.”
Aku berkata: “Alangkah buruknya keputusanmu terhadap orang yang engkau bela argumennya jika dia berhujjah dengan dalil yang tidak sahih menurutmu.”
Dia bertanya: “Apakah engkau memiliki pendapat lain tentang sahaya yang bertentangan dengan ini?”
Aku menjawab: “Jika engkau menerima khabar yang terputus, maka ya.”
(Asy-Syafi’i berkata):
Diriwayatkan oleh Sa’id dan Muslim dari Ibnu Juraij dari Atha’, bahwa Thariq bin Al-Muraqqi’ memerdekakan beberapa keluarga dari Yaman sebagai sahaya, lalu mereka melepaskan diri dari (kewajiban membayar) lebih dari sepuluh ribu (dirham). Hal itu disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab, lalu dia memerintahkan agar (harta itu) diserahkan kepada Thariq atau ahli waris Thariq.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika ini sahih, maka ini menunjukkan bahwa Umar menetapkan kewalian sahaya untuk yang memerdekakannya.
Ini juga dikenal dari Abu Bakar Ash-Shiddiq -radhiyallahu ‘anhu- dalam kasus harta warisan Salim—yang disebut Salim maula Abu Hudzaifah—bahwa Abu Bakar memberikan kelebihan warisannya kepada Amrah binti Ya’mar Al-Anshariyah, yang telah memerdekakannya sebagai sahaya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud pendapat serupa tentang sahaya—sejauh yang kuingat—dengan hadits yang terputus.
Dia bertanya: “Apakah engkau memiliki dalil yang membedakan antara sahaya dan orang yang masuk Islam di tangan seseorang selain hadits yang terputus?”
Aku menjawab: “Ya, dari qiyas.”
Dia bertanya: “Apa itu?”
Aku menjawab: “Orang yang masuk Islam di tangan seseorang dan memindahkan kewaliannya ke tempat lain—itu hanya dengan kerelaan yang dinasabkan dan yang dinasabkan kepadanya. Dia boleh memindahkan tanpa kerelaan orang yang dinasabkan kepadanya. Sedangkan sahaya, pembebasannya terjadi tanpa kerelaannya, dan dia tidak boleh memindahkan kewaliannya meskipun dia dan yang memerdekakannya rela. Dia termasuk yang dibebaskan oleh yang memerdekakan, masuk dalam kategori orang yang memerdekakan.”
Orang-orang Jahiliyah biasa mengkhususkan Bahirah (unta betina yang tidak boleh dihalangi susunya), Saaibah (hewan yang dibebaskan untuk berhala), Washilah (hewan yang dibebaskan karena melahirkan anak kembar), dan Hami (unta yang tidak boleh dikendarai setelah membuahi betina sepuluh kali). Mereka berkata tentang Hami: “Jika unta jantan telah membuahi sepuluh kali, maka dia Hami—yaitu terlindungi punggungnya—dan tidak halal dikendarai.”
Mereka berkata tentang Washilah—yaitu dari kambing—jika melahirkan anak kembar, maka mereka melarangnya dari apa yang mereka lakukan terhadap yang sejenisnya. Mereka mengkhususkan Saaibah dan berkata: “Kami memerdek
**Teman-temannya**, aku berkata: “Atau apakah engkau melihat dalam apa yang kau gunakan sebagai hujah itu sebagai hujah?” Dia menjawab: “Tidak,” lalu berkata: “Bagaimana pendapatmu jika seorang laki-laki meninggal tanpa memiliki walā’ (ikatan perwalian)?” Aku menjawab: “Maka warisannya untuk kaum Muslimin.” Dia bertanya: “Karena mereka adalah walinya?” Aku menjawab: “Tidak, karena wali hanya ada pada orang yang memerdekakan, sedangkan ini bukan memerdekakan.” Dia berkata: “Jika engkau tidak mewariskan kepada mereka karena mereka wali dan bukan kerabat, lalu mengapa engkau memberikan harta kepadanya?” Aku menjawab: “Aku tidak memberikannya sebagai warisan. Seandainya aku memberikannya sebagai warisan, niscaya aku wajib memberikannya kepada seluruh penduduk bumi ketika dia meninggal, sebagaimana aku memberikannya jika mereka bersama-sama memerdekakannya. Aku dan engkau hanya menetapkannya untuk kaum Muslimin, yang digunakan untuk kepentingan umum, sedangkan harta warisan tidak digunakan untuk kepentingan umum. Maka, ini akan menjadi masalah bagimu jika engkau menganggap bahwa warisan itu melalui walā’, dan engkau berkata: ‘Lihatlah hari ketika dia masuk Islam, lalu tetapkan walā’nya untuk sekelompok Muslim yang hidup saat itu, sehingga ahli warisnya adalah mereka yang hidup saat itu, bukan yang lain.’ Ini juga menjadi masalah bagimu dalam kasus seorang Nasrani yang meninggal tanpa ahli waris, lalu engkau memberikan hartanya kepada kaum Muslimin, padahal Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir.'”
Dia bertanya: “Lalu dengan alasan apa engkau memberikan warisan orang yang tidak memiliki kerabat atau walā’ dari kaum Muslimin, serta warisan seorang Nasrani jika dia tidak memiliki kerabat atau walā’?” Aku menjawab: “Dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan kepada penganut agama-Nya, sehingga mereka memiliki hak atas harta orang-orang musyrik jika mereka mampu mengambilnya, dan dari setiap harta yang tidak diketahui pemiliknya dari kaum Muslimin—seperti tanah mati—maka tidak diharamkan bagi mereka untuk menghidupkannya. Karena kedua jenis harta ini tidak memiliki pemilik yang jelas, maka Allah memberikannya kepada penganut agama-Nya dari kalangan Muslimin.”
**[Tanggapan dalam Masalah Warisan]**
(Imam Syafi’i rahimahullāh Ta’ala berkata): Siapa pun yang memiliki bagian tetap dalam Kitabullah ‘azza wa jalla, Sunnah Rasul-Nya ﷺ, atau pendapat salaf, kami berpegang pada bagiannya. Jika masih ada sisa harta, kami tidak mengembalikannya kepadanya, karena kami memiliki dua kewajiban: Pertama, tidak mengurangi bagian yang Allah Ta’ala tetapkan untuknya; kedua, tidak menambahkannya. Berpegang pada hukum Allah ‘azza wa jalla adalah seperti ini.
Sebagian orang berpendapat: “Kami mengembalikan sisa harta kepadanya jika tidak ada yang berhak mengambil seluruh harta, dan dia termasuk dzawil arhām (kerabat jauh). Kami tidak mengembalikannya kepada suami atau istri.” Mereka berkata: “Kami meriwayatkan pendapat ini dari sebagian sahabat Rasulullah ﷺ.” Kami menjawab: “Kalian meninggalkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu dan Abdullah bin Mas’ud dalam banyak masalah warisan karena pendapat Zaid bin Tsabit. Mengapa ini tidak termasuk yang kalian tinggalkan?” Mereka menjawab: “Kami mendengar firman Allah ‘azza wa jalla: *’Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat, sebagian lebih berhak terhadap sebagian yang lain di dalam Kitab Allah.’* (QS. Al-Ahzab: 6).” Kami berkata: “Maknanya bukan seperti yang kalian pahami. Seandainya seperti itu, niscaya kalian telah meninggalkannya.” Mereka bertanya: “Lalu apa maknanya?” Kami menjawab: “Dahulu orang saling mewarisi karena perjanjian dan pertolongan, lalu saling mewarisi karena Islam dan hijrah. Kemudian hal itu dihapus, lalu turun firman Allah ‘azza wa jalla: *’Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat, sebagian lebih berhak terhadap sebagian yang lain di dalam Kitab Allah.’* (QS. Al-Ahzab: 6), sesuai dengan ketetapan Allah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ, bukan secara mutlak seperti ini.”
“Tidakkah engkau melihat bahwa suami mewarisi lebih banyak daripada dzawil arhām, padahal dia bukan kerabat? Atau tidakkah engkau melihat bahwa sepupu jauh mewarisi seluruh harta, sedangkan paman dari pihak ibu tidak mewarisi, padahal paman lebih dekat kekerabatannya? Maka maknanya adalah seperti yang aku jelaskan, yaitu sesuai ketetapan Allah dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ.”
“Sedangkan kalian mengatakan bahwa orang saling mewarisi karena kekerabatan, tetapi di tempat lain kalian menyelisihinya dengan berpendapat bahwa jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan paman dari pihak ibu dan walinya, maka hartanya untuk walinya, bukan pamannya. Dengan demikian, kalian menghalangi dzawil arhām yang kadang kalian beri hak, dan kalian memberikan harta kepada wali yang bukan kerabat.”
Dia bertanya: “Apa dalilmu untuk tidak mengembalikan sisa harta warisan?” Kami menjawab: “Seperti yang telah aku jelaskan, yaitu berpegang pada hukum Allah ‘azza wa jalla, tidak menambah atau mengurangi bagian yang telah ditetapkan.” Dia bertanya: “Apakah ada dalil lain selain ini?” Aku menjawab: “Ya.” Allah ‘azza wa jalla berfirman: *”Jika seseorang meninggal tanpa anak dan memiliki saudara perempuan, maka baginya setengah dari harta yang ditinggalkan.”* (QS. An-Nisa’: 176). Dia juga berfirman: *”Dan jika mereka (saudara-saudara) itu laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.”* (QS. An-Nisa’: 176). Allah menyebut saudara laki-laki dan perempuan secara terpisah, memberikan saudara perempuan setengah dan saudara laki-laki seluruh harta. Ketika disebut bersama, Allah menetapkan bagian laki-laki dua kali lipat perempuan. Barangsiapa berpendapat untuk mengembalikan sisa warisan, berarti dia memberikan seluruh harta kepada saudara perempuan, sehingga menyelisihi kedua ketetapan ini.
Aku berkata: “Jika kalian mengatakan: ‘Kami memberinya setengah berdasarkan Kitabullah ‘azza wa jalla dan mengembalikan setengahnya lagi bukan sebagai warisan,’ maka kami bertanya: ‘Dengan dasar apa kalian mengembalikannya?'” Dia menjawab: “Kami tidak mengembalikannya kecuali sebagai warisan, atau sebagai harta yang diserahkan kepada penguasa. Jika demikian, penguasa tidak boleh memilih, tetapi wajib memberikannya kepada kaum Muslimin. Seandainya mereka boleh memilih, niscaya penguasa boleh memberikannya kepada siapa pun yang dia kehendaki. Hanya Allah Yang Maha Pemberi taufik.”
**[Pembahasan Warisan Kakek]**
(Imam Syafi’i rahimahullāh Ta’ala berkata): Kami berpendapat bahwa jika kakek mewarisi bersama saudara-saudara, dia membagi harta dengan mereka selama pembagian itu lebih baik baginya daripada sepertiga. Jika sepertiga lebih baik baginya, dia diberi sepertiga. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit, dan darinya kami mengambil banyak ketentuan warisan. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar dan Utsman, yang keduanya berkata seperti Zaid bin Tsabit. Ini juga diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi ﷺ dan merupakan pendapat mayoritas fuqaha di berbagai negeri.
Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal ini dan berkata: “Kakek adalah ayah.” Para sahabat Nabi ﷺ juga berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Bakar, Aisyah, Ibnu Abbas, Abdullah bin Utbah, dan Abdullah bin Zubair radhiyallāhu ‘anhum berpendapat bahwa kakek adalah ayah jika bersama saudara-saudara, sehingga mereka tidak mendapat bagian dan harta seluruhnya untuk kakek. Kami dan kalian sepakat bahwa jika para sahabat Nabi ﷺ berbeda pendapat, kami tidak mengambil pendapat salah satu dari mereka tanpa pendapat lain kecuali dengan bukti yang jelas dan sesuai Sunnah. Demikianlah kami berpendapat, dan kami berpegang pada dalil dalam pendapat Zaid bin Tsabit dan yang sependapat dengannya.
Mereka berkata: “Kami berpendapat bahwa dalil pendapat yang mengatakan kakek adalah ayah didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla: *’Wahai anak-anak Adam.’* (QS. Al-A’raf: 31), dan *’Agama ayahmu Ibrahim.’* (QS. Al-Hajj: 78). Ini menetapkan kakek sebagai ayah dalam nasab. Kaum Muslimin juga sepakat tidak mengurangi bagian kakek dari seperenam, sebagaimana ketetapan untuk ayah. Kaum Muslimin juga menghalangi saudara seibu dengan kakek, sebagaimana ketetapan untuk ayah. Bagaimana mungkin mereka menyamakan kakek dengan ayah dalam hal-hal ini tetapi memisahkannya dalam hal lain?”
Kami menjawab: “Mereka tidak menyamakannya secara qiyas (analogi) dengan ayah.” Mereka bertanya: “Apa buktinya?” Kami berkata: “Bagaimana pendapatmu jika kakek hanya mewarisi karena status keayahan? Apakah status keayahan hilang jika ada ayah di bawahnya, atau jika dia pembunuh, budak, atau kafir?” Dia menjawab: “Tidak.” Kami berkata: “Kami menemukan status keayahan tetap melekat padanya meskipun dia tidak mewarisi. Kami mewariskan kepadanya berdasarkan riwayat dalam sebagian kasus, bukan karena status keayahan.”
Dia berkata: “Mereka tidak mengurangi bagian kakek dari seperenam, dan itu adalah ketetapan untuk ayah.” Kami menjawab: “Kami juga tidak mengurangi bagian nenek dari seperenam. Apakah itu berarti qiyas dengan ayah, sehingga engkau menempatkannya sebagai ayah dan menghalangi saudara-saudara kandung dengan nenek?” Mereka menjawab: “Tidak. Tetapi kalian menghalangi saudara seibu dengan kakek, sebagaimana kalian menghalangi mereka dengan ayah.” Kami menjawab: “Ya, ini berdasarkan riwayat, bukan qiyas. Tidakkah engkau melihat bahwa kami menghalangi mereka dengan cucu perempuan, tetapi kami tidak menetapkan hukum ayah untuknya? Ini menunjukkan bahwa ketentuan warisan bisa sama dalam sebagian hal tetapi berbeda dalam hal lain.”
Mereka bertanya: “Mengapa kalian tidak menjadikan kakek seperti ayah, sebagaimana kalian menjadikan cucu seperti anak?” Kami menjawab: “Karena perbedaan antara anak dan ayah. Kami menemukan bahwa anak lebih berhak dalam banyak warisan daripada ayah. Seorang laki-laki bisa meninggalkan ayah dan anaknya, maka anak mendapat lima perenam dan ayah mendapat seperenam. Dia juga bisa memiliki banyak anak yang mewarisinya bersama-sama, tetapi tidak mungkin memiliki dua ayah yang mewarisinya bersama-sama. Kami dan kalian mewariskan kepada saudara perempuan tetapi tidak kepada anak perempuannya, atau mewariskan kepada ibu tetapi tidak kepada anak perempuannya jika ada yang lebih dekat. Jika kami mewariskan kepadanya, itu bukan qiyas dengan ibunya, tetapi berdasarkan riwayat, bukan qiyas.”
Dia bertanya: “Apa dalil kalian dalam menetapkan bagian saudara-saudara bersama kakek?” Kami menjawab: “Seperti yang telah kami jelaskan, yaitu mengikuti dalil dan lainnya.” Mereka bertanya: “Apa lainnya?” Kami berkata: “Bagaimana pendapatmu jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan saudaranya dan kakeknya? Apakah salah satu dari mereka memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan mayit?” Mereka menjawab: “Tidak.” Kami berkata: “Bukankah saudaranya berkata: ‘Aku anak ayahnya,’ dan kakeknya berkata: ‘Aku ayah dari ayahnya,’ dan keduanya menuntut warisan karena hubungan mereka dengan ayahnya?” Mereka menjawab: “Ya.” Kami berkata: “Bagaimana pendapatmu jika ayahnya meninggal saat itu, siapakah yang lebih berhak atas warisannya?” Dia menjawab: “Anaknya mendapat lima perenam dan ayahnya mendapat seperenam.” Kami berkata: “Jika keduanya mengaitkan hubungan melalui ayah, maka anak ayah lebih berhak atas warisan daripada ayahnya. Lalu bagaimana mungkin yang lebih dekat dengan ayah dihalangi oleh yang lebih jauh?”
Kami berkata: “Warisan saudara-saudara ditetapkan dalam Al-Qur’an, sedangkan kakek tidak memiliki bagian tetap di dalamnya. Maka saudara lebih kuat dalam Al-Qur’an dan qiyas dalam penetapan warisan.”
Dia bertanya: “Lalu mengapa kalian memberikan kakek lebih banyak warisan jika saudara-saudaranya banyak?” Kami menjawab: “Berdasarkan riwayat. Seandainya warisannya berdasarkan qiyas, niscaya kami selalu memberikannya bagian yang sama dengan satu saudara, atau lebih sedikit jika saudaranya banyak. Kami melihat setiap bagian yang diberikan kepada saudara, lalu kami berikan lima bagian untuk saudara dan satu bagian untuk kakek, sebagaimana kami mewariskan keduanya ketika anak kakek (ayah dari mayit) meninggal.”
Dia bertanya: “Mengapa kalian tidak berpendapat seperti ini?” Kami menjawab: “Kami tidak memperluas penyelisihan terhadap riwayat dari para sahabat Nabi ﷺ, kecuali jika sebagian mereka berbeda pendapat dengan sebagian yang lain, sehingga kami tidak keluar dari pendapat-pendapat mereka.”
**[Warisan Anak Li’an]**
(Imam Syafi’i rahimahullāh Ta’ala berkata): Kami berpendapat bahwa jika anak hasil li’an atau anak zina meninggal, ibunya mendapat haknya berdasarkan Kitabullah ‘azza wa jalla, dan saudara-saudara seibunya mendapat hak mereka. Kami melihat sisa harta; jika ibunya memiliki wali karena memerdekakan, maka sisanya untuk wali ibunya. Jika ibunya orang Arab atau tidak memiliki wali, maka sisanya untuk kaum Muslimin.
Sebagian orang sependapat dengan kami kecuali dalam satu hal: jika ibunya orang Arab atau tidak memiliki wali, mereka mengembalikan sisa warisan kepada ‘ashabah (kerabat laki-laki) ibunya, dan ‘ashabah ibunya adalah ‘ashabahnya. Mereka berhujah dengan riwayat yang tidak kuat dan tidak bisa dijadikan dalil. Mereka berkata: “Mengapa kalian tidak menjadikan ‘ashabahnya sebagai ‘ashabah ibunya, sebagaimana kalian menjadikan walinya sebagai wali ibunya?” Kami menjawab: “Dengan alasan yang tidak kami perselisihkan asalnya, tetapi kalian meninggalkan pendapat kalian dalam hal ini.”
Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu jika seorang budak perempuan yang dimerdekakan melahirkan anak dari budak atau orang yang tidak dikenal? Bukankah walā’ anaknya mengikuti walā’ ibunya, seakan-akan mereka dimerdekakan bersama selama ayah mereka tidak memiliki walā’?” Mereka menjawab: “Ya.” Kami berkata: “Apakah wali ibunya bisa menjadi walinya dalam pernikahan?” Mereka menjawab: “Ya.” Kami berkata: “Jika ibunya orang Arab, apakah ‘ashabah ibunya menjadi ‘ashabah anaknya, sehingga mereka bisa menjadi wali nikah?” Mereka menjawab: “Tidak.” Kami berkata: “Jika wali ibu bisa menggantikan ‘ashabah dalam anaknya, sedangkan paman dari pihak ibu tidak bisa menggantikan ‘ashabah dalam anak saudara perempuannya, maka bagaimana engkau mengingkari pendapat kami, padahal asal yang kami pegang sama?”
**[Warisan Orang Majusi]**
(Imam Syafi’i rahimahullāh Ta’ala berkata): Kami berpendapat bahwa jika seorang Majusi masuk Islam dan anak perempuan seseorang adalah istrinya atau saudara perempuannya adalah ibunya, kami melihat sebab yang lebih kuat dan mewariskan berdasarkan itu, mengabaikan yang lain. Sebab yang lebih kuat adalah yang tetap dalam segala keadaan. Jika ibunya adalah saudara perempuan, kami mewariskannya sebagai ibu, karena status ibu tetap dalam segala keadaan, sedangkan status saudara bisa hilang. Demikianlah semua ketentuan warisan mereka berdasarkan tingkatan ini.
Sebagian orang berpendapat: “Kami mewariskannya dari kedua sisi.” Kami bertanya: “Bagaimana jika bersamanya ada saudara perempuan dan dia adalah saudara perempuan ibu?” Dia menjawab: “Kami menghalanginya dari sepertiga karena ada dua saudara perempuan, dan kami mewariskannya dari sisi lain karena dia adalah saudara perempuan.” Kami berkata: “Bukankah ketetapan Allah
Tanpa yang lain, kekurangannya, maka kami katakan: dan yang lain adalah kebalikannya? Dia menjawab: Ya. Kami berkata: Jika engkau menguranginya dengan dirinya sendiri, bukankah engkau telah menguranginya dengan cara yang berbeda dari apa yang Allah ‘Azza wa Jalla gunakan untuk menguranginya? Dan kami berkata: Bagaimana pendapatmu jika ia adalah ibu dalam keadaan sempurna, bagaimana mungkin engkau memberikannya dalam keadaan kurang dari kesempurnaan, sementara engkau memberikannya sebagai ibu yang sempurna dan saudara perempuan yang sempurna, padahal keduanya adalah dua tubuh, sedangkan ini satu tubuh? Dia berkata: Engkau telah menyadari bahwa engkau meniadakan salah satu dari dua hak. Kami menjawab: Karena tidak ada cara untuk menggunakan keduanya kecuali dengan menyimpang dari Kitab dan menyimpang dari akal, maka tidak boleh kecuali meniadakan yang lebih kecil, bukan yang lebih besar. Dia berkata: Apakah engkau menemukan sesuatu yang dapat disalahkan pada kami tentang hal itu? Kami menjawab: Ya, engkau mengira bahwa seorang mukatab tidak sepenuhnya merdeka dan bukan juga budak, dan bahwa siapa pun yang kemerdekaannya tidak sempurna akan jatuh ke hukum budak; karena ia tidak mewarisi, tidak diwarisi, kesaksiannya tidak diterima, tidak ada hukuman bagi yang menuduhnya, dan ia hanya dihukum seperti hukuman budak, sehingga engkau meniadakan posisi kemerdekaan darinya. Dia berkata: Aku memutuskan bahwa ia adalah budak. Aku bertanya: Dalam semua keadaan, atau hanya dalam sebagian keadaan? Dia menjawab: Hanya dalam sebagian keadaannya, bukan semua; karena jika aku katakan dalam semua keadaannya, maka aku mengizinkan tuannya untuk menjualnya dan mengambil hartanya. Aku berkata: Jika keadaannya telah bercampur, tidak murni sebagai budak dan tidak murni sebagai orang merdeka, mengapa engkau tidak berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bahwa ia dimerdekakan sesuai dengan apa yang telah ia bayar, kesaksiannya diterima sesuai dengan apa yang telah ia bayar, dihukum sesuai dengan apa yang telah ia bayar, dan mewarisi serta diwarisi sesuai dengan apa yang telah ia bayar?
Dia berkata: Engkau tidak berpendapat seperti itu. Kami berkata: Dan engkau kembali ke hukum aslinya, yaitu hukum budak dalam hal yang menimpanya, dan engkau melarangnya untuk mewarisi? Dia menjawab: Ya. Kami berkata: Lalu mengapa engkau tidak membolehkan bagi kami dalam kasus orang Majusi seperti yang kami jelaskan? Kami hanya mengembalikan orang Majusi kepada keadaan di mana kami memberikan mereka lebih dari apa yang seharusnya mereka dapatkan. Kami tidak menghalangi hak mereka dari satu sisi kecuali kami memberikan hak itu, atau sebagiannya, dari sisi lain, dan kami menjadikan hukum bagi mereka sebagai satu hukum yang masuk akal, tidak terpecah-pecah, bukan seperti menjadikan satu tubuh dalam hukum dua tubuh.
[Warisan Murtad]
(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: **“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan seorang kafir tidak mewarisi muslim.”**
“Orang kafir dan Muslim.”
(Imam Syafi’i berkata): “Inilah pendapat kami. Setiap orang yang menyimpang dari agama Islam, baik dari Ahli Kitab maupun penyembah berhala, jika salah seorang dari mereka murtad dari Islam, maka seorang Muslim tidak boleh mewarisinya berdasarkan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan karena Allah telah memutuskan hubungan kewarisan antara Muslim dan musyrik. Sebagian orang setuju dengan kami bahwa setiap orang kafir (tidak mewarisi Muslim), kecuali orang murtad saja. Mereka berpendapat bahwa ahli warisnya dari kalangan Muslim boleh mewarisinya.
Maka kami bertanya: “Apakah orang murtad termasuk dalam makna orang kafir, ataukah ia tetap berada dalam hukum Muslim?” Jika engkau berkata: “Ia dalam sebagian hukumnya termasuk hukum Muslim,” maka kami katakan: “Apakah boleh seorang kafir dalam satu hukum dianggap mukmin dalam hukum lainnya?” Lalu orang lain akan berkata kepadamu: “Ia kafir ketika engkau anggap mukmin, dan mukmin ketika engkau anggap kafir.” Dia menjawab: “Tidak.” Kami berkata: “Apakah tidak mungkin bagimu menerima hal ini kecuali jika hal serupa berlaku atasmu?”
Dia berkata: “Kami berpegang pada sebuah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – membunuh Al-Mustawrid dan mewariskan harta warisannya kepada ahli warisnya yang Muslim.”
Kami berkata: “Sebagian ahli hadits di antara kalian menganggap riwayat itu keliru, tapi kami anggap sah bagimu. Menurutmu, bagaimana hukumnya selain warisan? Apakah ia dihukum sebagai musyrik atau Muslim?” Dia menjawab: “Sebagai musyrik.”
Kami berkata: “Jika seorang murtad dipenjara untuk dibunuh atau diminta bertobat, lalu anaknya yang Muslim meninggal, apakah ia mewarisinya?” Dia menjawab: “Tidak.”
Kami berkata: “Pernahkah engkau melihat seseorang yang tidak mewarisi anaknya, kecuali jika ia membunuhnya, sementara anaknya mewarisinya? Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menetapkan hak waris bagi anak dari ayahnya sebagaimana menetapkan hak waris bagi ayah dari anaknya. Allah memutuskan hubungan kewarisan antara Muslim dan musyrik, dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah menetapkan sunnah (hukum) dalam hal ini.”
Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
“Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim.” Jika murtad keluar dari makna hukum Allah Ta’ala dan hukum Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – di antara orang-orang musyrik berdasarkan atsar yang kamu klaim, maka kamu harus melanggar atsar tersebut; karena Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – tidak melarang warisan anaknya jika mereka meninggal, dan jika anaknya mewarisi darinya, seharusnya anaknya juga mewarisi jika dia berbeda dengan orang musyrik lainnya. Jika boleh mereka mewarisi tetapi tidak diwarisi, maka ini mirip dengan keputusan Muawiyah bin Abi Sufyan yang diikuti oleh lainnya, yang mengatakan: “Kami mewarisi orang musyrik, tetapi mereka tidak mewarisi kami, sebagaimana wanita mereka halal bagi kami, tetapi wanita kami tidak halal bagi mereka.” Bagaimana jika seseorang berargumen dengan pendapat Muawiyah dan yang mengikutinya seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Muhammad bin Ali bin Al-Husain, dan lainnya, serta diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal yang serupa?
Muawiyah dan Mu’adz mengatakan hal itu tentang Ahli Kitab dan berkata: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya memutuskan hal itu untuk penyembah berhala dan wanita yang dihalalkan bagi Muslim, yaitu wanita Ahli Kitab, bukan wanita penyembah berhala.” Mereka berkata kepada Mu’adz bin Jabal dan Muawiyah, dan keduanya memiliki pemahaman dan ilmu, mengapa kamu tidak setuju dengan pendapat mereka? Sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim” bisa dimaknai untuk kafir penyembah berhala, dan Muawiyah serta Mu’adz mengikutinya untuk Ahli Kitab, sehingga Muslim mewarisi dari kafir tetapi tidak sebaliknya, seperti pendapat kami tentang pernikahan wanita mereka. Dia berkata: “Itu tidak berlaku baginya karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda ‘Muslim tidak mewarisi kafir,’ dan ini berlaku untuk semua kafir.” Kami berkata: “Mengapa kamu tidak berargumen dengan pendapat yang kami sebutkan, padahal hadits bisa dimaknai demikian?” Dia menjawab: “Hampir tidak ada hadits kecuali mengandung makna yang beragam, dan hadits harus dipahami sesuai zahirnya kecuali ada petunjuk dari periwayatnya.” Kami berkata: “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – meskipun utama, yang bisa dijadikan hujah untuk menafsirkan hadits Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan makna yang mungkin.” Dia berkata: “Tidak.” Kami berkata: “Maka semua yang kamu katakan adalah hujah atasmu dalam warisan murtad dan dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib.”
(Asy-Syafi’i berkata): Kami berkata: “Harta murtad tidak diambil sampai dia mati atau dibunuh karena kemurtadannya. Jika dia kembali ke Islam, dia lebih berhak atas hartanya.” Sebagian orang berkata: “Jika seseorang murtad dan bergabung dengan darul harb, imam membagi warisannya seperti warisan orang mati, membebaskan ummahat awladnya, mudabbirnya, menjadikan hutangnya yang tertunda menjadi jatuh tempo, dan memberikan warisan kepada ahli warisnya.” Dikatakan kepadanya: “Kamu mengkritik keputusan Umar dan Utsman – radhiyallahu ‘anhuma – di darus sunnah dan hijrah tentang wanita yang ditinggal suaminya yang hilang tanpa kabar, yang kemungkinan besar telah meninggal, sehingga istrinya menunggu empat tahun lalu empat bulan sepuluh hari sebelum menikah lagi.” Aku berkata: “Bagaimana kita memutuskan kematian seorang suami yang mungkin masih hidup? Mereka tidak memutuskan hartanya sebagai orang hidup, tetapi karena darurat bagi istri. Kita memisahkan suami-istri dengan alasan yang lebih ringan dari ini, seperti jika suami tidak memberi nafkah.” Kamu kemudian memutuskan orang hidup yang murtad dan berlindung di benteng Romawi, yang kita tahu masih hidup, dengan hukum orang mati dalam segala hal, melanggar Al-Qur’an dan melakukan kesalahan lebih besar dari yang kamu kritik, serta menyelisihi orang yang seharusnya kamu ikuti.
Dia berkata: “Di mana Al-Qur’an yang kulanggar?” Aku berkata: “Allah berfirman: ‘Jika seseorang meninggal tanpa anak dan memiliki saudara perempuan, dia mendapat setengah warisan.’ (An-Nisa: 176) Dan: ‘Kamu mendapat setengah dari yang ditinggalkan istri-istrimu.’ (An-Nisa: 12)” Warisan dipindahkan dari orang mati ke orang hidup, bukan dari orang hidup ke orang hidup. Kamu memindahkan warisan orang hidup ke orang hidup, menyelisihi hukum Allah. Dia berkata: “Aku berpendapat kemurtadan dan bergabung dengan darul harb seperti kematian.” Aku berkata: “Apakah ini berdasarkan hadits?” Dia menjawab: “Tidak, tetapi aku mengqiyaskannya.” Aku berkata: “Di mana qiyasnya?” Dia berkata: “Tidakkah kamu lihat jika aku menemukannya dalam keadaan ini, aku akan membunuhnya sehingga dia mati?” Aku berkata: “Jika kamu membunuhnya, dia mati, tetapi kamu belum membunuhnya. Di mana qiyasnya? Kamu hanya akan membunuhnya jika kamu mematikannya, tetapi kamu belum melakukannya.”
Jika dengan alasan “jika aku bisa, aku akan membunuhnya” seperti pembunuh, maka jika dia kembali ke darul Islam, hukumnya seperti orang mati dan keputusan untuk orang mati berlaku padanya. Dia berkata: “Apa yang harus kulakukan? Dia masih hidup.” Aku berkata: “Kamu sudah melakukannya saat dia hidup, lalu berpendapat jika kamu memutuskan hukum orang mati, lalu dia bertaubat, umm walad dan mudabbirnya masih ada, hutangnya masih utuh di tangan kreditur selama sepuluh tahun, dan warisan di tangan ayahnya, lalu dia berkata: ‘Kembalikan hartaku.’ Kreditur berkata: ‘Ini hartamu yang utuh.’ Umm walad dan mudabbir juga masih utuh.” Dia berkata: “Aku tidak mengembalikannya karena keputusan sudah berlaku.” Kami berkata: “Bagaimana kamu mengembalikan harta di tangan ahli warisnya padahal keputusan sudah berlaku?” Dia berkata: “Ini hartanya yang utuh.” Kami berkata: “Harta di tangan kreditur, umm walad, dan mudabbir juga hartanya yang utuh. Mengapa kamu membatalkan keputusan untuk sebagian saja? Apakah ini berdasarkan hadits atau qiyas?” Dia berkata: “Ini qiyas.” Kami berkata: “Apa qiyasnya?” Dia berkata: “Seperti harta ahli baghyi yang diambil ahli adl. Jika mereka bertaubat dan menemukan harta mereka yang utuh, mereka boleh mengambilnya.” Kami berkata: “Kamu mengembalikan sebagian hartanya yang utuh tetapi tidak mengembalikan sebagian lainnya. Jika ahli adl mengambil umm walad atau mudabbir ahli baghyi, mereka mengembalikannya dan berkata: ‘Mereka tidak merdeka dan tidak dimiliki selain oleh pemiliknya.’ Ini berbeda dengan pendapatmu tentang harta murtad.”
[Warisan Wanita Musyrik]
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Kami berkata: “Wanita musyrik memiliki suami, ibu, dua saudara seayah-ibu, dan dua saudara seibu. Suami mendapat setengah, ibu seperenam, dua saudara seibu sepertiga, dan saudara seayah-ibu bergabung karena ayah tidak dianggap, sehingga mereka menjadi saudara seibu.” Sebagian orang sepakat dengan kami kecuali mereka berkata saudara seayah-ibu tidak bergabung, berargumen dengan perbedaan pendapat sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam hal ini. Mereka memilih pendapat yang sesuai dengan mereka, karena saudara seayah-ibu kadang mendapat lebih atau kurang dari saudara seibu, sehingga mereka membedakan hukumnya. Kami menyatukan mereka karena ibu menyatukan mereka dan hukum ayah gugur. Jika ayah tidak dianggap, mereka seperti tidak ada.
Dia berkata: “Apakah kamu menemukan contoh seperti ini, di mana seseorang berlaku dalam satu kondisi tetapi tidak dalam kondisi lain?” Kami berkata: “Ya, seperti pernikahan setelah tiga talak. Suami bisa menikahi wanita setelah tiga talak, lalu menceraikannya, dan dia halal untuk suami sebelumnya. Tiga talak menghapus talak sebelumnya, tetapi satu atau dua talak tidak.” Dia berkata: “Ini berdasarkan hadits Umar – radhiyallahu ‘anhu.” Aku berkata: “Juga qiyas, karena Umar berbeda pendapat dengan lainnya.”
Dia berkata: “Apakah ada contoh dalam warisan?” Aku berkata: “Ya. Jika ayah membunuh anaknya, saudara anak itu mewarisi, tetapi ayah tidak, karena hak ayah gugur. Jika ayah tidak memiliki hak, mereka tidak terhalang, seperti jika ayah kafir atau budak.” Dia berkata: “Ayah tidak mewarisi dalam kondisi apa pun, sedangkan mereka mewarisi dalam kondisi tertentu.” Kami berkata: “Bukankah kita melihat warisan berdasarkan hak mereka dalam pembagian, bukan kondisi sebelumnya atau setelahnya?” Dia berkata: “Apa maksudmu?” Aku berkata: “Jika ayah tidak membunuh, dia mewarisi. Jika dia membunuh, tidak. Jika ayah budak saat anaknya meninggal, tidak mewarisi, tetapi jika dia merdeka sebelum anaknya meninggal, dia mewarisi.” Dia berkata: “Benarkah?” Kami berkata: “Kita melihat kondisi di mana ayah tidak memiliki hak dalam pembagian, sehingga kita menggugurkannya dan menyamakan mereka dengan saudara seibu.”
[Bab Wasiat dan Tidak Berwasiat]
[Bab Wasiat Sebagian Warisan untuk Salah Satu Anak atau Ahli Waris]
Kitab Wasiat. Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami: “Kami menulis kitab ini dari salinan Asy-Syafi’i yang ditulis tangannya, tanpa mendengarnya langsung darinya.” Ar-Rabi’ menyebutkan di awalnya: “Jika seseorang berwasiat untuk orang lain seperti bagian salah satu anaknya,” diikuti bab-bab lainnya, dan di akhirnya ada yang seharusnya didahulukan, yaitu: Bab Wasiat dan Tidak Berwasiat. (Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Dalam riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang wasiat: Sabda beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Tidak pantas bagi seseorang yang memiliki harta untuk bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis.” Ini bisa dimaknai sebagai adab, bukan kewajiban.
Bab Wasiat dengan Bagian Seperti Salah Seorang Anaknya, atau Salah Seorang Ahli Warisnya, dan Sejenisnya, yang Tidak Termasuk dalam Tarjamah.
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Jika seseorang berwasiat kepada orang lain dengan bagian seperti salah seorang anaknya, maka jika anaknya dua orang, wasiat itu sepertiga. Jika anaknya tiga orang, wasiat itu seperempat, sehingga sama dengan bagian salah seorang anaknya. Jika dia berwasiat dengan bagian seperti anak laki-lakinya, maka wasiat itu setengah, tetapi penerima wasiat hanya mendapatkan sepertiga secara utuh, kecuali jika sang anak bersedia memberinya seperenam.
(Dia berkata): Jika anaknya tiga orang, wasiat itu seperempat, meskipun mungkin juga sepertiga, karena diketahui bahwa salah seorang dari ketiga anaknya mewarisi sepertiga. Namun, karena perkataan ini mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah seperti bagian salah seorang anaknya atau seperti bagian yang diterima salah seorang anaknya, maka aku mengambil yang lebih sedikit dan memberikannya kepadanya sebagai kepastian, sementara yang meragukan tidak diberikan. Demikian pula jika dia berkata, “Berikanlah dia bagian seperti salah seorang anakku,” dan di antara anaknya ada laki-laki dan perempuan, maka aku memberinya bagian perempuan karena lebih sedikit. Begitu juga jika anaknya seorang anak perempuan dan cucu laki-laki, lalu dia berkata, “Berikanlah dia bagian seperti salah seorang anakku,” maka aku memberinya seperenam. Jika cucu laki-lakinya dua orang atau lebih, aku memberinya bagian terkecil yang diterima salah seorang dari mereka.
Jika dia berkata, “Dia mendapat bagian seperti salah seorang ahli warisku,” dan di antara ahli warisnya ada perempuan yang mendapat seperdelapan, sementara tidak ada ahli waris lain yang mendapat kurang dari seperdelapan, maka aku memberinya seperdelapan. Jika dia memiliki empat istri yang mewarisi seperdelapan, aku memberinya seperdelapan dibagi empat. Demikian pula jika ahli warisnya adalah ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah), aku memberinya seperti bagian salah seorang dari mereka, meskipun hanya satu bagian dari seribu bagian. Begitu juga jika ahli warisnya adalah maula (budak yang dimerdekakan), meskipun jumlahnya sedikit dan ada ahli waris lain seperti istri atau lainnya, aku selalu memberinya bagian terkecil yang diterima salah seorang ahli warisnya.
Jika ahli warisnya terdiri dari saudara kandung, saudara seayah, dan saudara seibu, lalu dia berkata, “Berikanlah dia bagian seperti salah seorang saudaraku,” atau “Dia mendapat bagian seperti salah seorang saudaraku,” maka semua itu sama. Wasiatnya tidak batal hanya karena saudara seayah tidak mendapat warisan. Dia diberi bagian seperti saudaranya yang mendapat warisan terkecil, baik itu saudara seibu yang mendapat bagian terkecil atau saudara kandung.
(Dia berkata): Jika dia berkata, “Berikanlah dia bagian seperti warisan terbanyak yang diterima ahli warisku,” maka dilihat siapa yang paling banyak mewarisi, lalu dia diberi seperti bagiannya hingga mencapai sepertiga. Jika bagiannya melebihi sepertiga, dia hanya mendapat sepertiga, kecuali jika ahli waris menghendaki lebih. Demikian pula jika dia berkata, “Berikanlah dia lebih dari bagian warisan yang diterima salah seorang ahli warisku,” atau “Lebih dari bagian salah seorang anakku,” maka dia diberi hingga sepertiga.
Jika dia berkata, “Berikanlah dia dua kali lipat bagian anakku yang paling banyak,” maka dia diberi dua kali lipat bagian anaknya yang paling banyak. Jika dia berkata, “Dua kali lipat bagian anakku,” maka dilihat bagian anaknya. Jika bagiannya seratus, dia diberi tiga ratus, karena seratus bagiannya digandakan sekali, lalu digandakan lagi, sehingga menjadi dua kali lipat. Demikian pula jika dia menyebut tiga atau empat kali lipat, aku tidak menambah lebih dari melihat bagian asli warisan, lalu melipatgandakannya baginya hingga mencapai wasiat yang dimaksud.
Jika dia berkata, “Berikanlah dia bagian seperti salah seorang yang kuwasiati,” maka aku memberinya bagian terkecil yang diterima salah seorang yang diwasiati, karena dengan memberinya yang paling sedikit, aku telah memberinya sesuai yang kuketahui wasiatnya secara pasti, tanpa melebihinya karena itu meragukan. Wallahu a’lam.
[Bab Wasiat dengan Sebagian dari Hartanya]
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Jika seseorang berkata, “Untuk si Fulan bagian dari hartaku,” atau “Sebagian dari hartaku,” atau “Bagian dari hartaku,” maka semua ini sama. Katakanlah kepada ahli waris, “Berikanlah kepadanya sesuai yang kalian kehendaki,” karena segala sesuatu adalah bagian, sebagian, atau jatah.
Jika penerima wasiat mengatakan bahwa ahli waris tahu bahwa dia menginginkan lebih dari ini, maka ahli waris harus bersumpah bahwa mereka tidak tahu dia menginginkan lebih dari yang diberikan. Demikian pula jika dia berkata, “Berikanlah dia sebagian kecil dari hartaku,” atau “Jatah,” atau “Bagian.”
Jika dia berkata, “Tempatkan sedikit atau banyak,” maka tidak ada batasan pasti untuk “banyak.” Sebab, jika aku berpendapat bahwa “banyak” adalah segala yang memiliki hukum, aku menemukan firman Allah Ta’ala: *”Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya.”* (QS. Az-Zalzalah: 7-8).
Berikut adalah terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
**Maka berat sebutir atom pun (baik atau buruk) akan diperlihatkan. Dan Allah telah menetapkan hukum bagi setiap kebaikan dan keburukan. Aku melihat sedikit atau banyak harta manusia sama saja, wajib dikembalikan oleh orang yang mengambilnya secara zalim, melampaui batas, atau menghabiskannya.**
*(Imam Syafi’i berkata):* Aku menemukan seperempat dinar itu sedikit, namun bisa menjadi patokan untuk memotong (hukum).
*(Imam Syafi’i berkata):* Aku menemukan dua ratus dirham itu sedikit, padahal ada zakat di dalamnya. Itu bisa dianggap sedikit. Segala yang disebut “sedikit” juga bisa disebut “banyak”. Karena tidak ada batasan pasti untuk “banyak”, dan istilah “banyak” bisa mencakup yang sedikit, maka itu diserahkan kepada ahli waris. Begitu pula jika seseorang masih hidup dan mengakui sedikit atau banyak hartanya untuk seseorang, itu terserah padanya. Jika tidak disebutkan atau ditentukan, maka kembali kepada ahli waris, karena aku tidak memberikannya dalam keraguan, hanya dengan keyakinan.*
**[Bab Wasiat dengan Sesuatu yang Dinamakan Bukan Spesifik]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Jika seseorang berwasiat, “Berikan dia satu budak dari budak-budakku,” maka ahli waris boleh memberikannya budak mana saja yang mereka pilih. Begitu pula jika dia berkata, “Berikan dia satu kambing dari kambingku,” atau “unta dari untaku,” atau “keledai dari keledaiku,” atau “bagal dari bagalku,” ahli waris boleh memberikannya sesuai pilihan mereka dari yang disebutkan. Jika dia berkata, “Berikan dia salah satu budakku,” atau “sebagian budakku,” atau “satu kepala dari budakku,” ahli waris boleh memberikannya budak mana saja, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, cacat atau tidak. Begitu pula jika dia berkata, “Berikan dia satu hewan tunggangan dari hewan tungganganku,” ahli waris boleh memberikannya hewan apa saja, betina atau jantan, kecil atau besar. Mereka juga boleh memberikannya budak kecil atau besar sesuai keinginan.
Jika dia berwasiat, “Berikan dia satu budak dari budakku,” lalu salah satu budaknya mati, ahli waris boleh mengatakan, “Inilah yang diwasiatkan untukmu.” Jika penerima wasiat mengingkarinya, maka dia berhak mendapatkan satu budak dari budak yang tersisa, dan ahli waris boleh memberikannya sesuai pilihan mereka. Penerima wasiat tidak menanggung yang mati selama masih dalam batas sepertiga harta, seperti jika diwasiatkan seratus dinar lalu hartanya berkurang seratus dinar, dia tidak wajib mengganti selama masih dalam sepertiga.
Jika semua harta yang diwasiatkan habis, wasiat batal. Jika hanya tersisa satu dari hewan atau budak yang diwasiatkan, itu menjadi hak penerima wasiat. Jika semua budak atau hewan yang diwasiatkan mati, wasiat batal.
**[Bab Wasiat dengan Sesuatu yang Dinamakan tapi Tidak Dimiliki]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Jika seseorang berwasiat, “Berikan si fulan satu kambing dari kambingku,” atau “unta dari untaku,” atau “budak dari budakku,” atau “hewan tunggangan dari hewan tungganganku,” tetapi ternyata dia tidak memiliki hewan tunggangan atau jenis yang diwasiatkan, wasiat itu batal karena dia berwasiat atas sesuatu yang tidak dimilikinya.
Jika dia memiliki jenis tersebut tetapi habis atau dijual sebelum kematiannya, wasiat batal. Jika dia meninggal dan masih memiliki satu dari jenis yang diwasiatkan, maka itu menjadi hak penerima wasiat selama masih dalam sepertiga harta. Jika tidak tersisa sama sekali, wasiat batal.
Jika terjadi perselisihan—penerima wasiat mengklaim ahli waris menghabiskannya, sedangkan ahli waris mengatakan itu musnah secara alami—maka perkataan ahli waris lebih dianggap kecuali penerima wasiat bisa membuktikan. Jika ada bukti, ahli waris diperintahkan untuk memberikan apa saja yang setara dengan nilai terendah dari jenis yang diwasiatkan. Nilainya ditentukan oleh ahli waris, kecuali penerima wasiat bisa membuktikan nilai minimalnya.
Jika harta itu dihabiskan oleh ahli waris atau orang lain, penerima wasiat berhak menuntut ganti rugi sesuai nilai yang diberikan ahli waris. Jika ahli waris mengambil sebagian nilai harta itu dan sisanya bangkrut, penerima wasiat berhak menuntut sisa nilai yang seharusnya dia terima.
**[Bab Wasiat dengan Seekor Kambing dari Hartanya]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Jika seseorang berwasiat, “Berikan si fulan seekor kambing dari hartaku,” ahli waris boleh memberikannya kambing apa saja, baik yang sudah mereka miliki atau yang mereka beli—kecil atau besar, domba atau kambing biasa. Namun, jika mereka berkata, “Kami memberinya kijang atau rusa,” itu tidak boleh, meskipun secara bahasa bisa disebut “kambing,” karena yang dimaksud adalah domba atau kambing biasa. Begitu pula jika mereka berkata, “Kami memberimu jantan,” itu tidak boleh karena “kambing” biasanya merujuk pada betina.
Jika wasiat menyebut “unta” atau “sapi,” ahli waris tidak boleh memberi “onta betina” atau “sapi betina” karena istilah itu khusus untuk jantan. Jika wasiat menyebut “sepuluh unta betina,” mereka tidak boleh memberi jantan. Begitu pula jika wasiat menyebut “sepuluh unta,” “sepuluh sapi,” atau “sepuluh kambing jantan,” mereka tidak boleh memberi betina.
Jika wasiat menyebut “sepersepuluh dari kambingku,” atau “sepersepuluh dari untaku,” atau “sepersepuluh dari sapi atau anak kambingku,” ahli waris boleh memberi betina semua, jantan semua, atau campuran, karena istilah itu mencakup kedua jenis.
Nabi ﷺ bersabda, *”Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima.”* Ulama sepakat ini berlaku untuk jantan, betina, atau campuran.
**[Bab Wasiat untuk Orang Miskin dan Fakir]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Jika seseorang berwasiat, “Sepertiga hartaku untuk orang miskin,” maka yang termasuk adalah orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang mencukupi—hanya untuk orang merdeka, bukan budak yang belum merdeka sepenuhnya.
Harta dibagi di tempat pemiliknya tinggal. Jika melebihi kebutuhan, bisa dialihkan ke daerah terdekat. Jika wasiat menyebut “fakir,” maka mencakup fakir dan miskin. Jika disebut keduanya, maka fakir adalah yang tidak memiliki harta sama sekali, sedangkan miskin adalah yang memiliki sedikit tapi tidak mencukupi.
Pembagian disesuaikan dengan tingkat kebutuhannya. Jika ada yang butuh 100 dan yang lain 50, maka yang pertama mendapat dua bagian. Kerabat tidak boleh diutamakan kecuali berdasarkan kebutuhan.
**[Bab Wasiat untuk Memerdekakan Budak]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Jika wasiat untuk “memerdekakan budak,” maka prioritas diberikan kepada budak yang sedang dalam perjanjian merdeka (mukatab). Tidak boleh memulai dengan memerdekakan budak biasa.
Jika wasiat menyebut “merdekakan budak untukku,” maka tidak boleh memberi mukatab sedikit pun. Minimal harus memerdekakan tiga budak. Jika kurang, ahli waris wajib mengganti sisa nilai yang tidak terpenuhi.
Lebih utama memerdekakan budak yang paling baik dan saleh. Jika harta mencukupi, lebih baik memerdekakan banyak budak dengan harga murah daripada sedikit dengan harga mahal, karena Nabi ﷺ bersabda, *”Barangsiapa memerdekakan budak, Allah akan bebaskan setiap anggota tubuhnya dari neraka.”*
**[Bab Wasiat untuk Orang yang Berutang]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Wasiat untuk “gharimin” (orang yang berutang) dibagi sesuai besar utang mereka, minimal tiga orang, seperti aturan untuk fakir dan budak.
**[Bab Wasiat di Jalan Allah]**
*(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):* Wasiat “di jalan Allah” hanya untuk keperluan perang (jihad), bukan lainnya. Pembagian disesuaikan dengan jarak dan lamanya perang, seperti aturan untuk fakir.
Jika wasiat menyebut “di jalan kebaikan” atau “di jalan pahala,” maka dibagi untuk kerabat (baik kaya atau miskin), fakir, miskin, budak, orang berutang, pejuang, musafir, jamaah haji, tamu, dan peminta-minta. Jika tidak dibagi sesuai ketentuan, wasit wajib mengganti bagian yang terhalang.
*(Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal Indonesia dan menjaga makna asli teks.)*
[Bab Wasiat dalam Haji]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang meninggal dan telah menunaikan haji Islam, lalu mewasiatkan agar dihajikan untuknya, maka jika sepertiga hartanya cukup untuk satu haji dari negerinya, dihajikan untuknya seorang dari negerinya. Jika tidak cukup, dihajikan untuknya seorang dari tempat yang terjangkau oleh sepertiga hartanya.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat yang dipegang oleh Syafi’i adalah bahwa orang yang belum menunaikan haji Islam wajib dihajikan dari pokok hartanya, minimal dari miqat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata, “Hajikan untukku si Fulan dengan seratus dirham,” dan seratus dirham itu lebih dari upahnya, maka diberikan karena itu wasiat untuknya, baik secara spesifik atau tidak, selama bukan ahli waris. Jika ahli waris dan diwasiatkan untuk menghajikannya dengan seratus dirham yang lebih dari upah semestinya, dikatakan, “Jika mau, hajikan dengan upah semestimu, dan kelebihan dari upah semestimu batal karena wasiat untuk ahli waris tidak sah.” Jika tidak mau, kami akan menghajikan orang lain untuknya dengan upah minimal dari negerinya. Ijarah adalah jual beli, jika tidak ada pemberian sukarela, bukan wasiat. Contoh, jika berwasiat membeli budak untuk ahli waris lalu memerdekakannya, boleh selama dengan nilai yang wajar. Begitu pula jika berwasiat untuk dihajikan, ahli waris boleh menghajikannya dengan upah semestinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata, “Hajikan untukku dengan dua pertiga hartaku untuk satu haji,” dan sepertiganya cukup untuk beberapa haji, itu boleh untuk non-ahli waris. Jika sepertiga cukup untuk beberapa haji, yang membolehkan haji sukarela boleh menghajikannya sesuai kemampuan tanpa melebihi upah semestinya. Jika sisa sepertiga tidak cukup untuk satu haji dari negerinya, dihajikan dari negeri terdekat ke Mekah hingga habis sepertiganya. Jika tersisa satu dirham atau kurang yang tidak cukup untuk haji, dikembalikan sebagai warisan seperti wasiat yang tidak diterima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika berwasiat untuk dihajikan satu atau beberapa haji menurut pendapat yang membolehkannya, tetapi tidak terpenuhi, maka haji itu untuk yang berhaji, bukan mayit, dan seluruh upah dikembalikan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika disewa seseorang untuk menghajikannya lalu hajinya rusak, seluruh upah dikembalikan karena pekerjaannya rusak. Jika dihajikan seorang wanita, sah, tetapi laki-laki lebih utama. Jika dihajikan laki-laki untuk wanita, juga sah.
(Imam Syafi’i berkata): Halangan haji telah ditulis dalam kitab haji. Jika seseorang berwasiat agar dihajikan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu meninggal sebelum berhaji, dihajikan orang lain. Seperti jika berwasiat memerdekakan budak, lalu budak mati sebelum dimerdekakan, diganti dengan budak lain. Jika seseorang yang telah menunaikan haji Islam berwasiat, “Hajikan untukku si Fulan dengan seratus dirham, dan berikan sisa sepertigaku untuk si Fulan,” lalu mewasiatkan sepertiga hartanya untuk seseorang tertentu, maka penerima wasiat sepertiga mendapat separuh sepertiga, separuhnya lagi untuk yang berhaji dan penerima sisa.
[Bab Pembebasan dan Wasiat saat Sakit]
Diceritakan kepada kami oleh Syafi’i, dari Abdul Wahhab, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Muhallab, dari Imran bin Hushain: Seorang membebaskan enam budaknya saat sakit tanpa harta lain. (Hadis).
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Pembebasan total saat sakit jika pemberi bebas meninggal diambil dari sepertiga harta. Demikian juga hibah dan sedekah saat sakit, karena semua itu harta yang dikeluarkan tanpa imbalan. Jika orang sakit membebaskan budak secara total atau tadbir, didahulukan pembebasan total sebelum tadbir, wasiat, dan semua wasiat lainnya. Jika ada sisa dari sepertiga, itu kelebihan.
Pembebasan yang dilakukan secara langsung, wasiat-wasiat dilaksanakan untuk ahli warisnya. Jika tidak ada sisa harta, maka tidak ada wasiat dan statusnya seperti orang yang meninggal tanpa harta. Demikian pula setiap hibah atau sedekah yang telah diterima oleh penerimanya, karena itu terjadi selama hidupnya dan menjadi miliknya dalam segala keadaan tanpa bisa ditarik kembali. Hal ini sama seperti kewajiban yang mengikat pada sepertiga hartanya setelah kematian atau seluruh hartanya jika ia sehat. Wasiat setelah kematian tidak mengikat kecuali setelah ia meninggal, sehingga ia bisa membatalkannya selama masih hidup.
Jika seseorang membebaskan budaknya yang tidak memiliki harta selain mereka saat sakit, lalu meninggal sebelum sembuh:
– Jika pembebasan dilakukan sekaligus, seperti mengucapkan, “Mereka merdeka,” atau, “Semua budakku merdeka,” maka diadakan undian untuk membebaskan sepertiga dan dua pertiga tetap sebagai budak.
– Jika membebaskan satu atau dua orang terlebih dahulu, kemudian sisanya, maka yang pertama dibebaskan diutamakan. Jika masih dalam sepertiga harta, ia merdeka; jika tidak, hanya bagian yang masuk sepertiga yang merdeka, sisanya tetap budak. Jika masih ada sisa sepertiga, budak berikutnya dibebaskan. Proses ini berlanjut terus, tidak ada yang dibebaskan sebelum yang sebelumnya selesai, karena pembebasan pertama mengikat sebelum yang kedua.
Jika tidak ada sisa sepertiga setelah pembebasan, maka hanya itu yang dibebaskan, dan tidak ada lagi sepertiga harta tersisa.
Contoh lain:
– Jika seseorang berkata kepada tiga budaknya, “Kalian merdeka,” lalu menambahkan, “Sisa budakku juga merdeka,” maka tiga budak pertama diutamakan. Jika sepertiga harta mencukupi, mereka merdeka bersama. Jika tidak, diadakan undian. Jika masih ada sisa setelah pembebasan, diadakan undian lagi untuk budak yang tersisa.
– Jika ada budak yang sudah ditentukan pembebasannya (mudabbar) atau diwasiatkan, maka budak yang dibebaskan langsung (bukan mudabbar) diutamakan. Jika sepertiga harta habis untuk mereka, maka mudabbar atau yang diwasiatkan tidak merdeka. Jika masih ada sisa, mudabbar atau yang diwasiatkan dibebaskan. Jika tidak cukup, mereka memiliki hak yang sama, tanpa prioritas mudabbar atas wasiat, karena keduanya adalah wasiat dan hanya berlaku setelah kematian.
Jika budak perempuan yang dibebaskan saat sakit melahirkan setelah pembebasan tetapi sebelum kematian tuannya:
– Jika sepertiga harta cukup untuk membebaskan mereka, maka budak perempuan merdeka dari sepertiga harta, sedangkan anaknya merdeka tanpa dihitung dari sepertiga karena mereka adalah anak perempuan merdeka.
– Jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka budak perempuan dinilai bersama anaknya (tidak dipisahkan), lalu diundi. Jika terpilih, ia merdeka dari sepertiga, dan anaknya otomatis merdeka tanpa mengurangi sepertiga. Jika masih ada sisa, diadakan undian lagi hingga habis.
Jika sisa sepertiga sangat sedikit, maka sepertiga budak perempuan (umm walad) dibebaskan, dan sepertiga anaknya juga merdeka, sedangkan dua pertiganya tetap budak. Status anak mengikuti ibunya.
Jika seseorang mewasiatkan pembebasan budak perempuan setelah kematiannya, lalu budak itu melahirkan sebelum tuannya meninggal, maka anaknya tetap budak karena lahir sebelum pembebasan terjadi.
Pendapat ulama berbeda mengenai prioritas wasiat pembebasan dibanding wasiat lainnya. Sebagian berpendapat bahwa pembebasan didahulukan, lalu sisa sepertiga untuk wasiat lain. Jika tidak ada sisa, wasiat dianggap tidak sah.
(Imam Syafi’i berkata): “Saya tidak menemukan dalil yang pasti atau konsensus dalam hal ini, lalu pendapat para ulama pun berbeda.”
Dia berkata: “Ini terkait pembebasan budak bersama wasiat.” Lalu dia berkata: “Kadang seperti ini, dan di kesempatan lain berbeda.” Dia berpendapat bahwa jika seseorang berkata kepada budaknya: “Jika aku mati, engkau merdeka,” atau berkata: “Jika aku mati karena penyakitku ini, engkau merdeka,” maka pembebasan itu berlaku dengan kematiannya tanpa batasan waktu. Ini diterapkan pada wasiat, tetapi tidak sampai kepada ahli wasiat kecuali sebagai kelebihan. Dia juga berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Bebaskan budakku ini setelah aku mati,’ atau berkata: ‘Budakku ini merdeka setelah sehari, sebulan, atau waktu tertentu dari kematianku,’ maka ini tidak dianggap sebagai wasiat, dan ahli wasiat berhak atas bagian mereka.” Dia berargumen dengan perkataan: “Pembebasan didahulukan sebelum wasiat.” Namun, aku tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa pembebasan mutlak didahulukan sebelum wasiat, atau bahwa pembebasan mutlak bersaing dengan wasiat. Sebaliknya, pendapat ini dibedakan tanpa dalil yang jelas menurut pandanganku. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
(Dia berkata): “Dalam pembebasan budak melalui wasiat, hanya ada dua pendapat yang sah. Pertama, pembebasan berlaku dalam keadaan apa pun dan didahulukan atas seluruh wasiat, sehingga tidak ada yang dikurangi sampai pembebasan selesai. Kedua, pembebasan dianggap sebagai bagian dari wasiat, sehingga bersaing dengan ahli wasiat lainnya. Budak yang dibebaskan mendapat bagian sesuai dengan bagian ahli wasiat, dan setiap pembebasan setelah kematian—baik dengan batasan waktu atau tanpa batasan—dianggap sama. Tidak ada perbedaan kecuali berdasarkan hadis yang sah atau ijma’, dan aku tidak mengetahui adanya hal tersebut. Jadi, siapa pun yang berkata: ‘Budakku adalah mudabbar,’ atau ‘Budakku ini merdeka setelah kematianku,’ atau ‘Jika aku mati,’ atau ‘Jika aku mati karena penyakit ini,’ atau ‘Bebaskan dia setelah kematianku,’ atau ‘Dia adalah mudabbar selama hidupku, dan jika aku mati, dia merdeka,’ maka semuanya dianggap sama. Siapa pun yang berpendapat bahwa budak yang dibebaskan bersaing dengan ahli wasiat, lalu bersamaan dengan itu memberikan wasiat lain, maka budak itu bersaing dengan ahli wasiat dalam pembagian wasiat. Dia mendapat bagian pembebasan sesuai dengan bagian mereka, dan jika masih tersisa status budak, itu tidak melebihi sepertiga harta. Misalnya, nilai budak adalah lima puluh dinar, dan nilai sepertiga harta setelah pembebasan juga lima puluh dinar. Jika seseorang mewasiatkan pembebasan budak, memberikan lima puluh dinar kepada seseorang, dan seratus dinar kepada orang lain, maka sepertiga hartanya adalah seratus dinar, sedangkan total wasiatnya dua ratus dinar. Setiap ahli wasiat mendapat separuh dari wasiatnya, sehingga separuh budak merdeka dan separuhnya tetap budak. Pemilik lima puluh dinar mendapat dua puluh lima, dan penerima seratus dinar mendapat lima puluh.
[Bab Tambahan]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): “Jika seseorang berwasiat memberikan seratus dinar dari hartanya, atau sebuah rumah dengan sifat tertentu, atau seorang budak dengan ciri-ciri tertentu, atau barang lainnya, lalu berkata: ‘Kemudian, kelebihan dari dua pertiga hartaku adalah untuk si fulan,’ maka hal itu berlaku seperti ucapannya. Penerima wasiat diberikan sesuai dengan yang diwasiatkan, baik berupa barang tertentu atau sifatnya. Jika ada kelebihan dari sepertiga harta, itu diberikan kepada penerima wasiat yang berhak atas kelebihan tersebut. Jika tidak ada kelebihan, maka dia tidak mendapat apa-apa.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika yang diwasiatkan adalah seorang budak, atau sesuatu yang dikenal dengan ciri-ciri tertentu seperti budak, rumah, atau barang berharga lainnya, lalu barang itu rusak, maka kerugian ditanggung oleh harta penerima wasiat dan dinilai dari sepertiga harta. Kemudian, penerima wasiat yang berhak atas sisa sepertiga diberikan kelebihan dari nilai barang yang rusak, sebagaimana dia akan menerimanya jika barang itu utuh dan diserahkan kepadanya.” (Dia berkata): “Jika yang diwasiatkan adalah seorang budak, lalu pewasiat meninggal dalam keadaan budak itu sehat, kemudian budak itu cacat, maka dinilai sebagai budak sehat sesuai kondisinya saat pewasiat meninggal dan nilainya pada waktu itu. Nilainya diambil dari sepertiga harta dan diserahkan kepada penerima wasiat dalam keadaan cacat atau utuh. Penerima wasiat yang berhak atas kelebihan diberikan sisa dari sepertiga harta. Penilaian semua wasiat yang berupa barang tertentu didasarkan pada hari kematian pewasiat, karena pada hari itulah wasiat menjadi wajib dilaksanakan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang berkata: ‘Sepertiga hartaku untuk si fulan, agar dia menyalurkannya sesuai yang Allah tunjukkan,’ maka dia tidak boleh mengambil bagian untuk dirinya sendiri, sebagaimana dia tidak boleh menjual sesuatu untuk dirinya sendiri jika diperintahkan untuk menjualnya. Sebab, makna ‘menjual’ adalah melakukan transaksi dengan orang lain, dan dia tidak boleh bertransaksi dengan dirinya sendiri. Demikian pula makna ‘menyalurkan’ adalah memberikannya kepada orang lain. Dia juga tidak boleh memberikannya kepada ahli waris pewasiat, karena dia hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan pewasiat. Jika pewasiat tidak boleh memberikannya, maka orang yang ditugaskan untuk menyalurkannya juga tidak boleh memberikan kepada orang yang tidak berhak.”
(Dia berkata): “Dia tidak boleh menyalurkannya untuk kepentingan yang tidak ada manfaatnya bagi pewasiat, sebagaimana dia tidak boleh…”
Jika seseorang dipercayakan untuk mengelola sesuatu yang tidak ada kepentingannya di dalamnya, dan dia tidak berhak menahannya untuk dirinya sendiri atau menyerahkannya kepada orang lain; karena tidak ada pahala bagi mayit dalam hal ini. Pahala bagi mayit hanya ada ketika harta tersebut digunakan dalam jalan kebaikan yang diharapkan dapat mendekatkannya kepada Allah Azza wa Jalla. (Imam Syafi’i berkata): “Aku lebih memilih agar orang yang diberi wasiat memberikan harta itu kepada kerabat mayit yang membutuhkan, sehingga setiap orang dari mereka diberi sebelum orang lain. Memberikan kepada mereka lebih utama daripada memberikan kepada selain mereka, karena mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan mayit dan turut berbagi kebutuhan dengan orang-orang yang membutuhkan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Kerabat mayit adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dari pihak ayah dan ibu, sedangkan hubungan persusuan bukan termasuk kekerabatan.”
(Imam Syafi’i berkata): “Aku lebih suka jika dia memiliki saudara sepersusuan untuk memberikan kepada mereka sebelum tetangganya, karena hak persusuan setara dengan hak nasab. Kemudian, aku lebih suka jika dia memberikan kepada tetangga terdekat, lalu yang lebih dekat. Batas tetangga dalam hal ini adalah empat puluh rumah dari setiap arah. Selanjutnya, aku lebih suka jika dia memberikannya kepada orang yang paling fakir dan paling menjaga diri dari meminta-minta, serta tidak menyisakan sedikit pun harta itu di tangannya yang bisa dia keluarkan kapan saja.”
**[Bab Wasiat untuk Seseorang serta Menerima dan Menolaknya]**
(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): “Jika seorang laki-laki yang sakit mewasiatkan sesuatu kepada seseorang, lalu dia meninggal, maka orang yang diberi wasiat berhak menerima atau menolak wasiat tersebut. Dia tidak boleh dipaksa untuk memiliki sesuatu yang tidak dia inginkan, kecuali dalam hal warisan. Jika dia mewarisi, dia tidak boleh menolak warisan tersebut, karena itu adalah ketetapan dari Allah Azza wa Jalla yang memindahkan kepemilikan orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Adapun wasiat, hibah, sedekah, dan semua bentuk kepemilikan selain warisan, penerimanya memiliki pilihan: jika mau, dia bisa menerimanya, dan jika mau, dia bisa menolaknya. Seandainya kami memaksa seseorang untuk menerima wasiat, kami juga akan memaksanya jika dia diwasiati budak yang sakit untuk menafkahi mereka, sehingga kami membebankan kerugian padanya, padahal dia tidak menginginkannya dan tidak membebankan hal itu pada dirinya sendiri.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tidak ada penerimaan atau penolakan wasiat selama pemberi wasiat masih hidup. Jika penerima wasiat menerima wasiat sebelum pemberi wasiat meninggal, dia tetap berhak menolaknya setelah pemberi wasiat meninggal. Jika dia menolak wasiat saat pemberi wasiat masih hidup, dia tetap berhak menerimanya setelah pemberi wasiat meninggal dan bisa memaksa ahli waris untuk memenuhinya, karena wasiat itu baru berlaku setelah kematian pemberi wasiat. Selama pemberi wasiat masih hidup, menerima, menolak, atau diam adalah sama, karena itu berkaitan dengan sesuatu yang belum dimiliki.”
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian pula jika seseorang mewasiatkan ayah, ibu, atau anaknya, mereka dianggap seperti wasiat lainnya. Jika penerima wasiat menerima mereka setelah pemberi wasiat meninggal, mereka merdeka. Jika dia menolak, mereka tetap budak milik mayit tanpa wasiat, sehingga menjadi milik ahli warisnya.”
(Ar-Rabi’ berkata): “Jika dia menerima sebagian dan menolak sebagian, itu boleh baginya. Yang dia terima merdeka, sedangkan yang dia tolak tetap menjadi budak ahli waris mayit. Jika pemberi wasiat meninggal, lalu penerima wasiat meninggal sebelum menerima atau menolak, ahli waris penerima wasiat berhak memilih menerima atau menolak. Siapa yang menerima, dia mendapatkan bagiannya sesuai warisan dari apa yang dia terima. Siapa yang menolak, maka yang ditolak itu menjadi milik ahli waris mayit.”
“Jika seorang laki-laki menikahi budak perempuan seseorang, lalu budak itu melahirkan anak untuknya. Kemudian, dia mewasiatkan budak itu untuknya dan meninggal, tetapi penerima wasiat tidak mengetahui wasiat tersebut sampai budak itu melahirkan banyak anak setelah kematian tuannya. Jika dia menerima wasiat, maka anak-anak yang lahir setelah kematian tuannya menjadi miliknya karena dia memiliki ibu mereka. Ketika dia memiliki anak-anaknya, mereka merdeka atasnya. Ibu mereka tidak menjadi umm walad baginya sampai dia melahirkan setelah wasiat diterima selama enam bulan atau lebih, sehingga statusnya menjadi umm walad. Hal ini karena hubungan intim sebelum penerimaan wasiat adalah hubungan pernikahan, sedangkan setelah penerimaan wasiat adalah hubungan kepemilikan, dan pernikahannya batal. Jika penerima wasiat meninggal sebelum menolak atau menerima, ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika mereka menerima wasiat, mereka mewarisi hak ayah mereka, sehingga anak-anak yang lahir setelah kematian tuannya merdeka, sedangkan ibu mereka tetap budak. Jika mereka menolak, semuanya tetap budak, dan aku tidak suka jika mereka menolaknya.”
“Jika penerima wasiat menerima wasiat setelah kewajiban wasiat berlaku karena kematian pemberi wasiat, lalu dia menolaknya, harta itu menjadi bagian dari harta mayit yang diwariskan seperti harta lainnya. Jika dia ingin mengambilnya kembali setelah menolak dengan alasan, ‘Aku hanya memberikannya kepada kalian sebelum kalian menerimanya,’ maka mereka boleh berkata, ‘Kamu tidak memilikinya melalui wasiat tanpa penerimaan. Ketika kamu menerimanya, kamu memilikinya meskipun belum menerima fisiknya, karena wasiat tidak seperti pemberian orang hidup yang…'”
Hak kepemilikan tidak sah kecuali dengan penerimaan barang yang dihibahkan. Bagimu dibolehkan apa yang engkau tinggalkan dari hal itu, sebagaimana dibolehkan bagimu apa yang diberikan tanpa penerimaan pada salah satunya. Dan dibolehkan bagi mereka untuk mengatakan: “Pengembalianmu membatalkan hakmu atas apa yang diwasiatkan oleh mayit untukmu, dan dikembalikan kepada kepemilikan mayit sehingga menjadi harta warisan darinya.”
(Dia berkata): “Jika dia menerimanya, lalu berkata: ‘Aku telah meninggalkannya untuk si fulan di antara ahli waris,’ atau jika dia memiliki hutang atas mayit lalu berkata: ‘Aku telah melepasnya untuk si fulan di antara ahli waris,’ dikatakan: ‘Ucapanmu “aku melepasnya untuk si fulan” mengandung dua makna. Yang paling jelas adalah engkau melepasnya sebagai syafaat (pertolongan) untuk si fulan atau untuk mendekatkan diri kepada si fulan. Jika itu yang engkau maksud, maka ini dikembalikan kepada mayit dan dibagi di antara semua ahli warisnya, orang-orang yang diwasiati, dan hutangnya sebagaimana dia tinggalkan. Jika engkau meninggal sebelum ditanya, maka statusnya tetap demikian, karena ini makna yang paling jelas. Sebagaimana engkau mengatakan: “Aku memaafkan hutangku atas si fulan untuk si fulan,” atau “Aku melepas hakku atas si fulan untuk si fulan,” yakni karena syafaat si fulan, atau menjaga hak si fulan, atau untuk mendekatkan diri kepada si fulan. Jika engkau belum meninggal lalu kami menanyaimu, dan engkau menjawab: “Aku melepas wasiatku” atau “Aku melepas hutangku untuk si fulan, aku menghadiahkannya untuk si fulan di antara ahli waris,” maka itu menjadi milik si fulan di antara ahli waris, karena dia menghadiahkan sesuatu yang dia miliki.
Jika seseorang mewasiatkan kepada dua orang seorang budak atau selainnya, lalu salah satunya menerima dan yang lain menolak, maka yang menerima berhak atas separuh wasiat, dan separuhnya lagi dikembalikan ke harta mayit.
Jika seseorang mewasiatkan seorang budak perempuan kepada seseorang, lalu pemberi wasiat meninggal, dan penerima wasiat belum menerima atau menolak sampai seseorang menghadiahkan seratus dinar untuk budak perempuan itu—sementara budak tersebut adalah sepertiga harta mayit—kemudian dia menerima wasiat, maka budak itu menjadi miliknya, tetapi hadiah yang diberikan untuk budak itu tidak sah. Begitu pula anak yang dilahirkan budak itu setelah kematian tuannya dan sebelum penerimaan atau penolakan wasiat, kecuali dalam salah satu dari dua pendapat: bahwa hadiah yang diberikan untuk budak atau anaknya menjadi milik penerima wasiat, karena budak itu telah keluar dari harta mayit menjadi miliknya, kecuali jika dia ingin mengembalikannya.
Siapa yang berpendapat demikian berkata: “Meskipun dia boleh mengembalikannya, pengembalian itu berarti mengeluarkannya dari kepemilikannya, sebagaimana dia boleh mengeluarkan apa saja dari hartanya. Jika budak itu dan kepemilikan hadiah untuknya serta anaknya adalah milik yang berhak memilikinya, maka penerima wasiat adalah pemiliknya.”
Siapa yang berpendapat demikian juga berkata: “Jika salah seorang ahli waris menghabiskan sebagian dari hadiah untuk budak atau anaknya, maka dia harus menanggungnya untuk penerima wasiat. Demikian pula jika orang lain merusak hartanya, dirinya, atau anaknya, maka penerima wasiat—jika menerima wasiat—berhak menuntut, karena itu miliknya. Jika penerima wasiat meninggal sebelum menerima atau menolak, maka ahli warisnya menggantikan posisinya dalam semua hal ini.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa semua itu menjadi milik ahli waris pemberi wasiat, dan penerima wasiat hanya memiliki hak jika memilih untuk menerima wasiat. Ini adalah pendapat yang ditolak dan tidak kami ikuti, karena penerimaan wasiat hanya berlaku atas sesuatu yang kepemilikannya sudah ada sebelumnya, bukan kepemilikan baru.
Sebagian orang berpendapat bahwa budak perempuan dan sepertiga anak-anaknya serta sepertiga hadiah untuknya menjadi milik penerima wasiat, meskipun budak itu tidak keluar dari sepertiga harta. Jika budak itu melahirkan anak setelah kematian pemberi wasiat dan dihadiahi harta, maka tidak ada dalam kitab Asy-Syafi’i tentang masalah ini selain ini. Masih tersisa jawaban dalam masalah ini.
**[Bab Wasiat yang Dihapus]**
(Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
*”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat secara ma’ruf (baik), sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. Barangsiapa mengubah wasiat setelah mendengarnya…”* (QS. Al-Baqarah: 180-181).
(Asy-Syafi’i berkata): Ini dahulu merupakan kewajiban dalam Kitabullah bagi siapa saja yang meninggalkan harta (al-khair) untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat dekatnya. Kemudian, sebagian ahli ilmu Al-Qur’an berpendapat bahwa wasiat untuk orang tua dan kerabat dekat yang termasuk ahli waris telah dihapus (mansukh). Mereka berbeda pendapat tentang kerabat dekat yang bukan ahli waris. Kebanyakan ulama yang aku temui dan aku hafal pendapatnya mengatakan bahwa wasiat-wasiat ini telah dihapus, karena perintah wasiat itu berlaku ketika warisan masih diberikan melalui wasiat. Ketika Allah—Ta’ala dzikruhu—menetapkan pembagian warisan, wasiat menjadi sunnah (tathawwu’).
(Asy-Syafi’i berkata): “Ini—insya Allah—semua sebagaimana yang mereka katakan. Jika ada yang bertanya: ‘Apa dalil atas apa yang engkau jelaskan?’ Katakanlah kepadanya: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman…”
**Terjemahan ke Bahasa Indonesia:**
**Untuk kedua orang tua, masing-masing mendapatkan seperenam dari harta yang ditinggalkan jika mayit memiliki anak. Jika mayit tidak memiliki anak dan hanya diwarisi oleh kedua orang tuanya, maka ibunya mendapatkan sepertiga. Jika mayit memiliki saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam.** (QS. An-Nisa: 11)
Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Sulaiman Al-Ahwal dari Mujahid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: *“Tidak ada wasiat untuk ahli waris.”* Adapun pendapat yang menyatakan bahwa wasiat untuk ahli waris telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat waris, dan bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris, aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang pun yang aku temui.
(Imam Syafi’i berkata): Jika wasiat untuk orang yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala telah dihapus oleh ayat-ayat waris, dan Sunnah menunjukkan bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris tetapi boleh diberikan kepada selain kerabat, maka ini menunjukkan penghapusan wasiat untuk ahli waris. Dan lebih mungkin menunjukkan penghapusan wasiat untuk selain mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Ini juga menunjukkan bahwa wasiat untuk kedua orang tua dan selain mereka yang termasuk ahli waris dalam kondisi apa pun, jika statusnya seperti bukan ahli waris, maka wasiat untuknya diperbolehkan. Karena wasiat menjadi batal jika diberikan kepada ahli waris, tetapi jika bukan ahli waris, maka wasiat tidak batal. Jika seseorang berwasiat kepada siapa pun yang ia kehendaki, termasuk orang tuanya atau kerabatnya selama mereka bukan ahli waris, maka status mereka seperti orang yang tidak mewarisi, tetapi tetap memiliki hak kekerabatan dan silaturahmi.
Jika ada yang bertanya: *“Di mana dalil yang menunjukkan bahwa wasiat untuk selain kerabat diperbolehkan?”* Dijawab: *“Dengan izin Allah, ada hadits ‘Imran bin Hushain bahwa seorang laki-laki memerdekakan dua budaknya yang tidak memiliki harta lain. Nabi ﷺ membagi budak tersebut menjadi tiga bagian, lalu memerdekakan dua dan membiarkan empat tetap sebagai budak.”* Budak yang dimerdekakan itu adalah orang Arab, padahal orang Arab biasanya memiliki budak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Jika wasiat hanya diperbolehkan untuk kerabat, maka tidak boleh diberikan kepada budak. Namun, Rasulullah ﷺ membolehkannya.
**Bab Perbedaan Pendapat tentang Wasiat**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Thawus dari ayahnya.
(Imam Syafi’i berkata): Dalil dalam hal ini adalah apa yang telah kami jelaskan berdasarkan Sunnah dan pendapat mayoritas ulama yang kami temui dan kami hafal darinya. Wallahu a’lam.
**Bab Wasiat untuk Istri**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Allah Ta’ala berfirman: *“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya.”* (QS. Al-Baqarah: 240).
Kewajiban suami adalah berwasiat untuk istri berupa nafkah hingga satu tahun. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa “mut’ah” (nafkah) mencakup biaya hidup, tempat tinggal, dan pakaian selama satu tahun. Kemudian, Allah menetapkan hak tempat tinggal dengan firman-Nya: *“Tanpa mengeluarkan mereka.”* (QS. Al-Baqarah: 240). Lalu Allah berfirman: *“Jika mereka keluar, maka tidak ada dosa bagimu atas apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dengan cara yang baik.”* (QS. Al-Baqarah: 240).
Al-Qur’an menunjukkan bahwa jika mereka (istri) keluar, maka tidak ada dosa bagi suami karena mereka telah meninggalkan hak yang ditetapkan untuk mereka. Kitabullah juga menjelaskan bahwa jika hak tempat tinggal adalah kewajiban, lalu istri meninggalkannya, maka Allah tidak membebani suami dengan dosa, karena hak yang ditinggalkan tanpa paksaan tidak lagi menjadi tanggungannya.
Aku juga mendengar dari ulama terpercaya bahwa nafkah dan pakaian untuk istri yang ditinggal mati suami selama satu tahun telah dihapus oleh ayat waris. Allah berfirman: *“Dan bagi kamu (suami) mendapat setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan setelah dipenuhi wasiat atau hutang. Dan bagi istri-istrimu seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka mereka mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat atau hutang.”* (QS. An-Nisa: 12).
(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang penghapusan nafkah dan pakaian untuk istri yang ditinggal mati suami selama satu tahun atau kurang. Kemudian, mengenai hak tempat tinggal yang disebutkan bersama nafkah—karena termasuk dalam kategori “mut’ah”—mungkin juga dihapus untuk masa satu tahun atau kurang, sebagaimana nafkah dan pakaian. Atau mungkin dihapus untuk satu tahun tetapi tetap berlaku selama masa ‘iddah hingga selesai, berdasarkan ayat ini.
Dan termasuk dalam golongan wanita yang sedang menjalani masa iddah, karena Allah Ta’ala berfirman mengenai wanita yang dicerai, “Janganlah kamu mengusir mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka keluar kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1). Ketika Allah mewajibkan tempat tinggal bagi wanita yang sedang menjalani iddah karena talak, dan wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya memiliki kesamaan makna, maka kemungkinan ia juga diberi hak tempat tinggal karena termasuk dalam golongan wanita yang beriddah. Jika demikian, maka hak tempat tinggal baginya telah disebutkan dalam Kitabullah, atau dalam makna yang disebutkan dalam ketentuan Kitab. Jika tidak demikian, maka kewajiban tempat tinggal baginya didasarkan pada Sunnah. Namun, aku tidak ingat ada seorang pun ulama yang kuhafal pendapatnya yang menyatakan bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya berhak atas tempat tinggal, tetapi tidak berhak atas nafkah.
Jika ada yang bertanya, “Di mana Sunnah yang menyebutkan hak tempat tinggal bagi wanita yang ditinggal mati suaminya?” Dijawab: Malik mengabarkan kepada kami dari Sa’d bin Ishaq dari Ka’b bin ‘Ujrah.
(Asy-Syafi’i berkata): Apa yang telah kujelaskan mengenai hak wanita yang ditinggal mati suaminya adalah argumen yang dapat dijadikan hujjah. Wallahu a’lam. Sebagian ahli tafsir Al-Qur’an berpendapat bahwa ayat waris untuk kedua orang tua dan kerabat, dan ini juga berlaku bagi wanita. Ketentuan waris untuk wanita dan suami turun kemudian. Jika memang demikian, maka hak warisnya ditetapkan sebagaimana ahli waris lainnya, dan tidak ada yang membatalkan haknya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa masa iddah karena kematian suami awalnya sama dengan iddah talak, yaitu tiga kali suci, kemudian dihapus dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah mereka menahan diri (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234). Jika demikian, maka iddah dengan tiga kali suci telah dihapus dan diganti dengan empat bulan sepuluh hari, sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Jika ada yang bertanya, “Di mana hal itu dalam Sunnah?” Dijawab: Telah mengabarkan kepada kami hadits Al-Mughirah dari Humaid bin Nafi’. Allah Ta’ala berfirman tentang iddah talak, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. At-Talaq: 4). Ayat ini mungkin khusus untuk wanita yang dicerai dan tidak haid, karena konteksnya demikian. Namun, mungkin juga berlaku untuk semua wanita yang beriddah, baik karena talak atau kematian suami, karena mencakup semua. Bisa juga sebagai kalimat baru tentang wanita-wanita yang beriddah.
Jika ada yang bertanya, “Manakah makna yang lebih tepat?” Dijawab: Wallahu a’lam. Namun, menurutku, ayat ini berlaku untuk semua wanita yang beriddah dan yang sedang melakukan istibra’ (pemeriksaan kehamilan).
Jika ditanya, “Apa dalilnya?” Asy-Syafi’i berkata: Karena iddah bertujuan untuk istibra’ dan ibadah, dan melahirkan adalah pembebasan dari iddah kematian yang menghapus kewajiban empat bulan sepuluh hari, maka hal itu berlaku untuk semua jenis iddah dan istibra’. Wallahu a’lam. Secara logika, melahirkan adalah puncak kebersihan rahim sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sedangkan dalam iddah biasa masih mungkin ada keraguan meski secara zahir sudah bersih. Allah Yang Maha Tahu dan Memberi taufik.
[Pasal Tentang Wasiat]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Allah Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat tentang pembagian waris, “Setelah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau hutangnya.” (QS. An-Nisa’: 12).
(Asy-Syafi’i berkata): Allah memindahkan kepemilikan orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup, sehingga mereka menggantikan posisinya dalam kepemilikan harta. Allah berfirman, “Setelah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau hutangnya.” (QS. An-Nisa’: 12). Makna zahir ayat ini adalah bahwa hutang harus dibayar terlebih dahulu jika ada.
(Asy-Syafi’i berkata): Inilah pendapat kami, dan aku tidak mengetahui ada ulama yang menyelisihinya. Ayat ini juga mengandung makna lain yang lebih jelas dan utama, di mana umumnya umat tidak berselisih dalam hal ini sepengetahuanku, dan kesepakatan mereka tidak mungkin berdasarkan kebodohan terhadap hukum Allah, insya Allah.
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam firman Allah, “Setelah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau hutangnya.” (QS. An-Nisa’: 12), terdapat beberapa makna yang akan kusebutkan insya Allah. Karena tidak ada perselisihan di antara ulama sepengetahuanku bahwa pemilik hutang lebih berhak atas harta seseorang selama hidupnya sampai hutangnya dilunasi, dan ahli waris hanya mewarisi apa yang menjadi hak mayit, maka hal ini jelas.
والله أعلم – dalam hukum Allah ‘Azza wa Jalla kemudian apa yang tidak aku ketahui ulama berselisih pendapat padanya bahwa agama dimulai dengan wasiat dan warisan maka hukum agama sebagaimana yang kujelaskan terpisah didahulukan, dan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla “atau hutang” kemudian kesepakatan umat Islam bahwa tidak ada wasiat dan warisan kecuali setelah hutang menunjukkan bahwa setiap hutang baik dalam keadaan sehat atau sakit dengan pengakuan, atau bukti, atau dengan cara apapun sama; karena Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengkhususkan satu hutang atas hutang lainnya.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Dan telah diriwayatkan tentang mendahulukan hutang sebelum wasiat sebuah hadits dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang tidak dianggap kuat oleh ahli hadits, Sufyan mengabarkan kepada kami dari Abu Ishaq dari Al-Harits dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – “bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan hutang sebelum wasiat.” Dan Sufyan mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas bahwa dikatakan kepadanya: “Bagaimana engkau memerintahkan kami untuk umrah sebelum haji sedangkan Allah Ta’ala berfirman {Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah} [Al-Baqarah: 196]?” Maka dia menjawab: “Bagaimana kalian membaca hutang sebelum wasiat, atau wasiat sebelum hutang?” Mereka menjawab: “Wasiat sebelum hutang.” Dia berkata: “Lalu mana yang kalian dahulukan?” Mereka menjawab: “Hutang.” Dia berkata: “Itulah alasannya.”
(Berkata Asy-Syafi’i) : Maksudnya bahwa mendahulukan diperbolehkan, dan jika hutang telah dilunasi maka mayit boleh berwasiat dengan sepertiga hartanya. Jika dia melakukannya, maka ahli waris mendapatkan dua pertiga, dan jika dia tidak berwasiat, atau berwasiat kurang dari sepertiga hartanya, maka itu menjadi harta dari harta yang dia tinggalkan. Dia berkata: “Maka ahli waris berhak atas sisa harta setelah wasiat jika dia berwasiat.”
(Berkata Asy-Syafi’i) : Dan karena Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan bagi ahli waris sisa setelah wasiat dan hutang, maka hutang sebagaimana yang kujelaskan dan wasiat mungkin didahulukan atas ahli waris, atau mungkin seperti yang kujelaskan padamu tentang sisa setelah wasiat, dan wasiat memiliki batas yang harus dihentikan padanya seperti warisan dengan setiap ahli waris memiliki batas. Wasiat termasuk apa yang Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan hukumnya dalam Kitab-Nya dan menjelaskan bagaimana menetapkannya melalui lisan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Maka batas akhir wasiat adalah jika pewaris melebihinya, ahli waris berhak menolak kelebihan dari sepertiga harta pewaris. Dia berkata: “Hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa siapa yang melebihi sepertiga dari pewaris, wasiatnya dikembalikan ke sepertiga, dan menunjukkan bahwa wasiat diperbolehkan untuk selain kerabat; karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika mengembalikan pembebasan dua budak ke sepertiga menunjukkan bahwa beliau memutuskannya seperti hukum wasiat, dan yang dibebaskan adalah orang Arab, padahal orang Arab hanya memiliki budak yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan mereka, wallahu a’lam.”
[Pasal Wasiat Sepertiga atau Kurang dari Sepertiga dan Tidak Berwasiat]
(Berkata Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala -) : Jika seseorang berwasiat, maka dia boleh mencapai sepertiga, dan dia berkata: “Dalam sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada Sa’ad: ‘Sepertiga, dan sepertiga itu banyak, atau besar. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain.'”
(Berkata Asy-Syafi’i) : Sebagaimana dikatakan setelahnya dalam wasiat, dan itu jelas dalam ucapannya; karena dia hanya bermaksud memilih agar pewaris meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan kaya. Jika dia meninggalkan mereka kaya, aku memilih baginya untuk mengambil sepenuhnya sepertiga. Jika dia tidak meninggalkan mereka kaya, aku tidak suka baginya mengambil sepenuhnya sepertiga dan berwasiat dengan sesuatu hingga dia mengambil bagian dari wasiat. Tidak ada batasan waktu dalam hal ini kecuali apa yang disebut wasiat bagi yang tidak meninggalkan banyak harta. Dan siapa yang meninggalkan kurang dari apa yang mencukupi ahli warisnya dan lebih dari sedikit, dia menambah sesuatu dalam wasiatnya. Aku tidak suka mencapai sepertiga kecuali bagi yang meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan kaya.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Dalam sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak, atau besar” mungkin berarti sepertiga itu tidak sedikit, dan itu makna yang paling utama; karena jika beliau tidak menyukainya untuk Sa’ad, beliau akan berkata kepadanya: “Kurangi.” Dan mungkin juga dia boleh mencapainya dan wajib baginya menguranginya. Hampir tidak ada ucapan kecuali mengandung kemungkinan, dan makna ucapan yang paling utama adalah apa yang ditunjukkan oleh khabar dan petunjuk sebagaimana yang kujelaskan bahwa jika beliau tidak menyukainya untuk Sa’ad, beliau akan memerintahkannya untuk menguranginya.
Dikatakan kepada Asy-Syafi’i: “Apakah orang-orang berselisih dalam hal ini?” Dia berkata: “Aku tidak mengetahui mereka berselisih dalam kebolehan setiap pewaris untuk menyempurnakan sepertiga, sedikit atau banyak yang dia tinggalkan, dan tidak boleh baginya melebihinya.”
Dikatakan kepada Asy-Syafi’i: “Apakah mereka berselisih dalam memilih kurang dari sepertiga atau mencapainya?” Dia berkata: “Ya, dan dalam apa yang kujelaskan padamu dari petunjuk Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – itu cukup tanpa yang lainnya.”
Aku berkata: “Sebutkan perbedaan pendapat mereka.” Maka dia berkata: “Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar.”
[Pasal Pemberian Orang Sakit]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata: Ketika seseorang membebaskan enam budaknya yang tidak memiliki harta selain mereka dalam keadaan sakit, kemudian dia meninggal, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membebaskan dua dan mengembalikan empat sebagai budak. Ini menunjukkan bahwa setiap apa yang dihabiskan seseorang dari hartanya dalam keadaan sakit tanpa ganti yang dia ambil dari apa yang biasa diambil orang sebagai kepemilikan di dunia, kemudian dia meninggal dalam sakitnya itu, maka hukumnya seperti hukum wasiat.
Dan karena itu hanya dihukum seperti wasiat setelah kematian, maka apa yang dihabiskan seseorang dari hartanya dalam sakit itu hukumnya seperti wasiat. Jika dia sembuh, maka sempurnalah apa yang menyempurnakan pemberian orang sehat. Jika dia meninggal dalam sakit itu, maka hukumnya seperti wasiatnya. Dan jika dia sehat setelah menghabiskan sesuatu, kemudian sakit lagi dan meninggal, maka pemberiannya sempurna jika kesehatannya setelah pemberian, maka hukum pemberian seperti pemberian orang sehat.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Kesimpulannya adalah apa yang kujelaskan bahwa dia mengeluarkan sesuatu dari kepemilikannya tanpa ganti yang biasa diambil orang dari harta mereka di dunia. Maka semua hibah, sedekah, pembebasan budak, dan makna-makna semacamnya adalah seperti ini.
Maka apa yang berupa hibah, sedekah, atau yang semakna dengannya untuk selain ahli waris, kemudian dia meninggal, maka itu dari sepertiga. Jika ada wasiat bersamanya, maka itu didahulukan atasnya; karena itu adalah pemberian pasti yang telah dimiliki sebagai kepemilikan yang sempurna dalam kesehatannya dari seluruh hartanya dan sempurna dalam kematiannya dari sepertiga jika sepertiga itu mencukupinya.
Wasiat berbeda dengan ini. Wasiat tidak dimiliki atasnya dan dia boleh menariknya kembali, dan tidak dimiliki kecuali setelah kematiannya dan setelah kepemilikan berpindah kepada orang lain.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Dan apa yang berupa pemberian pasti dalam sakitnya tanpa mengambil ganti yang dia berikan padanya, dan pada hari dia memberikannya kepada orang yang akan mewarisinya jika dia meninggal atau tidak mewarisinya, maka itu tertahan. Jika dia meninggal, jika penerima pemberian adalah ahli warisnya saat dia meninggal, maka pemberian itu dibatalkan; karena jika aku menjadikannya dari sepertiga, aku tidak memberikan sesuatu pun kepada ahli waris dalam sepertiga dari sisi wasiat.
Jika penerima pemberian saat pemberi meninggal bukan ahli waris, maka aku membolehkannya untuknya; karena itu wasiat untuk selain ahli waris.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Dan apa yang berupa pemberian orang sakit dengan ganti yang diambil dari apa yang biasa diambil orang dari harta di dunia, lalu dia mengambil ganti yang biasa ditawar orang dengan semisalnya, kemudian dia meninggal, maka itu boleh dari pokok harta.
Jika dia mengambil ganti yang tidak biasa ditawar orang dengan semisalnya, maka kelebihannya adalah pemberian tanpa ganti, dan itu dari sepertiga. Maka siapa yang boleh baginya wasiat, boleh baginya kelebihan itu, dan siapa yang tidak boleh baginya wasiat, tidak boleh baginya kelebihan itu.
Yaitu, seseorang membeli budak, atau menjualnya, atau hamba sahaya, atau rumah, atau selain itu dari apa yang dimiliki manusia. Jika orang sakit menjual dan menyerahkan harganya, atau tidak menyerahkannya hingga dia meninggal, lalu ahli warisnya berkata: “Dia memberimu diskon,” atau “Dia merugikanmu,” maka dilihat nilai barang yang dibeli pada hari terjadinya penjualan dan harga yang dia beli dengannya.
Jika dia membeli dengan harga yang biasa ditawar penduduk kota dengan semisalnya, maka pembelian itu boleh dari pokok harta. Jika dia membeli dengan harga yang tidak biasa ditawar orang dengan semisalnya, maka apa yang biasa ditawar penduduk kota dengan semisalnya boleh dari pokok harta, dan kelebihannya boleh dari sepertiga.
Jika sepertiga mencukupinya, maka jual beli itu boleh baginya. Jika sepertiga tidak mencukupinya, maka dikatakan kepada pembeli: “Kamu boleh memilih untuk membatalkan jual beli jika barang masih ada dan mengambil harga yang telah kamu berikan, atau memberikan kelebihan kepada ahli waris dari apa yang tidak biasa ditawar orang dengan semisalnya yang tidak dicukupi oleh sepertiga.”
Jika barang telah rusak, maka dikembalikan selisih antara nilai apa yang tidak biasa ditawar orang dengan semisalnya yang tidak dicukupi oleh sepertiga. Demikian juga jika barang masih ada tetapi telah cacat, maka dikembalikan nilainya.
(Berkata Asy-Syafi’i) : Jika orang sakit adalah pembeli, maka dia dalam makna ini. Dan dikatakan kepada penjual: “Jual beli itu boleh dalam apa yang biasa ditawar orang dengan semisalnya dari pokok harta, dan kelebihannya dari sepertiga.”
Jika dia tidak memiliki sepertiga, atau jika…
**Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:**
Maka sepertiga harta tidak mencukupi untuk menanggungnya. Dikatakan kepadanya, “Jika engkau mau, serahkanlah sesuai dengan modal dan sepertiga yang diberikan kepadanya, dan tinggalkan kelebihan itu. Jual beli itu boleh. Jika engkau mau, kembalikan apa yang telah engkau ambil dan batalkan jual beli jika jual beli itu masih ada secara nyata.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika barang itu sudah habis, dan penjual tidak rela melepaskan kelebihan itu, maka penjual berhak mengambil dari harta mayit sebesar nilai yang biasa diterima orang dalam jual beli semisal barang tersebut. Sedangkan bagian yang tidak biasa diterima orang dalam jual beli semisal itu dikembalikan kepada ahli waris. Jika barang itu masih ada tetapi mengalami cacat,
(Imam Syafi’i berkata): Jika barang yang dijual adalah budak atau selainnya, lalu dibeli oleh orang yang sakit, kemudian muncul cacat pada barang itu, lalu penjual dibebaskan dari tanggungan cacat tersebut, namun ternyata ada unsur ghubn (penipuan), maka hukumnya sama seperti jual beli yang mengandung ghubn. Demikian pula jika dia membelinya dalam keadaan sehat, kemudian muncul cacat saat dia sakit, lalu dia membebaskan penjual dari cacat itu. Atau jika dia membeli dengan hak khiyar ru’yah (hak memilih setelah melihat), khiyar syarat, atau khiyar shafqah (hak memilih setelah transaksi), lalu hak khiyar shafqah tidak gugur karena berpisah, hak khiyar ru’yah tidak gugur karena telah melihat, dan hak khiyar syarat tidak gugur karena habisnya masa syarat hingga dia sakit, lalu dia berpisah dengan penjual, atau melihat barang tetapi tidak mengembalikannya, atau masa khiyar habis saat dia sakit dan dia tidak mengembalikannya—karena jual beli telah sempurna dalam semua keadaan ini saat dia sakit.
(Imam Syafi’i berkata): Semua ini sama hukumnya, baik penjualnya sehat dan pembelinya sakit, atau pembelinya sehat dan penjualnya sakit, berdasarkan pendapat kami bahwa ghubn berlaku dalam sepertiga harta. Demikian pula jika orang sakit menjual kepada orang sakit, atau orang sehat menjual kepada orang sehat.
Jika ahli waris orang sakit (penjual) dan pembeli yang sehat berselisih tentang nilai barang yang dijual oleh orang sakit itu, lalu pembeli berkata, “Aku membelinya dengan harga seratus,” sedangkan ahli waris berkata, “Dia menjualnya kepadamu dengan harga dua ratus,” maka dalam semua kasus ini, jika pembeli adalah ahli waris atau bukan ahli waris, lalu mayit meninggal sehingga pembeli menjadi ahli waris, maka kedudukannya sama seperti ahli waris sejak awal. Jika mayit menjual kepadanya dan menerima uang darinya, lalu mayit meninggal, maka pembeli dianggap sebagai orang asing dalam semua hal, kecuali dalam kelebihan nilai yang tidak biasa dalam jual beli. Jika dia menjual dengan harga yang biasa dalam jual beli, maka transaksi itu sah. Jika dia menjual dengan harga yang tidak biasa dalam jual beli, maka dikatakan kepada ahli waris, “Kelebihan itu dianggap seperti wasiat, dan wasiat tidak berlaku untuk ahli waris. Jika engkau mau, batalkan jual beli jika tidak diserahkan kepadamu. Jika engkau mau, berikan kepada ahli waris dari harga barang itu sebesar kelebihan yang tidak biasa dalam jual beli.” Kemudian, dalam hal kerusakan barang dan ghubn, dia dianggap seperti orang asing. Demikian pula jika orang sakit yang ahli waris menjual kepada orang sakit yang juga ahli waris.
**[Bab Pernikahan Orang Sakit]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Orang sakit boleh menikahi hingga empat wanita atau kurang, sebagaimana dia boleh berjual beli. Jika dia memberikan mahar seperti mahar yang biasa untuk masing-masing wanita, maka mahar itu diambil dari seluruh hartanya. Jika dia memberikan lebih dari mahar yang biasa, maka kelebihannya dianggap sebagai pemberian (hibah). Jika dia sembuh sebelum meninggal, maka kelebihan itu sah. Jika dia meninggal sebelum sembuh, maka kelebihan mahar itu batal, tetapi pernikahan tetap sah, dan wanita itu berhak mendapat warisan.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’, maula Ibnu Umar, bahwa dia berkata, “Putri Hafsh bin Al-Mughirah pernah menjadi istri Abdullah bin Abi Rabi’ah, lalu dia menceraikannya dengan satu talak. Kemudian, Umar bin Al-Khattab menikahinya setelah itu. Ternyata diketahui bahwa wanita itu mandul, sehingga Umar menceraikannya sebelum menggaulinya. Wanita itu hidup hingga masa Umar dan sebagian masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Lalu, Abdullah bin Abi Rabi’ah menikahinya lagi saat dia sakit agar istri-istrinya bisa bersekutu dalam warisan, dan antara dia dengan wanita itu ada hubungan kekerabatan.”
Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar bahwa dia mendengar Ikrimah bin Khalid berkata, “Abdurrahman bin Umm Al-Hakam saat sakit ingin mengeluarkan istrinya dari hak waris, tetapi istrinya menolak. Lalu, dia menikahi tiga wanita dan memberikan mahar seribu dinar untuk masing-masing. Abdul Malik bin Marwan membenarkan hal itu dan membagi harga mahar di antara mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): Menurutku, mahar itu seperti mahar yang biasa. Jika lebih dari mahar yang biasa, maka pernikahan tetap sah, tetapi kelebihannya batal jika dia meninggal dalam keadaan sakit, karena kelebihan itu dianggap seperti wasiat, dan wasiat tidak berlaku untuk ahli waris.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa Mu’adz bin Jabal berkata saat sakit yang menyebabkan kematiannya, “Nikahkanlah aku, aku tidak ingin bertemu Allah -Tabaraka wa Ta’ala- dalam keadaan tidak menikah.”
Dia juga berkata: Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim bahwa Syuraih memutuskan dalam kasus seorang laki-laki yang menikah saat menjelang kematian, lalu ahli waris dan mahar diambil dari hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang sakit menikah dan memberikan mahar lebih dari mahar yang biasa, lalu dia sembuh, kemudian meninggal, maka kelebihan mahar itu sah karena dia telah sembuh sebelum meninggal, sehingga dianggap seperti orang yang menikah dalam keadaan sehat. Jika keadaannya tetap seperti semula, lalu dia tidak sembuh hingga wanita itu meninggal dan bukan lagi ahli waris, maka wanita itu berhak menerima mahar yang biasa dari pokok harta dan kelebihannya dari sepertiga, seperti hibah yang diberikan kepada orang asing yang diambil dari sepertiga. Kelebihan mahar wanita itu di atas sepertiga jika dia meninggal dianggap seperti hibah yang telah diterima.
(Imam Syafi’i berkata): Jika keadaannya tetap seperti semula, dan wanita yang dinikahi adalah orang yang tidak berhak mewarisi (seperti wanita dzimmi), lalu dia meninggal saat wanita itu masih bersamanya, maka wanita itu berhak menerima seluruh mahar yang biasa dari seluruh harta dan kelebihannya dari sepertiga, karena dia bukan ahli waris. Jika wanita itu masuk Islam sehingga menjadi ahli waris, maka kelebihan mahar itu batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang sakit menikahi seorang wanita dengan nikah yang fasid (tidak sah), lalu dia meninggal, maka wanita itu tidak berhak mewarisi dan tidak berhak mendapat mahar jika belum digauli. Jika sudah digauli, maka wanita itu berhak mendapat mahar seperti mahar yang biasa, baik lebih sedikit atau lebih banyak dari yang disebutkan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki memiliki budak wanita, lalu dia memerdekakannya saat sakit, kemudian menikahinya dan memberikan mahar, lalu menggaulinya—(jawaban selanjutnya). Ar-Rabi’ berkata, “Aku akan menjawabnya: Jika mahar itu keluar dari sepertiga harta, maka pemerdekaan dan pernikahan itu sah dengan mahar yang biasa, kecuali jika mahar yang disebutkan lebih rendah dari mahar yang biasa, maka wanita itu hanya berhak menerima yang disebutkan. Jika lebih tinggi, maka dikembalikan ke mahar yang biasa, dan wanita itu berhak mewarisi. Jika mahar itu tidak keluar dari sepertiga, maka yang dimerdekakan hanya sebatas yang mampu ditanggung sepertiga, dan wanita itu berhak mendapat mahar yang biasa sesuai dengan bagian yang dimerdekakan, tetapi tidak berhak mewarisi karena sebagian dirinya masih budak.”
**[Hibah Orang Sakit]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika orang sakit memberikan hibah kepada ahli waris atau bukan ahli waris saat sakit, lalu dia menyerahkan hibah itu, maka:
– Jika penerima adalah ahli waris dan si pemberi hibah tidak sembuh hingga meninggal, maka hibah itu harus dikembalikan seluruhnya.
– Demikian pula jika hibah diberikan kepada bukan ahli waris, lalu penerima menjadi ahli waris.
– Jika penerima memanfaatkan hibah itu, lalu pemberi hibah meninggal sebelum sembuh, maka manfaatnya harus dikembalikan, karena kematian menunjukkan bahwa kepemilikan hibah itu masih milik pemberi hibah.
Jika hibah diberikan kepada ahli waris saat sakit, lalu pemberi hibah sembuh, kemudian sakit lagi dan menyerahkan hibah saat sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hibah itu harus dikembalikan, karena hibah baru sah dengan penerimaan, dan penerimaan terjadi saat dia sakit.
Jika hibah diberikan saat sakit, lalu penyerahan dilakukan saat sehat, kemudian dia sakit lagi dan meninggal, maka hibah itu sah karena telah sempurna dengan penerimaan saat sehat, dan pemberi hibah berhak menahan hibah itu. Penyerahan saat sehat dianggap seperti pemberian baru.
(Imam Syafi’i berkata): Jika hibah diberikan kepada orang yang dianggap akan mewarisi, lalu muncul ahli waris lain yang menghalanginya, sehingga penerima bukan lagi ahli waris saat pemberi hibah meninggal, atau hibah diberikan kepada orang asing, maka hukumnya sama, karena keduanya bukan ahli waris. Jika hibah diberikan kepada mereka saat pemberi hibah sehat atau sakit, lalu mereka menerima hibah saat pemberi hibah sehat, maka hibah itu sah dan keluar dari kepemilikan pemberi hibah.
Demikian pula jika hibah diberikan saat sakit, lalu pemberi hibah sembuh dan meninggal, maka hukumnya seperti penerimaan saat sehat. Jika penerimaan terjadi saat sakit dan pemberi hibah tidak sembuh, maka hibah itu tidak sah.
“Bab Wasiat dengan Sepertiga”
(Imam Syafi’i berkata): Dan hadiah atau sedekah yang diberikan kepada seseorang tertentu, hukumnya sama seperti hibah, tidak berbeda. Karena tidak ada yang dimiliki dari ini kecuali dengan penerimaan. Segala sesuatu yang tidak dimiliki kecuali dengan penerimaan, maka hukumnya satu dan tidak berbeda. Tidakkah kamu melihat bahwa pemberi hibah, pemberi hadiah, atau pemberi sedekah jika meninggal sebelum penerima hibah, hadiah, atau sedekah menerimanya, maka apa yang diberikan menjadi batal dan kembali menjadi harta milik pemberi untuk ahli warisnya? Atau tidakkah kamu melihat bahwa boleh bagi yang diberi untuk mengembalikannya kepada pemberi, sehingga pemberi kembali memiliki haknya, boleh menjualnya, menggadaikannya, atau mewariskannya seperti sebelum harta itu keluar dari tangannya?
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki rumah atau budak yang berada di tangan orang lain karena hunian, sewa, atau pinjaman, lalu dia berkata, “Aku menghibahkan rumah yang ada di tanganmu untukmu, dan aku telah mengizinkanmu untuk menerimanya,” maka hibah itu dianggap telah diterima untuk rumah atau budak yang ada di tangannya. Jika setelah itu tidak ada halangan hingga pemberi hibah meninggal, maka dianggap penerima telah menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Sedangkan yang sah hanya dengan ucapan tanpa penerimaan, berbeda dengan ini, yaitu sedekah yang diharamkan. Jika pemberi sedekah mengucapkannya dan ada saksi, maka harta itu telah keluar dari kepemilikannya sepenuhnya untuk penerima sedekah. Penerimaan tidak menambah kesempurnaannya, dan tidak menerimanya juga tidak mengurangi. Sebab, ketika harta itu dikeluarkan dari kepemilikannya, ia dikeluarkan dengan ketentuan yang melarang pemberi untuk menguasainya kembali, baik melalui jual beli, warisan, hibah, atau gadai. Harta itu keluar dari kepemilikannya secara mutlak, tidak boleh kembali dalam keadaan apa pun, sehingga mirip dengan pembebasan budak dalam banyak hukumnya, kecuali bahwa budak yang dibebaskan memiliki manfaat dan usahanya sendiri, sedangkan manfaat sedekah ini dimiliki oleh penerimanya.
Kami tidak menulis bab khusus tentang ini karena sudah dibahas di tempat lain. Jika seseorang mengucapkan sedekah yang diharamkan dalam keadaan sehat, lalu sakit, atau dalam keadaan sakit lalu sembuh, maka sedekah itu sah dan keluar dari hartanya. Namun, jika diucapkan dalam keadaan sakit dan tidak sembuh, maka sedekah itu dianggap dari sepertiga hartanya, sah untuk yang berhak menerima wasiat sepertiga, dan batal untuk yang tidak berhak.
### **Bab Wasiat dengan Sepertiga**
(Bab ini mencakup wasiat yang melebihi sepertiga dan beberapa hal terkait sewa. Ar-Rabi’ tidak menyebutkan judul khusus tentang wasiat melebihi sepertiga.)
(Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata): Sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seseorang berwasiat melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkannya. Barangsiapa berwasiat melebihi sepertiga, maka seluruh wasiatnya dikurangi hingga sepertiga, kecuali jika ahli waris rela mengizinkannya, maka boleh dengan pemberian mereka. Jika ahli waris rela dan mengizinkannya, maka mereka memberikannya dari harta mereka sendiri. Menurut qiyas, hal itu tidak sah kecuali jika penerima benar-benar mendapatkan apa yang diberikan dari harta mereka dengan penerimaan yang sah. Jika ahli waris meninggal sebelum penerima wasiat menerimanya, maka wasiat itu dikembalikan.
(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang berwasiat…
Untuk seorang laki-laki dengan sepertiga hartanya, untuk yang lain dengan setengahnya, dan untuk yang lain dengan seperempatnya, namun ahli waris tidak mengizinkan hal itu, maka para penerima wasiat membagi sepertiga harta sesuai dengan bagian yang diwasiatkan kepada mereka. Sepertiga harta dibagi menjadi tiga belas bagian: pemilik setengah mendapat enam bagian, pemilik sepertiga mendapat empat bagian, dan pemilik seperempat mendapat tiga bagian. Jika ahli waris mengizinkan, mereka membagi seluruh harta dengan memperhitungkan tambahan setengah seperenam. Setiap penerima wasiat mendapatkan setengah seperenam dari tambahan tersebut dan menerima bagian wasiatnya. Mereka membagi seluruh harta seperti membagi sepertiga, sehingga pembagiannya adil dalam hal tambahan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwasiat, “Untuk si Fulan budakku si Fulan, untuk si Fulan rumahku (dengan menyebutkan cirinya), dan untuk si Fulan lima ratus dinar,” namun wasiat ini tidak mencapai sepertiga harta dan ahli waris tidak mengizinkannya—sedangkan sepertiga harta adalah seribu dinar dan total wasiat dua ribu dinar, nilai budak lima ratus dinar, nilai rumah seribu dinar, dan wasiat lima ratus dinar—maka setiap penerima wasiat mendapat tambahan setengah dan menerima separuh dari wasiatnya. Jadi, penerima wasiat budak mendapat separuh budak, penerima wasiat rumah mendapat separuh rumah, dan penerima wasiat lima ratus dinar mendapat dua ratus lima puluh dinar. Wasiat tidak diberikan kecuali untuk harta yang secara khusus disebutkan dalam wasiat, kecuali jika ahli waris mengizinkan bagian lain.
Jika ahli waris berkata, “Kami tidak memberinya bagian rumah kecuali apa yang wajib kami berikan,” maka dikatakan kepadanya, “Sepertiga rumah adalah milikmu bersama kami. Jika kamu mau, kita bisa membaginya.” Nilai seperenam rumah yang sah dari wasiatnya dihitung sebagai bagian dari harta pewaris, sehingga dia menjadi pemilik bersama ahli waris. Hal yang sama berlaku untuk budak dan segala harta tertentu yang diwasiatkan jika ahli waris tidak menyerahkannya. Dan Allah Ta’ala yang memberi taufik.
[**Bab Wasiat untuk Rumah dan Harta Tertentu**]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan menyebut, “Rumahku yang terletak di sana (dengan menyebut cirinya) untuk si Fulan,” maka rumah itu beserta seluruh bangunannya, pintu, dan kayu yang menempel menjadi miliknya. Namun, ia tidak berhak atas perabot di dalamnya, kayu yang tidak menempel, pintu yang tidak terpasang, bata, batu, atau bahan bangunan yang belum digunakan—karena itu tidak termasuk bagian rumah sampai digunakan untuk membangun dan menjadi bagian tetap rumah.
Jika ia berwasiat dengan rumah, lalu rumah itu roboh semasa pewaris masih hidup, maka penerima wasiat tidak berhak atas bagian yang roboh, tetapi berhak atas bagian yang masih berdiri serta kayu, pintu, dan lainnya yang masih menempel. Jika rumah itu hanyut oleh banjir—sebagian atau seluruhnya—maka wasiatnya batal, atau bagian yang hanyut tidak lagi menjadi haknya.
Demikian pula jika ia berwasiat dengan seorang budak, lalu budak itu meninggal, buta, atau cacat, maka penerima wasiat tidak berhak atas pengganti dari sisa sepertiga harta, karena yang diwasiatkan sudah hilang. Hal yang sama berlaku untuk semua harta tertentu yang diwasiatkan jika rusak atau hilang.
Begitu pula jika ia berwasiat dengan sesuatu, lalu harta itu ternyata bukan miliknya—karena masih dalam status pembelian, hibah yang belum sah, atau hasil rampasan—maka wasiatnya batal, karena ia berwasiat dengan harta yang tidak ia miliki.
[Bab Wasiat dengan Menyebutkan Sifat Tertentu]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang mewasiatkan kepada orang lain seorang budak dengan menyebutkan, “Budak Barbar-ku,” atau “Budak Habasyah-ku,” atau menisbatkannya kepada suatu jenis dan menyebutkan namanya, sementara dia tidak memiliki budak dari jenis tersebut yang bernama seperti itu, maka wasiat itu tidak sah. Namun, jika dia menambahkan deskripsi dan ternyata dia memiliki budak dari jenis tersebut yang bernama sama tetapi sifatnya berbeda, maka wasiat itu sah baginya.
(Ar-Rabi’ berkata): Aku khawatir ini adalah kesalahan penulis karena dia tidak membacakan kepada Imam Syafi’i dan tidak mendengarnya langsung. Menurutku, jawabannya adalah jika nama dan jenisnya sesuai—misalnya dia mewasiatkan seorang budak dengan menyebut nama, jenis, dan sifatnya—lalu kita menemukan budak dengan nama dan jenis tersebut tetapi sifatnya berbeda (misalnya dia menyebut sifatnya: putih, tinggi, wajah tampan, tetapi kita menemukan budak dengan nama dan jenis tersebut yang hitam, pendek, dan berwajah buruk), maka kita tidak memberikannya kepadanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menyebut namanya dan menisbatkannya kepada jenisnya, sementara dia memiliki dua budak atau lebih dari jenis tersebut dengan nama dan jenis yang sama tanpa pembeda sifat, dan para saksi tidak dapat memastikan mana yang dimaksud—
(Ar-Rabi’ berkata): Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, kesaksian itu batal karena mereka tidak menetapkan budak tertentu, seperti jika mereka bersaksi untuk seseorang atas seorang budak tanpa menentukannya secara spesifik, maka kesaksian itu batal.
Kedua, wasiat itu sah untuk salah satu dari dua budak tersebut, dan keduanya ditahan di antara ahli waris dan penerima wasiat sampai mereka berdamai, karena kita tahu bahwa salah satunya adalah miliknya meskipun tidak ditentukan secara spesifik.
[Bab Penyakit yang Membuat Pemberian Orang Sakit Sah atau Tidak Sah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Penyakit terbagi dua. Setiap penyakit yang umumnya dikhawatirkan membawa kematian, maka pemberian orang sakit dalam kondisi itu jika dia meninggal dihukumi seperti wasiat. Sedangkan penyakit yang umumnya tidak dikhawatirkan membawa kematian, pemberian orang sakit dalam kondisi itu seperti pemberian orang sehat, meskipun dia meninggal karenanya.
Adapun penyakit yang umumnya dikhawatirkan membawa kematian, seperti demam yang baru menimpa seseorang hingga melemahkannya—apa pun jenis demamnya—jika berlanjut lama, maka semuanya dikhawatirkan kecuali demam quartan (malaria tiga hari). Jika demam quartan menetap pada seseorang selama siklus quartan, umumnya tidak dikhawatirkan. Jadi, pemberian orang yang terkena demam quartan selama siklusnya dihukumi seperti pemberian orang sehat. Sedangkan pemberian orang yang terkena demam selain quartan dihukumi seperti pemberian orang sakit.
Jika demam quartan disertai penyakit lain yang dikhawatirkan, seperti radang selaput dada (bronkitis), mimisan terus-menerus, pleuritis, sakit pinggang, kolik, atau sejenisnya, maka pemberiannya dihukumi seperti pemberian orang sakit selama dia belum sembuh dari penyakit tersebut. Setiap penyakit ini jika muncul sendiri tergolong penyakit yang dikhawatirkan.
Jika seseorang baru terkena sakit perut selama satu atau dua hari tanpa disertai darah atau gejala lain selain buang air, maka tidak dikhawatirkan. Namun, jika berlanjut setelah dua hari hingga mengganggu aktivitas, tidur, atau menyebabkan pecahnya usus, maka itu dikhawatirkan.
Jika perut tidak berlubang tetapi disertai dengan rasa sakit yang hebat atau terputus-putus, maka itu dianggap berbahaya (Imam Syafi’i berkata): “Apa yang sulit dibedakan dalam hal ini antara kondisi berbahaya dan tidak berbahaya, maka tanyakanlah kepada ahli ilmu. Jika mereka mengatakan itu berbahaya, maka pemberiannya tidak boleh kecuali dari sepertiga hartanya jika ia meninggal. Jika mereka mengatakan tidak berbahaya, maka pemberiannya sah seperti pemberian orang sehat.”
Seseorang yang diserang darah hingga akalnya terganggu atau ia tidak mampu mengendalikannya, meskipun akalnya tidak terganggu, atau jika ia mengalami mazar (sakit parah), maka dalam kondisi tersebut ia dianggap dalam keadaan berbahaya. Jika kondisinya berlanjut, maka tetap dianggap berbahaya. Jika seseorang diserang oleh dahak, maka saat itu ia dianggap dalam keadaan berbahaya. Jika ia kemudian terkena lumpuh (falaj), maka umumnya lumpuh bersifat berkepanjangan dan tidak dianggap berbahaya secara langsung. Demikian pula jika ia terkena penyakit tuberkulosis (TBC), umumnya TBC bersifat berkepanjangan dan tidak dianggap berbahaya secara langsung. Namun, jika ia terkena wabah (tha’un), maka itu dianggap berbahaya hingga wabah tersebut hilang.
Seseorang yang terluka hingga lukanya mencapai rongga tubuh, maka ia dianggap dalam keadaan berbahaya. Jika lukanya tidak sampai membahayakan nyawa, dan ia tidak demam karenanya, tidak kesulitan duduk, tidak merasa sakit yang hebat, tidak mengalami denyutan atau rasa sakit, serta tidak mengalami pembengkakan, maka itu tidak dianggap berbahaya. Namun, jika ia mengalami sebagian dari gejala tersebut, maka itu dianggap berbahaya.
(Imam Syafi’i berkata): “Semua jenis penyakit yang tidak disebutkan di atas, tanyakanlah kepada ahli ilmu. Jika mereka mengatakan berbahaya, maka pemberiannya dianggap seperti pemberian orang sakit. Jika mereka mengatakan tidak berbahaya, maka pemberiannya seperti pemberian orang sehat. Minimal dalam masalah ini, kesaksian harus diberikan oleh dua saksi yang adil.”
[**Bab Pemberian oleh Wanita Hamil dan Orang yang Dikhawatirkan**]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Pemberian oleh wanita hamil diperbolehkan hingga ia merasakan kontraksi persalinan atau keguguran, karena saat itu ia dalam keadaan berbahaya. Kecuali jika ia juga menderita penyakit selain kehamilan yang jika menimpa orang lain akan membuat pemberiannya dianggap seperti pemberian orang sakit. Setelah melahirkan, jika ia masih merasakan sakit akibat luka, pembengkakan, sisa kontraksi, atau penyakit berbahaya lainnya, maka pemberiannya dianggap seperti pemberian orang sakit. Jika tidak ada gejala seperti itu, maka pemberiannya seperti pemberian orang sehat.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seorang wanita atau laki-laki dipukul dengan cambuk, kayu, atau batu hingga lukanya menembus rongga tubuh, atau tubuhnya membengkak, atau mengandung nanah, maka semua itu dianggap berbahaya. Sejak awal dipukul, jika diprediksi akan menyebabkan hal seperti itu, maka itu dianggap berbahaya. Namun, jika setelah beberapa hari ia aman dari bahaya kematian, maka tidak lagi dianggap berbahaya.”
[**Bab Pemberian oleh Orang yang Sedang Berperang atau di Laut**]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Pemberian oleh seseorang yang sedang berperang diperbolehkan hingga pertempuran dimulai. Jika pertempuran telah dimulai, maka pemberiannya dianggap seperti pemberian orang sakit, baik ia berperang melawan muslimin atau musuh.”
(Ar-Rabi’ berkata): “Menurut pendapat lain yang saya ketahui, pemberiannya tetap seperti pemberian orang sehat hingga ia terluka.”
(Imam Syafi’i berkata): “Ia juga berpendapat bahwa jika seseorang dijatuhi hukuman qishash dan akan dipenggal lehernya, pemberiannya tetap seperti pemberian orang sehat karena masih ada kemungkinan ia diampuni. Jika ia ditawan oleh kaum muslimin, maka pemberiannya dalam hartanya diperbolehkan. Jika ia ditawan oleh kaum musyrikin yang tidak membunuh tawanan, maka hukumnya sama. Namun, jika ia ditawan oleh kaum musyrikin yang membunuh tawanan, maka pemberiannya dianggap seperti pemberian orang sakit karena kemungkinan besar ia akan dibunuh.”
“Manusia tidak pernah lepas dari harapan hidup dan ketakutan akan kematian. Namun, jika mayoritas orang menganggapnya dalam keadaan berbahaya, maka pemberiannya seperti pemberian orang sakit. Jika mayoritas menganggapnya aman dari penyakit, penawanan, atau kondisi berbahaya lainnya, maka pemberiannya seperti pemberian orang sehat.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika ia berada di antara kaum musyrikin yang menepati janji dan mereka memberinya jaminan keamanan, baik dengan imbalan atau tanpa imbalan, maka pemberiannya seperti pemberian orang sehat.”
[**Bab Wasiat untuk Ahli Waris**]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Sufyan mengabarkan kepada kami dari Sulaiman al-Ahwal dari Mujahid mengenai hadis ‘Tidak ada wasiat untuk ahli waris’.”
(Imam Syafi’i berkata): “Saya melihat kebanyakan ulama yang saya temui sepakat bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam khutbahnya pada tahun Fathu Makkah: ‘Tidak ada wasiat untuk ahli waris.’ Saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.”
“Jika seseorang berwasiat untuk ahli waris, maka wasiat itu ditangguhkan. Jika pemberi wasiat meninggal dan penerima wasiat tetap sebagai ahli waris, maka wasiat itu tidak berlaku. Namun, jika muncul ahli waris lain yang menghalangi, atau penerima wasiat keluar dari status sebagai ahli waris (misalnya, seorang suami berwasiat untuk istrinya, lalu ia menceraikannya dengan talak tiga, kemudian ia meninggal sehingga sang istri tidak mewarisinya), maka wasiat itu sah karena sang istri bukan lagi ahli waris.”
“Wasiat hanya berlaku atau batal setelah kematian pemberi wasiat. Jika seseorang berwasiat untuk seorang lelaki yang memiliki ahli waris yang menghalanginya, lalu ahli waris tersebut meninggal sebelum pemberi wasiat, sehingga penerima wasiat menjadi ahli waris, atau jika ia berwasiat untuk seorang wanita lalu menikahinya dan meninggal dalam keadaan masih menikah, maka wasiat itu batal karena menjadi wasiat untuk ahli waris.”
“Jika seseorang berwasiat untuk ahli waris dan orang lain bersama-sama (misalnya, seorang budak, rumah, pakaian, atau harta tertentu), maka bagian ahli waris batal, sedangkan bagian orang lain tetap sah. Namun, jika ia menetapkan bagian tertentu (misalnya, sepertiga untuk ahli waris dan dua pertiga untuk orang lain), maka bagian orang lain sah, sedangkan bagian ahli waris batal.”
“Jika seseorang memiliki anak yang mewarisinya, atau anak yang tidak mewarisinya (seperti anak dari budak perempuan, anak asuh, anak susuan, istri, atau pelayan), lalu ia berwasiat untuk mereka, maka wasiat itu sah karena mereka bukan ahli waris. Setiap orang berhak atas hartanya dan boleh memberikannya kepada siapa pun yang ia kehendaki.”
“Tidak ada yang lebih berhak menerima wasiat selain kerabat dekat dan orang yang menyayangi anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Jika ia meninggalkan harta yang banyak, hendaklah ia berwasiat untuk orang tua dan kerabat dekat.’ (QS. Al-Baqarah: 180). Kebanyakan wasiat diberikan kepada kerabat dekat karena mereka yang paling dekat dengan anak-anak pemberi wasiat.”
“Orang yang khawatir wasiatnya akan kembali kepada ahli waris atau menguntungkan ahli waris, sebaiknya tidak memberikan wasiat kepada kerabat dekat atau memerdekakan budak yang diketahui dekat dengan ahli waris. Namun, tidak boleh melarang wasiat untuk non-ahli waris berdasarkan hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan konsensus ulama yang saya temui.”
[**Bab Wasiat yang Sah dan Tidak Sah untuk Ahli Waris dan Lainnya**]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika seseorang ingin berwasiat untuk ahli waris, ia boleh berkata kepada ahli waris: ‘Aku ingin mewasiatkan dua pertiga hartaku untuk si Fulan (ahli waris). Jika kalian setuju, aku akan melakukannya. Jika tidak, aku akan mewasiatkannya untuk orang lain yang boleh menerima wasiat.’ Lalu, ahli waris bersaksi bahwa mereka menyetujui wasiat tersebut. Setelah ia meninggal, mereka boleh memilih untuk menepati atau tidak. Jika mereka menepatinya, itu lebih baik karena menunjukkan kejujuran dan ketaatan kepada mayit. Jika tidak, hakim tidak boleh memaksa mereka untuk menepatinya, dan harta mayit tidak boleh dikeluarkan kecuali sesuai wasiatnya.”
Mereka telah mengizinkannya sebelum si mayit meninggal, tidak ada kewajiban hukum atas mereka karena mereka mengizinkan sesuatu yang bukan hak mereka. Tidakkah kamu lihat bahwa mereka bisa saja tiga, dua, atau satu orang, lalu si mayit memiliki anak lebih banyak dari mereka, sehingga mereka mengizinkan seluruh sepertiga padahal hanya sebagian yang menjadi hak mereka? Atau bisa saja muncul ahli waris lain yang menghalangi mereka, atau mereka meninggal sebelum si mayit, sehingga mereka tidak mengizinkan sesuatu yang mereka miliki dalam keadaan apa pun. Bahkan, kebanyakan keadaan mereka adalah bahwa mereka tidak akan pernah memilikinya kecuali setelah si mayit meninggal. Tidakkah kamu lihat bahwa jika mereka mengizinkannya kepada ahli waris, orang yang diizinkan menerima wasiat bisa saja meninggal sebelum pemberi wasiat? Jika kepemilikan wasiat terjadi karena wasiat si mayit dan persetujuan mereka, maka ia tidak memilikinya. Tidak ada sedikit pun dari harta si mayit yang menjadi milik mereka kecuali setelah kematiannya dan keberlangsungan hidup setelahnya. Demikian pula, orang-orang yang mengizinkan wasiat untuknya, mereka mengizinkan sesuatu yang bukan milik mereka dan mungkin tidak akan pernah mereka miliki.
(Dia berkata): Demikian pula jika si mayit meminta izin mereka untuk wasiat yang melebihi sepertiga, lalu mereka mengizinkannya. Atau jika salah seorang dari mereka berkata, “Warisan dariku untuk saudaraku si Fulan atau anak-anak si Fulan,” maka itu tidak sah karena ia memberikan sesuatu yang bukan miliknya. Demikian pula jika si mayit meminta izin mereka untuk memerdekakan budak-budaknya setelah kematiannya, dan budak-budak itu tidak melebihi sepertiga, mereka berhak menolak budak yang tidak termasuk dalam sepertiga. Dalam semua ini, yang terbaik adalah mereka mengizinkannya. Namun, jika si mayit berwasiat untuk ahli waris dan berkata, “Jika ahli waris mengizinkan, maka sah; jika tidak, maka untuk si Fulan (orang asing), atau di jalan Allah, atau untuk sesuatu yang sah diwasiatkan,” maka hal itu berlaku sesuai ucapannya. Jika ahli waris mengizinkan, wasiat itu sah; jika menolak, maka itu hak mereka, dan mereka harus menunaikannya untuk orang yang diwasiatkan jika wasiat itu untuk non-ahli waris.
Demikian pula jika si mayit berwasiat untuk seseorang dan berkata, “Jika ia meninggal sebelumku, maka wasiatku untuk si Fulan,” lalu orang itu meninggal lebih dulu, wasiat itu menjadi milik si Fulan. Atau jika ia berkata, “Untuk si Fulan dua pertiga, kecuali jika si Fulan datang,” lalu si Fulan datang ke negeri ini, maka wasiat itu sah untuknya.
**[Bab: Apa yang Sah dalam Persetujuan Ahli Waris atas Wasiat dan Apa yang Tidak Sah]**
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, Asy-Syafi’i (rahimahullah) berkata: Jika si mayit berwasiat untuk orang yang tidak sah menerima wasiat, baik ahli waris atau bukan, atau melebihi sepertiga, lalu ia meninggal dan ahli waris mengetahui wasiat itu serta harta yang ditinggalkan, kemudian mereka berkata, “Kami mengizinkan apa yang ia lakukan,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:
- **Pendapat Pertama**: Perkataan mereka setelah mengetahui dan menerima warisan, “Kami mengizinkan apa yang ia lakukan,” adalah sah bagi yang diizinkan, seperti hibah jika mereka menyerahkannya langsung. Mereka tidak boleh menarik kembali izin itu. Pendapat ini berargumen bahwa wasiat setelah kematian berbeda dengan pemberian orang hidup yang hanya sah dengan serah terima, karena pemberi wasiat sudah meninggal dan tidak mungkin menyerahkan hartanya. Wasiat adalah pengalihan hak dari mayit kepada ahli waris, sehingga jika ahli waris mengizinkan setelah mengetahui dan memiliki hak, berarti mereka melepas hak waris mereka atas wasiat itu.
- **Pendapat Kedua**: Harta yang ditinggalkan mayit untuk wasiat yang tidak sah adalah milik ahli waris yang Allah alihkan kepada mereka. Persetujuan mereka atas wasiat itu seperti hibah yang bisa ditarik kembali selama belum diserahkan.
Pendapat pertama lebih kuat, tetapi pendapat kedua juga memiliki dasar. Wallahu a’lam.
Mereka memiliki harta simpanan di tangan orang lain, lalu mereka menghibahkan sebagian dari harta itu kepada orang lain. Hibah tersebut tidak sah kecuali dengan penerimaan. Ini adalah salah satu pendapat yang mungkin, dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui. Jika mereka berkata, “Kami membolehkan apa yang telah dilakukan, tetapi kami tidak mengetahuinya dan kami menganggapnya sedikit,” maka dalam kedua pendapat tersebut seharusnya dikatakan, “Bolehkanlah sedikit dan bersumpahlah bahwa kalian hanya membolehkannya karena menganggapnya demikian.” Kemudian, mereka boleh menarik kembali sisanya. Begitu pula jika mereka tidak hadir. Jika ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka mengetahuinya, maka hibah itu sah menurut pendapat yang membolehkan persetujuan tanpa penerimaan. Persetujuan itu hanya sah jika wasiat mencakup dua pertiga hartanya, seluruh hartanya, atau bagian tertentu darinya, asalkan mereka mengetahui jumlah yang ditinggalkannya. Misalnya, jika seseorang berwasiat dengan menyebutkan, “Untuk si A sekian dinar, untuk si B budakku si Fulan, dan untuk si C sekian ekor untaku,” lalu mereka berkata, “Kami setuju dengan itu,” kemudian mereka berkata, “Kami hanya menyetujui karena kami menganggapnya melebihi sepertiga dengan sedikit, sebab kami pernah mengetahui dia memiliki harta tetapi tidak menemukannya, atau kami mengira dia tidak memiliki utang tetapi ternyata dia memiliki utang.” Dalam hal ini, ada dua pendapat: Pertama, dikatakan bahwa ini mengikat mereka menurut pendapat yang membolehkan persetujuan mereka, karena mereka menyetujui apa yang mereka ketahui dan tidak bisa dimaafkan karena ketidaktahuan. Kedua, mereka boleh bersumpah dan menarik kembali sekarang. Ini hanya boleh dari harta mayit. Dan dikatakan kepada mereka—jika mereka bersumpah—”Setujui bagian yang menurut kalian melebihi sepertiga, baik seperenam, seperempat, kurang, atau lebih.”
[Bab Perbedaan Pendapat Ahli Waris dalam Wasiat]
Bab Perbedaan Pendapat Ahli Waris (Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika sebagian ahli waris menyetujui wasiat yang mengharuskan persetujuan, sedangkan sebagian lain tidak menyetujui, maka wasiat itu sah sesuai bagian yang disetujui. Misalnya, jika ahli waris terdiri dari dua orang, maka penerima wasiat berhak mendapat separuh dari apa yang diwasiatkan kepadanya yang melebihi sepertiga.
(Imam Syafi’i berkata): Jika di antara ahli waris ada anak kecil, orang dewasa yang dibatasi haknya, atau orang yang tidak waras, maka tidak ada seorang pun dari mereka yang boleh menyetujui bagiannya dalam wasiat yang melebihi sepertiga. Wali dari mereka juga tidak boleh menyetujui hal itu untuk bagian mereka. Jika wali menyetujui, maka dia harus menanggungnya dari hartanya sendiri. Jika harta itu ditemukan di tangan penerima wasiat, maka harta itu harus diambil, dan wali berhak menuntut orang yang memberikannya karena dia memberikan sesuatu yang bukan miliknya.
[Wasiat untuk Kerabat]
Wasiat untuk Kerabat (Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang berwasiat, “Sepertiga hartaku untuk kerabatku,” atau “untuk keluarga dekatku,” atau “untuk sanak saudaraku,” atau “untuk kaum kerabatku,” maka semua ungkapan ini sama maknanya. Kerabat dari pihak ibu dan ayah dalam wasiat adalah sama. Yang paling dekat dan paling jauh hubungan kekerabatannya dalam wasiat juga sama, baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, kecil atau besar, karena mereka diberi berdasarkan nama kekerabatan. Nama kekerabatan mencakup mereka semua, sebagaimana orang yang hadir dalam peperangan diberi berdasarkan kehadiran.
Jika seseorang berasal dari suku Quraisy, lalu dia berwasiat untuk kerabatnya, maka wasiat itu tidak sah kecuali mencakup orang-orang yang diketahui nasabnya hingga ke ayah, meskipun hubungan kekerabatannya jauh. Jika dalam pemahaman umum, orang Quraisy yang mengatakan “untuk kerabatku” tidak bermaksud seluruh Quraisy atau yang lebih jauh darinya, dan jika seseorang mengatakan “untuk kerabatku” tidak bermaksud orang terdekat atau kerabat yang lebih jauh melalui ayah, meskipun dekat, maka merujuk pada pemahaman umum tentang “keluarga dekatku.” Lalu dilihat dari suku mana dia berasal. Misalnya, dari Bani Abdu Manaf, kemudian ditanyakan, “Bani Abdu Manaf terbagi lagi, dari kelompok mana?” Dijawab, “Dari Bani Muthalib.” Ditanyakan, “Apakah Bani Muthalib terbagi lagi?” Dijawab, “Ya, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dari kelompok mana?” Dijawab, “Dari Bani Abdul Yazid bin Hasyim bin Muthalib.” Ditanyakan, “Apakah mereka terbagi lagi?” Dijawab, “Ya, mereka terdiri dari beberapa kelompok.” Ditanyakan, “Dari kelompok mana?” Dijawab, “Dari Bani Ubaid bin Abdul Yazid.” Ditanyakan, “Apakah mereka terbagi lagi?”
Dikatakan: Ya, mereka adalah Bani Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid. Dikatakan juga: Bani Syafi’, Bani Ali, dan Bani Abbas, semuanya berasal dari Bani Saib. Jika ada yang bertanya: “Apakah mereka dapat dibedakan?” Jawabnya: Ya, setiap kelompok dari mereka dapat dibedakan satu sama lain. Jika seseorang berasal dari keluarga Syafi’, maka yang dimaksud dengan kerabatnya adalah keluarga Syafi’, bukan keluarga Ali atau Abbas. Hal ini karena setiap kelompok ini memiliki ciri pembeda yang jelas dari kelompok lainnya, baik dalam hal nenek moyang, dukungan, pernikahan, atau hubungan di antara mereka.
Jika seseorang berkata: “Sepertiga hartaku untuk kerabat terdekatku,” atau “untuk kerabat yang paling dekat,” atau “untuk kerabat yang paling erat,” maka maknanya sama. Kita melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dari sisi ayah dan ibu, lalu memberikannya kepada mereka, bukan kepada yang lebih jauh. Misalnya, jika dia memiliki dua paman dari ayah, dua paman dari ibu, sepupu dari ayah, dan sepupu dari ibu, maka harta diberikan kepada kedua pamannya (dari ayah dan ibu) secara merata, bukan kepada sepupunya, karena mereka lebih dekat hubungannya.
Demikian pula, jika dia memiliki saudara seayah, saudara seibu, dua paman dari ayah, dan dua paman dari ibu, maka harta diberikan kepada saudara seayah dan seibunya, bukan kepada pamannya, karena mereka lebih dekat. Jika ada saudara kandung (seayah-seibu), maka mereka lebih berhak daripada saudara seayah atau seibu saja, karena mereka menggabungkan hubungan dari kedua orang tua. Jika ada cucu yang tidak mewarisi, maka harta diberikan kepada cucu tersebut, bukan kepada saudara, karena cucu lebih dekat daripada anak dari ayahnya.
Jika bersama saudara seayah atau seibu ada kakek, maka saudara lebih diutamakan daripada kakek menurut pendapat yang menyatakan bahwa saudara lebih berhak atas perwalian budak daripada kakek, karena mereka lebih dekat hubungannya. Jika seseorang berkata: “Sepertiga hartaku untuk sekelompok kerabatku,” dan yang paling dekat ada tiga orang atau lebih, maka harta dibagi kepada mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Jika yang paling dekat dua orang, dan yang berikutnya satu orang atau lebih, maka dua orang mendapat dua pertiga dari sepertiga, dan sisanya untuk yang lain. Jika hanya satu orang, dia mendapat sepertiga dari sepertiga, dan sisanya dibagi kepada kerabat berikutnya.
**[Bab Wasiat untuk Kandungan dan Wasiat atas Kandungan]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Wasiat untuk kandungan atau atas kandungan diperbolehkan jika kandungan tersebut sudah terbentuk saat wasiat diucapkan dan lahir dalam keadaan hidup. Jika seseorang berkata: “Apa yang ada di perut budak perempuanku, si Fulanah, untuk si Fulan,” lalu dia meninggal dan budaknya melahirkan dalam waktu kurang dari enam bulan sejak wasiat diucapkan, maka wasiat itu sah untuk penerimanya. Jika melahirkan setelah enam bulan atau lebih, wasiat tidak sah, karena mungkin ada kehamilan baru yang bukan merupakan objek wasiat.
Jika dia berkata: “Anak budak perempuanku,” atau “budak perempuanku,” atau “budak tertentu,” sebagai wasiat untuk kandungan si Fulanah (wanita yang disebut namanya), maka jika wanita itu melahirkan dalam waktu kurang dari enam bulan, wasiat sah. Jika melahirkan setelah enam bulan atau lebih, wasiat batal, karena mungkin ada kehamilan baru setelah wasiat. Jika kandungan yang diwasiatkan adalah anak laki-laki, perempuan, atau lebih, wasiat berlaku untuk semuanya. Jika kandungan yang diwasiatkan terdiri dari anak laki-laki dan perempuan atau lebih, wasiat dibagi secara merata menurut jumlah.
Jika pemberi wasiat meninggal sebelum kandungan lahir, wasiat ditangguhkan sampai kelahiran. Jika lahir dalam waktu kurang dari enam bulan, wasiat sah untuknya.
**[Bab Wasiat Mutlak dan Wasiat atas Sesuatu]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa berwasiat dan berkata, “Jika aku meninggal karena sakitku ini, maka si Fulan (budaknya) merdeka, dan untuk si Fulan demikian sebagai wasiat, serta bersedekahlah atas namaku dengan demikian,” lalu ia sembuh dari sakit yang ia wasiatkan tersebut, kemudian meninggal setelahnya secara tiba-tiba atau karena sakit lain, maka wasiat itu batal. Sebab ia berwasiat dengan batas waktu tertentu. Begitu pula jika ia membebaskan budak atau berwasiat dengan syarat yang tidak terpenuhi.
Demikian juga jika ia membatasi wasiatnya dengan batasan tertentu, seperti berkata, “Jika aku meninggal tahun ini atau karena sakitku ini,” lalu ia meninggal karena sakit lain, wasiatnya batal. Namun, jika ia tidak membatasi sama sekali dan hanya berkata, “Ini wasiatku selama aku tidak mengubahnya,” maka wasiat itu tetap berlaku selama tidak diubah. Tetapi jika ia berkata, “Ini wasiatku dan aku bersaksi bahwa wasiat ini tetap selama tidak diubah,” maka wasiatnya sah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwasiat dengan mengatakan, “Jika terjadi padaku kematian,” tanpa batasan waktu, atau ia berkata, “Kapan pun aku meninggal,” maka wasiatnya tetap berlaku dan semua isinya dilaksanakan selama tidak diubah.
**[Bab Wasiat untuk Ahli Waris]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, *”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabatnya secara ma’ruf.”* (QS. Al-Baqarah: 180). Dan dalam ayat waris, Allah berfirman, *”Dan untuk kedua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak.”* (QS. An-Nisa: 11).
Wasiat untuk orang tua dan kerabat yang menjadi ahli waris telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat waris, berdasarkan hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: *”Tidak ada wasiat untuk ahli waris.”* Ulama sepakat bahwa wasiat untuk orang tua telah dihapus oleh hukum waris.
Jika seseorang berwasiat untuk ahli waris, wasiat itu tidak sah kecuali jika ahli waris mengizinkan setelah kematiannya. Namun, izin mereka bukanlah wasiat, melainkan pemberian sukarela dari harta mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Hukum didasarkan pada yang tampak, sedangkan Allah yang mengetahui yang tersembunyi. Barangsiapa menghukumi berdasarkan prasangka, ia telah melampaui batas yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
**[Pembatalan Wasiat untuk Ahli Waris]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Setiap wasiat yang diberikan oleh orang sakit sebelum kematiannya untuk ahli waris, baik berupa kepemilikan harta atau manfaat, tidak sah.
Jika seseorang meminta izin untuk berwasiat kepada ahli waris dalam keadaan sehat atau sakit, baik diizinkan atau tidak, hukumnya sama. Jika ahli waris memenuhi wasiatnya, itu lebih baik. Namun, hakim tidak boleh memaksa mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- bahwa ia berkata kepada Abu Bakrah, “Bertaubatlah, maka kesaksianmu diterima.”
**[Masalah Pembebasan Budak]**
Jika seseorang berwasiat untuk membebaskan budak, tetapi harta tidak mencukupi, dan sebagian ahli waris menyetujui sedangkan sebagian lain menolak, maka budak dibebaskan sesuai bagian yang disetujui.
Jika seseorang berwasiat untuk anak kecil yang belum baligh, walinya boleh menerima wasiat jika tidak merugikan. Namun, jika wasiat hanya untuk sebagian, walinya tidak boleh menerimanya karena itu mengurangi hak anak.
Jika budak dimiliki oleh dua orang dan salah satunya membebaskannya, maka budak itu merdeka, dan pemilik lain berhak atas separuh nilai budak.
Jika seseorang berkata, “Jika aku meninggal, separuh budakku merdeka,” maka separuhnya merdeka, sedangkan separuh lainnya tidak, kecuali jika harta mencukupi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak dimiliki oleh dua orang dan salah satunya membebaskannya dalam keadaan mampu, budak itu merdeka penuh, dan pemilik lain berhak atas nilai bagiannya.
Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka dengan syarat membayar seratus dinar,” lalu budak menerima syarat itu, maka ia wajib memenuhinya. Jika ia menolak syarat, pembebasan tidak sah.
Jika dua orang bersama-sama membebaskan budak, maka budak itu merdeka, dan hak perwalian (al-wala’) menjadi milik keduanya.
Jika seseorang membebaskan sebagian budak yang dimilikinya bersama orang lain, maka nilai bagian yang dibebaskan dihitung, dan budak merdeka sesuai bagian itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang Nasrani membebaskan budak dalam keadaan mampu, budak itu merdeka penuh, dan hak perwalian menjadi miliknya, meskipun ia tidak mewarisinya karena perbedaan agama.
Jika seseorang mewarisi orang tua atau sebagiannya, maka mereka merdeka secara otomatis tanpa perlu membayar tebusan. Namun, jika ia membeli sebagian mereka, ia wajib membayar tebusan.
Demikianlah penjelasan tentang wasiat dan pembebasan budak menurut pandangan Imam Syafi’i -rahimahullah-. Wallahu a’lam.
[Bab Wasiat Setelah Wasiat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang berwasiat dengan wasiat mutlak, kemudian berwasiat lagi setelahnya dengan wasiat lain, maka kedua wasiat tersebut dilaksanakan bersama-sama. Demikian pula jika ia berwasiat dengan wasiat pertama dan menyerahkan pelaksanaannya kepada seseorang, lalu berwasiat dengan wasiat kedua dan menyerahkan pelaksanaannya kepada orang lain, maka setiap wasiat dilaksanakan oleh orang yang ditunjuk. Jika dalam wasiat pertama ia mengatakan, “Aku menyerahkan wasiatku, pelunasan hutangku, dan hartaku kepada Fulan,” lalu dalam wasiat kedua mengatakan hal yang sama, maka setiap pernyataan dalam salah satu wasiat hanya berlaku untuk wasiat tersebut, bukan untuk wasiat lainnya. Namun, pelunasan hutang dan pengelolaan hartanya menjadi tanggung jawab kedua orang tersebut bersama-sama.
Jika dalam salah satu wasiat ia mengatakan, “Aku berwasiat tentang isi wasiat ini kepada Fulan,” dan dalam wasiat lainnya mengatakan, “Aku berwasiat tentang isi wasiat ini serta pengelolaan harta peninggalan dan pelunasan hutangku kepada Fulan,” maka wasiat pertama khusus untuk hal yang disebutkan (pelunasan hutang dan pengelolaan harta), sedangkan wasiat lainnya berlaku bersama untuk hal yang disebutkan dalam wasiat kedua.
[Bab Pembatalan Wasiat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Seseorang yang berwasiat secara sukarela boleh membatalkan seluruh wasiatnya atau mengubah bagian mana pun yang ia kehendaki, baik terkait pengaturan harta atau lainnya, selama ia masih hidup. Namun, jika dalam wasiatnya terdapat pengakuan hutang, pembebasan budak secara mutlak, atau hal lain yang wajib ia penuhi selama hidupnya, maka ia tidak boleh membatalkannya karena itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi semasa hidup, bukan setelah kematian.
[Bab Hal yang Dianggap Pembatalan atau Perubahan Wasiat dan yang Tidak Dianggap]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang berwasiat memberikan seorang budak tertentu kepada seseorang, lalu berwasiat lagi memberikan budak yang sama kepada orang lain, maka budak tersebut dibagi rata antara keduanya. Namun, jika ia mengatakan, “Budak yang kuwasiyatkan untuk Fulan aku berikan kepada Fulan lainnya,” atau “Aku telah mewasiatkan budak yang kuwasiyatkan untuk Fulan kepada Fulan lainnya,” maka ini dianggap pembatalan wasiat pertama, dan wasiat berlaku untuk orang kedua.
Jika ia berwasiat memberikan seorang budak kepada seseorang, lalu berwasiat agar budak tersebut dijual, maka ini menunjukkan pembatalan wasiat pemberian budak, karena penjualan dan pemberian wasiat tidak bisa berlaku bersamaan untuk seorang budak. Demikian pula jika ia berwasiat memberikan budak kepada seseorang, lalu berwasiat memerdekakannya, mengambil hartanya lalu memerdekakannya, atau melakukan tindakan lain seperti menjual, membuat perjanjian pembebasan (mukatabah), memberikan sebagai hadiah, atau menghibahkannya—semua ini membatalkan wasiat pemberian budak kepada orang pertama.
(Imam Syafi’i berkata): Namun, jika ia berwasiat memberikan seorang budak kepada seseorang, lalu mengizinkannya berdagang, mengutusnya sebagai pedagang ke suatu negeri, menyewakannya, mengajarkannya menulis, membaca Al-Qur’an, ilmu, atau keterampilan, memberinya pakaian, menghadiahkan harta, atau menikahkannya, maka tindakan-tindakan ini tidak dianggap pembatalan wasiat.
Jika yang diwasiatkan adalah makanan, lalu ia menjualnya, menghadiahkannya, memakannya, atau jika berupa gandum lalu menggilingnya, atau tepung lalu mengolahnya menjadi adonan atau roti, atau menjadikannya sawiq (makanan dari tepung), maka semua ini dianggap pembatalan wasiat.
Jika ia berwasiat memberikan gandum yang ada di rumah tertentu, lalu mencampurnya dengan gandum lain, maka ini membatalkan wasiat. Namun, jika ia berwasiat memberikan takaran tertentu dari gandum yang ada di rumah, lalu mencampurnya dengan gandum sejenis, maka wasiat tidak batal, dan penerima wasiat berhak atas takaran yang ditentukan.
**[Mengubah Wasiat Pembebasan Budak]**
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: Asy-Syafi’i membacakan kepada kami, ia berkata:
Seorang pemberi wasiat boleh mengubah wasiatnya, baik yang berkaitan dengan pengaturan (tadbir) maupun lainnya, karena wasiat adalah pemberian yang berlaku setelah kematian. Oleh karena itu, ia boleh menariknya selama belum terlaksana dengan kematiannya.
Ia (Asy-Syafi’i) juga berkata:
Wasiat diperbolehkan bagi siapa saja yang berakal, baik orang dewasa yang berada di bawah pengampuan maupun anak kecil, karena kita hanya menahan hartanya hingga ia dewasa. Jika ia ingin memindahkan kepemilikan hartanya kepada orang lain, kita tidak boleh melarangnya untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui hartanya selama tidak melebihi sepertiga, sebagaimana disunahkan.
Kami membatasi wasiat pada sepertiga harta. Dalil pembatasan wasiat pada sepertiga dan kebolehannya untuk selain kerabat adalah hadis Imran bin Hushain:
*”Seorang laki-laki membebaskan enam budaknya saat menjelang kematian. Nabi ﷺ kemudian mengundi mereka dan membebaskan dua orang, sedangkan empat lainnya tetap sebagai budak.”*
Dengan demikian, wasiatnya dibatasi sepertiga, dan pembebasan budak saat sakit (yang berujung pada kematian) dianggap sebagai wasiat. Nabi juga membolehkannya untuk budak, padahal mereka bukan kerabat. Namun, lebih utama jika wasiat diberikan kepada kerabat.
**(Asy-Syafi’i berkata):**
Jika seseorang berwasiat memberikan sepertiga hartanya, atau jumlah tertentu dinar/dirham, atau barang tertentu, sementara ia memiliki harta yang ada (tunai) yang tidak mencukupi wasiat tersebut, tetapi memiliki harta lain (ghaib) yang melebihi wasiatnya, maka kami berikan kepada penerima wasiat sesuai kadar sepertiga dari harta yang ada. Sisanya disimpan, dan setiap kali harta ghaib datang, dua pertiganya diberikan kepada ahli waris dan sepertiganya kepada penerima wasiat hingga wasiat terpenuhi.
Jika harta ghaib musnah, maka kerugian ditanggung bersama. Jika tertunda, maka tertunda bagi semua. Posisi terbaik penerima wasiat adalah seperti ahli waris selama wasiat tidak melebihi sepertiga. Jika sepertiga tidak mencukupi, wasiat dikurangi sesuai kadar. Tidak boleh menambah bagian penerima wasiat sedikit pun kecuali ahli waris rela memberikannya dari harta mereka.
**(Asy-Syafi’i berkata):**
Jika seseorang berwasiat membebaskan budak tertentu, sementara ia tidak memiliki harta lain selain harta ghaib, kami berikan sepertiga bagian budak itu kepada penerima wasiat dan dua pertiganya kepada ahli waris. Setiap kali harta ghaib datang, sepertiganya ditambahkan untuk penerima wasiat hingga budak itu merdeka sepenuhnya atau wasiat terbatas sepertiga.
Tidak masalah jika mayit meninggalkan rumah, tanah, atau lainnya, karena dunia tidak pasti—rumah bisa roboh, terbakar, atau tersapu banjir. Tidak adil jika ahli waris mendapat dua pertiga (sesuai ketetapan Allah), sedangkan penerima wasiat mendapat sepertiga secara sukarela dari mayit, lalu diberi lebih dari haknya.
**[Wasiat Wanita Hamil]**
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Asy-Syafi’i berkata:
Wasiat wanita hamil sah selama tidak mengalami penyakit selain kehamilan, seperti penyakit yang melemahkan atau saat ia duduk di antara para bidan dan merasakan kontraksi.
Jika ada yang berpendapat bahwa wasiat wanita hamil sah di satu kondisi tetapi tidak di kondisi lain, maka orang lain bisa berargumen bahwa sejak awal kehamilan, ia mengalami mual, perubahan kondisi kesehatan, atau enggan makan—sehingga wasiatnya tidak sah saat itu. Namun, wasiatnya sah jika kehamilan berlanjut dan gejala-gejala itu hilang.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa wasiatnya sah kecuali saat kontraksi, karena kontraksi adalah kondisi kritis seperti sakit parah atau lebih. Atau, wasiatnya tidak sah sama sekali selama hamil karena kondisinya berbeda dengan tidak hamil.
Sebagaimana dalam kasus orang yang hendak berperang: hibah dan segala tindakannya terhadap harta sah selama ia belum terluka. Jika terluka parah, maka hanya sepertiga hartanya yang boleh diatur. Begitu pula tawanan atau orang yang dijatuhi qishash—selama belum terbunuh atau terluka, tindakannya terhadap harta tetap sah.
**[Sedekah Orang Hidup untuk Mayit]**
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Asy-Syafi’i berkata:
Mayit bisa mendapatkan manfaat dari perbuatan orang lain dalam tiga hal:
- Haji yang dilaksanakan atas namanya,
- Harta yang disedekahkan atau digunakan untuk melunasi hutangnya,
- Doa.
Selain itu, seperti shalat atau puasa, pahalanya hanya untuk pelaku, bukan mayit. Kami berpendapat demikian berdasarkan sunnah khusus tentang haji, dan umrah diqiyaskan padanya. Ini berlaku untuk yang wajib, bukan sunnah.
Sedekah harta sah jika diberikan atas nama mayit karena kewajiban harta adalah penyaluran kepada yang berhak, bukan ibadah fisik. Doa juga sah karena Allah menganjurkannya, dan Rasulullah ﷺ memerintahkannya. Jika doa untuk orang hidup sah, maka untuk mayit juga sah.
**[Bab Para Wasi]**
(Asy-Syafi’i berkata):
Wasiat hanya sah jika diberikan kepada:
– Muslim dewasa yang adil,
– Perempuan dengan kriteria sama.
Tidak sah jika diberikan kepada:
– Budak orang lain,
– Budak pemberi wasiat,
– Budak penerima wasiat,
– Orang yang belum merdeka sepenuhnya (seperti mukatab),
– Orang musyrik.
Alasannya, wasiat mirip dengan perwakilan dalam hak. Kita tidak membenarkan seseorang memberi kuasa kepada budak atau orang kafir yang khianat, karena ia lebih berhak atas hartanya. Namun, dalam wasiat, hal seperti itu tidak diterima.
Jika penerima wasiat berubah kondisi (misalnya tidak lagi adil atau mampu), wasiat dicabut darinya. Jika ia lemah tetapi masih amanah, wasiat tetap di tangannya dengan bantuan. Jika tidak amanah, wasiat dicabut sepenuhnya.
Jika pemberi wasiat menunjuk dua orang lalu salah satu meninggal atau berubah kondisi, digantikan orang lain. Sebab, pemberi wasiat tidak menghendaki hanya satu orang yang menangani.
Jika seseorang berwasiat, “Aku berwasiat kepada Fulan, dan jika ia meninggal, wasiatku beralih kepada orang yang ia tunjuk,” ini tidak sah karena wasiat mengatur harta orang lain.
Hakim sebaiknya memilih penerima wasiat yang paling kompeten, amanah, dan memiliki ikatan dengan mayit atau ahli waris.
**(Asy-Syafi’i berkata):**
Jika wasiat terkait pernikahan anak perempuan, penerima wasiat boleh menikahkan mereka jika ia adalah wali nasab terdekat. Jika bukan, ia tidak berhak. Sebab, wasiat tidak menggugurkan hak wali nasab.
**[Apa yang Boleh Dilakukan Wasi terhadap Harta Anak Yatim]**
(Asy-Syafi’i berkata):
Wasi boleh mengeluarkan harta anak yatim untuk:
– Zakat,
– Denda (jika ada),
– Kebutuhan pokok seperti pakaian dan nafkah secukupnya.
Jika anak yatim telah baligh tetapi belum dewasa, wasi boleh menikahkannya. Jika membutuhkan pelayan, wasi boleh membelikannya. Jika barang yang dibeli untuknya dicuri, wasi menggantinya.
**Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:**
Jika dia merusak pakaian itu hari demi hari, perintahkan dia untuk menjaganya. Jika dia merusaknya, laporkan kepada hakim. Hakim sebaiknya memenjarakannya karena merusak dan menakut-nakutinya. Tidak masalah memerintahkan agar dia diberi pakaian yang cukup untuk di rumah, tidak untuk keluar. Jika dia sudah menunjukkan perbaikan, berikan pakaian yang layak untuk keluar dan nafkah untuk istrinya jika dia menikah, serta pelayan jika diperlukan, dan berikan pakaian untuknya. Begitu juga, berikan nafkah untuk budak perempuannya jika dibeli untuk dinikmati. Aku tidak menyarankan memberinya dua istri atau dua budak perempuan untuk dinikmati, kecuali jika hartanya cukup. Kami hanya memberinya apa yang cukup untuk menghindarkan dari kesulitan, bukan istri atau budak perempuan untuk dinikmati kecuali jika salah satunya sakit sehingga tidak memungkinkan untuk dinikahi. Jika hartanya memungkinkan, dia boleh menikah atau memiliki budak perempuan. Ini adalah solusi terbaik jika dia memiliki kebutuhan biologis. Jika dia dikebiri atau tidak memiliki keinginan, tetapi ingin budak perempuan untuk kesenangan, jangan dibelikan. Jika ingin budak perempuan untuk pelayanan, belikan. Jika dia ingin bersenang-senang dengannya, biarkan. Jika dia ingin menikah, jangan dinikahkan karena ada alternatif lain. Jika wali menikahkannya dan sering menceraikannya, lebih baik dia memiliki budak perempuan. Jika dia memerdekakan budak, pembebasannya bisa dibatalkan.
**[Wasiat yang dikeluarkan oleh Imam Syafi’i]**
– *Semoga Allah meridhainya* –
Rabī’ bin Sulaiman berkata: Ini adalah kitab yang ditulis oleh Muhammad bin Idris bin Abbas Asy-Syafi’i pada bulan Sya’ban tahun 203 H. Aku mempersaksikan kepada Allah yang mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan hati, dan cukuplah Dia sebagai saksi. Kemudian, siapa pun yang mendengarnya, bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia tetap berpegang pada keyakinan ini hingga Allah mewafatkannya dan membangkitkannya atasnya jika Allah menghendaki. Dia berwasiat untuk dirinya dan semua yang mendengar wasiatnya agar menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – serta mengharamkan apa yang diharamkan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jangan melampaui itu, karena melampauinya berarti meninggalkan ridha Allah dan menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah, yang termasuk bid’ah. Berpegang teguh pada kewajiban Allah dalam ucapan dan perbuatan, serta menjauhi larangan-Nya karena takut kepada-Nya. Perbanyak mengingat hari ketika setiap jiwa menemukan apa yang telah dikerjakannya, baik atau buruk (QS. Ali Imran: 30). Rendahkan dunia sebagaimana Allah merendahkannya, karena dunia bukan tempat tinggal abadi, melainkan tempat beramal. Akhirat adalah tempat tinggal dan balasan atas amal di dunia, baik atau buruk, kecuali jika Allah mengampuni. Jangan berteman kecuali dengan orang yang berteman karena Allah. Siapa yang bersahabat karena Allah dan diharapkan memberi manfaat ilmu agama serta akhlak baik di dunia, maka itu baik. Seseorang harus mengenali zamannya dan berharap kepada Allah untuk diselamatkan dari kejahatan dirinya. Hindari berlebihan dalam ucapan atau perbuatan yang tidak perlu. Ikhlaslah dalam niat kepada Allah dalam semua perkataan dan perbuatan, karena hanya Dia yang mencukupi. Tidak ada yang bisa mencukupi selain-Nya.
Aku berwasiat jika aku meninggal – suatu kepastian yang Allah tetapkan – agar Ahmad bin Muhammad bin Al-Walid Al-Azraqi mengurus budak bernama Tsabit Al-Khasi Al-Aqra’ yang aku tinggalkan di Mekah. Jika dia tidak merusak harta yang aku tinggalkan, merdekakan dia atas namaku. Jika Ahmad bin Muhammad meninggal sebelum menyelesaikan urusan ini, yang menggantikannya harus melanjutkan wasiatku.
Aku berwasiat agar budak perempuannya dari Andalusia bernama Fauz, yang menyusuiku anakku Abu Hasan bin Muhammad bin Idris, dimerdekakan demi Allah jika Abu Hasan sudah genap dua tahun dan tidak lagi menyusu, atau jika dia meninggal sebelum itu. Jika setelah dua tahun menyusui masih dibutuhkan, biarkan menyusu satu tahun lagi, lalu merdeka. Kecuali jika berhenti menyusui lebih baik karena kematian, maka merdekalah saat itu. Jika dia dibawa ke Mekah, bawa Fauz bersamanya hingga selesai masa menyusu, lalu merdeka. Jika dia dimerdekakan sebelum ke Mekah, dia tidak boleh dipaksa pergi.
Aku berwasiat agar ibu Abu Hasan (ibunya anakku) diberi dinar dan budak perempuan bernama Saka As-Sauda’ diberi wasiat berupa pembelian budak atau kasim senilai 25 dinar, atau 20 dinar tunai. Pilih salah satu untuk diberikan padanya. Jika anaknya meninggal sebelum dibawa ke Mekah, wasiat ini tetap untuknya jika dia mau. Jika Fauz belum merdeka saat Abu Hasan dibawa ke Mekah, dia ikut serta. Jika Abu Hasan meninggal sebelum dibawa, Fauz merdeka dan diberi 3 dinar.
Aku berwasiat agar sepertiga hartaku dibagi menjadi 24 bagian:
– 2 bagian untuk ibunya anakku selama anaknya hidup dan dia tinggal bersamanya.
– Jika anaknya meninggal tetapi dia tinggal dengan anakku Muhammad bin Idris, bagian itu tetap untuknya. Jika dia berpisah, wasiatnya dihentikan.
– 4 bagian untuk fakir miskin keluarga Syafi’ bin As-Sa’ib, dibagi rata.
– 6 bagian untuk Ahmad bin Muhammad bin Al-Walid Al-Azraqi.
– 5 bagian untuk memerdekakan budak, pilih yang terbaik, termasuk Mas’adah Al-Khayyat jika dijual.
– 1 bagian untuk tetangga rumahku di Dzu Thuwa, Mekah, termasuk keluarga Idris dan budak ibuku (diberi tiga kali lipat).
– 1 bagian untuk Ubadah As-Sindi, Sahl, anak mereka, budak mereka, dan Salimah (budak ibuku). Ubadah mendapat dua kali lipat.
Wasiat ini berlaku setelah wasiat lain terkait biaya dan hibah. Pelaksana wasiat di Mesir adalah Abdullah bin Abdul Hakam, Yusuf bin Amr bin Yazid, dan Sa’id bin Al-Jahm. Jika salah satu meninggal atau tidak bisa menjalankan, yang lain menggantikan.
Aku berwasiat agar anakku Abu Hasan dibawa ke keluarganya di Mekah melalui darat, bukan laut. Kumpulkan hartaku dan hartanya di Mesir, lalu bawa ke Mekah untuk diserahkan kepada pelaksana wasiatku di sana.
Pelaksana wasiat di Mesir adalah Sa’id bin Al-Jahm, Abdullah bin Abdul Hakam, dan Yusuf bin Amr. Mereka bertanggung jawab atas hartaku dan anakku di Mesir.
Aku menyerahkan perwalian anak-anakku di Mekah dan di mana pun kepada Utsman, Zainab, dan Fatimah (anak-anakku). Perwalian Abu Hasan diserahkan kepada ibunya jika dia meninggalkan Mesir.
Aku memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad, hamba dan utusan-Nya. Aku memohon perlindungan dari neraka, karena Allah tidak butuh siksaku. Aku berharap Dia menggantikanku dengan yang terbaik dan menghibur keluargaku.
Aku bersaksi bahwa Salim Al-Hajjam bukan milikku, melainkan milik sebagian anakku. Jika dijual, itu untuk kebaikannya. Aku tidak memiliki bagian darinya. Aku mewasiatkan sepertiga hartaku, tidak termasuk barang tidak berharga seperti tembikar, piring, atau sisa makanan.
**Saksi atas ini:**
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
[Bab tentang Kewalian dan Sumpah Setia]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: Diriwayatkan oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia berkata:
Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan agar setiap orang yang memiliki nasab dinisbatkan sesuai nasabnya. Siapa yang memiliki ayah, hendaknya dinisbatkan kepada ayahnya. Siapa yang tidak memiliki ayah, hendaknya dinisbatkan kepada para walinya. Ada pula orang yang memiliki ayah sekaligus wali, maka ia dinisbatkan kepada ayah dan walinya. Namun, nasab yang lebih utama untuk didahulukan adalah nasab ayah.
Allah juga memerintahkan agar mereka dinisbatkan kepada ikatan persaudaraan dalam agama melalui kewalian. Demikian pula, mereka dinisbatkan kepada ikatan nasab dan persaudaraan dalam agama, meskipun persaudaraan dalam agama bukanlah nasab sejati, melainkan sifat yang melekat pada seseorang karena masuk ke dalam agama dan hilang ketika ia keluar darinya.
Nasab melalui kewalian dan keturunan, jika telah tetap, tidak dapat dihapus oleh wali dari atas maupun bawah, tidak pula oleh ayah atau anak. Nasab adalah nama yang mencakup berbagai makna: seseorang bisa dinisbatkan kepada ilmu, kebodohan, profesi, atau perdagangan. Semua ini adalah nasab yang muncul dari perbuatan pelakunya atau meninggalkan suatu perbuatan.
Di antara mereka ada golongan ketiga yang tidak memiliki ayah yang dikenal maupun ikatan kewalian, sehingga mereka dinisbatkan kepada penghambaan kepada Allah, agama mereka, dan profesi mereka. Dasar dari apa yang kusampaikan ini terdapat dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah Nabi-Nya ﷺ, dan kesepakatan umum ulama.
Allah Ta’ala berfirman:
*”Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggillah) saudara-saudaramu dalam agama dan maula-maulamu.”* (QS. Al-Ahzab: 5).
Allah juga berfirman:
*”Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya…”* (QS. Al-Ahzab: 37).
Allah Ta’ala berfirman:
*”Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anaknya berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir!’ Anaknya menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air.’ Nuh berkata, ‘Tidak ada yang dapat menyelamatkan hari ini dari ketetapan Allah, kecuali orang yang diberi rahmat.’ Lalu gelombang memisahkan antara keduanya, maka anak itu termasuk yang ditenggelamkan.”* (QS. Hud: 42-43).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
*”Dan ceritakanlah kisah Ibrahim dalam Kitab. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang Nabi. Ketika ia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?'”* (QS. Maryam: 41-42).
Allah Yang Mahasuci nama-Nya berfirman:
*”Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.”* (QS. Al-Mujadilah: 22).
Dengan demikian, Allah ‘Azza wa Jalla membedakan mereka berdasarkan agama, tanpa memutuskan ikatan nasab di antara mereka. Ini menunjukkan bahwa nasab tidak ada kaitannya dengan agama.
Nasab bersifat tetap dan tidak hilang, sedangkan agama adalah sesuatu yang bisa dimasuki atau ditinggalkan. Anak Nuh dinisbatkan kepada ayahnya meskipun anaknya kafir. Ibrahim, kekasih Allah, dinisbatkan kepada ayahnya meskipun ayahnya kafir.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
*”Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu tertipu oleh setan.”* (QS. Al-A’raf: 27).
Maka, dinisbatkan kepada Adam baik keturunannya yang beriman maupun yang kafir. Rasulullah ﷺ juga menisbatkan kaum muslimin—atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla—kepada ayah-ayah mereka, baik mereka kafir maupun beriman. Demikian pula, para maula dinisbatkan kepada kewalian mereka, meskipun para maula beriman sementara yang memerdekakan mereka musyrik.
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dan Sufyan, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi ﷺ melarang menjual kewalian dan menghadiahkannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad bin Al-Husain, dari Ya’qub, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
*”Kewalian adalah ikatan seperti ikatan nasab; tidak boleh dijual atau dihadiahkan.”*
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Sufyan, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:
*”Kewalian kedudukannya seperti warisan; tetapkanlah di mana Allah ‘Azza wa Jalla menetapkannya.”*
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Aisyah ingin membeli seorang budak perempuan untuk dimerdekakan. Keluarga budak itu berkata, “Kami akan menjualnya kepadamu dengan syarat kewaliannya tetap untuk kami.” Aisyah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau bersabda:
*”Jangan hal itu menghalangimu, karena kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.”*
(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan kepada kami oleh Malik, dari Hisyam, dari Urwah, dari ayahnya, bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
Barirah datang kepadaku dan berkata, “Aku telah membuat perjanjian dengan tuanku untuk membayar sembilan uqiyah, satu uqiyah setiap tahun. Tolong bantu aku.” Aisyah berkata, “Jika keluargamu mau, aku akan membayarkan jumlah itu untuk mereka, dengan syarat kewalianmu untukku.” Barirah pun pergi kepada keluarganya, sementara Rasulullah ﷺ sedang duduk. Ia berkata, “Aku telah menawarkan itu kepada mereka, tetapi mereka menolak kecuali jika kewalian tetap untuk mereka.” Rasulullah ﷺ mendengarnya dan bertanya kepada Aisyah, lalu Aisyah memberitahukan hal itu. Beliau bersabda:
*”Ambillah dia dan syaratkan kewalian untuk mereka, karena kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.”* Aisyah pun melakukannya. Kemudian Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan orang-orang, memuji Allah, dan bersabda:
*”Amma ba’du. Mengapa ada orang yang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? Syarat apa pun yang tidak ada dalam Kitabullah adalah batil, meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih berhak dan syarat-Nya lebih kuat. Kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.”*
(Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits Hisyam dari Urwah dari Nabi ﷺ terdapat petunjuk-petunjuk yang sebagiannya telah disalahpahami oleh sebagian ulama. Mereka berkata, “Tidak mengapa menjual budak mukatab dalam keadaan apa pun.” Padahal, aku tidak melihatnya kecuali sebagai kesalahan.
Perjanjian mukatab itu tetap. Jika budak mukatab tidak mampu membayar, tidak mengapa menjualnya. Ada yang berargumen, “Barirah adalah budak mukatab yang dijual, dan Rasulullah ﷺ membenarkan penjualannya.” Aku menjawab, “Tidakkah engkau melihat bahwa Barirah datang meminta bantuan untuk membayar perjanjiannya, lalu pergi menawar dirinya sendiri kepada orang yang mau membelinya, kemudian kembali dengan kabar dari keluarganya?” Ia menjawab, “Ya, tetapi apa pendapatmu dalam hal ini?” Aku berkata, “Ini menunjukkan kerelaannya untuk dijual.” Ia berkata, “Benar.”
Aku berkata, “Dan ini juga menunjukkan ketidakmampuannya atau kerelaannya atas ketidakmampuan.” Ia berkata, “Adapun kerelaannya atas ketidakmampuan, jika ia rela dijual, itu menunjukkan kerelaannya atas ketidakmampuan. Adapun ketidakmampuannya, bisa jadi ia sebenarnya mampu tetapi rela tidak mampu karena ingin segera dimerdekakan.”
Aku bertanya, “Bagaimana jika budak mukatab telah mencapai tenggat pembayarannya?” Ia menjawab, “Jika ia telah benar-benar tidak mampu, tidak perlu ditanya lagi. Kami mengembalikannya sebagai budak dan memberi hak penjualan kepada yang memerdekakannya.” Ia berkata, “Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika ia tidak mampu, ia dikembalikan sebagai budak.”
Aku berkata, “Ketidakmampuannya tidak diketahui kecuali jika ia mengaku tidak mampu atau tenggat pembayarannya tiba tetapi ia tidak membayar dan tidak memiliki harta.” Ia berkata, “Benar, tetapi apa bukti bahwa Barirah tidak memiliki harta?” Aku menjawab, “Permintaannya untuk satu uqiyah, sisa uqiyah yang harus dibayar, dan kerelaannya dijual adalah bukti ketidakmampuannya berdasarkan ucapannya sendiri.”
Ia berkata, “Hadits ini bisa dipahami seperti yang engkau jelaskan, tetapi juga bisa dipahami sebagai kebolehan menjual budak mukatab.” Aku menjawab, “Secara zahir, hadits ini seperti yang kujelaskan. Hadits harus dipahami sesuai zahirnya. Jika ada kemungkinan lain, maka makna yang lebih utama adalah yang disepakati mayoritas ulama, yaitu bahwa budak mukatab tidak boleh dijual sampai ia benar-benar tidak mampu. Tidak ada riwayat dari Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa orang awam tidak memahami makna hadits ini.”
(Asy-Syafi’i berkata):
Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam Kitab-Nya, kemudian Sunnah Rasul-Nya ﷺ, dan akal sehat bahwa jika seseorang dimiliki oleh seorang laki-laki, lalu dimerdekakan, maka statusnya berubah dari perbudakan menjadi kemerdekaan. Kesaksiannya diterima, ia bisa mewarisi, mendapatkan bagiannya bersama kaum muslimin, dan dihukum jika melanggar. Kemerdekaan ini hanya terjadi karena pembebasan oleh pemiliknya.
Jika pemiliknya muslim dan memerdekakan budak muslim, maka kewaliannya tetap untuk pemiliknya. Pemilik yang memerdekakan tidak boleh membatalkan kewaliannya sehingga budak itu kembali menjadi budak, tidak boleh menghadiahkannya, tidak boleh menjualnya, dan tidak boleh bagi yang dimerdekakan atau keduanya jika sepakat untuk itu. Ini seperti nasab yang tidak bisa berubah.
Sunnah dan penjelasan kami tentang kewalian menunjukkan bahwa kewalian hanya milik orang yang memerdekakan, tidak mungkin makna lain. Jika ada yang bertanya, “Apa dalilnya?” Katakanlah, “Insya Allah.”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
*”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin…”* (QS. At-Taubah: 60).
Kaum muslimin sepakat bahwa zakat hanya untuk orang-orang yang disebutkan Allah. Dalam firman Allah Ta’ala terdapat dua makna: pertama, zakat untuk yang disebutkan; kedua, zakat tidak boleh diberikan kepada selain mereka dalam keadaan apa pun.
Demikian pula sabda Nabi ﷺ:
*”Kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.”*
Jika seseorang tidak memiliki kewalian, lalu ia bersumpah setia kepada seseorang atau masuk Islam melalui seseorang, maka orang itu tidak menjadi maula-nya karena Islam atau sumpah setia, meskipun keduanya sepakat.
Begitu pula jika seseorang menemukan bayi yang ditinggalkan dan memungutnya, atau seseorang yang tidak memiliki kewalian karena tidak ada nikmat pembebasan yang mengalir kepadanya, maka tidak boleh dikatakan bahwa ia adalah maula seseorang atau maula kaum muslimin.
Jika ada yang bertanya, “Mengapa jika ia meninggal, hartanya menjadi milik kaum muslimin?” Jawablah, “Mereka tidak mewarisinya karena kewalian, tetapi karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi karunia kepada mereka dengan memberikan harta yang tidak memiliki pemilik selain mereka. Karena harta orang ini tidak memiliki pemilik melalui kewalian, nasab, atau pemilik yang dikenal, maka itulah yang diberikan kepada mereka.”
Jika ditanya, “Apa yang serupa dengan ini?” Jawablah, “Tanah di negeri muslimin yang tidak memiliki pemilik yang dikenal adalah milik siapa pun yang menghidupkannya dari kaum muslimin. Orang yang meninggal tanpa ahli waris, hartanya menjadi milik jamaah mereka, bukan karena mereka adalah maula-nya.”
Seandainya mereka memerdekakannya, orang yang memerdekakan tidak mewarisinya jika ia kafir. Tetapi mereka mendapatkan hartanya karena tidak ada pemiliknya.
Seandainya hukum kaum muslimin terhadap orang yang tidak memiliki kewalian ketika meninggal adalah bahwa mereka mewarisinya melalui kewalian—seolah-olah ia dimerdekakan oleh sekelompok muslimin—maka ada dua hal yang wajib bagi kita:
Pertama, melihat keadaan saat ia dilahirkan sebagai orang merdeka, bukan budak, dan muslim. Maka, ahli warisnya adalah kaum muslimin yang hidup saat itu, bukan yang muncul setelahnya. Jika mereka meninggal, kami mewarisi melalui ahli waris mereka yang hidup saat itu, atau kami membagikan hartanya kepada kaum muslimin yang hidup saat kematiannya dengan pembagian warisan kewalian.
Kami tidak memberikan hartanya kepada penduduk satu negeri saja, tetapi kepada semua kaum muslimin di muka bumi, lalu setiap orang mendapat bagian sesuai hak warisnya, seperti jika sekelompok orang memerdekakan satu budak lalu mereka berpencar di bumi.
Namun, kami dan kaum muslimin hanya memberikan warisannya kepada penduduk negeri tempat ia meninggal, bukan yang lain. Tetapi kami memberikannya kepada kaum muslimin berdasarkan alasan yang telah kujelaskan, bukan karena ia adalah maula seseorang.
Bagaimana mungkin ia menjadi maula seseorang, sementara Rasulullah ﷺ bersabda:
*”Kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.”*
Dalam sabda beliau ini terdapat penegasan dua hal:
- Kewalian tetap untuk orang yang memerdekakan.
- Kewalian hanya ada bagi orang yang memerdekakan, dan ini bukanlah orang yang memerdekakan.
(Asy-Syafi’i berkata):
Siapa yang memerdekakan budaknya secara mutlak (sā’ibah), maka pembebasannya sah dan kewalian menjadi miliknya. Tidak ada perbedaan antara yang memerdekakan secara mutlak dan tidak dalam hal kewalian dan warisan, karena ini adalah pembebasan. Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa kewalian hanya milik orang yang memerdekakan.
Demikian pula, jika seorang muslim memerdekakan seorang musyrik, maka kewalian untuk muslim tersebut. Jika yang memerdekakan meninggal, maula-nya tidak mewarisinya karena perbedaan agama. Begitu pula dengan musyrik dzimmi atau non-dzimmi—pembebasannya sah dan kewalian untuk musyrik yang memerdekakan. Jika muslim yang memerdekakan meninggal, musyrik dzimmi yang memerdekakannya tidak mewarisinya karena perbedaan agama.
Rasulullah ﷺ telah menetapkan bahwa muslim tidak mewarisi kafir, dan kafir tidak mewarisi muslim. Ini berlaku dalam nasab dan kewalian, karena Nabi ﷺ tidak mengkhususkan salah satunya.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Engkau merdeka karena fulan,” tanpa memerintahkannya untuk merdeka, dan orang yang disebutkan itu menerima atau tidak setelah pembebasan, maka hukumnya sama. Budak itu merdeka karena dirinya sendiri, bukan karena yang disebutkan, tetapi kewalian tetap untuk yang memerdekakan.
(Asy-Syafi’i berkata):
Jika seorang maula yang memerdekakan meninggal dan memiliki kerabat dari pihak ayah yang mewarisinya melalui fardh, ‘ashabah, atau saudara seibu yang mewarisi melalui fardh, atau istri (atau suami jika yang meninggal perempuan), maka ahli waris fard
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dan apa yang ditetapkan untuk diri mereka berdua, tidak boleh mereka tinggalkan untuk orang tua mereka, anak-anak mereka, atau kerabat mereka. Seandainya boleh bagi anak untuk membatalkan haknya terhadap ayah dalam hal perwalian shalat jenazah jika ayah meninggal, menuntut darah jika ayah dibunuh, atau membayar diyat jika ayah melakukan kejahatan, maka tidak boleh baginya membatalkan itu semua untuk orang tua, anak-anak, saudara-saudara, atau kerabatnya. Karena hak-hak tersebut telah tetap bagi orang tua, anak-anak, dan kerabatnya atas anak, yang tidak boleh dihilangkan oleh orang tua setelah ditetapkan. Demikian pula halnya dengan anak.
Karena itu, tidak boleh seseorang menetapkan nasab bagi orang tua, anak-anak, atau kerabatnya dari seseorang yang diketahui bukan anak kandungnya, sehingga memasukkan hak yang bukan miliknya atau dari seorang Muslim. Waris dari nasab yang dinisbatkan kepadanya, dan maula (budak yang dimerdekakan) seperti anak dalam hal diyat yang ditetapkan baginya dan kewajiban mewarisi. Demikian pula, tidak boleh dinisbatkan kepada perwalian seseorang yang tidak memerdekakannya. Karena apa yang ditetapkan seseorang untuk dirinya, juga ditetapkan untuk anak, orang tua, dan kerabatnya dalam hal perwalian. Maka tidak boleh menetapkan bagi mereka apa yang tidak wajib atas mereka, seperti diyat atau lainnya, tanpa dasar yang sah.
Dia berkata: “Ini seperti yang engkau jelaskan, insya Allah.” Aku bertanya: “Mengapa engkau setuju dalam satu makna tetapi menolak makna lain? Dan apa yang engkau jelaskan tentang penetapan hak dalam nasab dan perwalian?”
Dia menjawab: “Adapun qiyas berdasarkan hadis-hadis yang engkau sebutkan dan apa yang diketahui orang-orang, seperti yang kau katakan, kecuali ada sesuatu yang engkau abaikan dan argumen melawanmu ada.”
Aku bertanya: “Apa itu?” Dia berkata: “Hadis Umar bin Abdul Aziz.” Aku menjawab: “Hadis seperti ini tidak diakui oleh ahli hadis.” Dia berkata: “Karena bertentangan dengan hadismu yang lebih sahih.”
Aku berkata: “Seandainya ada yang lebih sahih darinya, kami tidak akan menerimanya, dan kami hanya menerima yang sahih serta menolak yang lemah.”
Dia bertanya: “Bagaimana jika hadis itu sahih, apakah bertentangan dengan hadismu dari Nabi SAW tentang perwalian?” Aku menjawab: “Seandainya sahih, mungkin bisa diarahkan tanpa bertentangan, karena kami menemukan cara mengompromikan kedua hadis jika sahih. Jika tidak ditemukan cara, kami gunakan yang lain.”
Dia bertanya: “Lalu apa pendapatmu jika hadis itu sahih?” Aku menjawab: “Dikatakan, perwalian adalah bagi yang memerdekakan, tidak pernah beralih darinya, meskipun dia memindahkannya dari dirinya. Berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Perwalian itu bagi yang memerdekakan,’ sebagai informasi tentang syarat perwalian jika budak dijual lalu dimerdekakan orang lain, maka perwalian bagi yang memerdekakan selama dia yang memerdekakan, bukan secara umum bahwa perwalian hanya bagi yang memerdekakan. Karena Rasulullah SAW menetapkan perwalian bagi yang bukan memerdekakan, seperti orang yang masuk Islam melalui tangannya.”
Dia berkata: “Ini pendapat yang sangat adil. Mengapa engkau tidak menerima hadis ini sehingga kami berpendapat demikian?” Aku menjawab: “Karena hadis itu dari perawi majhul (tidak dikenal) dan terputus, sedangkan kami dan engkau tidak menerima hadis dari perawi majhul atau yang terputus.”
Dia bertanya: “Apakah jelas bagimu bahwa itu bertentangan dengan qiyas jika tidak didahului dengan memerdekakan?” Aku menjawab: “Ya, dengan apa yang kami jelaskan tentang penetapan hak bagi dan atasnya dengan adanya memerdekakan. Jika perwalian ditetapkan dengan memerdekakan, tidak boleh ditetapkan tanpa itu.”
Dia berkata: “Jika ada yang berkata, perwalian ditetapkan bagi yang memerdekakan melalui Islam, karena Islam lebih agung dari memerdekakan. Jika seseorang masuk Islam melalui tangannya, seolah-olah dia memerdekakannya.”
Aku bertanya: “Apa pendapatmu tentang budak kafir dzimmi milik orang lain yang masuk Islam melalui tanganmu, apakah keislamannya sah?” Dia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Apakah perwaliannya untukmu, atau dia dijual kepada tuannya dan menjadi budak bagi yang membelinya?” Dia menjawab: “Dia dijual dan menjadi budak bagi yang membelinya.”
Aku berkata: “Aku tidak melihatmu menganggap Islam sebagai memerdekakan. Jika Islam dianggap memerdekakan, maka budak dzimmi bisa memerdekakan dirinya sendiri. Jika demikian, orang dzimmi merdeka yang kau sebut ini bebas, dan keislamannya tidak memerdekakan orang yang masuk Islam melalui tangannya. Karena jika dia budak Muslim, menurut kami dan engkau, mereka boleh memperbudaknya, dan Islam tidak mengeluarkannya dari kekuasaan mereka.”
Dia berkata: “Dia bukan budak dzimmi. Bagaimana bisa jadi budak mereka, sedangkan dia mewarisi mereka dan kesaksiannya diterima? Juga bukan budak Muslim, dia merdeka.” Aku bertanya: “Lalu bagaimana Islam dianggap seperti memerdekakan?” Dia menjawab: “Berdasarkan kabar.” Aku berkata: “Seandainya sahih, kami akan menerimanya bersamamu, insya Allah.”
Aku bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang tidak memiliki perwalian dan tidak masuk Islam melalui tangan seseorang, lalu memilih perwalian siapa yang dia kehendaki?” Dia menjawab: “Berdasarkan qiyas, Umar berkata tentang anak pungut: ‘Dia merdeka dan perwaliannya untukmu.'” Aku bertanya: “Bagaimana jika anak pungut itu dewasa, apakah dia bisa memindahkan perwaliannya?” Dia menjawab: “Jika kau katakan tidak, karena yang memerdekakan mengikat perwalian atasnya.” Aku bertanya: “Apakah yang memerdekakan boleh mengikat perwalian tanpa adanya kebebasan sebelumnya dan tanpa ikatan dari dirinya?” Dia menjawab: “Jika kau katakan ini keputusan dari yang memerdekakan?” Aku berkata: “Atau apakah yang memerdekakan boleh memutuskan tanpa sebab sebelumnya yang memberi hak kepada salah satu pihak yang berselisih? Atau jika anak kecil, bolehkah hakim menjual hartanya untuk kebutuhannya?”
Dia berkata: “Jika demikian, apakah perwalian ditetapkan oleh keputusan yang memerdekakan bagi yang memungut, lalu kau qiyaskan dengan yang memerdekakan?” Aku menjawab: “Jika dia memilih perwalian dan menetapkannya, tanpa memberinya hak memindahkan perwalian jika tidak dibayarkan diyat, maka engkau berkata perwalian bisa dipindahkan.”
Dia bertanya: “Bagaimana dengan anak pungut?” Aku menjawab: “Engkau mengira yang diputuskan bisa membatalkan keputusan.” Dia berkata: “Anak pungut dan yang memerdekakan tidak bisa memindahkan perwalian, meskipun tidak dibayarkan diyat.” Aku berkata: “Keduanya berbeda.” Dia bertanya: “Di mana perbedaannya?” Aku menjawab: “Anak pungut tidak meridhai apa pun, keputusan berlaku tanpa keridhaannya.” Dia berkata: “Tetapi karena kebaikan yang memungut atasnya.” Aku berkata: “Jika dia berbuat baik kepada selain anak pungut lebih banyak, seperti menyelamatkan dari pembunuhan, tenggelam, kebakaran, penjara, atau memberi harta, apakah perwaliannya untuk seseorang?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Jika yang memerdekakan tidak menetapkan perwalian kecuali dengan keridhaannya, maka ini berbeda dengan anak pungut yang perwaliannya ditetapkan tanpa keridhaannya. Bagaimana engkau mengqiyaskannya?”
Dia bertanya: “Mengapa kalian menyelisihi hadis Umar?” Kami menjawab: “Hadis seperti itu tidak sah, karena dari perawi yang tidak dikenal. Kami memiliki hadis sahih yang dikenal, bahwa Maimunah, istri Nabi SAW, menghibahkan perwalian Bani Yasar kepada Ibnu Abbas. Maimunah dan Ibnu Abbas membolehkan hibah perwalian. Mengapa engkau meninggalkannya?” Dia berkata: “Rasulullah SAW melarang menjual dan menghibahkan perwalian.” Kami berkata: “Mungkinkah larangan itu bukan untuk pengharaman?” Dia menjawab: “Itu pengharaman, meskipun bisa dimaknai lain.”
Aku berkata: “Jika ada yang berkata, Ibnu Abbas dan Maimunah tidak mungkin tidak tahu bagaimana maksud larangan itu.” Dia berkata: “Mungkin hadis itu tidak sampai kepada mereka.” Aku berkata: “Apakah tidak ada hujjah bagi siapa pun selain Nabi SAW?” Aku bertanya: “Mengapa engkau mengabaikan hujjah ini dalam kasus anak pungut? Tidakkah engkau melihat itu juga berlaku untuk selainmu, seperti hujjahmu bahwa hadis Nabi SAW mungkin tidak diketahui sebagian sahabat, dan zahir hadis harus diambil, tidak dialihkan ke makna batin kecuali dengan kabar dari Nabi SAW, bukan dari selainnya?”
Dia berkata: “Demikianlah kami katakan.” Aku menjawab: “Ya, secara umum, dan dalam sebagian masalah.” Dia berkata: “Sebagian sahabatmu sepakat dengan kami dalam hal ini.” Aku bertanya: “Apakah engkau memuji mereka untuk itu?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Maka jangan libatkan mereka dalam apa yang tidak engkau puji, dan dalam apa yang kami lihat hujjah ada di pihak lain.”
Lalu dia berkata kepada orang Hijaz yang hadir: “Apakah seperti yang dikatakan sahabatmu bahwa tidak ada perwalian kecuali bagi yang memerdekakan?” Mereka menjawab: “Ya, dan demikianlah Sunnah datang.” Dia berkata: “Sebagian dari kalian berselisih dalam kasus sai’bah (budak yang dimerdekakan tanpa syarat) dan dzimmi yang memerdekakan Muslim.” Mereka berkata: “Ya.”
Dia berkata: “Apakah sebagian dari kalian akan berbicara, atau aku yang akan berbicara untuk kalian?” Mereka berkata: “Silakan, jika engkau kurang, kami akan berbicara.” Dia berkata: “Aku akan berbicara tentang pendapat sahabatmu dalam perwalian sai’bah. Apa pendapatmu tentang perwalian dan waris sai’bah jika dia tidak memiliki ahli waris selain yang memerdekakannya?” Aku menjawab: “Perwaliannya bagi yang memerdekakannya, dan warisnya untuknya.”
Dia bertanya: “Apa hujjah dalam hal ini?” Aku menjawab: “Hujjah yang jelas, apakah yang memerdekakan sai’bah adalah yang memerdekakannya?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Perwalian itu bagi yang memerdekakan,’ dan kaum Muslim menetapkan waris bagi yang memerdekakan jika tidak ada penghalang dalam ketentuan asal.”
Dia bertanya: “Apakah ada hujjah selain ini?” Aku menjawab: “Aku tidak mengira ada yang mencari hujjah di balik keadilan.” Dia berkata: “Ada.” Aku berkata: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Allah tidak menjadikan bahirah, sai’bah, washiilah, atau ham.’ (QS. Al-Maidah: 103)” Dia bertanya: “Apa maknanya?” Aku menjawab: “Aku mendengar dari ulama yang terpercaya bahwa di masa jahiliyah, seseorang memerdekakan budaknya sebagai sai’bah dan berkata: ‘Aku tidak mewarisinya,’ dan melakukan hal serupa pada unta washiilah dan ham yang tidak ditunggangi. Lalu Allah berfirman: ‘Allah tidak menjadikan bahirah, sai’bah, washiilah, atau ham,’ maksudnya: apa yang kalian buat. Allah membatalkan syarat-syarat mereka dan menetapkan perwalian bagi yang memerdekakan, serta mengembalikan bahirah, washiilah, dan ham kepada pemiliknya jika memerdekakan menurut hukum Islam tidak berlaku pada hewan.”
Dia bertanya: “Apakah ada yang menafsirkan sai’bah pada sebagian hewan?” Aku menjawab: “Ya, dan ini lebih dekat dengan pendapat yang dikenal ahli ilmu dan Sunnah.” Dia bertanya: “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkata: ‘Aku memerdekakanmu sebagai sai’bah,’ bukankah itu berbeda dengan ucapanmu: ‘Aku memerdekakanmu’?” Aku menjawab: “Dalam ucapan ‘aku memerdekakanmu,’ tidak, tetapi dalam tambahan ‘sai’bah,’ ya.” Dia berkata: “Keduanya adalah dua kalimat yang keluar bersamaan, berarti dia memerdekakan dengan syarat.” Aku berkata: “Bukankah Barirah dimerdekakan dengan syarat perwalian untuk penjual, lalu Rasulullah SAW membatalkan syarat itu dan bersabda: ‘Perwalian itu bagi yang memerdekakan’?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Jika Rasulullah SAW membatalkan syarat penjual dan pembeli yang memerdekakan, padahal akad jual beli terjadi atasnya, karena perwalian bagi yang memerdekakan dan dikembalikan kepadanya, mengapa syarat yang memerdekakan tidak dibatalkan dan tidak diberikan kepada orang lain?”
Dia berkata: “Jika ada yang berkata, perwalian untuk yang memerdekakan tetapi tidak mewarisinya?” Aku menjawab: “Katakanlah, perwalian untuk yang memerdekakan dengan syarat perwalian untuk orang lain, dan dia tidak mewarisinya.” Dia berkata: “Tidak boleh menetapkan perwalian untuknya tetapi mencegah waris, karena keduanya satu agama.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang memiliki ayahnya dan menghamili budak perempuan, lalu keduanya meninggal, untuk siapa perwalian mereka?” Dia menjawab: “Bagi yang memerdekakan dengan kepemilikan dan perbuatannya.” Aku bertanya: “Bagaimana jika ada yang berkata: Nabi SAW bersabda: ‘Perwalian itu bagi yang memerdekakan,’ sedangkan tidak ada yang memerdekakan dari keduanya. Yang satu mewarisi ayahnya lalu memerdekakannya meskipun tidak suka, dan yang lain melahirkan dari budak perempuannya tetapi tidak memerdekakannya karena anak, lalu memerdekakannya setelah kematian. Apakah perwalian tidak ada untuk keduanya karena keduanya bukan yang memerdekakan? Apa hujjah kami dan hujjahmu kecuali bahwa jika perbudakan hilang karena sebab yang memberi hak kepemilikan, maka perwalian untuknya?” Dia menjawab: “Tidak, dan ini cukup sebagai hujjah darimu. Ini termasuk makna yang memerdekakan.”
Aku berkata: “Yang memerdekakan sai’bah adalah yang memerdekakan, dan ini lebih kuat dari yang termasuk makna yang memerdekakan.” Dia berkata: “Kaum itu menyebutkan beberapa hadis.” Aku berkata: “Sebutkan.” Dia berkata: “Mereka menyebutkan bahwa Hatib bin Abi Balta’ah memerdekakan sai’bah.” Aku menjawab: “Kami juga berkata, jika seseorang memerdekakan sai’bah, dia merdeka dan perwalian untuknya.” Dia berkata: “Mereka menyebutkan dari Umar dan Utsman yang sesuai dengan pendapat mereka, dan Sulaiman bin Yasar menyebutkan bahwa sai’bah dimerdekakan oleh seorang haji, lalu dia mendapatkan budak dari Bani Makhzum. Umar memutuskan diyat atas mereka. Orang yang diputuskan berkata: ‘Jika anakku yang terkena?’ Umar berkata: ‘Maka dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Dia berkata: ‘Maka dia seperti Arqam.’ Umar berkata: ‘Dia seperti Arqam.'”
Aku berkata kepadanya: “Jika ini sahih, lebih sesuai dengan pendapat kami.” Dia bertanya: “Dari mana?” Aku menjawab: “Karena jika dia melihat perwaliannya untuk kaum Muslim, dia akan melihat diyat atas mereka. Tetapi lebih mungkin dia melihat diyat atas yang memerdekakan. Karena mereka tidak dikenal, maka tidak ada diyat sampai yang memerdekakan dikenal. Jika sesuai takwil mereka dan hadis memungkinkan makna itu, mereka akan menyelisihinya.”
Dia bertanya: “Di mana?” Aku menjawab: “Mereka mengira jika sai’bah membunuh, diyatnya atas kaum Muslim. Kami meriwayatkan dari Umar dan lainnya seperti makna pendapat kami.” Dia berkata: “Sebutkan.” Aku berkata:
[Simpanan]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata:
Jika seseorang menitipkan simpanan kepada orang lain, lalu penerima simpanan hendak bepergian dan tidak mempercayakan simpanan itu kepada siapa pun, kemudian ia membawanya dalam perjalanan darat atau laut lalu simpanan itu rusak, maka ia harus menanggung ganti rugi. Demikian pula jika ia hendak bepergian dan menaruh simpanan itu di baitul mal kaum muslimin lalu rusak, ia harus menanggungnya. Begitu juga jika ia mengubur simpanan itu dan tidak memberitahukannya kepada orang yang ia percayai untuk menjaga hartanya, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya. Demikian pula jika ia menguburnya dan tidak meninggalkan siapa pun di rumahnya untuk menjaganya, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya.
Jika seseorang menitipkan simpanan, lalu penerima simpanan melampaui batas dalam menggunakannya, tetapi simpanan itu tidak rusak sampai ia mengembalikannya ke tempat semula, kemudian rusak, maka ia tetap harus menanggungnya. Hal ini karena ia telah keluar dari batas amanah dan menjadi pihak yang melampaui batas, sehingga ia harus menanggung harta tersebut dalam segala keadaan sampai pemilik simpanan memberikan kepercayaan baru kepadanya.
Demikian pula jika seseorang menyewa hewan tunggangan ke suatu tempat, lalu melampaui batas dalam penggunaannya saat pergi atau pulang, kemudian mengembalikannya dalam keadaan selamat ke tempat yang disepakati dalam sewa, lalu hewan itu rusak setelah dikembalikan, ia tetap harus menanggungnya. Hal ini karena ia telah melampaui batas, dan siapa pun yang melampaui batas tidak terbebas dari tanggungan sampai ia mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Begitu juga jika seseorang mencuri hewan tunggangan dari kandangnya, lalu mengembalikannya ke kandang semula, kemudian hewan itu rusak, ia harus menanggungnya. Ia tidak terbebas dari tanggungan kecuali dengan mengembalikan apa yang menjadi tanggungannya kepada pemiliknya.
Jika seseorang menitipkan sepuluh dirham, lalu penerima simpanan melampaui batas dengan mengambil satu dirham dan menggunakannya, kemudian mengembalikannya dalam bentuk yang sama, lalu simpanan itu rusak, ia hanya harus menanggung satu dirham tersebut dan tidak menanggung sembilan dirham lainnya. Hal ini karena ia hanya melampaui batas pada satu dirham, bukan pada sembilan dirham lainnya. Demikian pula jika itu adalah pakaian, lalu ia memakainya kemudian mengembalikannya dalam bentuk yang sama, ia harus menanggungnya.
(Ar-Rabi’ berkata: Menurut Asy-Syafi’i, jika dirham yang diambil kemudian diganti dengan dirham lain yang dikenal, ia hanya menanggung satu dirham tersebut dan tidak menanggung sembilan dirham lainnya. Namun, jika tidak dapat dibedakan, ia harus menanggung seluruh sepuluh dirham.)
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan hewan tunggangan kepada orang lain dan memerintahkannya untuk memberinya minum dan makan, lalu penerima simpanan memerintahkan orang yang biasa memberi minum dan makan hewannya untuk melakukannya, kemudian hewan itu mati tanpa kesalahan, penerima simpanan tidak menanggungnya. Namun, jika ia memberi minum hewannya di rumahnya, lalu mengirimnya keluar dari rumah dan hewan itu mati, ia harus menanggungnya.
Jika seseorang menitipkan hewan tunggangan kepada orang lain tanpa memerintahkannya untuk memberi minum atau makan, dan juga tidak melarangnya, lalu penerima simpanan menahannya selama waktu yang biasanya hewan itu bisa bertahan tanpa makan dan minum, kemudian hewan itu mati, maka penerima simpanan harus menanggungnya. Namun, jika hewan itu mati dalam waktu yang biasanya hewan lain bisa bertahan tanpa mati, penerima simpanan tidak menanggungnya karena ia hanya meninggalkannya.
Jika seseorang menyerahkan hewan tunggangan kepadanya dan memerintahkannya untuk menyewakannya kepada orang yang akan menungganginya dengan pelana, tetapi ia menyewakannya kepada orang yang akan membawa beban di atasnya, lalu hewan itu cedera, ia harus menanggungnya. Demikian pula jika ia diperintahkan untuk menyewakannya kepada orang yang akan membawa jerami, tetapi ia menyewakannya kepada orang yang akan membawa besi, lalu hewan itu cedera, ia harus menanggungnya. Begitu juga jika ia diperintahkan untuk menyewakannya kepada orang yang akan membawa besi, tetapi ia menyewakannya kepada orang yang akan membawa jerami dengan berat yang sama, lalu hewan itu cedera, ia harus menanggungnya. Hal ini karena jerami bisa dihamparkan secara berlebihan sehingga membunuh hewan, sedangkan besi bisa ditumpuk sehingga membebaninya.
Jika ia diperintahkan untuk menyewakannya kepada orang yang akan menungganginya dengan pelana, tetapi ia menyewakannya kepada orang yang akan menungganginya tanpa pelana, lalu hewan itu cedera, ia harus menanggungnya. Hal ini karena umumnya pelana lebih melindungi hewan. Namun, jika diketahui bahwa pelana tidak lebih melindungi, ia tidak menanggungnya karena justru meringankan beban hewan.
Jika hewan itu lemah dan ia menyewakannya kepada orang yang ia ketahui tidak mampu membawanya, ia harus menanggungnya. Hal ini karena jika ia diberi wewenang untuk menyewakannya, ia hanya boleh menyewakannya kepada orang yang mampu membawanya. Jika ia menyewakannya kepada orang yang tidak mampu, ia harus menanggungnya.
Jika ia diperintahkan untuk menyewakannya kepada orang yang akan menungganginya dengan pelana, tetapi ia menyewakannya kepada orang yang akan menungganginya dengan kayu pelana (ikaf), lalu kayu pelana itu lebih membahayakan atau lebih berat daripada pelana, ia harus menanggungnya. Namun, jika kayu pelana itu lebih ringan atau sama dengan pelana, ia tidak menanggungnya.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan simpanan kepada orang lain, lalu penerima simpanan hendak bepergian, maka jika pemilik simpanan atau wakilnya ada di tempat, penerima simpanan tidak boleh bepergian sampai ia mengembalikan simpanan itu kepadanya atau kepada wakilnya, atau sampai mereka mengizinkannya untuk menitipkannya kepada orang yang ia pilih. Jika ia melakukannya dan menitipkannya kepada siapa pun tanpa izin, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya.
Jika pemilik simpanan tidak ada di tempat, dan penerima simpanan menitipkannya kepada orang yang biasa ia titipi hartanya dan orang itu terpercaya, lalu simpanan itu rusak, ia tidak menanggungnya. Namun, jika ia menitipkannya kepada orang yang biasa ia titipi hartanya tetapi orang itu tidak terpercaya, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya. Hal ini berlaku sama, baik orang yang dititipi itu termasuk ahli simpanan atau bukan, merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan. Sebab, seseorang boleh menghabiskan hartanya sendiri, tetapi tidak boleh menghabiskan harta orang lain. Ia boleh menunjuk wakil yang tidak terpercaya untuk hartanya sendiri, tetapi tidak boleh menunjuk wakil yang tidak terpercaya untuk amanah orang lain.
Demikian pula jika penerima simpanan meninggal dan berwasiat kepada seseorang untuk mengurus hartanya termasuk simpanan, atau hanya simpanan saja, lalu simpanan itu rusak. Jika orang yang ditunjuk dalam wasiat itu terpercaya, almarhum tidak menanggungnya. Namun, jika orang itu tidak terpercaya, almarhum harus menanggungnya.
Jika seseorang menitipkan simpanan di desa yang ramai, lalu penerima simpanan pindah ke desa yang tidak ramai, atau dari bagian desa yang ramai ke bagian yang sepi, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya dalam kedua kasus tersebut. Namun, jika ia menitipkannya di tempat yang sepi, lalu penerima simpanan pindah ke tempat yang ramai, atau dari tempat yang berbahaya ke tempat yang aman, ia tidak menanggungnya karena ia justru meningkatkan keamanannya.
Jika ada syarat bahwa simpanan tidak boleh dikeluarkan dari tempat tersebut, tetapi penerima simpanan melanggar dan mengeluarkannya tanpa alasan darurat, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya. Namun, jika ada alasan darurat seperti kebakaran atau banjir, dan ia memindahkannya ke tempat yang lebih aman, ia tidak menanggungnya.
Jika terjadi perselisihan tentang adanya banjir atau kebakaran, di mana penerima simpanan mengatakan tidak ada banjir atau kebakaran, sedangkan pemilik simpanan mengatakan ada, maka jika diketahui bahwa di daerah tersebut memang terjadi hal itu berdasarkan bukti yang jelas, perkataan pemilik simpanan yang diterima. Jika tidak ada bukti, perkataan penerima simpanan yang diterima. Dalam setiap kasus, siapa pun yang perkataannya diterima harus bersumpah jika pihak yang berselisih memintanya.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan simpanan kepada orang lain, lalu mereka berselisih, di mana pemilik simpanan mengatakan, “Aku telah memberikannya kepadamu,” sedangkan penerima simpanan mengatakan, “Kamu tidak memberikannya,” maka perkataan pemilik simpanan yang diterima.
Jika dalam kasus yang sama, penerima simpanan mengatakan, “Kamu memerintahkanku untuk memberikannya kepada si Fulan, dan aku telah memberikannya,” sedangkan pemilik simpanan mengatakan, “Aku tidak memerintahkanmu,” maka perkataan pemilik simpanan yang diterima, dan penerima simpanan harus membuktikan kebenarannya.
Perbedaan antara kedua kasus ini adalah bahwa dalam kasus pertama, penerima simpanan mengaku telah mengembalikannya kepada orang yang diberi amanah, sedangkan dalam kasus kedua, ia mengaku telah memberikannya kepada orang lain atas perintah pemilik simpanan. Ketika pemilik simpanan menyangkal bahwa ia memerintahkannya, penerima simpanan harus menanggungnya karena ia memberikan simpanan itu kepada pihak ketiga.
Allah Ta’ala berfirman:
*”Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya.”* (QS. Al-Baqarah: 283)
Allah juga berfirman:
*”Dan apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi.”* (QS. An-Nisa’: 6)
Hal ini karena wali anak yatim adalah wakil dari ayahnya atau wakil yang ditunjuk oleh hakim, bukan karena anak yatim itu sendiri yang memberinya amanah. Ketika anak yatim itu sudah dewasa dan memiliki hak atas dirinya, lalu ia mengatakan, “Aku tidak rela dengan amanah orang ini dan aku tidak memberinya amanah,” maka perkataan anak yatim itu yang diterima. Wali harus membuktikan kebenarannya jika ingin terbebas dari tanggungan. Demikian pula dengan wali lainnya.
Jika penerima simpanan mengaku bahwa ia menerimanya atas perintah pemilik simpanan, maka jika simpanan itu masih ada, ia harus mengembalikannya. Jika sudah dihabiskan, ia harus mengganti nilainya. Jika ia mengatakan bahwa simpanan itu rusak tanpa dihabiskan atau tanpa melampaui batas, perkataannya yang diterima, dan ia tidak menanggungnya karena ia menerimanya berdasarkan perkataan pemilik simpanan.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan harta dalam sebuah wadah, lalu penerima simpanan memindahkannya ke wadah lain, maka jika wadah baru itu sama amannya dengan wadah sebelumnya, ia tidak menanggungnya. Namun, jika wadah baru itu tidak aman dan harta itu rusak, ia harus menanggungnya.
Jika simpanan itu dititipkan dengan syarat harus disimpan dalam peti dan tidak boleh tidur di atasnya, atau tidak boleh dikunci, atau tidak boleh menaruh barang di atasnya, lalu penerima simpanan tidur di atasnya, menguncinya, atau menaruh barang di atasnya, kemudian harta itu dicuri, ia tidak menanggungnya karena ia justru meningkatkan keamanannya.
Demikian pula jika simpanan itu dititipkan dengan syarat harus dikubur di suatu tempat dalam rumah dan tidak boleh dibangun di atasnya, lalu penerima simpanan meletakkannya di tempat itu dan membangun di atasnya tanpa mengeluarkannya dari rumah, kemudian harta itu dicuri, ia tidak menanggungnya karena bangunan itu justru menambah keamanannya.
Jika seseorang menitipkan simpanan dengan syarat harus disimpan di sebuah rumah dan tidak boleh ada orang yang memasukinya, lalu penerima simpanan mengizinkan orang-orang masuk, kemudian simpanan itu dicuri oleh salah satu dari mereka atau orang lain, maka jika pencurinya adalah orang yang diizinkan masuk, penerima simpanan harus menanggungnya. Namun, jika pencurinya bukan orang yang diizinkan masuk, ia tidak menanggungnya.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang meminta simpanannya, lalu penerima simpanan mengatakan, “Kamu tidak menitipkan apa pun kepadaku,” kemudian ia mengatakan, “Aku memang menerima titipanmu, tetapi itu sudah rusak,” maka ia harus menanggungnya karena ia telah keluar dari batas amanah.
Demikian pula jika pemilik simpanan memintanya, lalu penerima simpanan mengatakan, “Aku sudah mengembalikannya kepadamu,” kemudian ia mengatakan, “Simpanan itu hilang saat masih dalam tanganku, dan aku belum mengembalikannya kepadamu,” maka ia harus menanggungnya.
Jika ia mengatakan, “Tidak ada apa pun milikmu padaku,” kemudian ia mengatakan, “Memang ada milikmu padaku, tetapi itu sudah rusak,” maka perkataannya yang diterima karena ia jujur bahwa tidak ada lagi milik pemilik simpanan padanya setelah simpanan itu rusak.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan simpanan kepada orang lain, lalu penerima simpanan meletakkannya di tempat di rumahnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan harta dan dianggap aman oleh orang lain, meskipun ada tempat lain di rumahnya yang lebih aman, kemudian simpanan itu rusak, ia tidak menanggungnya. Namun, jika ia meletakkannya di tempat yang tidak dianggap aman oleh orang lain dan tidak biasa digunakan untuk menyimpan harta semacam itu, lalu simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya.
Jika seseorang menitipkan simpanan berupa emas atau perak di rumahnya dengan syarat tidak boleh diikat di lengan baju atau bagian pakaiannya, tetapi penerima simpanan mengikatnya lalu pergi dan simpanan itu rusak, ia harus menanggungnya. Namun, jika ia mengikatnya di tempatnya untuk menjaganya, dan jika penjagaan itu memungkinkan tetapi ia meninggalkannya sampai hilang, ia harus menanggungnya. Jika penjagaan itu tidak memungkinkan, seperti dengan kunci yang tidak bisa dibuka atau sejenisnya, ia tidak menanggungnya.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan simpanan di luar rumahnya dengan syarat harus disimpan di rumah dan tidak boleh diikat di lengan baju, tetapi penerima simpanan mengikatnya lalu hilang, maka jika ia mengikatnya di bagian antara lengan dan sisi tubuhnya, ia tidak menanggungnya. Namun, jika ia mengikatnya di bagian luar lengannya, ia harus menanggungnya karena ada bagian pakaian lain yang lebih aman daripada bagian luar lengan.
Jika simpanan itu dititipkan dengan syarat harus diikat di lengan baju, tetapi penerima simpanan memegangnya di tangan lalu terlepas, ia harus menanggungnya. Namun, jika seseorang memaksanya untuk mengambilnya, ia tidak menanggungnya karena tangannya lebih aman daripada lengan bajunya selama ia tidak ceroboh.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menitipkan hewan kepada orang lain tanpa memerintahkannya untuk memberi nafkah, sebaiknya ia melaporkannya kepada hakim agar hakim memerintahkan pemberian nafkah dan menjadikannya sebagai utang pemilik simpanan. Hakim juga boleh menunjuk orang lain untuk menerima nafkah dan memberikannya kepada hewan itu agar penerima simpanan tidak menjadi penjaga dirinya sendiri. Jika ia tidak melakukannya dan memberi nafkah atas inisiatif sendiri, itu dianggap sebagai sukarela, dan ia tidak bisa menuntut pengembalian apa pun.
Demikian pula jika seseorang mengambil hewan ternak yang tersesat atau budak yang melarikan diri untuk pemiliknya, lalu memberi nafkah kepada mereka, itu dianggap sebagai sukarela, dan ia tidak bisa menuntut pengembalian apa pun.
Jika ia khawatir simpanan itu akan rusak dan
[Pembagian Fay’]
Dikabarkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: (Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Asal pembagian harta yang dikelola oleh para pemimpin terdiri dari tiga jenis. Pertama, apa yang Allah Tabaraka wa Ta’ala jadikan sebagai penyuci bagi pemeluk agama-Nya. Allah Jalla wa ‘Azza berfirman kepada Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wasallam—: **“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”** (QS. At-Taubah: 103). Maka segala yang Allah ‘Azza wa Jalla wajibkan atas seorang Muslim dalam hartanya tanpa adanya kejahatan yang dia lakukan, atau orang lain yang bertanggung jawab atasnya, atau kewajiban kafarat, atau sesuatu yang dia janjikan kepada seseorang, atau nafkah yang wajib baginya untuk orang tua, anak, budak, istri, atau yang semakna dengannya—semua itu adalah sedekah penyuci baginya. Ini seperti zakat harta benda, baik yang tampak (zhahir) maupun yang tersimpan (batin), hewan ternak, dan segala kewajiban dalam harta seorang Muslim berupa zakat atau bentuk sedekah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau atsar yang disepakati kaum Muslimin.
Pembagian semua ini adalah satu dan tidak berbeda dalam Kitab Allah ‘Azza Dzikruhu. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman dalam Surah Bara’ah: **“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir”** (QS. At-Taubah: 60). Selain itu, seorang Muslim juga memiliki kewajiban lain dalam hartanya yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah, seperti nafkah untuk orang yang wajib dinafkahi, jamuan tamu, dan lain-lain, serta kewajiban akibat kejahatan, pengakuan, atau transaksi jual beli. Semua ini adalah pembayaran utang, penunaian kewajiban, atau amalan sunnah untuk meraih pahala. Semua ini dijelaskan secara rinci dalam kitab tentang sedekah sesuai dengan jenisnya masing-masing.
[Pembagian Ghanimah dan Fay’]
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Harta yang diambil dari orang Musyrik dengan cara apa pun selain jamuan bagi Muslim yang melewati mereka terbagi menjadi dua jenis, keduanya dijelaskan dalam Kitab Allah Ta’ala, sabda Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—, dan perbuatan beliau. Pertama, ghanimah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Surah Al-Anfal: **“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah”** (QS. Al-Anfal: 41). Kedua, fay’, yang pembagiannya disebutkan dalam Surah Al-Hasyr: **“Dan apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari mereka”** (QS. Al-Hasyr: 6) hingga firman-Nya: **“Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”** (QS. Al-Hasyr: 10).
Kedua harta ini adalah yang Allah Ta’ala berikan kepada orang-orang yang berhak dari pemeluk agama-Nya. Ini adalah harta yang dikelola oleh para pemimpin, dan mereka tidak boleh meninggalkannya. Adapun ahli dzimmah wajib memberikan jamuan sebagai bagian dari perjanjian damai yang tidak dibatasi waktu, khusus bagi Muslim yang melewati mereka, bukan untuk umum. Jika seorang pemimpin menolak memenuhi kewajiban jamuan dari perjanjian damai, maka ia wajib menegakkannya.
[Kumpulan Sunnah Pembagian Ghanimah dan Fay’]
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: **“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah”** (QS. Al-Anfal: 41). Dan Allah Ta’ala berfirman: **“Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri”** (QS. Al-Hasyr: 7), serta **“Dan apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari mereka”** (QS. Al-Hasyr: 6).
(Asy-Syafi’i berkata): Ghanimah dan fay’ memiliki kesamaan dalam hal keduanya wajib dikeluarkan seperlimanya untuk pihak yang Allah Ta’ala sebutkan dalam kedua ayat tersebut, baik ketika bersama-sama maupun terpisah. Kemudian, hukum untuk empat perlima sisanya dijelaskan melalui sabda dan perbuatan Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—. Ghanimah adalah harta yang diperoleh dengan mengerahkan kuda dan tunggangan, dibagikan kepada yang hadir, baik kaya maupun miskin. Sedangkan fay’ adalah harta yang diperoleh tanpa mengerahkan kuda atau tunggangan.
Sunnah Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dalam pembagian fay’ dari penduduk ‘Urainah adalah empat perlimanya menjadi hak khusus Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—, bukan untuk kaum Muslimin secara umum. Beliau menyalurkannya sesuai petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Dikabarkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhri dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan, dia berkata: Aku mendengar Umar bin Al-Khatthab, Ali, dan Al-Abbas—rahimahumullah—berselisih di hadapannya tentang harta Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—. Umar berkata: **“Harta Bani Nadhir adalah fay’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya tanpa kaum Muslimin mengerahkan kuda atau tunggangan. Itu menjadi hak khusus Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—, bukan untuk kaum Muslimin. Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—menggunakannya untuk nafkah keluarganya selama setahun, dan sisanya digunakan untuk persiapan perang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.”**
Setelah Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—wafat, Abu Bakr mengelolanya sebagaimana Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—lakukan. Kemudian Umar juga mengelolanya dengan cara yang sama. Kalian meminta agar aku menyerahkannya kepada kalian, dan aku setuju dengan syarat kalian mengelolanya sebagaimana Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—, Abu Bakr, dan aku lakukan. Tapi kini kalian kembali berselisih. Apakah kalian ingin aku membagi dua untuk masing-masing? Apakah kalian meminta keputusan selain yang telah aku tetapkan? Demi Allah, yang dengan izin-Nya langit dan bumi tegak, aku tidak akan memutuskan selain itu. Jika kalian tidak mampu mengelolanya, kembalikan padaku, aku yang akan mengurusnya.
(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan berkata kepadaku: Aku tidak mendengarnya langsung dari Az-Zuhri, tetapi ‘Amr bin Dinar mengabarkannya dari Az-Zuhri. Aku bertanya: Seperti yang kau ceritakan? Dia menjawab: Ya.
(Asy-Syafi’i berkata): Harta Bani Nadhir yang Allah berikan kepada Rasul-Nya—‘alaihis shalatu wassalam—yang disebutkan Umar adalah sisa setelah pengambilan seperlima dan setelah Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—membagikannya kepada beberapa orang Muhajirin. Beliau tidak memberikannya kepada Anshar kecuali dua orang yang disebutkan dalam keadaan fakir. Ini dijelaskan dalam tempatnya.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa Umar dan Abu Bakr hanya melanjutkan pengelolaan harta yang tersisa di tangan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—sesuai dengan cara yang beliau terapkan. Mereka tidak… (terputus).
Berikut adalah terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
“Bagi mereka (Abu Bakar dan Umar) dari harta fai’ yang tidak diperoleh dengan peperangan oleh kaum Muslimin, yaitu bagian yang dahulu menjadi hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keduanya (Abu Bakar dan Umar) telah menjadi teladan bagi kaum Muslimin dalam hal ini, demikian pula kebiasaan mereka dan kebiasaan para pemimpin setelah mereka. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh ulama di kalangan kami, dan aku telah mengetahuinya. Selalu diingat dari perkataan mereka bahwa tidak ada seorang pun yang berhak atas apa yang menjadi hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shafi (pilihan) dari ghanimah, atau dari empat perlima harta yang tidak diperoleh dengan peperangan.
(Asy-Syafi’i berkata): Telah berlalu masa di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nafkah kepada istri-istri beliau dan selain mereka. Seandainya nafkah itu masih ada bersama mereka, aku tidak mengetahui seorang pun dari ulama yang mengatakan bahwa nafkah tersebut menjadi hak waris mereka. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa nafkah-nafkah itu harus disalurkan ke tempat di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalurkan kelebihan hasil harta-harta tersebut untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin.
(Asy-Syafi’i berkata): Harta fai’ yang tidak diperoleh dengan peperangan dan berada di tangan kaum Muslimin, maka seperlimanya disalurkan sesuai pembagian yang ditetapkan Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan empat perlimanya menurut penjelasan yang akan aku sampaikan insya Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan hal yang menunjukkan apa yang telah aku sebutkan.
Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Umar bin Katsir bin Aflah dari Abu Muhammad, maula Abu Qatadah, dari Abu Qatadah, ia berkata: “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Ketika kami bertemu dengan musuh, pasukan Muslim sempat terdesak. Aku melihat seorang lelaki musyrik mengalahkan seorang Muslim. Aku pun berputar hingga bisa mendatanginya dari belakang, lalu memukul bahunya dengan pedang. Ia menoleh dan memelukku erat hingga aku merasakan bau kematian. Kemudian ia mati dan melepaskanku. Aku menemui Umar bin Al-Khaththab dan bertanya: ‘Apa yang terjadi dengan pasukan?’ Ia menjawab: ‘Itu ketetapan Allah.’ Kemudian pasukan kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa membunuh seorang musuh dan memiliki bukti, maka ia berhak atas sabil (harta bawaan)nya.’ Aku berdiri dan bertanya: ‘Siapa yang mau menjadi saksiku?’ Kemudian aku duduk. Beliau kembali bersabda: ‘Barangsiapa membunuh seorang musuh dan memiliki bukti, maka ia berhak atas sabilnya.’ Aku berdiri lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: ‘Ada apa wahai Abu Qatadah?’ Aku pun menceritakan kejadiannya. Seorang lelaki berkata: ‘Ia benar wahai Rasulullah, dan sabil orang yang dibunuhnya ada padaku, maka ridhailah ia.’ Abu Bakar berkata: ‘Tidak boleh, demi Allah! Jangan sampai engkau mengambil hak singa Allah yang berperang karena Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Benar,’ dan memberikannya kepadaku. Aku menjual baju besinya dan membeli kebun di Bani Salamah. Itulah harta pertama yang kuperoleh dalam Islam.'”
(Asy-Syafi’i berkata): Ini adalah hadits yang shahih dan dikenal di kalangan kami. Aku tidak ragu bahwa sabil diberikan kepada pembunuh seorang musyrik yang sedang menyerang, baik dibunuh dalam pertarungan satu lawan satu atau tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan sabil Marhab kepada yang membunuhnya dalam pertarungan satu lawan satu, dan kepada Abu Qatadah yang membunuh tanpa pertarungan. Namun kedua korban dalam keadaan menyerang. Tidak ada riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan sabil kepada yang membunuh musuh yang melarikan diri. Aku tidak ragu bahwa sabil menjadi hak pembunuh musuh selama perang masih berkecamuk dan musuh masih bertempur. Membunuh mereka dalam keadaan seperti ini memiliki kesulitan yang tidak ada jika mereka sudah melarikan diri atau yang dibunuh telah melarikan diri. Menurutku, sabil hanya diberikan kepada yang membunuh musyrik yang masih menyerang dan pasukan musuh belum kalah. Aku berpendapat demikian karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan sabil kepada pembunuh musuh yang melarikan diri. Dalam hadits Abu Qatadah terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang musuh maka baginya sabilnya” pada perang Hunain setelah Abu Qatadah membunuh seorang lelaki. Ini menunjukkan bahwa sebagian orang menyelisihi sunnah dalam hal ini dengan mengatakan bahwa pembunuh tidak berhak atas sabil kecuali jika imam telah mengumumkannya sebelum perang. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa ini tergantung ijtihad imam. Sedangkan menurut kami, ini adalah keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah memberikan sabil kepada pembunuh di beberapa kesempatan.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika beberapa orang bersama-sama membunuh seorang musuh, maka sabil dibagi di antara mereka. Jika seseorang melukai musuh dengan luka yang biasanya tidak tertolong, seperti memotong kedua tangan atau kakinya, kemudian orang lain membunuhnya, maka sabil menjadi hak yang memotong tangan atau kakinya, karena ia telah membuat musuh tidak mampu mempertahankan sabilnya. Namun jika lukanya tidak membuat musuh tidak berdaya, kemudian dibunuh oleh orang lain, maka sabil menjadi hak si pembunuh. Sabil hanya diberikan kepada yang membuat musuh tidak berdaya.
(Asy-Syafi’i berkata): Sabil yang menjadi hak pembunuh meliputi semua pakaian, senjata, ikat pinggang, dan kudanya jika ia menunggang atau memegangnya. Jika kuda itu lepas atau bersama orang lain, maka tidak termasuk sabilnya. Sabil hanya mencakup apa yang diambil dari tangan atau badan musuh.”
Di bawah tubuhnya (Asy-Syafi’i berkata): Jika pada rampasan perang terdapat gelang emas, cincin, mahkota, atau ikat pinggang yang berisi harta, lalu seseorang berpendapat bahwa itu termasuk bagian dari rampasan perang, maka itu adalah pendapat yang bisa diterima. Namun, jika ada yang mengatakan bahwa itu bukan termasuk perlengkapan perang, melainkan hanya senjata yang diambil dari orang yang terbunuh, maka itu juga merupakan pendapat yang valid. Allah yang lebih tahu.
(Asy-Syafi’i berkata): Rampasan perang tidak dikenakan khumus (seperlima).
(Asy-Syafi’i berkata): Seorang penentang berdebat dengan kami dan menyebutkan bahwa Umar bin Khattab berkata: “Kami dahulu tidak mengambil khumus dari rampasan perang, dan rampasan perang Al-Bara’ mencapai jumlah yang banyak. Namun, aku berpikir untuk mengambil khumus darinya.” Lalu ia pun mengambil khumus darinya. Ia juga menyebutkan dari Ibnu Abbas yang berkata: “Rampasan perang termasuk ghanimah, dan khumus berlaku padanya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang musuh, maka baginya rampasan perangnya,” lalu aku mengambil seperlima dari rampasan tersebut, bukankah pemiliknya hanya mendapatkan empat perlima, bukan semuanya? Jika sesuatu telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak boleh ditinggalkan. Jika ada yang berkata: Mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rampasan perang karena nilainya tidak signifikan, sedangkan Umar menginformasikan bahwa ia tidak mengambil khumus darinya kecuali ketika mencapai jumlah yang besar. Jadi, jika rampasan perang dianggap sebagai ghanimah, kita keluarkan dari hukum yang berlaku padanya. Kita juga bisa mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala, “Maka seperlima untuk Allah,” (QS. Al-Anfal: 41) mungkin berlaku pada sebagian besar ghanimah, bukan seluruhnya. Dengan demikian, rampasan perang tidak termasuk ghanimah yang dimaksud, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya. Adapun makanan yang dijadikan ghanimah lalu dimakan, itu termasuk ghanimah. Hal ini berdasarkan petunjuk Sunnah dan apa yang tersisa dari ayat. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rampasan perang kepada pembunuh, maka menurutku—dan Allah yang lebih tahu—tidak boleh diambil khumus dan dibagikan, karena nama “rampasan perang” bisa banyak atau sedikit. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengecualikan rampasan perang yang sedikit atau banyak dengan mengatakan bahwa yang sedikit diberikan tetapi yang banyak tidak. Kita katakan bahwa Sunnah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan khumus adalah ghanimah selain rampasan perang.
(Asy-Syafi’i berkata): Riwayat tentang khumus rampasan perang dari Umar ini bukan dari riwayat kami. Ada riwayat lain dari Sa’ad bin Abi Waqqash pada masa Umar yang bertentangan dengannya. Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Al-Aswad bin Qais dari seorang lelaki dari kaumnya bernama Sir bin ‘Alqamah yang berkata: “Aku berduel dengan seorang musuh pada Perang Qadisiyah dan membunuhnya. Rampasan perangnya mencapai dua belas ribu, lalu Sa’ad bin Abi Waqqash memberikannya kepadaku sebagai nafl (hadiah khusus).”
(Asy-Syafi’i berkata): Dua belas ribu adalah jumlah yang besar.
**Pandangan Kedua tentang Nafl (Hadiah Khusus)**
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pasukan yang termasuk Abdullah bin Umar ke Najd. Mereka mendapatkan banyak unta sebagai ghanimah, dengan bagian masing-masing dua belas atau sebelas unta. Kemudian mereka diberi tambahan satu ekor unta sebagai nafl. Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Az-Zinad dari Al-A’raj bahwa ia mendengar Sa’id bin Al-Musayyab berkata: “Dahulu orang-orang diberikan nafl dari seperlima ghanimah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Ibnu Umar menunjukkan bahwa mereka diberikan hak mereka dari apa yang mereka dapatkan, dengan tambahan satu ekor unta sebagai nafl. Nafl adalah sesuatu yang ditambahkan di luar hak mereka. Perkataan Ibnu Al-Musayyab bahwa mereka diberikan nafl dari seperlima adalah sebagaimana yang dikatakan—insya Allah. Itu berasal dari seperlima Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau memiliki seperlima dari setiap ghanimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkannya sesuai yang Allah tunjukkan, sebagaimana beliau menempatkan harta lainnya. Apa yang Allah tunjukkan adalah yang mengandung kemaslahatan bagi kaum Muslimin.
(Asy-Syafi’i berkata): Selain bagian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperlima lainnya dibagikan kepada orang-orang yang disebutkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Tidak mungkin seorang ulama beranggapan bahwa suatu kaum hadir lalu mengambil hak orang lain, kecuali jika ada yang menyumbangkannya kepada mereka. (Asy-Syafi’i berkata): Nafl dalam hal ini berasal dari bagian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seharusnya seorang imam berijtihad. Jika musuh banyak, kekuatan mereka kuat, dan jumlah Muslim yang menghadapi mereka sedikit, maka imam boleh memberikan nafl sebagai bentuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kondisi tidak demikian, maka tidak perlu memberikan nafl, karena kebanyakan peperangan dan ekspedisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada nafl dalam bentuk ini. (Asy-Syafi’i berkata): Nafl pada awal peperangan, peperangan kedua, atau lainnya sama, berdasarkan ijtihad seperti yang telah dijelaskan. (Asy-Syafi’i berkata): Pendapat yang dipilih oleh sebagian sahabat kami adalah tidak menambah bagian seseorang melebihi haknya. Tidak diberikan selain seperlima atau rampasan perang untuk pembunuh. Mereka berkata: “Kami tidak mengetahui seorang pun dari para imam yang menambah bagian seseorang dari rampasan perang atau bagian ghanimah, kecuali dalam kondisi musuh banyak dan Muslim sedikit, maka mereka memberikan nafl.” Sebagian penduduk Syam meriwayatkan tentang nafl pada awal dan akhir peperangan, yaitu sepertiga pada satu kondisi dan seperempat pada kondisi lainnya. Riwayat Ibnu Umar menyebutkan bahwa beliau memberikan nafl setengah dari seperenam. Ini menunjukkan bahwa nafl tidak memiliki batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui oleh imam. Kebanyakan peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada nafl di dalamnya. Jika imam boleh tidak memberikan nafl, maka jika ia memberikannya, seharusnya berdasarkan ijtihad tanpa batasan tertentu.
**Pandangan Ketiga tentang Nafl**
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Sebagian ulama berkata: Jika seorang imam mengirim pasukan atau tentara dan berkata kepada mereka sebelum pertempuran, “Siapa yang mendapatkan ghanimah sesuatu, maka itu untuknya setelah dikurangi seperlima,” maka itu menjadi hak mereka sesuai syarat imam, karena mereka berperang dengan syarat itu dan menerimanya. Mereka juga berkata: “Seluruh yang mereka dapatkan—kecuali rampasan perang saat perang—dikenakan khumus.” Mereka berdalil dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada Perang Badar: “Siapa yang mengambil sesuatu, maka itu untuknya.” Itu sebelum turunnya ayat khumus. Allah yang lebih tahu. Aku tidak mengetahui riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali apa yang kami sebutkan tentang pembagian empat perlima di antara yang ikut perang, dan empat perlima dari seperlima dibagikan kepada ahli waris. Bagian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditempatkan sesuai yang Allah tunjukkan, yaitu seperlima dari seperlima. Ini lebih aku sukai—dan Allah yang lebih tahu. Ada juga pendapat lain, yaitu dikatakan: “Mereka berperang dengan syarat ini.” Allah yang lebih tahu.
**[Cara Pembagian]**
(Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Semua yang didapat dari ghanimah penduduk Darul Harb, baik sedikit atau banyak, berupa rumah, tanah, harta, atau tawanan, semuanya dibagi kecuali laki-laki dewasa. Imam memiliki pilihan terhadap mereka: memaafkan, membunuh, menebus, atau menjadikan mereka sebagai budak. Jika memaafkan atau membunuh, itu haknya. Jika menjadikan mereka sebagai budak atau menebus, maka tawanan dan tebusan tersebut diperlakukan seperti ghanimah lainnya. Ia berkata: “Ini jika mereka mengambil sesuatu sebagai tebusan pembebasan mereka. Adapun jika ada tawanan Muslim yang ditebus dengan dua tawanan musyrik atau lebih, maka itu haknya. Kaum Muslimin tidak mendapatkan apa pun dari tebusan tawanan Muslim dengan tawanan musyrik.” Jika imam boleh memaafkan mereka tanpa ada manfaat yang kembali kepada kaum Muslimin, maka lebih utama dan bermanfaat jika digunakan untuk membebaskan tawanan Muslim. Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al-Muhallab dari Imran bin Hushain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menebus seorang Muslim dengan dua orang musyrik.
(Asy-Syafi’i berkata): Ada dua pendapat tentang seorang lelaki yang ditawan lalu dijadikan budak atau diambil tebusannya. Pertama, apa yang diambil darinya dianggap sebagai harta ghanimah. Jika dijadikan budak, ia seperti tawanan lainnya, dikenakan khumus, dan empat perlimanya dibagikan kepada yang ikut perang. Jadi, itu bukan untuk yang menawannya. Ini pendapat yang benar, dan aku tidak mengetahui riwayat sahih yang bertentangan dengannya. Kedua, ada yang mengatakan bahwa seorang lelaki berbeda dengan tawanan dan harta, karena ia bisa dibunuh. Jadi, ia menjadi milik yang menawannya, dan apa yang diambil darinya adalah untuk yang menawannya, seperti rampasan perang untuk yang membunuhnya, karena menawannya lebih berat daripada membunuhnya. Ini adalah pendapat—dan Allah yang lebih tahu. Seharusnya imam mengisolasi seperlima dari apa yang didapat setelah memenuhi syarat, menyisakan empat perlima, menghitung jumlah Muslim dewasa yang ikut perang, serta mengetahui kehadiran ahli dzimmah, Muslim yang belum dewasa, dan perempuan, lalu memberikan nafl kepada mereka. Jika ada yang berpendapat untuk memberikan nafl dari empat perlima untuk mereka, maka itu boleh. Ini akan dibahas lebih lanjut—insya Allah.
Kemudian, imam menghitung jumlah pasukan berkuda dan pejalan kaki dari Muslim dewasa yang ikut perang. Setiap pasukan berkuda mendapat tiga bagian, dan pejalan kaki satu bagian. Pejalan kaki mendapatkan bagian yang sama, sedangkan yang memiliki kuda mendapat lebih. Allah ‘azza wa jalla menganjurkan untuk memelihara kuda dalam firman-Nya: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (QS. Al-Anfal: 60). Pasukan berkuda telah taat dalam menjaga perbatasan, menanggung biaya pemeliharaan kuda, dan memberikan manfaat dalam peperangan yang tidak dimiliki pejalan kaki. Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah dari Ishaq Al-Azraq dari Abdullah dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan dua bagian untuk kuda dan satu bagian untuk penunggangnya. Sebagian orang berpendapat bahwa kuda hanya mendapat satu bagian, penunggang satu bagian, dan kuda tidak boleh diutamakan atas Muslim. Aku berkata kepada salah seorang yang berpendapat demikian: “Ini adalah perkataan dalam bahasa Arab. Yang diberikan kepada penunggang kuda adalah karena kekuatan dan manfaatnya, sesuai Sunnah. Kuda tidak memiliki hak, yang memiliki adalah penunggangnya. Tidak bisa dikatakan bahwa kuda tidak boleh diutamakan atas Muslim, karena kuda adalah hewan yang tidak bisa dibandingkan dengan Muslim. Jika pendapatmu benar, tidak boleh menyamakan kuda dengan Muslim.” Dalam perkataannya ada dua sisi: satu bertentangan dengan Sunnah, dan yang lain menyamakan kuda dengan Muslim. Jika itu qiyas, maka berarti ia telah menyamakan kuda dengan Muslim. Sebagian sahabatnya sependapat dengan kami tentang pembagian untuk kuda dan berkata: “Ini Sunnah yang tidak boleh diingkari.”
(Asy-Syafi’i berkata): Pendapat yang paling aku sukai dan dipegang oleh kebanyakan sahabat kami adalah bahwa kuda campuran dan kuda lokal mendapatkan dua bagian seperti kuda Arab, karena mereka sering memberikan manfaat yang sama dalam banyak situasi. Nama “kuda” mencakup semua jenis. Ada juga yang berpendapat bahwa kuda Arab diutamakan atas kuda campuran. Jika seseorang hadir dengan dua kuda atau lebih, ia hanya mendapat bagian untuk satu kuda. Jika boleh memberikan bagian untuk dua kuda, maka boleh juga untuk lebih, tetapi tidak pernah terjadi seseorang memiliki lebih dari satu kuda dalam peperangan. Jika ia beralih dari satu kuda ke kuda lain, itu berarti ia meninggalkan yang pertama dan mengambil yang lain sebagai pengganti.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak ada riwayat sahih yang bertentangan dengan pendapatku bahwa bagian hanya diberikan untuk satu kuda—dan Allah yang lebih tahu. Ada beberapa hadits munqathi’ (terputus sanadnya) yang mendukung hal ini. Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Hisyam bin Urwah dari Yahya bin Sa’id bin ‘Abbad bin Abdullah bin Az-Zubair bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam diberi empat bagian dalam ghanimah: satu bagian untuknya, dua bagian untuk kudanya, dan satu bagian untuk dzawil qurba (kerabat Nabi).
(Asy-Syafi’i berkata): Maksudnya—dan Allah yang lebih tahu—bagian untuk dzawil qurba adalah bagian Shafiyyah, ibunya. Sufyan ragu apakah ia mendengar langsung dari Hisyam dari Yahya atau tidak, tetapi ia tidak ragu bahwa itu adalah hadits Hisyam dari Yahya, bukan dari yang lain.
(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Makhul dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mursal: “Az-Zubair hadir di Khaibar dengan dua kuda, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya lima bagian: satu untuknya dan empat untuk kudanya.” Jika benar seperti yang diriwayatkan Makhul bahwa Az-Zubair hadir dengan dua kuda dan mendapatkan lima bagian, maka anak-anaknya lebih tahu tentang hal ini dan lebih berhak atas tambahan tersebut—insya Allah Ta’ala.
(Asy-Syafi’i berkata): Tidak ada bagian untuk penunggang hewan selain kuda, seperti bagal, keledai, unta, gajah, atau lainnya. Seharusnya imam memeriksa kuda-kuda tersebut dan hanya memasukkan kuda yang kuat, bukan yang lemah, kurus, atau sakit. Jika ia lalai dan seseorang menghadiri perang dengan kuda seperti itu, ada yang berpendapat bahwa ia tidak mendapat bagian, karena kuda tersebut tidak memberikan manfaat seperti kuda yang diberi bagian oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami tidak mengetahui bahwa beliau pernah memberikan bagian untuk hewan seperti itu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: “Berikan bagian untuk kuda seperti untuk penunggangnya, meskipun tidak ikut berperang,” maka itu adalah syubhat. Namun, kehadiran seseorang yang tidak ikut berperang tetap memberikan bantuan melalui pendapat dan doa. Pasukan bisa menang karena yang paling lemah di antara mereka. Ada juga yang awalnya tidak berperang, lalu ikut berperang, termasuk yang sakit. Mereka tetap mendapat bagian sesuai Sunnah, tetapi tidak untuk kuda yang sakit, lemah, atau sebagaimana yang telah kami sebutkan.
(Asy-Syafi’i berkata): Bagian untuk penunggang kuda hanya diberikan jika ia hadir dalam peperangan sebagai penunggang sebelum perang berakhir. Jika ia menjadi penunggang setelah memasuki wilayah musuh atau setelah perang berakhir tetapi sebelum ghanimah dikumpulkan, maka ia tidak mendapat bagian sebagai penunggang kuda. Sebagian orang berkata: “Jika seseorang memasuki wilayah musuh sebagai penunggang, lalu kudanya mati, ia tetap mendapat bagian penunggang. Tetapi jika ia mendapatkan kuda di wilayah musuh sebelum perang dan hadir dengannya, ia tidak mendapat bagian.” (Asy-Syafi’i berkata): Ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau memberikan bagian jika ia memasuki wilayah musuh sebagai penunggang meskipun tidak ikut berperang?” Ia menjawab: “Karena ia tercatat dalam
Khums yang diwajibkan dari ghanimah, dan inilah yang disebut dalam kitab Allah ‘azza wa jalla (Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata):
Seorang penanya berkata kepadaku, “Engkau berhujjah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bagian dzawil qurba pada perang Khaibar kepada mereka.” Padahal Khaibar termasuk harta yang diperoleh dengan peperangan. Lalu bagaimana engkau berpendapat bahwa khums untuk mereka (dzawil qurba) juga berlaku pada harta yang tidak diperoleh dengan peperangan?
Aku menjawab, “Aku menemukan dua jenis harta yang diambil dari orang-orang musyrik dan diberikan kepada sebagian penganut agama Allah ‘azza wa jalla. Aku juga mendapati bahwa Allah tabaraka wa ta’ala telah menetapkan hukum khums ghanimah dibagi menjadi lima bagian, karena firman-Nya {لِلَّهِ} (QS. Al-Anfal: 41) adalah kunci pembuka segala pembicaraan, dan segala urusan milik-Nya sebelum dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan hak dzawil qurba, sehingga tidak diragukan lagi bahwa beliau juga menunaikan hak anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, serta telah melaksanakan semua yang diperintahkan Allah ‘azza wa jalla.
Ketika aku mendapati Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Surah Al-Hasyr {وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ} (QS. Al-Hasyr: 6), lalu menetapkan hukum di dalamnya seperti hukum harta yang diperoleh dengan kuda dan tunggangan, serta Sunnah menunjukkan bahwa hukum itu berlaku pada seperlimanya, maka aku mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkannya. Namun, Allah memberinya sebagian dari apa yang Allah tetapkan untuknya, meskipun tidak ada riwayat yang kuat seperti riwayat Jubair bin Muth’im tentang bagian dzawil qurba dari harta yang diperoleh dengan peperangan. Sebagaimana aku yakin bahwa beliau telah menunaikan hak anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil dari harta yang diperoleh dengan peperangan, dengan bukti yang lebih kuat daripada riwayat seorang dari seorang, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menyampaikannya melalui Rasul-Nya sebagaimana Dia mewajibkannya untuk disampaikan dan dilaksanakan.”
Kemudian seorang penanya berkata kepadaku, “Jika Allah ta’ala menetapkan khums pada harta yang diperoleh dengan peperangan dibagi lima, dan menetapkan keseluruhannya (bukan hanya seperlima) pada harta yang tidak diperoleh dengan peperangan, lalu mengapa engkau berpendapat bahwa hanya lima pihak yang berhak atas seperlima, bukan keseluruhannya?”
Aku menjawab, “Betapa jauhnya pendapatmu dengan orang yang berdebat dengan kami untuk membatalkan bagian dzawil qurba! Engkau ingin menetapkan bagi dzawil qurba seperlima dari seluruh harta yang tidak diperoleh dengan kuda atau tunggangan, sedangkan yang lain ingin menghilangkan bagian mereka dari seperlima khums.”
Dia berkata, “Aku hanya mencari kebenaran dalam hal ini. Mengapa engkau tidak sependapat denganku, padahal engkau juga membaca kitab Allah ‘azza wa jalla bersamaku, dan engkau pun memiliki bagian dalam kelebihan untuk dzawil qurba?”
Aku menjawab, “Bagianku dalam hal ini tidak mendorongku untuk mengambil pendapat yang bertentangan dengan apa yang aku yakini sebagai kebenaran di sisi Allah ‘azza wa jalla.”
Dia bertanya lagi, “Lalu apa dalilmu bahwa khums fai’ (harta yang tidak diperoleh dengan peperangan) hanya untuk mereka yang berhak atas khums ghanimah (harta yang diperoleh dengan peperangan), bukan keseluruhannya?”
Aku menjawab, “Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepadaku dari ‘Amr bin Dinar, dari Az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan, dari Umar radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Harta Bani Nadhir termasuk fai’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya tanpa peperangan menggunakan kuda atau tunggangan. Harta itu menjadi hak khusus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan untuk kaum Muslimin.’”
Umar juga berkata, “Aku tidak perlu melihat hadits, karena Al-Qur’an lebih utama bagi kita.”
Seandainya aku melihat hadits, hadits ini justru menunjukkan bahwa harta itu khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku berkata kepadanya, “Ini adalah perkataan dalam bahasa Arab. Yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian yang seharusnya untuk kaum Muslimin yang berperang, yaitu empat perlima.”
Dia berkata, “Jadi engkau berdalil dengan perkataan Umar bahwa keseluruhan harta itu bukan untuk ahli khums dari harta yang diperoleh dengan peperangan?”
Aku menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Tetapi riwayat itu menyatakan bahwa harta itu khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu apa dalil bahwa seperlimanya untuk ahli khums?”
Aku menjawab, “Karena perkataan Umar bisa dimaknai bahwa keseluruhan harta itu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bahwa empat perlima yang seharusnya untuk kaum Muslimin dalam harta ghanimah menjadi milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan seperlimanya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikan posisi kaum Muslimin dalam hal ini.
Kami berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla dalam Surah Al-Hasyr {فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى} (QS. Al-Hasyr: 7), bahwa mereka berhak atas seperlima. Dan ketika seperlima itu menjadi hak mereka, tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyerahkannya kepada mereka.
Kami juga berdalil dengan hukum Allah ‘azza wa jalla dalam Surah Al-Anfal {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ} (QS. Al-Anfal: 41).”
Kemudian kedua hakim sepakat dalam Surah Al-Hasyr dan Surah Al-Anfal mengenai suatu kaum yang memiliki sifat tertentu, dan bagi mereka hanya seperlima dari itu, tidak lebih. Lalu dikatakan, “Mungkinkah mereka mendapatkan bagian dari harta yang tidak diperoleh dengan mengerahkan kuda dan tunggangan?” Aku menjawab, “Ya, mereka berhak atas semuanya, dan kita tinggalkan hadis.” Dia berkata, “Menurut kami, tidak boleh meninggalkan hadis, dan hadis menunjukkan makna yang khusus dan umum.” Kemudian seseorang yang lain berkata kepadaku, “Bagaimana kamu berpendapat bahwa seperlima tetap berlaku pada jizyah dan apa yang diambil oleh para penguasa dari orang musyrik dengan cara apa pun?” Lalu aku menyebutkan ayat dalam Surah Al-Hasyr. Dia berkata, “Mereka itu memperolehnya tanpa mengerahkan kuda atau tunggangan, tetapi mereka memberikannya karena sesuatu yang Allah letakkan dalam hati mereka.” Aku bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang jizyah yang diberikan oleh orang yang tidak dikerahkan kuda atau tunggangan, padahal asal pemberiannya adalah karena takut dikalahkan, sedangkan pasukan berkuda dan tunggangan dikirim kepada mereka, lalu mereka memberikan jizyah—apakah ini lebih dekat kepada pengertian ‘dikerahkan’ atau kepada pemberian yang tidak disertai pengiriman pasukan berkuda dan tunggangan?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Jika hukum Allah pada harta yang tidak diperoleh dengan mengerahkan kuda atau tunggangan adalah seperti perdamaian, bukan seperti harta yang diperoleh tanpa perdamaian, lalu mengapa jizyah dan apa yang diambil penguasa dari orang musyrik tidak termasuk dalam keadaan ini?” Dia bertanya, “Adakah dalil selain ini?” Aku menjawab, “Ini sudah cukup.” Dan bahwa asal pembagian harta oleh Allah ada tiga jenis:
- **Zakat**, yaitu yang diambil dari Muslim, itu untuk penerima zakat, bukan untuk penerima fai’.
- **Ghanimah** yang diperoleh dengan kuda dan tunggangan, itu dibagi sesuai ketentuan Allah.
- **Fai’**, yaitu yang tidak diperoleh dengan mengerahkan kuda atau tunggangan.
“Apakah kamu tahu jenis keempat?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Karena itulah kami berpendapat bahwa seperlima tetap menjadi hak penerimanya dalam segala yang diambil dari orang musyrik, karena tidak mungkin melampaui ghanimah atau fai’. Dan fai’ adalah apa yang Allah kembalikan kepada ahli agama-Nya.”
### [Bagaimana Memisahkan yang Diambil dari Empat Perlima Fai’ yang Tidak Dikerahkan]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Seharusnya seorang imam mencatat semua pejuang di berbagai negeri, yaitu mereka yang sudah baligh atau telah genap 15 tahun (untuk laki-laki), serta mencatat anak-anak (yang belum baligh dan di bawah 15 tahun) dan para wanita, baik yang masih kecil maupun dewasa. Dia juga harus mengetahui kebutuhan nafkah mereka dan apa yang mereka perlukan untuk hidup sesuai standar di negeri mereka. Kemudian, dia memberikan tunjangan tahunan kepada para pejuang, serta mencukupi kebutuhan anak-anak dan wanita untuk pakaian dan makanan selama setahun—baik dalam bentuk barang atau uang (dirham/dinar). Anak yang baru lahir diberi sesuatu, lalu ditambah sesuai pertumbuhan kebutuhannya. Ini berlaku seragam dalam hal pemberian kecukupan, tetapi berbeda dalam jumlah tunjangan tergantung harga di tiap negeri dan kondisi masyarakat. Sebab, kebutuhan hidup di suatu negeri bisa lebih berat daripada di negeri lain.
Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara sahabat kami bahwa tunjangan untuk pejuang hanya berasal dari fai’, di mana pun mereka berada. Mereka juga berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang diberi lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Sebab, Umar pernah memberikan tunjangan hingga 5.000 (dirham/dinar), yang melebihi kebutuhan satu orang. Sebagian berpendapat bahwa 5.000 di Madinah untuk seorang pejuang yang berperang tidak berlebihan jika digunakan untuk perang di medan jauh. Mereka juga berkata bahwa tunjangan diberikan lebih sedikit kepada yang lebih dekat ke medan jihad atau di negeri dengan harga lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa budak dan orang asing (ahli zakat) tidak berhak atas tunjangan ini. Namun, mereka berbeda pendapat tentang keutamaan berdasarkan senioritas dan keturunan. Sebagian berkata, “Kami menyamakan semua orang dan tidak mengutamakan keturunan atau senioritas.” Abu Bakar pernah ditanya Umar, “Apakah engkau menyamakan orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka serta berhijrah dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa?” Abu Bakar menjawab, “Mereka beramal untuk Allah, pahala mereka di sisi-Nya. Dunia ini hanya bekal, dan sebaik-baik bekal adalah yang paling luas.” Ali bin Abi Thalib juga menyamakan semua orang tanpa mengutamakan siapa pun.
(Imam Syafi’i berkata):
Inilah pendapat yang aku pilih, dan aku memohon taufik kepada Allah. Sebab, aku melihat pembagian Allah dalam warisan berdasarkan jumlah, padahal saudara-saudara bisa berbeda dalam kontribusi, kedekatan, dan penjagaan terhadap mayit, tetapi mereka tidak diutamakan. Nabi ﷺ juga membagi empat perlima ghanimah kepada yang hadir dalam peperangan berdasarkan jumlah, meskipun kontribusi mereka berbeda—ada yang sangat berjasa hingga kemenangan diraih, ada pula yang kehadirannya tidak bermanfaat atau justru merugikan karena pengecut. Karena sunnah menunjukkan bahwa pemberian didasarkan pada kehadiran dan disamakan antara penunggang kuda yang berjasa dan tidak, serta pasukan pejalan kaki—meskipun kontribusi mereka berbeda—maka persamaan lebih utama menurutku. Seandainya ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau Sunnah tentang pengutamaan, tentu aku akan lebih condong ke sana. Tetapi aku berpendapat bahwa mereka diberi sesuai yang telah dijelaskan. Jika suatu kaum lebih dekat ke medan jihad dan harga di negeri mereka murah, mereka diberi lebih sedikit dibanding yang jauh dan mahal. Meskipun jumlah tunjangan berbeda, ini tetap termasuk dalam prinsip persamaan berdasarkan kebutuhan masing-masing dalam jihad.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Mereka wajib berperang jika diperintahkan, dan imam berwenang menentukan kebijakan pengiriman pasukan. Jika yang jauh diperintahkan berperang, mereka dikirim ke medan terdekat. Jika medan jihad sudah cukup dengan pasukan dari daerah terdekat, mereka dikirim ke medan terdekat lainnya. Ini ada penjelasan tersendiri.
### [Pemberian untuk Wanita dan Anak-Anak]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Sahabat kami berbeda pendapat tentang pemberian untuk anak-anak yang belum baligh dan wanita ahli fai’. Sebagian berkata mereka berhak mendapat fai’, dengan alasan jika mereka tidak diberi fai’ sementara kebutuhan mereka menjadi tanggungan para lelaki, maka pemberian untuk lelaki tidak cukup. Sebab, lelaki juga menanggung keluarga. Jika mereka tidak diberi cukup dari fai’, berarti kami tidak memenuhi kewajiban. Sebagian lain berpendapat, jika asal harta adalah ghanimah, fai’, atau zakat, maka fai’ hanya untuk yang berperang atau yang termasuk dalam seperlima. Sedangkan zakat untuk yang tidak berperang, seperti anak-anak dan wanita, dan mereka tidak lebih berhak daripada anak-anak dan wanita dari orang asing yang tidak mendapat fai’ karena tidak berperang.
Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan, bahwa Umar bin Khattab berkata, “Tidak ada seorang pun kecuali dia memiliki hak dalam harta ini, baik diberi atau tidak, kecuali budak yang kalian miliki.” Juga diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Al-Munkadir, dari Malik bin Aus, dari Umar dengan redaksi serupa, dan Umar berkata, “Jika aku masih hidup, penggembala di pegunungan akan mendapatkan haknya.”
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Hadis ini mengandung beberapa makna:
- Tidak ada yang diberi berdasarkan kebutuhan seperti ahli zakat.
- Atau karena dia termasuk ahli fai’ yang berperang, bukan karena hak dalam fai’ atau zakat.
Ini yang lebih mendekati maknanya. Jika ada yang bertanya, “Apa dalilnya?” Dijawab, “Nabi ﷺ bersabda tentang zakat, ‘Tidak ada bagian untuk orang kaya atau yang mampu bekerja.'” Juga kepada dua orang yang meminta, beliau berkata, “Jika kalian berkata perlu, aku akan beri, karena aku tidak tahu keadaan keluarga kalian, dan tidak ada bagian untuk orang kaya.”
Aku ingat dari ulama bahwa Badui tidak diberi fai’. Jika kita menafsirkan ucapan Umar bahwa “setiap orang punya hak dalam harta ini” (maksudnya fai’), maka kita menyelisihi kesepakatan bahwa ahli zakat yang sudah cukup atau orang kaya tidak berhak dalam fai’. Jika kita menafsirkannya sebagai harta zakat, maka kita menyelisihi sabda Nabi ﷺ, “Tidak ada bagian untuk orang kaya,” dan kesepakatan bahwa ahli fai’ tidak berhak atas zakat.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Ahli fai’ di zaman Nabi ﷺ terpisah dari zakat, dan ahli zakat terpisah dari fai’. Tunjangan wajib dari fai’ hanya untuk yang sudah baligh dan mampu berperang.
Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ubaidullah bin Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar:
“Aku diajukan kepada Nabi ﷺ pada Perang Uhud saat usiaku 14 tahun, dan beliau menolakku. Lalu pada Perang Khandaq saat usiaku 15 tahun, beliau mengizinkanku.” Nafi’ menyampaikan hadis ini kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu Umar berkata, “Inilah pembeda antara pejuang dan anak-anak,” lalu memerintahkan agar tunjangan diberikan kepada yang berusia 15 tahun ke atas sebagai pejuang, dan yang di bawahnya sebagai anak-anak.
(Imam Syafi’i berkata):
Jika seseorang sudah 15 tahun tetapi buta atau cacat sehingga tidak mungkin berperang, dia tidak diberi tunjangan pejuang, tetapi diberi cukup untuk kebutuhan hidup, mirip dengan tunjangan anak-anak. Sebab, kebutuhan pejuang lebih besar karena perjalanan dan biaya perang. Jika dia awalnya sehat lalu buta atau cacat permanen, tunjangannya dialihkan ke kebutuhan hidup.
Jika seseorang sakit lama tetapi masih ada harapan sembuh, dia tetap diberi tunjangan pejuang. Tunjangan diberikan setiap tahun pada waktu tertentu, dan lebih baik jika anak-anak juga diberi pada waktu yang sama.
Jika harta fai’ sudah di tangan penguasa lalu seseorang meninggal sebelum menerima tunjangan, ahli warisnya berhak menerimanya. Tetapi jika dia meninggal sebelum harta tunjangan tahun itu sampai ke penguasa, ahli warisnya tidak diberi.
Jika setelah pembagian tunjangan masih ada sisa harta, imam boleh menggunakannya untuk memperbaiki benteng, menambah persenjataan, atau memperkuat kaum Muslimin. Jika semua kebutuhan sudah terpenuhi, sisa harta dibagikan kepada mereka sesuai hak.
Jika fai’ tidak mencukupi, dibagikan semampunya tanpa ditahan.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):
Dari fai’ juga diberikan gaji hakim, petugas keamanan, dan siapa pun yang mengurusi urusan ahli fai’, seperti penguasa, sekretaris, atau tentara yang diperlukan. Gajinya disesuaikan dengan standar minimal yang cukup. Jika ada yang bisa melakukan tugas dengan upah lebih murah dan amanah, tidak boleh memberi lebih dari itu. Sebab, kedudukan penguasa terhadap rakyat seperti wali harta anak yatim—tidak boleh mengambil lebih dari yang diperlukan.
Jika seseorang diangkat untuk mengurus zakat, gajinya diambil dari zakat, karena dia berhak atasnya, bukan dari fai’. Sebaliknya, pengurus fai’ tidak boleh digaji dari zakat. Tidak boleh memasukkan yang tidak perlu dalam daftar penerima gaji fai’.
Jika fai’ tidak mencukupi, dibagi secara adil.
### [Perbedaan Pendapat dalam Pembagian Fai’]
(Imam Syafi’i berkata):
Sahabat kami dan lainnya berbeda pendapat dalam pembagian fai’, dengan berbagai pendapat yang tidak k
Pemberian itu adalah pemerataan jika yang diberikan kepada setiap orang adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak boleh memberikan kepada satu kelompok dan melarang kelompok lainnya. Sebagian berpendapat bahwa jika harta telah terkumpul dan dilihat kemaslahatan umat Islam, lalu diputuskan untuk menyalurkannya kepada sebagian kelompok dan tidak kepada yang lain, maka kelompok yang menerimanya benar-benar membutuhkan apa yang diberikan, sehingga lebih baik bagi masyarakat Muslim. Meskipun kelompok lain tidak mendapatkannya. Pendapat ini mirip dengan yang mengatakan bahwa jika dua kelompok membutuhkan harta, dan jika satu kelompok tidak mendapatkannya, mereka masih bisa bertahan tanpa mengalami kesulitan yang merugikan. Namun, jika diberikan secara merata kepada kedua kelompok, justru akan merugikan kelompok yang lebih membutuhkan. Maka, berikanlah seluruhnya kepada kelompok yang sangat membutuhkan, karena jika tidak, kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi. Sebagian yang berpendapat demikian juga mengatakan: jika harta fai’ disalurkan ke satu wilayah dan memenuhi kebutuhannya, sementara wilayah lain tidak mendapatkannya, lalu datang harta lagi, maka berikanlah kepada wilayah yang belum terpenuhi sebelumnya. Seolah-olah ia berpendapat bahwa orang-orang yang sangat membutuhkan didahulukan, sementara yang lain ditunda sampai harta fai’ datang lagi.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Aku tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa harta sedekah boleh diberikan kepada siapa saja, atau bahwa harta fai’ boleh digunakan untuk jihad. Sebagian ulama yang aku hafal pendapatnya mengatakan: jika para penerima sedekah mengalami musim paceklik yang menghabiskan harta mereka, maka mereka boleh diberi dari harta fai’. Namun, jika mereka sudah mampu, mereka tidak boleh lagi menerima harta fai’. Sebagian lain berpendapat tentang harta sedekah bahwa boleh memberikan lebih kepada sebagian penerima sedekah daripada yang lain.
Pendapat yang aku pegang dan aku hafal dari orang-orang yang aku ridhai dari kalangan ulama yang aku temui adalah bahwa harta tidak boleh ditunda pembagiannya jika sudah terkumpul, melainkan harus segera dibagikan. Jika terjadi serangan musuh yang wajib dihadapi oleh umat Islam, atau jika musuh menyerang negeri mereka, maka wajib bagi semua laki-laki yang mampu, baik penerima fai’ maupun bukan, untuk ikut berperang. Seorang ahli ilmu mengabarkan kepada kami bahwa ketika harta rampasan dari Irak dibawa kepada Umar bin Khattab—radhiyallahu ‘anhu—, penjaga baitul mal berkata kepadanya, “Maukah engkau aku masukkan ke dalam baitul mal?” Umar menjawab, “Tidak, demi Tuhan Ka’bah! Tidak boleh ada harta yang masuk ke bawah atap baitul mal sampai aku membagikannya.” Lalu ia memerintahkan agar harta itu diletakkan di masjid dan ditutupi dengan kain, dijaga oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika pagi tiba, Umar datang bersama Abbas bin Abdul Muthalib dan Abdurrahman bin Auf. Ia memegang tangan salah satu dari mereka, atau salah satu dari mereka memegang tangannya. Ketika orang-orang melihatnya, mereka membuka kain penutup harta itu. Umar melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya: emas, permata, zamrud, dan mutiara yang berkilauan. Umar pun menangis. Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, ini bukan hari untuk menangis, melainkan hari bersyukur dan bergembira.” Umar menjawab, “Demi Allah, aku tidak menangis karena alasan yang kalian pikirkan. Tetapi, demi Allah, tidaklah harta semacam ini melimpah pada suatu kaum, kecuali permusuhan akan terjadi di antara mereka.” Kemudian ia menghadap kiblat, mengangkat tangannya ke langit, dan berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari istidraj. Aku mendengar firman-Mu: *‘Kelak Kami akan menarik mereka sedikit demi sedikit (ke dalam azab) dari arah yang tidak mereka ketahui.’* (QS. Al-A’raf: 182).” Lalu ia berkata, “Di mana Sirakah bin Jusyum?” Sirakah didatangkan, seorang yang kurus dengan lengan berbulu. Umar memberinya gelang Kisra dan berkata, “Pakailah!” Sirakah pun memakainya, lalu Umar bertakbir dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencabutnya dari Kisra bin Hurmuz dan memberikannya kepada Sirakah bin Jusyum, seorang badui dari Bani Mudlij.” Umar terus membolak-balikkan harta itu, lalu berkata, “Sungguh, orang yang menyerahkan ini adalah orang yang amanah.” Seorang lelaki berkata kepadanya, “Aku beritahu engkau, engkau adalah amanah Allah, dan mereka menyerahkan harta kepadamu sebagaimana engkau menyerahkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika engkau bermewah-mewah, mereka pun akan bermewah-mewah.” Umar berkata, “Engkau benar.” Kemudian ia membagikan harta itu.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Umar memberikannya kepada Sirakah karena *“Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah berkata kepada Sirakah sambil melihat lengannya, ‘Aku melihatmu kelak akan memakai gelang Kisra.’”*
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Umar hanya memberinya dua gelang. Seorang yang terpercaya dari penduduk Madinah mengabarkan kepada kami bahwa Umar memberikan nafkah kepada penduduk Ar-Ramadah sampai turun hujan dan mereka pun berpencar. Umar keluar menunggang kuda untuk melihat mereka pergi dengan membawa keluarga mereka. Matanya pun berlinang air mata. Seorang lelaki dari Bani Muharib bin Khashafah berkata, “Aku bersaksi bahwa musim paceklik telah berlalu darimu, dan engkau bukan anak budak.” Umar menjawab, “Celaka engkau! Itu baru terjadi jika aku memberi mereka dari hartaku dan harta Khaththab. Aku memberi mereka dari harta Allah ‘Azza wa Jalla.”
[Tanah yang diperoleh tanpa mengerahkan kuda atau pasukan berkuda]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Setiap harta yang diperoleh melalui perjanjian dengan orang-orang musyrik tanpa peperangan atau pengiriman pasukan berkuda, maka statusnya seperti fai’ (harta rampasan tanpa perang) yang dibagikan sesuai ketentuan fai’. Jika yang diperjanjikan adalah tanah dan rumah, maka rumah dan tanah tersebut menjadi wakaf untuk kaum Muslimin yang dimanfaatkan, dan imam membagi hasilnya setiap tahun, begitu seterusnya. Aku menduga bahwa Umar meninggalkan negeri-negeri ahli syirik seperti ini, atau sesuatu yang membuat hati mereka lega ketika mereka ditaklukkan dengan pasukan berkuda, lalu beliau membiarkannya sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membiarkan hak tawanan Hawazin setelah mereka merasa lega. Hadits Jarir bin Abdullah tentang Umar yang mengganti haknya dan hak seorang wanita dengan warisan dari ayahnya menjadi dalil atas pendapatku. Perkataan Jarir bin Abdullah tentang Umar, “Seandainya aku tidak bertanggung jawab dalam pembagian, niscaya aku biarkan kalian dengan apa yang telah dibagikan untuk kalian,” menunjukkan bahwa mereka diberi bagian dari negeri perjanjian bersama negeri yang diperoleh dengan peperangan. Lalu Umar membagi negeri perjanjian dan mengganti dari negeri yang diperoleh dengan peperangan menggunakan kuda dan pasukan berkuda.
[Pembagian diwan berdasarkan kedudukan masyarakat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan.” (QS. Al-Hujurat: 13). Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengangkat seorang pemimpin untuk setiap sepuluh orang pada perang Hunain.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberikan syi’ar (tanda) khusus bagi Muhajirin, Aus, dan Khazraj. Pada tahun Fathu Makkah, Nabi mengikat bendera-bendera untuk setiap kabilah, bahkan dalam satu kabilah terdapat beberapa bendera, masing-masing untuk kelompoknya. Semua ini agar masyarakat saling mengenal dalam perang maupun lainnya, serta memudahkan urusan mereka dengan berkumpul, begitu pula bagi penguasa. Sebab, memisah-misahkan mereka akan menyulitkan mereka dan penguasanya. Oleh karena itu, aku lebih suka jika penguasa menyusun diwan berdasarkan kabilah dan meminta bantuan dari orang-orang terkemuka di antara mereka untuk mengetahui yang tidak hadir atau yang tidak dikenal.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Beberapa ulama dari kabilah Quraisy mengabarkan kepada kami bahwa ketika harta melimpah di masa Umar bin Khattab, beliau bermaksud menyusun diwan. Beliau bermusyawarah, “Menurut kalian, siapa yang harus didahulukan?” Seseorang menjawab, “Mulailah dari yang terdekat dengan Anda.” Umar berkata, “Kalian mengingatkanku. Justru aku akan mulai dari yang terdekat dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-,” lalu beliau memulai dengan Bani Hasyim.
Sufyan bin Uyainah mengabarkan dari Amr bin Dinar dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bahwa ketika Umar menyusun diwan, beliau bertanya, “Menurut kalian, siapa yang harus didahulukan?” Dikatakan padanya, “Mulailah dari yang terdekat dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” Beberapa ulama terpercaya dari Madinah dan Mekah, termasuk dari Quraisy dan lainnya, meriwayatkan hal ini dengan redaksi yang beragam. Sebagian menambahkan bahwa Umar berkata, “Aku memulai dengan Bani Hasyim, kemudian aku ingat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberi mereka dan Bani Muthallib. Jika keutamaan ada pada Hasyimi, ia didahulukan atas Muthallibi, dan sebaliknya.” Lalu diwan disusun demikian, dan mereka diberi jatah seperti satu kabilah. Kemudian Umar menyamakan Bani Abdu Syams dan Naufal dalam nasab. Abdu Syams berkata, “Kami adalah saudara Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari ayah dan ibu, bukan Naufal,” maka mereka didahulukan. Lalu Naufal menyusul. Ketika sampai pada Abdu Uzza dan Abdu Dar, Umar berkata tentang Bani Asad bin Abdu Uzza, “Mereka adalah besan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, termasuk Al-Muthayyabin.” Sebagian mengatakan mereka juga termasuk Hilful Fudhul, dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah disebutkan memiliki keutamaan, maka mereka didahulukan atas Bani Abdu Dar. Kemudian Bani Zuhrah dipanggil menyusul Abdu Dar. Ketika sampai pada Bani Taim dan Makhzum, Umar berkata tentang Bani Taim, “Mereka termasuk Hilful Fudhul dan Al-Muthayyabin, dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah disebutkan memiliki keutamaan atau hubungan besan,” maka mereka didahulukan atas Makhzum. Kemudian Bani Sahm dan Jumah disamakan dengan Adi bin Ka’ab. Dikatakan padanya, “Mulailah dengan Adi.” Umar menjawab, “Biarkan aku di posisiku. Islam masuk, dan urusan kami serta Bani Sahm sama. Namun, lihatlah Bani Sahm dan Jumah.” Dikatakan, “Dahulukan Bani Jumah,” lalu Bani Sahm dipanggil. Diwan Adi dan Sahm awalnya tercampur seperti satu panggilan. Ketika gilirannya tiba, Umar bertakbir keras dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menyampaikan bagianku dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” Kemudian Bani Amir bin Lu’ay dipanggil. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Al-Fihri protes, “Apakah semua ini akan didahulukan atasku?” Umar menjawab, “Bersabarlah seperti kesabaranku, atau bicaralah dengan kaummu. Siapa yang mendahulukanmu atas dirinya, aku tidak melarang. Adapun aku dan Bani Adi, kami mendahulukanmu jika kau mau.” Muawiyah kemudian dipisahkan setelah Bani Al-Harits bin Fihr, ditempatkan antara Bani Abdu Manaf dan Asad bin Abdu Uzza. Ada perselisihan antara Bani Sahm dan Adi di masa Al-Mahdi, lalu mereka dipisah. Al-Mahdi memerintahkan Bani Adi didahulukan atas Sahm dan Jumah karena keutamaan mereka.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Setelah Quraisy, Anshar didahulukan atas semua kabilah Arab karena kedudukan mereka dalam Islam.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Manusia adalah hamba Allah, maka yang paling berhak didahulukan adalah yang terdekat dengan pilihan Allah untuk risalah-Nya, penyimpan amanah-Nya, penutup para nabi, dan makhluk terbaik dari Tuhan semesta alam, Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Dalam menentukan pembagian untuk kabilah Arab, aku berpendapat untuk mendahulukan yang terdekat nasabnya dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Jika setara, didahulukan yang lebih dahulu masuk Islam.
Kitab Jizyah. Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya, kemudian menjelaskan bahwa pilihan-Nya dari makhluk adalah para nabi. Dia berfirman, “Manusia dahulu satu umat, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan.” (QS. Al-Baqarah: 213). Allah menjadikan para nabi -shallallahu ‘alaihim wasallam- sebagai orang-orang pilihan-Nya yang diberi amanah wahyu dan menegakkan hujjah. Kemudian Dia menyebutkan orang-orang khusus pilihan-Nya, “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran atas seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 33). Dia mengkhususkan Adam dan Nuh dengan menyebutkan pemilihan mereka kembali, juga Ibrahim, “Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” (QS. An-Nisa’: 125). Tentang Ismail bin Ibrahim, Dia berfirman, “Dan ceritakanlah kisah Ismail dalam Al-Kitab. Sesungguhnya ia benar janji, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54). Allah melimpahkan nikmat kepada keluarga Ibrahim dan Imran di antara umat-umat, “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran atas seluruh alam. Sebagai keturunan sebagian dari sebagian yang lain. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 33-34).
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Kemudian Allah memilih Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagai yang terbaik dari keluarga Ibrahim. Dia menurunkan kitab-kitab sebelum Al-Furqan kepada Muhammad dengan menyifatkan keutamaan beliau dan pengikutnya, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29). Dia berfirman kepada umatnya, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran: 110). Keutamaan mereka karena menjadi bagian dari umatnya, bukan umat nabi lain. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menjadikan beliau sebagai pembuka rahmat-Nya setelah masa kosong para rasul, “Wahai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian rasul Kami menjelaskan kepada kalian dalam masa kosong para rasul, agar kalian tidak mengatakan, ‘Tidak datang kepada kami pemberi kabar gembira dan peringatan.’ Sungguh telah datang kepada kalian pemberi kabar gembira dan peringatan.” (QS. Al-Ma’idah: 19). Dia berfirman, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka, membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan Kitab dan Hikmah.” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Dan dalam hal itu terdapat petunjuk bahwa dia diutus kepada makhluk-Nya; karena mereka adalah ahli kitab atau ummi, dan dengan dia dibukalah rahmat-Nya serta ditutup kenabian-Nya. Allah berfirman, “Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40). Dan Dia menetapkan agar agama-Nya dimenangkan atas semua agama, sebagaimana firman-Nya, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membenci.” (QS. At-Taubah: 33). Kami telah menjelaskan bagaimana agama ini dimenangkan atas agama lain di tempat lain.
**[Awal Turunnya Wahyu dan Kewajiban Pertama kepada Nabi, Kemudian kepada Manusia]**
Awal turunnya wahyu dan kewajiban pertama kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kemudian kepada manusia. (Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Dikatakan—dan Allah lebih tahu—bahwa wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1).
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ketika Allah mengutus Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—Dia menurunkan kewajiban-kewajiban sesuai kehendak-Nya tanpa ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Kemudian, setiap kewajiban diikuti dengan kewajiban lain pada waktu yang berbeda dari sebelumnya.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Dikatakan—dan Allah lebih tahu—bahwa yang pertama kali diturunkan kepada beliau adalah, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1). Kemudian setelah itu, turunlah wahyu yang belum memerintahkan beliau untuk menyeru orang-orang musyrik, sehingga ada jeda waktu.
Kemudian dikatakan bahwa Jibril—‘alaihis salam—datang membawa perintah dari Allah agar beliau memberitahukan turunnya wahyu kepadanya dan mengajak mereka beriman. Hal itu terasa berat bagi beliau, khawatir didustakan dan disakiti. Maka turunlah, “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak, berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67). Maksudnya, Allah akan melindungimu dari pembunuhan jika engkau menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadamu. Ketika beliau diperintahkan demikian, sekelompok orang mengejeknya, maka turunlah, “Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami memeliharamu dari (kejahatan) orang-orang yang mengejek.” (QS. Al-Hijr: 94-95).
(Imam Syafi’i berkata): Allah memberitahukan kepadanya tentang orang-orang yang tidak akan beriman, sebagaimana firman-Nya, “Dan mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman kepadamu sampai engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau engkau memiliki kebun kurma dan anggur lalu engkau alirkan sungai-sungai di tengah-tengahnya dengan deras.'” (QS. Al-Isra’: 90-91). Ar-Rabi’ membaca hingga, “(Kami tidak mengutusmu) melainkan sebagai rasul pembawa berita gembira.” (QS. Al-Isra’: 93).
(Imam Syafi’i berkata): Allah menurunkan ayat untuk menguatkannya ketika beliau merasa sempit karena gangguan mereka, “Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit karena apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.” (QS. Al-Hijr: 97-98) hingga akhir surat. Allah mewajibkan beliau untuk menyampaikan (risalah) dan beribadah, tetapi belum mewajibkan perang. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Beliau juga tidak diperintahkan untuk menjauhi mereka. Turunlah, “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.'” (QS. Al-Kafirun: 1-2). Juga firman-Nya, “Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanah), dan kewajibanmu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu.” (QS. An-Nur: 54). Ar-Rabi’ membaca ayat ini. Juga firman-Nya, “Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan.” (QS. Al-Ma’idah: 99), beserta ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Allah memerintahkan mereka untuk tidak mencela sesembahan orang lain, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108) beserta ayat-ayat serupa.
(Imam Syafi’i berkata): Kemudian Allah menurunkan perintah untuk menjauhi orang-orang musyrik, “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka.” (QS. Al-An’am: 68). Juga firman-Nya, “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok.” (QS. An-Nisa’: 140). Ar-Rabi’ membaca hingga, “Sesungguhnya kamu (jika duduk bersama mereka) seperti mereka.” (QS. An-Nisa’: 140).
**[Izin untuk Berhijrah]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Kaum Muslimin sebelumnya dalam keadaan lemah di Makkah untuk waktu yang lama, belum diizinkan berhijrah. Kemudian Allah mengizinkan mereka berhijrah dan menjadikan jalan keluar bagi mereka. Dikatakan bahwa turunlah, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 2). Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memberitahukan bahwa Allah telah menjadikan hijrah sebagai jalan keluar bagi mereka. Beliau bersabda, “Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 100). Beliau memerintahkan mereka ke negeri Habasyah, lalu sekelompok dari mereka berhijrah ke sana. Kemudian penduduk Madinah masuk Islam, maka Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memerintahkan sekelompok lainnya untuk berhijrah ke sana. Tidak diharamkan bagi yang tetap tinggal untuk tidak berhijrah. Allah menyebutkan tentang orang-orang fakir yang berhijrah, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi (bantuan).” (QS. An-Nur: 22). Ar-Rabi’ membaca hingga, “Di jalan Allah.” (QS. An-Nur: 22).
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Kemudian Allah mengizinkan Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuk berhijrah ke Madinah. Tidak diharamkan bagi yang tetap tinggal di Makkah—negeri syirik—untuk menetap, meskipun mereka sedikit dan khawatir mendapat fitnah. Mereka juga belum diizinkan untuk berjihad. Kemudian Allah mengizinkan mereka berjihad, lalu mewajibkan setelah itu agar mereka berhijrah dari negeri syirik. Hal ini dibahas di tempat lain.
**[Awal Diizinkannya Perang]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah mengizinkan mereka salah satu dari dua jihad, yaitu hijrah, sebelum diizinkan memulai peperangan terhadap orang musyrik. Kemudian, mereka diizinkan memulai peperangan. Allah berfirman, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-Hajj: 39-40). Allah juga membolehkan mereka berperang dengan makna yang jelas dalam Kitab-Nya, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui.” (QS. Al-Baqarah: 190-191). Ar-Rabi’ membaca hingga, “Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 191).
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai penduduk Makkah, yang merupakan musuh terberat kaum Muslimin. Kemudian dikatakan bahwa semua ini dihapus, termasuk larangan berperang kecuali jika diperangi, serta larangan berperang di bulan haram, dengan firman Allah, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah.” (QS. Al-Baqarah: 193). Ayat ini turun setelah kewajiban jihad dan dibahas di tempatnya.
**[Kewajiban Hijrah]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ketika Allah mewajibkan jihad kepada Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan beliau berjihad melawan orang-orang musyrik setelah diizinkan, serta banyak orang yang masuk Islam, orang-orang musyrik Makkah semakin keras terhadap Muslim yang ada di antara mereka, menyiksa mereka agar murtad. Allah memberikan udzur bagi yang tidak mampu hijrah dari orang-orang yang difitnah, “Kecuali orang yang dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenang dalam iman.” (QS. An-Nahl: 106). Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengutus pesan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan hijrah sebagai jalan keluar bagi kalian, dan mewajibkan bagi yang mampu untuk keluar jika ia termasuk orang yang difitnah dalam agamanya dan tidak mampu bertahan.”
Tentang seorang yang meninggal sebelum sempat hijrah, Allah berfirman, “(Malaikat) mencabut nyawa orang-orang yang menzalimi diri sendiri (dengan tidak hijrah). Mereka bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?'” (QS. An-Nisa’: 97). Allah juga menjelaskan udzur orang-orang yang lemah, “Kecuali orang-orang yang lemah dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya.” (QS. An-Nisa’: 98) hingga “Maha Penyayang.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Dikatakan bahwa “‘asaa” (mudah-mudahan) dari Allah adalah pasti.
(Imam Syafi’i berkata): Sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menunjukkan bahwa kewajiban hijrah bagi yang mampu hanya berlaku bagi yang difitnah dalam agamanya di negeri tempat ia masuk Islam. Karena Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengizinkan beberapa orang di Makkah, seperti Abbas bin Abdul Muththalib dan lainnya, untuk tetap tinggal setelah masuk Islam, selama tidak khawatir fitnah. Beliau memerintahkan pasukannya untuk mengatakan kepada yang masuk Islam, “Jika kalian berhijrah, maka kalian mendapatkan hak seperti Muhajirin. Jika kalian tetap tinggal, maka status kalian seperti orang Badui.” Pilihan ini hanya diberikan dalam hal yang dihalalkan bagi mereka.
**[Asal Kewajiban Jihad]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Setelah beberapa waktu hijrah, Allah memberikan nikmat kepada sekelompok orang yang mengikuti Rasulullah, sehingga mereka memiliki kekuatan dalam jumlah yang sebelumnya tidak ada. Kemudian Allah mewajibkan jihad kepada mereka setelah sebelumnya hanya membolehkannya. Allah berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216). Juga firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka.” (QS. At-Taubah: 111). Dan firman-Nya, “Dan berperanglah di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 244). Juga, “Dan berjihadlah di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj: 78). Serta, “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka sampai kamu mengalahkan mereka.” (QS. Muhammad: 4). Dan firman-Nya, “Mengapa kamu ketika dikatakan kepadamu, ‘Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,’ kamu merasa berat?” (QS. At-Taubah: 38) hingga “Mahakuasa.” Juga, “Berangkatlah, baik dengan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah.” (QS. At-Taubah: 41). Kemudian Allah menyebutkan orang-orang yang tidak ikut bersama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—padahal mereka menampakkan keislaman, “Seandainya yang kamu serukan kepada mereka adalah keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu.” (QS. At-Taubah: 42). Ayat ini menjelaskan bahwa jihad wajib bagi mereka, baik dalam jarak dekat maupun jauh, sebagaimana dijelaskan di tempat lain, “Yang demikian itu karena mereka tidak akan ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan.” (QS. At-Taubah: 120). Ar-Rabi’ membaca hingga, “Sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 121).
Allah berfirman, “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah.” (QS. At-Taubah: 81). Ar-Rabi’ membaca ayat ini. Juga firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4). Dan firman-Nya, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah?” (QS. An-Nisa’: 75), beserta ayat-ayat lain yang mewajibkan jihad dan menghukum orang yang tidak ikut.
**[Orang yang Tidak Wajib Jihad]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ketika Allah mewajibkan jihad, Dia menjelaskan dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bahwa jihad tidak diwajibkan kepada budak, perempuan yang sudah baligh, atau laki-laki merdeka yang belum baligh. Sebagaimana firman-Nya, “Berangkatlah, baik dengan ringan maupun berat, dan berjihadlah.” (QS. At-Taubah: 41). Ar-Rabi’ membaca ayat ini. Seolah- Allah menetapkan bahwa budak tidak memiliki harta, padahal jihad membutuhkan biaya, sedangkan budak tidak memiliki harta.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Gembirakanlah orang-orang mukmin untuk berperang.” (QS. Al-Anfal: 65). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan mukminah.
Allah juga berfirman, “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang).” (QS. At-Taubah: 122). Dan firman-Nya, “Diwajibkan atas kamu berperang.” (QS. Al-Baqarah: 216). Semua ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah laki-laki, bukan perempuan.
Ketika Allah memerintahkan tentang meminta izin, “Dan apabila anak-anakmu telah mencapai usia baligh, hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An-Nur: 59). Ini menunjukkan bahwa kewajiban meminta izin hanya bagi yang sudah baligh.
Allah juga berfirman, “Dan ujilah anak yatim
Dan ketika aku berusia empat belas tahun, dia menolakku. Kemudian aku menawarkan diri lagi pada tahun Khandaq saat berusia lima belas tahun, dan dia pun mengizinkanku.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Ada budak, wanita, dan anak-anak yang belum baligh yang ikut berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi memberikan bagian (harta rampasan) kepada mereka tanpa memberi bagian tetap, sementara orang-orang lemah dari kalangan merdeka yang sudah baligh dan ikut berperang bersama beliau diberi bagian tetap. Hal ini menunjukkan bahwa bagian tetap hanya diberikan kepada laki-laki merdeka yang ikut berperang, dan ini juga menunjukkan bahwa kewajiban jihad tidak dibebankan kepada selain mereka. Pembahasan ini akan dijelaskan lebih lanjut pada tempatnya.”
**[Orang yang Memiliki Udzur Karena Kelemahan, Sakit, atau Cacat untuk Tidak Berjihad]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Allah Azza wa Jalla berfirman tentang jihad:
*’Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya.’* (QS. At-Taubah: 91).
Dan firman-Nya:
*’Tidak ada dosa atas orang buta, tidak (pula) atas orang pincang, dan tidak (pula) atas orang sakit.’* (QS. An-Nur: 61).”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Dikatakan bahwa ‘orang pincang’ dalam ayat ini adalah orang yang lumpuh, tetapi pendapat yang lebih kuat adalah orang yang pincang pada salah satu kakinya. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini turun untuk menunjukkan bahwa tidak ada dosa bagi mereka jika tidak berjihad, dan ini adalah pendapat yang paling tepat. Mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang lemah, tetapi tidak terbebas dari kewajiban haji, shalat, puasa, atau hukum hudud. Tidak ada kemungkinan lain—wallahu a’lam—kecuali bahwa ayat ini hanya menghilangkan dosa dalam hal jihad, bukan kewajiban lainnya.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Jihad terbagi dua:
- Jihad yang jauh dari tempat tinggal, yaitu perjalanan lebih dari dua malam dengan perjalanan cepat (qashar shalat berlaku), atau melebihi batas miqat haji dari Mekah.
- Jihad yang dekat, yaitu perjalanan kurang dari dua malam (tidak berlaku qashar shalat) atau masih dalam batas miqat ke Mekah.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Jika jihad yang jauh, maka tidak wajib bagi orang yang kuat dan sehat jika dia tidak memiliki kendaraan, senjata, bekal, dan harus meninggalkan nafkah untuk orang yang menjadi tanggungannya sesuai perkiraan waktu kepergiannya. Jika dia memiliki sebagian dari hal-hal tersebut tetapi tidak semuanya, maka dia termasuk orang yang tidak memiliki bekal.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): “Allah menurunkan firman-Nya:
*’Dan tidak (pula) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih.’* (QS. At-Taubah: 92).”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Jika seseorang memiliki semua syarat tersebut, maka dia termasuk golongan yang wajib jihad. Namun, jika dia sudah bersiap tetapi belum berangkat, atau sudah berangkat tetapi belum sampai ke medan jihad, atau sudah sampai lalu sakit, atau menjadi orang yang tidak memiliki bekal di tengah perjalanan, maka dia boleh pulang karena termasuk orang yang memiliki uzur. Tetapi jika dia bertahan, itu lebih aku sukai. Jika dia termasuk orang yang tidak memiliki bekal sejak awal, tidak halal baginya untuk berjihad, tidak boleh bertahan di medan jihad jika sudah berangkat, dan tidak boleh meninggalkan kewajiban untuk melakukan yang sunnah. Sebab, jika dia tidak memiliki bekal, maka jihadnya dianggap sunnah.
Siapa saja yang kukatakan tidak boleh berjihad, maka dia boleh pulang jika sudah berangkat karena uzur, selama dua pasukan belum bertemu. Jika sudah bertemu, dia tidak boleh pulang sampai perang selesai.”
**[Udzur Selain Kondisi Fisik]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Jika seseorang sehat, kuat, memiliki bekal, dan tidak memiliki tanggungan keluarga, maka dia termasuk yang wajib jihad—kecuali jika dia memiliki hutang, atau memiliki orang tua (atau salah satunya) yang menghalanginya. Jika dia memiliki hutang, tidak boleh baginya berjihad dalam keadaan apa pun kecuali dengan izin pemilik hutang.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): “Jika hutang menghalanginya dari syurga meskipun dia syahid, maka jelas bahwa tidak boleh baginya berjihad selama memiliki hutang kecuali dengan izin pemilik hutang, baik itu muslim atau kafir. Jika dia diperintahkan untuk menaati orang tua atau salah satunya untuk tidak berjihad, maka jelas bahwa perintah itu hanya berlaku jika yang ditaati adalah orang yang beriman.
Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa tidak wajib menaati orang tua atau salah satunya kecuali jika mereka beriman?’…”
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:
“Ketaatan diberikan kepada seorang Muslim dalam jihad, tetapi tidak dalam agama? Dikatakan: Agama adalah harta yang menjadi kewajiban bagi pemiliknya, tidak berbeda antara yang berhak menerimanya, baik mukmin maupun kafir; karena kewajiban membayarnya kepada orang kafir sama seperti kepada orang mukmin. Tidak ada ketaatan dalam meninggalkan jihad bagi pemilik hak agama, kecuali terkait hartanya. Jika dia bebas dari hartanya, maka perintah dan larangan pemilik agama sama saja, tidak ada kewajiban taat; karena tidak ada hak atasnya selain harta. Ketika kepergian bertujuan menghabiskan hartanya, dia tidak boleh pergi tanpa izin atau setelah bebas dari kewajiban agamanya.
Orang tua memiliki hak atas dirinya yang tidak hilang dalam keadaan apa pun karena kasih sayang kepada anak dan kelembutan padanya, serta kewajiban untuk melihat mereka sebagai bentuk bakti. Jika mereka seagama, hak mereka tidak hilang dalam keadaan apa pun, dan dia tidak bisa bebas darinya dengan cara apa pun. Dia tidak boleh berjihad tanpa izin mereka. Jika mereka berbeda agama, jihad hanya terhadap penganut agama mereka, sehingga tidak ada kewajiban taat untuk meninggalkan jihad. Dia boleh berjihad meski bertentangan dengan mereka. Kebanyakan larangan mereka karena tidak suka dengan agamanya dan ridha dengan agama mereka, bukan hanya karena kasih sayang. Hubungan kekuasaan antara dia dan mereka dalam agama telah terputus.
Jika ada yang bertanya: Apakah ada bukti untuk apa yang kau jelaskan? Dijawab: Ibnu Utbah bin Rabi’ah berjihad bersama Nabi ﷺ, dan Nabi memerintahkannya untuk berjihad, sementara ayahnya memerangi Nabi. Aku tidak ragu bahwa ayahnya tidak suka dia berjihad bersama Nabi. Abdullah bin Abdullah bin Ubay juga berjihad bersama Nabi ﷺ, sementara ayahnya menolak bergabung dengan Nabi di Uhud dan melemahkan semangat pengikutnya bersama orang lain. Aku tidak ragu—insya Allah—bahwa mereka tidak suka anak-anak mereka berjihad bersama Nabi jika mereka sendiri memerangi atau melemahkan Nabi.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika salah satu orang tua masuk Islam, anak wajib tidak berperang tanpa izinnya, kecuali jika anak tahu orang tua itu munafik, maka tidak ada kewajiban taat dalam jihad. Jika seseorang berperang sementara salah satu atau kedua orang tuanya musyrik, lalu mereka masuk Islam dan memerintahkannya pulang, dia wajib pulang selama tidak sampai di tempat yang sulit kembali kecuali dengan risiko binasa, seperti sudah memasuki wilayah musuh. Jika dia meninggalkan kaum Muslimin, dia tidak aman dari musuh. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak boleh pulang karena sulitnya kembali. Begitu juga jika dia belum masuk wilayah berbahaya, tetapi jika meninggalkan kelompok bisa membahayakan dirinya. Hal serupa jika dia berperang tanpa kewajiban agama, lalu masuk Islam dan pemilik hak agama memintanya pulang.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika kedua orang tua atau salah satunya memintanya pulang, dan tidak ada bahaya di jalan atau uzur lain, dia wajib pulang karena uzur. Jika aku katakan dia tidak boleh pulang, aku tidak suka dia terburu-buru atau berada di barisan depan pasukan, atau mengambil posisi yang berisiko terbunuh. Karena jika aku melarangnya berjihad demi taat kepada orang tua atau pemilik hak agama, aku juga melarangnya—jika ada uzur—dari risiko terbunuh. Begitu juga aku melarangnya mengambil risiko terbunuh jika dia pergi tanpa hak, berbeda dengan pemilik hak agama atau salah satu orang tuanya yang tidak merestui.
Orang yang berkelamin ambigu (khuntsa) tidak wajib jihad. Jika dia berperang, dia tidak mendapat bagian rampasan perang (sahm), tetapi diberi seperti bagian wanita. Budak boleh berperang. Jika terbukti dia laki-laki, maka sejak itu dia wajib jihad dan mendapat bagian seperti laki-laki.
[Uzur yang Muncul]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika orang tua mengizinkan seseorang berjihad, lalu memerintahkannya pulang, dia wajib pulang kecuali ada uzur baru. Uzur adalah seperti yang kujelaskan: takut di jalan, sulitnya perjalanan, sakit yang menghalangi pulang, kurang bekal sehingga tidak cukup untuk pulang, atau kehilangan kendaraan yang membuatnya tidak bisa kembali.”
Kembali bersamanya, atau ia berperang dengan upah dari Sultan, dan tidak mampu kembali bersamanya. Tidak diperbolehkan berperang dengan upah dari harta seseorang. Jika ia berperang dengan upah tersebut, ia wajib kembali dan mengembalikan upah itu. Aku hanya membolehkan hal ini dari Sultan karena ia berperang dengan sebagian haknya, dan Sultan tidak berhak menahannya dalam keadaan di mana ia bisa kembali, kecuali dalam satu keadaan lain, yaitu jika dikhawatirkan kembalinya dia dan orang-orang dalam kondisi serupa akan membuat jumlah mereka banyak dan menyebabkan kaum Muslimin mengalami kekurangan akibat kepulangan mereka. Jika kekhawatiran itu besar, maka Sultan boleh menahannya dalam keadaan ini, dan mereka tidak boleh kembali. Jika keadaan itu telah berlalu, mereka wajib kembali, dan Sultan wajib membebaskan mereka, kecuali bagi yang berperang dengan upah jika kepulangan mereka disebabkan oleh orang tua atau pemilik hutang, bukan karena sakit fisik. Jika salah satu dari mereka ingin kembali karena alasan fisik yang menghalanginya dari kewajiban jihad, maka Sultan wajib membebaskannya, baik ia berperang dengan upah atau tanpa upah. Namun, ia tidak boleh membatalkan upah karena itu adalah hak yang telah ia terima dan ia berhak atasnya.
Jika terjadi keadaan darurat, seperti sakit, lumpuh, pincang parah yang menghalanginya berjalan normal, atau semacamnya—(Imam Syafi’i rahimahullah berkata)—menurutku, pincang yang mengurangi kemampuannya berjalan atau berlari dibanding orang sehat adalah uzur, dan Allah Yang Maha Tahu. Demikian juga jika kendaraannya hilang atau bekalnya habis, ia terbebas dari kewajiban jihad. Sultan tidak boleh menahannya kecuali dalam satu keadaan, yaitu jika ia pergi untuk memenuhi kewajiban jihad dengan jumlah pasukan yang sedikit. Sultan wajib memberi mereka bekal hingga cukup. Jika Sultan melakukannya, ia boleh menahan mereka, dan orang itu tidak boleh menolak menerimanya kecuali jika ia tetap ikut berjihad hingga selesai. Jika ia melakukannya, ia boleh menolak menerima bekal.
Jika seseorang berperang lalu bekal atau kendaraannya hilang, kemudian ia menemukan bekal atau mendapatkan kendaraan, maka jika itu terjadi di negeri musuh, ia tidak boleh keluar dan wajib kembali, kecuali jika ia merasa takut. Jika ia telah meninggalkan negeri musuh, ia boleh memilih untuk kembali, kecuali jika ia merasa takut, maka tidak wajib baginya kembali karena ia telah keluar dan termasuk orang yang beruzur. Jika kepulangannya atau kepulangan sekelompok orang dalam kondisi serupa akan menyebabkan kaum Muslimin mengalami kekurangan, maka mereka dan setiap individu wajib kembali seperti yang kujelaskan, kecuali jika mereka khawatir akan terputus dalam perjalanan pulang karena ketakutan yang nyata, maka mereka boleh beruzur untuk tidak kembali.
**[Perubahan keadaan orang yang tidak wajib jihad]**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang termasuk yang tidak wajib jihad karena uzur seperti yang kujelaskan, atau ia termasuk yang wajib jihad lalu pergi berjihad, kemudian terjadi hal yang membebaskannya dari kewajiban jihad karena uzur pada dirinya atau hartanya, lalu keadaan itu hilang, ia kembali menjadi orang yang wajib jihad. Misalnya, jika ia buta lalu sembuh dan bisa melihat dengan satu atau kedua matanya sehingga keluar dari status buta, atau pincang lalu sembuh, atau sakit lalu sembuh, atau sebelumnya tidak memiliki bekal lalu memilikinya, atau masih kecil lalu balig, atau budak lalu merdeka, atau khuntsa (hermafrodit) yang tidak jelas jenis kelaminnya lalu jelas sebagai laki-laki, atau kafir lalu masuk Islam—maka ia termasuk yang wajib jihad. Jika negerinya seperti negeri lainnya yang wajib jihad, dan ia telah berjihad dengan uzur lalu uzurnya hilang sehingga ia termasuk yang wajib jihad, ia tidak boleh pulang dari jihad sebelum pasukannya atau sebagian pasukan lain pulang pada waktu yang diperbolehkan.
Ia berkata: Pemimpin tidak boleh memaksa orang untuk terus berjihad. Jika ia memaksa mereka, ia telah berbuat buruk, dan semua orang boleh menolak serta kembali. Jika sebagian pasukan menaatinya dan tetap tinggal, lalu sebagian dari mereka ingin kembali, mereka tidak boleh (dilarang).
**Kembali kecuali bagi yang tertinggal karena terhalang di tempat mereka, bukan karena ketakutan yang besar. Boleh bagi yang ingin kembali untuk melakukannya saat itu, baik seorang diri maupun kelompok. Sebab, seorang diri mungkin mengurangi sedikit (pasukan), sedangkan kelompok bisa mengurangi banyak. Dan bagi yang memiliki uzur, boleh kembali kapan saja setelah melempar jumrah dan telah cukup baginya kadar perang, meskipun itu mengurangi kekuatan pasukannya. Setiap situasi yang kukatakan tidak pantas bagi seseorang untuk kembali, maka imam harus mengizinkan pada waktu yang kukatakan sebagian mereka boleh kembali, dan melarang pada waktu yang kukatakan mereka tidak boleh kembali.**
**[Kehadiran Mereka yang Tidak Wajib Berperang]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Orang-orang yang tidak berdosa jika tidak berperang—dan Allah Yang Maha Tahu—terbagi dua:
- Orang merdeka yang sudah baligh tetapi memiliki uzur seperti yang telah kujelaskan.
- Mereka yang tidak wajib berperang sama sekali, yaitu budak, anak laki-laki yang belum baligh, dan perempuan.
Tidak haram bagi imam untuk mengajak kedua kelompok ini ikut berperang bersamanya, dan tidak haram pula bagi salah satu dari mereka untuk ikut serta.”
(Imam Syafi’i berkata): “Abdul Aziz bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Yazid bin Hurmuz, bahwa Najdah menulis surat kepada Ibnu Abbas bertanya: ‘Apakah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berperang bersama perempuan? Apakah beliau memberikan bagian (ghanimah) untuk mereka?’ Ibnu Abbas menjawab: ‘Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berperang bersama perempuan untuk merawat luka, tetapi beliau tidak memberikan bagian khusus untuk mereka. Mereka hanya mendapat bagian dari ghanimah.'”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Dan telah tercatat bahwa budak dan anak-anak ikut berperang bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan beliau memberikan bagian ghanimah untuk mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang yang tidak wajib jihad—baik kuat maupun lemah—ikut berperang, maka ia diberi bagian ghanimah sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberikan kepada perempuan, dan diqiyaskan kepada mereka serta berdasarkan riwayat tentang budak dan anak-anak. Namun, bagian mereka tidak sampai sebesar bagian orang merdeka, bahkan tidak mendekatinya. Mereka juga bisa diberi lebih satu sama lain jika ada di antara mereka yang memberikan manfaat dalam peperangan atau membantu kaum muslimin yang berperang. Namun, kebanyakan mereka tidak mendapat bagian sebanyak seorang pejuang merdeka.”
“Jika seorang laki-laki merdeka yang sudah baligh tetapi memiliki uzur untuk tidak ikut berperang—karena tua, lemah akibat sakit, uzur lain, atau miskin yang memiliki alasan—ikut berperang, maka ia diberi bagian seperti pejuang sempurna. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa mereka diberi bagian padahal tidak wajib berperang, tidak memberikan manfaat besar, sementara budak yang membantu tidak diberi bagian penuh, begitu pula perempuan dan anak remaja meskipun mereka membantu, padahal mereka tidak wajib jihad?’
Jawabannya: Kami berargumen berdasarkan riwayat dan qiyas.
– Riwayat: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberikan bagian ghanimah untuk perempuan. Budak dan anak-anak juga termasuk yang tidak wajib berperang, meskipun mereka kuat dan tidak memiliki uzur fisik. Begitu pula budak—meskipun diberi nafkah—jihad tidak wajib bagi mereka, sehingga mereka bukan ahli jihad dalam kondisi apa pun, seperti halnya anak kecil dan budak yang berhaji tetapi tidak mencukupi kewajiban haji Islam karena mereka bukan orang yang wajib haji.
– Sedangkan laki-laki dan perempuan yang uzur (karena tua atau sakit) serta orang miskin yang memiliki alasan, haji mereka sah sebagai haji Islam karena kewajiban haji hanya gugur dari mereka karena uzur pada badan atau harta. Jika uzur itu hilang, mereka kembali termasuk ahli haji. Berbeda dengan anak kecil dan budak dalam haji.”
(Imam Syafi’i berkata): “Demikian pula jika mereka tidak seperti itu, dan perempuan serupa dengan mereka dalam jihad. Namun, bagian tetap diberikan kepada orang uzur dan miskin yang tidak wajib berperang, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memberikan bagian untuk orang sakit, terluka, dan orang-orang yang tidak memiliki manfaat dalam peperangan. Kewajiban jihad tidak gugur dari mereka kecuali karena uzur yang jika hilang, mereka kembali termasuk ahli jihad. Jadi, jika mereka bersusah payah ikut berperang, mereka berhak mendapat bagian seperti ahli jihad.”
**[Orang yang Tidak Boleh Dibawa Berperang oleh Imam dalam Keadaan Apa Pun]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berperang, dan bersama beliau ada sebagian orang yang diketahui kemunafikannya. Mereka mundur pada Perang Uhud sebanyak tiga ratus orang, kemudian hadir bersama beliau pada Perang Khandaq dan mengucapkan perkataan sebagaimana yang Allah ceritakan: *”Tidaklah janji Allah dan Rasul-Nya kepada kami kecuali tipuan belaka.”* (QS. Al-Ahzab: 12). Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berperang melawan Bani Musthaliq, dan sejumlah orang munafik ikut serta, lalu mereka mengucapkan perkataan yang Allah ceritakan: *”Jika kita kembali ke Madinah, pastilah orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah.”* (QS. Al-Munafiqun: 8), serta ucapan-ucapan lain yang Allah sebutkan tentang kemunafikan mereka. Selanjutnya, beliau berperang dalam Perang Tabuk, dan sekelompok dari mereka ikut serta, termasuk mereka yang berusaha membunuh beliau pada malam Al-‘Aqabah, tetapi Allah melindungi beliau dari kejahatan mereka. Sebagian lagi tidak ikut, dan Allah menurunkan ayat tentang mereka saat Perang Tabuk atau setelahnya—padahal tidak ada peperangan di Tabuk—firman-Nya: *”Jika mereka benar-benar ingin berangkat, tentulah mereka mempersiapkan persiapan. Tetapi Allah tidak menyukai kepergian mereka, maka Dia menahan mereka, dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah bersama orang-orang yang tinggal.'”* (QS. At-Taubah: 46).
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah memperlihatkan kepada Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- rahasia mereka, berita yang mereka dengar, serta upaya mereka untuk menyesatkan pengikut beliau dengan kebohongan, keresahan, dan upaya melemahkan semangat. Allah memberitahukan bahwa Dia tidak menyukai keikutsertaan mereka, lalu menahan mereka karena niat buruk mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan untuk mencegah orang yang memiliki sifat seperti mereka dari ikut berperang bersama kaum Muslimin, karena mereka membawa bahaya. Allah mempertegas hal ini dengan firman-Nya: *”Orang-orang yang ditinggalkan itu bergembira karena mereka bisa duduk-duduk di belakang Rasulullah.”* (QS. At-Taubah: 81).
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Siapa saja yang dikenal memiliki sifat seperti yang Allah gambarkan tentang orang munafik, tidak halal bagi imam untuk membiarkannya ikut berperang. Jika dia tetap ikut, dia tidak berhak mendapat bagian harta rampasan (ghanimah) atau pemberian, karena Allah melarang mereka ikut berperang demi mencari keuntungan, sebab mereka hanya akan menimbulkan fitnah dan melemahkan kaum Muslimin. Di antara mereka ada yang diikuti karena kelalaian, hubungan kekerabatan, atau persahabatan, dan hal ini bisa lebih berbahaya daripada musuh yang nyata.
(Imam Syafi’i berkata): Setelah ayat ini turun, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengajak mereka berperang. Jika Allah mengharamkan keikutsertaan mereka, maka mereka tidak berhak mendapat bagian harta rampasan, pemberian, atau apa pun, meskipun mereka ikut berperang. Sebab, Allah tidak melarang keikutsertaan selain mereka. Adapun orang yang tidak memiliki sifat seperti yang Allah gambarkan, atau hanya sebagian, dan keadaannya tidak terpuji atau diduga demikian, tetapi dia bukan orang yang ditaati atau membahayakan seperti yang Allah sebutkan, maka dia tetap berada dalam hukum Islam, kecuali dalam hal yang Allah larang. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap mengakui mereka dalam hukum Islam setelah turunnya ayat, hanya saja mereka dilarang ikut berperang karena bahaya yang mereka timbulkan. Namun, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak melarang seorang pun untuk menshalatkan mereka, meskipun shalatnya berbeda dengan shalat untuk orang lain.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada orang musyrik yang ikut berperang bersama kaum Muslimin, dan dia memiliki pengikut—baik Muslim atau musyrik—yang menunjukkan tanda-tanda kekalahan, keserakahan, atau upaya memecah belah kaum Muslimin, maka tidak boleh mengajaknya berperang. Jika dia tetap diajak, dia tidak berhak mendapat pemberian, karena jika sifat seperti ini berbahaya pada orang munafik yang masih menyembunyikan kemunafikannya, apalagi pada orang musyrik yang terang-terangan. Perbuatan mereka bisa lebih buruk. Namun, jika ada orang musyrik yang tidak seperti itu dan justru bermanfaat bagi kaum Muslimin—seperti memberi informasi tentang kelemahan musuh, jalan, atau harta, atau memberikan nasihat—maka tidak mengapa mengajaknya berperang. Tetapi lebih baik tidak memberinya bagian dari harta rampasan, melainkan memberinya upah dari harta yang tidak memiliki pemilik tertentu, bukan dari bagian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Jika hal ini terlewat, dia boleh diberi dari bagian Nabi. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah mengembalikan seorang musyrik pada Perang Badar—disebutkan namanya Nu’aim—lalu dia masuk Islam. Barangkali beliau mengembalikannya dengan harapan dia akan masuk Islam. Hal ini menunjukkan bahwa imam boleh menolak orang musyrik untuk ikut berperang atau mengizinkannya, begitu pula orang Muslim yang lemah.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berperang dengan Yahudi Bani Qainuqa’ setelah Perang Badar. Shafwan bin Umayah—yang masih musyrik—ikut serta bersamanya dalam Perang Hunain setelah Fathu Makkah.
(Imam Syafi’i berkata): Wanita dan anak-anak musyrik statusnya sama dengan laki-laki musyrik; tidak haram jika mereka ikut dalam peperangan, tetapi lebih baik tidak memberi mereka bagian. Jika mereka ikut berperang, tidak jelas apakah mereka boleh diberi sesuatu, kecuali jika mereka memberikan manfaat bagi kaum Muslimin. Jika diberi, pemberiannya tidak seperti yang diberikan kepada budak Muslim, wanita, atau anak-anak Muslim. Lebih baik mereka tidak ikut berperang jika tidak ada manfaatnya, karena kita hanya membolehkan wanita dan anak-anak ikut berperang dengan harapan mereka bisa membantu, sesuai dengan ketentuan Allah bagi orang beriman. Hal ini tidak berlaku bagi orang musyrik.
**[Keutamaan Kewajiban Jihad]**
(Ar-Rabi’ meriwayatkan, Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman: *”Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu tidak kalian sukai.”* (QS. Al-Baqarah: 216), di samping kewajiban berperang dalam ayat-ayat lain. Kami telah menjelaskan bahwa kewajiban ini berlaku bagi Muslim yang merdeka, baligh, dan tidak memiliki uzur, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Kewajiban jihad bisa bersifat umum seperti shalat, atau tidak umum. Namun, Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa kewajiban jihad hanya dibebankan kepada orang yang mampu melaksanakannya hingga terpenuhi dua hal: (1) ada yang menghadapi musuh yang mengancam kaum Muslimin, dan (2) cukup dengan jihad sebagian kaum Muslimin hingga penyembah berhala masuk Islam atau ahli kitab membayar jizyah. Jika sudah ada yang memenuhi, maka yang tidak ikut tidak berdosa, tetapi keutamaan tetap bagi yang berjihad. Allah berfirman: *”Tidak sama antara orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang) di antara orang-orang beriman yang tidak memiliki uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.”* (QS. An-Nisa’: 95).
(Imam Syafi’i berkata): Ketika Allah menjanjikan *”kebaikan”* bagi orang yang duduk (tidak berjihad) tanpa uzur, itu menunjukkan bahwa mereka tidak berdosa karena tidak ikut, tetapi mereka tetap dijanjikan pahala selama mereka tidak ragu atau berniat buruk, meskipun mereka melewatkan keutamaan berjihad. Allah juga menjelaskan dalam perintah berangkat perang: *”Berangkatlah, baik dalam keadaan ringan maupun berat.”* (QS. At-Taubah: 41), dan firman-Nya: *”Jika kalian tidak berangkat, Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih.”* (QS. At-Taubah: 39), serta firman-Nya: *”Tidak sepatutnya orang-orang beriman pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam agama?”* (QS. At-Taubah: 122). Ini menunjukkan bahwa kewajiban jihad dibebankan sesuai dengan kecukupan.
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah berperang kecuali ada sebagian sahabat yang tidak ikut. Pada Perang Badar, beberapa orang yang dikenal tidak ikut, begitu pula pada Fathu Makkah dan perang lainnya. Pada Perang Tabuk, beliau memerintahkan: *”Dari setiap dua orang, satu orang berangkat, dan yang lain tinggal untuk menjaga keluarga dan harta yang ditinggalkan.”*
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga mengirim pasukan dan sariyah (pasukan kecil) tanpa ikut sendiri, meskipun beliau sangat bersemangat berjihad.
(Imam Syafi’i berkata): Allah menjelaskan bahwa jika semua tidak berangkat, mereka semua berdosa, sebagaimana firman-Nya: *”Jika kalian tidak berangkat, Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih.”* (QS. At-Taubah: 39). Maksudnya, jika semua tidak berangkat, mereka semua akan dihukum. Jadi, kewajiban jihad seperti yang saya jelaskan: jika sudah ada yang memenuhi, yang lain tidak berdosa; tetapi jika semua tidak berangkat, mereka semua berdosa.
[Pembagian Kewajiban Jihad]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman, *”Perangilah orang-orang kafir yang dekat dengan kalian.”* (QS. At-Taubah: 123). Allah mewajibkan jihad melawan kaum musyrik, kemudian menjelaskan siapa yang harus didahulukan dalam memerangi mereka, yaitu mereka yang paling dekat dengan kaum Muslimin. Secara logis, yang paling utama untuk diperangi adalah yang terdekat dengan wilayah Muslim, karena jika mereka mampu memerangi musuh terdekat, mereka juga lebih kuat dalam menghadapi musuh lainnya. Musuh yang dekat lebih berbahaya bagi keamanan Muslimin dan serangannya lebih merugikan dibanding musuh yang jauh.
Khalifah wajib memprioritaskan memerangi musuh terdekat jika kondisi musuh setara atau jika kaum Muslimin memiliki kekuatan. Mereka tidak boleh melewati musuh terdekat untuk memerangi musuh di belakangnya, kecuali musuh terdekat telah tunduk dengan masuk Islam atau membayar jizyah (jika mereka Ahli Kitab). Jika tidak ada keinginan untuk memerangi musuh di belakangnya dan tidak membahayakan kaum Muslimin, maka yang terdekat harus didahulukan karena mereka lebih berhak disebut “yang dekat dengan Muslimin.” Jika ada beberapa kelompok musuh yang masing-masing dekat dengan wilayah Muslim, maka sebaiknya tidak memprioritaskan satu kelompok tertentu kecuali mereka lebih dekat dengan wilayah Muslim lainnya.
Jika kondisi musuh berbeda—ada yang lebih berbahaya atau lebih mengancam—Imam boleh memprioritaskan musuh yang lebih berbahaya, meski wilayahnya lebih jauh. Ini seperti keadaan darurat, di mana sesuatu yang biasanya tidak diperbolehkan menjadi boleh. Contohnya, Nabi ﷺ pernah menyerang Al-Harits bin Abi Dhirar setelah mendapat kabar bahwa ia mengumpulkan pasukan, padahal ada musuh yang lebih dekat. Begitu pula ketika Khalid bin Abi Sufyan bin Syihh mengumpulkan pasukan, Nabi ﷺ mengutus Ibnu Unais untuk membunuhnya meski ada musuh lebih dekat.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam kondisi seperti ini, prioritas jihad disesuaikan dengan tingkat ancaman. Yang utama adalah mengamankan perbatasan Muslimin dengan pasukan, benteng, parit, dan segala cara pertahanan sebelum musuh menyerang. Setiap perbatasan harus dijaga oleh pasukan yang mampu menghadapi musuh terdekat. Pemimpin pasukan harus orang yang amanah, bijaksana, berpengalaman dalam perang, berani, sabar, dan tidak gegabah.
Setelah pertahanan Muslimin kuat, khalifah wajib menyerang wilayah musuh di waktu yang aman dan memiliki peluang kemenangan. Jika Muslimin kuat, sebaiknya tidak ada satu tahun pun tanpa ekspedisi militer ke wilayah musuh terdekat. Jika memungkinkan tanpa membahayakan Muslimin, ekspedisi harus dilakukan sesering mungkin. Minimal, tidak boleh ada satu tahun tanpa jihad kecuali ada uzur. Jika menyerang satu wilayah di satu tahun, tahun berikutnya menyerang wilayah lain. Kecuali jika kondisi musuh berbeda—ada yang lebih berbahaya atau lebih mudah ditaklukkan.
Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan jihad setelah diwajibkan, baik dengan memimpin langsung atau mengirim pasukan. Kadang beliau tidak berperang karena beristirahat, berdoa, atau menghadapi musuh dengan diplomasi.
Penduduk wilayah perbatasan (ahlul fa’i) wajib memerangi musuh terdekat. Mereka tidak boleh dipaksa menyerang wilayah jauh jika masih ada musuh dekat, kecuali pasukan terdekat tidak cukup.
Tidak boleh semua penduduk suatu wilayah Muslim pergi berjihad tanpa meninggalkan pasukan pertahanan. Jika jumlah mereka sedikit dan khawatir diserang musuh, mereka tidak wajib berjihad dan statusnya seperti pasukan penjaga perbatasan. Jika wilayah mereka aman, boleh mengirim separuh pasukan (satu dari setiap dua orang), seperti saat Perang Tabuk ketika Nabi ﷺ memerintahkan, *”Hendaklah satu orang berangkat dari setiap dua orang.”*
Jika suatu wilayah pesisir (seperti Syam) terus berhadapan dengan musuh (seperti Romawi), penduduknya boleh fokus mempertahankan wilayah mereka dengan bantuan pasukan Muslim lainnya, asalkan pertahanan mereka kuat.
Pemimpin pasukan harus orang yang terpercaya, berani, sabar, ahli strategi perang, dan tidak gegabah. Ia tidak boleh memerintahkan pasukan ke medan berbahaya yang tidak mungkin dimenangkan, seperti menyerang benteng yang terlalu kuat atau memasuki jebakan maut. Jika ia melakukannya, ia berdosa dan harus bertaubat, tetapi tidak dikenakan denda atau qishash jika pasukan gugur.
Pasukan juga tidak boleh diperintahkan menyerang musuh yang jauh lebih banyak tanpa bantuan. Satu Muslim tidak boleh dipaksa melawan lebih dari dua musuh. Jika diperintahkan melampaui kemampuan, mereka boleh menolak.
Tidak ada denda atau qishash bagi pemimpin karena jihad adalah ibadah, dan pasukan boleh mengambil risiko lebih demi dua kemungkinan: menang atau syahid. Contohnya, seorang Anshar di Perang Badar menyerang sendirian sekelompok musyrik setelah Nabi ﷺ menyebutkan pahalanya, dan ia gugur.
[Larangan Melarikan Diri dari Medan Perang]
Allah Ta’ala berfirman, *”Wahai Nabi, kobarkanlah semangat kaum Mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang sabar di antara kalian, mereka akan mengalahkan dua ratus musuh.”* (QS. Al-Anfal: 65). Kemudian Allah meringankan dengan firman-Nya, *”Sekarang Allah telah meringankan bagi kalian, dan Dia tahu ada kelemahan pada kalian. Jika ada seratus orang sabar, mereka akan mengalahkan dua ratus musuh.”* (QS. Al-Anfal: 66).
Ibnu Abbas menjelaskan: Awalnya, 20 Muslim dilarang lari dari 200 musuh, lalu Allah meringankan menjadi 100 Muslim tidak boleh lari dari 200 musuh.
(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai penjelasan Ibnu Abbas. Allah juga berfirman, *”Jika kalian bertemu orang kafir dalam pertempuran, janganlah kalian membelakangi mereka.”* (QS. Al-Anfal: 15). Jika Muslim bertemu musuh dengan jumlah sama atau separuhnya, haram lari kecuali untuk strategi (bergabung dengan pasukan lain atau mengubah posisi). Jika musuh lebih dari dua kali lipat, sebaiknya tidak lari, tetapi tidak berdosa jika terpaksa asalkan tidak untuk kabur total.
Jika Muslim kalah jumlah atau terdesak, mereka tidak berdosa jika lari untuk menyusun strategi. Tetapi jika lari tanpa niat strategi, mereka berdosa. Niat baik setelah lari tidak menghapus dosa awal.
Orang yang ikut jihad tanpa uzur (seperti lemah atau sakit) boleh ikut perang, tetapi jika memaksakan diri, ia terkena kewajiban penuh seperti orang sehat. Budak yang diizinkan tuannya statusnya seperti orang merdeka. Budak tanpa izin, orang gila, anak kecil, dan wanita tidak berdosa jika lari karena tidak wajib jihad.
Jika Muslim mendapatkan ghanimah lalu sebagian lari sebelum pembagian, mereka tetap berhak jika lari untuk strategi. Jika lari tanpa alasan, mereka tidak berhak ghanimah karena statusnya seperti pelanggar.
Jika pasukan mundur tanpa strategi, statusnya seperti kabur. Jika hewan atau senjata mereka hilang, mereka tidak boleh lari selama masih bisa bertahan dengan batu, kayu, atau alat lain.
Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
—
**Tentang Larangan Melarikan Diri dari Medan Perang**
Jika seseorang melarikan diri dari pertempuran, lebih baik baginya untuk kembali. Jika mereka melakukannya, aku lebih suka mereka berkumpul kembali dengan syarat mereka bersiap untuk bertempur atau bergabung dengan kelompok lain, dan tidak terlihat bahwa mereka berdosa. Karena mereka termasuk orang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi itu. Dalam semua ini, aku lebih suka tidak ada seorang pun yang melarikan diri kecuali untuk bersiap bertempur atau bergabung dengan kelompok lain.
Jika kaum musyrik menyerang negeri Muslim, larangan Muslim melarikan diri sama seperti larangan jika Muslim menyerang mereka, selama mereka tetap berada di posisi mereka dan harus menghadapi musuh.
Dikatakan: Tidak boleh mempersulit Muslim yang berlindung dari musuh di wilayah musuh atau wilayah Islam, meskipun mereka mampu mengalahkan musuh menurut pandangan mereka, selama mereka yakin itu akan menambah kekuatan mereka, asalkan musuh tidak mengambil harta atau nyawa Muslim saat berlindung. Jika salah satu dari dua hal ini membahayakan Muslim, mereka tidak boleh tinggal jika bisa keluar. Namun, jika musuh menguasai, tidak masalah berlindung sampai bantuan datang atau kekuatan mereka bertambah. Jika mereka lemah, tidak masalah menghindari musuh selama belum bertemu langsung, karena larangan melarikan diri berlaku setelah bertemu.
**(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):**
“Berpindah untuk bertempur berarti bergerak ke posisi yang memungkinkan untuk kembali menyerang dalam kondisi apa pun. Bergabung dengan kelompok lain di mana pun kelompok itu berada, baik di wilayah musuh atau wilayah Islam, lebih utama. Orang yang melarikan diri tanpa niat salah satu dari dua hal ini berdosa.”
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Yazid bin Abi Ziyad dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Ibnu Umar:
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengutus kami dalam sebuah pasukan. Ketika bertemu musuh, orang-orang berlarian. Kami kembali ke Madinah dan membuka pintunya. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami adalah orang-orang yang melarikan diri.’ Beliau bersabda, ‘Kalian adalah orang-orang yang kembali, dan aku adalah kelompok kalian.'”
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid bahwa Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
“Aku adalah kelompok setiap Muslim.”
—
**Tentang Menampakkan Agama Nabi di Atas Semua Agama**
**(Imam Syafi’i berkata):**
Allah Ta’ala berfirman:
**”Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang musyrik membenci.”** (QS. At-Taubah: 33)
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Jika Kisra binasa, tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, tidak akan ada Kaisar setelahnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, harta mereka akan diinfakkan di jalan Allah.”
**(Imam Syafi’i berkata):**
“Ketika Kisra menerima surat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ia merobeknya. Maka Rasulullah bersabda, ‘Allah akan merobek kerajaannya.'”
Dia juga berkata:
“Kami mengetahui bahwa Kaisar menghormati surat Nabi dan menyimpannya dalam wangi-wangian. Nabi bersabda, ‘Kerajaannya akan tetap ada.'”
**(Imam Syafi’i berkata):**
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjanjikan pembebasan Persia dan Syam. Abu Bakar kemudian mengirim pasukan ke Syam dengan keyakinan akan kemenangan berdasarkan sabda Nabi. Sebagian Syam dibebaskan, dan pembebasan lengkap terjadi di masa Umar, termasuk Irak dan Persia.
Allah telah menampakkan agama yang dibawa Rasul-Nya di atas semua agama dengan menunjukkan kebenarannya kepada setiap yang mendengarnya dan membatalkan agama lain. Kekufuran terbagi menjadi dua: agama Ahli Kitab dan agama penyembah berhala. Rasulullah mengalahkan penyembah berhala hingga mereka masuk Islam, baik secara sukarela atau terpaksa. Sebagian Ahli Kitab dibunuh atau ditawan hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan patuh. Ini adalah kemenangan agama atas segalanya.
Dikatakan juga bahwa Allah akan menampakkan agama-Nya hingga tidak ada yang disembah kecuali dengan agama ini, sesuai kehendak-Nya.
**(Imam Syafi’i berkata):**
Dahulu, Quraisy sering berdagang ke Syam dan Irak. Ketika mereka masuk Islam, mereka mengkhawatirkan terputusnya mata pencaharian mereka. Nabi bersabda, **”Jika Kisra binasa, tidak akan ada Kisra setelahnya.”**
Ternyata, tidak ada lagi Kisra di Irak setelahnya. Begitu pula dengan Kaisar di Syam. Allah menghancurkan kekuasaan Kisra di Irak dan Persia serta Kaisar di Syam.
Nabi bersabda tentang Kisra, **”Allah akan merobek kerajaannya,”** dan tentang Kaisar, **”Kerajaannya akan tetap ada.”** Kekuasaan Romawi bertahan hingga hari ini, tetapi wilayah Syam lepas dari mereka. Semua ini saling membenarkan.
—
**Siapa yang Wajib Membayar Jizyah dan yang Tidak**
**(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):**
Allah mengutus Rasul-Nya di Mekah, negeri kaumnya yang penyembah berhala. Demikian pula orang-orang Arab di sekitarnya. Tidak ada orang asing di antara mereka kecuali budak, pekerja, atau orang yang lewat.
Allah berfirman:
**”Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri.”** (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Tidak ada yang lebih memusuhi Nabi di awal dakwah selain kaumnya sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. Allah mewajibkan jihad melawan mereka:
**”Perangilah mereka hingga tidak ada fitnah dan agama hanya milik Allah.”** (QS. Al-Anfal: 39)
Juga firman-Nya:
**”Jika bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun kalian temui.”** (QS. At-Taubah: 5)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
**”Aku akan terus memerangi manusia hingga mereka mengucapkan La ilaha illallah. Jika mereka mengucapkannya, darah dan harta mereka terlindungi kecuali dengan haknya, dan hisab mereka ada pada Allah.”**
Diriwayatkan juga bahwa Nabi melarang membunuh orang yang mendengar azan atau melihat masjid.
Umar bin Khattab berkata:
“Bukankah Rasulullah bersabda, **’Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengucapkan La ilaha illallah’?**”
Abu Bakar menjawab:
“Ini termasuk haknya. Jika mereka menolak membayar zakat yang pernah mereka berikan kepada Rasulullah, aku akan memerangi mereka.”
**(Imam Syafi’i berkata):**
Ini berlaku untuk musyrik penyembah berhala, bukan Ahli Kitab. Di Madinah, hanya ada Yahudi yang bersekutu dengan Anshar. Mereka tidak memusuhi Nabi hingga Perang Badar.
Allah kemudian mewajibkan perang terhadap Ahli Kitab:
**”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”** (QS. At-Taubah: 29)
Allah membedakan antara memerangi penyembah berhala (hingga mereka masuk Islam) dan Ahli Kitab (hingga mereka membayar jizyah atau masuk Islam).
Diriwayatkan dari Buraidah bahwa Nabi memerintahkan untuk mengajak musuh kepada tiga hal:
- Masuk Islam. Jika menerima, hentikan perang.
- Berpindah ke Darul Muhajirin. Jika menerima, mereka mendapat hak seperti Muhajirin.
- Membayar jizyah. Jika menolak, perangi mereka.
**(Imam Syafi’i berkata):**
Ini khusus untuk Ahli Kitab, bukan penyembah berhala. Perintah memerangi hingga mereka masuk Islam berlaku untuk penyembah berhala, sedangkan jizyah untuk Ahli Kitab.
—
**Kelompok yang Dianggap Ahli Kitab**
**(Imam Syafi’i berkata):**
Sebagian suku Arab menganut agama Ahli Kitab sebelum diutusnya Nabi. Nabi mengambil jizyah dari penduduk Najran dan Yaman yang sebagian adalah Arab. Ini menunjukkan bahwa jizyah tidak berdasarkan keturunan, tetapi agama.
Ahli Kitab yang dikenal adalah Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil. Namun, Allah juga menurunkan kitab selain Taurat dan Injil, seperti shuhuf Ibrahim.
Majusi memiliki agama berbeda dari penyembah berhala dan Ahli Kitab. Awalnya, orang Hijaz tidak mengenal agama mereka seperti Yahudi dan Nasrani. Namun, mereka dianggap Ahli Kitab.
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata:
“Majusi dahulu memiliki kitab, tetapi raja mereka mabuk dan berzina. Untuk menghindari hukuman, ia mengajak rakyatnya kembali ke agama Adam yang menikahi anak-anaknya. Kitab mereka kemudian hilang, tetapi mereka tetap dianggap Ahli Kitab. Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar mengambil jizyah dari mereka.”
Umar awalnya ragu mengambil jizyah dari Majusi hingga Abdurrahman bin Auf bersaksi bahwa Nabi melakukannya.
**(Imam Syafi’i berkata):**
Tidak boleh mengambil jizyah dari non-Ahli Kitab. Jika seseorang menganut agama Ahli Kitab sebelum turunnya Al-Qur’an, jizyah diterima darinya. Jika tidak, ia diperangi hingga masuk Islam seperti penyembah berhala.
—
**Orang yang Dibebaskan dari Jizyah**
**(Imam Syafi’i berkata):**
Jizyah hanya diwajibkan pada laki-laki baligh. Tidak berlaku untuk wanita, anak kecil, orang gila, atau budak. Jika orang gila sembuh, jizyah diambil lagi.
Jika suatu kaum menolak membayar jizyah, mereka diperangi. Jika mereka membayar untuk anak dan wanita dari harta laki-laki, itu diperbolehkan. Namun, tidak boleh dipaksa dari harta wanita atau anak kecil.
—
Demikian terjemahan lengkap teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Hukum berlaku atas mereka dan mereka menaati dengan membayar jizyah, sementara kami memiliki kekuatan atas mereka. Tidak ada pertimbangan dalam perjanjian damai mereka. Mereka meminta untuk membayar jizyah atas nama wanita dan anak-anak mereka tanpa diri mereka sendiri. Hal itu tidak diperbolehkan bagi kami. Jika mereka berdamai dengan syarat seperti itu, perjanjian itu batal, dan kami tidak mengambil apa pun dari mereka jika mereka menetapkannya atas wanita dan anak-anak, karena harta mereka telah dilindungi oleh jaminan keamanan, dan tidak ada jizyah atas harta mereka. Demikian pula, kami tidak mengambilnya dari laki-laki mereka, meskipun laki-laki mereka menetapkannya, dan mereka tidak mengatakan, “Kami mengambilnya dari anak-anak dan wanita kami.” Kami mengambilnya dari harta orang yang menetapkannya sesuai syaratnya. Demikian pula, jika wanita dan anak-anak diajak untuk ini, tidak diambil dari mereka. Begitu pula jika wanita dan anak-anak terlepas dari laki-laki mereka, ada dua pendapat: Pertama, kami tidak boleh mengambil jizyah dari mereka, tetapi kami boleh menawan mereka, karena Allah hanya mengizinkan jizyah dengan syarat peperangan laki-laki dihentikan dan hukum berlaku atas mereka. Tidak ada peperangan terhadap wanita dan anak-anak; mereka adalah ghanimah (rampasan perang) dan tidak termasuk dalam makna yang Allah izinkan untuk mengambil jizyah. Pendapat kedua: Kami tidak boleh menawan mereka dan wajib menahan diri dari mereka jika mereka mengakui berlaku hukum atas mereka, dan kami tidak boleh mengambil harta mereka sedikit pun. Jika kami mengambilnya, kami wajib mengembalikannya.
Dia berkata: Jizyah diambil dari para rahib, orang tua yang lemah, dan lainnya yang terkena hukum dari kalangan laki-laki musyrik yang Allah izinkan untuk mengambil jizyah dari mereka.
Jika suatu kaum dari Ahli Dzimmah berdamai dengan membayar jizyah, kemudian ada yang mencapai baligh sebelum masa pembayaran mereka sehari, kurang, atau lebih, dan dia rela dengan perjanjian, dia ditanya. Jika dia rela membayar sesuai masa kaumnya, jizyah diambil darinya. Jika tidak rela, maka masanya adalah masa sendiri, karena kewajiban jizyah baginya adalah saat baligh dan kerelaan. Imam mengambil darinya sejak dia rela sesuai masa kaumnya, dan kelebihan jika ada dari tahun sebelumnya agar masa mereka tidak berbeda. Misalnya, jika dia baligh sebulan sebelum masa, dan dia berdamai dengan membayar satu dinar setiap masa, maka ketika masa kaumnya tiba, diambil setengah seperenam dinar, dan pada masa berikutnya bersama mereka satu dinar. Jika dia menundanya, diambil pada masa kaumnya satu dinar setengah seperenam dinar.
**[Kerendahan dengan Jizyah]**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Allah berfirman, *”Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”* (QS. At-Taubah: 29). Dia berkata: Allah tidak mengizinkan mengambil jizyah dari orang yang diperintahkan untuk mengambilnya kecuali jika dia memberikannya dengan patuh dalam keadaan tunduk.
(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar sejumlah ulama berkata, “Kerendahan itu adalah berlakunya hukum Islam atas mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat mereka mendekati kebenaran karena penolakan mereka terhadap Islam. Jika hukum Islam berlaku atas mereka, mereka telah merendahkan diri dengan apa yang berlaku atas mereka darinya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam mengepung suatu negeri sebelum menawan penduduknya, atau mengalahkan mereka dengan kekalahan nyata tanpa menawan mereka, atau penawanannya karena pengepungan dan kekalahannya, dan tidak memerangi mereka karena kedekatan, jumlah sedikit, banyak, atau kekuatannya, lalu mereka menawarkan untuk membayar jizyah dengan syarat hukum Islam berlaku atas mereka, maka imam wajib menerimanya. Jika mereka meminta untuk membayar jizyah tanpa berlakunya hukum Islam, hal itu tidak diperbolehkan, dan imam wajib memerangi mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan tunduk, yaitu dengan berlakunya hukum Islam atas mereka.
Jika mereka meminta untuk dikecualikan dari sebagian hukum Islam ketika diminta oleh orang lain atau terkena karena sebab orang lain, imam tidak boleh menerima permintaan itu dan tidak boleh mengambil jizyah dengan syarat tersebut. Namun, jika memerangi mereka memberatkan, atau kaum Muslimin yang berhadapan dengan mereka lemah, atau ada pertimbangan tertentu, tidak mengapa untuk berdamai meskipun mereka tidak membayar apa pun atau membayar dengan pertimbangan tertentu meskipun hukum Islam tidak berlaku atas mereka, sebagaimana boleh meninggalkan peperangan dan berdamai dengan pertimbangan tertentu. Ini dibahas dalam kitab jihad, bukan jizyah.
[Masalah Pemberian Jizyah Setelah Ditawan]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang imam menawan sekelompok Ahli Kitab dan menguasai para wanita, anak-anak, serta harta mereka, lalu mereka meminta agar para wanita, anak-anak, dan harta mereka dibebaskan dengan syarat membayar jizyah, maka hal itu tidak diperbolehkan bagi para wanita, anak-anak, atau harta yang telah dikuasai. Jika mereka meminta untuk membayar jizyah pada saat itu juga, permintaan itu tidak boleh diterima karena mereka telah menjadi harta rampasan perang (ghanimah) atau fai’. Imam berhak membunuh, memerdekakan, atau menebus mereka, sebagaimana haknya terhadap laki-laki merdeka yang sudah balig. Rasulullah ﷺ pernah memerdekakan, menebus, atau membunuh tawanan laki-laki, dan Allah ﷻ telah mengizinkan pembebasan atau penebusan, sebagaimana firman-Nya:
*”Maka pancunglah batang leher mereka. Jika mereka telah kalah, tawanlah mereka, lalu boleh kalian bebaskan atau kalian tebus.”* (QS. Muhammad: 4).
(Imam Syafi’i berkata): Jika sebagian besar laki-lakinya telah ditawan, sementara sebagian wanita, anak-anak, dan harta mereka telah dikuasai, tetapi masih ada sisa yang belum tertawan karena berlindung di suatu tempat atau melarikan diri, maka imam boleh—dan wajib—memberi mereka pilihan antara membayar jizyah atau perlindungan (aman) atas harta dan wanita mereka, selama belum dikuasai. Jika imam memberikan jaminan itu secara mutlak padahal sebagian harta atau wanita mereka sudah dikuasai, maka janji itu tidak boleh dipenuhi. Imam wajib membagikan harta yang sudah dikuasai itu dan memberi mereka pilihan: membayar jizyah untuk diri mereka dan harta yang belum dikuasai, atau memutus perjanjian.
Jika utusan dari pihak musuh datang kepada imam, lalu imam menjanjikan perlindungan bagi penduduk suatu negeri dengan syarat membayar jizyah, tetapi pasukan Muslim yang lain menyerang dan menaklukkan negeri tersebut serta menguasainya, maka perlu diperhatikan:
– Jika perlindungan diberikan sebelum penaklukan dan penguasaan, maka janji itu harus dipenuhi, dan mereka berhak mendapatkan status dzimmi sesuai kesepakatan.
– Jika perlindungan yang diberikan tidak lengkap, mereka tetap dibebaskan tetapi perjanjiannya dibatalkan.
– Jika mereka sudah ditawan dan negerinya dikuasai sebelum imam memberikan jaminan, maka status tawanan tetap berlaku dan janji imam batal, karena imam tidak boleh memberikan perlindungan kepada orang yang sudah menjadi tawanan atau harta rampasan. Sebagaimana imam tidak boleh mengembalikan harta yang sudah dikuasai.
[Masalah Pemberian Jizyah untuk Tinggal atau Masuk ke Suatu Negeri]
(Imam Syafi’i berkata): Allah ﷻ berfirman:
*”Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”* (QS. At-Taubah: 28).
Aku mendengar sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Masjidil Haram dan tanah Haram.
Aku juga mendengar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
*”Tidak pantas seorang Muslim membayar kharaj (pajak tanah), dan tidak pantas seorang musyrik memasuki tanah Haram.”*
Aku juga mendengar beberapa ahli sejarah perang meriwayatkan bahwa dalam surat Nabi ﷺ disebutkan:
*”Tidak boleh Muslim dan musyrik berkumpul di tanah Haram setelah tahun ini.”*
Jika seseorang yang wajib membayar jizyah meminta untuk membayarnya dengan syarat diperbolehkan masuk ke tanah Haram, maka imam tidak boleh menerima syarat itu. Tidak boleh seorang musyrik pun memasuki tanah Haram dalam keadaan apa pun, baik sebagai dokter, tukang bangunan, atau lainnya, karena Allah ﷻ telah mengharamkan orang musyrik masuk ke Masjidil Haram, dan Rasul-Nya juga mengharamkannya.
Jika seseorang yang wajib membayar jizyah meminta untuk membayarnya dengan syarat boleh tinggal di Hijaz, maka permintaan itu tidak boleh dikabulkan. Hijaz meliputi Mekah, Madinah, Yamamah, dan sekitarnya, karena izin tinggal bagi mereka di Hijaz telah dihapus (mansukh). Dahulu Nabi ﷺ memberikan pengecualian kepada penduduk Khaibar saat berdamai dengan mereka, beliau bersabda:
*”Aku membiarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.”*
Namun kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan pengusiran mereka dari Hijaz. Tidak boleh ada perjanjian dengan dzimmi yang memperbolehkan mereka tinggal di Hijaz.
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Aku lebih menyukai agar tidak ada seorang musyrik pun yang masuk ke Hijaz dengan alasan apa pun, berdasarkan hadis Nabi ﷺ yang telah kusebutkan.
Beliau juga berkata: Menurutku, tidak diharamkan bagi seorang dzimmi untuk melewati Hijaz selama tidak tinggal di suatu kota lebih dari tiga malam, karena itu dianggap sebagai masa perjalanan. Wallahu a’lam.
– صلى الله عليه وسلم – dengan mengusir mereka darinya agar tidak tinggal di sana. Dan mungkin jika benar darinya sabda “Tidak boleh ada dua agama yang tetap di tanah Arab”, maka tidak boleh ada dua agama yang menetap. Seandainya bukan karena Umar memberlakukan kharaj (pajak) atas ahli dzimmah, mengingat apa yang dipahami dari perintah Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – bahwa ia membolehkan pendapat Umar untuk memberi batas tiga hari bagi pedagang ahli dzimmah yang masuk, dan setelah itu tidak boleh tinggal, maka aku berpendapat mereka tidak boleh berdamai untuk memasukinya dalam keadaan apa pun.
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Seorang dzimmi tidak boleh menjadikan sesuatu di Hijaz sebagai tempat tinggal, dan tidak boleh berdamai untuk memasukinya kecuali sekadar lewat. Jika ada perdamaian, Yahya bin Sulaiman mengabarkan dari Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khattab…
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika mereka diizinkan masuk Hijaz, lalu mereka memiliki harta di sana atau ada keperluan, dikatakan kepada mereka: “Wakilkan kepada siapa pun dari kaum Muslimin yang kalian kehendaki, lalu keluarlah.” Mereka tidak boleh tinggal lebih dari tiga hari. Adapun Makkah, seorang dzimmi tidak boleh memasuki tanah haram sama sekali, baik mereka memiliki harta di sana maupun tidak. Jika ada yang tidak sengaja masuk lalu sakit, ia harus dikeluarkan dalam keadaan sakit. Jika meninggal, jenazahnya harus dikeluarkan dan tidak boleh dikubur di sana. Jika ada yang meninggal di luar Makkah, ia dikubur di tempat meninggalnya. Jika sakit dan tidak mampu dibawa kecuali dengan risiko membahayakannya atau memperparah sakitnya, ia boleh ditunda sampai kuat untuk dibawa, lalu diangkut.
Beliau juga berkata: Jika seorang imam berdamai dengan ahli dzimmah atas sesuatu yang tidak boleh diperdamaikan, seperti mengambil pembayaran tahunan, lalu mereka menyerahkan sesuatu dan imam menerimanya, maka ia tidak boleh mengembalikan apa pun, karena imam telah memenuhi perjanjian. Namun, jika di pertengahan tahun ia mengetahui bahwa perjanjian itu tidak sah, ia harus mengembalikan pembayaran mereka dan menjelaskan bahwa perjanjian itu tidak berlaku. Ia boleh mengatakan: “Jika kalian setuju dengan perjanjian yang sah, aku akan memperbaruinya. Jika tidak, aku akan mengambil apa yang wajib bagi kalian, yaitu separuh dari yang disepakati dalam setahun, karena separuh itu telah menjadi hak kalian dan separuhnya dikembalikan.” Jika mereka berdamai dengan membayar di awal untuk dua tahun, imam harus mengembalikan kecuali sejumlah yang sesuai dengan masa tinggal mereka. Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang mengusir ahli dzimmah dari Yaman, padahal di sana ada dzimmah dan Yaman bukan bagian dari Hijaz. Karena itu, tidak ada yang mengusir mereka dari Yaman, dan tidak masalah berdamai dengan mereka untuk tinggal di Yaman.
Adapun selain Hijaz, tidak masalah berdamai untuk menetap di sana. Jika seorang dzimmi memiliki hak di Hijaz, ia harus mewakilkannya. Aku tidak setuju ia memasukinya dengan alasan apa pun, baik untuk kepentingan penduduknya maupun lainnya, seperti berdagang dan memberikan sebagian keuntungan, atau menyewa dari seorang Muslim atau selainnya. Jika diperintahkan untuk mengusirnya dari suatu tempat, ia boleh dilarang dari tempat itu. Jika ini dilakukan, tidak ada masalah. Jika demikian, tidak jelas apakah mereka dilarang mengarungi laut Hijaz dan dilarang tinggal di pesisirnya. Demikian pula jika ada pulau dan gunung di laut Hijaz yang bisa dihuni, mereka dilarang menetap di sana karena itu bagian dari tanah Hijaz.
Jika seorang dzimmi masuk Hijaz dalam keadaan seperti ini, jika sudah diperingatkan sebelumnya, ia harus dihukum lalu diusir. Jika belum diperingatkan, ia tidak dihukum tetapi tetap diusir. Jika mengulangi, ia dihukum. Jika ada yang meninggal di Makkah dalam keadaan seperti ini, jenazahnya harus dikeluarkan dari tanah haram dan dikubur di luar haram, tidak boleh dikubur di dalam haram dalam keadaan apa pun, karena Allah telah menetapkan bahwa orang musyrik tidak boleh mendekati Masjidil Haram. Sekalipun mayat itu membusuk, ia harus dikeluarkan. Jika sudah dikubur, harus digali selama belum hancur. Jika meninggal di Hijaz, ia boleh dikubur di sana. Jika sakit di tanah haram, ia harus dikeluarkan. Jika sakit di Hijaz, ia boleh ditunda sampai kuat untuk dibawa. Jika sudah kuat, ia diangkut.
Beliau juga berkata: Aku telah menjelaskan kedatangan mereka untuk berdagang di Hijaz terkait apa yang diambil dari mereka. Aku memohon kepada Allah pertolongan, dan lebih aku sukai mereka tidak dibiarkan tinggal di Hijaz dalam keadaan apa pun, baik untuk berdagang maupun lainnya.
**[Berapa Jizyah?]**
(Imam Syafi’i berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, *”Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh.”* (QS. At-Taubah: 29). Dipahami bahwa jizyah adalah sesuatu yang diambil pada waktu-waktu tertentu, dan jizyah bisa berupa sedikit atau banyak.
(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ—yang menjelaskan maksud Allah—pernah mengambil jizyah dari penduduk Yaman sebanyak satu dinar setiap tahun, atau senilai itu dalam bentuk kain Ma‘afiri (sejenis pakaian). Demikian juga diriwayatkan bahwa beliau mengambil dari penduduk Ailah dan Nasrani Mekkah satu dinar per orang. Beliau juga mengambil jizyah dari penduduk Najran berupa pakaian, tapi aku tidak tahu berapa tepatnya yang diambil dari mereka. Aku mendengar sebagian ulama Muslim dan ahli dzimah dari Najran menyebutkan bahwa nilai yang diambil dari setiap orang lebih dari satu dinar. Beliau juga mengambil jizyah dari Akidir dan Majusi Bahrain, tapi aku tidak tahu berapa jumlah pastinya. Aku tidak pernah mendengar ada riwayat yang menyebutkan beliau mengambil kurang dari satu dinar dari seseorang.
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari Ismail bin Abi Hakim, dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa *”Nabi ﷺ menulis surat kepada penduduk Yaman: ‘Wajib atas setiap orang dari kalian satu dinar atau senilai itu dalam bentuk Ma‘afiri.'”* Maksudnya adalah ahli dzimah di antara mereka.
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf mengabarkan kepadaku dengan sanad yang tidak aku hafal, tetapi sanadnya bagus, bahwa *”Nabi ﷺ mewajibkan atas ahli dzimah dari penduduk Yaman satu dinar setiap tahun.”* Aku bertanya kepada Mutharrif bin Mazin, “Apakah wanita juga dikenai?” Dia menjawab, “Tidak ada riwayat yang sahih di sisi kami bahwa Nabi ﷺ mengambil jizyah dari wanita.”
(Imam Syafi’i berkata): Aku bertanya kepada Muhammad bin Khalid, Abdullah bin Amr bin Muslim, dan beberapa ulama Yaman. Mereka semua meriwayatkan dari orang-orang terpercaya sebelum mereka bahwa perjanjian Nabi ﷺ dengan ahli dzimah Yaman adalah satu dinar setiap tahun. Mereka tidak menetapkan bahwa wanita termasuk yang dikenai jizyah. Mereka juga mengatakan bahwa umumnya, beliau tidak mengambil dari hasil pertanian atau hewan ternak mereka, padahal mereka memiliki itu. Beberapa penguasa pernah datang dan mengambil seperlima dari hasil pertanian mereka atau berencana melakukannya, tetapi hal itu diingkari.
(Imam Syafi’i berkata): Aku bertanya kepada banyak ahli dzimah Yaman yang tersebar di berbagai daerah. Mereka semua sepakat—tanpa perbedaan pendapat—bahwa Mu‘adz mengambil dari mereka satu dinar untuk setiap orang yang sudah baligh. Mereka menyebut baligh sebagai orang yang sudah bermimpi (mengalami mimpi basah). Mereka berkata, “Dalam surat Nabi ﷺ kepada Mu‘adz tertulis: ‘Wajib atas setiap orang yang sudah bermimpi satu dinar.'”
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan dari Abul Huwairits bahwa *”Nabi ﷺ membebankan satu dinar setiap tahun kepada seorang Nasrani di Mekkah bernama Muhibb, dan beliau membebankan 300 dinar setiap tahun kepada Nasrani Ailah, dengan syarat mereka menjamu Muslim yang lewat selama tiga hari dan tidak menipu Muslim.”* Ibrahim juga mengabarkan dari Ishaq bin Abdullah bahwa mereka saat itu berjumlah 300 orang, sehingga Nabi ﷺ menetapkan 300 dinar setiap tahun.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang yang wajib membayar jizyah menawarkan untuk membayar jizyah sesuai ketentuan dan menyerahkan satu dinar setiap tahun, maka pemimpin tidak boleh menolaknya. Jika dia menawarkan lebih dari satu dinar, berapa pun jumlahnya, pemimpin boleh menerimanya. Sebab, Nabi ﷺ pernah mensyaratkan kepada Nasrani Ailah satu dinar per orang setiap tahun plus jamuan, yang merupakan tambahan di luar dinar.
Baik ahli dzimah yang miskin maupun kaya wajib membayar satu dinar, berapa pun kekayaannya. Kita tahu bahwa ketika Nabi ﷺ berdamai dengan penduduk Yaman—yang jumlahnya banyak—dengan ketentuan satu dinar per orang yang sudah baligh setiap tahun, di antara mereka ada yang miskin tapi tidak dibebaskan, dan ada yang kaya tapi tidak ditambah. Jadi, jika seseorang menawarkan satu dinar—baik kaya atau miskin—harus diterima. Jika kurang dari itu, tidak boleh diterima, karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah berdamai dengan ketentuan kurang dari satu dinar.
Jadi, satu dinar adalah jumlah minimal yang diterima dari ahli dzimah. Jika mereka menyerahkannya, wajib diterima per orang, meskipun tanpa tambahan jamuan atau harta lainnya.
Jika penguasa membuat perjanjian dengan seseorang yang wajib membayar jizyah—dan penguasa memiliki kekuasaan atasnya—untuk membayar jizyah selamanya dengan jumlah tertentu, maka itu sah.
Kurang dari satu dinar, atau jika dia membebaskan orang yang tidak mampu dari ahli dzimmi untuk membayar jizyah, atau jika dia membelanjakan mereka dari baitul mal, maka perdamaian itu batal. Dia tidak boleh mengambil dari seorang pun dari mereka kecuali apa yang telah disepakati dalam perdamaian. Jika setelah jangka waktu tertentu perdamaian mengharuskannya memberikan sesuatu sesuai syaratnya, maka dia harus membatalkannya hingga mereka membuat perdamaian yang sah. Jika mereka membuat perdamaian yang sah dengan satu dinar atau lebih, lalu salah seorang dari mereka tidak mampu membayar jizyahnya, maka penguasa adalah salah satu dari para kreditur. Dia tidak lebih berhak atas hartanya dibanding kreditur lainnya, dan para kreditur juga tidak lebih berhak darinya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika dia bangkrut sebelum satu tahun berlalu, maka dia akan dibagi bersama para kreditur sesuai bagian jizyah yang telah berlalu. Jika dia melunasi jizyah tanpa melibatkan para kreditur, maka itu diperbolehkan selama para kreditur atau sebagian dari mereka tidak menuntutnya. Jika sebagian dari mereka menuntutnya, maka dia tidak boleh mengambil jizyah tanpa melibatkan mereka, karena ketika dituntut, hartanya harus ditahan jika dia mengakuinya atau dibuktikan dengan saksi. Jika tidak ada tuntutan, dia boleh mengambil jizyah tanpa melibatkan mereka, karena tidak ada hak yang terbukti saat dia mengambil jizyah.
Jika dia berdamai dengan salah seorang ahli dzimmi dengan syarat yang diperbolehkan, lalu ahli dzimmi tersebut pergi, maka dia boleh mengambil haknya dari hartanya meskipun dia tidak ada, asalkan diketahui masih hidup. Jika tidak diketahui kehidupannya, dia boleh bertanya kepada wakil atau pengelola hartanya. Jika mereka mengatakan dia telah meninggal, maka hartanya ditahan dan dia boleh mengambil haknya hingga hari mereka mengatakan dia meninggal. Jika mereka mengatakan dia masih hidup, hartanya ditahan kecuali jika mereka secara sukarela memberikan jizyah. Dia tidak boleh mengambil jizyah dari hartanya jika tidak mengetahui kehidupannya, kecuali jika diberikan secara sukarela atau diketahui semua ahli warisnya, tidak ada ahli waris selain mereka, dan mereka sudah baligh serta diperbolehkan mengurus hartanya. Pengakuan mereka terhadap diri mereka sendiri diperbolehkan karena jika dia meninggal, harta itu milik mereka.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika dia mengambil jizyah dari hartanya untuk dua tahun, lalu terbukti bahwa ahli dzimmi tersebut telah meninggal sebelum itu, maka bagian yang tidak berhak dikembalikan dan dia harus membaginya dengan para kreditur. Jika bagian yang dia dapatkan setelah pembagian dengan para kreditur lebih sedikit dari yang dia ambil, maka dia harus mengembalikannya kepada mereka. Jika ahli warisnya sudah baligh dan diperbolehkan mengurus hartanya, lalu mereka mengatakan dia meninggal kemarin, sedangkan saksi mengatakan dia meninggal tahun lalu, dan ahli waris meminta penguasa mengembalikan jizyah untuk satu tahun, maka penguasa tidak wajib mengembalikannya karena mereka mendustakan saksi dengan alasan jizyah gugur karena kematian. Jika dua ahli waris datang, satu membenarkan saksi dan yang lain mendustakannya, maka kesaksian itu berlaku untuk yang membenarkan dan ditolak untuk yang mendustakan. Penguasa wajib mengembalikan setengah dinar kepada ahli waris yang membenarkan saksi dan tidak mengembalikan kepada yang mendustakan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kami mengambil jizyah dari salah seorang ahli dzimmi lalu dia menjadi miskin, maka penguasa adalah salah satu dari para kreditur. Dia tidak boleh membelanjakan harta Allah untuk orang miskin dari ahli dzimmi, karena harta Allah terbagi menjadi tiga: zakat untuk orang-orang yang disebutkan Allah dalam Surah At-Taubah, fai’ untuk orang-orang yang disebutkan dalam Surah Al-Hasyr, dan ghanimah untuk orang-orang yang hadir dalam peperangan serta kaum muslimin yang berhak atas seperlima harta rampasan dalam Al-Anfal. Semua ini adalah hak kaum muslimin, sehingga haram bagi penguasa—wallahu a’lam—untuk mengambil hak seorang muslim dan memberikannya kepada muslim lain, apalagi kepada ahli dzimmi yang tidak diberi bagian oleh Allah dalam harta kaum muslimin. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang ahli dzimmi meninggal tanpa ahli waris, maka hartanya menjadi milik kaum muslimin, bukan ahli dzimmi? Karena Allah telah menganugerahkan kepada kaum muslimin harta yang sebelumnya tidak mereka miliki, termasuk harta orang musyrik sebagai fai’ dan ghanimah.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan jizyah satu dinar untuk setiap orang Nasrani Ailah serta menjamu muslim yang melewati mereka, dan itu adalah tambahan selain dinar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ahli dzimmi menawarkan lebih dari satu dinar, berapa pun jumlahnya, maka tambahan itu lebih aku sukai. Tidak haram bagi penguasa mengambil tambahan apa pun yang mereka berikan. Umar pernah berdamai dengan penduduk Syam dengan empat dinar dan menjamu muslim. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Aslam, mantan budak Umar bin Khattab, bahwa Umar menetapkan jizyah empat dinar untuk ahli dzimmi, ditambah jatah makanan untuk muslim dan menjamu selama tiga hari.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan bahwa Umar menetapkan 48 dirham untuk orang kaya, 24 untuk menengah, dan 12 untuk yang kurang mampu.
Dan bagi yang di bawah mereka dua belas dirham, dan ini dalam dirham lebih mirip dengan pendapat Umar bahwa dia menyamakan dirham dalam diyat menjadi dua belas dirham setara dengan satu dinar. Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abu Ishaq dari Haritsah bin Mudhar bahwa Umar bin Khattab menetapkan kewajiban menjamu tamu selama sehari semalam bagi penduduk Sawad. Barangsiapa yang tertahan karena sakit atau hujan, maka dia harus menafkahkan dari hartanya.
(Imam Syafi’i berkata): Hadits Aslam tentang jamuan selama tiga hari lebih mirip; karena “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan jamuan tamu selama tiga hari.” Mungkin juga beliau menetapkannya tiga hari untuk suatu kaum dan sehari semalam untuk kaum lainnya, serta tidak menetapkan jamuan untuk yang lain, sebagaimana perbedaan perdamaian beliau dengan mereka. Jadi, sebagian hadits tidak membatalkan sebagian yang lain.
[Negeri Kekerasan (Ardhul ‘Anwah)]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang pemimpin berkuasa atas negeri ahli harb (orang kafir yang memerangi Islam) dan mengusir penduduknya, atau menguasai suatu negeri dan menaklukkan penduduknya, dan tidak ada orang musyrik antara negeri harb yang dikuasainya dengan negeri Islam, atau jika ada orang musyrik di antara mereka yang tidak menghalangi ahli harb yang negerinya telah dikuasai, dan dia mampu menguasai yang tersisa baik yang terkepung maupun yang masih melawan, meskipun tidak terkepung, lalu musuh meminta agar harta mereka dibiarkan dengan imbalan tertentu, baik sedikit atau banyak, maka itu tidak boleh baginya; karena negeri itu telah menjadi milik kaum Muslimin. Dia tidak boleh melakukan apa pun kecuali membagikannya di antara mereka sebagaimana yang dilakukan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – di Khaibar. Ketika beliau menguasainya, jumlah orang musyrik dari penduduknya lebih banyak, dan di sekitarnya ada orang musyrik dari Arab selain Yahudi yang ingin menghalanginya. Ketika jelas baginya bahwa dia berkuasa, beliau membagi harta mereka sebagaimana harta yang diperoleh di negeri Muslim, mengambil seperlimanya, dan ketika mereka masih bertahan di benteng dengan kekuatan yang tetap, mereka meminta jaminan keamanan dan agar anak-anak mereka tidak dijadikan tawanan. Beliau mengabulkannya karena belum sepenuhnya menguasai benteng dan isinya sehingga menjadi milik Muslimin. Rasulullah tidak memberikan kepada mereka harta yang telah dikuasainya karena melihat mereka tidak mampu mempertahankan harta itu dari benteng. Demikian pula beliau tidak memberikan hal itu terkait benteng yang berisi Shafiyyah binti Huyay dan saudarinya yang kemudian berada di bawah kekuasaannya, karena beliau telah menguasainya seperti harta lainnya, dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk mencegahnya.
(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Demikian pula segala sesuatu yang dikuasai, baik sedikit atau banyak, baik tanah, rumah, atau lainnya, tidak ada perbedaan; karena itu adalah ghanimah, dan hukum Allah dalam ghanimah adalah diambil seperlimanya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah menjelaskan bahwa empat perlima sisanya adalah bagi yang berperang dengan mengerahkan kuda dan tunggangan.
Jika kaum Muslimin menguasai sebagian wilayah musyrik sehingga mampu mencegah musyrik lainnya, meskipun belum sepenuhnya mengalahkan mereka, maka itu termasuk negeri ‘anwah yang wajib dibagi, dan empat perlimanya dibagikan kepada yang berperang dengan kuda dan tunggangan, jika ada bangunan atau nilai tanahnya.
(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Semua yang telah saya jelaskan wajib dibagi. Jika pemimpin tidak membaginya dan kaum Muslimin menjadikannya wakaf atau membiarkannya untuk penduduk asli, maka keputusan pemimpin itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sekaligus. Jika ada yang bertanya: Di mana hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an? Jawabannya: Allah berfirman, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul…” (QS. Al-Anfal: 41). Rasulullah membagi empat perlima rampasan perang kepada yang berperang dengan kuda dan tunggangan, baik tanah, bangunan, atau harta lainnya. Jika pemimpin membiarkannya untuk penduduk asli, maka penduduk itu harus menyerahkan semua hasil yang mereka peroleh darinya, dan upah yang setara diberikan kepada yang mengelolanya. Penduduk asli berhak menuntut pemimpin atas segala yang hilang darinya karena itu adalah harta mereka yang hilang.
Dia berkata: Jika pemimpin menguasai negeri ‘anwah, mengambil seperlimanya, lalu pemilik empat perlima sisanya rela melepaskan hak mereka dan memberikannya kepada pemimpin, maka dia boleh menerimanya dan menggunakannya sesuai kebijakannya. Jika mereka melepaskannya seperti wakaf untuk kaum Muslimin, maka tidak masalah menerimanya dari penduduk atau lainnya dengan syarat yang dibolehkan. Saya kira Umar bin Khattab – jika melakukan hal ini pada sebagian negeri ‘anwah – hanya menerimanya setelah penduduknya rela, sebagaimana Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memulangkan tawanan Hawazin setelah Perang Hunain kepada yang rela, dan tidak memaksa yang tidak rela.
[Negeri Ahli Shulh (Perdamaian)]
(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Jika pemimpin memerangi suatu kaum tetapi belum menguasai mereka sampai mereka menawarkan perdamaian dengan menyerahkan sebagian tanah atau sesuatu yang lebih besar atau setara dengan jizyah, dan jika mereka termasuk yang wajib membayar jizyah serta menyerahkannya dengan syarat hukum Islam berlaku bagi mereka, maka pemimpin harus menerimanya dengan syarat itu. Setelah menerima, dia harus membuat perjanjian tertulis dengan syarat yang jelas untuk dipatuhi penerusnya. Tanah itu tetap milik penduduk asli sesuai kesepakatan, dengan kewajiban membayar sesuatu. Jika mereka berdamai dengan syarat kaum Muslimin memiliki sebagian kepemilikan tanah, maka mereka menjadi mitra dalam kepemilikan sesuai kesepakatan. Jika mereka berdamai dengan syarat tanah sepenuhnya milik mereka dengan kewajiban membayar gandum atau hasil pertanian tertentu, maka itu tidak boleh sampai jelas seperti yang dijelaskan dalam kasus shadaqah harta.
Jika mereka berdamai dengan syarat seluruh tanah milik orang musyrik, maka tidak masalah asalkan mereka membayar kharaj yang jelas, baik berupa jumlah tertentu seperti jizyah atau bagian tertentu dari hasil pertanian, asalkan setara atau lebih besar dari jizyah. Tidak baik berdamai dengan syarat tanah sepenuhnya milik musyrik tetapi jika mereka menanam sesuatu, kaum Muslimin mendapat bagian tertentu per jarib atau faddan, karena hasilnya bisa gagal, sedikit, atau banyak, atau mereka mungkin tidak menanam sama sekali, sehingga tidak ada jaminan pembayaran minimal seperti jizyah. Ahli shulh adalah orang merdeka jika belum dikalahkan, dan negeri mereka tetap milik mereka kecuali yang mereka berikan. Pemimpin wajib mengambil seperlima dari hasil perdamaian untuk baitulmal dan empat perlimanya untuk kaum Muslimin. Jika tidak dilakukan, dia harus mengganti dari hartanya sebagaimana dijelaskan dalam negeri ‘anwah. Pemimpin juga wajib melindungi ahli ‘anwah dan shulh karena mereka membayar jizyah sebagaimana dijelaskan dalam perlindungan ahli jizyah.
[Perbedaan Hukum Pernikahan dan Penyembelihan Ahli Kitab]
(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Hukum Allah terhadap orang musyrik ada dua: memerangi penyembah berhala sampai mereka masuk Islam, dan memerangi ahli kitab sampai mereka membayar jizyah atau masuk Islam. Allah menghalalkan wanita dan makanan ahli kitab. Makanan mereka berarti sembelihan mereka. Kemungkinan penghalalan ini mencakup semua ahli kitab atau hanya sebagian. Berdasarkan riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan tidak ada yang menyelisihi, yang dimaksud adalah ahli Taurat dan Injil dari Bani Israil, bukan Majusi. Ini menunjukkan bahwa Bani Israil yang dimaksud dalam penghalalan wanita dan sembelihan.
Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa wanita Majusi tidak boleh dinikahi dan sembelihan mereka tidak halal dimakan. Ketika ijma’ menunjukkan bahwa hukum Ahli Kitab terbagi dua—ada yang wanita dan sembelihannya halal, serta ada yang tidak—dan Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil di banyak tempat dalam Kitab-Nya serta keutamaan mereka atas kaum lainnya di zamannya, maka siapa pun yang menganut agama Bani Israil sebelum Islam, selain dari keturunan Bani Israil, tidak boleh dinikahi wanita mereka. Sebab, mereka tidak termasuk Ahli Kitab karena nenek moyang mereka bukan Ahli Kitab, dan mereka juga bukan dari keturunan Bani Israil. Mereka bukan Ahli Kitab dalam pengertian mutlak, sehingga tidak diperbolehkan. Wallahu Ta’ala a’lam, wanita dari kalangan Arab atau non-Arab selain Bani Israil yang menganut agama Yahudi atau Nasrani tidak boleh dinikahi dalam keadaan apa pun.
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abdullah bin Dinar, dari Sa’d Al-Jari atau Abdullah bin Sa’id—bekas budak Umar bin Khattab—bahwa Umar bin Khattab berkata: “Nasrani Arab bukan Ahli Kitab, sembelihan mereka tidak halal bagi kita, dan aku tidak akan meninggalkan mereka sampai mereka masuk Islam atau aku penggal leher mereka.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Siapa pun dari Bani Israil yang menganut agama Yahudi atau Nasrani, wanita mereka boleh dinikahi dan sembelihan mereka halal. Jika wanita mereka dinikahi, lalu ada tawanan dari mereka, maka boleh disetubuhi berdasarkan hak kepemilikan. Namun, siapa pun yang menganut agama Bani Israil selain dari keturunan mereka, wanita mereka tidak boleh dinikahi, sembelihan mereka tidak halal, dan budak perempuan mereka tidak boleh disetubuhi. Jika wanita mereka tidak boleh dinikahi dan budak perempuan mereka tidak boleh disetubuhi, maka wanita dari mereka tidak boleh dinikahi sama sekali.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika kaum Sabi’in dan Samira berasal dari Bani Israil dan menganut agama Yahudi atau Nasrani berdasarkan Taurat asli atau Injil asli, maka wanita mereka boleh dinikahi dan sembelihan mereka halal, meskipun mereka berbeda dalam cabang agama. Sebab, perbedaan cabang biasa terjadi di antara mereka. Namun, jika mereka menyimpang dari Taurat asli, sembelihan mereka tidak halal dan wanita mereka tidak boleh dinikahi.
(Imam Syafi’i berkata): Setiap orang dari Bani Israil yang sembelihan dan wanita mereka halal karena menganut Yahudi atau Nasrani, maka hukum itu berlaku di mana pun mereka berada—baik sebagai musuh, dalam perjanjian damai, atau membayar jizyah—tanpa perbedaan. Hanya saja, aku tidak suka seseorang menikah di negeri perang karena khawatir fitnah dan penawanan terhadap dirinya dan anaknya, meskipun hal itu tidak haram. Wallahu Ta’ala a’lam.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang wanita Yahudi murtad ke Nasrani, atau wanita Nasrani murtad ke Yahudi, atau lelaki mereka murtad, mereka tidak boleh dibiarkan membayar jizyah, dan wanita yang murtad dari agama asli nenek moyangnya tidak boleh dinikahi. Begitu pula jika mereka murtad ke Majusi atau kesyirikan lainnya. Sebab, jizyah diambil atas dasar pengakuan mereka terhadap agama mereka. Jika mereka menggantinya dengan selain Islam, status mereka berubah, sehingga tidak lagi berhak mengambil jizyah, dan makanan serta wanita mereka tidak lagi halal.
[Perubahan Agama Ahli Jizyah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Prinsip yang kami pegang adalah bahwa jizyah tidak diterima dari siapa pun yang menganut agama Ahli Kitab kecuali jika nenek moyangnya atau dia sendiri telah menganut agama itu sebelum turunnya Al-Qur’an. Jizyah diterima dari siapa pun yang tetap memeluk agama nenek moyangnya sebelum turunnya Al-Qur’an, selama agama itu termasuk yang diterima jizyah. Jika seorang Yahudi mengganti agamanya menjadi Nasrani atau Majusi, atau seorang Nasrani menjadi Majusi, atau seorang Majusi menjadi Nasrani, atau salah satu dari mereka berpindah ke kekafiran lain seperti yang telah disebutkan—termasuk atheisme atau lainnya—mereka tidak dibunuh. Sebab, yang dibunuh hanyalah yang meninggalkan agama benar, yaitu Islam. Mereka hanya diberi pilihan: “Jika kamu kembali ke agamamu, kami akan mengambil jizyah darimu. Jika masuk Islam, kami akan membebaskanmu untuk masa depan dan mengambil bagianmu (dalam kewajiban).”
Jizyah yang menjadi kewajibanmu hingga engkau masuk Islam atau menggantinya. Jika engkau menggantinya dengan selain Islam, kami akan membatalkan perjanjian dan mengusirmu dari negeri Islam. Karena negeri Islam tidak boleh menjadi tempat tinggal bagi siapa pun kecuali Muslim atau yang terikat perjanjian. Tidak boleh kami mengambil jizyah darimu atas agama yang berbeda dari yang sebelumnya kami ambil jizyah darimu. Seandainya kami membolehkan ini, berarti kami juga membolehkan seorang penyembah berhala hari ini masuk Nasrani, Yahudi, atau Majusi, lalu kami mengambil jizyah darinya sehingga ia berhenti memerangi orang-orang kafir hingga mereka masuk Islam. Padahal, Allah ‘azza wa jalla hanya mengizinkan pengambilan jizyah dari mereka berdasarkan agama yang mereka anut sebelum Muhammad ﷺ, dan itu bertentangan dengan agama baru yang mereka buat setelah Rasulullah ﷺ.
Jika ia memiliki harta di Hijaz, dikatakan: “Wakilkanlah hartanya itu, dan ia tidak boleh tinggal lebih dari tiga hari.” Jika hartanya berada di luar Hijaz, ia tidak boleh tinggal di negeri Islam kecuali sekadar waktu untuk mengumpulkan hartanya. Jika ia menunda, batas maksimal penangguhan untuk keluar dari negeri Islam adalah empat bulan, karena itu adalah waktu paling lama yang Allah tetapkan bagi orang musyrik non-dzimmi, dan waktu paling lama yang Rasulullah ﷺ tetapkan bagi mereka. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:
**”Inilah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu.”** (QS. At-Taubah: 1)
Ar-Rabi’ membaca hingga firman-Nya:
**”Dan tidak dapat melemahkan Allah.”** (QS. At-Taubah: 2)
Maka Nabi ﷺ memberi mereka tenggat waktu sebagaimana Allah menetapkan bagi mereka, yaitu empat bulan.
*(Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala)*: Jika ia pergi ke negeri kafir harbi, maka kami wajib menyerahkan hartanya kepadanya, dan kami tidak boleh merampasnya karena murtadnya dari satu kesyirikan ke kesyirikan lain, sebab ia sebelumnya telah mendapat jaminan keamanan.
Jika ia memiliki istri dan anak, baik dewasa maupun kecil, yang tidak mengganti agama mereka, maka istri dan anak-anaknya boleh tetap tinggal di negeri Islam, dan jizyah diambil dari anak laki-laki yang sudah dewasa.
Jika istrinya atau ibu anaknya meninggal, sementara ia tidak mengganti agamanya dan tetap menganut agama yang wajib membayar jizyah, maka anak-anak kecilnya boleh tetap tinggal.
Namun jika istrinya mengganti agama saat masih hidup bersamanya, atau ia sendiri yang mengganti agama lalu istrinya meninggal, atau ia memiliki anak kecil dari istri yang musyrik, maka ada dua pendapat:
- Mereka harus diusir, karena tidak ada jaminan perlindungan dari ayah atau ibu mereka yang memungkinkan mereka tinggal di negeri Islam.
- Mereka tidak diusir, karena mereka sebelumnya telah memiliki jaminan perlindungan, meskipun mereka sendiri mengganti agama.
*(Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala)*: Jika aku berpendapat bahwa istri, anak kecil, budak perempuan, budak laki-laki, mukatab, atau mudabbarnya boleh tetap tinggal di negeri Islam, lalu ia ingin mengeluarkan mereka sementara mereka menolak, maka ia tidak berhak melakukannya. Aku memerintahkannya untuk mewakilkan atau menjual budak yang boleh ia jual. Aku juga mengalokasikan harta jika ia memilikinya dan menyaksikan bahwa itu adalah miliknya untuk nafkah anak-anak kecil, istri, dan orang yang menjadi tanggungannya. Jika tidak ada harta, maka tidak perlu dibuat wakaf, dan ia tetap harus diusir dari negeri Islam jika tidak masuk Islam atau kembali ke agama sebelumnya yang menjadi dasar pengambilan jizyah darinya.
Jika ia meninggal sebelum diusir, maka hartanya diwarisi oleh ahli warisnya sebelum ia mengganti agamanya, karena seluruh kekafiran adalah satu millah (kelompok). Orang musyrik bisa mewarisi ahli kitab atau Majusi, dan sebagian ahli kitab bisa mewarisi sebagian lainnya meskipun berbeda, sebagaimana Islam adalah satu millah.
**[Pembahasan tentang Menepati Nazar dan Perjanjian serta Pelanggarannya]**
*(Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala)*: Secara umum, menepati nazar dan perjanjian—baik dengan sumpah atau tanpa sumpah—terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
**”Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji.”** (QS. Al-Maidah: 1)
Dan dalam firman-Nya:
**”Mereka menepati nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata.”** (QS. Al-Insan: 7)
Allah ‘azza wa jalla juga menyebutkan tentang menepati perjanjian dengan sumpah dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti firman-Nya:
**”Dan penuhilah janji Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) setelah mengukuhkannya.”** (QS. An-Nahl: 91)
Ar-Rabi’ membaca ayat ini, juga firman-Nya:
**”Mereka menepati janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.”** (QS. Ar-Ra’d: 20)
bersama dengan penjelasan tentang kewajiban menepati janji.
*(Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala)*: Ini termasuk keluasan bahasa Arab yang—
Diajak bicara dan tampaknya berlaku umum pada setiap perjanjian, dan menurut pendapat yang paling benar—wallahu a’lam—Allah Azza wa Jalla bermaksud agar setiap janji nazar ditepati jika dalam perjanjian tersebut terdapat ketaatan kepada Allah, dan tidak mengandung maksiat terhadap apa yang diperintahkan untuk dipenuhi.
Jika ada yang bertanya: “Apa dalil yang menunjukkan hal yang Anda sebutkan, sedangkan perintah dalam hal ini bersifat mutlak? Dan dari mana seseorang boleh membatalkan perjanjian dalam segala kondisi?” Dijawab: “Dari Al-Qur’an kemudian Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan Quraisy di Hudaibiyah dengan syarat mengembalikan siapa pun yang datang dari mereka (yang masuk Islam). Lalu Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat tentang seorang wanita yang datang dari mereka dalam keadaan muslimah:
*’Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka ujilah keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka.’* (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Maka Allah Azza wa Jalla mewajibkan mereka untuk tidak mengembalikan para wanita (yang beriman), padahal mereka telah memberikan janji untuk mengembalikan siapa pun yang datang dari mereka, dan para wanita itu termasuk dari mereka. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan mereka atas perintah Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berjanji dengan sekelompok orang musyrik, lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:
*'(Inilah) pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang musyrik yang telah kalian buat perjanjian (dengan mereka).’* (QS. At-Taubah: 1),
serta firman-Nya:
*’Bagaimana mungkin ada perjanjian (keamanan) dari Allah dan Rasul-Nya bagi orang-orang musyrik?’* (QS. At-Taubah: 7),
dan:
*’Kecuali orang-orang musyrik yang telah kalian buat perjanjian dengan mereka, kemudian mereka tidak mengurangi (isi perjanjian) sedikit pun.’* (QS. At-Taubah: 4).”
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan penduduk Hudaibiyah dan orang-orang musyrik lainnya?” Dijawab: “Perdamaian beliau dengan mereka adalah ketaatan kepada Allah, baik karena perintah Allah Azza wa Jalla secara tegas atas apa yang beliau lakukan, atau karena Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan kepadanya untuk membuat perjanjian dengan siapa pun yang beliau anggap sesuai, kemudian Allah menetapkan ketetapan-Nya atas hal itu. Maka mereka tunduk pada ketetapan Allah Jalla tsanauhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan perbuatannya dengan perbuatan lain atas perintah Allah, dan semuanya merupakan ketaatan kepada Allah pada masanya.”
Jika ada yang bertanya: “Apakah seseorang boleh membuat perjanjian yang telah dihapus (mansukh), lalu membatalkannya?” Dijawab: “Tidak boleh memulai perjanjian yang telah dihapus. Jika sudah terlanjur memulainya, maka ia wajib membatalkannya, sebagaimana tidak boleh shalat menghadap Baitul Maqdis kemudian beralih ke Ka’bah, karena kiblat ke Baitul Maqdis telah dihapus.
Siapa pun yang shalat menghadap Baitul Maqdis bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum penghapusannya, maka ia taat kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana ketaatan ketika shalat menghadap Ka’bah. Sebab, menghadap Baitul Maqdis adalah ketaatan kepada Allah sebelum dihapus, dan menjadi maksiat setelah dihapus.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kewajiban-kewajiban dari Allah Azza wa Jalla telah sempurna, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Barangsiapa mengamalkan yang mansukh setelah mengetahuinya, maka ia telah bermaksiat dan wajib meninggalkan kemaksiatan itu. Inilah perbedaan antara Nabi Allah dan para pemimpin setelahnya dalam hal nasikh-mansukh.
Dalam semua yang telah dijelaskan, terdapat petunjuk bahwa seorang imam (pemimpin) tidak boleh membuat perjanjian yang tidak diizinkan baginya, dan jika sudah terlanjur membuatnya, ia wajib membatalkannya. Maka, ketaatan kepada Allah terletak pada pembatalannya.
Jika ada yang bertanya: “Apa yang mirip dengan ini?” Dijawab: “Ini seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
*’Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia taat. Dan barangsiapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia bermaksiat.’*
Dikisahkan, orang-orang musyrik menawan seorang wanita Anshar dan mengambil untanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wanita Anshar itu melarikan diri dengan menaiki unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia bernazar: ‘Jika Allah menyelamatkanku dengan unta ini, aku akan menyembelihnya.’ Hal itu disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
*’Tidak ada nazar dalam kemaksiatan, dan tidak ada nazar atas sesuatu yang tidak dimiliki anak Adam.’*”
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): “Maksudnya—wallahu a’lam—tidak ada nazar yang boleh dipenuhi. Ketika Sunnah menunjukkan pembatalan nazar yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, maka hal itu juga menunjukkan pembatalan perjanjian yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Jalla wa ‘Azza. Tidakkah engkau melihat bahwa menyembelih unta itu bukan maksiat jika unta itu miliknya? Tetapi karena unta itu milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia bernazar untuk menyembelihnya, maka menyembelihnya menjadi maksiat tanpa izin pemiliknya, sehingga nazarnya batal.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman tentang sumpah:
*’Allah tidak menghukum kalian karena sumpah yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum kalian karena sumpah yang kalian sengaja. Maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.’* (QS. Al-Maidah: 89).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
*’Barangsiapa bersumpah lalu melihat yang lain lebih baik, maka hendaklah ia melakukan yang lebih baik itu dan membayar kafarat sumpahnya.’*
Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla adalah tidak menepati sumpah jika ada yang lebih baik, serta membayar kafarat yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla.
Semua ini menunjukkan bahwa yang boleh dipenuhi hanyalah setiap perjanjian, nazar, atau janji—baik kepada muslim atau musyrik—yang dibolehkan dan tidak mengandung maksiat kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah membatalkannya jika sudah terjadi. Dan seorang imam tidak sepatutnya membuat perjanjian seperti itu.”
**[Membatalkan Perjanjian Tanpa Pengkhianatan]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman,
*”Dan jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.”* (QS. Al-Anfal: 58).
(Imam Syafi’i berkata): Ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terikat perjanjian damai, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menerima kabar tentang mereka yang menunjukkan pengkhianatan mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Jika terdapat bukti bahwa pihak yang terikat perjanjian tidak menepati seluruh isi perjanjian, maka diperbolehkan membatalkan perjanjian terhadap mereka. Dan terhadap siapa pun yang diperintahkan untuk membatalkan perjanjian, maka mereka harus diberi kesempatan mencapai tempat aman, setelah itu boleh memerangi mereka sebagaimana memerangi pihak yang tidak terikat perjanjian.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang pemimpin berkata, “Aku khawatir suatu kaum akan berkhianat,” tetapi tidak memiliki bukti berupa kabar atau penglihatan atas pengkhianatan mereka, maka —wallahu a’lam— dia tidak boleh membatalkan perjanjian yang sah. Sebab, alasan ketakutan akan pengkhianatan yang membolehkan pembatalan perjanjian harus didasarkan pada bukti. Tidakkah engkau melihat bahwa jika tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan hati sebelum, saat, atau setelah perjanjian terkait kemungkinan pengkhianatan, maka tidak ada alasan? Jika ada yang bertanya, “Apa contohnya?” Dijawab: Firman Allah Azza wa Jalla,
*”Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur…”* (QS. An-Nisa’: 34).
Diketahui bahwa jika seorang lelaki menikahi perempuan yang belum pernah dilihatnya, mungkin terlintas dalam benaknya bahwa dia akan nusyuz. Namun, dia baru diperintahkan untuk menasihati, meninggalkan, atau memukul (secara simbolis) jika ada tanda-tanda nusyuz yang jelas.
**[Pembatalan Perjanjian]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang pemimpin membuat perjanjian damai dengan suatu kaum untuk jangka waktu tertentu, atau mengambil jizyah dari mereka, sementara perjanjian damai atau jizyah itu hanya disepakati oleh satu orang atau beberapa orang dari mereka, maka perjanjian itu tidak mengikat seluruh kaum sampai diketahui bahwa sisanya menyetujui dan meridainya. Jika demikian, tidak ada seorang muslim pun yang boleh mengambil harta atau nyawa mereka. Jika ada yang melanggar, dia harus dihukum atas kerusakan yang ditimbulkan selama mereka masih mematuhi perjanjian.
Jika pihak yang menyepakati perjanjian damai membatalkannya, atau sekelompok dari mereka melanggar di tengah-tengah kaum tanpa ada yang mengingkari dengan ucapan atau tindakan nyata sebelum melapor kepada pemimpin, atau memisahkan diri dari negeri mereka dan mengirim pesan kepada pemimpin, “Kami tetap memegang perjanjian kami,” atau jika pelanggar tersebut keluar untuk memerangi muslimin atau ahludz dzimmah (orang-orang yang dilindungi muslimin), lalu membantu para pejuang atau mendukung yang memerangi mereka, maka pemimpin boleh memerangi mereka. Jika pemimpin melakukannya dan tidak ada dari mereka yang keluar untuk melapor setelah tindakan kelompok mereka, maka pemimpin berhak membunuh para pejuang mereka, menawan anak-anak mereka, dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah, baik mereka berada di tengah Darul Islam atau di negeri musuh.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Bani Quraizhah. Pemimpin mereka menyepakati perjanjian damai, lalu membatalkannya, dan kaumnya tidak meninggalkannya. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyerang mereka di tempat tinggal mereka, yang terletak di pinggiran Madinah. Beliau membunuh para pejuang mereka, menawan anak-anak mereka, dan mengambil harta mereka. Tidak semua dari mereka terlibat dalam membantu (musuh) Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat, tetapi mereka semua tetap berada di benteng mereka dan tidak meninggalkan para pengkhianat kecuali sedikit, sehingga darah mereka terselamatkan dan harta mereka terlindungi.
Demikian pula jika seorang dari mereka membatalkan (perjanjian) lalu memerangi pemimpin seperti yang biasa dilakukan sebelum perjanjian damai. Diriwayatkan bahwa tiga orang Quraisy pernah membantu Khuza’ah yang berada dalam perjanjian dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu mereka menyaksikan peperangan itu. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyerang mereka.
**Terjemahan ke Bahasa Indonesia:**
**Tentang Quraisy pada Tahun Pembebasan Mekkah dengan Pengkhianatan Tiga Orang dan yang Lainnya Meninggalkan Bantuan Khuza’ah**
Jika ada di antara mereka yang keluar setelah pasukan Muslimin bergerak menuju mereka dan bergabung dengan Muslimin sebagai Muslim, maka Islam menjamin keselamatan harta, jiwa, dan anak-anak kecilnya. Namun, jika ada yang keluar dan berkata, “Aku tetap memegang perjanjian damai yang ada, dan kami adalah pihak yang berdamai, bukan yang membayar jizyah,” serta menyatakan bahwa dia tidak termasuk yang berkhianat atau membantu sebelumnya—jika Imam tidak mengetahui kebenaran lain selain ucapannya—maka perkataannya diterima.
Namun, jika Imam mengetahui kebenaran lain, maka perjanjian itu dibatalkan untuknya, dan dia dikembalikan ke tempat amannya, lalu diperangi. Anak-anaknya ditawan, dan hartanya dirampas jika dia tidak masuk Islam atau membayar jizyah (jika dia termasuk yang wajib jizyah). Jika tidak ada bukti lain selain ucapannya, tetapi ada tanda-tanda pengkhianatan atau kekhawatiran akan hal itu, maka Imam membatalkan perjanjian untuknya dan mengembalikannya ke tempat aman, lalu memeranginya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
*”Dan jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.”* (QS. Al-Anfal: 58)
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Ayat ini turun—wallahu a’lam—terkait kaum yang berdamai, bukan yang membayar jizyah. Hukum yang sama berlaku bagi yang wajib jizyah maupun yang tidak, kecuali bahwa bagi yang tidak wajib jizyah, jika dia menawarkan jizyah, Imam tidak boleh menerimanya selamanya, hanya untuk sementara waktu.
Orang yang membayar jizyah berbeda dengan yang tidak, karena jika Imam khawatir akan pengkhianatan dari pembayar jizyah, dia tidak boleh membatalkan perjanjian hanya karena kekhawatiran atau indikasi, sebagaimana terhadap yang tidak membayar jizyah, kecuali jika pengkhianatan itu benar-benar terjadi, atau mereka menolak membayar jizyah, atau menolak hukum.
Jika pihak yang berdamai termasuk yang boleh dikenai jizyah dan dikhawatirkan berkhianat, maka perjanjian dibatalkan untuk mereka. Jika mereka berkata, “Kami akan membayar jizyah asalkan hukum tetap berlaku bagi kami,” maka Imam wajib menerimanya.
Imam boleh menyerang wilayah pihak yang berkhianat, baik yang berdamai maupun yang membayar jizyah, baik siang maupun malam, dan menawan mereka jika pengkhianatan dan penolakan mereka nyata. Jika ada yang memisahkan diri atau sekelompok orang tetap setia sementara yang lain menolak, maka Imam boleh memerangi yang menolak, tetapi tidak boleh menyerang seluruh kelompok.
Jika pasukan mendekati mereka, Imam harus mengajak yang setia untuk keluar. Jika mereka keluar, janji mereka dipenuhi, dan yang tersisa diperangi. Jika mereka tidak bisa keluar, seluruh kelompok boleh diperangi, tetapi yang setia dihindari. Jika ada yang terbunuh, tidak ada diyat atau qishas, karena mereka berada di antara kaum musyrik.
Jika pasukan berhasil menguasai mereka, yang setia dibiarkan—harta mereka tidak dirampas, dan darah mereka tidak ditumpahkan. Jika mereka bercampur dan setiap orang mengaku tidak berkhianat, sementara ada kelompok yang memisahkan diri sebelumnya, maka Imam menahan diri terhadap yang diragukan—tidak membunuh, menawan anak-anak, atau merampas hartanya. Namun, yang jelas berkhianat dibunuh, anak-anaknya ditawan, dan hartanya dirampas.
**[Tentang Pelanggaran yang Dilakukan oleh Pihak yang Melanggar Perjanjian]**
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika Imam membuat perjanjian dengan suatu kaum, lalu mereka menyerang pihak yang berdamai, ahli dzimmah, atau Muslim—baik membunuh atau merampas harta—sebelum pengkhianatan terlihat jelas, maka Imam boleh memerangi, membunuh, dan menawan mereka.
Jika pasukan berhasil menguasai mereka, mereka dihukum sesuai dengan pembunuhan, luka, dan perampasan harta yang mereka lakukan, seperti hukum bagi ahli dzimmah—diyat, qishas, atau ganti rugi.
Jika mereka melanggar perjanjian dan menyatakan perang, atau jelas melanggar meski tidak menyatakan perang tetapi menolak di wilayah mereka, lalu menyerang atau diserang sehingga terjadi pembunuhan, luka, atau perampasan harta, maka mereka diperangi, ditawan, dan dibunuh.
Jika pasukan berhasil menguasai mereka, ada dua pendapat:
- Tidak ada qishas untuk darah atau luka, tetapi harta yang ditemukan diambil, tanpa ganti rugi untuk yang hilang.
– Alasan: Ini berbeda dengan hukum Allah terhadap Mukmin, dan perlakuan terhadap ahli perjanjian disamakan dengan Mukmin.
– Dalil: Sunnah tentang ahli harb (kafir harbi) dan qiyas. Contoh: Wahsyi membunuh Hamzah saat masih musyrik, lalu masuk Islam, dan tidak diqishas.
- Jika mereka murtad dan memerangi, maka qishas dan ganti rugi tetap berlaku, karena kemurtadan menghapus amal sebelumnya.
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Rasulullah ﷺ merajam dua Yahudi yang berdamai karena berzina, sesuai firman Allah:
*”Jika mereka datang kepadamu, berilah keputusan atau berpalinglah.”* (QS. Al-Maidah: 42)
Hukum ini berlaku untuk ahli dzimmah dan yang berdamai terkait harta Muslim atau mu’ahad, selama belum memerangi. Jika sudah memerangi, tidak ada hukum atas tindakan setelah pengkhianatan, seperti pelaku murtad (contoh: Thulaihah).
Jika mereka merampas harta saat masih di Darul Islam tanpa penolakan, maka diambil. Jika setelah itu mereka menolak, penolakan tidak menguntungkan mereka.
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika seorang Muslim membunuh, lalu murtad dan memerangi, kemudian ditaklukkan dan bertaubat, qishas tetap berlaku, begitu juga ganti rugi harta.
Ahli perjanjian berbeda dengan Muslim dalam hudud Allah—hudud tidak dijalankan kecuali mereka datang dengan sukarela atau ada hak orang lain yang menuntut.
**Pendapat kedua:** Jika seseorang atau kaum murtad, memerangi, membunuh, lalu ditaklukkan, qishas dan ganti rugi tetap berlaku, bertaubat atau tidak. Alasannya, mereka bukan seperti kafir harbi, karena kemurtadan menghapus amal sebelumnya.
**(Ar-Rabi’ berkata):** Pendapat kedua lebih kuat, karena kemurtadan tidak mengurangi kewajiban hudud atas mereka.
**[Pelanggaran Ahli Dzimmah yang Bukan Pengkhianatan]**
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika jizyah telah diambil dari suatu kaum, lalu sebagian mereka merampok, memukul Muslim, berzina, atau merusak, maka mereka dihukum sesuai pelanggaran—tapi tidak dianggap pengkhianatan kecuali jika menolak jizyah atau hukum setelah pengakuan.
Jika mereka berkata, “Kami tidak akan membayar jizyah,” maka itu pengkhianatan. Jika hanya sebagian yang menolak, hanya mereka yang diperangi.
Jika mereka menolak hukum setelah pengakuan, mereka diperangi. Jika menolak tanpa pengakuan, mereka dipaksa membayar jizyah atau diperangi.
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika ahli dzimmah merusak masjid atau kuburan Muslim, mereka dihukum dan dipaksa memperbaiki, bukan dianggap pengkhianatan.
Jika mereka membunuh Muslim atau mu’ahad, qishas berlaku jika keluarga korban menuntut. Jika tidak, mereka membayar diyat.
Jika mereka menolak membayar diyat, mereka dipenjara sampai membayar. Jika tidak mampu, mereka bekerja sampai lunas.
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika mereka merusak harta Muslim, mereka mengganti dan dihukum, tetapi tidak dianggap pengkhianatan.
Jika mereka menghina Islam atau Nabi ﷺ, mereka dihukum, bukan dibunuh, kecuali jika terus-menerus sehingga membahayakan.
**(Imam Syafi’i rahimahullah berkata):** Jika mereka membantu musuh, itu pengkhianatan, dan perjanjian dibatalkan untuk mereka.
Jika mereka menyembunyikan mata-mata musuh, mereka dihukum, dan perjanjian dibatalkan jika terbukti membantu perang.
Wallahu a’lam.
Saya membayar jizyah, dan saya tidak mengakui pembatalan perjanjian yang ditujukan kepadanya, serta tidak berperang untuk itu di tempatnya. Dikatakan: “Kamu telah diberikan jaminan keamanan sebelumnya dengan membayar jizyah dan mengakuinya. Kami memberimu waktu untuk keluar dari negeri Islam. Setelah keluar dan mencapai tempat amannya, jika dia bisa ditangkap, dia akan dibunuh. Jika dia menjadi mata-mata kaum musyrik terhadap kaum Muslimin yang menunjukkan kelemahan mereka, dia akan dihukum dengan hukuman yang keras, tidak dibunuh, dan perjanjiannya tidak dibatalkan. Jika dia melakukan sebagian dari apa yang telah disebutkan atau yang semakna dengannya, maka perjanjian damai untuk sementara waktu dibatalkan kepadanya. Setelah mencapai tempat amannya, dia akan diperangi kecuali jika masuk Islam atau termasuk orang yang boleh menerima jizyah, maka dia harus membayarnya berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Dan jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang sama’ (QS. Al-Anfal: 58).”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Allah memerintahkan agar memenuhi perjanjian dengan orang-orang yang tidak berkhianat hingga masa berakhirnya perjanjian, sebagaimana firman-Nya: ‘Kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan tidak mengurangi sedikit pun isi perjanjianmu dan tidak membantu seorang pun yang memusuhi kamu, maka penuhilah perjanjian mereka sampai batas waktunya’ (QS. At-Taubah: 4).”
**[Perjanjian Damai]**
(Imam Syafi’i berkata): “Allah mewajibkan memerangi selain Ahli Kitab hingga mereka masuk Islam dan Ahli Kitab hingga mereka membayar jizyah. Allah berfirman: ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah: 286). Ini adalah kewajiban bagi Muslim untuk memerangi kedua golongan musyrik dan berdamai dengan mereka. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menghentikan perang terhadap banyak penyembah berhala tanpa perjanjian damai jika wilayah mereka terpisah, seperti Bani Tamim, Rabi’ah, Asad, dan Thayyi’, hingga mereka masuk Islam. Rasulullah juga pernah berdamai dengan beberapa orang dan membuat perjanjian dengan Yahudi ketika tiba di Madinah tanpa mengambil apa yang sebelumnya diambil dari mereka.”
(Imam Syafi’i berkata): “Memerangi kedua golongan musyrik adalah kewajiban jika Muslim kuat. Namun, meninggalkan perang diperbolehkan jika Muslim lemah atau ada pertimbangan untuk berdamai. Jika mereka diperangi, maka tata cara telah dijelaskan sebelumnya.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika Muslim lemah untuk memerangi musyrik atau sebagian mereka karena jarak yang jauh, jumlah mereka yang banyak, atau kebutuhan Muslim, maka boleh menghentikan perang dan berdamai tanpa mengambil apa pun dari musyrik. Jika musyrik memberikan sesuatu, sedikit atau banyak, Muslim boleh menerimanya, tetapi tidak boleh menerima kecuali untuk jangka waktu tertentu yang memungkinkan Muslim menjadi kuat, kecuali jika itu sebagai pengganti jizyah atau mereka menerima hukum Islam.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Tidak baik jika Muslim memberikan sesuatu kepada musyrik agar mereka menghentikan permusuhan, karena terbunuh bagi Muslim adalah syahid dan Islam lebih mulia daripada memberi musyrik untuk menghentikan permusuhan. Kecuali dalam dua keadaan: ketika sekelompok Muslim terdesak dan khawatir akan dikalahkan karena jumlah musuh yang banyak atau kebutuhan mendesak, maka boleh memberi harta untuk menyelamatkan diri. Atau jika seorang Muslim ditawan dan hanya bisa dibebaskan dengan tebusan, maka boleh menebusnya, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menebus seorang sahabat dengan dua tawanan.”
**[Perjanjian Damai untuk Kepentingan Muslim]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Perang antara Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Quraisy berlangsung, kemudian pasukan beliau menyerang kawasan Najd hingga orang-orang takut bertemu beliau karena perang. Quraish menghalangi penduduk Tihamah, sementara penduduk Najd menghalangi penduduk timur. Rasulullah kemudian melakukan Umrah Hudaibiyah dengan 1.400 orang. Quraisy mendengarnya dan bersiap menghadang dengan pasukan lebih besar. Akhirnya, mereka sepakat berdamai. Rasulullah berdamai dengan mereka untuk sementara waktu, bukan selamanya, karena memerangi mereka hingga masuk Islam adalah kewajiban jika Muslim kuat. Perdamaian berlangsung 10 tahun, dan turunlah firman Allah: ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata’ (QS. Al-Fath: 1). Ibnu Syihab berkata: ‘Tidak ada kemenangan dalam Islam yang lebih besar dari ini.’ Setelah aman, banyak yang masuk Islam. Kemudian sebagian Quraisy melanggar perjanjian, dan Rasulullah menyerang mereka secara tiba-tiba pada tahun Fathu Makkah.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Perdamaian dengan Quraisy adalah pertimbangan Rasulullah untuk kepentingan Muslim karena dua hal: banyaknya musuh dan kesibukan memerangi yang lain. Jika penguasa Muslim menghadapi situasi sulit, sebaiknya berdamai untuk sementara waktu tanpa melebihi masa Hudaibiyah. Jika Muslim sudah kuat setelah masa perjanjian, mereka boleh memerangi musyrik. Jika belum kuat, boleh memperpanjang masa damai dengan syarat tidak melebihi batas, karena kewajiban asal adalah memerangi musyrik hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tidak boleh membuat perjanjian damai tanpa batas waktu, karena perdamaian abadi tidak diperbolehkan. Namun, boleh berdamai dengan hak membatalkan jika ada kepentingan Muslim. Jika ada yang bertanya: ‘Apakah ada contoh masa damai tertentu?’ Jawabannya: ‘Ya, Rasulullah membuka Khaibar dengan kekuatan, kecuali satu benteng yang berdamai. Mereka diizinkan tinggal selama Allah mengizinkan dan bekerja dengan bagi hasil.’ Jika ditanya: ‘Apakah ini untuk kepentingan Muslim?’ Jawabannya: ‘Ya, karena Khaibar dikelilingi musyrik, dan Yahudi di sana kuat mempertahankannya. Setelah Muslim banyak, Rasulullah memerintahkan pengusiran Yahudi dari Hijaz, yang kemudian dilaksanakan oleh Umar.'”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika seorang musyrik datang ingin masuk Islam, wajib bagi penguasa memberinya keamanan hingga dia mendengar firman Allah dan diajak masuk Islam dengan cara yang diharapkan bisa membuatnya masuk Islam, berdasarkan firman Allah: ‘Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya’ (QS. At-Taubah: 6).”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Orang yang telah disebutkan bahwa perjanjiannya dibatalkan…”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
**Mengantarkannya ke Tempat Aman**
Sampaikan dia ke tempat amannya dan mengantarkannya ke tempat aman berarti melindunginya dari kaum Muslimin dan orang-orang yang terikat perjanjian selama dia berada di wilayah Islam atau di tempat yang terhubung dengan wilayah Islam, baik dekat maupun jauh.
(Imam Syafi’i berkata): “Kemudian sampaikan dia ke tempat amannya” —yang dimaksud, wallahu a’lam, adalah tempat aman dari orang yang akan membunuhnya karena agamamu, yaitu dari orang yang taat kepadamu, bukan perlindungan dari musuhmu atau musuhnya yang tidak memberinya keamanan dan tidak taat kepadamu. Jika imam (pemimpin) telah mengantarkannya ke wilayah terdekat kaum musyrik, maka dia telah mengantarkannya ke tempat aman yang diwajibkan, yaitu menjaganya dari kaum Muslimin dan orang-orang yang tunduk pada hukum Islam dari kalangan ahli dzimmah.
Jika dia melewati wilayah kita dan termasuk ahli jizyah, dia boleh diminta berjalan atau dikembalikan kecuali jika dia memilih menetap dengan membayar jizyah. Jika dia termasuk yang tidak boleh dikenai jizyah, dia boleh diminta berjalan atau diangkut, tidak boleh menetap di wilayah Islam, dan harus dikembalikan ke tempat amannya. Jika sukunya yang memberinya perlindungan jauh dan dia ingin pergi lebih jauh lagi, itu bukan tanggung jawab imam. Jika dia memiliki dua tempat aman, imam boleh mengembalikannya ke salah satunya yang biasa dia tinggali. Jika dia memiliki dua wilayah musyrik yang biasa dia tinggali, imam boleh mengembalikannya ke salah satu yang dipilih imam.
Jika dia meminta perlindungan hingga mendengar firman Allah (Al-Qur’an) lalu dikembalikan ke tempat amannya atau ke kaum musyrik lainnya, itu menjadi kewajiban imam. Bahkan jika tidak mengantarkannya lebih jauh dari tempat dia meminta perlindungan, aku berharap itu sudah cukup.
**Perjanjian Damai dengan yang Mampu Dilawan**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika sekelompok kaum musyrik meminta perjanjian damai, imam boleh membuat perjanjian dengan mereka demi kepentingan kaum Muslimin, dengan harapan mereka masuk Islam atau membayar jizyah tanpa kesulitan. Namun, imam tidak boleh membuat perjanjian jika tidak ada maslahat, dan tidak boleh membuat perjanjian selain jizyah lebih dari empat bulan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
*”Pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).”* (QS. At-Taubah: 1) hingga firman-Nya: *”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”* (QS. At-Taubah: 3) dan seterusnya.
(Imam Syafi’i berkata): Ketika kekuatan kaum Muslimin telah mantap, Allah menurunkan kepada Rasulullah SAW saat kembali dari Perang Tabuk: *”Pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.”* (QS. At-Taubah: 1). Lalu beliau mengutus Ali bin Abi Thalib RA dengan ayat-ayat ini untuk dibacakan kepada orang-orang pada musim haji. Wajib hukumnya tidak memberi masa lebih dari empat bulan setelah ayat ini turun, karena itulah batas yang Allah tetapkan.
Nabi SAW pernah memberi Shafwan bin Umayyah empat bulan setelah Fathu Makkah beberapa tahun kemudian. Aku tidak mengetahui beliau pernah memberi masa lebih dari empat bulan setelah kaum Muslimin kuat.
(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan, mereka yang berjanji dengan Nabi SAW adalah kaum yang diberi perjanjian tanpa batas waktu tertentu, lalu Allah menetapkannya empat bulan, dan Rasul-Nya juga demikian. Allah memerintahkan Nabi SAW untuk memenuhi perjanjian dengan kaum yang telah berjanji sebelum turunnya ayat hingga batas waktu mereka, selama mereka setia. Jika dikhawatirkan pengkhianatan, perjanjian boleh dibatalkan. Tidak boleh memperbarui perjanjian setelah turunnya ayat, sementara kaum Muslimin telah kuat, lebih dari empat bulan, sesuai ketetapan Allah dan perbuatan Rasulullah SAW.
Aku tidak tahu berapa lama masa perjanjian Nabi SAW atau masa perjanjian yang diperintahkan untuk dipenuhi. Imam boleh memberi masa kurang dari empat bulan jika dianggap perlu, tetapi tidak wajib membuat perjanjian kecuali untuk maslahat kaum Muslimin. Dia harus menjelaskan hal ini kepada yang diajak berdamai. Dia boleh memberi masa empat bulan kepada yang diharapkan masuk Islam, meskipun dia memiliki kekuatan, jika dikhawatirkan akan bergabung dengan kaum musyrik.
Nabi SAW pernah melakukan ini kepada Shafwan ketika dia lari ke Yaman karena menolak Islam, lalu Allah memberinya hidayah Islam sebelum masa perjanjian habis, yang hanya beberapa bulan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam memberi masa lebih dari empat bulan kepada yang tidak seharusnya, dia wajib membatalkannya karena itu tidak diperbolehkan. Dia hanya boleh memenuhi masa hingga empat bulan, tidak lebih. Jika masa perjanjian lebih dari empat bulan, dia tidak boleh menolak memenuhi empat bulan tersebut, karena yang tidak sah hanya kelebihan setelah empat bulan.
**Kesepakatan Perdamaian untuk Mengembalikan yang Datang dari Wilayahnya, Baik Muslim atau Musyrik**
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sejumlah ahli sejarah perang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berdamai dengan Quraisy pada Perjanjian Hudaibiyah dengan syarat saling memberikan keamanan. Jika ada Muslim yang murtad datang ke Quraisy, mereka tidak mengembalikannya kepada Nabi. Jika ada dari mereka yang datang kepada Nabi di Madinah, beliau mengembalikannya. Namun, beliau tidak mengizinkan mereka mengambil Muslim yang keluar dari Mekah ke wilayah Islam atau musyrik selain Madinah, meskipun mampu.
Tidak ada yang menyebutkan beliau memberi syarat seperti ini untuk Muslim non-Mekah. Mereka juga menyebutkan bahwa turunlah ayat: *”Sesungguhnya Kami telah memberimu kemenangan yang nyata.”* (QS. Al-Fath: 1). Sebagian mufassir mengatakan: “Kami telah memutuskan untukmu keputusan yang jelas.” Perdamaian antara Nabi SAW dan penduduk Mekah berlangsung hingga Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’ith datang sebagai Muslimah yang hijrah. Lalu Allah membatalkan ketentuan tentang perempuan dalam perjanjian dan menurunkan ayat:
*”Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka ujilah keimanan mereka.”* (QS. Al-Mumtahanah: 10) dan seterusnya.
(Imam Syafi’i berkata): Dari hal ini, imam boleh melakukan seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang laki-laki, bukan perempuan, karena Allah membatalkan pengembalian perempuan jika itu termasuk dalam perjanjian, dan melarang pengembalian mereka dalam keadaan apa pun.
Jika imam berdamai seperti Rasulullah SAW dengan penduduk Hudaibiyah, dia boleh berdamai dengan syarat tidak menahan laki-laki (bukan perempuan) dari penduduk Darul Harb yang datang ke wilayahnya. Jika ada laki-laki dari Darul Harb datang ke wilayah imam, dan keluarganya mencarinya, imam boleh membiarkannya pergi dengan mereka, asalkan tidak menghalanginya. Imam juga boleh menasihati yang masuk Islam untuk tidak kembali ke wilayahnya dan pergi ke tempat lain, karena bumi Allah luas dengan banyak tempat perlindungan.
Abu Basir pernah pergi ke Al-‘Ish sebagai Muslim, dan sekelompok Muslim mengikutinya. Kaum musyrik meminta mereka dari Nabi SAW, tetapi beliau bersabda: *”Kami hanya berjanji tidak melindungi mereka, tetapi tidak menghalangi kalian mengambil mereka jika mereka datang. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau terhadap kaum musyrik.”*
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam berdamai dengan syarat mengembalikan orang yang mampu dikembalikan dari mereka yang belum datang, perjanjian itu tidak sah, karena Rasulullah SAW tidak mengembalikan seorang pun kepada mereka, tidak memerintahkan Abu Basir atau pengikutnya untuk datang kepada mereka, padahal beliau mampu. Maksud “kami mengembalikan mereka” adalah kami tidak menghalangi seperti menghalangi yang lain.
Jika imam berdamai dengan syarat tidak menghalangi perempuan Muslimah yang datang, perjanjian itu tidak sah, dan imam wajib melindungi mereka. Jika mereka tidak termasuk dalam Perjanjian Hudaibiyah, imam tidak boleh berdamai dengan syarat seperti itu untuk mereka. Jika mereka termasuk, Allah telah menetapkan untuk tidak mengembalikan mereka kepada orang kafir, dan Rasulullah SAW melarang pengembalian perempuan yang datang.
Hal yang sama berlaku untuk orang gila atau anak kecil yang lari dari mereka. Imam tidak boleh membiarkan mereka diambil, karena status mereka sama dengan perempuan dalam hal perlindungan, bahkan lebih karena mereka tidak mengerti konsep pahala jika disakiti kaum musyrik. Mereka tidak boleh dikembalikan, sebagaimana perempuan yang tidak menikah tidak boleh dikembalikan, karena pengembalian hanya untuk yang sudah menikah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika budak mereka datang sebagai Muslim, imam tidak boleh mengembalikannya dan harus memerdekakannya.
Berikut adalah terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
**Terjemahan:**
Dengan keluarnya kepadanya, dan dalam memberikan nilai ada dua pendapat: pertama, memberikan nilai baik laki-laki atau perempuan karena budak mereka bukan bagian dari mereka dan mereka memiliki kehormatan Islam. Jika ada yang bertanya: bagaimana bisa mereka bukan bagian dari mereka? Dijawab: Allah berfirman, “Dan persaksikanlah oleh dua orang yang adil di antara kamu” (QS. At-Talaq: 2). Muslim tidak berbeda pendapat bahwa ini berlaku untuk orang merdeka, bukan budak yang adil. Tidak dikatakan: budak seseorang adalah bagian darimu, melainkan dikatakan mereka adalah milikmu. Nilai dikembalikan kepada mereka karena jika mereka berdamai, harta mereka aman dan mereka mendapat jaminan keamanan. Ketika Allah memutuskan untuk mengembalikan nafkah istri karena hilang, Dia juga memutuskan untuk mengembalikan nilai budak karena hilang. Apa yang kami kembalikan kepada mereka dari nafkah, kami katakan untuk mengambil dari mereka jika Muslim kehilangan hal serupa. Jika kami tidak memberikan apa pun dari orang merdeka, laki-laki atau perempuan yang tidak bersuami, kami tidak mengambil apa pun jika Muslim kehilangan hal serupa. Karena Allah hanya memerintahkan pengembalian ganti rugi di tempat yang Dia tetapkan bagi Muslim untuk mengambil hal serupa dari mereka.
Pendapat kedua: tidak mengembalikan nilai, tidak mengambil dari mereka untuk budak yang hilang, baik berupa barang atau nilai, karena budak mereka bukan bagian dari mereka. Imam tidak boleh, jika tidak berdamai kecuali dengan syarat yang dijelaskan, membiarkan mereka menguasai Muslim yang menjadi tawanan di tangan mereka dan melarikan diri, atau memutuskan sesuatu untuk mereka. Jika budak mereka mengaku bahwa mereka membebaskannya dengan syarat membayar sesuatu, itu tidak boleh diambil untuk mereka, dan Muslim tidak dibebaskan berdasarkan hal itu karena diberikan dalam keadaan terpaksa yang lebih dari paksaan. Segala sesuatu yang diberikan dalam keadaan terpaksa tidak mengikat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang tawanan di negeri perang mengambil harta dari mereka dengan syarat memberi ganti rugi, ia boleh memilih antara memberi harta serupa jika ada, atau nilai setara jika tidak ada, atau ganti rugi yang mereka setujui. Jika masih di tangannya dan belum berubah, ia kembalikan; jika berubah, ia kembalikan dan mengganti kekurangannya karena ia mengambilnya dengan jaminan keamanan. Syarat yang dibuat dalam keadaan terpaksa dan darurat dibatalkan untuk hal yang tidak diambil sebagai pertukaran. Demikian juga jika kami berdamai dengan kaum musyrik seperti yang dijelaskan, dan ada tawanan dari pihak lain di tangan mereka yang melarikan diri dan datang kepada kami, kami tidak mengembalikannya karena ia bukan bagian dari mereka. Mereka mungkin menahan diri dari membunuh atau menyiksa anggota mereka, tetapi tidak menahan diri terhadap orang lain.
[Asal pembatalan perjanjian dalam hal yang tidak diperbolehkan]
(Imam Syafi’i berkata): Kami menghafal bahwa “Rasulullah berdamai dengan penduduk Hudaibiyah dengan perjanjian yang dijelaskan, lalu membiarkan siapa pun yang datang kepadanya dari laki-laki dan walinya. Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’ait datang sebagai Muslimah yang hijrah, lalu dua saudara laki-lakinya menuntutnya, tetapi Rasulullah melarangnya.” Diberitakan bahwa Allah membatalkan perjanjian untuk perempuan dan menetapkan hukum berbeda untuk mereka. Aku berpendapat bahwa perempuan termasuk dalam perjanjian Hudaibiyah karena jika pengembalian mereka tidak termasuk dalam perjanjian, suami mereka tidak diberi ganti rugi. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata): Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait hal itu: “Jika perempuan mukmin berhijrah kepadamu, ujilah mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10). Ar-Rabi’ membaca ayat ini. Siapa pun yang mengatakan perempuan termasuk dalam perjanjian berargumen dengan ayat ini bersama ayat dalam Surah At-Taubah.
(Imam Syafi’i berkata): Dengan ayat ini dan ayat dalam Surah At-Taubah, kami berpendapat jika Imam berdamai dalam hal yang tidak diperbolehkan, ketaatan adalah membatalkannya, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap perempuan. Beliau memberi musyrik apa yang diberikan untuk laki-laki karena tidak ada pengecualian dan mereka dianggap bagian dari mereka, berdasarkan ayat dalam Surah At-Taubah.
Dengan ini, kami berpendapat: Jika musyrik menangkap seorang Muslim dan mengambil janji serta sumpah agar ia datang atau mengirim tawanan atau harta, halal baginya untuk tidak memberi sedikit atau banyak karena sumpah dalam keadaan terpaksa. Demikian juga jika Imam berjanji mengembalikannya. Jika ada yang bertanya apa dalilnya, dijawab: “Rasulullah tidak melarang Abu Basir ketika ia datang, lalu mereka membawanya dan membunuh salah satunya, sementara yang lain melarikan diri. Rasulullah tidak mengingkarinya, bahkan memujinya.” Tidak ada dosa baginya dalam sumpah karena sumpah dalam keadaan terpaksa. Haram bagi Imam mengembalikannya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia ingin kembali, Imam harus menahannya. Haram bagi Imam mengambil sesuatu dari mereka yang diberikan dalam perjanjian. Jika mereka memberi ini untuk budak atau harta yang mereka kuasai, Imam tidak boleh mengambilnya untuk mengembalikan pinjaman atau nilai setara. Jika mereka memberikannya sebagai jual beli, ia boleh memilih mengembalikan jika belum berubah, atau memberi nilai atau harganya karena ia dalam keadaan terpaksa saat membeli. Sebagai tawanan, ia tidak terikat dengan pembelian. Imam boleh memberi mereka apa yang wajib dari pembelian itu.
(Imam Syafi’i berkata): Dengan ini, kami berpendapat: Jika Imam memberi jaminan keamanan kepada musyrik untuk tawanan Muslim di tangan mereka, lalu tawanan itu datang, tidak halal baginya kecuali mengambilnya tanpa ganti rugi, karena status tawanan berbeda dengan harta Muslim di tangan musyrik. Nabi mengembalikan laki-laki mereka yang adalah anak, saudara, dan keluarga mereka yang dilindungi dari bahaya. Jika ada yang berpendapat mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada ayahnya dan ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah kepada keluarganya, dijawab: orang tua dan keluarga mereka paling penyayang dan ingin keselamatan mereka. Mereka akan melindungi dari bahaya, apalagi menuduh mereka menyakiti. Mereka hanya marah karena berbeda agama dan memaksa mereka meninggalkan Islam. Allah menghapus dosa dalam keadaan terpaksa: “Kecuali yang dipaksa hatinya tetap kokoh dalam iman” (QS. An-Nahl: 106). Siapa pun yang menawan Muslim dari luar suku dan kerabatnya mungkin membunuh dengan berbagai cara atau menyiksa dengan kelaparan. Keadaan mereka tidak sama. Dikatakan juga: Tidakkah engkau melihat Allah membatalkan perjanjian untuk perempuan karena mereka lemah terhadap godaan dan tidak memahami seperti laki-laki bahwa taqiyyah diperbolehkan untuk menyembunyikan keyakinan. Suami mereka bisa menyakiti mereka, sementara tawanan Muslim dalam keadaan lebih buruk, kecuali laki-laki tidak dinikahi. Ada musyrik yang melakukan hal itu berdasarkan kabar. Wallahu a’lam.
[Kesimpulan perjanjian untuk perempuan mukmin]
(Imam Syafi’i berkata): Allah berfirman, “Jika perempuan mukmin berhijrah kepadamu, ujilah mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10). Ar-Rabi’ membaca ayat ini.
(Imam Syafi’i berkata): Jelas dalam ayat ini larangan mengembalikan perempuan mukmin yang hijrah ke darul kufur dan pemutusan ikatan pernikahan karena Islam. Sunnah menunjukkan pemutusan ikatan jika masa iddah selesai dan suami tidak masuk Islam. Jelas juga mengembalikan nafkah suami, dan yang dimaksud adalah mahar jika mereka telah memberikannya. Suami yang diberi nafkah adalah yang dilarang menguasai istri mereka, sementara istri diizinkan dinikahi Muslim jika diberi mahar. Tidak ada masalah menikahi perempuan tanpa suami, masalahnya adalah menikahi yang bersuami hingga Allah memutuskan ikatan pernikahan karena Islam. Rasulullah menjelaskan hal itu dengan berakhirnya iddah sebelum suami masuk Islam. Tidak ada yang diberi nafkah dari istri yang pergi kecuali yang bersuami. Allah berfirman kepada Muslim, “Janganlah kamu pegang ikatan pernikahan dengan perempuan kafir” (QS. Al-Mumtahanah: 10). Rasulullah menjelaskan itu dengan berakhirnya iddah. Hukum suami yang masuk Islam sama dengan perempuan, tidak berbeda. Firman-Nya, “Dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, dan hendaklah mereka meminta apa yang mereka nafkahkan” (QS. Al-Mumtahanah: 10), maksudnya: suami musyrik dari perempuan mukmin jika musyrik menghalangi mereka mendatangi istri, mereka diberi mahar yang diberikan suami, seperti Muslim membayar mahar istri Muslimah. Allah menetapkan hukum di antara mereka, lalu memberi hukum kedua dalam makna serupa: “Jika istri-istrimu pergi kepada kafir dan kamu membalas” (QS. Al-Mumtahanah: 11), maksudnya: jika kamu tidak memaafkan mereka karena mereka tidak memaafkan mahar istri-istrimu, “Maka berikanlah kepada suami yang ditinggalkan istri mereka seperti apa yang mereka nafkahkan” (QS. Al-Mumtahanah: 11), seolah maksudnya: mahar mereka. Jika seorang musyrik memberi mahar 100 dan pergi, dan seorang musyrikah pergi kepada kafir dengan mahar 100, maka 100 Muslim dihitung seperti 100 musyrik. Itulah balasannya.
(Imam Syafi’i berkata): Ini ditulis kepada pihak yang berjanji dengan musyrik agar musyrik memberi mahar istri mereka kepada Muslim yang istrinya pergi kepada mereka. Tidak ada hak lain. Jika Muslimah yang dinikahi musyrik memiliki lebih dari 100, Imam mengembalikan kelebihan kepada suami musyrik. Jika mahar Muslimah bersuami musyrik 200 dan mahar istri Muslim yang pergi 100, lalu istri musyrik lain pergi, dipotong 100 dari maharnya. Imam tidak wajib memberi Muslim yang istrinya pergi kepada musyrik kecuali qishas dari musyrik yang istrinya pergi kepada kami. Jika istri Muslim pergi sebagai Muslimah atau murtad dan mereka menahannya, itu haknya. Jika mereka mengembalikannya, suami tidak mengambil mahar. Jika murtad, ia dibunuh jika tidak kembali Islam dan tetap bersama suami sebagai Muslimah.
[Ketentuan perempuan yang berdamai]
(Ar-Rabi’ mengabarkan): (Imam Syafi’i berkata): Jika perempuan merdeka dari ahli damai datang sebagai Muslimah yang hijrah dari darul harbi ke tempat Imam di darul Islam atau darul harbi, dan walinya selain suami menuntutnya, ia dilarang tanpa ganti rugi. Jika suami menuntutnya sendiri atau melalui wakil, ada dua pendapat: pertama, diberi ganti rugi, yaitu seperti firman Allah, “Berikanlah kepada suami yang ditinggalkan istri mereka seperti apa yang mereka nafkahkan” (QS. Al-Mumtahanah: 11).
(Imam Syafi’i berkata): “Seperti apa yang mereka nafkahkan” mencakup mahar yang diberikan, bukan nafkah lain atau mahar penuh jika belum diberikan. Jika seorang menikahi perempuan dengan mahar 200 dan memberi 100, dikembalikan 100. Jika menikahi dengan 100 dan memberi 50, dikembalikan 50. Jika menikahi dengan 100 dan belum memberi mahar, tidak dikembalikan apa pun. Jika memberi hadiah pernikahan atau lainnya, itu tidak dihitung karena sukarela. Tidak dilihat mahar standar, baik lebih atau kurang. Allah memerintahkan memberi seperti yang dinafkahkan. Suami diberi mahar dari bagian Nabi dari fai’ dan ghanimah, bukan harta lain, karena Rasulullah bersabda, “Aku tidak memiliki apa pun dari apa yang Allah berikan kecuali seperlima, dan seperlima dikembalikan kepadamu,” maksudnya untuk kemaslahatan. Umar meriwayatkan, “Nabi menyimpan kelebihan hartanya untuk persiapan perang.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika suami mengaku mahar dan Imam mengingkari atau tidak tahu, jika suami membawa dua saksi Muslim atau satu saksi dengan sumpah, ia diberi. Jika tidak ada saksi kecuali musyrik, tidak diberi berdasarkan kesaksian musyrik. Imam sebaiknya bertanya kepada perempuan. Jika ia memberi tahu sesuatu dan suami mengingkari atau mengaku, Imam tidak menerimanya. Imam harus menanyakan mahar standar di daerahnya, menyumpah suami bahwa ia telah membayar, lalu memberikannya. Hanya sedikit yang maharnya diketahui dari tawanan Muslim, musta’min, atau penduduk setempat yang berdamai tanpa Muslim di antara mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Jika Imam memberi mahar tanpa bukti lalu suami membawa saksi bahwa lebih dari yang diberikan, Imam mengambil kelebihan yang dibuktikan. Jika Imam memberi dengan bukti lalu suami mengaku kurang, Imam mengambil kelebihan dan menahannya. Ini tidak membatalkan perjanjian. Jika suami atau utusannya tidak menuntut hingga ia meninggal, ahli waris tidak berhak atas mahar yang dinafkahkan karena jika hidup dan tidak menuntut, ia hanya diberi jika dilarang mengembalikannya. Ia tidak disebut dilarang hingga menuntut dan ditolak.
Jika ia datang menuntut tetapi tidak sampai ke Imam hingga meninggal, hukum sama. Jika ia tidak menuntut hingga mentalak tiga kali atau istri mentalak diri tiga kali, tidak ada ganti rugi karena haknya terputus. Jika ia masuk Islam saat istri dalam iddah, ia bukan suaminya lagi. Mahar tidak dikembalikan untuk perempuan yang haknya terputus. Jika ia khuluq sebelum mengadu ke Imam, khuluq tetap berlaku dan ia tidak diberi nafkah dari perempuan yang bukan istrinya lagi. Jika ia mentalak sekali dan masih bisa rujuk, ia tidak diberi ganti rugi hingga rujuk. Jika rujuk dalam iddah lalu menuntut, ia diberi ganti rugi karena haknya tidak terputus. Haknya terputus jika mentalak lagi sehingga jika saat itu ia dan istrinya masuk Islam, ia tidak bisa rujuk. Jika perempuan datang bukan sebagai Muslimah, hukum sama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika perempuan datang sebagai Muslimah dan suami datang tetapi tidak menuntut hingga ia meninggal, tidak ada ganti rugi karena ganti rugi hanya jika dilarang saat di hadapan Imam. Jika perempuan tidak meninggal tetapi hilang akal, suami berhak ganti rugi. Jika suami datang sebagai Muslim dan istri dalam iddah, ia lebih berhak. Jika ia datang sebagai musyrik lalu masuk Islam sebelum iddah selesai, ia tetap suami dan ganti rugi diambil jika sudah diberikan. Jika ia menuntut ganti rugi dan diberi lalu tidak masuk Islam hingga iddah selesai, ia tetap berhak ganti rugi karena pernikahan terputus dengan Islam. Jika ia menikah lagi setelahnya, ganti rugi tidak diambil karena ia menikah dengan akad baru.
Jika perempuan datang dari darul Islam atau tempat lain di bawah kekuasaan Imam, lalu suami menuntutnya ke Imam, tidak ada ganti rugi karena ia tidak datang kepada Imam. Setiap Muslim di wilayahnya wajib melarang suami menguasainya. Jika ia sampai ke darul Imam dan dilarang, suami berhak ganti rugi. Jika suami menuntut saat ia di darul Imam tetapi tidak mengadu hingga ia meninggalkan darul Imam, tidak ada ganti rugi karena ganti rugi hanya jika ia menetap di darul Imam. Jika ia menuntut setelah lama atau tidak di darul Imam, tidak ada ganti rugi.
Jika perempuan datang sebagai Muslimah lalu murtad, ia diminta bertaubat. Jika tidak, ia dibunuh. Jika suami datang setelah pembunuhan, ia tidak dapat ganti rugi. Jika ia datang sebelum murtad lalu murtad dan menuntut, ia tidak diberi perempuan tetapi diberi ganti rugi. Ia diminta bertaubat; jika tidak, dibunuh. Jika ia datang saat istri murtad sebelum dibunuh dan menuntut, ia diberi ganti rugi dan istri dibunuh di tempat. Setiap kali ia menuntut, ia berhak ganti rugi karena Imam wajib melarangnya. Jika perempuan datang dan suami menuntut lalu seseorang membunuhnya, pelaku diqishash atau bayar diyat, dan suami berhak ganti rugi. Jika suami datang dan istri masih hidup meski sekarat, ia dilarang kecuali jika terluka parah hingga seperti hewan sembelihan, ia dianggap meninggal dan tidak ada ganti rugi. Jika Imam wajib melarang suami dalam keadaan hidup, suami berhak ganti rugi. Ganti rugi hanya diberikan jika
**[Buku Jizyah atas Sebagian Harta Mereka]**
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) berkata: (Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i): Jika seorang pemimpin (Imam) ingin menulis perjanjian jizyah bagi mereka dengan syarat berupa sedekah, maka ditulis:
*Bismillahirrahmanirrahim.*
Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh hamba Allah, Fulan, Amirul Mukminin, untuk Fulan bin Fulan, seorang Nasrani dari Bani Fulan, penduduk daerah tertentu, dan kaum Nasrani dari penduduk daerah tertentu. Engkau telah memohon kepadaku untuk dirimu dan kaum Nasrani dari penduduk daerah tertentu agar aku mengikat perjanjian untukmu dan mereka, serta untukku dan kaum Muslimin, sebagaimana perjanjian yang berlaku bagi Ahli Dzimmah dengan syarat yang telah kau sepakati untukmu dan mereka. Aku menyetujui permintaanmu untuk kalian dan siapa saja yang menerima perjanjian ini dari penduduk daerah tertentu, sesuai syarat yang kami tetapkan dalam dokumen ini.
Syaratnya adalah:
– Kalian tunduk pada hukum Islam, bukan hukum yang bertentangan dengannya.
– Tidak seorang pun dari kalian boleh menolak kewajiban yang kami pandang tetap baginya atau melampaui batas.
Kemudian, perjanjian ini berlaku seperti perjanjian sebelumnya mengenai jizyah sebagai pajak yang tidak bertambah atau berkurang. Ketika sampai pada bagian jizyah, ditulis:
– **Untuk pemilik unta, sapi, atau kambing**, atau yang memiliki tanaman, harta tunai, atau kurma yang menurut kaum Muslimin wajib dikenai sedekah, maka jizyahnya diambil sebagai sedekah yang digandakan:
– **Kambing**: Jika mencapai 40 ekor, diambil 2 ekor hingga 120 ekor. Jika mencapai 121 ekor, diambil 4 ekor hingga 200 ekor. Jika melebihi 200 ekor, diambil 6 ekor hingga 399 ekor. Jika mencapai 400 ekor, diambil 8 ekor, dan seterusnya setiap kelipatan 100 ekor diambil 2 ekor.
– **Sapi**: Jika mencapai 30 ekor, diambil 2 anak sapi (tabi’). Jika mencapai 40 ekor, diambil 2 sapi dewasa (musinnah). Jika mencapai 60 ekor, diambil 4 anak sapi, dan seterusnya dengan ketentuan serupa.
– **Unta**: Jika mencapai 5 ekor, diambil 2 kambing. Jika mencapai 10 ekor, diambil 4 kambing, dan seterusnya dengan ketentuan khusus untuk unta berdasarkan usia dan jenisnya.
– **Untuk pemilik tanaman** (gandum, jelai, jagung, jewawut, beras, atau kacang-kacangan), tidak dikenai apa pun hingga hasil panen mencapai 5 wasaq (dengan takaran yang dikenal). Jika diairi dengan timba, zakatnya sepersepuluh; jika diairi sungai atau hujan, seperlima.
– **Untuk emas dan perak**:
– Emas tidak dikenai jizyah hingga mencapai 20 mitsqal (setara 20 dinar), kemudian diambil setengah dinar (2,5%) sebagai zakat.
– Perak tidak dikenai hingga mencapai 200 dirham (berat 7 mitsqal), kemudian diambil 5 dirham (2,5%).
– **Untuk barang temuan (rikaz)**, diambil seperlimanya.
– **Bagi yang baligh dan termasuk dalam perjanjian**, jika tidak memiliki harta saat haul (tahun zakat), tetapi jika seorang Muslim wajib zakat atas harta serupa, maka kami mengambil jizyah sesuai syarat. Jika nilai yang diambil kurang dari 1 dinar, dia wajib melunasi 1 dinar.
– **Jizyah hanya berlaku untuk laki-laki baligh yang waras**, tidak termasuk anak kecil, wanita, atau orang gila.
Jika pemimpin menetapkan syarat tambahan, seperti nilai lebih dari 1 dinar atau kewajiban menjamu tamu, itu boleh ditambahkan dalam perjanjian.
**(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata):**
Tidak masalah menetapkan jizyah berbeda berdasarkan kemampuan:
– Orang miskin: minimal 1 dinar.
– Orang menengah: lebih dari 1 dinar.
– Orang kaya: lebih banyak lagi.
Status kemiskinan atau kekayaan dinilai saat jizyah jatuh tempo, bukan saat perjanjian. Jika terjadi sengketa, perkataan yang bersangkutan diutamakan kecuali ada bukti kuat bahwa dia kaya.
Jika seseorang miskin saat jatuh tempo tetapi kemudian menjadi kaya sebelum membayar, dia tetap bayar 1 dinar. Sebaliknya, jika kaya saat jatuh tempo tetapi kemudian miskin, dia bayar 4 dinar. Jika tidak mampu membayar penuh, dicicil dan sisa menjadi utang.
Perubahan status sehari sebelum jatuh tempo tidak memengaruhi kewajiban tahun tersebut.
[Hospitalitas dan Jizyah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku tidak menetapkan siapa pun yang mewajibkan Umar untuk memberikan jamuan selama tiga hari, atau sehari semalam, atau yang mewajibkan jizyah tanpa menyebutkan kewajiban jamuan, baik berdasarkan berita umum maupun khusus yang sahih. Demikian pula, tidak ada seorang pun dari para pemimpin perjanjian damai yang masih hidup, karena mereka semua telah meninggal. Jika ada kelompok dari ahli dzimmi hari ini mengakui atau ada bukti yang menunjukkan bahwa perjanjian nenek moyang mereka mencakup kewajiban jamuan tertentu, dan mereka sendiri menerimanya, maka hal itu wajib dilaksanakan. Pengakuan mereka hanya sah jika mereka mengatakan, “Kami berdamai dengan syarat memberikan ini dan menjamu sebanyak ini.” Jika mereka mengatakan, “Kami menjamu secara sukarela tanpa perjanjian,” maka aku tidak mewajibkannya. Aku juga akan meminta mereka bersumpah bahwa jamuan yang mereka berikan bukan berdasarkan perjanjian. Begitu pula jika mereka memberikan lebih banyak, aku akan meminta mereka bersumpah bahwa pemberian itu bukan berdasarkan perjanjian. Jika mereka bersumpah, aku memperlakukan mereka seperti orang yang baru pertama kali berdamai. Jika mereka memberikan jizyah minimum, yaitu satu dinar, aku menerimanya. Jika mereka menolak, aku akan memutus perjanjian dan memerangi mereka.
Jika sebagian dari mereka mengakui sesuatu dalam perjanjian, sementara yang lain mengingkarinya, aku akan mewajibkan apa yang diakui oleh yang bersangkutan dan tidak mewajibkannya kepada yang lain kecuali jika mereka mengatakan, “Kami berdamai dengan syarat memberikan ini dan menjamu sebanyak ini.” Namun, jika mereka mengatakan, “Kami menjamu secara sukarela tanpa perjanjian,” maka aku tidak mewajibkannya.
Imam berhak mengambil berdasarkan pengetahuan, pengakuan, atau bukti dari kaum Muslimin. Kesaksian sebagian ahli dzimmi terhadap yang lain tidak diterima. Hal yang sama berlaku untuk semua hal yang tidak ditentukan dalam perjanjian atau yang tidak diakui oleh ahli dzimmi. Jika suatu kelompok mengakui sesuatu yang boleh diambil oleh penguasa, maka hal itu wajib mereka penuhi selama mereka hidup dan tinggal di Darul Islam. Jika mereka berdamai dengan jumlah lebih dari satu dinar, lalu ingin menolak dan hanya mau membayar satu dinar, mereka tetap diwajibkan membayar sesuai perjanjian. Jika mereka menolak, mereka boleh diperangi.
Jika sebelum harta mereka diambil dan keluarga mereka ditawan, mereka menawarkan untuk membayar jizyah satu dinar, maka penguasa tidak boleh menolak. Mereka diperlakukan seperti orang yang baru pertama kali diajak berdamai atau yang menawarkan jizyah tanpa peperangan. Jika ada di antara mereka yang mengakui suatu perjanjian, maka hal itu wajib dilaksanakan. Jika ada yang tidak hadir, ia tidak diwajibkan sampai ia hadir.
Ketika anak-anak mereka dewasa dan mencapai baligh atau berusia lima belas tahun, jika mereka tidak mengakui perjanjian yang dibuat orang tua mereka, mereka diberi pilihan: bayar jizyah atau kami akan memerangi kalian. Jika mereka menawarkan jizyah minimum sementara orang tua mereka membayar lebih, kami tidak boleh memerangi mereka selama mereka membayar jizyah minimum. Kami juga tidak dilarang menerima lebih dari yang diberikan orang tua mereka. Perjanjian orang tua tidak berlaku untuk anak-anak kecuali jika mereka masih kecil (tidak wajib jizyah), perempuan (tidak wajib jizyah), atau gila (tidak wajib jizyah).
Bagi yang tidak sah pengakuannya di Darul Islam kecuali dalam hal jizyah, perjanjian ayah atau orang lain tidak berlaku baginya kecuali jika ia sendiri menerimanya setelah baligh. Jika ada yang dewasa tetapi bodoh (safih) dan berada di bawah perwalian, perjanjian dibuat oleh walinya. Jika wali menolak sementara yang bersangkutan setuju, wali dipaksa untuk membayar jizyah karena hal itu wajib demi keselamatannya agar tidak dibunuh atau dirampas hartanya.
Karena para pemimpin perjanjian sebelumnya telah meninggal, maka kewajiban imam adalah mengutus orang kepercayaan untuk mengumpulkan ahli dzimmi yang sudah baligh di setiap daerah dan menanyakan perjanjian mereka. Apa pun yang mereka akui sebagai tambahan dari jizyah minimum diterima, kecuali jika ada bukti yang menunjukkan lebih dari itu. Mereka juga ditanya tentang generasi baru yang sudah baligh. Jika mereka menerima perjanjian sebelumnya, maka hal itu diterima. Jika mereka menolak dan hanya mau membayar jizyah minimum, mereka diberi pilihan setelah diajak berunding.
Jika ada yang dicurigai sudah baligh tetapi tidak mengaku, maka harus dibuktikan dengan kesaksian dua Muslim yang adil. Jika terbukti, mereka diberi pilihan: bayar jizyah atau kami akan memerangi kalian. Jika mereka mengaku sudah baligh karena menggunakan obat perangsang, hal itu tidak diterima kecuali ada bukti kelahiran yang menunjukkan usia mereka belum lima belas tahun.
Nama dan ciri-ciri mereka dicatat di diwan, dan pemimpin mereka bersumpah untuk melaporkan setiap kelahiran. Setiap orang asing yang masuk ke wilayah mereka dan termasuk yang wajib jizyah diperlakukan seperti yang telah dijelaskan.
Jika seseorang yang memiliki perjanjian pindah ke daerah lain, ia tetap diwajibkan memenuhi perjanjiannya. Jika ia membayar jizyah di tempat baru, ia dibebaskan dari kewajiban di tempat lain. Jika perjanjian sebelumnya lebih besar dari satu dinar, selisihnya tetap diambil. Jika perjanjian pertama satu dinar di daerah asal dan perjanjian kedua satu dinar atau lebih di daerah lain, ia diberi pilihan: kami kembalikan kelebihan dari perjanjian pertama kecuali jika ia melanggar perjanjian.
Jika ada ahli dzimmi yang meninggal, jizyah diambil dari hartanya sesuai dengan lama waktu dalam setahun. Jika ia meninggal di pertengahan tahun, diambil separuh jizyah. Jika ia gila, jizyah dihapus selama ia dalam keadaan gila. Jika ia sembuh, jizyah diambil mulai hari itu. Jika ia mengalami gangguan jiwa yang datang dan pergi, jizyah tetap diambil karena hukum berlaku saat ia sadar.
Jika ada yang masuk Islam, jizyah dihapus untuk masa depan tetapi tetap diambil untuk masa lalu. Jika ia pergi dan masuk Islam, klaimnya diterima dengan sumpah kecuali ada bukti sebaliknya.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jizyah tetap berlaku sejak ia pergi sampai ia kembali dan mengaku sebagai Muslim, kecuali ada bukti bahwa ia sudah masuk Islam sebelumnya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang masuk Islam lalu murtad, jizyah tidak diambil. Jika sudah diambil, harus dikembalikan, dan ia diberi pilihan: masuk Islam atau dibunuh. Demikian pula dengan perempuan.
Berat dan sifat dinar atau barang yang diambil dari mereka harus jelas. Jika seseorang berdamai dalam keadaan sehat lalu gila di pertengahan tahun, jizyah diambil untuk separuh tahun saat ia sehat. Jika ia sembuh, jizyah dihitung mulai hari itu selama setahun.
Jika budak ahli dzimmi yang sudah baligh dimerdekakan, ia wajib membayar jizyah atau diperangi, baik dimerdekakan oleh Muslim atau kafir.
[Hospitalitas dalam Perjanjian]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika ahli dzimmi mengakui kewajiban jamuan dalam perjanjian dan menerimanya, maka imam harus menanyakan dan menerima pengakuan mereka selama itu lebih dari jizyah minimum. Tidak boleh berdamai dengan mereka atas dasar jamuan kecuali jika itu tambahan dari jizyah minimum.
Jika mereka mengakui kewajiban menjamu Muslim yang lewat selama sehari semalam, tiga hari, atau lebih, tanpa batasan tertentu, maka mereka wajib memberikan makanan standar seperti roti, bubur, lauk (minyak, susu, mentega, sayuran, ikan, daging, atau lainnya) sesuai kemampuan mereka.
Dan jika mereka mengakui pakan ternak tetapi tidak menentukan jenisnya, maka mereka boleh memberi jerami dan rumput yang biasa dimakan hewan ternak. Tidak diwajibkan bagi mereka untuk memberikan biji-bijian atau melebihi minimal pakan ternak kecuali dengan pengakuan mereka sendiri. Tidak boleh membebani seseorang dari mereka dengan jamuan dalam sehari semalam kecuali sesuai kemampuannya, baik untuk satu, dua, atau tiga orang. Menurutku, tidak boleh membebani lebih dari tiga orang kecuali dengan pengakuan mereka.
Muslimin yang mereka jamu boleh ditempatkan di mana saja dari rumah-rumah perjalanan yang melindungi dari hujan, dingin, atau panas. Jika mereka tidak mengakui hal ini, maka Imam harus menjelaskan saat berdamai dengan mereka bagaimana orang kaya yang mampu harus menjamu, jenis makanan dan pakan ternak yang diberikan, serta jumlah Muslimin yang dijamu. Begitu pula untuk orang menengah sesuai kemampuannya, dan orang yang memiliki kelebihan setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi, berapa banyak yang harus dijamu, tempat tinggal mereka, dan apa yang diberikan kepada masing-masing. Hal ini harus diketahui jika rombongan besar datang atau tentara melintas, sehingga mereka dapat memenuhinya. Semua ini harus dicatat dan disaksikan agar dapat dilaksanakan oleh pengganti pemimpin mereka.
Dalam perjanjian mereka, harus ditulis bahwa siapa pun yang awalnya miskin kemudian menjadi mampu, maka kewajiban jamuannya disamakan dengan orang kaya.
**[Perdamaian atas Perbedaan di Negeri Muslim]**
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Aku tidak suka jika pemimpin membiarkan seorang pun dari ahli dzimmi dalam perjanjian kecuali dengan keterangan dan saksi. Sebaiknya ahli dzimmi ditanya tentang apa yang mereka sepakati untuk diberikan jika terjadi perselisihan di negeri Muslim. Jika ada kelompok yang mengingkari perjanjian selain jizyah, mereka tidak dibebani atas apa yang mereka ingkari. Mereka diberi dua pilihan: tidak memasuki Hijaz sama sekali, atau memasuki Hijaz dengan syarat akan dikenakan kewajiban seperti yang disepakati Umar atau lebih jika mereka rela.
Alasan kami melarang mereka masuk Hijaz adalah karena Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengusir mereka dari Hijaz. Namun, kami membolehkan mereka masuk dengan syarat seperti yang ditetapkan Umar karena tidak ada larangan tegas bagi mereka untuk masuk Hijaz sementara. Jika mereka rela membayar seperti Umar atau lebih, mereka diizinkan masuk sementara, tidak boleh tinggal di satu kota lebih dari tiga hari. Jika mereka menolak, mereka dilarang masuk. Jika mereka masuk tanpa izin, harta mereka tidak diambil, tetapi mereka harus diusir dan dihukum jika diketahui melanggar larangan. Jika tidak tahu, mereka tidak dihukum tetapi diperingatkan. Jika mengulangi, mereka dihukum.
Para pemimpin harus memastikan tidak ada yang memasuki Hijaz tanpa persetujuan dan pengakuan untuk membayar seperti yang ditetapkan Umar bin Khattab—radhiyallahu ‘anhu. Jika mereka menawarkan lebih, itu lebih baik. Jika menawarkan kurang, sebaiknya tidak diterima, kecuali jika Muslimin membutuhkan, maka boleh ditoleransi.
Jika mereka berkata ingin masuk tanpa membayar, itu tidak boleh bagi pemimpin maupun mereka. Upayakan agar ketentuan ini berlaku di setiap negeri yang mereka datangi. Jika mereka dilarang di suatu negeri, menurutku tidak boleh melarang mereka di negeri selain Hijaz atau mengambil harta mereka jika berdagang di luar Hijaz. Mereka juga tidak boleh diizinkan masuk Makkah dalam keadaan apa pun. Jika mereka masuk Hijaz, mereka dikenakan kewajiban. Jika masuk tanpa syarat, tidak boleh diambil apa pun dari mereka, tetapi mereka dihukum jika diketahui melanggar larangan masuk Makkah. Jika tidak tahu, tidak dihukum.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Perdamaian dengan mereka sebaiknya dimulai dengan penjelasan semua yang telah disebutkan, lalu mereka dibebani sesuai kesepakatan. Jika mereka diabaikan, larang mereka masuk Hijaz seluruhnya. Jika mereka masuk tanpa perjanjian, tidak boleh mengambil apa pun dari mereka, dan menurutku tidak boleh melarang mereka di luar Hijaz.
**Terjemahan ke Bahasa Indonesia:**
**Dari berbagai negara, dikatakan bahwa Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz tidak mengambil sesuatu dari mereka kecuali dengan kerelaan mereka. Mereka mengambilnya seperti mengambil jizyah. Jika mereka dipaksa tanpa kerelaan, aku tidak mengira demikian. Demikian pula, ahli harb (musuh perang) dilarang memasuki wilayah Muslim dengan berdagang kecuali dengan perjanjian damai. Apa yang mereka sepakati dalam perjanjian itu boleh diambil dari mereka. Jika mereka masuk dengan jaminan keamanan tanpa perjanjian damai, tidak ada harta mereka yang diambil, dan mereka dikembalikan ke tempat aman mereka, kecuali jika mereka mengatakan, “Kami masuk dengan syarat diambil dari kami,” maka diambil dari mereka. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan, harta mereka dianggap sebagai ghanimah. Jika mereka tidak mengklaim jaminan keamanan atau utusan, mereka dianggap sebagai fai (harta rampasan tanpa perang), dan para lelaki mereka boleh dibunuh kecuali jika mereka masuk Islam atau membayar jizyah sebelum ditangkap, jika mereka termasuk yang boleh dikenai jizyah. Jika seorang dzimmi memasuki suatu negeri atau seorang harbi masuk dengan jaminan keamanan dan membayar sebagian hartanya, kemudian masuk lagi, tidak ada yang diambil darinya kecuali jika ada perjanjian damai sebelum masuk atau mereka rela setelah masuk. Adapun utusan dan orang yang ingin memeluk Islam tidak boleh dilarang memasuki Hijaz, karena Allah berfirman kepada Nabi-Nya (QS. At-Taubah: 6). Jika seorang utusan ingin bertemu Imam di Haram, Imam harus keluar menemuinya dan tidak membiarkannya masuk Haram kecuali jika utusan itu menyampaikan pesan dan jawaban yang cukup. Dia tidak boleh dibiarkan masuk Haram dalam keadaan apa pun.**
**[Penyebutan Apa yang Diambil Umar dari Ahli Dzimmah]**
Disebutkan apa yang diambil Umar dari ahli dzimmah. Asy-Syafi’i berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab mengambil dari orang-orang Nabath setengah sepersepuluh dari gandum dan minyak, dengan tujuan memperbanyak pasokan ke Madinah, dan mengambil sepersepuluh dari kapas. Malik juga mengabarkan dari Ibnu Syihab dari Saib bin Yazid bahwa ia berkata, “Aku pernah menjadi petugas pasar Madinah bersama Abdullah bin Utbah pada masa Umar bin Khattab, dan Umar mengambil sepersepuluh dari orang-orang Nabath.”
Asy-Syafi’i berkata: Mungkin Saib menyebutkan bahwa Umar mengambil sepersepuluh dari orang Nabath untuk kapas, seperti yang disebutkan Salim dari ayahnya dari Umar, sehingga tidak ada perbedaan. Atau mungkin Saib menyebutkan sepersepuluh pada waktu tertentu, sehingga Umar kadang mengambil sepersepuluh dan kadang setengah sepersepuluh dari gandum dan minyak, dan mungkin semua itu berdasarkan perjanjian damai yang dibuat pada waktu tertentu dengan kerelaan mereka.
Asy-Syafi’i berkata: Aku tidak mengira Umar mengambil sesuatu dari orang Nabath kecuali berdasarkan syarat antara dia dan mereka, seperti syarat jizyah. Demikian pula, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk mengambil dari mereka, dan tidak mengambil sesuatu dari ahli dzimmah kecuali berdasarkan perjanjian damai. Mereka tidak dibiarkan memasuki Hijaz kecuali dengan perjanjian damai. Imam harus menetapkan aturan perdagangan dan semua syarat yang dikenakan pada mereka, agar para petugas selainnya dapat mengambil dari mereka berdasarkan itu. Ahli harb tidak boleh dibiarkan memasuki negeri Muslim untuk berdagang. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan atau utusan, harta mereka dianggap ghanimah. Jika mereka masuk dengan jaminan keamanan dan syarat untuk mengambil sepersepuluh atau lebih atau kurang, maka diambil dari mereka. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan atau syarat, mereka dikembalikan ke tempat aman mereka dan tidak dibiarkan melanjutkan perjalanan di negeri Islam, serta tidak ada yang diambil dari mereka kecuali dengan kerelaan mereka. Jika jaminan keamanan diberikan untuk darah mereka, tidak ada harta mereka yang diambil kecuali dengan syarat atas harta mereka atau kerelaan mereka.
Asy-Syafi’i berkata: Sama saja apakah ahli harb termasuk orang yang mengambil sepersepuluh atau seperlima dari Muslim jika mereka memasuki negeri mereka. Tidak ada yang diambil dari harta mereka kecuali dengan kerelaan mereka atau perjanjian damai sebelumnya, atau diambil sebagai ghanimah atau fai jika mereka tidak memiliki jaminan keamanan atas harta mereka. Karena Allah mengizinkan pengambilan harta mereka sebagai ghanimah dan fai, demikian pula jizyah yang mereka berikan dengan sukarela. Allah mengharamkan pengambilan harta mereka jika jaminan keamanan diberikan, dan tidak boleh diambil kecuali dengan kerelaan mereka berdasarkan syarat dalam perselisihan atau lainnya, sehingga harta mereka halal.
**[Penetapan Imam atas Apa yang Diambil dari Ahli Dzimmah di Negeri-Negeri]**
Asy-Syafi’i berkata: Imam harus menetapkan semua yang diberikan dan diambil dari ahli dzimmah, serta mempertimbangkan apa yang menjadi tanggung jawabnya dan masyarakat terhadap mereka. Dia harus menyebutkan jizyah dan cara pembayarannya, bulan pengambilannya, serta bahwa hukum Islam berlaku bagi mereka jika ada tuntutan atau mereka menampakkan kezaliman. Mereka tidak boleh menyebut Rasulullah kecuali dengan sebutan yang layak, mencela agama Islam, atau mengkritik hukumnya. Jika mereka melakukannya, tidak ada jaminan keamanan bagi mereka. Mereka juga dilarang memperdengarkan syirik atau ucapan mereka tentang Uzair dan Isa kepada Muslim. Jika mereka melanggar setelah diperingatkan, mereka dihukum tanpa sampai pada hukuman had, karena mereka diizinkan tetap pada agama mereka meskipun mengatakan hal-hal tersebut. Mereka juga dilarang mencela Muslim, menipu Muslim, menjadi mata-mata musuh, atau merugikan Muslim dalam keadaan apa pun. Mereka diizinkan tetap pada agama mereka, tetapi dilarang memaksa siapa pun, termasuk anak atau budak mereka, untuk memeluk agama mereka. Mereka juga dilarang membangun gereja atau tempat berkumpul untuk kesesatan, membunyikan lonceng, membawa khamr, memasukkan babi, menyiksa hewan, membunuhnya tanpa penyembelihan, atau membangun bangunan yang lebih tinggi dari Muslim. Mereka harus membedakan pakaian dan kendaraan mereka dari Muslim, serta mengenakan ikat pinggang (zunnar) sebagai pembeda. Mereka tidak boleh memasuki masjid, melakukan transaksi haram dengan Muslim, menikahkan Muslim yang di bawah perwalian tanpa izin walinya, atau mencegah pernikahan dengan wanita merdeka. Mereka juga dilarang memberi Muslim minuman khamr, daging babi, atau makanan haram lainnya, memerangi Muslim atau lainnya, menampakkan salib, atau berkumpul di negeri Muslim. Jika mereka tinggal di desa yang mereka miliki sendiri, mereka tidak dilarang membangun gereja atau meninggikan bangunan, dan tidak diganggu dalam hal babi, khamr, perayaan, atau perkumpulan mereka. Mereka juga dilarang memberi Muslim minuman khamr, melakukan transaksi haram, atau menipu Muslim. Selain itu, mereka diizinkan melakukan hal-hal yang diperbolehkan jika mereka terpisah.
**[Hakim atas Ahli Dzimmah]**
Asy-Syafi’i berkata: Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama sirah bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau membuat perjanjian dengan semua Yahudi tanpa jizyah, dan firman Allah (QS. Al-Maidah: 42) turun terkait Yahudi yang berdamai tanpa membayar jizyah atau menerima hukum Islam. Sebagian berpendapat ayat itu turun terkait dua Yahudi yang berzina. Pendapat ini sesuai dengan firman Allah (QS. Al-Maidah: 43) dan (QS. Al-Maidah: 49), yang menunjukkan bahwa jika mereka menolak hukum Islam tanpa kerelaan, itu seperti orang yang datang kepada hakim lain tanpa paksaan. Ketika Yahudi mengadukan kasus zina kepada Rasulullah, mereka berharap tidak dirajam, tetapi beliau merajam mereka sesuai Taurat. Jika Imam membuat perjanjian dengan ahli syirik tanpa syarat penerapan hukum Islam, lalu mereka datang untuk berhukum, Imam boleh memilih antara menghakimi atau tidak. Jika memilih menghakimi, ia harus memutuskan dengan adil sesuai hukum Allah. Imam tidak boleh memilih dalam kasus hudud bagi ahli dzimmah yang menerima hukum Islam, tetapi boleh memilih bagi ahli harb yang belum menerimanya. Jika mereka menolak keputusan setelah menyetujuinya, Imam boleh memerangi mereka. Ini berlaku baik dalam hudud Allah maupun hudud antar mereka, karena pelaku hudud belum masuk Islam atau menerima hukum Islam.
**Catatan:** Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan struktur kalimat Bahasa Indonesia, dengan mempertahankan makna asli teks Arab. Beberapa istilah khusus (seperti jizyah, dzimmi, harbi) dipertahankan untuk keakuratan.
[Penerapan Hukum terhadap Ahli Dzimmah]
(Imam Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman, *”Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”* (QS. At-Taubah: 29).
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Yang dimaksud dengan ketundukan -wallahu a’lam- adalah berlakunya hukum Islam atas mereka. Allah mengizinkan pengambilan jizyah dari mereka sementara diketahui kekufuran mereka dan pelanggaran mereka terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya. Mereka tidak diharuskan membongkar apa yang mereka anggap halal di antara mereka selama tidak membahayakan Muslim, mu’ahad (orang yang memiliki perjanjian), atau musta’man (orang yang mendapat jaminan keamanan). Namun, jika itu membahayakan diri mereka sendiri dan tidak ada yang menuntutnya, mereka tidak diwajibkan membukanya.
Jika salah satu dari mereka menolak hak yang menjadi kewajibannya, lalu pemilik hak datang kepada imam (penguasa) menuntut haknya, maka wajib bagi imam -wallahu a’lam- untuk memutuskan hukum bagi pemilik hak atas pihak yang berutang, meskipun yang dituntut tidak datang dengan rela terhadap keputusannya. Demikian pula jika ia menunjukkan kemarahan terhadap keputusan itu, sesuai firman Allah Azza wa Jalla, *”Sedang mereka dalam keadaan tunduk.”* (QS. At-Taubah: 29). Tidak boleh negeri Islam menjadi tempat tinggal bagi orang yang menolak keputusan hukum dalam keadaan apa pun.
Allah berfirman, *”Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”* (QS. Al-Maidah: 49). Maka zahir dari yang kami ketahui adalah bahwa hukum harus ditegakkan di antara mereka -wallahu a’lam-.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang wanita dari kalangan mereka mengadukan suaminya karena menceraikannya atau melakukan ila’ (sumpah tidak mencampuri istri), maka aku akan memutuskan hukum atasnya seperti hukum atas Muslim: aku mewajibkan talak dan pembatalan ila’. Jika ia membatalkan ila’, maka tidak ada masalah. Jika tidak, ia dipaksa untuk menceraikannya.
Jika ia berkata, “Ia telah menzhiharku,” maka aku perintahkan agar ia tidak mendekatinya sampai membayar kafarah. Kafarah zhihar tidak sah kecuali dengan memerdekakan budak mukmin. Demikian pula dalam kasus pembunuhan, tidak sah kecuali dengan memerdekakan budak mukmin.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika ada yang bertanya, “Bagaimana orang kafir bisa membayar kafarah?” Jawabnya: Sebagaimana ia menunaikan kewajiban, meskipun tidak mendapat pahala, seperti membayar diyat atau denda luka. Ia juga bisa dihukum had, meskipun hukuman itu tidak menghapus dosanya karena kekufurannya.
Jika ada yang berkata, “Apakah had itu menghapus dosanya?” Jawabnya: Jika boleh menghapus dosa had, maka boleh juga menghapus dosa zhihar dan sumpah. Jika dikatakan ia hanya menunaikan kewajiban tanpa pahala atau penghapusan dosa, maka demikian pula zhihar, sumpah, dan memerdekakan budak dalam kasus pembunuhan.
Jika seorang laki-laki dari mereka datang hendak menikah, kami tidak akan menikahkannya kecuali seperti pernikahan Muslim: dengan kerelaan mempelai wanita, mahar, dan saksi-saksi adil dari kalangan Muslim.
Jika seorang wanita dari mereka yang telah dinikahi datang meminta pembatalan pernikahan karena dinikahi tanpa saksi Muslim atau wali, atau sebab lain yang membatalkan pernikahan Muslim tanpa melibatkan hak pihak lain, maka pernikahan itu tidak dibatalkan selama pernikahan itu sah menurut mereka. Sebab pernikahan itu telah berlangsung sebelum hukum kami berlaku.
Jika ada yang bertanya, “Dari mana engkau berpendapat demikian?” Jawabku: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada orang-orang musyrik setelah masuk Islam, *”Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).”* (QS. Al-Baqarah: 278), dan *”Jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu.”* (QS. Al-Baqarah: 279). Allah tidak memerintahkan mereka mengembalikan sisa riba, hanya melarang mengambil yang belum diterima. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga mengakui pernikahan orang musyrik sebelum hukum Islam berlaku, dan membatalkan pernikahan jika istri lebih dari empat karena mereka adalah sisa (yang tidak sah).
Beliau juga membiarkan pernikahan sebelumnya dalam kekufuran bagi ahli dzimmah dan yang memiliki perjanjian damai, tanpa memerintahkan mereka menikah ulang atau membatalkan pernikahan mereka.
Demikian pula jika dua orang dari mereka bertransaksi khamr sebelum serah terima, kami batalkan transaksi itu. Jika sudah serah terima, kami tidak membatalkannya karena sudah terjadi. Jika sebagian sudah diterima dan sebagian belum, maka yang sudah diterima tidak dibatalkan, sedangkan yang belum dibatalkan.
Jika seorang Nasrani menikahi Muslimah tanpa wali atau saksi Nasrani, kami batalkan pernikahan itu karena Muslim tidak boleh menikah kecuali dengan syarat Islam.
Jika seorang Nasrani menjual khamr kepada Muslim atau membeli khamr dari Muslim, baik sudah serah terima atau belum, kami batalkan dan mengembalikan uang kepada pembeli. Uang hasil penjualan khamr dihapus jika pembelinya Muslim, karena ia tidak boleh memiliki khamr. Jika penjualnya Muslim, ia tidak berhak atas uang hasil penjualan khamr.
Aku tidak memerintahkan dzimmi mengembalikan khamr kepada Muslim, tetapi khamr itu harus dihancurkan di tangan dzimmi karena bukan harta halal. Jika Muslim yang menerima khamr, uangnya dikembalikan dan khamr dihancurkan, karena aku tidak memutuskan Muslim mengembalikan khamr.
Jika seorang wanita dzimmi menikah dalam sisa ‘iddah dari suami sebelumnya, kami pisahkan mereka demi hak suami pertama. Ini berbeda dengan pembatalan akad yang kami sahkan jika menurut mereka sah dan tidak merugikan pihak lain, meskipun tidak sah dalam Islam.
Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali, lalu menikahinya lagi (menurut hukum mereka), kami batalkan pernikahan itu dan memberinya mahar jika sudah bercampur. Wanita itu tidak halal baginya sampai menikah dengan suami lain yang menyetubuhinya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Semua transaksi yang batal di antara Muslim juga batal di antara mereka. Jika transaksi sudah selesai dan barang sudah habis, kami tidak membatalkannya.
Jika budak salah seorang dari mereka dimerdekakan, kami sahkan pembebasannya. Jika ia membuat perjanjian kitabah (pembebasan dengan cicilan), kami terima sesuai ketentuan. Jika ia memiliki umm walad dan hendak menjualnya, kami larang menurut pendapat yang melarang penjualan umm walad, atau kami izinkan menurut pendapat yang membolehkannya.
Jika budak dzimmi masuk Islam, ia dijual (untuk dimerdekakan). Jika dzimmi memerdekakan, menghibahkan, atau menyedekahkannya, itu semua sah karena ia adalah pemiliknya. Perwalian budak itu tetap milik dzimmi yang memerdekakan, tetapi ia tidak mewarisinya karena perbedaan agama. Jika budak itu masuk Islam sebelum meninggal, ia mewarisinya melalui perwalian.
Jika dzimmi menjatuhkan talak kepada umm walad-nya, ia dipisahkan dan wajib menafkahinya. Ia boleh menyewakannya. Jika dzimmi meninggal, umm walad itu merdeka.
Jika dzimmi mendandani budaknya lalu budak itu masuk Islam sebelum tuannya meninggal, ada dua pendapat: (1) budak itu dijual sebagaimana jika tuannya berkata, “Kamu merdeka jika masuk rumah,” (2) budak tidak dijual sampai tuannya meninggal, kecuali jika tuannya ingin menjualnya.
Jika budak itu masuk Islam lalu tuannya (Nasrani) membuat perjanjian kitabah, dikatakan kepada budak: “Jika mau, batalkan kitabah dan kamu dijual. Jika mau, lanjutkan kitabah sampai lunas dan merdeka. Jika tidak mampu, kamu dijual.”
Demikian pula jika budak masuk Islam lalu didandani, atau umm walad masuk Islam lalu dihamili, karena tuannya tetap pemilik mereka dalam keadaan ini. Tidak ada had atas keduanya.
Jika seorang Nasrani melukai Nasrani lain dengan sengaja, korban boleh memilih antara qishash atau diyat. Jika memilih diyat, itu menjadi utang pelaku. Jika lukanya tidak sengaja, diyat dibayar oleh ‘aqilah (keluarga) pelaku, seperti ‘aqilah Muslim. Jika pelaku tidak memiliki ‘aqilah, diyat menjadi utang yang ditagih.
Kerabat Nasrani tidak mewarisi atau menanggung diyat. Muslim juga tidak menanggung diyat untuk mereka dan tidak mewarisi harta mereka, kecuali sebagai fai’.
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Penguasa darah (wali) Nasrani seperti wali Muslim, kecuali kesaksian di antara mereka tidak sah kecuali dari Muslim. Pengakuan di antara mereka sah seperti pengakuan Muslim. Setiap hak di antara mereka dituntut seperti halnya antara Muslim.
Jika seorang dari mereka menghancurkan khamr milik lainnya, membunuh babi, membakar bangkai atau babi, atau menyamak kulit bangkai, ia tidak menanggung ganti rugi karena itu haram. Tidak ada ganti rugi untuk yang haram.
Jika khamr berada dalam wadah lalu dihancurkan, ia hanya mengganti nilai wadah, bukan khamr. Jika wadah terbuat dari kulit bangkai atau babi (samak atau tidak), tidak ada ganti rugi.
Jika ia menghancurkan salib emas miliknya, tidak ada ganti rugi. Jika salib terbuat dari kayu dan kayu itu masih bisa digunakan selain salib, ia mengganti nilai kayu yang rusak. Demikian pula patung emas atau kayu yang disembah: tidak ada ganti rugi untuk emas atau kayu, kecuali jika kayu itu masih bisa digunakan selain patung.
Jika seseorang merusak rebab, seruling, atau genderang milik orang lain, maka jika alat tersebut masih bisa digunakan untuk selain hiburan yang haram, ia wajib membayar nilai kerusakannya. Namun jika alat itu hanya bisa digunakan untuk hiburan haram, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Hal yang sama berlaku jika seorang Nasrani merusak milik Muslim, Nasrani, Yahudi, atau musta’min; atau jika seorang Muslim merusak milik mereka – semua kerusakan tersebut dianggap batal.
Jika seorang Nasrani merusak sesuatu yang dianggap batal (tidak ada ganti rugi) menurut hukum kita, tetapi si perusak tetap membayar ganti rugi berdasarkan keputusan hakim mereka, atau karena dianggap kewajiban di antara mereka, atau ia memberikannya secara sukarela namun belum diterima oleh pihak yang dirugikan, lalu ia datang kepada kami, maka kami batalkan pembayaran tersebut karena belum diterima. Namun jika ia sudah menyerahkannya, kemudian meminta pembatalan, ada dua pendapat:
- Tidak dibatalkan dan dianggap seperti transaksi riba yang telah terjadi.
- Dibatalakan dalam semua kondisi karena pembayaran tersebut bukan transaksi jual-beli, melainkan akibat kerusakan yang sebenarnya tidak ada nilai gantinya.
Jika yang menerima ganti rugi adalah seorang Muslim menurut hukum mereka, dan ia telah menerimanya, lalu datang kepada kami, maka kami kembalikan kepada Muslim tersebut—sebagaimana jika terjadi riba antara Muslim, kami kembalikan harta itu.
Demikian pula jika seorang Nasrani menumpahkan khamr milik Muslim atau merusak sesuatu yang dianggap batal, lalu mereka mengadukan kepada kami, dan si Nasrani membayar ganti rugi secara sukarela, berdasarkan keputusan hakim dzimmi, atau karena dianggap kewajiban, lalu menyerahkannya kepada Muslim, kemudian datang kepada kami, maka kami batalkan dan kembalikan harta itu dari Muslim kepada Nasrani, karena seorang Muslim tidak boleh menerima harta haram. Penerimaan harta haram—baik disadari atau tidak—harus dikembalikan dan tidak boleh dibiarkan.
Seorang Nasrani boleh melakukan qirad (kerjasama bagi hasil) dengan Muslim, tetapi makruh bagi Muslim melakukan qirad dengan Nasrani atau berserikat dengannya karena khawatir terjatuh pada riba atau transaksi haram. Namun jika sudah terjadi, tidak kami batalkan karena mungkin masih ada unsur halal. Makruh juga bagi Muslim menyewa Nasrani, atau sebaliknya, tetapi sewa yang sudah terjadi tidak dibatalkan.
Makruh bagi Muslim menjual budak Muslim kepada Nasrani, tetapi jika terjadi, tidak otomatis batal—kami paksa Nasrani untuk menjualnya kembali. Jika tidak ada pasar di tempat tersebut, ia diberi waktu 1-3 hari untuk menjualnya di pasar terdekat. Ada pendapat lain yang menyatakan jual-beli itu batal.
Jika Muslim menjual mushaf atau kitab hadits Nabi ﷺ kepada Nasrani, jual-beli itu batal. Namun jika yang dijual adalah buku berisi pendapat ulama, hukumnya makruh tetapi tidak batal. Jika berisi syair atau tafsir mimpi, tidak makruh dan tidak batal.
Jika Nasrani menjual mushaf, hadits Nabi ﷺ, atau budak Muslim kepada Muslim, jual-beli tidak dibatalkan, tetapi makruh secara prinsip kepemilikan Nasrani atas hal-hal tersebut. Jika seorang Muslim mewasiatkan mushaf atau kitab hadits kepada Nasrani, wasiat itu batal. Namun jika Nasrani mewasiatkannya kepada Muslim, wasiat itu sah.
Jika Muslim mewasiatkan budak Muslim kepada Nasrani:
– Menurut pendapat yang membatalkan jual-beli budak Muslim kepada Nasrani, wasiat ini batal.
– Menurut pendapat yang memaksa Nasrani menjualnya kembali, wasiat itu sah.
Hukum yang sama berlaku untuk hibah Muslim kepada Nasrani, Yahudi, atau Majusi.
Jika Muslim mewasiatkan budak Nasrani kepada Nasrani, lalu si budak masuk Islam setelah kematian pewasiat, wasiat itu sah menurut kedua pendapat, karena kepemilikan sudah terjadi saat pewasiat meninggal (saat itu budak masih Nasrani). Namun jika budak masuk Islam sebelum pewasiat meninggal, wasiat itu dianggap seperti wasiat budak biasa.
Jika Nasrani berwasiat lebih dari sepertiga hartanya, dan ahli warisnya datang kepada kami, kami batalkan kelebihan itu jika mereka menghendaki—seperti pembatalan wasiat lebih dari sepertiga pada Muslim.
Jika Nasrani berwasiat sepertiga atau sebagian hartanya untuk membangun gereja, upah pelayan gereja, perawatan gereja, lampu gereja, atau membeli tanah wakaf untuk gereja, wasiat itu batal.
Demikian pula jika seseorang berwasiat untuk membeli khamr atau babi dengan hartanya agar disedekahkan, atau berwasiat untuk memberikan babi atau khamr miliknya, maka wasiat tersebut kami batalkan dalam semua kasus ini. Namun, jika seseorang berwasiat untuk membangun gereja yang akan digunakan oleh para musafir, atau mewakafkannya untuk sekelompok orang yang akan menempatinya, atau menjadikan sewa gereja tersebut untuk orang Nasrani atau orang miskin, maka wasiat tersebut diperbolehkan. Tidak ada dosa dalam membangun gereja kecuali jika gereja itu digunakan sebagai tempat ibadah orang Nasrani yang berkumpul untuk kesyirikan. Namun, seorang Muslim dimakruhkan untuk bekerja dalam pembangunan, pertukangan, atau pekerjaan lain di gereja-gereja mereka yang digunakan untuk ibadah.
Jika seseorang berwasiat untuk memberikan sepertiga hartanya kepada para rahib dan diaken, wasiat tersebut diperbolehkan karena sedekah kepada mereka dibolehkan. Namun, jika seseorang berwasiat untuk menulis Injil atau Taurat dengan sepertiga hartanya untuk dipelajari, wasiat tersebut tidak diperbolehkan karena Allah telah menyebutkan bahwa mereka telah mengubah kitab-kitab tersebut. Sebaliknya, jika wasiat itu untuk menulis buku-buku kedokteran yang akan disedekahkan, wasiat tersebut diperbolehkan. Namun, jika wasiat itu untuk menulis buku-buku sihir, wasiat tersebut tidak diperbolehkan.
Jika seseorang berwasiat untuk membeli senjata bagi kaum Muslimin dengan sepertiga hartanya, wasiat tersebut diperbolehkan. Namun, jika wasiat itu untuk membeli senjata bagi musuh dari kalangan musyrikin, wasiat tersebut tidak diperbolehkan. Jika seseorang berwasiat untuk memberikan sepertiga hartanya kepada sebagian ahli harbi (orang kafir yang memerangi Muslim), wasiat tersebut diperbolehkan karena tidak dilarang memberikan harta kepada mereka. Demikian pula jika wasiat itu untuk menebus tawanan dari kalangan ahli harbi yang berada di tangan kaum Muslimin.
Jika seorang dzimmi atau musta’min (orang kafir yang dilindungi) mengadukan kezaliman, maka keadilan harus ditegakkan meskipun pihak yang diadukan tidak rela, selama ada hak yang harus dipenuhi. Jika seorang muhtasib (petugas pengawas) dari kalangan Muslim atau lainnya melaporkan bahwa orang-orang dzimmi melakukan transaksi riba di antara mereka, kami tidak akan mengusik mereka selama tidak ada pihak yang menuntut haknya, karena kekafiran yang kami toleransi lebih besar daripada riba. Demikian pula, kami tidak akan mengusik perkawinan yang mereka anggap halal meskipun termasuk mahram, kecuali jika ada pihak yang mengadukannya. Jika seorang wanita mahram datang mengadukan pernikahannya, kami akan membatalkan pernikahan tersebut. Jika seorang wanita menikah dengan lebih dari empat istri, kami akan memaksa suaminya memilih empat dan menceraikan yang lainnya. Namun, jika tidak ada yang mengadukan, kami tidak akan mengusiknya.
Jika ada yang berpendapat bahwa Umar pernah memerintahkan untuk memisahkan setiap perkawinan mahram di kalangan Majusi, hal itu mungkin dilakukan jika wanita atau walinya meminta, atau suami meminta untuk menggugurkan maharnya. Kami membiarkan mereka dalam kesyirikan yang lebih besar daripada membiarkan perkawinan mahram atau poligami lebih dari empat istri, selama tidak ada yang mengadukan. Jika seorang dzimmi yang mencuri dilaporkan oleh pemilik barang, kami akan memotong tangannya. Jika seorang dzimmi yang mencuri diperbudak oleh pemilik barang berdasarkan hukum mereka, kami akan membatalkan perbudakan itu dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum kami.
Seorang Nasrani memiliki hak syuf’ah (hak beli lebih dahulu) atas Muslim, dan begitu pula sebaliknya. Seorang Nasrani tidak dilarang membeli hewan ternak yang mengandung zakat, tanah pertanian, atau kebun kurma dari seorang Muslim, meskipun hal itu membatalkan kewajiban zakatnya, sebagaimana seorang Muslim tidak dilarang menjualnya secara terpisah kepada banyak orang sehingga zakatnya gugur.
Seorang dzimmi tidak boleh menghidupkan tanah mati di wilayah Muslim. Jika dia menghidupkannya, tanah itu tidak menjadi miliknya, tetapi dia boleh mengambil hasil pengelolaannya, sementara tanah itu tetap milik kaum Muslimin. Menghidupkan tanah mati adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang menghidupkannya, sebagaimana fa’i (harta rampasan) yang Allah berikan kepada pemeluk agama-Nya, bukan kepada orang lain.
Bab Siapa yang Wajib Diperangi dari Kalangan Pemberontak
Allah berfirman:
*”Dan jika dua kelompok dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari mereka melampaui batas terhadap yang lain, maka perangilah kelompok yang melampaui batas itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.”* (QS. Al-Hujurat: 9)
Asy-Syafi’i berkata:
Allah menyebutkan pertempuran dua kelompok, yaitu dua kelompok yang bersikap keras dan bersatu, baik perlawanannya kuat atau lemah selama disebut sebagai perlawanan. Allah menyebut mereka sebagai orang-orang mukmin dan memerintahkan untuk mendamaikan mereka. Kewajiban setiap Muslim adalah mengajak mereka berdamai sebelum berperang. Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa pemberontak tidak boleh diserang sebelum diajak berdamai, karena pemimpin wajib mengajak mereka berdamai sebagaimana perintah Allah sebelum memerangi mereka.
Allah memerintahkan untuk memerangi kelompok yang melampaui batas (bughat) yang tetap disebut sebagai orang beriman sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka kembali, tidak boleh lagi diperangi karena Allah hanya mengizinkan memerangi mereka selama mereka memberontak.
Kembali (fi’) berarti berhenti berperang karena kekalahan, taubat, atau alasan lain. Setiap keadaan yang menghentikan peperangan berarti mereka telah kembali. Kembali dari peperangan berarti kembali dari maksiat kepada ketaatan dengan meninggalkan apa yang diharamkan Allah.
Allah memerintahkan jika mereka kembali, maka damaikanlah dengan adil, tanpa menyebut tuntutan darah atau harta. Ini menunjukkan bahwa tuntutan darah, luka, dan harta yang hilang gugur di antara mereka. Namun, bisa juga ayat tersebut berarti mendamaikan mereka dengan keputusan hukum jika ada yang harus diputuskan, seperti memberikan hak kepada yang berhak.
Kami berpendapat bahwa qisas (pembalasan) gugur dalam kasus ini, meskipun ayat bisa dipahami dengan dua makna.
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa pada masa fitnah pertama di antara para sahabat Rasulullah ﷺ, banyak darah yang tertumpah dan harta yang dirampas, tetapi tidak ada qisas dalam darah atau harta, kecuali jika harta seseorang masih utuh, maka dikembalikan kepadanya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
*”Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka dia syahid.”*
Ini menunjukkan bahwa seseorang boleh mempertahankan hartanya, dan jika dia terbunuh karenanya, berarti peperangan itu dibolehkan. Namun, jika seseorang dibunuh tanpa perlawanan, tidak disebut terbunuh karena mempertahankan harta.
### **Pembagian Orang Murtad setelah Rasulullah ﷺ**
- **Kelompok yang murtad setelah Islam**, seperti Thulaihah, Musailamah Al-Kadzdzab, dan Al-Aswad Al-Ansi beserta pengikutnya.
- **Kelompok yang tetap memeluk Islam tetapi menolak membayar zakat**.
Abu Bakar memerangi mereka karena menolak kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Jika seseorang menolak membayar hak yang wajib dan penguasa tidak bisa mengambilnya kecuali dengan peperangan, maka dia boleh diperangi.
### **Hukum Terhadap Pemberontak yang Bertaubat**
Jika pemberontak bertaubat, mereka tidak boleh dituntut atas darah atau harta yang hilang selama pemberontakan, kecuali jika harta tertentu masih ada, maka dikembalikan kepada pemiliknya.
### **Perbedaan antara Pemberontak dan Perampok**
Pemberontak yang melakukan perlawanan berdasarkan takwil (penafsiran) tidak dikenai qisas, berbeda dengan perampok yang membunuh tanpa alasan. Perampok wajib dihukum qisas atau hudud sesuai ketentuan Allah.
### **Sikap terhadap Khawarij**
Jika sekelompok orang mengikuti paham Khawarij, mengkafirkan orang lain, dan mengisolasi diri, mereka tidak boleh diperangi selama tidak melakukan pemberontakan fisik. Ali bin Abi Thalib mengatakan kepada mereka:
*”Kalian memiliki tiga hak: kami tidak melarang kalian beribadah di masjid, tidak melarang kalian mendapat bagian dari fa’i selama kalian bersama kami, dan kami tidak memulai peperangan dengan kalian.”*
Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan untuk tidak memerangi Khawarij kecuali jika mereka mengangkat senjata.
### **Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan**
Jika sekelompok orang melakukan pembunuhan dan perampokan tanpa alasan takwil, mereka diperlakukan seperti perampok dan dikenai hukuman sesuai ketentuan syariat.
### **Kesimpulan**
Pemberontak yang bertaubat tidak boleh dituntut atas darah atau harta yang hilang selama pemberontakan, sedangkan perampok dan pelaku kekerasan tanpa takwil tetap dikenai hukuman. Peperangan hanya diizinkan selama pemberontakan berlangsung, dan jika mereka kembali, perdamaian harus ditegakkan dengan adil.
**Wallahu a’lam bish-shawab.**
Jika mereka tidak menjawab (seruan untuk kembali kepada kebenaran), mereka boleh diperangi. Namun, mereka tidak boleh diperangi sampai diajak berdiskusi dan diberi kesempatan untuk berdebat, kecuali jika mereka menolak untuk berdebat, maka mereka boleh diperangi.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Apa yang mereka lakukan dalam kondisi ini terbagi menjadi dua:
- Apa yang mereka lakukan berupa pertumpahan darah, harta, atau kehormatan berdasarkan takwil (penafsiran), kemudian terbukti kesalahan mereka setelahnya, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali jika ditemukan harta seseorang yang masih utuh, maka harus dikembalikan.
- Apa yang mereka lakukan tanpa dasar takwil, seperti melanggar hak Allah atau hak manusia, kemudian terbukti kesalahan mereka, maka hukuman harus dijatuhkan sebagaimana hukuman bagi pelaku lainnya yang melarikan diri dari hukuman atau melakukan kejahatan di wilayah tanpa penguasa, lalu datang penguasa yang menegakkan hukum. Demikian pula dengan kelompok pemberontak yang menguasai suatu wilayah hingga penguasa tidak bisa menegakkan hukum di sana. Jika mereka kemudian ditangkap, hukuman harus ditegakkan, dan perlawanan mereka tidak menghapus hak yang harus ditegakkan. Yang bisa menggugurkan hak hanyalah takwil dan perlawanan secara bersamaan.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika kelompok pemberontak diajak berdamai tetapi menolak, lalu diperangi, maka aturan perang terhadap mereka berbeda dengan aturan perang terhadap orang-orang musyrik. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan darah kaum muslimin kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat. Peperangan terhadap pemberontak hanya dibolehkan selama mereka masih memerangi. Mereka tidak dianggap memerangi kecuali jika mereka menyerang, menolak kebenaran, dan berniat memerangi. Jika mereka meninggalkan sifat-sifat ini, maka darah mereka kembali haram seperti semula. Hal ini jelas dalam firman Allah:
*’Perangilah kelompok yang memberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka kembali, maka damaikanlah antara mereka dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.’* (QS. Al-Hujurat: 9)”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Allah tidak membuat pengecualian dalam hal ‘kembali’ (fi`ah). Baik kelompok yang kembali itu besar atau kecil, selama mereka kembali (berhenti memberontak), darah mereka haram. Tidak boleh membunuh mereka yang lari, tawanan, atau yang terluka, karena mereka sudah tidak dalam status yang membolehkan pertumpahan darah. Harta mereka juga tidak boleh dirampas, baik kendaraan, senjata, atau lainnya. Jika ada harta mereka yang diambil, harus dikembalikan. Sebab, harta musuh dalam perang hanya halal diambil dari orang-orang musyrik yang memerangi. Adapun seorang muslim yang melakukan kejahatan seperti perampokan, zina, atau pembunuhan, hartanya tidak boleh dirampas. Apalagi dalam pemberontakan, hukumnya lebih ringan karena jika mereka berhenti memberontak, mereka tidak boleh dibunuh, apalagi dirampas hartanya.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika pemberontak meletakkan senjata, mereka tidak boleh diperangi lagi. Jika ada wanita, budak, atau anak remaja ikut memberontak, mereka diperlakukan sama: diperangi jika menyerang, dan dibiarkan jika mundur. Namun, tawanan berbeda hukumnya. Jika tawanan itu laki-laki dewasa merdeka, dia boleh ditahan sampai bersumpah setia. Tetapi budak, anak kecil, atau wanita tidak boleh ditahan untuk sumpah setia. Wanita hanya disumpah setia dalam hal Islam, bukan dalam ketaatan, karena mereka tidak wajib jihad. Bagaimana mungkin mereka disumpah setia untuk jihad, padahal sumpah setia bagi muslim yang lahir dalam Islam adalah untuk jihad? Setelah perang usai, tidak boleh menahan tawanan mereka.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika pemberontak meminta waktu untuk mempertimbangkan, imam boleh memberi mereka waktu. Jika imam berharap mereka akan kembali, lebih baik menunggu. Jika tidak, imam wajib memerangi mereka. Jika imam khawatir kelompok adil (pihak pemerintah) lemah, lebih baik menunda sampai mereka kembali atau kekuatan cukup untuk menghadapi mereka.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika mereka meminta damai dengan membayar tebusan, tidak boleh menerima tebusan dari muslim untuk meninggalkan hak yang seharusnya ditegakkan. Mereka tidak boleh dibiarkan memberontak hanya untuk mendapatkan hak yang mereka halangi atau kebatilan yang mereka lakukan. Menerima tebusan seperti ini berarti merendahkan mereka, dan muslim tidak boleh direndahkan.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika mereka meminta untuk tetap memberontak selamanya, imam tidak boleh menerima selama ia mampu memerangi mereka. Jika mereka berlindung di benteng, boleh digunakan manjaniq (pelontar), api, atau serangan malam. Namun, lebih baik menghindari cara-cara itu kecuali darurat, seperti jika musuh mengepung atau menyerang dengan senjata berat.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Tidak boleh meminta bantuan orang musyrik (baik dzimmi maupun harbi) untuk memerangi pemberontak, meskipun kaum muslimin sedang berkuasa. Aku tidak memberi celah bagi penentang agama Allah untuk membunuh kaum muslimin. Namun, boleh meminta bantuan orang musyrik untuk memerangi musyrik lainnya, karena darah mereka halal dalam segala kondisi selama dakwah sudah sampai. Adapun pemberontak, darah mereka hanya halal saat mereka memerangi atau menolak hukum. Jika mereka berhenti, darah mereka haram.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika pemberontak terpecah dan saling memerangi, lalu salah satu kelompok meminta bantuan imam, imam tidak boleh membantu salah satu pihak kecuali jika lemah dan tidak mampu menghadapi keduanya. Jika perang sudah selesai, imam tidak boleh memerangi kelompok yang dibantunya kecuali setelah menyeru mereka dan memberi kesempatan untuk kembali. Jika mereka menolak, baru diperangi.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika seseorang dari pihak adil membunuh orang dari pihak adil dalam kesibukan perang karena mengira korban adalah pemberontak, ia harus bersumpah dan membayar diyat. Jika ia mengaku sengaja, ia diqishash.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Demikian pula jika ada pemberontak yang bertaubat dan bergabung dengan pihak adil, lalu dibunuh oleh pihak adil karena dikira masih memberontak, pembunuh harus bersumpah dan membayar diyat. Jika tidak ada alasan yang masuk akal, ia diqishash, karena orang yang bergabung dengan pihak adil statusnya sama dengan mereka.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika sebagian pemberontak bertaubat dan dijamin keamanan oleh penguasa, lalu seseorang membunuh mereka dengan alasan tidak tahu mereka sudah bertaubat, qishash tidak dijatuhkan, tetapi ia wajib membayar diyat setelah bersumpah. Jika ia sengaja, ia diqishash untuk pembunuhan dan membayar diyat untuk luka yang tidak bisa diqishash.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika ada pedagang di pasukan pemberontak, penduduk kota yang dikuasai pemberontak, atau tawanan muslim di tangan mereka…” (terjemahan berlanjut sesuai konteks).
Berikut adalah terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
Semua orang ini tidak termasuk bersama kaum pemberontak dalam pendapat maupun bantuan. Jika mereka saling membunuh atau melakukan pelanggaran hukum Allah atau hak manusia dengan sadar bahwa hal itu diharamkan bagi mereka, kemudian mereka mampu menegakkannya, maka hukum itu harus ditegakkan atas mereka. Demikian pula jika mereka berada di wilayah perang dan melakukan pelanggaran dengan sadar bahwa itu haram dan tanpa paksaan, maka hukum Allah dan hak manusia harus ditegakkan atas mereka. Begitu juga jika mereka menjadi perampok dan membentuk kelompok yang menolak hukum, atau tidak merampok tetapi menolak hukum dengan interpretasi tertentu, sementara hujah telah tegak atas mereka dengan ilmu dan Islam, kemudian mereka ditaklukkan, maka hak-hak harus ditegakkan atas mereka.
[Hukum Harta Benda dan Lainnya bagi Kaum Pemberontak]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika kaum pemberontak menguasai suatu wilayah Muslim dan pemimpin mereka menegakkan hukum Allah atau hak manusia atas seseorang, baik benar atau salah dalam penegakannya, atau mengambil zakat kaum Muslim dan memenuhi kewajiban mereka atau mengambil lebih dari yang seharusnya, kemudian kaum yang adil mengalahkan mereka, maka hukuman yang telah dijatuhkan oleh pemimpin pemberontak tidak diulang, begitu pula zakat yang telah diambil. Jika zakat wajib telah diambil sebagian, pemimpin yang adil memenuhi sisanya dan menghitung apa yang telah diambil oleh kaum pemberontak. Demikian pula jika mereka mengambil dari orang yang lewat. Jika pemimpin yang adil ingin mengambil zakat dari mereka dan mereka mengklaim bahwa pemimpin pemberontak telah mengambilnya, mereka dipercaya atas zakat mereka. Jika ada keraguan, mereka disumpah. Jika mereka bersumpah, zakat tidak diambil lagi. Hal yang sama berlaku untuk kharaj tanah dan jizyah; tidak diambil kembali dari yang telah membayar karena mereka Muslim yang sah hukumnya di tempat itu untuk kharaj, jizyah, atau hak lain yang terkait harta atau lainnya.
Jika pemimpin pemberontak mengangkat seorang qadhi yang bertugas menegakkan hak antar manusia dalam hudud dan lainnya selama dia ditugaskan untuk itu, dan jika kaum adil mengalahkan pemberontak, keputusan qadhi pemberontak tidak dibatalkan kecuali jika bertentangan dengan Kitab, Sunnah, ijma’, atau mengandung kezaliman seperti menolak kesaksian orang adil atau menerima kesaksian orang tidak adil. Jika qadhi pemberontak menulis surat kepada qadhi kaum adil tentang hak yang sah bagi seseorang terhadap orang lain di luar kaum pemberontak, umumnya ini ditolak karena dikhawatirkan dia menolak kesaksian orang adil yang bertentangan dengan pendapatnya atau menerima kesaksian orang tidak adil yang sesuai dengannya. Sebagian dari mereka mungkin menganggap halal mengambil harta orang lain dengan cara apa pun. Lebih baik suratnya tidak diterima karena bukan keputusan yang sah, kecuali jika jelas mengandung kezaliman. Jika mereka terpercaya dalam hal ini dan surat datang dari wilayah jauh di mana hak orang yang bersangkutan akan hilang jika ditolak, maka qadhi boleh menerimanya. Surat qadhi mereka dalam kasus hilangnya hak serupa dengan keputusannya.
Jika seorang dari kaum pemberontak bersaksi di hadapan qadhi kaum adil dalam keadaan memerangi atau sepaham dengan mereka tanpa memerangi, dan dia diketahui menganggap halal bersaksi palsu untuk kepentingan tertentu, mengambil harta, darah, atau alasan lain yang menguntungkan satu pihak atau merugikan pihak lain, kesaksiannya tidak diterima sama sekali. Jika dia bersih dari hal ini dan adil, kesaksiannya diterima.
Jika seseorang di pasukan pemberontak memiliki hak atas seseorang di pasukan adil terkait darah, luka, atau harta, qadhi kaum adil wajib menegakkan hak itu. Hal yang sama berlaku untuk qadhi pemberontak dalam menegakkan hak non-pemberontak dari pemberontak. Jika qadhi pemberontak menolak menegakkan hak, dia dianggap zalim, tetapi qadhi adil tidak boleh menolak hak pemberontak atas kaum adil hanya karena qadhi mereka menolak hak mereka. Qadhi pemberontak juga boleh menegakkan hak kaum harbi atau dzimmi. Jika kaum harbi menolak hak, kaum Sunni lebih berhak bersabar karena mereka pengikut agama Allah. Larangan pemimpin musyrik menyerahkan hak Muslim di wilayahnya tidak membolehkan Muslim menahan hak harbi mu’ahad karena dia bukan pihak yang dizalimi. Dia boleh ditahan sepadan dengan yang diambil darinya, tetapi tidak boleh menahan hak seseorang karena kezaliman orang lain. Ini pendapat Syafi’i.
Jika kaum pemberontak menguasai suatu kota dan mengangkat qadhi yang dikenal berbeda paham dengan mereka, lalu dia menulis surat ke qadhi lain, surat itu diperiksa. Jika qadhi itu adil dan menyebut saksi-saksi yang dikenal adil oleh qadhi penerima atau oleh orang-orang adil, dan berbeda dengan paham pemberontak, surat itu diterima. Jika tidak dikenal, surat itu seperti surat qadhi pemberontak sebelumnya.
Jika kaum pemberontak berperang bersama kaum adil melawan musyrik di wilayah musuh, dan mereka bertemu lalu berperang bersama, jika masing-masing kelompok memiliki pemimpin, kaum pemberontak sama dengan kaum adil dalam segala hal kecuali khumus. Jika salah satu dari mereka memberikan jaminan keamanan kepada budak, orang merdeka, atau wanita dari musuh, jaminan itu sah. Jika salah satu dari mereka terbunuh saat menyerang, dia berhak atas rampasan. Jika kaum pemberontak menjadi pasukan pendukung kaum adil dan kaum adil menyerang dan mendapatkan ghanimah, atau sebaliknya, kedua kelompok berbagi ghanimah kecuali khumus, yang lebih berhak diberikan kepada pemimpin kaum adil karena dia mewakili kaum Muslim di berbagai wilayah, dan hukumnya berlaku atas mereka, bukan hukum pemimpin pemberontak, dan dia tidak halal menahan khumus seperti pemberontak.
Jika kaum pemberontak membuat perjanjian dengan sekelompok musyrik, tidak ada Muslim yang boleh memerangi mereka. Jika ada yang memerangi dan mengambil harta mereka, harta itu harus dikembalikan. Jika kaum pemberontak menyerang kelompok yang telah berdamai dengan pemimpin Muslim dan menawan mereka, lalu Muslim mengalahkan pemberontak, tawanan itu harus dibebaskan dan dikembalikan kepada keluarga musyrik mereka. Tidak halal membeli tawanan itu, dan jika dibeli, transaksi itu batal.
Jika kaum pemberontak meminta bantuan kaum harbi untuk memerangi kaum adil, sementara kaum adil telah berdamai dengan kaum harbi, kaum adil halal memerangi dan menawan kaum harbi. Keberadaan mereka bersama pemberontak bukan jaminan keamanan; jaminan hanya berlaku jika mereka tidak memerangi. Jika mereka memerangi kaum adil, itu membatalkan perjanjian. Jika kaum pemberontak meminta bantuan dzimmi untuk memerangi Muslim, ini tidak membatalkan perjanjian karena mereka bersama sekelompok Muslim. Jika mereka dipaksa atau tidak tahu dan mengira mereka diperintah memerangi orang yang halal dibunuh dalam Islam seperti perampok, atau mengira lawan mereka bukan Muslim, ini tidak membatalkan perjanjian, tetapi mereka tetap bertanggung jawab atas darah dan harta yang diambil dari kaum adil karena mereka bukan orang beriman yang diperintahkan untuk didamaikan.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Kami memperingatkan mereka dan memperbarui syarat bahwa jika mereka melakukan hal seperti ini lagi, halal membunuh mereka. Jika seorang pemberontak bertaubat, dia tidak dihukum karena dia Muslim yang darahnya haram. Jika dzimmi berperang bersama kaum adil melawan harbi, mereka tidak mendapat rampasan atau bagian dari khumus, hanya diberi bagian kecil.
Jika kaum pemberontak menggadaikan beberapa orang mereka kepada kaum adil, dan kaum adil juga menggadaikan, dengan syarat mereka menahan gadai sampai gadai mereka dikembalikan, dan mereka berjanji untuk ini dalam waktu tertentu, lalu pemberontak melanggar dan membunuh gadai kaum adil, kaum adil tidak boleh membunuh atau menahan gadai pemberontak yang ada pada mereka jika terbukti bahwa rekan mereka telah dibunuh, karena rekan mereka tidak akan mengembalikan gadai. Gadai tidak boleh dibunuh karena kejahatan orang lain. Jika gadai pemberontak tanpa gadai dari kaum adil, dan mereka berjanji sampai waktu tertentu, lalu pemberontak berkhianat setelah waktu itu, mereka tidak boleh menahan gadai karena khianat orang lain.
Jika kaum adil memberikan jaminan keamanan kepada seorang pemberontak, lalu dia dibunuh oleh orang yang tidak tahu, diyat wajib dibayar. Jika seorang adil membunuh pemberontak dengan sengaja, dan pembunuh adalah ahli waris korban, atau pemberontak membunuh orang adil dan dia ahli warisnya, mereka tidak saling mewarisi. Ahli waris selain pembunuh mewarisi keduanya.
Jika pemberontak terbunuh dalam pertempuran atau lainnya, mereka dimandikan dan dishalatkan karena shalat jenazah adalah sunnah bagi Muslim, kecuali yang terbunuh oleh musyrik dalam pertempuran, yang tidak dimandikan atau dishalatkan. Pemberontak yang terbunuh dalam pertempuran dimandikan, dishalatkan, dan diperlakukan seperti mayit lainnya; kepala mereka tidak dipenggal, tidak disalib, dan tidak dilarang dikubur. Jika kaum adil membunuh pemberontak dalam pertempuran, ada dua pendapat: Pertama, mereka dikubur dengan luka, darah, dan pakaian mereka karena mereka syahid dan tidak dishalatkan, diperlakukan seperti yang terbunuh oleh musyrik. Kedua, mereka dishalatkan karena asalnya Muslim dishalatkan kecuali yang dikecualikan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—yaitu yang terbunuh oleh musyrik dalam pertempuran.
Anak-anak dan wanita pemberontak yang terbunuh bersama mereka diperlakukan sama seperti laki-laki dewasa dalam shalat jenazah. Kaum adil tidak disukai jika sengaja membunuh kerabatnya dari pemberontak. Jika dia menahan diri dari membunuh ayah, kerabat, atau saudaranya dari kalangan musyrik, itu lebih disukai karena Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—melarang Abu Hudzaifah bin ‘Utbah membunuh ayahnya dan Abu Bakar membunuh ayahnya pada Perang Uhud.
Jika sekelompok orang menolak hukum tanpa interpretasi atau merampas harta, hukum mereka seperti perampok jalanan (dijelaskan dalam kitab tentang perampok). Jika sekelompok orang murtad dan memerangi, hukum mereka seperti harbi musyrik. Jika mereka bertaubat, mereka tidak dituntut darah atau harta. Jika ada yang bertanya mengapa tidak dituntut, dijawab bahwa mereka telah menjadi harbi yang halal darah dan hartanya. Apa yang diambil harbi tidak dituntut, dan apa yang diambil dari mereka tidak dikembalikan. Thulaihah membunuh ‘Ukasyah bin Mihshan dan Tsabit bin Aqram, lalu dia masuk Islam dan tidak diwajibkan qisas atau diyat.
Hukuman untuk pemberontak di kota atau padang pasir sama, meski pemberontak di kota mungkin lebih besar dosanya. (Ar-Rabi’ berkata): Syafi’i juga berpendapat bahwa qisas diambil dari mereka jika murtad dan memerangi karena kekafiran tidak mengurangi kejahatan mereka atau mencegah qisas.
Jika pemberontak menguasai suatu kota dan kelompok pemberontak lain ingin memerangi mereka, penduduk kota tidak wajib membantu. Jika mereka berkata, “Kami akan memerangi kalian bersama,” penduduk kota boleh memerangi untuk membela diri, keluarga, dan harta mereka, seperti orang yang membela diri dan hartanya.
Jika musyrik menawan pemberontak dan Muslim mampu memerangi musyrik, mereka wajib memerangi sampai membebaskan tawanan pemberontak. Jika Muslim berperang dan pemimpin mereka meninggal, mereka boleh terus berperang bersama atau terpisah, dan masing-masing berhak atas bagian ghanimah sesuai kesepakatan.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Seseorang bertanya kepadaku, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengincar harta, darah, atau kehormatan seseorang?” Aku jawab, “Dia boleh membela diri.” Dia bertanya, “Jika tidak bisa kecuali dengan berperang?” Aku jawab, “Dia boleh berperang.” Dia bertanya, “Bahkan jika berperang membahayakan dirinya?” Aku jawab, “Ya, jika tidak ada cara lain.” Dia bertanya, “Apa maksudnya tidak ada cara lain?” Aku jawab, “Misalnya dia penunggang kuda dan lawan pejalan kaki, dia bisa lari dengan kuda. Atau jika dia berlindung di benteng, dia bisa menutup benteng dan pergi. Jika lawan mengepung dan memerangi, dia boleh melawan.”
Dia berkata, “Bukankah Hammad meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwa Utsman bin Affan berkata, Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda, ‘Tidak halal darah Muslim kecuali karena tiga hal: murtad setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh tanpa alasan yang sah’?” Aku jawab, “Hadits Utsman seperti yang dia riwayatkan, dan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—‘Tidak halal darah Muslim kecuali karena tiga hal’ adalah benar. Ini bahasa Arab yang berarti jika seseorang melakukan salah satu dari tiga hal itu, darahnya halal. Misalnya, jika seseorang berzina lalu berhenti dan bertaubat, atau lari dari tempat zina, dia tetap dirajam. Jika dia membunuh dengan sengaja lalu berhenti dan bertaubat, dia tetap diqisas. Jika dia murtad lalu bertaubat, status kafirnya hilang, tetapi status zina dan pembunuhan tetap melekat. Kafir yang murtad jika tidak meninggalkan kekafiran setelah menampakkannya, dia boleh dibunuh, kecuali jika bertaubat dan kembali ke Islam, darahnya terlindungi karena status kafirnya hilang.”
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Pemberontak tidak bisa dikatakan halal darahnya secara mutlak tanpa pengecualian. Dia hanya boleh diperangi jika memberontak, menolak, atau memerangi bersama kelompok penentang untuk membela diri, mengembalikannya, atau menegakkan hak yang dia halangi. Jika dia tidak memerangi, tidak ada diyat atau qisas karena kita membolehkan memeranginya. Jika dia lari, mengisolasi diri, terluka, ditawan, atau sakit sehingga tidak bisa berperang, dia tidak boleh dibunuh dalam keadaan apa pun. Tidak bisa dikatakan darahnya halal dalam keadaan ini, karena jika darahnya halal, tidak akan terlindungi dengan lari, ditawan, atau isolasi. Darah orang kafir tidak terlindungi sampai dia masuk Islam, berbeda dengan orang yang mengincar darah atau harta orang lain.
[Perbedaan Pendapat tentang Memerangi Pemberontak]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Seorang yang berdebat dengan hadits Utsman mendatangiku dan menyampaikan argumennya. Aku jelaskan padanya kesimpulan pendapatku tentang memerangi pemberontak. Dia berkata, “Ini seperti yang kau katakan, dan aku tidak tahu ada yang berargumen seperti ini. Tetapi beberapa sahabat kami berbeda pendapat denganmu dalam beberapa hal.” Aku bertanya, “Apa saja?” Dia menjawab, “Mereka berkata, jika kelompok pemberontak memiliki basis dan mereka melarikan diri, mereka boleh dibunuh saat lari, dilukai, atau ditawan. Jika perang masih berlangsung dan ada tawanan, tawanan itu boleh dibunuh. Tetapi jika pemberontak tidak memiliki basis dan pasukannya kalah, tidak halal membunuh yang lari, tawanan, atau melukai yang terluka.”
Aku berkata, “Jika kau menganggap argumen kami benar, mengapa kau meninggalkannya? Apakah kau punya hadits atau qiyas?” Dia menjawab, “Aku punya hadits.” Aku bertanya, “Hadits apa?” Dia berkata, “Ali bin Abi Thalib—radhiyallahu ‘anhu—berkata pada Perang Jamal, ‘Jangan bunuh yang lari atau lukai yang terluka.’ Ini kami pahami karena mereka tidak memiliki basis.”
Aku bertanya, “Apakah kau meriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, ‘Jika mereka memiliki basis, kami akan membunuh yang lari, tawanan, dan terluka,’ sehingga bisa disimpulkan perbedaan hukum berdasarkan perbedaan situasi?” Dia menjawab, “Tidak, tapi ini pemahamanku
Dan harta mereka diambil, sedangkan hukum bagi ahli kiblat berbeda dengan ini. Boleh jadi darah pezina dan pembunuh di antara mereka halal, tetapi tidak ada yang halal dari harta mereka berdua. Itu karena kejahatan mereka, dan tidak ada kejahatan pada harta mereka. Pemberontak lebih ringan keadaannya daripada mereka berdua, karena dikatakan kepada pezina muhshan dan pembunuh, “Darahnya halal secara mutlak tanpa pengecualian.” Namun, tidak dikatakan kepada pemberontak bahwa darahnya halal, melainkan dikatakan bahwa pemberontak harus dicegah dari pemberontakannya. Jika bisa dicegah dengan ucapan, atau dia pemberontak yang tidak melawan, tidak halal memeranginya. Jika dia memerangi, dan tidak sampai pada penumpahan darahnya hingga dia keluar dari makna peperangan karena melarikan diri, atau menjadi terluka, atau meletakkan senjata, atau menjadi tawanan, maka darahnya tidak halal. Maka dia berkata, “Jika keadaannya seperti ini, haram, atau seperti keadaan pezina dan pembunuh, hartanya haram.” Dia berkata, “Apa dalil atas ini kecuali ini? Dan apa yang lebih dari ini sebagai dalil?” Aku berkata, “Apakah yang kamu puji itu dalil atasmu?” Dia menjawab, “Aku mengambilnya karena itu lebih kuat bagiku dan lebih melemahkan mereka, sedangkan mereka memerangi.” Aku berkata, “Apakah yang kamu ambil dari harta mereka melebihi mengambil harta orang yang terbunuh yang hartanya menjadi milik anak kecil atau orang dewasa yang tidak pernah memerangimu sama sekali? Lalu kamu menguatkan diri dengan harta orang yang tidak memerangimu, bukan pemberontak yang memerangimu, atau harta orang yang terluka, tawanan, atau yang melarikan diri yang telah keluar dari makna ahli baghyi yang halal diperangi dan diambil hartanya, atau harta seseorang yang memerangimu yang halal kamu tolak, meskipun penolakan itu mengenai dirinya sendiri, dan tidak ada kejahatan pada hartanya? Atau menurutmu, jika ahli baghyi menawan sekelompok muslim, apakah kita mengambil dari harta mereka untuk membantu memerangi ahli baghyi agar kita bisa membebaskan mereka, lalu kita memberikan kepada mereka dengan pembebasan itu yang lebih baik daripada apa yang kita nikmati dari harta mereka?” Dia berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Sedikit menikmati harta orang lain itu haram?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apa yang menghalalkanmu untuk menikmati harta ahli baghyi hingga perang selesai, lalu kamu menikmati kuda dan senjata selain makanan dan pakaian, dan harta selain keduanya?” Dia berkata, “Tidak ada qiyas dalam hal itu, dan qiyas di dalamnya hanyalah apa yang kamu katakan. Tetapi aku mengatakannya sebagai khabar.” Aku bertanya, “Apa khabarnya?” Dia menjawab, “Telah sampai kepada kami bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mengambil rampasan dari pasukan yang memeranginya.” Aku berkata, “Kamu telah meriwayatkan bahwa Ali mengenali ahli Nahrawan hingga hilang kadar atau periuk. Apakah Ali melakukan dua tindakan, satu mengambil rampasan dan yang lain tidak mengambil rampasan?” Dia menjawab, “Tidak, tetapi salah satu dari dua hadits itu keliru.” Aku bertanya, “Mana yang keliru?” Dia balik bertanya, “Apa pendapatmu?” Aku menjawab, “Aku tidak mengetahui salah satunya yang sahih darinya. Jika aku mengetahui yang sahih, aku akan berpendapat dengan yang sahih.” Dia berkata, “Mengapa dia mengambil harta mereka?” Aku bertanya, “Karena harta mereka halal?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Kamu telah menyelisihi dua hadits darinya, sedangkan kamu tidak mengambil rampasan, padahal kamu mengklaim bahwa dia mengambil rampasan, dan kamu tidak meninggalkan, padahal kamu mengklaim bahwa dia meninggalkan.” Dia berkata, “Dia hanya menikmatinya dalam keadaan tertentu.” Aku bertanya, “Apakah yang dilarang dinikmati selain ini?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Apakah boleh ada dua hal yang dilarang, lalu seseorang menikmati salah satunya dan diharamkan menikmati yang lain tanpa khabar?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Kamu telah membolehkannya.”
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Aku berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu menemukan dinar atau dirham milik mereka yang dapat menguatkanmu melawan mereka, apakah kamu akan mengambilnya?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Kamu telah meninggalkan apa yang lebih kuat melawan mereka daripada senjata dan kuda dalam beberapa keadaan.” Dia berkata, “Sesungguhnya teman kami berpendapat bahwa dia tidak menshalati mayat ahli baghyi.” Aku bertanya, “Mengapa? Sedangkan temanmu menshalati orang yang dia bunuh dalam had, dan orang yang terbunuh dalam had wajib atas temanmu untuk membunuhnya dan tidak halal meninggalkannya, sedangkan pemberontak haram atas temanmu untuk membunuhnya jika dia melarikan diri atau kembali dari pemberontakan. Jika temanmu meninggalkan shalat atas salah satunya dan tidak atas yang lain, maka orang yang tidak halal baginya kecuali membunuhnya lebih pantas untuk ditinggalkan shalatnya.” Dia berkata, “Sepertinya dia berpendapat bahwa itu sebagai hukuman agar orang lain tidak melakukan seperti yang dia lakukan.” Aku berkata, “Atau temanmu menghukumnya dengan apa yang tidak boleh dia hukumkan? Jika itu boleh, maka biarkan dia menyalibnya atau membakarnya, itu lebih keras dalam hukuman daripada meninggalkan shalat atasnya, atau memenggal kepalanya lalu mengirimnya?” Dia menjawab, “Tidak ada yang dilakukan dari ini.” Aku berkata, “Apakah dia peduli jika orang yang memerangimu karena menganggapmu kafir tidak menshalatimu, sedangkan dia melihat shalatmu tidak mendekatkannya kepada Allah?” Dan aku berkata, “Jika temanmu mengambil harta pemberontak, itu lebih efektif dalam menghukum orang agar tidak melakukan seperti yang dilakukan pemberontak.” Dia berkata, “Tidak ada yang dihukum dengan apa yang tidak berhak dia hukumkan.” Aku berkata, “Kamu telah melakukannya.” Dan aku berkata kepadanya, “Apakah kamu melarang pemberontak agar kesaksiannya tidak sah, atau menikah, atau mewarisi, atau sesuatu yang dihalalkan bagi ahli Islam?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Lalu bagaimana kamu melarangnya shalat saja? Apakah dengan khabar? Tidak.” Aku berkata, “Jika ada yang berkata kepadamu, ‘Aku menshalatkannya dan melarangnya menikah atau mewarisi,'” dia menjawab, “Dia tidak boleh melarang sesuatu yang tidak dilarang bagi muslim kecuali dengan khabar.” Aku berkata, “Dia telah melarang shalat tanpa khabar.” Dan dia berkata, “Jika orang yang adil membunuh saudaranya, dan saudaranya adalah pemberontak, maka dia mewarisinya karena dia berhak membunuhnya. Jika saudaranya membunuhnya, maka dia tidak mewarisinya karena dia tidak berhak membunuhnya.” Aku berkata, “Sebagian teman kami berpendapat bahwa siapa yang membunuh saudaranya dengan sengaja, tidak mewarisi hartanya atau dari diyatnya jika dia mengambil sesuatu darinya. Jika dia membunuhnya karena kesalahan, dia mewarisi hartanya tetapi tidak mewarisi sesuatu dari diyatnya karena dia tidak dicurigai membunuhnya untuk mewarisi hartanya.” Dan ini diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib secara marfu’. Aku berkata, “Hadits Amr bin Syu’aib lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.” Dan aku berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya bersabda, ‘Tidak ada bagian bagi pembunuh,’ ini berlaku bagi siapa yang terkena nama pembunuh, baik sengaja atau diangkat dosanya karena sengaja memanah lalu mengenai manusia. Lalu mengapa dia tidak mengatakan ini tentang orang yang terbunuh dari ahli baghyi dan yang adil, lalu mengatakan bahwa setiap orang yang terkena nama pembunuh tidak mewarisi seperti kamu berhujjah atas kami? Dan kamu juga menyamakan antara keduanya dalam pembunuhan, lalu mengatakan bahwa kamu tidak membalas salah satunya dari yang lain meskipun salah satunya zalim karena keduanya berpendapat.” Dia berkata, “Teman kami berkata, ‘Kami memerangi ahli baghyi dan tidak menyeru mereka karena mereka mengetahui apa yang diserukan kepada mereka.’ Dan hujjah kami dalam hal ini adalah bahwa siapa yang telah sampai seruan dari ahli harb, boleh memerangi mereka tanpa menyeru.” Aku berkata kepadanya, “Jika orang lain mengqiyaskan ahli baghyi dengan ahli harb, kamu akan mirip dengan keluar kepada pemborosan dalam melemahkan seperti yang aku lihat kamu lakukan dalam hal yang lebih ringan dari ini.” Dia bertanya, “Apa perbedaan antara mereka?”
Aku berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang ahli baghyi jika mereka menampakkan keinginan untuk memberontak terhadap kami dan berlepas diri dari kami, serta memisahkan diri dari jamaah kami, apakah kamu membunuh mereka dalam keadaan ini?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Dan kami tidak mengambil harta mereka atau menawan anak-anak mereka?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang ahli harb jika mereka berada di negeri mereka, tidak berniat terhadap kami atau menyebut kami, apakah halal bagi kami untuk memerangi mereka saat mereka tidur, melarikan diri, sakit, mengambil harta yang bisa kami dapatkan, dan menawan wanita, anak-anak, dan laki-laki mereka?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apa yang halal dari mereka saat memerangi, maju atau mundur, sama dengan apa yang halal dari mereka yang meninggalkan perang dengan lalai?” Dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Dan ahli baghyi yang maju memerangi dan meninggalkan, melarikan diri, tidak diambil harta mereka?” Dia menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apakah kamu melihat mereka mirip dengan mereka?” Dia berkata, “Mereka berbeda dalam beberapa hal.” Aku berkata, “Bahkan dalam kebanyakan atau semua hal.” Dia bertanya, “Lalu apa makna seruan mereka?” Aku menjawab, “Mereka mungkin menuntut sesuatu dengan ketakutan dan ancaman, lalu berkumpul dan meyakini, serta meminta pejabat dicopot dan menyebut kezalimannya, atau mengembalikan kezaliman, atau yang serupa, lalu mereka diajak berdiskusi. Jika yang mereka tuntut benar, diberikan. Jika batil, hujjah ditegakkan atas mereka. Jika mereka bubar sebelum ini dengan bubar yang tidak kembali, maka itu. Jika mereka menolak kecuali berperang, mereka diperangi.” Dan mereka berkumpul di zaman Umar bin Abdul Aziz, lalu dia berbicara kepada mereka, dan mereka bubar tanpa perang. Dan aku berkata kepadanya, “Jika menurut kami dan menurutmu, ketika mereka berperang dan banyak membunuh lalu melarikan diri, mereka tidak dibunuh saat melarikan diri karena kehormatan Islam meskipun kejahatan besar, lalu bagaimana kamu menyerang mereka di malam hari dan membunuh mereka sebelum perang dan seruan, padahal mungkin mereka kembali tanpa penumpahan darah dan usaha lebih dari ucapan dan mengembalikan kezaliman jika wajib atas imam untuk mengembalikannya jika mengetahuinya sebelum diminta?”
[Aman]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian orang berkata, “Boleh seorang wanita muslimah dan laki-laki muslim memberikan aman kepada ahli harb. Adapun budak muslim, jika dia memberikan aman kepada ahli baghyi atau harb dan dia ikut berperang, kami membolehkan amannya seperti kami membolehkan aman orang merdeka. Jika dia tidak berperang, kami tidak membolehkan amannya.” Aku bertanya, “Mengapa kamu membedakan antara budak yang berperang dan yang tidak berperang?” Dia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Muslimin adalah tangan di atas selain mereka, darah mereka setara, dan janji mereka dijamin oleh yang paling rendah di antara mereka.'” Aku berkata, “Ini adalah hujjah atasmu.” Dia bertanya, “Dari mana?” Aku menjawab, “Jika kamu mengklaim bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘janji mereka dijamin oleh yang paling rendah di antara mereka’ hanya untuk orang merdeka bukan budak, maka kamu telah mengklaim bahwa budak memberikan aman dan dia keluar dari hadits.” Dia berkata, “Dia tidak keluar dari hadits, dan nama iman melekat padanya.” Aku berkata, “Jika dia termasuk dalam hadits, lalu bagaimana kamu mengklaim bahwa amannya tidak sah jika dia tidak berperang?” Dia berkata, “Hanya pejuang yang memberikan aman kepada pejuang.” Aku bertanya, “Apakah kamu melihat itu sebagai pengecualian dalam hadits atau menemukan indikasi darinya?” Dia menjawab, “Akal menunjukkan ini.” Aku berkata, “Tidak seperti yang kamu katakan. Hadits dan akal bersama menunjukkan bahwa boleh memberikan aman dengan iman, bukan dengan perang. Jika seperti yang kamu katakan, kamu telah menyelisihi asal mazhabmu.” Dia bertanya, “Dari mana?” Aku berkata, “Kamu mengklaim bahwa wanita memberikan aman, dan amannya sah, dan orang yang tidak berperang memberikan aman, dan amannya sah. Menurut asal pendapatmu, kamu harus mengatakan bahwa aman mereka tidak sah karena mereka tidak berperang.” Dia berkata, “Aku meninggalkan semua ini dan mengatakan, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersabda ‘darah mereka setara,’ diyat budak lebih rendah dari diyat orang merdeka, maka dia tidak setara dalam darahnya dengan darahnya.'” Aku berkata, “Pendapat yang kamu tuju lebih jauh dari kebenaran daripada pendapat yang jelas pertentanganmu di dalamnya.” Dia bertanya, “Dari mana?” Aku berkata, “Apakah kamu melihat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘darah mereka setara’ hingga qisas atau diyat?” Dia menjawab, “Hingga diyat.” Aku berkata, “Diyat wanita setengah diyat laki-laki, dan kamu membolehkan amannya, sedangkan diyat sebagian budak menurutmu lebih besar dari diyat wanita, tetapi kamu tidak membolehkan amannya? Dan bisa jadi budak yang tidak berperang diyatnya lebih besar dari budak yang berperang, tetapi kamu tidak membolehkan amannya, dan budak yang berperang senilai seratus dirham, lalu kamu membolehkan amannya. Kamu telah meninggalkan asal mazhabmu dalam membolehkan aman budak pejuang yang setara seratus dirham dan dalam wanita.” Jika dia berkata, “Yang dimaksud ‘darah mereka setara’ adalah dalam qisas,” aku berkata, “Katakanlah.” Dia berkata, “Aku telah mengatakannya. Kamu membalas dengan budak yang tidak bernilai sepuluh dinar, sedangkan diyat orang merdeka seribu dinar, apakah budak itu pandai berperang atau tidak.” Dia berkata, “Aku melakukannya, dan ini tidak berlaku untuk qisas.” Aku berkata, “Ya, juga tidak untuk diyat atau perang. Jika itu berlaku untuk salah satunya, kamu telah meninggalkan semuanya.” Dia bertanya, “Lalu untuk apa?” Aku menjawab, “Untuk nama iman.” Dan jika ahli baghyi menawan ahli adil dan di antara ahli adil ada pedagang, lalu sebagian mereka membunuh sebagian yang lain atau merusak harta sebagian yang lain, maka tidak ada qisas bagi sebagian mereka dari sebagian yang lain, dan tidak ada kewajiban bagi sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal itu karena hukum tidak berlaku atas mereka. Demikian juga jika mereka berada di darul harb. Aku berkata kepadanya, “Apakah kamu maksud mereka dalam keadaan syubhat karena kebodohan mereka dan menjauh dari ahli ilmu, serta kebodohan orang yang berada di antara mereka dari ahli baghyi atau musyrik?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan jika mereka ahli fiqih yang mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan dan yang lebih rendah darinya haram, aku menggugurkan itu dari mereka dalam hukum karena dar tidak berlaku hukum atasnya.” Aku berkata kepadanya, “Perkataanmu ‘tidak berlaku hukum atasnya’ hanya mengandung dua makna. Pertama, kamu mengatakan bahwa tidak wajib atas penduduknya untuk memberikan bahwa hukum berlaku atas mereka. Kedua, penduduknya menguasainya lalu mencegahnya dari hukum pada saat mereka terkena hudud ini. Mana yang kamu maksud?” Dia berkata, “Adapun makna pertama, aku tidak mengatakan itu. Waj
Jika orang musyrik menawan seorang muslim dan membebaskannya dengan tebusan yang harus dibayarkan pada waktu tertentu, serta mensyaratkan bahwa jika tebusan tidak dibayar, ia harus kembali menjadi tawanan, maka tidak sepatutnya ia kembali menjadi tawanan, dan tidak sepatutnya imam membiarkannya jika ia ingin kembali. Jika mereka menolak membebaskannya kecuali dengan uang yang diberikan kepada mereka, maka jangan berikan apa pun karena itu adalah harta yang dipaksa mereka ambil tanpa hak. Jika ia memberikannya sebagai imbalan atas sesuatu yang diterimanya dari mereka, ia wajib memenuhinya dalam segala keadaan. Demikian pula jika ia memulai perdamaian dengan mereka atas sesuatu, ia harus menunaikannya kepada mereka, kecuali apa yang dipaksakan kepadanya.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seorang tawanan berada di tangan musuh dan mereka mengirim utusan untuk meminta tebusan, atau membebaskannya dengan perjanjian untuk membayar tebusan yang telah ditentukan, dengan syarat bahwa jika ia tidak menyerahkannya kepada utusan mereka atau mengirimkannya kepada mereka, ia harus kembali menjadi tawanan.
(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ats-Tsauri, dan Ibrahim An-Nakha’i bahwa mereka berkata, “Ia tidak boleh kembali menjadi tawanan, tetapi harus memenuhi pembayaran.” Sebagian ulama berkata, “Jika ia ingin kembali, penguasa harus mencegahnya.” Ibnu Hurmuz berpendapat bahwa ia harus ditahan sampai membayar. Sebagian lain berpendapat bahwa ia harus memenuhi pembayaran tanpa ditahan, dan ini tidak seperti utang biasa. Diriwayatkan dari Al-Auza’i dan Az-Zuhri bahwa ia harus kembali menjadi tawanan jika tidak membayar. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Rabi’ah, sedangkan dari Ibnu Hurmuz terdapat riwayat yang bertentangan dengan pendapat pertamanya.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Mereka yang mengikuti pendapat Al-Auza’i dan yang sependapat dengannya berargumen berdasarkan riwayat bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—berdamai dengan penduduk Hudaibiyah untuk mengembalikan siapa pun yang datang kepadanya setelah perjanjian sebagai muslim. Ketika Abu Jandal datang, beliau mengembalikannya kepada ayahnya, dan Abu Bashir juga dikembalikan, lalu ia membunuh orang yang dikembalikan bersamanya. Ketika Abu Bashir datang kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dan berkata, “Aku telah memenuhi kewajibanku kepada mereka, dan Allah telah menyelamatkanku dari mereka,” Nabi tidak mengembalikannya dan tidak mencela tindakannya. Abu Bashir kemudian menghadang harta Quraisy di jalur Syam sampai mereka meminta Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—untuk menampungnya karena gangguan yang ia timbulkan.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh ahli maghazi sebagaimana yang kusampaikan, tetapi aku tidak ingat sanadnya untuk memastikan keshahihannya.
Beliau berkata: Jika kaum muslimin menjadi tawanan, mendapat jaminan keamanan, atau sebagai utusan di negeri kafir harbi, lalu sebagian mereka membunuh, menuduh zina, atau berzina dengan non-muslimah tanpa paksaan, maka hukum yang berlaku bagi mereka sama seperti jika perbuatan itu dilakukan di negeri Islam. Kecuali jika seseorang berzina dengan wanita harbi dan mengklaim syubhat, hukuman bisa gugur. Namun, negeri kafir tidak menggugurkan kewajiban seperti puasa, shalat, atau zakat. Hukum hudud tetap wajib bagi mereka. Jika seseorang terkena hukuman had sementara ia sedang terkepung musuh, had tetap dilaksanakan. Rasa takut bahwa ia akan bergabung dengan kaum musyrik tidak boleh menghalangi pelaksanaan hukum Allah. Jika kita menahan diri karena khawatir ia marah dan bergabung dengan musuh, maka hukum had tidak akan pernah terlaksana, karena ia bisa saja melarikan diri ke negeri kafir kapan saja sehingga hukum Allah terabaikan. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah melaksanakan had di Madinah sementara kaum musyrik masih dekat dan banyak yang berdamai. Beliau juga mencambuk peminum khamr di Hunain sementara kaum musyrik masih dekat.
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang memasuki negeri kafir harbi dan menemukan tawanan muslim, baik laki-laki maupun perempuan, lalu ia membeli dan membebaskan mereka, ia tidak boleh menuntut kembali apa yang telah ia berikan. Ia dianggap bersedekah dengan pembelian itu, karena membeli orang merdeka pada dasarnya tidak diperbolehkan. Namun, jika ia membeli atas perintah mereka, ia boleh menuntut kembali karena ia bertindak berdasarkan perintah.
Jika seorang wanita ditawan, lalu dinikahi atau dizinai oleh ahli harbi, kemudian kaum muslimin menguasainya kembali, ia tidak menjadi budak, dan anak-anaknya juga tidak, karena anak-anaknya muslim melalui keislamannya. Jika ia memiliki suami di negeri Islam, anak itu tidak dianggap sebagai anak suaminya, melainkan anak dari pernikahan syubhat dengan musyrik, meskipun pernikahan itu batil.
Jika seorang muslim ditawan di negeri kafir, istrinya tidak boleh dinikahi kecuali setelah dipastikan kematiannya, baik lokasinya diketahui atau tidak. Demikian pula, hartanya tidak boleh dibagi. Apa pun yang dilakukan tawanan muslim di negeri kafir atau Islam, atau saat dipenjara, selama ia sehat dan tidak dipaksa, seperti jual-beli, hibah, sedekah, dan lainnya, maka itu sah.
**[Orang yang Dijamin Keamanan di Negeri Musuh]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika sekelompok muslim masuk ke negeri musuh dengan jaminan keamanan, maka musuh juga aman dari mereka hingga mereka berpisah atau masa keamanan habis. Tidak boleh menganiaya atau mengkhianati mereka.
Jika musuh menawan anak-anak dan wanita muslim, aku tidak suka jika mereka membalas dengan pengkhianatan. Tetapi lebih baik mereka meminta musuh mengembalikan jaminan keamanan dan mengumumkan pemutusan perjanjian. Jika musuh melakukannya, mereka boleh memerangi musuh untuk menyelamatkan anak-anak dan wanita muslim.
**[Hukum Wasiat bagi Tawanan Perang]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Seorang tawanan di negeri musuh boleh melakukan apa saja dengan hartanya sebagaimana di negeri Islam. Jika dia akan dibunuh, selama tidak ada pukulan yang membuatnya sakit, hukumnya sama seperti orang yang berada di medan perang.
(Imam Syafi’i berkata): Seorang ulama Madinah menceritakan dari Muhammad bin Abdullah dari Az-Zuhri bahwa Masruq dibawa ke hadapan Abdullah bin Zam’ah pada hari Harrah untuk dipenggal lehernya. Dia menceraikan istrinya yang belum disetubuhi. Para ulama ditanya, dan mereka berkata: “Istri berhak mendapat separuh mahar dan tidak mendapat warisan.”
(Imam Syafi’i berkata): Seorang ulama menceritakan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa sebagian besar sedekah Az-Zubair dilakukan saat dia berdiri di atas kudanya pada hari Perang Jamal. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz: “Hadiah untuk wanita hamil sah hingga dia duduk di antara para bidan.” Kami berpendapat seperti ini.
(Imam Syafi’i berkata): Hadiah bagi orang yang sedang di laut juga sah selama belum tenggelam atau hampir tenggelam.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Al-Qasim bin Muhammad dan Ibnul Musayyib berkata: “Hadiah untuk wanita hamil sah.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Pendapat yang aku sebutkan dari ulama Madinah dan lainnya, diriwayatkan juga dari Ibnu Abi Dzi`b bahwa dia berkata: “Hadiah untuk wanita hamil diambil dari sepertiga harta, dan hadiah untuk tawanan juga dari sepertiga.” Az-Zuhri juga meriwayatkan hal itu.
(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada yang sah kecuali salah satu dari dua pendapat ini. Wallahu a’lam. Ada juga yang berpendapat bahwa hadiah untuk wanita hamil sah hingga usia kandungan enam bulan, berdasarkan firman Allah: *”Mengandung kandungan yang ringan, lalu dia melaluinya. Ketika kandungan itu menjadi berat…”* (QS. Al-A’raf: 189). Namun, kata *”menjadi berat”* tidak menunjukkan sakit. Kalaupun ada indikasi sakit yang mengubah hukum, sakit bisa ringan atau berat, tetapi hukumnya tetap sama: tidak boleh memberinya lebih dari sepertiga harta.
Jika ada yang berpendapat bahwa “menjadi berat” merujuk pada saat melahirkan ketika dia duduk di antara bidan—saat itulah mereka takut akan takdir Allah dan memohon anak yang saleh—maka bisa dijawab: “Mereka juga berdoa sebelumnya, di awal, pertengahan, dan akhir kehamilan.” Wanita hamil di awal kehamilan lebih mirip orang sakit karena perubahan, malas, tidur, dan lemah. Namun, kehamilan adalah kebahagiaan, bukan penyakit, kecuali jika ada kondisi berbahaya bagi janin atau perubahan fisik yang membuatnya sakit sepanjang kehamilan. Jika demikian, pendapat Ibnu Abi Dzi`b lebih tepat. Selain itu, tidak ada pendapat lain yang sah. Wallahu a’lam.
**[Muslim yang Memberitahu Rahasia Kaum Muslimin kepada Musyrikin]**
Syafi’i ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang seorang muslim yang menulis kepada musyrikin dari kalangan harbi bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka atau memberitahu kelemahan mereka? Apakah halal darahnya karena itu, dan apakah itu termasuk membantu musyrikin?”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak halal darah seorang yang dilindungi Islam kecuali jika dia membunuh, berzina setelah menikah, atau murtad dengan jelas setelah beriman dan tetap dalam kekafiran. Memberitahu kelemahan muslim atau membantu kafir dengan memperingatkan serangan mendadak tidak sampai menghalalkan darahnya.
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Apakah pendapatmu ini berdasarkan riwayat atau qiyas?” Dia menjawab: “Aku berpendapat demikian karena seorang muslim yang mengetahui hal ini tidak boleh menyelisihi sunnah yang jelas setelah berdalil dengan Al-Qur’an.”
Lalu ditanyakan lagi: “Sebutkan sunnahnya.”
Syafi’i berkata: Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Al-Hasan bin Muhammad dari Ubaidullah bin Abi Rafi’, dia berkata: “Aku mendengar Ali berkata: ‘Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengutus aku, Al-Miqdad, dan Az-Zubair. Beliau bersabda: “Pergilah hingga kalian sampai di Rawdah Khakh, di sana ada seorang wanita dengan surat.” Kami pergi dengan kuda kami hingga bertemu wanita itu. Kami berkata: “Keluarkan surat itu!” Dia menjawab: “Aku tidak membawa surat.” Kami berkata: “Keluarkan atau kami akan menelanjangimu!” Dia mengeluarkan surat dari sanggulnya. Kami membawanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, ternyata surat itu dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrik di Mekah yang memberitahu sebagian rencana Nabi.
Rasulullah bersabda: “Apa ini, Hathib?” Hathib menjawab: “Jangan terburu-buru, wahai Rasulullah. Aku dahulu dekat dengan Quraisy tetapi bukan bagian dari mereka. Sedangkan para Muhajirin memiliki kerabat yang melindungi mereka. Aku tidak punya kerabat di Mekah, maka aku ingin memiliki jasa di sisi mereka. Demi Allah, aku tidak melakukannya karena ragu pada agamaku atau ridha dengan kekafiran setelah Islam.”
Rasulullah bersabda: “Dia berkata benar.” Umar berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku penggal leher munafik ini!” Nabi bersabda: “Dia ikut Perang Badar. Tahukah engkau, mungkin Allah telah mengampuni ahli Badar?” Kemudian turun ayat: *”Wahai orang-orang beriman, jangan jadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia…”* (QS. Al-Mumtahanah: 1).”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Hadis ini menunjukkan bahwa hukum tidak boleh didasarkan pada prasangka. Karena surat Hathib bisa bermakna seperti ucapannya—bahwa dia tidak ragu pada Islam dan hanya ingin melindungi keluarganya—bisa juga kesalahan tanpa niat meninggalkan Islam, atau makna yang lebih buruk. Namun, perkataannya diterima selama masih mungkin benar, dan Rasulullah tidak membunuhnya meski secara lahiriah sangat berat.
Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang agung memaafkan orang yang memberitahu rahasia kepada musuh, maka orang setelahnya lebih layak dimaafkan untuk hal yang lebih ringan.
Jika ada yang berkata: “Rasulullah bersabda ‘dia berkata benar’ karena tahu kejujurannya, bukan karena perbuatannya bisa benar atau salah,” maka jawabannya: Rasulullah tahu orang munafik berdusta, tetapi darah mereka dilindungi secara lahiriah. Jika keputusan Nabi terhadap Hathib berdasarkan pengetahuan, maka seharusnya orang munafik juga dibunuh karena Nabi tahu kedustaan mereka. Tetapi Nabi menghukumi berdasarkan lahiriah, sedangkan rahasia hati diserahkan kepada Allah.
Ini juga agar penguasa setelahnya tidak meninggalkan hukum dengan alasan seperti orang Jahiliyah. Setiap hukum Rasulullah bersifat umum kecuali ada petunjuk bahwa itu khusus, atau disepakati kaum muslimin yang tidak mungkin menyelisihi sunnah, atau ada dalam Al-Qur’an.
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Apakah imam boleh menghukum pelaku seperti ini atau membiarkannya seperti Nabi?”
Syafi’i menjawab: “Hukuman ta’zir berbeda dengan hudud. Hudud tidak boleh diabaikan dalam keadaan apa pun, sedangkan ta’zir bisa dibatalkan berdasarkan pertimbangan imam. Diriwayatkan Nabi bersabda: ‘Maafkan orang-orang terhormat.’ Jika pelakunya orang terhormat yang tidak sengaja seperti Hathib, lebih baik dimaafkan. Jika bukan orang terhormat, imam boleh memberi ta’zir.”
Nabi di awal Islam pernah menunda hukuman bagi pengakuan zina, dan membiarkan orang yang mencuri harta rampasan perang tanpa dihukum.
Aku bertanya: “Bagaimana dengan orang yang menulis kelemahan muslim atau memberitahu musuh tentang rencana serangan, baik sebagai orang yang dijamin keamanan atau utusan?”
Syafi’i menjawab: “Mereka di-ta’zir dan dipenjara, tetapi ini tidak membatalkan perjanjian sehingga tidak halal darah, harta, dan keluarga mereka. Jika salah seorang dari mereka pergi ke negeri musuh dan mereka berkata: ‘Kami tidak melihat ini sebagai pelanggaran perjanjian,’ maka itu bukan pelanggaran, tetapi dia tetap di-ta’zir dan dipenjara.”
Aku bertanya: “Bagaimana dengan rahib yang memberitahu kelemahan muslim?”
Syafi’i menjawab: “Mereka dihukum, diturunkan dari biara, dan diusir dari negeri Islam. Mereka diberi pilihan: membayar jizyah dan tinggal di darul Islam, atau pergi. Jika kembali, mereka dipenjara dan dihukum.”
Aku bertanya: “Bagaimana jika mereka membantu musuh dengan senjata, kuda, atau harta? Apakah sama dengan memberitahu kelemahan?”
Syafi’i menjawab: “Jika maksudmu apakah ini menghalalkan darah mereka, maka tidak. Tetapi sebagian lebih berat dari yang lain. Mereka dihukum seperti yang kusebutkan atau lebih, tetapi tidak sampai dibunuh, dihukum had, atau dijadikan tawanan.”
Aku bertanya: “Lalu apa yang menghalalkan darah mereka?”
Syafi’i menjawab: “Jika mereka ikut berperang bersama musuh—baik rahib, dzimmi, atau mu’ahad—maka halal dibunuh, dijadikan tawanan, dan diambil hartanya. Selain perang, mereka hanya di-ta’zir.”
**[Mencuri Harta Rampasan Perang]**
Aku bertanya kepada Syafi’i: “Bagaimana dengan muslim merdeka, budak pejuang, dzimmi, atau mu’ahad yang mencuri harta rampasan sebelum dibagi?”
Syafi’i menjawab: “Tangan mereka tidak dipotong, tetapi mereka harus mengganti nilai yang dicuri. Jika harta itu hilang sebelum dikembalikan, mereka tetap wajib ganti. Jika mereka tidak tahu hukum, mereka diajari dan tidak dihukum. Jika mengulangi, baru dihukum.”
Aku bertanya: “Apakah kuda atau pelana mereka dibakar sebagai hukuman?”
Syafi’i menjawab: “Tidak boleh menghukum seseorang dengan merusak hartanya. Hukuman hanya pada badan. Allah menetapkan hudud dan ta’zir pada badan, bukan harta.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Sedikit atau banyak, mencuri harta rampasan haram.”
Aku bertanya: “Apa dalilnya?”
Syafi’i berkata: “Ibnu Uyainah meriwayatkan dari Amr bin Dinar dan Ibnu Ajlan, keduanya dari Amr bin Syu’aib. Juga Ats-Tsaqafi dari Humaid dari Anas, dia berkata: ‘Kami mengepung Tustar, lalu Hurmuzan menyerah pada keputusan Umar. Ketika kami menghadap Umar, dia berkata kepada Hurmuzan: ‘Bicaralah!’ Hurmuzan bertanya: ‘Apakah aku bicara sebagai orang hidup atau mati?’ Umar menjawab: ‘Bicaralah, tidak apa-apa.’
Hurmuzan berkata: ‘Dahulu, kami dan kalian bangsa Arab saling memerangi. Ketika Allah membela kalian, kami takluk.’ Umar bertanya: ‘Apa maksudmu?’ Aku (Anas) berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, di belakangku masih banyak musuh. Jika kau bunuh dia, mereka akan putus asa dan semakin kuat.’
Umar berkata: ‘Apakah aku harus membunuh pembunuh Al-Bara’ bin Malik dan Mijza’ah bin Tsaur?’ Ketika aku khawatir dia akan membunuh Hurmuzan, aku berkata: ‘Tidak ada alasan membunuhnya. Kau sudah bilang: bicaralah, tidak apa-apa.’
Umar berkata: ‘Kau menerima suap darinya.’ Aku bersumpah: ‘Demi Allah, aku tidak menerima suap.’ Umar berkata: ‘Bawalah saksi, atau aku akan menghukummu.’ Aku keluar dan bertemu Az-Zubair bin Al-Awwam, yang bersedia menjadi saksi. Umar pun membebaskan Hurmuzan, lalu dia masuk Islam dan diberi tunjangan.”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Penerimaan Umar atas penyerahan diri Hurmuzan sesuai sunnah Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, karena Nabi menerima penyerahan Bani Quraizhah saat terkepung untuk tunduk pada keputusan Sa’d bin Mu’adz.”
(Imam Syafi’i berkata): “Tidak masalah imam menerima penyerahan benteng berdasarkan pertimbangan maslahat Islam. Sunnah menunjukkan bahwa imam hanya menerima penyerahan dari orang yang layak dan tepercaya. Tidak boleh menerima dari selain mereka. Jika imam melakukannya, berarti dia meninggalkan pertimbangan yang benar tanpa alasan.”
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana boleh menyerahkan diri pada keputusan orang yang mungkin tidak tahu hukum?”
Jawabannya: “Allah membolehkan memerdekakan atau menebus tawanan kafir. Rasulullah juga menetapkan itu. Imam boleh memilih antara memerdekakan, menebus, membunuh, atau memperbudak, karena semuanya ada dalam Al-Qur’an dan sunnah.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika imam sudah memberi jaminan keamanan lalu menyesal, dia tidak boleh membatalkannya. Begitu juga setiap perkataan yang mengandung jaminan, seperti ucapan Umar: ‘Bicaralah, tidak apa-apa.'”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Tidak ada qishas untuk pembunuh tertentu. Hurmuzan membunuh Al-Bara’ bin Malik dan Mijza’ah bin Tsaur, tetapi Umar tidak menuntut qishas. Keputusan Umar sesuai sunnah Nabi. Pembunuh Hamzah datang kepada Nabi dalam keadaan muslim, dan Nabi tidak membunuhnya sebagai qishas. Banyak pembunuh yang dikenal datang kepada Nabi, tetapi tidak di-qishas.”
Ucapan Umar: “Bawalah saksi, atau aku akan menghukummu,” bisa bermakna bahwa kesaksian hanya diterima dengan dua saksi, atau sebagai kehati-hatian seperti dalam kabar. Bisa juga karena kasus itu ada di tangannya, sehingga dia meminta saksi lain. Yang paling mungkin adalah kehati-hatian. Wallahu a’lam.
(Imam Syafi’i berkata): “Ats-Tsaqafi meriwayatkan dari Humaid dari Musa bin Anas dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Al-Khattab bertanya: ‘Jika kalian mengepung kota, apa yang kalian lakukan?’ Anas menjawab: ‘Kami mengirim seorang mata-mata dengan menyamar.’ Umar berkata: ‘Jika dia dilempari batu?’ Anas menjawab: ‘Dia akan terbunuh.’ Umar berkata: ‘Jangan lakukan itu! Demi Allah, aku tidak rela satu muslim terbunuh hanya untuk membuka kota yang berisi 4.000 prajurit.'”
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Ucapan Umar ini bentuk kehati-hatian dan pertimbangan baik untuk muslimin. Aku menganjurkan imam, pejabat, dan semua orang untuk tidak mengambil risiko seperti ini atau lainnya yang kemungkinan besar berbahaya. Namun, ini tidak haram bagi yang mau mengambil risiko. Berbeda dengan mubarazah (pertarungan satu lawan satu), karena mubarazah tidak seberisiko menyerang benteng sendirian.”
Jika ada yang bertanya: “Apa dalil bolehnya menyerang sendirian?”
Jawabannya:
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Orang yang Masuk Islam di Negeri Musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang laki-laki dari penduduk negeri musuh masuk Islam, baik dia musyrik, orang yang mendapat perlindungan di antara mereka, atau tawanan di tangan mereka, semuanya sama. Jika dia bergabung dengan kaum Muslimin setelah rampasan perang dibagikan, maka dia tidak mendapat bagian. Demikian pula pasukan bantuan dari kaum Muslimin yang datang kepada mereka. Jika masih ada sisa peperangan dan orang yang baru masuk Islam atau pasukan bantuan ini ikut serta, mereka berhak mendapat bagian rampasan perang karena rampasan itu baru diambil setelah peperangan usai. Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rampasan perang adalah bagi yang ikut dalam pertempuran.” Jika salah seorang dari mereka hadir sebagai penunggang kuda, dia mendapat bagian penunggang kuda. Jika hadir sebagai pejalan kaki, dia mendapat bagian pejalan kaki. Jika para pedagang ikut berperang bersama kaum Muslimin, mereka mendapat bagian penunggang kuda jika mereka adalah penunggang kuda, atau bagian pejalan kaki jika mereka adalah pejalan kaki.
[Pasukan Kecil yang Mengambil Makanan Ternak dan Makanan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak boleh seorang pun dari pasukan mengambil sesuatu milik musuh tanpa seizin pasukan, kecuali makanan khususnya. Semua jenis makanan dianggap sama, termasuk semua jenis minuman. Siapa saja yang mendapatkan sesuatu dari makanan atau minuman tersebut, dia boleh memakannya, meminumnya, memberikannya sebagai pakan ternak, memberikannya kepada orang lain, atau memberinya minum dan pakan ternak. Namun, dia tidak boleh menjualnya. Jika dia menjualnya, harganya harus dikembalikan ke rampasan perang. Dia boleh memakannya tanpa izin imam. Untuk segala yang halal dimakan atau diminum, tidak ada peran imam dalam hal ini. Wallahu a’lam.
[Orang yang Meminjamkan Makanan atau Pakan Ternak kepada Orang Lain di Negeri Musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang meminjamkan makanan atau pakan ternak kepada orang lain di negeri musuh, maka orang itu harus mengembalikannya. Jika dia telah keluar dari negeri musuh, dia tidak wajib mengembalikannya karena dia diizinkan memakannya di negeri musuh, tetapi tidak diizinkan jika sudah meninggalkan negeri musuh. Peminjam harus mengembalikannya kepada imam.
[Orang yang Membawa Makanan atau Pakan Ternak ke Negeri Islam]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki sisa makanan, sedikit atau banyak, lalu membawanya dari negeri musuh ke negeri Islam, dia tidak boleh menjual atau memakannya. Dia wajib mengembalikannya kepada imam agar menjadi bagian rampasan perang. Jika dia tidak melakukannya hingga pasukan bubar, dia tidak boleh menyedekahkannya atau menggandakannya, sebagaimana dia tidak boleh mengeluarkannya dari hak satu orang atau banyak orang kecuali menyerahkannya kepada mereka. Jika dia berkata, “Aku tidak menemukan mereka,” maka dia harus menemui imam yang bertugas membagikannya kepada mereka. Aku tidak mengetahui alasan bagi pendapat yang mengatakan boleh menyedekahkannya. Jika dia tidak memiliki harta, dia tidak boleh menyedekahkan harta orang lain. Jika dia berkata, “Aku tidak mengenal mereka,” maka dikatakan, “Tetapi kamu mengenal penguasa yang bertanggung jawab atas mereka.” Sekalipun kamu tidak mengenal mereka atau penguasanya, tidak ada yang membebaskanmu di hadapan Allah kecuali menunaikan hak mereka, baik sedikit maupun banyak.
**[Hujjah tentang Makan dan Minum di Darul Harb]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika ada yang bertanya, “Bagaimana engkau membolehkan sebagian kaum muslimin untuk makan, minum, dan memberi pakan dari harta rampasan di darul harb, tetapi tidak membolehkannya memakannya setelah meninggalkan wilayah itu?”
Dijawab: Sesungguhnya ghulul (mengambil harta rampasan sebelum dibagi) itu haram. Apa yang berada di negeri harb (perang), tidak seorang pun boleh mengambil sesuatu darinya tanpa seizin yang berhak, karena mereka memiliki hak yang sama sesuai pembagian. Seandainya ia mengambil jarum atau benang sekalipun, itu haram. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, *”Kembalikanlah benang dan jarum, karena ghulul adalah aib, kehinaan, dan api neraka di hari kiamat.”*
Makanan termasuk dalam kategori harta orang musyrik, bahkan lebih besar nilainya daripada benang, jarum, uang logam, atau manik-manik yang tidak halal diambil oleh seseorang tanpa hak. Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengizinkan mengambil makanan di darul harb, maka izin itu bersifat khusus dan terkecuali dari larangan umum. Oleh karena itu, tidak boleh kita membolehkan seseorang untuk memakannya kecuali di tempat yang diperintahkan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu khusus di darul harb. Jika ia telah meninggalkannya, ia tidak lebih berhak atas makanan yang diambilnya dibanding orang lain, sebagaimana ia tidak lebih berhak atas sehelai benang jika mengambilnya dari orang lain.
Demikian pula segala yang dihalalkan dari sesuatu yang haram dalam konteks tertentu, maka ia tetap haram kecuali dalam konteks itu saja. Jika konteks itu berakhir, kembalilah ke hukum asalnya. Contohnya bangkai yang asalnya haram, tetapi dihalalkan bagi yang terpaksa. Jika keadaan darurat itu hilang, kembalilah ke hukum haram.
Ada juga riwayat dari sebagian orang yang sesuai dengan pendapatku, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengizinkan mereka makan di wilayah musuh tetapi tidak membawa makanan keluar. Jika riwayat ini shahih dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka tidak ada argumen yang bisa menentangnya. Namun jika tidak shahih karena ada perawi yang tidak diketahui kredibilitasnya, maka demikian pula dengan riwayat yang membolehkannya.
**[Jual Beli Makanan di Darul Harb]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika dua orang melakukan barter makanan dengan makanan di darul harb, menurut qiyas hal itu tidak masalah, karena yang diambil adalah sesuatu yang halal dengan yang halal. Masing-masing boleh memakan apa yang ia peroleh selama belum keluar dari darul harb. Jika sudah keluar, kelebihannya harus dikembalikan. Jika boleh mengambil makanan lalu memberikannya kepada orang lain, karena orang lain juga halal mengambilnya seperti dia, maka tidak masalah menjualnya.
**[Seseorang yang Memiliki Makanan di Darul Harb]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang masih memiliki sisa makanan di darul harb setelah perang usai, lalu datang orang yang tidak ikut serta dalam peperangan dan ia menjualnya kepadanya, maka jual beli itu tidak sah. Sebab, ia memberikan makanan kepada yang tidak berhak memakannya, dan transaksi itu harus dibatalkan. Jika makanan sudah terlanjur habis, maka nilainya harus dikembalikan kepada imam (pemimpin). Ia tidak boleh menahannya atau memberikannya kepada yang tidak berhak, sebagaimana ia tidak boleh membawanya keluar dari darul harb ke tempat yang tidak halal baginya memakannya.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Penyembelihan hewan rampasan untuk diambil kulitnya di negeri musuh]
Menyembelih hewan untuk diambil kulitnya (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Aku lebih menyukai jika mereka tidak dalam keadaan terburu-buru, tidak takut dikejar musuh di negeri mereka, dan tidak dalam keadaan darurat, untuk tidak menyembelih kambing, unta, atau sapi kecuali untuk dimakan. Jangan menyembelih untuk diambil sandal, tali sandal, atau kantong air yang dibuat dari kulitnya. Jika mereka melakukannya, itu termasuk hal yang aku benci dan tidak aku izinkan untuk mengambil sesuatu pun dari kulitnya.” (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Kulit hewan yang dimiliki musuh seperti dinar dan dirham, karena mereka hanya diizinkan memakan dagingnya, bukan menyimpan kulit atau kantong airnya. Mereka wajib mengembalikannya ke rampasan perang. Jika keringanan hanya diberikan untuk makanan, maka tidak ada keringanan untuk kulit hewan atau wadah yang berisi makanan, karena wadah bukanlah makanan dan kulit bukanlah daging. Wadah, kulit, dan ikatannya harus dikembalikan. Jika rusak, wajib mengganti nilainya. Jika digunakan, wajib menjaminnya hingga dikembalikan, serta mengganti kerusakan dan upah sewa jika ada.”
[Buku-buku orang asing]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Apa pun buku yang ditemukan dari mereka adalah rampasan perang. Sebaiknya pemimpin mengundang penerjemah. Jika berisi ilmu seperti kedokteran atau lainnya tanpa unsur tercela, boleh dijual seperti rampasan lain. Jika berisi ajaran syirik, robek bukunya dan manfaatkan sampul serta alat tulisnya dengan menjualnya. Tidak perlu dibakar atau dikubur sebelum diketahui isinya.”
[Meminyaki hewan tunggangan dengan minyak musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Tidak boleh meminyaki hewan tunggangan atau mengolesi bulunya dengan minyak musuh, karena ini tidak diizinkan selain untuk dimakan. Jika dilakukan, wajib mengganti nilainya.”
[Kantong dan tempayan anggur]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Jika kaum Muslimin menguasai negeri perang hingga menjadi Darul Islam atau wilayah protektorat yang tunduk pada hukum Islam, lalu menemukan anggur dalam tempayan atau kantong, tuangkan anggurnya dan manfaatkan kantong serta tempayannya dengan membersihkannya, jangan dihancurkan karena itu merusak. Jika belum menguasai wilayah itu dan hanya melakukan serangan singkat tanpa penerapan hukum Islam, tuangkan anggur dari kantong dan tempayannya. Jika bisa membawa atau membawa yang ringan, bawa sebagai rampasan. Jika tidak bisa, bakar atau hancurkan saat pergi. Jika menemukan kasyus (sejenis tanaman) dalam kedua kondisi ini, kaum Muslimin boleh memanfaatkannya, sebagaimana segala sesuatu yang mereka kuasai yang tidak haram. Kasyus meskipun tidak haram dan biasa dicampur dalam minuman memabukkan, lebih utama untuk tidak diharamkan dibanding kismis dan madu yang bisa dibuat menjadi minuman haram. Ini dan itu tidak boleh dibakar karena keduanya tidak haram.”
[Penggantian Harta Milik Musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Ketika suatu kaum memasuki wilayah musuh dan mengambil sesuatu selain makanan, pada dasarnya apa yang mereka ambil selain makanan terbagi menjadi dua: pertama, yang haram diambil karena termasuk ghulul (harta curangan), dan kedua, yang halal bagi yang mengambilnya. Prinsip untuk mengetahui yang halal adalah dengan melihat kepada negeri Islam. Apa saja yang di negeri Islam dihalalkan, seperti pohon yang tidak dimiliki manusia atau hewan buruan darat maupun laut, maka mengambil hal serupa di negeri musuh juga halal bagi yang mengambilnya. Termasuk dalam hal ini adalah busur yang seseorang potong dari padang atau gunung, anak panah yang dia buat, kayu apa saja yang dia inginkan, serta batu-batuan seperti batu giling dan lainnya selama tidak dimiliki atau dijaga. Semua yang diperoleh seperti ini halal bagi yang mengambilnya karena asalnya adalah halal dan tidak dimiliki. Adapun apa saja yang telah dimiliki dan dijaga oleh penduduk di rumah-rumah mereka, maka itu dilarang, seperti batu yang mereka pindahkan ke rumah, kayu, atau lainnya, atau hewan buruan. Mengambil harta seperti ini termasuk ghulul.
[Burung Elang Terlatih dan Hewan Buruan yang Ditandai Jika Diambil dari Rampasan Perang]
Burung elang terlatih dan hewan buruan yang ditandai (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang mengambil burung elang terlatih, maka itu pasti milik seseorang dan harus dikembalikan bersama harta rampasan. Demikian pula jika dia mengambil hewan buruan yang diberi kalung, anting, atau tanda. Semua ini menunjukkan bahwa hewan tersebut pernah memiliki pemilik. Begitu pula jika ditemukan di padang pasir bejana atau cangkir yang telah diukir, maka ukiran itu menjadi bukti bahwa benda tersebut dimiliki. Jika kaum Muslim mengenali pemiliknya, maka benda itu milik mereka. Jika tidak dikenal, maka itu termasuk ghanimah karena berada di wilayah musuh.
[Kucing dan Burung Elang Jika Diambil dalam Rampasan Perang]
Kucing dan burung elang (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Apa saja harta musuh yang kami temukan yang memiliki nilai, seperti kucing atau burung elang, maka itu termasuk ghanimah. Adapun anjing yang ditangkap, itu termasuk ghanimah jika ada yang menginginkannya untuk berburu, menjaga ternak, atau pertanian. Jika tidak ada seorang pun dalam pasukan yang membutuhkannya untuk keperluan tersebut, mereka tidak boleh menahannya karena siapa yang memeliharanya tanpa alasan yang dibenarkan berdosa. Menurutku, panglima pasukan sebaiknya memberikannya kepada orang-orang fakir, miskin, dan golongan lain yang disebutkan bersamanya jika ada yang membutuhkannya untuk pertanian, ternak, atau berburu. Jika tidak ada yang menginginkannya, dia boleh membunuhnya atau melepaskannya, tetapi tidak boleh menjualnya. Adapun babi yang ditangkap, jika ketika besar bisa membahayakan, maka semuanya harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh dimasukkan sebagai ghanimah atau dibiarkan hidup. Jika pasukan terburu-buru berangkat, mereka boleh meninggalkannya, karena tidak membunuhnya tidak lebih buruk daripada tidak memerangi orang musyrik jika mereka berada di hadapannya.
[Mengambil Obat-obatan di Wilayah Musuh]
Obat-obatan (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Makanan dihalalkan untuk dimakan di wilayah musuh, begitu pula minuman. Kami berpedoman pada apa yang bisa dimakan dan mengenyangkan dari lapar dan dahaga serta menjadi sumber energi dalam kondisi tertentu. Adapun semua obat-obatan tidak termasuk dalam kategori makanan yang diizinkan. Termasuk jahe, baik yang meragukan atau tidak, itu termasuk obat-obatan. Sedangkan lemak adalah makanan yang boleh dimakan. Apa saja yang termasuk makanan, pemiliknya boleh memakannya dan tidak perlu membawanya keluar dari wilayah musuh. Adapun yang termasuk obat-obatan, tidak boleh diambil baik di wilayah musuh maupun di tempat lain.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Orang Harbi Masuk Islam dengan Memiliki Lebih dari Empat Istri]
Asy-Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki harbi (kafir yang memerangi Islam) masuk Islam, baik penyembah berhala maupun ahli kitab, dan ia memiliki lebih dari empat istri yang dinikahi dalam satu akad atau akad terpisah, baik sudah bercampur dengan semua atau sebagian, atau di antara mereka ada dua saudari, atau semuanya bukan saudari, maka dikatakan kepadanya: “Pilih empat istri yang kamu kehendaki, asalkan di antara keempatnya tidak ada dua saudari yang dikumpulkan.” Tidak perlu mempertimbangkan urutan pernikahannya. Ini sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya (saya kira dia adalah Ibnu ‘Ulayyah) dari Ma’mar dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya, bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan membawa sepuluh istri. Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Peganglah empat dan ceraikan yang lainnya.” Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab, bahwa seorang laki-laki dari Tsaqif masuk Islam dengan membawa sepuluh istri. Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Peganglah empat dan ceraikan yang lainnya.” Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepadaku orang yang mendengar Ibnu Abi Zanad berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abdul Majid bin Suhail bin Abdurrahman bin ‘Auf dari ‘Auf bin Al-Harits dari Naufal bin Mu’awiyah Ad-Dailami, dia berkata: “Aku masuk Islam dengan membawa lima istri. Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku: ‘Peganglah empat yang kamu kehendaki dan ceraikan yang lainnya.’ Maka aku memilih yang paling lama bersamaku, seorang wanita tua yang mandul yang telah bersamaku selama enam puluh tahun, lalu aku menceraikannya.” Asy-Syafi’i berkata: Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal ini. Mereka berkata: Jika seseorang masuk Islam dengan membawa lebih dari empat istri, maka jika ia menikahi mereka dalam satu akad, ia harus menceraikan semuanya. Jika ia menikahi empat di antaranya dalam akad terpisah dan di antara mereka ada dua saudari, ia boleh mempertahankan yang pertama dan menceraikan yang dinikahi setelahnya. Jika ia menikahi mereka dalam akad terpisah, ia boleh mempertahankan empat yang pertama dan menceraikan yang setelahnya. Mereka berkata: “Lihatlah hal ini dari sudut pandang apa yang jika dimulai dalam Islam diperbolehkan, maka kami anggap sah jika dimulai dalam kekafiran. Jika sesuatu tidak diperbolehkan dalam Islam, maka kami anggap tidak sah jika dimulai dalam kekafiran.” Asy-Syafi’i berkata: Aku berkata kepada salah seorang yang berpendapat demikian: “Seandainya tidak ada hujjah atasmu kecuali dasar pendapat yang kamu pegang, niscaya kamu telah terkalahkan.” Dia bertanya: “Dari mana?” Aku menjawab: “Bagaimana pendapatmu tentang penyembah berhala? Jika seorang laki-laki memulai pernikahan dalam Islam dengan wali dan saksi dari mereka, apakah pernikahannya sah?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya lagi: “Bukankah bentuk pernikahan terbaik yang pernah dilakukan penyembah berhala adalah dengan wali dan saksi dari mereka?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Maka menurut dasar pendapatmu, semua pernikahan mereka batal, karena bentuk terbaik menurutmu pun tidak sah dalam Islam, padahal mereka juga pernah menikahi wanita dalam masa ‘iddah atau tanpa saksi.” Dia berkata: “Kaum Muslim telah membolehkan pernikahan mereka.” Kami menjawab: “Itu karena mengikuti perintah Rasulullah ﷺ, sedangkan kamu tidak mengikuti perintah beliau dalam hal ini. Rasulullah ﷺ telah menetapkan hukum tentang pernikahan mereka yang mencakup berbagai aspek. Mengapa kamu menyelisihi sebagian dan mengikuti sebagian lainnya?” Dia bertanya: “Di mana aku menyelisihinya?” Aku menjawab: “Itu jelas dalam ucapanmu, seandainya tidak ada riwayat lain.” Dia bertanya: “Di mana?” Aku menjawab: “Ketika kamu berpendapat bahwa Rasulullah ﷺ memaafkan akad yang fasid dalam kekafiran hingga dianggap sah dalam Islam, mengapa kamu tidak memaafkan mereka dan mengikuti pendapat kami?” Dia bertanya: “Di beliau memaafkan pernikahan yang fasid?” Aku menjawab: “Semua pernikahan penyembah berhala.” Dia berkata: “Aku tahu itu fasid jika dimulai dalam Islam, tetapi aku mengikuti riwayat.” Kami berkata: “Jika dalam riwayat disebutkan bahwa akad yang fasid dalam kekafiran seperti akad dalam Islam, mengapa kamu tidak mengikuti pendapat kami? Kamu berpendapat semua akad itu fasid tetapi tetap berlaku, sehingga dimaafkan. Sedangkan apa yang masih berlangsung saat masuk Islam, seperti jumlah istri, tidak dimaafkan. Maka kami katakan: Dasar akad semuanya fasid tetapi dimaafkan, kecuali yang melebihi jumlah empat istri. Tinggalkan yang lebih dari empat—pilihan terserah kamu—dan pertahankan empat.” Dia bertanya: “Apakah kamu memiliki dalil selain riwayat yang mendukung pendapatmu?” Aku menjawab: “Ya.” Allah ﷻ berfirman: “Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278). Rasulullah ﷺ memaafkan riba yang telah mereka terima dan tidak memerintahkan untuk mengembalikannya, tetapi membatalkan riba yang masih berlangsung saat Islam datang dan belum diterima, lalu memerintahkan untuk meninggalkannya dan mengembalikan modal mereka yang halal. Ini menunjukkan bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya dalam riba adalah memaafkan yang telah lalu dan membatalkan yang masih berlangsung saat Islam datang. Demikian pula hukum Rasulullah ﷺ dalam pernikahan: akadnya tetap berlaku dan dimaafkan, sedangkan istri lebih dari empat yang masih berlangsung saat Islam tidak dimaafkan. Kamu tidak berpegang pada dasar pendapatmu, qiyas terhadap hukum Allah, atau riwayat dari Rasulullah ﷺ. Pendapatmu keluar dari semua ini dan dari logika. Dia bertanya: “Bagaimana jika kamu meninggalkan hadits Naufal bin Mu’awiyah dan hadits Ibnu Ad-Dailami yang jelas mendukung pendapatmu dan menyelisihi pendapat kami, dan hanya berpegang pada hadits Az-Zuhri? Apakah ada dalil yang mendukung pendapatmu dan menyelisihi pendapat kami?” Kami menjawab: “Ya.” Dia bertanya: “Di mana?” Aku menjawab: “Ketika mereka baru masuk Islam dan belum mengetahui halal-haram dalam pernikahan dan lainnya, Rasulullah ﷺ mengajarkan mereka untuk tidak mempertahankan lebih dari empat istri. Logika menunjukkan bahwa jika beliau memerintahkan mereka untuk mempertahankan yang pertama, itu termasuk dalam pengajaran beliau. Semua pernikahan itu sama, kecuali yang sedikit dan lebih utama. Lagi pula, hadits Naufal bin Mu’awiyah adalah bukti kuat yang menghilangkan keraguan.”
[Orang Harbi Memberikan Mahar kepada Istrinya]
Asy-Syafi’i berkata: Pada dasarnya, semua pernikahan orang harbi adalah fasid, baik dengan saksi maupun tanpa saksi. Jika seorang laki-laki harbi menikahi wanita harbiyah dengan mahar yang haram seperti khamr atau babi, lalu ia menerimanya, kemudian keduanya masuk Islam, maka wanita itu tidak berhak atas mahar. Jika mereka masuk Islam sebelum mahar diterima, maka wanita itu berhak atas mahar yang semisal. Jika ia menikahinya dengan mahar seorang Muslim merdeka, mukatab milik Muslim, umm walad milik Muslim, atau budak milik Muslim, lalu mereka masuk Islam—baik mahar sudah diterima atau belum—wanita itu tidak berhak atas apa pun. Yang merdeka tetap merdeka, yang budak kembali kepada pemilik asalnya, dan mukatab tetap mukatab bagi pemiliknya. Wanita itu berhak atas mahar yang semisal dalam semua kasus ini. Allah ﷻ Maha Pemberi taufik.
[Kebencian terhadap Menikahi Wanita Ahli Kitab Harbiyah]
Kebencian terhadap menikahi wanita ahli kitab harbiyah. Asy-Syafi’i berkata: Allah ﷻ menghalalkan wanita ahli kitab dan makanan mereka. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makanan mereka adalah sembelihan mereka. Ini berlaku untuk ahli kitab, baik harbi maupun dzimmi, karena yang dimaksud adalah ahli kitab. Maka menikahi wanita mereka adalah halal, tanpa perbedaan antara harbi dan dzimmi. Seperti jika ada musta’min non-ahli kitab di antara kita, atau dzimmi Majusi, wanita mereka tidak halal. Kami berpendapat bahwa hukum halal-haram bagi mereka adalah jika mereka termasuk ahli kitab yang dikenal, yaitu pemegang Taurat dan Injil (Yahudi dan Nasrani). Mereka halal dinikahi, baik dalam perdamaian maupun dzimmah, tetapi haram jika dalam keadaan perang. Wanita Majusi dan penyembah berhala halal jika musta’min. Namun, kami menyarankan agar seseorang tidak menikahi wanita harbiyah karena khawatir anaknya menjadi budak. Juga makruh menikahi wanita Muslimah di tengah kaum harbi karena khawatir anaknya menjadi budak atau terfitnah. Namun, ini bukan haram. Allah ﷻ Maha Mengetahui.
[Seseorang Masuk Islam dengan Membawa Harta yang Dirampas atau Tidak]
Asy-Syafi’i berkata: Ibnu Abi Mulaikah meriwayatkan secara mursal bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa masuk Islam dengan membawa sesuatu, maka itu miliknya.” Maksudnya adalah jika seseorang masuk Islam dengan membawa sesuatu yang halal dimilikinya, maka itu miliknya. Ini mencakup semua harta yang diambil dari orang musyrik yang tidak memiliki perjanjian (dzimmah), yang halal bagi Muslim. Jika mereka saling merampas harta atau memperbudak orang merdeka, lalu harta atau budak itu tetap di tangan mereka hingga mereka masuk Islam, maka itu milik mereka. Demikian pula harta yang mereka peroleh lalu masuk Islam dalam keadaan memilikinya. Jika ia masuk Islam setelah melakukan itu di masa jahiliyah, seperti kaum Muslim yang menyerang harbi, mereka boleh menawan dan memperbudak serta mengambil harta rampasan, kecuali tidak ada kewajiban khumus karena ia mengambilnya saat masih musyrik. Semua itu miliknya. Jika seorang Muslim mengambil budak, umm walad, atau harta dari orang musyrik, lalu ia menyimpannya hingga pemiliknya masuk Islam, maka ia tidak berhak atasnya. Demikian pula jika kaum Muslim menyerang dan merebutnya dari tangan yang mengambil, mereka harus mengembalikan semuanya tanpa ganti rugi, baik sebelum atau setelah pembagian. Ini tidak berbeda. Dalilnya dari Al-Qur’an, Sunnah, dan logika serta ijma’ dalam sebagian kasus. Karena Allah ﷻ mewariskan harta dan negeri mereka kepada kaum Muslim sebagai ghanimah dan kekuatan untuk memuliakan agama-Nya dan menghinakan musuh-Nya. Tidak boleh kaum Muslim—jika mereka menguasai harbi—boleh mengambil harta mereka, sementara harbi boleh mengambil harta Islam untuk selamanya. Jika ada yang bertanya: “Di mana Sunnah yang menunjukkan hal ini?” Dijawab: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab bin Abdul Majid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al-Muhallab dari Imran bin Hushain, bahwa orang musyrik menawan seorang wanita Anshar dan mengambil unta Nabi ﷺ. Wanita Anshar itu berhasil melarikan diri dan menaiki unta Nabi ﷺ. Ketika tiba di Madinah, ia bernazar: “Jika Allah menyelamatkanku dengan unta ini, aku akan menyembelihnya.” Orang-orang melarangnya hingga mereka menanyakan hal itu kepada Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada nazar dalam maksiat atau atas sesuatu yang tidak dimiliki manusia.” Lalu beliau mengambil untanya. Asy-Syafi’i berkata: Jika harta yang diambil musyrik menjadi milik mereka, maka unta itu seharusnya milik wanita Anshar sepenuhnya karena ia merebutnya dari musyrik, atau ia dapat empat perlima dan seperlima untuk baitul mal. Tetapi Rasulullah ﷺ tidak memberinya bagian sedikit pun dan menganggap unta itu tetap milik beliau. Aku tidak tahu ada yang berselisih bahwa jika musyrik mengambil budak atau harta seseorang, lalu kaum Muslim merebutnya sebelum dibagi, maka itu kembali kepada pemiliknya tanpa ganti rugi. Mereka berselisih setelah pembagian. Sebagian berpendapat seperti pendapatku: pemilik lebih berhak, dan imam harus mengganti nilai yang jatuh ke bagiannya dari seperlima khumus (bagian Nabi ﷺ). Pendapat ini sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Sebagian lain berpendapat: Jika sudah dibagi, pemilik berhak mengambilnya dengan membayar nilai. Yang lain berkata: Tidak ada hak setelah pembagian. Ijma’ mereka bahwa harta itu milik pemilik setelah diambil musuh dan direbut Muslim adalah hujjah bahwa seharusnya demikian setelah pembagian. Jika Muslim mengambil harta itu—baik dengan takwil atau tidak—dengan cara apa pun, mereka harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Maka musyrik lebih tidak berhak. Jika hadits “Barangsiapa masuk Islam dengan membawa sesuatu, maka itu miliknya” shahih, maka ia bersifat umum, mencakup harta Muslim dan musyrik jika diambil musuh. Yang berpendapat demikian harus konsisten bahwa jika mereka masuk Islam dengan membawa Muslim merdeka, mereka boleh memperbudaknya. Atau hadits itu khusus, seperti pendapat kami dengan dalil-dalil yang telah disebutkan. Jika harta Muslim yang diambil musyrik menjadi milik mereka ketika masuk Islam, maka tidak boleh Muslim mengambil harta musyrik yang dirampas—baik sebelum atau setelah pembagian—untuk dikembalikan kepada pemiliknya dengan atau tanpa ganti rugi, seperti harta lainnya. Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami orang terpercaya dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa seorang budak dan kudanya yang hilang diambil musyrik, lalu direbut Muslim, kemudian dikembalikan kepadanya tanpa ganti rugi. Jika musyrik mengambil istri, umm walad, mudabb
[Memberlakukan Sumpah Ila’ dan Zhihar terhadap Orang Nasrani]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang Nasrani bersumpah ila’ (tidak menggauli) istrinya, lalu mereka berdua meminta keputusan kepada kami setelah empat bulan, kami akan memutuskan untuknya seperti memutuskan bagi seorang Muslim, yaitu agar dia kembali (menggauli) atau menceraikan. Kami juga memerintahkannya untuk membayar kafarah jika dia kembali, tetapi kami tidak memaksanya karena kekafirannya tidak menghilangkan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, meskipun tidak diterima sampai dia beriman. Jika dia melakukan zhihar terhadap istrinya, lalu mereka berdua mengajukan keputusan dan menerimanya, maka dalam zhihar tidak ada talak. Kami hanya memerintahkannya untuk membayar kafarah tanpa memaksa, sebagaimana dalam sumpah ila’.
[Orang Nasrani Menuduh Istrinya Berzina]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang Nasrani menuduh istrinya berzina, lalu mereka berdua mengajukan keputusan dan menerimanya, kami akan melaksanakan li’an antara mereka, memisahkan mereka, dan menafikan anaknya sebagaimana kami lakukan terhadap Muslim. Namun, jika dia menolak li’an, kami akan memberinya ta’zir (hukuman edukatif) tanpa menjatuhkan hadd, karena tidak ada hadd bagi yang menuduh perempuan Nasrani berzina. Kami membiarkan istrinya tetap bersamanya karena kami tidak memisahkan mereka kecuali dengan li’an.
[Tentang Seseorang yang Menyetubuhi Budak dari Harta Rampasan Perang]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang Muslim yang ikut perang menyetubuhi budak perempuan dari tawanan sebelum dibagikan, maka jika tidak hamil, dia harus membayar ‘uqr (denda) dan budak tersebut dikembalikan ke harta rampasan. Jika pelakunya orang awam, dia ditegur; jika berilmu, dia di-ta’zir tanpa hadd karena ada syubhat (keraguan) bahwa dia mungkin memiliki hak atasnya. Jika harta rampasan telah dibagi dan diketahui bagiannya bersama pemilik lainnya, maka mahar diambil dari bagiannya. Jika budak tersebut hamil, dia harus menanggung nafkahnya dan budak itu menjadi umm walad (ibu anaknya). Jika perbuatannya jelas zina, tidak ada mahar karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang mahar bagi pelacur. Pelacur adalah perempuan yang membiarkan dirinya dinikahi, sehingga dia dan pezina berhak dihukum hadd. Jika perempuan itu digauli dengan paksaan, dia bukan pezina dan berhak mendapat mahar, sedangkan pezina dihukum hadd.
[Muslimin Menyerbu Musuh dan Mendapatkan Tawanan yang Memiliki Kerabat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika kaum Muslimin menyerbu musuh dan di antara tawanan terdapat anak seorang Muslim yang menjadi budak musuh, atau anak seorang Muslim yang selalu menjadi ahli harbi (kafir harbi), lalu anaknya ikut perang dan mendapat bagian dari ayah atau anaknya, maka tidak ada yang merdeka sampai harta rampasan dibagikan. Jika salah satu atau keduanya menjadi bagiannya, barulah merdeka. Jika ada yang berkata: “Engkau berpendapat bahwa jika seseorang memilik ayah atau anaknya, mereka merdeka?” Maka aku katakan itu hanya jika dia memperolehnya melalui pembelian, hadiah, atau klaim wasiat. Tidak merdeka sampai dia menerimanya, dan dia boleh menolak hadiah atau wasiat. Namun, dalam serbuan ini, dia boleh meninggalkan haknya dari rampasan, dan tidak merdeka sampai menjadi miliknya melalui pembagian atau pembelian. Ini berbeda dengan budak perempuan yang digauli karena ada syubhat hak milik. Kami menolak hadd karena syubhat, tetapi tidak menetapkan kepemilikan karena syubhat. Wallahu Ta’ala a’lam.
Wanita yang Ditawan Bersama Suaminya
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah memutuskan hukum mengenai wanita musyrik dari kalangan ahli perang dengan dua ketentuan. Pertama, wanita yang ditawan dan dijamin keamanannya setelah merdeka. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membagikan mereka dan melarang siapapun yang mendapatkan mereka untuk menyetubuhi yang sedang haid sampai ia suci, atau yang hamil sampai ia melahirkan. Hal ini terjadi dalam peristiwa tawanan Authas. Ini menunjukkan bahwa penawanan itu sendiri memutuskan ikatan pernikahan antara suami-istri, karena beliau tidak memerintahkan untuk menyetubuhi seorang wanita yang memiliki suami setelah ia suci kecuali ikatan pernikahan telah terputus.
Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- menyebutkan bahwa firman Allah -‘azza wa jalla-:
**”Dan (diharamkan juga) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.”** (QS. An-Nisa’: 24)
Maksudnya adalah wanita-wanita yang memiliki suami dan kalian kuasai melalui penawanan. Jaminan keamanan setelah merdeka tidak lebih dari pemutusan ikatan pernikahan antara mereka dengan suami-suami mereka. Baik mereka ditawan bersama suami, sebelum suami, atau setelahnya, atau berada di Darul Islam maupun Darul Harb, ikatan pernikahan tidak terputus kecuali melalui penawanan yang membuat mereka dijamin keamanan setelah merdeka.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menawan beberapa laki-laki dari Hawazin, namun kami tidak mengetahui beliau menanyakan tentang suami-suami wanita tawanan, apakah mereka ditawan bersama, sebelum, atau setelahnya, atau tidak ditawan sama sekali. Seandainya ada makna yang perlu ditanyakan mengenai suami mereka, insya Allah beliau akan menanyakannya.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membiarkan mereka sehingga mereka kembali kepada suami mereka—jika orang-orang musyrik menghalalkan sesuatu dari istri mereka, maka tidak ada hujjah dengan orang musyrik. Jika mereka masuk Islam, maka tidak boleh bagi wanita-wanita itu kembali kepada suami mereka kecuali dengan akad nikah baru, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menghalalkan mereka untuk pemiliknya. Beliau tidak menghalalkan mereka kecuali setelah ikatan pernikahan terputus. Jika ikatan pernikahan terputus, maka harus ada akad nikah baru. Wallahu a’lam.
—
**Wanita Masuk Islam Sebelum Suaminya atau Suami Sebelum Wanita**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menetapkan satu ketentuan yang sama bagi wanita yang masuk Islam sebelum suaminya atau setelahnya. Contohnya, Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam masuk Islam di Marr Azh-Zhahran, sementara Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang mengepung Mekkah yang masih darul kufur, dan istri-istri mereka masih di sana. Abu Sufyan kembali ke Mekkah sebelum Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam keadaan Muslim, sementara Hindun binti ‘Utbah masih musyrik. Hindun memegang jenggot Abu Sufyan dan berkata, “Bunuh orang tua sesat ini!” Ia tetap dalam kekafiran sampai masuk Islam beberapa hari setelah Fathu Mekkah. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membiarkannya tetap dalam pernikahan karena masa iddahnya belum habis, dan Mekkah telah menjadi Darul Islam.
Demikian pula istri Shafwan bin Umayyah dan istri ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam dan tetap tinggal di Mekkah (Darul Islam), sementara suami mereka melarikan diri ke Yaman (Darul Kufur) dalam keadaan musyrik. Kemudian, ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, sedangkan Shafwan tetap kafir sampai Perang Hunain, lalu masuk Islam. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membiarkan mereka tetap dalam pernikahan karena masa iddah mereka belum habis.
Ini adalah dalil bagi yang membedakan antara wanita yang masuk Islam sebelum suami dan suami yang masuk Islam sebelum istri. Sebagian ulama membedakan keduanya. Mereka berpendapat bahwa jika wanita masuk Islam sebelum suami, ikatan pernikahan terputus, tetapi jika suami masuk Islam sebelum istri, ikatan tidak terputus kecuali jika masuk Islam dalam waktu berdekatan. Ini bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, akal, dan qiyas.
Jika boleh dibedakan, seharusnya dikatakan bahwa jika wanita masuk Islam sebelum suami, ikatan pernikahan terputus karena seorang Muslimah tidak halal bagi musyrik dalam keadaan apapun, sedangkan wanita musyrik bisa halal bagi Muslim jika ia ahli kitab. Ini berarti mereka memberatkan yang seharusnya ringan dan meringankan yang seharusnya berat.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalil Sunnah yang mendukung pendapatmu?” Maka jawabannya adalah apa yang telah kami sebutkan. Jika ditanya tentang dalil Al-Qur’an, maka firman Allah:
**”Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir, dan orang kafir tidak halal bagi mereka.”** (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan agama memutus ikatan pernikahan saat itu juga, atau memutuskannya jika perbedaan itu berlanjut. Tidak ada tenggat waktu kecuali berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sunnah telah menjelaskan hal ini, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyamakan hukum antara wanita yang masuk Islam sebelum suami dan suami yang masuk Islam sebelum istri.
Jika ada yang berargumen dengan firman Allah:
**”Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir.”** (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Maka jawabannya sama: apakah ikatan pernikahan terputus saat suami masuk Islam sebelum istri karena ia Muslim dan istri masih kafir, atau tidak terputus kecuali setelah tenggat waktu tertentu. Sunnah telah menetapkan tenggat waktu itu.
Adapun yang mengatakan ikatan tidak terputus kecuali jika masuk Islam dalam waktu berdekatan, ini adalah pendapat yang tidak berdasar. Apa ukuran “berdekatan”? Sehari, sejam, setahun? Hanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang bisa menetapkan hal ini, bukan pendapat pribadi. Wallahu a’lam.
—
**Orang Kafir Harbi yang Masuk ke Darul Islam**
(Imam Syafi’i berkata): Jika suami masuk Islam sebelum istri, sementara istri masih di Darul Harb, dan suami keluar ke Darul Islam, ia tidak boleh menikahi saudari istri sampai masa iddah istri selesai. Jika istri tidak masuk Islam, maka ikatan pernikahan terputus, dan ia boleh menikahi saudarinya atau empat wanita lainnya.
—
**Orang Arab dan Non-Arab yang Boleh Diperbudak**
(Imam Syafi’i berkata): Jika ahli perang dari non-Arab diperangi, maka tawanan (termasuk anak-anak, wanita, dan laki-laki) boleh diperbudak tanpa perbedaan pendapat. Jika mereka dari Arab, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menawan Bani Al-Mustaliq, Hawazin, dan beberapa kabilah Arab, lalu memperbudak mereka sampai membebaskan mereka setelahnya.
Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian berpendapat bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membebaskan Bani Hawazin dan berkata, “Seandainya perbudakan berlaku penuh atas Arab, tentu mereka akan diperbudak. Namun ini hanya tawanan perang yang bisa ditebus.” Ini pendapat Az-Zuhri, Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Sya’bi, dan diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.
Imam Syafi’i berkata: “Seandainya kami tidak berdosa karena berandai-andai, kami berharap pendapat ini benar.”
Namun, bagi yang tidak menerima hadits ini, Arab dan non-Arab sama saja dalam hal perbudakan. Wallahu a’lam.
—
**Orang Kafir Harbi yang Masuk ke Darul Islam dengan Jaminan Keamanan**
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang kafir harbi masuk ke Darul Islam dengan jaminan keamanan, sementara istrinya masih di Darul Harb dalam keadaan kafir, ikatan pernikahan tidak terputus kecuali karena perbedaan agama. Selama agama mereka sama, ikatan tetap ada.
Bayangkan jika seorang Muslim ditawan atau masuk Darul Harb dengan jaminan keamanan, atau ia dan istrinya masuk Islam di Darul Harb tetapi hanya ia yang bisa keluar, apakah ikatan pernikahan terputus? Tidak, selama agama mereka sama.
—
**Perceraian karena Perbedaan Agama**
(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu pasangan masuk Islam dan masa iddah selesai sebelum yang lain masuk Islam, maka ikatan pernikahan terputus. Ini adalah perceraian tanpa talak.
Jika seorang Nasrani dzimmi menalak istrinya tiga kali, lalu keduanya masuk Islam, mereka harus berpisah dan tidak boleh rujuk sampai istri menikah dengan orang lain. Hal yang sama berlaku jika suami adalah kafir harbi, karena kami mengakui akad pernikahan mereka seperti Muslim, sehingga hukum perceraiannya juga sama.
—
**Muslim Menalak Istri Nasrani**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang Muslim menalak istrinya yang Nasrani tiga kali, lalu wanita itu menikah dengan lelaki Nasrani atau budak dan disetubuhi, maka ia halal kembali untuk mantan suaminya setelah diceraikan dan masa iddah selesai, karena kedua lelaki itu adalah suami yang sah.
Allah berfirman:
**”Sampai ia menikah dengan suami yang lain.”** (QS. Al-Baqarah: 230)
Ia telah menikah dengan suami lain. Jika kami berpendapat bahwa pernikahan Nasrani mengesahkan hukum rajam bagi pezina (sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- merajam dua orang Yahudi yang berzina), maka berarti pernikahan mereka sah. Bagaimana mungkin pernikahan itu tidak menghalalkannya kembali padahal ia sah?
—
**Menyetubuhi Wanita Majusi yang Ditawan**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang Majusi atau penyembah berhala ditawan, wanita dewasa tidak boleh disetubuhi sampai ia masuk Islam. Jika anak kecil ditawan:
– Jika bersama salah satu orang tua yang masih kafir, ia tidak boleh disetubuhi karena mengikuti agama orang tuanya.
– Jika salah satu orang tua masuk Islam, ia boleh disetubuhi.
– Jika ditawan sendirian tanpa orang tua, ia boleh disetubuhi karena kami memberlakukan hukum Islam padanya.
Selama ia belum baligh atau masih bersama orang tua yang kafir, kami tidak menghalalkan hubungan intim.
—
**Penyembelihan dan Pernikahan Ahli Kitab**
(Imam Syafi’i berkata): Penyembelihan dan wanita dari kalangan Yahudi, Nasrani, Shabi’in, dan Samaria halal. Umar bin Al-Khattab pernah menulis surat tentang mereka dengan ketentuan seperti ini.
Jika mereka dikenal sebagai Yahudi atau Nasrani, maka hukumnya sama. Tidak boleh sebagian dihalalkan dan sebagian diharamkan kecuali dengan dalil yang jelas.
Adapun Majusi, sembelihannya tidak halal meskipun menyebut nama Allah.
[Seorang laki-laki menahan atau memaksa budak perempuannya]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki memaksa budak perempuannya, baik itu ummu walad atau bukan, lalu budak tersebut dikuasai oleh orang-orang musyrik atau lainnya, kemudian kembali kepadanya, maka tidak ada kewajiban istibra’ (menunggu satu kali haid) dalam semua kondisi ini karena budak tersebut tidak dimiliki oleh orang lain, sebagaimana tidak ada istibra’ jika budak itu menghilang dan tidak diketahui apakah dia berzina atau tidak. Namun, lebih baik baginya untuk tidak mendekati budak itu sampai dia melakukan istibra’.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki membeli budak perempuan dari rampasan perang, atau budak itu menjadi bagiannya, atau dari pasar kaum Muslimin, maka dia tidak boleh menggaulinya, menyentuhnya, atau mengambil kesenangan darinya sampai dia melakukan istibra’.
[Seorang laki-laki membeli budak perempuan yang sedang haid]
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki memiliki budak perempuan melalui pembelian atau cara lain, sedangkan budak tersebut berada di awal, pertengahan, atau akhir haidnya, maka haid tersebut tidak dianggap sebagai istibra’, sebagaimana tidak dianggap sebagai masa iddah menurut pendapat yang mengatakan iddah adalah haid atau suci. Dia wajib melakukan istibra’ dengan satu kali haid yang didahului oleh masa suci. Jika budak yang diistibra’ meragukan (keadaan haidnya), maka dia tidak boleh digauli sampai keraguan itu hilang. Tidak ada batasan waktu kecuali hilangnya keraguan. Jika budak itu dibeli, maka dia tidak boleh dikembalikan karena hal ini. Periksalah kepada perempuan lain; jika mereka mengatakan ini adalah kehamilan atau penyakit, maka budak itu boleh dikembalikan.
[Masa iddah budak perempuan yang tidak haid]
(Imam Syafi’i berkata): Orang-orang berbeda pendapat tentang istibra’ budak perempuan yang tidak haid karena masih kecil atau sudah tua. Sebagian mengatakan satu bulan sebagai qiyas (analogi) terhadap satu kali haid, sebagian lain mengatakan satu setengah bulan, tetapi ini tidak memiliki dasar. Pendapat yang benar adalah satu bulan, atau seperti pendapat sebagian sahabat kami yang mengatakan tiga bulan. (Imam Syafi’i berkata): Istibra’ budak perempuan yang tidak haid adalah satu bulan, sebagai qiyas terhadap satu kali haid, karena Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tiga bulan setara dengan tiga kali suci. Jadi, setiap haid diqiyaskan dengan satu bulan, kecuali ada riwayat yang menyelisihinya, maka riwayat itu lebih utama untuk diikuti.
[Orang yang memiliki dua saudari perempuan dan ingin menggauli keduanya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang laki-laki memiliki dua saudari perempuan dengan cara apa pun, dia boleh menggauli salah satunya yang dia kehendaki. Jika dia telah menggauli salah satunya, dia tidak boleh menggauli yang lain sampai faraj (kemaluan) yang telah digauli menjadi haram baginya, baik karena pernikahan, memerdekakan, atau kitabah (perjanjian pembebasan). Jika hal itu terjadi, lalu dia menggauli yang lain, kemudian budak yang dikitabah gagal memenuhi syarat atau diceraikan, maka dia tetap boleh menggauli budak yang digauli setelahnya, tetapi tidak boleh menggauli budak yang gagal atau diceraikan. Dalam hal ini, budak tersebut dan saudarinya kembali ke hukum awal.
[Menggauli ibu setelah anak perempuan dalam kepemilikan budak]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Tidak halal menggauli ibu setelah anak perempuannya, atau anak perempuan setelah ibunya dalam kepemilikan budak. Tidak halal menggauli budak perempuan dengan cara yang tidak halal dilakukan terhadap perempuan merdeka, kecuali dalam dua hal: (1) seorang laki-laki boleh memiliki ibu dan anaknya, tetapi tidak boleh menikahi ibu dan anak perempuannya sekaligus; (2) dia boleh mengumpulkan dua saudari perempuan dalam kepemilikan budak, tetapi tidak boleh dalam pernikahan; (3) dia boleh menggauli budak sebanyak yang dia mau dalam waktu bersamaan, tetapi tidak boleh menikahi lebih dari empat perempuan sekaligus.
[Memisahkan antara orang yang memiliki hubungan mahram]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang laki-laki memiliki anggota keluarga (sebagai budak), dia tidak boleh memisahkan antara ibu dan anaknya sampai anak itu berusia tujuh atau delapan tahun. Jika sudah mencapai usia itu, boleh memisahkan mereka. Jika ada yang bertanya: “Dari mana batasan tujuh atau delapan tahun?” Dijawab: Kami meriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau meminta seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya, dan dari Umar -radhiyallahu ‘anhu-, sedangkan anak itu belum baligh menurut kami. Dari Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau meminta seorang anak laki-laki memilih antara ibunya dan pamannya. Dalam riwayat Ali -radhiyallahu ‘anhu-, anak itu berusia tujuh atau delapan tahun. Lalu Ali melihat saudaranya yang lebih kecil dan berkata: “Jika dia sudah mencapai usia ini, kami akan memintanya memilih.” Maka kami menjadikan ini sebagai batasan karena anak laki-laki atau perempuan sudah mandiri pada usia itu, dan itulah usia pertama di mana mereka memiliki pendapat sendiri. Hal yang sama berlaku untuk cucu dan seterusnya. Adapun dua saudara, boleh dipisahkan. Jika ada yang bertanya: “Mengapa kalian memisahkan dua saudara tetapi tidak memisahkan anak dan ibunya?” Dijawab: Sunnah berlaku untuk ibu dan anaknya, dan kondisi anak terhadap orang tua berbeda dengan kondisi saudara terhadap saudaranya. Saya mewajibkan anak menafkahi orang tua dan sebaliknya ketika salah satunya membutuhkan yang lain, tetapi saya tidak mewajibkan saudara menafkahi saudaranya.
[Orang dzimmi membeli budak Muslim]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang dzimmi membeli budak Muslim, maka pembelian itu sah, tetapi dia dipaksa untuk menjualnya. Alasan saya tidak membatalkan pembelian ini adalah bahwa jika budak itu masuk Islam di sisinya, saya akan memaksanya untuk menjualnya. Jika dia memerdekakan, menghadiahkan, atau menyedekahkan budak itu kepada Muslim, atau budak itu meninggal tanpa ahli waris, maka hartanya diambil, dan pembebasan, sedekah, atau hadiah itu sah. Ini hanya berlaku bagi pemilik yang kepemilikannya sah untuk sementara waktu, meskipun saya tidak mengakui kepemilikan selamanya seperti kepemilikan Muslim. Jika seorang dzimmi memiliki dua budak, laki-laki dan perempuan, yang memiliki anak, lalu salah satu dari mereka masuk Islam, maka pemilik dipaksa untuk menjual yang Muslim dan anak-anaknya yang masih kecil karena mereka menjadi Muslim dengan keislaman salah satu orang tuanya.
[Orang harbi masuk ke darul Islam dengan jaminan keamanan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang harbi masuk ke darul Islam dengan jaminan keamanan dan membawa budak perempuan atau laki-laki, lalu keduanya atau salah satunya masuk Islam, maka dia dipaksa untuk menjual keduanya atau yang Muslim, dan harga budak itu diberikan kepadanya. Dia tidak memiliki jaminan keamanan yang memungkinkannya memiliki budak Muslim. Jaminan keamanan untuk dzimmi yang terikat perjanjian lebih kuat daripada jaminan untuknya, dan saya akan memaksanya untuk menjual budak-budaknya yang masuk Islam.
Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
—
**Budak yang Dimiliki Bersama oleh Muslim dan Dzimi Lalu Masuk Islam**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang budak kafir dimiliki bersama oleh seorang muslim dan dzimi, lalu budak itu masuk Islam, maka pemilik kafir dipaksa untuk menjual bagiannya. Bahkan, dia bisa dipaksa menjual seluruh kepemilikannya, lebih dari sekadar dipaksa menjual sebagiannya.
**Jika Kaum Muslimin Mengepung Musyrikin dan Seseorang Meminta Perlindungan**
Jika kaum muslimin mengepung kaum musyrikin, lalu seorang dari musyrikin meminta perlindungan (aman) untuk sekelompok orang tertentu, maka perlindungan hanya berlaku bagi mereka, bukan untuk yang lain. Begitu pula jika dia meminta perlindungan untuk sejumlah orang tanpa menyebut nama, maka perlindungan hanya berlaku bagi mereka, bukan yang lain. Demikian juga jika dia berkata, “Berikan perlindungan untuk 100 orang, dan aku akan menyerahkan sisanya kepadamu,” maka perlindungan hanya berlaku bagi 100 orang yang dia sebut. Siapa yang disebut namanya, dia aman; yang tidak disebut, tidak aman.
**Jika Musyrikin Menyerahkan Sebagian Tawanan sebagai Syarat Perlindungan**
Jika musyrikin berkata, “Aku akan memberikan perlindungan bagi penghuni benteng dengan syarat kamu menyerahkan 100 orang dari mereka,” maka itu diperbolehkan. Seratus orang itu statusnya sebagai budak, baik berasal dari tawanan perang atau budak mereka sebelumnya. Sebab, jika kaum muslimin menguasai mereka, semuanya akan menjadi budak. Jika sebagian saja yang dikuasai, mereka tetap berstatus budak, sedangkan yang diberikan perlindungan tidak menjadi budak. Ini bukan pembatalan perjanjian atau pengingkaran perdamaian, melainkan perjanjian dengan syarat tertentu. Siapa yang dimasukkan dalam perlindungan oleh peminta aman, maka dia termasuk yang dilindungi. Siapa yang tidak diberikan perlindungan, statusnya tetap seperti musyrik biasa dan bisa diperbudak jika ditangkap.
**Tawanan yang Diambil Sumpahnya**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang muslim ditawan, lalu kaum musyrikin menyuruhnya bersumpah untuk tetap tinggal di negeri mereka dan tidak melarikan diri sebagai syarat pembebasannya, maka jika dia berhasil melarikan diri, dia boleh melakukannya. Sebab, sumpahnya adalah sumpah dalam keadaan terpaksa. Mereka tidak berhak menahannya, dan dia tidak dianggap zalim jika melarikan diri. Bahkan, mungkin dia tidak boleh tetap tinggal bersama mereka jika bisa menghindar. Namun, dia tidak boleh membunuh atau merampas harta mereka secara diam-diam, karena jika mereka memberinya perlindungan, maka dia juga harus menjaga mereka.
**Jika Tawanan Diberi Perlindungan atas Harta Mereka**
Jika musuh menawan seorang muslim lalu membebaskannya dan memberinya perlindungan, baik mereka menyerahkan pengelolaan harta kepadanya atau tidak, maka perlindungan itu juga berlaku baginya. Dia tidak boleh menipu atau mengkhianati mereka. Namun, dia boleh melarikan diri. Jika dia dikejar untuk ditangkap kembali, dia boleh membela diri, bahkan membunuh pengejarnya, karena pengejaran itu adalah tindakan baru yang membatalkan perlindungan.
**Tawanan yang Dibebaskan dengan Syarat Mengirim Tebusan**
Jika kaum musyrikin membebaskan tawanan muslim dengan syarat dia harus mengirim tebusan dalam waktu tertentu, dan dia bersumpah akan kembali menjadi tawanan jika tidak membayar, maka dia tidak wajib kembali. Imam (pemimpin muslim) juga tidak boleh mengizinkannya kembali. Jika mereka hanya mau membebaskannya dengan tebusan, dia tidak boleh membayar, karena itu harta yang diambil secara paksa tanpa hak. Namun, jika dia sudah menerima sesuatu dari mereka, dia wajib menunaikannya.
**Kaum Muslimin Masuk Darul Harbi dengan Perlindungan dan Melihat Tawanan**
Jika sekelompok muslim masuk darul harbi dengan perlindungan, lalu penduduk harbi menawan muslim lain, mereka tidak boleh langsung memerangi harbi untuk membebaskan tawanan kecuali setelah membatalkan perlindungan. Selama masih dalam masa perlindungan, mereka tidak boleh memerangi.
**Seseorang Masuk Darul Harbi Lalu Dihadiahkan Budak**
Jika seseorang masuk darul harbi dengan perlindungan, lalu diberi hadiah budak atau harta milik muslim yang sudah dikuasai harbi, kemudian dia membawanya ke darul Islam, maka jika pemilik aslinya mengenali dan membuktikannya, dia wajib mengembalikannya tanpa kompensasi.
**Budak yang Dijadikan Gadai Lalu Ditawan Musuh**
Jika seseorang menggadaikan budak senilai 1.000 dirham, lalu budak itu ditawan musuh dan kemudian ditebus oleh pemiliknya, status gadai tetap berlaku. Jika budak itu ditemukan di tangan muslim lain, dia harus dikembalikan ke pemilik aslinya.
**Tawanan yang Istrinya Tidak Boleh Dinikahi**
Jika seorang muslim ditawan di darul harbi, istrinya tidak boleh dinikahi sampai dipastikan kematiannya, baik lokasinya diketahui atau tidak. Demikian pula, hartanya tidak boleh dibagi sebagai warisan.
**Apa yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Tawanan terhadap Hartanya**
Segala transaksi yang dilakukan tawanan muslim—baik di darul harbi, darul Islam, atau dalam penjaran—selama tidak dipaksa, seperti jual beli, hibah, atau sedekah, adalah sah. Kecuali jika dia dalam kondisi sakit kritis, hukumnya seperti orang sakit.
**Perempuan Hamil dan Hukum Hibahnya**
Perempuan hamil boleh mengelola hartanya selama belum mengalami sakit atau tanda melahirkan. Pendapat yang membatasi hibahnya setelah enam bulan tidak berdasar kuat, karena kondisi hamil berbeda-beda.
**Amah Walad Nasrani yang Masuk Islam**
Jika amah walad (budak yang melahirkan anak tuannya) seorang Nasrani masuk Islam, dia dipisahkan dari tuannya, tetapi tetap wajib bekerja untuknya. Jika tuannya meninggal, dia merdeka. Jika tuannya masuk Islam, mereka boleh tetap bersama. Pendapat yang menyatakan dia merdeka tanpa tebusan atau wajib membayar tebusan tidak berdasar kuat.
**Harbi yang Masuk Islam dengan Membawa Budak**
Jika seorang harbi masuk Islam dengan membawa budak, lalu budaknya masuk Islam, dia dipaksa menjual budaknya dan tidak boleh membawanya keluar.
—
Semua terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa fikih yang formal dan jelas.
[Orang Harbi Masuk dengan Aman dan Memiliki Harta di Darul Harb, Kemudian Masuk Islam]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang harbi memasuki wilayah Islam dengan jaminan keamanan dan meninggalkan harta di darul harb yang disimpan oleh seorang Muslim, orang harbi lainnya, atau wakilnya, lalu ia masuk Islam, maka tidak ada hak atas dirinya, hartanya, atau anak-anaknya yang masih kecil, baik berupa properti atau lainnya. Demikian pula jika ia masuk Islam di darul harb lalu pergi ke darul Islam, tidak ada hak atas harta seorang Muslim di mana pun ia masuk Islam. Anak Sya’bah Al-Qurazhi masuk Islam saat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengepung Bani Quraizhah, dan Islam mereka melindungi diri serta harta mereka, baik rumah, properti, atau lainnya. Tidak boleh harta seorang Muslim dirampas dalam keadaan apa pun. Adapun anak-anaknya yang sudah dewasa dan istrinya, hukum mereka mengikuti status mereka sendiri; mereka diperlakukan seperti orang harbi lainnya, bisa dibunuh atau dijadikan tawanan. Jika istrinya ditawan dalam keadaan hamil, anak dalam kandungannya tidak boleh dijadikan budak karena jika lahir, ia adalah Muslim mengikuti ayahnya, dan seorang Muslim tidak boleh dijadikan tawanan.
[Orang Harbi Masuk Darul Islam dengan Aman, Menitipkan Harta, Kemudian Kembali]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang harbi masuk darul Islam dengan jaminan keamanan, menitipkan harta, menjual, atau meninggalkan harta, lalu kembali ke darul harb dan terbunuh di sana, maka utang, titipan, dan hartanya menjadi ghanimah. Tidak ada perbedaan antara utang dan titipan. Jika seorang harbi masuk darul Islam dengan jaminan keamanan lalu meninggal, maka jaminan itu berlaku untuk dirinya dan hartanya. Tidak boleh diambil sedikit pun dari hartanya, dan hakim wajib mengembalikannya kepada ahli warisnya di mana pun mereka berada. Jika ahli warisnya tidak diketahui, kesaksian non-Muslim tidak diterima. Dalam keadaan ini atau lainnya, kesaksian orang yang tidak seagama dengan Islam tidak sah, berdasarkan firman Allah Ta’ala: *”Dari orang-orang yang adil di antara kamu”* (QS. At-Talaq: 2) dan *”Dari orang yang kamu ridhai sebagai saksi”* (QS. Al-Baqarah: 282). Ini telah ditulis dalam kitab tentang kesaksian.
[Orang Harbi Memerdekakan Budaknya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang harbi memerdekakan budaknya di darul harb, lalu mereka berdua datang kepada kami dan tidak ada paksaan di darul harb yang membuatnya kembali memperbudak, maka jika ia ingin memperbudaknya lagi di darul Islam, tidak boleh, baik budak itu Muslim atau kafir, dan baik tuannya Muslim atau kafir. Namun, jika ada paksaan di darul harb atau terhadap orang merdeka seperti itu, dan ia tidak memerdekakan sampai datang kepada kami dengan jaminan keamanan, maka budak itu tetap miliknya.
Jika tanah yang ditaklukkan dari kaum musyrik, baik dengan kekerasan atau perdamaian, lalu penduduknya menyerahkannya kepada Muslim dengan imbalan atau lainnya, maka tanah itu dimiliki seperti fai’ dan ghanimah. Jika penduduk asli atau lainnya meninggalkannya, dan penguasa mewakafkannya untuk Muslim, maka boleh menyewakan tanah itu untuk ditanami, dengan kewajiban membayar sewa dan sepersepuluh (usyr), seperti menyewa tanah milik Muslim.
[Perdamaian dengan Jizyah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku tidak mengetahui Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berdamai dengan ahli dzimmah kecuali seperti yang kusebutkan: Beliau berdamai dengan penduduk Ailah dengan 300 dinar (jumlah mereka 300 orang), berdamai dengan seorang Nasrani di Makkah bernama Muhib dengan 1 dinar, dan berdamai dengan penduduk Yaman dengan 1 dinar per orang dewasa. Beliau juga berdamai dengan penduduk Najran dengan pakaian. Ini menunjukkan bahwa boleh berdamai dengan selain dinar. Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- berdamai dengan penduduk Syam dengan 4 dinar, dan sebagian ulama Kufah meriwayatkan bahwa beliau berdamai dengan orang kaya mereka dengan 48 dirham, menengah dengan 24, dan yang lebih rendah dengan 12. Tidak masalah berdamai dengan jumlah lebih besar asalkan disepakati.
Jika mereka berdamai dengan jizyah dan keramahan tamu, itu boleh. Demikian pula jika berdamai dengan takaran makanan. Jizyah hanya diambil setahun sekali. Jika penduduk suatu kota Ahli Kitab menawarkan jizyah, kita tidak boleh memerangi mereka selama mereka membayar dan tunduk pada hukum Islam. Jika mereka menolak tunduk, kita tidak boleh menerima jizyah mereka, karena Allah berfirman: *”Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk”* (QS. At-Taubah: 29).
[Tanah Sawad]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku tidak mengetahui pasti tentang tanah Sawad kecuali berdasarkan dugaan yang didukung pengetahuan. Ada riwayat dari penduduk Kufah yang bertentangan: sebagian mengatakan Sawad diperoleh dengan damai, sebagian dengan kekerasan, dan sebagian campuran. Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali bahwa Bani Bajilah mendapat seperempat Sawad, lalu Umar meminta mereka mengembalikannya. Ini menunjukkan bahwa Umar meminta kerelaan mereka untuk mewakafkan tanah itu untuk Muslim.
Jika tanah ditaklukkan dengan kekerasan, maka empat perlima untuk yang berperang, dan seperlima untuk baitul mal. Jika mereka rela melepaskan haknya, penguasa boleh mewakafkannya untuk Muslim. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membagi ghanimah Bani Hawazin, lalu mengembalikannya setelah mereka masuk Islam. Ini menjadi dasar bagi Umar dalam kebijakan Sawad.
[Ahli Dzimmah Berdagang di Luar Wilayahnya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang dzimmi berdagang di wilayah Islam ke berbagai tempat dalam setahun, jizyah hanya diambil sekali, seperti kewajiban jizyah setahun sekali. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan mengambil sebagian dari harta mereka dan Muslim jika terlihat, tetapi tidak mengambil lebih dari sekali setahun.
[Nasrani Arab]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berdamai dengan Ukaydir Al-Ghassani (Nasrani Arab) dan penduduk Najran (termasuk Arab dan non-Arab) dengan jizyah. Umar berbeda pendapat tentang Nasrani Arab seperti Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib: ada riwayat bahwa beliau meminta double zakat dari mereka tanpa memaksa mereka keluar dari agama. Namun, ada juga riwayat bahwa Umar mengatakan mereka bukan Ahli Kitab, sembelihan mereka tidak halal, dan mereka harus masuk Islam atau dibunuh.
Menurutku, penguasa boleh mengambil jizyah dari mereka karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya. Namun, sembelihan mereka tidak halal, seperti Majusi yang wajib bayar jizyah tetapi sembelihannya tidak halal.
[Zakat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Umar berdamai dengan Bani Taghlib untuk tidak memaksa anak-anak mereka masuk Nasrani dan mengambil double zakat dari mereka. Jika mereka menolak, penguasa boleh memaksa atau memerangi mereka.
[Budak yang Ditawan Musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika budak seorang Muslim ditawan musuh, lalu mereka menguasainya dan memiliki keturunan, kemudian Muslim menang, maka tuannya berhak mengambil budak itu beserta anak-anaknya dari garis ibu, bukan ayah, karena status budak mengikuti ibu.
[Orang Kafir yang Memberi Informasi]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang kafir membantu Muslim menaklukkan benteng dengan imbalan seorang budak tertentu, lalu pemilik benteng menyerahkan budak itu, maka jika budak itu sudah masuk Islam sebelum dikuasai, ia bebas, dan si pemberi informasi diberi ganti rugi.
[Tawanan yang Dipaksa Kafir]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang tawanan dipaksa kafir tetapi hatinya tetap beriman, pernikahannya tidak batal, dan hak warisnya tetap berlaku. Demikian pula jika dipaksa makan babi atau masuk gereja, itu dimaafkan. Namun, minum khamr tidak boleh karena menghalangi shalat.
[Nasrani yang Masuk Islam di Pertengahan Tahun]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang dzimmi masuk Islam sebelum jatuh tempo jizyah, ia terbebas. Jika setelah jatuh tempo, ia tetap wajib membayar.
[Perhiasan Campuran]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barang yang mengandung perak, seperti pedang, ikat pinggang, gelas, cincin, atau pelana, tidak boleh dijual kecuali peraknya dilepas dan dijual terpisah. Perak dijual dengan perak, dan barang lainnya dijual dengan emas.
Demikian terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan tambahan.
[Zakat pada Perhiasan Pedang dan Lainnya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Cincin yang terbuat dari perak bagi seorang laki-laki dan perhiasan pedang tidak dikenakan zakat pada keduanya menurut pendapat yang menyatakan tidak ada zakat pada perhiasan. Namun, jika perhiasan itu untuk mushaf atau cincin itu terbuat dari emas bagi seorang laki-laki, maka zakat tidak gugur darinya. Seandainya tidak ada riwayat bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memakai cincin perak dan bahwa pedang beliau memiliki hiasan perak, tidak boleh bagi yang berpendapat tidak ada zakat pada perhiasan untuk menggugurkannya, karena perhiasan itu untuk wanita, bukan untuk laki-laki.
[Budak yang Melarikan Diri ke Negeri Musuh]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang budak melarikan diri ke negeri musuh, baik ia kafir maupun muslim, hukumnya sama karena ia tetap milik tuannya. Ia adalah hak tuannya sebelum dan setelah pembagian harta rampasan. Jika ia muslim kemudian murtad, maka hukumnya sama, hanya saja ia diberi kesempatan bertobat. Jika tidak bertobat, ia dibunuh.
[Tentang Tawanan]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika wanita, laki-laki, dan anak-anak ditawan kemudian dibawa ke Darul Islam, tidak masalah menjual laki-laki dewasa kepada ahli harb (musuh perang), ahli shulh (yang berdamai), atau muslimin. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menebus tawanan, lalu mereka kembali ke Makkah padahal mereka adalah musuh yang memerangi beliau setelah penebusan. Beliau juga membebaskan sebagian mereka, tetapi mereka tetap memeranginya setelah dibebaskan. Beliau pernah menebus satu orang dengan dua orang. Demikian pula, tidak masalah menjual tawanan dewasa dari ahli harb atau ahli shulh. Adapun anak-anak yang bersama salah satu orang tuanya, boleh dijual kepada ahli harb atau ahli shulh. Jika mereka mati, tidak dishalatkan. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menjual tawanan Bani Quraizhah kepada ahli harb dan ahli shulh, membagi mereka menjadi tiga kelompok: sepertiga ke Najd, sepertiga ke Tihamah (mereka adalah musyrik penyembah berhala), dan sepertiga ke Syam (di antara mereka ada yang musyrik dan bukan). Termasuk di dalamnya anak-anak yang bersama ibu mereka. Tidak ada yang kuketahui dari mereka yang terpisah dari ibunya. Jika ada anak yang terpisah dari ibunya, aku berpendapat ia tidak boleh dijual kecuali kepada muslim. Hukumnya sama, baik tawanan itu dari ahli kitab atau bukan, karena Bani Quraizhah adalah ahli kitab, sedangkan yang disebutkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membebaskan mereka adalah dari penyembah berhala. Beliau juga membebaskan sebagian ahli kitab tanpa membunuhnya, tetapi membunuh seorang tunanetra dari Bani Quraizhah setelah ditawan. Ini menunjukkan bolehnya membunuh laki-laki dewasa yang tidak ikut berperang jika menolak Islam atau jizyah.
Dia juga berkata: Tawanan boleh dibunuh setelah perang usai. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah membunuh tawanan setelah perang berakhir. Demikian pula, setiap musyrik dewasa dibunuh jika menolak Islam atau jizyah. Jika imam mengajak tawanan masuk Islam, itu baik. Jika tidak mengajaknya dan langsung membunuhnya, tidak masalah. Jika seseorang membunuh tawanan sebelum atau setelah sampai ke imam, baik di Darul Harb atau setelah keluar darinya tanpa perintah imam, ia telah berbuat buruk tetapi tidak dikenakan hukuman. Sebab, imam berhak membebaskan, membunuh, atau menebus tawanan, sehingga hukumnya berbeda dengan harta rampasan yang tidak boleh diambil kecuali oleh yang berhak. Namun, jika ia membunuh anak kecil atau wanita, ia dihukum dan wajib membayar diyat mereka. Jika ia merusak harta, ia wajib menggantinya.
Jika tawanan diangkut tetapi lambat atau tidak ada kendaraan, mereka boleh memilih: membunuh laki-laki dewasa atau membiarkannya. Namun, wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam keadaan apa pun. Begitu pula hewan, tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, bukan untuk lainnya, baik kuda maupun lainnya. Jika imam mencurigai pengawal tawanan, ia disumpah dan tidak dikenakan hukuman.
Jika seorang budak wanita dari tawanan melakukan kejahatan, imam tidak boleh melindunginya dari korban atau menebusnya dengan harta pasukan. Ia wajib menjualnya dengan menanggung kejahatan tersebut. Jika harganya kurang atau sama dengan nilai kejahatan, itu diberikan kepada korban. Jika lebih, kelebihannya untuk pasukan, bukan untuknya. Jika ia memiliki anak kecil atau melahirkan setelah berbuat jahat sebelum dijual, ia dan anaknya dijual, lalu harganya dibagi. Bagiannya untuk korban, sedangkan bagian anaknya untuk pasukan karena anak itu bukan pelaku kejahatan.
Dia berkata: Jual beli di Darul Harb diperbolehkan. Jika seseorang membeli harta rampasan lalu dirampas musuh dalam perjalanan, ia tidak mendapat apa-apa. Seharusnya penguasa mengirim pengawal untuk melindungi mereka.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Anak yang lahir dalam Islam, anak zina, dan lainnya bisa menjadi pengganti dalam kaffarat memerdekakan budak. Wallahu a’lam.
[Musuh Mengurung Wanita, Anak-anak, dan Tawanan di Benteng—Bolehkah Melemparkan Benteng dengan Manjaniq?]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika di benteng musyrikin ada wanita, anak-anak, atau tawanan muslim, tidak masalah melemparkan benteng dengan manjaniq asalkan tidak menargetkan rumah-rumah penghuni kecuali jika pasukan muslim sudah dekat dengan benteng. Maka, rumah dan temboknya boleh dilempari. Jika di benteng ada pasukan musuh yang berlindung, rumah dan benteng boleh dilempari.
Jika musuh menggunakan anak-anak muslim atau non-muslim sebagai perisai sementara pasukan muslim sudah dekat, mereka boleh menyerang pasukan musuh tanpa menyakiti anak-anak. Jika pasukan muslim belum dekat, lebih baik menahan serangan sampai bisa menyerang tanpa membahayakan anak-anak. Demikian pula jika musuh mengeluarkan mereka dan berkata, “Jika kalian menyerang kami, kami akan membunuh mereka.” Api, minyak, air, dan asap hukumnya seperti manjaniq.
[Merusak Pohon dan Membakar Rumah]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tidak masalah menebang pohon berbuah, merobohkan bangunan, atau membakarnya di negeri musuh. Demikian pula membakar harta atau makanan musuh yang tidak bernyawa, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membakar kebun kurma Bani Nadhir, penduduk Khaibar, dan Thaif. Allah berfirman tentang Bani Nadhir: “Apa yang kalian tebang atau biarkan tegak.” (QS. Al-Hasyr: 5).
Adapun hewan, ia merasakan sakit jika disakiti, sehingga membunuhnya haram kecuali untuk dimakan. Tidak halal membunuhnya hanya untuk menyakiti musuh, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Siapa yang membunuh burung atau hewan lebih besar tanpa hak, Allah akan memintanya pertanggungjawaban.” Ditanya, “Apa haknya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyembelihnya untuk dimakan, bukan memenggalnya lalu membuangnya.” Lebah juga tidak boleh dibakar atau ditenggelamkan karena ia bernyawa.
Jika muslim menjadi tawanan atau mendapat jaminan keamanan di Darul Harb, lalu saling membunuh, menuduh zina, atau berzina dengan non-muslimah, mereka dikenakan hukum seperti di Darul Islam kecuali jika berzina dengan musuh wanita dan mengklaim syubhat. Darul Harb tidak menggugurkan kewajiban puasa, shalat, zakat, atau hudud.
Dia berkata: Jika seseorang melakukan pelanggaran hudud saat mengepung musuh, hudud tetap dilaksanakan. Kekhawatiran ia bergabung dengan musyrikin tidak menghalangi pelaksanaan hudud. Jika kita menundanya karena takut ia marah, hudud tidak akan pernah terlaksana, karena ia bisa melarikan diri ke Darul Harb kapan saja. Alasan menunda hudud karena khawatir ia kabur ke Darul Harb berarti membatalkan hukum Allah. Namun, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah menunda hudud karena alasan ketidaktahuan atau kesalahan. Beliau juga pernah melaksanakan hudud di Madinah padahal musyrikin dekat dan banyak di sana. Beliau mencambuk peminum khamr di Hunain padahal musyrikin dekat.
Jika seorang muslim melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, tidak ada diyat atas dirinya atau keluarganya. Seseorang tidak menanggung apa yang ia lakukan pada dirinya sendiri. Diriwayatkan bahwa seorang muslim memukul musyrik dalam perang (mungkin Khaibar) dengan pedang, tetapi pedang itu mengenai dirinya sendiri. Ketika dilaporkan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau tidak menetapkan diyat untuknya.
Jika pasukan menggunakan manjaniq dan batu tersebut mengenai salah seorang mereka hingga tewas, diyatnya dibayar oleh keluarga pelontar. Jika korban termasuk yang melontar, bagiannya dihapus. Misalnya, mereka sepuluh orang dan ia adalah yang kesepuluh, maka sepersepuluh diyat gugur darinya dan keluarganya. Sisanya (sembilan persepuluh) dibayar oleh keluarga pelontar, dan mereka juga wajib membayar kaffarat. Tidak ada kaffarat atau diyat bagi yang mengarahkan atau memerintahkan pelontaran, karena ia bukan pelaku. Kaffarat dan diyat hanya dibebankan pada pelaku langsung.
Keluarga (aqilah) menanggung semua kesalahan tidak sengaja, sekecil apa pun. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memutuskan diyat janin dibayar oleh aqilah.
Jika seorang muslim masuk Darul Harb dengan jaminan keamanan dan berutang kepada penduduk harb, lalu kreditor harbi datang dengan jaminan keamanan, utang itu wajib dibayar seperti utang kepada muslim atau dzimmi di Darul Islam. Hukum tetap berlaku bagi muslim di mana pun ia berada, sebagaimana shalat tetap wajib meski di Darul Syirik.
Jika dua orang harbi berutang lalu masuk Islam atau meminta jaminan keamanan dan menagih utang, kita boleh memutuskan jika mereka rela. Kita tidak wajib memutuskan kecuali mengetahui utang itu halal. Jika terbukti halal, kita putuskan. Jika salah satu mengaku haknya dirampas di Darul Harb, kita tidak menuntutnya karena perselisihan harta di Darul Harb diabaikan.
Jika ada yang bertanya, “Apa dalilmu memutuskan utang jika tidak dirampas?” Jawabannya: Orang-orang Jahiliyah dulu mengingkari utang, lalu bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka Allah menurunkan ayat: “Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kalian beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278). Dalam ayat itu juga disebutkan: “Jika kalian bertobat, bagi kalian pokok harta kalian.” (QS. Al-Baqarah: 279). Jadi, pokok harta tidak dihapus jika belum diterima, sedangkan riba dihapus. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengabaikan darah dan harta yang diperoleh dengan cara merampas, bukan yang diakui.
Jika dua dzimmi berzina setelah menikah lalu meminta keputusan hukum kepada kita, kita rajam mereka. Jika mereka masuk Islam setelah menikah sebagai musyrik lalu berzina sebagai muslim, kita rajam mereka karena pernikahan musyrik dianggap sah untuk hudud. Hudud lebih wajib bagi muslim daripada dzimmi. Jika salah satu rela dihukum sedangkan yang lain tidak, kita putuskan bagi yang rela.
Siapa pun yang menikahi wanita merdeka dzimmi atau budak muslimah dengan nikah sah, ia dianggap muhshan (tercegah dari hukuman zina). Demikian pula wanita muslimah atau dzimmi yang dinikahi muslim atau dzimmi. Muhshan adalah hubungan intim melalui nikah, bukan lainnya.
Jika seseorang masuk Darul Harb dan menemukan tawanan muslim (laki-laki atau wanita) di tangan musuh, lalu ia membeli dan membebaskan mereka, ia tidak boleh menuntut kembali apa yang ia bayar karena ia berbuat sukarela membebaskan orang merdeka. Jika tawanan memintanya membeli mereka, ia boleh menuntut kembali karena ia membeli atas perintah mereka.
Sebagian ulama awalnya berpendapat demikian tetapi kemudian menariknya. Mereka berpendapat jika seseorang membeli budak milik orang lain di Darul Harb tanpa perintah tuannya atau budak itu, ia tidak berhak kecuali jika tuannya rela membayar harganya. Ini bertentangan dengan pendapat pertama karena jika pembeli sukarela, budak itu tetap milik tuannya dan ia tidak boleh menuntut apa pun.
Kami berpendapat budak dan orang merdeka sama dalam hal ini. Kesalahan pendapat ini karena menganggap musyrikin boleh memiliki muslim. Padahal, ia membeli dari yang bukan pemilik sah.
Jika wanita muslimah ditawan lalu dinikahi atau dizinai musuh, kemudian dibebaskan muslimin, ia tidak menjadi budak dan anaknya juga tidak, karena anaknya muslim melalui ibunya. Jika ia memiliki suami di Darul Islam, anak itu tidak dinasabkan kepadanya tetapi kepada lelaki musyrik yang menikahinya, meski nikahnya tidak sah karena termasuk nikah syubhat.
Jika musta’min (orang yang mendapat jaminan keamanan) masuk Darul Islam lalu dibunuh muslim dengan sengaja, tidak ada qishash, hanya kaffarat dan diyat dari hartanya. Jika musta’min itu Yahudi atau Nasrani, diyatnya sepertiga diyat muslim. Jika Majusi atau penyembah berhala, diyatnya 800 dirham dari hartanya secara tunai. Jika terbunuh tidak sengaja, diyat dibayar aqilah dan kaffarat dari hartanya.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khattab menetapkan diyat Yahudi dan Nasrani 4.000 dirham, sedangkan Majusi 800 dirham. Utsman bin Affan juga memutuskan demikian.
Harta musta’min yang terbunuh dikembalikan kepada ahli warisnya, sebagaimana harta mu’ahad (yang memiliki perjanjian). Darah dan harta mereka dilindungi oleh Islam dan jaminan keamanan.
Jika muslim atau dzimmi masuk Darul Harb dengan jaminan keamanan lalu membawa harta musuh untuk membeli sesuatu, harta yang dibawa muslim tidak diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya di Darul Harb, karena minimal ia membawanya sebagai jaminan keamanan bagi kafir tersebut.
Jika budak musyrik meminta jaminan keamanan untuk masuk Islam dan merdeka, itu hak imam. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memberi jaminan keamanan kepada budak Tsaqif yang turun kepada beliau dan masuk Islam dengan syarat merdeka. Lima belas budak turun dan dibebaskan. Ketika tuannya datang sebagai muslim dan meminta budaknya dikembalikan, Rasulullah menolak dan berkata, “Mereka merdeka, tidak ada hak atas mereka.”
Jika seseorang dari musuh ditemukan di pinggir jalan tanpa senjata dan mengaku sebagai utusan, ia diterima dan tidak diganggu. Jika dicurigai, ia disumpah. Jika ia membawa senjata tetapi sendirian, tidak dalam kelompok yang membahayakan, ia juga diperlakukan sama karena klaimnya masuk akal.
Jika orang musyrik datang tanpa perjanjian dan muslimin memberinya jaminan keamanan, lalu ia ingin menetap, ia hanya boleh tinggal jika masuk Islam atau membayar jizyah. Jika ia ahli kitab, diberi pilihan: bayar jizyah jika ingin menetap atau kembali ke tempat amannya. Jika meminta penundaan, sebaiknya tidak lebih dari empat bulan, karena Allah memberi musyrikin waktu empat bulan untuk berkelana. Maksimal penundaan setahun, karena jizyah dibayar per tahun. Ia tidak boleh menetap tanpa membayar jizyah.
Jika ia
Jika sekelompok orang musyrik masuk dengan berdagang secara terang-terangan, maka tidak ada tindakan yang boleh diambil terhadap mereka, karena status mereka sama seperti pedagang yang selalu beriman. Jika seorang harbi (orang dari darul harb) masuk ke darul Islam dalam keadaan musyrik, lalu masuk Islam sebelum ditangkap, maka tidak ada tindakan yang boleh diambil terhadap dirinya maupun hartanya. Jika sekelompok orang dari darul harb melakukan hal ini, maka hukumnya sama. Jika mereka berperang lalu ditawan, kemudian masuk Islam setelah ditawan, maka mereka dan harta mereka menjadi fa’i (harta rampasan perang), tetapi tidak ada tindakan yang boleh diambil terhadap nyawa mereka karena keislaman mereka.
Jika hal ini terjadi di wilayah darul harb, lalu seseorang masuk Islam dalam keadaan apa pun sebelum ditawan, maka keislamannya melindungi nyawanya dan dia tidak menjadi budak. Demikian pula jika dia shalat, karena shalat adalah bagian dari iman, maka dia tidak boleh diganggu. Jika dia mengaku beriman, maka harta dan dirinya terlindungi. Namun, jika dia mengaku shalat tetapi tidak beriman, maka dia menjadi fa’i. Imam boleh memilih untuk membunuhnya, dan hukumnya seperti tawanan musyrik lainnya.
**[Harbi yang Berlindung ke Tanah Haram]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika sekelompok orang dari darul harb berlindung ke tanah haram dan berlindung di dalamnya, mereka boleh ditangkap seperti di luar tanah haram. Kita boleh menghukum mereka dengan hukuman mati atau lainnya sebagaimana hukum terhadap orang di luar tanah haram.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin engkau berpendapat bahwa tanah haram tidak melindungi mereka, padahal Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tentang Mekah: ‘Ia haram dengan keharaman Allah, tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku dan tidak akan dihalalkan bagi siapa pun setelahku, dan tidak dihalalkan bagiku kecuali sesaat di siang hari’? Apakah saat itu juga diharamkan?”
Dijawab: “Maknanya -wallahu a’lam- adalah bahwa Mekah tidak dihalalkan untuk dijadikan medan perang seperti wilayah lainnya.”
Jika dia bertanya lagi: “Apa dalil pendapatmu?”
Dijawab: “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk membunuh Abu Sufyan di rumahnya di Mekah secara sembunyi jika memungkinkan, setelah terbunuhnya ‘Ashim bin Tsabit, Khubaib, dan Ibnu Hasan. Ini terjadi saat Mekah masih haram, yang menunjukkan bahwa tanah haram tidak melindungi seseorang dari kewajiban yang harus ditimpakan padanya. Yang dilarang hanyalah menjadikannya sebagai medan perang seperti wilayah lainnya. Wallahu a’lam.”
**[Harbi Masuk ke Darul Islam dengan Aman dan Membeli Budak Muslim]**
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang harbi masuk ke darul Islam dengan jaminan keamanan, lalu membeli budak muslim, maka hanya ada dua pendapat yang mungkin:
- Pembelian itu batal, dan budak tetap milik pemilik sebelumnya.
- Pembelian itu sah, tetapi dia wajib menjualnya.
Jika tidak sempat diurus sampai dia melarikan budak itu ke darul harb, lalu budak itu masuk Islam di sana, maka budak itu menjadi miliknya. Jika dia menjual atau menghadiahkannya, maka jual-beli atau hadiahnya sah. Budak itu tidak merdeka hanya karena dibawa ke darul harb, dan tidak merdeka karena masuk Islam kecuali dalam satu kondisi, yaitu jika dia keluar dari darul harb dalam keadaan muslim, sebagaimana Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerdekakan orang yang keluar dari benteng Thaif dalam keadaan muslim.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana jika kami berpendapat bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerdekakan mereka karena keislaman, bukan karena keluar dari darul harb?”
Dijawab: “Pernah ada seorang budak muslim datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu tuannya datang mencarinya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membelinya dengan dua budak. Seandainya keislaman saja memerdekakannya, Nabi tidak perlu membeli orang merdeka darinya, dan beliau tidak memerdekakannya setelah itu. Namun, budak itu masuk Islam tanpa keluar dari wilayah perang.”
[Budak Harbi yang Masuk Islam di Negeri Perang]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seorang budak harbi masuk Islam di negeri perang dan tidak keluar darinya hingga kaum Muslimin menguasai negeri tersebut, maka statusnya tetap sebagai budak, tetapi darahnya dilindungi karena keislamannya.”
[Anak Kecil yang Masuk Islam]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seorang anak kecil yang sudah berakal masuk Islam sebelum baligh atau sebelum berusia lima belas tahun—dan ia adalah dzimmi—lalu ia menyatakan keislamannya, maka lebih aku sukai untuk menjualnya atau ia dijual. Namun, secara qiyas, ia tidak boleh dijual hingga ia menyatakan keislamannya setelah baligh atau setelah genap lima belas tahun—usia di mana jika ia murtad setelahnya, ia akan dibunuh. Aku mengatakan ‘lebih aku sukai ia dijual’ berdasarkan qiyas terhadap budaknya yang masuk Islam, di mana tuannya dipaksa untuk menjualnya meski ia belum menyatakan keislaman. Ia dianggap Muslim karena hukum orang lain, seolah-olah jika ia menyatakan Islam dalam keadaan berakal, maknanya sama atau bahkan lebih kuat. Meskipun mungkin ada perbedaan pendapat, kemungkinan pertama lebih tepat, sedangkan qiyas ini mengandung kesamaran.”
[Tentang Murtad]
(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seseorang murtad dari Islam dan pergi ke negeri perang, atau melarikan diri sehingga tidak diketahui keberadaannya, atau menjadi bisu atau gila, maka hartanya ditahan tanpa diputuskan apa pun. Jika ia tidak kembali masuk Islam sebelum masa iddah istrinya berakhir, maka istrinya berpisah darinya. Kami juga menahan ummahat aulad (ibu dari anak-anaknya), budak mudabbarnya, dan seluruh hartanya. Kami menjual budaknya yang tidak bisa dikembalikan kepadanya, dan budak yang dijual demi kebaikannya. Tidak ada pembebasan dari utang-utangnya yang tertunda. Jika ia kembali masuk Islam, kami mengembalikan hartanya seperti semula. Jika ia mati sebelum masuk Islam, maka hartanya menjadi fa’i yang dikhums, di mana empat perlimanya untuk kaum Muslimin dan seperlima untuk ahli khumus. Jika sebagian ahli warisnya mengklaim bahwa ia telah masuk Islam sebelum mati, maka ia diminta untuk mendatangkan bukti. Jika bukti itu ada, hartanya diberikan kepada ahli warisnya yang Muslim. Jika tidak ada bukti dan telah diketahui kemurtadannya, maka hartanya menjadi fa’i. Jika ia dibawa untuk dihukum mati, lalu ia mengucapkan syahadat sebelum dibunuh oleh penguasa yang tidak mewajibkan taubat bagi sebagian murtadin, maka warisannya diberikan kepada ahli warisnya yang Muslim. Pembunuhnya wajib membayar kafarat dan diyat. Seandainya tidak ada kesamaran, qisas akan dijatuhkan. Sebagian orang menyelisihi kami dalam hal ini, dan kami telah menuliskannya dalam kitab tentang murtad.
Jika sekelompok orang menghadang orang-orang di jalan dan melawan dengan senjata:
– Jika mereka membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib.
– Jika mereka membunuh tanpa mengambil harta, mereka dibunuh tanpa disalib.
– Jika mereka mengambil harta tanpa membunuh, tangan kanan dan kaki kiri mereka dipotong bersilang.
– Jika mereka tidak membunuh dan tidak mengambil harta, mereka diasingkan dari negeri tersebut. Pengasingan berarti mereka dikejar dan diusir dari satu negeri ke negeri lain. Jika mereka tertangkap, maka dijatuhkan hukuman sesuai dengan kejahatan mereka.
Tangan mereka tidak dipotong kecuali jika nilai yang mereka curi mencapai seperempat dinar. Jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka hukuman dari Allah gugur, tetapi hak manusia (seperti harta, luka, atau nyawa) tetap wajib mereka penuhi, kecuali jika dimaafkan.
Jika ada kelompok yang hanya membantu (tidak terlibat langsung) dan tidak mendengar atau mendengar seruan, maka mereka hanya diberi hukuman ta’zir tanpa hukuman had. Hukuman had hanya dijatuhkan pada pelaku langsung, bukan yang sekadar hadir atau membantu.
Hal ini berlaku baik di desa maupun padang pasir. Jika penguasa memberikan jaminan keamanan atas apa yang mereka lakukan, maka jaminan itu tidak berlaku untuk hak manusia. Penguasa tetap wajib memenuhi hak korban kecuali mereka memaafkan.
Jika mereka melakukan kejahatan sebelum murtad, lalu murtad setelahnya dan bertaubat, hukuman had tetap dijatuhkan karena mereka melakukannya saat masih Muslim. Namun, jika mereka murtad sebelum melakukan kejahatan, lalu melakukannya dalam keadaan murtad dan bertaubat, tidak ada hukuman had karena mereka melakukannya sebagai musyrik yang memerangi.
Contohnya, Thulaihah murtad, membunuh Tsabit bin Aqram dan Ukasyah bin Mihshan, lalu masuk Islam. Ia tidak diqisas atau diwajibkan membayar diyat karena perbuatannya dilakukan dalam keadaan syirik. Kecuali jika ditemukan harta korban di tangannya, maka itu harus dikembalikan.
Jika mereka murtad, melakukan kejahatan, bertaubat, lalu mengulangi kejahatan setelah masuk Islam, maka hukuman had dijatuhkan untuk kejahatan yang dilakukan sebagai Muslim, bukan yang dilakukan sebagai musyrik.
(Imam Syafi’i) juga berpendapat lain dalam konteks berbeda: Jika seseorang murtad lalu membunuh seorang Muslim—baik yang memerangi atau tidak—ia tetap diqisas meski kembali masuk Islam, karena kemurtadannya tidak menghapus dosa pembunuhan.
(Ar-Rabi’) mengatakan: Qiyas pendapat Syafi’i adalah jika seorang budak mencuri dari ghanimah hingga mencapai nilai saham orang merdeka (seperempat dinar atau lebih), maka tangannya dipotong, karena budak tidak mendapat saham penuh seperti orang merdeka.
(Imam Syafi’i – rahimahullah -) berkata: Jika seorang budak murtad dan pergi ke negeri perang, lalu imam memberinya jaminan keamanan tanpa mengembalikannya kepada tuannya, maka jaminan itu batal. Imam wajib mengembalikannya kepada tuannya. Jika imam menghalanginya setelah budak itu kembali dan budak itu mati dalam penguasaannya, maka imam wajib membayar ganti rugi kepada tuannya seperti seorang ghāshib. Jika tidak mati, tuannya berhak mendapat uang sewa selama budak itu ditahan.
Jika seseorang memukul dengan pedang dan lukanya layak diqisas, maka diqisas. Jika tidak layak diqisas, maka wajib membayar diyat. Tangan tidak dipotong kecuali untuk pencurian.
Contohnya, Shafwan bin Al-Mu’aththal memukul Hassan bin Tsabit dengan pedang keras di masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, tetapi tangannya tidak dipotong. Hassan memaafkannya setelah sembuh, dan Rasulullah tidak menghukum Shafwan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hukuman tambahan bagi pelaku yang diqisas lalu dimaafkan, baik dalam pembunuhan maupun luka.
Penguasa berhak membunuh pelaku pembunuhan dalam konteks permusuhan tanpa menunggu keputusan wali korban. Sebagian sahabat kami berpendapat demikian, seperti dalam kasus Al-Muhdar bin Ziyad. Jika hadisnya sahih, kami akan mengikutinya. Namun, hingga kini aku tidak menemukannya sahih. Jika tidak sahih, maka setiap pembunuhan non-permusuhan diserahkan kepada wali korban, karena Allah berfirman:
*”Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka Kami berikan kepada walinya kekuasaan.”* (QS. Al-Isra’: 33)
Dan firman-Nya:
*”Maka barangsiapa yang mendapat maaf dari saudaranya, hendaklah diikuti dengan cara yang baik.”* (QS. Al-Baqarah: 178)
Ini menunjukkan bahwa maaf atau qisas adalah hak wali darah, kecuali dalam kasus permusuhan, di mana Allah menetapkan hukuman mati atau salib tanpa menyebut wali darah.
Jika perampok mengambil harta tanpa membunuh dan tangannya sudah dipotong sebelah kanan serta kaki kirinya, maka tangan kiri dan kaki kanannya dipotong. Hukum asalnya adalah tangan kanan dan kaki kiri selama masih ada. Jika tidak ada lagi, maka beralih ke sisi lainnya.
Perampok tidak dipotong tangannya kecuali jika nilai curian mencapai seperempat dinar atau lebih per orang. Perampokan dengan tongkat atau lemparan batu dihukum sama seperti dengan senjata besi.
Jika sekelompok penjahat menghadang orang dengan tindakan berbeda, maka hukumannya disesuaikan:
– Yang membunuh dan mengambil harta: dibunuh dan disalib.
– Yang membunuh tanpa mengambil harta: dibunuh tanpa disalib.
– Yang mengambil harta: tangan kanan dan kaki kiri dipotong bersilang.
– Yang hanya banyak berkumpul tanpa tindakan kriminal: dihukum ta’zir dan dipenjara.
Wali korban tidak berhak memaafkan perampok, karena Allah telah menetapkan hukuman mati, salib, atau potong tangan tanpa menyebut wali darah, berbeda dengan qisas dalam ayat lain.
(Imam Syafi’i) berkata: “Segala harta yang dirampas perampok atau pencuri harus dikembalikan jika masih ada. Jika tidak, maka menjadi utang yang wajib dibayar.”
Jika perampok bertaubat sebelum ditangkap, hukuman dari Allah gugur, tetapi hak manusia tetap wajib dipenuhi. Jika ada yang membunuh, ia diserahkan kepada wali korban untuk memilih antara maaf, qisas, atau diyat dari harta pembunuh. Jika ada luka yang layak diqisas, korban boleh memilih antara qisas atau diyat.
Jika pelaku adalah budak yang membunuh dengan sengaja, wali darah boleh memilih antara membunuhnya atau membelinya untuk membayar diyat (jika korban merdeka) atau nilainya (jika korban budak). Jika ada sisa harga budak, dikembalikan kepada tuannya. Jika tidak mampu membayar diyat, tuannya tidak menanggung apa pun.
Jika ada wanita dalam kelompok perampok, hukumnya sama dengan laki-laki, karena hukum Allah dalam hudud berlaku sama bagi kedua gender, seperti dalam ayat tentang zina dan pencurian.
Jika seorang Muslim melakukan kejahatan di negeri Islam—baik dengan terang-terangan, sembunyi-sembunyi, atau melarikan diri ke negeri perang—lalu meminta jaminan keamanan, maka:
– Jika ada hak kaum Muslimin, imam tidak boleh memberinya jaminan. Jika tetap diberikan, imam wajib menuntutnya jika ada yang menuntut.
– Jika ia murtad lalu melakukan kejahatan setelah murtad, kemudian meminta jaminan atau datang dengan aman, maka semua kejahatan saat murtad dihapus.
Contohnya, Thulaihah murtad dan membunuh dua orang, lalu masuk Islam tanpa diqisas atau membayar diyat. Allah memerintahkan Nabi untuk melindungi musyrik yang meminta perlindungan hingga mendengar firman-Nya, tetapi tidak ada contoh untuk Muslim yang memberontak.
Jika budak melarikan diri ke negeri perang lalu imam memberinya jaminan tanpa mengembalikannya kepada tuannya, maka jaminan itu batal. Im